Makalah Syariah Ibadah Muamalah

  • Uploaded by: Andi Lala
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Syariah Ibadah Muamalah as PDF for free.

More details

  • Words: 5,437
  • Pages: 18
Loading documents preview...
BAB I PENDAHULUAN

Kehidupan manusia di dunia merupakan anugerah dari Allah SWT. Dengan segala pemberian-Nya manusia dapat mengecap segala kenikmatan yang bisa dirasakan oleh dirinya. Tapi dengan anugerah tersebut kadangkala manusia lupa akan dzat Allah SWT yang telah memberikannya. Untuk hal tersebut manusia harus mendapatkan suatu bimbingan sehingga di dalam kehidupannya dapat berbuat sesuai dengan bimbingan Allah SWT. Hidup yang dibimbing syariah akan melahirkan kesadaran untuk berprilaku yang sesuai dengan tuntutan dan tuntunan Allah dan Rasulnya yang tergambar dalam hukum Allah yang Normatif dan Deskriptif (Quraniyah dan Kauniyah). Sebagian dari syariat terdapat aturan tentang ibadah, baik ibadah khusus maupun ibadah umum. Sumber syariat adalah Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan hal-hal yang belum diatur secara pasti di dalam kedua sumber tersebut digunakan ra’yu (Ijtihad). Syariat dapat dilaksanakan apabila pada diri seseorang telah tertanam Aqidah atau keimanan. Semoga dengan bimbingan syariah hidup kita akan selamat dunia dan akhirat. B.Rumusan Masalah A. Apakah yang dimaksud dengan Syariah B. Apakah yang dimaksud dengan ibadah C. Apakah yang dimaksud dengan Muamalah C.Tujuan 1.Tujuan umum Secara umum pembuatan makalah ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami Hukum Islam tentang Muamalah 2.Tujuan khusus Tujuan khusus pembuatan makalah ini yaitu untuk mengikuti prosedur pengajaran dalam mata pelajaran Agama Islam . D.Manfaat Menambah pengetahuan Hukum Islam tentang Syariah,Muamalah dan Ibadah.

BAB II PEMBAHASAN

A. Syariah Syari’ah adalah sebutan terhadap pokok ajaran Allah dan Rasulnya yang merupakan jalan atau pedoman hidup manusia dalam melakukan hubungan vertical kepada Pencipta, Allah SWT, dan juga kepada sesame manusia. Ada dua pendekatan dalam mendefinisikan Syari’ah, yaitu antara lain: Dari segi tujuan, Syari’ah memiliki pengertian ajaran yang menjaga kehormatan manusia sebagai makhluk termulia dengan memelihara atau menjamin lima hal penting, yaitu: a) b) c) d) e)

Menjamin kebebasan beragama (Berketuhanan Yang Maha Esa) Menjamin kehiupan yang layak (memelihara jiwa) Menjamin kelangsungan hidup keluarga (menjaga keturunan) Menjamin kebebasan berpikir (memelihara akal) Menjamin kehidupan dengan tersedianya lapangan kerja yang pantas (memelihara harta) Lima hal pemeliharaan itu akan menjadi ukuran dari lima hukum Islam, seperti wajib, sunnat, haram, makruh, dan mubah. Ditinjau dari segi klasifikasi. Untuk memahami hal ini, ada baiknya terlebih dahulu kita mengetahui arti dari Ibadah dan Muamalah itu sendiri. Ibadah. Berikut di bawah ini adalah pengertian dari Ibadah, menurut Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas. B. Perbedaan Syari’ah dan Fiqih Syari'ah memiliki pengertian yang amat luas. Tetapi dalam konteks hukum Islam, makna syari'ah adalah aturan yang bersumber dari nash yang qat'i sedangkan fiqih adalah aturan hukum Islam yang bersumber dari nash yang zanni[3]. Penjelasan singkat ini membawa kita harus memahami apa yang disebut qat'i dan apa pula yang disebut zanni.

C. Ruang Lingkup Syariah

Ruang lingkup syariah lain mencakup peraturan-peraturan sebagai berikut : 1. Ibadah, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung dengan Allah SWT (ritual), yang terdiri dari : a. Rukun Islam : mengucapkan syahadat, mengerjakan shalat, zakat, puasa, dan haji. b. Ibadah lainnya yang berhubungan dengan rumun Islam. 1. Badani (bersifat fisik) : bersuci meliputi wudlu, mandi, tayamum, pengaturan menghilangkan najis, peraturan air, istinja, adzan, qomat, I’tikaf, do’a, sholawat, umroh, tasbih, istighfar, khitan, pengurusan mayit, dan lain-lain. 2. Mali (bersifat harta) : qurban, aqiqah, alhadyu, sidqah, wakaf, fidyah, hibbah, dan lain-lain. 2. Muamalah, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan yang lainnya dalam hal tukar-menukar harta (jual beli dan yang searti), diantaranya : dagang, pinjam-meminjam, sewa-menyewa, kerja sama dagang, simpanan, penemuan, pengupahan, rampasan perang, utang-piutang, pungutan, warisan, wasiat, nafkah, titipan, jizah, pesanan, dan lain-lain. 3. Munakahat, yaitu peraturan yang mengatur hubungan seseorang dengan orang lain dalam hubungan berkeluarga (nikah, dan yang berhubungan dengannya), diantaranya : perkawinan, perceraian, pengaturan nafkah, penyusunan, memelihara anak, pergaulan suami istri, mas kawin, berkabung dari suami yang wafat, meminang, khulu’, li’am dzilar, ilam walimah, wasiyat, dan lain-lain. 4. Jinayat, yaitu peraturan yang menyangkut pidana, diantaranya : qishsash, diyat, kifarat, pembunuhan, zinah, minuman keras, murtad, khianat dalam perjuangan, kesaksian dan lain-lain. 5. Siyasa, yaitu yang menyangkut masalah-masalah kemasyarakatan (politik), diantaranya : ukhuwa (persaudaraan) musyawarah (persamaan), ‘adalah (keadilan), ta’awun (tolong menolong), tasamu (toleransi), takafulul ijtimah (tanggung jawab sosial), zi’amah (kepemimpinan) pemerintahan dan lain-lain. 6. Akhlak, yaitu yang mengatur sikap hidup pribadi, diantaranya : syukur, sabar, tawadlu, (rendah hati), pemaaf, tawakal, istiqomah (konsekwen), syaja’ah (berani), birrul walidain (berbuat baik pada ayah ibu), dan lain-lain. 7. Peraturan-peraturan lainnya seperti : makanan, minuman, sembelihan, berburu, nazar, pemberantasan kemiskinan, pemeliharaan anak yatim, mesjid, da’wah, perang, dan lain-lain.

D. Sumber-Sumber Syariah 1. Al-Qur’an, kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, dan merupakan Undang-Undang yang sebagian besar berisi hukum-hukum pokok. 2. Al-Hadist (As-Sunnah), sumber hukum kedua yang memberikan penjelasan dan rincian terhadap hukum-hukum Al-Qur’an yang bersifat umum. 3. Ra’yu (Ijtihad), upaya para ahli mengkaji Al-Qur’an dan As-Sunnah untuk menetapkan hukum yang belum ditetapkan secara pasti dalam Al-Qur’an dan AsSunnah. Tujuan dan Fungsi Mempelajari Syari’ah Tujuan utama yang hendak dicapai dari mempelajari syari’ah adalah untuk mengetahui hukum syara’ (syariah) berkaitan dengan perbuatan manusia yang mukallaf (yang dibebani hukum) sehingga akan diperoleh ketentuan apakah suatu perbuatan itu dikehendaki, dibolehkan, atau dilarang, atau bagaimana suatu perbuatan itu dianggap sah atau tidak [4]. Setelah memahami tentang hukum syariah diharapkan nantinya umat Islam akan mengamalkan syariah Islam dalam kehidupan sehari-harinya dengan baik sehingga memperoleh kesejahteraan, kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat kelak. Tujuan Syari’ah (muqhoshidus syar’i) Tujuan syariah erat kaitannya dengan tujuan agama Islam itu sendiri yang ingin mewujudkan kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Secara khusus, setidaknya ada lima tujuan dari syariah, yaitu sebagai berikut: 1.

Memelihara agama (hifzhud din)

Salah satu bentuk tanda syukur yang harus kita lakukan adalah berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi muslim sejati dengan mamahami dan mengamalkan syariah Islam. Dalam konteks memelihara agama, para Rasul diutus oleh Allah swt dan kita sekarang berkewajiban melanjutkan tugas Rasul itu dengan cara mengamalkan syariah Islam, apapun kendala dan tantangan yang akan kita hadapi 2.

Memelihara jiwa (hifzhun nafsi)

Memperoleh kesempatan hidup merupakan karunia yang besar bagi kita, karenanya kesempatan yang amat berharga ini harus kita gunakan untuk selalu mengabdi kepada Allah swt. Dalam konteks inilah, hak hidup seseorang menjadi hak yang paling asasi sehinga harus dijaga dan dipelihara. Disinilah sebabnya mengapa Islam amat melarang kita untuk menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan yang bisa dibenarkan sehingga biloa ini dilakukan dosanya amat besar seperti dosa membunuh semua manusia.

3.

Memelihara akal (hifzhul aqli)

Memiliki akal yang sehat dan cerdas merupakan sesuatu yang amat penting, karena dari akal yang sehat itulah akan lahir pemikiran yang cemerlang dan manusia bisa bersikap dan berprilaku yang baik. Karena itu akal harus dipelihara dan jangan dirusak dengan hal-hal yang memabukkan hingga hilang daya pikirnya serta dengan hal-hal yang tidak rasional, semua ini menjadi perkara yang menjauhkan kita dari keberuntungan di dunia dan akhirat. 4.

Memelihara kehormatan (hifzhud ardh)

Manusia dicipta oleh Allah swt sebagai makhluk yang mulia dan terhormat, karenanya syariat Islam amat menekankan kepada manusia untuk menjaga kehormatannya agar tidak jatuh dan amat rendah melebihi rendahnya martabat binatang. Salah satu yang membuat martabat manusia bisa amat rendah adalah dalam kaitan hubungan lelaki dan wanita, karenanya Islam mensyariatkanlah kepada manusia untuk menikah agar hubungan seksual yang dilakukannya membuatnya menjadi mulia, bukan malah menjadi hina. 5.

Memelihara harta (hifzhul mal)

Setiap orang pasti memiliki banyak kebutuhan mulai dari makan, minum, berpakaian, bertempat tinggal, pengembangan diri, kendaraan dan sebagainya. Berbagai kebutuhan itu harus dapat dipenuhi dengan harta yang dimiliki, karenanya kebutuhan terhadap harta ada pada setiap orang sehingga mencarinya dengan cara yang halal menjadi suatu keharusan. Sesudah harta diperoleh, maka menjadi hak seseorang untuk memilikinya sehingga syariat Islam menekankan pemeliharaan terhadap harta dan amat tidak dibenarkan bagi orang lain untuk mencurinya. Pemeliharaan terhadap harta juga harus ditunjukkan dalam bentuk membelanjakan atau menggunakannya untuk segala kebaikan, sebab bila tidak hal itu termasuk dalam kategori tabzir atau boros, yakni menggunakan harta untuk sesuatu yang tidak benar menurut Allah SWT dan Rasul-Nya, karena pemborosan merupakan kebiasaan syaitan yang sangat merugikan manusia, harta akan cepat habis sementara kebiasaan berlebihan menjadi sangat sulit untuk ditinggalkan meskipun dia tidak memiliki harta yang cukup, karenanya sikap ini harus dijauhi. Dasar-Dasar Penetapan Syari’ah Islam Terdapat empat hal yang menjadi dasar penetapan hukum syariah, yaitu : 1.

Tidak Memberatkan dan Tidak Banyaknya Beban Dalam menetapkan syariah, selalu diusahakan aturan-aturan tersebut tidak memberatkan manusia dalam menjalankannya dan mudah untuk dilaksanakan. Contohnya adalah perintah wajib berpuasa. Allah hanya mewajibkan kita berpuasa tiga puluh hari dalam setahun karena apabila lebih dari itu pasti akan memberatkan. Selain itu bagi mereka yang tidak sanggup berpuasa karena suatu hal seperti sakit atau bepergian jauh dapat membatalkan puasanya dan

menggantinya di hari lain. Contoh lainnya adalah bagi orang yang tidak sanggup shalat dengan berdiri diperbolehkan shalat dengan duduk. Ini merupakan bukti bahwa syariah tidak semakin memberatkan umat Muslim. 2.

Berangsur-angsur dalam Penentuan Hukum Tiap masyarakat pasti memiliki adat istiadat yang berlaku di daerahnya, baik yang bersifat positif maupun negatif. Pada awal mula turunnya Islam masyarakat Arab juga memiliki berbagai kebiasaan yang sukar dihilangkan, apabila dihilangkan sekaligus tentu akan mengalami banyak kendala. Karena faktor kebiasaan yang sudah berlangsung lama dan sulit diubah tersebut Al-Quran tidak diturunkan sekaligus, melainkan ayat demi ayat dan surat demi surat, terkadang ayat turun sesuai peristiwa yang terjadi saat itu. Cara seperti ini dilakukan agar mereka dapat bersiap-siap meninggalkan ketentuan lama dan menerima hukum baru. Contohnya adalah kebiasaan minum minuman keras dan berjudi yang banyak dilakukan oleh masyarakat Arab pada masa itu. Kemudian turunlah ayat untuk memperingatkan keburukan dari minuman keras dan judi sebagai berikut: Artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfa'atnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.” Kemudian setelah mereka bisa menerima pertimbangan untung rugi minuman keras dan judi, turun lagi firman Allah untuk melarang minuman keras dan judi dalam QS Al Maidah ayat 90: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah], adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” 3.

Sejalan dengan Kebaikan Orang Banyak Ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam diusahakan agar sesuai dengan kepentingan-kepentingan yang baik bagi pemeluknya. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pada suatu waktu aturan-aturan hukum yang ada dibatalkan apabila keadaan menghendaki. Selama kepentingan orang banyak menjadi pedoman dalam pembatalan hukum tersebut maka boleh jadi hukum yang baru menjadi lebih berat atau lebih ringan dari sebelumnya. Namun pembatalan hukum ini hanya dilakukan pada masa Rasul. Sesudah Rasul wafat dan ketentuan hukum Islam sudah lengkap tidak ada lagi pembatalan hukum. Contoh untuk kasus ini adalah ketika ketika qiblat shalat masih mengarah pada Baitul Maqdis di Palestina kemudian dibatalkan dengan mengarah pada Ka’bah di Mekkah, seperti dalam firman Allah QS. Al Baqarah ayat 144 : Artinya: “Kami kadang-kadang melihat pulang baliknya muka engkau ke arah langit. Maka benar-benar kami akan memberikan kepadamu suatu qiblat yang engkau sukai. Maka arahkan muka engkau ke arah Masjidil Haram.” 4.

Dasar Persamaan dan Keadilan

Bagi syariah Islam semua orang dipandang sama dengan tidak ada kelebihan di antara mereka satu sama lain. Semua berkedudukan sama di mata Allah SWT. Kedudukan yang sama tersebut diperintahkan Al-Quran dalam QS Al-Maidah ayat 8. Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”

B.Ibadah Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah: 1. Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya. 2.

Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

3.

Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah berfirman:

“Artinya : Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku. Aku tidak menghen-daki rizki sedikit pun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi makan kepada-Ku. Sesungguhnya Allah Dia-lah Maha Pemberi rizki Yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” [Adz-Dzaariyaat : 56-58]. Allah SWT. memberitahukan hikmah penciptaan jin dan manusia adalah agar mereka agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah SWT.dan Allah SWT. Maha Kaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan tetapi mereka yang membutukan-Nya. Karena ketergantungan mereka kepada Allah SWT. maka mereka menyembah-Nya sesuai aturan syari’at-Nya. Maka siapa yang menolak ibadah kepada Allah SWT. ia adalah sombong. Siapa yang menyembah-Nya tetapi dengan selain apa yang disyari’atkan maka ia adalah mubtadi (pelaku bid’ah). Dan siapa yang hanya menyembah-Nya dan dengan syari’at-Nya, maka dia adalah mukmin muwahhid (yang mengesakan Allah).

Ibadah itu terbagi menjadi ibadah hati, lisan dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati).

Pengertian dan Pembagian Ibadah dalam Islam Pengertian Ibadah Ibadah berasal dari kata ‘abd yang artinya abdi, hamba, budak, atau pelayan. Jadi ibadah berarti, pengabdian, penghambaan, pembudakan, ketaatan, atau merendahkan diri. Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Ibadah dapat juga diartikan sebagai peraturan-peraturan yang mengatur hubungan langsung (ritual) antara manusia dengan Allah Swt. Selain itu juga terdapat berbagai definisi ibadah lainnya, yaitu: (1) Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui tutunan atau contoh dari para Rasul-Nya. (2) Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Swt, yaitu rasa tunduk dan patuh yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi. Pembagian Ibadah Ada begitu banyak buku, artikel, dan karya yang membahas tentang pembagian ibadah. Yaitu: (1) Ibadah Hati Ibadah ini ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati) berupa rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut). (2) Ibadah Lisan dan Hati Ibadah ini adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati) berupa tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur. (3) Ibadah Badan (Fisik) dan Hati Ibadah ini adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati) berupa shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Ada juga yang membagi ibadah menjadi: [8] 1) Ibadah Mahdlah. Semua perbuatan ibadah yang pelaksanaannya diatur dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Al-Quran dan sunnah. Contoh, salat harus mengikuti petunjuk Rasulullah saw dan tidak dibenarkan untuk

menambah atau menguranginya, begitu juga puasa, haji dan yang lainnya. Ibadah mahdlah ini dilakukan hanya berhubungan dengan Allah saja (hubungan ke atas/ Hablum Minallah), dan bertujuan untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah Swt. Ibadah ini hanya dilaksanakan dengan jasmani dan rohani saja, karenanya disebut ‘ibadah badaniyah ruhiyah. 2) Ibadah Ghairu Mahdlah, yaitu ibadah yang tidak hanya sekedar menyangkut hubungan dengan Allah, tetapi juga menyangkut hubungan sesama makhluk (Hablum Minallah Wa Hablum Minannas), atau di samping hubungan ke atas, juga ada hubungan sesama makhluk. Hubungan sesama makhluk ini tidak hanya sebatas pada hubungan sesama manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan lingkungan alamnya (hewan dan tumbuhan). 3) Ibadah Dzil-Wajhain, yaitu ibadah yang memiliki dua sifat sekaligus, yaitu ibadah mahdlah dan ibadah ghairu mahdlah, seperti nikah. Syarat dan Rukun Ibadah dalam Islam Syarat Ibadah Dalam Islam Dalam melakukan ibadah tidak ada suatu bentuk ibadah yang disyari’atkan kecuali berdasarkan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Agar dapat diterima, ibadah disyaratkan harus benar. Dan ibadah itu tidak bisa dikatakan benar kecuali dengan adanya dua syarat: (1) Ikhlas karena Allah semata Syarat yang pertama merupakan konsekuensi dari syahadat laa ilaaha illallaah, karena ia mengharuskan ikhlas beribadah hanya kepada Allah dan jauh dari syirik kepada-Nya. Melakukan ibadah dengan ikhlas dan menjalankannya dengan sepenuh hati, bukan karena / untuk dilihat orang atau dipuji orang (2) Ittiba’, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Saw. Syarat kedua adalah konsekuensi dari syahadat Muhammad Rasulullah, karena ia menuntut wajib-nya taat kepada Rasul, mengikuti syari’atnya dan meninggal-kan bid’ah atau ibadah-ibadah yang diada-adakan. Rasulullah merupakan utusan-Nya yang menyampaikan ajaran-Nya. Maka kita wajib membenarkan dan mempercayai beritanya serta mentaati perintahnya. Rukun Ibadah Dalam Islam Rukun-rukun ibadah menurut manhaj (jalan) Ahlus Sunnah wal Jama’ah terdiri dari tiga hal. Yaitu: 1.

Cinta ( Al-Hubb )

Cinta adalah rukun ibadah yang terpenting, karena cinta adalah pokok ibadah. Arti cinta disini tidak hanya terbatas hanya pada hubungan kasih antara dua insan

semata, akan tetapi lebih luas dan dalam. Kecintaan yang paling tinggi dan mulia di dalam kehidupan kita ini adalah rasa kecintaan kita kepada Allah Swt. Dimana jika seorang umat mencintai Allah (tuhannya), maka dia akan melakukan dan menjalankan semua yang diperintahkan-Nya dan menjauhi semua yang dilarang oleh-Nya. 2.

Takut ( Al-Khouf )

Rukun ibadah berikutnya adalah Rasa Takut. Dimana dengan adanya rasa takut, seorang hamba (umat) akan termotivasi untuk mencari ilmu dan beribadah kepada Allah Swt agar bebas dari murka dan adzab-Nya. Selain itu, rasa takut inilah yang juga dapat mencegah keinginan seseorang untuk berbuat maksiat dan perbuatan buruk lainnya. Yang dimaksud Rasa Takut seorang muslim disini memang terdiri dari banyak hal. Namun yang utama ada dalam hati seorang muslim adalah rasa takut akan pedihnya sakaratul maut, rasa takut akan adzab kubur, rasa takut terhadap siksa neraka, rasa takut akan mati dalam keadaan yang buruk, rasa takut akan hilangnya iman dan lain sebagainya. 3.

Harap ( Ar-Roja’ )

Rukun Ibadah yang berikutnya adalah Harap. Yang dimaksud dari harap disini adalah (rasa) Harapan yang kuat atas rahmat dan balasan berupa pahala dari Allah Swt.

Sifat dan Ciri Ibadah dalam Islam Mustafa Ahmad al-Zarqa, seorang ahli ilmu fikih menyebutkan beberapa sifat yang menjadi ciri-ciri ‘ibadah yang benar adalah: 1. Bebas dari perantara. Dalam beribadah kepada Allah Swt, seorang muslim tidak memerlukan perantara, akan tetapi harus langsung kepada Allah. 2. Tidak terikat kepada tempat-tempat khusus. Secara umum ajaran Islam tidak mengharuskan penganutnya untuk melakukan ‘ibadah pada tempat-tempat khusus, kecuali ‘ibadah haji. Islam memandang setiap tempat cukup suci sebagai tempat ‘ibadah. 3. Tidak memberatkan dan tidak menyulitkan, sebab Allah Subhanahu wa ta’ala senantiasa menghendaki kemudahan bagi hamba-Nya dan tidak menghendaki kesulitan.

C. Muamalah Secara Etiomologi Muamalah berasal dari kata (‫ )العمل‬yang merupakan istilah yang digunakan untuk mengungkapkan semua perbuatan yang dikehendaki mukallaf. muamalah mengikuti pola (‫ ) ُمفَا َعلَة‬yang bermakna bergaul (‫)التَّ َعا ُمل‬.

Secara Terminologi Muamalah adalah istilah yang digunakan untuk permasalahan selain ibadah. Menurut fiqih, muamalah ialah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan. Yang termasuk dalam hal muamalah adalah jual beli, sewa menyewa, upah mengupah, pinjam meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat dan lain-lain. Ibadah wajib berpedoman pada sumber ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah, yaitu harus ada contoh (tatacara dan praktek) dari Nabi Muhammad SAW. Konsep ibadah ini berdasarkan kepada mamnu’ (dilarang atas haram). Ibadah ini antara lain meliputi shalat, zakat, puasa, dan haji. Sedangkan masalah mu’amalah (hubungan kita dengan sesame manusia dan lingkungan), masalah-masalah dunia, seperti makan dan minum, pendidikan, organisasi, dan ilmu pengetahuan dan teknologi, berlandaskan pada prinsip “boleh” (jaiz) selama tidak ada larangan yang tegas dari Allah dan Rasul-Nya. Berkaitan dengan hal di atas (mu’amalah), Nabi Muhammad SAW mengatakan: “Bila dalam urusan agama (aqidah dan ibadah) Anda contohlah saya. Tapi, dalam urusan dunia Anda, (teknis mu’amalah), Anda lebih tahu tentang dunia Anda.” Dalam ibadah, sangat penting untuk diketahui apakah ada suruhan atau contoh tatacara, atau aturan yang pernah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Apabila hal itu tidak ada, maka tindakan yang kita lakukan dalam ibadah itu akan jatuh kepada bid’ah, dan setiap perbuatan bid’ah adalah dhalalah (sesat). Sebaliknya dalam mu’amalah yang harus dan penting untuk diketahui adalah apakah ada larangan tegas dari Allah dan Rasul-Nya, karena apabila tidak ada, hal tersebut boleh saja dilakukan. Dalam hal ini, Dr. Kaelany juga menjelaskan adanya dua prinsip yang perlu kita perhatikan, yaitu: Pertama: Manusia dilarang “menciptakan agama, termasuk system ibadah dan tata caranya, karena masalah agama dan ibadah adalah hak mutlak Allah dan para Rasul-Nya yang ditugasi menyampaikan agama itu kepada masyarakat. Maka menciptakan agama dan ibadah adalah bid’ah. Sedang setiap bid’ah adalah sesat. Kedua: Adanya kebebasan dasar dalam menempuh hidup ini, yaitu hal-hal yang berkaitan dengan masalah mu’amalah, seperti pergaulan hidup dan kehidupan dalam masyarakat dan lingkungan, yang dikaruniakan Allah kepada umat manusia (Bani Adam) dengan batasan atau larangan tertentu yang harus dijaga. Sebaliknya melarang sesuatu yang tidak dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya adalah bid’ah. Dalam menjalankan keseharian, penting bagi kita untuk mengingat dua prinsip di atas. Ibadah tidak dapat dilakukan dengan sekehendak hati kita karena semua ketentuan dan aturan telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah, serta contoh dan tatacaranya telah diajarkan oleh Rasulullah SAW semasa hidupnya. Melakukan sesuatu dalam ibadah, yang tidak ada disebutkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah berarti melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan oleh Allah SWT, dan ini sungguh merupakan perbuatan yang sesat. Namun dalam beberapa hal, tentu ada hal yang harus diperhatikan sesuai dengan perkembangan zaman. Di sini lah implikasi dari mu’amaah itu sendiri. Selama tidak ada larangan secara tegas di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, hal yang

dipertimbangkan itu boleh dilakukan. Hal ini telah diterangkan oleh Rasul dalam sabdanya yang sudah ditulis di atas. Sebagai contoh adalah dalam kehidupan sehari-hari, pada zaman hidupnya Rasulullah, masyarakat yang mengadakan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain menggunakan binatang Unta sebagai kendaraan. Akan tetapi hal itu tidak mungkin sama dalam kehidupan zaman modern ini. Dan karenanya, menggunakan kendaraan bermotor diperbolehkan karena tidak ada larangan dari Allah dan Rasul-Nya (tidak tertera larangan yang tegas dalam Al-Qur’an dan Sunnah). Syariat Islam adalah ajaran islam yang membicarakanamal manusia baik sebagai makluk ciptaan Allah maupun hamba Allah. Terkait dengan susunan tertib Syari’at, Al Quran Surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkanAllah. Pembagian Mu’amalah Ada beberapa pembagian muamalah, diantaranya: 1. Muamalah Madiyah : muamalah yang mengkaji obyeknya ; benda yang halal, haram dan syubhat untuk diperjualbelikan, benda-benda yang memadaratkan dan benda yang mendatangkan kemaslahatan bagi manusia serta segi-segi yang lainnya. 2. Muamalah adabiyah : muamalah yang mengkaji subyeknya; ditinjau dari segi tukar menukar benda yang bersumber dari panca indra manusia yang unsur penegaknya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban misalnya keridhaan kedua belah pihak, ijab qabul, dusta, menipu dll.

Prinsip Muamalah Ada beberapa prinsip Muamalah, diantaranya: 1. Bolehnya segala bentuk usaha. 2. Haramnya segala kezaliman dengan memakan harta secara bathil, seperti : riba, ghasab, korupsi, monopoli, penimbunan , dll. 3. Jujur dan saling menasehati. 4. Asas manfaat yang diakui syara’ dalam setiap akad. 5. Tidak ada penipuan & manipulasi, MAGHRIB ( Maysir, Ghoror, dan Riba ). 6. Tidak melalaikan dan meninggalkan kewajiban atau bertentangan dengan manhaj Allah. 7. Asas akuntabilitas.

D. Macam – macam Ibadah dan Mu’amalah Persamaan pengertian muamalah dalam arti sempit dengan muamalah dalam arti luas ialah sama sama mengatur hubungan manusia dengan manusia dalam kaitan dengan pengaturan harta. Pembagian Muamalah Menurut Ibn Abidin, fiqh muamarah terbagi menjadi lima bagian, yaitu: a. Mu'awadlah Matiyah (Hukum Kebendaan), b. Munakahat (Hukum Perkawinan), c. Muhasanat (Hukum Acara), d. Amanat dan ‘Aryah (pinjaman), e. Tirkah (Harta Peninggalan).

Ibn Abidin adalah salah seorang yang mendefinisikan muamalah secara luas sehingga munakahat termasuk salah satu bagian fiqh muamalah, padahal munakahat diatur dalam disiplin ilmu tersendiri, yaitu fiqh munakahat.

E.

Perkara yang Dihadapi Umat Islam

Dengan demikian perkara yang dihadapi umat Islam dalam menjalani hidup beribadahnya kepada Allah itu dapat disederhanakan dalam dua kategori, yaitu apa yang disebut sebagai perkara yang termasuk dalam kategori Asas Syara’ dan perkara yang masuk dalam kategori Furu’ Syara’. 1. Asas Syara’ Yaitu perkara yang sudah ada dan jelas ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadits. Kedudukannya sebagaiPokok Syari’at Islam dimana Al Quran itu Asas Pertama Syara’ dan Al Hadits itu Asas Kedua Syara’. Sifatnya, pada dasarnya mengikat umat Islam seluruh dunia dimanapun berada, sejak kerasulan Nabi Muhammad saw hingga akhir zaman, kecuali dalam keadaan darurat. Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islamtidak mentaati syari’at Islam, ialah keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri secara lahir dan batin, dan keadaan tersebut tidak diduga sebelumnya atau tidak diinginkan sebelumnya, demikian pula dalam memanfaatkan keadaan tersebut tidak berlebihan. Jika keadaan darurat itu berakhir maka segera kembali kepada ketentuan syari’at yang berlaku. 2. Furu’ Syara’ Yaitu perkara yang tidak ada atau tidak jelas ketentuannya dalam Al Quran dan Al Hadist.Kedudukannya sebaga Cabang Syari’at Islam.Sifatnya pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia kecuali diterima Ulil

Amri setempat menerima sebagai peraturan / perundangan yang berlaku dalam wilayah kekuasaanya. Perkara atau masalah yang masuk dalam furu’ syara’ ini juga disebut sebagai perkara ijtihadiyah. F. Filsafat Ibadah dan Muamalah Pendahuluan Tujuan penciptaan manusia dan jin hanya tiada lain adalah untuk beribadah kepada Allah SWT. Penciptaan itu bukan sekedar main-main atau hal yang percuma. Di balik penciptaan itu, Allah SWT mempunyai rencana yang sungguh-sungguh. Setiap makhluk diberi kesempatan untuk berkembang maju ke arah suatu tujuan itu, yaitu keridhaan-Nya. Allah SWT adalah sumber dan pusat segala kekuasaan dan kesempurnaan. Kemajuan yang kita capai tergantung kepada cara kita mendapatkan diri sesuai dengan kehendak-Nya. Inilah sebaikbaik ibadah kita kepada-Nya. Gambaran tentang kemampuan syari'at Islam dalam menjawab segala persoalan modern dapat diketahui dengan mengemukakan beberapa prinsip syari'at Islam mengenai tatanan hidup secara vertikal (antara manusia dengan Tuhannya) dan secara horizontal (antara sesama manusia). kebanyakan ahli fiqh teah menetapkan kaidah bahwa hukum asal segala sesuatu dalam bidang material dan hubungan antara sesama manusia (mu'amalat) adalah boleh, kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu dilarang. Kaidah di atas berlawanan dengan kaidah hukum dalam bidang ibadah. Dalam bidang ibadah, syari'at Islam menetapkan sendiri garis-garisnya. Di sini dikemukakan nash yang tidak dapat ditafsirkan lain, sehingga terjaga dari kesimpangsiuran. Dalam bidang yang disebut terakhir ini terdapat kaidah bahwa ibadah tidak dapat dilakukan kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu telah diperintahkan oleh Allah SWT dan atau dicontohkan oleh Rasulullah. Sebagaimana yang dikatakan oleh imam al-Syathibi, ibadah memiliki maksud asli dan maksud sekunder, maksud asli adalah semata-mata menuju Allah SWT dengan tujuan tunduk, taat, mencintai dan menuju kepada Allah SWT dalam setiap kondisi, kemudian diikuti dengan bukti berupa beribadah untuk mendapatkan derajat di akhirat atau menjadi kekasih Allah SWT dan lain-lain. Sedangkan maksud sekunder dalam ibadah adalah seperti meluruskan diri dan mendapatkan keutamaan. Apabila makna-makna ibadah yang diberikan oleh masing-masing ahli ilmu diperhatikan baik, nyatalah bahwa takrif yang diberikan oleh suatu golongan berpaut untuk menyempurnakannya dengan takrif yang diberikan oleh golongan yang lain. Jelasnya, tidaklah dipandang seorang mukallaf telah beribadah (sempurna ibadahnya) kalau ia hanya mengerjakan ibadah-ibadah dalam pengertian fuqaha, atau ahli ushul saja. Di samping ia beribadah dengan ibadah yang dimaksudkan oleh ahli tauhid, ahli hadits dan ahli tafsir. Dan perlu pula ia beribadah dengan yang dimaksudkan oleh ahli akhlak, yaitu memperbaiki budi pekerti. Maka apabila pengertian-pengertian tersebut telah menyatu, barulah terdapat hakikat ibadah dan ruhnya : barulah rangka ibadahnya mempunyai motor yang menggerakkan. Al-Qur'an dan Al-Sunnah yang menjadi sumber dan pedoman bagi umat untuk beribadah mengandung ajaran-ajaran yang oleh Mahmud Syaltut dibagi kepada dua bagian, yaitu : ajaran tentang akidah dan ajaran tentang syari'ah, kemudian syari'ah itu sendiri terdiri atas ibadah dan mu'amalah.

Ajaran tentang akidah berkaitan dengan persoalan keimanan dan keyakinan seseorang terhadap eksistensi Allah SWT, para malaikat, Rasul, kitab suci yang diturunkan Allah SWT, tentang hari akhirat, dan lain sebagainya. Ajaran tentang akidah bersifat permanen, pasti dan tidak berubah disebabkan terjadinya perubahan sosial-kultural Ajaran tentang ibadah berkaitan dengan persoalanpersoalan pengabdian kepada Allah SWT dalam bentuk-bentuk yang khusus seperti shalat, puasa, haji, zakat dan sebagainya. Ajaran tentang ibadah ini bersifat permanen dan ditetapkan secara rinci baik oleh Al-Qur'an maupun oleh AlSunnah, sikap seorang Muslim dalam persoalan ibadah adalah melaksanakannya sesuai dengan petunjuk dalil yang ada dalam Al-Qur'an yang dijelaskan oleh Rasulullah SAW melalui sunahnya. Ajaran tentang mu'amalah berkaitan dengan persoalan-persoalan hubungan antara sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan masing-masing, sesuai dengan ajaran-ajaran dan prinsip-prinsip yang dikandung oleh Al-Qur'an dan Al-Sunnah, itulah sebabnya bahwa bidang muamalah tidak bisa dipisahkan sama sekali dengan nilai-nilai ketuhanan. Dengan demikian, akidah, ibadah, muamalah merupakan tiga rangkaian yang sama sekali tidak bisa dipisahkan. Al-Syatibi mencoba mengembangkan lebih lanjut prinsip-prinsip di atas, ia sebagaimana ahli fiqh lainnya, membedakan materi hukum Islam menjadi dua bagian, bagian pertama, materi hukum Islam yang menyangkut ibadah daan bagian kedua materi hukum Islam yang menyangkut muamalah (adat). Ia secara filosofis telah merumuskan kaidah sebagai berikut : "Prinsip dalam persoalan ibadat bagi mukallaf adalah ta'abbud tanpa perlu melihat kepada nilai atau hikmah, sedangkan prinsip dalam persoalan adat (muamalat) adalah melihat kepada nilai atau hikmah" Perlu segera ditambahkan, bahwa Al-Syatibi sendiri mengakui adanya beberapa bentuk muamalat yang mempunyai nilai ta'abbudi. Kelihatannya yang dimaksud dengan ta'abbudi di sini adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan dalil yang terperinci. Berdasarkan prinsip di atas dapat dipahami bahwa modernisasi, dalam arti meliputi segala macam bentuk muamalat, diizinkan oleh syari'at Islam, selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa syari'at Islam itu sendiri. Menyadari bahwa kehidupan dan kebutuhan manusia selalu berkembang dan berubah, syari'at dalam bidang muamalat, pada umumnya hanya mengatur dan menetapkan dasar-dasar hukum secara umum. Sedangkan perinciannya diserahkan kepada umat Islam, dimana pun mereka berada. Tentu prinsip dan jiwa syari'at Islam. Dapat dikatakan bahwa jiwa dan prinsip hukum Islam bersifat konstant, permanen dan stabil, tidak berubah sepanjang masa, betapa pun kemajuan peradaban manusia. Sementara itu peristiwa hukum, teknis, dan cabang-cabang mengalami perubahan, berkembang sejalan dengan perkembangan zaman. Dengan tetap teguhnya jiwa dan prinsip hukum, dibarengi oleh terbuka lebarnya perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan secara leluasa, dengan tetap dilandasi oleh norma hukum yang ketat dan kuat. Dengan adanya perubahan dan perkembangan masyarakat, cabang-cabang hukum Islam di bidang muamalat semakin bertambah materi hukumnya, semakin banyak perbedaannya dan semakin sempurna pembahasannya. Berbeda dengan bidang muamalat, hukum Islam dalam bidangibadah mahdah tidak terbuka kemungkinan adanya modernisasi, melainkan materinya harus berorientasi kepada

nash Al-Qur'an dan Hadits yang mengatur secara jelas tentang tata cara pelaksanaan ibadah tersebut. Namun demikian, modernisasi dalam bidang sarana dan prasarana ibadah mungkin untuk dilakukan.

BAB III KESIMPULAN

Syari’ah adalah sebutan terhadap pokok ajaran Allah dan Rasulnya yang merupakan jalan atau pedoman hidup manusia dalam melakukan hubungan vertical kepada Pencipta, Allah SWT, dan juga kepada sesama manusia. Syariah adalah hukum yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, sedangkan fiqih merupakan ilmu yang memperdalam tentang hukum syariah, yaitu tentang tata cara ibadah secara lebih detil. Karena itulah syariah dan fiqih memiliki hubungan yang sangat erat. Dalam menjalani ibadah haruslah dilandasi oleh perasaan ikhlas, cinta, takut, dan harap pada Allah semata dan sesuai tuntunan Rasullullah. Dengan begitu diharapkan kita dapat memperoleh kesejahteraan, kedamaian, ketentraman, dan kebahagiaan, baik di dunia maupun diakhirat kelak.

Muamalah adalah Hukum Islam yang berkaitan dengan hak dan harta yang muncul dari transaksi antara seseorang dengan orang lain , atau antara seseorang dengan badan hukum , atau antara badan hukum yang satu dengan badan hukum yang lainnya . Semoga Ibadah yang kita perbuat dapat merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.

Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin.

Syariah Islam memberikan tuntunan hidup khususnya pada umat Islam dan umumnya pada seluruh umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Muamalah dalam syariah Islam bersifat fleksibel tidak kaku. Dengan demikian Syariah Islam dapat terus menerus memberikan dasar spiritual bagi umat Islam dalam menyongsong setiap perubahan yang terjadi di masyarakat dalam semua aspek kehidupan. Syariah Islam dalam muamalah senantiasa mendorong penyebaran manfaat bagi

semua pihak, menghindari saling merugikan, mencegah perselisihan dan kesewenangan dari pihak yang kuat atas pihak-pihak yang lemah. Dengan dikembangkannya muamalah berdasarkan syariah Islam akan lahir masyarakat marhamah, yaitu masyarakat yang penuh rahmat.

DAFTAR PUSTAKA

- Prof. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Fakta Keagungan Syari'at Islam, Tintamas, Jakarta, 1992 - Harun Nasution "Dasar Pemikiran Pembaharuan dalam Islam", Pustaka Pajimas, Jakarta, 1985. - Prof. T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Kuliah Ibadah, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2000 - DR. H. Fathurrahman Djamil, MA, Filsafat Hukum Islam, Logos, Jakarta, 1999 - Yusuf al-Qardhawi, Fiqh Maqashid Syari'ah, Pustaka Kautsar, Jakarta, 2007 - DR. H. Nasruh Haroen, MA, Fiqh Mua'malah, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000 . www.2012/08/makalah-hukum-islam-tentang-muamalah.html Abu Ahmadi, N. S. (2008). Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Bumi Aksara. Hanafi, A. (1970). Pengantar dan Sejarah Hukum Islam . Jakarta: Bulan Bintang. Ibrahim, M. (1996). Pendidikan Agama Islam Untuk Mahasiswa . Jakarta: Gramedia.

________________________________________ [1] Ibrahim, Muslim. 1996. Pendidikan Agama Islam Untuk Mahasiswa. Hlm 15 [2] Abu Ahmadi. Noor Salimi. 2008. Dasar-Dasar Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Hlm 237 [3] Mukni’ah. 2011. Materi Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi Umum. Hal. 96-98 [4] Ibid. Hal. 98 [5] Ahmad Yani. 2011. Tujuan Syariat. www.nuansaislam.com [6] Ahmad Hanafi. 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Hlm 26-35 [7] http://abuafif.wordpress.com/2007/08/09/pengertian-ibadah-dalam-islam/ [8] http://dedykusnaedi.wordpress.com/2009/12/05/ibadah/ [9] http://abuafif.wordpress.com/2007/08/09/pengertian-ibadah-dalam-islam/

[10] http://muslim.or.id/aqidah/cinta-takut-harap-kepada-allah.html [11] http://dedykusnaedi.wordpress.com/2009/12/05/ibadah/

Related Documents


More Documents from "cunalfmont"