Lp Nifas + Peb

  • Uploaded by: dara saraswati
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lp Nifas + Peb as PDF for free.

More details

  • Words: 10,780
  • Pages: 40
Loading documents preview...
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEBIDANAN PADA IBU NIFAS DENGAN PREEKLAMPSIA BERAT DI RUANG AL-AQSHA 4 RSU HAJI SURABAYA

OLEH: DARANINDRA DEWI SARASWATI 011913243055

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2019

LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan Kebidanan pada Post SC atas indikasi Pre Eklampsia Berat (PEB) di Ruang Al- Aqsha 4 RSU Haji Surabaya, telah diperiksa dan disahkan oleh pembimbing pada :

Hari

:

Tanggal :

Surabaya, November 2019 Mahasiswa,

Daranindra Dewi Saraswati 011913243055

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Program Pendidikan Profesi Bidan FK UNAIR Surabaya

Pembimbing Klinik Ruang Al-Aqsha 4 RSU Haji Surabaya

Ratna Dwijayanti, S.Keb.Bd., M.Keb NIP. 19851004 201608 7 201

Jaenah, S.Keb.Bd NIP. 19660204 198511 2 001

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masa nifas atau puerperium dimulai sejak 2 jam setelah lahirnya plasenta sampai dengan 6 minggu (42 hari) (Rini dan Kumala, 2017). Pelayanan pasca persalinan harus terselenggara dengan optimal untuk memenuhi kebutuhan ibu dan bayinya, yang meliputi upaya pencegahan, deteksi dini dan pengobatan komplikasi yang mungkin terjadi. Masa nifas merupakan masa kritis bagi ibu dalam kehidupan reproduksinya. Fase ini disebut demikian karena masih banyak risiko komplikasi yang mungkin terjadi yang berhubungan dengan tahap perubahan baik fisik maupun psikologis ibu setelah kehamilan dan persalinan. Sekitar 50 % kematian ibu terjadi dalam 24 jam pertam postpartum (Rini dan Kumala, 2017). Baik di negara maju maupun negara berkembang, perhatian utama ibu dan bayi terlalu banyak tertuju pada masa kehamilan dan persalinan, sementara pada keadaan yang sebenarnya justru merupakan kebalikannya, oleh karena itu risiko mortalitas dan morbiditas ibu serta bayi lebih sering terjadi pada masa pasca persalinan. Gangguan hipertensi pada kehamilan merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas ibu, terutama di negara berkembang seperti Indonesia (Goldberg et al, 2011). Hipertensi dapat terjadi sebelum, selama, atau postpartum (Sibai, 2012). Hipertensi post partum dapat dikaitkan dengan persistensi Hipertensi Gestasional, preeklampsia, atau Hipertensi kronis yang sudah ada sebelumnya, atau dapat berkembang secara sekunder akibat penyebab lainnya (Tan et al, 2002). Pada ibu dengan preeklampsia superimposed, ada penurunan tekanan darah dalam 48 jam, tetapi akan meningkat lagi antara 3-6 hari pasca persalinan (Sibai, 2012). Pada beberapa pasien, penurunan serebral dan penurunan temuan laboratorium akan bermanifestasi yang akan mengarah ke HELLP sindrom. Preeklampsia dan eklampsia merupakan kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin, dan dalam masa nifas. Postpartum pre-eklampsia merupakan hipertensi yang terjadi dalam waktu 48 jam dan bisa sampai 6 minggu pasca persalinan disertai gangguan organ ibu yang pernah mengalami episode hipertensi pada kehamilan dapat terus mengalaminya higga periode postpartum. Risiko ini masih cukup tinggi selama 28 hari post partum. Ibu yang memiliki tanda-tanda klinis hipertensi akibat kehamilan masih berisiko mengalami eklampsia pada beberapa jam atau beberapa hari setelah persalinan. Insiden preeklampsia /eklampsia menurut Riset yang dilakukan Khidri (2019) menyebutkan kasus antepartum eklampsia terjadi sebanyak 54,5%, PEB sebanyak 12,5%, Postpartum eklampsia sebanyak 8%, HELLP sindrom 3,6 %, intra partum eklampsia 2,7 % dan postpartum PEB 1,8%.

Risiko komplikasi preeklampsia/eklampsia terhadap morbiditas dan mortalitas pada ibu hamil, bersalin dan nifas yang sangat tinggi, perlu dilakukan upaya untuk skrining, pencegahan dan penatalaksanaan adequat, tepat waktu dan sesuai prosedur. Perawatan dan observasi ketat pada ibu dengan preeklampsia merupakan salah satu usaha nyata yang dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya komplikasi-komplikasi sebagai akibat lanjut dari preeklampsia tersebut. Oleh karena itu, bidan harus melakukan penanganan yang cepat dan tepat dalam penanganan awal dan sistem rujukan agar kematian akibat preeklampsia berat dapat dihindari. 1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan umum Mahasiswa mampu melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan preeklampsia berat (PEB) dengan menerapkan pola pikir melalui pendekatan manajemen kebidanan kompetensi bidan di Indonesia menggunakan SOAP. 1.2.2 Tujuan Khusus Diharapkan mahasiswa profesi mampu: 1. Menjelaskan konsep dasar nifas dengan preeklampsia berat. 2. Menjelaskan konsep dasar asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan preeklampsia berat (PEB) 3. Melaksanakan asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan preeklampsia berat (PEB) 4. Mendokumentasikan asuhan kebidanan pada ibu nifas dengan preeklampsia berat (PEB) dalam bentuk SOAP 5. Membahas kasus yang didapat pada pada ibu nifas dengan PEB dengan konsep dasar teori yang ada 1.3 Manfaat 1. Manfaat bagi penulis Penulis dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapatkan selama pendidikan 2. Manfaat bagi klien Klien mendapatkan asuhan kebidanan yang komprehensif dan terhindar dari komplikasi.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Masa Nifas 2.1.1 Definisi Masa nifas (puerperium) dimulai sejak 2 jam setelah lahirnya plasenta sampai dengan 6 minggu (42 hari) setelahnya. Puerperium berasal dari kata puer yang berarti bayi, dan parous berarti melahirkan, jadi puerperium adalah masa setelah lahirnya bayi sampai kembali pulihnya alat-alat kandungan seperti pra hamil (Rini et al, 2017). Masa nifas (puerperium) adalah masa pemulihan kembali, mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti pra hamil. Lama masa nifas 6-8 minggu (Sofian, 2013). Masa nifas adalah masa sesudah persalinan dan kelahiran bayi, plasenta, serta selaput yang diperlukan untuk memulihkan kembali organ kandungan seperti sebelum hamil dengan waktu kurang lebih 6 minggu (Walyani&Purwoastuti, 2015). 2.1.2 Tahapan masa nifas Rini et al (2017), membagi masa nifas menjadi 3 tahapan, yakni diantaranya adalah : a. Periode Immediate Postpartum Masa segera setelah plasenta lahir sampai dengan 24 jam. Pada masa ini sering terdapat masalah, misalnya perdarahan karena atonia uteri. Oleh karena itu bidan dengan teratur harus melakukan pemeriksaan kontraksi uterus, pengeluaran lochea, tekanan darah dan suhu. b. Periode Early Postpartum (24 jam – 1 minggu) Pada fase ini bidan memastikan involusi uteri dalam keadaan normal, tidak ada perdarahan, lochea tidak berbau busuk, tidak demam, ibu cukup mendapatkan makanan dan cairan, serta ibu dapat menyusui dengan baik. c. Periode Late Postpartum (1 minggu – 5 minggu) Pada periode ini bidan tetap melakukan perawatan dan pemeriksaan sehari-hari serta konseling KB. Tahapan nifas sesuai masa pemulihan, yaitu: a. Puerperium dini Kepulihan dimana ibu diperbolehkan berdiri dan berjalan serta menjalankan aktivitas layaknya wanita yang bukan postpartum (40 hari).

b. Puerperium Intermediate

Kepulihan menyeluruh alat-alat genetalia yang lamanya 6-8 minggu. c. Remote Puerperium Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama jika pada ibu yang selama hamil dan persalinan mengalami komplikasi. 2.1.3 Perubahan fisiologis pada masa nifas 1) Sistem reproduksi a. Uterus Adapun mengenai proses terjadinya involusi dapat digambarkan sebagai berikut (Medforth, Battersby, Evans, Marsh, & Walker, 2002). 1. Iskemia: otot uterus berkontraksi dan beretraksi, membatasi aliran darah di dalam uterus. 2. Fagositosis: jaringan elastik dan fibrosa yang sangat banyak dipecahkan. 3. Autolisis: serabut otot dicerna oleh enzim-enzim proteolitik (lisosim). 4. Semua produk sisa masuk ke dalam aliran darah dan dikeluarkan melalui ginjal. 5. Lapisan desidua uterus terkikis dalam pengeluaran darah pervaginam dan endometrium yang baru mulai terbentuk dari sekitar 10 hari setelah kelahiran dan selesai pada minggu ke 6 pada akhir masa nifas. 6. Ukuran uterus berkurang dari 15 cm x 11 cm x 7,5 cm menjadi 7,5 cm x 5 cm x 2,5 cm pada minggu keenam. 7. Berat uterus berkurang dari 1000 gram sesaat setelah lahir, menjadi 60 gram pada minggu ke-6. 8. Kecepatan involusi: terjadi penurunan bertahap sebesar 1 cm/hari. Di hari pertama, uteri berada 12 cm di atas simfisis pubis dan pada hari ke-7 sekitar 5 cm di atas simfisis pubis. Pada hari ke-10, uterus hampir tidak dapat dipalpasi atau bahkan tidak terpalpasi. 9. Involusi akan lebih lambat setelah seksio sesaria. 10. Involusi akan lebih lambat bila terdapat retensi jaringan plasenta atau bekuan darah terutama jika dikaitkan dengan infeksi. Segera setelah plasenta lahir, uterus mengalami kontraksi dan retraksi. Ototnya akan menjadi keras sehingga dapat menutup / menjepit pembuluh darah besar yang bermuara pada bekas implantasi plasenta. Proses involusi uterus terjadi secara progressive dan teratur yaitu 1-2

cm setiap hari dari 24 jam pertama post partum sampai akhir minggu pertama saat tinggi fundus sejajar dengan tulang pubis. Pada minggu keenam uterus kembali normal seperti keadaan sebelum hamil kurang lebih 50-60 gram. Uterus secara berangsur-angsur menjadi kecil (involusi) sehingga akhirnya kembali seperti sebelum hamil. Involusi Bayi lahir Plasenta Lahir 1 minggu 2 minggu 6 minggu 8 minggu

Tinggi Fundus Uteri Setinggi pusat 2 jari bawah pusat Pertengahan pusat simfisis Tidak teraba di atas simfisis Bertambah kecil Sebesar normal

Berat Uterus 1000 gram 750 gram 500 gram 350 gram 50 gram 30 gram

Sumber : Baston, 2011

b. Perineum Dalam proses persalinan, terkadang dilakukan episiotomi atas indikasi atau dapat juga terjadi robekan perineum. Luka itu akan di jahit untuk mengembalikan fungsi perineum. Setelah persalinan perineum menjadi kendur karena teregang oleh tekanan kepala bayi yang bergerak maju. Pulihnya otot perineum terjadi sekitar 5-6 minggu post partum dan hal ini akan lebih cepat pulih bila dibantu dengan latihan atau senam postpartum. Perineum mendapat suplai darah yang banyak karena adanya laserasi atau luka episiotomi pada perineum. Luka jahitan dapat sembuh dalam 7 hari tetapi laserasi yang luas akan bersifat sensitif dan akan terasa sakit untuk beberapa minggu. c. Lochea Lochea adalah cairan sekret yang berasal dari kavum uteri dan vagina, yang keluar pada saat masa nifas. Macam-macam lochea : - Locha Rubra (cruenta)

Berisi darah segar dan sisa-sisa selaput ketuban, sel-sel desidua, verniks caseosa, lanugo dan mekonium selama 2 hari pasca persalinan. - Lochea Sanguinolenta Berwarna merah kuning berisi darah dan lendir yang keluar pada hari ke-3 sampai ke-7 pasca persalinan. - Lochea Serosa Berwarna kuning, cairan tidak berdarah lagi pada hari ke-7-14 pasca persalinan. - Lochea Alba Cairan putih, setelah 2 minggu. - Lochia Purulenta Terjadi infeksi, keluar cairan seperti nanah berbau busuk. - Lochiostasis Lochia yang tidak lancar pengeluarannya d. Serviks, Vulva dan Vagina Setelah persalinan bentuk serviks agak menganga seperti corong berwarna merah kehitaman. Konsistensinya lunak, kadang-kadang terdapat perlukaan-perlukaan kecil. Setelah bayi lahir, tangan masih bisa masuk rongga rahim. Setelah 2 jam dapat dilalui oleh 2-3 jari dan setelah 7 hari hanya dapat dilalui 1 jari. Vulva dan vagina mengalami penekanan serta perenggangan yang sangat besar selama proses melahirkan bayi, dan dalam beberapa hari pertama sesudah proses tersebut kedua organ ini tetap berada dalam keadaan kendur. Setelah 3 minggu postpartum, vulva dan vagina kembali kepada keadaan tidak hamil dan rugae pada vagina secara berangsur- angsur akan muncul kembali. Himen tampak sebagai carunculae mirtyformis, yang khas pada ibu multipara. Ukuran vagina agak sedikit lebih besar dari sebelum persalinan. e. Payudara Lepasnya plasenta dan berkurangnya fungsi korpus luteum, mengakibatkan estrogen dan progesterone berkurang, prolaktin akan meningkat dalam darah yang merangsang sel-sel acini untuk memproduksi ASI. Keadaan payudara pada dua hari pertama post partum sama dengan keadaan dalam masa kehamilan. Pada hari ketiga dan keempat buah dada membesar, keras dan nyeri ditandai dengan sekresi air susu sehingga akan terjadi proses laktasi (Wahyuningsih, 2018). f. Peritoneum dan Dinding Abdomen Ligamentum latum dan rotundum memerlukan waktu yang cukup lama untuk pulih dari peregangan dan pelonggaran yang terjadi selama kehamilan. Sebagai akibat dari ruptur serat elastik pada kulit

dan distensi lama pada uterus karena kehamilan, maka dinding abdomen tetap lunak dan flaksid. Beberapa minggu dibutuhkan oleh struktur-struktur tersebut untuk kembali menjadi normal. Pemulihan dibantu oleh latihan. Kecuali untuk striae putih, dinding abdomen biasanya kembali ke penampilan sebelum hamil. Akan tetapi ketika otot tetap atonik, dinding abdomen juga tetap melemas. Pemisahan yang jelas otot-otot rektus (diastasis recti) dapat terjadi (Cunningham et al., 2013). 2) Sistem perkemihan Pelvis, ginjal dan ureter yang teregang dan berdilatasi selama kehamilan kembali normal pada akhir minggu keempat setelah melahirkan. Pasca persalinan terdapat peningkatan kapasitas kandung kemih, pembengkakan dan trauma jaringan sekitar uretra yang terjadi selama proses melahirkan. Untuk postpartum dengan tindakan SC, efek konduksi anestesi yang menghambat fungsi neural pada kandung kemih. Distensi yang berlebihan pada kandung kemih dapat mengakibatkan perdarahan dan kerusakan lebih lanjut. Pengosongan kandung kemih harus diperhatikan. Kandung kemih biasanya akan pulih dalam waktu 5-7 hari pasca melahirkan, sedangkan saluran kemih secara keseluruhan akan pulih dalam waktu 2-8 minggu tergantung pada keadaan umum ibu atau status ibu sebelum persalinan, lamanya kala II yang dilalui, besarnya tekanan kepala janin saat intrapartum. Dinding kandung kencing pada ibu postpartum memperlihatkan adanya oedem dan hyperemia. Kadang-kadang oedema trigonium, menimbulkan abstraksi dari uretra sehingga terjadi retensio urine. Kandung kencing dalam masa nifas kurang sensitif dan kapasitasnya bertambah, sehingga kandung kencing penuh atau sesudah kencing masih tertinggal urine residual (normal + 15 cc). Sisa urine dan trauma pada kandung kencing waktu persalinan memudahkan terjadinya infeksi. Acetonuri terutama setelah partus yang sulit dan lama yang disebabkan pemecahan karbohidrat dan lemak untuk menghasilkan energi, karena kegiatan otot-otot rahim meningkat. Pada masa hamil, perubahan hormonal yaitu kadar steroid tinggi yang berperan meningkatkan fungsi ginjal. Begitu sebaliknya, pada pasca melahirkan kadar steroid menurun sehingga menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Fungsi ginjal kembali normal dalam waktu satu bulan setelah wanita melahirkan. Urin dalam jumlah yang besar akan dihasilkan dalam waktu 12 – 36 jam sesudah melahirkan. Kurang lebih 40% wanita nifas mengalami proteinuria yang nonpatologis sejak pasca melahirkan sampai 2 hari post partum proteinuri terjadi akibat dari autolisis sel-sel otot. Dilatasi ureter dan

pyelum normal dalam waktu 2 minggu. Urine biasanya berlebihan (poliuri) antara hari kedua dan kelima, hal ini disebabkan karena kelebihan cairan sebagai akibat retensi air dalam kehamilan dan sekarang dikeluarkan. Kadang-kadang hematuri akibat proses katalitik involusi. Diuresis yang normal dimulai segera setelah bersalin sampai hari kelima setelah persalinan. Jumlah urine yang keluar dapat melebihi 3000 ml per harinya. Hal ini diperkirakan merupakan salah satu cara untuk menghilangkan peningkatan cairan ekstraseluler yang merupakan bagian normal dari kehamilan. Ureter dan pelvis renalis yang mengalami distensi akan kembali normal pada 2-8 minggu setelah persalinan (Cunningham, 2012; Wahyuningsih, 2018). Bila wanita pasca persalinan tidak dapat berkemih dalam waktu >4 jam pasca persalinan, mungkin ada masalah dan sebaiknya lakukan kateterisasi. Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu ≤4 jam, lakukan upaya-upaya merangsang berkemih dengan proses fisiologis. Dan bila jumlah residu >200 ml maka kemungkinan ada gangguan proses urinasinya, sehingga kateter harus tetap terpasang dan dibuka 4 jam kemudian. Bila volume urine ≤200 ml, kateter dibuka dan pasien diharapkan dapat berkemih seperti biasa (Varney, 2015). 3) Sistem gastrointestinal Selama persalinan, motilitas lambung berkurang, terutama akibat nyeri, rasa takut dan obat narkotik. Penurunan tonus sfingter esofagus bawah, penurunan motilitas lambung dan peningkatan keasaman lambung menyebabkan perlambatan pengosongan lambung. Tonus dan tekanan sfingter esofagus bawah kembali normal dalam 6 minggu selama persalinan. Namun pada masa nifas dini, penurunan tonus otot dan motilitas saluran cerna dapat menyebabkan relaksasi abdomen, peningkatan distensi gas dan konstipasi segera setelah melahirkan. Defekasi pertama biasanya terjadi dalam 2 atau 3 hari setelah persalinan (Coad, 2006). Beberapa hal yang berkaitan dengan perubahan pada sistem pencernaan, antara lain: a. Nafsu Makan Pasca melahirkan biasanya ibu merasa lapar, karena metabolisme ibu meningkat saat proses persalinan, sehingga ibu dianjurkan untuk meningkatkan konsumsi makanan, termasuk mengganti kalori, energi, darah dan cairan yang telah dikeluarkan selama proses persalinan. Ibu dapat mengalami peubahan nafsu makan. Pemulihan nafsu makan diperlukan waktu 3–4 hari sebelum faal usus kembali normal. Meskipun kadar progesteron menurun setelah melahirkan, asupan makanan juga mengalami penurunan selama satu atau dua hari. b. Motilitas

Secara fisiologi terjadi penurunan tonus dan motilitas otot traktus pencernaan menetap selama waktu yang singkat beberapa jam setelah bayi lahir, setelah itu akan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Pada postpartum SC dimungkinkan karena pengaruh analgesia dan anastesia bisa memperlambat pengembalian tonus dan motilitas ke keadaan normal. c. Pengosongan Usus Pasca melahirkan, ibu sering mengalami konstipasi. Hal ini disebabkan tonus otot usus menurun selama proses persalinan dan awal masa pascapartum. Pada keadaan terjadi diare sebelum persalinan, enema sebelum melahirkan, kurang asupan nutrisi, dehidrasi, hemoroid ataupun laserasi jalan lahir, meningkatkan terjadinya konstipasi postpartum. Sistem pencernaan pada masa nifas membutuhkan waktu beberapa hari untuk kembali normal. Beberapa cara agar ibu dapat buang air besar kembali teratur, antara lain pengaturan diit yang mengandung serat buah dan sayur, cairan yang cukup, serta pemberian informasi tentang perubahan eliminasi dan penatalaksanaanya pada ibu (Wahyunuingsih, 2018). 4) Sistem hematologi Kadar hemoglobin kembali ke kadar normal prahamil dalam 4-6 minggu dan jumlah sel darah putih turun ke normal dalam seminggu setelah persalinan. Jumlah trombosit meningkat pada beberapa hari pertama setelah persalinan, kemudian turun secara bertahap sampai ke kadar prahamil. Aktifitas fibrinolitik maksimum segera setelah persalinan selama beberapa jam sebagai respons terhadap keluarnya plasenta, yang menghasilkan inhibitor fibrinolitik. Hasil akhir adalah keadaan hiperkoagulabilitas pada kehamilan meningkat pada masa nifas awal dan kemudian secara perlahan kembali ke keadaan prahamil dalam beberapa minggu. Mobilisasi merupakan hal penting untuk mengoptimalkan aliran balik vena untuk menghindari stasis di dalam jaringan vaskular sehingga resiko trombosis vena profunda dapat berkurang (Coad, 2006). Pada hari pertama postpartum, kadar fibrinogen dan plasma akan sedikit menurun tetapi darah lebih mengental dengan peningkatan viskositas, dan juga terjadi peningkatan faktor pembekuan darah serta terjadi Leukositosis dimana jumlah sel darah putih dapat mencapai 15.000 selama persalinan akan tetap tinggi dalam beberapa hari pertama dari masa postpartum. Jumlah sel darah putih tersebut masih bisa naik lagi sampai 25.000-30.000, terutama pada ibu dengan riwayat persalinan lama (Cunningham, 2012). 5) Sistem kardiovaskular Perubahan volume darah bergantung pada beberapa faktor, misalnya kehilangan darah selama melahirkan dan mobilisasi, serta pengeluaran

cairan ekstravaskular (edema fisiologis). Kehilangan darah merupakan akibat penurunan volume darah total yang cepat, tetapi terbatas. Setelah itu terjadi perpindahan normal cairan tubuh yang menyebabkan volume darah menurun dengan lambat. Pada minggu ke-3 dan ke-4 setelah bayi lahir, volume darah biasanya menurun sampai mencapai volume darah sebelum hamil. Pada persalinan pervaginam, ibu kehilangan darah sekitar 300-400 cc. Pada persalinan dengan tindakan SC, maka kehilangan darah dapat dua kali lipat. Perubahan pada sistem kardiovaskuler terdiri atas volume darah (blood volume) dan hematokrit (haemoconcentration). Pada persalinan pervaginam, hematokrit akan naik sedangkan pada persalinan dengan SC, hematokrit cenderung stabil dan kembali normal setelah 4-6 minggu postpartum. Tiga perubahan fisiologi sistem kardiovaskuler pascapartum yang terjadi pada wanita antara lain sebagai berikut: a. Hilangnya sirkulasi uteroplasenta yang mengurangi ukuran pembuluh darah maternal 10-15%. b. Hilangnya fungsi endokrin placenta yang menghilangkan stimulus vasodilatasi. c. Terjadinya mobilisasi air ekstravaskular yang disimpan selama wanita hamil. Denyut jantung, volume dan curah jantung meningkat sepanjang masa hamil. Segera setelah wanita melahirkan, keadaan ini meningkat bahkan lebih tinggi selama 30-60 menit karena darah yang biasanya melintasi sirkulasi uteroplacenta tiba-tiba kembali ke sirkulasi umum/ke sistem vena kava. Nilai ini meningkat pada semua jenis kelahiran. Curah jantung biasanya tetap naik dalam 24-48 jam postpartum dan menurun ke nilai sebelum hamil dalam 10 hari (Cunningham et al., 2012). Frekuensi jantung berubah mengikuti pola ini. Resistensi vaskuler sistemik mengikuti secara berlawanan. Hal ini diperkuat oleh mobilisasi cairan ekstrasel. Kehamilan normal dihubungkan dengan peningkatan cairan ekstraseluler yang cukup besar, dan diuresis postpartum merupakan kompensasi yang fisiologis untuk keadaan ini. Ini terjadi teratur antara hari ke-2 dan ke-5 dan berkaitan dengan hilangnya hipervolemia kehamilan residual. Pada preeklampsi, baik retensi cairan antepartum maupun diuresis postpartum dapat sangat meningkat (Cunningham et al., 2012). Resolusi hipertrofi ventrikel berlangsung lambat. Remodeling vaskular pada kehamilan menetap selama paling sedikit setahun setelah persalinan dan diperkuat oleh kehamilan selanjutnya. Karena volume darah dalam sirkulasi dan curah jantung turun pada masa nifas dan ventrikel yang hipertrofi lambat mengalami remodelling, isi sekuncup relatif tetap tinggi. Hal ini berarti kecepatan denyut jantung pada masa

nifas berkurang karena isi sekuncup secara proporsional memberi kontribusi yang lebih besar terhadap penurunan curah jantung. Dengan demikian, wanita masa nifas lazim mengalami bradikardia (penurunan kecepatan denyut jantung menjadi sekitar 60-70 kali per menit). Peningkatan kecepatan denyut mungkin mengindikasikan anemia berat, trombosis vena atau infeksi (Coad, 2006). 6) Sistem Muskuloskeletal Otot-otot uterus berkontraksi segera setelah persalinan. Pembuluhpembuluh darah yang berada di antara anyaman otot-otot uterus akan terjepit. Proses ini akan menghentikan perdarahan setelah placenta dilahirkan. Ligamen-ligamen, diafragma pelvis, serta fasia yang meregang pada waktu persalinan, secara berangsur-angsur menjadi pulih kembali ke ukuran normal. Pada sebagian kecil kasus uterus menjadi retrofleksi karena ligamentum retundum menjadi kendor. Tidak jarang pula wanita mengeluh kandungannya turun. Setelah melahirkan karena ligamen, fasia, dan jaringan penunjang alat genitalia menjadi kendor. Stabilitasi secara sempurna terjadi pada 6-8 minggu setelah persalinan. Sebagai akibat putusnya serat-serat kulit dan distensi yang berlangsung lama akibat besarnya uterus pada waktu hamil, dinding abdomen masih agak lunak dan kendor untuk sementara waktu. Untuk memulihkan kembali jaringan-jaringan penunjang alat genitalia, serta otot-otot dinding perut dan dasar panggul, dianjurkan untuk melakukan latihan atau senam nifas, bisa dilakukan sejak 2 hari post partum (Wahyuningsih, 2018). 7) Sistem endokrin Selama proses kehamilan dan persalinan terdapat perubahan pada sistem endokrin, terutama pada hormone-hormon yang berperan dalam proses tersebut, misalnya: a. Oksitosin Oksitosin disekresikan dari kelenjar otak bagian belakang. Selama tahap ketiga persalinan, hormone oksitosin berperan dalam pelepasan plasenta dan mempertahankan kontraksi, sehingga mencegah terjadinya perdarahan. Isapan bayi dapat merangsang produksi ASI dan sekresi oksitosin. Hal tersebut membantu uterus kembali ke bentuk normal seperti pra hamil. b. Prolaktin Menurunnya kadar esterogen menimbulkan terangsangnya kelenjar pituitary bagian belakang untuk mengeluarkan prolaktin, hormone ini berperan dalam pembesaran payudara untuk merangsang produksi susu. Pada wanita yang menyusui bayinya, kadar prolaktin tetap tinggi dan pada permulaan ada rangsangan folikel dalam

ovarium yang ditekan. Pada wanita yang tidak menyusui bayinya tingkat sirkulasi prolaktin menurun dalam 14-21 hari setelah persalinan, sehingga merangsang kelenjar bawah depan otak yang mengontrol ovarium kearah permulaan pola produksi esterogen dan progesterone yang normal, pertumbuhan folikel, ovulasi dan menstruasi. c. Esterogen dan progesteron Selama hamil volume darah normal meningkat walaupun mekanismenya secara penuh belum dimengerti. Diperkirakan bahwa tingkat esterogen yang tinggi memperbesar hormone antidiuretik yang meningkatkan volume darah. Di samping itu, progesteron mempengaruhi otot halus yang mengurangi perangsangan dan peningkatan pembuluh darah. Hal ini sangat mempengaruhi saluran kemih, ginjal, usus, diding vena, dasar panggul, perineum, vulva dan vagina (Wahyuningsih, 2018). 8) Perubahan tanda-tanda vital a. Suhu Suhu tubuh wanita inpartu tidak lebih dari 37,20C. Sesudah partus dapat naik kurang lebih 0,2-0,50C dari keadaan normal, namun tidak akan melebihi 380C. Perubahan suhu tubuh ini hanya terjadi beberapa jam setelah persalinan, setelah ibu istirahat dan mendapat asupan nutrisi serta minum yang cukup, maka suhu tubuh akan kembali normal. Bila suhu lebih dari 380C, mungkin terjadi infeksi pada klien. b. Nadi dan pernapasan Nadi berkisar antara 60-80 denyutan per menit setelah partus, dan dapat terjadi bradikardi. Bila terdapat takikardi dan suhu tubuh tidak panas mungkin ada perdarahan berlebihan atau ada vitium kordis pada penderita. Perubahan nadi yang menunjukkan frekuensi bradikardi (100 kali permenit) menunjukkan adanya tanda shock atau perdarahan. Pada masa nifas umumnya denyut nadi labil dibandingkan dengan suhu tubuh, sedangkan pernapasan akan sedikit meningkat setelah partus kemudian kembali seperti keadaan semula. Frekuensi pernapasan relatif tidak mengalami perubahan pada masa postpartum, berkisar pada frekuensi pernapasan orang dewasa 12-16 kali permenit. c. Tekanan darah Setelah kelahiran bayi, harus dilakukan pengukuran tekanan darah. Jika ibu tidak memiliki riwayat morbiditas terkait hipertensi, superimposed hipertensi serta preeklampsi/eklampsi, maka biasanya tekanan darah akan kembali pada kisaran normal dalam waktu 24

jam setelah persalinan. Pada beberapa kasus ditemukan keadaan hipertensi post partum dan akan menghilang dengan sendirinya apabila tidak terdapat penyakit-penyakit lain yang menyertainya dalam ½ bulan tanpa pengobatan (Wahyuningsih, 2018). 2.1.4 Adaptasi psikologis pada masa nifas Periode masa nifas merupakan waktu dimana ibu mengalami stress pasca persalinan, terutama pada ibu primipara. Periode ini diekspresikan oleh Reva Rubin yang terjadi pada 3 tahap berikut : 1) Taking in period Terjadi pada 1-2 hari setelah persalinan. Ibu masih pasif dan sangat bergantung pada orang lain, fokus perhatian terhadap tubuhnya, ibu lebih mengingat pengalaman melahirkan dan persalinan yang dialami, serta kebutuhan tidur dan nafsu makan meningkat. 2) Taking hold period Berlangsung 3-4 hari postpartum. Ibu lebih berkonsentrasi pada kemampuannya dalam menerima tanggung jawab sepenuhnya terhadap perawatan bayi. Pada masa ini ibu menjadi sangat sensitive, sehingga membutuhkan bimbingan dan dorongan perawat untuk mengatasi kritikan yang dialami ibu. 3) Letting go period Dialami setelah ibu dan bayi tiba di rumah. Ibu secara penuh menerima tanggung jawab sebagai “seorang ibu” dan menyadari atau merasa kebutuhan bayi sangat bergantung pada dirinya. 2.1.5 Tanda bahaya masa nifas Wahyuningsih (2018), menyebutkan tanda bahaya pada masa nifas yaitu sebagai berikut : a. Perdarahan vagina yang keluar biasa atau tiba-tiba bertambah banyak/ perdarahan post partum. b. Pengeluaran vagina yang baunya menusuk. c. Rasa sakit dibagian bawah abdomen atau punggung. d. Sakit kepala yang terus-menerus, nyeri ulu hati atau masalah pengelihatan. e. Pembengkakan di wajah atau di tangan. f. Demam, muntah, rasa sakit waktu buang air kecil. g. Payudara yang berubah menjadi merah, panas, atau terasa sakit. h. Kehilangan nafsu makan dalam waktu yang lama. i. Rasa sakit, merah, lunak, atau pembengkakan di kaki 2.1.6 Kebutuhan dasar dan perawatan masa nifas

1) Mobilisasi / ambulasi Ambulasi sedini mungkin sangat dianjurkan, kecuali ada kontra indikasi. Ibu yang baru melahirkan mungkin enggan bergerak karena letih dan sakit. Berdasarkan penelitian ibu sudah diperbolehkan turun dari tempat tidur dalam kurun waktu 1- 2 jam setelah persalinan dengan bantuan keluarga atau bidan. Ambulasi ini akan meningkatkan sirkulasi dan mencegah risiko tromboflebitis, meningkatkan fungsi kerja peristaltik dan kandung kemih, sehingga mencegah distensia abdominal dan konstipasi. Bidan harus menjelaskan pada ibu tentang tujuan dan manfaat ambulasi dini. Ambulasi ini dilakukan secara bertahap sesuai kekuatan ibu (Wahyuningsih, 2018). 2) Diet / nutrisi Tidak ada kontra indikasi dalam pemberian nutrisi postpartum. Ibu harus mendapatakan nutrisi yang lengkap dengan tambahan kalori (200 – 500 kkal), yang akan mempercepat pemulihan kesehatan dan kekuatan. Ibu nifas memerlukan diet untuk mempertahankan tubuh terhadap infeksi, mencegah konstipasi, dan untuk memulai proses pemberian ASI ekslusif. Asupan kalori perhari ditingkatkan sampai 2700 kkal. Asupan cairan perhari ditingkatkan sampai 3000 ml (susu 1000 ml). Suplemen zat besi dapat diberikan kepada ibu nifas selama 4 minggu pertama setelah kelahiran (Wahyunngsih, 2018). 3) Eliminasi Menurut Wahyuningsih (2018) pola eliminasi pada ibu nifas dibagi menjadi : - Buang air kecil Ibu diminta untuk miksi 6 jam postpartum. Jika dalam 8 jam postpartum ibu belum dapat berkemih atau sekali berkemih belum melebihi 100 cc, maka dilakukan katerisasi. Akan tetapi, kalau ternyata kandung kemih penuh, tidak perlu menunggu 8 jam untuk kateterisasi.

- Buang air besar Ibu post partum diharapkan dapat BAB setelah hari kedua post partum. Jika pada hari ketiga belum juga BAB, maka perlu diberi obat pencahar per oral atau per rektal. 4) Hygiene Masa nifas adalah masa yang rentan terjadi infeksi pada ibu. Oleh karena itu, ibu nifas disarankan : - Menjaga kebersihan seluruh tubuh dengan mandi. - Membersihkan daerah kelamin sabun dan air. Untuk membersihkan daerah disekitar kelamin dilakukan dari arah

depan ke belakang kemudian didaerah sekitar anus setiap selesai buang air kecil maupun buang air besar. Keringkan dengan handuk dengan cara ditepuk – tepuk dari arah muka ke belakang. - Menyarankan ibu untuk mengganti pembalut setidaknya dua kali sehari. - Cuci tangan dengan sabun sebelum dan sesudah membersihkan daerah kelaminnya (Wahyunimgsih, 2018). 5) Perawatan payudara Perawatan payudara dilakukan untuk memperlancar pengeluaran ASI. Pada payudara terjadi proses laktasi, sehingga perlu pengkajian fisik dengan perabaan apakah terdapat benjolan, pembesaran kelenjar, atau abses serta bagaimana keadaan puting. Merawat payudara dengan menjaga tetap bersih dan kering, menggunakan bra yang menyokong payudara (Wahyuningsih,2018). 6) Kebutuhan psikologis Wanita mengalami banyak perubahan emosi / psikologis selama masa nifas, sementara ia menyesuaikan diri menjadi seorang ibu. Cukup sering ibu menunjukkan depresi ringan beberapa hari setelah kelahiran. Hal ini sering terjadi akibat sejumlah faktor seperti :  Kekecewaan emosional yang mengikuti rasa puas dan takut yang dialami kebanyakan wanita selama kehamilan dan persalinan.  Rasa sakit masa nifas awal  Kelelahan karena kurang tidur selama persalinan dan postpartum  Kecemasan tentang kemampuannya merawat bayi  Ketakutan tentang penampilan yang tidak menarik lagi bagi suaminya. Pada sebagian besar kasus tidak diperlukan terapi yang efektif, kecuali antisipasi, pemahaman dan rasa aman. Seorang bidan dapat lebih dekat dengan ibu dan berusaha memberi nasihat yang berarti dan meminta keluarga untuk tetap memberi dukungan moral dan perhatian terhadap ibu. Kaji bagaimana perasaannya, termasuk mood (suasana hati) dan perasaannya menjadi orangtua. Keluhan atau masalah yang sekarang dirasakan, perasaan tentang persalinan dan kelahiran bayinya. Bayi yang baru dilahirkan segera disusukan kepada ibu agar ikatan antara ibu dan bayi (bounding) semakin erat. Menyusui bayi sedini mungkin adalah terciptanya rasa kasih sayang, sehingga tumbuh pertalian yang intim antara ibu dan anak (Bahiyatun, 2009). 7) Istirahat Istirahat sangat penting untuk ibu yang menyusui. Seorang wanita yang dalam masa nifas dan menyusui memerlukan waktu lebih banyak untuk

istirahat karena sedang dalam proses penyembuhan, terutama organorgan reproduksi dan untuk kebutuhan menyusui bayinya. Bayi biasanya terjaga saat malam hari. Hal ini akan mengubah pola istirahat ibu, oleh karena itu dianjurkan istirahat / tidur saat bayi sedang tidur. Ibu dianjurkan untuk menyesuaikan jadwalnya dengan jadwal bayi dan mengejar kesempatan untuk istirahat. Jika ibu kurang istirahat akan mengakibatkan berkurangnya jumlah produksi ASI, memperlambat proses involusi, menyebabkan depresi dan menimbulkan rasa ketidakmampuan merawat bayi (Wahyuningsih, 2018). 8) Kebutuhan seksual Secara fisik aman untuk memulai hubungan suami-isteri begitu darah berhenti dan ibu dapat memasukkan 1 atau 2 jari ke dalam vagina tanpa rasa nyeri. Begitu darah berhenti dan ibu tidak merasakan ketidaknyamanan, inilah saat yang aman untuk memulai hubungan suami-isteri kapan saja ibu siap. Banyak budaya yang mempunyai tradisi menunda hubungan suami-isteri sampai waktu tertentu, misalnya setelah 40 hari persalinan. Keputusan bergantung pada pasangan yang bersangkutan (Bahiyatun, 2009) 9) Keluarga berencana (KB) Idealnya pasangan harus menunggu sekurang-kurangnya 2 tahun sebelum ibu hamil kembali. Setiap pasangan harus menentukan sendiri kapan dan bagaimana mereka ingin merencanakan kehamilan. Namun petugas kesehatan dapat membantu merencanakan dengan mengajarkan kepada mereka tentang cara mencegah kehamilan yang tidak diinginkan. Biasanya wanita tidak akan menghasilkan telur (ovulasi) sebelum ia mendapatkan lagi haidnya selama meneteki. Oleh karena itu, metode amenorhea laktasi dapat dipakai sebelum haid pertama kembali untuk mencegah terjadinya kehamilan baru. Bila tidak menyusui, siklus menstruasi biasanya akan kembali dalam waktu 6-8 minggu, tapi sulit untuk menentukan secara klinis waktu spesifik terjadinya menstruasi pertama setelah melahirkan (amenore laktasi). Menstruasi pertama pada wanita menyusui dapat terjadi paling cepat pada bulan ke 2 – bulan ke 18 (Bahiyatun, 2009). 2.1.7 Kunjungan masa nifas Kunjungan masa nifas dilakukan paling sedikit 4 kali. Kunjungan ini bertujuan untuk menilai status ibu dan bayi baru lahir juga untuk mencegah, mendeteksi serta menangani masalah-masalah yang terjadi (Kemenkes RI, 2013). Kunjungan

Waktu

Tujuan

1

2

3

4

6-8 jam setelah Persalinan

1. Mencegah terjadinya perdarahan masa nifas. 2. Mendeteksi dan merawat penyebab lain perdarahan dan memberi rujukan bila perdarahan berlanjut. 3. Memberikan konseling pada ibu atau salah satu anggota keluarga mengenai bagaiman mencegah perdarahan masa nifas karena atonia uteri. 4. Pemberian ASI pada awal menjadi ibu. 5. Mengajarkan cara mempererat hubungan antara ibu dan bayi baru lahir. 6. Menjaga bayi tetap sehat dengan cara mencegah hipotermia. jika bidan menolong persalinan, maka bidan harus menjaga ibu dan bayi baru lahir untuk 2 jam pertama setelah kelahiran atau sampai ibu dan bayi dalam keadaan stabil. 6 hari setelah 1. Memastikan involusi berjalan normal, persalinan uterus berkontraksi, fundus dibawah umbilikus, tidak ada perdarahan abnormal, tidak ada bau. 2. Menilai adanya tanda-tanda demam, infeksi atau perdarahan abnormal 3. Memastikan ibu mendapatkan cukup makanan, cairan dan istirahat 4. Memastikan ibu menyusui dengan baik dan tak memperlihatkan tanda-tanda penyulit 5. Memberikan konseling pada ibu mengenai asuhan pada bayi, tali pusat, menjaga bayi tetap hangat dan merawat bayi sehari-hari 2 minggu Sama seperti di atas (6 hari setelah setelah persalinan) persalinan 6 minggu Menanyakan pada ibu tentang penyulitsetelah penyulit yang ibu atau bayi alami dan persalinan memberikan konseling untuk KB secara dini

2.2 Konsep Dasar Preeklampsia Berat 2.2.1 Definisi Preeklampsia adalah sindrom khas kehamilan berupa penurunan perfusi organ akibat vasospasme dan pengaktifan endotel (Leveno, 2009). Preeklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria (Saifuddin, 2009). Preeklampsia merupakan kumpulan gejala yang timbul pada ibu hamil, bersalin dan nifas yang terdiri dari trias ; Hipertensi, Proteinuria dan edema yang kadang-kadang dapat disertai konvulsi sampai koma, yang sebelumnya tidak menunjukkan tanda-tanda kelainan vaskuler atau hipertensi (Sofian, 2013). Preeklampsia merupakan sekumpulan gejala yang khas berupa menurunnya perfusi organ akibat vasokonstriksi dan aktivasi endotel (Cunningham et al, 2012). American College of Obstetricians and Gynecologists (2013) mendefinisikan preeklampsia sebagai kondisi hipertensi yang didapatkan setelah usia kehamilan 20 minggu dengan tekanan darah ≥140/90 mmHg pada dua kali pengukuran dengan jarak 15 menit menggunakan lengan yang sama, disertai dengan keterlibatan gangguan sistem organ dan tidak selalu ditemukan proteinuria. 2.2.2 Etiologi Sampai saat ini penyebab preeklampsia masih belum bisa dijelaskan dengan teori yang pasti, disebut juga The Disease of Theory. Preeklampsia bisa terjadi karena berbagai faktor dari ibu, janin, plasenta. Terdapat beberapa teori yang diduga sebagai penyebab dari preeklampsia, meliputi (Pribadi, et al., 2015) : 1) Abnormalitas invasi trofoblas Pada kehamilan normal, proliferasi trofoblas akan menginvasi lapisan desidua dan myometrium dalam dua tahap, yaitu : intersisial dan endovaskuler. Pada tahap pertama, sel-sel trofoblas endovaskuler menginvasi arteri spiralis ibu dengan mengganti endothelium dan merusak jaringan elastis pada tunika media dan jaringan otot polos dinding arteri serta menggantinya dengan material jaringan fibrinoid. Proses ini selesai pada akhir trimester I sampai proses deciduomyometrial junction. Terdapat fase istirahat sampai usia kehamilan mencapai 14-16 minggu, tahap kedua terjadi invasi sel trofoblas ke dalam lumen arteri spiralis hingga ke dalam miometrium. Kemudian proses berulang seperti pada tahap pertama. Akhir dari proses ini adalah dinding pembuluh darah

menjadi tipis, otot dinding arteri lemas berbentuk seperti kantung yang berdilatasi secara pasif untuk menyesuaikan kebutuhan aliran darah ke janin. Pada preeklampsia terjadi kegagalan pada proses invaginasi plasenta. Pertama, tidak semua arteri spiralis mengalami invasi oleh sel trofoblas. Kedua, arteri yang mengalami invasi pada tahap pertama berjalan normal tetapi pada tahap kedua tidak sempurna sehingga bagian arteri spiralis dalam miometrium tetap berbentuk dinding muskuloelastis reaktif (Powe, Levine and Karumanchi, 2011).

Gambar

2.1

Remodeling arteri spiralis pada kehamilan normal dan preeklampsia/eklamsia (Powe, Levine and Karumanchi, 2011).

2) Gangguan toleransi immunologis antara jaringan ibu, plasenta, dan janin Penyebab lain terjadinya preeklampsia adalah gangguan toleransi imun ibu terhadap antigen janin dan antigen plasenta. Perubahan histologis pada permukaan maternal-plasental diduga merupakan reaksi penolakan akut (Cunningham et al, 2014) . Risiko preeklampsia meningkat karena pembentukan antibodi terhadap antigen pada area plasenta yang terganggu, kondisi ini biasanya lebih berisiko pada kehamilan pertama atau kehamilan kedua dengan suami yang berbeda (Prawirohardjo, 2010). Hasil konsepsi dianggap sebagai benda asing yang sebagian genetiknya berasal dari sel ibu. Pada kehamilan dengan preeklampsia,

Human Leukocyte Antigen Protein G (HLA-G) yang berfungsi sebagai modulasi respon imun agar tidak terjadi penolakan pada hasil konsepsi mengalami penurunan fungsi. HLA-G juga dapat merangsang produksi sitokin yang dapat menyebabkan reaksi inflamasi, sehingga terjadi Immune-Maladaptation pada preeklampsia. Pada kehamilan dengan preeklampsia, kerja dari Th1 yang berperan dalam merangsang produksi sitokin meningkat dibandingkan dengan Th2 yang memacu imunitas humoral. 3) Gangguan adaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskular atau inflamasi dari kehamilan normal Pada kehamilan normal pembuluh darah akan mengalami refrakter yaitu pembuluh darah tidak melakukan respon terhadap bahan vasopressor, dengan kata lain diperlukan kadar vasopresor yang lebih banyak untuk menimbulkan vasokonstriksi. Penyebab dari kondisi ini karena adanya sintesis prostaglandin pada sel endotel vaskular. Pada hipertensi dalam kehamilan terjadi kehilangan daya refrakter terhadap vasokonstriktor dan terjadi peningkatan respon terhadap bahan vasopressor (Prawirohardjo, 2010). Perubahan inflamasi diduga merupakan kelanjutan perubahan pada tahap pertama yang disebabkan oleh kegagalan invasi trofoblas. Sebagai respon atas berbagai faktor dari trofoblas yang dilepaskan akibat perubahan iskemik atau penyebab lain seperti apoptosis dan nekrotik trofoblas yang berlebihan sehingga menimbulkan stress oksidatif semakin meningkat. Reaksi inflamasi pada preeklampsia dapat menyebakan disfungsi endotel juga diduga disebabkan pula oleh faktor metabolik dan anti angiogenik serta mediator inflamasi (Cunningham et al, 2014). 4) Faktor genetik termasuk gen predisposisi yang diwariskan serta pengaruh epigenetik Kejadian preeklampsia erat kaitannya dengan hubungan kerabat. Angka kejadian tertinggi ditemukan pada anak perempuan dengan ibu preeklampsia, selain itu seorang wanita yang pasangannya pernah menjadi ayah dari kehamilan preeklampsia berisiko terjadi preeklampsia, dengan kata lain faktor paternal juga ikut berperan. Faktor keturunan yang diwariskan dari garis maternal lebih kuat 2,2 kali daripada garis paternal (Lisowska, Pietrucha and Sakowicz, 2018). 5) Teori defisiensi gizi Malnutrisi atau status gizi buruk yang terkait dengan defisiensi trace element atau mikronutrien berhubungan dengan komplikasi maternal

seperti preeklampsia. Mikronutrien tersebut antara lain kalsium, fosfor, yodium, seng, magnesium, selenium, tembaga, besi, dan fluorida. Mikronutrien ini terlibat dalam proses migrasi sel dan invasi selama proses remodeling arteri spiralis pada plasenta dan bertanggungjawab untuk suplai nutrisi dari ibu ke janin. Hal ini menjadi alasan pentingnya mengkonsumsi unsur-unsur ini selama kehamilan (Elind, 2016)

2.2.3 Patofisiologi Kegagalan migrasi trofoblas interstitial sel dan endothelial trofoblast ke dalam arterioli miometrium

Faktor Imunologis, kebutuhan darah, nutrisi, dan oksigen tidak terpenuhi setelah 20 minggu

Penyakit Maternal: Hipertensi

Faktor trofoblast berlebihan: hamil ganda, mola hidatidosa, hamil + DM

Kardiovaskular

Iskemia region uteroplasenter

Terapi HDK:

Bahan toksis

Perubahan terjadi: bahan toksis, aktivitas endothelium meningkat, perlu endotel

Medikamentosa menurut:

Sitokin

 Vasokonstriksi  Pritchard  ZuspanatauSibai

Lipid Peroksid

Permeabilitas Kapiler Meningkat

Hipertensi

Perlukaan Endotel

Iskemia organ vital

Timbunan trombosit

Edema dan nekrosis

Perlekatan fibrin

Perdarahan Terjadi fibrinolisis Trombositopenia

Tromboksan A2 meningkat

Menimbulkan gangguan fungsi, Khusus darahnya:  

Hemokonsentrasi Hipovolumia

Hemolisis darah/ eritrosit

Preeklampsia/ HELLP sindrom

Eklampsia

Kematian maternal: Sembuh baik ANC teratur Persalinan berencana

Terminasi hamil:     

Impending eklampsia Fetal distress Solusioplasenta Kriteria Eden Biofisikprofil fetal buruk

    

Dekompensasiokordis Acute vascular accident Kegagalan organ vital Perdarahan IUGR-asfiksia

2.2.4 Faktor risiko Faktor risiko yang berkaitan dengan preeklampsia antara lain : 1) Usia ibu yang ekstrim yaitu terlalu muda atau terlalu tua Wanita yang hamil pada usia ekstrim yaitu < 20 tahun atau > 35 tahun memiliki risiko 4,43 kali lebih tinggi untuk mengalami preeklampsia dibandingkan dengan wanita yang hamil pada usia reproduksi 20 – 35 tahun (Denantika, Serudji and Revilla, 2015). Pada usia < 20 tahun, ukuran uterus belum mencapai ukuran yang normal untuk kehamilan, sehingga kemungkinan terjadinya gangguan dalam kehamilan seperti preeklampsia menjadi lebih besar. Faktor lain karena invasi trofoblas yang tidak sempurna dan kegagalan remodelling arteri spiralis yang terkait dengan patofisiologi terjadinya preeklampsia serta bagaimana ibu bereaksi (Kumari, Dash and Singh, 2016). Pada usia > 35 tahun tahun terjadi proses degeneratif yang mengakibatkan perubahan sruktural dan fungsional yang terjadi pada pembuluh darah perifer yang bertanggung jawab terhadap perubahan tekanan darah, sehingga lebih rentan mengalami preeklampsia (Denantika, Serudji and Revilla, 2015). 2) Nuliparitas Nuliparitas adalah seorang ibu yang belum pernah melahirkan bayi untuk pertama kali (Prawirohardjo, 2010). Penelitian Denantika (2015) menyebutkan nuliparitas meningkatkan kejadian preeklampsia 2,2 kali lebih besar daripada multiparitas. Secara teori, nuliparitas lebih berisiko untuk mengalami preeklampsia daripada multiparitas karena preeklampsia biasanya timbul pada wanita yang pertama kali terpapar vilus korion. Hal ini terjadi karena pada wanita tersebut mekanisme imunologik pembentukan blocking antibody yang dilakukan oleh HLA-G (Human Leukocyte Antigen G) terhadap antigen plasenta belum terbentuk secara sempurna, sehingga proses implantasi trofoblas ke jaringan desidual ibu menjadi terganggu. Nuliparitas juga rentan mengalami stres dalam menghadapi persalinan yang akan menstimulasi tubuh untuk mengeluarkan kortisol. Efek kortisol adalah meningkatkan respon simpatis, sehingga curah jantung dan tekanan darah juga akan meningkat (Cunningham et al, 2012). . 3) Obesitas Obesitas adalah peningkatan berat badan melebihi batas kebutuhan skeletal dan fisik akibat akumulasi lemak berlebihan dalam tubuh (Wafiyatunisa, 2016).

Sedangkan WHO menjelaskan bahwa obesitas merupakan penimbunan lemak yang berlebihan di seluruh jaringan tubuh secara merata yang dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan menimbulkan berbagai penyakit seperti diabetes, tekanan darah tinggi, serangan jantung yang dapat menyebabkan kematian. Kriteria yang paling sering digunakan untuk menentukan status gizi seseorang adalah Indeks Masa Tubuh (IMT), IMT <18,5 dikategorikan underweight (kurang berat badan), IMT 18,6-24,9 dikategorikan normal, dan IMT >30 dikategorikan obesitas. Wanita dengan obesitas sebelum kehamilan memiliki risiko 4 kali lipat mengalami preeklampsia dibandingkan dengan wanita dengan IMT normal. Faktor-faktor seperti inflamasi, resistensi insulin, dislipidemia, stres oksidatif, serta diet berhubungan dengan peningkatan kadar ADMA. ADMA adalah suatu inhibitor endogen dari Nitrit oxide sintase (NOS) yang akan meningkat pada wanita obesitas dan akan mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Oleh sebab itu perlu diperhatikan dalam perencanaan kehamilan atau prakonsepsi tentang pengaturan makanan seperti diet tinggi protein, dan rendah lemak, karbohidrat, garam dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan karena terbukti bahwa obesitas dapat mempengaruhi terjadinya preeklampsia (Wafiyatunisa, 2016). 4) Riwayat preeklampsia sebelumnya Wanita yang mengalami preeklampsia pada kehamilan sebelumnya mempunyai risiko 8,4 kali lebih tinggi (7,1-9,9: CI 95%) pada kehamilan berikutnya (Bartsch et al., 2016) 5) Penyakit komplikasi maternal Penyakit komplikasi maternal yang dapat meningkatkan kejadian preeklampsia antara lain diabetes gestasional sebesar 3,7 kali, hipertensi kronis 5,1 kali, gagal ginjal kronis 1,8 kali, SLE 2,5 kali CI 95% (Bartsch et al., 2016). Hal ini dapat terjadi juga jika terdapat massa plasenta yang besar seperti pada ondisi hiperplasentosis, hidrops fetalis dan kehamilan multiple. 2.2.5 Klasifikasi Preeklampsia merupakan penyulit kehamilan yang akut dan dapat terjadi ante, intra, dan postpartum. Gambaran klinis pada penderita preeklampsia sangat bervariasi pada masing-masing individu, adanya keterlibatan banyak organ berpotensi meningkatkan gejala klinis yang lebih berat. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa preeklampsia antara lain pemeriksaan klinis, biofisik, dan biokimia. Pemeriksaan tersebut antara lain: 1) Tekanan Darah Rekomendasi POGI untuk pengukuran tekanan darah antara lain pemeriksaan dilakukan pada pasien dalam keadaan tenang, tensimeter yang digunakan dianjurkan memakai tensimeter air raksa yang sudah dikalibrasi. Pasien diperiksa dalam posisi duduk dengan manset ukuran yang sesuai dipasang sesuai level jantung. Pengukuran tekanan darah diastolik berdasarkan bunyi korotkoff

V. Hipertensi didiagnosa apabila dalam dua kali pengukuran dengan selang 15 menit terdapat kenaikan tekanan sistolik >30 mmHg atau ≥140 mmHg, dan tekanan diastolik terdapat kenaikan >15 mmHg atau ≥ 90 mmHg. 2) Kenaikan berat badan/ Indeks Masa Tubuh (IMT) Kenaikan berat badan pada penderita preeklampsia adalah kenaikan berat badan berlebih yang terjadi secara singkat sebagai manifestasi adanya edema. IMT > 35 pada kunjungan trimester I meningkatkan risiko preeklampsia. 3) Pemeriksaan sistem vaskular (1) Tes Tidur Miring (TTM) atau Roll Over Test (ROT) Pemeriksaan ini dilakukan pada saat usia kehamilan 28-32 minggu dengan cara mengukur tekanan darah pasien dengan posisi tidur miring kiri, lalu hasil dicatat. Pengukuran selanjutnya dilakukan dalam posisi pasien tidur terlentang dan hasil dicatat. ROT dianggap positif jika perbandingan selisih tekanan darah diastolik pada posisi miring dan terlentang ≥ 15 mmHg. (2) Infus angiotensin II Tes ini dilakukan pada usia kehamilan 28-32 minggu, dengan memberikan infus angiotension II < 8 ng/kgbb/menit jika terjadi kenaikan tekanan diastolik 20 mmHg maka dapat terjadi preeklampsia. Tes ini tidak praktis dari segi biaya, waktu dan proses yang rumit. (3) Tes latihan isometrik (isometric exercise test) Tes ini dilakukan dengan cara pasien berbaring ke sisi lateral kiri, diukur tekanan darah lalu pasien memijit bola karet tensimeter yang dipasang di lengan lain sampai kontraksi maksimal untuk 30 detik dalam waktu 3 menit. Hasil dinyatakan positif jika didaptkan kenaikan tekanan diastolik > 20 mmHg. (4) Pemeriksaan biokimia Biomarker atau petanda preeklampsia dapat membantu deteksi dini dan pencegahan serta penatalaksanaan yang tepat. Biomarker yang cukup penting pada preeklampsia yang terkait dengan iskemia plasenta dan disfungsi endotel adalah faktor angiogenik yang terdiri dari pro-angiogenik dan anti-angiogenik. Protein anti-angiogenik seperti soluble FMS-like tirosinkinase-1 (sFlt-1) dan soluble Endoglin (sEng) yang diproduksi secara berlebihan dalam sirkulasi maternal ikut bertanggungjawab terhadap timbulnya preeklampsia. Faktor pro-angiogenik meliputi Vascular Endotelial Growth Factor (VEGF), Placental Growth Factor (PIGF), dan Transforming Growth Factor-β1 (TGFβ-1) (Lindheimer and Romero, 2007; Mikat et al., 2012). Ketidakseimbangan antara faktor-faktor angiogenik seperti meningkatnya kadar sFlt-1 dan sEng dan kadar PIGF, VEGF serta TGFβ-1 yang rendah menjadi penyebab terjadinya disfungsi endotel pada preeklampsia (Eiland, Nzerue and Faulkner, 2012). Pemeriksaan biokimia menggunakan marker ini membutuhkan biaya tinggi, di Indonesia menggunakan pemeriksaan kadar asam urat, kadar kalsium,

dan kadar HCG (Human Chorionic Gonadotrophin) dengan biaya yang relatif terjangkau. Konsentrasi asam urat > 350 umol/L merupakan petanda preeklampsia berat. Kadar asam urat mulai meningkat 6 minggu sebelum preeklampsia menjadi berat. Kadar kalsium dideteksi dengan pemeriksaan teraradioimunologik, pada usia kehamilan 24-34 minggu apabila didapatkan mikroalbuminuria dan hipokalasuria merupakan petanda dari preeklampsia. Kadar HCG pada penderita preeklampsia mengalami peningkatan. Pada trimester I jika didapatkan kadar HCG > 2 kali lipat kadar rata-rata dapat meningkatkan 1,7 kali kejadian preeklampsia. (5) Pemeriksaaan hematologi Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan kadar haemoglobin dan hematokrit serta kadar trombosit dan fibronectin. Kadar Hemoglobin rendah < 7gr/dL dapat meningkatkan kejadian preeklampsia sebesar 8,2 % atau meningkat 3,6 kali dibanding ibu hamil yang memiliki kadar Hb normal dan 3,3% pada kejadian eklamsia (Ali et al., 2011). Namun masih terdapat beberapa perbedaan pendapat dalam menentukan kadar Hb sebagai petanda preeklampsia. Kadar hematokrit yang meningkat mempengaruhi kejadian preeklampsia, terjadi karena adanya hemokonsentrasi akibat volume plasma yang menurun karena vasospasme. Kadar trombosit akan mengalami penurunan sebelum tekanan darah meningkat pada preeklampsia. Kelainan hemostatis yang sering pada preeklampsia adalah peningkatan kadar faktor pembekuan VIII dan penurunan kadar anti thrombin III. Peningkatan kadar fibronectin juga ditemukan dalam preeklampsia, saat terjadi kerusakan endotel vascular, maka fibronektin akan dilepaskan ke dalam sirkulasi maternal. (6) Pemeriksaan USG Doppler Pada pemeriksaan USG Doppler untuk penderita preklamsia didapatkan gambaran kelainan gelombang arteri umbilikalis yaitu gelombang diastolik yang rendah, hilang atau terbalik. Sebagian besar ditemukan adanya penurunan aliran darah arteri uterine dan arteri umbilikalis. Pemeriksaan skrining preeklampsia selain menggunakan biomarker dan USG Doppler Velocimetry masih belum dapat direkomendasikan secara rutin, sampai metode skrining tersebut terbukti meningkatkan luaran kehamilan (POGI, 2016). Diagnosis preeklampsia ditegakkan saat usia kehamilan ≥ 20 minggu, ditandai dengan adanya hipertensi dan adanya gangguan organ. Proteinuria tidak direkomendasikan untuk diagnosa preeklampsia akan tetapi adanya protein dalam urin ditemukan pada 75% kasus preeklampsia (Brown et al., 2018), apabila tidak didapatkan proteinuria, maka salah satu atau lebih tanda dan gejala sebagai berikut dapat digunakan untuk menegakkan diagnosa preeklampsia, antara lain : 1) Kadar trombosit < 100.000/mikroliter

2) Disfungsi organ maternal, pada ginjal ditandai dengan peningkatan kadar serum kreatinin > 1.1 mg/dL, pada hepar peningkatan fungsi hati lebih dari dua kali lipat, serta adanya keluhan nyeri epigastrium 3) Edema paru 4) Gangguan neorologis seperti nyeri kepala, stroke, dan gangguan penglihatan 5) Gangguan sirkulasi uteroplasenta seperti pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, atau didapatkan adanya ARDV (absent or reserved end diastolic velocity) (ACOG, 2013; Brown et al., 2018). ISSHP sudah tidak merekomendasikan klasifikasi preeklampsia menjadi ringan, karena setiap preeklampsia merupakan kondisi berbahaya dan mengakibatkan tingginya morbiditas dan morbiditas maternal dalam waktu singkat (ACOG, 2013; Brown et al., 2018). Beberapa gejala klinis yang menunjukkan adanya pemberatan atau preeklampsia berat dapat dilihat dari salah satu atau beberapa kriteria gejala dan kondisi seperti di bawah ini : 1) Hipertensi : tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan diastolik ≥ 110 mmHg pada dua kali pemeriksaan menggunakan lengan yang sama berjarak 15 menit 2) Trombositopeni : trombosit < 100.000/microliter 3) Disfungsi organ maternal, pada ginjal ditandai dengan peningkatan kadar serum kreatinin > 1.1 mg/dL, pada hepar peningkatan fungsi hati lebih dari dua kali lipat, serta adanya keluhan nyeri epigastrium 4) Gangguan neorologis seperti nyeri kepala, stroke, dan gangguan penglihatan 5) Gangguan sirkulasi uteroplasenta seperti pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion, atau didapatkan adanya ARDV (absent or reserved end diastolic velocity) (ACOG, 2013; POGI, 2016). Berdasarkan usia kehamilan terjadinya preeklampsia dapat diklasifikasikan menjadi preeklampsia tipe dini (early onset preeclamcia) dan preeklampsia tipe lambat (late onset preeclamcia). 1) Preeklampsia tipe dini Preeklampsia tipe dini terjadi pada saat usia kehamilan < 34 minggu sebagai akibat dari plasentasi yang tidak sempurna dan kegagalan remodeling arteri spiralis, sehingga menimbulkan stress oksidatif pada sinsiotrofoblas. Hal ini mengakibatkan pertumbuhan janin terhambat. 2) Preeklampsia tipe lambat Preeklampsia tipe lambat terjadi sekitar 80% dari seluruh kasus preeklampsia pada usia kehamilan > 34 minggu, penyebab bukan berasal dari faktor plasenta. Beberapa gambaran khas pada preeklampsia tipe lambat adalah sebagai berikut : (1) Tidak ditemukan adanya pertumbuhan janin terhambat

(2) Pada USG Doppler tampak gambaran arteri spiralis normal dan tidak ada perubahan aliran darah di arteri umbilikalis (3) Peningkatan risiko pada ibu yang memiliki komplikasi penyakit maternal seperti diabetes mellitus, gemelli, anemia atau tinggal di dataran tinggi 2.2.6 Preeklampsi-Eklampsi Postpartum Preeklampsia dan eklampsia tidak hanya terjadi pada masa kehamilan, namun pada beberapa kasus preeklampsi/eklampsi dapat berlanjut hingga pada masa postpartum. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa 67% kasus preeklampsia terjadi selama masa kehamilan atau sebelum kelahiran. Selebihnya, 33% kasus terjadi setelah proses persalinan dan 79% di antaranya terjadi 48 jam setelah melahirkan. Risiko terjadi preeklampsia masih cukup tinggi selama hingga 28 hari setelah persalinan. Secara klinis biasanya diawali dengan hipertensi. Preeklampsi pasca persalinan (postpartum preeclampsia) biasanya ditandai dengan gejala hampir sama dengan pre-eklampsia pada masa hamil. Di antaranya, tekanan darah meningkat (hipertensi), pusing dan kejang, penglihatan terganggu (pandangan menjadi kabur), sakit perut, pembengkakan terutama pada kaki, merasa cepat lelah, serta nyeri otot atau persendian. Preeklampsi/eklampsia postpartum berhubungan dengan beberapa faktor seperti digambarkan pada skema Gambar 2.2 berikut ini :

Gambar 2.2 Faktor Predisposisi Preeklampsi Nifas (WHO, 2013) 2.2.7 Penatalaksanaan Perawatan dan pengobatan preeklampsia mencakup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat.

1. Pemberian obat anti kejang a. MgSO4 (Magnesium sulfat) Obat antikonvulsan pada preeklampsia yang sampai saat ini masih menjadi pilihan pertama baik di dunia maupun di Indonesia adalah magnesium sulfat (MgSO47H2O). Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asteilkolin pada rangsangan neuron dengan menghambat transmisi neuromuskular. Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magnesium sulfat, magnesium akan berkompetisi dengan kalsium sehingga aliran rangsangan tidak terjadi (terjadi inhibisi kompetitif antara ion kalsium dan magnesium). Cara pemberian magnesium sulfat adalah sebagai berikut: 1) Dosis Inisial  4 g MgSO440% dibuat dengan cara mengencerkan 10 ml larutan MgSO4 dalam 10ml aquades, diberikan bolus (IV) selama 10-15 menit  Segera dilanjutkan dengan 6 g MgSO4 40% dibuat dengan cara melarutkan 15ml larutan MgSO4 ke dalam 500 ml RL, habis dalam 6 jam  Jika kejang berulang setelah 15 menit, berikan 2 g MgSO440% dibuat dengan cara mengencerkan 5 ml larutan MgSO4 dalam 5 ml aquades, diberikan bolus (IV) selama 5 menit. 2) Dosis Rumatan Larutan MgSO4 40% 1 g/jam dimasukkan melalui cairan infus Ringer Laktat (RL)/Ringer Asetat (RA) yang diberikan sampai 24 jam pascapersalinan Pemberian MgSO4 memiliki syarat-syarat pemberian yang harus terpenuhi, yaitu:  Harus tersedia antidotum MgSO4 yakni Ca Gluconas 10%. Jika terjadi tanda-tanda intoksikasi (refleks patella menghilang, distres pernapasan), segera berikan 1g Ca Gluconas 10% yang dibuat dengan cara mengencerkan 10 ml larutan Ca Gluconas dalam 10 ml aquades, diberikan secara IV dalam 3-5 menit  Refleks pattela pasien normal  Frekuensi pernapasan ≥16 kali/menit dan tidak ada tanda-tanda distres pernapasan. Pemberian magnesium sulfat harus dihentikan jika terdapat tandatanda intoksikasi atau setelah 24 jam pascapersalinan/24 jam setelah kejang terakhir. Selain sebagai terapi untuk menghentikan kejang, magnesium sulfat juga diberikan kepada pasien dengan tanda-tanda

preeklampsia berat sebagai profilaksis kejang. Dosis yang digunakan serupa dengan dosis terapi pada preeklampsia dengan kejang (eklampsia). b. Alternatif Antikonvulsan Alternatif antikonvulsan lain selain magnesium sulfat yang dapat dipakai adalah diazepam atau fenitoin sodium.  Diazepam IV 10 mg diberikan secara perlahan kurang lebih selama 2 menit. Jika kejang berulang dapat diulang sesuai dosis awal. Jika kejang sudah teratasi, dosis rumatan yang dipakai adalah 40 mg diazepam dilarutkan dalam 500 ml RL dihabiskan dalam 24 jam. Pemberian diazepam harus dilakukan dengan sangat hati-hati karena risiko depresi pernapasan (Dosis maksimal diazepam >30 mg/jam). Perlu menjadi catatan bahwa pemberian diazepam sebagai antikonvulsan pada preeklampsia dilakukan jika memang betul-betul dalam kondisi tidak tersedia magnesium sulfat.  Fenitoin sodium mempunyai khasiat stabilisasi membran neuron, cepat masuk jaringan otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian intravena 50 mg/menit. 2. Pemberian antihipertensi Obat antihipertensi mulai diberikan pada preeklampsia berat dengan tekanan darah ≥160/100 mm Hg. Obat hipertensi yang dapat digunakan pada kasus preeklampsia adalah hidralazin, labetalol, nifedipin, dan sodium nitroprusside. Di Indonesia, karena tidak tersedia hidralazin dan labetalol IV, obat antihipertensi yang menjadi lini pertama adalah nifedipin. Dosis awal nifedipin adalah 10-20 mg per oral, diulangi setiap 30 menit bila perlu (maksimal 120 mg dalam 24 jam). Nifedipin tidak boleh diberikan secara sublingual karena efek vasodilatasi yang sangat cepat. Untuk obat antihipertensi lini kedua jika tidak tersedia nifedipin, dapat juga digantikan dengan labetalol oral atau sodium nitroprusside IV. Dosis inisial labetalol oral adalah 10 mg. Jika setelah 10 menit respon tidak membaik, dapat diberikan lagi labetalol 20 mg. Untuk sodium nitroprusside IV, dosis yang dipakai adalah 0.25 μg/kg/menit (infus) kemudian dapat ditingkatkan menjadi 0.25 μg/kg/5 menit (WHO, 2011; Ross, 2016). Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik ≥ 180 mmHg dan atau tekanan sistolik ≥110 mmHg. Jenis antihipertensi yang dapat digunakan: a. Nifedipin, dosis 5-10 mg peroral, tiap 8 jam

b. Metildopa, dosis awal 1 gram dan dosis rumatan 1-2 gram atau maintenance 250 mg, tiap 8 jam. 3. Pemberian Diuretikum Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paruparu, payah jantung kongesif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah Furosemid. 2.2.8 Perawatan Pascapersalinan Preeklampsia akan berakhir setelah persalinan. Namun, masih dibutuhkan observasi yang ketat pascapersalinan karena tekanan darah yang masih tinggi dan kemungkinan terjadinya kejang pascapersalinan (mayoritas terjadi 24 jam pascapersalinan walaupun ada juga yang terjadi 48 jam pascapersalinan). Oleh karena itu, profilaksis kejang dengan magnesium sulfat harus dilanjutkan sampai 24 jam pascapersalinan. Pemeriksaan hitung trombosit, fungsi hati, dan fungsi ginjal harus tetap dilakukan secara berkala sampai pasien keluar dari rumah sakit. Jarang terjadi, seorang pasien mengalami peningkatan level enzim hati, trombositopenia, dan insufisiensi renal lebih dari 72 jam pascapersalinan. Jika pasien akan dipulangkan dengan obat antihipertensi, penilaian ulang terhadap tekanan darah harus dilakukan, setidaknya 1 minggu setelah keluar dari rumah sakit. Kecuali pada pasien dengan hipertensi kronik, tekanan darah akan kembali normal dalam waktu maksimal 3 bulan pascapersalinan. 2.2.8

Komplikasi

1. Penyulit ibu a. Komplikasi pada sistem saraf pusat meliputi perdarahan intrakranial, trombosis vena sentral, hipertensi ensefalopati, edema serebri, edema retina, macular atau retina detachment dan kebutaan korteks. b. Gastrointestinal-hepatik: subskapular hematoma hepar, rupture kapsul hepar. c. Ginjal: gagal ginjal akut, nekrosis tubular akut. d. Hematologic: DIC, trombositopenia dan hematoma luka operasi. e. Kardiopulmonar: edema paru kardiogenik atau nonkardiogenik, depresi atau arrest pernapasan, cardiac arrest, iskemia miokardium. f. Lain-lain: asites, edema laring, hipertensi yang tidak terkendalikan 2. Penyulit janin Penyulit yang dapat terjadi pada janin ialah intrauterine fetal growth restriction, solusio plasenta, prematuritas, sindroma distress napas, kematian janin intrauterine, kematian neonatal intraventrikular, necrotizing, sepsis, cerebral palsy (Saifuddin, 2009).

2.4

Konsep Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas dengan PEB 1. Data Subjektif a. Identitas - Umur Wanita yang hamil pada usia ekstrim yaitu < 20 tahun atau > 35 tahun memiliki risiko 4,43 kali lebih tinggi untuk mengalami preeklampsia dibandingkan dengan wanita yang hamil pada usia reproduksi 20 – 35 tahun (Denantika, Serudji and Revilla, 2015). Pada usia < 20 tahun, ukuran uterus belum mencapai ukuran yang normal untuk kehamilan, sehingga kemungkinan terjadinya gangguan dalam kehamilan seperti preeklampsia menjadi lebih besar. Faktor lain karena invasi trofoblas yang tidak sempurna dan kegagalan remodelling arteri spiralis yang terkait dengan patofisiologi terjadinya preeklampsia serta bagaimana ibu bereaksi (Kumari, Dash and Singh, 2016). Pada usia > 35 tahun tahun terjadi proses degeneratif yang mengakibatkan perubahan sruktural dan fungsional yang terjadi pada pembuluh darah perifer yang bertanggung jawab terhadap perubahan tekanan darah, sehingga lebih rentan mengalami preeklampsia (Denantika, Serudji and Revilla, 2015). - Pendidikan Faktor resiko meningkat pada masyarakat dengan status ekonomi rendah dan pendidikan yang rendah (Cunningham, 2012). - Pekerjaan Pekerjaan yang terlalu berat akan meningkatkan stress, oedema yang menyebabkan preeklampsia. Penetuan aktifitas ibu sehari hari, untuk menilai dan memperkirakan kebutuhan kalori ibu agar diit untuk pengelolaan gizi dapat terlaksana dengan tepat (Cunningham,2012). b. Keluhan Utama : Keluhan yang mungkin di rasakan pada ibu nifas dengan Preeklampsia Berat : tekanan darah meningkat (hipertensi), pusing, nyeri epigastrium, oligouria, sakit kepala menyeluruh dan menetap, vertigo, malaise, gangguan serebral atau penglihatan, pembengkakan terutama pada kaki, merasa cepat lelah, serta nyeri otot atau persendian, edema paru atau sianosis dan kejang, (Wahyuningsih, 2018). c. Riwayat Obstetri - Pada primigravida mempunyai faktor resiko yang lebih tinggi mengalami preeklamsia, hal ini terkait dengan lama pajangan sperma (Fraser,2009). - Nuliparitas lebih berisiko untuk mengalami preeklampsia daripada multiparitas karena preeklampsia biasanya timbul pada wanita yang pertama kali terpapar vilus korion. Hal ini terjadi karena pada wanita tersebut mekanisme imunologik pembentukan blocking antibody yang dilakukan oleh HLA-G (Human Leukocyte Antigen G) terhadap antigen plasenta belum terbentuk secara sempurna, sehingga

proses implantasi trofoblas ke jaringan desidual ibu menjadi terganggu. Nuliparitas juga rentan mengalami stres dalam menghadapi persalinan yang akan menstimulasi tubuh untuk mengeluarkan kortisol. Efek kortisol adalah meningkatkan respon simpatis, sehingga curah jantung dan tekanan darah juga akan meningkat (Cunningham et al, 2012). . - Ibu multipara (multipaternitas) yang kemudian menikah lagi mempunyai risiko lebih besar terjadinya hipertensi dalam kehamilan jika dibandingkan dengan suami yang sebelumnya (Angsar, Dikman 2009). d. Riwayat Kesehatan Ibu Wanita yang mengalami preeklampsia pada kehamilan sebelumnya mempunyai risiko 8,4 kali lebih tinggi (7,1-9,9: CI 95%) pada kehamilan berikutnya (Bartsch et al., 2016). Penyakit komplikasi maternal yang dapat meningkatkan kejadian preeklampsia antara lain diabetes gestasional sebesar 3,7 kali, hipertensi kronis 5,1 kali, gagal ginjal kronis 1,8 kali, SLE 2,5 kali CI 95% (Bartsch et al., 2016). Hal ini dapat terjadi juga jika terdapat massa plasenta yang besar seperti pada kondisi hiperplasentosis, hidrops fetalis dan kehamilan multipel. e. Riwayat kesehatan Keluarga Kejadian preeklampsia erat kaitannya dengan hubungan kerabat. Angka kejadian tertinggi ditemukan pada anak perempuan dengan ibu preeklampsia, selain itu seorang wanita yang pasangannya pernah menjadi ayah dari kehamilan preeklampsia berisiko terjadi preeklampsia, dengan kata lain faktor paternal juga ikut berperan. Faktor keturunan yang diwariskan dari garis maternal lebih kuat 2,2 kali daripada garis paternal (Lisowska, Pietrucha and Sakowicz, 2018). Mengkaji riwayat penyakit menurun seperti diabetes, hipertensi, dan gemeli (kehamilan kembar) pada keluarga. f. Pola Hidup Sehari – hari - Nutrisi : Konsumsi makanan dan minuman yang mengandung vitamin C dan vitamin E merupakan sistem pertahanan antioksidan. Antioksidan dapat mencegah kerusakan endotel sehingga produksi tromboksan (vasokonstriktor kuat) tidak meningkat. Pola nutrisi yang baik pada preeklampsia berat adalah diet tinggi protein rendah lemak, karbohidrat. Hal ini bertujuan untuk melindungi fungsi ginjal dan mencegah peningkatan tekanan darah. Defisit kalsium pada diet perempuan hamil mengakibatkan risiko terjadinya preeklampsia dan eklampsia (Wiknjosastro, 2010). Hendaknya diet ditambah dengan suplemen yang mengandung minyak ikan yang kayak dengan asam lemak tidak jenuh misal omega-3 PUFA, antioksidan (vitamin C, E, β Karoten, CoQ10, NAsetilsistein, asam lipoik) dan elemen logam berat (zink, magnesium,

kalsium) ( Angsar, Dikman. 2009). Batasan pemberian cairan maksimal 1000 cc/hari menghindari risiko ALO. - Eliminasi : Pada hipertensi terjadi kelainan fungsional maupun anatomi ginjal. Pada PEB terjadi oligouria <500cc urine/24jam (Winkjosastro, 2014). - Istirahat : Istirahat baring yang cukup dapat mengurangi kemungkinan/insiden hipertensi dalam kehamilan (Dewi,2012). Kurangnya istirahat akan memperburuk hipertensi (Sarwono, 2008). - Aktivitas : Aktivitas berat dan stessor yang tinggi meningkatkan terjadinya hipertensi g. Data Psikososial Spiritual Perkawinan : perkawinan yang keberapa, umur saat kawin untuk mengetahui apakah ibu kawin untuk pertama kali dalam usia reproduksi (20-35 tahun) dimana jika ibu kawin pertama kali pada usia +/- 18 tahun atau +/-35 tahun merupakan usia yang ekstrim yang merupakan faktor predisposisi yang dapat menimbulkan preeklampsia pada ibu (Fraser 2009; Cunningham 2013). Kebiasaan yang dilakukan ibu dapat berpengaruh pada kondisi bayinya, yaitu merokok atau radikal bebas dianggap toksin yang menyebabkan iskemia plasenta sehingga meningkatkan resiko terjadinya preeklamsi (Cunningham, 2012). Periode masa nifas merupakan waktu dimana ibu mengalami stress pasca persalinan, terutama pada ibu primipara. Periode ini diekspresikan oleh Reva Rubin yang terjadi pada 3 tahap berikut : - Taking in period Terjadi pada 1-2 hari setelah persalinan. Ibu masih pasif dan sangat bergantung pada orang lain, fokus perhatian terhadap tubuhnya, ibu lebih mengingat pengalaman melahirkan dan persalinan yang dialami, serta kebutuhan tidur dan nafsu makan meningkat. - Taking hold period Berlangsung 3-4 hari postpartum. Ibu lebih berkonsentrasi pada kemampuannya dalam menerima tanggung jawab sepenuhnya terhadap perawatan bayi. Pada masa ini ibu menjadi sangat sensitive, sehingga membutuhkan bimbingan dan dorongan perawat untuk mengatasi kritikan yang dialami ibu. - Letting go period Dialami setelah ibu dan bayi tiba di rumah. Ibu secara penuh menerima tanggung jawab sebagai “seorang ibu” dan menyadari atau merasa kebutuhan bayi sangat bergantung pada dirinya. 2. Data Objektif a. Kesadaran : composmentis, apatis, somnolent, sopor, koma Tergantung derajat preeklamsi semakin berat semakin jelek keadaan umum serta kesadarannya.

b. TTV : - Tekanan Darah (TD) : PEB : ≥ 160/110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun sampai masa nifas - Suhu : Perubahan suhu tubuh ini hanya terjadi beberapa jam setelah persalinan, setelah ibu istirahat dan mendapat asupan nutrisi serta minum yang cukup, maka suhu tubuh akan kembali normal. Bila suhu lebih dari 380C, mungkin terjadi infeksi pada klien. - Berat Badan Wanita dengan obesitas sebelum kehamilan memiliki risiko 4 kali lipat mengalami preeklampsia dibandingkan dengan wanita dengan IMT normal. Faktor-faktor seperti inflamasi, resistensi insulin, dislipidemia, stres oksidatif, serta diet berhubungan dengan peningkatan kadar ADMA. ADMA adalah suatu inhibitor endogen dari Nitrit oxide sintase (NOS) yang akan meningkat pada wanita obesitas dan akan mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Pemeriksaan fisik - Wajah : oedem pada wajah merupakan indikasi preeklamsi - Mata : oedema palpebra, pandangan pada kasus preeklampsia berat biasa terjadi gangguan visus - Payudara : colostrum sudah keluar - Abdomen : terdapat luka bekas sc / operasi, kontraksi uterus keras, Pada PEB kadang di dapatkan nyeri epigastrium. - Genetalia : jumlah perdarahan, jenis lochea, lochea berbau dan purulenta menandakan adanya infeksi - Ekstremitas : terdapat edema ekstremitas, reflek patella untuk menilai syarat pemberian MgSO4 c. Pemeriksaan Penunjang - Tes laboratorium : Pemeriksaan Darah Lengkap (trombositopenia sebagai tanda HELLP sindrom), leukositosis menandakan infeksi nifas, dan Hb turun menandakan anemia Pemeriksaan faal ginjal, hepar, faal hemostasis, kadar Gula darah Protein Urine: melihat kadar protein dalam urine, hal ini perlu dilakukan untuk menilai fungsi ginjal

3. Analisis Data Diagnosa : PAPAH Post Partum SC atas indikasi PEB hari keMasalah : pusing, nyeri epigastrium

4. Perencanaan tindakan a) Menjelaskan hasil pemeriksaan dan kondisi masa nifas pada ibu dan keluarga R/: ibu dan keluarga mengetahui tentang keadaan masa nifasnya sehingga dapat menentukan tindakan yang tepat untuk menjaga kesehatan diri ibu. Berbagai resiko yang bisa terjadi selama mengalami preeklampsia berat sehingga diperlukan observasi ketat untuk memonitor kondisi ibu. b) Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital dan keluhan subjektif R/: Keadaan umum dan tanda-tanda vital merupakan indikator perubahan fisiologi tubuh, keluhan subjektif ibu seperti nyeri kepala hebat, nyeri epigastrium, dan gangguan visus merupakan tanda impending eklampsia c) Observasi TFU, kontraksi, dan pengeluaran lochea R/: penilaian TFU, kontraksi uterus dan lochea untuk menilai proses involusi d) Observasi ketat balance cairan R/: risiko cairan berlebih akan menyebabkan edema paru e) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi dan pemeriksaan yang lebih lengkap. R/: Kolaborasi dengan berbagai bidang dilakukan untuk mencegah dan mengatasi kegawatdaruratan yang terjadi. f) Menginformasikan kepada ibu dan keluarga tentang tanda-tanda bahaya masa nifas, perawatan payudara, personal hygiene, kontrasepsi, tanda-tanda hipoglikemia, hiperglikemia, dan tanda-tanda persalinan. R/: ibu dan keluarga mengetahui tentang KIE yang diberikan untuk lebih memberdayakan ibu sebagai women centered care g) Melibatkan keluarga untuk memberikan dukungan psikologis ibu R/: Dukungan psikologis diperlukan untuk menghindari masalah psikologis postpartum, dan proses laktasi. h) Melakukan perawatan luka operasi sesuai standar operasional prosedur R/: perawatan luka dilakukan dengan memperhatikan teknik septik dan aseptik untuk mencegah terjadinya infeksi luka operasi i) Pencegahan dan tatalaksana kejang Bila terjadi kejang, perhatikan jalan nafas, pernapasan (oksigen) dan sirkulasi (cairan) R/: Penatalaksanaan kejang harus memperhatikan airway, breathing, dan circulation Berikan MgSO4 untuk penatalaksanaan awal dan rumatan R/: MgSO4 sebagai obat antikejang lini pertama untuk preeklampsia berat maupun eklampsia.

j) Kolaborasi dengan Spesialis Anestesi untuk melakukan intubasi jika terjadi kejang berulang dan segera kirim ibu ke ruang ICU (bila tersedia) yang sudah siap dengan fasilitas ventilator R/: perawatan intensif diperlukan pada kondisi gawat darurat dan mengancam nyawa 4. Implementasi Pelaksanaan tindakan dalam asuhan kebidanan dilaksanakan berdasarkan rencana tindakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang diharapkan sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Dalam pelaksanaan ini bidan melakukan secara kolaborasi dengan tenaga kesehatan yang lain. 5. Evaluasi Menilai tentang efektivitas tindakan yang telah diberikan serta mengadakan penyesuaian kembali pada langkah sebelumnya pada setiap aspek dari proses manajemen yang tidak efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Baha M., Sibai MD. 2011. Etiology and management of postpartum hypertensionpreeclampsia. AJOG. doi:10.1016.j.ajog.201109002.

Bahiyatun, 2009. Buku Ajar Kebidanan Asuhan Nifas Normal. Jakarta : EGC Baston, H. & Hall, J. (2011). Midwifery Essential Postnatal, Volume 4. United Kingdom. Boyle, Maureen. 2009. “Pemulihan Luka”. Jakarta : EGC. Coad, Jane, Dunstall dan Melvyn. 2007. Anatomi & Fisiologi Untuk Bidan. Jakarta: EGC Cunningham, F. Gary, Kenneth J. Leveno, James M. Alexander. Steven L. Bloom, Brian M. Casey, Jodi S. Dashe. 2014. Obstetri Williams Edisi 23. Alih bahasa, Brahm U. Pendit, editor bahasa Indonesia, Rudi Setia. Jakarta: EGC. Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Hauth, J.C., Rouse, D.J., & Spong, C.Y. (2012). Obstetri Williams. Volume 1. New York: McGraw-Hill Education. Dewi, V.N.L. dan Tri S. 2011. Asuhan Kebidanan Pada Ibu Nifas. Jakarta: Salemba Medika Fadlun, & Feryanto, A. (2011). Asuhan Kebidanan Patologis. Jakarta: Salemba Medika Fraser, D.M. & Cooper, M.A. (2009). Myles Buku Ajar Bidan (Edisi 14). Jakarta: EGC. Garcia, J. & Marchant, S. (2000). The Potential of Postnatal Care. London: Bailliere Tindall. Holmes D dan Baker P. 2011. Buku Ajar Ilmu Kebidanan. Jakarta: EGC. Kemenkes RI. 2013. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan Edisi Pertama. Jakarta: Kemenkes RI. Khidri FF. 2019. Various presentations of preeclampsia at tertiary care hospital of Sidh: A cross-sectional study. Current Hypertension Reviews. 15(0) pp. 1-7. doi 10.2174/1573402115666191009120640 King, T.L., Brucker, M.C., Kriebs, J.M., Fahey,J.O., Gregor, C.L., & Varney, H. (2015). Varney’s Midwifery, Fifth Edition. United States of America: Jones & Bartlett Learning Books, LLC, An Ascend Learning Company, Alih Bahasa oleh EGC Jakarta. Manuaba, Ida Ayu Chandranita, 2010. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan Dan KB Untuk Pendidikan Bidan Edisi 2. Jakarta : EGC Maryunani, Anik. Asuhan pada Ibu Dalam Masa Nifas (Post Partum). Jakarta:EGC; 2009. Medforth, J., Battersby, S., Evans, M., Marsh, B., & Walker, A. (2006). Oxford Handbook of Midwifery. English: Oxford University Press. Mirzanie H dan Kurniawati D .2009. Obgynacea (obstetri dan ginekologi). Yogyakarta: Tosca Enterprise. Mochtar, Rustam Prof, Dr, MPH. 2011. Sinopsis Obstetri Fisiologi Patologi. Jakarta : EGC.

Nugroho, Taufan. 2012. Patologi Kebidanan. Yogyakarta: Nuha Medika. Prawirohardjo, Sarwono. 2014. Ilmu Kebidanan. Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Rini S., Feti K. 2017. Panduan Asuhan Nifas dan Evidence Base Practice. Edisi 1 Cetakan ke-2. Yogyakarta: Deepublish Sulistyawati, Ari. 2009. “Asuhan Kebidan pada Masa Nifas”. Jakarta : Salemba Medika. Saleha, Sitti. 2009. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas. Jakarta : Salemba Medika

Related Documents

Lp Nifas + Peb
January 2021 1
Pathway Peb
January 2021 1
Fisiologi Nifas
February 2021 3
Sap Tanda Bahaya Nifas
January 2021 1
Referat Fisiologi Nifas
February 2021 1

More Documents from "suryohardjo"