Metodelogi Penelitian Mikro

  • Uploaded by: Windy Antari
  • 0
  • 0
  • March 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Metodelogi Penelitian Mikro as PDF for free.

More details

  • Words: 4,390
  • Pages: 20
Loading documents preview...
PORTOFOLIO AKHIR SEMESTER METODOLOGI PENELITIAN

”Aktivitas Antibakteri Senyawa Tanin Kulit Batang Kemiri (Aleurites moluccana) Terhadap Salmonella typhi”

Oleh WINDY ANTARI NURHUDA NIM : 13.178

AKADEMI FARMASI PUTRA INDONESIA MALANG JULI 2015

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ada banyak sekali jenis penyakit yang ada di masyarakat. Salah satu penyakit yang

diderita oleh masyarakat yaitu demam tifoid atau banyak dikenal dengan

penyakit typhus. Penyakit typus ini di dunia medis disebut dengan salmonellosis. Salmonellosis disebabkan oleh sejenis bakteri yaitu salmonella typhi (S.typhi) yang dapat menyebabkan infeksi akut pada usus halus. Penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan di negara berkembang seperti Indonesia. Angka kejadian akan meningkat pada musim kemarau panjang dan di awal musim penghujan. Masyarakat Indonesia diperkirakan antara 800-100.000 orang terkena tifus atau demam tifoid sepanjang tahun dan 91% dari kasus tersebut terjadi pada usia 3-19 tahun. (Andriani, 2010) Pengobatan penyakit typhus yang tidak tuntas akan memberikan efek infeksi sistemik pada organ tubuh dan bahkan akan mengakibatkan kematian. Penyakit typhus selain menyerang usus juga dapat menyerang kantong empedu, limfa dan hati. Penyakit ini bisa diobati dengan pemberian antibiotik. Namun masih banyak sekali hambatan dalam penggunaan antibiotika untuk menangani salmonellosis. Hambatan utamanya yaitu terbatasnya jenis antibiotic yang efektif untuk menangani penyakit tersebut. Hambatan lainnya yaitu terkadang pemberian antibiotic kurang terkontrol sehingga menimbukan terjadinya resistensi bakteri (bakteri akan kebal terhadap antibiotic yang diberikan). Kendala lain yang masih menjadi masalah yaitu biaya perawatan dan pemulihan infeksi cukup lama, sehingga membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hal tersebut yang mendasari pemikiran untuk mencari upaya alternatif agar bisa menangani salmonellosis namun lebih mudah, efektif dan juga murah. Salah satu upaya alternative tersebut dapat dilakukan melalui peningkatan sistem imun. Banyak sekali tanaman yang dapat dipergunakan sebagai salah satu sumber pengobatan alternative. Salah satu tanaman yang bisa dipergunakan untuk pengobatan alternative adalah Pohon kemiri (Alleurites moluccana). Pohon kemiri banyak diketahui masyarakat sebagai bahan bumbu masakan. Buah kemiri juga merupakan hasil bumi yang melimpah di Indonesia sehingga sangat mudah untuk didapatkan. Kemiri sangat kaya akan senyawa penting bagi tubuh seperti asam minyak, protein,

vitamin B1, dan zat lemak. Manfaat kemiri yang paling popular terdapat pada minyak kemiri, yang berguna sebagai penyubur rambut. Pohon kemiri (Alleurites Moluccana) terutama pada bagian kulit batang kemirinya berpotensi sebagai antibakteria karena mengandung senyawa tanin sehingga bisa digunakan sebagai obat alternative untuk mencegah penyakit typhus. Tanin dapat menjadi imunostimulan yaitu suatu senyawa tertentu yang dapat meningkatkan pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik. Peningkatan pertahanan tubuh dilakukan dengan cara meningkatkan poliferasi sel yang berperan pada imunitas. Sel yang dijadikan sebagai tujuan yaitu makrofag, granulosit, limfosit T dan limfosit B. Selama ini, masyarakat belum begitu paham dengan berbagai macam khasiat dan manfaat yang yang terkandung dalam tanamanan, sehingga perlu dilakukan pengujian aktivitas antibakteri senyawa tanin yang terkandung dalam kulit batang kemiri dalam menghambat pertumbuhan Salmonella typhi. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pendahuluan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini : 1. Bagaimana aktivitas kulit batang kemiri sebagai antibakteri terhadap Salmonella typhi? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian dalam rumusan masalah di atas, dapat dirumuskan tujuan penelitian ini: 1. Untuk mengetahui aktivitas kulit batang kemiri sebagai antibakteri terhadap Salmonella typhi.

1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti

Dapat mengaplikasikan ilmu yang telah di dapatkan penulis, Dapat memberikan tambahan wawasan pengetahuan, serta dapat menambah pengalaman penulis dalam pembuatan karya tulis ilmiah 2. Bagi Pembaca dan Masyarakat Dapat memberikan informasi terhadap masyarakat luas mengenai pemanfaatan pohon kemiri (Aleurites moluccana) dalam rangka pemberdayaan / usaha pembuatan obat-obatan tradisional untuk mengobati berbagai penyakit, khususnya penyakit yang disebabkan oleh bakteri serta dapat dijadikan referensi bagi pembaca yang akan melakukan penelitian. 1.5 Asumsi Asumsi dalam penelitian ini adalah: 1. Tanin dapat digunakan sebagai imunomodulator yang bisa mengatasi bakteri Salmonella typhi 2. Tanin dapat diekstrasi menggunakan metode maserasi . 1.6 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Masalah Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah pengumpulan kulit batang pohon kemiri, pengambilan ekstrak kulit batang kemiri menggunakan metode maseri, pengambilan isolat, pengujian aktivitas antibakteri terhadap Salmonella typhi. Keterbatasan masalah dalam penelitian ini adalah tidak dapat menentukan konsentrasi antibiotik yang digunakan dalam penentuan kesetaran aktivitas ekstrak dengan antibiotik pembanding 1.7 Definisi Istilah Definisi istilah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Salmonellosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi 2. Maserasi adalah cara pengambilan ekstrak dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. BAB II TINJUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Kemiri (Aleurites moluccana (L.) Willd Aleurites moluccana (L.) Willd., atau lebih dikenal dengan nama kemiri, merupakan salah satu pohon serbaguna yang sudah dibudidayakan secara luas di dunia. Jenis ini merupakan jenis asli Indo-Malaysia dan sudah diintroduksikan ke

Kepulauan Pasifik sejak jaman dahulu. Di Indonesia, kemiri telah lama ditanam, baik untuk tujuan komersial maupun subsisten untuk menunjang kehidupan masyarakat sehari-hari, terutama bagi masyarakat Indonesia bagian timur. Morfologi tanaman kemiri yaitu pohon dengan tinggi 25-30 m, batang tegak, berkayu, permukaan banyak lentisel, percabangan simpodial, cokelat. Daun tunggal, berseling, lonjong, tepi rata, bergelombang, ujung runcing, pangkal tumpul, pertulangan menyirip, permukaan atas licin, bawah halus, panjang 18-25 cm, lebar 7-11 cm, tangkai silindris, hijau. Bunga majemuk, bentuk malai, berkelamin dua, di ujung cabang, putih. Buah bulat telur, beruas-ruas, masih muda hijau setelah tua cokelat, berkeriput. Biji bulat, berkulit keras, beralur, diameter ± 3,5 cm, berdaging, berminyak, putih kecokelatan. Akar tunggang, cokelat. (Sarmoko,2014) Pohon kemiri dalam sistematika tanaman (taksonomi) diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom

: Plantae

Divisi

: Spermatophyta

Subdivisi

: Angiospermae

Kelas

: Dicotyledoneae

Bangsa

: Euphorbiales

Suku

: Euphorbiaceae

Marga

: Aleurites

Jenis

: Aleurites moluccana (L.) Willd.

Nama daerah

: Buwa kare, kembiri, tanoan (Sumatra); kamere, kemiri, komere, midi, miri, mucang (Jawa); keminting, kemiri (Kalimantan); anoi (Papua), tenu (Nusa Tenggara) (Martawijaya dkk, 1989).

Nama Asing

: Candlenut (Inggris), Lichtnussbaum (Jerman), Noyer des Indes (Prancis), Ragaur (Carolina Utara). (Elevitch dan Manner 2006)

2.1.1

Habitat dan Penyebaran

Kemiri memiliki daerah penyebaran geografis yang luas. Jenis ini merupakan jenis asli Indo-Malaysia (termasuk Brunei, Kamboja, Cina, Kepulauan Cook, Fiji, Polinesia Perancis, Indonesia, Kiribati, Laos, Malaysia, Kepulauan Marshall, Myanmar, Kaledonia Baru, Pulau Norfolk, Papua Nugini, Filipina, Samoa, Kepulauan Solomon, Thailand, Tonga, Vanuatu dan Vietnam). (Elevitch dan Manner 2006). Pohon kemiri tumbuh di daerah dengan curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara 640 sampai dengan 4290 mm atau rata-rata 1940 mm (Duke 1983). Suhu rata-rata tahunan untuk pertumbuhan kemiri berkisar antara 18 sampai dengan 28°C. Suhu maksimum pada bulan terpanas sekitar 26–30°C, sedangkan suhu minimum pada bulan terdingin sekitar 8–13°C. Di Indonesia, kemiri juga dapat tumbuh pada daerah yang kering dengan curah hujan tahunan hanya mencapai 200 mm seperti di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur 2.1.2

dan bahkan di tempat yang basah seperti di Jawa Barat (Ginoga dkk. 1989). Kandungan Sifat Kimia dan Fisik Kemiri (Aleurites moluccana) Kandungan kimia yang terdapat dalam kemiri adalah gliserida, asam linoleat, palmitat, stearat, miristat, asam minyak, protein, vitamin B1 dan zat lemak. Bagian yang bisa dimanfaatkan sebagai obat adalah biji, kulit dan daun. Tabel 1. Komposisi kandungan gizi inti kemiri Komponen Kalori Protein Lemak Karbohidrat Kalium Fosfor Besi Vitamin B1 Air

Jumlah 636 kal 19 gram 63 gram 8 gram 80 miligram 200 miligram 2 miligram 0,06 miligram 7 gram

Sumber : Daftar Komposisi Bahan Makanan, Direktorat Gizi departemen Kesehatan RI (1981) Kemiri juga mengandung zat gizi dan non gizi dalam kemiri, misalnya daging, biji, daun dan akar Aleurites moluccana mengandung saponin, flavonoida, dan polifenol disamping itu daging bijinya mengandung minyak lemak dan pada korteksnya mengandung tannin. Banyak peneliti telah membuktikan bahwa ketiga komponen ini memiliki arti besarbagi kesehatan. Antioksidan polifenol dapat

mengurangi resiko pnyakit jantung dan pembuluh darah serta kanker. Terdapat penelitian yang menyimpulkan polifenol dapat mengurangi resiko penyakit alzaimer. Flavonoid juga termasuk dalam kelompok polifenol sedangkan saponin merupakan senyawa anti-mikroba (Rahmah et al, 2010) 2.1.3 Manfaat Tanaman kemiri Bagian tanaman yang telah terbukti sebagai antikanker secara etnofitomedis adalah korteksnya yang utamanya mengandung tanin, Tanindiketahui dapat digunakan sebagaiantivirus, antibakteri, dan antitumor. Tanintertentudapatmenghambat selektivitas replikasi HIVdan juga digunakan sebagai diuretik (Heslem, 1989). Tanaman yang mengandung tannin telah diakui memiliki efek farmakologi dan dikenal agar membuat pohon-pohon dan semaksemak sulit untuk dihinggapi /dimakan oleh banyak ulat (Heslem,1989). 2.2 Tanin Tanin adalah kelas utama dari metabolit sekunder yang tersebar luas pada tanaman. Tanin merupakan polifenol yang larut dalam air dengan berat molekul biasanya berkisar 1000-3000 (Waterman dan Mole tahun 1994, Kraus dll., 2003). Menurut definisi, tanin mampu menjadi pengompleks dan kemudian mempercepat pengendapan protein serta dapat mengikat makromolekul lainnya (Zucker, 1983). Tanin merupakan campuran senyawa polifenol yang jika semakin banyak jumlah gugus fenolik maka semakin besar ukuran molekul tanin.Pada mikroskop, tanin biasanya tampak sebagai massa butiran bahan berwarna kuning, merah, atau cokelat. Tanin dapat ditemukan didaun, tunas, biji, akar, dan batang jaringan. Sebagai contoh dari lokasi taninndalam jaringan batang adalah tanin sering ditemukan di daerah pertumbuhan pohon, seperti floem sekunder dan xylem dan lapisan antara korteks dan epidermis. Tanin dapat membantu mengatur pertumbuhan jaringan ini. Tanin berikatan kuat dengan protein & dapat mengendapkan protein dari larutan.Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae terdapat khusus dalam jaringan kayu. Menurut batasannya, tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tak larut dalam air. Dalam industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu mengubah

kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena kemampuannya menyambung silang protein. Secara fisika, tanin memiliki sifat-sifat:jika dilarutkan kedalam air akan membentuk koloid dan memiliki rasa asam dan sepat, jika dicampur dengan alkaloid dan gelatin akan terjadi endapan, tidak dapat mengkristal dan dapat mengendapkan protein dari larutannya dan bersenyawa denganprotein tersebut sehingga tidak dipengaruhi oleh enzim protiolitik. Secara kimiawi, memiliki sifat-sifat diantaranya: merupakan senyawa kompleks dalam bentuk campuran polifenol yang sukar dipisahkan sehingga sukar mengkristal, tanin dapat diidentifikasikan dengan kromotografi, dan senyawa fenol dari tanin mempunyai aksi adstrigensia, antiseptik dan pemberi warna (Najebb, 2009). 2.3 Penyarian Simplisia Penyarian simplisia merupakan penarikan zat aktif yang diinginkan dari bahan mentah obat menggunakan pelarut yang dipilih sehingga zat yang diinginkan akan larut. Ada beberapa metode yang dilakukan untuk penyarian simplisia yaitu maserasi, perkolasi, dan sokhletasi. Metode yang digunakan tergantung dari wujud dan kandungan bahan yang akan disari. Pada penelitian ini metode penyarian simplisia yang digunakan adalah metode maserasi. Maserasi adalah cara ekstraksi yang paling sederhana. Maserasi dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan pekat terdesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar dan di dalam sel. Keuntungan cara penyarian dengan metode maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah dilakukan (Ansel, 1989).

Penyarian dengan maserasi perlu dilakukan pengadukan. Pengadukan ini diperlukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia, sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecilkecilnya antara larutan di dalam sel dengan larutan di luar sel. Teknik ini biasanya digunakan jika kandungan organic yang ada dalam bahan tumbuhan tersebut cukup tinggi dan telah diketahui jenis pelarut yang dapat melarutkan senyawa yang akan diisolasi. Maserasi tumbuhan

dilakukan yang

dengan

telah

cara

merendam

dihaluskan

dalam

bahan-bahan

pelarut

terpilih.

Penyimpanan dilakukan dalam waktu tertentu, ruang yang gelap dan sesekali diaduk. Metode ini memiliki keuntungan yaitu cara pengerjaannya mudah, alat yang digunakan sederhana, cocok untuk bahan yang tidak tahan pemanasan namun pelarut yang digunakan cukup banyak (Ansel, 1989). Selain cara penyarian, cairan

penyari

juga

dapat

mempengaruhi proses penyarian. Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan banyak faktor. Cairan penyari yang baik harus memenuhi kriteria murah, mudah diperoleh, stabil secara fisik dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap, selektif, tidak mempengaruhi zat berkhasiat dan diperbolehkan oleh peraturan, untuk

penyarian

simplisia

Farmakope

Indonesia

menetapkan

bahwa sebagai cairan penyari adalah air, etanol, etanol-air, atau eter. Ada juga pelarut yang bersifat non polar seperti n-hexana, etilen klorida, petroleum eter, aseton dan sebagainya (Setiabudi, 2009). 2.4 Antibakteri Antibakteri adalah zat yang dapat menghambat pertumbuhan baakteri. Dalam penggolongannya antibakteri dikenal dengan atiseptik dan antibiotic. Berbeda dengan antibiotic yang tidak merugikan sel-seljaringan manusia, daya kerja

antiseptik tidak membedakan antara mikroorganisme dengan jaringan tubuh. Namun pada dosis normal praktis tidak bersifat merangsang kulit Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh bakteri dan fungi, yang memiliki khasiat mematikan dan menghambat pertumbuhan bakteri penyebab infeksi pada manusia dan harus memiliki toksisitas selektif tinggi Antibiotik dapat dikelompokkan kedalam beberapa bagian, yaitu: 1. Berdasarkan struktur kimia Berdasarkan struktur kimia antibiotic terbagi atas: a. Antibiotic Beta-lactam, yang terdiri dari dua kelompok yaitu kelompok penisilin dan kelmpok sefalosporin. b. Aminoglikosida, terdiri dari streptomisin, kanamisin, neomisisn, tobramisin, framisetin dan paromomisin c. Kloramfenikol, terdiri atas kloramfenikol dan tiamfenikol d. Tetrasiklin terdiri dari tetrasiklin, oksitetrasiklin,

gentamisin,

klortetrasiklin,

doksisiklin, minoksiklin. e. Maklorida dan antibiotik yang berdekatan terdiri dari eritromisisn, klindamisin, sinegistin f. Rifampisin g. Polipeptida siklik h. Antibiotik polien 2. Berdasarkan mekanisme kerja Berdasarkan mekanisme kerjanya, antibiotik dikelompokkan dalam lima kelompok yaitu : a. Menghambat sintesis dinding sel bakteri sehingga menghilangkan kemampuan berkembang biak dan menimbulkan lisis. Contoh : Penisilin dan sefalosporin b. Mengganggu keutuhan membrane sel, mempengaruhi permeabilitas sehingga menimbulkan kebocoran dan kehilangan senyawa. Contoh : Nistatin. c. Menghambat sintesis protein sel bakteri. Contoh : tetrasiklin, kloramfenikol dan eritromisin d. Menghambat metabolism sel bakteri. Contoh : Sulfonamid e. Menghambat sintesis asam nukleat. Contoh : Rifampisin dangolongan kuinolon. 3. Berdasarkan Daya Kerja Berdasarkan daya kerjanya, antibiotik dibagi dalam dua kelompok, yaitu: a. Bakteriostatik, yaitu menghambat pertumbuhan dan perkembangan bakteri b. Bakterisid, yaitu membunuh bakteri secara langsung 4. Berdasarkan spktrum kerja

Berdasarkan spectrum kerjanya,antibiotik terbagi atas: a. Spektrum sempit, bekerja terhadap beberapa jenis bakteri saja. b. Spektrum luas, bekerja terhadap lebih banyak bakteri, baik gram positif maupun gram negative serta jamur Sifat antibiotik sebaiknya mengahambat atau membunuh mikroorganisme pathogen tanpa merusak inang, bersifat bakterisid, tidak menyebabkan resistensi pada kuman, tidak bersifat alenergik atau menimbulkan efek samping bila dipergunakan dalam jangka waktu yang lama, larut di dalam air serta stabil. 2.4 Kadar Hambat Minimal (KHM) Antibiotik KHM adalah kadar minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan mikroba.

Penentuan

kepekaan

mikroba

terhadap

suatu

antibiotika

atau

khemoterapeutik dipakai untuk menentukan pengobatan terbaik terhadap penyakit yang disebabkan oleh suatu mikroba tersebut pada manusia atau hewan. Ada dua metode untuk menentukan kadar hambat minimal suatu antibiotika yaitu : 2.4.1 Metode Difusi Pada metode ini zat antibiotika berdifusi pada lempeng agar yang telah diinokulasi dengan bakteri. Dasar pengamatannya adalah terbentuk zona hambat disekeliling cakram atau silinder yang berisi antibiotika. Metode ini dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimia, selain antara obat dan organisme. 1. Cara Parit Pada medium agar yang telah diinokulasi dengan baktei dibuat parit kemudian diisi dengan zat antibiotika dan diinkubasi pada suhu dan jangka waktu sesuai dengan jenis bakteri uji. Pengamatan dilakukan atas ada atau tidaknya hambatan disekeliling parit. 2. Cara silinder Pada medium agar yang telah diinokulasi dengan bakteri dibuat lubang diletakan silinder kemudian diisi dengan zat antibakteri, setelah itu diinkubasi pada suhu dan jangka waktu yang sesuai dengan jenis bakteri uji. Pengamatan dilakukan atas dasra ada atau tidaknya hambatan disekeliling silinder. 3. Cara cakram Kertas cakram yang mengandung zat antibakteri diletakan diatas lempeng, setelah diinkubasi pada suhu dan jangka waktu yang sesuai dengan bakteri uji. Pengamatan dilakukan berdasarkan ada tidaknya hambatan disekeliling cakram

2.4.2

Metode dilusi Metode ini menggunakan antibakteri yang turun secara bertahap, baik dengan media cair atau padat kemudian media diinokulasi bakteri uji dan dieramkan. Dasar pengamatannya adalah dengan melihat tumbuh atau tidaknya bakteri. 1. Cara pengenceran tabung (Metode Kirby-Bauer) Pada metode ini zat yang akan diuji kepekaan antibakterinya diencerkan secar serial dengan pengenceran kelipatan dua dalam medium cair, kemudian diinokulasikan dengan bakteri uji, inkubasi pada suhu 37°C selama 18-21 jm ( untuk bakteri) dan 1-2 minggu (untuk jamur). Aktivitas antibakteri ditentukan sebagai konsentrasi terendah yang masih dapat menghambat pertumbuhan bakteri. 2. Cara penapisan lempeng Pada metode ini zat yang akan diuji antibakterinya diencerkan secara serial dengan pengenceran kelipatan dua dalam medium agar pada suhu 4050°C, kemudian dituang dalam cawan petri. Setelah lempeng agar membeku ditanam inokulum bakteri dan diinkubasi pada suhu dan jangka waktu yang sesuai dengan pertumbuhan bakteri uji. Kadar hambat minimum zat antibakteri yang diuji, ditentukan sebagai konsentrasi terendah yang masih dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Turbiditas Pada metode ini pengamatann aktivitas didasarkan atas kekeruhan yang

2.5.3

terjadi pada medium pembenihan. Pertumbuhan bakteri juga dapat ditentukan dari perubahan yang terjadi sebelum dan sesudah inkubasi, yang dilakukan dengan mengukur serapannya secara spektrofotometer. Adanya pertumbuhan bakteri ditandai

dengan

peningkatan

jumlah

sel

bakteri,

yang

mengakibatkan

meningkatnya kekeruhan. Kekeruhan yang terjadi umumnya berbanding lurus dengan serapan. 2.6 Bakteri Menurut (Danang, 1993) bakteri adalah makhluk hidup bersel satu, bersifat prokariotikyaitu tidak memiliki dinding inti. Bakterimerupakan sel prokariotik yang khas, uniselulerdan tidak mengandung strukturyang terbatasi membrane di dalam sitoplasmanya. Sel selnya secara khas berbentuk bola seperti batang atau spiral.

Bakteri ini berdiameter sekitar 0,5 sampai 1,0

μ m dan panjangnya 1,5-2,5

μ

m. Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa bakteri adalah makhluk hidup bersel tunggal yang berukuran sangat kecil. Ciri-ciri bakteri menurut (Bagod,2003) adalah : 1. Makhluk hidup uniseluler (bersel satu) 2. Tidak mempunyai klorofil 3. Dapat ditemukan dibeberapa lingkungan (tanah, debu, air, udara) 4. Sel bakteri berbentuk bulat dengan diameter sekitar 0,5 mikron 5. Bersifat prokariotik yaitu sel yang tidak memiliki dinding sel 2.6.1

Bentuk Bakteri Secara umum bakteri mempunyai 4 (empat) macam bentuk, yaitu : Bentuk Cocus (kokus) : bentuknya bulat seperti peluru, sehubungan dengan cara pembelahannya dan susunan setelah pembelahannya dibagi dalam: 1. Diplococcus Yaitu coccus yang membelah dirikesatu arah dan setelah pembelahannya tetap berkumpul dua-dua. 2. Streptococcus Yaitu coccus yang membelah

diri

kesatu

araah,

dimana

setelah

pembelahannya tetap tidak berpencar, menyerupai rantai 3. Tetracoccus (Gaffkya) Yaitu coccus yang membelah diri kedua arah dan setelah pembelahannya tetap berkelompok empat-empat 4. Sarcina Yaitu coccus yang membela diri ke tiga jenis arah yang mempunyai sudut 90 o dimana setelah pembelahannya tetap berkelompok menyerupai kubus 8 (delapan) cocci. 5. Stapylococcus Yaitu coccus yang membela diri kea rah yang tidak teratur, kemudian berkelompok menyerupai buah anggur. 2.7 Salmonella typhi Penamaan yang umum digunakan, seperti salmonella typhi sebenarnya tidak benar. Taksonomi S. typhi adalah sebagai berikut. Phylum : Eubacteria Class :Proteobacteria Ordo : Eubacteriales Family : Enterobacteriaceae Genus :Salmonella

Species : Salmonella enteric Subspecies : Enteric (I) Serotipe : typhi Karena itu penamaan yang benar adalah S. enteric subgroup enteric serotip typhi, ataupun sering dipersingkat dengan S. enteric 1 ser. typhi. Namun penamaan Salmonella typhi telah umum digunakan karena lebih sederhana sehingga penamaan ini lebih sering digunakan dalam tulisan ini. 2.7.1 Morfologi Salmonella typhi merupakan bakteri batang gram negative dan tidak membentuk spora, serta memiliki kapsul. Bakteri ini juga bersifat fakultatif, dan sering disebut sebagai facultative intra-celluler parites. Dinding selnya terdiri atas murein, lipoprotein, fosfolipid, protein, lipopolisakarida (LPS) dan tersusun sebagai lapisan-lapisan. (Dzen,2003) Ukuran panjangnya bervariasi, dan sebagian besar memiliki peritrichous flagella sehingga bersifat motil. Salmonella typhi membentuk asam dan gas namun hanya sedikit (Winn, 2006) Bakteri ini tahan hidup dalam air yang membeku untuk waktu yang lama (Brooks, 2005) 2.8 Kerangka Teori Salmonellosis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh Salmonella typhi (S.typhi) yang dapat menyebabkan infeksi pada usus. Penyakit ini biasa disebut dengan demam tifoid atau penyakit tifus yang sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan di negara-negara berkembang dan umumnya merupakan daerah tropis. Angka kejadian penyakit ini akan meningkat pada musim kemarau panjang dan diawal musim penghujan. Pengobatan penyakit tyfus dapat dilakukan dengan pemberian antibiotic. Namun pada pemberian antibiotik mempunyai berbagai hambatan. Hambatan yang pertama yaitu jenis antibiotik yang efektif untuk menangani penyakit Salmonellosis terbatas, kemudian pemberian antibiotik yang kurang terkontrol dapat menyebabkan resistensi antibiotik. Hambatan lain yang masih menjadi kendala yaitu biaya yang mahal untuk perawatan dan pengobatan. Salah satu pilihan alternative untuk menangani penyakit salmonellosis adalah dengan menggunakan tanaman tradisional. Tanaman tradisional yang dapat dimanfaatkan adalah kulit batang kemiri (Aleurites moluccana). Pada korteks kulit

batang kemiri diketahui mengandung senyawa tannin. (Sarmoko, 2013) Tahap awal yang dilakukan adalah pengambilan ekstrak kulit batang kemiri dengan metode maserasi untuk mendapatkan senyawa tannin. Senyawa tersebut dapat diekstrasi menggunakan metode maserasi. Setelah dilakukan ekstrasi, ekstrak harus diisolasi untuk mendapatkan isolat. Tahap akhir yang akan dilakukan adalah pengujian aktivitas antibakterinya untuk menangani Salmonella typhi 2.9 Hipotesis 1. Ekstrak tannin kulit batang kemiri dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri Salmonella typhi.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif. Penelitian ini meliputi tiga tahap kerja yaitu tahap persiapan, tahap pelaksanaan dan tahap akhir. Pertama, tahap persiapan meliputi sterilisasi semua alat yang digunakan pembuatan media pertumbuhan bakteri, pembuatan senyawa tanin kulit batang kemiri dan penyiapan suspensi bakteri. Kedua, tahap pelaksanaan yaitu pengujian parameter mutu tanin kulit batang kemiri dan aktivitas antibakteri senyawa tanin kulit batang kemiri terhadap S.typhi. Ketiga, tahap akhir yaitu melakukan pengamatan terhadap hasil pengujian dan analisa data. 3.2 Populasi dan Sampel 1. Populasi penelitian ini adalah senyawa tanin kulit batang kemiri 2. Sampel penelitian ini adalah tanin kulit batang kemiri yang diperoleh dari metode maserasi. 3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian pengujian untuk mengetahui daya hambat tanin kulit batang kemiri sebagai

antibakteri

terhadap

Salmonella

typhi

dilakukan

di

Laboratorium

Mikrobiologi Akademi Farmasi Putra Indonesia Malang. Waktu penelitian ini dilakukan mulai Maret 2016 sampai dengan selesai. 3.4 Definisi Operasional Variabel Pada penelitian ini terdapat dua variabel yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel Bebas dari penelitian ini adalah hasil partisi kulit batang kemiri dengan pelarut campuran air dan n-butanol. Sedangkan variabel terikat pada penelitian ini adalah aktivitas antibakteri ekstrak kulit batang kemiri. Variabel

Definisi Operasional Alat Variabel

Hasil Ukur

Skala Ukur

-

-

Ukur

Variabel Bebas: Pengunnan pelarut Visual Hasil partisi campuran air dan ndengan pelarut butanol pada proses campuran air dan partisi n-butanol (1:1)

Variabel Terikat: Aktivitas antibakteri senyawa kulit kemiri S.typhi

tanin batang terhadap

Kemampuan

Visual

Hambatan

senyawa tanin kulit dan

zona

batang kemiri dalam alat

satuan (mm)

Nominal

dalam

menghambat bakteri ukur S.typhi yang ditandai jangka dengan adanya zona sorong bening

disekitar

media

tumbuh

bakteri 3.5 Instrumen Penelitian 3.5.1 Alat Alat yang digunakan antara lain kaca arloji, autoklaf, spatel logam, jangka sorong, timbangan analitik, cawan petri, pipet tetes, pipet volume, mikropipet, pembakar Bunsen, tabung reaksi, pinset, gelas ukur, beaker glass, Erlenmeyer, kawat ose, incubator, penangas air, batang pengaduk, alumunium foil, kapas non lemak, vial dan tutup, thermometer dan alat-alat lain yang ada di Laboratorium 3.5.2

Mikrobiologi. Bahan Bahan yang digunakan antara lain kulit batang kemiri,biakan murni bakteri Salmonella typhi, larutan etanol 95%, air suling steril, kertas saring, tetrasiklin hidroklorida (antibiotik pembanding), dan media NA (Nutrien Agar), alcohol 90%, NaCl Fisiologis, n-heksana, methanol. Untuk penapisan fitokimia senyawa tannin digunakan larutan gelatin 1%, larutan besi (III) klorida 1 %

3.6 Pengumpulan Data Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan langkah kerja sebagai berikut: 3.6.1 Determinasi Determinasi dilakukan di tempat pengambilan daun beluntas. 3.6.2 Preparasi sampel 1. Dikumpulkan kulit batang kemiri 2. Dibersihkan kotoran kulit batang kemiri dibawah air mengalir hingga bersih 3. Dipotong kulit batang kemiri menjadi potongan yang lebih kecil 4. Dikeringkan dibawah sinar matahari hingga kering

5. Dihaluskan simplisia daun beluntas hingga menjadi bentuk serbuk dengan blender. 6. Diayak dengan ayakan 3.6.3 Ekstraksi Maserasi 1. Sampel berupa kulit batang kemiri kering dihaluskan sebanyak 1 kg. 2. Sampel dimaserasi menggunakan pelarut n-heksana selama 12 jam, kemudian dilakukan penyaringan dengan corong Buncher. Perlakuan ini diulang sebanyak 2 kali 3. Residu dikeringkan secara vakum pada suhu 30oC samapi bebas n-heksana. 4. Residu yang telah bebas n-heksana dimaserasi dengan methanol sebanyak 2 liter selama 24 jam, kemudian dilakukan penyaringan dengan corong Buncher. Perlakuan ini diulang sebanyak 5 kali atau sampai terekstrak sempurna. 5. Filtrat yang dihasilkan digabung, kemudian diuapkan sampai semua pelarut 3.6.4

3.6.5

3.6.6

habis. Kemudian dilanjutkan dengan metode partisi. Metode Partisi Partisi Menggunakan Pelarut Campuran air dan n-butanol (1:1) 1. Disiapkan corong pisah. 2. Diisi corong pisah dengan 1 bagian ekstrak pekat kulit batang kemiri 3. Ditambahkan pelarut campuran air dan n-butanol, kemudian dikocok. 4. Ditunggu hingga terbentuk lapisan. 5. Diambil ektrak kental daun beluntas yang mengandung tanin. Pengujian Senyawa Tanin 1. 2 gram simplisia dimasukkan dalam tabung reaksi ditambahkan aquadest 50 ml, dan dididihkan selama 15 menit. 2. Diambil 5 ml filtrate dipindahkan dalam tabung reaksi lain. 3. Kemudian ditambahkan pereaksi besi (III) klorida. 4. Adanya senyawa tannin ditandai dengan adanya warna hitam kehijauan. Pembuatan Media Agar Nutrien Agar (NA) 1. Ditimbang 23 gram NA 2. Dimasukkan kedalam Erlenmeyer 3. Ditambahkan 1 liter aquades 4. Dipanaskan sambil diaduk hingga campuran homogen dan warnanya tampak jernih 5. Ditutup erlenmeyer dengan menggunakan kapas dan kertas coklat 6. Dimasukkan kedalam autoklaf dengan suhu 121˚C selama 15 menit untuk

3.6.7

disterilisasi Pembuatan Suspensi Bakteri 1. Bakteri ditanam pada media pertumbuhan Nutrien Agar (Na) miring 2. Diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam 3. Bakteri yang akan diuji disuspensikan dengan cara menumbuhkan bakteri dalam media cair NaCl fisiologis

3.6.8

4. Diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37oC Pengujian Aktivitas Antibakteri Pada pengujian aktivitas antibakteri digunakan metode difusi agar dengan sumur. 1. Sebanyak 200 μL masing-masing bakteri ditambahkan ke dalam 20 mL media Nutrien Agar (NA) untuk bakteri 2. Campuran diputar sampai homogeny, didinginkan hingga menjadi padat dalam cawan petri

3. Dibuat sumur berdiameter ± 6 mm dengan menggunakan prevorator 4. Dimasukkan 50 μL masing-masing ekstrak uji ke dalam sumur yang telah

3.6.9

di prainkubasi selama 30 menit pada suhu kamar 5. Inkubasi dilakukan pada suhu 37oC selama 48 jam untuk bakteri 6. Diameter hambat diamati setelah periode inkubasi Penentuan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) Pada penentuan Konsentrasi Hambat Minimum (KHM) dilakukan dengan metode pengenceran agar. 1. Sebanyak 1000

μL

ekstrak kulit batang kemiri dengan berbagai

konsentrasi ditambahkan ke dalam19 mL media agar yang telah dicairkan dalam cawan petri steril 2. Campuran diputar sampai homogeny, didinginkan hingga menjadi padat. 3. Sebanyak 1 Ose suspense bakteri kemudian diinokulasi di atas permukaan agar padat 4. Diinkubasi pada suhu 37oC selama 48 jam untuk bakteri 3.7 Analisa Data Data hasil pengujian aktivitas antibakteri dianalisi dengan uji normalitas, uji homogenitas kemudian dilanjutkan dengan uji One Way ANOVA untuk mengetahui perbedaan signifikan dari aktivitas ekstrak dengan antibiotik pembanding.

DAFTAR RUJUKAN Andriani,

Evi.

2010.

Tifus

Penyakit

yang

Menyakitkan,

(Online)

(http://eviandrianimosy.blogspot.com/2010/04/tifus-penyakit-yang menyakitkan.html) Diakses 11 Juni 2015 Anonim. 2013. Khasiat dan Kandungan Kemiri, (Online). https://minyakkemiriasli.wordpress.com./khasiat-dan-kandungan-kemiri. Diakses 5 Juni 2015. Anonim. 2014. Makalah Farmakognosi “Tanin”. Bandung : Sekolah Tinggi Farmasi. Azidiwi, Irwan dkk. 2007. UJI AKTIVITAS EKSTRAK SAPONON FRAKSI n-BUTANOL DARI KULIT BATANG KEMIRI (Aleurites moluccana WILLD) PADA LARVA NYAMUK Aedes aegypti. Kalimantan selatan : Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan

Alam Universitas Lambung mangkurat. Besung, I Nengah Kerta. 2011. PENGARUH EKSTRAK PEGAGAN (Centella Asiatica) DALAM MENINGKATKAN KAPASITAS FAGOSIT MAKROFAG PERITONEUM MENCIT TERHADAP Salmonella typhi. Universitas Udayana. Krinawati, H. Kallio, M. dan Kanninen, M. 2011. Aleurites moluccana (L) Willd : echology, silviculture dan produktivitas. CIFOR, Bogor, Indonesia Rostinawati, Tina. 2009. AKTIVITAS ANTIBAKTERI EKSTRAK ETANOL BUNGGA ROSELLA (Hibiscus Sabdariffa L.) TERHADAP Escherichia coli, Salmonella typhi dan Staphylococcus aureus DENGAN METODE DIFUSI AGAR. Jatinegoro : Fakultas Farmasi Universitas Padjajaran. Sarmoko. 2014. KEMIRI (Aleurites moluccana), (Online). ccrc.farmasi.ugm.ac.id. Diakses 5 Juni 2015

Related Documents


More Documents from "TiraSeptSejati"