Mengislamkan Cara Berfikir Orang Islam

  • Uploaded by: andri
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mengislamkan Cara Berfikir Orang Islam as PDF for free.

More details

  • Words: 26,856
  • Pages: 128
Loading documents preview...
PENDAHULUAN Islam sebagai Agama yang sempurna, kesempurnaan Islam dinyatakan sendiri oleh Allah sebagai pemilik ajaran mulia ini, Islam sempurna bukan karena penilaian ataupun anggapan manusia manapun, bukan pula berdasarkan perkiraan, bukan juga dinyatakan sempurna karena ingin dibilang sempurna. Tapi kesempurnaan ajarannya yang tanpa celah kekurangan, tidak memerlukan tambahan dan pengurangan di sisi manapun juga. Tidak membutuhkan renovasi maupun validasi dari zaman dan kondisi apapun. Kesempuranaan Islam karena ajaran ini adalah ajaran Allah yang telah menciptakan bumi dan langit yang diperuntukkan bagi manusia yang juga ciptaanNya. Hal itu menjadi keyakinan seluruh umat Islam semenjak para sahabat dan mereka yang mendapat hidayah Allah mengikuti jejak mereka dengan ihsan. Mereka meyakini bahwa hanya Islam yang mampu menyelesaikan setiap persoalan dalam setiap kondisi dan waktu. Mereka yakin solusi lain selain Islam justru akan membawa ke dalam masalah yang lebih besar, membawa malapetaka dan kerusakan terhadap manusia di dunia dan akhirat. Namun perjalanan sejarah yang panjang, semenjak wafatnya Rasulullah SAW, empat belas abad yang silam, fase-fase sejarah telah mencatat berbagai peristiwa yang menimbulkan berbagai usaha yang memalingkan pemahaman umat terhadap ajarannya yang suci. Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, baik oleh faktor internal maupun faktor eksternal, secara terus menerus tanpa henti berusaha merubah dan memalingkan arah pemahaman terhadap ajaran Islam menurut keinginan dan kehendak mereka. Namun Allah SWT telah menjamin akan memelihara dan menjaga DinNya dari usaha-usaha busuk yang dilandasi hawa nafsu manusia.

1

Memang Islam menghargai perbedaan, tetapi Islam tidak memperkenankan adanya perpecahan. Perbedaan yang dibenarkan hanyalah perbedaan pemahaman terhadap hal-hal yang bersifat furu’iyah (persial), ataupun karena memang Allah dan RasulNya memberikan peluang untuk berbeda, tanpa menghilangkan sifat Rabbaniyah sebagai sebuah

ajaran yang diturunkan dari langit kepada ummat

manusia, karena disitulah letak kesempurnaan Islam, sehingga ajaran mulia ini tidak bersifat kaku dan statis, namun bersifat elastis yang selalu cocok dan sesuai dengan situasi dan keadaan umat manusia yang menjadi obyek ajarannya. Namun perbedaan itu tidak diperkenankan pada masalah-masalah prinsip, masalah pokok ajaran, masalah yang ushuliyin (pokok) yang bersifat universal, yang menembus ruang dan waktu, sebagai penjaga kestabilan dan konsistensi ajaran. Pada masalah ini, manusia

wajib tunduk, akal dan pendapat tidak boleh menyalahi

ketetapan Ilahiyah, karena itu wujud dari keImanan. Usaha untuk memahami yang berbeda dengan pemahaman Rasulullah dan sahabatnya sebagaimana di awal datangnya, justru akan membawa kehancuran dan perpecahan, karena manusia dimanapun dan kapanpun pada hakekatnya memiliki dan dianugrahi fitrah yang sama di segala masa dan zaman. Dari sini akan dapat dimengerti bagaimana borok menjijikan yang berbungkus kebenaran, modernitas, kemanusiaan, keadilan dan kemajuan zaman, akan terbongkar, kebusukan akan tercium, permainan hawa nafsu manusia yang berusaha merubah ajaran Ilahiyah akan nampak jelas dan nyata di depan mata. Maka disaat mata zahir dan batin terbuka, serta merta mata akan terbelalak, ternyata begitu banyak ummat Islam yang tertipu oleh pemahaman yang salah. Tertipu oleh pikiran busuk yang dikemas oleh bungkus moderat dan kemajuan, berbagai faktor keterpurukan politik, dan ketertindasan, sehingga ilmu-ilmu Islam terbelenggu, kebenaran Islam terpasung, membuat ummat tidak mengerti dengan apa yang mereka yakini, tidak begitu paham dengan apa yang mereka imani, sehingga 2

wajar jika Islam sebagai ajaran Ilahiyah tidak membawa pengaruh apa-apa dalam hidup mereka. Itu bukan berarti Islam anti kemajuan dan modernitas, dalam arti kemajuan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Namun perubahan dan kemajuan yang menabrak aturan Ilahiyah yang sudah absolute dengan alasan kemajuan, moderat, pandangan internasional dan sebagainya, itulah tipu muslihat yang menggeroggoti keImanan dan kebersihan Tauhidullah. Tipu muslihat itu mampu menimbulkan efek negative yang mengkhawatirkan, seakan-akan umat Islam yang berpegang teguh dengan ajarannya sebagai penyebab keterpurukan dan ketertinggalan ummat Islam, oleh karena itu mesti mengikuti langkah dan pemikiran yang dianggap maju sebagaimana orang barat maju disebabkan meninggalkan otoritas agama mereka. Inilah cara fikir yang keliru, kosong dari Iman dan jauh dari kebenaran, inilah yang membuat umat Islam selalu di bawah bayang-bayang rasa minder dan tetap terjajah secara sistematis. Umat Islam yang mayoritas tidak lagi dapat kehormatan dan kewibaannya, karena mayoritas mereka hanyalah buih, yang berada di atas derasnya arus air bah, musuh Islam tidak lagi segan kepada jumlah mereka, sehingga dengan lantang mereka menghina ajarannya, dan tidak ragu sedikitpun mengkebiri risalah yang mulia ini, bahkan berkali-kali dengan sangat berani dan lancang menghina kekasih Allah Mahammad Rasulullah SAW. Umat Islam hanya terdiam, terpana dan tidak bisa berbuat apa-apa, karena mereka ditentukan, bukan menentukan. Usaha maksimal yang bisa dilakukan hanyalah berteriak mengutuk mereka, tanpa bisa memberikan hukuman terhadap kezaliman, penghinaan, pelecehan dan kejahatan mereka.

3

Beginilah kondisi Umat Islam hari ini, keperihan dan keprihatinan tidak cukup untuk menangisi keadaan ummat ini, usaha berbagai kalangan untuk membangkitkan kehormatan dan kewibawaan ummat belumlah membuahkan hasil yang berarti. Namun tanpa kenal lelah apa lagi menyerah, mereka dengan segala upaya, tekad dan semangat jihadiyah mereka terus berjuang agar kehormatan dan izzah Islam kembali dapat diraih. Namun sangat kita sadari bahwa tidak ada jalan lain untuk mengangkatkan kehormatan dan kemuliaan itu kecuali kembali kepada tuntunan Ilahiyah sebagaimana kedatangannya di awal. Sebagai umat Islam mesti meyakini bahwa kesempurnaan Islam itu bukan hanya teletak pada ajarannya yang suci, tapi ajaran ini lengkap diturunkan dengan cara bagaimana mempelajari, mendakwahkan, dan memperjuangkannya. Hal ini mengharuskan umat Islam untuk selalu merujuk kepada manhaj Ilahiyah tanpa dicampur dengan manhaj (metode) manapun. Allah SWT menjanjikan akan menolong dan mengembalikan kehormatan dan kemuliaan Islam sebagaimana diawal kedatangannya, Dia telah menganugrahkan kehormatan dan kemuliaan itu kepada Rasulullah SAW, para sahabat dan ummat Islam. Islam adalah sebuah sistem, satu dengan yang lain saling berkaitan. Agar dapat mengantarkan seorang muslim kepada pemahaman yang benar. Terhindar dari kekeliruan dan penyimpangan, yang di tularkan oleh para pembusuk dan pengekor, yang dengan sengaja mempreteli ajaran Islam, memahamkannya secara menyimpang dan menyesatkan. Maka perlu sekali lagi ditegaskan, bahwa Islam adalah sebuah system, antara satu dengan yang lainnya saling terkait. Secara sederhana system itu dapat dianalogikan seperti sebuah jam, yang mempunyai jarum panjang dan pendek, ada angka, dan memiliki mesin

yang

membuat jam ini dapat berfungsi sebagaimana yang diinginkan pembuatnya. Kalau kita perhatikan perjalanan mesin jam itu, terlihat antara satu dengan yang lainnya 4

saling berkait dan saling menggerakkan, apabila salah satu dari bagian jam itu rusak, dihilangkan, bahkan hanya satu sekrup saja diangkat, akan membuat jam ini tidak berfungsi seperti yang diharapkan. Begitulah Islam, semua sudah lengkap diturunkan dan dijelaskan, semua apa yang dilakukan Nabi, dikatakan Nabi dan ditetapkan oleh Nabi, adalah bagian dari ketetapan ajaran yang mulia ini, apapun yang telah ditetapkan dalam Islam mesti dijalankan sesuai fungsinya, ada yang wajib, sunnah, makruh dan haram. Ada yang pokok menjadi prinsip, namun ada juga cabang dan bersifat persial. Mesti diletakkan pada tempatnya dan difungsikan sesuai kedudukannya. Apabila ada penempatan yang salah dan berbeda dengan ketetapan pambuatNya, maka dia tidak akan berfungsi sebagai sistem pengatur kehidupan yang membawa kepada perubahan ke arah ke selamatan dunia dan akhirat. MengIslamkan cara berfikir orang Islam mengandung makna memberikan pemahaman yang benar ataupun meluruskan pemahaman masyarakat muslim sesuai dengan tuntunan dan kehendak Syari’, ini bukan berarti menganggap hanya pemahaman kita yang benar dan yang lain salah dengan arti “negative”, karena katakata ini sering digunakan untuk mematahkan dan menyerang kaum yang fanatic dan kukuh dengan pendiriannya. Tetapi kebenaran atas keyakinan berdasarkan dalil-dalil syara’ yang dituntut oleh Islam, sebagai konsekwensi penerimaan agama ini sebagai jalan hidup. Buku yang ada ditangan anda ini, adalah bagian usaha untuk memberikan penjelasan dan ketegasan Islam sebagai system yang dimaksud di atas, karena jika Al-Quran sebagai wahyu Allah tidak lagi diposisikan sebagai wahyu, bahkan ajarannya disamakan dengan ajaran manusia, maka hal ini bukanlah Islam, pemahaman dan pengamalan seperti ini tidak akan membawa arti apa-apa dalam kehidupan dunia dan akhirat kita, selain kesengsaraan dan kehinaan belaka,

5

sebagaimana yang telah dialami para ahli kitab terdahulu (yahudi dan nasrani) yang merubah agama mereka karena tuntutan hawa nafsu. Sebagai ummat Islam bangsa Indonesia yang mayoritas, semakin hari semakin dirasakan, bahwa mereka tidak dapat menentukan apa-apa di Republik ini, pemikiran Islam dan syariat Islam yang diakui kemuliaannya dalam keyakinan, malah diacuhkan dan dipandang sebelah mata oleh mayoritas ummat, entah karena keterpasungan politik atau ketidak pahaman ummat ini terhadap hal yang sangat penting ini. Telepas dari semua itu, ajakan untuk mengkaji prinsip-prinsip Islam dan mendalaminya secara intens mutlak diperlukan. Di samping mayoritas ummat awam dengan ajaran Islam, ditambah dengan hadirnya pemikiran oreantalis yang merusak, menampilkan Islam dengan warna berbeda, menggunakan isu-isu anti kekerasan, pluralisme dan humanisme, menyerang pemahaman Islam yang konsisten memegang pemahaman terhadap ajaran yang qath’i (pasti) berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. Dan mereka menamai kelompok Islam yang konsisten itu dengan Islam garis keras, ekstrim dan fundamentalis dengan arti yang negative. . Kebijakan politik yang tidak sedikitpun berpihak pada penegakkan syari’at Islam, dan malah terkesan seperti membelah bamboo, mengingatkan kita ke zaman penjajahan yang membagi kategori Islam abangan dan Islam santri, kemudian menganak tirikan yang konsisten dengan ajaran yang murni, bahkan memposisikan pemahaman mereka sebagai ancaman bernegara, apakah dengan memberikan label keragaman dan kebhinekaan dan sebagainya. Sehingga adanya kekhawatiran akan keterpurukan terhadap kebenaran Islam semakin terancam redup di tanah air ini menjadi sesuatu yang logis. Itulah salah satu alasan yang menggerakkan panggilan suci yang ada pada diri penulis, sebagai sarjana pemikiran Islam, sangat mengkhawatirkan arah perjalanan pemahaman Islam kedepan, jika hal ini dibiarkan dan tidak ada upaya 6

pelurusan kearah yang benar, tidak mustahil pemahaman Islam di Indonesia akan bengkok dan terkotak-kotak kearah yang jauh dari kebenran, Memang Allah menjamin Islam sebagai Din al-haq tidak pernah akan sirna di bumi ini, namun tidak ada jaminan Islam yang benar itu tetap ada di negeri ini, kebenaran Islam itu akan ada di negeri belahan mana saja yang Allah kehendaki. Namun merupakan ujian bagi ummat Islam yang meyakini Allah sebagai Rabnya adalah mempertahankan kebenaran Ilahiyah itu apapun resikonya. Dengan demikian pemahaman yang menyeluruh terhadap Islam dan konsisten berpegang teguh dengan ajaran yang benar, meskipun terkadang berasa memegang bara api. Namun hal itu adalah batu ujian untuk umat Islam terhadap keyakinan mereka. Sangat diakui buku kecil ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu diharapkan pada pembaca yang budiman untuk memberikan masukan dan kritikan yang konstruktif agar buku ini dapat lebih baik. Pemaparan dan.gaya penulisan disengaja dengan pola bahasa yang lebih mudah untuk dimengerti pada setiap kalangan yang ingin mendapatkan cahaya kebenaran, pembuka nuasa alam berfikir, sehingga menimbulkan motivasi mempelajari Islam dengan lebih serius, dan mendorong mengamalkan Islam sesuai keyakinan atas dasar dalil-dalil yang sahih yang dapat dipertanggung jawabkan dimahkamah Allah SWT Semoga upaya ini menjadi nilai amal shaleh bagi penulis, dan berharap Allah menurunkan pertolonganNya kepada seluruh pejuang kemuliaan dan kehormatan umat Islam di manapun berada. Amin Jakarta, 14 zulhijah1413H/30 Oktober 2012 M Andri Ismail, MA

7

PONDASI DASAR MASYARAKAT ISLAM Masyarakat Islam terbentuk, bukan

karena keturunan, bukan juga karena

hubungan kebangsaan, apalagi karena warna kulit, derajat kebangsawanan, atau warisan peninggalan nenek moyang. Bukan semua itu yang menentukan seseorang disebut muslim atau tidak, atau sekolompok masyarakat disebut masyarakat muslim atau bukan. Yang menentukan kita sebagai Muslim adalah keyakinan bahwa Islam sebagai satu-satunya ajaran yang diperuntukkan oleh Allah SWT untuk kita manusia melalui RasulNya Muhammad SAW. Keyakinan itu belumlah dapat dibenarkan apabila hanya tertanam dalam hati, dia belum diakui sebagai Muslim sebelum menyatakan dengan sungguh-sungguh atas kerelaannya menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang haq untuk diibadahi, sebagai satu-satu penentu dan pengatur dialam ini, dan oleh karena itu dia menyerahkan diri sepenuhnya kepadaNya

dan meyakini

Muhammad sebagai pembawa risalahNya. Itulah sebabnya seseorang baru dikategorikan sebagai Muslim jika dia bersedia mengucapkan dua kalimah Syahadat: “ Aku bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah”. Kalimat

ini meskipun terlihat

gampang diucapkan namun membawa pengaruh perubahan yang sangat besar dalam kehidupan individu dan masyarakat. Pernyataan bahwa hanya Allah yang berhak menjadi Ilah memberikan suatu konsekwensi, bahwa tidak ada yang berhak menguasai hidupnya, menentukan apapun pada dirinya selain Allah SWT. Pernyataan “la ilaha illallah” memberikan konsekwensi penolakan akan semua aturan selain Allah, menolak akan semua sembahan selain Allah, menolak atas semua kecendrungan dan kecintaan selain Allah, tidak akan ada satupun yang pantas untuk diikuti dan ditakuti selain Allah SWT. Semua itu terkandung dalam ungkapan “la ilaha illallah”.

8

Dan ucapan ini di awali dengan kalimat “Asyhad” yang mengandung makna sumpah, ikrar, pernyataan dan proklamasi kepada Allah SWT dan seluruh manusia, bahwa mulai kalimat itu diucapkan dia menyerahkan seluruh hidupnya pada Allah, dan sekaligus melepaskan dirinya dari seluruh keterikatan selain kepada Allah SWT. Jadi, dapat kita pahami bahwa ungkapan ‘‫ ‘ اﺷﮭﺪ ان ﻻ اﻟﮫ اﻻ اﷲ‬merupakan pernyataan seorang hamba bahwa ia mengikatkan diri pada Allah yang telah menciptakan dirinya, siap untuk taat dan tunduk hanya kepada Allah, semua yang ada pada dirinya, pikiran, perasaan dan fisiknya, semua itu akan diarahkan untuk berada dalam ketentuan dan kendali Allah SWT, sekaligus menyatakan melepaskan diri dari kerikatan dan ketundukan kepada selain Allah SWT. Kemudian dilanjutkan dengan “

‫ ” و اﺷﮭﺪ ان ﻣﺤﻤﺪا رﺳﻮل اﷲ‬adalah

pernyataan sikap, dan ikrar bahwa akan tunduk dan patuh terhadap Rasulullah SAW sebagai bentuk pengejahwantahan dari ketundukan kepada Allah semata. Karena Allah mengutus Muhammad sebagai RasulNya, untuk menyampaikan risalahNya, menunjukkan jalan dan arahan bagimana cara merealisasikan pengabdian yang hanya kepada Allah semata itu. Dan Allah menunjuk Muhammad SAW sebagai RasulNya yang terakhir dan menentukan syariat melalui lisannya. Maka mengucapkan Muhammad Rasulullah adalah memberikan konsekwensi untuk selalu mengikuti Rasulullah SAW dalam merealisasikan pengabdian kepada Allah. Meyakini satu-satunya cara untuk sampai kepada Allah adalah dengan mengikuti pentunjuk Rasulullah SAW dan mengikuti langkahnya yang dinamakan Sunnah. Inilah dasar pondasi Islam, belum dikatakan Islam seseorang jika belum menyatakan dua kalimah syahadatain ini, kalimah ini adalah rukun Islam, bukan rukun Iman, artinya bukan hanya terpendam dalam hati, namun harus terlaksana dalam realita, karena ini adalah statemen yang mengharamkan darah dan harta

9

seorang muslim dari tangan muslim lainnya, menghalalkan wanita muslim untuk dinikahi, membuat dirinya berhak menerima hak-hak muslim, dan akan memadamkan panasnya api neraka. Namun mesti dipahami, bahwa kalimat agung ini, adalah tekad yang merupakan dorongan yang muncul dari hati akan kebersihan Tauhid dan keikhlasan untuk menerima Islam sebagai manhaj (cara) hidup. Kalimat ini bukanlah sebuah nyanyian ataupun sumpah yang tidak mewarnai kehidupan. Kalimat ini adalah sebuah kontrak perjanjian dengan Allah, ikrar untuk selalu siap menerima dan siap tunduk atas apapun bentuk arahan dan perintah Allah sebagai Rab manusia. Semua pikiran, perasaan dan tingkah laku mesti tundukkan di bawah kalimat ini. Tanpa pemahaman, keyakinan dan keikhlasan yang muncul dari hati terhadap konsekwensi atas kalimat agung ini, tidak akan mampu mewarnai kehidupan seseorang, dia akan jadi munafik atau fasik dalam kacamata Allah. Meskipun lisan berbicara Islam, tapi cara pikir dan rasanya jahiliyah, meskipun mulutnya berbicara dan mengklaim diri sebagai seorang Muslim, namun tingkah lakunya jahiliyah. Karena ketidak pahaman, ketidak yakinan, ataupun ketidak ikhlasan untuk tunduk dibawah komando Allah sebagai penentu kehidupan dan pembawa keselamatan baginya. Itulah sebabnya Said Qutb meletakkan beberapa hal yang menjadi syarat diterimanya syahadatain ini: 1). ‫ = اﻟﻌﻠﻢ اﻟﻤﻨﺎﻓﻰ ﻟﻠﺠﮭﻞ‬Ilmu yang menghilangkan kejahiliyahan. 2). ‫ = اﻟﯿﻘﯿﻦ اﻟﻤﻨﺎﻓﻰ ﻟﻠﺸﻚ‬Yakin menghilangkan keragu-raguan 3). ‫ = اﻹﺧﻼص اﻟﻤﻨﺎﻓﻰ ﻟﻠﺸﺮك‬ikhlas menghilangkan syirik. 4). ‫ = اﻟﺼﺪق اﻟﻤﻨﺎﻓﻰ ﻟﻠﻜﺬب‬Jujur yang menghilangkan dusta. 5). ‫ = اﻟﻤﺤﺒﺔ اﻟﻤﻨﺎﻓﯿﺔ ﻟﻠﺒﻐﺾ‬kecintaan yang menghilangkan kebencian. 10

6). ‫ = اﻟﻘﺒﻮل اﻟﻤﻨﺎﻓﻰ ﻟﻠﺮد‬Menerima yang menghilangkan penolakan. 7). ‫ = اﻹ ﻧﻘﯿﺎد اﻟﻤﻨﺎﻓﻰ ﻟﻺﻣﺘﻨﺎع و اﻟﺘﺮك وﻋﺪم اﻟﻌﻤﻞ‬Pelaksanaan yang menghilangkan statis, diam dan tidak beramal. “Ketujuh syarat ini akan melahirkan redha kepada Allah sebagai Rabnya, Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, Islam sebagai Din yang haq baginya.” . Sehingga kuat dan kokohlah pondasi dalam menerima setiap persolan syari’at yang akan dijalaninya dengan penuh kerelaan dan ketundukan. Meletakkan pondasi perubahan individu atau masyarakat tanpa pengokohan metode ini, tidak akan mencapai tujuan yang diinginkan. Oleh karena itu mestilah disadari oleh para pendakwah Islam, dan para aktifis pejuang penegak syariat Islam, untuk mentauladani metode dakwah Rasulullah SAW dalam membentuk ummat terbaik sepanjangan zaman. Mesti disadari bahwa Rasulullah SAW adalah manusia terbaik dan manusia pilihan Allah, yang melakukan sesuatu di atas tuntunan dan bimbingan Allah SWT. Selama 13 tahun di Makkah gerakan pertama dilakukan untuk membentuk komunitas muslim, yang disiapkan untuk memilkul beban dakwah Islam, adalah dengan meletakkan pondasi ajaran pada tempat yang kokoh. Sebelum kokoh azas ini, tidak diturunkan syariat apapun, dan tidak ditentukan peraturan apapun. Itu artinya bukan tidak penting aturan syariat, dan bukan tidak perlu aturan moralitas, namun semua harus diletakkan di atas pondasi kalimat syahadat yang kokoh. Sehingga apabila telah tertancap ke dalam relung hati secara mendalam, tidak ada rintangan apapun yang tidak mampu dilewati, dan tidak ada beban seberat apapun yang tidak mampu dipikul. Menyuarakan keagungan syariat Islam adalah kewajiban, mengagungkan akhlaq al-karimah adalah ma’ruf. Tapi jika itu semua disuarakan di tengah-tengah kaum yang tidak berlandaskan syahadat yang kokoh, hanya dijadikan oleh mereka 11

sebagai nyanyian pengantar waktu tidur mereka, akan hanya menjadi sekedar bacaan sewaktu santai, menjadikannya sebagai bahan diskusi untuk memanaskan suasana. Karena mereka tidak sedikitpun menganggap bahwa titah Allah sebagai Pencipta dan Penguasa manusia adalah hal yang wajib untuk dilaksanakan. Mereka hanya akan menganggap semua itu sebagai pilihan di antar pilhan-pilihan pemikiran tentang kebaikan. Oleh karena itu

perlu ditegaskan,

jika ingin mengembalikan ummat ini

kepada ummat terbaik sebagaimana generasi terbaik telah dibentuk diawal lahirnya, mestilah dengan mengikuti langkah-langkah yang telah ditetapkan oleh Allah SWT yang telah dicontohkan Rasulullah SAW bersama para sahabatnya. Karena di antara kesempurnaan Islam adalah bahwa ajaran mulia ini diturunkan bukan hanya sempurna dari segi materi yang terkandung di dalamnya saja, namun lebih jauh dia diturunkan juga bagaimana cara memperjuangkannya. Perhatikanlah bagaimana Muhammad SAW berjuang menyebarkan Islam semenjak tanpa pengikut, lalu mengIslamkan istrinya, keluarganya, sahabat dekatnya, dan seterusnya, bukankah setiap perbuatan Nabi itu merupakan Sunnah yang mesti diikuti. Lihatlah,

bagaimana

bersamangatnya

saudara-saudara

kita

untuk

melaksanakan amar makruf nahi mungkar, namun terhadap masyarakat yang tidak mengerti konsekwensi syahadatain, sehingga yang muncul adalah tudingan dan ejekan melakukan kekerasan atas nama Agama. Padahal amar ma’ruf nahi mungkar adalah perintah Allah atas setiap pribadi muslim. Namun karena tidak didukung oleh landasan yang terpola sebagaimana Islam dibangun pada awalnya, menyebabkan tidak tercapai apa yang diharapkan. Begitupun halnya berbagai teori dan cara yang dilakukan untuk merumuskan Perda Syariah, dan melakukan sosialisasi bahwa dengan syariah Islam itu akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan. Ataupun tanpa kenal lelah mendakwahkan bahwa dengan 12

melaksanakan Syariat Islam akan membawa kemaslahatan, tidak sebagaimana system hukum selain Islam. Tentu saja syariat Islam lebih utama dari semua system yang ada, karena dia bersumber dari Allah Yang Maha Tahu. Yang

sangat mengerti dan memahami

karakteristik manusia dan kebutuhannya, karena Dialah yang menciptakan manusia dengan segala pernak perniknya. Namun karena semua itu

disuarakan di atas

masyarakat yang tidak kokoh dan melandasi hidupnya dengan syahadat maka semua bagaikan membuang air di atas pasir. Berlalu begitu saja, dan tidak lama hilang tanpa bekas. Bukankah kita telah melihat bukti yang nyata dalam pola tarbiyah yang dilakukan diberbagai harakah Islam, yang memulai pergerakan

dengan mendidik dan

menanamkan aqidah yang benar kepada anggotanya, dan secara seratus delapan puluh derajat anggota yang dibina menerima Islam secara menyeluruh dan siap melakukan apa saja untuk memperjuangkan kalimah itu. Itulah komitmen yang mereka berikan karena pemahaman mereka atas posisinya sebagai hamba Allah dan siap menerima perintah yang harus dilaksanakan yang datang dari Khaliqnya. Mereka tidak meremehkan aturan Allah, melecehkan syari’atNya, karena mereka bergerak atas dasar ketundukkan dan keimanan yang lurus. Bandingkan dengan mereka yang tidak memperhatikan pondasi ini, walaupun di antara mereka ada yang hafal quran, menguasai ilmu hadits, mengerti dengan berbagai ilmu syariat lainnya, namun keilmuan dan penguasaan mereka terhadap Al-Quran dan Sunnah itu, seakan tidak membawa pengaruh apa-apa pada dirinya dan keluarganya. Ilmu Islam hanya diletakkan sebagai bagian dari pengetahuan, yang dianalisis, dikaji, diajarkan, namun jauh dari pengamalan. Ilmu Islam hanya jadi bahan ceramah, diskusi, bahan kuliah, penulisan, tapi tidak mereka perjuangkan dan tegakkan. Hal ini boleh jadi karena syahadat mereka rusak, aqidah mereka tercabut, sehingga ayat-ayat Allah tidak mampu mewarnai hidup mereka. 13

Para ulama sepakat apabila syahadat rusak, iman akan tercabut, dan dirinya menjadi murtad. Sehingga bentuk amalan apapun akan tertolak, maka ayat-ayat Allah tidak akan mampu menyentuh dirinya, sebelum dibersihkan dari noda kemusyrikan yang membuat rusak syahadatnya. Di antara hal yang membatalkan syahadatain dan pelakunya dihukum murtad yang disepakati para ulama adalah: 1) Sombong dan menolak beribadah kepada Allah, walaupun mengakui dan menerima kebenaran Islam 2) Syirik dalam beribadah kepada Allah 3) Membuat perantara dalam beribadah dan meminta pertolongan pada selain Allah 4) Membenci Rasul SAW atau membenci sesuatu yang beliau bawa walaupun dia mengerjakannya 5) Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau ragu terhadap kekafiran mereka, atau membenarkan pendapat mereka 6) Istiza’ (Memperolok-olok Allah, Al-Quran, Islam, pahala dan siksa, dan yang sejenisnya, atau mengolok-olok Rasulullah atau salah seorang dari Nabi Allah baik secara bergurau ataupun sungguh-sungguh. 7) Membantu orang musyrik atau menolong mereka untuk memusuhi orang Islam 8) Meyakini bahwa ada sebagian orang yang boleh keluar dari ajaran Rasulullah SAW dan tidak wajib mengikuti ajaran beliau 9) Meyakini ada petunjuk yang lebih sempurna daripada petunjuk Rasulullah SAW. 10) Meyakini adanya hukum yang lebih baik dari hukum Allah, atau meyakini hukum Allah tidak sesuai dengan kondisi perkembangan zaman. Maka perhatikanlah hal ini dengan sungguh-sungguh wahai sadaraku …

14

Menjadikan Al-Quran Dan Sunnah Sebagai Sumber Utama Serta Tidak Mencampur Adukkan Dengan Pemahaman Yang Lain Dalam kehidupan ini pertarungan antara haq dan batil terus berlanjut dan takkan pernah berhenti, kedua kekuatan yang berlawanan itu akan saling mempengaruhi dengan berbagai cara yang memperlihatkan karakternya masing-masing. Pertarungan itu terus memakan korban, tidak melihat dan mempedulikan korbannya dari kalangan manapun, kaya atau miskin, bangsawan atau rakyat jelata, laki-laki atau perempuan bahkan tidak membedakan antara orang awam dan ilmuan, semua menjadi sasaran pertarungan dalam memperebutkan posisi pendukung antara haq dan batil. Inilah yang di peringatkanlah dalam FirmanNya;

             

        

76. Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, Karena Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.(Q.S. Al-Nisa’ (4) : 76). Ayat ini memberikan pemahaman bahwa setiap pribadi muslim ataupun kafir, mau tidak mau, sadar atau tidak sadar, langsung atau tidak langsung akan terlibat kedalam kancah peperangan, peperangan untuk saling memperebutkan kepentingan, memperjuangkan keyakinan dan pemahaman. Hanya saja kepentingan orang mukmin adalah kepentingan di jalan Allah SWT, memperjuangkan kebenaran Islam, dan kepentingan orang kafir adalah kepentingan

15

selain Allah, memperjuangkan kebatilan di jalan syetan sebagi musuh abadi orangorang mukmin.. Kebenaran dalam Islam adalah keadilan, kebenaran adalah kemanusiaan, kebenaran adalah mashlahat dan manfaat, sementara kebatilan adalah kezaliman, ketamakan, kebinatangan, kerusakan dan kemudharatan. Namun tidaklah semua orang dapat melihat kebenaran sebagai kebenaran, karena kebatilan itu muncul bukan dalam pakaian kebatilan sehingga mudah dikenali, kebatilan muncul dibungkus oleh berbagai atribut yang mempesona, kesenangan, kemudahan dan berbungkus keadilan dan kemanusiaan, mengatas namakan keindahan, kebebasan dan atribut lainnya yang memutar balikkan penglihatan manusia dari sosok aslinya. Pendek kata kebatilan memperlihatkan dirinya seolah-olah merupakan kebaikan dan kebenaran. Banyak manusia salah sangka, sehingga melihat kebenaran sebagai kebatilan dan kebatilan sebagai kebenaran. Islam sebagai Agama tuntunan kehidupan yang di turunkan oleh Sang Pencipta alam semesta ini, sebenarnya telah dengan jelas menerangkan hakekat kebenaran dan bagaimana mengenalinya, dan menampakkan hakekat kebatilan serta bagaimana mengetahui tipuannya. Untuk itu perlu kiranya kita memahami firman Allah SWT :

             

     

“ Yang demikian adalah Karena Sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang bathil dan Sesungguhnya orang-orang mukmin mengikuti yang Haq dari Rab

16

mereka. Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan-perbandingan bagi mereka”. (Q.S. Muhammad (47):3) Tegas ayat ini menjelaskan pada kita bahwa karakteristik manusia kafir adalah selalu mengikuti yang batil dan mukmin mengikuti yang haq. Penamaan dirinya sebagai kafir adalah karena menolak kebenaran yang datang dari Allah dan mengikuti kebatilan (yang disangka kebenaran namun tidak bersumberkan dari Allah), dan tegas juga dinyatakan dalam ayat ini bahwa kebenaran yang dimaksud adalah bersumberkan dari Pencipta dan Pengatur hidup mereka. Dengan demikian kita nyatakan bahwa di dalam melihat dan menilai sesuatu itu benar adalah dengan merujuk kepada sumbernya, jika bersumber dari Allah maka dia dipastikan benar dan jika tidak bersumber dariNya dipastikan batil. Oleh karena itu Allah tegaskan dalam ayat lain, dengan FirmanNya:

        

Kebenaran itu adalah dari Rabmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu . (Q.S. Al-Baqarah (2):147) Itulah kebenaran dalam Islam, kebenaran tidak ditentukan oleh pertimbangan akal semata, karena akal bersifat nisby, akal sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu, sangat ditentukan oleh latar belakang pendidikan, pengalaman dan emosi, sehingga akal sangat bersifat relative. Maka Islam metakkan akal pada posisinya sebagai alat untuk mencerna ayat-ayat Allah. Memahaminya dan menjadikannya sebagai tolak ukur kebenaran agar tetap berada dalam fungsinya sebagai hamba Allah yang serba terbatas. Maka sebagai seorang mukmin dalam membentuk diri dan masyarakat muslim haruslah berlandaskan kepada sumber yang benar, dan hanya mengkususkan

17

kepada sumber yang haq itu. Agar pemahaman tidak rancu, pikiran tidak diracuni oleh virus-virus yang merusak, sehingga cara berfikir dan menyimpulkan sesuatu menjadi rusak dan “nyeleneh”. Hal ini mesti dipahami dengan baik oleh setiap pribadi muslim. Akal manusia tumbuh dan berkembang dengan informasi yang masuk dan memandang dari segi yang mewarnai dirinya. Maka oleh karena itu sumber yang benar, akan membentuk karakter dan cara berfikir yang lurus, namun sumber yang bercampur, akan merusak dan menghasilkan pemikiran yang rancu. Perhatikan bagaimana Rasulullah SAW marah ketika melihat Umar

Ibn

Khattab sedang memegang lembaran Taurat ditangannya, dan beliau bersabda:

‫إﻧﮫ و اﷲ ﻟﻮ ﻛﺎن ﻣﻮﺳﻰ ﺣﯿﺎ ﺑﯿﻦ أﻇﮭﺮ ﻛﻢ ﻣـﺎ ﺣﻞ ﻟﮫ إﻻ أن ﯾﺘﺒﻌﻨﻰ‬ “Demi Allah, seandainya Musa hidup saat ini bersama kalian, niscaya ia hanya diperbolehkan oleh Allah untuk menjadi pengikutku” (H.R. Abu Ya’la) Hal ini menunjukkan bahwa dalam melakukan pembinaan tidak boleh mencampuradukkan sumber kebenaran dengan sumber lain, karena akan meracuni dan menggerogoti pemahaman dan menyebarkan virus dalam pemikiran. Rasulullah SAW ingin mensterilkan pemahaman sahabat, hanya bersumberkan dari wahyu Allah yang keluar dari lisannya. Hal ini menjadi salah satu kunci keberhasilan Rasulullah SAW dalam menjadikan para sahabat generasi terbaik sepanjang sejarah manusia dan mendapat keredhaan Allah SWT. Allah berfirman mengenai para sahabat ini:

18

        

              

  

Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (Q.S. Al-Taubah (9) : 100) Oleh karena itu para aktivis dan umat Islam harus memperhatikan dengan benar dan hati-hati tentang masalah ini, karena pengaruh lingkungan dan zaman, kebenaran semu dan harapan akan nilai-nilai kebaikan, keadilan sering bercampur aduk dengan kebatilan, sehingga tidak akan terwujud kemashlatan hakiki yang melekat pada kebenaran itu, disebabkan bercampur dengan kotoran kepalsuan, dan kebatilan yang berbungkus kebenaran. Allah telah menetapkan hukumNya, untuk tidak boleh sedikitpun dicampurkan kebenaranNya dengan klaim kebenaran yang tidak diizinkan olehNya. Karena itu beberapa kesalahan berpikir yang menyebabkan rusak dan hancurnya ummat ini sangat perlu diluruskan dengan meletakkan pola pikir mereka untuk menerima kebenaran hanya bersumberkan dari Allah semata. Renungkanlah Friman Allah Ta’ala :

19

           

     

Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya kami Telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (Q.S. Al-Mukminun (23) :71) Maka kebenaran mesti jadi tonggak yang kuat dan kokoh, yang tidak bisa di ubah, dicampuri ataupun ditarik kesana kemari menurut selera atau kepentingan. Kebenaran yang seperti adalah kebenaran mutlak, yang bersumber dari yang Maha Mengetahui yakni Allah SWT. Itulah kebenarn Islam, yang harus menjadi patokan dan keyakinan sepanjang hidup kita sebagi muslim.

Takaran Kebenaran Berfikir Adalah Wahyu Sangat disadari oleh para pengusung dakwah Islamiyah bahwa “peperangan pemikiran” untuk menghancurkan Islam terus berlanjut tanpa dapat dihentikan, musuh-musuh Islam tanpa kenal lelah mencari titik lemah bagaimana membawa umat Islam menjauhi Agamanya. Allah mengungkap kebusukan mereka dalam FirmanNya: :

20

          

        

“Dan berkatalah orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman: "Ikutilah jalan kami, dan nanti kami akan memikul dosa-dosamu", dan mereka (sendiri) sedikitpun tidak (sanggup), memikul dosa-dosa mereka. Sesungguhnya mereka adalah benar-benar orang pendusta”. (Q.S. Al-Ankabut (29) :12) Mereka mempelajari Islam, lalu mendirikan berbagai perguruan tinggi, semua itu dilakukan bukan untuk membangun Islam dan memahami Islam, namun adalah untuk merubah pemahaman Islam kearah pemahaman batil. Label-label indah disematkan untuk menipu ummat agar menuruti kemauan mereka. Bahkan tidak sedikit para pemikir Islam sendiri terjebak dengan pola mereka. Mereka tertipu oleh predikat kemajuan zaman, modernisasi, atas nama citra Islam di mata internsional, agar diterima masyarakat dunia dan sebagainya. Dengan predikat ini dan itu mereka berusaha merubah kebenaran Islam, mancari-cari takwil dan bahkan berani meletakkan petunjuk Ilahiyah dibelakang pemikiran mereka. Sungguh sangat aneh, seorang muslim harus menerima kebenaran dari orangorang yang tidak mengenal siapa Penciptanya, tidak mengerti tujuan hidupnya, tidak meyakini adanya hari pembalasan, dan dunia ini hanya sementara. Tidak hanya sekedar menerima, tetapi terus tanpa kenal lelah mengkampanyekan agar seluruh umat Islam mengikuti cara berfikir mereka yang menyesatkan. Para ulamapun dibuat sibuk menghadapi serangan dari kalangan yang mengaku intelektual Muslim ini, karena khawatir ummat menjadi bingung, sehingga energi mereka terkuras menghadapinya, sampai-sampai lupa memperhatikan keadaan umat

21

Islam yang telah berada dititik nadir kehormatan karena meninggalkan kewajiban Agamanya. Maka untuk mengembalikan keberadaan umat Islam pada posisi mulia sebagaimana di zaman kejayaan Islam, mestilah meletakkan kembali cara berfikir yang benar. Penerimaan akal terhadap kebenaran harus melihat kepada sumbernya. Dan sumber yang diakui kebenarannya bagi umat Islam hanyalah bersumber dari Allah SWT, diluar itu bersifat nisby dan tidak dapat dipegangi sebagai kebenaran. Pola pikir yang benar hanyalah berfikir berdasarkan wahyu. Dan memberikan kebebasan berfikir adalah dengan menyelami kedalaman wahyu, namun tetap dalam bingkai sebagai hamba Allah, tidak meloncat berbalik menjadikan dirinya berfikir seperti iblis, yang berani mengkritik Allah Sang Pencipta dan merendahkan wahyu Allah. Serta mendiskreditkan Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Kejelasan sumber berfikir akan meluruskan pemahaman dan membaguskan amal. Sebaliknya cara berfikir yang bersumber dari sumber yang bercampur aduk antar haq dan batil akan melahirkan pemahaman yang rancu dan sesat, sehingga tentu saja melahirkan amalan yang merusak. Karena itu hati-hatilah terhadap para oreantalis yang berbajukan sarjana muslim, tapi berusaha memalingkan pemahaman ummat ke arah yang menentang Allah SWT. Mereka berani berdusta kepada Allah, menghalalkan yang diharamkan Allah dan mengharamkan yang dihalalkan Allah. Mereka tidak henti-hentinya melakukan berbagai upaya untuk menyesatkan ajaran dan menjauhkan umat dan generasinya dari pemahaman yang lurus, itulah tugas mereka, dan itulah misi hidup mereka. Mereka adalah kaki tangan Iblis yang harus di jauhi dan di musuhi. Perhatikanlah bagaimana upaya mereka dalam menyesatkan dan menyimpangkan ajaran Islam, mereka halalkan perkawinan sejenis, menjadi banci yang dilaknat oleh Allah atas dasar kemanusiaan dan menakwilkan ayat dengan cara yang rusak,

22

sementara itu mereka haramkan poligami yang diizinkan Allah dengan berbagai tafsir berdasarkan hawa nafsu. Dengan berbungkus liberalisme, sekulerisme, pluralisme dan sebagainya, mereka menggunakan ayat-ayat Allah untuk mengacak-ngacak pemahaman. Kebejatan mereka telah dibongkar oleh Allah dalam firmanNya:

            

          

“ Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta "Ini halal dan Ini haram", untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”. (Q.S. Al-Nahal (16) : 116). Maka dengan ini perlu ditegaskan, kepada para pembaharu kembangkitan Islam diserukan, haramkanlah apa yang telah Allah tetapkan haram dalam kitabNya, dan halalkan apa yang ditelah dihalalkanNya. Ilmu dalam diri seroang ‘alim adalah amanah Allah, seorang alim Allah tugaskan untuk menegakkan Kitabullah sebagai kehormatan untuk dirinya, namun jika dirinya berkhianat, ilmunya bukan untuk menegakkan kitabullah, maka dia tidak bernilai sedikitpun di hapdan Allah SWT. Perhatikanlah Firman Allah SWT:

23

            

               

   

68. Katakanlah: "Hai ahli kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Rabmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Rabmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; Maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu. (Q.S. Al-Maidah (5): 68). Maka terhadap mereka yang lebih menyuarakan pemikiran orang-orang kafir, menuhankan idelisme musyrikin, maka umat Islam tidak pantas mendengarkan katakata mereka, dan mereka tidak layak berada ditengah umat, mereka tidak dipandang beragama sedikitpun oleh Allah, walau mereka berjubah dan bergelar sarjana muslim, bahkan DR, Prof sekalipun, jika dirinya tidak menegakkan Al-Quran dalam hidupnya, dirinya tidak bernilai dan berarti apa-apa. Maka pahamlah kita, ilmu Islam adalah amanah, yang harus disampaikan dan disyiarkan, dia adalah cahaya yang akan selalu menerangi dalam berbagai kegelapan yang diciptakan musuh-musuh Allah. Maka murnikanlah sumber ilmu dan pemahaman, agar cahaya itu bersinar dan menerangi sehingga menjadi pelita dalam kehidupan. Dengan merujuk semata-mata kepada Al-Quran dan Sunnah sebagai sumber kebenaran, maka akan didapat kebersihan berfikir dan kejernihan Aqidah. Karena jika

24

usaha pembaharuan pemikiran Islam diambil dari sumber-sumber selainnya, maka bukan membangkitkan Islam kearah kejayaan malah meruntuhkan Islam dari sendisendinya. Apalagi mencoba untuk melakukan perubahan aran Islam, sebagaimana yang dilakukan para ahli kitab yahudi dan nasrani, sehingg Allah melaknat mereka, dan mencampakkan mereka kejurang kehinaan. Para ulama shalafue shaleh telah meletakkan dalil yang bersifat qath’iyah dan zanniyah, maka ruang ijtihad hanya berlaku terhadap dalil yang bersifat zhanniyah, namun itupun mesti berada dalam istinbath hukum yang benar dan dalam aturan yang mu’tabarah. Perhatikanlah Firman Allah SWT:

            

            

79.

Maka Kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab

dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka Kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan Kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan. (Q.S. AlBaqarah (2): 79).

25

Mengembalikan Setiap Persoalan Kepada Petunjuk Wahyu Manusia hidup dalam arus gelombang samudra kehidupan yang terus menerpa berbagai sendi kehidupan, berbagai persoalan silih berganti, tawa dan tangis, senang dan sedih, jeritan kesakitan dan senyum bahagia, silih berganti mengisi hari-hari yang dijalani. Hal ini terjadi pada siapa saja, baik kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, zaman batu maupun zaman digital. Saat menghadapi masalah manusia butuh tuntunan dan arahan untuk mendapatkan solusi dari permasalahan hidup mereka. Berbagai cara telah ditempuh manusia dalam menyelesaikan persoalan dan ingin memenuhi harapan hidupnya, dari menguras otak sampai mengadukan nasib keberbagai kekuatan ghaib dijalani. Berbagai teori dalam disiplin ilmu kemanusiaan dan kemasyarakatan digali dan dipelajari,

untuk mendapatkan solusi dari

permaslahan kehidupan yang dihadapi diberbagai kalangan individu dan masyarakat. Islam sebagai Dinullah, diturunkan Allah yang menciptakan manusia, telah memberikan tuntunan Rabbani berdasarkan fitrah manusia. Solusi yang pasti dan menyelesaikan masalah dengan tuntas, Allah menurunkan wahyuNya melalui RasulNya Muhammad SAW, untuk menjawab berbagai persolan hidup yang ditemui dalam kehidupan baik secara individu, keluarga maupun masyarakat. Maka sebagai mukmin yang meyakini Muhammad sebagai utusan Allah, dan AlQuran sebagai wahyu Allah, tidak akan pernah bingung mencari tuntunan dalam menyelesaikan persoalan hidup. Allah SWT berfirman :

26

           

               

             

          

“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi Keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang Telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, Karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”(Q.S. Al-Baqarah (2): 213) Allah SWT yang telah menciptakan seluruh manusia, dan Allah juga yang telah menciptakan permasalahan dalam kehidupan manusia.

Allah telah menurunkan

aturan dan solusi bagaimana menyelesaikan permasalahan itu. Aturan yang telah diturunkan dalam Kitabullah melalui RasulNya adalah merupakan satu-satunya jalan untuk dapat menyelesaikan permasalahan kehidupan manusia secara tuntas, karena bersumber dari Sang pencipta.

27

Maka bagi mukmin, berhukum dengan hukum Allah adalah satu-satunya cara untuk mendapatkan solusi dalam menyelesaikan masalah hidup secara tuntas. Keyakinan itu karena dilandasi Iman bahwa Allah Maha Mengetahui segala perkara yang zahir dan yang bathin, yang nyata dan yang tersembunyi. Tidak ada satupun persoalan yang luput dari ilmu Allah. Dia Maha Mengetahui kebutuhan dan kondisi manusia baik di zaman purba maupun di zaman modern ini. Ilmu Allah tidak terbatas. Maka bukanlah Mukmin jika tidak menyerahkan semua persoalan hidupnya kepada Allah SWT. Allah menyatakan dalam FirmanNya:

             

     

“Maka demi Rabmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (Q.S. Al-Nisa’ (4) : 65) Dengan menjadikan Rasulullah SAW sebagai Hakim dari perkara yang dihadapi, tentulah Syariat Allah menjadi pijakan atas semua putusan, itu artinya menetapkan segala sesuatu akan putusan Allah merupakan bukti kongkrit keimanan, dan mengingkarinya merupakan bukti kekufuran. Keimanan terhadap Islam sebagai Agama wahyu, tentu saja meyakini bahwa aturan dan hukum Allah adalah satu-satunya hukum terbaik yang dapat menyelesaikan seluruh permasalahn kehidupan.

28

Renungkan juga Firman Allah SWT :

           

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?’ (Q.S. Al-Maidah:50) Ayat ini menjelaskan bahwa seluruh manusia yang mengaku mukmin haruslah menjadikan wahyu Allah sebagai tempat menyelesaikan persoalannya. Keingkaran terhadap ini justru akan membuat hidup semakin terpuruk ke dalam masalah-masalah yang lebih parah dan rendah. Itulah bukti kejahiliyah baik disadari ataupun tidak disadari. Sangat miris dan pilu, hati terasa di sayat-sayat, ketika menyaksikan ketertindasan umat Islam di berbagai belahan dunia. Celakanya lagi tidak sedikit tokoh-tokoh yang mengaku sebagai tokoh Islam, malah menyerukan solusi tidak bersumber dari wahyu Allah SWT, mereka malah berusaha menganulir wahyu Allah dari fungsinya sebagai pemecah masalah. Ini bukti nyata kesombongan berfikir manusia. Tidak ada jalan lain bagi kita, selain kembali kepada Al-Quran dan Sunnah sebagai jalan satu-satunya untuk menyelesaikan persoalan pribadi, keluarga dan masyarakat

Islam.

Meninggalkan

dua

pedoman

hidup

ini

sama

artinya

menjerumuskan diri ke dalam kehancuran dan terperosok kelembah kehinaan. Jadikanlah Al-Quran dan Sunnah penuntun abadi dalam menghadapi setiap persoalan hidup, itulah fikrah Islamiyah, untuk itulah Al-Quran diturunkan dan Rasulullah diutus. Jangan mencari cara diluar ini atau mencampur adukkan dengan cara-cara yang lain, karena justru akan merusak kehidupan sendiri, buatlah Al-Quran hidup dalam keseharian, dalam setiap langkah dan gerakan, lalu saksikanlah betapa kemuliaan dan kebaikan akan datang dari sisi mana saja kita memandangnya.

29

Bagaimana Menentukan Kebaikan Dan Keburukan Kebenaran dikenal sebagai kebenaran dan kebaikan dikenal sebagai kebaikan, namun kebanyakan kebenaran tidak jarang justru dianggap sebagai keburukan dan keburukan dikenal sebagai kebaikan, itu semua karena pandainya manusia berhati Iblis membungkus dan menghiasi sesuatu keburukan ataupun kebaikan sehingga terlihat berbeda dengan yang ditampilkan. Kebaikan tidaklah diukur dari selera dan kesenangan, dia juga tidak diukur dari kepatutan dan kepantasan, salah besar menakar kebaikan dengan pandangan umum masyarakat, kebaikan mestilah diukur dari wahyu Allah, karena hanya Dialah sumber kebenaran yang hakiki. Dia telah menjelaskan perbedaan antara haq dan batil itu melalui RasulNya, maka sebagai seorang mukmin mestilah menakar dengan takaran wahyu ini. Perhatikanlah

betapa bingungnya sebagian masyarakat awam dan bahkan

kalangan intelektual dalam menilai sesuatu itu baik, di satu sisi kebaikan dikenalkan dengan nilai Kemanusiaan (HAM), anti kekerasan, anti kekejaman, menyantuni yang lemah, berkata sopan santun, toleransi antar sesama, berbudaya dan sebagainya. Namun di sisi lain para penyuara itu bungkam, mendadak lidah mereka kelu, telinga mereka menjadi tuli, dan mata mereka menjadi buta, di saat saudara-saudaranya seiman mengalami pesakitan dan penindasan, hak-hak mereka di rampok, serta kehormatan mereka di perkosa oleh musuh-musuh Islam. Mereka memperkenalkan kebaikan dengan baju kemerdekaan dan kebebasan, sehingga mereka bebas memberikan ekspresi apapun, manusia abnormal yang oleh Allah diciptakan sebagai laki-laki ingin tampil sebagai perempuan dianggap wajar, kawin sejenis ingin dilegalkan dengan alasan kemanusiaan, pergaulan bebas menjadi tradisi, begitupun halnya obral aurat adalah kepantasan, inilah alam kebinatangan, yang hidup tanpa aturan sehingga tidak ada ukuran benar dan salah.

30

Ada juga yang menyandarkan benar dan salahnya suatu masalah dengan pendapat dunia Internasional, sungguh sangat aneh, menyamakan pandangan dan rasa, antara mereka yang diberi hidayah dengan mereka yang dibutakan Allah. Kebaikan yang berdasarkan perkiraan dengan kebaikan yang diterangkan oleh Allah ‘azza wa jalla. Perhatikanlah Firman Allah SWT:

             

  

“Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." (Q.S. Al-Maidah (5) : 100) Pernyataan ini menperingatkan kepada kita umat Islam, agar jangan sampai tertipu, tidak pernah bisa sama antara kebaikan yang ditetapkan Allah dengan kebaikan yang dikira-kira baik oleh manusia si pintar apapun dia. Jika manusia tanpa wahyu bisa menentukan apa yang baik bagi mereka, maka tidak diperlukan Rasul. Manusia tidak akan pernah sampai kepada kebaikan yang hakiki, itulah sebabnya Allah menurunkan Rasul agar menjelaskan mana yang disebut baik yang dapat memberikan manfaat dan mana yang disebut buruk yang dapat memberikan madharat dalam kehidupan manusia. Namun manusia sombong dan angkuh, mereka merasa mampu mencapai kebaikan tanpa bimbingan Allah, sehingga mereka campakkan aturan Allah, dan mereka tukar dengan aturan bikinan mereka sendiri, dan mereka meyakini apa yang mereka lakukan adalah kebenaran.

31

Padahal kebenaran yang mereka yakini hanyalah kepalsuan dan kebohongan, kebathilan yang berbungkus dengan apapun tetap sebagai kebathilan. Syetan telah menipu mereka dan menyesatkan mereka. Renungkan Firman Allah SWT:

                 

          

“Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan) ? Maka Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya; Maka janganlah dirimu binasa Karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. (Q.S. Al-Fathir (35): 8). Dengan demikian sandarkanlah pendapat dan pemahaman terhadap segala sesuatu kepada wahyu, dengan artian jika wahyu dan ketetapan Rasulnya menetapkan baik satu urusan,

itulah kebaikan

yang sesungguhnya

dan pasti mengandung

kemaslahatan, jika wahyu mengatakan sesuatu itu buruk dan rusak, itulah keburukan.yang sesungguhnya dan pasti mengandung mafsadat (kerusakan). Allah Maha Mengetahui sedangkan kita tidak mengetahui. Allah Ta’ala berfirman :

      

32

“… Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui.” (Q.S. AL-Baqarah (2): 216) Maka kita serukan Kepada para pembaharu pemikiran dan pejuang kebangkitan Islam, agar dengan sungguh-sungguh melihat dan memperhatikan persoalan ini, Allah Maha Mengetahui apa yang akan terjadi sampai hari kiamat, tidak satupun yang luput dari pandanganNya, jika Dia telah menetapkan Muhammad sebagai Rasul dan Nabi terakhir, dan Al-Quran sebagai Kitab Sucinya sepanjang zaman, dan telah menjelaskan perbedaan antara kebaikan dan keburukan, kemashlahatan dan kemudharatan telah Dia perkenalkan di dalamnya. Tidak ada satupun yang luput dari penjelasannya. Itu artinya berlaku sepanjang masa, menembus waktu dan tempat, tetap relevan sampai dunia ini berakhir. Andaikata kita telah meyakini hal itu, maka janganlah pongah dan sombong menganggap ada yang lebih baik selain Al-Quran dan Sunnah, kecuali melepaskan keimanan dan keyakinan dalam diri sendiri. Dengan demikian bagian yang tidak terpisahkan dengan keimanan kita adalah bahwa menakar baik dan buruk dengan konsep Ilahi, bukan dengan pemikiranpemikiran manusia yang bersifat nisby.

33

MEMPOSISIKAN AL-QURAN SEBAGAI TITAH ALLAH Al-Quran diturunkan sebagai hudan (petujuk bagi manusia). Menfungsikan AlQuran sebagai petunjuk berarti mensingkronkan antara penjelasan Al-Quran dengan realita aktivitas sehari-hari. Implikasinya dalam gaya hidup, menjadikan pilihan, selera dan bentuk kesukaan, kebiasaan mapun tradisi mestilah sesuai dengan apa yang tertera dalam Al-Quran. Itu artinya Al-Quran dijadikan pedoman dan petunjuk dalam hidup. Apabila menemukan di dalam Al-Quran hal-hal yang menjadi kebiasaan, sementara Al-Quran melarangnya, serta merta harus berhenti, menjauhi, serta menanamkan keyakinan dalam hati kalau hal itu tidak baik bagi seorang muslim. Begitupun sebalik jika ada hal-hal yang diperintahkan untuk dilaksanakan, serta merta seorang muslim berdaya upaya untuk merealisasikannya, meskipun pada saat itu dia tidak menyukai atau belum mampu melihat kebaikan apa yang dilarang tersebut. Namun sebagai mukmin mesti menanamkan keyakinan bahwa dalam setiap larangan ataupun perintah pasti mengandung kebaikan, walaupun terkadang memang akal manusia yang terbatas belum mampu mengungkap kebaikannya. Ketidak mampuan akal mengungkap kebaikan itu bukan berarti tidak ada kebaikan di dalamnya. Perhatikan Firman Allah SWT:

                

“ … boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu …”(Q.S AlBaqarah (2): 216)

34

Ini bukan menunjukkan fanatic dalam artian negatif, mengikuti membabi buta, ataupun tuduhan lainnya, seperti menyembah teks Al-Quran sehingga menjadikannya berhala baru. Semua itu adalah penilaian dari mereka yang tidak punya mata dan telinga, untuk memahami bahwa Al-Quran itu murni dari Allah Yang Maha Mengetahui, sedangkan manusia serba terbatas, tidak mesti otak yang terbatas mampu memahami apa yang dimaksud Allah SWT Yang Maha Berilmu. Jadi inilah wujud pengagungan kepada Allah ‘Azza wa jalla, sebagai bentuk pengakuan seorang mukmin bahwa dirinya serba terbatas dan menyerah kepada pengetahuan Allah SWT. Dengan menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk dengan artian sebagai guru yang hidup di tengah-tengah keseharian hidup kita. Selalu menjadikan Al-Quran sebagai tempat bertanya pada setiap persoalan yang di hadapi. Menjadikan Al-Quran sebagai penuntun di saat kita bingung harus melangkah kemana. Itulah makna menjadikan Al-Quran sebagai Imam dalam hidup seorang muslim. Itulah makna beriman kepada Kitab Suci Al-Quran, meyakininya sebagai titah Allah kepada setiap hambanya yang hidup diberbagai situasi dan kondisi. Inilah ciri utama seorang mukmin sebagaimana yang dinyatakan Allah dalam FirmanNya:

             

     

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan.

35

"Kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. Al-Nur (24): 51)

Jangan Jadikan Al-Quran Hanya Sebagai Teori Dan Kajian Ilmiah Semata. Al-Quran diturunkan oleh Allah adalah sebagai Hudan linnas (petunjuk hidup untuk manusia) dalam artian sebagai penuntut realitas kehidupan manusia kapanpun, dimanapun dan dalam situasi apapun. Di dalamnya berisi perintah dan larangan, berisi ‘ibrah bagaimana mereka yang hidup di bawah tuntunan dan akibat mereka yang menyimpang dari tuntunan wahyu Allah SWT. Dengan demikian Al-Quran diturunkan untuk menjadi pedoman keselamatan hidup manusia. Menuntut manusia untuk mengenali mana yang baik dan buruk, mana yang mashlahat dan mafsadat dalam pandangan Allah SWT, untuk selanjutnya diaplikasikan dalam ke hidupan dan keseharian seorang Muslim. Oleh karena itu, Al-Quran tidak akan berfungsi sebagai petunjuk jika hanya dikaji dan ditelaah, lalu diseminarkan isi dan kandungannya, dijadikan referensi dalam berbagai tulisan ilmiah, dijadikan dalil-dalil untuk mendukung teori-teori dalam berbagai disiplin ilmu, tetapi jauh dari pengamalan kongkrit keseharian. Al-Quran baru akan berfungsi jika diamalkan dan diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Oleh karena itu dalam Islam keyakinan tidaklah cukup, kecuali diaplikasikan dalam bentuk amal. Amal adalah bukti nyata bahwa kita meyakini isi kandungan yang ada dalam petunjuk itu. Sungguh sangat ironi keyakinan akan isi kandungan tapi hanya sebatas teori dan kajian menumpuk dalam buku-buku dan kitab-kitab, atau hanya sebagai bahan pelajaran di sekolah-sekolah dan kampus-kampus, namun materinya tetap berada

36

dalam tulisan. Maka keselamatan yang diharapkan dari petunjuk ini tidak akan berfungsi. Mensakralkan kitab suci dan meyakininya sebagai pedoman dalam hidup, itu artinya apa saja yang diperintahkan di dalamnya diyakini membawa kebaikan, oleh karena itu seorang mukmin berusaha sekuat kemampuan mengaplikasikannya dalam kehidupan, begitupun sebaliknya apa saja yang dilarang di dalam kitab itu menunjukkan hal itu akan membawa keburukan, maka setiap mukmin berusaha dalam kehidupan nyata menjauhinya dan menghilangkannya. Itulah makna Al-Quran sebagai Imam dalam kehidupan seorang mukmin. Penegasan untuk tidak hanya menjadikan Al-Quran sebagai bahan kajian dan tela’ah semata, tanpa diiringi usaha keras untuk merealisasikan dalam kehidupan nyata perlu disosialisasikan kembali, karena gejala yang sangat mengkhawatirkan Nampak jelas di depan mata, jutaan pondok pesantren melahirkan alumninya, disertai pendidikan Islam lainnya baik tingkat stanawiyah, ‘aliyah, baik negeri maupun swasta, bahkan sampai keperguruan tinggi, seminar dan pengajian ada dimana-mana, namun usaha untuk merealisasikan Islam sebagai aturan hidup, justru belum kelihatan realisasinya. Yakinlah bahwa Islam itu tegak dengan mereliasasikan hukum-hukum dan aturannya bukan hanya sekedar mengkaji dan memujinya. Maka kepada para ulama yang telah dianugrahi kehormatan mulia sebagai pewaris para nabi, kepada para santri, Mahasiswa perguruan Tinggi Islam, pakar dan tokoh Ilmuan Muslim, tegakkanlah kebenaran Al-Quran, janganlah kalian takut kecuali hanya kepada Allah, atau janganlah diri kalian tergoda dunia sehingga menyembunyikan kebenaran Al-Quran. Karena menyembunyikan kebenaran adalah kehinaan, memperjual belikan ayat Allah adalah pengkhianatan, ilmu adalah amanah yang mesti kalian sampaikan dan tegakkan dihadapan ummat. Keterpurukan ummat adalah bagian tanggung jawab kalian para ahli ilmu. 37

Ingatlah firman Allah SWT :

             

               

  

“Katakanlah: "Hai ahli kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari Rabmu". Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu (Muhammad) dari Rabmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; Maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu”. (Q.S. Al-Maidah (5) : 68) Apa guna gelar ustazd, apa guna gelar kiyai, apa guna gelar ulama, apa guna gelar faqih, apa guna gelar cendikiawan muslim, apa guna gelar Dr, Prof, Syekh dan sederetan gelar kehormatan lainnya, jika dalam pandangan Allah tidak beragama sedikitpun. Mereka hanya dianggap penipu ummat, yang pandai menjilat mencari muka yang menjijikkan. Ingatlah perjuangan syariah Islam mestinya dimotori oleh para ulama, sebagai pewaris para Nabi.

Jangan Menjadikan Al-Quran Sebagai Kesenangan Rohani Semata Setiap umat yang meyakini kebenaran Agamanya, akan bangga dan senang membaca dan mendalami isi kandungan kitab sucinya. Ini berlaku pada setiap agama apapun. . 38

Bagi Umat Islam membaca Al-Quran akan mehirkan ketenangan dan kedamaian, bahkan mampu menembus relung jiwa dan tidak sedikit yang menitikkan air mata karena terharu akan kebesaran dan keindahan isi kandungannya. Namun tujuan esensi Al-Quran diturunkan bukan semata-mata untuk membuat hati tenang dan jiwa tentram, bagaikan obat penghilang stress. Sementara dirinya jauh dari pengamalan isi kandungan dan ajaran Al-Quran. Bukan tidak penting ketenangan jiwa dan kesenangan rohani, semua itu pasti akan di dapat dalam mengamalkan Islam, karena Al-Quran itu adalah Shifa lima fie shudur (obat penyakit yang ada dalam dada/hati), namun bukan berarti kalau hati sudah tenang berarti Islam sudah tercapai, meskipun syariatnya dikangkangi. Gejala yang sangat perlu dikhawatirkan adalah banyak umat Islam beribadah hanya sekedar penyenangan jiwa, mengatasi tekanan hidup, dan mencari tempat bersandar. Hal ini sangat terlihat saat dalam kesusahan, lalu mencari solusi dan minta nasehat kepada para ulama, saat tekanan hidup menyudutkan dirinya kelihatan kembali mencari agama sebagai tempat berlindung. Dan tidak sedikit pergi haji atau umrah adalah untuk kesenangan batin semata. Maka tidak heran aliran kebatinan sempat digandrungi umat Islam. Allah menyatakan dalam FirmanNya:

              

 

“Maka apabila mereka naik kapal mereka mendoa kepada Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya; Maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah)”. (Q.S. Al- Ankabut (29) :65 )

39

Islam adalah agama fitrah manusia, sebagai agama fitrah, sebagai agama fitrah tentu saja apapun yang ditetapkannya adalah sangat sesuai dengan keinginan jiwa manusia, namun mesti disadari dan diyakini, tujuan utama dalam beribadah adalah redha Allah, bukan kesenangan jiwa. Karena jika diredhai oleh Allah pasti jiwa akan senang karena berada dalam rahmat penciptaNya. Namun tidak setiap ketenangan jiwa dalam redha Allah, banyak sekali ahli kebatinan merasa senang dan tenang dengan perilaku tertentu, bahkan agama lain dengan bertapa, menyepi dan berbagai ritual mereka lakukan dan itu bagi mereka ketenangan jiwa. Namun dipastikan mereka dalam murka Allah. Pada suatu ketika salah seorang ingin sekali menghajikan orang tuanya yang sudah tua renta, yang sudah lebih lima kali melaksanakan ibadah haji, ketika dijelaskan bahwa ibadah haji dalam Islam wajib hanya sekali, lebih baik uang ongkos untuk ibadah haji yang puluhan juta itu diberikan pada fakir miskin, tetangga yang sangat membutuhkan uluran tangan, serta merta dia menjawab, “memang membantu fakir miskin bagus, namun kebaitullah memberikan ketenangan batin yang tidak dapat digantikan oleh apapun”. Begitupun ketika dia diberi nasehatkan agar melaksanakan zakat sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah.

Dengan arahan bahwa zakat adalah salah satu

hikmahnya mengangkatkan orang miskin dari keterpurukannya, maka lebih baik memberikan kepada dua orang miskin dengan jumlah yang mencukupi diri dan keluarganya untuk memulai suatu usaha, daripada mengumpulkan ribuan orang dan memberikan hanya cukup membelikan makanan satu kali makan. Serta-merta dia langsung membantah, bahwa yang dirasakan adalah kenikmatan rohani yang tidak terkirakan disaat ribuan orang mendokannya agar rezkinya berkah dan dia dikenal sebagai seorang yang dermawan. Pola pikir mementingkan kepentingan rohani daripada ketentuan syariat itulah yang membuat umat Islam tidak peduli dengan saudaranya, yang kaya sibuk 40

memperkaya diri sendiri, kemudian beramai-ramai umrah, naik haji sekeluarga, lupa tetangganya yang menjerit kelaparan, lupa ada saudaranya yang yatim piatu putus sekolah, lupa saudaranya seiman sedang ditindas dan dijajah oleh kafirin, lupa syariat Islam yang tidak pernah diperjuangkan. Tentu saja semua itu tidak membawa kepada redha Allah, karena bukan itulah yang dituju oleh Sang Pembuat Syariat. Ingatlah Islam diturunkan dengan aturannya yang sempurna, mana yang wajib, mana yang sunnah, mana yang makruh dan mana yang haram, ketentuanketentuan itu telah ditetapkan oleh Allah. Maka utamakan yang diutamakan Allah dan pentingkan apa yang dipentingkan oleh Allah, meskipun jiwa tidak menyukainya, tapi yakinlah semua akan berujung dengan kemanisan dan kelezatan Iman. Perhatikan Firman Allah SWT:

                             Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak Mengetahui (Q.S. Al-Baqarah (2): 216).

Maka tidak dibenarkan mengamalkan Islam sesuai selera dan kehendak hati semata, mesti menurut tuntunan dan kehendak Sang pemilik Islam itu sendiri, jika ingin mendapatkan redhaNya. Akibat penyakit ini, betapa banyak bercampur-aduk antara kebaikan dan kebatilan, sebahagian di imani dan sebagian lagi dikafiri.

41

Hal itu disebabkan karena oreantasi peribadahan adalah kesenangan rohani, otomatis memilih mana yang menyenangkan dan menghindari ibadah yang membutuhkan pengorbanan dan kesulitan. Padahal mengimani sebahagian dan mengkafiri sebahagian pada hakekatnya adalah kafir yang sesungguhnya. Perhatikan Firman Allah SWT:

          

           

         

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. (Q. S. Al-Nisa’ (4): 150-151).

42

          

           

           

               

  

“Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”. (Q.S. Al-Baqarah (2) : 85)

Jangan Menjadikan Al-Quran Sebagai Seni Dan Keindahan Semata Allah itu indah, dan mencintai keindahan, sebagian dari kebesaran Al-Quran diturunkan dengan gaya bahasa yang sangat indah. Indah dibaca dan didengar oleh

43

siapa saja. Namun pesona keindahan Al-Quran bukanlah tujuan dari penurunannya kepada manusia. Tujuan Al-Quran diturunkan adalah untuk petunjuk dan penjelasan yang haq dan batil. Menjelaskan apa saja akibat dari kedurhakaan kepada Allah SWT, memberi khabar gembira bagi siapa saja yang mentaati aturanNya. Gejala yang sangat memprihatinkan, disebahagian generasi Islam, sibuk dengan membaguskan bacaan dan penulisan Al-Quran, namun mereka tidak sedikitpun kelihatan berusaha bagaimana mengambil pelajaran darinya. Musabaqah Tilawatil Al-Quran diadakan bertujuan memberikan semangat agar terlepas dari kebutaan dalam membaca Al-Quran dan semangat untuk mempelajari Al-Quran. Namun tidak sampai disitu saja, yang paling penting adalah pengamalan Al-Quran, Sekolah dan madrasah yang mengkususkan diri dalam membaguskan bacaan Al-Quran dan hafalan Al-Quran seharusnya juga menjadi pelopor penegakkan Al-Quran dalam kehidupan mereka, karena tidak ada artinya bagus bacaan tapi hanya sekedar menjadi nyanyi dan lagu yang jauh dari pengamalan. Saat seseorang membacakan Al-Quran dengan suaranya yang merdu, hati terenyuh, jiwa tersentuh, dan terkadang air mata ikut mengalir, terharu akan kebagusan suara Qari (pembaca Al-Qur’an) dan lantunan ayat-ayat suci, tapi adakah yang tersentuh dengan isi kandungan di dalamnya? Yang mengingatkan akibat keingkaran karena tidak menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, adakah yang tersentuh dan mau bergerak setelah membaca ayat-ayat Jihad, ayat-ayat kehormatan dan kewibaaan Islam, perintah untuk saling membantu saudara seiman, mengangkat pemimpin hanya dalam kalangan Islam, kewajiban berhukum dengan hukum Allah dan larangan berhukum dengan hukum kufur (?). Kalau menjadikan Al-Quran sebagai titah Allah, tentu air mata yang mengalir karena takut neraka Allah dan harap akan sorganya, takut akan peringatan Allah karena lalai dalam melakukan perintahNya dan meninggalkan laranganNya. Sehingga 44

menggugah jiwa, menggerakkan seluruh anggota tubuh untuk merealisasikan seluruh perintahNya, siap menghadapi ujian apapun yang menghalangi karena keyakinan akan kebesaran dan keagunganNya.

Jangan Memuliakan Lafazh Tapi Menghinakan Isi Sumber malapetaka yang tidak kalah mengkhawatir saat ini, adalah perlakuan ummat terhadap Al-Quran, dengan menyanjung dan memuji Kitabullah sebagai kitab suci, meninggikan dan menghormatinya, mendirikan berbagai tempat untuk mempelajari dan menghafal, membaguskan bacaannya, dan menjadikan qiraatil Quran pada setiap pembukaan acara resmi. Namun isinya diabaikan, perintahnya dilecehkan, dan larangannya tak diindahkan. Apa yang terkandung di dalam AlQuran bagaikan nyanyian tanpa arti ditelinga mereka. Bahkan sebagian dengan lancang mengatakan apa yang ada dalam Al-Quran itu hanyalah tindakan primitif, zaman onta, sedangkan kita berada di zaman teknologi, zaman digital, jadi yang tidak mesti menjalankan apa yang ada dalam teks Al-Quran itu. Pernyataan mereka ini sebagaimana yang diisyaratkan Allah dalam firmanNya:

               

               

   

45

“Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan (bacaan)mu, padahal kami Telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di telinganya. dan jikapun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata: "AlQuran Ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu." (Q.S. Al-An’am (6) : 25). Senangnya masyarakat Islam tidak diatur dengan aturan Syariat Allah, dan diamnya mereka dengan hukum selain hukum Allah adalah menunjukkan keredhaan mereka, mereka lebih memilih hukum jahiliyah dan meyakini kesesuaian hukum ciptaan manusia dari hukum Allah, padahal mereka membaca Firman Allah SWT :

           

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (Q.S. Al-Maidah (5): 50) Meskipun ayat itu dibacakan ketelinga mereka ribuan kali, namun telinga dan mata mereka tertutup, jelas dan terang ayatnya, bacaannya diakui namun isinya diingkari. Sehingga Al-Quran bagi mereka hanyalah tulisan suci yang mesti dihargai tapi tidak perlu diamalkan. Apakah seperti itu iman kepada kitabullah (?) Apakah begini yang dilakukan para sahabat Rasulullah SAW (?). Jika ingin mengembalikan ummat dan mengikuti langkah Rasulullah SAW dan para sahabatnya, jadikanlah Al-Quran sebagai titah Allah pada diri, keluarga, dan pada masyarakat. Tinggalkanlah semua hasutan, propaganda dan tipu muslihat 46

kaum kafirin, fasiqin dan munafiqin yang memutar-mutar lidah mereka untuk menipu keyakinan. Sudah benar keyakinan terhadap kitabullah sebagai petunjuk (hudan) bagi kehidupan. Namun menjadikan Al-Quran sebagai petunjuk hanyalah dapat dinilai sebagai petunjuk apabila

mengamalkan apa yang dikatakannya, dan tidak dapat

dikatakan beriman kepada kitab Al-Quran dan meyakininya sebagai petunjuk kalau hanya sekedar membacanya dan menghormatinya. Tapi tidak mengamalkan isinya. Camkanlah ...! Karena Pengamalan itu Rasulullah SAW dan para sahabat diusir dari kampung halaman mereka, tertumpah darah mereka, mengalami berbagai kesulitan, adalah karena mengamalkan isi perintah Allah, disitulah letak kemuliaan dan keselamatan. Janganlah mengamalkan Al-Quran berdasarkan selera dan kehendak hati. Jangan jadikan Al-Quran hanya sekedar pelipur lara dan penghias telinga. Tapi tempatkanlah kitab suci itu sebagai petunjuk dan pedoman hidup.

47

MELEPASKAN SEMUA SIFAT, KARAKTER DAN TRADISI JAHILIYAH MENUJU SIFAT DAN KARAKTER, SERTA CARA HIDUP ISLAMIYAH.

Sewaktu seseorang telah mengucapkan dua kalimat syahadat, berarti dia telah berada dalam ikatan Islam, ucapan itu adalah pernyataan yang melepaskan diri dari semua ikatan yang ada dan menyerahkan semuanya kepada Allah SWT semata. Maka mulai semenjak itu dia hanya terikat dengan Allah, dengan artian pengabdian dan pengaturan hidupnya hanya semata ditujukan pada Allah SWT. Dan untuk merealisasikan itu semua diikrarkannya bahwa hanya dengan mengikuti Rasulullah SAW. Itulah konsekwensi syahadatain, dan itulah konsekwensi seorang muslim. Maka mulai semenjak itu seorang muslim diperintahkan untuk meninggalkan semua ikatan di luar ikatan Islam, semua aturan diluar aturan Islam, melepaskan semua kebiasaan di luar kebiasaan Islam. Dan kewajiban itu berada dipundaknya adalah demi menyelamatkan diri dari siksa Allah dan mengharapkan sorga dan mendapatkan redhaNya. Firman Allah SWT :

            

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya Karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Q.S. AlBaqarah (2): 207) Maka langkah awal yang mesti dilakukannya adalah membersihkan diri dari semua kotoran jahiliyah, baik yang terdapat dalam hati, pikiran, jiwanya, karakter, kebiasaan, serta tradisi yang ada. Karena tidak akan mungkin sesuatu yang akan di

48

isi dengan sesuatu yang bersih dan suci namun wadahnya kotor dan melekat kekotoran pada dirinya. Membersihkan diri dari semua unsur kebiasaan jahiliyah, dan menanamkan kebesaran Allah dalam diri adalah modal utama kesuksesan melakukan perubahan diri kearah Islamiyah. Namun mayoritas muslim dan para Pembina ummat Islam banyak yang mengabaikan tahapan ini, maka tidaklah mengherankan, banyak umat Islam, bahkan tokoh Islam, memiliki karakter jahiliyah, cara berfikirnya masih jahiliyah, mengagungkan dan masih melaksanakan tradisi jahiliyah. Ajaran Islam tidak akan pernah menyatu dengan dirinya. Karena kemurnian Islam dicampur dengan kejahiliyahan akan menghasilkan kejahiliyahan. Inilah yang dimaksud secara hakiki dengan pernyataan Allah SWT:

     

“ Dan pakaianmu bersihkanlah,

“ Dan perbuatan dosa tinggalkanlah, (Q.S. Al-Muddatstsir (74) : 4-5)

Pernyataan hijrah bahkan kepada yang lebih besar diperintahkan membentuk lingkungan Islami dengan meninggalkan lingkungan jahiliyah. Karena percampur-bauran antara haq dengan batil akan selalu menimbulkan bara api baik secara individu, keluarga, maupun masyarakat. Perhatikan firman Allah SWT:

49

             

        

“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut, sebab itu perangilah kawan-kawan syaitan itu, Karena Sesungguhnya tipu daya syaitan itu adalah lemah.” (Q.S. Al-Nisa’ (4) : 76) Inilah qadarullah sepanjang masa, orang-orang kafir dengan paham dan keyakinannya yang batil akan selalu dan terus berusaha memaksa orang mukmin untuk mengikuti dan menuruti gaya hidup mereka. Mereka melakukan segala cara untuk mencapai hal itu, dari cara yang lembut sampai cara yang paling kejam dan sadis. Itulah di antara hikmah Allah memerintahkan orang mukmin untuk melawan mereka, agar terpilihara keimanan dan keyakinan, dan agar terlaksananya dakwah Islamiyah keseluruh penduduk bumi, maka Allah mewajibkan Jihad sebagai ibadah tertinggi bagi mukmin sehingga kalimatillah dapat mengalahkan kalimat batil, sehingga seluruh manusia hanya beribadah kepada Allah semata. Itulah makna Islam sebagai Rahmatan lil ‘alamin. Maka langkah awal dari pelaksaan jihad itu, di awali dengan mengkhususkan membentuk lingkungan muslim yang orisinil dari pengaruh dan kungkungan kaum kafirin. Allah mencela dan menamakan tindakan mereka sebagai penganiyaan terhadap diri sendiri, karena mereka membiarkan dirinya berada di dalam kekuasaan kafirin sehingga mereka tidak mampu merealisasikan keIslaman mereka. Hal ini dapat kita fahami dari Firman Allah SWT:

50



            

               

  

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya : "Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". mereka menjawab: "Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". para malaikat berkata: "Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?". orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali,” (Q.S. Al-Nisa’ (4): 97) Pelaksanaan Jihad yang dilaksanakan setelah proses hijrah adalah tahapan yang telah digariskan Allah kepada RasulNya, semestinya merupakan acuan baku bagi para tokoh kebangkitan Islam. Kalimat Hijrah yang hanya dibatasi pada nilai dan mentalitas, dan pemahaman Jihad yang diarahkan memahaminya secara bahasa, lalu membuang makna hakikat syariatnya, perlu dapat perhatian serius bagi para tokoh dan ulama Islam hari ini. Karena sangat dikhawatirkan pengalihan makna syar’iyah kepada makna yang berdasarkan nafsu belaka itu, mulai membuahkan hasil yang nyata. Jihad secara bahasa ditampilkan sebagai makna syar’i dan makna syar’i malah dituding pamahaman yang salah dan menyesatkan.

51

Kebusukan mereka Allah bukakan dengan FirmanNya:

             

 

“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapanucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayanya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” (Q.S. Al-Taubah (9) : 32) Ini semua adalah tanggung jawab para ulama untuk bicara sesuai ilmu yang dilandasi rasa takut kepada Allah SWT semata. Jika lisan dan pena para ulama yang memegang amanah diam dan membisu, sementara kaum kafirin bersorak dan berkoar-koar, dengan terus menyebarkan pemahaman sesat melalui lisan para penjilat dunia, baik dari kalangan intelektual dan tokoh-tokoh yang mengaku Islam yang sadar atau tidak menjadi pembusuk pemahaman Islam akan terus membodohi ummat, sehingga mengamalkan dan mencintai sesuatu yang batil dan membenci yang haq. Hal itu semua tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab ulama. Karena mereka pemimpin ummat dalam bidang ilmu dan pemahaman Islam, namun ulama yang dimaksud adalah yang hanya takut kepada Allah semata. Dan tidak mengharapkan selain redha Allah. Sementara itu mari kita renungkan Firman Allah SWT :

           

               

52

           

     

“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian serta bejihad di jalan Allah? mereka tidak sama di sisi Allah; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim. “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih Tinggi derajatnya di sisi Allah; dan Itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (Q.S. Al-Taubah (9) :19-20)

Ayat ini semestinya dapat menyadarkan kaum Muslimin baik kalangan awam maupun kalangan intelektual yang memang murni dan lurus niat mempelajari Islam, namun tertipu dengan tipu muslihat kaum pembusuk Islam, dengan mengatakan Jihad dalam artian bahasa saja, sehingga apapun yang dilakukan dengan sungguhsungguh dan baik adalah jihad. Renungkanlah betapa para sahabat berselisih pendapat untuk menempatkan para pemberi minum jama’ah haji dan pengurus masjidil haram, manakah yang lebih baik dalam pandangan Allah SWT dari Ibadah Jihad ? Allah mengabadikan perselesihan mereka, untuk memberikan pelajaran kepada kaum muslimin di setiap zaman dan masa. Allah menyatakan dengan tegas bahwa nilai dan derajat ibadah orang yang beriman dan berjihad di jalan Allah SWT jauh lebih tinggi derajatnya di sisi Allah ‘azza wa jalla.

53

Tempat yang paling suci dan ibadah

yang sangat mulia, mengurus dan

memberi minum para jam’ah haji dan para pengurus masjidil haram, yang merupakan poros dan kiblat seluruh ummat Islam, kenapa semua perbuatan yang mulia itu tidak dikatakan jihad dalam artian syar’iyah (?) Jika mengurus masjidil haram saja tidak dimasukkan dalam kategori jihad, apatah lagi mengurus musalla, ataupun mencari rezki ke kantor untuk kebutuhan anak istri. Pikirkanlah ..! Dari sini dapat juga kita serukan kepada para ulama, yang diberikan amanah ilmu, juga kepada para tokoh intelektual Muslim, janganlah mengalihkan pemahaman kearah zona aman dengan mengkebiri pemahaman syari’at hanya karena tidak mau melaksankan perintah Allah. Semestinya ditangan mereka ini kita berharap agar ikut memberikan kemampuan nalar dan fikir mereka untuk menjaga dan memelihara kemurnian ajaran Islam dari para pembusuk pemahaman. Dan diamnya seorang yang berilmu dalam pandangan Islam adalah persetujuan mereka.

Apa itu Masyarakat Muslim. Suatu masyarakat dinamakan masyarakat Muslim adalah karena diikat perjanjian dengan Allah untuk menjalankan perintahNya dan meninggalkan laranganNya, perjanjian itu diungkapkan dengan kalimat syahadatain, sehingga mereka shalat, membayarkan zakat, shaum dan ibadah-ibadah lainnya. Maka yang dimaksud masyarakat muslim adalah sekelompok orang yang tunduk dan terikat dengan aturan Allah SWT untuk menjalankan aturanNya dengan penuh kataatan karena mengharap redhaNya.

54

Jadi, bukanlah masyarakat Muslim yang hanya memiliki KTP Islam, tapi tidak mengenal ketentuan Rabnya. Tidak menjalankan perintah dan menjauhi laranganNya, atau hanya sekedar menyatakan bahwa keyakinan akan adanya Allah dan Islam Agama yang paling benar dalam hatinya, sementara itu dirinya terikat dengan aturan jahiliyah dan mempertahankan aturan jahiliyah itu dalam hidupnya. Maka sangat jelas apa yang disebut masyarakat muslim, dia ditentukan oleh aturan yang mengikatnya dan amalan yang dilakukannya, karena seorang muslim bisa saja keluar dari ke-Islamannya, karena tidak mengindahkan aturan dan segi keyakinan dan amalannya. Dengan demikian pribadi muslim, keluarga muslim dan masyarakat muslim secara zahir dan batin akan terlihat tanda dan ciri-cirinya. Mereka tidak akan bisa hidup dengan tenang berdampingan dengan kaum kafir dan musyrikin karena banyak hal-hal yang mesti dia laksanakan dalam rangka merealisasikan perintah Allah SWT sebagai Rabul Izzah, dan dirinya mesti membebaskan dirinya dari seluruh aturan manusia dalam artian tanpa terikat aturan lain selain aturan Allah SWT. Renungkanlah pernyataan Rasulullah SAW :

‫ ﻻ ﺗﺮاءي‬:‫ ﯾﺎ رﺳﻮل اﷲ وﻟﻢ؟ ﻗﺎل‬: ‫اﻧﺎ ﺑﺮيء ﻣﻦ ﻛﻞ ﻣﺴﻠﻢ ﯾﻘﯿﻢ ﺑﯿﻦ أﻇﮭﺮ اﻟﻤﺸﺮﻛﯿﻦ ﻗﯿﻞ‬ ‫ﻧﺎر ھﻤﺎ‬ “ Aku berlepas diri dari orang-orang Muslim yang berada dalam komunitas orangorang

musyrik.

“Para

sahabat

bertanya:



Mengapa

demikian

ya

Rasulullah?”Beliau menjawab,” Aku tidak menjamin mereka dari api keduanya”. (H.R. Abu Daud).

‫ﻣﻦ ﺟﺎ ﻣﻊ اﻟﻤﺸﺮك و ﺳﻜﻦ ﻣﻌﮫ ﻓﺈﻧﮫ ﻣﺜﻠﮫ‬ “ Siapa saja yang berkumpul (dan berinteraksi dengan rasa nyaman) bersama orang-orang musyrik, sesungguhnya ia bagian dari mereka”. (H.R. Abu Daud). 55

Pernyataan ini memberikan pemahaman bahwa umat Islam tidak boleh berada dalam komunitas musyrik, yang tidak mampu melaksanakan keIslamannya karena itu menunjukkan kehinaan dan kerendahan. Maka masyarakat Muslim adalah masyarakat yang mandiri dan terlepas dari ketertindasan apapun yang menghambat dirinya untuk melakukan peribadatan kepada RabNya. Masyarakat Muslim adalah masyarakat yang mulia yang ditunjuk sebagai khalifah di bumi ini. Karena itu mestilah mukmin yang di bawah tuntutunan dan aturan Allah menguasai kehidupan dunia ini agar mereka terlepas dari segala ancaman yang membuat mereka kesulitan dalam melakukan Ibadah mereka. Renungkan Firman Allah SWT:

          

           

              

  

“Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka

56

tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orangorang yang fasik”. (Q.S. Al-Nur (24) :55).

Menyerahkan Semua Persoalan Hidup Hanya Pada Allah Masyarakat muslim adalah masyarakat yang menyerahkan semua persoalan hidupnya kepada Allah, mereka berhukum dengan hukum Allah, menentukan baik dan buruk dengan standarisasi wahyu, menghalalkan yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah SWT. Perhatikan firman Allah SWT:

           

               

             

          

“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab yang benar, untuk memberi Keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang Telah didatangkan kepada mereka kitab, yaitu setelah datang kepada

57

mereka keterangan-keterangan yang nyata, Karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkann itu dengan kehendak-Nya. dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”. (Q.S. Al-Baqarah (2) : 213) Ayat ini menegaskan bahwa Allah menurunkan Al-Quran kepada kita ummat Islam adalah untuk menyelesaikan semua persoalan hidup kita, apapun perselisihan yang terjadi ditengah kita mesti dicarikan solusinya melalui Kitabullah. Inilah keyakinan kita umat Islam. Seseorang belumlah dapat dinyatakan mukmin jika tidak menyerahkan semua persoalan hidupnya kepada kebijakan Allah dan RasulNya. Perhatikan firman Allah SWT :

             

     

“Maka demi Rabmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (Q.S. Al-Nisa’ (4) : 65) Belum cukup jika hanya sekedar menyerahkan semua kebijakan dalam permasalahan yang dihadapkan kepada Allah dan rasulNya, namun dibuthkan keredhaan terhadap keputusan dan menerimanya dengan lapang dada. Dengan artian diiringi rasa tunduk dan keyakinan dalam diri bahwa apapun bentuk keputusan dari

58

Allah dan RasulNya itu pasti mengandung kebaikan dan kemaslahatan terbaik buat manusia. Perhatikan pernyataan Allah dalam FirmanNya:

               

         

“ Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata”.(Q.S. Al-Ahzab (33) : 36) Maka adalah kesombongan dan bukan sifat seorang mukmin, apabila menemukan suatu masalah lalu mencari solusinya dengan pemikiran dan kebijakan selain dari ketetapan Allah dan RasulNya. Disinilah bukti nyata kesombongan dan kepongahan kaum pembusuk Islam yang tidak hanya menolak diterapkannya syariat Allah, tapi juga menganggap solusi yang ditetapkan Allah dan RasulNya sebagai solusi primitif dan ketinggalan zaman. Sungguh kesombongan dan keingkaran yang sangat besar. Sehingga para ulama sepakat bagi mereka yang meyakini dan mengakui ada kebijakan lain yang lebih baik dari ketetapan Allah dan rasulNya maka mereka keluar dari Islam. Inilah Islam, yang menyerahkan semua persoalan hidup kepada Sang Khaliq. inilah Islam yang meyakini apapun bentuk kebaikan dan keburukan ditentukan oleh Allah dan RasulNya, sehingga tidak tersisa dalam diri seorang muslim kecuali ketundukan dan kepasrahan.

59

Renungkanlah pernyataan Allah SWT:

             

     

“Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka[1045] ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. Al-Nur (24) : 51) Maka kepada kaum Muslimin yang ingin mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat, tidak ada jalan lain selain Islam, dengan artian kepasrahan yang mutlak kepada Allah dan RasulNya, dengan merealisasikan bentuk kepasrahan dengan menyerahkan setiap persoalan kepadaNya. Dan apapun yang ditetapkanNya wajib diyakini itulah ketetapan terbaik yang tidak ada sedikitpun cacat di dalamnya. Apabila semua umat Islam meyakini dan mengamalkan keyakinan ini, masih adakah peluang bagi kaum sekuler dan oreantalis untuk merusak dan menjauhkan umat dari ajaran Islam?. Ya… sekalipun mereka tidak akan pernah berhenti berusaha mencari takwil dan menggunakan secara maksimal energi mereka untuk membelokkan pemahaman, membengkokkan jalan Allah SWT. Umat Islam tidak akan pernah tertipu oleh mereka, karena bagi kita kebusukan mereka telah Allah ungkap dalam FirmanNya:

          

60

“ (yaitu) orang-orang yang menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan itu menjadi bengkok, dan mereka kafir kepada kehidupan akhirat." (Q.S. Al-A’raf (7) : 45).

Maka Mukmin dilarang untuk mendengarkan mereka, memperhatikan perkataan mereka, bahkan duduk dalam majlis mereka agar jangan tertipu dengan tipu muslihat mereka yang licik. Mereka mencari-cari titik lemah di mana mereka bisa memalingkan keimanan menjadi kefasikan, keimanan menjadi kemunafikan dan keimanan menjadi kekafiran. Perhatikan peringatan Allah SWT:

           

            

 

“Dan janganlah kamu duduk di tiap-tiap jalan dengan menakut-nakuti dan menghalang-halangi orang yang beriman dari jalan Allah, dan menginginkan agar jalan Allah itu menjadi bengkok. dan ingatlah di waktu dahulunya kamu berjumlah sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu. dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan”. (Q.S. Al-A’raf (7) : 86). Islam telah memberi peluang untuk menggariskan kebolehan takwil dan berijtihad pada ruang yang zhanniyah dan itupun mesti merujuk kepada pendapat para sahabat

61

dan ulama salaf al-shaleh, dan pentakwilan itu mestilah dilakukan oleh mereka yang memenuhi syarat untuk berijtihad. Namun bagi para pembangkang dan perusak Islam dengan Ilmu yang sedikit, iman yang kosong akan adanya hari pembalasan, mereka mentakwilkan yang qath’i dan melecehkan pendapat para sahabat dan ulama salaf al-shaleh. Umat Islam mestilah menjauhi mereka dan tidak mendengarkan mereka, karena mereka adalah perusak jalan dan membuatnya menjadi bengkok, sehingga Islam tidak diamalkan dengan cara yang diajarkan Rasulullah SAW, sebagai satu-satunya manusia yang diberi otoritas untuk memberikan ketetapan Syari’at oleh Allah SWT. Karena itu mereka telah keluar dari jaminan keselamatan dunia dan akhirat. Tentu saja tugas para ulama sebagai pewaris Nabi wajib membungkam mulut mereka dengan dalil-dalil yang membukakan kebusukan mereka, sehingga masyarakat muslim yang mayoritas berada dikalangan awam tidak tertipu oleh tipu muslihat mereka yang licik.

MengIslamkan Pikiran, Perasaan Dan Amalan Islam diperuntukkan kepada manusia dalam artian utuh sebagai manusia. Maksudnya manusia yang memiliki fisik, perasaan, fikiran. Secara fitrah manusia memiliki kebutuhan makan, minum, berpakaian, hasrat kepada lawan jenis, berinteraksi dengan manusia lainnya, begitupun ada rasa senang, suka, benci, marah, takut, berani, berharap. Manusia juga makhluq yang diberikan karunia untuk mampu berfikir, mengamati, sehingga kemampuan dirinya dapat berkembang. Dan Islam diperuntukkan untuk semua unsur yang berkaitan dengan kehidupan manusia dan diperintahkan menyerahkannya kepada ketentuan Allah SWT. Baik dalam kebutuhan fisik, makan, berpakaian, bertempat tinggal, kebutuhan akan lawan

62

jenis, berinteraksi dengan manusia lainnya dan bahkan makhluq lain, begitupun halnya yang mencakup perasaan, seperti rasa cinta, benci, takut, harap, marah dan sebagaimnya, semua harus tunduk dibawah keinginan Allah SWT. Begitupun cara berfikir manusia, ada hal yang boleh difikirkan, dan ada hal yang tidak boleh difikirkan, seperti memikirkan zat Allah SWT. Dan Islam mengatur fikiran seorang muslim yang harus tunduk dan di arah sesuai ketentuan Allah SWT. Perhatikan firman Alah SWT:

            

   

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (Q.S. Al-Baqarah (2) : 208). Perintah untuk memasuki Islam secara menyeluruh, yang diiringi peringatan untuk tidak mengikuti langkah setan - baik dari jenis Jin dan manusia - memberikan pengertian, bahwa setiap langkah yang tidak Islami merupakan strategi setan untuk menjerumuskan manusia sebagai musuh orang mukmin. Strategi itu bisa berupa sesuatu yang zahir seperti modernisasi agar mengikuti gaya hidup jahiliyah, baik dari segi cara mencari rezki yang menghalalkan sistem riba, maupun membuka aurat dan sebagainya, begitupun untuk menanggalkan Aqidah wala’ wa al-bara’ yang merupakan Aqidah mukmin dengan alasan keaneka ragaman, namun meletakkan pada tempat yang salah.

63

Islam yang menyeluruh (kafah) bukan memberikan konotasi ada Islam yang setengah-setengah, sehingga menimbulkan persepsi bolehnya Islam yang setengahsetangah dalam artian memilih-milih mana yang sesuai dengan selera dan mana yang tidak sesuai dengan selera lalu diingkari, pamahman ini jelas keliru dan merupakan kekafiran yang sesungguhnya. Ayat ini merupakan perintah untuk mengislamkan setiap apapun yang dimiliki pribadi mukmin, baik fikrah (cara berfikir) nya, syu’ur (cara merasa) nya, dan aktifitas amaliyah serta bentuk interaksi sosial yang dilakukannya. Karena di dalam Islam manusia tidak bebas begitu saja untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk sesuai dengan kemampuan akal pikirannya, namun dia diberi penjelasan untuk diarahkan, sehingga dapat memahami mana yang baik menurut Allah dan RasulNya, itu hanya bisa terjadi apabila fikiran tunduk dibawah ketentuan Allah dan Rasul. Itulah makna mengislamankan fikiran secara sederhana. Islam tidak hanya mengatur baik dan buruk dalam artian pemahaman dan penilaian, namun Islam mengajarkan untuk mencintai apa yang dicintai Allah, membenci apa yang dibenci Allah, mengajar kepada siapa mesti takut dan berharap, Islam tidak membiarkan semua itu tumbuh dan berkembang sendiri dalam pribadi mukmin melainkan memberikan aturan-aturan yang boleh dicintai, disukai, dibenci, disayang, ditakuti dan diharapkan, apabila semua itu tunduk di bawah keinginan dan kehendak Allah dan Rasul itulah makna mengIslamkan perasaan. Dan belumlah cukup sampai disitu saja, Islam juga mengatur lahirah manusia, menetapkan bagaimana berpakaian, begaimana berbicara, bagaimana bertingkah laku, bagaimana memposisikan diri ditengah keluarga, masyakarat, semua aturan itu ditetapkan oleh Allah dan RasulNya. Dan itulah aturan Islam. Maka Islam menuntut amaliyah mesti berdasarkan Islam, dengan pengertian semua aturan baik suruhan maupun tegahan terhadap amal lahiriyah itu wajib tunduk di bawah keinginan Allah dan RasulNya. Tidak boleh memilih-milih mana yang disukai dan mana yang tidak

64

disukai, mana yang cocok dan mana yang tidak cocok, mana yang pantas dan mana tidak pantas, mana yang aman dan mana yang tidak aman. Namun semua aturan yang ditetapkan itu diterima secara tunduk dan patuh, itulah makna mengIslamkan amaliyah. Maka ketentuan halal dan haram, ketentuan baik dan buruk, ketentuan mudharat dan manfaat diserahkan kepada Allah, dan sebagai seorang mukmin wajib mengimani , meyakini dan mengamalkannya dengan penuh tunduk dan redha dalam melaksanakan. Itulah makna memasuki Islam secara menyeluruh (kafah). Semua yang berlainan dengan ketentuan Allah SWT baik secara fikrah, syu’uriyah , amaliyah adalah merupakan langkah setan baik secara individu, keluarga maupun masyarakat. Dengan demikian akan tampak dan terlihat jelas pebedan antara baik dan buruk, antara Islam dan kufur dan antara benar dan salah dalam pandangan Islam.

Kemuliaan Dan Kehormatan Dibangun Atas Dasar Nilai Taqwa Manusia dalam pandangan Islam adalah sama, sebagai hamba Allah SWT, tidak dibedakan anatar bangsa Arab atau non Arab, tidak dibedakan karena suku dan bangsa, warna kulit, ataupun status sosial, antara yang kaya dan miskin, antara bangsawan dan rakyat jelata, semuanya sama dalam pandangan Islam, yang membuat manusia mulia dari yang lainnya adalah ketaqwaan. Perhatikan firman Allah :

65

            

         

“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. Al-Hujurat (49): 13) Pernyataan ini memberikan ketegasan tidaklah sama antara mukmin dan kafir, tidaklah sama antara muslim dan non muslim dalam pandangan Allah SWT. Karena taqwa berarti “ Imtitsaal al-awamir wa al- ijtinabu al-nawahi (melaksanakan perintah dan menjauhi larangan)” dan itu bermakna melaksanakan Islam dengan benar. Sebagai seorang mukmin seharusnya menanamkan pandangan ini tertanam di dalam hati sanubari, Allah telah menjelaskan dengan menyebutkannya dalam AlQuran. Karena itu jadikanlah dalam menakar kemuliaan seseorang berdasarkan ketaqwaannya, bukan karena pangkat dan jabatan, bukan karena harta dan keturunan. Sehingga penilaian obyektif terhadap sesama manusia dalam pandangan Allah. Allah SWT menyatakan:

         

66

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling Tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman”. (Q.S. Ali Imran (3) : 139). Kalau memuliakan orang berdasarkan ketaqwaannya, tentu akan memberikan loyalitas juga berdasarkan ketaqwaan, mendengar dan mentokohkan seseorang berdasarkan ketaqwaannya. Tidak akan memfigurkan dan mengidolakan seseorang yang rendah dalam pandangan Allah. Maka dari sini mustahil orang-orang kafir dan musyrik jadi panutan seorang mukmin. Pengaruh seseorang yang di idolakan cukup berpengaruh dalam kehidupan seseorang, apalagi zaman arus informasi begitu dahsyatnya, terutama bagi remaja Muslim yang mencari jatidiri, mereka mengidolakan kaum musyrik dan kafir, dan tidak sedikit di antara mereka yang tidak mengenal Rasulullah SAW dan para sahabatnya, sebagai manusia terbaik dalam pandangan Allah SWT. Sehingga wajar kehidupan mereka beroreantasi keduniaan dan glamor, yang memperosotkan diri kejurang kehancuran. Gejala ini bagi sebahagian mereka yang kurang telaten dalam membina umat kurang mendapat perhatikan, padahal kondisi ini sangatlah penting dalam mendidik dan mengarahkan seseorang untuk menjadi muslim yang benar. Wala’ kepada mukmin dan bara’ kepada kaum musyrikin dan kafir adalah aqidah muslim, yang merupakan bukti keimanan. Hal itu merupakan petunjuk Ilahiyah yang tidak dapat ditawar dan diubah sesuai kehendak selera. Tinggal bagi individu muslim untuk mayakini atau mengingkarinya. Kebenaran sudah jelas sebagai kebenaran dan kebatilan telah terkuak sebagai kebatilan. Terserah bagi pribadi, keluarga ataupun masyarakat untuk memilih Iman atau kafir. 67

Firman Allah SWT:

              

             

   

“ Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Rabmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”. (Q.S. Al-Kahfi (18) : 29).

68

PEROBAHAN TOTALITAS PRIBADI MUSLIM Seorang muslim yang telah menyerahkan hidupnya dibawah aturan Allah SWT, tidaklah sama dalam berpikir, bersikap dan cara mengambil kesimpulan dengan mereka yang tidak diatur dengan aturan Islam. Aturan Islam telah meletakkan prinsip-prinsip yang kokoh dan kuat. Ada hal-hal yang telah ditetapkan secara qath’i dan ada juga yang ditetapkan secara zhanni. Ditetapkan secara qath’I mengandung pengertian kebenaran mutlak yang absolute, langsung dari Sang Khalik, tidak berhak manusia manapun untuk merubahnya, namun ada yang ditetapkan secara zhanniyah member peluang bagi seorang mukmin untuk menyesuaikan dengan situasi dan kondisinya dalam ruang dan waktu yang membatasi hidupnya. Seorang mukmin adalah seorang yang mempunyai oreantasi hidup sebagai hamba Allah, mengemban misi seluruh hidupnya dalam rangka mendapatkan Redha Allah SWT. Maka setiap sikap, gerak, fikir dan aktifitasnya selalu diselraskan dalam mewujudkan redha Allah SWT. Acuannya adalah Al-Quran dan Sunnah. Dari sini akan dapat dimengerti perubahan drastis akan terjadi, dunia baru akan terlihat, nuasa berfikirnya akan berbeda, arah hidupnya sudah terfokus, masa depannya tidak lagi di dunia ini, tapi adalah akhirat. Dunia baginya hanya sebagai batu loncatan untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat. Kebahagian baginya adalah dalam redha Allah SWT. Dalam dirinya selalu tertancam pesan Allah SWT sebagaimana dalam FirmanNya:

69

            

               

 

77.

Dan carilah pada apa yang Telah dianugerahkan Allah kepadamu

(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah Telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Q.S. Al-Qashash (28): 77).

Islam Sebagai Sistem Hidup Islam merupakan ajaran yang unik. Sebagai ajaran Ilahiyah yang murni tanpa campur tangan manusia manapun, maka ajaran Islam tidaklah edentik dengan sistem hidup ciptaan manusia manapun dan sampai kapanpun, secara kasat mata mungkin ada yang terlihat sama, namun secara hakiki akan terlihat jelas perbedaan yang mendasar. Jadi meskipun, banyak ajaran agama-agama ciptaan manusia didunia ini yang mengajarkan tentang kebaikan, dan tidak sedikit pemikiran

dan ajaran

berbudaya yang mengajarkan moralitas dengan berbagai pernak-perniknya, namun Islam berbeda dengan semua itu. Tidaklah sama larangan berbuat zina yang ditegaskan Allah SWT dalam Islam dengan larangan berbuat zina yang diajarkan agama lain, tidaklah sama perintah

70

berbuat baik kepada kedua orang tua dengan ajaran menyantuni kedua orang tua yang ditanamkan dalam pendidikan moralitas, dan tidak sama menghargai sesama manusia yang diajarkan Islam dengan menghargai antar sesama yang diajarkan para tokoh adat dan para filosofis. Islam merupakan sistem yang ditetapkan Allah SWT sesuai dengan fitrah manusia secara pasti, karena itu dia mengakar dari penciptanya, bertujuan untuk menyelamatkan manusia dari dunia sampai akhirat, ajaran itu selaras dengan kehidupan manusia di muka bumi ini sebagai khalifah yang diamanahkan Allah pada manusia. Firman Allah SWT :

                          “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. (Q.S. Al-Rum (30) : 30).

Sedangkan kebaikan yang diajarkan agama-agama ciptaan manusia, maupun agama samawi

yang sudah dirubah oleh manusia, ajaran kebaikan itu tidak

disandarkan kepada kepastian akan kebenaran yang sesuai dengan fitrah manusia, karena hanya didasarkan pada praduga, pengalaman dan analisa yang bersifat terbatas. Sehingga kebaikan itu hanya terlihat secara zahirnya saja, namun hakikatnya belum tentu baik secara mendasar dan hakiki.

71

Di sinilah salah kaprahnya para pengusung pluralisme yang mengatakan semua agama itu baik, dan kebaikan itu milik seluruh manusia, sehingga perbuatan baik itu bisa bersumber dari manapun. Maka Islam dalam pandangan mereka adalah salah satu di antara sekian banyak ajaran kebaikan yang ada dibumi ini. Pemahaman pluralime yang kebablasan seperti ini jelas musyrik yang nyata, menyamakan apa yang bersumberkan dari ilmu Allah dengan karangan manusia. Mengakui pendapat manusia yang tidak meyakini adanya hari pembalasan, yang hidupnya hanya untuk kesenangan dunia, lalu disederajatkan dengan ilmu Allah yang Maha Mengetahui, yang telah menciptakan bumi dengan segala isinya. Sungguh kelancangan yang tidak bisa ditolerir. Dalam Islam hanya ada satu kebenaran dan satu sistem hidup yang diakui baik dan benar, diluar itu semua adalah kebatilan, kejahiliyah dan nafsu manusia. Kebenaran dalam Islam adalah kebenaran yang muthlak bersumberkan dari Allah SWT. Karena Dia Maha Mengetahui yang ghaib dan yang nyata. Sementara di luar itu adalah kebatilan, karena hanya berdasarkan perkiraan, perasaan, pengalaman dan analisa terbatas, kalaupun kebenarannya terlihat sama dengan apa yang ditetapkan Allah dalam wahyuNya, itu hanyalah kebetulan terlihat sama namun hakikatnya pastilah berbeda. Begitulah, sistem hidup dalam Islam hanya satu, diluarnya adalah sistem jahiliyah. Tidak ada satupun sistem hidup yang sempurna selain Islam, sistem hidup yang dibuat manusia yang kurang berilmu, yang dirinya serba terbatas, tentu saja tidak bisa dipersandingkan dengan sistem yang telah ditetapkan Allah untuk manusia sesuai fitrahnya. Sesuai dengan alamnya, karena semua telah ditetapkan sesuai dengan qadarnya baik alam nyata maupun alam ghaib. Dengan demikian di saat seseorang telah mengucapkan syadatain, menyatakan Islam sebagai al-Dinnya, menerima Allah sebagai Rabnya, siap menjadi hambaNya, maka disaat itu dia mesti merubah seluruh pola hidup dan gaya hidupnya dalam 72

menilai sesuatu, karena Allah tidak akan menerima kebenaran lain selain Islam dan sistem lain selain sistem Islam. Allah SWT berfirman :

                             “ Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (Q.S. Ali Imran (3) : 19).

              “Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi “. (Q.S. Ali Imran (3) : 85). Al-Din adalah nizham al-hayah yang mengandung pengertian aturan-aturan hidup yang mengikat seseorang, maka seorang muslim yang menyerahkan hidupnya dalam al-Din al-Islam berarti telah menyerahkan seluruh hidupnya dalam Ikatan ketentuan Islam. Sebagai ketentuan yang ditetapkan langsung oleh Allah SWT tanpa campur tangan manusia. Islam adalah satu-satunya sistem hidup yang mengantarkan manusia kepada keselamatan dan kemuliaan sebagai manusia, meninggalkan Islam ataupun mencoba merubah Islam dari keberadaannya yang murni sebagai ajaran Ilahiyah, justru akan membuat manusia itu terjemus menjadi makhluq yang rendah dan hina, bumi dan

73

langit akan rusak, karena kebenaran

yang berlandaskan hakiki dirubah menjadi

kebenaran yang bersifat nisby. Perhatikan firman Allah SWT:

                                                                                                               “Sesungguhnya Telah kami turunkan kepada kamu sebuah Kitab yang di dalamnya terdapat sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka apakah kamu tiada memahaminya? Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri yang zalim yang teIah kami binasakan, dan kami adakan sesudah mereka itu kaum yang lain (sebagai penggantinya). Maka tatkala mereka merasakan azab kami, tiba-tiba mereka melarikan diri dari negerinya.

74

Janganlah kamu lari tergesa-gesa; kembalilah kamu kepada nikmat yang Telah kamu rasakan dan kepada tempat-tempat kediamanmu (yang baik), supaya kamu ditanya Mereka berkata: "Aduhai, celaka kami, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang zaIim". Maka tetaplah demikian keluhan mereka, sehingga kami jadikan mereka sebagai tanaman yang Telah dituai, yang tidak dapat hidup lagi. Dan tidaklah kami ciptakan Iangit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. Sekiranya kami hendak membuat sesuatu permainan, (isteri dan anak), tentulah kami membuatnya dari sisi Kami. jika kami menghendaki berbuat demikian, (tentulah kami Telah melakukannya). Sebenarya kami melontarkan yang hak kepada yang batil lalu yang hak itu menghancurkannya, Maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. dan kecelakaanlah bagimu disebabkan kamu mensifati (Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya). Dan kepunyaan-Nyalah segala yang di langit dan di bumi. dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tiada (pula) merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada henti-hentinya.” (Q.S. Al-Anbiyak (21) : 10-20).

                  “Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya kami Telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Quran) mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (Q.S. Al- Mukminun (23): 71).

75

Pada dasarnya manusia secara fitrah telah diciptakan selaras dengan alam yang telah ditetapkan Allah sesuai dengan kebutuhan kehidupan sebagai manusia, maka jauh di dalam diri manusia itu, dia mengenali kebenaran Rabul ‘izzah yang berada dalam fitrahnya. Itulah kebenaran hakiki, yang bersifat tetap dan universal. Kebenaran yang tidak sedikipun menyimpang dan bertabrakan dengan kondisi alam kehidupan manusia. Karena itu manusia yang tidak mengikuti dan menggunakan pontensi fitrah yang telah Allah berikan kepadanya, lalu dia mengikuti hawa nafsu, maka akan tertutup kebenaranan Ilahiyah itu untuknya. Dan Allah menjatuhkan derajat manusia itu lebih rendah dari derajat binatang sekalipun. Allah Ta’ala menyatakan dalam FirmanNya:

                                  “Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai”. (Q.S. Al- A’raaf (7) : 179). Kebenaran yang disandarkan kepada hawa nafsu, justru akan membuat pertentang dengan alam kehidupan, karena telah menyimpang dari asas penciptaan manusia dan alam yang telah ditetapkan oleh Sang pencipta.

76

Maka inilah di antara penyebab kegelisahan dan keresahan serta berbagai konflik terjadi antara sesama manusia, baik secara indvidu, keluarga dan masyarakat, bahkan pertentangan dengan alam disekitarnya, terjadi kerusakaan pada hutan, laut, air , udara, dan semua fasilitas kehidupan yang Allah anugrahkan untuk manusia. Karena eksploitasi manusia yang berdasarkan nafsu melawan fitrahnya sebagai hamba Allah. Perhatikanlah Firman Allah swt yang menyatakan:

                “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar) ”. (Q.S. Al-Rum (30) :41). Jadi berIslam itu artinya menyelaraskan diri dengan alam dimana dia hidup, caranya adalah dengan mengikuti petunjuk dalam Kitabullah, dan memperhatikan penjelasan NabiNya berupa sunnah Rasulullah SAW. Bukan dengan merasa, mengira dan membiarkan akal ataupun nalar secara liar berkembang untuk mengerti dan memahami gejala alam untuk kehidupan. Karena selama tanpa bimbingan wahyu maka semua hasil penalaran itu hanyalah pikiran semu dan kebenaraan palsu yang justru akan merusak, karena tidak akan sesuai dan selaras dengan alam. Jika kita telah memahami hal ini secara baik, maka kita akan mengerti maksud Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Allah Rabul ‘izzah telah memerintahkan kita untuk menyeru seluruh manusia agar menyembah kepada Allah semata, karena Dia yang telah menciptakan kita sebagai manusia, menyeru mereka berdasarkan kecintaan dan kasih sayang kita sebagai sesama makhluq yang telah dimuliakan Allah, kemuliaan adalah karena mengikuti petunjukNya, bukan karena merasa berpotensi.

77

Dari paparan di atas menjadi jelaslah akan kekeliruan sebahagian besar manusia yang menganggap dirinya tetap mulia dengan mempertahankan kebebasan liar dalam melakukan apa saja, dan berbuat apa saja. Kebebasan yang seperti itu justru merupakan kejahatan kemanusiaan yang tanpa sadar telah menjerumuskan dirinya menjadi makhluq yang lebih rendah dari binatang. Mendakwahkan Islam artinya, mengkampanyekan kepada seluruh manusia agar menjadi makhluq yang selaras dengan fitrahnya, menyuarakan Islam artinya menyerukan agar manusia tidak mengikuti kebenaran hawa nafsu, mengingatkan manusia dari tipu muslihat manusia lainnya yang telah diperbudak dan ditipu oleh hawa nafsu,

maka mendakwahkan Islam adalah memerdekakan manusia dari

pengikut kepalsuan kepada kebenaran secara hakiki, sesuai dengan fitrah manusia, mengabdikan diri semata kepada Allah yang telah menciptakan manusia sebagai makhluq yang sempurna dan melengkapinya dengan memberikan semua fasilitas kehidupan di dunia ini.

Umat Islam Adalah Manusia Pilihan. Tidak semua manusia mau menerima Islam sebagai sistem hidup, tidak semua manusia terbuka hatinya dengan lapang dada menerima Islam sebagai aturan hidup, hal ini boleh jadi disebabkan berbagai faktor, disamping tidak semua manusia mendapat penjelasan mengenai al-Islam, dan tidak sedikit yang juga tertutup oleh kesombongan dan keengganan mereka. Oleh karena itu mereka yang terbuka hatinya untuk menerima Islam sebagai sistem hidup adalah di antara manusia pilihan Allah SWT. Hal ini Allah nyatakan dalam firmanNya:

78

                        “Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar”. (Q.S. Al-Faathir (35) : 32). Manusia yang dipilih Allah SWT sebagai pengemban amanah untuk menjalankan misi kemanusiaan, dengan memanusiakan manusia sesuai dengan tujuan penciptaannya, mengajak seluruh manusia untuk menghambakan diri hanya kepada Allah yang menciptakan alam semesta, sekaligus membebaskan diri dari perbudakan sistem yang diciptakan manusia, membebaskan diri dari kebatilan yang berbungkus dengan berbagai macam nama dan atribut yang menipu manusia, menuju keterikatan atas kebenaran Ilahiyah yang hakiki. Allah menyatakan dalam FirmanNya:

                          “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (Q.S. Ali Imran (3): 110).

79

Keistimewaan itu adalah karena amanah dan tugas amaliyah yang disematkan untuk ummat Muhammad SAW, yakni mengeluarkan manusia dari alam kegelapan, kejahiliyahan dan kemusyrikan menuju alam penuh cahaya, alam Islamiyah. Dinamakan alam kegelapan karena menilai sesuatu dengan cara meraba-raba, mengira-ngira, sedangkan alam penuh cahaya, melihat sesuatu dengan kepastian, karena diperlihatkan dengan jelas oleh Allah Yang Maha Mengetahui. Itulah sebabnya ummat Islam identik dengan ummat yang membawa kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Kebaikan Islam tidak saja mengajak manusia untuk berbuat yang ma’ruf namun juga sekaligus melarang manusia dari berbuat kemungkaran dan kemaksiatan kepada Allah SWT. Hasan al-Bana dalam Kitabnya Majmu’ al-risalah mengatakan, ada tiga hal penting yang telah berhasil ditanamkan Rasulullah SAW dalam setiap hati sanubari para sahabat dan itu diwarisi oleh setiap pribadi muslim dari generasi ke generasi. Pertama; tertanam kuat dalam hati mereka bahwa ajaran yang disampaikan oleh Rasulullah SAW adalah satu-satunya al-haq, risalahnya merupakan risalah yang paling baik, jalannya adalah jalan yang paling benar, syariatnya adalah system kehidupan yang paling lengkap yang dapat mewujudkan kebahagiaan bagi seluruh manusia, sedangkan diluarnya adalah kebathilan, hawa nafsu, kehinaan, keburukan dan kesengsaraan. Perhatikanlah Firman Allah SWT:

                  43. Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang Telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus.

80

44. Dan Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar adalah suatu kemuliaan besar bagimu dan bagi kaummu dan kelak kamu akan diminta pertanggungan jawab. (Q.S. Az-Zukhruf (43): 43-44) Perhatikan dan renungkan juga Firman Allah SWT :

                        77. Dan Sesungguhnya Al Qur'an itu benar-benar menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman. 78. Sesungguhnya Rabmu akan menyelesaikan perkara antara mereka dengan keputusan-Nya, dan dia Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. 79. Sebab itu bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya kamu berada di atas kebenaran yang nyata. (Q.S. An-Naml (27) : 77-79). Allah telah menetapkan syariat untuk Umat Muhammad SAW dan memerintahkannya untuk melaksanakan syariat itu, serta mengingatkan untuk tidak mengikuti hawa nafsu mereka yang tidak mengetahui, tidak mengimani ayat-ayat Allah sebagai keyakinan hidup mereka. Ataupun ide pemikiran para pembangkang, perusak dan penghancur aqidah umat. Perhatikan Firman Allah SWT :

             

18. Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui. (Q.S. Al-Jatsiyah (45): 18).

81

Umat Islam meyakini ayat ini, mesti menjadikannya darah dan daging mereka. Sehingga mereka tidak pernah keluar dari aturan syariat ini, mereka selalu menyelesaikan persoalan di antara mereka dengan hukum-hukum Allah dan menyerahkannya kepada keputusan RasulNya Muhammad SAW. Hal ini Allah tegaskan dalam FirmanNya:

            

      

65. Maka demi Rabmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (Q.S. An-Nisa’ (4) :65) Mereka meyakini hal ini, menancapkannya dalam jiwa mereka, memenuhi pikiran dan seluruh relung hati mereka, sehingga mereka bergerak dan beraktifitas di atasnya, dan berkomitmen dengannya. Kedua; Telah tertancap dalam hati para sahabat dan generasi pelanjut mereka bahwa selama mereka barada di atas kebenaran yang telah digariskan Allah dan RasulNya, maka mereka berada dalam cahaya yang terang benderang, berada dalam keselamatan dan kemuliaan. Sedangkan bagi mereka yang menyimpang, menyalahi aturan yang telah ditetapkan, mereka berada dalam kegelapan, kesengsaraan dan kehinaan. Selama mereka berpegang teguh dengan petunjuk dari Allah Sang pencipta langit dan bumi, maka mereka menempatkan diri mereka sebagai manusia terbaik, manusia yang pantas dan layak di dengar kata-katanya, dan di dengar nasehatnya.

82

Mereka layak untuk menjadi imam dalam memberikan ajaran-ajaran kebenaran dalam menuntun manusia ke arah kebenaran dan pengabdian. Selama mereka berada di atas kebenaran yang telah di tetapkan Pengatur alam semesta, mereka dihadapan manusia bagaikan seorang guru dihadapan muridnya, yang mencurahkan seluruh kasih sayangnya, membimbing, mendidik, meluruskan, mengarahkan mereka menuju kebaikan dan keselamatan serta menunjuki manusia kepada jalan kebenaran. Prinsip ini bukan merupakan kepongahan dan keangkuhan, bukan pula fanatik buta sebagaimana kalimat busuk yang menipu, yang dengan sengaja dilontarkan para perusak dan penebar virus kesesatan. Tapi ini adalah prinsip yang dikokohkan AlQuran nan mulia, ditetapkan oleh Allah Sang penguasa alam semesta. Yang wajib tertanam kuat dan mengakar dalam jiwa, sehingga tak pernah ragu dan bimbang sedikitpun akan keyakinan dan kebenaran yang di sampaikan. Allah menyatakan dalam berfirmanNya:

         

  

110. Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah... (Q.S. Ali-Imran (3) : 110). Itulah statemen Allah atas umat Muhammad SAW, sebuah statemen untuk dijadikan keyakinan dalam mengemban misi mulia, menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, mengajak manusia untuk mengimani Allah dan tunduk di bawah aturanNya. Umat Islam yang berada di atas aturan Allah juga di nobatkan oleh Allah

83

sebagai umat yang adil, umat yang akan menjadi saksi atas tingkah laku manusia. Itu Allah nyatakan dalam FirmanNya;

         

 

143. Dan demikian (pula) kami Telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu… (Q.S. Al-Baqarah (2): 143) Maka dengan kemuliaan ini, Allah memerintahkan mereka untuk berjuang mendakwahkan Islam, mensyiarkan Islam, dan mengajak seluruh manusia untuk menjadi hamba Allah dan hanya tunduk di bawah aturanNya. Sebagai bentuk rasa syukur atas karunia Allah yang telah memilih dirinya, membuka pintu hatinya menerima Islam, karena betapa banyak manusia yang Allah ciptakan tapi tidak terbuka pintu hatinya untuk menerima Islam. Allah Berfirman:

             

 

78. Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. dia Telah memilih kamu dan dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan… (Q.S. Al-Hajj (22): 78). Dan FirmanNya: 84

          

          

 

32. Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar. (Q.S. Al-Fathir (35): 32). Keyakinan sebagai umat pilihan, umat terbaik, manusia mulia disisi Allah ‘azza wa jalla selama berada di atas ajaran dan kebenaran Islam, tertanam kuat dalam jiwa sehingga tidak memberi peluang sedikitpun kepada musuh-musuh Islam untuk mengoyahkannya, apalagi membuat keraguan terhadapnya. Keyakinan untuk berpegang teguh dengan kebenaran mewarnai kehidupan umat Islam, yang terus terwarisi dari generasi ke generasi yang dirahmati Allah SWT dengan petunjuk dan pertolonganNya. Ketiga; Tertancap kuat dalam jiwa para sahabat dan generasi yang mengikuti mereka dengan benar bahwa selama mereka berada dalam kebenaran Islam, itulah satu-satunya kebenaran, diluarnya adalah perusak dan kesengsaraan, kemudian mereka yakin dan bangga sebagai umat pilihan Allah yang dipilih untuk membela, memperjuangkan dan mengajarkannya terhadap manusia lainnya, sehingga mereka berjihad di atasnya, maka Allah akan memberikan pertolongan kepada mereka, dan menurunkan para malaikatNya untuk membantu perjuangan mereka.

85

Mereka yakin bahwa Allah telah memilih mereka untuk memperjuangkan kebenaran, dan Allah akan selalu melindungi, mengarahkan, dan menolong mereka. Mereka yakin bahwa keteguhan dan kepasrahan kepada aturan Allah akan meneguhkan jiwa dan menguatkan diri dari semua tantangan dan rintangan yang pasti dihadapi. Musuh-musuh Allah dan RasulNya dari kalangan manusia kafir, fasiq dan munafiq pasti akan selalu menginginkan kesengsaraan dan menghalangi dakwah dan jihad mereka. Mereka yakin jika tentara bumi tidak mau membantu perjuangan mereka, maka Allah SWT akan menurunkan tentaraNya dari langit, menjaga dan memelihara mereka, sehingga mereka tenang meskipun dalam kesempitan dan kesulitan, karena Allah selalu bersama mereka. Allah menghibur mereka dengan FirmanNya:





30.





































Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Rab kami ialah Allah"

Kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, Maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah yang Telah dijanjikan Allah kepadamu". (Q.S. Al-fushilat (41): 30).

86

Mereka yakin bahwa keimanan dan keteguhan mereka di atas aturan Islam sebagai aturan Rabbaniyah yang membuat mereka berhak tingal di bumi Allah ini. Allah telah mewariskan bumi dan segala isinya ini hanya untuk mereka yang tunduk dan menyerahkan hidup mereka kepada Allah, sedangkan manusia kafir, munafiq dan fasiq adalah pencuri, pembangkang sehingga mereka berbuat sewenang-wenang di muka bumi Allah ini. Maka Allah memurkai mereka dan memastikan azab Jahannam menanti mereka. Inilah ayat Allah Rabul ‘izzah yang mencelup dalam hati sanubari para sahabat, membuat mereka bangga dan percaya diri untuk menebarkan Islam dan mendakwahkan Islam ke seluruh pelosok bumi. Allah menyatakan dalam FirmanNya:

            128. …Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. dan kesudahan yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa." (Q.S. Al-A’raf (7) : 128).

             105. Dan sungguh Telah kami tulis didalam Zabur sesudah (Kami tulis dalam) Lauh Mahfuzh, bahwasanya bumi Ini dipusakai hamba-hambaKu yang saleh. (Q.S. AlAnbiyak (21): 105).

87

Mereka yakin atas amanah Allah SWT yang telah memilih mereka sebagai khalifahNya, dalam mengatur dan menundukkan manusia di atas aturan dan syariatNya, selalu di tanamkan dan di dengungkan kepada para sahabat dan umat Islam dari generasi kegenerasi, sehingga mereka mengorbankan seluruh apa yang mereka miliki untuk dapat merealisasikan apa yang telah dijanjikan Allah dalam FirmanNya:

                                         55. Dan Allah Telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi, sebagaimana dia Telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Telah diridhai-Nya untuk mereka, dan dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, Maka mereka Itulah orangorang yang fasik. (Q.S. An-Nuur (24): 55). Tertancap dalam relung jiwa yang ditanamkan melalui proses Tarbiyah Rabbaniyah bahwa dalam merealisasikan cita-cita, menundukkan seluruh manusia dalam kehidupan Islamiyah, membutuhkan perjuangan dan pengorbanan, namun

88

setiap pengorbanan akan memperoleh balasan yang tidak terhingga dari Rab mereka. Mereka meyakini dan tidak sedikitpun ragu akan janji Allah dalam FirmanNya:

                                           111. Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu Telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang Telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar. (Q.S. At-Taubah (9) : 111). Mereka sangat meyakini bahwa sorga Allah mesti ditebus dengan perjuangan dan amal shaleh, sebagaimana yang telah ditempuh Rasulullah SAW dan para sahabatnya. Inilah keyakinan generasi terbaik umat ini, ayat yang selalu memberikan semangat bagi mereka untuk selalu konsisten dengan ajaran Allah SWT, mengamalkan sebagaimana Rasul SAW dan para sahabat mengamalkannya, meskipun harus mengalami kesulitan dan kepahitan, ancaman dan rintangan, namun pertolongan Allah SWT pasti akan datang kepada mereka. Allah SWT berfirman:

89

                                 214. Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat. (Q.S. Al-Baqarah (2): 214).

                    47. Dan Sesungguhnya kami Telah mengutus sebelum kamu beberapa orang Rasul kepada kaumnya, mereka datang kepadanya dengan membawa keteranganketerangan (yang cukup), lalu kami melakukan pembalasan terhadap orang-orang yang berdosa dan kami selalu berkewajiban menolong orang-orang yang beriman. (Q.S. Ar-Ruum (30): 47). Inilah pemahaman para sahabat, inilah pemahaman shalafus shaleh, inilah pemahaman Islam yang benar, yang didasarkan kepada dalil-dalil yang kuat, menjadi prinsip dan keyakinan yang qath’i (pasti), yang tidak luntur oleh waktu dan tidak akan layu oleh berbagai gelombang badai kehidupan.

90

Islam Dan Perbedaan Kelompok Sebagaimana yang telah diungkapkan pada pembahasan terdahulu bahwa sewaktu seseorang mengucapkan syahadatain, itu bermakna bahwa dia berlepas diri dari semua kebiasaan dan ikatan apapun selain ikatan dan kebiasaan yang dibenarkan oleh Allah SWT. Seluruh ajaran dan petunjuk

tentang kehidupan yang tidak

bersumberkan dari Allah harus ditolak dan dihilangkan dari hidup dan pemikiran seorang muslim. Berdasarkan pemahaman ini, dapat dinyatakan, adalah salah besar mencampuradukkan tradisi jahiliyah dengan kehidupan Islam. Bukanlah dinamakan Islam yang baik seseorang yang meyakini Allah sebagai RabNya dan Muhammad sebagai RasulNya,

sementara

dia

mempertahankan

tetap

membuka

aurat

karena

mengedepankan tradisi, karir atau menjaga budaya, tetap mempertahankan dan melanggengkan sesuatu yang berbau syirik dan mengubar syahwat yang sudah jelas dan tegas dilarang oleh Allah SWT. Perhatikan firman Allah SWT:

                        “Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan

Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".( Q.S. Al-Baqarah (2) :170). Di sini terlihat jelas anehnya cara berpikir para pemikiran dan para penyeru pembaharuan aliran westernisasi (barat), yang meneriakkan syariah Islam tidak lagi relevan dengan kehidupan zaman moderen, namun dilain pihak terus memuji, 91

melestarikan dan menyanjung budaya jahiliyah di tengah ummat Islam, yang hidup di zaman anismisme dan budaya kemusyrikan. Syariat Islam memang diturunkan 14 abad yang silam, namun dia adalah merupakan wahyu Allah, Rabul ‘izzah yang telah menciptakan bumi dan langit, Yang menciptakan waktu dan masa. Dia telah menetapkan syariat Islam sebagai syariat terakhir. Maka

dengan sendirinya pasti akan tetap relevan dengan

perkembangan zaman sampai kapanpun, kecuali jika melepaskan keyakinan bahwa syariat itu bukan dari Allah SWT. Na’uzubillah Ada juga yang memberikan tuduhan dengan membangun pemahaman bahwa fiqh itu merupakan pikiran ulama klasik tempo dulu, Sehingga tidak lagi relevan untuk zaman sekarang. Pemikiran ini jelas bukti kemunafikan dengan memutar-mutar lidah mereka, karena pada dasarnya mereka sangat memahami bahwa fiqi bukanlah rekayasa para ulama dengan artian murni muncul dari alam pikiran seorang ulama. Tetapi dia dinamakan karena fiqh lahir dari hasil pemahaman para ulama terhadap Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SAW. Tentu saja pemahaman nash yang berkaitan dengan tempat, situasi dan kondisi akan berbeda dengan pemahaman yang bersifat universal, semua telah digariskan dalam koridor qath’iyah dan zanniyah. Kita tahu betul bahwa para liberalis dan oreantalis memahami soal itu, namun memang niat busuk dan jiwa yang kosong dari keimanam, santer tercium dari aroma pola “pikir nyeleneh” yang mereka lontarkan. Jika

saja

mereka

mau

mengedepankan

profesionalisme

dalam

mengetengahkan pemikiran mereka, berangkat dari cara nalar yang jernih dan jauh dari tendesi dan arogansi, pasti setiap pikiran dari manapun dan dari sisi manapun akan tetap mengakui kebenaran Islam. Dan Islam adalah ajaran yang independen tidak menerima kebenaran lain selain dari Islam itu sendiri dan tidak membutuhkan pembenaran dari siapapun. 92

Dari sinipun perlu ditegaskan bahwa Islam itu hanya satu, bukan warna-warni, perbedaan pendapat dalam Islam memang dibenarkan, dimana ada ruang yang diberikan oleh Allah untuk mengadakan perbedaan pemahaman, karena berkait dengan kondisi, situasi dan lingkungan, ataupun kasus yang bersifat persial, Meskipun begitu harus tetap berada dalam koridor dan acuan yang pasti, baku dan tidak berubah. Maka sangatlah diterima perbedaan yang terjadi dalam bidang furu’iyah (persial), sebaliknya tidak akan pernah kita terima perbedan itu dalam persoalan pokok dan prinsip-prinsip Islam. Maka

organisasi

bukanlah

menunjukkan

perbedaan

Islam,

NU,

Muhammadiyah, Persis, Hizbut Tahrir, Majlis Mujahidin, JAT, FPI dan lain sebagainya bukanlah warna-warni Islam di tanah air, namun itu adalah wadah bagi mereka untuk memperjuangkan Islam dan tegaknya Syari’at Islam. Terlepas berbedanya cara mereka dalam memandang strategi yang digunakan untuk sampai kearah itu, namun mereka tidak akan berbeda dalam hal prinsip dan pokok-pokok ajaran Islam. Dan setiap perbedaan haruslah merujuk kepada Al-Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Perhatikan firman Allah SWT :

                               “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,

93

Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (Q.S. Al-Nisa’ (4): 49). Dari penjelasan ini, sangat kita sadari pentingnya pelurusan pemikiran Islam secara menyeluruh, bahwa tidak satupun aliran yang membenarkan memahami dan mengamalkan Islam menurut selera, dan pilihan hawa nafsu, selain aliran sesat dan menyimpang. Dan usaha sistematis yang memutar balikkan ajaran Islam sehingga menjadi sama dengan ajaran ciptaan manusia, adalah usaha yang harus “diperangi” dan dihentikan demi izzah dan kehormatan Islam sebagai ajaran Ilahiyah. Kebolehan berada dalam berbagai organisasi, bukan berarti kebolehan untuk memahami Islam sesuai dengan selera masing-masing. Namun diwajibkan berada dalam satu pemahaman prinsip, boleh berbeda dalam furu’iyah, tetapi wajib satu dalam masalah pokok yang merupakan prinsip ajaran. Itulah yang dimaksud perbedaan adalah rahmat. Diluar itu adalah laknat, sesat dan pembusukan. Maka perubahan total bagi setiap muslim merupakan kewajiban syar’i, wajib bagi dirinya meninggalkan semua kecendrungan pemikiran jahiliyah, diluar wahyu adalah jahiliyah, wajib bagi dirinya untuk menolak memperturutkan dan mengikuti setiap keinginan hawa nafsu. Dan perhatikanlah setiap apa yang diluar syariat adalah hawa nafsu. Sehingga shibghah Allah melekat dalam jiwa, dan mengantarkan kita menjadi pribadi paripurna, yang disegani manusia mukmin lainnya, dirindukan sorga dan dihormati para malaikat. Dan tidak dapat dikatakan seorang mukmin yang masih mencampur-adukkan, pemikiran, tradisi, gaya hidup, antara Islam disatu sisi dan jahiliyah disisi lain. Karena antara keburukan dan kebaikan apabila dicampur hasilnya adalah keburukan. Dari paparan ini sangat jelas, jika semua organisasi Islam, pasti bertujuan untuk mengajak anggotanya mengabdi kepada Allah semata, karena jika tidak atau masih

94

bercampur dengan yang lain, berarti itu bukan organisasi Islam, meskipun memberi label Islam pada nama organisasinya. Dengan demikian dapat kita pastikan bahwa arah jama’ah Islam, ormas Islam, dan partai Islam pastilah

kearah persatuan ummat dan kehormatan ummat. Dan

menghambakan diri semata kepada Allah. Maka jika ada yang tidak mengikuti arah ini, dapat kita pastikan bahwa mereka hanya memperalarat nama Islam, menipu umat Islam untuk kepentingan yang hina dan rendah. Renungkannlah wahai saudaraku…!

Islam Bukan Agama keturunan Islam adalah Dinullah, yang mesti dipahami sebagai aturan yang bersumberkan dari Sang Pencipta manusia, Sebagai Dinullah Islam bersih dari campur tangan manusia dalam menetapkan aturan-aturannya. Meskipun ada peluang pemikiran manusia itu bukan berarti berasal dari inisiatif akal mansuia, tetapi adalah sebagai upaya akal manusia dalam memahami teks wahyu yang memberikan peluang kepada akal untuk memahaminya selaras dengan situasi dan kondisi yang mereka hadapi.. Artinya upaya akal manusia di dalam memahami wahyu yang memang harus disesuaikan dengan kondisi manusia, sehingga wahyu Allah yang dinyatakan dengan bentuk yang bersifat universal sehingga membutuhkan penaran untuk pengaplikasian dalam sisi persialnya (ijtihad). Adapun upaya nalar yang tidak disandarkan kepada wahyu, yang hanya mereka-reka dengan berinisiatif tanpa landasan dari wahyu Allah SWT bukanlah di sebut ijtihad tapi mengada-adakan sesuatu atas nama Allah.

95

Maka oleh karena itu setiap bentuk ajaran yang tidak ada dasarnya dari wahyu (Al-Quran maupun sunnah ) wajib untuk di tolak dan dijauhi. Islam menyebutnya sebagai sesuatu hal yang bid’ah. Sangat dipahami Islam lahir empat belas abad yang silam , melintasi sejarah yang panjang dan perjalanan yang sangat jauh, melintasi benua dan samudra, dan melewati berbagai generasi dengan latar belakang sejarah yang berbeda-beda. Maka tidaklah mengherankan jika banyak ragam kebiasaan dan bentuk budaya yang berbeda yang di alami umat Islam di berbagai tempat dan daerah. Namun Islam sebagai Agama Ilahiyah dijaga kesuciannya oleh Allah SWT dengan menjaga sumbernya yakni Al-Quran. Tidak satupun huruf yang tertukar dan kalimat yang hilang dari wahyu Allah ini dari semnjak di turunkan hingga akhir zaman, berbagai cara memang telah dilakukan oleh musuh-musuh Allah untuk mengelincirkan umat Islam dari pedoman hidup mereka. Namun Allah membuktikan bahwa Al-Quran ini dijaga sampai hari berbangkit ke orisinilannya. Allah SWT berfirman:

       

9. Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya”. (Q.S. Al-Hijr (9): 9) Namun pemahaman orang terhadap wahyu Allah terkadang berbeda, tentu saja perbedaan itu ada yang masih bisa dalam koridor yang di tolerir (wajar) yaitu dalam bidang yang zhanniyah, namun tidak ada toleransi perbedaan dalam hal yang qath’iyah. Itulah karakteristik Islam semenjak datang bersama Rasulul yang mulia Muhammad SAW.

96

Sebagai umat Islam akhir zaman khusunya di Indonesia, sangat merasakan perbedaan dan keanekaragaman pemahaman Islam yang ada, bahkan hal itu muncul dengan berbagai bentuk organisasi sebagai wujud eksistensi pemahaman mereka terhadap Islam yang di yakini dan perjuangan terhadap pemahaman mereka tersebut. Namun yang menjadi permasalahan adalah bahwa beragama yang hanya berdasarkan keturunan, ikut-ikutan, tanpa dalil dan pemahaman yang lurus dari wahyu Allah dapat mejerumuskan manusia ke dalam jurang api neraka. Perhatikan Firman Allah SWT:

              

          

104. Apabila dikatakan kepada mereka: "Marilah mengikuti apa yang diturunkan Allah dan mengikuti Rasul". mereka menjawab: "Cukuplah untuk kami apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". dan apakah mereka itu akan mengikuti nenek moyang mereka walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui apa-apa dan tidak (pula) mendapat petunjuk?. (Q.S. Al-Maidah (5): 104).

Allah SWT memberikan peringatan kepada kaum muslimin agar jangan mengikuti langkah para pengikut ajaran Agama hanya karena keturunan mereka. Tanpa ilmu tanpa petunjuk, dalilnya hanyalah karena “begitulah yang dikerjakan dari nenek moyang mereka dari dulu”. Sehingga fanatic terhadap peninggalan ajaran dari

97

nenek moyang mereka ini tidak lagi berguna bagi mereka ilmu dan tidak berguna lagi bagi mereka akal fikirannya, Perhatakan Firman Allah SWT dalam ayat yang lain dinyakatan:

               

       

170. Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang Telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami Hanya mengikuti apa yang Telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (Q.S. AL-Baqarah (2): 170). Mereka yang fanatik tanpa ilmu, berIslam hanya karena keturunan tanpa mau mengkaji dan mentela’ah apa yang telah dilakukan, pekak telingan dan buta mata hatinya, serta buntu otaknya untuk mendengarkan seruan agar melaksanakan ajaran Islam sesuai dengan apa yang diturunkan Allah SWT dan telah di contohkan oleh Rasulullah SAW. Mereka menjawab tidak! “Cukup bagi kami ajaran yang telah ditinggalkan nenek moyang kami, ini telah kami laksanakan turun temurun, inilah dulu yang di lakukan oleh kiyai ini, kiyai itu semenjak zaman dulu-dulunya”. Sehingga semua dalil AlQuran dan sunnah yang shahih tidak berguna bagi mereka. Bahkan ajaran yang tidak masuk akal sekalipun tetap saja mereka pertahankan sebagai ajaran yang mereka nisbatkan ke pada ajaran Islam.

98

Inilah kondisi masyarakat Islam keturunan yang hanya berIslam berdasarkan warisan tanpa ilmu, tanpa petunjuk selain warisan nenek moyang, tidak peduli apakah ajaran itu sesuai sunnah atau tidak, merupakan ajaran Islam ataukah ajaran luar Islam yang tercampur ke dalam tradisi atau budaya Islam, mereka tidak peduli,

yang

penting telah dilakukan bertahun-tahun dan turun –temurun. Ajaran nenek moyang mereka itu telah menjadi Iblis dan syetan yang menyesatkan bagi Iman dan Islam mereka, mereka yang seharusnya tunduk di bawah aturan Rabbaniyah, menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai pedoman dalam melaksankan Islam, diputar arahnya oleh syetan dengan faham fanatisme yang mempertuhankan tradisi dan dituntun untuk melestarikan tradisi itu meskipun bertentangan dengan ajaran yang berdasarkan nash yang qath’I dari Al-Quran dan sunnah. Allah SWT menyatakan dalam FirmanNya:

              

       

21. Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah". mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". dan apakah mereka (akan mengikuti bapakbapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? (Q.S. Lukman (31): 21).

99

Boleh jadi di dunia ini mereka menyombongkan diri, karena mata, telinga dan hati mereka telah tertutup virus fanantisme ajaran tradisi nenek moyang mereka ini, namun nanti di akhirat mereka menangis meratapi nasib mereka dan bahkan menyalahkan nenek moyang mereka yang mereka nilai telah menjerumuskan mereka kedalam api neraka itu. Allah menceritakan kisah mereka nanti di akhirat dalam FirmanNya:

              

           

            

   

38. Allah berfirman: "Masuklah kamu sekalian ke dalam neraka bersama umat-umat jin dan manusia yang Telah terdahulu sebelum kamu. setiap suatu umat masuk (ke dalam neraka), dia mengutuk Kawannya (menyesatkannya); sehingga apabila mereka masuk semuanya berkatalah orang-orang yang masuk kemudian[di antara mereka kepada orang-orang yang masuk terdahulu"Ya Rab kami, mereka Telah menyesatkan kami, sebab itu datangkanlah kepada mereka siksaan yang berlipat ganda dari neraka". Allah berfirman: "Masing-masing mendapat (siksaan) yang berlipat ganda, akan tetapi kamu tidak Mengetahui". (Q.S. Al- A’raf (7): 38).

100

Generasi yang datang kemudian adalah generasi yang mengikuti jejak langkah para pendahulu mereka, sedangkan para pendahulu mereka adalah orang yang membuat-buat ajaran ataupun mencampur ajaran Islam dengan ajaran di luar Islam, sehingga terlihat seakan-akan seperti ajaran Islam. Padahal tidak ada dalil sedikitpun tentang hal itu baik dari Al-Quran atupun sunnah, karena itu mereka telah sesat dengan kesetan yang nyata. Kemudian datanglah generasi yang mengikuti langkah pendahulunya dengan melestarikan ajaran tersebut tanpa terlebih dahulu mempelajari dan meneliti apakah yang di tinggalkan itu merupakan murni ajaran Islam dan mempunyai dasar dari AlQuran ataupun Hadits ? Secara membebek dan membabi buta mereka mengikutinya dan fanatik dengan ajaran itu, sehingga seruan untuk kembali melaksanakan Islam sesuai dengan tuntunan Al-Quran dan Sunnah di campakkan oleh mereka. Maka tempat mereka adalah neraka, keIslaman mereka tidak berarti apa-apa karena mereka melaksanakan ajaran Islam hanya berdasarkan keturunan tanpa mempelajarinya terlebih, Apakah semua itu benar ataukah salah? Sunnah ataukah bid’ah? Allah menyatakan dalam FirmanNya:

          

         

101

            





















   

63. Sesungguhnya kami menjadikan pohon zaqqum itu sebagai siksaan bagi orangorang yang zalim. 64. Sesungguhnya dia adalah sebatang pohon yang ke luar dan dasar neraka yang menyala. 65. Mayangnya seperti kepala syaitan-syaitan. 66. Maka Sesungguhnya mereka benar-benar memakan sebagian dari buah pohon itu, Maka mereka memenuhi perutnya dengan buah zaqqum itu. 67.

Kemudian sesudah makan buah pohon zaqqum itu pasti mereka mendapat

minuman yang bercampur dengan air yang sangat panas. 68. Kemudian Sesungguhnya tempat kembali mereka benar-benar ke neraka Jahim. 69. Karena Sesungguhnya mereka mendapati bapak-bapak mereka dalam Keadaaan sesat. 70. Lalu mereka sangat tergesa-gesa mengikuti jejak orang-orang tua mereka itu. (Q.S. As-safat (37):63-70).

102

Tegas dan jelaslah bagi kita, bahwa sebab mereka di masukkan ke dalam neraka adalah karena tergesa-gesa mengikuti ajaran yang dilaksankan orang tua mereka tanpa mempelajarinya, apakah yang diamalkan itu sesuai dengan tuntunan Allah dan RasulNya dalam Al-Quran dan Sunnah atau tidak. Padahal seharusnya seorang mukmin dirinya siap diatur hanya oleh Allah dan RasulNya, dan seorang mukmin hanya beribadah kepadaNya, jika ada aturan dalam bentuk apapun yang tidak bersesuaian dengan aturan Allah dan RasulNya maka wajib baginya untuk menolak sebagai bentuk konsekwensi dari syahadatain yang telah di ikrarkan. Maka dari sini tibalah saatnya bagi setiap muslim mengkaji dan mendalami setiap amalan

ibadah untuk mencari dalil dan dasarnya dari Al-Quran ataupun

Sunnah. Jika hanya bikinan manusia yang tidak ada dasar ilmunya maka tinggalkanlah sebelum nanti menyesal di yaumil hisab, mereka yang dulu membuat ajaran itu apapun alasannya tidak akan mampu membela kita di hadapan Allah SWT, malah mereka akan berlepas diri dan akan menimpakan kesalahan itu kepada diri kita masing-masing. Camkanlah firman Allah SWT berikut:

























































103























166. (yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali. 167. Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: "Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami." Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka. (Q.S. Al-Baqarah (2): 166-167).

Karena itu Islam mewajibkan untuk menuntut ilmu kepada setiap pribadi muslim laki-laki atupun perempuan tanpa terkecuali, karena tidak boleh mengamalkan sesuatu tanpa ilmu, dengan artian tidak mengetahui dalilnya dari AlQuran ataupun Sunnah Rasulullah SAW dengan apa yang dilakukan. Mereka yang mencukupkan dirinya menyerahkan semua pada keturunan karena sudah tradisi, dilaksanakan bertahun-tahun , bahkan sudah ratusan tahun, lalu melaksankan tanpa ada dasar ilmu selain fanatik tersebut, maka nanti mereka akan menyesal dihadapan Allah SWT. Kewajhiban menutnut ilmu itu Rasulullah nyatakan dalam hadistnya:

‫ ﻗﺎل رﺳﻮل اﷲ ﺻﻠﻰ اﷲ ﻋﻠﯿﮫ وﺳﻠّﻢ‬:‫ﻋَﻦْ أﻧﺲ ﺑﻦ ﻣﺎﻟﻚ رﺿﻲ اﷲ ﻋﻨﮫ ﻗﺎل‬

104

(‫ﻃَﻠَﺐُ اﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻓَﺮِﯾْﻀَﺔٌ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞﱢ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ ) رواه اﺑﻦ ﻣﺎﺟﮫ‬ Dari Anas ibn Malik r.a ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Menuntut ilmu itu adalah kewajiban bagi setiap orang Islam” (HR. Ibn Majah)

Dalam Riwayat yang lain Rasulullah Bersabda:

(‫ﻃَﻠَﺐُ اْﻟﻌِﻠْﻢَ ﻓَﺮِﯾْﻀِﺔٌ ﻋَﻠَﻰ ﻛُﻞﱢ ﻣُﺴْﻠِﻢٍ وَ ﻣُﺴْﻠِﻤَﺔٍ )رواه اﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﺒﺮ‬ “Mencari ilmu itu hukumnya wajib bagi muslimin dan muslimat”(HR. Ibnu Abdil Bari)

Fardhu ‘ain dalam menuntut ilmu disini bermakna ilmu Al-Din Al-Islam bukan ilmu yang lain, karena itu ilmu di bagi kepada ilmu yang fadhu kifayah dan ilmu yang fardhu ain, hal-hal yang diamalkan secara pribadi-pribadi menyangkut keyakinan dan ibadah merupakan ilmu yang fardhu ‘ain yang wajib di pelajari setiap muslim laki-laki dan perempuan tanpa terkecuali. Maka dari sini pahamlah kita apa yang di maksud mengkhawatirkan generasi yang akan ditingalkan setelah kita , Sebagaimana Firman Allah SWT;

































105

9. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar. (Q.S. An-Nisa’ (4) : 9).

Khawatir akan Iman dan Islam mereka yang tanpa Ilmu, tanpa petunjuk, apa yang mereka sembah setelah orang tuanya meninggal dunia, masihkan dalam Iman dan Islam yang benar, atau hanya sekedar ikut-ikutan dan menjalankan tradisi bapak atau Ibunya. Sehingga lepas tanggung jawab orang tua setelah memberikan ajaran Islam berdasarkan ilmu yang menimal terkait dengan fardhu ‘ain kepada anak-anaknya. Dari paparan inipun sangat dipahami olhe kita, mengapa mayoritas umat Islam Indonesia terkategori “Islam KTP” alias Islam keturunan yang tanpa ilmu. Penyebab itu semua sebahagian besar adalah andil dari warisan orang tua mereka yang tidak mendidik keturunan mereka dengan ajaran Islam yang benar berdasarkan Al-Quran dan Sunnah. Sehingga wajar setelah mereka dewasa mereka bingung dengan Islam mereka sehingga mereka ikut-ikutan saja dengan apa yang mereka dapati orang tua mereka mengamalkannya. Oreantasi mementingkan kehidupan dunia dan mengenyampingkan urusan akhirat dari sebuah keluarga adalah merupakan petaka awal dari serentetan petaka selanjutnya. Seorang ayah dan ibu yang semestinya berkewajiban menjaga keluarganya, anak-anaknya dari jurang api neraka, dengan menanamkan Iman dan Islam pertama kali kepada anak-anaknya, berbalik menjadi pendidikan yang beroreantasi pekerjaan tanpa mempedulikan apakah anak keturunannya bisa membaca Al-Quran atau tidak,

106

shalat atau tidak, mengerti Islam atau tidak, bagi mereka itu soal yang tidak penting, dan orang tua seperti ini bertanggung jawab kepada Allah atas kemusyrikan anakanaknya atas ketidak mengertian mereka nanti di akhirat. Maka sebagai seorang muslim Allah telah memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita, bagaimana Allah mencontohkan lukman al-hakim mengajari anaknya, silakan perhatikan pernyataan Alah SWT:

































13. Dan (Ingatlah) ketika Luqman Berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (Q.S. Lukman (31): 13).

Islam Dan akal Hal yang sangat penting untuk perlu diingatkan, adalah gencarnya kampanye dan propaganda

untuk mendahulukan akal dari nash syar’i, dengan memangun

argumentasi bahwa kemaslahatan mampu dicapai akal tanpa memerlukan bimbingan wahyu. Dalam bahasa lain kaum liberal yang memberikan pernyataan bahwa wahyu secara verbal telah berakhir dengan wafatnya Muhammad SAW, namun wahyu secara non verbal yaitu kemampuan akal manusia tetap hidup dan terus berkembang dan hal ini dilegetimasi sendiri oleh Islam dengan istilah yang disebut “ijtihad”.

107

Tetapi dengan menempatkan akal di atas wahyu, sehingga nash yang bertentangan dengan logika akal dapat mereka anulir sesuka hati mereka. Pemahaman ini terus digalakkan dikalangan intelektual muslim, dengan memotivasi mereka agar meninggalkan kejumudan berfikir, dengan cara menganulir nash yang dianggap oleh mereka tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman, dan parahnya mereka menuduh bahwa dengan berpegang teguh dengan nash Al-Quran dan Sunnah sebagai penyebab kemunduran Islam dan ketertinggalan umat Islam. Dari pemikiran sesat ini mereka beramai-ramai bergerak dengan bersemangat untuk mengajak umat Islam agar berkiblat ke Barat, karena Barat menurut mereka telah maju

dikarenakan tidak lagi berpegang kepada agama mereka. Mereka

meletakkan akal mereka di atas segalanya, kebodohan karena keterpasungan agama yang selama ini didominasi oleh otoritas agama mesti disingkirkan, selanjutnya mereka meletakkan agama jauh dibelakang menjadi urusan pribadi sebagai aturan moralitas secara individu semata. Inilah kondisi “peperangan pemikiran” yang ada di depan mata kita hari ini, dan ini sudah berlangsung lama dan sistematis, sangat gencar serangan mereka, dan telah memakan korban permurtadan dan pengrusakan yang sangat parah, baik dari kalangan awam bahkan tidak sedikit dari kalangan intelektual, .kecuali bagi mereka yang dirahmati Allah dengan tetap menjaga keimanan mereka dan istiqamah menjadi hamba Rabnya dengan berpegang teguh kepada Al-Quran dan Sunnah sebagai pedoman hidup. Hal yang ingin kita ingatkan adalah bahwa akal itu tidak akan mampu mencapai esensi kebenaran secara hakiki, oleh karena itu akal tidak bisa menjadi patokan kebernaran tanpa bimbingan wahyu, Argumen sederhana yang dapat kita sampaikan untuk menyadarkan mereka terhadap masalah ini adalah:

108

Pertama: akal menilai sesuatu bersifat relative, artinya sesuatu yang dipandang baik bagi seseorang belum tentu dianggap baik bagi orang lain, hal ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman emperis, apa yang dirasa, apa yang dilihat, dan lingkungan tempat berada. Nah, bagaimana mungkin mengambil patokan kebenaran antara akal ataupun nalar seorang ahli matematika dengan ahli phisikologi, antara ahli kedokteran dengan ahli politik dan begitu seterusnya. Bahkan antara mereka yang satu bidang saja sangat banyak pertentangan dan perbedaan esensi terhadap pemikiran yang dihasilkan dikalangan mereka. Maka pola berfikir yang menjadikan

akal sebagai patokan

kebenaran disini jelas batil dan sangat keliru. Kedua, akal tidak pernah luput dari intervensi hawa nafsu, kepentingan pihak lain, kondisi lingkungan, dan berbagai kebiasaan dan keinginan yang melingkari kehidupan seseorang. Sehingga pola pikiran yang dihasilkan oleh pihak yang pro pemerintah misalnya, akan sangat berbeda dengan hasil pemikiran pihak yang kotra pemerintah. Logika kebenaran masing-masing bisa mereka bangun berdasarkan alur pemikiran mereka masing-masing. Lalu logika kebenaran yang mana bisa kita pegangi? Contoh lain dari kenyataan hari ini memberikan bukti nyata pada kita, bahwa kebenaran akal bisa diperjual belikan, sebagaimana peristiwa hukum diperjual belikan antara jaksa penuntut hukum dengan pengacara pembela terdakwa. Mereka akan membangun logika kebenaran baik dalam bentuk konstruksi hukum ataupun peristiwa berdasarkan pesanan dan kepentingan masing-masing. Dari sini bukankah akal tidak bisa logika kebenaran dipegangi tanpa bimbingan wahyu? Ketiga, akal sangat terbatas jangkauannya, karena manusia makhluq yang serba terbatas, baik penglihatan, pendengaran dan pengetahuannya.

Maka akal tidak 109

mampu memastikan akan peristiwa yang belum terjadi, kecuali hanya berdasarkan indikasi yang dapat dilihat dan dianalisa melalui indra. Bahkan akal seseorang tidak mampu memprediksi kejadian yang diluar pengetahuannya. Itulah sebabnya

guru besar para filosof Plato yang menjadi pujaan mereka

memberikan komentar yang sangat terkenal akan keterbatasan akal: ”Jika indra kita bisa saja tertipu oleh kesimpulan akal yang keliru, semisal pohon

tegak lurus

nampak bengkok didalam air, apa yang kita sangka air ternyata hanya sebuah fatamorgana, lalu bagaimana akal bisa diandalkan hingga kita tahu bahwa akal bisa tertipu dengan apa yang dia lihat dan dia dengar. Sehingga kebenaran bisa direkayasa”. Contoh nyata dalam hal ini adalah aktifitas intelejen dalam melaksanakan keinginan pemerintah suatu Negara, mampu merekayasa suatu peristiwa sehingga pandangan rakyat bisa diarahkan menurut keinginan Negara yang bersangkutan. Lalu bagaimana mungkin akal jadi pegangan kebenaran tanpa bimbingan wahyu? Dari ketiga alasan sederhana ini saja, terbuka dengan jelas belang dan borok kaum yang mengkampanyekan kepada umat Islam

untuk menjadikan akal di atas

segalanya. Islam menghargai akal dan menjaganya agar tetap terpelihara sesuai fitrah penciptaannya, akal mesti berfungsi untuk memahami dan mendalami ayat-ayat Allah SWT, sehingga membuat seorang Muslim mengerti dan mampu memahami tugas dan kewajibannya sebagai hamba Allah dan mampu mengemban tugas kekhalifahan yang telah ditetapkan Allah pada diri mereka. Sehingga fungsi akal akan selalu mengikut kepada wahyu Allah, terbebas dari intervensi nafsu dan kepentingan lain diluar kepentingan Allah dan RasulNya.

110

PERSATUAN DAN PERPECAHAN Islam adalah agama yang satu, dibawa oleh Nabi yang satu, dengan Kitab yang satu, dan memiliki arah kiblat yang satu, serta menyembah Rab yang satu. Tidaklah berbeda antara Islam orang Arab dengan non Arab. Tidaklah berbeda antara Islam abad klasik dengan Islam abad modern. Sama Kitab sucinya, sama Sunnah yang digunakan sebagai pegangan dan pedoman hidupnya. Yang membedakan mereka hanyalah tempat, situasi, kondisi keberadaan di mana Islam itu diterapkan. Allah SWT telah memerintahkan ummat Islam untuk bersatu dan melarang mereka berpecah-belah, karena persatuan adalah kekuatan, persatuan adalah tauhid, persatuan adalah kewibaan, dan persatuan adalah rahmah. Allah SWT menyatakan dalam firmanNya:

             

            

         

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. (Q.S. Ali Imran (3) : 103).

111

Dari ayat ini dapat kita ambil pelajaran bahwa alat pemersatu ummat Islam itu adalah konsekwennya ummat dengan hablum minallah (Dinullah), bagaimana hubungaannya dengan Rab sebagai pengatur dan pencipta alam semesta. Apabila ummat tidak lagi berpegang teguh dengan Dinullah, tidak lagi menjaga hubungan dengan Rab semesta alam, tidak lagi konsekwen dengan aturan Allah SWT, maka itulah perpecahan, itulah firqah, dan itulah kehancuran dan murka Allah. Jadi yang dituntut dalam Islam adalah persatuan di atas landasan Keimanan dan Tauhidullah, bukan persatuan di atas fanatisme kesukuan, atau fanatisme kebangsaan dan ‘ashabiyah lainnya. Ingatlah pesan Nabi kita Muhammad SAW:

‫ﻟَﯿْﺲَ ﻣِﻨﱠﺎ ﻣَﻦْ دَﻋَﺎ إِﻟَﻰ ﻋَﺼَﺒِﯿﱠﺔ وﻟﯿﺲ ﻣﻨﺎ ﻣﻦ ﻗﺎﺗﻞ ﻋﻠﻲ ﻋﺼﺒﯿﺔ وﻟﯿﺲ ﻣﻨﺎ ﻣﻦ ﻣﺎت ﻋﻠﻲ ﻋﺼﺒﯿﺔ‬ Bukan termasuk umatku siapa saja yang menyeru orang pada ‘ashabiyah, bukan dari golongan kami orang yang berperang karena ashabiyyah, dan bukan dari golongan kami orang yang mati karena ashabiyyah (HR Abu Dawud). Maka keistiqamahan atas aturan Allah, dan mempertahankan Tauhidullah, meskipun hal itu menyebabkan kita tersisih dan bahkan terusir dari komunitas kita sekalipun, pada hakikatnya dalam pandangan Allah kita adalah seseorang yang mempertahankan persatuan. Karena perbedaan jama’ah (persatuan) dengan firqah (perpecahan) itu terletak pada ketentuan Allah SWT. Mana saja yang tetap berada dalam garis ketetapan Allah dan Rasulnya maka itulah jama’ah (persatuan) dan

mana saja yang sudah

menyimpang dari ketetapan Allah dan RasulNya itulah firqah (perpecahan). Hal inilah yang dinyatakan sahabat Rsulullah SAW Ibnu Mas’ud dengan ungkapan: ‫ان ﺟﻤﮭﻮر اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ اﻟﺬﯾﻦ ﻓﺎرﻗﻮا اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ اﻟﺠﻤﺎﻋﺔ ﻣﺎ واﻓﻖ اﻟﺤﻖ وان ﻛﻨﺖ وﺣﺪك‬

112

“Sesungguhnya mayoritas jama’ah adalah orang-orang yang menyelisihi jamaah. Karena Jamaah itu adalah apa yang sesuai dengan kebenaran, sekalipun engkau sendiri”.(Imam Abu Syammah :Al-Ba’its ‘ala Inkari Bida’ wal Hawadits, hal 22). Maka bukanlah dinamakan persatuan dengan menjual Aqidah, dan menggadaikan Iman dengan alasan kemashlahatan dan ketenangan serta kenyamanan. Bukan dinamakan persatuan karena dorongan pertemanan atau kelompok, bukanlah juga dinamakan persatuan karena melihat akar sejarah kebangsaan dan keturunan. Namun persatuan mutlak atas dasar Iman. Apapun warna kulitnya, dari manapun keturunannya, bangsa apapun dia, dan apapun bahasa yang digunakannya, kalau dia mengakui Allah sebagai Rabnya dan Muhammad sebagai RasulNya, mendirikan shalat dan membayarkan zakat serta tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum Islam, maka dia adalah saudara kita yang wajib dibela karena dia memiliki hak-hak persaudaraaannya sebagai seorang muslim.

Larangan Menyembah Kelompok (Hizbiyun). Secara politik pada dasarnya umat Islam wajib berada dibawah satu kepemimpinan, baik di timur maupun di barat. Ini adalah hukum asal yang telah ditetapkan Allah dan Rasulnya atas ummat Islam dalam kepemimpinan Islam. Namun Allah secara qadariyah telah mentaqdirkan ummat ini, dijajah oleh bangsa asing. Para penjajah itu telah mengkotak-kotakkan umat Islam dalam berbagai bangsa dan negara-negara kecil, sehingga kepemimpinan Islam yang satu tidak ada lagi, kepemimpinan itu telah dihancurkan oleh kekuatan musuh, karena disebabkan oleh kesalahan umat Islam sendiri. Kondisi inilah yang menggerakkan ummat Islam dan tokoh-tokoh Islam bangkit untuk berjuang mengusir penjajah dan mengembalikan kejayaan umat Islam kearah

113

posisinya semula, mereka membentuk berbagai organisasi, dan jama’ah dalam bentuk kecil sebagai sarana untuk dapat melakukan mobilisasi umat menuju persatuan. Dan organisasi itu adalah rukhshah (keringanan) dari kondisi keterpurukan karena tidak adanya pemimpin dalam persatuan ummat secara menyeluruh. Jadi kelompok, ataupun jama’ah Islam yang ada sekarang dihadapan kita pada hakekatnya adalah kelompok untuk memperjuangkan kebangkitan Islam menuju satu jama’ah Islam dunia yang disebut juga dengan jama’atul muslimin di bawah kepimimpinan seorang khalifah. Maka kelompok yang berbelok di tengah jalan, ataupun didirikan bukan untuk misi ini, bukan untuk mengajak menusia menyembah Allah semata dan persatuan ummat seluruh dunia, malah mengajak ummat untuk fanatik kepada kelompok, membesarkan kelompok, maka kelompok yang seperti itu adalah firqah yang mutlak harus ditinggalkan. Perhatikan pernyataan Allah SWT :

           

           

“Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta Dirikanlah

shalat

dan

janganlah

kamu

termasuk

orang-orang

yang

mempersekutukan Allah, Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. (Q.S. Al-Ruum (30) :31-32)

114

Mereka yang berada dalam kelompok-kelompok ini, yang bukan karena terpaksa (rukhsah) untuk berkelompk, dalam artian sebagai sarana untuk melakukan mobilisasi dengan melakukan perjuangan secara terorganisir untuk persatuan ummat yang tunduk dan mengabdi hanya semata kepada Allah SWT, tidak sedikitpun ada hubungannya dengan Muhammad Rasulullah SAW. Allah menyatakan ini dalam firmanNya:

                

   

“ Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan

mereka

hanyalah

terserah

kepada

Allah,

Kemudian

Allah

akan

memberitahukan kepada mereka apa yang Telah mereka perbuat”. (Q.S. Al-An’am (6) : 159). Mereka bukan lagi ummat Muhammad, karena oreantasi perjuangannya telah berbeda, hakekat sembahannya sudah berbeda. Moto hidupnya sudah berbeda, dan kiblat perjuanganyapun sudah berbeda, mereka adalah pemecah ummat, pemecah suara, dan perusak kekuatan. Maka perlu kita ingatkan bahwa nama-nama organisasi dan kelompok yang didirikan oleh tokoh-tokoh pejuang Islam untuk menjadi sarana pengumpul kekuatan ummat, jangan sampai menjadi aliran dan agama tersendiri. Dengan demikian kita semua wajib menjelaskan kepada ummat Islam bahwa Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, MMI, HTI, FPI, dan lain sebagainya bukanlah aliran agama, atau menjadi sebuah ajaran agama tersendiri.

115

Itu hanya nama, wadah untuk menyatukan ummat agar berbaris rapi, dengan menyatukan pandangan kearah kiblat perjuangan yang sama, agar Islam mampu mencapai cita-citanya. Maka jika nama kelompok itu menjadi aliran atau membawa anggotanya kearah fanatik buta terhadap kelompok, atau bahkan sampai menganggap sebagai agama tersendiri, dengan artian hanya mereka yang Islam maka itulah firqah. Itulah kemusyrikan. Adalah tanggung jawab tokoh-tokoh dan pemimpin dalam kelompok – kelompok ummat Islam yang ada hari ini, menyadarkan kepada anggotanya, dan menjelaskan arah perjuangan kelompoknya, menjelaskankan fungsi dan kedudukan organisasi kelompok itu, supaya jangan sampai terjadi pensakralan ataupun menimbulkan rasa ta’zim yang berlebihan sehingga mengecilkan yang lain, bahkan terkadang rasa ta’zim kepada kelompok itu lebih besar dari rasa ta’zimnya kepada para sahabat Rasulullah SAW. Janganlah menganggap sepele dan remeh masalah ini, karena sesungguhnya ini terjadi pada ummat Islam hari ini, mereka saling mengkafirkan karena perbedaan kelompok, mereka saling membenci karena berbeda organisasi, persaingan antara kelompok Islam tidak sementinya terjadi, tapi hari ini realita dihadapan kita menyatakan itu terjadi. Maka perhatikanlah hal ini dengan sunguh-sungguh jika kita benar-benar ingin memperjuangkan kebangkitan Islam. Karena Islam bukanlah agama kelompok ataupun organisasi tertentu, tapi Islam adalah Dinullah. yang diturunkan dari langit untuk seluruh ummat Muhammad SAW. Maka dari sini keberadaan partai Islam di tanah air kita ini, perlu dipertanyakan eksistensi dan kiprah perjuangannya bagi masyarakat Muslim Indonesia, terlepas dari perbedaan larangan berpartai dalam sistem kufur. Namun apa sesungguhnya yang diperjuangkan partai politik yang mengatas namakan Islam atas perjuangnnya patut dipertanyakan.

116

Apa sesungguhnya beda visi dan misi perjuangan partai politik Islam itu dengan partai nasionalis yang pemilihnya juga mayoritas mereka yang notabene mangaku Islam? Jika jawaban dari pertanyaan itu adalah “sama saja”, lalu apa yang mereka perjuangkan sesungguhnya? Kenapa mereka tidak bergabung saja dengan partai nasionalis? Sehingga kita tidak perlu heran dan mempertanyakan kepada mereka kenapa mereka tidak sedikitpun berusaha dan berikhtiar untuk memperjuangkan kepentingan Allah dan RasulNya, dalam artian kepentingan perjuangan penegakkan syariat Islam di Indoensia ini. Malah terlihat jelas mereka ikut memperkokoh keberadaan sistem kufur dalam gerakan partai mereka. Maka sesungguhnya mereka tidak berhak menyandang nama Islam pada nama dan label partai itu, dan umat Islam dilarang untuk mendukung perjuangan mereka. Karena mereka hanya sekedar memperjuangkan kelompok ataupun memperjuangkan kepentingan pribadi. Tapi mereka bungkus keinginan mereka itu dengan menipu ummat, seakan-akan mereka memperjuangkan Islam. Padahal ummat Islam hanya diperlakukan seperti pendorong mobil mogok, setelah mereka jadi pejabat, memiliki wewenang dan kekuasaan mereka malaju dengan meninggalkan kepentingan Islam yang dulu mereka kampanyekan. Inilah pengkhianatan yang harus disadari umat Islam.

Dan menyerukan

kepada pemain politik Islam di panggung politik itu agar kembali kepada asas perjuangan yang sesungguhnya. Jika kondisi ini tidak diperbaiki, akan menyebabkan saluran politik umat Islam tersumbat, kepentingan syari’ah tidak disuarakan, tentu saja umat wajib

117

membuat saluran sendiri, karena secara hakiki Umat Islam tidak boleh bergantung kepada saluran manapun. Umat Islam adalah umat yang independen, tidak akan mampu dikendalikan dan ditentukan oleh siapapun kecuali oleh ketentuan Allah dan RasulNya. Jangan salahkan umat Islam meninggalkan partai politik Islam, dan memilih gol-put -tidak ikut ambil andil dalam partai manapun- kecuali mereka yang tertipu dan tidak tahu kebusukan yang ada dalam partai politik Islam. Maka buanglah semua kepentingan kelompok, buanglah semua kepentingan pribadi, cabutlah parasit-parasit yang menjadi benalu, yang bersuara atas nama Allah dan RasuNya tapi sikap dan prilakunya menipu umat dengan menjual ayat-ayat Allah. Seruan ini tentu saja berlaku pada semua kelompok, Ormas Islam, Harakah Islam, dan pergerakan manapun yang mengatas namakan perjuangan kebangkitan Islam, hati-hatilah akan parasit dan pembusuk yang membelokkan arah perjuangan, baik yang datang dari tokoh-tokoh kelompok, ataupun kalangan dari hasil penetrasi yang memasukkan pola pikir liberal dan sekuler ketengah-tengah perjuangan. Umat Islam harus cerdas dalam memilah dan memilih, karena ini menyangkut masalah aqidah dan kewajiban sebagai umat yang diwajibkan memperjuangkan harkat dan martabat Islam di atas permukaan bumi ini. Ijtihad para tokoh mesti dicerna dengan baik, karena ijtihad bukanlah berangkat dari ruang hampa, hasil terawangan atau renungan. Ijtihad berangkat dari dalil-dalil syar’i yang zhanni. Dan tidak boleh berijtihad pada ruang qath’i al-dalalah. Sehingga alat ukur dan kadar ijtihad bisa dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT dan ummat bisa menilai untuk menerimanya sebagai hasil dari ijtihad ataukah itu bentuk usaha untuk membelokkan arah perjuangan. Dari sini terlihat jelas bahwa kelompok ataupun organisasi hanyalah sarana untuk menyalurkan perjuangan menuju jama’atul muslimin, dan apabila kelompok itu tidak 118

menunjukkan perjuangannya kearah itu, kaum muslimin wajib untuk tidak ikut ambil andil di dalamnya dan tidak boleh ikut berjuang bersamanya.

Larangan Fanatik Figuritas Fanatisme ketokohan merupakan penyakit yang juga cukup memprihatinkan, di samping sangat sulit mencari tokoh yang dapat membawa umat menuju pemahaman Islam yang benar, tokoh-tokoh palsu yang membangun citra berdasarkan populeritas bagaikan artis bermunculan. Umat sulit membedakan mana yang artis mana yang ulama. Namun jika saja menjadikan Al-Quran sebagai pedoman hidup, hal ini seharusnya tidak menjadikan seorang muslim bingung untuk memilih tokoh ataupun ulama yang pantas di dengar kata-katanya dan diikuti nasehatnya. Allah Rabul ‘izzah telah memberikan garis yang merupakan prinsip dasar untuk mensifati dan mengkategorikan

para ulama dan tokoh perjuangan, bahwa jika

mereka dengan ilmu dan ketokohannya tidak menjadikan semua yang diamanahkan pada dirinya untuk menegakkan Al-Quran maka mereka bukanlah ulama, bahkan mereka dalam pandangan Allah tidak memiliki agama sedikitpun. Perhatikan Firman Allah SWT:

             

               

  

119

“Katakanlah: "Hai ahli kitab, kamu tidak dipandang beragama sedikitpun hingga kamu menegakkan ajaran-ajaran Taurat, Injil, dan Al Quran yang diturunkan kepadamu dari

Rabnmu".

Sesungguhnya apa yang diturunkan kepadamu

(Muhammad) dari Rabmu akan menambah kedurhakaan dan kekafiran kepada kebanyakan dari mereka; Maka janganlah kamu bersedih hati terhadap orang-orang yang kafir itu”. (Q.S. Al-Maidah (5): 68). Jika Allah menilai mereka tidak beragama sedikitpun karena mereka tidak memperjuangkan apa yang Allah SWT telah berikan pada dirinya, berupa pemahaman Islam, menguasai ilmu-ilmu syariat. Sementara amanah itu tidak mereka suarakan dan perjuangkan karena alasan kepentingan pribadi atau kelompok, maka mereka tidak pantas berada dalam barisan mukmin, tidak pantas di dengar katakatanya, yang keluar dari mulut mereka hanyalah bau busuk yang menyakiti hati dan memekakkan telinga. Tergiang-ngiang di telinga apa yang mereka katakan tidak lebih dari apa yang dibicarakan orang-orang oreantalis dan kaum

sekuler. Bahkan orang awampun

mengetahui kalau perkataan mereka itu sangatlah melemahkan dan mengecilkan pemahaman Islam. Tokoh sekaliber apapun dia, lulusan universitas ternama manapun pendidikannya, berderet penghargai yang diberikan pada dirinya, kalau dengan ilmunya itu dia tidak memperjuangkan tegakknya Dinullah (Agama Allah), maka dia tidak pantas di dengar dan tidak layak berada dalam barisan para pejuang kebangkitan Islam. Apa lagi para tokoh yang mengajak kepada fanatik golongan atau kelompok, yang hanya mengajak ummat kepada taqlid, tidak mencerdaskan umat Islam dengan ilmu. Padahal seharusnya ummat diajak untuk hanya fanatik dan mengikuti petunjuk Allah dan RasulNya.

120

Perhatikan Firman Allah swt:

              

            



“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia Berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (Dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, Karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”. (Q.S. Ali Imran (3): 79). Hal yang harus juga di sadari, bahwa ulama dan tokoh Islam bukanlah makhluk yang bersih dan suci, tidak ada manusia selain Rasulullah SAW maksum dari kesalahan. Namun hal itu bukan berarti boleh meninggalkan para ulama begitu saja. Mereka adalah para pewaris Nabi, yang mengerti dan paham tentang bagaimana menjalankan aturan Allah SWT. Oleh karena itu kita hanya akan mengikuti nasehat dan arahan dalam rangka menjalankan aturan Allah, maka jika kita diarahkan untuk melanggar aturan Allah dan RasulNya berarti dia bukan ulama, dan tidak pantas untuk didengarkan apalagi ditokohkan. Perhatikan Firman Allah SWT:

121

           

             

“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rab selain Allah dan (juga mereka mempertuhankan) Al masih putera Maryam, padahal mereka Hanya disuruh menyembah Tuhan yang Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”.(Q.S. Al-Taubah (9):31).

'Adi Ibn Hatim sahabat yang pernah beragama Nasrani mendatangi Rasulullah SAW setelah dia mendengar ayat tersebut, kemudian ia berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka (orang-orang nasrani) itu tidak menyembah para rahib dan pendeta itu. Maka jawab Nabi SAW: "Betul! Tetapi mereka (para rahib dan pendeta) itu telah menetapkan haram terhadap sesuatu yang halal, dan menghalalkan sesuatu yang

haram,

kemudian

mereka

mengikutinya.

Yang

demikian

itulah

penyembahannya kepada mereka”. (Riwayat Tarmizi) Dari ayat dan riwayah di atas jelaslah, bahwa seorang tokoh ataupun ulama yang difigurkan karena keilmuaannya, dan dia memperjuangkan syariat Allah dengan keilmuan dan ketokohannya, maka kita wajib membantu dan mendukung perjuangan mereka. Namun jika mereka telah berubah, kelakuannya menjadi penjilat, dan menjual ilmunya untuk kepentingan dunia, maka kita wajib menjauhi dan meninggalkan mereka. Bahkan jika mereka hanya mau memperjuangkan sebagian ajaran dan mengingkari sebagian yang lain, dengan kata lain menegakkan Islam tidak secara

122

menyeluruh dengan alasan apapun, maka umat Islam wajib meninggalkan tokoh ini, karena dia bukanlah tokoh pejuang Islam. Allah menyatakan dalam FirmanNya:

          

           

         

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: "Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)", serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), Merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. kami Telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan”. (Q.S. Al-Nisa’ (4): 150-151. Mengimani kepada sebahagian ajaran dan mengkafiri sebahagian ajaran yang lain, adalah sifat kekafiran yang sesungguhnya, ini juga salah satu karakteristik tercela kaum Bani Israel yang diceritakan Allah dalam Al-Quran untuk menjadi petunjuk bagi kita ummat Muhammad SAW Allah SWT berfirman:

123

          

         

           

             

      

“Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”. (Q.S. Al-Baqarah (2): 85). Maka jika kita menemukan tokoh, Ormas, Partai, Organisasi apapun namanya yang menyematkan Islam pada kelompoknya, namun bermaksud memisah-misahkan ajaran Islam, mengajak untuk mengkafiri sebagian dan mengimani sebagian, ketahuilah itulah musuh dalam selimut yang secara sadar atau tidak sadar mereka menggerogoti akidah ummat dan mencabut dari akarnya, sehingga menjadi kafir seperti mereka. 124

Kita diperintahkan untuk menjauhi dan tidak mengikuti mereka. Allah mengingatkan kita dengan firmanNya:

           

  

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman”. (Q.S. Ali Imran (3): 100)

Larangan Mengikuti Trend Dan Arus Di Masyarakat Telah dipahami bahwa berIslam adalah menyatakan kemerdekaan dari segala ikatan apapun, untuk kemudian seorang muslim hanya mengikatkan dirinya kepada Allah dan RasulNya. Hal itu menunjukan bahwa tidak ada yang bisa mengatur dan mengendalikan seorang muslim selain ketentuan Allah dan RasulNya. Itulah satu-satunya aturan dalam hidup ini yang menjadi pegangan manusia yang merdeka, baik dalam berbuat, dalam merasa dan berfikir serta untuk menentukan baik dan buruk, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, apa yang bermanfaat dan apa yang tidak bermanfaat. Meskipun konsekwensi dari semua sikap itu menyebabkan seorang muslim terasing dan tersisih dari orang-orang disekitar mereka, bahkan hal itu telah

125

menyebabkan orang-orang shaleh terdahulu terusir dari kampung halamannya.Tidak sedikit mereka yang dipenjarakan dan dibunuh oleh musuh-musuh Islam. Hal itu karena mereka tidak mau sedikitpun melepaskan keyakinan dan keteguhan mereka kepada ikatan Allah, keyakinan yang tertanam kuat berdasarkan ilmu yang benar, dalil-dali syara’ yang shahih tidak akan tergoyahkan oleh ancaman apapun dan tantangan sesulit apapun. Namun lihatlah kenyataan hari ini yang sangat mengkhawatirkan, amalan Islam yang dilakukan sebagian umat identik dengan mode dan musim, mereka berbondongbondong mengikuti arus kemana banyak arah menuju, mereka mau memakai jilbab, karena model bukan kerena Iman, umrah karena trend wisata religi bukan karena dorongan beribadah karena Allah, tentu saja semua itu bukanlah Islam, namun hanyalah gejolak sifat manusia yang suka meniru dan ingin sama dengan yang lainnya. BerIslam haruslah dengan ilmu, sehingga dengan pemahaman yang benar akan menanamkan keistaqamahan, memiliki prinsip, menancapkan keyakinan untuk melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu, semua itu dilakukan karena didorong oleh ilmu yang memberikan kepahaman sehingga menumbuhkan keyakinan, itulah pancaran Iman, itulah pancaran amalan keikhlasan, sehingga tidak akan peduli penilaian orang lain, karena dia hanya akan peduli akan penilaian Allah SWT. Banyaknya manusia ikut tred dan mode, dan menjadikan media masa sangat memegang kendali untuk mengarahkan masyarakat mesti di bawa ke arah mana, jika yang menguasai media masa itu adalah mereka yang mempunyai misi dan visi perjuangan Islam tentu tayangan media masa itu akan memberikan arah dan warna Islam, tetapi jika yang menguasai media masa itu adalah mereka yang anti Islam dan phobi terhadap ajaran Islam maka warna dan arah tayangan pun akan memberikan kesan sesuai dengan pemahaman mereka.

126

Maka secara prinsip umat Islam dilarang ikut-ikutan, mereka mesti punya prinsip dan jati diri, tidak gampang terpengaruh dan dipengaruhi, karena prinsip mereka berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasulullah SAW. Sehingga

yang

menggerakkan seluruh aktivitas mereka adalah keimanan. Allah SWT menyatakan:

               

   

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”. (Q.S. Al-An’am (6): 116) Dari sini jelaslah bagi kita, bahwa setiap usaha dan upaya yang dilakuakn kaum sekuler untuk memalingkan umat Islam terhadap keyakinan yang lurus tidak akan pernah berhasil, terutama terhadap mereka yang meyakini Islam berdasarkan Ilmu dan tertanam keimanan yang mengakar dalam diri mereka. Dari sini juga diserukan kepada umat Islam untuk selalu mempelajari Islam dari sumbernya yang jernih, sehingga pemahaman tidak rancu dan pengamalan tidak kacau. Sumber dan ajaran Islam itu terpelihara dan terjaga kesucian dan keasliannya, namun meskipun demikian usaha musuh-musuh Islam tidak pernah berhenti mengupayakan kekeruhan dan kekacauan untuk memalingkan ummat dari pemahaman yang benar.

127

Ingatlah dan renungkanlah apa yang diungkapkan Allah SWT dalam firmanNya:

             

           

“Maka Kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka Kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan Kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan”(Q.S. Albaqarah (2): 79). Itu artinya tidak sedikit para pembusuk berusaha menukar ayat Allah dengan kepentingan dunia, maka kepada ummat Islam jangan fanatik dan jangan berIslam berdasarkan ikut-ikutan, tapi belajarlah dan pelajarilah setiap seluk beluk Islam dengan benar dan dari sumber yang benar, dari tokoh-tokoh yang terkenal kebersihan aqidah mereka, dan ini ditunjukkan dari kiprah mereka dengan memperjuangkan keyakinan Islam yang lurus meskipun resiko atas semua itu mereka harus tersisih dan terbuang dari populeritas dan perhatian ummat. Karena bagi para ulama yang bersih ini merupakan prinsip utama adalah mendapatkan redha Allah, dan itu tidak akan bisa dinilai dengan apapun juga.

128

Related Documents


More Documents from "syifaul fikri"