Lp Tumor Axilla

  • Uploaded by: Meyla Srirahayu
  • 0
  • 0
  • August 2022
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lp Tumor Axilla as PDF for free.

More details

  • Words: 2,827
  • Pages: 13
Loading documents preview...
LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPENATAAN ANESTESI PADA Tn. M DENGAN TUMOR AXILLA TEHNIK GA TIVA ANESTESI DI RUMAH SAKIT RSUD CARUBAN

Disusun Oleh : NAMA: MEILA SRI RAHAYU NIM: 2018040024 TK/SMT: III/ VI

PROGRAM STUDI DIV ANESTESIOLOGI ITS PKU MUHAMMADIYAH SURAKARTA TAHUN 2020/2021

I. PENGERTIAN tumor axilla adalah terdapat benjolan atau tumor dibagian ketiak  Dalam pengertian umum tumor adalah benjolan atau pembengkakan dalam tubuh. Dalam pengertian khusus tumor adalah benjolan yang disebabkan oleh neoplasma.

Tumor atau barah adalah sebutan untuk neoplasma atau lesi padat yang terbentuk akibat pertumbuhan sel tubuh yang tidak semestinya yang mirip dengan simtoma bengkak. Tumor berasal dari kata tumere dalam bahasa latin yang berarti bengkak. Pertumbuhannya dapat digolongkan sebagai ganas atau jinak. tumor sendiri terbagi menjadi dua jenis, yaitu tumor jinak dan juga tumor ganas atau umumnya kita kenal dengan kanker. Tumor jinak tidak akan menyebar atau menyerang bagian tubuh yang lain karena hanya akan tumbuh di satu bagian tubuh saja. Tumor ganas bisa menyerang jaringan di sekitarnya, masuk ke pembuluh darah, dan juga menyebar ke bagian tubuh yang lain. Umumnya, tumor jinak tidak akan tumbuh kembali setelah dilakukan pengangkatan, sedangkan tumor ganas memiliki kecenderungan untuk tumbuh kembali meskipun sudah diangkat.

II. ETIOLOGI 

      

Karsinogen kimiawi dapat alami atau sintetik, misalnya Aflatoksin B1 pada kacang, vinylklorida pada industri plastik, benzoapiran pada asap kendaraan bermotor, kemoterapi dalam kesehatan. Karsinogen fisik, misalnya sinar ionisasi pada nuklir, sinar radioaktif, sinar ultraviolet Hormon, misalnya estrogen Viral, misalnya TBL-I, HBV, HPV, EBV Gaya hidup, misalnya diet, merokok, alcohol Parasit, misalnya schistoma hematobium Genetik Penurunan imunitas

III. PATOFISIOLOGI Sel tumor ialah sel tubuh yang mengalami transformasi dan tumbuh secara autonom lepas dari kendali pertumbuhan sel normal sehingga sel ini berbeda dari sel normal dalam bentuk dan strukturnya. Perbedaan sifat sel tumor tergantung dari besarnya penyimpangan dalam bentuk dan fungsinya, autonominya dalam pertumbuhan, kemampuan dalam berinfiltrasi dan menyebabkan metastase Pada umumnya tumor mulai tumbuh dari satu sel di suatu tempat (unisentrik), tetapi kadang tumor berasal dari beberapa sel dalam satu organ (multisentrik) atau dari beberapa organ (multiokuler) pada waktu bersamaan (sinkron) atau berbeda (metakron). Selama pertumbuhan tumor masih terbatas pada organ tempat asalnya maka tumor dikatakan mencapai tahap local, namum bilatelah infiltrasi ke organ sekitarnya dikatakan mencapai tahap invasive atau infiltratif . Sel tumor bersifat tumbuh terus sehingga makin lama makin besar dan mendesak jaringan sekitarnya. Pada neoplasma sel tumbuh sambil menyusup dan merembes ke jaringan sekitarnya dan dapat meninggalkan sel induk masuk ke pembuluh darah atau pembuluh limfe, sehingga terjadi penyebaran hematogen dan limfatogen. Metastasis Kelenjar Getah Bening Aksila Saat kanker ketiak primer membesar, sel kanker menyusup ke celah antar sel dan pindah ke sistem limfatik menuju kelenjar getah bening regional, terutama kelenjar getah bening aksila. Kelenjar getah bening yang terlibat awalnya teraba lunak namun menjadi keras dan mengalami konglomerasi seiring pertumbuhan sel kanker. Sel kanker mampu tumbuh hingga kapsul kelenjar getah bening dan memfiksasi struktur lain di ketiak dan dinding dada. Semakin banyak kelenjar getah bening aksila yang terlibat, maka semakin kecil peluang kesintasan (survivorship). Pasien yang tidak memiliki keterlibatan kelenjar getah bening aksila berisiko < 30% mengalami rekurensi dibandingkan pasien yang memiliki keterlibatan kelenjar getah bening yang berisiko 75% terhadap rekurensi.

IV. TANDA DAN GEJALA Penemuan tanda-tanda dan gejala sebagai indikasi tumor aksila masih sulit ditemukan secara dini. Kebanyakan dari kanker ditemukan jika sudah teraba, biasanya oleh klien itu sendiri. a. Terdapat massa utuh (kenyal)Biasanya pada kuadran atas dan bagian dalam, di bawah lengan, bentuknya tidak beraturan dan terfiksasi (tidak dapat digerakkan) b. Nyeri pada daerah massa c. Adanya lekukan ke dalam/dimping, tarikan dan retraksi pada area bawah ketiak berdekatan dengan mammae.Dimpling terjadi karena fiksasi tumor pada kulit atau akibat distorsi ligamentum cooper. Cara pemeriksaan: kulit area mammae 10 dipegang antara ibu jari dan jari telunjuk tangan pemeriksa lalu didekatkan untuk menimbulkan dimpling. d. Edema dengan Peaut d’orange skin (kulit di atas tumor berkeriput seperti kulit jeruk) e. Pengelupasan papilla mammae f. Adanya kerusakan dan retraksi pada area putting susu serta keluarnya cairan secara spontan kadang disertai darah. g. Ditemukan lesi atau massa pada pemeriksaan mamografi.

V. PENATALAKSANAAN

Pembedahan Tipe pembedahan yang dapat dilakukan untuk Tumor Aksila adalah biopsi eksisi dengan lokalisasi lesi, mastektomi radikal, breast conserving surgery, serta  dinding dada. Biopsi Eksisi dengan Lokalisasi Lesi Biopsi eksisi dengan lokalisasi lesi dilakukan dengan mengangkat seluruh jaringan kanker dan menyisakan tepi jaringan tampak sehat dibantu metode mamografi dan lokalisasi lesi oleh sebuah kawat yang dilabel secara radiasi yang ditempatkan dekat dengan lokasi lesi. Mastektomi Radikal Mastektomi radikal dapat dilakukan dengan metode Halstedt maupun modifikasi Patey. Metode Halstedt dilakukan dengan mengangkat seluruh jaringan payudara, kulit, kompleks puting-areola, m. pectoralis mayor dan minor, serta kelenjar getah bening level I, II, dan III.

Breast Conserving Surgery Breast conserving surgery memerlukan reseksi lesi kanker primer dengan margin jaringan yang tampak sehat, terapi radiasi ajuvan, dan penilaian status kelenjar getah bening regional. Rekonstruksi Dinding Dada Rekonstruksi dan dinding dada dapat menjadi pilihan pada kasus dengan pengangkatan jaringan kulit dan subkutan yang massif. Radioterapi Radioterapi dapat digunakan sebagai penatalaksanaan, ajuvan, maupun terapi paliatif tumor aksila. Sebagai tata laksana, radioterapi dapat digunakan pada berbagai stadium kanker, bergantung pada pilihan pembedahan yang akan dilakukan, apakah breast conserving surgery atau mastektomi. Radiasi pengion ditargetkan pada DNA sel (terutama sel kanker) sehingga terjadi kerusakan DNA yang ireversibel dan berujung pada kematian sel kanker. Pada pasien yang menjalani breast conserving surgery dapat dilakukan iradiasi payudara parsial dengan teknik brakiterapi, terapi radiasi sinar eksternal, maupun intensity-modulated radiation therapy dan hanya dapat dilakukan pada skenario uji klinis prospektif di senter tertentu saja. Terapi radiasi ajuvan (setelah pembedahan) bertujuan untuk menurunkan angka rekurensi kanker dan biasanya dilakukan pada kanker payudara stadium IIIA dan IIIB. Terapi radiasi juga dapat digunakan sebagai terapi paliatif, Kemoterapi Sebelum kemoterapi, perlu dilakukan stratifikasi risiko berdasarkan luaran kesintasan tanpa penyakit (disease free survival/DFS) dan kesintasan umum (overal survival/OS). Stratifikasi risiko mempertimbangkan usia pasien, komorbiditas, ukuran tumor, grade tumor, jumlah kelenjar getah bening yang terlibat, serta status reseptor estrogen. Kemoterapi Ajuvan  bertujuan untuk menurunkan tingkat rekurensi dan kematian 15 tahun setelah terapi. Kemoterapi ajuvan disarankan pada wanita dengan kanker payudara yang memiliki karakteristik prognosis yang kurang baik seperti adanya invasi pembuluh darah atau kelenjar getah bening, grade inti tumor yang tinggi, grade histologik yang tinggi, ekspresi HER-2/neu yang tinggi, ukuran tumor > 1 cm, serta status reseptor hormon negatif Kemoterapi Neoajuvan Pada pasien yang menunjukkan respon patologik komplit, kemoterapi neoajuvan berhubungan dengan peningkatan keberhasilan breast conserving surgery dibandingkan kemoterapi ajuvan.

Regimen kemoterapi ajuvan dapat dipakai pada kemoterapi neoajuvan mengingat manfaat yang diberikan relatif sama. Terapi Biologis / Terapi Target Terapi biologis/terapi target untuk kanker payudara dilakukan dengan menggunakan trastuzumab (Herceptin). Obat ini merupakan antibodi monoklonal terhadap HER-2/neu yang menekan efek HER-2/neu terhadap progresivitas kanker payudara. Walau demikian, penelitian lanjutan menemukan bahwa penggunaan trastuzumab yang dikombinasikan dengan paclitaxel pada kanker payudara dengan HER-2/neu negatif meningkatkan respon patologi komplit dari 25% menjadi 66,7%. Saat ini, trastuzumab digunakan sebagai terapi ajuvan pada pasien kanker payudara dengan HER-2/neu positif, metastasis ke kelenjar getah bening, atau pada pasien kanker payudara risiko tinggi tanpa penyebaran kelenjar getah bening. Trastuzumab sebaiknya tidak digunakan bersama dengan antrasiklin karena peningkatan risiko disfungsi jantung yang serius. Terapi Hormonal Terdapat 3 pilihan terapi hormonal yang dapat digunakan untuk kanker payudara, yaitu tamoxifen, terapi supresi ovarium, dan inhibitor aromatase. Tamoxifen Tamoxifen bekerja dengan mengikat reseptor estrogen di sitosol dan menghambat masuknya estrogen oleh jaringan payudara. Obat ini menunjukkan perbaikan klinis pada > 60% pasien dengan status reseptor estrogen positif (ER+) dan hanya <10% pada pasien dengan status reseptor estrogen negatif (ER-). Terapi tamoxifen selama 5 tahun juga terbukti menurunkan mortalitas akibat kanker payudara hingga 30% dalam evaluasi selama 15 tahun. Tamoxifen patut dipertimbangkan pada wanita dengan DCIS (ductal carcinoma in situ) dengan ER+ untuk menurunkan risiko rekurensi pasca breast conserving surgery dan menurunkan risiko kanker payudara invasif serta kanker pada payudara kontralateral. Terapi Supresi Ovarium Terapi ini bertujuan menginduksi menopause yang reversibel dengan penghentian sementara produksi estrogen oleh ovarium pada wanita premenopause dengan pemberian agonis GnRH (gonadotropin-releasing hormone). Penggunaan agonis GnRH menunjukkan manfaat yang sama dengan kemoterapi regimen CMF sehingga merupakan alternatif kemoterapi ajuvan pada wanita dengan kanker payudara stadium awal, berusia di bawah 40 tahun, yang terseleksi dan tanpa karakteristik kanker payudara risiko tinggi.

Terapi supresi ovarium cocok untuk kanker payudara dengan ER+ dan status reseptor progesteron positif (PR+), HER-2/neu negatif, dan memiliki keterlibatan kelenjar getah bening yang minimal. Inhibitor Aromatase Setelah menopause, estrogen dibentuk terutama oleh jaringan lemak dengan bantuan enzim aromatase. Mekanisme ini mendasari penggunaan inhibitor aromatase pada kelompok populasi pasien kanker payudara pasca menopause. Inhibitor aromatase merupakan terapi ajuvan lini pertama pada wanita dengan kanker payudara pasca menopause atau lini kedua pasca terapi tamoxifen ajuvan selama 1 atau 2 tahun. Penggunaan inhibitor aromatase generasi ketiga seperti anastrozole dan letrozole menurunkan tingkat rekurensi lokal dan jauh kanker payudara. Imunoterapi Imunoterapi merupakan metode pengobatan yang tergolong baru untuk kanker payudara. Pengobatan ini baru disetujui oleh FDA pada tahun 2019. Obat-obatan yang digunakan dalam imunoterapi menggunakan mekanisme antibodi monoklonal dan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan alami tubuh melawan kanker. Di Indonesia, beberapa agen imunoterapi seperti trastuzumab dan pertuzumab telah disetujui penggunaannya untuk terapi kanker payudara tertentu. Terapi Paliatif Terapi paliatif bukan bertujuan untuk menyembuhkan kanker payudara yang dialami tetapi bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Cakupan pelayanan paliatif meliputi layanan psikososial, rehabilitasi, dan upaya untuk mengurangi efek samping seperti nyeri, dispnea, dan ansietas. Terapi Paliatif Nyeri Analgesik opioid seperti morfin bisa diberikan dengan dosis titrasi untuk menyeimbangkan efek analgesia dan efek samping seperti kebingungan, mual, gatal, atau sembelit. Jika nyeri merupakan nyeri neuropatik, dokter bisa memberikan antikonvulsan seperti diazepam dan lorazepam. Terapi Paliatif Dispnea Terapi paliatif dispnea bisa berupa terapi farmakologis maupun nonfarmakologis. Contohnya adalah mendudukkan pasien dengan posisi tegak, melakukan drainase bila terjadi efusi perikardial, memberikan oksigen lewat face mask, atau memberikan opioid yang sesuai. Terapi Paliatif Ansietas

Benzodiazepin short-acting seperti lorazepam atau alprazolam dapat diberikan bila perlu. Benzodiazepin long-acting seperti diazepam biasanya disediakan untuk pasien yang mengalami kegagalan dosis akhir. Midazolam berguna untuk mengendalikan kecemasan dan agitasi pada fase terminal penyakit. Intervensi nonfarmakologis termasuk psikoterapi suportif dan intervensi perilaku juga dapat dipertimbangkan. 

1. TINDAKAN OPERASI Fibroadenoma axilla merupakan istilah medis medis untuk benjolan pada ketiak yang padat dan bersifat jinak. Kondisi ini disebabkan oleh aktivitas hormon estrogen. Operasi fibroadenoma axilla adalah pembedahan yang dilakukan untuk mengangkat tumor jinak pada bagian ketiak , yakni fibroadenoma axilla . Prosedur ini menjadi pilihan bila benjolan di ketiak membesar dan dokter mencurigainya sebagia tanda kanker. operasi fibroadenoma axilla dapat dilakukan melalui metode di bawah ini: Lumpektomi Pada prosedur lumpektomi, benjolan fibroadenoma diangkat dari aksila dengan pembedahan dengan cara:     

Dokter bedah akan membuat sayatan pada bagian aksila. Dokter lalu mengangkat jaringan fibroadenoma. Dokter mungkin akan menggunakan pisau bedah listrik untuk mengurangi risiko pendarahan. Dokter bisa akan memasang selang drainase untuk membuang cairan berlebih pada lokasi sayatan. Dokter akan menutup luka sayatan dengan jahitan dan perban.

2. JENIS ANESTESI Anestesi umum atau general anestesi merupakan tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang dapat pulih kembali (reversible). Anestesi umum menyebabkan mati rasa karena obat ini masuk ke jaringan otak dengan tekanan setempat yang tinggi. Anestesi umum disebut juga sebagai narkose atau bius (Mangku dan Senapathi, 2010). General anestesi atau anestesi umum bertujuan untuk menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar, dan menyebabkan amnesia yang bersifat reversible dan dapat diprediksi. Tiga pilar anestesi umum meliputi hipnotik atau sedatif, yaitu membuat pasien tertidur atau mengantuk/

tenang, analgesia atau tidak merasa sakit, rileksasi otot, yaitu kelumpuhan otot skelet, dan stabilitas otonom antara saraf simpatis dan parasimpatis (Pramono, 2015) General anestesi meliputi 1. GA Inhalasi 2. GA Intubasi 3. GA Tiva

3. TEKNIK ANESTESI General Anestesi dengan teknik TIVA Anestesi Intravena Anestesi intravena (TIVA) merupakan teknik anastesi umum dengan hanya menggunakan obat-obat anastesi yang dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA digunakan untuk ketiga trias anastesi yaitu hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot..Kebanyakan obat-obat anastesi intravena hanya mencakup 2 komponen anastesi, akan tetapi ketamin mempunyai ketiga trias anastesi sehingga ketamin dianggap juga sebagai agent anastesi yang lengkap. TIVA (Total Intra Venous Anesthesia) adalah teknik anestesi umum di mana induksi dan pemeliharaan anestesi didapatkan dengan hanya menggunakan kombinasi obat-obatan anestesi yang dimasukkan lewat jalur intra vena tanpa penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O. TIVA dalam anestesi umum digunakan untuk mencapai 4 komponen penting dalam anestesi yaitu ketidaksadaran, analgesia, amnesia dan relaksasi otot. TIVA (Total Intravenous Anesthesia) merupakan salah satu jenis anestesi umum yang meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Anestetik intravena selain untuk induksi juga dapat digunakan untuk rumatan anestesia,  tambahan   pada   analgesia   regional   atau   untuk   membantu   prosedur diagnostik general anestesi intravena, intermitten balance, tanpa intubasi, napas spontan dengan bantuan kanul oksigen. Kelebihan TIVA 1. Dapat dikombinasikan atau terpisah dan dapat dititrasi dalam dosis yang lebih akurat dalam pemakaiannya. 2. Tidak mengganggu jalan nafas pada pasien 3. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat serta mesin anestesi khusus.

Pemberian TIVA TIVA dalam prakteknya sehari-hari digunakan sebagai : 1. Obat induksi anastesi umum 2. Obat tunggal untuk anastesi pembedahan singkat 3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat 4. Obat tambahan anastesi regional 5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan

Golongan obat Anestesi TIVA A. Midazolam Obat ini mempunyai efek ansiolitik, sedative, anti konvulsif, dan anteretrogad amnesia. Durasi kerjanya lebih pendek dan kekuatannya 1,5-3x diazepam. Obat ini menembus plasenta, akan tetapi tidak didapatkan nilai APGAR kurang dari 7 pada neonatus. Dosis : Premedikasi : im 2,5-10 mg, Po 20-40 mg Sedasi : iv 0,5-5 mg Induksi : iv 50-350 µg/kg Efek samping obat : -Takikardi, episode vasovagal, komplek ventrikuler premature, hipotensi -Bronkospasme, laringospasme, apnea, hipoventilasi -Euphoria, agitasi, hiperaktivitas -Salvasi, muntah, rasa asam B. Ketamin adalah satu-satunya anestetik intravena yang selain bersifat analgesik kuat juga mampu merangsang sistem kardiovaskuler sesuai dengan dosis pemberiannya. Frekuensi jantung, tekanan darah arteri, dan curah jantung meningkat secara bermakna dari nilai dasarnya. Puncak peningkatan variabel-variabel tersebut terjadi 2-4 menit setelah pemberian bolus intravena dan menurun secara perlahan pada nilai normalnya setelah 10- 20 menit. Peningkatan plasma, epineprin dan norepineprin terjadi dalam 2 menit pertama setelah pembersihan bolus intravena dan kadarnya akan kembali pada kadar dasar pada waktu kurang dari 15 menit.

Dosis induksi ketamin adalah 1-2 mg/KgBB IV atau 3-5 mg/KgBB IM. Stadium depresi dicapai dalam 5-10 menit. Untuk mempertahankan anestesia dapat diberikan dosis 25-100 mg/KgBB/menit. Stadium operasi terjadi dalam 12-25 menit. Kontraindikasi : Hipertensi tak terkontrol Hipertroid Eklampsia/ pre eklampsia Gagal jantung Unstable angina Infark miokard Aneurisma intracranial, thoraks dan abdomen Perdarahan intraserebral Trauma mata terbuka

4. KOMPLIKASI ANESTESI Pulih dari anestesi umum idelnya secara bertahap dan tanpa keluhan. Sebagian besar pasien mengalami pemulihan dari anestesi tanpa kejadian-kejadian khusus tetapi sejumlah kecil pasien dengan jumlah yang tidak dapat diperkirakan mengalami komplikasi (Gwinnutt, 2011). Komplikasi pascaanestesi umum sebagai berikut (Latif, Suryadi, dan Dachlan, 2010) 1) Gangguan pernapasan Obstruksi jalan napas parsial atau total tidak ada ekspirasi (tidak ada suara napas) paling sering dialami pada pasien pascaanestesi umum yang belum sadar karena lidah 14 Poltekkes Kemenkes Yogyakarta jatuh menutup faring atau edema laring. Penyebab lain yaitu kejang laring (spasme laring) pada pasien menjelang sadar karena laring terangsang oleh benda asing, darah atau sekret. Selain itu, pasien dapat mengalami sianosis (hiperkapnea, hiperkarbia) atau saturasi O2 yang menurun (hipoksemia) yang disebabkan pernapasan pasien yang lambat dan dangkal (hipoventilasi). Pernapasan lambat dapat diakibatkan karena pengaruh obat opioid dan dangkal karena pelumpuh otot yang masih

bekerja. Hipoventilasi yang berlanjut akan menyebabkan asidosis, hipertensi, takikardi yang berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti jantung. 2) Gangguan kardiovaskular Komplikasi pada sistem sirkulasi yang dapat dijumpai pada pasien dengan anestesi umum yaitu hipertensi dan hipotensi. Hipertensi dapat disebabkan oleh nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa trakhea, cairan infus berlebihan, atau aktivasi saraf simpatis karena hipoksia, hiperkapnia, atau asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung lama akan menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema paru, atau perdarahan otak. Hipotensi disebabkan akibat aliran isian balik vena (venous return) menurun yang disebabkan perdarahan, terapi cairan kurang adekuat, hilangnya cairan, kontraksi miokardium 15 Poltekkes Kemenkes Yogyakarta kurang kuat, atau tahanan veskular perifer menurun. Hipotensi harus segera ditangani agar tidak terjadi hipoperfusi organ vital yang berlanjut dengan hipoksemia dan kerusakan jaringan. 3) Mual muntah Mual dan muntah pascaanestesi dapat terjadi pada 80% pasien yang menjalani pembedahan dan anestesi. Beberapa pasien lebih memilih untuk merasakan nyeri dibandingkan mual dan muntah pasca bedah (Gwinnutt, 2011). Mual dan muntah pasca bedah merupakan efek samping yang umum terjadi setelah sedasi dan anestesi umum. Insidensinya paling tinggi dengan anestesi berbasis narkotika dan dengan agen yang mudah menguap (Gupta dan Jrhee, 2015). Setiap tiga sampai empat pasien mengalami mual dan muntah pasca bedah setelah anestesi umum (Apfel, Stoecklein, dan Lipfert, 2005). Risiko mual muntah pasca bedah 9 kali lebih kecil pada pasien dengan anestesi regional daripada pasien dengan anestesi umum (Shaikh, Nagarekha, Hegade, dan Marutheesh, 2016). 4) Menggigil Menggigil (shivering) merupakan komplikasi pasien pascaanestesi umum pada sistem termoregulasi. Hal tersebut terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi. Hipotermi dapat terjadi akibat suhu ruang operasi yang dingin, cairan 16 Poltekkes Kemenkes Yogyakarta infus yang dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama.

DAFTAR PUSTAKA  http://eprints.undip.ac.id/44818/3/M_Abdul_Rochman_22010110130191_B AB_2.pdf  https://adoc.pub/teknik-anestesi-tiva.html  http://anestesi.fk.ugm.ac.id/jka.ugm/download-file-102785.pdf  http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2609/4/4%20Chapter%202.pd  http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/431/3/BAB%201.pdf  http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/2053/2/KTI%20NUR%20ROHMAH.pdf  Tumor-Aksila%20(1).pdf

Related Documents

Tumor Payudara
January 2021 4
Tumor Serebri
February 2021 4
Tumor Hidung
February 2021 1
Tumor Serebri
February 2021 4
Tumor Laring
March 2021 0
Tumor Parotis
March 2021 0

More Documents from "Elfan Winoto"

Modul Obatukai Terbaru .pdf
February 2021 1