Loading documents preview...
LAPORAN PENDAHULUAN KEJANG DEMAM I. Konsep Penyakit Kejang Demam 1.1 Definisi Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh mencapai >380C. Kejang demam dapat terjadi karena proses intrakranial maupun ekstrakranial. Kejang demam terjadi pada 2-4% populasi anak berumur 6 bulan sampai dengan 5 tahun (Amid dan Hardhi, NANDA NIC-NOC, 2013). Kejang demam adalah terbebasnya sekelompok neuron secara tiba-tiba yang suatu kerusakan kesadaran, gerak, sensasi atau memory yang bersifat sementara (Hudak and gallo, 1996). Kejang demam merupakan gangguan transien pada anak yang terjadi bersamaan dengan demam. Keadaan ini merupakan salah satu gangguan neurologik yang paling sering dijumpai pada anak-anak dan menyerang sekitar 4% anak. Kebanyakan serangan kejang terjadi setelah usia 6 bulan dan biasanya sebelum usia 3 tahun dengan peningkatan frekuensi serangan pada anak-anak yang berusia kurang dari 18 bulan. Kejang demam jarang terjadi setelah usia 5 tahun. (Dona L.Wong, 2009) Jadi dapat disimpulkan kejang demam adalah kenaikan suhu tubuh yang menyebabkan perubahan fungsi otak akibat perubahan potensial listrik serebral yang berlebihan sehingga mengakibatkan renjatan berupa kejang. 1.2 Etiologi 1.
Faktor-faktor prenatal
2.
Malformasi otak congenital
3.
Faktor genetika
4.
Penyakit infeksi (ensefalitis, meningitis)
5.
Demam
6.
Gangguan metabolisme
7.
Trauma
1
8.
Neoplasma, toksin
9.
Gangguan sirkulasi
10. Penyakit degeneratif susunan saraf. 11. Respon alergi atau keadaan imun yang abnormal
1.3 Tanda gejala Ada 2 bentuk kejang demam (menurut Lwingstone), yaitu: 1. Kejang demam sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai berikut : a. Kejang berlangsung singkat, < 15 menit b. Kejang umum tonik dan atau klonik Kejang umum tonik biasanya terdapat pada bayi baru lahir dengan berat badan rendah dengan masa kehamilan kurang dari 34 minggu dan bayi dengan komplikasi prenatal berat. Bentuk klinis kejang ini yaitu berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi. Bentuk kejang tonik yang menyerupai deserebrasi harus di bedakan dengan sikap epistotonus yang disebabkan oleh rangsang meningkat karena infeksi selaput otak. Kejang klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal dan multifokal yang berpindah-pindah. Bentuk klinis kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3 detik, terlokalisasi dengan baik, tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolic c. Umumnya berhenti sendiri d. Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam 2. Kejang demam komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis sebagai berikut : a.
Kejang lama > 15 menit
2
b.
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial Kejang parsial (fokal, lokal), Kejang berasal dari satu fokus neuron. Sesekali fokus terdapat pada lokasi kerusakan otak sebelumnya. 1). Kejang fokal sederhana (mengenai satu anggota tubuh tertentu saja dan kesadaran tidak terganggu) 2). Kejang parsial kompleks (mengenai satu atau lebih anggota tubuh dan kesadaran terganggu) 3). Kejang parsial yang menjadi umum (dari complex partial seizures lalu berkembang menjadi kejang pada seluruh tubuh dan kesadaran terganggu)
c.
Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam
Berikut beberapa gejala kejang demam, antara lain : Suhu tubuh lebih dari 38 derajat ( bila diukur lewat ketiak, tambah 0.7 derajat ) Kehilangan kesadaran atau pingsan Tubuh (kaki dan tangan) kaku Kepala menjadi terkulai disertai rasa seperti orang terkejut Kulit berubah pucat bahkan menjadi biru Bola mata terbalik keatas Bibir terkatup kadang disertai muntah 1.4 Patofisiologi Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi CO2dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na +) dan elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl–). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat
3
pada permukaan sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh : a.
Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
b.
Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau aliran listrik dari sekitarnya
c.
Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15 %. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi artenal disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat. 1.5 Pemeriksaan Penunjang 1. Elektro encephalograft (EEG) Untuk pemeriksaan ini dirasa kurang mempunyai nilai prognostik. EEG abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga kemungkinan terjadinya epilepsi atau kejang demam yang berulang dikemudian hari. Saat ini pemeriksaan EEG tidak lagi dianjurkan untuk pasien kejang demam yang sederhana. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi. 2. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
4
Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama. Pada bayi yang masih kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas sehingga harus dilakukan lumbal pungsi pada bayi yang berumur kurang dari 6 bulan dan dianjurkan untuk yang berumur kurang dari 18 bulan. 3. Darah a. Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N < 200 mq/dl) b. BUN: Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat. c. Elektrolit : K, Na Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl ) Natrium ( N 135 – 144 meq/dl ) 4. Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi, pendarahan penyebab kejang. 5. Skull Ray :Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi 6. Tansiluminasi
: Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB
masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala. 1.6 Komplikasi Menurut Ngastiyah (2005) risiko terjadi bahaya / komplikasi yang dapat terjadi pada pasien kejang demam antara lain: 1. Dapat terjadi perlukaan misalnya lidah tergigit atau akibat gesekan dengan gigi. 2. Dapat terjadi perlukaan akibat terkena benda tajam atau keras yang ada di sekitar anak. 3. Dapat terjadi perlukaan akibat terjatuh. Selain bahaya akibat kejang, risiko komplikasi dapat terjadi akibat pemberian obat antikonvulsan yang dapat terjadi di rumah sakit. Misalnya: 1. Karena kejang tidak segera berhenti padahal telah mendapat fenobarbital kemudian di berikan diazepam maka dapat berakibat apnea.
5
2. Jika memberikan diazepam secara intravena terlalu cepat juga dapat menyebabkan depresi pusat pernapasan. Menurut Taslim S. Soetomenggolo dapat mengakibatkan : 1. Kerusakan sel otak 2. Penurunan IQ pada kejang demam yang berlangsung lama lebih dari 15 menit dan bersifat unilateral 3. Kelumpuhan (Lumbatobing,1989) 4. Epilepsi, terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat serangan kejang yang berlangsung lama. 5. Asfiksia 6. Aspirasi Walaupun kejang demam menyebabkan rasa cemas yang amat sangat pada orang tua, sebagian kejang demam tidak mempengaruhi kesehatan jangka panjang,
kejang
demam
tidak
mengakibatkan
kerusakan
otak,
keterbelakangan mental atau kesulitan belajar / ataupun epiksi Epilepsy pada anak di artikan sebagai kejang berulang tanpa adanya demam kecil kemungkinan epilepsy timbul setelah kejng demam. Sekitar 2 – 4 anak kejang demam dapat menimbulkan epilepsy, tetapi bukan karena kejang demam itu sendiri kejang pertama kadang di alami oleh anak dengan epilepsy pada saat mereka mengalami demam. Namun begitu antara 95 – 98 % anak yang mengalami kejang demam tidak menimbulkan epilepsy. 1.7 Penatalaksanaan Dalam penanganan kejang demam, orang tua harus mengupayakan diri setenang mungkin dalam mengobservasi anak. Beberapa hal yang harus di perhatikan adalah sebagai berikut : a. Anak harus di baringkan di tempat yang datar dengan posisi menyamping, bukan terlentang, untuk menghindari bahaya tersedak. b. Jangan meletakkan benda apapun dalam mulut sianak seperti sendok atau penggaris, karena justru benda tersebut dapat menyumbat jalan nafas. c. Jangan memegangi anak untuk melawan kejang. d. Sebagian besar kejang berlangsung singkat & dan tidak memerlukan penanganan khusus.
6
e. Jika kejang terus berlanjut selama 10 menit, anak harus segera di bawa ke fasilitas kesehatan terdekat. Sumber lain menganjurkan anak untuk di bawa ke fasilitas kesehatan jika kejang masih berlanjut setelah 5 menit. Ada pula sumber yang menyatakan bahwa penanganan lebih baik di lakukan secepat mungkin tanpa menyatakan batasan menit. f. Setelah kejang berakhir ( jika < 10 menit ), anak perlu di bawa menemui dokter untuk meneliti sumber demam, terutama jika ada kakakuan leher, muntah-muntah yang berat,atau anak terus tampak lemas. Jika anak di bawa kefasilitas kesehatan , penanganan yang akan di lakukan selain point-point di atas adalah sebagai berikut : 1. Memastikan jalan nafas anak tidak tersumbat 2. Pemberian oksigen melalui face mask 3. Pemberian diazepam 0.5 mg / kg berat badan per rectal (melalui) atau jika terpasang selang infuse 0.2 mg / kg per infuse 4. Pengawasan tanda-tanda depresi pernafasan 1.
Pengobatan a. Pengobatan fase akut Obat yang paling cepat menghentikan kejang demam adalah diazepam yang diberikan melalui interavena atau indra vectal. Dosis awal : 0,3 – 0,5 mg/kg/dosis IV (perlahan-lahan). Bila kejang belum berhenti dapat diulang dengan dosis yang sama setelah 20 menit. b. Turunkan panas Anti piretika : parasetamol / salisilat 10 mg/kg/dosis. Kompres air PAM / Os c. Mencari dan mengobati penyebab Pemeriksaan cairan serebro spiral dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama, walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada kasus yang dicurigai sebagai meningitis, misalnya bila aga gejala meningitis atau bila kejang demam berlangsung lama. d. Pengobatan profilaksis
7
Pengobatan ini ada dalam cara : profilaksis intermitten / saat demam dan profilaksis terus menerus dengan antikanulsa setiap hari. Untuk profilaksis intermitten diberikan diazepim secara oral dengan dosis 0,3 – 0,5 mg/hgBB/hari. e. Penanganan sportif 1) Bebaskan jalan napas 2) Beri zat asam 3) Jaga keseimbangan cairan dan elektrolit 4) Pertahankan tekanan darah 2. Pencegahan a. Pencegahan berkala (intermitten) untuk kejang demam sederhana. Beri diazepam dan antipiretika pada penyakit-penyakit yang disertai demam. b. Pencegahan kontinu untuk kejang demam komplikata Dapat digunakan : – Fero barbital
5-7 mg/kg/24 jam dibagi 3 dosis
– Fenitorri
2-8 mg/kg/24 jam dibagi 2-3 dosis
– Klonazepam
(indikasi khusus)
8
1.8 Pathway
Resiko Jatuh
Spasme Bronkus Kekakuan otot pernafasan Pola nafas tidak efektif
(Sumber : Wong, Donna L. 2009)
9
II. Rencana Asuhan Klien Dengan Gangguan Kejang Demam 2.1 Pengkajian 2.1.1 Riwayat keperawatan Data subyektif 1. Biodata/Identitas Biodata anak mencakup nama, umur, jenis kelamin. Biodata orang tua perlu dipertanyakan untuk mengetahui status sosial anak meliputi nama, umur, agama, suku/bangsa, pendidikan, pekerjaan, penghasilan, alamat. 2. Riwayat Penyakit (Darto Suharso, 2000) Riwayat penyakit yang diderita sekarang tanpa kejang ditanyakan:
Apakah betul ada kejang? Diharapkan ibu atau keluarga yang mengantar dianjurkan menirukan gerakan kejang si anak
Apakah disertai demam? Dengan mengetahui ada tidaknya demam yang menyertai kejang, maka diketahui apakah infeksi memegang peranan dalam terjadinya bangkitan kejang.
Lama serangan Seorang ibu yang anaknya mengalami kejang merasakan waktu berlangsung lama. Lama bangkitan kejang kita dapat mengetahui kemungkinan respon terhadap prognosa dan pengobatan.
Pola serangan Perlu diusahakan agar diperoleh gambaran lengkap mengenai pola serangan apakah bersifat umum, fokal, tonik, klonik? Apakah serangan berupa kontraksi sejenak tanpa hilang kesadaran seperti epilepsi mioklonik? Apakah serangan berupa tonus otot hilang sejenak disertai gangguan kesadaran seperti epilepsi akinetik? Apakah serangan dengan kepala dan tubuh mengadakan flexi sementara tangan naik sepanjang kepala, seperti pada spasme infantile? Pada kejang demam sederhana kejang ini bersifat umum.
Frekuensi serangan
10
Apakah penderita mengalami kejang sebelumnya, umur berapa kejang terjadi untuk pertama kali, dan berapa frekuensi kejang per-tahun. Prognosa makin kurang baik apabila kejang timbul pertama kali pada umur muda dan bangkitan kejang sering timbul.
Keadaan sebelum, selama dan sesudah serangan Sebelum kejang perlu ditanyakan adakah aura atau rangsangan tertentu yang dapat menimbulkan kejang, misalnya lapar, lelah, muntah, sakit kepala dan lain-lain. Dimana kejang dimulai dan bagaimana menjalarnya. Sesudah kejang perlu ditanyakan apakah penderita segera sadar, tertidur, kesadaran menurun, ada paralise, menangis dan sebagainya?
Riwayat penyakit sekarang yang menyertai Apakah muntah, diare, truma kepala, gagap bicara (khususnya pada penderita epilepsi), gagal ginjal, kelainan jantung, DHF, ISPA, OMA, Morbili dan lain-lain.
3. Riwayat Penyakit Dahulu Sebelum penderita mengalami serangan kejang ini ditanyakan apakah penderita pernah mengalami kejang sebelumnya, umur berapa saat kejang terjadi untuk pertama kali? Apakah ada riwayat trauma kepala, radang selaput otak, KP, OMA dan lain-lain. 4. Riwayat Kehamilan dan Persalinan Kedaan ibu sewaktu hamil per trimester, apakah ibu pernah mengalami infeksi atau sakit panas sewaktu hamil. Riwayat trauma, perdarahan per- vaginam sewaktu hamil, penggunaan obat-obatan maupun jamu selama hamil. Riwayat persalinan ditanyakan apakah sukar, spontan atau dengan tindakan (forcep/vakum), perdarahan ante partum, asfiksi dan lain-lain. Keadaan selama neonatal apakah bayi panas, diare, muntah, tidak mau menetek, dan kejang-kejang. 5. Riwayat Imunisasi Jenis imunisasi yang sudah didapatkan dan yang belum ditanyakan serta umur mendapatkan imunisasi dan reaksi dari imunisasi. Pada
11
umumnya setelah mendapat imunisasi DPT efek sampingnya adalah panas yang dapat menimbulkan kejang. 6. Riwayat Perkembangan Ditanyakan kemampuan perkembangan meliputi : Personal sosial (kepribadian/tingkah laku sosial): berhubungan dengan kemampuan mandiri, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan lingkungannya. Gerakan motorik halus: berhubungan dengan kemampuan anak untuk mengamati sesuatu, melakukan gerakan yang melibatkan bagian-bagian tubuh tertentu saja dan dilakukan otot-otot kecil dan memerlukan koordinasi yang cermat, misalnya menggambar, memegang suatu benda, dan lain-lain. Gerakan motorik kasar: berhubungan dengan pergerakan dan sikap tubuh. Bahasa: kemampuan memberikan respon terhadap suara, mengikuti perintah dan berbicara spontan. 7. Riwayat kesehatan keluarga. Adakah anggota keluarga yang menderita kejang (+25 % penderita kejang demam mempunyai faktor turunan). Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit syaraf atau lainnya? Adakah anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ISPA, diare atau penyakit infeksi menular yang dapat mencetuskan terjadinya kejang demam. 8. Riwayat sosial Untuk mengetahui perilaku anak dan keadaan emosionalnya perlu dikaji siapakah yang mengasuh anak? Bagaimana hubungan dengan anggota keluarga dan teman sebayanya? 9. Pola kebiasaan dan fungsi kesehatan Ditanyakan keadaan sebelum dan selama sakit bagaimana?
Pola kebiasaan dan fungsi ini meliputi : Pola persepsi dan tatalaksanaan hidup sehat Gaya hidup yang berkaitan dengan kesehatan, pengetahuan tentang kesehatan, pencegahan dan kepatuhan pada setiap perawatan dan tindakan medis?
12
Bagaimana
pandangan
terhadap
penyakit
yang
diderita,
pelayanan kesehatan yang diberikan, tindakan apabila ada anggota
keluarga
yang
sakit,
penggunaan
obat-obatan
pertolongan pertama.
Pola nutrisi Untuk mengetahui asupan kebutuhan gizi anak. Ditanyakan bagaimana kualitas dan kuantitas dari makanan yang dikonsumsi oleh anak? Makanan apa saja yang disukai dan yang tidak? Bagaimana selera makan anak? Berapa kali minum, jenis dan jumlahnya per hari?
Pola Eliminasi BAK : ditanyakan frekuensinya, jumlahnya, secara makroskopis ditanyakan bagaimana warna, bau, dan apakah terdapat darah? Serta ditanyakan apakah disertai nyeri saat anak kencing. BAB : ditanyakan kapan waktu BAB, teratur atau tidak? Bagaimana konsistensinya lunak,keras,cair atau berlendir?
10. Pola aktivitas dan latihan Apakah anak senang bermain sendiri atau dengan teman sebayanya? Berkumpul dengan keluarga sehari berapa jam? Aktivitas apa yang disukai? 11. Pola tidur/istirahat Berapa jam sehari tidur? Berangkat tidur jam berapa? Bangun tidur jam berapa? Kebiasaan sebelum tidur, bagaimana dengan tidur siang? 2.1.2 Pemeriksaan fisik Data Obyektif 1. Pemeriksaan Umum (Corry S, 2000) Pertama kali perhatikan keadaan umum vital: tingkat kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada kejang demam sederhana akan didapatkan suhu tinggi sedangkan kesadaran setelah kejang akan kembali normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan neurologi. 2. Pemeriksaan fisik
Kepala
13
Adakah tanda-tanda mikro atau makrosepali? Adakah dispersi bentuk kepala? Apakah tanda-tanda kenaikan tekanan intrakarnial, yaitu ubun-ubun besar cembung, bagaimana keadaan ubun-ubun besar menutup atau belum?
Rambut Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien.
Muka/ Wajah. Paralisis fasialis menyebabkan asimetri wajah; sisi yang paresis tertinggal bila anak menangis atau tertawa, sehingga wajah tertarik ke sisi sehat. Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus ? Apakah ada gangguan nervus cranial ?
Mata Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva ?
Telinga Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran.
Hidung Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat jalan napas? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya, jumlahnya?
Mulut Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis? Bagaimana keadaan lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh? Apakah ada caries gigi?
Tenggorokan Adakah tanda-tanda peradangan tonsil? Adakah tanda-tanda infeksi faring, cairan eksudat?
Leher
14
Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid? Adakah pembesaran vena jugularis?
Thorax Pada inspeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan, frekwensinya, irama, kedalaman, adakah retraksi Intercostale? Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan ?
Jantung Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya? Adakah bunyi tambahan? Adakah bradicardi atau tachycardia? Abdomen Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen? Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus? Adakah tanda meteorismus? Adakah pembesaran lien dan hepar?
Kulit Bagaimana keadaan kulit baik kebersihan maupun warnanya? Apakah terdapat oedema, hemangioma? Bagaimana keadaan turgor kulit?
Ekstremitas Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi kejang? Bagaimana suhunya pada daerah akral?
Genetalia Adakah kelainan bentuk oedema, sekret yang keluar dari vagina, tanda-tanda infeksi?
2.1.3 Pemeriksaan Penunjang Tergantung
sarana
yang
tersedia
dimana
pasien
dirawat,
pemeriksaannya meliputi: 1.
Darah Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang (N< 200 mq/dl) BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat. Elektrolit : K, Na Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
15
Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl ) Natrium ( N 135 – 144 meq/dl ) 2.
Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS tanda infeksi, pendarahan penyebab kejang.
3.
Skull Ray : Untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi
4.
Tansiluminasi : Suatu cara yang dikerjakan pada bayi dengan UUB masih terbuka (di bawah 2 tahun) di kamar gelap dengan lampu khusus untuk transiluminasi kepala.
5.
EEG : Teknik untuk menekan aktivitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk mengetahui fokus aktivitas kejang, hasil biasanya normal.
6.
CT Scan : Untuk mengidentifikasi lesi cerebral infaik hematoma, cerebral oedem, trauma, abses, tumor dengan atau tanpa kontras.
2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul Diagnosa 1: Hipertermia (00007) 2.2.1 Definisi: peningkatan suhu tubuh di atas rentang normal 2.2.2 Batasan karakteristik Subjektif Klien mengatakan badannya panas Objektif
Kulit merah
Suhu tubuh meningkat diatas rentang normal
Frakuansi napas meningkat
Kejang atau konfulsi
Kulit teraba hangat
Takikardi
Tachipnea
2.2.3 Faktor yang berhubungan
Dehidrasi
Penyakit atau trauma
Ketidakmampuan atau penurunan kemampuan untuk berkeringat
Pakaian yang tidak tepat
16
Peningkatan laju metabolism
Obat atau anastesia
Terpajan pada lingkungan yang panas
Aktivitas yang berlebihan
Proses penyakit
Diagnosa 2: Ketidakefektifan Pola Nafas (00032) 2.2.4 Definisi: Inspirasi dan atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi yang adekuat 2.2.5
Batasan karakteristik Subjektif Dispnea Napas pendek Objektif Perubahan ekskursi dada Mengambil posisi tiga titik tumpu Bradipnea Penurunan tekanan inspirasi-ekspirasi Penurunan vntilasi semenit Penurunan kapasitas vital Napas dalam Peningkatan diameter anterior-posterior Napas cuping hidung Ortopnea Fase ekspirasi memanjang Pernapasan binir mencucu Kecepatan respirasi
17
Usia dewasa atau 14 tahun lebih ; ≤11 atau ≥24 x permenit Usia 5-14 tahun < 15 atau > 25 Usia 1-4 tahun <20 atau >30 Usia bayi <25 atau >60 Takipnea Rasio waktu Pengunaan otot bantu asesoris untuk bernapas 2.2.6
Factor yang berubungan Ansietas Posisi tubuh Deformitas tulang Deformitas dinding dada Penurunan energy dan kelelahan Hiperventilasi Sindrom hipoventilasi Kerusakan musculoskeletal Imaturitas neurologis Disfungsi neuromuscular Obesitas Nyeri Kerusakan persepsi atau kognitif Kelelahan otot-otot pernapasan Cedera medulla spinalis
Diagnosa 3 : Resiko cedera (00035) 2.2.7 Definisi : Rentan mengalami cedera fisik akibat kondisi lingkungan yang berinteraksi dengan sumber adaptif dan sumber defensif individu, yang dapat mengganggu kesehatan. 2.2.8 Faktor yang berhubungan Eksternal
18
Agen nosocomial Gangguan fungsi kognitif Gangguan fungsi psikomotor Hambatan fisik Hambatan sumber nutrisi Moda transfortasi tidak aman Pajanan pada kimia toksik Pajanan pada patogen Tingkat imunisasi di komunitas Internal Disfungsi biokimia Disfungsi efektor Disfungsi imun Disfungsi integrasi sensori Gangguan mekanisme pertahanan primer Gangguan orientasi afektif Gangguan sensasi Hipoksia jaringan Malnutrisi Profil darah yang abnormal Usia eksterm
2.3
Perencanaan Diagnosa 1: Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit.
TUJUAN DAN KRITERIA
INTERVENSI
HASIL
19
RASIONAL
Setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama
3
x
24jam pasien menunjukkan kestabilan suhu tubuh : NOC : Nilai suhu, denyut nadi, frekuensi
pernapasan,
dalam rentang normal.
TD
1. Kaji dan catat suhu
1. Tindakan ini sebagai
tubuh setiap 2 atau 4
dasar
jam.
menentukan
2. Observasi
membrane
mukosa,
pengisian
kapiler,
dan
turgor
kulit. 3. Berikan minum 2-2,5 liter sehari selama 24 jam.
intervensi. 2. Untuk mengidentifikasi tanda-tanda dehidrasi akibat panas. 3. Kebutuhan
cairan
dalam tubuh cukup mencegah terjadinya
4. Berikan hangat
untuk
kompres pada
dahi,
ketiak, dan lipat paha.
panas. 4. Kompres
hangat
memberi
efek
vasodilatasi pembuluh
darah,
sehingga 5. Anjurkan pasien untuk tirah baring (bed rest) sebagai
upaya
pembatasanaktivitas selama fase akut. 6. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang
tipis
dan
menyerap keringat.
mempercepat penguapan tubuh. 5. Menurunkan kebutuhan metabolisme sehingga
tubuh turut
menurunkan panas. 6. Pakaian tipis memudahkan penguapan
panas.
Saat suhu tubuh naik, pasien akan banyak 7. Berikan
terapi
golongan
obat
antipiretik
mengeluarkan keringat. 7. Untuk menurunkan
sesuai program medis
atau
evaluasi
panas badan.
mengontrol
efektivitasnya. 8. Pemberian antibiotik sesuai program medis. 9. Pemberian
20
cairan
8. Untuk
mengatasi
infeksi dan mencegah
parenteral
sesuai
program medis. 10. Observasi
hasil
pemeriksaan darah dan feses.
penyebaran infeksi. 9. Penggantian cairan akibat
penguapan
panas tubuh. 10. Untuk mengetahui perkembangan
11. Observasi peningkatan
adanya
penyakit
tipes
dan
suhu
efektivitas terapi. secara terus - menerus, 11. Peningkatan suhu distensi abdomen, dan
secara
nyeri abdomen.
menerus
terus
-
setelah
pemberian antiseptik dan
antibiotik,
kemungkinan mengindikasikan terjadinya komplikasi perforasi usus.
2.2
21
Diagnosa 2 : Ketidakefektifan Pola Nafas berhubungan dengan kelelahan otot-otot pernapasan. TUJUAN DAN KRITERIA
INTERVENSI
RASIONAL
HASIL Setelah dilakukan tindakan
NIC Label : Airway
NIC Label : Airway
Management
Management
keperawatan selama 3 x 24jam pasien menunjukkan keefektifan pola nafas,
1. Posisikan pasien semi fowler
dengan kriteria hasil:
1. Untuk memaksimalkan potensial ventilasi
2. Auskultasi suara NOC Label : Respiratory
nafas, catat hasil
Status: Airway patency
penurunan daerah
kepatenan jalan
ventilasi atau tidak
napas
1. Frekuensi, irama, kedalaman
adanya suara adventif
pernapasan dalam batas normal
3. Monitor pernapasan
keadekuatan oksigen
yang sesuai
otot-otot bantu pernapasan
3. Memonitor respirasi dan
dan status oksigen 2. Tidak menggunakan
2. Memonitor
NIC Label : Oxygen NIC Label : Oxygen
Therapy
Therapy NOC Label : Vital Signs
1. Menjaga
Tanda Tanda vital dalam
1. Mempertahankan
rentang normal (tekanan
jalan napas paten
keadekuatan ventilasi
darah, nadi, pernafasan) (TD 120-90/90-60 mmHg, nadi 80-100 x/menit, RR : 18-24 x/menit, suhu 36,5 – 37,5 C)
2. Kolaborasi dalam
2. Meningkatkan
pemberian oksigen
ventilasi dan
terapi
asupan oksigen
3. Monitor aliran oksigen
3. Menjaga aliran oksigen mencukupi kebutuhan pasien
NIC Label : Respiratory Monitoring
NIC Label : Respiratory Monitoring
1. Monitor kecepatan,
22
ritme, kedalaman
1. Monitor
dan usaha pasien
keadekuatan
saat bernafas
pernapasan
2. Catat pergerakan
2. Melihat apakah ada
dada, simetris atau
obstruksi di salah
tidak, menggunakan
satu bronkus atau
otot bantu
adanya gangguan
pernafasan
pada ventilasi
3. Monitor suara nafas
3. Mengetahui adanya
seperti snoring
sumbatan pada jalan napas
4. Monitor pola nafas: bradypnea,
4. Memonitor keadaan
tachypnea,
pernapasan klien
hiperventilasi, respirasi kussmaul, respirasi cheynestokes dll.
Diagnosa 1: Resiko cedera berhubungan dengan aktifitas motorik yang meningkat (kejang). TUJUAN DAN KRITERIA HASIL
INTERVENSI
RASIONAL
Setelah dilakukan tindakan 1) Jelaskan pada keluarga 1) Penjelasan yang baik keperawatan selama 1 x
akibat-akibat yang terjadi
dan
24jam pasien menunjukkan
sat kejang berulang (lidah
penting
penurunan resiko cedera. Kriteria hasil : Lidah tidak tergigit dan
tergigit).
meningkatkan
jatuh ke belakang.
2) Sediakan yang
spatel
telah
gaas verban 3) Beri posisi kiri/kanan
23
tepat
sangat untuk
pengetahuan
dalam
mengatasi
kejang
lidah
(lidah tergigit) dibungkur 2) Spatel lidah digunakan untuk menahan lidah miring
jika tergigi 3) Mencegah aspirasi pada
4) Kolaborasi dengan dokter dalam
pemberian
anti konvulsan
obat
lambung 4) Obat anti sebagai
konvulsan pengatur
gerakan motorik dalam hal ini anti konvulsan menghentikan gerakan motorik berlebihan.
24
yang
III. DAFTAR PUSTAKA Nanda 2011-2012. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan. Jakarta : Primamedika. Wilkinson, Judith M. 2012. Buku Saku Diagnosa Keperawatan Edisi 9. Jakarta : EGC. Wong, Donna L. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Edisi 6. Jakarta: EGC Http://Askepkita.Com
Pelaihari, Preseptor Akademik
Maret 2017
Preseptor Klinik
(………………………………………)
(…………….………………………..)
25