Olah Batin

  • Uploaded by: Saraswanto
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Olah Batin as PDF for free.

More details

  • Words: 7,016
  • Pages: 19
Loading documents preview...
2 PELAJARAN KE-DUA OLAH BATIN

25

2.1. KUNCI SUKSES BELAJAR ILMU GHOIB Agar suatu kegiatan itu dapat berjalan dengan baik & lancar dan berhasil dengan sukses maka dibutuhkan suatu rencana atau persiapan yang matang. Begitu pula dalam mempela jari ilmu-ilmu hikmah/ilmu keghoiban (Jawa: Ngelmu). Seseorang yang hendak belajar ngelmu tidak boleh tergesa-gesa, supaya tidak terjadi kesimpang siuran (menyimpang/ sesat) dan kacau balau (gila). Upaya pertama yang harus dilakukan oleh calon murid adalah kesiapan batin. Dalam hal ini ada baiknya diawali dengan berkonsultasi dengan orang yang telah ahli dalam ilmu gaib dan juga kepada ahli ilmu agama yang diyakininya. Dalam mempelajari ngelmu dibutuhkan suatu persiapan supaya tahu terapan ilmu batin tersebut. Dengan jalan, memperhatikan dan memahami maknanya. Duduk dengan tenang penuh kesadaran, pahami apa yang sedang dilakukan dan tahu betul bahwa dirinya telah siap untuk belajar. Kemudian berkonsentrasi fikiran barulah menelaah fatwa-fatwa ajaran yang tersirat dari ngelmu tersebut. Kalau tidak dapat berkonsentrasi maka akan kacau balaulah akibatnya dan gagallah yang akan didapat. Setelah dapat berkonsentrasi, barulah memulai dengan petunjuk yang utama terdiri dari empat perkara.

2.2. PAHAMI 4 PERKARA Jadi jika disimpulkan syarat keberhasilan bagi yang akan memperdalam suatu ilmu hikmah atau ngelmu adalah sebagai berikut: • Sadar, bahwa dirinya akan mempelajari ngelmu mistik (gaib). • Konsentrasi fikiran, jangan tumpangsuh fikirannya. • Faham arti empat perkara, yaitu: 1. Mantep, artinya mantap dengan penuh keyakinan untuk mempelajari ilmu tersebut. 2. Temen, artinya tekun atau bersungguh-sungguh. 3. Gelem nglakoni, artinya mau menjalani, walau apapun yang terjadi tetap menghayati ngelmu tersebut. 4. Ojo gumunan, artinya jangan mudah heran atau terpukau, terpesona, terhadap keajaiban yang ditimbulkan oleh ngelmu tersebut. Karena bila rasa heran itu timbul / muncul, maka proses ngelmu itupun akan berhenti. Dampak dari gumun (heran) itu adalah hancurnya konsentrasi. Bila terapan ilmu batiniah itu telah dipahami benar maka sudah saatnya untuk memulai. Dengan bermodalkan ketekunan dan sabar maka ngelmu itu akan berhasil dipelajari. Renungkan dengan kesungguhan hati, untuk merenungi tuntunan ngelmu ini. Pada titik jenuh, maka akan terbukalah keberadaannya.

2.3. CARA MEMBUKA PINTU ILMU GAIB Baginda Rasulullah Saw bersabda, belajar ilmu tanpa guru, gurunya adalah setan. Hadis ini menjelaskan belajar ilmu harus mengetahui sanad ilmunya dan belajar kepada guryu 26

yang memahami ilmu tersebut. Jika Anda hanya mengetahui nama gurunya tetapi guru tersebut sudah wafat, Anda dapat memohoin ijin untuk mengamalkan ilmu tersebut dengan mengirimkan doa serta tawasul kepada guru tersebut. Banyak para ulama yang diajar oleh Nabi Khidir a.s, itu semua karena tujuan mempelajari ilmu tersebut biasanya untuk manfaat kepada kemaslahatan umat. Inilah ijtihat yang sering dilakukan oleh para ahli ilmu batin dan para ulama khos dahulu. Semua ilmu didapatkan harus dengan laku atau riyadoh, jika ada ilmu yang instan dapat dimiliki, biasanya ilmu yang menggunakan khodam. Jika Anda memiliki energi di bawah kekuatan khodam, maka Anda akan mudah dikuasai oleh khodam tersebut, yang akhirnya akan merugikan diri Anda sendiri. Jika Anda termasuk orang yang sering gagal dalam mempelajari ilmu gaib atau tidak menemukan guru sakti yang bersedia mengisikan ilmu ke tubuh Anda, jangan pesimis. Lakukanlah cara berikut ini, semoga dengan cara yang saya berikan ini, Anda akan mudah menguasai ilmu gaib meskipun Anda hanya belajar dari buku ini. Amalan membuka ilmu gaib, disebut juga amalan untuk untuk ketajaman mata hati. Selama 40 hari, setiap selesai salat, terutama Magrib dan Subuh atau ketika Anda selesai salat malam (tahajud), lakukanlah wirid berikut di bawah ini. Jika dirasa waktu 40 hari tersebut terlalu lama, dapat juga dilakukan dengan puasa bilaruh selama 3 hari pada hari yang memiliki jumlah neptu 40. Sebelum menjalani lelaku, syarat utamanya adalah dimulai dengan membaca niat “Nawaitu dzikrullahi ta’ala, Al jasadu kiblatul qolbi, wa qolbi qiblatur ruhi, wa ruhi kiblatullaahi, Allahu Akbar”. (Niat ini menjadi pembuka setiap dzikir yang akan dilakukan, karena jika tidak membaca niat seperti itu, dikawatirkan akan disesatkan oleh jin atau khodam yang jahat). Kemudian membaca tata cara WADAH BATIN, seperti yang tersebut di bawah ini. 1. Membaca Surat Al-Fatihah 7x ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW. 2. Membaca Surat Al-Fatihah 7x ditujukan kepada Wali Ghauts Hadzazzamani. 3. Membaca Ya Sayyidi Ya Rasulullah selama 30 menit dengan khusyuk. 4. Jika Anda punya waktu, maka Membaca kalimah toyyibah “lailahaillallah” 3000 kali atau semampunya. Dengan amalan ini, hati akan terang, pintu ilmu gaib akan terbuka, sehingga Anda akan mudah dalam menguasai bermacam - macam ilmu gaib. PENTING : Kebanyakan do'a mantera, aji-aji, hizib, wirid, aurad, ngelmu dan lain-lain sejenisnya, itu semua membutuhkan lelaku. Ada yang 1 hari semalam, ada yang 3 hari semalam, ada yang 7 hari semalam, ada pula yang sampai 40 hari semalam, bahkan terlebih lagi ada yang lelaku sampai 1 tahun. Kanjeng Sunan Kalijaga memberi anjuran lelaku tirakat 3 hari tersebut dijadikan lelaku sama dengan tirakat selama 40 hari dengan puasa bilaruh yaitu puasa yang tidak memakan dari makanan yang bernyawa termasuk turunannya, misalnya telor, terasi, bakso, dll, dengan catatan harus pandai-pandai memilih waktu yang 3 hari tersebut jumlah neptunya harus 40. 27

Tabel urutan neptu hari dengan jumlah 40 No. 1 2 3 4 5

URUTAN HARI DENGAN NEPTU 40 Selasa Kliwon Rabu Legi Kamis Pahing Rabu Pon Kamis Wage Jumat Kliwon Kamis Wage Jumat Kliwon Sabtu Legi Jum'at Paing Sabtu Pon Minggu Wage Sabtu Kliwon Minggu Legi Senin Pahing

NEPTU HARI dan PASARAN Senin = 4

Sabtu= 9

Paing= 9

Selasa= 3

Ahad= 5

Pon =

7

Rabu = 7

Wage= 4

Kamis= 8

Kliwon= 8

Jumat= 6

Legi =

5

Hari-hari pada ke-lima nomor tersebut, dapat dipilih salah satu sesuai dengan kebutuhan waktu lelaku tirakat anda. Apabila anda melaksanakan lelaku tepat pada hari-hari yang ada di dalam daftar tersebut, sama saja anda telah melaksanakan lelaku selama 40 hari. Sedangkan untuk lelaku yang membutuhkan waktu 1 tahun atau perawatan khusus pada sebuah ilmu, dapat dilakukan dengan puasa 3 hari sesuai waktu pada daftar tersebut di atas sebanyak enam kali berturut-turut. Jika weton Anda tidak ada yang berurutan seperti tabel di atas, maka Anda bisa mengawali sesuai tabel nomor 1, mulai dari hari Anggara Kasih yaitu Selasa Kliwon ~ Rabu Legi ~ Kamis Pahing. Sesudah selesai mejalani lelaku tersebut di atas sebaiknya ditutup dengan sodaqoh memberikan jajanan pasar atau sodaqoh di masjid seikhlasnya.

2.4. TATA CARA MEMBUAT WADAH BATIN Selain mengamalkan CARA MEMBUKA PINTU ILMU GAIB, Anda harus mengetahui hambatan yang ada ketika riyadoh ilmu gaib. Sesungguhnya Nafsu merupakan hijab yang menjadi bagian dari hambatan tersebut kepada Allah ta’ala, dan untuk dapat masuk Fatihah dan Al-Ikhlas adalah pintu gerbangnya. Untuk riyadoh/tirakat/pengamalan keilmu an, baik pada dzikir nafas maupun pada pembacaan mantera harus dibuka hijabnya dahulu agar energi keilmuan tersebut dapat masuk dengan sempurna, yaitu dengan tata cara di bawah ini. Setelah proses pembukaan selesai, nanti juga harus dilakukan proses penutupannya. Tata caranya adalah sebagai berikut: 1. Bismillah… Khususon illa ruuhi wa jazadi…. (sebut nama sendiri), (ALIF LAM 3X) walhadiatan… ALFATIHAH 5X, AL-IKHLAS 5X 2. Lalu melakukan riyadoh…(tirakat atau baca mantera untuk memasukkan ilmu) 3. Setelah selesai riyadoh, maka harus ditutup atau dikunci agar energi amalan yang ditirakati tadi tidak keluar bahkan menjadi tidak stabil, yaitu dengan cara membaca : SUBHANALLAHI ALFI ALFI LA HAULA WALA QUWWATA ILLA BILLAHIL ‘ALIYYIL ‘AZHIIM… 3X 4. Kemudia baca yang sama dengan pembukaannya, hanya pada Alif Lam dibalik menjadi Lam Alif. Khususon illa ruuhi wa jazadi…. (sebut nama sendiri), (LAM ALIF 3X) walhadiatan… ALFATIHAH 5X, AL-IKHLAS 5X Amalan ini selain sebagai wadah keilmuan batin, juga sebagai pageran atau perisai. Pengamalnya tidak dapat diterawang oleh orang lain, karena tidak ada unsur khodam. 28

2.5.

PUASA WETON HARI LAHIR

Wetonan (Puasa Weton). Puasa weton (wetonan) adalah puasa untuk memperingati hari kelahiran seseorang sesuai laku dan tradisi dalam budaya jawa. Puasa weton adalah jenis puasa ngebleng yang sudah umum dilakukan oleh orang-orang di masyarakat jawa pada hari weton kelahirannya yang perhitungan waktu mulai berpuasa dan menutup puasa dilakukan berdasarkan hari kelahirannya dalam kalender jawa. Puasa weton biasanya dilakukan orang dengan niat menjaga kedekatan hubungan pancer (orangnya) dengan roh sedulur papatnya, supaya kuat sukmanya, selalu peka rasa dan batin, peka firasat, peka bisikan gaib, untuk mendapatkan restu pengayoman dari para leluhurnya, supaya hidupnya keberkahan dan lancar segala urusan dan usahanya, atau untuk terkabulnya suatu keinginan yang sifatnya penting. Puasa weton harus dilakukan dengan sugesti kebatinan, yaitu dengan sikap hati berprihatin, menjauhi hiburan dan sikap bersenang-senang dan banyak berdoa menghadap ke timur dengan kesatuan hati difokuskan kepada Tuhan. (baca : Kebatinan Dalam Keagamaan), bukan sekedar sudah terlaksananya formalitas berpuasa weton, karena pengaruhnya yang diharapkan adalah bersifat kegaiban roh / sukma, bukan biologis. Laku puasa tersebut dimaksudkan untuk menjadikan hidup mereka lebih 'bersih' dan keberkahan, sekaligus juga bersifat kebatinan, yaitu untuk memelihara kepekaan batin dan memperkuat hubungan mereka dengan saudara kembar gaib mereka yang biasa disebut 'Sedulur Papat', sehingga lakunya berpuasa itu juga untuk memelihara 'berkah' indera keenam seperti peka firasat, peka terhadap petunjuk gaib / pertanda, peka tanda-tanda alam, dsb. Kegaiban puasa weton terkait dengan kegaiban yang berasal dari sukma manusia sendiri (kegaiban dari kesatuan roh pancer dan sedulur papat), tidak berhubungan dengan kegaiban roh-roh lain atau khodam. Puasa weton tidak bisa disamakan atau diperbandingkan atau ditukar dengan puasa bentuk lain, karena sifat dan kegaibannya berbeda. Dalam menjalankan puasa weton orang tetap dibolehkan melakukan aktivitas yang lain, hanya saja jangan sampai orangnya lupa bahwa ia sedang berlaku prihatin. Selama menjalankan puasa weton itu orangnya harus sadar bahwa ia sedang berlaku prihatin. Sejak jaman dulu masyarakat dan spiritual Jawa meyakini bahwa setiap manusia mempunyai saudara-saudara halus yang mendampinginya. Mereka tidak kelihatan mata biasa. Mereka tergolong sebagai roh-roh halus. Saudara-saudara halus ini banyak yang menyebutnya dengan istilah Saudara Kembar, atau disebut juga Roh Sedulur Papat. Konsep tersebut secara umum dipercaya dan dihayati oleh masyarakat jawa. Dalam kehidupan sehari-harinya di masa sekarang pun banyak orang Jawa yang masih menjalankan laku prihatin dan tirakat tertentu untuk memelihara Sedulur Papat mereka. Kepercayaan terhadap sedulur papat ini tata-laku dan ritualnya dimulai ketika seorang ibu melahirkan bayi. Selain atas kelahiran anaknya itu dilakukan syukuran / selametan, terha29

dap ari-ari si jabang bayi juga dilakukan suatu "perawatan". Ada tatacara dan ritual tersendiri untuk merawat dan menyimpan / memakamkan ari-ari anak, yang selain dibacakan doa-doa, biasanya juga diberikan sesaji kembang, diberikan lampu penerangan selama 7 atau 40 hari di tempat ari-ari dimakamkan, dan dijaga supaya tidak diganggu hewan dan tidak langsung terkena hujan. Pada hari-hari berikutnya biasanya sang orang tua akan tekun memelihara sedulur papat anak-anaknya dengan cara pada hari weton masing-masing anaknya (atau sebulan sekali) ia memberikan bubur merah putih atau jajan pasar untuk dimakan oleh anak-anaknya itu atau memberi kembang di makam ari-ari anak. Harapannya adalah supaya anak-anaknya itu terpelihara tubuh dan sukmanya, sehat secara kejiwaan, sehat tubuhnya tidak mudah sakit-sakitan, dan tidak ada masalah dalam hidupnya. Setelah anak-anaknya beranjak dewasa, maka anak-anaknya itu sendiri yang harus meme-lihara sedulur papatnya sendiri dengan cara rajin berpuasa weton setiap hari wetonnya (hari kelahirannya sesuai kalender jawa). Sampai sekarang dalam masyarakat Jawa masih ada kepercayaan dan tradisi yang dilestarikan untuk melakukan semacam ritual, puasa dan doa dan memberi sesaji untuk sedulur papat, seperti ritual / puasa wetonan, dengan sesaji bubur merah-putih, atau jajan pasar, mandi kembang, atau memberi kembang di makam ari-ari anak, dsb. Tradisi ini baik sekali bila dilakukan, supaya sukma orang yang bersangkutan terpelihara, sehat secara kejiwaan, sehat tubuhnya tidak mudah sakit-sakitan, dan supaya lancar segala urusan hidupnya. Bahkan ada juga orang yang secara khusus menyimpan ari-arinya (yang sudah kering) di dalam lemari atau di dalam dompetnya dengan harapan sedulur papatnya aktif mendampinginya dan membantunya dalam kehidupannya sehari-hari. Kepercayaan dasar atas laku dan ritual di atas adalah pada adanya kepercayaan tentang roh sedulur papat yang selalu mendampingi manusia sejak manusia itu lahir. Karena itu orang jawa yang masih memelihara kepercayaan kejawen akan menghormati kepercayaan itu, bahkan masih banyak yang tekun menjalankan tata-laku dan ritual yang terkait dengan sedulur papat. Puasa weton yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak memahami atau tidak meyakini keberadaan roh sedulur papat kegaibannya tidak akan sebaik mereka yang melakukannya dengan landasan kepercayaan pada adanya kebersamaan roh sedulur papat. Keyakinan pada keberadaan dan kebersamaan roh sedulur papat dengan pancer akan memperkuat kegaiban sukma dan memperkuat interaksi roh sedulur papat dengan roh-roh leluhur orangnya. Dalam kehidupannya sehari-hari kegaiban sukma akan membantu dalam kemantapan bersikap, membantu membuka jalan hidup dan menyingkirkan halangan dan kesulitan-kesulitan, dan interaksi sedulur papat akan membantu peka rasa dan firasat, peka bisikan gaib, mendatangkan ide-ide dan ilham, peringatan-peringatan dan jawabanjawaban permasalahan. Puasa weton adalah suatu laku yang berasal dari tradisi budaya jawa, dilakukan dengan berpuasa pada hari kelahiran seseorang (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum'at, Sabtu, Minggu) yang hari kelahirannya itu disesuaikan dengan hari pasaran jawa (Legi, Pahing, Pon, Wage atau Kliwon). Dengan demikian hari weton kelahiran seseorang akan selalu beru30

lang setiap 35 hari sekali. Sesuai ajaran kebatinan jawa selama berpuasa itu orangnya berdoa di malam hari kepada Tuhan di luar rumah menghadap ke timur. Penjelasan penetapan hari jawa : Dalam penanggalan Jawa, hari dimulai pada hari sebelumnya pukul 5 sore (pk.17.00) dan berakhir pada hari yang bersangkutan pukul 5 sore (pk.17.00). Jadi, mulainya hari adalah hari sebelumnya pk.5 sore, dan batas akhir suatu hari adalah hari itu pada pk.5 sore (pastikan Anda mengetahui jam berapa Anda dilahirkan). Berarti hari Senin dimulai pada hari sebelumnya, yaitu hari Minggu pk.5 sore dan berakhir pada hari Senin tersebut pk.5 sore. Hari Senin itu pada pk.6 sore (mahgrib) sudah terhitung sebagai hari Selasa, karena sudah melewati batas akhir hari Senin pk.5 sore. Hitungan hari kelahiran jawa : Misalnya tanggal kelahiran 10 Juni 1970, pada penanggalan jawa harinya adalah Rabu Wage. Sesuai hitungan hari jawa di atas, maka hari kelahiran Rabu Wage 10 Juni 1970 itu berlaku untuk orang-orang yang lahir dalam rentang waktu antara 9 Juni 1970 pk.17.00 sampai dengan 10 Juni 1970 pk.17.00. Orang-orang itu, bila ingin puasa weton, yang dijadikan patokan hari kelahirannya adalah hari Rabu Wage. Sedangkan orang-orang kelahiran 10 Juni 1970 pada malam hari (melewati pk.17.00), berarti hari kelahiran jawa orang itu bukan Rabu Wage, tetapi adalah Kamis Kliwon, karena waktu (jam) kelahirannya sudah melewati batas akhir hari Rabu Wage pk.17.00, sudah masuk ke hari Kamis Kliwon. Orang-orang itu, bila ingin puasa weton, yang dijadikan patokan hari jawa kelahirannya adalah Kamis Kliwon, bukan Rabu Wage. (Mengenai hitungan hari kelahiran jawa ini silakan dicari pada program primbon hari kelahiran di internet. Sesudah itu tinggal anda sesuaikan hari jawanya dengan jam kelahiran anda apakah pagi hari, siang hari atau malam hari. Lebih baik lagi bila programnya itu bisa didownload). Beberapa hitungan hari dalam puasa weton sbb : 1. Puasa weton sehari. Puasa weton sehari ini adalah yang secara umum dilakukan orang dalam budaya Jawa. Puasanya 1 hari Jawa (sehari semalam, 24 jam). Misalnya hari kelahirannya adalah Selasa Pahing, maka puasanya dimulai pada hari sebelumnya, yaitu hari Senin pk.5 sore dan berakhir pada hari Selasa Pahing tersebut pk.5 sore. 2. Puasa weton 3 hari (puasa apit weton - hari weton diapit di tengah). Puasa weton 3 hari biasanya dilakukan untuk harapan terkabulnya suatu keinginan khusus yang kejadiannya tidak terjadi setiap hari. Puasa weton 3 hari dilakukan selama 3 hari jawa terus-menerus tanpa putus, yaitu puasa pada hari wetonnya ditambah 1 hari sebelumnya dan 1 hari sesudahnya, sehingga total puasa menjadi 3 hari jawa terus-menerus (3 x 24 jam). Hari wetonnya diapit di tengah. Puasa weton 3 hari (puasa apit weton) ini mempunyai efek kegaiban mirip seperti puasa ngebleng 3 hari. 31

Misalnya kelahiran Rabu Kliwon, maka puasanya dijalankan selama 3 hari, yaitu Selasa, Rabu Kliwon dan Kamis, terus-menerus tanpa putus. Hari Selasa dimulai pada hari Sebelumnya, yaitu hari Senin pk.5 sore. Hari Kamis berakhir pada pk. 5 sore hari. Jadi puasa weton Rabu Kliwon 3 hari itu dimulai pada hari Senin pk.5 sore dan berakhir pada hari Kamis pk.5 sore. Puasanya terus-menerus tanpa putus siang dan malam. Ber-buka puasanya hari Kamis pk.5 sore. 3. Puasa weton 3 hari selama 7 kali berturut-turut (7 kali puasa apit weton). Artinya, puasanya dijalankan selama 3 hari jawa terus-menerus tanpa putus dan dilakukan selama 7 kali berturut-turut tanpa putus (selama 7 bulan jawa berturut-turut). Jenis puasa ini biasanya dilakukan untuk harapan terkabulnya suatu keinginan khusus yang bukan sesuatu yang biasa terjadi sehari-hari dan waktu pencapaiannya agak panjang (pada masa depan), atau untuk keinginan terkabulnya suatu keinginan khusus yang berat, yang kadarnya tinggi, yang bagi seseorang sulit untuk dicapai dengan usaha yang normal (biasanya disertai nazar), sehingga diperlukan suatu laku tambahan demi terkabulnya keinginannya itu, yaitu puasa ngebleng 3 hari 3 malam pada hari weton kelahirannya dan dilakukan selama 7 kali (7 bulan jawa) berturut-turut tanpa putus dan ditutup dengan suatu ritual dan sesaji penutup (tumpengan), selametan atau syukuran atas berhasilnya dirinya menunaikan hajat berpuasa itu. Sesudah puasa 7 kali itu tercapai, bulan-bulan berikutnya tetap puasa wetonan. Misalnya kelahiran Rabu Kliwon, maka puasa weton 3 hari setiap Rabu Kliwon itu dilakukan terus-menerus selama 7 kali berturut-turut (7 bulan jawa) tanpa putus. Catatan: Sejarah puasa apit weton (3 hari) berasal dari cerita saat nabi Adam a.s diturunkan ke Bumi, beliau menangis sedih karena seluruh tubuhnya berubah hitam kelam. Tangisan tersebut sampai terdengar oleh Malaikat Jibril a.s. Karena tidak tega mendengar tangisan tersebut, maka Malaikat Jibril a.s menemui nabi Adam a.s, dan diajarkanlah untuk berpuasa 3 hari. Ketika puasa tersebut dijalani oleh nabi Adam a.s, pada hari pertama berubahlah kulit pada kepala sampai leher menjadi putih. Pada hari ke-dua berubahlah kulitnya dari leher ke pinggang, dan pada hari ke-tiga, kembalilah seluruh tubuh nabi Adam a.s putih kembali seperti semula. Itulah sebabnya puasa ini disebut PUASA PUTIH. Oleh Malaikat Jibril a.s. puasa ini diminta untuk diajarkan kepada keturunan nabi Adam a.s. Demikianlah akhirnya puasa ini diajarkan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga kepada kita. Sesuai ajaran kejawen, saat memulai puasa weton dan pada malam hari selama berpuasa berdoalah menghadap ke timur di luar rumah kepada Tuhan di atas sana. Setelah selesai berpuasa berdoa juga mengucap syukur karena telah diberi kekuatan sehingga dapat menyelesaikan puasanya. Mudah-mudahan Tuhan memberkahi. Puasa weton menjadi sempurna bila dimulai dengan mandi keramas (dengan shampo) dan pada penutupan puasanya dilakukan pemberian sesaji untuk roh sedulur papat dan pancer sebagai berikut (salah satu) : 1. Terbaik, mandi kembang telon atau kembang tujuh rupa, guyuran basah semua dari kepala sampai ke kaki. 32

2. Kedua terbaik, makanan / kue jajan pasar 7 macam, dimakan sebagai makanan berbuka puasa. 3. Ketiga terbaik, bubur merah putih, yaitu bubur tepung beras (bubur sumsum) yang diberi gula jawa cair, dimakan sebagai makanan berbuka puasa. Dengan demikian yang disebut puasa weton (wetonan) itu adalah satu kesatuan puasa weton + mandi kembang telon atau sesaji lain seperti disebutkan di atas. Tetapi wetonan tanpa mandi kembang telon / tujuh rupa atau jajan pasar tidak apa-apa, boleh-boleh saja. Sesaji kembang telon / tujuh rupa atau jajan pasar itu bukanlah keharusan. Itu hanya diperlukan bila kita menginginkan kesempurnaan dari laku kita itu. Karena itu bila diinginkan kesempurnaan dari anda menjalankan puasa weton sebaiknya pada penutupan puasanya anda memberikan sesaji untuk roh pancer dan sedulur papat anda supaya kegaiban wetonan anda itu lebih sempurna, bukan sekedar berpuasa saja. Puasa weton adalah salah satu sarana pemberian perhatian seseorang kepada roh sedulur papatnya dan menjadi sarana memperkuat kesatuan antara seseorang (pancer) dengan roh sedulur papat dan roh para leluhurnya. Mandi kembang menjadi sarana pemberian perhatian seseorang kepada roh sedulur papatnya, "memandikan" / membersihkan roh pancer dan sedulur papatnya yang hasil akhirnya akan juga "membersihkan" orang itu sendiri dari aura-aura negatif tubuh dan sukmanya dan "membersihkan" hidupnya dari kesulitan-kesulitan yang berasal dari dirinya sendiri. Kegaiban yang berasal dari kesatuannya dengan roh sedulur papatnya akan membantu membukakan jalan hidupnya dan membuat keinginan-keinginannya menjadi semakin mudah terwujud. Bagi yang niat wetonan, tapi tidak sempat menjalankan puasanya atau berhalangan, cukup mandi kembang saja, bisa pagi hari, bisa siang atau sore hari, dan berdoa tulus kepada Tuhan di luar rumah menghadap ke timur. Puasa weton terkait dengan kepercayaan pada kegaiban sukma (kepercayaan pada kesatuan dan kebersamaan pancer dan roh sedulur papat). Biasanya dijalankan untuk menjaga kedekatan hubungan orangnya dengan para roh sedulur papatnya, supaya kuat sukmanya, selalu peka rasa dan batin, peka firasat, dan untuk mendapatkan restu pengayoman dari para leluhurnya, supaya hidupnya keberkahan dan lancar segala urusannya, atau untuk terkabulnya suatu keinginan yang sifatnya penting. Puasa weton tidak bisa disamakan, digantikan atau ditukar dengan puasa bentuk lain, karena sifat dan kegaibannya berbeda. Puasa weton (wetonan) adalah salah satu laku budaya kebatinan yang sudah umum dilakukan dalam masyarakat jawa. Tetapi sehubungan dengan adanya pengaruh budaya Islam dalam masyarakat jawa, orang-orang jawa saat ini yang masih melakukan puasa weton ini sudah tidak lagi menjalankannya sesuai aslinya ajaran jawa, yaitu dengan puasa ngebleng, tetapi melakukan puasanya sama dengan puasa biasa saja, yaitu puasa dari subuh sampai mahgrib saja. Sekalipun laku puasa weton yang dipengaruhi budaya Islam itu masih memberikan kegaiban, tetapi sudah tidak lagi besar seperti seharusnya, bahkan banyak orang yang tidak lagi dapat merasakan kegaibannya sehingga kemudian tidak lagi 33

melakukannya, kemudian digantikannya dengan puasa Senin - Kamis, puasa mutih, atau puasa berpantang makanan tertentu saja.

2.6. ILMU LAKSITA JATI Ilmu yang mengajarkan tata cara menghargai diri sendiri, dengan “laku” batin untuk mensucikan raga dari nafsu angkara murka (amarah), nafsu mengejar kenikmatan (supiyah), dan nafsu serakah (lauwamah). Pribadi membangun raga yang suci dengan menjadikan raga sebagai reservoir nafsul mutmainah. Agar supaya jika manusia mati, raganya dapat menyatu dengan “badan halus” atau ruhani atau badan sukma. Hakikat kesucian, “badan wadag” atau raga tidak boleh pisah dengan “badan halus”, karena raga dan sukma menyatu (curigo manjing warongko) pada saat manusia lahir dari rahim ibu. Sebaliknya, manusia yang berhasil menjadi kalifah Tuhan, selalu menjaga kesucian (bersih dari dosa), jika mati kelak “badan wadag” akan luluh melebur ke dalam “badan halus” yang diliputi oleh Hayyu Dhaim, atau Shang Hyang Hidup yang tetap ada dalam diri kita pribadi, maka dilambangkan dengan “warongko manjing curigo”. Maksudnya, “badan wadag” melebur ke dalam “badan halus”. Pada saat manusia hidup di dunia (mercapada), dilambangkan dengan “curigo manjing warongko”; maksudnya “badan halus” masih berada di dalam “badan wadag”. Maka dari itu terdapat pribahasa sebagai berikut: “Jasad pengikat budi, budi pengikat nafsu, nafsu pengikat karsa (kemauan), karsa pengikat sukma, sukma pengikat rasa, rasa pengikat cipta, cipta pengikat penguasa, penguasa peng-ikat Yang Maha Kuasa”. Sebagai contoh : Jasad jika mengalami kerusakan karena sakit atau celaka, maka tali pengikat budi menjadi putus. Orang yang amat sangat menderita kesakitan tentu saja tidak akan bisa berpikir jernih lagi. Maka putuslah tali budi sebagai pengikat nafsu. Maka orang yang sangat menderita kesakitan, hilanglah semua nafsu-nafsunya; misalnya amarah, nafsu seks, dan nafsu makan. Jika tali nafsu sudah hilang atau putus, maka untuk mempertahankan nyawanya, tinggal tersisa tali karsa atau kemauan. Hal ini, para pembaca dapat menyaksikan sendiri, setiap orang yang menderita sakit parah, energi untuk bertahan hidup tinggalah kemauan atau semangat untuk sembuh. Apabila karsa atau kemauan, dalam bentuk semangat untuk sembuh sudah hilang, maka hilanglah tali pengikat sukma, akibatnya sukma terlepas dari “badan wadag”, dengan kata lain orang tersebut mengalami kematian. Namun demikian, sukma masih mengikat rasa, dalam artian sukma sebenarnya masih memiliki rasa, dalam bentuk rasa sukma yang berbeda dengan rasa ragawi. Bagi penganut kejawen percaya dengan rasa sukma ini. Maka di dalam tradisi Jawa, tidak boleh menyianyiakan jasad orang yang sudah meninggal, karena dipercaya sukmanya yang sudah keluar dari badan masih bisa merasakannya. Rasa yang dimiliki sukma ini, lebih lanjut dijelaskan karena sukma masih berada di dalam dimensi bumi, belum melanjutkan “perjalanan” ke alam barzah atau alam ruh. 34

Rahsa atau rasa, merupakan hakikat Dzat (Yang Maha Kuasa) yang mewujud ke dalam diri manusia. Dzat adalah Yang Maha Tinggi, Yang Maha Kuasa, Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Urutan dari yang tertinggi ke yang lebih rendah adalah sebagai berikut; 1. 2. 3. 4. 5.

Dzat (Dzatullah) Tuhan Yang Maha Suci, meretas menjadi; Hayyu Dhaim (Hayyun) Energi Yang Hidup, meretas menjadi; Cahya atau cahaya (Nurullah), meretas menjadi; Rahsa atau rasa atau sir (Sirrullah), meretas menjadi ; Sukma atau ruh (Ruhullah).

No 1 s/d no 5 adalah retasan dari Dzat, Tuhan Yang Maha Kuasa, maka ruh bersifat abadi, cahaya bersifat mandiri tanpa perlu bahan bakar. Ruh yang suci yang akan melanjutkan “perjalanannya” menuju ke haribaan Tuhan, dan akan melewati alam ruh atau alam barzah, dimana suasana menjadi “jengjem jinem” tak ada rasa lapar-haus, emosi, amarah, sakit, sedih, dsb. Sebelum masuk ke dimensi barzah, ruh melepaskan tali rasa, kemudian ruh masuk ke dalam dimensi alam barzah menjadi hakikat cahaya tanpa rasa, dan tanpa karsa, yang ada hanyalah ketenangan sejati, manembah kepada gelombang Dzat, lebur dening pangastuti.

2.7.

KONSEP ARWAH PENASARAN

Sebaliknya ruh yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi, masih memiliki tali rasa, misalnya rasa penasaran karena masih ada tanggung jawab di bumi yang belum terselesaikan, atau jalan hidup, atau “hutang” yang belum terselesaikan, menyebabkan rasa penasaran. Oleh karena itu dalam konsep Kejawen dipercaya adanya arwah penasaran, yang masih berada di dalam dimensi gaibnya bumi. Sehingga tak jarang masuk ke dalam raga orang lain yang masih hidup yang dijadikan sebagai media komunikasi, karena kenyataan bahwa raganya sendiri telah rusak dan hancur. Itulah sebabnya mengapa di dalam ajaran Kejawen terdapat tata cara “penyempurnaan” arwah (penasaran) tersebut.

2.8.

JALAN SETAPAK MERAIH KESUCIAN

(Jihad/Perang Baratayudha/Perang Sabil) Mati penasaran, kebalikan dari mati sempurna. Dalam kajian Kejawen, mati dalam puncak kesempurnaan adalah mati moksa atau mosca atau mukswa, yakni warangka (raga) manjing curigo (ruh). Raga yang suci, adalah yang tunduk kepada kesucian Dzat yang terderivasi ke dalam ruh. Ruh Suci/Roh Kudus (Ruhul Kuddus) sebagai retasan dari hakikat Dzat, memiliki 20 sifat yang senada dengan 20 sifat Dzat, misalnya kodrat, iradat, berkehendak, mandiri, abadi, dst. Sebaliknya, ruh yang tunduk kepada raga hanya akan menjadi budak nafsu duniawi, sebagaimana sifat hakikat ragawi, yang akan hancur, tidak abadi, dan destruktif. Menjadi raga yang nista, berbanding terbalik dengan gelombang Dzat Yang Maha Suci. Oleh karena itu, menjadi tugas utama manusia, yakni memenang35

kan perang Baratayudha di Padang Kurusetra, antara Pendawa (kebaikan yang lahir dari akal budi dan panca indera) dengan musuhnya Kurawa (nafsu angkara murka). Perang inilah yang dimaksud pula dalam ajaran Islam sebagai Jihad Fii Sabilillah, bukan perang antar agama, atau segala bentuk terorisme. Adapun ajaran untuk menggapai kesucian diri, atau Jihad secara Kejawen, yakni mengendalikan hawa nafsu, serta menjalankan budi (bebuden) yang luhur nilai kemanusiannya (habluminannas) yakni; rela (rilo), ikhlas (legowo), menerima/qonaah (narimo ing pandum), jujur dan benar (temen lan bener), menjaga kesusilaan (trapsilo) dan jalan hidup yang mengutamakan budi yang luhur (lakutama). Adalah pitutur sebagai pengingat-ingat agar supaya manusia selalu eling atau selalu mengingat Tuhan untuk menjaga kesucian dirinya, seperti dalam falsafah Kejawen berikut ini : “jagad bumi alam kabeh sumurupo marang badan, badan sumurupo marang budi, budi sumurupo marang napsu, napsu sumurupo marang nyowo, nyowo sumurupo marang rahso, rahso sumurupo marang cahyo, cahyo sumurupo marang atmo, atmo sumurupo marang ingsun, ingsun jumeneng pribadi” (jagad bumi seisinya pahamilah badan, badan pahamilah budi, budi pahamilah nafsu, nafsu pahamilah nyawa, nyawa pahamilah karsa, karsa pahamilah rahsa, rahsa pahamilah cahya, cahya pahamilah Yang Hidup, Yang Hidup pahamilah Aku, Aku berdiri sendiri (Dzat). Artinya, bahwa manusia sebagai derivasi terakhir yang berasal dari Dzat Sang Pencipta harus (wajib) memiliki kesadaran mikrokosmis dan makrokosmis yakni “sangkan paraning dumadi” serta tunduk, patuh dan hormat (manembah) kepada Dzat Tuhan Pencipta jagad raya. Selain kesadaran di atas, untuk menggapai kesucian manusia harus tetap berada di dalam koridor yang merupakan “jalan tembus” menuju Yang Maha Kuasa. Adalah 7 perkara yang harus dicegah, yakni; 1. Jangan ceroboh, tetapi harus rajin sesuci. 2. Jangan mengumbar nafsu makan, tetapi makanlah jika sudah merasa lapar. 3. Jangan kebanyakan minum, tetapi minum lah jika sudah merasa haus. 4. Jangan gemar tidur, tetapi tidur lah jika sudah merasa kantuk. 5. Jangan banyak omong, tetapi bicara lah dengan melihat situasi dan kondisi. (berbicara jika hal itu lebih baik daripada diamnya) 6. Jangan mengumbar nafsu seks, kecuali jika sudah merasa sangat rindu. 7. Jangan selalu bersenang-senang hati dan hanya demi membuat senang orang-orang, walaupun sedang memperoleh kesenangan, asal tidak meninggalkan duga kira. Demikian pula, di dalam hidup ini jangan sampai kita terlibat dalam 8 perkara berikut; 1. Mengumbar hawa nafsu. 2. Mengumbar kesenangan. 3. Suka bermusuhan dan tindak aniaya. 4. Berulah yang meresahkan. 36

5. Tindakan nista. 6. Perbuatan dengki hati. 7. Bermalas-malas dalam berkarya dan bekerja. 8. Enggan menderita dan prihatin. Sebab perbuatan yang jahat dan tingkah laku buruk hanya akan menjadi aral rintangan dalam meraih rencana dan cita-cita, seperti digambarkan dalam rumus bahasa berikut ini; 1. Nistapapa; orang nista pasti mendapat kesusahan. 2. Dhustalara; orang pendusta pasti mendapat sakit lahir atau batin. 3. Dorasangsara; gemar bertikai pasti mendapat sengsara. 4. Niayapati; orang aniaya pasti mendapatkan kematian.

2.9.

PERBUATAN, PASTI MENIMBULKAN “RESONANSI”

Demikianlah, sebab pada dasarnya perilaku hidup itu ibarat suara yang kita kumandang akan menimbulkan gema, artinya apapun perbuatan kita kepada orang lain, sejatinya akan berbalik mengenai diri kita sendiri. Jika perbuatan kita baik pada orang lain, maka akan menimbulkan “gema” berupa kebaikan yang lebih besar yang akan kita dapatkan dari orang lainnya lagi. Hal ini dapat dipahami sebagaimana dalam peribahasa; · Barang siapa menabur angin, akan menuai badai, · Siapa menanam, akan mengetam, · Barang siapa gemar menolong, akan selalu mendapatkan kemudahan, · Barang siapa gemar sedekah kepada yang susah, rejekinya akan menjadi lapang. · Orang pelit, pailit. · Pemurah hati, mukti.

2.10. PERILAKU TAPA BRATA Idealnya, setiap orang sepanjang hidupnya dapat melaksanakan “tapa brata” atau mesubudi, menahan hawa nafsu, yg mempunyai kesamaan dengan hakikat puasa seperti di bawah ini; 1. Tapa/puasanya badan/raga; harus anoraga; rendah hati; gemar berbuat baik. 2. Tapa/puasanya hati; nerima apa adanya; qonaah; tak punya niat/prasangka buruk, tidak iri hati. 3. Tapa/puasanya nafsu; ikhlas dan sabar dalam menerima musibah, serta memberi maaf kepada orang lain. 4. Tapa/puasanya sukma; jujur. 5. Tapa/puasanya rahsa; mengerem sembarang kemauan, serta kuat prihatin dan menderita. 6. Tapa/puasanya cahya; eneng-ening; tirakat atau bertapa dalam keheningan, kebeningan, dan kesucian. 7. Tapa/puasanya hidup (gesang); eling (selalu sadar makro-mikrokosmos) dan selalu waspada dari segala perilaku buruk. 37

Selain itu, anggota badan (raga) juga memiliki tanggung jawab masing-masing sebagai wujud dari hakikat puasa atau tapa brata; 1. Tapa/puasanya netro/mata; mencegah tidur, dan menutup mata dari nafsu selalu ingin memiliki/menguasai. 2. Tapa/puasanya karno/telinga; mencegah hawa nafsu, enggan mendengar yang tak ada manfaatnya atau yang buruk-buruk. 3. Tapa/puasanya grono/hidung; mencegah sikap gemar membau, dan enggan “ngisap-isap” keburukan orang lain. 4. Tapa/puasanya lisan/mulut; mencegah makan, dan tidak menggunjing keburukan orang lain. 5. Tapa/puasanya puruso/kemaluan; mencegah syahwat, tidak sembarangan ngentot/ ngewe/senggama/zina. 6. Tapa/puasanya asto/tangan; mencegah curi-mencuri, rampok, nyopet, korupsi, dan tidak suka cengkiling; jail dan menyakiti orang lain. 7. Tapa/puasanya suku/kaki; mencegah langkah menuju perbuatan jahat, atau kegiatan negatif, tetapi harus gemar berjalan sembari “semadi” yakni berjalan sebari eling lan waspodo. Tapa/maladi hening/mesu budi/puasa seperti di atas dapat diumpamakan dalam gaya bahasa personifikasi, yang memiliki nilai falsafah yang sangat tinggi dan mendalam sbb; “Katimbang turu, becik tangi. Katimbang tangi, becik melek. Katimbang melek, becik lungguh. Katimbang lungguh, becik ngadeg. Katimbang ngadeg, becik lumakuo”. (Daripada tidur lebih baik bangun. Daripada bangun lebih baik melek. Daripada melek lebih baik duduk. Daripada duduk lebih baik berdiri. Daripada berdiri lebih baik melangkahlah) Untuk meraih kesempurnaan dalam melaksanakan tata laku di atas, hendaknya setiap langkah kita selalu eling dan waspada. Agar supaya setelah menjadi manusia pinunjul tidak menjadi sombong dan takabur, sebaliknya justru harus disembunyikan semua kelebihan tersebut, dan tidak kentara oleh orang lain, sehingga setiap jengkal kelemahan tidak memancing hinaan orang lain. Untuk itu manusia pinunjul harus; 1. Solah bawa, harga diri, perbuatan, harus selalu di jaga. 2. Keluarnya ucapan harus dibuat yang mendinginkan, menyejukkan, dan menentramkan lawan bicara. 3. Raut wajah yang manis, penuh kelembutan dan kasih sayang. Inilah sejatinya tata krama dalam ajaran Kejawen. Kesempurnaan dalam melaksanakan langkah-langkah di atas, seyogyanya menimbang situasi dan kondisi, menimbang waktu dan tempat secara tepat, tidak asal-asalan. Karena sekalipun “isi” nya berkualitas, tetapi bungkusnya jelek, maka “isi” nya menjadi tidak berharga. Dengan kata lain, jangan mengabaikan (dugo prayoga) duga kira, bagaimana seharusnya yang baik. Sebab sesempurnaanya manusia tetap memiliki kekurangan atau kelemahan, sehingga manakala kele-mahan dan kekurangan tersebut diketahui orang lain tidak akan menjadi “batu sandungan”. Seperti dalam ungkapan sebagai berikut; 1. Kusutnya pakaian; tertutup oleh derajat (harga diri) yang luhur. 38

2. 3. 4. 5.

Terpelesetnya lidah, tertutup oleh manisnya tutur kata. Kecewanya warna, tertutup oleh budi pekerti. Cacadnya raga, tertutup oleh air muka yang ramah. Keterbatasan, tertutup oleh sabar dan bijaksana.

Oleh karena itu, meraih kesempurnaan dalam konteks ini diartikan kesempurnaan dalam melaksanakan tapa brata. Kegagalan melaksanakan tapa brata, dapat membawa manusia kepada zaman “paniksaning gesang” tidak lain adalah nerakanya dunia, seperti di bawah ini; 1. Zamannya kemelaratan, dimulai dari perilaku boros. 2. Zamannya menderita aib, dimulai dari watak lupa terlena, tanpa awas. 3. Zamannya kebodohan, dimulai dari sikap malas dan enggan. 4. Zamannya angkara, dimulai dengan sikap mau menang sendiri. 5. Zamannya sengsara, dimulai dari perilaku yang kacau. 6. Zamannya penyakit, diawali dari kenyang makan. 7. Zamannya kecelakaan, diawali dari perbuatan mencelakai orang lain. Sebaliknya, “ganjaraning gesang” atau “surganya dunia”, lebih dari sekedar kemuliaan hidup itu sendiri, yakni; 1. Zamannya keberuntungan, awalnya dari sikap hati-hati, tidak ceroboh. 2. Zamannya kabrajan, awalnya dari budi luhur dan belas kasih. 3. Zamannya keluhuran, awalnya dari giat andap asor, sopan santun. 4. Zamannya kebijaksanaan, awalnya dari telaten bibinau. 5. Zamannya kesaktian (kasekten), awalnya dari puruita dan tapabrata. 6. Zamannya karaharjan (ketentraman-keselamatan), awalnya dari eling & waspada. 7. Zamannya kayuswan (umur panjang), awalnya sabar, qonaah, narimo, legowo, tapa.

2.11.

7 HUKUM ALAM SEMESTA

Kehidupan manusia tidak terlepas dari 7 hukum alam semessta ini, karena dengan hukumhukum inilah alam berkerja. Sesakti apapun seseorang tetap tidak bisa lepas dari hukum tersebut. Oleh sebab itu pahamilah hukum hukum ini agar kita menjadi ahli.

1. Hukum Sebab Akibat Hukum ini merupakan hukum kehidupan yang fundamental. Segala sesuatu yang terjadi pada diri kita memiliki sebab khusus. Pemikiran adalah sebab, dan kondisi adalah akibatnya. Maka apapun pemikiran yang Anda tebarkan akan berkulminasi pada suatu tindakan yang menimbulkan akibat. Inilah padanan mental dari hukum fisika Newton bahwa “setiap aksi akan menimbulkan reaksi yang sebanding dan berkebalikan”, dan hukum ini berlaku dengan prinsip yang sama. Karena hukum alam tidak bisa dipastikan, maka penting bagi Anda untuk mengingat apa yang Anda inginkan dan bukan apa yang tidak Anda inginkan. Kualitas berbagai hubungan, misalnya, merupakan hasil dari apa yang telah Anda tebarkan dalam hubungan-hubungan tersebut. 39

2. Hukum Daya Tarik Apa yang secara dominan Anda pikirkan akan menarik orang-orang dan lingkungan yang harmonis dengan pikiran-pikiran itu ke dalam kehidupan (seperti yang dikatakan dalam Law of Attraction). Secara metafisik, makin besar vibrasi yang Anda keluarkan, makin besar daya tariknya. Proses ini mirip dengan Hukum Resonansi. Anda selalu menarik semua hal yang Anda pikirkan, baik itu positif maupun negatif. Akal sehat senantiasa mengatakan apa yang sebaiknya Anda kerjakan, meskipun seringkali terdapat kesepakatan yang mencegah Anda untuk melakukannya.

3. Hukum Kreativitas Di luar dua energi interaktif, Yin dan Yang, jantan dan betina, muncul energi yang ketiga. Terdapat pasokan ide yang melimpah ruah, yang siap untuk Anda ubah, dan seluruhnya secara. dramatis akan mengembangkan potensi, kebahagiaan, dan sukses Anda. Segala hal yang tercipta di dunia ini adalah hasil interaksi kedua energi yang saling bertentangan, tapi saling melengkapi. Keduanya berada dalam diri kita, tapi hanya akan efektif jika dimanfaatkan dan diseimbangkan.

4. Hukum Substitusi Anda tidak bisa sekadar berhenti melakukan sesuatu. Keinginan kuat atau ketetapan hati sebesar apapun tidak akan tahan dengan kekosongan atau kevakuman yang terjadi terusmenerus. Untuk menghentikan suatu kebiasaan atau sikap, Anda mesti mencari penggantinya. Gantikan pemikiran tentang apa yang tidak Anda inginkan dengan pemikiran tentang apa yang Anda inginkan. Tidak ada sesuatu yang bisa menghilang sama sekali: sesuatu tersebut harus digantikan atau disalurkan ulang dengan substitusi.

5. Hukum Pelayanan Berhentilah melayani orang lain dengan cara yang sebenarnya tidak Anda inginkan, karena imbalan yang Anda peroleh akan selalu sama dengan pelayanan Anda. Memberi perlakuan kepada orang lain di balik meja dengan cara yang sama dengan di depan meja, pada akhirnya akan berlangsung dengan prinsip yang sama. Anda akan selalu diimbali dengan proporsi yang persis sama dengan nilai dari layanan Anda kepada orang lain.

6. Hukum Penggunaan Kekuatan alami apapun, bakat atau talenta, akan mengalami kemandekan jika tidak digunakan. Sebaliknya, akan menjadi semakin kuat jika makin sering dimanfaatkan.

7. Hukum Tujuh Urut-urutan kejadian berjalan mengikuti Hukum Tujuh atau Hukum Oktaf. Saat not atau nada dasar dimainkan, setiap not diulang bunyinya beberapa kali dan kemudian menghilang intensitasnya. Hukum Tujuh berarti bahwa tidak ada kekuatan yang terus-menerus bekerja dengan arah yang sama. Setiap kekuatan bekerja dalam kurun waktu tertentu, kemudian menghilang intensitasnya, lalu berubah arah atau mengalami perubahan inter40

nal. Tidak satu pun di alam ini yang berkembang mengikuti garis yang lurus. Dan demikian pula dengan kehidupan Anda. Tapi setelah Anda bisa menyesuaikan diri dengan prinsip-prinsip itu, Anda mengalir mengikuti arusnya, bukannya berlawanan. Hukum Tujuh memperlihatkan bahwa tak ada satu pun kekuatan yang cuma berkembang ke satu arah, dan bahwa energi terus berkembang bahkan di tengah rintangan dan interval. Sebagaimana oktaf, segala sesuatu dalam kehidupan ini berjalan dengan vibrasi. Tanpa vibrasi takkan ada gerakan, dan dengan demikian tak ada aktivitas yang bisa berjalan dengan cara apa pun juga.

2.12.

SHALAT/SEMBAHYANG DAIM

Selain dipaparkan di atas, sejalan dengan bertambahnya usia, seyogyanya hidup itu sembari mencari cipta sasmita, “tuah” atau petunjuk yang tumbuh jiwa yang matang dan dari dalam lubuk budi yang suci. Pada dasarnya, tumbuhnya budi pekerti (akhlak/ bebuden) yang luhur, berasal dari tumbuhnya rasa eling, tumbuhnya kebiasaan tapa, tumbuhnya sikap hati-hati, tumbuhnya “tidak punya rasa punya”, tumbuhnya kesentausaan, tumbuhnya kesadaran diri pribadi, tumbuhnya “lapang dada”, tumbuhnya ketenangan batin, tumbuhnya sikap manembah (tawadhu’). Pertumbuhan itu berkorelasi positif atau sejalan dengan usia seseorang. Akan tetapi, jika semakin lanjut usia seseorang akan tetapi perkembangannya berbanding terbalik, mempunyai korelasi negatif, yakni justru memiliki tabiat dan karakter seperti anak kecil, ia merupakan produk topobroto yang gagal. Untuk mencegahnya tidak lain harus selalu mencegah hawa nafsu, serta mengupayakan dengan sungguh-sungguh untuk meraih kesempurnaan ilmu. Begitu pentingnya hingga adalah “wewarah” yang juga merupakan nasehat yang hiperbolis, sbb; “Ageng-agenging dosa punika tiyang ulah ilmu makripat ingkang magel. Awit saking dereng kabuko ing pambudi, dados boten superep ing suraosipun” Bagi yang sudah lulus, dapat menerima semua ilmu, tentu akan menemui kemuliaan “sangkan paran ing dumadi” atau “innalillahi wa innaillaihi rooji’un”. Jadi tidak semuanya kita bisa mengucapkan innalillahi wa innaillaihi rooji’un kepada sembarang orang, karena belum tentu arwah orang tersebut akan kembali kepada Allah ta’ala. Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui Tuhannya, sesungguhnya dapat mengetahui di dalam badanya sendiri. Siapa yang sungguh-sungguh mengetahui badannya sendiri, sesungguhnya mengetahui Tuhannya. Artinya siapa yang mengetahui Tuhannya, ia lah yang mengetahui semua ilmu kajaten (makrifat). Siapa yang sunguh-sungguh mengetahui sejatinya badannya sendiri, ia lah yang dapat mengetahui akan hidup jiwa raganya sendiri. Kita harus selalu ingat bahwa hidup ini tidak akan menemui sejatinya “ajal”, sebab kematian hanyalah terkelupasnya isi dari kulit. “Isi” badan melepas “kulit” yang telah rusak, kemudian “isi” bertugas melanjutkan perjalanan ke alam keabadian. Hanya raga yang suci yang tidak akan rusak dan mampu menyertai perjalanan “isi”. Sebab raga yang suci, berada dalam gelombang Dzat Illahi yang Maha Abadi. 41

Maka dari itu, jangan terputus dalam lautan “manembah” kepada Gusti Pangeran Ingkang Sinembah. Agar supaya menggapai “peleburan” tertinggi, lebur dening pangastuti; yakni raga dan jiwa melebur ke dalam Cahaya yang Suci; di sanalah manusia dan Dzat menyatu dalam irama yang sama; yakni manunggaling kawulo gusti. Dengan sarana selalu mengosongkan panca indra, serta menyeiramakan diri pada Sariraning Bathara, Dzat Yang Maha Agung, yang disebut sebagai “PANGABEKTI INGKANG LANGGENG” (shalat dhaim) sujud, manembah (shalat) tanpa kenal waktu, sambung-menyambung dalam irama nafas, selalu eling dan menyebut Dzat Yang serba Maha. Adalah ungkapan; “salat ngiras nyambut damel, lenggah sinambi lumampah, lumajeng salebeting kendel, ambisu kaliyan wicanten, kesahan kaliyan tilem, tilem kaliyan melek”. (sembahyang sambil bekerja, duduk sambil berjalan, berjalan di dalam diam, membisu dengan bicara, bepergian dengan tidur, tidur sembari melek). Jika ajaran ini dilaksanakan secara sungguh-sungguh, berkat Tuhan Yang Maha Wisesa, setiap orang dapat meraih kesempurnaan Waluyo Jati, Paworing Kawulo Gusti, TIDAK TERGANTUNG APA AGAMANYA. Adapun doa iftitahnya adalah sebagai berikut: Niyat Ingsun Salat Daim, kanggo ing salawase uripingsun. Adege iku iya uripingsun; rukuke iya paningalingsun; iktidale iya pamiyarsaningsun; sujude iya pangambungingsun; wawacaning ayat iya pangucapingsun; lungguhe iya tetepe imaningsun; tahiyate iya mantepe tauhid ingsun; salame iya makrifat Islamingsun; Pepujianing iya panjing wetune napasingsun; dikire iya awas elingingsun; keblate iya madhep marang eneng eningingsun. Perlu nglakoni wajib saka kodrat iradatingsun dhewe.

Niyat Ingsun salat Daim, untuk selama-lamanya hidup Ingsun. Berdirinya itu ya hidup ingsun; Rukunya ya penglihatan Ingsun; I’tidalnya ya pendengaran Ingsun; Sujudnya ya penciuman Ingsun; Bacaan ayatnya ya ucapa Ingsun; Duduknya ya tetapnya Iman Ingsun; Atahiyatnya ya mantabnya tauhid Ingsun; Salamnya ya makrifat Islam Ingsun; Doanya ya masuk-keluarnya nafas Ingsun; Dzikirnya ya kesadaran Ingsun; Kiblatnya ya menghadap kepada diam dan hening Ingsun. Perlu menjalani kewajiban oleh kare-na Qudrat dan Iradat Ingsun sendiri. Setiap bangun tidur bagi yang sudah mampu mengheningkan batinnya, seyogyanya membaca iftitah seperti tersebut di atas dalam batin. Usai mengucapkan iftitah berpasrahlah kepada Dzat dengan sebenar-benarnya pasrah dan senantiasa mengamati gejolak batin Anda di manapun Anda berada. 42

Jika Anda sudah mampu mengheningkan batin dalam kondisi apapun, sekaligus mampu mengamati dan menyadari dengan benar seluruh gejolak pikiran Anda sendiri, itu berarti Anda telah menjalani Salat Daim, inilah sejatinya salat. Salat yang tidak dibatasi oleh waktu. Tidak menghitung rakaat, hanya senantiasa sadar akan gejolak batinnya sendiri. Salat sembari bekerja. Menjalani pekerjaan sembari salat. Duduk atau berjalan, berjalan dan berjongkok. Berlari atau dalam diam. Membisu serta berkata-kata. Pergi serta tidur. Tidur ataupun terjaga. Bagi seorang pelaku spiritual yang sudah mahir melakukan slat Daim, pada titik tertentu dia akan mampu menggapai daya kekuatan Dzat Yang Maha Suci. Istilah yang kerap dipakai oleh penganut Kejawen adalah angampil wewenanging Dat (meminjam wewenang Dzat). Apa yang hendak dipinjam? Tak lain Daya kekuatan wewenang-Nya. Jika daya ini mampu diperoleh, maka hidupnya akan membuahkan ketentraman, kewaskitaan, kebijaksanaan, serta akan ditakuti oleh seluruh mahkluk halus. Daya dari Dzat ini, termasuk daya yang sangat luhur, karena hanya bertujuan untuk keselamatan semata. Tanda-tanda daya ini akan berhasil diraih adalah: Jika bermeditasi duduk, kesadaran mendadak masuk ke dalam liyep layaping ngalayut yaitu kondisi kesadaran yang mencecap pengalaman mirip sesorang lesatan mimpi dalam kondisi terjaga. Dengan kata lain mirip kondisi orang yang tidur pulas tetapi tetap terjaga. Dalam kondisi seperti ini, kesadaran kita akan terasa meliuk seperti ayunan pendulum. Itulah saat yang sangat dinanti-nantikan. Jangan kaget dan jangan takut. Ikuti saja liukan kesadaran tersebut karena sudah tiba waktunya wahyu turun. Liukan itu adalah pertanda akan bergantinya alam. Jika kita memang mendapat anugerah, segera saja akan tampak cahaya berwarna biru muda dan kita akan bertemu dengan Ingsun kita sendiri, yaitu Sang Dewa Ruci. Sang Dewa Ruci tak lain adalah Urip kita, Hidup kita, Roh Kudus kita, Hayyu kita, Sajaratul Yaqin kita, Atma kita, Diri Sejati kita sendiri. Jika sudah mendapat anugerah bertemu dengan Diri sejati, maka buah ketentraman dan kebijaksanaan akan kita dapatkan. Bahkan kemampuan-kemampuan adi kodrati akan bisa kita peroleh begitu saja.

43

Related Documents


More Documents from "Hikmatu Maulana"