Malpraktek

  • Uploaded by: Septiani
  • 0
  • 0
  • March 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Malpraktek as PDF for free.

More details

  • Words: 21,314
  • Pages: 73
Loading documents preview...
BAB I PENDAHULUAN

Dalam beberapa tahun belakangan ini yang dirasakan mencemaskan oleh dunia kedokteran dan perumahsakitan di Indonesia adalah meningkatnya tuntutan dan gugatan malpraktek (dengan jumlah ganti rugi yang semakin hari semakin spektakuler), utamanya sejak diberlakukannya Undang – Undang No.8 Th.1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Apakah undang – undang itu yang menjadi pemicu berubahnya masyarakat yang semakin gemar menuntut (litigious society) ataukah karena ada sebab lain, belum ada konfirmasi yang dapat dipercaya.1 Situasi dunia kedokteran dan perumahsakitan Indonesia sekarang ini amat mirip dengan krisis malpraktek (malpractice crisis) yang pernah melanda Amerika Serikat 40 tahun yang lampau. Situasi krisis yang mencemaskan tersebut jelas tidak menguntungkan bagi dunia kedokteran dan perumahsakitan, sehingga oleh karenanya perlu diwaspadai. Tetapi yang paling penting bagi setiap dokter, pengelola dan pemilik rumah sakit adalah memahami lebih dahulu bahwa sebelum gugatan malpraktek dapat dibuktikan maka setiap sengketa yang muncul antara health care receiver dan heath care provider baru boleh disebut konflik atau sengketa akibat adanya ketidaksesuaian logika atas sesuatu masalah; utamanya atas terjadinya adverse event (injury caused by medical management rather than the underlying condition of the patient).1 Dunia kedokteran dan perumahsakitan harus bersikap jujur serta melakukan kontemplasi karena pada kenyataannya masih banyak kelemahan dan kekurangan dalam melaksanakan tatakelola klinik yang baik (good clinical govermance), disamping belum secara sempurna mampu memenuhi prinsip – prinsip dalam merancang sistem pelayanan kesehatan yang lebih aman (safer health care system) guna mencegah atau sekurang – kurangnya mengurangi adverse events (kejadian yang tidak diharapkan semua pihak) yang bisa dijadikan predisposing factor.1 Perlu diketahui bahwa konflik atau sengketa medis hanya akan terjadi kalau ada predisposing factor, berupa adverse events (yang pada hakekatnya merupakan kesenjangan antara harapan pasien ketika memilih rumah sakit dengan kenyataan yang diperolehnya menyusul dilakukannya upaya medis). Sedangkan trigger factors-nya antara lain karena adanya perbedaan persepsi, komunikasi ambigius atau gaya individual yang bisa datang dari pihak dokter (arogan, ketus, enggan meberikan informasi dan sebagainya) atau dari pihak 1

pasien sendiri (misalnya pasien dengan chronic complainer atau sifat yang temperamental). Tarif yang tinggi juga dapat menjadi pemicu munculnya klaim atas pelayanan yang kurang sempurna.1 Mengenai perbedaan persepsi, biasanya disebabkan ketidakmampuan pihak pasien untuk memahami bahwa upaya medis merupakan upaya yang penuh uncertainty dan hasilnya pun tidak dapat diperhitungkan secara matematis karena sangat dipengaruhi oleh faktor – faktor lain diluar kekuasaan dan kontrol dokter untuk mengendalikannya; misalnya faktor daya tahan tubuh, mekanisme pertahanan tubuh, jenis dan tingkat virulensi penyakit, stadium penyakit, kualitas obat, respon individual terhadap obat (sebagai konsekuensi belum ditemukannya obat – obatan farmakogenomik yang sesuai dengan konstitusi genetik tiap – tiap pasien) serta kepatuhan pasien dalam mengikuti prosedur dan nasehat dokter serta perawat. Banyak masyarakat menyangka bahwa upaya medis yang dilakukan dokter merupakan satu – satunya variable yang dapat mempengaruhi kondisi kesakitan pasien sehingga menurut logika mereka, kalau upaya tersebut sudah benar maka tidak seharusnya pasien meninggal dunia, bertambah buruk kondisinya atau bahkan muncul problem – problem baru. Pada kenyataannya upaya medis yang terbaik dan termahal sekalipun belum tentu dapat menjamin kesembuhan, demikian pula sebaliknya. Bahkan tidak jarang dokter melakukan kesalahan diagnosis dan dengan sendirinya juga diikuti kesalahan terapi, tetapi justru pasien dapat sembuh (berkat mekanisme pertahanan tubuhnya sendiri). Oleh sebab itu tidaklah salah jika ada sementara ahli yang menyatakan “medicine is a science of the uncertainty, an art of the probability”.1 Pemahaman yang kurang memadai tentang hakekat upaya medis tersebut masih diperparah lagi oleh minimnya pemahaman masyarakat mengenai hukum, misalnya tentang bentuk perikatan menyusul disepakatinya hubungan terapetik (yang konsekuensinya memunculkan hak dan kewajiban pada masing – masing pihak) serta tentang pengertian malpraktek itu sendiri. Tidak banyak masyarakat yang paham bahwa perikatan yang terjadi antara health care receiver dan health care provider merupakan inspanning-verbintenis (perikatan upaya) sehingga konsekuensi hukumnya, dokter atau rumah sakit tidak dibebani kewajiban (prestasi) untuk mewujudkan hasil berupa kesembuhan, melainkan hanya dibebani kewajiban melakukan upaya yang benar dan sesuai standar (standard of care); yaitu suatu tingkat kualitas layanan medis yang menggambarkan telah diterapkannya ilmu, keterampilan, pertimbangan dan perhatian yang layak sebagaimana yang dilakukan oleh dokter pada umunya dalam menghadapi situasi dan kondisi yang sama pula (Hubert Smith). Dengan tingkat kualitas yang memenuhi standar diharapkan mampu menyelesaikan problem 2

kesehatan pasien, namun jika pada kenyataannya harapan tersebut tidak terwujud atau bahkan terjadi adverse events tidak boleh dengan serta merta menuding dokter atau rumah sakit telah melakukan kesalahan.1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Adverse Event Banyak kalangan LSM mencurigai adanya sesuatu yang tak beres yang menyebabkan gugatan pasien lewat jalur hukum selalu kandas di pengadilan. Mereka menuding sebagai penyebabnya adalah karena tidak adilnya keputusan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (yang anggotanya terdiri dari para dokter) serta keberpihakan para saksi ahli (yang notabene diambil dari teman sejawatnya sendiri) sehingga menyesatkan hakim. Padahal dari amatan Sofwan Dahlan secara sepintas, justru kualitas dari gugatan itu sendirilah yang kabur

3

(obscure libel) karena tidak didukung oleh logika medis dan logika hukum yang benar sehingga wajar apabila keputusan pengadilan hampir selalu memenangkan dokter atau rumah sakit. Ini berdasarkan pemikiran bahwa adanya generalisasi setiap adverse event sebagai malpraktek. Mestinya setiap adverse event dianalisis lebih dahlu secara cermat (mengingat tidak semua adverse events identik dengan malpraktek) dan sesudah itu barulah dipilah – pilah apakah benar merupakan kasus malpraktek atau hanya misadventure.1 Contoh kasus paling gambling yang menggambarkan kekurangcermatan pihak pasien dalam menuntut dan menggugat adalah kasus dilaporkannya dokter ke polisi disertai pengajuan gugatan ganti rugi ke pengadilan hanya karena bayi yang ditolong kelahirannya dengan vacuum extractive 3 tahun yang lampau, sekarang menderita komplikasi kelumpuhan otot leher. Juga kasus dilaporkannya dokter ke polisi karena terjadinya Steven Johnson Syndrome akibat reaksi obat (yang seringkali mustahil dapat diramalkan sebelumnya oleh dokter).1 Dari penelitian yang dilakukan oleh Institute of Medicine diperoleh gambaran bahwa sekitar 2,9% sampai 3,7% dari pasien rawat inap mengalami adverse event, berupa: 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Perpanjangan hospitalisasi. Cacat saat meninggalkan rumah sakit. Cacat tetap. Adverse drug event. Infeksi luka. Meninggal dunia.1 Sekitar 70% dari adverse event tersebut diatas disebabkan oleh error (diagnostic,

treatment, preventive and others) yang dapat dicegah sehingga disebut preventable adverse event dan hanya sekitar 27,6% dari preventable adverse event atau sekitar 0,56% dari seluruh admission yang boleh jadi dapat dikategorikan sebagai kasus malpraktek (negligence atau culpa). Selebihnya merupakan adverse event yang tidak termasuk pelanggaran hukum; baik yang bersifat error of commission (melakukan tindakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan) maupun error of omission (tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan).1 Agaknya apa yang diuraikan diatas sejalan dengan teori Perrow (the Perrow’s Normal Accident Theory) yang menyatakan bahwa: 1. Dalam sistem tertentu, kecelakaan tidak dapat dihindari sama sekali. 2. Dalam industri yang komplek dan berteknologi tinggi, kecelakaan merupakan hal yang normal.1 Suatu fakta yang tidak boleh diingkari bahwa pelaksanaan layanan kesehatan di rumah sakit merupakan pekerjaan yang sulit, rumit dan komplek serta memerlukan bantaun 4

teknologi (metode, alat dan obat – obatan). Maka dalam kaitannya dengan upaya keselamatan pasien, The National Patient Safety Foundation menyimpulkan sebagai berikut: 1. Keselamatan pasien (patient safety) diartikan sebagai upaya menghindari dan mencegah adverse event (adverse outcome) yang disebabkan oleh proses layanan serta meningkatkan mutu outcome. 2. Keselamatan pasien tidak hanya tertumpu pada orang (person), peralatan atau departemen saja, tetapi juga interaksi dari berbagai komponen dan sistem.1 Hal – hal tersebut di atas seyogyanya dipahami dahulu oleh pasien serta pengacaranya sebelum memutuskan menggugat, di samping perlu pula memahami logika hukum sebagaimana disebutkan di bawah ini, yaitu: 1. Hubungan terapetik antara pasien dan rumah sakit merupakan hubungan kontraktual dan oleh karenanya semua asas dalam berkontrak berlaku, utamanya asas utmost of good faith (iktikad baik). 2. Perikatan yang timbul sebagai konsekuensi hubungan terapetik merupakan jenis perikatan dimana dokter atau rumah sakit hanya dibebani kewajiban oleh hukum untuk memberikan upaya yang benar (inspanning atau effort), bukan hasil (resultaat atau result). 3. Adverse event yang terjadi tidak secara otomatis merupakan bukti adanya malpraktek. 4. Kesalahan diagnosis tidak dapat dikatakan sebagai malpraktek sepanjang dokter, dalam membuat diagnosis telah memenuhi ketentuan dan prosedur. Perlu dipahami oleh masyarakat bahwa bagian dari pekerjaan dokter yang paling sulit adalah menegakkan diagnosis, sementara peralatan diagnostik (yang paling canggih sekalipun) hanyalah bersifat mengurangi angka kesalahan saja. Maka tidaklah aneh jika kesalahan diagnosis di Amerika tetap saja tinggi (sekitar 17%). Satu hal yang paling penting untuk dipertimbangkan adalah, apakah kesalahan diagnosis itu terjadi karena kecerobohan dalam melakukan prosedur diagnosis atau tidak. 5. Dokter dapat dituntut pidana apabila tindakannya memenuhi rumusan pidana beserta unsur – unsurnya (mens rea dan actus reus). 6. Tanggungjawab pidana (criminal responsibility) selalu bersifat individual dan personal serta tidak dapat dialihkan kepada pihak lain (baik individu maupun korporasi). 7. Dokter juga dapat digugat membayar ganti rugi jika pasien menderita kerugian akibat ingkar janji atau karena tindakan melawan hukum (onrechtmatige-daad). 8. Tanggung gugat (civil liability) atas terjadinya malpraktek yang dilakukan oleh dokter adakalanya dapat dialihkan ke pihak lain berdasarkan doktrin tanggung-renteng (doctrine of vicarious liability).1

5

2.2. Pengertian Malpraktek Malpraktek berasal dari kata “mal” yang berarti salah dan “praktek” yang berarti pelaksanaan atau tindakan, sehingga arti harfiahnya adalah “pelaksanaan atau tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian, tetapi lazimnya istilah tersebut hanya digunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi (professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in professional or fiduciary duties, evil practice or illegal or immoral conduct). Sedangkan profesi mempunyai makna tersendiri yang tidak sama dan sebangun dengan pekerjaan atau mata pencaharian, walaupun dalam batas yang wajar dapat dimanfaatkan untuk mencari nafkah, seperti misalnya profesi medik ataupun hukum.1,2 Menurut Bernard Barber, profesi dicirikan sebagai pekerjaan yang memiliki esensi sebagai berikut: 1. Membutuhkan ilmu pengetahuan yang tinggi yang hanya dapat dipelajari secara sistematik. 2. Orientasi primernya lebih ditujukan untuk kepentingan masyarakat. 3. Memiliki mekanisme kontrol terhadap perilaku pemegang profesi. 4. Memiliki sistem reward.1 Mekanisme kontrol dilaksanakan melalui kode etik yang disusun sendiri oleh organisasi profesi dan kemudian diterima sebagai pedoman sikap dan perilaku bagi para professional (yaitu orang yang telah berjanji atau bersumpah kepada public untuk mendapatkan public trust). Dengan kata lain, profesi memilik selforganizing (mengatur diri sendiri) dan selfdisciplining atau selfcontrol (mengendalikan diri sendiri). Selfdisciplining atau selfcontrol oleh organisasi profesi itu sangat penting sebab mustahil bagi masyarakat (yang memang awam dan tak memahami seluk beluk profesi) untuk mengontrol sikap dan perilaku pemegang profesi yang menguasai ilmu penggetahuan tinggi. Tujuan utamanya adalah agar superioritas pemegang profesi tidak disalahgunakan untuk mengeruk keuntungan sebanyak – banyaknya dari masyarakat awam yang sangat membutuhkan pelayanannya. 1 Jauh sebelum Bernard Barber, Charaka Samhita dari India sudah meletakkan landasan bagi profesi di bidang kesehatan, yaitu: 1. Harus menguasai knowledge (ilmu pengetahuan). 6

2. Harus memiliki cleverness (kecekatan atau keterampilan). 3. Harus memiliki devotion (pengabdian atas dasar rasa kasih sayang). 4. Harus memiliki purity, physic and mind (kemurnian, jasmani dan jiwa).1 Sementara Potter, P, A dan Perry, A, G (2001) memberi ciri profesi sebagai berikut: 1. Memerlukan pendidikan berkelanjutan (extended education). 2. Mempunyai cabang ilmu tersendiri (theoretical body of knowledge) yang akan membimbing kea rah keterampilan, kemampuan dan norma tertentu. 3. Memberikan layanan spesifik. 4. Memiliki kemandirian (autonomy) dalam membuat keputusan dan melakukan praktik. 5. Memiliki kode etik.1 Tindakan dari tenaga kesehatan yang salah dalam rangka pelaksanaan profesi di bidang kedokteran disebut malpraktek medic (medical malpractice).2 Mengingat di setiap profesi berlaku norma etika dan hukum maka kesalahan praktek juga dapat diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang hukum disebut legal malpractice.2 Karena antara etika dan hukum terdapat perbedaan – perbedaan yang menyangkut substansi, otorita, tujuan dan saksi; maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan ethical malpractice dan legal malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan legal malpractice, tetapi semua bentuk legal malpractice sudah pasti merupakan ethical malpractice. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Lord Chief Justice Coleridge dalam kasus R. v. Instan, tahun 1893, yaitu: “It would not be correct to say that every moral obligation involves a legal duty, but every legal duty is founded on a moral obligation”.2 Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga menyebutkan istilah malpraktik dengan malapraktik yang diartikan dengan : ”praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode etik.” Kamus Inggris Indonesia John M Echols dan Hasan Shadily cetakan ke 12 mengartikan malpractice atau malpraktik adalah : ”(1) salah mengobati, cara 7

mengobati pasien yang salah; (2) tindakan yang salah”. Sedangkan arti malpractice dalam Dorland Medical Dictionary 27 edition , adalah : ”praktik yang tidak tepat atau yang menimbulkan masalah ”; tindakan medik atau tindakan operatif yang salah”. Istilah malpractice dalam Stedman Medical Dictionary diartikan sebagai : ”kesalahan penanganan pasien karena ketidaktahuan , ketidak hati-hatian, kelalaian atau adanya niat jahat”. Black’s Law Dictionary 5 ed. Menyebutkan: ”malpraktik adalah setiap sikap tindak yang salah , kurang keterampilan dalam ukuran yang tidak wajar. Istilah ini umumnya digunakan terhadap sikap tindak dari para dokter, pengacara, dan akuntan. Kegagalan untuk memberikan pelayanan yang profesional dan melakukannya pada ukuran tingkat keterampilan dan kepandaian yang wajar oleh teman sejawat rata rata dari profesinya di dalam masyarakat, sehinggga mengakibatkan luka, kehilangan, atau kerugian pada penerima layanan yang memercayai mereka, termasuk didalamnya adalah sikap tindak profesi yang salah, kurang keterampilan yang tidak wajar, menyalahi kewajiban profesi atau hukum, praktik yang sangat buruk , ilegal, atau sikap tindak amoral.”3 Malpraktek pada prinsipnya merujuk pada suatu praktek profesi yang buruk karena tidak sesuai atau tidak memenuhi standard profesi yang bersangkutan yang telah diterapkan sebelumnya. Malpraktek dapat terjadi pada setiap profesi, dan di dalam praktek kedokteran dikenal masyarakat sebagai malpraktek kedokteran. Praktek yang buruk dalam bidang kedokteran tidak hanya terjadi karena faktor pemberi layanan kedokteran, namun juga dapat terjadi karena faktor pasien maupun faktor situasi.4 Malpraktek bukan istilah hukum apalagi suatu delik, malpraktek adalah suatu istilah sosiologis. Sampai saat ini tidak ada ketentuan hukum yang menggunakan istilah malpraktek.Tidak semua kerugian yang timbul pada pelayanan kedokteran dapat dikategorikan sebagai malpraktek karena ada kerugian yang timbul walau dokter telah melakukan tindakan sesuai standard dan prosedur.4 2.3. Kelalaian Medik (Culpa, Negligence) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga , kelalaian dari asal kata lalai yang berarti ”tindakan yang kurang hati hati, tidak mengindahkan (kewajiban,pekerjaan,dsb), lengah”. Dalam An Indonesian-English Dictionary 3 Edition, kelalaian diartikan dari kata neglect, carelessness. Dalam Kamus Hukum Edisi Lengkap, terjemahan dari: culpa atau schuld ,atau debt, guilt, fault, yang artinya adalah “kekhilafan atau kelalaian yang menimbulkan akibat hukum, dianggap melakukan tindak pidana yang dapat ditindak atau dituntut”. Dalam Black’s Law Dictionary 5 ed disebutkan bahwa: “Kelalaian adalah 8

kegagalan utntuk bersikap hati-hati yang pada umumnya orang lain yang wajar dan hati-hati akan melakukan di dalam keadaan tersebut; ia merupakan suatu tindakan yang umumnya orang lain yang wajar dan hati-hati tidak akan melakukan dalam keadaan yang sama, atau kegagalan untuk melakukan apa yang oleh orang lain yang pada umumnya dengan hati-hati dan wajar justru akan melakukan dalam keadaan yang sama.”3 Dalam undang-undang tidak diartikan sebagai kealpaan (culpa), namun dari penjelasan pembuat undang-undang (KUHP) atau Memorie van Toelichting (MvT) dapat diketahui bahwa schuld atau culpa merupakan kebalikan murni dari dolus (sengaja) maupun kebetulan (casus). Yang dituntut adalah bahwa orang yang kurang berpikir cermat , kurang pengetahuan, atau bertindak yang kurang terarah disbanding dengan orang lain pada umumnya. Dari Memorie van Antwood yang disampaikan oleh parlemen diketahui bahwa siapa yang sengaja berbuat salah adalah mereka yang menggunakan kemampuannya secara keliru. Sebaliknya, siapa yang berbuat salah karena kelalaiannya, tidak menggunakan kemampuan yang dimilikinya ketika kemampuan tersebut seharusnya ia gunakan.3 Treub, seorang pakar hokum dari Belanda , menyebutkan bahwa yang penting adalah ketelitian dan kehati-hatian yang wajar yang dapat diharapkan dari seorang dokter. Bukan ukuran dari seorang dokter yang terpandai atau yang paling hati-hati, tetapi ukuran dari seorang dokter rata-rata pada umumnya. Treub mengartikan bahwa: ”Baru dapat dikatakan ada culpa apabila ia tidak tahu, tidak memeriksa, melakukan atau tidak melakukan yang dokter dokter lain yang baik bahkan pada umumnya dan di dalam keadaan yang sama , akan mengetahui, memeriksa, melakukan, atau tidak melakukan.”3 Lamintang mengutip pendapat van Bemmelen yang mengatakan bahwa culpa meliputi tiga hal, yaitu: 1.

Tindakan-tindakan, baik itu merupakan tindakan untuk melakukan sesuatu maupun tindakan untuk tidak melakukan sesuatu;

2.

Suatu akibat yang dilarang oleh undang undang atau suatu constitutief gevolg; dan

3.

Unsur-unsur selebihnya dari delik.3 Jonkers, yang dikutip J.Guwandi , menyebutkan adanya unsur-unsur kesalahan

sebagai tolok ukur di dalam hukum pidana: 1. Bertentangan dengan hukum; 2. Akibatnya dapat dibayangkan; 3. Akibatnya dapat dihindarkan; 9

4. Perbuatannya dapat dipersalahkan kepadanya;3 Seseorang dikatakan lalai apabila ia bertindak acuh, tak peduli, tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana lazimnya didalam tata pergaulan hidup di masyarakat. Selama kelalaian itu tidak membawa kerugian atau cedera kepada orang lain, atau karena menyangkut hal-hal yang sepele, maka tidak ada akibat hukum apa apa. Prinsip ini berdasarkan adagium De minimis not curat lex. Hukum tidak mencampuri hal hal yang sepele. Namun apabila kelalaian itu sudah mencapai tingkat tertentu dan tidak mempedulikan benda atau keselamatan jiwa orang lain, maka sifat kelainan itu dapat berubah menjadi delik. 3

2.3.1. Jenis Kelalaian Menurut teori hukum pidana kealpaan yang diartikan sebagai suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang hati-hati sehingga secara tidak sengaja mengakibatkan terjadinya sesuatu tersebut dapat dibagi menjadi dua bentuk yaitu: 1. Kealpaan ringan 2. Kealpaan berat3 Dalam hukum pidana, untuk menilai seseorang bertindak hati-hati atau sebaliknya, adalah dengan memperbandingkan tindakan seseorang tersebut dengan tindakan orang lain. Terdapat dua kategori orang lain yang dimaksud, yaitu : (1) orang yang sekategori dengan seseorang yang dinilai tindakannya , dan (2) orang yang memiliki kategori lebih.3 Apabila dalam situasi dan kondisi yang sama, tindakan orang yang sekategori dengan seseorang yang dinilai tindakannya tersebut sama dengan tindak seseorang yang dinilai, maka seseorang yang dinilai tindakannya tersebut dinyatakan berhati-hati. Sebaliknya apabila tindakannya berbeda, maka tindakan orang yang dinilai itu dinyatakan tidak berhati-hati. Tindakan seseorang yang dinilai tersebut termasuk kategori kealpaan besar.3 Apabila dalam situasi dan kondisi yang sama, tindak orang yang memiliki kategori lebih dari seseorang yang dinilai tindakannya tersebut sama dengan tindakan seseorang yang dinilai, maka seseorang yang dinilai tindakannya tersebut dinyatakan berhati-hati. Sebaliknya apabila tindakan orang itu berbeda, maka tindakan orang yang dinilai itu dinyatakan tidak berhati-hati. Tindakan seseorang itu termasuk kategori kealpaan kecil.3

10

Dalam hukum pidana ,seseorang tidak diharapkan untuk bertindak secara sangat atau paling hati hati akan tetapi cukup bertindak hati hati, yaitu sebagaimana orang pada umumnya bertindak atau bertindak secara wajar.3 2.3.2. Unsur-Unsur Kelalaian Untuk berhasilnya suatu tuntutan berdasarkan kelalaian, menurut J.Guwandi harus dipenuhi empat unsur yang dikenal dengan nama 4-D, yaitu : 1. Duty to use due care Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa harus ada hubungan hukum antara pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya hubungan hukum maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat rumah sakit itu harus sesuai standar pelayanan medik agar pasien jangan sampai menderita cedera karenanya. 2. Deriliction (Breach of Duty) Apabila sudah ada kewajiban maka dokter/perawat rumah sakit harus bertindak sesuai dengan standar profesi yang berlaku. Jika terdapat penyimpangan dari standar tersebut maka ia dapat dipersalahkan. Bukti adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui saksi ahli, catatan catatan pada rekam medik, kesaksian perawat dan bukti bukti lain. Apabila kesalahan itu sedemikian jelasnya , sehingga tidak diperlukan kesaksian ahli lagi, maka hakim dapat menerapkan doktrin Res Ipsa Loquitur. Tolok ukur yang dipakai secara umum adalah sikap tindak seseorang dokter yang wajar dan setingkat didalam situasi dan keadaan yang sama. 3. Damage (injury) Unsur ketiga untuk penuntutan malpraktik adalah cedera atau kerugian yang diakibatkan pada pasien. Walaupun seorang dokter dituduh telah berlaku lalai, tetapi jika tidak sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian kepada pasien maka ia tidak dapat dituntut ganti rugi. Istilah luka tidak hanya dalam bentuk fisik, namun kadangkala juga termasuk dalam arti gangguan mental yang hebat. 4. Direct Causation (Proximate Cause) Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti rugi berdasarkan malpraktik medik, maka harus ada hubungan causal yang wajar antara sikap tindak tergugat (dokter) fdan kerugian yang diderita oleh pasien sebagai akibatnya. Hanya atas dasar penyimpangan saja belum cukup untuk mengajukan tuntutan ganti kerugian, 11

kecuali jika penyimpangannya sedemikian tidak wajar sehingga sampai mencederai pasien.3 2.3.3. Perbedaan Malpraktik Medik dengan Kelalaian Medik Terminologi malpraktik medik dan kelalaian medik merupakan dua hal yang berbeda. Kelalaian medik memang termasuk malpraktik medik, akan tetapi didalam malpraktik medik tidak hanya terdapat unsur kelalaian, dapat juga karena adanya kesengajaan. Jika dilihat dari definisi diatas jelaslah bahwa malpractice mempunyai pengertian yang lebih luas daripada negligence karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan tindakan yang dilakukan dengan sengaja dan melanggar undang undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat ada motif, sedangkan arti negligence lebih berintikan ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati hati, acuh tak acuh, sembrono, tak peduli terhadap kepentingan orang lain, namun akibat yang timbul memang bukanlah menjadi tujuannya. Harus diakui bahwa kasus malpraktik murni yang berintikan kesengajaan dan yang sampai terungkap ke pengadilan memang tidak banyak. Demikian juga di luar negri yang tuntutannya pada umumnya bersifat perdata atau pengganti kerugian. Namun perbedaannya tetap ada. Oleh karena itu , malpraktik dalam arti luas dapat dibedakan dari tindakan yang dilakukan : 1. Dengan sengaja yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan atau malpraktik dalam arti sempit, misalnya dengan sengaja melakukan abortus tanpa indikasi medik , melakukan euthanasia, memberi surat keterangan medik yang isinya tidak benar dan sebagainya. 2. Tidak dengan sengaja atau karena kelalaian , misalnya menelantarkan pengobatan pasien karena lupa atau sembarangan sehingga penyakit pasien bertambah berat dan kemudian meninggal.3 Perbedaan yang lebih jelas kalau kita melihat motif yang dilakukan, yaitu: 1. Pada malpraktik (dalam arti ada kesengajaan) : tindakannya dilakukan secara sadar, dan tujuan dari tindakannya memang sudah terarah kepada akibat yang hendak ditimbulkan atau tidak perduli terhadapakibatnya, walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya itu bertentangan dengan hukum yang berlaku.

12

2.

Pada kelalaian : tidak ada motif ataupun tujuan untuk menimbulkan akibat yang terjadi. Akibat yang timbul disebabkan karena adanya kelalaian yang sebenarnya terjadi diluar kehendaknya.3 Mengacu pada rumusan-rumusan yang dikemukakan diatas dapat ditarik

kesimpulan mengenai malpraktik medik, yaitu bahwa yang dimaksud malpraktik medik adalah kesalahan baik sengaja maupun tidak sengaja dalam menjalankan profesi medik yang tidak sesuai dengan standard profesi medik dan standard prosedur operasional dan berakibat buruk/fatal dan atau mengakibatkan kerugian lainnya pada pasien , yang mengharuskan dokter bertnggung jawab secara administratif dan atau secara perdata dan atau secara pidana.3 Dalam penjelasan undang-undang No 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran disebutkan bahwa standar profesi medik adalah batasan kemampuan minimal yang hatus dikuasai oleh seorang dokter untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri, yang disusun oleh Ikatan Dokter Indonesi. Sedangkan standar prosedur operasional adalah suatu perangkat instruktif tentang langkah langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Standar prosedur operasional disusun oleh institusi tempat dokter bekerja (rumah sakit, puskesmas, dan lain-lain).3

2.4 Tindakan Medik Tindakan medik adalah tindakan profesional oleh dokter terhadap pasien dengan tujuan memelihara, meningkatkan, memulihkan kesehatan, atau menghilangkan atau mengurangi penderitaan. Meski memang harus dilakukan, terapi tindakan medik tersebut ada kalanya atau sering dirasa tidak menyenangkan. Tindakan medik adalah tindakan yang seharusnya hanya boleh dilakukan oleh para tenaga medis, karena tindakan itu ditujukan terutama pada pasien yang mengalami gangguan kesehatan. Suatu tindakan medik adalah keputusan etik karena dilakukan oleh manusia terhadap manusia lain, yang umumnya memerlukan pertolongan dan keputusan tersebut berdasarkan pertimbangan atas beberapa alternatif yang ada. Keputusan etik harus memenuhi tiga syarat, yaitu bahwa keputusan tersebut harus benar sesuai ketentuan yang berlaku, juga harus baik tujuan dan akibatnya ,

13

dan keputusan tersebut harus tepat sesuai dengan konteks serta situasi dan kondisi saat itu, sehingga dapat dipertanggungjawabkan.3 Sedangkan menurut Budi Sampurno, dalam melakukan tindakan medik yang merupakan suatu keputusan etik, seorang dokter harus : 1. Mempertimbangkan nilai nilai yang hidup di dalam masyarakat, profesi dan pasien. 2. Mempertimbangkan etika, prinsip prinsip moral dan keputusan-keputusan khusus pada kasus klinis yang dihadapi.3 Secara material, menurut Danny Wiradharma, suatu tindakan medis tidak bertentangan dengan hukum apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Mempunyai indikasi medik, untuk mencapai suatu tujuan yang konkret. 2. Dilakukan menurut aturan-aturan yang berlaku dalam ilmu kedokteran. 3. Sudah mendapat persetujuan dari pasien.3 Syarat a dan b disebut sebagai bertindak secara lege artis. Secara yuridis sering dipermasalahkan apakah suatu tindakan medis dapat dimasukan dalam pengertian penganiayaan. Akan tetapi dengan dipenuhinya ketiga syarat tersebut diatas maka kemudian menjadi jelas. Sebenarnya kualifikasi yuridis mengenai tindakan medik tidak hanya mempunyai arti bagi hukum pidana saja, melainkan juga bagi hukum perdata dan hukum administratif.3 Hubungan keperdataan timbul karena adanya suatu perjanjian antara dokter dengan pasien untuk memberikan pertolongan , dan dalam perjanjian tersebut diikatkan beberapa persyaratan, dan apabila persyaratan tersebut tidak dipenuhi oleh salah satu pihak maka terhadap pihak yang tidak memenuhi persyaratan tadi dapat diajukan gugatan. Lazimnya persyaratan dalam hubungan perjanjian antara pasien-dokter tidak secara eksplisit dituangkan dalam rumusan persyaratan perjanjian, namun dianggap telah terkandung didalamnya sesuai dengan etik yang mengikuti dokter dalam menjalankan profesi jabatannya. Dalam hubungan tersebut pengertian informasi pasien merupakan suatu bentuk umum penerangan kepada pasien pada umumnya. Dalam hukum perdata, tindakan medik yang dilakukan dokter merupakan pelaksanaan perikatan yang dibuat antara dokter dengan pasien yang pada hakikatnya merupakan perikatan serta hubungan karena undang-undang.3 Dalam hukum administratif yang berkaitan dengan kewenangan yuridis untuk melakukan tindakan medik adalah Peraturan Menteri Kesehatan RI No. Nomor 1419/MENKES/PER/X/2005 Tentang Penyelenggaraan Praktik Kedokteran dan Dokter Gigi 14

Pasal 1 ayat (1), yang menyebutkan bahwa praktik kedokteran adalah rangkaian tindakan yang dilakukan oleh dokter dan dokter gigi terhadap pasien dalam melaksanakan pelayanan kesehatan.3,5 Guwandi menyebutkan bahwa seorang dokter dalam melakukan tindakan medik haruslah berdasarkan empat hal, yaitu : 1. Adanya indikasi medik; 2. Bertindak secara hati-hati; 3. Bekerja berdasarkan standar profesi medis dan prosedur operasional; 4. Ada persetujuan tindakan medik (informed consent).3 Syarifuddin Wahid menyebutkan empat hal yang harus dilakukan dokter untuk menghindarkan timbulnya sengketa medik dengan pasien : 1.

Dokter harus memahami apa yang legal dan apa yang tidak legal untuk dilakukan dokter berkaitan dengan pekerjaan /profesi dokter;

2.

Dokter harus memahami resiko resiko hukum yang ada terkait dengan profesi dokter;

3.

Melaksanakan smua aturan administrasi berkaitan dengan praktik dokter;

4.

Melindungi profesi dari kemungkinan adanya permasalahan dari segi hukum.3 Pasal 35 ayat(1) dan (2) Undang-Undang No 29 Tahun 2004 mengatur tentang

wewenang dan kompetensi dokter dan dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran: 1.

Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas : a. mewawancarai pasien; b. memeriksa fisik dan mental pasien; c. menentukan pemeriksaan penunjang; d. menegakan diagnosis; e. menentukan penatalaksanaan pengobatan pasien; f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi; g. menulis resep obat dan alat kesehatan; h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi; i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah terpencil yang tidak ada apotek.

15

2.

Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewenangan lainnya diatur dengan Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia.3,6

2.5. Risiko Medik (Untoward Result) Untuk setiap manfaat yang kita dapatkan selalu ada risiko yang harus dihadapi. Satu – satunya jalan menghindari risiko adalah dengan tidak berbuat sama sekali. Kalimat di atas merupakan salah satu ungkapan yang perlu kita renungkan, bahwa di dalam kehidupan, manusia tidak akan pernah lepas dari ketidak-sengajaan atau kesalagan yang tidak dikehendaki di dalam menjalankan profesi atau pekerjaanya. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya risiko yang tidak diharapkan, seorang professional harus selalu berpikir cermat dan bertindak hati-hati agar dapat mengantisipasi risiko yang mungkin terjadi.3 Suatu hasil yang tidak diharapkan terjadi di dalam praktik kedokteran sebenarnya dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, yaitu : 1

Hasil dari suatu perjalanan penyakit atau komplikasi penyakit yang tidak ada

2

hubungannya dengan tindakan medic yang dilakukan dokter. Hasil dari suatu yang tak dapat dihindari, yaitu : a Risiko yang tak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable). Risiko seperti ini dimungkinkan di dalam ilmu kedokteran oleh karena sifat ilmu yang empiris dan sifat tubuh manusia yang sangat bervariasi serta rentan terhadap pengaruh b

eksternal. Sebagai contoh adalah syok anafilaktik. Risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya (foreseeable) tetapi dianggap dapat diterima (acceptable), dan telag diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui oleh pasien untuk dilakukan, yaitu: 1). Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya cukup kecil, dapat diantisipasi, diperhitungkan, atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat, perdarahan, dan infeksi pada pembedahan, dan lain-lain. 2). Risiko yang derajat probabilitas dan keparahannya besar pada keadaan tertentu, yaitu apabila tindakan medik yang berisiko tersebut harus dilakukan karena merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way), terutama dalam keadaan gawat darurat.3

Di Indonesia, pengertian risiko medic tidak dirumuskan secara eksplisit dalam perundang-undangan yang ada. Namun secara tersirat, risiko medic disebutkan dalam beberapa pernyataan berikut : 1

Informed Consent, atau sering disebut sebagai Persetujuan Tindakan Medik, adalah suatu dokumen tertulis yang ditandatangani oleh pasien, yang mengizinkan suatu 16

tindakan tertentu pada dirinya. Persetujuan Tindakan Medik baru mempunyai arti hukum bila ditanda-tangani sesudah pasien mendapat informasi lengkap mengenai tindakan yang akan dikerjakan. Dokumen ini selain dimaksudkan sebagai alat untuk memungkinkan penentuan nasib sendiri pada pasien, juga dapat melindungi dokter dari tuntutan pelanggaran hak atas integritas pribadi pasien termaksud. Salah satu cara yang dilakukan untuk melindungi kepentingan dokter dari tuntutan pasien, di dalam Informed Consent tersebut dicantumkan bahwa dokter tidak akan dituntut di kemudian hari. Syarat yang dimaksud antara laun menyatakan bahwa pasien menyadari sepenuhnya atas segala risiko tindakan medik yang akan dilakukan dokter, dan jika dalam tindakan mdik itu terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka pasien tidak akan melakukan tuntutan apapun ke pengadilan di kemudian hari. Selain itu untuk memenuhi kewajiban memberikan informasi, maka dicantumkan pula pernyataan dari dokter yang menyatakan bahwa telah dijelaskan sifat, tujuan, serta kemungkinan (risiko) akibat yang timbul dari tindakan medik tersebut kepada pasien dan keluarganya. Dengan demikian, dokter yang bersangkutan juga menandatangani formulir Persetujuan Tindakan Medik termaksud. Jika pasien menolak dilakukannya suatu tindakan medik tertentu maka pasien dan/atau keluarganya diwajibkan untuk mengisi Surat 2

Pernyataan Penolakan. Pasal 45 ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004Tentang Praktik Kedokteran : a Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh atau b

dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien

d

mendapat penjelasan secara lengkap Penjelasan sebagaimana dimaksud ayat (2), sekurang-kurangnya mencakup : 1). Diagnosis dan tata cara tindakan medik 2). Tujuan tindakan medik yang dilakukan 3). Alternatuf tindakan lain dan risikonya 4). Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan 5). Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara

e

tertulis maupun secara lisan Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi

c

harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pihak yang 3

berhak memberikan persetujuan.3,6 Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor : 585/Men.Kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik : 17

a

Pasal 2 ayat (3) : Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medic yang

b

bersangkutan serta risiko yang dapat ditimbulkannya. Pasal 3 ayat (1): Setiap tindakan medik yang mengandung risiko tinggi harus dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang hendak memberikan

c 4

persetujuan. Pasal 7 ayat (2): Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya dapat

dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien. Pernyataan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) tentang Informed Consent. PB IDI dalam Surat Keputusannya No. 319/PB/A.4/88 butir (3) menyebutkan: “Setiap tindakan medik yang mengandung risiko cukup besar mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh pasien, setelah sebelumnnya pasien itu memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang bersangkutan serta risiko yang berkaitan dengannya (inform consent).”3

Anny Isfandyarie menyebutkan beberapa hal yang berkaitan dengan risiko medik, yaitu : 1

Bahwa dalam tindakan medik selalu ada kemungkinan (risiko) yang dapat terjadi yang mungkin tidak sesuai dengan harapan pasien. Ketidakmengertian pasien terhadao risiko yang dihadapinya dapat menyebabkan diajukannya tuntutan ke

2 3

pengadilan oleh pasien tersebut. Bahwa dalam tindakan medik ada tindakan yang mengandung risiko tinggi. Bahwa risiko tinggi tersebut berkaitan dengan keselamatan jiwa pasien.3 World Medical Association Statement on Medical Malpractice, yang diadaptasi dari

44th World Medical Assembly Marbela – Spain, September 1992, yang dikutip oleh Herkutanto, menyebutkan bahwa risiko medik atau yang lazim disebut sebagai untoward result adalah “Suatu kejadian luka/ risiko yang terjadi sebagai akibat dari tindakan medik yang oleh karena suatu hal yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dan bukan akibat dari ketidakmampuan atau ketidaktahuan, untuk hal ini secara hukum dokter tidak dapat dimintai pertanggung-jawabannya” (An injury occurring in the course of medical treatment which could not be foreseen and was not the result of any lack of skill or knowledge on the part of the treating physician is an untoward result, for which the physician should not bear any liability). Setiap tindakan medik selalu mengandung risiko yang besar, sekecil apapun tindakannya tetap saja dapat menimbulkan risiko yang besar, sehingga pasien menderita kerugian/ celaka. Dalam hal terjadi risiko, baik yang dapat diprediksi maupun yang tidak dapat diprediksi, maka dokter tidak dapat dimintakan pertanggung-jawabannya.3

18

Dalam ilmu hukum terdapat adagium volontie non fit injura atau asumpsion of risk. Maksud adagium tersebut adalah apabila seseorang menempatkan dirinya ke dalam suatu bahaya (risiko) yang sudah ia ketahui, maka ia tidak dapat menuntut pertanggungjawaban pada orang lain apabila risiko itu benar-benar terjadi. Tidak dapat menuntut pertanggungjawaban seseorang karena risiko terjadi bukan karena kesalahan (schuld) baik sengaja maupun kelalaian. Apabila risiko muncul pada saat pelayanan medis, maka pasien tidak dapat menuntut pertanggungjawaban pidana pada seorang tenaga medik.3

2.6....................................................................................................................................... Leg al Malpraktek Harus disadari lebih dahulu bahwa istilah malpraktek berasal dari negara – negara yang hukumnya menganut Common Law System; yaitu disamping Statute Law juga mengakui Common Law sebagai sumber hukumnya. Statute Law adalah undang – undang yang merupakan produk dari Lembaga Legislatif, sementara Common Law merupakan hukum kebiasaan yang berasal dari putusan Pengadilan sebelumnya. Ketentuan yang berkaitan dengan Informed Consent misalnya, merupakan ketentuan yang bukan berasal dari Lembaga Legislatif seperti di Indonesia tetapi justru dari putusan pengadilan yang kemudian pertimbangan hukumnya (ratio decidendi) diakui sebagai sumber hukum bagi penyelesaian kasus serupa di kemudian hari (precedent for the future cases).1 Perlu dipahami lebih lanjut bahwa malpraktek di negara – negara yang menganut Common Law System dikategorikan sebagai tort, yaitu suatu bentuk kesalahan yang bersifat negligence (kurang hati – hati) dalam rangka melaksanakan kewajiban yang timbul dalam hubungan kontraktual (civil wrong made against a person or properties) atau kalau di Indonesia lebih dikenal sebagai onrechtmatigedaad. Oleh sebab itu sering pula disebut professional negligence. Atas dasar tort law itulah maka kelalaian dokter dalam mengobati pasien di negara – negara tersebut tidak pernah diperkarakan secara pidana meskipun pasien meninggal dunia karenanya, kecuali untuk hal – hal yang bersifat disengaja (intentional), misalnya euthanasia. Namun sayangnya di negara – negara tersebut pada akhir – akhir ini mulai ada kecenderungan untuk mencoba memasukkan kasus professional negligence ke dalam perkara pidana, utamanya yang mengakibatkan kematian, walaupun jumlah kasusnya masih dapat dihitung dengan jari. Kecenderungan internasional seperti itu dikhawatirkan akan dapat dijadikan dorongan bagi penegak hukum di Indonesia yang sejak semula memang

19

suka menggunakan pasal karet (Pasal 359 KUHP) guna menjerat dokter dalam perkara pidana.1 Untuk legal malpractice masih dibagi lagi menjadi tiga kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar; yaitu criminal malpractice (malpraktek pidana), civil malpractice (malpraktek perdata) dan administrative malpractice.2 2.7. Kiminal Malpratek Suatu perbuatan dapat dikategorikan criminal malpractice apabila memenuhi rumusan delik pidana. Pertama, perbuatan tersebut (baik positive act ataupun negative act) harus merupakan perbuatan tercela (actus reus). Kedua, dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea); yaitu berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (recklessness) atau kealpaan (negligence).2 Contoh dari criminal malpractice yang sifatnya intensional antara lain:    

Melakukan aborsi tanpa indikasi medik. Melakukan euthanasia. Membocorkan rahasia kedokteran. Tidak melakukan pertolongan terhadap seseorang yang sedang dalam keadaan emergensi meskipun tahu bahwa tidak ada dokter lain yang akan

  

menolongnya (negative act). Menerbitkan surat keterangan dokter yang tidak benar. Membuat visum et repertum yang tidak benar. Memberikan keterangan yang tidak benar di sidang pengadilan dalam kapasitasnya sebagai ahli.2

Contoh dari criminal malpractice yang bersifat recklessness antara lain:  

Melakukan tindakan medik yang tidak lege artis. Melakukan tindakan medik tanpa informed consent.2

Sedangkan contoh dari criminal malpractice yang bersifat negligence adalah: 

Alpa atau kurang hati – hati sehingga meninggalkan gunting dalam perut



pasien. Alpa atau kurang hati – hati sehingga pasien menderita luka – luka (termasuk cacat) atau meninggal dunia.2

Pada criminal malpractice, tanggung jawabnya selalu bersifat individual (bukan korporasi) dan personal (hanya pada yang melakukan). Oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit.2

20

2.8....................................................................................................................................... Civi l Malpratek Disebut civil malpractice jika dokter tidak melaksanakan kewajibannya (ingkar janji), yaitu tidak memberikan prestasinya sebagaimana telah disepakati.2 Contohnya, seorang dokter ahli kandungan sepakat menolong sendiri persalinan seorang wanita sesuai keinginan wanita tersebut di suatu rumah sakit swasta. Mengingat pembukaan jalan lahir baru mencapai satu sentimeter maka dokter meninggalkannya untuk suatu keperluan yang diperkirakan tidak akan lama. Ketika dokter tiba kembali di tempat ternyata pasien telah melahirkan dalam keadaan selamat dengan dibantu oleh dokter lain. Dalam kasus seperti ini dokter dapat digugat atas dasar civil malpractice untuk membayar ganti rugi immaterial, yaitu perasaan cemas selama menunggu kedatangan dokter yang sangat dipercainya.2 Tindakan dokter yang dapat dikategorikan civil malpractice antara lain: 

Tidak melakukan (negative act)apa yang menurut kesepakatannya wajib



dilakukan. Melakukan (positive act) apa yang menurut kesepakatannya wajib



dilakukan tetapi terlambat. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak



sempurna. Melakukan

apa

yang

menurut

kesepakatannya

tidak

seharusnya

dilakukan.2 Pada civil malpractice, tanggung gugat (liability) dapat bersifat individual atau korporasi. Selain itu dapat pula dialihkan kepada pihak lain berdasarkan principle of vicarious liability (respondeat superior, borrowed servant). Dengan prinsip ini maka rumah sakit dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan oleh dokter – dokternya (subordinatnya), asalkan dapat dibuktikan bahwa tindakan dokter itu dalam rangka melaksanakan kewajiban rumah sakit.2 Doktrin itu sebenarnya baru mulai diterapkan di Amerika sejak kasus Darling v. Charleston Community Memorial Hospital tahun 1965, yakni kasus mula pertama yang menyamakan institusi rumah sakit sebagai person (subjek hukum) sehingga oleh karenanya dapat dijadikan target gugatan atas kinerjanya yang merugikan orang lain. Pertimbangan waktu itu adalah karena banyak rumah sakit mulai melupakan fungsi sosialnya serta dikelola sebagaimana layaknya sebuah industri dengan manajemen modern, lengkap dengan manajemen risiko. Sebelumnya tak pernah ada rumah sakit dihukum membayar ganti rugi 21

atas dasar doctrine of charitable immunity, sebab menghukum rumah sakit sama artinya dengan mengurangi asetnya yang pada gilirannya akan mengurangi kemampuannya untuk menolong masyarakat.1,2 Sejak kasus tersebut pandangan praktisi hukum mulai berubah, apalagi sekarang ini banyak rumah sakit yang sudah melupakan fungsi sosialnya serta dikelola sebagaimana layaknya sebuah perusahaan. Selain itu, dalam rangka melaksanakan manajemen risiko banyak rumah sakit yang sudah mulai memanfaatkan jasa asuransi (malpractice insurance) untuk melindungi mereka dari kemungkinan gugatan ganti rugi yang jumlahnya semakin hari semakin spektakuler.2 2.9. Administrative Malpraktek Dikatakan administrative malpractice jika dokter melanggar hukum tata-usaha negara. Perlu diketahui bahwa dalam rangka melaksanakan police power (the power of the state to protect the health, safety, morals and general welfare of its citizen) yang menjadi kewenangannya, pemerintah berhak mengeluarkan berbagai macam peraturan di bidang kesehatan; seperti misalnya tentang persyaratan bagi tenaga kesehatan untuk menjalankan profesi medik, batas kewenangan serta kewajibannya. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan.2 Contoh tindakan yang dapat dikategorikan administrative malpractice antara lain:  

Menjalankan praktek kedokteran tanpa lisensi atau izin. Melakukan tindakan medik yang tidak sesuai lisensi atau izin yang



dimiliki. Melakukan praktek kedokteran dengan menggunakan lisensi atau izin yang



sudah kadaluwarsa. Tidak membuat rekam medik.2

Menurut peraturan yang berlaku, seseorang yang telah lulus dan diwisuda sebagai dokter tidak secara otomatis boleh melakukan pekerjaan dokter. Ia harus lebih dahulu mengurus lisensi agar supaya memperoleh kewenangan untuk itu. Perlu dipahami bahwa tiap – tiap jenis lisensi memerlukan basic science dan mempunyai batas kewenangan sendiri – sendiri. Tidak dibenarkan melakukan tindakan medik melampaui batas kewenangan yang telah ditentukan. Meskipun seorang dokter ahli kandungan mampu melakukan operasi amandel tetapi lisensinya tidak membenarkan ia melakukan tindakan medik tersebut. Jika ketentuan tersebut dilanggar maka dokter dapat dianggap telah melakukan administrative

22

malpractice dan dapat dikenai sanksi administratif (misalnya berupa pembekuan lisensi untuk sementara waktu).2 2.10....................................................................................................................................... Pem buktian Malpraktek Mengingat kesalahan dokter merupakan kesalahan profesi, maka tidaklah mudah bagi siapa saja (termasuk penegak hukum) yang tidak memahami profesi ini untuk membuktikannya di pengadilan. Meskipun demikian tidak berarti kesalahan dokter tidak mungkin dapat dibuktikan.2 Pada criminal malpractice pembuktiannya didasarkan atas dipenuhi tidaknya unsur pidananya, sehingga karenanya tergantung dari jenis criminal malpractice yang dituduhkan. Dalam hal dokter dituduh melakukan kealpaan sehingga pasien yang ditangani meninggal dunia, menderita luka berat atau luka sedang maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau kurang hati-hati (kurang praduga).2 Perlu dipahami bahwa tidak setiap hasil pengobatan yang tidak sesuai dengan harapan pasien merupakan bukti adanya criminal malpractice mengingat kejadian semacam itu juga dapat merupakan bagian dari risiko tindakan medik. Kesalahan diagnosis juga tidak boleh secara otomatis dijadikan ukuran adanya criminal malpractice sebab banyak faktor yang mempengaruhi ketepatan diagnosis, yang kadang-kadang sebagian faktor tersebur berada di luar control (kekuasaan) dokter. Kedua hal di atas hanya dapat dijadikan persangkaan yang masih harus dibuktikan unsur-unsur pidananya.2 Jika terbukti bersalah maka doker dapat dipidana sesuai jenis tindak pidana yang dilakukannya. Selain itu dokter masih dapat digugat melalui peradilan perdata atas dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad).2 Pada civil malpractice pembuktiannya dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu langsung atau tak langsung.2

2.10.1 Cara Langsung Yaitu dengan membuktikan ke empat unsurnya (4 D) secara langsung; yang terdiri atas unsur kewajiban (duty), mentelantarkan kewajiban (dereliction of duty), rusaknya kesehatan (damage) dan adanya hubungan langsung antara tindakan mentelantarkan kewajiban dengan rusaknya kesehatan (direct causation).2

23

Kewajiban dokter timbul jika secara afirmatif menerima suatu tanggung jawab untuk melakukan tindakan medic melalui hubungan kontraktual (a contract basis), baik yang dibuat atas beban atau dengan cuma-cuma (gratuitous service). Kedua, jika berdasarkan ketentuan yang ada wajib melakukan tindakan medis (a tort basis). Mentelantarkan kewajiban terbukti jika dokter melakukan tindakan medik yang kualitasnya dibawah standar, yaitu suatu tindakan yang mutunya tidak menggambarkan telah diterapkannya ilmu, ketrampilan, perhatian, dan pertimbangan yang layak sebagaimana dilakukan oleh kebanyakan dokter dengan keahlian yang sama ketika menghadapi situasi dan kondisi yang sama pula. Untuk membuktikan ini diperlukan kesaksian ahli dari dokter yang sama keahliannya dengan dokter yang sedang diadili.2 Rusaknya kesehatan terbukti jika pasien meninggal dunia, cacat, lumpuh, mengalami luka berat atau luka sedang. Jika pasien meninggal dunia perlu dilakukan otopsi dan bila masih hidup perlu dilakukan pemeriksaan oleh dokter lain yang akan bertindak sebagai saksi ahli.2 Sedangkan hubungan langsung terbukti jika ada hubungan kausalitas antara rusaknya kesehatan dengan tindakan dokter yang kualitasnya dibawah standar. Untuk membuktikan ini juga diperlukan kesaksian ahli.2 2.10.2 Cara Tak Langsung Cara ini adalah yang paling mudah yaitu dengan mencari fakta-fakta yang berdasarkan doktrin Res Ipsa Loquitor (the thing speaks for itself) dapat membuktikan adanya kesalahan dipihak dokter. Namun tidak semua kelalaian dokter meninggalkan fakta semacam itu. Doktrin Res Ipsa Loquitor ini sebetulnya merupakan varian dari “doctrine of common knowledge”, hanya saja disini masih diperlukan sedikit bantuan kesaksian dari ahli untuk menguji apakah fakta yang ditemukan memang dapat dijadikan bukti adanya kelalaian dokter.2 Perlu diketahui bahwa doktrin Res Ipsa Loquitor hanya dapat diterapkan jika fakta yang ditemukan memenuhi kriteria seperti tersebut dibawah ini, yaitu:  Fakta tidak mungkin terjadi jika dokter tidak lalai.  Fakta yang terjadi memang berada di bawah tanggung jawab dokter.  Pasien tidak ikut menyumbang timbulnya fakta itu atau dengan kata lain tidak ada contributory negligence.2 Jika misalnya ada gunting atau tang tertinggal dalam perut pasien yang menjalani operasi, maka gunting atau tang itu berdasarkan doktrin Res Ipsa Loquitor, dapat

24

dijadikan fakta yang secara tidak langsung dapat membuktikkan kesalahan dokter, mengingat:   

Gunting atau tang itu tak mungkin tertinggal kalau tidak ada kelalaian. Gunting atau tang yang tertinggal itu berada di bawah tanggung jawab dokter. Pasien dalam keadaan terbius sehingga tidak mungkin dapat memberi andil teradap tertinggalnya alat-alat tersebut.2

2.11. Pembuktian Menurut Hukum Pidana Dalam ruang lingkup hukum pidana, suatu perbuatan dikatakan perbuatan pidana apabila memenuhi semua unsur yang telah di tentukan secara limitatif dalam suatu aturan perundang-undangan pidana. Hal ini sesuai pasal 1 ayat (1) KUHP yang menyebutkan bahwa tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan itu dilakukan, nullum delictum noella pooena sine previa lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa perraturan lebih dahulu). Pasal 1 ayat (1) KUHP ini dikenal dengan asa legalitas. Kata kecuali dalam pasal 1 ayat (1) KUHP ini mengandung pembatasan dapat dikriminalkan walaupun secara etik ungkin bertentangan dengan moral kemasyarakatan atau bertentangan dengan hukum kebiasaan suatu masyarakat.7 Pada criminal malpractice, pembuktian didasarkan pad terpenuhi tidaknya semua unsur pidana karena tergantung dari jeni criminal merupakan malpractice yang di dakwakan. Criminal malpractice delik umum , pembuktiannya pun tunduk pada hukum acara pidana (KUHAP). Dalam Pasal 184 KUHAP disebutkan tentang alat bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan perbuatan pidana, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Perbuatan dikatakan terbukti sebagai perbuatan pidana apabila berdasarkan minimal dua alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan perbuatan pidana. Dalam ilmu hukum pidana, perbuatan hukum pidana apabila semua unsur pidananya terpenuhi.7 Malpraktek medik dapat masuk ke ranah hukum pidana apabila memenuhi syaratsyarat dalam 3 aspek, yaitu:  Syarat sikap batin dokter  Syarat dalam perlakuan medis  Syarat mengenai hal akibat.7 Pada dasarnya syarat dalam sikap batin adalah syarat sengaja atau culpa, yaitu wujud perbuatan dalam melakukan tindakan medik, syarat perlakuan medis adalah perlakuan medis yang menyimpang, dan syarat akibat adalah syarat mengenai timbulnya kerugian bagi kesehatan atau nyawa pasien. Semua perbuatan dalam pelayanan medik dapat mengalami 25

kesalahan (sengaja atau lalai) yang pada ujungnya menimbulkan malpraktek medik, apabila dilakukan secara menyimpang. Dapat diartikan bahwa umumnya menimbulkan malpraktik dan tidak selalu berakibat terjadinya malpraktik kedokteran menurut hukum. Alasannya, karena untuk terjadinya malpraktik kedokteran menurut hukum, selain perbuatan-perbuatan dalam perlakuan medik tersebut menyimpang masih ada syarat sikap batin akibat yang tidak mudah dipahami dan diterapkan. Bahkan kasus kongkret tertentu menunjukan perbuatan yang ternyata salah kadang kala bisa dibenarkan dengan alasan tertentu. Hal itu berarti untuk kasus kongkret tertentu kadang diperlukan syarat lain, misalnya, salah dalam membuat diagnosis tetapi perbuatan itu dapat dibenarkan apabila ada alasan pembenar misal fakta-fakta medis yang ada (hasil pemeriksaan sesuai standar) dari sudut kepatutan dibenarkan untuk menarik kesimpulan diagnosis.7 2.12.

Dasar Pemidanaan Malpraktik Medik Sebelum mengurakan dasar pemidanaan atas terjaddinya malpraktik medik, perlu

kirinya diingatkan kembali bahwa penggunaan terminatologi malpraktek medik disini adalah malpraktik medik dalam arti luas, tidak sebatas pada kelalaian atau kelalian medik. Jadi termasuk pula malpraktik yang terjadi karana adanya kesengajaan (delik dolus /opzet).7 Undang-undang (KUHP) tidak membuat pengertian tentang sengaja (dolus/opzet), tetapi pengertian sengaja dapat ditemukan dalam Memoriw Van Toelichting (MvT) bahwa untuk adanya kesengajaan harus memuat willens (kehendak) dan wetens (mengetahui). Remmelink mengatakan, berkenaan dengan substansi, harus dikaitkan dengan perbuatan (tindakan) terhadap mana kehendak tertuju dan akibat serta situasi yang melingkupinya sudah dibayangkan sebelumnya elemen volitief (kehendak) dan intelektual (pengetahuan) atau volontie et connaissance. Tindakan dengan sengaja selalu Willens (dikehendaki) dan wetens (disadari atau diketahui).7 Namun dalam praktik peradilan pada delik materiil seperti pembunuhan, unsuk mengetahui, misal sebagaimana tercantum dalam arrest Hoge Raad tanggal 29 Juli 1907 mengenai penerapan Pasal 348 ayat (1) KUHP, yang dikenal sebagai abortus-arrest. Dalam memori kasasinya terhukum mengatakan bahwa ia tidak mengetahui apakah janin dalam kandungan itu pada waktu ia gugurkan berada dalam keadaan hidup atau mati. Sedang peradilan pun tidak pernah menyatakan tentang terbuktinya pengetahuan terhukum mengenai masalah tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, Lamintang menyimpulkan bahwa dalam Memorie van Toelichting, dolus (opzet) itu jug diartikan sebagai willens en wetens, maka di dalam peradilan, seperti

tercermin dari arrest-arrest Hoge Raad, perkataan willens atau

menghendaki itu diartikan sebagai kehendak untuk melakukan suatu perbuatan tertentu dan 26

wetens atau mengetahui itu diartikan sebagai mengetahui atau dapat mengartahui bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan akibat sebagaimana yang dikehendaki. Dalam konteks pemahaman tersebut maka ada tiga undang-undang yang dapat menjadi dasar dalam pemidanaan malpraktik medik.  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana  Undang-undang No 23 tahun 1992 tentang kesehatan  Undang-undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran7

2.12.1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal dalam KUHP yang relevan dengan tanggung jawab pidana yang berhubungan

dengan

malpraktek

medik

adalah

pasal

267,299,322,344,346,347,348,349,351,360,361 KUHP7,8 1. Pemalsuan Surat Keterangan Dokter Pasal 267 KUHP adalah pasal khusus dikenakan bagi doter yang menyebutkan bahwa: 1) Seorang dokter yang dengn sengaja memberikan surat keterangan palsu tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun 2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memaukan seseorang ke dalam rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan 3) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran Dalam praktik sehari-hari, adaalanya surat keterangan dokter tersebut diisi oleh perawtan yang melaksanakan perintah dokter, tetapi yang menandatangani surat keterangan tersebut adalah dokter. Bila perawat yang mengisi surat keterangan dokter tersebut tidak mengetahui tentang ketidakbenaran isi dari surat tersebut, maka perawt tidak ikut bertanggung jawab. Tetapi bila perawat mengetahui bahwa isi surat keterangan tersebut tidak benar atau tidak sesuai dengan kenyataan, maka terhadap perawat juga dapat dikenakan sanksi sebagai pelaku yang turut serta sebagaimana diatur dalam pasal 55 ayat (1) ke 1 KHUP.7,8 Agar rumusan dalam pasal 267 KUHP ini bisa dikenakan pada dokter, unsur sengaja harus terpenuhi, karena bisa saja terjadi kesalahan dalam penerbitan surat keterangan itu. Misal nya dari hasil pemeriksaan yang dilakukan , dokter tidak menemukan kelainan pada tubuh pasien, sehingga ia memberikan surat ketrangan sehat yang di minta oleh pasien. Ternyata sebenarnya pasien menderita hemofilia yang tidak diketahui oleh dokter tersebut. Dalam keadaan semacam ini, tindakan

27

dokter memberikan surat keterangan yang isinya tidak sesuai dengan kebenaran tidak dapat dipersalahkan, karena ia tidak sengaja melakukannya. 7,8 Untuk dapat dinyatakan bahwa perbuatan dokter murapakan kesengajaan haru dibuktikan bawha palsunya keterangan dalam surat merupakan perbuatan yang dikehendaki, didasari dan dituju oleh dokter tersebut. Dengan perkataan lain, dokter memang menghendaki pernuatan membuat palsu dan atau memalsu surat dan mengetahui bahwa keterangan yang di berikan dalam surat itu adalah bertentangan dengan yang sebenarnya. 7,8 2. Memberikan Harapan Pengguguran Kehamilan Dalam hal memberikan harapan pengguguran kehamilan kepada seorang wanita hamil, Pasal 299 KUHP menyebutkan bahwa: 1. Barang siapa dengan sengaja mengobati seorang wanita atau menyuruh supaya diobati, dengan diberitahu atau ditimbulkan harapan bahwa karena pengobatan itu hamilnya dapat digugurkan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak empat puluh lima ribu rupuah 2. Jika yang bersalah berbuat demikian untuk mencari keuntungan atau menjadikan perbuatan tersebut sebagai pencarian atau kebiasaaan atau jika dia seorang dokter, bidan atau juru obat, pidananya dapat di tambah sepertiga 3. Jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut dalam mejalankan pencariannya, daat dicabut haknya untuk menjalankan pencariann itu7,8 Sebagai contoh kasus, misalnya seorang pasien wanita tersebut hamil, dan meminta kepada dokter dengan pernyataan bahwa wanita tersebut hamil dan meminta kepada dokter untuk memberikan obat agar kehamilannya tidak berlanjut. Dokter kemudian memberikan resep dengan keterangan bahwa setelah obat yang tertulis di dalam resep tersebut habis, kehamilan wantia tersebut akan segera berakhir. Walaupun resep tersebut belum dibelikan oleh pasien dan belum sempat diminum, perbuatan dokter yang menimbulkan harapan pada pasien bahwa karena obat tersebut hamilnya dapat digugurkan, akan dapat dituntut dengan pasal 299 KUHP ini. Dengan demikian berdasar pasal 299 ayat (2) dan ayat (3) KUHP, dokter yang bersangkutan dapat terkena ancaman pidana selama-lamanya 4 (empat) tahun ditambah sepertiga sehingga menjadi 5 (lima )tahun empat bulan dan dapat pula ditambah dengan pencabutan hak melakukan pekerjaan sebagai dokter. 7,8 3. Rahasia kedokteran Berkaitan dengan rahasia kedokteran, pasal 322 KUHP menyebutkan : 1. Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pekerjaannya, baik yang sekarng maupun yang dahulu, 28

diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak enam ratus rupiah 2. Jika kejahatan dilakukan terhadap seseorang tertentu dipercayakan dalam jabatannya atau pekerjaannya, termasuk juga rahasia di ketahui dengan cara lain daripada yang dipercayakan. 7,8 Ada perbedaan antara rahasia jabatan dengan rahasia pekerjaan.Rahasia jabatan merupakan sesuatu rahasia yang diketahhui karena jabatan atau kedudukan seseorang, seperti pegawai negeri.Adapun rahasia pekerjaan merupakan rahasia yang diketahui karena pekerjaan.Ko Tjai Sing membedakan jabatan sebagai pekerjaan pegawai negeri, dan pekerjaan untuk pekerjaan non pegawai negeri, seperti rohaniwan, advokat, dan dokter. 7,8 Apabila rahasia pekerjaan tersebut di bidang kedokteran maka disebut rahasia kedokteran (rahasia medis). Rahasia kedokteran (rahasia medis) merupakan sesuatu yang diketahui berdasarkan informasi yang disampaikan pasien (termasuk oleh orang yang mendampingi pasien ketika berobat), termasuk juga segala sesuatu yang dilihat (diketahui) ketika memeriksa pasien. Menurut Guwandi, awal mulanya rahasia medis adalah dari pasien sendiri yang menceritakannya kepada dokter sehingga sewajarnyalah pasien itu sendiri adalah dan dianggap sebaga pemilik rahasia medis atas dirinya sendiri, bukannya dokter. Ketentuan UU no 29 tahun 2004 tersebut tidak mengkrminalisasi perbuatan menyimpan rahasia kedkteran.Namun hal ini bukan berarti ketentuan pasal 322 KUHP tidak berlaku lagi terhadap pekerjaan dokter (rahasia kedokteran), karena ketentuan UU No 29 Tahun 2004 ini tidak menganulir (mengecualikan) pasal 322 KUHP terhadap rahasia kedokteran. 6,7,8 Pendapat Ari Yunanto, sebagaimana diatas, berbeda dengan pendapat Anny Isfandyarie yang menyatakan bahwa dengan ada nya ketentuan di dalam UU tersebut sebagai lex specialis, maka pasal 322 KUHP tidak berlaku bagi tenaga kesehatan di luar dokter dan dokter gigi.Namun di dalam praktiknya masih di mungkinkan dicantumkannya pasal 322 KUHP ini sebagai tuntutan subsider oleh penuntut umum. 7,8

Menurut Adami Chazawi, dalam perkara pidana, jika pengadilan meminta dokter sebagai ahli memberikan keterangan yang di dalamnya ada keterangan yang wajib disimpannya, misal tentang penyakit yang menyebabkan pasien meninggal, tidak dipidana. Hal ini bukandokter tidak melakukan tindak pidana sebagaimana rumusan pasal 322 KUHP, tetapi tidak dipidanakannya perbuatan memberikan keterangan ahli karena kehilangan sifat tidak melawan hukumnya perbbuatan. 29

Pertimbangan hukumnya ialah apabila dokter nekat berhatan pada rahasia jabatan di depan sidang pengadilan maka ia melanggar kepentingan hukum yang lebih besar yang berupa kepentingan hukum untuk tegaknya keadilan. 7,8 Menurut Ari Yunanto, pendapat Adami Chazawi trsebut tidak tepat.Dalam kasus disebutkan bahwa dokter diminta keterangannya sebagai ahli, bukan sebagai saksi ahli, memberikan keterangan tidak bersifat faktual melainkan berdasarkan keahlian pada bidang tertentu.Keterangan diberikan berdasarkan keilmuan yang di milikinya. Hal ini berbeda dengan bila diminta keterangan sebagai saksi , yang mana keterangan diberikan berdasarkan fakta yang dilihat, didengar, dan dialaminya. Jafii tidak mungkin seoerang dokter yang diminta keterangannya sebagai ahli akan memberikan penjelasan yang bersifat faktual seperti penyakit atau keadaan seseorang. Mengenai penyakit atau keadaan seseorang yang sakit merupakan suatu hal yang bersifat faktual yang harus dirahasiakan dokter.Sedangkan ketrangan sebagai ahli yang diberikan dokter bukanlah rahasia, karena substansinya menyangkut ilmu pengetahuan, yang bukan objek yang harus dirahasiakan. 7,8 Berbeda dengan apabila dokter diminta keterangannya sebagai saksi. Dalam hal ini akan terjadi dilema bagi dokter, antara keharusan menyimpan rahasia kedokteran dan keharusan memberikan keterangan sebagai saksi. Kewajiban memberikan kesaksian ini merupakan kewajiban hukum setiap orang, bahkan pelanggaran terhadap kewajiban ini dikriminalisasi berdasarkan pasal 224 KUHP , bahwa: Barangsiapa secara sah dipanggil sebagai saksi, ahli, atau sebagai juru bahasa menurut undang-undang, dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang selaku demikian harus dipenuhi, diancam: Ke 1 dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan; Ke 2 dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan7,8 Dalam kasus demikian dokter juga dapat memilih untuk melaksanakan kewajiban menyimpan rahasia kedokteran, yang berarti ia tidak bersedia memberi keterangan sebagai saksi. Atas pilihan itu seorang dokter tidak dapat dipidana, karena hukuman pidana materiil telah disediakan alasan pembenar (rechtvaardigingsgroden) yang dalam hal ini adalah noodtoestand atau keadaan darurat (terpaksa). Pda kasus tersebut dokter dihadapkan pada konflik antara dua kewajiban meberi keterangan sebagai ahli, yang mana ia harus memilih unutk melaksanakan satu kewajiban, yaitu memberikan keterangan sebagai saksi. 7,8 30

Dalam persektif hukum pidana formal (hukum acara pidana), telah disediakan “hak undur diri” (verschoningrecht) sebagai saksi atau ahli sebagaimana terdapat dalam pasal 170 KUHAP, yang menyatakan: 1. Mereka yang karena pekerjaannya, harkat martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberikan keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka. 2. Hakim menentukan sah tidaknnya segala alasan untuk permintaan tersebut. Atas dasar hak undur diri sebagai saksi atau ahli tersebut, seorang dokter tetep dapat menyimpan rahasia kedokteran , namun hak tersebut tidaklah bersifat mutlak, karena permintaan mundur sebagai saksi atau ahli tergantung pada penilaian hakim. Artinya, apabila hakim memandang kesaksian atau keterangan ahli dari dokter tersebut sangat penting (menentukan) dalam memutus perkara itu, maka hakim dapat menolak permintaan mundur sebagai saksi atau ahli. 7 Alexandra Indriyanti menyebutkan beberapa hal yang merupakan kekecualian wajib simpan rahasi kedokteran, yaitu: ada persetujuan dari pasien, ada komunikasi dengan dokter lain dari pasien tersebut, dan informasi tersebut tidak tergolong informasi yang bersifat rahasia. Sementara itu dokter diperkenankan membuka rahasia pasiennya secara terbatas kepada pihak tertentu, asal memenuhi tiga syarat, yaitu: 1. Syarat keterbatasan para pihak yang relevan saja, misalnya kepada suami/istri, mantan suami/istri, pengadilan, pihak yyang mungkin akan ketularan atau terpapar penyakit tersebut 2. Syarat keterbatasan informasi, yakni hanya dibuka sejauh yang diperlukan 3. Syarat keterbatasan persyaratan, yakni informasi hanya dibuka apabila memang secara medis, informasi tersebut layak dibuka. 7 Pengecualian terhadap wajib simpan rahasia kedokteran juga berlaku pada kondisi-kondisi darurat seperti wabah dan becana alam, di mana seorang dokter ataupun petugas kesehatan tidak boleh membiarkan bencana terjadi tanpa penanganan yang semestinya.Hal ini diatur dalam Undang-Undang no 6 tahun 1962 tentang Wabah. Undang-undang ini mewajibkan dokter atau petugas kesehatan lain untuk segera melaporkan kondisi-konsidi luar biasa karena wabah penyakit dan penyebarannya sehingga segera ditanggulangi. 7 31

2.12.1.4. Eutanasia Euthanasia berasal dari kata eu dan thanatos(Yunani). Eu artinya baik dan thanatos artinya mati, mayat. Dengan demikian euthanasia secara harafiah berarti kematian yang baik atau kematian yang menyebangkan.Seutinius dalam buku Vitaceasarum merumuskan bahwa eutanasia adalah mati cepat tanpa derita. Menurut Richard Lamerton, euthanasia pada abad ke 20 ditafsirkan sebagai pembunuhan atas dasar belas kasihan (mercy killing). Juga diartikan sebagai perbuatan membiarkan seseorang mati dengan sendirinya (mercy dead), atau tanpa berbuat apa-apa membiarkan orang mati.Pengertian tersebut tampaknya semata-mata dilihat dari sudut sifat kematian (tanpa penderitaan) atau dari sudut perbuatan pasif berupa membiarkan seseorang mati danpa usaha untuk mempertahankan kehiduoannya.Pengertian seperti itu tidak menggambarkan yang sesungguhnya terjadi karena belum menggambarkan kehendak orang yang mau mati itu.Padahal kehendak itulah yang mahapenting dan menjadi unsur esensieel dari eutanasia.Oleh karena itu sebaiknya istilah eutanasia diartikan sebagai membunuh atas kehendak korban sendiri.7 Didalam penjelasan Kode Etik Kedokteran Indonesia, istilah euthanasia di pergunakan dalam tiga arti, yaitu: 1. Pindah ke dalam baka dengan tenang dan aman, tanpa penderitaan, untuk yang beriman dengan nama Allah di bibir. 2. Ketika hidup berakhir, penderitaan si sakit diringankan dengan memberikan obat penenang, dan 3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seseorang yang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya. 7 Pada umumnya disepakati batasan euthanasia, yaitu: 1. Euthanasia aktif, yaitu tindakan yang secara sengaja dilakukan dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek hidup si pasien 2. Euthanasia pasif, dimana dokter atau tenaga kesehatan sengaja tida (lagi) meberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien 3. Auto-euthanasia, yaitu seorang pasien menolak secar tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. 7 Menurut Leenen, seperti dikutip oleh Chrisdiono, terdapat kasus-kasus yang di sebut pseudo-euthanasia atau euthanasia semu, yang tidak dapat dimasukan pada larangan hukum pidana. Empat bentuk pseudo-euthanasia menurut Leenen adalah:

32

1. Pengkhiran perawatan medis karena gejala mati batang otak. Jantung masih berdenyut, peredaran darah dan pernafasan masih berjalan tetapi tidak ada kesadaran karena otak seratus persen tidak berfungsi misalnya akibat kecelakaan berat 2. Pasien menolak perawatan atau bantuan medis terhadap dirinya. Dasar pemikirannya, dokter tidak dapat melakukan sesuatu jika tidak dikehendaki pasien 3. Berakhirnya kehidupan akibat keadaan darurat karena kuasa tidak terlawan (force majeure). Dalam hal ini terjadi dua kepentingan hukum yang tidak bisa memenuhi kedua-duanya. 4. Penghentian perawatan/pengobatan/bantuan medis yang diketahui tidak ada gunanya. 7 Hukum Indonesia tidak mengenal dan tidak dapat membenarkan alasan atau motivasi euthanasia seperti yang dikemukakan Leenen tersebut. UU Indonesia tidak memberikan tempat untuk mentoleransi salah satu alasan pengakhiran hiudp manusia dengan cara itu. Pasal 244 KUHP melarang segala bentuk pengakhiran hidup manusia walaupun atas permintaan sendiri dengan rumusan sebagai berikut: ”Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orag itu sendri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 7 Nilai kejahatan pembunuhan atas permintaan korban ini sedikit lebih ringan daripada pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP) yang diancam pidana penjara setinggitingginya 15 tahun penjara dan jauh lebih berat daripada kelalaian yang menyebabkan matinya orang (pasal 359 KUHP) yang diancam pidana setinggi-tingginya 5 tahun penjara. 7 Faktor lebih ringan (dua tahun) dari pembunuhan biasa disebabkan oleh pembunuhan atas permintaan korban ini terdapat unsur “atas permintaan korban itu sendiri yang dinyatakan dengan kesungguhan hati”.Permintaan korban itu oleh hukum masih dihargai dengan di beri ancaman pidana dua tahun lebih ringan daripada pembunuhan biasa, dibanding jika kematian tidak dikehendaki oleh korban. 7 2.12.1.5. Aborsi Istilah populer lainnya adalah pengguguran kandungan. Walaupun dari sudut hukum menggugurkan kandungan tidak sama persis artinya dengan praktik aborsi karena dari sudut hukum (pidana) pada praktik aborsi terdapat dua bentuk perbuatan.

33

Pertama, perbuatan menggugurkan (afdrijven) kandungan, kedua, perbuatan mematikan (dood’doen) kandungan.7 Di Indonesia sekarang ini terdapat 2 (dua) aturan hukum yang mengatur tentang aborsi, yaitu Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU no 23 tahun 1992 tentang kesehatan.7 Dalam persepektif KUHP, pengaturan aborsi ada di pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP. a Pasal 346 KUHP menyatakan: Seorang perembuan yang sengaja menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu maka diancam dengan pidana paling lama enam tahun . 7,8 Dalam pasal ini yang menjadi subjek (pelaku delik) adalah seorang perempuan, yaiutu perempuan yang mengggugurkan atau mematikan kandungannya.Subjek delik tidak bersifat umum (yang biasanya menggunakan kata barangsiapa/setiap orang), yang mana pada delik ini terhadap unsur keadaan yang menyertai berupa subjek, sehingga tidak dapat diterapkan terhadap orang yang tidak memenuhi kualifikasi subjek ini. 7,8 Dalam konstruksi delik ini ditentukan akibat, yaitu mengakibatkan gugurnya kandungan dan mengakibatkan matinya kandungan di perempuan tersebut.Untuk timbulnya suatu akibat, baik gugur kandungan atau mati kadnungan, tentu ada perbuatan yang dilakukan, sehingga ada huungan kausal antara perbuatan dengan akibat. 7,8 Disamping itu, adanya unsur sengaja (dolus), sehingga dengan melakukan suatu perbuatan itu pelaku menghendaki dan dapat mengetahui adanya akibat tersebut. Menurut van Bemmelen, harus dapat dibuktikan kandungan perempuan itu dalam keadaan hidup pada waktu abortus provocatus dilakukan, namun ua tidak disyaratkan mengetahui keadaan itu. Hal ini misalnya sebagaimana tercantum dalam arrest Hoge Raad tanggal 29 Juli 1907 mengenai penerapan pasal 348 ayat (1) KUHP, yang dikenal sebagai abortus-arrest. 7,8 Suatu persoalan normatif muncul, yaitu pada usia kandingan berapa lama aborsi itu dilarang. Dengan tidak diaturnya persoalan ini, maka tidak ada acuan yang pasti bagi penegak hukum pidan dalam menerapkan ketntuan ini. Selain itu, persoalan lain adalah dengan disebutnya perbuatan “menyuruh” 34

dalam pasal 346 KUHP, apakah dengan disini pengertiannya sama dengan “menyuruh” sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP. Terhadap orang yang disuruh dalam pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP, tidaklah dapat dipertanggung jawabkan, karena orang yang disuruh hanyalah sebagai “instrumen” untuk mewujudkan kehendak dari orang yang menyuruh. 7,8

b

Pasal 347 KUHP menyatakan:

1. Barang siapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa persetujuannya diancam dengan pidana penjara paling lama duabelas tahun 2. Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya perempuan tersebut maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun7,8

c

Pasal 348 menyatakan:

1. Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan dengan persetujuanya diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan7,8 2. Jika perbuatan itu mengakibatakn matinya perempuan tersebut maka diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. 7,8

d

Pasal 349 KUHP menyatakan: Jika serorang dokter, bidan, atau juru obat membantu melakukan kejahatan berdasarkan pasal 346 ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam pasal 3347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan. 7,8

35

Pasal 347 dan 348 KUHP mengatur keterlibatan orang lain dalam tindak pidana aborsi. Apabila seseorang melakukan aborsi tanpa persetujuan dari perempuan yang kandungannya diaborsi, maka pertanggung jawaban pidana pelaku didasarkan pada pasal 347 KUHP.Namun apabila dengan persetujuan perempuan itu maka pertanggung jawaban pidananya berdasarkan pasal 348 KUHP.Adapun pasal 349 KUHP mengatur tentang pemberatan dan pemberian pidana tambahan, yaitu dapat ditambah 1/3 dari ancaman pidana dalam pasal yang dijadikan dasar tuntutan dan pencabutan hak untuk menjalankan pekerjaan (profesi), apabila aborsi dilakukan oleh dokter atau bidan atau apoteker. 7,8 Tindak pidana aborsi dalam perspektif UU no 23 Tahun 1992 diatur dalam pasal 80 ayat (1). 7

2.12.1.6. Kelalaian yang menyebabkan kematian, cacat atau luka Dalam upaya penyembuhan, sangat jarang atau bahkan hampir tidak ada dkter yang dengan sengaja melakukan kesalahan terhadap pasien. Apabila terjadi kematian/cacat/luka dan keadaan tersebut diduga atau patut diduga karena kesalahan dokter, maka yang paling penting adalah membuktikan adanya grove schuld atau sikap kurang hati-hati yang besar atau sangat sembrono dalam upaya penyembuhan (culpa lataI) ,sedangkan suatu kesalahan ringan /biasa tidak dapat dijadikan dasar untuk meminta pertanggung jawaban hukum.7 2.12.1.7. Kelalaian yang menyebabkan kematian Pasal 359 KUHP “Barangsiapa karena kesalahnnya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun” Pasal 359 KUHP dapat menampung semua perbuatan yang dilakukan yang mengakibatkan

kematian

dimana

kematian

bukanlah

yang

dituju

atau

dikehendaki.Adanya hubungan kausal telah lazim dikenal dengan istilah akibat langsung yang tidak berbeda dengan akibat yang ditimbulkan oleh sebab-sebab yang masuk akal dan menurut kelayakan.Hal itu dapat dipikirkan sebagai akibat dari suatu sebab. Khusus dalam mencari causaal verband antara tindakan medik dengan akibat yang timbul sesudah tindakan medik maka digunakan ilmu kedokteran sendiri. 36

Adanya akibat kematian apakah dari sebab diberikan suntikan obat tertentu dengan dosis tertentu, tidak cukup dengan akal orang awam, tetapi harus menggunakan ilmu kedokteran. Akan

tetapi,

adakalanya

cukup

digunakan

akal

orang

awan

sekalipun.Contoh kasus tertinggalnya benda di badan pada suatu pembedahan.Adanya benda tertinggal dalam badan sudah cukup membuktikan akibat dari pembedahan yang ketika menjahitkan luka bekas pembedahan yang tidak teliti.7,8 Dalam hal ini, disamping adanya sikap batin, culp, harus ada tiga unsur lagi yang merupakan rincian dari kalimat “menyebabkan orang lain mati, yaitu: 1. Harus ada wujud perbuatan 2. Adanya akibat berupa kematian 3. Adanya causaal verband antara wujud perbuatan dengan akibat kematian7,8 Tiga unsur ini tidak berbeda dengan unsur perbuatan menghilangkan nyawa dari pembunuhann (pasal 338 KUHP). Bedanya dengan pembunuhan hanyalah terletak pada unsur kesalahnnya, yakni pada pasal 359 ini adalah kesalahan dalam bentuk kurang hati-hati (culpa) 7,8 2.12.1.8. Kelalaian yang menyebabkan luka Pasal 360 KUHP menyebutkan: 1. Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lin mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun 2. Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana kurungan paling lama enam bulan atau pidana dend paling tinggi empat ribu lima ratus rupiah. 7,8 Ada dua macam tindak pidana menurut pasal 360. Dari rumusan ayat (1) dapat dirinci unsur-unsur yang ada, yaitu: 1. Adanya kelalian 2. Adanya wujud perbuatan 3. Adanya akibat luka berat 4. Adanya hubungan kausalitas antara luka berat dan wujud perbuatan7,8 Rumusan ayat (2) mengandung unsur-unsur: 1. Adanya kelalian 2. Adanya wujud perbuatan 3. Adanya akibat: luka yang menimbulkan penyakit, dan luka menimbulkan halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian selama waktu tertentu 4. Adanya hubungan kausalitas antara perbuatan dan akibat7,8 Menurut pasal 90 KUHP, luka berat berarti:

37

1. Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau menimbulkan bahaya maut 2. Tidak mampu terus menerut untuk menjalani tugas jabatan atau pekerjaan pencaharian 3. Kehilangan salah satu panca indera 4. Menderita sakit lumuh 5. Terganggu daya pikirnya selama 4 minggu lebih 6. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan7,8 Sebagai alterntif, luka yang mendatangkan penyakit adalah luka yang menjadi halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian.Ukuran jenis luka ini bukan pada penyakit, tetapi pada halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian. Ukurannya lebih mudah, yakni terganggunya pekerjaan yang dibuktikan dengan surat keterangaan dokter bahwa orang itu perlu istirahat karena adanya gangguan pada fungsi organ tubuhnya karena luka yang dideritanya. Diperlukan istiraar oleh karena luka-luka tersebut. 7,8 Perihal unsur kelalaian yang terdapat dalam pasal 359 maupun360 KUHP mensyaratkan adanya perbuatan tidak berhati-hati. Untuk menilai perbuatan seseorang berhati-hati atau sebaliknya, perbuatan seseorang itu haruslah dibandingkan dengan perbuatan orang lain. 7,8 2.12.1.9. Pemberatan pidana dan pidana tambahan Pasal 361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam emnjalankan sesuatu jabatan atau pekerjaan, maka pidana itu boleh ditambah sepertiganya, dan dapat dijatuhkan pencabutan hak melakukan pekerjaan, yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan itu, dan hakim dapat memerintahkan penumuman putusannya. Berdasarkan pasal tersebut, dokter yang telah menimulkan cacat atau kematian yang berkaitan dengan tugas atau jabatan atau pekerjaannya, maka pasal 361 KUHP memberikan ancaman pidana sepertiga lebih berat. Disamping itu hakim dapat menjatuhkan hukuman berupa pencabutan hak melakukan pekerjaan yang dipergunakan untuk menjalankan kejahatan serta memerintahkan pengumuman keputusannya itu.7,8 2.13.2 Undang-undang No.23 Tahun 1992 Tentang Kesehatan Disamping memuat ketentuan hukum administrasi juga memuat ketntuan pidan.Ketentuan hukum di dalam Undang-undang no 23 tahun 1992 tercantum di dalam pasal 80 sampai dengan pasal 86. Beberapa pasl pemidaan, yang diantaranya dapat dikenakan kepada dokter adalah sebagai berikut: 1. Pasal 80 38

Pasal 80 ayat (1): Barangsiapa dengan sengaja melakukan tindakan medik tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentun sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), di pidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling bnyk Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) Dalam pasal 80 ayat (1) terdapat unsur-unsur tidak pidana sebagai berikut: i. Unsur objektif a) Melakukan tindakan medik tertentu b) Pada ibu hamil c) Tidak memenuhi ketntuan pasal 15 ayat (1) dan (2) ii. Unsur subjektif a) Dengan sengaja Pasal 15 ayat (1) dan (20 menyebabkan bahwa : 1. Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dan atau janinnya, dapat dilakukan tindakan medis tertentu 2. Tindakan medik tertentu sebgaimana dimaksd dalam ayat (1) hanya dapt dilakukan: a) Berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut. b) Oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi serta berdasarkan pertimbangan tim ahli c) Dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkuutan atau suami atau keluarganya d) Pada sasaran kesehatan tertentu Menurut penjelasan pasal 15, tindakan medik dalam pentuk penggu-guran kandungan, dengan alasan apapun dilarang karena bertentangan dengan noma hukum, norma agama, norma kesusilaan, dan norma kesopanan. Berdasarkan ketentuan tersebut maka yang dimaksud dengan tindakan medik tertentu dalam pasal 80 ayat (1) adalah berupa pengguguran kandungan, walaupun tidak disebut aborsi atau meng-gugurkan atau mematikan kandungan. Oleh karena itu pasal 80 ayat (1) ini termasuk delik materiil, yaitu delik yang merumuskan akibat.Jadi tingakan medik tertentu pada ibu hamil haruslah berakibat terhentinya kehamilan ibu tersebut.Terhentinya kehamilan ibu itu juga haruslah sesuatu yang disengaja, dalam arti pelaku menghendaki dan dapat mngetahui tentang terhentinya kehamilan itu.Oleh karena itu pula ketentuan pasal 80 ayat (1) ini disebut abortus provocatus kriminalis.7,9 Dalam hukum pidana, ketentuan pasal 15 ayat 1 (1) UU No 23 tahun 1992 disebut dasar

pembenar

dilakukannya

aborsi,

yakni

keadaan

darurat/

terpaksa 39

(noodtoestand) yang merefleksikan adanya konflik antara dua keadaan, antara kewajiban menghormati hidup setiap insan dan kewajiban untuk menyelamatkan jiwa ibu atau janin dalam kandungan. Keadaan darurat menurut pasal ini secara limitatif “sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil karena kasus pemerkosaan, incest, aborsi yang aman dan lainnya.7 Adapun substansi pasal 15 ayat (2) mengatur kewenangan dan prosedur tindakan, yaitu berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan diambilnya tindakan tersebut, dilakukan tenaga kesehatan mengharuskan diambil tindakan tersebut, dilakukan tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu (dengan pertimbangan tim ahli), dengan persetujuan ibu hami yang bersangkutan atau suami atau keluarganya, serta pada sarana kesehatan tertentu..7 Apabila terpenuhi kedua ayat dari pasal 15 tersebut, maka pelaku tidak dipidanakan karena adanya dasar pembenar dan terpnuhinya dasar kewenangan dan prosedur tindakan.Sehubungan dengan ketentuan pasal 15 itu, dalam penerapannya, terlebih dahulu harus memperhatikan dasar pembenar, yakni keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1).Apabila ditemukan alasan sebagimana dimaks maka tidak lagi memeprhatikan dasar kewenangan dan prosedural yang di maksud dalam pasal 15 ayat (2) sehingga perbuatan merupakan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 80 ayat (1) UU No 23 Tahun 1992. Jadi tidak perlu mempersoalkan belum adanya Peraturan Pemerintah(PP) sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (3). Sebagian pendapat menyatakan bahwa pasasl 80 ayat (1) ini belum dapat diterapkan karena belum adanya PP sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (3).7 Menurut penulism tidak diperlukan lagi PP untuk mengatur lebih lanjut mengenai tindakan medi tertentu sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2), karena isis ayat (1) dan (2) sudah cukup oprasional. Aturan hukum (apalagi PP) tidak mungkin mengatur masalah yang bersifat teknik karena masalah tekniis ditentukan dalam standar prosedur oprasional (SPO) tindakan medik.7 Seperti halnya pasal 346,347,dan 348 KUHP, ketentuan pasal 80 ayat (1) UU No 23 tahun 1992 juga tidak mengatur batasan usia kandungan yang tidak boleh digugurkan sehiingga juga akan menimbulkan permasalahan dalam penerapannya.7 Dengan demikian dapat dilihat perbedaan antara tindak pidana aborsi menurut KUHP dan UU No 23 tahun 1992 Tentang Kesehatan, tindak pidana 40

aborsi dalam KUHP membedakan dasar hukum pertanggung jawaban pidana antara wanita yang melakukan sendiri-sendri atau menyuruuh orang lain yang terlibat, yakni pasal 347, dan 348 Sedangkan menurut UU No 23 Tahun 1992, tidak ada perbedaan dasar hukum pertanggung jawaban pidana, yakni sama-sama di kenakan pasal 80 ayat (1) sehingga apabila pihak yang terlibat lebih dari satu orang, misal wanita yang mengandung itu dengan dokternya, dasar hukum pertanggungjawaban pidananya dengan mengaitkan pasal 80 ayat (1) UU No23 Tahun 1992 dengan (joncto)pasal 55 ayat (1) ke 1 atau ke 2 atau pasal 56 KUHP. Perbedaan lain adalah dalam KUHP tidak diatur secara khusus dasar pembenar (dasar pembenar khusus) untuk tindak pidana aborsi ,tetapi bisa digunakan noodtoesand (keadaan darurat) sebagai dasar pembenar. Sedangkan dalam UU No 23 tahun 1992, dasar pembenar itu diatur secara khusus, yaitu keadaan darurat sebagimana dicantumkan dalam pasal 15 ayat (1).7 Dengan demikian di Indonesia terdapat dua aturan hukum mengenao aborsi, yaitu KUHP dan UU No 23 Tahun 1992. Apabila terjadi kasus aborsi , aturan hukum mana yang dipakai sebagai dasar dalam penuntutan? Persoalan ini muncul karena dalam UU No 23 tahun 1992 tidak ada dinyatakan pencabutan pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP.Namun dalam teori hukum terdapat suatu asas untuk menyelesaikan konflik aturan (dualisme aturan), yaitu asas Lex specialis derogat lege generalis (undangundang yang bersifat khusus mengesampingkan undang-undang yang umum). Dalam konteks pertanyaan diatas, UU No 23 tahun 1992 tentang kesehatan daat dipandang sebagai undang-undang yang bersifat khusus, dan KUHP adalah undang-undang yang bersifat umum. Berdasarkan asa itu maa UU No 23 tahun 1992 yang dijadikan sebagai dasar hukum dalam penuntutan. .7,9 Pasal 80 ayat (2): Barangsiapa dengan sengaja menghimpun dana dari masyarakat untuk menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan, yang tidak berbentuk badan hukum, dan tidak memiliki izin operasional, serta tidak melaksanakan ketentua tentang jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15(limabelas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah)

41

Ketentan pasal 80 ayat (2) ini substansinya berkaitan dengan ketentuan pasal 66 ayat (2) dan (3), yang mengatur bahwa penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan oleh masyarakan harus memiliki izin dan harus berbentuk badan hukum, seperti BUMN,BUMD atau yayasan; sehingga diancam dengan sanksi pidana menurut pasal 80 ayat (2) adalah dengan sengaja menghimpun dana dari masyarakat unutk menyelenggarakan pemeliharaan kesehatan yang tidak sesuai dengan ketentuan pasal 66 ayat (2) dan (3). Ketentuan pasal 66 ayat (2) dan (3) ini menurut isinya termasuk ketentuan hukum administrasi, sehingga dapat dikatakan ketentuan pasal 80 ayat (2) mengkriminalisasi pelanggaran norma hukum administrasi, sehingga dapat dikatakan ketentuan pasal 80 ayat (2) mengkriminalisasi pelanggaran norma hukum administrasi yang diatur pada pasal 66. .7,9 Pasal 80 ayat (3): Barangsiapa dengan sengaja melakukan perbuatan dengan tujuan komersial dalam pelaksanaan transplantasi organ atau jaringan tubuh atau transfusi darah sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat (2) dipidanakan dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas )tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) Ketentuan pidana dalam pasal 80 ayat (3) tersebut berkaitan dengan ketentuan pasal 33 ayat (2) sehingga ketentuan pasal 80 ayat (3) ini dapat dikatakan mengkriminalisasi pelanggaran norma administrasi yang ada di pasal 33 ayat (2) yang menyatakan: Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh serta transfusi darah sebagimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan komersial. 2. Pasal 81 Pasal 81 UU No 23 tahun 1992 tentang kesehatan terdiri dari 2 ayat, yaitu: Pasal 81 ayat (1) Barangsiapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja : 1. Melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 34 ayat (1) 2. Melakukan implan alat kesehatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (1) 3. Melakukan bedah plastik dan rekonstruksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (1)

42

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp. 140.000.000,- (seratus empat puluh juta rupiah7,9 Transplantasi organ dan atau jaringan tubuh, implan alat kesehatan, tindakan bedah plastik dan rekonstruksi, hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk ini dan dilaksanakan pada sarana kesehatan tertentu.Persyaratan ini sebagaimana tersebut di dalam pasal 34 ayat (1) yang mengatur tentang kewenangan melakukan transplantasi organ.Pasal 36 ayat (1) mengatur kewenangan melakukan implan obat dan atau alat kesehatan dan pasal 37 ayat (1) mengatur kewenangan melakukan bedah plastik dan rekonstruksi. Ketentuan pasal 34 ayat (1) dan pasal 36 ayat (1), dan pasal 37 ayat (1) juga merupakan norma hukum administrasi. Dengan demikian pasal 81 ayat (1) ini juga mengkriminalisasi pelanggaran norma hukum administrasi. Pasal 81 ayat (2) Barang siapa dengan sengaja: a) Mengambil organ dari seorang donor tanpa memperhatikan kesehatan donor dan atau tanpa persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (2) b) Memproduksi dan atau mengedarkan alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 40 ayat (2) c) Mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan tanpa izin edar sebagimana dimaksdu dalam pasal 41 ayat (10 d) Menyelenggarakan penelitian dan atau pengembangan pengetahuan

dan

teknologi

kesehatan

pada

manusia

ilmu tanpa

memperhatikan kesehatan dan keselamatan yang bersangkutan serta norma yang berlaku dalam masyarakat sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjaara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 140.000.000,-(seratus empat puluh juta rupiah) Ketentuan pasal 34 ayat (2) yang dimaksud dalam pasal 81 ayat(2) huruf a UU Tentang kesehatan tersebut berbunyi: “Pengambilan organ dan atau jaringan tubuh dari seorang dono harus memperhatikan kesehatan donor yang bersangkutan dan ada persetujuan donor dan ahli waris atau keluarganya” 43

Pasal 40 ayat (1) menyatakan “Sediaan farmasi yang berupa obat dan bahan obat harus memenuhi syarat farmakope indonesia dan atau buku standar lainnya.” Sedangkan ayat (2) menyatakan” Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang di tentukan” Pasal 69 ayat (2) dan (3) berisi sayrat yang haris dipenuhi dalam penelitian , penembangan kesehatan dan penerapan hasil penelitian pada manusia. Pda ayat (2) dinyatakan: “penelitian, penembagan kesehatan dan penerapan hasil penelitian pada manusia harus dilaksanakan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat”, dan ayat (3) menyatakan “Pelanggaran penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan pada manusia harus dilakukan dengan memperhatikan kesehatan dan keselamatan orang yang diteliti” 3. Pasal 82 Pasal 82 ayat (1) “Barangsiapa yang tanpa keahlian dan kewenangan dengan sengaja: a) Melakukan pengobatan dan atau perawatan sebagimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (4) b) Melakukan transfsi darah sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (1) c) Melakukan implan obat sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (1) d) Melakukan pekerjaan kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 63 ayat (1) e) Melakukan bedah mayat sebagaimana dimaksud dalam pasal 70 ayat (2) Dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) UU No 23 Tahun 1992 telah menentukan persyaratan tertentu untuk dapat melakukan pengobatan dan perawatan berdasarkan ilmu kedokteran, yakni hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 32 ayat (4) UU Tentang Kesehatan yang berbunyi: “pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu”. Tujuan utama pasal ini adalah untuk melindungi kepentigan hhukum masyarakat dari pengaruh

buruk atau akibat buruk dari

pengobatan yang menggunakan ilmu kedokteran yang dilakukan oleh tenaga yang tidak berwenang untuk itu. .7,9

44

Untuk itu transfusi darah juga harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berwenang dan mempunyai keahlian untuk memberikan transfusi darah yang tercantum di pasal 35 ayat (1) yang menyatakan “Transfusi darah hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan itu” .7,9 Demikian juga tentang implan obat, pasal 36 ayat (1) memberikan persyaratan “Implan obat dan atau alat kesehatan ke dalam tubuh manusia hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dilakukan di sarana kesehatan tertentu” .7,9 Adapun pasal 63 ayat (1) mengatur pekerjaan kefarmasian, ketentuan mana menentukan bahwa dalam pengadaan, produksi, dan distribusi, dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. .7,9 Dokter didaerah yang berniat membantu meringankan beban pasien dengan melakukan pemeriksaan dan sekaligus memberikan obat (bukan resep obat) dapat dituduh telah melakukan pekerjaan kefarmasian kecuali bila obat yang diberikan itu sifatnya dibutuhkan segera. Ketentuan pasal 63 ayat (1)menyatakan “Pekerjaan kefarmasian dalam pengadaan, produksi , distribusi dan pelayanan sediaan farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu” .7 Sedang pada pasal 70 ayat (2) UU tentangkesehatan menyebutkan bahwa “Bedah mayat hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dengan memperhatikan norma yang berlaku dalam masyarakat” .7 Pasal 82 ayat (2) Barang siapa dengan sengaja: 1. Melakukan upaya kehamilan diluar cara alami yang tidak sesuai sebagimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (20 2. Memproduksi dan atau mengedarakan sediaan farmasi berupa obat tradisional yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan sebagaimana di maksud dalam pasal 40 ayat (2) 3. Memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa kosmetika yang tidak memenuhi standar adan atau persyaratan sebagimana dimaksdu dalam pasal 40 ayat (2) 4. Mengedarkan sedian farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memenuhi persyratan penandaan dan informasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (2) 45

5. Memproduksi dan atau mengedarkan bahan yang mengandung zat adiktif yang tidak memenihi standar dan atau persyaratan yang di tentukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahund an atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah) Dalam pasal 82 ayat (2) a ini mengatur tindak pidana bayi tabung (in vitro fertilisasi /IvF). Yang diancam dengan sanksi pidana adalah melakukan upaya kehamilan diluar cara alami yang tidak memnihi ketntuan sebagaimana disebutkan dalam pasal 16 UU no 23 tahun 1992 yang menyatakan: 1. Kehamilan diluar cara alami dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir untuk membantu suami istri mendapat keturunan 2. Upaya kehamilan di luar cara alami sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh pasangan suami istri yang sah dengan ketentuan: a. Hasil pembuahan sprema dan ovum dari suami isteri yang bersangkutan, ditanamkan dalam rahim istri dari mana ovum berasal b. Dilakukan oleh tenaga kesehatanyang mempunyai

keahlian

dan

kewenangan untuk itu c. Pada sarana kesehatan tertentu Ketentuan pasal 16 ayat (1) mengatur tentang alasan untuk mengupayakan kehamilan di luar cara alami yaitu sebagai upaya terakhir untuk membantu suami isteri mendapat keturunan. Dalam ilmu hukum, hal ini dapat disebut sebagai keadaan darurat. Sedangkan ayat (2) mengatur tentang syarat dan prosedur untuk melakukan upaya kehamilan diluar cara alami, yaitu pembuahaan sperma dan ovum dari pasangan suami isteri yang sah dan ditanamkan dalam rahim isteri dari mana sel ovum itu berasal, dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan dan dengan sarana kesehatan yang memenuhi persyaratan untuk menyelenggarakan kehamilan diluar cara alami yang telah ditunjuk oleh pemerintah. Ketentuan yang mengahruskan bahwa pembuahan sperma dan obum dari pasangan suami isteri yang sah dan di tanamkan menjamin kepastian hubungan darah antara bayi yang dilahirkan dengan pemilik se sperma dan ovum tersebut.Hal ini berguna diantaranya untuk menentukan kewarisan dan perwalian dari anak tersebut.Dengan demikian hukum yang berlaku di Indonesia tidak mengenal istilah “rahim rental “, atau “donor sperma atau ovum”.Kedua hal tersebut tidak boleh dilakukan.7 Kriminalisasi pengupayaan kehamian diluar cara alami tersebut tidak mengaitkan dengan alasan keadaan darurat sebagaimana disebut dalam pasal 16 ayat (1), hanya mengaitkan dengan syarat dan prosedur yang diatur dalam ayat (2).7 46

Ketentuan pasal 82 ayat (2) b dan c, kriminalisasi mengenai pelanggaran terhadap pasal 40 ayat (2) yang menyatakan: “Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional dan kosmetika serta alat kesehatan harus memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan”. Ketentuan pidana pasal 82 ayat (2) b mengenai sedian farmasi berupa obat tradisional yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan, sedangkan pasal 82 ayat (2) c mengenai sediaan farmasi berupa kosmetika dan alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan yang ditentukan.7 Ketentuan pidana dalam pasal 82 ayat (2) d mengatur tentang mengedarkan sediaan farmasi dan atau alat kesehatan yang tidak memenuhi persyaratan penandaan dan informasi yang harus memenuhi persyaratan objektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.Sedangkan pasal 82 ayat (2) 2 mengatur tantang memprodukssi dan atau mengedarkan bahan yang mengandung zat adiktif yang tidak memenuhi standar dan atau persyaratan yang di tentukan.7 4. Pasal 83 Pasal 83 UU kesehatan menyebutkan bahwa ancaman pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 80, pasal 81, dan pasl 82 UU tentang kesehatan ditambah dengan seperempatnya apabila menimbulkan luka berat atau sepertiga apabula menimbulkan kematian.7,9 2.13.3. Undang-undang No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pada dasarnya norma hukum yang tercantum dalam UU No 29 tahun 2004 Tentang praktik kedokteran merupakan norma hukum administrasi. Namun dalam undang-undang ini juga tercantum ketentuan pidana di dalam pasal 75 sampai dengan asal 80.Pencatuman sanksi pidana pada UU no 29 tahun 2004 ini tidak lepas dari fungsi hukum pidana secara umum, yakni ultimum remudium. Makna yang terkandung dari asas ultimatum remudium adalah bahwa saksi pidana merupakan upaya (saksi) yang paling akhir diancam kepada pelanggaran suatu noma hukum, manakala sanksi hukum lainnya sudah dianggap tidak signifikan dengan bobot norma hukum yang dilanggar. Dalam konteks UU praktik Kedokteran yang pada dasarnya memuat norma-norma hukum administrasi, dengan dicantumkannya sanksi pidana pada pelanggaran norma hukum administrasi tertentu,dengan dicantumkannya sanksi pidana pada pelanggaran norma hukum administrasi tertentu, berarti pembuat undang-undang ini menilai sanksi administrasi saja tidak cukup signifikan sehingga diperlukan sanksi pidana.6,7 47

2.9.3.1 Pasal 75 Tindak pidana praktik dokter tanpa surat tanda registrasi (STR) dirumuskan dalam pasal 75: 1. Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebgai mana dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) 2. Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sementara sebgaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau ddenda paling banyak Rp 100.000.000,(seratus juta rupiah) 3. Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi bersyarat sebagimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rrp 100.000.000,- (seratus juta rupiah).6,7 Menurut Adami Chazawi, tindak pidana pasal 75 ini bersumber dari pelanggaran kewajiban hukum administraasi kedokteran sebagai berikut: 1) Bagi dokter atau dokter gigi warga negara Indonesia ialah kewajiban menurut pasal 29 dimana sebelum melakukan praktik kedokteran atau kedokteran gigi wajib memiliki STR yang dikeluarkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (ayat 1 dan 2) 2) Bagi dokter atau dokter gigi warga negara asing yang melakukan kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat sementara di Indonesia, kewajiban menurut pasal 31 ayat (1) ialah sebelum melakukan praktik kedokteran atau praktik kedokteran gigi di Indonesia wajib memiliki STR sementara terlebih dahulu 3) Bagi dokter atau dokter gigi warga negara asing perserta perogram pendidikan dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang mengikuti pendidikan dan pelatihan di Indonesia, sebelum melakukan prakti kedokteran wajib memiliki STR bersyarat (pasal 32 ayat 1) 6,7 Surat tanda regostraso (pasal 29 ayat 1), baik sementara (pasal 31 ayat 1) maupun yang bersyarat (pasal 32 ayat 1) secara administratif memberikan hak 48

atau kewenangan pada dokter atau dokter gigi untuk melakukan praktik kedokteran atau praktik kedokteran gigi di Indonesia.Apabila yang bersangkutan tidak memiliki STR dari sudut hukum administrasi kedokteran maka tidak wewenang untuk berpraktik kedokteran atau kedokteran gigi di Indonesia.Oleh karea itu perbuatan demikian itu diancam dengan sanksi pidana, sehingga perbuatan tersebut menjadi/mengandung sifat melawan hukum pidana. Apabila praktik dokter tanpa STR tersebut membawa akibat pernderitaan pasien berupa luka-luka, rasa sakit fisik ataupun kematian, maka terjadi malpraktik kedokteran walaupun telah memdapat infromed consent dan tidak melanggar standar profesi atau standar prosedur. 6,7 Dari pelanggaran hukum administrasi menjadi tindak pidana dilihat maksud pembentuk undang-undang ini, yakni sebagai upaya preventif untuk menghindarkan dokter atau dokter gigi dari malpraktik kedokteran dan sekaligus sebagai upaya preventif agar terhindar dari munulnya korban akibat malpraktik kedokteran. 6,7 2.13.3.2. Pasal 76 Tindak pidana praktik kedokteran tanpa surat ijin praktik (SIP) dirumuskan dalam pasal 76, yaitu: “Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat ijin praktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,- (seratus juta rupiah). 6,7 Pasal 36 mewajibkan setiap dokter atau dokter gigi untuk terlebih dahulu memiliki usrat ijin praktik sebelum melakukan praktik kedokteran di Indonesia.

Kewajiban

dokter

semula

merupakan

kewajiban

hukum

administrasi yang diangkat menjadi kewajiban hukum pidana karna pelanggaran terhadap kewajiban itu diancam sanksi pidana. 6,7 Ketentuan mengenai SIP adalah sebagai mana diataur dalam pasal 37 dan 38: 1. SIP

dikeluarkan

oleh

pejabat

kesehatan

yang

berwenang

dikabupaten/kota tempat praktik kedokteran atau kedokteran gigi akan 2. 3.

dilaksanakan (pasal 37 ayat 1) SIP diberikan paling abnyak untuk tiga tempat (pasal 37 ayat 1) Satu SIP hanya berlaku untuk satu tempat praktik (pasal 37 ayat 3)

49

4.

Untuk memiliki SIP haru memenuhi tiga syarat, yakni (1) memiliki STR yang masih berlaku; (2) memiliki tempat praktik; (3) memiliki

5.

rekomendasi dari organisasi profesi (pasal 38 ayat 1) SIP tetap berlaku sepanjang (1) STR masih berlaku, dan (2) tempat praktik masih sesuai dengan yang tercantum dalam SIP (pasal 38 ayat 2) 6,7

2.13.3.3. Pasal 77 Tindak pidana menggunakan identitas-seperti gelar yang menimbulkan kesan dokter yang memiliki STR dan SIP, diatur dalam pasal 77, yaitu: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang menimbulka kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 73 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah). 6,7 Unsur “perbuatan menggunakan gelar” harus memenuhi dua syarat, (1) gelar yang digunakan harus berupa gelar yang ada hubungannya dengan ilmu kedokteran.Suatu gelar yang ada hubungannya dengan ilmu kedokteran.Suatu gelar yang diketahui umum dapat menunjukan bahwa pemilik gelar menguasai bidang kedokteran dan (2) sipembuat sesungguhnya tidak memiliki gelar tersebut. Demikian juga pada alternatif dari menggunakan gelar in casudisebut sebagai “menggunakan identitas bentuk lain” Unsur ini sangat terbuka dan dapat mengikuti apa yang berlaku di bidang praktik kedokteran. Identias bentuk lain harus identitas yang diketahui umum sebagai identitas para dokter, misal pakaian khas dokter yang berupa jas atau jubah putih, mengalungkan stetoskop di leher, pada mobilnya terpampang lambang IDI atau asosiasi kedokteran lainnya, yang menimbulkan kesan seolah-olah seorang dokter. Hal ini sebagaimana tercantum dalam pasal 37 ayat (1): “Setiap orang dilarang menggunakan identitas berupa gelar atau bentuk lain yang ,menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan atau surat izin praktik” 6,7 Pasal 77 ini selain berlaku pada orang yang bukan dokter, juga berlaku pada dokter atau dokter gigi yang tidak mempunyai STR dan atau SIP yangg 50

dengan sengaja melakukan praktik kedokteran. Hal ini karena dokter atau dokter gigi yang telh memiliki STR dan/atau SIP merupakan satu kalimat yang artinya tidak dapat dipisahkan. 6,7 Dibentuknya sanksi pidana pada pasal 77 ini dimaksudkan untuk tiga tujuan. Pertama, sebagai upaya preventif agar tidak terjadi penyalahgunaan cara-cara praktik kedokteran oleh orang yang bukan ahli kedoktern. Kedua, melindungi kepentingan hukum masyarakat umum, agar tidak menjadi korban dari perbuatan-perbuatan yang meniru praktik kedokteran oleh orang yang tidak berwenang. Menghindari akibat dari praktik kedokteran oleh orang yang tidak berwenang. Ketiga, melindungi martabat dan kehormatan profesi kedokteran oleh orang yang tidak berwenang. 6,7 2.13.3.4. Pasal 78 Tindak pidana dengan menggunakan alat, metode pelayanan kesehatan yang menimbulkan kesan seolah-olah dokter empunyai STR dan SIP, diatur dalam pasal 78, yang menyebutkan: Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan alat, metode, atau car lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menimbulkan kesan seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda tanda registrasi dokter gigi atau surat izin prktik sebagaimana dimaksud dalam pasal 73 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun atau denda paling banyak Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah)6,7 Sebagaimana pasal 77, selain pada orang yang bukan dokter, pasal ini dapat diartikan berlaku juga bagi dokter atau dokter gigi yang tidak mempunyai STR dan/atau SIP. Sebagaimana bunyi pasal 73 ayat (2) “ Setiap orang dilarang menggunakan alat, metode, atau cara lain dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat ang menimbulkan kesan eolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi dan /atau surat izin praktik” 6,7 2.13.3.5. Pasal 79 Tindak pidana dokter praktik yang memasang papan nama, tidak membuat rekam medik, dan tidak berdasakan standar profesi diatur dalam pasal 79 yang menyebutkan:

51

Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah), setiap dokter atau dokter gigi yang: a. Dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagimana yang dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) b. Dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 ayat (1); atau c. Dengan dengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam apsal 51 huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, atau huruf e.

6,7

Tujuh macam tindak pidana pasal 79 bersumber pada kewajiban hukum administrasi, yang apabila dilanggar menjadi tindak pidana dengan diberi ancaman pidana. Sebagaiman disebutkan pada pasal 41 ayat (1) dan pasal 46 ayat (1) yang mensyaratkan pemasangan papan nama dan rekam medik pada dokter praktik. Demikian juga pasal 51 huruf a-e yang menyebutkan adanya kewajiban yang harus dilaksanakan dokter dalam melaksanakan praktik kedokteran, yaitu: 1. Pelayanan medis yang harus sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur oprasional 2. Kewajiban merujuk pasien ke dokter lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik 3. Menjaga rahasia kedokteran, bahkan hingga pasien yang telah meninggal 4. Melakukan pertolongan darurat pada saat ia wajib melakukannya 5. Ketersediaan untuk selalu menambah pengetahuan dan ketrampilan profesi6,7 Hal tersebut diatas dapat menjadi tindak pidaa apabila dilanggar bahkan sebagian dapat menjadi syarat terjadinya malpraktik kedokteran apabila dari pelanggaran administrasi tersebut menimbulkan akibat fatal bagi kesehatan pasien, baik berupa luka ataupun kematian6,7 Khusus mengenai ketentuan pidana dalam Undang-undang No 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan pasal 75 ayat (1) dan pasal 76 sepanjang mengenai kat-kata “penjara paling lama 3 (tiga) tahun atu “ dan pasal 79 sepanjang mengenai kata-kata “kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau” serta pasal 79 huruf c sepanjang mengenai kata-kata ‘atauu huruf e” Undang-undang No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UU Praktik Kedokteran) dinyatakan

52

bertentangan dengn Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. 6,7 2.14.

Tanggung Gugat / Ganti Rugi Tidak selamanya pelayanan yang diberikan oleh tenaga kesehatan dapat memberikan

hasil yang memuaskan. Kadangkala pelayanan tersebut justru menimbulkan malapetaka, seperti misalnya cacat atau mati. Malapetaka seperti itu tidak dapat mungkin dihindari sama sekali, hanya saja perlu dibedakan apakah kejadian itu merupakan bagian dari risiko atau kesalahan dokter. Kalau yang terakhir yang terjadi, undang-undang memberi peluang kepada pihak pasien untuk menuntut ganti rugi.2 Namun dokter dan tidak perlu merasa khawatir sebab sepanjang yang dilakukannya sudah sesuai prosedur dan standar yang berlaku maka adverse events yang terjadi hanya bisa dianggap sebagai bagian dari risiko medik atau sebagai sesuatu yang tdak mungkin dihindari sehingga dokter atau rumah sakit tidak seharusnya bertanggung gugat atas kerugian yang dialami pasien, baik materiel maupun immateriel. Lain halnya apabila adverse events terjadi karena error yang benar-benar dapat dikaitkan dengan malpraktik; baik yang bersifat kesenjangan (intensional), kecerobohan (recklessness) maupun kealpaan (negligence).1 Ganti rugi oleh Undang-Undang Kesehatan dimaksudkan untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang atas sesuatu akibat yang timbul, baik fisik maupun non fisik. Kerugian fisik adalah kerugian karena hilangnya atau tidak berfungsinya seluruh atau sebagian organ tubuh, yang dalam bahasa hukum disebut sebagai kerugian materiel. Sedangkan kerugian non fisik adalah kerugian yang berkaitan dengan martabat seseorang, yang dalam bahasa hukumnya disebut kerugian immateriel.2 Yang menjadi pertanyaan adalah, siapakah yang harus bertanggung jawab (bertanggung gugat) atas kerugian tersebut mengingat banyaknya tenaga kesehatan atau pihak yang ikut teribat dalam pelayanan medik? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka perlu diketahui macam-macam tanggung gugat yang dikenal di dalam Hukum Perdata, yaitu: 1. Contractual liability Tanggung gugat jenis ini muncul karena adanya ingkar janji, yaitu tidak dilaksakannya sesuatu kewajiban (prestasi) atau tidak dipenuhinya sesuatu hak pihak lain sebagai akibat adanya hubungan kontraktual. Dalam kaitannya dengan hubungan terapetik, kewajiban atau prestasi yang harus dilaksanakan oleh health care provider adalah berupa upaya (effort), bukan 53

hasil (result). Karena itu dokter hanya bertanggung gugat atas upaya medik yang tidak memenuhi standar, atau dengan kata lain, upaya medik yang dapat dikategorikan sebagai civil malpractice.1 2. Liability in tort Tanggung gugat ini tidak didasarkan atas adanya contractual obligation, tetapi atas perbuatan melawan hukum (Onrechtmatige Daad). Pengertian melawan hukum tidak hanya terbatas pada perbuatan yang berlawanan dengan hukum, kewajiban hukum diri sendiri atau kewajiban hukum orang lain saja tetapi juga yang berlawanan dengan kesusilaan yang baik atau berlawanan dengan ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919)2 Liability in Tort ini sebetulnya berasal dari Napoleontic Civil Code artikel 1382, yang bunyinya: “Everyone causes damages through his own behaviour must provide compensation, if at least the victim can prove a causal relationship between the fault and damages”.2 Konsep ini sejalan dengan pasal 1365 KUH Perdata yang bunyi lengkapnya: “Tiap perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut”.1 Dengan adanya tanggung gugat ini maka rumah sakit atau dokter dapat digugat membayar ganti rugi atas terjadinya kesalahan yang termasuk kategori tort (civil wrong against a person or properties); baik yang bersifat intensional atau negligence. Contoh dari tindakan rumah sakit atau dokter yang dapat menimbulkan tanggung gugat antara lain membocorkan rahasia kedokteran, eutanasia atau ceroboh dalam melakukan updaya medik sehingga pasien meninggal dunia atau menderita cacat.1 3. Strict Liability Tanggung gugat jenis ini sering disebut tanggung gugat tanpa kesalahan (liability without fault) karena seseorang harus bertanggung jawab meskipun tidak melakukan kesalahan. Tanggung gugat seperti ini biasanya berlaku untuk product sold atau article of commerce, dimana produsen harus membayar ganti rugi atas terjadinya malapetaka akibat produk yang dihasilkannya, kecuali produsen telah memberikan peringatan akan kemungkinan terjadinya risiko tersebut.1,2

54

Di negara-negara Common Law, produk darah sering dianggap sebagai product sold sehingga produsennya (yang mengolah) harus bertanggung gugat untuk setiap transfusi darah olahannya yang menularkan virus Hepatitis atau HIV.2 4. Vicarious liability Tanggung gugat jenis ini timbul karena kesalahan yang dibuat oleh bawahannya (sub-ordinate). Dalam kaitannya dengan tanggung gugat jenis ini maka rumah sakit (sebagai employer) dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan (employee) yang bekerja di rumah sakit tersebut.2 Lain halnya jika dokter bekerja sebagai mitra (attending physician atau independent contractor) sehingga kedudukannya setingkat dengan rumah sakit.1 Doktrin vicarious liability ini sejalan dengan Pasal 1367, yang bunyinya: “Seseorang tidak hanya bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatan orangorang yang menjadi tanggungannya, atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah pengawasannya”.1 Jadi dapat tidaknya rumah sakit menjadi subjek tanggung-renteng tergantung dari pola hubungan kerja antara dokter dengan rumah sakit, dimana pola hubungan tersebut juga akan ikut menentukan pola hubungan terapetik dengan pihak pasien yang berobat di rumah sakit tersebut.1 Mengenai pola hubungan terapetik antara health care provider dan health care receiver dapat dirinci sebagai berikut:1 1. Hubungan “pasien – rumah sakit” Hubungan seperti ini terjadi jika pasien sudah dewasa dan sehat akal, sedangkan rumah sakit hanya memiliki dokter yang bekerja sebagai employee. Para pihaknya adalah pasien dan rumah sakit, sementara dokter hanya berfungsi sebagai employee (subordinate) yang bertugas melaksanakan kewajiban rumah sakit. Hubungan hukum seperti ini biasanya berlaku di sarana kesehatan milik pemerintah yang dokter-dokternya digaji secara tetap dan penuh setiap bulan, dan tidak didasarkan atas jumlah pasien yang telah ditangani ataupun kuantitas dan kualitas tindakan medik yang dilakukan dokter. 2. Hubungan “penanggung pasien – rumah sakit” Pola hubungan ini terjadi jika pasien masih anak-anak atau tidak sehat akal sehingga menurut hukum Perdata tidak dapat melakukan perbuatan hukum. Para 55

pihaknya adalah penanggung pasien (orang tua atau keluarga yang bertindak sebagai wali) dan rumah sakit. 3. Hubungan “pasien – dokter” Pola ini terjadi jika pasien sudah dewasa dan sehat akal (berkompeten), dirawat di rumah sakit yang dokter-dokternya bekerja bukan sebagai employee melainkan sebagai mitra. Para pihaknya adalah pasien dan dokter, sementara posisi rumah sakit hanyalah sebagai tempat yang menyediakan fasilitas (penginapan, makan dan minum, perawat atau bidan serta sarana medik dan nonmedik). Konsepnya seolah-olah dokter menyewa fasilitas rumah sakit untuk digunakan merawat pasiennya. Pola seperti ini banyak dianut oleh rumah sakit swasta yang dokter-dokternya mendapatkan penghasilan berdasarkan perhitungan jumlah pasien serta kuantitas dan kualitas tindakan medik yang dilakukannya. Jika dalam satu bulan tidak ada seorang pasienpun yang dirawat maka dalam bulan itu dokter tidak memperoleh penghasilan apa-apa. Hubungan kerja seperti ini menempatkan dokter pada kedudukan yang sama derajat dengan rumah sakit, bukan subordinate dari rumah sakit. 4. Hubungan “penanggung pasien – dokter” Pada prinspinya pola ini seperti pola butir (3), hanya saja karena pasien masih anak-anak atau tidak sehat akal maka para pihaknya adalah penanggung pasien (orang tua atau wali) dan dokter. Sedangkan mengenai hubungan kerja antara dokter dan rumah sakit terdapat beberapa pola, antara lain:1 1. Dokter sebagai employee 2. Dokter sebagai attending physician (mitra) 3. Dokter sebagai independent contractor1 Masing-masing dari pola-pola hubungan tersebut diatas akan sangat menentukan apakah rumah sakit atau dokter yang harus bertanggung gugat sendiri (direct liability) terhadap kerugian yang disebabkan oleh kesalahannya dan sejauh mana pula tanggung gugat dokter tersebut dapat dialihkan kepada pihak rumah sakit berdasarkan doctrine of vicarious liability?1 2.15.

Upaya Menghadapi Tuntutan Hukum Dilihat sepintas lalu tidak masuk akal jika disini, yang aktifitas pelayanan kesehatan

sangat tinggi, tetapi jumlah kasus malpraktek yang sampai ke pengadilan setiap tahunnya

56

masih dapat dihitung dengan jari tangan. Apakah jumlah sekecil itu sudah menggambarkan wajah dunia kedokteran kita yang sebenarnya?2 Jawabnya “tidak”, sebab sebagian dari kasus malpraktek justru tidak dirasakan atau disadari oleh pasien. Kalaupun disadari, banyak diantaranya yang memilih diam dan pasrah. Sebagian yang bereaksi memilih pendekatan personal atau organisatoris, yaitu melalui IDI atau otoritas kesehatan. Sisanya, ditambah beberapa pasien yang tak puas dengan hasil pendekatan personal maupun organisatoris memilih jalan terakhir, yaitu mellaui jalur hukum.2 Rupanya tak mudah bagi pasien atau keluarganya untuk menentukan pilihan terakhir ini sebab banyak faktor yang menjadi pertimbangannya. Selain proses hukum itu sendiri perlu waktu dan biaya, juga karena sikap septis dan pragmatis mereka.2 Banyak orang membayangkan bahwa model Amerika atau negara-negara maju lainnya slebih baik sebab jalur hukum sudah lebih banyak ditempuh untuk menyelesaikan kasus-kasus malpraktek medik. Orang tidak tahu bahwa mereka sendiri sebenarnya kewalahan memikirkan cara menyelesaikan kasus malpraktek yang jumlahnya mencapai puluhan ribu setiap tahunnya. Mereka sendiri sebanarnya tengah berusaha agar jumlah kasus gugatan yang didaftarkan ke pengadilan dapat dikurangi dengan upaya penyaringan.2 Model saringan yang pertama adalah berupa “screening panel”, yaitu suatu panel yang terdiri dari ahli hukum dan dokter yang tidak memihak. Tugas utamanya adalah meneliti adanya dugaan malpraktek. Jika ditemukan alasan yang patut bagi suatu gugatan maka ikatan dokter setempat wajib menyediakan saksi ahli (dokter) yang akan membantu pasien dalam proses selanjutnya. Tetapi jika panel tidak menemukan alasan yang kuat maka para pengacara juga harus konsekuen untuk tidak meneruskan perkara. Dengan penyaringan seperti itu maka berbagai macam kasus akibat kesalahpahaman dapat diselesaikan.2 Model saringan yang kedua adalah “arbitrase”, yaitu suatu minitrial yang akan menangani kasus yang lolos pada penyairngan pertama. Dengan cara ini banyak kasus dapat diselesaikan, kecuali mungkin kasus-kasus yang sangat berat. Yang masih perlu dipertimbangkan adalah sifat dari arbitrase tersebut sebab ternyata ada 4 alternatif yang dapat dipilih. Pertama adalah sukarela dan keputusannya meningkat, kedua sukarela dan keputusannya tak mengikat, ketiga merupakan keharusan tetapi keputusannya tak mengikat dan keempat juga merupakan keharusan tetapi keputusannya mengikat.2 Model saringan yang ketiga adalah model jaminan (cost bond), yaitu membayar sejumlah sebagai jaminan waktu mendaftarkan perkara di pengadilan. Cara seperti ini sudah diberlakukan di California dengan uang jaminan 500 dollar. Tujuan utamanya adalah agar pasien/keluarganya tidak mengajukan gugatan yang bersifat coba-coba (untung-untungan). 57

Dengan cara ini diharapkan agar kasus yang didaftarkan hanyalah yang mempunyai peluang besar untuk menang.2 Adapun mengenai cara dokter menghadapi perkara di pengadilan tentu saja tergantung dari perkara yang dihadapi, sebab kedudukan dokter adalah pasif. Yang menentukan adalah pasien itu sendiri atau keluarganya (dalam hal pasien masih anak-anak, tidak sehat akalnya atau telah meninggal dunia).2 Jika dokter dilaporkan karena diduga telah melakukan criminal malpractice maka yang dapat dilakukannya adalah sebagai berikut:2 1. Melakukan informal defence, yaitu mengajukan bukti-bukti untuk menyangkal tuduhan yang tidak berdasar atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin tertentu. Contohnya ialah mengajukan bukti bahwa apa yang terjadi bukan disengaja tetapi karena bagian dari risiko medik (defence of accident) atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap batin (mens rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.2 2. Melakukan formal/legal defence, yaitu melakukan pembelaan yang menunjuk pada legal doctrine. Contohnya ialah melakukan pembelaan yang berhubungan dengan penyangkalan tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggungjawaban (primary defence) atau meakukan pebelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawab yang terbukti (secondary defence) seperti misanya mengajukan bukti bahwa yang dilakukannya itu karena pengaruh daya paksa.2 Hal-hal yang sifatnya teknis tersebut sebenarnya merupakan tugas dan tanggung jawab penasehar hukum. Oleh ebab itu ada baiknya jika dokter menggunakan jasa penasehat hukum untuk melakukan criminal defence.2 Pada perkara civil malpractice, dimana dokter digugat membayar ganti rugi sejumlah uang maka yang dapat dilakukan dokter adalah mematahkan dalil-dalil penggugat. Perlu diketahui bahwa dalam peradilan perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikannya di pengadilan. Oleh karena itu pihak pasien (dalam hal ini dapat diwakili pengacaranya) harus membuktikan dalil sebagai dasar gugatan bahwa tergugat (dokter) bertanggung jawab atas derita (damage) yang dialami penggugat.2 Sebagaimana diuraikan di depan bahwa untuk membuktikan adanya civil malpractice tidaklah gampang, utamanya jika tidak dapat ditemukan fakta yang dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitor). Yang paling sulit adalah membuktikan adanya dereliction of duty dan direct causation between damage and dereliction of duty. Apalagi yang hendak membuktikan 58

adalah orang-orang yang tidak paham tentang dunia kedokteran. Di sinilah letak keuntungan dokter. Kendati demikian tidak ada salahnya jika dokter menggunakan jasa pengacara untuk membantu hal-hal yang bersifat teknis.2 2.16.

Peran Majelis kehormatan Disiplin Kedokteran (MKDKI) dan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Dalam Penanganan Kasus Dugaan “Malpraktek” Kedokteran Dalam era global masa kini, terjadi perubahan pola pikir dan perilaku manusia, akibat

dari transformasi budaya, reformasi sosial, kemajuan ilmu dan teknologi, termasuk teknologi kedokteran. Pendidikan masyarakat meningkat, membuat masyarakat makin kritis dan sensitif terhadap lingkungan di semua bidang, tidak terkecuali dalam bidang pelayanan kedokteran. Hubungan dalam dunia kedokteran yang sejak dahulu bersifat paternalistik, berubah menjadi hubungan transaksi terapeutik. Hubungan dokter-pasien menjadi setara, masing-masing memunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Masyarakat menghendaki pelayanan kedokteran yang bermutu dengan hasil memuaskan dan biaya terjangkau. Dokter berkewajiban memberi pelayanan yang profesional dan dapat dipertanggungjawabkan. Masyarakat yang dalam keadaan euphoria reformasi kebebasan akan mudah menuntut dokter. Dokter mudah dituduh “malpraktik” kalau hasil pelayanan kedokterannya tidak seperti yang diharapkan dan atau biaya tidak terjangkau,walau dokter telah melaksanakan pelayanan kedokterannya sesuai standar prosedur dan peraturan yang berlaku. Untuk mengantisipasinya keadaan semacam ini telah diterbitkan perundangan, guna melindungi masyarakat, meningkatkan mutu pelayanan kedokteran dan memberi kepastian hukum bagi masyarakat dan dokter pemberi pelayanan, berupa undang-undang praktek kedokeran, yang mengamanatkan dibentuknya antara lain Majelis Keormatan Disiplin Kedokteran (MKDKI). Selanjutnya bagaimana peran MKDKI dan MKEK dalam penyelesaiaan sengketa medik kita pelajari bersama.10 Undang-undang tentang Praktik Kedokteran Undang-undang RI No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (UUPK) resmi diberlakukan sejak 6 Oktober 2005. Dalam salah satu pasal dimandatkan terbentuknya Majelis Kehormatan Dsiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI). 10 Salah satu unsur dalam MKDKI adalah dokter. Selama ini dokter melalui IDI telah melembaga dengan adanya MKEK. Personil MKEK sebagian besar telat terlatih dalam upaya menangani masalah etik dan disiplin, tapi bukan dalam prosedural hukum.10 59

Sebelum ada Undang-undang tentang Praktik Kedokteran, hampir semua konflik etiko-mediko-legal diproses dalam persidangan MKEK. Sehingga MKEK terpaksa harus menangani kasus dugaan pelanggaran disiplin kedokteran juga, walau tugas utamanya adalah pembinaan dan pengawasan pelaksanakan etik kedokteran, serta memproses kasus dugaan pelanggaran etik kedokteran saja. Selama ini MKEK/IDI merupakan pilihan pencarian keadailan bagi pasien/keluarganya dalam penyelesaian sengketa medik dengan dokternya. Pendekatan etko legal yang dipakai MKEK sampai saat ini lebih merpakan pendekatan untuk penyelesaian sengketa medik di saran kesehatan dibandingkan dengan pendekatan hukum murni.10 Dengan diberlakukannnya Undang-undang tentang Praktik Kedokteran, adanya MKDKI yang merupakan lembaga otonom Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) pada masa kini, kasus pelanggran disiplin kedokteran akan diproses melalui pengadilan disiplin dalam MKDKI. Lembaga ini diharapkan akan lebih tepat dalam penyelesaian pelanggaran disiplin profesi kedokteran. Namun perlu disadari bahwa meskipun MKDKI mempunyai kewenangan “pengadilan” dan keputusannya mengikat, dalam perundangan disebutkan bahwa kepada dokter “teradu” tetap terbuka keungkinan digugat secara perdata atau pidana (UUPK ps 66). Maka diperlukan banyak “persiapan” dalam rangka memnhi undang-undang tersebut. Untuk menghindari tibulnya sengketa medik, para dokter diharapkan selalu bekerja secara profesional dalam melaksanakan pelayanan kedokterannya. Dokter juga perlu mengatahui prosedur hukum dalam proses peradilan di MKDKI di samping proses dalam persidangan MKEK yang telah lama dikenal. Dalam hal persidangan pengadilan perdata atau pidana, dokter dapat memanfaatkan keberadaan IDI beserta BP2A dan MKEKnya.10 Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) Seperti diketahui dalam Undang-undang tentang Praktik Kedokteran dimandatkan pembentukan dan pelaksanaan MKDKI di Pusat dan pada tiap Provinsi di Indonesia. Sebagai langkah pertama perlu kita ketahui lebih dahulu apakah MKDKI itu?10 Menurut Undang-undang tentang Praktik Kedokteran pasal 55 : 1. MKDKI dibentuk untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. 2. MKDKI merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) 3. MKDKI dalam menjalankan tugasnya bersifat independen. Pasal 56 menegaskan bahwa MKDKI bertanggung jawab kepada KKI.

60

Pasal 58 menytakan bahwa Pimpinan MKDKI terdiri atas seorang ketua dan seorang sekretaris. Anggota MKDKI disebutkan dalam pasal 59, terdiri atas 4 dokter (3 orang dokter dari organisasi profesi, 1 orang dokter mewakili asosiasi rumah sakit), 4 orang dokter gigi (3 orang dokter gigi dari organisasi profesi, 1 orang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit) dan 3 orang sarjana hukum.10 Anggota MKDKI tersebut diangkat oleh Menteri atas usul organisasi profesi (pasal 60). Kita perlu mengetahui juga apakah tugas MKDKI? Menurut UUPK pasal 64 MKDKI bertugas : a. Menerima pengaduan, memeriksa dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi yang diajukan b. Menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter dan dokter gigi MKDKI memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi (pasal 67).10 Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan pengaduan pada organisasi profesi (pasal 68).10 Dalam hal ini setelah pengaduan disampaikan oleh MKDKI kepada IDI, akan dilakukan penyaringan, kemudian baru diteruskan kepada MKEK untuk proses lebih lanjut sesuai tugas dan wewenang MKEK. Proses selanjutnya di dalam MKEK mengikuti Standar Prosedur Operasional MKEK yang berlaku. Bagaimana sifat keputusan MKDKI dan apa sanksinya? Dalam pasal 69 disebutkan bahwa : 1. Keputusan MKDKI mengikat dokter, dokter gigi dan KKI. 2. Keputusan sebagimana dimaksud pada ayat 1 dapat berpa dinyatakan tidak bersalah atau pemberiaan sanksi disiplin. 3. Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dapat berupa : a. Pemberian peringatan tertulis b. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat ijin praktik; dan/atau c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi10 Apakah peran dan manfaat keputusan MKDKI? Diharapkan MKDKI akan memberikan manfaat bagi dokter di masa mendatang. Evaluasi perilaku profesional dan kinerja dokter “terpadu” dalam penyelesaian suatu kasus dugaan malpraktik, oleh peer group harus dibuat untuk kepentingan pembelajaran agar tidak terulang kejadian yang sama di kemudian hari. Dan diharapkan dapat berguna untuk pendisiplinan pelaku.10 MKDKI tidak menutup kemungkinan penggunaaan putusan MKDKI dalam penyelesaian sengketa medic : 61





Untuk kepentingan litigasi (perdata atau pidana) : o Tidak “discoverable”. o Peer-review tidak ditunjukan untuk hokum o Dapat digunakan sebagai alat bukti :  Surat/dokumen  Keterangan ahli dengan memanggil MKDKI di persidangan. Non litigasi (khusus perkara perdata) Sebetulnya tidak diperlukan putusan benar-salah (Right based) karena yang diperlukan adalah penyelesaiaan kepentingan (Interest based). Putusan MKDKI dapat dipakai sebagai pengarah proses (independent expertise).10

Persidangan Praktek Dokter di MKDKI Pengadu datang ke MKDKI untuk mendaftarkan pengaduan melalui sekretaris MKDKI, mendapat nomor register dan tanda bukti penerimaan perkara. Surat aduan oleh sekretaris MKDKI disampaikan kepada ketua MKDKI. Setelah membaca/mendengar pengaduan tersebut ketua MKDKI menentukan Majelis Hakim dan tanggal verifikasi.10 Tahap verifikasi dihadiri oleh ketua MKDKI, Majelis Hakim, anggota MKDKI dan sekretaris MKDKI, untuk pemeriksaan pakah pengaduan masuk dalam lingkup kewenangan MKDKI atau bukan. Setelah verifikasi bila ternyata pengaduan tidak masuk dalam lingkup kewenangan MKDKI maka pengaduan dinyatakan tidak dapat diterima. Pengaduan diberi tahu secara resmi melalui surat. Apabila pengaduan termasuk dalam lingkup kewenangan MKDKI maka pengaduan memasuki tahap pemeriksaan persiapan.10 Majelis Hakim kemudian menentukan tanggal Pemeriksaan Persiapan. Ketua MKDKI menentukan anggota MKDKI yang akan bersidang untuk perkara ini. Sekretaris MKDKI melaksanakan pemanggilan secara resmi kepada anggota MKDKI menentukan anggota MKDKI, Pengadu/kuasanya dan teradu/kuasanya untuk hadir pada tahap pemeriksaan persiapan.10 Tahap pemeriksaan persiapan adalah pemeriksaan sebelum persidangan yang sesungguhnya dimulai. Pemeriksaan persiapan diahdiri oleh Majelis Hakim, anggota MKDKI, pengadu/kuasanya dan teradu/kuasanya. Majelis Hakim memeriksa berkas pengaduan, memberitahukan adanya pengaduan kepada teradu/kuasanya, kemudian memberikan salinan pengaduan kepada teradu/kuasanya dan kepada anggota MKDKI agar anggota MKDKI dapat membuat berkas pengaduan dalam format resmi untuk siding hari pertama.10 Sekretaris MKDKI memberikan laporan tahap pemeriksaan persiapan kepada Ketua MKDKI. Ketua MKDKI memilih dan memutuskan Majelis Sidang MKDKI.10 Majelis siding kemudian menentukan tanggal Sidang hari pertama. Persidangan terdiri dari bebrapa tahap :  Pembacaan pengaduan oleh anggota MKDKI  Tanggapan atas pengaduan oleh teradu/kuasanya.  Pembuktian 62

 Berupa pemeriksaan terhadap alat bukti, saksi dan surat.  Kesimpulan dari kedua belah pihak (anggota MKDKI dan teradu/kuasanya)10 Putusan diberikan oleh Majelis Sidang, berupa pernyataan tidak bersalah atau pernyataan bersalah, dimana sanksi yang diterima adalah sanksi administrative (ps 69 UUPK) Majelis Kehormatan Etik kedokteran (MKEK) MKEK merupakan bagian dari Struktur kepemimpinan IDI. Di tingkat Pusat kepemimpinan terdiri dari : Pengurus Besar IDI (PB IDI), Majelis Kolegium Kedokteran Indonesia (MKKI), Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) dan Majelis Pengembangan Pelayanan Kedokteran (MPPK) yang memiliki kewenangan dan tanggung jawab sesuai tugasnya. Ditingkat wilayah kepemimpinan terdiri dari pengurus Wilayah, MKEK, perwakilan MKKI, perwakilan MPPK. Ditingkat Cabang terdiri dari Pengurus Cabang IDI dan MKEK (AD IDI ps 12).10 MKEK adalah bahan otonom IDI yang bertanggung jawab dalam pengembangan kebijakan, pembinaan pelaksanaan dan pengawasan penerapan etika kedokteran. MKEK dibentuk ditingkat pusat, wilayah dan bila dianggap perlu di tingkat Cabang. MKEK bertanggung jawab kepada muktamar, musyawarah wilayah dan musyawarah cabang sesuai dengan tingkat kepengurusan. (ART IDI ps 41)10 MKEK mempunyai tugas dan wewenang antara lain untuk melakukan bimbingan, pengawasan dan penilaian pelaksanaan etik kedokteran, termasuk perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisi luhur kedokteran. Memperjuangkan agar etik kedokteran dapat ditegakkan di Indonesia (ART IDI ps 41)10 Sehubungan dengan tugas dan wewenang MKEK tersebut, maka MKEK mempunyai kompetensi untuk :  Meneliti dan menyidangkan pengaduan.  Memanggil dan mendengarkan para saksi/saksi ahli.  Mengumpulkan, menerima dan menganalisis bukti-bukti  Menjatuhkan sanksi bagi dokter teradu sesuai lokasi kejadian kasus.  Memantau pelaksanaan sanksi  Mengusulkan rehabilitasi bagi dokter yang selesai menjalani sanksi.  Mengubah putusan/sanksi sesuai keadilan profesi.  Menjadi saksi ahli di pengadilan bila diperlukan10 “Persidangan” MKEK Salah satu tugas dan wewenang MKEK adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan etik kedokteran, termasuk memberi sanksi bagi perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisi luhur kedokteran.10 Untuk ini biasanya dilakukan “pemeriksaan” atau “peradilan” yang bersifat internal. Pengaduan disampaikan melalui IDI dapat berasal dari. a. Pengaduan langsung 63

b. Hasil verifikasi MKDKI yang menentukan kemungkinan ada pelanggaran etik c. Rujukan banding dari MKEK Cabang untuk MKEK Wilayah atau MKEK Wilayah untuk MKEK Pusat. d. Departemen Kesehatan10 Pengaduan diterima oleh sekretaris MKEK, kemudian dicatat dalam agenda penerimaan pengaduan, diberi nomor register. Kepada pengadu diberi surat pemberiathuan bahwa pengaduaannya telah diterima. Selanjutnya sekretaris melaporkan kepada ketua MKEK bahwa ada pengaduan. Kemudian ketua MKEK mempersiapkan persidangan intern. Persidangan intern merupakan rapat khusus MKEK, dihadiri oleh ketua/wakil ketua MKEK, sekretaris MKEK, minimal 4 anggota MKEK dan Ketua IDI terkait. Persidangan intern menilai keabsahan surat pengaduan tertulis dan menentukan apakah pengaduan masuk lingkup kewenangan MKEK. Bila pengaduan sah dan masuk lingkup kewenangan MKEK maka dipersiapkan persidangan-persidangan ekstern, sesuai Standar Prosedur Operasional MKEK (Sidang A,B,C,D,E,F), tergantung kebutuhan persidangan kasus. Sidang keputusan (Sidang C) merupakan Sidang intern MKEK. Keputusan menyatakan tidak terdapat atau terdapat pelanggran Kode Etik Kedokteran Indonesia pasal berapa. Keputusan Sidang disampaikan kepada Ketua IDI terkait untuk dilaksanakan sanksi sesuai prosedur. Sanksi dapat berupa peringatan, pembinaan dan sanksi administrative.10 Mekanisme Peradilan Profesi Kedokteran Masa Kini Di samping tetap adanya kemungkinan dokter terkena tuntutan umum yang berkaitan dengan hokum pidana, hokum perdata, hokum administrasi, dan peradilan profesi yang sudah ada selama ini, maka dengan diberlakukannya Undang-undang tentang Praktek Kedokteran, berarti ada tambahan satu peradilan profesi lagi bagi dokter.1 Pada saat ini sekurang-kurangnya ada tiga “Peradilan Profesi” dalam bidang kedokteran yang berlaku, yaitu :  Majelis Kehormatan Etik kedokteran (MKEK), dengan landasan hokum UU IPTEK 

dan UU No.29/2004. Memproses dugaan pelanggaran Kode Etik Kedokteran. Majelis Disiplin Tenaga kesehatan (MDTK), landasan hukum UU No. 32/1992 tentang Kesehatan dan KEPRES No.54/1995. Meproses dugaan pelanggran disiplin



tenaga kesehatan, termasuk dokter. Majelis Kehormatan Disiplin kedokteran Indonesia (MKDKI) landasan hukum : UU No.29/2004 tentang Praktek Kedokteran. Memproses dugaan pelanggaran disiplin dokter/dokter gigi.10

Sidang “Peradilan” Profesi  Materi : Etik dan disiplin Profesi  Pihak yang bersengketa : masyarakat dan anggota profesi yang diduga bersalah. 64

 

Bukan persidangan hukum pidana/perdata Sifat : inkuisitorial10

Penyelesaian Kasus Dalam proses penyelesaiaan kasus sengketa medic ada dua aspek yang perlu mendapat perhatian dan prioritas.  Aspek perlindungan pasien o Bukan mencari siapa yang salah tetapi mebacari kemungkinan adanya kesalahan dan sebab dari kesalahan tersebut. o Meskipun sebab kesalahan selalu multifactorial, tetapi diharapkan akan 

ditemukan cara pencegahan terulangnya kesalahan yang sama. Aspek Disiplin Profesi o Bertujuan untuk menjaga akuntabilitas profesi (guiding the doctors) melalui penjeraan pelaku. o Sifat peer review atau audit klinik o Sanksi : disiplin10

2.17.

Penyelesaian Kasus Malpratek Vincent dkk. Dari Academic Department of Psychiatry, St.Mary’s Hospital, London,

UK, melakukan penelitian tentang alasan-alasan pasien dan keluarganya mengajukan tuntutan ke pengadilan sehubungan dengan malpraktik medik. Dari 277 responden objek penelitian sehubungan dengan malpraktik medik. Dari 277 responden objek penelitian yang mengajukan tuntutan malpraktik medik melalui 5 Lembaga Bantuan Hukum, ternyata 70% di antaranya mengalami cedera serius yang menyebabkan timbulnya permasalahan jangka panjang terhadap pekerjaan, kehidupan social, dan dalam hubungan keluarga. Emosi yang mendalam timbul karena penderitaan yang akan mereka alami dalam jangka panjang.11 Keputusan untuk mengajukan tuntutan hokum telah diambil tidak saja karena cidera yang dialami, tetapi juga karena ketidak-pekaan penanganan selama perawatan, serta komunikasi yang buruk antara pasien dan dokter. Dari penilitian ini Vincent menyimpulkan bhawa pada umumnya pasien dan keluarganya mengajukan tuntutan ke pengadilan bukan saja karena adanya ciera atau kerugian lain, tetapi juga karena adanya beberapa faktor lain, di antaranya : 1. Kurangnya keterbukaan dan kejujuran 2. Minimnya penjelasan dari pihak medis 3. Kurangnya komunikasi11 65

Di Indonesia, penyelesaian kasus malpraktik medik mengacu pada Pasal 66 UndangUndang No.29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran. Pasal 66 : 1. Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Idnonesia (MKDKI). 2. Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat : a. Identitas pengadu b. Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan, dan c. Alasan pengaduan. 3. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan / atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan.11 Sesuai Pasal 66 tersebut di atas, pasien atau keluarga pasien yang merasa dirugikan akibat praktik kedokteran yang mereka anggap tidak tepat dapat mengadukan kasusnya melalui MKDKI, yang merupakan jalur non-litigasi. Selain melalui jalur non-litigasi, pasien/ keluarga pasien yang menduga telah terjadi malpraktik atas diri pasien tidak tertutup kemungkinan untuk sekaligus menempuh jalur litigasi, yaitu melalui jalur perdata atau pidana.11 Kewenangan MKDKI dalam menangani pengaduan masyarakat, sesuai dengan Pasal 67 : “Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi.” MKDKI merupakan lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi. Lembaga ini merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia yang dalam menjalankan tugasnya bersifat independen.11 Pasal 55 ayat (1), (2), dan (3) :

66

1. Untuk menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran, dibentuk Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. 2. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia merupakan lembaga otonom dari Konsil Kedokteran Indonesia. 3. Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam menjalankan tugasnya bersifat independen.

Untuk menjamin netralitas MKDKI, dalam Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang No.29 Tahun 2004 disebutkan bahwa MKDKI terdiri atas 3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga) orang dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah skait, dan 3 (tiga) orang sarjana hokum. Sedangkan ayat (2) dalam pasal yang sama menyebutkan persyaratan menjadi anggota MKDKI.11 Pasal 59 ayat (1) dan (2) : 1. Keanggotaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia terdiri atas 3 (tiga) orang dokter dan 3 (tiga) dokter gigi dari organisasi profesi masing-masing, seorang dokter dan seorang dokter gigi mewakili asosiasi rumah sakit, dan 3 (tiga) orang sarjana hukum. 2. Untuk dapat diangkat menjadi anggota Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia harus memenuhi syarat sebagai berikut : a. Warga Negara Republik Indonesia b. Sehat jasmani dan rohani c. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia d. Berkelakuan baik e. Berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun dan paling tingg 65 (enampuluh lima) tahun pada saat diangkat f. Bagi dokter atau dokter gigi, pernah melakukan praktik kedokteran paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki surat tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi 67

g. Bagi sarjana hukum, pernah melakukan praktik di bindang hukum paling sedikit 10 (sepuluh) tahun dan memiliki pengetahuan di bidang hukum kesehatan, dan h. Cakap, jujur, memiliki moral, etika, dan integritas yang tinggi serta memiliki reputasi yang baik. Keputusan MKDKI merupakan sanksi disiplin dan bersifat mengikat, sesuai dengan Pasal 69 ayat (1), (2), dan (3) Undang – Undang No. 29 Tahun 2004 : 1. Keputusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia mengikat dokter, dokter gigi, dan Konsil Kedokteran Indonesia. 2. Keputusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin. 3. Sanksi disiplin sebagaimana dimaksud padat ayat (2) dapat berupa : a. Pemberian peringatan tertulis, b. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik, dan / atau c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.11 Alur penanganan ketidakpuasan pasien

68

Lembaga ADR adalah lembaga yang mencoba menawarkan penyelesaian kepada pihak-pihak yang bertikai, antara pasien dengan dokter atay dokter gigi. Penyelesaian ini menggunakan pendekatan kepentingan (interest based) yang bersifat win-win solution, melalui konsiliasi, mediasi, fasilitasi dan negosiasi, tanpa mengedepankan benar-salah (right based), dilakukan di luar pengadilan, dengan atau tanpa kompensasi. Melalui lembaga ADR ini dapat dilakukan upaya mencari jalan keluar atas keputusannya, baik pihak dokter maupun pihak pasien.11 Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, MKDKI meneruskan pengaduan pada organisasi profesi (Ikatan Dokter Indonesia/ IDI atau Perhimpunan Dokter Gigi Indonesia/ PDGI), sesuai Pasal 68 : “Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan pada organisasi profesi.”11 Perselisihan itu selanjutnya akan ditangani oleh Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK) IDI, atau ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Gigi Indonesia (MKEKG) PDGI. MKEK dan MKEKG adalah suatu badan pengadilan profesi, yang bertugas mengadili anggota ikatan profesi itu sendiri. Hukuman yang dijatuhkan MKEK/MKEGK bisa berupa teguran atau pemecatan dari keanggotaan IDI/PDGI yang dapat bersifat sementara (skorsing) atau tetap/selamanya.11 Apabila suatu kasus yang diduga malpraktik medik dilakukan oleh masyarakat dan didapati pelanggaran hukum, MKDKI akan menganjurkan supaya kasus itu langsung dibawa 69

ke siding pengadilan untuk diperiksa. Oleh karena Undang – Undang Praktik Kedokteran hanya fokus pada disiplin kedokteran saja, sehingga masalah gugatan perdata atau pidana diserahkan kepada peradilan umum dengan memakai saksi ahli (expert witness testimonium) apabila diperlukan, sebagaimana lazimnya juga di luar negeri.11

2.18.

Pencegahan Terjadinya Malpraktek Sejak meningkatnya tuntutan hukum yang diajukan oleh pihak pasien maka banyak

dokter yang kemudian di dalam prakteknya melakukan upaya untuk menghindarinya. Upaya semacam itu sering disebut defensive medicine, yang didasarkan pada asumsi (dari pihak dokter) sebagai berikut: 1. Diagnosis yang akurat akan menurunkan tuntutan hukum. 2. Tes dan prosedur medik akan meningkatkan probabilitas kebenaran diagnosis. 3. Penggunaan teknologi maju merupakan cerminan pelayanan medik yang lebih baik (Harris 1987).2 Dikenal 2 macam defensice medicine, yaitu defensive medicine type I atau sering disebut positive defensive medicine dan defensive medicine type II atau sering disebut negative defensive medicine.2 Yang disebut defensive medicine type I ialah apabila dokter melakukan semua tes atau semua prosedur medik, termasuk tes dan prosedur medik yang sebetulnya tidak esensial dan tidak penting untuk menghindari tuntutan kalau-kalau layanan dokter memberikan hasil yang buruk. Sudah tentu tindakan medik seperti itu (overtreatment) akan mengakibatkan biaya pengobatan menjadi lebih tinggi, sehingga pasien juga mengharapkan hasil yang memadai. Oleh sebab itu ketidakpuasan sedikit saja akan dapat mendorong pasien menempuh jalur hukum untuk menuntut keadilan.2 Sedangkan yang disebut defensive medicine type II adalah tindakan menghindari testes atau prosedur-prosedur medik yang menguntungkan karena takut timbulnya komplikasi dari tindakan tersebut. Tindakan dokter seperti ini memang tidak meningkatkan biaya pengobatan menjadi lebih tinggi, tetapi masalahnya mungkin berkaitan erat dengan kualitas pengobatan yang dapat menjurus ke arah undertreatment.2 Contoh tindakan dokter yang dapat digolongkan sebagai defensive medicine type II adalah sebagai berikut: Seorang pasien wanita mengalami keterlambatan menstruasi dan membutukan pemeriksaan sinar X pada perutnya untuk mendiagnosis ada tidaknya penyakit. Tetapi dokter 70

tidak melakukannya mengingat adanya risiko radiasi pada janin jika seandainya wanita itu betul-betul hamil. Tentu saja tindakan ini akan menyebabkan tertundanya diagnosis.2 Selain defensive medicine, upaya lain yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kasus malpraktek adalah: 1. Tidak memberikan garansi kesembuhan karena hal itu dapat diartikan bahwa dokter telah memilih bentuk perikatan resultaat verbintenis, bukan inspanning verbintenis. 2. Hati-hati menangani kasus yang berpotensi menimbulkan medicolegal trouble. 3. Tidak menggunakan metode pengobatan atau obat-obatan yang sudah ketinggalan zaman. 4. Tidak menggunakan metode pengobatan atau obat-obatan yang masih bersifat 5. 6. 7. 8. 9.

eksperimental, kecuali pasien diberitahu sebelumnya. Semua proedur medik hendaknya dilakukan dengan informed consent. Rekam medik harus dibuat lengkap dan akurat. Bila terjadi keragu-raguan, segera berkonsultasi dengan dokter yang lebih ahli. Perlakukan pasien secara manusiawi dengan memperhatikan segala kebutuhannya Jalin komunikasi yang baik dengan pasien maupun masyarakat sekitarnya.2

BAB III KESIMPULAN

71

DAFTAR PUSTAKA 1

Dahlan S, Malpraktik. Dalam: Pencegahan dan Penanganan Kasus Dugaan Malpraktik (Continuing Professional Development), Tarjoto BH, Widyarto D, et al. 1 st Ed. Semarang:

Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006.p: 75-105. 2 Dahlan S, Malpraktek Medik. Dalam: Hukum Kesehatan Rambu-Rambu Bagi Profesi Dokter. 3rd Ed. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2001.p: 59-72. 3 Yunanto A, Helmi. Masalah Medikolegal Dalam Pelayanan Medik. Editor: Suyantoro S. 1 st Ed. Yogyakarta: Penerbit ANDI.p: 27-46. 4 Budiningsih Y, Malpraktek. Dalam : Penerapan Ilmu Kedokteran Forensik dalam Proses Penyidikan. 3rd Ed. Jakarta : SAgung Seto, 2013. P:204-208 5 Peraturan Menteri Kesehatan RI No. Nomor 1419/MENKES/PER/X/2005 6 Indonesia, Undang-undang No.29 th. 2004 Tentang Praktik Kedokteran 7 Yunanto A, Helmi. Pertanggungjawaban Pidana Malpraktik Medik. Editor: Suyantoro S. 1 st Ed. Yogyakarta: Penerbit ANDI.p: 47-82. 8 Kitab Undang-undang Hukum Pidana 9 Indonesia, Undang-undang No.23 th. 11992 Tentang Kesehatan 10 Dahlan S, Peran MKDKI dan MKEK dalam Penanganan Kasus Dugaan Malpraktik Kedokteran. Dalam: Pencegahan dan Penanganan Kasus Dugaan Malpraktik (Continuing Professional Development), Tarjoto BH, Widyarto D, et al. 1st Ed. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 2006.p: 107-120. 11 Yunanto A, Helmi. Penyelesaian Kasus Malpraktik Medik. Dalam Hukum Pidana Malpraktik Medik.Editor: Suyantoro S. 1st Ed. Yogyakarta: Penerbit ANDI.p: 83-88.

72

73

Related Documents

Malpraktek
March 2021 0
Malpraktek Pidana
March 2021 0

More Documents from "PERTIWI"