Model-model Teologi Kontekstual.pptx

  • Uploaded by: F. B. Widyawan
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Model-model Teologi Kontekstual.pptx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,396
  • Pages: 30
Loading documents preview...
Model-Model Teologi Kontekstual Stephen. Bevans Sejarah Dogma Gereja 04 Mei 2018

Mengapa Teologi Dewasa ini Mesti Kontekstual?  Faktor-Faktor Ekternal:

1. Suatu ketidakpuasan umum, baik di Dunia Pertama maupun Dunia Ketiga, menyangkut pendekatan klasik terhadap teologi. - Filsafat klasik yang menjadi lancasan teologi tampaknya tidak senada dengan pengalaman kontemporer. - Di Asia, Afrika, Amerika Latin, dan Oseania, orang-orang Kristen sadar bahwa pendekatan- pendekatan tradisional terhadap teologi tidak sungguh-sungguh bermakna dalam pola-pola kebudayaan serta bentukbentuk-bentuk pemikiran mereka sendiri. Raimon Pannnikar  Barat (dipengaruhi semangat Pencerahan): prinsip kontradiksi, India: bisa “ya”, bisa “tidak”. 2. Ciri opresif dari pendekatan-pendekatan yang lebih tua. - contoh: para teolog Amerika Latin telah menemukan bahwa teologi tradisional bukannya menyuarakan sepatah kata pengharapan kepada kaum miskin yang tertindas di Amerika Latin, melainkan seringkali digunakan secara ideologis untuk membenarkan status quo dari dominasi yang berkesinambungan oleh kaum kaya dan berkuasa.

Mengapa Teologi Dewasa ini Mesti Kontekstual? 3. Bertumbuhnya jati diri Gereja-Gereja lokal juga memberi sumbangsih kepada keniscayaan pengembangan teologi-teologi yang sungguhsungguh bersifat kontekstual. - Negeri-negeri bekas jajahan dan Gereja-Gereja yang terdapat dalam bangsa-bangsa tersebut mulai memiliki rasa percaya diri akan kemampuan mereka untuk melakukan segala sesuatu oleh mereka sendiri (pasca kolonialisme). 4. Pemahaman tentang kebudayaan yang disediakan oleh ilmu-ilmu kontemporer. - Bernard Lonergan membedakan antara kebudayaan klasik dan kebudayaan empiris. Klasik: hanya ada satu kebudayaan dan kebudayaan itu serentak bersifat universal dan abadi. Kebudayaan empiris: kebudayaan sebagai seperangkat makna dan nilai yang memberitahu cara hidup – dan tentu saja ada banyak “perangkat” seperti itu seantero jagad.

Mengapa Teologi Dewasa ini Mesti Kontekstual?  Faktor-Faktor Internal: 1. Ciri inkarnatif agama Kristen - “Begitu besar kasih Allah akan dunia ini” (Yoh 3:16) sehingga Ia berkehendak untuk membagikan diri-Nya sendiri kepada manusia, serta mengundang mereka masuk ke dalam relasi yang memberi kehidupan dengan diri-Nya. Melalui diri kita, Allah mesti menjadi orang Asia atau Afrika, hitam atau coklat. Kristen: mesti melanjutkan terus inkarnasi Allah dalam diri Yesus itu dengan menjadi kontekstual. 2. Ciri sakramental dari realitas - Doktrin inkarnasi memaklumkan bahwa Allah diwahyukan bukan terutama dalam gagasan-gagasan, melainkan dalam realitas nyata. Perjumpaan dengan Allah dalam diri Yesus terus berlangsung di tengah dunia.

Mengapa Teologi Dewasa ini Mesti Kontekstual? 3. Pergeseran pemahaman tentang hakikat pewahyuan. - Klasik: pewahyuan tampil dalam bentuk kebenaran-kebenaran abadi yang diturunkan kepada kita dari Kristus dan para rasul. Pewahyuan Allah menyangkut kebenaran-kebenaran ini berakhir dengan “kematian rasul yang terakhir” - Sekarang: pewahyuan dimengerti sebagai tawaran diri Allah sendiri kepada manusia dengan menggunakan sarana tindakan-tindakan konkret dan simbol-simbol dalam sejarah serta kehidupan sehari-hari orangperorangan. Konsekuensinya: iman dipahami sebagai sebuah tanggapan personal – pemberian diri seorang pribadi kepada Allah.

Mengapa Teologi Dewasa ini Mesti Kontekstual?

4. Ciri Katolisitas Gereja - Hakikat jemaat Kristen merangkul semua, meliputi semua dan menerima semua. Gereja merangkul manusia karena ia melihat manusia baik dan suci adanya.

5. Doktrin Trinitas - Pemahaman kontemporer tentang Allah sebagai Trinitas melihat Allah sebagai persekutuan tiga Pribadi yang dinamis lagi relasional, yang menurut tuntutan kodratnya mesti ada dan bergiat di tengah dunia, seraya memanggil dan membujuknya untuk masuk ke dalam kepenuhan relasi, yang oleh tradisi Kristen disebut dengan istilah “keselamatan”. Allah berkarya demi keselamatan manusia di tengah-tengah konteks manusia, rupa-rupa kebudayaan, berbagai peristiwanya, aneka penderitaannya, dan beragam kegembiraannya.

Model-Model Teologi Kontekstual  Model-model ini merupakan konstruksi dan bukan cermin dari realitas “di luar sana”. Model-model adalah “tipe-tipe ideal”, entah berupa posisiposisi teoritis yang dirancang secara logis. Barbour menekankan bahwa model-model ini bukan sekadar “rekaan yang berfaedah”. Model-model ini merupakan cara membedah suatu realitas yang majemuk dan sangat beraneka ragam. Model-model ini menyajikan suatu sudut pandang. Misal: model Allah sebagai Bapa menyajikan sebuah pemahaman yang memadai, walaupun bukan satu-satunya tentang misteri Allah.  Model dalam arti yang paling sering digunakan dalam teologi adalah apa yang disebut sebagai model teoretis. Model ini adalah sebuah “kasus” yang berguna untuk menyederhanakan sebuah realitas yang majemuk lagi rumit, walaupun penyederhanaan semacam itu tidak secara oenuh menangkap realitas tersebut, namun ia sungguh-sungguh menghasilkan pengetahuan yang benar tentangnya.

Model-Model Teologi Kontekstual  Peta model-model Teologi Kontekstual Model Transendental Model Antropologi

Ö

Ö

Ö

Ö

Model Praksis Model Sintesis Model Terjemahan Model Budaya Tandingan

Ö

Ö

Ö

Ö

Ö

Ö

Ö

Ö

Pengalaman

Amanat Injil

Kebudayaan

Tradisi

Lokasi sosial Perubahan budaya

Model-Model Teologi Kontekstual  Keterangan Peta:

1. Model yang paling konservatif adalah model budaya tandingan, mengakui pentingnya konteks, namun secara radikal mencurigai kekudusandan daya pewahyuannya. 2. Model terjemahan adalah model yang, walaupun tentunya mengindahkan pengalaman, kebudayaan, lokasi sosial serta perubahan budaya, namun memberi lebih banyak penekanan pada kesetiaan terhadap apa yang dipandang sebagai hal-hal yang hakiki dari Kitab Suci dan tradisi. 3. Model yang paling radikal adalah model antropologis, secara khusus menekankan jati diri budaya serta relevansinya untuk teologi lebih daripada Kitab Suci atau tradisi, yang dipandangnya penting namun merupakan hasil dari teologi-teologi yang relative bersifat kontekstual yang ditempa dalam konteks-konteks yang sangat partikular.

Model-Model Teologi Kontekstual 4. Seorang penganut model praksis akan membidik penting atau perlunya konteks yang melibatkan perubahan sosial atau perlunya perubahan sosial itu dalam perumusan imannya. 5. Seorang yang memilih model sintesis akan berjuang keseimbangan yang sempurna dari semua unsur tadi.

menjaga

6. Akhirnya, pandangan model transcendental memusatkan perhatian bukan pada isi yang hendak dirumuskan, melainkan pada subjek yang merumuskan. Harapannya, pribadi yang sungguh-sungguh bersikap autentik dalam imannya dan dalam keberadaannya di tengah dunia, maka ia akan mampu mengungkapkan imannya dalam cara yang secara autentik bersifat kontekstual.

Model-Model Teologi Kontekstual  Model antropologis, karena merupakan model yang paling jauh beralih dari isi teologi, maka ditempatkan pada ujung paling kiri.  Model budaya tandingan, karena perhatiannya yang utama ialah menantang konteks dengan isi Kitab Suci dan tradisi, maka ditempatkan pada ujung kanan.  Model-model lain ditempatkan di antara keduanya, walaupun model transcendental melayang agak ke atas, karena model ini lebih memusatkan perhatian pada subjek yang berteologi daripada terhadap kandungan teologi.

Model Terjemahan  Merupakan model yang paling umum dipakai, dan biasanya merupakan model yang paling sering dibayangkan orang ketika mereka memikirkan ihwal berteologi dalam konteks.  Model terjemahan menunjukkan bahwa model ini kemungkinannya merupakan cara paling tua yang mengindahkan konteks berteologi secara sungguh-sungguh, dan model itu ditemukan di dalam Kitab Suci sendiri. Paus Yohanes Paulus II menulis bahwa kotbah-kotbah Paulus di Listra dan Athena (Kis 14:15-17 dan 17:22-31) “merupakan kotbah-kotbah yang memberikan contoh tentang inkulturasi Injil”.  Terjemahan tidak dimaksudkan terjemahan harafiah, kata demi kata. Pendekatan korespondensi formal: setiap terjemahan harus terjemahan atas makna, bukan melulu kata-kata dan tata bahasa. Terjemahan harus bersifat idiomatic, dilakukan dengan padanan fungsional dan dinamis.

Model Terjemahan  Kraft: “kebenaran teologis mesti diciptakan kembali sebagai sebuah terjemahan atau transkulturasi yang dinamis-sepadan di dalam bahasa yang menyertai bingkai gagasan para pendengar agar relevansinya yang benar bisa mereka pahami secara tepat”.  Pengandaian kunci: pewartaan hakiki agama Kkristen bersifat adi-budaya atau adi-kontekstual. Metafora: kiasan bernas dan sekam. Ada bernas Injil, yang dikelilingi oleh sekam budaya yang dapat ditampi, dibuang dan bersifat tidak hakiki.  Beberapa teolog (Saphir Athyal dan Byang Kato) melihat intisari Injil itu sebagai “Kristus menjelma”. Donald McGavran berpendapat bahwa Intisari Injil adalah keyakinan dan kesetiaan kepada a) Allah Tritunggal, b) Kitab Suci, dan c) peraturan-peraturan serta ajaran-ajaran yang ditetapkan dalam Kitab Suci.

Model Terjemahan Pengalaman Masa Lampau

Pengalaman Masa Kini (Konteks)

        Kitab Suci

Kebudayaan (secular, religius)

Pengalaman (personal, komunal)

Lokasi sosial

Tradisi

Perubahan Sosial

-

Mengindahkan pewartaan agama Kristen sebagaimana terekam dalam Kitab Suci dan diteruskan dalam tradisi.

-

Model ini mengakui ambivalensi realitas kontekstual, entah pengalaman pribadi atau masyarakat, tatanan nilai dari suatu kebudayaan atau agama, lokasi sosial seseorang atau gerakan-gerakan perubahan dunia.

-

Seorang praktisi model terjemahan dapat menerima nilai-nilai yang terdapat dalam semua kebudayaan atau konteks, sambil tetap menaruh komitmen pada daya kuasa Injil yang membarui dan menantang.

Model Antrpologis  Model ini adalah pengukuhan atau pelestarian jati diri budaya oleh seorang pribadi yang beriman Kristen.  Menurut model ini, pilihan yang utama adalah menjadi seorang Kristen Indonesia. Yang penting dari model ini adalah pemahaman bahwa agama Kristen adalah ihwal menyangkut pribadi manusia dan kesempurnaannya. Ini tidak berarti bahwa Injil tidak dapat menantang sebuah konteks, tetapi tantangan seperti itu selalu dipandang dengan sikap curiga bahwa tantangan itu tidak berasal dari Allah, tetapi dari suatu kecenderungan dan perspektif kontekstual (Barat, Laut Tengah) yang memaksakan nilai-nilainya kepada kebudayaan yang lain.  Model antropologis bersifat “antropologis” dalam dua arti. Pertama, model ini berpusat pada nilai dan kebaikan Anthropos, pribadi manusia. Pengalaman manusia dipandang sebagai kriteria penilaian yang mendasar menyangkut apakah suatu pengungkapan kontekstual tertentu, terbilang sejati atau tidak. Kedua, ia menggunakan wawasan-wawasan ilmu-ilmu sosial, terutama antroplogi.

Model Antrpologis  Seorang praktisi model antropologis tidak mendekati Kitab Suci sebagai suatu pewartaan particular atau seperangkat doktrin yang dibungkus atau diberi busana dalam pernak-pernik kebudayaan asing, namun pada kahirnya sama saja, tetapi ia memahami Kitab Suci adalah produk-produk pengalaman religius yang dibentuk secara sosial dan kultural, yang muncul dari kehidupan bangsa Ibrani dan jemaat Kristen bahari itu sendiri. Doktrindoktrin pada segala waktu dibentuk oleh rupa-rupa kebudayaan dan kepentingan sosio-politik Eropa Barat.  Pengandaian kunci: kebudayaan membentuk cara agama Kristen merumuskan diri.  Leonardo Mercado, “Walaupun teologi Barat memiliki manfaat atau kegunaan tersendiri, namun orang-orang Filipina yang menceburkan dirinya ke dalam kategori-kategori Barat akan menjadi narapidana. Oleh sebab itu, sebuah pengetahuan tentang kategori-kategori orang Filipina atau orang-orang Timur lainnya akan membantu dia dalam proses berteologi dengan umat.”

Model Antrpologis  Seorang praktisi model Antropologis berupaya mendengarkan satu konteks tertentu dalam rangka mendengarkan Firman Allah sendiri di tengahtengah strukturnya sendiri, yang tersembunyi di sana bagaikan sebutir benih yang tertidur sejak permulaan zaman dan siap untuk berkecambah serta bertumbuh secara penuh.  Para Uskup Asia Timur (1974) berbicara tentang pentingnya spiritualitas Asia Timur. “Metode ini mewajibkan kami untuk menemukan unsur-unsur manakah dalam kebudayaan Timur, yang bisa digunakan untuk mengembangkan sebuah spiritualitas Asia Timur. Bentuk-bentuk tradisional, seperti asketisme, ajaran dan praktik etika Cina klasik, metode-metode meditasi dan doa Timur merupakan beberapa bidang di mana inkarnasi semcam itu digalakkan.”

Model Antrpologis Pengalaman Masa Lampau

Pengalaman Masa Kini (Konteks)

      Kitab Suci Pengalaman (personal, komunal) Tradisi

Kebudayaan (secular, religius) Lokasi sosial Perubahan Sosial

-

Kekuatan model ini: berasal dari kenyataan bahwa ia melihat realitas manusia dengan sungguh-sungguh.

-

Memungkinkan orang untuk melihat agama Kristen dalam satu terang yang baru dan segar (bukan memasokkan gagasan-gagasan asing).

-

Mulai di tempat umat berada, dengan rupa-rupa persoalan serta kepentingan riil umat, bukan dengan persoalan-persoalan yang dicekokkan dari kontekskonteks yang lain.

-

Bahayanya: ia dengan mudah bisa menjadi mangsa romantisme budaya. Romatisme terbukti oleh tiada pemikiran yang kritis atas kebudayaan bersangkutan. Romantisme menutup mata terhadap kenyataan bahwa gambaran yang idealis tentang suatu kebudayaan yang dilukiskan oleh praktisi model ini sebenarnya tidak ada.

Model Praksis  Model ini menekankan bahwa teologi itu dilakukan bukan melulu dengan menyediakan ungkapan-ungkapan yang relevan bagi iman Kristen, melainkan terutama oleh komitmen kepada tindakan Kristen.  Model praksis: kesatuan antara pengetahuan sebagai aktivitas dan pengetahuan sebagai isi.  Model ini sering dinamakan “model pembebasan” (J. Moltmann dan J.B. Metz).  Agama Kristen sejati mesti menentang struktur-struktur opresif, bukan melulu dengan berupaya mengubah segi-segi tertentu, melainkan dengan berupaya menggantikannya sama sekali.  Meski erat bertalian dengan teologi pembebasan, namanya tetap dipertahankan sebagai model praksis. Alasannya: a) proses kontekstualisasi tidak mesti mengankat tema-tema pembebasan. Kita dapat berteologi dengan melakukan aksi berdasarkan refleksi dan mengadakan refleksi atas tindakan kita; b) istilah ini lebih menyingkapkan bahwa kekhasan model ini tidak terletak pada tema tertentu, tetapi pada suatu metode tertentu.

Model Praksis  Teologi itu tidak disusun dalam bentuk konkret, permanen, dan dicetak, melainkan lebih dalam arti sebuah aktivitas, sebuah proses, sebuah cara hidup.  Praktisi model ini melihat peran penting aspek kebudayaan dari suatu konteks dalam mengembangkan sebuah pemahaman iman.  Pengandaian kunci: gagasan tentang pewahyuan. Model ini memandang pewahyuan sebagai kehadiran Allah di dalam sejarah – di dalam peristiwa hidup sehari-hari, dalam struktur-struktur sosial dan ekonomi, di dalam situasi-situasi penindasan, dan di dalam pengalaman kaum miskin dan yang tertindas.  Kehadiran dan undangan Allah untuk berkarya di samping-Nya disediakan bagi semua orang tanpa pandang bulu.  Semua orang dipanggil untuk berteologi.

Model Praksis  Sebagai suatu metode teologi, model praksis oleh karena hakikatnya dikawinkan dengan sebuah khusus. Ia tidak pernah menjadi sebuah teologi yang “kakinya tidak berpijak di atas bumi”.  Berteologi sebagai refleksi kritis atas praksis membuat teologi menjadi sebuah ungkapan yang ampuh mengenai agama Kristen.  Model ini memberi ruang yang luas bagi pengungkapan pengalaman personal dan komunal, pengungkapan budaya atas iman, dan pengungkapan iman dari perspektid lokasi sosial.  Model ini mendapat kritik, dalam bentuknya yang konkret, yakni teologi pembebasan. Beberapa kalangan tidak nyaman atas penggunaan Marxisme oleh teologi pembebasan, yang lain memperlihatkan ciri selektif bahkan naif dari dara teologi ini dalam membaca Kitab Suci, sedang yang lain lagi mengkritik para teolog pembebasan yang memusatkan perhatian mereka pada hal-hal negated yang terdapat di dalam masyarakat.

Model Sintesis  Mempertahankan pentingnya pewartaan Injil dan khazanah warisan rumusan-rumusan doctrinal, seraya pada saat yang sama mengakui peran teramat penting yang dapat dan harus dimainkan konteks dalam teologi, bahkan sampai ke taraf penyusunan agenda teologi. Di samping itu , sintesis dimaksud juga mencakup peran penting aksi berdasarkan refleksi dan kebenaran demi pengembangan sebuah teologi yang peduli terhadap kerumitan serta kepelikan perubahan sosial dan budaya.

 Nama lain model ini: dialektis, dialogis, dwicakap, atau analogis.  Pengandaian: ciri campur aduk dari konteks manusia sebagai situasi dalamnya manusia itu hidup. Para praktisi model ini berkeyakinan bahwa setiap konteks memiliki unsur-unsur yang unik dan juga unsur-unsur yang dipunyai bersama dengan kebudayaan-kebudayaan atau kontekskonteks yang lain.  Yang penting dari model ini: sekaligus menekankan keunikan dan komplementaritas, oleh karena jati disi seseorang tampil dalam sebuah dialog yang mencakup dua-duanya.

Model Sintesis  Misalnya: berbicara tentang diriku sebagai orang Indonesia adalah berbicara dengan latar belakang sebagai orang Asia, yang dalam banyak hal ambil bagian dalam kebudayaan dan pola-pola bahasa Melayu, dipengaruhi oleh cara pandang Muslim dan pernah dijajah oleh suatu kebudayaan Barat (Belanda). Menjadi seorang Indonesia dalam banyak hal berarti menjadi orang Asia, Melayu, Muslim, dan Belanda, namun ada suatu ke-Indonesia-an yang tidak dimiliki oleh kebudayaan-kebudayaan ini, juga keempat ciri khas itu tidak dimiliki dalam ramuan yang persis sama.  Susunan campur aduk dari kebudayaan berarti bahwa setiap kebudayaan bisa meminjam dan belajar dari setiap kebudayaan yang lain, namun tetap tinggal unik. Contoh: penggunaan teknologi komputer tidak perlu merusakkan nilai-nilai yang ada di dalam bentuk bentuk komunikasi yang lebih tradisional.  Gagasan kunci model ini: seorang Indonesia mendapat banyak keuntungan dengan mempelajari Rahner dan Barth, sama banyaknya yang ia dapatkan dari seorang teolog lain yang ambil bagian dalam kebudayaan Indonesia.

Model Sintesis  Para praktisi model ini mengatakan bahwa ketika manusia itu saling berdialog maka kita mengalami pertumbuhan yang manusiawi. Dalam bahasa teologi, diakui bahwa tidak pada tempatnya untuk memuja-muji kebudayaan kita sendiri sebagai tempat satu-satunya di mana Allah dapat berbicara. Kita juga bisa mendengar Allah berbicara di dalam konteks-konteks yang lain dan – barangkali secara khusus – dalam konteks-konteks di mana Kitab Suci Ibrani dan Kitab Suci Kristen ditulis.  Pewahyuan Allah dipahami sebagai sesuatu yang secara historis dibatasi dalam konteks-konteks tertentu di mana Kitab Suci ditulis, dan dengan demikian memiliki suatu pewartaan yang dikondisikan oleh konteks tertentu. Namun, pewahyuan itu pada saat yang sama dipahami sebagai sesuatu yang mesti dibergiatkan di dalam konteks kita sendiri, seraya memanggil manusia untuk menyempurnakan konteks itu melalui pembaruan kultural dan perubahan dan perubahan sosial. Pewahyuan: sesuatu yang serentak sudah selesai, sekali, dan untuk selama-lamanya, pada suatu tempat tertentu, dan suatu yang terus berkesinambungan dan hadir dan bergiat di dalam semua kebudayaan, dan di dalam semua cara tanpa bisa dibatasi.  Kekuatan: keterbukaan dan dialog.

Model Transendental  Tugas merancang sebuah teologi yang kontekstual bukanlah menghasilkan kumpulan teks tertentu, melainkan ihwal menghiraukan kebergiatan perasaan dan namar dalam subjek yang melampaui dirinya.  Model ini menampilkan sebuah pergeseran yang mendasar dalam proses mengenal realitas. Ia tidak mulai dengan keyakinan bahwa realitas itu “ada di luar sana”, yang berada secara lepas pisah dari pengenalan manusia, tetapi menandaskan bahwa subjek yang mengenal terlibat secara penuh di dalam menentukan bentuk hakiki dari realitas. Dengan mengindahkan subjektivitas transcendental di dalam diri kita, ketika ia secara alim berupaya menggapai kebenaran, maka kita menemukan diri kita melakukan sebuah teologi kontekstual yang autentik.  Pengandaian: kita mulai berteologi secara kontektual bukan dengan memusatkan perhatian pada hakikat atau intisari pewartaan Injil atau tradisi dan yang sejenisnya, bukan dengan berupaya mengadakan tematisasi atau menganalisis konteks tertentu atau ungkapan-ungkapan bahasa dalam konteks tersebut. Kita memulai dengan diri kita sendiri, maka pentinglah untuk memahami bahwa kita tidak bisa dan tidak mungkin memulai dengan sebuah kehampaan. Justru sebaliknya, sebagai subjek, dalam setiap hal kita ditentukan oleh konteks kita.

Model Transendental  Saya adalah saya persis karena saya hidup pada kurun waktu tertentu, karena saya adalah pewaris khazananh bangsa dan budaya tertentu, karena saya memiliki sepasang orang tua tertentu dan telah mendapat jenis dan mutu pendidikan tertentu, dan seterusnya.  Teologi dipahami sebagai proses “menyingkapkan” siapa diriku, atau siapa kita sebagai seorang pribadi beriman, dalam setiap seginya, sebuah produk dari situasi historis, geografis, sosial dan kultural.  Pengandaian kedua: bahwa apa yang barangkali kelihatan privat dan personal bisa mengungkapkan pengalaman-pengalaman orang-orang lain yang ambil bagian dalam konteks dasar yang serupa – anggotaanggota satu generasi, satu kebudayaan, satu bangsa.  Lonergan: satu-satunya jalan menuju objektivitas yang benar ialah melalui subjektivitas yang radikal dan autentik atau berdasarkan kenyataan seperti yang dikatakan Carl Rogers, bahwa yang paling pribadi adalah yang paling umum.

Model Transendental  Praktisi model ini berkeyakinan bahwa apa yang barangkali tampaknya seperti sebuah titik tolak yang sempit di dalam pengalaman orang perorangan sebenarnya merupakan titik tolak terbaik untuk berteologi yang bisa berbicara kepada individu-individu lain – subjek-subjek yang ditakat secara historis dan kultural – yang ambil bagian dalam cara pandang kita tentang dunia.  Pengandaian ketiga: pewahyuan ilahi. Pewahyuan diri Allah tidak berlangsung “di luar sana”. Pewahyuan tidak berlangsung dalam katakata KS, doktrin-doktrin tradisi, atau bahkan tersembunyi di dalam labirin jaringan kebudayaan manusia, lokasi sosial dan perubahan sosial. Satusatunya tempat di mana Allah bisa mewahyukan diri-Nya secara venar dan berguna ialah di dalam pengalaman manusia.  Pengandaian keempat: keyakinan bahwa walaupun setiap orang benarbenar dibentuk secara historis dan kultural menyangkut isi pikirannya, namun akal budi manusia bergiat dalam cara-cara yang persis sama di dalam semua kebudayaan dan semua kurun sejarah.  Model ini mengakui bahwa setiap orang Kristen yang secara autentik coba memahami imannya berartiia sudah ambil bagian dalam proses berteologi, dalam melaksanakan teologi kontekstual yang sejati.

Model Budaya Tandingan  Bagaimana sejumlah konteks merupakan antithesis terhadap Injil, dan harus ditantang oleh daya pembebasan dan penyembuhan Injil. Model ini hendak menunjukkan bahwa tanah pribumi dari suatu konteks tertentu perlu disaingi dan dipupuk agar benih dapat ditanam. Kalau tidakm tanah itu sendiri tidak dapat mendukung pertumbuhan yang sehat dari tanaman, dan karena itu selalu membutuhkan perawatan dan penjagaan terusmenerus.

 Model ini menimba sumber yang kaya dan tak habis-habisnya dalam Kitab Suci dan tradisi. Dari KS model ini merujuk pada literatur kenabian yang sarat buday atndingan dari PL; dari makna ambigu istilah “dunia” yang terdapat dalam PB, khususnya dalam Injil Yohanes.  Model ini mengakui bahwa Injil mewakili suatu cara pandang atas dunia yang mencakup segala sesuatu, yang secara radikal berbeda dan membedakan Injil itu secara mendasar dari pengalaman manusia tentang dunia dan kebudayaan ciptaan manusia,.  Model ini bukan model anti budaya.

Model Budaya Tandingan  Model ini sungguh-sungguh menjumpai dan melibatkan dalam konteks itu melalui analisis kritis namun dengan sikap hormat, serta memaklumkan Injil yang sejati dalam kata dan perbuatan, maka kita dapat menyebut model ini sungguh-sungguh mengindahkan semangat profetis yang “menubuatkan” kebenaran dalam konteks dan kadang kala berhadaphadapan dengan “budaya kematian”, model ini bisa jufa disebut model profetis.

 Pengandaian: kemenduaan radikal dan tak memadainya konteks manusiawi. Tak ada masalah sama sekali menyangkut pentingnya kebudayaan misalnya, karena pewahyuan pun ditawarkan kepada manusia dala satu bentuk budaya dan sejarah tertentu; “Tak ada Injil bebas budaya”.  “Kontekstualisai yang benar memberikan keutamaan yang memang sepatutnya disandang Injil, dayanya untuk menerobos setiap kebudayan dan berbicara dalam setiap kebudayaan, dalam bahasa dan simbolnya sendiri, Sabda yang serentak berfirman Tidak dan Ya, hukuman dan rahmat. Konteks manusiawi tidak pernah memadai.

Model Budaya Tandingan  Sebagaian besar praktisi model ini mengakui perlunya “budaya tandingan dan bukannya budaya anti, namun bahaya itu tetap ada. Misal: misionaris dianggap sebagai pemusnah kebudayaan dalam upaya mewartakan Kristus.  Relevansi yang menantang dari jemaat tandingan selaku pendatangpendatang asing sebagai cara untuk terlibat secara autentik dalam konteks dewasa ini, namun bahaya sektarianisme selalu ada. Salah satu tanda pengenal Gereja adalah katolitasnya dan ini tanda yang memanggil Gereja untuk terlibat dalam dunia secara keseluruhan, dan bukannya menarik diri darinya.

Related Documents

Teologi
February 2021 2
Teologi
January 2021 2
Teologi Pb
January 2021 3
Teologi Pb
January 2021 1
Teologi Pb.doc.doc
January 2021 2
Teologi Yudas
February 2021 0

More Documents from "Chlemenci Dutu"

January 2021 2
Ms
January 2021 3
Formato Epicrisis
March 2021 0
Jelqing Manual
January 2021 1