Makalah_mirror Therapy For Cva

  • Uploaded by: wahyu
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah_mirror Therapy For Cva as PDF for free.

More details

  • Words: 7,454
  • Pages: 39
Loading documents preview...
TUGAS KELOMPOK TERAPI MIRROR TERHADAP CVA

Di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kep. Stroke PJMK Dosen mata kuliah : Dosen Pengampu :

Oleh : Ns. M. WAHYU PURNOMO,S.Kep

1110016002

Ns. TRI DIANTI NUR W,S.Kep

1110016006

Ns. SULISTYORINI,S.Kep

1110016007

Ns. M. FATKHAN,S.Kep

1110016008

Ns. RAHMADANIAR., S.Kep

1110016017

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN UNIVERSITAS

NAHDLATUL 2017

ULAMA

SURABAYA

KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT, atas rahmat dan hidayah-Nya penyusun akhirnya dapat menyelesaikan makalah matakuliah Keperawatan stroke dengan tema “terapi mirror terhadap CVA”. Makalah ini disusun untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa khususnya dalam bidang kesehatan dalam memahami budaya kesehatan dan mendapatkan solusi atas permasalahan yang terjadi. Makalah ini berisi tentang terapi mirror terhadap CVA yang dapat di terapkan dalam dunia keperawatan. Makalah yang ringkas dan padat ini bersumber dari beberapa buku dan jurnal – jurnal terkait. Penyusunan yang maksimal serta baik, kami mengharap makalah ini dapat bemanfaat untuk mengembangkan praktik keperawatan nyata. Akhir kata, kritik dan saran sangat kami harapkan untuk penyusunan makalah yang lebih baik ke depannya.

Surabaya, 12 Mei 2017

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Stroke adalah kumpulan gejala klinis berupa gangguan dalam sirkulasi darah ke bagian otak yang menyebabkan gangguan fungsi baik lokal atau global yang terjadi secara mendadak, progresif dan cepat (WHO, 2010; Black & Hawks, 2009). Menurut data WHO (2010) menyebutkan setiap tahunnya terdapat 15 juta orang diseluruh dunia menderita stroke dimana 6 juta orang mengalami kematian dan 6 juta orang mengalami kecacatan permanen dan angka kematian tersebut akan terus meningkat dari 6 juta ditahun 2010 menjadi 8 juta ditahun 2013. Menurut American Heart Association (2010), stroke menyumbang sekitar satu dari setiap 18 kematian di Amerika Serikat. Pada tahun 2009 prevalensi stroke adalah 6,4 juta. Sekitar 795.000 orang mengalami stroke baru, 610.000 orang diantaranya mengalami serangan pertama dan 185.000 orang stroke serangan berulang dan pembiayaan untuk perawatan stroke tahun 2009 diperkirakan menghabiskan 68,9 miliar dolar Amerika untuk pembiayaan kesehatan dan rehabilitasi akibat stroke (AHA, 2010). Secara umum stroke dibagi dua jenis yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik. Kejadian stroke iskemik sekitar 85% dari seluruh kasus stroke (NSA, 2009; Lewis, 2007). Di Indonesia stroke merupakan penyebab kematian utama di Rumah Sakit Pemerintah, penyebab kematian ketiga dan menyebabkan timbulnya kecacatan utama di Rumah Sakit (pdpersi, 2010) Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi stroke di Indonesia ditemukan sebesar 7 per 1.000 penduduk, dan yang telah didiagnosis oleh tenaga kesehatan adalah 12,1 per 1.000 penduduk. Selain itu diperkirakan penyebab kematian utama di Rumah Sakit akibat stroke 15%, dengan tingkat kecacatan mencapai 65%. Pada pasien stroke, 70-80% mengalami hemiparesis (kelemahan otot pada salah satu sisi bagian tubuh) dengan 20 % dapat mengalami peningkatan fungsi motorik dan sekitar 50% mengalami gejala sisa berupa gangguan fungsi motorik / kelemahan otot pada anggota ekstrimitas bila tidak mendapatkan pilihan terapi yang baik dalam intervensi keperawatan maupun rehabilitasi pasca stroke (Akner, 2005). Hemiparesis yang tidak mendapatkan penatalaksanaan yang optimal 30 - 60% pasien akan mengalami kehilangan penuh pada fungsi ekstremitas dalam waktu 6 bulan pasca stroke (Stoykov & Corcos, 2009).

Intervensi untuk penyembuhan yang bisa dilakukan pada pasien stroke selain terapi medikasi atau obat-obatan yaitu dilakukan fisioterapi/latihan seperti; latihan beban, latihan keseimbangan, latihan resistansi, hydroteraphy, dan latihan rentang gerak/Range Of Motion (ROM). diantara latihan tersebut latihan ROM merupakan latihan yang sering dilakukan pada pasien stroke dalam proses rehabilitasi yang dilakukan baik aktif maupun pasif dan memungkinkan dilakukan di Rumah Sakit. Selain terapi rehabilitasi ROM yang sering dilakukan baik unilateral maupun bilateral, terdapat alternatif terapi lainnya yang bisa diterapkan dan dikombinasikan serta diaplikasikan pada pasien stroke untuk meningkatkan status fungsional sensori motorik dan merupakan intervensi yang bersifat non invasif, ekonomis yang langsung berhubungan dengan sistem motorik dengan melatih/menstimulus ipsilateral atau korteks sensori motorik kontralateral yang mengalami lesi yaitu yaitu terapi latihan rentang gerak dengan menggunakan media cermin (mirror therapy). Terapi ini mengandalkan interaksi persepsi visual-motorik untuk meningkatkan pergerakan anggota tubuh yang mengalami gangguan kelemahan otot pada salah satu bagian sisi tubuh / hemiparesis (Rizzolatti, et al. 2004). Latihan mirror therapy adalah bentuk rehabilitasi / latihan yang mengandalkan dan melatih pembayangan / imajinasi motorik pasien, dimana cermin akan memberikan stimulasi visual kepada otak ( saraf motorik serebral yaitu ipsilateral atau kontralateral untuk pergerakan anggota tubuh yang hemiparesis) melalui observasi dari pergerakan tubuh yang akan cenderung ditiru seperti cermin oleh bagian tubuh yang mengalami gangguan (Wang, et al .2013 ). Dalam makalah kami ini, kelompok akan membahas tentang terapi mirror terhadap CVA Infark yang berkembang di masyarakat.

B. RUMUSAN MASALAH Bagaimana perkembangan terapi mirror terhadap CVA Infark pada masyarakat?

C. TUJUAN Mengetahui perkembangan terapi mirror terhadap CVA Infark pada masyarakat

BAB 2 TINJAUAN TEORI

A. CEREBRO VASKULER ACCIDENT (CVA) 1.

DEFINISI Stroke adalah kumpulan gejala klinis berupa gangguan dalam sirkulasi

darah ke bagian otak yang menyebabkan gangguan fungsi baik lokal atau global yang terjadi secara mendadak, progresif dan cepat (WHO, 2010; Black & Hawks, 2009). CVA (Cerebro Vascular Accident) merupakan kelainan fungsi otak yang timbul mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran darah otak yang dan bisa terjadi pada siapa saja dan kapan saja dengan gejala-gejala berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabakan cacat berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara, proses berpikir, daya ingat dan bentuk-bentuk kecacatan lain hingga menyebabkan kematian (Muttaqin, 2008:234). CVA Infark adalah sindrom klinik yang awal timbulnya mendadak, progresif cepat, berupa defisit neurologi fokal atau global yang berlangsung 24 jam terjadi karena trombositosis dan emboli yang menyebabkan penyumbatan yang bisa terjadi di sepanjang jalur pembuluh darah arteri yang menuju ke otak. Darah ke otak disuplai oleh dua arteria karotis interna dan dua arteri vertebralis. Arteri-arteri ini merupakan cabang dari lengkung aorta jantung (arcus aorta). 2.

ETIOLOGI

Ada beberapa penyebab CVA infark (Muttaqin, 2008: 235) A.

Trombosis serebri Terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan

iskemi jaringan otak yang dapat menimbulkan edema dan kongesti disekitarnya. Trombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur.

Terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah. Trombosis serebri ini disebabkan karena adanya: -

Aterosklerostis: mengerasnya/berkurangnya kelenturan dan elastisitas dinding pembuluh darah

-

Hiperkoagulasi: darah yang bertambah kental yang akan menyebabkan viskositas/ hematokrit meningkat sehingga dapat melambatkan aliran darah cerebral

B.

Arteritis: radang pada arteri Emboli Dapat terjadi karena adanya penyumbatan pada pembuluhan darah otak oleh

bekuan darah, lemak, dan udara. Biasanya emboli berasal dari thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebri. Keadaan-keadaan yang dapat menimbulkan emboli: -

Penyakit jantung reumatik

-

Infark miokardium

-

Fibrilasi dan keadaan aritmia : dapat membentuk gumpalan-gumpalan kecil yang dapat menyebabkan emboli cerebri

-

3.

Endokarditis : menyebabkan gangguan pada endocardium.

FAKTOR RESIKO TERJADINYA STROKE

Ada beberapa faktor resiko CVA infark (Muttaqin, 2008: 236): 1.

Hipertensi.

2.

Penyakit kardiovaskuler-embolisme serebri berasal dari jantung: Penyakit arteri koronaria, gagal jantung kongestif, hipertrofi ventrikel kiri, abnormalitas irama (khususnya fibrilasi atrium), penyakit jantung kongestif.

3.

Kolesterol tinggi

4.

Obesitas

5.

Peningkatan hematokrit

6.

Diabetes Melitus

7.

Merokok

4.

KLASIFIKASI CVA

Berdasarkan patologi serangannya (Brasherz, 2008: 274) a.

Oklusi aterotrombotik pada arteri ekstra kranial (terutama pada bitur kasio karotis atau intrakranial)

b.

Kardioemboli

akibat

fibrilasi

atrial,

infark

miokard

terbaru

aneurismaventrikel, gagal jantung kongestif/ penhyakit vaskular c.

Lakunar akibat infark cerebral dalam pada arteri lentikulostrista

d.

Hemodinamik akibat penurunan perfusi cerebral global.

5. A. 1).

MANINFESTASI KLINIS Lobus Frontal Deficit Kognitif : kehilangan memori, rentang perhatian singkat, peningkatan distraktibilitas (mudah buyar), penilaian buruk, tidak mampu menghitung, memberi alasan atau berpikir abstrak.

2).

Deficit Motorik : hemiparese, hemiplegia, distria (kerusakan otot-otot bicara), disfagia (kerusakan otot-otot menelan).

3.)

Defici aktivitas mental dan psikologi antara lain : labilitas emosional, kehilangan kontrol diri dan hambatan soaial, penurunan toleransi terhadap stres, ketakutan, permusuhan frustasi, marah, kekacuan mental dan keputusasaan, menarik diri, isolasi, depresi.

B. a.

Lobus Parietal Dominan :

1) Defisit sensori antara lain defisit visual (jaras visual terpotong sebagian besar pada hemisfer serebri), hilangnya respon terhadap sensasi superfisial (sentuhan, nyeri, tekanan, panas dan dingin), hilangnya respon terhadap proprioresepsi (pengetahuan tentang posisi bagian tubuh). 2) Defisit bahasa/komunikasi -

Afasia ekspresif (kesulitan dalam mengubah suara menjadi pola-pola bicara yang dapat dipahami)

-

Afasia reseptif (kerusakan kelengkapan kata yang diucapkan)

-

Afasia global (tidak mampu berkomunikasi pada setiap tingkat)

-

Aleksia (ketidakmampuan untuk mengerti kata yang dituliskan)

-

Agrafasia (ketidakmampuan untuk mengekspresikan ide-ide dalam tulisan).

b.

Non Dominan Defisit

perseptual

(gangguan

dalam

merasakan

dengan

tepat

danmenginterpretasi diri/lingkungan) antara lain: -

Gangguan skem/maksud tubuh (amnesia atau menyangkal terhadap ekstremitas yang mengalami paralise)

-

Disorientasi (waktu, tempat dan orang)

-

Apraksia (kehilangan kemampuan untuk mengguanakan obyak-obyak dengan tepat)

-

Agnosia (ketidakmampuan untuk mengidentifikasi lingkungan melalui indra)

-

Kelainan dalam menemukan letak obyek dalam ruangan

-

Kerusakan memori untuk mengingat letak spasial obyek atau tempat

-

Disorientasi kanan kiri

C.

Lobus Occipital: deficit lapang penglihatan penurunan ketajaman penglihatan, diplobia(penglihatan ganda), buta.

D.

6.

Lobus Temporal : defisit pendengaran, gangguan keseimbangan tubuh.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Periksaan penunjang pada pasien CVA infark: 1. a.

Laboratorium : Pada pemeriksaan paket stroke: Viskositas darah pada apsien CVA ada peningkatan VD > 5,1 cp, Test Agresi Trombosit (TAT), Asam Arachidonic (AA), Platelet Activating Factor (PAF), fibrinogen (Muttaqin, 2008: 249-252)

b.

Analisis laboratorium standar mencakup urinalisis, HDL pasien CVA infark mengalami penurunan HDL dibawah nilai normal 60 mg/dl, Laju endap darah (LED) pada pasien CVA bertujuan mengukur kecepatan sel darah merah mengendap dalam tabung darah LED yang tinggi menunjukkan adanya radang. Namun LED tidak menunjukkan apakah itu radang jangka lama, misalnya artritis, panel metabolic dasar (Natrium (135-145 nMol/L), kalium (3,6- 5,0 mMol/l), klorida,) (Prince, dkk ,2005:1122)

2.

Pemeriksaan sinar X toraks: dapat mendeteksi pembesaran jantung (kardiomegali)

dan infiltrate paru yang berkaitan dengan gagal

jantung kongestif (Prince,dkk,2005:1122) 3.

Ultrasonografi (USG) karaois: evaluasi standard untuk mendeteksi gangguan aliran

darah karotis dan kemungkinan memmperbaiki kausa

(Prince,dkk ,2005:1122).

stroke

4.

Angiografi serebrum : membantu menentukan penyebab dari stroke secara Spesifik seperti lesi ulseratrif, stenosis, displosia fibraomuskular, fistula arteriovena, vaskulitis dan pembentukan thrombus di pembuluh besar (Prince, dkk ,2005:1122).

5.

Pemindaian

dengan

mengidentifikasi

Positron

seberapa

besar

Emission suatu

Tomography

daerah

di

otak

(PET): menerima

dan memetabolisme glukosa serta luas cedera (Prince, dkk ,2005:1122) 6.

Ekokardiogram

transesofagus

(TEE):

mendeteksi

sumber

kardioembolus potensial (Prince, dkk ,2005:1123). 7.

CT scan : pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia dan posisinya secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens fokal, kadang pemadatan terlihat di ventrikel atau menyebar ke permukaan otak (Muttaqin, 2008:140).

8.

MRI : menggunakan gelombang magnetik untuk memeriksa posisi dan besar / luasnya daerah infark (Muttaqin, 2008:140).

7.

KOMPLIKASI

Ada beberapa komplikasi CVA infark (Muttaqin, 2008: 253) 1.

Dalam hal imobilisasi: a.

Infeksi pernafasan (Pneumoni),

b.

Nyeri tekan pada dekubitus.

c. Konstipasi 2.

Dalam hal paralisis: a. Nyeri pada punggung,

b. 3.

Dislokasi sendi, deformitas

Dalam hal kerusakan otak: a. Epilepsy b.

sakit kepala

4.

Hipoksia serebral

5.

Herniasi otak

6.

Kontraktur

B. TERAPI MIRROR Menurut Buccino (2006), menjelaskan bahwa tangan merupakan bagian yang sangat penting digunakan oleh manusia. Imitasi gerakan sering dianggap sebagai dasar dalam menuntaskan tugas kognitif. Terdapat evidence yang jelas bahwa imitasi merupakan bagian yang dikembangkan pada manusia. Imitasi gerakan menyiratkan observasi motorik, citra motorik dan aktualisasi pelaksanaan gerakan. Pada saat jeda 41 selama imitasi gerakan maka terjadi hubungan dengan pembentukan dan konsolidasi pola motorik baru. Terdapat juga evidence yang berkembang bahwa pengalaman dari stimulasi sehari-hari untuk berlatih intensif dapat menyebabkan neuron yang ada merubah konektifitas sinaptik dan membentuk organisasi reseptif yang baru. Yang telah diamati dalam sistem somatosensori dengan stimulasi saraf perifer, sehingga proses penyembuhan pada pasien stroke tergantung pada pendekatan yang dilakukan dan pengaruh lingkungan dan rangsangan pelatihan khusus yang dilakukan. Pilihan waktu intervensi juga penting, sehingga apakah waktu yang berbeda memberikan pengalaman tersendiri dalam proses pemulihan. Pada kondisi stroke, lingkungan homeostatik pada area infark terjadi proses trofik pertumbuhan pemancar reseptor dan hal ini dapat mendukung pembentukan sinapsis atau peningkatan arborization dendritik dan proses ini berperan dalam proses awal peningkatan kemampuan fungsional secara proporsional. Masih menurut Buccino (2006), juga menjelaskan bahwa imitasi motorik berperan pada proses pembelajaran motorik dan gerakan tangan pada pasien pasca stroke. Imitasi motorik merupakan suatu fungsi kognitif yang kompleks termasuk didalamnya observasi gerakan, imajinasi gerakan, dan eksekusi gerakan. Secara individual, observasi gerakan dan imajinasi gerakan dapat meningkatkan rangsangan pada jalur kortikospinal dan pola ini berintegrasi dengan input sensorik yang akan disimpan sebagai pola motorik untuk menghasilkan gerakan yang diperlukan. Maka proses imajinasi gerakan merupakan hal yang penting dalam proses peningkatan kemampuan fungsional motorik pada pasien stroke dan untuk mengarahkan pada proses peningkatan kemampuan fungsional secara alamiah dan

berhubungan dengan 42 proses remediasi dan kompensasi tindakan pada pemulihannya. Karena dianggap lebih efisien dalam mencapai hasil secara fungsional. Menurut Iacoboni dan Mazziotta (2007), menjelaskan bahwa aktivasi neuron premotor selama pengamatan sederhana terhadap suatu tindakan adalah bagian fitur yang menarik dalam pemulihan fungsi motorik. Adanya gangguan motorik kronis dapat dilihat dalam sebagian besar pasien yang mengalami stroke. Secara umum observasi terhadap suatu gerakan menjadi suatu bentuk latihan yang digunakan sebagai dasar. Dalam sebuah penelitian dilakukan perbandingan antara dua kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Pada kelompok eksperimen dilakukan observasi terhadap gerakan dengan mengamati video sehari-hari terhadap aktifitas lengan tangan sedangkan pada kelompok kontrol tidak dilakukan. Hasilnya menunjukkan bahwa pada kelompok eksperimen terjadi perbaikan fungsi motorik yang signifikan. Pada kelompok kontrol tidak menunjukkan perubahan yang subtansial. Penelitian tersebut merupakan satu-satunya studi empiris yang pernah dilakukan tentang pengaruh observasi gerakan dalam suatu program peningkatan kemampuan fungsional. Tentang pelatihan MNS Iacoboni (2009), menjelaskan bahwa imitasi merupakan hal yang sudah melekat dan terjadi otomatis pada manusia, model psikologis dari imitasi mengasumsikan suatu yang tumpang tindih atau adanya link asosiasi yang kuat antara persepsi dan tindakan yang didukung oleh mirror neuron, sirkuit inti neuron dari imitasi terdiri dari area visual yang lebih tinggi (bagian posterior dari sulkus temporal superior) dan oleh frontoparietal MNS, empati diimplementasikan oleh simulasi dari keadaan mental orang lain, jaringan yang berskala besar untuk 43 empati terdiri dari MNS, insula dan sistem limbik, mirror neuron dipilih karena memberikan keuntungan adaptif intersubjektifitas.

Menurut Gallese (2009), menjelaskan bahwa mirror neurons merupakan neuron premotor yang dapat aktif apabila sebuah aksi tindakan dijalankan dan apabila mengobservasi apa yang dilakukan oleh orang lain. Neuron dengan sifat yang serupa juga ditemukan dalam sektor korteks parietal posterior. Seperti pada primata, motor neuron yang sama yang terjadi ketika ia menggenggam kacang juga diaktifkan ketika primata tersebut mengamati individu lain melakukan tindakan yang sama. Aksi pengamatan menyebabkan pada si pengamat mengaktifkan mekanisme saraf yang sama secara otomomatis yang dipicu oleh pelaksanaan tindakan tersebut. Yang baru dari temuan ini adalah fakta bahwa untuk pertama kalinya mekanisme saraf memungkinkan pemetaan langsung antara deskripsi visual dari aksi tindakan dan 44 pelaksanaannya yang telah diidentifikasi. Sistem pemetaan ini memberikan solusi yang ketat untuk masalah menerjemahkan hasil analisis visual dari gerakan yang diamati. MNS pada manusia secara langsung terlibat pada proses imitasi gerakan yang simpel, imitasi pembelajaran pada keterampilan yang kompleks, pada persepsi dari komunikasi tindakan, dan deteksi pada niat atau rencana tindakan. Arsitektur neurofunctional dari pelaksanaan

struktur tindakan sistem premotor dan tindakan persepsi, imitasi dan imajinasi dengan hubungan saraf efektor motorik dan atau daerah korteks sensori. Ketika suatu aksi dijalankan atau diimitasi, jalur kortikospinal diaktifkan, dan menyebabkan eksitasi otot dan gerakan berikutnya. Ketika suatu tindakan diamati dan dibayangkan, maka eksekusi yang sebenarnya sedang dihambat. Jaringan motorik kortikal diaktifkan meskipun tidak semua komponen, kemungkinan besar, tidak dengan intensitas yang sama tetapi tindakan tidak diproduksi, itu hanya sebuah simulasi. Menurut Heyes (2009), menerangkan bahwa secara empiris mirror neurons dan kontra mirror neurons berkontribusi pada fungsi sosial kognisi, termasuk pemahaman aksi, prediksi aksi, imitasi, pengolahan bahasa dan pembentukan mental. Tantangannya menemukan apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka melakukannya, sebagai ciri yang diperankan oleh mirror neurons di sistem pendukung sosialitas manusia yang kompleks. Mengenai gangguan pada MNS Cattaneo dan Rizzolatti (2009), menjelaskan bahwa sindrom atau disfungsi dari MNS secara klinis didasarkan pada gangguan perkembangan dari sistem saraf. Memang, disfungsi dari MNS dewasa ini dihipotesiskan pada gangguan spektrum autisme. Gangguan spektrum autisme adalah 45 yang paling mungkin karena merupakan gangguan polygenetic yang dinyatakan

sebagai

penurunan

arsitektur

materi

abu-abu

dan

koneksi

kortikokortikal intrahemisper. Secara klinis, beberapa defisit fungsional yang khas dengan gangguan spektrum autisme seperti defisit imitasi, empati emosional, dan kehendak berhubungan dengan orang lain, memiliki kedekatan yang jelas dengan fungsi MNS. Aspek lain yang relevan secara klinis dengan mirror system adalah rehabilitasi pada ektremitas atas pada pasien pasca stroke. Dewasa ini, beberapa pendekatan untuk pemulihan stroke telah dirancang dengan menggunakan teknik yang menginduksi plastisitas kortikal secara jangka panjang. Data plastisitas disebabkan oleh karena observasi gerakan atau timdakan menberikan dasar konseptual untuk aplikasi tindakan protokol observasi pada pemulihan stroke. Data

awal menunjukkan bahwa pendekatan ini mungkin menghasilkan hasil klinis yang signifikan. Dalam makalahnya Keyser dan Gazzola (2010), menjelaskan bahwa mirror neurons didefinisikan sebagai suatu properti yang mana ia akan aktif bergejolak sepanjang suatu eksekusi dan observasi terhadap suatu aksi yang spesifik. Meskipun dalam sepuluh tahun belakangan ini baru ada bukti dasar atas percobaan yang dilakukan pada monyet, sampai saat ini ia menjadi dasar (evidence) secara tidak langsung bagi manusia dan akhirnya memberikan bukti kritis elektrofisiologi secara langsung bahwa manusia memiliki “mirror neurons”. Penelitian tambahan menunjukkan bahwa MNS pada manusia melampaui korteks premotor ventral dan lobus parietal inferior yang secara tradisional terkait dengan sistem ini. Menariknya, penelitian lain juga melaporkan bukti bahwa adanya eksistensi keberadaan “anti” mirror neurons, yang mungkin akan membantu kita memahami bagaimana otak kita 46 dapat melakukan simulasi motorik tanpa menggerakkan tubuh kita, dan bagaimana kita bisa membedakan tindakan kita sendiri dari yang kita amati. Kesimpulannya, setelah periode dimana ada modus yang mengklaim bahwa sebenarnya tidak ada bukti mirror neurons pada manusia, membawa kita dua lompatan lebih lanjut dalam kita memahami sistem ini, kita sekarang tahu bahwa manusia memiliki mirror neurons, dan kita juga tahu bahwa mirror neurons tidak terbatas pada premotor dan korteks parietal inferior saja. Kita juga melihat bahwa neuron tertentu tampaknya memiliki properti “anti mirror”. Dalam kombinasi dengan mirror neurons, ia bisa membantu otak melakukan simulasi batin terhadap tindakan orang lainnya sementara pada saat yang sama memblokir output motorik terbuka secara selektif dan disambigu melakukan tindakan. Tentang pelatihan mirror neurons, seorang profesor fisiologi manusia, Rizzolatti (2011), menjelaskan bahwa mirror neurons seperti setiap kali kita melakukan tindakan dengan tujuan. Misalnya mengambil sebuah gelas untuk minum. Bahkan lebih luar biasa, ketika kita menonton orang lain melakukan tindakan yang sama, maka “neuron” kita akan menyala atau bergejolak, kita akan memiliki “salinan dari tindakan kita” dan hal ini memungkinkan anda untuk

memahami apa yang orang lain lakukan secara implisit, dimana otak kita mencerminkan prilaku mereka. Fungsi mirror neurons berbeda dengan neuron motorik, yang akan aktif setiap kali kita menggerakkan otot, terlepas dari tindakan yang dilakukan. Mirror neurons aktif bukan karena adanya gerakan, akan tetapi karena tujuan dari gerakan-gerakan secara keseluruhan. Namun masih banyak yang harus ditemukan tentang peran mirror neurons dalam memungkinkan manusia untuk memahami satu sama lain dan mirror 47 neurons dimungkinkan telah mendorong pembentukan bahasa manusia, karena ia memungkinkan dua orang berbagi pemahaman dari satu kegiatan. Sebagai contoh, kita masih akan tahu secara implisit apa yang orang lain lakukan ketika mereka minum air, bahkan jika kita tidak punya kata untuk menggambarkan prilaku mereka. Menemukan kata-kata sederhana bagi mereka merupakan langkah awal terhadap komunikasi verbal.

C.

PENERAPAN MIRROR THERAPY TERHADAP CVA INFARK

LITERATUR REVIEW N o

Sitasi

1.

Enirahmawati and , Dwi Rosella k, Yulisna mutia sari. 2015. Pengaruh latihan mirror neuron system terhadap peningkatan kemampuan fungsional anggota gerak atas pada pasien pasca stroke. Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.. Retrived from http://eprints.ums.a c.id/32736/

Metodologi

Deskriptif kualitatif Metodologi single case riset

Sampel

Variabel

Intervensi

10 orang populasi post stroke

V. Bebas : latihan mirror neuron system

Latihan selama 2x dalam seminggu selama satu bulan

Paparan di sajikan dalam bentuk diskripsi

Durasi 40 menit hingga 1 jam

Alat ukurnya : wolf motor fucntion test (WMFT)

Sampel 2 orang

V. Terikat : kemampuan fungsi anggota gerak atas

Analisa data

Hasil

Key words

Peningkatan sebesar 37,3% dan 32%

Stroke, kemampuan anggota gerak atas

2.

Heriyanto Hendri, Anastasia anna. 2015. Perbedaan kekuatan otot sebelum dan sesudah dilakukan latihan (mirror therapy) pada pasien stroke iskemik dengan hemiparesis di RSUP dr.Hasan Sadikin Bandung http://journal.respat i.ac.id/index.php/il mukeperawatan/arti cle/view/324/265

Desain quasy eksperiment, one group pre post test design Sampling : purposive sampling

Sample 24 responden

Vb : Pemberian terapi mirror Vi: Kekuatan otot

Latihan mirror terapi sebanyak 5x sehari selama 7 hari

Alat ukur : lembar observasi, skala kekuatan otot, dan skala visual imagery, lembar panduan untuk latihan serta media cermin Analisa data bivariat menggunakan uji Wilcoxon

Dibuktikan Dengan sebelum intervensi rerata kekuatan otot ekstremitas bagian atas adalah 2,12 (0,45) dan rerata Kekuatan otot ekstremitas bagian bawah adalah 2,12 (0,45). Setelah intervensi rerata kekuatan otot Ekstremitas bagian atas menjadi 3,83 (0,56) dan rerata kekuatan otot ekstremitas bagian bawah menjadi 4,00 (0,66). Dari hasil analisa bivariat diperoleh nilai z hitung untuk kekuatan ektremitas atas dan Bawah sebesar 4,396 dengan angka siGnifikan (p = 0,00). Berdasarkan hasil tersebut diketahui z hitung (4,369) > z tabel (1,96) dan angka signifikan (p) <0,05 , maka terdapat perbedaan yang bermakna pada Kekuatan otot ekstrimitas bagian atas dan ekstrimitas bagian bawah sebelum dan sesudah dilakukan Latihan kekuatan otot dengan media cermin (mirror therapy) (p = 0,00).

Kekuatan otot, terapi cermin (mirror terapi), stroke iskemik, hemiparase

3. Sengkey. Lidwina s, Paola Pandeiroth. 2015. Mirror Therapy In Stroke Rehabilitation. http://ejournal.unsra t.ac.id/index.php/bi omedik/article/view /5548/5077

This was a Quasi experimental Study With a Pretest and posttest control group design.

Sampel 12 pasien intervensi exercise terapy Dan 12 pasien Exercise therapy with mirror

Vb: Vi :

They completed a Protocol of 6 weeks of additional therapy (30 minutes a day, 5 days a week) with Random assignment to either mirror therapy Or an equivalent control therapy.

Analisa data : The lower limb motoric recovery Was assesed by using The brunnstrom stages before and after exercise (tested by wilcoxon Signed ranks).

Who Received 15 minutes exercise therapy Sessions 3 times a week for 4 weeks.

The mann-whitney u test for the brunnstrom stages Of these two groups Showed that the Mean rank of exercise group was 100 while of mirror therapy Group 15.0 with p <0.05. This indicated that The exercise therapy with mirror was better than the Exercise therapy alone Setiap pasien diajarkan Berbagai kemampuan fungsional anggota gerak atas sesuai dengan konsep panduan

Randomly, 12 Patients were Assigned FOR The exercise therapy and the Other 12 Patients For Exercise therapy with mirror

4

Meidian.a.c, sutjana. D.p, irfan. M. 2014. Pelatihan mirror neuron system sama dengan pelatihan Constraint induced movement therapy

Penelitian ini menggunakan metode penelitian Eksperimental dengan rancangan penelitian pre

Jumlah sampel kelompok pertama sebesar 13 pasien diberikan pelatihan

Penelitian dilakukan dalam periode waktu selama 2 bulan.

Mirror therapy is an alternative Therapeutic intervention That focuses on Moving the Un Affected Limb to convey Visual stimuli to the Brain through Observation of Those Movements In a Mirror. This observation May recruit the Premotor cortex To Motor rehabilitation Of The affected parts of the brain

Exercise therapy, mirror therapy, rehabilitation, stroke

Hasil penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan Kemampuan fungsional anggota gerak atas sebesar 21,7% pada kelompok pelatihan Mirror neuron system dan membuktikan adanya perbedaan yang signifikan (p<0,05) dan

Stroke, kemampuan fungsional anggota gerak atas, mirror neuron sistem, Constraint induced movement therapy,

dalam meningkatkan

test and post test control group design

mirror neuron System selama 3060 menit, sedangkan pada kelompok kedua sejumlah 13 pasien Diberikan pelatihan constraint induced movement therapy selama 3060 menit.

A systematic review was conducted. The search string was established based on the last systematic review about MT that dated from 2009: “upper extremity” OR “upper limb “AND “mirror

To carry out the present systematic review, the authors conducted a literature search between May and June 2015 using the Pubmed,

Kemampuan fungsional anggota gerak atas pasien stroke. Http://ojs.unud.ac.i d/index.php/sport/a rticle/view/8370/62 42

5

Cruzado-David Perez, Jose Antonio Merchan-Baeza, Manuel GonzalesSanchez,dkk.20 16.Systematic review of mirror therapy compared with

Operasionalnya dan pasien diminta melakukan pengulangan latihan mandiri di rumah Sesuai arahan. Tes pengukuran fungsional anggota gerak atas menggunakan instrumen Wolf motor function test.

For maximum effect MT interventions should consist of 20-minute sessions delivered 5 days per week for 4 weeks.

The main strength of this systematic review is the homogeneity of the outcome variables in the included studies and the restriction of the analysis to RCTs to ensure greater reliability, greater internal validity and more scientific evidence

Terjadi peningkatan kemampuan fungsional anggota gerak atas sebesar 17,1% pada Kelompok pelatihan constraint induced movement therapy dan membuktikan adanya Perbedaan yang signifikan (p<0,05) sedangkan perbedaan peningkatan kemampuan Fungsional anggota gerak atas kedua kelompok menunjukkan tidak adanya perbedaan Yang signifikan (p>0,05). Disimpulkan bahwa pelatihan mirror neuron system sama Dengan pelatihan constraint induced movement therapy dalam meningkatkan Kemampuan fungsional anggota gerak atas pasien stroke. Fifteen studies were included in the systematic review. Recovery of the upper limb, upper limb function and gross manual dexterity were frequently measured in these studies.

wolf motor function test.

conventional rehabilitation, mirror therapy, occupational therapy, stroke, upper extremity.

conventional rehabilitation in upper extremity function in stroke survivors. Jurnal. diakses

therapy” AND stroke. For this search Pubmed, Scopus and SciELO databases were used.

Scopus, and SciELO databases. The search string was established based on the last systematic review about MT that dated from 2009: “upper extremity” OR “upper limb “AND “mirror therapy” AND stroke

Single blinded, randomized controlled trial

Outpatient with chronic stroke N=33 with mild to maoderate motor impairmen t

https://www.researc hgate.net/publicatio n/311982190_Syste matic_review_of_m irror_therapy_comp ared_with_conventi onal_rehabilitation_ in_upper_extremity _function_in_stroke _survivors

6

Ching-Yi Wu, PaiChuan huang dkk.

2013. Effects of Mirror Therapy on Motor and Sensory Recovery in Chronic Stroke: A Randomized Controlled Trial. Jurnal. https://www.researc hgate.net/publicatio n/235658427_Effec

The intensity for both groups was 1.5 hours/day, 5 days/week, for 4 weeks. The MT group (nZ16) received upper extremity training involving repetitive bimanual, symmetrical movement practice, in which the individual moves the affected limb while watching the reflective illusion of the unaffected limb’s movements from a mirror. The CT group received task-oriented upper extremity training

The Fugl-Meyer Assessment; kinematic variables, including reaction time, normalized movement time, normalized total displacement, joint recruitment, and maximum shoulderelbow cross-correlation; the Revised Nottingham Sensory Assessment; the Motor Activity Log; and the ABILHAND questionnaire.

The application of MT after stroke might result in beneficial effects on movement performance, motor control, and temperature sense, but may not translate into daily functions in the population with chronic stroke

Activities of daily living; Motor skills; Rehabilitation; Sensation; Stroke; Upper extremity

ts_of_Mirror_Thera py_on_Motor_and_ Sensory_Recovery_ in_Chronic_Stroke_ A_Randomized_Co ntrolled_Trial

a. Penjelasan Terapi ini sudah pernah diuji dan dilakukan kelompok mengambil beberapa jurnal untuk di kaitkan dengan efektifitas terapi mirror terhadap penderita CVA infark. Sepertihalnya Enirahmawati (2009). Bahwa pasien menunjukkan peningkatan kekuatan otot sebesar 37,3% dan 32% hal ini menunjukkan bahwa terapi mirror ini efektif terhadap penderita CVA. Sama halnya dengan pernyataan dari Hendri,. Anastasia (2009) Menunjukkan bahwa ada peningkatan terhadap rerata kekuatan otot responden setelah dilakukan latihan mirror therapy sebanyak 5 kali sehari selama 7 hari. dibuktikan dengan sebelum intervensi rerata kekuatan otot ekstremitas bagian atas adalah 2,12 (0,45) dan rerata kekuatan otot ekstremitas bagian bawah adalah 2,12 (0,45). Setelah intervensi

rerata kekuatan otot

ekstremitas bagian atas menjadi 3,83 (0,56) dan rerata kekuatan otot ekstremitas bagian bawah menjadi 4,00 (0,66). Dari hasil analisa bivariat diperoleh nilai z hitung untuk kekuatan ektremitas atas dan bawah sebesar 4,396 dengan angka signifikan (p = 0,00). Berdasarkan hasil tersebut diketahui z hitung (4,369) > z tabel (1,96). Dikutip dari jurnal yang ditulis Mediana, A,C. (2014) Sebuah penelitian tentang MNS yang dilakukan oleh Marijnissen (2011), dilakukan terhadap 171 sampel yang dibagi beberapa kelompok dalam merespon suatu gerakan yang diobservasi terlebih dahulu (imitasi) sebelum melakukan kembali eksekusi aksi gerakan tersebut memberikan sebuah hasil yang baik. Kelompok yang melakukan proses observasi penuh hasilnya lebih dari 97% dapat menunjukkan aktivitas yang sesuai dengan apa yang telah diobservasi tersebut. Kelompok yang melakukan eksekusi gerakan disaat sedang mengobservasi hasilnya sejumlah 60,75% dapat menunjukkan aktivitas yang sesuai. Kelompok yang hanya melakukan sedikit observasi hasilnya hanya 38,6% dapat menunjukkan aktivitas gerakan yang sesuai. Kelompok kontrol tanpa observasi hanya 4,6% dapat melakukan aktivitas gerakan yang sesuai dengan tujuan. Namun penelitian tersebut tidak spesifik menjelaskan kondisi sampel yang diteliti dan aktivitas apa yang diteliti. Penelitian lain tentang pelatihan MNS yang dilakukan oleh Salama (2011),

menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan terhadap dua puluh lima sampel dan penilaian dilakukan dengan menggunakan The Functional Magnetic Resonance Imaging (MRI) menunjukkan bahwa terjadi aktivitas otak sejumlah 50% dibagian otak tertentu disaat mereka melakukan observasi gerakan sebelum eksekusi gerakan tersebut. Namun sayangnya penelitian ini pun masih dirasa kurang dapat mengukur kemampuan fungsional AGA bagi subjek yang diteliti.

b. Prosedur MNS: (1) Posisi fisioterapis berada didepan berhadapan langsung dengan pasien, (2) Pasien diminta untuk mengobservasi gerakan (proses imitasi) dan memperhatikan aktifitas fungsional AGA (alat gerak atas) yang dilakukan oleh fisioterapi yang berada persis di depan pasien, (3) Pasien diminta untuk melakukan imaginasi visual dan menjelaskan apa dan bagaimana gerakan dan aktifitas fungsional yang dilihat atau yang diobservasi, (4) pasien diminta untuk meniru (imitasi) dan melakukan pengulangan gerakan dan aktifitas fungsional tersebut secara seksama dan perlahan, (5) Pasien dikoreksi dan diedukasi oleh fisioterapis jika ada gerakan yang salah dan tidak sesuai dengan apa yang diobservasi dan dijelaskan sebelumnya, (6) Dosis pelatihan diberikan dengan frekuensi latihan 1-5 kali kunjungan dalam seminggu, intensitas latihan 5-10 kali pengulangan gerakan, selama durasi latihan 30-60 menit, dilakukan rutin selama 6 minggu (7) pasien diminta untuk datang kembali untuk latihan dengan fisioterapis pada jadwal yangtelah ditentukan berikutnya

c. Prosedur pengukuran kemampuan fungsional anggota gerak atas

Bahan dan instrumen yang digunakan pada saat pengukuran pertama atau tes awal (pre test) dan pengukuran kedua atau tes akhir (posttest) adalah (1) Form assesment data diri dan riwayat sakit pasien beserta alat tulisnya

(2) Form tes fungsi kognisi MMSE dan alat tulisnya (3) Form tes WMFT dan perangkatnya yang terdiri dari : Form tes dan alat tulis, stopwatch, meja, kotak box, kantong pasir, beban satu kilogram, kaleng, pensil, klip kertas, papan main dam atau halma, kartu, kunci, handuk, dan bola basket (Amster, 2007).

Instruksi tugas dalam SOP tes WMFT ( Wolf Motor Fucntion Test ) terdiri dari 15 item tugas yaitu

d.

1.

lengan ke meja (samping),

2. lengan ke kotak (samping), 3. memperpanjang siku (samping), 4. memperpanjang siku dengan beban (ke samping), 5. tangan ke meja (depan), 6. tangan ke box (depan), 7. meraih dan mengambil (depan), 8.

mengangkat kaleng (depan),

9. mengangkat pensil (depan), 10. mengambil klip kertas (depan), 11. menumpuk papan main dam (depan), 12. membalik kartu (depan), 13. memutar kunci dalam gembok (depan), 14. melipat handuk (depan), 15. mengangkat basket (berdiri).

Kemudian dinilai dengan skala pengukuran berikut -

Nilai 0, jika tidak ada upaya sama sekali dari AGA yang di tes.

-

Nilai 1, jika AGA yang di tes tidak bisa berpartisipasi secara fungsional, namun, ia mencoba untuk menggunakan AGA, pada sisi AGA unilateral yang tidak di tes boleh digunakan untuk membantu gerakan AGA yang sedang dites.

-

Nilai 2, jika bisa melakukan, tapi membutuhkan bantuan dari AGA yang tidak di tes untuk sedikit menyesuaikan diri atau merubah posisi, atau membutuhkan lebih dari dua kali percobaan untuk menyelesaikan tugas, atau diselesaikan dengan sangat lambat. Pada tugas bilateral AGA yang di tes akan dipakai hanya sebagai penolong.

-

Nilai 3, jika bisa melakukan, tapi gerakan dipengaruhi beberapa derajat oleh sinergi atau dilakukan secara perlahan atau adanya usaha dorongan.

-

Nilai 4, jika bisa melakukan, gerakan dilakukan secara normal, tapi masih sedikit lambat; kurang teliti, koordinasi halus atau kurang stabil.

-

Nilai 5, bisa melakukan, gerakan dilakukan atau diselesaikan secara normal.

BAB 3 PEMBAHASAN

Stroke adalah kumpulan gejala klinis berupa gangguan dalam sirkulasi darah ke bagian otak yang menyebabkan gangguan fungsi baik lokal atau global yang terjadi secara mendadak, progresif dan cepat (WHO, 2010; Black & Hawks, 2009). Dalam kasus stroke ini kelompok memilih teknik pelatihan mirror neuron system (MNS) sebagai collaborative patient center untuk tindakan lanjutan kesembuhan pasien. Pasien yang menderita stroke selalu di sertai dengan hemiparasis. Hemiparesis adalah kelumpuhan parsial satu sisi tubuh yang disebabkan oleh lesi saluran kortikospinalis yang menuju kortikal neuron ke lobus frontal ke motor neuron sumsum tulang belakang dan bertanggung jawab terhadap gerakan anggota tubuh. Sinyal tersebut turun melewati sisi yang berlawanan pada sumsum tulang belakang untuk memenuhi kontralateral motor neuron. Sehingga menyebabkan satu sisi otak mempengaruhi sisi yang berlawanan dari tubuh. Dan bila terdapat gangguan pada bagian kortikospinal kanan maka akan menyebabkan ganguan/ hemiparese pada bagian kiri dari tubuh begitu juga sebaliknya. (Smeltzer and Bare, 2008). Penelitian yang dilakukan dengan tehnik pemetaaan / pemindaian otak ditemukan bahwa selama pasien stroke melakukan latihan dengan menggunakan media cermin (mirror neuron therapy), area yang aktif selama pelaksanaan percobaan ini adalah korteks prefrontal area pramotor korteks, korteks parietalis dan otak kecil yang merupakan area gerakan motorik sehingga stimulasi yang berulang menyebabkan peningkatan kekuatan otot dan mencegah kerusakan neuromuskular yang lebih berat dan mencegah penyebaran ke area lain (Kang et al, 2012 ; Tominaga, W, et al, 2009; Christian, et al 2008; Vries & Mulder, 2007 ; Karni et al. 2003). Hal tersebut dapat dijelaskan dari hasil penelitian Rizzolatti, et al. (2004) bahwa pada area korteks otak manusia terdapat wilayah F5 yaitu area yang berperan dalam berbagai tindakan motorik dan terdapat area visuomotor yang

mengirimkan sinyal ketika mengamati tindakan tertentu untuk melakukan gerakan imitasi atau meniru terhadap apa yang diperhatikan sehingga imajinasi dari seseorang mengaktifkan gerakan pada area yang sama seperti gerakan sebenarnya. Hal ini senada dengan teori yang disebutkan oleh Snell (2013) yang menyebutkan bahwa otot-otot pada daerah proksimal akan lebih cepat perkembangannya yang kemudian akan disusul oleh perbaikan otot di daerah distal.

MNS merupakan pelatihan yang masih dianggap baru dan belum memiliki banyak bukti uji klinisnya, dimana pada pelatihan MNS memandang bahwa gerakan motorik secara fungsional dapat dihasilkan secara lebih baik yang diawali dari suatu proses imitasi gerakan dan imajinasi gerakan yang dilakukan sebelumnya dan hal ini akan menimbulkan rangsangan pada bagian atau pusat motorik pada kortek terstimulasi atau terangsang untuk menghasilkan suatu gerakan fungsional yang diinginkan (Iacoboni dan Galesse,2009; Rizzolatti, 2011; Enirahmawati, 2015). Latihan mirror neuron therapy adalah bentuk rehabilitasi / latihan yang mengandalkan dan melatih pembayangan / imajinasi motorik pasien, dimana cermin akan memberikan stimulasi visual kepada otak ( saraf motorik serebral yaitu ipsilateral atau kontralateral untuk pergerakan anggota tubuh yang hemiparesis) melalui observasi dari pergerakan tubuh yang akan cenderung ditiru seperti cermin oleh bagian tubuh yang mengalami gangguan (Wang, et al .2013 ). Mirror Neuron System dikaitkan dengan berbagai bentuk perilaku manusia : imitasi, teori

pikiran, keterampilan

baru,belajar

dan membaca. Penelitian

mengungkapkan bahwa manusia memiliki mekanisme untuk menyalin/ meniru perilaku yang berbeda, yang sebagian menjelaskan bagaimana kita belajar untuk tersenyum, bicara, berjalan, menari atau bermain tenis (Carvalho et al., 2013). Mirror Neuron System atau biasa juga disebut dengan mental practice atau motor imagery adalah reproduksi internal dari suatu gerakan atau tindakan tertentu, yang diulang beberapa kali dalam rangka mempromosikan atau mengenalkan dan atau juga untuk meningkatkan keterampilan motorik tertentu. Dengan demikian mental practice hasil dari akses sadar dan juga niat untuk bergerak, serta menetapkan hubungan antara peristiwa motorik dengan persepsi kognitif. Suatu gerakan yang diawali dari suatu proses imitasi gerakan dan imajinasi gerakan yang dilakukan sebelumnya dan hal ini akan menimbulkan rangsangan pada bagian pusat motorik pada kortek terstimulasi atau

terangsang untuk menghasilkan suatu gerakan fungsional yang dinginkan (Iacoboni & Galasse, 2009). Dalam suatu teori menyebutkan Tindakan observasi, motor imagery, dan juga imitasi suatu gerakan terwakili di dalam suatu sirkuit motor dasar yang sama dengan pelaksanaan tindakan Mirror Neuron System di dalam otak. Sirkuit dasar untuk melakukan suatu imitasi gerakan sama dengan untuk melakukan suatu observasi gerakan, dimulai dari representasi visual dari mata, observasi gerakan dari superior temporal sulcus, sedang representasi dari orientasi kinestatiknya berada dari parietal Mirror Neuron System dan untuk program motor atau program penggerak berada di frontal mirror system (Garrison et al,. 2010) Faktor keberhasilan yang mendukung terapi MNS antara lain letak lesi, tingkat keparahan lesi, usia, dalam latihan Mirror Neuron System ini tingkat kemampuan visualisasi juga sangat berpengaruh, tingkat konsentrasi, keadaan psikologi, keadaan lingkungan dan yang terpenting adalah dukungan dari keluarga serta kemauan pasien sendiri untuk sembuh. Menurut Widagda (2002) pemulihan fungsional akan terjadi secara terus menerus setiap bulan atau setiap waktu tergantung dimana pasien tinggal atau lingkungan sekitarnya dan seberapa banyak latihan serta motivasi yang didapatkan dari lingkungan.

Prosedur MNS: 1. Posisi fisioterapis berada didepan berhadapan langsung dengan pasien, 2. Pasien diminta untuk mengobservasi gerakan (proses imitasi) dan memperhatikan aktifitas fungsional AGA (alat gerak atas) yang dilakukan oleh fisioterapi yang berada persis di depan pasien, 3. Pasien diminta untuk melakukan imaginasi visual dan menjelaskan apa dan bagaimana gerakan dan aktifitas fungsional yang dilihat atau yang diobservasi, 4. pasien diminta untuk meniru (imitasi) dan melakukan pengulangan gerakan dan aktifitas fungsional tersebut secara seksama dan perlahan, 5. Pasien dikoreksi dan diedukasi oleh fisioterapis jika ada gerakan yang salah dan tidak sesuai dengan apa yang diobservasi dan dijelaskan sebelumnya,

6. Dosis pelatihan diberikan dengan frekuensi latihan 1-5 kali kunjungan dalam seminggu, intensitas latihan 5-10 kali pengulangan gerakan, selama durasi latihan 30-60 menit, dilakukan rutin selama 6 minggu 7. pasien diminta untuk datang kembali untuk latihan dengan fisioterapis pada jadwal yang telah ditentukan berikutnya

Kemampuan fungsional merupakan pengukuran kemampuan seseorang dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari – hari secara mandiri(Rahmayati, 2011).Jadi kemampuan fungsional anggota gerak atas adalah suatu kemampuan dari anggota gerak atas seseorang, di mulai dari bahu, siku, pergelangan tangan hingga jari-jari yang dapat melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri dan sesuai dengan fungsinya. Kemampuan fungsional diukur dengan menggunakan Wolf Motor Function Test (WMFT).

Prosedur pengukuran kemampuan fungsional anggota gerak atas Bahan dan instrumen yang digunakan pada saat pengukuran pertama atau tes awal (pre test) dan pengukuran kedua atau tes akhir (posttest) adalah : (1) Form assesment data diri dan riwayat sakit pasien beserta alat tulisnya (2) Form tes fungsi kognisi MMSE dan alat tulisnya (3) Form tes WMFT dan perangkatnya yang terdiri dari : Form tes dan alat tulis, stopwatch, meja, kotak box, kantong pasir, beban satu kilogram, kaleng, pensil, klip kertas, papan main dam atau halma, kartu, kunci, handuk, dan bola basket (Amster, 2007).

Instruksi tugas dalam SOP tes WMFT ( Wolf Motor Fucntion Test ) terdiri dari 15 item tugas yaitu 1. lengan ke meja (samping), 2. lengan ke kotak (samping), 3. memperpanjang siku (samping), 4. memperpanjang siku dengan beban (ke samping), 5. tangan ke meja (depan),

6. tangan ke box (depan), 7. meraih dan mengambil (depan), 8.

mengangkat kaleng (depan),

9. mengangkat pensil (depan), 10. mengambil klip kertas (depan), 11. menumpuk papan main dam (depan), 12. membalik kartu (depan), 13. memutar kunci dalam gembok (depan), 14. melipat handuk (depan), 15. mengangkat basket (berdiri). 16. Kemudian dinilai dengan skala pengukuran berikut -

Nilai 0, jika tidak ada upaya sama sekali dari AGA yang di tes.

-

Nilai 1, jika AGA yang di tes tidak bisa berpartisipasi secara fungsional, namun, ia mencoba untuk menggunakan AGA, pada sisi AGA unilateral yang tidak di tes boleh digunakan untuk membantu gerakan AGA yang sedang dites.

-

Nilai 2, jika bisa melakukan, tapi membutuhkan bantuan dari AGA yang tidak di tes untuk sedikit menyesuaikan diri atau merubah posisi, atau membutuhkan lebih dari dua kali percobaan untuk menyelesaikan tugas, atau diselesaikan dengan sangat lambat. Pada tugas bilateral AGA yang di tes akan dipakai hanya sebagai penolong.

-

Nilai 3, jika bisa melakukan, tapi gerakan dipengaruhi beberapa derajat oleh sinergi atau dilakukan secara perlahan atau adanya usaha dorongan.

-

Nilai 4, jika bisa melakukan, gerakan dilakukan secara normal, tapi masih sedikit lambat; kurang teliti, koordinasi halus atau kurang stabil.

-

Nilai 5, bisa melakukan, gerakan dilakukan atau diselesaikan secara normal.

BAB 4 PENUTUP

1.

KESIMPULAN Terapi tehnik pemetaaan / pemindaian otak ditemukan bahwa selama pasien

stroke melakukan latihan dengan menggunakan media cermin (mirror neuron therapy) dapat diterapkan pada penderita CVA Infark, seperti yang dikemukakan Enirahmawati, Dwi R. k, & Yulisna M,S,. (2015) yaitu dengan melakukan Latihan selama 2x dalam seminggu selama satu bulan, Durasi 40 menit hingga 1 jam. Menemukan hasil Peningkatan sebesar 37,3% dan 32%. Hal ini juga dikemukakan oleh Heriyanto H,. (2015) sebelum intervensi rerata kekuatan otot ekstremitas bagian atas adalah 2,12 (0,45) dan rerata Kekuatan otot ekstremitas bagian bawah adalah 2,12 (0,45). Setelah intervensi rerata kekuatan otot Ekstremitas bagian atas menjadi 3,83 (0,56) dan rerata kekuatan otot ekstremitas bagian bawah menjadi 4,00 (0,66). Berdasarka kajian jurnal diatas bahwa kelompok sepakat bahwa penatalaksanaan

mirror

neuron therapy bisa dan evektif untuk penderita CVA infark.

2.

SARAN Intervensi ini dapat dijadikan rekomendasi oleh perawat diruangan

perawatan stroke untuk penatalaksanaan mobilisasi dan latihan untuk mencegah kecacatan permanen pada pasien stroke yang mengalami hemiparesis, dan juga dapat aplikasikan pada keluarga yang memiliki keluarga yang stroke untuk mencoba latihan dirumah untuk proses recovery dan peningkatan status fungsional motorik pasca serangan stroke.

DAFTAR PUSTAKA

Asten, T.V. 2009. “The Mirror Neuron System and its Role in Learning” (tesis). Utrecht: Utrecht Unversity Buccino, G., Solodkin, A., Small, S.L. 2006. Functions of The Mirror Neuron System: Implications for Neurorehabilitation. Italy : University of Parma. p. 58- 61 Cattaneo, L., Rizzolatti, G. 2009. The Mirror Neuron System. Italy : University of Parma. p. 4 Department of Physical Therapy. 2016. Feasibility And Effectiveness Of Adding Object-Related Bilateral Symmetrical Training To Mirror Therapy In Chronic Stroke: A Randomized Controlled Pilot Study. Brazil : p 1 - 9 Enirahmawati,. 2015. Pengaruh Latihan Mirror Neuron System terhadap Peningkatan Kemampuan Fungsional Anggota Gerak Pada Pasien Pasca Stroke. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Gallese, V. 2009. Mirror Neurons, Embodied Simulation, and the Neural Basis of Social Identification. Italy : University of Parma. p. 520-523 Hendri H & Anastasia A,. 2015. Differences In Muscle Strength Training Conducted Before And After (Mirror Therapy) In Patients With Ischemic Stroke Hemiparesis In Rsup Dr.Hasan Sadikin Bandung. Bandung : Universitas padjajaran. ISSN : 2088 - 8872 Heyes, C. 2009. Where do Mirror Neurons Come From?. Oxford : University of Oxford. p. 581 Iacoboni, M. 2009. Imitation, Empathy, and Mirror Neurons. Californnia : Brain Research Institute. p. 667

Iacoboni, M., Mazziotta, J.C. 2007. Mirror Neuron System: Basic Findings and Clinical Applications. Los Angeles : Brain Research Institute. p. 216-217 Keysers, C., Gazzola, V. 2010. Social Neuroscience: Mirror Neurons Recorded in Humans. Amsterdam : University of Groningen. p. 1-2 Lidwina S.S,. Paola, P,. 2014. Mirror Therapy in Stroke Rehabilitation. Manado : Universitas Sam Ratulangi. p 84 – 90 Meidian,A,C,. Sutjana,. & Irfan, M,. 2014. Pelatihan Mirror Neuron System Sama Dengan Pelatihan Constraint Induced Movement Therapy Dalam Meningkatkan Kemampuan Fungsional Anggota Gerak Atas Pasien Stroke. Universitas Esa Unggul. 2 (I) 18 - 41 Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persyarafan. salemba medika: jakarta. Nurarif, A. H., & Kusuma, H. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC Jilid 2. Yogyakarta: Media Action Publishing. Price, S.A & Wilson. L.M. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 vol 2. Jakarta: EGC Rizzolatti, G. 2011. Mirror Neurons Enhance Human Understanding. Pada The EMBO Meeting. Braunschweig. Germany 22-25 september.

Lampiran 1 SOP LATIHAN MIRROR NEURON TERAPY (MNS) Topik

Latihan Mirror Neuron Terapy (MNS)

Pengertian

Latihan mirror neuron therapy adalah bentuk rehabilitasi / latihan yang mengandalkan

dan

melatih

pembayangan / imajinasi motorik pasien,

dimana

cermin

akan

memberikan stimulasi visual kepada otak ( saraf motorik serebral yaitu ipsilateral atau kontralateral untuk pergerakan

anggota

tubuh

yang

hemiparesis) melalui observasi dari pergerakan tubuh yang akan cenderung ditiru seperti cermin oleh bagian tubuh yang mengalami gangguan (Wang, et al .2013 ). Tujuan

Untuk mengetahui kekuatan otot anggota bagian tubuh yang mengalami hemiparesis

pada

pasien

stroke

iskemik Waktu

frekuensi latihan 1-5 kali kunjungan dalam seminggu, intensitas latihan 510 kali pengulangan gerakan, selama durasi latihan 30-60 menit, dilakukan rutin selama 6 minggu

Syarat

a. Pemilihan tempat yang tepat, karena MNS memerlukan konsentrasi yang baik

b. Dilakukan secara rutin dan teratur c. Menentukantujuan yang ingindicapai.

Pelaksana

a. 1 Orang Peneliti b. 1 Orang Fasilitator c. Penderita Stroke d. Keluarga yang mendampingi

Peralatan

a. Ruangan yang nyaman dan bersih dan memiliki ventilasi untuk tempat keluar masuknya udara/sirkulasi b. Tempat duduk c. Stopwatch/arloji d. Buku catatan e. Bolpoin / alat tulis

Prosedurpelaksanaan

a. Sebelum melakukan latihan MNS, terlebih dahulu di ukur kekuatan otot ekstremitas pasien baik atas maupun bawah b. Postur (SikapTubuh). c. Duduk di kursi yang memiliki sandaran yang lurus, dengan posisi kepala, bahu, dan pinggul harus tegak lurus dan kaki dilantai. Karena sikap atau postur tubuh yang baik sangat

berperan

keberhasilan

penting dalam latihan

untuk

mengurangi hiperventilasi. d. Posisi fisioterapis berada didepan berhadapan langsung dengan pasien e. Pasien

diminta

mengobservasi imitasi)

dan

gerakan

untuk (proses

memperhatikan

aktifitas fungsional AGA (alat gerak atas) yang dilakukan oleh fisioterapi yang berada persis di depan pasien, f. Konsentrasi Konsentrasi

pada

pernapasan

dengan menutup mata dan focus pada pernapasan.

Kemudian

rasakan

udara yang masuk dan keluar dari lubang hidung,

waktu

menarik

napas dan menghembuskan napas. g. Pasien diminta untuk melakukan imaginasi visual dan menjelaskan apa dan bagaimana gerakan dan aktifitas fungsional yang dilihat atau yang diobservasi, h. Pasien

diminta

(imitasi)

dan

untuk

meniru

melakukan

pengulangan gerakan dan aktifitas fungsional tersebut secara seksama dan perlahan i. Pasien dikoreksi dan diedukasi oleh fisioterapis jika ada gerakan yang salah dan tidak sesuai dengan apa yang diobservasi dan dijelaskan sebelumnya, j. Dosis pelatihan diberikan dengan frekuensi latihan 1-5 kali kunjungan dalam seminggu, intensitas latihan 5-10 kali pengulangan gerakan,

selama durasi latihan 30-60 menit, dilakukan rutin selama 6 minggu k. pasien kembali

diminta

untuk

datang

untuk

latihan

dengan

fisioterapis pada jadwal yang telah ditentukan berikutnya

Related Documents

Cva
January 2021 3
Therapy
January 2021 13

More Documents from "sameer goyal"