Makalah Hukum Peraturan Perikanan

  • Uploaded by: Irfan
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Hukum Peraturan Perikanan as PDF for free.

More details

  • Words: 5,893
  • Pages: 28
Loading documents preview...
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4/PERMEN-KP/2015 TENTANG LARANGAN PENANGKAPAN IKAN DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA 714 DAN IUU (ILLEGAL UNREPORTED AND UNREGULATED) FISHING DI INDONESIA MAKALAH Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Dan Peraturan Perikanan Yang Dibimbing Oleh Dr. Ir. Ismadi, MS

Disusun Oleh Irfan Hilman Noorsamsi 155080301111016 T04 TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2017

KATA PENGANTAR Puji Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa Karena berkat limpahan dan karunia – Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Hukum Peraturan Perikanan tentang “Larangan Penangkapan Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 714 dan IUU Fishing di Indonesia”. Dalam penyusunannya, penulis memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak yang termasuk dalam pengerjaan makalah ini. Karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar - besarnya kepada rekan - rekan sekalian serta kepada Bapak Dr. Ir. Ismadi, MS selaku dosen mata kuliah Hukum Dan Peraturan Perikanan yang selalu memotivasi saya dalam mengerjakan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini, tidak menutup kemungkinan terdapatnya kekurangan dalam pengerjaannnya. Untuk itu penulis mengharapakan kritik serta saran yang membangun, demi perbaikan kedepannya. Akhir kata penulis berharap agar makalah ini dapat menjadi berkat dan bermanfaat bagi kita semuanya.

Kamis, 29 Mei 2017

Penulis

i

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR....................................................................................................i DAFTAR ISI................................................................................................................ ii DAFTAR GAMBAR...................................................................................................iv PENDAHULUAN.......................................................................................................1 1.1 Latar Belakang.................................................................................................1 1.2 Identifikasi Masalah..........................................................................................2 1.3 Maksud dan Tujuan..........................................................................................3 PEMBAHASAN......................................................................................................... 4 2.1 PERMEN-KP NOMOR 4 TAHUN 2015.............................................................4 2.2 Pendapat Saya Tentang PERMEN-KP NO 4 TAHUN 2015..............................5 2.3 Pengertian IUU Fishing..................................................................................6 2.3.1 Illegal Fishing.............................................................................................7 2.3.2 Unreported Fishing.....................................................................................9 2.3.3 Unregulated Fishing...................................................................................9 2.4 Penyebab Terjadinya IUU Fishing...............................................................10 2.5 Studi Kasus IUU Fishing..............................................................................11 2.5.1 Penangkapan Kapal Berbendera Malaysia...............................................11 2.5.2 Penangkapan Kapal Berbendera Vietnam...............................................12 2.5.3 Analisa Kasus...........................................................................................12 2.6 Solusi Indonesia Tentang IUU Fishing........................................................13 2.6.1 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan............................................13 2.6.2 Kerjasama Internasional Dengan (RFMO)...............................................14 2.7 Dampak IUU Fishing.....................................................................................16 2.7.1 Dampak Ekonomi.....................................................................................16

ii

2.7.2 Dampak Politik.........................................................................................17 2.7.3 Dampak Sosial.........................................................................................17 2.7.4 Dampak Lingkungan dan Ekologi.............................................................18 PENUTUP................................................................................................................20 3.1 Kesimpulan.....................................................................................................20 3.2 Saran.............................................................................................................. 21 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................22

DAFTAR GAMBAR Gambar 1 WPP 714 : Thunnus albacares ; Oktober - Desember Titik Kordinat : 126 – 132 0BT ; 4 – 6 0LS.............................................................................................................5

iii

iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alfred Thayer Mahan, seorang Perwira Tinggi Angkatan Laut Amerika Serikat, dalam bukunya “The Influence of Sea Power upon History” mengemukakan teori bahwa sea power merupakan unsur terpenting bagi kemajuan dan kejayaan suatu negara, yang mana jika kekuatan - kekuatan laut tersebut diberdayakan, maka akan meningkatkan kesejahteraan dan keamanan suatu negara. Sebaliknya, jika kekuatan - kekuatan laut tersebut diabaikan akan berakibat kerugian bagi suatu negara atau bahkan meruntuhkan negara tersebut. Indonesia secara geografis merupakan sebuah negara kepulauan dengan dua pertiga luas lautan lebih besar daripada daratan. Hal ini bisa terlihat dengan adanya garis pantai di hampir setiap pulau di Indonesia (± 81.000 km) yang menjadikan Indonesia menempati urutan kedua setelah Kanada sebagai negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia. Kekuatan inilah yang merupakan potensi besar untuk memajukan perekonomian Indonesia. Demi menjaga semua potensi laut yang dimiliki Indonesia, maka diperlukan sebuah aturan dasar yang mengikat bagi seluruh warga Negara agar laut tetap lestari, maka pemerintah mengeluarkan sebuah peraturan yang mengatur pembatasan penangkapan sumberdaya ikan yang statusnya kini dalam kondisi kritis. Salah satu yang menjadi perhatian Kementrian Kelautan Perikanan yaitu sumberdaya ikan terutama lobster, kepiting dan rajungan. Dengan melindungi sumberdaya ikan yang ada, berarti turut menyelamatkan perekonomian Indonesia di masa mendatang mengingat tak sedikit masyarakat Indonesia yang bergantung pada hasil laut. Pengelolaan sumber daya ikan secara berkelanjutan di perairan indonesia menjadi sangat berat karena maraknya praktek - praktek penangkapan ikan yang oleh dunia internasional disebut sebagai kegiatan perikanan yang illegal, unreported and unregulated (IUU Fishing) yang menurut kamus bahasa Inggris - Indonesia (Echols and Shandily, 2000) merupakan suatu kegiatan illegal berarti kegiatan melanggar hukum, gelap, tidak syah atau liar. FAO mendefinisikan tentang kegiatan illegal yaitu segala bentuk kegiatan yang melanggar hokum/peraturan yang ada,

1

sedangkan pemahaman unreported dan unregulated dalam konteks hukum perairan di indonesia belumlah didefinisikan secara jelas. Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan Perikanan terdapat 14 zona fishing ground di dunia, saat ini hanya 2 zona yang masih potensial, dan salah satunya adalah di Perairan Indonesia. Zona di Indonesia yang sangat potensial dan rawan terjadinya IUU Fishing adalah Laut Malaka, Laut Jawa, Laut Arafuru, Laut Timor, Laut Banda dan Perairan sekitar Maluku dan Papua. Dengan melihat kondisi seperti ini IUU Fishing dapat melemahkan pengelolaan sumber daya perikanan di perairan Indonesia dan menyebabkan beberapa sumber daya perikanan di beberapa Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Indonesia mengalami

over fishing

(Sunyowati, 2013). Dengan adanya Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 4/PERMEN-KP/2015 Tentang Larangan Penangkapan Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 714, diharapkan di masa mendatang sumberdaya ikan tersebut masih tetap lestari dan bisa dimanfaatkan secara bijaksana. 1.2 Identifikasi Masalah Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan, maka terdapat beberapa masalah yang dapat penulis rumuskan dan akan dibahas dalam makalah ini yaitu : 1. Bagaimana poin - poin dari Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015? 2. Bagaimana pendapat penulis tentang Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015? 3. Apa yang dimaksud dengan IUU Fishing? 4. Apa penyebab terjadinya IUU Fishing? 5. Kegiatan apakah yang mencerminkan kegiatan IUU Fishing? 6. Apa dampak dari kegiatan IUU Fishing? 7. Apa solusi Indonesia tentang IUU Fishing?

1.3 Maksud dan Tujuan Maksud dan tujuan dalam makalah ini yaitu:

2

1. Menjelaskan tentang poin - poin dari Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015. 2. Menjelaskan pendapat penulis tentang Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2015. 3. Mengetahui pengertian dari IUU Fishing. 4. Mengetahui apa saja penyebab IUU Fishing. 5. Mengetahui kegiata apa saja yang menunjukkan kegiatan IUU Fishing. 6. Mengetahui dampak dari IUU Fishing. 7. Megetahui langkah apa yang diambil Indonesia tentang masalah IUU Fishing.

3

BAB II PEMBAHASAN 2.1 PERMEN-KP NOMOR 4 TAHUN 2015 Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 4/Permen-KP/2015 Tentang Larangan Penangkapan Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 714. Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan : 1. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang

menggunakan

kapal

untuk

memuat,

mengangkut,

menyimpan,

mendinginkan, menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya. 2. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. 3. Korporasi adalah kumpulan orang perseorangan dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. 4. Surat Izin Penangkapan Ikan, yang selanjutnya disingkat SIPI, adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Surat Izin Usaha Perikanan. Pasal 2 Dalam pasal 2, Peraturan Menteri ini menjelaskan tentang : 1. Setiap orang dilarang melakukan penangkapan ikan pada sebagian Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 714 yang merupakan daerah pemijahan (breeding ground) dan daerah bertelur (spawning ground). 2. Daerah pemijahan (breeding ground) dan daerah bertelur (spawning ground) sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dengan peta dan titik koordinat sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

Pasal 3 Dalam pasal 3, Peraturan Menteri ini menjelaskan tentang : 4

SIPI dengan daerah penangkapan ikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang telah diterbitkan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini, masih tetap berlaku sampai dengan habis masa berlakunya. Pasal 4 Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Lampiran Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 4/PERMEN-KP/2015 Larangan Penangkapan Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 714

Gambar 1 WPP 714 : Thunnus albacares ; Oktober - Desember Titik Kordinat : 126 – 132 0BT ; 4 – 6 0LS 2.2 Pendapat Saya Tentang PERMEN-KP NO 4 TAHUN 2015 Pendapat terhadap Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 4/Permen-KP/2015 Tentang Larangan Penangkapan Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 714. Dengan adanya Peraturan Menteri Perikanan dan Kelautan yang terdapat pada pasal 2 mengenai larangan melakukan penangkapan ikan pada sebagian wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia 714 yang merupakan daerah pemijahan (breeding ground) dan daerah bertelur (spawning ground). mempunyai tujuan yang baik. Dengan melindungi biota – biota laut yang sedang bertelur, maka akan membantu melindungi mereka dalam berkembang biak dan 5

memberi kesempatan untuk melestarikan keturunannya. Pembatasan penangkapan dilakukan karena keberadaan biota laut terus mengalami penurunan drastis yang diakibatkan salah satunya menangkap yang masih dalam kondisi bertelur. Untuk itu, masukan dari penulis adalah dengan adanya Peraturan Menteri nomor 4 tahun 2015, diharapkan bukan hanya akan melindungi ikan – ikan yang masih dalam kondisi bertelur, melainkan lobster, kepiting maupun rajungan juga perlu dilindungi karena maraknya nelayan yang menangkap ketiga crustacea tersebut dalam kondisi masih bertelur. 2.3 Pengertian IUU Fishing UNCLOS 1982 tidak mengatur tentang IUU Fishing. Wacana tentang Illegal Fishing muncul bersama - sama dalam kerangka IUU Fishing Practices pada saat diselenggarakannya forum CCAMLR (Commision for Conservation of Atlantic Marine Living Resources) pada 27 Oktober – 7 November 1997. IUU Fishing dapat dikategorikan dalam tiga kelompok: 1. Illegal Fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan wilayah atau ZEE suatu negara, atau tidak memiliki izin dari negara tersebut. 2. Unregulated Fishing yaitu kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut. 3. Unreported Fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya. Praktek IUU Fishing terjadi di kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan dan di ZEE. Dilakukan oleh kapal berbendera negara pantai yang bersangkutan itu sendiri maupun oleh kapal berbendera asing. Walaupun tidak mengatur IUU Fishing, tapi berkaitan dengan penegakan hukum di laut, UNCLOS 1982 mengatur secara umum, baik di kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan dan ZEE suatu negara. Banyaknya kasus IUU Fishing di Indonesia, pada dasarnya tidak lepas dari masih lemahnya penegakan hukum dan pengawasan di Perairan Indonesia, terutama terhadap pengelolaan sumberdaya alam hayati laut, serta ketidaktegasan aparat dalam penanganan para pelaku Illegal Fishing. Berdasarkan Pasal 85 jo Pasal 101 Undang – Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dinyatakan

6

secara tegas bahwa pelaku Illegal Fishing dapat dikenai ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun. Tetapi terdapat kelemahan dari UU Perikanan tersebut, yaitu kurang memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber daya laut. Sebab, pada Undang – Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 terdapat celah yang memungkinkan nelayan asing mempunyai kesempatan luas untuk mengeksploitasi sumberdaya perikanan Indonesia. Khususnya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Pada Pasal 29 ayat (1), dinyatakan bahwa usaha perikanan diwilayah pengelolaan perikanan, hanya boleh dilakukan oleh Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia. Selanjutnya pada ayat (2), kecuali terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hokum asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hokum intenasional. Selain itu, pemerintah juga harus mempercepat terbentuknya pengadilan perikanan yang berwenang menentukan, menyelidiki, dan memutuskan tindak pidana setiap kasus Illegal Fishing dengan tidak melakukan tebang pilih. Bahkan, jika perlu pemerintah harus berani menghentikan penjarahan kekayaan laut Indonesia dengan bertindak tegas, seperti penenggelaman kapal nelayan asing. 2.3.1 Illegal Fishing UNCLOS 1982 tidak mengatur tentang IUU Fishing. Wacana tentang Illegal Fishing muncul bersama - sama dalam kerangka IUU Fishing Practices pada saat diselenggarakannya forum CCAMLR (Commision for Conservation of Atlantic Marine Living Resources) pada 27 Oktober – 7 November 1997. IUU Fishing dapat dikategorikan dalam tiga kelompok: 1. Illegal Fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan secara illegal di perairan wilayah atau ZEE suatu negara, atau tidak memiliki izin dari negara tersebut. 2. Unregulated Fishing yaitu kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut. 3. Unreported Fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya. 7

Praktek IUU Fishing terjadi di kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan dan di ZEE. Dilakukan oleh kapal berbendera negara pantai yang bersangkutan itu sendiri maupun oleh kapal berbendera asing. Walaupun tidak mengatur IUU Fishing, tapi berkaitan dengan penegakan hukum di laut, UNCLOS 1982 mengatur secara umum, baik di kawasan laut yang tunduk di bawah kedaulatan dan ZEE suatu negara. Banyaknya kasus IUU Fishing di Indonesia, pada dasarnya tidak lepas dari masih lemahnya penegakan hukum dan pengawasan di Perairan Indonesia, terutama terhadap pengelolaan sumberdaya alam hayati laut, serta ketidaktegasan aparat dalam penanganan para pelaku Illegal Fishing. Berdasarkan Pasal 85 jo Pasal 101 Undang – Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan dinyatakan secara tegas bahwa pelaku Illegal Fishing dapat dikenai ancaman hukuman penjara maksimal 5 tahun. Tetapi terdapat kelemahan dari UU Perikanan tersebut, yaitu kurang memperhatikan nasib nelayan dan kepentingan nasional terhadap pengelolaan sumber daya laut. Sebab, pada Undang – Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 terdapat celah yang memungkinkan nelayan asing mempunyai kesempatan luas untuk mengeksploitasi sumberdaya perikanan Indonesia. Khususnya di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Pada Pasal 29 ayat (1), dinyatakan bahwa usaha perikanan diwilayah pengelolaan perikanan, hanya boleh dilakukan oleh Warga Negara Indonesia atau Badan Hukum Indonesia. Selanjutnya pada ayat (2), kecuali terdapat ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada orang atau badan hokum asing yang melakukan penangkapan ikan di ZEE, sepanjang hal tersebut menyangkut kewajiban Negara Indonesia berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hokum intenasional. Selain itu, pemerintah juga harus mempercepat terbentuknya pengadilan perikanan yang berwenang menentukan, menyelidiki, dan memutuskan tindak pidana setiap kasus Illegal Fishing dengan tidak melakukan tebang pilih. Bahkan, jika perlu pemerintah harus berani menghentikan penjarahan kekayaan laut Indonesia dengan bertindak tegas, seperti penenggelaman kapal nelayan asing

8

2.3.2 Unreported Fishing Unreported Fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya. Sengaja memberi data yang salah dalam melaporkan kegiatan pada institusi nasional yang relevan, yang mana bertentangan dengan hukum dan peraturan perundang - undangan yang berlaku di negara tersebut dan dilakukan dalam wilayah, dimana kegiatan tersebut tidak dilaporkan atau salah dalam melaporkan, sehingga bertentangan dengan prosedur pelaporan diri dari organisasi tersebut. Definisi kegiatan perikanan yang termasuk kategori (unreported) mengacu pada kegiatan penangkapan ikan yang: 1. Tidak melaporkan atau sengaja memberi data yang salah dalam melaporkan kegiatan pada institusi nasional yang relevan, yang mana bertentangan dengan hukum dan per-undang-undangan yang berlaku di negara tersebut; atau 2. Dilakukan dalam wilayah, dimana kegiatan tersebut tidak dilaporkan atau salah dalam melaporkan, sehingga bertentangan dengan prosedur pelaporan diri dari organisasi tersebut. 2.3.3 Unregulated Fishing Unregulated Fishing yaitu kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut. Kegiatan penangkapan ikan didaerah penerapan pengelolaan organisasi regional yang dilakukan oleh kapal - kapal tanpa berkebangsaan atau oleh kapal yang berkebangsaan bukan anggota organisasi regional atau oleh entitas penangkapan dalam suatu cara yang tidak konsisten dan bertentangan dengan prinsip konservasi organisasi regional tersebut yang bertentangan dengan hukum internasional mengacu pada kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan diarea dalam peraturan organisasi pengelolaan perikanan regional oleh kapal tanpa nasionalitas, atau kapal berbendera negara yang tidak menjadi anggota organisasi tersebut, atau oleh suatu entitas perikanan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan - ketentuan konservasi dan program - program pengelolaan dari organisasi tersebut dan di area atau terhadap stok yang tidak diatur pengelolaan dan konservasinya, dimana sifat kegiatan tersebut bertentangan dengan tanggungjawab negara (bendera) terhadap

9

ketentuan hukum Beberapa

internasional mengenai konservasi sumber daya hayati laut.

kegiatan

penangkapan

ikan

yang

tidak

di

atau

(unregulated)

diperbolehkan sepanjang tidak melanggar ketentuan hukum internasional yang berlaku Definisi yang termasuk kegiatan perikanan yang termasuk kategori (unregulated) mengacu pada kegiatan penangkapan ikan yang: 1. Di area dalam peraturan organisasi pengelolaan perikanan regional oleh kapal tanpa nasionalitas, atau kapal berbendera negara yang tidak menjadi anggota organisasi tersebut, atau oleh suatu entitas perikanan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan - ketentuan konservasi dan program - program pengelolaan dari organisasi tersebut; atau 2. Di area atau terhadap stok yang tiidak diatur pengelolaan dan konservasinya, dimana sifat kegiatan tersebut bertentangan dengan tanggungjawab negara (bendera) terhadap ketentuanhukum internasional mengenai konservasi sumber daya hayati laut. Beberapa kegiatan penangkapan ikan yang tidak di ataur (unregulated) diperbolehkan sepanjang tidak melanggar ketentuan hukum internasional yang berlaku. 2.4 Penyebab Terjadinya IUU Fishing Dari uraian diatas dapat kita ketahui bentuk kegiatan dan dan penyebab terjadinya Illegal Unreported Unregulated (IUU Fishing) di perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia adalah sebagai berikut: Penyebab Illegal Fishing antara lain sebagai berikut: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)

Meningkat dan tingginya permintaan ikan (DN/LN). Berkurang/Habisnya Sumber Daya Ikan (SDI) di negara lain. Lemahnya armada perikanan nasional. Izin/dokumen pendukung dikeluarkan lebih dari satu instansi. Lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di laut. Lemahnya delik tuntutan dan putusan pengadilan. Belum ada visi yang sama aparat penegak hokum. Lemahnya peraturan perundangan dan ketentuan pidana.

Penyebab Unreported Fishing antara lain sebagai berikut: 1) Lemahnya peraturan perundang – undangan. 2) Sistem pengumpulan data hasil tangkapan/angkutan ikan yang belum sempurna; 10

3) Belum ada kesadaran pengusaha terhadap pentingnya menyampaikan data hasil tangkapan / angkutan ikan. 4) Hasil tangkapan dan fishing ground dianggap rahasia dan tidak untuk diketahui pihak lain (saingan). 5) Lemahnya ketentuan sanksi dan pidana. 6) Bentuk wilayah kepulauan menyebabkan banyaknya tempat pendaratan ikan yang sebagian besar tidak terpantau dan terkontrol. 7) Unit penangkapan dibawah. 8) Sebagian besar pengusaha yang memiliki armada penanfkapan memiliki pelabuhan / tangkahan tersendiri. 9) Laporan produksi yang diberikan oleh pengurus perusahaan kepada dinas terkait cenderung lebih rendah dari sebenarnya. Menurut petugas restribusi, laporan produksi umumnya tidak pernah mencapai 20 % dari produksi yang sebenarnya. Penyebab Unregulated Fishing antara lain sebagai berikut: 1) Potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia masih dianggap memadai dan belum membahayakan. 2) Sibuk mengatur yang sudah ada karena banyaknya masalah. 3) Orientasi jangka pendek. 4) Beragamnya kondisi daerah perairan dan sumber daya ikan. Indonesia belummenjadi anggota organisasi perikanan internasional. 2.5 Studi Kasus IUU Fishing 2.5.1 Penangkapan Kapal Berbendera Malaysia Petugas pengawas perairan Indonesia menangkap dua kapal asing berbendera Malaysia di wilayah ZEE Indonesia tepatnya di daerah Selat Malaka pada bulan September 2013. Dari kedua kapal ini berhasil diamankan barang bukti berupa hasil tangkapan dan juga alat tangkap yang merupakan alat tangkap terlarang yaitu berupa Trawl (pukat harimau). Keduanya juga ditangkap karena tidak mempunyai Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) dari pemerintah RI. Dari 10 orang ABK, tiga diantaranya kapten kapal telah dinyatakan sebagai tersangka karena ketiga kapten tersebut adalah orang yang paling bertanggung jawab, sementara yang lainnya rencananya akan di deportasi. 2.5.2 Penangkapan Kapal Berbendera Vietnam Petugas pengawas perairan Indonesia juga menangkap kapal berbendera Vietnam di kawasan perairan Sorong, Papua Barat. Kapal berbendera Vietnam 11

memasuki wilayah perairan Indonesia tanpa izin dan tidak memiliki dokumen pelayaran serta kedapatan melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan

peledak.

Pemerintah

Indonesia

mengambil

kebijakan

mendeportasi

keduabelas nelayan Vietnam pelaku pelanggaran Illegal Fishing tersebut. Kebijakan ini diambil karena beberapa faktor, diantaranya karena hubungan bilateral antara Indonesia - Vietnam yang selama ini sudah terjalin dengan baik diharapkan tidak terputus karena faktor ini. 2.5.3 Analisa Kasus Aturan mengenai pelanggaran di wilayah laut Indonesia sebenarnya sudah tertulis secara tegas dalam Undang - Undang Perikanan Indonesia namun dalam penerapannya masih lemah dan tidak konsisten sehingga sering dipermainkan oleh negara - negara tetangga. Hal ini sangat bertentangan dengan rencana aksi nasional yang terdapat dalam Keputusan Menteri No. KEP/50/MEN/2012 tentang rencana aksi nasional pencegahan dan penanggulangan Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUU Fishing). Dalam Kepmen tersebut salah satunya menyebutkan bahwa Indonesia akan meningkatkan konsistensi dalam menerapkan sanksi bagi para pelaku IUU Fishing. Sikap tidak konsisten Indonesia dalam menerapkan sanksi bagi pelaku kasus Illegal Fishing di wilayah perairan Indonesia dapat dilihat dari tindakan yang diambil Indonesia pada kasus nelayan Malaysia dan Vietnam di atas. Dua kasus di atas jika dilihat secara seksama sebetulnya sama, yaitu baik kapal berbendera Malaysia maupun Vietnam sama - sama memasuki wilayah ZEE Indonesia tanpa izin dari pemerintah Indonesia disertai menangkap ikan dengan menggunakan alat penangkap ikan terlarang. Namun dalam memproses kasusnya Indonesia menerapkan kebijakan yang berbeda.

2.6 Solusi Indonesia Tentang IUU Fishing 2.6.1 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Keputusan Menteri Nomor KEP/50/MEN/2012 merupakan bentuk penerapan dari the Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) yang disepakati pada tahun 1995 oleh negara - negara Food And Agriculture Organization (FAO) tentang pengelolaan dan pembangunan perikanan yang tertib, bertanggung jawab, dan

12

berkelanjutan serta sebagai bentuk implementasi dari aksi internasional untuk memerangi IUU Fishing yang dituangkan dalam International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing (IPOAIUU Fishing) pada tahun 2001. IPOA - IUU Fishing tersebut harus di tindak lanjuti oleh setiap negara, termasuk Indonesia dengan menyusun rencana aksi pencegahan dan penanggulangan IUU Fishing di tingkat nasional. Upaya penanggulangan IUU Fishing di Indonesia dilakukan antara lain melalui: a. Mengadopsi atau meratifikasi peraturan internasional. b. Review dan penyesuaian legislasi nasional jika diperlukan. c. Merekrut pengawas perikanan dan PPNS serta melakukan pengembangan kapasitas. d. Berpartisipasi aktif dalam RFMO dan organisasi perikanan internasional lainnya. e. Berperan aktif dalam RPOA – IUU. f. Mengimplementasikan MCS melalui VMS, observer, log book dan pemeriksaan pelabuhan. g. Membentuk dan mengembangkan kapasitas UPT Pengawasan SDKP di daerah. h. Menyediakan infrastruktur pengawasan, seperti kapal pengawas dan speedboat. i. Meningkatkan kapasitas Pokmaswas. j. Membentuk Peradilan Perikanan. k. Mengintensifkan operasi pengawasan dan melakukan patrol bersama atau terkoordinasi. Sementara itu untuk Rencana Aksi Nasional Indonesia dalam mencegah dan menanggulangi IUU Fishing adalah melalui Tanggung Jawab Negara, Tanggung Jawab Negara Bendera, Tindakan Negara Pantai, Tindakan Negara Pelabuhan, Kesepakatan Ketentuan Terkait tentang Pasar Internasional, Penelitian, Organisasi Pengelolaan

Perikanan

Regional

serta

Persyaratan

Khusus

bagi

Negara

Berkembang. 2.6.2 Kerjasama Internasional Dengan (RFMO) RFMO (Regional Fisheris Management Organization) adalah kerjasama antar negara (regional cooperation) untuk melakukan tindakan konservasi dan pengelolaan Highly Migratory Fish Stocks dan Straddling Fish Stocks, guna menjamin pemanfaatan sumber daya tuna secara berkelanjutan. RFMO dibagi dalam beberapa zona: 13

a. Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) yang mengelola Laut lepas Samudera Hindia b. Convention on Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) yang mengelola Laut lepas Samudera Hindia Bagian Selatan c. Western Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC) yang mengelola Laut lepas Samudera Pasifik Bagian Barat d. Inter - America Tropical Tuna Commission (IATTC) yang mengelola Laut lepas Samudera Pasifik Bagian Timur. e. International Commission for the Conservation of Atlantic Tunas (ICCAT) yang mengelola Laut lepas Samudera Atlantik. Kategori IUU Fishing berdasarkan RFMO: a. Melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan tuna dan spesies seperti tuna di Laut Lepas dan/atau wilayah pengelolaan RFMO tanpa memiliki Izin dan/atau; b. Melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan tuna dan spesies seperti tuna di Laut Lepas dan/atau wilayah pengelolaan RFMO sebelum tercantum dalam RFMO- Record of Vessels Authorized to Fish or to Operate dan/atau; c. Melakukan penangkapan tuna dan spesies seperti tuna di wilayah pengelolaan RFMO, ketika negara bendera kapal tidak mempunyai kuota dan/atau terkena pembatasan ikan hasil tangkapan dan/atau alokasi upaya penangkapan (effort) berdasarkan tindakan pengelolaan dan konservasi yang diadopsi oleh RFMO dan/atau; d. Tidak mencatat atau tidak melaporkan ikan hasil tangkapan di wilayah laut lepas dan/atau wilayah pengelolaan RFMO sesuai dengan persyaratan pelaporan yang ditetapkan RFMO atau membuat laporan hasil tangkapan palsu dan/atau; e. Melakukan penangkapan atau mendaratkan tuna dan spesies seperti tuna yang berukuran belum cukup, yang bertentangan dengan tindakan konservasi yang diadopsi oleh RFMO dan/atau f. Melakukan penangkapan ikan selama musim penangkapan ikan ditutup atau dalam wilayah penangkapan ikan yang tertutup, yang bertentangan dengan tindakan konservasi yang diadopsi RFMO dan/atau; g. Menggunakan alat penangkapan ikan yang dilarang, yang bertentangan dengan tindakan konservasi yang diadopsi RFMO dan/atau;

14

h. Memindahkan ikan hasil tangkapan, atau turut serta dalam operasi penangkapan ikan gabungan/bersama seperti memberikan pasokan logistik atau pasokan bahan bakar kepada kapal-kapal yang tercantum dalam daftar kapal yang telah melakukan kegiatan IUU Fishing dan/atau kapal yang tercantum dalam IUU Vessel List dan/atau; i. Melakukan penangkapan tuna dan spesies seperti tuna di perairan dibawah yurisdiksi negara lain tanpa memiliki izin dan/atau bertentangan dengan peraturan perundang - undangan yang berlaku di negara pantai dan/atau; j. Melakukan penangkapan tuna di wilayah konvensi RFMO tanpa kebangsaan kapal. k. Terlibat dalam penangkapan tuna, termasuk alih muatan (transhipment), pengisian bahan bakar dan/atau logistik dengan cara yang bertentangan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan. Setiap kapal yang melakukan kegiatan yang termasuk dalam IUU Fishing baik sendiri - sendiri maupun secara bersama - sama, akan dicantumkan dalam IUU Vessel List dan akan mendapat tindakan dari Negara peserta RFMO (berdasarkan Resolusi RFMO) berupa: a. Melarang melakukan pemindahan ikan hasil tangkapan dari dan/atau kepada kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan lainnya di seluruh wilayah Indonesia, baik di laut maupun di pelabuhan. b. Melarang melakukan pendaratan dan/atau memindahkan ikan hasil tangkapan ke kapal lain, mengisi bahan bakar, mengisi logistic atau terlibat dalam transaksi perdagangan lainnya. c. Melarang setiap orang dan/atau badan hukum Indonesia menyewa setiap kapal yang tercantum dalam daftar provisional IUU Vessel List danIUU Vessels List. d. Melarang setiap orang dan/atau badan hukum Indonesia membeli ikan dan/atau melakukan impor ikan yang berasal dari kapal yang tercantum dalam provisional IUU Vessel List dan IUU Vessels List. e. Melarang perubahan bendera dan nama kapal. 2.7 Dampak IUU Fishing Praktik IUU Fishing, tidak hanya merugikan secara ekonomi, dengan nilai trilyunan rupiah yang hilang, tetapi juga menghancurkan perekonomian nelayan.

15

Selain itu juga menimbulkan dampak politik terhadap hubungan antar negara yang berdampingan, melanggar kedaulatan negara dan ancaman terhadap kelestarian sumber daya hayati laut. 2.7.1 Dampak Ekonomi Berdasarkan data dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (Food and Agriculture Organization / FAO) menyatakan bahwa kerugian Indonesia akibat IUU Fishing diperkiraan mencapai Rp. 30 triliun per tahun.7 FAO menyatakan bahwa saat ini stok sumber daya ikan di dunia yang masih memungkinkan untuk ditingkatkan penangkapanya hanya tinggal 20 persen, sedangkan 55 persen sudah dalam kondisi pemanfaatan penuh dan sisanya 25 persen terancam kelestariannya. Hal ini diperjelas dengan pernyataan dari Kementerian Kelautan Perikanan (KKP)8 bahwa tingkat kerugian tersebut sekitar 25 persen dari total potensi perikanan yang dimiliki Indonesia sebesar 1,6 juta ton per tahun. Kondisi perikanan di dunia ini tidak berbeda jauh dengan kondisi di Indonesia. Pada tahun 2003 - 2007, KKP telah melakukan pengawasan dan penangkapan terhadap 89 kapal asing, dan 95 kapal ikan Indonesia. Kerugian negara yang dapat diselamatkan diperkirakan mencapai Rp 439,6 miliar dengan rincian Pajak Penghasilan Perikanan (PHP) sebesar Rp 34 miliar. Selain itu, subsidi BBM senilai Rp 23,8 miliar, sumber daya perikanan yang terselamatkan senilai Rp 381 miliar, dan nilai sumber daya ikan tersebut bila dikonversikan dengan produksi ikan sekitar 43.208 ton. Berdasarkan data tersebut, setiap tahun diperkirakan Indonesia mengalami kerugian akibat IUU Fishing sebesar Rp. 101.040 trilliun/tahun. Kerugian ekonomi lainnya,9 adalah hilangnya nilai ekonomis dari ikan yang dicuri, pungutan hasil perikanan (PHP) akan hilang, dan subsidi BBM dinikmati oleh kapal perikanan yang tidak berhak. Selain itu Unit Pengelolaan Ikan (UPI) kekurangan pasokan bahan baku, sehingga melemahkan upaya pemerintah untuk mendorong peningkatan daya saing produk perikanan. 2.7.2 Dampak Politik Salah satu pemicu konflik atau ketegangan hubungan diplomatik diantara negara - negara adalah permasalahan IUU Fishing. Terutama mengganggu kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), menimbulkan citra negatif, karena beberapa negara menganggap kita tidak mampu mengelola sumber daya 16

kelautan dengan baik. Apalagi menyangkut hubungan bilateral antar negara yang berdekatan / bertetangga, yang dilakukan oleh kapal nelayan tradisional (traditional fishing right), atau kapal - kapal pukat (trawlers) yang dimiliki oleh setiap negara. Pada beberapa kasus traditional fishing right, yang sering terjadi adalah di perbatasan Indonesia – Malaysia dan Indonesia – Australia. Sebagai upaya untuk memperkecil ketegangan diantara kedua negara, diperlukan telaah ulang terhadap perjanjian bilateral terkait dengan hal tersebut. Selain itu juga melakukan penyuluhan / sosialisasi kepada nelayan tradisional terkait penangkapan ikan secara legal di wilayah yang telah diperjanjian (fishing ground). Kegiatan IUU Fishing yang dilakukan oleh kapal asing banyak menggunakan kapal trawl, terutama kapal Thailand, Myanmar, Philipina dan Taiwan. Keberadaan kapal tersebut dapat memicu dan menjadi konflik diantara kedua negara. Sementara bagi beberapa negara tersebut, sangat rendah keinginan untuk membuat kerjasama sub regional atau regional untuk memberantas IUU Fishing. Hal ini didukung dengan kondisi industri perikanan di negara tetangga yang sangat membutuhkan pasokan ikan, tanpa memperhatikan dari mana pasokan ikan berasal. Sebagai upaya untuk memperkecil konflik diantara kedua negara maka dibutuhkan koordinasi dan saling menghargai kedaulatan negara, terutama tentang eksplora dan eksploitasi sumberdaya perikanan. 2.7.3 Dampak Sosial Kegiatan IUU Fishing di Perairan Indonesia, menjadi perhatian dan komitmen Pemerintah untuk mengatasinya. Bagi Indonesia dan negara - negara di kawasan Asia Tenggara, sektor perikanan dan kehutanan menjadi sumber utama bagi ketahanan pangan di Kawasan tersebut. Eksploitasi secara besar-besaran dan drastis sebagai upaya utama perbaikan ekonomi negara dan kesejahteraan penduduk menjadi alasan dan penyebab utama berkurangnya secara drastis sumberdaya perikanan. Dampak sosial muncul dengan rawannya terjadi konflik / sengketa diantara para nelayan tradisional antar negara dan pemilik kapal pukat / trawl. Persoalan tersebut akan menyebabkan timbulnya permasalahan dalam hubungan diantara kedua negara. Terutama Indonesia – Malaysia dan Indonesia – Australia.

17

Sebagai negara dengan sumberdaya hayati perikanan yang melimpah, maka pabrik pengolahan ikan menjadi sangat penting. Seiring dengan berkurangnya hasil tangkapan dan kegiatan IUU Fishing, maka secara tidak langsung akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup karyawan pengolahan pabrik ikan. Pasokan ikan yang berkurang, menyebabkan beberapa perusahaan tidak beroperasi lagi dan banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) karena tidak ada lagi pasokan bahan baku, seperti di Tual dan Bejina. Hasil penangkapan ikan oleh kapal - kapal asing atau kapal nelayan Indonesia tersebut biasanya langsung dibawa keluar Indonesia melalui trans - shipment, yang bertentangan dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 tahun 2006, yaitu mewajibkan hasil tangkapan ikan diturunkan dan diolah di darat. Saat ini banyak kapal ikan Indonesia yang lebih memilik menjual hasil tangkapannya di wilayah perairan Indonesia ke pihak luar (misalnya Perusahaan Pengolahan Ikan di Philipina dan Taiwan) dibanding menyuplai untuk kebutuhan domestik. 2.7.4 Dampak Lingkungan dan Ekologi Kebijakan Pemerintah terkait dengan penangkapan ikan harus memenuhi aturan dan kriteria adanya Surat Ijin Penangkapan Ikan (SIPI), penetapan zona penangkapan (fishing ground), jenis tangkapan ikan, jumlah tangkapan yang sesuai dengan jenis kapal dan wilayah tangkap (total allowable catch), dan alat tangkapnya. Aturan ini pada dasarnya mempunyai makna filosofis dan yuridis, agar sumberdaya hayati perikanan dapat terjaga kelestariannya dan berkelanjutan. Motif ekonomi selalu menjadi alasan bagi kapal - kapal penangkap ikan untuk melakukan kegiatan dalam kategori IUU Fishing. Dampak yang muncul adalah kejahatan pencurian ikan yang berakibat pada rusaknya sumberdaya kelautan dan perikanan. Alat tangkap yang digunakan dalam bentuk bahan beracun yang akan merusak terumbu karang (alat tangkap ikan yang tidak ramah lingkungan), sebagai tempat berpijahnya ikan, akan berakibat makin sedikitnya populasi ikan dalam suatu perairan tertentu, atau menangkap menggunakan alat tangkap ikan skala besar (seperti trawl dan Pukat harimau) yang tidak sesuai dengan ketentuan dan keadaan laut Indonesia secara semena-mena dan eksploitatif, sehingga menipisnya sumberdaya ikan , hal ini akan mengganggu keberlanjutan perikanan.

18

Upaya yang dilakukan oleh FAO dengan adanya aturan tentang Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) sangat membantu negara - negara yang mengalami permasalahan IUU Fishing. Implementasi terhadap CCRF dalam RPOA dan IPOA diharapkan dapat mengurangi kegiatan IUU Fishing di Indonesia. Dampak kegiatan IUU Fishing bagi Indonesia sebagai berikut: a. Ancaman terhadap kelestarian sumber daya ikan; b. Terdesaknya mata pencaharian masyarakat nelayan lokal dengan armada penangkapan skala kecil dan alat tangkap sederhana, karena kalah bersaing dengan pelaku Illegal Fishing; c. Hilangnya sebagian produksi ikan dan peluang perolehan devisa negara; d. Berkurangnya Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP); e. Terhambatnya upaya Indonesia untuk memperkuat industry pengolahan ikan di dalam negeri, termasuk meningkatkan daya saing; f. Merusak citra Indonesia pada kancah internasional, karena kapal asing yang menggunakan bendera Indonesia maupun kapal milik warga negara Indonesia melakukan kegiatan penangkapan ikan secara illegal yang bertentangan dengan konvensi dan kesepakatan internasional. Hal ini juga dapat berdampak ancaman embargo terhadap hasil perikanan Indonesia yang dipasarkan di luar negeri.

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 1. Dalam Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 4/PERMEN-KP/2015 Tentang Larangan Penangkapan Ikan Di Wilayah Pengelolaan 19

Perikanan Negara Republik Indonesia 714 Terdapat 4 Pasal Yang Mengatur Tentang Larangan Penangkapan Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 714, salah satu contohnya yaitu larangan melakukan penangkapan ikan pada sebagian Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 714 yang merupakan daerah pemijahan (breeding ground) dan daerah bertelur (spawning ground). 2. Illegal Fishing adalah penangkapan ikan tanpa izin dari Wilayah Perikanan Tangkap Republik Indonesia (WPTRI) mulai dari laut teritorial hingga ZEE Indonesia 3. Unreported Fishing yaitu kegiatan penangkapan ikan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya. 4. Unregulated Fishing yaitu kegiatan penangkapan di perairan wilayah atau ZEE suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut. 5. Penyebab Illegal Fishing antara lain: a. Meningkat dan tingginya permintaan ikan (DN/LN). b. Berkurang/Habisnya Sumber Daya Ikan (SDI) di negara lain. c. Lemahnya armada perikanan nasional. d. Izin/dokumen pendukung dikeluarkan lebih dari satu instansi. 6. Penyebab Unreported Fishing antara lain sebagai berikut: a. Lemahnya peraturan perundang – undangan. b. Sistem pengumpulan data hasil tangkapan/angkutan ikan yang belum sempurna; c. Belum ada kesadaran pengusaha terhadap pentingnya menyampaikan data hasil tangkapan / angkutan ikan. 7. Penyebab Unregulated Fishing antara lain sebagai berikut: a. Potensi sumber daya ikan di perairan Indonesia masih dianggap memadai dan belum membahayakan. b. Sibuk mengatur yang sudah ada karena banyaknya masalah. c. Orientasi jangka pendek. 3.2 Saran Peraturan Menteri Kelautan Perikanan No 4 Tahun 2015 mungkin sudah terlaksana namun belum maksimal. Mengingat banyaknya masyarakat nelayan yang hidup di daerah yang cukup terpencil, sehingga persebaran informasi belum maksimal diterima oleh nelayan setempat. Ditambah lagi adanya bberapa nelayan yang bersifat seenaknya sendiri dan tidak memikirkan kepentingan orang lain dan kedepannya.

20

Dengan adanya masalah tersebut diharapkan Pemerintah gencar memantau pelaksanaan peraturan tersebut sehingga hasilnya memuaskan. Diharapkan semua pihak berperan aktif dalam pelaksanaan peraturan ini sehingga timbulnya sinergi antara pemerintah dan masyarakat. Pelaksanaan pengawasan bisa berupa sosialisasi terlebih dahulu kepada semua pihak yang dimungkinkan terkait dengan peraturan ini, pelaksanaan peraturan dan selanjutnya adalah pengawasan. Dengan adanya sinergi tersebut, maksud dan tujuan dalam peraturan menteri ini bukanlah hal mustahil lagi.

21

DAFTAR PUSTAKA Afrianto.

2012.

http://www.perumperindo.co.id/publikasi/artikel/171-potensi-

indonesia-sebagai-negara-maritim. Diakses 25 Mei 2017 Pukul 20.30 WIB Amir, Usmawadi. 2013. Penegakan Hukum IUU Fishing Menurut Unclos 1982 (Studi Kasus: Volga Case). Jurnal Opinio Juris. Volume 12 : 68 – 92. Ariadno, Melda Kamil. 2007. Hukum Internasional Hukum Yang Hidup. Jakarta. Media Jakarta. Hal. 129 Dahuri, R. dkk. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Echols, John M and Hassan Shadily. 2000. Kamus Inggris - Indonesia. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama FAO - IUU. 2005. Fishing Dalam Code of Conduct For Responsible Fisheries. Hardiana,

Indrita.,

dan

T.

Benedicta.

2011.

http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2014/10/22/308561/potensi-indonesiasebagai-negara-maritim. Diakses 29 Mei 2017 Pukul 20.37 WIB Kaye,

Melati.

2015.

http://www.mongabay.co.id/2015/05/12/miris-ada-aturan-

penangkapan-lobster-nelayan-beralih-menangkap-pari/. Diakses 25 Mei 2017 Pukul 20.03 WIB Kohar, Junaidi. 2011. http://koran.bisnis.com/read/20150127/245/395451/editorialbisnis-kelestarian-laut-vs-kepentingan-ekspor. Diakses 25 Mei 2017 Pukul 21.42 WIB Kominfo Indonesia, Data FAO Pada Tahun 2001, Diakses Pada 9 April 2017 jam 15.53 WIB. Laurance Blakely., The End of The Viarsa Saga and The Legality of Australia’s Vessel Forfeiture Penalty for Illegal Fishing in Its Exclusive Economic Zone. Hal. 680. Lewerissa, Yanti Amelia. 2010. Praktek Illegal Fishing Di Perairan Maluku Sebagai Bentuk Kejahatan Ekonomi. Jurnal Sasi. 16 (3) : 61 – 68. Penanggulangannya Melalui Pengadilan Perikanan. Jurnal Keadilan. 4 (2). Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 4/Permen KP/2015 Tentang Larangan Penangkapan Ikan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia 714 Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita: Jakarta

22

Sihotang, Tommy. 2005. Masalah Illegal, Unregulated, Unreported Fishing Dan Soen'an H Poernomo. 2014. Kepala Pusat Data Statistik Dan Informasi Departemen Kelautan Dan Perikanan (DKP), Jakarta. Sunyowati, D. 2013. Port State Measures dalam Upaya Pencegahan terhadap IUU Fishing di Indonesia, Peran Hukum Dalam Pembangunan di Indonesia. Liber Amicorum Prof. Dr. Etty R. Agoes, SH., LLM, Remaja Rosdakarya, Bandung, September, 2013, hal. 438 Wardhaningsih, Ida Kusumah. 2014. KKP, Kerepotan Berantas Illegal Fishing, Politik Indonesia - Jaringan Informasi Politisi.

23

Related Documents


More Documents from "Maylia Hazar"