Murabahah

  • Uploaded by: Anisha Desiliana Resti
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Murabahah as PDF for free.

More details

  • Words: 35,314
  • Pages: 183
Loading documents preview...
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh mana pembuatan akta otentik tertentu tersebut tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik diharuskan oleh peraturan perundangundangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Selain itu akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. Notaris membuat akta otentik yang merupakan alat pembuktian terkuat dan terpenuh yang mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam setiap kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, perbankan, kegiatan sosial, dan lain-lain, kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai kegiatan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional maupun internasional. Dengan adanya akta otentik, memberikan kepastian hukum bagi pemegangnya, dan menghindari terjadinya sengketa di kemudian hari, dan walaupun

sekiranya sengketa tidak dapat dihindari, akta otentik tersebut merupakan alat bukti tertulis terkuat dan terpenuh dalam proses penyelesaian sengketa.1 Seiring dengan perkembangan era globalisasi dewasa ini, kebutuhan masyarakat akan notaris dan akta-akta yang dibuatnya mengalami perkembangan yang semakin meluas. Masyarakat sekarang lebih mempunyai kesadaran hukum dalam melakukan hubungan-hubungan hukumnya, baik itu hubungan hukum dalam bidang bisnis, perbankan, bahkan kegiatan-kegiatan sosial telah menggunakan jasa notaris untuk membuat akta otentik yang mengikat para pihak dalam kegiatannya. Perkembangan ini juga berpengaruh besar terutama dalam bidang perbankan. Notaris merupakan salah satu unsur yang penting dalam setiap operasional transaksi perbankan, terutama dalam pembuatan akta-akta jaminan kredit/ pembiayaan, surat pengakuan hutang, grosse akta, legalisasi dan waarmerking, dan tugas-tugas lain dari notaris yang telah diatur oleh peraturan perundang-undangan. Dalam praktek perbankan, adanya hubungan hutang piutang dan upaya pinjam meminjam uang dengan jumlah tertentu, adalah merupakan suatu perbuatan lazim yang sering dilakukan. Pihak bank sebagai kreditur, memberikan kredit kepada nasabah sebagai debitur. Praktek pinjam meminjam sejumlah uang dalam sistem perbankan berakibat pada lahirnya pihak pemberi pinjaman (kreditur), yaitu bank, dan pihak penerima pinjaman (debitur), yaitu nasabah. Dengan kata lain, bank sebagai kreditur adalah sebagai pihak pemberi pinjaman, sedangkan nasabah sebagai debitur adalah sebagai penerima pinjaman. Pada bank konvensional yang menggunakan sistem bunga, 1

Penjelasan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris

pemberian pinjaman uang kepada nasabah debitur disebut dengan istilah pemberian kredit, sedangkan pada bank-bank syariah yang berdasarkan pada sistem pemberian imbalan atau bagi hasil, maka pinjaman sejumlah uang yang diberikan kepada nasabah debitur disebut dengan istilah pembiayaan. Pembiayaan AZ-Murabahah (jual beli) dalam praktek perbankan hanya ada dalam sistem perbankan syariah. Secara yuridis formal, keberadaan bank syariah telah diakui dalam sistem perundang-undangan Negara Republik Indonesia, termasuk keberadaan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. Dalam ketentuan Pasal 1 angka 3 dan 4, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut dengan Undang-undang Perbankan), disebutkan, bahwa undang-undang membagi jenis bank menjadi dua macam, yaitu bank umum dan bank perkreditan rakyat. Bank umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan/ atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran; Bank perkreditan rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.2 Ketentuan ini dipertegas dengan keluarnya Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang menyebutkan “Bank Syariah adalah Bank yang 2

Pasal 1 angka 3 dan 4, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undangundang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah”. 3 Undangundang ini juga mengganti istilah Bank Perkreditan Rakyat Syariah menjadi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah. “Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.”4 Dalam sistem perbankan dengan prinsip syariah istilah kredit berubah menjadi istilah pembiayaan, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1 angka 12 Undangundang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan yang menyebutkan: Pembiayaan berdasar Prinsip Syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Prinsip syariah oleh Pasal 1 angka 12 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya disebut dengan Undang-undang Perbankan Syariah) diberikan defenisi yaitu: prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Dari defenisi di atas, salah satu transaksi yang cukup populer dan dikembangkan dalam sistem perbankan syariah adalah sistem jual beli, seperti halnya diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (selanjutnya dalam tesis ini disebut dengan KUHPerdata). Dalam literatur 3 4

Pasal 1 angka 7, Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Pasal 1 angka 9, Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

hukum perdata, yang menjelaskan tentang pengertian jual beli ini, disebut dengan koop en verkoop (bahasa Belanda) dan purhcase and sale (bahasa Inggris).5 Hanya saja, dalam literatur hukum Islam, pengertian jual beli sebagaimana diatur dalam KUHPerdata itu, dalam fiqih Islam bentuk dan jenisnya dibagi pada tiga cara, yaitu 6:

1. Bai` Al-murabahah (Deferred Payment Sale), yaitu bentuk jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati.

2. Bai` As-Salam (In Front Payment Sale), yaitu pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan dimuka.7 3. Bai` Al-Istishna ( Purchase By Order Or Manufacture ), yaitu merupakan bentuk kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang.8 Dalam praktek sistem perbankan syariah yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia bahwa pembiayaan yang terbesar dilakukan adalah murabahah, juga dapat dilihat dari data jumlah nasabah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani yang sebagian besar pembiayaannya dengan murabahah. Oleh sebab itu, yang 5 6

Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang , 1977 hal. 872 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani, Jakarta,

2001. 7

Dalam perbankan, salam banyak dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Bank memberikan pembiayaan sebagai pembayaran penuh di muka di awal masa tanam sebagai modal bagi petani. Kemudian setelah panen petani wajib menjual hasil panennya kepada bank sesuai dengan kualifikasi dan perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Dalam akad ini, para phqak tidak dapat membatalkan kontrak secara sepihak. 8 Menurut jumhur ulama, Bai Al-istishna merupakan suatu jenis khusus dari akad ba’i assalam. Biasanya, jenis ini digunakan di bidang manufaktur. Dengan demikian, ketentuan ba’i alistishna mengikut ketentuan dan aturan ba’i as-salam. Jika perusahaan mengerjakan untuk memproduksi barang yang dipesan dengan bahan baku dari perusahaan, maka kontrak/ akad istishna muncul. Agar akad istishna menjadi sah, harga harus ditetapkan di awal sesuai kesepakatan dan barang harus memiliki spesifikasi yang jelas yang telah disepakati bersama. Dalam istishna, pembayaran dapat di muka, dicicil sampai selesai, atau di belakang. Dalam akad ini, apabila barang nelum di produksi, setiap pihak dapat membatalkan kontrak dengan memberitahukan sebelumnya kepada pihak yang lain, namun apabila perusahaan telah memulai produksinya, kontrak tidak dapat diputuskan secara sepihak.

dimaksud dengan Murabahah dalam tesis ini adalah identik dengan istilah jual beli dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dengan demikian setiap penyebutan istilah murabahah maksudnya adalah jual beli sebagaimana dimaksud dalam KUHPerdata. TABEL 1 STATISTIK PERBANKAN SYARIAH (ISLAMIC BANKING STATISTICS), JANUARI 20099

TABEL 2 DATA JUMLAH NASABAH/ REKENING PEMBIAYAAN 9

10

10

Http://www.bi.go.id diakses pada tanggal 3 Juni 2009 Laporan Internal Control Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani Bulan Oktober

Menurut beberapa kitab fiqih, Murabahah adalah salah satu dari bentuk jual beli yang bersifat amanah. Jual beli ini berbeda dengan jual beli musawwamah (tawar menawar). Murabahah terlaksana antara penjual dan pembeli berdasarkan harga barang, harga asli pembelian si penjual yang diketahui oleh si pembeli dan keuntungan penjual pun diberitahu kepada pembeli. Sedangkan musawwamah adalah transaksi yang terlaksana antara si penjual dengan si pembeli dengan suatu harga tanpa melihat harga asli barang.11 Dalam transaksi jual beli dengan sistem murabahah penjual menyebutkan dengan jelas barang yang akan dibeli termasuk harga pembelian barang dan keuntungan yang akan diambil. “Dalam bai` al-murabahah, penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai 2009 11

Hasballah Thaib, Hukum Aqad (Kontrak) Dalam Fiqih Islam Dan Praktek Di Bank Sistem Syariah, Program Pasca Sarjana USU, Medan , 2005, hal.121

tambahannya.”12 Misalnya, bank membeli mobil dari showroom pedagang mobil seharga

Rp.150.000.000.

Kemudian

ia

menambahkan

keuntungan

sebesar

Rp.50.000.000, dan menjualnya kepada pembeli dengan harga Rp.200.000.000. Pembeli dalam membayar harga pembelian mobil tersebut kepada bank, dapat dilakukan secara angsuran ataupun tunai untuk jangka waktu tertentu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Pada umumnya, bank tidak akan memesan barang yang akan dijual kepada nasabah debitur, sebelum ada pemesanan dari calon pembeli. Dapat juga dilakukan, nasabah debitur yang mencari barangnya, kemudian meminta kepada bank untuk membayarnya, lalu nasabah debitur membelinya kepada bank. Hal lain yang sering juga dilakukan, bank memberi kuasa kepada nasabah debitur untuk membeli barang atas nama bank, kemudian nasabah debitur membeli barang tersebut kepada bank. Dalam prakteknya di lapangan, umumnya antara bank dengan nasabah debitur, sudah menyepakati tentang lamanya pembiayaan, besar keuntungan yang akan diambil, serta besarnya angsuran yang akan dibayar. Oleh karena adanya pembelian secara angsuran inilah, yang menyebabkan terjadinya perbuatan hukum perdata yang melahirkan hubungan hutang piutang dan pinjam meminjam. Sistem jual beli secara angsuran atau kredit sebenarnya bukanlah merupakan bagian dari syarat dan sistem murabahah, karena murabahah dapat juga dibayar secara tunai. Sistem atau cara pembayaran hutang nasabah debitur yang diberikan melalui pembiayaan murabahah umumnya dilakukan secara angsuran, oleh karena memang seseorang tidak akan datang ke bank kecuali untuk mendapatkan pinjaman uang 12

Muhammad Syafi`i Antonio, Op.cit, hal.101

kemudian membayarnya secara angsur. Dalam kegiatan perbankan, transaksi secara angsuran ini mendominasi praktek pelaksanaan jual beli dengan sistem murabahah. Hal ini disebabkan karena dari 863 kali pembiayaan murabahah di Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, seluruhnya atau 100 % cara pembayaran dan pengembaliannya adalah dengan sistem angsuran. Sebagai realisasi dari hubungan antara nasabah debitur dengan bank ini biasanya diikat dengan perjanjian antara kedua belah pihak. Pada dasarnya, sesuai dengan prinsipnya pembiayaan tidaklah memerlukan suatu jaminan yang diserahkan oleh nasabah debitur kepada bank sebagai kreditur. Namun bank pada prakteknya memerlukan jaminan untuk mendapat kepastian hukum bahwa pembiayaan yang diberikan pada nasabah akan dapat diterima kembali. Keberadaan jaminan tersebut merupakan jalan untuk memperkecil resiko bank dalam menyalurkan kredit. Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan sama sekali tidak disebutkan defenisi jaminan. Namun dalam Penjelasan Pasal 8 angka 1 menyatakan: Kredit atau Pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Pemberian jaminan ini dapat diberikan terhadap barang bergerak maupun tidak

bergerak, dengan lembaga jaminan fidusia, gadai, jaminan perseorangan (bortogh), hipotek kapal maupun dengan hak tanggungan. Akan tetapi, khusus dengan tanah, terdapat tanah bersertifikat dan tanah yang belum bersertifikat. Tanah bersertifikat lembaga jaminannya adalah hak tanggungan, namun terhadap tanah yang belum bersertifikat, belum ada lembaga jaminannya secara resmi. Dahulu berlaku hypotek terhadap tanah bersertifikat, dan crediet verband terhadap tanah yang belum bersertifikat. Setelah keluarnya Undang-undang Nomor 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, hypotek terhadap tanah bersertifikat diganti menjadi hak tanggungan, dan crediet verband terhadap tanah yang belum bersertifikat tidak ada aturan hukum yang mengaturnya lebih lanjut. Walaupun tidak adanya aturan hukum mengenai tanah yang belum bersertifikat untuk dijadikan jaminan, pihak bank dan nasabah peminjam tetap menjadikan tanah tersebut untuk dijadikan jaminan. Oleh karena itu menjadi pertanyaan bagaimana kekuatan hukum tanah belum bersersertifikat sebagai objek barang jaminan dalam suatu pembiayaan hutang. Dalam hal pemberian kredit ataupun pembiayaan, pihak bank akan meminta pada notaris untuk membuat suatu akta otentik mengenai hubungan hukum yang mengikat pihak bank dengan debitur, tentu hal ini akan menimbulkan pertanyaan bagaimana notaris menerapkan dalam pembuatan akta jaminan dalam akad pembiayaan murabahah dengan jaminan tanah yang belum bersertifikat. Sesuai dengan kewenangannya dalam membuat akta, notaris berhak untuk membuat semua akta yang diperlukan oleh para pihak sepanjang kewenangan untuk

membuat akta tersebut tidak dikecualikan kepada pihak lain (openbaar ambtenaar), misalnya pembuatan akta nikah oleh Kantor Urusan Agama ataupun akta kelahiran yang dikeluarkan oleh Kantor Catatan Sipil. Apabila dikaitkan dengan pembuatan akta antara bank dan nasabah peminjam, maka notaris berhak dan berwenang untuk membuat seluruh akta yang diminta oleh para pihak. Di lain pihak, pihak dalam pemberian hutang dengan jaminan, dimana jaminan yang diserahkan oleh nasabah debitur adalah tanah, maka tanah yang dijaminkan adalah tanah yang telah bersertifikat. Hal ini karena tidak ada lembaga jaminan resmi bagi tanah yang belum bersertifikat. Berdasarkan hal tersebut kemudian timbul persoalan, dimana kadang kala nasabah debitur meminjam uang dengan jaminan tanah yang belum bersertifikat. Biasanya, bank-bank pemerintah tidak menerima tanah yang belum bersertifikat tersebut untuk dijadikan jaminan hutang, kecuali apabila jaminan tanah yang belum bersertifikat tersebut dibuatkan surat kuasa untuk mengurus pembuatan sertifikat hak oleh bank, dan dilanjutkan dengan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan setelah sertifikatnya selesai. Namun, pada bank-bank swasta, khususnya bank-bank kecil semisal bank perkreditan rakyat ataupun bank pembiayaan rakyat syariah, mereka menerima jaminan tanah yang belum bersertifikat tersebut. Pemberian hutang dengan jaminan tanah yang belum bersertifikat ini pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani biasanya diberikan dengan nilai di bawah Rp. 50.000.000,-. Untuk pengikatan hutangnya bukan dengan hak tanggungan karena tanah tersebut belum bersertifikat, namun dibuat oleh notaris dengan judul Akta Pengakuan Hutang Dengan Jaminan Dan Kuasa Menjual,

dibuat berdasarkan kewenangan notaris dalam membuat seluruh akta, dan juga berdasarkan asas kebebasan berkontak sesuai dengan pasal 1338 KUHPerdata. Akta yang dibuat oleh notaris, atas permintaan bank, dapat dibuat dengan grosse akta dengan irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan semua kenyataan yang ada tersebut, maka dianggap bahwa permasalahan di atas adalah merupakan permasalahan yng sangat menarik untuk dibahas dan diteliti. Atas latar belakang yang dipaparkan diatas, oleh sebab itu diangkatlah sebuah judul yaitu “Kajian Hukum Terhadap Peranan Notaris Dalam Pembuatan Akta Pembiayaan Murabahah Dengan Jaminan Tanah Yang Belum Bersertifikat” B. Perumusan Masalah Sebelum

membahas

lebih

lanjut,

perlu

untuk

mengidentifikasikan

permasalahan-permasalahan yang akan dikembangkan dalam penulisan tesis ini. Adapun yang menjadi pemasalahan dalam penulisan tesis ini adalah: 1. Bagaimana kekuatan hukum atas tanah belum bersertifikat sebagai objek jaminan dalam pembiayaan murabahah? 2. Bagaimana resiko bank atas pembiayaan murabahah dengan jaminan tanah yang belum bersertifikat? 3. Bagaimana peranan notaris dalam pembuatan akta jaminan dalam aqad pembiayaan murabahah atas tanah yang belum bersertifikat? C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah sebagai berikut: 1.

Mengetahui kekuatan hukum tanah belum bersertifikat sebagai objek jaminan dalam pembiayaan hutang.

2.

Mengetahui resiko bank atas pembiayaan murabahah dengan jaminan tanah yang belum bersertifikat.

3.

Mengetahui peranan notaris dalam pembuatan akta jaminan dalam aqad pembiayaan murabahah atas tanah yang belum bersertifikat.

D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memiliki manfaat, baik secara praktis maupun teoritis, yaitu: 1. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi para notaris, praktisi bank, dan masyarakat luas sehingga seluruh lapisan masyarakat yang berkepentingan dapat memiliki keyakinan hukum yang kuat dan benar. Terutama apabila menggunakan tanah yang belum bersertifikat dalam perjanjian hutangnya untuk dijadikan sebagai jaminan hutang. 2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan rujukan untuk penelitian lebih lanjut dalam upaya untuk membentuk sistem peraturan perundangundangan yang lebih tegas dan terperinci, sehingga peraturan hukum itu dapat melindungi hak dan kepentingan hukum semua lapisan masyarakat, terutama yang berhubungan dengan bank, khususnya terhadap hak dan kepentingan hukum masyarakat yang memiliki kemampuan sosial ekonomi menengah ke bawah.

Selanjutnya, dengan adanya tesis ini, diharapkan aparat yang berwenang dapat membuat peraturan perundang-undangan yang tepat, sehingga bisa memberikan kepastian hukum kepada masyarakat luas.

E. Keaslian Penulisan. Dari hasil penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, bahwa sudah ada beberapa tesis yang membahas masalah pembiayaan murabahah pada beberapa bank syariah yang ada Kota Medan, ataupun pada beberapa Kabupaten dan Kota yang ada di propinsi Sumatera Utara. Akan tetapi masalah yang dibahas, termasuk topik dan judul pembahasannya, berbeda dengan masalah dan judul pembahasan yang akan dibahas dalam tesis ini. Beberapa penelitian terkait yang pernah dilakukan adalah penelitian yang dilakukan oleh : 1. Nama

: Ridha Kurniawan Adnans

NIM

: 057011074

Program Studi

: Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara

Judul

: Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah (Studi Terhadap Pembiayaan Rumah/ Properti Pada Bank Negara Indonesia Syariah Cabang Medan)

Permasalahan

: a. Bagaimanakah konsep jual beli murabahah menurut syariat

Islam? b. Bagaimanakah penerapan sistem jual beli murabahah terhadap pembiayaan rumah/ properti pada bank BNI Syariah? c. Faktor-faktor apa saja yang menjadi kendala dalam pelaksanaan sistem jual beli murabahah terhadap pembiyaan rumah/ properti pada bank BNI Syariah? 2. Nama NIM Program Studi Judul

: Rifki Suryadi : 047011055 : Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara : Perjanjian Pembiayaan Murabahah Pada Bank Dengan Prinsip-Prinsip Syariah Islam (Penelitian di Bank Syariah Mandiri Medan)

Permasalahan : a. Bagaimanakah bentuk dari perjanjian (aqad) pembiayaan murabahah pada bank dengan prinsip-prinsip syariah Islam? b. Bagaimanakah bentuk jaminan dalam perjanjian pembiayaan murabahah? c. Bagaimanakah penyelesaian pembiayaan macet yang diikat dengan perjanjian murabahah? 3. Nama NIM

: Hasbullah Hadi, : 077011092

Program Studi

: Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara

Judul

: Kuasa Menjual Dalam Aqad Pembiayaan Murabahah, Sebagai Dasar Hukum Penjualan Barang Jaminan (Studi Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Gebu Prima Medan).

Permasalahan : a. Bagaimanakah isi perjanjian pembiayaan murabahah yang dilaksanakan oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Gebu Prima Medan? b. Bagaimanakah kekuatan yuridis dari Akta Kuasa Menjual yang dibuat mengikuti akta perjanjian pembiayaan murabahah di Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Gebu Prima Medan? c.

Bagaimanakah proses yang dilakukan oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Gebu Prima Medan dalam menjual barang jaminan milik nasabah debitur yang ingkar janji?

Berdasarkan pembuktian di atas, dapat diyakini bahwa judul tesis yang membahas masalah “Kajian Hukum Terhadap Peranan Notaris Dalam Pembuatan Aqad Pembiayaan Murabahah Dengan Jaminan Tanah Yang Belum Bersertifikat”, belum ada yang membahasnya. Oleh karena itu judul tesis ini dapat dijamin keasliannya sepanjang mengenai judul dan permasalahan seperti telah diuraikan diatas. Hal ini juga menambah keyakinan bahwa penelitian ini akan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori Dan Konsepsi. 1. Kerangka Teori Teori adalah merupakan suatu prinsip atau ajaran pokok yang dianut untuk mengambil suatu tindakan atau memecahkan suatu masalah. Landasan teori merupakan ciri penting bagi penelitian ilmiah untuk mendapatkan data. Teori merupakan alur penalaran atau logika (flow of reasoning/ logic), terdiri dari seperangkat konsep atau variabel, defenisi dan proposisi yang disusun secara sistematis.13 Teori berasal dari kata “theoria” dalam bahasa latin yang berarti perenungan, yang pada gilirannya berasal dari kata “thea” dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut dengan realitas. Dalam banyak literatur, beberapa ahli menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataannya), juga simbolis.14 Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan, bahwa salah satu arti teori ialah: “...pendapat, caracara dan aturan-aturan untuk melakukan sesuatu.”15 Menurut Kerlinger seperti yang dikutip oleh J. Supranto dalam bukunya, mengatakan bahwa “a theory is a set of inter-related constructs (concepts), defenitions, and proporsitions that presents a systematic view of phenomena by specifying relations among variables, with the purpose of explanning and predicting the phenomena”.16 Otje Salman dan Anton F Susanto akhirnya menyimpulkan pengertian teori 13 14

J.Supranto, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta: 2003, hal.194. HR.Otje Salman S dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005,

hal.21. 15

W.J.S.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985,

hal.1055. 16

J.Supranto, Op.Cit, hal 194

menurut pendapat dari berbagai ahli, dengan rumusan sebagai berikut : “Teori adalah seperangkat gagasan yang berkembang disamping mencoba secara maksimal untuk memenuhi kriteria tertentu, meski mungkin saja hanya memberikan kontribusi parsial bagi keseluruhan teori yang lebih umum.”17 “Teori dipergunakan sebagai landasan atau alasan mengapa suatu variabel bebas tertentu dimasukkan dalam penelitian, karena berdasarkan teori tersebut variabel yang bersangkutan memang bisa mempengaruhi variabel tak bebas atau merupakan salah satu penyebab.” 18 Dalam penelitian ini, menetapkan suatu kerangka teori adalah merupakan suatu keharusan. Hal ini dikarenakan, kerangka teori itu digunakan sebagai landasan berfikir untuk menganalisa permasalahan yang dibahas dalam tesis ini, yaitu mengenai peran dari seorang notaris dalam membuat akta, terutama peranan notaris dalam membuat akta perjanjian pembiayaan murabahah dengan jaminan tanah yang belum bersertifikat. Dalam pembahasan tesis ini, kerangka teori yang digunakan adalah berdasarkan hukum perikatan atau perjanjian yang mengatur hak dan kewajiban yang timbul akibat adanya suatu perjanjian hutang piutang di dalamnya. Jadi kerangka teori yang digunakan adalah berdasarkan asas kesepakatan dalam mengadakan perjanjian, dalam hal ini, kebebasan antara nasabah debitur dan bank untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian hutang piutang dengan jaminan tanah yang belum bersertifikat, walaupun tanah belum bersertifikat bukan merupakan objek dari suatu lembaga 17 18

HR.Otje Salman S dan Anton F Sisanto,Op.cit,hal 22 J.Supranto, Op.Cit,, hal.192-193.

jaminan, sebagaimana diatur dalam hukum perjanjian dan hukum jaminan. Hal ini dikarenakan kesepakatan atau persetujuan dalam suatu perjanjian adalah merupakan undang-undang yang mengikat bagi para pihak yang berjanji. Berdasarkan hal tersebut, dan juga berdasarkan kewenangan notaris untuk membuat akta otentik, maka kemudian notaris membuat akad pembiayaan murabahah dengan jaminan tanah yang belum bersertifikat. Pasal 1320 KUHPerdata menyebutkan, bahwa suatu perjanjian dianggap sah apabila telah memenuhi empat persyaratan pokok, yaitu: 1.

Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2.

Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3.

Suatu hal tertentu;

4.

Suatu sebab yang halal. Apabila telah dipenuhinya syarat-syarat untuk sahnya suatu perjanjian, maka

segala perjanjian dan perikatan yang dibuat oleh kedua belah pihak adalah sah dan mengikat keduanya seperti undang-undang, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat 1 KUHPerdata yang berbunyi “Semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Ketentuan mengikat bagi para pihak yang mengadakan perjanjian, baik terhadap materi perjanjian yang ada disebutkan dalam perjanjian, maupun terhadap segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang, semakin dipertegas lagi isinya dalam Pasal 1339 KUHPerdata

yang menyebutkan, bahwa: “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.” Jadi, setiap orang yang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi isi daripada perjanjian tersebut. Karena isi suatu perjanjian mengandung janji janji yang harus dipenuhi, dan janji janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang yang isinya wajib dipatuhi dan harus dilaksanakan. Untuk mengikat perjanjian yang telah dibuat oleh kedua belah pihak, maka dibutuhkanlah suatu akta otentik yang dibuat oleh seorang notaris. Adapun maksud dan tujuan dibuat dalam suatu akta otentik adalah dalam rangka untuk membuat suatu alat bukti. Akta sengaja dibuat untuk dapat dijadikan alat bukti tentang suatu peristiwa hukum dan ditandatangani. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1867 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa “pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan”. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, maka akta berfungsi untuk memastikan suatu peristiwa hukum dengan tujuan menghindari sengketa di kemudian hari. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka pembuatan akta harus sedemikian rupa sehingga apa yang diinginkan untuk dibuktikan itu dapat diketahui dengan mudah dari akta yang telah dibuat. Dalam Pasal 1868 KUHPerdata tersebut, hanya menerangkan apa yang dinamakan “akta otentik”, akan tetapi tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan pejabat umum, juga tidak dijelaskan tempat dimana dia berwenang, sampai dimana

batas-batas kewenangannya dan bagaimana bentuk menurut hukum yang dimaksud. Hal-hal tersebut diatas diatur oleh Peraturan Jabatan Notaris, sehingga dapat dikatakan bahwa Peraturan Jabatan Notaris adalah merupakan peraturan pelaksana dari Pasal 1868 KUHPerdata. Dengan demikian, notarislah yang dimaksud dengan pejabat umum itu.19 Peraturan perundang-undangan notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 117 Tahun 2004, yang mulai berlaku tanggal 6 Oktober 2004 adalah merupakan peraturan pengganti dari Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia Stb.1860 Nomor 3 yang telah berlaku sejak tanggal 1 Juli 1860. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya dalam tesis ini disebut dengan UUJN) menyatakan: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.” Pengertian tersebut adalah pengertian notaris secara umum, untuk kewenangan notaris, diuraikan lebih lanjut di dalam Pasal 15 ayat 1. Ketentuan Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris Stb. 1860 Nomor 3 menyatakan pengertian notaris, yaitu: Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan perundang-undangan dan/ atau oleh yang dikehendaki oleh yang berkepentingan, untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak jugaditugaskan atau 19

GHS Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1991, hal . 35

dikecualikan kepada pejabat atau orang lain yang ditetapkan oleh undangundang.20 Kewenangan notaris dalam membuat akta otentik meliputi 4 hal, yaitu: kewenangan menyangkut akta yang dibuat, para pihak yang menghadap, tempat dan waktu pembuatan akta. Apabila salah satu dari persyaratan tersebut tidak dipenuhi, maka akta yang dibuat menjadi tidak otentik dan hanya mempunyai kekuatan seperti halnya akta yang dibuat di bawah tangan apabila akta ditandatangani oleh para pihak. Disinilah letak arti pentingnya profesi notaris, bahwa notaris karena oleh undang-undang diberi wewenang menciptakan alat pembuktian yang mutlak. Dalam pembuktiannya apa yang tersebut dalam akta otentik pada pokoknya dianggap benar. Hal ini sangat penting bagi mereka yang membutuhkan alat pembuktian untuk suatu keperluan, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk kepentingan suatu usaha. Dalam hal kewenangan utama notaris adalah untuk membuat akta otentik, maka otensitas dari akta notaris tersebut bersumber dari Pasal 1 UUJN, dimana notaris dijadikan sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar) sehingga dengan demikian akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik seperti yang dimaksud dalam pasal 1868 KUHPerdata. Akta adalah surat yang diberi tanda tangan, yang membuat peristiwaperistiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak perikatan, yang dibuat sejak semula dengan 20 Ibid, hal 31, lihat juga Sutrisno, Komentar Undang-Undang Jabatan Notaris, Buku I, Diktat Kuliah Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, Tanpa Tahun, hal 116-117. Sutrisno menyatakan pengertian notaris seperti yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 UUJN adalah pengertian notaris secara umum, untuk defenisi apa itu notaris, diuraikan lebih lanjut dalam Pasal 15 ayat 1 UUJN, sehingga pengertian tersebut sama dengan pengertian yang disebutkan dengan ketentuan Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris Stb.1860 nomor 3.

sengaja untuk pembuktian. Jadi untuk dapat digolongkan dalam pengertian akta, maka surat harus ditanda tangani. Keharusan ditanda tangani surat untuk dapat disebut akta dinyatakan dalam Pasal 1868 KUHPerdata.21 Dalam dunia perbankan, akta yang paling umum dibuat adalah akta pengakuan hutang, baik itu grosse akta yang dibuat secara otentik oleh notaris, maupun akta di bawah tangan yang dibuat oleh pihak bank dengan debiturnya. Jenis akta lainnya yang biasanya dibuat adalah legalisasi dan waarmerking surat di bawah tangan, maupun surat-surat atau akta-akta lainnya yang dibutuhkan oleh pihak bank ataupun debitur dalam perjanjiannya. Grosse akta adalah salah satu salinan akta untuk pengakuan hutang degan kepala akta “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai kekuatan eksekutorial.22 Grosse akta dikeluarkan oleh notaris atas permintaan yang berkepentingan, yaitu kreditur (bank). Legalisasi tidak disebutkan secara tersurat, namun tersirat sebagaimana diatur dalam pasal 15 ayat (2) huruf a UUJN yang menyatakan notaris berwenang mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. Ketentuan ini merupakan legalisasi akta di bawah tangan yang dibuat sendiri oleh perseorangan atau oleh para pihak di atas kertas bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang disediakan notaris. Notaris menjamin isi dalam legalisasi tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, menjamin tanggal dan 21 22

Sudikno Merto Kusumo, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta, 1981, hal. 110 Pasal 1 angka 11 Undang-undang Nomor 30 tahun 2004 tentang Nabatan Notaris.

tanda tangan para penghadapnya, dan surat tersebut telah dibacakan dan diterangkan oleh notaris. Sama halnya dengan legalisasi, waarmerking juga disebut secara tersirat, yaitu dalam pasal 15 ayat (2) huruf b UUJN yang menyatakan notaris berwenang membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. Namun, kekuatan waarmerking tidak menjamin tanggal, tanda tangan, dan isi surat tersebut, hanya sekedar diakui telah datang ke kantor notaris, diberi nomor, dan dimasukkan dalam buku waarmerking. Pengertian akta otentik diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yang menyatakan suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuatnya. Pasal 1870 KUHPerdata menyatakan, suatu akta otentik memberikan diantara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripada mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.23 Pada bank kovensional, pemberian hutang piutang ini biasanya disebut dengan Akta Perjanjian Kredit, namun pada bank syariah, lazim disebut dengan Aqad Pembiayaan Murabahah, pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, disebut dengan Perjanjian Jual Beli Murabahah. Nilai esensi yang terkandung di dalamnya sama, namun terdapat perbedaan prinsip-prinsip Islam di dalamnya. Dalam hukum perikatan Islam, kebebasan mengadakan perjanjian dalam suatu akad perjanjian, 23

Try Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006, hal. 61

adalah merupakan hak yang dimiliki setiap manusia, dimana orang yang berjanji harus memenuhi janjinya. Dalam Al-Quran Surat Al-Maidah ayat 1, Allah SWT. berfirman yang menyatakan : ,Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqadaqad itu.24 Ahli pentafsir Al-Quran menjelaskan, bahwa makna aqad dalam firman Allah SWT. tersebut diatas adalah : “Aqad (perjanjian) mencakup janji prasetia hamba kepada Allah, dan perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.25 Berdasarkan firman Allah SWT. tersebut diatas, syariat Islam menetapkan, bahwa setiap manusia diminta untuk memenuhi aqadnya atau janjinya. Istilah al-aqdu, atau yang dalam literatur Indonesia dikenal dengan istilah aqad, makna dan esensi dasarnya dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUH Perdata. ,Istilah verbintenis yang dalam bahasa Belanda berarti mengadakan perjanjian.26 Sedangkan istilah aqad dalam bahasa Indonesia adalah berasal dari bahasa Arab, yaitu: “...dari akar kata `aqada, yang berarti mengikat, menyimpulkan, dan menggabungkan.27 Kemudian kata `aqada sebagai kata kerja berubah menjadi kata benda, dan disebut dengan lafal alaqdu. “ Al `aqdu artinya adalah persepakatan, perjanjian, atau kontrak.28 Selanjutnya para ahli fiqih memberikan rumusan pengertian aqad sebagai berikut: ”Para ahli hukum Islam (jumhur ulama) memberikan defenisi akad sebagai pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara` yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.”29 24

Al-Quran Dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/ Pentafsir Al-Quran, Jakarta, 1971, hal.156. 25 Ibid. 26 Yan Pramadya Puspa, Op.cit, hal.861. 27 Atabik Ali dan A.Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Multi Karya Grafika, Jogyakarta, 1998, hal.1305. 28 Ibid. hal.1306. 29 Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Kencana Prenada Media, Jakarta,

Dari pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa dalam hukum perikatan Islam titik tolak yang menjadi essensi dasar terjadinya suatu perikatan adalah adanya unsur ikrar (ijab dan kabul) dalam setiap transaksi. Karena apabila dua janji antara para pihak telah disepakati, kemudian dilanjutkan dengan ikrar (ijab dan kabul), maka terjadilah aqdu (perikatan). Berdasarkan essensi dasar ini, maka dapat dilihat, bahwa kesepakatan kedua belah pihak yang ada dalam ijab dan kabul adalah menjadi syarat utama sahnya suatu perjanjian. Asas keseimbangan juga merupakan hal penting yang harus dipenuhi, baik dalam hukum Islam maupun secara perdata. Dibuatnya perjanjian dengan perjanjian baku kadang kala menyebabkan munculnya ketidakseimbangan antara nasabah debitur dan bank. Hal ini dapat terjadi apabila salah satu pihak yang lebih kuat mengambil keuntungan dari situasi yang lebih menguntungkannya. Akan tetapi, situasi ini dapat diterima sepanjang tidak menimbulkan keadaan dengan klusul yang tidak wajar, hanya menguntungkan salah satu pihak, yang oleh pihak lawan, karena posisi tawar yang rendah, terpaksa diterima. Situasi demikian merupakan konsekuensi kebebasan yang dapat memuaskan semua pihak sepanjang pihak lawan tidak mengabaikan hak-hak dan peluang-peluangnya sendiri.30 Masalah keseimbangan ini, sepanjang telah terjadi pembiacaraan dan tawar menawar antara pihak bank dan nasabah debitur, tidak melanggar nilai-nilai syariah yang terkandung di dalamnya, sepanjang adanya

2005, hal.45-46. 30 Herlien Budiono, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal 322.

kesepakatan kedua belah pihak.31 Pasal 19 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1961 yang disempurnakan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa setiap perjanjian yang dimaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan suatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria untuk melaksanakan kewenangan tersebut adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Kewenangan PPAT sebagaimana dimaksud PP Nomor 10 Tahun 1961 yang disempurnakan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 adalah untuk membuat akta peralihan hak atas tanah-tanah yang telah memiliki hak atau tanah bersertifikat, sedangkan untuk tanah yang belum bersertifikat, peralihan hak atas tanahnya dibuat oleh notaris. Dalam dunia perbankan Islam, yaitu perbankan dengan prinsip syariah, baik bank umum syariah maupun bank pembiayaan rakyat syariah, juga menerapkan jaminan atas perjanjian pembiayaan antara bank dengan nasabah peminjam seperti halnya pada bank konvensional. Bentuk jaminan yang diterapkan oleh bank syariah tersebut adalah sama dengan bentuk jaminan dengan yang diterapkan pada bank konvensional, yaitu terdiri dari jaminan perseorangan dan jaminan kebendaan. Perbedaan antara bank konvensional dengan bank syariah pada dasarnya hanya berbeda pada penerapan akad (kontrak) dan prinsip operasional transaksi perbankannya yang 31

Wawancara dengan Prof.Dr.H.M.Hasballah Thaib,MA pada 2 Mei 2009

berdasar pada syariah, namun bentuk jaminannya adalah sama. Dengan demikian, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina) juga membutuhkan jaminan dalam pelaksanaannya. Pembiayaan murabahah, sebagai salah satu produk dari bank syariah yang sangat populer pelaksanaannya, adalah merupakan salah satu bentuk jual beli dalam islam, yang mengacu pada jual beli barang dengan tambahan keuntungan yang telah disepakati. Dalam prakteknya di dunia perbankan, tentunya bank menjual barang kepada nasabahnya dengan cara kredit atau angsur, walaupun prinsip utamanya murabahah dapat juga dilakukan dengan tunai. Oleh karena adanya praktek angsuran, tentunya bank merasa perlu adanya jaminan dari debitur untuk pembayaran kembali atas hutang yang telah diberikan. Bank meminta kepada nasabah debitur untuk menyerahkan jaminannya, umumnya di Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani nasabah menyerahkan Surat Keterangan atas tanah yang belum bersertifikat miliknya untuk dijadikan jaminan hutang, dalam hal ini dapat berbentuk Surat Keputusan (SK) Camat, SK Bupati, SK Gubernur, maupun Akta Penyerahan Hak Dengan Ganti Rugi yang dibuat oleh notaris. Dengan demikian, bukan tanahnya yang diserahkan kepada pihak bank, melainkan surat-surat kepemilikannya.

Dalam pemberian pembiayaan pada bank konvensional maupun bank syariah dilakukan atas dasar pertimbangan prinsip 5C, yaitu character, capacity, capital, collateral, dan condition of economy32. Prinsip 5C pada bank konvensional ini dipergunakan pada bank syariah karena prinsip-prinsip ini adalah merupakan prinsip yang bersifat universal sehingga tidak menyalahi nilai-nilai Islam yang diusung oleh perbankan syariah itu sendiri. Bahkan pada dasarnya, prinsip 5C ini adalah prinsipprinsip yang bersumber dari nilai-nilai Islam yang diadopsi oleh perbankan konvensional.33 Faktor collateral atau faktor jaminan adalah faktor yang sangat penting yang tidak dapat terlepas dari faktor-faktor lainnya, dimana apabila tidak ada faktor collateral atau jaminan ini maka kredit sangat sulit -kalau tidak mau dikatakan tidak mungkin- untuk diberikan. Jaminan diberikan sebagai langkah preventif untuk memastikan bahwa modal yang disalurkan ataupun uang yang dipinjamkan akan dapat dipenuhi oleh pihak yang dimodali atau yang diberikan hutang. Bahkan dalam penerapan operasional transaksi perbankannya, bank syariah hampir sama dengan bank konvensional, yang berbeda hanya pengunaan istilahnya saja. Yang berbeda mungkin 32 Character (karakter), analisa mengenai karakter ini merupakan pintu gerbang pertama proses persetujuan kredit/ pembiayaan. Kesalahan dalam menilai karakter calon nasabah dapat berakibat fatal pada berlangsungnya pembiayaan. Capacity (Kemampuan), kapasitas calon nasabah sangat penting diketahui untuk memahami kemampuan seseorang berbisnis. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan memenuhi semua kewajibannya termasuk pembayaran pelunasan pembiayaan. Capital (Modal), analisa modal diarahkan untuk mengetahui seberapa besar tingkat keyakinan calon nasabah terhadap usahanya sendiri. Condition of economy (kondisi), analisa diarahkan pada kondisi sekitar yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap usaha calon nasabah, dan Collateral (jaminan), analisis diarahkan terhadap jaminan yang diberikan harus mampu mengcover resiko bisnis calon nasabah. 33 Wawancara dengan Prof.Dr.H.M.Hasballah Thaib,MA pada 2 Mei 2009

hanya karena adanya nilai-nilai ukhuwah sesama muslim yang menyebabkan mereka lebih memilih perbankan syariah daripada perbankan konvensional. Jaminan berdasarkan hukum Islam bukanlah sesuatu yang mutlak harus ada, namun hanya merupakan tambahan yang diberikan nasabah debitur untuk kepastian dalam pembayaran.34 Akan tetapi, pelaksanaan kredit yang diberikan oleh bank, ada juga yang tidak memerlukan jaminan, misalnya Standard Chartered Bank yang mengundang para pengambil kredit tanpa jaminan tetapi dengan bunga yang tinggi, debiturnya juga dipilih oleh bank. Pada bank konvensional, jaminan atau collateral adalah merupakan unsur yang sangat penting dalam pemberian kredit. Sebagian besar kredit bank yang diberikan adalah kredit yang disertai dengan jaminan atau agunan, baik itu jaminan atas benda bergerak ataupun benda tidak bergerak, berwujud ataupun tidak berwujud, hanya sebagian kecil saja kredit tanpa jaminan yang bisa diberikan. Kredit tanpa jaminan hanya dapat diberikan pada seseorang atau perusahaan tertentu dengan berbagai alasan. Pertama, orang tersebut sudah sangat dikenal, teruji dan terpercaya oleh pihak bank. Kedua prospek usaha debitur sangat baik dan biasanya juga terkait dengan penilaian bank tentang reputasi seseorang atau perusahaan tersebut. Namun kredit tanpa jaminan seperti ini sangat jarang diberikan oleh bank. Hal ini sangat berbeda dengan pembiayaan pada bank syariah, baik itu bank umum maupun bank perkreditan rakyat. Pada bank syariah, walaupun dasar pertimbangan pembiayaan adalah hasil penilaian berdasarkan prinsip 5C, namun unsur 34

yang paling utama adalah prinsip kepercayaan. Bank Syariah dapat menyalurkan dananya dalam bentuk pembiayaan baik dengan ataupun tanpa adanya jaminan dari pihak yang membutuhkan dana. Hal ini tergantung pada penilaian bank terhadap pihak yang membutuhkan dana, apakah ia sanggup untuk melunasi ataupun mengembalikan dana yang telah diberikan padanya. Walaupun biasanya pihak bank memberikan besarnya jumlah pembiayaan lebih kecil dari nilai jaminan yang diberikan, namun tidak jarang diberikan jumlah pembiayaan yang sama ataupun yang lebih besar dari nilai jaminan yang diberikan, bahkan pembiayaan dapat diberikan tanpa adanya jaminan sekalipun apabila pihak yang membutuhkan dana dianggap mampu untuk mengembalikan dana yang telah diberikan oleh bank. Hal ini disebabkan karena faktor yang terpenting dari pembiayaan tersebut adalah kepercayaan. Untuk melengkapi perjanjian pembiayaan ini, dibuat juga suatu perjanjian jaminan hutang, baik itu jaminan yang bersifat perseorangan, maupun jaminan kebendaan, termasuk di dalamnya jaminan dengan tanah yang belum bersertifikat. Menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, jaminan kebendaan adalah: “Jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat dialihkan.”35 Menurut ketentuan Pasal 2 Ayat 1 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia 35

Salim Hs, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal.24.

nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai yang diperjanjikan.36 Hartono Hadisoeprapto berpendapat bahwa jaminan adalah “Sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan”. Menurut M.Bahsan, jaminan adalah “Segala sesuatu yang diterima kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu hutang piutang dalam masyarakat”.37 Sebagai suatu perjanjian hutang piutang, dalam hal ini adalah perjanjian pembiayaan murabahah yang menggunakan jaminan tanah yang belum bersertifikat dalam transaksinya, diperlukan notaris dalam pembuatan akta otentiknya. Dengan adanya akta otentik berarti mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat, apalagi apabila akta itu memuat perjanjian yang mengikat kedua belah pihak yang membuat perjanjian itu. Jadi apabila antara para pihak yang membuat perjanjian itu terjadi sengketa, maka apa yang tersebut dalam akta otentik itu merupakan bukti yang sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan lagi dengan alat-alat pembuktian lain. Disinilah letak arti penting dari akta otentik yang dalam praktek hukum sehari-hari memudahkan pembuktian dan memberikan kepastian hukum yang lebih kuat. Berbeda dengan akta dibawah tangan yang masih dapat disangkal dan baru mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna apabila diakui oleh kedua belah pihak, atau dikuatkan lagi dengan alat-alat pembuktian 36 37

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 68 Salim Hs.Op.cit, hal. 22

lainnya. Karena itu dikatakan bahwa akta dibawah tangan itu merupakan permulaan bukti tertulis. 2. Konsepsi Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Karena konsep adalah sebagai penghubung yang menerangkan sesuatu yang sebelumnya hanya baru ada dalam pikiran. “Peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan dunia teori dan observasi, antara abstraksi dan realitas”.38 Konsep merupakan dasar dari semua pemikiran dan komunikasi, namun sering kurang diperhatikan apa konsep itu dan masalah yang ditemui dalam penggunaannya. Di dalam penelitian, masalah khusus sangat membutuhkan ketepatan suatu

konsep

dan

keahlian

untuk

menemukannya

atau

menciptakannya

(inventiveness).39 Selanjutnya, Sumandi Suryabrata memberikan arti khusus apa yang dimaksud dengan konsep. Menurut beliau, sebuah konsep berkaitan dengan defenisi operasional. “Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus, yang disebut dengan defenisi operasional.”40 Defenisi operasional perlu disusun, untuk memberi pengertian yang jelas atas masalah yang dibahas. Karena istilah yang digunakan untuk membahas suatu masalah, tidak boleh memiliki makna ganda. Terhadap pentingnya disusun defenisi operasional ini, Tan Kamello mengatakan sebagai berikut : ”Pentingnya defenisi operasional adalah 38

Masri Singarimbun dkk, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1999, hal 34 J. Supranto, Op. Cit, hal. 70 40 Sumandi Suryabrata, Metodologi Penelitian, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1998, hal 3 39

untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.”41 Selain itu, konsepsi juga digunakan untuk memberikan pegangan pada proses penelitian. Oleh karena itu, dalam rangka penelitian ini, perlu dirumuskan serangkaian defenisi operasional atas beberapa variabel yang digunakan, sehingga dengan demikian tidak akan menimbulkan perbedaan penafsiran atas sejumlah istilah dan masalah yang dibahas. Disamping itu, dengan adanya penegasan kerangka konsepsi ini, diperoleh suatu persamaan pandangan dalam menganalisa masalah yang diteliti, baik dipandang dari aspek yuridis, maupun dipandang dari aspek sosiologis. Selanjutnya, untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman yang berbeda tentang tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini, maka kemudian dikemukakan konsepsi dalam bentuk defenisi operasional sebagai berikut : a. Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan perundang-undangan dan/ atau oleh yang dikehendaki oleh yang berkepentingan, untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.42

41

Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2004, Hal 31 42 Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 15 ayat (1) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

b. Pembiayaan murabahah adalah pemberian pinjaman atau hutang kepada debitur atau nasabah peminjam terhadap transaksi jual beli barang, dimana bank bertindak sebagai penjual dan nasabah debitur sebasgai pembeli, dengan harga jual dari bank berdasarkan harga jual asal dari pemasok barang ditambah dengan persentase tambahan keuntungan untuk bank, yang besarnya telah disepakati bersama antara kedua belah pihak. Dalam hal ini, pihak bank harus memberi tahu harga awal produk yang dia beli, dan menentukan besarnya keuntungan yang diperoleh sebagai tambahannya. c. Akad pembiayaan murabahah, adalah suatu ikatan perjanjian antara nasabah debitur dengan Bank Syariah, yang berisi transaksi jual beli, dimana bank bertindak sebagai penjual, dan nasabah debitur sebagai pembeli, dengan harga jual dari bank ditentukan berdasarkan harga beli dari pemasok barang ditambah sejumlah nominal tertentu untuk keuntungan bank, yang besaran persentasenya disesuaikan dengan kesepakatan bersama. Biasanya pembayaran harga dalam transaksi jual beli ini dilangsungkan dengan cara angsuran. Akad Pembiayaan Murabahah (jual beli) ini, adalah suatu transaksi sebagaimana diatur dalam KUH Perdata dan Hukum Islam. d. Jaminan adalah sesuatu barang yang diberikan oleh nasabah peminjam kepada bank untuk menimbulkan keyakinan bahwa nasabah debitur akan memenuhi kewajibannya dari suatu perjanjian hutang piutang. Barang jaminan dapat berupa benda bergerak dan benda tidak bergerak. Dalam tesis ini, dikhususkan jaminan terhadap benda tidak bergerak, yaitu tanah yang belum bersertifikat.

e. Tanah yang belum bersertifikat adalah tanah yang telah ada tanda bukti haknya menurut peraturan lama, atau sama sekali tidak ada/ belum ada, tetapi belum disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997, misalnya berupa SK Lurah, SK Camat, SK Bupati, SK Gubernur juga dengan Grand Sultan.43 G. Metodologi Penelitian 1. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan atau menggambarkan dan menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat, termasuk di dalamnya peraturan perundangundangan yang berlaku dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan di atas. Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis sosiologis/ empiris, yaitu suatu penelitian hukum yang dilakukan dengan melihat kepada aspek penerapan hukum itu sendiri di tengah masyarakat,44 yang dalam perumusan dan pembahasan masalahnya bersifat kualitatif (tidak berbentuk angka). 2. Lokasi Penelitian. Penelitian ini dilakukan pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani Tembung Deli Serdang, yang alamat kantor dan tempat kedudukan untuk 43

H. Rustam Effendi Rasyid, Pendaftaran Tanah dan PPAT, Diktat Kuliah Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, Tanpa Tahun, hal 2. Tanah yang belum bersertifikat disamakan dengan tanah yang tidak bersertifikat. 44 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal.89

melaksanakan kegiatan usahanya terletak di Jalan Pekan Raya nomor 13 A, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang. Adapun alasan dipilihnya lokasi tersebut adalah karena Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani Medan merupakan salah satu Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dimana banyak perjanjian pembiayaan murabahah yang dilakukan dengan jaminan tanah yang belum bersertifikat. Selain itu, untuk mendapatkan data pendukung, juga dilakukan penelitian pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah lainnya, yaitu pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Al-Washliyah dan juga pada beberapa nasabah debitur dari Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani.

3. Sumber Data. Sumber data dalam penelitian ini adalah terdiri dari dua sumber, yaitu: a.

Data primer Data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan cara pengumpulan data secara langsung melalui wawancara, yaitu proses tanya jawab dalam penelitian yang berlangsung secara lisan, dimana dua orang atau lebih bertatap muka mendengarkan langsung informasi atau keterangan-keterangan mengenai masalah yang diteliti.

b.

Data sekunder Data sekunder dalam penelitian ini adalah data-data yang diperoleh dari penelusuran kepustakaan, literatur-literatur, makalah, peraturan perundang-

undangan serta sumber-sumber lainnya yang berhubungan dengan penyusunan tesis ini yang dapat dibedakan atas bahan hukum primer, sekunder dan tersier.45 4. Alat Pengumpul Data. Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara ilmiah, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui: a.

Terhadap Data Primer, pengumpulan data dilakukan melalui wawancara kepada pihak-pihak yang ada kaitannya dengan permasalahan yang diteliti.46

a.

Terhadap Data Sekunder, Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi dokumen, yaitu dengan menghimpun data yang berasal dari kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan, buku-buku atau literatur, karya ilmiah seperti makalah, jurnal, artikel-artikel yang terdapat pada majalah-majalah maupun koran, dan segala tulisan yang mempunyai hubungan dengan permasalahan yang diteliti.

5. Analisis Data Setelah semua data dalam penelitian ini diperoleh, baik data primer maupun sekunder, maka dalam menganalisis data yang digunakan adalah analisa kualitatif, yaitu data yang diperoleh melalui penelitian lapangan maupun penelitian kepustakaan kemudian disusun secara sistematis dan logis agar dapat memberikan jawaban atas 45

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat, yakni berupa normanorma hukum seperti antara lain: peraturan perundang-undangan. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Selanjutnya bahan hukum tersier adalah bahan yang memberikan petunjuk ataupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan sekunder. Lihat: Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta, 1986, hal.55 46 Di dalam penelitian dikenal tiga jenis alat pengumpul data, yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara. Lihat: Soerjono Soekanto, Ibid, hal.66

permasalahan yang telah dipaparkan dan selanjutnya dianalisa secara kualitatif dengan kalimat yang sistematis dan akhirnya ditariklah suatu kesimpulan dengan cara deduktif.

BAB II KEKUATAN HUKUM ATAS TANAH BELUM BERSERTIFIKAT SEBAGAI OBJEK JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN MURABAHAH

A. Pandangan Umum Tentang Jaminan 1. Pengertian Jaminan Istilah jaminan merupakan terjemahan dari bahasa Belanda yaitu zekerheid atau cautie. Zekerheid atau cautie mencakup secara umum cara-cara kreditur menjamin dipenuhinya tagihannya, disamping pertanggungjawaban debitur terhadap barangbarangnya.47 Selain istilah jaminan dikenal juga istilah agunan, istilah jaminan dalam Pasal 1 Angka 23 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yaitu : “Jaminan tambahan diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah”. Agunan dalam konstruksi ini merupakan jaminan tambahan (accessoir), dimana tujuan agunan ini adalah untuk mendapatkan fasilitas dari bank. Jaminan ini diserahkan oleh debitur oleh pihak yang membutuhkan dana pada bank. Unsur-unsur dari suatu agunan adalah : 1.

Merupakan jaminan tambahan

2.

Diserahkan oleh debitur pada bank

3. Untuk mendapatkan fasilitas kredit atau pembiayaan 47

Salim Hs, op.cit, hal. 21

Jaminan menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan diberi arti sebagai “keyakinan akan i’tikad baik dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi hutangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan”.48 Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, tidak ada menyebutkan tentang jaminan tetapi disebut dengan agunan. Dalam Pasal 1 disebutkan bahwa agunan merupakan jaminan tambahan, baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan oleh pemilik agunan kepada Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah, guna menjamin pelunasan kewajiban nasabah penerima fasilitas. Menurut ketentuan Pasal 2 Ayat 1 Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia nomor 23/69/KEP/DIR tanggal 28 Februari 1991 tentang Jaminan Pemberian Kredit bahwa yang dimaksud dengan jaminan adalah suatu keyakinan bank atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai yang diperjanjikan.49 Dalam Seminar Pembinaan Badan Hukum Nasional yang diselenggarakan di Jogjakarta tanggal 20 sampai dengan 30 Juli 1977 disimpulkan pengertian jaminan. Jaminan adalah “Menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. Oleh karena itu, hukum jaminan erat sekali dengan hukum benda.50 Pengertian jaminan tersebut memiliki kesamaan dengan pengertian jaminan 48

Rachmadi Usman, Aspek -Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Gramedia Pusaka Utama, Jakarta, 2001, hal.282 49 Hermansyah, op. cit, hal. 68 50 Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab tentang Kredit Perbankan, Gadai dan Fidusia, Cetakan IV, Bandung, Alumni 1987, hal. 227-265

yang dikemukakan oleh Hartono Hadisoeprapto dan M.Bahsan. Hartono Hadisoeprapto berpendapat bahwa jaminan adalah “Sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan”. Menurut M.Bahsan, jaminan adalah “Segala sesuatu yang diterima kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu hutang piutang dalam masyarakat”.51 Dengan adanya pemberian jaminan oleh pihak debitur kepada kreditur, dimaksudkan dapat memberikan keyakinan bahwa pemberian fasilitas pembiayaan akan dilunasi sesuai dengan perjanjian. Untuk dapat memberikan keyakinan tersebut maka sesuatu yang menjadi jaminan harus memenuhi persyaratan baik secara hukum/ yuridis maupun secara ekonomis yang baik dan benar. Syarat-syarat hukum/yuridis meliputi: a. Jaminan harus mempunyai wujud nyata (tangiable). b. Jaminan harus merupakan milik debitor dengan bukti-bukti surat-surat autentiknya. c. Jika jaminan berupa barang yang dikuasakan, pemiliknya harus ikut menandatangani akad kredit/ pembiayaan. d. Jaminan tidak dalam proses pengadilan. e. Jaminan bukan sedang dalam keadaan sengketa. f. Jaminan bukan yang terkena proyek pemerintah.52 51 52

110

Salim Hs.Op.cit, hal. 22 H. Malayu SP Hasibuan, Dasar-Dasar Perbankan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001, hal

Syarat-syarat ekonomis jaminan: 1) Jaminan harus mempunyai nilai ekonomis pasar. 2) Nilai jaminan kredit/ pembiayaan harus lebih besar dari pada pembiayaan. 3)

Marketability yaiut jaminan harus mempunyai pasar yang cukup luas atau mudah dijual.

4) Ascertainability of value yaitu jaminan kredit/ pembiayaan yang diajukan oleh debitur harus mempunyai standar harga tertentu (harga pasar).

5) Transferable yaitu jaminan kredit/pembiayaan yang diajukan debitur harus mudah dipindahtangankan baik secara fisik maupun hukum.53 Oleh karena lembaga jaminan mempunyai tugas melancarkan dan mengamankan pemberian kredit/ pembiayaan, maka jaminan yang baik (ideal) adalah: a) Yang dapat secara mudah membantu memperoleh pembiayaan/kredit itu oleh pihak yang memerlukannya. b) Yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari pembiayaan/kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya. c) Yang memberikan kepastian kepada si pemberi pembiayaan/kredit, dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima (pengambil) fasilitas pembiayaan/kredit.54 Dalam hukum Islam, seluruh mazhab hukum syariah tidak membenarkan 53

ibid, hal 111 R.Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya bakti, Bandung, 1996, hal 3 54

meminta jaminan untuk akad yang bertujuan untuk melakukan transaksi berdasarkan kemitraaan. Namun dalam perbankan syariah, ada akad yang disebut dengan rahn, yang mengandung makna ”tetap dan tertahan”, para ulama memaknainya sebagai “menjadikan barang berharga sebagai jaminan suatu hutang”.55 Sehingga, agunan itu berhubungan dengan hutang piutang yang timbul dari padanya. Secara umum jaminan dalam hukum Islam (fiqh) dibagi menjadi dua, yaitu jaminan yang berupa orang (personal guarancy), yang sering dikenal dengan istilah homan atau kafalah, dan yang kedua adalah jaminan berupa harta benda, yang dikenal dengan istilah rahn. Kafalah menurut etimologi berarti al-dhamanah, hamalah, dan za’aamah, ketiga istilah tersebut memiliki arti yang sama, yakni menjamin atau menanggung. Sedangkan menurut terminologi kafalah adalah “jaminan yang diberikan kafiil (penanggung) kepada pihak ketiga atas kewajiban/prestasi yang haris ditunaikan pihak kedua (tertanggung).”56 Kafalah dibagi menjadi dua bagian, yaitu kafalah dengan jiwa (kafalah binnafs) dan kafalah dengan harta (kafalah bil-maal). Kafalah dengan jiwa dikenal pula dengan kafalah bi al-wajhi, yaitu adanya kesediaan pihak penjamin (al-kafil, addhamin atau al-za’im) untuk menghadirkan orang yang ia tanggung kepada yang janjikan tanggungan (makful lah). 55

Amir Syarifuddin, garis-garis Besar Fiqih, Prenada Media, Jakarta, 2003, hal 227 Wahbah Zuhaili, al-fiqh al-Islamy waa adillatuhu, Dar al-fikr, Beirut, 2002, cet 6, hal 4141, dalam makalah AH. Azharuddin Lathif, M.Ag, Penerapan Hukum Jaminan dalam Pembiayaan di Perbankan Syariah, disampaikan pada tanggal 26 Agustus 2008, di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 56

Kafalah yang kedua adalah kafalah harta, yaitu kewajiban yang mesti ditunaikan oleh dhamin atau kafil dengan pembayaran (pemenuhan) berupa harta. Kafalah harta ada tiga macam, yaitu: pertama, kafalah bi al-dayn, yaitu kewajiban membayar hutang yang menjadi beban orang lain, kedua, kafalah dengan penyerahan benda, yaitu kewajiban menyerahkan benda-benda tertentu yang ada di tangan orang lain, seperti mengembalikan barang yang di-ghashab dan menyerahkan barang jualan kepada pembeli, ketiga, kafalah dengan ‘aib, maksudnya adalah jaminan bahwa jika arang yang dijual ternyata mengandung cacat, karena waktu yang terlalu lama atau karena hal-hal lainnya, maka penjamin (pembawa barang) bersedia memberi jaminan kepada penjual untuk memenuhi kepentingan pembeli (mengganti barang yang cacat tersebut). Sedangkan rahn, secara etimologi berarti tetap, kekal, jaminan.57 Akad arrahn dalam istilah hukum positif disebut dengan barang jaminan/agunan. Sedangkan menurut istilah ar-rahn adalah harta yang dijadikan pemiliknya sebagai jaminan hutang yang bersifat mengikat.58 Akad rahn menurut syara’ adalah menahan sesuatu dengan cara yang dibenarkan yang memungkinkan untuk ditarik kembali. Maksud menahan sesuatu barang adalah barang yang mempuyai nilai harta menurut pandangan syara’ yang dijadikan sebagai jaminan hutang, kemudian si pemilik harta tersebut diperbolehkan 57

Gemala Dewi, op.cit, hal. 133 Ad-Dardir, syarh al-shagir bi syarh ash-shawi, Dar al-fikr, Mesir, 1978, jilid III hal. 303, dalam makalah AH Azharuddin Lathif, M.Ag, Penerapan Hukum Jaminan dalam Pembiayaan di Perbankan Syariah, disampaikan pada tanggal 26 Agustus 2008, di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 58

mengambil hutang seharga nilai barangnya atau sebahagian. Barang yang termasuk rahn adalah transaksi yang menggunakan surat berharga (sebagai jaminan dengan barang).59 Defenisi ini mengandung pengertian bahwa barang yang boleh dijadikan jaminan atau agunan hutang itu hanya yang bersifat materi; tidak termasuk manfaat sebagaimana yang dikemukakan ulama mazhab Maliki. Barang jaminan itu boleh dijual apabila hutang tidak dapat dilunasi dalam waktu yang disepakati kedua belah pihak. Para ulama fiqh sepakat mengatakan bahwa ar-rahn baru dianggap sempurna apabila barang yang dirahnkan itu secara hukum telah berada di tangan pemberi hutang, dan uang yang dibutuhkan telah diterima peminjam uang. Apabila barang jamainan itu berupa benda tidak bergerak, seperti rumah dan tanah, cukup surat-surat jaminan tanah itu atau surat-surat rumah itu yang dipegang oleh pemberi hutang. Syarat yang terakhir (kesempurnaaan ar-rahn) oleh para ulama disebut almarhun (barang jaminan dikuasai secara hukum). Syarat ini menjadi penting karena Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 283 menyatakan “fa rihanun magbudhah” (barang jaminan itu dikuasai [secara hukum]). Artinya barang jaminan itu berada dalam kekuasaan orang yang memberikan pembiayaan, yaitu dalam hal ini adalah bank. Tentu saja penyerahan barang dari orang yang berhutang kepada bank yang memberikan pembiayaan itu sesuai dengan barang jaminannya. Oleh karena itu jika barang jaminan berupa tanah, maka tidak mungkin tanah itu diberikan secara fisik, tapi dapat berupa alat bukti hak (sertifikat), demikian 59

Muamalat Institute, Perbankan Syariah Perspektif Praktisi, 1999

juga jika jaminan itu mobil atau sepeda motor, maka yang diserahkan dapat berupa alat bukti kepemilikannya (BPKB). Dari uraian tentang kedua konsep jaminan tersebut, jelas bahwa eksistensi jaminan diakui dalam hukum Islam. Untuk jaminan yang diberikan oleh pihak lain atas kewajiban prestasi yang harus dilaksanakan oleh pihak yang dijamin (debitur) kepada pihak yang berhak menerima pemenuhan kewajiban (kreditur) disebut dengan kafalah, sedangkan jaminan yang terkait dengan benda/harta yang harus diberikan ebitur (orang yang berhutang) kepada kreditur (orang yang berpiutang) disebut dengan rahn. Sebagai perbandingan, dalam sistem yang berlaku di Indonesia, jaminan digolongkan menjadi dua macam, yaitu jaminan materiil (kebendaan) dan jaminan immateriil

(perorangan,

bortogh).

Jaminan

kebendaan

mempunyai

ciri-ciri

“kebendaan” dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan. Sedangkan jaminan perorangan tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, tapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan.60 Dalam dunia perbankan, rahn diaplikasikan kedalam dua bentuk yaitu : (1) Sebagai produk pelengkap Rahn dipakai sebagai produk pelengkap, artinya sebagai akad tambahan, jaminan (collateral) terhadap produk lain seperti dalam pembiayaan ba’i almurabahah, mudharabah, dan lainnya, maka bank dapat meminta nasabah untuk menyerahkan 60

Salim HS, op.cit, hal 23

jaminan. Bank dapat menahan barang nasabah sebagai konsekuensi dari akad tersebut. (2) Sebagai produk tersendiri Dibeberapa negara Islam, diantaranya adalah Malaysia, akad rahn telah dipakai sebagai alternatif dari pegadaian konvensional. Bedanya dengan pegadaian biasa, dalam rahn, nasabah tidak dikenakan bunga, yang dipungut dari nasabah adalah iaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan serta penaksiran. Keuntungan yang diperoleh bank hanya berasal dari biaya-biaya tersebut diatas. Apabila pinjaman telah lunas, maka barang gadai akan dikembalikan pada nasabah. 2. Dasar Hukum Jaminan di Indonesia Adapun yang menjadi dasar hukum jaminan di Indonesia yang merupakan sumber hukum jaminan tertulis adalah : a.

Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jaminan yang masih berlaku dalam KUH Perdata hanyalah gadai (pand) dan hipotek kapal laut dan pesawat udara, sedangkan hipotek atas tanah tidak berlaku lagi karena telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. Gadai (pand) diatur dalam Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUH Perdata. Sedangkan hipotek diatur dalam Pasal 1162 sampai dengan Pasal 1232 KUH Perdata. Ketentuan tentang hipotek atas tanah kini sudah tidak berlaku lagi karena telah diganti oleh Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak

Tanggungan, sedangkan ketentuan yang masih berlaku, hanya ketentuanketentuan yang berkaitan dengan hipotek kapal laut dan pesawat udara, yang muatannya 20 m3 lebih. b.

Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Jaminan diatur dalam KUHDagang dalam Stb. 1847 Nomor 23. UHDagang terdiri atas 2 Buku, yaitu Buku I tentang Dagang pada umumnya, an Buku II tentang hak-hak dan kewajiban yang timbul dalam pelayaran. Jumlah Pasal KUHDagang sebanyak 754 Pasal dan Pasal-pasal yang erat kaitannya dengan jaminan adalah Pasal-pasal yang berkaitan dengan hipotek kapal laut, yaitu Pasal 314 sampai dengan Pasal 316 KUH Dagang. c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Ketentuan-ketentuan yang erat kaitannya dengan jaminan adalah Pasal 51 dan Pasal 57 UUPA. Pasal 51 UUPA berbunyi “Hak tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33, dan 39 diatur dengan Undang-Undang”. Sedangkan dalam Pasal 57 UUPA berbunyi “Selama Undang-Undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam Pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku adalah ketentuanketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia dan credietverband tersebut dalam Stb. 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Stb. 1937-190”.

d. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang-Undang ini mencabut berlakunya hipotek sebagaimana yang diatur dalam Buku II KUH Perdata, sepanjang mengenai tanah dan ketentuan mengenai credietverband dalam Stb. 1908-542 sebagaimana telah diubah dalam Stb. 1937190. Tujuan pencabutan ketentuan yang tercantum dalam Buku II KUHPerdata dan Stb. 1937-190 adalah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata perekonomian Indonesia. e.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Undang-Undang ini terdiri atas 7 Bab dan 41 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi pembebanan pendaftaran, pengalihan, dan hapusnya jaminan fidusia, hak mendahulu, dan eksekusi jaminan fidusia. f.

Pasal 49 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran. Pasal 49 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran berbunyi:

1) Kapal yang telah didaftar dapat dibebani hipotek. 2) Ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Terhadap tanah yang belum bersertifikat, tentu tidak bisa dijaminkan dengan lembaga jaminan yang berlaku di Indonesia, karena hanya tanah yang bersertifikat saja yang dapat dijaminkan, yaitu dengan lembaga Hak Tanggungan. Oleh karena itu, untuk

mengatasinya biasanya pihak bank menggunakan Akta Pengakuan Hutang Dengan Pemberian Jaminan Dan Kuasa Menjual untuk mengikat perjanjian tersebut. Akta tersebut didasarkan pada asas kesepakatan dalam mengadakan perjanjian. Untuk tanah tidak bersertifikat, walaupun tidak ada lembaga jaminan yang mengaturnya,

tetapi

Bank

Indonesia

dalam

Peraturan

Bank

Indonesia

No.8/24/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah, bagian ketiga Pasal 19 tentang penilaian agunan, mengakui dan menerima tanah tidak bersertifikat menjadi barang jaminan. Dalam pasal 20 disebutkan, untuk agunan berupa tanah, gedung, dan rumah tinggal, nilai agunan yang dapat diperhitungkan paling tinggi sebesar: a) 80% dari nilai tanggungan untuk agunan berupa tanah bangunan dan rumah bersertifikat yang diikat dengan hak tanggungan. b) 60% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk agunan berupa tanah, bangunan, dan rumah bersertifikat, hak pakai, tanpa hak tanggungan. c) 50% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk agunan berupa tanah berdasarkan kepemilikan surat girik (letter C) dilampiri Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) selama 6 bulan. Untuk pengikatan atas jaminan dalam bentuk tanah dan bangunan tidak bersertifikat, dilakukan dengan pembuatan akta kuasa menjual. Di Bank Perkreditan Rakyat Syariah Puduarta Insani, akta tersebut dibuat dengan judul Akta Pengakuan Hutang Dengan Pemberian Jaminan Dan Kuasa Menjual.

Sebagai salah satu asas yang ada dalam kaedah hukum perjanjian, maka asas kesepakatan dalam mengadakan perjanjian adalah merupakan salah satu faktor yang sangat penting. Karena dalam setiap perjanjian harus ada kesepakatan atau persetujuan dari kedua belah pihak yang berjanji, sehingga tidak ada perjanjian kalau kesepakatan dan persetujuan tidak ada. Kesepakatan dalam mengadakan perjanjian ini didasarkan pada Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Ketentuan mengikat bagi para pihak yang mengadakan perjanjian, baik terhadap materi perjanjian yang ada disebutkan dalam perjanjian, maupun terhadap segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang, semakin dipertegas lagi isinya dalam Pasal 1339 KUH Perdata yang menyebutkan, bahwa: “Perjanjian-perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang.” Jadi, setiap orang yang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi isi daripada perjanjian tersebut. Karena isi suatu perjanjian mengandung janji janji yang harus dipenuhi, dan janji janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang yang isinya wajib dipatuhi dan harus dilaksanakan. Asas kesepakatan dalam mengadakan perjanjian ini, ada pula yang mendasarkannya pada Pasal 1320 KUH Perdata61 , yang mengatur tentang syarat-syarat sahnya sebuah perjanjian. 61

Pasal 1320 KUH Perdata menetapkan, bahwa untuk sahnya perjanjian-perjanjian diperlukan

Asas kesepakatan dalam mengadakan perjanjian adalah merupakan suatu dasar yang menjamin kebebasan orang dalam melakukan perjanjian. Hal ini juga tidak terlepas dari sifat Buku III KUH Perdata, yang hanya merupakan hukum yang mengatur sehingga para pihak dapat mengenyampingkannya, kecuali terhadap pasalpasal tertentu yang sifatnya memaksa. Tentang kebebasan untuk mengadakan perjanjian ini, Ahmadi Miru menyebutkan lagi dalam Bukunya sebagai berikut : Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, diantaranya : (1) Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; (2) Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian; (3) Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian; (4) Bebas menentukan bentuk perjanjian;dan (5) Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.62 Apabila terjadi wan prestasi, maka Akta Pengakuan Hutang Dengan Kuasa Menjual Dan Pemberian Jaminan menjadi dasar bagi bank untuk melakukan eksekusi. Hal ini juga didasarkan pada teori hukum perikatan atau perjanjian, undang-undang memberi hak dan kewenangan pada setiap orang untuk dapat memindahkan hak dan wewenangnya kepada orang lain melalui pemberian kuasa, dengan ketentuan, bahwa pemindahan hak dan wewenang itu harus berdasarkan pada kesepakatan dan persetujuan kedua belah pihak.

empat syarat, yaitu sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu hal tertentu; dan suatu sebab yang halal. 62 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal.4

Dengan demikian, memang Akta Pengakuan Hutang dengan Jaminan Dan Kuasa Menjual yang digunakan untuk menjadikan tanah belum bersertifikat sebagai jaminan bukanlah merupakan sebuah lembaga jaminan. Tapi perjanjian antara kedua belah pihak yang memperjanjikan akan menjual barang jaminan yang diperkuat lagi dengan akta surat kuasa menjual yang dibuat dalam sebuah akta otentik oleh dan dihadapan pejabat umum yang berwenang yaitu notaris, tentu ini adalah solusi terbaik yang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku apabila terjadi kasus ingkar janji dari pihak nasabah. Sehingga dengan pembuatan surat kuasa khusus untuk menjual barang jaminan, dapat menguatkan posisi bank guna menjamin kepastian pembayaran kembali dana yang telah dikeluarkannya pada nasabah. Hal ini diperlukan oleh bank untuk menjaga dana masyarakat yang disimpan dan dikelola oleh bank. 3. Fungsi Jaminan dalam Perjanjian Pembiayaan Murabahah Pada bank dengan prinsip syariah, baik bank umum syariah maupun bank pembiayaan rakyat syariah, diperbolehkan untuk meminta jaminan, sama halnya dengan perjanjian kredit pada bank konvensional, hal ini diperbolehkan sesuai dengan petunjuk dalam surat al-baqarah ayat 283: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang.”63 Jaminan dibolehkan dalam Islam karena berdasarkan Hadits Riwayat Abu Daud 63

Al-Qur’an Dan Terjemahnya, diterjemahan oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah AlQur’an, Karya Toha Putra, Semarang, hal. 89

dan tarmizi, Nabi bersabda yang maknanya yaitu, bahwa hutang itu harus dilunaskan dan orang yang menjamin harus juga membayarnya. Dalam sejarah Nabi pernah menjaminkan baju besi beliau kepada seorang Yahudi di Madinah, sewaktu menghutang gandum untuk kebutuhan rumah tangganya, hal ini diceritakan oleh sahabatnya Anas dan kemudian diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari, Nasai dan Ibnu Majah.64 Meminta jaminan atas hutang pada dasarnya bukanlah sesuatu yang tercela, demikian menurut Al-Qur’an dan Sunnah. Al-qur’an memerintahkan umat Islam untuk menulis tagihan hutang mereka, dan jika perlu meminta jaminan atas hutang itu. Dalam sejumlah kesempatan, Nabi memberikan jaminannya kepada para krediturnya atas hutang beliau. Jaminan adalah salah satu cara untuk memastikan bahwa hak-hak kreditur tidak akan dihilangkan dan untuk menghindarkan diri dari “memakan harta orang dengan cara yang bathil”.65 Oleh karena itu, pada bank dengan prinsip syariah, baik bank umum syariah maupun bank Pembiayaan rakyat syariah, juga menerapkan jaminan seperti halnya pada bank-bank konvensional. Dalam praktek bank Islam, yang dijadikan jaminan adalah barang yang pengadaannya dibiayai oleh bank, sesuai dengan petunjuk surat AZ-Baqarah ayat 283 tersebut. Selain barang yang pengadaannya dibiayai bank yang dijadikan jaminan, apabila perlu, bank juga dapat meminta jaminan tambahan. Bentuk jaminan yang diterapkan oleh bank syariah tersebut adalah sama dengan bentuk 64 65

Sulaiman Rasyid, Fiqih Islam, Sinar Baru Agensindo, Jakarta, 2003, hal 309-313 Abdullah Saeed, op,cit, hal. 136

jaminan dengan yang diterapkan pada bank konvensional, yaitu terdiri dari jaminan perseorangan dan jaminan kebendaan. Perbedaan antara bank konvensional dengan bank syariah pada dasarnya hanya berbeda pada penerapan akad-akad (kontrak) dan prinsip-prinsip operasional transaksi perbankannya yang berdasar pada syariah, namun bentuk jaminannya adalah sama. Pemikiran lainnya, bank syariah berbeda dengan perbankan konvensional yang dalam penyaluran dananya melalui skim kredit, sedangkan bank syariah melalui skim pembiayaan. Pembiayaan ada kalanya mengambil keuntungan berdasarkan margin keuntungan (profit margin). Bank syariah dalam penyaluran dananya kepada nasabah penerima pembiayaan tidak dapat dipastikan memperoleh keuntungan tertentu (modal pembiayaan ditambah return) sebagaimana dalam skim pembiayaan yang mengambil keuntungan berdasarkan margin keuntungan. Akan tetapi, justru pihak bank sangat memungkinkan mengalami kerugian apabila usaha nasabahnya mengalami kegagalan atau kebangkrutan. Hal inilah yang menjadi konsekuensi dari skim pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (profit and loss sharing). Namun sebaliknya, apabila usaha nasabah berhasil maka akan memperoleh bagi hasil yang lebih besar. Apabila dibandingkan penyaluran dana melalui skim pembiayaan berdasarkan margin keuntungan, ini karena di antara kedua pihak telah ada kesepakatan bagi hasilnya, yang biasanya berkisar 30%-70%, 40%-60%, atau 50%- 50%. Atas dasar tingkat spekulasi yang tinggi dalam skim pembiayaan, maka umumnya bank syariah sangat berhati-hati dalam melakukan penyaluran dana melalui

skim ini. Terlebih apabila mengingat bahwa bank syariah sebagaimana bank konvensional adalah merupakan lembaga intermediary keuangan, dimana dana yang dikelola oleh bank sebagian besar merupakan dana pihak ketiga (nasabah kreditur) baik yang berupa dana tabungan (titipan/wadi’ah) maupun dana investasi yang berupa deposito (mudharabah natau musyarakah). Sebagaimana lazimnya bahwa dana nasabah tersebut dalam sewaktu-waktu atau dalam jangka waktu tertentu akan diambil kembali oleh nasabah dengan tambahan keuntungan baik yang berupa bagi hasil (bila merupakan dana investasi) atau bonus (bila berupa dana titipan). Sebagai wujud dari sikap kehati-hatian bank melakukan penyaluran dananya melalui skim pembiayaan ini, sebelum memberikan persetujuan pembiayaan, pihak bank harus melakukan penelitian dan penilaian yang seksama terhadap calon nasabah debiturnya, yaitu dengan melakukan prinsip 5C, yaitu: Character, Capital, Collateral, Capacity and Condition of Economy. Memang secara teorits bahwa yang terpenting pertama adalah karakter dari nasabah calon penerima pembiayaan (nasabah debitur), karena jika karakternya baik, sekalipun kondisinya buruk, nasabah debitur akan tetap berusaha serius dan dengan jujur mengembalikan dana pembiayaan yang telah disepakati dalam perjanjian. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya jaminan sangat menentukan tingkat keamanan pembiayaan yang disalurkan oleh bank. Di samping itu, keberadaan agunan menjadi sangat penting, dan hal ini berhubungan dengan filosofi dasar dari dana bank, yaitu bahwa dana bank adalah dana nasabah, dana masyarakat, yang oleh karenanya

harus dilindungi dan digunakan secara sangat hati-hati. Pentingnya jaminan dalam kredit ataupun pembiayaan bank adalah sebagai salah satu sarana perlindungan hukum bagi keamanan bank dalam mengatasi resiko yaitu agar terdapat suatu kepastian bahwa nasabah debitur akan melunasi pinjamannya.66 Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang dijanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, bank melakukan penilaian atas jaminan (collateral) sebelum memberikan kredit kepada nasabah debitur dengan memperhatikan prinsip kehati-hatian.67 Atas dasar beberapa pertimbangan tersebut, maka pengajuan pembiayaan di bank syariah yang menggunakan skim murabahah dikenakan kewajiban memberikan jaminan/ agunan. Kenyataan di atas, menunjukkan bahwa jaminan mutlak diperlukan untuk memberikan kepastian bahwa dana tersebut dapat dikembalikan, atau setidaknya bank tidak akan mengalami kerugian yang begitu besar, jika misalnya ternyata hanya dapat mengeksekusi jaminan yang telah diberikan, karena debitur bertindak semaunya atau

66

Tan Kamello, Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui hubungan Antar Bank Dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006 67 Ibid.

asal-asalan dalam menjalankan usaha bisnisnya. Hal lain yang membedakan perbankan konvensional dengan perbankan syariah adalah adanya ketentuan-ketentuan agama yang tetap harus dipatuhi dan tidak boleh dilanggar, baik itu adalah objeknya maupun tujuannya. Dalam perbankan syariah, suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, diantaranya adalah sebagai berikut: a.

Apakah objek pembiayaan halal atau haram;

b.

Apakah proyek menimbulkan kemudharatan dalam masyarakat;

c.

Apakah proyek termasuk perbuatan yang melanggar kesusilaan;

d.

Apakah proyek berkaitan dengan perjudian;

e.

Apakah usaha tersebut berkaitan dengan industri senjata yang ilegal;

f.

Apakah proyek merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung.68 Dari hal-hal yang diuraikan diatas, tampak jelas bahwa jaminan bukanlah hal

utama yang menjadi acuan dalam pemberian pembiayaan seperti yang dilakukan pada bank konvensional. Hal utama yang paling penting adalah bahwa pembiayaan tersebut tidak boleh bertentangan dengan apa yang telah diatur dalam syariah Islam. Pada bank konvensional, jaminan atau collateral adalah merupakan unsur yang sangat penting dalam pemberian kredit. Sebagian besar kredit bank yang diberikan adalah kredit yang disertai dengan jaminan atau agunan, baik itu jaminan atas benda bergerak ataupun benda tidak bergerak, beruwujud ataupun tidak berwujud, hanya 68

Gemala dewi, Op.cit, hal. 109

sebagian kecil saja kredit tanpa jaminan yang bisa diberikan. Kredit tanpa jaminan hanya dapat diberikan pada seseorang atau perusahaan tertentu dengan berbagai alasan. Pertama, orang tersebut sudah sangat dikenal, teruji dan terpercaya oleh pihak bank. Kedua prospek usaha debitur sangat baik dan biasanya juga terkait dengan penilaian bank tentang reputasi seseorang atau perusahaan tersebut. Namun kredit tanpa jaminan seperti ini sangat jarang diberikan oleh bank. Hal ini sangat berbeda dengan pembiayaan pada bank syariah, baik itu bank umum maupun bank perkreditan rakyat. Pada bank syariah, walaupun dasar pertimbangan pembiayaan adalah hasil penilaian berdasarkan prinsip 5C, dimana collateral atau njaminan adalah faktor yang penting dalam pemberian pembiayaan, namun unsur yang paling utama adalah prinsip kepercayaan. Bank Syariah dapat menyalurkan dananya dalam bentuk pembiayaan baik dengan ataupun tanpa adanya jaminan dari pihak yang membutuhkan dana. Hal ini tergantung pada penilaian bank terhadap pihak yang mem butuhkan dana, apakah ia sanggup untuk melunasi ataupun mengembalikan dana yang telah diberikan padanya. Walaupun biasanya pihak bank memberikan besarnya jumlah pembiayaan lebih kecil dari nilai jaminan yang diberikan, namun tidak jarang diberikan jumlah pembiayaan yang sama ataupun yang lebih besar dari nilai jaminan yang diberikan, bahkan pembiayaan dapat diberikan tanpa adanya jaminan sekalipun apabila pihak yang membutuhkan dana dianggap mampu untuk mengembalikan dana yang telah diberikan oleh bank. Hal ini disebabkan karena faktor yang terpenting dari pembiayaan

tersebut adalah kepercayaan. Dengan demikian, jelaslah bahwa urgensi dalam perjanjian murabahah mutlak harus menggunakan jaminan, agar nasabah dalam melakukan pembelian barang yang pembayarannya dilakukan secara tangguh atau angsur, tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan yang ada di dalam perjanjian yang telah disepakati bersama. Jaminan menempatkan pembeli untuk bertanggung jawab sesuai dengan kesepakatan bersama.

B. Jaminan dalam Pembiayaan Murabahah Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani Barang jaminan adalah suatu perikatan antara kreditur dengan debitur, dimana debitur memperjanjikan sejumlah hartanya untuk pelunasan hutang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, apabila dalam waktu yang ditentukan terjadi kemacetan pembayaran hutang si debitur.69 Dalam KUHPerdata, ketentuan umum mengenai jaminan diletakkan dalam Pasal 1131 sampai dengan Pasal 1138. Di sana diatur prinsip tanggung jawab seorang debitur terhadap hutang-hutangnya dan juga kedudukan semua kreditur atas tagihan yang dipunyai olehnya terhadap debiturnya. Jaminan yang terjadi karena undang-undang merupakan jaminan yang keberadaannya ditunjuk undang-undang. Tanpa adanya perjanjian para pihak, yaitu yang diatur dalam Pasal 1131 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari akan menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangannya. Dengan demikian berarti seluruh benda debitur menjadi jaminan bagi seluruh kreditur. Apabila debitur tidak dapat mematuhi kewajibannya untuk membayar hutangnya kepada kreditur, maka segala kebendaan milik debitur dapat dijual kepada umum dan hasil penjualan benda tersebut dibagi kepada para kreditur seimbang sesuai dengan besar piutang masing-masing kreditur. 69

Gatot Supramono, Perbankan Dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan Yuridis, Jakarta, Djambatan, 1995, hal. 56

Dari Pasal 1131 dapat disimpulkan asas-asas hubungan ekstern debitur sebagai berikut: 1.

Seorang debitur boleh mengambil pelunasan dari setiap bagian dari harta kekayaan debitur.

2.

Setiap bagian kekayaan debitur dapat dijual guna pelunasan tagihan kreditur.

3.

Hak tagihan kreditur hanya dijamin dengan harta benda debitur saja, tidak dengan persoon debitur.70 Debitur dalam perjanjian ini bersifat pasif karena debitur tidak perlu membuat

perjanjian jaminan atas harta bendanya, karena perikatannya sudah diatur oleh undangundang. Tanpa adanya perjanjian yang diadakan para pihak lebih dulu, para kreditur mempunyai kedudukan yang disebut dengan kreditur konkuren, dimana para kreditur konkuren ini semuanya bersama-sama memperoleh jaminan yang diberikan oleh undang-undang itu.71 Menurut Pasal 1132 KUHPerdata, hasil penjualan barang-barang itu dibagibagikan menurut keseimbangan, yaitu besar kecilnya piutang masing-masing kreditur, kecuali diantara kreditur mempunyai hak untuk didahulukan. Selain jaminan yang ditunjuk oleh undang-undang, sesuai dengan asas konsensualitas dalam hukum perjanjian, undang-undang memungkinkan para pihak untuk melakukan perjanjian penjaminan yang ditujukan untuk menjamin pelunasan atau pelaksanaan kewajiban debitur kepada kreditur. Perjanjian jaminan ini merupakan 70 71

J. Satrio, Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1999, hal. 4-5. Gatot Supramono, Op.cit, hal 58

perjanjian assesoir yang melekat pada perjanjian dasar atau perjanjian pokok yang menerbitkan hutang piutang antara debitur dengan kreditur. Apabila dalam perjanjian yang dibuat oleh debitur dengan kreditur tidak ada suatu perjanjian tambahan apapun, maka sesuai dengan Pasal 1139 dan 1149 KUHPerdata, kreditur yang bersangkutan bukanlah kreditur yang diistimewakan. Karena jika debitur lalai memenuhi kewajibannya dan harta kekayaannya tidak mencukupi untuk melunasi semua hutangnya terhadap beberapa kreditur, maka sesuai dengan Pasal 1132 KUHPerdata, kreditur yang demikian hanya memiliki hak atau kedudukan sebagai kreditur konkuren, artinya semua kreditur mempunyai yang sama dan masing-masing memperoleh pembayaran yang proporsional dengan besarnya piutang masing-masing. Pemegang jaminan khusus mempunyai kedudukan sebagai kreditur preferen bisa karena memang telah ditetapkan oleh undang-undang, atau bisa juga karena kreditur memperjanjikannya dengan debitur/ pemberi jaminan, baik jaminan itu dalam bentuk gadai, hipotek, ataupun bentuk-bentuk jaminan lainnya.72 Timbulnya jaminan khusus ini karena adanya perjanjian yang khusus diadakan antara kreditur dan debitur yang berupa jaminan yang bersifat kebendaan, yaitu adanya benda tertentu yang dijadikan jaminan (zakelijk), dan jaminan yang bersifat perorangan, yaitu adanya orang tertentu yang sangup membayar hutang debitur apabila debitur wan prestasi. Jaminan khusus ini dapat berupa jaminan kebendaan, seperti gadai, hipotek atas 72

Lihat Pasal 1133 KUHPerdata.

kapal laut dan pesawat udara, hak tanggungan dan fidusia. Selain itu dapat juga berupa jaminan perorangan, seperti Penanggung (borg) yaitu orang lain yang dapat ditagih, tanggung-menanggung yang serupa dengan tanggung renteng, akibat hak dari tanggung renteng pasif, dan perjanjian garansi (Pasal 1316 KUHPerdata), yaitu bertanggung jawab guna kepentingan pihak ketiga. Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, dalam pemberian pembiayaan, prinsip yang paling diutamakan adalah kepercayaan. Bank harus memiliki kepercayaan,

baik

terhadap

pribadi

debitur

maupun

terhadap

kemampuan

membayarnya, dalam mengembalikan pembiayaan yang telah disalurkan padanya. Disamping kepercayaan, bank juga tidak boleh mengenyampingkan prinsip 5C dalam penilaiannya. Dari prinsip 5C yang dijalankan bank untuk persetujuan pemberian pembiayaan terhadap seseorang, prinsip yang paling diutamakan adalah character apabila dibandingkan dengan prinsip 5C lainnya dalam proses penilaian pemberian pembiayaan, baru setelah itu dilihat dari capasity atau kapasitasnya. Penilaian character nasabah sangat penting demi kelancaran pembayaran pembiayaan yang diberikan oleh pihak bank kepada nasabah, sangat tidak mungkin pihak bank akan memberikan pembiayaannya kepada seorang pemabuk, penjudi, atau orang-orang yang tidak memiliki integritas untuk membayar pembiayaan yang telah diberikan. Capasity (kapasitas) adalah penilaian kemampuan debitur membayar kewajibannya pada bank, hal dapat dilihat dari bagaimana pembayaran debitur pada pembiayaan sebelumnya apabila ia telah pernah memperoleh pembiayaan sebelumnya, dilihat juga dari besar

penghasilan yang diterimanya, ataupun dengan mensurvey secara langsung ke lapangan.73 Pembiayaan yang diberikan biasanya harus dengan jaminan dari debitur, namun terkadang ada juga pembiayaan yang diberikan tanpa adanya jaminan. Hal ini adalah suatu penyimpangan yang biasanya terjadi apabila debitur tersebut adalah benar-benar dapat dipercaya ataupun permohonannya hanya dengan nilai yang kecil, yaitu di bawah 5 juta. Akan tetapi penyimpangan ini sangat jarang terjadi. Debitur juga dapat mengajukan kembali permohonannya apabila jaminannya ditolak setelah ada jaminan yang baru. Pada Bank Perkreditan Rakyat, khususnya pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, pelaksanaan operasionalnya lebih lunak apabila dibandingkan dengan bank-bank umum, baik itu bank konvensional maupun bank syariah. Maksud dari perkataan lebih lunak disini adalah terutama pada saat ketika debitur tidak mampu untuk membayar pinjamannya, pihak bank tidak serta merta langsung mengeksekusi barang jaminan setelah surat peringatan dikeluarkan seperti halnya pada bank-bank lain, melainkan diusahakan terlebih dahulu dengan jalan musyawarah, apakah dengan perpanjangan waktu pembayaran ataupun dengan kebijakan-kebijakan lain yang telah ditetapkan oleh pihak bank untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Kemudian juga dapat dilihat dari tidak adanya sengketa yang sampai diajukan ke Pengadilan dalam penyelesaian perkaranya. Hal ini disebabkan karena kegiatan operasionalnya 73

Hasil wawancara dengan Ibu Mailiswarti, Direktur Operasional Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, pada tanggal 2 Desember 2009

lebih pada untuk membantu nasabahnya sesuai dengan nilai-nilai syariah. Sehingga tanpa adanya jaminan, pembiayaan juga dapat diberikan, namun tetap dengan menerapkan prinsip kehati-hatian. Jenis barang jaminan yang diterima Bank Pembiayaan rakyat syariah adalah: a. Jaminan yang bersifat kebendaan, seperti: (1) Kendaraan bermotor. (2) Mesin-mesin (3) Pesediaan barang. (4) Perhiasan (5) Deposito. (6) Saham. (7) Tanah. (8) Bangunan. b. Jaminan yang bukan kebendaan, seperti; (1) Jaminan orang (borgtocht). (2) Jaminan perusahaan (company guarantee) (3) Jaminan bank. Jaminan tanah yang dapat diterima Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah: (a) Sertifikat hak milik. (b) Hak guna bangunan. (c) Hak guna usaha.

(d) Sertifikat camat. (e) Sertifikat PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). (f) Surat jual beli. Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, jenis jaminan yang biasanya diterima adalah tanah yang belum bersertifikat, yaitu tanah dengan SK Camat (hampir 90% dari keseluruhan jaminan yang diterima oleh bank),74 BPKB kendaraan bermotor, dan deposito. Walaupun tidak ada lembaga jaminan yang mengaturnya secara baku, dan juga dengan nilai yang sangat kecil, yaitu 50% dari Nilai Jual Objek Pajaknya75, tanah yang belum bersertifikat tetap diterima oleh bank sebagai jaminan hutang. Hal ini mengingat walaupun dinilai dengan jumlah yang lebih kecil apabila dibandingkan dengan tanah bersertifikat, tanah yang belum bersertifikat tetap memiliki nilai, dan juga biasanya permohonan pembiayaan yang diajukan dengan jumlah kecil dan dilakukan di bawah tangan. Selain itu, bank juga merasa memiliki tanggung jawab sosial kepada masyarakat, sesuai dengan peruntukannya untuk membantu masyarakat ekonomi mikro, sehingga secara moril tetap bank menerima tanah yang belum bersertifikat sebagai jaminan hutang. Walaupun demikian, pada prakteknya pihak bank tidak pernah mengalami kesulitan untuk memperoleh angsuran dari debitur, dan kalaupun ada biasanya dapat diselesaikan dengan baik. Jaminan perseorangan juga diterapkan, namun hanya merupakan jaminan tambahan dari jaminan pokoknya, yaitu

74

Hasil wawancara dengan Ibu Mailiswarti, Direktur Operasional Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, pada tanggal 2 Desember 2009 75 Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah

jaminan kebendaan. Jadi dengan demikian, jenis jaminan yang ada Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani adalah: (1) Gadai, berupa barang jaminan dalam bentuk deposito (yang disimpan oleh bank adalah surat bilyet deposito). (2) Fidusia, berupa barang jaminan dalam bentuk BPKB kendaraan bermotor. (3) Kuasa menjual, berupa pengikatan terhadap jaminan dalam bentuk tanah dan bangunan. (4) Hak tanggungan, berupa pengikatan terhadap jaminan dalam bentuk tanah bersertifikat, namun jaminan ini sangat jarang terjadi. Jaminan tersebut di atas merupakan jaminan tambahan atas pembiayaan yang diberikan, sesuai dengan sifatnya yang accessoir. Namun, sebagai jaminan pokoknya, barang yang dibeli secara murabahah itulah yang menjadi jaminan utamanya. Kenyataan besarnya pembiayaan dengan jaminan tanah belum bersertifikat di Bank Pembiyaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, juga diakui oleh beberapa nasabah debitur bank yang diberikan pembiayaan padanya. Nasabah debitur beranggapan, dengan diterimanya tanah mereka sebagai jaminan, maka telah sangat menolong perbaikan kualitas kehidupannya. Hal ini dikarenakan sebagian bank-bank umum tidak menerima tanah belum bersertifikat mereka sebagai jaminan hutang, sehingga mereka merasa kesulitan dalam memperoleh pinjaman. Berikut tabel hasil wawancara yang

dilakukan penulis dengan beberapa nasabah debitur Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani.76

C. Kekuatan Hukum Tanah Yang Belum Bersertifikat Sebagai Objek Jaminan Dalam Pembiayaan Murabahah. Dalam sistem hukum Indonesia dikenal ada beberapa lembaga jaminan. Namun, tidak satu lembaga jaminanpun yang mengatur tentang tanah yang belum bersertifikat di dalamnya. Pada prakteknya di lapangan, tanah yang belum bersertifikat sangat banyak dijadikan sebagai jaminan hutang oleh masyarakat, terutama pada kredit 76

Data primer yang telah diolah dari wawancara terhadap bank dan nasabah debitur

ataupun pembiayaan pada bank perkreditan rakyat, baik itu bank konvensional maupun syariah. Oleh karena itu, biasanya digunakan surat kuasa menjual untuk mengisi kekosongan hukum tersebut. Surat kuasa menjual itu dapat dibuat tergabung dengan akta pengakuan hutang debitur, biasanya dibuat dengan judul Akta Pengakuan Hutang Dengan Memberikan Jaminan Dan Surat Kuasa Menjual, dimana surat kuasa ini adalah merupakan bagian dari akta tersebut. Bentuk lainnya, Akta Kuasa Menjual dibuat terpisah dengan Akta Pengakuan Hutang Dengan Pemberian Jaminan, dimana Akta Kuasa Menjual tersebut bukanlah bagian dari Akta Pengakuan Hutang, namun tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian hutang piutang itu sendiri. Masyarakat ekonomi bawah sangat banyak bergantung kepada tanah yang belum bersertifikat miliknya untuk dijadikan jaminan hutang. Hal ini dapat dilihat pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani yang menerima hampir 90% jaminan dengan tanah yang belum bersertifikat atas total pembiayaan yang diberikan.77 Hal yang sama juga terjadi pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Al-Washliyah yang menerima hampir 60% jaminan dengan tanah yang belum bersertifikat atas total pembiayaan yang diberikan.78 Bank Indonesia juga melihat kebutuhan ini, dan oleh karena itu, dalam Pasal 20 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah, diatur tentang nilai agunan

77

Hasil wawancara dengan Ibu Mailiswarti, Direktur Operasional Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, pada tanggal 2 Desember 2009 78 Hasil wawancara dengan Ali Aman, Account Officer Bank Pembiayaan Rakyat Syariah AlWashliyah, pada tanggal 2 Desember 2009

yang dapat diperhitungkan adalah 50% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) terhadap agunan tanah berdasarkan kepemilikan surat girik (letter C) dilampiri Surat Pemberitahuan pajak Terhutang (SPPT) selama 6 bulan. Walaupun nilainya kecil apabila dibandingkan dengan tanah bersertifikat, hal ini cukup membantu kesulitan masyarakat ekonomi mikro. Terlebih karena jumlah pembiayaan yang disalurkan oleh bank pembiayaan rakyat, terutama Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani bernilai kecil, berkisar dari 5 juta rupiah sampai dengan 50 juta rupiah. Pengikatan yang dilakukan pun hanya dengan akta notaris, yaitu dengan Akta Pengakuan Hutang Dengan Pemberian Jaminan Dan Surat Kuasa Menjual, disamping aqad perjanjian murabahah itu sendiri tentunya. Itupun apabila pembiayaan yang diberikan lebih dari 25 juta rupiah, apabila nilai pembiayaan yang diberikan lebih kecil dari 25 juta rupiah, maka hanya dibuat surat di bawah tangan antara nasabah debitur dengan bank. Dari keseluruhan nasabah yang mengajukan pembiayaan, hanya 5% - 10% yang menaikkan status hak tanahnya ke dalam sertifikat, selebihnya tidak, karena bank hanya memberikan pilihan pada nasabah, mengingat pembuatan sertifikat memakan biaya yang besar, sehingga ditakutkan akan memberatkan nasabah debitur nantinya.79 Akan tetapi, walaupun diterimanya tanah belum bersertifikat sebagai jaminan hutang, bagi sebagian nasabah menimbulkan suatu permasalahan juga. Tanah dinilai berdasarkan Nilai Jual Objek Pajaknya, bukan berdasarkan harga pasar yang berlaku. 79

Hasil wawancara dengan Ibu Mailiswarti, Direktur Operasional Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, pada tanggal 2 desember 2009

Hal ini menyebabkan nilai tanahnya menjadi lebih kecil, dari pada yang menurut nasabah seharusnya dapat dinilai lebih tinggi. Penurunan nilai tanah berdasarkan NJOP ini biasanya terjadi karena nasabah hanya membayar pajak untuk tanah miliknya, sedangkan bangunan yang telah didirikan di atasnya tidak dilaporkannya, sehingga bangunan tersebut tidak dikenakan pajak. Terlebih lagi nilai tanah yang dihitung hanya 50% dari NJOPnya, yang menyebabkan nilai tanah semakin kecil. Hal ini yang kemudian menimbulkan tanda tanya di benak nasabah dan menjadi kekecewaan tersendiri bagi dirinya, karena nasabah debitur telah membayangkan dengan jaminan tanah yang dimilikinya, maka dia akan memperoleh pembiayaan sesuai yang dibutuhkannya. Dalam praktek perbankan, penggunaan surat kuasa menjual merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam eksekusi barang jaminan karena hutang tidak dibayar. Apabila menggunakan lembaga jaminan semisal hak tanggungan atau fidusia, disamping prosesnya panjang, juga nasabah atau debitur mengeluarkan dana yang cukup besar. Hal ini justru akan memberatkan nasabah. Kondisi inilah yang menjadi alasan bagi Bank Perkreditan Rakyat Syariah Puduarta Insani, mengapa tidak menggunakan lembaga jaminan semisal Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia untuk menjamin hutang-hutang nasabahnya. Menurut keterangan Mailiswarti di Bank Perkreditan Rakyat Syariah Puduarta Insani, beliau menyatakan, bahwa jumlah dana pembiayaan yang dikeluarkan oleh bank umumnya pada kisaran antara 5 juta rupiah sampai dengan 50 juta. Memang ada nasabah yang dibiayai antara 100 juta rupiah

sampai 200 juta rupiah, tetapi kasusnya kecil sekali. Sehingga langkah yang paling effisien dan effektif adalah dengan menggunakan Akta Surat Kuasa Menjual. Hal ini dilakukan oleh bank, adalah untuk menghindari biaya administrasi ataupun biayabiaya lainnya yang terlalu tinggi. Karena biaya yang dikeluarkan tersebut adalah merupakan tanggungan nasabah. Padahal nasabah hanya menerima dana pembiayaan dari bank besarannya hanya sekitar antara 5 Juta rupiah sampai dengan 50 juta rupiah. Jadi dengan pinjaman atau hutang yang jumlahnya relatif kecil, nasabah harus mengeluarkan biaya yang terlalu besar. Sehingga antara pengeluran yang harus dibayar nasabah sebagai kewajibannya untuk mendapatkan dana pembiayaan dari bank, dengan dana pembiayaan yang diterimanya sebagai hutang dan harus dibayarnya pada bank, menjadi tidak sebanding.

BAB III RESIKO BANK ATAS PEMBIAYAAN MURABAHAH DENGAN JAMINAN TANAH YANG BELUM BERSERTIFIKAT

A. Perbankan Syariah Secara Umum. Secara etimologis, kata bank berasal dari bahasa Italia, yaitu dari kata banca yang berarti bangku/ tempat duduk. Bank disebut demikian karena pada abad pertengahan orang-orang yang memberikan pinjaman melakukan usahanya diatas bangku-bangku.80 Menurut bahasa Eropa (Italia), bank berasal dari kata “Banco” yang artinya bangku atau counter. Kata tersebut dipopulerkan karena segala aktifitas pertukaran uang orang-orang Italia menggunakan bangku atau counter. Meskipun demikian, perkembangan perbankan agak tersendat bahkan sampai zaman European Renaissence. Bank pertama yang sudah berdiri di Italia pada waktu itu adalah di kota Venice tahun 1157, kemudian bank yang secara resmi menggunakan deposito adalah Barcelona pada 1401.81 A.Abdurrahman dalam Ensiklopedi Ekonomi Keuangan dan Perdagangan mengartikan bank sebagai suatu jenis lembaga keuangan yang melaksanakan berbagai macam jasa, seperti memberikan pinjaman, mengedarkan mata uang, pengawasan 80

Edy Wibowo dan Untung Hendi Widodo, Mengapa Memilih Bank Syariah?, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hal. 16 81 A. Riawan Amin, Bank Syariah Sebagai Solusi yang Berkeadilan dan Berkerakyatan, 2003. http://www.rumahilmuindonesia.net/perpustakaan/ekonomi_syariah/Bank_Syariah_Berkeadilan.pdf diakses pada 22 Desember 2009.

terhadap mata uang, bertindak sebagai tempat penyimpanan benda-benda berharga, membiayai usaha perusahaan-perusahaan dan lain-lain.82 Bank menurut bahasa Arab berasal dari kata mashrif, yang artinya pertukaran (exchange), yaitu penjualan mata uang dengan mata uang yang lain. Kata mashrif sendiri merupakan istilah nama untuk suatu tempat. Namun demikian sama artinya dengan kata bank.83 Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 pengertian Bank, Bank Umum, dan Bank Perkreditan Rakyat disempurnakan menjadi sebagai berikut: “Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau dalam ke bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.” “Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.” “Bank Perkreditan Rakyat adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.” Mishkin secara sederhana menjelaskan bank sebagai lembaga keuangan yang menerima deposito dan memberikan pinjaman. Dia juga menjelaskan bahwa bank merupakan perantara keuangan (financial intermediaries), sehingga menimbulkan 82 83

Edy Wibowo dan Untung Hendi Widodo, Op.cit. A. Riawan Amin, op.cit.

interaksi antara orang yang membutuhkan pinjaman untuk membiayai kebutuhan hidupnya, dengan orang yang memiliki kelebihan dana dan berusaha menjaga keuangannya dalam bentuk tabungan dan deposito lainnya di bank.84 Bank Indonesia mengkategorikan fungsi bank sebagai sebagai financial intermediaries ini ke dalam tiga hal, yaitu sebagai lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, sebagai lembaga yang menyalurkan dana ke masyarakat dalam bentuk kredit, dan sebagai lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan peredaran uang. Financial intermediaries ini merupakan suatu aktivitas penting dalam perekonomian, karena menimbulkan aliran dana dari pihak yang tidak produktif kepada pihak yang tidak produktif dalam mengelola dana. Oleh karena itu bank sebagai lembaga intermediary memang harus diatur secara ketat, karena dana yang dihimpun oleh bank adalah dana yang berasal dari masyarakat, dan nantinya disalurkan bagi masyarakat yang memenuhi kriteria untuk meningkatkan produktifitas usaha. Bank sebagai lembaga intermediary ini juga diterapkan oleh bank-bank syariah. Oleh karenanya, walaupun prinsip utama dalam pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah adalah kepercayaan, bank tetap harus meminta jaminan untuk kepastian pengembalian hutangnya. Sedikit perbedaannya A. Nurul hadi menyebutkan, bahwa bank syariah adalah merupakan lembaga keuangan yang unik, di mana bukan hanya sebagai lembaga 84

Karakteristik perbankan (pengertian, fungsi, dan ruang lingkup usaha bank), http://blognyamyun.blogspot.com/2008/08/karakteristik-perbankan-pengertian.html, di akses pada tanggal 22 Desember 2009

intermediary seperti layaknya bank konvensional tetapi juga sebagai investment banking.85 Charles J. Woefel menjelaskan investement banking sebagai berikut: The investement banker is the middleman between issuers of securities requiring capital (publik bodies as well as private business firms) and the ultimate investors, institutional and individual, who have money to invest.86 Kedudukan bank syariah dalam hubungannya dengan nasabah adalah mitra investor dan pedagang. Oleh karena itu pemenuhan kebutuhan permodalan (equity financing) baik melalui skim musyarakah (joint venture profit sharing) maupun melalui skim mudharabah (trustee profit sharing) dan kebutuhan pembiayaan (debt financing) dilakukan melalui metoda investasi dan metoda jual-beli (Bai’). Sehingga bank syariah secara prinsip juga dapat memiliki persediaan, dapat memiliki aktiva tetap yang dapat disewakan. Hal ini tidak mungkin dilakukan oleh bank konvensional. Oleh karena itu para bankir syariah harus merubah paradigma baik secara konseptual maupun tindakan.87 Dalam perbankan Islam, konsep bank bukanlah suatu konsep yang baru, artinya umat Islam sudah mengenal bahkan mempraktekkan fungsi-fungsi perbankan dalam kehidupan perekonomiannya. Praktek-praktek perbankan seperti menerima titipan harta, meminjamkan uang uang untuk keperluan konsumsi ataupun bisnis, serta melakukan pengiriman uang telah lazim dilaksanakan sejak zaman Rasulullah Saw, 85

A. Nurul Hadi, Pengembangan Perbankan Syariah Masa Depan, http://www.radarbanjarmasin.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=39924, di akses pada tanggal 22 Desember 2009 86 Ibid 87 Ibid

namun fungsi tersebut biasanya dilakukan oleh perorangan yang hanya melakukan satu fungsi. Baru kemudian di zaman Bani Abbasiyah, ketiga fungsi perbankan, yaitu menerima deposit, menyalurkan dana dan mentransfer dana, dilakukan oleh satu individu. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada masa itu sehingga diperlukan satu keahlian khusus untuk membedakan satu mata uang dengan mata uang lainnya. Hal ini diperlukan karena setiap mata uang mengandung logam mulia yang berlainan sehingga mempunyai nilai yang berbeda pula. Orang yang mempunyai keahlian khusus ini disebut naqid, sarraf, dan jihbiz. Aktivitas ini merupakan cikal bakal money changer.88 Dalam perkembangan berikutnya, kegiatan yang dilakukan oleh perorangan (jihbiz) kemudian dilakukan oleh institusi yang saat ini dikenal sebagai bank. Ketika bangsa Eropa mulai menjalankan praktek perbankan, persoalan mulai timbul karena transaksi yang dilakukan menggunakan instrumen bunga yang dalam pandangan fiqih adalah haram. Transaksi ini merebak ketika Raja Henry VIII pada tahun 1545 membolehkan bunga (interest) meskipun tetap mengharamkan riba (usury) dengan syarat bunganya tidak boleh berlipat ganda (excessive). Setelah wafat, Raja Henry VIII digantikan oleh Raja Edward VI yang membatalkan kebolehan bunga uang. Ketika wafat, ia digantikan oleh Ratu Elizabeth I yang kembali memperbolehkan praktek pembungaan uang.89 Ketika bangsa Eropa mulai melakukan penjelajahan dan penjajahan ke seluruh 88

Adiwarman A. Karim, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal 17-21. 89 Ibid, hal 22

dunia, aktifitas perekonomian didominasi oleh mereka, termasuk di dalamnya perbankan dengan sistem bunga, dan berlangsung terus sampai zaman modern ini. Oleh karena bunga uang secara fiqih dikategorikan sebagai riba yang berarti haram, di sejumlah negara Islam dan berpenduduk mayoritas muslim mulai timbul usahausaha untuk mendirikan lembaga bank alternatif non-ribawi.90 Hal ini disebabkan, Islam merumuskan sistem ekonomi berbeda dari sistem ekonomi lain, karena memiliki akar syariah yang menjadi sumber dan panduan setiap muslim dalam menjalankan setiap kehidupannya. Dalam hal ini Islam memiliki tujuantujuan syariah (muqosidays-syariah) serta petunjuk untuk mencapai maksud tersebut.91 Segala tindakan yang berupaya meningkatkan tujuan-tujuan syariah tersebut merupakan upaya yang memang seharusnya dilakukan serta sesuai kemaslahatan umum. Islam mudah dan logis untuk dipahami, serta dapat diterapkan, termasuk di dalam kaidah-kaidah muamalahnya (tata hubungan sosial ekonomi). Dalam hal ini ekonomi Islam sebagai bagian kegiatan muamalah sesuai kaidah syariah, dapat diartikan sebagai ilmu ekonomi yang dilandasi ajaran Islam yang bersumber kesepakatan ulama dan analogi.92 Ekonomi Islam memiliki pandangan yang khusus terhadap uang dan jaminan dalam konteks terbatas. Uang tidak akan bernilai tanpa digunakan sebagai alat pembayaran. Oleh karena itu uang yang bertumpuk tidak sama dengan uang yang

90

ibid. Abdul Malik Idris, dan H. Abu Ahmadi, Kifayatul Akhyar, Terjemah Ringkas Fiqih Islam Lengkap, Rineka Cipta, Jakarta, 1990, hal. 42. 92 Ibid, hal. 42-43. 91

beredar. Jika kita menganggap uang yang disimpan memiliki nilai, berarti kita telah menyalahi fungsi uang yang sebenarnya. Menumpuk uang berarti menganggap bahwa harta itu kekal dan orang itu cenderung berbuat sewenang-wenang dengannya. Hal inilah yang membuat orang terangsang untuk membungakan uang, karena merasa memiliki power (kekuasaan) terhadap pihak lainnya.93 Tujuan dari bank syariah secara umum adalah untuk mendorong dan mempercepat kemajuan ekonomi suatu masyarakat dengan melakukan kegiatan perbankan, financial, komersial, dan investasi sesuai kaidah syariah. Hal ini berbeda dengan bank konvensional yang tujuan utamanya adalah percapaian keuntungan yang setinggi-tingginya (profit maximization), sedangkan prinsip utama bank Islam terdiri dari larangan riba pada semua jenis transaksi. Menurut Badrad-Dien al-Ayni dalam kitab Umdatul Qori, prinsip utama adalah penambahan dan menurut syariah riba berarti penambahan atas harga pokok tanpa adanya transaki yang riil.94 Usaha modern pertama untuk mendirikan bank tanpa bunga pertama kali dilakukan di Malaysia pada pertengahan tahun 1940-an, tetapi usaha ini tidak sukses. Eksperimen lain dilakukan di Pakistan pada akhir tahun 1950-an, dimana suatu lembaga perkreditan tanpa bunga didirikan di pedesaan negara itu.95 Eksperimen pendirian bank syariah yang paling sukses dan inovatif di masa modern ini dilakukan di Mesir pada tahun 1963 dengan berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank.96 93 94

Ibid. hal.44. Muhammad Muslehuddin, Sistem Perbankan Dalam Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1990,

hal.22 95 96

Sudin Haron, dikutip dari Adiwarman A. Karim, op.cit, hal 23. Adiwarman A Karim, op.cit.

Kesuksesan Mit Ghamr ini memberikan inspirasi bagi umat muslim di seluruh dunia, sehingga timbullah kesadaran bahwa prinsip-prinsip Islam ternyata masih dapat diaplikasikan dalam bisnis modern.97 Prakarsa untuk mendirikan bank Islam di Indonesia baru dilakukan pada tahun 1990, yang berawal dari lokakarya yang diselenggarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 18-20 Agustus 1990 tentang Bunga Bank Dan Perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, dan dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menghasilkan kesepakatan untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Hal ini kemudian ditindaklanjuti dengan membentuk kelompok kerja yang disebut Tim Perbankan MUI, dan pada tahun 1991 berdirilah Bank Muamalat Indonesia sebagai pelopor98 bank syariah di Indonesia.99 Dalam perkembangannya, bank umum maupun bank perkreditan rakyat yang pada awalnya hanya dapat menjalankan kegiatan usahanya secara konvensional sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan, setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan, keduanya dapat menjalankan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah, khusus dimungkinkan 97

Ibid. Walaupun banyak pihak berpendapat bahwa Bank Muamalat sebagai bank syariah pertama yang pernah ada di Indonesia, sebenarnya Bank Muamalat bukanlah lembaga keuangan syariah yang pertama kali berdiri di Indonesia, karena sebelumnya telah pernah berdiri Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) Berkah Amal Sejahtera, dan BPRS Dana Mardhatillah, serta BPRS Amanah Rabaniah. (lihat: Gemala Dewi, op.cit, hal 62). Bahkan jauh sebelum itu sudah pernah berdiri lembaga keuangan syariah Baitul Tamwil Teknosa di Bandung dan Baitul Tamwil Ridho Gusti di Jakarta (lihat Adiwarman A. Karim. Op. cit hal 108) 99 Muhammad Syafi’i Antonio, op.cit, hal 25. 98

bagi bank umum yang pada awalnya bergerak sebagai bank konvensional, untuk melakukan dual banking system sehingga bank umum tersebut dapat juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah (Pasal 1 angka 3 dan 4) .100 Ada beberapa hal yang perlu disempurnakan dalam upaya menjadikan bank syariah sebagai perbankan yang mendapat kepercayaan dan keyakinan masyarakat serta terpisah dari bank konvensional antara lain mengenai: 1.

Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian.

2.

Standar akuntansi, audit dan pelaporan.

3.

Instrumen moneter yang sesuai dengan prinsip syariah untuk keperluan pelaksanaan tugas bank sentral, dan lain sebagainya.

4.

Memberikan kepercayaan kepada Perguruan Tinggi yang berkompeten syariah, Universitas Islam Negeri atau Institut Agama Islam Negeri misalnya.101 Secara yuridis formal, di Indonesia yang mengatur tentang perbankan secara

keseluruhan, baik bank konvensional maupun bank dengan prinsip syariah adalah Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 mengubah dan mengganti, atau menambah beberapa pasal dari Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992, sehingga yang berlaku sekarang adalah Undang-undang yang lama, yaitu

100

Dual banking system adalah suatu sistem yang memberi kemungkinan bagi bank-bank konvensional untuk dapat membuka unit syariah dengan tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai bank umum (lihat: Penjelasan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perbankan pasal 1 angka 3 dan 4). 101 Rachmat Syafi’i. Tinjauan Yuridis Terhadap Perbankan Syariah. http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0305/21/0802.htm. diakses pada 22 Desember 2009

terhadap pasal-pasalnya yang belum diubah, maupun undang-undang yang baru. Terhadap bank syariah sendiri, tidak hanya ketentuan perundang-undangan secara formal saja yang mengatur kegiatan usahanya, namun juga bersandar pada ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam bermuamalah sesuai dengan syariah Islam. Secara baku perbankan syariah juga tunduk pada Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah yang dikeluarkan pada tanggal 16 Juli 2008. Dalam pertimbangannya diakui, bahwa Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri. Ketentuan lain yang hierarkinya lebih rendah dapat dilihat dalam berbagai peraturan, baik itu dalam berbagai Peraturan Pemerintah, misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil, dalam Surat Edaran Bank Indonesia, dalam Peraturan Bank Indonesia, diantaranya Peraturan Bank Indonesia nomor 6/24/PIB/2004, dimana dalam pasal 36 menerangkan bahwa bank wajib menerapkan prinsip syariah dan prinsip kehati-hatian dalam melakukan kegiatan usahanya yang meliputi antara lain penyaluran dana melalui prinsip jual beli berdasarkan akad antara lain murabahah, maupun dalam fatwa-fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia tentang produkproduk perbankan dan ekonomi syariah. Dalam prinsip ekonomi Islam, bank harus beroperasi mengacu kepada ketentuan-ketentuan Al-Qur’an dan Hadist, khususnya yang menyangkut tata cara

bermuamalah yang berisi kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan. Sama halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga menawarkan nasabah dengan beragam produk perbankan. Hanya saja bedanya dari bank konvensional adalah dalam hal penentuan harga, baik terhadap harga jual maupun harga belinya. Produk-produk yang ditawarkan sudah tentu saja islami, termasuk dalam memberika pelayanan kepada nasabahnya.102 Dalam operasionalnya, bank syariah melakukan kegiatan usahanya memiliki produk-produk tersendiri yang berbeda dengan bank konvensional pada umumnya. Namun, produk-produk bank syariah ini pada dasarnya hampir sama dengan produkproduk bank konvensional, yaitu sebagai penghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, menyalurkannya dalam bentuk kredit/ pembiayaan, dan bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat. Hal yang paling mencolok yang tidak boleh dilakukan oleh bank syariah dalam produknya adalah apabila hal tersebut bertentangan dengan syariat Islam. Apabila dilihat berdasarkan Pasal 6 Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 sebagaimana di ubah Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan dan Pasal 19 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, kegiatan usaha bank umum baik itu bank konvensional maupun syariah adalah sama, yang berbeda hanyalah pada bank konvensional digunakan sistem bunga terhadap 102

189.

Kashmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal.

produk-produk yang dikeluarkannya, sedangkan pada bank syariah bunga adalah riba yang berarti haram, bank syariah mengambil keuntungan berdasarkan bagi hasil dari margin yang telah disepakatoi sebelumnya. Produk yang sama sekali tidak ada di bank syariah adalah kartu kredit yang tentu saja bertentangan dengan syariah Islam karena sistem bunga yang terkait padanya. Produk-produk bank syariah muncul karena didasari oleh operasionalisasi fungsi bank syariah. Dalam menjalankan operasinya bank syariah memiliki empat fungsi sebagai berikut: a.

Sebagai

penerima amanah untuk melakukan investasi dana-dana yang

dipercayakan oleh pemegang rekening investasi/deposan atas prinsip bagi hasil sesuai dengan kebijkan investasi bank. b. Sebagai pengelola investasi atas dana yang dimiliki pemilik dana/shahibul maal sesuai dengan arahan investasi yang dikehenddaki oleh pemilik dana. c. Sebagai penyedia lalu lintas pembayaran dan jasajasa lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. d. Sebagai pengelola fungsi sosial.103 Dari keempat fungsi operasional tersebut kemudian diturunkan menjadi produkproduk bank syariah, yang secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam produk pendanaan, produk pembiayaan, produk jasa perbankan, dan produk kegiatan sosial.104 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (selanjutnya 103 104

Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Raj aGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal. 112 Ibid.

disebut dengan Undang-Undang Perbankan Syariah), pasal 19 angka (1), jo. Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/24/PBI/2004 BAB V pasal 36, menentukan kegiatan usaha bank umum syariah. Sedikit berbeda dengan bank umum syariah, bank pembiayaan rakyat syariah tidak memiliki kewenangan dalam lalu lintas pembayaran dan beberapa kegiatan perbankan lainnya seperti halnya bank umum syariah, sehingga kegiatan usaha bank pembiayaan rakyat syariah menurut pasal 21 Undang-undang Perbankan Syariah meliputi: 1) Menghimpun dana masyarakat dalam bentuk: a)

Simpanan berupa tabungan atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad wadi’ah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah.

b) Investasi berupa Deposito atau tabungan atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah. 2) Menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk: a)

Pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah atau muyarakah.

b) Pembiayaan berdasarkan akad murabahah, salam, atau istishna. c)

Pembiayaan beradasarkan akad qardh.

d) Pembiyaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik.

e) 3)

Pengambilalihan hutang berdasarkan akad hawalah.

Menempatkan dana pada bank syariah lain dalam bentuk titipan berdasarkan akad wadi’ah atau investasi berdasarkan akad mudharabah dan/atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.

4)

Memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan nasabah melalui rekening bank pembiayaan rakyat syariah yang ada di bank umum syariah, bank konvensional, dan unit usaha syariah.

5)

Menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha bank syariah lainnya yang sesuai dengan prinsip syariah berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.

B. Pembiayaan Murabahah Pada Perbankan Syariah. Diantara sekian banyak produk perbankan yang dikembangkan dalam sistem perbankan syariah, salah satunya adalah sistem jual beli (sale and purchase dalam bahasa inggris, bai’ dalam bahasa arab). Dalam sistem jual beli ini, dikenal ada tiga cara yang dilakukan dalam praketk sehari-hari, yaitu bai’ al-murabahah, bai’ assalam, dan bai’ al-istishna. Namun dalam praktek perbankan syariah, diantara ketiga bentuk sistem jual beli ini, yang banyak dilakukan adalah sistem jual beli bai’ almurabahah dan selalu disebut secara ringkas dengan sistem murabahah. Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan atau tambahan harga yang telah disepakati dan transparan. Sesuai dengan pengertiannya, murabahah adalah jual beli barang dengan harga asal ditambah dengan

keuntungan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam jual beli ini, penjual harus memberi tahu harga pokok pembelian barang dan menentukan tingkat keuntungan tertentu sebagai tambahan dan menjelaskannya secara transparan kepada pembeli. Murabahah adalah salah satu jenis jual beli yang dibenarkan oleh syari’ah dan merupakan implementasi muamalat tijariyah (interaksi bisnis). Menurut beberapa kitab fiqih, Murabahah adalah salah satu dari bentuk jual beli yang bersifat amanah. Jual beli ini berbeda dengan jual beli musawwamah (tawar menawar). Murabahah terlaksana antara penjual dan pembeli berdasarkan harga barang, harga asli pembelian si penjual yang diketahui oleh si pembeli dan keuntungan penjual pun diberitahu kepada pembeli. Sedangkan musawwamah adalah transaksi yang terlaksana antara si penjual dengan si pembeli dengan suatu harga tanpa melihat harga asli barang.105 Udovitch menyatakan bahwa murabahah adalah suatu bentuk jual beli dalam komisi, dimana si pembeli biasanya tidak dapat memperoleh barang yang dia inginkan kecuali lewat seorang perantara, atau ketika si pembeli tidak mau susahsusah mendapatkannya sendiri, sehingga ia mencarai jasa seorang perantara.106 Kemudian Gemala Dewi dalam bukunya menyatakan bahwa Murabahah adalah pembelian oleh satu pihak kepada pihak lain yang telah mengajukan permohonan pembelian terhadap suatu barang dengan keuntungan atau tambahan harga yang transparan.107 105

Hasballah Thaib, Op.cit, hal. 121 Abdullah Saeed, op.cit, hal. 119 107 Gemala Dewi, dkk, op.cit, hal. 111 106

As-Shiddieqy menjelaskan dalam bukunya bahwa jual beli murabahah ini merupakan jual beli yang kurang disukai oleh kalangan sahabat Nabi saw, namun oleh beberapa imam mazhab bentuk jual beli murabahah ini dibolehkan.108 Menurut Abdullah Saeed, pada dasarnya murabahah adalah suatu bentuk jual beli, namun bukanlah suatu bentuk transaksi jual beli yang dikenal dalam Islam karena tidak ada hadits yang menjelaskan bentuk jual beli murabahah ini. Para ulama generasi awal semisal Malik dan Syafi’i yang secara khusus mengatakan bahwa jual beli murabahah adalah halal, tidak memperkuat pendapat menerka dengan satu hadits pun.109 Lebih ekstrem lagi Abdullah Saeed menyatakan murabahah adalah suatu pembiayaan “mirip bunga”.110 Abdullah Saeed berpendapat bahwa para teoritisi perbankan Islam berargumen bahwa perbankan Islam harus didasarkan pada Profit and Loss Sharing (PLS), bukan berdasarkan bunga. Namun, dalam prakteknya, bank-bank Islam sejak awal telah menemukan bahwa perbankan berdasarkan pada Profit and Loss Sharing adalah sulit untuk diterapkan karena penuh dengan resiko dan tidak pasti. Problem-problem praktis yang terkait dengan pembiayaan ini telah mengakibatkan penurunan bertahap penggunaannya dalam perbankan Islam, dan mengakibatkan peningkatan yang terus menerus penggunaan mekanismemekanisme pembiayaan “mirip bunga”.111

108

Hasbi As-shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta. Abdullah Saeed, op.cit, hal. 119 110 ibid, hal 118 111 Ibid 109

Mereka (bank syariah) menemukan apa yang di dalam fiqih disebut dengan murabahah, suatu model jual beli yang pihak pembeli –karena satu dan lain hal– tidak bisa membeli langsung barang yang diperlukannya dari pihak penjual, sehingga dia memerlukan perantara untuk bisa membeli dan mendapatkannya. Dalam proses ini, si perantara biasanya menaikkan harga sekian persen dari harga aslinya. Produk ini kemudian menjadi bisnis yang paling populer dan disenangi oleh bank-bank Islam karena nyaris tanpa resiko.112

112

ibid

Al-kaff, seorang kritikus murabahah kontemporer, menyimpulkan bahwa murabahah adalah salah satu jenis jual beli yang tidak dikenal pada zaman nabi atau para sahabatnya. Menurutnya, para tokoh ulama mulai menyatakan pendapat mereka tentang murabahah pada seperempat pertama abad kedua hijriyah, atau bahkan lebih akhir lagi.113 Dalam hukum Islam, dibolehkannya jual beli dengan memakai jasa perantara ini didasarkan pada pendapat Ibnu Abbas yang berkata “Juallah pakaian ini, sekiranya lebih dari sekian, maka untuk anda”.114 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa transaksi murabahah adalah transaksi jual beli yang termasuk dalam bidang muamalah yang tidak dikenal pada zaman nabi, dan baru berkembang di kemudian hari pada masyarakat Madinah sehingga ia merupakan urf (adat istiadat atau kebiasaan setempat) di bidang mualamalah, dan karena dianggap tidak bertentangan dengan syariat Islam maka hukumnya dikembalikan kepada hukum asal muamalah yang menyatakan “segala sesuatunya diperbolehkan kecuali ada larangan dalam Qur’an taupun Sunnah”. Dalil yang dapat dijadikan dasar dalam transaksi murabahah merupakan dalildalil transaksi jual beli, karena itu dasar-dasar syariah mengenai jual beli dijadikan pula sebagai dasar syariah pada transaksi murabahah. Adapun dalil-dalil tersebut antara lain, surat Al-Baqarah ayat 275 yang artinya: “dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”, dan Surat An-Nisa 113

ibid M.Ali Hasan, Berbagai Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat), RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 292. 114

ayat 29 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesama kamu dengan jalan bathil, kecuali melalui perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu.” TABEL 4 PERBANDINGAN KARAKTERISTIK POKOK PEMBIAYAAN

MURABAHAH

DALAM LITERATUR KLASIK DAN PRAKTIK DI INDONESIA

115

Ascarya, op.cit. hal 221-222

115

Pembiayaan murabahah yang umum dipraktekkan oleh perbankan syariah di Indonesia juga memiliki perbedaan dengan konsep klasik murabahah. Perbedaan karakteristik pokok pembiayaan murabahah dalam literatur klasik dan praktik di Indonesia dapat dilihat pada tabel. Namun demikian, Murabahah tetap merupakan salah satu produk yang populer dalam praktek pembiayaan pada perbankan syariah. Selain mudah perhitungannya bagi nasabah maupun bagi manajemen bank karena harga yang dibuat secara transparan dan tanpa adanya pembayaran dengan sistem bunga berjalan, murabahah juga memiliki beberapa kesamaan (yang bukan prinsipil) dengan sistem kredit pada perbankan konvensional. Meskipun demikian, secara prinsip, murabahah sangat jauh berbeda dengan suku bunga dalam perbankan konvensional. Murabahah adalah transaksi kepercayaan (trustsworthiness), sebab pembeli telah mempercayakan penjual untuk menentukan harga asal barang yang dibelinya. Oleh karena itu, ketika bank menawarkan skim pembiayaan murabahah, maka sebenarnya bank menawarkan kepercayaan dan good-will yang tinggi kepada nasabah, dan sebaliknya, nasabah juga memberikan kepercayaan yang penuh kepada pihak bank. Konsep amanah dan saling mempercayai inilah yang membedakan murabahah dengan pinjaman yang berbasiskan bunga tetap.116 Secara konvensional, dalam transaksi simpan-pinjam dana, si pemberi pinjaman mengambil tambahan dalam bentuk bunga tanpa adanya suatu penyeimbang yang 116

Penjelasan Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah tanggal 1 April 2000

diterima si peminjam kecuali kesempatan dan faktor waktu yang berjalan selama proses peminjaman tersebut. Penyeimbang maksudnya adalah adanya suatu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil, seperti transaksi jual beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Yang tidak adil disini adalah si peminjam diwajibkan untuk selalu, tidak boleh tidak, harus, mutlak, dan pasti untung dalam setiap penggunaan kesempatan tersebut. Dana tersebut tidak akan berkembang dengan sendirinya hanya dengan faktor waktu semata tanpa adanya faktor orang yang menjalankan atau mengusahakannya. Bahkan walaupun peminjam tersebut mengusakannya, hasil akhirnya tetap terdapat kemungkinan untung ataupun rugi. Apabila hasilnya rugi, orang tersebut tetap harus membayar bunga seperti yang telah diperjanjikan, karena pada awal terjadinya transaksi, penentuan bunga dibuat dengan asumsi harus selalu untung. Secara syariah, dibenarkan menginvestasikan modal atau dana yang dimilikinya untuk memperoleh keuntungan. Hal tersebut dapat dilakukan dengan melakukan kerja sama usaha dan berbagi keuntungan, bukan meminjamkan uang dengan menarik bunga tanpa menghiraukan apa yang terjadi di sektor riil. Pemilik dana dapat menginvestasikan dananya melalui bai’ al-murabahah, bai’ al-istishna, bai’ al-ijarah, bai’ al-mudharabah, al-musyarakah, al-hawalah, al-kafalah, dan al-wakalah. Dari transaksi bisnis tersebut pemilik dana boleh mengambil keuntungan dari hasil yang diperoleh, karena sangatlah tidak adil jika si pemilik dana telah mengkontribusikan dana bersama mitranya, sementara seluruh keuntungan diambil mitra serta tidak

memberikan sesuatu kepada si investor. Namun yang dilarang dalam perolehan keuntungan tersebut adalah pematokan imbalan pada awal transaksi secara tetap dan harus pasti, karena tidak semua transaksi yang dilakukan pasti memperoleh keuntungan. Oleh karena itu, penentuan besarnya keuntungan yang diperoleh oleh pemilik modal ditentukan oleh besarnya rasio/ nisbah bagi hasil yang dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi. Dengan demikian, semakin besarnya keuntungan dari usaha yang dilakukan, maka jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan, dan sebaliknya, apabila usaha yang dilakukan merugi, maka kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak. Hal yang demikian tentu akan lebih adil apabila dibandingkan dengan sistem bunga yang diterapkan oleh bank konvensional. Margin atau keuntungan yang diperoleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani adalah berdasarkan kesepakatan antara kedua belah pihak, yaitu antara bank dengan nasabah debiturnya, namun nilainya tidak dibuat dibawah besarnya nilai persentase dari tabungan atau deposito bank. Apabila bank mengambil pembiayaan dari bank lain juga, semisal dari Bank Sumut, maka dalam menyalurkan pembiayaannya kepada nasabah debitur, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani harus menaikkan keuntungan minimal 6% dari besarnya persentase pembiayaan dari bank lain tersebut. Misalnya bank mendapat pinjaman dengan persentase 13% setahun dari Bank Sumut, maka kepada nasabahnya Bank Pembiayan Rakyat Syariah Puduarta

Insani harus menyalurkan kepada nasabah debiturnya sebesar 19% setahun untuk margin keuntungannya. Dalam menentukan marginnya, bank memulai dari 0% sampai dengan 38% keuntungan, tergantung kesepakatan para pihak. Bank hanya meminta 0% keuntungan bagi nasabah yang telah bermasalah dan hanya mewajibkan untuk mengembalikan pembiayaan pokok tanpa margin, ataupun bagi nasabah yang mengambil qardh (pinjaman kebajikan) yang memang tanpa margin keuntungan. Perhitungan bank cukup sederhana dalam menentukan margin dan memberikan pembiayaan kepada nasabah debiturnya. Berikut contoh perhitungan pembiayaan yang diberikan bank kepada nasabah debitur. Misalnya nasabah debitur akan membeli suatu barang dengan harga Rp.10.000.000,-. Bank meminta margin keuntungannya sebesar 18% pertahun dalam jangka waktu 24 bulan/ 2 tahun. Oleh karena itu

= Rp. 10.000.000,- x 18% x 2 tahun = Rp.3.600.000,-.

Harga jual bank kepada debitur

= Rp. 10.000.000,- + Rp.3.600.000,= Rp. 13.600.000,- / 24 bulan = Rp. 566.670,- per bulan.

Dengan demikian nasabah debitur membayar Rp. 566.670,- per bulan kepada bank selama 24 bulan/ 2 tahun. Hal lain yang membedakan perbankan konvensional dengan perbankan syariah adalah adanya ketentuan-ketentuan agama yang tetap harus dipatuhi dan tidak boleh

dilanggar, baik itu adalah objeknya maupun tujuannya. Dalam perbankan syariah, suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan beberapa hal pokok, diantaranya adalah sebagai berikut: 1.

Apakah objek pembiayaan halal atau haram;

2.

Apakah proyek menimbulkan kemudharatan dalam masyarakat;

3.

Apakah proyek termasuk perbuatan yang melanggar kesusilaan;

4.

Apakah proyek berkaitan dengan perjudian;

5.

Apakah usaha tersebut berkaitan dengan industri senjata yang ilegal;

6.

Apakah proyek merugikan syiar Islam, baik secara langsung maupun tidak langsung.117 Menurut Al-Kasani, jual beli murabahah dapat dikatakan sah apabila

memenuhi beberapa syarat berikut ini: a. Mengetahui harga pokok pembelian bagi nasabah, hal ini merupakan syarat mutlak bagi keabsahan jual beli murabahah, pihak bank harus men-disclose harga pokok pembelian pada nasabah. b. Adanya kejelasan margin/ keuntungan yang diinginkan oleh bank, keuntungan harus dijelaskan kepada nasabah, atau bisa dengan menyebutkan persentase dari harga pokok pembelian. c. Modal yang digunakan untuk membeli komoditas harus merupakan barang mitsli, dalam arti terdapat padanannya di pasaran, alangkah baiknya apabila menggunakan uang. 117

Gemala dewi, Op.cit, hal. 109

d. Akad jual beli pertama (antara pihak bank dan suplier) harus sah adanya, jika tidak, maka trasaksi jual beli yang dilakukan pihak bank dengan nasabah akan menjadi rusak dan batal akadnya.118 Jual beli secara al-murabahah dilakukan hanya untuk barang ataupun produk yang memang telah dikuasai atau telah dimiliki oleh penjual pada waktu negosiasi dan berkontrak. Apabila barang atau produk yang menjadi objek dari jual beli tersebut tidak atau belum dimiliki oleh penjual, maka sistem yang digunakan adalah Murabahah Kepada Pemesan Pembelian (KPP). Hal ini dinamakan demikian karena si penjual semata-mata mengadakan barang untuk memenuhi kebutuhan si pembeli yang memesannya. Dalam kitab al-Umm, Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini dengan istilah al-aamir bisy-syira.119 Ide tentang jual beli murabahah KPP tampaknya berakar pada:120 1) Mencari pengalaman. Nasabah meminta kepada bank untuk membeli sesuatu barang. Nasabah berjanji untuk ganti membeli barang tersebut dengan memberi bank tambahan keuntungan. Nasabah memilih sistem pembelian ini, yang biasanya dilakukan secara angsur, lebih karena ingin mencari informasi dibanding alasan kebutuhan yang mendesak terhadap aset tersebut. 2) Mencari pembiayaan.

118

Penjelasan Fatwa Dewan Syariah Nasional No.04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah tanggal 1 April 2000 119 Muhammad Syafi’i Antonio. Op.cit. hal. 103 120 Ibid.

Dalam operasi perbankan syariah, motif pemenuhan pengadaan barang atau modal kerja merupakan alasan utama yang mendorong nasabah datang ke bank. Cara menjual secara angsur atau cicil sebenarnya bukan bagian dari syarat sistem murabahah atau murabahah KPP. Meskipun demikian, transaksi secara angsuran ini mendominasi praktik pelaksanaan kedua jenis murabahah tersebut, dikarenakan seseorang tidak akan datang ke bank kecuali untuk mendapat kredit atau pembiayaan dan membayar secara angsur. Karena biasanya pihak bank belum memiliki barang atau komoditas yang diperjanjikan tersebut, maka yang terjadi selanjutnya adalah praktek pembiayaan murabahah kepada pemesan pembelian (KPP). Berdasarkan kesepakatan tersebut, pihak bank membeli komoditas dari supplier atas nama bank sendiri, dan kontrak pertama antara pihak bank dengan supplier ini harus bebas dari riba. Setelah komoditas tersebut telah menjadi milik bank sepenuhnya, kemudian bank menawarkan komoditas tersebut kepada nasabah, hal ini tentunya barang atau komoditas yang ditawarkan oleh bank harus sesuai dengan spesifikasi yang telah ditentukan pada saat kesepakatan. Setelah terjadinya kesepakatan antara bank dengan nasabah mengenai barang atau komoditas yang ditawarkan tersebut, baru kemudian pihak bank dan nasabah dapat melakukan kontrak jual beli. Dalam hal ini, bank harus menyampaikan segala hal yang berkaitan dengan pembelian, seperti harga pokok pembelian, besarnya margin atau keuntungan, termasuk apabila pembelian tersebut dilakukan secara hutang. Jika telah terjadi kesepakatan antara bank dan nasabah mengenai jual beli tersebut, barang dan

dokumen-dokumen dikirimkan kepada nasabah, dan selanjutnya nasabah memiliki kewajiban untuk membayar harga barang yang telah disepakati pada jangka waktu yang telah ditentukan. Apabila pihak bank ingin mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga (supplier), maka kedua belah pihak harus menandatangani kesepakatan agensi (agency contract), dimana pihak bank memberikan otoritas kepada nasabah untuk menjadi agennya guna membeli komoditas dari pihak ketiga atas nama bank. Dengan kata lain, nasabah menjadi wakil bank untuk membeli komoditas. Kemudian nasabah membeli komoditas atas nama bank, dan kepemilikannya hanya sebatas pada sebagai agen dari pihak bank. Selanjutnya, nasabah memberitahukan kepada pihak bank bahwa ia telah membeli komoditas yang dimaksud, lalu pihak bank menawarkan komoditas tersebut kepada nasabah, dan terbentuklah kontrak jual beli dan komoditas tersebut kemudian berpindah menjadi milik nasabah dengan segala resikonya. Dalam jual beli ini, bank diperbolehkan meminta uang muka kepada nasabah pada saat menandatangani kesepakatan awal pemesanan. Hal ini lazim disebut dengan bai’ ‘arbun atau oleh beberapa bank Islam digunakan istilah arboun. Dalam yurisprudensi Islam, arboun adalah jumlah uang yang dibayar dimuka kepada penjual. Ringkasnya, arboun adalah uang muka untuk sebuah pembelian. Menurut Jumhur Ulama, hal ini memang tidak diperbolehkan, karena dalam jual beli ‘arbun tersebut terdapat gharar, resiko atau potensi untuk memakan harta orang lain tanpa adanya

pembanding. Namun apabila kita bersandar pada pendapat Imam Ahmad Bin Hambal, jual beli tersebut diperbolehkan berdasarkan Hadist Riwayat Abdul Razzaq dari Zaid bin Aslam, yaitu: “Rasulullah SAW ditanya tentang ‘urban (uang muka) dalam jual beli, maka beliau menghalalkannya.”121 Apabila nasabah memutuskan untuk membeli barang atau komoditas tersebut, uang muka yang telah dibayar tersebut digunakan sebagai pengurang atas harga yang telah disepakati, sehingga nasabah hanya tinggal membayar sisa harga. Akan tetapi, apabila nasabah batal membeli, uang muka yang telah dibayar tadi menjadi milik bank maksimal sebesar kerugian yang ditanggung oleh bank akibat pembatalan tersebut. Dengan demikian, biaya riil pembelian yang telah dikeluarkan bank harus dibayar dari uang muka. Apabila uang muka tersebut lebih sedikit dari kerugian yang harus dikeluarkan oleh bank, maka bank dapat meminta kembali sisa kerugiannya pada nasabah. Namun apabila uang muka tersebut melebihi kerugian, bank harus mengembalikan kelebihan tersebut kepada nasabah. Nasabah wajib menyelesaikan angsurannya sampai hutangnya lunas. Apabila nasabah menjual kembali barang tersebut kepada pihak ketiga sebelum masa angsurannya berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya, namun nasabah tetap harus menyelesaikan pinjamannya sesuai dengan kesepakatan awal. Hal ini dikarenakan transaksi penjualan yang dilakukan nasabah kepada pihak ketiga adalah 121

April 2000

Fatwa Dewan Syariah Nasional No.04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah Tanggal 1

merupakan akad yang benar-benar terpisah dari akad al-murabahah yang pertama dengan bank. Dalam pembelian dengan sistem murabahah ini juga diperbolehkan diadakannya jaminan dari nasabah oleh bank. Walaupun pada dasarnya jaminan ini bukanlah suatu syarat yang mutlak harus dipenuhi, namun biasanya pihak bank meminta jaminan tersebut dengan maksud agar nasabah serius dengan kontrak jual beli yang dilakukan. Bank boleh meminta jaminan yang bernilai ekonomis dan sesuai dengan jumlah transaksi yang dilakukan. Dalam teknis operasionalnya, barangbarang yang dipesan dapat menjadi salah satu jaminan untuk pembayaran hutang. Dari hal-hal yang diuraikan diatas, tampak jelas bahwa jaminan bukanlah hal utama yang menjadi acuan dalam pemberian pembiayaan seperti yang dilakukan pada bank konvensional. Hal utama yang paling penting adalah bahwa pembiayaan tersebut tidak boleh bertentangan dengan apa yang telah diatur dalam syariah Islam. Adapun barang-barang yang dijadikan jaminan dalam pembiayaan yang diberikan, sama dengan barang-barang jaminan seperti halnya pada bank konvensional. Terdapat barang-barang yang bersifat kebendaan, bergerak maupun tidak bergerak, berwujud maupun tidak berwujud, ataupun barang-barang yang bukan kebendaan, sesuai dengan lembaga jaminannya masing-masing, seperti gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotek kapal, dan lainnya. Yang menarik disini, terhadap tanah yang belum bersertifikat tetap dapat dijadikan sebagai barang jaminan, walaupun tanah yang belum bersertifikat tersebut

bukanlah merupakan bagian dari satu lembaga jaminan manapun, tetapi pihak bank, dalam hal ini, Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, tetap menerimanya sebagai barang jaminan terhadap hutang nasabah debitur. Menurut pihak bank, jaminan atas tanah yang belum bersertifikat ini dapat dijadikan barang jaminan karena kecilnya pembiayaan yang diambil oleh nasabah debitur, yaitu biasanya di bawah 50 juta rupiah, sehingga pengikatannya cukup dibuat dengan Akta Pengakuan Hutang dengan Pemberian Jaminan dan Kuasa Menjual. Apabila debiturnya wan prestasi, pihak bank cukup menjual barang jaminannya tersebut secara langsung berdasarkan akta tersebut. Bahkan, untuk pembiayaan yang nilainya kecil sekali, misalnya sekitar 5 juta rupiah, pihak bank tidak membuat pengikatan secara notariil, namun hanya dengan akta di bawah tangan. Akan tetapi, apabila nilai pembiayaan yang diberikan lebih dari 50 juta rupiah, maka oleh nasabah dibuat surat kuasa kepada bank untuk mengurus pembuatan sertifikatnya untuk kemudian setelah keluar serfitifikatnya, langsung diberikan pembebanan hak tanggungan pada tanah tersebut. Namun hal tersebut hanya dilakukan apabila jumlah nilai pembiayaan yang diberikan besar, apabila kecil maka cukup dengan Akta Pengakuan Hutang dengan Pemberian Jaminan dan Pengakuan Hutang

C. Resiko Bank atas Pembiayaan Murabahah dengan Jaminan Tanah yang Belum Bersertifikat. Sebagai lembaga intermediary dan seiring dengan situasi lingkungan eksternal

dan internal perbankan nyang mengalami perkembangan pesat, bank syariah akan selalu berhadapan dengan berbagai jenis resiko dengan tingkat kompleksitas yang beragam dan melekat pada kegiatan usahanya. Resiko dalam konteks perbankan merupakan suatu kejadian yang potensial, baik yang dapat diperkirakan (anticipated), maupun yang tidak dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan bank. Resiko-resiko tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan dikendalikan. Oleh karena itu, sebagaimana lembaga perbankan pada umumnya, bank syariah juga memerlukan serangkaian prosedur dan metodologi yang dapat dipergunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan resiko yang timbul dari kegiatan usaha. Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, prosedur dan metodologi yang dipergunakan dalam pemberian pembiayaan tidak jauh berbeda dengan bank syariah pada umumnya. Dalam pemberian pembiayaan kepada debitur, pihak bank menerapkan tahapan proses pemberian, yaitu:

Dalam pembiayaan murabahah, dimana merupakan pembiayaan yang dicirikan dengan adanya penyerahan barang di awal akad dan pembayaran kemudian, baik dalam bentuk angsuran maupun dalam bentuk slump sum (sekaligus). Dengan demikian, pemberian pembiayaan murabahah dengan jangka waktu panjang menimbulkan resiko tidak bersaingnya bagi hasil kepada dana pihak ketiga.122 122

Adiwarman A. Karim, op.cit. hal 263

Oleh karena itu, bank dapat menetapkan jangka waktu maksimal untuk pembiayaan murabahah dengan mempertimbangkan hal-hal berikut: 1.

Tingkat (marjin) keuntungan saat ini dan prediksi perubahannya di masa mendatang yang berlaku di pasar perbankan syariah (Direct Competitor’s Market Rate-DCRM). Semakin cepat perubahan DCRM diperkirakan akan terjadi, semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan.

1. Suku bunga kredit saat ini dan prediksi perubahannya di masa mendatang yang berlaku di pasar perbankan konvensional (Indirect Competitor’s Market RateICRM). Semakin cepat perubahan ICRM diperkirakan akan terjadi, semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan. 3. Ekspektasi Bagi Hasil kepada dana pihak ketiga yang kompetitif di pasar perbankan syariah (Expected Competitive Return For Investor’s-ECRI). Semakin besar perubahan ECRI diperkirakan akan terjadi, semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan.123 Cara lain yang harus dipenuhi untuk memperkecil resiko bank dalam pemberian pembiayaan adalah dengan memperhatikan asas-asas pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat dan berdasarkan prinsip kehati-hatian. Untuk itu, sebelum memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap berbagai aspek. Berdasarkan penjelasan pasal 8 Undang-undang Perbankan, yang harus dinilai oleh bank sebelum memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah watak, kemampuan, modal, 123

Ibid. hal 264.

agunan, dan propek usaha dari nasabah debitur, yang terkenal dengan sebutan the five C of Credit Analysis, atau prinsip 5C.124 Pada sasarannya konsep 5C ini akan dapat memberikan informasi mengenai i’tikad baik (willingness to pay) dan kemampuan membayar (ability to pay) nasabah untuk melunasi kembali pinjaman beserta bunganya.125 Prinsip analisa 5C ini yaitu:126 a. Penilaian watak (character) Analisa mengenai karakter ini merupakan analisa kualitatif yang tidak dapat dideteksi secara numerik. Namun demikian hal ini merupakan pintu gerbang pertama proses persetujuan kredit/ pembiayaan. Kesalahan dalam menilai karakter calon nasabah dapat berakibat fatal pada kemungkinan pembiayaan terhadap orang yang beritikad buruk seperti berniat membobol bank, penipu, pemalas, pemabuk, pelaku kejahatan dan lain-lain. Penilaian watak atau kepribadian calon debitur dimaksudkan untuk mengetahui kejujuran dan i’tikad baik calon debitur untuk melunasi atau mengembalikan pinjamnnya, sehingga tidak akan menyulitkan bank di kemudian hari. Hal ini dapat diperoleh terutama didasarkan kepada hubungan yang telah terjalin antar bank dan calon nasabah debitur atau informasi yang diperoleh dari pihak lain yang mengetahui moral, kepribadian dan perilaku calon debitur dalam kehidupan

124

Rachmadi Usman, op.cit, 2001, hal 246. Dahlan Siamat, Manajemen Bank Umum, Intermedia, Jakarta, 1993, hal. 99 126 Rachmadi Usman, op.cit, hal 246-248. Lihat juga Zulkifli Sunarto, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Zikrul Hakim, Jakarta, 2003, hal. 144. 125

kesehariannya. Untuk memperkuat data ini dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut : 1) Wawancara. 2) BI (Bank Indonesia) checking. 3) Bank Checking. 4) Trade Checking b. Penilaian Kemampuan (capasity) Kapasitas calon nasabah sangat penting diketahui untuk memahami kemampuan seseorang berbisnis. Hal ini dapat dipahami karena watak yang baik semata-mata tidak menjamin sesorang mampu berbisnis dengan baik. Untuk perorangan hal ini dapat dilihat dari referensi ataupun Curriculum Vitae yang dimilikinya, yang dapat menggambarkan pengalaman kerja/bisnis yang bersangkutan. Untuk perusahaan hal ini dapat dilihat dari laporan keuangan dan past performance usaha. Hal ini dilakukan

untuk

mengetahui

kemampuan

perusahaan

memenuhi

semua

kewajibannya termasuk pembayaran pelunasan pembiayaan. Kalau kemampuan bisnisnya kecil, tentu tidak layak diberikan kredit dalam skala besar. Demikian juga jika trend bisnisnya atau kinerja bisnisnya menurun, maka kredit juga semestinya tidak diberikan. Kecuali jika penurunan itu karena kekurangan biaya sehingga dapat diantisipasi bahwa dengan tambahan biaya lewat peluncuran kredit, maka trend atau kinerja bisnisnya tersebut dipastikan akan semakin membaik.127 127

Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal.

Untuk mengetahui kapasitas nasabah, bank harus memperhatikan : 1) Angka-angka hasil produksi. 2) Angka-angka penjualan dan pembelian. 3) Perhitungan rugi-laba perusahaan saat ini dan proyeksinya. 4) Data finansial perusahaan beberapa tahun terakhir yang tercermin dalam neraca laporan keuangan. c. Penilaian terhadap modal (capital) Analisa modal diarahkan untuk mengetahui seberapa besar tingkat keyakinan calon nasabah terhadap usahanya sendiri. Jika nasabah sendiri tidak yakin atas usahanya, maka orang lain akan lebih tidak yakin. Bank harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara menyeluruh mengenai masa lalu dan yang akan datang, sehingga dapat diketahui kemampuan permodalan calon debitur dalam menunjang pembiayaan calon debitur yang berasangkutan. Untuk mengetahui hal ini, maka bank harus melakukan hal-hal sebagai berikut: 1) Melakukan analisa neraca sedikitnya 2 tahun terakhir. 2) Melakukan analisa ratio untuk mengetahui likuiditas, solvabilitas, dan rentabilitas dari perusahaan yang dimaksud. d. Penilaian terhadap agunan (collateral). Untuk menanggung pembayaran kredit macet, calon debitur umumnya wajib menyediakan jaminan berupa agunan yang berkualitas tinggi dan mudah dicairkan 23

yang nilainya minimal sebesar jumlah kredit atau pembiayaan yang diberikan padanya. Untuk itu sudah seharusnya bank meminta agunan tambahan dengan maksud jika calon debitur tidak dapat melunasi kredit atau pembiayaannya, maka agunan tambahan tersebut dapat dicairkan guna menutupi pelunasan atau pengembalian kredit atau pembiayaan yang tersisa. Analisis diarahkan terhadap jaminan yang diberikan. Jaminan dimaksud harus mampu mengcover resiko bisnis calon nasabah. Analisis dilakukan antara lain : 1) Meneliti kepemilikan jaminan yang diserahkan. 2) Mengukur dan memperkirakan stabilitas harga jaminan dimaksud. 3) Memperhatikan kemampuan untuk dijadikan uang dalam waktu relatif singkat tanpa harus mengurani nilainya. 4) Memperhatikan pengikatannya, sehingga secara legal bank dapat dilindungi. 5) Rasio jaminan terhadap jumlah pembiayaan. Semakin tinggi rasio tersebut, maka semakin tinggi kepercayaan bank terhadap kesungguhan calon nasabah. 6) Marketabilitas jaminan. Jenis dan lokasi jaminan sangat menentukan tingkat marketable suatu jaminan. Rumah yang berharga jutaan rupiah bisa turun hanya karena terletak dilokasi yang sangat sulit dijangkau. e. Penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (condition of economy). Bank harus menganalisis keadaan pasar di dalam dan di luar negeri baik masa lalu maupun yang akan datang, sehingga masa depan pemasaran dari hasil proyek atau

usaha calon debitur yang dibiayai bank dapat diketahui. Analisa diarahkan pada kondisi sekitar yang secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap usaha calon nasabah, seperti kebijakan pembatasan usaha properti, pelarangan ekspor pasir laut, trend PHK besar-besaran usaha sejenis dan lain-lain. Kondisi ekonomi yang diperhatikan bank antara lain : 1) Keadaan ekonomi yang akan mempengaruhi perkembangan usaha calon nasabah 2) Kondisi usaha calon nasabah, perbandingan dengan usaha sejenis, dan lokasi lingkungan wilayah usahanya. 3) Keadaan pemasaran dari hasil usaha calon nasabah. 4) Prospek usaha dimasa yang akan datang. 5) Kebijakan pemerintah yang mempengaruhi prospek industri dimana perusahaan calon nasabah terkait didalamnya. Walaupun prinsip 5C ini menjadi acuan penilaian bagi bank dalam penyaluran pembiayaannya, utamanya bank syariah tetap harus berpegang pada prinsip kepercayaan, meskipun tidak boleh juga mengenyampingkan prinsip 5C tersebut. Bank harus memiliki kepercayaan, baik terhadap pribadi debitur maupun terhadap kemampuan membayarnya, dalam mengembalikan pembiayaan yang telah disalurkan padanya. Meskipun demikian, demi menjamin pembayaran kembali pembiayaan yang

telah disalurkan bank kepada nasabah debiturnya, bank tetap meminta nasabah debitur untuk memberikan agunan atas pembiayaannya. Kegunaan agunan adalah untuk mendapatkan pembayaran kembali sepenuhnya bila first way out (dari hasil usaha) gagal. Karena itu harus diyakinkan bahwa nilai jaminan cukup untuk mengcover total pembiayaan yang diberikan. Disamping itu benda jaminan perlu disuransikan, untuk menjamin resiko yang mungkin timbul.128 Salah satu agunan yang diterima oleh bank, khususnya Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, adalah tanah yang belum bersertifikat. Walaupun tanah yang belum bersertifikat ini bukan merupakan objek jaminan dari satu lembaga jaminan pun yang ada di Indonesia, bank tetap menerima tanah belum bersertifikat sebagai agunan atas pembiayaan yang diberikannya. Hal ini mengacu pada Peraturan Bank Indonesia nomor 8/24/PBI/2006 tentang penilaian kualitas aktiva bagi bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah, dimana dalam pasal 20 disebutkan, nilai agunan yang dapat diperhitungkan bagi tanah yang belum bersertifikat adalah sebesar 50% dari Nilai Jual Objek Pajaknya. Dengan demikian, walaupun dengan nilai yang sangat rendah, tanah tersebut tetap dapat dijadikan agunan karena merupakan barang yang memiliki nilai. Oleh karena tanah yang belum bersertifikat belum ada lembaga jaminan resmi yang mengaturnya, maka biasanya bank mempergunakan surat kuasa menjual sebagai pengikatan jaminannya. Nasabah debitur memberikan kuasa secara khusus untuk 128

Standar Operasi Dan Prosedur Penilaian Jaminan Pembiayaan PT.Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani.

menjual tanah belum bersertifikat tersebut kepada bank selaku kreditur apabila dalam jangka waktu yang ditentukan debitur tidak dapat mengembalikan pembiayaan yang telah disalurkan padanya. Disamping itu diperjanjikan pula bahwa pemberian kuasa dimaksud merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokoknya, yaitu hutang piutang, dan pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali dan tidak akan berakhir karena sebab-sebab yang tercantum dalam pasal 1813 KUHPerdata.129 Surat kuasa tersebut merupakan cara pembayaran kembali (betalingsregeling) dilaksanakan segera setelah hutang debitur dapat ditagih oleh siapapun juga, dalam hal ini lewatnya waktu saja telah memberikan bukti yang cukup bahwa debitur telah melalaikan kewajibannya, sehingga suatu peringatan dengan surat juru sita atau surat serupa itu sudah tidak diperlukan lagi. Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, biasanya terhadap tanah yang belum bersertifikat dibuat Akta Pengakuan Hutang Dengan Pemberian Jaminan Dan Kuasa Menjual. Akibat hukum dari akta ini, bank memiliki hak untuk menjual barang jaminan, dalam hal ini adalah tanah yang belum bersertifikat, apabila debitur wan prestasi. Disini perlu ditegaskan bahwa surat kuasa menjual atau kewenangan menjual yang digunakan untuk menjual barang jaminan, bukanlah sebagai accessoir atau tambahan dari suatu akta lembaga jaminan yang baku. Dalam lembaga jaminan semisal hak tanggungan atau jaminan fidusia, ada tiga cara yang dapat

129

Pasal 1813 KUHPerdata menyebutkan pemberian kuasa berakhir dengan ditariknya kembali kuasanya si kuasa, dengan pemebritahuan pengehntian kuasanya oleh si kuasa, dengan meninggalnya, dengan pengampuannya, ataub pailitnya si pemberi kuasa maupun si kuasa, dengan perkawinannya si perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.

dilakukan untuk mengeksekusi barang jaminan, yaitu dengan menjual objek jaminan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, pelaksanaan eksekusi atas titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan dan sertifikat jaminan fidusia, atau dengan eksekusi melalui penjualan objek jaminan secara di bawah tangan yang dilakukan berdasar kesepakatan kedua belah pihak jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.130 Sedangkan dalam kasus penjualan barang jaminan di Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani adalah surat kuasa menjual yang dibuat menyertai atau sebagai perjanjian accessoir yang bergantung padanya perjanjian pokok, yaitu pengakuan hutang, dan pemberian jaminan serta akad perjanjian al-murabahah. Dalam prakteknya di bank pembiayaan rakyat syariah puduarta insani, kuasa menjual yang ada dalam akad perjanjian pembiayaan murabahah selalu digunakan untuk menjual barang jaminan milik nasabah apabila terjadi kasus kredit macet atau keadaan tak mampu bayar dari nasabah. Penjualan ini dilakukan tanpa melalui penjualan di Kantor Lelang Negara dan juga tanpa melalui putusan pengadilan. Pada dasarnya apa yang dilakukan oleh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, adalah merupakan eksekusi dari perbuatan cedera janji pihak debitur atas perjanjian hutang piutang yang dibuatnya dengan bank. Hal ini disebabkan nasabah-nasabah yang memperoleh pembiayaan dari bank tidak seluruhnya dapat mengembalikannya dengan baik tepat pada waktu yang diperjanjikan. Pada 130

Lihat pasal 20 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan dan Pasal 29 Undang Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

kenyataannya selalu ada sebagian nasabah yang karena suatu sebab tidak dapat mengembalikan pembiayaan yang diberikan padanya. Akibat nasabah tidak dapat membayar lunas pembiayaan yang diberikan padanya, maka menjadikan pembiayaan menjadi terhenti atau macet. “Kredit macet adalah suatu keadaan dimana seorang nasabah tidak mampu membayar lunas kredit bank tepat pada waktunya”.131 Keadaan yang demikian dalam hukum perdata disebut dengan wan prestasi atau ingkar janji. Bila melihat pada ketentuan Pasal 1243 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dapat dipahami bahwa seseorang dikatakan cedera janji, apabila ia lalai memenuhi perikatannya, dan tetap melalaikannya untuk membayar padahal sudah diperingatkan atau diperintahkan untuk membayar. Dalam terminologi hukum di Indonesia, istilah cidera janji dalam hukum perikatan, sering juga disebut dengan istilah wan prestasi dan ingkar janji. Secara lengkap Pasal 1243 Kitab UndangUndang Hukum Perdata mengatur sebagai berikut : Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan, barulah mulai diwajibkan, apabila si berhutang, setelah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya. Menurut Tan Kamello, dalam hukum perjanjian, jika seorang debitur tidak memenuhi isi perjanjian atau tidak melakukan hal-hal yang dijanjikan, debitur tersebut telah melakukan wanprestasi dengan segala akibat hukumnya.132 131 132

Gatot Supramono, op.cit, hal. 92 Tan Kamello, Op.cit, hal 237-238.

Bertitik tolak dari keadaan debitur yang ingkar janji inilah yang melahirkan hak bagi bank atau kreditur untuk menjual barang jaminan milik nasabah yang dijadikan sebagai jaminan hutang nasabah pada bank, berdasarkan kekuatan eksekutorial dari grosse akta perjanjian hutang piutang antara debitur dengan bank. Jadi, hak kreditur muncul adalah karena disebabkan debitur tidak melaksanakan kewajibannya. Padahal menurut kaedah hukum perdata yang dianut dalam sistem hukum perdata Indonesia menyebutkan, bahwa setiap perjanjian antara para pihak melahirkan hak dan kewajiban. Kaedah hukum ini antara lain jelas dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1234, 1235 dan 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam ketiga Pasal undang-undang tersebut dinyatakan sebagai berikut: “Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu.” “Dalam tiap-tiap perikatan untuk memberikan sesuatu adalah termaktub kewajiban si berhutang untuk menyerahkan kebendaan yang bersangkutan dan untuk merawatnya sebagai seorang bapak rumah yang baik, sampai pada saat penyerahan. Kewajiban yang terakhir ini adalah kurang atau lebih luas terhadap persetujuan-persetujuan tertentu yang akibat-akibatnya mengenai hal ini akan ditunjuk dalam bab-bab yang bersangkutan”. “Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, apabila si berhutang tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya rugi dan bunga.” Hak dan kewajiban inilah yang membuktikan bahwa suatu perjanjian atau perikatan adalah suatu hubungan antara para pihak yang melahirkan hubungan hukum. Karena perjanjian itu sendiri adalah merupakan perikatan yang lahir dari suatu perjanjian, sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata.133 Ketentuan ini jugalah yang melahirkan kaedah hukum yang menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah merupakan undang-undang bagi para pihak yang mengadakan perjanjian. Ketentuan ini dicantumkan dalam Pasal 1338, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu Pasal yang mengatur tentang akibat yang timbul karena adanya suatu perjanjian. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut dinyatakan sebagai berikut : “Semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Dari macam-macam wan prestasi yang dikenal selama ini, yaitu: a)

Debitur tidak melaksanakan sama sekali apa yang telah diperjanjikan.

b) Debitur melaksanakan sebagian apa yang telah diperjanjikan. c)

Debitur terlambat melaksanakan apa yang telah diperjanjikan.

d) Debitur menyerahkan sesuatu yanag tidak deperj anj ikan . e)

Debitur melakukan perbuatan yang dilarang oleh perjanjian yang telah diperbuatnya.134 Apabila dihubungkan dengan kredit macet, maka ada tiga macam perbuatan

yang tergolong wan prestasi, yaitu: (1) Nasabah sama sekali tidak dapat membayar angsuran kredit. (1) Nasabah membayar sebagian angsuran kredit. Pembayaran angsuran kredit tidak dipersoalkan apakah nasabah telah membayar sebagian besar atau sebagian kecil 133

Pasal 1233 KUHPerdata menyebutkan tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena perjanjian, baik karena undang-undang. 134 Gatot Supramono, op.cit.hal 92

angsuran. Walaupun nasabah kurang membayar satu kali angsuran, tetap tergolong kreditnya sebagai kredit macet. Soal bank melepaskan haknya, itu soal lain. (2) Nasabah membayar lunas kredit setelah jangka waktu yang diperjanjikan berakhir. Hal ini tidak termasuk nasabah membayar lunas setelah disetujui bank atas permohonan nasabah, karena telah terjadi perubahan perjanjian yang disepakati bersama.135 Biasanya oleh bank-bank tertentu, dalam upaya penyelesaian terhadap kasus kredit macet ini dilakukan dengan dua alternatif tindakan, yaitu dengan upaya litigasi dan non litigasi. Namun, selalu juga dijumpai, bahwa selain kedua alternatif tersebut di atas, ada juga bank-bank tertentu yang melakukan penagihan kredit macet dengan menggunakan jasa debt collector yang dilakukan oleh orang atau badan yang tidak berwenang melakukan hal itu. Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, dalam melakukan penagihan, dilakukan pembagian acount kepada marketing agar dapat diminta pertanggung jawabannya untuk menindaklanjuti secara intensif. Namun, menyadari akan keterbatasan waktu untuk melakukan kunjungan terhadap nasabah yang bermasalah tersebut, maka bank melakukan kerja sama bekerja paruh waktu (part time) kepada pihak di luar bank untuk melakukan penagihan secara intensif, baik dilakukan pada jam kerja maupun di luar jam kerja.136 Pihak Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani juga menggunakan istilah debt collector terhadap penagihan yang dilakukan oleh tenaga lepas yang berasal dari pihak luar bank, namun tetap 135

Ibid Kebijakan penyelesaian penyaluran dana bermasalah pada Standar Operasi dan Prosedur Jual Beli dan Pembiayaan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani. 136

dilakukan dengan santun. Pihak bank sengaja memilih orangorang yang mampu untuk melakukan pendekatan yang lebih baik terhadap nasabah yang bermasalah, sehingga permasalahan dapat terselesaikan. Penggunaan tenaga lepas ini juga sudah tidak dilakukan lagi dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Terlepas dari semua fakta di atas, yang menjadi kenyataan di lapangan adalah bahwa banyak tindakan yang dilakukan untuk mengembalikan uang kreditur (bank) bila terjadi kasus kredit macet. Kalau melakukannya dengan upaya formal dalam koridor hukum, maka penyelesaian kasus kredit bermasalah atau kredit macet adalah tersebut adalah dilakukan dengan dua cara di atas, yaitu : (a) Upaya ligitasi, dan (b) Upaya non litigasi.. Penyelesaian dengan cara atau upaya ligitasi, adalah dengan mendayagunakan lembaga peradilan yang ada, yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Niaga, ataupun melalui Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), bagi bank-bank milik pemerintah, atau bank yang termasuk dalam kategori Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, atau juga melalui permohonan lelang pada Kantor Lelang Negara. Pada prakteknya, penyelesaian kredit macet atau kredit bermasalah dengan cara atau upaya ligitasi ini, dilakukan dengan proses pengajuan gugatan ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Niaga, atau langsung mohon dilakukan eksekusi kepada Lembaga Pengadilan Negeri, Pengadilan Niaga, dan Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN), atau dengan cara melakukan permohonan lelang pada Kantor Lelang Negara.

Sedangkan penyelesaian melalui upaya dan cara non litigasi adalah melakukan penyelesaian dengan cara musyawarah antara kreditor (bank) dengan debitur (nasabah), yaitu melalui lembaga arbitrase, yaitu Badan Atbitrase Nasional Indonesia dan Pilihan Penyelesaian Sengketa yang dapat dilaksanakan dalam dua bentuk yaitu negoisasi dan mediasi. Penyelesaian secara musyawarah ini dapat juga dilakukan dengan cara dibawah tangan. Dengan berbagai pertimbangan hukum dan juga berbagai kondisi riil yang ada di lapangan inilah, yang menjadi dasar kebijakan bagi Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani untuk menggunakan akta Surat Kuasa Menjual dalam menjual barang jaminan, apabila terjadi kasus kredit macet. Tindakan menjual barang jaminan ini dilakukan oleh bank tanpa melalui putusan pengadilan dan kantor lelang negara. Jadi tindakan yang diambil bukanlah melalui upaya atau cara ligitasi, tapi adalah semata-mata karena hak dan wewenang yang telah diberikan oleh undangundang dalam pemberian kuasa. Karena secara teori, pemberian kuasa yang merupakan suatu perikatan atau perjanjian adalah berisi hak dan kewajiban antara si pemberi kuasa dan si penerima kuasa. Dalam pemberian kuasa ini, si penerima kuasa berhak menjalankan kuasanya apabila si pemberi kuasa melakukan tindakan ingkar janji. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh J.Satrio yang menyatakan: Pada asasnya, kalau kewajiban perikatan tidak dipenuhi secara suka rela dengan baik dan sebagaimana mestinya, maka kreditur berhak untuk menuntut pemenuhan tersebut, kalau perlu ia dapat meminta bantuan hukum agar debitur dihukum untuk memenuhinya atau memenuhi sebagaimana mestinya.137 137

J. Satrio, op.cit, hal 55

Dalam wawancara dengan Mailiswarty tentang penjualan barang jaminan ini, dijelaskan bahwa ada beberapa kasus yang pernah dilakukan oleh bank dalam penjualan barang jaminan yang disebabkan karena debitur inkar janji. Tapi umumnya tindakan itu dilakukan setelah melalui upaya negoisasi dan musyawarah antara pihak bank dengan pihak nasabah. Apabila kemudian terjadi gangguan dalam pembiayaan yang diberikan, yang menyebabkan debitur tidak mempu membayar angsurannya, pihak bank tidak langsung menjual barang yang dijaminkan padanya, melainkan masih tetap membantu debitur untuk keluar dari masalahnya. Pihak bank akan melihat terlebih dahulu sebab-sebab debitur tidak mampu membayar angsurannya, misalnya karena pada saat menjalankan usahanya terjadi keadaan yang menyebabkan usahanya gagal, atau anak debitur sakit sehingga ia dalam menjalankan usahanya tidak maksimal dan membutuhkan dana yang besar bagi pengobatan anaknya, ataupun alasan-alasan lain yang menyebabkan gagalnya usaha debitur. Penyelesaian dari cidera janji yang dilakukan oleh debitur sedapat mugkin dilakukan dengan jalan musyawarah dan bukan melalui pengadilan. Hal ini disebabkan karena apabila penyelesaiannya dilakukan melalui pengadilan akan memakan waktu yang lama, biaya yang besar dan urusan yang rumit, maka oleh bank penyelesaian secara musyawarah adalah jalan yang paling baik dan efektif.138 Terhadap keadaan ini, pihak bank akan melakukan tindakan: 1.

Perpanjangan pembiayaan. 138

Wawancara dengan Ibu Mailiswarti, Direktur Operasional Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, pada 2 Desember 2009

2.

Penjadwalan kembali pembiayaan (rescheduling).

3.

Persyaratan kembali pembiayaan (reconditioning).

4.

Penataan kembali pembiayaan (restructuring).

5.

Penjualan barang jaminan.

6.

Menyerahkan penagihan kepada pengadilan negeri.

7.

Menghapuskan pembiayaan. Apabila

tindakan-tindakan

perpanjangan

pembiayaan,

rescheduling,

reconditioning, dan restructuring yang dilakukan oleh bank tidak berhasil, maka jalan satu-satunya yang ditempuh adalah penjualan barang jaminan. Penjualan barang jaminan ini adalah jalan terakhir yang diambil oleh bank apabila debitur benar-benar tidak mampu lagi membayar angsuran pembiayaannya. Penjualan barang jaminan ini dapat dilakukan oleh debitur sendiri ataupun oleh bank, sesuai dengan persetujuan para pihak. Apabila penjualan tersebut dilakukan oleh debitur, maka ditentukan jangka waktunya untuk menjual barang tersebut. Apabila dalam jangka waktu yang ditentukan debitur tidak mampu untuk menjual barang jaminannya, maka penjualan barang jaminan dilakukan oleh bank, dimana debitur telah menyerahkan surat kuasa menjual pada bank untuk menjual barang jaminannya pada awal masa pengikatan pembiayaan. Terkait dengan resiko bank atas pembiayaan murabahah yang diberikannya kepada nasabah debitur dengan jaminan tanah yang belum bersertifkat, adalah sama halnya dengan apabila bank memberikan pembiayaan dengan jaminan yang telah ada diatur dalam lembaga jaminan resmi di Indonesia. Tanah yang belum bersertifikat

walaupun tidak ada lembaga jaminan resminya, tetap diakui oleh Bank Indonesia sebagai jaminan hutang, meski nilainya sangat kecil, yaitu 50% dari Nilai Jual Objek Tanahnya. Hal ini karena tanah belum bersertifikat tetap memiliki nilai pasar yang apabila dikemudian hari debitur wan prestasi, dimungkinkan untuk pelunasan dan penyelesaiannya dengan penjualan tanah belum bersertifikat tersebut. Pengikatan jaminan atas tanah yang belum bersertifikat dengan Akta Kuasa Menjual Dengan Pemberian Jaminan Dan Surat Kuasa Menjual, tetap memiliki nilai eksekutorial. Dengan demikian, bank dapat langsung menjual barang jaminan apabila debitur wan prestasi, tanpa menggunakan lembaga lelang ataupun pengadilan. Namun hal ini biasanya dilakukan apabila pembiayaan tersebut memang sudah tidak bisa terselamatkan lagi. Penjualan juga tidak serta merta dilakukan, melainkan dibuat terlebih dahulu melalui proses musyawarah, yang diharapkan akan menguntungkan kedua belah pihak. Disamping itu, ketika nasabah debitur akan melakukan pengikatan dengan bank, nasabah debitur juga diminta untuk membuat surat pernyataan bahwa apabila debitur menunggak pembayaran, maka akan diberikan surat peringatan, baik pertama, kedua, dan ketiga. Ketika sudah tiga bulan debitur menunggak pembayaran, sesuai dengan perjanjian, maka di atas tanah yang dijadikan jaminan hutang akan didirikan plang yang isinya menyatakan bahwa tanah tersebut adalah merupakan kawasan bank. Hal ini sebenarnya dilakukan hanya untuk memberikan efek psikologis bagi debitur untuk segera membayar tagihannya. Dengan pemasangan plang ini, debitur diharapkan

takut kalau tanahnya akan disita oleh bank, ataupun kemungkinan timbulnya rasa malu bagi debitur, sehingga pembayaran hutang debitur dapat segera diselesaikan. Hal lain yang juga dilakukan bank untuk memperkecil resiko yang timbul atas pembiayaan yang diberikan, bank mewajibkan debitur untuk mengasuransikan dirinya dan juga barang yang menjadi objek pembiayaan. Asuransi jiwa ini berfungsi untuk mengcover kerugian yang timbul apabila debitur nantinya meninggal dunia, sehingga apabila debitur meninggal dunia, maka asuransi lah yang akan membayar sisa pelunasan pembiayaannya. Namun apabila tidak, maka ahli waris yang berkewajiban untuk membayar semua pelunasan pembiayaan yang telah diberikan. Sedikit berbeda dengan barang yang menjadi objek pembiayaan, nasabah debitur boleh tidak mengasuransikannya, namun oleh bank dibuat surat perjanjian apabila objek pembiayaan hilang atau musnah, maka nasabah debitur bertanggung jawab penuh terhadap pelunasan pelunasan pembiayaan. Penyimpangan ini sangat kecil terjadi, hanya sebesar 2%-3%.139 Selain itu, salah satu syarat administratif yang harus dilengkapi oleh debitur adalah diserahkannya surat keterangan silang sengketa atas tanah yang dikeluarkan oleh camat/ lurah, sehingga terhindar dari praktek surat palsu atau ganda. Dengan demikian, sangat kecil resiko bank atas pembiayaan yang diberikan dengan jaminan tanah belum bersertifikat, selain semua pembiayaan dapat diselesaikan dengan baik, juga membantu masyarakat ekonomi mikro dalam mengembangkan 139

Wawancara dengan Ibu Mailiswarti, Direktur Operasional Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, pada 2 Desember 2009

kehidupannya.

BAB IV PERANAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA JAMINAN DALAM AKAD PEMBIAYAAN MURABAHAH ATAS TANAH YANG BELUM BERSERTIFIKAT

A. Pandangan Umum tentang Notaris. Peraturan perundang-undangan notaris diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang mulai berlaku tanggal 6 Oktober 2004 ini adalah merupakan peraturan pengganti dari Peraturan Jabatan Notaris di Indonesia Stb.1860 Nomor 3 yang telah berlaku sejak tanggal 1 Juli 1860. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya dalam tesis ini disebut dengan UUJN) menyatakan: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini.” Pengertian tersebut adalah pengertian notaris secara umum, untuk kewenangan notaris, diuraikan lebih lanjut di dalam Pasal 15 ayat 1. Ketentuan Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris Stb. 1860 Nomor 3 menyatakan pengertian notaris, yaitu: Notaris adalah pejabat umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan perundang-undangan dan/ atau oleh yang dikehendaki oleh yang berkepentingan, untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-

undang.140 Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh mana pembuatan akta otentik tertentu tersebut tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik diharuskan oleh peraturan perundangundangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum. Selain itu akta otentik yang dibuat oleh atau dihadapan notaris, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan. Notaris merupakan pejabat profesi yang mempunyai kekhususan tersendiri, karena disamping dia seorang profesional dia juga merupakan seorang pejabat negara yaitu pejabat umum negara yang melaksanakan tugasnya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat umum dalam bidang hukum perdata. Notaris merupakan pejabat umum, dikatakan pejabat umum karena: 1.

Ketentuan undang-undang memberikan kewenangan kepada notaris untuk membuat dokumen atau catatan yang berkekuatan pembuktian otentik. 1. Otentisitas itu untuk memenuhi kehendak Undang-Undang Burgerlijk Wetboek (KUHPerdata) Pasal 1868, peran sebagai pejabat umum dapat dianggap suatu kehormatan mengingat hal serupa tidak ada pada profesi lain di luar notaris, 140

GHS Lumban Tobing, op,cit, hal 31, lihat juga Sutrisno, Komentar Undang-Undang Jabatan Notaris, Buku I, Op.Cit, hal 116-117

tetapi sebaliknya ruang gerak dibatasi oleh berbagai sanksi hukuman, sehingga sulit untuk leluasa menjalankan jabatan selain mematuhinya. 3. Notaris merupakan salah satu diantara sedikit pejabat negara yang mempunyai alas hak pemakaian simbol lambang negara pada cap teranya sesuai dengan ketentuan Pasal 19 Peraturan Jabatan Notaris.141 Pembuatan akta otentik terhadap perbuatan hukum yang dilakukan juga ada diatur dalam Islam. Menurut syariah Islam, kewajiban untuk menuliskan setiap kegiatan muamalah baik itu jual beli, hutang piutang, sewa menyewa, dan lain sebagainya, disebutkan dalam Surat Al-Baqarah ayat 282 yang menyatakan: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang tersebut mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya. . . .142 Dalam ayat tersebut di atas memang tidak dijelaskan siapa yang harus menuliskannya, namun yang jelas tersebut adalah orang yang menuliskan haruslah orang yang terpercaya dan bertaqwa sehingga dapat menuliskan dengan benar. Tugas tulis menulis ini dalam sistem civil law, secara fungsionalnya adalah merupakan tugas yang dilakukan notaris. Di Indonesia, sebagai penganut aliran civil law, khususnya Bank Indonesia dalam hal pemberian hutang piutang, menghendaki ditulisnya perjanjian tersebut, yang dalam hal ini dilakukan oleh notaris. Oleh karena itu, apa 141 142

Zainun Ahmadi, Quo Vadis, Profesi Notaris, Media Notariat, Oktober, 1999, hal 82. Al-Qur’an dan terjemahannya, op.cit, hal 88

yang dimaksud dalam Surat Al-Baqarah ayat 282 tentang siapa berwenang untuk menulis kegiatan muamalah yang dilakukan, adalah sama dengan fungsi notaris yang di anut oleh sistem civil law, termasuk di dalamnya Indonesia. Sejarah lahirnya lembaga notariat ini sampai sekarang masih belum dapat terjawab, baik oleh para ahli sejarah maupun oleh para sarjana lainnya. Notaris adalah sebuah profesi yang dapat dilacak balik ke abad ke 2-3 pada masa Roma kuno, dimana mereka dikenal sebagai scibae, tabellius atau notarius. Pada masa itu, mereka adalah golongan yang mencatat pidato. Istilah notaris diambil dari nama pengabdinya, Notarius, yang kemudian menjadi istilah/titel bagi golongan orang penulis cepat atau stenografer. Notaris adalah salah satu cabang dari profesi hukum yang tertua di dunia.143 Menurut G.H.S.Lumban Tobing, lembaga notariat mulai dikenal pada abad ke1 1 atau abad ke-12 di daerah pusat perdagangan yang sangat berkuasa pada zaman itu di Italia Utara. Daerah inilah yang merupakan tempat asal dari notariat yang dinamakan Latijnse Notariaat dan notaris diangkat oleh penguasa umum untuk kepentingan masyarakat umum dan menerima uang jasanya dari masyarakat umum pula. Latijnse notariat ini murni berasal dari Italia Utara, bukan sebagai pengaruh hukum romawi kuno. Pada tahun 1888, terbitlah buku Formularium Tabellionum oleh Imerius, pendiri sekolah Bologna, dalam rangka peringatan 8 abad sekolah hukum Bologna. Berturut-turut seratus tahun kemudian diterbitkan Summa Artis Notariae oleh Rantero dari Perugia, kemudian pada abad ke 13 buku dengan judul yang sama 143

http://id.wikipedia.org/wiki/notaris, diakses pada tanggal 22 Desember 2009

diterbitkan oleh Rolandinus Passegeri. Rolandinus Passegeri kemudian juga menerbitkan Flos Tamentorum. Bukubuku tersebut menjelaskan defenisi notaris, fungsi, kewenangan dan kewajibankewajibannya.144 Kelembagaan notariat di Indonesia baru memiliki dasar yang kuat setelah Pemerintah Belanda menyesuaikan peraturan-peraturan mengenai jabatan notaris di Indonesia dengan peraturan yang berlaku di Negeri Belanda, dan sebagai pengganti dari peraturan-peraturan yang lama diundangkanlah Peraturan Jabatan Notaris (Notaris Reglement) pada tanggal 26 Januari 1860 (Stb. no.3) yang mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1860. Reglement atau ketentuan ini bisa dibilang adalah kopian dari Notariswet yang berlaku di Belanda. Peraturan jabatan notaris terdiri dari 66 pasal. Notaris Reglement Stb 1860 no.3 tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi setelah keluarnya peraturan jabatan notaris yang baru, yaitu Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris pada tanggal 6 Oktober 2004, yang mencabut berbagai macam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelumnya tentang kenotariatan di Indonesia. Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 ini mencabut beberapa peraturan perundang-undangan sebelumnya yang berhubungan dengan kenotariatan, yaitu: a.

Reglement op Het Notaris Ambt in Indonesia (Stb. 1860:3) sebagaimana telah diubah terakhir dalam Lembaran Negara Tahun 1945 Nomor 101. b. Ordonantie 16 September 1931 tentang Honorarium Notaris. c. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1954 Tentang Wakil Notaris dan Wakil 144

http://id.wikipedia.org/wiki/notaris, diakses pada tanggal 22 Desember 2009

Notaris Sementara (Lembaran Negara Tahun 1954 Nomor 101, Tambahan Lembaran Negara Nomor 700). a. Pasal 54 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 34, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4379). e. Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 1949 tentang Sumpah/ Janji Jabatan Notaris.145 Mengenai tugas ataupun pekerjaan notaris, tidak ada disebut secara tegas dan lengkap baik itu oleh Stb. 1860 Nomor 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris, maupun oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Ketentuan Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris Stb. 1860 Nomor 3 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa notaris berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan perundang-undangan dan/ atau oleh yang berkepentingan menghendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. 145

Notaris

Ketentuan Penutup, Pasal 91 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan

Pasal-pasal tersebut tidak secara lengkap memberi uraian mengenai tugas dan wewenang notaris. Dikatakan demikian, oleh karena selain untuk membuat aktaakta otentik, notaris juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan mensyahkan (waarmerken dan legiseren) surat-surat/ akta-akta yang dibuat dibawah tangan. Notaris juga memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai undang-undang kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Sesuai dengan perkembangan waktu, tugas notaris sebagaimana yang diatur dalam undang-undang sangat berbeda dengan tugas notaris di dalam praktek, sehingga sulit untuk memberikan defenisi yang lengkap mengenai tugas seorang notaris. Dari ketentuan di atas sebenarnya masih dapat di tambahkan dengan “yang diperlengkapi dengan kekuasaan umum” (met openbaar gezag bekleed), oleh karena grosse dari akta notaris yang memuat kewajiban utnuk melunasi suatu jumlah uang, yang pada bagian atas memuat perkataan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama seperti yang diberikan pada putusan hakim (Pasal 440 KUHPerdata). Menurut Komar Andasasmita, notaris selain membuat akta otentik, seharihari dia juga melakukan: 1) Bertindak selaku penasehat hukum, terutama yang menyangkut masalah hukum perdata. 2) Mendaftarkan akta-akta/ surat-surat di bawah tangan (stukken), melakukan waarmerking. 3) Melegalisir tanda tangan.

4) Membuat dan mensahkan (waarmeken) salinan/ turunan berbagai dokumen. 5) Mengusahakan disahkannya badan-badan, seperti perseroan terbatas dan perkumpulan, agar memperoleh persetujuan/ pengesahan sebagai badan hukum dari menteri kehakiman. 6) Membuat keterangan hak waris (di bawah tangan). 7) Pekerjaan-pekerjaan lain yang bertalian denpn lapangan yuridis dan perpajakan, seperti urusan bea materai dan sebagainya.146 Pada dasarnya, tugas dan wewenang notaris yang utama adalah membuat akta otentik. Otentitas dari akta notaris bersumber dari Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris, dimana notaris adalah sebagai pejabat umum, sehingga dengan demikian akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Apabila suatu akta hendak memperoleh stempel otentisitas yang terdapat pada akta notaris, maka menurut Pasal 1868 KUHPerdata, akta tersebut harus memenuhi persyaratan-persyaratan berikut: a)

Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum.

b) Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang. c)

Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu. Dari Stb. 1860 Nomor 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris, maupun oleh

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dapat dilihat, bahwa 146

Komar Andasasmita, Notaris Selayang Pandang, Bandung, Alumni, 1983, hal. 7

yang berwenang untuk melakukan tugas-tugas tersebut diatas hanyalah notaris. Notaris memiliki kewenangan yang bersifat umum, sedangkan kewenangan para pejabat lainnya untuk membuat akta, hanya ada apabila telah dinyatakan oleh undang-undang secara tegas. Sejak berlaku Undang-undang Jabatan Notaris yang baru ini, melahirkan perkembangan hukum yang berkaitan langsung dengan dunia kenotariatan saat ini. Pertama, adanya “perluasan kewenangan Notaris”, yaitu kewenangan yang dinyatakan dalam Pasal 15 ayat (2) butir f, yakni: “kewenangan membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan”. Kewenangan selanjutnya adalah kewenangan untuk membuat akta risalah lelang. Akta risalah lelang ini sebelum lahirnya Undang-undang tentang Jabatan Notaris menjadi kewenangan juru lelang dalam Badan Urusan Hutang Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) berdasarkan Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960. Kewenangan lainnya adalah memberikan kewenangan lainnya yang diatur dalam peraturan-perundang-undangan. Kewenangan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan ini merupakan kewenangan yang perlu dicermati, dicari dan diketemukan oleh Notaris, karena kewenangan ini bisa jadi sudah ada dalam dalam peraturanperundang-undangan, dan juga kewenangan yang baru akan lahir setelah lahirnya peraturan perundang-undangan yang baru.147 Dengan adanya perluasan dari kewenangan notaris setelah keluarnya UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, sehingga selain untuk 147

http://majalah.dephumkam.go.id Majalah Online Hukum Dan Ham, Notaris dalam Memberikan Pelayanan Kepada Masyarakat Senantiasa Berpedoman Kepada Kode Etik Profesi, diakses pada 30 Mei 2007.

membuat akta otentik, dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 tentang Jabatan Notaris, notaris berwenang pula: (1) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. (2)Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. (3) Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan. (4)Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya. (5)Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. (6)Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. (7)Membuat akta risalah lelang. Selain kewenangan yang disebutkan diatas, notaris juga mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Jabatan Notaris juga memberikan perluasan wilayah kewenangan (yuridiksi) yang oleh Undang-undang Jabatan Notaris disebut sebagai wilayah jabatan. Wilayah jabatan ini, sebelum berlaku Undang-undang Jabatan Notaris, yaitu Peraturan Jabatan Notaris, adalah meliputi Kabupaten/Kota, namun berdasarkan Pasal 18 ayat (2) Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris diperluas menjadi meliputi wilayah provinsi, dengan tempat kedudukan di kota/kabupaten. Pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut harus dilandasi pada suatu integritas

dan kejujuran yang tinggi dari pihak notaris itu sendiri, karena hasil dari pekerjaannya adalah berupa akta-akta sebagai alat bukti otentik yang sangat penting dalam penerapan hukum pembuktian sebagai jalan dalam memperoleh suatu keadilan, maka oleh sebab itu dalam pelaksanaan tugas jabatan notaris harus didukung suatu itikad moral yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada dasarnya para notaris sedikit banyak telah menyadari hal ini, terbukti dengan telah diciptakannya suatu kode etik jabatan notaris yang berlaku dan mengikat bagi para notaris di seluruh Indonesia. Hal ini sedikit banyak merupakan tolok ukur dan pertimbangan dalam pengawasan dan pembinaan para notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya. Pengawasan tersebut dapat berupa diberlakukannya kode etik jabatan notaris yang dibuat oleh para notaris itu sendiri melalui Ikatan Notaris Indonesia (INI), maupun pengawasan yang dilakukan oleh menteri melalui Majelis Pengawas notaris, baik yang dilakukan oleh Majelis Pengawas Daerah, Majelis Pengawas Wilayah, maupun Majelis Pengawas Pusat seperti yang telah tercantum dalam Pasal 67 sampai dengan Pasal 81 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dan berdasarkan Pasal 81 undang-undang tersebut, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: M.02.PR.08.10 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pengangkatan Anggota, Pemberhentian Anggota, Susunan Organisasi, Tata Kerja, dan Tata Cara Pemeriksaan Majelis Pengawas Notaris. Pengawasan yang dilakukan terhadap notaris tersebut meliputi perilaku notaris

dan tindakan-tindakan yang dilakukan oleh notaris sehubungan dengan pelaksanaan jabatannya sebagai notaris. Pengawasan tersebut diperlukan agar tugas notaris selalu sesuai

dengan

norma

dan

kaidah-kaidah

hukum

sehingga

terhindar

dari

penyalahgunaan kewenangan atau kekuasaan yang dimilikinya.

B. Akta Jaminan dalam Aqad Pembiayaan Murabahah atas Tanah yang belum Bersertifikat Berdasarkan terminologinya, di Indonesia umumnya digunakan istilah “perikatan” sebagai padanan istilah Belanda verbintenis dan “perjanjian” sebagai padanan istilah belanda overeenkomst. Namun ada pula yang menggunakan istilah “perjanjian:” dan “perhutangan” sebagai padanan kata verbintanis dan “persetujuan” untuk padanan kata overeenkomst. Akan tetapi, pada umumnya digunakan istilah “perikatan” sebagai padanan kata Belanda verbintenis dan “perjanjian” –dalam hal ini diidentikkan dengan “persetujuan” bahkan “kontrak”– sebagai terjemahan istilah overeenkomst.148 Dengan demikian, terdapat tiga padanan kata untuk verbintenis, yaitu perikatan, perjanjian dan perhutangan, sedangkan untuk overeenkomst terdapat dua padanan kata, yaitu perjanjian dan persetujuan. Dalam hukum Islam kontemporer digunakan istilah iltizam untuk menyebut perikatan (verbintenis) dan istilah “akad” untuk menyebut perjanjian (overeenkomst) dan bahkan kontrak. Iltizam merupakan istilah baru untuk menyebut perikatan secara 148

Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih Muamalat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007. hal 42-43

umum, meskipun istilah tersebut sendiri sudah tua. Semula dalam hukum Islam pra modern, istilah iltizam hanya dipakai untuk menunjukkan perikatan yang timbul dari dari kehendak sepihak saja, hanya kadang-kadang saja dipakai dalam arti perikatan

yang timbul dari perjanjian. Baru pada zaman modern, istilah iltizam digunakan untuk menyebut perikatan secara keseluruhan. Mustafa Ahmad az-Zarqa’149 mendefenisikan perikatan (iltizam) sebagai keadaan dimana seseorang diwajibkan menurut hukum syara’ untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu bagi kepentingan orang lain. Sedangkan istilah “akad” sendiri adalah merupakan istilah tua yang sudah digunakan sejak zaman klasik sehingga sudah sangat baku.150 Menurut Gemala Dewi, setidaknya ada dua istilah dalam Al-Quran yang berhubungan dengan perjanjian, yaitu al- ‘aqdu (akad) dan al- ‘ahdu (janji). Kata alaqdu terdapat dalam QS. Al- Maidah ayat 1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Faturrahman Djamil, istilah al- ‘aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUH Perdata, sedangkan istilah al- ‘ahdu dapat disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain. Istilah ini terdapat dalam QS. Ali Imran ayat 76 yaitu : “Sebenarnya siapa yang menepati janji (yang dibuat)nya dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa.”151 Pengertian aqad secara bahasa adalah ikatan, mengikat, menyambung atau menghubungkan. Dikatakan ikatan (al-rabth) maksudnya adalah mengimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengukatkan salah satunya pada yang lainnya

149

Pakar fiqih Yordania asal Syria Syamsul Anwar, op.cit. 47-49 151 Gemala dewi, dkk. Op.cit. hal 45 150

hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.152 Sebagai suatu istilah hukum Islam, ada beberapa defenisi yang diberikan pada akad (perjanjian). Menurut Pasal 262 Mursyid al-Hairan, akad merupakan “pertemuan ijab yang diajukan oleh salah satu pihak dengan kabul dari pihak lain yang menimbulkan akibat hukum pada objek akad.153 Menurut syamsul anwar, akad adalah pertemuan ijab dan kabul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.154 Para ahli hukum Islam (jumhur ulama) memberikan defenisi akad sebagai pertalian antara ijab dan kabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya.155 Abdoerraoef mengemukakan terjadinya suatu perikatan (al-aqdu) melalui tiga tahap, yaitu:

1. Al- ‘Ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan orang lain. Janji ini mengikat orang yang menyatakannya untuk melaksanakan janjinya tersebut, seperti yang difirmankan oleh Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 76.

2. Persetujuan, yaitu pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.

3. Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya oleh para pihak, maka terjadilah 152

Ghufron A. Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontekstual, Cet 1, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2002, hal 75 153 Syamsul Anwar, Op.cit, hal 68 154 Ibid. 155 Gemala dewi. Op.cit. hal 45-46.

apa yang dinamakan “akdu” oleh Al-Qur’an yang terdapat dalam QS. Al-Maidah ayat 1. Maka, yang mengikat masing-masing pihak sesudah pelaksanaan perjanjian itu bukan lagi perjanjian atau ‘ahdu itu, tetapi ‘akdu.156 Proses perikatan yang disampaikan oleh Abdoerraoef ini tidak jauh berbeda dengan proses perikatan yang didasarkan pada KUH Perdata. Menurut Subekti, perikatan adalah “suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut segala sesuatu hal dari pihak yang lain, dan dari pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu .”157 Sedangkan perjanjian menurut Subekti adalah “suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”158 Hofmann memberikan defenisi perikatan sebagai “suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau para debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.”159 Defenisi perjanjian sendiri telah disebutkan dalam Pasal 1313 KUH Perdata, yaitu “suatu perbuatan dimana seseorang atau beberapa orang mengikatkan diri untuk sesuatu hak terhadap seseorang beberapa orang lainnya.” Dengan adanya perjanjian ini maka menimbulkan hubungan hukum antara orang-orang yang melakukan perikatan. Dengan demikian, hubungan antara perikatan 156

Ibid. hal 46 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1992, hal 1 158 Ibid. 159 H.Mashudi dan Moch.Chidir Ali, Pengertian-Pengertian Elementar Hukum Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung, 2001. hal 23 157

dengan perjanjian adalah perjanjian menerbitkan perikatan, seperti yang tercantum dalam Pasal 1233 KUH Perdata, bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Perbedaan yang terjadi dalam proses perikatan antara hukum Islam dan KUH Perdata adalah pada tahap perjanjiannya. Pada hukum perikatan Islam, janji pihak pertama adalah terpisah dengan janji pihak kedua, dimana terjadi dua tahap dalam prosesnya, baru kemudian lahir perikatan, sedangkan pada KUH Perdata, perjanjian antara pihak pertama dan pihak kedua adalah satu tahap yang tidak terpisah, yang kemudian melahirkan perikatan antara keduanya.160 Akad adalah salah satu bentuk perbuatan hukum (tasharruf) yang menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan oleh para pihak dan juga memberikan konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat para pihak. Musthafa Ahmad az-Zarqa menyatakan bahwa tasharruf adalah segala sesuatu (perbuatan) yang bersumber dari kehendak seseorang dan syara’ menetapkan atasnya sejumlah akibat hukum (hak dan kewajiban).161 Dalam hukum Islam, untuk terbentuknya suatu akad (perjanjian) yang sah dan mengikat haruslah dipenuhi rukun dan syarat akad. Secara bahasa, rukun adalah “yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan”,162 sedangkan syarat adalah “ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan.”163 Menurut 160

Gemala dewi. Op.cit. hal 47 Ghufron A. Mas’adi. Op.cit. hal 77. 162 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002. hal 966 163 Ibid, hal 1114. 161

syariah, rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Secara defenisi, rukun adalah “suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidak adanya sesuatu itu.”164 Defenisi syarat adalah “sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan dia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.”165 Sebagai contoh, rukuk dan sujud adalah rukun sholat, dimana keduanya merupakan bagian dari sholat itu sendiri, tanpa rukuk dan sujud, maka sholat itu batal, tidak sah. Sedangkan salah satu syarat dari sholat adalah wudhu, dimana wudhu adalah bukan merupakan bagian dari sholat itu sendiri. Namun tanpa adanya wudhu, maka sholat itu juga batal, tidak sah. Terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqih dalam menentukan rukun aqad, namun berdasarkan pendapat jumhur ulama, rukun akad terdiri dari: a.

Para pihak yang menbuat akad (al- ‘aqidan)

b.

Pernyataan kehendak para pihak (mahallul- ‘aqd)

c.

Objek akad (mahallul- ‘aqd). Selain dari ketiga rukun tersebut, Musthafa Ahmad az-Zarqa menambahkan

tujuan akad (maudhu’ al- ‘aqd) sebagai salah satu rukun akad.166 Rukun pertama, yaitu para pihak, harus memenuhi dua syarat terbentuknya akad, yaitu tamyiz167 dan berbilang (al-ta’addud). Para pihak ini bisa saja manusia atau 164 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Ichtisar Baru Van Hoeve, Jakarta, 1996. hal 1510. 165 Ibid. hal 1691 166 Gemala Dewi Op.cit. hal 51, lihat juga Syamsul Anwar Op. cit hal 96 dan Hasballah Thaib Op. cit hal 4 167 Tamyiz yaitu orang yang telah dapat membedakan baik dan buruk dari tindakan yang

badan hukum. Rukun kedua, yaitu pernyataan kehendak, harus memenuhi dua syarat juga, yaitu adanya persesuaian ijab dan kabul, dengan kata lain tercapainya kata sepakat, dan kesatuan majelis akad. Tentunya dalam kata ijab dan qabul ini tidak ada unsur paksaan yang terkandung di dalamnya.Rukun ketiga, yaitu objek akad, harus memenuhi tiga syarat, yaitu objek itu dapat diserahkan, tertentu atau dapat ditentukan, dan objek itu dapat ditransaksikan. Rukun keempat memerlukan satu syarat, yaitu tidak bertentangan dengan syara’.168 Syarat-syarat yang terkait dengan rukun akad ini disebut dengan syarat terbentuknya akad (syuruth al-in’iqad), dan semuanya terdiri dari delapan syarat. Kedelapan syarat ini beserta rukun akad disebut pokok (al-ashl). Apabila pokok ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi akad, maksudnya tidak memiliki wujud yuridis syar’i apapun, dan akad semacam ini disebut sebagai akad batil.169 Apabila rukun dan syarat terbentuknya akad telah terpenuhi, maka akad sudah terbentuk. Apabila dibandingkan dengan syarat-syarat sahnya perjanjian menurut Pasal 1320 KUH Perdata, maka terlihat adanya kesamaan secara garis besar. Berikut dibuat dalam bentuk bagan.170

dilakukan. 168

Syamsul Anwar. Op.cit. hal 98 Akad batil menurut ahli-ahli hukum Hanafi adalah akad yang menurut syara’ tidak sah pokoknya, yaitu tidak terpenuhi rukun dan syarat terbentuknya. 170 Syamsul Anwar,op.cit, hal 107 169

Akad pembiayaan yang berisi perjanjian pembiayan murabahah adalah merupakan salah satu produk perbankan syariah. Akad pembiayaan ini mengikat bank dan nasabah debitur sehingga timbul hak dan kewajiban antara keduanya. Hal ini tentunya sudah dapat dipastikan, bahwa yang dijadikan sebagai landasan dasar dari filosofi hukumnya adalah hukum Islam. Sebagai runtutannya, timbul perjanjian accessoir dari perjanjian murabahah tersebut, yaitu pengikatan barang jaminan atas pembiayaan yang diberikan. Untuk mengikat barang jaminan atas pembiayaan yang diberikan, terutama apabila jaminan yang diberikan adalah tanah yang belum bersertifikat, maka biasanya bank melakukannya dengan Akta Pengakuan Hutang Dengan Pemberian Jaminan Dan Kuasa Menjual. Hal ini dilakukan karena tanah belum bersertifikat tidak ada lembaga

hukum yang mengaturnya secara baku. Akta kuasa menjual ini dapat dibuat secara terpisah ataupun tergabung dengan akta pengakuan hutang. Apabila dibuat tergabung, maka surat kuasa menjual tersebut biasanya berjudul akta pengakuan hutang dengan pemberian jaminan dan kuasa menjual. Dengan demikian, surat kuasa ini adalah merupakan bagian dari akta kuasa menjual. Surat kuasa menjual atas barang jaminan itu dibuat sebagai suatu klausul dalam salah satu atau beberapa Pasal yang ada pada akta tersebut. Jadi cukup hanya dalam satu akta saja, yang isinya sudah mencakup tentang pengakuan hutang, atau janji akan membayar secara angsuran, pemberian jaminan dan juga pemberian kuasa menjual. Akan tetapi, kalau akta tersebut dibuat terpisah, maka akta tersebut bukan merupakan merupakan bagian dari akta pengakuan hutang, akta tersebut adalah akta yang berdiri sendiri, tetapi tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pembiayaan murabahah dan akta pengakuan hutang dan pemberian jaminan yang telah dibuat terlebih dahulu. Dengan kata lain aqad pembiayaan dalam akta perjanjian pembiayaan murabahah itu tidak akan dibuat kalau akta pengakuan hutang, pemberian jaminan dan akta pemberian kuasa menjual atas barang jaminan ini tidak ada. Nilai esensinya sama, tetap memiliki kekuatan hukum, namun surat kuasa menjual yang dibuat tersendiri tentu akan lebih memudahkan administrasi apabila surat kuasa dibuat dengan akta tersendiri.171 Penggunaan surat kuasa menjual dalam akad perjanjian pembiayaan murabahah adalah merupakan perbuatan hukum yang tidak bertentangan dengan sistem hukum perdata yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata, dan 171

Wawancara dengan Notaris Hasbullah Hadi, Rabu, 2 Desember 2009

juga tidak bertentangan dengan sistem hukum Islam. Surat kuasa menjual merupakan pemberian kuasa secara tertulis melalui pembuatan surat kuasa otentik yang dibuat dihadapan pejabat umum yang berwenang. Essensi dasar dari makna pemberian kuasa menjual adalah merupakan pemberian wewenang atau hak yang dimiliki seseorang kepada orang lain untuk memindahkan hak yang dimilikinya kepada siapapun juga dengan cara jual beli. Dasar hukum untuk melakukan pemberian kuasa ini ialah berdasarkan Pasal 1792 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa : “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.” Apabila ditinjau dari aspek yuridis dan legalitas kekuatan hukum, maka kuasa dapat dibagi pada tiga macam, yaitu: (1)

Kuasa yang dibuat dalam bentuk akta otentik, yaitu kuasa yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat umum yang berwenang (misalnya notaris).

(2)

Kuasa yang dibuat dalam bentuk akta dibawah tangan, yaitu kuasa yang dibuat secara tertulis atau dalam bentuk sepucuk surat, yang dibuat oleh pemberi kuasa dengan tanpa menghadap pada pejabat umum yang berwenang.

(3)

Kuasa lisan, yaitu kuasa yang disampaikan secara lisan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa. Selanjutnya, bagi penerima kuasa, kuasa itu dapat diterima secara lisan, bahkan

juga dapat diterima secara diam-diam, yang dibuktikan oleh penerima kuasa dengan melaksanakan kuasa yang diberikan padanya. Selain itu, penerima kuasa dapat juga menerima kuasa secara tertulis melalui akta otentik ataupun secara dibawah tangan. Uraian diatas adalah berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1793 KUH Perdata, yang menyebutkan :“Kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan dibawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh si kuasa.” Dengan uraian diatas dapat dipahami, bahwa yang dimaksud dengan surat kuasa itu adalah kuasa secara tertulis yang berisi persetujuan dan pelimpahan hak dan wewenang dari si pemberi kuasa kepada si penerima kuasa untuk menjalankan hak dan wewenang yang dimiliki oleh si pemberi kuasa, serta menyelesaikan sesuatu urusan atas nama dan kepentingan si pemberi kuasa. Terhadap pengertian surat kuasa ini, Yan Pramadya Puspa menyatakan dalam Buku Kamus Hukum yang disusunnya dengan ungkapan sebagai berikut:

“Surat kuasa adalah surat yang berisi suatu persetujuan dengan seseorang yang memberikan kekuasaan kepada si penerima persetujuan tersebut untuk menyelesaikan sesuatu urusan atas nama si pemberi.”172 Dalam konteks hukum Islam, istilah kuasa yang dikenal dalam hukum perdata, maka dalam terminologi hukum Islam dikenal dengan istilah wakalah. Secara etimologi, Wakalah berasal dari kata “wakala” yang berarti menjaga. Seperti dalam firman Allah: “wa qaaluu hasbunallahu wani`mal wakiil” artinya Maha Suci Allah Dialah yang memberikan segala nikmat dan Allah adalah sebaik-baik wakil. QS. Ali `Imran(3):173. Kata wakil disini berarti Al-Hafizh “Yang Menjaga” Selain itu, makna Wakalah bisa juga berarti Tafwidh = mempercayakan, menyerahkan mandat atau menjadi wakil.”173 Pengertian wakalah seperti yang dikemukakan diatas, memiliki makna yang sama seperti apa yang dicantumkan dalam Kamus Kontemporer Arab Indonesia yang menyebutkan bahwa arti “wakala adalah menyerahkan, mempercayakan, menguasakan, menjadikan atau menunjuk sebagai wakil.”174 Jadi dalam pengertian hukum Islam, memberi kuasa sama artinya dengan mengangkat orang lain sebagai wakil dari diri seseorang, untuk melakukan sesuatu perbuatan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang tersebut. Sulaiman Rasyid dalam Bukunya Fiqih Islam merumuskan pengertian wakalah atau kuasa dengan istilah berwakil. Dia mengatakan : 172

Yan Pramadya Puspa, Op.cit, hal. 899. Hasballah Thaib, Op. cit. hal. 91 174 Atabik Ali, dan A. Zuhdi Muhdlor,Op. cit, hal. 2037. 173

“Berwakil yaitu menyerahkan pekerjaan yang boleh dikerjakannya kepada kepada yang lain, agar dikerjakannya (wakil) semasa hidupnya (yang berwakil). Hukum berwakil sunat, kadang-kadang menjadi wajib kalau terpaksa, dan haram kalau pekerjaan yang diwakilkan itu pekerjaan yang haram, dan makruh kalau pekerjaan itu makruh.”175 Dalam pengertian seperti telah diuraikan diatas, berarti hukum Islam membolehkan seseorang atau setiap subjek hukum untuk mengangkat seorang wakil atau kuasa yang akan mewakili dirinya dalam bertindak secara hukum, baik didalam ataupun diluar pengadilan. Hukum wakalah atau kuasa menurut Al-Quran, al-Hadits, dan Ijma’ Ulama adalah jaiz (diperbolehkan). Antara lain dalam ayat Al-Quran Surat Al-Kahfi (QS.18:19) yang isinya menjelaskan tentang wakalah atau kuasa dalam membeli. Juga pernah diriwayatkan dalam Hadits Rasulullah SAW., yang diriwayatkan oleh Turmuzi dari Urwah Al Bariqiy yang menjelaskan bahwa Rasulullah SAW. mewakilkan kepada Urwah Al-Bariqiy untuk membeli dan menjualkan kambing sebagai wakil atau kuasa dari Rasulullah SAW. Selanjutnya dalam kitab Fiqih Syafii Terjemah At Tahzib ada menyebutkan sebagai berikut : “Apa saja yang boleh bagi seseorang untuk bertindak sendiri didalamnya, maka boleh juga ia mewakilkan (kepada orang lain) atau menjadi wakil (untuk orang lain). Perwakilan itu adalah aqad yang dibolehkan dan bagi setiap orang dari keduanya boleh membatalkan kapan saja ia kehendaki dan batal pula sebab matinya salah seorang dari keduanya.”176

175

Sulaiman Rasyid, op.cit, hal.306. Mustafa Diibul Bigha, Fiqih Syafii Terjemah at-Tahzib (terj) A. Sunarto dan M.Multazam, Bintang Pelajar, Sawahan, 1984, hal.316. 176

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa istilah kuasa dalam hukum perdata adalah memiliki makna yang sama dengan istilah wakalah dalam hukum Islam. Selanjutnya bila ditinjau dari aspek yuridis, keduanya sama-sama dapat diterapkan dalam suatu perbuatan hukum dibawah satu sistem hukum nasional Indonesia. Karena kuasa dan wakalah adalah merupakan satu kesatuan format hukum yang tidak memiliki perbedaan, walaupun berasal dari dua sumber hukum yang berbeda. Dimana kuasa bersumber dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedangkan wakalah bersumber dari Hukum Syariat Islam. Namun keduanya adalah merupakan bagian dari sub sistem yang berada dalam satu sistem hukum nasional Indonesia. Di Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, setiap pembiayaan yang diberikan kepada nasabah seluruhnya diikat dengan perjanjian tertulis. Menurut Mailiswarti,177 diketahui bahwa bila pembiayaan yang diberikan bank nilainya dibawah 25 juta rupiah, maka pembiayaan itu cukup diikat dengan akta dibawah tangan dalam bentuk perjanjian pembiayaan al-murabahah. Aqad perjanjian pembiayan almurabahah dituangkan dalam perjanjian tertulis dan cukup hanya ditandatangani oleh pihak bank dan nasabah. Adapun format perjanjian tertulis yang dipakai menggunakan judul dengan nama Perjanjian Jual Beli Al-Murabahah. Sedangkan bila jumlah pembiayaan yang diberikan bank jumlahnya diatas 25 juta rupiah, maka disamping diikat dengan akta dibawah tangan sebagaimana telah disebutkan di atas, juga seluruhnya diikat dengan akta notariel. Dalam hal ini, ada dua jenis akta yang harus 177

Hasil Wawancara dengan Ibu Mailiswarti, Direktur Operasional Bank Pembiayaan Rakyat syariah Puduarta Insani pada tanggal 2 Desember 2009

ditanda tangani dan disetujui oleh pihak bank dan nasabah. Akta pertama yang harus disetujui dan dan ditandatangani adalah akta dibawah tangan, yaitu Aqad Pembiayaan yang berisi perjanjian pembiayaan murabahah. Judul akta yang digunakan dalam perjanjian ini adalah Perjanjian jual beli Al- Murabahah. Akta kedua yang harus disetujui dan ditandatangani adalah akta notariel atau akta otentik, yaitu akta yang dibuat dan ditandatangani oleh dan dihadapan notaris sebagai pejabat umum yang berwenang. Substansi pokok dari akta notariel ini, pada prinsipnya berisi tiga hal; yaitu aqad atau perjanjian tentang pengakuan hutang, pemberian jaminan dan kuasa menjual. Hal ini tergambar dari judul akta notariel yang digunakan, yaitu Pengakuan Hutang, Pemberian Jaminan dan Kuasa Menjual. Dari nama judul yang digunakan tersebut dapat diketahui, bahwa dalam setiap pembuatan aqad pembiayaan yang berisi perjanjian pembiayaan murabahah tersebut, maka bersamaan dengan itu juga dibuat akta kuasa menjual atas barang jaminan, apabila nantinya debitur ingkar janji dan terjadi kasus pembayaran hutang macet. Bentuk surat kuasa menjual yang dibuat tersebut, adalah surat kuasa menjual yang tergabung dengan akta pengakuan hutang dengan pemberian jaminan, sehingga judul akta yang dibuat adalah Akta Pengakuan Hutang, Pemberian Jaminan dan Kuasa Menjual. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani membuat surat kuasa menjual yang tidak terpisah dengan pengakuan hutang, karena bank merasa apabila kuasa menjual dibuat terpisah, maka akan memberatkan nasabah yang diberikan pembiyaan. Hal ini disebabkan, apabila akta tersebut dibuat terpisah, tentu biaya yang dikeluarkan akan

bertambah menjadi dua akta, yaitu akta pengakuan hutang dengan pemberian jaminan, dan juga akta kuasa menjual. Tentunya dengan tambahan biaya akta dikeluarkan dibanding dengan pemberian pembiayaan dengan nilai tidak terlalu besar, maka akan memberatkan nasabah debitur, karena segala biaya yang timbul, termasuk di dalamnya biaya akta, akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak nasabah debitur.178 Sebagai ilustrasi, disini akan disampaikan beberapa contoh klausul Pasal dalam akta yang mencantumkan ketentuan kuasa menjual barang jaminan. Klausul kuasa menjual itu ada dalam satu akta yang tidak terpisah dari akta Pengakuan Hutang, Pemberian Jaminan dan Kuasa Menjual. Contoh klausul Pasal yang mencantumkan kuasa menjual dalam satu kesatuan akta yang berkaitan dengan aqad pembiayaan yang berisi perjanjian pembiayaan murabahah di Bank Pembiayaan Rakyat Syariah puduarta Insani dapat dilihat sebagai berikut : - Selanjutnya pihak kedua tersebut, (untuk seterusnya disebut yang berhutang dan sekaligus pemberi jaminan) menerangkan bahwa untuk menjamin kepastian pembayaran kembali hutang penerima kredit pembiayaan kepada bank sebagaimana mestinya, termasuk nisbah bank dan biaya-biaya lainnya, baik hutang yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, maka lewat waktu saja telah menjadi bukti akan kelalaian yang berhutang, sehingga peringatan dengan surat juru sita tidak diperlukan lagi, maka penghadap pihak kedua sebagai penerima pembiayaan menyerahkan sebagai jaminan kepada 178

Hasil Wawancara dengan Ibu Mailiswarti, Direktur Operasional Bank Pembiayaan Rakyat syariah Puduarta Insani pada tanggal 2 Desember 2009

bank, dan bersamaan dengan penyerahan jaminan itu, pihak kedua yang disebut juga sebagai pemberi kuasa, dengan akta ini memberi kuasa kepada pihak pertama yang disebut juga sebagai penerima kuasa, untuk dan atas nama, serta mewakili pemberi kuasa dengan hak substitusi, untuk menjual dan menyerahkan atau memindahkan hak dengan cara lain yang diperkenankan oleh undang-undang, yaitu: Hak atas sebidang tanah...179(dan seterusnya yang menjelaskan tentang objek jaminan dan pemberian kuasa.) Di dalam akta tersebut juga dibuat syarat-syarat dan perjanjian-perjanjian yang isinya menerangkan adanya kuasa menjual yang diberikan kepada bank apabila debitur wan prestasi, yaitu: - Jika yang berhutang tidak memenuhi perjanjian-perjanjian atau surat perjanjian pembiayaan atau surat pinjam meminjam dan/atau tidak membayar hutanghutangnya sebagaimana mestinya, maka penghadap pihak kedua sebagai pemilik barang jaminan, yang disebut juga sebagai pemberi jaminan dan yang memberi kuasa, dengan akta ini menerangkan memberi kuasa kepada pihak pertama atau bank yang disebut juga sebagai penerima kuasa dengan hak subtitusi, untuk menjual di bawah tangan ataupun dihadapan pejabat umum yang berwenang dengan harga dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh bank sebagai penerima kuasa, atau bila diperlukan untuk melelang dan memindahkan hak dengan cara lain yang diperkenankan oleh undang undang 179

Contoh akta Pengakuan Hhutang, Pemberian Jaminan Dan Kuasa Menjual pada bank Perkreditan Rakyat Syariah Puduarta Insani.

atas objek jaminan tersebut, dan mempergunakan pendapatan dari hasil penjualan atau lelang tersebut, guna pembayaran hutang penghadap pihak kedua kepada bank, berikut nisbah, uang administrasi, denda-denda dan biayabiaya lainnya yang berkaitan dengan penjualan atau lelang itu, atau segala sesuatu yang harus dibayar oleh yang berhutang kepada bank, menetapkan perjanjian penjualan atau lelang itu, menerima pendapatan penjualan tersebut atau meminta akseptasi atau tanda terima atas nama bank untuk pendapatan lelang itu, menerima dan memberi kwitansi untuk segala penerimaan dan selanjutnya melakukan segala sesuatu yang berguna untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut tidak ada tindakan yang dikecualikan.................................... - Selanjutnya dalam akte ini, penghadap pihak kedua yang disebut juga sebagai pemberi kuasa, dengan ini memberi kuasa kepada pihak pertama atau bank yang disebut juga sebagai penerima kuasa, dan... . . Baik bersama-sama maupun masing-masing, untuk membuat akta dibawah tangan ataupun akta yang dibuat dihadapan pejabat umum yang

berwenang, atau menghadap siapa saja sebagai pihak pihak yang berwenang guna menjalankan hak-hak pihak kedua dengan sepenuhnya, termasuk untuk menjual, atau memindahkan hak dengan cara apapun yang diperkenankan oleh undang-undang, serta membuat dan menanda tangani akta-akta, surat-surat atau segala macam dokumen lainnya, dengan tidak ada tindakan yang dikecualikan.180 C. Peranan Notaris dalam Pembuatan Akta Jaminan dalam Akad Pembiayaan Murabahah atas Tanah yang belum Bersertifikat. Menurut hukum, yang merupakan produk atau hasil pekerjaan notaris adalah berupa akta yang dibuat oleh notaris. Akta-akta yang dibuat oleh notaris harus benarbenar dapat diterima sebagai alat bukti sempurna di antara para pihak yang menghadap padanya. Karena kewenangan utamanya adalah untuk membuat akta otentik, dimana otentisitas dari akta yang dibuatnya bersumber dari Pasal 1 UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris yang menjadikan notaris sebagai pejabat umum (openbaar ambtenaar), maka dengan demikian akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya tersebut memperoleh sifat akta otentik, seperti yang dimaksud dalam Pasal 1868 KUBPerdata. Jadi dengan demikian, akta yang dibuat oleh notaris adalah akta otentik. Ketentuan Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris Stb. 1860 Nomor 3 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa notaris berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian 180

Ibid.

dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan perundang-undangan dan/ atau oleh yang berkepentingan menghendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, dalam fungsinya sebagai pejabat umum, maka notaris berwenang untuk membuat akta otentik. Akta otentik, berdasarkan Pasal 1866 KUHPerdata181 sebagai bukti tertulis yang dibuat secara otentik, menempati urutan tertinggi dibandingkan dengan alat bukti lainnya, yaitu menurut urutan yang berada dibawahnya, yaitu bukti dengan saksi-saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Hal demikian ini diulangi lagi dalam hukum acara perdata seperti yang dijumpai pada Pasal 164 HIR yang merupakan hukum formal. Oleh karena itu, notaris, sebagai pembuat akta, memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang menghadap padanya. Notaris mencatat, dan memberi penguatan kepada para pihak yang berkontrak dengan sifat otentitasnya. Dari Stb. 1860 Nomor 3 tentang Peraturan Jabatan Notaris, maupun oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dapat dilihat, bahwa yang berwenang untuk melakukan tugas-tugas tersebut diatas hanyalah notaris. Notaris memiliki kewenangan yang bersifat umum, sedangkan kewenangan para pejabat 181

Pasal 1866 KUHPerdata menyebutkan alat-alat bukti terdiri atas bukti tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan, pengakuan.

lainnya untuk membuat akta, hanya ada apabila telah dinyatakan oleh undang-undang secara tegas. Dengan adanya perluasan dari kewenangan notaris setelah keluarnya UndangUndang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, sehingga selain untuk membuat akta otentik, dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 tentang Jabatan Notaris, notaris berwenang pula: 1.

Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. 2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.

3.

Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan. 4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya. 5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. 6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan. 7. Membuat akta risalah lelang. Apabila suatu akta hendak memperoleh stempel otentisitas, sebagaimana yang

terdapat dalam akta notaris, maka menurut Pasal 1868 KUHPerdata, akta yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan berikut: a.

Akta itu harus dibuat oleh atau dihadapan seorang pejabat umum.

b.

Akta dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang.

c.

Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu. Menurut Pasal 41 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan

Notaris, akta notaris akan kehilangan sifat otentisitasnya dan hanya berlaku sebagai akta di bawah tangan apabila di dalam akta tersebut tidak dipenuhi ketentuanketentuan yang diatur dalam Pasal 39 dan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris. Apabila akta notaris tersebut hanya mempunyai kekuatan seperti akta di bawah tangan, berarti akta notaris tersebut kehilangan sifat otentisitasnya dan kekuatan eksekutorialnya apabila ia dibuat dalam bentuk grosse akta. Hal ini tentu saja merugikan para pihak yang menghadap padanya. Perbedaan antara akta otentik dengan perjanjian di bawah tangan adalah: 1) Dalam perjanjian di bawah tangan, Pasal 1876 KUHPerdata menentukan: “Barang siapa yang terhadapnya dimajukan suatu tulisan di bawah tangan, diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri tanda tangannya, tetapi bagi para ahli warisnya atau orang yang mendapat hak daripadanya adalah cukup jika mereka menerangkan tidak mengakui tulisan atau tanda tangan itu sebagai tulisan atau tanda tangan orang yang mereka wakili.” Apabila timbul sutau masalah tentang suatu perjanjian antara para pihak yang memerlukan pembuktian, meskipun secara fisik perjanjian dimaksud ada, akan tetapi perjanjian dibuat di bawah tangan, maka masih diperlukan pembuktian lebih

lanjut dengan pembuktian atau pemungkiran secara tegas oleh para pihak. Yang lebih menambah kesulitan akibat dari perjanjian yang dibuat di bawah tangan adalah pemungkiran dari para ahli waris ataupun yang mendapatkan hak dari salah satu pihak cukup dilakukan dengan sebuah keterangan bahwa mereka tidak mengakui tulisan atau tanda tangan yang mereka wakili. Sedangkan dalam akta otentik, pemberian suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya, berarti merupakan bukti yang sempurna mengenai: a)

Kepastian tanggal dibuatnya akta

b) Kepastian penandatanganan pihak-pihak yang dibuat akta c)

Kepastian isi akta yang dibuat oleh para pihak,

Sehingga tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut.

2) Grosse dari akta otentik dalam beberapa hal mempunyai kekuatan eksekutorial seperti putusan hakim, sedang akta yang dibuat di bawah tangan tidak pernah mempunyai kekuatan eksekutorial.

3) Kemungkinan akan hilangnya akta yang dibuat di bawah tangan lebih besar dibandingkan dengan akta otentik. Minuta akta sebagai dokumen negara selalu disimpan secara rapi oleh notaris. Manakala notaris yang membuat akta meninggal, pensiun, berhenti atau tempat kedudukan yang bersangkutan masih dapat dimintakan salinannya kepada notaris pemegang protokol. Menurut pendapat umum, pada setiap akta otentik sebagaimana juga pada akta notaris, dibedakan pada 3 kekuatan pembuktian yaitu:182 182

G.H.S Lumban Tobing, Op.cit, Hal 55-63

(1) Kekuatan pembuktian lahiriah (Uitwendige Bewijskracht) Kekuatan pembuktian lahiriah adalah kemampuan dari akta itu sendiri untuk membuktikan dirinya sebagai akta otentik. Dengan kekuatan lahiriah ini, dimaksudkan agar akta itu mampu membuktikan dirinya sebagai akta otentik dan kemampuan ini berdasarkan pada Pasal 1875 KUH Perdata tidak dapat diberikan pada akta dibawah tangan, dimana akta dibawah tangan baru berlaku sah apabila berasal

dari

orang,

terhadap

siapa akta

itu

digunakan,

apabila yang

menandatanganinya mengakui kebenaran dari tanda tangannya itu atau apabila dengan cara yang sah menurut hukum dapat dianggap sebagai telah diakui oleh yang bersangkutan. Akta otentik membuktikan sendiri keabsahannya, dimana dalam bahasa latin disebut “acta publica probant sese ipsa”. Suatu akta yang otentik dapat dilihat dari kata-kata yang tercantum dalam akta tersebut dan dari pejabat dimana akta itu dibuat, maka akta itu terhadap setiap orang dianggap sebagai akta otentik sampai dapat dibuktikan sebaliknya. Kekuatan pembuktian lahiriah ini tidak ada pada akta yang dibuat dibawah tangan. (2) Kekuatan Pembuktian Formal (Formele Bewijskracht) Akta otentik dengan kekuatan pembuktian formal adalah kepastian bahwa suatu kejadian dan fakta yang dituangkan dalam akta tersebut benar-benar dilakukan oleh notaris atau diterangkan oleh pihak-pihak yang menghadap. Dengan kekuatan pembuktian formal ini, suatu akta selain hanya membuktikan bahwa pejabat atau

notaris telah menyatakan dengan tulisan dalam akta yang dibuatnya, juga menegaskan bahwa segala kebenaran yang diuraikan dalam akta itu seperti yang dilakukan dan disaksikan oleh notaris. Berkaitan dengan hal ini arti formal dalam akta pejabat dapat dijelaskan bahwa selain akta itu membuktikan kebenaran dari apa yang disaksikan yaitu yang dilihat, didengar, dan dilakukan oleh notaris juga menjamin kebenaran tentang tanggal, tanda tangan dan identitas dari para pihak yang hadir serta tempat dibuatkannya akta itu. Mengenai kekuatan pembuktian formal ini yang merupakan pembuktian lengkap maka akta partij dan akta pejabat dalam hal ini adalah sama, dengan pengertian bahwa kedua golongan akta itu mempunyai kekuatan pembuktian formal dan berlaku pada setiap orang yakni apa yang ada dan terdapat di atas tanda tangan mereka. (3) Kekuatan Pembuktian Material (Materiele Bewisjkracht) Kekuatan pembuktian material adalah kepastian bahwa apa yang tersebut dalam akta merupakan pembuktian yang sah terhadap pihak-pihak yang membuat akta atau mereka yang mendapat hak dan berlaku untuk umum kecuali pada pembuktian sebaliknya (tegenbewijs). Kekuatan pembuktian material ini tidak hanya pada kenyataan bahwa adanya dinyatakan sesuatu yang dibuktikan oleh akta itu akan tetapi isi dari akta itu dianggap dibuktikan sebagai yang benar terhadap setiap orang, yang meminta untuk dibuat akta sebagai tanda bukti terhadap dirinya, sehingga akta itu mempunyai

kekuatan pembuktian material. Kekuatan pembuktian inilah yang dimaksud dalam Pasal 1870, 1871, dan 1875 KUH Perdata yang mengatur antara para pihak yang bersangkutan dan para ahli waris serta penerima hak mereka, akta itu memberikan pembuktian yang lengkap tentang kebenaran dari akta yang tercantum dalam akta itu, dengan pengecualian dari apa yang dicantumkan didalamnya hanya sebagai suatu pemberitahuan semata dan yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan yang menjadi pokok dalam akta itu. Apabila akta yang dikeluarkan notaris itu kehilangan sifat otentitasnya maka akta tersebut hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Dengan berubahnya nilai otentisitas akta tersebut, maka berubah pula kekuatan pembuktian dari kekuatan eksekutorialnya. Sebagaimana yang ada pada grosse akta pengakuan hutang (pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani berjudul Akta Pengakuan Hutang, Pemberian Jaminan Dan Kuasa Menjual) yang dibuat dihadapan notaris, dimana pada kepala aktanya memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” adalah salinan akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial. Di dalam Akta Pengakuan Hutang Dengan Pemberian Jaminan Dan Kuasa Menjual yang dibuat notaris, selain berisikan surat kuasa menjual bagi bank apabila debitur wan prestasi, di dalamnya juga termaktub kuasa untuk mengurus sertifikat atas tanah dan apabila sertifikat telah selesai dan telah melekat hak pada tanah tersebut, maka debitur memberikan kuasa kepada bank untuk memasang Akta Pembebanan Hak Tanggungan atas tanah tersebut.

Akta yang mempunyai kekuatan eksekutorial ini maksudnya adalah bahwa apabila pihak debitur atau pihak yang berhutang cidera janji, maka dapat langsung dieksekusi sesuai dengan isi dari grosse akta tersebut tanpa harus menunggu adanya putusan pengadilan. Hal ini disebabkan grosse akta notaris mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan kekuatan putusan hakim. Tidak hanya tagihan dalam bentuk uang yang dapat dieksekusi berdasarkan grosse akta notaris, akan tetapi juga tuntutan (verderingen) lain, misalnya tuntutan untuk menyerahkan benda atau barang bergerak. Bentuk suatu grosse akta harus memuat pada bagian kepala akta irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” dan pada bagian akhir atau penutup akta memuat frase “ diberikan sebagai grosse pertama” dengan menyebutkan nama orang yang memintanya dan untuk siapa grosse dikeluarkan dan tanggal pengeluarannya. Grosse akta kedua hanya dapat diberikan pada orang yang berkepentingan langsung pada akta, ahli waris, ataupun yang memperoleh hak, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, artinya terdapat kekurangan pada bagian atas atau bawah dari grosse akta itu, maka dalam hal itu grosse tersebut tidaklah dapat dipergunakan untuk dieksekusi. Hanya dengan grosse yang dibuat dengan memenuhi syarat-syarat bentuk eksekutorial dapat dilakukan eksekusi tanpa perantaraan hakim. Selain tugas utama dari seorang notaris untuk membuat akta otentik, dalam ruang lingkup jabatannya notaris juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan

mensahkan (waarmerken dan legiseren) surat-surat/ akta-akta yang dibuat di bawah tangan. Notaris juga memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai akta yang akan dibuat olehnya kepada para pihak yang menghadapnya. Sebelum penandatanganan akta, notaris harus terlebih dahulu memberikan penjelasan dan keterangan mengenai akta yang akan mereka tanda tangani, kemudian dibacakan di hadapan para pihak. Apabila isi dari akta tersebut telah dipahami dan para pihak setuju dengan isi dari akta tersebut, para pihak menandatangani akta tersebut dengan saksi-saksi dan notaris itu sendiri. Setelah penandatanganan akta itu dilakukan, maka akta tersebut menjadi akta otentik yang mengikat para pihak. Pemberian nasehat hukum tersebut bukan hanya dilakukan pada saat akan dilaksanakannya penandatangan akta, namun juga dilakukan sebelum akta itu dibuat, bahkan telah dilakukan ketika para pihak menghadap notaris untuk dibuatkan akta otentik yang mereka kehendaki. Dalam hal ini biasanya para pihak meminta terlebih dahulu pertimbangan-pertimbangan dan penjelasan hukum dari notaris mengenai akta yang akan mereka buat. Setelah para pihak paham dan mengerti apa yang akan dicantumkan pada akta tersebut, baru kemudian persetujuan untuk membuat akta otentik itu dilakukan. Dalam dunia perbankan juga dilakukan hal yang sama. Notaris berwenang sebagai pejabat umum untuk membuat akta otentik sebagaimana yang dibutuhkan bank dan nasabahnya. Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani, terhadap pembiayaan murabahah, atas permohonan bank dan nasabah debitur, notaris membuat

Akta Perjanjian Jual Beli Murabahah. Disamping itu, notaris juga membuat akta pengakuan hutangnya. Terhadap tanah belum bersertifikat yang dijadikan jaminan hutang atas pembiayaan murabahah yang diberikan, notaris membuat akta yang berjudul Akta Pengakuan Hutang, Pemberian Jaminan dan Kuasa Menjual antara bank dan nasabah debitur yang mempunyai kekuatan eksekutorial apabila debitur wan prestasi. Surat kuasa menjual ini adalah merupakan perjanjian accessoir yang bergantung pada perjanjian pokok, yaitu pengakuan hutang dengan pemberian jaminan serta perjanjian jual beli murabahah. Selain itu, para pihak, dalam hal ini adalah bank selaku kreditur dan nasabah peminjam selaku debitur, dapat meminta nasehat hukum pada notaris tentang pengikatan ataupun perjanjian yang akan mereka buat dan akan dikonstatir dalam akta notaris, baik sebelum, pada saat, ataupun setelah akta notaris tersebut ditandatangani. Pada prakteknya, di Bank Perkreditan Rakyat Puduarta Insani, biasanya konsultasi ataupun meminta nasehat hukum pada notaris adalah mengenai jaminan yang diberikan oleh calon debitur dalam permohonan pembiayaan yang diajukan pada pihak bank, misalnya mengenai keabsahan dari surat-surat yang diajukan calon debitur, walaupun tidak tetutup kemungkinan untuk meminta nasehat pada notaris mengenai hal-hal ataupun permasalahan lain yang dihadapi oleh pihak bank, terutama yang berhubungan dengan hukum, misalnya yang berkaitan dengan waris, hibah, dan lain-lain.183 Dalam proses pembuatan akta pengikatan jaminan yang dilakukan oleh notaris, 183

2009.

Hasil wawancara dengan Notaris Hasbullah Hadi, pada tanggal 2 Desember

biasanya hanya pihak bank yang melakukan konsultasi pada notaris, terutama mengenai keabsahan dari jaminan yang diajukan oleh calon debitur. Hal ini disebabkan karena calon debitur menyerahkan semua urusannya yang berkaitan dengan permohonan pembiayaan tersebut kepada bank. Calon debitur pada umumnya tidak mempermasalahkan persyaratan-persyaratan yang diajukan Bank Perkreditan Rakyat Syariah Puduarta Insani selaku kreditur karena tujuan utama mereka untuk mendapatkan pembiayaan dari bank tersebut, jadi apapun persyaratan yang diminta oleh pihak bank disetujui oleh calon debitur dan diserahkan pengurusannya kepada bank, termasuk di dalamnya pengurusan surat-surat yang diperlukan dalan perjanjian pembiayaan tersebut. Calon debitur biasanya hanya meminta nasehat hukum pada notaris pada saat akan ditandatanganinya akta ketika isi akta tersebut dibacakan oleh notaris pada saat akan dilaksanakannya penandatanganan akta oleh para pihak.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian dan pembahasan Kajian Hukum Terhadap Peranan

Notaris Dalam Pembuatan Akta Pembiayaan Murabahah Dengan Jaminan Tanah Yang Belum Bersertifikat (Studi Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani), dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Tanah yang belum bersertifikat tetap mempunyai kekuatan hukum untuk dijadikan sebagai objek jaminan dalam pembiayaan. Hanya nilainya saja yang kecil apabila dibandingkan dengan tanah yang telah bersetifikat. Hal ini sesuai dengan keluarnya Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah, pada pasal 20 Peraturan Bank Indonesia ini mengatur tentang nilai agunan yang dapat diperhitungkan adalah sebesar 50% dari Nilai Jual Objek Tanah terhadap agunan tanah berdasarkan kepemilikan surat girik (letter C). Atas agunan ini dibuat surat kuasa menjualnya oleh debitur kepada bank, apabila nantinya debitur wan prestasi. 2. Resiko bank memberikan pembiayaan dengan jaminan tanah belum bersertifikat adalah sama dengan resiko bank memberikan pembiayaan dengan jaminan yang telah ada lembaga jaminannya tersendiri. Pengikatan jaminan atas tanah belum bersertifikat dibuat dengan Akta Pengakuan Hutang Dengan Pemberian Jaminan Dan Kuasa Menjual. Di dalam akta tersebut bank diberi kuasa untuk menjual barang jaminan apabila debitur wan prestasi, sehingga apabila nantinya debitur wan prestasi, bank tetap dapat mengeksekusi barang jaminan tanpa harus melalui pengadilan maupun lembaga lelang negara berdasarkan grosse akta yang berkekuatan eksekutorial tersebut. Selain itu, bank juga mewajibkan asuransi bagi

debitur, sehingga tidak akan terkendala apabila debitur meninggal dunia. 3. Sesuai dengan kewenangannya untuk membuat akta otentik, notaris berwenang untuk membuat akta jaminan dalam akad pembiayaan murabahah atas tanah yang belum bersertifkat, yang dibuat dalam bentuk Akta Pengakuan Hutang dengan Pemberian Jaminan dan Kuasa Menjual, sesuai dengan perjanjian yang dibuat oleh para pihak berdasarkan Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUHPerdata.Di dalam akta tersebut selain memberikan kuasa menjual bagi bank jika debitur wan prestasi, bank juga diberi kuasa untuk mengurus sertifikat tanah, apabila sertifikat telah selesai debitur memberi kuasa kepada bank untuk memasang Akta Pembebanan hat Tanggungan atas tanah tersebut. Selain itu, notaris juga berperan sebagai penasehat hukum bagi para pihak yang menghadap padanya, baik sebelum, ketika, dan setelah akta ditandatangani.

B. Saran-saran. 1. Penggunaan jaminan tanah belum bersertifikat atas pembiayaan yang diberikan sudah menjadi kenyataan hukum di tengah-tengah masyarakat. Oleh sebab itu hendaknya pemerintah dapat melahirkan peraturan perundang-undangan tentang pemberian jaminan dan penjualan barang jaminan yang mengakomodir kepentingan ekonomi masyarakat dimana kebutuhan pinjamannya di bank jumlahnya relatif kecil, terutama atas tanah belum bersertifikat. 2. Resiko yang dihadapi bank atas pembiayaan yang diberikan dengan jaminan

tanah yang belum bersertifikat adalah sama dengan jaminan yang telah ada lembaganya tersendiri. Sama-sama dapat dieksekusi. Oleh karena itu, hendaknya bank sebagai pemberi pembiayaan, terutama bank-bank besar, menerima tanah yang belum bersertifkat sebagai jaminan atas pembiayaannya. Akan tetapi tanah yang telah bersertifikat memiliki keunggulan daripada tanah yang belum bersertifikat, yaitu apabila debitur wan prestasi, bank mempunyai hak untuk memasang APHT, sehingga bank memperoleh hak istimewa, sertifikat serta pembuktiannya lebih kuat, dan jelas serta mudah eksekusinya. Karenanya, akan lebih baik lagi kalau yang dijadikan jaminan adalah tanah yang telah bersertifikat. 3. Hendaknya notaris dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat yang berwenang untuk membuat akta otentik, notaris harus selalu menjunjung prinsip kehati-hatian dalam penerbitan setiap aktanya, terutama menyangkut penerbitan akta jaminan dengan tanah belum bersertifikat. Hal ini dikarenakan tidak adanya cek bersih seperti halnya tanah bersertifikat, apabila akan dijadikan jaminan hutang, sehingga dimungkinkan terjadinya surat tanah (letter C) palsu. Oleh karena itu, untuk menghindari terjadinya surat tanah ganda atau palsu, notaris harus memintakan kepada debitur untuk menyertakan surat keterangan silang sengketa atas tanah yang dikeluarkan oleh camat /lurah.

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku Ali, Atabik dan A.Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab Indonesia, Multi Karya Grafika, Jogyakarta, 1998 Al-Qur’an Dan Terjemahnya, diterjemahan oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an, Karya Toha Putra, Semarang Andasasmita, Komar, Notaris Selayang Pandang, Bandung, Alumni, 1983. Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, Gema Insani, Jakarta, 2001. Anwar, Syamsul, Hukum Perjanjian Syariah, Studi Tentang Teori Akad Dalam Fikih Muamalat, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Raj aGrafindo Persada, Jakarta, 2008 As-shiddieqy, Hasbi, Hukum-Hukum Fiqih Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta. Badrulzaman, Mariam Darus, Bab-Bab tentang Kredit Perbankan, Gadai dan Fidusia, Cetakan IV, Bandung, Alumni, 1987. Budiono, Herlien, Asas Keseimbangan Bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. Bigha, Mustafa Diibul, Fiqih Syafii Terjemah at-Tahzib (terj) A. Sunarto dan M.Multazam, Bintang Pelajar, Sawahan, 1984. Dahlan, Abdul Azis, Ensiklopedi Hukum Islam, Jilid 5, Ichtisar Baru Van Hoeve,

Jakarta, 1996. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2002. Dewi, Gemala, dkk, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Kencana Prenada Media, Jakarta, 2005. Fuady, Munir, Hukum Perkreditan Kontemporer. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. Hasan, M.Ali, Berbagai Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat), RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003. Hasibuan, H. Malayu SP, Dasar-Dasar Perbankan, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2001 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2006 Hs, Salim, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Idris, Abdul Malik, dan H. Abu Ahmadi, Kifayatul Akhyar, Terjemah Ringkas Fiqih Islam Lengkap, Rineka Cipta, Jakarta, 1990. Kamello, Tan, Hukum Jaminan Fidusia, Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Alumni, Bandung, 2004, Karim, Adiwarman A, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006. Kashmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008 Mashudi, H, dan Moch.Chidir Ali, Pengertian-Pengertian Elementar Hukum Perjanjian Perdata, Mandar Maju, Bandung, 2001.

Mas’adi, Ghufron A, Fiqih Muamalah Kontekstual, Cet 1, Jakarta, RajaGrafindo Persada, 2002 Mertokusumo, Sudikno, Hukum Acara Perdata, Liberty, Yogyakarta, 1981. Miru, Ahmadi, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007. Muamalat Institute, Perbankan Syariah Perspektif Praktisi, 1999 Muslehuddin, Muhammad, Sistem Perbankan Dalam Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1990. Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1985. Puspa, Yan Pramadya, Kamus Hukum, Aneka Ilmu, Semarang , 1977 Rasyid, H. Rustam Effendi, Pendaftaran Tanah dan PPAT, Diktat Kuliah Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, Tanpa Tahun Rasyid, Sulaiman, Fiqih Islam, Sinar Baru Agensindo, Jakarta, 2003. Saeed, Abdullah, Menyoal Bank Syariah, Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, Paramadina, Jakarta, 2004. Salman S, HR.Otje, dan Anton F Susanto, Teori Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2005, hal.21. Satrio, J, Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya, Alumni, Bandung, 1999. Siamat, Dahlan, Manajemen Bank Umum, Intermedia, Jakarta, 1993.

Singarimbun, Masri dkk, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1999. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit UI Press, Jakarta, 1986. Subekti, R, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 1992, Subekti, R, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya bakti, Bandung, 1996. Sunarto, Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Zikrul Hakim, Jakarta, 2003. Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Supramono, Gatot, Permasalahan Dan Masalah Kredit, Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta, 1995. Supranto, J, Metode Penelitian Hukum Dan Statistik, Rineka Cipta, Jakarta, 2003. Suryabrata, Sumandi, Metodologi Penelitian, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 1998, Sutrisno, Komentar Undang-Undang Jabatan Notaris, Buku I, Diktat Kuliah Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, Tanpa Tahun Syarifuddin, Amir, garis-garis Besar Fiqih, Prenada Media, Jakarta, 2003. Thaib, Hasballah, Hukum Aqad (Kontrak) Dalam Fiqih Islam Dan Praktek Di Bank Sistem Syariah, Program Pasca Sarjana USU, Medan , 2005. Tobing, GHS Lumban, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta, 1991 Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Di Indonesia, Gramedia Pusaka Utama, Jakarta, 2001.

Wibowo, Edy dan Untung Hendi Widodo, Mengapa Memilih Bank Syariah?, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005. Widiyono, Try, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Bogor, 2006.

II. Karya Ilmiah/ Artikel/ Media Internet. Hasbullah Hadi, NIM 077011092, Kuasa Menjual Dalam Aqad Pembiayaan Murabahah, sebagai Dasar Hukum Penjualan Barabng Jaminan (Studi Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Gebu Prima Medan). Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2009 (tesis). Ridha Kurniawan Adnans, NIM 057011074, Penerapan Sistem Jual Beli Murabahah Pada Bank Syariah (Studi Terhadap Pembiayaan Rumah/ Properti Pada Bank Negara Indonesia Syariah Cabang Medan), Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2007 (tesis). Rifki Suryadi, NIM 047011055, Perjanjian Pembiayaan Murabahah Pada Bank dengan Prinsip-Prinsip Syariah Islam (Penelitian di Bank Syariah Mandiri Medan). Kenotariatan Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2006 (tesis).

Lathif, AH. Azharuddin, Penerapan Hukum Jaminan dalam Pembiayaan di Perbankan Syariah, disampaikan pada tanggal 26 Agustus 2008, di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kamello, Tan, Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui hubungan Antar Bank Dengan Nasabah, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2006 Zainun Ahmadi, Quo Vadis, Profesi Notaris, Media Notariat, Oktober, 1999, A. Riawan Amin, Bank Syariah Sebagai Solusi yang Berkeadilan dan Berkerakyatan, 2003. http://www.rumahilmuindonesia.net/perpustakaan/ekonomi_syariah/Bank_Sy ariah_Berkeadilan.pdf diakses pada 22 Desember 2009. A.

Nurul

Hadi,

Pengembangan

Perbankan

Syariah

Masa

Depan,

http://www.radarbanjarmasin.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=39924 di akses pada tanggal 22 Desember 2009 Karakteristik perbankan (pengertian, fungsi, dan ruang lingkup usaha bank), http://blognyamyun.blogspot.com/2008/08/karakteristik-perbankanpengertian.html, di akses pada tanggal 22 Desember 2009 Rachmat Syafi’i. Tinjauan Yuridis Terhadap Perbankan Syariah. http://www.pikiranrakyat.com/cetak/2005/0305/21/0802.htm. diakses pada 22 Desember 2009 Http://www.bi.go.id

diakses

pada

tanggal

3

Juni

2009

http://id.wikipedia.org/wiki/notaris, diakses pada 22 Desember 2009 http://majalah.dephumkam.go.id Majalah Online Hukum Dan Ham, Notaris dalam Memberikan Pelayanan Kepada Masyarakat Senantiasa Berpedoman Kepada Kode Etik Profesi, diakses pada 22 Desember 2009

III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah Undang-undang Nomor 30 tahun 2004n tentang Jabatan Notaris. Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) Kitab Undang-undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) Peraturan Bank Indonesia No.8/24/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah Fatwa Dewan Syariat Nasional No. 46/DSN-MUI/II/2005 tentang Potongan Tagihan Murabahah (Khashm Fi Al-Murabahah) tanggal 17 Februari 2005

Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang murabahah tanggal 1 April 2000

ABSTRAK Murabahah adalah salah satu produk pembiayaan yang paling berkembang pada bank syariah. Dalam pembiayaannya, terutama bank mikro seperti bank pembiayaan rakyat syariah, sering digunakan tanah belum bersertifikat sebagai jaminannya, padahal, tanah belum bersertifikat bukanlah salah satu objek jaminan dalam lembaga jaminan manapun di Indonesia. Oleh karena itu, oleh notaris digunakan Akta Pengakuan Hutang Dengan Pemberian Jaminan Dan Kuasa Menjual untuk pengikatannya. Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui resiko bank atas pembiayaan mugabahah dengan jaminan tanah yang belum bersertifikat, kekuatan hukum tanah belum bersertifikat sebagai objek jaminan dalam pembiayaan hutang, serta mengetahui peranan notaris dalam pembuatan akta jaminan dalam aqad pembiayaan mugabahah atas tanah yang belum bersertifikat. Di dalam penulisan tesis ini dipergunakan metode penelitian deskriptif analitis, artinya dengan penelitian ini dapat memberikan gambaran yang seteliti mungkin tentang peranan notaris dalam pembuatan akta jaminan dalam akad pembiayaan mugabahah atas tanah yang belum bersertifikat, dengan studi kasus pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani yang dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, kemudian melakukan pengumpulan dan pengolahan data-data tersebut sehingga diperoleh gambaran yang menyeluruh mengenai permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan, resiko bank atas pembiayaan dengan jaminan tanah belum bersertifikat adalah sama dengan jaminan yang menjadi objek dalam lembaga jaminan yang baku di Indonesia. Hal ini dikarenakan tanah belum bersertifikat diikat dengan akta pengakuan hutang dengan pemberian jaminan dan kuasa menjual, yang mempunyai kekuatan eksekutorial, sehingga mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan pengadilan. Bank Indonesia juga mengakui keberadaan tanah belum bersertifikat ini sebagai barang agunan sebagaimana disebut dalam pasal 20 Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/24/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bagi Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Dengan demikian, tanah belum bersertifikat tersebut juga memiliki kedudukan hukum seperti halnya objek jaminan pada lembaga jaminan resmi. Berdasarkan hal tersebut, atas perjanjian jual beli beli mugabahah yang dibayar secara angsur sehingga menimbulkan hutang piutang, notaris dengan kewenangannya membuat akta otentik mengikat perjanjian hutang piutang bank dan nasabah debitur dengan Akta Pengakuan Hutang Dengan Pemberian Jaminan Dan Kuasa Menjual. Kata kunci : murabahah, jaminan atas tanah yang belum bersertifikat, notaris.

ABSTRACT Murabaha financing facility is one of the most developed in the Islamic bank. In finance, especially micro-banks such as Bank Financing Of Islamic People, often using land has not been certified as collateral, though, the land has not been certified is not one of the objects in the security institutions in Indonesia. Therefore, notary used Deed Promissory Contract With Guarantee And Authorization to Sell for the action. The aim of this research is to determine the risk of the bank of murabaha financing with collateral has not been certified land, the land has not been certified legal force as the object of collateral debt financing, also know the role of notaries in the manufacture of guarantee note of murabaha financing aqad for land that has not been certified. In writing this thesis used a descriptive analytical research method, meaning that with this research to present a picture as possible about the role of a notary public in making the deed of guarantee in the contract murabahah on land that has not been certified, with a case study on Puduarta Insani Bank Financing Of Islamic People with laws and regulations that apply, and then collecting and processing these data in order to obtain a comprehensive picture about the problems being investigated. In this study concluded, the risk of bank financing with land has not been certified as collateral is the same with the collateral that the objects in a standard security institutions in Indonesia. This is because the land has not been certified tied to Deed Promissory Contract With Guarantee And Authorization to Sell, which have enforceable, so have the same legal force court decisions. Bank Indonesia also recognizes the existence of this land has not been certified as a guarantee of the goods referred to in Article 20 Bank Indonesia Regulation No. 8/24/PBI/2006 regarding Asset Quality of Rural Banks Based on Sharia Principles. So, the land has not been certified also has legal status as objects of security at the official security agencies. Based on that, murabaha sale and purchase agreement which will be paid gradually which resulting receivable debt, notary by its authority make authentics agreements between the bank and the debtor with Deed Promissory Contract With Guarantee And Authorization to Sell Keywords: murabaha, guarantees for the land has not been certified, notary

DAFTAR ISI ABSTRAK..........................................................................................................i ABSTRACT.........................................................................................................ii KATA PENGANTAR.........................................................................................iii RIWAYAT HIDUP.............................................................................................viii DAFTAR ISI........................................................................................................ix DAFTAR TABEL................................................................................................xii BAB I : PENDAHULUAN................................................................................1 A. Latar Belakang.......................................................................1 B. Perumusan Masalah...............................................................12 C. Tujuan Penelitian.................................................................. 13 D. Manfaat Penelitian................................................................ 13 E. Keaslian Penulisan................................................................ 14 F.

Kerangka Teori Dan Konsepsi............................................. 17

G. Metodologi Penelitian............................................................. 37 BAB II : KEKUATAN HUKUM ATAS TANAH BELUM BERSERTIFIKAT SEBAGAI OBJEK JAMINAN DALAM PEMBIAYAAN MURABAHAH .......................................................................

41

A. Pandangan Umum tentang Jaminan .......................................41 B. Jaminan dalam Pembiayaan Murabahah Pada Bank Pembiayaan Rakyat Syariah Puduarta Insani..............................................63

C. Kekuatan Hukum Tanah Yang Belum Bersertifikat Sebagai Objek Jaminan Dalam Pembiayaan Murabahah............................ 71 BAB III : RESIKO BANK ATAS PEMBIAYAAN MURABAHAH DENGAN JAMINAN TANAH YANG BELUM BERSERTIFIKAT......76 A. Perbankan Syariah secara Umum..........................................76 B. Pembiayaan Murabahah Pada Perbankan Syariah...............90 C. Resiko Bank atas Pembiayaan Murabahah dengan Jaminan Tanah yang Belum Bersertifikat.............................. 106 BAB IV : PERANAN NOTARIS DALAM PEMBUATAN AKTA JAMINAN DALAM AKAD PEMBIAYAAN MURABAHAH ATAS TANAH YANG BELUM BERSERTIFIKAT ................................... 128 A. Pandangan Umum tentang Notaris .............................. 128 B. Akta Jaminan dalam Aqad Pembiayaan Murabahah atas Tanah yang belum Bersertifikat............................................... 139 C. Peranan Notaris dalam Pembuatan Akta Jaminan dalam akad Pembiayaan Murabahah atas Tanah yang Belum Bersertifikat

158

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN............................................................170 A.

Kesimpulan............................................................................170

B.

Saran.......................................................................................171

DAFTAR PUSTAKA

Related Documents

Murabahah
February 2021 1
Murabahah
February 2021 1
Murabahah
February 2021 1
Makalah Murabahah
February 2021 1
1. Murabahah
February 2021 0

More Documents from "Retno Dyah Pekerti"