Negara Paripurna Resume Bab 1 - Bab 3

  • Uploaded by: C R I S P Y Boyz
  • 0
  • 0
  • March 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Negara Paripurna Resume Bab 1 - Bab 3 as PDF for free.

More details

  • Words: 10,590
  • Pages: 32
Loading documents preview...
BAB I PENDAHULUAN Pancasila adalah warisan dari jenius Nusantara. Sesuai dengan karakteristik lingkungan alamnya, sebagai negeri lautan yang ditaburi pulau-pulau (archipelago), jenius Nusantara juga merefleksikan sifat lautan. Sifat lautan adalah menyerap dan membersihkan, menyerap tanpa mengotori lingkungannya. Sifat lautan juga dalam keluasannya, mampu menampung segala keragaman jenis dan ukuran. Sebagai “negara kepulauan” terbesar di dunia, yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan sumber daya yang berlimpah, Indonesia sejak lama menjadi titik-temu penjelajahan bahari yang membawa pelbagai arus perubahan. Maka, jadilah Nusantara sebagai tamansari peradaban dunia. Seturut dengan itu, jenius Nusantara adalah kesanggupannya untuk menerima dan menumbuhkan. Di sini, apa pun budaya dan ideologi yang masuk, sejauh dapat dicerna oleh sistem sosial dan tata nilai setempat, dapat berkembang secara berkelanjutan. Penindasan ekonomi-politik oleh kolonialisme-kapitalisme memang banyak menggerus sifat-sifat kemakmuran, kosmopolitan, religius, toleransi, dan kekeluargaan dari tanah air. Persenyawaan antara anasir karakter asal yang mengendap laten dalam jiwa penduduk dan visi emansipasu baru itu diidealisasikan oleh para pendiri bangsa sebagai sumber jati diri, dasar falsafah, dan pandangan hidup bersama. Alhasil, prinsip-prinsip dasar negara Indonesia merdeka yang dirumuskan oleh para pendiri bangsa itu tidaklah dipungut dari udara, melainkan digalu dari bumi sejarah keindonesiaan, yang tingkat penggaliannya tidak berhenti sampai zaman gelap penjajahan, melainkan menerobos jauh ke belakang hingga ke zaman kejayaan Nusantara. Fase Pembuahan Sejak tahun 1924, Perhimpunan Indonesia (PI), di Belanda, mulai merumuskan konsepsi ideologi politiknya bahwa tujuan kemerdekaan politik haruslah di-dasarkan pada empat prinsip: persatuan nasional, solidaritas, nonkooperasi, dan kemandirian (self help). Konsepsi ideologis PI ini pada kenyataanya merupakan sebuah sintesis dari ideologi-ideologi terdahulu. Persatuan Nasional merupakan tema utama dari Indische Partj, non-kooperasi merupakan platform politik kaum komunis, dan kemandirian merupakan tema dari Sarekat Islam. Sementara solidaritas merupakan simpul yang menyatukan ketiga tema utama tersebut. Sekitar tahun yang sama, tokoh pejuang yang lain Tan Malaka mulai menulis buku Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Dia

percaya bahwa paham kedaulatan rakyat (demokrasi) memiliki akar yang kuat dalam tradisi masyarakat Nusantara. Keterlibatannya dengan organisasi komunis internasional tidak melupakan kepekaannya untuk memperhitungkan kenyataankenyataan nasional dengan kesediaannya untuk menjalin kerjasama dengan unsurunsur revolusiener lainnya. Hampir bersamaan dengan itu, Tjokroaminoto mulai mengidealisasikan suatu sintesis antara Islam, sosialisme, dan demokrasi, “Jika kita, kaum Muslim, benar-benar memahami dan secara sungguh-sungguh melaksanakan ajaran Islam, kita pastilah akan menjadi para demokrat dan sosialis sejati” (Tjokroaminoto,1924;1925: 155). Seperti halnya para aktivis mahasiswa di luar negeri yang terobsesi dengan ide blok nasional,Soekarno dan para mahasiswa aktivis lainnya di Hindia juga menganut ideal yang sama. Pada 1926, Soekarno menulis esai dalam majalah Indonesia Moeda, dengan judul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme” yang mengidealkan sintesis dari ideologi-ideologi besar tersebut demi terciptanya senyawa antarideologi dalam kerangka konstruksi kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia. Dalam pandangan Soekarno, pergerakan rakyat Indonesia mempunyai tiga sifat: ‘nasionalistis, islamistis, dan marxistis’. Paham-paham ini pula, menurutnya, yang menjadi roh pergerakan-pergerakan di Asia. Pada awal tahun 1930-an, dia mulai merumuskan sintesis dari substansi ketiga unsur ideologi tersebut dalam istilah “sosio-nasionalisme” dan “sosiodemokrasi”. Sosio-nasionalisme yang dimaksudkan adalah semangat kebangsaan yang menjunjug tinggi perikemanusiaan ke dalam dan ke luar. Adapun “sosiodemokrasi” adalah demokrasi yang memperjuangkan keadilan sosial, yang tidak hanya me-medulikan hak-hak sipil dan politik, melainkan juga hak ekonomi. Monumen dari usaha intelektual untuk mencari sintesis dari keragaman anasir keindonesiaan itu adalah “Sumpah Pemuda” (28 Oktober 1928), dengan visinya yang mempertautkan segala keragaman itu ke dalam kesatuan tanah air danbangsa dan dengan menjunjung bahasa persatuan. Endapan pemikiran sebagai hasil pergumulan sejarah yang tersimpan di laci ingatan para pendiri bangsa itu mempermudah mereka dalam merespons tantangan untuk merumuskan dasar negara. Dengan mengurai kembali jaringan memori kolektif ke belakang dan ke samping, meresapi persamaan nasib dan impian kemerdekaan serta pertautan genealogis dan kesatuan geo-politik, masing-masing pendukung aliran politik memahami titik-titik persamaannya secara substantif, sehingga dapat mengatasi perbedaan identitas masing-masing. Fase Perumusan Peurmusan dasar negara Indonesia merdeka mulai dibicarakan pada masa persidangan pertama BPUPK (29 Mei- 1 Juni 1945). BPUPK sendiri didirikan pada 29 April 1945, menyusul pernyataan Perdana Menteri Jepang, Kuniaki Koiso,

pada 7 September 1944, yang mengucapkan janji historisnya bahwa Indonesia pasti akan diberi kemerdekaan “pada masa depan”. Tugas BPUPK hanyalah melakukan usaha-usaha penyelidikan kemerdekaan, sementara tugas penyusunan rancangan dan penetapan UUD menjadi kewenangan PPKI. Tetapi skenario ini berubah karena keberanian dan kreativitas para pemimpin bangsa yang berhasil menerobos batasbatas formalitas. Jumlah keanggotaan badan ini semula 63 orang, kemudian bertambah menjadi 69 orang. Jepang membagi anggota BPUPK menjadi lima golongan: golongan pergerakan, golongan Islam, golongan birokrat (kepala jawatan), wakil kerajaan (kooti), pangreh praja (residen/wakil residen, bupati, wali kota), dan golongan peranakan: peranakan Tionghoa (4 orang), peranakan Arab (1 orang), dan peranakan Belanda (1 orang). Tidak semua anggota BPUPK ini terdiri dari kaum pria, karena ada 2 orang perempuan (Ny. Maria Ulfa Santoso dan Ny. R.S.S Soenarjo Mangoenpoespito). Oleh karena itu,istilah founding fathers tidaklah tepat. Unsur-unsur perwakilan BPUPK cukup merepresentasikan keragaman golongan sosial-politik yang ada di Indonesia pada masa itu. Dalam merespons permintaan Radjiman mengenai dasar negara Indonesia, sebelum pidato Soekarno pada 1 Juni, anggota-anggota BPUPK lainnya telah mengemukakan pandangannya. Pentingnya nilai ketuhanan sebagai fundamen kenegaraan antara lain dikemukakan oleh Muhammad Yamin, Wiranatakoesoema, Soerio, Soesanto Tirtoprodjo, Dasaad, Agoes Salim, Abdoelrachim Pratalykrama, Abdul Kadir, K.H. Sanoesi, Ki Bagoes Hadikoesoemo, Soepomo, dan Mohammad Hatta. Pentingnya nilai kemanusiaan sebagai fundamental kenegaraan antara lain dikemukakan oleh Radjiman Wediodiningrat, Muhammad Yamin, Sosrodiningrat, Wiranatakoesoema, Woerjaningrat, Soerio, dan Soesanto Tirtoprodjo, A. Rachim Pratalykrama, dan Soekiman, Abdul Kadir, Soepomo, Dahler, dan Ki Bagoes Hadikoesoemo. Pentingnya nilai-nilai demokrasi permusyawaratan sebagai fundamental kenegaraan antara lain dikemukakan oleh Muhammad Yamin, Woerjaningrat, Soesanto Tirtoprodjo, Abdoelrachim Pratalykrama, Ki Bagoes Hadikoesoemo, dan Soepome. Pentingnya nilai-nilai keadilan/kesejahteraan sosial sebagai fundamen kenegaraan dikemukakan antara lain oleh Muhammad Yamin, Soerio, Abdoelrachim Pratalykrama, Abdul Kadir, Soepomo, dan Ki Bagoes Hadikoesomo. Dengan demikian, tampak jelas bahwa secara substantif, semua prinsip dasar negara yang diajukan itu sama-sama diusung baik oleh mereka yang berasal dari golongan kebangsaan maupun dari golongan Islam. Meski demikian, prinsip-prinsip yang diajukan itu masih bersifat serabutan, belum ada yang merumuskannya secara sistematis dan holistik sebagai suatu dasar negara yang koheren. Muhammad Yamin dan Soepomo barangkali agak mendekati apa yang diminta oleh Radjiman. Secara eksplisti atau implisit, Yamin dan Soepomo mengemukakan pentingnya prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, permusyawaratan, dan keadilan/kesejahteraan sebagai fundamen kenegaraan. Masalahnya dalam kategorisasi yang dikemukakan Yamin, tidak semua prinsip itu dia masukan sebagai dasar negara.

Betatapun juga, pandangan-pandangan tersebut memberikan masukan penting bagi Soekarno dalam merumuskan konsepsinya. Masukan-masukan ini, yang dikombinasikan dengan gagasan-gagasan ideologisnya yang telah dikembangkan sejak 1920-an dan refleksi historisnya, mengkristal dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Dalam pidatonya yang monumental itu, Soekarno menjawab permintaan Radjiman Wediodiningrat akan dasar negara Indonesia itu dalam kerangka “dasar falsafah” (philosofische grondslag) atau “pandangan dunia” (weltanschauung) dengan penjelasannya yang runtut, solid, dan koheren. Menurut pengakuannya di kemudian hari, pada malam menjelang 1 Juni, dia bertafakur, menjelajahi lapis demi lapis lintasan sejarah bangsa, menangkap semangat yang bergelora dalam jiwa rakyat, dan akhirnya menengadahkan tangan meminta petunjuk kepada Tuhan agar diberi jawaban yang tepat atas pertanyaan tentang dasar negara yang hendap dipergunakan untuk meletakkan Negara Indonesia merdeka di atasnya. Dalam kesempatan lain, Soekarno mengatakan bahwa kita dalam mengadakan Negara Indonesia Merdeka itu, “harus dapat meletakkan negara itu atas suatu meja statis yang dapat mempersatukan segenap elemen di dalam bangsa itu, tetapi juga harus mempunyai tuntunan dinamis ke arah mana kita gerakkan rakyat, bangsa dan negara ini. “Dari zaman dahulu sampai zaman sekarang, ini yang nyata menjadi isi daripada jiwa bangsa Indonesia. Satu waktu ini lebih timbul, lain waktu itu yang lebih kuat, tetapi selalu schakering itu lima ini” (Soekarno, 1958; II: 8-15) Kelima prinsip meja statis dan Leitstar dinamis itulah yang dia uraikan dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Kelima prinsip yang menjadi titik persetujuan (common denominator) segenap elemen bangsa itu, dalam pandangan Bung Karno meliputi : 1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme, atau Perikemanusiaan, 3. Mufakat atau Demokrasi, 4. Kesejahteraan Sosial, 5. Ketuhanan yang Berkebudayaan. Kelima prinsip itu disebut Soekarno dengan Panca Sila. “Sila artinya asas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal, dan abadi.” Mengapa dasar meja statis dan Leitstar dinamis yang mempersatukan bangsa itu dibatasi lima? Jawaban Soekarno, selain kelima unsur itulah yang memang berakar kuat dalam jiwa bangsa Indonesia, dia juga mengaku suka pada simbolisme angka lima. Angka lima memiliki nilai “keramat” dalam antropologi masyarakat Indonesia. Asosiasi dasar negara dengan bintang ini digunakan Soekarno dalam penggunaan istilah Leitstar (bintang pimpinan). Sungguh pun Soekarno telah mengajukan lima sila dari dasar negara, dia juga menawarkan kemungkinan lain, sekiranya ada yang tidak menyukai bilangan lima, sekaligus cara beliau menunjukkan dasar dari segala dasar kelima sila tersebut. Alternatifnya bisa diperas menjadi Tri Sila bahkan bisa dikerucutkan lagi menjadi Eka Sila: Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkatakan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan

“gotong royong ”. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotongroyong. Dengan kata lain, dasar dari semua sila Pancasila adalah gotong-royong. Maknanya adalah: prinsip ketuhanan, internasionalisme, kebangsaan, demokrasi, kebangsaan, kesejahteraan harus berjiwa gotong-royong. Pidato Soekarno tentang Pancasila itu begitu heroik, empatik, dan sistematik, sehingga mendapatkan sambutan yang meriah dari para anggota BPUPK. Namun demikian, betapapun hebatnya uraian Soekarno tentang dasar negara itu, dia menolak dirinya disebut sebagai pencipta Pancasila. Selain itu, betapapun hebatnya hasil penggalian dan uraian Soekarno itu, eksposisinya masih merupakan pandangan pribadi. Di akhir masa persidangan pertama, Ketua BPUPK membentuk Panitia Kecil beranggotakan delapan orang (Panitia Delapan) di bawah pimpinan Soekarno. Terdiri dari 6 orang wakil golongan kebangsaan dan 2 orang wakil golongan Islam. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Panitia Kecil, di masa reses, Soekarno melakukan pelbagai inisiatif, yang menurut pengakuannya sendiri, di luar kerangka formalitas. Dia memanfaatkan masa persidangan Chuo Sangi In ke VIII (18-21 Juni) di Jakarta untuk mengadakan pertemuan yang terkait dengan Tugas Panitia Kecil. Di akhir pertemuan tersebut, Soekarno juga mengambil inisiatif informal lainnya, dengan membentuk Panitia Kecil (“tidak resmi”) yang beranggotakan 9 orang, yang kemudian dikenal sebagai “Panitia Sembilan”. Panitia ini bertugas untuk menyusun rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, yang di dalamnya termuat Dasar Negara. Komposisi Panitia Sembilan ini lebih seimbang ketimbang Panitia Delapan (bentukan resmi BPUPK), yakni 5 orang wakil golongan kebangsaan (termasuk Soekarno sebagai penengah) dan 4 orang wakil golongan Islam. Dengan komposisi yang lebih seimbang antara dua golongan tersebut, Panitia ini berhasil merumuskan dan menyetujui rancangan Pembukaan UUD itu, yang kemudian ditandatangani oleh setiap anggota Panitia Sembilan pada 22 Juni. Oleh Soekarno, rancangan Pembukaan UUD ini diberi nama “Mukaddimah”, oleh M. Yamin dinamakan “Piagam Jakarta”, dan oleh Sukiman Wirjosandjojo disebut “Gentlemen’s Agreement". Ujung kompromi bermuara pada alinea terakhir yang mengandung rumusan dasar negra berdasarkan prinsip-prinsip Pancasila. Islam tidak dijadikan dasar negara (dan agama negara), tetapi terjadi perubahan dalam tata urut Pancasila dari susunan yang dikemukakan Soekarno pada 1 Juni. Prinsip “Ketuhanan” dipindah dari sila terakhir ke sila pertama, ditambah dengan anak kalimat “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (kemudian dikenal dengan istilah “tujuh kata”.

Selain itu, prinsip “Internasionalisme atau peri-kemanusiaan” tetap diletakkan pada sila kedua, namun redaksinya mengalami penyempurnaan menjadi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Prinsip “Kebangsaan Indonesia” berubah posisinya dari sila pertama menjadi sila ketiga. Bunyinya menjadi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Prinsip “Kesejahteraan sosial” berubah posisinya dari sila keempat menjadi sila kelima. Bunyinya menjadi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Menurut Mohammad Hatta, dengan perubahan posisi prinsip Ketuhanan dari posisi pengunci ke posisi pembuka, “ideologi negara tidak berubah karenanya, melainkan negara dengan ini memperkokoh fundamennya, negara dan politik negara mendapat dasar moral yang kuat”. Dengan demikian, fundamen moral menjadi landasarn dari fundamen politik (dari sila kedua sampai dengan kelima). Hasil rumusan Piagam Jakarta dan pelbagai urusan yang berhasil dihimpun selama reses itu kemudian dilaporkan dan didiskusikan pada masa persidangan kedua BPUPK (10-17 Juli 1945). Menurut rancangan Jepang, tugas BPUPK hanyalah melakukan usaha-usaha penyelidikan kemerdekaan, adapun tugas penyusunan rancangan dan penetapan UUD menjadi kewenangan PPKI. Hasil rumusan Piagam Jakarta itu mendapat respons yang tajam dari Laturharhary. Dalam tanggapannya pada 11 Juli, dia menyatakan keberatan atas pencantuman “tujuh kata” itu. Di luar persoalan “tujuh kata” yang masih mengganjal, seluruh anggota BPUPK dapat menerima pokok-pokok pikiran dalam rancangan Pembukaan UUD 1945 itu, yang disepakati pada 11 Juli. Dalam perkembangannya terdapat beberapa tahap yang terjadi dalam pembentukan rancangan UUD. Pada 11-12 Juli panitia kecil mulai merancang batang dari UUD yang kedua dan hasil rancangan atau rumusannya itu diperbicarakan pada rapat besar panitia perancang yang diketuai oleh Soekarno pada tanggal 13 Juli 1945. Setelah diperbincangkan rapat besar panitia perancang, lahirlah rancangan pertama UUD, setelah rancangan pertama dibahas dalam rapat besar BPUPK pada 14 Juli, lahirlah rancangan kedua UUD. Rancangan ini kemudian mendapatkan masukan-masukan baru lagi pada rapat besar BPUPK pada tanggal 15-16, maka lahirlah rancangan ketiga UUD (terakhir). Berlandaskan pada Piagam Jakarta, panitia ini merumuskan lima pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD. Diantaranya yaitu : 1. Negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar pada persatuan, 2. Negara yang berdasar atas hidup kekeluaargaan, 3. Negara yang berkedaulatan rakyat, 4. Negara berdasar atas ke-Tuhanan, 5. Negara Indonesia memperhatikan penduduk mayoritasnya, dalam konteks ini adalah umat Muslim. Yang selanjutnya dikatakan bahwa “pokok-pokok pikiran tersebut meliputi suasana kebatinan dari undang-undang dasar negara Indonesia”. Selain itu, “pokok-pokok yang mewujudkan cita-cita hukum yang menguasai hukum dasar negaara, baik

hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. UUD mendapatkan sebuah masukan baru yang terpapar pada pasal 28 (rancangan terakhir). Dengan penerimaan itu pula rancangan UUD 1945 mengandung semangat pemulihan hakhak dasar yang luas dan visioner. Demikianlah, hingga akhirnya masa persidangan BPUPK telah berakhir (17 Juli), di luar skenario Jepang, BPUPK telah berhasil menyusun dasar negara (pancasila), dalam pembukaan UUD -versi piagam Jakarta sebagai norma dasar, yang menjiwai perumusan (batang tubuh) undang-undang dasar sebagai aturan dasar. Fase Pengesahan Namun demikian, betapa pun terjadi konsensus secara luas dan rancangan UUD telah disepakati oleh sekalian anggota BPUPK pada 16 Juli, kecuali satu orang (Muhammad Yamin), dibawah permukaan rupanya masih tetap ada sesuatu yang mengganjal. Bagi anggota-anggota dari golongan kebangsaan, pencantuman “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta yang mengandung perlakuan khusus bagi umat Islam dirasa tidak cocok dalam suatu hukum dasar yang menyangkut warga negara secara keseluruhan. Suasana kebatinan seperti itulah yang akan mewarnai sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Panitia ini didirikan pada 12 Agustus 1945, yang bertugas untuk mempercepat upaya persiapan terakhir bagi sebuah pemerintahan Indonesia merdeka, termasuk menetapkan konstitusi. Pada awalnya PPKI terdiri dari 21 anggota yang diketuai (lagi-lagi) oleh Soekarno dengan Mohammad Hatta dan Radjiman Wediodiningrat sebagai wakil ketua. Dari 21 anggota ini, 12 di antaranya bisa diklasifikasikan sebagai para pemimpin golongan kebangsaan generasi tua. Pertemuan pertama PPKI dilaksanakan pada 18 Agustus 1945. Pada saat itu, suasana kebatinan dan situasi politik Indonesia telah berubah secara dramatis, menyusul proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus. Pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI memilih Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Pada saat yang sama, PPKI menyetujui naskah “Piagam Jakarta” sebagai pembukaan UUD 1945, kecuali “tujuh kata” (“dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”) di belakang sila Ketuhanan. “Tujuh kata” itu dicoret lantas diganti dengan kata-kata “Yang Maha Esa”. Sehingga selengkapnya menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sebagai ikutan dari pencoretan “tujuh kata” ini, dalam batang tubuh UUD 1945 disetujui pula Pasal 6 ayat : “Presiden ialah orang Indonesia asli”, tidak ada tambahan katakata “yang beragama Islam”. Tentang pencoretan “tujuh kata” tersebut, Mohammad Hatta punya andil besar, seperti diakui sendiri dalam otobiografinya, Memoir Mohammad Hatta (1979). Pagi hari menjelang dibukanya rapat PPKI, Hatta mendekati tokoh-tokoh

Islam agar bersedia mengganti kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dalam rancangan Piagam Jakarta dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Alasannya demi menjaga persatuan bangsa. Dengan pelbagai argumen persuasi yang dikemukakan, akhirnya Ki Bagus,Teuku Hasan,dan Kasman bersedia menerima usul perubahan itu. Dengan demikian, kubu Islam akhirnya menerima pencoretan “tujuh kata” itu. Meskipun pencoretan “tujuh kata” itu menimbulkan kekecewaan di sebagian golongan Islam, karena dianggap melanggar kompromi sebelumnya, secara de facto dan de jure pencoretan “tujuh kata” itu mencerminkan realitas politik yang ada dan memiliki keabsahan. Kekuatan representasi politik Islam di PPKI nyatanya memang tidak seberapa, sedangkan yang berwenang menetapkan UUD tidak lain adalah PPKI bukan BPUPK. Kekecewaan sebagian pemimpin golongan Islam lebih merefleksikan masih menggeloranya semangat “politik identitas”, yang pada umumnya lebih didefinisikan oleh ingatan pedih ke belakang, ketimbang oleh visi ke depan. Dengan pencoretan “tujuh kata” itu, moral “gotong royong” sebagai dasar dari Pancasila serta moral “kekeluargaan” sebagai dasar sistematik UUD memperoleh kepenuhannya. Negara Indonesia benar-benar menjadi negara persatuan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan. Dalam penjelasan Pembukaan UUD 1945, setelah disahkan pada 18 Agustus, tidak ada lagi pokok pikiran kelima, yang memberikan keiistimewaan kepada penduduk yang beragama Islam, seperti sebelumnya dinyatakan Panitia Perancang Hukum Dasar. Dengan pencoretan pokok pikiran kelima, moral ketuhanan tetap dijunjung tinggi dalam kehidupan bernegara seperti tercermin pada pokok pikiran keempat, namun diletakkan dalam konteks negara “kekeluargaan” yang egaliter, yang mengatasi paham perseorangan dan golongan; selaras dengan visi kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan kebangsaan, demokrasi-permusyawaratan yang menekankan konsensus, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila sebagai Karya Bersama Demikianlah proses sejarah konseptualisasi Pancasila, yang melintasi rangkaian panjang fase “pembuahan”, fase “perumusan”, dan fase “pengesahan”. Fase “pembuahan” setidaknya dimulai pada 1920-an dalam bentuk rintisan-rintisan gagasan untuk mencari sintesis antarideologi dan gerakan, seiring dengan proses “penemuan” Indonesia sebagai kode kebangsaan bersama (civic nationalism). Fase “perumusan” dimulai pada masa persidangan pertama BPUPK dengan Pidato Soekarono (1 Juni) sebagai creme de la creme-nya yang memunculkan istilah Panca Sila, yang digodok melalui pertemuan Chuo Sangi In dengan membentuk “Panitia Sembilan” yang menyempurnakan rumusan Pancasila dari pidato Soekarno dalam versi Piagam Jakarta (yang mengandung “tujuh kata”). Fase “pengesahan” dimulai sejak 18 Agustus 1945 yang mengikat secara konstitusional dalam kehidupan bernegara.

Setiap fase konseptualisasi Pancasila itu melibatkan partisipasi pelbagai unsur dan golongan. Oleh karena itu, Pancasila benar-benar merupakan karya bersama milik bangsa. Meski demikian, tidak bisa dimungkiri, bahwa dalam karya bersama itu ada individu-individu yang memainkan peranan penting. Dalam lintasan panjang proses konseptualisasi Pancasila itu, dapat dikatakan bahwa 1 Juni merupakan hari kelahiran Pancasila. Pada hari itulah, lima prinsip dasar negara dikemukakan dengan diberi nama Panca Sila, dan sejak itu jumlahnya tidak pernah berubah. Rumusan Pancasila sebagai dasar negara yang secara konstitusional mengikat kehidupan kebangsaan dan kenegaraan bukanlah rumusan Pancasila versi 1 Juni atau 22 Juni, melainkan versi 18 Agustus 1945. Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila Sejak disahkan secara konstitusional pada 18 Agustus 1945, Pancasila dapat dikatakan sebagai dasar (falsafah) negara, pandangan hidup, ideologi nasional, dan ligatur (pemersatu) dalam perikehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia. Singkat kata, Pancasila adalah dasar statis yang mempersatukan sekaligus bintang penuntun (Leitstar) yang dinamis, yang mengarahkan bangsa dalam mencapai tujuannya. Dalam posisinya seperti itu, Pancasila merupakan sumber jati diri, kepribadian, moralitas, dan haluan keselamatan bangsa. Dengan demikian, Negara Indonesia memiliki landasan moralitas dan haluan kebangsaan yang jelas dan visioner. Suatu pangkal tolak dan tujuan pengharapan yang penting bagi keberlangsungan dan kejayaan bangsa. Sebagai basis moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan, Pancasila memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat. Setiap sila memiliki justifikasi historitas, rasionalitas, dan aktualitasnya, yang jika dipahami, dihayati, dipercayai, dan diamalkan secara konsisten dapat menopang pencapaianpencapaian agung peradaban bangsa. Pokok-pokok moralitas dan haluan kebangsaan-kenegaraan menurut alam Pancasila dapat dilukiskan sebagai berikut. Pertama, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai ketuhanan (religiositas) sebagai sumber etika dan spritualitas (yang bersifat vertikaltransendental) dianggap penting sebagi fundamen etik kehidupan bernegara. Kedua, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai-nilai kemanusiaan universal yang bersumber dari hukum Tuhan, hukum alam, dan sifat-sifat sosial manusia (yang bersifat horizontal) dianggap penting sebagai fundamen etika-politik kehidupan bernegara dalam pergaulan dunia. Ketiga, menurut alam pemikiran Pancasila, aktualisasi nilai-nilai kemanusiaan itu terlebih dahulu harus mengakar kuat dalam lingkungan pergaulan kebangsaan yang lebih dekat sebelum menjangkau pergaulan dunia yang lebih jauh.

Keempat, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusaan, dan nilai serta cita-cita kebangsaan itu dalam aktualisasinya harus menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam semangat permusyawaratan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Kelima, menurut alam pemikiran Pancasila, nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai dan cita kebangsaan, serta demokrasi permusyawaratan itu memperoleh kepenuhan artinya sejauh dapat mewujudkan keadilan sosial. Jika diletakkan dalam perspektif teoretis-komparatif, gagasan keadilan sosial menurut Pancasila merekonsiliasikan prinsip-prinsip etik dalam keadilan ekonomi baik yang bersumber dari hukum alam, hukum Tuhan, dan sifat-sifat sosial manusia yang dikonseptualisasikan sejak pemikiran para filsuf Yunani, pemikiranpemikiran keagamaan, teori-teori Marxisme-sosialisme, sosial-demokrasi, hingga “Jalan ketiga”. Demikianlah,para pendiri bangsa ini telah mewariskan kepada kita suatu dasar falsafah dan pandangan hidup negara yang begitu visioner dan tahan banting (durable). Suatu dasar falsafah yang memiliki landasan ontologis, epistemologis, dan aksiologis yang kuat, yang jika dipahami secara mendalam, diyakini secara teguh, dan diamalkan secara konsisten dapat mendekati perwujudan “Negara Paripurna”.

BAB 2 KETUHANAN YANG BERKEBUDAYAAN Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, terdapat suatu pengakuan yang rendah hati dan penuh syukur bahwa kemerdekaan Indonesia bisa dicapai “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Dengan pengakuan ini, pemenuhan cita-cita kemerdekaan Indonesia untuk mewujudkan suatu kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, mengandung kewajiban moral. Dalam lintasan sejarah Nusantara, agam tidak pernah sekadar mengurusi urusan pribadi, tetapi juga terlibat dalam urusan publik. Masyarakat kepulauan ini pun tidak pernah berpengalaman sepahit Eropa dalam hal keterlibatan agama di wilayah politik. Lebih dari itu, penyemaian sekularisasi politik oleh rezim kolonial berjalan secara stimultan dengan peran publik agama dalam mengobarkan gerakan perlawanan dan kebangkitan nasional. Secara historis, hidup religius dengan kerelaan menerima keragaman telah lama diterima sebagai kewajaran oleh penduduk Nusantara. Sejak zaman kerajaan Majapahit, doktrin agama sipil untuk mensenyawakan keragaman telah diformulasikan oleh Mpu Tantular dalam Sutasoma, “Bhineka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa”, berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran yang mendua (Tantular, 2009:505). Perspektif Historis Sejak zaman purbakala hingga pintu gerbang (kemerdekaan) negara Indonesia, masyarakat Nusantara telah melewati ribuan tahun pengaruh agamaagama lokal, (sekitar) 14 abad pengaruh Hinduisme dan Budhisme, (sekitar) 7 abad pengaruh Islam, dan (sekitar) 4 abad pengaruh Kristen. Sejak zaman batu hingga pengaruh kebudayaan perunggu, masyarakat prasejarah Nusantara telah mengembangkan kepercayaan tersendiri, yang secara umum lazim disebut bercorak animisme dan dinamisme. Sistem penyembahan dari kepercayaan ini berkembang seiring dengan perkembangan cara hidup manusia. Ketika manusia masih tergantung sepenuhnya pada alam, fenomena-fenomena alam (bulan-bintang-matahari, petir/thor, angin/lampor, laut/ratu kidul) menjadi sembahannya. Ketika manusia mulai bisa mendomestikasi binatang, hewan-hewan tertentu menjadi sembahan. Ketika manusia mulai bisa bertani, timbul sistem penyembahan kepada zat yang menguasai pertanian seperti Dewi Laksmi, Dewi Sri, Saripohaci, dan lain-lain. Penyembahan kepada dewa-dewi ini pada perkembangannya membentuk sistem keagamaan politeistik. Sekitar abad ketiga dan keempat masehi, mulai masuk pengaruh agama sejarah dari India (Hindu dan Buddha), disusul oleh pengaruh Islam dari Timur Tengah yang dibawa masuk oleh para pedagang dari pelbagai ras (Arab, India, China, dan lain-lain) mulai sekitar abad ke-7 dan tersebar luas setidaknya sejak abad

ke-13. Hampir bersamaan dengan penyebaran Islam, masuk pula pengaruh keagamaan dari China (Konghucu), menyusul kemudian pengaruh Kristen dari Eropa setidaknya sejak abad ke 16. Sebegitu jauh, Tuhan telah menyejarah dalam ruang publik Nusantara, meski usaha-usaha untuk mencerabutnya pernah diusahakan dalam penggalan akhir periode kolonial. Pada (hampir) semua sistem religio-politik tradisional di muka bumi, agama memiliki peran sentral dalam pendefinisian institusi-institusi sosial. Negosiasi antara Sekularisasi dan Religiosasi Negara Pada mulanya otoritas VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) yang mengontrol bagian-bagian Kepulauan Nusantara selama hampir 200 tahun (16021800), tidak memiliki kepentingan untuk mencampuri persoalan keagamaan dan institusi tradisional kaum pribumi. Dalam perkembangan lebih lanjut, terdapat ketegangan antara pandangan sekuler pemerintah kolonial dengan upaya pemerinah kolonial untuk melumpuhkan potensi-potensi perlawanan yang berbasis keagamaan. Karena itulah politik “netralitas” terhadap agama berdiri di atas landasan yang rapuh. Konsolidasi pemerintahan kolonial sangat berkepentingan untuk melucuti peran sosial-politik keagamaan (terutama Islam). Upaya melucuti peran politik Islam dengan membatasinya pada urusan peribadatan menimbulkan gangguan padas sistem regio-politik tradisional. Upaya pemutusan peran politik keagamaan ini merupakan awal dari proses sekularisasi politik (Smith, 1970: 10). Sekularisasi Politik Indonesia Tonggak terpenting dari proses sekularisasi ini adalah berkuasanya pemerintahan Liberal pada paruh kedua abad ke-19. Memperoleh basis dukungan dari pengusaha swasta dan kelas menengah, rezim liberal bertanggung jawab dalam mempromosika “ruang publik” sekuler di Hindia Belanda. Ruang publik ini menjelma dalam bentuk institusi dan kolektivitas sosial baru: sekolah-sekolah sekuler, klub-klub dan asosiasi bergaya Eropa, lembaga penelitian, pers vernakular, dan pelbagai kapitalisme penerbitan (print capitalism), serta sarana komunikasi modern. Peralihan ke penduduka Jepang tidak mencegah proses sekularisasi. Meskipin terkesan lebih akomodatif terhadap Islam, sejauh menyangkut politik Islam, pemerintahan Jepang meniru sikap kolonial sebelumnya. Dalam pola yang sama dengan cetak biru Snouck Hurgronje yang memisahkan Islam dari politik, pihak Jepang dengan jelas menyatakan bahwa mereka tidak akan menoleransi perkawinan antara Islam dan politik (Benda, 1958: 111-113). Hal ini tampak dalam penyusunan anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), yang pendiriannya disponsori pemerintahan Jepang pada 29 April 1945. Dari 63 (kemudian bertambah menjadi 69) anggota BPUPK, hanya sekitar 13 orang wakil golongan Islam. Dominannya para politisi

“sekuler” (baca: netral agama) dalam Panitia ini mencerminkan preferensi pihak Jepang untuk menyerahkan kedaulatan negara kepada orang-orang Indonesia (yang menurut mereka) sanggup memerintah negara modern. Religiosasi Politik Indonesia Proyek sekularisasi masyarakat dan politik Nusantara oleh rezim kolonial pada kenyataanya tidak menyurutkan peran publik agama. Perjumpaan komunitas agam dengan kolonialisme berikut proyek sekularisasinya justru merupakan pemicu utama munculnya kecenderungan ideologisasi agama dan pengerahan perannya dalam arena publik-politik. Dengan kemunculan intelegensia sebagai elite baru pada awal abad ke-20, yang disusul oleh pergeseran daru gerakan mileniarisme menuju gerakan ideologis, peran politik agama tidaklah surut. Sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, “ulama-intelek” dan “intelek-ulama” (dari kalangan modernis dan tradisionalis) memainkan peran penting dalam mengembangkan ruang publik modern di Nusantara. Dengan kemampuan untuk menyentuh pluralitas kondisi manusia, kehadiran SI mempersatukan ragam imajinasi sosio-politik. SI dengan segera menjadi perhimpunan pribumi pertama yangmenjangkau gugusan kepulauan Nusantara, yang beroperasi dengan ideology nasionalis berwarna agama. Dengan demikian, ideology dan pergerakan Sarekat Islam memberi landasan bagi pengembangan ide “nasionalisme baru” bersama kemunculan pergerakan dan partai politik sejak tahun 1920-an, di bawah kepemimpinan inteligensia. Ketuhanan dalam Perumusan Pancasila dan Konstitusi Kuatnya saham keagamaan dalam formasi kebangsaan Indonesia, membuat arus besar pendiri bangsa tidak bisa membayangkan ruang publik hampa Tuhan. Sejak decade 1920-an, ketika Indonesia mulai dibayangkan sebagai komunitas politik bersama, mengatasi komunitas kultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak terlepas dari Ketuhanan. Perbedaan pandangan antara kubu Tan Malaka dan Soepomo, selain karena perbedaan latar pergerakan, hingga taraf tertentu mencerminkan perbedaan lingkungan pengetahuan. Mereka yang menyuarakan ide negara Islam pada umumnya berasal dari lingkungan pendidikan Islam yang kurang bersentuhan dengan diskursus negara modern dan nasionalisme kewargaan. Rujukan utama yang mereka kemukakan berasal dari tradisi politik masa kejayaan Islam, dengan kecenderungan interpretasi sejarah yang meneyabngunkan antara komunitas keagamaan dan komunitas politik. Secara lebih lanjut, di kemukakan bahwa dalam sejarah Islam, memang tidak dikenal pemisahan atau pertentangan antara agama dengan negara, karena

Islam memang tidak mengenal kependetaan. Paling-paling, pertentangan terjadi dalam memperjuangkan perebutan jabatan kepala negara. Kekecewaan yang muncul lebih merefleksikan masih menggeloranya semangat “politik identitas”, yang pada umumnya lebih di definisikan oleh ingatan pedih ke belakang, ketimbang oleh visi ke depan. Seperti tersirat dari pernyataan Prawoto Mangkoesasmito, kubu Islam sesungguhnya sepakat dengan semua sila Pancasila, namun tetap menuntut agar “tujuh kata” dipertahankan karena hal tu menandai hal yang penting bahwa Islam yang selama zaman colonial terus dipinggirkan, akan mendapat tempat yang layak dalam negara Indonesia merdeka. Dalam situasi yang lebih jernih, tanpa perasaan terancam, tokoh-tokoh Islam juga memiliki kelapangan hati untuk mengutamakan perdamaian, bersedia menerima konstruksi komunitas politik egaliter, yang menjamin kesejahteraan hak dan kewajiban bagi setiap warga negara tanpa memandang latar agama dan golongan. Dalam kedudukan Muslim yang kuat, dengan suku-suku Badui yang mulai mengalihkan dukungannya ke pihak Muslim, Nabi lebih memilih kemenangan melalui perjanjian damai ketimbang pemaksaan dan kekerasan. Perbedaan pandangan dalam relasi agama dan negara terjadi baik di sidingsidang DPR maupun di Dewan Konstituante. Akan tetapi, bobot perselisihan di persidangan konstituante lebih genting, karena menyangkut penyusunan dan penetapan Konstitusi baru yang lebih permanen bagi masa depan Republik. Betapapun dalam setiap golongan terjadi friksi internalnya masing-masing, namun sejauh menyangkut persoalan dasar negara, terjadi konsolidasi internal yang menciptakan pengkubuan. Berdasarkan kenyataan ini, Negara Indonesia berdasarkan Pancasila-sila Ketuhanan Yang Mahaesa-bukanlah negara yang terpisah dari agama, tetapi juga tidak menyatu dengan agama. Tidak terpisah, karena negara, seperti dikatakan Roeslan Abdoelgani, “secara aktif dan dinamis membimbing, menyokong, memelihara, dan mengembangkan agama”, khususnya melalui departemen agama. Tidak pula menyatu dengan negara, karena negara tidak didikte atau mewakili agama tertentu, bahkan tidak pula memberikan keistimewaan kepada salah satu agama. Secara lazim dikatakan, “Indonesia bukan ‘negara sekuler’ dan juga bukan ‘negara agama’. Perspektif Teoretis-Komparatif Betapapun, titik kompromi dalam hubungan agama dan negara di Indonesia itu dicapai melalui konfrontasi pemikiran yang sengit dan pengorbanan yang sulit diterima, tetapi dalam perkembangan waktu, hal itu membawa berkah tersembunyi berupa “titik-tengah keemasan” yang member Indonesia prasyarat untuk menjadi negara modern demokrasi.

Dalam hal ini, kita bisa bercermin dari trayek sejarah modernisasi dan demokratisasi negara di Dunia Barat. Dalam trayek ini, bisa diamati bahwa proses modernisasi dan demokratisasi memerlukan prakondisi berupa adanya kompromi antara otoritas sekuler dan keagamaan. Koreksi terhadap Tesis “Separasi” Agama dan Negara Mengenai misinterpretasi dalam hubungan agama dan negara, Stepan menunjukkan bahwa kelatahan umum tentang keniscayaan sekularisme (oemisahan institusi agama dan negara) bagi negara demokrasi modern tidak menemukan bukti empiris yang kuat. Di Irlandia, Polandia, dan Belgia, perkembangan kenegaraannya beridentifikasi dengan Katolikisme dalam menghadapi kekuatan dominan negeri tetangga yang berbeda agama. Bagi nasionalisme Belgia, seterunya adalah Belanda dengan geraja Calvin-nya. Pada abad ke-20, barangkali hanya ada dua contoh kasus pemisahan agama dan negara di Eropa Barat yang paling bermusuhan. Hal ini terjadi pada 1931 di Spanyol dan pada 1905 di Perancis. Akan tetapi, pada saat ini, kedua negara tersebut mengembangkan “pemisahan” yang bersahabat. Situasi demikian harus dipenuhi bahkan ketika suatu negeri memiliki agama negara. Koreksi terhadap Tesis “Privatisasi” Agama Negoisasi antara proses sekularisasi dan religiosasi mengandung konsekuensi bahwa agama tidak disudutkan hanya melulu mengurusi ruang privat, tetapi juga punya kemungkinan keterlibatan dalam ruang publik. Teori sekularisasi dan doktrin liberal yang menyatakan bahwa keyakinan keagamaan akan memudar dan kehilangan relevansinya dalam ruang publik, seiring dengan pendalaman proses modernisasi dan keperluan adanya “kemandirian konsepsi keadilan” di luar agama, menuai banyak bantahan. Alih-alih terjadinya proses privatisasi agama, bangkitnya gerakan-gerakan tradisional keagamaan pada era 1980-an dan 1990-an, mulai dari politik Islam hingga teologi pembebasan Katolik, yang membawa agama keluar dari ruang privat ke ruang publik, mengindikasikan bahwa yang sedang berlangsung justru terjadinya proses deprivatisasi. Kecenderungan deprivatisasi ini, menurutnya, tidak hanya berlaku dalam dunia Barat Kristen, melainkan juga dalam dunia Islam, Yahudi, Hindu, dan Budhha. Dari Separasi dan Privatisasi ke Diferensiasi Bila sekularisasi sebagai proses pemudaran dan pemisahan peran agama tidak memiliki bukti empiris yang kuat, teori modernisasi menyisakan satu asumsi yang bisa diterima, yakni sekularisasi sebagai proses “pembedaan”. Hal ini merujuk pada perbedaan fungsional antara institusi-institusi keagamaan dari ranah lain dalam masyarakat modern, terutama negara, ekonomi dan sains.

Konsepsi “diferensiasi” juga sesungguhnya punya akar yang kuat dalam tradisi Islam. Seperti telah dikemukakan oleh Mohammad Hatta di atas, Islam tidak memiliki unit otoritas keagamaan per se, “Kerk”. Oleh karena itu, dokrin pemisahan gereja dan negara, dengan batas yang tegas, tidak bisa diterapkan untuk konteks Islam. Ketiadaan sistem kependetaan berarti juga tidak ada otoritas yang memiliki kewenangan untuk memutuskan bentuk Islam resmi. Tidak adanya otoritas keagamaan dalam Islam, mengandung konsekuensi bahwa agama tidak bisa memonopoli ruang publik. Dalam pandangan Casanova, diferensiasi modern menjadi penyangkal dari asumsi pemudaran agama, karena ternyata berperan penting dalam menumbuhkan gairah keagamaan dalam masyarakat modern. Membumikan Ketuhanan dalam Kerangka Pancasila Dalam mengamalkan komitmen etis Ketuhanan ini, Pancasila harus didudukkan secara proporsional, bahwa ia bukanlah agama yang berpretensi mengatur sistem keyakinan, sistem peribatan, sistem norma, dan identitas keagamaan dalam ranah privat dan ranah komunitas agama masing-masing. Proposisi bahwa “Indonesia bukan negara sekuler dan bukan negara agama” ini memperoleh kontekstualisasinya dalam konsepsi “diferensiasi”. Nilai-nilai Ketuhanan yang dikehendaki Pancasila adalah nilai Ketuhanan yang positif, yang digali dari nilai-nilai profetis agama-agama yang bersifat inklusif, membebaskan, memuliakan keadilan dan persaudaraan. Dalam pancasila, wawasan teosentris akan memperkuat etos kerja karena kualitas kerjanya ditransendesikan dalam batasan hasil kerja materinya. Dibawah panduan nilai-nilai Ketuhanan, Pancasila bisa memberikan landasan moral dan filosofis bagi sistem demokrasi yang hendak kita kembangkan. Sila Ketuhanan mengajak bangsa Indonesia untuk mengembangkan etika sosial dalam kehidupan publik-politik dengan memupuk rasa kemanusiaan dan persatuan, mengembangkan hikmah permusyawaratan dan keadilan sosial.

BAB III KEMANUSIAAN UNIVERSAL Dalam kesadaran kemanusiaan secara universal, Indonesia hanyalah sebagian kecil di muka bumi, tetapi tetap merupakan bagian penting dari planet ini. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, yang menjadi lokasi strategis persilangan antar benua dan antar samudera. Dengan daya tarik berupa kekayaan sumberdaya yang berlimpah, Indonesia menjadi titik temu yang membawa proses penyerbukan silang-budaya dari pelbagai arus peradaban dunia. Indonesia sejak lama dipengaruhi dan memngaruhi realitas global, dan oleh karena itu, Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari komitmen kemanusiaan universal. Komitmen perjuangan ini secara ideal bersifat universal namun pelaksanaannyasecara historis-sosiologis bersifat partikular. Dengan demikian ,komitmen untuk menjunjung tinggi kemanusiaan universal (humanity) yang adil dan beradab itu mengandung implikasi ganda. Disatu sisi seperti diungkapkan oleh Soekarno , “Kebangsaan yang kita anjurkan bukanlah kebangsaan yang menyendiri, bukan chauvinisme” melainkan kebangsaan yang menuju pada kekeluargaan bangsa-bangsa” (internasionalisme). Disisi lain nilai-nilai kemanusiaan universal itu hanyalah bermakna sejauh bisa dikebumikan dalam konteks sosio-historis partikularitas bangsa-bangsa yang heterogen. Dengan demikian, bab ini akan menguraikan konstektualisasi sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”, dalam politik kebangsaan Indonesia. Perspektif Historis Wilayah Nusantara yang berada di sekitar garis khatulistiwa, sejak zaman es telah menjadi tempat yang kondusif bagi kehidupan manusia purba dan menjadi jalur persinggahan terpenting dalam arus migrasi homosapiens, sebelum menyebr ke tempat lain di muka bumi. Itu sebabnya Indonesia dinyatakan sebagai cikalbakal peradaban di muka bumi. Indonesia pun memiliki tiga dari empat gunung berapi di dunia yang letusannya dinilai paling dahsyat dan paling berpengaruh sepanjang sejarah manusia. Gunung berapi itu adalah Gunung Toba (Sumsel), Gunung Tambora (Sumbawa), dan Gunung Krakatau (Selat Sunda). Letusan dari ketiga gunung tersebut memiliki dampak yang sangat besar, bahkan ketika Gunung Tambora meletus pada 1815, sekitar 100.000 manusia punah, karena dampak letusan mengakibatkan kelaparan dan rusaknya persawahan. Kemudian Indonesia adalah satu-satunya bangsa yang menamai negerinya dengan sebutan “Tanah Air” karena segala jurusan di Nusantara ini terpotong oleh jalan-jalan air. Berkenaan dengan hal itu, posisi strategis Indonesia ini menjadi faktor yang menarik kedatangan pelbagai arus peradaban dunia.

Nusantara sebagai Perintis Jalan Globalisasi Sebagai titik singgung dalam persilangan perdagangan dan budaya antarbangsa, Nusantara pernah mencapai kemegahannya sebagai kesatuan maritim, sebagai kekuatan laut yang jaya. Pada saat itu lautan di Nusantara menjadi faktor penghubung yang mempertautkan hubungan komunikasi sosial antarpulau dan kemudian antarbenua. Sebelum masehi, nenek moyang bangsa Indonesia, dengan teknologi perahu bersistem cadik, telah menyeberangi 70 kilometer laut lepas untuk mencapai Australia. Para penjelajah Nusantara ini berperan penting sebagai katalis perniagaan antara Romawi, India, dan Timur Jauh- khususnya dalam perniagaan rempah-rempah. Dalam penjelajahan Samudera Hindia ini, para pelaut Nusantara bukan hanya singgah di Afrika, tetapi juga meninggalkan banyak jejak kebudayaan di benua tersebut: memperkenalkan jenis tanaman baru, musik, seni yang pengaruhnya masih bisa ditemukan dalam budaya Afrika sekarang. Sebagai pemula dalam penjelajahan samudera, dan sebagai kekuatan maritim yang jaya pada saat kontak-kontak antarbenua berbasis laut, dapat dikatakan bahwa nenek moyang bangsa Indonesia merupakan perintis dari “globalisasi purba” Arus Balik: Globalisasi di Nusantara Arus-arus peradaban nyatanya tidaklah bergerak satu arah. Perjumpaan antar peradaban membawa proses saling belajar. Teknologi pelayaran Nusantara dipelajari dan dikembangkan oleh komunitas-komunitas peradaban lain. Sebaliknya, para penjelajah Nusantara mengambil dan mengembangkan nilai-nilai dan pengetahuan dari peradaban lain. Melalui proses persilangan budaya dan perdagangan, terjadilah arus masuk nilai-nilai budaya dan agama ke Nusantara, terutama dari India, Arab, Persia, China, dan Eropa. Internalisasi nilai ini baru berjalan simultan dengan arus masuk armada-armada perdagangan lintas-benua, yang tertarik datang karena letaknya sebagai titik persilangan, serta kekayaan alamnya. Pengaruh Indianisasi (Hindu-Budha) mulai dirasakan pada abad ke-5, bersama kemunculan dua kerajaan yang terkenal, Kerajaan Mulawarman di Kaltim dan Tarumanegara di Jawa. Pengaruh Islamisasi pun mulai dirasakan secara kuat pada abad ke-13 dengan kemunculan kerajaan-kerajaan Islam awal seperti Kerajaan Samudera Pasai di sekitar Aceh. Pengaruh China mulai dirasakan sejak abad ke-14 pada zaman Dinasti Ming di China. Pengaruh pemberatan mulai dirasakan pada abad ke-16 dimana negara-negara kolonial mulai berdatangan seperti Portugis, kemudian disusul dengan Belanda dan Inggris. Memasuki paruh kedua abad ke-19, pergulatan pengaruh peradaban global di Nusantara mengalami proses intensifikasi, kecuali pengaruh arus indianisasi secara umum mengalami pemudaran. Intensifikasi ini didorong oleh luberan

konflik sosial dan ideologi pada tingkat global . Meskipun menimbulkan ketegangan antar dan intraperadaban, intensifikasi penetrasi global ini juga membawa efek peniruan bagi masyarakat Nusantara yang menimbulkan perubahan mentalitas dan harapan kemajuan. Stimulus Pembaratan bagi Kesadaran Kemajuan Di Barat (Eropa dan Amerika Utara), proyek kolonialisme yang bersahutan dengan revolusi industri membawa perubahan besar dalam dunia kerja dan kehidupan yang membawa konflik dalam hubungan eksternal dan internal bangsabangsa di kawasan ini. Yang ditimbulkan bukan hanya konflik antar bangsa dalam memperebutkan tanah jajahan, , sumber daya, dan pasar internasional, melainkan juga konflik antar kelas secara internal di bangsa masing-masing. Inilah masa ketika pelbagai paham ideologi mulai dirumuskan sebagai ikhtiar emansipasi. Di satu sisi ada usaha arus balik ke masa praindustrial dengan memimpikan restorasi tatanan dunia lama. Di sisi lain, ada arus visi ke depan dengan pengadopsian tatanan baru yang sepadan dan relevan dengan tantangan industrial. Dampak perkembangan sains dan teknologi bagi masyarakat bukan hanya membuat “perorganisasian secara terencana” merupakan suatu keharusan, tetapi juga menuntut penggantian kelas penguasa tradisional,yang bersifat aristokatis dan berwawasan pedesaan, oleh elit baru yang mewakili kekuatan ekonomi dan intelektual baru. Era kolonialisme tidak berlangsung lama, menjelang akhir abad ke-19, kejadian-kejadian sosio-ekonomi dan politik, baik di negeri Belanda maupun Hindia-Belanda, membawa kredo liberalisme menjadi seruan yang usang. Stimulus Islam bagi Kesadaran Kemajuan Pusat-pusat Islam di pelbagai belahan bumi bereaksi dalam rangka menghadirkan respons tandingan atas hegemoni Barat di Dunia Muslim. Penetrasi Barat pada mulanya direspons melalui mekanisme defensif yang menolak secara apriori Barat seraya berseru supaya umat Islam kembali ke ortodoksi Islam yang dikenal sebagai gerakan “reformisme Islam”. Paham reformasi ini menyerukan pemurnian terhadap keyakinan dan praktik Islam sesuai dengan Qur’an, hadits, dan fiqih yang dikombinasikan dengan asketisisme Sufi. Dalam hal ini, para pembaru mengidealkan nabi Muhammad sebagai teladan yang sempurna. Karena itu, mereka berusaha menghapuskan pemujaan terhadap wali serta kultus dan upacara keagamaan yang dianggap bid’ah, membuang semua kepercayaan atas takhayul dan sihir, serta menentang para penguasa di negeri-negeri Muslim untuk bekerjasama dengan kaum Kolonial. Pada paruh kedua abad ke-19, muncullah gerakan “modernisme Islam” yang mencoba memadukan unsur-unsur positif dari dunia Barat dan dunia Islam. Gerakan inteektual baru itu terinspirasi oleh ajaran dari seorang pemikir Islam

bernama Jamal al-Din al-Afghani. Sejak saat itu, gerakan Pan-Islam menjadi sebuah perwujudan dari apa yang dulu diimpikan al-Afghani sebagai solidaritas Islam. Di mata al-Afghani, Pan-Islam dan Nasionalisme bisa saling melengkapi aspek-aspek “pembebasan”-nya. Yang menjadi desain besar dari politik Pan-Islam dalam jangka panjang adalah pendirian sebuah blok Muslim internasional yang merupakan konfederasi semi-otonom dari negara-negara Muslim. Sejak peralihan abaad 19/20, para ulama Nsantara yang terpengaruh oleh gerakan reformisme-modernisme Islam di Timur Tengah mulai melakukan usahausaha modernisasi terhadap lembaga pendidikan Islam tradisional. Usaha modernisasi dikembangkan dengan mengadopsi kurikullum, metode pembelajaran, dan teknologi pendidikan modern model Barat yang dikombinasikan dengan isi dan semangat pengajaran Islam. Dari trayek ini, muncullah “ulama-intelek” yang dengan jaringan madrasahnya mengembangkan pula rumah-rumah penerbitan, institusi-institusi sosiall, dan organisasi-organisasi keagamaan baru melalui proses apropriaso terhadap model Barat. Beberapa contohnya adalah pembentukan Sarekat Dagang Islamiah (2908) dalam bidang sosial ekonomi, Al Moenir (1911) dalam penerbitan, Muhammadiyah (1912)-dan kemudian Nahdlatul Ulama (1926)-dibidang sosial budaya serta Sarekat Islam (1912) di bidang sosial-politik. Kehadiran institusiinstitusi tersebut berperan penting dalam meluaskan gerakan kemajuan dan ruang publik modern di luar orbit priyayi dan sel-sel inti pembaratan. Stimulus China bagi Kesadaran Kemajuan Pada abad ke-19 arus imigran keturunan China (Tionghoa) di Nusantara mengalami peningkatan. Mereka datang untuk dipekerjakan. Meskipun kaum minoritas, Tionghoa memainkan peran penting, khususnya dalam perekonomian. Berkat kecakapannya dalam perdagangan, pemerintah kolonial memanfaatkannya sebagai agen perantara bagi pasar dalam negeri. Kemudian logika kapitalisme Tionghoa mendorong dan menggerakkan mereka menuju media massa yang berorientasi kemajuan. Mereka mulai mendirikan pers mereka sendiri, pers itu tidak sekedar merespon kepentingan-kepentingan komersial saja tapi juga melayani aspirasi-aspirasi kemajuan. Tionghoa juga mencontoh klub-klub sosial dan sistem pendidikan bergaya Eropa yang membuat mereka selangkah lebih maju. Diceritakan pula bahwa Tionghoa semakin termotivasi setelah Dr. Sun Yat Sen memenangkan revolusi pada 1911, Sun Yat Sen mendirikan negara Tiongkok Merdeka. Sumber dari inspirasi kebangkitan itu pada kenyataannya bukan hanya dari Barat yang menjadi penjelmaan kemajuan, namu juga dari Timur. Demikianlah kemajuan keturunan Tionghoa dan kebangkitan nasionalisme di China serta pelbagai negeri lainnya di Asia seperti Jepang, memberi inspirasi bagi gerakangerakan kemajuan dan kebangkitan di Tanah Air.

Negosiasi Antarperadaban dalam Konstruksi Kebangsaan Indonesia Pada dekade kedua di abad ke-20 muncul gerakan-gerakan sosial inteligensia yang mempresentasikan keragaman peradaban, arkeologi pengetahuan, dan intensitas kesadaran politik, terutama reaksi terhadap politik segregasi sosial yang dikembangkan oleh kolonial. Struktur peluang politik pada dekade ini mencerminkan karakter khas kepemimpinan Gubernur Jenderal Idenburg yang tergolong kaum Ethici atau kaum yang memiliki kepedulian besar terhadap kemajuan dan pergerakan di tanah jajahan. Dalam tahun-tahun kepemimpinan Idenburg, kelompok Kristen mendapatkan banyak bantuan. Usaha Kristenisasi ini berbenturan dengan intensifikasi Islamisasi. Gerakan revivalisme Islam kini menjelma menjadi gelombang pasang yang menggerakkan turbin kebangkitan Islam. Pada dekade ini, organisasi-organisasi keislaman seperti Muhammadiyah dan Sarekat Islam mulai mengembangkan sayapnya melampaui batas-batas kedaerahan. Selain aktivitas Kristen dan Islam, intensitas sentimen-sentimen keagamaan di ruang publik Hindia menjadi memanas oleh adanya kegiatan dakwah dari ordo-ordo spiritual dan sekte-sekte agama yang baru seperti Perhimpunan Teosofi, Freemason, dan Ahmadiyah. Perhimpunan keagamaan baru seperti ini secara aktif merekrut para anggotanya. Faktor lain yang menyebabkan makin memanasnya ruang publik adalah meningkatnya kepercayaan diri orang-orang Tionghoa. Meningkatnya ekspektasi sosial dari kalangan ini didorong oleh menguatnya daya tawar ekonomi dan tingkat pendidikan mereka yang bertaut dengan kebangkitan nasional yang terjadi di Tiongkok. Yang paling penting dari dekade ini yaitu keterlibatan langsung organisasi-organisasi politik Belanda dalam urusan-urusan politik di Hindia. Benihbenih Marxisme dan komunisme revolusioner mulai secara sistematis disemaikan di bumi Hindia. Pada dekade pertama yaitu serikat buruh pegawai pemerintah yang dipimpin secara eksklusif oleh orang-orang Eropa, sementara pada dekade kedua beberapa propaganda Marxisme dan Komunisme, terutama mantan aktivis dari Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda (SDAP) dan Partai Demokrat Belanda (SDP). Proses negosiasi dan persilangan budaya antarperadaban itu mengarah pada penguatan komitmen bersama pada kebebasan ketika dihadapkan pada situasi kesengsaraan ekonomi dan penindasan politik yang semakin mencengkeram. Situasi seperti ini lah yang memunculkan semangat emansipasi yang digali dari pelbagai unsur peradaban dan pengalaman. Beberapa diantaranya adalah semangat emansipasi yang digali dari inspirasi keagamaan, etika, dan ilmu pengetahuan, ideologi, dan dari pengalaman penderitaan itu sendiri. Semangat emansipasi ini mendorong gerakan anti koloialisme yang mengarah padausaga penciptaan “komunitas politik impian bersama”.

Dengan kesadaran akan pertautan rasa kemanusiaan antarbangsa, menjadi jelaslah bahwa sosok nasionalisme yang hendak dikembangkan bangsa Indonesia ini adalah nasionalisme yang luas, yang berdimensi internasionalisme. Menurut Soekarno, yang dimaksud internasionalisme ini yaitu nasionalisme yang luas, bukan nasionalisme yang ditimbulkan dari kesombongan bangsa, bukanlah chauvinism, dan bukanlah nasionalisme seperti bangsa Barat. Nasionalisme kita adalah nasionalisme yang yang didalam kelembagaan memberi tempat cinta pada bangsa-bangsa yang lain. Kemanusiaan (Internasionalisme) dalam Perumusan Pancasila dan Konstitusi Sejak hari pertama persidangan (29 mei), Muhammad Yamin telah menyebutkan soal tujuan kemerdekaan dengan salah satu dasarnya ialah ”kemanusiaan” (Internasionalisme).Dia juga membayangkan “Indonesia menjadi anggota yang berkedaulatan dalam permusyawaratan bangsa-bangsa Asia Timur Raya dan dalam Persaudaraan bangsa-bangsa sedunia”.Pada gilirannya, prinsip kemanusiaan (Internasionalisme) sebagai salah satu dasar Negara Indonesia merdeka memperoleh formulasinya yang lebih jelas dalam pidato Soekarno ketika menguraikan Pancasila, pada siding BPUPKI, 1 Juni 1945. Dalam rancangan pembukaan UUD yang disusun oleh Panitia Sembilan, peletakan prinsip internasionalisme (perikemanusiaan) sebagai dasar Negara itu sama seperti dalam pidato Soekarno, yakni sebagai prinsip (sila) kedua dari Pancasila. Selanjutnya, kata “kemanusiaan” diberi kualifikasi dengan kata sifat “adil” dan “beradab”, sehingga rumusan selengkapnya menjadi “Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Dengan kesadaran eratnya hubungan antar nasionalisme dan internasionalisme, orientasi kemanusiaan yang adil dan beradab itu bersifat ganda: “keluar” (ikut memperjuangkan kedamaian dan keadilan dunia) dan “ ke dalam” (memuliakan hak hak asasi manusia, sebagai individu maupn kelompok). Pada pembukaan UUD 1945, komitmen kemanusiaan ini terkandung di semua alinea, terutama di alinea pertama dan keempat. Alinea pertama menegaskan, komitmen bangsa Indoenesia pada kemanusiaan universal dengan menekankan kemutlakan hak merdeka bagi seala bangsa dan (implisit) warganya tanpa kecuali. Alinea kedua menekankan perjuangan nasionalis meraih kemerdekaan dan menentukan nasib sendiri (self-determination) serta idealisasi kemanusiaan di alam kemerdekaan. Alinea ketiga mengembalikan derajat manusia pada fitrah kesetaraannya dalam berkat penciptaan Tuhan, yang menghendaki suasana kehidupan kebangsaan yang bebas, dan dengan itu, Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya. Alinea keempat mengandung dua hal penting. Pertama, membawa isu-isu kemanusaan kepada tujuan Negara dalam kerangka pemenuhan kebahagiaan dan hak kolektif maupun (implisit) perseorangan, dalam kehidupan nasional maupun internasional. Kedua, menjangkarkan isu-isu kemanusiaan pada dasar Negara, khususnya dasar kedua, yaitu “kemanusiaan yang Adil dan Beradab”.

Dalam pembukaan ini tampak jelas bahwa para pendiri bangsa mempunya argumen yang kuat, bukan hanya untuk berdirinya suatu bangsa, melainkan juga hidup dan “beroprasi”-nya sebuah organisme bernama Negara. Argumen pertama menegaskan bahwa kolonialisme merupakan bentuk pengingkaran terhadap kenyataan bahwa manusia adalah fana dihadapan Tuhan yang mutlak. Argumen kedua adalah argument self-determination (from alien domination). Argumen ini menjadi fondasi dari perlindungan hak dasar, yang kemudian dikenal sebagai hak asasi manusia (HAM). Hak dasar/asasi manusia (HAM) termuat dalam satu piagam terpisah, tetapi tersebar dalam beberapa pasal, terutama antara pasal 27-34, pasal pasal mengenai hak warga Negara terkandung dalam pasal 27 , 30, 31. Adapun pasal pasal mengenai hak hak asasi yang bersifat universal terkandung pada pasal 28 dan 29. Hak hak asasi ini juga adakalanya tidak dikemukakan dengan cara tersurat, melainkan dengan cara tersirat, seperti pasal 33 dan 34, adanya pasal pasal itu sudah meliputi apa yang kemudia sering disebut tiga generasi hak asasi manusia, yaitu: 1. Generasi pertama: Hak sipil dan Hak politik 2. Generasi kedua: Hak demokratis 3. Generasi ketiga: hak ekonomi-sosial-kultural-kolektif Dengan kembalinya Indonesia ke bentuk Negara kesatuan, pasca “Mosi Integral Natsir” pada 1950, membawa perubahan dalam kebatinan dan keseimbangan kekuasaan. Peniadaan “hak bertukar agama atau keyakinan” dalam UUDS 1950 mencerminkan residu aspirasi kelompok islam yang menemukan kembali peluang untuk menyatakan keberatannya atas pengakuan hak ini yang dianggapnya bertentangan dengan hukum Islam. Komitmen pada kemanusiaan dan HAM berlanjut pada sidang Konstituante. Beberapa berharap agar kemajuan pengakuan konstitusional atas HAM seperti terkandung dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950 dapat diteruskan. Oe Tjoe Tat (Baperki) menyatakan agar UUD baru lebih progresif dari UUDS 1950, Mang Reng Say (Partai Katolik) juga mengucapkan hal senada dengan mengingatkan bahwa untuk menghasilkan konstitusi yang sesuai dengan kebutuhan bangsa, Konstituante harus terbuka terhadap dunia luar. Dia juga menekankan pentingnya jaminan pada hak minoritas dan perorangan sebagai bagian inti demokrasi yang menentang absolutisme. Pada 9 September 1958, Konstituante mengadakan pemungutan suara mengenai judul untuk bagian mengenai HAM. Mayoritas suara (352 dari 443 anggota yang hadir) memilih judul “HAM dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara”. Hal ini mengindikasikan kesadaran Indonesia untuk memuliakan hak-hak individu (sebagai warga Negara dan manusia) dengan tetap menjunjung tinggi semangat kekeluargaan.

Pada 9 Desember 1958, Panitia Persiapan Konstitusi berhasil melengkapi rancangan pasal pasal UUD mengenai HAM. Panitia Persiapan Konstitusi telah berhasil mencapai keputusan mengenai 22 pasal tentang HAM dalam rancangan UUD baru. Tiga belas hak dan kewajiban lainnya masih terdapat perbedaan karena Koalisi Pancasila dan Islam di dalam panitia tersebut masih mempertahankan pasalpasal konstitusional versi masing masing. Tetapi dengan UUD 1945 pun tidak mengurangi komitmen bangsa Indonesia pada persoalan kemanusiaan universal dan penghormatan hak-hak asasi manusia. Bukan karena telah mengandung tiga generasi HAM, tetapi tersedianya rujukan sumber hukum tidak tertulis. Dengan rekam jejak perjalanan bangsa ini, tampak jelas bahwa sila kemanusiaan yan adil dan beradab memiliki akar yang kuat dalam historisitas kebangsaan Indonesia. Kemerdekaan Indonesia menghadirkan suatu bangsa yang memiliki wawasan global dengan kearifan local, memiliki komitmen pada ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian dan keadilan serta pada pemuliaan hak hak asasi manusia dalam suasana kekeluargaan kebangsaan Indonesia. Perspektif Teoritis-Komparatif Kemanjuran konsepsi internasionalisme yang berwawasan kemanusiaan yang adil dan beradab itu menemukan ruang pembuktiannya segera setelah proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Dukungan internasional atas kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pertama kali muncul dari dunia Arab. Dukungan Palestina bahkan telah dimulai sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni segera setelah Perdana Menteri Jepang, Kuniaki Koiso, mengucapkan janji historisnya pda 7 September 1944 yang akan memberi kemerdekaan kepada Indonesia. Setelah diproklamasikan , Mesir adalah negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indoesia pada 23 Maret 1946, disusul oleh negara-negara Liga Arab (Irak, Libanon, Arab Saudi, Syria, Yaman, Yordania dan juga Mesir) dengan mengeluarkan resolusi pada 18 November 1946 yang mengakui Indonesia sebagai negara yang berdaulat. Seiring dengan itu, sejak kabinet Sjahrir I (14 November 1945-12 Maret 1946) , mulai dirintis usaha membuka perwakilan Indonesia di luar negeri. Mulamula dibuka di Singapura, kemudian di New Delhi, Karachi, Rangoon, Canberra, Bangkok, Kairo, Baghdad, London, Kabul, New York, yang mencerminkan dukungan atau setidaknya hospitalis mereka atas kemerdekaan Indonesia. Dukungan Internasional atas kemerdekaan Indonesia semakin terasa setelah agresi militer Belanda I (21 Juli 1947-5 Agustus 1947). Dengan agresi itu, pengakuan de facto atas Indonesia justru berdatangan mengalir dari negara-negara sahabat seperti Afghanistan, Birma, Arab Saudi, Yaman, dan Rusia. Dunia Internasional menolak aksi Belanda ini. India dan Australia pada 30 Juli 1947, langsung membawa masalah Indonesia ke dalam sidang Dewan Keamanan di Lake Succes, Amerika Serikat.

Baik Indonesia dan Belanda tidak boleh hadir secara resmi di sidang tersebut. Walau berbagai pihak telah berubaya untuk menyelesaikan persengketaan Indonesia-Belanda, van Kleffens tetap menganggap bahhwa Dewan Keamanan tidak berhak mencampuri pertikaian Indonesia-Belanda. Agaknya dia alpa bahwa keadaan telah berubah. Di satu pihak, Belanda mengakui Indonesia secara de facto melalui Perjanjian Linggarjati. India, sebagai negara yang mengajukan tuntutan mengenai pembahasan masalan Indonesia, diundang secara resmi dalam sidang itu. Baik India maupun Australia secara bersama menganggap bahwa agresi militer Belanda dapat menganggu perdamaian dan keamanan Internasional. Ketua delegasi Indonesia , Sutan Sjahrir, tampil ke depan podium guna menjelaskan perkembangan yang terjadi di Indonesia. Dalam pidatonya, Sjahrir menguraikan jauh ke belakang. Selama abad 14-15, Kerajaan Majapahit telah mampu memperluas ruang lingkup wilayah Indonesia, bukan saja mencakup kepulauan Nusantara melainka juga telah menjangkau ke arah Pulau Madagaskar (Afrika Timur). Disamping itu, peragangan dengan China dan benua Eropaterutama Belanda-berkembang dengan pesatnya. Hubungan dagang dengan Belanda telah dilakukan semenjak abad 15 melalui perusahaan besar yang dikenal dengan nama VOC (Verenigde Oost Indische Compaigne). Petani Indonesia sebagai mitra perdagangan Belanda senantiasa mendapat tekanan. Hal ini mencapai puncaknya pada abad ke-18 ketika Kerajaaan Belanda mengambil alih peranan VOC yang kemudian dibubarkan. Jangkauan Belanda pun meluas, dan hingga mencakup seluruh wilayah Indonesia. Ketika datang serbuan bala tentara Jepang dalam Perang Dunia II, pasukan Belanda lari ketakutan. Ini berbeda dengan Indonesia yang tetap bertahan, Akan tetapi, ketika Jepang dikalahkan sekutu, Belanda secara bersembunyi datang ke Indonesia dibelakang pasukan Inggris. Disini terdapat perbedaan pendapat antara Indonesia dengan Belanda. Rakyat Indonesia menganggap daerah bekas jajahan Belanda ini milik mereka sebenarnya.. Maka, diproklamasikanlah kemerdekaan Indonesia pada abad 17 Agustus 1945. Bila Indonesia ini memang milik Belanda, tutur Sjahrir, seharusnya mereka mempertahankannya dari serangan siapa pun yang hendak mengambil alih kepulauan ini. Tetapi itu mereka tidak pernah mereka lakukan. Pada 23 Agustus 1947, Dewan Keamanan lebih menyetujui rancangan resolusi Herschel V.Johnson (Amerika Serikat)-sebagaimana halnya keinginan van kleffes dalam membentuk Komite Jasa-Jasa. Langenhove mengajukan sebuah rancangan resolusi yang meminta pendapat Pengadilan Tinggi Internasional tentang Dewan Keamanan dalam menyelesaikan persengketaan IndonesiaBelanda. Mengingat Dewan Keamanan baru mengetahui wewenang Dewan Keamanan dalam menyelesaikan sengketa semacam itu. Saat dilakukan pemungutan suara, Sumitro berusaha menghitung satu per satu suara yang menolak rancangan resolusi Belgia-Belanda tersebut. Dan hanya empat negara yang tidak menyetujui resolusi tersebut, yaitu Belgia, Perancis, Inggris, Belanda. Faris elKhouri langsung melanjutkan sidang pada hari itu, sebab Dewan Keamanan dengan

demikian dinyatakan berhak membahas dan mengambil keputusan terhadap Indonesia-Belanda. Polandia masih sempat menggolkan sebuah resolusi lagi yang isinya mengingatkan agar pihak Indonesia dan Belanda benar-benar menaati resolusi 1 Agustus 1947, mengenai perintah gencatan senjata dan penciptaan perdamaian. Pada 19 Desember 1948, sekali lagi Belanda melancarkan agresi militer II. Agresi ini menimbulkan kecaman dunia internasuinal, seperti Amerika Serikat, atas Belanda, sebaliknya semakun memperkuat dukungan internasional atas kedaulatan Indonesia. Perlawanan gigih tentara Indonesia melalui perang gerily juga membuat Belanda tidak memiliki pilihan lain kecuali kembali ke meja perundingan. Konferensi Meja Bundar di Den Haag dari 23 Agustus hingga 2 November 1949. Hasilnya, pada 30 Desember 1949, belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Dekolonisasi, Demokratisasi dan HAM dalam Konteks Perang Dingin Dalam latar internasional, kemerdekaan dan kedaulatan Republik Indonesia itu bertaut dengan gelombang dekolonisasi, terutama di Asia dan Afrika pasca perang Dunia II. Hasrat untuk menentukan nasib sendiri dan terbebas dari berbagai bentuk penindasan yang berasosiasi dengan kemenangan negara-negara demokrasi Barat yang telah mapan dalam Pd II, tampaknya menjadi salah satu alasan pokok mengapa banyak negara pasca kolonial berpaling kepada sistem pemerintahan demokratis. Gelombang demokratisasi ini berdampingan dengan peningkatan kesadaran akan hak-hak asasi manusia (HAM) pasca PD II, dimulai dengan kemunculan Piagam PBB sejak 26 Juni 1945 dan menemukan momentumnya setelah Universal of Human Rights (UHDR) pada 10 Desember 1948. Pernyataan ini terdiri atas 30 pasal berisi pokok-pokok pandangan Majelis Umum PBB tentang jaminan hak-hak asasi manusia (HAM). Gelombang dekolonisasi, demokratisasi, dan perhatian internasional pada HAM ini menemukan sandungannya ketika dunia segera memasuki suasana Perang Dingin. Setelah Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet (US) bersekutu dan berhasil menghancurkan Jerman Nazi, kedua belah pihak berselisih paham dalam usaha membangun kembali dunia, khususnya Eropa, pasca perang. Sejak awal aliansi antara Uni Soviet , negara komunis pertama didunia, di satu sisi, dngan AS, negara kapitalis terkaya di dunia, dan Britania Raya, kerajaan terbesar di dunia di sisi yang lain, memang telah diwarnai oleh saling ketidakpercayaan dan perbedaan ideologis. Setelah musuh bersama bisa diatasi, segera terjadi konflik, ketegangan, dan kompetisi antara AS dan sekutunya (disebut blok Barat) dan US beserta sekutunya (disebut blok Timur), yang terjadi 1947-1991. Periode ini dikenal sebagai Perang Dingin. Konflik antara kedua blok ini lantas menyebar ke seluruh dunia ketika AS membentuk sejumlah aliansi dengan berbagai negara, terutama dengan negara di Eropa Barat, Timur Tengah, dan Asia Tenggara. Meskipun kedua negara adikuasa itu tidak pernah bertempur secara langsung, konflik diantara keduanya secara

langsung atau pun tidak langsung telah menyebabkan berbagai perang atau ketegangan, baik dalam hubungan antarbangsa maupun didalam bangsa-bangsa. Posisi Indonesia dalam Konteks Perang Dingin. Memasuki suasana Perang Dingin, Indonesia berusaha konsisten dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan beradab dalam pergaulan antarbangsa. Prinsip yang menjunjung tinggi kemerdekaan sebagai hak setiap bangsa dan warganya, serta prinsip yang menekankan ko-eksistensi damai yang secara aktif “ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Pilihan Indonesia atas politik luar negeri bebas aktif itu menempatkannya dalam perpaduan antara perspektif teori “idealisme politik” (political idealism) dan “realisme politik” (political realism) dlam hubungan internasional. Sebagai bangsa yang telah lama mengalami penjajahan serta menghadapi ancaman baru dari poros-poros permusuhan internasional, Indonesia pun tidaklah naif dalam menyadari realistas-realistas hubungan internasional, yang jauh dari kerangka idealitas. Penggunaan politik luar negeri mencerminkan ciri-ciri khas dari kehidupan politik didalam negeri serta perkembangan dalam reaalitas internasional. Realitas Internasional juga memengaruhi kontekstualisasi ide-ide demokrasi dan hak-hak asasi manusia di negeri ini. Sebagai tempat persilangan arus-arus internasional, Indonesia ikut hanyut dalam gelombang dekolonisasi yang bertaut dengan gelombang kedua demokratisasi di muka bumi, dengan memroklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia yang bercorak demokratis. Sebagaimana negara-negara yang baru merdeka lainnya, ketika dekolonisasi berakhir, Indonesia memerlukan waktu untuk mengembangkan kuktur politik demokratis. Setelah sekian lama berada dibawah dominasi asing (alien) yang tidak dijalankan dengan prinsip akuntabilitas yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat koloni, Indonesia mengalami kesulitan untuk mengembangkan pemerintahan yang memadai dan responsif. Ketegangan dalam kehidupan nasional yang bertaut dengan ketegangan internasional lantas di proyeksikan dalam sikap internasionalisme Indonesia. Memandang kemerdekaan Malaysia sebagai antek neo-kolonialisme, Presiden Soekarno lantas melancarkan Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewann Keamanan PBB, Presiden Soekarno menarik Indonesia dari keanggotaan PBB pada 20 Januari 1965, dan sebagai alternatifnya membentuk poros kekuatan baru dalam kerangka Conference of New Emerging Forces (Conefo). Sebagai tandingan olimpiade, Soekarno bahkan menyelenggarakan GANEFO (Games of Emerging Forces) yang diselenggarakan di Jakarta pada 10-20 November 1963. Kembalinya Indonesia ke PBB baru terjadi setelah Presiden Soeharto mengambil alih tongkat kepimpinan nasional. Pada 19 September 1966, Indonesia mengajukan permohonan kembali sebagai anggota yang diterima oleh Majelis Umum PBB sejak 28 September 1966.

Perbedaan Perspektif tentang HAM: Universalisme versus Partikularisme. Kesulitan dan masalah yang melanda Indonesia itu mereflesikan kecenderungan umum negara-negara Dunia Ketiga yang mengalami hambatan yang serius untuk melaksanakan HAM dan demokrasi dalam suasana dunia yang diwarnai oleh bentrokan Timur-Barat serta kesenjangan Utara-Selatan. Ada dua narasi besar, universalisme dan partikularisme, yang karena perbedaan fundamental dalam konsepnya mengakibatkan perbedaan pemahaman atas (1) karakter HAM (apakah internasional atau murni domestik), (2) pentingnya individu sebagai lawan hak masyarakat, (3) penetuan waktu dan penahapan implementasi HAM dan penegakannya. Semua titik divergensi itu, dengan potensinya untuk disimpangkan, dalam pekembangan selanjutnya memunculkan rasa tidak percaya dan ekspresi permusuhan. Secara umum dapat dinyatakan, kaum universalisme menegaskan bahwa HAM adalah hak semua orang. HAM berasal dari “konsep hukum alam yang menegaskan bahwa manusia memiliki hak ilmiah tertentu untuk hidup, bebas dan punya kepemilikan. Pada sisi lain, kaum partikularis (kultural relativis) memersepsi bahwa norma-norma HAM tidak muncul dari ruang hampa melainkan dibentuk oleh seperangkat pengalaman masyarakat tertentu. Karena setiap masyarakat memiliki kondisi sejarahnya tersendiri, hanya aspek-aspek HAM tertentu yang dapat diterapkan pada masyarakat tertentu dan akan berbeda dari suatu masyarakat ke masyarakat lain. Dalam perspektif kaum partikularis, doktrin liberal HAM tidak berbicara mengenai pandangan dunia manusia. Fondasi ontologis budaya dan masyarakat mereka, dan ketertarikan individu dengan individu lain dan masyarakat, dalam beberapa hal berbeda secara signifikan. Sebagai negara baru, negara-negara Dunia Ketiga lebih memerhatikan kedaulatan nasionalnya serta tantangan dalam negeri dibandingkan dengan agenda internasional. Titik divergensi ketiga berkenaan dengan isu status komparatif hak individu dan hak kolektif, karena kaum universalis (Barat) lebih menekankan pada hak individu sedang kaum partikularis (negara Dunia Ketiga) lebih menekankan pada hak kolektif. Untuk mendapatkan HAM tidak memerlukan apa pun kecuali dilahirkan sebagai manusia. Sejumlah pendukungnya menegaskan bahwa “ide tentang hak mutlak (inalienable rights) kerap ditegaskan oleh para penyair, filsuf, dan politisi sejak jaman dahulu. Pada sisi lain, kaum partikularis mengajukan konsepsi antitesis. Mereka menyatakan bahwa “manusia tidak merumuskan diri mereka dalam posisi sebagai individu otonom, namun mereka lebih mengalami dirinya sendiri sebagai orang yang mengalami dirinya sendiri sebagai orang yang memiliki status turunan” (ascribe status) sebagai anggota kelompok yang lebih besar atau komunitas seperti keluarga, suku, kelas, bangsa, atau kelompok lain. Titik-titik divergensi di atas kemudian memunculkan perbedaan persepsi dalam waktu dan tahapan impelementasi dan penegakan HAM dan pematuhannya. Pada satu sisi, menurut kaum universalis, implementasi HAM harus komprehensif

dan menyatu. Dalam putaran terakhir kontroversi, divergensi seperti itu mentransformasikan dirinya sendiri ke dalam medan pertempuran. Masing-masing pihak menunjukan saling tidak percaya dan curiga bahwa lawannya mengeksploitasi perbedaan guna melegitimasi kepentingannya sendiri. Kaum universalis (Barat) menuduh pemerintah negara Dunia Ketiga mengekploitasi argumen partikularis untuk membenarkan “kuatnya” negara sehingga melahirkaan kebijakan represif dan menerapkan tujuan-tujuan nasional demi kesejahteraan masyarakat. Sementara itu, kaum partikularis (pemerintah-pemerintah negara Dunia Ketiga) mengklaim bahwa alasan universalis digunakan pemerintah-pemerintah barat sebagai senjata politik guna menekan daya kompetitif ekonomi dalam pembangunan ekonomi. Mereka juga menuduh pemerintah negsra-negara Barat tidak konsisten dan menggunakan standar ganda dalam menerapkan prinsip-prinsip Ham yang universal. Lebih jauh lagi, kaum partikularis (Dunia Ketiga) juga sering menunjukan pembusukan masyarakat Barat dalam bentuk peningkatan kejahatan, meningkatnya ketimpangan ekonomi, kemerosotan moral, keterasingan dari proses politik, dan substansi-substansi lain yang berbahaya. Akan tetapi, munculnya revolusi teknologi komunikasi, yang menimbulkan globalisasi kehidupan ekonomi, politik, dan kehidupan sosial kontemporer mengakibatkan interpenetrasi pengalaman budaya dan kecenderungan, yang disebut Vattimo sebagai “hibridisasi” antartradisi. Dengan cepat, HAM berubah menjadi “bahasa ibu” masyarakat global dan membentukbbagian dari jaringan perspektif luas yang dibagi dan dipertukarkan antara Utara dan Selatan, pusat dan pinggiran, dalam banyak bentuk, kreatif dan kadang-kadang dalam cara yang bermuatan konflik. Persoalan HAM dan Relevansi Internasionalisme di Era Globalisasi Globalisasi modern dan posmodern menemukan pijakan nya dari perlombaan gengsi antarnegara adikuasa yang mengarah pada penemuan – penemuan teknologi mutakhir, terutama di bidang persenjataan yang kemudian berkelindan dengan bidang telematika. Revolusi di bidang teknologi informasi dan telekomunikasi membawa “distansiasi ruang–waktu” (time-space distanciation) sekaligus “pemadatan ruang-waktu” (time-space compression) yang merobohkan batas – batas ruang dan waktu konvensional (Giddens, 1999; Harvey, 1989). Dengan fenomena ini, globalisasi merestrukturisasi cara hidup umat manusia secara mendalam, nyaris pada setiap aspek kehidupan. Pada ranah negara-bangsa (nation-state), di satu sisi, globalisasi menarik (pull away) sebagian dari kedaulatan negara-bangsa dan komunitas lokal, tunduk pada arus global interdependence, yang membuat negara-bangsa dirasa terlalu kecil untuk bisa mengatasi (secara sendirian) tantangan – tantangan global. Di sisi lain, globalisasi juga menekan (push down) negara-bangsa, yang mendorong ledakan desentralisasi dan otonomisasi.

Pada ranah ekonomi, di satu sisi, pergerakan global dari ide – ide, orang, teknologi dan barang memberi peluang – peluang baru dalam perekonomian, terutama bagi negara-bangsa dan pelaku ekonomi yang memiliki keunggulan kompetitif. Di sisi lain, dengan posisi awal dan konsekuensi nya yang tidak sama, globalisasi membelah dunia ke dalam pihak “yang menang” (winners) dan “yang kalah” (losers), serta menumbuhkan ketidaksetaraan baik secara internasional maupun dalam negara-bangsa (Hobsbawm, 2007:3). Globalisasi juga menjadi kendaraan emas bagi para pendukung pasar bebas untuk mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi dalam skala mondial. Globalisasi memang meningkatkan kesadaran akan HAM di Dunia Ketiga, namun sekaligus juga memasok hambatan baru yang membuat idealisasi HAM itu sulit diimplementasikan dalam praksis pembangunan. Halangan dalam promosi HAM muncul sejak tahun ’80-an dari hegemoni ideologi neo-liberalisme yang menyerang fondasi dasar pada sistem HAM yang telah dibangun: kombinasi hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Badan HAM PBB telah mencermati dampak negatif dari globalisasi pasar neo-liberalisme atas HAM, secara khusus pada hak ekonomi, sosial, dan budaya. Tidak satu pun dari studi ini yang menolak penting nya kerjasama dan perdagangan global, tetapi studi ini lebih mengarahkan perhatian pada ancaman terhadap kemanusiaan dan HAM yang ditimbulkan oleh globalisasi pasar yang berbasis ideologi neo-liberalisme. Tantangan – tantangan globalisasi pasca-Perang Dingin memerlukan komitmen dan visi internasionalisme baru yang relevan dengan perkembangan zaman. Dihadapkan pada tantangan globalisasi modern, reformasi terhadap PBB mutlak dilakukan untuk membuatnya lebih efektif, representatif, dan bertanggung jawab dalam memenuhi tantangan global yang semakin kompleks. Reformasi ini harus mempertimbangkan terjadinya pergeseran dalam kekuatan ekonomi dan keseimbangan kekuasaan (power politics) di tingkat global. Reformasi juga harus mempertimbangkan munculnya pelbagai tekanan global atas kapastitas manusia untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Munculnya organisasi – organisasi supranasional dan perusahaan – perusahaan multinasional dengan kekuatan modal raksasa memang menyurutkan peran pemerintah dalam suatu negara-bangsa. Negara-bangsa juga masih memiliki peran sentral dalam penegakan HAM internasional. Dengan demikian, harus ada keseimbangan antara komitmen internasionalisme dan nasionalisme, pemberdayaan international governance dan pemberdayaan negara-bangsa. Membumikan Kemanusiaan dalam Kerangka Pancasila Prinsip kedua dari Pancasila mencerminkan kesadaran bangsa Indonesia sebagai bagian dari kemanusiaan universal. Merasakan kepedihan dan penderitaan sebagai bangsa yang terjajah selama ratusan tahun lamanya, Indonesia terpanggil untuk melawan sisi negatif-destruktif dari anasir – anasir internasional yang

merendahkan martabat kemanusiaan. Maka, tidak heran kalau spirit humanitarianisme dan egalitarianisme yang tumbuh dalam alam pikir yang tengah bergelora untuk menghantam penjajah yang bersandar pada prinsip perbedaan derajat atau superioritas suatu bangsa di atas bangsa lain. Dengan demikian, sejak awal berdirinya, Indonesia dibangun atas kesadaran internasionalisme. Tetapi paham internasionalisme itu juga diberi sentuhan egalitarianisme. Nasionalisme Indonesia, dengan demikian, memperjuangkan kesamaan kemanusiaan. Sebagai falsafah negara yang menjiwai Konstitusi kita, Pancasila merupakan testamen historis yang membela prinsip kesamaan. Dengan prinsip kesamaan kemanusiaan yang adil dan beradab, komitmen kemanusiaan dan ikatan persaudaraan bangsa Indonesia menembus batasan – batasan lokal, nasional, atau regional, menjangkau persaudaraan antarmanusia dan antarbangsa secara global. Visi kemanusiaan yang adil dan beradab bisa menjadi panduan (guiding principles) bagi proses pengadaban (civilizing process), yang meliputi kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan dalam pergaulan antarbangsa. Sila kedua menunjuk kepada nilai – nilai dasar manusia, yang diterjemahkan dalam hak – hak asasi manusia, taraf kehidupan yang layak bagi manusia, dan sistem pemerintahan yang demokratis serta adil. Dasar kemanusiaan yang adil dan beradab tidak lain adalah kelanjutan dengan disertai perbuatan dalam praktik hidup dari dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab itu menuntut pemerintah dan penyelenggara negara untuk memelihara budi-pekerti kemanusiaan yang luhur dan memegang cita – cita moral rakyat yang luhur. Kesimpulan Sila perikemanusiaan yang adil dan beradab, apabila digali, merupakan visi bangsa Indonesia yang mengandung begitu banyak nilai manusiawi yang bisa dijadikan pegangan dalam mengantisipasi tantangan globalisasi. Pancasila seharusnya dijadikan sebagai prinsip pemberadaban manusia dan bangsa Indonesia. Persoalan HAM menjadi tantangan yang serius dalam membuktikan komitmen kemanusiaan bangsa Indonesia. Di tengah tekanan globalisasi yang semakin luas cakupan nya, dalam penetrasinya dan instan kecepatannya, sifat masyarakat Indonesia yang cenderung lentur dalam menerima pengaruh global bisa bersifat positif maupun negatif. Positif, sejauh yang diserap adalah unsur – unsur positifkonstruktif yang menguatkan cita – cita kemerdekaan, perdamaian dan keadilan sosial. Negatif, sejauh yang diserap adalah unsur – unsur negatif-destruktif yang menimbulkan ketergantungan (neokolonialisme), permusuhan dan ketidakadilan.

Related Documents

Resume Audit Bab 24
February 2021 1
Bab 3
January 2021 4
Bab 8- Hala Tuju Negara
January 2021 1

More Documents from "Iris Chin"