Materi Ii

  • Uploaded by: Bella Arsy Safitri
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Materi Ii as PDF for free.

More details

  • Words: 4,786
  • Pages: 108
Loading documents preview...
Proses Dismissal

Proses dismissal merupakan proses penelitian terhadap gugatan yang masuk di Pengadilan Tata Usaha Negara oleh Ketua Pengadilan. Dalam proses penelitian itu, Ketua Pengadilan dalam rapat permusyawaratan memutuskan dengan suatu Penetapan yang dilengkapi dengan pertimbanganpertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 diubah dan ditambah dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara . istilah proses dismissal tidak dikenal, akan tetapi substansi dari makna tersebut diatur dalam Pasal 62 UU PERATUN.

Istilah prosedur dismissal atau proses dismissal hanya dapat ditemui dalam keterangan Pemerintah di hadapan sidang paripurna DPRRI yang mengantarkan RUU tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang disampaikan oleh Menteri Kehakiman Ismail Saleh, S.H.,  pada tanggal 29 April 1986.

Proses Dismissal Pasal 62 UU PERATUN tidak mengatur secara terperinci bagaimana mekanisme pemeriksaan terhadap gugatan yang masuk dalam proses dismissal.

Mahkamah Agung dalam SEMA No.2 Tahun 1991  a. Prosedur dismissal dilaksanakan oleh Ketua dan dapat juga menunjuk seorang Hakim sebagai reporteur (raportir). b. Pemeriksaan dilaksanakan dalam rapat permusyawaratan (di dalam kamar Ketua) atau dilaksanakan secara singkat. c. Ketua Pengadilan berwenang memanggil dan mendengarkan keterangan para pihak sebelum menentukan Penetapan Dismissal apabila dianggap perlu.

d.  Penetapan Dismissal berisi gugatan dinyatakan tidak diterima atau tidak berdasar, dan Penetapan tersebut ditandatangani oleh Ketua dan Panitera Kepala/Wakil Panitera. Wakil Ketua Pengadilan dapat pula menandatangani Penetapan Dismissal dalam hal Ketua Pengadilan berhalangan. e.  Penetapan Dismissal diucapkan dalam rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan, dengan memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkan. f.   Dalam hal ada petitum gugatan yang nyata-nyata tidak dapat dikabulkan, maka dimungkinkan ditetapkan dismissal terhadap bagian petitum gugatan tersebut (dismissal parsial).

g. Dalam hal ditetapkan dismissal parsial, ketentuan perlawanan terhadap Penetapan Dismissal berlaku juga dalam hal ini. h. Di dalam “mendismissal gugatan” hendaknya Ketua Pengadilan tidak terlalu mudah menggunakan Pasal 62 tersebut, kecuali mengenai Pasal 62 ayat (1) butir a dan e.

ALASAN-ALASAN UNTUK “MENDISMISSAL GUGATAN”

Pasal 62 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, yaitu : a.   Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang Pengadilan. Yang dimaksud dengan “pokok gugatan”, menurut penjelasannya adalah fakta yang dijadikan dasar gugatan. Atas dasar fakta tersebut Penggugat mendalilkan adanya suatu hubungan hukum tertentu, dan oleh karenanya mangajukan tuntutan. b.  Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 tidak dipenuhi oleh Penggugat sekalipun ia telah diberitahu dan diperingatkan.

c. Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasanalasan yang layak. d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh Keputusan TUN yang digugat. e. Gugatan diajukan sebelum waktunya, atau telah lewat waktunya.

PERLAWANAN TERHADAP PENETAPAN DISMISSAL

Perlawanan terhadap Penetapan Dismissal diatur dalam Pasal 62 ayat (3), (4), (5) dan (6) UU PERATUN, selengkapnya sebagai berikut : a.   Terhadap Penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu 14 hari setelah ditetapkan ; b.   Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56. Perlawanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat.

• Isi perlawanan pada pokoknya menyatakan bahwa gugatan Penggugat telah sempurna atau telah benar-benar sesuai dengan faktafakta yang didalilkan dalam gugatan, dan tidak memenuhi ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf e UndangUndang Nomor 5 Tahun 1986.

JUKLAK Mahkamah Agung RI No.222/Td.TUN/X/1993 a. Dalam proses perlawanan terhadap Penetapan Dismissal, setidak-tidaknya Penggugat/Pelawan maupun Tergugat didengar dalam persidangan tanpa memeriksa pokok gugatan. b. Putusan perlawanan terhadap Penetapan Dismissal tidak tersedia upaya hukum apapun (vide Pasal 62 ayat 6 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986), baik upaya hukum biasa maupun upaya hukum luar biasa.

c. Dalam hal pihak Pelawan mengajukan perlawanan, banding atau upaya hukum lainnya, maka Panitera berkewajiban membuat Akta Penolakan Banding. d. Nomor dalam perkara perlawanan adalah sama dengan Nomor gugatan asal dengan ditambah kode P

PEMERIKSAAN UPAYA HUKUM PERLAWANAN TERHADAP PENETAPAN DISMISSAL • Undang-undang tidak mengatur mengenai tata cara pemeriksaan terhadap perlawanan Penetapan Dismissal. • Untuk mengisi kekosongan hukum tersebut diatur dalam Surat Mahkamah Agung RI No.224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 perihal JUKLAK yang dirumuskan dalam Pelatihan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Tahap III Angka VII.1, sebagai berikut :

Surat Mahkamah Agung RI No.224/Td.TUN/X/1993 a.  Pemeriksaan terhadap perlawanan atas Penetapan Dismissal tidak perlu sampai memeriksa materi gugatannya, seperti memeriksa bukti-bukti, saksi-saksi, ahli dan sebagainya. b.  Barulah kalau perlawanan tersebut dinyatakan benar, maka dilakukan pemeriksaan terhadap pokok perkaranya yang dimulai dengan pemeriksaan persiapan dan seterusnya. c.  Majelis yang memeriksa pokok perkaranya adalah Majelis yang sama dengan yang memeriksa gugatan perlawanan tersebut, tetapi dengan Penetapan Ketua Pengadilan. Jadi tidak dengan secara otomatis.

1.  Pemeriksaan gugatan perlawanan terhadap dismissal dilakukan oleh Majelis dalam sidang yang terbuka untuk umum. 2. Pemeriksaan terhadap perlawanan atas Penetapan Dismissal tidak boleh sampai memeriksa materi gugatan. 3. Dalam hal perlawanan ditolak, maka bagi Pelawan tidak tersedia upaya hukum. Dalam hal perlawanan diterima, maka persidangan terhadap perkaranya dilakukan dengan acara biasa oleh Majelis Hakim yang sama, dengan nomor perkara yang sama.

4. Gugatan perlawanan terhadap Penetapan Dismissal Ketua Pengadilan diajukan dalam waktu 14 hari setelah Penetapan Ketua Pengadilan diucapkan. 5. Perlawanan terhadap Penetapan Dismissal dilakukan dengan cara mengajukan gugatan biasa (vide Pasal 62 ayat 3b  jo. Pasal 56). 6. Untuk melengkapi gugatan perlawanan dilampirkan salinan Penetapan Dismissal Ketua PTUN yang bersangkutan.

Penetapan Dismissal Ketua Pengadilan dibenarkan oleh Majelis Hakim Perlawanan yang memutus gugatan perlawanan, maka putusannya harus disusun dalam bentuk yang mengacu ketentuan Pasal 109, yaitu memuat :

Pasal 109 1. Kepala Putusan yang berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. 2.  Nama, Jabatan, Kewarganegaraan, Tempat Kediaman atau Tempat Kedudukan para pihak yang bersengketa. 3.  Pertimbangan dan penilaian Ketua Pengadilan atau Majelis yang memutusnya. 4.  Alasan hukum yang menjadi dasar putusan. 5.  Amar putusan tentang sengketa yang bersangkutan. 6.  Hari, tanggal putusan, nama Majelis yang memutus, nama Panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.

Akibat hukum apabila Penetapan Dismissal Ketua dibenarkan atau menurut pendapat Majelis perlawanan gugatan perlawanan tidak berdasar atau tidak dapat diterima, maka terhadap putusan Majelis perlawanan yang dilakukan dengan acara singkat tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum (vide Pasal 62 ayat 6). Akibatnya terhadap Penetapan Dismissal Ketua Pengadilan menjadi berkekuatan hukum tetap seperti putusan akhir terhadap pokok perkaranya.

Pemeriksaan di Persidangan PTUN

Pemeriksaan • Terdiri dari : – Pemeriksaan pendahuluan – Pemeriksaan Persidangan

• Acara yang digunakan : – Acara Singkat; – Acara Cepat; – Acara Biasa.

• Acara Singkat tidak memeriksa pokok sengketa.

Pemeriksaan Pendahuluan • Penelitian Segi Administratif; – Dilakukan oleh Panitera, hanya syarat2 formalnya yang diperiksa.

• Rapat Pemusyawaratan (Pasal 62); – Dilakukan oleh Ketua Pengadilan, untuk menyring perkara; – Tahap ini disebut juga dismissal proses;

• Pemeriksaan Persiapan (Pasal 63) – Dilakukan oleh Majelis Hakim, untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas; – jika permohonan acara cepat dikabulkan, maka tidak ada tahap ini.

Acara Singkat • prosedur acara yang digunakan untuk memeriksa perlawanan dari penggugat terhadap penetapan Ketua PTUN dalam tahap Rapat Permusyawaratan (lihat pasal 62). • Acara singkat ini digunakan untuk memeriksa pemeriksaan perlawanan dan pemutusan terhadap upaya perlawanan. Jika perlawanan dibenarkan, maka penetapan dismissel Ketua PTUN gugur demi hukum, • selanjutnya pokok gugatan akan diperiksa dengan menggunakan acara biasa. Terhadap putusan ini tidak ada upaya hukum

Acara Cepat • diatur dalam Pasal 98-99, dipimpin oleh hakim tunggal. • Pemeriksaan dengan acara ini didahului oleh adanya permohonan kepada ketua pengadilan dengan alasan adanya kepentingan dari penggugat yang cukup mendesak. • Dalam waktu 14 hari setelah permohonan ketua pengadilan mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidaknya permohonan. • Jika dikabulkan, tujuh hari setelah penetapan oleh ketua pengadilan harus sudah ditentukan waktu dan tempat sidang tenpa pemeriksaan persiapan. • Tenggang waktu jawab-jinawab tidak boleh melebihi waktu 14 hari. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal

Acara Biasa • Pemeriksaan dengan acara biasa diatur mulai Pasal 68. • Jangka waktu pemeriksaan tidak boleh melebihi waktu 6 bulan sejak registrasi perkara; • Pemeriksaan dilakukan oleh Majelis Hakim. • Pemeriksaan diawali dengan adanya pemeriksaan persiapan. • Jangka waktu pemanggilan dengan pemeriksaan tidak boleh kurang dari 6 hari.

PROSES BERACARA DI PTUN DISMISSAL PROSES OLEH Gugatan KETUA PTUN

VERZET

(Pasal 62) N.O

Keputusan Final

GUGATAN PERLAWANAN d.t.w. 14 hari

Lolos

PEMERIKSAAN PERSIAPAN (Pasal 63)

PEMERIKSAAN DALAM SIDANG - Pasal 68 - Pasal 98

PUTUSAN (Pasal 108)

BAGAN PROSES PEMERIKSAAN GUGATAN DI PTUN GUGATA N PANITERA

KETUA

MAJELIS

TAHAP I

Penelitian Administrasi TAHAP II a. Proses Dismissal b. Menolak/mengabulkan permohonan Penundaan PelaksanaanKeputusan Tata Usaha Negara (Skorsing) c. Menolak/mengabulkan permohonan pemeriksaan Cuma-Cuma d. Menolak/mengabulkan pemeriksaan acara cepat. e. Menetapkan perkara diperiksa dengan acara biasa. TAHAP III - Pemeriksaan Persiapan TAHAP IV - Sidang Terbuka untuk Umum

PROSES PEMERIKSAAN PERKARA DENGAN ACARA CEPAT ( Pasal 98 dan Pasal 99 UU No. 9 Tahun 2004 jo UU No. 5 Tahun 1986 ) • • •

Gugatan disertai permohonan acara cepat

KETUA PTUN d.t.w. 14 hari Permohonan diterima Penunjukkan Hakim Tunggal d.t.w. 7 hari Penetapan hari sidang Tanpa Pemeriksaan Persiapan Jawaban dan Pembuktian masing-masing pihak tidak lebih dari 14 hari KESIMPULAN

PUTUSAN

PENETAPAN

Permohonan ditolak sekaligus dalam penetapan tersebut ditetapkan Pemeriksaan dilaksanakan dengan Acara Biasa

TAHAP PEMERIKSAAN PERKARA DENGAN ACARA BIASA Pemeriksaan Persiapan oleh Majelis Hakim

Tujuannya adalah untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas

PEMBACAAN SURAT GUGATAN

JAWABAN Tergugat REPLIK Penggugat DUPLIK Tergugat PEMBUKTIAN KESIMPULAN PUTUSAN

- Bukti Surat/Tulisan - Bukti Saksi-Saksi

Pembuktian

PEMBUKTIAN PTUN( Diatur dalam Pasal 100 s.d Pasal 107 )

Pasal 100 (1)  Alat bukti ialah : surat atau tulisan; keterangan ahli; keterangan saksi; pengakuan para pihak; pengetahuan Hakim. (2) Keadaan yang telah diketahui oleh umum tidak perlu dibuktikan.

Pasal 101 Surat sebagai alat bukti terdiri atas tiga jenis ialah: • akta otentik, yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat umum, yang menurut peraturan perundangundangan berwenang membuat surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya; • akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang peristiwa atau peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya; • surat-surat lainnya yang bukan akta.

Pasal 102 (1) Keterangan ahli adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan pengetahuannya. (2)  Seseorang yang tidak boleh didengar sebagai saksi berdasarkan Pasal 88 tidak boleh memberikan keterangan ahli.

Orang yang tidak boleh didengar sebagai saksi (Pasal 88) •

• • •

Keluarga sedarah atau semenda menurut garis keturunan lurus keatas atau kebawah sampai derajat kedua dari salah satu pihak yang bersengketa; Isteri atau suami salah satu pihak yang bersengketa, meskipun sudah bercerai; Anak yang belum berusia tujuh belas tahun; Orang yang sakit ingatan

Pasal 89 Orang yang dapat minta pengunduran diri dari kewajiban untuk memberikan kesaksian

• saudara laki-laki dan perempuan, ipar laki-laki dan perempuan salah satu pihak; • setiap orang yang karena martabat, pekerjaan, atau jabatannya diwajibkan merahasiakan segala sesuatu yang berhubungan dengan martabat, pekerjaan, atau jabatannya itu. • Ada atau tidak adanya dasar kewajiban untuk merahasiakan segala sesuatu sebagaimana dimaksud dalam  huruf b, diserahkan kepada pertimbangan Hakim.

Pasal 103

(1) Atas permintaan kedua belah pihak atau salah satu pihak atau karena jabatannya Hakim Ketua Sidang dapat menunjuk seseorang atau beberapa orang ahli. (2) Seorang ahli dalam persidangan harus memberi keterangan baik dengan surat maupun dengan lisan, yang dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut kebenaran sepanjang pengetahuannya yang sebaik-baiknya.

Pasal 104

Keterangan saksi dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan dengan hal yang dialami, dilihat, atau didengar oleh saksi sendiri.

Dalam menilai suatu kesaksian, hal-hal yang harus diperhatikan hakim sebagai berikut :

• Alasan-alasan saksi untuk memberikan keterangan • Perikehidupan, kedudukan, dan martabat saksi dalam masyarakat setempat dan segala sesuatu yang dapat mempengaruhi saksi dalam memberikan keterangannya • Kesesuaian antara kesaksian yang satu dengan yang lainnya • Kesesuaian kesaksian dengan suatu alat bukti lainnya yang diajukan dalam perkara tersebut.

Pasal 93 Jika Pejabat yang dipanggil sebagai saksi wajib datang sendiri di persidangan Biaya perjalanan pejabat yang dipanggil sebagai saksi di Pengadilan tidak dibebankan sebagai biaya perkara.  

Pasal 94 • Saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji dan di dengar dalam persidangan Pengadilan dengan dihadiri oleh para pihak yang bersengketa. • Apabila yang bersengketa telah dipanggil secara patut, tetapi tidak datang tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka saksi dapat di dengar keterangannya tanpa hadirnya pihak yang bersengketa. • Dalam hal saksi yang akan didengar tidak dapat hadir di persidangan karena halangan yang dapat dibenarkan oleh hukum, Hakim dibantu oleh Panitera datang di tempat kediaman saksi untuk mengambil sumpah atau janjinya dan mendengar saksi tersebut.

Pasal 105 Pengakuan para pihak tidak dapat ditarik kembali kecuali berdasarkan alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim. Dalam Hukum Acara dikenal ada dua macam pengakuan : • Pengakuan yang diberikan di depan persidangan • Pengakuan yang diberikan di luar persidangan Penilaian terhadap alat bukti Pengakuan yang diberikan di depan persidangan dengan yang di luar persidangan mempunyai kekuatan pembuktian yang berbeda. Pengakuan di luar persidangan penilainnya diserahkan kepada pertimbangan hakim, sebagai alat bukti bebas konsekuensuinya hakim bebas menilainya bisa sebagai petunjuk  bukti permulaan saja.

Pasal 106 Pengetahuan Hakim adalah hal yang olehnya diketahui dan diyakini kebenarannya.   PENGUJIAN ATAU PENILAIAN HASIL PEMBUKTIAN

Pasal 107

Hakim menentukan apa yang harus dibuktikan, beban pembuktian beserta penilaian pembuktian, dan untuk sahnya pembuktian diperlukan sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan Hakim.

Pasal ini mengatur ketentuan dalam rangka usaha menemukan kebenaran materiel. Berbeda dengan sistem hukum pembuktian dalam Hukum Acara Perdata, maka dengan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi dalam pemeriksaan tanpa bergantung pada fakta dan hal yang diajukan oleh para pihak, Hakim Peradilan Tata Usaha Negara dapat menemukan sendiri:

1. apa yang harus dibuktikan; 2. siapa yang harus dibebani pembuktian, hal apa yang harus dibuktikan oleh pihak yang berperkara dan hal apa saja yang harus dibuktikan oleh Hakim sendiri; 3. alat bukti mana saja yang diutamakan untuk dipergunakan dalam pembuktian; 4. kekuatan pembuktian alat bukti yang telah diajukan

Dalam PTUN dianut teori pembuktian bebas yang terbatas. Dikatakan bebas terbatas adalah karena alat-alat bukti yang boleh digunakan dalam pembuktian suatu perkara TUN telah ditentukan secara limitatif dalam Pasal 100.Selain itu juga dalam Pasal 107 hakim dibatasi wewenangnya untuk menilai sahnya pembuktian, yaitu paling sedikit harus ada dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.

Keputusan PTUN

Majelis hakim dapat membuat suatu putusan guna menyelesaikan sengketa TUN berdasarkan atas fakta dan bukti yang diperoleh selama persidangan. Untuk menentukan hal ini, hakim akan bermusyawarah secara tertutup dalam suatu ruangan untuk memutuskan putusan yang akan dijatuhkan

• Putusan yang dibuat dalam musyawarah majelis hakim yang dipimpin oleh hakim ketua sidang merupakan hasil permufakatan bulat. • Bila musyawarah majelis hakim tersebut tidak dapat menghasilkan putusan, maka musyawarah ditunda sampai musyawarah selanjutnya. • Bila pada musyawarah berikutnya majelis hakim tidak dapat membentuk putusan akhir, maka hakim ketua sidang yang menenentukan putusan akhir.

Jenis Putusan Putusan yang bukan putusan akhir • Pasal 113 ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Putusan Pengadilan yang bukan putusan akhir meskipun diucapkan dalam sidang, tidak dibuat sebagai putusan tersendiri melainkan hanya dicantumkan dalam berita acara sidang”. • Pasal 124 yang menyatakan bahwa: “Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan putusan akhir hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama dengan putusan akhir”.

Putusan Akhir Putusan akhir adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim setelah pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara selesai yang mengakhiri sengketa tersebut pada tingkat pengadilan tertentu. Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (7)

1. Gugatan ditolak

Putusan yang berupa gugatan ditolak adalah putusan yang menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang tidak dinyatakan batal atau dinyatakan sah.

2. Gugatan dikabulkan Putusan yang berupa gugatan dikabulkan adalah putusan yang menyatakan bahwa Keputusan Tata Usaha Negara yang menimbulkan sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan Tata Usaha Negara yang dinyatakan batal atau tidak sah. Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dapat ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh tergugat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (9), berupa:

• pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan, atau • pencabutan Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan dan penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara yang baru, atau • penerbitan Keputusan Tata Usaha Negara baru.

Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 97 ayat (10) bahwa kewajiban yang dilakukan oleh Tergugat tersebut dapat disertai pembebanan ganti kerugian. Di samping, pembebanan ganti kerugian terhadap gugatan dikabulkan berkenaan dengan kepegawaian dapat juga disertai rehabilitasi atau kompensasi.

3.Gugatan tidak dapat diterima

Putusan yang berupa gugatan tidak diterima adalah putusan yang menyatakan bahwa syarat-syarat yang telah ditentukan tidak dipenuhi oleh gugatan yang diajukan oleh penggugat.

4. Gugatan gugur

Putusan yang berupa gugatan gugur adalah putusan yang dijatuhkan hakim karena penggugat tidak hadir dalam beberapa kali sidang, meskipun telah dipanggil dengan patut atau penggugat telah meninggal dunia.

Isi putusan Pasal 109 ayat (1), harus memuat:

a.  Kepala putusan yang berbunyi: “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”; b. Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediamana, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa; c. Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas; d. Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa; e. Alasan hukum yang menjadi dasar putusan; f.  Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara; g. Hari, tanggal putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.

Sistematika Putusan 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Pembukaan Tentang kedudukan perkara Tentang pertimbangan hukumnya Kesimpulan Diktum atau amar penutup

1. Pembukaan a. Kata putusan atau penetapan b. Nomor perkara c. Irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa” d. Pengadilan yang menjatuhkan putusan atau mengeluarkan penetapan e. Identitas penggugat dan tergugat, dengan kuasa hukumnya

• Irah-irah tersebut mengingatkan kepada hakim akan bersumpah jabatannya, bahwa hakim tidak hanya bertanggung jawab kepada hukum, diri sendiri, dan rakyat, tetapi juga bertanggung jawab kepada tuhan Yang Maha Esa.

2. Tentang duduk perkara • Uraian singkat dari gugatan, jawaban, replik, duplik, serta alat-alat bukti. • Meski uraian secara singkat, tetapu uraian singkat tersebut harus jelas dan terang dapat menggambarkan duduk perkara yang di periksa dan diputus oleh hakim.

3. Tentang pertimbangan Hukumnya • Penilaian mengenai alat-alat bukti terhadap fakta-fakta yang diajukan atau yang dibantah oleh penggugat atau tergugat • Pertimbagan hukum menjadi sangat penting dan menentukan karena pertimbangan hukum yang tidak cukup akan menjadi alasan untuk membatalkan putusan tersebut dalam pemeriksaan

4. Kesimpulan • Kesimpulan merupakan penilaian akhir, juga merupakan penutup dari pertimbangan hukum yang disebut dalam suatu putusan

5. Diktum atau Amar • • • •

Gugatan ditolak Gugatan dikabulkan Gugatan tidak diterima Gugatan gugur

Pasal 97 ayat 7 uu Peratun

Kekuatan Hukum dari Putusan a.  Kekuatan pembuktian. Kekuatan pembuktian dari putusan hakim adalah kekuatan hukum yang diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa dengan putusan tersebut telah diperoleh bukti tentang kepastian sesuatu. kekuatan pembuktian yang sempurna (Psl 1868 jo Psl 1870 KUHPerdata)

b.  Kekuatan mengikat. Kekuatan mengikat dari putusan hakim adalah kekuatan hukum yang diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa putusan tersebut mengikat yang berkepentingan untuk menaati dan melaksanakannya. Karena dalam Peradilan Tata Usaha Negara berlaku asas Erga Omnes.

c.  Kekuatan eksekutorial. Kekuatan eksekutorial dari putusan hakim adalah kekuatan hukum yang diberikan kepada suatu putusan hakim bahwa putusan tersebut dapat dilaksanakan.

Eksekusi Putusan Tata Usaha Negara

  Pasal 115 UU Nomor 5 tahun 1986 Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan.

Ketua Muda MA Bidang Tata Usaha Negara, Prof. Paulus Effendi Lotulung, “Eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara dan Problematikanya dalam Praktek”,  dimuat buku Kapita Selekta Hukum Mengenang Almarhum Prof. H. Oemar Seno Adji (Ghalia Indonesia, 1995).

• Dalam perkara pidana dan perdata, aparat penegak hukum yang akan melaksanakan eksekusi putusan bisa meminta bantuan aparat keamanan. • Beda halnya dengan eksekusi putusan PTUN. eksekusi putusan PTUN tidak dimungkinkan upaya paksa dengan menggunakan aparat keamanan. • Istimewanya, Presiden selaku kepala pemerintahan dimungkinkan campur tangan dalam pelaksanaan putusan PTUN.

Pasal 97 ayat (8) dan ayat (9) UU PTUN, pada dasarnya dapat berupa: Batal atau tidak sah Keputusan Tata Usaha Negara ("KTUN") yang menimbulkan sengketa dan menetapkan Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan untuk mencabut KTUN dimaksud. Paulus Effendi Lotulung menyebutnya sebagai eksekusi otomatis. Jika putusan TUN tidak dipatuhi maka KTUN tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, tidak perlu lagi ada tindakan atau upaya lain dari pengadilan seperti surat peringatan (R. Wiyono, 2009: 234)

Pelaksanaan putusan pengadilan yang dimaksud dalam Pasal 97 ayat (9) huruf b, yang mewajibkan pejabat TUN bukan hanya mencabut tetapi juga menerbitkan KTUN baru.

Selain itu, ada juga putusan yang mengharuskan pejabat TUN menerbitkan KTUN sebagaimana dimaksud Pasal 3 UU PTUN. Pasal 3 mengatur tentang keputusan fiktif negatif.

Pasal 116 ayat (5) UU PTUN menyatakan pejabat yang tidak melaksanakan putusan Pengadilan diumumkan pada media massa cetak setempat oleh panitera sejak tidak terpenuhinya batas waktu 90 hari kerja. Begitu batas waktu lewat, penggugat mengajukan permohonan kepada ketua pengadilan agar tergugat melaksanakan putusan

Pasal 116 ayat (6) UU PTUN menegaskan lebih lanjut, ketua pengadilan mengajukan ketidakpatuhan ini kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dan kepada DPR untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dari rumusan ini jelas bahwa Presiden punya kewenangan memaksa pejabat TUN untuk melaksanakan putusan

Upaya Hukum

Upaya hukum adalah hak bagi pihak yang dikalahkan oleh pengadilan untuk tidak menerima putusan hakim. Upaya hukum dalam PTUN terhadap suatu putusan hakim dapat ditempuh melalu:

a. Pemeriksaan banding  Pemeriksaan ditingkat banding adalah pemeriksaan judex factie pada tingkat akhir. Pemeriksaan dilakukan kembali secara menyeluruh.  Permohonan pemeriksaan banding yang diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasa hukumnya kepada PTUN yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu 14 hari sesudah diputus secara sah, yang disertai dengan pembayaran uang muka biaya perkara terlebih dahulu (Pasal 123 UU No. 5 Tahun 1986).

 Putusan pengadilan yang bersifat putusan akhir yang tidak dapat dimohonkan pemeriksaan banding oleh Pengadilan Tinggi TUN adalah : a. Penetapan dismissal (Pasal 62 ayat 1) b. Putusan perlawanan (Pasal 62 ayat 6) c. Putusan penundaan pelaksanaan putusan yang digugat (Pasal 67) d. Putusan perlawanan pihak ketiga terhadap eksekusi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (Pasal 118 ayat 1).

Pengadilan Tinggi TUN memeriksa dan memutus perkara banding dengan paling sedikit tiga orang hakim. Bila Pengadilan Tinggi TUN berpendapat bahwa pemeriksaan PTUN kurang lengkap, maka tindakan yang dapat dilakukan oleh Pengadilan Tinggi TUN dalam hal seperti itu adalah: a. Mengadakan sidang sendiri untuk mengadakan pemeriksaan tambahan b. Memerintahkan PTUN pada tingkat pertama yang bersangkutan untuk melaksanakan pemeriksaan tambahan tersebut

Putusan Pengadilan Tinggi TUN terhadap sengketa TUN yang dimohonkan banding tersebut dapat berupa: a. Menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama b. Membatalkan untuk seluruhnya atau sebagian dari putusan hakim pada tingkat pertama dengan mengadili sendiri kembali terhadap perkara TUN tersebut

b. Pemeriksaan kasasi Mahkamah Agung sebagai lembaga Pengadilan Negara Tertinggi merupakan pengadilan kasasi terhadap putusan-putusan yang dijatuhkan oleh Pengadilan Tinggi TUN atau pengadilan tingkat terakhir dari semua lingkup peradilan yang ada. (Pasal 29 UU No. 14 Tahun 1985)

Pemeriksaan kasasi dalam lingkungan Peradilan TUN hanya diatur dalam satu pasal saja, yaitu Pasal 131 UU No. 5 Tahun 1986. hukum acaranya ditetapkan sesuai ketentuan Pasal 55 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung

Permohonan kasasi dapat diajukan dengan syarat sebagai berikut: a. Pemohon telah menempuh upaya hukum banding terhadap perkaranya, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang b. Permohonan kasasi hanya dapat diajukan satu kali saja.

Prosedur pengajuan kasasi

 Permohonan kasasi diajukan oleh para pihak yang bersengketa atau kuasanya secara tertulis atau lisan dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada pemohon  Permohonan kasasi tersebut diajukan melalui panitera PTUN (tingkat pertama) yang memutuskan perkara tersebut  Jika tenggang waktu 14 hari tersebut terlampaui tanpa ada pengajuan permohonan kasasi oleh pihak yang bersengketa, maka pihak yang bersengketa dianggap telah menerima putusan pengadilan tersebut

 Setelah pemohon membayar biaya perkara, panitera berkewajiban melakukan beberapa hal yaitu: 1. Mencatat permohonan kasasi dalam buku register 2. Pada hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara 3. Selambat-lambatnya dalam waktu tujuh hari setelah permohonan kasasi terdaftar, panitera memberitahukan secara tertulis mengenai permohonan tersebut.

 Panitera mengirimkan seluruh berkas perkara (meliputi permohonan kasasi, memori kasasi, kontra memori kasasi, perkara-perkara lain) a. Panitera Mahkamah Agung melakukan tindakan: b. Mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar dengan membubuhkan nomor urut menurut tanggal penerimaannya c. Membuat cacatan singkat tentang isinya d. Melaporkan semua itu kepada Ketua Mahkamah Agung

Perlawanan oleh pihak ketiga Perlawanan pihak ketiga yang tidak ikut serta dalam proses perkara menurut Pasal 83 UU No. 5 Tahun 1986 harus diajukan dengan beberapa persyaratan sebagai berikut: a. Pihak ketiga tersebut belum pernah ikut serta atau diikutsertakan selama pemeriksaan sengketa yang bersangkutan menurut ketentuan Pasal 83. b. Adanya hubungan kepentingan dengan pelaksanaan putusan pengadilan. c. Gugatan perlawanan tersebut harus diajukan pada saat sebelum putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tersebut dilaksanakan d. Gugatan perlawanan dibuat dengan memuat alasan-alasan tentang permohonan pihak ketiga dengan memenuhi syarat-syarat formil dan materiil sebuah gugatan (Pasal 56 UU No. 5 Tahun 1986)

d. Peninjauan kembali  Pemeriksaan Peninjauan Kembali diatur dalam pasal 132 UU Peradilan Tata Usaha Negara yang menyebutkan bahwa:  Ayat (1): “terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan permohonan PK pada MA.”  Ayat (2): “acara pemeriksaan PK ini dilakukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 77 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.”

• Permohonan kasasi kasasi pemeriksaan terhadap keputusan pengadilan dalam tingkat peradilan yg terakhir apakah ada kesalahan atau kekeliruan dlm penerapan hukumnya.

 Peninjauan Kembali  Permohonan peninjauan Kembali thdp putusan pengadilan yg tlh memperoleh kekuatan hkm tetap merupakan wewenang eklusif Mahkamah Agung.  Peninjauan Kembali  Permohonan peninjauan Kembali thdp putusan pengadilan yg tlh memperoleh kekuatan hkm tetap merupakan wewenang eklusif Mahkamah Agung.  Mahkamah Agung akan memutuskan permohonan PK pd tingkat pertama da terakhir.

Alasan-alasan PK diatur dlm Pasal 67-75 UU No. 14 tahun 1986

 Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat phk lawan yg diketahui stlh perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti2 perdana dinyatakan palsu  Apabila stlh perkara diputus ditemukan surat2 bukti yg bersifat menentukan yg pd waktu pekara diperiksa tdk dpt ditemukan

 Apabila tlh dikabulkan suatu hal yg tdk dituntut atau lbh daripada yg dituntut  Apabila mengenai suatu bagian dr tuntutan blm diputus tanpa dipertimbangkan seab2nya

 Apabila antara phk2 yg sama mengenai soal yg sama atas dasar yg sama, oleh pegadilan yg sama, atau sama tingkatnya tlh diberikan putusan yg satu dg lainnya bertentangan  Apabila dlm suatu putusan trdapat ketentuan2 yg bertentangan satu dg yg lainya.

PENERAPAN DISKRESI DALAM PEMBUATAN KTUN

Diskresi merupakan keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

• Istilah diskresidapat kita temukan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. menciptakan tertib penyelenggaraan administrasi pemerintahan, menciptakan kepastian hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, menjamin akuntabilitas badan dan/atau pejabat pemerintahan, memberikan perlindungan hukum kepada warga masyarakat dan aparatur pemerintahan, melaksanakan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan dan menerapkan azas-azas umum pemerintahan yang baik (AUPB), dan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada warga masyarakat.

Pasal 1 Angka 9 UU 30/2014 Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Pasal 6 ayat (2) huruf e jo ayat (1) UU 30/2014.

Menggunakan diskresi sesuai dengan tujuannya merupakan salah satu hak yang dimiliki oleh pejabat pemerintahan dalam mengambil keputusan dan/atau tindakan. Demikian yang diatur dalam 

Pasal 1 angka 3 UU 30/2014:  Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.

Hal-hal penting menyangkut diskresi yang diatur dalam UU 30/2014 antara lain: 1. Diskresi hanya dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang berwenang [Pasal 22 ayat (1)] 2. Setiap penggunaan diskresi pejabat pemerintahan bertujuan untuk Pasal 22 ayat (2) dan penjelasan]:

a.    melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b.    mengisi kekosongan hukum; c.    memberikan kepastian hukum; dan d.    mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum. Adapun yang dimaksud dengan stagnasi pemerintahan adalah tidak dapat dilaksanakannya aktivitas pemerintahan sebagai akibat kebuntuan atau disfungsi dalam penyelenggaraan pemerintahan, contohnya: keadaan bencana alam atau gejolak politik.

3.    Diskresi pejabat pemerintahan meliputi [Pasal 23]: a. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan; b. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur; c. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan d. pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.

4.    Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat [Pasal 24]: a. sesuai dengan tujuan Diskresi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2); b. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan; c. sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB); d. berdasarkan alasan-alasan yang objektif; e. tidak menimbulkan Konflik Kepentingan; dan f. dilakukan dengan iktikad baik.

5.   Penggunaan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari atasan pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Persetujuan dimaksud dilakukan apabila penggunaan diskresi menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara [Pasal 25 ayat (1) dan (2)]  

Related Documents

Materi Ii
January 2021 2
Materi Website
January 2021 1
Materi Npf
January 2021 1
Materi Referensi
February 2021 0
Materi Ptk
February 2021 1
Materi 12
January 2021 1

More Documents from "Silvia Telese"

Materi Ii
January 2021 2
Low Level Laser Therapy
January 2021 1
Gymnospermae
March 2021 0
Biologi Umum.pdf
January 2021 1
Referat Abses Otak
January 2021 0
Lp Gdd
March 2021 0