Neurotransmiter Eksitatorik Dan Inhibitorik

  • Uploaded by: Celina Manna
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Neurotransmiter Eksitatorik Dan Inhibitorik as PDF for free.

More details

  • Words: 3,123
  • Pages: 13
Loading documents preview...
Neurotransmiter Eksitatorik dan Inhibitorik Celina Manna NIM : 102011047 Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana Jalan Arjuna Utara no. 6 Jakarta [email protected]

Pendahuluan Transmisi impuls dari sel saraf satu ke sel saraf yang lain terjadi di sinaps yang merupakan tempat akson atau bagian lain dari sel saraf (sel presinaps) berakhir di dendrit, soma atau akson daei neuron yang lain atau dalam keadaan tertentu di sel otot atau sel kelenjar (sel postsinaps). Transmisi disemua taut sinaptik bersifat kimiawi; impuls di akson presinaps menyebabkan pelepasan suatu neurotransmiter, misalnya asetilkolin atau serotonin. Neurotransmiter tersebut akan berikatan dengan reseptor di permukaan sel post sinaps, yang akan memicu berbagai peristiwa yang membuka atau menutup saluran-saluran di membran sel post sinaps. Akan tetapi, di sebagian sinaps, transmisi bersifat listrik dan disejumlah kecil sinpas, transmisi bersifat campuran listrik dan kimiawi. Bagaimanapun transmisi bukan merupakan lompatan sederhana satu potensal aksi dari sel presinaps ke pasca sinaps. Efek impuls di ujung tiap sinaps, dapat berupa eksitasi atau inhibisi, dan bila sel post sinapsnya berupa suatu neuron, penjumlahan suatu efek eksitasi dan inhibisi akan menentukan terbangkit atau tidaknya potensial aksi di sel post sinaps. Jadi, transmisi sinaps merupakan proses yang rumut yang memungkinkan penahapan dan penyeseuaian kegiatan saraf yang diperlukan untuk fungsi yang normal.1 Neurotransmiter Neurotransmiter merupakan senyawa kimia pembawa pesan yang meneruskan informasi elektrik dari sebuah neuron ke neuron lain atau sel efektor. Sifat neurotransmiter adalah sebagai berikut:     

Disintesis di neuron presinaps. Disimpan di vesikel dalam neuron presinaps. Dilepaskan dari neuron di bawah kondisi fisiologis. Segera dipindahkan dari sinaps melalui uptake atau degradasi. Berikatan dengan reseptor menghasilkan respon biologis.2

Gambar 1. Tahapan yang dialami neurotransmiter2 Berbagai neurotransmitter yang ditemukan di sistem saraf2 Excitatory :        

Acetylcholine Aspartate Dopamine Histamine Norepinephrine Epinephrine Glutamate Serotonin

Inhibitory :  

GABA Glycine

Biosintesis katekolamin (Dopamine, Norepinephrine dan Epinephrine).2 1. Hidroksilasi : Pada tahap ini reaksi melibatkan konversi tirosin, oksigen dan tetrahidrobiop menjadi dopa dan dihidrobiopterin. Reaksi ini dikatalisis enzim tirosin hidroksilase dan bersifar ireversibel.

2. Dekarboksilasi Pada tahap ini enzim dekarboksilase dopa akan mengkatalisis dekarboksilasi dopa menghasilkan dopamin. Defisiensi enzim ini akan menyebabkan penyakit Parkinson. Reaksi

ini

bersifat

ireversibel.

Kofaktor

untuk

reaksi

ini

adalah

PLP

(pyridoxalphosphate). Pada sel yang mensekresi dopamin, jalur neurotransmiter berakhir pada tahap ini. 3. Hidroksilasi Reaksi ini dikatalisis oleh enzim dopamine =-hydroxylase. Reaktan meliputi dopamine, O2 dan askorbat (vitamin C). Produknya adalah norepinephrine, air dan dehidroaskorbat. Reaksi ini bersifat ireversibel. Produk dari sel noradrenergik adalah norepinefrin dan jalurnya berakhir di sini. 4. Metilasi Reaksi ini dikatalisis oleh feniletanolamin N-metiltransferase. Norepinefrin dan Sadenosilmetionin membentuk epinephrine dan S-adenosil homosistein. Metabolisme katekolamin1,2 Metabolisme katekolamin merupakan reaksi yang kompleks. Enzim utama yang terlibat dalam degradasi katekolamin adalah monoamine oxidase (MAO), yang mendegradasi asam amino alifatis. MAO sendiri merupakan target penting dalam pengembangan obat. Intermediat aldehid kemudian dioksidasi menjadi asam karboksilat yang sesuai, atau direduksi menjadi alkohol. Monoamine oxidase ditemukan terutama di membran mitokondria, dalam bentuk isoenzim. Enzim lain yang terlibat dalam biodegradasi katekolamin adalah catecholamine Omethyltransferase (COMT), suatu enzim sitoplasma yang menggunakan S-adenosyl- methionine untuk memetilasi gugus 3–OH dari katekolamin menjadi tidak aktif. Senyawa termetilasi tidak diambil lagi dalam sinaps.

Biosintesis Serotonin2 Serotonin disintesis di sistem saraf pusat dan sel kromafin dari asam amino Triptofan, melalui dua tahapan reaksi : 1. Hidroksilasi.

Enzim yang mengkatalisis reaksi ini adalah triptofan hidroksilase. Kofaktor dalam reaksi ini adalah tetrahidrobiopterin, yang dikonversi menjadi dihidrobiopterin. 2. Dekarboksilasi Enzim yang mengkatalisis reaksi ini adalah hidroksitriptofan dekarboksilase. Serotonin didegradasi melalui dua reaksi :  

Oksidasi Dehidrogenasi Tabel 1. Biosintesis Neurotransmiter lain2 Neurotransmiter Histamin

Prekursor Histidin

Enzime Histidin dekarboksilase

GABA (asam A-

Glutamat

Glutamat dekarboksilase

Arginin

Nitric oxide synthase

aminobutirat) Oksida nitrat (NO, nitric oxide) Neurotransmiter Eksitatorik2 1. Asetil Kolin dan Reseptor Kolinergik Ligan dari reseptor kolinergik adalah neurotransmiter asetilkolin (ACh). Asetilkolin merupakan molekul ester-kolin (choline ester) yang pertama diidentifikasi sebagai neurotansmitter. ACh dibuat di dalam susunan saraf pusat oleh saraf yang badan selnya terdapat pada batang otak dan forebrain, selain itu disintesis juga dalam saraf lain di otak. ACh beraksi pada sistem saraf otonom di perifer dan di pusat, dan merupakan transmitter utama pada saraf motorik di neuromuscular junction pada vertebrata. Sintesis dan degradasi ACh ACh yang dilepas dari ujung presinaptik mengalami dua hal sebagai berikut: 1. Beraksi pada reseptornya, pada pascasinaptik dan presinaptik. 2. ACh diambil kembali (re-uptake) ke ujung presinaptik dalam bentuk hasil metabolismenya, yaitu kolin, digunakan lagi sebagai prekursor sintesis ACh. Proses ini dapat dihambat oleh hemikolinium yang menghambat transporter kolin sehingga menghalangi masuknya kembali kolin ke presinaptik. 3. ACh mengalami degradasi menjadi kolin dan asetat oleh enzim kolinesterase.

Transmisi Kolinergik Enzim-enzim yang berperan dalam sintesis dan degradasi Ach: 1. Choline Acetyltransferase (kolin asetiltransferase) Enzim ini mengkatalisa asetilasi kolin dengan asetil koenzim A, merupakan protein konstituen dari saraf, disintesis diantara perikarion kemudian ditransport sepanjang akson sampai ujungnya. Transport kolin dari plasma ke saraf-saraf dipengaruhi oleh perbedaan tinggi dan rendahnya afinitas sistem transport. Sistem afinitas tinggi bersifat unik terhadap saraf kolinergik dan tergantung pada kada Na+ ekstraseluler, dan bisa dihambat oleh hemikolinium. 2. Acetylcholinesterase (Asetilkolin esterase, AChE) AChE terdapat pada saraf kolinergik. Enzim ini mempunyai dua sisi pengikatan keduanya penting untuk degradasi ACh. Daerah anionik berfungsi untuk pengikatan sebuah molekul ACh pada enzim. Begitu ACh terikat, reaksi hidrolisis terjadi pada sisi aktif yang disebu daerah esteratik. Di sini ACh terurai menjadi kolin dan asam asetat. Kolin kemudian diambil lagi melalui sistem uptake kolin berafinitas tinggi pada membran presinaps. Penyimpanan dan Pelepasan ACh ACh dilepaskan dari ujung saraf motor dalam jumlah yang konstan, yang disebut quanta (atau vesikel). Perkiraan jumlah ACh dalam vesikel sinaptik berkisar antara 1.00050.000 molekul setiap vesikel. Dalam satu ujung saraf motor terdapat 300.000 atau lebih vesikel. Karakteristik transmisi kolinergik pada beberapa tempat aksi: 1. Di otot skelet Kombinasi ACh dan reseptor ACh nikotinik di permukaan eksternal dari membran postjunctional memicu peningkatan permeabilitas kation. Aktivasi reseptor oleh Ach intrinsik kanal terbuka selama 1 milisecond dan kurang lebih 50.000 ion Na+ melewati kanal. Akibatnya terjadi depolarisasi diikuti potensial aksi otot yang menyebabkan terjadinya kontraksi otot. 2. Efektor otonom Stimulasi atau inhibisi dari sel efektor otonom timbul karena aktivasi reseptor Ach muskarinik. Reseptor terhubung pada protein G. 3. Ganglia otonom Transmisi kolinergik pada ganglia otonom serupa dengan yang terjadi pada otot skelet. Sel ganglion mengalami perubahan muatan dengan adanya sedikit ACh. Depolarisasi

awal terjadi karena aktivasi reseptor ACh nikorinik, yaitu ligand gated cation channel yang fungsinya mirip dengan yang terdapat pada neuromuscular junction. 2. Norepinefrin dan Reseptor Adrenergik Adrenalin dan noradrenalin merupakan golongan katekolamin yang mengaktifkan reseptor adrenergik. Keduanya dilepaskan dari dua tempat yang berbeda: noradrenalin merupakan neurotransmiter utama dari sistem saraf simpatik yang mensarafi berbagi organ dan jaringan. Sebaliknya adrenalin, diproduksi oleh kelenjar adrenalin ke dalam sirkulasi. Reseptor adrenergik Reseptor noradrenalin dan adrenalin adalah reseptor adrenergik (adrenoreseptor), yang merupakan reseptor terkopling protein G, dan tersebar di berbagai organ dan jaringan. Reseptor adrenergik mengatur berbagai parameter fisiologi seperti tekanan darah, detak jantung, dan lain-lain. Ada dua kelompok utama reseptor adrenergik, yaitu reseptor adrenergik α dan β, masing-masing dengan beberapa subtipe:  

Reseptor α terdiri dari subtipe α1 (Gq coupled receptor) dan α2 (Gi coupled receptor). Reseptor = terdiri dari subtipe β1, β2 dan β3. Ketiganya terhubung dengan protein Gs.

Reseptor α Reseptor α terdiri dari reseptor α1 dan α2. Reseptor α1 penting untuk regulasi kontraksi otot polos sedangkan reseptor α2 penting untuk pelepasan neurotransmiter prasinaps. • Reseptor α1, ditemukan di otot polos, jantung, dan hati dengan efek vasokonstriksi, relaksasi intestinal, kontraksi uterus dan dilatasi pupil. • Reseptor α2, ditemukan di platelet, otot polos vaskuler, ujung saraf, dan islet pankreas, dengan efek agregasi platelet, vasokonstriksi, penghambatan pelepasan norepinefrin dan sekresi insulin. Reseptor α-adrenergik terdiri dari tujuh heliks transmembran. Model interaksi agonis dan antagonis terhadap reseptor I-adrenergik ditunjukkan pada gambar berikut. Gugus amino agonis berinteraksi dengan residu aspartat di segmen III, cincin aromatis berinteraksi dengan residu fenilalanin di segmen IV dan VI, sedangkan gugus hidroksl katekol berinteraksi dengan residu serin di segmen V. Interaksi antagonis melibatkan residu fenilalanin di segmen II, asparagin, isoleusin dan glisin di penghubung segmen IV dan V serta residu fenilalanin di segmen VII. Reseptor β

Reseptor βadrenergik terdiri dari 3 subtipe yaitu : β1, β2 and β3. Reseptor β1 terutama berada di jantung, reseptor β2 di paru-paru, saluran cerna, hati, uterus, otot polos vaskuler dan otot skeletal. Sedangkan reseptor β3 banyak ditemukan di sel lemak. Aktivitas reseptor β1 meliputi: • Menstimulasi sekresi kelenjar ludah dan meningkatkan viskositas sekret • Meningkatkan cardiac output melalui peningkatan kontraksi otot jantung (efek inotropik) dan peningkatan detak jantung (efek kronotropik) • Berperan dalam pelepasan renin • Lipolisis dalam jaringan adiposa Struktur reseptor β adrenergik Reseptor β adrenergik terdiri dari tujuh daerah hidrofobik (I-VII) yang tertanam di membran, masing-masing terdiri dari 20–24 asam amino. Selain itu juga terdapat sebuah rantai hidrofilik panjang dengan C-terminal, sebuah rantai hidrofilik pendek dengan Nterminal, dan sebuah loop sitoplasmik panjang antara segmen V dan VI. Beberapa sisi untuk posforilasi terletak di bagian C-terminal dari protein, sedangkan glikosilasi-N akan terjadi

pada

segmen

N-terminal

ekstraseluler. Heliks

transmembranteribat

dalam

pembentukan sisi pengikatan katekolamin, sedangkan residu C-terminal berperan dalam interaksi antara reseptor dengan protein terikat GTP. Sebuah aspartat di segmen III dan dua buah serin di segmen V masing-masing terlibat dalam interaksi dengan gugus amino dan gugus hidroksi katekol.

3. Domapin dan Reseptor Dopaminergik Dopamin merupakan neurotransmitter aktif dalam sistem dopaminergik dan berhubungan dengan penyakit neuromotor (Parkinson) dan schizophrenia. Obat-obat yang meningkatkan efek dopamin dalam sistem ini menunjukkan aktivitas farmakologis terhadap kedua penyakit tersebut. Seperti neurotransmiter lain, target terapetik dalam sistem dopaminergik meliputi : biosintesis, metabolisme, penyimpanan, reuptake dan reseptor (presinaps dan prasinaps) dopaminergik. Struktur reseptor dopaminergik Reseptor dopamin terdiri dari dua subtipe, D-1 (dengan I3 pendek, C-terminal panjang) dan

D-2 (I3 panjang, C-terminal pendek). Reseptor D2 receptors mempunyai isoform: D2L dan D2S. Farmakologi a) Inhibitor sintesis dopamin Carbidopa merupakan analog I-metildopa dan menghambat DOPA-decarboxylase. Obat ini digunakan untuk melindungi DOPA (prekursor dopamin) dari dekarboksilasi. Benserazide mempunyai aktivitas serupa dengan carbidopa. b) Inhibitor metabolisme dopamin Beberapa senyawa mempengaruhi MAO dan catecholamine-O-methyltransfersase mencegah metabolisme degradatif dopamin. Contoh : iproniazid, tranylcypromine, phenelzine c) Inhibitor penyimpanan dopamin Penyimpanan dan pelepasan dopamin dapat dipengaruhi secara ireversibel oleh reserpin. A-hidroksibutiran atau butirolakton dapat secara spesifik memblok pelepasan dopamin. d) Inhibitor reuptake dopamin Reuptake dopamin dapat dihambat oleh beberapa senyawa seperti benztropin, tandamin, bupropion, nomifensine, dan amfetamine. Senyawa-senyawa ini bekerja sebagai antidepresan poten. e) Agonis Dopaminergik Prasinaps Alkaloid ergot diketahui pertama kali menunjukkan aktivitas ini. Ergot (Claviceps purpurea) merupakan fungi parasit yang ditemukan di rumput-rumputan dan jerami. Derivat dihidro-ergocryptine merupakan agonis dopamin poten dan digunakan sebagai vasodilator (dengan efek terhadap SSP) dan meningkatkan performa pada f)

geriatri (fisik maupun mental). Agonis Dopaminergik Post-sinaps Apomorfin mempunyai aktivitas emetik, merupakan agonis pra- dan post-sinaps.

Nomifensin juga merupakan agonis postsinaps, berfungsi sebagai antidepresan. g) Antagonis Dopamine (Postsynaptic Blockers) Kelompok senyawa ini merupakan obat-obat antipsikotik (neuroleptics) dan digunakan untuk manajemen semua jenis schizophrenia. Golongan fenotiazin mempunyai efek meredakan pada pasien psikotik tanpa sedasi berlebih. Efek lain meliputi antiemetik, digunakan pada emetik karena penyakit atau emetik terinduksi obat dan radiasi, tapi tidak untuk motion sickness. 4. Histamin dan Reseptor Histaminergik Histamin merupakan amin biogenik yang tersebar di seluruh tubuh dan berfungsi sebagai mediator utama reaksi inflamasi dan alergi, sebagai pengatur fisiologis sekresi asam

lambung, sebagai neurotransmiter di SSP, serta juga berperan dalam pertumbuhan dan perbaikan jaringan. Histamin disimpan dalam granul sel mast di hampir semua jaringan dalam tubuh, ditemukan pada konsentrasi tinggi di sel mast pada paru-paru, kulit dan saluran cerna. Alergen dan antigen berikatan pada antibodi IgE pada permukaan sel mast menyebabkan IgE berubah konformasi dan menstimulasi pelepasan histamin tersimpan dari sel mast (degranulasi). Histamin dari sel mast dalam mukosa lambung mempunyai peran fisiologi penting dalam sekresi asam lambung. Stimulasi saraf parasimpatik dan pelepasan gastrin dari sel G keduanya mengaktifkan sel mast lambung, mengakibatkan lepasnya histamin. Selain dalam sel mast dan basofil (lebih dari 90%), histamin juga ada di sel platelet, enterochromaffin-like cells, sel endotelial dan neuron. Histamin juga dapat bekerja sebagai neurotransmiter di otak. Histamin disintesis dari asam amino histidin melalui aktivitas enzim dekarboksilasi dan dapat dimetabolisme oleh histamin-N-metil transferase atau diamine oksidase. Aksi histamn sebagai neurotransmiter lebih cenderung diakhiri oleh metabolisme dari pada reuptake ke dalam ujung saraf pre-sinaps. Reseptor Histamin Histamin berikatan dan mengaktifkan permukaan sel reseptor. Telah diidentifikasi empat jenis reseptor histamin, yaitu H1, H2, H3, dan H4. Keempat jenis reseptor histamin merupakan reseptor terkopling protein-G dan respon fungsionalnya dihasilkan dari aktivasi spesifik protein-G. 1. Reseptor H1 Reseptor H1 terkopel dengan protein Gq/11, respon terjadi terutama melalui aktivasi posforilase C yang menghidrolisis membran posfolipid menjadi second messenger intrasel inositol 1,4,5-tris phosphate (IP3) dan diasilgliserol. IP3 dilepaskan ke dalam sitosol dan menstimulasi pelepasan ion Ca2+ dari cadangan intrasel. Reseptor ini ditemukan di otot polos perifer dan SSP, berperan memediasi permeabilitas vaskuler terinduksi histamin. Residu asam amino yang terlibat dalam interaksi dengan histamin adalah Aspartat, Asparagin, dan Lisin. 2. Reseptor H2 Reseptor H2 berperan dalam sekresi asam lambung. Aktivasi reseptor H2, bersama dengan gastrin dan asetilkolin dari vagus, potensial menstimulasi sekresi asam dari sel parietal. Histamin dalam jumlah tinggi juga ditemukan di jaringan kardiak dan dapat menstimulasi efek kronotropik dan inotropik melalui stimulasi reseptor H2.

5. Glutamat dan Aspartat Glutamat dan aspartat mendepolarisasi berbagai neuron mamalia bila secara langsung diangkut ke membran sel melalui iontoforesis. Glutamat merupakan transmiter eksitasi utama di otak dan medula spinalis, dan telah diperkirakan bahwa glutamat merupakan transmiter yang berperan pada 75% hantaran eksitasi di otak. Aspartat tampaknya merupakan transimiter di sel-sel korteks piramidalis dan sel-sel stelata berduri di korteks visual, tetapi belum dipelajari dengan rinci. Glutamat dibentuk melalui aminasi reduksi intermediet siklus krebs α-ketoglutarat sedangkan aspartat dibentuk melalui siklus krebs oksaloasetat. Kedua reaksi bersifat bolak balik, dan metabolisme selanjutnya berlangsung melalui siklus asam sitrat. Terdapat dua jenis reseptor glutamat: reseptor metabotropik dan ionotropik. Reseptor metabotropik merupakan reseotor yang berpasangan dengan protein G sepertin yang meningkatkan kadar IP3 dan DAG intrasel atau menurunkan kadar AMP siklikintrasel. Tampaknya reseptor-reseptor itu berperan dalam terjadinya palstisitas sinaptik, terutama di hipokampus dan serebelum. Reseptor ionotropik merupakan saluran ion yang memilki gerbang ligan yang menyerupai reseptor kolinergik nikotonik dan reseptor GABA dan glisin.

Neurotransmiter Inhibitorik1 1. Gama-Aminobutirat (GABA) Asam-Gama-aminobutirat (GABA) merupakan mediator inhibisi utama di otak, dan merupakan 20% transmiter di sinaps SSP. Zat ini juga terdapat di retina dan merupakan mediator yang berperan pada inhibisi presinaptik. GABA yang terdapat dalam bentuk ɣ-aminobutirat dalam cairan tubuh terbentuk melalui dekarboksilasi glutamat. Enzim yang mengkatalisis reaksi ini adalah glutamat dekarbolsilase

(GAD),

yang

telah

diperlihatkan

keberadaannya

melalui

teknik

imunohistokimiawi di ujung-ujung saraf di banyak bagian cairan otak. Tiga tipe resepto GABA yang telah teridentifikasi adalah GABAA, GABAB, GABAC. Reseptor GABAA dan GABAB tersebar luas di SSP sedangkan pada vertebrata dewasa reseptor GABAC ditemukan paling banyak di retina. Reseptor-reseptor GABAA dan GABAC adalah saluran-saluran ion yang tersusun dari 5 subunit yang mengelilingi sebuah lubang, seperti reseptor asetilkolin nikotonik dan sejumlah besar reseptor glutamat. 2. Glisin Melalui kerjanya pada reseptor NMDA, glisin mempunyai efek eksitasi di jaringan otak. Meskipun demikian, glisisin juga turut berperan dalam inhibisi langsung terutama di batang otak dan medula spinalis. Seperti halnya GABA, glisisn bekerja dengan meningktakan

konduktans Cl-. Kerja glisin dihambat oleh striknin. Gambaran klinis kejang hiperaktivitas otot yang ditimbulkan oleh strinin memperjelas pentingnya inhibisi postsinaptik pada fungsi saraf yang normal. Reseptor glisin yang berperan pada inhibisi merupakan saluran Cl -. Reseptor itu merupakan pentamer yang terbentuk dari dua subunit, subunit α yang mengikat ligand dan subunit β struktural. Akhir-akhir ini bukti kuat menunjukkan bahwa terdapat 3 jenis neuron yang bertanggung jawab dalam inhibisi langsung di medula spinalis: neuronneuron yang mensekresi glisin, neoron yang mensekresi GABA dan neoron yang mensekresi keduanya. FUNGSI 1. Sinaps eksitatorik3 Respons terhadap kombinasi neurotransmitter reseptor adalah pembukaan saluran Na+ dan K+ di dalam membran subsinaps, sehingga terjadi peningkatan permeabilitas terhadap kedua ion tersebut. Terjadi depolarisasi di postsinaps karena ion Na+ masuk melalui saluran dan menyebabkan bagian dalam lebih positif dari bagian luar neuron. Akibat depolarisasi ini membran neuron postsinaps mendekati ambang letup dan meningkatkan kemungkinan terjadinya potensial aksi. Perubahan potensial post sinaps yang terjadi di sinaps eksitatorik disebut eksitatori postsynaptic potensial (EPSP)

Gambar 2. Sinaps eksitatorik4 2. Sinaps inhibitorik Di sinaps inhibitorik, pengikatan neurotransmiter yang berbeda dengan reseptornya meningkatkan permeabilitas membran subsinaps terhadap K+ atau C-. Pada keadaan tersebut kasus, perpindahan ion yang terjadi biasanya menyebabkan hiperpolarisasi kescil neuron postsinaps- yaitu, nagativitas bagian dalam yang lebih besar. Pada peningkatan P K+, lebih banyak muatan positif keluar dari sel melalui efluks K+.3 Meninggalkan muatan lebih negatif di bagian dalam sel. Untuk menimbulkan hiperpolarisasi membran pada peningkatan PCL-, lebih bnayak muatan negatif masuk ke sel

dalam bentuk ion CL-, karena konsentrasi CL- di luar sel jauh lebih tinggi, daripada yang terdorong keluar oleh gradien listrik yang terbentukoleh potensial membran istirahat. Pada keduanya, hiperpolarisasi kecil ini membawa potensial membran semakin jauh dari ambang, memperkecil kemungkinan bahwa neuron postsinaps akan mencapai ambang dan mengalami potensial aksi. Yaitu membran kini kurang peka rangsang (lebih sulit dibawa ke ambang oleh masukan eksitatorik) dibandingkan ketika keadaan istirahat. Membran dikatakan tehlambat oleh keadaan ini, dan hiperpolasisasi postsinapss di sebut Inhibitory postsinap potential (IPSP).3 Di sel yang potensial keseimbangannya untuk CI- sama persis dengan potensial istirahat.peningkatan PCL- tidak menyebabkan hiperpolarisasi karena tidak terdapat gaya pendorong untuk memindahkan Cl-. Pembentukan Cl- di sel-sel ini cenderung menahan membran pada potensial istirahatnya, mengurangi kemungkinan tercapainya ambang. Perhatikan bahwa PPE dan PII dihasilkan oleh pembukaan saluran-saluran yang memiliki pintu kimiawi,tidak seperti potensial aksi, yang di hasilkan oleh pembukaan saluran-saluran yang memiliki pintu voltase.3 a. Sinaps Inhibitorik mengubah konformitas permeabilitas K+ (jadi eflux K+) dan Cl- (influx Cl-), menimbulkan hiperpolarisasi kecil di neuron pascasinaps. Perubahan potensial pascasinaps : IPSP (inhibitory post synaptic potentials) Karena menerima dari berbagai sinaps, ada potensial total di neuron pascasinaptic (GPSP/ Grand postsynaptic potential) mengikuti hukum penjumlahan. Ada 2 jenis, yakni penjumlahan temporal (penjumlahan akibat rangsang potensial aksi yang berturut-turut), dan penjumlahan spatial (penjumlahan akibat rangsangan dari berbagai sinaps) Selain itu, terdapat pula aktivitas pelepasan neurotransmiter yang dapat menghambat perambatan impuls saraf pada suatu bentuk interaksi neuron. Neurotransmiter yang biasa berperan adalah GABA. Besarnya inhibisi dan eksitasi yang terjadi akan dijumlahkan pada saat mencapai zona pemicuan. Jika besar potensial yang tercapai melebihi ambang letup, maka potensial aksi akan terjadi, begitu pula sebaliknya. Inhibisi ini dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu (1) inhibisi presinaptik dan (2) inhibisi postsinaptik.

Gambar 3. Jenis inhibisi dalam interaksi sinaps5 Setelah melakukan fungsinya, neurotransmiter harus segera disingkirkan, menghindari EPSP atau IPSP terus berlanjut, dengan cara diinaktifkan dengan enzim spesifik di membran subsinaps maupun secara aktif diserap kembali oleh neuron presinaptik untuk di’daur ulang’ maupun dihancurkan oleh enzim di kepala sinaps. Daftar Pustaka 1. Ganong WF. Buku ajar Fisiologi kedokteran. Ed 20. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2002.h. 81, 102-3. 2. Widodo GP, Heroeari R. Neurotransmiter. Diunduh dari http://rinaherowati.files.wordpress.com/2012/03/materi-pokok-vi.pdf, 27 November 2014. 3. Sherwood L. Fisiologi manusia. Ed 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012. 4. Gambar sinaps eksitatorik. Di unduh dari https://www.google.co.id/search? q=sinaps+eksitatorik+dan+inhibitorik&espv, 27 November 2014. 5. Jenis inhibisi dalam interaksi sinpas. Diunduh dari https://www.google.co.id/search?

q=sinaps+eksitatorik+dan+inhibitorik&espv=2&biw=10, 27 November 2014.

Related Documents


More Documents from "fdfhfdhdgh"