Panduan Praktis Klinis Interna.pdf

  • Uploaded by: Aiiu Andhiiraa
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Panduan Praktis Klinis Interna.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 219,254
  • Pages: 1,015
Loading documents preview...
LER I I

u

Alergi Obat ....................................... :... ;........ . Asma Bronkial ............................................ >.. , ... , _ _ . _ __ Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS}- .. ,, ..... :;: ..... ,,.12 Renjatan Anafilaksis.............................................. ..... ,......... 22 Urtikaria ................................................................... .. ... :..•. :,)29/ Vaksinasi Pada Orang Dewasa ........................ :.... :...... .. .... 33 HIV I AIDS Tanpa Komplikasi. ............... ,.. :; .. :.. ,... :.,..... ...40.

ALERGI OBAT PENGERTIAN Alergi obat merupakan reaksi simpang obat yang tidak diinginkan akibat adanya interaksi antara agen farmakologi dan sistem imun manusia. Terdapat empat jenis reaksi imunologi menurut Gel! dan Coombs, yaitu hipersensitivitas tipe 1 (reaksi dengan IgE), tipe 2 (reaksi sitotoksik), tipe 3 (reaksi kompleks imun) dan tipe 4 (reaksi imun selular). 1 Manifestasi alergi obat tersering adalah di kulit, yang terbanyak yaitu berupa ruam makulopapular. Selain di kulit, alergi obat dapat bermanifestasi pada organ lain, seperti hati, paru, ginjal, dan darah. Reaksi alergi obat dapat terjadi cepat a tau lam bat, dapat terjadi setelah 30 menit pemberian obat hingga beberapa minggu. 2

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Riwayat obat-obatan yang sedang dipakai pasien, riwayat obat-obatan mas a lampau, lama pemakaian dan reaksi yang pernah timbul, lama waktu yang diperlukan mulai dari pemakaian obat hingga timbulnya gejala, gejala hilang setelah pemakaian obat dihentikan dan timbul kembali bila diberikan kembali, riwayat pemakaian antibiotik topikal jangka lama, keluhan yang dialami pasien dapat timbul segera ataupun beberapa hari setelah pemakaian obat (pasien dapat mengeluh pingsan, sesak, batuk, pruritus, demam, nyeri sendi, mual) 1· 3-4 Pemeriksaan Fisik

Pasien tampak sesak, hipotensi, limfadenopati, ronki, mengi, urtikaria, angioedema, eritema, makulopapular, eritema multiforme, bengkak dan kemerahan pada sendP· 4·5 Pemeriksaan Penunjang: 1•3 • 6



Pemeriksaan hematologi: darah lengkap, fungsi ginjal, fungsi hati



Urinalisis lengkap



Foto toraks

Panduan Praktik llinis

Perhlrnr)!)nan Dokter Spesialis Peoyakit Dt:J!arn !ndonesfct

~~"~~~~!~!!~!!~,~o!~!~~~Q A·l~t9J .• ,m.t.J·nolog.i •

Pemeriksaan RAST (Radio Allergo Sorbent test)



Pemeriksaan Coombs indirek



Pemeriksaan fiksasi komplemen, reaksi aglutinasi



Uji tusuk kulit (skin prick test)



Uji kulit intradermal



Uji tempel(patch test)

DIAGNOSIS BANDING 4 D

• Sindrom karsinoid • Gigitan serangga



Penyakit graft-versus-host



Penyakit Kawasaki



Mastositosis



Asma Alergi makanan

• •

Psoriasis Infeksi virus



Infeksi Streptococcus



• •

Keracunan makanan Alergi lateks



Infeksi

TATALAKSANA Non Farmakologis 1 Tindakan pertama adalah menghentikan pemakaian obat yang dicurigai. Farmakologis •

Terapi tergantung dari manifestasi dan mekanisme terjadinya alergi obat. Pengobatan simtomatik tergantung atas berat ringannya reaksi alergi obat. Gejala ringan biasanya hilang sendiri setelah obat dihentikan. 1 Pada kasus yang berat, kortikosteroid sistemik dapat mempercepat penyembuhan. 4



Pada kelainan kulit yang be rat seperti pad a SSJ, pasien harus menjalani perawatan. Pasien memerlukan asupan nutrisi dan cairan yang adekuat. Perawatan kulit juga memerlukan waktu yang cukup lama, mulai dari hitungan hari hingga minggu. Hal lain yang harus diperhatikan adalah terjadinya infeksi sekunder yang membuat pasien perlu diberikan antibiotika. 1



Tata laksana anafilaksis dapat dibaca pada bagian anafilaksis.



Pada kasus urtikaria dan angioedema pemberian antihistamin saja biasanya sudah memadai, tetapi untuk kelainan yang lebih be rat seperti vaskulitis, penyakit serum, kelainan darah, hepatitis, atau nefritis interstisial biasanya memerlukan

Alergi Obat Berikut ini adalah algoritma penatalaksanaan alergi obat: 4

Anamnesis: gejala, daftar obat yang sedang digunakan, temporal sequence Pemeriksaam fisik Pemeriksaan laboratorium

1

Ya

Merujuk pada reaksi obat----.. Tidak

1

1

Kecurigaan terhadap hipersensitivitas terhadap obaUreaksi imunologi

I

Ya

J

Cari Etiologi lain

1

Tidak

l

Evaluasi dan terapi etiologi tersebut

Mekanisme non imun: - Efek samping obat - Toksisitas obat - lnteraksi antar obat - Overdosis obat - Pseudoalergi - ldiosinkrasi - lntoleransi

Mekanisme imunologis: - Diperantarai lgE - Sitotoksik - Kompleks imun - Reaksi tipe lambat - Mekanisme imun lain

1

Manajemen: - Modifikasi dosis - Substitusi obat - Atasi efek samping - Lakukan pemberian obatbertahap - Edukasi pasien

Evaluasi dengan melakukan

'" '1"'";

Apakah tes mendukung diagnosis alergi obat karena reaksi imunologi? Ya

J

I

Tidak

l

Diagnosis alergi

Apakah tes memiliki nilai kemaknaan tinggi

ob•t

Tidak

'I' "'o

J

I

Ya

Berikan obat dengan observasi

Manajemen: - Desensitisasi atau uji bertahap sebelum obat diberikan - Reaksi anafilaksis diberikan terapi emergensi - Hindari pemakaian obat - Pemberian profilaksis sebelum pemakaian obat - Waspada pad a penggunaan obat di masa mendatang - Edukasi pasien

Gombar 1. Algoritma Penatalaksanaan Alergi Obat4

! .~PerhtrimUnan Dokter-Spe:s:iofis PenY9kifoqrOm'tnd0nesla

kortikosteroid sistemik dosis tinggi ( 60-100 mg prednison a tau setaranya) sampai gejala terkendali. Kortikosteroid terse but selanjutnya diturunkan dosisnya secara bertahap selama satu sampai dua minggu. 1

KOMPLIKASI Anafilaksis, anemia imbas obat, serum sickness, kematian 3·5 · 6

PROGNOSIS Alergi obat akan membaik dengan penghentian obat penyebab dan tatalaksana

~

yang tepat. Apabila penghentian pemberian obat yang menjadi penyebab alergi segera dilakukan, maka prognosis akan semakin baik. 3· 5

UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan

: Divisi Alergi-lmunologi- Departemen Penyakit Dalam

• RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Semua Divisi di lingkungan Departemen Penyakit Dalam, Bagian Kulit dan Kelamin



RS non pendidikan

: Departemen Kulit dan Kelamin

REFERENSI 1.

Djauzi S, Sundaru H, Mahdi D, Sukmana N. Alergi obat. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B. Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5'" ed. Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI. 2009 p. 387-91.

2.

Baratawidjaja KG. Rengganis I. Alergi Dasar edisi ke-1. Jakarta: Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam. 2009. h. 457-95.

3.

Shinkai K, Stern R, Wintroub B. Cutaneous drug reactions. In: Fauci A, Kasper D. Longo D, Braunwald E. Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18"' ed. United States of America: The McGraw-Hill Companies, 2012 p. 432-9.

4.

Riedl M, Casillas A. Adverse drug reactions: types and treatment options. Am Fam Physician 2003; 68(9):1781-91.

5.

Warrington R, Silviu-Dan F. Drug allergy. Allergy, Asthma & Clinical Immunology 2011; 7(Suppl1 ):S10

6.

Greenberger PA. Drug allergy. J Allergy Clin lmmunol2006; 117(2 Suppi):S464-70

ASMA BRONKIAL

PENGERTIAN Asma bronkial adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemen selular. lnflamasi kronik ini terkait dengan hiperreaktivitas saluran napas, pembatasan aliran udara, gejala respiratorik dan perjalanan penyakit yang kronis. Episode ini biasanya terkait dengan obstruksi aliran udara dalam paru yang reversibel baik secara spontan ataupun dengan pengobatan.l-3 Asma disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik yang berpengaruh adalah riwayat keluarga dan atopi. Obesitas juga terkait dengan peningkatan prevalensi asma. Beberapa pemicu serangan asma antara lain alergen, infeksi virus pada saluran napas atas, olahraga dan hiperventilasi, udara dingin, polusi udara (asap rokok, gas iritan), obat-obatan seperti penyekat beta dan aspirin, serta stres. 2 Pada asma, terdapat inflamasi mukosa saluran napas dari trakea sampai bronkiolus terminal, nam un predominan pad a bronkus. Sel-sel inflamasi yang terlibat pad a asma antara lain sel mast, eosinofil, limfosit T, sel dendritik, makrofag, dan netrofil. Sel-sel struktural saluran napas yang terlibat an tara lain sel epitel, sel otot polos, sel endotel, fibroblas dan miofibroblas, serta sel saraf. Penyempitan saluran nafas terutama terjadi akibat kontraksi otot polos saluran napas, edema saluran napas, penebalan saluran napas akibat remodeling, serta hipersekresi mukus. 2

PENDEKATAN DIAGNOSIS Asma dapat didiagnosis dari gejala yang dialami dan riwayat penyakit pasien. Anamnesis 1•3

Episode berulang sesak napas, mengi, batuk, dan rasa be rat di dada, terutama saat malam dan dini hari. Riwayat munculnya gejala setelah terpapar alergen a tau terkena udara dingin atau setelah olahraga. Gejala membaik dengan obat asma. Riwayat asma pada keluarga dan penyakit atopi dapat membantu diagnosis.

l. PPrhlmnrrht'ft'< l!n\tt.::li.l\~-~!nlk Penyoklt Daram lndonesla

Pemeriksaan Fisik 1•3

Temuan fisis paling sering adalah mengi pada auskultasi. Pada eksaserbasi berat, mengi dapat tidak ditemukan namun pasien mengalami tanda lain seperti sianosis, mengantuk, kesulitan berbicara, takikardi, dada hiperinflasi, penggunaan otot pernapasan tambahan, dan retraksi interkostal. Pemeriksaan Penunjang 1· 3

Spirometri (terutama pengukuran VEP1 [volume ekspirasi paksa dalam 1 detik]



dan KVP [kapasitas vital paksa]) serta pengukuran APE (arus puncak ekspirasi) adalah pemeriksaan yang penting. •

Spirometri: peningkatan VEP1 <::12% dan 200cc setelah pemberian bronkodilator menandakan reversibilitas penyempitan jalan napas yang sesuai dengan asma. Sebagian besar pasien asma tidak menunjukkan reversibilitas pada tiap pemeriksaan sehingga dianjurkan untuk dilakukan pemeriksaan ulang.



Pengukuran APE Idealnya dibandingkan dengan nilai terbaik APE pasien sendiri sebelumnya, dengan menggunakan alat peak flow meter sendiri. Peningkatan 60 Ljmenit (atau <::20% dari APE prebronkodilator) setelah pemberian inhalasi bronkodilator atau variasi diurnal APE lebih dari 20% (lebih dari 10% dengan pemeriksaan dua kali sehari) mendukung diagnosis asma. Pemeriksaan IgE serum total dan IgE spesifik terhadap alergen hirup

[radioallergosorbent test (RAST)] dapat dilakukan pada beberapa pasien. Foto toraks

dan uji tusuk kulit (skin prick testjSPT) dapat membantu walaupun tidak menegakkan diagnosis asma. Selain itu, dapat pula dilakukan uji bronkodilator atas indikasi, tes provokasi bronkus atas indikasi, dan analisis gas darah atas indikasi.

KLASIFIKASI ASMA BERDASARKAN TINGKAT KONTROL Tabel 1. Klasifikasi asma berdasarkan tingkat kontrol asma 3 Karakteristik Gejala harian Pembatasan aktivitas Gejala malam/ terbangun saat malam hari Penggunaan obat penghilang sesak Fungsi paru (APE atau VEPl)

Belum Terkonfrol Terkonfrol sebagian terkontrol (semua yang di bawah ini) (ada keadaan di bawah ini) Tiga atau lebih Tidak ada(:> 2x/ minggu) >2x/ minggu dari keadaanTidak ada Ada keadaan pada Tidakada Ada asma terkontrol sebagian Tidak ada(:> 2x/ minggu)

> 2x/ minggu

Normal

< 80% prediksi atau nilai terbaik pribadi (jika diketahui)

Asma Bronkial DIAGNOSIS BANDING Sindrom hiperventilasi dan serangan panik, obstruksi saluran napas atas dan terhirupnya benda asing, disfungsi pita suara, penyakit paru obstruktifkronik (PPOK), penyakit pan! parenkim difus, gaga! jantung

TAT ALAKSANA Nonfarmakologis 2

Menghindari paparan terhadap alergen dan penggunaan obat yang menjadi pemicu asma, penurunan berat badan pada pasien yang obese. Farmakologis

Tahap-tahap tatalaksana untuk mencapai kontroJ3: 1. Obat penghilang sesak sesuai kebutuhan

Menggunakan agonis-(32 inhalasi kerja cepat. Alternatifnya adalah antikolinergik inhalasi, agonis-j32 oral kerja singkat dan teofilin kerja singkat. 2. Obat penghilang sesak ditambah satu obat pengendali Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali kortikosteroid

inhalasi dosis rendah (budesonid 200-400 11g atau ekivalennya). Alternatif obat pengendali adalah leukotriene modifier teofilin lepas-lambat, kromolin. 3. Obat penghilang sesak ditambah satu atau dua obat pengendali Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali kombinasi

kortikosteroid inhalasi dosis rendah dengan agonis-(32 inhalasi kerjapanjang (LABA). Alternatifpengendali adalah kortikosteroid inhalasi dosis sedang (budesonide 400-800 11g a tau ekivalennya) a tau kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dengan leukotriene modifier a tau kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis rendah dengan teofilin lepas-lambat. 4. Obat penghilang sesak ditambah dua atau lebih obat pengendali Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali kombinasi

kortikosteroid inhalasi dosis sedangjtinggi (budesonide 800-1600

~tg

atau

ekivalennya) dengan LABA. Alternatifpengendali adalah kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis sedang/tinggi dengan !eukotriene modifier atau kombinasi kortikosteroid inhalasi dosis sedangjtinggi dengan teofilin lepas-lambat. 5. Obat penghilang sesak ditambah pilihan pengendali tambahan Menggunakan obat penghilang sesak ditambah obat pengendali tahap 4 ditambah

kortikosteroid oral. Alternatifnya adalah ditambah terapi anti-lgE

Panduan Praldik Klinis

Perhtfr1punor._Ookter Spe$-lalis: Pe'nYokit Oolam lndoriesio

Tingkat kontrol Terkontrol

a. ;;:

!:;

.,"",.,. Terkontrol sebagian

Belum terkontrol Eksaserbasi

~"Z

~ :r "",.,.,.,.~ ., - "

Tatalaksana pertahankan dan lakukan penurunan tahap secara perlahan sampai ditemukan tahap paling rendah yang masih dapat mengontrol pertimbangkan terkontrol

peningkatan

tahap

sampai

peningkatan tahap sampai asma terkontrol Tala laksana sebagai eksaserbasi

t

I

I

ditu runkan

I

ditingkatkan

Tahap 2 Tahap 3 Tahap 4 I Tahap 5 Edukasi asma, pengendalian lingkungan Uika peningkatan tahap dipertimbangkan untuk mengendalikan asma yang tidak terkontrol, pertamatama periksa cara pemakaian inhaler, periksa adherens, dan konfirmasi apakah gejala benar disebabkan oleh asma) agonis-~2 kerja cepat sesuai kebutuhan agonis-~2 kerja cepat sesuai kebutuhan Selain terapi Selain terapi Pilihan obat Pilih satu Pilih satu pengendali* pada tahap 3, pada tahap 4, pilih satu atau tambahkan lebih dari terapi salah satu dari terapi berikut berikut kortikosteroid kortikosteroid kortikosteroid kortikosteroid oral (dosis inhalasi dosis inhalasi dosis inhalasi dosis rendah rendah sedang/ tinggi terendah) ditambah ditambah

Tahap 1

leukotriene modifier**

agonis-~2

agonis-~2

inhalasi kerjapanjang kortikosteroid inhalasi dosis sedang atau tinggi

inhalasi kerjapanjang /eukotriene modifier

kortikosteroid inhalasi dosis rendah ditambah leukotriene modifier kortikosteroid inhalasi dosis rendah ditambah teofilin lepas-lambat

terapi anti-lgE

teofilin lepaslam bat

Keterangan: 'Kotak yang diarsir merupakan terapi yang direkomendasikan berdasarkan data rerata kelompok. Harus dipertimbangkan kebutuhan dan kondisi pasien *"antagonis reseptor atau inhibitor sintesis

Gambar 1. Pendekatan tatalaksana asma berdasarkan tingkat kontroP

Asma Bronkial Bila terjadi eksaserbasi akut maka tahap penatalaksanaannya sebagai berikut: 3 1. Oksigen (target saturasi oksigen 95%)

2. Menggunakan

agonis-~2

inhalasi kerja cepat dengan dosis adekuat (pemberian

tiap 20 menit selama satu jam pertama, selanjutnya setiap jam) 3. Dapat juga menggunakan kombinasi ipratropium bromida dengan

agonis-~2

inhalasi kerja cepat. 4.

Kortikosteroid oral dengan dosis 0,5-1 mg prednisolonjkg atau ekivalen dalam periode 24 jam.

5. Metilsantin tidak dianjurkan. Namun teofilin dapat digunakan jika

agonis-~2

inhalasi tidak tersedia. 6.

Dapat menggunakan 2 g magnesium sulfat IV pacta pasien dengan eksaserbasi berat yang tidak respons dengan bronkodilator dan kortikosteroid sistemik

7. Antibiotika bila ada infeksi sekunder 8. Pasien diobservasi 1-2 jam kemudian. Jika res pons baik dan tetap baik 60 menitsesudah pemberian agonis-~2 terakhir; tidak ada distres pernapasan, APE> 70%, saturasi oksigen >90%, pasien dapat dipulangkan dengan pengobatan (3-5 hari): inhalasi

agonis-~2

diteruskan, steroid oral dipertimbangkan, penyuluhan dan pengobatan lanjutan, antibiotika diberikan bila ada indikasi, perjanjian kontrol berobat. 9.

Bila setelah observasi 1-2 jam respons kurang baik a tau pasien termasuk golongan risiko tinggi, gejala dan tanda tetap ada, APE <60% dan tidak ada perbaikan saturasi oksigen, pasien harus dirawat.

10. Bila setelah observasi 1-2 jam tidak ada perbaikan a tau pasien termasuk go Iongan risiko tinggi, gejala bertambah be rat, APE <30%, PC02 >45 mmHg, P02 <60 mmHg, pasien harus dirawat di unit perawatan intensif. Tabel 4. Derajat keparahan eksaserbasi asma 3

Sesak napas

Berbicara dalam Kesadaran Frekuensi napas Otot aksesoris dan retraksi suprasternal

Ring an

Sedang

Be rat

Berjalan

Berbicara

Saat istirahat

Dapat berbaring

Lebih memilih duduk

Badon condong ke depan

Kalimat

Frase

Kat a

Dapat agitasi

Biasanya agitasi

Biasanya agitasi

Meningkat

Meningkat

Sering > 30 menit

Biasanya tidak

Biasanya ya

Biasanya yo

Respiratory arrest imminent

Mengantuk atau bingung

Gerakan torakoabdominal paradoksikal

Panduan Praktik Klinis

?erliimpunan Dokter Speskd!s Penyaldt Da!am Indonesia

Ringan

Berat

Respiratory arrest imminent

Sedang

Keras

Biasanya keras

Tidak ada

Frekuensi nadi per men it

< 100

100-120

> 120

Bradikardi

Pulsus paradoksus

Tidakada < 10mmHg

Dapatada 10-25mmHg

Sering ada > 25 mmHg

Tidak ada menunjukkan adanya kelelahan otot pernapasan

APE setelah bronkodilator inisial % prediksi atau % nilai terbaik pribadi

>80%

60-80%

<60%

Pa02

Normal

> 60mmHg

dan atau PaC02

<45 mmHg

<45 mmHg

< 60mmHg Kemungkinan sianosis >45mmHg Kemungkinan gaga! napas

Sa02

>95%

91-95%

Mengi

I

Sedang

<90%

KOMPLIKASI Penyakit paru obstruktifkronik (PPOK), gaga! jan tung. Pada keadaan eksaserbasi akut dapat terjadi gaga! napas dan pneumotoraks.

PROGNOSIS Keadaan yang berkaitan dengan prognosis yang kurang baik antara lain asma tidak terkontrol secara klinis, eksaserbasi sering terjadi dalam satu tahun terakhir, menjalani perawatan kritis karena asma, VEP1 yang rendah, paparan terhadap asap rokok, pengobatan dosis tinggi. 2

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Alergi-Imunologi, Divisi Pulmonologi- Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: ICU/Medical High Care



RS non pendidikan

: ICU

Asma Bronkial REFERENSI 1.

Sundoru H, Sukamto. Asma bronkial. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta: lnternaPublishing, 2009. H. 404-14

2.

Barnes PJ. Asthma. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies, 2012. h. 2102-15

3.

Global initiative for asthma. Global strategy for asthma management and prevention. 2011

ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME (AIDS)

D

PENGERTIAN AIDS adalah infeksi yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus yang menyebabkan suatu spektrum penyakit yang menyerang sel-sel kekebalan tubuh yang meliputi infeksi primer, dengan atau tanpa sindrom akut, stadium asimtomatik, hingga stadium lanjut).1.2 Stadium AIDS menurut WHO yaitu: 2 •

Stadium 1: asimtomatik, limfadenopati generalisata



Stadium 2 Berat badan turun kurang dari 10% Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur kuku, ulkus oral rekuren, cheilitis angularis) Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir Infeksi saluran napas atas rekuren



Stadium 3 Berat badan turun lebih dari 10% Diare yang tidak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan Demam berkepanjangan (intermiten atau konstan) kurang dari 1 bulan Kandidiasis oral

Oral hairy leucoplakia Tuberkulosis paru Infeksi bakteri berat (pneumonia, piomiositis) •

Stadium 4

HIVwasting syndrome Pneumonia Pneumocystis carinii Toksoplasmosis serebral Kriptosporidiosis dengan diare lebih dari 1 bulan Sitomegalovirus pada organ selain hati, limpa atau kelenjar getah bening (misalnya retinitis CMV)

[~!~!!!!s!t!~!!~·Kiinis

1

0Acquired.lmmunodeficiencySyncfrorne (AIDS} Infeksi herpes simpleks, mukokutan (>1 bulan) atau viseral Progressive multifoca/leucoencephalopathy

Mikosis endemik diseminata Kandidiasis esofagus, trakea, dan bronkus Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru Septikemia salmonela non-tifosa Tuberkulosis ekstrapulmonar Limfoma Sarkoma kaposi Ensefalopati HIV

DIAGNOSIS 1· 4 Anamnesis



Kemungkinan sumber infeksi HIV



Gejala dan keluhan pasien saat ini, termasuk untuk mencari adanya infeksi oportunistik, an tara lain demam, batuk, sakit kepala, diare



Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterima termasuk infeksi oportunistik



Riwayat penyakit dan pengobatan tuberkulosis (TB) termasuk kemungkinan kontak dengan TB sebelumnya



Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)



Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan



Riwayat penggunaan terapi anti retroviral (Anti Retroviral Therapy (ART)) termasuk riwayat regimen untuk PMTCT (Prevention of Mother to Child Transmission) sebelumnya



Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan



Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual



Kebiasaan merokok



Riwayat alergi



Riwayat vaksinasi



Riwayat penggunaan NAPZA suntik

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik meliputi tanda-tanda vital, berat badan, tanda-tanda yang mengarah kepada infeksi oportunistik sesuai dengan stadium klinis HIV seperti yang

Panduan Praltik·Kiinis

Perhtmpunaf1 Qokter Spesiof!S penyakit Do!a~·n lndonesig

terdapat pada tabel di bawah ini. Pemeriksaan fisik juga bertujuan untuk mencari faktor risiko penularan HIV dan AIDS seperti needle track pada pengguna NAPZA suntik, dan tanda-tanda !MS.

Pemeriksaan Penunjang •

Pemeriksaan penyaring: enzyme immunoassay (EIA) atau rapid tests (aglutinasi, immunoblot) dengan tiga metode yang berbeda



Pemeriksaan konfirmasi: metode Western Blot (WB) bila diperlukan



Pemeriksaan Darah lainnya DPL dengan hitung jenis

D

Total lymphocye count (TLC) atau hitung limfosit total: [o/o limfosit x jumlah Leukosit] (dengan catatan jumlah leukosit dalam batas normal) Hitung CD4 absolut Pemeriksaan HIV RNA viral load dengan polymerase chain reaction

Pemeriksaan HIV sebaiknya ditawarkan pada: •

lbu hamil



Pasien tuberkulosis



Pasien yang menunjukkan gejala infeksi oportunistik



Kelompok berisiko (pengguna narkoba suntik, pekerja seks komersial (PSK), Lelaki seks dengan lelaki (LSL)



Pasangan atau anak dari orang yang terinfeksi HIV



Infeksi menular secara seksual (IMS)

Konseling untuk tes anti-HIV dapat dilakukan dengan cora: 1.

Voluntary Counseling and Testing (VCT)/Konseling dan Tes Sukarela (KTS) Konseling yang dilakukan atas dasar permintaan dan a tau kesadaran seorang klien

~

untuk mengetahui faktor risiko dan status HIV-nya. 2. Provider-initiated Testing and Counseling (PITC)/Konseling dan Tes Atas Inisiasi Petugas (KTIP) Konseling yang dilakukan atas dasar inisiasi tenaga kesehatan, terutama berdasarkan hasil pemeriksaan fisik yang dicurigai berhubungan dengan infeksi HIV.

DIAGNOSIS BANDINGu Penyakit imunodefisiensi primer

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) Pemeriksaan Lanjutan 1· 4 •

Serologi Hepatitis B dan Hepatitis C



Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis infeksi oportunistik L Tuberkulosis a.

Pemeriksaan BTA sewaktu-pagi-sewaktu (SPS) dan atau foto toraks

b. Diagnosis definitif dengan kultur BTA, tetapi hal ini membutuhkan waktu yang lama 2. Diare: pemeriksaan analisis feses 3. Infeksi otak: ensefalitits toksoplasma, meningoensefalitis tuberkulosis, atau kriptokokkus. Diagnosis dan tata laksana bekerja sama dengan Departemen Neurologi.

TATALAKSANA 1-4 •

Konseling



Suportif



Terapi infeksi oportunistik dan pencegahan infeksi oportunistik



Profilaksis kotrimoksasol:



Profilaksis kotrimoksasol diberikan sebagai pencegahan terhadap pneumonia Pneumocystis jirovecii dan infeksi toxoplasmosis pada pasien dengan CD4 kurang

dari 200 seljmm 3· Profilaksis primer menggunakan kotrimoksasol double strength (OS) 1 tabletjhari. •

Terapi antiretroviral (ART) dengan pemantauan efek sam ping dan adherens minum obat. Pada tabel 1 dapat dilihat indikasi untuk memulai ART. Pada tabel 2 dapat dilihat rekomendasi regimen lini pertama ART pada target populasi yang belum pernah terapi ARV. Dosis ART dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 1. lndikasi untuk memulai ART Ka.rakteristik pasien

Klinis

Rekomendasi

Asimtomatik

WHO stadium 1

CD4 <350/J-IL

Simtomatik

WHO stadium 2

CD4<350/J-1L

WHOstadium 3 atau 4

CD4 berapapun

TB

TB aktif

CD4 berapapun, diberikan secepatnya setelah obat anti tuberkufosis (dalam 8 minggu)

Hepatitis B

Hepatitis B yang membutuhkan terapi

CD4 berapapun

lbu hamil

WHO stadium apapun

CD4 berapapun

Panduan Praldik llinis

rerhlmpur\an DOlder Spes1af1s Penyakit Da!cim !ndon6sia

Tabel 2. Obat ARV yang digunakan 2 · 4

D

No

Nama Generik

Formulasi

Dosis

l.

Zidovudin (ZDV)

NRTI

Tablet: 300mg

300 mg/dosis, 2x/hari

2.

Lamivudin (3TC)

NRTI

Tablet: 150mg

150 mg/dosis,2x/hari

3.

Kombinasi fetap ZDV + 3TC

NRTI

Tablet: 300 mg ZDV plus 150 mg 3TC

1 tablet/dosis, 2x/hari

4.

Nevirapin (NVP)

NNRTI

Tablet: 200mg

duo minggu pertama sekali sehari. Selanjutnya duo kali sehari.

5.

Efavirenz (EFV)

NNRTI

600mg

33- < 40 kg: 400 mg sekali sehari Dosis maksimal: :?: 40 kg: 600 mg sekali sehari

6.

Sfavudin (d4T)

NRTI

Tablet: 30 mg

30 mg/dosis, 2x/hari

7.

Abacavir (ABC)

NRTI

Tablet: 300 mg

300 mg/dosis, 2x/hari,

8.

Tenofovir disoproxil fumaraf (TDF)

NRTI

Tablet: 300 mg

Diberikan setiap 24 jam lnteraksi obat dengan didanosine (ddl), tidak lagi dipadukan dengan ddl

9.

Tenofovir + Emtricitabin

NRTI

Tablet: 200 mg/ 300 mg

1 tablet/dosis, 1x/hari

Tablet tahan suhu panas, 200mg lopinavir + 50 mg ritonavir

400 mg/100 mg setiap 12jamuntuk pasien naive

Tablet: 300 mg

Diberikan setiap 24 jam lnteraksi obat dengan ddl, tidak lagi dipadukan dengan ddl

Lini kedua l.

Lopinavir/ritonavir (LPV/r)

2.

TDF

Inhibitor protease

NRTI

keterangan: NRTI=nuc/eoside reverse transcriptase inhibitor NNRTI=nonnuc/eoside reverse transcriptose inhibitor

~

Pada ODHA yang mengalami resistensi pada lini pertama maka kombinasi obat yang digunakan adalah : (TDF atau ZDV) + 3TC atau FTC+(LPV /RTV) Apabila pada lini pertama menggunakan d4T atau AZT maka gunakan TDF + (3TC atau FTC) sebagai dasar NRTI pada regimen lini kedua. Apabila pada lini pertama menggunakan TDF maka gunakan AZT + 3TC sebagai dasar NRTI pada regimen lini kedua.

Immunodeficiency Syndrome (AIDS) Tabel 3. Rekomendasi regimen lini pertama pada target populasi yang belum pernah terapi ARVH Rekomendasi

Catatan

Dewasa dan Remaja

Target Populasi

ZDV atau TDF + 3TC atau FTC + EFV atau NVP

• Pilih regimen yang bisa diberikan untuk mayoritas ODHA • Gunakan fixed dose combination • Kombinasi awol yang digunakan bagi pasien HIV dengan hasillab normal adalah ZDV+3TC (Duviral )+ NVP (Neviral)

Perempuan Hamil

ZDV + 3TC + EFV atau NVP

• Tidak boleh menggunakan EFV pada trimester pertama • TDF bisa merupakan pilihan

ZDV atau TDF + 3TC atau FTC + EFV

• Mulailah terapi ARV dalam 8 minggu pertama setelah memulai terapi TB. • Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV tidak dapat digunakan

TDF + 3TC atau FTC + EFVatau NVP

• Pertimbangkan screening HBsAg sebelum memulai terapi ARV • Diperlukan penggunaan 2 terapi ARV yang memiliki aktivitas anti-HBV

Koinfeksi HIV/TB

Koinfeksi HIVI HBV

Keterangan: ZDV: zidovudine; TDF=tenofovir; 3TC: lamivudine: FTC: emtricitabine; EFV: efavirenz: NVP: nevirapine. Bila pasien memiliki Hb<9 maka regimen yang digunakan adalah TDF+3TC. Jika TDF belum tersedia, d4T (stavudine)+3TC selama 6-12 bulan kemudian regimen diganti menjadi AZT +3TC otau TDF+3TC

Bila terdapat indikasi memulai ART, dilakukan pemeriksaan penunjang yang sesuai dengan ART yang diberikan untuk mengetahui ada tidaknya kontraindikasi. •

ZDV

: pemeriksaan kadar hemoglobin



NVP

: pemeriksaan SGPT



TD

: pemeriksaan fungsi ginjal (kreatinin darah)



LPV /r : pemeriksaan profillipid dan kadar gula darah puasa



Bagi perempuan usia subur yang akan mendapat efavirenz dilakukan tes kehamilan sebelum mendapat ARV.

Tabel4. Rekomendasi pemeriksaan laboratorium untuk memonitor terapi ARV (modifikasi Depkes)3 Tes yang Direkomendasikan

Tes yang Dianjurkan

Pad a saat diagnosis HIV

CD4

HbsAg

Sebelum memulai ARV

CD4

Pada saat memulai ARV

CD4

• Hb untuk ZDV • Kreatinin Klirens untuk TDF • SGPT untuk NVP

Pada saat menjalani ARV

CD4

• Hb untuk ZDV • Kreatinin Klirens untuk TDF • SGPT untuk NVP

Tahap Terapi ARV

Pada saat kegagalan klinls (tabel 5) Pada saat kegagalan imunologis (tabel5)

CD4 Viral load

Viral load

Tes yang Direkomendaslkan

Tahap Terapi ARV Wanifa yang menjalani PMTCT dengan NVP dosis tunggal dengan lanjutan dalam 12 bulan

Tes yang Dianjurkan

Viral load enam bulan setelah memulai terapi ARV

Tabel 5. Kriteria Gaga! Terapi Kegagalan Terapi Kegagalan klinis

Keferangan

Kondisi stadium 4 WHO baru atau berulang

Kondisi horus dibedakan dari sindrom pulih imun Kondisi WHO stadium 3 tertentu (TB paru, infeksi bakteri berat) dapat merupakan tanda kegagalan pengobatan

~

Kegagalan imunologis

- Penurunan CD4 kembali seperti Tanpa infeksi penyerta lain yang awol sebelum pengobatan (atau menyebabkan penurunan CD4 lebih rendah) ATAU sementara - Penurunan sebesar 50% dari nilai tertinggi CD4 yang pernah dicapai ketika pengobatan AT AU - Jumlah CD4 tetap <100 sel/mrn3

Kegagalan virologis

- Viral load plasma >5000 kopi/ml

~

Am bang batas viral load optimal untuk mendeflnisikan kegagalan virologis belum ditentukan. VL >5000 kopi/ml berhubungan dengan perkembangan klinis dan penurunan CD4

Tabel 6. Efek Samping ARV dan Subsitusinya 1·2 Nama Obat



Efek Samping

Subsifusi

Zidovudin

• Supresi sumsum tulang Jika digunakan pada terapi lini • Anemia makrositik atau neutropenia pertama, TDF (atau d4T jika tidak ada • lntoleransi gastrointestinal, sa kit kepala, pilihan lain) insomnia, asthenia Jika digunakan pada terapi lini kedua, d4T • Pigmentasi kulit dan kuku • Asidosis laktat dengan steatosis hepar

Stavudin

• Pankreatitis, neuropati perifer, asidosis laktat dengan steatosis hepatitis (jarang), lipoatroft

Lamivudin

• Toksisitas rendah • Asidosis laktat dengan steatosis hepatitis (jarang)

Abacavir

• Reaksi hipersensitif (dapat fatal) • Demam, ruam, kelelahan, mual, muntah, tidak nafsu makan • Gangguan pernafasan (sakit tenggorokan, batuk) • Asidosis laktat dengansfeatosis hepatitis (jarang)

ZDV atau TDF

ZDVatauTDF

uired lm,munodeficiency Syndrome (AIDS) Nama Obat

Efek Samping

Subsitusi

Tenofovir

• Asthenia, sakit kepala, diare, mual, muntah, sering buang angin, insufisiensi ginjal, sindrom Fanconi • Osteomalasia • Penurunan densitas tulang • Hepatitis eksaserbasi akut berat pada pasien HIV dengan koinfeksi Hepatitis B yang menghentikan TDF

• Jika digunakan pada lini pertama, ZDV (atau d4T jika tidak ada pilihan) • Jika digunakan pada lini kedua, Secara pendekatan kesehatan masyarakat, maka tidak ada pilihan lain jika pasien telah gaga! ZDV I d4T pada terapi lini pertama. Jika memungkinkan, dipertimbangkan merujuk ke tingkat perawatan yang lebih tinggi dim ana terapi individual tersedia.

Emtricitabine

Ditoleransi dengan baik

Efavirenz

Reaksi hipersensitivitas Sindroma Steven-Johnson Ruam Toksisitas hepar Toksisitas sistem saraf pusat yang berat dan persisten (depresi dan pusing) • Hiperlipidemia • Ginekomastia (pada loki-loki) • Kemungkinan efek teratogenik (pada kehamilan trimester pertama atau wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi yang adekuat)

Nevirapin

• • • • •

Ritonavir

Hiperlipidemia

Lopinavir

• • • • •

Reaksi hipersensitivitas Sindroma Steven-Johnson Ruam Toksisitas hepar Hiperlipidemia

• NVP • bPI jika tidak toleran terhadap kedua NNRTI • Tiga NRTI jika tidak ada pilihan lain

EFV bPI jika tidak toleran terhadap kedua NNRTI Tiga NRTI jika tidak ada pilihan lain

Jika digunakan pada lini kedua, tidak • lntoleransi gastrointestinal, mual, ada pilihan lain* muntah, semutan, hepatitis, dan pankreatitis, hiperglikemia, pemindahan lemak dan abnormalitas lipid

Tabel 7. Jadwal vaksin pada pasien HIV dewasa Vaksin

lndikasi

Pemberian awal

Booster

CD4 (sel/mm3)

Keterangan

Antraks

RS

4 dosis

pertahun

berapapun

Kolera

RS

2 dosis

2tahun

berapapun

Hepatitis A

RS

2-3 dosis

Stahun

berapapun

3 dosis jika CD4 <300 sel/mm 3

Hepatitis B

R

3-4 dosis

jika anti-HBs <10

berapapun

periksa kadar anti-HBs tiap tahun

Panduan Praktik llinis

Perhimpunan Ooktet Spesia!fs Penyakit Da!am Jndoneskt

Vaksin

lndikasi

Pemberian awal

Booster

HPV

r

3 dosis

tidakada

berapapun

CD4

lnfiuenza

R

1 dosis

tiap tahun

berapapun

Japanese encephalitis

rS

3-4 dosis

3tahun

berapapun

MMR

RS

1-2 dosis

tidak ada

>200

Meningokok

rS

1 dosis

5 tahun

berapapun

Pneumokok

R

1 dosis

5-10 tahun

berapapun

Rabies

RS

3 dosis

1 tahun pertama, 3-5 tahun berikutnya

berapapun

Tetanus-difteri

R

1-5 dosis

10tahun

berapapun

Tifoid

RS

1 dosis

2-3 tahun

berapapun

Varisela

RS/CS

2 dosis

tidak ada

>200

Yellow fever

cs

1 dosis

100 tahun

>200

&

R = rekomendasi; RS

Keterangan

(sel/mm3 )

2 dosis jika /gG measles negatif

kontraindikasi jika usia >60 tahun

=rekomendasi pada orang tertentu; CS = dipertimbangkan pada orang tertentu

KOMPLIKASI Infeksi oportunistik, kanker terkait HIV, dan manifestasi HIV pada organ lain. 1-4

PROGNOSIS Pemberian terapi ARV kepada orang dengan HIV I AIDS (ODHA) dapat menurunkan penyebaran virus Human Immunodefficiency Virus (HIV) hingga 92%. 1 -4

UNIT YANG MENANGANI

~

"

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Alergi lmunologi



RS non pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS Pendidikan

: Semua Sub Bagian di Lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

"

RS non pendidikan

REFERENSI 1_

Fauci AS, Lane HC Human Immunodeficiency Virus: AIDS and related disorders. In: Fauci A. Braunwald E, Kasper D. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: McGrawHill; 2009: 1138-1204

Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) 2.

HIV. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jakarta: lnterna Publishing; 2009.p. 2130-32.

3.

Departemen Kesehatan Rl. Toto Laksana HIV /AIDS. 2012

4.

World Health Organization. Antiretroviral therapy for hiv infection in adults and adolescent. 2010 revision. [Update 2010; cited 2011 Mar 11] Available from http://www.who.int

5.

Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women and Preventing HIV Infections in Infants: Guidelines on care, treatment and support for women living with HIV 1AIDS and their children in resource-constrained settings. World Health Organization. Switzerland. 2004

6.

Centers for Disease Control and Prevention. Recommended Adult Immunization Schedule. United States. 2012. Diunduh dari http:/ /www.cdc.gov/vaccines/recs/schedules/downloads/adult/ adult-schedule.pdf pada tanggal 2 Mei 2012.

RENJATAN ANAFILAKSIS

PENGERTIAN Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas tipe 1 yang beronset cepat, sistemik, dan mengancam nyawa. Jika reaksi terse but he bat dapat menimbulkan syokyang disebut syok anafilaktik. Syok anafilaktik membutuhkan pertolongan cepat dan tepat. Untuk itu diperlukan pengetahuan serta keterampilan dalam pengelolaan syok anafilaktik Insidens syok anafilaktik 40-60 persen adalah akibat gigitan serangga, 20-40 persen akibat zat kontras radiografi, dan 10-20 persen akibat pemberian obat penisilin. Belum ada data yang akurat dalam insiden dan prevalensi terjadinya syok anafilaktik di Indonesia. Anafilaksis yang fatal hanya kira-kira 4 kasus kematian dari 10 juta masyarakat pertahun. Penisilin merupakan penyebab kematian 100 dari 500 kematian akibat reaksi anafilaksis.

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Menegakkan diagnosis penyakit alergi diawali dengan anamnesis yang teliti. Gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-beda gradasinya sesuai dengan tingkat sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat berupa syok anafilaktik, gejala yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi.

~

Kedua gangguan terse but dapat timbul bersamaan a tau berurutan yang kronologisnya sangat bervariasi dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya, makin cepat reaksi timbul makin berat keadaan penderita. Gejala respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan sesak napas. Gejala pada kulit merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini tidakmematikan namun gejala ini amatpenting untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala yang lebih be rat berupa gangguan nap as dan gangguan sirkulasi. Oleh karena itu setiap gejala kulit berupa gatal, kulit kemerahan harus diwaspadai untuk kemungkinan

Panduan Praktik Klinis

Perhknpunon Dokier SP'~'Siall~ ?t;r)ydkH Dotorn !ndonesl<::

Renjatan Anafilaksis timbulnya gejala yang lebih berat. Manifestasi dari gangguan gastrointestinal berupa perut kram, mual, muntah sampai diare yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk timbulnya gejala gangguan napas dan sirkulasi. Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya anafilaksis antara lain usia, jenis kelamin, rute pajanan, maupun riwayat a to pi. Anafilaksis lebih sering terjadi pad a wan ita dewasa ( 60%) yang umumnya terjadi pada usia kurang dari 39 tahun. Pada anak-anak usia di bawah 15 tahun, anafilaksis lebih sering terjadi pada laki-laki. Rute pajanan paraenteral biasanya menimbulkan reaksi yang lebih berat dibanding oral. Pemeriksaan Fisik

Pasien tampak sesak, frekuensi napas meningkat, sianosis karena edema laring dan bronkospasme. Hipotensi merupakan gejala yang menonjol pada syok anafilaktik. Adanya takikardia, edema periorbital, mata berair, hiperemi konjungtiva. Tanda prodromal pada kulit berupa urtikaria dan eritema. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium hi tung eosinofil darah tepi dapat normal a tau meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal. Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit kulit (skin prick testjSPT) untuk mencari faktor pencetus yang disebabkan oleh alergen hirup dan makanan dapat dilakukan setelah pasiennya sehat. Penegakan Diagnostis

Diagnosis Klinis Untuk membantu menegakkan diagnosis maka World Allergy Organization telah membuat beberapa kriteria di mana reaksi anafilaktik dinyatakan sangat mungkin bila (Simons et al. 2011): 1.

Onset gejala akut (beberapa menit hingga beberapa jam) yang melibatkan kulit, jaringan mukosa, atau keduanya (misal: urtikaria generalisata, pruritus dengan kemerahan, pembengkakan bibir /lidahjuvula) dan sedikitnya salah satu dari tanda berikut ini: a.

Gangguan respirasi (misal: sesak nafas, wheezing akibat bronkospasme, strido1~ penurunan arus puncak ekspirasi/ APE, hipoksemia)

b. Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ target (misal: hipotonia, kolaps vaskular, sinkop, inkontinensia).

PanduanPraktik Klinis Pefhimpvrwn DokterSpesla!is: Penyaldf Datam Indonesia

3. Atau, dua atau lebih tanda berikut yang muncul segera (beberapa menit hingga beberapa jam) setelah terpapar alergen yang mungkin (likely allergen), yaitu: a.

Keterlibatan jaringan mukosa dan kulit

b.

Gangguan respirasi

c.

Penurunan tekanan darah atau gejala yang berkaitan dengan kegagalan organ target

d.

Gejala gastrointestinal yang persisten (misal: nyeri kram abdomen, muntah)

5. Atau, penurunan tekanan darah segera (beberapa me nit a tau jam) setelah terpapar alergen yang telah diketahui (known allergen), sesuai kriteria berikut: a.

Bayi dan anak: Tekanan darah sistolik rendah (menurut umur) atau terjadi penurunan >30% dari tekanan darah sistolik semula

b.

Dewasa : Tekanan darah sistolik <90 mmHg atau terjadi penurunan

c.

>30% dari tekanan darah sistolik semula.

DIAGNOSIS BANDING 1. Beberapa kelainan menyerupai anafilaksis a.

Serangan asma akut

b. Sinkop c.

Gangguan cemasjserangan panik

d.

Urtikaria akut generalisata

e.

Aspirasi benda asing

f.

Kelainan kardiovaskuler akut (infark miokard, emboli paru)

g.

Kelainan neurologis akut (kejang, strok)

2. Sindrom flush a.

Peri-menopause

b. Sindrom karsinoid

~

c.

Epilepsi otonomik

d.

Karsinoma tiroid meduler

3. Sindrom pasca-prandial a.

Scombroidosis, yaitu keracunan histamin dari ikan, misalnya tuna, yang disimpan pada suhu tinggi.

b. Sindrom alergi makanan berpolen, umumnya buah a tau sayuryang mengandung protein tanaman yang telah bereaksi silang dengan alergen di udara c.

Monosodium glutamat atau Chinese restaurant syndrome

d. Sulfit e.

Keracunan makanan

Renjatan Anafilaksis 4. Syok jenis lain a.

Hipovolemik

b. Kardiogenik c.

Distributif

d. Septik 5. Kelainan non-organik a.

Disfungsi pita suara

b. hiperventilasi c.

Episode psikosomatis

6. Peningkatan histamin endogen a.

Mastositosisjkelainan klonal sel mast

b. Leukemia basofilik 7. Lainnya a.

Angioedema non-alergik, misal: angioedema herediter tipe I, II, atau III, angioedema terkait ACE-inhibitor)

b. Systemic capillary leak syndrome c.

Red man syndrome akibat vancomycin

d.

Respon paradoksikal pada feokromositoma

TATALAKSANA 1. Posisi trendelenburg a tau berbaring dengan kedua tungkai diangkat ( diganjal

dengan kursi) akan membantu menaikkan venous return sehingga tekanan darah ikut meningkat. 2. Pemberian Oksigen 3-5 liter jmenit harus dilakukan, pada keadaan yang amat ekstrim tindakan t29 3. rakeostomi atau krikotiroidektomi perlu dipertimbangkan. 4. Pemasangan infus, Cairan plasma expander (Dextran) merupakan pilihan utama guna dapat mengisi volume intravaskuler secepatnya. Jika cairan tersebut tak tersedia, Ringer Laktat atau NaCl fisiologis dapat dipakai sebagai cairan pengganti. Pemberian cairan infus sebaiknya dipertahankan sampai tekanan darah kembali optimal dan stabil. 5. Adrenalin 0,3-0,5 ml dari larutan 1:1000 diberikan secara intramuskuler yang dapat diulangi 5-10 menit. Dosis ulangan umumnya diperlukan, mengingat lama kerja adrenalin cukup singkat. Jika respon pemberian secara intramuskuler kurang efektif, dapat diberi secara intravenous setelah 0,1-0,2 ml adrenalin dilarutkan dalam spuit 10 ml dengan NaCI fisiologis, diberikan perlahan-lahan. Pemberian

subkutan, sebaiknya dihindari pada syok anafilaktik karena efeknya lam bat bahkan mungkin tidak ada akibat vasokonstriksi pada kulit, sehingga absorbsi obat tidak terjadi. 6. Aminofilin, dapat diberikan dengan sangat hati-hati apabila bronkospasme bel urn hilang dengan pemberian adrenalin. 250 mg aminofilin diberikan perlahan-lahan selama 10 menit intravena. Dapat dilanjutkan 250 mg Iagi melalui drips infus bila dianggap perlu. 7. Antihistamin dan kortikosteroid merupakan pilihan kedua setelah adrenalin. Kedua obat tersebut kurang manfaatnya pada tingkat syok anafilaktik, dapat diberikan setelah gejala klinik mulai membaikguna mencegah komplikasi selanjutnya berupa

serum sickness atau prolonged effect. Antihistamin yang biasa digunakan adalah difenhidramin HCI 5-20 mg IV dan untuk go Iongan kortikosteroid dapat digunakan deksametason 5-10 mg IV atau hidrokortison 100-250 mg IV. 8. Resusitasi Kardio Pulmoner (RKP), seandainya terjadi henti jantung (cardiac

arrest) maka prosedur resusitasi kardiopulmoner segera harus dilakukan sesuai dengan falsafah ABC dan seterusnya. Mengingat kemungkinan terjadinya henti jantung pada suatu syok anafilaktik selalu ada, maka sewajarnya ditiap ruang praktek seorang dokter tersedia selain obat-obat emergency, perangkat infus dan cairannya juga perangkat resusitasi (Resuscitation kit) untuk memudahkan tindakan secepatnya. 9. Penatalaksanaan reaksi anafilaksis

Renjatan Anafiloksis

HINDARKAN I HENTIKAN paparan alergen yang diketahui I dicurigai !

NILAI CAB- MSW dengan segera dan secepat mungkin ! Circulation, Airway, Breathing, Mental Status. Skin, Body Weight

~



CARl BANTU AN ! Hubungi 118 (ambulans) atau RS terdekat

-

EPINEFRIN! Segera injeksikan Epinefrin IM pad a mid-anterolateral paha. Dosis 0.01 mglkgBB (sediaan ampul I mglml); maksimal pad a dewasa 0,5 mg. maksimal pada anak 0.3 mg.

f---

ELEVASI! Telentangkan pasien dengan fungkai bawah dielevasi. Posisi pemulihan bila terjadi dis ires atau pasien muntah. JANGAN BIARKAN PASIEN DUDUK ATAU BERDIRI!

OBSERVASI! Ulangi Epinefrin 5- 15 menif kemudian bila belum ada perbaikan OKSIGEN! Bila ada indikasi. beri Oksigen 6- 8 liter I menit dengan sungkup muka atau oro~pharyngeal airway (OPA).

INTRA VENA! Pasang infus (dengan jarum ukuron 14- 16 gauge). Bila syok. berikan NaCI 0.9% I -2 lifer secara eepat (pada 5- I 0 menif pertama. do pat diberikan 5- I 0 mllkgBB untuk dewasa dan I 0 mllkgBB untuk anak)

RJP! Di setiap soot. apabila perlu, lakukan Resusitasi Jan tung Paru (RJP) dengan kompresi jantung yang kontiniu (Dewasa: 100 120 x/menit. ked olamon 5-6 em. Anak: 100 x/menit. kedalaman 4-5 em).

MONITOR! Nilai dan eatat TANDA VITAL STATUS MENTAL. dan OKSIGENASI setiap 5- 15 menit sesuai kondisi pasien. Observasi I - 3 x 24 jam a tau rujuk ke RS terdekat. Untuk kasus ringan. observosi cukup dilakukon selomo 6 jam

TERAPI TAMBAHAN Kortikosteroid untuk semuo kasus berat. berulang. dan posien dengan asma o Methyl prednisolone 125- 250 mg IV Dexamethasone 20 mg IV o Hydrocortisone I 00 500 mg IV pelan lnhalasi short acting {32-agonist pada bronkospasme berat Vasopressor IV Anfihistamin IV Bila keadaan stabil. dapat mulai diberikan kortikosteroid dan antihistamin PO selama 3 x 24 jam

(Simons et al. 2011)

Gam bar 1. Algoritma Penanganan Reaksi Anafilaktik

Panduan Praktik Klinis . '~rer::~klmHnel~

Perhirnpunan Dolder Spe-si9!is PenyakH Da!am !ndonesio

Rencana Tindak Lanjut

Mencari penyebab reaksi anafilaktik dan mencatatnya di rekam medis serta memberitahukan kepada pasien dan keluarga untuk menghindari alergen penyebab agar tidak terjadi reaksi anafilaktik lagi. Konseling dan Edukasi

Keluarga perlu diberitahukan mengenai penyuntikan apapun bentuknya terutama obat-obat yang telah dilaporkan bersifat antigen (serum, penisillin, anestesi lokal, dll) harus selalu waspada untuk timbulnya reaksi anafilaktik. Penderita yang tergolong risiko tinggi (ada riwayat asma, rinitis, eksim, a tau penyakit-penyakit alergi lainnya) harus lebih diwaspadai lagi. Jangan mencoba menyuntikkan obat yang sam a bila sebelumnya pernah ada riwayat alergi betapapun kecilnya. Sebaiknya mengganti dengan preparat lain yang lebih aman. &

Kriteria Rujukan

Kegawatan pasien ditangani, apabila dengan penanganan yang dilakukan tidak terdapat perbaikan, pasien dirujuk ke layanan sekunder.

KOMPLIKASI Kerusakan otak, koma, kematian.

PROGNOSIS Prognosis suatu syok anafilaktik amat tergantung dari kecepatan diagnosa dan pengelolaannya karena itu umumnya adalah dubia ad bonam.

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Alergi-Imunologi Klinik- Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

REFERENSI 1.

Simons FER, et.al. 2012 Update: World Allergy Organization Guidelines for the assessment and management of anaphylaxis. Curr Opin Allergy Clin lmmunol 20 12; 12:389-99

2.

Simons FER, et.al. World Allergy Organization Guidelines for the Assessment and Management of Anaphylaxis. WAO Journal 2011; 4:13-37

3.

Baratawidjaja KG, Rengganis I. Reaksi Anafilaksis dan Anafilaktoid. Dalam: Alergi Dasar. Jakarta: lnterna Publishing. 2009. Hal. 67-94 ..

URTIKARIA

PENGERTIAN Urtikaria adalah suatu kelainan yang terbatas pada superfisial dermis berupa ben to! (wheal) yang terasa gatal, berbatas jelas, dikelilingi daerah eritematous, tampak kepucatan di bagian tengahnya, bersifat sementara, gejala puncaknya selama 3-6 jam dan menghilang dalam 24 jam, lesi lama berangsur hilang sejalan dengan munculnya lesi baru, serta dapat terjadi di mana pun pada permukaan kulit di seluruh tubuh, terutama ekstremitas dan wajah. Episode urtikaria yang berlangsung kurang dari 6 minggu disebut urtikaria akut, sedangkan yang menetap lebih dari 6 minggu disebut urtikaria kronik.l-4

Klasifikasi

2

1. lgE-dependent: Sensitifitas terhadap alergen seperti tungau debu rumah, serbuk sari, makanan, obat, jamur udara, bulu binatang peliharaan, venom Hymenoptera) 2.

Fisik: dermografisme, dingin, cahaya, kolinergik, getaran, berhubungan dengan olahraga

3. Autoimun 4. Perantaraan bradikinin a. Angioedema herediter, defisiensi inhibitor Cl: null (tipe 1) dan disfungsional (tipe 2) b. Angioedema didapat: defisiensi inhibitor Cl: anti idiotipe dan anti-Cl inhibitor c.

Angiotensin-converting enzyme(ACE) inhibitor

5. Perantaraan komplemen a.

Vaskulitis nekrotikans

b. Serum-sickness c. 6.

Reaksi produk darah

Non imunologis a.

Zat pelepas langsung sel mast ( opiat, antibiotik, kurare, D-tubocurarin, media radiokontras)

b. Zat pengubah metabolisme as am arakidonat (aspirin, NSAID, azo-dyes, benzoat) 7.

Idiopatik

Panduan Praktik Klinis

Panduan Praktik llinis

Perhimpunan Dokter Spesiatis Penyoldt Dalom tndonesia

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

16 -



Onset dan lamanya keluhan, apakah sudah pernah berulang a tau baru pertama kali



Faktor pencetus; misalnya zat farmakologis (seperti antibiotik, analgetik, antikonvulsan, cairan infus, imunisasi), makanan tertentu, bahan pengawet, bahan kimia (contact urticaria), rangsang tekanan (pressure urticaria) atau rangsang fisik (physical urticaria) seperti paparan dingin, air (aquagenic urticaria), cahaya

(solar urticaria), dan trauma ringan. •

Faktor yang memperberat: seperti stres, temperatur panas, alkohol.



Riwayat infeksi terutama karena virus (infeksi saluran napas atas, hepatitis, rubela)

Pemeriksaan Fisik 1-6



Bentuk, distribusi, dan aktivitas lesi urtikaria pada kulit



Adakah angioedema pada profunda dermis dan jaringan subkutan, keterlibatan mukosa a tau submukosa, me mar; keterlibatan jaringan ikat, dan edema kulityang luas



Kemungkinan kelainan sistemik a tau metabolik, seperti gangguan tiroid, ikterus, artritis



Urtikaria yang ditemukan di tungkai saja dan tidak hilang dalam 24 jam dicurigai adanya urtikaria vaskulitis.

Pemeriksaan Penunjang 1- 6



Pemeriksaan dasar: darah perifer lengkap, urin lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal



Tes Alergi



lgE Atopi

DIAGNOSIS BANDING Mastositosis (urtikaria pigmentosa), mastositosis sistemik, vaskulitis kulit

(cutaneous vasculitis), Episodic Angioedema Associated with Eosinophilia (EAAE), angioedema herediter, urtikaria papular, dermatitis atopik, eritema pemfigoid bulosa.t

ultiformis,

23 ·

TAT ALAKSANA •

Paliatif, edukasi untuk mengurangi gejala, menghindari pencetus

"

Urtikaria akut akan sembuh sendiri dan memberikan respons yang baik dengan pemberian antihistamin generasi pertama. 5

Urtikaria •

Medikamentosa: 1 Lini 1: Antihistamin generasi pertama (klorfeniramin, hidroksizin, difenhidramin), antihistamin generasi kedua (setirizin, loratadin), antagonis HZ (simetidin, ranitidin) per oral Lini 2 : Kortikosteroid per oral jangka panjang, pada beberapa kasus yang berat, kalau perlu dilakukan biopsi bila dicurigai adanya vaskulitis untuk klasifikasi histopatologis. Bila disertai angioedema yang berat, injeksi adrenalin intramuskular dapat diberikan.

KOMPLIKASI •

Sumbatan jalan napas akibat angioedema akut pada faring atau laring



Gangguan tidur dan aktivitas sehari-hari

PROGNOSIS Belum ada data pasti mengenai kasus urtikaria, tapi diperkirakan 15-23% individu pernah mengalami urtikaria, dan sebagian besar menjadi kronik dan sering kambuh. Pada 25 % kasus urtikaria seringkali disertai angioedema. Diperkirakan wanita dua kali lebih sering mengidap urtikaria dari pada laki-laki. 4

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Alergi-Imunologi- Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Departemen Kulit dan Kelamin, Unit Perawatan Intensif



RS nonpendidikan

: Bagian Kulit dan Kelamin, Unit Perawatan Intensif

REFERENSI 1.

Baskoro A Soegiarto G, Effendi C, Konthen PG. Urtikaria dan Angioedema. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF, eds. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Edisi VI Jilid I. Jakarta: lnterna Publishing; 2014. h495-503.

2.

Sundaru Heru. Urtikaria. Dalam :Setiati Siti, et al editor. Lima Puluh Masalah Kesehatan Di Bidang llmu Penyakit Dalam. jilid I. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI; 2008. h. 245-50

3.

Baratawidjaja KG, Rengganis I. Urtikaria dan Angioedema dalam Alergi Dasar edisi ke-1. Jakarta: Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam;2009. Hal95-123.

4.

Bernstein JA, et.al. The diagnosis and management of acute and chronic urticaria: 2014 update. J Allergy Clin lmmunol. 2014;133(5):1270-7.

Panduan Praktik Klinis

Perhi[Ylpunaft Dokter Spesia!!s Penyakit Dalom rn.dqnesio

t

5.

Mtynek A et al. How to assess disease activity in patients with chronic urticaria? Allergy. 2008;63( 6) :777-80.http:/ /www.ncbi.nlm.nih.gov /pubmed/ 18445192

6.

Mathias SD,etal. Evaluating the minimally important difference of the urticaria activity score another measures of disease activity in patients with chronic idiopathic urticaria. Ann Allergy Asthma lmmunol1 08 (2012) 20-24.http: I /marcus-maurer.info/ fileadmin/documents/ publications/ original/ 121_ Mathias _et _a I Evaluating _UAS_CIU_AAAI_20 12.pdf

VAKSINASI PADA ORANG DEWASA

PENGERTIAN Imunisasi adalah induksi yang bertujuan untuk membentuk suatu imunitas dengan berbagai cara, baik secara aktif maupun pas if. Sebagai contoh imunisasi pas if adalah pemberian imunoglobulin, sedangkan vaksinasi merupakan imunisasi aktif dengan cara pemberian vaksin. 1

JENIS VAKSIN Tabell. Jenis-jenis vaksin'

2

Tipe Vaksin Virus yang dilemahkan {live attenuated virus)

Contoh Polio sabin, measles, mumps, rubela, varicella, yellow fever

Bakteri yang dilemahkan {live attenuated bacterium)

BCG*, TY21 a (vaksin oral tifoid)

Virus yang telah dimatikan (killed whole virus)

Polio salk, influenza, hepatitis A

Sel bakteri yang dimatikan (killed whole cell bacterium)

Pertusis, kolera, antraks

Toxoid

Difteri, tetanus

Molecular vaccine: protein

Acellular pertusis, subunit influenza, Hepatitis B, HPV**

Molecular vaccine: carbohydrate

Haemophilus influenza type B (Hib), Vi tifoid, meningokok, pneumokok

Molecular vaccine: carbohydrate-protein conjugate

Hib, meningokok, pneumokok

Combination vaccine

Difteri, pertusis, tetanus (DPT); measlesmumps-rubella (MMR); DPT-Hib

Keterangan: 'BCG =Bacillus Calmette-Guerin, vaksin antituberkulosis "HPV = Human Papilloma Virus

Beberapa vaksin dapat diberikan secara bersamaan pada satu waktu. Bila dua atau lebih vaksin hid up diberikan secara terpisah, maka sebaiknya pemberian pertama dan kedua berjarak lebih daripada 28 hari. Apabila pemberian vaksin hid up (MMR, MMRV,

varicella zoster, yellow fever) dilakukan kurang daripada 28 hari, maka pemberian vaksin hidup kedua perlu diulang untuk mencegah menurunnya efektivitas vaksin

Panduan Praktik Klinis

P.erhimpurldn Doklei s~:>lall:> Penyoklf DokJ'rn fndonesio

hidup yang kedua. Namun terdapat pengecualian, misalnya pemberian vaksinyel/ow fever dapat dilakukan kurang daripada 28 hari setelah pemberian vaksin campak.U Memperpanjang interval pemberian vaksin tidak mengurangi efektivitas vaksin sehingga dosis tidak perlu diulang atau ditambah. Sebaliknya, mempercepat interval pemberian vaksin dapat mempengaruhi proteksi dan respons antibodi. Oleh karena itu, vaksin tidak boleh diberikan lebih cepat daripada interval minimum, kecuali ada dukungan data uji klinik. Selain itu, vaksin juga tidak boleh diberikan lebih cepat dari usia minimum yang telah ditentukan, misalnya pada vaksinasi di sekolah yang perlu diperhatikan adalah usia, bukan kelas siswa. Jadi, bila usia siswa belum mencapai usia yang diindikasikan pada pemberian vaksin, meski ia satu kelas dengan temannya, ia tidak divaksin. Meski demikian, berdasarkan rekomendasi Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP), pemberian vaksin empat hari sebelum interval dari usia minimum diperbolehkan. 3 JADWAL IMUNISASI YANG DIREKOMENDASIKAN

Setiap orang dewasa yang ingin mendapatkan kekebalan terhadap penyakit infeksi dapat dilakukan pencegahan dengan pemberian vaksinasi. Jadwal Imunisasi Dewasa D

telah direkomendasikan oleh PAPDI, dan dibawah ini dapat rekomendasi tahun 2014.

Tabel 2. Jadwallmunisasi Dewasa yang Direkomendasikan oleh PAPDI Tahun 2014

Vaksin

J9:~.tahun

22·~6tabun)

.

27~49 tal'ttln

6()£64 fa hun· SO•S?J(Ihun ~6$f(lhl.!!l 1 dosis setiap tahun lmunisasi primer diberikan 3 dosis (bulan ke-0, 1, 7-13) selanjutnya 1 dosis booster Td/Tdap diberikan setiap 10 tahun Varicella 2 dosis (bulan ke-0 & 4-8 minggu kemudian) Human Papilloma Virus (HPV) 3 dosis HPV bivalent/quadrivalent (bulan ke-0, 1 atau 2, dan 6) untuk perempuan Human Papilloma Virus (HPV) HPV quadrivalent 3 dosis {bulan ke-0, 2, dan 6) untuk laki-laki Zoster 1 dosis 1 atau 2 dosis (jeda minimum 28 hari) MMR Pneumokokal konjugat 1 dosis 13-valent (PCV-13) Pneumokokal polisakarida j 1 dosis 1 atau 2 dosis (pengulangan diberikan setelah 5 tahun) (PPSV23) Meningitis Meningokokal Wajib untukjemaah haji dan umrah (1 dosis untuk 2 tahun) Hepatitis A 2 dosis (bulan ke-0, & 6-12) Influenza (Td/Tdap)

I

Hepatitis B Hepatitis A & B (kombinasi) Demam Tifoid Yellow Fever

3 dosis (bulan ke-0, 1 & 6) 3 dosis (bulan ke-0, 1 & 6) 1 dosis untuk 3 tahun Wajib bila akan berpergian ke negara tertentu ( 1 dosis untuk 10 tahun)

<

Q

~

:J Q



V>

"'0 Q

Q..

Q

0

a :J

(Q

CJ

({)

~

Q

V>

Q

Panduan Praktik llinis .-·~r.

Perhimpvnon Dokfer Spesktlis PerrYaklt Do!arn Indonesia

USIA LANJUT Orang yang berusia di atas 60 tahun memiliki kekebalan tubuh yang menurun. Produksi dan proliferasi limfosit T berkurang sesuai usia sehingga imunitas selular dan produksi antibodi berkurang sehingga lebih mudah terserang penyakit. 4 Menurut

American Geriatrics Society, vaksinasi yang dianjurkan bagi individu;::: 65 tahun yaitu, seperti tercantum pada tabel 3. Tabel 3. Vaksinasi yang dianjurkan pada usia lanjut5 Nama Vaksin

Dosis dan Cara Pemberlan

lndikasl

Kontraindikcsi dan Peringatan

Influenza

1 dosis (0,5 ml) IM deltoid (setiap tahun)

Usia 2 50 tahun. termasuk risiko tinggi (asma. PPOK. penyakit jantung, ginjal. hati, gangguan metabolik, imunosupresi)

Riwayat reaksi anafilaksis terhadap vaksin atau komponennya (mis. telur) Jangan memberikan vaksin hidup pada usia ~50 tahun Sindrom Guillain-Barre dalam 6 minggu dari dosis terakhir

Pneumococcal Polysaccharide Vaccine (PPSV)

1 dosis (0,5 ml) IM atau SC

Usia~ 65 tahun yang belum pernah divaksin sebelumnya

Riwayat reaksi anafilaksis terhadap PPSV atau komponennya Sakit ringan dengan/ tanpa demam bukan kontraindikasi Gunakan dengan hatihati pada penyakit akut sedang/berat PCV tidak dianjurkan untuk lansia

Herpes Zoster

1 dosis (0,65 ml) SC deltoid 2 dosis serial bila VZV seronegatif

Usia~ 65 tahun tanpa melihat riwayat infeksi zoster sebelumnya

Riwayat reaksi anafilaksis terhadap vaksin atau komponennya (gelatin, neomisin) lmunokompromis (infeksi HIV dengan <200 CD4 cells/IJI) Gunakan dengan hatihati pada penyakit akut sedang/berat

Tetanus, difteri (Td)

3 dosis Td toksoid (2 dosis pertama selang 4 minggu, dosis ke-3 6-12bln kemudian. booster tiap 10 tahun*) *Catatan: dapat diberikan lebih sering pada luka resiko tinggi (luka bakar, luka tusuk. luka jaringan lunak ekstensif)

Vaksin seriallengkap diindikasikan pada dewasa tua dengan riwayat vaksin tidak jelas atau kurang dari 3 dosis

Riwayat reaksi anafilaksis terhadap vaksin Td Penyakit akut



Vaksinasi pada Orang Dewasa HAMIL

Pada wanita hamil terjadi perubahan pada tubuhnya termasuk sistem imun. Pada kehamilan, sistem imun mengalami pergeseran dari imunitas selular menjadi imunitas humoral sehingga wanita hamil rentan terkena infeksi. 6 Rekomendasi vaksinasi untuk wanita hamil dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel4. Rekomendasi vaksin bagi wanita hamil'- 26 Sebelum Kehamilan

Selama Kehamilan

Setelah Kehamilan

Jenis Vaksin

Cora Pemberian

Hepatitis A

Jika ada risiko

Jika ada risiko

Jika ada risiko

inaktif

IM

Hepatitis B

Yo, Jika ada risiko

Yo, Jika ada risiko

Yo, Jika ada risiko

inaktif

IM

Human Papiloma Virus (HPV)

Yo, usia 9-24 to hun

Tidak

Yo, usia 9-24 to hun

inaktif

IM

Influenza (inaktif)

Yo, hindari konsepsi selama 4 minggu

Yo

Yo

inaktif

IM

Meningokok • konjugat • Polisakarida

Jika ada indikasi

Yo, Jika ada indikasi

Jika ada indikasi

inaktif inaktif

sc

Pneumokok polisakarida

Jika ada indikasi

Jika ada indikasi

Jika ada indikasi

inaktif

IM atau SC

Polio (IPV)

Jika ada indikasi

Dihindari, kecuali ada risiko

Jika ada indikasi

inaktif

sc

TetanusDiptheria(Td)

Yo, Tdap lebih dipilih

Jika ada indikasi

Yo, Tdap lebih dipilih

toxoid

IM

TetanusDiptheriaPertusis(Tdap)

Yo

Yo, Jika risiko tinggi pertusis

Yo

toxoid

IM

Yo, hindari konsepsi selama 4 minggu

Tidak

Yo, hindari konsepsi selama 4 minggu

hidup

sc

Yo, jika <50 tahun dan sehat; hindari konsepsi selama 4 minggu

Tidak

Yo, jika <50 tahun dan sehat; hindari konsepsi selama 4 minggu

hidup

Nasal spray

Yo, hindari konsepsi selama 4 minggu

Tidak

Yo, hindari konsepsi selama 4 minggu

hidup

sc

Vaksin

Varicella

Influenza (LAIV)

MMR

IM

Panduan Praktik Klinis

Perhimpunan Ookter $pes1o1is Pen_yakit Dck:ir,n !Odoneslo

PEMBERIAN VAKSIN PADA IMUNODEFISIENSI SEKUNDER lmunodefisiensi sekunder merupakan bagian dari imunokompromais (gangguan sistem imun). Infeksi sering menjadi penyebab kematian pada pasien imunokompromais, karena itu vaksinasi dibutuhkan untuk mencegah risiko terkena infeksi. 7 Dibawah ini terdapat rekomendasi pemberian vaksin pada pasien dengan imunodefisiensi sekunder. Tabel 5. Rekomendasi Pef"!lberian Vaksin pad? lmunodefisiensi sekunder 7 lmurio~efisi~nsi. Spes.ifik

Va~s{n

yaf1g Dikontraindik<Ssi

V<SI<sin y~ng Dianjud
HIV/AIDS

OPV' 2

lnfluei1Za (TIV)'" Pneumokok Hepatitis A dan B

BCG LA IV*"*

MMR, varicella, dan

yellow fever diberikan bila hitung CD4 rel="nofollow">200

HAJ!l· 8 Kementerian Kesehatan Kerajaan Arab Saudi, sejak tahun 2002 telah mewajibkan negara-negara yang mengirimkan jemaah haji untuk memberikan vaksinasi meningokok tetravalen (A/C/Y /W-135) sebagai syarat pokok pemberian visa haji dan umroh, dalam upaya mencegah penularan meningitis meningokokus. Cara pemberian vaksin berupa dosis tunggal 0,5 mL disuntikkan subkutan di daerah deltoid atau gluteal. Respons antibodi terhadap vaksin dapat diperoleh setelah 10-14 hari dan dapat bertahan selama 2-3 tahun. Vaksin diberikan pad a jemaah haji minimall 0 hari sebelum berangkat ke Arab Saudi dan bagi jemaah yang sudah divaksin sebelumnya (kurang dari tiga tahun) tidak perlu vaksinasi ulang. Di sam ping vaksin meningokok dianjurkan juga pemberian vaksin influenza dan pneumokok mengingat lingkungan tempat tinggal yang berdesakkan dan usia jemaah yang sebagian besar termasuk usia lanjut.

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Alergi-lmunologi, Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

Vaksinasi pada Orang Dewasa REFERENSI 1.

Winulyo EB. lmunisasi Dewasa. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF (ed). Buku Ajar llmu Penyakit Do lam Jilid I. Edisi ke-6. Jakarta: Intern a Publishing: 2014. h. 951-7.

2.

Yunihastuti E. Vaksinasi pada Kelompok Khusus. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF (ed.). Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi ke-6. Jakarta: lnterna Publishing; 2014. h. 958-62.

3.

Center for Disease Control & Prevention. Recommended immunization schedule, United States. Washington DC: Center for Disease Control & Prevention; 2014.

4.

The American Geriatrics Society. A Pocket Guide To Common Immunization for the Older Adults. Centers for Disease Control and Prevention. USA, 2009.

5.

Wahyudi ER. Yasmin E. Vaksinasi pada Usia Lanjut. Dalam: Pedoman lmunisasi pada Orang Dewasa. Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR (ed). Tahun2012. Jakarta: Badon Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h.261-7.

6.

Ocvyanti D, Novianti H. Vaksinasi pada Kehamilan. Dalam: Pedoman lmunisasi pada Orang Dewasa. Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR (ed). Tahun20 12. Jakarta: Badon Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h.268-79.

7.

Yunihastuti E. Winulyo BE, Sukmana N, Yogani I. Vaksinasi pada Pasien lmunokompromais. Dalam: Pedoman lmunisasi pad a Orang Dewasa. Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR (Ed). Tahun2012. Jakarta: Badon Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h.331-41.

8.

Koesnoe S, Novianti H. Vaksinasi untuk Jemaah Umroh dan Haji. Dalam: Pedoman lmunisasi pada Orang Dewasa. Djauzi S, Rengganis I, Koenoe S, Ahani AR (ed). Tahun2012. Jakarta: Badon Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012. h.320-6.

HIV/AIDS TANPA KOMPLIKASI

PENGERTIAN Masalah HIV1AIDS adalah masalah besar yang mengancam Indonesia dan ban yak negara di dunia serta menyebabkan krisis multi dimensi. Berdasarkan hasil estimasi Departemen Kesehatan tahun 2006 diperkirakan terdapat 169.000- 216.000 orang dengan HIV dan AIDS di Indonesia. Program bersama UNAIDS dan WHO memperkirakan sekitar 4,9 juta orang hidup dengan HIV di Asia.

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis Keluhan Infeksi HIV tidak akan langsung memperlihatkan gejala atau keluhan tertentu. Pasien datang dapat dengan keluhan: 1. Demam (suhu>37,5°C) terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan. 2.

Diare yang terus menerus atau intermiten lebih dari satu bulan.

3. Keluhan disertai kehilangan berat badan (BB) >10% dari berat badan dasar. 4.

Keluhan lain bergantung dari penyakit yang menyertainya.

Faktor Risiko 1. Penjaja seks laki-laki atau perempuan 2.

Pengguna NAPZA suntik

3. Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama lal
Hubungan seksual yang berisikoltidak aman

5. Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS) 6.

Pernah mendapatkan transfusi darah

7. Pembuatan tato dan atau alat medislalat tajam yang tercemar HIV 8. Bayi dari ibu dengan HIV I AIDS 9. Pasangan serodiskor (yang satu terinfeksi HIV, lainnya tidak) dan salah satu pasangan positif HIV

Panduan Praktik Klinis

t>erhimp!Jnon DrJk!er Spesio!is Penyokil D(Jlorn !ndonesl(l

HIV I AIDS Tanpa Komplikasi Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum

a.

Berat badan turun

b. Demam 2. Kulit a.

Tanda-tanda masalah kulit terkait HIV misalnya kulit kering, dermatitis seboroik.

b. Tanda-tanda herpes simpleks dan zoster atau jaringan parut bekas herpes zoster. 3. Pembesaran kelenjar getah bening 4. Mulut: kandidiasi oral, oral hairy leukoplakia, keilitis angularis 5. Dada: dapat dijumpai ronki basah akibat infeksi paru 6. Abdomen: hepatosplenomegali, nyeri, atau massa. 7. Anogenital: tanda-tanda herpes simpleks, duh vagina atau uretra 8. Neurologi: tanda neuropati dan kelemahan neurologis. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium a.

Hitung jenis leukosit : Limfopenia, dan CD4 hitung <500 (CD4sekitar 30% dari jumlah totallimfosit)

b. Tes HIV menggunakan strategi III yaitu menggunakan 3 macam tes dengan titik tangkap yang berbeda, umumnya dengan ELISA dan dikonfirmasi Western Blot c.

Pemeriksaan DPL

2. Radiologi: Rontgen toraks Sebelum melakukan tes HIV perlu dilakukan konseling sebelumnya. Terdapat dua macam pendekatan untuk tes HIV : 1. Konseling dan tes HIV sukarela (KTS-VCT

=Voluntary Counseling & Testing)

2. Tes HIV dan konseling atas inisiatif petugas kesehatan (TIPK - PITC = ProviderInitiated Testing and Counseling) Penegakan Diagnostis

(Assessment)

Diagnosis Klinis Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan hasil tes HIV. Stadium klinis harus dinilai pada saat kunjungan awal dan setiap kali kunjungan.

Panduan Praktik Klinis

P9rhlmpvnan Dokter Spesloll~ penya~Jf Dalarn !ndones!a

Tabel 1. Stadium Klinis HIV Stadium 1 Asimtomatik

I. Tidak ada penurunan BB 2. Tidak ada gejala atau hanya limfa denopati generalisata persisten Stadium 2 Sakit Ringan

I. Penurunan BB bersifat sedang yang tidak diketahui penyebabnya (< 10% dari perkiraan BB a tau BB sebelumnya) 2. ISPA berulang (sinusitis, tonsilitis, otitis media, faringitis) 3. Herpes zosterdalam 5 tahun terakhir 4. Keilitis Angularis 5. Ulkus mulut yang berulang 6. Ruam kulit yang gatal (Papular pruritic eruption) 7. Dermatitis seborolik 8. lnfeksi jamur pada kuku Stadium 3 Sakit Sedang

I. Penurunan berat badan yang takdiketahui penyebabnya (> 10% dariperkiraan BB atau BB sebelumnya)

2. 3. 4. 5. 6. 7.

Diare kronis yang tak diketahui penyebabnya lebih dari 1 bulan Demam menetap yang tak diketahui penyebab Kandidiasis pada mulut yang menetap Oral hairy leukoplakia Tuberkulosis paru lnfeksi bakteri yang berat (contoh: pneumonia, empiema, meningitis, piomiositis, infeksi tulang at au sendi, bakteriemia, penyakit inflamasi panggul yang berat) 8. Stomatitis nekrotikans ulseratif akut, gingivitis atau periodontitis 9. Anemia yang tak diketahui penyebabnya (Hb<8g/dl), neutropeni (<0.5 x 10 g/1) dan/atau trombositopenia kronis (<50 x 10 g/1)

Stadium 4 Sakit Berat (AIDS}

Sindrom wasting HIV Pneumonia pneumocystis jiroveci Pneumonia bakteri berat yang berulang lnfeksi herpes simpleks kronis (orolabial, genital, atau anorektal selama lebih dari 1 bulan atau viseral di bagian manapun) 5. Kandidiasis esofageal (atau kandidiasis trakea, bronkus atau paru) 6. Tuberkulosis ekstra paru 7. Sarkoma kaposi 8. Penyakit cytomegalovirus (retinitis a tau infeksi organ lain, tidak termasuk hati, limpa dan kelenjar getah bening) 9. Toksoplasmosis di sistim saraf pusat 10. Ensefalopati HIV 11. Pneumonia kriptokokus ekstrapulmoner, termasuk meningitis 12. lnfeksi mycobacteria non tuberkulosis yang menyebar 13. Leukoencephalopathy multifocal progresif 14. Cyrptosporidiosis kronis 15. lsosporiasis kronis 16. Mikosis diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis) 17. Septikemi yang berulang(termasuk Salmonella non-tifoid) 18. Limfoma {serebral atau Sel B non-Hodgkin) 19. Karsinoma serviks invasif 20. Leishmaniqsis diseminata atipikal 21. Nefropati ataukardiomiopati terkait HIV yang simtomatis 1. 2. 3. 4.

HIV/AIDSTdnpa Komplikasi

DIAGNOSIS BANDING Penyakit gangguan sistem imun.

TATALAKSANA Prosedur Untuk memulai terapi anti retroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV. 1. Dokter melakukan workup kemungkinan adanya infeksi oportunistik, seperti tuberkulosis dan ensefalitis toksoplasma. Bila di temukan infeksi oportunistik seperti tuberkulosis dan ensefalitis toksof!asma, lakukan terapi untuk infeksi oportunistik terse but dahulu. 2. Dilakukan pemeriksaan CD4 dan viral load (bila memungkinkan) 3. Tidak tersedia pemeriksaan CD4 Penentuan mulai terapi ARVdidasarkan pada penilaian klinis. 4. Pada pasien dengan CD4 <200 pada orang dewasa dan tidak ditemukan toksoplasma ensefalitis, berikan profilaksis untuk toksoplasma ensefalitis, yaitu kortimoksasol. Indikasi pada anak sesuai bagian profilaksis pencegahan kortimoksasol diatas. 5. Dokter mengidentifikasi apakah terdapat indikasi untuk memulai ARV seperti pada tabel 2. 6. Bila terdapat indikasi memulai ARV dilakukan pemeriksaan yang menunjangyang sesuai dengan ARVyang diberikan untuk mengetahui ada tidaknya kontraindikasi sesuai dengan hasil pemeriksaan laboratorium pada tabel 2. 7. Identifikasi dan tatalaksana fk+ctor yang dapat mempengaruhi adherens. 8. Sebelum memulai ARV, pasien diberikan konseling sebelum memulai ARV (konseling pra ARV) Tabel 2. Rekomendasi lnisiasi ARV pada anak dan Dewasa Populasi

Rekomendasi

Dewasa dan lnisiasi ARV pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3 dan 4, atau jika jumlah CD4 anak 25 tahun :5350 sel/mm 3 lnisiasi ARV tanpa melihat stadium klinis WHO dan berapapun jumlah CD4 • Koinfeksi TB" • Koinfeksi hepatitis 8 • lbu hamil dan menyusui terinfeksi HIV o Orang terinfeksi HIV yang pasanganya HIV negative (pasangan serodiskordan), untuk mengurangi risiko penularan • LSL, PS, atau Penasuno • Populasi umum pada daerah dengan epidemi HIV meluas •Pengobalan TB horus di rnulai terlebih dahulu, kernudian obat ARV diberikan dalarn 2-8 minggu sejak mulai TB, tanpa menghentikan lerapai TB. Pado ODHA dengon CD4 kurang dari 50 sel/mm', ARV horus dimulai dalam 2 minggu selelah mulai pengobalan TB. Sedangkan untuk ODHA dengan rneningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu pengobaton kriptokokus. : Dengan memperhatikan kepatuhan.

Panduan Pmktik llinis

PerhimpuMon Dokter Spesio!is Penyokif Da!om 1ndonesia:

Tabel 3. Panduan Lini Pertama yang Direkomendasikan pada Orang Dewasa yang Belum Mendapat Terapi ARV (Treatment Nai've) Populasl Target

Pilihan yang Direkomendasikan

Catatan

Dewaso don onak

AZT at au TDF + 3TC (at au FTC) + EVF otou NVP

Merupokon pilihan paduan yang sesuoi untuk sebagion besar posien Gunokan FDC jika tersedia

AZT + 3TC + EFV otou NVP

TDF biso merupokon pilihan

AZT a tau TDF + 3TC (FTC) + EFV

Muloi teropi ARV segoro seteloh teropi TB dapat ditoleronsi (on taro 2 minggu hingga 8 minggu)

Perempuon hamil Ko-infeksi HIV /TB

Gunokan NVP atau tripe! NRTI bilo EFV tidok depot digunokon Ko-infeksi HIVI Hepatitis B kronik aktif

TDF + 3TC (FTC) + EFV atou NVP

Pertimbongkan pemeriksaan HbsAG terutoma bila TDF merupokon poduon lini pertomo. Diperlukon penggunaon 2 ARV yang memiliki oktivitos onti-HBV

Jongon rnemulai dengan TDF pado pemakaion terapi ARVav.'al. jika CCT hitung <SO mi/menit otou poda penderito diabetes lama. hipertensi yang tidak terkontrol dan gagal ginjal. Jangon memuloi dengan AZT sei)eium teropi ARV i)ilo Hi)
Tabel 4. Dosis Antiretroviral untuk ODHA Dewasa Golongan/ Nama Obat

Dosis"

Nucleoside RTI Abocavir (ABC) Lamivudine (3TC) Stavudine (d4T) Zidovudine (ZDV otou AZT)

300 mg setiop 12 jam 150 mg setiop 12 jam at au 300 mg sekolisehori 40 mg setiop 12 jam (30 mg setiop 12 jam bila BB<60 kg) 300 mg setiap 12 jam

Nucleotide RTI Tenofovir (TDF)

300 mg sekolisehori, (Catalan: interoksi obot dengon ddl perlu mengurangi dosis ddl)

Non-nucleoside RTis Efavirenz (EFV) Nevirapine (NVP) (Neviral®)

600 mg sekalisehari 200 mg sekolisehariselamo 14 hari, kemudion 200 mg setiop 12 jam

Protease inhibitors Lopinovir/ritonavir (LPV /r)

400 mg/100 mg setiop 12 jam, (533 mg/133 mg setiop 12jom bilo dikombinosi dengon EFV otou NVP)

ART kombinasi AZT -3TC {Duvirol ®)

Diberikon 2x sehoridengon interval 12 jam

Rencana Tindak lanjut 1. Pasien yang belum memenuhi syarat terapi ARV

Monitor perjalanan klinis penyakit dan jumlah CD4-nya setiap 6 bulan sekali. 2. Pemantauan Pasien dalam Terapi Antiretroviral

HIV/AIDS Tanpa Komplikasi a.

Pemantauan klinis Dilakukan pada minggu 2, 4, 8, 12 dan 24 minggu sejak memulai terapi ARV dan kemudian setiap 6 bulan bila pasien telah mencapai keadaan stabil.

b. Pemantauan laboratorium •

Pemantauan CD4 secara rutin setiap 6 bulan, atau lebih sering bila ada indikasi klinis.



Pasien yang akan memulai terapi dengan AZT maka perlu dilakukan pengukuran kadar Hemoglobin (Hb) sebelum memulai terapi dan pad a minggu ke 4, 8 dan 12 sejak mulai terapi atau ada indikasi tanda dan gejala anemia



Bila menggunakan NVP untuk perempuan dengan CD4 an tara 250-350 self mm 3 maka perlu dilakuan pemantauan enzim transaminase pada minggu 2, 4, 8 dan 12 sejak memulai terapi ARV (bila memungkinkan), dilanjutkan dengan pemantauan berdasarkan gejala klinis.

"

Evaluasi fungsi ginjal perlu dilakukan untuk pasien yang mendapatkan TDF.

Konseling dan Edukasi

1. Menganjurkan tes HIV pada pasien TB, infeksi menular seksual (IMS), dan kelompok risiko tinggi beserta pasangan seksualnya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2.

Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga ten tang penyakit HIVI AIDS. Pasien disarankan untuk bergabung dengan kelompok penanggulangan HIV I AIDS untuk menguatkan dirinya dalam menghadapi pengobatan penyakitnya.

Kriteria Rujukan

1. Setelah dinyatakan terinfeksi HIV maka pasien perlu dirujuk ke Pelayanan Dukungan Pengobatan untuk menjalankan serangkaian layanan yang meliputi penilaian stadium klinis, penilaian imunologis dan penilaian virologi. 2.

Pasien HIV I AIDS dengan komplikasi.

Sarona Prasarana Layanan VCT

PROGNOSIS Prognosis sangat tergantung kondisi pasien saat datang dan pengobatan. Terapi hingga saat ini adalah untuk memperpanjang masa hidup, belum merupakan terapi definitif, sehingga prognosis pada umumnya buruk.

PanduansPesiaJfs Praktik Klinis ~lerblmPunan Dokter

Penyaklf Oa!dm lnd0!19:iia

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Alergi-lmunologi Klinik- Departemen Penyakit Dalam, Divisi Tropik Infeksi - Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Pulmonologi - Departemen Ilmu Penyakit Dalam,



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT •

RS pendidikan

: Departemen Neurologi, Departemen Kulit dan Kelamin



RS non pendidikan

: Bagian Neurologi, Bagian Kulit dan Kelamin

REFERENSI 1.

Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Tatalaksana lnfeksi HIV dan Terapi Antiretrovira/ pada Orang Dewasa.Jakarta: Kemenkes. 2011.

2.

Djoerban Z. Djauzi S. HIV/AIDS di lndonesia.Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B. Alwi I. Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. 411'Ed. Vol II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. Hal. 1825-30.

3.

Yunihastuti. E, Karjadi TH, Suroyo Yudianto. B. Nelwan JE, Ujainah ZN, Kurniati N, lmran D, dkk Pedoman Layanan HIV RSCM 2014.

PENATALAKSANAAN Dl BIDING ILMU PENYAKIT DALAM

PANDOAN PRAKTIK KLINIS METABOLIK E

Sindrom Ovarium Polikistik

(PCOS~e£···· ..~ ·~~f~

t~:_j,:,:::::}.~4

Struma Difusa Non Toksik._. .................................... Struma Nodosa Non Toks1k (SNNT) .......... ······"'"'·········,····":... 137 . "'--".//::/[ Struma Nodosa Toks1k ................................................ J:' ......, 144 I 1• • • • • •

Tiroiditis ........................................................................ !,:·······~ ..... 147 Tirotoksikosis .............................................................................. 151 Tumor Hipofisis .......................................................................... 156 Obesitas .................................................................................... 162

DIABETES MELITUS

PENGERTIAN Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia kronik yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. 1 Dalam praktik sehari-hari DM tipe 2 yang paling sering ditemui, sehingga pembahasan lebih banyak difokuskan pada DM tipe 2. Tabel 1. Klasifikasi Diabetes Melitus1.2

tt~~;,:r~i}~.~~j§§!!t~i;~lift~(,~j-lii~fit:ijigt~~~i~i~~1~L¥~~iJ~~~~~:i~ii~;~~;t£~i~~~~~i~;~~~!t~!?~~i~-I~~~11~fil2J%~~:t~-~~;,~i (Destruksi sel beta, umurnnya menjurus ke defisiensi insulin absolut) A. . M€llalui pros~s irnUn()logik B. ldiopatik

t.rt~t¥04~ijlilt~ti«Sfdlf~JP!~~~~~i~tif~~l~li$~;rt~t'~~~lW~~4f~~~i{JI~~~~~Ir~~i~~~J (Bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predomindn gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)

f ro~:~:~:~~~:P!~~t;tsiMliilV$1liit~trQJill~~if~~~;~1f~~~,!*·~l$;~~~11f~1f~~~1-t~~~fi~~~1~~~~~~~~~~; ~;-~~t~~t:i~~~~;;,~~~~~~~~~~~;P:\. 1 A.

B. C. D. .. E.. F. G. H.

Defek genetik fungsi sel beta. _ Kromosom 12, HNF-a (dahulu MODY 3) Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2) Kromosom 20, HNF a (dahulu MODY 1) Kromosom 13, insulin promoter factor (dahulu MODY 4) KromOsom 17, HNF-1 f3 (dahulu MODY 5) Kromosom 2. Neuro Dl (dahulu MODY 6) DNA Mitokondria Lainnya Defek.genetik kerja insulin : resistensi insulin tipe A. Leprechaunism. sindrom Robson Mendenhall, diabetes lipodtrofik. lainnya Penyakit eksokrin pankreas : pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik hemokromatosis. pankreatopati flbro kalkulus, lainnya Endokrinopati : akromegali, sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroidisme, somatostatinoma. aldosteronoma, lainnya ..... .Karena.obattzatkimia.: vacor;.pentamidin. asam.nik-Otinat,-glukok-ertikoid,· hormoA-tiroid; ·· diazoxid, aldosteronoma.lainnya • lnfeksi :rubella congenital; C:MV.-Tairmya lmunologi (jarang) : Sindrom "Stiffman", antibodi antireseptor insulin. lainnya. Sindrom genetik lain : Sindrom Down. Sindrom Klinefelter, sindrom Turner. sindrom Wolfram's, ataksia Friedreich's, chorea Huntington, sindrom Laurence Moon Biedl. distrofimiotonik, porfiria. sindrom Prader Willi, lainnya .

IV.

~--

..

~"

..

-··'·""

---·----

Diabetes Melitus Gestasional

(i)

PENDEKATAN DIAGNOSIS Kriteria diagnosis DM (Gambar 1) 1 1. Gejala klasik DM + glukosa plasma sewaktu;:::: 200 mgjdl

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir atau 2. Gejala klasik DM + glukosa plasma puasa;:::: 126 mg/dL Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8 jam 3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO;:::: 200 mgjdl TTGO dilakukan dengan standar WHO, menggunakan be ban glukosa yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrat yang dilarutkan ke dalam air.

/I

/

Keluhan Klinik

o·'abet~



~

l

Keluhan Klasik (+)

I

~ GDP a tau GDS

126 :?:200 ;?:

GDP a tau GDS

[

< 126 < 200

I

l

I

GDP a tau GDS

Ulang GDS atau GDP

~ 126 :?:200 ;?:

;?: 126 :?:200

I

l TIGO GD2jam

~

w

< 100 < 140

100-125

~---------------:----1---L---,

~

f

l f

a~n I ~~ 6 I

,------------------------;• DIABETES MELITUS

f

l

' Normal

I

*TGT : Diagnosis TGT ditegakkan bila setelah pemeriksaan TTGO didapatkan glukosa plasma 2 jam setelah beban antara 140-199 mg/dL GDPT: Diagnosis GDPT ditegakkan bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa didapatkan antara 100-125 mg/dL (5.6-6,9 mmoi/L) dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam< 140 mg/dL

Gambar 1. Algoritma Alur Diagnosis OM'

Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1994) 1 • Tiga hari sebelum pemeriksaan, pasien tetap makan seperti kebiasaan sehari-hari (dengan karbohidrat yang cukup) dan tetap melakukan kegiatan jasmani seperti • • • • • •

biasa) Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan, minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan Diperiksa kadar glukosa darah puasa Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram /kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa Selama proses pemeriksaan, subjekyang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok1

ANAMNESIS • • • • •

• • • • • • • • •

Gejala yang timbul Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosa darah, A1C, dan hasil pemeriksaan khusus yang terkait DM Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan Riwayat tumbuh kembang pada pasien anakjdewasa muda Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh ten tang perawatan DM secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan, perencanaan makan dan program latihan jasmani Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar hiperglikemia, dan hipoglikemia) Riwaya infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus urogenitalis serta kaki Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pad a ginjal, jan tung, susunan saraf, mata, saluran pencernaan, dll.) Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin lain) Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM Pola hidup, budaya, psikososial, pen_didikan, dan status ekonomi Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan 1

(i) Pemeriksaan Fisik1



Pengukuran tinggi badan, berat badan, dan lingkar pinggang



Pemeriksaan ekstremitas atas dan bawah, termasuk jari



Pemeriksaan funduskopi

• •

Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid Pemeriksaan jantung



Evaluasi nadi, baik secara palpasi maupun dengan stetoskop



Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin) dan pemeriksaan neurologis



Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi berdiri untuk mencari kemungkinann adanya hipotensi ortostatik, serta ankle brachial index (ABI), untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah arteri

tepi •

Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe lain 1

Pemeriksaan Penunjang

·~



Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial

• •

HbAlc Profillipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida)



Kreatinin serum

• •

Albuminuria Keton, sedimen, dan protein dalam urin

• •

Elektrokardiogram Foto sinar-x dada'

DIAGNOSIS BANDING • Hiperglikemia reaktif • Pre diabetes TATALAKSANA Non farmakologis''



Edukasi

• •

Terapi gizi medis Kebutuhan kalori'

Cara menghitung berat badan ideal pasien DM menggunakan rum us Broeea: Berat Bad an Ideal (BBI} = 90% x (TB dalam cm-1 00} x 1 kg

Bagi pria dengan tinggi badan <160 em dan wanita <150 em rumus dimodifikasi menjadi : BBI = (TB dalam em-100) x 1 kgBB normal: BBI ± 10% BB kurus : <(BBI- 10%) BB gemuk: >(BBI + 10%) Indeks massa tubuh (IMT) dapat dihitung dengan rum us : IMT= BB(kg) TB(m 2 )

Kebutuhan kalori basal:

Kalori Basal= Berat Badan Ideal x 25 kalfkgBB (untuk wanita) Kalori Basal = Berat Badan Ideal x 30 kaljkgBB (untuk pria) Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori: 1.

Umur 40-59 tahun -5% 60-69 tahun -10% >70 tahun -20%

2. Aktivitas Fisik atau Pekerjaan Istirahat +10% Aktivitas ringan +20% Aktivitas sedang +30% Aktivitas sangat berat +50% 3.

Berat Badan Kegemukan -20-30% Kurus +20-30%

4.

Stres metabolik: +10-30%

Klasifikasi IMT (WHO WPR/IASO/IOTF) Tabel 2. Klasifikasi IMT1

;iNit '"'

~ kr1i~ti ~~r
<18,5

BB Normal

18,5-22,9 ~23,0

BB Lebih

23-24,9

Dengan risiko Obesl

25,0-29,9

Obesll

>30

Untuk wanita paling sedikit 1000-1200 kkal, untuk pria 1200-1600 kkal, dibagi menjadi makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) diantaranya .





Karbohidrat Karbohidrat 45-65% total asupan energi, diutamakan yang berserat tinggi Pembatasan karbohidrat total <130 gr jhari tidak dianjurkan Gula dalam bumbu diperbolehkan, sukrosa <5% total asupan energi Pemanis alternatif dapat digunakan asal tidak melebihi batas aman konsumsi harian Makan 3xjhari. makanan selingan buah a tau makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori lain dapat diberikan



~

Lemak Asupan lemak + 20-25% kebutuhan kalori. Tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan energi Lemak jenuh <7% kebutuhan kalori Lemak tak jenuh ganda < 10%, selebihnya dari lemak tak jenuh tunggal Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan penuh susu (whole milk)

Anjuran konsumsi kolesterol <200 mgjhari •

Protein 10-20% total asupan energi Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe Pada pasien dengan nefropati: 0,8 g/KgBB/hari atau 10% kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi



Natrium <3000 mg atau sama dengan 6-7 gram (1 sendok teh) garam dapur Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit Serat Kacang-kacangan, buah, sayuran, serta sumber karbohidrat yang tinggi serat -± 25 gjhari Pemanis alternatif Fruktosa tidak dianjurkan Pemanis sesuai batas aman konsumsi harian Pemanis tak berkalori yang dapat digunakan: aspartam, sakarin, acesulfam potassium, sukralose, dan neotame



Latihan Teratur, 4-5x seminggu selama kurang lebih 30 menit (total durasi minimal 150 menit/minggu) Yang dianjurkan, yang bersifat aerobik: jalan kaki, bersepeda santai,jogging, dan berenang

Farmakologis '·' Tabel3. Obat Hipoglikemik Oral

1

1.-6 Glinid

Repaglinid Nateglinid

. .Tiozolidindion

fliG>glitGzon."

1-

1,5-6

120

360

~-----Hi-3G-~.---·----1-0-4a----

15-30

15-45

24 3

3 ·--·------24 24

··-·-·--~

"-· J ....

(I) Penghambat GlukosidOse alta Biguanid

Penghambat DPP-IV

Obat kombinasi tetap_ \i

Acarbose

50-100

100:.300

50-100

100-300

Metformin

500-850

2S0-3ooo

6-8

1-3

500

500-3000

6-8

2-3

Metformin XR

500:.750

3

24

500

50{}-2000

24

50

50-100

12-24

Sitagliptin

25,50,100

25-100

24

Saxagliptin

5

5

24

Linagliptin

5

5

24

250/1,25 500/2,5 500/5

Total glibenclamid maksimal 20 mg/ harL

Glimepirid+ Metformin

1/250 2/500

2/500

Pioglitazone+ Metformin

15/500 30/850

4/1000

Sitagliptin +

50/500

Total sitagliptin

Vildagliptin

Metformin+ Glibenclamid

12-24'

1-2

1 1-2

2 18-24.

MetfQrmiD_ _ gQIJQQQ ...- ma~imaUQQrng/ hari

-~

Vildagliptin + Metformiri

50/500 S0/850 50/1000

Total vildagliptin moksimal 100 mgt hari

12-24

Saxagliptin + Metformin

5/500 5/1000 2,5/1000

Total saxagliptin maksimaiS mg/hari. Total metformin mal<simal 2000 mg/hari. ·-

24

Linagliptin + Metformin

Totallinagliptin 2 2,5/500 12 2,5/850 maksimaiS mg/hari.-Total 2,5/1000 . _. _ metformin 2000.-. _. -- · -----------m97fiari. ____________ ------ ····- ---·····

...... ---··-·

~--~--····-· ····~--,·-~·-· ------~:-·

,. ··--· _,______

.......... __., '

2

....

Tabel4. lndikasi penggunaan insulin'

f~i~j)gQJi11tttlil£4!l~~~~~~~H~~~1~i,~~~,~~~i~~~!:1k~~~~~~~~1$~~?J2.~~7~~~~?~.~!,/~~. t~~~J~J):~~;tti~f:~~~~~~:t:t~:.t ~1 ~;:~~f··-~~·~: t·t·~t:7~> :,;~ ~§;:, ~~~ _;~:~1·: ~:; DMTl Gaga! mencapai target dengan penggunaan kombinasi OHO dosis optimal (3-6 bulan} DMT2 rawat jolon dengan : • Kehamilan • lnfeksi paru (tuberkulosis} • Kaki diabetik terinfeksi • Fluktuasi glukosa darah yang tinggi • Riwayat ketoasidosis berulang • Riwayat pankreatektomi Selain indikasi di alas, terdapat beberapa kondisi tertentu yang memerlukan pemakaian insulin, seperti penyakit hati kronik, gangguan fungsi ginjal, dan terapi steroid dosis tinggi

label 5. Jenis-Jenis Insulin'

Kerja cepat (insulin analog) Insulin lispro (Humalog} Insulin aspart (Novorapid}

lhsulih giUiisih (Apidrd}

0,2-0,5 0,2-0,5

0,5-2 0,5-2

0;2-0,5

- -o.5:2

Kerja pendek (Insulin manusla, Insulin regular) Humulin R Actrapid

0,5-1

Kerja menengah (Insulin mantlsia, NPH) Humulin N lnsulatard -

1,5-4

Kerja panjang {long-insulin analog) Insulin glarglne (Lantus} Insulin detemir (Levemir} Campuran (premixed, Insulin manusia) 70/30 Humulin (70% NPH, 30% reguler} 70/30 Mixtard (0% NPH, 30% reguler}

Campuran (premixed, insulin analog)_ 75/25 Humalog (75% NPL 25% Lispro} 70-30 Novomix (70% protamine aspcirt, 30% aspart}

0,5-1

"4ClQ"

1-3 Hampir tanpa puncak

0,5-1

3-12

0,2-0,5 0,2-0,5

1-4 1-4

lndividualisasi Terapi

Berdasarkan pedoman yang dikeluarkan oleh ADA/EASD 2012, maka diperlukan pendekatan individual untuk menentukan regimen dan target pengobatan pada penyandang DM tipe 2,4

Lebih agresif

Kurang agresif

Sikap pasien dan usaha yang diharapkan

Motivasi tinggi, mengikuti nasihat, mempunyai kapasitas perawatan diri yang baik

Kurang motivasi, tidak penurut, kapasitas perawatan diri yang buruk

Risiko potensial yang berhubungan dengan hipoglikemia atau hal lain yang merugikan

Rendah

Durasi penyakit

Baru terdiagnosa

Harapan hidup

Panjang

Kormobid yang penting

Tidakada

Ringan

Berat

Komplikasi vaskular

Tidak ada

Ringan

Berat

Resources, support system

Tersedia

Tinggi

Sudah lama

Pendek

·~ Terbatas

Gombar 2. Algoritma individualisasi terapi4

KOMPLIKASI Ketoasidosis diabetik (KAD), status hiperglikemia hiperosmolar (SHH), hipoglikemi, retinopati, nefropati, neuropati, penyakit kardiovaskular .1•3 PROGNOSIS Diabetes menyebabkan kematian pada 3 juta orang setiap tahun (1,7 -5,2% kematian di dunia).l

;:,::,

I

I

DM

1· .

Tahap-1

I

I

I

Tahap-11

I

Tahap-111

GHS + Monoterapi

I Catatan: 1.

GHS + Kombinasi 2 OHO

GHS= gaya hidup

sehat

2.

Dinyatakan gagal bila

terapi selama 2-3 bulan pada tiap tahap tidak mencapai target terapi HbA 1c <7% 3.

Bila tidak ada peme-

riksaan HbA 1c dapat dipergu-

I Ja ur pilihan alternatif. bila:

tid :Jk terdapat insulin D lbetesi betul-betul rnenolak

GHS + Kombinasi 2 OHO + Basal insulin

in Jlin

Ke ndali glukosa belum optimal

nakan pemeriksaan glukosa darah Rata-rata hasil pemeriksaan beberapa kali glukosa darah sehari yang dikonversikan ke HbA 1c menurut kriteria ADA.

2010

l

GHS + Kombinasi 3 OHO

Gam bar 3. Algoritma pengelolaan OM tipe-2 tanpa dekompensasjl

Insulin intensif

I

------

C I

I

<7%

I

GHS

I

7-8%

I

I

Met, SU, AGI, Glinid, TZD,

I

>9%

I

I

9-10%

I

I

<10%

+

+ Gaya Hidup Sehat Penurunan berat badan Mengatur diit • Latihan jasmani teratur

I

GHS

GHS Monoterapi

8-9%

L

DPP 4-1

Kombinasi 2 obat Met, SU, AGI, Glinid, TZD,

DPP 4-1 GHS

+ Kombinasi 3 obat Met, SU, AGI, Glinid, TZD,

Catatan: 1. Dinyatakan gag ll bila terapi selama 2-3 bulan pada tiap tahap tidak mencapai target terapi Hb ,1c <7% 2. Bila tidak ada pe meriksaan HbA 1c dapat dipergunakan p 1meriksaan estimated averaged g/uco e Rata-rata hasil p ~meriksaan beberapa kali glukosa dara h sehari yang dikonversikan ke HbAlc m murut kriteria ADA, 2010

DPP 4-1

GHS

+ Kombinasi 3 obat Met, SU, AGI, Glinid, TZD,

DPP 4-1 + Basal insulin

Gambar 4. Algoritma pengelolaan DM tipe-2 tanpa dekompensasi (terutama untuk internis)'

GHS

+ Insulin lntensif

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Kardiologi - Departemen Penyakit Dalam, Departemen Neurologi, Patologi Klinik, Mata dan Gizi.



RS non pendidikan

: Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Mata dan Gizi.

REFERENSI 1.

PERKENI. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. 2011.

2.

The Expert Committee on The Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Report of The Expert Committee on The Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care, Jan 2003;26(Suppl. 1):SS-20.

3.

Suyono S. Type 2 Diabetes Mellitus is a Beta-Cell Dysfunction. Prosiding Jakarta Diabetes Meeting 2002: The Recent Management in Diabetes and Its Complications : From Molecular to Clinic. Jakarta, 2-3 Nov 2002. Simposium Current Treatment in Internal Medicine 2000. Jakarta, 11-12 November 2000:185-99.

4.

lnzucch SE, Bergenstal RM, Buse JB et al. Management of HyperglycemiainType2 Diabetes: A Patient-Centered Approach. Position Statement of the American Diabetes Association (ADA) and the European Association for the Study of Diabetes (EASD).Diunduh dari http://care. diabetesjournals.org/content/35/6/1364.full.pdf+html pada tanggal 7 Juni 2012

0

59

I

DIABETES MELITUS GESTASIONAL

PENGERTIAN Diabetes Melitus Gestasional (GDM) adalah diabetes yang didiagnosis pertama kali saat kehamilan, dan terjadi pada 5-10% kehamilan. Definisi ini berlaku dengan tidak me man dang apakah pasien diabetes melitus hamil yang mendapat terapi insulin a tau diet saja, juga apabila pada pasca persalinan keadaan intoleransi glukosa menetap. Demikian pula ada kemungkinan pasien tersebut sebelum hamil sudah terjadi intoleransi glukosa. Resistensi insulin pada kehamilan normal diperkirakan meningkat 40-70% umumnya pada trimester pertama. Pada GDM terjadi gangguan fungsi sel beta pankreas, dan terjadi penurunan insulin. Resistensi insulin memperberat keadaan defek sel beta pankreas pada GDM. Risiko tinggi diabetes gestasional: 1. Umur lebih dari 30 tahun 2. Obesitas dengan indeks massa tubuh > 30 kgjm 2 3. Riwayat diabetes melitus dalam keluarga 4. Pernah menderita diabetes melitus gestasional sebelumnya 5. Pernah melahirkan anak besar >4000 gram 6. Adanya glukosuria PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Wanita dengan diabetes gestasional hampir tidak pernah memberikan keluhan, sehingga perlu dilakukan skrining. Anamnesis ditujukan untuk mencari faktor risiko diabetes melitus gestational. Pemeriksaan Fisik

Pada umumnya tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik. Pemeriksaan Penunjang



Pemeriksaan laboratorium: glukosa darah puasa dan 2 jam sesudah makan, HbAlc

label 1. Nilai Glukosa Plasma Puasa dan les loleransi Glukosa Oral dengan Beban Glukosa 75 gram

Glukosa plasma puasa Normal Glukosa puasa terganggu Diabetes melitus

<1 10mg/dl ;<:1 10 mg/dl- <126 mg/dl :<:126 mg/dl

Glukosa plasma 2 jam setelah pemberian 75 gram glukosa oral Normal Toleransi glukosa terganggu Diabetes melitus

<140mg/dl ;<:140 mg/dl- <200 mg/dl ;<:200 mg/dl

Menurut WHO dalam Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus 1999, diagnosis diabetes gestasional harus melakukan tes toleransi glukosa oral dengan beban glukosa 75 gram. Dinyatakan diabetes gestasional bila glukosa plasma puasa ;?:

126 mg/dl danjatau dua jam setelah beban glukosa

;?:

200 mg/ dl, atau toleransi

glukosa terganggu (dianggap diabetes). DIAGNOSIS BANDING

TATALAKSANA

1. Terapi Nutrisi Medik a. Jumlah kalori yang dianjurkan adalah 30 kkaljberat badan ideal sebelum hamil. b. Sasaran glukosa plasma puasa :=:; 105 mg/dl dan dua jam setelah makan :=:; 130 mgjdl. Apabila sasaran tidak tercapai dapat diberikan terapi insulin 2. Terapi Insulin a. Jenis insulin yang dipakai adalah insulin man usia. b. Insulin analog dipakai jika tidak tersedia insulin manusia. c. Dosis dan frekuensi sangat tergantung kadar glukosa darah. d. Pada umumnya insulin dihentikan pada saat pasien bersalin untuk mencegah hipoglikemia 3. Terapi Farmakologis label 2. lerapi Farmakologis pada Diabetes Melitus Gestasional

Mekanisme

Insulin

.· GUI:iel'lklar11id

· Mefforlninb

Pengambilan insulin melalui reseptor

Menstimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas

Meningkatkan sensitivitas terhadap insulin, menstimulasi ---"·------·-------------------· pengambilan glukosa yang disebabkan insulin


.

-

t: t~: 1~~~·~?ft~~~1~~f~:,:h.1f~~~?l~1~~~~~~1~,~~t~~~~J~ijj~ij~Yft~.f1~;~~~:~~~~~;~;~~~~Jtr~6t
I

Onset

Bervariasi

Maksimal 1 jam

Maksimal 1 jam

Peak

Bervariasi

4jam

2-4jam

Dosis

Bervariasi

2.5 mg pada pagi hari atau setiap 12 jam, dapat ditingkatkan setiap minggu dari 2.5 mg-10 mg setiap 12 jam.

500 mg pada pagi hari atau setiap 12 jam. Maksimum 1000 mg setiap 12jam.

Minimal (hanya fraksi terikat antibodi)

Minimal-tidak ada

Yo

Be

c

B

Banyak

Sedang c

Terbatas

20%

35%

Melewati plasenta Kategori FDA Pengalaman kegunaan dalam kehamilan Angka kegagalan sehingga membutuhkan insulin

FDA: food and Drug Administration a Beberapa insulin analog terbaru termasuk kategori C b Rekomendasi penggunaan dalam kehamilan masih tidak cukup c Pengalaman minimal pada penggunaan di usia gestasi < 11 minggu. Risiko pada neonates belum terbukti karena keterbatasan penelitian.

KOMPLIKASI • Komplikasi pada ibu Preeklampsi Infeksi kandung kemih Persalinan seksio sesaria Dan trauma persalinan akibat bayi besar • Komplikasi pada anak Makrosomia (paling sering) Hambatan pertumbuhan janin Cacat bawaan Hipoglikemia Hipokalsemia dan hipomagnesemia Hiperbilirubinemia Polisitemia hiperviskositas Sindrom gawat napas neonatal PROGNOSIS Hipertensi kronik terjadi pada 1 dari 10 ibu hamil dengan diabetes melitus. 3 Preeklamsia terjadi lebih sering pada wanita dengan diabetes melitus (mencapai

12%) dibandingkan pada wanita yang tidak mengidap diabetes mellitus. Preeklamsia berhubungan dengan kontrol glikemik. Jika glukosa darah puasa < 105 mgjdL preeklamsia terjadi pada 7.8 %, sedangkan glukosa darah puasa > 105

mg/dL preeklamsia terjadi pada 13.8%.4 Risko abortus dalam kehamilan terjadi pada 9-14% kasus. Malformasi terjadi pada 13.3% dari 105 wanita hamil dengan diabetes melitus 5 ,sedangkan risiko bayi lahir dengan besar usia gestasi terjadi pada 30% kasus. 6

UNIT YANG MENANGANI : Divisi Metabolik Endokrin, Divisi Kardiologi - Departemen • RS pendidikan Penyakit Dalam, Departemen Obstetri Ginekologi Departemen Kesehatan Anak • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam, Bagian Obstetri Ginekologi, Bagian Kesehatan Anak UNIT TERKAIT • RS Pendidikan • RS non Pendidikan

: Divisi Kardiologi, Departemen Patologi Klinik, Gizi Klinik : Bagian Patologi Klinik, Gizi Klinik

REFERENSI 1.

Adam JMF. Diabetes Melitus Gestasional dalam Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid Ill edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen llmu enyakit Dalam. Jakarta, 2006 (1927-1929)

2.

Pridjian G, Benjamin TD. Update Gestational Diabetes. Obstet Gynecol Clin N Am 37 (201 OJ 255-267

3.

Tobias DK, Hu FB, Forman JP, Chavarro J, Zhang C. Increased Risk of Hypertension After Gestational Diabetes Mellitus: Findings from a large prospective cohort study. Diabetes Care. Jul2011;34(7):1582-4.

4.

Yogev Y, Xenakis EM, Langer 0. The association between preeclampsia and the severity of gestational diabetes: the impact of glycemic control. Am J Obstet Gynecol. Nov 2004; 191 (5): 1655 60.

5.

Lucas MJ, Leveno KJ, Williams ML Raskin P, Whalley PJ. Early pregnancy glycosylated hemoglobin, severity of diabetes, and fetal malformations. Am J Obstet Gynecol. Aug 1989; 161 (2) :426-31

6.

Ehrenberg HM, Mercer BM, Catalano PM. The influence of obesity and diabetes on the prevalence of macrosomia. Am J Obstet Gynecol. Sep 2004;191 (3):964-8

l

DISLIPIDEMIA

PENGERTIAN Dislipidemia adalah kelainan metabolisme lipid yang ditandai dengan peningkatan atau penurunan fraksi lipid dalam plasma. Kelainan fraksi lipid yang utama adalah kenaikan kadar kolesterol total, kolesterol LDL, trigliserida, serta penurunan kadar kolesterol HDL. European Atherosclerosis Society {EAS) menetapkan klasifikasi sederhana yaitu : 1 • Hiperkolesterolemia (peningkatan lipoproterin LDL, Kolesterol > 240 mg/dL), • Hipertrigliseridemia (peningkatan lipoprotein VLDL, Trigliserida > 200 mg/dL), • Dislipidemia campuran ( peningkatan VLDL + LDL; kadar TG > 200 mgj dL + Kolesterol > 240 mgjdL). Berdasarkan patogenesisnya, dislipidemia dibagi 2 menjadi dislipidemia primer (akibat kelainan genetik) dan dislipidemia sekunder (akibat penyakit lain). Tabel 1. Dislipidemia Sekunder Pad a Beberapa Penyakitl -3 • Kelai;lciri.ilipicl . ' Penycikit Pen}'ebab ·. Diabetes Melitus Gagal Ginjal Kronik

TG 1' dan kol HDL

Sindrom Nefrotik

Kol-total 1'

Hipotiroidisme

Kol-total1'

Penyalahgunaan alkohol

TG 1' Kol-total1'

Kolestasis

w

TG 1'

Kehamilan

TG 1'

Obat-obatan

TG 1'

(diuretik, beta bloker, kontrasepsi oral, kortikosteroid, retinoid,progestin, steroid anabolik}

PENDEKATAN DIAGNOSIS 1 • Untuk menegakkan diagnosis, perlu pemeriksaan kadar kolesterol total, HDL, LDL dan TG plasma darah vena. Persiapan puasa 12 jam sebelumnya diperlukan untuk pemeriksaan TG dan LDL indirek yang menggunakan rum us Friedwald yaitu

I LDL = Kol Total- kol HDL- TG/51 *Rum us ini tidak dapat digunakan apabila kadar TG > 400 mg/dL



Pemeriksaan penyaring dianjurkan untuk setiap orang usia> 20 tahun (bila normal perlu diulang tiap 5 tahun)



Pemeriksaan lain dapat disesuaikan dengan klinis untuk mencari adakah penyakit lain yang menyertai atau menjadi penyebabnya (misalnya glukosa darah, tes fungsi hati, urin lengkap, tes fungsi ginjal, TSH, EKG) Tabel2. Klasifikasi Kadar Kolesterol menurut NCEP ATP Ill (2001) 1 fKa'd:ctt'lt9i~~~t~!t1:~:j,, '~j''''',f)~:" 1 ,JS-'::'K'fasifil(gsi:";,,,~ -'' ;.,; ''~'~; ·' ·~

zi 'i"lc

Kolesterol LDL: • < 100 mg/dl • 100- 129 mg/dl • 130-159 mg/dl • 160-189 mg/dl • ~ 190 mg/dl Kolesterol total: • < 200 mg/d • 200- 239 mg/dl • ~240 mg/dl Kolesterol HDL • <40 mg/dl • ~ 60 mg/dl



Optimal Hampir optimal Borderline tinggi Tinggi Sang at tinggi Yang diinginkan Borderline tinggi Tinggi Rendah Tinggi

Penting untuk menilai seberapa besar faktor risiko penyakit jan tung koroner (PJK) sebelum memulai terapi dislipidemia. Faktor risiko utama (selain kolesterol LDL) yang menentukan sasaran kolesterol LDL yang ingin dicapai, di antaranya yaitu: 1 Merokok Hipertensi (TD;:::: 140/90 atau dalam terapi antihipertensi) Kolesterol HDL rendah (< 40 mgfdL)* Riwayat PJK dini dalam keluarga (ayah< 55 tahun, ibu < 65 tahun) Umur pria ;: : 45 tahun, wanita ;: : 55 tahun Terdapat 3 kelompok faktor risiko, menurut NCEP ATP III dengan Framingham

Risk Score (FRS} untuk menghitung besarnya risiko penyakit jantung koroner (PJK)

yang meliputi: umur, kadar kolesterol total, kolesterol HDL, kebiasaan merokok, dan hipertensi (lihat appendix). Penjumlahan skor pacta FRS akan menghasilkan angka persentase risiko PJK dalam 10 tahun.' *

kolesterol HDL (<: 60 mg/dL) dianggap sebagai faktor risiko negatif, artinya mengurangi 1 faktor risiko dari perhitungan total.

(i) 1. Risiko tinggi:

a. Mempunyai riwayat PJK b. Mereka yang memiliki risiko yang disamakan dengan PJK:

t

Diabetes Gaga] ginjal kronik Bentuk lain aterosklerosis: stroke, penyakit arteri perifer, aneurisma aorta abdominalis Faktor risiko multipel ( > 2 faktor) dan mempunyai risiko PJK dalam 10 tahun > 20% 2. Risiko multi pel ( ~ 2 faktor risiko) dengan risiko PJK dalam waktu 10 tahun < 20 % 3. Risiko Rendah ( 0-1 faktor risiko) dengan risiko PJK dalam waktu 10 tahun < 10%

DIAGNOSIS BANDING 1 • Hiperkolesterolemia sekunder, karena hipotiroidisme, penyakit hati obstruksi, sindrom nefrotik, anoreksia nervosa, porfiria intermiten akut, obat (progestin, siklosporin, thiazide) • Hipertrigliseridemia sekunder, karena obesitas, DM, penyakit ginjal kronik, lipodistrofi, glycogen storage disease, alkohol, bedah bypass ileal, stres, sepsis, kehamilan, obat (estrogen, isotretinoin, penyekat beta, glukokortikoid, resin pengikat bile-acid, thiazide), hepatitis akut, lupus eritematosus sistemik, gammopati monoklonal: myeloma multipel, limfoma AIDS: inhibitor protease • HDL rendah sekunder, karena malnutrisi, obesitas, merokok, penyekat beta, steroid anabolik TATALAKSANA A. Pasien dengan hiperkolesterolemia 1· 3 Non farmakologis (Perubahan Gaya Hidup/PGH):



Terapi nutrisi medis, dengan: mengurangi asupan lemak jenuh dan lemak trans tidak jenuh sampai < 7- 10% total energi. mengurangi asupan kolesterol sampai < 250 mgfhari menggantikan makanan sumber kolesterol dan lemak jenuh dengan makanan alternatiflainnya (misal produk susu rendah lemak, karbohidrat dengan indeks glikemik rendah) mengkonsumsi makanan padat gizi dan kardioprotektif (sayuran, kacangkacangan, buah,ikan,dsb)

menghindari makanan tinggi kalori (makanan berminyak, soft drink) mengkonsumsi suplemen yang dapat menurunkan kadar lipid (seperti asam lemak omega 3, makanan tinggi serat, dan sterol sayuran. mengurangi berat badan dan meningkatkan aktivitas fisik Respons perbaikan diet terlihat dalam 3 - 4 minggu, namun penyesuaian diet sebaiknya diperkenalkan bertahap •

Aktivitas fisik diperbanyak atau rutin berolahraga



Menghentikan rokok dan minuman beralkohol, terutama bila disertai hipertensi, hipertrigliseridemia, atau obesitas sentral



Mempertahankan atau menurunkan berat badan Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil

menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi farmakologis mulai diberikan, dengan tetap meneruskan pengaturan makan dan latihan jasmani. label 3. Faktor Risiko Utama (terkecuali kolesterol LDL) yang Menentukan Sasaran Kolesterol LDL *4

Perokok sigaret -

Hipertensi (TD ~140/90 mmHg atau sedang dapat obat hipertensi)

-

Kolesterol HDL-C S40 mg/dLI

-

Riwayat keluarga adanya PJK dini (P JK orang tua pria <55 tahun, orang tua wanita <65 tahun)

-

Umur (pria

~5

tahun, wanita ~55 tahun)

*Diabetes mellitus disamakan dengan penyakit jantung koroner {P JK) tKoleserol HDL >60 mg/dldihitung sebagai faktor risiko negatif. oleh karena itu dapat mengurangi satu dari faktor risiko di atas

label 4. Target Kolesterol LDL (mg/dl) dan Batasan untuk Pemberian Terapi berdasarkan 4 Kelompok Risiko

Risiko rendah (0-1 faktor risiko) 2. · Risiko Multip_el . . . . Risikomultiple 1~2 faktor risiko) 3. Risiko Tlnggl a. Mempunyai riwayat PJK b. Mereka yang mempunyai risiko yang disamakan dengan PJK: ·· =· ···.. ·E.lidbetes-·melitus-····- ····· ·· ....... ---·-·------ ----- .....,. ·· ·· · ·· ··· ·· --·------·· -- --- ·

<130 <100

Bentuk lain penyakit aterosklerotik yqitu strok, P!'liJYakit art(Olri perifer, aneurisma aorta abdominalis Faktor risiko multiple (>2 faktor risiko) 4. Risiko Sangat Tlnggi Kelompok ini dikhususkan pada pasien paska penyakit kardiovaskuler ~_denggn.. ~~QQ.QQII khusu~,_y_gi!v.:_____________________________ ,.........------------· Disertai faktor risiko multipel (terutama pasien diabetes melitus) Disertai faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan, seperti masih tetap merokok

.··K,:elor~Jp9kiRI~1!<9:.'·'·:,'.> };,;;;'{;; •\'i:;.;L ,,, j', 1 i~cl~~~i!t~~~=htol•·.·: Sindroma metabolik dengan faktor risiko multipel (terutama kadar trigliserida <:200 mg/dl dimana kadar kolesterol non-HDL > 130 mg/dl dengan kolesterol HDL <40 mg/dl) Pasien dengan sindroma koroner akut

1

<70

Farmakologis 1

Predominan





Golongan statin: Simvastatin

5-40 mg

Lovastatin

10-80 mg

Pravastatin Fluvastatin

10-40 mg

Atorvastatin

10-80 mg

Rosuvastatin Pitavastatin

10-40 mg

20-80 mg

1-4 mg

Golongan bile acid sequestrant: Kolestiramin 4- 16 g

• Golongan nicotinic acid: Nicotinic acid (immediate release) 2 x 100 mg s.d. 1,5- 3 g

Terapi hiperkolesterolemia untuk pencegahan primer, dimulai dengan statin atau bile acid sequestrant atau nicotinic acid. Pemantauan profil lipid dilakukan setiap

6 minggu. Bila target sudah tercapai (lihat tabel target di atas), pemantauan setiap 4-6 bulan. Bila setelah 6 minggu terapi, target belum tercapai: intensifkan atau naikkan dosis statin a tau kombinasi dengan yang lain. Bila setelah 6 minggu berikutnya terapi non-farmakologis tidak berhasil menurunkan kadar kolesterol LDL, maka terapi farmakologis diintensifkan. Pasien dengan PJK, kejadian koroner mayor a tau dirawat untuk prosedur koroner, diberi terapi obat saat pulang dari RS jika kolesterol LDL > 100 mg/dL. 1

B. Pasien dengan hipertrigliseridemia



Penatalaksanaan non farmakologis sesuai di atas.



Penatalaksanaaan farmakologis: 2 Target terapi: Pasien dengan trigliserida borderline tinggi atau tinggi: tujuan utama terapi adalah mencapai target kolesterol LDL.

Pasien dengan trigliserida tinggi: target sekunder adalah kadar kolesterol non-HDL, yakni sebesar 30 mgfdL lebih tinggi dari target kadar kolesterol LDL (lihat tabel di atas). Pendekatan terapi obat: 1. Obat penurun kadar kolesterol LDL, atau 2. Ditambahkan obat fibrat a tau nicotinic acid. Go Iongan fibrat terdiri dari: •

Gemfibrozil 2 x 600 mg atau 1 x 900 mg



Fenofibrat 1 x 200 mg

Penyebab primer dislipidemia sekunder, juga harus ditatalaksana.

KOMPLIKASI Aterosklerosis, penyakit jan tung koroner, stroke, pankreatitis akut 1 PROGNOSIS Risiko menjadi PJK dalam 10 tahun ke depan berdasarkan Skor Framingham yaitu menjumlahkan poin-poin dari faktor usia, nilai kolesterol, nilai HDL, tekanan darah sistolik. 1

(i) Tabel5. Skor Framingham untuk Risiko PJK dalam 10 Tahun untuk Wanita 5 Langkah 1

Langkah 7 (Jumlah Poin dari langkah 1·6)

i~\ ·:·\~?f{:.7;;~~:l-~ti~?: _,·~t,?:~?7~:.1f'OSIC:JN~1..~~~¥.Yf:::"r~;;.?~~~i'li~t~~;.:e~~

~·t:;~:tl~t:~~;~\~~;%1:~~~l1~l~.mtd6~s~iifv1.11tt~in~*~~ffJ'?t::~tt~~~~~?;~-<~

Tahun

l

Poln Kolesterol

Poln LDL -9

30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 60-64 65·69 70-74

Usia LDL·C alau Kolesterol HDL-C Tekanan Darah Diabetes Perokok Tolal Poin

[-9J [-4J [OJ [3J [6J [7] [8J [8J 181

-4 0 3 6 7 B 8 B

Langkah 2

l:

Langkah 8

;.,-c::.::~~~~

~\'f~~':"'~~~~:2~5:7'f?ii:~l¥{~~~1~~~~t~:IJSII.itofcir:r,Oii

0 0 2

4,15-5,17 5,18-6,21 6,22-7,24

160-199 200-239 240-279 2:280

[0] [1] [1J

<=7,25

-~

Langkah 3

35-44

0,91-1,16

2

[2J

45-49 50-59 2:60

<-2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 :>17

[<-2J

1% 2%

HJ [OJ [1] [2J [3J [4J

2%

2% 3% 3% 4% 5% 6% 7% 8% -- 9% 11% 13% 15% 17% 20% 24% 27% 2:32%

[5]

[6J

[7] [8J [9]

--- --------

[lOJ[11J [12] [13] [14J [15] [16J [2:17)

[1%J [2%J [2%J [2%J [3%] [3%J (4%] [4%] [5%] [6%] [7%J [8%J [10%J [11%] [13%] [15%] [18%] [20%J [24%] [<:27%]

Langkah 9 (Perbandingan dengan rata-rata orang dalam usia yang sama) <120 120-129 130-139 140-159 2:160

-3 [-3J O[OJ 0 [0] 2 [2]

3 [3]

Keterongon: opobilo tel
berbeda. gunokon ppoin tertinggi

Langkah 5

4

Tidak

Ya Tidak

0 2

[4J

[0] [2J

30-34 35-39 40-44 45-49. 50-54 55-59 60-64 65-69 70-74

<1% <1% 2% 5% 8% 12% 12% 13% 14%

<1% <1% 1% 2% 3% 7% 8% 8% 11%

<1% 1% 2% 3% 5% 7% B% 8% 8%

•p JK berat termasuk angina pektoris ••Risiko ringan dihitung dari orang dengan usia yang soma, tekanan darah yang optimal. LDL-C I00-129mg/dl atau kolesterol 160-199mg/dl, HDL-C 45mg/dl pada pria atau 55mg/dl pada wanita , bukan perokok, tidak diabetes

label 6. Skor Framingham untuk Risiko PJK dalam 10 Tahun untuk Pria

Langkah 1

5

Langkah 6 Perokok 8;t~~~.r~~~~'!cu;r;cta~~~'jf~P,Ornt.KOJf(s;~'t~'~ Yo 0 [0] .Tidak 2 [2]

35-39 40-44 45-49 50-54 55-59 .60-64

1 2 3 4 5 6 7

65-69 70-74

Langkah 7 (Jumlah Poin dari langkah 1-6) Jumlah Semua Poln Usia

LDL-C a tau Kolesterol HDL-C TekananDarah ·Diabetes Perokok ·rotal Poin ·

Langkah 2

Langkah 8

0 1 2

. 200-239 240-279 2:280

35-44 45-49 50-59 2:60

<-3 . -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 2:14

4;15-5;17 5,18-6,21 6.22-7,24 >7,25

0 0 -1

1.17-1.29 1.30-1.55 2:1.56

1%

·2% 2% 3% 4% 4% -6% 7% 9% 11% 14% 18%

22% 27% . ...

3,3,%

40% 47% 2:56%

[<-1] [0] [1] [2] [3] [4] [5] [6] [7] [8] [9] [10] [11] [12] [13] [2:14]

[2%] [3%] [3%] [4%] [5%] ..

..

[7%] . [8%] [10%] [13%] [16%] [20%] [25%] .[3,1%1 [37%] [45%] [2:53%]

Langkah 9 (Perbandingan dengan ratarata orang dalam usia yang soma)

Langkah 4

30-34 35-39 40-44 45-49 50-54 ~5-59

yang berbeda. gunakan ppoin tertinggi

6~-

:. -··t;5"69-

Langkah 5

70-74

Yo Tidak

3% 5% 7% 11% 14% 16% .2.1% ... 25%___ . 30%

1% 4% 4% 8% 10% 13% 20% --- --22%'

2% 3% 4% 4% 6% 7% 9% ··-··--~-n%·

25%

'"P JK berat termasuk angina pektoris '"*Risiko ringan dihitung dari orang dengan usia yang soma.

0 2

[0] [2]

tekanan darah yang optimal. LDL-C IOQ-J29mg/dL atau kolesterol160-199mg/dL HDL-C 45mg/dl pada pria atau 55mg/dl pada wanita , bukan perokok. tidak diabetes

14%

(iJ .·

UNIT YANG MENANGANI •

RS Pendidikan

: Divisi Metabolik Endokrin, Divisi Kardiologi- Departemen Penyakit Dalam



RS non Pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

t

UNIT TERKAIT •

RS Pendidikan

: Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Patologi Klinik, Gizi Klinik



RS non Pendidikan

: Bagian Patologi Klinik, Gizi Klinik

REFERENSI 1.

Adam JMF, Soegondo S, Semiardji G, Adriansyah H. Editor. Petunjuk Praktis Penatalaksanaan Dislipidemia. PB PERKENI. April 2004

2.

Semiardji G. National Cholesterol Education Program - Adult Treatment Panel Ill (NCEP-ATP Ill): Adakah hal yang baru? Makalah Siang Klinik Bagian Metabolik Endokrinologi Bagian llmu Penyakit Dalam, 2002.

3.

Reiner Z, Catapano A. Backer Get all. ESC/EAS Guidelines for the management of dyslipidaemias : The Task Force for the management of dyslipidaemias of the European Society of Cardiology (ESC) and the European Atherosclerosis Society (EAS). European Heart Journal (2011) 32, 1769-1818.

HIPOGLIKEMIA

PENGERTIAN Hipoglikemia adalah keadaan dengan kadar glukosa darah < 70 mgjdL, atau kadar glukosa darah < 80 mgjdL dengan gejala klinis. Kasus hipoglikemia paling banyak dijumpai pada penderita diabetes, sehingga pada panduan pelayanan medis ini akan dibatasi pada kondisi terse but. Hipoglikemia pada penderita diabetes biasanya terjadi karena: 1•2 • Kelebihan obat atau dosis obat: terutama insulin, atau obat hipoglikemik oral • Kebutuhan tubuh akan insulin yang relatif menurun: gagal ginjal kronik, pasca persalinan • Asupan makan tidak adekuat: jumlah kalori atau waktu makan tidak tepat • Kegiatan jasmani berlebihan. PENDEKATAN DIAGNOSIS Gejala dan Tanda Klinis 1·2·3



Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun



Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitung semen tara



Stadium simpatik: keringat dingin pada muka, bibir atau tangan gemetar



Stadium gangguan otak berat: tidak sadar, dengan atau tanpa kejang

Anamnesis 1·3



Penggunaan preparat insulin atau obat hipoglikemik oral: dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis.



Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi

• •

Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya Lama menderita DM, komplikasi DM



Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll.



Penggunaan obat sistemik lainnya: penghambat adrenergik beta, dll.

Pemeriksaan Fisik

Pucat, diaforesis, tekanan darah, frekuensi denyut jan tung meningkat, penurunan kesadaran, defisit neurologik fokal transien. Trias Whipple untuk membuktikan adanya hipoglikemia 1 1. Gejala yang konsisten dengan hipoglikemia

2. Kadar glukosa plasma rendah 3. Gejala mereda setelah kadar glukosa plasma meningkat Pemeriksaan Penunjang

Kadar glukosa darah, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, C-Peptide. 2

DIAGNOSIS BANDING2 Hipoglikemia karena penyebab lain, seperti • Obat: sering: alkohol, kadang: kinin, pentamidine jarang: salisilat, sulfonamid • Hiperinsulinisme endogen: insulinoma, autoimun, sekresi insulin ektopik • Gagal ginjal, sepsis, starvasi, gagal hati, gagal jantung • Defisiensi endokrin: kortisol, growth hormone, glukagon, epinefrin • Tumor non-sel: sarkoma, tumor adrenokortikal, hepatoma, leukemia, limfoma, melanoma • Pasca-prandial: reaktif (setelah operasi gaster), diinduksi alkohol TATALAKSANA Stadium Permulaan (sadar) 1•3



Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau siropjpermen gula murni (bukan pemanis pengganti gula atau gula dietjgula diabetes) dan makanan yang mengandung karbohidrat



Hentikan obat hipoglikemik sementara,

• •

Pantau glukosa darah sewaktu Pertahankan GD diatas 100 mg/dL (bila sebelumnya tidak sadar)



Cari penyebab

Stadium Lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia) 1·3 1. Diberikan larutan Dekstrosa 40 % sebanyak 2 flakon (=SO mL) bolus intra vena,

2. Diberikan cairan Dekstrosa 10% per infus, 8 jam per kolfbila tanpa penyulit lain, 3. Periksa GD sewaktu (GDs), kalau memungkinkan dengan glukometer: •

Bila GDs < SO mgfdL -7 +bolus Dekstrosa 40% SO mL IV



Bila GDs < 100 mg/dL -7 +bolus Dekstrosa 40% 2S mL IV

4. Periksa GDs setiap 1S menit setelah pemberian Dekstrosa 40 % : •

Bila GDs < SO mg/dL -7 +bolus Dekstrosa 40% SO mL IV



Bila GDs < 100 mg/dL -7 +bolus Dekstrosa 40% 2S mL IV



Bila GDs 100- 200 mg/dL -7 tanpa bolus Dekstrosa 40 o/o



Bila GDs > 200 mg/dL -7 pertimbangkan menurunkan kecepatan drip Dekstrosa 10%

S. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, pemantauan GDs setiap 2 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg/dL -7 pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa S% atau NaCl 0,9 %. 6. Bila GDs > 100 mgfdL sebanyak 3 kali berturut-turut masing-masing selang 2 jam, pemantauan GDs setiap 4 jam, dengan protokol sesuai di atas. Bila GDs > 200 mg/dL

-7 pertimbangkan mengganti infus dengan Dekstrosa S% atau NaCl 0,9 %. 7. Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut masing-masing selang 4 jam, pemeriksaan GDS dapat diperpanjang sesuai kebutuhan sampai efek obat penyebab hipoglikemia diperkirakan sudah habis dan pasien sudah dapat makan seperti biasa. 8. Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin, seperti: glukagon O,S-1 mg IV jiM atau kotison, adrenal 9. Bila pasien belum sa dar, sementara hipoglikemia sudah teratasi, maka cari penyebab lain atau sudah terjadi brain damage akibat hipoglikemia berkepanjangan.

KOMPLIKASI Kerusakan otak, koma, kematian. 3

PROGNOSIS Hipoglikemia meningkatkan angka mortalitas pada pasien dalam kondisi kritis. Pada 22% pasien mengalami episode hipoglikemia lebih dari 1 kali. Angka mortalitas meningkat sesuai dengan parahnya derajat hipoglikemia. 3

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Semua Sub-Bagian di Lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam



RS non pendidikan

REFERENSI 1.

Rudianto A. KONSENSUS Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2011. Jakarta: PB PERKENI.

2.

Cryer PE. Hypoglycemia. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL Hauser SL Longo DL Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill; 200.

3.

Arsana PM, Purnamasari D. Hipoglikemia dan Hiperglikemia. Dalam: Abdullah M, Arsana PM, Setyohadi B, Soeroto AY, Suryanto A. ElM ED PAPDI Kegawatdaruratan Penyakit Dalam (Emergency in Internal Medicine). Jakarta: lnterna Publishing; 2011;hal.305-13.

HIPOGONADISME

PENGERTIAN Hipogonadisme adalah suatu kondisi yang dihasilkan akibat menurunnya produksi fungsi gonad secara abnormal, terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan seksual, serta karakteristik seksual sekunder. Sering juga disebut dengan hipogenitalisme. 1 Hipogonadisme bermanifestasi berbeda pada pria dan wanita sebelum dan sesudah onset pubertas. 2 HIPOGONADISME PADA PRIA Pada pria, hipogonadisme merujuk pada rendahnya tingkat sirkulasi testosteron. Sebagian besar pria dengan defisiensi androgen akan menjadi infertil. Pada pria, hipogonadisme primer merupakan suatu tanda kelainan yang berasal dari testis, sedangkan hipogonadisme sekunder diakibatkan adanya gangguan hipotalamus a tau hipofisis yang mengakibatkan menurunnya kadar hormon gonadotropin (LH, FSH, atau keduanya) dan gangguan fungsi testis. Kombinasi hipogonadisme primer dan sekunder terjadi pada proses penuaan dan pada sejumlah penyakit sistemik, seperti alkoholisme, penyakit hati, diabetes melitus, infeksi HIV, dan penyakit sickle ce/F 5 Tipe-tipe hipogonadisme: 4·5

• • • •

Hipogonadisme primer-defek gonad seperti sindrom Klinefelter, sindrom Turner, mumps Hipogonadisme sekunder -defek hipotalamus (seperti sindrom Kallman) atau defek hipofisis (seperti hipopituitarisme) Resistensi target organ seperti sindrom insensitivitas androgen atau defisiensi 5-alpha-reductase Hipogonadisme /ate-onset-sindrom defisiensi testosteron yang berhubungan dengan umur

PENDEKATAN DIAGNOSIS Dalam menegakkan diagnosis, berikut adalah langkah-langkah yang sebaiknya dilakukan: 4•5

-~-

(i)

1. Evaluasi kesehatan secara umum untuk melihat tanda dan gejala defisiensi

androgen dan mengeksklusikan penyakit sistemik, gangguan makanan, dan masalah gaya hid up seperti olahraga yang berlebihan a tau penyalahgunaan obatobatan seperti etanol, marijuana, dan opiat. 2. Mengukur testosteron total, lebih baik dilakukan sam pel darah pada pagi hari. 3. Pengukuran LH pada pasien yang dianggap mengalami defisiensi androgen untuk menentukan apakah defek tersebut terjadi pada tingkat testikular atau pada tingkat hipotalamus-hipofisis. Pada defisiensi androgen, pasien seringkali menunjukan keterlambatan perkembangan seksual atau terjadi seksual inkomplit dan proporsi eunuchoidal. Pada pasien yang mengalami defisiensi androgen pada masa prepubertal juga didapatkan suara yang high-pitched dan tidak mengalami resesi temporal rambut seiring berjalannya umur. Pada lelaki yang mengalami defisiensi androgen setelah lengkapnya maturasi pubertas, gejala-gejalanya meliputi berkurangnya gairah seksual dan aktivitas, menurunnya ereksi spontan, hilangnya rambut badan, infertilitas, berkurangnya massa otot dan tenaga, hot flush, berkeringat, berkurangnya tinggi badan yang berhubungan dengan fraktur

atraumatik, testis mengkerut atau mengecil dan terjadi pembesaran payudara. 4. Selain itu diajukan kriteria minimum untuk diagnosis dari hipogonad late-

onset: • Setidaknya tiga gejala seksual Ereksi pagi yang buruk Gairah seksual rendah Disfungsi ereksi • Tingkattestosteron total< 11 nmol/L (3.2 ngfmL) • Tingkat testosteron total < 220 pmoljL (64 pgfmL) Keluhan utama

Pada kebanyakan lelaki yang lebih tua libido rendah:Gejala lain : disfungsi ereksi, penurunan massa otot dan kekuatan, penurunan vitalitas, mood menurun. Riwayat Medikasi

Pada lelaki lebih muda ditanyakan riwayat konsumsi maternal estrogen, progestin atau androgen pada kehamilan 2 bulan awal. Riwayat Keluarga

Kematian saudara kandung saat neonatus meningkatkan kecurigaan hiperplasia

adrenal kongenital. Infertilitas dari saudara kandung orangtua meningkatkan kecurigaan bentuk pseudohermafroditisme genetik lelaki Pemeriksaan Fisik (pada Lelaki Muda)

Pemeriksaan fisik sebaiknya difokuskan pada karakteristik seks sekunder seperti tumbuh rambut, ginekomastia, volume testis, prostat, tinggi dan proporsi tubuh. Eunuchoid proportions didefinisikan dengan rentang lengan > 2 em lebih besar dari tinggi

badan dan dicurigai defisiensi androgen terjadi sebelum fusi epifiseal. Rambuttumbuh pada wajah, aksila, dada, dan regio pubis merupakan daerah yang pertumbuhannya bergantung dengan androgen. Bagaimanapun juga perubahan fisik tidak dapat diketahui kecuali defisiensi androgen yang terjadi cukup berat dan berkepanjangan. Etnisitas juga mempengaruhi pertumbuhan rambut tubuh. Pasien dengan sindrom Klinelfelter volume testisnya berkurang (1-2 mL). Volume testis paling baik diperiksa menggunakan Prader orchidometer. Pemeriksaan Penunjang 3 · 5



Laboratorium Pengukuran testosteron serum total, FSH, LH (ketiganya diambil pada sam pel darah pagi hari), prolaktin serum, hormon hipofisis lain Analisis semen untuk memeriksa infertilitas



Radiologis USG pelvis untuk mencari uterus, testis tersembunyi (cryptochismus) Studi kontras dari orifisium perineal dapat membantu anatomi internal dan mengkonfirmasi keberadaan vagina MRI Kepala

DIAGNOSIS BANDING3-5 Hipogonadisme primer, hipogonadisme sekunder, resistensi target organ (sindrom insensitivitas androgen atau defisiensi 5-alpha-reductase), hipogonadisme late-onset TATALAKSANA3-s Terapi pengganti androgen dapat dilihat pada Tabell. Indikasi dan kontraindikasi pemberian androgen dapat dilihat pada Tabel 2.

KOMPLIKASI Organ seksual tidak berkembang, kegagalan perkembangan karakteristik seksual

79

(i) ------+

Rendah<200 ng/dl

Normal >350 ng/dl

Testosteron bebas rendah Total T <300 ng/dl

Cenderung defisiensi androgen

LH

Pertimbangan penyakit sistemik

I

Testosteron be bas normal

l

l

I

T

Gagal gonad primer

Defisiensi androgen tereksklusi

I

I

LH rendah atau normal

Hipogonadotropik hipogonadisme

Klinelfelter, kriptorkismus, post orkitis

Defisiensi GnRH Prolaktinoma Massa sella

Keterangan gambar: GnRH, gonadotropin-releasing hormone; LH, luteinizing hormone; T, testosteron.

Gambar 1. Evaluasi Hipogonadisme3

80

I

sekunder (pubertas), osteoporosis, hilangnya massa otot, dan penurunan fungsi seksual termasuk disfungsi ereksi dan penurunan libido (dewasa). 4•6•7

PROGNOSIS Tabell. lndikasi dan Kontraindikasi Terapi Pengganti Testosteron 5 Jndikasl·

. Kootraindikqsl

Defisiensi androgen (hipogonadisme)

Absolut: • Karsinoma prostat • Karsinoma pada pria

Mikrophallus (neonatus)

Relatif: • Pria usia lanjut dengan pembesaran prostat dan gejala miksi • Peningkatan hematokrit • Kelainan bema pas saat tidur

Pubertas terlambat pada anak laki-laki Pria dewasa dengan kadar testosteron serum total rendah Edema angioneurotik Kemungkinan penggunaan lainnya • Kontrasepsi hormonal pria • Penyakit wasting yang berkaitan dengan kanker, infeksi HIV, infeksi kronis • Wanita postmenopause

Tabel 2. lndikasi yang Direkomendasikan untuk Terapi Pengganti Testosteron 4

...... m-·· .,.,.-.--...,.. ~......~Sediaan'--·-· "·· "···""·' -'···-··•·-···· ..<·.-·~ ··· · . , ..

< •·· ......., ,.....,.,_;. •• :;.,_, __ .:"-~Bosis,···

· ·.;. . :"_ , "'~ ....o:,o... ·•

Di Amerika Serikat

Testosterone enanthate atau cypionate

75-100 mg IM setiap minggu, atau 150-200 mg setiap 2 minggu

Nongenital testosterone patches

~atu

Testosterone gel

5-10 g dioleskan setiap hari pada kulit yang tertutup

Tablet testosterone bukal bioadhesive

Tablet 30 mg pada mukosa bukal duo kali sehari

atau duo 5-mg patches diberikan pad a mal am hari pada kulit punggung, paha, atau lengan atas

Di Luar Am erika Serikat I'J

Testosterone undecanoate oral

40-80 mg PO dua atau tiga kali sehari dengan makanan

Testosterone undecanoate injeksi

Diawali 1000 mg IM dan pad a minggu ke 6 diikuti ·· 1000 mg IM setiap 12 minggu

Testosterone pellets

Empat hingga enam implant 200-mg pellet setiap 4-6 bulan

Pada usia lanjut laki-laki, perbaikan manifestasi klinis diperkirakan dalam 3-6 bulan dengan terapi pengganti testosteron. 6•7

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

: Semua Divisi di lingkungan Departemen Penyakit Dalam

REFERENSI

82

1.

Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 23rd Ed. Philadelphia. Elsevier. 2007

2.

Viswanathan V, Eugster EA. Etiology and treatment of hypogonadism in adolescents. Endocrinol Metab Clin North Am. Dec 2009;38(4):719-38.

3.

Bhasin S, Jameson J. Disorders of the Testes and Male Reproductive System. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of Internal Medicine 18'" edition. United States of America. McGraw Hill. 2012

4.

Kronenberg H, Melrned S, Polonsky K. Testicular disorder. William's textbook of endocrinology 11'" edition. Philadelphia. Saunders Elsevier. 2008

5.

Swerdloff R, Wang C. The Testis and Male Sexual Function.ln: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23'd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008

6.

Wang C, Nieschlag E, Swerdloff RS et al. ISA. ISSAM, EAU, EAA and ASA recommendations: investigation, treatment and monitoring of late-onset hypogonadism in males.

7.

Otten B, Stikkelbroeck N, Hermus R. Hypogonadism in Males With Congenital Adrenal Hyperplasia In: Winters S.Male hypogonadism: basic, clinical, and therapeutic principles. New Jersey. Humana Press. 2004

HIPOPARATIROIDISME

PENGERTIAN Hipoparatiroidisme adalah keadaan berkurangnya harmon paratiroid; yang dapat dibagi menjadi hipoparatiroidisme herediter dan hipoparatiroidisme akuisita. 1 Hipoparatiroidisme herediter terjadi akibat defek genetik, biasanya awitan lebih dini, sering muncul pada dekade pertama. Hipoparatiroidisme akuisita dapat terjadi sekunder setelah pembedahan pada daerah leher. Penyebab yang lebih jarang adalah jejas imbas radiasi setelah terapi radioiodin pada hipertiroidisme dan jejas kelenjar pada pasien dengan hemokromatosis atau hemosiderosis setelah transfusi darah berulang. Hipoparatiroidisme transient dapat terjadi paska pembedahan untuk hipertiroidisme. 1 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis dan pemeriksaan fisik 1 1. Manifestasi neurologik dan neuromuskular: spasme otot, spasme carpopedal,

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

grimacing wajah, spasme laring, kejang Gagal napas dapat terjadi Gejala ekstrapiramidallebih sering terjadi pada hipoparatiroid herediter: distonia, pergerakan choreoathetotic Perubahan status me ntal: iritabilitas, depresi, psikosis Kram usus dan malabsorpsi kronik dapat terjadi Papiledema dan peningkatan tekanan intrakranial Tanda Chvostek's dan Trousseau dapat ditemukan Perubahan kronik pada kuku dan ram but Katarak lentikular

10. Alopesia dan kandidiasis lebih sering terjadi pada hipoparatiroidisme herediter Pemeriksaan penunjang 1·2

• • •

Hipokalsemia, hiperkalsiuria Kalsifikasi ganglia basallebih sering terjadi pada hipoparatiroidisme herediter EKG: interval QT memanjang, aritmia

DIAGNOSIS BANDING Pseudohipoparatiroidisme, hipokalsemia oleh sebab lain (lihat bab Gangguan Kalsium).l TATALAKSANA Farmakologis 1. Kalsium oral dosis tinggi (~1 g kalsium elemental); jika perlu dikombinasikan dengan vitamin D dosis 40.000-120.000 U/hari (1-3 mgjhari). 1 2. Diuretik tiazid. 1 3. Penambahan terapi pengganti harmon paratiroid 1-84 pada terapi konvensional (kalsium dan vitamin D) terkait dengan penurunan kebutuhan kalsium dan vitamin D harian. 2•3

KOMPLIKASI Kejang, gagal napas, parkinsonisme, perubahan kronik pada kuku dan rambut, katarak lentikular, insensitivitas terhadap digoksin. 4 PROGNOSIS Hipoparatiroidisme permanen dapat terjadi pada 3,8% yang menjalani tiroidektomi. 2 UNIT YANG MENANGANI • RS Pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam • RS non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT 'lERKAIT • RS Pendidikan • RS non Pendidikan REFERENSI 1.

Potts Jr JT. Diseases of the parathyroid gland. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL Fauci AS. Hauser SL Loscalzo J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGrawHill Companies; 2012. Hal.

2.

Rubin MR. Sliney J, McMahon DJ, Silverberg SJ, Bilezikian JP. Therapy of hypoparathyroidism with intact parathyroid hormone. Osteoporosis lnt 201 0;21 (11 ): 1927-34

3.

Sikjaer T, Rejnmark L, Rolighed L, Heickendorff L Mosekilde L. The effect of adding PTH ( 1-84) to conventional treatment of hypoparathyroidism: a randomized placebo-controlled study. J Bone Miner Res 2011 ;26(1 0):2358-70

4.

Sitqes-Serra A. Ruiz S, Girvent M, Duenas JP, Sancho JJ. Outcome of protracted hypoparathyroidism after total thyroidectomy. Br J Surg 201 0;97(11 ):1687-95

HIPOTIROIDISME

PENGERTIAN Hipotiroidisme adalah berkurangnya efek harmon tiroid di jaringan. Terdapat 3 bentuk hipotiroidisme, yaitu hipotiroidisme sentral (kerusakan hipotalamus/ hipofisis seperti, tumor, nekrosis sistemik, iatrogen, infeksi), hipotiroidisme primer (kerusakan kelenjar tiroid seperti pasca radiasi, tiroiditis, atrofi, dishormogenesis, hipotiroidisme transien), hipotiroidisme karena sebab lain (farmakologis, defisiensi yodium, kelebihan yodium dan resistensi perifer). Hipotiroidisme juga dapat dibedakan berdasarkan gejala yaitu hipotiroidisme klinik dan subklinik. 1 DIAGNOSIS Anamnesis 1



Rasa capek



Sering mengantuk

• •

Tidak tahan dingin Lesu, lamban



Ram but alis mata lateral rontok



Ram but rapuh

• •

Lamban bicara Berat badan naik



Mudah lupa



Dispnea



Suara serak

• •

Otot lembek Depresi



Obstipasi

• •

Kesemutan Reproduksi: oligomenorea, infertil, aterosklerosis



Tipe sentral: gangguan visus, sakit kepala, muntah

(i)

l!!!!!!~sPraktik·Kiinis Pemeriksaan Fisik 1

• • • • •

Kulit kering, dingin, pucat, kasar Gerakan lamban Edema wajah Refleks fisiologis menurun Lidah tebal dan besar Otot Iembek, kurang kuat

• • Obesitas

• Edema ekstremitas • Bradikardia Pemeriksaan Penunjangt2



Darah perifer lengkap (bisa terdapat sitopenia)



Kreatin fosfokinase



Antibodi TPO

• •

Anti-Tg-Ab Pemeriksaan TSH, T3, FT4



Profillipid

• •

Biopsi aspirasi jarum halus hila terdapat struma Elektrokardiogram (untuk mencari komplikasi jantung) Pada hipotiroidisme subklinis, TSH naik, namun kadar hormon tiroid dalam batas

normal. Gejala dan tanda tidak ada atau minimal. 1•2

DIAGNOSIS BANDING Euthyroid sick syndrome, insufisiensi adrenal, gaga! hati, efek obat-obatan, depresi,

sindrom Ielah kronik 3

TATALAKSANA Nonfarmakologis

edukasi, pemantauan fungsi tiroid berkala4 Farmakologis



Levotiroksin: pagi hari dalam keadaan perut kosong. Dosis rerata substitusi L-T 4

adalah 112 !lg/hari atau 1,6 !lg/kgBB atau 100-125 11g seha:ri. Untuk L-T adalah 3

25 -

50 11g. Sebagian besar kasus membutuhkan L-T 100- 200 !lg/hari. Untuk 4

86

pasien-pasien kanker tiroid pasca tiroidektomi, dosis T4 rata-rata adalah 2,2 11g/ •

kgBB/hari. Target TSH disesuaikan dengan latar belakang kasus. · Untuk hipotiroidisme subklinis, tidak dianjurkan memberikan terapi rutin apabila TSH <10 mU/L. Substitusi tiroksin diberikan untuk memperbaiki keluhan dan kelainan objektif jantung. Terapi diberikan dengan levotiroksin dosis rendah (25-50 11g/hari) hingga mendapatkan kadar TSH normal,l

Berikut adalah algoritma penatalaksanaan pasien hipotiroidisme:

Hipotiroidisme primer

Terapi T4

Singkirkan penyebab lain

Tidak memerlukan pemeriksaan lanjutan

Singkirkan efek obat, sick euthyroid syndrome, evaluasi fungsi hipofisis

Gambar 1. Algoritam Tatalaksana Pasien Hipotiroidisme2

~

.',

(i HIPOTIROIDISME PADA KEHAMILAN WHO merekomendasikan intake iodium sebesar 200!J.g/hari selama kehamilan untuk mempertahankan produksi harmon tiroid yang adekuat. Hipotiroidisme pada kehamilan berbahaya bagi ibu maupun bayi. Hipotiroidisme berat pada ibu dapat menyebabkan anemia, miopati, gagal jantung kongestif, pre-eklamsia, abnormalitas plasenta, be rat bayi lahir rendah dan perdarahan postpartum. Hipotiroidisme ringan dapat bersifat asimtomatik pada kehamilan. Bagi bayi, hipotiroidisme pada ibu dapat menyebabkan hipotiroidisme kongenital yang dapat menyebabkan abnormalitas fungsi kognitif, neurologik dan gangguan perkembangan. Karena itu, semua bayi baru lahir hendaknya dilakukan penapisan untuk mengetahui ada tidaknya hipotiroidisme kongenital sehingga bayi dapat segera diberikan terapi. Abnormalitas ringan pada perkembangan otak bayi dapat timbul pada wanita hamil dengan hipotiroidisme ringan yang tidak diterapi. Karena itu, beberapa ahli merekomendasikan untuk memeriksa kadar TSH wanita sebelum hamil atau segera setelah kehamilan ditegakkan, terutama apabila wanita tersebut berisiko tinggi memiliki kelainan tiroid (wanita yang sebelumnya mendapat terapi hipertiroidisme, wanita dengan riwayat keluarga menderita kelainan tiroid a tau goiter). Kadar TSH ~2,5 miU /L dapat dianggap abnormal. Kadar TSH 2,5- 10 miU /L tanpa penurunan IT4 dianggap sebagai hipotiroidisme subklinik. Kadar TSH >10 miU/L dianggap sebagai hipotiroidisme primer tanpa melihat ada tidaknya penurunan kadar IT4. 5 Wanita dengan riwayat hipotiroidisme harus memeriksa kadar TSH pada awal kehamilan. Apabila TSH normal, maka tidak perlu dimonitor lebih Ian jut. Namun apabila diketahui terdapat hipotiroidisme, maka terapi dengan levotiroksin diperlukan untuk mencapai kadar TSH (0,1- 2,5 miU /L pada trimester 1, 0,2 - 0,3 miU /L pada trimester 2, 0,3 - 3,0 miU/L pada trimester 3) dan IT4 normal. Terapi hipotiroidisme pada kehamilan sama dengan pasien yang tidak hamil, hanya saja kebutuhan levotiroksin saat kehamilan meningkat 25- SO%. Tes fungsi tiroid dapat diulang setiap 6- 8 minggu selama kehamilan. Apabila terdapat perubahan pada dosis levotiroksin, maka tes fungsi tiroid harus dilakukan 4 minggu kemudian. Setelah melahirkan, maka do sis levotiroksin kembali seperti tidak hamil. Suplemen kehamilan yang mengandung zat besi dapat menurunkan absorpsi harmon tiroid pada saluran cerna sehingga harus dikonsumsi dengan jarak minimal2- 3 jam dari konsumsi levotiroksin. 5•6 KOMPLIKASI Kama miksedema, depresi, kelainan neuropsikiatri (myxedema madness), penyakit jantung, komplikasi pengobatan 2 · 4

PROGNOSIS Kebanyakan kasus hipotiroidisme klinik membutuhkan terapi seumur hidup. Komplikasi kama miksedema terkait dengan kematian. Sekitar 40% kasus hipotiroidisme subklinis akan berkembang menjadi hipotiroidisme klinis, hal ini terkait dengan kadar awal TSH. Sisanya akan mengalami resolusi spontan dalam waktu 1- 5 tahun. 2•3

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS Pendidikan

: Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam



RS non Pendidikan

REFERENSI 1.

Djokomoeljanto R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. In: Sudoyo A. Setiyohadi B. Alwi I. Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 51h ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bag ian llmu Penyakit Dol am FKUI. 2009:1993- 2008

2.

La meson JL Weetman AP .Disorders of the thyroid gland.ln: Fauci A. Kasper D, Longo D. Braunwald E. Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012:2911-39

3.

Gardner DG, Shoback D. editors. Greenspan's basic and clinical endocrinology. 81h ed. San Fransisco.

4.

Allahabadia A. Razvi S, Abraham P, Franklyn J. Diagnosis and treatment of primary hypothyroidism. BMJ.2009;33:b725

5.

Stagnaro-Green A. Abalovich M, Alexander E. Azizi F. Mestman J, Negro R, et al. Guidelines of the American thyroid association for the diagnosis and management of thyroid disease during pregnancy and postpartum. Thyroid. 2011 ;21 (10):1081 - 1125

6.

Alinbinde, Steven W. et al. Thyroid and Others Endocrine Disorders During Pregnancy. Current Diagnosis & Treatment Obstetrics & Gynecology, Tenth Edition. The Mac-Grow Hill Companies. 2007.

HIPERPARATIROIDISME

~

PENGERTIAN Hiperparatiroidisme adalah keadaan berlebihnya sekresi hormon paratiroid; yang dapat dibagi menjadi 3 kategori, yaitu primer, sekunder dan tersier. 1•2 Hiperparatiroidisme primer terjadi jika sekresi hormon paratiroid yang berlebihan disebabkan oleh kelenjar paratiroid yang autonom, menyebabkan hiperkalsemia, dengan insidens tertinggi pada wanita pascamenopause. 2· 4 Perubahan patologik yang dapat terjadi pada hiperparatiroidisme primer adalah adenoma, hiperplasia dan karsinoma. 3 · 5 Hiperparatiroidisme sekunder terjadi jika hipokalsemia atau defisiensi vitamin D menjadi stimulus produksi hormon paratiroid, sering terjadi pada pasien gaga! ginjal kronik dan pasien defisiensi vitamin D, terutama orang lanjut usia. 4 Hiperparatiroidisme tersier disebabkan oleh kelenjar yang berfungsi secara autonom pada pasien dengan hiperparatiroidisme sekunder yang telah berjalan lama, misalnya pada kasus gaga! ginjal kronik yang telah berjalan lama. 4•5 PENDEKATAN DIAGNOSIS2.4·5 Anamnesis



Gejala konstitusional nonspesifik: kelelahan, kelemahan, anoreksia, mual, muntah, konstipasi, nyeri tulang.



Gejala neuropsikologik: gangguan tidur, depresi, mental confusion, konsentrasi menurun, iritabilitas, demensia



Manifestasi pada sistem rangka: osteoporosis, patah tulang atau riwayat patah tulang



Riwayat batu ginjal berulang



Riwayat penggunaan obat: diuretik tiazid, litium



Riwayat hipertiroidisme, hiperkalsemia.

Pemeriksaan Fisik

Manifestasi kardiovaskular: hipertensi, kalsifikasi valvular, hipertrofi ventrikel

Pemeriksaan Penunjang

• •

Pemeriksaan darah Peningkatan kalsium serum total dan peningkatan hormon paratiroid, penurunan kadar fosfat serum, peningkatan kadar 1,25-dihidroksi vitamin D, peningkatan marker pembentukan (aktivitas osteoblastik) dan resorpsi tulang (osteoklastik). Pada hiperparatiroidisme sekunder, terjadi peningkatan hormon paratiroid, hipokalsemia atau defisiensi vitamin D. Pasien dengan hiperparatiroidisme tersier memiliki kadar kalsium darah yang normal atau meningkat, penurunan kadar vitamin D, penurunan kadar fosfat dan peningkatan fosfatase alkali.



Pencitraan: nefrolitiasis dan gambaran keropos tulang

• •

Penurunan GFR Pemeriksaan urin: hiperkalsiuria, peningkatan ekskresi kalsium urin 24 jam.



EKG: interval QT memendek

• •

Densitometri tulang: penurunan densitas tulang Kedokteran nuklir: Sestamibi scan

DIAGNOSIS BANDING 2.4 Keganasan, penggunaan litium dan tiazid, benign familial hypercalcemic hypocalciuria, hiperkalsemia oleh sebab lain (lihat bab Gangguan Kalsium). TATALAKSANA Farmakologis dan Bedah 2 · 5 1. Hiperparatiroidisme primer

a. Eksisi jaringan kelenjar paratiroid abnormal adalah terapi definitif b. Kalsium 1000-1200 mg per hari pascareseksi c. Pada penyakit ringan: pertahankan hidrasi, bisfosfonat (alendronat 10 mg oral sekali sehari), terapi pengganti hormon estrogen atau raloxifene, dan kalsimimetik (cinacalcet). 2. Hiperparatiroidisme sekunder a. Atasi penyebab primernya b. Terapi dengan kalsium dan vitamin D atau analog vitamin D c. Pengikat fosfat d. Kalsimimetik (cinacalcet) 3. Hiperparatiroidisme tersier Paratiroidektomi subtotal dan total

KOMPLIKASI 45 Fraktur patologis, pankreatitis, batu ginjal berulang. '

~l

PROGNOSIS Hiperparatiroidisme primer ringan yang tidak ditatalaksana terkait dengan peningkatan mortalitas, penyakit kardiovaskular, gagal ginjal, dan batu ginjal. Pada pasien hiperparatiroidisme primer simtomatik, paratiroidektomi bersifat kuratif dan bermanfaat. Pada hiperparatiroidisme sekunder, sekitar 1-2% pasien membutuhkan paratiroidektomi setiap tahunnya. Pad a hiperparatiroidisme tersier, kelenjar abnormal jarang mengalami involusi.4.6 UNIT YANG MENANGANI • RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi • RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS Pendidikan • RS non Pendidikan

: Departemen Bedah : Bagian Bedah

REFERENSI 1.

Hiperparatiroidisme. Dalam: Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; lnterna Publishing; 2009.

2.

Potts Jr JT. Diseases of the parathyroid gland. In: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. 18th Edition. McGraw-Hill. 2012.

3.

Fraser WD. Hyperparathyroidism. Lancet 2009;37 4(9684): 145-58.

4.

Ahmad R, Hammond JM. Primary, secondary, and tertiary hyperparathyroidism. Otolaryngol Clin N Am 2004;37:701-13

5.

Pitt SC, Sippel RS, Chen H. Secondary and tertiary hyperparathyroidism, state of the art surgical management. Surg Clin North Am 2009;89(5):1227

KARSINOMA TIROID

PENGERTIAN Karsinoma tiroid merupakan keganasan kelenjar tiroid yang paling sering ditemukan. Klasifikasi karsinoma tiroid dibedakan atas dasar : asal sel yang berkembang menjadi sel ganas dan tingkat keganasannya. 1 Untuk kepentingan praktis, berdasarkan tingkat keganasan, karsinoma tiroid dibagi atas 3 kategori :2 1. Tingkat Keganasan Rendah a. Karsinoma papilar b. Karsinoma folikular ( dengan invasi minimal) 2. Tingkat Keganasan Menengah a. Karsinoma folikular (dengan invasi luas) b. Karsinoma medular c. Limfoma maligna d. Karsinoma tiroid berdiferensiasi buruk 3. Tingkat Keganasan Tinggi a. Karsinoma tidak berdiferensiasi (anaplastik) b. Haemangioendothelioma maligna (angiosarkoma) PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis ( Faktor risiko dan gejala penekanan )''

• • • • • •

Usia <20th atau >70th Jenis kelamin pria Keluhan disfagia dan serak Riwayat radiasi pengion saat anak-anak Riwayat keganasan tiroid sebelumnya Gejala penekanan dan metastasis

Pemeriksaan FisikL2

• •

Modul padat, keras, tidak rata dan terfiksir Limfadenopati servikal

Pemeriksaan Penunjang 1. Biopsi Aspirasi Jarum Hal us (BAJAH):

2. Laboratorium 3. Pencitraan •

USG



Skintigrafi Tiroid

4. Histopatologi

DIAGNOSIS BANDING Nodul Tiroid Jinak

TATALAKSANA 1 1.

Operasi •

Tiroidektomi total merupakan prosedur awal pilihan pada hampir sebagian besar pasien karsinoma tiroid.

2. Terapi Ablasi Iodium Radioaktif •

Untuk memaksimalkan uptake iodium radioaktif setelah tiroidektomi total, kadar hormon tiroid diturunkan dengan menghentikan obat L-tiroksin sehingga TSH endogen terstimulasi hingga mencapai kadar di atas 25-30 mU/L. Mengingat waktu paruh L-tiroksin adalah 7 hari, biasanya diperlukan waktu 4-5 minggu.



Pasien juga menghindari makanan yang mengandung tinggi yodium paling kurang 2 minggu sebelum skintigrafi dikerjakan.

3. Terapi Supresi L-Tiroksin •

Kelompok Risiko Rendah: Target TSH: 0.1-0.5 mU/L



Kelompok Risiko Tinggi : Target TSH : 0.01 mU /L

4. Tyrosine kinase inhibitor 5.

Radioterapi paliatif

EVALUASI 1. Skintigrafi Seluruh Tubuh (Whole Body Scan)

• 2.

Dilakukan 6-12 bulan setelah terapi ablasi pertama

USG •

Mengevaluasi kekambuhan atau adanya KGB lokal atau metastasis regional

3. Pencitraan Lain: CT scan, Rontgen dada, MRI dan FOG-PET tidak rutin dikerjakan 4.

Tiroglobulin Tiroglobulin dan TSH diperiksa setiap 6 bulan selama 3 tahun pertama

.KarsinomaTiroid KOMPLIKASI • Penekanan saluran nafas • Metastasis fails PROGNOSIS Pada pasien muda, rata-rata kesembuhan 97% pada karsinoma tiroid baik yang folikular maupun yang papilar. Karsinoma tiroid tipe medular, memiliki prognosis lebih buruk karena menyebar ke kelenjar limfe lebih cepat sehingga membutuhkan terapi lebih agresif.l UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS Pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam • RS non Pendidikan REFERENSI 1.

Jameson JL Weetman AP. Disorder of the Thyroid Gland. In : Longo DL Fauci AS, Kasper DL Hauser SL Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'hed. New York: McGraw-Hill; 2012.2911-39

2.

Subekti Imam. Pengelolaan karsinorna tiroid. Dalam: Penatalaksanaan Penyakit-Penyakit Tiroid bagi Dokter. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia Cabang Jakarta. Jakarta. 2008. Him 88-102.

KELAINAN ADRENAL

PENGERTIAN Kelainan adrenal memiliki karakteristik defisiensi atau produksi berlebihan dari satu atau beberapa kelas kortikosteroid utama. Defisiensi hormon dapat disebabkan oleh kelainan enzimatik atau glandular bawaan atau rusaknya kelenjar hipofisis atau adrenal oleh karena penyakit autoimun, infeksi, infark, atau kondisi iatrogenik seperti pembedahan atau supresi hormonal. Hormon yang berlebihan biasanya diakibatkan oleh neoplasia atau keganasan, yang meningkatkan produksi hormon adrenokortikotropik (ACTH) oleh sel neuroendokrin atau adanya neoplasia di tempat lain yang menghasilkan ACTH (ACTH ektopik), atau meningkatnya produksi glukokortikoid atau mineralokortikoid oleh nodul adrenaJ.l Kelainan adrenal yang akan dibahas pada bab ini adalah Sindrom Cushing, tumor adrenal, hirsutisme, hiperaldosteronisme, dan insufisiensi adenokortikal. DIAGNOSIS

A. SINDROM CUSHING/HIPERKORTISOLISME 1·2 Adalah sekumpulan gejala yang terjadi akibat paparan kronik glukokortikoid yang berlebih oleh karena sebab apapun. Kelainan ini dapat merupakan ACTH-depedent ( contohnya pituitary corticotrop adenoma, sekresi ACTH ektopik oleh tumor nonhipofisis) atau ACTH-independent (contohnya adenoma adrenokortikal, karsinoma adrenokortikal, hiperplasia adrenal nodular), serta dapat pula iatrogenik (pemberian glukokortikoid eksogen untuk mengobati keadaan inflamasi). Ada pula yang dinamakan penyakit Cushing, yaitu sindroma Cushing sekunder akibat hipersekresi ACTH hipofisis (Tabell)

label 1. Sindrom Cushingu 0

)l.nainriesls • Lemah dan Ieiah • Miopati proksimal • Amenore, oligomenore • Perubahan personal • Depresi. insomnia, psikosis, gangguan kognitif • Poliuria

'~

. Pem~ilkscian fislkc ·

• Tipikal habitus • Bantalan lemak pada dorsoservikal • Rounded facies, facial plethora • Jerawat • Berat badan bertambah, obesitas sentral • Hipertensi (TD > 150/90 mmHg) • Hirsutisme • Striae kutan • Ekimosis • Edema • Poliuri. polidipsi • Hipertrofr klitoris • Hiperpigmentasi (jika terjadi peningkatan ACTH), fragilitas kulit mudah te~adi lebam yang berukuran > 1 em • lnfeksi jamur kulit

Diagnosis Banding

· ~P~m.e.rlksaan PenunJaog ·. Hipokalemia

Tergantung ACTH: adenoma hipofrsis, neoplasma nonhipofrsis (ACTH ektopik)

Sindrom ACTH ektopik : CT Scan dada dan abdomen untuk melihat paru-paru, timus, dan pankreas. Jika tidak ada kelainan yang ditemukan, MRI dada dapat dipertimbangkan, karena tumor karsinoid biasanya memperlihatkan intensitas yang tinggi. Selain itu, scintigraphy octreotide juga dapat membantu dalam beberapa kasus seperti tumor yang menghasilkan ACTH ektopik. Tergantung penyebab yang dicurigai, pasien dengan sindrom ACTH ektopik dapat diambil sampel darah untuk pemeriksaan hormon usus puasa, kromogranin A, kalsitonin, dan eksklusi biokimia feokromositoma.

Tak tergantung ACTH : iatrogenik (glukokortikoid, magestrel asetat)

TATALAKSANA Non farmakologis :Farmakologis

Hiperplasia adrenal: "medical" adrenalektomi [Mitotan (2-3 gjhari)], penghambat steroidogenesis [ketokonazol (600-1200 mgjhari)], penghambat sintesis steroid aminoglutetimid (1 gjhari) dan metiraponi (2-3 gjhari), mifepristone. Bedah

Adenoma atau karsinoma, hiperplasia bilateral (adrenalektomi)

lando klinik Osteoporosis Diabetes melitus Hipertensi diastolik Adipositas sentral Hirsutisme dan amenorea

l Tes skrining 1.Kortisol plasma pada jam 08.00 > 140 nmoi/L (5 g/dL) setelah 1 mg deksametason pada tengah malam; 2.kortisol bebas urin > 275 nmoi/L (1 00 iJg/hari) 3. Salivary Cortisol tengah malam

l Tes supresi deksametason Respon kortisol pada hari ke-2 menjadi 0,5 mg per 6 jam

I

t I

Respon normal

I

1

t

Respon abnormal

I

t

Respon kortisol pada hari ke-2 supresi deksametason (2 mg per 6jam)

t

Supresi Hiperplasia adrenal Sekunder terhadap sekresi ACTH hipofisis

Tidak ada respon - Hiperplasia adrenal - sekunder terhadap tumor yang menghasilkan ACTH - Neoplasia adrenal

t

'

ACTH tinggi Hiperplasia adrenal sekunder terhadap tumor yang menghasilkan ACTH

I ACTH rendah Neoplasia

Positif Adenoma hipofisis

II

t Negatif Tumor ektopik

I I

ACTH

I

17-KS-urin a tau DHEA sulfat serum CT scan abdomen

Pencitraan pituitari dan/atau pengambilan sampel darah vena yang selektif

t

I

I

... Tinggi (> 6 em) Karsinoma adrenal

II

t Normal-rendah (<3 em) Adenoma adrenal

Gambar 1. Alur Diagnostik untuk Mengevaluasi Pasien Tersangka Menderita Sindrom Cushing 1

I

Komplikasi Trombosis vena dalam, emboli paru, ansietas, depresi, paranoid akut, psikosis depresif, osteoporosis. Karsinoma adrenal : metastatis paru dan hati

Prognosis •

Overt Cushing's berhubungan dengan prognosis buruk



Kebanyakan pasien dengan karsinoma adrenal meninggal dalam 3 tahun setelah diagnosis



Adenoma adrenal yang berhasil diobati dengan pembedahan mempunyai prognosis baik dan tidak mungkin kekambuhan terjadi.

B. TUMOR ADRENAL 1•2 Tumor adrenal memiliki hubungan dengan sindrom Cushing dan sindrom Conn serta tumor-tumor lain yang mensekresi androgen (menyebabkan virilisasi pada perempuan), yang mengekskresikan estrogen (menyebabkan feminisasi pada laki-laki dan perdarahan uterus pada perempuan pascamenopause) label 2. Tumor Adrenaf1· 2 .'" ··- ,-.-' ,.

. Anamnesis :

• • • • •

• • • • •

Palpitasi Banyak berkeringat Sakit kepala Nyeri abdomen Penurunan atau penambahan berat bad an Yirilisasi pada wanita Feminisasi pada laki-laki Kelemahan Depresi Lebam

~emeii((Saan

• Obesitas sentral • Ginekomastia • Hipertensi. hipotensi postural. takikardi • Pemeriksaan fundus: retinopati hipertensif • Pada kulit: hirsutisme dan striae

-~··-·

..-.·.·.-- ...

·~·<-··:

otagnosi~ B~ndt!ig

fisik

• Pielografi intravena dengan tomografi • Penyuntikan gas retroperitoneal • Angiografi

• Pheochromocytoma, Sindroma Cushing, Hiperaldosteronisme primer

TATALAKSANA Nonfarmakologis Kondisi dimana operasi tidak memberikan hasil yang baik diantaranya adalah kelainan adrenal bilateral seperti corticotropin-dependent Cushing disease atau hiperaldosteronisme bilateral. Adenoma kortikal adrenal non- fungsional bukan merupakan premalignan dan tindak pembedahan tidak diindikasikan.

Temuan CT/MRI massa adrenal yang didapatkan secara insidental

J • •

• •

Skrining harmon berlebihan Metanefrin plasma atau urin 24 jam untuk ekskresi katekolamin atau metanefrin Urin 24 jam untuk ekskresi kortisol bebas. ACTH plasma, cortisol plasma (atau saliva) tengah malam, tes deksametason 1 mg satu malam penuh (melakukan paling sedikit didapatkan duo dari em pat tes) Aldosteron plasma dan renin plasma Jika tumor >2 em; 17-hidroksiprogesteron dan DHEAS

I

IU.:>IIII

I

Tes konfirmasi

I

I

Ulangi skrining untuk harmon yang berlebih setelah 12 bulan

[:!] F/U jika diperlukan

I

Negatif dan pencitraan tida k didapatkan adanya keganasar • Ukuran <4 em • Densitas CT yang renda (<10 HU) • Wash-out kontras CT >50%

Negatif tapi: hasil pencitraan tidak didapatkan keganasan: • Ukuran >4cm • Densitas CT yang tinggi (>20 HU) • Wash-out kontras CT <40% ---------------------------------llo>

Ulangi skrining untuk harmon yang berlebih setelah 12 bulan; ulangi pencitraan setelah 6-12 bulan

G I

Unilateral adrenalektomi

b

JF/U jika diperlukan

r

l

Keterangan gambar: F/U =follow up

Gam bar 2. Algoritma tate laksana pasien dengan masse adrenal yang ditemukan secara insidentaP

Farmakologis

Pasien dengan hiperaldosteronisme idiopatik bilateral yang tidak dapat dioperasi a tau menolak dioperasi harus diberikan penyekat reseptor mineralkortikoid selektif dan nonselektif. Bedah

Pengobatan untuk tumor adrenal yang secara hormonal aktif

PROGNOSIS Delapan puluh persen adenoma adrenal merupakan non fungsional dan jinak. Dan sebesar 20%, adenoma adrenal adalah fungsional atau ganas dan membutuhkan evaluasi dan pengobatan lebih lanjut untuk mencegah komplikasi.

C. HIRSUT/SME SIMPLEKS (ID/OPATIKJ" 2 Gambaran Klinis

Pertumbuhan rambut ekstra pada daerah wajah, bibir atas, dan dagu. Rambut pada lengan bawah meningkat dan rambut tumbuh panjang antara payudara dan pubik, meluas sampai ke paha atas dan dinding perut depan (male escutcheon). Kulit cenderung berkeriput, dan dapat muncul jerawat

TATALAKSANA Non farmakologis

Depilatory cream, bleaches dan heavy layer cosmetics Farmakologis

Siproteron asetat Prognosis

Riwayat hirsutisme simpleks tidak jelas tetapi memberi kesan rambut tubuh berlebihan dan tidak berkembang lebih luas setelah usia 35 tahun dan cenderung berkurang setelah menopause

D. HIPERALDOSTERONISMEI.2 Etiologi hiperaldosteronisme ada tiga macam yaitu primer, sekunder, dan kelebihan mineralkortikoid non aldosteron. Pacta hiperaldosteronisme primer terjadi kelainan pad a adrenal dan tidak peningkatan hormon aldosteron tidak bergantung pacta renin. Penyebab hiperaldosteronisme diantaranya adalah hiperplasia (70%), adenoma (sindroma Conn, 25%), karsinoma (5%). Pacta hiperaldosteronisme sekunder terjadi kelainan pada ekstraadrenal dan peningkatan aldosteron bergantung dari renin. Primary reninism: tumor yang mengsekresi renin (jarang), Secondary reninism: penyakit renovaskular (RAS, hipertensi maligna), edema dengan penurunan volume arteri yang efektif (CHF,

sirosis, sindroma nefrotik, hipovolemia, diuretik, diabetes tipe 2, Bartter (gangguan Na/K/2Cl transporter-mendapat loop diuretic), Gitelman (gangguan transporter Na/ Cl renal-mendapat diuretik golongan thiazid)) Adapula kelainan kelebihan mineralkortikoid nonaldosteron yang menyerupai hiperaldosteronisme yaitu defisiensi 11 b- HSD (kekurangan penginaktivasi kortisol, yang berikatan dengan reseptor mineralkortikoid nonselektif), Black licorice (glycyrrhizinic) Anamnesis

Sakit kepala, poliuria, nokturia, parestesia, kelemahan otot Pemeriksaan Fisik

Hipertensi, edema, hiporefleksi, paralisis, distensi abdomen Pemeriksaan Penunjang

• •

Laboratorium: Hipokalemia, kadar aldosteron tinggi, kadar renin rendah Radiologi: CT scan adrenal

Diagnosis Banding

Hipertensi esensial, adenoma adrenal, Sindrom Bartter, Sindrom Conn, Sindrom Cushing, hipertensi renovaskular Tatalaksana



Nonfarmakologis: diet rendah garam



Farmakologis: Spironolakton (awal400 mg/hari per oral, kemudian 100-400 mg



sekali sehari atau setiap 12 jam), amiloride, triamterene, nifedipin Terapi invasif: -



Tindakan operatif: untuk kasus adenoma a tau karsinoma

Komplikasi

Komplikasinya adalah komplikasi yang berhubungan dengan hipertensi kronik (infark miokard, penyakit serebrovaskular, gaga! jantung kongestif)

E. INSUFISIENSI ADRENAL'- 2 Adalah defisiensi kortisol absolut atau relatif yang terjadi mendadak biasanya disebabkan oleh penyakit atau stres yang berat. Insufisiensi adrenal akut juga dapat

terjadi akibat stres, infeksi berat, pada pasien dimana respons adrenal menurun karena sesuatu sebab atau gangguan pelepasan ACTH akibat kerusakan hipofisis atau terapi kortikosteroid lama. Anamnesis

Akut: Nyeri kepala, mual, muntah, diare Kronik: lesu, letih, lemah, anoreksia, mual, penurunan berat badan, muntah-muntah, nyeri perut, depresi, psikosis Pemeriksaan Fisik

Hipotensi Kronik: kurus, lemah, hipotensi, pigmentasi pada perut, tempat-tempat tertekan (daerah tali pinggang, lipatan telapak tangan, areola, perineum dan daerah yang terpapar sinar matahari), vitiligo, atau pigmentasi kelabu pada muka pipi, gusi dan bibir Pemeriksaan Penunjang



Kadar kortisol darah



Kronik: hipoglikemia



Tes Synacthen (ACTH stimulation test)



CT scan adrenal

Diagnosis Banding

Krisis adrenal, perdarahan adrenal, eosinofilia, histoplasmosis, sarkoidosis TATALAKSANA

Non farmakologis: Edukasi pasien Farmakologis: Pemberian larutan NaCl 0,9%, kortikosteroid, glukosa intravena, dan pengobatan penyakit pencetusnya Alternatiflain: hidrokortison IV dengan larutan NaCl 0,9% Kronik: •

Pemberian kortisol Mula-mula pasien diberikan kortison dosis tinggi. Untukjangka panjang, dosis 25 mg pagi hari dan 12,5 mg pada sore hari per oral



Mineralkortikoid (fludrokortison 100 11g/hari)

. 103

(j) .

.

Komplikasi Syok, krisis adrenal

Prognosis Kecuali risiko krisis adrenal, kesehatan dan usia pasien biasanya normal, sedangkan pigmentasi dapat menetap

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik Endokrinologi



RS non pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam



RS non pendidikan

REFERENSI

104

1.

Arlt W. Disorder of the Adrenal Cortex. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL Hauser SL Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181hed. New York: McGraw-Hill; 2012.2940-61

2.

Nieman L. Adrenal Cortex. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23'd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008

KISTA TIROID

PENGERTIAN Kista tiroid adalah nodul kistik pada jaringan tiroid, merupakan 10 - 25 % dari seluruh nodul tiroid. Insidens keganasan pada nodul kistik lebih rendah dibandingkan nodul solid. Pada nodul kistik kompleks masih mungkin merupakan suatu keganasan. Sebagian nodul kistik mempunyai bagian yang solid. 1 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis1.2 •

• • • • • •

Anamnesis Umum: Sejak kapan benjolan timbul Rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap Cara membesarnya: cepat atau lam bat Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja Riwayat keluarga Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu keciljmuda Perubahan suara Gangguan menelan, sesak nafas Penurunan berat badan Keluhan tirotoksikosis

Pemeriksaan Fisikl.2 • •

Umum Lokal: Nodus tunggal atau banyak, atau difus Nyeri tekan Konsistensi: kistik Permukaan Perlekatan pada jaringan sekitarnya

Pand.uan Pralltik.Kiini.s PEirhimounon Dokl9i-'.

Pendesakan atau pendorongan trakea Pembesaran kelenjar getah bening regional Pemberton's sign

Penilaian Risiko Keganasan 2 Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostik penyakit tiroid jinak, tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid: • •

Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau diffusa jinak Riwayat keluarga dengn tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun.



Gejala hipo atau hipertiroidisme.



Nyeri berhubungan dengan nodul.



Nodullunak, mudah digerakkan.



Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arab

keganasan tiroid: 2 •

Umur < 20 tahun atau > 70 tahun

• •

Jenis kelamin laki-laki Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan nafas



Pertumbuhan nodul cepat ( beberapa minggu- bulan )



Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa (juga meningkatkan insiden penyakit nodul tiroid jinak)

• •

Riwayat keluarga kanker tiroid meduler Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, irreguler dan sulit digerakkan



Paralisis pita suara,



Temuan limfadenopati servikal



Metastasis jauh ( paru-paru, dll)

Langkah Diagnostik 1: TSHs, FT4 Bila Hasil : Non toksik ® Langkab diagnostik II: ~

Pungsi aspirasi kista dan BAJAH bagian solid dari kista tiroid

Pemeriksaan Penunjang4 • USG tiroid: dapat membedakan bagian padat dan cair, dapat untuk memandu BAJAH: menemukan bagian solid. Gambaran USG Kista = kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoik sonolusen, dinding tip is.

106



Sitologi cairan kista dengan prosedur sitospin.



Biopsi Aspirasi Jarum Halus (BAJAH): pada bagian yang solid.

DIAGNOSIS BANDING • Kista tiroid • kista degenerasi • Karsinoma tiroid TATALAKSANA Pungsi aspirasi seluruh cairan kista: 1 · 3 • Bila kista regresi ~ Observasi • Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas rendah ~Pungsi aspirasi dan Observasi • Bila kista rekurens, klinis kecurigaan ganas tinggi ~ Operasi Lobektomi • Modalitas lain : Injeksi Ethanol (Skleroterapi) KOMPLIKASI Penekanan pada organ sekitar yang dapat mengakibatkan kesulitan makan, menelan, bernapas, dapat juga terasa nyeri. PROGNOSIS Prognosis tergantung tipe kista tiroid. UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan

: Departemen RadiologijKedokteran Nuklir, Patologi Klinik, Departemen Bedah-Onkologi, Departemen



RS non Pendidikan

Patologi Anatomi : Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Radiologi, dan Bedah.

REFERENSI 1.

Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam Waspadji S, et al. (eds). Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FKUI:757-65.

2.

Suyono S. Pendekatan Pasien dengan Struma. Dalam Markum HMS, Sudoyo HAW, Effendy S, Setiati S, Gani RA. Alwi I (eds). Naskah Lengkap Pertemuan llmiah Tahunan llmu Penyakit Dalam 1997. Jakarta, 1997:207-13.

0

107

3.

Subekti I. Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT). In Simadibrata M, Setiati S, Alwi I. Maryantoro, Gani RA. Mansjoer A (eds). Pedoman Diagnosis dan Toto Laksana di Bidang llmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Do lam FKU1.1999: 187-9.

4.

Soebardi S. Pemeriksaan Diagnostik Nodul Tiroid. Makalah Jakarta Endocrinology Meeting 2003. Jakarta, 18 Oktober 2003.

KRISIS HIPERGLIKEMIA

PENGERTIAN Krisis hiperglikemia, mencakup ketoasidosis diabetik (KAD) dan status hiperglikemia hiperosmolar (SHH), merupakan komplikasi metabolik akut paling serius pada pasien diabetes melitus. Krisis hiperglikemia terjadi akibat defisiensi insulin dan peningkatan hormon counterregulatory (glukagon, katekolamin, kortisol dan growth hormone). SHH terjadi ketika defisiensi insulin yang relatif (terhadap kebutuhan insulin) menimbulkan hiperglikemia berat dan dehidrasi dan akhirnya menyebabkan kondisi hiperosmolalitas. KAD terjadi bila defisiensi insulin yang berat tidak saja menimbulkan hiperglikemia dan dehidrasi, tapi juga mengakibatkan produksi keton meningkat serta asidosis metabolik. Spektrum kedua kondisi ini dapat saling overlap. 1 -4 PENDEKATAN DIAGNOSIS 1. KAD • AnamnesisM Mualjmuntah, hausjpoliuria, nyeri perut, sesak napas; gejala berkembang dalam waktu <24 jam. Faktor presipitasi meliputi riwayat pemberian insulin inadekuat, infeksi (pneumonia, infeksi saluran kemih, infeksi intraabdominal, sepsis), infark (serebral, koroner, mesenterika, perifer), obat (kokain), kehamilan. • Pemeriksaan Fisik4 Takikardia, dehidrasi, hipotensi, takipnea, pernapasan Kussmaul, distres pernapasan, napas bau keton, nyeri tekan perut (menyerupai pankreatitis akut), letargi atau koma. • Pemeriksaan Penunjang3 ·5 Diagnosis KAD ditegakkan bila ditemukan hiperglikemia (>250 mgjdL), ketonemia dan atau ketonuria dan asidosis metabolik (HC0 3 <18) dengan anion gap meningkat.

~ .

-

l"~!!,g~!~s!~!!~a!j!!!!a 2. SHH



• •

Anamnesis 6 Riwayat poliuria, berat badan turun, dan berkurangnya asupan oral yang terjadi dalam beberapa minggu dan akhir nya terjadi letargi/ koma. Faktor presipitasi meliputi infark miokard, stroke, sepsis, pneumonia, infeksi berat lainnya, keadaan seperti riwayat stroke sebelumnya a tau demensia atau situasi sosial yang menyebabkan asupan air berkurang. Pemeriksaan Fisik6 Dehidrasi, hipotensi, takikardia, perubahan status mental. Pemeriksaan Penunjang6 Hiperglikemia (dapat >600 mgjdL), hiperosmolalitas (>350 mOsmoljL), azotemia prerenal. Asidosis dan ketonemia tidak ada a tau ringan. pH> 7,3 dan bikarbonat >18 mEqjL.

Tabel 1. Kriteria Diagnostik KAD dan SHH 6

~$~~;~,\~:~"~~~~i~&~1~o';~:~~~liMtl.i'~ pH arteri

Bikarbonat serum

7,25-7,30 .

7,00-7,24 .

<7,00

> 7,30

15-18

10-15

<10

>18

Keton urin

Positif

Positif

Positif

Kecil

Keton serum

Positif

Positif

Positif

Kecil

Bervariasi

Bervariasi

Bervariasi

> 320 mOsm/kg

>10

>12

>12

Bervariasi

Sa dar

Sadar/ mengantuk

Stupor/ koma

Stupor/ koma

Osmolalitas serum efektif Anion gap Status mental

GD = glukosa darah; Osmolalitas serum efektif= 2 x [No' ukur {mEq/L)] + glukosa {mg/dl)/ 18; Anion gap = (Na') • [(CI· + HC03· (mEq/LJI

DIAGNOSIS BANDING Starvation ketosis, alcoholic ketoacidosis, asidosis laktat, penyalahgunaan obatobatan (salisilat, metanol, etilen glikol, paraldehid), akut pada gagal ginjal kronik 5 TATALAKSANA 1. Pemberian cairan 4 Pemberian cairan mengikuti algoritma :

11 0

Cairan intravena

Menentukan status hidrasi

t Hipovolemia berat

Dehidrasi ringan

Renjatan kardiogenik

t

t

t

NaCI 0.9% (1 L/hari)

Evaluasi natrium serum terkoreksi

Observasi hemodinamik

t

,.

I

Na serum tinggi

I

I

Na serum normal

I

NaCI 0.45% (250-500 ml/jam) tergantung status hidrasi

"" I

Na serum rendah

NaCI 0.9% (250-500 ml/jam)

Jika glukosa serum mencapai 200 mg/dl (KAD) atau 300 mg/dl (SHH), ganti cairan dekstrosa 5% menjadi NaCI 0.45% (150-250 ml/jam)

Gambar 1. Algoritma Pemberian Cairan•

2. Terapi insulin 4

0, l U/kgBB sebagai bolus IV

0, l U/kgBB/jam sebagai infus insulin kontinu IV

1 Jika GD tidak turun 50-75 mg/dL naikkan drip insulin

KAD

1

J

SHH

Ketika kadar GD mencapai 200 mg/dl, turunkan infus insulin regular menjadi 0,05-0, l U/kgBB/jam IV Pertahankan kadar GD antara 150 dan 200 mg/dl sampai terjadi resolusi KAD

Ketika GD mencapai 200 mg/dl, turunkan infus insulin regular menjadi 0,05-0,1 U/kgBB/jam IV. Pertahankan kadar GD antara 200 dan 300 mg/dl sampai pasien sadar penuh.

I

I

~

Periksa kadar elektrolit, pH vena, kreatinin, dan GD tiap 2-4 jam sampai pasien stabil. Setelah terjadi resolusi KAD atau SHH dan ketika pasien mampu untuk makan. berikan regimen insulin subkutan. Untuk mengganti dari IV ke subkutan, lanjutkan infus insulin IV selama l-2 jam setelah insulin subkutan dimulai untuk mencapai kadar insulin plasma yang adekuat. Pada pasien insulin-naive, mulai dengan 0,5 U/kgBB sampai 0,8 U/kgBB per hari dan sesuaikan sesuai kebutuhan. Cari faktor presipitasi

Gamber 2. Algoritma Protokol Tatalaksana Insulin pada Pasien Dewasa dengan KAD atau SHH 4

3. Koreksi kalium 4

Periksa fungsi ginjal (urine output- 50 mL/hari/kgBB)

• Jangan memberikan insulin terlebih dahulu • Kalium 20-30 mEq/L sampai kalium > 3.0 mEq/L.

Kalium 20-30 mEq/L dalam setiap liter cairan intravena untuk menjada kadar kalium 4-5 mEq/L

Jangan berikan kalium. Periksa kadar kalium setiap 2 jam.

Gambar 3. Algoritma Koreksi Kalium pada Pasien Dewasa dengan KAD atau SHH 4

4. Bikarbonat4 •

Jika pH vena <6,9 , berikan 100 mmol natrium bikarbonat dalam 400 ml sterile

waterditambah 20 mEq KCI diberikan selama 2 jam. Jika pH masih <7, ulangi setiap 2 jam sampai pH >7. Periksan kadar kalium serum setiap 2 jam. • Jika pH vena:::: 6.9: tidak perlu diberikan natrium bikarbonat. 5. Pemantauan 4•5 Pan tau tekanan darah, nadi, napas, status mental, asupan cairan dan urin tiap 1-4 jam

KOMPLIKASI Renjatan hipovolemik, trombosis vena, perdarahan saluran cerna atas, sindrom distres pernapasan akut. Komplikasi pengobatan adalah hipoglikemia, hipokalemia, over load edema serebral 5•6 PROGNOSIS KAD memiliki angka kematian 2% untuk usia < 65 tahun dan 22% untuk usia > 65 tahun. SHH memiliki angka mortalitas 20- 30%. 5•6

UNIT YANG MENANGANI Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Metabolik • RS Pendidikan Endokrin • RS non Pendidikan Bagian llmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS Pendidikan • RS non Pendidikan

: ICU : ICU

REFERENSI

1 14

1.

Soewondo Pradana. Ketoasidosis Diabetik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi L Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; lnterna Publishing; 2009. Hal 1906-1911.

2.

Davis Joe C. Diabetes Mellitus. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies;2012.

3.

Perkeni. Petunjuk praktis terapi insulin pada pasien diabetes rnelitus. Jakarta:Pusat penerbitan ilrnu penyakit dalam;2011

4.

Kitabchi AE, Umpierrez GE, Miles JM, Fisher JN. Hyperglycemic crises in adult patients with diabetes. Diabetes Care 2009;32(7):1335-43. Diunduh dari http://care.diabetesjournals.org/ content/32/7 /1335.full.pdf+html pad atanggal 7 Juni 2012.

5.

Trachtenbarg DE. Diabetic ketoacidosis. American Family Physician 2005;71 (9):1705-14

6.

Stoner GD. Hyperosmolar hyperglycemic state. American Family Physician 2005;71 (9):1723-30

KRISIS Tl ROI D

PENGERTIAN Krisis tiroid merupakan suatu keadaan klinis hipertiroidisme yang paling be rat dan mengancam jiwa. Umumnya keadaan ini timbul pada pasien dengan dasar penyakit Graves atau struma multinodular toksik, dan berhubungan dengan faktor pencetus: infeksi, operasi, trauma, zat kontras beriodium, hipoglikemia, partus, stres emosi, 131 penghentian obat anti-tiroid, terapi 1 , ketoasidosis diabetikum, tromboemboli paru, penyakit serebrovaskular/stroke, palpasi tiroid terlalu kuat. 1 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis Riwayat penyakit hipertiroidisme dengan gejala khas, berat badan turun, perubahan suasana hati, bingung sampai tidak sadar, diare, amenorea. 1

Pemeriksaan Fisik1.2 •

Gejala dan tanda khas hipertiroidisme, karena penyakit Graves a tau penyakit lain

• •

Sistem saraf pusat terganggu: delirium, koma Demam tinggi sampai 40°C



Takikardia sampai 130-200 xjmenit



Dapat terjadi gagal jan tung kongestif



Diare



Ikterus

Pemeriksaan Penunjang •

TSHs sangat rendah, fT 4/T3 tinggi, anemia normositik normokromik, limfositosis relatif, hiperglikemia, enzim transaminase hati meningkat hiperbilirubinemia, azotemia prerenal



EKG: sinus takikardia atau fibrilasi atrial dengan respons ventrikular cepat.

~ ~

label 1. Skor lndeks Klinis Krisis Tiroid (Burch-Wartosky, 1993) 1 Oisfung~l kardlovaskular :

Dlsfungsl:pengaturon panas :

Suhu 99-99,9 (° F)

37,2-37,7 {0 C)

5

100-100,9

37,8-38,2

10

Takikardi 99-109 110-119

100-101.9 102-102,9

38,3-38,8 38,9-39,2

15 20

130-139

103-103,9 >104,0

39,3-39,9

25

~40,0

30

>140

15 20 25

,G.G~pl jantung .:

'Bek,pada~u.nan·saraf:pusat :

Tidak ada Ringan {agitasi)

120-129

5 10

' . -

0 10

Tidak ada Ringan

0 5

Sedang {delirium, psikosis, letargi berat)

20

Sedang

Berat (koma. kejang)

30

Be rat Fibrilasi atrium

10 15

Tidak ada Ada Riwayat pencetus Negatif Positif

c~ '

.j

0 10 0 10

,Ofsfungsi .gastrotntestinaf-ilepar. Tidakada

0

>45 : highly suggestive

Ringan {diare, nausea/muntah/nyeri perut) Berat {ikterus tanpa sebab yang jelas)

10 20

pending storm

25-44 : suggestive of im25 : kemungkinan kecil

TATALAKSANA 1 1. Perawatan suportif: • Kompres dingin, antipiretik (asetaminofen) • Memperbaiki gangguan keseimbangan cairfln dan elektrolit: infus dekstrosa i 5% dan NaCI 0,9% · ~



Mengatasi gaga! jantung: 02, diuretik, digitalis

2. Antagonis aktivitas harmon tiroid: •

Blokade produksi harmon tiroid: PTU dosis 300 mg tiap 4-6 jam PO. Alternatif: Metimazol 20-30 mg tiap 4 jam PO Pada keadaan sangat berat, dapat diberikan melalui pipa nasogastrik (NGT) PTU 600- 1000 mg atau metimazol60-100 mg.



Blokade ekskresi harmon tiroid Solutio Lugol (saturated solution of potassium iodida) 8 tetes tiap 6 jam



Penyekat beta

~

·-

- ... ' ' ··~--··----

f

'

·-·-

Propanolol 60 - 80 mg tiap 6 jam PO a tau 1 - 5 mg tiap 6 jam intravena, dosis disesuaikan respons (target: frekuensi jantung < 90 xjmenit). • •

Glukokortikoid Hidrokortison 100-500 mg IV tiap 12 jam; Deksametason 2 mg tiap 6 jam. Bila refrakter terhadap terapi di atas: plasmaferesis, dialisis peritoneal.

3. Pengobatan terhadap faktor presipitasi: antibiotik spektrum luas, dll.

KOMPLIKASI Krisis tiroid: kematian PROGNOSIS Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat = 10 -15 %. 1 UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan

: Dalam Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Kardiovaskular - Departemen Penyakit Dalam, Departemen Neurologi, Departemen RadiologijKedokteran Nuklir, Patologi Klinik, Departemen Bedah-Onkologi.



RS non Pendidikan

: Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Radiologi, dan Bedah.

REFERENSI 1.

Djokomoeljanto R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: lnternaPublishing. 1993-2008.

2.

Jameson JL Weetrnan AP. Disorder of the Thyroid Gland. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL Hauser SL Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'hed. New York: McGraw-Hill; 2012.2911-39

PERIOPERATIF DIABETES MELITUS

PENGERTIAN Perioperatif secara umum merupakan tiga fase pembedahan yaitu preoperatif, intraoperatif dan pasca operasi. Tujuan dari evaluasi dan penatalaksanaan perioperatif adalah mempersiapkan kondisi pasien yang optimal sebelum operasi, selama operasi dan setelah operasi. Secara umum evaluasi perioperatif pada pasien DM sama dengan kondisi pasien lain yang akan menjalani operasi. Pacta pasien DM maka evaluasi difokuskan pacta evaluasi komplikasi jangka panjang DM (mikrovaskuler, makrovaskuler dan neuropati) yang akan meningkatkan risiko operasi. Perhatian khusus perlu diberikan pacta evaluasi fungsi kardiovaskuler dan ginjal. Evaluasi risiko kardiovaskuler merupakan prioritas utama. Adanya neuropati otonom juga dapat memperberat dan memperpanjang fase pemulihan pasca operasi. PENDEKATAN DIAGNOSIS Evaluasi Pra Operasi Pasien OM







Penilaian risiko operasi Faktor risiko rutin : jantung, paru, ginjal, hematologi Faktor risiko terkait DM : komplikasi makrovaskular, mikrovaskular Penatalaksanaan diabetes Klasifikasi DM Farmakologi : tipe, obat, dosis, waktu Perencanaan makan: kandungan KH, waktu makan Aktivitas Hipoglikemia : frekuensi, kewaspadaan, beratnya Antisipasi pembedahan Tipe prosedur pembedahan Rawat jalan a tau rawat inap Tipe anestesia Waktu mulainya pembedahan Lamanya pembedahan

Pemeriksaan Penunjang

• Glukosa Darah • Profil Lipid • HbAlC • DPL • Fungsi hati : SGOT /PT • Fungsi ginjal : Ur /Cr • Elektrolit • Hemostasis • Urinalisa • EKG • Foto Toraks DIAGNOSIS BANDING

KOMPLIKASI Hipoglikemia, Hiperglikemia

TATALAKSANA 1. Kontrol Gula Darah (GD)



Biasanya dilakukan saat rawat jalan sebelum tindakan



Target GD belum ada keseragaman (secara umum GD 140-180mg/dL)



Untuk memperbaiki kontrol GD Pemeriksaan GD lebih sering Dosis insulin disesuaikan

2. Pemberian Insulin •

GD dikendalikan dengan insulin kerja pendek (insulin manusia) atau insulin kerja cepat analog



Regimen insulin di rumah dapat dilanjutkan, terutama jika menggunakan insulin basal



Pemberian Insulin Metode pemberian insulin sebaiknya dapat memberikan kontrol GD yang baik sehingga dapat mencegah hiper- atau hipoglikemia dan mencegah gangguan metabolik lain.

Regimen insulin intravena (IV) sebaiknya mudah dimengerti dan dapat diterapkan dalam berbagai situasi. Pemberian insulin intravena (IV) harus disertai pemantauan GDS secara bedside. Insulin IV memiliki waktu paruh 5 menit dan efek biologik sekitar 20 menit. Kecepatan infus insulin dapat disesuaikan dengan kadar GO. Perkiraan kebutuhan insulin awal dapat diperkirakan berdasarkan tipe DM, terapi sebelumnya, derajat kontrol glikemik, terapi steroid, obesitas,

infeksi dan gaga! ginjaL 3. Obat oral • •

Umumnya dihentikan sebelum tindakan SU kerja panjang: 48-72 jam sebelum tindakan



SU kerja pendek, pemicu sekresi insulin lain dan metformin dapat dihentikan pada malam sebelum tindakan atau pada hari tindakan

4. Tipe Operasi •

Operasi Kecil OAD oral atau insulin dapat diteruskan hila kadar GD terkendali baik Tidak memerlukan persiapan khusus



Operasi Sedang Paling sering ditemukan Persiapan sama dengan operasi besar



Operasi besar Memerlukan anestesi umum dan dipuasakan Diberikan infus insulin dan glukosa Periksa gula darah setiap jam di meja operasi

5. Operasi Rawat }alan •

Jika tidak membutuhkan anestesi umum



OAD atau insulin dapat dilanjutkan hila GD sudah terkontrol baik



Tidak memerlukan puasa dan pasca tindakan dapat makan seperti biasa



Jika memungkinkan tindakan dilakukan sepagi mungkin 6. Operasi Gawat Darurat •

Stres kondisi akut maka kontrol GD dapat memburuk dan bahkan dapat mencetuskan KAD

• •

Nilai kontrol GD, dehidrasi, asam basa Lebih agresif, periksa GD setiap jam di meja operasi



Pada KAD maka operasi ditunda 4-6 jam jika mungkin, dan sebelumnya diberikan terapi standar KAD



Pengosongan lambung semua pasien DM dengan trauma maka dianggap lambung penuh karena kemungkinan adanya gastroparesis DM, sehingga sebaiknya ditunda 4-6 jam jika memungkinkan



Infus insulin intravena

7. Penatalaksanaan Intra Operasi • Semua pasien yang menggunakan insulin baik tipe 1 maupun tipe 2 harus •

mendapatkan insulin selama prosedur operasi DM tipe 2 yang terkontrol baik dengan diet dan OAD mungkin tidak membutuhkan insulin jika prosedur relatif mudah dan singkat



Kontrol GD yang buruk dan prosedur operasi yang sulit : Pemberian insulin

bermanfaat 8. Pemberian Glukosa, Cairan dan Elektrolit •

Selama puasa sebaiknya diberikan glukosa yang adekuat dengan tujuan



mencegah hipoglikemia, mencukupi kebutuhan energi dan katabolisme berat. Dapat diberikan dekstrosa 5% lOOccjjam, disesuaikan dengan status hidrasi.

• •

Pada stress berat diperlukan glukosa lebih banyak. Jika dibutuhkan penambahan cairan dapat diberikan cairan yang tidak



mengandung dekstrosa. Kalium seharusnya dilakukan monitor sebelum dan sesudah operasi

9. Paska tindakan operasi • Infus dextrose dan insulin dilanjutkan sampai pasien bisa makan lalu dimulai •

dengan pemberian insulin subkutan sesuai dengan kebutuhan. Pada pasien dengan nutrisi enteral tetap dianjurkan pemberian insulin kerja singkat tiap 6 jam dan pengawasan hipoglikemia.



Bila tidak bisa makan per oral maka dapat diberikan nutrisi parenteral.

UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT : Semua Divisi di lingkungan Departemen Imu Penyakit Dalam • RS Pendidikan • RS non Pendidikan

REFERENSI 1.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Petunjuk praktis terapi insulin pada pasien diabetes melitus. PB PERKENI. Jakarta 2011.

2.

Jacober SJ, Sowers JR. Scott J. An Update on Perioperative Management of Diabetes. Arch Intern Med. 1999; 159:2405-11

3.

Kedokteran Perioperatif 2007

KAKI DIABETIK

PENGERTIAN Kaki diabetes merupakan komplikasi kronik DM yang diakibatkan kelainan neuropati sensorik, motorik, maupun otonomik serta kelainan pada pembuluh darah. Alasan terjadinya peningkatan insiden ini adalah interaksi beberapa faktor patogen: neuropati, biomekanika kaki abnormal, penyakit arteri perifer, penyembuhan luka yang buruk dan infeksU PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Lama menderita DM, kontrol gula darah, gejala komplikasi (jantung, ginjal, penglihatan) penyakit penyerta, riwayat pengobatan saat ini, pemakaian sepatu, ada callus, ada kelainan bentuk kaki, riwayat infeksi atau pembedahan pada kaki, nyeri pada tungkai saat beristirahat. 1 Pemeriksaan Fisik2

a.

Pemeriksaan vaskular Palpasi pulsasi arteri, perubahan warna kulit, adanya edema, perubahan suhu, riwayat perwatan sebelumnya, kelainan lokal di ekstremitas: kelainan pertumbuhan kaki, rambut, atrofi kulit.

b. Pemeriksaan neuropati Vibrasi dengan garputala 128 Hz, sensasi halus dengan kapas, perbedaan dua titik, sensasi suhu, panas dan dingin, pinprick untuk nyeri, pemeriksaan refleks fisiologis, pemeriksaaan klonus, dan tes Romberg. c.

Pemeriksaan kulit Tekstur, turgor dan warna, kulit kering, adanya callus, adanya fisura, ulkus, gangren, infeksi, jamur, sela-sela jari, adanya kelainan akantosis nigikans dan dermopati.

(i)

.~1 d. Pemeriksaan tulang dan otot Pemeriksaan biomekanik, kelainan struktur kaki (hammer toe, charcot, riwayat amputasi,foot drop), keterbatasan tendon achilles, evaluasi cara berjalan, kekuatan



otot, tekanan plantar kaki. e. Pemeriksaan sepatu atau alas kaki Jenis sepatu, kecocokan dengan bentuk kaki, insole, benda asing di dalam. label 1. Klasifikasi pada Ulkus Diabetik berdasarkan Klasifikasi PEDIS International Consensus on

the Diabetic Foot 2003 2

Impaired Perfusion 2

3

Penyakit arteri perifer

Critical limb ischemia

Size/Extent in mm2

Tuliskan dalam ukuran mm2

Tissue Loss/Depth

Superfisial, tidak mengenai dermis 2

Ulkus dalam melewati lapisan dermis, meliputi struktur subkutan, fascia, otot, atau tendon.

3

Meliputi tulang dan sendi

Infection

Impaired Sensation

Tidak ada keluhan atau gejala infeksi 2

lnfeksi pada kulit dan jaringan subkutan saja

3

Eritema >2 em atau infeksi meliputi struktur subkutan. Tidak ada gejala sistemik

4

lnfeksi dengan gejala sistemik : demam, leukositosis, shift to the left, ketidakstabilan metabolik, hipotensL azotemia

1

2 +

DIAGNOSIS BANDING Peripheral arterial disease (PAD), vaskulitis, tromboangiitis obliterans (penyakit Buerger's), venous stasis ulcer. 1 TATALAKSANA Pengelolaan kaki diabetik dimulai sejak diagnosis diabetes ditegakkan. Pengelolaan awal meliputi deteksi dini kaki diabetik dan identifikasi kaki diabetik. Terdapat sistem skoring neuropati yang dibuat untuk mempermudah deteksi dini yaitu Modified Diabetic Examination Score yaitu: a. Pemeriksaan kekuatan otot Otot Gastroknemius : plantar fleksi kaki Otot Tibialis anterior: dorsofleksi kaki

b. Pemeriksaan refleks Tendon Patela Tendon Achilles Pemeriksaan sensorik pada lbu jari kaki Sensasi terhadap tusukan jarum Sensasi terhadap perabaan Sensasi terhadap vibrasi Sensasi terhadap gerak posisi Pengelolaaan kaki diabetik dengan risiko tinggi dan kaki diabetik dengan luka, dapat dijelaskan sebagai berikut:

A. PERAWATAN KAKI DIABETIK TANPA LUKA DAN RISIKO TINGGI

Deteksi Dini4 •

Kaki berisiko tinggi Penyandang DM yang memiliki satu atau lebih risiko terdiri dari kelainan neuropati, vaskular (iskemia), deformitas, kalus dan pembengkakan. Dilakukan kontrol mekanik, metabolik, edukasi dan ditambah dengan kontrol



vaskular Kaki dengan sensasi normal disertai deformitas Kelainan deformitas yang lazim dijumpai antara lain claw toes, hammer toes, metatarsal heads yang menonjol, hallux rigidus, hallux valgus dan callus

Adanya kulit kering atau fisura akibat neuropati dapat diatasi dengan pemberian krim pelembab untuk mencegah timbulnya lecet, mengingat setiap lecet berpotensi sebagai tempat masuknya infeksi bakteri • •

Kaki insensitifitas dengan deformitas Iskemia dengan deformitas

TindakanPencegahan Dilakukan bila belum ada luka di kaki (Texas Modifikasi Stadium A Tingkat 0) dan berdasarkan kategori risiko lesi kaki diabetik. 4 Langkah-langkah pencegahan perlu dijelaskan saat edukasi perawatan kaki diabetes, diantaranya sebagai berikut: 5 •

Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di atas pasir dan di air.



Periksa kaki setiap hari untuk deteksi dini dan laporkan pad a dokter fperawat apabila ada kulit terkelupas, kemerahan, atau luka.



Periksa alas kaki dari benda asing sebelum memakainya.



Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih, tidak basah, dan mengoleskan krim pelembab ke kulit yang kering.

~



Potong kuku secara teratur.

• •

Keringkan kaki dan sela-sela jari kaki teratur setelah dari kamar mandi. Gunakan kaos kaki dari bahan katun yang tidak menyebabkan lipatan pada ujung-



ujung jari kaki. Kalau ada kalus atau mata ikan, ditipiskan secara teratur.



Jika sudah ada kelainan bentuk kaki, gunakan alas kali yang dibuat khusus.



Sepatu tidak boleh terlalu sempit atau longgar, jangan gunakan hak tinggi.



Jangan gunakan banta! panas atau botol berisi air panas atau batu untuk kaki. Studi yang dilakukan dr.Allaida S.R.SpRM membuktikan edukasi perawatan kaki

yang diberikan terus menerus meningkatkan pengetahuan dan perubahan perilaku penderita kaki diabetes. Senam kaki yang dilakukan terus menerus dapat meningkatkan ketahanan otot, mempertahankan lingkup gerak sendi dorsa dan plantar fleksi serta mempertahankan vaskularisasi daerah kaki. 5 Sepatu Diabetes5



Kategori risiko 0: meskipun bel urn ada gangguan sensasi, karena gangguan sensasi



pada kategori tersebut dapat terjadi sewaktu-waktu. Kategori resiko 1: saat mana sudah terdapat gangguan sensoris dan pembentukan cal us



Kategori resiko 2 dan 3: sudah terdapat deformitas dan kerapuhan jaringan akibat tukak terdahulu

Peran Senam Kaki 5 1. Latihan untuk sendi pergelangan kaki, otot kaki serta jari-jari kaki

2. Latihan yang ditujukan pada otot paha (otot adduktor, abduktor, quadrisep, hamstring)dan otot betis (gastrocnemius dan soleus)

3. Latihan umum yang menggunakanjmenggerakkan kaki : jalan kaki, bersepeda (statis) khusus bagi yang gemuk, senam aerobik, berenang(bila tidak ada luka terbuka)

B. PERAWATAN KAKI DIABETIK DENGAN LUKA Tatalaksana holistik kaki diabetes meliputi 6 aspek kontrol yaitu kontrol mekanik, kontrol metabolik, kontrol vaskular, kontrolluka, kontrol infeksi dan kontrol edukasi. 4 1. Kontrol mekanik: Mengistirahatkan kaki. Menghindari tekanan pada daerah kaki yang luka (non weight bearing). Menggunakan bantal saat berbaring pada tumit kaki/bokongjtonjolan tulang,untuk mencegah lecet. Memakai kasur anti dekubitus bila perlu. Mobilisasi (bila perlu dengan alat bantu berupa kursi roda atau tongkat). Pada luka yang didominasi oleh faktor neuropati maka tujuan utama adalah mendistribusikan be ban tekanan pada kaki, sedangkan yang didominasi faktor vaskular tujuan utamanya adalah menghindari luka pada daerah yang rentan. 2. Kontrolluka: Evakuasi jaringan nekrotik dan pus yang adekuat perlu dilakukan secepat mungkin, jika perlu dapat dilalukan dengan tindakan operatif. Pembalutan luka dengan pembalut yang basah atau lembab. Debridemen dan nekrotomi. Amputasi 3. Kontrol infeksi (mikrobiologi): diperlukan pada ulkus neuropati maupun ulkus neuroiskemia (PAD), Terapi antimikroba empirik pada saat awal bila bel urn ada hasil pemeriksaan kultur mikroorganisme dan resistensi. Luka yang superfisial: diberikan antibiotik untuk kuman gram positif. Luka lebih dalam diberikan antibiotik untuk kuman gram negatif ditambah golongan metronidazol bila ada kecurigaan infeksi bakteri anaerob. Pada luka yang dalam, luas, disertai gejala infeksi sistemik yang memerlukan perawatan di rumah sakit: dapat diberikan antibiotik spektrum luas yang dapat mencakup kuman gram positif, gram negatif dan anaerob. Sehingga dapat digunakan 2 atau 3 golongan antibiotik. Penggunaan antibiotik diobservasi seminggu kemudian, dan disesuaikan dengan hasil kultur mikroorganisme. 4. Kontrol vaskular: sebaiknya ditelusuri sampai diketahui perlu tidaknya penilaian status vaskular secara invasif Periksa ankle brachial index (ABI), trans cutaneous oxygen tension, toe pressure bahkan angiografi.

Pemeriksaan TcP02: untuk menentukan daerah dengan oksigenasi yang masih cukup sehingga terapi revaskularisasi diharapkan masih memiliki manfaat. Tindakan bedah vaskular atau tindakan endovaskular. ~

5. Kontrol metabolik: Perencanaan nutrisi yang baik selama proses infeksi dan penyembuhan luka, Regulasi glukosa darah yang adekuat. Pengendalian komorbiditas hila ada (misalnya hipertensi, dislipidemia, gangguan fungsi hati/ginjal, gangguan elektrolit, anemia, infeksi penyerta serta hipoalbuminemia). 6. Kontrol edukasi: • Edukasi pada pasien dan keluarga mengenai kondisi luka kaki pasien saat ini, rencana diagnosis, penatalaksanaanjterapi, penyulit yang mungkin timbul, serta bagaimana prognosis selanjutnya. Pemberian edukasi penting mengingat kerjasama pasien dan keluarganya mutlak diperlukan dalam penatalaksanaan yang optimal dan untuk menghindari salah pengertian. Nekrotomi dan Amputasi



Tujuan 6 Membuang semua jaringan nekrotik yang avital (non viable), jaringan infeksi, dan juga callus di sekitar ulkus Mengurangi tekanan pada jaringan kapiler dan tepi luka Memungkinkan drainase dari eksudat dan pus Meningkatkan penetrasi antibiotik ke dalam luka yang terinfeksi



Indikasi 6 a. Debridement/Nekrotomi: Indikasi nekrotomi adalah sebagai berikut: Terdapat debris dan jaringan nekrosis pada luka kronis di jaringan kulit, jaringan subkutan,fasia, tendon, otot bahkan tulang. Terdapat kerusakan jaringan dan pus pada ulkus yang terinfeksi. b. Amputasi: Tindakan amputasi biasanya dilakukan secara elektif, namun hila ada infeksi dengan ancaman kematian dapat dilakukan amputasi secara emergensi. Indikasi amputasi adalah sebagai berikut: 1. Jaringan nekrotik luas

2. Iskemi jaringan yang tidak dapat direkonstruksi 3. Gagal revaskularisasi

4. Charcot's of Foot dengan instabilitas 5. Infeksi akut dengan ancaman kematian (gas gangren dan necrotizing

fasciitis) 6. Infeksijluka yang tidak membaik dengan terapi adekuat 7. Gangren 8. Deformitas anatomi yang berat dan tidak terkontrol 9. Ulkus berulang Peran Nutrisi dalam Penyembuhan Luka 7



Fungsi nutrisi: membantu proses penyembuhan luka (inflamasi, granulasi dan

epitelisasijremodelling). •

Perhitungan kecukupan kalori sama seperti pada penatalaksanaan ulkus DM.



Protein 1,5-2 gram/kg berat badanjhari. Lemak 20-25% kebutuhan energi dengan jenuh <7%, lemak tidak jenuh <10% dan sisanya lemak tidak jenuh tunggal



Vitamin A: kebutuhan per hari 5000 IU



Vitamin B kompleks: kofaktor atau koenzim pada sejumlah fungsi metabolik yang terlibat pada penyembuhan luka, terutama pada penglepasan energi dari karbohidrat.

KOMPLIKASI

Osteomielitis, sepsis, amputasi PROGNOSIS

Di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo angka kematian dan angka amputasi masih tinggi masing masing 16% dan 25% (data RSUPN Cipto Mangunkusumo 2003). Sebanyak 14,3% akan meninggal dalam setahun pasca amputasi dan sebanyak 37% akan meninggal 3 tahun pasca-amputasL2· 3 UNIT YANG MENANGANI



RS pendidikan

: Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT



RS pendidikan

: Departemen Bedah, Departemen Rehabilitasi Medik, Divisi Kardiologi, Divisi Hematologi - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Bedah, Bagian Rehabilitasi Medik.

REFERENSI 1.

Powers A. Diabetes Mellitus. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of Internal Medicine 18th edition.United States of America.Mcgraw Hill. 2012

2.

Waspadji S. Kaki Diabetes. Dalam: Sudoyo,Setiyohadi, Buku Ajar llrnu Penyakit Dalarn. Edisi V. Jakarta. lnterna Publishing. 2011

3.

Konsensus Kaki Diabetik. Jakarta. Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI). 2008

4.

Pedoman Penatalaksanaan Kaki Diabetes. Jakarta. Perkeni. 2010

5.

Adhiarta. Penatalaksanaan Kaki Diabetes. Dalam: Kariadi SHKS, Arifin A YL Adhiarta IGN, Permana H, Soetedjo NNM. Editors. Naskah Lengkap Forum Diabetes Nasional V. Bandung. 2011

6.

lsmiarto YD. Aspek Bedah Penanganan Luka Diabetes. Dalam : Kariadi SHKS, Arifin A YL Adhiarta IGN, Permana H, Soetedjo NNM. Editors. Naskah Lengkap Forum Diabetes Nasional V. Bandung. 2011

7.

Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di Indonesia. PB PERKENI. Jakarta, 2011.

SINDROM OVARIUM POLIKISTIK (PCOS)

PENGERTIAN Sindrom ovarium polikistik (PCOS) yang didapatkan pada sekitar 5 -10% perempuan usia produktif, didefinisikan sebagai suatu sindrom klinis akibat resistensi insulin yang ditandai dengan obesitas, menstruasi tidak teratur, dan terdapat tanda berlebihan androgen (seperti hirsutisme, jerawat). Pada mayoritas pasien, ditemukan kista multipel dalam ovariumnya, dengan etiologi multifaktorial yang tidak jelas. 1 Istilah lain PCOS adalah Gambaran Ovarium Polifolikular fpolyfo/licular ovarian appearance). 2 PENDEKATAN DIAGNOSIS Diagnosis biasanya ditemukan pada saat pemeriksaan harmon, kehamilan, atau infertilitas. Mayoritas perempuan dengan PCOS memiliki periode menstruasi yang tidak teratur (oligomenorea). Kriteria diagnosis

Kriteria diagnosis PCOS dari EshrejAsrm (Rotterdam)2003 dipenuhi minimal 2 dari 3 kriteria berikut: 1 1. Disfungsi ovulasi yang menyebabkan menstruasi tidak teratur dan infertilitas 2. Hiperandrogenisme dengan bukti klinis atau laboratoris (biokimia) 3. Dengan USG pelvis atau transvaginal, pada bagian perifer dalam satu ovarium ditemukan > 10 kista folikular tampak seperti untaian mutiara, berukuran 2 - 6 mm atau kadang lebih besar berisi sel-sel atresia. Pemeriksaan Penunjang



Gula darah puasa/ sewaktu (atau TTGO bila perlu) dan profillipid untuk mencari adakah sindrom metabolik.

• •

Horman kortisol pada pagi hari (pk 08.00), untuk menyingkirkan sindrom Cushing Harmon 17-hidroksi progesteron pada pagi hari, untuk menyingkirkan virilisme adrenal DHEAS (dehydroepiandrosterone sulfate) serum, dinilai sebagai amenorea bila hasilnya abnormal USG, juga untuk menyingkirkan virilizing tumor





ll:\

,1

··~ ~·· 2

DIAGNOSIS BANDING Hirsutisme idiopatik, hiperprolaktinemia, hipotiroidisme, hiperplasia adrenal non klasik, tumor ovarium, tumor adrenal, sindrom Cushing, resistensi glukokortikoid, hiperandrogen dengan penyebab lain yang jarang. 1 TATALAKSANA3 • Prinsip penatalaksanaan disesuaikan dengan gejala klinis dan apakah menginginkan kehamilan. • Setiap pasien PCOSyang overweight sebaiknya dimotivasi untuk menurunkan be rat badannya, untuk memperbaiki manifestasi klinis (terutama menstruasi yang tidak teratur) dan menurunkan risiko DM tipe 2. Metformin (untuk mengurangi resistensi insulin sehingga dapat mengembalikan siklus ovulasi yang teratur) Thiazolidinedione (tidak disarankan untuk perempuan yang ingin hamil) Klomifen sitrat (untuk mengembalikan fertilitas agar kehamilan dapat terjadi) Progesteron (medroksi progesteron 5 -10 mg PO, 1 xj hari, selama 10 -14 hari tiap 1 - 2 bulan 4 Progestogen-impregnated intra uterine coil PROGNOSIS3.4.5 Wanita dengan PCOS memiliki risiko jangka panjang yang lebih besar untuk terjadinya: • intoleransi glukosa, DM tipe 2, hipertensi, hiperkolesterolemia, hipertrigliseridemia • obesitas; bertambahnya rasio pinggang-pinggul • infertilitas involunter (17,5% vs 1,3% kelompok kontrol) • risiko hiperplasia atau kanker endometrium • risiko penyakit serebrovaskular dan kardiovaskular • hirsutisme UNITY ANG ME NANG ANI • RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS Pendidikan • RS non Pendidikan

: Departemen Obstetri dan Ginekologi : Bagian Obstetri-Ginekologi

REFERENSI 1.

Kronenberg HM, Melmed S, Polonsky KS, Larsen PR, editors. Disorders in female reproductive system. In: Williams Textbook of Endocrinology, ll'h ed. Philadelphia, Pa: Saunders-Elsevier; 2008.

2.

Gazvani MR, Hamilton M, Kingsland CR, et al. Polycystic ovarian syndrome: a misleading label? Lancet. 2000; 355(9201 ):411-2.

3.

Colledge NR, Walker BR, Ralston SH, editors. In : Davidson's Principles and Practice of Medicine 21 '' ed.Churchill Livingstone-Eisevier: 2010

4.

Porter RS, Kaplan JL, editors. The Merck Manual of Diagnosis and Therapy 19th ed. USA: Merck Research Laboratories, 2011.

5.

Wild S, Pierpoint T, Jacobs H, et al. Long-term consequences of polycystic ovarian syndrome: results of a 31 year follow-up study. Hum Fertil (Camb) 2000;3(2):1 01-5.

6.

Wild S, Pierpoint T, McKeiqueP, et al. Cardiovascular disease in women with polycystic ovary syndrome at long-term follow up: a retrospective cohort study. Clin Endocrinol (Oxf). 2000;52(5):595-600.

STRUMA DIFUSA NON TOKSIK

PENGERTIAN Pembesaran kelenjar tiroid difus tanpa adanya nodul maupun hipertiroid. Struma difusa non toksik paling sering disebabkan oleh defisiensi yodium dan disebut juga goiter endemik apabila menyerang >5% populasi. Pada area yang kekurangan iodium, pembesaran tiroid meneerminkan efek kompensasi untuk mempertahankan iodium sehingga tetap dapat memproduksi harmon yang eukup. WHO, UNICEF dan ICCIDD menganjurkan kebutuhan yodium sehari adalah 90 meg untuk anak pra sekolah, 120 meg untukanaksekolah dasar (6 -12 tahun), 150 meguntukdewasa (di atas 12 tahun) dan 200 meg untuk wan ita hamil dan menyusui. Goiter endemik juga disebabkan oleh pajanan terhadap goitrogen lingkungan seperti singkong yang mengandung tiosianat, sayur-sayuran dari famili Cruciferae (kol, kembang kol) dan susu sa pi pada area yang memiliki rumput yang mengandung goitrogen. Goiter juga dapat terjadi pada defek sintesis harmon tiroid yang diturunkan. 1

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis Goiter kebanyakan asimtomatik. Apabila goiter sangat besar, maka dapat menimbulkan gejala-gejala kompresi trakea atau esofagus. Goiter substernal dapat mengobstruksi thoracic outlet.'

Pemeriksaan Fisik1 •

Palpasi kelenjar tiroid menunjukkan adanya pembesaran yang tidak nyeri, lunak



dan tidak adanya nodul pada kelenjar tiroid Apabila terjadi obstruksi thoracic outlet didapatkan Pemberton's sign positif (rasa pusing yang disertai dengan kongesti wajah dan obstruksi vena jugularis eksterna saat lengan dinaikkan di atas kepala).

Pemeriksaan Penunjang: 2



Tes fungsi tiroid: untuk menyingkirkan adanya hipotiroid atau hipertiroid. Pada simple goiter, kadar T4 dan TSH adalah normal. Pada bentuk yang baru dan lama T4 dapat ditemukan rendah



Antibodi TPO: untuk mengidentifikasi pasien dengan peningkatan risiko penyakit tiroid autoimun



Kadar iodium urin: rendah, <10 gjdL



Scan tiroid: peningkatan ambilan yodium radioaktif



Pengukuran laju pernapasanjCT/MRI: diperlukan pada pasien goiter substernal yang memiliki gejala atau tanda obstruksi

DIAGNOSIS BANDING Tiroiditis, adenoma non neoplastik, kista tiroidfparatiroid/tiroglosus, hyperplasia remnant post bedah, keganasan 1 TATALAKSANA Non farmakologis

Edukasi,2 Farmakologis

Terapi dengan iodium maupun hormon tiroid dapat mengecilkan goiter pada defisiensi iodium, tergantung pada lamanya goiter dan derajat fibrosis yang timbul. Pemberian hormon tiroksin harus berhati-hati terutama apabila TSH rendah atau normal. Pada pasien muda, dosis levotiroksin dapat dimulai pada 100 mcgjhari sedangkan pada pasien yang lebih tua dimulai pada 50 mcgjhari. Regresi nyata biasanya terlihat dalam 3- 6 bulan terapi. 2 Bedah

Terapi bedah dilakukan apabila terjadi kompresi trakea ataupun obstruksi thoracic outlet. Tirodektomi subtotal atau hampir total dapat dilakukan untuk kepentingan

kosmetik. Operasi harus diikuti penggantian hormon dengan levotiroksin agar TSH tetap pada batas bawah nilai normal sehingga mencegah timbulnya kembali goiter.

.,

135

KOMPLIKASI Kompresi saluran napas dan esofagus, obstruksi thoracic outlet, sindrom vena kava superior, penekanan nervus frenikus atau laringeus rekuren, sindrom Horner. Stroke dan iskemik serebral dapat terjadi akibat kompresi arteri atau sindrom pintas tiroservikal. 1 PROGNOSIS Pacta pasien tua, goiter yang telah lama diderita dan tingkat fibrosis yang lebih tinggi, kurang dari sepertiga yang menunjukkan respons dengan terapi farmakologis. 4 UNIT YANG ME NANG ANI • RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS Pendidikan

: Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam



RS non Pendidikan

REFERENSI 1.

Djokomoeljanto. Gangguan akibat kekurangan iodium . In: Sudoyo A Setiyohadi B, Alwi L Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5'h ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUL 2009:2009- 15

2.

La meson JL, Weetman AP.Disorders of the thyroid gland.ln: Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012:2911-39

3.

Fritzgerald PA. Endocrine disorders. In: McPhee S. Papadakis M, Rabow M. Current medical diagnosis and treatment 2011. 501h ed. California; The McGraw -Hill Education. 2010:1061 -90

4.

Gardner DG, Shoback D, editors. Greenspan's basic and clinical endocrinology. 8'h ed. San Fransisco

5.

Peloquin JM, Wondisford FE. Nontoxic diffuse and nodular goiter. In: Wondisford FE, Radovick S, editors. Clinical management of thyroid. 1'' ed. Philadelphia; Saunders, 2009: 339- 47

STRUMA NODOSA NON TOKSIK (SNNT)

PENGERTIAN Pembesaran kelenjar tiroid yang teraba sebagai suatu nodul, tanpa disertai tandatanda hipertiroidisme. 1 Berdasarkan jumlah nodul, dibagiY • Struma mononodosa non toksik • Struma multinodosa non toksik Berdasarkan kemampuan menangkap iodium radioaktif: • Nodul dingin • Nodul hangat • Nodul panas Berdasarkan konsistensinya: • Nodullunak • Nodul kistik • Nodul keras • Nodul sangat keras PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 3

• • • • • • • • • •

Sejak kapan benjolan timbul Rasa nyeri spontan a tau tidak spontan, berpindah a tau tetap Cara membesarnya: cepat, atau lambat Pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja Riwayat keluarga Riwayat penyinaran daerah leher pada waktu keciljmuda Perubahan suara Gangguan men elan, sesak nafas Penurunan berat badan Keluhan tirotoksikosis

Pemeriksaan Fisik4·5



Umum



Lokal: Nodus tunggal atau majemuk, atau difus Nyeri tekan Konsistensi Permukaan Perlekatan pada jaringan sekitarnya Pendesakan atau pendorongan trakea Pembesaran kelenjar getah bening regional Pemberton's sign

Penilaian risiko keganasan 3

Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarahkan diagnostik penyakit tiroid jinak, tetapi tak sepenuhnya menyingkirkan kemungkinan kanker tiroid: •

Riwayat keluarga dengan struma nodosa atau difusa jinak



Riwayat keluarga dengn tiroiditis Hashimoto atau penyakit tiroid autoimun.

• •

Gejala hipo atau hipertiroidisme. Nyeri berhubungan dengan nodul.



Nodullunak, mudah digerakkan.



Multinodul tanpa nodul yang dominan, dan konsistensi sama. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang meningkatkan kecurigaan ke arah

keganasan tiroid: 3 •

Umur < 20 tahun atau > 70 tahun



Jenis kelamin laki-laki



Nodul disertai disfagi, serak, atau obstruksi jalan nafas

• •

Pertumbuhan nodul cepat ( beberapa minggu- bulan) Riwayat radiasi daerah leher waktu usia anak-anak atau dewasa (juga meningkatkan kejadian penyakit nodul tiroid jinak)



Riwayat keluarga kanker tiroid meduler



Nodul yang tunggal, berbatas tegas, keras, iregular dan sulit digerakkan

• •

Paralisis pita suara Temuan limfadenopati servikal



Metastasis jauh ( paru-paru, dll)

DIAGNOSIS BANDING 6 •

Struma nodosa pada: Peningkatan kebutuhan terhadap tiroksin pada masa pertumbuhan, pubertas,



laktasi, menstruasi, kehamilan, menopause, infeksi, stres lain. Tiroiditis akut



Tiroiditis subakut



Tiroiditis kronis: limfositik (Hashimoto), fibrous-invasif (Riedel)



Simple Goiter

• •

Struma endemik Kista tiroid, kista degenerasi



Adenoma



Karsinoma tiroid primer, metastatik



Limfoma

PEMERIKSAAN PENUNJANG •

Biosi aspirasi jarum halus (BAJAH) nodul tiroid



BAJAH merupakan prosedur diagnostik yang penting dilakukan pada kasus SNNT,



dapat dilakukan tanpa menunggu hasillaboratorium bila klinis eutiroid. Laboratorium: T4 atau FT4, dan TSHs sesuai gambaran klinis 6



USG tiroid:



USG baik untuk mengukur jumlah, ukuran, dan karakteristik sonografi nodul. Karakteristik sonografi yang curiga keganasan adalah hypoechoic, mikrokalsifikasi, makrokalsifikasi, intra nodular vaskularity, taller-than-wide dimensions, dan batas yang samar. 8

Langkah diagnostik 1: TSHs, FT43 Hasil klinis: Non-toksik ® Langkah diagnostik II: BAJAH nodul tiroid Hasil: a. Ganas b. Curiga c. Jinak d. Tak cukupjsediaan tak representative (dilanjutkan di tatalaksana)

TATALAKSANA3• Sesuai hasil BAJAH, maka Tata Laksana :

'

139

Nodul tiroid

y cp

Menemukan kriteria yang diutarakan dalam teks

Co/d/tdk spesifik

Mung kin jinak, adenoma toksik : ablasL reseksL terapi medikamentosa

Mencurigakan (10%)

Jinak (70%)

Observasi atau terapi supresi

~ I I Observasi

Bedah

Mung kin jinak, adenoma toksik : ablasL reseksL terapi medikamentosa

Gambar 1. Algoritma Pendekatan Diagnosis Nodul Tiroid.'

Ganas (5%)

A. Ganas •

Operasi Tiroidektomi near-total/ Total tiroidektomi

B. An undeterminate significance (AUS) label 1. Rekomendasi Manajemen Sesuai Kriteria Bethesda

en"' .. 1.

;~m~k~El}~~r. ~r&: ;~,;~~~·~·~·C';'-';':;,}j~fs~:~ . ·

Non diagnostik atau tidak memuaskan

1-4

Ulangi BAJAH dengan panduan ultrasonografi

0-3

Menindaklanjuti sesuai klinis

Kista Spesimen aselular virtual Lain-lain {darah, artefak pembekuan, dll) 2.

Jinak

Konsisten dengan folikuler nodul jinak Konsisten dengan Hashimoto tiroiditis Konsisten dengan tiroiditis granulomatosa Lain-lain 3.

Atypia dari signifikasi yang belum ditentukan atau lesi folikuler darl slgnifikasi yang belum ditenfukan

-5-15

Ulangi BAJAH

4.

Neoplasma folikuler atau curiga neoplasma follkuler

15-30

Operasi lobektomi

Curiga keganasan

40-75

Operasi tiroidektomi near-total.atau ·operasi lobektomi*

97-99

Operasi tiroidektomi near-total*

5.

Curiga karsinoma papiler tiroid Curiga karsinoma meduler tiroid Curiga karisnoma metastasis Curiga limfoma Lain-lain 6.

Ganas

Karsinoma papiler tiroid Karsinoma diferensiasi buruk Karsinoma meduler tiroid Karsinoma anaplastik Karsinoma sel skuamosa Karsinoma dengan fitur campuran Karisnoma metastasis Non-Hodgkin limfoma Lain-lain

*Dalam kasus dengan "kecurigaan adanya metastasis" atau "Ganas" inerupakan interpretasi yang menyatakan tumor metastasis daripada keganasan tiroid primer, maka tindakan operasi tidak diindikasikan.



Operasi dengan lebih dahulu melakukan potong beku (VC) : Bila hasil =ganas~ Operasi Tiroidektomi near-total. Bila hasil = jinak ~ Operasi Lobektomi



alternatif: Sidik tiroid. Bila hasil = cold nodule~ Operasi

C. Tak cukup/sediaan tak representatif •

Jika nodul Solid (saat BAJAH): ulang BAJAH. Bila klinis curiga ganas tinggi

~

Bila klinis curiga ganas rendah •

Operasi Lobektomi

~

Observasi

Jika nodul Kistik (saat BAJAH): aspirasi. Bila kista regresi

~

Observasi

Bila kista rekurens, klinis curiga ganas rendah Bila kista rekurens, klinis curiga ganas tinggi

~

~

Observasi

Operasi Lobektomi

D. Jinak Tata Laksana dengan Levo-tiroksin (LT4) dosis subtoksis.(terapi supresi) •

dosis dititrasi mulai 2 x 2S ug (3 hari),



dilanjutkan 2 x SO ug (3 - 4 hari),



hila tidak ada efek samping atau tanda toksis: dosis i menjadi 2 x 100 mg sampai 4- 6 minggu, kemudian evaluasi TSH (target 0,1- 0,3 mlU/L)



supresi TSH dipertahankan selama 6 bulan



evaluasi dengan USG: apakah nodul berhasil mengecil atau tidak (berhasil hila mengecil > SO% dari volume awal)



Bila nodul mengecil atau tetap ~

L-tiroksin distop dan diobservasi: Bila setelah itu struma membesar lagi, maka L-tiroksin dimulai lagi (target TSH 0,1-0,3 miU/L). Bila setelah 1-tiroksin distop, struma tidak berubah, diobservasi saja.



Bila nodul membesar dalam 6 bulan atau saat terapi supresi ~ obat dihentikan dan operasi tiroidektomi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi ~ hasil PA: Jinak: Observasi Ganas: Tata Laksana dengan L-tiroksin •

Individu dengan risiko ganas tinggi: target TSH < 0,01- O,OS miU/L



Individu dengan risiko ganas rendah: target TSH O,OS- 0,1 miU/L

KOMPLIKASI Umumnya tidak ada, kecuali ada infeksi seperti pada tiroiditis akutfsubakut

PROGNOSIS Prognosis baik. Biasanya SNNT berkembang sangat lam bat. Bila ada pertumbuhan yang cepat harus dievaluasi kemungkinan adanya degenerasi, perdarahan pad a nod ul, atau adanya neoplasma.

· ·~·9nT9r<~lk.(~~~Tl···· UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS Pendidikan

: Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam



RS non Pendidikan

REFERENSI 1.

Brunicardi. Charles F. Schwartz's Principle Of Surgery, 81h Edition. Copyright @2007 The McGrawHill Companies.

2.

Ganong, William F. Buku ajarf1siologi Kedokteran, Edisi 20. EGC, Jakarta, 2002:305-309.

3.

Kariadi SHKS. Struma Nodosa Non-Toksik. Dalam Waspadji S, et al. (eds). Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi 3. Jakarta, Balai Penerbit FKUI:757-65.

4.

Cooper DS, Doherty GM, Haugen BR, et al. Revised American Thyroid Association management guidelines for patients with thyroid nodules and differentiated thyroid cancer. Thyroid. Nov 2009;19(11):1167-214.

5.

Bahn RS, Castro MR. Approach to the patient with nontoxic multinodular goiter. J Clin Endocrinol Metab. May 2011 ;96(5):1202-12. (Medline].

6.

Subekti I. Struma Nodosa Non-Toksik (SNNT). In Simadibrata M, Setiati S, Alwi L Maryantoro, Gani RA Mansjoer A (eds). Pedoman Diagnosis dan Toto Laksana di Bidang llmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Pen yak it Dol am FKUL 1999:187-9.

7.

Longo DL, Fauci AS, Kasper DL Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J: Harrison's Principles of Internal medicine, 18th edition : www.accesmedicine.com

8.

Cooper DS, Doherty GM, Haugen BR, et al. Revised American Thyroid Association management guidelines for patients with thyroid nodules and differentiated thyroid cancer. Thyroid. Nov 2009;19(11):1167-214. [Medline].

9.

Jameson JL Weetman AP. Disorders of the Thyroid Gland. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL Hauser SL Longo DL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine.l8 1h ed. New York: McGraw-HilL 2001 :2060-84.

10. Bahn RS, Castro MR. Approach to the patient with nontoxic multinodular goiter. J Clin Endocrinol Metab. May 2011 ;96(5):1202-12.

/

STRUMA NODOSA TOKSIK

PENGERTIAN Adalah nodul tiroid soliter berkapsul yang berfungsi secara autonom menghasilkan hormon tiroid. Disebut juga adenoma tiroid toksik. 1 -3 Sebagian besar pasien mengalami mutasi somatik pada gen reseptor TSH. Mutasi ini menyebabkan peningkatan proliferasi dan fungsi sel folikular tiroid. Sebagian kecil mengalami mutasi pada gen protein Gs-alpha (G 5.). 2•3 PENDEKATAN DIAGNOSIS2·3 Anamnesis

Gejala tirotoksikosis ringan (kelelahan, tidak tahan panas, refleks hiperaktif, peningkatan berkeringat, peningkatan nafsu makan, palpitasi, polidipsia, tremor, berat badan turun) Pemeriksaan fisik

Nodul tiroid yang biasanya cukup besar (2:: 3cm) sehingga dapat dipalpasi Pemeriksaan penunjang

• •

Tes fungsi tiroid: TSH rendah Thyroid scan: dapat menjadi tes diagnostik definitif, menunjukkan adanya uptake lokal pada nodul dan berkurangnya uptake pada bagian lain dari kelenjar tiroid



USG

DIAGNOSIS BANDING Graves disease, struma multinodosa toksik, tiroiditis, nodul tiroid. TATALAKSANA • Farmakologis4 Antitiroid dan penyekat beta:

~

Dapat menormalkan fungsi tiroid namun bukan terapi jangka panjang optimal.



Bedah4 Lobektomi tiroid ipsilateral atau isthmusektomi (jika adenoma terdapat pada isthmus). Lebih dipilih pada pasien dengan gejala dan tanda kompresi pada leher, ukuran goiter besar (2::80 g), ekstensi substernal atau retrosternal, atau kebutuhan untuk koreksi cepat status tirotoksikosis. Kontraindikasi mencakup komorbiditas signifikan seperti penyakit kardiopulmoner dan kanker stadium akhir. Kontraindikasi relatif adalah kehamilan.



Radiasi 4 Terapi radioiodin: Lebih dipilih pada pasien usia lanjut, memiliki komorbiditas, riwayat operasi atau jaringan parut pacta anterior leher, dan ukuran struma kecil. Kontraindikasi mencakup kehamilan, laktasi, wanita yang merencanakan akan hamil dalam 4-6 bulan.



Terapi Lainnya4 •5 Injeksi etanol berulang atau ablasi termal radiofrekuensi per kutan.

KOMPLIKASI Hipertiroidisme, tirotoksikosis, krisis tiroid. Komplikasi terapi: hipotiroid.

PROGNOSIS Kebanyakan pasien yang diterapi memiliki prognosis baik. Prognosis buruk berhubungan dengan hipertiroid yang tidak ditangani. Jika tidak ditangani, hipertiroid dapat menyebabkan osteoporosis, aritmia, gagal jantung, koma, dan kematian. Ablasi iodine"'dapat mengakibatkan hipertiroid, pada beberapa pasien (menurut beberapa penelitian berkisar 73%, tergantung pada ukuran goiter dan dosis radioiodine) membutuhkan terapi ulang a tau operasi pengangkatan tiroid. Hipotiroid setelah ablasi radioiodine telah dilaporkan pada 0-35% individu. Tatalaksana operatif terdiri dari lobektomi nodul yang hyperfungtioning. Tingkat hipotiroid berkaitan dengan prosedur ini, sangat rendah. Tingkat kekambuhan hipertiroid dengan operasi, dilaporkan berkisar 0-9%.'

UNIT YANG MENANGANI •

RS Pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Metabolik Endokrin



RS non Pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT • RS Pendidikan • RS non Pendidikan

: Departemen Ilmu Bedah : Bagian Ilmu Bedah

REFERENSI 1.

Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; lnternaPublishing: 2009. hal

2.

Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL. Loscalzo J. penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies: 2012. Hal.

3.

Mandel SJ, Larsen PR, Davies TF. Thyrotoxicosis. Dalam: Melmed S, Polonsky KS, Larsen PR. Kronenberg HM, penyunting. Williams textbook of endocrinology. Edisi XII. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011

4.

Bahn RS, Burch HB, Cooper DS, Garber JR, Greenlee MC, Klein I, et al. . Hyperthyroidism and other causes of thyrotoxicosis: management guidelinesof the american thyroid association and american association of clinical endocrinologists. Endocrine Practice 2011: 17(3): 456-520

5.

Siegel RD. Lee SL. Toxic nodular goiter: toxic adenoma and toxic multinodular goiter. Endocrinol Metab Clin North Am 1998; 27 ( 1): 151-68

6.

Allahabadia A. Daykin J. Sheppard MC, et al. Radioiodine treatment of hyperthyroidism-prognostic factors for outcome. J Clin Endocrinol Meta b. Aug 2001 :86(8):3611-7

TIROIDITIS

PENGERTIAN Istilah tiroiditis mencakup kelainan-kelainan yang ditandai dengan adanya inflamasi pada tiroid. Gejala yang timbul dapat berupa asimtomatik sampai nyeri yang he bat pada tiroid, dengan atau tanpa manifestasi disfungsi tiroid maupun pembesaran kelenjar tiroid. Berdasarkan perjalanan penyakit dan ada tidaknya rasa sakit, tiroiditis dapat dibagi atas tiroiditis akut, subakut serta tiroiditis kronis. 1 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis dan pemeriksaan fisik masing-masing tipe tiroiditis dapat dilihat pada tabell. Pemeriksaan Penunjang



KadarT3,T4,TSH



Sidik tiroid

DIAGNOSIS BANDING Jenis-jenis tiroiditis, karsinoma tiroid. TATALAKSANA Apabila pasien dalam keadaan hipotiroid dapat diberikan levotiroksin untuk mencapai kondisi eutiroid. 1 KOMPLIKASI Hipotiroidisme permanen, thyroid storm 3 Obstruksi trakea, paralisis pita suara, gangguan saraf simpatis regional, ruptur abses ke jaringan sekitar, trombosis vena jugularis internal (sindrom Lemierre), sepsis, abses retrofaring, mediastinitis, perikarditis, pneumonia. 2

Tabel 1. Diagnosis Tiroiditis.

12 6 ' '

Anarinnesis

Pemerlksaan Flslk

Rasa sa kit yang hebat pad a kelenjar tiroid, do pat menjalar ke tenggorokan atau telinga, panas, menggigil, disfagia, disfonia, sakit leher depan, adanya faktor risiko (penyakit tiroid sebelumnya, supresi sistem imun).

Nyeri tekan, fluktuasi, eritema pada kelenjar tiroid, limfadenopati

I

Tiroiditis Akut I

- Akyt infeksiosa (su~urativa) I

I - Tiroiditis radiasi

Ada riwayat radiasi 5-10 hari sebelumnya

i

Tiroiditis akibat trauma Tiroidi~is

Rasa sa kit pad a kelenjar tiroid, riway0t memijat-mijat kelenjar tiroid, riwayat penggunaan sabuk pengo man yang terlalu kencang

Subakut

- Dis~rtai sakit

- Tanpa sakit i

- Pas~a persalinan

Rasa sakit yang timbul perlahan tetqpi kadang-kadang dapat mendadak berlangsung 2 - 6 minggu, rasa sakit terbatas pada kelenjar tiroid atau menjalar sampai leher depan, telinga, rahang, dan tenggorokan, demam, malaise, anoreksia, mialgia dan gejala-gejala hipertiroid (tidak selalu ada).

Pada palpasi teraba kelenjar tiroid membesar difus dan nyeri tekan.

Terdapat gejala-gejala hipertiroid ringan yang timbul 1 - 2 minggu dan berakhir 2-8 minggu, riwayat keluarga menderita penyakit tiroid autoimun.

Kelenjar tiroid teraba sedikit membesar, difus, tidak ada nyeri tekan, tidak ditemukan adanya oftalmopati.

Gejala hipertiroid yang muncul dalbm kurun waktu 1 - 4 bulan setelah persalinan atau abortus, diikuti hipotiroid selama 2 - 8 minggu dan diakhiri dengan eutiroid. Pada 20- 40% kasus dapat terjadi hanya hipertiroid soja dan 40 -50% kasus hanya hipotiroid soja

I

Kelenjar tiroid teraba sedikit membesar, difus, tidak ada nyeri tekan, tidak ditemukan adanya oftalmopati.

nroldirls kronik Ha~himoto I

Rie~el

Rasa seperti terikat di leher, gejala-gejala hipertiroid pada fase inflamasi diikuti dengan gejala hipotiroid yang muncul perlahan dan menetap. 6

Pembesaran kelenjar secara progr~sif tanpa rasa nyeri, disfagia, suara serak, sesak napas dan gejala-gejala hipoparatiroid, malaise umum dan kelelahan. 1

Sebanyak 90% pasien pada palpasi teraba pembesaran kelenjar tiroid umumnya hingga 2- 3x ukuran normaL difus, simetris. Sedangkan 10% kasus memiliki kelenjar tiroid mengecil, pada kebanyakan pasien tidak terdapat nyeri tekan. 7·8 Kelenjar tiroid teraba bilateral tanpa nyeri tekan dan keras seperti batu serta melekat pada jaringan otot sekitarnya sehingga tidak bergerak soot menelan. Kadang-kadang ditemukan pembesaran kelenjar limfe sekitarnya. 1

PROGNOSIS • Tiroiditis akut: Apabila pasien diterapi dengan antibiotik yang tepat, maka kelainan tiroid ini umumnya bersifat self-limiting. Kelainan tiroid ini jarang menimbulkan komplikasi apabila diterapi dengan baik. 3 • Tiroiditis subakut : Tiroiditis karena kehamilan: Sebanyak 20- 50% kasus dapat terjadi hipotiroid permanen, 70% kasus kambuh pada kehamilan berikutnya. 1 Tiroiditis de duervain's: Sebanyak 45% fungsi tiroid akan kembali normal dalam 6 sampai 12 bulan hanya 5% yang menetap hipotiroid • Tiroiditis kronis : Tiroiditis Hashimoto : Sebanyak 24% pasien dengan hipotiroidisme karena tiroiditis autoimun kronik yang mendapat terapi tiroksin > 1 tahun akan tetap menjadi eutiroid walaupun terapi sudah dihentikan. 1 Tiroiditis Riedel merupakan penyakit self-limiting. 9 Apabila tidak diobati penyakit juga dapat menjadi progresif, kadang-kadang stabil a tau regresi. 1 UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan • RS non pendidikan

: Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

REFERENSI 1.

Wiyono P. Tiroiditis. In: Sudoyo A. Setiyohadi B, Alwi L Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5'h ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bag ian 1\mu Penyakit Dalam FKUL 2009:2016-2021

2.

La meson JL, Weetman AP.Disorders of the thyroid gland.ln: Fauci A. Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012: 2911 - 39

3.

Yamada M, Satoh T, Hashimoto K. Thyroiditis. In: Wondisford FE, Radovick S, editors. Clinical management of thyroid disease. 1' 1 ed. Philadelphia; Saunders Elsevier, 2009: 191 - 203

4.

Gardner DG, Shoback D, editors. Greenspan's basic and clinical endocrinology. 8'h ed. San Fransisco

5.

Stagnaro-Green A. Abalovich M, Alexander E, eta\. Guidelines of the american thyroid association for the diagnosis and management of thyroid disease during pregnancy and postpartum. Thyroid. 2011 ;21 (10):1081-125

6.

Dayan CM, Daniels GH. Chronic autoimmune thyroiditis. N Eng\ J Med. 1996;335(2):99-1 07

7.

Bindra A. Braunstein GD. Thyroiditis. Am Fam Physician. 2006;73( 10): 1769-7 6



8.

Pearce EN, Farwell AP, Braverman LE. Thyroiditis. N Engl J Med. 2003;348{26):2646-55

9.

Slatosky J, Shipton B, Wahba H. Thyroiditis: differential diagnosis and management. Am Fam Physician. 2000;61 {4):1047-52, 1054

TIROTOKSIKOSIS



PENGERTIAN Tirotoksikosis adalah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar dalam sirkulasi. Sedangkan hipertiroidisme adalah tirotoksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar tiroid yang hiperaktif.l Penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang dikarakteristikkan dengan adanya antibodi terhadap reseptor tirotropin (TRAb). Penyakit Graves merupakan penyebab tersering hipertiroidisme. 2 Tabel 1. Macam-macam Penyebab Tirotoksikosis 2 Penyebab Tirotoksikosls Frekuensi (%)

Graves' disease

76

Struma multinodular Adenoma tiroid soliter

14

5

.Tiroiditis: • Sub akut (de Quervain's) • Post-partum-

3 0.5

Iodide-induced: • Obat (contoh: amiodaron) Extrathyroid source of thyroid hormone: • Factitious thyrotoxicosis

0.2

TSH-induced : • TSH-secreting pituitary adenoma

0.2

• Follicular carcinoma ±metastases

0.1

Penyakit Graves adalah penyakit autoimun yang dikarakteristikkan dengan hipertiroid karena adanya autoantibodi yang bersirkulasi dalam darah. TSH Receptors Antybody (TRAb) berikatan dengan reseptor tirotropin aktif sehingga menyebabkan

kelenjar tiroid berkembang dan terjadi peningkatan sintesis hormon tiroid oleh folikel tiroid.

PENDEKATAN DIAGNOSIS Gejala dan tanda Tirotoksikosis



Gejala : Hiperaktivitas, iritabilitas, disforia, intoleransi panas, mudah berkeringat,

palpitasi, lemah dan lesu, berat badan turun dengan peningkatan nafsu makan, diare, poliuria, oligomenorrhea, hilangnya libido Tanda: Takikardi; atrial fibrilasi pada usia lanjut, tremor, goiter, kulit hangat dan

lembab, kelemahan otot, miopati proksimal, lid lag retraction dan lid retraction, ginekomastia 1 Gejala dan tanda penyakit Graves

Pada penyakit Graves selain gejala dan tanda tirotoksikosis, dapat ditemukan pula oftalmopati Graves, dermopati tiroid, akropati tiroid. Akronim untuk perubahan pada oftalmopati Graves, yaitu "NO SPECS" 2 0 = No Signs or symptoms 1 =Only signs (lid lag retraction dan lid rectraction), no symptoms 2 =Soft-tissue involvement (periorbital edema) 3 =Proptosis (>22 mm) 4 =Extraocular-muscle involvement (diplopia) 5 = Corneal involvement 6 = Sight lost Penunjang

TSH, FT4, T3 (dengan indikasi), sidik tiroid

DIAGNOSIS BANDING2 • Hipertiroidisme primer: penyakit Graves, struma multinodosa toksik, adenoma toksik, metastasis karsinoma tiroid fungsional, struma ovarii, mutasi reseptor TSH, obat: kelebihan iodium (fenomena]od Basedow) • Tirotoksikosis tanpa hipertiroidisme: tiroiditis subakut, tiroiditis silent, destruksi tiroid (karena amiodarone, radiasi, infark adenoma), asupan hormon tiroid berlebihan (tirotoksikosis factitia) • Hipertiroidisme sekunder: adenoma hipofisis yang mensekresi TSH, sindrom resistensi hormon tiroid, tumor yang mensekresi HCG, tirotoksikosis gestasional

I

Tersangka Tirotoksikosis

I

I

I

Ukur TSH, T4 bebas

I

I TSH rendah, T4 bebas tinggi

Tirotoksikosis primer

I

I

TSH rendah, T4 bebas normal

TSH normal atau meningkat. T4 bebas tinggi

I

I

Ukur T3 be bas

TSH-secreting pituitary adenoma atau thyroid hormone resistance syndrome

TSH dan T4 bebas normal

I (ringgi)

H

T

I

T3 toksikosis

Hipertiroid subklinis

Follow up 6-12 minggu

Terdapat manifestasi penyakit Graves

I

l

l

J

Yo

(Tidak

T

T

Goiter multinodular atau adenoma toksik

Penyakit Graves

l

Tidak diperlukan tes tambahan

(Norma0

,..--

l

"'

T

I

l

Yo:)

(

Hipertiroid nodular toksik

l

Tidak-

T

I Pengambilan radionukleida rendah I

I l

\.,

I

I

l

Yo : )

I

Tiroiditis destruktif. kelebihan iodin atau hormon tiroid

(

II

Tidak...t/1

T

Singkirkan penyebab lain termasuk stimulasi oleh gonadotropin korionik

Gam bar 2. Algoritma Evaluasi Tirotoksikosis 2

I

I

TATALAKSANA Farmakologis 1. Obat Antitiroid



Propiltiourasil (PTU) dosis awal300- 600 mgjhari, dosis maksimal2.000 mgj hari.



Metimazol dosis awal 20- 40 mgjhari.



Indikasi: Mendapatkan remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada pasien muda dengan struma ringan - sedang dan tirotoksikosis Untuk mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum pengobatan atau sesudah pengobatan iodium radioaktif Persiapan tiroidektomi Pasien hamil, lanjut usia

Krisis tiroid 2. Penyekat adrenergik beta Pada awal terapi diberikan, sementara menunggu pasien menjadi eutiroid setelah 6-12 minggu pemberian antitiroid. Propanolol dosis 40- 200 mg dalam 2-3 dosis. Pada awal pengobatan, pasien kontrol setelah 4-6 minggu. Setelah eutiroid, pemantauan setiap 3-6 bulan sekali: memantau gejala dan tanda klinis, serta lab. FT 4 dan TSHs. Setelah tercapai eutiroid, obat antitiroid dikurangi dosisnya dan dipertahankan do sis terkecil yang masih memberikan keadaan eutiroid selama 12-24 bulan. Kemudian pengobatan dihentikan, dan dinilai apakah terjadi remisi. Dikatakan remisi apabila setelah 1 tahun obat antitiroid dihentikan, pasien masih dalam keadaan eutiroid, walaupun kemudian hari dapat tetap eutiroid atau terjadi relaps. Bedah 1

Indikasi • Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak respons dengan antitiroid • •

Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis tinggi Alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima terapi iodium radioaktif

• •

Adenoma toksik, struma multinodosa toksik Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul

Radioiodine 1.2

Indikasi

· tirotoksikosls •

Pasien berusia >35 tahun



Hipertiroidisme yang kambuh setelah dioperasi



Gagal mencapai remisi setelah pemberian obat antitiroid



Tidak mampu atau tidak mau terapi obat antitiroid



Adenoma toksik, struma multinodosa toksik

KOMPLIKASP Penyakit Graves: penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati Graves, dermopati Graves, infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan obat antitiroid. PROGNOSIS Cenderung tidak mengalami remisi pada laki-laki usia< 40 tahun dengan ukuran gondok yang besar dan tirotoksikosis yang klinis lebih be rat ( didapatkan titer antibodi reseptor TSH yang tinggi). 1

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Kardiologi - Departemen Penyakit Dalam, Departemen Neurologi, Departemen Radiologi/Kedokteran Nuklir, Patologi Klinik, Departemen Bedah-Onkologi.



RS non Pendidikan

: Bagian Neurologi, Patologi Klinik, Radiologi, dan Bedah.

REFERENSI 1.

Djokomoeljanto R. Kelenjar tiroid, hipotiroidisme, dan hipertiroidisme. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: lnternaPublishing. 1993-2008.

2.

Jameson JL, Weetman AP. Disorder of the Thyroid Gland. In : Longo DL Fauci AS, Kasper DL Hauser SL, Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181hed. New York: McGraw-Hill; 2012.2911-39

TUMOR HIPOFISIS

PENGERTIAN Tumor hipofisis jarang ditemukan dan terdiagnosis biasanya karena gangguan hormonal, mass effect, atau tidak sengaja pacta pemeriksaan CT Scan atau MRI karena trauma kepala a tau nyeri kepala. 1 Tumor hipofisis, biasanya dapat berupa adenoma mikro (diameter~ 10 mm) ataupun adenoma makro (diameter> 10 mm). Sekitar 92% lesi di sella tursika merupakan adenoma hipofisis. Adenoma hipofisis adalah neoplasma jinak yang muncul dari satu atau lima tipe sel hipofisis anterior. TumorI adenoma hipofisis merupakan penyebab tersering dari sindrom hiposekresi dan hipersekresi hormon hipofisis pacta orang dewasa. Manifestasi secara klinis dan secara fenotipe biokimiawi dari tumor hipofisis, tergantung dari tipe sel tumor asal dan besar ukuran tumor tersebut1 • Sekitar 15 % neoplasma intrakranial merupakan tumor hipofisis yang ditemukan pacta populasi dengan prevalensi 80/100.000 2 • Paling sering ditemukan pacta wanita usia reproduktif, dengan perkiraan insiden 1,2 - 1, 7I satu juta orang/ tahun di Denmark dengan 60% kasus hiperkortisolisme. 3 Prevalensi pacta growth hormone-secreting pituitary adenoma adalah 50 - 60 kasus/1,000,000 orang. Pacta wanita lebih sering ditemukan corticotropin-secreting pituitary adenoma, daripada pria dengan perbandingan 8:1. 3 Tumor hipofisis dapat pula digolongkan menjadi 2 jenis: 4• 5 1. Functioning Prolactin-secreting tumors, (kadar prolaktin serum >100 !lg/L) Growth Hormone-secreting tumors, Corticotropin (adrenocorticotropic hormone [ACTH]}-secreting tumors, Thyrotropin (thyroid-stimulating hormone [TSH])-secreting tumors, and Gonadotropin (Follicle-Stimulating Hormone [FSH]/ Luteinizing Hormone [LH])secreting tumors

Beberapa tumor mensekresi gabungan/ campuran beberapa hormon, misalnya prolaktin dan hormon lain ( contoh Growth Hormone), dengan kadar prolaktin serum berkisar antara 30-100 11g/L.

2. Non-functioning

Biasanya berupa adenoma hipofisis jinak, yang mengsekresi hormon hipofisis yang tidak dapat terdeteksi secara klinis. Prolaktin disekresikan melalui penekanan pembuluh portal dan pituitary stalk, dengan kadar prolaktin serum 25-75 11-g/L (Stalk effect).

PENDEKATAN DIAGNOSIS Manifestasi klinik tumor hipofisis diakibatkan oleh massa tumor, hipopituitari, serta sekresi hormon yang berlebihan. Pada tiap kasus mungkin ditemukan gabungan dari ketiga efek terse but. Anamnesis

Gejala sakit kepala, migren, gangguan penglihatan, masalah lapangan pandang menyempit atau gangguan saraf ekstraokular. 4 Pada kecurigaan disfungsi gonad atau defisiensi hormon hipofisis, perlu ditanyakan bagaimana riwayat menstruasi: oligomenorea famenorea (± 20% wanita yang mengalami amenorea primer/ sekunder 6 ) dan infertilitas pada wanita usia reproduktif, atau disfungsi ereksi dan menurunnya libido pada pria.1.2 Pemeriksaan Fisik



Pemeriksaan luas lapangan pandang (visual field testing) untuk menilai fungsi optic chiasm dan traktusnya.



Akromegali (pembesaran akral, perubahan wajah), moon face, buffalo hump,



penipisan kulit, osteoporosis, hirsutisme Produksi keringat berlebih, nodul tiroid, tirotoksikosis, muscle wasting, tekanan darah meningkat Manifestasi klinis akibat efek massa tumor hipofisis terhadap struktur sekitar

dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Manifestasi Klinik Akibat Efek Massa Tumor Hipofisis Terhadap Struktur yang Terkena 2 · · · ·•· · .•· stn.iidurvali9~~rkel:lcf···· -~~· · · -Mci't~!l~stp~fl
Gangguan-perh:Jmbuhan. hipogonadisme, hipotiroidisme,-1-lipoadrenalisme

Traktus optikus

Hilangnya penglihatan warna merah, hemianopsia bitemporal, defek Ia pang pandang superior atau bitemporal, skotoma, kebutaan

. HipGtalamus-

--Dis~egulasLter:npewturrobesitas...diabe.tesjnsipidus,_ganggu_anJidur.. ____ __

gangguan selera makan.

Manlfestasl kllnls

Slruktur yang terkena

Sinus kavernosus

Diplopia, ptosis, oftalrnoplegia, rasa baa I di wajah

Lobus temporal

Kejang

Lobus frontal

Perubahan kepribadian

Sentral

Sakit kepala, hidrosefalus, psikosis, demensia.

Neurooftalrnologi

Penurunan tajam penglihatan, papil edema, nistagmus.

'

Pemeriksaan Penunjang 2



Magnetic resonance imaging (MRI)



Computed Tomography {CT) Scan kepala, fokus pada hipofisis dan regia parasella



Pemeriksaan laboratorium harmon dalam darah : (1) prolaktin basal; (2) insulin-like growth factor {IGF) I; (3) ACTH; (4) FSH dan LH; and (5) Tes fungsi tiroid :TSH dan FT4. Selain itu, perlu juga diperiksa kadar harmon testosteron atau estradiol, dan kadar kortisol pk. 8 pagi hari. Pemeriksaan laboratorium analisis sperma dapat didapatkan abnormalitas spermatogenesis pada prolaktinoma.



Angiografi (untuk menyingkirkan adanya aneurisma) Pemeriksaan penapis pada adenoma hipofisis fungsional :

Tabel 2. Pemeriksaan Penapis pada Adenoma Hipofisis FungsionaJ2 Jenis adenoma

Akromegali

Prolaktinoma

Pemeriksaan

Keterangan

IGF-1 serum dan GH

Dibandingkan terhadap nilai normal IGF-1 dan GH berdasarkan usia dan jenis kelamin

Toleransi glukosa oral dengan pemeriksaan kadar GH pada me nit ke 0, 30, dan 60

Orang normal mampu mensupresi kadar GH <0.4 ~g/L

Prolaktin serum

Hindari pemakaian obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar prolaktin Pemeriksaan MRI horus segera dikerjakan apabila kadar prolaktin meningkat

Penyakit Cushing

• Kadar kortisol bebas dalam urin 24jem • Dexamethasone (1 mg) pada pukul 22.00 & midnight salivary cortisol

Orang normal mampu menekan kadar kortisol <5 g/L

ACTH

Membedakan antara adenoma adrenal

----~~--------~~------------~--~~---~-~---(AelH-terstJpresi)-dengan-sekresi·AeTH----··

ektopik atau penyakit Cushing (ACTH normal atau meningkat).

I

Gejala dan tanda akibat efek massa Sakit kepala Gangguan penglihatan

Anamnesis dan Pemeriksaan fisik

I

~

MRI Kepala Evaluasi Hipotpituitari TSH,ACTH, FSH, LH

I

Uji lapang penglihatan

II

Galaktorea, lmpotensi, Amenorca

II

I Gambaran klinis akromegali

Gambaran klinis Cushing

II

I

I

Prolaktin serum

IGF-1 dan GH pasca pembebanan glukosa

Kortisol dan ACTH

MRI Kepala

MRI Kepala

I I

MRI Kepala

I

I I

I

I

I

I

Catalan: Pada pasien dengan efek massa, saki! kepala, serta gangguan penglihatan segera dilakukan pemeriksaan MRI dan pemeriksaan fungsi penglihatan. Pada pasien dengan kecurigaan adenoma hipofisis fungsionalperlu dilakukan pemeriksaan laboratorium dahulu.

Gambar 1. Pendekatan Kecurigaan Adenoma Hipofisis2

DIAGNOSIS BANDING 2



Prolaktinoma: Kehamilan Perdarahan postpartum Hipotiroidisme primer Penyakit pada payudara atau akibat stimulasi payudara Penggunaan obat (fenotiazin, antidepresan, haloperidol, metildopa, reserpin, opiat, amfetamin, simetidin)



Gaga! ginjal kronik

• •

Liver disease Polycystic ovarian disease



Gangguan dinding dada

• •

.,

Lesi medula spinalis Riwayat iradiasi kepala

TATALAKSANA 1·2·5 Tata laksana tumor hipofisis harus bersifat komprehensif dan individualistik Tujuan tata laksana meliputi beberapa aspek : 1. Mengontrol manifestasi klinis akibat kelebihan sekresi harmon. 2. Mempertahankan fungsi hipofisis yang normal semaksimal mungkin. 3. Memperbaiki gangguan fungsi hipofisis yang terjadi. 4. Mengendalikan pertumbuhan tumor serta efekmekanikyang ditimbulkan oleh tumor. Beberapa modalitas yang ada adalah tindakan bedah, radioterapi, serta medikamentosa. 1. Tindakan bedah Tindakan operasi (mikro) transfenoid sangat efektifpada 90% kasus dengan angka morbiditas dan mortalitas yang rendah. Tindakan operasi transkranial biasanya dikerjakan pacta tumor dengan perluasan ekstensifke suprasella atau fossa media. Pembedahan atau radioterapi merupakan terapi pilihan pacta tumor hipofisis nonsekretorik Ketelitian saatfollow up pasien sangat penting, terutama yang menjalani operasi pembedahan mikro trans-sfenoid, sebaiknya kontrol dalam 4 - 6 minggu untuk memastikan adenoma tersebut sudah diangkat seluruhnya dan masalah hipersekresi endokrin sudah teratasi. 2. Radioterapi (Stereotactic radio surgery) Radioterapi jarang menjadi pilihan pertama pacta tata laksana tumor hipofisis. Radioterapi saat ini berperan sebagai terapi tambahan pacta pasien adenoma fungsional maupun non fungsional, terutama yang gaga! dengan terapi pembedahan. 3. Medikamentosa Tata laksana medikamentosa dapat menjadi pilihan utama pacta beberapa kasus tumor hipofisis. Prolaktinoma(baik mikroprolaktinoma maupun makroprolaktinoma) -7 agonis dopaminjanalog merupakan terapi lini pertama; yang sering digunakan adalah bromokriptin (per oral1,5- 10 mg dalam dosis terbagi) dan cabergoline. Akromegali-7 pengobatannya terdiri atas tiga golongan, yaitu agonis dopamin (bromokriptin 10- 20 mg p.o tid- qid), analog somatostatin (octreotide 100 j.lg s.c), dan antagonis reseptor harmon pertumbuhan. Meskipun bromokriptin kurang efektifbila dibandingkan dengan octreotide, namun bromokriptin dapat diberikan per oral.

Adenoma Tirotropin -7 dapat digunakan analog somatostatin kerja panjang (octreotide; dosis seperti pad a akromegali)

Penyakit Cushing -7 Ketokonazol, yang menghambat enzim sitokrom P-450 yang terlibat pada biosintesis steroid, efektif dalam penyakit cushing ringansedang, dengan dosis 600- 1200 mg p.o per hari.

PROGNOSIS • Meskipun telah menjalani operasi transfenoid, Penyakit Cushing dapat muncul kembali pada ± 25% pasien. 7 • Insiden (adjusted) dalam 3 tahun untuk terjadinya sindroma metabolik adalah 23,4% pada riwayat Penyakit Cushing vs 9,2% pada riwayat adenoma hipofisis non-functioning (p= 0,01) • Tidak terdapat perbedaan bermakna pada insiden (adjusted) 3 tahun untuk terjadinya penyakit kardiovaskular atau penyakit serebrovaskular, atau diabetes melitus. 8 UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS Pendidikan

: Departemen Mata, Departemen Neurologi, Departemen Bedah Saraf, Departemen Radioterapi



RS non Pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

REFERENSI 1.

Hall JE, Nieman LK. Editors. Contemporary Endocrinology: Handbook of Diagnostic Endocrinology. Humana Press. Totowa, NJ. 2003

2.

Jameson JL Melmed S. Disorders of the Anterior Pituitary and Hypothalamus. In :Longo DL Fauci AS, Kasper DL Hauser SL Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.

3.

Ferri FF. Editor. Ferri's Clinical Advisor, 1'1 ed. Mosby Elsevier. 2009.

4.

McDermott MT. Editor. Endocrine Secrets, 4th edition. Elsevier Mosby.

5.

Rakel RE, Bope ET. Conn's Current Therapy, 601h ed. Saunders Elsevier. 2008

6.

Pituitary Tumor. From: Dynamed. www.searchebscohost.com

7.

J Clin Endocrinol Metab 2009 Jun;94(6):1897.

8.

J Clin Endocrinol Metab 2010 Feb;95(2):630.

OBESITAS

PENGERTIAN Obesitas merupakan suatu keadaan di mana terdapat massa jaringan adiposa yang berlebih. 1 Penyakit ini bersifat multifaktorial dan dapat mengganggu kesehatan. Obesitas dapat juga terjadi secara sekunder akibat adanya penyakit penyebab. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan obesitas adalah defisiensi hormon tiroid (hipotiroidisme ), sindrom ovarium polikistik, sindrom Cushing, kelainan di hipotalamus, dan mutasi genetik. 2 Pacta tahun 2000 WHO membuat klasifikasi berat badan berdasarkan IMT (Indeks Massa Tubuh). Obesitas didefinisikan hila IMT seseorang;:: 30 kg/m 2• Sedangkan wilayah Asia Pasifik pacta saat ini telah mengusulkan kriteria dan klasifikasi obesitas sendiri. 3 PENDEKATAN DIAGNOSIS Diagnosis obesitas ditegakkan dengan cara pengukuran IMT, yaitu berat badan dalam kilogram (kg) dibagi tinggi dalam meter kuadrat (m 2). Pacta pemeriksaan fisik, harus diperiksa tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat badan, tinggi badan, IMT, dan lingkar perut. Berikut adalah klasifikasi berat badan lebih dan obesitas menurut kriteria Asia Pasifik (tabell). Tabel 1. Klasifikasi Beret Badon Lebih dan Obesitas Berdasarkan IMT dan Lingkar Perut Menurut Kriteria Asia Pasifik3 Klasitlkc:JSi ·

Beret Badon Kurang Kisaran Normal Berat Badon Lebih Berisiko Obes Tingkat I Obes Tingkat II

IMT ( kgfm2.)

< 18,5 18,5-22,9 ;e: 23,0 23,0-24,9 25,0-29,9 ;e:30,0

Risiko Ko-Morbiditas . Lingkar Perut* < 90 em ( laki-laki ) ;e: 90 em ( laki-laki ) < 80 em ( perempuan ) 2 80 em ( perempuan ) Rendah (risiko meningkat pada masalah klinis lain ) Sedang Meningkat Moderat Berat

Sedang Meningkat Moderat Berat Sangat Berat

Keterangan : *Lingkar peru! sebaiknya diukur pada pertengahan antara batas bawah iga dan krista iliaka, dengan menggunakan ukuran pita secara horisontal pada saat akhir ekspirasi dengan kedua tungkai dilebarkan 20-30 em.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk menyingkirkan adanya penyakit endokrin lainnya sebagai penyebab obesitas, skrining untuk keadaan komorbid (sindrom metabolik), dan untuk melihat adanya komplikasi dari organ target. 4

TATALAKSANA4·5 Berikut adalah manajemen penanganan obesitas menurut IMT (tabel 2). Tabel 2. Manajemen Penanganan Obesitas berdasarkan IMT' IMT Risiko

23,0-24,9

25,0-29,9

2:30,0

Ringan

Sedang

Be rat

"" "

Nutrisi Aktivitas fisik Terapi perilaku Medikasi Pembedahan

" " -.J

-.J·

-.J -.J -.J -.J -.J•

Keterangan: *Do pat dipertimbangkan apabila terdapat faktor risiko atau berat badan gaga I terkontrol dengan modifikasi gaya hidup

Nonfarmakologis



Perubahan gaya hidup Terapi diet: Bertujuan membuat defisit kalori sebesar 500- 1000 kkaljhari Aktivitas fisik : Program aktivitas fisik harus dibuat berdasarkan status kesehatan dan kondisi fisik pasien. Perlu juga diperhatikan asupan cairan pasien sebelum, saat, dan sesudah melakukan aktivitas fisik Pada tahap awal dapat melakukan aktivitas fisik sedang selama 30 - 45 menit sehari, sebanyak 3 - 5 kali seminggu. Aktivitas fisik dapat ditingkatkan sesuai kemampuan pasien. Pasien juga harus melakukan latihan kekuatan otot dengan 1 - 3 set latihan untuk otot-otot utama setidaknya dua kali dalam seminggu.



Terapi perilaku

Farmakologis

Orlistat Pembedahan

Indikasi: BMI

~

35 kg/m 2 ; adanya satu atau lebih penyakit komorbid yang dapat

teratasi secara signifikan dengan penurunan berat badan (imobilitas, artritis, DM Tipe 2); berat badan tidak dapat dikontrol setelah dilakukan pengontrolan diet, aktivitas fisik, terapi perilaku dan obat-obatan.

Endatang

J

~ Pemeriksaan BMI ~ 23 Kg/m 2

BMI ~ 30 kg/m2 atau {[BMI 23-29,9 atau LP > 80 em (W), > 90 em (P)] dan~ 2 faktor risiko

Nilai faktor risiko

~ BMI dihitung dalam 2 tahun terakhir

Ya

~

-

Hitung berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang (LP), kemudian hitung BMI

~ Tidak

Ya

Hitung berat badan, tinggi badan, lingkar pinggang (LP), kemudian hitung BMI

Apakah pasien ingin menurunkan berat badanya?

lya

___:__

~

1-

Ya

i Tidak Edukasi pengontrolan berat badan

Pengukuran berat, lingkar pinggang, dan BMI seeara periodik

I

o(

Tidak

Dokter dan pasien menentukan tujuan serta strategi penurunan berat badan dan pengontrolan faktor risiko

Perkembangan terapi/ apakah tujuan tereapai

BMI < 23 Kg/m 2

I

~

Ya

Ya

Sarankan untuk pertahankan berat badan

1

Tidak

Konseling, terapi diet, terapi perilaku, aktifrtas frsik

Gombar 1. Algoritma Penanganan Obesitas dan Overweight 4

Nilai penyebab kegagalan pengontrolan berat badan

KOMPLIKASI Peningkatan angka mortalitas, ctisabilitas, morbictitas, peningkatan risiko penyakit karctiovaskular, peningkatan risiko DM tipe 2, peningkatan risiko kanker, ctemensia, peningkatan risiko GERD, batu saluran empectu, penyakit hati, penyakit ginjal kronik, batu ginjal, infertilitas pacta laki-laki, low back pain, fraktur, osteoartritis. 1 •2

PROGNOSIS Tiap peningkatan 5 kg/m 2 pacta BMI > 25 kg/m 2 berhubungan ctengan peningkatan risiko kematian sebesar 30%. 5

UNITY ANG MENANGANI •

RS penctictikan

: Divisi Metabolik Enctokrin - Departemen Penyakit Dalam



RS non penctictikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS Penctictikan

: Semua Divisi cti lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Rehabilitasi Mectik, Departemen Gizi, Departemen Bectah



RS non Penctictikan

REFERENSI 1.

Flier J, Maratos-Fiier M. Biology of Obesity: Introduction. In : Longo DL. Fauci AS, Kasper DL. Hauser SL, Jameson JL. Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.

2.

Sugondo S. Obesitas. Dalam: Alwi I. Setiati S, Setiyohadi B. Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid Ill Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010:1973-1983.

3.

National Heart Lung and Blood Institute. Executive summary of the clinical guidelines on the identification, evaluation. and treatment of overweight and obese adults. Arch Intern Med. 1998 Sep 28;158(17):1855-67.

4.

Badarsono S, Moersadika N, Purnamasari D, Sukardji K, Tahapary D. Identification, Evaluation and Treatment of Overweight and Obesity in Adults: Clinical Practice Guidelines of the Obesity Clinic, Wellnes Cluster Cipto Mangunkusumo Hospital. Jakarta, Indonesia.

5.

National Task Force on the Prevention and Treatment of Obesity. Medical care for obese patients: advice for health care professionals. Am Fam Physician. 2002 Jan 1;65( 1) :81-8.

6.

Institute for Clinical Systems Improvement. Prevention and Management of Obesity (Mature Adolescent and Adults). 5'h ed. Bloomington. MN; Institute for Clinical Systems Improvement. April 2011

/

• • ~. ,;§%>;·''

~--~--

PENATALAKSANAAN Dl BIDING ILMU PENYAKIT DALAM

PANDOAN PRAKTIK KLINIS

-~

~

~'-~'A~

"'~.

\

""

Sf' •i'j~

'%•.<..·••.. :·. . '.;··~~--· - 1,·~.· :~ )~ :

i

-

-'1:::

··:C...

II

I (!

14"'~,

!'·

'

'--·

I

Diare Kronik .................................r······~···1'1'7~~···r·r::;:->_:_······· Gastroesophageal Reflux Dise

DIARE KRONIK

PENGERTIAN

Diare kronikadalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari sejakawal diare. Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan: 1 1. Lama waktu: akut atau kronik

2. Mekanisme patofisiologi: sekretorik, osmotik, dll 3. Berat ringannya diare: ringan atau berat 4. Penyebab infeksi atau tidak: infektif atau non-infektif 5. Penyebab organik atau tidak: organik atau fungsional PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 1

1. Waktu dan frekuensi diare

2. Bentuk tinja 3. Keluhan lain yang menyertai seperti nyeri abdomen, demam, mual muntah, penurunan berat badan 4. Obat-obatan: laksan, antibiotika, imunospresan, dll 5. Makananjminuman Pemeriksaan Fisik1

Keadaan umum, status dehidrasi Pemeriksaan Penunjang 1



Pemeriksaan tinja, darah, urin



Pemeriksaan anatomi usus sesuai indikasi: Barium enema/ colon in loop (didahului BNO), Kolonoskopi, ileoskopi, dan biopsi, barium follow through atau enteroclysis, USG abdomen, CT Scan abdomen



Fungsi usus dan pankreas: tes fungsi pankreas, CEA dan CA 19-9.

PandUIIJ_, _~

'Pe.rhimpu~a~. ~o"'te(~peslalis"P~ollokit: pOiprll

I:Panduan Praktik Klinis Tabell. Diagnosis Banding Penyebab Tersering Diare Kronis di lndonesia 1 Etiologi Tersering

Anamnesa

Pemeriksaan Fisik

Penunjang

·--"

lnfeksi

Disertai gejala demam dan mual muntah

Sesuai dengan etiologi infeksi

Pemeriksaan tinja: leukosit(+) Darah: leukositosis

Malabsorpsi lemak

Riwayat reseksi usus. Diare membaik setelah puasa. Tinja mengambang pada air toilet

Bila berat: malnutrisi

Pemeriksaan tinja ; berwarna muda, bau busuk, ph > 6,8, tes sudan (+), jumlah lemak > 14gram/24 jam

Malabsorbsi karbohidrat

Riwayat makan makanan yang mengandung laktosa (susu), sorbitol (pemanis buatan), Disertai gejala kembung, kram abdomen, dan flatus fruktosa (sirup jagung). Tinja mengambang pada air toilet, dan berbau asam.

Bila berat: malnutrisi

Pemeriksaan tinja: amilum(+), pH <5,5, tes reduksi (+),

Sind rom a usus iritabel

Diare pada pagi hari berhubungan dengan stress, berselang antara konstipasi dan diare. Banyak keluhan menyertai seperti perut begah, mual, nyeri daerah anus setelah defekasi, sendawa

Keadaan umum baik, dehidrasi (-)

Pemeriksaan tinja: darah samar(+), tes phenolphthalein (+),

Karena obat-obatan

Diare berhenti dengan dihentikannya obat

BisacodyL anthraquinon, phenolphthalein: pemeriksaan kromatografr lapis tip is

Keganasan

Disertai gejala demam, darah menyertai tinja normal, disertai nyeri abdomen terus menerus

Pemeriksaan tinja: eritrosit (+) Darah ; eusinofrlia Petanda tumor

Kelainan endokrin

Tiroroksikosis: Berdebar-debar, tremor/gemetaran

Tirotoksikosis: BB turun, suhu naik, pembesaran kelenjar tiroid, tremor

Tirotoksikosis Darah: TSH, T3 uptake, FT4

DIAGNOSIS BANDING

Penyebab tersering diare kronis di Indonesia dapat dilihat pada tabel 1. TATALAKSANA Nonfarmakologis

Seperti tatalaksana pada diare umumnya. Untuk lebih lengkap dapat dilihat pada tabel diare infeksi.

I

I

DIARE KRONIS

Kecuali masalah iatrogenik: pengobatan, bedah

Darah per rektum

Gambaran feses, curiga malabsorpsi

Kolonoskopi + biopsi

Usus halus: pencitraan, biopsL aspirasi

Nyeri memburuk sebelum BAB, hilang dengan BAB, perasaan defekasi tidak tuntas

l

Curiga IBS

Darah (-), malabsorbsi

J

Pertimbangkan diare fungsional

Terbatas untuk penyakit organik

Darah (-), Pengecualian diet: sorbitol, laktosa

Gamber 1. Manajemen Diare Berdasarkan Gejala Penyerta 3

I

1

I

I I

Kolonoskopi + biopsi

I

1

Terbatas

I

Hb dan albumin rendah, MCV & MCH abnormal, banyak lemak pada feses

I

I

DIARE KRONIS

I

I

Rendah K+

Semua tes penapisan normal

I Volume feses, osmolaritas, pH: laxative screen; hormonal screen

Usus kecil: X-ray, biopsL aspirasi ; lemak feses 48 jam

I

Lemak feses >20 g/harL fungsi pankreas

Normal dan lemak feses < 14g/hari

I Reaksi opioid + tindak lanjut

I Diare kronik persisten

I

I

I

S;>

1rans1r usus penuh

J

I +Titrasi terapi untuk mempercepat transit

Gamber 2. Algoritma Pendekatan Diagnosis Diare Kronis Berdasarkan Laboratorium Sederhana 3

Farmakologis

Pengobatan diare kronik ditujuan terhadap penyakit yang mendasari. Sejumlah obat anti diare dapat digunakan pada diare kronik. Opiat mungkin dapat digunakan 2

dengan aman pada keadaan gejala stabil. 1. Loperamid: 4 mg dosis awal, kemudian 2 mg setiap mencret. Dosis maksimum 16 mg/hari. 2. Kodein: Karena memiliki potensi adiktif, obat ini sebaiknya dihindari, kecuali pada keadaan diare yang menetap. Kodein dapat diberikan dengan dosis 15-60 mg setiap 4 jam. Paregoric diberikan 4-8 ml. 3. Klonidin: p2 adrenergic agonis yang menghambat sekresi elektrolit intestinal. Diberikan 0,1-0,2 mgjhari selama 7 hari. Bermanfaat pada pasien dengan diare sekretorik, kriptosporodiosis dan diabetes. 4. Octreotide: Suatu analog somatostatin yang menstimulasi cairan instestinal dan absorbsi elektrolit dan menghambat sekresi melalui pelepasan peptida gastrointestinal. Berguna pada pengobatan diare sekretori yang disebabkan oleh Vipoma dan tumor carcinoid dan pad a beberapa kasus diare kronik yang berkaitan dengan AIDS. Dosis efektif 50mg -250mg subkutan tiga kali sehari. 5. Cholestiramin: mengikat garam empedu dan mencegah reabsorsinya, berguna pada pasien diare sekunder karena garam empedu akibat reseksi intestinal atau penyakit ileum. Dosis 4 gr 1 sjd 3 kali sehari. 6. Atapulgit, biasanya dosis yang diberikan 3x2 tablet selama diare. KOMPLIKASI

Dehidrasi sampai syok hipovolemik, sepsis, gangguan elektrolit, dan asam basaj gas darah, gagal ginjal akut, kematian 1 PROGNOSIS

Prognosis diare kronik ini sangat tergantung pada penyebabnya. Prognosis baik pada penyakit endokrin. Pada penyebab obat-obatan, tergantung pada kemampuan 2 untuk menghindari pemakaian obat-obat terse but. UNIT YANG MENANGANI

• •

RS pendidikan RS non pendidikan

: Divisi Gastroentero-Hepatologi- Departemen Penyakit Dalam : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

• •

RS pendidikan: Departemen Bedah Digestif, /CU j Medical High Care RS non pendidikan: ICU, Bagian Bedah

REFERENSI 1.

Kolopaking SM. Pendekatan Diagnostik Diare Kronik. Dalam Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010:534-559.

2.

McQuaid K. Chronic Diarrhea. In Lawrence M (Eds). Current Medical Diagnosis & Treatment 37th Ed. Prentice Hall International Inc, 1998: 544

3.

Camilleri M, Murray JA. Diarrhea and Constipation. Dalam: Fauci A. Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012. Chapter 40, p308.

171

GASTROESOPHAGEAL REFLUX DISEASE (GERD)

PENGERTIAN

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) merupakan suatu keadaan patologis

sebagai akibat refluks kandungan lam bung ke dalam esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esophagus, laring, dan saluran nap as; akibat kelemahan otot sfingter esofagus bagian bawah (LESjLower Esophageal Sfingter). Refluks dapat terjadi melalui 3 mekanisme yaitu refluks spontan pada saat relaksasi LES, aliran balik sebelum kembalinya tonus LES setelah menelan, meningkatnya tekanan dalam 1,2 a bd omen. Faktor risiko terjadinya refluks esofagus yaitu alkohol, hernia hiatus, obesitas, kehamilan, skleroderma, rokok, obat-obatan seperti antikolinergik, beta blocker, 3

bronkodilator, Calcium channel blockers, progestin, sedatif, antidepresi trisiklik. Terdapat dua kelompok pasien GERD yaitu pasien dengan esofagitis erosif yang ditandai dengan adanya mucosal break diesofagus pad a pemeriksaan endoskopi (GERD) dan pasien GERD yang pada pemeriksaan endoskopi tidak ditemukan mucosal break 4 (non erosive reflux diseasejNERD). PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Dari anamnesis dapat ditemukan keluhan seperti: •

12 , .4

Keluhan paling sering: merasakan adanya makanan yang menyumbat di dada, nyeri seperti rasa terbakar di dada yang meningkat dengan membungkukkan badan, tiduran, makan; dan menghilang dengan pemberin antasida, non cardiac chest pain (NCCP).



Keluhan yang jarang dikeluhkan: batuk atau asma, kesulitan menelan, hiccups, suara serak atau perubahan suara, sakit tenggorokan, bronchitis



Pada anamnesis juga perlu ditanyakan riwayat pemakaian obat-obatan.

Pemeriksaan Fisik

Pad a pemeriksaan fisik tidak ada yang khas untuk GERD. Pada pemeriksaan laring dapat ditemukan inflamasi yang mengindikasikan GERD. Pemeriksaan Penunjang

Jika keluhan tidak berat, jarang dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan 34 dilakukan jika keluhan berat atau timbul kembali setelah diterapi. ' •

Esophagogastroduodenoscopy (EGD): melihat adanya kerusakan esofagus



Barium meal: melihat stenosis esofagus, hiatus hernia.



Continuous esophageal pH monitoring: mengevaluasipasien GERDyang tidak respon

dengan PPI (proton pump inhibitor), evaluasi pasien-pasien dengan gejala ekstra esophageal sebelum terapi PPI, memastikan diagnosis GERD sebelum operasi anti refluks atau mengevaluasi NERD berulang setelah operasi anti refluks. •

Manometri esofagus: mengevaluasi pengobatan pasien NERD dan untuk tujuan penelitian.



Stool occult blood test: untuk melihat adanya perdarahan dari iritasi esofagus,

lambung, atau usus. •

Pemeriksaan histopatologis: menentukan adanya metaplasia, displasia, atau keganasan.

DIAGNOSIS BANDING2

• Dispepsia • Ulkus peptikum • Kolik bilier • Eosinophilic esophagitis • Infeksi esofagitis • Penyakit jantung koroner • Gangguan motilitas esofagus . TATALAKSANA Nonfarmakologis2

1. Modifikasi gaya hidup, menghentikan obat-obatan (anti kolinergik, teofilin) dan mengurangi makan makanan yang yang dapat menstimulasi sekresi asam seperti kopi, mengurangi coklat, keju dan minuman bersoda. 2. Menaikkan posisi kepala saat tidur jika keluhan seringkali dirasakan pada malam hari. 3. Makanan selambat-lambatnya 2 jam sebelum tidur.

Farmakologis 2.4 1. Histamine type-2 receptor antagonists (H 2 RAs)

2. Proton pump inhibitors (PPis): umumnya diberikan selama 8 miggu dengan dosis ganda. 3. Untuk NERD, terapi inisial dengan dosis stan dar selama 8 minggu lalu diberikan pada saat keluhan timbul dan dilanjutkan sampai keluhan hilang.

3

4. Antasida hanya untuk mengurangi gejala yang timbul

Tindakan invasif3.4 1.

Pembedahan anti refluks: Laparoscopic Nissen fundoplication

2.

Terapi endoskopi: radiofrequency ablation, endoscopic suturing, endoscopic

implantation, endoscopic gastroplasty

KOMPLIKASI Refluks esofagus dapatmenimbulkan komplikasi esofagus maupun ekstra esofagus. •

Komplikasi esofagus: striktur; ulkus, Barrett's esophagus bahkan adenokarsinoa di kardia dan esofagus.



12 '

Komplikasi ekstra esofagus: asma, bronkospasme, batuk kronik atau suara serak, masalah gigi,

3

PROGNOSIS Pengobatan dengan penghambatsekresi as am lam bung dapatmengurangi keluhan, derajat esofagitis dan perjalanan penyakit. Risiko dari striktur menjadi Barrett's esophagus atau adenokarsinoma yaitu 6% dalam 2-20 tahun pada kasus.

3

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Gastroentero-Hepatologi- Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Divisi Bedah Digestif- Departemen Bedah, ICUjMedical

High Care •

RS non pendidikan

: Bagian Bedah

Gostroesophag:§"~t&~~;Oux Disease -- __ :~:-~I~,:~-;",-.•. -~- -·-~:. . . . .

(GERD)

REFERENSI 1.

Makmun D. Penyakit Refluks Gastroesofageal. Dalam: Sudoyo AW, et al editor. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam jilid I edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. him 317-321.

2.

Kahrilas PJ. Esophageal Structure and Function.ln: Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J,Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.

3.

Longstreth GF. Gastroesophageal reflux disease. ln. Peptic esophagitis; Reflux esophagitis; GERD: Heartburn- chronic; Dyspepsia- GERD. 2011. Diunduh dari http:// www.ncbi. nlm.nih.gov /pubmedhealth/ PMH00013ll / pad a tanggal 7 Mei 2012.

4.

Kelompok Studi GERD Indonesia. Konsensus Nasional: Penatalaksanaan Penyakit Refluks Gastroesofageal di Indonesia. Perkumpulan Gastroenterologi lndonesia.2004.

HEMATEMESIS MELENA

PENGERTIAN Hematemesis adalah muntah darah kehitaman yang merupakan indikasi adanya perdarahan saluran cerna bagian atas atau proksimalligamentum Treitz. Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA), terutama dari duodenum dapat pula bermanifestasi dalam bentuk keluarnya darah segar per anum bila perdarahannya banyak. Melena (feses berwarna hitam) biasa berasal dari perdarahan SCBA, walaupun perdarahan usus halus dan bagian proksimal kolon dapat juga bermanifestasi dalam bentuk melena. 1

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 1·2

1. Jumlah, warna, perdarahan

2. Riwayat konsumsi obat NSAID jangka panjang 3. Riwayat merokok, pecandu alkohol 4. Keluhan lain seperti mual, kembung, nyeri abdomen, dll Pemeriksaan Fisik1. 2

Memeriksa status hemodinamik: 1. Tekanan darah dan nadi posisi baring

2. Perubahan ortostatik tekanan darah dan nadi 3. Ada tidaknya vasokonstriksi perifer (akral dingin) 4. Kondisi pernapasan 5. Produksi urin Pemeriksaan Penunjang 1·2

1. Laboratorim: darah lengkap, elektrolit, fungsi hati, masa pembekuan dan perdarahan, petanda virus hepatitis, ratio BUN/Kreatinin 2. Radiologi: OMD

(Oe~ophagus

3. Endoskopi saluran cerna

l'r!!!!!!s!!!!!I~!!!~!!o

Maag Duodenum) jika ad aindikasi

Tabel 1. Keparahan perdarahan saluran cerna bagian atas berdasarkan skor GlasgowBlatchford (Modifikasi) 3 Penanda Risiko

.NUai

Skor

Urea darah (mmoi/L)

> 6,5-7,9 8-9,9 10-24,9 2:25

2 3 4 6

2:12-13 10-11,9 <10

1 3 6

Perempuan

2:10-12 <10

1 6

Tekanan darah Sistolik

100-109 90-99 <90

1 2 3

Laju Nadi

2: 100

Hemoglobin (gr/dl) Lelaki

Datang dengan Melena

1

Datang dengan Sinkop

2

Penyakit Hati

2

Gagal Jantung

2

Keterangan: Skor 0: risiko minimal akan membutuhkan intervensi seperti transfusi, endoskopi at au pembedahan. do pat dipulangkan dini at au rawat jolon Skor I - 5: memiliki risiko yang meningkat membutuhkan intervensi Skor ~ 6: memiliki risiko > 50% akan membutuhkan intervensi

Tabel2. Beberapa Etiologi Hematemesis Melenau

Efiologi tersering

Anamnesis

. Pemerlksaan flslk

Pemeriksaan penunjang

Ulkus duodenum

Hematemesis-melena nyeri epigastrium berkaitan dengan makan, sekitar 3 jam setelah makan (ulkus duodenum klasik membaik oleh makanan, sedangkan ulkus lambung diperburuk oleh itu), perut kembung dan begah, mual, dan muntah berlebihan, kehilangan nafsu makan dan penurunan berat badan, riwayat penggunaan NSAID jangka panjang.

Nyeri tekan epigastrium

Gastroduodenoskopi tampak ulkus

Pecahnya Varises esofagus

Hematemesis, melena, Nyeri epigastrium seperti terbakar, Riwayat hepatitis, riwayat peminum alkohol be rat.

Asites, edema perifer, penurunan tekanan darah, anemia, spider navL eritema palmaris

Darah: anemia, leukopenia, trombositopenia, OT/PT meningkat. hipoalbumin, PIT memanjang, petanda serologi virus hepatitis. Oesophagus maag duodenum, endoskopi saluran cerna atas

Etiologi tersering Gastritis erosif

Anamnesis Hematemesis, melena, riwayat perokok, pecandu alkohol, riwayat makan obat NSAID jangka panjang

· Pemerli<saan tlsik Nyeri tekan epigastrium ringan

Pemerii<Saan penunjang Gastroduodenoskopi tampak mukosa sembab, merah, mudah berdarah atau terdapat perdarahan spontan, erosi mukosa yang bervariasi.

DIAGNOSIS BANDING . 1 Hemoptoe, hematokezta. TATALAKSANA Stabilisasi hemodinamik4 ·5 1. Jaga patensi jalan napas 2. Suplementasi oksigen 3. Akses intravena 2 line dengan jarum besar, pemberian cairan Normal Saline atau Ringer Laktat 4. Evaluasi laboratorium : waktu koagulasi, Hb, Ht, serum elektrolit, ratio Blood Urea Nitrogen (BUN) : serum kreatinin 5. Pertimbangkan transfusi Packed Red Cell (PRC) apabila kehilangan darah sirkulasi > 30% atau Ht < 18% (atau menurun >6%) sampai target Ht 20-25% pada dewasa muda atau 30% pada dewasa tua 6. Pertimbangkan transfusi Fresh Frozen Plasma (FFP) atau trombosit apabila INR >1,5 a tau trombositopeni 7. Pertimbangkan Intersive Care Unit (ICU) apabila : a. Pasien dalam keadaan syok b. Pasien dengan perdarahan aktif yang berlanjut c. Pasien dengan penyakit komorbid serius, yang membutuhkan transfusi darah multi pel, atau dengan akut abdomen Nonfarmakoiogis Balon tamponade untuk menghentikan perdarahan varises esophagus. 1 Farmakologis1



Transfusi darah PRC (sesuai perdarahan yang terjadi dan Hb). Pada kasus varises transfusi sampai dengan Hb 1Ogr%, pada kasus non varises transfusi sampai dengan Hb 12gr%. Bila perdarahan berat (25-30%), boleh dipertimbangkan transfusi whole blood.



Semen tara menunggu darah dapat diberikan pengganti plasma (misalnyadekstran/ hemacel) atau NaCl 0,9% atau RL



Untuk penyebab non varises : 1. Penghambat pompa proton dalam bentuk bolus maupun drip tergantung kondisi pasien jika tidak ada dapat diberikan Antagonist HZ reseptor. 2. Sitoprotektor: Sukralfat 3-4 x 1 gram atau Teprenon 3 x 1 tab atau Rebamipide 3x100 mg 3. Injeksi vitamin K3x1 ampul, untuk pasien dengan penyakit hati kronis atau sirosis hati



Untuk penyebab varises : 1. Somatostatin bolus 250 ug + drip 250 mcgjjam intravena atau okreotide

(sandostatin) 0,1 mg/2 jam. Pemberian diberikan sampai perdarahan berhenti atau bila mampu diteruskan 3 hari setelah skleroterapi/ligasi varises esofagus. 2. Vasopressin : sediaan vasopressin 50 unit diencerkan dalam 100 ml dekstrosa 5%, diberikan 0,5-1 mgjmenit iv selama 20-60 menit dan dapat diulangtiap 3-6 jam; atau setelah pemberian pertama dilanjutkan per infuse 0,1-0,5 Ujmenit. Pemberian vasopressin disarankan bersamaan dengan preparan nitrat misalnya nitrogliserin iv dengan dosis awal 40 mcgfmenit lalu titrasi dinaikkan sampai maksimal400 mcgfmenit. Hal ini untuk mencegah insufisiensi aorta mendadak. 3. Propanolol, dimulai dosis 2 x 10 mg dosis dapat ditingkatkan hingga tekanan diastolik turun 20 mmHg atau denyut nadi turun 20% (setelah keadaan stabil hematemesis melena (-) 4. Isosorbid dinitratjmononitrat 2 x 1 tabletjhari hingga keadaan umum stabil 5. Metoklorpramid 3 x 10 mgjhari Bila ada gangguan hemostasis obati sesuai kelainan Pada pasien dengan pecah varisesjpenyakit hati kronik/sirosis hati dapat ditambahkan : a. Laktulosa 4 x 1 sendok makan b. Antibiotika ciprofloksacin 2x500 mg atau sefalosporin generasi ketiga. Obat ini diberikan sampai konsistensi dan frekuensi tinja normal.

HEMOSTASIS ENDOSKOPI • Untuk perdarahan non varises: Penyuntikan mukosa disekitar titik perdarahan menggunakan adrenalin 1: 10000 sebanyak 0,5-1 ml tiap kali suntik dengan batas do sis 10 mi. Penyuntikan ini harus dikombinasi dengan terapi endoskopik lainnya seperti klipping, termo koagulasi atau eleltro koagulasi. • Untuk perdarahan varises: dilakukan ligasi atau sklerosing

TATALAKSANA RADIOLOGI Terapiangiografi perlu dipertimbangkan bila perdarahan tetap berlangsung dan belum bisa ditentukan asal perdarahan. Pada varises dapat dipertimbangkan TIPS {Transjugular Intrahepatic Portosystemic Shunt). Pada keadaan sumber perdarahan yang tidak jelas dapat dilakukan tindakan arteriografi. Prosedur bedah dilakukan sebagai tindakan emergensi atau elektif. KOMPLIKASI Syok hipovolemik, pneumonia aspirasi, gagal ginjal akut, sindrom hepatorenal, koma hepatikum, anemia karena perdarahan 1 PROGNOSIS Pada umumnya penderita dengan perdarahan SCBA yang disebabkan pecahnya varises esofagus mempunyai faal hati yang burukjterganggu sehingga setiap perdarahan baik besar maupun kecil mengakibatkan kegagalan hati yang berat. Banyak faktor yang mempengaruhi prognosis penderita seperti faktor umur, kadar Hb, tekanan darah selama perawatan, dan lain-lain. Mengingat tingginya angka kematian dan sukarnya dalam menanggulangi perdarahan saluran makan bagian atas maka perlu dipertimbangkan tindakan yang bersifat preventif terutama untuk mencegah terjadinya terjadinya pecahnya varises pada pasien. UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Gastroentero-Hepatologi- Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan

: Divisi Hematologi- Onkologi Medik- Departemen Penyakit Dalam, Divisi Bedah Digestif- Departemen Bedah, ICU/ Medical High Care



RS non pendidikan

: ICU, Bagian Bedah

REFERENSI 1.

Adi P. Pengelolaan Perdarah saluran Cerna Bagian Atas. Dalam Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010:447-452.

2.

Cirrhosis and its Complications, Peptic Ulcer Disease and Related Disorders. Dalam: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2011

3.

Stephens JR, Hare NC, Warshow U, Hamad N, Fellows HJ, Pritchard C, Thatcher P, Jackson L, Michell N, Murray lA, Hyder Hussaini S, Dalton HR. Management of minor upper gastrointestinal haemorrhage in the community using the Glasgow Blatchford Score. Eur J Gastroenterol Hepatol. 2009;21 (12):1340-6.

4.

Zuccaro G Jr. Management of the adult patient with acute lower gastrointestinal bleeding. American College of Gastroenterology. Practice Parameters Committee. Am J Gastroenterol. 1998;93(8) :1204.

5.

Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Management of acute upper and lower gastrointestinal bleeding. A national clinical guideline. SIGN publication; no. 1OS. Edinburgh (Scotland): Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN); 2008

HEMATOKEZIA

PENGERTIAN Hematokezia merupakan suatu gejala perdarahan gastrointestinal, yaitu keluarnya darah segar atau merah marun dari rektum. 1 Hematokezia lebih sugestif ke arah perdarahan saluran cerna bagian bawah (SCBB), namun pada 10% kasus, dapat juga berasal dari perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) yang masif.2 Apabila hematokezia merupakan gejala klinis dari perdarahan SCBA, maka akan terjadi instabilitas hemodinamik dan terjadi penurunan hemoglobin. 1 Evaluasi diagnostik perdarahan SCBB lebih sulit secara signifikan dibandingkan dengan perdarahan SCBA. Hal ini disebabkan oleh: 1) lokasi perdarahan dapat terjadi di traktus gastrointestinal manapun, 2) perdarahan seringkali bersifat intermitent (hilang-timbul), 3) bukti adanya perdarahan aktifmungkin tidak jelas sampai perdarahan berhenti, dan 4) operasi kegawatdaruratan mungkin dibutuhkan untuk diagnosis spesifik dan lokalisasi perdarahan. 3

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik Anamnesis dan pemeriksaan fisik biasanya tidak dapat mendiagnosis sumber perdarahan. Endoskopi merupakan pilihan pemeriksaan pada pasien dengan perdarahan SCBA dan sebaiknya dilakukan secepatnya pada pasien dengan instabilitas hemodinamik (hipotensi, takikardi, atau perubahan postural nadi dan tekanan darah).l

DIAGNOSIS BANDING Tabel 1. Diagnosis Banding Perdarahan SCBB berdasarkan Karakteristik Klinis 4·5 Etlologl

· Karakterlstlls Klinis

Frekuensi (%)

Perdarahan divertikular

Akut, berat, perdarahan tanpa nyeri pada suspek atau diketahui menderita penyakit divertikular

17-40

Angiodisplasia

Rekuren, episode perdarahan tanpa nyeri; dapat menjadi kronik dan timbul anemia defisiensi Fe

2-30

Etiologi Kolitis • Kolitis iskemik

Kcuakteristik. Kiln is

Frekuensi (%)

Self-limited, diare berdarah diikuti dengan nyeri perut akut bagian bawah pada pasien dengan faktor risiko jantung

• Kolitis infeksius

Diare berdarah disertai demam, dan risiko diet tinggi atau penggunaan antibiotik sebelumnya

• Penyakit Crohn

Diare berdarah disertai berat badan turun dan nyeri perut rekuren

9-21

Karsinoma kolon

Lambat, perdarahan kronis dengan perubahan polo BAB atau anemia defisiensi Fe

11-14

Pasco polipektomi atau perdarah an pasco biopsi endoskopik

Perdarahan self-limited yang terjadi dalam 30 hari setelah polipektomi atau biopsi sebelumnya

11-14

Hemoroid

Perdarahan yang terkait dengan pergerakan BAB dan pruritus ani; umumnya tidak nyeri, tapi dapat juga nyeri pada trombosis hemoroid

4-10

Perdarahan SCBA

Meningkatnya BUN terhadap ratio kreatinin, atau terdapat aspirasi darah (+) pada NGT

0-11

Pemeriksaan Penunjang 1·3A



Laboratorium: darah lengkap, elektrolit, koagulasi, golongan darah



Kolonoskopi: Merupakan pemeriksaan penunjang diagnostik utama terpilih pada penderita perdarahan SCBB. Selama prosedur berlangsung, operator dapat mengevaluasi perubahan mukosa kolon, patologi infeksius, kolitis, dan perubahan iskemik untuk menyingkirkan diagnosis banding. Sebaiknya dilakukan dalam 12-48 jam saat gejala pertama kali muncul, dan setelah dilakukan persiapan bilas kolon (1 L polyethylene glycol solution tiap 30-45 menit selama sedikitnya 2 jam atau sampai cairan jernih)



Pencitraan radionuklir (Blood pool scan): Dilakukan apabila kolonoskopi gagal mengidentifikasi lokasi sumber perdarahan.



Angiografi: Injeksi zat kontras ke dalam arteri mesenterika superior dan inferior dan cabang-cabangnya untuk menentukan lokasi perdarahan.

TATALAKSANA Penatalaksanaan perdarahan SCBB memiliki 3 komponen yaitu: 1•2•4 1. Resusitasi dan penilaian awal 2. Identifikasi sumber perdarahan ~ dengan pemeriksaan penunjang terse but diatas 3. Intervensi terapeutik untuk menghentikan perdarahan

a.

Endoskopi: injeksi epinefrin, elektrokauter, pemasangan endoklip, lem fibrini

b. Angiografi: infus vasopresor intra-arterial, embolisasi c.

Bedah: apabila diperlukan transfusi dalam jumlah besar (contoh: >4 unit PRC dalam 24 jam), instabilitas hemodinamik yang tidak merespon terapi medis, perdarahan berulang yang tidak merespon terapi, perdarahan divertikular ;:: 2 episode

Resusitasi dan penilaian awal

Resusitasi -7 lihat klasifikasi syok hipovolemik dan penanganannya pada bab Hematemesis - Melena Protokol Penilaian Awal 6 • Pertimbangkan rawat jalan denganfollow-up apabila: Usia < 60 tahun Tidak ada tanda gangguan hemodinamik (sistolik;:: 100 mmHg, nadi < 100 xjmenit) Tidak ada tanda perdarahan rektal yang terlihat jelas Sumber perdarahan jelas pada pemeriksaan rektalj sigmoidoskopi •

Pertimbangkan rawat inap dan endoskopi dini apabila: Usia;:: 60 tahun (semua pasien > 70 tahun harus dirawat) Ada tanda gangguan hemodinamik (sistolik < 100 mmHg, nadi;:: 100 xjmenit) Adanya tanda perdarahan per rektal yang terlihat jelas (gross rectal bleeding) Riwayat konsumsi aspirin atau NSAID Memiliki penyakit komorbid

KOMPLIKASI

Syok hipovolemik, gagal ginjal akut, anemia karena perdarahan PROGNOSIS

Meskipun sebagian besar perdarahan divertikular bersifat self-limited dan sembuh spontan 7•8 , hilangnya darah bersifat masif dan cepat pada 9-19% pasien. 9•10 Pada pasien dengan penyakit komorbid, malnutrisi, a tau penyakit hati, memiliki prognosis buruk. 5 Penggunaaan aspirin dan NSAID berkaitan erat dengan meningkatnya risiko perdarahan divertikular (odds ratio= 1,9-18,4)_11 UNIT YANG MENANGANI



RS pendidikan

: Divisi Gastroentero-Hepatologi- Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

Hematokezia UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Divisi Hematologi - Onkologi Medik - Departemen Penyakit Dalam, Divisi Bedah Digestif- Departemen Bedah, ICUjMedical High Care



RS non pendidikan

: ICU, Bagian Bedah

REFERENSI 1.

Laine L. Gastrointestinal Bleeding. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine 18th Edition. New York: McGrawHill. 2012.

2.

Bjorkman D. Gastrointestinal Hemorrhage and Occult Gastrointestinal Bleeding. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine 23rd Edition. Philadelphia: Saunders, Elsevier. 2008.

3.

Currie G, Towers P, Wheat J. Improved Detection and Localization of Lower Gastrointestinal Tract Hemorrhage by Subtraction Scintigraphy: Phantom Analysis. J Nucl Med Technol 2006; 34:160--8.

4.

Wilkins T, Baird C, Pearson AN, Schade RR. Diverticular bleeding. Am Fam Physician. Nov 1 2009;80(9) :977-83

5.

Zuccaro G Jr. Management of the adult patient with acute lower gastrointestinal bleeding. American College of Gastroenterology. Practice Parameters Committee. Am J Gastroenterol. 1998;93(8):1204.

6.

Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN). Management of acute upper and lower gastrointestinal bleeding. A national clinical guideline. SIGN publication; No. 105. Edinburgh (Scotland): Scottish Intercollegiate Guidelines Network (SIGN): 2008,

7.

Stallman NH, Raskin JB. Diagnosis and management of diverticular disease of the colon in adults. Ad Hoc Practice Parameters Committee of the American College of Gastroenterology. Am J Gastroenterol. 1999;94(11 ):3110-21.

8.

McGuire HH Jr. Bleeding colonic diverticula. A reappraisal of natural history and management. Ann Surg. 1994;220(5):653-6.

9.

Browder W, Cerise EJ, Litwin MS. Impact of emergency angiography in massive lower gastrointestinal bleeding. Ann Surg. 1986;204(5):530-6.

10.

Peura DA, Lanza FL Gostout CJ, Foutch PG. The American College of Gastroenterology Bleeding Registry: preliminary findings. Am J Gastroenterol. 1997;92(6):924-8.

11.

Laine L, Smith R, Min K, Chen C, Dubois RW. Systematic review: the lower gastrointestinal adverse effects of non-steroidal anti-inflammatory drugs. AlimentPharmacol Ther. 2006;24(5) :751-67 0

ILEUS PARALITIK

PENGERTIAN Ileus paralitik atau adynamic ileus adalah keadaan dimana usus gagaljtidak mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. 1 Keadaan ini dapat disebabkan oleh tindakan/ operasi yang berhubungan dengan rongga perut, hematoma retroperitoneal yang berhubungan dengan fraktur vertebra, kalkulus ureteral, atau pielonefritis berat, penyakit paru seperti pneumonia lobus bawah, fraktur iga, infark miokard, gangguan elektrolit (berkurangnya kalium), dan iskemik usus, baik dari oklusi vaskular ataupun distensi usus. 2 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 2

• •

Rasa tidak nyaman pada perut, tanpa nyeri kolik Muntah sering terjadi namun tidakprojUse, sendawa, bisa disertai diare, sulit buang air besar

• •

Dapat disertai demam Perlu dicari juga riwayat: batu empedu, trauma, tindakan bedah di abdomen, diabetes, hipokalemia, obat spasmolitik, pankreatitis akut, pneumonia, dan semua jenis infeksi tubuh

Pemeriksaan Fisik2



Keadaan umum pasien sakit ringan sampai berat, bisa disertai penurunan kesadaran, demam, tanda dehidrasi, syok.



Distensi abdomen (+),rasa tidak nyaman pada perut, perkusi timpani, bising usus



yang menurun sampai hilang. Reaksi peritoneal (-) (nyeri tekan dan nyeri lepas tidak ditemukan). Apabila penyakit primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah gambaran peritonitis.



Pada colok dubur: rektum tidak kolaps, tidak ada kontraksi

Pemeriksaan Penunjang1.2 •

Laboratorium: darah perifer lengkap, amilase-lipase, gula darah, elektrolit, dan analisis gas darah



Radiologis: foto polos abdomen, akan ditemukan gambaran air fluid level. Apabila meragukan, dapat mempergunakan kontras

DIAGNOSIS BANDING Ileus obstruktif

TATALAKSANA 1·2 •

Non farmakologis Puasa dan nutrisi parenteral total sampai bising usus positif a tau dapat huang angin melalui dubur Pasang NGT dan rectal tube bila perlu Pasang kateter urin



Farmakologis Infus cairan, rata-rata 2,5-3 liter jhari disertai elektrolit Natrium dan kalium sesuai kebutuhan/24 jam Nutrisi parenteral yang adekuat sesuai kebutuhan kalori basal ditambah kebutuhan lain Metoklopramid (gastroparesis), cisapride (ileus paralitik pasca operasi), klonidin (ileus karena obat-obatan)



Terapi Etiologi

KOMPLIKASI Syok hipovolemik, septikemia sampai dengan sepsis, malnutrisi

PROGNOSIS Tergantung penyebabnya

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Gastroentero-Hepatologi- Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Divisi Bedah Digestif- Departemen Bedah, ICU j Medical High Care



RS non pendidikan

: ICU, Bagian Bedah

REFERENSI 1.

Djumhana A Syam A. Ileus Paralitik. Dalam: Sudoyo A Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid I. 2009. Hal307-8

2.

Silen W. Acute Intestinal Obstruction. In: Longo DL Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181hEdition. New York, McGraw-Hill. 2012.

KONSTIPASI

PENGERTIAN Konstipasi merupakan gangguan motilitas kolon akibat terganggunya fungsi motorik dan sensorik kolon. Keluhan ini sering ditemukan dalam praktek sehari-hari, dan biasanya merujuk pacta kesulitan defekasi yang persisten atau rasa tidak puas. Meskipun konstipasi seringkali hanya menjadi suatu gejala yang mengganggu, hal ini dapat menjadi berat dan mengancam nyawa. Pacta konstipasi fungsional, transit time biasanya normal, dan tidak ada kelainan evakuasi. Pasien sering mengeluh nyeri yang terkait dengan konstipasi, dan seringkali tumpang tindih dengan sindrom kolon iritabel dengan predominan konstipasi.l.2 label 1. Etiologi Konstipasi pada Dewasa 2

;rlpe l{tiriStlptJsFdd:li atc)ro9r · . ·.·.· ·· Akut

·

"> · · ·

······ • :'c.ontoh

Obstruksi kolon

Neoplasma; striktur: iskemik. divertikular, inflamasi

Spasme sfingter ani

Fisura ani, nyeri akibat hemoroid

Obat-obatan Kronis

Sindrom kolon iritabel

Predominan konstipasi, selang-seling

Obat-obatan

Co 2+ blockers, antidepresan

Pseudoobstruksi kolon

Konstipasi transit-lambat, megakolon {jarang: Hirschsprung, Chagas)

Gangguan evakuasi rektum

Disfungsi dasar panggul, anismus. descending perineum syndrome. prolaps mukosa rekti, rektokele

Gangguan Endoktrin

Hipotiroidisme, hiperkalsemia, kehamilan

Gangguan psikologi

Depresi, gangguan makan, obat-obatan

Gangguan neurologi

Parkinsonisme, sklerosis multipel. cedera medulla spinalis

Kelemahan otot generalisata

Sklerosis sistemik progresif

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Pacta konstipasi, sangat penting untuk membedakan suatu gangguan evakuasi, yang sering juga disebut sebagai obstruksi outlet fungsional, mulai dari konstipasi akibat waktu transit lama a tau penyebab lainnya. Berikut merupakan gambaran klinis sugestif gangguan evakuasi (tabel 2).

Tabel 2. Gambaran Klinis Sugestif Gangguan EvakuasP Anamnesis

Mengejan lama untuk mengeluarkan feses Postur tubuh yang tidak biasa saat berada di toilet untuk memfasilitasi pengeluaran feses Dukungan perineum atau memasukkan jari ke dalam vagina atau rektum untuk memfasilitasi pengosongan rektum Tidak dapat mengeluarkan eairan enema Konstipasi setelah kolektomi subtotal untuk konstipasi

Pemerlksa.an Reldal (pasien dalam po$isi lateral kiri) ·

lnspeksi: Anus "ditarik" ke depan saat meneoba mengedan selama defekasi Lubang anus menurun < 1 em atau > 4 em saat mengedan Balon perineum turun saat mengejan, dan mukosa rektum prolaps melalui anus

Manomt\tri Anore~al ~an Ekspui~FBalon (pasie(l c!alam p-osisi lateral kiri) ·.

Tonus sfrngter ani rata-rata saat istirahat >80 em Hp atau tekanan mengedan > 240 em Hp, kegagalan ekspulsi balon meskipun dengan tambahan berat 200 g

Palpasi: Tonus sfrngter ani tinggi saat istirahat sehingga jari sulit masuk (tanpa adanya kondisi perianal yang nyeri seperti frsura ani) Tekanan sfrngter ani saat diminta mengedan sedikit lebih tinggi daripada saat istirahat Perineum turun < 1 em atau > 4 em saat diminta mengedan Otot puborektalis teraba nyeri melalui dinding posterior rektum Prolaps mukosa teraba saat mengedan "Defek" dinding anterior rektum, sugestif rektokele

Perlu juga diperhatikan apakah ada tanda-tanda "alarm" seperti penurunan be rat badan, perdarahan rektum, a tau anemia, terutama pada pasien usia> 40 tahun, harus dilakukan sigmoidoskopi a tau kolonoskopi untuk menyingkirkan penyakit struktural seperti kanker atau striktur. 1 Pemeriksaan Penunjangl.2



Laboratorium: darah perifer lengkap, glukosa dan elektrolit (terutama kalium dan



kalsium) darah, fungsi tiroid Anuskopi (dianjurkan dilakukan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi untuk menemukan fisura, ulkus, hemoroid, dan keganasan)



Foto palos perut harus dikerjakan pada pasien konstipasi, terutama yang terjadinya akut untuk mendeteksi adanya impaksi feses yang dapat menyebabkan sumba tan dan perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat dilanjutkan



dengan barium enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan. Pemeriksaan yang intensif dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan bila

pengobatan konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat-pusat pengelolaan konstipasi tertentu. Uji yang dikerjakan dapat bersifat anatomis (enema, proktosigmoidoskopi, kolonoskopi) atau fisiologis (trans time di kolon, sinedefekografi, manometri, dan elektromiografi). Proktosigmoidoskopi biasanya dikerjakan pada konstipasi yang baru terjadi sebagai prosedur penapisan adanya keganasan kolon-rektum. Bila ada penurunan be rat badan, anemia, keluarnya darah dari rektum atau adanya riwayat keluarga dengan kanker kolon perlu dikerjakan kolonoskopi. Trans time suatu bahan radio-opak di kolon dapat diikuti dengan melakukan

pemeriksaan radiologis setelah menelan bahan tersebut. Bila timbunan zat ini terutama ditemukan di rektum menunjukkan kegagalan fungsi ekspulsi, sedangkan hila di kolon menunjukkan kelemahan yang menyeluruh. Sinedefekografi adalah pemeriksaan radiologis daerah anorektal untuk menilai evakuasi feses secara tuntas, mengidentifikasi kelainan anorektal dan mengevaluasi kontraksi serta relaksasi otot rektum. Uji ini memakai semacam pasta yang konsistensinya mirip feses, dimasukkan ke dalam rektum. Kemudian penderita duduk pada toilet yang diletakkan dalam pesawat sinar X. Penderita diminta mengejan untuk mengeluarkan pasta tersebut. Dinilai kelainan anorektal saat proses berlangsung. Uji manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rektum dan saluran anus saat istirahat dan pacta berbagai rangsang untuk menilai fungsi anorektal. Pemeriksaan elektromiografi dapat mengukur misalnya tekanan sfingter dan fungsi saraf pudendus, adakah atrofi saraf yang dibuktikan dengan respons sfingter yang terhambat. Pacta kebanyakan kasus tidak didapatkan kelainan anatomis maupun fungsional, sehingga penyebab dari konstipasi disebut sebagai non-spesifik.

Kriteria Diagnosis3 Dalam menegakkan diagnosis konstipasi fungsional, digunakan kriteria Rome III yaitu munculnya gejala dalam 3 bulan terakhir atau sudah dimulai sejak 6 bulan sebelum terdiagnosis: 1. Terdapat <': 2 gejala berikut:

a.

Mengejan sedikitnya 25% dari defekasi

b. Feses keras sedikitnya 25% dari defekasi c.

Sensasi tidak puas saat evakuasi pada sedikitnya 25% dari defekasi

d. Sensasi obstruksi anorektal pada sedikitnya 25% dari defekasi e. Diperlukan manuver manual untuk memfasilitasi pada sedikitnya 25% dari defekasi (evakuasi jari, bantuan dasar panggul) f. Defekasi < 3 kali dalam seminggu 2. Feses lunak jarang terjadi tanpa penggunaan laksatif 3. Kriteria tidak memenuhi sindrom kolon iritabel

TATALAKSANA4 •

Non-farmakologis Apabila diketahui bahwa konsumsi obat-obatan menjadi penyebab, maka menghentikan konsumsi obat dapat menghilangkan keluhan konstipasi. Namun pada kondisi medis tertentu, konsumsi obat tidak boleh dihentikan sehingga digunakan cara-cara lain untuk mengatasinya. 4 Bowel training. Pasien dianjurkan untuk defekasi di pagi hari, saat kolon dalam keadaan aktif, dan 30 menit setelah makan, dengan mengambil keuntungan dari refleks gastrokolon. 4 Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan untuk BAB ini. Asupan cairan yang cukup dan diet tinggi serat. 1•5 Rekomendasi asupan serat adalah 20- 35 gram per hari. 5 Aktivitas dan olahraga teratur. 4 • Farmakologis Apabila terapi nonfarmakologis diatas tidak mampu meredakan gejala, maka dapat digunakan obat-obatan seperti tercantum pada tabel 3. Tabel 3. Golongan Obat yang Digunakan pada Konstipasi Kronik4

Golt;i~gCin ol)cd

Formula·

.ooslsde:wCisa

Bulk laxatives Methylcellulose

Bubuk: 2 gram (dilarutkan dalam 240 ml air) Tablet: 500 mg

1- 3x/hari 2 tablet/hari (rnak5imol 6x/hari)

Polycarbophil

Tablet: 625 mg

1 - 4 x 2 tablet/hari

Psyllium

Bubuk: 3.4 gram (dilarutkan dalam 240 ml air)

1- 4x/hari

Pelunak feses/Laksatif emolien

Docusate calcium Docusate sodium

Kapsul: 240 mg

1 x 1/hari

Kapsul: 50 atau 100 mg Cairan: 150 mg per 15 ml Sirup: 60 mg per 15 ml

50 - 300 mg* /hari

Golongan ~bat

Formula

Dosis dewasa

Cairan: 10 g per 15 ml

15-60 ml*/hari

Laksatif osmotik

Laktulosa Magnesium sitrat

Cairan: 296 ml per botol

'12 - 1 botol/hari

Magnesium hidroksida

Cairan: 400 mg per 5 ml

15-60 mL*/hari

Polyethylene glycol3350

Bubuk: 17 gram (dilarutkan dalam 240 ml air)

1x/hari

Cairan: 45 ml (dilarutkan dalam 120 ml air), 90 ml (dilarutkan dalam 240 ml air)

20- 45 ml/hari

Cairan: 480 ml

30- 150 ml/hari

8isacodyl

Tablet: 5 mg

5 - 15 mg/hari

Cascara sagrada

Cairan: 120 ml Tablet: 325 mg

1 x5 ml/hari 1 x 1 tablet/hari

Castor oil

Cairan: 60 ml

15-60 mL*/hari

Senna

Tablet: 8.6 mg

2 atau 4 tablet sekali atau duo kali/hari

Tablet: 2 mg, 6 mg

2 x 1 tablet•• /hari

Sodium bifosfat Sorbitol Laksatif stimulan

Agen Prokinetik

Tegaserod Keterangan:

*Dapat dibagi dalam beberapa dosis **Diberikan pada konstipasi pada wanita yang berhubungan dengan sindrom kolon iritabel



Terapi lainnya 6 Bakterioterapi (probiotik): lactobacillus, bifidobacterium Complimentary Alternative Medicine: herbal, akupuntur



Bedah Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-cara tersebut di atas, mungkin dibutuhkan tindakan pembedahan. Secara umum, tindakan pembedahan tidak dianjurkan pada konstipasi yang disebabkan oleh disfungsi anorektal.4 Kolektomi subtotal dengan ileorektostomi merupakan prosedur pilihan bagi pasien dengan konstipasi transit lama yang persisten dan sulit dikontroJ.? Koreksi pembedahan dibutuhkan bagi pasien dengan rektokel besar yang mengganggu defekasi. 4

Terapi Konstipasi pada Kehamilan

Konstipasi pada kehamilan lanjut merupakan masalah yang sering terjadi karena meningkatnya sirkulasi hormon progesteron, yang memperlambat motilitas gastrointestinal. 4 Suplementasi serat terbukti dapat meningkatkan pergerakan usus

dan melunakkan feses. 7 Meskipun laksatif stimulan lebih efektif daripada bulk laxatives, namun mereka lebih cenderung menyebabkan diare dan nyeri perut? Oleh karena itu, wanita hamil sebaiknya dianjurkan untuk menambah asupan serat ke dalam makanan, namun apabila konstipasi menjadi persisten, dapat diberikan laksatif stimulan.

KOMPLIKASI Sindrom delirium akut, aritmia, ulserasi anorektal, perforasi usus, retensio urin, hidronefrosis bilateral, gagal ginjal, inkontinensia urin, inkontinensia alvi, dan volvulus daerah sigmoid akibat impaksi feses, serta prolaps rektum. 5 PROGNOSIS Secara umum, konstipasi memiliki dampak signifikan terhadap indikator kualitas hidup (quality of life) terutama pada usia lanjut. 9 Hampir 80% dari 300 anak yang dievaluasi pada usia 16 tahun memiliki prognosis baik. Prognosis buruk setelah usia 16 tahun secara signifikan berhubungan dengan usia ketika onset gejala, lamanya jeda antara onset gejala dengan kunjungan pertama ke dokter, dan rendahnya frekuensi defekasi (sekali seminggu) saat datang berobat. Risiko prognosis buruk sebanyak 16% pada tipikal pasien dengan onset keluhan saat usia 3 tahun, tertundanya berobat selama 5 tahun, frekuensi defekasi dua kali seminggu, dan 10 episode inkontinensia per minggu. Apabila penundaan antara onset dan berobat 1 tahun, risiko berkurang menjadi 7%, dan bila jeda waktu 9 tahun, risiko meningkat menjadi 31%. 10 UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Gastroentero-Hepatologi- Departemen PenyakitDalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan • RS non pendidikan

: Departemen Bedah Digestif, Departemen Gizi Klinik : Bagian Bedah, Bagian Gizi

REFERENSI 1.

Camilleri M. Disorders of Gastrointestinal Motility.ln: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23'd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008

2.

Camilleri M, Murray J. Diarrhea and Constipation. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181hed. New York: McGraw-Hill; 2012.

3.

Functional Constipation. Rome Ill Diagnostic Criteria for Functional Gastrointestinal Disorders. Diunduh dari http:/ /www.romecriteria.org/assets/pdf/19_Romelll_apA_885-898.pdf pad a tanggal 9 Mei 2012.

4.

Hsieh C. Treatment of Constipation in Older Adults. Am Fam Physician 2005;72:2277-84, 2285.

5.

Thomas DR, Forrester L, Gloth MF, Gruber J, Krause RA, Prather C, et al. Clinical consensus: the constipation crisis in long-term care. Ann Long-Term Care 2003;Suppl:3-14.

6.

Leung L, Riutta T, Kotecha J, Rosser W. Chronic Constipation: An Evidence-based Review. JAm Board Fam Med 2011 ;24:436- 451

7.

Cameron JL. Current surgical therapy. 7th ed. St. Louis: Mosby, 2001

8.

Jewell DJ, Young G. Interventions for treating constipation in pregnancy. Cochrane Database Syst Rev 2001;(2):CD001142.

9.

O'Keefe EA, Talley NJ, Zinsmeister AR, Jacobsen SJ. Bowel disorders impair functional status and quality of life in the elderly: a population-based study. J Gerontal A Bioi Sci Med Sci 1995;50: M184-9.

10. Bongers ME, van Wijk MP, Reitsma JB, Benninga MA. Long-term prognosis for childhood constipation: Clinical outcomes in adulthood. Pediatrics 2010 ; 126( 1) :e 156-62

PANKREATITIS AKUT

PENGERTIAN Pankreatitis akut adalah proses peradangan pankreas yang reversibel. 1 Hal ini memiliki karakteristik episode nyeri perut yang diskret (menyebar) dan meningkatnya serum amilase dan lipase. 2 DIAGNOSIS Anamnesis

Gejala klinis khas pada pankreatitis akut adalah onset nyeri perut bagian atas yang akut dan persisten, dan biasanya disertai mual dan muntah. Lokasi tersering adalah regio epigastrium dan periumbilikalis. Nyeri dapat menjalar ke punggung, dada, pinggang, dan perut bagian bawah. Pasien biasanya sulit tidur dan membungkuk ke depan (knee-chest position) untuk meredakan nyeri karena posisi supine dapat memperberat intensitas nyerU· 4 Pemeriksaan Fisik



Demam (biasanya <38,5°C), takikardi, gangguan hemodinamik (hipotensi), nyeri perut be rat, guarding j de fans muscular, distres pernapasan, dan distensi abdomen. Bising usus biasanya menurun sampai hilang akibat ileus. Ikterus dapat muncul tanpa adanya batu pankreas sebagai akibat dari kompresi duktus koledokus dari edema pankreas. 2.4



Pada serangan akut, dapat terjadi hipotensi, takipneu, takikardi, dan hipertemi. Pada pemeriksaan kulit dapat terlihat daerah indurasi yang nyeri dan eritema akibat nekrosis lemak subkutaneus. 2



Pada pankreatitis dengan nekrosis berat, dapat muncul ekimosis besar yang terkadang muncul di pinggang (tanda Grey Turner) atau area umbilikus (tanda Cullen); ekimosis ini diakibatkan oleh perdarahan dari pankreas yang terletak di

daerah retroperitoneaU •

Perlu juga dicari: tanda Murphy untuk membedakan dengan kolesistitis akut. 5

Pemeriksaan Penunjang2 · 4



Laboratorium: darah rutin (biasa ditemukan leukositosis), serum amilase, lipase, gula darah, serum kalsium, LDH, fungsi ginjal, fungsi hati, profillipid, analisis gas darah, elektrolit



Radiologis: USG abdomen, foto abdomen, CT scan abdomen dengan kontras, MRI abdomen (lebih baik untuk ibu hamil dan pasien yang memiliki alergi terhadap zat kontras)

label 1. Diagnosis Pankreatitis Akut Berdasarkan EtiologF

Al\l:AMNESIS

PF

' PENU!'.UANG

Riwayat konsumsi alkohol (25 g atau 2 gelas/hari) dalam 5-10 tahun terakhir, kebiasaaan merokok, diet tinggi lemak

Nafas bau alkohol. pada muntah terdapat bau alkohol

Hiperamilasemia, hiperlipasemia, enzim lisosomal J-, ratio tripsinogentripsin pankreas J-, hipertrigliseridemia

Riwayat puasa lama, TPN*, penurunan berat badan secara cepat. konsumsi octreotide atau ceftriaxone

Tanda Murphy{+)

Hiperamilasemia, hiperlipasemia

Riwayat askariasis

Berat badan J-, adanya cacing pada muntahan atau feses

Hiperamilasemia, hiperlipasemia, USG, manometer sfingter Oddi

ETIOLOGI Alkohol

Batu empedu

Obstruksi pankreas

Obat dan toksin

Riwayat konsumsi insektisida, methanol. organofosfat. imunosupresan (azathioprine, siklosporin, tacrolimus), kotrimoksazol, pentamidin, ddl**, terapi estrogen, tetrasiklin pada penderita fatty liver

Faktor metabolik

Riwayat hiperkolesterolemia

Faktor genetik

Tes toksikologi urin

Obesitas

Tes genetik

Riwayat pankreatitis pada keluarga

Trauma dan faktor iatrogenik

Riwayat trauma tumpul abdomen, pasco operasi manipulasi pankreas atau area periampl)la, menurunnya perfusi vaskular (contoh syok)

ldiopatik

Penyakit autoimun, transplantasi ginjal atau jantung, infeksi mumps dan coxsackievirus, infeksi CMV*** pada penderita-AIDS

Kelerangan: 'TPN =Total Parenteral Nutrition "ddl = 2',3'-dideoxyinosine "'**CMV = infeksi sitomegalovirus

Serum trigliserid > 1000 mg/dl, hiperkalsemia

Jejas hematoma pada regio abdomen

USG

Manometer sfingter Oddi. analisis kristal bilier. tes genetik

DIAGNOSIS BANDING Perforasi ulkus peptikum, kolesistitis akut, kolik bilier, obstruksi intestinal akut, oklusi pembuluh darah mesenterika, kolikrenal, infarkmiokard, diseksi aneurisma aorta, kelainan jaringan ikat dengan vaskulitis, pneumonia, diabetes ketoasidosis. 2.4 TATALAKSANA Nonfarmakologis



Suportif: pada pankreatitis ringan, ora/feeding sebaiknya dimulai dalam 24-72 jam setelah onset. Apabila pasien tidak dapat mentoleransi, dapat dipertimbangkan enteral feeding dengan NGT. Nutrisi parenteral hanya diberikan pada pasien yang

tidak dapat mentoleransi enteral feeding a tau pemberian infus yang adekuat tidak dapat dicapai dalam 2-4 hari. 2 •

Resusitasi cairan dengan kristaloid (sampai dengan 10 Lfhari bila terjadi gangguan hemodinamik pad a pankreatitis be rat). 11 Koloid seperti packed red cells diberikan



apabila Ht < 25% dan albumin apabila serum albumin< 2 mg/dLY Bedah: dapat dipertimbangkan nekrosektomi apabila terjadi infeksi pad a nekrosis pankreas atau peripankreas. Teknik debridement yang dapat dipertimbangkan adalah open packing atau single necrosectomy with continuous lavage. Pada pankreatitis bilier, dapat dipertimbangkan kolesistektomU· 11

Farmakologis2 ·4 · 10•11



Analgesik dan sedatif



Antibiotik sistemik diberikan apabila ada tanda-tanda infeksijsepsis sambil menunggu hasil kultur. Apabila hasil kultur negatif, maka antibiotik dihentikan.

KOMPLIKASF • Lokal: nekrosis pankreas yang terinfeksi, infeksi pankreas atau peripankreas, ascites, pseudokista pankreas • Sistemik: gagal ginjal, gagal napas PROGNOSIS Tergantung berat-ringannya pankreatitis akut, maka disusun sistem skoring prognostik berdasarkan klinis pasien seperti tercantum pada tabel 2 dan tabel 3.

label 2. Sistem Skoring Prognostik Pankreatitis Akut berdasarkan Klinis Skorlng BaHhazar (Cl severil}" lridexy.•

Skala APACHE* II' Perhitungan menggunakan usia, suhu rektal, mean arterial pressure, nadi, Pao;•. pH arteri. serum Na, K, kreatinin, Ht. leukosit, GCS, keadaan umum. Skoring: dapat dihilung melalui http://www.sfar. org/scores2/apache22. html#calcul

Slstem Skoring Imrie•

Krlteria Ranson'•

NilaiCT: A =normal (nilai 0) B =pembesaran fokal! difus pankreas (nilai 1) C =B + infiamasi ekstrapankreas (nilai 2) D =adanya cairan bebas di 1 lokasi (nilai 3) E =cairan bebas di;:, 2 lokasi dan/atau adanya udara bebas di dalam atau sekitar pankreas (nilai 4)

• Usia > 55 tahun • Leukosit > 15.000/mm3 • GDS > 180 mg/dl pada pasien non-OM • Serum LDH > 600 U/L • Serum SGOT/SGPT > 100 U/L • Serum Ca < 8 mg/L • Pa0 2 < 60 mmHg • Serum albumin < 3,2 g/dl • Serum urea > 45 mg/dl (16 mmoi!L)

Skor nekrosis: Tidak ada (nilai 0) :$ 30% (nilai 2) 30-50% (nilai 4) >50% (nilai 6)

Skoring: 1 poin untuk tiap kriteria terpenuhi. 48 jam setelah dirawat inap

Saat didiagnosis/ dirawat: • Usia > 55 Ia hun • Leukosit > 16.000/mm3 • GDS > 200 mg/dl • Serum LDH > 350 U/L • Serum SGOT > 250 U/L Dalam48jam pertama: • HI .J.> 10% • BUN t > 5 mg/dl • Base deficit > 4 mmoi/L • Sekuestrasi cairan > 6.000 ml • Pa0 2 < 60 mmHg Skoring: 1 poin untuk tiap kriteria terpenuhi

Skoring: nilai CT + skor nekrosis

Keterangan: *APACHE II= Acute Physiology and Chronic Health Evaluation **Pa0 2 = partial arterial oxygen tension

label 3. Nilai Prediksi dari Sistem Skoring Prognostik Pankreatitis Akut' Slstem Skorlng

. Konsekuensl

APACHE II skor 2:8 dalam 24jam

Perlu dirawat di ICU, infeksi pankreas berat, infeksi sekunder. gaga! organ, rawat inap lama, kematian

Skor Imrie 2: 3

Akumulasi cairan pankreas, keparahan, kematian

Kriteria Ranson > 3 dalam 48jam

Komplikasi mayor, keparahan, gaga! organ, nekrosis pankreas, rawat inap lama, kematian

LR*posHH

LR negatH

1,7-4

0,25

4,6

0,36

2,4-2,5

0,47

Keterangan: *LR = likelihood ratio

UNIT YANG MENANGANI • •

RS pendidikan RS non pendidikan

: Divisi Gastroentero-Hepatologi- Departemen Penyakit Dalam : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Divisi Bedah Digestif- Departemen Bedah, ICU j Medical



RS non pendidikan

: ICU, Bagian Bedah

High Care

REFERENSI 1.

Carroll J, Herrick B, Gipson T, et al. Acute Pancreatitis: Diagnosis, Prognosis, and Treatment. Am Fam Physician. 2007 75(10):1513-20.

2.

Owyang C. Pancreatitis. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23rd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008

3.

Nurman A. Pankreatitis Akut. Dalam: Sudoyo A. Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid I. 2009. Hal731-8

4.

Greenberger N, Conwell D, Wu B, et al. Acute and Chronic Pancreatitis. In: Longo DL Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18thed. New York: McGraw-Hill; 2012.

5.

Urbano F, Carroll M. Murphy's Sign of Cholecystitis. Hospital Physician. 2000; 11 :51-2.

6.

Knaus WA. Zimmerman JE, Wagner DP, Draper EA. Lawrence DE. APACHE-acute physiology and chronic health evaluation: a physiologically based classification system. Crit Care Med 1981 ;9:591-7.

7.

Balthazar EJ, Robinson DL, Megibow AJ, Ranson JH. Acute pancreatitis: value of CT in establishing prognosis. Radiology 1990; 17 4:331-6.

8.

Mortele K, Wiesner W, lntriere Let al. A Modified CT Severity Index for Evaluating Acute Pancreatitis: Improved correlation with Patient Outcome. AJ R 2004; 183:1261-5.

9.

Blarney SL, Imrie CW, O'Neill J, Gilmour WH, Carter DC. Prognostic factors in acute pancreatitis. Gut 1984;25: 1340-6.

10. Ranson JH. Etiological and prognostic factors in human acute pancreatitis: a review. Am J Gastroenterol 1982;77:633-8. 11. Talukdar R, Vege S. Recent developments in acute pancreatitis. Clinical Gastroenterology and Hepatology .2009;7:S3-S9. 12. Forsmark CE, Baillie J. AGA Institute technical review on acute pancreatitis. Gastroenterology 2007; 132:2022-44.

PENY AKIT TUKAK PEPTIK

PENGERTIAN Dispepsia merupakan kumpulan gejala atau sindrom yang terdiri atas nyeri ulu hati, mual, kembung, muntah, rasa penuh atau cepat kenyang dan sendawa. Dispepsia diklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Bedasarkan Rome III, dispepsia fungsional merupakan rasa penuh (kekenyangan) setelah makan (bothersome postprandial fullness), perasaan cepat kenyang, nyeri ulu hati, rasa terbakar di ulu hati, dan tidak ditemukan kelainan struktural yang dapat menjelaskan keluhan saat dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA). (lebih lanjut lihat di bab Dispepsia Fungsional). Sedangkan dipepsia organik banyak disebabkan oleh tukak peptikum, penyakit refluks gastroesofagus, keganasan lambung atau esofagus, kelainan pankreas atau bilier, intoleran makanan dan obat, infeksi, a tau penyakit sistemik 1 Tukak peptik adalah salah satu penyakit saluran cerna bagian atas yang kronis. Tukak peptik terbagi dua yaitu tukak duodenum dan tukak lambung. Kedua tukak ini seringkali berhubungan dengan infeksi Helicobacter pylori. H. pylori adalah organisme yang hidup pada mukosa gaster, gram negative berbentuk batang atau spiral, mikroaerofilik berflagela, mengandung urease, hidup di bagian antrum dan migrasi ke proksimal lambung berubah menjadi kokoid suatu bentuk dorman bakteri; dan diperkirakan berhubungan dengan beberapa penyakit. 2•3 Tukakadalah suatu gambaran bulatatau oval berukuran >5 mm mencapai submukosa pada mukosa lambung dan duodenum akibat terputusnya integritas mukosa. Faktor yang berperan yaitu faktor agresif dan faktor defensif. Faktor agresif yaitu H. pylori, obat nonsteroid antiinflamasi (OAINS), sedangkan faktor defensifyaitu: 2 •

Faktor preepitel: Mukus dan bikarbonat: untuk menahan pengaruh asam lam bung atau pepsin Mucoid cap: struktur terdiri dari mucus dan fibrin yang terbentuk sebagai

respon terhadap rangsangan inflamasi Active surface phospholipid: meningkatkan hidrofobisitas membran sel dan

meningkatkan viskositas mukus.

Panduan Praktis llinis

CPerhimpuna~ bolder Speslolls Penyak(tbotamlndonesla.



Faktor epitel: Kecepatan perbaikan mukosa rusak Pertahanan seluler Kemampuan transporter asam-basa Faktor pertumbuhan, prostaglandin, dan nitrit oksida



Faktor subepitel Aliran darah (mikrosirkulasi) Prostaglandin endogen Faktor lain yaitu stres beperan sebagai faktor agresif dan defensif. Stress ulcer

merupakan erosi mukosa lambung atau timbulnya ulkus dengan perdarahan pada pasien penderita syok, sepsis, luka bakar masif, trauma berat, atau cedera kepala. Ulkus paling banyak terjadi pada daerah fundus dan corpus yang merupakan lokasi produksi asam lambung. Peningkatan asam lambung juga menjadi faktor penyebab khususnya pada pasien dengan trauma kepala (Cushing's ulcer) dan luka bakar berat (Curling's ulcer), selain itu iskemik mukosa lambung dan rusaknya jaringan mukosa

juga berperan dalam terjadinya stress ulcer. 2 DIAGNOSIS

Diagnosis tukak duodenum dan tukak gaster yaitu: 2•3 Tabel 1. Diagnosis Tukak Gaster dan Tukak Duodenum 2•3

· rukakGastef Anamnesis

nyeri epigastrium. Rasa sakit tidak menghilang dengan pemberian makanan. Dispepsia, muaL muntah, anoreksia dan kembung

c

·rul
Nyeri epigastrium atau hunger pain food relief.

Rasa sakit menghilang dengan antasida atau makanan Rasa nyeri seringkali muncul tengah malam Dispepsia, muaL muntah, anoreksia dan kembung.

Pemeriksaan Fisik

Tidak khas, seperti nyeri tekan epigastrium, distensi abdomen. Tanda-tanda peritonitis jika disertai perforasi.

Tidak khas, seperti nyeri tekan epigastrium, distensi abdomen. Tanda-tanda peritonitis jika disertai perforasi

Pemeriksaan Penunjang

CEndoskopi (SCBA) .. Biopsi untuk mendeteksi H.pylori Foto barium kontras ganda

Endoskopi (SCBA) Biopsi untuk mendeteksi H.py/ori Foto barium kontras ganda

Modifikasi gaya hidup menghindari faktor resiko H.py/ori: lihat tabel 4 Non H.Pylori: PPL H2 RA Antasida: · ··-lihat tal:: rel="nofollow">el-3-···-c·--·- ·· ··· · - · ·

Modiflkasi gaya hidup dan menghindari faktor resiko H.py/ori: lihat tabel 4 Non H.Pylori: PPL H2RA, Antasida: lihaHal::>eH3 · - -- · ··· ----·- ··

Penatalaksanaan

Secara umum jika ditemukan rasa nyeri yang konstan, tidak recta dengan obat antasida atau makanan, menjalar ke punggung menindikasikan adanya perforasi. Sedangkan nyeri yang bertambah dengan makanan, mual, memuntahkan makanan yang tidak terce rna mengindikasikan gastric outlet obstruction. Nyeri mendadak dapat dikarenakan adanya perforasi. 5 Pacta pemeriksaan fisik perlu diperhatikan pula ada tidaknya alarm symptom yaitu: 2 • •

Usia >45-50 tahun keluhan pertama kali muncul Adanya perdarahan hematemesis atau melena



BB menurun > 10%



Anoreksia atau rasa cepat kenyang



Riwayat tukak peptik sebelumnya

• •

Muntah yang persisten Anemia yang tidak diketahui sebabnya Jika tukak dicurigai disebabkan karena H.Pylori, dapat dilakukan pemeriksaan

penunjang dapat dilihat pacta tabel 2. label 2. Tes untuk Mendeteksi H.py/orF

Rapid urease Histologi "" Kultur

"-··-

80-95

95-100

Simpel. False negative: PPI. antibiotik, komponen bismut

80790

>95

Membutuhkan proses pewarnaan

-

~'-

·-

-· .. , ' Mdhol.febih sulit, terganh)ng keahlidn, dapat memberikan informasi resistensi terhadap antibiotik

Serologi

>80

>90

Murah, tida berg una untuk follow up awol.

Urea breath test

>90

>90

Simpel, cepat, berguna untuk follow up. awal. False negatives dengan PPI. antibiotik, komponen bismut

Stool antigen

>90

>90

Murah, nyaman untuk pasien

Indikasi endoskopi pada kasus dyspepsia: 5 1. Individu dengan alarm symptom

2. Usia> 55 tahun dengan onset dispepsia <1 tahun dan berlangsung minimal4 minggu Endoskopi tidak perlu dilakukan pacta kasus: 5 1. Pasien sudah terdiagnosa ulkus duodenum yang respon dengan terapi 2. Usia< 55 tahun dengan dispepsia tanpa komplikasi 3. Sebelumnya sudah pernah dilakukan endoskopi akibat keluhan yang sama.

Dispepsia belum diinvestigasi selama 3 bulan atau lebih

PF, anamnesis, singkirkan penyebab dyspepsia organik, misalnya obat-obatan

I

Tanda bahaya*

Ya

I

I I

··-·-···

.I

Terapi empiris

l

I

Rujuk

Endoskopi SCBA

Respon setelah 2 minggu

I

14

I

~

ITemuan menjelaskanl gejala

I

IApabila ada indikasi: parasit dan darah samar tinja, I kimia darah, dan/atau pencitraan abdomen

I

I Dispepsia organik I

1

!

I

Hasil pemeriksaan menjelaskan gejala 1

: Dispepsia fungsional

Keterangan: *Tanda bahaya: penurunan beret badan (unintended), disfagia progresif. muntah rekuren/persisten, perdarahan saluran cerna, anemia, de mom, massa daerah abdomen bagian atas. riwayat keluarga kanker lambung, dispepsia awitan baru pada pasien >45 tahun.

PF: pemeriksaan fisik, SCBA: sa luran cema bagian alas.

Gombar 1. Algoritma Penatalaksanaan Dispepsia 6

DIAGNOSIS BANDING

4



Akalasia



Penyakit refluks gastroesofagus



Pankreatitis



Hepatitis



Kolesistitis



Kolik bilier



Keganasan esofagus atau gaster



Inferior myocardial infarction



Referred pain (pleuritis,perikarditis)



Sindrom arteri mesenterium superior Terapi

I

TATALAKSANA Tanpa Komplikasi

2



Suportif: nutrisi



Memperbaiki atau menghindari faktor risiko



Pemberian obat-obatan: Obat yang dipergunakan dapat berupa antasida, antisekresi asam lam bung (PPI misalnya omeprazol, rabeprazol dan lansoprazol danjatau HZ-Receptor Antagonist [H2RA]), prokinetik, dan sitoprotektor (misalnya rebamipid,teprenon, sukralfat), di mana pilihan ditentukan berdasarkan dominasi keluhan dan riwayat pengobatan pasien sebelumnya. Masih ditunggu pengembangan obat baru yang bekerja melalui down-regulation proton pump yang diharapkan memiliki mekanisme kerja yang

lebih baik dari PPI, yaitu DLBS 2411,6 Dengan Komplikasi

Pad a tukak peptik yang berdarah dilakukan penatalaksanaan umum a tau suportif sesuai dengan penatalaksanaan hematemesis melena secara umum. 2 Talaksanaan atau tindakan khusus:



2

Tindakan a tau terapi hemostatikper endoskopik dengan adrenalin dan etoksisklerol atau obat fibrinogen trombin atau tindakan hemostatik dengan klipping, heat probe atau terapi laser atau terapi koagulasi listrik atau bipolar probe.

• •

Pemberian obat somatostatin jangka pendek. Terapi embolisasi arteri melalui arteriografi.



Terapi bedah atau operasi, bila setelah semua pengobatan terse but dilaksanakan tetap masuk dalam keadaan gawat I s.d. II maka pasien masuk dalam indikasi operasi (Lihat pada Bab Hematemesis-Melena)

KOMPLIKASI 4 • Perdarahan: hematemesis, melena disertai tanda syok jika perdarahan masif • Anemia defisiensi besi jika perdarahan tersembunyi • Perforasi • Penetrasi tukak yang dapat mengenai pankreas • Obstruksi atau stenosis • Keganasan: jarang

Tabel 3. Obat-obatan untuk Ulkus Peptikum 2 Obat

Contoh

Do sis

Acid-suppressing drugs H2 receptor antagonists

Antasida Simetidin Ranitidin Famotidin Nizatidin Omeprazole Lansoprazole Rabeprazole

100-140 meq/1. 1 dan 3 jam setelah makan. 400 mg bid 300mghs 40 mghs 300 mghs 20mg/d 30mg/d 20mg/d

Pantoprazole Esomeprazole Sukralfat Teprenone

40mg/d 20 mg/d 1 gqid 50 mg tid

Rebamipide Misoprostol

100mg tid 200g qid

Proton pump inhibitors

Mucosal protective agents

Prostaglandin analogue

Dosl.s

J)qrqSI

2x1 1000 mg (2x1) 500mg (2x1)

7-14hari

LINI PERTAMA

PPI* Amoksisilin Klaritromisin

Di daerah yang diketahui resistensi klarHromisin >20%:

PPI* Bismut subsalisilat Metronidazole Tetrasiklin

2x1 2x2 tablet 500mg (3x1) 250mg (4xl_l

7-14hari

2x1 1000 mg (2x1) 500mg (2x1) 500mg (3x1)

7-14hari

Jlka bismut tidak ada:

PPI* Amoksisilin Klaritromisin Metronidazole

LIN I KEDUA: Golongan obat lnl dipakai blla gagal dengan rejimen yang mengandung klarHoromisin

PPI* Bismut subsalisilat Metronidazole Tetrasiklin

2x1 2x2 tablet 500mg (3x1) 250mg (4x1)

7-14 hari

PPI* Amoksisilin Levofloksasin

2x1 1000 mg {2x1) 500 mg (2x1)

7-14 hari

·LINI·KETIGA:-Jika ·gagal dengan· rejlmen·lini ·kedua; ·Blla·memungkinkan; ·pillhanditentukan· berdasarkan ujl resistensi dan/atau perubahan klinis.

PPI* Amoksisilin Levofloksasin Rifabutin

2x1 1000 mg (2x1) 500 mg (2x1)

7-14 hari

Keterangan: 'PPI yang digunakan antara lain rabeprazole 20 mg. lasoprazole 30 mg. omeprazole 20 mg. pantoprazole 40 mg. esomeprazole 40 mg. Catalan: Terapi sekuensial (dapat diberikan sebagai lini pertama apabila tidak ada data resistensi klaritromisin): PPI + amoksisilin selama 5 hari diikuti PPI + klaritromisin dan nitroimidazole (tinidazole) selama 5 hari.

PROGNOSIS Tukak gaster yang terinfeksi H. pylori mempunyai angka kekambuhan 60% jika tidak dieradikasi dan 5% jika dieradikasi. Sedangkan untuk tukak duodenum yang terinfeksi H. pylori mempunyai angka kekambuhan 80% jika kuman tetap ada dan 5 % jika sudah dilakukan eradikasi. Tukak yang disebabkan karena pemakaian OAINS menunjukkan penurunan keluhan dispepsia jika dikombinasi dengan pemberian PPI pada 66% kasus? Risiko perdarahan merupakan komplikasi tukak tersering pada 15-25% kasus dan tersering pada usia lanjut, di mana 5% kasus membutuhkan tranfusi. Perforasi terjadi 2-3 % kasus. Kasus perdarahan dapat terjadi bersamaan dengan kasus perforasi pacta 10% kasus. Sedangkan obstruksi saluran cerna dapatterjadi pada 2-3% kasus. Adapun angka kematian sekitar 15.000 dalam setahun karena komplikasi yang terjadi. 2 UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Gastroentero-Hepatologi- Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT : DepartemenPenyakit Dalam ( RS tertentu ) • RS pendidikan • RS non pendidikan REFERENSI 1.

Oustamanolakis P, Tack J. Dyspepsia: Organic Versus Functional. Journal of Clinical Gastroenterology. 2012;46(3): 175--90.

2.

Valle JD. Peptic Ulcer Disease. In: Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine 18th ed. New York: The McGraw-Hill Companies, 2012.

3.

Tarigan Pengarepan. Tukak Gaster. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010: Hal513-522

4.

Akil HAM. Tukak Duodenum. Dalam: Alwi L Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Intern a Publishing; 2010: Hal523-8.

5.

DyspepsiaManageemntGuidelines.British Society of Gastroenterology. 2002. Dunduh dari

www. bsg.org.uk/pdf_word_docs/dyspepsia.doc pada tanggal7 Mei 2012. 6.

Kolopaking MS, Makmun D, Abdullah M, et al. Konsensus nasional penatalaksanaan dispepsia dan infeksi He/icobacter pylori. Jakarta, 2014.

7.

NHS. Dyspepsia-proven peptic ulcer-whati,s the prognosis? Diunduhdarihttp:/ /www. c ks .n hs. u k/ dyspepsia_proven_peptic_ulcer / backgrou nd_information /prognosis. pada tgnggal 7 mei 2012

TUMOR GASTER

PENGERTIAN Tumor merupakan salah satu dari lima karakteristik inflamasi berasal dari bahasa latin, yang berarti bengkak. lstilah tumor ini digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan biologi jaringan tidak normal. Karsinoma gaster adalah pertumbuhan abnormal secara tidak terkontrol dari sel-sel pada gaster, yang membentuk masa (tumorJ.l Klasifikasi tumor gaster dapat dilihat pada gam bar 1.

I

Tumor Gaster

I

I

I

I

I

Mukosa

I Non neoplastik polip

I

II

Neoplastik polip

I I

Non mukosa

I mesenkim

lI

I l vaskular

I

I

I Tidak berkaitan dengan sindrom polyposis

Berkaitan dengan sindrom polyposis

Polip hiperplastik Inflammatory fibroid polyp Xantoma/xanthelasma Pancreas ektopik

Gastrointestinal stromal tumor {GIST) Lipoma, fibroma, glomus tumor

Hematomatous polyp Polip juvenile Cowden disease Cronkhill Canada Sx GardnerSx

Gam bar 1. Klasifikasi Tumor Gaster2

I Hemangioma, lymphangioma

Polip fundus Polip adenoma Karsinoid gaster

I

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Berat badan turun, nyeri epigastrium, muntah, keluhan pencernaan, anoreksia, disfagia, nausea, kelemahan, sendawa, hematemesis, regurgitasi, dan cepat kenyang. 1 Faktor risiko kanker gaster: diet tinggi garam, nitrat (pengawet makanan), obesitas, merokok, hormon reproduksi, riwayat kanker pada keluarga, riwayat ulkus gaster. 3 Pemeriksaan Fisik

Mungkin ditemukan adanya masa didaerah epigastrium. Jika sudah metastasis ke hati maka hati teraba ireguler, teraba pembesaran kelenjar limfe klavikula. 1 Pemeriksaan Penunjang 1



Radiologi

• •

USG abdomen Gastroskopi dan biopsi: curiga ganas jika ditemukan mukosa merah, erosi pada



permukaan dan tidak adanya pedikle. Endoskopi ultrasound



Pemeriksaan darah pada tinja, darah samar (+), test benzidin



Sitologi: pemeriksaan papanicolaou dari cairan lambung.

DIAGNOSIS BANDING 1 Karsinoma esofagus TATALAKSANA 1 Beberapa tatalaksana yang dapat dilakukan: 1. Pembedahan: reseksi tumor dan jaringan sekitar, pengambilan kelenjar linfe 2. Kemoterapi: SFU, trimetroxote, mitomisin C, hidrourea, epirubisin, dan karmisetin 3. Radiasi KOMPLIKASI Perforasi, hematemesis, obstruksi, adhesi, metastasis. PROGNOSIS Faktor yang menentukan prognosis adalah derajat invasi dinding gaster, adanya penyebaran ke kelenjar limfe, metastasis di peritoneum dan tempat lain. 1 Kanker

gaster lanjut memiliki rata-rata bertahan dalam 5 tahun sebesar 60-80%, tumor yang menginvasi subserosa memiliki angka bertahan 5 tahun sebesar SO%. Pacta pasien dimana kelenjar limfe telah terkena sekitar 16 kelenjar limfe, angka bertahan 5 tahun adalah 44%, sementara apabila yang terkena 7-15 kelenjar limfe maka angka bertahannya sekitar 30%. Pacta GIST, Pacta MALToma, angka bertahan 5 tahun sebesar 99% pacta kelompok risiko rendah, 85-88% pacta kelompok risiko sedang dan 27% pacta kelompok risiko tinggi. Pacta GIST, angka kekambuhan pacta risiko rendah adalah 2,4%, 1,9% pacta risiko sedang dan 62,5% pacta risiko tinggi. Penggolongan tingkat risiko pacta GIST, dapat dilihat pacta tabel1. 3 label 1. Penggolongan Tingkat Risiko pada GIST4 .

-

lllrurcln t~nior

Kecept;~tan mHosls

Risiko sangat rendah

<2cm

< 5!50 HPF

Risiko Rendah

2-Scm

< 5/50 HPF

<Scm

6-10/SOHPF

5-10 em

<5/50 HPF

·.· Klasifikasl

Risiko sedang

Risiko tinggi

-

>Scm

>5/50 HPF

>10cm

Berapa soja kecepatan mitosis

Keterangan: HPF: high power field

UNIT YANG MENANGANI : Divisi Gastroentero-Hepatologi- Departemen Penyakit Dalam • RS pendidikan • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan

: Divisi Hematologi- Onkologi Medik- Departemen Penyakit Dalam, Divisi Bedah Digestif - Departemen Bedah, ICU j Medical High Care



RS non pendidikan

: ICU, Bagian Bedah

REFERENSI 1.

Julius. Tumor Gaster. Dalam Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010:576-580.

2.

Park DY, Lauwers GY. Gastric polyps: classification and management. Arch Pathol Lab Med. 2008;132(4) :633-40.

3.

Bearzi I, Mandolesi A Arduini F, Costagliola A Ranaldi R. Gastrointestinal stromal tumor. A study of 158 cases: clinicopathological features and prognostic factors. Anal Quant Cytol Histol. 2006;28(3) :137-47.

TUMOR KOLOREKTAL

PENGERTIAN Tumor kolorektal dapat dibagi dalam dua kelompok yakni polip kolon dan kanker kolon. Po lip adalah tonjolan diatas permukaan mukosa. Makna klinis yang penting dari polip ada dua yakni pertama kemungkinan mengalami transformasi menjadi kanker kolorektal dan kedua dengan tindakan pengangkatan polip, kanker kolorektal dapat dicegah. 1 Faktor risiko kanker kolorektal: 2 1. Umur risiko terkena kanker kolorektal meningkat dengan bertambahnya usia.

Kebanyakan kasus terjadi pacta usia 60- 70 an tahun. 2. Adanya polip (tumor jinak) pacta usus besar, polip (terutama adenomatous). 3. Riwayat kanker: wanita yang memiliki kanker ovarium, rahim, atau payudara juga berisiko tinggi terserang penyakit kanker kolorektal. 4. Adanya riwayat kanker usus besar pacta keluarga, terutama keluarga de kat (atau bisa juga beberapa kerabat) yangterkena sebelum usia 55 tahun bisa meningkatkan resiko kanker ini. Selain itu, keberadaan Familial adenomatous polyposis (FAP) membawa resiko yang mendekati 100% terkena kanker kolorektal pacta usia 40 tahun jika tidak diobati. Juga perlu diperhatikan bahwa Hereditary nonpolyposis colorectal cancer (HNPCC) atau syndrome Lynch, yaitu kondisi genetik autosomal

dominan yang memiliki risiko tinggi kanker usus besar serta kanker lainnya. 5. Merokok. Perokok lebih cenderung meninggal karena kanker kolorektal dibandingkan non-perokok. Sebuah studi American Cancer Society menemukan bahwa wanita yang merokok lebih dari 40% lebih cenderung meninggal karena kanker kolorektal dibandingkan wanita yang tidak pernah merokok, sedangkan pria perokok memiliki lebih dari 30% peningkatan risiko kematian akibat penyakit ini dibanding laki-laki yang tidak pernah merokok. 6. Makanan. Studi menunjukkan bahwa konsumsi tinggi daging merah dan kurang mengkonsumsi buah segar, sayuran, ikan, dan unggas meningkatkan resiko terkena kanker kolorektal. 7. Fisik tidak aktif.

8. Primary sclerosing cholangitis (PSC) - penyakit hati kronis - membuka peluang terkena risiko independen untuk colitis ulseratif.

a

9. Radang usus. Sekitar satu persen pasien kanker kolorektal memiliki riwayat ulcerative colitis kronis. 10. Alkohol. terutama peminum berat, dapat memiliki risiko terkena kanker ini (khususnya pacta pria). NIAAA (melalui studi epidemiologi) telah menemukan hubungan dosis kecil (tapi konsistenjsering) minuman ber-alkohol dengan kanker kolorektal (walaupun peminum itu juga mengkonsumsi makanan serattinggi dan rendah lemak).

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 1

1. Perubahan pola huang air besar, perdarahan per anus (hematokezia, dan

konstipasi). 2. Gejala obstruksi: a. Parsial: nyeri abdomen b. Total: nausea, muntah, distensi, dan obstipasi 3. Invasi lokal bisa menimbulkan tenesmus, hematuria, infeksi saluran kemih berulang, dan obstruksi urethra. 4. Anamnesa adanya faktor risiko kanker kolorektal seperti tercantum diatas. Pemeriksaan Fisik2

Dapat ditemukan mas a yang nyeri pad a abdomen. Nyeri dapat menjalar ke pinggul sampai tungkai atas. Bila ada obstruksi dapat ditemukan distensi abdomen. Tumor pacta kolon kiri lebih sering menyebabkan gejala obstruksi. Metastasis paling sering ke organ hati, dapat ditemukan hati teraba ireguler. Pemeriksaan Penunjang 1



Laboratorium: perdarahan intermitten dan polip yang besar dapat dideteksi melalui



darah samar feses atau anemia defisiensi Fe. Radiologi; Kolonoskopi



Evaluasihistologi: gambaranatipikberat menunjukkan adanya fokuskarsinomatous yang belum menyentuh membrane basalis. Bilamana sel ganas men em bus membrane basalis tapi tidak melewati muskularis mukosa disebut karsinoma intra mukosa. Berikut dijelaskan mengenai strategi penapisan kanker kolorektal.

-·.,;

DIAGNOSIS BANDING 4 Tumor Retrorektal, Volvulus, Prolaps rekti TATALAKSANA 1 1. Kemoprevensi: obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) termasuk aspirin. Beberapa OAINS seperti sulindac dan celecoxib telah terbukti secara efektif menurunkan insidens berulangnya adenoma pada pasien dengan FAP (Familial Adenomatus Polyposis)

2. Endoskopi dan operasi •

Bila ukuran < 5 mm maka pengangkatan cukup dengan biopsy atau elektrokoagulasi bipolar



Hemikolektomi apabila tumor di caecum, kolon ascending, kolon transfersum tetapi lesi di fleksura lienalis dan kolon desending

Tumor di sigmoid dan rektum proksimal dapat diangkat dengan tindakan LAR (Low Anterior Resection) 3. Terapi ajuvan •

SFU (pada Dukes C), irnotecan (CPT 11) inhibitor topoisomer, Oxaliplatin. Manajemen kanker kolorektal yang non reseksibel: • •

Nd-YAG foto koagulasi laser Self expanding metal endoluminal stent

KOMPLIKASI 1. Perdarahan masif dapat menyebabkan anemia defisiensi besi, 2. Metastase PROGNOSIS Pada Familial adenomatous Polyposis, kemungkinan berkembang menjadi kanker noncolorektal adalah 11% pada usia 50 tahun dan 52% pada usia 75 tahun. 5 Pada kanker kolorektal, prognosis tergantung pada stadium kanker. Lebih lengkapnya dapat dilihat pada tabel 1.

label 1. Strategi Penapisan Kanker KolorektaP Rekomendasi

Keterangan

Pasien dengan risiko umum

t

Asimptomatik ~50 tahun (pada afrika-amerika ~ 45)

Kolonoskopi setiap 10 tahun

Pertimbangkan strategi pencegahan kanker

Tes fecal immunochemical setiap tahun, pemeriksaan fecal DNA setiap 3 tahun

Strategi deteksi kanker, gaga! mendeteksi polip lain atau kanker lain

CT colonografi setiap 5 tahun

Perkembangan teknologi

Flexible sigmoidoscopy setiap 5 tahun

Gaga! mendeteksi polip kolon proksimal dan kanker

Double-contrast barium enema setiap 5 tahun

Kurang sensitif dari kolonoskopi atau CT colonografi, terlewatkan beberapa polip rektosigmoid dan kanker.

1 atau 2 adenoma kecil (<1cm) dengan dysplasia stadium rendah

Ulang Kolonoskopi dalam 5 tahun

Dengan asumsi reseksi polip komplit

3-9 adenoma, atau berapapun jumlahnya dengan ukuran > 1em atau memiliki dysplasia stadium tinggi atau villus features

Ulang kolonoskopi dalam 3 tahun, kolonoskopi berikutnya tergantung penemuan

Dengan asumsi reseksi polip komplit

~10

Kolonoskopi , 3 tahun tergantung keputusan klinis

Pertimbangkan evaluasi FAP atauHNPCC

Riwayat kanker/polip kolorektal

adenoma

Piecemeal removal pada sessile polyp

Pemeriksaan dalam 2-6 bulan untuk mengecek tuntasnya pengambilan

Polip hiperplastik kecil (<1 em) pad a sigmois atau rektum

Kolonoskopi dalam 10 tahun

>2 serrated polyp, atau berapapun serrated polyp atau polip hiperplastik ~ 1 em

Ulangi kolonoskopi dalam 3 tahun

Pengangkatan serrated polip ~ 1 em yang tidak komplit

Pemeriksaan dalam 2-6 bulan untuk mengecek tuntasnya pengambilan

Kanker kolon

Evaluasi keseluruhan kolon selama reseksi. lalu ulang kolonoskopi dalam 3 tahun

Inflammatory Bowel Disease

Colitis ulseratif lama (>8 tahun) atau crohn's colitis, atau colitis ulseratif sisi kiri > 15 tahun

Kolonoskopi dengan biopsi setiap 1-3 tahun

Riwayat pollp atau kanker kolorektal pada keluarga

Keluarga derajat pertama Soma seperti risiko umum cj~_n_g_go__ q_cj~n()rna_tu_bt,JLqr__~~g_ij________ __________________ _

Keterang~n

Rekomeridasl

1 orang keluarga derajat pertama dengan kanker kolorektal atau adenoma lanjut pada usia~ 60 tahun

Sama seperti risiko umum

1 orang keluarga derajat pertama dengan kanker kolorektal atau adenoma tingkat lanjut pada usia < 60 tahun, atau 2 orang keluarga derajat pertama dengan kanker kolorektal atau adenoma tingkat lanjut pada segala usia

Kolonoskopi setiap 5 tahun dimulai pada umur 40 tahun atau 10 tahun lebih muda pada saat keluarga tersebut didiagnosis

FAP

Sigmoidoskopi atau kolonoskopi setiap. 1 tahun, dimulai pada umur 10-12 tahun

Pertimbangkan konseling dan pemeriksaan genetik

HNPCC

Kolonoskopi setiap 2 tahun mulai uasia 20-25 tahun sampai usia 40, selanjutnya setahun sekali

Pertimbangkan evaluasi histology atau microsatellite instability pada spesimen tumor atau pada pasien yang ditemukan kriteria Bethesda ; pertimbangkan konseling dan pemeriksaan genetik.

Tabel 2. Stadium dan Prognosis Kanker KolorektaP STA[)IUM Dukes

TNM

Deskripsi histopatologis

Bertahan 5 tahun (%)

A

T,NOMO

Derajat

Kanker terbatas pada mukosa/submukosa

>90

B1

T2NOMO

Kanker mecapai muskularis

85

B2

T3NOMO

Kanker cenderung masuk atau melewati lapisan serosa

70-80

c

T,N 1M0

Ill

Tumor melibatkan KGB regional

35-65

D

T,N,M,

IV

Metastasis

5

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Gastroentero-Hepatologi - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Divisi Hematologi-Onkologi Medik- Departemen Penyakit Dalam, Divisi Bedah Digestif- Departemen Bedah



RS non pendidikan

: Bagian Bedah

REFERENSI

216

1.

Abdullah, M. Tumor kolorektal. In: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010: Hal 5567-75.

2.

Cohen, AM. Colorectal tumors. Oxford Textbook of Surgery 2nd Edition.

3.

Gastrointestinal endoscopy. In: Fauci A. Kasper D. Longo D. Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine 18th ed. United New York: The McGraw-Hill Companies, 2012.

4.

Colon, rectum and anus. In: Brunicandi. Charles F. Schwartz's Principles of Surgery 8th Edition. Chapter 28.

5.

Wehbi M. Familial adenomatous polyposis. Diunduh dari: http://emedicine. medscape.com/ article/l75377-followup#a2650

PENATALAKSANAAN Dl BIDANG ILMU PENYAKIT DAlAM

PANDUAN PRAKTIK KLINIS HEPATO-~ Batu Sistem Bilier ...........................~~··~·· ······ Hepatitis lmbas Obat ........................r. ...................................,.

Tumor Pankreas ............................................,.... . Tumor Sistem Bilier ..............................T·"'·········

I I

~~ !

ABSES HATI

PENGERTIAN Abses hati adalah rongga patologis yang timbul dalam jaringan hati akibat infeksi bakteri, parasit, jamur, yang bersumber dari saluran cerna, yang ditandai adanya proses supurasi dengan pembentukan pus yang terdiri dari jaringan hati nekrotik, sel-sel inflamasi, atau sel darah di dalam parenkim hati. Abses hati dapat terbentuk soliter atau multi pel dari penyebaran hematogen maupun secara langsung dari tempat terjadinya infeksi di dalam rongga peritoneum. Abses hati terbagi 2 yaitu abses hati amebik (AHA) dan piogenik (AHP). 1•2 Abses hati piogenik adalah rongga supuratifpada hati yang timbul dalam jaringan hati akibat infeksi bakteri seperti enterobacteriaceae, microaerophilic streptococci, anaerobic streptococci, klebsiella pneumonia; bacteroides,fusobacterium, staphylococcus au reus, salmonella typhi. Sedangkan abses hati amebik disebabkan infeksi Entamoeba histolytica Abses hati amebik lebih banyak terjadi pada laki-laki dan jarang pada

anak-anak 2 •

Abses hati piogenik dapat terjadi karena beberapa mekanisme: Infeksi dari traktur bilier (kolangitis, kolesistitis) a tau dari fokus septik sekitarnya (pylephlebitis)



Komplikasi lanjut dari sfingterektomi endoskopik untuk batu saluran empedu atau 3-6 minggu setelah operasi anastomosis bilier-intestinal.



Komplikasi bakteremia dari penyakit abdomen seperti divertikulitis, apendisitis, ulkus peptikum perforasi, keganasan saluran cerna, inflammatory bowel disease, peritonitis, endokarditis bakteria, atau penetrasi benda asing melalui din ding kolon.



40 % abses hati piogenik tidak diketahui sumber infeksinya. Adanya flora dalam mulut diduga menjadi penyebabnya, terutama pada pasien dengan penyakit

periodontal berat. Sedangkan abses hati amebik terjadi karena 2 •

Entamoeba histolytica keluar sebagai trofozoit atau bentuk kista. Setelah terinfeksi,

kista melewati saluran pencernaan dan menjadi trofozoit di kolon, lalu menginvasi mukosa dan menyebabkan ulkus flask shaped. Selanjutnya organisme dibawa

~Panduan Pralltikllillis

t:_p'emimbtmbn·i'"lnH~sPesi_alis Penyakit OatCnl !Od.on~sio

menuju hati dan dapat menyebabkan abses di paru-paru atau otak. Abses hati dapat ruptur ke dalam pleura, perikardium, dan rongga peritoneum .



DIAGNOSIS label 1. Diagnosis Abses Hati'· 2

Demam, nyeri spontan perut kanan atas, pasien jalan membungkuk ke depan dengan kedua tangan diletakkan di atasnya. Jika letaknya dekat dengan diafragma dapat terjadi iritasi diafragma sehingga te~adi nyeri pada bahu kanan, batuk, ataupun atelektasis. Gejala lain yaitu mual, muntah, penurunan berat badan, berkurangnya nafsu makan, disertai malaise, ikterus, buang air besar seperti dempul, dan buang air kecil berwarna gelap.

Periode Iaten ontara infeksi interstinal dan infeksi hati dapat berlangsung beberapa minggu. Kurang dari 10% kasus mengeluhkan adanya diare berdarah karena disentri amebik. Keluhan lain yaitu nyeri perut terlokalisisr pada kuadran kanan atas. Demam dapat te~adi intermiten. Malaise, mialgia, dan artralgia. Dapat ditemukan keluhan paru-paru. lkterikjarang ditemukan dan jika'ada ikterik merupakan penanda prognosis buruk.

Pemeriksaan fisik

Peningkatan suhu tubuh, ikterus, hepatomegali yang nyeri tekan, nyeri tekan perut kanan atas. Jika AHP telah kronik dapat ditemukan asites dan tandatanda hipertensi portal.

Pasien cenderung untuk tidur dengan posisi miring ke kiri. Peningkatan suhu tubuh dan menggigil < 10 hari, ikterik, nyeri tekan abdomen yang dapat menjalar dengan batuk atau inspirasi dalam dan sering dirasakan pada malam harL terlihat ada masa di kuadran kanan atas abdomen, terdengar friction rub di hati.

Pemerlksaan penunjang

• DPL: leukositosis, pergeseran ke kirL anemia, peningkatan laju endap darah (LED) • Alkali fosfatase, enzim transaminase, dan serum bilirubin: meningkat • Albumin serum: dapat menurun • Waktu protrombin: dapat memanjang • Tes serologis: untuk menyingkirkan diagnosis banding • Kultur darah • Foto toraks: diafragma kanan meninggi, efusi pleura, atelektasis bilier, empiema, atau abses paru, Pada posisi PA sudut kardiofrenikus tertutup, pada posisi lateral sudut kostofrenikus anterior tertutup. Di bawah diafragma terlihat air fuid level. • Foto polos abdomen

Seperti pada abses hati piogenik • Tes serologis: ELISA dan hemaglutinasi indirek, cellulose acetate precipitin, counterimmunoelectrophoresis, antibodi immunofluorescent, dan rapid latex agglutination tests. Serum antibodi dapat bertahan sampai setahun setelah sembuh. Sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan ini mencapai 95% dan >95%. Hasil false negative dapat te~adi pada 10 hari pertama infeksi. • Pemeriksaan PCR untuk mendeteksi DNA amuba ELISA untuk mendeteksi antigen amuba pada serum. • Organisme dapat diisolasi di tinja hanya padEJ 50% kasus,

Anamnesis

• Angiografik: daerah avaskular • CT scan abdomen:dapat mendeteksi lesi ukuran <1 em, lesi hipodens. Dapat menetukan lokasi abses, hubungan dengan struktur jaringan sekitarnya, dan mendeteksi adakah udara dalam abses (berhubungan dengan meningkatnya angka mortalitas). 2 • MRI abdomen: • Ultrasonography abdomen: dapat digunakan untuk aspirasi cairan pus

• lmajing tidak dapat membedakan abses disebabkan oleh amuba atau kuman piogenik. • Ultrasonography abdomen: sering di lobus kanan, single, dan berdekatan dengan diafragma.

label 2. Perbandingan Klinis Abses Piogenik dan Amebik2

Jumlah

Multipel. Usia 50 tahun.

Single. Usia muda < 40 tahun.

Epidemiologi

Laki-laki=perempuan

Laki-laki>perempuan

Lokasi

Semua lobus hati

Lobus kanan dekat diafragma

Onset

Subakut

Akut

lkterik

Ring an

Sedang

Diagnosis

USG atau CT scan

USG atau CT scan dan serologis

Terapi

Drainase + antibiotik iv

Antibiotik ± drainase

DIAGNOSIS BANDING

Hepatoma, kolesistitis, tuberkulosis hati, aktinomikosis hati TATALAKSANA

Abses hati piogenik2·3



Pencegahan dengan mengatasi penyakit bilier akut dan infeksi abdomen dengan



Tirah baring, diet tinggi kalori tinggi protein



Antibiotika spektrum luas atau sesuai hasil kultur kuman:

adekuat

Kombinasi antibiotik sebaiknya terdiri dari golongan inhibitor beta laktamase generasi I atau III denganjatau tanpa aminoglikosida. Pasien yang tidak dapat mengkonsumsi golongan beta laktamase dapat diganti dengan fluorokuinolon. Kombinasi lain terdiri dari golongan ampisilin, aminoglikosida (jika dicurigai adanya sumber infeksi dari sistem bilier), atau sefalosporin generasi III (jika dicurigai adanya sumber infeksi dari kolon) dan klindamisin atau metronidazol (untuk bakteri anaerob).

Jika dalam waktu 4-72 jam belum ada pebaikan klinis,maka antibiotika diganti dengan antibiotika yang sesuai hasil kultur sensitifitas. Pengobatan secara parenteral selama minimal 14 hari lalu dapat diubah menjadi oral sampai 6 minggu kemudian. Jika diketahui jenis kuman streptokokus, antibiotik oral dosis tinggi diberikan sampai 6 bulan. •

Drainase terbuka cairan abses terutama pada kasus yang gagal dengan terapi konservatif atau hila abses berukuran besar (> 5 em). Jika abses kecil dapat dilakukan aspirasi berulang. Pada abses multipel, dilakukan aspirasi jika ukuran abses yang besar, sedangkan abses yang kecil akan menghilang dengan pemberian antibiotik.



Surgical drainage: dilakukan jika drainase perkutaneus tidak komplit dilakukan, ikterik yang persisten, gangguan ginjal, multiloculated abscess, atau adanya ruptur abses.

Abses hati AMEBIK2



Metronidazol: harus diberikan sebelum dilakukan aspirasi Metronidasol 3x 750 mg setiap hari per oral atau secara intravena selama 7-10 hari.



Amebisid luminal: /odoquinol 3x650 mg setiap hari selama 20 hari Diloxanide furoat 3x500 mg setiap hari selama 10 hari

Aminosidin (paromomisin) 25-35 mgjkg berat badan setiap hari dalam dosis terbagi tiga selama 7-10 hari •

Aspirasi cairan abses: Indikasi: Tidak respon terhadap pemberian antibiotik selama 5-7 hari Jika abses di lobus hati kiri berdekatan dengan perikardium Dilakukan jika diagnosa belum dapat ditentukan (merah tengguli) Adanya cairan aspirasi berwarna merah-kecoklatan mendukung diagnosis ke arah abses amebik Tropozoit jarang dapat terindentifikasi.

KOMPLIKASI Abses hati piogenik2



Empiema paru



Efusi pleura atau pericardium



Trombosis vena portal atau vena splanknik



Ruptur ke dalam perikardium atau thoraks



Terbentuknya fistel abdomen

• •

Sepsis Metastatic septic endophthalmitis terjadi pada 10 % pasien dengan diabetes mellitus karena infeksi Klebsiella pneumonia.

Abses hati AMEBIK Koinfeksi dengan infeksi bakteri, kegagalan multiorgan, dan ruptur ke dalam peritoneum, rongga thoraks, dan perikardium 2 • Lain-lain dapat sama dengan komplikasi abses piogenik di atas. PROGNOSIS Jika diterapi dengan antibiotika yang sesuai dan dilakukan drainase, angka kematian adalah 10-16%. Abses piogenik yang unilokular abses di lobus kanan hati mempunyai prognosis lebih baik dengan angka harapan hidup 90%. Jika abses multipel terutama yang mengenai traktur bilier, akan mempunyai prognosis lebih buruk. Pada abses amebik yang berada di lobus kiri lebih besar kemungkinan ruptur ke peritoneum. Prognosis buruk jika terjadi keterlambatan diagnosis dan penanganan serta hasil kultur memperlihatkan adanya bakteri yang multipel, tidak dilakukan drainase, adanya ikterus, hipoalbuminemia, efusi pleura, atau adanya penyakit lain seperti keganasan bilier, disfungsi multiorgan, sepsis. 1 UNITY ANG MENANGANI : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroentero• RS Pendidikan Hepatologi • RS non Pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNITY ANG TERKAIT • RS Pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Tropik Infeksi, Departemen Bedah -Divisi Bedah Digestif, Departemen Parasitologi



RS non Pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Bagian Bedah Digestif

REFERENSI 1.

Sherlock S, Dooley J. Tumours of the Gallbladder and Bile Ducts. In:: Dooley J, Lok A, Burroughs A, Heathcote. Diseases of the Liver and biliary System. 12'" ed. UK: Blackwell Science. P.632-659.

2.

Kim A Y, Chung RT. BacteriaL Parasitic, and Fungal Infections of the Liver, Including Liver Abscess .. In: Feldman M, Friedman L, Brandt L. Sleisenger and Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology/Diagnosis/Management. 9'" ed. USA: Elsevier. Chapter 82.

3.

Nazir NT, Penfield JD, Hajjar V. Pyogenic liver abscess. Cleveland Clinic Journal of Medicine July 2010 vol. 777 426-427. Diunduh dari http:/ /www.ccjm.org/content/77 /7 /426.full pad a tanggal 20 Juni 2012.

BATU SISTEM BILlER

PENGERTIAN Pembentukan batu pada sistem bilier, baik di kandung empedu (kolesistolitiasis) maupun di saluran empedu (koledokolitiasis). Menurut gambaran makroskopik dan kimiawinya batu empedu dibagi menjadi: batu kolesterol (komposisi kolesterol > 70%), batu pigmen coklat atau batu calcium bilirubinate dan batu pigmen hitam. Insiden terjadinya batu di duktus koledokus meningkat dengan seiringnya usia (25% pada pasien usia lanjut). 1•2 Faktor risiko terbentuknya batu: 3 •

Usia dan jenis kelamin: batu kolesterol jarang sering terjadi pada anak-anak dan remaja, insiden meningkat sesuai pertambahan usia dan wanita lebih banyak terkena daripada laki-laki. Pada wanita usia 70 tahun insiden meningkat sampai 50%.



Diit: makanan mengandung tinggi kalori, kolesterol, asam lemak tersaturasi, karbohidrat, protein, dan garam dengan jumlah serat yang rendah meningkatkan insiden batu empedu.



Kehamilan dan paritas: kehamilan meningkatkan risiko terjadinya biliary sludge dan batu empedu. Selama kehamilan, empedu menjadi lebih lithogenic karena peningkatan kadar estrogen sehingga terjadi peningkatan sekresi kolesterol dan supersaturated bile. Selain itu hipomotilitas kendung empedu menyebabkan peningkatan volume dan stasis empedu.



Penurunan be rat badan terlalu cepat menyebabkan peningkatan sekresi kolesterol oleh hati selama restriksi kalori, peningkatan produksi musin oleh kandung empedu, dan gangguan motilitas kandung empedu. Sebagai profilaksis dapat diberikan Ursodeoxy Cholic Acid (UDCA) 600 mg setiap hari



Total parenteral nutrition (TPN) dalam jangka waktu lama akan menyebabkan

gangguan pada relaksasi sfingter Oddi sehingga menimbulkan aliran ke kandung empedu. Sebagai profilaksis dapat diberikan cholecystokinin (CCK} octapeptide 2 kali sehari intravena. •

Biliary sludge: mencetuskan kristalisasi dan glomerasi kristal kolesterol dan

mempresipitasi kalsium bilirubinat. •

Obat-obatan: estrogen, clofibrate, oktreotid (analog somatostatin), seftriakson.



Abnormalitas metabolisme lemak: hipertrigliseridemia berhubungan dengan



peningkatan insiden batu empedu. Penyakit sistemik: obesitas, diabetes melitus, penyakit crohn



Trauma saraf spinal: diperkirakan meningkatkan risiko batu empedu karena gangguan relaksasi kandung empedu menyebabkan meningkatnya risiko stasis empedu.

DIAGNOSIS Anamnesis

Biasanya asimtomatik, ada juga yang menimbulkan keluhan kolik bilier, yakni nyeri di perut bagian atas berlangsung lebih dari 30 menit dan kurang dari 12 jam.u Pemeriksaan fisik

Ikterus, nyeri epigastrium, dan tanda-tanda komplikasi seperti kolesistitis, kolangitis. 1-3 Pemeriksaan penunjang 1-3 ,r

• •

Pemeriksaan fungsi hati Foto polos abdomen: sebatas hanya untuk mendeteksi batu terkalsifikasU

• •

USG: Pencitraan utama untuk deteksi batu kandung empedu1. 2 ERCP: sensitifitas 90 %, spesifitas 98 %, dan akurasi 96 %.1.2



MRCP: Pencitraan saluran empedu sebagai struktur yang terang dengan gambaran batu sebagai intensitas rendah.u



EUS (endoscopic ultrasonoraphy): gambaran sama dengan USG abdomen tetapi melalui pendekatan pra endoskopi



Pemeriksaan empedu untuk melihat kristal kolesterol (tes Meltzer Lyon)

DIAGNOSIS BANDING • kolesistolitiasis: tumor kandung empedu, sludge, polip. • Koledokolitiasis: tumor saluran bilier TATALAKSANA Kolelitiasis

• • •

13 -

Pasien batu asimtomatik tidak memerlukan terapi bedah Kolesistektomi laparoskopik jika bergejala ESWL: Kriteria untuk dilakukan ESWL (Tabell):

label 1. Kriteria Dilakukan ESWL 3

Fungsi kandung empedu

Opasifikasi kandung empedu dengan kolesistografi oral. Hasil normal untuk stimulated cholescintigraphy Hasil normal untuk ulrasonografi fungsional

Karakteristik batu

Radiolusen pada radiografi / lsodens atau hipodens terhadap empedu, tidak adanya kalsffikasi pada Clscan Single Diameter < 20 mm

Koledokolitiasis 2 •

Kolesistektomi baik secara laparoskopik maupun endoskopik (ERCP) dikerjakan pacta pasien: Gejala cukup sering maupun cukup be rat hingga mengganggu aktifitas sehari-hari. Adanya komplikasi batu saluran empedu Adanya faktor predisposisi pacta pasien untuk terjadinya komplikasi



Terapi farmakologik dengan menggunakan Ursodeoxy Cholic Acid (UDCA) untuk mencegah dan mengobati batu kolesterol dosis 8-10 mgjhari selama 6 bulan sampai 2 tahun, persentase keberhasilan lebih baik pacta batu diameter< 10 mm.1,2 Kriteria untuk diberikan terapi farmakologik:

label 2. Kriteria Pemberian latalaksana Farmakologik3

Fungsi kandung empedu

Opasifikasi kandung empedu dengan kolesistografi oral. Hasil normal untuk/stimu/ated cholescintigraphy Hasil normal untuk ulrasonografi fungsional

Karakteristik batu

Radiolusen pada radiografi lsodens atau hipodens terhadap empedu, tidak danya kalsifikasi pada CT scan Single / Diameter< 6 mm (opsional} atau 6-10 mm (acceptable)

KOMPLIKASI Kolesistitis akut, kolangitis, apendisitis, pankreatitis, secondary biliary cirrhosis. 1•2•3

PROGNOSIS Adanya obstruksi dan infeksi di dalam saluran bilier dapat menyebabkan kematian. Akan tetapi dengan diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat, prognosis umumnya baik.

UNITY ANG MENANGANI •

RS Pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi GastroenteroHepatologi



RS non Pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT •

RS Pendidikan

: Departemen Bedah - Divisi Bedah Digestif



RS non Pendidikan

: Bagian Bedah

REFERENSI 1.

Lesmana L.A. Penyakit Batu Empedu. Dalam: Sudoyo A.W., Setyohadi B., ldrus 1., dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010. h.721-6.

2.

Greenberger NJ. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts. In: Fauci AS, Kasper DL Longo DL Braunwald E, Lauser SL Jameson JJ, et al, eds. Harrison's Principles of Internal Medicine. Edisi ke-17. New York: McGraw-Hill2008. Chapter 311.

3.

Wang DQ, Afdhal NH. Gallstone Disease. In: Feldman M, Friedman L, Brandt L. Sleisenger and Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology/Diagnosis/Management. 9'h ed. USA: Elsevier. Chapter 66.

HEPATITIS IMBAS OBAT

PENGERTIAN Hepatitis imbas obat atau yang sekarang lebih dikenal dengan drug-induced liver injury (DILl) merupakan suatu peradangan pada hati yang terjadi akibat reaksi efek sam ping obat atau hepatic drug reactions ketika mengkonsumsi obattertentu. Hepatitis imbas obat merupakan salah satu penyebab terjadinya penyakit hati akut maupun kronis. 1 Pada umumnya, ada 2 tipe hepatotoksisitas utama yaitu toksik langsung (direct toxic) dan idiosinkrasi. Hepatitis toksik langsung dapat diduga terjadinya pad a individu yang terpapar dengan obat tertentu dan tergantung dosis (dose dependent). Periode Iaten antara paparan dan jejas hati biasanya singkat (seringkali hanya beberapa jam), meskipun manifestasi klinisnya dapat terlambat 24-48 jam. 2 Faktor risiko hepatotoksisitas imbas obat tercantum pada tabell. label 1. Faktor Risiko Hepatotoksisitas lmbat Obafl

Anak-anak

Asam valproat, salisilat

> 60 tahun

Halotan, isoniazid (INH), paracetamol (PCT). diclofenac

Jenis kelamin

Wanita

Halotan, diclofenac, INH, flucloxacillin

Pria

Azathioprine

Nutrisi

Obesitas

Methotrexate, halotan

Puasa

PCT

Usia

PCT, INH

Konsumsi alkohol berlebihan Do sis

Konsentrasi darah

PCT, aspirin

Durasi

Methotrexate, vitamin A flucloxacillin

Obat lainnya

Rifampisin, pirazinamid, INH

Hepatitis B, C

Terapi HAART. INH

Faktor genetik

HLA-8*5701 genotype··

Flucloxacillin

Slow acetylator

INH

Kelerangan : = meningkat, HAART =highly active antiretroviral therapy

·Panduan.Pralllik Klinis ,PerhimPunan:t>Okte~ Sp~SiaiJs Pe·nyCiktt 'D01ain ,.

''

.

\

·,

.

Jndo"neSiO ''·.

DIAGNOSIS Anamnesis 4

• •

Riwayat konsumsi obat atau jamu dalam 5-90 hari terakhir Tanggal mulai dan tanggal berhenti konsumsi untuk tiap obat dan jamu



Riwayat hepatotoksisitas dan konsumsi obat yang dimaksud



Onset gejala (demam, ruam, Ielah, nyeri perut, nafsu makan menurun)



Penyakit lainnya, dari obat yang dikonsumsi



Episode hipotensi akut

Pemeriksaan Fisik4

• •

Ikterik, ruam, demam, klinis adanya pruritus Hepatomegali, splenomegali



Stigmata penyakit hati kronis

Pemeriksaan Penunjang 4



Laboratorium Rutin: darah perifer Iengkap dan hitung jenis leukosit (ditemukan gambaran eosinofilia), trombosit protein total, albumin/globulin, prothrombin time (PT)/ INR, kreatinin Kimia hati: SGOT, SGPT, alkali fosfatase, bilirubin totaljdirek, gamma GT Serologis: IgM anti-HAV, HBsAg, IgM anti-HCV, HCV RNA, anti-HEV, anti-EBV, anti-CMV Autoantibodi: antibodi antinuklear, antibodi otot polos, antibodi antimitokondrial Khusus: serum besi, ferritin, ceruloplasmin, a-1-antitrypsin

• •

Radiologis: USG, CT scan, MRI/MRCP (atas indikasi) Biopsi hati, dengan indikasi : Apabila hubungan temporal antara konsumsi agen hepatotoksik dengan onset jejas hati tidak jelas 1

Tabel 2. Terminologi Jejas Hati lmbas Obat menurut Kriteria Konsensus CIOMS 5

Jejas hepatoselular

ALT terisolasi > 2x normal, atau ALT/ALP :2:5

Jejas kolestatik

ALP terisolasi > 2x normal. atau ALT/ALP :52

Jejas kombinasi-- Jejas akut

··· ALT-dan-ALP meningkat. atao-2
Jejas kronis

ALT dan ALP, atau 2 3 bulan

Penyakit hati kronis

lstilah ini hanya dipakai setelah konfirmasi pemeriksaan histologis

Keterangan: CIOMS =Council for International Organizations of Medical Sciences; ALP =alkaline phosphatase, ALT =alanine aminotransferase

DIAGNOSIS BANDING

Hepatitis viral akut, hepatitis autoimun, syok hati, kolesistitis, kolangitis, sind rom Budd-Chiari, penyakit hati alkoholik, penyakit hati kolestatik, kondisi hati yang berhubungan dengan kehamilan, keganasan, penyakit Wilson, hemokromatosis, gangguan koagulasi. 1A label 3. Aksis dan Skoring Jejas Hati lmbas Obat

Kriteria kronologis Onset tidak diketahui

Pe~alanan

Kritena kronologis -1 s/d +2

0 s/d +1

penyakit

Eksklusi penyebab lain

Dari konsumsi obat s/d onset

Kritena kronologis +1 s/d +2

Dari konsumsi obat s/d onset

+1 s/d +3

Dari konsumsi obat s/d onset

+1 s/d +2

Dan berhenti obat s/d onset

0 s/d +1

Dan berhenti obat s/d onset

-3 S/d +3

Dari berhenti obat s/d onset

0 s/d + 1

Pe~alanan

-2 s/d +3

Perjalanan penyakit

-3 s/d +3

Perjalanan penyakit

-2 s/d +3

penyakit

-1 s/d +2

Rechallenge

-1 s/d +2

Respon placebo

0 s/d +1

Konsentrasi obatdan monitoring

0 s/d +1

Hubungan dosis

0 s/d + 1

Kriteria kronologis

Faktor risiko usia

0 s/d + 1

Faktor risiko

Alkohol atau kehamilan

0 s/d +1

Alkohol atau kehamilano

0 s/d +1

Terapi konkomitan

-3 S/d 0

Eksklusi penyebab lain

-3 s/d +2

Eksklusi penyebab lain

-3 s/d +3

Eksklusi penyebab lain

-3 s/d +2

lnformasi sebelumnya

0 s/d +2

lnformasi sebelumnya

0 s/d +2

lnformasi sebe!umnya

0 s/d +1

Rechallenge

-2 s/d +3

Rechallenge

0 s/d +3

Rechallenge

0 S/d +3

Manifestasi ekstrahepatik (ruam, demam, artralgia, eosinophilia, sitopenia

0 s/d +3

Manifestasi ekstrahepatik eosinophilia

0 s/d +1

Paparan sebelumnya dan reaktivitas silang

0 s/d +1

Temuan obyektif

0 s/d +1

~9

Definitif

>8

Definitif

~18

5-8

Probabel

6-8

Probabel

1-4

Mung kin

3-5

:SO

Tidak mung kin

DLST

0 s/d +2

Definitif

~5

Definitif

14-17

Pro babel

3-4

Probabel

Mungkin

10-13

Mungkin

:S2

Tidak mungkin

1-2

Tidak mung kin

6-9

Tidak mungkin

:SO

Eksklusi

:S5

Eksklusi

°Kolestatik/mixed cases; DLST: drug lymphocyte stimulation test

TATALAKSANA Terapi sebagian besar bersifat suportif, kecuali pada hepatotoksisitas acetaminophen. Pada pasien dengan hepatitis fulminan akibat hepatotoksisitas obat, maka transplantasi hati dapat menyelamatkan nyawa. Penghentian konsumsi dari agen yang dicurigai diindikasikan pada tanda pertama terjadinya reaksi simpang obat. Pada kasus toksin direk, keterlibatan hati sebaiknya juga diperhatikan keterlibatan ginjal atau organ lain, yang juga dapat mengancam nyawa. Glukokortikoid untuk hepatotoksisitas obat dengan gambaran alergi, silibinin untuk keracunan jamur hepatotoksik, dan ursodeoxycholic acid untuk hepatotoksisitas obat kolestatik tidak dianjurkan. 2

KOMPLIKASI Gaga! hati sampai dengan kematian.

PROGNOSIS Tergantung etiologi dan respons terapi. Pada sebagian besar kasus, fungsi hati akan kembali normal apabila obat dihentikan.

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi GastroenterologiHepatologi



RS non pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam

,,~l~potitis l:mbas Obat

.:~'. ,· ->' :.~·.·,;~' .;~:.:. ''

.: ~ ~.~. 1;~~~2. -~~~-~~.:~: '. ;~~·~.

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

REFERENSI 1.

Teoh NC, Chitturi S, Farrell GC. Liver Disease Caused by Drugs. In : Feldman M, Friedman LS, Brandt LJ. Sleisenger and Fordtrand's Gastrointestinal and Liver Disease. 9th Edition. Philadelphia: Saunders, Elsevier. 2010. Hal1431-9.

2.

Dienstag J. Toxic and Drug-Induced Hepatitis. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York, McGrawHill. 2012.

3.

Mitchell S, Hilmer SN. Drug-induced liver injury in older adults. Therapeutic Advances in Drug Safety 201 O; 1:65.

4.

Seeff LB, Fontana RJ. Drug-Induced Liver lnjury.ln: Dooley JS, Lok ASF, Burroughs AK, et al. Sherlock's Diseases of the Liver and Biliary System. 12th Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd. 2011

HEPATITIS VIRUS AKUT

PENGERTIAN Hepatitis virus akut adalah inflamasi hati akibat infeksi virus hepatitis yang berlangsung selama < 6 bulan. 1

DIAGNOSIS Anamnesis

Anoreksia, nausea, muntah,fatique, malaise, atralgia, myalgia, sakit kepala, 1-5 hari sebelum ikterus timbul. Urine pekat dan kadang feses seperti dempul. Setelah ikterus timbul, gejala-gejala diatas menjadi berkurang. Demam tidak terlalu tinggi, biasa terjadi pada hepatitis A dan E (jarang pada B dan C). Pemeriksaan Fisik

Ikterus, hepatomegali, splenomegali. 1 Laboratorium

SGOT, SGPT, bilirubin. Serologi hepatitis : 1. Hepatitis A : IgM anti HAV ( +) 3

2. Hepatitis B : dapat dilihat pada tabel 2 3. Hepatitis C: HCV RNA(+) setelah 7-10 hari pajanan, anti HCV (+) 5-10 minggu setelah pajanan dan dapat bertahan seumur hid up· 4. Hepatitis D : HDV Ag, HDV-RNA and Ig M anti-HDV ( +) sekitar 30-40 hari setelah gejala awal timbul. 6 5. Hepatitis E: Ig G dan Ig Manti HEV. 3

Tabell. Epidemiologi dan Manifestasi Klinis Hepatitis Virus. 2 Masa inkubasi (hari) Onset Usia

15-45,

3G-180, rata 2 6G-90

15-160, rata 2 50

3G-180, rata 2 6G-90

rata 2 30 Akut Anak2, dewasa mud a

Insidious

I acute

Dewasa muda (seksual dan perkutaneus), bayi. bolita

Insidious

Insidious

Umurberapa aja, tapi umumnya pada dewasa

I akut

14-60,

rata 2 40 Akut

Soma seperti HBV

Dew a sa muda (20-40 to hun)

+++

Penularan +++

-

-

-

Tidak biasa

+++

+++

+++

Perinatal

-

+++

±"

+

Seksual

±

++

±"

++

Keparahan

Ringan

kadangkala berat

Sedang

Kadangkala be rat

Ringan

Keganasan

0.1%

0.1-1%

0.1%

5-2Q%b

1-2%•

Tidakada

Kadangkala (1-1 0%) (90% of neonatal)

Umum (85%)

Umumd

lidakada

Fekal-oral Perkutaneus

Manifestasi Klinis

Progresifitas menjadi kronis Karier

lidak ada

O.l-30%C

1.5-3.2%

Variatif'

lidakada

Risiko kanker

lidakada

+ (terutama lnfeksi

+

±

lidakada

Sedang

Akut, kronis baik, buruk

Baik

Tidakada

Vaksin HBV

Yaks in

neonatal) Prognosis

Profilal<sis

Sangat baik

Memburuk tergantung usia

IG, vaksin inaktiv

HBIG, vaksin recombinant

Keterangan label a. Primer dengan koinfeksi HIV dan level tinggi viremia pacta index kaus; risiko 5% b. Hingga 5% pada koinfeksi HBV /HDV akut, sampai dengan 20% pada superinfeksi HDV dari infeksi kronis HBV c. Tergantung populasi d. Pada koinfeksi HBV /HDV akut, frekuensi menuju kronis sama seperti HBV; pada superinfeksi HDV, kekronisan tetap e. Pada wanita hamill0-20% Urn urn pada Negara mediterania, jarang pad a am erika utara dan eropa barat

label 2. Pole Serologis pada lnfeksi Virus Hepatitis 87

Anti-HBs

+

-

+

. Anti~HBG.

--

JgManti HBC

.TQtoLanti .... HBC

Anti-HBe

-

+

HBeAg

+

-

HBsAg HBV DNA

+

-1+ JQtaLanti .. . .. . . Total HBC anti HBC -

+

+

h+

.:1:.

-/+

+ + (>105)

+ (<10 5)

+ (<10 3)

DIAGNOSIS BANDING Hepatitis akibat obat, hepatitis alkoholik, penyakit saluran empedu, leptospirosis. 2 TATALAKSANA • Hepatitis A akut: Terapi suportif.3 • Hepatitis B akut Hepatitis B akut ringan-sedang: Terapi suportif. 6 Tidak ada indikasi terapi anti virus. Hepatitis B akut berat: pemberian antivirus mungkin dapat dipertimbangkan Monitor pasien dengan pemeriksaan HBV DNA, HBsAg 3-6 bulan untuk mengevaluasi perkembangan menjadi hepatitis B kronik. 3 • Hepatitis C akut Peginterferon alfa-2a (180 11g) atau alfa-2b (1.5 11g/kg) seminggu sekali selama 12 minggu pada genotipe non 1, pada genotipe 1 selama 24 minggu. • Hepatitis D akut: Terapi suportif. 6 Lamivudine dan obat antiviral, tidak efektif melawan replikasi virus. 3 • Hepatitis E akut: Terapi suportif. KOMPLIKASI Hepatitis fulminan, kolestasis berkepanjangan, hepatitis kronik. 1 PROGNOSIS • Hepatitis A akut Biasanya sembuh komplit dalam waktu 3 bulan, tidak menyebabkan hepatitis virus kronik. Rata-rata angka mortalitas < 0,2%. 3 • Hepatitis B akut Sekitar 95-99% pasien dewasa penderita hepatitis B yang sebelumnya sehat, sembuh dengan baik. Pada pasien dengan hepatitis B be rat sehingga harus dirawat, rata-rata tingkat kematian sebesar 1% tetapi meningkat pada usia lanjut dan yang memiliki komorbit. Pad a pasien pengguna obat suntik, penderita hepatitis B dan D secara bersamaan, dilaporkan rata-rata kematian 5%. 2 Risiko berkembang menjadi kronis tergantung pada usia, yaitu: 90% pada bayi, sekitar 30% pada infant,< 10% pad a dewasa. 3 • Hepatitis C akut Sekitar 50-85% berkembang menjadi kronik. 3 • Hepatitis D akut Risiko fulminant hepatitis pada koinfeksi sekitar 5%. 6



Hepatitis E akut Pada wabah hepatitis E di India dan Asia, rata-rata tingkat kematian adalah 1-2% dan 10-20% pada wanita hamil. 2.4

UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi GastroenteroHepatologi • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan • RS non pendidikan REFERENSI 1.

Sanityoso, Andri. Hepatitis Viral Akut. Dalam: Sudoyo A Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5'" ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bag ian llmu Penyakit Dalam FKUI, 2009:644-652.

2.

Acute Viral Hepatitis. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'" ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.

3.

Acute Viral Hepatitis. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23'd edition. Saunders : Philadhelphia. 2007.

4.

Liver and Biliary tract. Dalam : McPhee, Stephen J. Papadakis, Maxine A Diagnosis and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011.

5.

Lisotti A Azzaroli F, Buonfiglioli F, Montagnani M, Alessandrelli F, Mazzella G. Lamivudine treatment for severe acute HBV hepatitis. lnt J Med Sci 2008; 5(6):309-312. Available from http://www. rnedsci.org/v05p0309 .htm

6.

Heathcote, J. et all. Management of acute viral hepatitis. World Gastroenterology Organisation, 2007.

7.

Torbenson M, Thomas DL. Occult Hepatitis B. Lancet Infect Dis 2002;2:479-86.

Current Medical

HEPATITIS B KRONIK

PENGERTIAN Suatu sindrom klinis dan patologis yg disebabkan oleh virus hepatitis, ditandai oleh berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pacta hati, dimana seromarker virus hepatitis positifpada 2 kali pemeriksaan berjarak ~ 6 bulan. DIAGNOSIS Anamnesis

Dapat tanpa keluhan, tetapi dapat juga berupa fatigue, malaise, anoreksia, ikterus persisten atau intermiten. Faktor risiko penularan virus hepatitis yaitu pengguna narkoba suntik, infeksi hepatitis 8 pacta ibu, pasangan a tau saudara kandung, penerima transfusi darah, perilaku seksual risiko tinggi, riwayat tertusuk jarum suntik atau terkena cairan tubuh pasien berisiko. 2 Pemeriksaan fisik

Dapat ditemukan hepatomegali, demam subfebris, ikterus (jarang). Bila telah terjadi komplikasi, dapat ditemukan asites, ensefalopati, dan hipersplenisme. Pemeriksaan penunjang2 • Seromarker hepatitis : HBsAg (+), pemeriksaan selama 6 bulan, Anti- HBc (+), IgM anti-HBc (-), Anti-HBs (-) • Aminotransferase meningkat (100-1000 unit), alanin aminotransferase (ALT) lebih meningkat daripada aspartate aminotransferase (AST), alkali fosfatase normal atau meningkat ringan. • Serum bilirubin meningkat (3-10 mgjdL), hipoalbuminemia, protrombin time (PT) memanjang. • USG hati: gambaran penyakit hati kronis (inhomogen echostructure, permukaan mulai ireguler, vena hepatika mulai kaburjterputus-putus), sirosis (parmukaan hati yang iregular, perenkim noduler, hati mengecil, dapat disertai pembesaran limpa, pelebaran vena porta), atau adanya karsinoma hepatoselular.



Biopsi hati: untuk mengetahui derajat nekroinflamasi, harus dilakukan sebelum memulai terapi antivirus, dan dianjurkan pada pasien dengan SGPT normal.



Tumor marker karsinoma hepatoseluler: Alfa feto protein (AFP), PIVKA-II (Prothrombine Induced by Vitamin KAbsence).



Monitoring untuk deteksi dini kanker hati dan progresivitas penyakit SGOT, SGPT tiap 1-3 bulan dan USG abdomen dengan AFT tiap 6 bulan.

KRITERIA DIAGNOSTIK Hepatitis B: dikatakan hepatitis B kronik hila HBsAg positif dalam 2 kali pemeriksaan berjarak 6 bulan. DIAGNOSIS BANDING Perlemakan hati TATALAKSANA2 ·6 • Interferon: 1x 5 juta unit atau 10 juta unit 3 kali seminggu, subkutan, selama 4-6 bulan untuk HBeAg (+ ), dan setidaknya 1 tahun untuk pasien dengan HBeAg (-), hila dengan pegylated interferon baik HBeAg (-) dan HBeAg (+) diberikan selama1 tahun • Lamivudine: 1x100 mg • Adefovir dipivoxi/: 1 x 10 mg • PEG IFN a- 2a (monoterapi): 180 gram atau PEG IFN a- 2b 1,5ugjKgBB • Entecavir: 1x0,5 mg • Telbivudine: 1x600 mg • Tenofovir: 1x300 mg • Thymosin 1 selama 6 bulan • Lamapemberian antivirus tergantung pada status HBeAg pasien ketika memulai terapi dan target pencapaian HBV DNA serta HBeAg loss KOMPLIKASI Sirosis hati, karsinoma hepatoselular. PROGNOSIS 5-year mortality rate adalah 0-2% pada pasien tanpa sirosis, 14-20% pada pasien

dengan sirosis kompensasis, dan 70-86% yang dekompensasi. Risiko sirosis dan karsinoma hepatoselular berhubungan dengan level serum HBV DNA. 4

HBsAg (+)

HBV DNA > 20.000 IU/ml (> 105 kopi/ml)

HBV DNA < 20.000 IU/ ml (<1 05 kopi/ml)

I

I ALT normal

I I

ALT normal

ALT 1-2x ULN

Tidak ada terapi, pantau HBV DNA, HbeAg, ALT setiap 3 bulan

Tidak ada terapi. pantau HBV DNA. HbeAg, ALT setiap 1-3 bulan

I ridak ada terapi. pantau HBV DNA, HbeAg, ALT setiap 3-6 bulan

ALT 2-5x ULN

I

I I ALT >5x ULN

I

I

I Terapi jika penyakit persisten selama 3-6 bulan atau ada kecurigaan dekompensasi hati. Lini pertama : interferon, entecovir, tenefovir, telbivudine. lamivudine, adelovir.

lndikasi terapi Jika HBV DNA> 2x1061U/ml ® observasi serokonversi selama 3 bulan jika tidak ada kecurigaan dekompensasi hati. Jika ada dekompensasi hati. rekomedasi terapi : interferon. entecovir. tenefovir. telbivudine. lamivudine, adelovir

I Biopsi hati jika usia > 40 tahun, terapi jika pada biopsi tampak fibrosis atau inflamasi sedang atau membesar

I Respon

I Tidak Respon

t Pantau HBV DNA HbeAg, ALT setiap l-3 bulan

Pertimbangkan strategi lain termasuk transplantasi hati

Gam bar 1. Algoritme Managemen lnfeksi Hepatitis B Kronik dengan HBsAg Positif. •

HBsAg (-)

HBV DNA> 2.000 IU/ml (> 10 4 kopi/ml)

HBV DNA1 < 2.000 IU/ml (<104 kopi/ml)

I

::J Tidak a :la terapi, p ntau HBV DNA , ALT setiap -12 bula I

............

I

I

I

I

ALT normal

ALT 1-2x ULN

I

I

Tidak ada terapi, pantau HBV DNA. ALT setiap 3 bulan

Tidakada terapi, pantau HBV DNA. ALT setiap 1-3 bulan

Terapi jika penyakit persisten selama 3-6 bulan atau ada kecurigaan dekompensasi hati. Lini pertama : interferon, entecovir, tenefovir, telbivudine, lamivudine. Dibutuhkan terapi antivirus jangka panjang

ALT >2x ULN

... Biopsi hati jika usia > 40 tahun, terapi jika pada biopsi tampak fibrosis atau infiamasi sedang atau membesar

I Respon

Tidak Respon

t Pantau HBV DNA. ALT setiap 1-3 bulan setelah terapi

Lanjutkan terapi untuk mengenali respon lambat. pertimbangkan strategi lain

Gombar 2. Algoritme Managemen lnfeksi Hepatitis B Kronik dengan HbsAg Negatif. 6

~

HEPATITIS C KRONIK PENGERTIAN Suatu sindrom klinis dan patologis yang disebabkan oleh virus hepatitis, ditandai oleh berbagai tingkat peradangan dan nekrosis pada hati, dimana penanda virus hepatitis positif pad a 2 kali pemeriksaan berjarak ~ 6 bulan.

DIAGNOSIS Anamnesis

Umumnya tanpa keluhan, tetapi dapat juga berupa fatigue, malaise, anoreksia. Faktor risiko: penggunaan narkoba suntik, menerima transfusi darah, tingkat ekonomi rendah, perilaku seksual risiko tinggi, tingkat edukasi rendah, menjalani tindakan invasif, menjalani hemodialisis, tertusuk jarum suntik atau terkena cairan tubuh pasien berisiko. 2 Pemeriksaan Fisik

Dapat ditemukan hepatomegali, demam subfebris, ikterus (jarang). Bila telah terjadi komplikasi, dapat ditemukan asites, ensefalopati, dan hipersplenisme. Manifestasi ekstrahepatik (cryoglobulinemia, porfiria kutanea tarda, glomerulonefritis membranoproliferatif, dan sialoadenitis limfositik).Z Pemeriksaan Penunjang



Seromarker hepatitis (Anti HCV)



Jumlah virus: HCV RNA kuantitatif dan genotipe



Enzim hati: SGOT dan SGPT, untuk menilai aktifitas kerusakan hati dan keputusan pengobatan antivirus



USG hati: gambaran penyakit hati kronis (inhomogen echostructure, permukaan mulai ire gular, vena hepatik mulai kabur /terputus-putus ), sirosis (parmukaan hati yang iregular, parenkim noduler, hati mengecil, dapat disertai pembesaran limpa, pelebaran vena porta), atau adanya karsinoma hepatoseluler.



Biopsi hati: untuk mengetahui derajat nekroinflamasi, dianjurkan untuk dilakukan sebelum memulai terapi antivirus, terapi antivirus sangat dianjurkan diberikan pada fibrosis

P2 dan F3 (skor METAVIR).



Alfa feto protein (AFP), PIVKA-11 (Prothrombine Induced by Vitamin K Absence).



Monitoring tahunan untuk deteksi dini kanker hati dan progresivitas penyakit SGOT, SGPT tiap 1-3 bulan dan USG abdomen serta AFT per 6 bulan

Kriteria Diagnosis Hepatitis C kronik: anti HCV positif dan HCV RNA terdeteksi dalam 2 kali pemeriksaan berjarak 6 bulan.

DIAGNOSIS BANDING Perlemakan hati

TATALAKSANA4·5 Pada infeksi hepatitis C kronis genotip 1: •

Terapi dengan pegylated interferon (peg-IFN) dan ribavirin selama 1 tahun - 72 minggu. Peg-IFNa-2a 180 g seminggu sekali atau peg-IFNa-2b 1,5 mg/kg BB. Bila menggunakan Peg-IFNa-2a. Dosis ribavirin 1000 mg (BB 75 kg) dan 1200 mg (BB >75mg), bila menggunakan peg-IFNa-2b dosis ribavirin± 15 mgjkg BB, ribavirin diberikan dalam 2 dosis terbagi.



Jika respon virologis cepat (serum HCV RNA tidakterdeteksi (<50 IU/ml) dalam 4 minggu), maka terapi dapat distop setelah 24 minggu, bila HCP RNA< 4 x 10 5 IU jml.



Jika respon virologis dini (serum HCV RNA tidak terdeteksi ( < 50 IU jml) a tau terjadi penurunan 2log serum HCV RNA dari level awal setelah 12 minggu), terapi dilanjutkan sampai 1 tahun.

• Terapi distop jika pasien tidak mencapai respon virologis dini dalam waktu 12 minggu Pada infeksi hepatitis C kronik genotip 2 dan 3: Interferon konvensional dan ribavirin atau peg-IFN-dengan ribavirin selama 24 minggu. Dosis Interferon/Peg IFN sama dengan geotipe 1, hanya dosis ribavirin 800 mg sehari dalam 2 dosis terbagi. Pada infeksi hepatitis c kronik genotip 4, berikan terapi peg-IFN +ribavirin selama 48 minggu, dosis Peg IFN dan ribavirin sama dengan geotipe 1. Pantau kemungkinan terjadinya efek samping terapi Ribavirin, yaitu anemia. Dosis ribavirin sedapat mungkin dipertahankan, bila terjadi anemia dapat diberikan eritropoietin untuk meningkatkan Hb. Pantau kemungkinan efek samping terapi interferon, yaitu neutropeni, trombositopenia, depresi, dan lain-lain. Bagi pasien yang memiliki kontaindikasi penggunaan interferon a tau tidak berhasil dengan terapi interferon maka berikan terapi ajuvan : • Flebotomi •

Urcedeoxycholic acid (UDCA) 600mgjhari



Glycyrrhizin



Medikasi herbal: silymarin atau silibinin

Antiviral terbaru untuk terapi hepatitis C kronik (terutama genotip 1) adalah: •

Teleprevir, dikombinasikan dengan peg-IFN + Ribavirin.



Boceprevir, dikombinasikan dengan peg-IFN + Ribavirin



Direct Acting Antiviral (DAA), lain seperti: sofosbuvir, ledipasvir dll, antiviral (DAA)

dapat diberikan pacta pasien yang kontraindikasi pacta interveron atau gejala pengobatan dengan interveron tersebut.

KOMPLIKASI Sirosis hati, karsinoma hepatoselular. PROGNOSIS Rata-rata per tahun terjadinya karsinoma hepatoselular pacta pasien sirosis dengan infeksi hepatitis C adalah 1-4%, muncul setelah 30 tahun infeksi virus hepatitis C. Indikator prognosis pacta hepatitis C kronis adalah dengan biopsi hati. Pasien dengan nekrosis dan inflamasi sedang-berat atau adanya fibrosis, progresifitas ke arah sirosis sangattinggi dalam 10-20 tahun kedepan. Diantara pasien dengan sirosis kompensasi yang terkait hepatitis C, angka bertahan 10 tahun adalah 80%, mortality rate 2-6%, sementara pacta sirosis dekompensasi terkait infeksi virus hepatitis C mortality rate 4-5%/tahun, dan 1-2%/tahun pacta karsinoma hepatoseluler terkait infeksi virus hepatitis C. 4

HEPATITIS D KRONIK Hepatitis D kronik biasa mengikuti infeksi hepatitis B. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang sama seperti pacta hepatitis 8. 2

TATALAKSANA2 • Sesuai dengan Hepatitis B kronik UNITY ANG MENANGANI : Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Gastroenterologi• RS pendidikan Hepatologi • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

,···H·~··pqtifis.~··.~····.··K~q UNIT TERKAIT • RS pendidikan • RS non pendidikan REFERENSI 1.

Gunawan, Stephanus. Soemahardjo, Soewignjo. Hepatitis B Kronik. Dalam: Sudoyo A Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5'h ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI, 2009:653-661.

2.

Chronic Viral Hepatitis. Dalam : Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012: 2911 - 39

3.

Liaw YF, Leung N, Kao JH, et al. Asian-Pacific consensus statement on the management of chronic hepatitis B: a 2008 update. Hepatollnt 2008. Available at: http:/ /www.springerlink.com/content/ du475ul2q655175j/ Accessed July 27, 2008.

4.

Liver and Biliary tract. Dalam : McPhee, Stephen J. Papadakis, Maxine A Diagnosis and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011.

5.

Asian Pacific Association for the Study of the Liver consensus statements on the diagnosis, management and treatment of hepatitis C virus infection. Diunduh dari: http://onlinelibrary. wiley.com/doi/1 0.1111 /j.l440-1746.2007.04883.x/pdf pada tanggal30 mei 2012.

6.

Amarapurkar, D. Et all. APASL guidelines on the management chronic hepatitis B. Feb 16-19,2012

Current Medical

HEPATOMA

PENGERTIAN Hepatoma (hepatocarcinomajhepatocellular carcinomajHCC) merupakan kanker yang berasal dari sel hatU HCC merupakan kanker no. 5 tersering di dunia dan no. 3 yang paling sering menyebabkan kematian. Insidens HCC bervariasi di setiap negara, secara umum bergantung pada prevalensi penyakit hati kronis, khususnya hepatitis virus kronis. Faktor risiko hepatoma dibagi menjadi 2 yaitu :2 • Umum : sirosis karena sebab apapun, infeksi kronis Hepatitis B atau C, konsumsi etanol kronis, NASH/NAFL, aflatoxin B1 atau mikotoksin lainnya • Lebih jarang: sirosis bilier primer, hemokromatosis, defisiensi-antitrypsin, penyakit penyimpanan glikogen, citrullinemia, tirosinemia herediter, penyakit Wilson DIAGNOSIS Anamnesis

Penurunan berat badan, nyeri perut kanan atas, anoreksia, malaise, benjolan perut kanan atas,jaundice, nausea. 1 Pemeriksaan Fisik

Hepatomegali berbenjol-benjol, stigmata penyakit hati kronik. 1 Pemeriksaan Penunjang 2



Laboratorium: anemia, trombositopenia, kreatinin meningkat, prothrombin time (PT) memanjang, partial thromboplastin time (PTT), fungsi hati; aspartat aminotransferase (AST) dan alanin aminotransferase (ALT) meningkat (AST>ALT), bilirubin meningkat.



Serologis: peningkatan Alfa Feto Protein (AFP), AFP-L3, des-y-carboxy prothrombin (DCP), atau (PIVKA-2), vitamin B12, ferritin, antibodi antimitokondria, serologis hepatitis B, dan C.

• •

Biomarker terbaru: profil genomik berbasis jaringan dan serum Radiologis : USG: lesi fokal/ difus di hati. CT-Scan abdomen atas dengan kontras 3 fasejmultifase: nodul di hati yang menyangat kontras terutama di fase arteri dan 'early wash out'di fase vena (typical pattern).

DIAGNOSIS BANDING Abses hati

TATALAKSANA Algoritma terapi pacta hepatoma dapat dilihat lebih lengkap pacta gam bar 1.

KOMPLIKASI Ensefalopati hepatikum, ruptur tumor spontan, hematemesis melena, kegagalan hati. 1

PROGNOSIS Pasien dengan hepatoselular karsinoma dini dapat bertahan selama 5 tahun setelah dilakukan reseksi, transplantasi hati atau terapi perkutaneus sebesar 5070%. Kekambuhan tetap dapat terjadi walaupun telah dilakukan terapi kuratif. Kesintasan 1 dan 2 tahun adalah masing-masing 10-72% dan 8-50%. Demikian pula, HCC stadium lanjut dan Child-Pugh C mempunyai prognosis yang sangat buruk. Dilaporkan kesintasan untuk 6 bulan sebesar 5% pacta HCC stadium Child-Pugh C dengan peritonitis bakteri spontan dan stadium lanjut. 12

0

Massa < I em pada USG observosi sirosis hati

Tatalaksana sesuai ukuran lesi

0

Massa 1-2 em pada USG observasi sirosis hati

I

EJ

0

Massa > 2 em pada USG observasi sirosis hati

Gombar 1. Algoritma Tatalaksana Hepatoma 3

PS >2 CP-C

lnvasi vena porta N1M1 PS1-2

Multinodular PS-0

Single< 2 em

cr._Tekanan portal, bilirubin

Terminal

Meningkat

I

Kemoembol

I

Sorafenib

I

Normal Terapi simptomatik

Reseksi

II

OLT

II

PEI/RFA

1 Kesintasan 5 tahun 40-50% Kesintasan 10 tahun 10%

Kesintasan 5 tahun 50-70%

Gamber 2. Skema Stadium dan Strategi Tatalaksana Hepatoma berdasarkan Barcelona Cancer of the Liver Clinic (BCLC).

3

Klasifikasi dan stadium Hepatoma dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Stadium Hepatoma Menurut Berbagai Klasifikasi

Stadium Okuda• French

5

Sistem

3

Nilai

3

Stadium 1.11.111

7

A: 0 point

26

B: 1-5 point C:?. 6 point CLIP 6

Nilai

7

0,

1. 2, 3. 4, 5, 6

27

Stadium BCLC 7

Stadium

5

0 : Sangat dini

11

A: Dini B:Sedang C: Lanjut D : Stadium akhir CUPI 8

Nilai

3

Risiko rendah : nilai

s. 1

28

Sedang: 2-7 Risiko tinggo : ?. 8 Stadium TNM9

Sistem

3

Stadium I, II, Ill

29

JISlo

Nilai

4

Stadium I, II, Ill, IV

30

ERll

Sistem

2

ER wild type

31

ER variant

UNITY ANG MENANGANI • RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi GastroenteroHepatologi • RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS Pendidikan

: Divisi Kardiologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Bedah, Divisi Bedah Digestif, Radiologi Intervensi



RS non Pendidikan

: Bagian Bedah, Bagian Radiologi

REFERENSI 1.

Webster's New World Medical Dictionary. 3'd Edition. Wiley Publishing. 2008.

2.

Carr Bl. Tumors of the Liver and Biliary Tree. In :Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.

3.

Sherman M. Primary Malignant Neoplasms of the Liver. In : Dooley JS, Lok ASF, Burroughs AK,

et al. Sherlock's Diseases of the Liver and Biliary System. 121h Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd. 2011. Hal681-95. 4.

Okuda K, Ohtsuki T, Obata H, Tomimatsu M, Okazaki N, Haregawwa H, et al. Natural history of hepatocellular carcinoma and prognosis in relation to treatment. Cancer. 1985;56:918-28.

5.

Chevret S, Trinchet JC, Mathieu D, Rached AA. Beaugrand M, Chastang C. A new prognostic classification for predicting survival in patients with hepatocellular carcinoma. J Hepatol. 1999;31 :133-41.

6.

CLIP. Prospective validation of the CLIP score: a new prognostic system for patients with cirrhosis and hepatocellular carcinoma. Hepatology 2000 ;31 :840-5.

7.

Llovet JM, Bru C, Bruix J. Prognosis of hepatocellular carcinoma: the BCLC staging classification. Semin Liver Dis. 1999; 19:329-38.

8.

Leung TW, Tang AM, Zee B, Lou WY, Lai PB, Leung KL, et al. Construction of the Chinese University Prognostic Index for hepatocellular carcinoma and comparison with the TNM staging system, the Okuda staging system, and the Cancer of the Liver Italian Program staging system: a study based on 926 patients. Cancer. 2002;94: 1760-69.

9.

Vauthey J, Lauwers G, Esnaola N, Do KA, Belghiti J, Mirza N, et al. Simplified staging for hepatocellular carcinoma. J Clin On col. 2002;20: 1527-36.

10. Kudo M, Chung H, Osaki Y. Prognostic staging system for hepatocellular carcinoma (CLIP score): its value and limitations, and a proposal for a new staging system, the Japan Integrated Staging Score (JIS score) J Gastroenterol. 2003;38:207-15. 11. Villa E, Colantoni A, Comma C, Grottola A, Buttafoco P, Gelmini R, et al. Estrogen receptor classification for hepatocellular carcinoma: comparison with clinical staging systems. J Clin On col. 2003;21 :441-6. 12. Pons F, Varela M, Llovet JM. Staging systems in hepatocellular carcinoma. HPB (Oxford). 2005; 7(1): 35-41.

IKTERUS

DEFINISI Ikterus adalah warna kuning pada jaringan tubuh karena deposit bilirubin. 2 Terlihatnya ikterus jika level bilirubin> 3 mgjdU (tergantung dari warna kulit 2). Ikterus diklasifikasikan menjadi tiga kategori, tergantung pada bagian mana dari mekanisme fisiologis mempengaruhi patologi. Klasifikasi ikterus terse but adalah : 1. Pra-hepatik: Patologi yang terjadi sebelum hati.

2. Hepatik: Patologi terletak di dalam hati. 3. Post-hepatik: Patologi terletak setelah konjugasi bilirubin dalam hati.

DIAGNOSIS Anamnesis 1



Penggunaan obat-obatan jangka panjang seperti anabolik steroid, vitamin, herbal, dll.



Riwayat penggunaan obat-obatan suntik, tato, aktivitas seksual risiko tinggi



Riwayat konsumsi makanan dengan kontaminasi yang tidak baik, konsumsi alkohol jangka panjang



Atralgia, mialgia, rash, anoreksia, be rat badan turun, nyeri perut, pruritus, demam, perubahan warna urin dan warna feses

Pemeriksaan Fisik1



Stigmata penyakit hati kronis: spider nevi, palmar eritema, gynecomastia, caput medusa.



Atrofi testis pada sirosis hepatis dekompensata.



Pembesaran kelenjar limfe supraclavicular atau nodul periumbilical: curiga keganasan abdomen



Distensi vena jugular, gejala gagal jantung kanan: pada kongesti hati



Efusi pleura kanan, ascites: pada sirosis hati dekompensata



Hepatomegali, splenomegali

Laboratorium 1·2



Darah: Alkalin fosfatase (ALP), Aspartat aminotranferase (AST), Alanin Aminotransferase (ALT), bilirubin total, konjugasi bilirubin, bilirubin tak terkonjugasi, albumin, protrombim time (PT)



Urin: urobilinogen, bilirubin urin

Tabel 1. Klasifikasi lkterus 3

Normal/meningkat

Meningkat

Meningkat

Bilirubin terkonjugasi (direct)

Meningkat

Normal

Meningkat

Bilirubin total

Bilirubin tak terkonjugasi (indirect)

Meningkat

Normal/meningkat

Normal

Urobilinogen

Meningkat

Normal/meningkat

Menurun atau negatif

Warna urine

Normal

Gelap

Gelap

Warna feses

Normal

Normal

Puc at

Alkaline fosfatase

Normal

Meningkat

Meningkat

Alanin aminotransferase dan aspartat aminotransferase

Normal

Meningkat

Meningkat

Bilirubin terkonjugasi dalam urin Penyakit yang berhubungan

Tidak ada

Ada

Ada

Malaria, spherositosis, anemia hemolitik, sickle cells anemia

Hepatitis virus, sirosis bilier primer

Batu saluran empedu, kanker pancreas, kanker saluran empedu

DIANOSIS BANDING Hiperkarotenemia

TATALAKSANA 1 1. Tatalaksana suportif: koreksi cairan dan elektrolit, penurun demam (jika disertai

demam), dan lain lain. 2. Tatalaksana sesuai dengan penyakit yang mendasari, dapat dilihat pada bab malaria, hepatitis virus akut, sirosis hati, batu sistem bilier.

KOMPLIKASI Sepsis, komplikasi lain sesuai dengan penyakit penyebabnya.

PROGNOSIS Prognosis tergantung penyakit penyebabnya, lebih lengkap dapat dilihat pad a bab malaria, hepatitis virus akut, sirosis hati, batu sistem bilier, dan lain lain.

I

Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, lab : ALT, AST, ALP, PT. albumin.

I

I

I

Isolated elevation bilirubin



Hiperbilirubinemia indirek (direk < 15%)

I I Bilirubin dan tes fungsi hati I

I

lainnya meningkat

T

I

+

Obat : rifampisin. probenecid

I

I

I Hiperbilirubinemia direk (direk > 15%)

I Kelainan bawaan dubin Johnson syndrome, rotor's syndrome

Kelainan bawaan : Gilbert's syndrome, Crigler-Naliar syndrome

I

I

I



~Polo hepatoseluler:

I 1. Serologis virus : antigen

tr-l

Kelainan hemolitik, eritropoiesis inefektif

·I

Polo kolestatik : ALP diluar proporsi ASTI ALT

peningkatan ALT/AST diluar proporsi ALP

permukaan Hep B, lgM Hep A, core antibody (lgM), Hep C RNA 2. Skrining keracunan ; level acetaminophen 3. Ceruloplasmin (jika usia < 40 tahun) 4. ANA, SMA, LKM, SPEP

l

I

1

I

I

~

Diktus tidak dilatasi; kolestasis parenkimal

Dilatasi duktus: lkterus Obstruktif

ICT/ERCP/MRCP I

Tes virologist tambahan : CMV DNA, EBV capsid antigen, Hep D antibody (jika ada indikasi), Hep E lgM (jika ada indikasi)

l Tes serologis : AMA, serologis hepatitis, Hep A, CMV, EBV

t B1opsl hall

I

I

~(-) r

Biopsi hati

I

Gambar 1. Algoritma Evaluasi Pasien dengan lkterus 1

t

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan



RS non pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi GastroenterologiHepatologi : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT • •

RS pendidikan RS non pendidikan

: Departemen Bedah, Divisi Bedah Digestif : Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Bagian Bedah

REFERENSI 1.

Jaundice. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of America; The McGrawHill Companies, 2012.

2.

Liver and Biliary tract. Dalam : McPhee, Stephen J. Papadakis, Maxine A. Current Medical Diagnosis and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011

3.

Approach to patient with jaundice or abnormal liver test results. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23'd edition. Saunders: Philadhelphia. 2007.

KOLANGITIS

PENGERTIAN Kolangitis adalah inflamasi dan infeksi pada saluran empedu yang paling sering disebabkan oleh karena koledokolitiasis. Penyebab lain an tara lain karena intervensij manipulasi dan pemasangan stent, keganasan hepatobilier, hepatolitiasis. 1-3 Kuman tersering penyebab infeksi yaitu Escherichia coli, Klebsiella, Enterococcus Sp, dan Bacteroides fragilis. 4 Ada 2 jenis kolangitis yaitu primary sclerosing cholangitis dan secondary sclerosing cholangitis. Pada bah ini akan dibahas mengenai secondary sclerosing cholangitis. Secondary sclerosing cholangitis disebabkan oleh 5 • Trauma saat operasi • Iskemia misalnya trombosis arteri hepatik setelah transplantasi, a tau kemoterapi trans arterial • Batu kandung empedu • Infeksi bakterijvirus (sitomegalovirus, kriptosporidiosis, sepsis berat) • Luka caustic misalnya pada terapi formalin untuk kista hidatid • Pankreatitis autoimun berhubungan dengan IgG4 • Keganasan • Penyakit hati polikistik • Sirosis • Kistik fibrosis DIAGNOSIS Anamnesis

Nyeri abdomen yang dirasakan tiba-tiba dan hilang-timbul, dapat disertai dengan menggigil dan kaku. Riwayat koledokolitiasis atau manipulasi traktus bilier. 4 Pemeriksaan Fisik

Pada pasien usia lanjut dapat terjadi perubahan status mental, konfusi, letargi, a tau delirium. Trias Charcot terdiri dari nyeri abdomen kuadran kanan atas, ikterik,

Panduan Praktikllinis

dan demam. Perubahan status mental disertai hipotensi dan Trias Charcot dikenal dengan Reynolds' pentad yang bisa terjadi pad a kolangitis supuratif be rat. 4 Pemeriksaan Penunjang4



DPL: leukositosis



Fungsi hati : hiperbilirubinemia, peningkatan alkali fosfatase, enzim transaminase, serum amilase jika ada pankreatitis.

• •

Kultur darah: positif pada 50 % kasus Kultur empedu: positif hampir pad a semua kasus.



Ultrasonografi abdomen: untuk diagnosis dan terapeutik



Endoscopic retrograde cholangiopancreatography [ERCP)



Percutaneous transhepatic cholangiography {PTC}

DIAGNOSIS BANDING Primary sclerosing cholangitis, infeksi TATALAKSANA4 • Hidrasi dengan cairan intravena dan koreksi ketidakseimbangan elektrolit • Antibiotik : Derivat penisilin (piperasilin) : untuk gram negatif Sefalosporin generasi II atau III (ceftazidim): untuk gram negative, cefoksitin 2 gram intravena setiap 6-8 jam Ampisilin untuk gram positif Metronidasol untuk kuman anaerob Fluorokuinolon (siprofloksasin, levofloksasin) Keadaan umum pasien akan membaik dalam 6-12 jam setelah pemberian antibiotik dan dapat diatasi dalam 2-3 hari. Jika dalam 6-12 jam tidak membaik, harus segera dilakukan tindakan dekompresi secepatnya. • Dekompresi dan drainase sistem bilier: jika tekanan dalam bilier meningkat karena adanya obstruksi Non operatif Percutaneous cholecystostomy Percutaneous transhepatic biliary drainage [PTBD): tindakan drainase bilier tanpa operasi. Drainase bilier dengan pemasangan NBT (Nasa Billiary Tube) atau Stent bilier melalui tindakan ERCP

Kolang.itis Operatif: jika tindakan non operatif tidak berhasil.

KOMPLIKASI Sepsis, kematian

PROGNOSIS Angka kematian bervariasi antara 13-88 %.

UNITY ANG MENANGANI •

RS Pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi GastroenterologiHepatologi



RS non Pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT •

RS Pendidikan



RS non Pendidikan

REFERENSI 1.

Lee JG. Diagnosis and management of acute cholangitis. Nat Rev Gastroentero/ Hepatol. Aug 4 2009

2.

Esmaeilzadeh M, Ghafouri A Mehrabi A Various techniques for the surgical treatment of common bile duct stones: a meta review. Gastroenterol Res Pract. 2009;2009:840208.

3.

Li FY, Cheng NS, Mao H, Jiang LS, et al. Significance of controlling chronic proliferative cholangitis in the treatment of hepatolithiasis. World J Surg. Jul 30 2009; Diunduh dari http://www.wjgnet. com/1 007-9327 /15/95.asp pada tanggal 22 Mei 2012.

4.

Wang D, Afdhal N. Gallstone Disease. In : Feldman M, Friedman L Brandt L. Sleisenger and Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology/Diagnosis/Management. 9'h ed. USA: Elsevier. Chapter 65.

5.

Rushbrook S, Chapman RW. Sclerosing Cholangitis. In: Dooley J, Lok A Burroughs A Heathcote E Diseases of the Liver and biliary System. 12'h ed. UK: Blackwell Science.p 342-352

KOLESISTITIS

PENGERTIAN Kolesistitis akut adalah reaksi inflamasi kandung empedu denganjatau tanpa adanya batu, akibat infeksi bakterial akut yang disertai keluhan nyeri perut kanan atas, nyeri tekan dan panas badan. Faktor yang mempengaruhi terjadinya kolesistitis akut yaitu statis cairan empedu, infeksi kuman, dan iskemia dinding kandung empedu. Kuman yang tersering menyebabkan kolesistitis akut yaitu E.con Strep. Fecalis, Klebsiella, anaerob (Bacteroides dan Clostridia); kuman akan mendekonjugasi garam empedu sehingga menghasilkan asam empedu toksik yang merusak mukosa. Penyebab utama adalah batu kandung empedu yang terletak di duktus sistikus sehingga menyebabkan statis cairan empedu, sedangkan sebagian kecil kasus timbul tanpa adanya batu empedu (kolesistitis akut akalkulus) seperti karena regurgitasi enzim pankreas. Wanita, obesitas, dan usia lebih dari 40 tahun akan lebih sering terkenaY DIAGNOSIS Anamnesis

Nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang dapat menjalar ke daerah pundak, skapula kanan dapat berlangsung sampai 60 menit tanpa recta, disertai demam. 1 Nyeri dapat dirasakan tengah malam atau pagi hari, penjalaran dapat ke sisi kiri menstimulasi angina pektoris. Nyeri timbul dipresipitasi oleh makanan tinggi lemak, palpasi abdomen, atauyawning.

2

Pemeriksaan Fisik

Peningkatan suhu tubuh mengindikasikan adanya infeksi kuman. Posisi pasien akan menekuk badannya, teraba massa kandung empedu, nyeri tekan disertai tandatanda peritonitis lokal, tanda Murphy (+), ikterik biasanya menunjukkan adanya batu di saluran empedu ekstrahepatik 1

Pemeriksaan Penunjangt2



Laboratorium: DPL (leukositosis ), SGOT, SGPT, fosfatase alkali, bilirubin meningkat (jika kadar bilirubin total > 85.6 mol/L atau 5 mgjdl dicurigai adanya batu di duktus koledokus), kultur darah



USG hati: penebalan dinding kandung empedu (double layer) pada kolesistisis akut, sering ditemukan pula sludge atau batu



Cholescintigraphy

label 1. Kriteria Diagnosis Kolesistitis Akut Tanpa Batu 3

Klinis dan laboratorium

Nyeri tekan kuadran kanan atas, demam, leukositosis, amylase meningkat

Ultrasonografi

Penebalan din ding kandung empedu (> 4 mm) tanpa adanya asites dan hipoalbuminemia. Adanya cairan di perikolesistik, Muphy's sign yang positif pada ultrasonografi

CT scan

Penebalan dinding kandung empedu (> 4 mm) tanpa adanya asites dan hipoalbuminemia. Adanya cairan di perikolesistik, edema subserosa! (tanpa adanya asites), gas intramural, atau kerusakan mukosa

Scintigraphy hepatobilier

Tidak tampak kandung empedu dengan ekskresi radionuklir yang normal ke dalam duktus bilier dan duodenum.

Kriteria Diagnosis Kolesistitis Akut dengan Batu :2



Tanda Murphy (+)



Ultrasonografi : Penebalan dinding kandung empdu (> 5 mm) Distensi kandung empedu Adanya cairan di perikolesistik Adanya edema subserosa (tanpa asites) Adanya udara intramural Kerusakan membran mukosa Kolesistisis (+)

DIAGNOSIS BANDING

Angina pektoris, infark miokard akut, apendisitis akut retrosaekal, tukak peptik perforasi, pankreatitis akut, obstruksi intestinaF TATALAKSANA Kolesistitis Akut Tanpa Batu2

Tirah baring

Pemberian diet rendah lemak pada kondisi akut a tau nutrisi parsialjparenteral bila asupan tidak adekuat Hidrasi kecukupan cairan tambahkan hidrasi intravena sesuai klinis Pengobatan suportif (antipiretik, analgetik, pemberian cairan infus dan mengoreksi kelainan elektrolit) Antibiotika parenteral: untuk mengobati septikemia dan mencegah peritonitis dan empiema. Anibiotikyang bersprektrum luas seperti golongan sefalosporin, dan metronidazol Kolesistektomi awal lebih disarankan karena menurunkan morbiditas dan mortalitas. Jika dilakukan selama 3 hari pertama, angka mortalitas O.S %. Ada juga yang berpendapat dilakukan setelah 6-8 minggu setelah terapi konservatif dan keadaan umum pasien lebih baik. Kolesistitis Akut dengan Batu 2

Pengobatan suportif (antipiretik, analgetik, pemberian cairan infus dan mengoreksi kelainan elektrolit) Antibiotika parenteral Surgical Cholecystectomy dan Cholecystostomy segera Percutaneous Cholecystostomy dengan bantuan ultrasonografi: jika kondisi

urn urn pasien buruk Transpapillary Endoscopic Cholecystostomy Endoscopic Ultrasound Biliary Drainage (EUS-BD)

KOMPLIKASI Gangrenjempiema kandung empedu, perforasi kandung empedu, fistula, peritonitis umum, abses hati, kolesistitis kronik2 PROGNOSIS Penyembuhan total didapatkan pada 8S% kasus, sekalipun kandung empedu menjadi tebal, fibrotik, penuh dengan batu, dan tidak berfungsi lagi. Tidak jarang menjadi rekuren, maksimal 30 % akan rekuren dalam 3 bulan ke depan. Pacta SO % kasus dengan serangan akut akan membaik tanpa operasi, dan 20% kasus memerlukan tindakan operasi. Tindakan bedah akut pada usia lanjut (> 7S tahun) mempunyai prognosis yang buruk. 2 Pencegahan kolesistitis akut dengan memberikan CCK SOng/ kg intravena dalam 10 menit, terbukti mencegah pembentukan sludge pada pasien yang mendapatkan total parenteral nutrition. 3

KOLESISTITIS KRONIK PENGERTIAN Kolesistitis kronik adalah inflamasi pada kandung empedu yang berlangsung lama dan berhubungan dengan adanya batu di kandung empedu, kolesistitis akut atau subakut yang berulang, atau iritasi dinding kandung empedu karena batu. Adanya bakteria di dalam empedu ditemukan pada > 25% pasien dengan kolesistitis kronik. 4 DIAGNOSIS Anamnesis

Gejala sangat minimal dan tidak menonjol seperti dispepsia, rasa penuh di epigastrium, dan nausea setelah makan makanan berlemak. Perlu ditanyakan riwayat batu empedu dalam keluarga, ikterus, kolik berulang. 2 Pemeriksaan Fisik

Ikterus, nyeri tekan pada daerah kandung empedu, tanda Murphy ( +) 2 Pemeriksaan Penunjang 1



Ultrasonografi: melihat besar, bentuk, penebalan dinding kandung empedu, batu dan saluran empedu ekstra hepatik. Nilai kepekaan dan ketepatan USG mencapai 90-95%



MRCP (Magnetic Resonance Choledochopancreaticography): melihat adanya batu di kandung empedu dan duktus koledokus



ERCP (Endoscopy Retrogade Choledochopancreaticography): bisa digunakan juga untuk terapi



Kolesistografi oral: gambaran duktur koledokus tanpa adanya gambaran kandung empedu

DIAGNOSIS BANDING Intoleransi lemak, ulkus peptik, kolon spastik, karsinoma, kolon kanan, pankreatitis kronik, dan kelainan duktus koledokus. 2 TATALAKSANA Jika gejala + denganjtanpa batu empedu : kolesistektomF

KOMPLIKASI Keganasan kandung empedu, jaundice, pankreatitis, empiema dan hydrops, gangren, perforasi, pembentukan batu kandung empedu dan fistulaY PROGNOSIS Angka rekurensi mencapai 40% dalam 2 tahun. Jarang menjadi karsinoma kandung empedu dalam perkembangan selanjutnya. 2 UNIT YANG MENANGANI • RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi GastroenteroHepatologi • RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT YANG TERKAIT • RS Pendidikan • RS non Pendidikan REFERENSI 1.

Pridady. Kolesistitis. Dalam Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L. AlwL I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta: Intern a Publishing; 2010. Hal.718-726

2.

Sherlock S, Dooley J. Gallstones and Benign Biliary Disease. In: Dooley J, Lok A Burroughs A Heathcote E. Diseases of the Liver and biliary System. 12'h ed. UK: Blackwell Science. P257-293

3.

Andersson KL, Friedman LS. Acalculous Biliary Pain, Acalculous Cholecystitis, Cholesterolosis, Adenomyomatosis, and Polyps of the Gallbladder. In : Feldman M, Friedman L Brandt L. Sleisenger and Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology/Diagnosis/Management. 9'h ed. USA: Elsevier. Chapter 67.

4.

Greenberger NJ. Diseases of the Gallbladder and Bile Ducts. In: Fauci AS, Kasper DL Longo DL, Braunwald E, Lauser SL Jameson JJ, et aL eds. Harrison's Principles of Internal Medicine. Edisi ke-17. New York: McGraw-Hill 2008. Chapter 311.

PENYAKIT PERLEMAKAN HATI NON ALKOHOLIK PENGERTIAN Penyakit perlemakan hati non alkoholik (NAFLD j Non Alcoholic Fatty Liver a tau NASH/ Non Alcoholic Steatohepatitis) merupakan suatu sindrom klinis dan patologis akibat

perlemakan hati, ditandai oleh berbagai tingkat perlemakan, peradangan dan fibrosis pada hati. Perlemakan hati (Fatty liver atau steatosis) merupakan suatu keadaan adanya lemak di hati (sebagian besar terdiri dari trigliserida) melebihi 5% dari seluruh berat hati yang disebabkan kegagalan metabolisme lemak hati dikarenakan defek di antara hepatosit atau proses transport kelebihan lemak, asam lemak, atau karbohidrat karena melebihi kapasitas sel hati untuk sekresi lemak. Kriteria non alkoholik disepakati bahwa konsumsi alkohol:::; 20 gramjhari. Terjad4nyaperlemakan hati melalui 4 mekanisme yaitu :1•2 •

Peningkatan lemak dan asam lemak dari makanan yang dibawa ke hati.



Peningkatan sintesis asam lemak oleh mitokondrial atau menurunnya oksidasi yang meningkatkan produksi trigliserida



Kelainan transport trigliserid keluar dari hati



Peningkatan konsumsi karbohidrat yang selanjutnya dibawa ke hati dan dikonversi menjadi asam lemak. Faktor risiko: obesitas, diabetes melitus, hipertrigliserida, obat-obatan (amiodaron,

tamoksifen, steroid, estrogen sintetik), dan toksin (pestisida)-3 Berdasarkan tingkat gambaran histopatologik ada beberapa perjalanan ilmiah penyakit ini yaitu perlema:kan hati sederhana, steatohepatitis, steatohepatitis yang disertai fibrosis dan sirosis. Hipotesis terjadinya NAFLD yaitu :2 •

First Hit terjadi akibat penumpukan lemak di hepatosit akibat peningkatan lemak bebas pacta dislipidemia, obesitas, diabetes mellitus. Bertambahnya asam lemak bebas di dalam hati akan menimbulkan peningkatan oksidasi dan esterifikasi lemak pada mitokondria sel hati sehingga pada akhirnya akan meningkatkan kerusakan mitokondria itu sendirP· 2

Pandoan Praldik Klinis

.Perhimpu_nah Dolder Speslalis PenyaJdt Qalam Indonesia



Second Hit peningkatan stres oksidatif dapat terjadi karena resistensi insulin, peningkatan endotoksin di hati, peningkatan aktivitas un-coupling protein mitokondria, peningkatan aktivitas sitokrom P 450, peningkatan cadangan besi, dan menurunnya aktivitas anti oksidan. Ketika stres oksidatif yang terjadi melebihi kemampuan perlawanan anti oksidan, maka aktifasi sel stelata dan sitokin pro inflamasi akan berlanjut dengan inflamasi progresif, pembengkakan hepatosit dan kematian sel, pembentukan badan Mallory, serta fibrosis. 1•2

DIAGNOSIS Anamnesis

Umumnya pasien tidak menunjukkan gejala atau tanda-tanda penyakit hati, Beberapa pasien mengeluhkan rasa lemah, malaise, rasa mengganjal di perut kanan atas. Riwayat konsumsi alkohol, riwayat penyakit hati sebelumnya. 2 Pemeriksaan Fisik

Dapat ditemukan adanya kelebihan berat badan, hepatomegali, komplikasi sirosis yaitu asites, perdarahan varises. Sindrom resistensi insulin: obesitas (lemakviseral).1.2 Pemeriksaan Penunjang2 -4



Fungsi hati : peningkatan ringan ( <4 kali) AST (aspartate aminotransferaseJ ALT (alanine aminotransferase). AST>ALT pada kasus hepatitis karena alkohol.



Alkali fosfatase, gamma GT (glutamil transferase): dapat meningkat



Bilirubin serum, albumin serum, dan prothrombin time: dapat normal, kecuali pada kasus NAFLD terkait sirosis hepatis.



Gula darah, profillipid, seromarker hepatitis.



ANA, anti ds DNA : titer rendah ( < 1 : 320)



USG: gambaran bright liver

• •

CT Scan MRI: deteksi infiltrasi lemak



Biopsi hati: baku emas diagnosis. Ditemukan 5-10% sellemak dari keseluruhan hepatosit, peradangan lobulus, kerusakan hepatoselular, hialin Mallory dengan a tau tanpa fibrosis. Kegunaan biopsy hati : membedakan steatosis non alkoholik dengan perlemakan tanpa atau disertai inflamasi, menyingkirkan etiologi penyakit hati lain, memperkirakan prognosis, dan menilai progresi fibrosis dari waktu ke waktu. Grading dan staging NAFL :

DIAGNOSIS BANDING Hepatitis 8 dan C kronik, penyakit hati autoimun, hemokromatosis, Penyakit Wilson's, defisiensi a1 antitripsin 1

TATALAKSANA Non farmakologis

Mengontrol faktor risiko : penurunan berat badan, kontrol gula darah, memperbaiki profillipid, memperbaiki resistensi insulin, mengurangi asupan lemak ke hati, dan olah raga 2•3 Aminotransferase serum meningkat dan/atau hepatomegali

Anamnesis menyingkirkan adanya pemakaian alkohol dan pemeriksaan penunjang lainnya untuk menyingkirkan penyebab lain

USG, CT scan, atau MRI ~

T Biopsi hati

~

I Perlemakan hati +

Pikirkan biopsi hati untuk menentukan stage penyakit dan risiko progresi

Gamber 1. Algoritma Pendekatan Diagnosis pada NAFLD 4

Farmakologis



Antidiabetik dan insulin sensitizer: 2•3 metformin 3x500 mg selama 4 bulan didapatkan perbaikan konsentrasi AST dan ALT, peningkatan sensitivitas insuin, dan penurunan volume hati. Cara kerja: meningkatkan kerja insulin pada sel hati dan menurunkan produksi glukosa hati melalui penghambatan TNF-a.



Tiazolidindion (pioglitazon): memperbaiki kerja insulin di jaringan adipose. 5



Obat anti hiperlipidemia 2•3 Gemfibrozil: perbaikan ALT dan konsetrasi lipid setelah pemberian 1 bulan Atorvastatin: perbaikan parameter biokimiawi dan histologi



Antioksidan 2•3•5 Tujuan: mencegah steatosis menjadi steatohepatitis dan fibrosis Vitamin E, vitamin C, betain, N-asetilsistein. Vitamin E 400, 800 IU jhari dapat menurunkan TGF-B, memperbaiki inflamasi dan fibrosis, perbaikan fungsi hati dengan cara menghambat produksi sitokin oleh leukosit. Betain berfungsi sebagai donor metil pada pembentukan lesitin dalam siklus metabolik metionin, dengan dosis 20 mgjhari selama 12 bulan terlihat perbaikan bermakna konsentrasi ALT, steatosis, aktivitas nekroinflamasi, dan fibrosis.

Ursideoxycholic acid (UDCA) adalah asam empedu yang mempunyai efek imunomodultor, pengaturan lipid, efek sitoproteksi. Dosis 13-15 mgjkg berat badan selama satu tahun menunjukkan perbaikan ALT, fosfatase alkali, gamma GT, dan steatosis tanpa perbaikan bermakna derajat inflamasi dan fibrosis.

2

KOMPLIKASI Sirosis hati, karsinoma hepatoselular 3

PROGNOSIS Pada 257 pasien NAFL yang dipantau selama 3,5 tahun sampai 11 tahun melalui biopsi hati, didapatkan 28% mengalami kerusakan hati progresif, 59% tidak mengalami perubahan, dan 13 % membaik. Pasien steatohepatitis non alkoholik memiliki kesintasan yang lebih pendek yaitu 5-10 tahun, kesintasan 5 tahun hanya 67% dan kesintasan 10 tahun 59%. Banyak faktor yang mempengaruhi mortalitas yaitu obesitas, diabetes melitus dan komplikasinya, komorbiditas lain yang berkaitan dengan obesitas, serta kondisi hati sendirU

Pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa NAFL merupakan kondisi yang berlangsung kronik (beberapa tahun) dan tidak akan berkembang menjadi penyakit hati berat. Fungsi hati tetap stabil dalam beberapa waktu. Pada beberapa pasien, NAFLD dapat berkembang menyebabkan kerusakan hati pada 3% pasien, 54% tetap stabil, dan 43% pasien memburuk. Risiko menjadi sirosis yaitu 8-26 %. 3

UNITY ANG MENANGANI • RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroentero•

RS non Pendidikan

Hepatologi : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNITY ANG TERKAIT • RS Pendidikan • RS non Pendidikan REFERENSI 1.

Sherlock S, Dooley J. Non-alcoholic Fatty Liver Disease and Nutrition. In: Dooley J, Lok A Burroughs A Heathcot. Diseases of the Liver and biliary System. 12'h ed. UK: Blackwell Science. P546-567

2.

Hasan lrsan. Perlemakan Hati Non Alkohol. Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010. Hal.695-701

3.

Kaplan M. Nonalcoholic steatohepatitis (NASH). Diunduh dari http:/ /www.u ptodate.com/ contents/patient-information-nonalcoholic-steatohepatitis-nash-beyond-the-basics pada tanggal22 Mei 2012

4.

Reid AE. Nonalcoholic fatty liver disease. In :Feldman M, Friedman L Brandt L. Sleisenger and Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology/Diagnosis/ Management. 9'h ed. USA: Elsevier. Chapter 85.

5.

Sonya AJ, Chalasani N, Kowdley KV et all. Pioglitazone, Vitamin E, or Placebo for Nonalcoholic Steatohepatitis. N Eng! J Med 201 0;362:1675-85.

SIROSIS HATI

PENGERTIAN Sirosis adalah penyakit hati kronis yang ditandai dengan hilangnya arsitektur lobulus normal oleh fibrosis, dengan destruksi sel parenkim disertai dengan regenerasi yang membentuk nodulus. Penyakit ini memiliki periode Iaten yang panjang, biasanya diikuti dengan pembengkakan abdomen dengan atau tanpa nyeri, hematemesis, edema dan ikterus. Pada stadium Ian jut, gejala utamanya berupa asites,jaundice, hipertensi portal, dan gangguan sistem saraf pusat yang dapat berakhir menjadi koma hepatikum. 1-3 Etiologi sirosis dapat dilihat pada tabell. label 1. Etiologi Sirosis 2

Alkoholisme Sirosis kardiak : Hepatitis autoimun Steatohepatitis non-alkoholik Sirosis bHiar: sirosis bHiar primer, primary sclerosing cholangitis, kolangiopati autoimun Hepatitis virus kronis, hepatitis B, Hepatitis C Penyakit hati metabolik diturunkan: hemokromatosis, penyakit Wilson, defisiensi a 1-antitripsin, fibrosis kistik Sirosis kriptogenik

DIAGNOSIS Anamnesis 4



Perasaan mudah Ielah dan berat badan menurun



Anoreksia, dispepsia

• •

Nyeri abdomen jaundice, gatal, warna urin lebih gelap dan feses dapat lebih pucat



Edema tungkai atau asites



Perdarahan : hidung, gusi, kulit, saluran cerna



Libido menurun



Riwayat: jaundice, hepatitis, obat-obatan hepato toksik, transfusi darah



Kebiasaan minum alkohol



Riwayat keluarga : penyakit hati, penyakit autoimun



Perlu juga dicari gejala dan tanda: Gejala awal sirosis (kompensata): Perasaan mudah Ielah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan menurun. Gejala lanjut sirosis (dekompensata): Bila terdapat kegagalan hati dan hipertensi portal, meliputi hilangnya ram but badan, gangguan tidur, demam subfebris, perut membesar. Bisa terdapat gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, hematemesis melena, ikterus, perubahan siklus haid, serta perubahan mental. Pada laki-laki dapat impotensi, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas.

Pemeriksaan Fisik2 · 4



Status nutrisi, demam, fetor hepatikum, ikterus, pigmentasi, purpura, clubbing finger, white nails, spider naevi, eritema palmaris, ginekomastia, atrofi testis, distribusi rambut tubuh, pembesaran kelenjar parotis, kontraktur dupuytren(dapat ditemukan pada sirosis akibat alkoholisme namun dapat juga idiopatik), hipogonadisme, asterixis bilateral, tekanan darah.



Abdomen: asites, pelebaran vena abdomen, ukuran hati bisa membesarjnormalj kecil, splenomegali

• •

Edema perifer Perubahan neurologis: fungsi mental, stupor, tremor

Pemeriksaan Penunjang2.4 1. Laboratorium:

a.

Tes biokimia hati •

SGOT /SGPT: dapat meningkat tapi tak begitu tinggi, biasanya SGOT lebih



meningkat dari SGPT, dapat pula normal Alkali fosfatase: dapat meningkat 2-3x dari batas normal atau normal



GGT: dapat meningkat a tau normal



Bilirubin: dapat normal atau meningkat



Albumin: menurun



Globulin meningkat: rasio albumin dan globulin terbalik



Waktu protrombin: memanjang

b. Laboratorium lainnya Sering terjadi anemia, trombositopenia, leukopenia, netropenia dikaitkan dengan hipersplenisme. Bila terdapat asites, periksa elektrolit, ureum, kreatinin, timbang setiap hari, ukur volum urin 24 jam dan ekskresi natrium urin. 2. Pencitraan •

USG: sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan ada tidaknya mass a, pada sirosis lanjut hati mengecil dan nodular, permukaan ireguler, peningkatan



ekogenitas parenkim hati, vena hepatika sempit dan berkelok-kelok. Transient Elastography (fibroscan®)

• •

CT scan : informasi sama dengan USG biaya relatif mahal, MRI EEG hila ada perubahan status neurologis

3. esofagugastroduodenoskopi, skrining varises esofagus. 4. Biopsi hati : Algoritma biopsi pada pasien dengan hepatitis virus kronis dapat dilihat pada gambar 1. 5. Cek AFP untuk skrining hepatoma. 6. Mencari etiologi: serologi hepatitis (HbsAg, anti HCV), hepatitis autoimun (ANA, antibodi anti-smooth muscle), pemeriksaan Fe dan Cu (atas kecurigaan adanya penyakit Wilson), pemeriksaan a 1 -antitripsin (atas indikasi pada yang memiliki riwayat merokok dan mengalami PPOK), biopsi hati. Hepatitis virus kronis

Lakukan 2 tes fibrosis non-invasif

Hasil sesuai

Biopsi hanya bila hasilnya akan mempengaruhi tatalaksana

+

! Biopsi hanya bila hasilnya akan mempengaruhi tatalaksana

+

cr

Biopsi tidak dilakukan

Gambar 1. Algoritma Biopsi pada Pasien dengan Hepatitis Virus Kronis 4

Tabel 2. Gambaran Histopatologis dari Etiologi Sirosis4

Hepatitis B

Makro/mikro nodular

Hepatitis C

Makro/mikro Nodular

+

Alkohol

Mikro/makro nodular

+

Hemokromatosis

Mikronodular

±

Penyakit Wilson

Makronodular

±

±

Defisiensi a,antitripsin

Mikro/makro Nodular

±

Biliar primer

Biliar

Obstruksi aliran vena

Reversed

Operasi bypass usus

Mikronodular

Sirosis masa kanak-kanak Indian

Mikronodular

+

+

±

+

±

±

+

±

+

+

±

±

±

+

+

±

+



±

+

±

+

±

+

± +

Keterangan:- biasanya tidak ada; ± mungkin ada; + biasanya ada

DIAGNOSIS BANDING Hepatitis kronik aktif.2

KOMPLIKASI Varises esofagusjgaster, hipertensi portal, peritonitis bakterial spontan, sindrom hepatorenal, sindrom hepatopulmonal, gangguan hemostasis, ensefalopati hepatikum, gastropati hipertensi portaU

TAT ALAKSANA2 -4 •

lstirahat cukup



Diet seimbang (tergantung kondisi klinis)



Pada pasien sirosis dekompensata dengan komplikasi asites: diet rendah garam.



Laktulosa dengan target BAB 2-3 x sehari.



Terapi penyakit penyebab, lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 1.

PROGNOSIS Lihat pada tabel 3 dan 4. Tabel 3. Beberapa Penyebab Tersering Sirosis Hepatis 5

Sirosis alkohol

Anamnesis Jumlah dan durasi konsumsi alkohol. pada pria dapat terjadi gejala ginekomasti (rambut tubuh menghilang, atrofi testis). Laboratorium Pada alkoholik berat dapat terjadi anemia hemolitik (spur cells dan akantosit); Zieve's syndrome, nodul biasaya berdiameter <3mm (mikronodul), perbandingan serum AST:ALT = 2:1.

Stop konsumsi alkohol. Medikamentosa : glukokortikoid, pentoxifylline,

Sirosis karena virus Hepatitis

Laboratorium Sirosis Hep. C :Anti HCV, RNA serologis hepatitis B : HbsAg, anti-HBs, HBeAg, anti HBe, dan HBV DNA kuantitatif

Lamivudine, adefovir, telbivudine, entecavir, tenofovir, interferon/ Peg IFN + Ribavirin

Sirosis bilier

Sirosis bilier primer Anamnesa : rasa Ieiah, pruritus (intermiten, biasa apada soremalam hari) Pemeriksaan fisik: hiperpigmentasi, xanthelesma, xantoma, likenifikasi karena garukan. Laroratorium: serum ALT dan AST meningkat, tes AMA (+)

Sirosis Bilier Primer : Ursodeoxycholic Acid (UDCA) 13-15 mg/kg/hari, Pruritus : antihistamin, narcotic receptor antagonists (naltrexone), dan rifampin. Cholestyramine. Plasmapheresis. PSC: UDCA 20mg/kg.hr, endoscopic dilatation, transplantasi hati.

Primary Sclerosing Cholangitis (PSC) Anamnesa : rasa Ieiah, pruritus, steatorhea, defisiensi vitamin larut lemak. Laboratorium : serum Alkaline Phosphatase (ALP) meingkat 2x, Endoscopic Retrograde CholangioPancreatography (ERCP) : striktur.

Pada pasien yangsudah sirosis alkohol dan masih tetap mengkonsumsi alkohol maka angka bertahan 5 tahun sebesar <50%.

PSC dapat berkempang menjadi karsinoma.

Tabel4. Sistem Penilaian Child-Turcoffe-Pugh 5

Asites Ensefalopati Bilirubin{mg/dl) Albumin {g/dl) Waktu protrombin {detik diatas waktu protrombin normal)

Nihil Nihil

Sulit dikontrol Grade Ill atau IV

1-3

Mudah dikontrol Grade I atau II 2-3 2.8-3.5 4-6

<2 >3.5

Jumlah poln total Prosentase hldup dalam 1 tahun pertama

5-6 100%

7-9 80%

10-15 45%

>3 <2.8

>6

UNITYANG MENANGANI •

RS Pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi GastroenteroHepatologi



RS non Pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS Pendidikan



RS non Pendidikan

REFERENSI 1.

Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 23rd Ed. Philadelphia. Elsevier. 2007

2.

Bacon BR. Cirrhosis and Its Complications. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'h Edition. New York, McGraw-Hill. 201 2.

3.

Nurdjanah S. Sirosis Hati. Dalam : Sudoyo A. Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing. 2009. Hal 668-73.

4.

McCormick PA. Hepatic Cirrhosis. In: Dooley JS, Lok ASF, Burroughs AK, et al. Sherlock's Diseases of the Liver and Biliary System. 121h Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd. 2011. Hall 03-19

5.

Elsayed EY, Riad GS, Keddeas MW. Prognostic Value OF MELD Score in Acute Variceal Bleeding. Researcher 201 0;2(4) :22-27

TUMOR PANKREAS

PENGERTIAN Tumor pankreas dapat diklasifikasikan sebagai neoplasma eksokrin atau endokrin berdasarkan asal dari selnya dan morfologi tumor (solid atau kistik). Kasus adenokarsinoma duktus terjadi sekitar 90% dari kasus neoplasma pankreas. Adenokarsinoma duktus infiltrat merupakan tumor pankreas yang paling sering terjadi. Karsinoma sel asinar, tipe lain dari tumor pankreas solid, menyerupai bola kecil sel epitel yang berbentuk piramid. Tumor pankreas eksokrin ini lebih banyak mengenai pria. Seringkali overproduksi lipase menyebabkan sindrom metastasis nekrosis lemak, yang dikarakteristikan dengan nekrosis lemak perifer, eosinofilia, dan poliartralgia. Tumor pankreas kistik termasuk neoplasma (tipe musin, serosa), dan tumor solid-pseudopapillary sangat jarang terjadi, umumnya jinak dan dapat disembuhkan dengan reseksi bedah. Namun terkadang, tumor kistik memiliki komponen invasifyang memberikan prognosis buruk secara keseluruhan. 1 Klasifikasi tumor primer pankreas menurut WHO dapat dilihat pacta tabell. Karsinoma pankreas merupakan penyakit kanker no.4 yang menyebabkan kematian terbanyak di Am erika Serikat dan sering dikaitkan dengan prognosis buruk. Faktor risiko yang dapat menyebabkan karsinoma pankreas an tara lain merokok (2025%), pankreatitis kronis, dan diabetes. 1 Pembagian stadium karsinoma pankreas tidak menggunakan sistem tumor-nodus-metastasis (TNM), namun dibagi menjadi 3 kategori primer yaitu 1) terlokalisir, dan dapat direseksi; 2) lokasi meluas, dan tidak dapat direseksi; dan 3) adanya metastasis. 3 Skrining rutin CA 19-9 dan carcinoembryonic antigen (CEA) tidak dianjurkan karena tidak memiliki sensitivitas yang cukup, dan computed tomography (CT) tidak memiliki resolusi yang adekuat untuk mendeteksi displasia pankreas. Endoscopic ultrasound (EUS) merupakan alat skrining yang menjanjikan, dan merupakan usaha preklinis untuk mendeteksi biomarker yang dapat mendeteksi stadium awal karsinoma pankreas. 1

Tabell. Klasifikasi WHO Terhadap Tumor Eksokrin Pankreas 2

i.

Serous cystadenoma

ii.

Mucinous cystadenoma

iii.

Intraductal papillary mucinous adenoma

iv.

Mature cystic teratoma

i.

Mucinous cystic tumor dengan displasia sedang

ii.

Intraductal papillary mucinous dengan displasia sedang

iii.

Solid-pseudopapillary tumor

i.

Ductal adenocarcinoma

ii.

Osteoclast-like giant cell tumor·

iii.

Serous cystadenocarcinoma

iv.

Mucinous cystadenocarcinoma (invasif atau noninvasif)

v.

Intraductal papillary mucinous carcinoma (invasif atau noninvasif)

vi.

Acinar cell carcinoma

vii.

Pancreatoblastoma

viii.

Solid-pseudopapillary carcinoma

ix.

Karsinoma lainnya

DIAGNOSIS Anamnesis 1

• • • •

Rasa tidak nyaman pacta perut, mual, muntah, pruritus, letargi, penurunan berat badan Jarang : nyeri epigastrium, nyeri punggung, diabetes new onset Penyakit komorbid seperti pankreatitis kronis, diabetes Riwayat kebiasaan merokok

Pemeriksaan Fisik1

• • •

Ikterik, kakesia, tanda bekas garukan Kandung empedu teraba (tanda Courvoisier) Tanda metastasis jauh : hepatomegali, asites, limfadenopati supraklavikular kiri (nodus Virchow), limfadenopati periumbilikus (nodus Sister Mary joseph)

Pemeriksaan Penunjang 1A



Laboratorium Rutin : darah perifer lengkap dan hitung jenis leukosit, amilase, lipase, serum bilirubin, alkali fosfatase, protein total, albumin/globulin,

Tumor-associated carbohydrate antigen 19-9 (CA 19-9)



Radiologis: CT scan, ERCP, MRI, Positron-emission tomography with fluorodeoxyglucose positron emission tomography (FOG-PET), EUS



Sitologi: EUS-guidedfine needle aspiration (EUS-FNA)



Laparoskopi

DIAGNOSIS BANDING Diagnosis ini harus dipertimbangkan pada semua pasien > 40 tahun dengan ikterik progresif a tau intermiten, terutama bila diperkuat dengan gejala seperti nyeri abdomen persisten atau tidak dapat dijelaskan, lemah dan berat badan menurun, diare, glikosuria, faecal occult blood (+), hepatomegali, limpa teraba a tau tromboflebitis migrans. 3 TATALAKSANA2 -5 1. Reseksi (pancreaticoduodenectomy / operasi Whipple)

2. Adjuvan: 5-fluorouracil (5-FU), asam folinik 3. Paliatif: diberikan pada pasien yangtidak dapat menjalani reseksi untuk meredakan ikterik, obstruksi duodenum atau nyeri Pendekatan Diagnosis

I

I Curiga kanker pankreas

~ I

Helical CT

I I

I

Tidak tampak tumor

Tumor caput pancreas < 2cm

t

IERCP dan atau EUS

[GJ

--

I I

I

Tumor caput pankreas > 2cm

I IBedah eksplorasi untuk reseksi

Tumor corpus a tau cauda pankreas

Laparoskopi dengan sitologi

~

!CDJ

Gamber 1. Algoritma Diagnosis Kanker Pankreas'

Stadium kanker pankreas dapat dilihat pacta tabel 2. label 2. Stadium Kanker Pankreas 2

Tl/NO

Terbatas pada pankreas, ~ 2 em

T2/NO

Terbatas pada pankreas, > 2 em

T3 atau Nl Ill

T4 atau Napa soja

IV

Ml

Melewati pankreas atau metastase kelenjar limfe regional

20%

7%

8%

26%

2%

53%

Melibatkan celiac axis atau arteri mesenterika superior Metastase jauh

KOMPLIKASI Ikterik, nyeri, obstruksi usus, penurunan berat badan. 2•5 PROGNOSIS Prognosis tumor pankreas dapat dilihat pacta tabel 2 dan tabel 3. label 3. Prognosis Tumor Pankreas 1

Lokal

7

22

Locally advanced 1 tidak dapat direseksi

26

9

Metastase

53

2

UNIT YANG MENANGANI • RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi GastroenteroHepatologi • RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT •

RS Pendidikan

: Departemen Bedah Digestif



RS non Pendidikan

: Bagian Bedah

REFERENSI 1.

Hidalgo M. Progress in Pancreatic Cancer: Where Are We Now and Where Must We Go?. Optimal Treatment of Locally Advanced/Metastatic Pancreatic Cancer: Current Progress and Future Challenges. Clinical Care Options Oncology. Diakses melalui http:/ /www.clinicaloptions.com/ Oncology/Treatment%20Updates/Pancreatic/Modules/Progress/Pages/Page%202.aspx pada tanggal 25 Juni 2012.

2.

Jimenez RE, Castillo CF. Tumors of the Pancreas. In : Feldman, Friedman, Brandt. Sleisenger and Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease. 9th Edition. Vol I. 2010

3.

Chong I, Cunningham D. Pancreatic Cancer. In : Longo DL Fauci AS, Kasper DL Hauser SL, Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York, McGrawHill. 2012.

4.

Ko A. Pancreatic Adenocarcinoma. CCO in Practice. Diakses melalui http://www. clinicaloptions. com/inPractice/Oncology/Gastrointestinai_Cancer/ch 13_GI-Pancreas.aspx pad a tanggal 22 Mei 2012.

5.

Koti RS, Davidson BR. Malignant Biliary Diseases. In : Dooley JS, Lok ASF, Burroughs AK, et al. Sherlock's Diseases of the Liver and Biliary System. 12th Edition. United Kingdom: Blackwell Publishing Ltd. 2011. Hal 302-8.

TUMOR SISTEM BILlER Tumor sistem bilier dibagi berdasarkan anatomis yaitu tumor jinak dan ganas kandung empedu, tumor jinak saluran empedu ekstrahepatik, karsinoma saluran empedu intrahepatik (cholangiocarcinoma). Pada bab ini akan dibahas lebih lanjut mengenai karsinoma kandung empedu dan cholangiocarcinoma. Tumor sistem bilier

+

+

ICholangiocarcinoma I • Karsinoma sel skuamosa • Small cell carcinoma

• Papiloma • Adenomioma • Fibroma ·Tumor sel granular

Gamber 1. Algoritma Pembagian Tumor Sistem Bilier1

A. KARSINOMA KANDUNG EMPEDU PENGERTIAN Merupakan kanker yang berawal di dalam kandung empedu, termasuk dalam keganasan yang jarang terjadi. Jenis keganasan tersering yaitu adenokarsinoma (adenokarsinoma papilla), jenis lain yang lebih jarang terjadi yaitu adenoskuamosa, karsinoma sel skuamosa, dan small cell carcinoma. Faktor risiko terjadinya karsinoma kandung empedu : batu empedu, porcelain gallbladder, jenis kelamin perempuan, obesitas, usia lanjut, etnis Amerika-Meksiko, adanya kista koledokus, abnormalitas duktus bilier, polip kandung empedu, paparan bahan kimia, tifoid kronik, riwayat keluarga menderita karsinoma kandung empedu. 2

1

Panduan Praklik.lliois

DIAGNOSIS Anamnesis

Pacta stadium awal umumnya tidak menimbulkan gejala sampai pacta stadium lanjut. Beberapa keluhan pasien yaitu nyeri abdomen kuadran kanan atas, mual dan muntah, ikterik, napsu makan menurun, kehilangan berat badan, pembengkakan abdomen, gatal-gatal, tarry stools 2 Pemeriksaan Fisik

Pasien tampak ikterik, dapat ditemukan pembesaran kandung empedu a tau teraba masa pacta area kandung emperu, nyeri tekan abdomen1.2 Pemeriksaan Penunjang



Tes fungsi hati dan kandung empedu : bilirubin, albumin, alkalin fosfatase, AST (aspartate aminotransferase), ALT (alanine aminotransferase), and Gama GT (glutamil transferase).



Tumor markers : CEA dan CA 19-9

• •

Pemeriksaan urin dan feses Ultrasonography: adanya masa di lumen kandung empedu



CT Scan (Computed Tomography): masa di daerah kandung empedu sebagai diagnosis

awal, menentukan staging dari penyebaran tumor dan keterlibatan lymph nodes, juga dapat digunakan sebagai alat bantu dalam biopsi dengan jarum. Dapat dilakukan CT scanner {CT angiography) untuk melihat keadaan pembuluh darah hepatik dan portal. •

Magnetic resonance imaging (MRI) scan : melihat secara detail kandung empedu

dan salurannya, serta organ sekitar. Salah satu jenis MRI yang berguna pad a kasus ini yaitu MR cholangiopancreatography (MRCP) yang dapat melihat langsung ke dalam saluran empedu dan MR angiography {MRA) yang dapat melihat keadaan pembuluh darah hepatik dan portal. •

Endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) : melihat adanya



sumbatan pacta duktus biliaris atau duktus pankreatikus. Percutaneous transhepatic cholangiography {PTC}: dapat digunakan untuk mengambil sampel cairan atau jaringan



Laparoskopi : membantu, merencanakan operasi atau terapi lain, konfirmasi staging kanker, pengambilan sampel biopsi, mengangkat kandung empedu pacta

kasus batu empedu atau inflamasi kronik (laparoscopic cholecystectomy). •

Biopsi

Tabell. Staging untuk Karsinoma Kandung Empedu :3

0 (Carcinoma in Situ}

Sel abnormal ditemukan pada !apison dalam mukosa kandung empedu, dapat menjadi sel kanker dan menyebar ke jaringan normal.

I

Sel kanker menyebar ke di antara !apison mukosa ke pembuluh darah atau !apison otot.

II

Sel kanker menyebar ke !apison otot dan jaringan ikat sekitar otot.

II/A

Sel kanker menyebar ke jaringan yang melapisi kandung empedu dan/ atau ke hati dan/atau organ terdekat (seperti lambung, usus kecil, kolon, pankreas, atau duktus bilier ekstrahepatik}

11/B

Sel kanker menyebar ke kelenjar getah bening dan !apison dalam kandung empedu, !apison otot, atau sampai pembuluh darah; atau melewati !apison otot ke jaringan ikat sekitar otot. atau menyebar melalui jaringan yang melapisi kandung empedu dan/atau ke hati dan/atau organ terdekat (seperti lambung, usus kecil, kolon, pankreas, atau duktus bilier ekstrahepatik}

IVA

Sel kanker menyebar ke pembuluh darah utama hati atau minimal ke 2 organ terdekat atau area lain dari hati. Sel kanker mungkin telah menyebar ke kelenjar getah bening terdekat.

/VB

Sel kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening sepanjang arteri besar di dalam abdomen dan/atau dekat bagian bawah dari tulang belakang; atau ke organ atau area yang jauh dari kandung empedu.

DIAGNOSIS BANDING Batu kandung empedu, sludge TATALAKSANA • Operasi : kolesistektomi • Radiasi • Kemoterapi KOMPLIKASI Metastasis, obstruksi sistem bilier PROGNOSIS Faktor yang menentukan prognosis yaitu staging dari kanker, kanker dapat diangkat seluruhnya atau tidak, tipe dari kanker (dilihat dari mikroskop), kanker pertama kali didiagnosis atau rekuren. Prognosis umumnya buruk karena umumnya tidak dapat dioperasi saat terdiagnosis. Pada 50 o/o kasus sudah terjadi metastasis jauh. Rata-rata harapan hidup dari saat terdiagnosis yaitu 3 bulan, 14 o/o dapat bertahan sampai 1 tahun. Kanker jenis papilari dan well-differentated adenokarsinoma mempunyai harapan hid up lebih lama dibandingkan jenis tubuler dan undifferentiated. 13 2 • Berdasarkan staging angka harapan hidup dalam 5 tahun yaitu :

label 2. Angka Harapan Hidup sesuai staging2 0

81%

lA

50% 29%

IliA

9%

IliB

7%

IVA

3%

IVB

2%

B. KOLANGIOKARSINOMA PENGERTIAN Kolangiokarsinoma adalah keganasan yang berasal dari sel epitel bilier, dapat timbul pada saluran intra- dan ekstrahepatik. Merupakan keganasan primer hepatik yang kedua terbanyak. Umumnya tumor ini jenis adenokarsinoma. 4 Klasifikasi terbagi menjadi intrahepatik dan ekstrahepatik (terbagi lagi menjadi hilar dan distal). Kolangiokarsinoma berhubungan dengan kolitis ulseratif denganjatau tanpa kolangitis sklerosing, usia lanjut >60 tahun, jenis kelamin laki-lakU Faktor risiko untuk kolangiokarsinoma :4



Prosedur drainase bilier-enterik

• Penyakit Caroli • •

Kista duktus koledokus Sirosis hepatik

• Infeksi Clonorchis sinensis • •

• • •

Hepatitis C Hepatolithiasis Infeksi Opisthorchis viverrini Primary sclerosing cholangitis

Toksin (dioksin, polivinil klorida)

Klasifikasi Bismuth-Corlette Khusus untuk kolangiokarsinoma yang terletak pada daerah perihilar, dibagi berdasarkan keterlibatan duktus hepatikus menjadi :



Tipe 1: tumor distal dari pertemuan duktus hepatikus kiri dan kanan

• •

Tipe II: tumor mencapai daerah pertemuan kedua duktus Tipe III: tumor yang mencakup duktus hepatikus komunis dan salah satu duktus hepatikus ( duktus hepatikus kanan tipe Ilia, duktus hepatikut kiri tipe Illb)



Tipe IV: tumor yang multisentrik, atau mencakup daerah pertemuan kedua duktus dan kedua duktus kanan dan kiri. Bila tumor melibatkan daerah pertemuan kedua duktus maka disebut klatskin

tumor. Adenokarsinoma dibagi menjadi 3 jenis berdasarkan bentuk pertumbuhannya: nodular, sklerosis, dan papiler. •

Sklerosis: terdapat banyak jaringan yang fibrosis, cepat menginvasi din ding duktus.

Jenis yang terbanyak. •

Noduler: lesi anular yang mengkonstriksi duktus bilier, sangat invasif.



Papiler: lesi tampak sebagai massa yang jelas pada duktus biliaris komunis, menyebabkan obstruksi bilier sejak awal penyakit.

~v

Tipe I

Tipe II

Tipe lila

Tipe lllb

Tipe IV Gombar 2. Klasifikasi Bismuth-Corlette untuk Kolangiosarkoma 5

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Umumnya tidak bergejala sampai timbul obstruksi bilier. Gejala yang sering dikeluhkan yaitu pruritus, nyeri abdomen, terasa sebagai nyeri tumpul di region kanan atas. penurunan berat badan, demam, tinja berwarna seperti dempul, urin warna gelap Pemeriksaan Fisik

Ikterus, hepatomegali, massa abdomen bagian kanan atas, penurunan be rat badan, tanda Courvoisier: (kandung empedu teraba), biasanya karena sumbatan tepat di distal duktus sistikus. 1 Pemeriksaan Penunjang



Laboratorium 1 Peningkatan bilirubin total dan direk, alkali fosfatase, 5'-nukleotidase, dan y-glutamiltransferase SGOT, dan SGPT dapat meningkat pada obstruksi bilier lama Tumor marker: CEA, CA 19-9 Billiary insulin-like growth factor Fluorescence in situ hybridization



Imaging

1

USG: dapat ditemukan gambaran mas sa, dilatasi duktus bilier intrahepatik pada sumbatan proksimal (pada tumor duktus intrahepatik atau pada pertemuan kedua duktus ), dilatasi duktus intra- dan ekstrahepatik pad a sumbatan distal. Klatskin tumor tampak sebagai tidak menyatunya duktus hepatikus kanan dan kiri. Tumor papiler: massa intralumen polipoid. Tumor noduler : massa diskret disertai penebalan dinding duktus. CT scan: berguna untuk mendeteksi tumor intrahepatik, level obstruksi bilier, dan adanya atrofi hepar. MRCP: massa hipointens pada Tl, hiperintens pada T2. Dapat juga untuk melihat struktur anatomis sekitar -7 evaluasi resektabilitas Kolangiografi: melalui endoscopic retrograde pancreatography (ERCP) atau perkutan, dengan percutaneous transhepatic cholangiogram (PTC). ERCP /PTC + -7 sam pel empedujsitologi brushing Endoscopic ultrasonography (EUS): dapat menunjukkan gambaran massa, lebih

baik untuk lesi distal.

PET scan: dapat mendeteksi mulai dari lesi 1 em, dan lesi - lesi metastasis Angiografi : Digunakan untuk melihat adanya pembuluh darah yang melingkari lesi, sekaligus mendeteksi trombosis vena porta. Kriteria diagnosis untuk kolangiokarsinoma (tabel 3). label 3. Kriteria Diagnosis untuk Kolangiokarsinoma :4 Striktur mengarah ke keganasan DAN serum CA 19-9 > 129 U/ml yang persisten tanpa adanya kolangitis bakterial Lesi massa pada pemeriksaan imajing Hasil pemeriksaan sitologi konvensional yang positif Hasil pemeriksaan biopsi spesimen (transluminal) yang positif Fluorescence in situ hybridization (FISH) menunjukkan striktur dan polisomi.

Suspek kolangiokarsinoma

Pemeriksaan CA 19-9, kolangiografi endoskopi (brushing, sitologL FISH)

~ Striktur dominan, CA 199 > 129 U/ml. BiopsL sitologL atau FISH polisomi yang positif

llnderterminate

I

I

I

MRI

I

~

I Mass vascular I encasement

I I Penatalaksanaan

kolangiokarsinoma

1,.

Tidak ada striktur dominan, CA 19-9 < 129 U/ml. BiopsL sitologL atau FISH polisomi yang negatif

~

~ II

Klinis signifikan

Klinis tidak signifikan

~

j_

~

IHot spot I I Negatif

Observasi

Gombar 3. Algortima Pendekatan Diagnosis Kolangiokarsinoma 4

Staging kolangiokarsinoma berdasarkan :6



Klasifikasi Bismuth-Corlette



Klasifikasi TNM (tabel 4).

Tabel 4. Klasifikasi TNM 6

Tx TO Tis Tl T2a T2b T3

T4

Tumor primer tidak dapat dinilai Tidak ada tumor Karsinoma in situ Tumor terbatas pad a duktur bilier secara histologi Tumor menginvasi jaringan lemak yang berada di dinding kandung empedu Tumor menginvasi parenkim hepar Tumor menginvasi cabang unilateral vena porta atau arteri hepatik Tumor menginvasi vena porta atau cabangnya (bilateral), arteri hepatika, radix bilier bilateral/unilateral

Nx NO Nl N2

Kelenjar getah bening tidak dapat dinilai Tidak ada metastasis ke kelenjar getah bening Mengenai kelenjar getah regional Mengenai kelenjar getah periaorta, pericava, arteri mesenterika superior, dan/atau arteri celiac

MO

Tidak ada metastasis

Stage 0 Stage I Stage II Stage Ill A Stage Ill B Stage IV A Stage IV B

Tis NO MO T1 NO MO T2a-T2b NO MO T3 NO MO Tl-T3 Nl MO T4Any N MO AnyT N2 MO AnyN Ml

DIAGNOSIS BANDING Koledokolitiasis, striktur duktus biliaris jinak, kolangitis sklerotikans, keganasan pankreas, pankreatitis kronik TATALAKSANA1 • Terapi diutamakan reseksi pada yang masih memenuhi kriteria • Radioterapi dengan atau tanpa sensitisasi menggunakan kemoterapi • Brakiterapi intralumen • Terapi fotodinamik • Kemoterapi : gemcitabin.

KOMPLIKASI Kolangitis, kematian. PROGNOSIS Prognosis tergantung lokasi tumor, lokasi lebih distallebih besar kemungkinan direseksi daripada yangdi hilus. Secara histologik well-differentated lebih baik prognosisnya daripada yang undifferentiated. Jika direseksi, angka harapan hidup 1 tahun sebesar SO%, 2 tahun 20%, dan 3 tahun 10 %. 1 UNITY ANG MENANGANI • RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi GastroenteroHepatologi • RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNITY ANG TERKAIT • RS Pendidikan • RS non Pendidikan

: Departemen Bedah Digestif : Departemen Bedah

REFERENSI 1.

Sherlock S, Dooley J. Tumours of the Gallbladder and Bile Ducts. In: Dooley J, Lok A Burroughs A Heathcote E Diseases of the Liver and biliary System. 121h ed. UK: Blackwell Science. P294-311

2.

American Cancer Society. Gallbladder Cancer. 2012. Diunduh dari http:/ I www. cancer.org/ Cancer/GallbladderCancer/DetailedGuide/gallbladder-cancer pada tanggal 21 Mei 2012

3.

National Cancer Institute. Gallbladder Cancer Treatment. 2011. Diunduh dari http:/I www.cancer. gov /cancertopics/pdq/treatment/gallbladder/Patient/page 1 pad a tanggal 21 Mei 2012.

4.

Blechacz B, Gores G. Tumors of the Bile Ducts, Gallbladder, and Ampulla. In: Feldman M, Friedman L Brandt L. Sleisenger and Fordtran's Gastrointestinal and Liver Disease: Pathophysiology/ Diagnosis/Management. 91h ed. USA: Elsevier. Chapter 69.

5.

Blechacz BR, Gores GJ. Cholangiosarcoma. Clin Liver Dis 2008; 12:131-150.

6.

DeOliveira ML Schulic RD, Nimura Y et all. New Staging System and a Registry for Perihilar Cholangiocarcinoma. HEPATOLOGY 20 11 ;53: 1363-1371).

PENATALAKSANAAN Dl BIDANG ILMU PENYAKIT DAlAM

PANDOAN PRAKTIK KLINIS Dehidrasi ····································f······l···l-1-·)·k···f·r·;;>_········ Gangguan Kognitif Ringan Da

i

~· I

DEHIDRASI

PENGERTIAN Dehidrasi adalah berkurangnya cairan tubuh total, dapat berupa hilangnya air lebih banyak dari natrium (dehidrasi hipertonik), atau hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang sama (dehidrasi isotonik), atau hilangnya natrium yang lebih banyak daripada air ( dehidrasi hipotonik).l Dehidrasi hipertonik ditandai dengan tingginya kadar natrium serum (lebih dari 145 mmol/Liter) dan peningkatan osmolalitas efektif serum (lebih dari 285 mosmol/Liter). Dehidrasi isotonik ditandai dengan normalnya kadar natrium serum (135-145 mmol/Liter) dan osmolalitas efektif serum (270-285 mosmol/Liter). Dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya kadar natrium serum (kurang dari 135 mmoljLiter) dan osmolalitas efektif serum (kurang dari 270 mosmol/Liter). Penting diketahui perubahan fisiologi pada usia lanjut. Secara umum, terjadi penurunan kemampuan homeostatik seiring dengan bertambahnya usia. Secara khusus, terjadi penurunan respons rasa haus terhadap kondisi hipovolemik dan h.iperosmolaritas. Di samping itu juga terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus, kemampuan fungsi konsentrasi ginjal, renin, aldosteron, dan penurunan tanggapan ginjal terhadap vasopresin. DIAGNOSIS Anamnesis

Gejala klasik dehidrasi seperti rasa haus, lidah kering, mengantuk. 1 Pemeriksaan Fisik

Aksila lembabjbasah, suhu tubuh meningkat dari suhu basal, diuresis berkurang. Penurunan turgor dan mata cekung sering tidak jelas. Penurunan berat badan akut lebih dari 3%. Hipotensi ortostatik. 1

I.Panduan Praklik.Kiinis

Laboratoriu m Urin: berat jenis (BJ) urin ~1,019 (tanpa adanya glukosuria dan proteinuria), serta rasio Blood Urea NitrogenjKreatinin ~16,9 (tanpa adanya perdarahan aktif saluran cerna). Kriteria ini dapat dipakai dengan syarat: tidak menggunakan obat-obat sitostatik, tidak ada perdarahan saluran cerna, dan tidak ada kondisi overload (gagal jantung kongestif, sirosis hepatis dengan hipertensi portal, penyakit ginjal kronik stadium terminal, sindrom nefrotik). Jika memungkinkan sebaiknya dilakukan pemeriksaan pengukuran kadar natrium plasma darah, osmolaritas serum, dan tekanan vena sentral.

TATALAKSANA Lakukan pengukuran keseimbangan cairan yang masuk dan keluar secara berkala sesuai kebutuhan. Pada dehidrasi ringan, terapi cairan dapat diberikan secara oral sebanyak 1500-2500 ml/ 24 jam (30 mljkg berat badan/24 jam) untuk kebutuhan dasar, ditambah dengan penggantian defisit cairan dan kehilangan cairan yang masih berlangsung. Menghitung kebutuhan cairan sehari, termasuk jumlah insensible water loss sangat perlu dilakukan setiap hari. Perhatikan tanda-tanda kelebihan cairan

seperti ortopnea, sesak napas, perubahan pola tidur, atau confusion. Pemantauan dilakukan setiap 4-8 jam tergantung beratnya dehidrasi. Cairan yang diberikan secara oral tergantung jenis dehidrasi. •

Dehidrasi hipertonik: cairan yang dianjurkan adalah air atau minuman dengan kandungan sodium rendah, jus buah seperti apel, jeruk, dan anggur



Dehidrasi isotonik: cairan yang dianjurkan selain air dan suplemen yang mengandung sodium (jus tomat), juga dapat diberikan larutan isotonik yang ada di pasaran



Dehidrasi hipotonik cairan yang dianjurkan seperti di atas tetapi dibutuhkan kadar sodium yang lebih tinggi Pada dehidrasi sedang sampai berat dan pasien tidak dapat minum per oral, selain

pemberian cairan enteral, dapat diberikan rehidrasi parenteral. Jika cairan tubuh yang hilang terutama adalah air, maka jumlah cairan rehidrasi yang dibutuhkan dapat dihitung dengan rumus: Defisit cairan (liter) = Cairan badan total (CBT) yang diinginkan- CBT saat ini CBT yang diinginkan = Kadar Na serum x CBT saat ini 140 CBT saat ini (pria) =50% x berat badan (kg) CBT saat ini (perempuan) = 45% x berat badan (kg)

Dehicdrasi' -.-,,.

'

'.,

'.-

.,

'"'

·'

Jenis cairan kristaloid yang digunakan untuk rehidrasi tergantung dari jenis dehidrasinya. Pad a dehidrasi isotonik dapat diberikan cairan Na Cl 0, 9% atau Dekstrosa 5% dengan volume sebanyak 25-30% dari defisit cairan total per hari. Pada dehidrasi hipertonik digunakan cairan NaCl 0,45%. Dehidrasi hipotonik ditatalaksana dengan mengatasi penyebab yang mendasari, penambahan diet natrium, dan bila perlu pemberian cairan hipertonik. 1

KOMPLIKASI Gagal ginjal, sindrom delirium akut, kejang. PROGNOSIS Deteksi dan terapi dini dehidrasi menghasilkan prognosis kesembuhan yang baik. Bila tidak ada komplikasi maka keseimbangan cairan akan terkoreksi. KOMPETENSI • Spesialis Penyakit Dalam : A3, B4 • Konsultan Geriatri UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Geriatri, Departemen Rehabilitasi Medik • RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam REFERENSI 1.

Kuswardhani. RA Tuty. Sari. Nina Kemala. Dehidrasi dan gangguan elektrolit. Dalam :Sudoyo, Aru W. Setyohadi. Bambang. Alwi, ldrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku ajar llmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUIRSCM; 2009. Halaman 797-801.

GANGGUAN KOGNITIF RINGAN DAN DEMENSIA

PENGERTIAN Antara fungsi kognitif yang normal untuk usia lanjut dan demensia yang jelas, terdapat suatu kondisi penurunan fungsi kognitif ringan yang disebut dengan mild cognitive impairment (MCI) dan vascular cognitive impairment (VCI), yang sebagian akan berkembang menjadi demensia, baik penyakit Alzheimer maupun demensia tipe lain. Mild cognitive impairment (MCI) merupakan suatu kondisi "sindrom predemensia" (kondisi transisi fungsi kognisi antara penuaan normal dan demensia ringan), yang pacta berbagai studi telah dibuktikan sebagian akan berlanjut menjadi demensia (terutama demensia Alzheimer) yang simtomatik. 1 Vascular cognitive impairment (VCI) merujuk pacta keadaan penurunan fungsi kognitif ringan dan dihubungkan dengan iskemia serta infark jaringan otak akibat penyakit vaskular dan aterosklerosis. 1 Demensia adalah gangguan fungsi intelektual (berpikir abstrak, penilaian, kepribadian, bahasa, praksis, dan visuospasial) dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran, sehingga mempengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna. 1 Demensia Alzheimer merupakan demensia yang disebabkan oleh penyakit Alzheimer; munculnya gejala perlahan-lahan namun progresif. Demensia vaskular merupakan demensia yang terjadinya berhubungan dengan serangan strok (biasanya terjadi 3 bulan pasca strok); munculnya gejala biasanya bertahap sesuai serangan strok yang mendahului (step ladder). Pacta satu pasien pasca strok bisa terdapat kedua jenis ini (tipe campuran). Pacta kedua tipe ini lazim terdapat faktor risiko seperti: hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, dan faktor risiko aterosklerosis lain. 2 Demensia dapat disertai behavioral and psychological symptoms of dementia (BPSD) yang lazim disebut sebagai perubahan perilaku dan kepribadian. Gejala BPSD dapat berupa depresi, wandering/pacing, pertanyaan berulang atau manerism, kecemasan, atau agresivitas.

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis Memori pasien, tingkat aktivitas sehari-hari, juga diperlukan anamnesis dari orang terdekat pasien, riwayat stroke, hipertensi, diabetes. 1 Pemeriksaan Penunjang 1 • Pemeriksaan neuropsikiatrik dengan the Mini-Mental State Examination (MMSE), The Global Deterioration Scale (GDS), dan The Clinical Dementia Ratings (CDR). Nilai MMSE dipengaruhi oleh umur dan tingkat pendidikan, sehingga pemeriksa harus mempertimbangkan hal-hal terse but dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan MMSE. • Fungsi tiroid, hati, dan ginjal • Kadar vitamin B12 • Kadar obat dalam darah (terutama yang bekerja pada susunan saraf pusat) • CT scan, MRI Untuk kriteria diagnosis MCI dan VCI dapat dilihat pada Tabel 1, sementara kriteria diagnosis demensia dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 1. Kriteria Diagnosis untuk MCI dan VCI

Mild Cognitive Impairment (MCI)

• • • • •

Keluhan memori, yang diperkuat oleh informan Fungsi memori yang tidak sesuai untuk umur dan pendidikan Fungsi kognitif umum masih baik Aktivitas sehari-hari masih baik Tidak demensia

Vascular Cognitive Impairment {VCI)

• • • • •

Gangguan kognitif ringan sampai sedang, terutama fungsi eksekutif Tidak memenuhi kriteria demensia Mempunyai penyebab vaskular berdasarkan adanya tanda iskemia atau infarkjaringan otak Bukti lain adanya aterosklerosis Hachinski Ischemic Score (HIS) yang tinggi

Tabel 2. Kriteria Diagnosis untuk Demensia (Sesuai dengan DSM IV)2

Munculnya defisit kognitif multipel yang bermanifestasi pada kedua keadaan berikut: A. Gangguan memori (ketidakmampuan untuk mempelajari informasi baru atau untuk mengirigat informasi yang baru soja dipelajari. Sotujatau Jebih). gangguan kognitif.berikuL 1. Afasia (gangguan berbahasa) 2. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas motorik walaupun fungsi motorik masih normal) 3. Agnosia (kegagalan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda walaupun fungsi sensorik masih normal) 4. Gangguan fungsi eksekutif (seperti merencanakan, mengorganisasi, berpikir runut, berpikir . __at:>strgl<;L_............... . .. ...... ···-··---··-·····. ·--·---·--·--·-·-- ..... _ . ______________ .... __ _--------------··- ... Defisit kognitif yang terdapat pad a kriteria A 1 dan A2 menyebabkan gangguan bermakna pada fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang bermakna dari fungsi sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus soot timbulnya delirium.

.

.

···~-~~--'~"~·:···~i'

, Pe~J~piJna.~_ Do~ter. SP.e~ic;:rlis . ~erly~":J(Pald!):l lndq,nf?~lq

DIAGNOSIS BANDING

Transient ischemic attack, delirium, depresi,Jactitious disorder_ normal aging. 2 Kondisi klinis lain yang juga harus dibedakan adalah pengaruh obat-obatan dan defisit sensori pacta orang tua. Beberapa jenis obat yang sering dikatakan menimbulkan confusi adalah opiat, benzodiasepin, neuroleptik, antikolinergik, H2 blockers, dan kortikosteroid. Gangguan sensoris pacta orang tua seperti impairment of hearing dan vision juga sering menyebabkan identifikasi yang salah dengan demensia. (current) Demensia sering terdapat bersamaan dengan depresi dan/ atau penyakit Parkinson. 2 label 3. Kriteria untuk Diagnosis Klinis Penyakit Alzheimer menurut the Nationallnstitute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer's Disease and Related Disorders Association (ADRDA]4

1. Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup: • Demensia yang ditegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat dengan pemeriksaan the mini-mental test. Blessed Dementia Scale, atau pemeriksaan sejenis, dan dikonfirmasi oleh tes neuropsikologis • Defisit pada dua atau lebih area kognitif • Tidak ada gangguan kesadaran • Awitan antara umur 40 dan 90, umumnya setelah umur 65 tahun • Tidak adanya kelainan sistemik a tau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan defisit progresif pada memori dan kognitif 2. Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh: • Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia, apraksia, dan agnosia • Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan polo perilaku • Riwayat keluarga dengan gangguan yang soma, terutama bila sudah dikonfirmasi secara neuropatologi · • Hasillaboratorium yang menunjukkan • Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar • Polo normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG, seperti peningkatan aktivitas slow-wave • Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh pemeriksaan serial 3. Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer, setelah mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer: • Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau) • Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi, insomnia, inkontinensia, delusi, halusinasi, verbal katastrofik, emosional, gangguan seksual, dan penurunan berat badan • Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien, terutama pada penyakit tahap lanjut, seperti peningkatan tonus otot, mioklonus, dan gangguan melangkah (gait disorder) • Kejang pada penyakit yang lanjut • Pemeriksaan CT normal untuk usianya 4 .. Gainbaranyan€J-membuat·aia€Jnosis-prebable-penyakitAizheimer-menjaditidakeocekadalah; • Onset yang mendadak dan apolectic • Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis, gangguan sensorik, defisit lapang pandang, dan inkoordinasi pada tahap awol penyakit; dan kejang atau gangguan melangkah pada saat awitan atau tahap awol pe~alanan penyakit 5. Diagnosis possible penyakit Alzheimer: • Dibuat berdasarkan adanyci sindrom demensia, tanpa adanya gangguan neurologis, psikiatrik, .....atau.sistemikJain ..yang.dapatmen"y"ebabkan.demensia, ..dan.adanyavariasi pada awitan, gejala klinis, atau perjalanan penyakit • Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup untuk menyebabkan demensia, namun penyebab primernya bukan merupakan penyebab demensia .'8

292_l!ll';

· · G:~itl@·@·oo'h·v""'~-~·:*: 6. Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah: • Kriteria klinis untuk probable penyakit Alzheimer • Bukti histopatologi yang didapat dari biopsi atau autopsi 7. Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan bila terdapat gambaran khusus yang mungkin merupakan subtipe penyakit Alzheimer, seperti: • Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang soma • Awitan sebelum usia 65 tahun • Adanya trisomi-21 • Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti penyakit Parkinson

label 4. Penatalaksanaan terhadap Faktor Risiko Timbulnya Gangguan Kognitif pada Usia Lanjut Hipertensi

• •

Kurangi asupan garam Obat antihipertensi: awol dengan diuretik, dapat dikombinasikan dengan ACE-inhibitor, ARB, penyekat B (B -blocker), atau antagonis kalsium • Target: TDS <130 mmHg, TDD <80 mmHg.



Rekomendasi JNC VII dan penelitian ALLHATI

Dislipidemia

• •



Konsensus Pengendalian Dislipidemia yang dikeluarkan oleh PERKENI dan NCEPATP Ill

Kurangi asupan makanan berlemak Obat antidislipidemik

• Target: trigliserida < 150 mg/dl, HDL kolesterol > 40 mg/dl untuk laki-laki dan >50 mg/dl untuk perempuan serta LDL kolesterol < 100 mg/dl).

• Beberapa penulis melaporkan statin dapat menurunkan fungsi kognitif (terutama memory loss)

Diabetes Melitus



• Konsensus Penatalaksanaan DM tipe 2 oleh PER KEN I • Penggunaan insulin sering menimbulkan efek hipoglikemia pada usia lanjut yang dapat bermanifestasi sebagai gangguan kognitif

Obesitas

• Penatalaksanaan sejak usia dini • Target: IMT <25 kg/m2

Gaga I jantung, fibrilasi atrium, hiperkoagulasi. hiperagregasi trombosit. hiperhomosisteinemia, PPOK

• ldentifikasi etiologi yang bisa dikoreksi • Terapi farmakologis dan nonfarmakologis yang sesuai untuk mengendalikan dan mengatasinya • Ruj~Jk.ke konsultanyang-sesuai pada keadaan-keadaan khusus

5 pilar penatalaksanaan DM: edukasi, perencanaanmakan (diet), latihan fisik, obat hipoglikemik oral, dan insulin • Perhatian pada pemilihan OHO dan insulin, disesuaikan dengan penurunan fungsi organ • Target: GOP <120 mg/dL pada usia lanjut GOP <160 mg/dl masih diterima

Kelerangan: ACE=angiotensin-converting-enzyme, ARB=angiotensin receptor blocker, TDS=tekanan darah sistolik. TDD=tekanan darah diastolik, HDL=high-density-lipoprotein, LDL=Iow-density-lipoprotein, JNC VII= the seventh report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressur, PERKENI=Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, DM= diabetes melitus, OHO=obat hipoglikemik oral, GDP=gula darah puasa, IMT=indeks massa tubuh

TATALAKSANA 1•2•3 •

Libatkan seorang usia lanjut pacta kehidupan sosial yang lebih intensif serta partisipasi pacta aktivitas yang merangsang fungsi kognitif dan stimulasi mental maupun emosional untuk menurunkan risiko penyakit Alzheimer dan memperlambat munculnya manifestasi klinis gangguan kognitif.



Latihan memori multifaset dan latihan relaksasi



Penyampaian informasi yang benar kepada keluarga, latihan orientasi realitas, rehabilitasi, dukungan kepada keluarga, manipulasi lingkungan, program harian untuk pasien, reminiscence, terapi musik, psikoterapi, modifikasi perilaku, konsultasi untuk pramuwerdha, jaminan nutrisi yang optimal



Pemberian obat pacta BPSD ditujukan untuk target gejala tertentu dengan pembatasan waktu. Tentukan target gejala yang hendak diobati, identifikasi pencetus gejala; psikoterapi dan konseling diberikan bersama dengan obat (risperidon, sertralin, atau haloperidol, sesuai dengan gejala yang muncul



Tatalaksana pacta demensia berat terutama modalitas non-farmakologi



Tatalaksana faktor risiko gangguan kognitif



Medikamentosa dapat dilihat pacta Tabel 5.

Tabel 5. Obat-obatan yang Dipergunakan untuk Menghambat Penurunan dan Memperbaiki Fungsi Kognitif pada Demensia dan Gangguan Kognitif Ringan*" 2

Waktu untuk mencapai konsentrasi maksimal (jam) Absorpsi dipengaruhi makanan Waktu-paruh serum (jam) Metabolisme Dosis (inisial/maksimal)

3-5

0,5-2

0,5-1

3-7

Tidak

Ya

Ya

Tidak

70-80

2

5-7

60-80

Sitokrom P-450

Non-hepatik

Sitokrom P-450

Non-hepatik

1 xS mg/ 1 X 10mg

2x 1,5 mg/ 2x6mg

2x4 mg/ 2x 12mg

2x5 mg/ 2x 10 mg

'Modifikasi dari Cummings [2004). NMDA=N-melhyl o-asparfale

KOMPLIKASI Jatuh, rusaknya struktur sosial keluarga, isolasi, malnutrisi

PROGNOSIS Rata-rata harapan hidup pasien demensia sekitar delapan tahun dengan kisaran 1-20 tahun. Pasien dengan awitan dini atau memiliki riwayat demensia dalam keluarga,

progesifitasnya lebih cepat. 10-15% pasien berpotensi untuk kern bali ke kondisi awal jika terapi dimulai sebelum terjadi kerusakan otak permanen. 2

KOMPETENSI • Spesialis Penyakit Dalam • Konsultan Geriatri Pasien usia lanjut dengan keluhan memori subyektif/ dilaporkan keluarga

{} Anamnesis • Lama keluhan •Awitan • Progresivitas • Aktivitas hid up sehari-hari • Riwayat keluarga • Penggunaan obatobatan dan alkohol • Riwayat CABG

I

Faktor risiko: • Hipertensi • Diabetes melitus • Dislipidemia • Merokok • Obesitas •PPOK

I

• • • •

• Gagal jantung • Hiperkoagulasi • Hiperagregasi trombosit • Neurosifilif &HIV

Modifikasi/terapi bila ada

il

MMSE<24 Dugaan Demensia

MMSE24-28 Dugaan MCI-VCI

{}

{}

Edukasi Rujuk SpKJ/SpS/ Konsultan Geriatri

Edukasi Inhibitor kolinesterase (masih kontroversi) Kerjasama dengan spesialis terkait

Skor MMSE tetap/turun

I Laboratorium:

I

Fungsi tiroid Fungsi hati Fungsi ginjal Kadar obat dalam darah (Terutama yang bekerja pada SSP) Terapi sesuai penyebab bila abnonmal

MMSE>28 Normal(?)

v

{} Evaluasi 6 bulan

Kelola semua faktor risiko sesegera & seoptimal mungkin

Lanjutkan pengelolaan faktor resiko: •Terapi antihipertensi • lnjeksi/obat hipoglikemik • Obat penurun kadar lemak • Antikoagulan • Olahraga yang teratur • Suplementasi asam folat & Vit, B12 • Konsumsi sera! larut air • Asupan kalori yang baik (proper caloric intake) • Berhenti merokok

Gamber 1. Algoritme Evaluasi dan Penatalaksanaan Pasien Usia Lanjut dengan Penurunan Fungsi Kognitif

UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Geriatri • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Departemen Psikiatri- Divisi Psikiatri-Geriatri



RS non pendidikan

: Bagian Psikiatri

REFERENSI 1.

Dementia. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of America; The McGrawHill Companies, 2011

2.

Dementia. Dalam : Kaplan and Sadock's Synopsis of Psychiatry 1O'h Edition. Lippincott Williams & Wilkins. 2007

3.

Rochman, Wasilah. Murti, Kuntjoro Hari, Demensia. Dalam :Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang. Alwi, ldrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku ajar llmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM; 2009. Halaman 837-844.

4.

McKhan Guy et al. Clinical diagnosis of alzheimer disease. Report of the NINCDSADRDA Work group neurology, Neurology 1984(34) :939-943.

5.

Current: Sink KM, Yaffe K. Cognitive impairment and dementia. In: Williams BA, Chang A, Ahalt C, Conant R, Ritchie C, Chen H, Landefeld CS, Yukawa M. Current Diagnosis and treatment Geriatrics. 2nd ed. New York; Me Grow HilL 2014.

IMOBILISASI

PENGERTIAN Mobilisasi tergantung pada interaksi yang terkoordinasi antara fungsi sensorik persepsi, keterampilan motorik, kondisi jasmani, tingkat kognitif, dan kesehatan premorbid, serta variabel eksternal seperti keberadaan sumber-sumber komunitas, dukungan keluarga, adanya halangan arsitektural (kondisi lingkungan), dan kebijaksanaan institusional. 1 Imobilisasi didefinisikan sebagai kehilangan gerakan anatomik akibat perubahan fungsi fisiologis, yang dalam praktek sehari-hari dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas mobilitas di tern pat tidur, transfer, a tau ambulasi selama lebih dari tiga hari. Imobilisasi menggambarkan sindrom degenerasi fisiologis yang diakibatkan penurunan aktivitas dan "deconditioning". 1 Berbagai faktor jasmani, psikologis, dan lingkungan yang dapat menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Penyebab Umum lmobilisasi pada Usia Lanjut 1 Gangguan muskuloskeletal

• Artritis

• • • • Gangguan neurologis



• Penyakit kardiovaskular



• • Penyakit peru Faktor sensorik

• •

• Penyebab lingkungan



• Nyeri akut atau kronik Lain-lain •

• • •



Osteoporosis Fraktur (terutama panggul dan femur) Problem kaki (bunion, kalus) Lain-lain (misalnya penyakit Paget) Strok Penyakit Parkinson Lain-lain (disfungsi serebelar, neuropati) Gaga! jantung kongestif (berat) Penyakit jantung koroner (nyeri dada yang sering) Penyakit vaskular perifer (klaudikasio yang sering) Penyakit paru obstruktif kronis (berat) Gangguan penglihatan Takl.Jf(insfa5ilffas dari takllt akan jatuh) lmobilisasi yang dipaksakan (di rumah sakit atau panti werdha) Alat bantu mobilitas yang tidak adekuat Dekondisi (setelah tirah baring lama pad a keadaan sa kit akut) Malnutrisi Penyakit sistemik berat (misalnya metastasis luas pada keganasan) Depresi Efek-sCimpirig obaf (misalnya -kekakuan yang dfsebabk:an obat antipsikotik) Perjalanan lama yang menyebabkan seseorang tidak bergerak

Panduan~p6slaiTs._fa~~Yqki(O'ala'il··l~40n~s!ci_ Praktik:Kiinis

DIAGNOSIS Anamnesis 1



Riwayat dan lama disabilitasfimobilisasi



Kondisi medis yg merupakan faktor risiko dan penyebab imobilisasi



Kondisi premorbid



Nyeri



Obat-obatan yang dikonsumsi



Dukungan pramuwerdha



Interaksi sosial



Faktor psikologis



Faktor lingkungan

Pemeriksaan Fisik1



Status kardiopulmonal



Kulit



Muskuloskeletal: kekuatan dan tonus otot, lingkup gerak sendi, lesi dan deformitas kaki



Neurologis: kelemahan fokal, evaluasi persepsi dan sensorik



Gastrointestinal



Genitourinarius



Status Fungsional: Antara lain dengan pemeriksaan indeks aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS) Barthel

• • •

Status Mental: Antara lain penapisan dengan pemeriksaan geriatric depression

scale (GDS) Status Kognitif: Antara lain penapisan dengan pemeriksaan mini-mental state examination (MMSE), abbreviated mental test (AMT) Tingkat Mobilitas: Mobilitas di tempat tidur, kemampuan transfer, mobilitas di kursi roda, keseimbangan saat duduk dan berdiri, cara berjalan (gait), nyeri saat bergerak.

Pemeriksaan Penunjang 1



Penilaian berat ringannya kondisi medis penyebab imobilisasi (foto lutut, ekokardiografi, dll) dan komplikasi akibat imobilisasi (pemeriksaan albumin, elektrolit, glukosa darah, hemostasis, dll.

TAT ALAKSANA 1 Tatalaksana Umum



Kerjasama tim medis interdisiplin dengan partisipasi pasien, keluarga, dan pramuwerdha



Edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai bahaya tirah baring lama, pentingnya latihan bertahap dan ambulasi dini, serta mencegah ketergantungan pasien dengan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari sendiri, semampu pasien



Dilakukan pengkajian geriatri paripurna, perumusan target fungsional, dan pembuatan rencana terapi yang mencakup pula perkiraan waktu yang diperlukan untuk mencapai target terapi



Temukenali dan tatalaksana infeksi, malnutrisi, anemia, gangguan cairan dan elektrolit yang mungkin terjadi pacta kasus imobilisasi, serta penyakitjkondisi penyerta lainnya



Evaluasi seluruh obat-obatan yang dikonsumsi; obat-obatan yang dapat menyebabkan kelemahan atau kelelahan harus diturunkan dosisnya atau dihentikan hila memungkinkan.



Berikan nutrisi yang adekuat, asupan cairan dan makanan yang mengandung serat, serta suplementasi vitamin dan mineral



Program latihan dan remobilisasi dimulai ketika kestabilan kondisi medis sudah tercapai, meliputi latihan mobilitas di tempat tidur, latihan lingkup gerak sendi (pasif, aktif, dan aktif dengan bantuan), latihan penguatan otot-otot (isotonik, isometrik, isokinetik), latihan koordinasijkeseimbangan (misalnya berjalan pacta satu garis lurus ), transfer dengan bantuan, dan ambulasi terbatas.



Bila diperlukan, sediakan dan ajarkan cara penggunaan alat-alat bantu berdiri dan ambulasi



Manajemen miksi dan defekasi, termasuk penggunaan komod atau toilet

TATALAKSANA KHUSUS • Tatalaksana faktor risiko imobilisasi (lihat Tabell) • Tatalaksana komplikasi akibat imobilisasi • Pacta keadaan-keadaan khusus, konsultasikan kondisi medik kepada dokter spesialis yang kompeten • Lakukan remobilisasi segera dan bertahap pacta pasien-pasien yang mengalami sakit atau dirawat di rumah sakit dan panti werdha untuk mencegah imobilisasi lebih lanjut



Upayakan dukungan lingkungan dan ketersediaan alat bantu untuk mobilitas yang adekuat bagi usia Ian jut yang mengalami disabilitas permanen



Low dose heparin (LDH), dan Low Molecular Weight Heparin (LMWH), pencegahan

kontraktur dan pneumonia (gerakan-gerakan yang harus dikerjakan, pencegahan ulkus dekubitus)

KOMPLIKASI Trombosis, emboli paru, kelemahan otot, kontraktur otot dan sendi, osteoporosis, ulkus dekubitus, hipotensi postural, pneumonia dan infeksi saluran kemih, gangguan nutrisi (hipoalbuminemia), konstipasi dan skibala.1.2

PROGNOSIS Prognosis tergantung pada penyakit yang mendasari imobilisasi dan komplikasi yang ditimbulkannya. Perlu dipahami, imobilisasi dapat memperberat penyakit dasarnya bila tidak ditangani sedini mungkin, bahkan dapat sampai menimbulkan kematian. label 3. Efek lmobilisasi pada Berbagai Sistem Organ Muskuloskeletal

Osteoporosis, penurunan massa tulang, hilangnya kekuatan otot. penurunan area potong lintang otot, kontraktur, degenerasi rowan sendL ankilosis, peningkatan tekanan intraartikular, berkurangnya volume sendi

Kardiopulmonal dan pembuluh darah

Peningkatan denyut nadi istirahat, penurunan perfusi miokard, intoleran terhadap ortostatik, penurunan ambilan oksigen maksimal (V0 2 max), deconditioning jantung, penurunan volume plasma, perubahan uji fungsi paru, atelektasis paru, pneumonia, peningkatan stasis vena, peningkatan agregasi trombosit. dan hiperkoagulasi

lntegumen

Peningkatan risiko ulkus dekubitus dan maserasi kulit

Metabolik dan endokrin

Keseimbangan nitrogen negatif. hiperkalsiuria, natriuresis dan deplesi natrium, resistensi insulin (intoleransi glukosa). hiperlipidemia, serta penurunan absorpsi dan metabolisme vitamin/mineral

Neurologi dan psikiatri

Depresi dan psikosis, atrofi korteks motorik dan sensorik, gangguan keseimbangan, penurunan fungsi kognitif, neuropati kompresi, aari Fekrlitmen neuromuski.Jiar yang tidal< efisfen

Traktus gastrointestinal dan urinarius

lnkontinensia urin dan alvL infeksi saluran kemih, pembentukan batu kalsium, pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna dan distensi kandung kemih, impaksi feses, dan konstipasL penurunan rnotilitas usus, refluks esofagus, aspirasi saluran napas, dan peningkatan risiko perdarahan gastrointestinal

KOMPETENSI •

Dokter Spesialis Penyakit Dalam



Konsultan Geriatri

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Geriatri, Departemen Rehabilitasi Medik



RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam R S n on pend i d i k an Departemen llmu Penyakit Dalam

REFERENSI 1.

Setiati, Siti. Roosheroe, Arya Govinda. lmobilisasi Pada Usia Lanjut. Dalam :Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang. Alwi, ldrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUIRSCM; 2009. Halaman 859-864.

2.

Stechmiller JK, Cowan L, Whitney JD, et al. Guidelines for the prevention of pressure ulcers. Wound Repair Regen 2008; 16(2): 151-168

INKONTINENSIA URIN

PENGERTIAN Inkontinensia urin adalah keluarnya urin yang tidak terkendali sehingga menimbulkan masalah higiene dan so sial. Inkontinensia urin merupakan masalah yang sering dijumpai pada pasien geriatri dan menimbulkan masalah fisik dan psikososial, seperti dekubitus, jatuh, depresi, dan isolasi sosiaJ.l Inkontinensia urin dapat bersifat akut atau persisten. Inkontinensia urin yang akut dapat diobati bila penyakit atau masalah yang mendasarinya diatasi seperti infeksi saluran kemih, gangguan kesadaran, vaginitis atrofik, obat-obatan, masalah psikologik, dan skibala. Inkontinensia urin yang persisten biasanya dapat pula dikurangi dengan berbagai modalitas terapU Inkontinensia urin persisten dapat dibedakan menjadi: •





2

Inkontinensia urin tipe urgensi dicirikan oleh gejala adanya sering berkemih, keinginan berkemih yang tidak tertahankan (urgensi), yang disebabkan oleh overaktivitas otot detrusor karena hilangnya kontrol neurologis atau iritasi lokal Inkontinensia urin tipe stres adalah kegagalan mekanisme sfingter menutup ketika ada peningkatan tekanan intra-abdomen mendadak seperti bersin, batuk, mengangkat barang berat dan tertawa. Inkontinensia urin tipe overflow dicirikan oleh menggelembungnya kandung kemih melebihi volume yang seharusnya dimiliki kandung kemih, post-void residu (PVR) >100 cc.

Penyebab reversibel dari inkontinentia (DIAPPERS):3 Delirium or confusion = delirium atau acute cofusional state Infection, urinary symptoms= infeksi, gejala traktus urinarius Atrophic genital tract changes (vaginitis or urethritis)= atrofi traktus genitalia (vaginitis a tau urethritis) Pharmaceutical agents= obat-obatan atau zat yang menimbulkan efek sering berkemih Psychological factors= faktor psikologi Excess urine production (excess fluid intake, volume overload, metabolic such as hyperglycemia or hypercalcemia)= kelebihan produksi urin (konsumsi cairan yang banyak, kondisi overload atau metabolik seperti hiperglikemia atau hiperkalsemia)

Restricted mobility (chronic illness, injury or restraint)= mobilitas terbatas (penyakit kronis, kecelakaan atau restraint/diikat)

Stool impaction = skibala

DIAGNOSIS Anamnesis

Frekuensi, urgensi, nokturia, disuria, hesitancy, pancaran lemah, tanyakan frekuensi miksi, banyaknya kejadian inkontinensia, konsumsi cairan, gejala ginekologis: perdarahan pervaginam, iritasi vagina. 4 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaaan neurologis: kesadaran, nervus cranialis, fungsi motorik, refleks spinal, dan fungsi sensoris. Pemeriksaan pelvis : inflamasi atau infeksi traktus genitalia dapat meningkatkan sensasi aferen yang menyebabkan irritative voiding symptoms. 4 Pemeriksaan Penunjang

Urin lengkap dan kultur urin, PVR, kartu catatan berkemih, gula darah, kalsium darah dan urin, perineometri, urodynamic study.

TATALAKSANA Terapi untuk inkontinensia urin tergantung pacta penyebab inkontinensi urin. 1 •

Untuk inkontinensia urin tipe urgensi dan overactive bladder, diberikan latihan otot dasar panggul, bladder training, schedule toiletting, dan obat yang bersifat antimuskarinik (antikolinergik) seperti tolterodin, solifenacin, propiverine atau oksibutinin. Obat antimuskarinik yang dipilih seyogyanya yang bersifat uroselektif.



Untuk inkontinensia urin tipe stres, latihan otot dasar panggul merupakan pilihan utama, dapat dicoba bladder training dan obat agonis alfa (hati-hati pemberian agonis alfa pacta orang usia lanjut).



Untuk inkontinensia tipe overflow, perlu diatasi penyebabnya. Bila ada sumbatan, perlu diatasi sumbatannya (misalnya hipertrofi prostat).

KOMPLIKASI Inkontinensia urin dapat menimbulkan komplikasi infeksi saluran kemih, lecet pada area bokong sampai dengan ulkus dekubitus karena selalu lembab, serta jatuh dan fraktur akibat terpeleset oleh urin yang tercecer.

PROGNOSIS • Inkontinensia urin tipe stres biasanya dapat diatasi dengan Iatihan otot dasar panggul, prognosis cukup baik. • Inkontinensia urin tipe urgensi atau overactive bladder umumnya dapat diperbaiki dengan obat-obat golongan antimuskarinik, prognosis cukup baik. • Inkontinensia urin tipe overflow, tergantung pada penyebabnya (misalnya dengan mengatasi sumbatanjretensi urin). KOMPETENSI • Spesialis Penyakit Dalam; A3, B4 • Konsultan Geriatri UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Geriatri • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan : Divisi Geriatri-Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Departemen Penyakit Dalam REFERENSI 1.

Setiati, Siti. Pramantara, I Dewa Putu. lnkontinensia Urin dan kandung kemih hiperaktif. Dalam :Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang. Alwi, ldrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti. Buku ajar llmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM; 2009. Halaman 837-844.

2.

Clinical problems of aging. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2011.

3.

Resnick NM. Urinary incontinence in the elderly. Medical Grand Rounds 1984;3:281-90.

4.

Botros, Sylvia M. sand, Peter K. Urinary Incontinence. Diunduh pada: http://www. menopausemgmt. com/issues/13-05/MM 13-5_1ncontinence.pdf pada tanggal 28 Mei 2012.

INSTABILITAS DAN JATUH

PENGERTIAN Stabilitas adalah proses menerima dan mengintegrasikan input sensorik serta merencanakan dan melaksanakan gerakan untuk mencapai tujuan yang membutuhkan postur tegak, atau mengontol pus at gravitasi tetap berada di atas landasan penopang. 1 Instabilitas adalah kekurangan atau kehilangan kemampuan mempertahankan stabilitas 2 • Jatuh adalah suatu kondisi seseorang mengenai lantai atau posisi yang lebih rendah karena ketidak hati-hatian (inadvertently) dengan atau tanpa penurunan kesadaran. 3 Adanya instabilitas membuat seseorang berisiko untuk jatuh. Kemampuan untuk mengontrol posisi tubuh dalam ruang merupakan suatu interaksi kompleks sistem saraf dan muskuloskeletal yang dikenal sebagai sistem kontrol postural. Jatuh terjadi manakala sistem kontrol postural tubuh gagal mendeteksi pergeseran dan tidak mereposisi pusat gravitasi terhadap landasan penopang (kaki, saat berdiri) pada waktu yang tepat untuk menghindari hilangnya keseimbangan. Kondisi ini seringkali merupakan keluhan utama yang menyebabkan pasien datang berobat (keluhan utama dari penyakit-penyakit yang juga bisa mencetuskan sindrom delirium akut).l Terdapat faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik untuk terjadinya jatuh. Faktor intrinsik terdiri atas faktor lokal dan faktor sistemik. Faktor intrinsik lokal: osteoartritis genu/vertebra lumbal, plantar [ascii tis, kelemahan otot kuadrisep femoris, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan pada alat keseimbangan seperti vertigo yang dapat ditimbulkan oleh gangguan aliran darah ke otak akibat hiperkoagulasi, hiperagregasi, atau spondiloartrosis servikal. Faktor intrinsik sistemik: penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pneumonia, infark miokard akut, gagal jantung, infeksi saluran kemih, gangguan aliran darah ke otak (hiperkoagulasi, strok, dan

transient ischemic attactjTIA), diabetes melitus danjatau hipertensi (terutama jika tak terkontrol), paresis inferior, penyakit atau sindrom parkinson, demensia, gangguan saraf lain serta gangguan metabolik seperti hiponatremia, hipoglikemia atau hiperglikemia, dan hipoksia. Faktor risiko ekstrinsik/lingkungan antara lain: alas kaki yang tidak sesuai, kainjpakaian bagian bawah tubuh yang terjuntai, lampu

1

Panduan Pralltik Klillis

ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, basah, atau tidak rata, furnitur yang terlalu rendah atau tinggi, tangga yang tak aman, kamar mandi dengan bak mandi/ closet terlalu rendah a tau tinggi dan tak memiliki alat bantu untuk berpegangan, tali

atau kabel yang berserakan di lantai, karpet yang terlipat, dan benda-benda di lantai yang membuat seseorang terantuk. 1 label 1. Penyebab jatuh 1 Kecelakaan

Sinkop Drop attacks

Dizziness dan/ atau vertigo

Hipotensi ortostatik Obat-obatan

Kecelakaan murni (terantuk, terpeleset, dll) lnteraksi antara bahaya di ling kung an dan faktoryang meningkatkan kerentanan Hilangnya kesadaran mendadak Kelemahan tungkai bawah mendadak yang menyebabkan jatuh tanpa kehilangan kesadaran Penyakit vestibular, penyakit sistem saraf pusat Hipovolemia atau cardiac output yang rendah, disfungsi otonom, gangguan aliran darah balik vena, tirah baring lama, hipotensi akibat obat-obatan, hipotensi postprandial Diuretika, antihipertensi, antidepresi golongan trisiklik, sedatif. antipsikotik, hipoglikemia, alkohol. Berbagai penyakit akut. Kardiovaskular: aritmia, penyakit katup jantung (stenosis aorta), sinkop sinus karotid

Proses penyakit

Neurologis: TIA. strok, kejang, penyakit Parkinson, spondilosis lumbal atau servikal (dengan kompresi pada korda spinalis atau cabang saraf), penyakit serebelum, hidrosefalus tekanan normal (gangguan gaya berjalan), Jesi sistem saraf pusat (tumor. hematom subdural)

ldiopatik

Tak ada penyebab yang dapat diidentifikasi

DIAGNOSIS Anamnesis

Terdapat keluhan perasaan seperti akan jatuh, disertai atau tanpa dizziness, vertigo, rasa bergoyang, rasa tidak percaya diri untuk transfer atau mobilisasi mandiri. Riwayat jatuh, frekuensi, dan gejala yang dirasakan saat jatuh, riwayat pengobatan, dan faktor risiko jatuh perlu ditanyakan. 4 Pemeriksaan Fisik

Pendekatan dalam pemeriksaan jasmani dapat menggunakan singkatan "/HATE FALLING"yaitu :5

I : inflamasi pad a sendi ( deformitas sendi) H: hipotensi (orthostatik)

A : auditory and visual abnormalities

T: tremor (penyakit Parkinson atau penyebab lain) E : equilibrium problem F : Foot problem

A : aritmia, heart block atau penyakit katup jantung

L: leg-length discrepancy (akibat fraktur femur misalnya) L : lack of conditioning (generalize weakness)

I: illness

N : nutrisi (status nutrisi buruk, kehilangan berat badan) G :gait disturbance

Pemeriksaan lain dapat dilakukan seperti pacta Tabel 2. 1•3 Tabel2. Evaluasi pada Pasien Usia Lanjut yang Jatuhl Anamnesis

Riwayat medis umum Tingkat mobilitas Riwayat jatuh sebelumnya Obat-obatan yang dikonsumsi Terutama obat antihipertensi dan psikotropika Apa yang dipikirkan pasien Apakah pasien sador bahwa akan jatuh?; Apakah kejadianjatuh sebagai penyebab jatuh? tersebut soma sekali tak terduga?; Apakah pasien terpeleset atau terantuk? Lingkungan sekitar tempat Waktu dan tempat jatuh; Saksi; kaitannya dengan perubahan jatuh postur,. batuk, buang air kecil, memutar kepala. Gejala yang terkait Kepala terasa ringan, dizziness, vertigo; palpitasi, nyeri dada, sesak; gejala neurologis fokal mendadak (kelemahan, gangguan sensorik, disortria, ataksia, bingung, afasia); Aura; lnkontinensia urin atau alvi Apakah yang langsung diingat segera setelah jatuh? Hilangnya kesadoran Apakah pasien dapat bangkit kembali setelah jatuh dan jika do pat, berapa lama waktu yang diperlukan untuk do pat bangkit setelah jatuh? Apakah adanya hilangnya kesadaran dapat dijelaskan ? Pemeriksaan Jasmani: Demam, hipotermia, frekuensi pernapasan, frekuensi nodi dan Tanda vital tekanan _darah soot berboring, duduk, dan berdiri. Turgor, trauma, kepucatan Kulit Mota Vis us KerelioveskuiElf -----Aritmia,--t:>ruit-lcEarotis,tanEiastenosis-aoFta,sensitivites-siRus-kerGtis Ekstremitas

Penyakit sendi degeneratif, lingkup gerak sendi, deformitas, fraktur, masalah podiatrik (kalus, bunion, ulserasi, sepatu yang tidak sesuai, kesempitan/ kebesoran, atau rusak)

Neurologis

Status mental. tanda fokal, otot (kelemahan, rigiditas, spastisitas), soraf perifer (terutama sensasi posisi), proprioseptif, refleks, fungsi soraf kranial, fungsi serebelum (terutama uji tumit ke tulang keiing) ,·· ·gejala-el<strapiramidal: ·tremor saat··istirah·at;-bradikinesia, gerakan involunter lain, keseimbangan dan cora be~alan dengan mengobservasi cora pasien berdiri dan berjalan (uji get up and go)

Pemeriksaan penunjang

Beberapa pemeriksaan (dapat dilihat pada bab prosedural) seperti the timed

up-and-go test (TUG), uji menggapai fungsional (functional reach test), dan uji keseimbangan Berg (the Berg balance sub-scale of the mobility index) dapat untuk mengevaluasi fungsi mobilitas sehingga dapat mendeteksi perubahan klinis bermakna yang menyebabkan seseorang berisiko untuk jatuh atau timbul disabilitas dalam mobilitas. Instrumen untuk memeriksa keseimbangan dan mobilitas fungsional dapat dilihat pad a lamp iran 1,1 Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk membantu mengidentifikasi faktor risiko; menemukan penyebabjpencetus: 1 •

Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi defisit neurologis fokal, adakah cerebra vascular disease atau transient ischemic attack; lakukan brain CT

scan jika ada indikasi •

Darah perifer lengkap



Elektrolit (terutama natrium dan kalium), ureum, kreatinin, dan glukosa darah



Analisis gas darah



Urin lengkap dan kultur resistensi urin



Hemostasis darah dan agregasi trombosit



Foto toraks, vertebra, genu, dan pergelangan kaki (sesuai indikasi)



EKG



Identifikasi faktor domisili (lingkungan tempat tinggal)

Penilaian Risiko Jatuh Ada beberapa metode untuk menilai risiko jatuh pada geriatri seperti the downtown fall risk index dan rumus seperti di bawah ini :6•7 Rumus menghitung kemungkinan jatuh pada geriatri :6 Kemungkinan exp [-7.519 + 0.026 x (reaction time)- 0.071x (ABCl}- 2.139 x (Berg 14)] ----------------------------------------------------- x100% jatuh 1 + exp {-7.519 + 0.026 x (reaction time)- 0.071x (ABCl)- 2.139 x (Berg 14}] Keterangan : Skala uji keseimbangan Berg : lihat di lamp iran Reaction time : merupakan waktu yang diukur dari pemberian unexpected stimulus sampai merespon terhadap stimuli tersebut Skala Activities-specific Balance Confidence (ABC) : terdiri dari 16 poin (subsea/e), subjek diminta untuk menentukan tingkat kepercayaan diri mereka ketika diminta menyelesaikan suatu aktivitas. Catalan: risiko jatuh dengan rumus di atas lebih banyak untuk kepentingan penelitian.

Tabel 3. Penilaian Klinis dan Tatalaksana yang Direkomendasikan bagi Orang Usia Lanjut yang Berisiko Jatuh'

Lingkungan saat jatuh sebelumnya

Perubahan lingkungan dan aktivitas mengurangi kemungkinan jatuh berulang

untuk

Konsumsi obat-obatan Obat-obat berisiko tinggi (benzodiazepin, obat tidur lain, neuroleptik, antidepresi, antikonvulsi, atau antiaritmia kelas lA) Konsumsi 4 macam obat atau lebih

Review dan kurangi konsumsi obat-obatan

Penglihatan Visus <20/60 Penurunan persepsi kedalaman (depth perception) Penurunan sensitivitas terhadap kontras Katarak

Penerangan yang tidak menyilaukan; hindari pemakaian kacamata multifokal saat be~alan; rujuk ke dokter spesialis mota

Tekanan darah postural (setelah ~5 menit dalam posisi berbaring/supine, segera setelah berdiri, dan 2 menit setelah berdiri) tekanan sistolik turun ~ 20 mmHg (atau ~ 20%), dengan atau tanpa gejala, segera atau setelah 2 menit berdiri.

Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika memungkinkan; review dan kurangi obat-obatan; modifikasi dari restriksi garam; hidrasi yang adekuat; strategi kompensasi (elevasi bagian kepala tempat tidur, bangkit perlahan, atau latihan dorsofleksi); stoking kompresi; terapi farmakologis jika strategi di atas gagal.

Keseimbangan dan gaya berjalan Laporan pasien atau observasi adanya ketidakstabilan Gangguan pada penilaian singkat (uji get up and go atau performance-oriented assessment of mobility) Pemeriksaan neurologis Gangguan proprioseptif Gangguan kognitif Penurunan kekuatan otot

Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika memungkinkan; kurangi obat-obatan yang mengganggu keseimbangan; intervensi lingkungan; rujuk ke rehabilitasi medik untuk alat bantu dan latihan keseimbangan serta gaya berjalan

Diagnosis dan tatalaksana penyebab dasar jika memungkinkan; tingkatkan input proprioseptif (dengan alat bantu atau alas kaki yang sesuai, dengan hak rendah dan bersol tipis); kurangi obatobatan yang mengganggu fungsi kognitif; rujuk ke rehabilitasi medik untuk latihan gaya berjalan, keseimbangan, dan kekuatan

Tabel 4. The downtown fall risk index 7 Riwayat jatuh sebelumnya Obat-obatan

Defisit sensorik

Status mental Gait

Tidak

0

Ya

1

Tidakada Sedatif I tranquil/izers Diuretik Obat anti hipertensi (selain diuretik) Obat anti parkinson Obat anti depresi Obat-obatan lain Tidakada Gangguan penglihatan Gangguan pendengaran Gangguan anggota tubuh (limb) Orientasi Confused (gangguan kognitif) Normal (oman tanpa alat bantu) Amon dengan alat bantu untuk berjalan Tidak oman (dengan/atau tanpa alat bantu)

0

Tidak mampu berjalan

1

0 0

1

0 1

0 0 1

0

Keterangan: skor., 3: risiko tinggi untukjatuh

TATALAKSANA • Prinsip dasar tatalaksana usia Ian jut dengan masalah instabilitas dan riwayat jatuh adalah identifikasi faktor risiko intrinsik dan ekstrinsik, mengkaji dan mengobati trauma fisik akibat jatuh; mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh; memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan cara berjalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai; mengubah lingkungan agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup; pegangan; lantai yang tidak licin, dan sebagainya. 1 • Latihan desensitisasi faal keseimbangan, latihan fisik (penguatan otot, fleksibilitas sendi, dan keseimbangan), latihan Tai Chi, adaptasi perilaku (bangun dari duduk perlahan-lahan, menggunakan pegangan atau perabot untuk keseimbangan, dan teknik bangun setelah jatuh) perlu dilakukan untuk mencegah morbiditas akibat instabilitas dan jatuh berikutnya. 1 • Perubahan lingkungan acapkali penting dilakukan untuk mencegah jatuh berulang karena lingkungan tempat orang usia Ian jut tinggal seringkali tidak aman sehingga upaya perbaikan diperlukan untuk memperbaiki keamanan mereka agar kejadian jatuh dapat dihindarU • Keluarga harus dilibatkan dalam program pencegahan jatuh berulang



Penatalaksanaan faktor risiko juga dilakukan seperti pada Tabel 3. 1



Suplementasi vitamin D dengan dosis 800 IU setiap hari dapat diberikan pada usia lanjut yang berisiko jatuh, adanya defisiensi vitamin D, adanya gangguan keseimbangan a tau gaitl



Algoritme pendekatan dan penanganan jatuh pad a usia lanjut8 •9 dapat dilihat pada lampiran 2.

KOMPLIKASI Fraktur (tersering tulang vertebra, panggul, ibu jari, tungkai, pergelangan kaki, lengan atas, tangan), memar jaringan lunak, isolasi dan depresi, imobilisasF 0 PROGNOSIS Kemungkinan jatuh berulang lebih dari satu kali setiap tahunnya, terjadi pada 50% penghuni rumah perawatanjpanti werdha, 10-25% mengalami komplikasi serius. jatuh dapat memengaruhi kualitas hidup. Ketakutan mengalami jatuh dialami 25-40% orang berusia lanjut. 1 J atuh menyebabkan kematian karena kecelakaan dan terbanyak menyebabkan perawatan di rumah sakit. Sebanyak 20-30% kasus jatuh menyebabkan luka berat seperti laserasi, fraktur panggul, atau trauma kepala (46%). Kematian berhubungan dengan usia ( 82% kasus terjadi pada usia> 65 tahun), jenis kelamin laki-laki, ras kulit putih, non-Hispanics. 9 KOMPETENSI • Spesialis Penyakit Dalam • Konsultan Geriatri UNIT YANG MENANGANI : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Geriatri • RS pendidikan • RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam UNIT YANG TERKAIT •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam

REFERENSI 1.

Setiati Siti, Laksmi Niko Adhi. Gangguan Keseimbangan Jatuh dan Fraktur. Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010. Ha1.812-825.

2.

Instability. Dorland's Medical Dictionary for Health Consumers.2007. Diunduh dari http:/ /medicaldictionary.thefreedictionary.com/instability pada tanggal 29 Mei 2012.

3.

Yoshida S. A Global Report on Falls Prevention Epidemiology of Falls. Diunduh dari http://www. who.int/ageing/projects/1.Epidemiology%20of%20falls%20in%20older%20age.pdf pad a tanggal 20 Mei 2012.

4.

2010 AGS/BGS Clinical Practice Guideline: Prevention of Falls in Older Persons. http://www. americangeriatrics.org/files/documents/health_care_pros/Falls.Summary.Guide.pdf

5.

Sloan JP. Mobility failure. In: Protocols in primary care geriatrics. New York: Springer, 1997:33-8.

6.

Lajoie Y, Gallagher S. Predicting falls within the elderly community:comparison of postural sway, reaction time, the Berg balance scale and the Activities-specific Balance Confidence (ABC) scale for comparing fallers and non-fallers. Arch. Gerontal. Geriatr. 38 (2004) 11-26. Diunduh dari http:/ /mrvar.fdv.uni-lj.si/sola/info4/tina/clanki/dolinar_eva.pdf pad a tanggal 28 Mei 2012.

7.

Rosendahl E. Prediction of falls among older people in residential care facilities by the Downtowm Index. Aging Clin Exp Resp, vol 15, no 2. 2002. Diunduh dari http:/ /ourfuture.eu/OurFutureEU/ Files/results/ /Health%20and%20Sociai%20Services/Home%20Visits/Prediction%20of%20falls%20 among%20older%20people%20%20DFRI.pdf pada tanggal 29 Mei 2012.

8.

Summary of the Updated American Geriatrics Society/British Geriatrics Society Clinical Practice Guideline for Prevention of Falls in Older Persons. e Panel on Prevention of Falls in Older Persons, American Geriatrics Society and British Geriatrics Society. http://www. americangeriatrics.org/ files/documents/health_care_pros/ JAGS.Falls.Guidelines.pdf

9.

Ferrucci L. Clinical Problems of Aging .. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of Internal Medicine 181h edition.United States of America.Mcgraw Hill. 2012

10. Falls Among Older Adults. Centers for Disease Controland Prevention. 2012. Diunduh dari http:/I www.cdc.gov/HomeandRecreationaiSafety/Falls/adultfalls.html pada tanggal 20 Mei 2012.

Lampiran 1 UJI THE TIMED UP AND GO

Tujuan : mengukur mobilitas, keseimbangan, dan pergerakan. 1 Cara pelaksanaan : subyek bangun dari kursi setinggi 46 em dengan sandaran lengan dan punggung, berjalan sepanjang 3 meter, berbalik arah kembali menuju kursi, dan duduk kembali. 1 Hasil Tabel 4. Hasi pemeriksaan The Timed Up and Go 1 <10 < 20 20-29 >30

Kemandirian penuh Umumnya mandiri untuk berbagai aktivitas mobilitas seperti akivitas mandi, mampu untuk baik tangga, dan bepergian sendiri Variasi dalam mobilitas dan keseimbangan Mobilitas terganggu dan ketergantungan pada kebanyakan aktivitas karena risiko jatuh tinggi

UJI MENGGAPAI FUNGSIONAL

Tujuan : menilai kontrol postural dinamis

1

Cara pelaksanaan: mengukur jarak terjauh sese orang yang berdiri mampu menggapai atau mencodongkan badannya ke depan tanpa melangkah 1 Hasil: label 5. Hasil pemeriksaan uji menggapai fungsionaP

Normal

41-69 70-87

Berisiko jatuh

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan

> 70

14,98 inci ± 2,21 13,81 inci ± 2,2 13,16 inci ± 1,55 10,47 inci ± 3,4 < 6 inci

UJI KESEIMBANGAN BERG

Tujuan: menguji aktivitas dan keseimbangan fungsional dengan menilai kemampuan mengerjakan 14 tugas. 1 Hasil : Setiap tugas dinilai dengan rentang dari angka 0 jika tidak mampu melakukan sampai angka 4: mampu mengerjakan dengan normal sesuai dengan waktu dan jarak yang ditentukan. Skor maksimum 56 1 Tugas-tugas yang dinilai dalam 10-20 menit 1 •

Duduk tanpa bantuan



Bangkit dari duduk ke berdiri



Berdiri ke duduk



Transfer



Berdiri tanpa bantuan



Berdiri dengan mata tertutup



Berdiri dengan kedua kaki rapat



Berdiri dengan kedua kaki dalam posisi tandem



Berdiri dengan satu kaki



Rotasi punggung saat berdiri



Mengambil obyek tertentu dari lantai



Berputar 360 °



Melangkahi kursi tanpa sandaran



Menggapai ke arah depan saat berdiri

Lampiran 2 Menanyakan riwayat jatuh dalam setahun terakhir

Jatuh > l kali, kesulitan dalam keseimbangan dan gait, mencari penyebab medis.

Menentukan faktor risiko multifaktorial

Anamnesis mengenai jatuh Riwayat pengobatan Pemeriksaan keseimbangan dan gait Kognisi, visual Fungsi sendi ekstremitas bawah Kelainan neurologis Kekuatan otot Detakjantung dan irama jantung Hipotensi postural Environment hazard

Tidak ada jatuh

+----+

Pencegahan jatuh, edukasi, dan program latihan meliputi keseimbangan, gait, latihan koordinasi, latihan kekuatan

l kalijatuh dalam 6 bulan

Gangguan keseimbangan dan gait

Pemeriksaan adakah gangguan keseimbangan dan gait

lntervensi faktor risiko Penyesuaian obat Merencanakan program latihan individual Mengobati kelainan visual Mengatasi hipotensi postural Menangani gangguan detak jantung dan irama jantung Suplementasi dengan vitamin D Mengurangi bahaya yang ada di lingkungan Edukasi dan latihan penanganan mandiri dan perubahan tingkah laku.

Gambar 1. Algoritme pendekatan dan penanganan jatuh pada usia lanjutB·

TATALAKSANA NUTRISI PADA "FRAILTY" USIA LANJUT

ANOREKSIA PADA USIA LANJUT Asupan makanan berkurang sekitar 25% pada usia 40-70 tahun. Mekanisme anoreksia pada usia lanjut dipengaruhi faktor fisiologis, psikologis, dan sosial yang berpengaruh pada nafsu makan dan asupan makanan. Termasuk perubahan rasa kecap dan pembauan, meningkat sensitifitas efek kenyang (satiati) makanan, kesulitan mengunyah, dan gangguan fungsi usus.U Penyebab lain anoreksia pada usia lanjut adalah peran harmon yang mempengaruhi nafsu makan, yaitu kolesistokinin, ghrelin, dan leptin. Kehilangan nafsu makan atau anoreksia dengan bertambahnya umur, berperan pada asupan makanan yang kurang, protein-energi malnutrisi dan berat badan turun. 3 Faktor psikologis misalnya depresi dan demensia, dan faktor sosial misalnya hid up dan makan sendiri. Asupan makanan kurang dan diet yang monoton pad a orang usia lanjut berisiko terjadi asupan nutrient yang tidak adekuat (malnutrisi). Nutrisi buruk menyebabkan menurunnya kapabilitas fisik, sebaliknya menurunnya kekuatan otot dan kapabilitas fisik menyebabkan meningkatkan risiko nutrisi buruk yang merupakan lingkaran "setan" yang saling berhubungan. 4

FRAILTY Frailty merupakan sindroma geriatri yang dihasilkan dari kumulasi penurunan

sistem fisiologi yang multipel, dengan gangguan cadangan homeostatik dan penurunan kapasitas terhadap stress, termasuk kerentanan terhadap risiko jatuh, perawatan ulang, dan mortalitas. Fried dkk, menyatakan terdapat tiga atau lebih gejala : penurunan be rat badan, kelelahan, kelemahan, kecepatan berjalan menurun dan aktifitas fisik lambat. Frailty dan sarkopenia tumpang tindih; sebagian besar usia lanjut yang frail memperlihatkan sarkopenia, dan beberapa usia lanjut yang sarkopenia juga mengalami frail. 5 Sarkopenia adalah sindroma yang ditandai dengan menurunnya kekuatan dan massa otot secara progresif yang dapat menyebabkan disabilitas, kualitas hidup menurun dan kematian. 6 Salah satu penyebab sarkopenia

>;

,,·•.:.~ . '~--,· '-,::>~~/~~: -~?:'~~:'_:;'~~~t:_ -~·.:<.:>:·~·~,h~-.:·:·. _, _:~~ -; '. ~::. :_ {.~~~·~;f:t%;: ;;:~:~i< ~~~-;,:/ ·,· ..:__ -. " ' .

:

···tns1····N)c:reia ·Rrartt·~·j··ttlsro··l~""""'· < , :: >~·~(/';~;;' r ;c·: ;~·: .\,;'. . w.·./ •:>.· .·.

adalah asupan energi dan protein tidak adekuat, misalnya malabsorpsi, gangguan gastrointestinal atau obat-obatan. 5

NUTRISI PENTING PADA FRAILTY /SARKOPENIA Asupan makanan yang menurun pada usia lanjut menyebabkan kekuatan dan massa otot berkurang. Asupan energi rendah yang tidak sesuai dengan energi "expenditure", memicu penurunan berat badan, termasuk massa otot berkurang. 1 Asupan makanan yang sedikit, mikronutrient pada tubuhpun berkurang. Nutrisi penting yang berhubungan dengan frailty dan sarkopenia pada usia lanjut adalah protein, vitamin D, dan sejumlah antioksidan misalnya carotenoid, selenium, vitamin E dan C,7 Penelitian lain membuktikan long-chain polyunsaturated fatty acid berpengaruh pada kekuatan otot usia lanjut. 8· Protein

Protein merupakan suatu "kunci" nutrient pada usia lanjut. 9 Diet protein yang mengandung asam amino diperlukan untuk sintesis protein otot. Absorbsi asam amino mempunyai efek stimulasi pada sintesis protein otot setelah makan. 10 Pada asupan makanan yang kurang dan konsumsi protein bersamaan dengan karbohidrat, menyebabkan respon sintesa as am amino tidak bekerja baik pada usia lanjut. 9•11 Asupan protein pada usia lanjut perlu ditingkatkan untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen dan mencegah kehilangan otot pada sarkopenia. 9 Suplementasi asam amino dapat meningkatkan massa otot dan meningkatkan fungsi fisik. 12 · Pada kondisi sarkopenia terjadi penurunan massa otot 3-8% per dekade. Untuk mencegah atau memperlambat terjadinya sarkopenia, seorang usia lanjut perlu mengkonsumsi protein dalam jumlah adekuat. Untuk memaksimalkan sintesis protein otot, asupan protein 25-30 gram protein dengan kualitas tinggi per kali makan (setara dengan 10 gram asam amino esensial). Leusin, suatu insulin secretagogue, dapat meningkatkan sintesis protein otot, sehingga suplementasi leusin ke dalam asupan makanan dapat mencegah terjadinya sarkopeniaJU 3· Vitamin D

Hubungan defisiensi vitamin D osteomalasia dan myopati sudah dikenal sejak beberapa tahun yang lalu. 14 Tetapi, peranan vitamin D Iangsung terhadap kekuatan otot dan fungsi fisik masih kontroversial. 15 Mekanisme status vitamin D terhadap fungsi otot cukup kompleks, termasuk peranan genomik dan nongenomik. 14•16 Reseptor vitamin D, suatu target organ telah diisolasi dari otot skeletaJ.l 4 dan polimorfisme reseptor

vitamin D berhubungan dengan perbedaan kekuatan ototY Pada tingkat genomik, ikatan bentuk aktif biologis vitamin (1,25-dihidroksivitamin D) meningkatkan transkripsi protein, termasuk metabolisme kalsium. 14 Mekanisme nongenomik vitamin D belum sepenuhnya dipahami,l 6 Banyak penelitian yang menyatakan terdapat efek langsung vitamin D terhadap kekuatan otot. Penelitian NHANES III pada usia ~ 60 tahun status vitamin D rendah (serum 25-hidroksivitamin D < 15 ng mL- 1

)

berhubungan dengan empat kali

peningkatan risiko frailty (18). Studi metanalisis suplementasi vitamin D (700-1000 IU per hari) menunjukkan berkurang risiko jatuh 19%. 19

Antioksidan Kerusakan yang disebabkan stres oksidatif dapat menyebabkan gangguan pada fungsi fisik usia lanjut. 2°Kerusakan DNA, lipid, dan protein dapat terjadi hila reactive oxygen species (ROS) pada sel meningkat. Kerja ROS diimbangi oleh mekanisme

pertahanan antioksidan yang termasuk enzim dismutase peroksidase dan peroksidase gluthation, sebagai antioksidan eksogen pada diet, misalnya selenium, karotenoid, tokopherol, flavonoid, tanaman polyphenol yang lain. 10•20 Pada usia lanjut, akumulasi ROS memicu kerusakan oksidatif dan berperan pada hilangnya massa dan kekuatan otot. 10 Sejumlah studi observasional menunjukkan hubungan positif antara status anti oksidan tinggi dengan pengukuran fungsi fisik 7 Pada studi cross-sectional dan longitudinal, status oksidan rendah merupakan prediksi penurunan fungsi fisik Studi lnCHIANTI pada usia lanjut laki-laki dan wanita, kadar karotenoid plasma tinggi berhubungan dengan risiko yang rendah terhadap disabilitas berjalan yang be rat, difollow-up selama enam tahun. Pada studi ini setelah diperhitungkan faktor perancu

termasuk level aktifitas fisik dan morbiditas yang lain, OR 0,44 (95% CI 0,27-0,74). 2 1. Long-Chain Polyunsaturated Fatty Acids (LCPUFAs)

Sarkopenia merupakan suatu keadaan inflamasi yang diperantarai sitokin dan stres oksidatif.2 2 Salah satu mediator dan regulator inflamasi adalah eicosanoids yang berasal dari 20-carbon polyunsaturated fatty acid. Peningkatan eicosanoids didapat dari asupan diet seimbang yang mengandung n-3 dan n-6 LCPUFAs. n-3 LCPUFAs adalah agen anti inflamasi yang potent 8 Studi observasional membuktikan bahwa kekuatan genggaman (grip strength) pada usia lanjut meningkat setelah konsumsi minyak ikan, sumber makanan yang kaya kandungan n-3 LCPUFA

C23 l·

Studi lain pada pasien

rheumatoid artritis yang mengkonsumsi minyak ikan, dapat meningkatkan kekuatan genggaman. 8 Pada penelitian randomized controlled trial, suplementasi n-3LCPUFA

(eicosapentaenoic dan docosahexaenoic acids) meningkatkan respon anabolik asam

amino. Stimulasi sintesis protein otot oleh n-3 LCPUFA berguna untuk pencegahan dan tatalaksana sarkopenia. 24·

NUTRISI DAN EXERCISE Intervensi "exercise" terbukti efektif meningkatkan kekuatan otot dan fungsi fisik pada usia lanjut. 25 Kombinasi asupan nutrisi dan exercise lebih efektif dari asupan nutrisi saja dalam mengatasifrai/tyjsarkopenia. Studi tentang efek interaksi diet dan exercise pada perbaikan fungsi fisik telah banyak dilakukan, terutama yang berhubungan dengan suplementasi proteinjasam amino. Konsumsi asupan tinggi protein dapat meningkatkan sintesa protein otot pada usia lanjut sampai 50%, sedangkan kombinasi asupan tinggi protein dengan exercise dapat meningkatkan sintesa lebih dari 100%. 26· KESIMPULAN Perlu pemahaman strategi mencegah a tau menunda frailty j sarkopenia pad a usia lanjut. Faktor gaya hid up (lifestyle) berpengaruh pad a penurunan mass a dan kekuatan otot. Hal yang penting dalam diet adalah asupan nutrisi yang adekuat dalam hal kualitas dan kuantitas yang mencakup nutrient protein, vitamin D dan antioksidan. Nutrisi dan diet adekuat selama hidup merupakan kunci dalam pencegahan sarkopenia dalam meningkatkan kapabilitas fisik pada usia lanjut. Gabungan asupan nutrisi yang adekuat dan exercise lebih baik dalam pencegahan dan tatalaksana sarkopenia. REFERENSI 1.

Nieuwenhuizen WF, Weenen H, Rigby P, Hetrington MM. Older adults and patients in need of nutritional support: review of current treatment options and factors influencing nutritional intake. Clin Nutr2010; 29(2):160-69.

2.

Murphy C. The chemical senses and nutrition in older adults. Jour Nutr Eld 2008;27(3-4):247-65.

3.

Richard N, Baumgartner, Waters DL. Sarcopenia and sarcopenic-obesity. In: Pathy MSJ, Sinclair AJ, Morley JE, eds Principles and Practice of Geriatric Medicine. 41h ed. John Wilwy & sons Ltd. ; 2006.p. 909-27.

4.

Robinson S, Cooper C. Sayer AA. Nutrition and sarcopenia: a review of the evidence and implications for preventive strategies. Jour Aging Research 2012: 1-6.

5.

Cruz-jentoft AJ, Baeyens JP, Bauer JM, Boirie Y, Cederholm T, Landi F, et al. Sarcopenia:European consensus on definition and diagnosis. Age and Ageing 201 0; 39: 412-23.

6.

Delmonico MJ, Harris TB, Lee JS et al. Alternative definitions of sarcopenia, lower extremity performance,and functional impairment with aging in older men and women. J Am Geriatr Soc 2007; 55: 769-74.

7.

Kaiser M, Bandinelli, Lunenfeld B. Frailty and the role of nutrition in older people. A review of the current literature. Acta Biomedica 201 0; 81 (5): 37-45.

8.

Calder PC. N-3 Polyunsaturated fatty acid, inflammation, and inflammatory disease. Am Jour of Clin Nutr 2006; 83(6): 1505S-1519S.

9.

Wolfe RR, Miller SL Miller KB. Optimal protein intake in the elderly. Clin Nutr 2008; 27(5): 675-84.

10. Kim JS, Wilson JM, Lee SR. Dietary implication on mechanisms of sarcopenia: roles of protein, amino acids and antioxidants. Jour Nutr Biochem 201 0; 21 (1): 1-13. 11. Paddon-Jones D, Rasmussen BB. Dietary protein recommendations and the prevention of sarcopenia. Curr Opin Clin Nutr Metab Care 2009; 12(1 ): 86-90. 12. Borsheim E, Bui QT, Tissier S, Kobayashi H, Ferrando A, Wolfe RR. Effect of amino acid supplementation on muscle mass, strength and physical function in elderly. Clin Nutr 2008; 27(2): 189-95. 13. Konsensus pengelolaan nutrisi pada usia lanjut 2012. PB Pergemi 14. Hamilton B. Vitamin D and human skeletal muscle. Scandinavian Jour Med Sci Sports 201 0; 20(2): 182-90. 15. Annweiler C, Schott AM, Berrut G, Fantino B, Beauchet 0. Vitamin D-related changes in physical performance: a systematic review. Jour Nutr Health Aging 2009; 13(10): 893-98. 16. Ceglia L. Vitamin D and its role in skeletal muscle. CurrOp Clin Nutr Metab Care 2009; 12(6): 628-33. 17. Geusens P, Vandevyver C, Vanhoof J, Cassiman JJ, Boonen S, Raus J. Quadriceps and grip strength are related to vitamin D receptor genotype in elderly nonobese women. Jour Bon Min Research 1997; 12( 12): 2082-88. 18. Wilhelm-Leen ER, Hall YN, de Boer IH, Chertow GM. Vitamin D deficiency and frailty in older Americans. Jour lnt Med 201 0; 268(2): 171-80. 19. Bischoff-Ferrari HA, Dawson-Hughes B, staehelin HB et al. Fall prevention with supplemental and active forms of vitamin D: a meta-analisis of randomised controlled trials. British Med Jour 2009; 339: ID b 3692. 20. Semba RD, Ferruci L Sun et al. Oxidative stress and severe walking disability among older women. Am Jour Med 2007; 120( 12): 1084-89. 21. Lauretani F, Semba RD, Bandinelli S, et al. Carotenoids as protection against disability in older persons. Rejuvenation Research 2008; 11 (3): 557-63. 22. Jensen GL.Inflammation: roles in aging and sarcopenia. Jour Parent Ent Nutr 2008; 32(6): 656-59. 23. Robinson SM, Jameson KA, Batelann SF et al. Diet and its relationship with grip strength in community-dwelling older men and women: the Hertfordshire cohort study. Jour Am Ger Soc 2008; 56(1 ): 84-90. 24. Smith Gl. Atherton P, Reeds DN et al. Dietary omega-3 fatty acid supplementation increases the rate of muscle protein synthesis in older adults: a randomized controlled trial. Am Jour Clin Nutr 2011; 93(2): 402-12. 25. Liu CJ, Latham NK. Progressive resistence strength training for improving physical function in older adults. Cochrane Database of Systematic Review 2009; 3: article IDCD002759. 26. Symons TB, Sheffield-Moore M, Mamerow MM, Wolfe RR, Paddon-Jones D. The anabolic response to resistence exercise and a protein-rich meal is not diminished by age. Jour Nutr Health Aging 2010; 15(5): 376-81.

PENDEKATAN PARIPURNA PASIEN GERIATRI (COMPREHENSIVE GERIATRIC ASSESSMENT)

BATASAN DAN URAIAN

Pendekatan paripurna pasien geriatri/P3G (comprehensive geriatric asssessmentj CGA) merupakan prosedur evaluasi multidimensi. Pada prosedur ini berbagai masalah pada pasien geriatri diungkap, diuraikan, semua aset pasien (berbagai sumber dan kekuatan yang dimiliki pasien) ditemu-kenali, jenis pelayanan yang dibutuhkan diidentifikasi, rencana asuhan dikembangkan secara terkoordinir, dimana semua itu berorientasi kepada kepentingan pasien. Pendekatan dalam evaluasi medis bagi pasien berusia lanjut (berusia 60 tahun atau lebih) berbeda dengan pasien dewasa muda. Pasien geriatri memiliki karakteristik multipatologi, daya cadangan faali yang rendah, gejala dan tanda klinis yang menyimpang, menurunnya status fungsional, dan gangguan nutrisi. Selain itu, perbaikan kondisi medis kadangkala kurang dramatis dan lebih lam bat timbulnya. Karakteristik pasien geriatri yang pertama adalah multipatologi, yaitu pada satu pasien terdapat lebih dari satu penyakit yang umumnya bersifat kronik degeneratif. Kedua adalah menurunnya daya cadangan faali, yang menyebabkan pasien geriatri amat mudah jatuh dalam kondisi gagal pulih rJailure to thrive). Hal ini terjadi akibat penurunan fungsi berbagai organ atau sistem organ sesuai dengan bertambahnya usia, yang walaupun normal untuk usianya namun menandakan menipisnya daya cadangan faali. Ketiga adalah penyimpangan gejala dan tanda penyakit dari yang klasik, misalnya pada pneumonia mungkin tidak akan dijumpai gejala khas seperti batuk, demam, dan sesak, melainkan terdapat perubahan kesadaran atau jatuh. Keempat adalah terganggunya status fungsional pasien geriatri. Status fungsional adalah kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari. Status fungsional menggambarkan kemampuan umum seseorang dalam memerankan fungsinya sebagai manusia yang mandiri, sekaligus menggambarkan kondisi kesehatan secara umum. Kelima adalah adanya gangguan nutrisi, gizi kurang, a tau gizi buruk. Gangguan nutrisi

IPallduan Pr1

cc

_

~c- _

:P'=hlmnurinn nnldl"!r ~nl"';inli~ ~6ny~ldt Da_ran1 l~d0i16Sia

ini secara langsung akan mempengaruhi proses penyembuhan dan pemulihan. Jika karena sesuatu hal pasien geriatri mengalami kondisi akut seperti pneumonia, maka pasien geriatri juga seringkali muncul dengan gangguan fungsi kognitif, depresi, instabilitas, imobilisasi, dan inkontinensia (sindrom geriatri). Kondisi tersebut akan semakin kompleks jika secara psikososial terdapat hendaya seperti pengabaian (neglected) atau kemiskinan (masalah finansial). Berdasarkan uraian di atas tidak dapat disangkallagi bahwa pendekatan dalam evaluasi medis bagi pasien geriatri mutlak harus bersifat holistik atau paripurna yang tidak semata-mata dari sisi bio-psiko-sosial saja, namun juga harus senantiasa memperhatikan aspek promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Komponen atau domain dari Pendekatan Paripurna Pasien Geriatri /P3G (Comprehensive Geriatric AssessmentjCGA) meliputi status fisik medik, status fungsional, status kognitif, status emosionaljpsiko-afektif, status nutrisi dan status sosial ekonomi.

STATUS FISIK MEDIK Dalam melakukan penilaian fisik medik pada pasien geriatri, maka anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap merupakan suatu keharusan. Anamnesis yang dilakukan adalah anamnesis sistem organ yang secara aktif ditanyakan oleh dokter (mengingat seringkali pasien geriatri memiliki hambatan dalam menyampaikan keluhan atau tidak menganggap hal tersebut sebagai suatu keluhan) dan pemeriksaan fisik lengkap yang mencakup pula pemeriksaan neurologis dan muskuloskeletal. STATUS FUNGSIONAL Pendekatan yang dilakukan untuk menyembuhkan kondisi akut pasien geriatri tidak akan cukup untuk mengatasi permasalahan yang muncul. Meskipun kondisi akutnya sudah teratasi, tetapi pasien tetap tidak dapat dipulangkan karena belum mampu duduk, apalagi berdiri dan berjalan, pasien belum mampu makan dan minum serta membersihkan diri tanpa bantuan. Pengkajian status fungsional untuk mengatasi berbagai hendaya menjadi penting, bahkan seringkali menjadi prioritas penyelesaian masalah. Nilai dari kebanyakan intervensi medis pacta orang usia lanjut dapat diukur dari pengaruhnya pada kemandirian a tau status fungsionalnya. Kegagalan mengatasi hendaya maupun gejala yang muncul akan mengakibatkan kegagalan pengobatan secara keseluruhan. Mengkaji status fungsional seseorang berarti melakukan pemeriksaan dengan instrumen tertentu untuk membuat penilaian menjadi obyektif, antara lain dengan indeks aktivitas kehidupan sehari-hari (activity of daily living/ADL) Barthel atau

Katz. Pasien dengan status fungsional tertentu akan memerlukan berbagai program untuk memperbaiki status fungsionalnya agar kondisi kesehatan kembali pulih, mempersingkat lama rawat, meningkatkan kualitas hid up dan kepuasan pasien.

STATUS KOGNITIF Pada pasien geriatri, peran dari aspek selain fisik justru terlihat lebih menonjol terutama saat mereka sakit. Faa! kognitif yang paling sering terganggu pada pasien geriatri yang dirawat inap karena penyakit akut antara lain memori segera dan jangka pendek, persepsi, proses pikir, dan fungsi eksekutif. Gangguan tersebut dapat menyulitkan dokter dalam pengambilan data anamnesis, demikian pula dalam pengobatan dan tindak !anjut. Adanya gangguan kognitif tentu akan mempengaruhi kepatuhan dan kemampuan pasien untuk melaksanakan program yang telah direncanakan sehingga pada akhirnya pengelolaan secara keseluruhan akan terganggu juga. Gangguan faa! kognitif bisa ditemukan pada derajat ringan (mild cognitive impairmentjMCl dan vascular cognitive impairmentjVCl) maupun yang lebih berat

(demensia ringan, sedang, dan berat). Hal terse but tentunya memerlukan pendekatan diagnosis dan terapeutik tersendiri. Penapisan adanya gangguan faa! kognitif secara obyektif antara lain dapat dilakukan dengan pemeriksaan neuropsikiatrik seperti Abbreviated Mental Test {AMT} dan the Mini-Mental State Examination (MMSE).

STATUS EMOSIONAL/PSIKO-AFEKTIF Kondisi psikologik, seperti gangguan penyesuaian dan depresi, juga dapat mempengaruhi hasil pengelolaap. Pasien yang depresi akan sulit untuk diajak bekerja sama dalam kerangka pengelolaan secara terpadu. Pasien cenderung bersikap pasif atau apatis terhadap berbagai program pengobatan yang akan diterapkan. Hal ini tentu akan menyulitkan dokter dan paramedik untuk mengikuti dan mematuhi berbagai modalitas yang diberikan. Keinginan bunuh diri secara langsung maupun tidak, cepat atau lambat akan mengancam proses penyembuhan dan pemulihan. Instrumen untuk mengkaji status emosional pasien misalnya Geriatric Depression Scale (GDS) yang terdiri atas 15 atau 30 pertanyaan. Instrumen ini bertujuan untuk menapis adanya gangguan depresi atau gangguan penyesuaian. Pendekatan secara profesional dengan bantuan psikiater amat diperlukan untuk menegakkan diagnosis pasti.

STATUS NUTRISI Masalah gizi merupakan masalah lain yang mutlak harus dikaji pada seorang pasien geriatri. Gangguan nutrisi akan mempengaruhi status imun dan keadaan umum

pasien. Adanya gangguan nutrisi seringkali terabaikan mengingat gejala awal seperti rendahnya asupan makanan disangka sebagai kondisi normal yang terjadi pad a pasien geriatri. Sampai kondisi status gizi turun menjadi gizi buruk baru tersadar bahwa memang ada masalah di bidang gizi. Pada saat tersebut biasanya sudah terlambat atau setidaknya akan amat sulit menyusun program untuk mengobati status gizi buruk. Pengkajian status nutrisi dapat dilakukan dengan anamnesis gizi (anamnesis asupan), pemeriksaan antropometrik, maupun biokimiawi. Dari anamnesis harus dapat dinilai berapa kilokalori energi, berapa gram protein, dan berapa gram lemak yang rata-rata dikonsumsi pasien. Juga perlu dievaluasi berapa gram serat dan mililiter cairan yang dikonsumsi. Jumlah vitamin dan mineral biasanya dilihat secara lebih spesifik sehingga memerlukan perangkat instrumen lain dengan bantuan seorang ahli gizi. Pemeriksaan antropometrik yang lazim dilakukan adalah pengukuran indeks massa tubuh dengan memperhatikan perubahan tinggi tubuh dibandingkan saat usia dewasa muda. Rumus tinggi lutut yang disesuaikan dengan ras Asia dapat dipakai untuk kalkulasi tinggi badan orang usia lanjut. Pada pemeriksaan penunjang dapat diperiksa hemoglobin dan kadar albumin plasma untuk menilai status nutrisi secara biokimiawi. Instrumen untuk mengkaji status nutrisi pasien geriatri yaitu dengan Mini Nutrisional Assessment (MNA). Mini Nutrisiona/ Assessment terdiri dari pertanyaan penapisan dan pengkajian meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik. Instrumen untuk mengkaji status fungsional, kognitif, emosional dan nutrisi dapat dilihat pada lampiran.

REFERENSI 1.

Soejono CH. Pengkajian paripurna pada pasien geriatri. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I. Sirnadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llrnu Penyakit Dalarn. Edisi V. lnternaPublishing Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam. 2010.p.768-75

2.

Reuben DB, Rosen S. Principles of Geriatric Assessment. In : Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME, Studenski S, High KP, Asthana S. Eds. Hazzard's Geriatric Medicine and Gerontology. 6'h ed. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. 2009. p.141-52

3.

Evaluating the geriatric patient. In : Kane RL Oustlander JG, Abrass IB, Resnick B. Eds. Essentials of Clinical Geriatrics. 6'h ed. New York: McGraw-Hill. 2009.p.41-77

4.

Steinweig KK.Initial assessment. In: Ham RJ. Sloane PD. Warshaw GA, Bernard MA. Flaherty E. Eds. Primary care geriatrics a case-based approach. S'h ed.Philadelphia: Mosby Elsevier. 2007.p.50-71

Lampiran 1 INDEKS AKTIVITAS KEHIDUPAN SEHARI-HARI BARTHEL (AKS BARTHEL) 6

Mengendalikan rangsang pembuangan tinja

0 1 2

Tak terkendali/tak tercitur (perlu pencahar) Kadang-kadang tak terkendali ( 1x seminggu) Terkendali teratur

2

Mengendalikan rangsang berkemih

0 1 2

Tak terkendali atau pakai kateter Kadang-kadang tak terkendali (hanya 1x/24 jam) Mandiri

3

Membersihkan diri (seka muka, sisir rambut. sikat gigi)

0 1

Butuh pertolongan orang lain Mandiri

4

Penggunaan jamban, masuk dan keluar (melepaskan, memakai celana, membersihkan, menyiram)

0 1

Tergantung pertolongan orang lain Perlu pertolongan pada beberapa kegiatan tetapi dapat mengerjakan sendiri beberapa kegiatan yang lain Mandiri

5

Makan

0 1 2

Tidakmampu Perlu ditolong memotong makanan Mandiri

6

Berubah sikap dari berbaring ke duduk

0 1

Tidakmampu Perlu banyak bantuan untuk bisa duduk (2 orang) Bantuan minimal 1 orang Mandiri

2

2 3 7

Berpindah/berjalan

0 2 3

8

Memakai baju

Tidakmampu Bisa (pindah) dengan kursi roda Be~alan dengan bantuan 1 orang Mandiri

2

Tergantung orang lain Sebagian di bantu (misalnya mengancing baju) Mandiri

0

7

Berpindah/berjalan

0 1 2 3

Tidakmampu Bisa (pindah) dengan kursi roda Be~alan dengan bantuan _1 orang Mandiri

8

Memakai baju

0

Tergantung orang lain Sebagian di bantu (misalnya mengancing baju) Mandiri

9

Naik turun tangga

0 1

2

2 10

Mandi

0

Tidakmampu Butuh pertolongan Mandiri Tergantung orang lain Mandiri

TOTALSKOR Kelerangan Skor AKS BARTHEL 20 Mandiri 12-19 Keterganlungan ringan 9-11 Ketergantungan sedang

5-8 0-4

: Ketergantungan berat : Ketergantungan total

Lampiran 2

ABBREVIATED MENTAL TEST (AMT)1 1. Umur .................... to hun

0. Salah 1. Senor

2. Waktu I jam sekarang ........................... .

0. Salah 1. Senor

3. Alamat tempat tinggal ........................... . 4. Tahun sekarang ................................... . 5. Soot ini berada di mana .......................... . 6. Mengenali orang lain di ruangan (pengantor responden, satpam, pewawancara, atau petugas bank} 7. Tahun kemerdekaan Rl ...................... . 8. Nama presiden Rl yang pertama ................................. 9. Tahun kelahiran anda sendiri .................... . 10. Menghitung terbalik (20 s/d 1} ........................ .

0. Salah 0. Salah 0. Salah 0. Salah

1. Senor 1. Senor 1. Senor 1. Senor

0. Salah 0. Salah 0. Salah 0. Salah

1. Senor 1. Senor 1. Senor 1. Senor

Skor AMT .......................... .

Skor AMT: 0-3 : gangguan ingatan berat 4-7 : gangguan ingatan sedang 8-1 0 : normal 11 . Perasaan hati

:

326

1. Saik 2. Labil 3. Depresi 4. Gelisah 5. Cemas

Lampiran 3

MINI MENTAL STATE EXAMINATION (MMSE)

ORIENTASI

5 5

(} (}

Sekarang ini (tahun}, (musim}, (bulan}. (tanggal}, (hari} apa? Kita berada dimana ? (negara}, (propinsi), (kota}. (rumah sakit}, (lantai/kamar} REGISTRASI

3

(}

Pewawancara menyebutkan nama 3 buah benda : satu detik untuk setiap benda. Kemudian pasien diminta mengulangi nama ketiga objek tadi. Berilah nilai 1 untuk tiap nama objek yang disebutkan benar. Ulangi lagi sampai pasien menyebut dengan benar : (bola, kursi, buku)

Hitunglah jumlah percobaan dan catatlah : .................. kali ATENSI DAN KALKULASI 5

(}

Pengurangan 100 dengan 7. Nilai 1 untuk setiap jawaban yang be nor. Hentikan setelah 5 jawaban, atau eja secara terbalik kata "w a h y u" (nilai diberi pada huruf yang benar sebelum kesalahan; misal : uyahw =2 nilai} MENGENAL KEMBALI

3

(}

2

(}

Pasien disuruh menyebut kembali 3 nama objek diatas tadi. Berikan nilai 1 untuk tiap jawaban yang benar BAHASA

3

Apakah nama benda ini? Perlihatkanlah pinsil dan arloji

(}

Pasien disuruh mengulangi kalimat berikut : "jika tidak, dan atau tapi"

(}

Pasien disuruh melakukan perintah : "ambil kertas itu dengan tangan anda, lipatlah menjadi dua dan letakkan di lantai"

(}

Pasien disuruh membaca, kemudian melakukan perintah kallimat " pejamkan mota anda"

(}

Pasien disuruh menulis kalimat lengkap dengan spontan (tulis apa soja}

(}

Pasien disuruh menggambar bentuk di bawah ini

JUMLAH NILAI ( )

Lampiran 4 GERIATRIC DEPRESSION SCALE (GDS) Pilihlah jawaban yang paling tepat, yang sesuai dengan perasaan pasien/responden dalam duo

minggu terakhir. Jawaban yang bercetak tebal diberi nilai 1. 1.

Apakah Bapak/lbu sebenarnya puas dengan kehidupan Bapak/lbu ?

Ya

T/DAK

2.

Apakah Bapak/lbu telah meninggalkan banyak kegiatan dan minot atau kesenangan Bapak/lbu ?

YA

Tidak

3.

Apakah Bapak/lbu merasa kehidupan Bapak/lbu kosong ? Apakah Bapak/lbu sering merasa boson ?

YA YA

Tidak

4.

Tidak

5.

Apakah Bapak/lbu mempunyai semangat yang baik setiap saat ?

Ya

TIDAK

6.

Apakah Bapal
YA

Tidak

7.

Apakah Bapak/lbu me rasa bahagia untuk sebagian besar hid up Bapak/ lbu?

Ya

TIDAK

8.

Apakah Bapak/lbu sering merasa tidak berdaya ?

Tidak

9.

Apakah Bapak/lbu lebih senang tinggal di rumah daripada pergi ke luar dan mengerjakan sesuatu hal yang baru ?

YA YA

10.

Apakah Bapak/lbu merasa mempunyai banyak masalah dengan daya ingot Bapak/lbu dibandingkan kebanyakan orang ?

YA

Tidak

11.

Apakah Bapak/lbu menyenangkan ?

ini

Ya

TIDAK

12.

Apakah Bapak/lbu merasa tidak berharga seperti perasaan Bapak/lbu saat ini?

YA

Tidak

13.

Apakah Bapak/lbu merasa penuh semangat?

Ya

TIDAK

14.

Apakah Bapak/lbu merasa bahwa keadaan Bapak/lbu tidak ada harapan?

YA

Tidak

Apakah Bapak/lbu pikir bahwa orang lain lebih baik keadaannya dari Bapak/lbu ?

YA

15·

pikir

bahwa

hidup

Bapak/lbu

sekarang

Total Nilai : ......................... (hitung jumlah jawaban yang bercetak tebal) Setiap jawaban yang bercetak tebaljhuruf KAPITAL mempunyai nilai 1 Nilai an tara 5 - 9 : kemungkinan besar depresi Nilai 10 at au lebih : depresi

-

328

Tidak

Tidak

Lampiran 5 MINI NUTRITIONAL ASSESSMENT (MNA) Nama: Medis:

Umur:

Jenis kelamin : TB : Tanggal pemeriksaan :

BB:

No. Rekam

Jawablah pertanyaan (PENAPISAN) berikut ini dengan menulis angka yang tepat pada kotak. Jumlahkan jawabannya, jika skor 11 atau kurang, teruskan dengan PENGKAJIAN untuk mendapatkan SKOR INDIKATOR MALNUTRISI. PENAPISAN (SCREENING) A. Apakah ada penurunan asupan makanan dalam jangka waktu 3 bulan oleh karena kehilangan nafsu makan, masalah pencernaan, kesulitan menelan, atau mengunyah? 0 = nafsu makan yang sangat berkurang 1 = nafsu makan sedikit berkurang (sedang) 2 = nafsu makan biasa soja

D

B. Penurunan berat badan dalam 3 bulan terakhir: 0 = penurunan berat badan lebih dari 3 kg 1 = tidak tahu 2 = penurunan berat badan 1 - 3 kg 3 = tidak ada penurunan berat badan C. Mobilitas 0 = horus berbaring di tempat tidur atau menggunakan kursi roda 1 = bisa keluar dari tempat tidur atau kursi roda, tetapi tidak bisa ke luar rumah. 2 = bisa keluar rumah D. Menderita stres psikologis atau penyakit akut dalam 3 bulan terakhir 2 = tidak 0 = ya E. Masalah neuropsikologis 0 = demensia berat atau depresi berat 1 = demensia ringan 2 = tidak ada masalah psikologis F. lndeks massa tubuh (IMT) (berat badan dalam kg/tinggi badan dalam m 2 ) 0 = IMT < 19 1 = IMT 19- < 21 2 = IMT 21 - < 23 3 = IMT 23 atau lebih Skor PENAPISAN (subtotal maksimum 14 poin) Skor ~12 normal, tidak berisiko 7 tak perlu melengkapi form pengkajian Skor ~11 kemungkinan malnutrisi 71anjutkan pengkajian

PENGKAJIAN (ASSESSMEND G. Hidup mandiri, tidak tergantung orang lain (bukan di rumah sakit atau panti werdha) 0 = tidak 1 = ya

D D D D

D D D

H. Minum obat lebih dari 3 macam dalam 1 hari 1 = tidak 0 = ya I.

Terdapat ulkus dekubitus/luka tekan atau luka di kulit 1 = tidak 0 = ya

D

J. Berapa kali pasien makan lengkap dalam 1 hari ? 0 = 1 kali 1 = 2 kali 2 = 3 kali K. Konsumsi bahan makanan tertentu yg diketahui sebagai bahan makanan sumber protein (asupan protein) • Sedikitnya 1 penukar dari produk susu (susu, keju, yogurt) per hari (ya/tidak) • Duo penukar atau lebih dari kaeang-kaeangan atau telur perminggu (ya/tidak) • Daging, ikon, atau unggas tiap hari (ya/tidak) 0,0 =jika 0 atau 1 pertanyaan jawabannya 'ya' 0,5 =jika 2 pertanyaan jawabannya 'ya' 1,0 =jika 3 pertanyaan jawabannya 'ya' L.

Adakah mengkonsumsi 2 penukar atau lebih buah atau sayuran per hari ? 1 = ya 0 = tidak

M. Berapa banyak eairan (air, jus,kopi,teh, susu, ... ) yang diminum setiap hari? 0,0 = kurang dari 3 gelas 0,5 = 3 sampai 5 gelas 1,0 = lebih dari 5 gelas N. Cora makan 0 = tidak dapat makan tanpa bantuan 1 = makan sendiri dengan sedikit kesulitan 2 = dapat makan sendiri tanpa masalah 0 = merasa dirinya kekurangan makan/kurang gizi 1 = tidak dapat menilai/tidak yakin akan status gizinya 2 = merasa tidak ada masalah dengan status gizinya. Dibandingkan dengan orang lain yang seumur, bagaimana pasien melihat status kesehatannya ? 0,0 = tidak sebaik mereka 0,5 = tidak tahu 1,0 = soma baik 2,0 = lebih baik

Q. Lingkar Lengan atas (LLA) dalam em

0,0 R.

= LLA < 21

0,5

= LLA 21

- < 22

Lingkar betis (LB) dalam em 0 = LB < 31 1 = LB :?: 31

D D D D

0. Pandangan pasien terhadap status gizinya

P.

D

1,0 = LLA:?: 22

D D D D

Skor PENGKAJIAN ( maksimum 16 poin) Skor PENAPISAN PENILAIAN TOTAL (maksimum 30 poin) SKOR INDIKATOR MALNUJRISI 17 sampai 23,5 poin : berisiko malnutrisi kurang dari 17 poin : malnutrisi.

'

330

~

iiJ

B

SINDROM DELIRIUM AKUT

PENGERTIAN Sindrom delirium akut (acute confusional state/ACS) adalah sindrom mental organik yang ditandai dengan gangguan kesadaran dan atensi serta perubahan kognitif atau gangguan persepsi yang timbul dalam jangka pendek dan berfluktuasi. Penyebabnya yaitu defisiensi neurotransmiter asetilkolin, gangguan metabolisme oksidatif di otak yang berkaitan dengan hipoksia dan hipoglikemia, meningkatnya sitokin otak pada penyakit akut; sehingga mengganggu transduksi sinyal neurotransmiter serta second messenger system dan akibatnya menimbulkan gejala serebral dan aktivitas psikomotor. Faktor predisposisi dan fator pencetus yaitu: 1 label 1. Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus Sindrom Delirium Akut'

• Usia sangat lanjut > 80 tahun • Jenis kelamin pria • Gangguan foal kognitif ringan (mild cognitive impairinent/MCI) sampai demensia • Gangguan ADL • Gangguan sensorium (penglihatan dan/atau pendengaran) • Usia lanjut yang rapuh (fragile) • Usia lanjut yang sedang menggunakan obat yang mengganggu foal neurotransmiter otak (simetidin, ranitidin, siprofloksasin, psikotropika) • Polifarmasi • Komorbiditas



latrogenik : pembedahan, katerisasi, urin, physical restraints

• Gangguan metabolik/cairan: insufisiensi ginjal. dehidrasi, hipoksia, azotemia • Penyakit fisik/psikiatrik : pneumonia, infeksi saluran kemih, hipoglikemia, hiperglikemia, hipernatremia, hipokalemia, demam, infeksi. stress, fraktur, malnutrisi, gangguan polo tidur. CVD (cerebra vascular disease) • Overstimulation : perawatan ICU, perpindahan ruang rawat •

lntoksikasi alkohol. pemakaian obat antikolinergik

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Gejala yang dapat dijumpai yaitu gangguan kognitif global berupa gangguan memori jangka pendek, gangguan persepsi (halusinasi, ilusi), gangguan proses pikir (disorientasi waktu, tempat, orang), komunikasi tidak relevan, autoanamnesis sulit

dipahami. Pasien mengomel terus atau terdapat ide-ide pembicaraan yang melompatlompat, gangguan siklus tidur (siang hari tertidur sedangkan malam hari terjaga). Gejala-gejala terse but terjadi secara akut dan fluktuatif, dari hari ke hari dapat terjadi perubahan gejala secara berganti-ganti. Pada anamnesis perlu ditanyakan fungsi intelektual sebelumnya, status fungsional, awitan dan perjalanan konfusi, riwayat serupa sebelumnya, Faktor pencetus dan faktor predisposisi juga perlu ditanyakan pada anamnesis.U Pemeriksaan Jasmani

Perubahan kesadaran dapat dijumpai. Perubahan aktivitas psikomotor baik hipoaktif (23%), hiperaktif (25%), campuran keduanya (35%), atau normal (15%). Pasien dapat berada dalam kondisi fully alert di satu hari namun hari berikutnya pasien tampak gelisah. Gangguan konsentrasi dan perhatian terganggu saat pembicaraan. 1 Pemeriksaan neurologis, tingkat kesadaran (Glasgow Coma Scale), pemeriksaan tanda-tanda vital (adanya demam)-2 Pemeriksaan Penunjang 1

Diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis; menemukan penyebab/ pen cetus: •

Lakukan pemeriksaan neurologis untuk mendeteksi defisit neurologis fokal, adakah cerebra vascular disease atau transient ischemic attack; lakukan brain CT scan jika ada indikasi



Darah perifer lengkap



Elektrolit (terutama natrium), ureum, kreatinin, dan glukosa darah, fungsi hati,



Analisis gas darah



Urin lengkap dan kultur resistensi urin



Foto toraks



EKG



Kultur darah



Uji atensi (mengurutkan nama hari dalam seminggu, mengurutkan nama bulan dalam setahun, mengeja balik kata "pintu")



Uji status mental : MMSE (Mini-mental State Examination), Delirium Rating Scale, Delirium Symptom Interview.



Pemeriksaan lain sesuai indikasi yang didapatkan dari anamnesis dan pemeriksaan jasmani :2 CT Scan : jika ditemukan kelainan neurologis

Kadar B12 dan asam folat Analisis gas darah Kultur sputum Pungsi lumbal jika dicurigai adanya meningitis Kriteria diagnosis menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR) : •

Meliputi gangguan kesadaran yang disertai penurunan kemampuan untuk memusatkan, mempertahankan, atau mengalihkan perhatian, perubahan kognitif (gangguan daya ingat, disorientasi, atau gangguan berbahasa) atau timbulnya gangguan persepsi yang bukan akibat demensia, gangguan tersebut timbul dalam jangka pendek (jam atau hari) dan cenderung berfluktuasi sepanjang hari, serta terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan jasmani, atau pemeriksaan penunjang bahwa gangguan tersebut disebabkan kondisi medis umum maupun akibat intoksikasi, efek samping, atau putus obatjzat. Berdasarkan DSM-IV telah disusun algoritme (CAM/ Confusion Assessment Methode) ditambah uji status mentallainnya yang dapat dipakai

sebagai uji baku emas diagnosis. 1

Proses akut dan berfluktuasi

Gangguan perhatian/konsentrasi

/ Sindrom delirium

Gamber 1. Algoritme Confusion Assessment Methode'

" 333

SISTEM PENSKORAN PASCA-OPERASI

Ada beberapa sistem penskoran untuk menentukan risiko demensia setelah tindakan operasi seperti :dapat dilita pada tabel 2. label 2. Sistem Skoring untuk Faktor Risiko Setelah lindakan OperasP Usia > 70 tahun Riwayat ketergantungan alkohol Adanya gangguan kognitif Kelainan jasmani berat (menurunnya kemampuan berjalan atau melakukan aktivitas sehari-hari) Abnormalitas hasil pemeriksaan darah, elektrolit, atau glukosa Operasi thorax noncardiac Operasi aneurisma abdominal aorta Keterangan :

2

skor 0 : risiko timbulnya delirium post operasi sebesar 2% skor 1-2 : risiko timbulnya delirium post operasi sebesar 11 % skor « 3 : risiko timbulnya delirium post operasi sebesar SO%

DIAGNOSIS BANDING

Demensia, psikosis fungsional, kelainan neurologis, gangguan cemas, gangguan depresi, gangguan kognitif pasca operasi (GKPO).l label 3. Confusion Assessment Method (CAM) dalam Mendiagnosis Delirium• 1.

Onset akut atau berfluktuasi Anamnesis didapatkan dari keluarga atau perawat dengan menanyakan adakah perubahan status mental akut? Apakah abnormalitas tingkah laku berfluktuasi dalam sehari, cenderung muncul atau hilang, meningkat atau menurun keparahannya?

2.

Inattention Apakah pasien mempunyai gangguan atensi seperti mudah teralihkan perhatiannya atau mempunyai kesulitan mengingat apa yang dikatakan.

3.

Pemikiran tidak teratur Apakah pasien berpikir inkoheren seperti melantur atau percapakan irelevan, ide pemikiran yang tidakjelas atau tidak log is, atau berpindah dari satu subjek ke subjek lain.

4.

Altered level of consciousness Menilai kesadaran pasien apakah alert (normal), waspada (hyperalert), letargi (mengantuk, mudah dibangunkan), stupor (sulit untuk dibangunkan), atau koma. -Dia~jnosisaelirii.Jm.ditegal
Delirium

_,

-

1

334

---

PENATALAKSANAAN 1 • Tujuan pengobatan: menemukan dan mengatasi pen cetus serta faktor predisposisi Penanganan tidak hanya dari aspek jasmaniah, namun juga aspek psikologik/ psikiatrik, kognitif, lingkungan, serta pemberian obat. • Berikan oksigen, pasang infus dan monitor tanda-tanda vital pasien setidaknya 4 jam sekali Segera dapatkan hasil pemeriksaan penunjang untuk memandu langkah selanjutnya; tujuan utama terapi adalah mengatasi faktor pencetus. • Jika khawatir aspirasi dapat dipasang pipa naso-gastrik • Kateter urin dipasang terutama jika terdapat ulkus dekubitus disertai inkontinensia urin • Awasi kemungkinan imobilisasi (lihat topik imobilisasi) Hindari sebisa mungkin pengikatan tubuh untuk mencegah imobilisasi. Jika memang diperlukan, gunakan dosis terendah obat neuroleptik dan atau benzodiazepin dan monitor status neurologisnya; pertimbangkan penggunaan antipsikotik atipikal. Kaji ulang intervensi ini setiap hari; targetnya adalah penghentian obat antipsikotik dan pembatasan penggunaan obat tidur secepatnya (algoritme 2). Kaji status hidrasi secara berkala, hitung urine output setiap 4 jam Berisiko menyakiti diri sendiri/orang lain

/

• •

Lorazepam 0.5-1 mg po (per oral) Haloperidol 0.5mg -1mg

l

Lorazepam 0.5-1 mg po sampai 2 mg/24 jam

T

Non-urgent treatment agitation/aggression



Gangguan tidur: - Zoplicone 3.75-7.5 mg - Tradozone 50 mg (titrasi) • Halusinasi/delusi - Lorazepam 0.5-1 mg po - Haloperidol 0.5 mg po

Gombar 2. Algoritme pedoman pemberian sedasF

Ruangan tempat pasien harus berpenerangan cukup, terdapatjam dan kalender yang besar dan jika memungkinkan diletakkan barang-barang yang familiar bagi pasien dari rumah, hindari stimulus berlebihan, keluarga dan tenaga kesehatan harus berupaya sesering mungkin mengingatkan pasien mengenai hari dan tanggal, jika kondisi klinis sudah memungkinkan pakai alat bantu dengar a tau kacamata yang biasa digunakan oleh pasien sebelumnya, motivasi untuk berinteraksi sese ring mungkin dengan keluarga dan tenaga kesehatan, evaluasi strategi orientasi realitas; beritahu kepada pasien bahwa dirinya sedang bingung dan disorientasi namun kondisi terse but dapat membaik

KOMPLIKASI Fraktur, hipotensi sampai renjatan, trombosis vena dalam, emboli paru, sepsis PROGNOSIS Gejala dan tanda sindrom delirium dapat bersifat akut maupun menetap sampai berbulan-bulan. Pasien dengan sindrom delirium mempunyai risiko 1,71 kali lebih tinggi untuk meninggal dalam tiga tahun kedepan. Peningkatan risiko demensia pasca delirium sebesar 5.97. Delirium berhubungan dengan status fungsional yang lebih rendah, baik pada kelompok dengan maupun tanpa demensia. Pasien dengan sindrom delirium mempunyai skor ADL Barthel (Activities of daily living) yang lebih buruk dibandingkan dengan kontrol. Gejala sisa delirium dari125 pasien didapatkan hanya 44% dari pasien yang gejalanya sudah tidak sesuai kriteria diagnostic DSM-IV untuk delirium. Setelah enam bulan pascarawat terdapat 13% pasien menunjukkan gejala delirium, 69% pasien menunjukkan gejala perubahan aktivitas namun tidak sesuai kriteria diagnostik delirium, dan hanya 18% pasien menunjukkan gejala resolusi komplit. Risiko kematian meningkat jika komorbiditasnya tinggi, penyakit yang lebih berat, dan jenis kelamin laki-laki. Pencegahan delirium: UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Penyakit Dalam - Divisi Geriatri • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT YANG TERKAIT • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Saraf, Departemen Psikiatri • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Saraf, Bagian Psikiatri

~~,,..,_,,,_.rom ~

' '

,.

·,

Delirium Akut ~

' '

' '' ' . .

~

·.

'

.

. •

r'

.

'

' _,

label 2. Pencegahan Delirium dan Keluarannya 1•5

Reorientasi

Memasang jam dinding, kalender

Memulihkan orientasi

Memulihkan siklus tidur

Memadamkan lampu, minum susu hangat atau teh herbaL musik yang tenang, pemijatan punggung

Tidur tanpa obat

Mobilisasi

Latihan lingkup ruang sendi. mobilisasi bertahap, batasi penggunaan restraint

Pulihnya mobilitas

Penglihatan

Kenakan kacamata, menyediakan bacaan dengan huruf berukuran besar

Meningkatkan kemampuan penglihatan

Pendengaran

Bersihkan cerumen prop, alat bantu dengar

Meningkatkan kemampuan pendengaran

Rehidrasi

Diagnosis dini dehidrasi. tingkatkan asupan cairan oraL pemberian cairan infus sesuai indikasi

BUN/kreatinin < 18

REFERENSI 1.

Soejono Czeresna H.Sindrom Delirium Akut (Acute Confusional State. Dalam: Suyono, S. Waspadji. S. Lesmana, L. Alwi. I. Setiati. S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta: Intern a Publishing; 2010. Hal.907-912.

2.

Purchas M, Guidelines for the Diagnosis and Management of Acute Confusion. Diunduh dari http:/ /www.acutemed.co.uk pad a tanggal 19 Mei 2012.

3.

Marcantonio ER, Goldman L.Mangione CM, et al. A clinical prediction rule for delirium after elective noncardiac surgery. JAMA 1994; 271:134-139.

4.

Inouye SK, van Dyck CH, Alessi CA. Balkin S, Siegal AP, Horwitz Rl. Clarifying confusion: the confusion assessment method. A new method for detection of delirium. Ann Intern Med (1990) 113:941-8.

5.

Guidelines for the prevention, diagnosis and management of delirium in older people in hospital. British Geriatrics Society Clinica1Guidelines.2006.Diunduhdari http://www .bgs.org.uk/Publications/ Clinicai%20Guidelines/clinical1-2_fulldelirium.htm pada tanggal19 Mei 2012.

ULKUS DEKUBITUS

PENGERTIAN Ulkus dekubitus (UD) atau luka akibat tekanan merupakan salah satu komplikasi imobilisasi pada usia Ian jut. UD adalah luka akibat peningkatan tekanan pada daerah kulit yang sam a secara terus-menerus. Pada posisi berbaring, tekanan akan memberikan pengaruh pada daerah kulit ,dimana terjadi penonjolan tulang yang menyebabkan aliran darah terhambat, dan terbentuknya anoksia jaringan dan nekrosis. 1 UD dapat terjadi dimana saja, namun 80%-nya terjadi pada tumit, malleolus lateralis, sakrum, tuberositas ischium, dan trochanter mayor. 2 Opini bahwa semua UD dapat dicegah masih kontroversial. Beberapa faktor risiko UD pada geriatri tercantum pada tabell. Tabell. Beberapa Faktor Risiko Ulkus Dekubitus pada GeriatrP Mobilitas terbatas : jejas medula spinalis, penyakit serebrovaskular, kelainan neurologis progresif (Parkinson, Alzheimer, sklerosis multipel), nyeri, fraktur, prosedur pasco operasi, koma atau sedasi, artropati

Tekanan dari berbagai permukaan keras (seperti tempat tidur, kursi roda, atau brankar/stretcher)

Nutrisi buruk : anoreksia, dehidrasi, gigi keropos, restriksi makanan, lemahnya sensasi kecap atau penghidu, kemiskinan atau berkurangnya akses makanan

Friksi dari ketidakmampuan pasien untuk bergerak dengan baik di tempat tidur

Penyakit komorbid: diabetes, depresi a tau psikosis, vaskulitis atau penyakit vaskular kolagen lainnya, penyakit vaskular perifer, berkurangnya sensasi nyeri, imunodefisiensi atau terapi kortikosteroid, gaga! jantung kongestif, keganasan, gaga! ginjal, demensia, penyakit paru obstruktif kronik

Tergores (shear) akibat gerakan otot involunter

Kulit menua : elastisitas menghilang, berkurangnya aliran darah kutaneus, perubahan pH kulit, hilangnya lemak subkutaneus, berkurangnya aliran darah epidermis-dermis, flattening of rete ridges

Kelembaban (menyebabkan urin maserasi): inkontinensia atau buang air besar, keringat berlebihan, drainase luka

DIAGNOSIS Anamnesis 3



Identifikasi faktor-faktor risiko seperti tercantum pada Tabel 1



Onset dan durasi ulkus



Riwayat perawatan luka sebelumnya



Identifikasi faktor lainnya: kesehatan fisiologis, status kognitif dan perilaku, sumber daya sosial dan finansial, akses terhadap caregiver dan kemungkinan penelantaran (abuse/neglected case)

Pemeriksaan Fisik3.4 •

Inspeksi kulit dari kepala hingga ujung kaki, de pan hingga belakang, palpasi sesuai indikasi: perhatikan jumlah, lokasi, ukuran (panjang, lebar, kedalaman) ulkus dan periksalah apakah ada eksudat, bau, traktus sinus, formasi nekrosis atau eschar, undermining(cekungan), tunneling (terowongan), infeksi, penyembuhan (granulasi dan epitelialisasi), dan batas luka. Kemudian klasifikasikan ke dalam stadium klinis seperti tercantum pada Tabel 2.



Penilaian ulang kulit tiap 8-24 jam, dengan perubahan kondisi atau level of care



Tanda infeksi

(NPUAP)l label 2. Stadium Ulkus Dekubitus menurut National Pressure Ulcer Advisory Panel

Suspek jejas jaringan profunda (suspected deep-tissue injury)

Perubahan warna ungu atau marun pada area terlokalisir. kulit utuh (intact) atau luka lecet terisi darah yang disebabkan oleh kerusakan pada jaringan lunak akibat tekanan atau goresan (shear); diskolorasi ini dapat muncul sebelum rasa nyeri, keras, lunak, basah, lebih hangat atau lebih din gin daripada jaringan sekitarnya Kemerahan non-blanchable terlokalisir pada kulit utuh, biasanya pada puncak tulang; pada kulit hitam, warna pucat mungkin tidak terlihat, dan area yang terkena dapat berbeda dengan sekitarnya; area yang terkena mungkin nyeri, keras, lunak, lebih hangat atau lebih dingin daripada jaringan sekitarnya Partial-thickness loss dari dermis yang tampak sebagai ulkus dangkal, terbuka, dengan dasar kemerahan, tanpa slough (tidak bergaung); luka dapat juga tampak utuh atai,J terbuka dan terisi serum; stadium ini tidak termasuk luka robek (tear), luka bakar adhesif (tape burns), dermatitis perineum, maserasi, atau ekskoriasi

Ill

Full-thickness tissue loss; lemak subkutan dapat terlihat, dasar luka dapat bergaung, tapi tidak dapat menentukan kedalaman hilangnya jaringan; dapat termasuk undermining dan tunneling

IV

Full-thickness tissue loss dengan otot, tulang, dan tendon yang terlihat; dasar IUka daj.YatbergaLn1g atau eschar, seringkali termasuk undermining dan tunneling

Tidakdapat diklasifikasikan (unstageable)

Full-thickness tissue loss dengan dasar ulkus tertutup gaung (kuning, tan??, abu-abu, hijau atau coklat) atau nekrosis/eschar (tan??, coklat, atau hitam)

Keterangan: kedalaman UD stadium Ill atau IV bervariasi tergantung lokasi anatomis. Karena jembatan?? jaringanantara hidung, telinga, oksiput, dan malleolus tidak memiliki jaringan subkutan, maka ulkus pada daerah ini dopa! dangkal. Sebaliknya, area dengan jaringan lemak yang cukup dapat berkembang menjadi ulkus stadium Ill dan IV dalam. Pada ulkus stadium IV, tulang atau tendon dapat terekspos atau dipalpasi secara langsung

PEMERIKSAAN PENUNJANG4·5 • Laboratorium (sesuai indikasi): darah perifer lengkap, protein total, albumin, gula darah • Sesuai indikasi: foto toraks, USG, termografi DIAGNOSIS BANDING 6•7 • Eritema non-palpable yang menghilang pada penekanan, penyebab lainnya • Dermatitis terkait kelembaban [moisture-associated dermatitis) • Luka kronis tipe lainnya (ulkus diabetikum, ulkus venosus, ulkus arteriosus) • Ulkus dekubitus atipikal • Pioderma gangrenosum • Osteomielitis TATALAKSANA Jaringan nekrotik (ulkus stad III-IV)

Ulkus bersih dengan selulitis

lnfeksi sistemik atau selulitis meluas

Dressing protektif bila perlu

Bersihkan luka, dressing lembab (misfilm transparan)

Debridement : apabila selulitis atau sepsis meluas -7 tajam, bila non-urgent -7 autolisis, mekanik, enzimatik

dressing lembaabsorbent (hydrogel, foam, atau alginate; konsul Bedah

Tidak ada kema-

Tidak ada kemajuan dalam 2-4 minggu; selulitis atau sepsis persisten

Antibiotik topikal;

Kultur jaringan; pertimbangkan osteomielitis

Bersihkan luka, dressing lembababsorbent

Bersihkan luka; dressing lembababsorbent; Anlibiotik sistemik

Gombar 1. Algoritma Penatalaksanaan Ulkus Dekubitus 3



Pencegahan: skrining risiko dengan Skala Braden, yang menilai durasi dan intensitas tekanan eksternal (fungsi sensoris, aktivitas, mobilisasi), hindari kulit terhadap faktor yang berpotensi melukai (kelembaban, status gizi kurang, friksi). 6

Preventive positioning (miring 30Q ke kanan dan ke kiri setiap dua jam) diberikan untuk mencegah dekubitus pada sakrum dan spina iliaca anterior superior (SIAS).

Therapeutic positioning diberikan dengan teknik yang sama namun dilakukan setiap satu jam.



Komponen dasar tatalaksana UD: mengurangi tekanan pada kulit, membersihkan luka, debridement jaringan nekrotik, mengatasi kolonisasi dan bacteria/load, dan pemilihan wound dressing. 3



Status gizi pada semua stadium UD: pada pasien malnutrisi, diet tinggi kalori (30-35 kaljkgjhari) tinggi protein (1,25-1,5 gjkgjhari) dan hidrasi cukup dapat membantu penyembuhan luka, durasi rawat inap lebih pendek, dan komplikasi yang lebih sedikit. Protein, vitamin C, dan suplemen zinc dapat dipertimbangkan apabila intake kurang atau terdapat bukti defisiensi. 3•6•8



Antibiotik sistemik diberikan bila terdapat bukti selulitis, osteomielitis, atau bakteremia. Rejimen terapi ditujukan untuk gram positif, negatif, dan anaerob. Karena tingginya angka mortalitas, antibiotik empiris dapat diberikan pada suspek sepsis atau bakteremia. Antibiotik topikal tidak diindikasikan. 8



Tempat tidur khusus: penggunaan kasur anti-dekubitus yang berisi udara (alternating pressure air mattress) menurunkan angka kejadian ulkus dekubitus pada tumit daripada kombinasi matras viskoelastis dan reposisi tiap 4 jam, namun tidak untuk sakral. 9



Perawatan luka: luka harus dibersihkan sebelum mengganti dressing (pemilihan dressing dapat dilihat pada Tabel 3). Debridement jaringan nekrotik secara pembedahan atau dengan menggunakan kompres kasa dengan normal saline. Antiseptik seperti povidone iodine, asam asetat, hidrogen peroksida, dan sodium hipoklorit (larutan Dakin) harus dihindari karena menghancurkan jaringan granulasi. Antibiotik topikal seperti silver sulfadiazin sebaiknya digunakan selama 2 minggu untuk membersihkan luka yang tidak sembuh seperti seharusnya setelah perawatan optimal 2-4 minggu. 3



Konsultasi Bedah dipertimbangkan pada UD stadium III dan IV yang tidak respon dengan perawatan optimal atau bila kualitas hid up pasien dapat meningkat dengan penutupan luka secara cepat. 3



Wrap therapy dapat dipertimbangkan pada UD stadium III dan IVY



Manfaat terapi elektromagnetik, ultrasound, oksigen hiperbarik masih belum jelas. 3

label 3. Pemilihan Dressing 10

./

Film transparan*

./

Hidrokoloid*

./

./

Alginates

./

./

Foam

./

./

Hydrogels**

./

./

./

./

./ ./

./

./

Hydro fibers

./

./

Kelerangan: 'Dapat digunakan pada UD stadium I ''Diindikasikan pada dasar luka kering untuk rehidrasi atau rehidrasi jaringan nekrosis untuk debridement



Tranplantasi kulit (skin grafting) sesuai indikasi



Terapi sel punca (stemcell therapy) (masih dalam fase penelitian pendahuluan)

KOMPLIKASI Hipoalbuminemia, anemia, Infeksisepsis 5 PROGNOSIS Prognosis ulkus dekubitus stadium I dapat diprediksi dengan penilaian awal dan manajemen yang sesuai.5 Studi di Texas menunjukkan angka mortalitas sebanyak 68,9% ditemukan pada pasien yang mengalami ulkus dekubitus stadium III-IV nosokomial, dengan rata-rata 4 7 hari mulai dari onset ulkus dekubitus hingga kematian. Menurut penelitian ini, pasien dengan be ban penyakit berat yang mendekati akhir hidupnya, berkembangnya ulkus dekubitus full-thickness nosokomial merupakan suatu proses patologis komorbidY KOMPETENSI • Spesialis Penyakit Dalam • Konsultan Geriatri

: A3, B3 : A3, B3/B4

UNITY ANG MENANGANI : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Geriatri, • RS pendidikan Departemen Rehabilitasi Medik, Bedah Ortopedi, Bedah Plastik, Bedah Vaskular, Departemen Gizi Klinik • RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

:'.·kJ·I~~s>ID.e.lq!JfuH UNIT TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

: Bidang Keperawatan, Departemen Kulit dan Kelamin

REFERENSI 1.

Setiati S, Roosheroe AG. lmobilisasi Pada Usia Lanjut. Dalam: Sudoyo A. Setiyohadi B, Alwi I. et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid I. 2009. Hal859-63.

2.

Caruso LB. Geriatric Medicine. In: Longo DL Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17'" Edition. New York, McGraw-Hill. 2008

3.

Bluestein D, Javaheri A. Pressure Ulcers : Prevention, Evaluation, and Management. Am Fam Physician. 2008;78( 10): 1186-1194, 1195-1196. Diunduh dari http:/ /www.aafp.org/afp/2008/1115/ p1186.pdf pada tanggal25 Mei 2012.

4.

Institute for Clinical Systems Improvement. Health Care Protocol: Pressure Ulcer Prevention and Treatment Protocol. 3rd Edition. January 2012. Diakses melalui http:/ /www.icsi.org/pressure_ulcer_ treatment_protocol_review_and_comment__jpressure_ulcer_treatment_protocol_.html pada tanggal 25 Mei 2012.

5.

Sato M, Sonoda H, Konya C, et al. Prognosis of stage I pressure ulcers and related factors. lnt Wound J. 2006 Dec;3(4):355-62. [Abstract]

6.

Anders J, Heinemann A. Leffmann C, et al. Decubitus Ulcers: Pathophysiology and Primary Prevention. Dtsch Arztebllnt. 2010 May; 107(21 ): 371-382. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih. gov/pmc/articles/PMC2883282/pdf/Dtsch_Arztebl_lnt-1 07-0371.pdf pad a tanggal 25 Mei 2012.

7.

Pressure Ulcer. Tersedia di http:/ /bestpractice.bmj.com/best-practice/monograph/378/ diagnosis/ differential.html

8.

Livesley NJ, Chow AW.Infected Pressure Ulcers in Elderly Individuals. Clinical Infectious Diseases 2002; 35:1390---6. Diunduh dari http:/ /cid.oxfordjournals.org/ content/35/11 /1390.full.pdf pad a tanggal 25 Mei 2012.

9.

Vanderwee K, Grypdonck MH, Defloor T. Effectiveness of an alternating pressure air mattress for the prevention of pressure ulcers. Age and Ageing 2005; 34: 261-267. Diunduh dari http:/ I ageing. oxfordjournals.org/content/34/3/261 .full. pdf pada tanggal 25 Mei 2012.

10. Lyder CH. Pressure Ulcer Prevention and Management. JAMA 2003;289(2) :223-6. 11. Bito S, Mizuhara A. Oonishi S, et al. Randomised controlled trial evaluating the efficacy of wrap therapy for wound healing acceleration in patients with NPUAP stage II and Ill pressure ulcer. BMJ Open 2012;2:e000371. Diunduh dari http:/ /bmjopen.bmj.com/content/2/1 I e000371. full. pdf pada tanggal 25 Mei 2012. 12. Brown G. Long-term outcomes of full-thickness pressure ulcers: healing and mortality. Ostomy Wound Manage 2003 Oct;49(10):42-50. [Abstract]

SARKOPENIA

DEFINISI SARKOPENIA Sarkopenia merupakan sindroma yang ditandai dengan berkurangnya massa otot rangka serta kekuatan otot secara progresif dan menyeluruh. Sarkopenia umumnya diiringi inaktivitas fisik, penurunan mobilitas, cara berjalan yang lam bat, dan enduransi fisik yang rendah. Otot rangka mengalami penurunan sejalan dengan bertambahnya usia baik pada wan ita ataupun pria. Massa dan kekuatan otot tertinggi dicapai pad a usia belasan sampai dengan dua puluhan dan kemudian mulai mengalami penurunan pada usia tiga puluhan. Kecepatan penurunan kekuatan otot sekitar 1015% per dekade setelah usia 50 tahun, dan akan menurun dengan cepat setelah usia 75 tahun. 1 Definisi Sarkopenia menurut The European Working Group on Sarkopenia in Older People (EWGSOP) 2010 dapat ditegakkan bila didapatkan penurunan massa otot rangka ditambah salah satu atau lebih dari dua kriteria berikut yaitu kekuatan otot buruk dan atau performa fisik yang kurang. 2•3 Penurunan massa otot didefinisikan berdasarkan Indeks Otot Rangka (Skeletal Muscle IndexjSMI) yaitu , massa otot rangka apendikular (Appendicular Skeletal MusclejASM) (kg) dibagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat (SMI =kg/m 2). Massa otot rangka apendikular didapatkan dari penjumlahan total dari massa otot rangka kedua lengan dan kedua kaki. Titik pintas (Cut-off) SMI adalah nilai kurang dari 2 kali standar deviasi referensi populasi laki-laki a tau perempuan dewasa muda yang sehat di wilayah tersebut. Pemeriksaan massa otot rangka dapat dilakukan dengan pemeriksaan Dual-Energy X-ray Absorptiometry (DEXA) atau dengan Bioelectric Impedance Analysis (BIA). 3•4 Kriteria diagnosis terse but sulit diterapkan di Indonesia karena bel urn ada data normatif besaran massa otot rangka pada populasi dewasa muda serta data referensi kekuatan otot pada berbagai kelompok usia dan jenis kelamin. Selain itu, hingga kini bel urn ada stan dar teknik pengukuran besaran massa otot untuk usia lanjutY

Tabel 1. Kriteria Sarkopenia pada Populasi Asia 5

Massa Otot

DXA

ASM/ Tinggi badan 2 Klas 1 dan klas 2 sarkopenia Pria: 7,77 dan 6,87 kg/ m2 Wanita : 6,12 dan 5,46 kg/m2

Jepang

ASM/ Tinggi bad an 2 Pria < 5.72 kg/ m2 Wanita < 4, 82 kg/m2 ASM/ Tinggi bad an Pria : 7.40 kg/m2 Wanita 5.14 kg/m2

China

2

Korea

SMI (%) BIA

Kekuatan otot

Kekuatan Mengenggam

Ekstensi lutut Fisik

Berjalan

SPBB

SMI Pria < 8,87 kg/m2 Wanita < 6.42 kg/m2

Taiwan

ASM I Tinggi2 Pria < 7.0 kg/ m2 Wanita < 5,8 kg/m2

Jepang

ASM/ Tinggi2 Pria < 6,75 kg/m2 Wanita < 5.07 kg/m2

Korea

Pria: 30,3 kg Wanita : 19,3kg

Jepang

Pria < 22.4 kg Wanita < 14.3 kg

Taiwan

Wanita < 1.01 Nm/kg

Jepang

Kecepatan berjalan Pria < 1.27 m/detek Wanita < 1.19 m/dtk Kecepatan berjalan < 1m/dtk

Jepang

Taiwan Korea

Nilai SPPB < 9

Saat ini teknik yang dianggap sebagai baku emas untik pemeriksaan masa otot adalah pemeriksaan dual-energy X-ray absorptiometry (DEXA), Bioelectric Impedance Analysis (BIA) computed tomography, magnetic resonance imaging, serta pengukuran

ekskresi kreatinin urin, pengukuran antropometri dan aktivasi netron.

146 • •

PENDEKATAN DIAGNOSIS Diagnosis Sarkopenia

Berdasarkan European Working Group on Sarkopenia in Older People (EWGSOP) tahun 2010 oleh Cruz-JentoftAJ dkk., kriteria sarkopenia harus memenuhi yaitu adanya

massa otot yang kurang disertai kekuatan otot yang berkurang dan atau perfoma aktivitas fisik yang menurun. 2 • 7 Seperti terlihat pada gam bar di bawah ini mengenai algoritma diagnosis sarkopenia

Gombar 3. Algoritma Diagnosis Sarkopenia menurut EWGSOP

7

Menurut EWGSOP sarkopenia dibagi menjadi tiga tahap yaitu presarkopenia, sarkopenia dan sarkopenia berat, seperti terlihat pada tabel 3 di bawah ini. Dimana pada stadium presarkopenia hanya ditemukan penurunan masa otot tanpa adanya penurunan kekuatan dan performa otot, sedangkan pada sarkopenia ditemukan adanya penurunan masa otot disertai dengan penurunan kekuatan otot atau performa otot, sedangkan pada sarkopenia berat ditemukan penurunan dari ketiga hal tersebut. 2 Tabel 3. Kriteria Sarkopenia

Presarkopenia

-J,

Sarkopenia

-J,

-J,atau

-J,

Sarkopenia Berat

-J,

-J,

-J,

Manajemen Sarkopenia Keberhasilan penatalaksanaan pada sarkopenia sangat bergantung pada latihan fisik, gaya hidup, dan pola makan. Latihan fisik memberikan dampak positif

pada sarkopenia terutama yang berkaitan dengan kondisi penyakit kronis seperti diabetes mellitus, hipertensi, dan penyakit jantung koroner. Pengaturan pola makan sebaiknya tetap dikombinasikan dengan program latihan fisik, mencakup latihan tahanan dan peregangan. Latihan tahanan progresif sebanyak 2-3 kali per minggu terbukti meningkatkan kapasitas fisik dan mencegahjmengurangi disabilitas dan kelemahan otot pada usia lanjut. Faktor psikologis pada pasien dengan sarkopenia dan frailty syndrome juga penting, sehingga terapi suportifpsikologis diperlukan pada penatalaksanaan sarkopenia. Tujuan dari penatalaksanaan sarkopenia adalah tercapainya perbaikan dari keluaran primer dan sekunder. Untuk terapi yang bersifat intervensi EWGSOP merekomendasikan tiga variabel keluaran yaitu massa otot, kekuatan otot dan performa fisik

LATIHAN DAN AKTIVITAS FISIK Latihan fisik dibedakan menjadi dua jenis latihan yaitu latihan aerobik dan latihan tahanan. Dalam latihan aerobik, sejumlah besar otot bergerak secara ritmis dalam waktu yang cukup lama sedangkan pada latihan tahanan adalah menitikberatkan pada daya tahan dalam melawan be ban seperti pada olahraga angkat be rat. 2 Latihan tahanan merupakan pilihan yang dapat digunakan untuk pencegahan dan penanggulangan sarkopenia. Program 2 minggu latihan tahanan dengan 60-90% kekuatan maksimum pada otot kuadrisep terbukti meningkatkan kecepatan sintestis protein sampai 100%. 3 Latihan tahanan pada usia lanjut adalah meningkatnya kadar hormon yang akan meningkatkan IGF-1 plasma. IGF-1 plasma mempunyai efek anabolikyaitu merangsang sintestis protein dan selanjutnya menimbulkan hipertrofi otot.

4

Latihan tahanan

merupakan stimulus hipertrofi otot yang jauh lebih kuat dibandingkan latihan aerobik (endurance). Kekuatan otot dan mass a otot atlet angkat be rat yang berusia lanjut lebih

baik dibandingkan perenang. 5 Latihan kekuatan otot pad a usia lanjut perlu diawasi secara ketat. Pengawasan yang dilakukan menyangkut intensitas, lama, dan frekuensi latihan. Intensitas be ban dimulai dari yang paling ringan misalnya 1 kg kemudian sedikit demi sedikit ditingkatkan. Lakukan 2-3 set dari setiap macam latihan, seminggu berlatih 2-3 kali dengan paling sedikit satu hari istirahat. Sebelum melakukan latihan penderita kiranya menjalani pemeriksaan medis terlebih dahulu. Pemeriksaan ini diperlukan untuk mengetahui penyakit yang merupakan kontraindikasi dalam melakukan latihan be ban. BerdasarkanAmerican College ofSports Medicine, penderita dalam melaksanakan

latihan harus sesuai dengan petunjuk tenaga medis, jika terdapat kondisi yang tidak

stabil, seperti: diabetes yang tidak terkontrol, hiperetensi, hernia, katarak, dan perdarahan retina. Sedangkan latihan be ban harus dihindari oleh pasien dengan irama jantung tidak teratur, gangguan kognitifberat dan demensia. American College OfSport Medicine (ACSM) dan American Heart Association (AHA) merekomendasikan latihan

dengan intensitas 70-90% dari 1-RM (Maximal Repetition) dengan frekuensi 2 hingga 3 kali per minggu secara tidak berurutan (selang 1 hari) cukup untuk meningkatkan massa dan kekuatan otot pada usia lanjut. Sedangkan pada latihan aerobik, walaupun peningkatan massa otot yang didapat tidak sebanyak pada latihan tahanan, namun latihan aerobik terbukti dapat mengurangi presentase lemak tubuh, dimana hal ini cukup berperan penting untuk meningkatkan fungsi otot relatif terhadap be rat badan.

NUTRISI Sebagian besar populasi usia lanjuttidak dapat memenuhi asupan nutrisi terutama protein sesuai jumlah yang dianjurkan sehingga terjadi pengurangan massa otot dan gangguan fungsionaF Hal ini disebabkan karena berkurangnya kemampuan ekonomi untuk membeli bahan makanan dengan nilai biologis tinggi, kesulitan mengunyah, ketakutan untuk mengkonsumsi terlalu banyak lemak a tau kolesterol dan intoleransi terhadap beberapa jenis makanan. 11 Asupan protein yang tidak adekuat adalah barrier utama untuk mendapatkan peningkatan massa otot pada usia lanjut walaupun telah menjalani latihan tahanan dan aerobik. Asupan nutrisi merupakan kontributor utama proses menua terutama dalam terjadinya sarkopenia dan sindroma kerapuhan. Pada penelitian kohort 10 tahun di Amerika Serikat yang melibatkan 304 orang sehat dengan rerata usia 72 tahun saat penelitian dimulai, sindroma kerapuhan atau kematian dalam 10 tahun lebih banyak terjadi pada kelompok yang mengkonsumsi kalori lebih tinggi dari anjuran RDA (2530 kaljkgBB/ hari). Sebaliknya, pada kelompok yang mengkonsumsi protein lebih tinggi dari anjuran RDA (>0.8 gr/kgBBjhari) lebih sehat daripada kelompok yang mengkonsumsi protein lebih sedikitY PROTEIN Protein merupakan nutrisi kunci pada usia lanjut. Asupan protein yang tinggi diperlukan untuk mencegah keseimbangan nitrogen negatifyang dapat memperburuk pengurangan mas sa otot secara progresif yang berhubungan dengan proses menua. Diit tinggi protein ini terbukti dapat memperbaiki status fungsional, meningkatkan kualitas hidup, mempercepat penyembuhan, memperpendek masa perawatan di rumah sakit, mempercepat penyembuhan trauma sehingga dapat menurunkan biaya

perawatan. Akibat penurunan massa otot, komposisi tubuh akan berubah sehingga komposisi lemak menjadi lebih tinggi. Usia lanjut dengan komposisi lemak yang lebih tinggi akan lebih mudah menderita gangguan toleransi glukosa dan diabetes dan resistensi insulin. Penurunan massa otot menyebabkan penurunan kekuatan otot dan berakibat pacta gangguan kesehatan tulang 13 Otot berperan dalam metabolisme protein tubuh sebagai cadangan asam amino untuk mempertahankan sintesa protein pacta organ dan jaringan vital terutama pacta saat tidak ada absorbsi usus melalui proses glukoneogenesis. Kondisi patologis dan penyakit kronis dapat menyebabkan pengurangan mass a otot; Gangguan metabolism otot memainkan peranan terutama sebagai respons terhadap stress. 14 Kekurangan asupan protein dan inaktifitas merupakan faktor utama penyebab deplesi otot. Asupan protein yang tidak adekuat dapat menyebabkan laju sintesa protein lebih rendah daripada degradasi protein otot sehingga dapat mempercepat terjadinya sarkopenia. 15 Berdasarkan rekomendasi RDA, jumlah protein yang harus dikonsumsi untuk untuk dewasa adalah sebesar 0.8 grjkgBB/hari tanpa melihat umur. Jumlah protein ini didasarkan pacta penelitian keseimbangan nitrogen selama 10-14 hari. Jumlah tersebut merupakan perkiraan asupan protein minimal yang diperlukan untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen pacta dewasa muda yang sehat untuk mempertahankan kesehatannya secara optimal untuk mencegah kehilangan massa otot secara progresif pacta populasi normal. Pacta survey yang diselenggarakan oleh USDA tahun 1996 di Amerika Serikat, didapatkan data bahwa 32-41% wanita dan 22-38 % laki-laki berusia lebih dari 50 tahun dan lebih dari 40 % usia lanjut berusia lebih dari 70 tahun mengkonsumsi protein kurang dari jumlah tersebut. 11 15 13 Beberapa penelitian membuktikan bahwa jumlah tersebut tidak cukup untuk mencegah terjadinya sarkopenia 13 •16 Gangguan sistem imun dan inflamasi kronis pacta usia lanjut dapat menyebabkan katabolisme protein. Sitokin inflamasi yang berperan dalam hal ini adalah Tumor Necrosis Factor a (TNF a), Interleukin 6 (IL-6) dan (-reactive protein (CRP). Sitokin ini juga berhubungan dengan penurunan status fungsional, degradasi otot dan mortalitas pacta usia lanjut. Pacta Penelitian Framingham didapatkan hubungan an tara tingginya IL-6 dan TNF a berhubungan dengan penurunan kekuatan otot dan meningkatkan mortalitas. Sebagian besar sitokin inflamasi berasal dari jaringan adiposa, sehingga peningkatan proporsi lemak karena penurunan massa otot menyebabkan terjadinya peningkatan sitokin inflamasi. Hal ini terutama terlihat pacta usia lanjut dengan rheumathoid arthritis dan osteoarthritis dan disebut sarcopenic obesity. Penelitian juga membuktikan, sitokin inflamasi yang diproduksi oleh jaringan adiposa juga akan

memacu terjadinya katabolisme otot sehingga terjadi lingkaran setan yang menginisiasi dan mempertahankan terjadinya sarcopenic obesity. Penderita dengan sarcopenic obesity mempunyai risiko disabilitas 2-3 kali lebih besar daripada non-sarcopenic

obesity. Berdasarkan hal tersebut, maka peningkatan massa otot dan penurunan komposisi lemak dapat menurunkan sitokin inflamasi dan selanjutnya mencegah terjadinya katabolisme protein.B Sejumlah penelitian prospektif selama 3 tahun terakhir membuktikan bahwa kecukupan asupan protein berperngaruh secara positif terhadap preservasi otot dan mencegah terjadinya sarkopenia pada usia lanjut berusia lebih dari 70 tahun. 15 Penelitian terhadap 608 orang usia lanjut sehat etnis China mulai tahun 1993-1997 oleh Stookey, dkk membuktikan bahwa pada kelompokyang mendapat intake protein tinggi, terjadinya penurunan massa otot lebih rendah pada follow up selama 4 tahun dibandingkan pada kelompok yang mendapat intake protein rendahY Penelitian lain dari Houston di Memphis dan Pitstburg pada 2732 usia lanjut selama 3 tahun membuktikan bahwa asupan protein merupakan faktor yang dapat dimodifikasi untuk terjadinya sarkopenia, pada kelompok usia lanjut dengan konsumsi protein rata-rata 1.1 grjkg BB/ hari penurunan massa otot lebih rendah 40% dibandingkan pada kelompok yang mengkonsumsi protein sebanyak 0.7 grjkgBBjhari. 18 Manfaat dari pemberian diit tinggi protein ini juga terjadi pad a usia lanjut dengan malnutrisi bahkan pada penderita perfusi organ. Peningkatan asupan protein dari 0.5 grjkgBB/hari menjadi 1 grjkgBBjhari selanjutnya ditingkatkan hingga 2 gram/ kgBB/hari per hari terbukti dapat meningkatkan sintesis protein secara progresif dan memperbaiki keseimbangan nitrogen.

13

Efek positif asupan protein terhadap komposisi tubuh diperantarai oleh stimulasi insulin-like growth factor 1 {IGF-1). Pad a usia lanjut, terjadi penurunan kadar IGF-1 yang berakibat pada penurunan sintesa protein dan mempercepat terjadinya penurunan massa otot. Intervensi nutrisi dapat meningkatkan kadar IGF-1 pada usia lanjut.B Efek lain dari peningkatan kadar protein pada usia lanjut adalah peningkatan kepadatan tulang. Diit tinggi protein dapat meningkatkan retensi kalsium dalam otot terutama bila asupan kalsium rendah. Ini merupakan efek sinergistik dari diit tinggi protein dan kalsium bagi kesehatan tulang. Selain itu asupan protein tinggi meningkatkan kepadatan tulang melalui efek peningkatan massa otot dan kekuatan otot. Rangsang mekanis pada tulang merupakan hal yang penting untuk meningkatkan kekuatan tulang dan massa tulang melalui peningkatan kekuatan kontraksi otot. Korelasi antara kekuatan otot yang diukur dengan hand grip dengan bone mineral content dan kepadatan tulang.B

Manfaat lain dari diit tinggi protein adalah dapat mempercepat penyembuhan luka yang dibuktikan melalui beberapa meta analisis. Pemberian suplementasi protein 61 atau 37 gram protein selama 8 minggu dapat memperbaiki penyembuhan luka secara signifikan. 13 Terdapat hubungan an tara asupan protein dengan fungsi kardiovaskuler. Penelitian Nurses Health Study dengan penelitian prospektif selama 14 tahun pad a 80.000 wan ita

berumur 34-59 tahun menunjukkan terdapat hubungan antara asupan protein dengan angka kejadian penyakit jantung iskemik. Selain itu, diit tinggi protein mempunyai efek proteksi terhadap peningkatan tekanan darah. Diit tinggi protein dapat memperbaiki fungsi endotel kapiler sehingga mencegah kekakuan pembuluh darah.

13

Penelitian selama 6 bulan terhadap 82 penderita fraktur panggul berusia ratarata 80 tahun, suplementasi kasein 20 grjhari dapat meningkatkan serum IGF-1 dan kekuatan kontraksi otot bisep sebesar 15.7 % 19 Manfaat diit rendah protein pada penderita gaga! ginjal dan untuk mencegah kerusakan ginjal masih dipertanyakan. Pada penelitian tehadap 585 orang penderita gaga! ginjal yang diberikan protein 0.58- 1.3 gr/kg BB jhari, tidak memberikan manfaat terhadap penurunan progresifitas gaga! ginjal. Tidak ada bukti bahwa diit rendah protein memberikan manfaat bagi penderita yang tidak memiliki penyakit ginjal. Diit rendah protein hanya direkomendasikan bagi penderita gaga! ginjal akibat diabetes, hipertensi dan polycystic kidney disease. Kontraindikasi pemberian protein tinggi adalah pada penyakit Parkinson yang diakibatkan oleh tingginya kadar asam amino L-dopa. Pad a kelompok ini diperlukan as am amino spesifik yang mencukupi kebutuhan untuk sintesa protein yang tidak mempengaruhi produksi neurotransmitter.B Berdasarkan berbagai penelitian tersebut, makan asupan protein lebih besar dari yang direkomendasikan tersebut dapat memperbaiki massa otot, kekuatan otot dan fungsi otot pada usia lanjut terutama pada keadaan gangguan status imun, penyembuhan luka, gangguan metabolisme tulang yang membutuhkan protein yang lebih tinggi. Jumlah asupan protein 1.5 gr /kgBB/hari a tau 15-20 % total kalori merupakan jumlah yang cukup bagi usia Ian jut untuk mengoptimalkan kesehatan tanpa mengganggu fungsi ginjal, kesehatan tulang dan fungsi kardiovaskular 13 7 Perubahan komposisi protein ini harus disertai dengan penurunan proporsi karbohidrat dan lemak sehingga jumlah kalori yang masuk tetap. Untuk memenuhi kebutuhan protein tersebut, diperlukan suplementasi protein yang cukup untuk mencegah sarkopenia. 1s ENREF 10 20,21 22 Jen is protein yang diperlukan dalam proses sintesa protein adalah as am amino esensial. Protein otot berespons terhadap pemberian 15 gram asam amino esensial

lebih baik dibandingkan dengan pemberian hormone anabolik termasuk testosteron, insulin dan growth hormone . Protein berkualitas tinggi seperti protein whey, kasein dan protein sapi menstimulasi sintesis protein otot sesuai proporsi asam amino esensial yang terkandung di dalamnya. Pada do sis rendah, asam amino esensial yang dikonsumsi usia lanjut kurang responsif dibandingkan dengan pada orang yang lebih muda, sehingga pada orang tua, jumlah asam amino esensial yang dibutuhkan juga lebih tinggi.

13

Pemberian protein yang direkomendasikan per hari dibagi menjadi 3

kali pemberian untuk menghasilkan efek sintesis protein yang lebih tinggi seperti terlihat pada gambar di bawah ini. Pemberian suplementasi protein secara merata dalam 3 kali makan lebih baik dalam menghasilkan efek anabolik dibandingkan dengan pemberian protein dengan distribusi tidak merata 13 •16 23 Pemberian asam amino esensial merupakan stimulus utama sintesa protein. Leusin adalah insulin secretagog yang penting dalam proses translasi, inisiasi dan sintesis protein. Leusin merupakan asam amino paling paten yang mempunyai efek anabolic dengan menstimulasi mTOR pathway (mammalian target of rapamycin). mTOR merupakan sensor nutrisi leusin pada ptpt. Asam amino esensial berperan secara sinergis dengan latihan fisik untuk meningkatkan fraksi sintesa protein. Pemberian 8 gram asam amino esensial selama 18 bulan pada usia lanjut dengan sarkopenia menurunkan produksi TNF-alfa, meningkatkan massa otot dan memperbaiki sensitivitas insulin. 10 16

KREATIN Kreatin adalah asam amino yang penting untuk otot. Kreatin berperan penting dalam metabolisme protein dan metabolisme seluler. Kreatin meningkatkan ekspresi faktor transkripsi miogenik seperti miogenin dan faktor regulasi miogenik yang akan meningkatkan massa dan kekuatan otot. Suplementasi kreatin akan meningkatkan kadar fosfokreatin otot. Hal terse but akan meningkatkan kemampuan untuk melakukan latihan dengan intensitas tinggi, yang akan mendorong terjadinya proses sintesis protein otot.

7

Kreatin sebagai bahan alami makanan terutama terdapat pada produk daging dengan asupan harian rata-rata 2 gram per hari. Masih terdapat pertentangan mengenai suplementasi keratin karena dapat meningkatkan risiko terjadinya nefritis interstitial sehingga menjadi perhatian khusus pada pemberian terhadap orang usia lanjut. Kreatin saat ini bukan menjadi rekomendasi terapi sarkopenia.

7

8-HYDROXY -8-METHYL8UTYRATE (HM8) Usia lanjut yang mengalami imobilisasi selama 10 hari dapat kehilangan 1 kg massa otot yang selanjutnya dapat menurunkan kekuatan otot dan menyebabkan sarkopenia. Untuk mencegah terjadinya hal ini dapat diberikan campuran asam amino esensial (leusin, isoleusin dan valin). Salah satu strategi yang dapat digunakan adalah pemberian ~-Hydroxy -~-methylbutyrate (HMB) yang merupakan metabolit dari leusin. Penelitian dengan memberikan makan dan 2 dosis HMB 1.5 gj dosis dalam 10 hari tirah baring disertai dengan rehabilitasi dan latihan fisik 3 kali per minggu dapat mencegah penurunan massa otot 2 kg dibandingkan dengan plasebo. 24 Berdasarkan penelitian, HMB bermanfaat pacta keadaan terjadinya penurunan massa otot karena AIDS, kanker, tirah baring atau pada periode defisit kalori. HMB juga aman dan dapat memperbaiki tekanan darah dan kolesterol LDL. Dosis yang dianjurkan adalah 1 gr HMB 3 kali per hari. Beberapa penelitian ten tang efek sam ping HMB terutama berhubungan dengan efek antikataboliknya dan peningkatan ekspresi gen ubiquitin. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang HMB 24• Penemuan-penemuan baru dalam bidang fisiologi molekular telah mengidentifikasi beberapa target obat yang potensial yang berhubungan dengan perubahan otot rangka kualitatif dan kuantitatif yang dikenal dengan sarkopenia pad a man usia yang menua. Beberapa contoh jalur potensial dan target molekular untuk obat sarkopenia dapat dilihat pada tabel di bawah ini: 32 Tabel. Contoh Jalur Potensial dan Target Molekular untuk Obat Sarkopenia

Reseptor androgen Peroxisome proliferator-activated receptor-gamma coactivator 1-a/pha Miostatin Peroxisome proliferator-activated receptor-delta Insulin-/ike growth factor 1 8-adrenergic receptor Neuregulin AngiQt~:;nsln~converting

Sitokin inflamatorik

enzyme

Meningkatkan massa dan kekuatan otot Meningkatkan metabolisme oksidatif otot Meningkatkan massa dan kekuatan otot Meningkatkan sera but tipe I dan metabolisme oksidatif Meningkatkan massa dan kekuatan otot Meningkatkan massa otot Meningkatkan massa otot dan penggunaan glukosa Meningkatkan fungsi oto.t dan performa fisik Menurunkan efek katabolik

VITAMIN D Kadar vitamin D menurun sesuai dengan penambahan usia. Tidak jarang didapatkan kadar vitamin D yang sangat rendah pada orang usia lanjut. Studi longitudinal (jangka panjang) yang dilakukan di Amsterdam, Belanda oleh Visser

dkk. (2003) menunjukkan bahwa kadar vitamin D yang rendah berhubungan erat dengan melemahnya kekuatan dan menurunnya massa otot rangka. Peranan vitamin D dalam osteoporosis telah lama diketahui. Pacta beberapa tahun terakhir, peranan vitamin D dalam sarkopenia telah banyak diteliti. 26 Beberapa penelitian membuktikan bahwa penurunan kadar 1,25 hidroksivitamin D dan 25-hidroksivitamin D (25-0HD) berhubungan dengan penurunan kekuatan otot, peningkatan body sway dan risiko jatuh, sindroma kerapuhan dan disabilitas pada usia lanjut. 26 Kadar vitamin D yang rendah juga dapat disebabkan insufisiensi ginjal dan rendahnya asupan kalsium atau karena hiperparatiroid sekunder. Kadar vitamin D yang rendah berhubungan dengan sarkopenia 25 Reseptor vitamin D pada otot menurun sejalan dengan penambahan usia. Vitamin D dalam bentuk metabolit aktif 1.25(0H)2D menstimulasi diferensiasi mioblas yang selanjutnya menstimulasi masuknya kalsium ke dalam sel yang diperlukan dalam kontraksi otot. Kadar vitamin D menurun seiring dengan bertambahnya usia dan kadar vitamin D pada kulit usia lanjut lebih rendah empat kali lipat dibandingkan kadar orang dengan usia muda. Vitamin D memiliki peranan pada sintesis protein otot dan mendorong pengambilan kalsium melalui membran sel. Kadar vitamin D yang rendah biasanya berdampak pacta kelemahan otot, kesulitan bangun dari tempat duduk, kesulitan menaiki tangga, dan masalah keseimbangan. Beberapa sumber makanan yang mengandung vitamin D an tara lain: ikan, hati sa pi, telur, dan sereal. 7• 15 Sekitar 30-90% usia lanjut mengalami defisiensi vitamin D terutama pada pasien rawat inap. Hal ini terutama disebabkan karena rendahnya paparan sinar matahari dan menurunnya kemampuan kulit usia lanjut untuk mensintesa vitamin 03. 25 Hubungan vitamin D dengan fungsi otot rangka adalah melalui reseptor Vitamin D (Vitamin D receptorsjVDR) yang terdapat di otot rangka. Peran VDR pada otot rangka adalah dalam proses stimulasi sel-sel otot rangka untuk meningkatkan asupan fosfat-inorganik yang penting dalam menghasilkan senyawa fosfat kaya-energi seperti ATP dan Creatine-phosphate yang berperan penting dalam proses kontraksi otot. Peran VDR lainnya adalah bertugas dalam mengatur distribusi dan regulasi kalsium intraseluler. Keadaan defisiensi vitamin D juga dapat mengakibatkan suatu keadaan hipoparatiroidisme sekunder dimana hal tersebut menyebabkan perburukan pada fungsi otot. Pacta studi percobaan yang dilakukan pada tikus, kadar PTH yang berlebihan meningkatkan proses katabolisme protein otot, mengurangi serabut otot tipe 2 dan senyawa fosfat intraseluler kaya energi, serta mengurangi asupan oksigen mitokondria. 26 Terdapat hubungan yang sangat erat antara osteoporosis dengan sarkopenia. Pasien-pasien osteoporosis biasanya disertai dengan menurunnya massa otot dan

kekuatan otot, dimana hal ini menunjukkan bahwa berkurangnya kepadatan massa tulang berhubungan erat dengan berkurangnya massa otot. Pada pasien-pasien usia lanjut yang memiliki pola diet dengan asupan kalsium dan vitamin D yang buruk, disertai juga dengan menurunnya kemampuan menghasilkan vitamin D melalui kulit dan menurunnya produksi kalsitriol (1,25(0H)2 vit D) oleh ginjal, keadaan ini dapat meningkatkan risiko kejadian jatuh disebabkan karen a terjadi suatu miopati proksimal yang disebabkan oleh karena defisiensi vitamin D dan hiperparatiroidisme sekunder. 26 Berbagai studi telah menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D dapat memperbaiki lemahnya kekuatan dan berkurangnya massa otot (sarkopenia), dan bahkan membalikkan proses ini. Suatu studi oleh Bischoff-Ferrari dkk. (2004) menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D memberikan suatu manfaat yang baik dalam meningkatkan kekuatan otot dan menurunkan risiko kejadian jatuh pada usia lanjut. 27 Terdapat beberapa studi tinjauan sistematik dan meta-analisis yang dilakukan tentang pengaruh suplementasi vitamin D pada kekuatan otot. Latham dkk (2003) melakukan suatu tinjauan sistematik dan meta-analisis tentang efek suplementasi vitamin D pada kekuatan, performa fisik dan kejadian jatuh pada usia lanjut. Total sebanyak 13 studi dengan jumlah subjek sebanyak 2496 masuk sesuai kriteria inklusi. Walaupun disimpulkan masih kurang cukup bukti-bukti, namun beberapa data yang dianalisis menunjukkan manfaat suplementasi vitamin D disertai kalsium dalam meningkatkan kekuatan otot rangka pada usia lanjut. 28 Suatu studi tinjauan sistematik dan meta-analisis berikutnya oleh Muir dkk (2011) memelajari pengaruh suplementasi vitamin D pada kekuatan otot, cara berjalan (gait), dan keseimbangan pada orang usia lanjut. Total sebanyak 714 artikel yang diulas dan 13 studi RCT yang masuk kriteria inklusi menunjukkan hasil bahwa suplementasi vitamin D dengan dosis berkisar antara 800-1000 IU secara konsisten memberikan efek yang menguntungkan pada kekuatan dan keseimbangan tubuh. Studi meta-analisis yang terakhir dilakukan oleh Beaudart dkk. (2014) dengan total subjek sebanyak 5615 dari 30 studi RCT dengan rerata usia 61 tahun menunjukkan bahwa suplementasi vitamin D memiliki efek yang baik dalam meningkatkan kekuatan otot, namun masih diperlukan suatu studi lanjutan untuk menentukan dosis vitamin D, durasi pemberian dan cara administrasi obat yang optimal dalam meningkatkan kekuatan. otot dan memperbaiki keseimbangan tubuh.

29

Suatu studi analisis kohort retrospektif menggunakan basis data pasien dari

National Center Geriatrics and Gerontology di Jepang oleh Sadayuki dkk. (2009) menunjukkan bahwa pemberian vitamin D Alfakalsidol, suatu vitamin D anabolik, pada kelompok pasien osteoporosis disertai massa otot rendah dibanding kelompok

yang tidak diberikan Alfakalsidol dapat memberikan manfaat yang baik untuk mas sa otot. Pemberian Alfakalsidol dapat mempertahankan hilangnya massa otot sejalan dengan bertambahnya usia, dan terbukti dapat meningkatkan Indeks Massa Otot Rangka (Skeletal muscle index). 30 O'Donnel S. et al (2008) melakukan suatu tinjauan sistematik ten tang manfaat dan bahaya pemberian Alfakalsidol dan kalsitriol dalam menghindarkan jatuh dan kejadian fraktur dimana dari penelitian tersebut didapatkan 51 penelitian metanalisis dari 1019 artikel. Alfakalsidol dan kalsitriol secara bermakna mengurangi risiko kejadian fraktur non vertebra karena diduga memiliki efek pleiotropik selain kepada tulang, yaitu efeknya kepada VD R yang terdapat di otot dimana kejadian fraktur non vertebra berhubungan erat dengan kejadian jatuh. Diduga pengaruh kalsitrioljkalsidol terhadap peningkatan kekuatan otot. 31 Morley dkk. (2010) yang tergabung dalam The Society for Sarkopenia, Cachexia, and Wasting Disease di Amerika Serikat memberikan suatu rekomendasi tatalaksana

nutrisi dalam penatalaksanaan sarkopenia. Rekomendasi yang dianjurkan adalah semua pasien usia lanjut dengan sarkopenia sebaiknya selalu diperiksakan kadar vitamin D (25 (OH) vitamin D) dan perlu diberikan suplementasi vitamin Dyang sesuai untuk meningkatkan kadar vitamin D diatas 100 nmoljL. Vitamin D yang diberikan dapat berupa vitamin D2 maupun D3, dan dinyatakan dalam rekomendasi bahwa dosis vitamin D sampai 50.000 IU per minggu aman diberikan tanpa efek samping yang bermakna. Heaney dkk. merekomendasikan rum us "Rule ofthumb" dalam menentukan dosis suplementasi vitamin D yang diberikan, yaitu untuk setiap kenaikan 1 ngfml (2.5 nmoljL) serum 25 OH Vit D maka diperlukan 100 IU asupan vitamin D. Sebagai contoh, pasien dengan kadar serum 25(0H)D 15 ng/ml akan memerlukan 1500 IU/ hari untuk mencapai kadar sampai 30 ngfml.

30

TERAPI HORMONAL Proses penuaan akan diikuti dengan penurunan kadar hormon-hormon esensial pada tubuh terutama hormon pertumbuhan (growth hormone) dan testosteron. Kekurangan atau minimalnya hormon testosteron berpengaruh pacta berkurangnya massa dan kekuatan otot serta penurunan densitas tulang. Pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan risiko keterbatasan fungsional, disabilitas, fraktur dan risiko jatuh. Menopause juga berhubungan dengan penurunan densitas tulang dan penurunan kekuatan otot. 30 •

Growth hormone (GH) menstimulasi pertumbuhan pacta fase awal kehidupan

dan ini dibutuhkan untuk pemeliharaan otot dan tulang pada masa dewasa.

Meskipun seseorang memiliki pola makan dan latihan yang baik, tanpa adanya kadar hormon pertumbuhan yang adekuat akan sulit untuk mempertahankan kekuatan otot. Pada orang usia lanjut terjadi ketidakseimbangan sekresi hormon pertumbuhan. Berbagai penelitian yang melibatkan percobaan dengan terapi pengganti hormon melaporkan insidensi berbagai efek samping contohnya retensi cairan, ginekomastia, dan hipotensi ortostatik. Pada penelitian pada tikus yang dilakukan oleh Briosche (2013), pemberian GH dengan dosis rendah dapat meningkatkan lean body mass dan meningkatkan sintesis protein otot. Namun studi-studi mengenai suplemantasi growth hormone memberikan hasil kurang baik, bahkan GH meningkatkan mortalitas pada penderita yang mengalami sakit berat dengan malnutrisi. Efek samping yang didapatkan an tara lain artralgia, edema, efek samping kardiovaskular, dan resistensi insulin membatasi penggunaan hormon ini. GH juga mempunyai efek karsinogenik. 30 •

Hormon testosteron : pemberian hormon ini tidak dianjurkan sebagai terapi dari sarkopenia dikarenakan efek samping yang besar yaitu peningkatan kadar Prostat Specific Antigen (PSA), hematokrit dan risiko kardiovaskular dibandingkan

dengan bukti-bukti yang lemah untuk peningkatan performa fisik. Studi lain untuk •

pemberian DHEA juga melaporkan tidak adanya perubahan dari kekuatan otot. Estrogen dan tibolone: pada penelitian mengenaikekuatan otot dan komposisi tubuh, kedua hormon ini dapat meningkatkan kekuatan otot, tapi hanya tibolone yang dapat meningkatkan lean body mass dan menurunkan massa lemak total. Tibolone adalah steroid sintetis yang mempunyai efek estrogenik, androgenik dan progestogenik.

MIOSTATIN Miostatin baru-baru ini ditemukan sebagai inhibitor alami terhadap pertumbuhan otot, dan adanya mutasi pacta gen miostatin ini mengakibatkan hipertrofi otot. Antagonis miostatin dapat meningkatkan regenerasi jaringan otot pacta mencit dengan meningkatkan proliferasi dari sel sate lit. Sel sate lit ini sangat penting untuk regenerasi sel otot. Terapi dengan miostatin mungkin dapat digunakan pacta sarkopenia di masa yang akan datang. ANGIOTENSIN II CONVERTING ENZYME INHIBITORS (ACE INHIBITORS) Penelitian yang ada menunjukkan bahwaACE inhibitors dapat mencegah terjadinya sarkopenia. Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron mungkin terlibat dalam proses sarkopenia. Angiotensin II dapat menyebabkan atrofi otot, mekanisme stres

oksidatif, metabolik dan aktivasi alur inflamasi. ACE inhibitors ini menurunkan kadar Angiotensin II pacta otot polos di vaskular. Angiotensin II berperan dalam sarkopenia melalui jalur pembentukan sitokin proinflamasi. ACE inhibitors juga berperan dalam memperbaiki toleransi olahraga melalu komposisi rantai panjang dari miosin pacta otot rangka. Polimorfisme dari gen ACE juga mempunyai efek anabolik dan efisiensi muskular setelah olahraga. 1

INHIBITOR SITOKIN Inhibitor sitokin seperti talidomid dapat meningkatkan berat badan dan menimbulkan efek anabolik pacta pasien AIDS. TNF a menyebabkan atrofi otot secara in vitro. Antibodi anti TNF a yang biasa diberikan sebagai terapi pacta pasien artritis reumatoid dapat menjadi terapi alternatif pacta sarkopenia. Akan tetapi sampai saat ini bel urn ada penelitian pacta penderita sarkopenia, dan juga mengingat keterbatasan dana dan efek samping dari obat ini. Dari data-data epidemiologi didapatkan bahwa lemak ikan mempunyai efek anti inflamasi yaitu omega-3, dan zat ini mungkin dapat mencegah sarkopenia. 1

OBAT -OBAT LAIN Obat-obatan lain yang masih dalam tahap penelitian, misalnya: • Agonis ~· Terdapat beberapa penelitian baik pacta hewan maupun manusia yang menyelidiki efek agonis ~pad a otot rangka. Carter dan Lynch (1994) meneliti efek anabolik dari salbutamol atau klenbuterol dosis rendah pacta tikus berusia tua, didapatkan hasil bahwa pemberian subkutan salbutamol dosis 1.03 mgjkg atau klenbuterol dosis 600 mcgjkg selama 3 minggu dapat meningkatkan massa otot sebanyak 19% dengan salbutamol dan 25% dengan klenbuterol. Pacta penelitianpenelitian selanjutnya dengan generasi agonis ~ yang lebih baru (formoterol dan salmeterol), Ryall (2006) menemukan bahwa formoterol dan salmeterol dapat memperlihatkan efek anabolik yang signifikan pacta otot rangka bahkan dengan do sis yang sangat kecil dibandingkan dengan generasi agonis ~yang lebih tua. Beberapa konsekuensi yang paling serius dari pemberian kronik agonis (3 berhubungan dengan respon sistemik aktivasi adrenoseptor- (3. Penelitian saat ini berfokus pacta penemuan metode baru untuk pemberian obat sehingga dapat menghindariefek samping sistemik yang tidak diinginkan, 33 • Urokortin II, peptida ini merangsang pelepasan ACTH (adrenocoticotropic hormone) dari kelenjar pituitary. Urokortin II intravena dapat mencegah atrofi otot yang disebabkan pembalut gips dalam salah satu tatalaksana tulang fraktur a tau obat-

obatan tertentu. Tapi penggunaannya untuk membangun mas sa otot pada man usia belum diteliti dan tidak direkomendasikan. 34 •

Bimagrumab, yang merupakan suatu antibodi monoklonal. Bimagrumab

merangsang pertumbuhan otot dengan mengikat reseptor pada sel-sel otot yang normalnya mengikat miostatin, yang menghambat pertumbuhan otot. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian Brimagumab dosis tunggal setelah pembukaan gips pada 24 pasien yang mengalami imobilisasi selama 2 minggu, setelah 12 minggu didapatkan volume otot paha kembali normal dalam waktu 4 •

minggu dibandingkan pasien yang hanya mendapatkan placebo. 35 SARM (Selective Androgen Receptor Molecules), yang saat ini sedang diteliti untuk mengetahui senyawa androgenikyang memiliki efek spesifik pada otot tapi dengan efek sam ping yang minimal. Ostarine adalah salah satu SARM yang meningkatkan massa otot dan performa fisik pacta pasien usia lanjut. 36

REFERENSI 1.

Cesari M, Ferrini A Zamboni V, Pahor M. Sarcopenia: Current Clinical and Research Issues. The Open Geriatric Medicine Journal. 2008;1 :14-23.

2.

Cruz-Jentoft Aj, Baeyens Jp, Bauer Jm, Cederholm T, Landi F, Martin Fe, et al. Sarcopenia: European consensus on definition and diagnosis. Report of the European Working Group on Sarcopenia in Older People. Age and Ageing 2010. 201 0;39:412-23.

3.

Nakasato, Yuri R., Carnes, Bruce A. Myopathy, Polymyalgia Rheumatica, and Temporal Arteritis in hazzard's geriatric medicine and gerontology Sixth Edition. Him 1475.2009. Me Grow Hill

4.

Rom 0, Kaisari S, Aizenbud D, Reznick AZ. Lifestyle and Sarcopenia-Etiology, Prevention, and Treatment. Rambam Maimonides Medical Journal. 2012;3:1-12.

5.

Chen L.K, Liu L., Woo Jean, Assantachai P, Auyeung T, Bahyah K.S, Sarcopenia in Asia: Consensus Report of the Asian Working Group for Sarcopenia JAMDA 15 (2014) 95e 101

6.

Setiati S. Geriatric Medicine, Sarkopenia, Frailty, dan Kualitas Hid up Pasien Usia Lanjut: Tantangan Masa Depan Pendidikan, Penelitian dan Pelayanan Kedokteran di Indonesia. eJKI. 2013;1 No 3:236-45.

7.

Rosenberg I. Sarcopenia: Origins and Clinical Relevance. J Nutr. 1997;127:990S-1 S.

8.

Bergera MJ, Doherty TJ. Sarcopenia: Prevalence, Mechanisms, and Functional Consequences. lnterdiscipl Top Gerontal Basel, Karger,. 201 0;37:94-114.

9.

Visser M. Towards a definition of sarcopenia-resulds from epidemiologic studies The Journal of Nutrition, Health & Aging. 2009; 13 No 8:713-16.

10. Janssen I, Shepard D, Katzmarzyk P, Roubenoff R. The Health care Costs of Sarcopenia in the United States. JAGS. 2004;52:80-5. 11. Data tables: results from USDA's 1996 Continuing Survey of Food Intakes by Individuals and 1996 Diet and Health Knowledge Survey. Online ARS Food Surveys Research: USDA Agricultural Research Service. 1996. 12. Vellas BJ, Hung WC, Romero LJ. Changes in nutritional status and patterns of morbidity among free-living elderly persons: A 1Oyear longitudinal study .. Nutrition 1997; 13:515-9. 13. Wolfe RR, Miller SL Miller KB. Optimal protein intake in the elderly. Clin Nutr 2008;27:675-84.

14. Wolfe RR. The underappreciated role of muscle in health and disease. Am J Clin Nutr 2006;84:47582. 15. Mithal A, Bonjour JP, Boonen S, Burckhardt P, Degens H, Fuleihan GEH, et al. Impact of nutrition on muscle mass, strength, and performance in older adults. Osteoporos lnt 201 3;24: 1555--66. 16. Paddon-Jones D, Rasmussen BB. Dietary protein recommendations and the prevention of sarcopenia. Curr Opin Clin Nutr Metab Care 2009; 12:86-90. 17. Stookey JD AL Popkin BM .. Do protein and energy intakes explain long-term changes in body composition?. J Nutr Health Aging. 2005;9:5-17. 18. Houston DK, Nicklas BJ, Ding J, Harris TB, Tylavsky FA, Anne B Newman, et al. Dietary protein intake is associated with lean mass change in older, community-dwelling adults: the Health, Aging, and Body Composition (Health ABC) Study. Am J Clin Nutr 2008. 2008;87:150-5. 19. Schurch MA, Rizzoli R, Slosman D, Vadas L, Vergnaud P, Bonjour J. Protein supplements increase serum insulinlike growth factor-1 levels and attenuate proximal femur bone loss in patients with recent hip fracture. A randomized, double-blind, placebo-controlled trial. . Ann Intern Med 1998; 128:801-9. 20. Catnpbell WW, Trappe TA, Wolfe RR, Evans WJ. The Recommended Dietary Allowance for Protein May Not Be Adequate for Older People to Maintain Rangka Muscle. Journal of Gerontology. 2001 ;56A(6) :M373-80. 21. Paddon-Jones D, Rasmussen BB. Dietary protein recommendations and the prevention of sarcopenia: Protein, amino acid metabolism and therapy. Curr Opin Clin Nutr Metab Care. 2009; 12( 1) :86-90. 22. Gaffney-Stomberg E, lnsogna KL, Rodriguez NR, Kerstetter JE. Increasing Dietary Protein Requirements in Elderly People for Optimal Muscle and Bone Health. J American Geriatrics Society. 2009;57: 1073-9. 23. Arnal M-A, Mosoni L, Boirie Y, Houlier M-L, Morin L Verdier E, et al. Protein pulse feeding improves protein retention in elderly women. Am J Clin Nutr 1999. 1999;69:1202-8. 24. Wilson GJ, Wilson JM, Manninen AH. Nutrition & Metabolism Review Effects of beta-hydroxy-betamethylbutyrate (HMB) on exercise performance and body composition across varying levels of age, sex,and training experience: A review. Nutrition & Metabolism 2008;5. 25. Visser M, Deeg DJH, Lips P. Low Vitamin D and High Parathyroid Hormone Levels as Determinants of Loss of Muscle Strength and Muscle Mass (Sarcopenia): The Longitudinal Aging Study Amsterdam. The Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism 88( 12) :57 66-5772. 2003;88( 12) :57 66-72. 26. Mosekilde L. Vitamin D and the Elderly. Clinical Endocrinology (2005) 62,265-281 27. Bischoff-Ferrari HA, Dawson-Hughes B, Staehelin HB, Orav JE, Stuck AE, Theiler R, et al. Fall prevention with supplemental and active forms of vitamin D: A meta-analysis of randomised controlled trials. BMJ. 2009;339:339. b3692 28. Latham N.K, Anderson C.S., Reid I.R. Effects of Vitamin D Supplementation on Strength, Physical Performance, and Falls in Older Persons: A Systematic Review. JAm GeriatrSoc 2003;51 :1219-1226 29. Muir. W.S. Effect of Vitamin D Supplementation on Muscle Strength, Gait and Balance in Older Adults : Systematic Review and Meta-Analysis. J Am Geriatr Soc. 201 1:1-1 0 30. Morley JE. Vitamin D redux. JAmMed Dir Assoc 2009;10:591-2. 31. Burton L, Sumukadas D. Optimal management of sarcopenia. Clinical Interventions in Aging 201 0;5:217-28. 32. Brass EP, Sietsema KE. Considerations in the Development of Drugs to Treat Sarcopenia. JAm Geriatric Soc. 2011 ;59(3);530-535. 33. Ryall JG, Lynch GS. Role of !?>-Adrenergic Signalling in Skeletal Muscle Wasting: Implications for Sarcopenia: Sarcopenia- Age-related Muscle Wasting and Weakness. London: Springer; 2011. p. 449-471.

34. Blahd W. Sarcopenia with Aging. J Nutr Health Aging. Jul2013;17(7):612-618. 35. Salva A. Experimental Treatment Shows Promise in Reversing Loss of Muscle Mass. The International Conference on Frailty & Sarcopenia Research 2014. Press Release. 36. Morley JE. Frailty: Pathy's Principles and Practice of Geriatric Medicine, 5'" edition. Oxford: John Wiley & Sons. Ltd; 2012. p. 1387-1393.

PENATALAKSANAAN Dl BIDING llMU PENYAKIT DALAM

PANDOAN PRAKTIK KLINIS GINJAL HIP

Penyakit Ginjal Kronik oooooooooooooooooooooooo~ooooool_OOO(f:)oioooooo\ooooo(437 Penyakit Ginjal Polikistikooooooooooooooooooooo~.~ooo:·::·:·;~:::.~:ooo:o-4-43 Sindrom Nefrotik ooooooooooooooooo ooooooooooooooooo 00000~~:·:00 ooooo 448 """

00000

0000000000

__ ,,

i'

000000

BATU SALURAN KEMIH

PENGERTIAN Batu saluran kemih adalah batu di traktus urinarius mencakup ginjal, ureter, vesika urinaria. 1 Faktor resiko batu saluran kemih adalah: 2 • Volume urin yang rendah • Hiperkalsiuria, hiperoksalaturia • Faktor diet: asupan cairan kurang, sering konsumsi soda, jus aple, jus jeruk bali, asupan tinggi natrium klorida, rendah kalsium, tinggi protein • Riwayat batu saluran kemih sebelumnya • Renal tubular asidosis tipe 1 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 1

Nyerifkolik ginjal dan saluran kemih, pinggang pegal, gejala infeksi saluran kemih, hematuria, riwayat keluarga, faktor resiko batu ginjal penyakit gout Pemeriksaan Fisik1

Nyeri ketok sudut kostovertebra, nyeri tekan perut bagian bawah, terdapat tanda balotemen Pemeriksaan Penunjang

• •

1

Laboratorium :hematuria Radiologi: bayangan radio opak pada foto BNO, filling defect pada IVP atau pielogra antegradfretrograd, gambaran batu di ginjal atau kandung kemih serta hidronefrosis pada USG

DIAGNOSIS BANDING • Nefrokalsinosis • Lokasi batu: batu ginjal, batu ureter, batu vesika • Jenis batu: asam urat, kalsium, struvite

Ci>

.. Tabel 1. Beberapa Etiologi Batu Saluran Kemih 2 '

il·:·

.:: . ·

·.·.·. P~~~!*~i~ ~arr

"',-11

:.',•;-·

.· ~:T(I~ ~:>atu -

Batu kalsium

,;J-·-

et1~i~b1 ,, - ~: '<·.· ' (. :;

'._'

),·r

: '

l

~~--

50-55

2:1

Herediter

Normokalsemia, hiperkalsiuria yang tidak dapat dijelaskan

Diet rendah Na, tinggi protein, diuretik : thiazide

Hiperurikosuria

20

4:1

Diet

Asam urat urin >750 mg/24 jam [wanita), >800mg/24 jam [pria)

Allopurinol. diet rendah purin

Hiperparatiroid primer

3-5

3:10

Neoplasma

Hiperkalsemia dengan hormone paratiroid yang tidak tersupresi

Bedah

Asidosis tubular renal distal

Jarang

1:1

Herediter I did a pat

Asidosis hiperkhloremik, min ph urin > 5,5

Penggantian alkali

Diet hiperoksalat

10-30

1:1

Diet tinggi oksalat. rendaj kalsium

Oksalat urin > 40 mg/24 jam

Diet rendah oklsalat. kalsium normal

Enteric hiperoksalaturia

-1-2

1:1

Operasi usus besar

Oksalat urin > 75 mg/24 jam

Diet rendah oksalat. kalsium oral

Hiperoksalaturia primer

Jarang

1:1

Herediter

Meningkatnya oksalat urin dan glikolik atau asam 1-gliseril

Cairan, pyridoxine. citrat dan fosfat murni

Hipocitraturia

20-40

1-2:1

Herediter

Citrat urine <320 mg/24jam

Suplemen alkali

Penyakit batu idiopatik

20

2:1

Tidak diketahui

Sindrom metabolik

-30

1:1

Diet

Gout

-30

3-4:1

Herediter

Batu asam urat

i;=

&DI

'.'<'!

75-85

Hiperkalsiuria idiopatik

3.

~---g=, ill: m"'!DD g: . . <:;;Dit

~~~ ~~

0·-·~&'[:li.· = 33" - ·

Fosfat oral, cairan

5-10 lntoleransi glukosa, obesitas, hiperlipidemia

Jika asam urat urin harian > 1000 mg : Alkali dan alopurinol

Diagnosis klinis

Alkalinisasi urin dan allopurinol

a

Jika asarn urat urin harian > 1000 mg : Alkali dan alopurinol Dehidrasi Sindrom Leschnyhan Batu cystine Batu struvit

5

?

1:1

Pencernaan, kebiasaan

Anamnesis, kehilangan cairan pada saluran pencernaan

Alkali. cairan. memperbaiki penyebab

Jarang

Hanya pria

Herediter

Menurunnya tingkat hypoxantine-guanine phosphoribosyltrans ferase

Allopurinol

1:1

Herediter

Tipe batu, rneningkatnya ekskresi cystine

Cairan yg banyak. Alkali. jika perlu D-penicilamine

1:3

lnfeksi

Tipe batu

Antimikroba, bedah

TATALAKSANA

'

Nonfarmakologis 1



Batu kalsium: kurangi asupan garam dan protein hewani



Batu urat: diet rendah asam urat



Min urn banyak (2,5 L/hari) bila fungsi ginjal masih baik

Farmakologis



Antispasmodik bila ada kolik



Antimikroba hila ada infeksi



Batu kalsium: kalium sitrat



Batu urat: allopurinol, pemberian oral bicarbonate or potassium citrate untuk membuat pH urin menjadi basa. 3

Bedah 3

• I

Extracorporea/ shock-wave lithotripsy (untuk batu pada proksimal ginjal dan urethra <2cm)



Percutaneous lithotripsy (untuk batu >2cm)



Ureteroscopy (untuk batu pada ginjal dan ureter)



Pielotomi



Nefrostomi

KOMPLIKASI Abses, gaga! ginjal, fistula saluran kemih, stenosis urethra, perforasi urethra, urosepsis, rena/loss karena obstruksi kronis. 4 PROGNOSIS Batu saluran kemih adalah penyakit seumur hidup. Rata-rata kekambuhan pada pertama kali batu terbentuk adalah 50% dalam 5 tahun dan 80% dalam 10 tahun. Pasien yang mamiliki risiko tinggi kambuh adalah yang tidak patuh pad a pengobatan, tidak modifikasi gaya hidup, atau ada penyakit lain yang mendasari. Fragmen batu yang tersisa pada pembedahan biasanya keluar dengan sendirinya jika ukuran batu tersebut < 4mm. 4

Sa luran Kemih UNITYANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Ginjal-Hipertensi- Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Departemen Bedah Urologi



RS non pendidikan

: Bagian Urologi

REFERENSI 1.

lnfeksi saluran Kemih. In: Sudoyo A. Setiyohadi B, Alwi I. Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 51h ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI, 2009:2009- 15

2.

Nephrolithiasis. In: Fauci A. Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of America; The McGrawHill Companies, 2011.

3.

Nephrolithiasis. Dalam :Acosta, Jose. Sabiston Textbook of Surgery 18'h Edition. Saunders. 2008

4.

Stoller ML. Urinary stone disease. In: Tanagho EA. McAninch JW, eds. Smith's General Urology, 16'h Edition. New York, NY:McGraw-Hill. 2004:256-291.



GANGGUAN ASAM BASA

PENGERTIAN Ganggguan asam basa terdiri dari dua yaitu asidosis dan alkalosis. Tingkat keasaman arteri (pH) dipertahankan 7.35-7.45. Asidosis jika pH< 7.35 dan alkalosis jika pH> 7.45. Pengontrolan tekanan C0 2 (PaC0 2) dilakukan oleh sistem saraf pusat dan sistem respirasi, sedangkan pengaturan bikarbonat plasma diatur oleh ginjal dengan mengekskresi dan meretensi asam atau basa. Regulasi pH darah digambarkan dengan rumus Henderson-Hasselbalch:1.2

pH: 6.1 + log HC0 3

_,

PaC0 2 x 0.0301

Tabell. Pengaruh Gangguan Asam-Basa terhadap Sistem Organ: 3

~s~ti!iiJ4q!:9~~~~~~~!ii~if~~~~~~Ptt~~~'"~:;.;~;;.,~,.;t'::~ Kardiovaskular

Kontraktilitas, MAP, curah jantung, respon terhadap katekolamin Resiko aritmia

Vasokontriksi arteriol, aliran koroner Resiko aritmia

Respirasi

HiperventilasL kekuatan otot pemapasan

Hipoventilasi

Metabolik

Kalium

Kalium, kalsium, magnesium, fosfat

Neurologik

Perubahan mental status

Perubahan mental status, kejang

Langkah-langkah mendiagnosis kelainan asam-basa 1 1. Memeriksa analisa gas darah dan elektrolit

2. Memeriksa akurasi hasil anallisa gas darah dengan membandingkan pH dengan ionH 3. Memeriksa adakah kelainan asam basa (pH lebih tinggi atau lebih rendah dari nilai normal) 4. Memeriksa apakah kelainan asam basa respiratorik atau metabolik 5. Bila terdapat asidosis metabolik menghitung anion gap (AG) a. Untuk menentukan penyebab asidosis metabolik b. Jika AG meningkat: mencerminkan adanya anion yang tak terukur dalam

······.··~~8!P~~~~~~A·.:?iim:~~~tl ·,:•.,-·."

plasma yang bersifat a sam seperti a sam bukan klorida yang mengand ung bah an inorganik (fosfat, sulfat), bahan organik (asam keto, laktat, anion uremia), bahan eksogen (salisilat, toksin lain) c. Jika AG menurun: terdapat penurunan albumin atau peningkatan kation yang tidak terukur (kalsium, magnesium, kalium, bromine, imunoglobulin) d. Nilai normal8-12 mEq/L e. AG meningkat menunjukkan adanya penambahan asam lain sedangkan jika AG normal menunjukkan bikarbonat yang kurang yang menjadi penyebab asidosis metabolik f.

AG dihitung dengan rum us: I AG = Na _ (Cl+ HC0

) 3

Jika terjadi peningkatan glukosa plasma, gunakan kadar natrium yang diukur, jangan menggunakan kadar natrium terkoreksi. 6. Mengetahui 4 penyebab high AG yaitu ketoasidosis, asidosis asam laktat, gagal ginjal, toksin 7. Mengetahui 2 penyebab hiperkloremik atau asidosis nongap (hilangnya bikarbonat dari saluran cerna, renal tubular acidosisjRTA). 8. Mengestimasi respon kompensasi (Tabel 2) Tabel 2. Gangguan Asam Basa Sederhana'

Asidosis metabolik

Menurun

< 7.35

Menurun

Alkalosis metabolik

Meningkat

>7.45

Meningkat

1,25 X b. HC03

Alkalosis respiratorik akut Alkalosis respiratorik kronik

Menurun

>7.45

Menurun

0,2 xb.. PaC0 2 0.4 x b. PaC0 2

Asidosis respiratorik akut Asidosis respiratorik kronik

meningkat

< 7.35

Meningkat

0,1 x b. PaC02 0.4 x b. PaC0 2

0,75

X

b. HC03

8. Membandingkan AG dan HC0 3a.

Menentukan ada tidaknya gangguan lain selain asidosis metabolik beranion

gap yang mempengaruhi kadar bikarbonat b. Menghitung 6 HC03 = 25- HC03 c.

Menghitung!::, AG

d. AG expected e.

=AG hitung- AG expected

=albumin x 2.5

Hasil perbandingan: 6 AG/ 6 HC0 3

label 2. Hasil Perbandingan AG dan HCO/

!:::,. HC03 =.6.AG: asidosis metabolik ber-anion gap murni



.6. HC03 > .6.AG: asidosis metabolik bersamaan dengan asidosis non anion gap .6. HC0 3 < .6.AG: asidosis metabolik bersamaan dengan alkalosis metabolik ( terutama bila perbedaan >2)

10. Membandingkan perubahan pada [CJ·] dengan perubahan pada [Na+]

ASIDOSIS METABOLIK

'

PENGERTIAN Asidosis metabolik adalah adalah suatu keadaan patologis ditandai dengan penurunan HC03 -1 dan sebagai kompensasi terjadi penurunan PC02 . Asidosis metabolik dengan anion hgap(AG) disebabkan oleh: ketoasidosis, laktat asidosis, gaga! ginjal, intoksikasi (metanol, salisilat, etilen glikol, propilen glikol, asetamonofen). Sedangkan asidosis 3 metabolik tanpa AG disebabkan oleh diare atau asidosis tubulus renalis (RTA) PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Riwayat penyakit yang diderita seperti penyakit ginjal (gaga! ginjal akut), diabetes lcohol, riwayat konsumsi alkohol, kelaparan, gangguan herediter, obat-obatan yang rutin dikonsumsi, atau riwayat operasi sebelumnya. Pacta kasus kronik pasien dapat tidak menunjukkan gejala (asimptomatik) atau merasa Ielah, letih dan nafsu makan menurun.L 3 •

Kehilangan melalui saluran cerna: daire, fistula intestinal atau pankreas, drainase



Renal Tubular Acidosis

• •

Gaga! ginjal tahap awal Intoksikasi: asetazolamid, kolestiramin, toluen



Dilusi karena infus bikarbonat terlalu cepat



Post-hypocapnia respiratory alkalosis



Renal wasting HC0 3



Koreksi alkalosis respiratorik terlalu cepa



Diversi ureter

Pemeriksaan Fisik

Penurunan tekanan darah, takikardia, hiperventilasi (pernapasan Kussmaul's), kulit dingin dan lembab, disritmia, dan syok. 1. 3 Pemeriksaan Penunjang 3



Analisis gas darah: pH< 7.35. PaC0 2 < 35 mmHg, bikarbonat < 22 mEq/L



Elektrolit serum: mungkin terjadi peningkatan kalium.



Osmolalitas darah, glukosa darah, ureum, kreatinin



Keton urin

• •

Skrining toksin EKG: disritmia akibat hiperkalemia, memuncaknya gelombang T, penurunan segmen ST, penurunan ukuran gelombang R, menurun atau tidak terdapatnya gelombang P, dan melebarnya kompleks QRS.

DIAGNOSIS BANDING 1 • AG normal: saluran cerna diare, fistula, ileal loop), ginjal (renal tubular acidosis, carbonic anhydrase inhibitor, post hypocapnia).



AG meningkat: eksogen (salisilat, metanol, paraldehid), endogen (laktat asidosis, ketoasidosis, uremia)

TATALAKSANA3 • Terapi penyakit yang mendasarinya • Terapi asidosis metabolik dengan AG Jika keton urin negatif: hitung osmolalitas gap (OG}. Jika OG > 10: curiga intoksikasi. Osmolalitas gap = osmolalitas terukur - osmolalitas perhitungan Osmolalitas perhitungan = [2x Na] + [glukosa/18] + [BUN/2.8] • Terapi asidosis metabolik tanpa AG Terapi penyakit yang mendasarinya Periksa AG urin (UAG) UAG =[natrium urin +kalium urin]- klorida urin

Hasil UAG yang negatif menunjukkan adanya peningkatan ekskresi NH4+ yang merupakan respon ginjal terhadap asidosis, adanya gangguan pada saluran cerna, RTA tipe II, intoksikasi, atau dilusi.

Hasil UAG yang positifmenunjukkan adanya kegagalan ginjal mensekresi NH 4 +,

t •

RTA tipe I atau IV, gaga! ginjal tahap awal. Terapi asidosis metabolik berat (pH < 7.2) Ketoasidosis diabetik: insulin dan cairan Ketoasidosis berhubungan alkohol: saline dan glukosa Gaga! ginjal akut: dialisis



Terapi bikarbonat dengan natrium bikarbonatz Menghitung ruang bikarbonatj Ru-bikar: Ru-bikar: [0.4+ (2.6: HC03)] x berat badan (kg)

I Ru-bikar : [0.4+ (2.6 : HC03)] x berat badan (kg) Mengitung rerata Ru-bikar: [Ru-bikar dari hasil pemeriksaan HC03] - [Rubikar dari hasil HC03 yang diharapkan] Jumlah bikarbonat yang dibutuhkan (mEg)= Rerata Ru-bikar x berat badan x

-,

[HC0 3 yang diharapkan- HC0 3 hasi pemeriksaan] Diberikan melalui drip intravena dalam 1000 ml dekstrosa 5% dalam air ( D5W)

KOMPLIKASI Aritmia, koma dan kematian jika asidosis metabolik berat3 PROGNOSIS Perjalanan penyakit tergantung penyakit yang mendasarinya. Pada 543 pasien yang menderita asidosis metabolik, 44% di antaranya menderita asidosis laktat, 3 7% di antaranya menderita asidosis dengan AG yang tinggi, dan 19 % dengan asidosis hiperkloremik. Angka kematian mencapai 45% pada kasus asidosis metabolik, pasien dengan laktat asidosis 56%, asidosis dengan AG yang tinggi 39%, dan asidosis hiperkloremik 29% 3.4

ASIDOSIS RESPIRATORIK PENGERTIAN Peningkatan PaC0 2 dengan kompensasi peningkatan HC0 3. Faktor resiko yaitu: 3 • Penyakit pernapasan akut: pneumonia,ARDS (acute respiratory distress syndrome) • Obat-obatan yang mendepresi susunan saraf pusat

• •

Trauma dinding dada: flail chest, pneumotoraks Trauma sistem saraf pusat: dapat menimbulkan depresi pernapasan



Kerusakan otot pernapasan: hiperkalemia, polio, sindroma Guilla in-Barre



Asfiksia: obstruksi mekanik, anafilaksis

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Sesak nafas, asteriksis, gelisah menimbulkan letargi, perubahan status mental, dan koma 3

"-.,

Pemeriksaan Fisik

Peningkatan frekuensi jantung dan pernapasan, diaphoresis, dan sianosis. Dapat ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial seperti edema papil, dilatasi pembuluh darah konjungtiva dan wajah. Pemeriksaan Penunjang 3



Analisa gas darah (AGO): PaC0 2 > 40 mmHG, pH< 7.40

• •

Elektrolit serum Rontgen paru: melihat adanya penyakit pernapasan yang mendasari



Skrining obat

DIAGNOSIS BANDING Dilihat dari beberapa faktor resiko yang dapat menyebkan terjadinya asidosis respiratori 3 TATALAKSANA2 ·3 • Terapi penyakit yang mendasarinya • Menaikkan frekuensi napas dan menurunkan C0 2 • Akut: Oksigen jika saturasi oksigen rendah, ventilator • Kronik: oksigen, bronkodilator dan antibiotik sesuai indikasi, fisioterapi dada. KOMPLIKASI Gagal napas, syok3



PROGNOSIS Perjalanan penyakit tergantung penyakit yang mendasarinya. Jika cepat diatasi maka maka tidak ada efek jangka panjang. Asidosis respiratorik dapat terjadi secara kronik bersamaan dengan penyakit paru atau gagal nap as yang membutuhkan ventilasi mekanik. 3

ALKALOSIS METABOLIK PENGERTIAN 5 Peningkatan HC0 3 dengan peningkatan PaC0 2 sebagai kompensasi. Penyebab alkalosis metabolik yaitu:

• Saline responsive: kehilangan W melalui muntah, penghisapan dari selang NGT,

-,

adenoma villous, laksatif, cystic fibrosis; dari ginjal misalnya pemakaian diuretik

• Saline resistant: kelebihan mineralokortikoid, hipokalemia berat, hipokalsemia atau hipoparatiroidisme, sindroma Bartter's, sindroma Cite/man's

DIAGNOSIS Anamnesis

Gejala klinis kelemahan otot, ketidakstabilan saraf otot, menurunnya refleks, perubahan status mental seperti apatis, stupor. Riwayat penyakit sebelumnya dan obat-obatan seperti diuretik tiazid. 1•3 Pemeriksaan Fisik

Konfusi, aritmia, peningkatan kepekaan neuromuskular, dapat ditemukan ileus karena penurunan motilitas saluran pencernaan. 1·3 Pemeriksaan Penunjang 1·3



Analisa gas darah (AGD): pH> 7.40, bikarbonat > 26 mEq/L



Klorida urin



Elektrolit serum: umumnya dijumpai penurunan kalium dan klorida.



EKG: melihat ada tidanya disritmia terutama pada kasus berat

Alkalosis Metabolik

l I

l Klorida urin >20

i Saline resistant

Diuretik

J

I

l Kehilangan dari saluran cerna : muntah, drainase NGT, adenoma vilus

J

Setelah hipokapnia, laks Jtit, cystic brosis

. . .

I

Hipertensi

Hiperaldosteronisme derajat 1, Hiperaldosteronisme derajat 2, non-mineralocorticoid

J . ..

Normal atau hipotensi

Hipokalemia berat, diuretik, sindroma Bartter's, sindroma Gitelman's

Algoritme 1. Pendekatan Alkalosis Metabolik3

DIAGNOSIS BANDING 5 •

Sensitif terhadap klorida ( klorida urin < 10 mEq/L): saline responsive Kehilangan klorida dari urin: pemakaian diuretik, kistik fibrosis, post hiperkapnia Kehilangan klorida dan W dari saluran cerna: penghisapan selang NGT, muntah, kelainan kongenital



Resisten terhadap klorida (klorida urin >10 mEq/L): saline resistant Hipertensi: kelebihan mineralokortikoid: sindrom Cushing, sindrom Conn, Normotensif atau hipotensi: hipokalemia berat, sindrom Barttler.

TATALAKSANA2 ·3 •

Terapi penyakit yang mendasarinya



Infus normal saline



Kalium klorida (KCl) sesuai indikasi



Antagonis reseptor histamin H2 , menurunkan produksi HCl dan mencegah alkalosis metabolik yang dapat terjadi akibat penghisapan dari NGT



Inhibitor karbonik anhidrase: asetazolamid



Asam hidroklorida (HCl) 0.1 N juga efektif, tetapi dapat menyebabkan hemolisis dan harus diberikan melalui pembuluh darah sentral dan perlahan-lah

KOMPLIKASI Aritmia jantung, gangguan elektrolik, koma

PROGNOSIS Perjalanan penyakit tergantung penyakit yang mendasarinya. Angka kematian pada pH darah 7.55 sebesar 45 %, sedangkan angka kematian pada pH darah lebih dari 7,65 yaitu 80 %. 3 ' 5

ALKALOSIS RESPIRATORIK I

PENGERTIAN Penurunan PC0 2 dengan penurunan HC0 3 sebagai kompensasi. Terjadi karena peningkatan ventilasi alveolar. Penyebab terjadinya alkalosis respiratorik:

3



Hipoksia: hiperventilasi pada pneumonia, edema pulmonal, penyakit paru restriktif



Hiperventilasi primer: gangguan sistem saraf pusat, nyeri, cemas, obat (salisilat, progesteron, metilxantin), kehamilan, sepsis, gagal hati.

PENDEKATAN DIAGNOSIS -'

Anamnesis

Gejala yang dikeluhkan: kepala terasa melayang, ansietsas parestesia, tetani, pingsan, dan kejang jika sudah berat.

3

Pemeriksaan Fisik

Ditemukan adanya peningkatan frekuensi dan kedalaman pernapasan 3 Pemeriksaan Penunjang 3



Analisis gas darah (AGO): PaC0 2 < 40 mmHG, pH> 7.40, Pa0 2 menurun



Elektrolit serum



Fosfat serum: penurunan



EKG: disritmia

DIAGNOSIS BANDING Dibedakan berdasarkan etiologinya

TATALAKSANA 3 •

Terapi penyakit yang mendasarinya



Memastikan apakah ansietas merupakan penyebabnya dan penurunan PaC0 2



Jika gejala memberat: pasien perlu menghirup kern bali C0 2 melalui masker oksigen yang dihubungkan dengan reservoir C0 2 • a tau mengunakan sejenis kantong untuk bernapas.



Terapi oksigen jika hipoksia dalah faktor penyebabnya



Sedatif dan tranquilizer jika disebabkan karena cemas



Ventilasi mekanik

KOMPLIKASI Aritmia jantung, gangguan elektrolik, koma

PROGNOSIS Perjalanan penyakit tergantung penyakit yang mendasarinya. Angka kematian 27,9 % seiring dengan meningkatnya pH, mencapai 48,5 % jika pH > 7.60. Pasien dengan alkalosis respiratori dan alkalosis metabolik mempunyai prognosis lebih buruk (44.2%) 6

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Ginjal-Hipertensi- Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNITY ANG TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

: Unit Perawatan Intensif

REFERENSI 1.

DuBose TD. Acidosis and alkalosis. In: Fauci A. Kasper D. Longo D. Braunwald E. Hauser S, Jameson 1 J, Loscalzo J. editors. Harrison's principles of internal medicine. 18 h ed. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2012.

2.

Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B. Sirnadibrata M. Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: lnterna

Publishing; 2009: Hal 189-196.

-,

3.

Seitter JL. Acid-base disorders. In: Goldman L, Schafer AI, eds. Cecil Medicine. 24th ed. Philadelphia, Po: Saunders Elsevier; 2011 :chap 120.

4.

Gunnerson K, Saul M, He S, et al. Lactate vs. non-lactate metabolic acidosis: a retrospective outcome evaluation of critically ill patients. Crit Care. 2006; 10(1 ): R22.

5.

Galla J. Metabolic alkalosis. JASN. 2000;11 (2):369-75.

6.

Anderson LE, Henrich WL. Alkalemia-associated morbidity and mortality in medical and surgical patients. South Med J. 1987;80(6):729-33.

GANGGUAN GINJAL AKUT

PENGERTIAN Gangguan ginjal akut a tau yang sebelumnya dikenal dengan gagal ginjal akut (GGA), sekarang disebut jejas ginjal akut (acute kidney injuryI AKI). AKI merupakan kelainan ginjal struktural dan fungsional dalam 48 jam yang diketahui melalui pemeriksaan darah, urin, jaringan, a tau radiologis. 1•2 Kriteria diagnosis AKI menurut the International Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO) sebagai berikut: 3 •

peningkatan serum kreatinin (SCr) 2: 0,3 mgjdL (2: 26,5 11moljL) dalam 48 jam; atau



peningkatan SCr

2:

1,5 x baseline, yang terjadi atau diasumsikan terjadi dalam

kurun waktu 7 hari sebelumnya; atau •

Volume urin < 0,5 mLjkgBBfjam selama > 6 jam label 1. Stadium AKI Berdasarkan Derajat Keparahannya 3

~~s'§tQlll«m:t&~tt.t•i~~rJt~:rJ~(~Wro1lg•ttui4U~l~)'l~f~~,i~l~~~i1~'~li~tJI~fl~~Y't'~ii~tttR:§l~'llg)'~1~,~t'±~¥~ 1

1,5- 1, 9 X baseline g!gy 2:0,3 mg/dl {2: 26,5 1Jmoi/L)

< 0,5 mL/kgBB/jam selama 6-12 jam

2

2 - 2, 9 X baseline

< 0,5 mL/kgBB/jam selama 2: 12 jam

3

3 X baseline

< 0,3 mL/kgBB/jam selama 2: 24 jam atau anuria selama 12 jam

gfgy_

1' 2: 4,0 mg/dl (2: 354 1Jmoi/L) gfgy_

lnisiasi terapi penggantian ginjal (TPG) gfgy_

Pasien < 18 tahun dengan penurunan eGFR < 35mL/menit per 1,73 m 2 Keterangan : eGFR =Estimated glomerular filtration rate (estimasi laju filtrasi glomerolus I LFG)

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 1

1. Suspek pre-renal azotemia: muntah, diare, poliuria akibat glikosuria, riwayat

konsumsi obat termasuk diuretik, nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID),

Panduan Praktik Klinis ·

angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitors, dan angiotensin receptor blocker

(ARB). 2. Kolik pinggang yang menjalar ke daerah genital -7 sugestif obstruksi ureter 3. Sering kencing di mal am hari (nokturia) dan gangguan berkemih lain; dapat muncul pada penyakit prostat 4. Riwayat penyakit prostat, batu ginjal, atau keganasan pelvis atau paraaorta -7 suspek post-renal

Pemeriksaan Fisik1 1. Hipotensi ortostatik, takikardi, tekanan vena jugularis menurun, turgor kulit

menurun, dan membran mukosa kering. 2. Perut kern bung dan nyeri suprapubik -7 pembesaran kandung kemih 3. AKI dengan purpura palpable, perdarahan paru, atau sinusitis-?sugestifvaskulitis sistemik

l

Jejas ginjal akut

l

f I

l

I

t

t

J

lntrinsik '(

Hipovolemia Cardiac output -I, Volume sirkulasi efektif -I, • Gagal jan tung kongestif • Gagal hati Autoregulasi ginjal terganggu • NSAID • ACE-I I ARB • Siklosporin

I

Tubulus dan interstitium

• Glomerular • Glomerulo nefritis akut

• • • •

_j

I

lskemi

I

Kef: TTP-HUS = thrombotic thrombocytopenic purpura-hemolytic uremic syndrome

I

Sepsis

I infeksi

I

Post-renal

I

'

J

• Obstruksi sa luran kandung kemih • Obstruksi pelvo-ureteral bilateral (atau obstruksi unilateral dari fungsi ginjal soliter)

"

Vaskular Vaskulitis Hipertensi maligna TIP-HUS

J

_i NEFROTOKSIN • Eksogen: kontras, aminoglikosida, cisplatin, amfoterisin B • Endogen: hemolisis, mieloma, kristal intratubular, rhabdomiolisis

Gambar 1. Klasifikasi dan Etiologi Mayor AKP

I

4. Reaksi idiosinkrasi (demam, artralgia, rash kemerahan yang gatal) ~suspek nefritis interstitial alergi 5. Tanda iskemik pada ekstremitas bawah positif ~ suspek rhabdomiolisis Pemeriksaan Penunjang 1 1. Laboratorium: darah perifer lengkap, urinalisis, sedimen urin, serum ureum,

kreatinin, asam urat, kreatin kinase, elektrolit, lactate dehydrogenase (LDH), blood urea nitrogen (BUN), antinuclear antibodies (AN As), antineutrophilic cytoplasmic antibodies (ANCAs), antiglomerular basement membrane antibodies (AGBM), dan cryoglobulins. 2. Radiologis: USG ginjal dan traktus urinarius, CT scan, pielografi antegrad atau retrograd, MRI 3. Biopsi ginjal label 2. Kriteria diagnosis contrast-induced nephropathy (CIN) 4 Faktor rlsiko

Skoring Integer

Hipotensia

5

Intra-aortic balloon pump (IABP)

5

Gagal jantung kongestifb

5

Usia> 75 tahun

4

Anemiac

3

Diabetes

3

Volume zat kontras tiap 100 cc 3 SCr > 1,5 mg/dl

4

. .TotaL. Skoring

. Rlsiko , . . . . . Risiko CIN Dialisis

:"':5

7,5%

0,04%

6-10

14%

0,12%

11 -16

26,1%

1,09%

2:16

57,3%

12,6%

atau 2 bila 40-60 eGFR < 60 ml/menit/1 ,73m 2

4 bila 20-40 6 bila <20

Kelerangan : 0 Tekanan sistolik <80 mmHg selama sedikitnya 1 jam dan memerlukan terapi inotropik atau IABP dalam 24 jam periprosedural. bGagal jantung kongestif menurut klasifikasi New York Heart Association (NYHA) kelas III/IV dan/alau riwayat edema paru 'Ht <39% pada laki-laki, <36% pada perempuan

AKI PASCA BEDAH JANTUNG Selain CIN, terdapat risiko AKI pada pasien pascabedah jantung yang dikenal dengan skoringAKICS (Acute Kidney Injury prediction following elective cardiac surgery}, skoring Cleveland dan skoring Toronto seperti tercantum pacta Tabel 3 dan Tabel 4.

Tabel 3. Skoring AKICS 20075

F¢1ktor Risiko. Operasi kombinasi CHF NYHA > 2

3,2

Cr pre-op > 1,2 mg/dl

3,1

Cardiac output rendah

2,5

Usia > 65 tahun

2,3

Waktu CPB > 120 menit

1,8

Glukosa darah kapiler pre-op > 140 mg/dl

1,7

CVP> 14cmHp

1,7

Skor minimal ~ 0, maksimal ~ 20 Kelerangan : CPB ~cardiopulmonary bypass; Cr ~ kreatinin; CVP ~central venous pressure; Pre-op ~pre-operative; CHF ~congestive heart failure (gaga/ janlung kongestif)

Tabel 4. Skoring Cleveland dan Toronto (2008) 6

Faktor Rislko

NllaJCievelanc:f Nllai Jpronto

1

Jenis kelamin perempuan

0

0

Riwayat CHF LVEF < 35% LVEF < 40%

2

IABP pre-op PPOK yang diterapi dengan bronkodilator

0

Diabetes dalam terapi • insulin • obat lainnya Riwayat bedah jantung sebelumnya Tipe pembedahan • Katup • Kombinasi (CABG + katup) • Lainnya

1 2 2

Fungsi ginjal pre-op: SCr (mg/dl)

1,2-2,09 2':2,1

eGFR (ml/menit)

40-60 < 40

Status operasi

Emergensi Elektif

Total range skor Kelerangan : LVEF

~

left ventricle ejection fraction

2 5 1 2 1

0-17

-

0-8

DIAGNOSIS BANDING Tabel 5. Penyebab AKP

Pre-renal azotemia

Riwayat intake cairan sulit atau kehiiangan cairan (muntah, diare, perdarahan, sekuestrasi ke dalam ruang ekstravaskular), gaga! jantung, NSAID/ACE-1/ARB, adanya bukti kekurangan cairan (takikardL hipotensi absolut/posturaL tekanan vena jugularis rendah, membran mukosa kering), Volume sirkulasi efektif menurun (gaga I jantung, sirosis hepatis)

Ratio BUN: kreatinin >20, FeN a <1 %, gambaran hialin (+) pada sedimen urin, BJ urin > 1.01 8, osmolalitas urin >500 mOsm/kg

AKI-terkait sepsis

Sepsis, sindrom sepsis, atau syok sepsis. Hipotensi nyata tidak selalu terlihat pada AKI ringan atau sedang

Kultur (+) dari cairan tubuh, sedimen urin sering terdapat bentuk granular, sel epitel tubular

AKI-terkait iskemik

Hipotensi sistemik, kadang disertai sepsis dan/atau faktor risiko terbatasnya fungsi ginjal seperti usia tua, PGK

Sedimen urin sering terdapat bentuk granular, sel epitel tubular, FeN a > 1%

FeNa rendah, BJ dan osmolalitas urin tinggi, mung kin tidak terlihat pada penyakit ginjal kronis. Penggunaan diuretik, proporsi peningkatan ratio BUN: kreatinin dapat menjadi indikasi perdarahan saluran cerna atau meningkatnya katabolism e. Respons untuk restorasi hemodinamik menjadi faktor diagnostik terpenting. FeNa mungkin rendah (<1%), khususnya di awal onset namun biasanya > 1% dan osmolalitas <SOOmOsm/kg

~~ll~f&r~q;~~~~~1QJ~i~&l~(f9m9!(k'\t!i1flit~t~g~~~~-~t~:~!l1~~a~•~~-!tim,~~~~J¥~r~i Rhabdomiolisis

Trauma crush injury, kejang, imobilisasi

Hemolisis

Riwayat reaksi tranfusi pada transfusi darah seb~lumnya

Mioglobin , keratin kinase, gross hematuria Anemia, LDH , haptoglooin rendah

FeNa mungkin rendah (<1%) FeNa mungkin rendah (<1%);

evaluasi unruK reaksi transfusi

Lisis tumor

Riwayat kemoterapi

Hiperfosfatemia, hipokalsemia, hiperurisemia

Mieloma multipel

Usia >60 tahun, gejala konstitusional, nyeri tuJang

Anion gap rendah, monoclonal. spike pada urin atau serum elektroforesis

Biopsi sumsum tulang atau ginjal dapat memberikan diagnosis pasti

,'~.~-7"~·-·,---·;"~"'~-,-...,.,-."':~''1-'

[/,i~,L~':c;~~~1~~~~f[~~'{;:';h :;,;~:~ ';~~~~!~~~~~~;~!~l~·,,/:; . . Nefropati kontras

Paparan terhadap kontras yang teriodinasi

Penyakit tubular

Antibiotik aminoglikosida, cisplatin, tenofovir, zoledronate

Nefritis interstitial

, '. 'fiell'iei1ks.c

. ;.

:~, c~~i)ijhjg~,

Serum kreatinin dalam FeNa mungkin 1-2 harL puncaknya rendah (<1%) pada hari 3-5, pulih dalam 7 hari

Sedimen urin sering terdapat bentuk granular, sel epitel tubular, FeN a > 1% Paparan obat, dapat terjadi Eosinophilia, piuria demam, rash, artralgia steril, seringkali nonoligouria

Eosinophil urin memiliki keakuratan diagnostik terbatas, tanda sistemik reaksi obat seringkali (-), biopsi ginjal dapat membantu

ig4JJm«rriiffirDI~1i1A~i•<~t~:ilJ!I;f~~fi~~~ii~l1;~i~~i~{~~~c~~~~iitt{~~~fJ~~ri~~~~ Glomerulonefritis I vaskulitis -1

Nefritis interstitial

TIP I HUS

Bervariasi, termasuk skin rash, artralgia, sinusitis (penyakit AGBM), perdarahan paru, infeksi kulit atau faringitis (poststreptokokus) Etiologi tidak terkait obat, termasuk sindrom tubulointerstitial-nefritisuveitis (TINU), infeksi Legionella

Antibodi ANA, ANCA, AGBM, serologis hepatitis, krioglobulin, kultur darah,level komplemen , titer ASO Eosinophilia, piuria steril, seringkali nonoligouria

lnfeksi saluran cerna atau penggunaan inhibitor kalsineurin

Schistosit pada apusan darah tepi, anemia, LDH , trombositopenia Hipokomplementemia, eosinofiluria (bervaria~i), proteinuria bervariasi

Biopsi ginjal mung kin diperlukan

Eosinophil urin memiliki keakuratan diagnostik terbatas, biopsi ginjal mungkin diperlukan Biopsi ginjal mungkin diperlukan

Penyakit ateroemboli Riwayat manipulasi aorta Biopsi kulit dan atau pembuluh darah ginjal diperlukan besar lainnya; spontan untuk diagnosis atau setelah antikoagulasi; plak retina, palpable purpura, livedo reticularis, perdarahan saluran cerna AKI post-renal Radiologis dengan Riwayat batu ginjal, penyakit Tidak ada temuan prgstgt,gl:l~tt:Y~~Ik_aj"et(')rl.Jrin, ~R~sjfi.~_s(')lqin AKI; ___ _ CTatau USG - --- - ··-·- necYplasmcnelroperitcfnear·-hematoticnnaupiUria --·---··· atau pelvis Keterangan : AGBM =anti-glomerular basement membrane, FeNa =fractional excretion of sodium, lJP/HUS =thrombotic thrombocytopenic purpura/hemolytic uremic syndrome, ANA= antinuclear antibody, ANCA = antineutrophilic cytoplasmic antibody

TATALAKSANA label 6. Manajemen Tatalaksana AKI Berdasarkan Stadium 3 ' ' ·:j ... ,

Tatalaksana

·.

'gislk.6ttriggli''

stilt!Jom i

,.

1

Stadturri'2

staCitum a

Hentikan semua agen nefrotoksik bila memungkinkan Pastikan status volume dan tekanan perfusi Pertimbangkan pemantauan hemodinamik fungsional Pantau SCr dan UO Hindari hiperglikemia Pertimbangkan prosedur alternatif dari radiokontras Lakukan pemeriksaan diagnostik non-invasif Pertimbangkan pemeriksaan diagnostik invasif Periksa bila ada perubahan dosis obat Pertimbangkan terapi penggantian ginjal Pertimbangkan ICU Hindari kateter subklavia bila memungkinkan

1. Asupan nutrisP



Pemberian nutrisi enterallebih disukai



Target total asupan kalori per hari: 20- 30 kkal/kgBB pada semua stadium



Hindari restriksi protein



Kebutuhan protein per hari: AKI non-katabolik tanpa dialisis: 0,8- 1 gjkgBB AKI dalam terapi penggantian ginjal (TPG): 1 - 1,5 gjkgBB AKI hiperkatabolik dan dengan TPG kontinu: sjd maksimal1,7 gjkgBB

2. Asupan cairan dan terapi farmakologis 3 •

Tentukan status hidrasi pasien, bila tidak ada syok hemoragik ainfus kristaloid isotonik



Pada pasien dengan syok vasomotor a berikan vasopressor dengan cairan IV



Pad a seting perioperatif a tau syok sepsis, tatalaksana gangguan hemodinamik dan oksigenasi sesuai protokol



Pada pasien sakit berat berikan terapi insulin dengan target glukosa plasma 110-149 mgjdL



Diuretik hanya diberikan pada keadaan volume overload



Tidak dianjurkan: dopamin dosis rendah, atrial natriuretic peptide (ANP),

recombinant human (rh) IGF-1 3. Intervensi dialisisl.3 •

Indikasi dialisis: Terapi yang sudah diberikan tidak mampu mengontrol volume overload, hiperkalemia, asidosis, ingesti zat toksik

Komplikasi uremia berat: asterixis, efusi perikardial, ensefalopati, uremic bleeding



Inisiasi dialisis secepatnya pada keadaan gangguan cairan, elektrolit, keseimbangan asam-basa yang mengancam nyawa



Pertimbangkan kondisi klinis lain yang dapat dimodifikasi melalui dialisis (tidak hanya ratio BUN: kreatinin saja)



Gangguan ginjal akut stadium III



Diskontinu dialisis hila tidak lagi dibutuhkan (fungsi intrinsik ginjal telah pulih) atau jika dialisis tidak lagi memenuhi tujuan terapi

Anjuran pada Keadaan Khusus

1. CINjcontrast-induced AKI (CI-AKI) 3



Klasifikasikan stadium AKI setelah administrasi zat kontras teriodinasi intravaskular dan evaluasi penyebab lain CI-AKI

• -

Menilai risiko CI-AKI, skrining gangguan fungsi ginjal pada semua pasien yang akan menjalani prosedur yang membutuhkan administrasi zat kontras

1

intravaskular •

Pada pasien dengan risiko tinggi CI-AKI: Pertimbangkan metode pencitraan lain Gunakan dosis zat kontras terendah pada pasien dengan risiko tinggi CI -AKI Gunakan zat kontras dengan osmolaritas rendah atau isoosmolar Hidrasi dengan pilihan cairan infus: NaCl 0,9% atau NaHC03 isotonik N-acetylcysteine diberikan per oral bersama dengan infus kristaloid isotonik



Tidak dianjurkan: Teofilin, fenoldopam, hemodialisis profilaksis, hemofiltrasi

2. AKICS •

Pencegahan dapat dilakukan dengan memodifikasi faktor potensial yang dapat menyebabkan AKICS antara lain anemia pre-op, transfusi darah perioperatif, dan re-eksplorasi pembedahan. 7

KOMPLIKASI

Gangguan asam basa dan elektrolit, uremia, infeksi, perdarahan, komplikasi pada jantung, malnutrisU PROGNOSIS

Tingkat mortalitas AKI yang berat hampir 50%, tergantung tipe AKI dan penyakit komorbid pasien. Pacta studi Madrid, pasien dengan nekrosis tubular akut memiliki

386

angka mortalitas 60%, sedangkan pacta penyakitpre-renal atau post-renal35%. Sebagian besar kematian bukan disebabkan AKI itu sendiri, melainkan oleh penyakit penyerta dan komplikasi. Pacta data Madrid, 60% kematian disebabkan oleh penyakit primer dan 40% lainnya disebabkan oleh gagal kardiopulmonal atau infeksi. Sekitar 50% orang pulih sepenuhnya dari nekrosis tubular akut, 40% tidak pulih dengan sempurna, hanya 5-10% yang memerlukan hemodialisis. 8

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Ginjal-Hipertensi- Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam



Hemodialisis

: Subspesialis Ginjal-Hipertensi dan internist dengan sertifikasi hemodialisis

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Unit Hemodialisis, lCUjMedical High Care, Departemen Bedah Urologi



RS non pendidikan

: Unit hemodialisis, ICU

REFERENSI 1.

Bonventre J, Waikar S. Acute kidney injury. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'" Edition. New York: McGraw-Hill; 2012. hal a man

2.

Molitoris B. Acute kidney injury. In: Goldman, Ausiello. Cecil medicine. 23'd Edition. Philadelphia: Saunders, Elsevier; 2008. halaman

3.

The International Kidney Disease: Improving Global Outcomes (KDIGO). KDIGO clinical practice guideline for acute kidney injury. Kidney International Supplements (2012) 2, Diunduh dari http:/1 www .kdigo .org/clinical_practice_guidelines/pdf/KDIG0%20AKI%20 Guideline .pdf pad a tanggal 16 Mei 2012.

4.

Mehran R, Aymong E, Nikolsky E, et al. A simple risk score for prediction of contrast-induced nephropathy after percutaneous coronary intervention. JAm Coli Cardiol. 2004; 44:1393-9.

5.

Palomba H, Castro I, Neto ALC, et al. Acute kidney injury prediction following elective cardiac surgery: AKICS Score. Kidney International. 2007;72:624-31.

6.

Candela~Toha A, Elias-Martin E, A bra ira V, et al. Predicting acute renal failure after cardiac surgery external validation of two new clinical scores. Clin JAm Soc Nephrol. 2008;3:1260-5.

7.

Karkouti K, Wijeysundera D, You T, et al. Acute kidney injury after cardiac surgery: focus on modifiable risk factors. Circulation 2009;119:495-502.

8.

Liano F, Junco E, Pascual J, Madero R, Verde E. The spectrum of acute renal failure in the intensive care unit compared with that seen in other settings. The Madrid Acute Renal Failure Study Group. Kidney lnt Suppl1998; 66:S16-S24.

387

GANGGUAN KALIUM PENGERTIAN Gangguan kalium ada 2 yaitu hipokalemia dan hiperkalemia. Nilai normal kalium plasma yaitu 3.5-5 meq/L. Hipokalemia yaitu kadar kalium plasma< 3.5 meqLJL, dan hiperkalemia jika kadar kalium plasma> 5 meqjL. Kalium adalah kation utama dalam intraselular dan berperan penting dalam metabolism sel. Kalium berfungsi dalam sintesis protein, kontraksi otot, konduksi saraf, pengeluaran hormone, transport cairan, perkembangan janin. Ginjal merupakan pengatur utama keseimbangan kalium dengan mengatur jumlah yang diekskresikan dalam urin. Penyebab dari hipokalemia dan hiperkalemia pada tabel 1. 1 I

Tabel 1. Penyebab Terjadinya Hipokalemia dan Hiperkalemia ' r; p ,. · ',: • ' • ·· Hipokalemia ·.

·"

;fii~er~~~~ritia~J ': ' " ''

Pengeluaran kalium melalui ginjal: • ketoasidosis diabetik {KAD) • renal tubular acidosis (RTA [proximal RTA (type II) and some distal RTAs (type I}] • diuretik • sindroma Bartter's, sindroma Gitelman's • hiperaldosteronisme derajat 1 {sindroma Conn's) • hiperaldosteronisme derajat 2 {penyakit renovaskular, renin-secreting tumor) • nonaldosterone mineralocorticoid (Cushing's, Liddle's, exogenous mineralocorticoid, licorice) • muntah, drainase selang nasogastrik {NGT/ nasogastric tube) pada hiperaldosteronisme derajat 2.

Keluamya kalium dari intrasel ke ekstrasel: asidosis metabolik {bukan karena asidosis organik pada ketoasidosis, asidosis laktat) defisiensi insulin katabolisme jaringan meningkat pemakaian obat penghambat a adrenergik pseudo hiperkalemia akibat kesalahan pengambilan contoh darah • latihan olah raga

Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui saluran cema: • diare • laksatif • adenoma vilus

Berkurangnya ekskresi kalium dari ginjal: • laju filtrasi glomerulus {LFG) normal: sekresi aldosteron normal { CHF/Chronic Heart Failure), sirosis, konsumsi kalium berlebihan. • Hipoaldosteronemia: menurunnya renin { nefropati diabetik, OAINS, nefritis interstitial kronik). sintesis aldosteron menorun fkeldinan adrenal, ACEI/ angiotensin converting enzyme inhibitor), ARBs/ angiotensin receptor blockers, heparin], menurunnya respon terhadap aldosteron {diuretik hemat kalium, trimetoprim-sulfometokasol. pentamidin, amiloid, diabetes melitus, SLE/ systemik lupus erythromatosus, sickle cell.

Kalium masuk ke dalam sel: alkalosis el<strasel, pemberian insulin, pemakaian 132 agonis, paralisis periodik hipokalemik. hipotermia.

Menurunnya LFG: semua penyebab anuria atau oligouria, semua penyebab pada penyakit ginjal tahap akhir

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Tanda dan gejala

Keletihan, kelemahan otot, kram kaki otot lembek atau kendur, mual, muntah, parestesi, peningkatan efek digitasli, poliuria karena penurunan konsentrasi urin, gangguan irama jantung (aritmia)

Peka rangsang, ansietas, kram pada abdomen, diare, kelemahan ekstremitas bawah pada umumnya, parestesia, sesak napas

Riwayat atau faktor resiko

Penurunan kalium total tubuh: riwayat hiperaldosteronisme (penyakit adrenal kongenital), pemakaian diuretik atau adanya pengeluaran urin yang abnormal, peningkatan kehilangan cairan melalui sa luran cerna misalnya stenosis pilorik, peningkatan kehilangan melalui diaforesis, Perpindahan intraseluler: peningkatan insulin, alkalosis atau setelah koreksi asidosis, perbaikan jaringan setelah luka bakar, trauma, atau kelaparan; yang biasanya tiadk diserti asupan kalium yang adekuat.

Masukan kalium berlebihan: pemberian kalium intravena (IV) Penurunan ekskresi kalium: penyakit ginjal, pengunaan diuretik hemat kalium, insufisiensi adrenal Perpindahan kalium keluar dari sel-sel: pada asidosis, defisiensi insulin, katabolisme jaringari (demam, sepsis, trauma, bedah, atau hemolisis).

Pemeriksaan Fisik

Penurunan bising usus, nadi lemah dan tak teratur, penurunan reflex, penurunan tonus otot.

Nadi tidak teratur,

Pemeriksaan Penunjang

Kalium Serum: <3,5meq/L Analisa gas darah: alkalosis metabolik EKG: depresi segmen-ST, gelombang T datar, adanya gelombang U, disritmia ventrikel.

Kalium serum: > 5,0 meq/L Analisa gas darah: asidosis metabolik EKG: gelombang T tinggL interval PR memanjang, depresi ST. QRS melebar, kehilangan gelombang P.

Anamnesis

DIAGNOSIS BANDING

TATALAKSANA A. HIPOKALEMIA Pendekatan tatalaksana hipokalemia: 3 • Menyingkirkan adanya transcel/ular shifts (keadaan yang menyebabkan masuknya kalium ke dalam sel) • Pemeriksaan kalium urin 24 jam



Menghitung transtubular potassium gradient (TTKG) =

TTKG =(Kalium urin/Kalium Plasma) (osmolalitas urin/ osmolalitas plasma) Jika Kalium urin > 30 meqjhari atau > 15 mEq/L atau TTKG >7: kehilangan kalium melalui ginjal, cek tekanan darah, cek klorida urin. Jika Kalium urin < 25 meqjhari atau < 15 mEq/L atau TTKG < 3: kehilangan kalium tidak melalui ginjal

Hipokalemia

f -1

vilus adenoma

hiperaldosteronisme derajat 1. hiperaldosteronisme derajat 2, nonaldosterone mineralocorticoid

T I

KAD, RTA

I

CTJ

Muntah/ NGT

?

Diuretik, sindroma Bartter's, sindroma Gitefman 's

Algoritme 1. Penatalaksanaan Hipokalemia 4

lndikasi Koreksi Kalium'



Indikasi mutlak: pemberian kalium mutlak diberikan pada keadaan Pasien sedang dalam pengobatan digitalis Pasien dengan ketoasidosis diabetik Pasien dengan kelemahan otot pernapasan Hipokalemia berat (kalium< 2 meq/L)



Indikasi kuat: kalium harus diberikan dalam waktu tidak terlalu lama yaitu insufisiensi koroner atau skemia otot jantung, ensefalopati hepatikum, pasien memakai obat yang dapat menyebabkan perpindahan kalium dari ekstra ke intrasel.



Indikasi sedang: pemberian kalium tidak perlu segera seperti pada hipokalemia ringan (kalium 3-3,5 meq/L)

Tatalaksana Hipokalemia 1•2 1. Penurunan kalium plasma 1mEq/L sama dengan kehilangan 200 mEq dari total

tubuh 2. Pengobatan penyebab dasar 3. Terapi hipomagnesia jika ada. 4. Penggantiam kalium secara oral (slow correction): 40-60 meq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 1-1,5meqjL 5. Penggantian kalium secara intravena dalam bentuk larutan KCl (rapid correction): jika hiperkalemia berat atau pasien tidak mampu menggunakan kalium per oral. KC120 meq dilarutkan dalam 100 cc NaCl isotonik. Pemberian melalui vena besar dengan kecepatan maksimal10 meqjjam atau konsentrasi maksimal30-40 meqjL karena dapat menyebabkan hiperkalemia yang mengancam hidup. Jika melaui vena perifer, KCl maksimal60 meq dilarutkan dalam NaCl isotonic 1000 cc dengan kecepatan dikurangi untuk mencegah iritasi pembuluh darah. Dosis untuk berat badan

< 40 kg: 0,25 meq/L x kg x jam x 2 jam > 40 kg: 10-20 meqjL x 2 jam

6. Pada kasus aritmia berat atau kelumpuhan otot pernapasan: KCl diberikan dengan kecepatan 40-100 meqjL. 7. Pasien yang menerima 10-20 meqjjam harus pada pemantauan jantung secara kontinu. Jika terdapat gelombang T datar menunjukkan adanya hiperkalemia dan memerlukan perhatian segera.

B. HIPERKALEMIA •

Pendekatan terapi hiperkalemia: 5 Menyingkirkan adanya pseudohyperkalemia, misalnya pemberian kalium intravena, hemolisis selama venipucture, peningkatan sel darah putih atau trombosit



Menyingkirkan adanya transcellular shifts



Menetukan LFG. Jika LFG normal pikirkan menurunnya kadar natrium di distal dan menurunnya aliran urin

Tatalaksana Hiperkalemia 6

1. Pengobatan penyebab dasar 2. Pembatasan asupan kalium: menghindari makanan yang mengandung kalium tinggi 3. Pengecekan ulang kadar kalium 1-2 jam setelah terapi untuk menilai keefektifan terapi, dan diulang secara rutin sesuai kadar kalium awal dan gejala kilnis. 4. Subakut: slow correction Kation yang mengubah resin (sodium polystyrene sulfonate/ Kayexalate): I

diberikan secara oral, selang nasogastrik, atau melalui retensi enema untuk menukar natrium dengan kalium di usus. Dosis 20-60 gram per oral dengan 100-200 ml sorbitol atau 40 gram Kayexalate dengan 40 gram sorbitol dalam 100 ml air sebagai enema. 5. Akut: rapid correction Kalsium glukonat intravena: untuk menghilangkan efek neuromuskular dan jantung akibat hiperkalemia Glukosa dan insulin intravena: untuk memindahkan kalium ke dalam sel, dengan efek penurunan kalium kira-kira 6 jam. Dosis: insulin 10 unit dalam glukosa 40%, 50 ml bolus intravena, lalu diikuti dengan infuse Dekstrosa 5 % untuk mencegah hipoglikemia. Natrium bikarbonat: untuk memindahkan kalium ke dalam sel, dengan efek penurunan kalium kira-kira 1-2 jam. 6. Pemberian cx2 agonis (albuterol): untuk memindahkan kalium ke dalam sel. Dosis 10-20 mg secara inhalasi maupun tetesan intravena. 7. Dialisis: untuk membuang kalium dari tubuh paling efektif.

KOMPLIKASI Aritmia jantung, henti jantung. 6

" ,j '

392

~ {: ;

~qng;gpan KGlliL1h1. PROGNOSIS Pacta hipokalemia jika ctiterapi ctengan actekuat akan sembuh. Resiko peningkatan kactar kalium mencapai 7-8 meq/L menjacti fibrilasi ventrikel yaitu 5 %, sectangkan jika kactar kalium 10 meq/L resiko menjacti fibrilasi ventrikel meningkat 90 %. Pacta kasus berat resiko mortalitas sebesar 67 %.

6

UNITY ANG MENANGANI •

RS penctictikan

: Divisi Ginjal-Hipertensi- Departemen Penyakit Dalam



RS non penctictikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT •

RS penctictikan

: Divisi Karctivaologi - Departemen Penyakit Dalam, Unit Perawatan Intensif



RS non penctictikan

: Bagian Perawatan Intensif

REFERENSI 1.

Aminoff M .. Fiuid and Electrolyte Disturbances . In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.

2.

Siregar Parlindungan. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: lnterna Publishing; 2006: Hal 134-142.

3.

Gennari FJ. Hypokalemia. N Eng I J Med 1998; 339:451-458August 13, 1998. Diunduh dari http:/1 www.nejm.org/doi/pdf/l 0.1 056/NEJM 199808133390707 pad a tanggall5 Mei 2012.

4.

Arroliga AC. Algorithms forHypokalemia K<3.5. Diunduh dari http://www. clevelandclinicmeded. com/medicalpubs/micu/ pada tanggal 15 mei 2012

5.

Weisberg LS. Management of severe hypokalemia. Crit Care Med. 2008; 36:3246-51.

6.

Elliot M. Management of patient with acute hyperkalemia. CMAJ. 2010;182(15): 1631-5.

GANGGUAN KALSIUM

PENGERTIAN Kadar kalsium ion normal adalah 4.75-5.2 mgjdl atau 1-1.3 mmoljL. Nilai normal kalsium total serum: 8.2-10.2 mgjdl. Hipokalsemia jika kadar kalsium total plasma < 8.2 mgjdl. Gejala hipokalsemia belum timbul hila kadar kalsiumion >3.2 mgjdl atau>0.8 mmoljL atau kalsium total sebesar>8-8.5 mgjdl. Gejala hipokalsemia akan timbul jika kadar kalsium ion< 2.8 mg/dl atau< 0.7 mmoljL atau kadar kalsium total :;:; 7 mgjdl. Hiperkalsemia jika kadar kalsium total plasma >10.2 mg/dl. Kalsium aktif -1

terdapat dalam bentuk kalsium terionisasi. Pemeriksaan serum kalsium merupakan kalsium total yaitu gabungan dari kalsium bebas dan yang terikat albumin. Nilai kalsium total dapat tetap normal dengan penurunan kalsium terionisasi seperti pada alkalosis (menyebabkan banyak kalsium yang terikat dengan albumin, sehingga pemeriksaan paling akurat dengan memeriksa kalsium terionisasi secara langsung. 1•2 Tabel 1. Penyebab terjadinya Hipokalsemia dan Hiperkalsemia 2 ==== Defisiensi vitamin D : • asupan makanan tidak mengandung lemak, • malabsorbsi pada gastrektomi parsial. pankreatitis kronik, pemberian laksan yang terlalu lama, bedah pintos usus dengan tujuan mengurangi obesitas • Gangguan metabolism vitamin D pada penyakit riketsia, pemberian obat anti kejang, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati kronik.

Hiperparatiroidisme • Primer : adenoma, karsinoma, dan hyperplasia kelenjarparatiroid • Sekunder: malabsorbsi vitamin D, penyakit ginjal kronik berat • Tarsier: sekresi berlebihan harmon paratiroid yang sangat bermakna dan hiperkalsemia disertai dengan hiperplasiparatiroid akibat respon berlebihan terhadap hipokalsemi.

Pseudohipoparatiroidisme : organ sasaran tidak memberi respon yang baik terhadap hormone paratiroid

Tumor ganas : karena factor local akibat metastasis tulang, faktor humoral yang beredar dalam darah bersif atosteo klastik

Proses·keganasan -: karsinoma medular kelenjar tiroid, menyebabkan kalsitonin meningkat sehingga ekskresi kalsium urin meningkat

lntoksikasi vitamin A intoksikasr vitamin D

Hiperfosfatemia : pada gaga! ginjal kronik, gaga! ginjal akut, pemberian sitotoksik pada limfom aatau leukemia, asupan fosfat berlebihan

Hipertiroidisme : meningkatnya resorbsi tulang Sarkoidosis

Hipomagnesemia : menyebabkan penurunan kerja lnsufisiensi adrenal : meningkatkan reabsorbsi hormone paratiroid. - -----kaksiCfiii pciacnUbUius ginjc.il. Sindrom Milk-Alkali

Tabel2. Faktor Risiko Gangguan Kalsium'· 3

~~~~~#ft:~~~g¥it~*~,fi~~~~~~~~~~fp.gwgi~m1i;~1~:r~~~!tl!~~.;!~~~~l~~%~i~~~~~:~~&~~j2~~,~~~~~~11!P.IillltJl»!§~!~t~~1;~.fi~~fl~~~~r11;;~~ Peningkatan kehilangan kalsium dalam cairan tubuh: pemakaian diuretik

Peningkatan asupan kalsium: kelebihan pemberian selama hentikar diopulmoner

Penurunan absorbs usus: gaga! ginjal, diarekronik, pasco gastrektomi

Peningkatan absorbsiusus :hiperparatiroidisme

Hipoparatiroidisme Hiperfosfatemia: gagal ginjal Hipomagnesemia

Peningkatan pelepasan kalsium dari tulang: hiperparatiroidisme, malignansi, imobilisasi lama, hipertiroidisme, penyakit Paget's

Pankreatitis akut

Penurun anekskresi urin: gagal ginjal, diuretiktiazid

Alkoholisme kronis Penurunan kalsium terionisasi: alkalosis, pemberian sitrat berlebihan, hemodilusi

Peningkatan kalsium terionisasi :asidosis

PENDEKATAN DIAGNOSIS A. HIPOKALSEMIA Anamnesis

Pasien dengan hipokalsemia dapata simptomatik jika penurunan kadar kalsium plasma ringan dan sudah kronik. Sedangkan jika penurunan kalsium sedang-berat dapat menimbulkan keluhan-keluhan seperti kebas, kramotot, parestesia umumnya di jari kaki, jari-jari tangan, dan regio circumoral, peningkatkan reflex, yang disebabkan karena meningkatnya iritabilitas neuromuskular. Jika sudah be rat dapat terjadi tetani dan kejang. Pada anamnesis juga perlu ditanyakan factor risiko seperti pada tabel2. 1 Pemeriksaan Fisik1·2



Tanda Trousseau's: spasme karpal karena iskemia. Cara: dengan mengembangkan



manset pada lengan atas 20 mmHg lebih tinggi dari tekanan sistolik selama 3 me nit. Tanda Chvostek's: kontraksi unilateral dari wajah dan otot kelopak mata karena iritasi saraf fasial dengan memperkusi wajah tepat di depan telinga. Cara: mengetukkan ringan saraf wajah di daerah anterior telinga



Hipokalsemia berat: spasme carpopedal, bronkospasme, laringospasme, kejang.

Pemeriksaan Penunjang 1·2



Kadar kalsium serum total mungkin< 8.5 mgjdl



Kadar albumin serum: penurunan kadar albumin serum 1.0 d/dl terjadi penurunan 0.8-1.0 mgjdl kadar kalsium total



Kadar forfor, magnesium serum

• •

Kadar hormone paratiroid (PTH) EKG : interval QT memanjang, Torsades de pointes

B. HIPERKALSEMIA Anamnesis

Hiperkalsemia ringan (kadar kalsium 11-11,5 mg/ dl) umumnya asimptomatik dan terdeteksi saat pemeriksaan kalsium rutin. Beberapa pasien mengeluhkan keluhan neuropsikiatrik seperti kesulitan konsentrasi, perubahan kepribadian, ataudepresi. Keluhan lain dapat berupa ulkus peptikum atau nefrolitiasis. Hiperkalsemia berat (kadar kalsium>12-13 mgjdl) jika terjadi secara mendadak atau akut, dapat menyebabkan letargi, stupor, koma. Keluhan lain seperti mual, nafsu makan menurun, konstipasi, pankreatitis, poliuria, polidipsi perlu ditanyakan. Keluhan nyeri pacta tulang ataua danya fraktur patologis dapat mengarahkan kehiperparatiroid ismekronik. Pacta ~,

anamnesis juga perlu ditanyakan faktor risiko seperti pacta tabel 2Y Pemeriksaan Fisik

Pacta pemeriksaan fisik tidak ada yang spesifik untuk hiperkalsemia, penemuan dapat tergantung etiologi penyebab. Pacta pasien dengan keganasan dapat ditemukan adanya perubahan kulit, limfadenopati, hepatosplenomeglali. Pada pemeriksaan dapat ditemukan hipertensi dan bradikardia, akan tetapi tidak spesifik. Pemeriksaan sendi ditemukan nyeri pacta palpasi, kelemahan otot, hiperrefleksia, fasikulasi ototli dahd apatdi temukan. Tanda-tanda dehidrasi juga perlu diperhatikan. Tingkat kesadaran pasien mungkin menurun menjadi letargi a tau stupor. Jika kadar kalsium 13-15 mgj dl dikenal dengan istilah krisis hiperkalsemia yang ditandai dengan poliuria, dehidrasi, dan perubahan status mental. 4 Pemeriksaan PenunjangL4



Kadar kalsium serum total:> 10.5 mgjdl



Kalsium terionisasi :> 5.5 mgjdl

• •

Hormon paratiroid Fungsi ginjal: kreatinin dan ureum



Rontgen tulang : osteoporosis.



EKG: pemendekan segmen ST dan interval QT, bradikardia, blok AV.

DIAGNOSIS BANDING2 • Hipokalsemia :Hydrofluoric Acid Burns, hiperkalemia, hipermagnesemia, hipernatremia, Hyperosmolar Hyperglycemic Non ketotic Coma, hipoparatiroidisme, hiperfosfatemia. • Hiperkalsemia: hiperparatiroidisme, keganasan, sarkoidosis, intoksikasi obat seperti litium, teofilin. TATALAKSANA A. HIPOKALSEMIA 1

1. Pengobatan penyakit dasar 2. Penggantian kalsium tergantung dari tingkat keparahan penyakit, progresifitas, dan komplikasi yang timbul. 3. Peningkatan asupan diet kalsium: 1000-1500 mgjhari pada orang dewasa. 4. Antasida hidroksia lumunium: mengurangi kadar fosfor sebelum mengatasi hipokalsemia 5. Hipokalsemia akut (simptomatik) : a. Kalsium glukonat 10 % 10ml ( 90 mg atau 2.2 mmol) diencerkan dengan 50 ml Dekstrosa 5% atau 0.9 Na Cl secara intravena selama 5 menit. b. Dilanjutkan pemberian secara infus 10 ampul kalsium glukonat (atau 900 mg kalsium dalam 1liter Dekstrosa 5% atau 0.9 NaCl) dalam 24 jam. c.

Jika ada hipomagnesemia dengan fungsi ginjal normal larutan magnesium sulfat 10% sebesar 2 gram selama 10 menit, dilanjutkan dengan 1 gram dalam 100 cc cairan per 1 jam.

6. Hipokalsemia kronik : a. Tujuan: meningkatkan kadar kalsium sampai batas bawah normal, menghindari terjadinya hiperkalsiuria yang dapat mencetuskan batu ginjal. b. Suplemen kalsium 1.000-1.500 mgjhari dalam do sis terbagi. Kalsium karbonat; 250 mg kalsium elemental dalam 650 mg tablet. c. Vitamin D2 atau D3 25.000-100.000 U/hari d. Kalsitriol [1,25 (OH) 2 D] 0.23-2 gramfhari 7. Jika albumin serum menurun: penurunan albumin serum 1.0 gramjdl (dari nilai normal4.1 gramfdl), koreksi konsentrasi kalsium dengan menambahkan 0.8 mg/ dl dari kadar kalsium total : Koreksi konsentrasi kalsium = kalsium basil pemeriksaan (mgfdl) + [ 0.8 x (4- albumin (gr/dl)

B. HIPERKALSEMIA 1

1. Pengobatan penyebab dasar 2. Diet rendah kalsium 3. Hiperkalsemia ringan (asimtomatik) : tidak memerlukan koreksi cepat 4. Hiperkalsemia yang bergejala (simtomatik) •

Hidrasi karena hiperkalsemia berhubungan dengan dehidrasi: 4-Bliter cairan isotonic secara intravena dalam 24 jam pertama, dengan target urin 100150 ml per jam. Jika ada penyakit komorbid (gaga! jantung kongestif) dapat ditambahkan loop diuretic untuk meningkatkan ekskresi natrium dan kalsium; setelah status volume menjadi normal.



Penghambat resorbsi tulang: pada keganasan atau hiperparatiroidisme berat label 3. Obat Penghambat Resorbsi Tulang1.2

.!':~~~NP:rogtQ:~afd~'"~~; . .~ ;~~~·"''.::::i~;~>;{s? ~~::'l~,1~~a~·;'£o~sJ~:~;;: ·: ~:~i~~;·;;,:."t~;~.,;·~~·:;; 'i.h; .·•· Kalsitonin

-,

~n).~!~ ,:J

4 IU/kg itramuskular/subkutan setiap 12 jam

Asamzoledronik

4 mg IV dalam 30 menit

Pamidronat

60-90 mg IV dalam 2-4 jam

Etidronat

7.5 mg/kg/hari dalam 3-7 hari

1-3 hari

Pemberian bifosfonat harus memperhatikan fungsi ginjal. • Untuk mencegah kekambuhan dapat diberikan bifosfonat secara infus IV • Glukokortikoid: pada kasus hiperkalsemia karena peningkatan 1,25(0H)2D. Hidrokortison 100-300 mgjharisecara IV ataup rednison 40-60 mgjhari per oral selama 3-7 hari. • Obat yang menurunkan 1,25 (OH)2D: ketokonazol, klorokuin, hidroksiklorokuin • Dialisis

KOMPLIKASI Hipokalsemia dapat terjadi kejang dan laringospasme. Hiperkalsemia dapat meningkatkan resiko terjadinya batu ginjal, dehidrasi, gaga! ginjal, resiko patah tulang, dan osteoporosis.l.4· 5 PROGNOSIS Pada hipokalsemia dapat meninggalkan kelainan neurologis seperti kejang dan tetani. Kematian sangat jarang karena hipokalsemia. Hiperkalsemia yang berhubungan dengan keganasan mempunyai prognosis lebih buruk, harapan hidup dalam 1 tahun sekitar 10-30%. Dalam suatu studi, 50 % pasien meninggal dalam 1 bulan

setelah dimulainya terapi, dan 75% meninggal dalam 3 bulan. Hiperkalsemia yang berhubungan dengan hiperparatiroidisme mempunyai prognosis baikjika diterapi. 3 -5

UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Ginjal-Hipertensi • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT YANG TERKAIT • RS pendidikan : Divisi Ginjal-Hipertensi- Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Neurologi, Bagian Perawatan Intensif REFERENSI 1.

Khosla$. Hypercalcemia and Hypocalcemia .In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.

2.

Siregar P. Gangguan Keseimbangan Cairandan Elektrolit. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: lnterna Publishing; 2006: Hal 134-142.

3.

Anne L. Schafer.Hypocalcemia: Diagnosis and Treatment.2011. Diunduh darihttp:/ /www. endotext.org/parathyroid/parathyroid7 /parathyroid7.htm pada tanggal 9 Mei 2012.

4.

Ciammaichella D. Hypercalcemia. Diunduhd dari http:/ /www.emjournal.net/ htdocs/pages/ art/115hypercalcemia.html.pada tanggal 9 Mei 2012.

5.

Cooper R.Hypercalcemia. Diunduh dari http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmedhealth/ PMH0001404/ pada tanggal9 Mei 2012

GANGGUAN NATRIUM

HIPONATREMIA

-,

PENGERTIAN Hiponatremia adalah penurunan kadar natrium (Na) plasma < 135 mEq/L. Hiponatremia akut adalah hiponatremia yang terjadi < 48 jam dan membutuhkan penanganan segera, sedangkan hiponatremia kronik adalah hiponatremia yang berlangsung > 48 jam. Gejala akan muncul jika kadar natirum < 125 mEq/L. Hiponatremia dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan osmolalitas plasma: 1 • Isotonik hiponatremia: osmolalitas plasma normal • Hipertonik hiponatremia: osmolalitas plasma meningkat. Cairan berpindah dari intrasel ke ekstrasel sebagai respon adanya kosentrasi terlarut yang meningkat (glukosa, manito!) • Hipotonik hiponatremia: osmolalitas plasma menurun. Berdasarkan perjalanan penyakit dan status volume intravaskular yaitu hipovolemia hiponatremia, euvolemik hiponatremia, dan hipervolemia hiponatremia. Pembagian klasifikasi dari hiponatremia yaitu: Tabel 1. Klasifikasi Hipotonik Hiponatremia 2 -.· · ·:'; -· ,,'-

,-·~"C''o

I:HP9:\t~ltiil:lla,fiip#neitt~riiia "':

,·,;.,.,;

'o

\

'._,·,,



·,,:·~





Status volume Total body water

Meningkat

Meningkat

Menurun

Total body sodium

meningkat

Tetap

Menurun

Cairan ei(streseluler

Sangat meningkat

Meningkat

Menurun

Edema

+ SIADH Hipotiroid Hipoadrenal Diuretik tiazid _lntoksikasi air-

Kehilangan melalui ginjal: diuretic, penyakit Addison, hipoaldosteronisme, diuresis post obstruksi Kehilangan cairan melalui ------ mur~tah, -Giiare,- keringat,

Etiologi

Congestive Heart Failur Nefrosis gagal ginjal . ______ peny-akiLb.ati ...

Luka bakar, pankreatitis, peritonitis, obstruksi saluran cerna, trauma otot

'

PENDEKATAN DIAGNOSIS Pendekatan dalam mendiagnosis hiponatremia yaitu menentukan osmolaliats plasma. Jika hipotonik hiponatremia tentukan status volume (tanda vital, ortostatik, JVP Uugular Venous Pressure), turgor kulit, membrane mukosa, edema perifer, BUN, kreatinin, asam urat) 3 Anamnesis

Umumnya tidak menimbulkan gejala. Gejala yang dikeluhkan berhubungan dengan disfungsi susuan saraf pusat seperti mual, muntah, sakit kepala, perubahan kepribadian, kelemahan, keram otot, agitasi, disorientasi, kejang, bahkan koma. Pada kasus asimptomatik dapat mulai bermanifestasi kehilangan kestabilan sehingga beresiko jatuh. Selain itu perlu ditanyakan riwayat penyakit seperti yang tercantum dalam table 1. 1•2 Pemeriksaan Fisik

Perubahan kesadaran atau perubahan kepribadian, hipotermia, reflex menurun, pola pernapasan Cheyne-Stokes, pseudobulbar palsy, kulit dingin dan basah, tremor, dan disertai gangguan saraf sensorik.

12 •

Pemeriksaan Penunjang 1

• •

Natrium serum:< 137 mEq/L Osmolalitas serum: menurun kecuali pada kasus pseudohiponatremia, azotemia,



intoksikasi etanol, metanol. Berat jenis urin ·



Natrium urin

• •

Fungsi ginjal: ureum, kreatinin, asam urat Glukosa darah (setiap peningkatan glukosa 100mgjdl menurunkan natrium



2.4 mEq/L), profile lemak Fungsi tiroid



Radiologi: mencari apakah ada efek hiponatremia pada paru atau susunan saraf pusat

DIAGNOSIS BANDING Berdasarkan klasifikasi hipotonik hiponatremia (tabell)

Hipervolemia hiponatremia

Kehilangan melalui ginjal, defisiensi mineralokortikoid

-,

• Sirosis • Nefrosis

• SIADH • Hipotiroid • Defisiensi glukokortikoid Algoritme 1. Pendekatan Hiponatremia 1· 3

TATALAKSANA2 · 3 1. Hal-hal yang perlu diperhatikan: • Cepat lambatnya onset penyakit • Derajat, durasi, dan gejala dari hiponatremia • Ada atau tidaknya factor resiko yang dapat meningkatkan resiko komplikasi neurologis 2. Menyingkirkan diagnosis pseudohiponatremia atau hipertonik hiponatremia (hiperglikemia) 3. Mengatasi penyakit dasarnya 4. Hiponatremia asimptomatik: menaikkan natrium dengan kecepatan :5 0.5 mEq/L/ jam 5. Hiponatremia akut simptomatik: • Tujuan: meningkatkan kadar natirum 1.5-2 mEq/Lfjam sampai gejala berkurang atau sampai konsentrasi natrium serum > 118 mEq/L dan mengobati penyakit dasarnya



Peningkatan kadar natrium harus < 12 mEq/L dalam 24 jam pertama dan



< 18 mEq/L dalam 48 jam pertama untuk menghindari demielinisasi osmotik. Cairan saline hipertonik 3 % diberikan secara infuse intravena dengan kecepatan 1-2 mljkgjjam dan ditambah loop diuretic



Jika ada gejala neurologik berat: kecepatan dapat dinaikkan menjadi 4-6 mlj



kg/jam. Jika gejala sudah menghilang dan kadar natrium> 118 Eq/L, pemberian cairan diturunkan menjadi maksimal 8 mEq/L dalam 24 jam sampai target kadar natrium 125 mEqjL.



Pemantauan ketat natrium serum dan elektrolit sampai terjadi kenaikan kadar

natrium dan gejala meghilang. 6. Hiponatremia kronik simptomatik •

Jika tidak diketahui durasi atau onset gejala, koreksi dilakukan dengan hati-hati karena otak sudah beradaptasi dengan kadar natrium yang rendah.



Jika gejala berat: tatalaksana seperti kasus hipernatremia akut. Peningkatan natrium tidak melebihi 10-12 mEq/L pada 24 jam pertama, dan< 6 mEq/L/ hari pada hari berikutnya.



Jika gejala ringan-sedang: koreksi dilakukan secra perlahan. 0.5 mEq/L/jam, sampai target tercapai terapi tetap diteruskan. Maksimal pemberian 10 mEqjL dalam 24 jam

7. Hiponatremia kronik asimptomatik •

Tujuan terapi: mencegah penurunan natrium serum dan menjaga kadar natrium mendekati normal.

8. Hipervolemia hiponatremia: restriksi cairan 1000-1500 mlj hari dan restriksi natrium. CHF: furosemid dan ACE (Angiotensin Converting Enzyme) inhibitor. 9. Euvolemik hiponatremia (SIADH): restriksi cairan 1000-1500 mljhari. 10. Hipovolemia hiponatremia: berikan normal saline (NS) atau D5NS Rum us untuk mengetahui jumlah natrium dalam larutan natrium hipertonik yang diberikan:

3

Na infus- Na serum TBW+1 TBW {total-body water): berat badan (kg) x konstanta Konstanta: 0.6 (laki-laki), 0.5 (perempuan), 0.5 (laki-laki usia lanjut), 0.45 (perempuan usia lanjut)

KOMPLIKASI Kejang, herniasi batang otak, kerusakan otak permanen, koma disebabkan karena edema serebral. 1•2 PROGNOSIS Wanita yang belum menopause, anak prepubertas, dan pasien dengan hipoksia serebral lebih besar kemungkinan berkembang menjadi ensefalopati dan sequelae gejala neurologic yang berat.1.2

HIPERNATREMIA

-,

PENGERTIAN Hipernatremia adalah peningkatan kadar natrium plasma> 145 mEqjL akibat dari kehilangan cairan dan elektrolit lebih besar daripada kehilangan natriumY PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Pasien dapat mengeluhkan rasa haus, kelelahan, iritabilitas atau gelisah, disorientasi, mulut kering, demam 4•5 Pemeriksaan Fisik

Hiperventilasi, demam ringan, kulit kemerahan, edema perifer, edema pulmonary, hipotensi, peningkatan tonus otot, peningkatan refleks tendon dalam, disertai oligouria atau anuria.Tingkat kesadaran pasien dapat koma jika perjalanan penyakit sudah progresif. Hipernatremia yang disertai hipovolemia dapat menunjukkan tanda-tanda kekurangan cairan seperti takikardia, hipotensi. 4•5 Pemeriksaan Penunjang4·5



Natrium serum> 147 mEqjL. Jika > 150-170 mEq/L bisanya karena dehidrasi, sedangkan jika > 170 mEq/L karena diabetes insipidus. Natrium > 190 mEq/L karena asupan natrium yang tinggi dan kronik.



Osmolalitas serum: meningkat



Berat jenis urin: meningkat. Menurun pada diabetes insipidus. Jika normal dapat terjadi pada pemakaian diuretik.



Natrium urin



Water Deprivation Test: pada diabetes insipidus, osmolalitas urin tidak meningkat

dengan hipernatremia •

Antidiuretic Hormone (ADH) Stimulation: diabetes insipidus nefrogenik, osmolalitas

urin tidak meningkat setelah pemberian ADH ( desmopressin). •

CT Scan atau MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala: melihat adanya tarikan

pada vena duramater dan sinus yang dapat menyebabkan perdarahan intracranial dan meningkatkan kadar natrium Pendekatan diagnostik pada pasien hipernatremia: 1

Volum minimum pada konsentrasi urin maksimum

Pemberian NaCI hipertonik atau NaHC03

I Tidak I

G insensible water losses, kehilangan cairan dari saluran cerna, ginjal

Renal berespon terhadap desmopresin

Diuretik, osmotik diuresis

Osmolalitas urin menigkat

Osmolalitas urin tetap

Diabetes insipidus sentral

Diabetes insipidus nefrogenik

Algortime 2. Pendekatan Diagnostic Pasien Hipernatremia 1

DIAGNOSIS BANDING Berdasarkan penyebabnya seperti pada algoritme 2 TATALAKSANA 1 1. Tujuan: menghentikan kehilangan cairan yang sedang terjadi dengan mengatasi penyakit penyebabnya dan mengoreksi defisit cairan. 2. Tentukan defisit cairan • Estimasi TBW • Kalkulasifree-water deficit: {([Na+]-140)/140} x TBW • Pemberian defisit dalam 48-7 jam tanpa menaikkan konsentrasi natrium plasma> 10 mM/24 jam 3. Tentukan ongoing water losses • Kalkulasi electrolyte-free water clearance

• Volume urin (1- natrium urin +kalium urin) Natrium plasma

l

4. Tentukan insensible losses : ± 10 mL/kg/hari, berkurang jika dalam ventilsi mekanik, bertambah jika demam. 5. Menjumlahkan defisit cairan, ongoing water losses, dan insensible losses. Pemberian dalam 48-72 jam dan maksimal10 mMjhari. 6. Cairan diberikan secara oral atau melalui selang nasogastrik. 7. Pemberian intravena cairan hipotonik yang dapat diberikan: dekstrosa 5%, NaCl 0.2 %, atau 0.45 % NaCI. Semakin hipotonik cairan yang diberikan, kecepatan pemberian juga semakin lambat 8. Dialisis

KOMPLIKASI 4 • Kejang • Retardasi mental • Otak mengecil sehingga menarik pembuluh darah otak yang dapat meningkatkan resiko perdarahan maupun infark. • Kongesti vena menyebabkan thrombosis • Hiperaktivitas

PROGNOSIS Resiko kematian akibat hipernatremia mencapai 40-60 % kasus berhubungan dengan tignkat keparahan penyakit penyertanya, terbanyak terjadi pad a usia tua. Pada hipernatremia akut dan kadar > 180 mEq/L kerusakan neurologik permanen terjadi pada 10-30% kasus. Durasi perjalan penyakityang lama(> 2 hari) akan meningkatkan resiko kematian.

156 • •

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Ginjal-Hipertensi



RS non pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT •

RS pendidikan

: Depertemen Neurologi, Unit Perawatan Intensif



RS non pendidikan

: Bagian Neurologi, Bagian Perawatan Intensif

REFERENSI 1.

Aminoff M .. Fiuid and Electrolyte Disturbances .In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.

2.

Douglas lvor. Cleveland Clinic Journal of Medicine vol 73, supplement 3. 2006. Diunduh dari http:/ /www.ccjm.org/content/73/Suppi_3/S4.full.pdf pad atanggal 10 Mei 2012.

3.

Androgue H, Madias N. Hyponatremia. Diunduh dari http:/ /www.nejm.org/doi/full/1 0.1056/ NEJM2000052534221 07 pada tanggal1 0 Mei 2012.

4.

Siregar Parlindungan. Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Sirnadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: lnterna Publishing; 2006: Hal 134-142.

5.

Ciammaichella D. Hypernatremia. Diunduh dari http:/ /www.emjournal.net/htdocs/pages I art/118_hypernatremia.html pada tanggal10 Mei 2012

6.

Alshayeb, Halo, Arif, Bobar Fatima. Severe Hypernatremia Correction Rate and Mortality in Hospitalized Patients. American Journal of the Medical Sciences:. May 2011 -Volume 341 -Issue 5- pp 356-360. Diunduh dari http:/ /journals.lww.com/amjmedsci/ Abstract/2011 /05000/ Severe_ Hypernatremia_Correction_Rate_and_Mortality.5.aspx pada tanggal10 Mei 2012.

HIPERTENSI

PENGERTIAN

Hipertensi adalah keadaan di mana tekanan darah (TO) sama atau melebihi 140 mmHg sistolik dan/ a tau sam a a tau lebih dari 90 mmHg diastolik pada seseorang yang tidak sedang minum obat antihipertensi.U To bel 1. Klasifikasi Tekanan Darah Berdasarkan Joint National Committee VII (2007) 3 ~;;

-,

-.

r::::,·t~~!r-,"'"'.·:~·-,. .,,

'·"·C;,'·£>;-

j -~1Y-:c;;::.::.~ ~·£f,7:>;ct<'

,··*· o·:;,-·0-< f3<'

~;-:--:'>--~> <<;:;o'"',<-l(c~>:\:,t:;~Op"'-p;f~~-~i~IYi$>Y::~~~.1:~:S·:}";~"Y.lVi.<~·"/~ <.::-"·:r:c:;c,;.._~

Normal Pre-hipertensi Hipertensi stage 1 Hipertensi stage 2 Hipertensi sistolik terisolasi

<120 120-139 140-159 3 160 3 140

dan a tau at au at au dan

· .,. ' · ·

~'

· ·"- ~ '-

<80 80-89 90-99 3 100 <90

PENDEKATAN DIAGNOSIS Penilaian Awol Klinis Hipertensi

Penilaian awal klinis hipertensi sebaiknya meliputi tiga hal yaitu klasifikasi hipertensi, menilai risiko kardiovaskular pasien, dan mendeteksi etiologi sekunder hipertensi yang memerlukan penanganan lebih lanjut. Penilaian awal tersebut diperoleh dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah rutin, spesimen urin pagi, dan EKG 12-lead saat istirahat. Pada pasien tertentu, pemantauan TO berjalan dan ekokardiografi dapat memberikan informasi tambahan mengenai be ban sistem kardiovaskular berdasarkan urutan waktu. 2 lndikasi Pemantauan TD Berjalan (ambulatory blood pressure monitoring)4

1. Kecurigaan hipertensi white coat 2. Kecurigaan white coat aggravation pada pasien dengan hipertensi tidak terkontrol secara medis 3. Kecurigaan hipertensi nokturnal atau hipertensi terselubung (masked hypertension) 4. Hipertensi pada kehamilan 5. Kecurigaan hipertensi ortostatik atau kegagalan otonom

Anamnesis 1

Durasi hipertensi Riwayat terapi hipertensi sebelumnya dan efek sampingnya bila ada Riwayat hipertensi dan kardiovaskular pada keluarga Kebiasaan makan dan psikososial Faktor risiko lainnya: kebiasaan merokok, perubahan berat badan, dislipidemia, diabetes, inaktivitas fisik 6. Bukti hipertensi sekunder (tabel 2): riwayat penyakit ginjal, perubahan penampilan, kelemahan otot (palpitasi, keringat berlebih, tremor), tidur tidak teratur, mengorok, somnolen di siang hari, gejala hipo- atau hipertiroidisme, riwayat konsumsi obat yang dapat menaikkan tekanan darah 7. Bukti kerusakan organ target: riwayat TIA, stroke, buta sementara, penglihatan kabur tiba-tiba, angina, infark miokard, gagal jantung, disfungsi seksual

1. 2. 3. 4. 5.

label 2. Etiologi Sekunder Hipertensil

tJ-B~JB·~~~~~"~'!i[~JBl6tf!J~111Jriit~1rui~:ali~1~1tt~:t;~ ;5;,~~~~1 Renal

Penyakit parenkim, kista rena lis (termasuk penyakit ginjal polikistik), tumor renal, uropati obstruktif

Renovaskular

Arterioskeloris, displasia fibromuskular

Adrenal

Aldosteronisme primer, sindrom Cushing, defisiensi 17a-hydroxylase, defisiensi 11 J3-hydroxylase, defisiensi 11-hydroxysteroid dehydrogenase {licorice), pheochromocytoma

Koarktaksio aorta Obstructive sleep apnea

Preeklampsia/eklampsia Neurogenik

Psikogenik, sindrom diensefalik, disotonomia familial, polineuritis, peningkatan TIK akut

Kelainan endokrin lainnya

Hipotiroidisme, hipertiroidisme, hiperkalsemia, akromegali

Obat-obatan

Estrogen dosis tinggi, steroid, dekongestan, penekan nafsu makan, siklosporin, antidepresan trisiklik, kokain, NSAID, eritropoetin

Hipertensi bentuk Mendelian

Jarang

Pemeriksaan Fisik1·5

1. Pengukuran tinggi dan berat badan, tanda-tanda vital 2. Metode auskultasi pengukuran TD: • Semua instrumen yang dipakai harus dikalibrasi secara rutin untuk memastikan keakuratan hasil. • Posisi pasien duduk di atas kursi dengan kaki menempel di lantai dan telah beristirahat selama 5 menit dengan suhu ruangan yang nyaman.



Dengan sfigmomanometer, oklusi arteri brakialis dengan pemasangan cuff di lengan atas dan diinflasi sampai di atas TD sistolik. Saat deflasi perlahan-lahan, suara pulsasi ali ran darah dapat dideteksi dengan auskultasi dengan stetoskop tipe belljgenta di atas arteri tepat di bawah cuff



Klasifikasi berdasarkan hasil rata-rata pengukuran tekanan darah yang dilakukan minimal 2 kali tiap kunjungan pada 2 kali kunjungan atau lebih dengan menggunakan cuff

• •

Tekanan sistolik =suara fase 1 dan tekanan diastolik =suara fase 5. Pengukuran pertama harus di kedua sisi lengan untuk menghindarkan kelainan pembuluh darah perifer Pengukuran tekanan darah pada waktu berdiri diindikasikan pada pasien dengan risiko hipotensi postural (Ian jut usia, pasien DM, dll)



Tabel 3. Rekomendasi follow-up pengukuran TD pada dewasa tanpa kerusakan organ target3

r~:#{!]Jfi\t~lQJlli'iBBiif~~~~~ii$Ii~J~~i~\l:!~:~~~~~~i~q~ft9Jt9i.tlfet~ff01l1~~:&i~;~~~t~1~IE'Sr\~2·l Normal

Periksa ulang dalam 2 tahun

I

3. 4. 5. 6. 7.

Pre-hipertensi

Periksa ulang dalam 1 tahunb

Hipertensi stage 1

Konfirmasi dalam 2 bulanb

Hipertensi stage 2

Evaluasi atau rujuk ke pelayanan kesehatan dalam waktu 1 bulan, apabila TD lebih tinggi (misal > 180/110 mmHg), evaluasi dan terapi segera atau dalam waktu 1 minggu tergantung kondisi klinis dan komplikasi

Palpasi leher apabila terdapat pembesaran kelenjar tiroid Palpasi pulsasi arteri femoralis, pedis Auskultasi bruit karotis, bruit abdomen Funduskopi Evaluasi gagal jantung dan pemeriksaan neurologis

Pemeriksaan Penunjang

Urinalisis, tes fungsi ginjal, ekskresi albumin, serum BUN, kreatinin, gula darah, elektrolit, profillipid, foto toraks, EKG; sesuai penyakit penyerta: asam urat, aktivitas renin plasma, aldosteron, katekolamin urin, USG pembuluh darah besar, USG ginjal, ekokardiografi. 1•2 DIAGNOSIS BANDING Peningkatan tekanan darah akibat white coat hypertension, rasa nyeri, peningkatan

tekanan intraserebral, ensefalitis, akibat obat, dll

i '

410

;• '

TATALAKSANA 3 1. Modifikasi gaya hidup (Tabel4). 2. Pemberian {3-blockerpada pasien unstable angina j non-STelevated myocardial infark (NSTEMI) atau STEM I harus memperhatikan kondisi hemodinamik pasien. {3-blocker hanya diberikan pada kondisi hemodinamik stabil. 6 (Gam bar 1) 3. Pemberian angiotensin convertin enzyme inhibitor (ACE-I) atau angiotensin receptor blocker (ARB) pada pasien NSTEMI atau STEMI apabila hipertensi persisten, terdapat infark miokard anterior, disfungsi ventrikel kiri, gagal jantung, atau pasien menderita diabetes danpenyakit ginjal kronik. 6 4. Pemberian antagonis aldosteron pada pasien disfungsi ventrikel kiri bila terjadi gagal jan tung berat (misal gagal jantung New York Heart AssociationjNYHA kelas III-IV atau fraksi ejeksi ventrikel kiri <40% dan klinis terdapat gagal jantung) 6 5. Kondisi khusus lain: a. Obesitas dan sindrom metabolik Terdapat 3 atau lebih keadaan berikut: lingkar pinggang laki-laki >102 em atau perempuan >89 em, toleransi glukosa terganggu dengan gula darah puasa 110 mgjdl, tekanan darah minimal130/85 mmHg, trigliserida tinggi 150 mgjdl, kolesterol HDL rendah <40 mgjdl pada laki-laki atau <SO mgjdl pada perempuan) a modifikasi gaya hidup yang intensif dengan pilihan terapi utama golongan ACE-I. Pilihan lain adalah ARB, CCB.3 b. Hipertrofi ventrikel kirP • Tatalaksana agresif termasuk penurunan berat badan dan restriksi garam • Pilihan terapi: dengan semua kelas antihipertensi • Kontraindikasi: vasodilator langsung, hidralazin dan minoksidil c. Penyakit arteri perifer: semua kelas anti hipertensi, tatalaksana faktor risiko lain, dan pemberian aspirin. 3 d. Lanjut usia(~ 65 tahunf • Identifikasi etiologi lain yang bersifat ireversibel • Evaluasi kerusakan organ target • Evaluasi penyakit komorbid lain yang mempengaruhi prognosis • Identifikasi hambatan dalam pengobatan • Terapi farmakologis: diuretik thiazid (inisial), CCB. e. Kehamilan 3 • Pilihan terapi: metildopa, j3-blocker, dan vasodilator. • Kontraindikasi: ACE-I dan ARB.

label 4. Modifikasi Gaya Hidup pada Penderita Hipertensi' Target indeks massa tubuh (IMT) < 25 kg/m 2

Turunkan berat badan Diet rendah garam

< 6 g NaCI/hari

Adaptasi menu diet DASH (Dietary

Perbanyak buah, sayur, produk susu ren.dah lemakjenuh

Approaches to Stop Hypertension) Membatasi konsumsi alcohol

Bagi peminum alkohol, konsumsi :s;2 gelas/hari pada pria dan :s;l gelas/hari pada wanita

Aktivitas fisik

Aerobik rutin, seperti jalan cepat selama 30 menit/hari

I

I

Modifikasi gaya hidup

t TargetTD <140190 mmHg (atau <130180 mmHg pada pasien DM atau penyakit ginjal kronis) tidak tercapai -t

1 lnisiasi obat lini pertama

t

t

Pencegahan umum PJK Target <140190

Risiko tinggi PJK Target <130180

t

- J

{3-blocker* +ACE-I atau ARB

ACE-I atau ARB atau CCB atau diuretik thiazid atau kombinasi

t

Stable 01 gina, unstable c gina I NSTEML TEMI 30180

...... Target TD masih belum tercapai setelah optimalisasi dosis

I

Disfungsi ventrikel kiri Target <120180

ACE-I atau ARB dan {3-blocker dan antagonis aldosteron dan diuretik thiazid atau diuretik loop, dan ISDN I hydralazine

Gombar 1. Algoritma Penatalaksanaan HipertensP· 6

KOMPLIKASI Hipertrofi ventrikel kiri, proteinuria dan gangguan fungsi ginjal, aterosklerosis pembuluh darah, retinopati, stroke atau TIA, infark miokard, angina pektoris, gagal jantung. 1•2

PROGNOSIS Hipertensi tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikontrol dengan terapi yang sesuai. Terapi kombinasi obat dan modifikasi gaya hidup umumnya dapat mengontrol tekanan darah agar tidak merusak organ target. Oleh karena itu, obat antihipertensi harus terus diminum untuk mengontrol tekanan darah dan mencegah komplikasi. Studi menunjukkan kontrol tekanan darah pacta hipertensi menurunkan insidens stroke sebesar 35-44%, 3 tetapi sampai saat ini bel urn jelas apakah golongan obat antihipertensi tertentu memiliki perlindungan khusus terhadap stroke. Satu studi menunjukkan efek ARB (antagonis reseptor All) dibandingkan dengan penghambat ACE menurunkan risiko infark miokard, stroke, dan kematian 13% lebih banyak, termasuk 25% penurunan risiko stroke baik fatal maupun non-fatal. 8 Tabel 5. Obat Anti Hipertensi CraP

f:;';s'"''?:~~?J;'~F:~~;~;0,~~~;r~~ftii~'~~:;:z;,~,;,,:t~f~!Z!~~~~~r{'~'I~;:~~,~z"'~;i{r,~!ii~M~~ijlfQil~~1;~;:~~:~,,~~1Jf';';fg~~~~Un9ZI't9fi}~tii1:~0' ,•::•1 Diuretik o Hidroklorotiazid 12,5- 50 o Furosemid 20-80 25-50 o Spironolakton o Metoprolol {3-blocker 50-100 o Bisoprolol 2,5-10 o Propanolol 40-160 o Amlodipin 2,5-10 Calcium channel blocker (CCB} o Nifedipin 30-60 120-360 • Verapamil 120-540 • Diltiazem o Captopril Angiotensin converting enzyme 25-100 inhibitor (ACE-I} 5-40 • Enalapril 10-40 • Lisinopril Angiotensin receptor blocker (ARB} 25-100 • Losartan o Valsartan 80-320 -· - . O,l-~0,8 - --a~blocker _ - • -Kionidin12,5-50 Kombinasi a-blocker dan {3-blocker • Carvedilol 200-800 • Labetalol Vasodilator direk 25-100 • Hidralazin 2,5-80 oMinoxidil

label 6. Petunjuk pemilihan obat dengan indikasi khusus 3

li~~!,=

9~'".~~~~~~~~~: . , "'"''''"''

,,_-:;·· ·,:·

Gagal Jantung

--1

-,J

Pasco lnfark Miokard

-,j

-,j

Risiko Tinggi Peny. Koroner

-,j

-,j

-,j

DM

-,j

-,j

-,j

-,j

-,j

-,j

Penyakit Ginjal Kronik Pencegahan Stroke Berulang

-,j

-,j -,j

-,j

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan



RS non pendidikan

: Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Kardiologi - Departemen Penyakit Dalam : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

: ICCU/ /CU, Departemen Ilmu Kesehatan Mata, Departemen Neurologi : ICCU/ /CU, Bagian Ilmu Kesehatan Mata, Bagian Neurologi

REFERENSI 1.

Ketchen T. Hypertensive vascular disease. In: Longo DL Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181h Edition. New Yark: McGraw-Hill; 20 12.halaman

2.

Victor R. Arterial hypertension. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23'd Edition. Philadelphia: Saunders, Elsevier; 2008.

3.

Chobanian A Vet al: The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: The JNC 7 Report. JAMA. 2003;289:2560.

4.

O'Brien E, Asmar R, Beilin Let al. Practice guidelines of the European Society of Hypertension for clinic, ambulatory and self blood pressure measurement. J Hypertens 2005;23:697-701.

5.

Pickering TG, Hall JE, Appel LJ, et al. Recommendations for blood pressure measurement in humans and experimental animals part 1: blood pressure measurement in humans a statement for professionals from the Subcommittee of Professional and Public Education of the American Heart Association Council on High Blood Pressure Research. AHA Scientific Statement. Hypertension. 2005;45: 142-61 .

6.

Rosendorff C, Black H, Cannon C, et al. Treatment of hypertension in the prevention and management of ischemic heart disease. Circulation. 2007; 115:2761-88.

7.

AronowW, Fleg JL, Pepine CJ, et al. ACCF/AHA 2011 Expert Consensus Document on Hypertension in the Elderly. JAm Coli Cordial. 2011 ;57;2037-114.

8.

Psaty BM, Smith NL, Siscovick DS, et al. Health outcomes associated with antihypertensives therapies used as first line-agent. A systematic review and meta-analysis. JAMA. 1997;277:739-45.

HIPERTROFI PROSTAT BENIGNA

PENGERTIAN Hipertropi prostat adalah hiperplasia kelenjar periuretral yang kemudian mendesak jaringan prostat asli ke perifer. 1 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 1

1. Gejala iritatif, yaitu sering miksi (frekuensi), terbangun pada malam hari untuk

miksi (nokturia ), perasaan ingin miksi yang san gat mendesak ( urgensi), dan nyeri saat miksi (disuria). 2. Gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa tidak puas setelah miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama, harus mengedan, miksi terputus-putus, waktu miksi memanjang yang akhirnya menjadi retensi urin dan inkontinen karena overflow. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter anus, mukosa rektum, serta kelainan lain seperti benjolan dalam rektum dan prostat. Pada perabaan melalui colok dubur diperhatikan konsistensi prostat, adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba. Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urin setelah miksi spontan. Sisa miksi ditentukan dengan mengukur urin yang masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urin dapat pula diketahui dengan melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi. Pemeriksaan Penunjang

Urinalisis, serum prostate spesific antigen (PSA}, serum creatinin. transrectal ultrasonography (TRUS) of the prostate untuk melihat ukuran dan volume prostat.

DIAGNOSIS BANDING 1. Striktur uretra 2. Kontraktur leher vesika urinaria 3. Kanker prostat 4. Kanker vesika urinaria 5. Bladder calculi 6. lnfeksi saruran kemih dan prostatitis 7.

Neurogenic bladder

TATALAKSANA Medikamentosa 1 • Antagonis a-adrenergik (menghilangkan ketegangan otot halus): terazosin, doksazosin, dan tamsulosin •

Inhibitor 5-a reduktase (mengurangi ukuran prostat): finasteride

-1

Pembedahan 2 • Transuretral resection of prostate {TURP) Indikasi: retensi urin akut, infeksi berulang, hematuria berulang, azotemia •

Open prostatectomy

Indikasi sama seperti TURP. Teknik ini dapat lebih dipertimbangkan untuk obstruksi saluran keluar vesika urinaria, perkiraan pembesaran prostat > 100 .~

gram, dan pada laki-laki dengan ankilosis panggul atau penyakit ortopedi lainnya.

KOMPLIKASI 1. Retensio urine 2. Insufisiensi renal 3. Infeksi saluran kemih berulang 4.

Gross hematuria

5. Bladder calculi 6. Gaga! ginjal atau uremia

PROGNOSIS Sekitar 2,5% pasien mengalami retensio urine akut dan 6% membutuhkan terapi in vas if dalam 5 tahun. Risiko progresivitas BPH meningkat pada volume pro stat dan level PSA yang tinggi. Turunnya risiko progresivitas BPH tampak pada 39% pasien

416

Pro.. )cit. . Beoigda. •· . s.

' '•

.•

~'

. ._,

diterapi dengan doksazosin, 34% dengan finasterid, dan 66% dengan kombinasi keduanya. Kombinasi doksazosin dan finasterid menurunkan risiko retensi urin akut sebesar 81% dan operasi invasif sebesar 69%. 3

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Ginjal-Hipertensi- Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Departemen Bedah Urologi



RS non pendidikan

: Bagian Bedah

REFERENSI 1.

AUA guideline on the management of benign prostatic hyperplasia: diagnosis and treatment recommendations. Diunduh dari http:/ /www.auanet.org/guidelines/main_reports/bph_ management/chapt_1_appendix.pdf pada tanggal15 Mei 2012.

2.

AUA clinical guidelines- management of BPH. Diunduh dari http://www.auanet.org/content/ guidelines-and-quality-care/clinical-guidelines.cfm?sub=bph pada tanggal15 Mei 2012.

3.

McConnell JD, Roehrborn CG, Bautista 0, et al. The long term effect of doxazosin, finasteride, and combination therapy on the clinical progression of benign prostatic hyperplasia. N Engl J Med. 2003;349:2387-98.

INFEKSI SALURAN KEMIH

PENGERTIAN

Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah keadaan adanya infeksi (ada perkembangbiakan bakteri) dalam saluran kemih, meliputi infeksi di parenkim ginjal sampai infeksi di kandung kemih dengan jumlah bakteriuria yang bermakna. Bakteriuria bermakna adalah hila ditemukan pada biakan urin pertumbuhan bakteri sejumlah >100.000 per ml urin segar (yang diperoleh dengan cara pengambilan yang steril atau tanpa kontaminasi).l Konsensus 2010 Infectious Disease Society of America (IDSA) memberikan batasan hasil positifkultur urine pacta wanita adalah 10 3-10 4 organismejml urine yang diambil -I

secara midstream. 2 Sebanyak 20-40% wanita penderita ISK dengan gejala, memiliki hasil kultur bakteri 10 2-10 4 /ml urine. 3 Faktor risiko: Kerusakan atau kelainan anatomi saluran kemih berupa obstruksi internal oleh jaringan parut, pemasangan kateter urin yang lama, endapan obat intratubular, refluks, instrumentasi saluran kemih, konstriksi arteri-vena, hipertensi, analgetik, ginjal polikistik, kehamilan, OM, atau pengaruh obatobat estrogen. 4

·~

ISK sederhana/tak Berkomplikasi

ISK yang terjadi tidak terdapat disfungsi struktural ataupun ginjal ISK Berkomplikasi

ISK yang berlokasi selain di vesika urinaria, ISK pacta anak-anak, laki-laki, atau ibu hamil PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 4

ISK bawah frekuensi, disuria terminal, polakisuria, nyeri suprapubik. ISK atas: nyeri pinggang, demam, menggigil, mual dan muntah, hematuria Anannesa adanya faktor risiko seperti disebutkan diatas.

GEJALA KLINIS

~

~

Gejala akut : disuria, frekuensi, urgensi

__,

~I ~I

1l

Gejala akut : nyeri punggung nausea/muntah f-demam, kemungkinan gejala sistisis

Gejala akut : nyeri punggung nausea/muntah demam, kemungkinan gejala sistisis

DIAGNOSIS DAN PERTIMBANGAN MANAJEMEN

KARAKTERISTIK PASIEN

--I

Pertimbangkan sistisis tanpa komplikasi Wanita sehat tidak hamiL ~ • Tidak diperlukan kultur urin riwayat jelas • Pertimbangkan telephone management Wanita dengan anamnesa tidak jelas, terdapat faktor risiko

Pertimbangkan sistisis tanpa komplikasi atau PMS ~ • Urinalisis, dipstick, kultur • evaluasi PMS, pemeriksaan pelvis

Pria dengan nyeri perineal, prostat, pelvis

Pertimbangkan prostatitis akut ~ • Urinalisis dan kultur • Pertimbangkan evaluasi urologi

r

Pertimbangkan CAUTI • Ganti atau cabut kateter • Urinalisis dan kultur • Kultur darah bila ada gejala demam

~

Pertimbangkan ISK komplikasi • Urinalisis dan kultur • Cari adanya abnormalitas fungsi maupun anatomi

Wanita sehat, tidak hamil

~

Pertimbangkan pyelonefritis tanpa komplikasi • kultur urin • pertimbangkan rawat jalan

Pasien lainnya

r

Pertimbangkan pyelonefritis • kultur urin, kultur darah

Ada kateter urin

Pasien lain

Pertimbangkan ISK komplikasi I Pasien dengan tanda dan pielonefritis gejala infeksi sistemik dan ~ • pertimbangkan etiologi tidak ada gejala yang potensial lainnya jelas • kultur urine, kultur darah -

GEJALA KLINIS

I

DIAGNOSIS DAN PERTIMBANGAN MANAJEMEN

KARAKTERISTIK PASIEN

Pasien dengan kehamilan, penerima ;-----+1 transplantasi ginjal, akan Kultur urine(+), tidak ada: Gejala saluran kemih Gejala sistemik yang berhubungan dengan saluran kemih

I

I

~I

r

Pasien lainnya

Pasien dengan kateter

urin~

Pertimbangkan Bakteriuri asimptomatik j o Skrining dan terapi

Pertimbangkan Bakteriuri asimptomatik o tidak ada tambahan pemeriksaan penunjang atau tatalaksana

1

Pertimbangkan Bakteriuri asimptomatik terkait kateter o tidak ada tambahan pemeriksaar' penunjang atau tatalaksana o Lepas kateter yang tidak diperlukan

_, Pertimbangkan sistisis rekuren o kultur urine untuk menegakkan diagnosis o pertimbangkan profilaksis atau memulai terapi

;-----+ Wanita sehat, tidak hamil Gejala akut infeksi saluran 1---kemih rekuren

~~

·~

Pria

~

Pertimbangkan prostatitis bacterial kronik o -Tes meares-stamey 4-glass o -Pertimbangkan konsul urologi

Gombar 1. Pendekatan Diagnosis Pada lnfeksi Saluran Kemih 4

Pemeriksaan Fisik4

Febris, nyeri tekan suprapubik, nyeri ketok sudut kostovertebra, demam Pemeriksaan Penunjang'



DPL, tes resistensi kuman, tes fungsi ginjal, gula darah.



Kultur urin (+): bakteriuria >10 5 jml urin



Foto BNO-IVP hila perlu



USG ginjal hila perlu

DIAGNOSIS BANDING • Keganasan kandung kemih • Nonbacterial cystitis • Interstitial cystitis

• Pelvic inflammatory disease • Pyeolonephritis akut • Urethritis • Vaginitis TATALAKSANA 1 Nonfarmakologis • Banyak minum bila fungsi ginjal masih baik • Menjaga higiene genitalia eksterna Farmakologis • Antimikroba berdasarkan pola kuman yang ada; Bila hasil tes resistensi kuman sudah ada, pemberian antimikroba disesuaikan

Tabell.Antimikroba pada ISK Bawah tak Berkomplikasi 4

Trimetoprim- Sulfametoksazol Trimetoprim Siprofloksasin Levofloksasin Sefiksim Sefpodoksim proksetil Nitrofurantoin makrokristal Nitrofurantoin monohidrat makrokristal Amoksisilin/klavulanat

2 x 160/800 mg 2x 100 mg 2 x 100-250 mg 2x250 mg 1 x400 mg 2 x 100 rng 4x50 mg 2x 100mg 2x500 mg

3 hari 3 hari 3 hari 3 hari 3 hari 7 hari 7 hari 7 hari

Tabel 2. Obat parenteral pada ISK atas Akut Berkomplikasi4

Sefepim 2x1 gram : . ._, ____ -___., __.,_._,_Sipr.oJloksasio -----··---------·_, ______ ,_, ___ ,_____ ., ,.,...,.2x40D..rng......,... ··----------- ., ... Levofloksasin 1x500 mg Ofloksasin, 2x400 mg Gentamisin (+ ampisilin) 1x3-5 mg/kgBB 3x1 mg/kgBB Ampisilin (+gentamisin) 4x1-2gram Tikarsilin-klavulanat 3x3,2gram PiQerasilin-tazobaktam ~:J 2x~";375_9IQIJL _________ _ lmipenem-silastatin 3-4x250-500 mg

ISK PADA WANITA HAMIF PENGERTIAN Bakteriuria asimptomatik: ditemukan minimall0 5 jml bakteri specimen urin steril pada 2 kali pemeriksaan berturut-turut Infeksi saluran kemih: ditemukan 10 3/ml bakteri dan adanya gejala ISK. PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Riwayat faktor risiko: wanita usia tua, paritas tinggi, status sosial ekonomi rendah, riwayat ISK sebelumnya, abnormalitas fungsi dan anatomi, memiliki penyakit diabetes mellitus atau sickle sell. _,

Pemeriksaan Fisik

Sarna seperti ISK pada umumnya Pemeriksaan Penunjang

Urinalisis, kultur urin. Ulangi pemeriksaan setelah 2 minggu untuk melihat eradikasi bakteri.

:~

TATALAKSANA ISK pada kehamilan diterapi dengan antibiotika dan menghilangkan faktor predisposisi. Terapi antibiotika lebih lengkapnya dibahas pada tabel 3. label 3. Terapi Antibiotika pada Wanita Hamil dengan ISK 6

t :;i; '~~,jJ;s,,~:::~ ·\~A~~ ::.~~~;s,"·;~, ::L~i2;~,ric',,s~i~~id;1;;;;~r~r~,feJ~~O:~!~),!Q:699.a!~i:, ' ~~~" ,F;c'~Z:,;:,~t. ·~·~ .i f1. {h' i ,, :::, ;;: ':~/~: Amoxicillin, 3g Ampicilin, 2g Cephalosporin, 2g - -Nitrofurantoin;-200mg TMP-sulfamethoxazole, 320/160mg Amoxicillin, 3x500mg/hari Ampicillin, 4x250mg/hari Cephalosporin, 4x250mg/hari -----bevofloxacir:h-1-x2-SQm@/-Aeri-------- ---- --------·Nitrofurantoin, 4x50-1 OOmg ; 2x 1OOmg/hari TMP-sulfamethoxazole, 2x160/800mg

'

......._. ;

lerapi lainny:a Nitrofurantoin, 4x1 OOmg/hari untuk 10 hari Nitrofurantoin, 1OOmg pad a waktu tidur selama 10 hari

,.. ;,B!Ii;t:'teiaPi 9at:i~li,lo)~~~i,~~~~i··;~~~;·"~:i::;;;I!;.rJ~~i;~''l•{t!i%l1·¥~l;'i;"~ r1 J Nitrofurantoin, 4x100mg/hari selama 21 hari

·aglffifJ:h)er$ist~n :gtau kafYil:)~li·

·

Nitrofurantoin, 1OOmg at bedtime for reminder of pregnancy

ISK YANG DISEBABKAN OLEH JAMUR8 PENGERTIAN Infeksi simple: kultur urin ditemukan > 10 5/ml organism. Infeksi complex: melibatkan infeksi saluran kemih bagian atas dan kultur darah positif. Infeksi jamur pada saluran kemih kebanyakan adalah infeksi oportunistik. Yang paling sering menyebabkan funguria adalah spesies Candida. PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesa

Penderita dapat tanpa gejala, disuria dan frekuensi. Adanya faktor resiko: imunosupresan, diabetes, penggunaan antibiotika atau kortikosteroid jangka panjang, penggunaan kateter urin jangka panjang. Pemeriksan Fisik

Sarna seperti ISK pada umumnya. Pemeriksaan Penunjang

Kultur urin, urinalisis, pada CT scan dan IVP dapat tampakfungal ball.

TATALAKSANA Infeksi simple: stop antibiotik yang biasa digunakan, lepas kateter urin. Bila cara ini tidak berhasil maka lakukan irigasi saluran kemih dengan amphoterisi B (SOmg/L sebanyak 42mljjam) Infeksi complex: Terapi utama ISK jamur adalah dengan amphoterisin 8 intravena. Untuk mengurangi efek sistemik seperti menggigil, demar dan kaku yang berhubungan dengan terapi, maka berikan premedikasi steroid, meperidine, ibuprofen, dan dantrolene. Jika terdapatfungal ball: ambiljimgal ball secara percutaneus lanjutkan dengan irigasi pelvis renalis dengan amphoterisin B.

KOMPLIKASI Batu saluran kemih, obstruksi saluran kemih, sepsis, infeksi kuman yang multiresisten, gangguan fungsi ginjaP PROGNOSIS Infeksi saluran kemih tanpa kelainan anatomis mempunyai prognosis lebih baik bila dilakukan pengobatan pada fase akut yang adekuat dan disertai pengawasan terhadap kemungkinan infeksi berulang. Prognosis jangka panjang pada sebagian besar penderita dengan kelainan anatomis umumnya kurang memuaskan meskipun telah diberikan pengobatan yang adekuat dan dilakukan koreksi bedah, hal ini terjadi terutama pada penderita dengan nefropati refluks. Deteksi dini terhadap adanya kelainan anatomis, pengobatan yang segera pada fase akut, kerjasama yang baik an tara dokter, dan pasien sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya perburukan yang mengarah ke fase terminal gagal ginjal kronis. 4 UNITY ANG MENANGANI : Divisi Ginjal-Hipertensi- Departemen Penyakit Dalam • RS pendidikan • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

-1

!~

UNIT TERKAIT • RS pendidikan

: Divisi Tropik Infeksi, Departemen Bedah Urologi -



Departemen Ilmu Penyakit Dalam : Bagian Bedah

RS non pendidikan

REFERENSI

.

424

1.

lnfeksi saluran Kemih. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. S'h ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI, 2009:2009- 15

2.

Infection of the Urinary Tract. Dalam: Wein et al. Campbell-Walsh Urology 9'h Edition. Saunders.

3.

Mehnert-Kay SA. Diagnosis and Management of Uncomplicated Urinary Tract Infections. American Family Physician [serial online]. August 1, 2005;27/No.3:1-9. Accessed September 22, 2010. Available at http:/ /www.aafp.org/afp/20050801 /451.html.

4.

Urinary tract Infections, Pyelonephirits, ad Prostatitis. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012: 2911 -39

5.

Urinary tract Infection. Copyrights 2012@ Mayoclinic. Diunduh dari http:/ /www.rnayoclinic.com/ health/urinary-tract-infection/DS00286

6.

Renal and Urinary Tract Disorders. Dalarn: Cunningham, Gary F et al. Williams Obstretic 22nd Edition. The McGraw-Hills Companies.

7.

Hickey, Kimberly W. Renal Complications. Dalam:Evans, ArthurT. Manual of Obstretic. Lippincott Williams & Wilkins. 2007

8.

Urology. Dalam; Brunicandi, Charles F. Schwartz's Principle of Surgery 8'h Edition. The McGrawHill Companies. 2007.

Jc'

"'

425

KRISIS HIPERTENSI

-1

~·~

PENGERTIAN lstilah "Krisis Hipertensi" merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah mendadak pacta penderita hipertensi, dimana tekanan darah sistolik (TDS) >180 mmHg dan tekanan darah diastolik (TDD) >120 mmHg, dengan komplikasi disfungsi dari target organ, baik yang sedang dalam proses {impending) maupun sudah dalam tahap akut progresif. Yang dimaksud target organ disini adalah jantung, otak, ginjal, mata (retina), dan arteri perifer. 1 Sindroma klinis krisis hipertensi meliputi :2 1. Hipertensi gawat (hypertensive emergency): peningkatan tekanan darah yang disertai kerusakan target organ akut. 2. Hipertensi mendesak (hypertensive urgency): peningkatan tekanan darah tanpa disertai kerusakan target organ akut progresif. 3. Hipertensi akselerasi (accelerated hypertension): peningkatan tekanan darah yang berhubungan dengan perdarahan retina atau eksudat. 4. Hipertensi maligna (malignant hypertension): peningkatan tekanan darah yang berkaitan dengan edema papil. Dari klasifikasi di atas, jelas terlihat bahwa tidak ada batasan yang tajam antara hipertensi gawat dan mendesak, selain tergantung pacta penilaian klinis. Hipertensi gawat (hypertensive emergency/ HE) selalu berkaitan dengan kerusakan target organ, tidak dengan level spesifik tekanan darah. Manifestasi klinisnya berupa peningkatan tekanan darah mendadak sistolik >180 mmHg atau diastolik >120 mmHg dengan adanya atau berlangsungnya kerusakan target organ yang bersifat progresif seperti perubahan status neurologis, hipertensif ensefalopati, infark serebri, perdarahan intrakranial, iskemi miokard atau infark, disfungsi ventrikel kiri akut, edema paru akut, diseksi aorta, insufisiensi renal, atau eklampsia. Istilah hipertensi akselerasi dan hipertensi maligna sering dipakai pacta hipertensi mendesak.

Tabel 1. Karakteristik Klinis HE 2

: I~~~~6.~] ~:~',\'f4~ea~f~G~t~;,~- ;: :r::A~~1~m~~~;X Biasanya > 220/140

Perdarahan, eksudat, edema papil

Nyeri kepala, disorientasi. somnolen, stupor, gangguan penglihatan

x

~i,~fm~~gj:~i ._-f :~0!~1~r~~~~+v~~t~It~~~~*~~ i Pulsasi apeks · prominen, kardiomegali, congestive heart failure (CHF)

Azotemia, proteinuria, oligouria

Mual. muntah

PENDEKATAN DIAGNOSIS3-5 • Anamnesis: selain ditanyakan mengenai etiologi hipertensi pada umumnya, perlu juga ditanyakan gejala-gejala kerusakan target organ seperti : gangguan penglihatan, edema pada ekstremitas, penurunan kesadaran, sakit kepala, mual I muntah, nyeri dada, sesak napas, kencing sedikit I berbusa, nyeri seperti disayat pada abdomen. • Pemeriksaan fisik: Tekanan darah pada kedua ekstremitas, perabaan denyut nadi perifer, bunyi jantung, bruit pada abdomen, adanya edema atau tanda penumpukan cairan, funduskopi, dan status neurologis. • Pemeriksaan penunjang: darah perifer Iengkap, panel metabolik, urinalisis, toksikologi urin, EKG, CT Scan, MRI, foto toraks Berikut merupakan evaluasi triase hipertensi emergency dan hipertensi urgency (tabel 2).

Gejala

Nyeri kepala, cemas; sering asimptomatik

Nyeri kepala berat. napas pendek (shortness of breath)

Napas pendek, nyeri dada, nokturia, disartria, lemah, gangguan kesadaran

Pemerlksaan

Kerusakan organ target(-), temuan klinis kardiovaskular (-)

Kerusakan organ target(+), temuan klinis kardiovaskular (+), stabil

Ensefalopati. edema paru, insufisiensi renal. gangguan serebrovaskular, iskemik jantung

Terapl

Rene ana

Observasi 1-3 jam; mulai dan Observasi 3-6 jam; turunkan Pemeriksaan laboratorium; lenjutkan terar::>i; naiklwn· -l"D eengen--antihir::>ertensi----liAeiAtreveAa; eer::>eteimuloi dosis agen yang tidak oral short-acting terapi parenteral di IGD adekuat Follow-up dalam 3-7 hari

Follow-up dalam < 72jam

Kelerangan : TD = tekanan darah; IGD = instalasi gawat darurat; ICU =intensive care unit

Rawat dalam ICU; terapi inisial untuk mencapai target TD; pemeriksaan diagnostik tambahan

DIAGNOSIS BANDING Penyebab hipertensi emergency3.4

Hipertensi maligna terakselerasi dan papiledema •

Kondisi serebrovaskular: ensefalopati hipertensi, infark otak aterotrombotik dengan hipertensi berat, perdarahan intraserebral, perdarahan subarahnoid, dan trauma kepala



Kondisi jantung: diseksi aorta akut, gagal jantung kiri akut, infark miokard akut, pasca operasi bypass koroner



Kondisi ginjal: GN akut, hipertensi renovaskular, krisis renal karena penyakit



kolagen-vaskular, hipertensi berat pasca transplantasi ginjal Akibat katekolamin di sirkulasi: krisis feokromositoma, interaksi makanan atau obat dengan MAO inhibitor, penggunaan obat simpatomimetik, mekanisme rebound akibat penghentian mendadak obat antihipertensi, hiperrefleksi otomatis pasca cedera korda spinalis

-1

:~



Eklampsia



Kondisi bedah: hipertensi berat pada pasien yang memerlukan operasi segera,



hipertensi pasca operasi, perdarahan pasca operasi dari garis jahitan vaskular Luka bakar berat



Epistaksis berat



Thrombotic thrombocytopenic purpura

TATAlAKSANA



Hipertensi mendesak (hypertensive urgency I HU) dapat diterapi rawat jalan dengan antihipertensi oral; terapi ini meliputi penurunan TD dalam 24-48 jam. Penurunan TD tidak boleh lebih dari 25% dalam 24 jam pertama. 6 Terapi lini pertama HU seperti tercantum pada tabel 3. Nifedipine oral ataupun sublingual (SL) saat ini tidak lagi dianjurkan karena dapat menyebabkan hipotensi berat dan iskemik organ. 7 Tabel3. Terapi lini pertoma .pada HU 2 ·8 Captopril

Clonidine -··--------~-

Rekomendasi: 25 mg PO atau SL Range dosis: 6,25-50 mg PO Dosis maks: 50 mg PO

15-30 menit; 10-20 men it SL .

6-Bjam;

Rekomendasi: 0,1-0,2 mg PO, dilanjutkan dengan 0,05-0:1 mg perjam s/d efekyangdiinginkan

15-30 menit

2-Bjam

·----····· --oosfs-ma-k5:-o:S-m9Pa· ----- · · ·

2~6jam

~~f~~~l~Q~~~~~w;~~;i~~27~~~l{lt~~;jt~1~1mt~D~Q!I!~~~il~~!~~i?~~~~~li~~~~~~ilcm1Jllflif~~



Labetalol

Range dosis: 200-400 mg PO, dapat diulang tiap 2-3jam Dosis maks: 1200 mg PO

1-2jam

2-12jam

Amlodipin

Range dosis: 2,5-5 mg PO

1-2jam

12-18jam

Pada sebagian besar HE, tujuan terapi parenteral dan penurunan mean arterial pressure (MAP) secara bertahap (tidak lebih dari 25% dalam beberapa menit

sampai 1 jam). Aturannya adalah menurunkan arterial pressure yang meningkat sebanyak 10% dalam 1 jam pertama, dan tambahan 15% dalam 3-12 jam. Setelah diyakinkan tidak ada tanda hipoperfusi organ, penurunan dapat dilanjutkan dalam 2-6 jam sampai tekanan darah 160/100-llOmmHg selanjutnya sampai mendekati normal. TD dapat diturunkan lebih lanjut dalam 48 jam berikutnya. Pengecualian untuk aturan ini an tara lain pad a diseksi aorta dan perdarahan pasca operasi dari bekas jahitan vaskular, yang merupakan keadaan yang membutuhkan normalisasi TD secepatnya. Pada sebagian besar kasus, koreksi cepat tidak diperlukan karena pasien berisiko untuk perburukan serebral, jantung, dan iskemi ginjal,1.4 •

Pada hipertensi kronis, autoregulasi serebral di-set pada TD yang lebih tinggi daripada normal. Penyesuaian kompensasi ini untuk mencegah overperfusi jaringan (peningkatan TIK) pada TD sangat tinggi, namun juga underperfusion (iskemi serebral) apabila TD diturunkan terlalu cepat. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner, penurunan TD diastolik terlalu cepat di ICU dapat memicu iskemik



miokard akut atau infark. 4 Terapi antihipertensi parenteral pada HE seperti tercantum pada tabel 4.

-

label 4. Terapi antihipertensi parenteral pada HE 3

Nitroprusside

lnisial 0,3 J.JQ/kg/menit; biasa 2-4 J.Jg/kg/menit; maks 10 J.Jg/kg/menit selama 10 menit

Nicardipine

lnisial 5 mg/jam; titrasi 2,5 mg/jam tiap interval 5-15 menit; maks 15 mg/jam

Labetalol

2 mg/menit s/d 300 mg atau 20 mg dalam 2 me nit. kemudian 40-80 mg pada interval10 menit s/d total300 mg

·----EsmoloL---~------lr:lisiai-80~500-J.Jg/kg-dalamJ.menit,kemudian.50~300.. J.Jglkg/menit.

Phentolamine

5-15 mg bolus

Nitrogliserin

lnisial 5 J.JQ/menit, titrasi 5 J.JQ/menit tiap interval 3-5 menit; cipabila tidak ada respon pada 20 J..IQ/menit. dosis tambahan 10-20 J.Jg/menit dapat digunakan

Hydralazine

10-50 mg tiap interval 30 me nit

Tatalaksana Krisis Hipertensi pada Keadaan Khusus Berikut adalah terapi pilihan krisis hipertensi pada beberapa keadaan khusus seperti tercantum pada tabel 5-7. label 5. Terapi Antihipertensi Parenteral Terpilih bagi HE Pada Keadaan Khusus 2 ·3

.·• ~'Cid~t:~ilemergensl

P~llb(Jn o~~t (~tl!9s dtc.lloic;e) ·•. .

· · ----. i<Jrg~t;rl)

Hipertensif ensefalopati

Nitroprusside

20%-25% do lam 2-3 jam

Stroke iskemik

Nicardipine, nitroprusside (kontroversial)

oro-20% dalam 6-12 jam

Perdarahan subaraknoid

Nitroprusside, nimodipin, nicardipin

20%-25% do lam 2-3 jam

lnfark miokard akut, iskemik

Nitrogliserin, nitroprussid, nicardipin

Sekunder dari pemulihan iskemik

Edema paru

Nitroprusid, nitrogliserin, labetalol

Memperbaiki gejala 10%-15% do lam 1-2 jam

Diseksi aorta

Nitroprusid + esmolol

TDS 110-120 secepatnya

Kegawatan pada ginjal (renal emergencies)

Fenoldopam, nitroprusside, labetalol

Target TD 20%-25% dalam 2-3jam

Katekolamin berlebihan

Pentolamine, labetalol

Kontrol serangan tiba-tiba 10%-15% do lam 1-2 jam

Preeklampsia/eklampsia dalam kehamilan

Hydralazin, labetalol, nicardipin

TDS < 150 mmHg, TDD 80-1 00 mmHg 9

-1

label 6. Tatalaksana Pre-Eklampsia dalam Kehamilan 9

i· :~ 1·•...; :.:, .;:,~-.f,J.:'\~.,:: !L~t ;,;. ,_. :l:f!R~tt!'tiJ~frihs~r)i~~'L;•. s};ltl.iP~rtfinS't~.e~glls;;f~i-1•; .,~_H!~tirt~li~io~r¢ Rawat inap Yo Yo Yo

Terapi

Tidak

Labetalol oral sebagai lini pertama dengan target TD < 150 I 80100mmHg

Labetalol oral sebagai lini pertama dengan target TD <150 I 80-100 mmHg

Pengukuran TD

Sedikitnya 4x I hari

Sedikitnya 4x I hari

> 4x I hari, tergantung klinis

Pemeriksaan proteinuria

Tidak perlu mengulang pemeriksaan kuantitatif

Pemeriksaan darah

Monitor fungsi ginjal. elektrolit, hitung darah lengkap, transaminase, bilirubin 2xlminggu

-~

Monitor fungsi ginjal, elektrolit, hitung darah lengkap, transaminase, bilirubin 3x/minggu

Monitor fungsi ginjal, elektrolit, hitung darah lengkap, transaminase, bilirubin 3x/minggu

Tabel 7. Rekomendasi AHA/ASA 2006 untuk tatalaksana hipertensi pada stroke iskemik akut10

.. ·. • ;t!~~~~N1'blR:~I1?l!:;:·~: 1•~·ti•:;·::;· ":')'fi%!:'.+··:··•'.:;r;''1i ;;,,,••
·-·--. --- _.... ------·--· --T atalgksQRG-komplikasi-ek~Jt-strokelainnya-sepeFii-fliF>ok-sie.--peningkatan- · TIK, kejang atau hipoglikemia



··

TEKAN~N

DARAH

.'tA:r:.(fAKSANA''

<

i:

Non-kandidat terapi trombolisis: TDS >220 atau TDD 121-140

Labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit, dapat diulang atau digandakan tiap 10 menit (max 300 mg) atau Nicardipine 5 mg/jam infus dosis awol, titrasi 2,5 mg/jam tiap 5 menit s/d 15 mg/jam sampai target TD yang diinginkan. Target penurunan TD 10-15%

Non-kandidat terapi trombolisis: TDD > 140

Nitroprussid 0,5 g/kgBB/menit infus IV dosis inisial dengan monitoring TD kontinu Target penurunan TD 10-15%

Kandidat terapi trombolisis (sebelum tatalaksana) TDS > 185 atau TDD >110

Labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit, dapat diulang 1x atau nitropaste 1-2 menit

Kandidat terapi trombolisis (selama/ setelah perawatan) • Monitor tekanan darah • TDD 140 • TDS >230 atau diastolik 121-140 • TDS 180-230 atau TDD 121-140 • TDS 180-230 atau TDD 105-120

• cek TD tiap 15 menit selama 2 jam -7 tiap 30 menit selama 6 jam berikutnya -7 lanjut tiap jam selama 16 jam • Sodium Nitroprussid 0,5 g/kgBB/menit infus IV dosis inisial, titrasi sampai target TD • Labetalol 10 mg selama 1-2 menit, dapat diulang at au digandakan tiap 10 men it (max 300 mg) at au diberikan dosis inisial, kemudian mulai drip 2-8 mg/menit atau Nicardipine 5 mg/jam infus dosis awol, titrasi 2,5 mg/jam tiap 5 menit s/d 15 mg/jam sampai target TD yang diinginkan. Apabila TD tidak dapat terkontrol dengan labetalol, pertimbangkan sodium nitroprussid • Labetalol1 0 mg selama 1-2 me nit, dapat diulang at au digandakan tiap 10-20 me nit (max 300 mg) at au diberikan dosis inisial, kemudian mulai drip 2-8 mg/menit

KOMPLIKASI Kerusakan organ target

PROGNOSIS Tergantung respon terapi dan kerusakan target organ

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Kardiologi - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: ICCU, Departemen Kesehatan Mata, Departemen Penyakit Saraf



RS non pendidikan

: ICCU j ICU, Bagian Kesehatan Mata, Bagian Penyakit Saraf

REFERENSI 1.

Chobanian AV et al: The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: The JNC 7 Report. JAMA. 2003; 289:2560-72.

_J

2.

Vidt DG. Hypertensive Crisis. In : Carey W, Abelson A, Dweik R, et al. Current Clinical Medicine. 2nd Edition. The Cleveland Clinic Foundation. Philadelphia :Elsevier. 2010. Tersedia di http:// www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/nephrology/hypertensivecrises/

3.

Kotchen T. Hypertensive Vascular Disease.ln: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'h Edition. NewYork: McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2012.

4.

Victor R. Arterial Hypertension.ln: Goldman L Ausiello D, eds. Cecil medicine 23'd ed. Philadhelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007.

5.

Roesma J. Krisis Hipertensi. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II. Jakarta: lnterna Publishing; 2009. Hal1103-4

6.

Vadiya C, Ouellette J. Hypertensive urgency and emergency. Hospital Physician. 2007;43:43-50.

7.

BenderS, Filippone J, Heitz S, Bisognano J. A systematic approach to hypertensive urgencies and emergencies. Curr Hypertens Rev. 2005;1 :275-281.

8.

Hardy Y, Jenkins A. Hypertensive Crisis: Urgencies and Emergencies. US Ph arm. 2011 ;36(3) :Epub. Diakses melalui http:/ /WWW.uspharmacist.com/content/d/feature/i/1444/c/27112/ pada 12 Mei 2012.

9.

National Institute for Health and Clinical Excellence. NICE clinical guideline 107- Hypertension in pregnancy: the management of hypertensive disorders during pregnancy. August 2010. Diunduh dari http:/ /www.nice.org.uk/nicemedia/live/13098/50418/50418.pdf pad a tanggal18 Mei 2012.

10. Goldstein LB, Adams R, Alberts MJ, et al. American Heart Association; American Stroke Association Stroke Council. Primary prevention of ischemic stroke: a guideline from the AHA/ASA. Circulation 2006; 113:e873-e923.

PENYAKIT GLOMERULAR

PENGERTIAN

Penyakit Glomerular merupakan penyakit ginjal berupa peradangan pada glomerulus dan dapat dibedakan menjadi penyakit glomerular primer atau sekunder. 1 Penyakit Glomerular Primer1

1. Kelainan minimal 2. Glomerulosklerosis fokal segmental 3. Glomerulonefritis (GN) difus: a.

GN membranosa (nefropati membranosa)

b. GN proliferatif (terdapat sedimen aktif pada urinalisis: sedimen eritrosit ( +), hematuri): GN proliferatif mesangial GN proliferatif endokapiler GN membranoproliferatif (mesangiokapiler) GN kresentik dan necrotizing

c. GN sclerosing 4. Nefropati IgA Penyakit Glomerular Sekunder

1. Nefropati diabetik 2. Nefritis lupus 3. GN pasca infeksi 4. GN terkait hepatitis 5. GN terkait HIV Keterangan



Difus: lesi mencakup >80% glomerulus.



Fokal: lesi mencakup <80% glomerulus.



Segmental: lesi mencakup sebagian gelung glomerulus.



Global: lesi mencakup keseluruhan gelung glomerulus.

DIAGNOSIS 2 Anamnesis

Warna urine, keluhan penyerta: lemas, bengkak, sesak, kadang terdapat syndroma uremik: mual, muntah. Pemeriksaan Fisik

Dapat ditemukan hipertensi, edema anasarka Pemeriksaan Penunjang

-t

• •

Urin : proteinuria, hematuria, piuria, silinder eritrosit. Darah : kreatinin meningkat



Biopsi ginjal

DIAGNOSIS BANDING Etiologi dari penyakit glomerular TATALAKSANA Tatalaksana tergantung etiologi, terapi beberapa penyakit glomerular dapat dilihat lebih lengkap pacta tabel 1. label 1. Beberapa Penyebab Penyakit Glomerulus Sekunder Tersering 2

; . ·•. '1!~1'\yi;l~it>

; Di(i9~.C>si~··i , . ·

;

Poststreptococcus glomerulonefritls

•'. :

Anamnesis Biasanya pada anak usia 2-14 tahun dan orang tua, riwayat streptococcus faringitis, riwayat impetigo, gejala sistemik: sakit kepala, malaise, anoreksia, nyeri pinggang Laboratorium Urin : kultur streptococcus (+),titer ASO meningkat, anti DNA-ase, atau antibody antihyaluronidase, biopsy ginjal

Suportif : kontrol hipertensi, edema, dialysis jika perlu. Antibiotika

Sebesar 1 % kasus menjadi gaga! ginjal pada anak. Pada lanjut usia, sebesar 60% menjadi azotemia. Angka kekambuhan jarang kecuali infeksi streptococcus berulang.

Labroratorium Biopsi ginjal : proriferasi fokal sekitar focus nekrosis yang berkaitan dengan banyaknya mesangial, subendothelial, dan

Antibiotika

Prognosis fungsi ginjal baik.

(jarangJ

Subakut Bakterial Endokarditis

• Tc:ltcllg~~.al)dld:u.Js,us:;· ::;:s il'P.t~9Q(!sis

·· ·

-------· -------·- ._d_~Qos_ii_imUll_S.U.b_e.pltbSiiLaLdaL _____ ~.-------·--·-----~IgG, lgM, dan C3.

· ·. .PE!nyaklf'/ ·

·:;'Qiilgt\osls:. .

·· · · 1'!ltaiQ'k~ii#'ic:i !
· · ~1~~P9n9'1~~~~\~fi!iJ

Titer rheumatoid factor, cyroglobulin tipe IlL dan circulating immune complexes yang meningkat. CRP meningkat. Kultur darah (+} Nefritis Lupus

Anamnesis Gejala kulit : ruam, fotosensitif Laboratorium Anti-dsDNA antibody, hipokomplementemia,

Steroid, cyclophosphamide I mycophenolate mofetil selama 2-6 bulan, imunosupresan : cyclosporine, tacrolimus, rituximab, azathioprine.

Pasien dengan proliferasi ringan memiliki progesifitas < 5% untuk menjadi gaga! ginjal.

Nefropati lgA

Anamnesis Episodik hematuria Laboratorium Biopsi ginjal : deposit difus lgA pada mesangial, hiperselular mesangial

Suportif : ACE inhibitor, steroid, cytotoxic agents, and plasmapheresis.

Jarang yang berkembang menjadi progresif. Progresifitas lambat, sekitar 2025 tahun, 25-30% menjadi gaga! ginjal.

Glomerulosklerosis fokal segmental

Biopsi ginjal : focal and segmental scarring, lesi selular dengan endocapillary hypercellularity

Renin-angiotensin inhibitor, steroid, cyclosporin

Ras Afrikaamerika, insufisiensi ginjal berkaitan dengan hasil yang buruk, 50% pasien berkembang menjadi gaga! ginjal dalam 6-8 tahun.

Nefropati diabetik

Faktor risiko : hiperglikemia, hipertensL dyslipidemia, perokok, riwayat keluarga nefropati diabetic, obesitas. Anamnesa Keluhan klasik DM, poliurL polidipsi, polifagi, penurunan berat badan, anamnesa faktor risiko. Laboratorium Urin : glukosuria, albuminuria. Laju filtrasi glomerulus menurun,

Kontrol hiperglikemia dengan insulin dan obat antidiabetik peroral.

50% pasien berkembang menjadi gaga! ginjal setelah 5-1 0 tahun.

KOMPLIKASI Gagal ginjal akut dan kronis, penyakit ginjal stadium akhir. 2

PROGNOSIS Prognosis tergantung etiologi. Prognosis beberapa penyakit glomerular dapat dilihat lebih lengkap pada tabel 1.

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Ginjal-Hipertensi- Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

REFERENSI

_J

1.

Penyakit glomerular. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi L Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 51" ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUL 2009:2009- 15

2.

Lewis JB, Neilson EG. Glomerular Disease. Dalam: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181" ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012: 2911 -39

PENY AKIT GINJAL KRONIK

PENGERTIAN Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan penurunan progresif fungsi ginjal yang bersifat ireversibel. Menurutguideline The National Kidney Foundation's Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (NKF KDOQI), PGK didefinisikan sebagai kerusakan ginjal persisten dengan karakteristik adanya kerusakan struktural atau fungsional (seperti mikroalbuminuriafproteinuria, hematuria, kelainan histologis ataupun radiologis ), danfatau menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) menjadi <60 mlfmenit/1,73 m 2 selama sedikitnya 3 bulan. 1 Berikut adalah stadium PGK dan rencana tindakan berdasarkan klinis (tabel1) dan klasifikasi tekanan darah (tabel 2). Proteinuria merupakan suatu marker dini dan sensitif pada berbagai tipe kerusakan ginjal. Albumin merupakan protein yang paling banyak terdapat pada urin penderita PGK. Nilai normal ekskresi albumin urin pada dewasa adalah 10 mgfhari, dan dipengaruhi oleh berbagai kondisi seperti postur tubuh, olahraga, kehamilan, dan demam. 2 Oleh karena itu, sering terjadi hasil proteinuria dan albuminuria palsu dalam praktek sehari-hari karena berbagai kondisi seperti tercantum pada tabel 2. Penilaian hasil proteinuria pada dewasa dilakukan dengan pengambilan spesimen urin pagi hari dan hasil ~ +1 pada dipstick memerlukan konfirmasi lebih lanjut dengan penilaian kuantitatif dalam 3 bulan. Pada pasien dengan proteinuria~ +2 pada tes kuantitatif dalam interval1-2 minggu, didiagnosis sebagai proteinuria persisten dan dilakukan evaluasi dan tatalaksana lebih lanjut seperti pada pasien PGK. Monitoring proteinuria pada PGK selalu menggunakan tes kuantitatif.Z label 1. Stadium PGK dan rencana Tindakan Berdasarkan Klinis 2 I0

·~!,,!;,_..'5"-~~f~'~;,<9Y •-.~~~>i-1-f·:s±Jo:.:.. ;.~~~'::-·,;~;~~\3;:\~;~t'j~f.:i:~~-~"~:t.:·;-;.r~~~~-:~: 1,J,(. . t-~,~~!q,_.1~,(oE7-Jt;p-. .f.:~~'~;~~H:7~~-~-,,F.f-~{~~~t~A;~'·']~,!J%'~.~.,4~;&~j~r~,9~:-"..;::'"~~-~-~: ·, .;:.. ~~~-'\;~-

Gl

· · - G2-

Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat Kerusakari--grnrar<:rengan J.LFG ringan

' · ,.,....: ·.,,;_,,,o.--

Diagnosis, tatalaksana penyakit penyerta dan komorbid, J.risiko penyakit kardiovaskular ---6o-=-89________Est,maslprogresifitas-------··--~

90

Panduan Praktik llinls

,P8rhimpunan Dolder Spesialis Penyakit DaiOm lndorlesid

' · DerCijat

Deskrlpsi

LFG (ml/merdt/1,73 m2)

Rencana

G3a

J-LFG sedang

45-59

Evaluasi dan tatalaksana komplikasi

G3b

J-LFG sedang-berat

30-44

Evaluasi dan tatalaksana komplikasi

G4

J-LFG berat

15-29

Persia pan ginjal

G5

Gaga! ginjal kronik (endstage renal diseaseiESRD)

dialisis

I

transplantasi

Dialisis I transplantasi ginjal

<15

label 2. Stadium PGK Berdasarkan Klasifikasi Tekanan Darah 2 .tF~!(!fillro.e:ntt(T;73 ~l · 3

J

Dengan kf!~sakal'l·ginjal

.·ro~pcltbT

Tanpa kerusakan .gli\Jal

Deng~n TOT

tcu1pcl TDT

Hipertensi

Normal

90

60-89

2

2

Hipertensi dengan o&-LFG

o&-LFG*

30-59

3

3

3

3

15-29

4

4

4

4

<15 (atau dialisis)

5

5

5

5

Keterangan : Daerah yang diarsir merupakan PGK beserta stadiumnya. TDT = tekanan darah tinggi I hipertensi, yaitu sistolik '140/90 pada dewasa dan > persentil 90 pada anak menurut tinggi dan berat badan 'Dopa! normal pada bayi dan orang tua

label 3. Kondisi yang Menyebabkan Hasil Positif Palsu pada Proteinuria dan Albuminuria2 PosltHpalso ··· Keseimbangan cairan

Dehidrasi ~ konsentrasi protein urin 1'

Hematuria

Jumlah protein urin 1'

Olahraga

Ekskresi protein urin 1'

lnfeksi

Produksi protein dari organisme dan reaksi selular terhadap organisme terse but

Negatif·polsu.<

Hidrasi berlebihan ~ konsentrasi protein urin -1-

Protein ini biasanya tidak bereaksi sekuat albumin pada reagen dipstick

Protein urin lain selain albumin Obat-obatan

·· '

Urin sangat alkalis (pH >8) dapat bereaksi dengan reagen dipstick

Penilaian awal / skrining pada dewasa dengan risiko tinggi PGK, pemeriksaan sampel albumin urin sebaiknya menggunakan albumin-specific dipstick atau ratio albumin-kreatinin. Sedangkan untuk monitoring proteinuria pada dewasa dengan PGK, ratio protein-kreatinin pada sam pel urin sebaiknya diperiksa menggunakan ratio albumin-kreatinin dan ratio protein total-kreatinin, apabila ratio albumin-kreatinin tinggi (> 500 mg- 1.000 mg/g). 2

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis3.4 •

Riwayat hipertensi, DM, ISK, batu saluran kemih, hipertensi, hiperurisemia, lupus



Riwayat hipertensi dalam kehamilan (pre-eklampsi, abortus spontan)



Riwayat konsumsi obat NSAID, penisilamin, antimikroba, kemoterapi, antiretroviral, proton pump inhibitors, paparan zat kontras



Evaluasi sindrom uremia : lemah, nafsu makan.J-, berat badanJ., mual, muntah, nokturia, sendawa, edema perifer, neuropati perifer, pruritus, kram otot, kejang sampai koma



Riwayat penyakit ginjal pada keluarga, juga evaluasi manifestasi sistem organ seperti auditorik, visual, kulit dan lainnya untuk menilai apa ada PGK yang diturunkan (Sindrom Alport atau Fabry, sistinuria) atau paparan nefrotoksin dari lingkungan (logam berat)

Pemeriksaan Fisik3 • Difokuskan kepada peningkatan tekanan darah dan kerusakan target organ : funduskopi, pemeriksaan pre-kordial (heaving ventrikel kiri, bunyi jantung IV) •

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit : edema, polineuropati



Gangguan endokrin-metabolik: amenorrhea, malnutrisi, gangguan pertumbuhan dan perkembangan, infertilitas dan disfungsi seksual



Gangguan saluran cerna: anoreksia, mual, muntah, nafas bau urin (uremic fetor},



disgeusia (metallic taste), konstipasi Gangguan neuromuskular: letargi, sendawa, asteriksis, mioklonus, fasikulasi otot, restless leg syndrome, miopati, kejang sampai koma



Gangguan dermatologis : pal or, hiperpigmentasi, pruritus, ekimosis, uremic frost, nephrogenic fib rasing dermopathy

Pemeriksaan Penunjang3.4 •

Laboratorium : darah perifer lengkap, penurunan LFG dengan rumus KockroftGault, J.serum ureum dan kreatinin, tes klirens kreatinin (TTK) ukur, asam urat, elektrolit, gula darah, profillipid, analisa gas darah, serologis hepatitis, Sl, TIBC, feritin serum, hormon PTH, albumin, globulin, pemeriksaan imunologi, hemostasis lengkap, urinalisis



Radiologis : foto polos abdomen, BNO IVP, USG, CT scan, ekokardiografi



Biopsi ginjal

Rumus Kockroft-Gault :3

Creatinine Clearance atau LFG = [(140-umur) x berat badan]/(72 x SCr) mljmenit/1,73 m2 Keterangan : pada wanita hasil LFG x 0.85

DIAGNOSIS BANDING Penyakit ginjal akut, Acute on Chronic Kidney Disease TATALAKSANA Nonfarmakologis 1·3.4



Nutrisi: pada pasien non-dialisis dengan LFG <20 mLjmenit, evaluasi status nutrisi dari 1) serum albumin danjatau 2) berat badan aktual tanpa edema. Tabel 2. Anjuran Nutrisi pada PGK berdasarkan LFG 2.4

_,

lin~W~t~~~~>" r':'

:

Tidak dibatasi

25-60

0.6- 0,8 ; termasuk 3 0,35 g/ kgBB/hari protein nilai biologi tinggi

30-35

=:;Jo

5-25

0.6 - 0,8 ; termasuk 3 0,35 g/ kgBB/hari protein nilai biologi tinggi atau tambahan 0,3 g asam amino esensial atau asam keton

30-35

=:;Jo

0,8 (+ 1 g protein I g proteinuria atau 0,3 g/kgBB tambahan asam amino esensial atau asam keton

30-35

::;9

< 60 (sindrom nefrotik)



~~-~ S{~~tlfl~~?rll~~t~l~~~,~~lfia.l7h~#>~!'~l 0,75

>60

Protein: pasien non dialisis 0,6-0,75 gramjkgBB idealjhari sesuai dengan CCT dan toleransi pasien pasien hemodialisis 1-1,2 gramjkgBB idealjhari pasien peritoneal dialisis 1,3 gramjkgBBjhari



Pengaturan asupan lemak: 30-40% dari kalori total dan mengandung jumlah yang sama antara asam lemak be bas jenuh dan tidak jenuh



Pengaturan asupan karbohidrat: 50-60% dari kalori total



Natrium: <2 gramjhari (dalam bentuk garam <6 gramjhari)



Kalium: 40-70 mEqjhari



Fosfor: 5-10 mgjkgBB/hari. Pasien HD: 17 mgjhari



Kalsium: 1400-1600 mg/hari (tidak melebih 2000 mgjhari)



Besi: 10-18 mgjhari



Magnesium: 200-300 mgjhari



Asam folat pasien HD: 5 mg



Air: jumlah urin 24 jam+ 500 ml (insensible water loss).

Farm a kologis 1.3.4 •

Kontrol tekanan darah: Penghambat ACE atau antagonis reseptor Angiotensin II: evaluasi kreatinin dan kalium serum, bila terdapat peningkatan kreatinin >35% atau timbul hiperkalemi harus dihentikan Penghambat kalsium Diuretik



Pada pasien DM, kontrol gula darah: hindari pemakaian metformin dan obat-obat sulfonilurea dengan masa kerja panjang. Target HbA1C untuk DM tipe 1 0,2 di atas nilai normal tertinggi, untuk DM tipe 2 adalah 6%



Koreksi anemia dengan target Hb 10-12 gjdl



Kontrol hiperfosfatemi: kalsium karbonat atau kalsium asetat



Kontrol osteodistrofi renal : Kalsitriol



Koreksi asidosis metabolik dengan target HC03 20-22 mEq/1



Koreksi hiperkalemi



Kontrol dislipidemia dengan target LDL<100 mg/dl, dianjurkan golongan statin



Terapi ginjal pengganti

KOMPLIKASI Kardiovaskular, gangguan keseimbangan cairan, natrium, kalium, kalsium, fosfat, asidosis metabolik, osteodistrofi renal, anemia.1.3 PROGNOSIS Penting sekali untuk merujuk pasien PGK stadium 4 dan 5. Terlambat merujuk (kurang dari 3 bulan sebelum onset terapi penggantian ginjal) berkaitan erat dengan meningkatnya angka mortalitas setelah dialisis dimulai. Pada titik ini, pasien lebih baik ditangani bersama oleh pelayanan kesehatan tingkat primer bersama nefrologis. Selama fase ini, perhatian harus diberikan terutama dalam memberikan edukasi

pada pasien mengenai terapi penggantian ginjal (hemodialisis, dialisis peritoneal, transplantasi) dan pemilihan akses vaskular untuk hemodialisis. Bagi kandidat transplantasi, evaluasi donor harus segera dimulai,l

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Departemen llmu Penyakit Dalam- Divisi Ginjal-Hipertensi



RS non pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam



Hemodialisis

: Subspesialis Ginjal-Hipertensi dan internis dengan sertifikasi hemodialisis

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Unit Hemodialisis, ICUj Medical High Care, Departemen Bedah Urologi



: Unit hemodialisis, ICU, Bagian Bedah

REFERENSI

_J

0

RS non pendidikan

442

1.

Lascano M, Schreiber M. Nurko S. Chronic Kidney Disease. In :Carey W, Abelson A. Dweik R, et al. Current Clinical Medicine. 2nd Edition. The Cleveland Clinic Foundation. Philadelphia : Elsevier. 2010. Hal 853-6

2.

The National Kidney Foundation : NKF KDOQI Clinical Practice guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, classification, and stratification. Am J Kidney Dis 2002;39:S 1-266

3.

Bargman J, Scorecki K. Chronic Kidney Disease. In : Longo DL, Fauci AS. Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL. Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181h Edition. New York, McGrawHill. 2012.

4.

Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam : Sudoyo A. Setiyohadi B. Alwi I. et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II. 2009. Hal 1035-40

PENY AKIT GINJAL POLIKISTIK

PENGERTIAN Merupakan penyakit ginjal yang diturunkan secara autosomal dominan (autosomal dominant polycystic kidney disease/ADPKD) maupun autosomal resesif (autosomal recessive polycystic kidney disease/ARPKD). ADPKD lebih sering dijumpai pacta orang dewasa, sedangkan ARPKD lebih banyak pada anak-anak. Penyakit kista ginjal juga dapat dijumpai pacta beberapa penyakit ginjal keturunan lainnya, seperti di tabel 2. Hampir semua kasus ADPKD disebabkan akibat mutasi pada gen PKDl dan PKD 2. Mutasi gen PKD 2 berjalan lebih lambat dan onset gejala muncullebih lama. Mutasi PKDl mencakup sekitar 85% kasus dan menyebabkan gaga! ginjal yang lebih dini dibandingkan mutasi PKD2. PKDl dan PKD2 merupakan protein transmembran yang ada di semua nefron yang berfungsi dalam regulasi trankripsi gen sel epitel, apoptosis, differensiasi, dan interaksi matriks sel pada fetal dan orang dewasa. Gangguan pada protein akan menyebabkan terganggunya proses-proses tersebut, proliferasi sel berlebihan, sekresi cairan dalam kista. Pad a umumnya penyakit ini akan asimpotomatik, kista akan membesar, menekan parenkim ginjal sekitarnya, secara progresif akan menganggu fungsi ginjal dan menimbulkan gejala. Faktor risiko untuk progresivitas penyakit yaitu usia muda saat terdiagnosa, ras kulit hitam, laki-laki, ditemukan adanya mutasi pada PKDl, dan adanya hipertensi. 1 ARPKD merupakan penyakit primer pada balita dan anak-anak. Pacta SO % neonates akan meninggal karena hipoplasia paru, oligohidromnion karena penyakit ginjal berat, dan sepertiganya akan berkembang menjadi gaga! ginjal tahap akhir. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan ultrasonography saat dalam kandungan. Sampai saat ini belum ada terapi spesifik, yang dilakukan adalah terapi simptomatik sesuai keadaan klinis pasien. 1•2 PENDEKATAN DIAGNOSIS Pacta umumnya diagnosis ditegakkan sebelum timbul keluhan pada saat dilakukan skrining. Diagnosis berdasarkan riwayat keluarga dan pemeriksaan imaging yang menunjukkan kista multipel pada kedua ginjal, bahkan pada hepar. Kriteria untuk

diagnosis ADPKD dengan ultrasonography pacta pasien yang asimpomatik berdasarkan pacta onset yang lama timbul pacta PKDZ dan asumsi bahwa genotip dari individu dan keluarga yang sedang diperiksa tidak diketahui. Sensitifitas dan spesifisitas diagnosis ADPKD berdasarkan usia:

1

Tabell. Sensitifitas dan Spesifisitas Diagnosis ADPKD berdasarkan Usia 1

r~::11~,sr~na~lJ»lt1Z::' ;.~~mia'H;:~~~
~

3

15-29

~

3

82-96

30-39

~3

82-96

~2

40-59 >60

~

4 dalam 1 ginjal

100

100

90

100

90

Anamnesis

Pacta anamnesis perlu ditanyakan riwayat penyakit pacta keluarga, riwayat hipertensi sebelumnya. Gambaran klinis dapat berupa rasa nyeri pacta perut (flank .J

pain), hematuria, infeksi saluaran kemih, dan keluhan poliuria atau nokturia, urin

berwarna merah. 1•2 Sedangkan manifestasi di luar ginjal dapat menyebabkan kista di hati yang membesar sehingga merusak hati dan menimbulkan masalah di abdomen. Kista di limpa dan pankreas umumnya bersifat asimptomatik. Pacta jantung dapat dijumpai kelainan katup. Sehingga perlu ditanyakan keluhan-keluhan yang mencakup organorgan terse but. 1 Pemeriksaan Fisik

Terabanya massa pada abdomen, nyeri tekan pacta abdomen, tanda-tanda peritonitis lokal, hipertensi.

1

Pemeriksaan Penunjang 1·2



Fungsi ginjal : ureum, kreatinin serum



Kultur darah jika curiga ada infeksi

• • •

Urinalisis: proteinuria ringan Ultrasonography Computed tomography (CT): lebih sensitif untuk deteksi pacta usia muda yang



belum ada gejala Magnetic resonance imaging (MR/)-T2: telihat ada kista dalam ginjal

DIAGNOSIS BANDING

Beberapa penyakit ginjal yang diturunkan (tabel 2).1 Tabel2. Penyakit Kista Ginjal yang Diturunkan 1·3

r~~~%~:1x~:Q~:~;~~:!~~:~~~~;r~~r~Pta~roJit~~~~~~~~in~ll~~~i~ti~~1tr~0~_tllJbtii~-t{n~~~t~~~K-~~~~~~~P1~~qi•~:~~~:~~?~·~r~~;~;~~ir~~~~:;<{l~~/~· 1 Nephronophthi- Anak dan dewa sa sis

Medullary Cystic Kidney Disease

Dewasa muda

Tuberous Sclerosis

Dewasa

Von HippeiLindau Disease

Dewasa

• Poliuria, polydipsia, volume depletion, atau asidosis sistemik. • Retinitis pigmentosa (Senior-Loken syndrome), amaurosis, oculomotor apraxia, cerebellar ataxia (Joubert syndrome), polydactyly, mental retardation, hepatic fibrosis, dan ventricular septal defect. • Poliuria, polydipsia, Autosomaldomivolume depletion, nant atau asidosis sistemik. • Gejala ekstrareanal : hiperurisemia • Flank pain AuJoso.-. mal domi- • Hematuria nant • Perdarahan spontan, perdarahan retroperitoneal • Renal cell carcinoma • Ekstrarenal : Facia/ angiofibromas: CNS hamartomas • Kista ginjal; renal Autosomaldomicell carcinoma • Ekstrarenal : Retina/ nan angiomas: CNS

Autosomal recessive

hemangiob/asto~

mas; pheochromocytomas

Riwayat keluarga, gaga! ginjal awal yang progresfi, kelainan pada urin sedimen dengan proteinuria. Didukung dengan pemeriksaan Ultrasonography.

• Tidak spesifik Natirum bikarbonat atau sitrat untuk asidosis • Dialisis • Transplantasi ginjal

Riwayat keluar- • Simptomatik ga, proteiunuria • Dialisis ringan-sedang, • Transplantasi ginjal adanya kista pada pemeriksaan imaging. • Simptomatik Ultrasooograc phyatau CT sesuai klinis scan.

• Percutaneous radio frequency ablation • Sel.ectiv.e arterial embolization • Partial nephrectomy Ultrasonogra• Cairan phy, abdominal • Simptomatik CTscan atau MRI

Medullary Anak dan Autoso• Asimptomatik mal domi- • Hematuria Sponge Kidney dewasa ___________________ ________aan ___ _!__i'lepbrolitbiasiL______lHay,Jotm\ffi.::_____ ------------·-• lnfeksi saluran nous urography kemih

TATALAKSANA Bel urn ada tatalaksana yang dapat mencegah pertumbuhan kista atau penurunan fungsi ginjal. 1•2 • Hipertensi : obat antihipertensi dengan target tekanan darah < 130/90 mmHg. angiotensin-converting enzyme (ACE} inhibitors dan angiotensin receptor blockers (ARBs) dapat memperlambat pertumbuhan volume ginjal dan penurunan glomerular filtration rate (GFR).



Nyeri : obat analgesik, drainase dengan aspirasi perkutan, skleroterapi dengan alkohol, atau tindakan bedah untuk drainase



Jika ada infeksi pada kista : antibiotik yang larut lemak seperti trimethoprimsulfamethoxazole danf/uoroquinolones

• •

Peritoneal atau hemodialisis Tindakan bedah jika kista membesar secara mas if a tau terinfeksinya kista, berupa bilateral nephrectomy dan membutuhkan transplantasi ginjal.

-'

KOMPLIKASI Batu ginjal, infeksi saluran kemih, pielonefritis akut, infeksi pada kista ginjal. 1 PROGNOSIS Risiko untuk menjadi batu ginjal sekitar 2 % pada pasien dengan ADPKD, dan meningkatkan risiko 2-4 kali lipat terjadinya perdarahan serebral dan subaraknoid. Aneurisma sakular pada sirkulasi serebral anterior terdeteksi pada 10% pasien yang asimptomatik saat skrining magnetic resonance angiography {MRA),umumnya kecil dan kecil kemungkinan akan ruptur spontan. Jika ada riwayat keluarga dengan perdarahan intrakranial, maka besar kemungkinan akan terjadi hal serupa sebelum usia 50 tahun; dan jika selamat akan mempunyai aneurisma >10mm dan hipertensi yang tidak terkontrol. Abnormalitas katup jantung terjad pada 25 % kasus. Insiden terjadinya kista hepar berkisar 83% pada pemeriksaan MRI pasien usia 15-46 tahun, wanita mempunyai kecenderungan menjadi kista masif. Sekitar 4 % kasus akan berakhir dengan end-stage renal disease (ESRDP UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Ginjal-Hipertensi- Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

~§~o/akit Ginjal Polikistik '-""

UNIT YANG TERKAIT • RS pendidikan • RS non pendidikan REFERENSI 1.

Sal ant, David J. Polycystic Kidney Disease and Other Inherited Tubular Disorders, In: Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J. Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.

2.

Pirson, Yves. Autosomal Polycystic Kidney Disease, In: Davidson A Cameron J, Grunfeld J, editors. Oxford Textbook of Clinical Nephrology. 2nd ed. United States of America. 1998.

3.

Grantham J, Winklhofer F. Cystic Disease of The Kidney. In: Brenner B, Rector F, editors. Benner & Rector the Kidney. ?'h ed. United States of America; Saunders. 2003.

SINDROM NEFROTIK

PENGERTIAN Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu gambaran klinik penyakit glomerular yang ditandai dengan proteinuria masif >3,5 gram/24 jam disertai hipoalbuminemia <3,5 g/L, edema, hiperkolesterolemia dan lipiduria. 1

J

PENDEKATAN DIAGNOSIS Gejala klasik SN ditandai dengan edema, proteinuria berat , hpoalbuminemia, hperkolesterolemia, dan lipiduria. 2 SN dapat bermanifestasi dengan spektrum keluhan yang luas, mulai dari proteinuria asimtomatik sampai keluhan yang sering yaitu bengkak. Anamnesis 1

Bengkak biasanya berawal pada area dengan tekanan hidrostatik intravaskular yang tinggi seperti kedua kaki dan ankle, tetapi dapat juga terjadi pada area dengan tekanan hidrostatik intravaskular yang rendah seperti periorbita dan skrotum. Bila bengkak hebat dan generalisata dapat bermanifestasi sebagai anasarka. Keluhan huang air kecil berbusa. Gejala-gejala lain dapat muncul sebagai manifestasi penyakit penyebab SN sekunder seperti diabetes melitus, nefritis lupus riwayat obat-obatan, riwayat keganasan atau amyloidosis. Pemeriksaan Fisik 1

Pretibial edema, edema periorbita, edema skrotum, edema anasarka, asites. Xanthelasmas bisa didapatkan akibat hyperlipidemia. Pemeriksaan Penunjang



Laboratorium: Proteinuria masif >3,5 gram/24 jam, hiperlipidemia, hipoalbuminemia ( <3,5 gramfdl), lipiduria, hiperkoagulabilitas



Biopsi ginjal: dapat digunakan untuk penegakkan diagnosis

Tabell. Polo Klinis Sindroma Nefrotik2

t'< i£~~~'iJ,;'t1\i:rio~l:it§lit~~r,~t;~;i;~''ii;~!~~~!,;{~l,;~~I!tlfi~tii~~r~,~, ~:I.;~t:J~~:~~~ai~!i:t'Qtifti!!i~~;{i~~'f,r~~~~ui~~lV;q'i~l!:iM; .1 Minimal change disease

++++

Fokal segmental glomerulonephritis

+++/++++

+

Membranous glomerulonephritis

++++

+

Nefropati diabetik

' ++/++++

-I+

AL dan AA amiloidosis

+++/++++

+

Light-chain deposition disease

+++

+

+++/++++

+

+

+

Fibrillary-immunotactoid disease Fabry's disease

+/++

+

DIAGNOSIS BANDING Edema dan asites akibat penyakit hati atau malnutrisi, diagnosis etiologi SN. 1 TATALAKSANA Nonfarmakologis 1

• •

Istirahat Restriksi protein dengan diet protein 0,8 gramjkgBB idealjhari + .ekskresi protein dalam urin/24 jam. Bila fungsi ginjal sudah menurun, diet protein disesuaikan hingga



0,6 gramjkgBB idealjhari + ekskresi protein dalam urin/24 jam Diet rendah kolesterol <600 mgjhari



Berhenti merokok



Diet rendah garam, restriksi cairan pada edema

Farmakologis 1



Pengobatan edema: diuretik loop



Pengobatan proteinuria dengan penghambat ACE danjatau antagonis reseptor Angiotensin II



Pengobatan dislipidemia dengan golongan statin



Pengobatan hipertensi dengan targettekanan darah <125/75 mmHg. Penghambat ACE dan antagoni's reseptor Angiotensin II sebagai pilihan obat utama



Pengobatan kausal sesuai etiologi SN (lihat topik penyakit glomerular)

KOMPLIKASI Gagal jantung, sirosis hepatis, penyakit ginjal kronik, tromboembolF

-1

PROGNOSIS Hanya sekitar 20% pasien yang menderita fokal glomerulosclerosis mengalami remisi dari proteinuria, 10% membaik tapi masih mengalami proteinuria. Stadium akhir penyakit ginjal berkembang pacta 25-30% pasien dengan fokal segmental glomerulosclerosis dalam waktu 5 tahun dan 30-40% dalam 10 tahun. Prognosis pasien dengan perubahan nefropati minimal memiliki risiko kambuh. Tetapi prognosis jangka panjang untuk fungsi ginjalnya baik, dengan sedikit risiko gagal ginjal. Respon pasien yang buruk terhadap steroid dapat menyebabkan hasil yang buruk. Pacta sindroma nefrotik sekunder, mortalitas dan morbiditas tergantung pacta penyakit primernya. Pacta nefropati, diabetik tingkat proteinuria berhubungan langsung dengan mortalitas. Pacta amyloidosis primer, prognosis buruk, meskipun dengan kemoterapi. Pacta amyloidosis sekunder, perbaikan penyakit penyebab diikuti oleh perbaikan amyloidosis dan sindroma nefrotik yang mengikutiY UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Ginjal-Hipertensi • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan • RS non pendidikan REFERENSI 1.

Sindroma Nefrotik. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 51h ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI, 2009:2009- 15

2.

Glomerular Disease. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of America; The McGrawHill Companies, 2012:2911 -39

3.

Donadio JV Jr, Torres VE, Velosa JA, Wagoner RD, Holley KE, Okamura M.ldiopathic membranous nephropathy: the natural history of untreated patients. Kidney Int. Mar 1988;33(3) :708-15. [Medline].

4.

Jude EB, Anderson SG, Cruickshank JK, et al. Natural history and prognostic factors of diabetic nephropathy in type 2 diabetes. Quart J Med. 2002;95:371-7. [Medline].

PENATALAKSANAAN Dl BIDANG llMU PENYAKIT DAlAM

PANDOAN PRAKTIK KliNIS HEMATOLOGI ME Anemia Aplastik .................................,.......•......

Anemia Penyakit Kronik .................................................... ,.._.. Dasar-Dasar Kemoterapi ......................................................... Diatesis Hemoragik ·································~·······•·····~............... . Hemoglobinopati .........................._.--...•.. .._...........,..... ""'..-..,. ..... .._.

Limfoma ......................... ·····················V. ···""'"""'········ .....- . . -•.•.. Polisitemia Vera ........................... ~f Sindrom Antifosfolipid ................. 1 .......~ .. ....... .. ···y··-:;·,, __ , Sindrom Lisis Tumor ...............................................~'' : -:.~5 ., ( . ' Terapi Suportif pada Pasien Kanker ................... 1._,••...... ~,..... .5~7 I / ,.-. Trombosis Vena Dalam ...................... ~......... ::. ..... :.:::··;;:::~:~:::.544 Trombositosis Esensiai. ................................................ J............. 551

........,.......,...................... /

1 .':·:.... _,_. . . . ." .•••

('

1

"/'

ANEMIA APLASTIK PENGERTIAN Anemia aplastik (AA) adalah suatu kelainan hematologi dengan manifastasi klinis pansitopenia dan hiposelularitas pacta sumsum tulang, dapat bersifat didapat atau diturunkan (Tabel1) 1•2 Tabel 1. Klasifikasi Anemia Aplastik Berdasarkan Etiologi1· 2 Acquired

ldiopatik (autoimun}

TERC, TERT. TERF 1 & 2, TIN2 susceptibility mutations

Obat-obatan

sulfonamid, kloramfenikol, aspirin.fenilbutazon, PTU, salicylamide, kuinidin, karbamazepin, hidantoin, felbamate, tiklopidin, furosemid

Toksin

Benzene, chlorinated hydrocarbons, organofosfat

Virus

Virus Epstein-Barr, virus hepatitis non-A. non-B. non-C. non-D. non-E, and non-G. human immunodeficiency virus {HIV}

Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria

Autoimun/connective tissue disorders

Eosinophilic fasciitis, Immune thyroid disease {Graves disease, Hashimoto thyroiditis), Rheumatoid arthritis, Systemic lupus erythematosus, Thymoma

Kehamilan Herediter

Anemia Fanconi, diskeratosis kongenital, shwachman-diamond syndrome

Berdasarkan beratnya penyakit, AA dapat dibagi: 1. Anemia aplastik berat

Selularitas sumsum tulang < 25% dan terdapat 2 dari 3 gejala berikut •

Granulosit < 500/ul



Trombosit < 20.000/ul

• Retikulosit < 10 o/oo 2. Anemia aplastik sangat berat •

Seperti anemia apalastik berat

• Netrofil < 0.2 x 10 9 /L 3. Anemia aplastik tidak berat •

Tidak memenuhi kedua kriteria di atas

Panduan PrakUk llinis

Perhini~unOn· Dolder. Spesiq.lls P~yaldt Dalam ln'doneisia

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Onset keluhan dapat terjadi perlahan-perlahan berupa lemah, dyspnea, rasa lelah, pusing, adanya perdarahan (petekie, epistaksis, perdarahan dari vagina, atau lokasi lain) dapat disertai demam dan menggigil akibat infeksi. Riwayat paparan terhadap zat toksik (obat, lingkungan kerja, hobi), menderita infeksi virus 6 bulan terakhir (hepatitis, parvovirus ), pernah mendapat transfusi darah 1·3 Pemeriksaan Fisik

Pasien tampak pucat pada konjungtiva atau kutaneus, resting tachycardia, perdarahan (ekimosis, petekie, perdarahan gusi, purpura). Jika ditemukan limfadenopati dan splenomegali perlu dicurigai adanya leukemia atau limfomaY Pemeriksaan PenunjangL 2



Normositik normokrom, makrositik



Darah tepi lengkap ditemukan pansitopenia, tidak terdapat sel abnormal pada hitung jenis leukosit

• •

Hi tung retikulosit: rendah ( < 1 %) Serologi virus (hepatitis)



Aspirasi dan biopsi sumsum tulang: terdapat spicules yang kosong, terisi lemak,

-1

dan sel hematopoietik yang sedikit. Limfosit, sel plasma, makrofag, dan sel mast mungkin prominen •

MRI (Magnetic resonance imaging): membedakan lemak pada sumsum tulang dengan sel hematopoietic, mengestimasi densitas sel hematopoietik pad a sumsum tulang, dan membedakan anemia aplastik dengan leukemia mielogenik hipoplasia.

DIAGNOSIS BANDING Sindrom mielodisplastik (MDS), anemia karena keganasan sumsum tulang, hipersplenisme, leukemia akutM

TATALAKSANA Pemilihan terapi berdasarkan beberapa faktor seperti usia pasien, kondisi umum, dan ketersediaan donor stem cel/. 1 Tatalaksana Penunjang1.2



Menghentikan obat-obatan yang diduga sebagai faktor pencetus dan mengganti dengan obat lain yang lebih aman



Transfusi komponen darah (PRCjpacked red cell danjatau TC) sesuai indikasi (pada topik transfusi darah)



Menghindari dan mengatasi infeksi: antibiotik spektrum luas

• •

Kortikosteroid: prednison 1-2 mg/ kgBB/ hari, metilprednisolon 1 mg/kg be rat badan Androgen: Metenolol asetat 2-3 mgjkgBBjhari, maksimal diberikan selama 3 bulan.Nandrolone decanoate 400 mg IM (intramuskular)jminggu



Terapi imunosupresif: • Siklosporin 10-12 mgjkgBB/hari selama 4-6 bulan •



ATG (anti thymocyte globulin) 15-40 mgj kgBB jhari intravena selama 4-10 hari

Terapi kombinasi: untuk anemia aplastik berat. ATG 40 mg/kgjhari untuk 4 hari, siklosporin 10-12 mgjkgjhari for 6 bulan, dan metilprednisolon 1 mg/kgjhari untuk 2 minggu. •

Transplantasi sumsum tulang alogenik, bila ditemukan HLA yang cocok, dilakukan tes histokompatibilitas pada pasien, orang tua, dan keluarga.

Kriteria Respons Tatalaksana 2 label 2. Kriteria Respon Tatalaksana Anemia Aplastik2 Anemia aplastik berat

Anemia aplastik tidak berat

Tidak respon

anemia aplastik berat menetap

Respon parsial

membutuhkan transfusi darah merah dan trombosit, tidak memenuhi kriteria untuk anemia aplastik berat

Respon komplit

Hb normal, netrofil > 1.5x1 09/L, trombosit > 150 x1 09/L

Tidak respon

Memburuk atau tidak memenuhi kriteria di bwah ini

Respon parsial

• Tidak membutuhkan transfusi darah jika sebelumnya tergantung transfusi darah, atau • Normalnya minimal 1 sel, atau • Meningkatnya hemoglobin > 30 g/L • Meningkatnya netrofil >0.5x109/L • Meningkatnya trombosit > 20x109/L

Penyebab kegagalan terapi dapat karena kelelahan cadangan sel asal, imunosupresi tidak cukup, kesalahan dalam mendiagnosis, atau adanya kegagalan sums urn tulang herediter. 4

KOMPLIKASI Infeksi (bisa fatal), perdarahan, gagal jan tung akibat anemia berat 3 PROGNOSIS Tergantung pada jumlah neutrofil, trombosit, dan ada tidaknya komorbiditas. Jumlah neutrofil < 200/111 mempunyai respon yang rendah terhadap imunoterapi.

Transplantasi sumsum tulang dapat menyembuhkan pada 80% pasien berusia < 20 tahun, 70% pada usia 20-40 tahun, dan 50% pada usia> 40 tahun. Pacta pasien yang menerima terapi dengan siklosporin sebelum transplantasi, risiko menjadi kanker sebesar 11%. Dalam 10 tahun, anemia aplastik dapat berkembang menjadi paroxysmal

nocturnal hemoglobinuria, sindrom mielodisplastik, atau leukemia mielogenik akut sebesar 40% pasien yang menerima terapi imunosupresan. Angka relaps pada pasien yang menerima imunosupresi adalah 35% dalam 7 tahun. 4 Pada 168 pasien yang menerima transplantasC angka harapan hidup dalam 15 tahun sebesar 69 %, sedangkan pada 227 pasien yang menerima terapi imunosupresan angka harapan hid up hanya 38%. 1

UNIT YANG ME NANG ANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi Onkologi Medik



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

-1

UNIT YANG TERKAIT •

RS pendidikan

: Unit Transfusi Darah



RS non pendidikan

: Unit Transfusi Darah

REFERENSI 1.

Lichtman M. Aplastic Anemia: Overview. In: Lichtman M, Beutler E, Kipps T, editors. Williams Hematology 7'h ed. Me Grow Hill. Chapter 33

2.

Marsh J. et all. Guidelines for the diagnosis and management of aplastic anaemia., British Journal of Haematology, 147, 43-70.2010. Diunduh dari http:/ /www.bcshguidelines.com/docurnents/ Aplast_anaern_bjhjune2010.pdf pada tanggal22 Mei 2012

3.

Young N.S .. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failure syndromes: introduction. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of Internal Medicine 18'h edition.United States of America.Mcgraw Hill. 2012

4.

Widjanarko A Sudoyo A Salonder, H. Anemia aplastik. Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 201 0. Hal.111 7-1126

ANEMIA DEFISIENSI BESI

PENGERTIAN Anemia adalah menurunnya kadar hemoglobin (Hb) di bawah normal yang disebabkan banyak faktor seperti defisiensi besi, asam folat, 812, hemolitik, aplastik, atau penyakit sistemik kronik. Nilai normal hemoglobin bervariasi sesuai usia dan jenis kelamin, sehingga nilai yang digunakan sebagai patokan untuk mendiagnosis anemi yaitu: 1 label 1. Nilai Hb untuk Kriteria Anemia 1

Usia 6 bulan- 4.9 tahun

< 11 g/dl

Usia 5 tahun -11.9 tahun

< 11.5 g/dl

Wanita menstruasi

< 12 g/dl

Wanita hamil pada trimester I dan Ill

< 11 g/dl

< 11 g/di

Wanita hamil pada trimester II

< 11 g/dl

< 10.5 g/dl

Laki-laki

< 13 g/dl

Anemia defisiensi besi adalah salah satu golongan anemia hipoproliferatif yang disebabkan karena kelainan metabolisme besi. Besi merupakan elemen penting dalam fungsi semua sel karena perannya dalam transport oksigen sebagai bagian dari hemoglobin. Besi juga merupakan bagian penting dari enzim sitokrom dalam mitokondria. Jika kekurangan besi maka sel akan kehilangan kemampuan dalam transpor elektron dan metabolisme energi, sehingga mengganggu sintesis Hb. Metabolisme sel besi lebih dipengaruhi absorbsi daripada eksresi. Kehilangan besi terjadi karena perdarahan atau kehilangan sel. Laki-laki dan wanita yang tidak menstruasi kehilangan besi sebesar 1 mgjhari, sedangkan wanita yang sedang menstruasi kehilangan besi 0.6-2.5 %/hari. Besi akan diabsorbsi dari saluran cerna (proksimal usus halus) dalam bentukferrous atau dari cadangan ke dalam sirkulasi dan berikatan dengan transferin (protein pengangkut besi). Distribusi besi dalam tubuh terbagi menjadi: 2

Perhif!1P~;'ai,l ~k:t6r,Speslplis P~~ya~f.Dalqrn ~··

Tabel 2. Distribusi Besi dalam Tubuh 2

[1';: ;)'':~,:C',;> ~~'~§~~~~~f~wk~1~~~\iti~~~~#;~ Hemoglobin

2500

1700

Mioglobin

500

300

Transferin

3

3

Cadangan besi

600-1000

0-300

.

Absorbsi besi dihambat oleh oksalat, phytates, fosfat, dan red wine. Sedangkan yang dapat meningkatkan absorbsi besi yaitu hidrokuinon, askorbat, laktat, piruvat, suksinat, fruktosa, sistein, dan sorbitol. Progresivitas defisiensi besi dapat dibedakan menjadi 3 stadium yaitu negative iron balance, iron-deficient erythropoiesis, dan anemia defisiensi besi seperti pada tabel di bawah ini: 2•3 Tabel 3. Stadium Defisiensi BesF

-'

~\~-t~~-Cadangan besi

normal

<

<<

<<<

Erythron iron

normal

<

<<

<<<

1-3 +

0-1 +

0

0

Marrow iron store Feritin serum (IJg/L)

50-200

<20

<15

<15

TIBC (IJg/dl)

300-360

>360

>380

>400

Sl (IJg/dl)

50-150

NL

<50

<30

.. 30-50.

NL

<20

<10

Marrow sideroblast (%)

40-60

NL

<10

<10

RBC protoporphyrin {IJg/dl)

30-50

NL

>100

>200

NL

NL

NL

Mikrositik/ hipokrom

Kelainan sintesis Hb

Penurunan Hb dan hematokrit

Saturasi(%)

Morfologi RBC Faktor penyebab

Kebutuhan besi lebih besar daripada kemampuan absorbsi dari makanan

Etologi

Perdarahan, kehamilan, pertumbuhan cepat pada masa remaja, diit tidak odeku_at

Keterangan: total iron-binding capacity (TIBC), serum iron (SI}

Penyebab dari defisiensi besi dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Penyebab Defisiensi BesF· 3 Meningkatnya kebutuhan besi

• Pertumbuhan cepat pada masa anak-anak atau remaja

• Kehamilan • Terapi eritropoietin Menlngkatkan kehllangan besi

Menurunnya absorbs! besl

• Perdarahan akut atau kronik

• • • •

Menstruasi Donasi darah Flebotomi Diet inadekuat

• Malabsorpsi {sprue, Crohn's disease) • Malabsorption from surgery {postgastrectomy} • lnflamasi akut atau kronik

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Gejala klinis bervariasi tergantung beratnya dan lamanya anema, berupa rasa lemah dan Ielah, sakit kepala, light-headedness, kesemutan, rambut rontok, restless leg, dan gejala angina pektoris pada kasus berat. Gejala khas yaitu adanya glositis, disfagia, pica, koilonychia (spoon nail) jarang ditemukan. 3 Pemeriksaan Fisik

Pasien tampak lemah dan pucat (anemis ), disertai takikardia, adanya glositis ( lidah bewarna merah dan permukaannya licin), stomatitis, angular cheilitis, koilonychia. Perdarahan maupun adanya eksudat pada retina dapat ditemukan pad a anemia be rat. Splenomegali mengindikasikan adanya penyebab defisiensi besi lainnya.3.4 Pemeriksaan Penunjang 1·3

• • • • • • • • •

DPL: Hb menurun, leukosit menurun, trombosit meningkatjmenurun Retikulosit: normal atau menurun Morfologi eritrosit: mikrositik hipokrom Sediaan darah tepi: adanya anisositosis Besi serum: menurun Feritin serum: hasil bervariasi seperti pada tabel 3 Transferin: meningkat TIBC: meningkat Saturasi transferin: menurun

Pendekatan diagnosis anemia defisiensi besi: 1 Anemia, MCV < 95 jjm3 {95 fl)

Periksa feritin

t

~

_J 1

:> 45 ng per ml {45 meg per L

146 to 99 ng per ml {46 to 99 meg per L)

+ TIBCmeningkat, besi serum menurun, transferin menurun saturation

I

+ Hasillain : eek TfR

I

100 ng per ml {100 meg per L)

1

l I

TIBC menurun, FE meningkat. Saturasi transferrin meningkat

+

I

I TfR menurun I

Hasillain : jika dieurigai periksa biopsi sumsum tulang

+

L...------+1:

1

1

ITfR meningkat I

J

l

~

Besi rendah

+

I

+ Anemia defisiensi besi

I

Besi normal

A . nem1a defisiensi

..._

besi-

I

+ I I Cari penyebab lain I

+

terapi Keterangan : ng : Nanogram meg : microgram ~m : mikrometer

Algoritme 1. Pendekatan Diagnosis Anemia Defisiensi Besi'

DIAGNOSIS BANDING Talasemia, anemia sideroblastik, anemia penyakit kronik, dan keracunan logam berat3

TATALAKSANA •

Tatalaksana diet 3 Makan makanan yang bervariasi untuk memenuhi kebutuhan nutrisi Makan makanan yang mengandung zat besi tinggi, seperti daging merah



Preparat besi oraF· 3 Preparat besi inorganik mengandung 30 dan 100 mg besi elementaL Oasis 200-300 mg besi elemental per hari harus diabsorbsi sebanyak 50 mgjhari. Tujuan terapi tidak hanya memperbaiki anemia tetapi juga menambah cadangan besi minimal 0.5-1 gram, sehingga diperlukan terapi selama 6-12 bulan setelah anemia terkoreksi. Oasis: 3-4 kali 1 tablet (150 dan 200 mg) diminum 1 jam sebelum makan. Efek sam ping: mual, heartburn, konstipasi, meta lie taste, buang air besar hi tam Macam-macam preparat besi oral:

Tabel5. Preparat Besi OraF

~~~~~t~&:9tfj~9:~,n~li~~'fi§1~~ogi!fJt~til~ram'l~~~~~!lll&~~«Jfmisi!\f[~D!IQiiill~~~l}A!~l Ferrous sulfate

325 (65) 195 (39) 525 (105) 325 (107) 195 (64) 325 (39) 150 (150)

Extended release Ferrous fumarate Ferrous gluconate Polysaccharide iron

300 (60) 90 {18) 100 (33)

300 (35) 100 (100)

50 (50)



Preparat besi parenteraJ3 Indikasi: malabsorbsi, intoleransi terhadap preparat oral, dibutuhkan dalam jumlah banyak. Oasis besi (mg)

=(15-Hb yang diperiksa) x berat badan (kg) x 2.3 + 500 atau

1000 mg (untuk cadangan) 2 Iron sucrose: 5 ml (100 mg besi elemental) diberikan secara intravena tidak melebihi 3x seminggu. Efek samping: hipotensi, kram, mual, sakit kepala, muntah, dan diare Iron Dextran: dosis untuk tes 0.5 ml secara intravena sebelum terapi dimulai,

selanjutnya diberikan 2m! setiap dosis. Efek sam ping: hipotensi, mialgia, sakit kepala, nyeri perut, mual dan muntah, limfadenopati, efusi pleura, pruritus, urtikaria, kejang, flushing, menggigil, flebitis, dizziness •

Transfusi sel darah merah: diberikan jika ada gejala anemia, instabilitas kardiovaskular, perdarahan masih berlangsung, dan membutuhkan intervensi segera. 2

KOMPLIKASI Gangguan jantung (kardiomegali a tau gaga! jantung), gangguan pertumbuhan pad a anak dan remaja. 2•3

PROGNOSIS Jika penyebab defisiensi besi diatasi maka prognosis akan baik. Terapi inadekuat akan menyebabkan anemia rekuren, sehingga terapi harus diberikan minimal12 bulan setelah anemia terkoreksi. 2•3 UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi Onkologi Medik • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT YANG TERKAIT • •RS pendidikan

: De parte men Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Gastroenterologi bila yang absobsi

• -'

RS non pendidikan

REFERENSI 1.

Killip S. Iron Deficiency Anemia. American Academy of Family Physicians. Volume 75, Number 5. 2007. Diunduh dari www.aafp.org/afp pada tanggal23 Mei 2012.

2.

Adamson J.lron deficiency and other hypoproliferative anemias. ln:Longo DL. Kasper DL. Jameson DL. Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrison's Principals of Internal Medicine 18'" ed. Me Grow Hill. Chapter 98

3.

Beutler E. Disorders of iron metabolism. ln:Lichtman M, Beutler E, Kipps T. editors. Williams Hematology 7'" ed. Me Grow Hill. Chapter 40

4.

Bakta I, Suega B, Charmayuda T. Anemia defisiensi besi. Dalam: Suyono, S. Waspadji. S. Lesmana. L. Alwi. I. Setiati. S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010. Hal.1127-1140.

ANEMIA HEMOLITIK

PENGERTIAN Anemia hemolitik adalah anemia yang terjadi karena destruksi atau pembuangan sel darah merah dari sirkulasi sebelum waktunya, yaitu 120 hari yang merupakan masa hid up sel darah merah normal. Ada 2 mekanisme terjadinya hemolitik yaitu :1•2 destruksi sel darah merah terjadi di dalam sirkulasi • hemolitik intravaskular pembuluh darah dengan pelepasan isi sel ke dalam plasma. Penyebabnya antara lain karena trauma mekanik dari endotel yang rusak, fiksasi komplemen serta aktivasi pada permukaan sel, dan infeksi. •

hemolitik ekstravaskular

destruksi sel darah merah yang ada kelainan membran oleh makrofag di limpa dan hati. Sirkulasi darah difiltrasi melalui splenic cords menuju sinusoid limpa. Sel darah merah dengan abnormalitas struktur membran tidak dapat melewati proses filtrasi sehingga difagositosis dan dihancurkan oleh

makrofag yang ada di sinusoid. Klasifikasi anemia hemolitk dapat berdasarkan mekanisme terjadinya, secara klinis (akut atau kronik), dan berdasarkan penyebabnya :3 label 1. Klasifikasi Anemia Hemolitik3

Herediter

Hemoglobinopati, Enzymopathies. defek membran-sitoskeletal

Familial (atypical) hemolytic uremic syndrome

Acquired

Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH)

Destruksi mekanis (microangiopathic), zot toksik, obat-obatan, infeksi, autoimun

DIAGNOSIS ANEMIA HEMOLITIK ~

Tabel 2. Diagnosis dan Terapi Anemia Hemolitik1·2

J.krG~~~~~··· "···· Acquired

OL

••

,

•••



••••



•.•

c,___ • ·''

ldiopatik, keganasan, kelainan autoimun, obat-obatan, infeksi. tranfusi darah

Sferosit dan DAT (direct antiglobulin test ) +

TTP, HUS, DIC, Gangguan mekaniksel eklamsia, darah merah preeklamsia, di sirkulasi hipertensi malignan, katup jantung prostetik. Malaria, babesiosis, klostridium

Schistocytes

Immune-mediated Antibody terhadap antigen permukaan sel darah merah

Microangiopathic

lnfeksi

Herediter Enzymopathies

-· •· • • • :·.~~*{~~':'~~fJj~tisl$

Defisiensi G6PD

lnfeksi, obatobatan,

Membranopathies Sferositosis herediter

Hemoglobinopati

Talasemia dan sickle cell disease

Kelerangan : TfP =thrombotic thrombocytopenic purpura; HUS coagulation; G6PD = glucose-6-phosphate dehydrogenase.

Kultur, serologis, a pusan darah tebal dan tipis Enzim G6PD rendah,

Atasi penyebab, hentikan obat-obatan yang menjadi penyebab, hindari suhu dingin, steroid, gama globulin IV (intravena), plasmaferesis, sitotoksik, danazol. splenektomi, Atasi penyebabnya

Antibiotik

Atasi infeksi dan menghentikan obat-obatan Splenektomi

Sferosit, riwayat keluarga, DATHemoglobin, Asam folat, elektroforesis, transfusi pemeriksaan genetic

=hemolytic uremic syndrome; DIC =disseminated intravascular

Pendekatan diagnosis pada anemia hemolitik yaitu :1

I

AIPerbllirublnemla indirek

Anemia

~

I

+

Relikulositosis

-

Evaluasi hemolisis : DPL retikulosil, LDH. Bilirubin indirek, haptoglobulin. SDT (sediaan darah tepi)

I

I ~ I

Tidak

I

Pikirkan diagnosis lain, termasuk yang menyebabkan normosilik normokrom. seperti penyakil kronik, gaga I ginjal kronik

~

Immune hemolysis: kelainan limfoproliferalif/keganasan, penyakil auloimun, infeksi, transfusi darah

a pusan darah tebal dan lipis, kullur darah, serologis Babersia

PT/PTI, fungsi ginjal dan hali. teakanan darah

TIP, HUS, DIC, eklamsia, preeklamsia. hipertensi malignan, prosthetic valve

Keterangan : LDL : Laktat dehidrogenase PT : Prothrombin time PTI : Partial thromboplastin time HUS: Hemolytic Uremic Syndrome

DAT G6PD TIP DIC

: Direct antiglobulin test : Glucose-6-phosphate dehydrogenase : Thrombotic Thrombocytopenic Purpura : Disseminated intravascular coagulation

Gamber 1. Algoritme Evaluasi Anemia Hemolitk1

Pada bab ini akan dibahas mengenai anemia hemolitik autoimun secara khusus.

ANEMIA HEMOLITIK AUTOIMUN PENGERTIAN Anemia hemolitik autoimun (AHA) adalah anemia hemolitkyang ditandai adanya autoantibodi terhadap sel darah merah autolog yang ditandai dengan pemeriksaan DAT jtes Coombs yang positif. Penyebab pasti belum diketahui. Klasifikasi dari anemia hemolitik autoimun yaitu:M (Tabel 3) Tabel 3. Klasifikasi Anemia Hemolitik Autoimun'A Tipewarm autoantibody : Autoantibodi akan aldif secara maksimal pada suhu tubuh 37UC

Primary or idiopathic warm AHA Secondary warm AHA

Berhubungan dengan kelainan limfoproliferatit seperti penyakit Hodgkin, limfoma Berhubungan dengan penyakit rheumatik, seperti SLE Berkaitan dengan penyakit inflamasi kronik tertentu, seperti colitis ulseratif Berkaitan dengan keganasan limfoid tertentu, seperti tumor ovarian

J

Berkaitan dengan konsumsi obat-obatan tertentu, seperti metildopa Tipeco/dautoantibody Autoantibodi akan aktif secara maksimal pada suhu tubuh < 37°C

Diperantarai oleh cold agglutinins

Idiopathic (primary) chronic cold agglutinin disease Secondary cold agglutinin hemolytic anemia : post infeksi (Mycoplasma pneumonia, mononucleosis), berkaitan dengan keganasan sel B, kelainan, limfoproliferatif

Diperantarai oleh cold hemolysins

Mixed cold and warm autoantibodies

Primary or idiopathic mixed AHA

Drug-immune henfo/Ytic anemia·

Hapten or drug adsorption mechanism . .. - .

Secondary mixed AHA ·

Ternary (immune) complex mechanism True autoantibody mechanism

Primary or idiopathic mixed AHA Secondary: Anemia hemolitik Donath-Landsteiner ,umumnya berhubungan dengan sindrom virus akut pada anak-anak (sering) Sifilis kongenitl/tertier pada dewasa (jarang)

Berhubungan dengan penyakit rheumatik seperti SLE

Pada umumnya 80% kasus tergolong warm-reactive antibodies terhadap IgG. Golongan cold agglutinins mempunyai autoantibody terhadap IgM, dan cold hemolysins terhadap lgG. Autoantibodi akan terikat pada sel darah merah. Pada saat

sel darah merah dilapisi oleh antibodi, maka akan difagositosis oleh makrofag dan memicu terjadinya eritrofagositosis yang dapat berlangsung intravaskular maupun ekstravaskular. PENDEKATAN DIAGNOSIS Tabel 4. Diagnosis Anemia Hemolitik Autoimun 2·4

~~~i:ir~~i~Zt~~f~~-~,~~~1~~~~~~f~~i~~~j~f1m{m!~~~~cti!llt~~~~~~~~l~~~~~~~~~!:~·a~~~~l?f~~~~1~t%~~~~~ Anamnesis

Keluhan anemia, ikterik. Keluhan penyakit penyebabnya. Keluhan angina atau gaga I jantung. Riwayat dalam keluarga. Dapat akut maupun kronik

Berlangsung kronik. Self limiting dalam 1-3 mingu

Pemeriksaan fisik

Dapat normal, pucat, ikterik, takikardia, demam, hepatosplenomegali

lkterik +/-,acrocyanosis, dapat ditemukan ulserasi kulit dan nekrosis. Splenomegali +/-

Pemeriksaan penunjang

DPL : hemoglobin menurun, hematokrit < 10% atau normal jika sudah terkompensasi, leukopenia, neutropenia, trombosit normal

DPL : hemoglobin menurun, hematokrit 15-20%

Hitung retikulosit : meningkat Bilirubin plasma : peningkatan bilirubin unconjugated dan bilirubin total Laktat dehidrogenase : meningkat, merupakan hasil dari destruksi sel darah merah Haptoglobin : menurun Sediaan darah tepi : sferosit. fragment sel darah merah, sel darah merah berinti DAT +: terdeteksi adanya autoantibody dan/atau frogmen proteolitik dari komplemen (C3)

Sediaan darah tepi : autoaglutinasi Bilirubin plasma : peningkatan bilirubin unconjugated dan bilirubin total Laktat dehidrogenase : meningkat, merupakan hasil dari destruksi sel darah merah Haptoglobin : menurun DAT +: hanya terdeteksi komplemen Urinalisis: urobilinogen+, bilirubin +/-,hemoglobinuria Aspirasi sumsum tulang : eritroid hiperplasia

Urinalisis : urobilinogen +, bilirubin +1-: hemo~;~l()binuria Aspirasi sumsum tulang : eritroid hiperplasia

Direct antiglobulin test (DA T)

Diagnosis untuk anemia hemolitik autoimun membutuhkan adanya immunoglobulin danjatau komplemen yangterikatpada sel darah merah. Hasil yangpositifmenandakan



bahwa sel darah merah terlapisis oleh lg G a tau komplemen terutama C3. Hasil positif lemah juga dapat ditemukan tanpa adanya tanda hemolisis. Pada 34 % kasus positif pada pasien AIDS denganjatau tanpa tanda hemolisis. Hasil negatif ditemukan pada 2-5 % kasus karena jumlah globulin pada pada permukaan sangat sedikit sehingga tidak terdeteksi. Metode lama (tube method) hanya dapat mendeteksi sampai 150200 molekul lg Gjsel, sedangkan dengan metode terbaru sedikitnya 8 Ig G molekulj sel akan menimbulkan aglutinasi sebanyak 5 %. Ada 3 kemungkinan pola reaksi pada DAT yaitu :4•5 Tabel 5. Kemungkinan Polo Reaksi pada DAT4

~Ill-AHA Warm-Antibody, drug-immune hemolytic anemia, Hapten or

Hanya lg G

drug adsorption mechanism

Hanya komplemen

AHA Warm-Antibody dengan deposit lgG yang sedikit (subthreshold}, penyakit cold agglutinins, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH)drug-immune hemolytic anemia : tipe ternary complex

lg G dan komplemen

AHA Warm-Antibody, drug-immune hemolytic anemia : tipe autoantibodi.

J

DIAGNOSIS BANDING

Penyakit autoimun lain seperti sferositosis herediter (hereditary spherocytosis/ HS), Zieve syndrome, sepsis karena klostridium, anemia hemolitik yang mengawali penyakit Wilson. 4 TATALAKSANA

Jika pasien mengalami hemolisis minimal, hematokrit stabil, dengan DAT positif umumnya tidak membutuhkan terapi dan hanya diobservasi jika terjadi kelainan klinis. Transfusi PRC (packed red cell} dapat diberikan terutama jika ada penyakit komorbid seperti penyakit arteri koroner simptomatik atau anemia berat dengan kegagalan sirkulasi seperti pada paroxysmal cold hemoglobinuria. 4 Anemia Hemolitik Autoimun dengan Warm-AntibodyL 4· 6



Glukokortikoid: o

Menurunkan angka kematian pada kasus berat, memperlambat proses hemolisis

o

20% kasus remisi komplit dan 10 % kasus berespon minimal atau tidak

o

berespon terhadap glukokortikoid. Prednison 60-100 mg po (per oral) sampai hematokrit stabil atau mulai

meningkat, dosis diturunkan sampai mencapai 30 mgjhari. Jika keadaan membaik, prednison dapat diturunkan Smgjhari setiap minggu sampai mencapai dosis 15-20 mgjhari, yang selanjutnya diberikan selama 2-3 bulan setelah episode akut hemolitik reda. Terapi dapat dihentikan setelah 1-2 bulan atau diganti alternate-day therapy schedule. o Alternate-day therapy schedule: hanya dapat diberikan setelah remisi stabil pada dosis prednison 15-20 mgjhari, untuk mengurangi efek samping o

glukokortikoid. Terapi diberikan sampai DAT negatif. Metilprednisolon 100-200 mg IV (dosis terbagi) dalam 24 jam pertama, atau prednison dosis tinggi selama 10-14 hari jika keadaannya berat

o

Jika terapi dihentikan, masih dapat terjadi remisi, sehingga harus dilakukan pemantauan minimal beberapa tahun setelah terapi. Jika remisi makan diperlukan terapi glukokortikoid ulang, splenektomi, atau imunosupresan.



Rituximab o Antibodi monoklonal terhadap antigen CD 20 yang ada pada limfosit B, sehingga

dapat mengeliminasi limfosit B pada kasus AHA o •

Dosis: 375 mg/m 2 jminggu selama 2-4 minggu

Obat imunosupresan o cyclophosphamide, 6-mercaptopurine, azathioprine, and 6-thioguanine: dapat mensupresi sintesis autoantibodi. o

cyclophosphamide SO mgjkg berat badan ideljhari selama 4 hari berturut-

o

turut. Jika pasien tidak dapat mentoleransi dapat diberikan cyclophosphamide 60 mgjm 2 azathioprine 80 mg/m 2 setiap hari.

o

Jika pasien dapat mentoleransi: terapi dilanjutkan sampai 6 bulan untuk melihat respon. Jika berespon, dosis dapat diturunkan. Jika tidak ada respon, dapat digunakan obat alternatif lain.



o

Indikasi: jika tidak respon terhadap terapi glukokortikoid

o o

Selama terapi: monitor DPL, retikulosit Efek samping: meningkatkan risiko keganasan, sistitis hemoragik berat.

Splenektomi : o Indikasi: pasien yang mendapatkan prednison berkepanjangan > 15 mgjhari o

untuk menjaga konsentrasi haemoglobin 2 minggu sebelum operasi, diberikan vaksinasi H. influenzae type b, pneumococcal, dan meningococcal

• ~

Tatalaksana lain : o

Asam folat 1 mgjhari : untuk memenuhi kebutuhan produksi sel darah merah yang meningkat.

o

Plasmaferesis: masih kontroversial

o o

Thymectomy: pada anakyang refrakterterhadap glukokortikoid dan splenektomi Danazol: golongan androgen, dikombinasi dengan prednison dapat menurunkan

kebutuhan splenektomi, memperpendek durasi prednison o

Globulin IV dosis tinggi

o

Purine analogue 2-chlorodeoxyadenosine {cladribine)

Anemia Hemolitik Autoimun dengan Cold-Antibody 1A· 6

_,



Menjaga suhu pasien tetap hangat, terutama daerah ekstremitas



Rituximab: 375 mg/m 2 /minggu selama 4 minggu dapat meningkatkan hemoglobin



Klorambusil, siklofosfamid

• •

Interferon: menurunkan titer aglutinin Plasma exchange

KOMPLIKASI

Emboli paru, infeksi, kolaps kardiovaskular, tromboemboli, gagal ginjal akut 3 PROGNOSIS

Pasien dengan AHA warm antibodyidiopatik dapat relaps dan remisi. Tidak ada faktor yang dapat memprediksi prognosisnya. Umumnya berespon terhadap glukokortikoid dan splenektomi. Angka kematian mencapai 46% pada beberapa kasus. Angka harapan hidup dalam 10 tahun sebesar 73%. Sedangkan prognosis AHA warm antibody sekunder tergantung penyakit penyebabnya. Pada kasus AHA cold antibody idiopatik, perjalanan penyakit umumnya benign dan bertahan untuk

beberapa tahun. Kematian karena infeksi, anemia berat, atau proses limfoproliferatif yang mendasarinya. Jika disebabkan karena infeksi, AHA cold antibody akan sembuh sendiri dalam beberapa minggu. Pada kasus hemoglobinuria masif dapat terjadi gagal ginjal akut yang membutuhkan hemodialisis. 4 UNIT YANG MENANGANI



RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi Onkologi Medik



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

An ernld' HE3rl1olitil¢ UNIT YANG TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

REFERENSI 1.

Dhaliwal G. Hemolytic Anemia. American Family Physician, June 1, 2004 I VOL. 69, No. 11. Diunduh dari http://www.aafp.org/afp/2004/0601/p2599.html pada tanggal23 Mei 2012.

2.

Parjono E. Hariadi K. Anemia Hemolitik Autoimun . .Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana. L. Alwi, I. Setiati. S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010. Hal.1152-1156

3.

Luzzato L. Hemolytic Anemias and Anemia Due to Acute Blood Loss. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of Internal Medicine 181" edition.United States of Arnerica.Mcgraw Hill. 2012

4.

Packman C. Hemolytic Anemia Resulting from Immune Injury . In : Lichtman M. Beutler E, Kipps T, editors. Williams Hematology 71" ed. Me Grow Hill. Chapter 52

5.

Neff A. Autoimmune Hemolytic Anemia. In: Geer J, Foerster J, Luken J. Wintrobe's Clinical Hematology 11 1" ed. Lippincott Williams&wilkins. Chapter 35.

6.

Lechner K, Jager U. How I treat autoimmune hemolytic anemias in adults. The American Society of Hematology .BLOOD, 16 September 2010 Vol 116, No 11. Diunduh dari bloodjournal. hematologylibrary.org pada tanggal 23 Mei 2012,

ANEMIA PENYAKIT KRONIK

PENGERTIAN Anemia adalah suatu keadaan berkurangnya sel darah merah dalam tubuh. Anemia penyakit kronik adalah anemia yang terjadi pada yang ditemukan pada kondisi penyakit kronik seperti infeksi kronik, inflamasi kronik, atau beberapa keganasan. Pada penyakit inflamasi, sitokin dihasilkan oleh leukosit yang aktif dan sellain yang ikut berperan menurunkan kadar hemoglobin (Hb). Ada beberapa mekanisme terjadinya anemia pada anemia penyakit kronik :1•2 •

-f

Anemia yang terjadi disebabkan karena sitokin inflamasi yaitu interleukin-6 (IL-6) menghambat produksi sel darah merah. IL-6 meningkatkan produksi harmon hepcidin yang diproduksi oleh sel hepatosit berperan dalam regulator zat besi. Harmon hepcidin akan menghambat pelepasan zat besi dari makrofag dan hepastosit, sehingga jumlah zat besi untuk pembentukan sel darah merah terbatas.



Inhibisi pelepasan eritropoietin dari ginjal oleh IL-l dan TNF a (tumour necrosisfactor)



Inhibisi langsung proliferasi progenitor eritroid oleh TNF a dan INF y (interferon y ), dan IL 1



Peningkatan eritrofagositosis makrofag RES (reticuloendothelial system) oleh TNF a

Keadaan yang berkaitan dengan anemia penyakit kronik yaitu :1 label 1. Keadaan yang Berkaitan dengan Anemia Penyakit Kronik 1•3

-.• K~t¢9ori···•<.•• ·

.··• ~P~I'I}'aklt v"-tt9:~:~rhu~ullg~n> i.,.

lnfeksi

Tuberkulosis, HIVI AIDS, malaria, osteomielitis, abses kronik, sepsis, hepatitis B, hepatitis C

lnflamasi

Reumatoid artritis, kelainan reumatologi lain, inflammatory bowel diseases. sindrom respon inflamasi sistemik

Keganasan-

'

.. Karsinoma, limfoma, multiple myeloma, penyakit Hodgkin ..

Disregulasi sitokin

Anemia karena usia tua

Penyakit sistemik

Gaga! ginjal kronik, sirosis hepatis, gaga! jantung

Penyebab dari anemia penyakit kronik :1 •

Ketidakmampuan tubuh meningkatkan produksi eritrosit (sel darah merah) sebagai kompensasi pemendekan umur eritrosit



Destruksi sel darah merah



Sekresi hormon eritropoietin yang tidak adekuat dan resistensi terhadap hormon



terse but Eritropoiesis yang terbatas karena menurunnya jumlah zat besi



Absorpsi zat besi dari saluran cerna yang terhambat

PENDEKATAN DIAGNOSIS Diagnosis cukup sulit terutama jika bersamaan dengan defisiensi zat besi. Penyebab anemia lain harus disingkirkan sebelum mendiagnosis, seperti perdarahan, malnutrisi, defisiensi asam folat, defisiensi vitamin B12, dan hemolisis. 2 Anamnesis

Keluhan-keluhan yang didapatkan berupa rasa lemah dan Ielah, sakit kepala, nafas pendek3 Pemeriksaan Fisik

Pucat, tampak anemis, dapat ditemukan kelainan-kelainan sesuai penyakit penyebabnya. 4 Pemeriksaan Penunjang 2 ·5

• •

Hemoglobin (Hb): menurun ( kadar: 8-9 gfdl) Hitung retikulosit absolut: normal atau meningkat sedikit3



Feritin serum: normal atau meningkat. Merupakan penanda simpanan zat besi, kadar 15 ngjml mengindikasikan tidak adanya cadangan zat besi



Besi dalam serum: menurun (hipoferemia). Half-life: 90 menit



Transferin serum: menurun. Half-life: 8-12 hari, sehingga penurunan transferin



serum lebih lama terjadi daripada penurunan kadar besi serum. Saturasi transferin



Reseptor transferin terlarut (soluble transferrin receptor): menurun



Rasio reseptor transferin terlarut dengan log feritin

• •

Kadar sitokin Eritropoietin



Hapusan darah tepi: normositik normokrom, dapat hipokrom mikrositik ringan



Aspirasi dan biopsi sumsum tulang : jarang dilakukan untuk mendiagnosis anemia penyakit kronik, tetapi dapat dilakukan sebagai gold standard untuk membedakan dengan anemia defisiensi besi. Morfologi sumsum tulang dan pewarnaan zat besi

normal, kecuali dikarenakan penyakit penyebabnya. Hal yang penting diperhatikan adanya simpanan zat besi dalam sitoplasma makrofag atau berfungsi di dalam nucleus. Pada individu normal, dengan pewarnaan Prussian blue partikel dapat ditemukan di dalam atau di sekitar makrofag, sepertiga mukleus mengandung 1-4 badan inklusi halus bewarna biru (sideroblas). Pada anemia penyakit kronik, partikel besi di sideroblas bekurang atau tidak ada, tetapi di makrofag meningkat. Peningkatan simpanan zat besi di makrofag berhubungan dengan menurunnya kadar besi di sirkulasi. 4 Perbedaan anemia penyakit kronik dengan anemia defisiensi besi dari hasil pemeriksaan labroratorium : Tabel 2. Perbedaan Anemia dari Hasil Pemeriksaan Penunjang 5·6 Parameter

1

. ·'.Anema.penY,akltkronlk•· . Ariemlci c:iefislensl b.e.sl. • "'.





·--

'

'.

1 .. -



'_,

'.

'-·~'

'

- "

••

,•,

• •

'.

-

'

CampurditcJ<~di.J'ariycf':

Serum besi

.J-atau normal

,J,

,J,

Transferin

,J, atau normal

t

,J,

Saturasi transferin

.J-atau normal

,J,

,J,

Feritin

Normal atau t

,J,

,J, atau normal

TFR

normal

t

Normal atau t

TFR/Iog feritin

Rendah (<1)

Tinggi (>4)

Meningkat (<2)

Sitokin

Meningkat

Normal

t

DIAGNOSIS BANDING 1 •

Supresi sumsum tulang karena obat: besi serum meningkat, hi tung retikulosit rendah



Hemolisis karena obat: hitung retikulosit, haptoglobin, bilirubin, dan laktat dehidrogenase meningkat



Kehilangan darah kronik: serum besi menurun, feritin serum menurun, transferin meningkat



Gangguan ginjal



Gangguan endokrin: hipotiroid, hipertiroid, diabetes mellitus



Metastasis sumsum tulang: poikilosit, normoblas, teardrop-shaped red cells, sel mieloid imatur



Thalasemia minor

TATALAKSANA 1•7

• ~

~.

472



Mengenali dan mengatasi penyakit penyebabnya



Terapi besi: kegunaannya masih dalam perdebatan



Kontraindikasi jika feritin normal ( >100 ngjml ) 4

. ~:i'V~~~~~~i~~li\1~~~t;~~~~~: •

Agen Erythropoietic : o

lndikasi: anemia pada kanker yang akan menjalani kemoterapi, gaga! ginjal kronik, infeksi HIV yang akan menjalani terapi mielosupresif. ~'

darbepoetin a

o

3 jenis: epoetin a, eportin

o

Epoetin :Dosis awa!S0-150 U/kg be rat badan diberikan 3 kali seminggu selama minimal 4 mingu, jika tidak ada respon dosis dinaikkan 300 Ujkg diberikan 3 kali seminggu 4-8 minggu setelah dosis awal.

o

Target: Hb 11-12 gramjdl

o o

Sebelum pemberian harus menyingkirkan adanya anemia defisiensi besi Monitoring selama terapi: setelah terapi selama 4 minggu dilakukan pemeriksaan kadar Hb, dan 2-4 minggu kemudian. Jika Hb meningkat <1 gram/ dl, evaluasi ulang status besi dan pertimbangkan pemberian suplemen besi. Jika Hb mencapai 12 gramjdl, diperlukan penyesuaian dosis. Jika tidak ada respon dengan dosis optimal dalam 8 minggu, berarti pasien tidak responsif terhadap terapi agen erythropoietic.



Transfusi darah: jika anemia sedang-berat (Hb<6.5 gramjdl) dan bergejala

KOMPLIKASI

Gaga! jantung, kematian 3 PROGNOSIS

Keluhan anemia akan berkurang jika mengobati penyakit penyebabnya . Pada suatu penelitian dinyatakan bahwa anemia berhubungan dengan gaga! ginjal, gaga! jantung kongestif, dan kanker. Derajat anemia berhubungan dengan tingkat keparahan penyakit, prognosis buruk pad a pasien dengan penyakit keganasan, gaga! ginjal kronik, dan gaga! jantung kongestif. Kematian yang terjadi tidak dikarenakan anemia secara langsung. Belum terbukti bahwa perbaikan anemia saja akan meningkatkan prognosis penyakit penyebabnya seperti kanker atau penyakit inflamasi. 2,3 UNITY ANG MENANGANI



RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi Onkologi Medik



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

----1

UNIT YANG TERKAIT •

RS pendidikan

: Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang terkait



RS non pendidikan

REFERENSI 1.

Gans T. Anemia of Chronic Disease. In :Lichtman M, Beutler E, Kipps T, editors. Williams Hematology 7'h ed. Me Grow Hill. Chapter 43

2.

Zarychanski R. Clinical paradigms Anemia of chronic disease: A harmful disorder or an adaptive. CMAJ. 2008 August 12; 179(4): 333-337. Diunduh dari http:/ /www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/ PMC249297 6/ pad a tanggal 19 Mei 2012.

3.

Gardner LB. Benz Jr EJ. Anemia of chronic diseases. In: Hoffman R, Benz EJ, Shattil SS, et al., eds. Hematology: Basic Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier Churchill Livingstone; 2008:chap 37.

4.

Supandiman I. Fadjari H, Sukrisman L. Anemia Pada Penyakit Kronis. Dalam: Suyono, S. Waspadji. S. Lesmana, L. Alwi. I. Setiati. S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: Intern a Publishing; 2010. Hal.1138-1140

5.

Weiss G, Goodnough LT. Anemia of chronic disease. N Eng I J Med. 2005, 352: 1011-1023.

6.

Silver B, Anemia, Diunduh dari https:/ /www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/ diseasemanagement/hematology-oncology/anemia/#top pada tanggal 19 Mei 2012.

7.

Adamson J. Iron Deficiency and Other Hypoproliferative Anemias. In :Longo DL Kasper DL Jameson DL Fauci AS, Hauser SL. Loscalzo J, editors. Harrison's Principals of Internal Medicine 18'h ed. Me Grow Hill. Chapter 98

DASAR-DASAR KEMOTERAPI

PENDAHULUAN Agen kemoterapi diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok. Kelompok agen kemoterapi yang sering digunakan dapat dilihat pada tabel 1.

Agen yang berinteraksi dengan DNA secara langsung

Alkylators

Siklofosfamid

400-2000 mg/m 2 IV

Mekloretamin

100 mg/m 2 PO qd 6 mg/m 2 IV hari 1 dan hari 8

Klorambusil Mefalan

1-3 mg/m 2 qd PO 8 mg/m 2 qd x 5, PO

Karmustin (BCNU)

200 mg/m 2 IV 150 mg/m 2 PO

Lomastin (CCNU) lfosfamid

100-300 mg/m 2 PO 1.2 g/m 2 per hari qd x 5 + mesna

Prokarbazin

100 mg/m 2 per hari qd X 14 375 mg/m 2 IV hari 1 dan hari 15

Dakarbazin (OTIC)

.~ -

~..

-

~

Temozolomid

Sumsum tulang, nausea

Sumsum tulang Sumsum tulang, pencernaan (dosis tinggi) Sumsum tulang, pencernaan, hepar, ginjal Sumsum tulang Mielosupresif, kandung kemih, neurologik, asidosis metabolik, neuropati

Digunakan pada cutaneus lymphoma secara topikal Fungsi clearance ginjal menurun

Isomeric analogue of cyclophosphamide, lebih larut lemak, horus menggunakan mesna

Sumsum tulang, nausea, neurologik Sumsum tulang Aktivasi metabolit Nausea -- -FlU/ike- .

150-200 mg/m 2 qd x 5 q28d atau 75 mg/m 2 qd x 6-7 minggu Altretamin (formerly 260 mg/m 2/hari qd x hexamethytmelamine) 14-21 dibagi 4 dosis oral ~·-······~-···---·----

Sumsum tulang, Metabolisme di hati. kardiotoksik (dosis tinggi)

Nausea, muntah, Mielosupresi (jarang) sakit kepala, fatique, konstipasi Nausea, neurologik Aktivasi hati, menin~ (mood swing), gkatkan barbiturate I menghilangkan neuropati. sumsum ··--·tolang(s·edikiW ___ -----c;metidin·e·.--

I

·. ;"OI:iiit

-~~~i~.~(f.t~ITI ;.

•tb~is'ita~ ;, '," •:c~>' '" ,.•

2 '-

; lllteri::ll<si~ ~alygng- .

.·:..t.~iVs·~lp:e~69t;k~n·.

Cisplatin

20 mg/m 2 qd x 5 IV 1 q3-4 minggu a tau 100200 mg/m 2 per dosis IV q3-4 minggu

Nausea, neuropati. pendengaran. trombosit sumsum tulang> darah tepi. Renal Mg 2+, Co 2+

Jaga high urine flow; osmotic diuresis, monitor intake/output K+, Mg 2+

Carboplatin

365 mg/m 2 IV q3-4 minggu, disesuaikan dengan kreatinin klirens

Trombosit sumsum tulang > darah tepi. nausea, ginjal (dosis tinggi)

Profilaksis antiemetik Reduce dose according to CrCI: to AUC of 5-7 mg/ml per min [AUC = dose/ (CrCI + 25)]

Oxaliplatin

130 mg/m 2 q3 minggu selama 2 jam atau 85 mg/m 2 q2 minggu

Nausea, Anemia

Acute reversible neurotoxicity, chronic sensory neurotoxicity cumulative with dose; reversible laryngopharyngeal spasm

Antitumor Antibiotics dan Topoisomerase Poisons Bleomisin 15-25 mg/d qd x 5 Paru-paru, efek pada IV bolus atau kontinu kulit, Raynaud's, hipersensitifitas continuous IV

Aktinomisin D

Etoposid (VP16-213)

lnaktif oleh bleomycin hydrolase (menurun pada paru/kulit), meningkatkan toksisitas 0 2 pad a paru. Sumsum tulang, nausea, Radiation kembali 10-15 mg/kg per hari qd x 5 IV bolus mucositis, bengkak, alopesia Metabolisme hati, 100-150 mg/m 2 IV qd Susmsum tulang x 3-5 hari atau 50 mg/ (trombosit darah 30% ginjal, kurangi m 2 PO qd x 21 hari tepi>sumsum tulang), dosis bila pasien atau sampai 1500 mg/ alopesia, hipotensi. disertai gagal ginjal. hipersensitivitas (IV m2 per dosis. Schedule-dependent cepat). nausea, (5 hari lebih baik mucositis (dosis tinggi) dari 1 hari), Late leukemogenic

Topotekan

lrinotekan-.(CPTII)

20 mg/m 2 IV q3-4 minggu selama 30 me nit atau 1.5-3 mg/m 2 q3-4 minggu selama 24 jam atau 0.5 mg/m 2 per hari selama 21 hari 100-150 mg/m 2 1V selama 90 menit q3-4 minggu atau 30 mg/ m 2 per hari selama 120 jam

Sumsum tulang, mucositis, nausea, alopesia ringan

Dime :gejala awaldengan kram, muntah, gejala lam bat setelah beberapa dosis : sumsum tulang, alopesia, nausea. muntah, paru

Accentuate antimetabolite action Kurangi dosis bila ada gagal ginjal, tidak hepatotoksik

-Diere-karena ekskresi bilier, gunakan loperamide (2 mg q2-4jam)

Doksorubisin dan daunorubisin

45-60 mg/m 2 dosisi q3-4 minggu atau 10-30 mg/m 2 dosis q minggu atau continuous-infusion regimen

Sumsum tulang, mucositis, alopesia, akut/kronik kardiovaskular, bengkak

ldarubisin

10-15 mg/m 2 IV q 3 minggu atau 10 mg/ m 2 1V qdx3 150 mg/m 2 IV q3 minggu 12 mg/m 2 qd x 3 atau 12-14 mg/m 2 q3 minggu

Sumsum tulang, kardiak (lebih sedikit dari doxorubicin) Sumsum tulang, kardiak

Epirubisin Mitoxantrone

Agregasi heparin : coadministration increases clearance Acetaminophen, BCNU meningkatkan hepatotoksik, membutuhkan radiasi kembali

Sumsum tulang, kardiak lnteraksi dengan heparin, efek (lebih sedikit dari doxorubicin), bengkak alopesia dan (ringan), urin, sklera dan ·nausea lebih kecil dari doxorubicin, kuku berwarna biru. membutuhkan radiasi kembali.

Indirect DNA-Interacting Agents Antimetabolites

Deoxycoformycin

4 mg/m 2 IV setiap minggu

6-Mercaptopurine

75 mg/m 2 PO Atau sampai 500 mg/ m2 PO (dosis tinggi)

6- Thioguanine

2-3 mg/kg per hari sampai 3-4 minggu

Azatioprin

1-5 mg/kg per hari

Nausea, immunosupresi, Dikeluarkan di urine, kurangi dosis neurologik, renal pada gaga! ginjal, menghambat adenosine deaminase. Bioavaibilitas Sumsum tulang, hati, nausea metabolisme bervariasi, dimetabolisme oleh xanthine oxidase, kurangi dosisi dengan allopurinol, toksisitas meningkat dengan thiopurine methyltransferose deficiency Sumsum tulang, hati, Bioavaibilitas nausea bervariasi, toksisitas meningkat dengan thiopurine me thy/transferase deficien-cySumsum tulang, hati, Metabolisme menjadi 6MP, oleh karena itu nausea kurangi dosis dengan allopurinol, toksisitas meningkat dengan thiopurine ---- --- ------- - methYttrarisrercis_e_ deficiency

2-Kiorodeoksiadenosin 0.09 mg/kg per hari qd Sumsum tulang, ginjaL x 7 secara continuous demam infusion Hidroksiurea

20-50 mg/kg PO qd atau 1-3 g/hari

Metotreksat

15-30 mg PO or IM qd x3-5 Atau 30 mg IV hari 1 dan 8 atau 1.5-12g/ m2 per hari (dengan leucovorin) 375 mg/m 2 IV qd x 5 atau 600 mg/m 2 IV hari 1 dan 8

5-Fiuorouracil (5FU)

----1

Patut dipertimbangkan untuk terapi hairy cell leukemia Sumsum tulang, nausea, Kurangi dosis mukositis, perubahan dengan gaga! ginjal, kulit, jarang pada ginjal, menambah efek hati dan paru. antimetabolit. CNS Sumsum tulang, paru I hati, renal tubular. mukositis

Sumsum tulang, mukositis, neurologik, perubahan kulit

Ekskresi di urin, kurangi dosis pada gaga! ginjaL NSAIDs meningkatkan toksisitas ginjal. Toksisitas meningkat oleh leucovorin, Dihydropyrimidine dehydrogenase deficiency meningkatkan toksisitas metabolit di jaringan. Pre obat karena metabolisme intratumor

Diare, Hand-foot 665 mg/m 2 bid continuous; 1250 mg/m 2 syndrome bid 2 minggu on I 1 off; 829 mg/m 2 bid 2 minggu on I 1 off+ 60 mg/hari leucovorin Meningkatkan Sitosin arabinosid 100 mg/111 2 perhari g(j Su_msum}ulang, aktivitas agen alkilasi, x 7 continuous infusion mucositis, neurologik metabolisme di atau 1-3 g/m2 dosis IV (dosis tinggi), jaringan dengan Konjungtivitis (dosis bolus tinggi), non kardiogenik cora deaminasi. edem pulmonal 750 mg/m 2 per minggu Sumsum tulang, nausea, Digunakan terbatas Azasitidin hati, neurologik, mialgia pada leukemia, atau 75-200 mg/m 2 Altered methylation per hari x 5-10 (bolus) of DNA alters gene atau (continuous IV expression atau subkutan) Sumsum tulang, nausea, Gemcitabin 1000 mg/m 2 IV setiap minggux7 hati Fever/"flu syndrome" Fludarabin fosfate 25 mg/m2 IV qd x 5 Sumsum tulang, Dosis berkurang · ·········~-·-·····-······-·--·---~·-···-·.:.................. :..... :.c.... ________ -~ - - ........... netJrologik-;·partJ··· ----- ..--dengan-gagal giiljal;· Capecitabine

25,000 IU/m2 q3-4 minggu atau 6000 IU/ m 2 per hari qod untuk 3-4 minggu atau 1000-2000 IU/m2 untuk ·· ----------------·--- ------- -10=20-hari ---·-·-- ------·Asparaginase

478

Sintesis protein, factor pembekuan, glukosa, albumin, hipersensitivitas, CNS, pankreatitis, hati

Menghambat aksi methotrexate

Pemetrexed

200 mg/m 2 q3 weeks

Anemia, neutropenia Thrombositopenia

Suplementasi folat/ B12, waspada pada gagal ginjal

Antimitotic Agents

Yin kristin

Vinblastin

1-1.4 mg/m 2 per minggu

Bengkak, sumsum tulang, neurologik, pencernaan :ileus, konstipasi. kanndung kernih : hipotoksisitas, SIADH kardiovaskular 6--8 mg/m 2 per minggu Bengkak, sumsum tulang, neurologik, hipertensi. Raynaud' s

Vinorelbin

15-30 mg/m 2 per minggu

Paklitaksil

135-175 mg/m 2 per 24 jam infuse atau 175 mg/m 2 per 3 jam infuse atau 140 mg/m 2 Sensory neuropathy, per 96 jam infuse atau 250 mg/m 2 per 24 jam CV conduction disturbance, nausea infus plus G-CSF

Doketaksil

Estramustin fosfat

Nab-paclitaxel (protein bound) lxabepilone

100 mg/m 2 per 1 jam infus q3 minggu

Hepatic clearance Dose reduction for bilirubin > 1.5 mg/dL Prophylactic bowel regimen

Hepatic clearance Dose reduction as with vincristine Hepatic clearance

Bengkak, sumsum tulang, bronkospasme/ alergi. Dispnea/batuk, neurologik Hipersensitivitas, sumsum Premedikasi dengan tulang, mukositis, steroid, H1 dan H2 alopesia, blocker,

Hipersensitivitas, retensi cairan, sumsum tulang, dermatologis,

Hepatic clearance Dose reduction as with vincas Premedikasi dengan steroid, H1 dan H2 blocker

Sensory neuropathy, nausea, stomatitis Nausea, muntah, diaere, CHF, Thrombosis

14 mg/kg per hari terbagi dalam 3-4 dosis dengan air> 2 Ginekomasti. jam setelah makan, hindari makanan kaya kalsium 260 mg/m 2 q3 minggu Neuropati. anemia,

40 mg/m 2 q3 minggu

Neutropenia, thrombocytopenia Myelosupresi. neuropati

Waspada pada insufisiensi hati

Molecularly Targeted Agents

Retinoids Tretinoin

Bexarotene

Teratogenik, sam poi respon komplit · Kutdneus + anthracycline-based regimen in APL

45 mg/m 2 per hari

300-400 mg/m2 per hari. continuous

Hypercholesterolemia, Hypertriglyceridemia Kutaneus, teratogenik

APL differentiation · syntlrome: disfungsi/ infiltrat pulmonal. efusi pleura I perikardial. demam Hipotiroidisme sentral

----1

Targeted Toxins Denileukin diftitox

9-18 mg/kg per hari x

5 d q3 minggu

Nausea/muntah, menggigil/demam, asthenia, hepatik

Hypersensitivitas akut, hipotensi, vasodilatasi, rash, kebocoran vascular :hipotensi, edema, hipoalbuminemia, thrombotic events (MI, DVT, CVA)

Penghambat Tyrosine Kinase

lmatinib

400 mg/d, continuous

Nausea, edema periorbital

Gefitinib Erlotinib

250 mg PO per hari 150 mg PO per hari

Rash, diare Rash, diare

Dasatinib

70 mg PO bid; 100 mg PO per hari

Sorafenib

400 mg PO bid

Perubahan hari, rash, neutropenia, trombositopenia Diare,

50 mg PO qd for 4-6 minggu

Hand-foot syndrome, rash Fatigue, diare, neutropenia

Sunitinib

Mielosuppresi tidak sering pada tumor solid 1 jam sebelum, 2 jam sesudah makan

Penghambat Proteosome

Bortezomib

1.3 mg/m 2 day 1,4

Neuropati, trombositopenia

Penghambat Histone Deacetylase

Vorinostat

400 mg/hari

Romidepsin

14 mg/m 2 hari 1, 8, 15

Fatigue, diare, trombositopenia, emboli Nausea, muntah, sitopenia, cardiac conduction

Penghambat mTOR

Temsirolimus

25 mg setiap minggu

Everolimus

10 mg setiap hari

Stomatitis, trombositopenia, nausea, anoreksia, fatigue, metabolik (glukosa, lipid) Stomatitis, fatigue

Agen hormon

Tamoxifen &onadotropin" · Releasing Hormone Agonists Inhibitor Aromatase

Retensi cairan, nausea ·· ·· · Naoserr;muntah; · edema, tromboemboli, painful gynecomastia

Lainnya

Arsenik trioksida

0.16 mg/kg per hari sampai 50 hari derigOnAPI -

Meningkatkan QTc _,ne.vmpoJi perifer, nyeri musculoskeletal, hiperglikemia

APL differentiation syndrome (lihat tretinoinT -

PENANGANAN KOMPLIKASI AKUT KEMOTERAPI MielosupresF Manifestasi klinik

Febril neutropenia. Neutropenia maksimal muncul 6-14 hari setelah pemberian kemoterapi. Tatalaksana 1. Rontgen toraks

2. Kultur darah, urin, sputum 3. Resistensi obat 4. Antibiotika empiris sambil menunggu kultur : seftazidim, vankomisin atau metronidazol j imipenem jika curiga kuman anaerob dari abdomen atau tempat lain. 5. Antibiotika sesuai kuman penyebab Nausea dan muntah 2

Nausea dan muntah dapat terjadi akut ( <24 jam kemoterapi) dan delayed (>24 jam kemoterapi). Profilaksis antiemetik pada obat kemoterapi yang sangat menginduksi muntah: •



Kombinasi 100 mg penghambat 5-HT3 dolasetron (Anzamet) (iv atau oral), 12 mg deksametason, dan 125 mg NKl antagonist aprepitant (oral), pada hari saat pemberian agen kemoterapi. Pemberian deksametason (8 mg) and aprepitant (80 mg) hari ke 2-3 untuk delayed nausea.

Atau • 3x0.15 mgjkg antagonis 5-HT3 ; ondansetron (iv), diberikan sebelum dan 4-8 jam setelah kemoterapi Diare2



Diare terkait kemoterapi dapat timbul segera a tau delayed (48-72 jam setelah pemberian obat).Tatalaksana:



Hidrasi

• •

Jaga keseimbangan elektrolit Dosis loperamid tinggi, dosis awal 4 mg, lanjutkan 2 mg setiap 2 jam sampai 12 jam bebas diare. Maksimal dosis 16 mgjhari.



Untuk yang tidak respon terhadap loperamid : Oktreotid (100-150 mg), somatostatin analog, atau opiate-based preparations

Mukositis2 •

Terapi anestesi topikal dan barrier-creating preparations



Mukosistis berat: palifermin atau keratinocyte growth factor

Alopesia 2 •

Mulai muncul sekitar awal minggu kedua atau ketiga setelah siklus pertama



Chemo caps mengurangi temperatur kulit kepala sehingga mengurangi derajat alopesia

i



Kosmetik



Dukungan psikologis

UNITY ANG MENANGANI 8 RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi Onkologi Medik • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan : Unit Perawatan Khusus Imunosupresi • RS non pendidikan : Unit Perawatan Khusus Imunosupresi REFERENSI 1.

Salmon, S. E. and Sartorelli, A. C. Cancer Chemotherapy, in Basic and Clinical Pharmacology, (Katzung, B. G., ed) Appleton-Lange, 1998, p. 881-911.

2.

Principle of cancer treatment. Dalam : Fauci A. Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2011.

DIATESIS HEMORAGIK

PENGERTIAN Diathesis adalah suatu tampilan fisik atau kondisi tubuh yang menyebabkan jaringan tubuh bereaksi secara khusus terhadap stimulus ekstrinsik tertentu yang akan membuat seseorang lebih mudah terkena penyakit tertentu. Diatesis hemoragik

(hemorrhagic diathesis/bleeding diathesis/bleeding tendency) merupakan suatu predisposisi hemostasis abnormal atau kecenderungan perdarahan (bleeding tendency].l Proses patofisiologis ini terbagi menjadi 3 kategori yaitu kelainan fungsi atau jumlah trombosit, gangguan faktor koagulasi, dan kombinasi dari keduanya. 2

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 2 · 4 •

Riwayat perdarahan spontan di masa lalu, perdarahan di berbagai tempat (multiple sites), perdarahan terisolasi (mis hematuria, hematemesis, hemoptisis)



Riwayat perdarahan masif pasca operasi atau trauma (immediate atau delayed), termasuk sirkumsisi, tonsilektomi, melahirkan, menstruasi, pencabutan gigi,



vaksinasi, dan injeksi Riwayat penyakit komorbid (gagal ginjal, infeksi HIV, penyakit mieloproliferatif, penyakit jaringan ikat, limfoma, penyakit hati)

• •

Riwayat transfusi Riwayat kebiasaan makan, malabsorpsi, dan antibiotik



vitamin K Riwayat konsumsi obat seperti aspirin, nonsteroidal anti-inflammatory drugs

~

predisposisi defisiensi

(NSAIDs) •

Riwayat koagulopati dalam keluarga (hemofilia, dll)

Pemeriksaan Fisik2· 5 •

Identifikasi tanda perdarahan (perdarahan mukosa, petekia, purpura, ekimosis/common

bruises, perdarahan jaringan lunak, saluran cerna, epistaksis, hemoptisis)

-1



Tanda infeksi



Tanda penyakit autoimun

label 1. Karakteristik Pola Perdarahan pada Gangguan Hemostasis Sistemik4

Gangguan trombosit vaskular

Permukaan superfisial

Petekia, ekimosis

Sering: oraL nasaL gastrointestinaL genitourinaria

Defisiensi faktor koagulasi

Jaringan profunda

Hematoma Jarang

Jarang

Spontan at au segera setelah trauma

Sering: Delayed sendi, otot, setelah retro-peritrauma toneal

Trombositopenia, gangguan fungsi trombosit, vasculor fragility, koagulasi intravaskular diseminata (KID), penyakit hati Defisiensi faktor koagulasi diturunkan, inhibitor didapat, KID, penyakit hati, antikoagulasi

Pemeriksaan Penunjang 2 · 5



Laboratorium :

Inisial: darah perifer lengkap, prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (aPTT) dan morfologi darah tepi o Skrining pre-operatif : hila riwayat perdarahan negatif 7 darah perifer lengkap, PT, aPTT, bleeding time (BT} o Lainnya (sesuai indikasi): thrombin time (TT), faktor koagulasi, fibrin degradation products (FDP), agregasi trombosit, serologi virus (Dengue, CMV, Epstein Barr Virus, hepatitis C, HIV, rubella), serologi LES, elektroforesis serum protein, imunoglobulin, fungsi hati, defisiensi IgA atau monoclonal gammopathies (selektif), tes Coomb o

Ya

Periksa assay faktor koagulasi individual

agregasi trombosit

Tes antikoagulan lupus, inhibitor faktor koagulan spesifik

Gambar 1. Algoritma Diagnosis Pasien dengan BT, PT, aPTT Memanjang•

• Konsumsi antikoagulan

oral

Mayor: • Hemophilia A atau B derajat berat • vWD tipe 3 (berat)

• inhibitor faktor VIII didapat •VWD didapat

• Hipofibrinogenemia • Defisiensi faktor II, V, X derajat ringan

• Afibrinogenemia

• Defisiensi faktor II, V, X derajat berat •Kombinasi defisiensi faktorV dan VIII

Keterangan:

=

• Kombinasi defisiensi faktor vitam in-K dependent

=

• Inhibitor faktor II dan V didapat • Inhibitor faktor X did apat (amiloidosis)

HK high molecular weight kininogen; PK = prekalikrein; vWD penyakit von Wi!lebrand: KID = koagufasi intravaskular diseminata

Gambar 2. Algoritma Diagnosis Tentatif Gangguan Hemostasis3

Tabel 2. Penyebab PT dan aPTT Memanjang 2 ,~h

... >•<-'

'

'-•~~

om•=~•~·-»•~--'-" -~"•--•-~ •'~'

'•'•'

-,o~-·-~:~l~J!1:i:~~~f~~~~~ti~1it~

Diturunkan

Defisiensi faktor VII

Defisiensi faktor von Wi/tebrand (vWF), faktor VIII. IX, XI. atau XII

Defisiensi protrombin, fibrinogen, faktor V, X, atau kombinasi

Dldapat

Defisiensi vitamin K Penggunaan heparin

Penyakit hati

Penyakit hati

Inhibitor vWF, faktor VIII. IX, XI. atau XII

KID

Penggunaan warfarin

Antibodi antifosfolipid

Heparin atau warfarin supraterapeutik Kombinasi heparin atau warfarin Inhibitor protrombin, fibrinogen, faktor V atauX Direct thrombin inhibitor

Inhibitor faktor VII

DIAGNOSIS BANDING Sesuai etiologi

1

TATALAKSANA 1. Gangguan koagulasi : hemofilia A dan B, vWD Preventif: hindari olahraga kontak, higiene oral yang baik, teknik imunisasi yang hati-hati, terapi pengganti segera setelah trauma, tatalaksana episode perdarahan akut. Terapi profilaksis primer dapat menurunkan insidens artropati, namun inisiasi terapi dan biaya yang dibutuhkan masih menjadi kontroversU Hindari juga pemberian aspirin, NSAIDs, dan obat lain yang dapat mengganggu agregasi trombosit. 5 Terapi penggantF o

Hemofilia A: recombinant atau plasma-derived factor VIII 1. Plasma 7 kriopresipitat ( -80 unit faktor VIII dalam larutan 10 cc) 6 2.

Generasi pertama: Bioclate, Helixate FS, Kogenate, Recombinate

3.

Generasi kedua: Kogenate FS dan B-domain deleted recombinant factor VIII (BDDrFVIII)

4.

Karena waktu paruh faktor VIII hanya 12 jam, maka kadar faktor tersebut harus diperiksa tiap 12 jam.

5.

Dosis pemeliharaan: 1/2 dosis awal dan diberikan setiap hari. Monitoring kadar faktor pembekuan biasanya dianjurkan setiap pasca trauma besar, perdarahan, atau operasi.

6.

Rumus yang digunakan untuk menghitung pengganti dosis faktor VIII:

Dosis (unit) =(target kadar faktor- baseline) x berat badan [kg]/2

7.

Dosis faktor VIII untuk terapi perdarahan tercantum pada tabel 3.

label 3. Dosis Faktor VIII untuk Terapi Perdarahanc •

Hemartrosis

30-50

-25

12-24

1-2

Hematoma intramuskular superfisial

30-50

-25

12-24

1-2

Traktus gastrointestinal

-50

-25

12

7-10

30-50

-25

12

Sampai sembuh

Epistaksis Mukosa oral

30-50

-25

12

Sampai sembuh

Hematuria

30-100

-25-50

12

Sampai sembuh

Sistem saraf pusat

50-100

50

12

7-10

Retrofaringeal

50-100

50

12

7-10

Retroperitoneal

50-100

50

12

7-10

Kelerangan : Pasien dengan perdarahan ring an a tau sedang mung kin merespon desmopressin, yang seharusnya digunakan daripada darah atau produk darah bila memungkinkan bfaktor VIII dapat diberikan dalam infus kontinu apabila pasien dirawat inap. Setelah bolus inisial. sekitar 150 U faktor VIII per jam biasanya cukup untuk dewasa ukuran rata-rata. Dosis diberikan tiap 12-24 jam "Frekuensi dosis dan durasi terapi dapat disesuaikan, tergantung dan keparahan dan durasi episode perdarahan 0

o

Hemofilia B: recombinant atau plasma-derived factor IX 1.

Pengganti faktor IX: prothrombin complex concentrates (PCCs) yang mengandung faktor II, VII, X, dan IX

2.

Karena waktu paruh faktor IX hanya sekitar 16 jam, maka level faktor tersebut harus diperiksa tiap 16 jam.

3.

Dosis pemeliharaan: 1/2 dosis awal dan diberikan setiap hari. Monitoring kadar faktor pembekuan biasanya dianjurkan setiap pasca trauma besar, perdarahan, atau operasi.

4.

Rum us yang digunakan untuk menghitung pengganti dosis faktor IX: Dosis (unit) = (target kadar faktor- baseline) x berat badan [kg] x 1,2

Desmopressin (DDAVP): terapi pilihan pada penderita hemofilia A ringan dengan perdarahan ringan-sedang Terapi antifibrinolisis pada hemofilia A (asam traneksamat atau asam £-aminocaproic/EACA): bermanfaat perdarahan gusi dan menoragia. Dosis oral

asam traneksamat dewasa 4 x 1 gjhari, EACA loading dose 4-5 g dilanjutkan 1 gjjam (continuous infusion) pada dewasa atau 4 g tiap 4-6 jam per oral selama

2-8 hari tergantung dari derajat perdarahan. Terapi ini dikontraindikasikan hila ada hematuria. 6 Fibrin glue/fibrin tissue adhesives dapat digunakan untuk terapi adjuvan untuk

faktor VIII. 6 Faktor VIla rekombinan ~ pad a pasien hemofilia dengan titer inhibitor tinggi. Dosis anjuran: 90 Jlg/kg tiap 2 jam sampai tercapai hemostasis

2. Gangguan inhibisi faktor koagulasi: autoantibodi faktor VIIP Tatalaksana etiologi hila diketahui. Apabila imbas obat ~stop konsumsi maka perdarahan akan berhenti dalam beberapa bulan. Sebagian besar (inhibitor postpartum) sembuh dalam waktu 2-3 bulan pasca persalinan

Pasien simptomatik ~ mengatasi perdarahan dan menurunkan titer antibodi o Menurunkan titer antibodi: imunosupresan (steroid, cyclophosphamide, azathioprine, desmopressin, (intravenous immunoglobulin)/IVIG, atau plasmaferesis)

1

o

Prednison 1 mg/kgjhari selama 3-6 minggu, atau

o o

Cyclophosphamide 2 mg/kg/hari selama 6 minggu, atau Pada pasien dengan kontraindikasi imunosupresan ~ IVIG 0,4 gjkgfhari

selama 5 hari 3. Kelainan hematologis terkait abnormalitas fungsi trombosiC Kelainan mieloproliferatif kronis ~

lihat pada bab Polisitemia Vera

o

Polisitemia vera

o o

Trombositosis esensial ~ lihat pada bab Trombositosis Esertsial Leukemia mielogenus kronis ~ lihat pada bab Leukemia

o

Mielofibrosis dengan metaplasia mieloid

Terapi sebaiknya diberikan pada pasien simptomatis, usia >60 tahun, individu yang akan menjalani operasi, meliputi koreksi polisitemia, pemeliharaan mas sa eritrosit, tatalaksana penyakit yang mendasari. Reduksi trombosit hingga <400.000/uL dengan plateletferesis atau agen sitoreduktif. Leukemia dan sindrom mielodisplasia~ lihat pada bab Leukemia Disproteinemia : terapi sitoreduktif, plasmaferesis Penyakit von Willebrand didapat: infus DDAVP, vWF-containing factor VIII concentrates, IVIG dosis tinggi

4. Kelainan sistemik terkait dengan abnormalitas fungsi trombosiC Uremia: agregasi trombosit abnormal, dan BT memanjang sering terjadi pada

pasien uremik, tapi bukan merupakan indikasi intervensi terapeutik. Terapi: dialisis, transfusi trombosit, recombinant human Epo, DDAVP, estrogen konjugasi, kriopresipitat Antibodi antitrombosit (ITP, LES, alloimunisasi trombosit, trombositopenia) ~

lihat pacta bab Immune Thrombocytopenia dan Lupus Sistemik

Eritematosus Cardiopulmonary bypass

o o

Evaluasi preoperatif: riwayat perdarahan pacta pasien atau keluarga Transfusi profilaksis komponen darah allogenik tidak diindikasikan

o

Pacta pasien anemia preoperatif, dapat diberikan recombinant human Epo dan non-anemis dapat diberikan Epo + donor darah autolog

o

Cell savers dan darah yang dikumpulkan dari drainase chest tube dapat

digunakan selama operasi dan di re-infus untuk mengurangi transfusi allogenik. Keamanan transfusi dalam jumlah besar dengan teknik ini belum ditetapkan. o

Perdarahan pasca operasi pacta pasien dengan BT memanjang dan kehilangan darah berlebihan dapat merespon terapi DDVAP, dan perdarahan pasca operasi yang tidak dapat dikontrol dapat diberikan recombinant factor VIla.

o

Inhibisi fibrinolisis dengan aprotinin, EACA, asam traneksamat terbukti

o

mengurangi kehilangan darah mediastinum dan kebutuhan transfusi. Apabila perdarahan pasca operasi non-bedah terjadi, pastikan pasien tidak dalam keadaan hipotermia dan heparin telah fully reversed. Pacta tahap ini, administrasi obat dan transfusi trombosit, kriopresipitat, FFP, dan PRC dapat diberikan.

Kelainan lainnya o Penyakit hati kronis o

KID~

~

BT memanjang merespon infusan DDVAP

lihat pacta bab Koagulasi Intravaskular Diseminata

KOMPLIKASI Perdarahan internal profunda, kerusakan sendi, infeksi PROGNOSIS Tergantung dari etiologi dan respon terapi

----1

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi HematologiOnkologi Medik



RS non pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Unit Transfusi Darah



RS non pendidikan

: Unit Transfusi Darah

REFERENSI 1.

Dorland's Illustrated Medical Dictionary. 23'd Edition. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2007

2.

Baz R, Mekhail T. Bleeding Disorders. In : Carey W, Abelson A Dweik R, et al. Current Clinical Medicine. 2nd Edition. The Cleveland Clinic Foundation. Philadelphia: Elsevier. 2010.

3.

Kaushansky K, Selighson U. Classification, Clinical Manifestations, and Evaluation of Disorders of Hemostasis: Overview. In : Lichtman M, Beutler E, Selighson U, et al. Williams Hematology. 7th Edition. New York, McGraw-Hill. 2007

4.

McMillan R. Evaluation of the Patient With a Possible Bleeding Disorder. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23'd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.

5.

Konkle B. Disorders of Platelets and Vessel Wall. In : Longo DL Fauci AS, Kasper DL Hauser SL, Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'h Edition. New York, McGrawHill. 2012.

6.

Escobar M, Roberts HR, White II GC. Hemophilia A and Hemophilia B. In : Lichtman M, Beutler E, Selighson U, et al. Williams Hematology. 7th Edition. New York, McGraw-Hill. 2007

7.

Abrams CS, Bennett JS, Shattil SJ. Acquired Qualitative Platelets Disorders: Overview.ln: Lichtman M, Beutler E, Selighson U, et al. Williams Hematology. 7th Edition. New York, McGraw-Hill. 2007

HEMOGLOBI NOPATI

PENGERTIAN Hemoglobinopati adalah kelainan dari struktur, fungsi, atau produksi hemolobin (Hb) yang diturunkan secara genetik ataupun didapat. Hemoglobin normal pacta orang dewasa (HbA) terdiri dari tetramer polipeptida globin yang mempunyai subunit atau rantai yaitu 2a dan 2 ~. Rantai a berhubungan dengan kromosom 16, sedangkan rantai ~ (non a) berhubungan dengan kromosom 11. Subunit tidak selalu ~ tetapi dapat £ (embrionik), 8 (normal minor HbA2l atau y (fetus). Sel darah merah pacta orang dewasa mempunyai 3 tipe yaitu HbA (a2 ~2) sebanyak 95 o/o, HbA2 (a2 82) sebanyak 2.5 %, dan HbF (a2 y2) sebanyak 2.5 o/o. Perbedaan pacta ketiga tipe rantai menentukan afinitas oksigen, kelarutan, dan stabilitas. Segera setelah lahir, produksi rantai ~ baru dimulai, sedangkan produksi rantai y mulai menurun. Abnormalitas rantai ~ tidak bermanifestasi pacta bulan pertama kehidupan. Mutasi pacta Hb dan sindroma yang berhubungan dapat dilihat pacta tabel di bawah ini: 2 1

label 1. Mutasi Hb dan Sindrom yang Berhubungan 2

A A2 A

Dewasa normal Dewasa normal (minor) Talasemia a, asimptomatik atau fatal

a2 ~2 a2o2 Menurunnya atau tidak adanya sintesis rantai

16

a A

Talasemia

~

Menurunnya atau tidak adanya sintesis rantai

11

~

F S

Fetal (usia <6 bulan) Sickle cell disease/trait

H

a2y2 Lisin mengsubsitusi glutamat di posisi nomor · 6 pada rantai ~

11

·G-----MentJrunya:~Jsia-sel

16 11

SC

Terbentuk pada talasemia a berat ~4 deiran-meran,- --· ··· -· ~isin-mengsuasit\:Jsi-§1\Jtamat-diposisi-nomo~-anemia ringan.vaso-occ/usive 6 pada rantai ~ disease: HbS dari 1 orang tua, HbC dari orang Lisin mengsubsitusi glutamat di posisi nomor tua lainnya. Gejala ringan 6 pada rantai ~

11

Asimptomatik, terkecuali jika diturunkan bersama HbS

11

D

E,-------Mikrositosis;-jarang-terjadianemia --

Glutamat disubstitusi di nomor 121 pada rantai ~

--Hsin-mengsubsiti:Jsi-di--nomor-26-J:><:ldarantai·-~- ------- -1+---

Ada 5 golongan dari hemoglobinopati yaitu: label 2. Klasifikasi Hemoglobinopati'

Structural hemoglobinopathies: Hemoglobin dengan kelainan sekuens asam amino yang menyebabkan gangguan fungsi.

l

Polimerisasi Hb abnormal

HbS, hemoglobin sickling

Kelainan afinitas oksigen

1. High affinity: polisitemia 2. Low affinity: sianosis, pseudoanemia

Hemoglobins that oxidize readily

1. Hb tidak stabil: anemia hemolitik, ikterik. 2. M hemoglobin-methemoglobinemia, sianosis

Talasemia: defek biosintesis rantai globin

aTalasemia; 13 Thalassemias; aJ3, 6!3, y6J3 Thalassemias

Thalassemic hemoglobin variants: Abnormalitas struktus Hb berhubungan dengan fenotip talasemia yang diturunkan.

HbE. Hb Constant Spring, Hb Lepore

Hereditary persistence of fetal hemoglobin: persistensi HbF dengan kadar tinggi sampai dewasa.

Methemoglobin due to toxic exposures B. Sulfhemoglobin due to toxic exposures C. Carboxyhemoglobin D. HbH in erythroleukemia E. Elevated HbF in states of erythroid stress and bone marrow dysplasia

Acquired hemoglobinopathies

Methemoglobin dan sulfhemoglobin karena paparan bahan toksik, karboksihemoglobin, HbH pada eritroleukemia, meningkatnya HbF pada sritroid stres dan displasia sumsum tulang

Pacta bab ini akan dibahas lebih lanjut mengenai talasemia.

SINDROM TALASEMIA PENGERTIAN Kelainan biosintesis rantai a dan ~ globin yang bersifat diturunkan yaitu menurunnya kecepatan produksi atau abnormalitas produksi satu atau lebih rantai globin sehingga menyebabkan menurunnya produksi hemoglobin dan terjadi detruksi berlebihan. Ada 2 tipe talasemia yaitu: 3•4 • Talasemia a: hilang atau berubahnya gen yang berhubungan dengan rantai globin a o Paling banyak terjadi pada daerah Asia Tenggara, Timur Tengah, China, dan keturunan Afrika o Terbagi menjadi dua subtype yaitu mayor dan minor • Talasemia ~: hilang a tau berubahnya gen yang berhubungan dengan rantai globin~ o Paling banyak terjadi pada Mediteranian o Terbagi menjadi dua subtipe yaitu mayor (anemia Cooley) dan minor DIAGNOSIS label 3. Diagnosis Talasemia

~- J~l~~"~itl;~-~;c; ·• ..:,{'ri..~0?j{ ~::, ;·g~~r.&i~.~.'l~~,ls.L {z,.}:!;~m~Mc~~·~i~~~isi~· ,. ~~'!1~1~I~~p.~~:~~.~.J1J~h~.~ I Talasemia Talasemia 13 13 mayor/ Cooley's anemia.

• Anemia mun• Tampak anemis cui pada bulan • Deformitas pertama kehiduskeletal pan, dan dapat f 't berkembang men- • De o~m1 as jadi progresif. mak~lla (mongo/old face) • Gangguan makan • Hepatospleno• Demam, diare, megali keluhan pencer• Pigmentasi kulit naan • Perdarahan atau infeksi • Gangguan neurologik

• Hb 2-3 gram/dl • Leukosit dan trombosit meningkat ringan . • k t R t'k • e 1 u1os1t men1ng a • HbA2 meningkat • HbF meningkat • SOT (sediaan darah tepi): anisopoikilositosis, hipokromia, target seL basophilic stippling • Rontgen kepala, tangan, tulang panjang: tampak hair on end atau sun ray"appearance dan lacy trabeculation pada tulang panjang dan phalanx ~• S~o~msum-tul
t'liperplasia eritroid dengan abnormalitas morfologi eritroblas seperti basophilic stippling dan peningkatan deposit besi

Talasemia ~ • Dapat asimtomatik • Ulkus kronik intermedia pada tungkai sampai dewasa • Gangguan perkembangan dan retardasi mental

Talasemia minor

Talasemia a Hemoglobin Bart's Hydrops Fetalis Syn-

~

-

• Splenomegali progresif

• Deformitas skeletaL artritis, nyeri tulang • Asimptomatik

• Hb 9-11 gram/dl • HbF meningkat pada 50 % kasus

• Stillbirth atau hidup • Pucat anemia

dalam beberapa jam setelah dilahirkan

drome

i

.

• Edema • Hepatosplenomegali

Hemoglobin H Disease

Milder. Forms of a -Thalassemia,

Including

• Sumsum tulang: hiperplasia ringan dari eritroid, jarang disertai inklusi sel darah merah yang • Hb Bart+, Hb Port/and 10-20% dari total Hb • HbA dan Hb F negative • SOT: banyak sel darah merah berinti. • Retikulosit mencapai 5 % • HbH 5-40% dari total Hb. • Jumlah HbA2 sedikit menurun

• Splenomegali

• SOT: hipokromik, anisopoikilositosis. • Anemia ringan • SOT: perubahan morfologi sel darah merah, hipokromik ringan.

the Traits

£y6{3-

• Neonatus: anemia Tha/assemia • Anak dan dewasa: asimptomatik

• Talasemia heterozigot • Jumlah HbA2 normal

DIAGNOSIS BANDING Anemia sideroblastik kbngenital,juvenile chronic myelogenous leukemia. TATALAKSANA • Transfusi darah: Ditransfusi jika Hb terlalu rendah agar pertumbuhan normal Jika ditransfusi terlalu dini maka talasemia intermedia dapat terlewatkan. Transfusi dilakukan setiap 4 minggu pada pasien rawat jalan.

Ras, riwayat keluarga, usia saat pertama keluhan pertama muncul, perkembangan

Pucat, ikterik, splenomegali, deformitas skeletal. oiamentasi Hb, MCV, MCH, retikulosi t, inklusi sel darah merah pada darah dan sumsum tulang

Adanya Hb abnormal, analisis HbH dan

Hb Barts pada pH 6-7 Untuk mengkonfirmasi talasemia ~

Distribusi intraselular HbF

Anal isis struktural dari variasi Hb, misalnya Hb Lepore

Gambr 1. Algoritme lnvestigasi Pemeriksaan Penunjang pada Kasus Suspek4

Penatalaksanaan umum Mengatasi keluhan infeksi, penyakit tulang, atau gaga! jantung. Jika ada defisiensi folat: diberikan suplementasi asam folat. Suplementasi tidak diberikan jika sudah menjalani transfusi darah rutin. Mengatasi gangguan akibat deformitas tulang tengkorak khususnya pada teliga, hidung, dan tenggorokan, seperti infeksi sinus kronik dan penyakit telinga tengah. •

Iron Chelation

Anak-anak yang mendapat transfusi dapat menyebabkan kelebihan besi sehingga harus menjalani program chelation pada usia 2-3 tahun kehidupan. Deferoxamine diberikan selama 8-12 jam melalui syringe pump, diinfuskan ke

dalam jaringan subkutan pada dinding anterior abdomen. Diberikan jika kadar feritin serum mencapai 1000 gramjdl, atau setelah transfusi ke 12-15. Dosis inisial 20 mgjkg selama 5 malam dalam seminggu, bersamaan dengan vitamin C 200 mg per oral, a tau setelah deferoxamine diberikan. Jika diberikan sebelum pemberian deferoxamine dapat mencetuskan miokardiopati. Jika kelebihan besi be rat terutama pad a pasien dengan komplikasi kardiak dan endokrin, infus deferoxamine dapat diberikan sampai SO mg/kg berat badan Feritin serum dijaga < 1500 gram/liter

Komplikasi: eritema lokal, nodul subkutan yang nyeri pada lokasi suntikan, reaksi alergi, toksisitas neurosensori (30% kasus), penurunan pendengaran sampai kehilangan pendengaran permanen, gangguan penglihatan, buta warna, perubahan densitas tulang, retardasi mental, nyeri tulang. Terapi jika muncul komplikasi: hidrokortison 5-10 mg secara infusan. •

Transplantasi sumsum tulang Sebelum dilakukan transplantasi, sebaiknya dilakukan chelation secara adekuat sampai transplantasi akan dilakukan



Terapi spesifik talasemia Penyakit HbH: tidak ada terapi spesifik, splenektomi mungkin dapat berguna pada kasus anemia berat dan adanya splenomegali. Obat oksidan sebaiknya tidak diberikan pada penyakit HbH, Talasemia intermedia: observasi ketat pasien selama tahun pertama kehidupan. Jika tanpa keluhan dan tidak ada deformitas pasien tidak perlu ditransfusi. Jika selama observasi ditemui adanya gangguan pertumbuhan (retardasi a tau

i

keterbatasan dalam akivitas karena anemia) harus ditransfusi rutin. Splenektomi dapat dilakukan sesuai indikasi

KOMPLIKASI 5·6 Gagal jantung, gangguan hati, infeksi

PROGNOSIS Talasemia berat dapat menyebabkan kematian karena gagal jantung terutama pada usia 20 dan 30. Terapi dengan transfusi darah dan chelation secara adekuat mempunyai prognosis yang baik dan meningkatkan kualitas hidup. Pencegahan dengan skrining dan konseling dignostik pada pasangan yang mempunyai riwayat talasemia dalam keluarga. Diagnosis antenatal dilakukan berdasarkan pemeriksaan DNA pada amplifikasi PCR DNA fetus yang didapatkan dari amniosentesis atau biopsi viii korionik. 1•5•6

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi Onkologi Medik



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNITY ANG TERKAIT : Unit Transfusi Darah



RS pendidikan



RS no n pendidikan : Unit Transfusi Darah

REFERENSI 1.

Benz E. Disorders of Hemoglobin. ln:Longo DL Kasper DL Jameson DL Fauci AS, Hauser SL Loscalzo J. editors. Harrison's Principals of Internal Medicine 18'" ed. Me Grow Hill. Chapter 104

2.

Wilson M, Forsyth P. Haemoglobinopathy and sickle cell disease. Continuing Education in Anaesthesia, Critical Care & Pain.2012. Diunduh dari http:/ /ceaccp.oxfordjournals.org/ pad a tanggal26 Mei 2012.

3.

Shivashankara A.R, Jailkhani R, Kini A. Hemoglobinopathies In Dharwad. Journal of Clinical and Diagnostic Research 2008 February; 2:593-599. Diunduh dari http://www.jcdr.net/back_issues. asp?issn=0973-709x&year=2008&month= February&volume=2&issue=l &page=5 &id=l56 pada tanggal 26 Mei 2012.

4.

Weatherall S.Disorders of Globin Synthesis: The Thalassemias. In: Lichtman M, Beutler E, Kipps T, editors. Williams Hematology 7'" ed. Me Grow Hill. Chapter 46.

5.

Giardina PJ, Forget BG. Thalassemia syndromes. In: Hoffman R, Benz EJ, Shattil SS, et al., eds. Hematology: Basic Principles and Practice. 5th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier Churchill Livingstone; 2008:chap 41.

6.

DeBaun MR, Vichinsky E. Hemoglobinopathies. In: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007:chap 462.

-I

TROMBOSITOPENIA IMUN

PENGERTIAN Immune Thrombocytopenia, atau yang sebelumnya dikenal dengan Idiopathic Thrombocytopenic Purpura yang kemudian menjadi Immune Thrombocytopenic Purpura

(ITP), merupakan suatu kelainan autoimun dimana terjadi destruksi imunologis trombosit yang seringkali menjadi respon dari stimulus yang tidak diketahui. ITP dapat terisolasi (primer) a tau berkaitan dengan kelainan lainnya (sekunder). Etiologi sekunder ITP meliputi penyakit autoimun (terutama sindrom antibodi antifosfolipid), infeksi virus (hepatitis C dan human immunodeficiency virusjHIV), dan beberapa macam obat (tabel1).1 ITP primer didefinisikan sebagai hi tung trombosit < 100 x 10 9 /L dan tidak ditemukan kelainan lain yang dapat menjadi penyebab trombositopenia. 2 label 1. Etiologi Sekunder ITP' • Sindrom antifosfolipid • Trombositopenia autoimun (Evans syndrome) • Variasi umum imunodefisiensi • Efek samping pemberian obat • lnfeksi sitomegalovirus (CMV), He/icobacter pylori, hepatitis C, HIV, varicella zoster • Kelainan limfoproliferatif • Efek samping transplantasi sumsum tulang • Efek samping vaksinasi • Lupus eritematosus sistemik (LES)

Karakteristik ITP yaitu perdarahan mukokutaneus dan hitung trombosit rendah, seringkali sangat rendah, dengan a pusan darah tepi normal. Pasien umumnya datang dengan ekimosis dan petekia, atau trombositopenia yang secara tidak sengaja ditemukan pada pemeriksaan darah rutin. ITP juga dapat mengancam nyawa, meskipun lebih jarang terjadi, misalnya perdarahan pada susunan saraf pusat, purpura basah (perdarahan di dalam mulut), dan perdarahan pada retina. 3 Pada anak-anak, penyakit ini terjadi akut, dan sering terjadi pasca infeksi, dan bersifat self-limited. 3 ITP kronis merupakan manifestasi trombositopenia yang persisten (> 6 bulan) akibat kelainan autoimun. Diagnosis ITP kronis merupakan

diagnosis Per eksklusionam (memungkinkan diagnosis yang lain) dan mengacu pada rekomendasi American Society of Hematology (tabel 2).4 Tabel 2. Kriteria Diagnosis ITP Kronis Menurut American Society of Hematology: DiagnosisEksklusi 4

• Anamnesis sesuai dengan diagnosis ITP kronis • Pemeriksaan fisik normal kecuali adanya tanda trombositopenia (petekia, purpura, atau perdarahan mukosa); tanpa adenopati atau splenomegali • Hitung darah lengkap : trombositopenia terisolasi dengan trombosit besar tanpa anemia, kecuali adanya perdarahan atau hemolisis imun • Pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan nilai normal atau peningkatan megakariosit (tidak diperlukan dalam diagnosis kecuali manifestasi tidak biasa atau usia > 60 tahun) • Pada klinis dan laboratorium tidak ditemukan penyebab lain dari trombositopenia

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

• • •

Gejala perdarahan terisolasi yang konsisten dengan trombositopenia tanpa gejala konstitusional (penurunan be rat badan signifikan, keringat mal am, nyeri tulang) 1 Pada kasus akut, perlu ditanyakan riwayat infeksi yang mengawali seperti rubeola, rubella, atau infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) 5 Pada kasus kronis, perlu ditanyakan riwayat epistaksis berulang, menometrorrhagia, infeksi hepatitis C, HIV, penyakit autoimun (LES)3.4

Pemeriksaan Fisik

• • • •

Perdarahan mukokutaneus (petekia, purpura, ekimosis) pada mukosa oral [gum bleeding}, saluran cerna3.4 Tanda infeksj3 Tanda penyakit autoimun 3 Jarang ditemukan hepatosplenomegali, limfadenopati, tidak ditemukanjaundice atau stigmata kelainan kongenitaP

Pemeriksaan Penunjang 3



• • •

Laboratorium : darah perifer lengkap, morfologi darah tepi, serologi virus (Dengue, CMV, Epstein Barr Virus, hepatitis C, HIV, rubella), serologi LES, elektroforesis serum protein, imunoglobulin, fungsi hati, defisiensi lgA atau monoclonal gammopathies (selektif), tes Coomb. Pungsi sumsum tulang, dengan indikasi 6 (tidak rutin dikerjakan) Usia> 60 tahun dengan manifestasi atipik (Ielah, demam, nyeri sendi, makrositosis, neutropenia Sebelum splenektomi pada pasien dengan diagnosis non-definitif

DIAGNOSIS BANDING ITP-like syndrome pada penderita HIV atau hepatitis C, ITP sekunder imbas obat, hipogamaglobulinemia. 4 TATALAKSANA Prinsip tata laksana ITP ditentukan berdasarkan beratnya trombositopenia dan terjadinya perdarahan. Tujuan tata laksana awal adalah mencapai keadaan hemostatik, dengan jumlah hitung trombosit 2: 30.000x10 9 fL. Gam bar 1 di bawah ini memperlihatkan tata laksana ITP sebelum dilakukan splenektomi. Splenektomi direkomendasikan pada kasus dimana memerlukan lebih dari 12 bulan untuk mecapai hi tung trombosit yang hemostatik dan kondisi tidak tole ran terhadap terapi sebelumnya Terapi diindikasikan pada semua pasien dengan keluhan perdarahan dan jumlah hitung trombosit kurang dari 20.000 x 10 9 /L karena pada kondisi ini kurang dari 10% yang dapat mencapai remisi spontan. Pada kondisi dimana hitung trombosit > 50.000 x 10 9 /L biasanya cukup dilakukan observasi saja meskipun beberapa kasus memerlukan tata laksana lebih Ian jut. Secara umum, pada kondisi hitung trombosit I

l

Emergency' IV methylpre.:inisC>IOOO {1.0 gld X 1-3d) IVIG (1.0 glkgld fer 2-3 days) :!: IV snti-D (75 ~g•'kg) ±IV vincristine (1-2 mg} ± Platelet translusicn ;t; Factor VIla

Initial Treatment' Platelet count~ <2{1,000 •10~ /L

Platelet count>20-30,000•1D 01L l

~otrel'llment

Ij

m tile absence of specisl circumstances

Prednisone (1 mglkgld
or Dexamethasone (40 m!flday pc x 4 days/month)

I

~ Stable platelet count: >30-50,DOOx10°/L No therapy, observe

~ 'Platelet count: <20,000•10~/l lmmu11ize Splenectomy

I I

[ ~ 'Stable pllltelet coum: >30-50,000 •10 911.

No tl>erapy, observe

Gamber 1. Tata Laksana ITP Dewasa Sebelum SplenektomF

an tara 20.000-50.000 x 109 jL, tidak diperlukan tata laksana segera pad a kondisi tanpa perdarahan maupun tidaka didapatinya penyakit komorbid lain seperti: hipertensi tidak terkontrol, ulkus peptik aktif, operasi maupun trauma kepala.

ITP KRONIK Tigapuluh sampai dengan empat puluh persen pasien tetap memiliki hitung trombosit kuang dari 50.000 x 10 9 /L meskipun telah dilakukan splenektomi, hal ini diakibatkan tidak respon maupun kekambuhan. Pada kondisi seperti ini, tujuan dari pengobatan lebih ke arah mencapai kondisi trombosit hemostatik dengan efek sam ping minimal, dibandingkan mencapai kesembuhan. TERAPIITP SEKUNDER PADA KEADAAN KHUSUS Treatment of Patient:;; Failing Splenectomy' Platelet count <20-30.000 x 109/L

First-lim!' Therapy~ Second-line 1Vanti-CD20 Therapy or Danazor + eilher Azathioprine ~-~ Cyclophosphamkle or Mycophenola!e mofetU (IV or oral) --------------------Cyctosporjne Predniwne or IVIG pm

Third-line Therapy Combination chemotherapy

---+I Slem-.:;ell transplantation

Experlmental Therapy ThromOOpoietic factors

Gambar 2. Tata Laksana Pasien ITP yang Gaga! dengan SplenektomF

Berikut adalah terapi ITP sekunder pada keadaan khusus seperti tercantum pada tabel 3. Tabel 3. Terapi ITP Sekunder pada Keadaan Khusus'

ITP sekunder terkait HIV

• Tatalaksana infeksi HIV dengan antiviral • IVIG, kortikosteroid, atau anti-D • Apabila gagal. pertimbangkan splenektomi

ITP-sekl:lncler terj(ait hepetitis C- -

• Terapi entiviralbila tidak ada kontraindikasi • Observasi ketat karena interferon dapat memperburuk kondisi trombositopenia • Bila diperlukan, mulai terapi IVIG

ITP sekunder terkait H. pylori

• Skrining H. pylori sebelum terapi dimulai • Terapi eradikasi H. pylori bila diemukan infeksi H Pylori

ITP pada kehamilan • Kortikosteroid atau IVIG - -· - -------------------------- ~-Metode persalinansesuai inClTICasroEstefnc- --- - - -- ··· - ·

KOMPLIKASI Infeksi, ITP berat, diabetes-induced steroid, hipertensi, imunokompromais PROGNOSIS Prognosis pada dewasa baik, sebagian besar pasien memiliki hi tung trombosit aman pasca terapi. Dalam studi Italia tahun 2010, 310 anak dan dewasa dengan ITP kronis, sebanyak 40,3% dapat mempertahankan hitung trombositnya > SO x 10 9 /L dengan prednison dosis rendah atau terapi lainnya. Hanya 11% yang tetap memiliki hi tung trombositrendah (< 30 x 109 /L) dalam follow-up selama 121 bulan; dan 56% diantaranya menjadi ITP be rat karena tidak diterapi. Dari 109 pasien pasca splenektomi, 66% merespon dengan baik dan 34% lainnya dilaporkan relaps. 8 Risiko perdarahan fatal pada dewasa dengan ITP kronis pada analisis tahunan sebanyak 1,6-3,9 kasus per 100 pasien dalam 1 tahun. Risiko ini lebih rendah pada usia< 40 tahun dan lebih tinggi pada usia> 60 tahun. 9

l

UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi HematologiOnkologi Medik • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan : Unit Transfusi Darah • RS non pendidikan : Unit Transfusi Darah REFERENSI 1.

Neunert C, Lim W, Crowther M, et al. The American Society of Hematology 2011 evidence-based practice guideline for immune thrombocytopenia. Blood 2011 ;117: 4190-4207. Diunduh dari http:/I bloodjournal.hematologylibrary.org/content/117 /16/4190.full.pdf pad a tanggal 17 Mei 2012.

2.

Rodeghiero F, Stasi R, Gernsheimer T, et al. Standardization of terminology, definitions and outcome criteria in immune thrombocytopenic purpura of adults and children: report from an international working group. Blood. 2009; 113( 11) :2386-2393.

3.

Konkle B. Disorders of Platelets and Vessel Wall. In : Longo DL Fauci AS, Kasper DL Hauser SL Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181" Edition. New York, McGrawHill. 2012.

4.

McMillan R. Hemorrhagic Disorders: Abnormalities of Platelet and Vascular Function. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23'd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.

5.

Purwanto I. Trombositopenia Purpura lmun. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II. 2009. Hal 1165-73.

6.

Baz R, Mekhail T. Disorder of Platelet Function and Number. In : Carey W, Abelson A, Dweik R, et al. Current Clinical Medicine. 2nd Edition. The Cleveland Clinic Foundation. Philadelphia: Elsevier. 2010. Hal577-8

7.

Cines DB, Bussel JB.How I treat Idiopathic Trombocytopenia purpura. Blood.2005;1 06: 2244-9.

8.

Vianelli N, Valdre L Fiacchini M, et al. Long-term follow-up of idiopathic thrombocytopenic purpura in 310 patients. Haematologica. 2001 ;86:504-509. [Abstrak]

9.

Cohen YC, Djulbegovic B, Shamai-Lubovitz 0, Mozes B. The bleeding risk and natural history of idiopathic thrombocytopenic purpura in patients with persistent low platelet counts. Arch Intern Med. 2000;160:1630-1638. [Abstrak]

KOAGULASIINTRAVASKULAR DISEMINATA PENGERTIAN Koagulasi Intravaskular Diseminata (KID) atau Disseminated Intravascular Coagulation (DIC), juga dikenal dengan sebutan consumptive coagulopathy atau defibrination, merupakan suatu sindrom klinikopatologis yang ditandai dengan pembentukan fibrin intravaskular yang menyebar akibat aktivitas protease darah berlebihan yang mengganggu mekanisme antikoagulan alami. Beberapa kondisi yang berkaitan dengan KID seperti tercantum pada tabel 1.1.2 label 1. Beberapa Kondisi yang Berkaitan dengan KID' Sepsis

BakteriaL viraL mikotik, parasitik, rickettsia

Trauma dan jejas jaringan Gangguan vaskular

Jejas otak (luka tembak), luka bakar luas, emboli lemak, rhabdomiolisis Giant hemangioma (Kasabach-Merritt syndrome), aneurisma pembuluh darah besar (mis. aorta)

Komplikasi obstetri

Solusio plasenta, emboli air ketuban, dead fetus syndrome, abortus septik Adenokarsinoma (prostat, pankreas, dll), keganasan hematologis (acute promye/ocytic leukemia) Reaksi transfusi hemolisis akut. reaksi penolakan organ/jaringan transplan Agen fibrinolisis, aprotinin, warfarin (khususnya pada neonatus dengan defisiensi protein C), konsentrat kompleks protrombin, obat rekreasional (amfetamin) Bisa ular, serangga Gagal hati fulminan, sirosis, perlemakan hati dalam kehamilan Syok, sindrom distres pernapasan, transfusi masif

Keganasan Gangguan imunologis Obat-obatan

Toksin I racun Penyakit hati Lainnya

PENDEKATAN DIAGNOSIS Diagnosis KID dapat ditegakkan dengan sistem skoring The International Society for Thrombosis and Haemostasis (ISTH) seperti tercantum pada tabel 2. Skoring ini memberikan 5-tahap diagnosis KID dengan menggunakan pemeriksaan laboratorium sederhana yang tersedia di hampir semua laboratorium rumah sakit. Skoring ini juga dapat digunakan pada KID akut (misalnya sepsis) maupun kronis (mis. malformasi

vaskular dan aneurisma) dan memiliki sensitivitas 91 o/o dan spesifisitas 97% untuk KID nyata [overt DICP Tabel 2. Sistem Skoring KID menurut ISTH 3 Penilaian risiko : apakah pasien memiliki kelainan komorbid yang berkaitan dengan KID ?

• Bila ya ~ lanjut • Bila tidak ~ hentikan menggunakan algoritma Lakukan pemeriksaan koagulasi (hitung trombosit, prothrombin time I PT, fibrinogen, marker

terkait fibrin) Berikan skor untuk tlap hasll pemeriksaan : Hitung tromboslt

> 100 x 109 /L 9

Marker fibrin (D-dimer, produk degradasi fibrin)

PT memanjang

Level fibrinogen

Skor = 0

< 100 X 10 /L

Skor = 1

<50 X 109 /L

Skor = 2

Tidak meningkat

Skor = 0

Sedikit meningkat

Skor = 2

Sangat meningkat

Skor = 3

< 3 detik

Skor = 0

3-6 detik

Skor= 1

> 6 detik

Skor = 2

> 1 g/L

Skor= 0

< 1 g/L

Skor = 1

Perhitungan skor :

• <: 5 sesuai dengan gambaran KID nyata (overt); skoring diulang setiap hari • < 5 sugestif untuk KID tidak nyata (non-overt); skoring diulang tiap 1-2 hari

Pemeriksaan penunjang lainnya1.2.4 •

Laboratorium: activated partial thromboplastin time (aPTT), thrombin time (TT), antitrombin III, morfologi darah tepi (dapat ditemukan fragmentasi eritrosit/ schistocytes)

DIAGNOSIS BANDING Fibrinolisis primer, penyakit hati berat, kelainan mikroangiopati.l.2 TATALAKSANA Tatalaksana KID terdiri dari :2•6 1. Identifikasi dan tata laksana penyakit komorbid yang mendasari terjadinya KID

dan terapi suportif tanda vital 2. Terapi tidak dibutuhkan apabila gejala ringan, asimptomatik, dan sembuh sendiri [self-limited) 3. Menjaga keseimbangan hemodinamik

(i) ~~ 0

'

]

4. Terapi komponen darah (lebih lengkap lihat pada bab prosedur Transfusi Darah) Indikasi transfusi trombosit : i.

Perdarahan aktif atau

ii.

Risiko tinggi perdarahan (mis. pasien pasca operasi atau akan menjalani prosedur invasif dengan hitung trombosit < SOx 10 9 /LP atau

iii. Pasien tanpa perdarahan dengan hitung trombosit 10-20 x 10 9 /L. 3 Fresh-frozen plasma (FFP) 3 i.

ii.

Dapat diberikan pada pasien KID dengan perdarahan dan aPTT dan PT memanjang, atau level fibrinogen< SO mgjdL Dosis inisial : 1S-30 mljkg

iii. Apabila transfusi FFP tidak memungkinkan (mis. karena adanya fluid overload) 7 pertimbangkan faktor konsentrat seperti konsentrat kompleks protrombin Trombosit jika :

-,

1. Trombosit < 10.000/mm 2 atau 20.000 jmm2 dengan infeksi berat

2. Terdapat perdarahan dengan jumlah trombosit < SO.OOO/mm2 Pada kasus dengan defisiensi fibrinogen spesifik 7 koreksi dengan purified fibrinogen concentrates atau kriopresipitat. 3 1 kantung kriopresipitat/10 kg

BB dapat meningkatkan kadar fibrinogen 100 mg/dl. Pad a kasus tertentu, pertimbangkan kriopresipitat (mis. pada hipofibrinogenemia berat <1 g/L) 3, antitrombin III S. Terapi obat Antikoagulan diberikan pada KID dengan manifestasi predominan trombosis seperti tromboemboli arteria tau vena, purpura fulminan be rat yang berkaitan dengan iskemi atau infark kulit akral, atau pada pasien KID kritis tanpa perdarahan dapat diberikan antikoagulan profilaksis unfractioned heparin (UFH) diberikan 10 unit/kg/jam tanpa target aPTT sampai 1,S-2,S x kontrol atau LMWH. 3 Konsentrat faktor koagulan : recombinant human activated protein C (Drotrecogin alfa) infus selama 96 jam 2 7 terbukti efektifpada pasien KID dengan sepsis berat dan dalam seting ICU karena adanya risiko perdarahan.5 Antifibrinolisis pada umumnya merupakan kontraindikasi kecuali pada perdarahan yang mengancam nyawa dan kegagalan terapi komponen darah

KID PADA KEADAAN KHUSUS 6 •

Kehamilan Solusio plasenta Derajat keparahan berbeda-beda,dari ringan hingga syok dan kematian janin. Penggantian volum secara cepat dan evakuasi uterus merupakan terapi terpilih. Transfusi kriopresipitat, FFP, dan trombosit sebaiknya diberikan bila perdarahan masif terjadi. Akan tetapi, bila tidak ada perdarahan berat, pemberian komponen darah tidak perlu karena deplesi faktor koagulasi meningkat secara cepat saat persalinan. Heparin atau antifibrinolisis tidak diindikasikan. Emboli cairan ketuban Pemicu KID adalah adanya faktor jaringanjtissue factor (TF) pada cairan ketuban. Oklusi ekstensifpada arteri pulmonalis dan respon anafilaktoid akut merupakan tanda dari SIRS [systemic inflammatory response syndrome) berat yang memicu dispneu tiba-tiba, sianosis, kor pulmonal akut, disfungsi ventrikel kiri, syok, dan kejang. Gejala ini terjadi dalam hitungan me nit sampai beberapa jam diikuti perdarahan berat yang disebabkan oleh atonia uteri, tempat tusukan, saluran cerna, dan organ lainnya. Cara terbaik untuk menurunkan mortalitas adalah terminasi dini pada pasien risiko tinggi dan pencegahan uteri tetani dan hipertonus saat persalinan. Saat sindrom dikenali, sangat penting untuk terminasi kehamilan segera dengan support paru dan kardiovaskular. Preeklampsia dan eklampsia Pemberian heparin tidak menunjukkan manfaat bermakna

Sindrom HELLP Sindrom hemolisis (H), peningkatan enzim hati (E), trombositopenia (LP), dan nyeri epigastrium akut merupakan komplikasi dari hipertensi kehamilan. Tatalaksana meliputi terapi suportif, observasi ketat, dan terapi komponen darah. Dengan beberapa pengecualian, persalinan tidak harus dilakukan per abdominam. Sindrom HELLP cenderung berulang.

Sepsis Terapi untuk semua kasus KID terkait sepsis termasuk antibiotik, dukungan fungsi vital, dan intervensi bedah untuk membuang sarang infeksi lokal. Dapat dipertimbangkan aborsi atau bahkan histerektomi.

Dead Fetus Syndrome

Beberapa minggu setelah kematian janin, sekitar 1/3 pasien menunjukkan tanda laboratorium KID, yang biasanya diikuti dengan perdarahan. Komplikasi jarang terjadi karena induksi persalinan dilakukan segera setelah diagnosis ditegakkan. Namun apabila induksi persalinan harus ditunda, sebaiknya dilakukan pemeriksaan serial koagulasi darah. Apabila kasus kematian janin pada kehamilan multipel aterm, terapi dimulai menurut diskusi. Namun hila terjadi saat preterm, pemberian heparin jangka panjang dapat bermanfaat.

Perlemakan hati akut Terapi primer pada pasien ini adalah persalinan lebih awal dan terapi suportif. Komplikasi yang berpotensi leta! adalah pankreatitis.

KOMPLIKASI Gaga! organ, trombosis vena dalam, KID fulminan

PROGNOSIS Tergantung penyebab dan respon terhadap terapi

UNITY ANG ME NANG ANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi HematologiOnkologi Medik



RS non pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Unit Transfusi Darah



RS non pendidikan

:Unit Transfusi Darah

REFERENSI 1.

Arruda V, High KA. Coagulation Disorders. In :Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.

2.

Schafer AI. Hemorrhagic Disorders : Disseminated Intravascular Coagulation, Liver Failure, and Vitamin K Deficiency. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23rd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.

3.

Levi M, Toh CH, Thachil J, Watson HG. Guidelines for the diagnosis and management of disseminated intravascular coagulation. British Journal of Haematology 2009; 145:24-33

4.

Sukrisman L. Koagulasi lntravaskular Diseminata. Dalam : Sudoyo A. Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II. 2009. Hal 1319-22.

5.

Vincent JL Bernard GR. BealeR, et al. Drotrecogin alfa (activated) treatment in severe sepsis frorn the global open-label trial ENHANCE: further evidence for survival and safety and implications for early treatment. Crit Care Med. 2005;33:2266-2277.

6.

Levi M, Selighson U. Disseminated lntravascularCoagulation.ln: Kaushansky K. Lichtman M, Beutler E. et al. Williams Hematology. 8th Edition. China, McGraw-Hill. 2012

LEUKEMIA

PENGERTIAN Leukemia merupakan penyakit proliferasi neoplastik yang sangat cepat dan progresif sehingga susunan sumsum tulang normal digantikan oleh sel primitif dan sel induk darah. 1 Leukemia akut dibagi dua berdasarkan sel yang mendominasi yaitu: 1. Leukemia seri mieloid: akut dan kronik 2. Leukemia seri limfoid: akut dan kronik Berikut akan dijelaskan satu persatu mengenai jenis leukemia terse but diatas.

LEUKEMIA MIELOBLASTIK AKUT (LMA) PENGERTIAN Leukemia mieloblastik akut adalah suatu penyakit yang ditandai dengan transformasi neoplastik dan gangguan diferensiasi sel-sel progenitor dari seri mieloid. 1 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Mudah Ielah, dapat ditemukan gusi berdarah, mimisan, anoreksia, berat badan turun. 2 Pemeriksaan Fisik

Peteki a tau purpura yang biasanya terdapat pada ekstremitas bawah, tanda-tanda infeksi tenggorokan, paru-paru, kulit, daerah perirektal, dll, demam, gejala leukostatis: gangguan kesadaran, sesak napas, nyeri dada, dan priapismus, hepatomegali, splenomegali. 1•2

Laboratorium •

Pemeriksaan morfologi sel: tampak blast, banyak granul, auer rods (eusinofil batang-seperti inklusi)



Pengecatan sitokimia (sudan black b dan mieloperoksidase): hasil pengecatan sitokimia pada setiap tipe LMA dapat dilihat pada tabell.



Immunofenotip: CD13 dan CD33, CD41 berkaitan dengan M7.

label 1. Hasil Pengecatan Sitokimia masing-masing Subgroup LMA Berdasarkan Klasifikasi France American British (FAB).' <

MO Ml M2 M3 M4 M4EO M5 M6 M7

.

-.··.:.:,'-~--

-~-, --s·.>':~~·--:'

·~.-

.;·: ..

LMA dengan diferensiasi minimal (3%) LMA tanpa maturasi (25-30%) LMA dengan maturasi (25-30%) Leukemia promielositik akut (5-1 0%) Leukemia mielomonositik akut (20%) Leukemia mielomonositik dengan eosinofil abnormal (5-1 0%) Leukemia monositik akut (2-9%) Eritroleukemia (3-5%) Leukemia megakariositik akut (3-12%)

+ + + + +

+ + + + +

+

+

+ + + +

DIAGNOSIS BANDING Leukemia mieloblastik kronik, sindrom dismielipoetik. 3

TATALAKSANA 1 1. Tatalaksana standar 7+3: kemoterapi induksi dengan sitarabin 100mg/m 2

diberikan secara infuse kontinyu selama 7 hari dan daunorubisin 45-60mg/m 2I hari iv selama 3 hari 2. Tatalaksana pasca remisi dapat dilihat pada tabel 2. label 2. Pilihan latalaksana LMA 1·2

;.~,~i~~t~1t.:.,.1;,~&Wilt~~~r: ~, ·· ;\~ >": . .. . . . Favorable

Standar 7+3

High dose citarabine (ara-C)/ HDACx 3-4/2-3 siklus diikuti hematopoetic stem cell transplantation/ HSCT) otology

Intermediate

Standar 7+3

HSCT alogenik sesegera mungkin

HDACx 3-4/2-3 siklus diikuti HSCTotolog

HDACx 2-4 siklus + HSCT

__ _________ 9!9-':!._~Q_ACx 2~1 si~IL!~---------~------~toi99Y_. Unfavorable

Standar 7+3

HSCT alogenik sesegera mungkin

HDACx 2-4 siklus ± HSCT otolog

KOMPLIKASI Leukostatis dan akibatnya. PROGNOSIS Sekitar 80-90% pasien dibawah 60 tahun dan 50-60% pasien usia lanjut mengalami remisi komplit dengan terapi sitarabin dan daunorubisin yang diberikan obat tunggal,3 Sedang hila diberikan sebagai kombinasi remisi komplit dicapai oleh lebih dari 60% pasien. Durasi median remisi komplit kedua umumnya kurang dari 6 bulan bila tanpa HSCT dengan disease free survival kurang dari 10 bulan. 1

LEUKEMIA MIELOSITIK KRONIK (LMK) PENGERTIAN Leukemia mieloblastik kronik ganguan mieloproliferatif dari primitive hemapoietic stem cell yang dikarakteristikan dengan produksi berlebihan sel seri myeloid. 4 LMK diidentifikasi dengan ditemukannya ekspansi klonal dari hematopoietic stem cell dengan translokasi resiprokal antara kromosom 9 dan 2Z.Z PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesa

Fatigue, malaise, be rat badan turun, demam, dapat ditemukan nyeri kuadran kiri atas. 2 Pemeriksaan Fisik

Splenomegali, hepatomegali, limfadenopati, perdarahan (jarang), dapat ditemukan arthritis gout, tanda leukositosis berat seperti infark miokard, vasoocc/usive disease, cerebrovascular accidents, trombosis vena, gangguan penglihatan, insufisiensi

pulmonal, tanda-tanda infeksi. 4 Laboratorium 4



'

512

Leukositosis (10.000-500.000 jm 3 ) didominasi oleh neutrofil, basofil dan eusinofil meningkat. Level Leukosit alkaline phosphatase (LAP) rendah. Hemoglobin > 11 g% ditemukan pada 1/3 kasus. Level serum vitamin B12, laktat dehidrogenase, asam urat, lisosim.





Pada sumsum tulang tampak hiperselular dengan hiperplasia mieloid, meningkatnya retisulin atau fibrosis kolagen. o Kronis: < 10% blast (perifer atau sumsum tulang) o Akselerasi: 10-20% blast o Blastik: >20% bias (2/3 mieloid, 1/3 limfoid) Sitogenetik ditemukan abnormalitas t(9;22)(q34;q11.2).

DIAGNOSIS BANDING Polisitemia rubra vera 3 TATALAKSANA2 • Non transplantasi: imatinib mesylate • Transplantasi: (allogenic stem cell transplantation) • HSCT otologi • Interferon a • Kemoterapi: hidroksiurea • Leukapharesis dan splenektomi PROGNOSIS Dengan terapi imatinib, perkiraan angka bertahan 5 tahun . 90%. Dengan (allogeneic stem cell transplantation), angka kesembuhan 40-80% pada pasien dalam fase kronik dari LMK, 15-40% pada pasien dalan fase akselerasi LMK, 2-20% pada pasien fase blastik LMK. 4

LEUKEMIA LIMFOBLASTIK AKUT (LLA) PENGERTIAN Leukemia limfoblastik akut adalah keganasan klonal dari sel-sel prekursor limfoid. Dapat terjadi pada limfosit T maupun limfosit B. 5 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis4



Gejala anemia: rasa lemasjlemah, pucat, pusing, sesak napasjgagal jantung, berkunang-kunang

• •

Tanda-tanda infeksi: sering demam Akibat trombositopenia: perdarahan (menstruasi lama, epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan di bawah kulit, hematuria, huang air besar cam pur darah, muntah darah)

Pemeriksaan Fisik

Pucat, demam, pembesaran kelenjar getah bening (KGB) superfisial, organomegali, petekiejpurpuraj ekimosis. 5 Pemeriksaan Penunjang5



Laboratorium: darah tepi lengkap (termasuk retikulosit dan hitung jenis), LDH, asam urat, fungsi ginjal, fungsi hati, serologi virus (hepatitis, HSV, EBV, CMV)

• •

Morfologi : tidak ada granul Sitologi aspirasi sumsum tulang tampak hiperselular dengan limfoblas yang sangat banyak, hitung jenis sel blas danjatau progranulosit > 30%





Pengecatan sitokimia, sudan black dan mieloperoksidase negatif, pewarnaan asam fostase positif pada limfosit T ganas, pewarnaan Periodic Acid Schiff (PAS) akan positif pada limfosit B. Sitogenetik: pada LLA sel B ditemukan t(8;14), t(2;8), dan t(8;22).

DIAGNOSIS BANDING Leukemia limfositik kronik, hairy cell leukemia, limfoma, atypical lymphocytosis of mononucleosis dan pertussis. 4 TATALAKSANA • Kombinasi kemoterapi dengan daunorubisin, vinsristin, prednison dan asparaginase. 3 • Transplantasi sumsum tulang bagi pasien yang memiliki risiko tinggi unuk kambuh (kromosom Philadelphia, perubahan susunan gen MLL, hiperleukositosis, gagal mencapai remisi komplit dalam 4 minggu). 5 KOMPLIKASI Sindrom lis is tumor, infeksi neutropenia dan perdarahan trombopeniajkoagulasi intravaskular diseminata. 5

PROGNOSIS Kebanyakan pasien dewasa mencapai remisi tapi tidak sembuh dengan kemoterapi saja, dan hanya 30% yang bertahan hidup lama. (Overall disease free survival rate) untuk pasien dewasa kira-kira 30%. Pasien usia> 60 tahun mempunyai (disease free survival rate) 10% setelah remisi komplit. 5

LEUKEMIA LIMFOSITIK KRONIK (LLK) PENGERTIAN Leukemia limfoblastik kronik (LLK) adalah suatu keganasan hematologik yang ditandai oleh proliferasi klonal dan penumpukan limfosit 8 neoplastik dalam darah, sumsum tulang, limfonodi, limpa, hati, dan organ-organ lain. 6 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Hilangnya nafsu makan, menurunnya kemampuan latihanjolahraga, demam, keringat malam, dapat juga tanpa gejala. 3 Pemereiksaan Fisik

Limfadenopati terlokalisir a tau generalisata, hepatosplenomegali. 3 Laboratorium 6



Hapus darah tepi: peningkatan jumlah leukosit dengan limfositosis kecil sekitar

• •

95% (kriteria diagnostik). Imunofenotip khas limfosit (CDS+, CD19+, CD20+, CD23+, CD22-/+) Sumsum tulang: normal atau hiperselular, infiltrasi limfosit pada sumsum tulang



> 30% Sitogenetik: 11q22-23 & 17p13 unfavorable, trisomy 12 neutral, 13q14 favorable

DIAGNOSIS BANDING Pertussis, (Waldenstrom macroglobulinemia), hairy cell leukemia, mantle cell lymphoma, leukemia limfoplasmasitik, leukemia sel T kronik. 3

KOMPLIKASI Infeksi, hipogamaglobulinemia, transformasi menjadi keganasan limfoid yang progresif, komplikasi akibat penyakit autoimun, keganasan. 6

PROGNOSIS Prognosis tergantung stadium, lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. Stadium LLK dengan Prognosisnya

0

Jll IV

Limfositosis darah tepid an sumsum tulang Limfositosis + pembesaran limfonodi Limfositosis + splenomegali 1 hepatomegali Limfositosis +anemia (Hb < 11 gr/dL) Limfositosis + trombositopenia (trombosit < 100.000/uL)

>150 101 >71 19 19

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi- Onkologi Medik



RS non pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

REFERENSI 1.

Kurnianda. Johan. Leukemia mieloblastik akut. Dalam Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bam bang. Alwi, ldrus. Simadibrata. Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta :Balai Penerbit FKUI;2009.p. 1234-40.

2.

Acute and chronic myeloid leukemia. Dalam: Fauci A Kasper D. Longo D. Braunwald E. Hauser S. Jameson J. Loscalzo J. editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies. 2011.

3.

General approach to anemia. Dalam : McPhee. Stephen J. Papadakis. Maxine A. Current Medical Diagnosis and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011

4.

The acute Leukemia. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23'd edition. Saunders : Philadhelphia. 2007.

5.

Fianza. Panji Irani. Leukemia limfoblasyik akut. Dalam: Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang. Alwi, ldrus. Simadibrata. Marcellus. Setiati. Siti. Buku ajar llmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM ; 2009. Halaman 1266-1275.

6.

Rotty. Linda W.A. Leukemia Limfositik Kronik. Dalam: Sudoyo, Aru W. Setyohadi. Bambang. Alwi. ldrus. Simadibrata. Marcellus. Setiati, Siti. Buku ajar llmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM; 2009. Halaman 127 6-82.

LIMFOMA

PENGERTIAN Limfoma adalah keganasan sellimfoid yang terjadi pada jaringan limfoid. 1 Limfoma dibagi menjadi 2 macam; 1. Limfoma non Hodgkin, dan 2. Limfoma Hodgkin.

LIMFOMA NON HODGKIN PENGERTIAN Limfoma non Hodgkin adalah kelompok keganasan primer limfosit yang dapat berasal dari limfosit B, limfosit T, dan kadang berasal dari sel NK (natural Killer).l Klasifikasi Limfoma non Hodgkin dapat dilihat pacta tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Limfoma non Hodgkin menurut WH0 2

., . . , · · ·.· · · · ; . ;· :#8r:r~6 Sel B matang

Sel T matang dan sel NK

··

.···o~(.. ~~-t:. ·.~~~~ri~~~~~l~~\~~~~,~~~a~~gpil

Diffuse large B-ee// lymphoma (DLBCL) Follicular lymphoma CLL I small lymphocytic lymphoma Mantle cell Marginal zone lymphoma (nodal, extranodal (MALT), splenic) Burkitt's lymphoma Hairy eel/leukemia {p/w fatique, splenomegali massif, TRAP+) Peripheral T eel/lymphoma Mycosis fungoides (cutaneous lymphoma}/ sezary syndrome (+LAN) Anaplastic large eel/lymphoma Angioimmunoblastic T eel/lymphoma

IGH-BCL2 t(11;14) BCL1-IgH7cyclin 01 dysreg AP12-MALT 1 & BCL-10-Ig enhancer 8q24,c-MYC

Some ALK1 +

label 2. Stadium Limfoma non Hodgkin berdasarkan Ann Harbor2

Pembesaran kelenjar getah bening (KGB] hanya 1 regio 1E : jika hanya terkena 1 organ ekstra limfatik tidak difus I batas tegas Pembesaran 2 regio KGB atau lebih, tetapi masih sati sisi diafragma 112 : pembesaran 2 regio KGB atau lebih, tetapi masih satu sis diafragma 113 : pembesaran 3 regio KGB dalam 1 sisi diafragma liE : pembesaran 1 regio atau lebih KGB dalam 1 sisi diafragma dan 1 organ ekstra limfatik tidak difus I batas tegas Ill

Pembesaran KGB di 2 sisi diafragma

IV

Jika mengenai 1 organ ekstra limfatik atau lebih tetapi secara difus.

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 1

Umum • Pembesaran kelenjar getah bening dan malaise umum : berat badan menurun 10% dalam waktu 6 bulan, demam tinggi. 38° dalam waktu 1 minggu tanpa sebab, keringat malam. • •

Keluhan anemia Keluhan organ



Penggunaan obat (diphantoine)

Khusus • Penyakit infeksi (toksoplasma, mononukleosis, tuberkulosis luas) dan lain-lain Pemeriksaan Fisik

Limfadenopati yang sangat besar dan cepat berkembang, hepatomegali, splenomegali, masa abdomen yang besar (biasanya pada limfoma burkittV masa testikular, lesi kulit. 3 Laboratorium

Darah lengkap, morfologi darah tepi, urine lengkap, SGOT /SGPT, LDH, protein total, albumin, asam urat, alkali fosfatase, gula darah puasa dan glukosa darah 2 jam post prandial, elektrolit: natrium, kalium, klorida, Kalsium, fosfat. Gamma GT, cholinesterase (CHE), LDH/fraksi, serum protein elektroforesis (SPE), Tes HIV, imuno elektroforese (IEP), tes coombs, B2 mikroglobulin. Biopsi sumsum tulang. 2

DIAGNOSIS BANDING Limfoma Hodgkin, limfadenitis, tuberkulosis, toksoplasmosis, filariasis, tumor padat yang lain. 1 TATALAKSANA4 Tatalaksana yang dilakukan biasanya melalui pendekatan multidisiplin. Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah: 1. Derajat Keganasan Rendah (DKR)jindolen: Pada prinsipnya simtomatik • Kemoterapi: obat tunggal atau ganda (per oral), jika dianggap perlu: COP (Cyclophosphamide, Oncovin, dan Prednisone) • Radioterapi: LNH sangat radiosensitif. Radioterapi ini dapat dilakukan untuk lokal dan paliatif. • Radioterapi: Low Dose TO/+ Involved Field Radiotherapy saja. 2. Derajat Keganasan Mengah (DKM)jagresiflimfoma • Stadium 1: Kemoterapi (CHOP/CHVMP/BU)+radioterapi CHOP (Cyclophosphamide, Hydroxydounomycin, Oncovin, Prednisone)



Stadium II- IV: kemoterapi parenteral kombinasi, radioterapi berperan untuk tujuan paliasi.

3. Derajat Keganasan Tinggi (DKT) DKT Limfoblastik (LNH-Limfoblastik) •

Selalu diberikan pengobatan seperti Leukemia Limfoblastik Akut (LLA)

Re-evaluasi hasil pengobatan dilakukan pada: 1. setelah siklus kemoterapi kedua dan keempat

2. setelah siklus pengobatan lengkap

KOMPLIKASI 4 Akibat langsung penyakitnya: • Penekanan terhadap organ khususnya jalan napas, usus, dan saraf • Mudah terjadi infeksi, bisa fatal Akibat efek sam ping pengobatan: • Aplasia sumsum tulang • Gagal jan tung oleh obat golongan antrasiklin • Gagal ginjal oleh obat cisplatin • Neuritis oleh obat vinkristin

PROGNOSIS Indolen : respon kemoterapi turun, tapi median survival panjang Tabel 3. Follicular Lymphoma International Prognostic Index.•

Faktor

Bertahan 5 tahun

Bertahan 10 tahun

0-1

90%

71%

2

78%

51%

~3

52%

35%

Agresif : kemungkinan sembuh meningkat tapi prognosis buruk

Tabel 4. International Prognostic Index (I PI) for Aggressive NHL.

Faktor

Respon kompllt

Bertahan 5 tahun

0-1

87%

73%

2

67%

51%

3

55%

43%

4-5

44%

26%

Faktor

% soot diagnosis

Bertahan 4 tahun

0

10%

94%

1-2

45%

79%

3-5

45%

55%

Tabel 5. Jenis- jenis Non Hodgkin Lymphoma. 2

SeiB

Small lymphocytic I pro-lymphocytic lymphoma (SLL) Follicular lymphoma {few large cells) Lymphoplasmacytoid lymphoma Marginal zone lymphoma

Sel T

Large granular lymphocyte leukemia Adult T-ee// leukemia/lymphoma {ATL/L) Mycosis fungoides/Sezary Syndrome

Small noncleaved eel/lymphoma (SNCL) Burkitt Lymphoma

LIMFOMA HODGKIN PENGERTIAN Limfoma Hodgkin adalah keganasan limforetikular yaitu limfoma malignum dimana secara histopatologis ditemukan sel reed-sternberg. 1 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesa

Demam, berkeringat pada malam hari, penurunan berat badan, lemah badan, pruritus, pembesaran kelenjar getah bening yang tidak nyeri, dapat dijumpai nyeri abdomen atau nyeri tulang. 1 Pemeriksaan Fisik2

• • • •

Limfadenopati dengan konsistensi rubbery dan tidak nyeri Demam, tipe pel-ebstein Hepatosplenomegali Neuropati

Laboratorium

Darah : anemia, eosinofilia, peningkatan LED, pad a flow-cytometry dapat terdeteksi limfosit abnormal atau limfositosis dalam sirkulasi, peningkatan ureum kreatinin, hiperkalsemia, hiperurikemia, biopsi sumsum tulang, CT scan.

DIAGNOSIS BANDING Limfoma Hodgkin, limfadenitis, tuberkulosis, toksoplasmosis, filariasis, tumor padat yang lain. 1 TATALAKSANA Target tatalaksana limfoma Hodgkin adalah menghancurkan sebanyak mungkin sel kanker menuju remisi penyakit. Pengobatan limfoma Hodgkin adalah dengan radioterapi meliputi Extended Field radiotherapy (EFRT), Involved Field Radiotherapy (IFRT) dan radioterapi (RT) ditambah dengan kemoterapi. Regimen kemoterapi yang paling banyak digunakan adalah doxorubicin, bleomycin, vinblastine, dan dacarbazine (ABVD) dan mechlorethamine, vincristine, procarbazin, dan prednisone (MOPP), a tau kombinasi obat dari kedua regimen ini. 5

KOMPLIKASI Efusi perikardial, metastasis ke tulang.

PROGNOSIS Ada 7 faktor risiko independen untuk memprediksi masa bebas progesi penyakit FFR (Freedom From Progression), yaitu: 1. Jenis kelamin, 2. Usia> 45 tahun, 3. Stadium IV, 4. Hb <10 gr%, 5. Leukosit > 15000jmm3, 6. Limfosit < 600jmm 3 atau < 8% leukosit, 7. Serum albumin< 4 gr%. Pasien tanpa faktor risiko FFR = 84%, dengan 1 faktor risiko FFR = 77%, dengi'ln dia faktor risiko FFR = 67%, dengan tiga faktor risiko = 60%, dengan empat faktor risiko =51%, dengan lima atau lebih faktor risiko = 42%.5

UNIT YANG MENANGANI •

RS

pendidik~n

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi Onkologi Medik



RS non pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan : Bagian THT, Patologi Anatomi, Radiologi/Radioterapi

: Departemen THT, Patologi Anatomi, Radiologi/Radioterapi

REFERENSI 1.

Reksodiputro, AH. lrawan C. Limfoma non Hodgkin. In: Sudoyo, Aru W. Setyohadi. Bambang. Alwi. ldrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati. Siti. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta:Balai Penerbit FKUI;2009.p. 1251-61.

2.

Malignancies of Limphoid cells. Dalam : Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'" ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2011

3.

Hsia CC. Howson-Jan K, Rizkalla KS. Hodgkin lymphoma with cutaneous involvement. Dermatol Online J. May 15 2009;15(5):5. [Medline].

4.

Abdulmuthalib. Limfoma non-Hodgkin. In: Simadibrata M. Setiati S, Alwi L Oemardi M. Gani RA Mansjoer A editors. Pedoman diagnosis dan terapi di bidang ilmu penyakit dalam. Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM; 1999. p. 113-4.

5.

Blood Disorder. Dalam: Mcphee, Stephen J. Papadakis, Maxine A Curret Medical Diagnosis and Ttreatment. The MacGraw Hill Companies. 2011

6.

Celiqny P, Solal. Et all. Follicular lymphoma international prognostic index. Blood 2004 Sep 1; 104(5): 1258-65. Epub 2004 May 4. Diunduh 'pad a : http:/ /www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/15126323 pada tanggal29 mei 2012.

POLISITEMIA VERA PENGERTIAN Polisitemia adalah kelainan sistem hemopoesis yang merupakan bagian dari penyakit mieloproilferatifyang dihubungkan dengan peningkatan jumlah dan volume sel darah merah (eritrosit) di atas ambang batas nilai normal dalam sirkulasi darah, tanpa memperdulikan jumlah leukosit dan trombosit. Disebut polisitemia vera bila sebagian populasi eritrosit berasal dari suatu klan sel induk darah yang abnormal (tidak membutuhkan eritropoetin untuk proses pematangannya). 1 Perjalanan klinis :2 1. Fase eritrositik atau fase polisitemia Berlangsung 5-25 tahun, membutuhkan flebotomi teratur untuk mengendalikan viskositas darah dalam batas normal. 2. Fase burn out atau spent out Kebutuhan flebotomi menurun jauh, kesannya seperti remisi, kadangtimbul anemia. 3. Fase mielofibrotik Bila terjadi sitopenia dan splenomegali progresif, menyerupai mielofibrosis dan metaplasia mieloid 4. Fase terminal Berbeda dengan polisitemia sekunder (eritrositosis sekunder) yang kadar eritropoetin meningkat secara fisiologis sebagai kompensasi atas kebutuhan oksigen yang meningkat atau eritropoetin meningkat secara non fisiologis pacta sindrom paraneoplastik sebagai manifestasi neoplasma lain yang mensekresi eritropoetin. Polisitemia sekunder ditandai dengan peningkatan hanya pacta jumlah eritrosit dalam darah, tanpa peningkatan sel darah putih dan splenomegali. Keadaan ini dapat disebabkan karena penyakit lain seperti infeksi paru pacta penyakit paru obstru~tif kronis dengan cor pulmonale. 3 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Gejala klinis berjalan lambat dan tidak terdeteksi, umumnya pacta decade ke 6, meskipun mungkin terjadi pacta usia anak atau usia tua. Gejala klinis terbagi menjadi 3 fase: 1•3



Gejala awal: gejala sangat minimal dan dapat asimptomatik walaupun telah diketahui melalui tes laboratorium. Gejala awal biasanya sakit kepala (48%), telinga berdenging (4 7%), mudah Ielah (4 7%), gangguan daya ingat, susah bernapas (26%), darah tinggi (72%), gangguan penglihatan (31 o/o), rasa panas pada tangan atau kaki (29%), gatal (43%), perdarahan dari hidung, lam bung (24%), atau sakit tulang (26%)



Gejala akhir dan komplikasi: perdarahan atau thrombosis



Fase splenomegali: sekitar 30 o/o dari gejala akhir berkembang menjadi fase spelnomegali. Pada fase ini terjadi kegagalan sumsum tulang sehingga timbul anemia, kebutuhan transfusi meningkat, pembesaran hati dan limpa.

Pemeriksaan Fisik

Berkeringat, pembesaran limpa, gangguan neurologis seperti gangguan penglihatan dan transient ischemic attacks (T!As). Tekanan darah sistolik dapat meningkat karena peningkatan masa sel darah merah. Dapat dijumpai perdarahan (bruising, epistaksis, perdarahan saluran cerna). Eritromelalgia yang terdiri dari eritema, rasa terbakar, dan nyeri pada ekstremitas merupakan komplikasi dari trombositosis.1.3 Pemeriksaan Penunjang 3



Eritrosit dan hematokrit: meningkat



Leukosit: neutrofilia absolut, basofilia (pada kasus tidak terkontrol)



Trombosit: meningkat pada sebagian pasien saat didiagnosis, dapat melebihi



1000 x 10 9 /liter Leukosit alkalin fosfat: meningkat pada 70 o/o



Serum besi, TIBC (Total Iron Binding Capacity), Ferritin serum: jika ada perdarahan



atau setelah plebotomi. B12 serum: meningkat karena peningkatan pemecahan leukosit



Hiperurisemia: timbul sebagai akibat mielopoiesis hiperproliferatif



Eritropoietin plasma: normal atau rendah. Digunakan untuk membedakan kelainan polisitemia lain.

• •

Saturasi oksigen arteri: < 63 mmHg (10 o/o pasien) Pemeriksaan massa sel darah merah (Red Cell Mass): mahal dan membutuhkan keahlian pemeriksan. Tidak dapat membedan polisitemia primer dan sekunder.



Kultur bone marrow: melihat koloni eritroid endogen spesifik dansensitif untuk



diagnosis polisitemia vera. Bone Marrow: hiperselular, tidak adanya cadangan besi, menyingkirkan kelainan mieloproliferatif lain

International Polycythemia Study Group IP Diagnosis polisitemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria a. A1 +A2+A3 atau b. A1 +A2+ 2 kategori B Kategori A 1

1. Meningkatnya mas sa sel darah merah diukur dengan krom radioaktif Cr-51. Pada pria 36 ml/kg dan pada wanita 32 mljkg. 2. Saturasi oksigen arterial92% (pada polisitemia vera, saturasi oksigen tidak menurun) 3. Splenomegali Kategori 81

1. Trombositosis: trombosit 400.000/ml 2. Leukositosis: leukosit 12.000/ml (tidak ada infeksi) 3. Leukosit alkali fosfatase (LAF) score meningkat > 100 (tanpa ada panas/infeksi) 4. Kadar vitamin B12 > 900 pgjml dan atau UB 12 BC dalam serum 2200 pgjml Klasifikasi berdasarkan WHO (World Health Organization):

2

Peningkatan masa sel darah merah tanpa adanya pertumbuhan spotan eritroid pada kultur dan: •

Satu di antara kriteria berikut: splenomegali, abnormalitas kariotipikselain t9:22, adanya formasi koloni eritroid endogen; atau



Dua di antara berikut: Jumlah trombosit > 400 x 10 9 /liter, sel darah putih > 12 x 10 9 /liter, aspirasi sumsum tulang menunjukkan panmielosis, dan eritropoietin serum menurun

DIAGNOSIS BANDING Polisitemia sekunder akibat saturasi oksigen arterial rendah atau eritropoetin meningkat akibat manifestasi sindrom paraneoplastik4 TATALAKSANA Prinsip pengobatan

2

1. Menurunkan viskositas darah sampai ke tingkat normal dan mengendalikan eritropoesis dengan flebotomi 2. Menghindari pembedahan elektif pada fase eritrositik/polisitemia yang belum terkendali

3. Menghindari pengobatan berlebihan 4. Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pad a pasien usia muda 5. Mengontrol panmielosis dengan fosfor radioaktif dosis tertentu atau kemoterapi sitostatik pacta pasien di atas 40 tahun bila didapatkan: Trombositosis persisten di atas 800.000/Ml terutama jika disertai gejala trombosis Leukositosis progresif Splenomegali simtomatik atau menimbulkan sitopenia problematic Gejala sistemik yang tidak terkendali seperti pruritus yang sukar dikendalikan, penurunan be rat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi.

A. HIDRASI Dehidrasi dapat mencetuskan terjadinya trombosis, sehingga berikan pasien hidrasi yang cukup, terutama dengan kelainan saluran cerna. 3 B. FLEBOTOMI Pacta PV tujuan prosedur flebotomi adalah mempertahankan hematokrit 42% pacta wanita dan 4 7% pada pria untuk mencegah timbulnya hiperviskositas dan penurunan shear rate. Indikasi flebotomi terutama untuk untuk semua pasien pada permulaan penyakit dan yang masih dalam usia subur. Indikasi: 2•4 1. Polisitemia vera fase polisitemia 2. Polisitemia sekunder fisiologis hanya dilakukan jika Ht > 55% (target Ht 55%) 3. Psolisitemia sekunder nonfisiologis bergantung pada derajat beratnya gejala yang ditimbulkan akibat hiperviskositas dan penurunan shear rate C. KEMOTERAPI SITOSTATIKA Tujuannya adalah sitoreduksi. Indikasi: 2 • Hanya untuk polisitemia rubra primer (PV) • Flebotomi sebagai pemeliharaan dibutuhkan > 2 kali sebulan • Trombositosis yang terbukti menimbulkan trombosis • Urtikaria berat yang tidak dapat diatasi dengan antihistamin • Splenomegali simtomatikjmengancam ruptur limpa Cora pemberian: 2·3 •

Hidroksiurea 800-1200 mgjm2/hari atau 10-15 mgjkgjkali diberikan dua

kali sehari. Bila tercapai target dilanjutkan pemberian secara intermiten untuk pemeliharaan •

Klorambusil dengan dosis induksi 0,1-0,2 mgjkgjhari selama 3-6 minggu dan dosis pemeliharaan 0,4 mgjkgBB tiap 2-4 minggu.



Busulfan 0,06 mgjkgBBjhari atau 1,8 mgjm2/hari (2 atau 4 mg setiap hari) selama beberapa minggu. Bila tercapai target dilanjutkan pemberian secara intermiten untuk pemeliharaan.

D. FOSFOR RADIOAKTIF P32 pertama kali diberikan dengan dosis 2-3 mCijm2 intravena, hila per oral dinaikkan 25%. Selanjutnya hila setelah 6-8 minggu pemberian P32 pertama: 3 • Mendapatkan hasil, reevaluasi setelah 10-12 minggu. Dapat diulang jika diperlukan • Tidak berhasil, dosis kedua dinaikkan 25% dari dosis pertama, diberikan setelah 10-12 minggu do sis pertama. Pasien diperiksa setiap 2/3 bulan setelah keadaan stabil E. KEMOTERAPI BIOLOGI (SITOKIN) F. PENGOBATAN SUPORTIF 3 • Hiperurisemia: allopurinol100-600 mgjhari • Pruritus dengan urtikaria: antihistamin kurang bermanfaat, fotokemoterapi dengan psoralen dan PUVA, aspirin telah direkomendasikan, interferon a juga bermanfaat. 2 • Gastritisjulkus peptikum: antagonis reseptor H • Antiagregasi trombosit: anagrelid, aspirin G. SPLENEKTOMI Indikasi jika ada trombositopenia be rat atau pembesaran limp a yang mengganggu. 3 H. JAK2 TARGETED INHIBITORS Menghambat aktivitas JAK2 tirosin kinase karena mutasi JAK2 berperan dalam terjadinya polisitemia vera3.4

I. TRANSPLANTASI SUMSUM TULANG Transplantasi stem cell nonmieloablatif merupakan prosedur transplantasi yang dapat dilakukan pada penderita usia dekade ke 6 dan 7. 3 Berbagai macam terapi dapat digunakan untuk mengatasi polisitemia vera, akan tetapi banyak kelebihan dan kekurangan dari masing-masing terapi terse but yaitu : 3

label 1. Kelebihan dan Kekurangan terapP

-·· ··~ ···· ·· ··· ··· · ···........ ··":&Wp!·~~;~1~~ft:;~;·< ;·:;;:1: '1 '"~:;:{:; :.:~~?1::;fr~z;.~;~~~r?~u!4~~~1;~~~Jit~c·~ ·· ~

Flebotomi

Resiko rendah, mudah dilakukan

Tidak dapat mengontrol trombositosis atau leukositosis

Hidroksiurea

Dapat mengontrol trombositosis atau leukositosis, risiko leukemogenic rendah

Memerlukan terapi lanjutan

Busulfan

Mudah dilakukan, dapat remisi jangka panjang, Dosis lebih dapat menekan sumsum risiko leukemogenic tidak tinggi tulang, , risiko leukemogenic, toksisitas paru dan kutaneus jangka panjang

32 p

Dapat mengontrol trombositosis atau leukositosis dalam jangka lama.

Mahal, tidak nyaman, risiko

leukemogenic sedang

Klorambusil

mudah dilakukan, dapat mengontrol trombositosis atau Jeukositosis

risiko leukemogenic tinggi

Interferon

risiko leukemogenic rendah, pruritus

Anagrelide

Efek selektif pada trombosit

Tidak nyaman, mahal, efek samping besar Efek selektif pada trombosit

KOMPLIKASI Trombosis pada vena hepatik (Budd-Chiari Syndrome) terjadi pada 10% dari 140 pasien, stroke iskemik dan transient ischemic attacks (TIA), perdarahan, mielofibrosis, peningkatan asam urat sekitar 10% berkembang menjadi gout, peningkatan risiko ulkus peptikum (10%), infark miokard, tombosis vena dalam {deep vein thrombosis jDVTJ emboli paru. Dari 164 kematian, 41% karena thrombosis dan 7% karena perdarahan. 1•3 PROGNOSIS Angka harapan hid up setelah terdiagnosis tanpa diobati yaitu 1,5-3 tahun, sedangkan dengan pengobatan lebih dari 10 tahun. Pasien yang diterapi dengan flebotomi mempunyai angka harapan hid up 13,9 tahun, 8.9 tahun pad a pasien yang diterapi dengan klorambusil. Polisitemia vera meningkatkan resiko menjadi leukemia. Dalam 10 tahun, 40-60% kasus menjadi trombosis. Kematian terjadi paling banyak karena trombosis (31 %), leukemia akut (19%), keganasan lain (15%), perdarahan (5%). 3 UNIT YANG MENANGANI : Departemen Penyakit Dalam- Divisi Hematologi- Onkologi Medik • RS pendidikan • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT YANG TERKAIT • RS pendidikan • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam ~i

l

528

w 0

REFERENSI 1.

Prenggono M. Darwin. Polisitemia vera. Dalam: Suyono, S. Waspadji, S. Lesmana, L. Alwi, I. Setiati, S. Sundaru, H. dkk. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010. Hal.l214-l219.

2.

Polycythemia vera. Hematologie Klapper. gth ed. Leids Universitair Medisch Centrum Leiden. Juni 1999:48-9.

3.

Beutler Ernest. Primary dan Secondary Polycythemias (Erythrocytosis). In: Lichtman M, Beutler E, Kipps T, editors. Williams Hematology 7'h ed. Me Grow Hill. Chapter 56

4.

Spivak JL. Polycythemia Vera and Other Meloproliferative Disease. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of Internal Medicine 18th edition.United States of America.Mcgraw Hill.2012

SINDROM ANTIFOSFOLIPID

PENGERTIAN Sindrom antibodi antifosfolipid (antiphospholipid antibody syndrome/ APS), merupakan suatu trombofilia autoimun didapat dengan karakteristik trombosis arteri atau vena berulang danjatau adanya morbiditas kehamilan; dengan adanya antibodi terhadap protein plasma yang mengikat fosfolipid. 1 Sindrom antifosfolipid ditandai dengan trombosis arteri dan vena, abortus spontan berulang (akibat trombosis), trombositopenia, dan sejumlah variasi manifestasi neuropsikiatrU Sindrom antibodi antifosfolipid didefinisikan sebagai penyakit trombofilia autoimun yang ditandai dengan adanya 1) antibodi antifosfolipid (antibodi cardiolipin danjatau antikoagulan lupus) yang menetap (persisten) serta 2) kejadian berulang trombosis venajarteri, keguguran, atau trombositopenia. 3 Sindrom antifosfolipid didiagnosis pada seorang pasien dengan trombosis dan/ atau morbiditas kehamilan yang memiliki antibodi antifosfolipid (aPL). Trombosis vena dalam pada ekstremitas bawah danjatau emboli paru merupakan trombosis vena yang paling sering terjadi pada APS, namun semua sistem vena dapat terlibat, termasuk vena superfisial, portal, renal, mesenterika, dan intrakranial. Sedangkan tempat yang paling sering menjadi trombosis arteri adalah pembuluh darah serebral yang berakibat pada iskemi serebral sementara (transient ischemic attackjTIA) atau stroke. Trombosis mikrovaskular pada APS jarang terjadi namun dapat berpotensi fatal yang dikenal dengan catastrophic antiphospholipid syndrome (CAPS), dimana terdapat kegagalan fungsi multiorgan termasuk paru, otak, dan ginjal. 4 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis3

Difokuskan pada kejadian dan frekuensi terjadinya tromboemboli •

Mata: penglihatan kabur a tau ganda, melihat kilatan cahaya, kehilangan sebagian atau seluruh lapang pandang

• • • • • •

• • • •



Kardiorespirasi: nyeri dada, menjalar ke lengan, napas pendek Gastrointestinal: nyeri perut, kembung, muntah Pembuluh darah perifer : nyeri atau bengkak tungkai, klaudikasio, ulserasi jari/ tungkai, nyeri jari tangan atau kaki yang dicetuskan oleh dingin Muskuloskeletal: nyeri tulang, nyeri sendi Kulit: purpura danjatau petekia, ruam livedo retikularis temporer atau menetap, jari-jari tanganjkaki kehitam-hitaman atau terlihat pucat Neurologi dan psikiatri: pingsan, kejang, migrain, parestesi, paralisis, ascending weakness, tremor, gerakan abnormal, hilangnya memori, masalah dalam pendidikan (sulit berkonsentrasi, sulit mengerti yang dibaca dan berhitung) Endokrin: rasa lemah, lelah, artralgia, nyeri abdomen (gambaran penyakit Addison) Urogenital: hematuria, edema perifer Riwayat kehamilan: riwayat abortus berulang, kelahiran prematur, pertumbuhan janin terhambat (PJT) Riwayat keluarga: risiko APS meningkat pacta pasien yang memiliki anggota keluarga dengan abortus berulang, kelahiran prematur, oligohidramnion, khorea gravidarum, infark plasenta, preeklampsia, PJT, tromboembolisme neonatorum, infark miokard atau stroke pacta anggota keluarga yang berusia < 50 tahun, trombosis vena dalam, flebitis, atau emboli paru, penyakit Raynaud, TIA Riwayat kontrasepsi oral

Pemeriksaan Fisik3 Pembuluh darah perlfer

• • • • •

Manifestasi kulit

• • • • •

Ginjal

• Hipertensi 7 trombosis arteri renalis, lesi pembuluh dara.h intrarenal • Hematuria 7 trombosis vena renalis

Paru

• Distres pernapasan • Takipneu 7 emboli paru, hipertensi pulmonal

Gastrointestinal

Nyeri tekan pada palpasi tulang atau sendi (infark tulang) Nyeri saat sendi digerakkan, tanpa artritis (nekrosis avaskular) Pembengkakan tungkai (trombosis vena dalam) J.Capillary refill time, denyut nodi, perfusi (trombosis arterial/ vasospasme) Gangren (trombosis arteri atau infark)

Livedo retikularis Purpura Tro.mboflebitis superfisial Vasospasme 7 fenomena Raynaud Splinter hemorrhages periungual atau subungual (perdarahan dibawah kuku) • lnfark perifer (digital pitting) • Ulserasi •"Memor

• Nyeri tekan abdomen kuadran kanan atas, hepatomegaly (sindrom Budd-"-GAieri,tromeesis-jaemeuluA-GiereF!-keGil-flGti,-ir:~fer~Gtij

-------• Nyeri tekan abdomen (trombosis arteri mesenterika) • Endokrin: kelemahan otot, kekakuan progresif pada otot-otot pelvis dan paha dengan kontraktur fleksi (infark/perdarahan adrenal)

Kelainan sistem saraf pusat atau perifer

• Strok • TIA • Parestesia, polineuritis atau mononeuritis multikompleks -7 iskemi/infark vasovorum • Paralisis, hiperrefleksi, lemah -7 transvere myelitis, sindrom Guillain-Barre • Tremor khoreiform • Short-term memory loss • Kelainan menyerupai sklerosis multipel

Jantung

• Murmur pad a katup aorta, a tau mitral -7 endokarditis • Nyeri dada, diaphoresis -7 infark miokard

Mata

• Oklusi arteri retina • Trombosis vena retina

Pemeriksaan Penunjang 1·3



Laboratorium (sesuai indikasi): darah perifer lengkap, LDH, bilirubin, haptoglobin, tes Coomb direkjindirek, urinalisis, immunoassays (tes serologis sifilis positifpalsu, antibodi antifosfolipid, antibodi anticardiolipin, antibodi antiplatelet, antibodi antiprotrombin, antibodi antifosfatidil serine), polimorfisme genetik, tes koagulasi



Radiologis (sesuai indikasi) : USG Doppler; venografi, ventilationjperfusion scan (pada emboli paru), CT scan, MRI, arteriografi, ekokardiografi, angiografi dengan kateterisasi



Biopsi dari organ yang terkena seperti pada kulit atau ginjal

Kriteria diagnosis sindrom antifosfolipid menggunakan kriteria Sapporo (juga dikenal dengan kriteria Sydney) tahun 2006. Menurut kriteria Sapporo, diagnosis definitif APS dipertimbangkan apabila terdapat sedikitnya satu kriteria klinis dan sedikitnya satu kriteria laboratoris :5





Kriteria Klinis- adanya trombosis vaskular atau morbiditas kehamilan, dengan penjelasan sebagai berikut: o Trombosis vaskular didefinisikan sebagai satu episode atau lebih dari trombosis vena, arteri, atau pembuluh darah kecil, dengan temuan radiologis atau histologis trombosis jaringan atau organ yang jelas. Trombosis vena superfisial saja tidak cukup untuk memenuhi kriteria trombosis untuk APS. o Morbiditas kehamilan didefinisikan sebagai kematian janin pada usia gestasi 2::10 minggu dengan morfologi normal sebelumnya, yang tidak dapat dijelaskan atau satu atau lebih kelahiran prematur sebelum usia gestasi 34 minggu akibat eklampsia, preeklampsia, insufisiensi plasenta, atau keguguran pada usia gestasi <10 minggu sebanyak tiga kali atau lebih yang tidak dapat dijelaskan dengan kelainan kromosom maternal atau paternal atau anatomi maternal atau penyebab hormonal. Kriteria Laboratoris - adanya aPL, dalam dua kondisi a tau lebih dalam selang waktu sedikitnya 12 minggu dan tidak lebih dari 5 tahun sebelum muncul manifestasi klinis :

o

Titer sedang atau tinggi dari IgG danjatau IgM antibodi anticardiolipin (aCL)

-7 > 40 unit IgG antifosfolipid atau IgM antifosfolipid atau > persentil 99 o

IgG atau IgM isotype antibodi ~2-glikoprotein (anti-~2GPI) pada titer> persentil 99

o

Aktivitas antikoagulan lupus (LA) yang terdeteksi dalam plasma

DIAGNOSIS BANDING Berdasarkan eksklusi penyebab trombofilia didapat atau diturunkan lainnya. 1 Banyak kelainan genetik dan didapat yang berakibat pada keguguran, penyakit tromboemboli, atau keduanya (mis. trombositopenia diinduksi heparin, homosisteinemia, kelainan mieloproliferatif, dan hiperviskositas). Penyakit lain yang berhubungan dengan APS adalah immune thrombocytopenia (ITP), kelainan autoimun sekunder, keganasan, penyakit infeksi, sirosis hati, sindrom hemolitik, thalassemia, inkompatibilitas ibu dan bayi (ABO, Rh, HLA)-3 TATALAKSANA Setelah trombosis pertama kali, pasien APS sebaiknya diberikan warfarin seumur hidup untuk mencapai INR (international normalized ratio) antara 2,5-3,5 atau kombinasi dengan aspirin 80 mgjhari. Morbiditas kehamilan dapat dicegah dengan kombinasi heparin dengan aspirin 80 mgjhari. Intravena immunoglobulin (IVIG) 1 x 400 mgjkg selama 5 hari dapat juga mencegah aborsi, sementara glukokortikoid tidak efektif. Terapi evidence-based pada pasien dengan aPL tanpa gambaran klinis tidak tersedia; akan tetapi aspirin 80 mgjhari melindungi pasien dengan lupus eritematosus sistemik dengan antibodi aPL positif dari berkembangnya trombosis. Beberapa pasien APS dan CAPS sering mengalami trombosis rekuren meskipun telah mendapat antikoagulan sesuai. Dalam kasus ini IVIG 1 x 400 mgjkg selama 5 haria tau antibodi monoklonal anti-CD20 375 mg/m 2 per minggu selama 4 minggu bermanfaat. Pasien CAPS yang dirawat didalam ICU, tidak dapat menerima warfarin; pada situasi ini dosis terapeutik low molecular weight heparin/LMWH dapat diberikan. Pada kasus trombositopenia imbas heparin dan sindrom trombosis, inhibitor faktor X yang mengikat fosfolipid (inhibitors of phospholipid-bound activated factor X/ FXa) seperti fondaparinux 7,5 mg SC per hari atau rivaroxaban 10 mg PO per hari terbukti efektif. Obat-obatan tersebut diberikan dalam fixed dose dan tidak memerlukan observasi ketat; namun keamanannya dalam trimester pertama kehamilan belum ditentukan. 1 KOMPLIKASI Keguguran, koagulasi intravaskular diseminata. 1

PROGNOSIS Bahaya serangan kedua terbesar pada pasien dengan antibodi yang mengenali ~2 glikoprotein I yang memiliki hemolisis autoimun pada serangan pertama, dan terkecil pada pasien tanpa antibodi tersebutyang mengalami aborsi berulang sebagai serangan pertama mereka. Penyesuaian terapi pada pasien yang mengalami serangan dua kali, tingkat efek sam ping serius yang mengikuti 6,86 kali lebih tinggi, pada pasien dengan presentasi hemolisis autoimun 1,56 kali lebih tinggi, dan pada pasien dengan antibodi anti-~2-glikoprotein-1 sebesar 1,69 kali lebih tinggi, dan 46% lebih rendah pacta presentasi trombositopenia. Gambaran klinis inisial APS menentukan evolusi jangka panjang, dan kumpulan manifestasi klinis tipe spesifik selama perjalanan penyakit. 6 UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi HematologiOnkologi Medik • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan • RS non pendidikan REFERENSI 1.

Moutsopoulos HM, Vlachoyiannopoulos PG. Antiphospholipid Antibody Syndrome.ln: Longo DL Fauci AS, Kasper DL Hauser SL, Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.

2.

Schafer AI. Thrombotic Disorders: Hypercoagulable States. In :Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23'd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.

3.

Effendy S. Sindrom Antibodi Antifosfolipid: Aspek Hematologik dan Penatalaksanaan. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi L etal. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II. 2009. Hal1345-53.

4.

Keeling D, Mackie L Moore GW, et al. Guidelines on the investigation and management of antiphospholipid syndrome. British Journal of Haematology 20 12; 157:47-58

5.

Miyakis S, Lockshin MD, Atsumi T, et al. International consensus statement on an update of the classification criteria for definite antiphospholipid syndrome (APS). J Thromb Haemost 2006; 4:295.

6.

Tektonidou MG, loannidis JPA. Boki KA, et al. Prognostic factors and clustering of serious clinical outcomes in antiphospholipid syndrome. Q J Med 2000;93:523-530. Diunduh dari http:/ /qjmed. oxfordjournals.org/content/93/8/523.full.pdf pada tanggal30 Mei 2012.

SINDROM LISIS TUMOR

PENGERTIAN Sindrom lisis tumor adalah suatu kelainan metabolik yang mengancam jiwa, akibat pelepasan sejumlah zat interseluler ke dalam ali ran darah akibat tingkat penghancuran sel tumor yang tinggi karena pemberian kemoterapi. Sindrom ini ditandai dengan: hiperurisemia, hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Faktor risiko ; peningkatan LDL, ukuran tumor yang besar (bulky tumor) dengan tingkat ploriferasi yang tinggi, tumor yang sangat sensitif, hiperurisemia yang sudah ada sebelum pengobatan, penurunan fungsi ginjal,l PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Dapat ditemukan pembengkakan pacta sendi, otot melemah, konstipasi. Riwayat mendapat kemoterapi dalam 1-5 hari terakhir, jenis tumor yang diderita (limfoma burkitt, leukemia limfoblastik akut dan limfoma derajat tinggi lainnya) Pemeriksaan Fisik

Tidak khas, sesuai dengan kelainan yangterjadi (misalnya: pernapasan kussmaul pacta asidosis laktat, oliguria/anuria bila terjadi gagal ginjal, aritmia ventrikel pacta hiperkalemia) 1 Laboratorium

Peningkatan LDH, asam urat darah, kalium darah, fosfat darah, penurunan kalsium darah, analisis gas darah (AGD) menunjukkan asidosis metabolik, urinalisa menunjukkan pH urin < 7 danjterdapat kristal asam urat. 2

DIAGNOSIS BANDING Gagal ginjal akut karena penyebab yang lain.

TATALAKSANA 1 • Mencegah dan mendeteksi faktor risiko lebih penting • Hidrasi adekuat 2000-3000 ml/mz per hari • Mempertahankan pH urin > 7 dengan pemberian Na bikarbonat • Allopurinol 2x300 mg/m2 per hari • Natrium bikarbonat 50-100 mEq/L cairan intravena • Monitor fungsi ginjal, elektrolit, AGD dan asam urat • Bila secara konservatiftidak berhasil dan ditemukan tanda-tanda sebagai berikut (K > 6 meqjl, asam urat > 10 mg/ dl, kreatinin > 10 mg/ dl, F> 10 mgf dl atau semakin meningkat, hipokalsemia simtomatik) maka dilakukan hemodialisa KOMPLIKASI Gagal ginjal akut, aritmia ventrikel, kematian mendadak. 2 PROGNOSIS Mengenali gejala dini pada pasien dengan risiko sindrom lisis tumor, termasuk mengidentifikasi abnormalitas manifestasi klinis dan laboratorium, dapan mencegah komplikasi yang mengancam jiwa. UNITY ANG MENANGANI : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi • RS pendidikan Onkologi Medik • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan

: Departemen Penyakit dalam - Konsultan Hemato



Onkologi medik : Departemen Penyakit dalam - Konsultan Hemato

RS non pendidikan

Onkologi medik

REFERENSI 1.

Jack, Zakifman. Diagnosis dan Penatalaksanaan Sindrom Lisis Tumor. Dalam: Sudoyo, Aru W. Setyohadi. Bambang. Alwi. ldrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati. Siti. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi V. Jakarta:Balai Penerbit FKU1;2009.p. 311-12.

2.

Oncologies Emergency. Dalam: Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies. 2011

TERAPI SUPORTIF PADA PASIEN KANKER

PENGERTIAN Terapi suportif pacta pasien kanker merupakan terapi yang diberikan pacta pasien kanker, yang menunjang pengobatan kanker. Pengobatan suportif ini tidak hanya diperlukan pacta pasien kanker yang menjalani pengobatan kuratiftetapi juga pacta pengobatan paliatif. Terapi suportif ini meliputi semua aspek kesehatan dan terdiri dari berbagai prosedur yang bertujuan untuk meningkatkan atau setidaknya mempertahankan kondisi kesehatan pasien sehingga ia dapat menerima pengobatan kuratif (bedah, radiasi, kemoterapi, atau kombinasi) tanpa efek sam ping yang berarti. 1 Beberapa aspek yang termasuk dalam terapi ini an tara lain :2 1. Nyeri terkait kanker (cancer-related pain) 2. Lelah terkait kanker (cancer-related fatigue) 3. Dispneu 4. Delirium 5. Anoreksia dan cachexia 6. Depresi dan ansietas PENDEKATAN DIAGNOSIS

I. NYERI TERKAIT KANKER (CANCER-RELATED PAIN) Anamnesis

Perlu ditanyakan tipe nyeri (berdenyut, kram, seperti terbakar, dll), periodisitas (terus-menerus, denganjtanpa eksaserbasi, atau tiba-tiba), lokasi, intensitas, faktor yang memperberatfmemperingan, efek terapi, dampak fungsional, dampak terhadap pasien. 3 Beberapa penilaian kualitas nyeri yang dapat digunakan alat bantu seperti Visual Analogue Scale (VAS), the Brief Pain Inventory, atau sistem klasifikasi nyeri kanker Edmonton. 2•3 Untuk menentukan mekanisme nyeri apakah termasuk nyeri nosiseptif (somatik, viseral) atau neuropatik (tabell).

Tabel 1. Mekanisme Nyeri Kanker dan Tatalaksananya 2

fiM~!tqb1~m~~~?,ti~~,t~~,~~~~·~:t9~~~niti~:il~~iettra::'i~}j{~:~J1i~~~§r~~~~!~!:ril~tl:;~~2~~~~~~,~::'~~f~l;!~~,l!:*~&f:~gqR!1:1~~~\~,~:. ··J Nosiseptif

• Somatik

Well focalized

Metastasis tulang, fraktur patologis, nyeri insisi bedah

NSAIDs, opioid, bisfosfonat, radiasi

• Viseral

Poorly focalized, dalam, seperti ditekan (squeezing, pressure), nyeri yang menjalar {referred pain)

Metastasis hati, pankreatitis, obstruksi usus

Opioid

Poorly focalized, nyeri seperti terbakar, ditusuk-tusuk, shooting/radiating, secara umum lebih sulit dlkontrol

Kompresi medula spinalis, kompresi saraf oleh tumor, neuropati perifer imbas kemoterapi

Gabapentin, TCA, carbamazepine, venlafaxine, opioid

Neuropatik

Keterangan: NSAIDs = nonsteroidal anti-inflammatory drugs; TCAs = tricyclic antidepressants

Pemeriksaan Fisik

Umum dan status neurologis Pemeriksaan Penunjang



Laboratorium (sesuai indikasi): darah perifer lengkap, elektrolit



Radiologis (sesuai indikasi): foto polos abdomen 3 posisi, CT scan, MRI

II. LELAH TERKAIT KANKER (CANCER-RELATED FATIGUE) Anamnesis

Karena Ielah terkait kanker bersifat subyektif, maka evaluasi klinis dilakukan berdasarkan keluhan pasien sendiri. Alat bantu untuk menilai skala Ielah seperti the Edmonton Functional Assessment Tool, the Fatigue Self-Report Scales, dan the Rhoten Fatigue Scale umumnya hanya dapat digunakan untuk keperluan penelitian, bukan

evaluasi klinis. Pada praktik klinis, evaluasi performa sederhana dapat menggunakan Karnofsky Performance Status atau the Eastern Cooperative Oncology Groups. Perlu

juga diidentifikasi faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan Ielah seperti gangguan tidur, anemia, nyeri, depresi, ansietas, gangguan elektrolit, anoreksia-cachexia, hipotiroidisme, hipogonadisme, dan penyakit komorbid lainnya. 2 Pemeriksaan Fisik

• •

Umum, status gizi, dan status psikiatri Konjungtiva anemis, tanda Chovstek, tanda Trousseau

Pemeriksaan Penunjang



Laboratorium (sesuai indikasi): darah perifer lengkap, elektrolit, fungsi kelenjar tiroid, fungsi hati, profillipid

Ill. DISPNEU 2·3 Anamnesis

Dokumentasi dan nilai episode dispneu beserta intensitasnya. Derajat keparahan dan efek terapi dapat dinilai melalui skala dispneu visual atau analog. Perlu juga dievaluasi penyebab dispneu lain yang berpotensi reversibel atau dapat diobati seperti infeksi, efusi pleura, emboli paru, edema paru, asma, a tau tumor yang berada di jalan napas. Pemeriksaan Fisik



Takipneu, restriksi gerakan dada ipsilateral, stem fremitus, bunyi napas, ronki, mengi, adajtidaknya distensi vena jugularis



Tanda infeksi

Pemeriksaan Penunjang



Laboratorium: darah perifer lengkap, D-dimer, analisa gas darah



Radiologis: foto toraks PA/lateral

IV. DELIRIUM Anamnesis

Disorientasi onset baru, gangguan kognitif, restlessness, somnolen, tingkat fluktuasi kesadaran. 2 Pemeriksaan Fisik



Umum, status psikiatri, dan status neurologis



Tanda infeksi

Pemeriksaan Penunjang



Laboratorium (sesuai indikasi): darah perifer lengkap

V. ANOREKSIA DAN CACHEXIA Anamnesis

Kehilangan be rat bad an yang tidak dikehendaki, laju kehilangan be rat badan, be rat badan sebelum sakit, penurunan nafsu makan dari biasanya, pola diet terakhir. Apabila penurunan berat badan >5% dari biasanya (sebelum sakit) dalam 6 bulan maka harus dicurigai cachexia, terutama apabila terdapat muscle wasting. Sedangkan hila terjadi penurunan berat badan >10% menunjukkan adanya malnutrisi berat dan sindrom cachexia-anoreksia mulai ditegakkan. Untuk mendapatkan informasi hilangnya nafsu makan secara kuantitatif, dapat digunakan skor 0-7 dengan penjelasan 0 =tidak ada nafsu makan, 1 = nafsu makan sangat kecil, 2 = nafsu makan kecil, 3 = nafsu makan cukup, 4 = nafsu makan baik, 5 = nafsu makan sangat baik, 6 = nafsu makan luar biasa, 7 = selalu lapar). 4 Pemeriksaan Fisik

Umum dan antropometri secara keseluruhan; berat badan, tinggi badan, tebal lemak subkutis, wasting jaringan, edema atau asites, tanda-tanda defisiensi vitamin dan mineral, serta status fungsional pasien. Harus diperhatikan apabila ditemukan adanya muscle wasting dan hilangnya jaringan lemak merupakan tanda lanjut dari malnutrisi. 4 Pemeriksaan Penunjang 4



Laboratorium : albumin, prealbumin, transferrin, imbang nitrogen 24 jam, kadar Fe, pemeriksaan sistem imun seperti limfosit total, fungsi hati dan ginjal, elektrolit, dan mineral serum, C reactive protein (CRP).

VI. DEPRESI DAN ANSIETAS Anamnesis

Karena Ielah terkait kanker bersifat subyektif, diperlukan alat bantu untuk menilai skala Ielah seperti the Edmonton Functional Assessment Tool, the Fatigue Self-Report Scales, dan the Rhoten Fatigue Scale. Pemeriksaan Fisik



Umum, status psikiatri, dan status neurologis



Tanda infeksi

Pemeriksaan Penunjang



Laboratorium (sesuai indikasi): darah perifer lengkap

TATALAKSANA I. NYERI TERKAIT KANKER2 • Manajemen analgetik WHO tahun 1987 merekomendasikan acetaminophen dan nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) sebagai terapi lini pertama, opioid lemah seperti kodein dan hydrocodone sebagai lini kedua, dan opioid kuat untuk lini ketiga. • Opioid kuat yang sering digunakan yaitu morfin, hydromorphone, oxycodone, oxymorphone, fentanyl, dan methadone. Ketika memulai terapi opioid, formulasi short-acting sebaiknya digunakan untuk dosis titrasi; apabila nyeri sudah terkontrol dengan dosis stabil, maka formulasi long-acting dapat digunakan. Formulasi longacting lebih nyaman dengan dosis dua kali dalam sehari, namun formulasi shortacting jauh lebih murah. Dosis dan rute pemberian tercantum pada tabel 2. Tabel 2. Dosis Opioid Kuat yang Sering Digunakan 2 ':>~. ~·~~~~~:,~-~;:~<~~:f:::._:1:J0 ;??><:o~;~',;-:~~~;0t···w

----· ~.

~ ~-



~•-•-- ~-~---

tiap 4jam Hydromorphone

1-2 tiap 4jam

0,5-1 PO tiap 1 jam PRN

5

PO, PR. SC, IV

Ganti ke hydromorphone long-acting

Oxycodone

5 tiap 4jam

2.5 PO tiap 1 jam PRN

1,5

PO, PR. SC

Ganti ke oxycodone long-acting

Oxymorphone

5 tiap 4jam

2,5 PO tiap 1 jam PRN

3

PO, IV, SC

Ganti ke oxymorphone longacting

Methadone

5 tiap 12jam

Gunakan salah satu diatas

2-20

PO, PR, IV

Lanjutkan methadone dosis sam a

Lihat catatan dibawah

TD

Ganti patch fentanyl tiap 72jam

Patch fentanyl****

Keterangan: IV, intravena; PO. per oral: PR. per rectal: PRN. bile perlu; SC. subkutan; TD. transdermal 'Ratio ekuianalgesik disediakan untuk opioid oral vs morfin oral. Contoh. hydromorphone Sx lebih paten daripada morfin oral. Potensi methadone meningkat dengan dosis. lni sebaiknya dipertimbangkan dengan input spesialis ''Morfin. hydromorphone. oxycodone. dan oxymorphone sekitar 2-3 kali lebih paten daripada sediaan oral/rektal '"Apabila nyeri stabil. dapat dipertimbangkan formula long-acting untuk kenyamanan ""Patch fentanyl sebaiknya dimulai setelah pasien mencapai kontrol nyeri yang baik dengan dosis stabil opioid. Untuk mengganti patch fentanyl dengan morf1n oral. bagi dosis total ekuivalen morfin per hari dalam milligram dengan 3.6 untuk mendapat dosis patch fentanyl dalam mikrogram. Contoh. 360 mg morfin/hari ekuivalen dengan patch fentanyl I 00 mg.



Terapi adjuvan non-opioid : NSAIDs, bisfosfonat, gabapentin, TCA, karbamazepin, venlafaksin

II. LELAH TERKAIT KANKER2 • Terapi terdiri dari stimulan (methylphenidate), wakefulness-promoting agents (modafinil), dan suplementasi makanan (ginseng) •

Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka waktu pendek sebagai terapi sementara, namun memiliki efek sam ping yang berpotensi serius



Identifikasi dan terapi faktor-faktor yang berpotensi menyebabkan Ielah seperti gangguan tidur, anemia, nyeri, depresi, ansietas, gangguan elektrolit, anoreksiacachexia, hipotiroidisme, hipogonadisme, dan penyakit komorbid lainnya

Ill. DISPNEU 2 • Intervensi bedah pacta obstruksi jalan napas akibat pertumbuhan tumor: reseksi bronkoskopik, elektrokauter, dilatasi halon, krioterapi, laser, brakiterapi •

Torasentesis terapeutik: pacta efusi pleura besar. Hindari mengambil >1,5 L per seting karena risiko reekspansi edema paru. Pleurodesis dan indwelling kateter jangka panjang dapat menjadi pilihan bagi pasien dengan efusi pleura berulang dengan ekspektasi harapan hidup 3 bulan.

• •

Suplementasi oksigen: meredakan hipoksemia Opioid, kortikosteroid, bronkodilator

IV. DELIRIUM •

Neuroleptik: haloperidol, chlorpromazine, olanzapine, dan quetiapine



Golongan benzodiazepine disarankan karena memiliki efek sedasi dan amnesia, namun juga berpotensi memperburuk delirium

V. ANOREKSIA DAN CACHEXIA4 • Terapi nutrisi tergantung dari kondisi pasien, status nutrisi, dan lokasi tumor serta indikasi terapi untuk pasien. • Kebutuhan energi: mempertahankan status gizi: 25-35 kaljkgBB, sedangkan untuk menggantikan cadangan tubuh dianjurkan 40-50 kaljkgBB. • Kebutuhan protein: 1,5 - 2 gjkgBB • Kebutuhan lemak: 20-50% dari kebutuhan kalori total • Cara pemberian: oral, enteral (selang nasogastrik), parenteral

I~ro"pi §'l.H~:'

ao P,osien Ka ~---~~·~:·~-~~·...:.::~..:~~---.:_.

VI. DEPRESI DAN ANSIETAS • Depresi ~ lihat pada bab Depresi • Ansi etas ~ lihat pada bab Ansietas KOMPLIKASI Hati-hati dengan efek sam ping morfin PROGNOSIS Tergantung etiologi dan respon terapi UNIT YANG MENANGANI : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi• RS pendidikan Onkologi Medik • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan • RS non pendidikan REFERENSI 1.

Reksodiputro AH. Pengobatan Suportif pada Pasien Kanker. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II. 2009. Hal 1482-97.

2.

Bruera E, Hui D. Palliative and Supportive Care. Diunduh dari http://www.clinicaloptions.com/ inPractice/Oncology/Supportive_Care/ch51_SuppCare-Palliative.aspx pada tanggal 21 Mei 2012.

3.

Emanuel EJ. Palliative and End-of-Life Care. In: Longo DL Fauci AS, Kasper DL Hauser SL Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.

4.

Sutandyo N. Terapi Nutrisi pada Pasien Kanker. Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid I. 2009. Hal 342-6.

TROMBOSIS VENA DALAM

PENGERTIAN Tromboemboli vena merupakan suatu spektrum kondisi yang mencakup trombosis vena dalam (deep venous thrombosisjDVT) dan emboli paru (pulmonary embolism/ PE).l Sedangkan DVT merupakan suatu kondisi yang dikarakteristikkan oleh bekuan darah pada vena, dan paling sering terjadi pada ekstremitas bawah, seringkali naik menjadi emboli dan jaringan nekrosis. 2 Trombosis vena dalam dibagi menjadi 2 kategori prognosis yaitu 1) trombosis vena betis, dimana trombus tetap berada di vena betis dalam, dan 2) trombosis vena proksimal, yang melibatkan vena popliteal, femoral, atau iliaka. 3 Triad Virchow untuk trombogenesis terdiri dari: 1) gangguan pada aliran darah yang menyebabkan stasis, 2) gangguan pada keseimbangan antara prokoagulan dan antikoagulan yang menyebabkan aktivasi faktor pembekuan, dan 3) gangguan pada dinding pembuluh darah (endotel) yang menyebabkan prokoagulan. 4 Faktor risiko tromboembolisme tercantum pada tabell. Tabel 1. Faktor Risiko Tromboembolisme 3

r~~~~:t~7~i.~tiWJr~;yY.~~;!~~~gl~!:tqt~1l:~~t~~~~~~t~~~Jt~~t~l~~ff~,~~;~f~~J;~~::~;~~1~1~1~GJ~-¥~Jtf~~i~11lf!itff~~~ff~1~;1t~~~~~~r~~~::~ ~: : 1 Usia lanjut

(~40

tahun)

Activated protein C resistance

Riwayat tromboemboli sebelumnya

Protrombin G2021 OA

Pasco operasi

Defisiensi antitrombin

Pasco trauma

Defisiensi protein C

lmobilisasi lama

Defisiensi protein S

Bentuk kanker tertentu

Disfibrinogenemia

Gaga I jantung kongestif Pasco in fork miokard Paralisis tungkai bawah Penggunaan estrogen Kehamilan atau periode pasco persalinan Vena varikosus I varices Obesitas ------

Sindrom-antfbodlanfiTosfolipfcr--------------~-~----------~~-----------------

Hiperhomosisteinemia

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis4·5



Kram pada betis bagian bawah yang menetap selama beberapa hari dan memberikan ketidaknyamanan seiring berjalannya waktu



Kaki bengkak, nyeri tungkai bawah



Riwayat trombosis sebelumnya



Riwayat trombosis dalam keluarga

Skoring Wells untuk memprediksi DVT tercantum pada tabel 2. Tabel 2. Skoring Wells untuk Memprediksi DVT2 · 10

f~;:~t~~~~~i1;l~~~0~4 Kanker aktif (sedang terapi dalam 1-6 bulan, atau paliatif) Paralisis, paresis, atau imobilisasi ekstremitas bawah Terbaring selama > 3 hari atau operasi besar (dalam 4 minggu) Nyeri tekan terlokalisir sepanjang distribusi vena dalam Seluruh kaki bengkak Pembengkakan betis unilateral 3 em lebih dari sisi yang asimtomatik (diukur 10 em di bawah tuberositas tibia) Pitting edema unilateral (pada tungkai yang simtomatik)

Vena superfisial kolateral [)iagnosis a)t~rtl(l_tlf_)'g_n_g

l~,t:>jh_

ll1l)ngkin. d~xi DVI

Keterangan: lnlerpretasi IPretest probability DVT): ~ 3 = risiko tinggi (75%): 1-2 = risiko sedang (17%): gejalanya pada kedua tungkai. tungkai yang lebih bergejala digunakan.

...

~0

-~~---·

.

= risiko rendah (3%). Pada pasien yang

Pemeriksaan Fisik3-5

• •

Rasa tidak nyaman pada palpasi ringan betis bagian bawah Edema tungkai unilateral, eritema, hangat, nyeri, pembuluh darah superfisial dapat teraba, Homan's sign ( +), distensi vena, diskolorasi, sianosis

Pemeriksaan Penunjang: 4 ·6



Laboratorium : Kadar antitrombin III menurun Kadar fibrinogen degradation product (FDP) meningkat Titer D-dimer meningkat: indikator adanya tronibosis yang aktif, sensitif tapi tidak spesifik



Radiologis : Compression USG (CUS): sensitivitas 95% dan spesifisitas 96% untuk DVT

proksimal simptomatik, sensitivitas 11-100% dan spesifisitas 90-100% untuk DVT distal simptomatik. Kriteria diagnostik USG dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 3. USG Vena Dalam Tungkai Bawah 5

Kriteria diagnosis DVT akut: • Kriteria utama: kurangnya kompresibilitas vena • Vena tidak "wink" soot kompresiperlahan pada cross-section • Gagal untuk mendekati dinding vena akibat distensi pasif Visualisasi trombus direk: • Homogen • Hipoekoik Dinamika aliran Doppler abnormal • Respon normal: kompresi betis meningkatkan sinyal aliran Doppler dan mengkonfirmasi patensi vena proksimal dan distal • Respon abnormal: aliran Doppler terhalangi dengan kompresi betis

CT scan dengan injeksi kontras: sensitivitas 96% dan spesifisitas 95% (predominan DVT proksimal) Magnetic resonance (MR) venografi dengan kontras, apabila tidak

memungkinkan dapat menggunakan MRI (mis. pada kasus alergi kontras dan insufisiensi ginjal): sensitivitas 96% (lebih rendah pada DVT distal, sekitar 62%) dan spesifisitas 93% Venografi: teknik stan dar terpilih, dapat mendeteksi DVT distal terisolasi dan trombosis vena iliaka dan vena cava inferior Algoritma diagnostik bagi tersangka DVT dapat dilihat pada gam bar 1. 10

DIAGNOSIS BANDING Ruptur kista Baker, selulitis, sindrom pasca phlebitis/insufisiensi vena. 2 TATALAKSANA Farmakologis 1. Terapi antikoagulan 3•5



Merupakan terapi terpilih bagi sebagian besar pasien dengan trombosis vena proksimal atau emboli paru



Kontraindikasi absol~t: perdarahan intrakranial, perdarahan aktifberat, pasca operasi otak, mata, atau medula spinalis, dan hipertensi maligna

Gejala tungkai bawah dan klinis tersangka DVT

Gamber 1. Algoritma Diagnosis DVT'



Kontraindikasi relatif: pasca bedah mayor, pasca insiden serebrovaskular, perdarahan saluran cerna aktif, hipertensi berat, gagal hati atau ginjal berat,



trombositopenia berat (trombosit <50.000/l.tL) Pilihan antikoagulan dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Antikoagulan pada Tromboemboli Vena 5 Anflkoagulasi parenteral segera

• Unfractionated heparin bolus dan ihfus kontinu; untuk mencapai aPTT 2-3x bat as atas laboratorfum normal. atau • Ehoxaparih 2 x T mg/kg dengan fungsi ginjal normaL atau Dalteparin 1 x 200U/kg atau 2 x 100 U/kg,dengan fungsi ginjal.normaL atau Tinzaparin 1 x.175 U/kg dengan fungsi ginjal normal' • f:onaOpal'ini.ixseharis.ekafi.berdosarkanberafbaCian:sesl!aii
• Dosis awal 5 mg. titrasi hingga INR 2-3 • Lanjutkan antikoagulasi parenteral selama minimal 5 hari dan hasiiiNR selama 2 kali pemeriksaan berturut-turut (interval 1 hari) tercapai

547



Regimen low-molecular-weight heparin (LMWH) dan fondaparinux dapat dilihat pada tabel 5.

label 5. Regimen Low-Molecular-Weight Heparin {LMWH) dan Fondaparinux pada lerapi lromboemboli Vena 3

· "'\~'" ~ ' .::,~t~Jlroerrs\JI rel="nofollow">!
2 X 1 mg/kg/hari0

Dalteparin

1 X 200 IU/kg/harib

Tinzaparin

1 x 175 IU/kg/haric

Nadroparin

2 x 6150 IU (untuk berat badan 50-70 kg)d

Reviparin

2 x 4200 IU (untuk berat badan 46-60 kg)•

Fondaparinux

1 x 7,5 mg/hari (untuk berat bad an 50-1 00 kg )I

Keterangan: 0 Regimen I x I ,5 mg/kg/hari dapat diberikan namun kurang efektif pada pasien dengan kanker bSetelah I bulan, dapat diikuti dengan dosis I x 150 IU/kg/hari sebagai alternatif antagonis vitamin K oral untuk terapi jangka panjang "Regimen ini dapat juga digunakan untuk terapi jangka panjang sebagai alternatif antagonis vitamin K oral d2 x 4100 IU/hari bila berat bad an pasien <50 kg a tau 2 x 9200 IU/hari bila berat bad an pasien >70 kg "2 x 3500 IU/hari bila berat badan pasien 35-45 kg atau 2 x 6300 IU/hari bila berat badan pasien >60 kg 'I x 5 mg/hari bila berat badan pasien <50 kg atau I x 10 mg/hari bila berat badan pasien > 100 kg



Jika diperlukan, dosis LMWH disesuaikan untuk mencapai target anti faktor Xa: 0,6- 1 IU/ml- 4 jam setelah pemberian LMWH. 10



Apabila unfractionatedheparin digunakan sebagai terapi inisial, sangatpenting untuk mencapai efek antikoagulan adekuat yaitu aPTT di atas batas bawah

therapeutic range dalam 24 jam pertama. Regimen heparin dapat dilihat pada tabel6. label 6. Regimen Heparin Berdasarkan aPTT 7

Dosis inisial aPTI <35 detik (<1 ,2x kontrol)

Bolus 80 U/kg, kemudian 4 U/kg/jam dengan infus

aPTI 35-45 detik ( 1,2-1 ,5x kontrol)

Bolus 40 U/kg, kemudian 2 U/kg/jam dengan infus

aPTI 46-70 detik ( 1,5-2,3x kontrol)

Tidak ada perubahan

aPTI 71-90 detik (2,3-3x kontrol) aPTI >90 detik (>3x kontrol)



Bolus 80 U/kg, kemudian 18 U/kg/jam dengan infus

Turunkan kecepatan infus 2 U/kg/jam Hentikan infus selama 1 jam, kemudian turunkan kecepatan infus 3 U/kg/jam

Warfarin diberikan pada hari pertama atau kedua dengan dosis awal 5 mgj hari- untuk mencapai target INR 2-3 dalam 4-5 hari. Pada pasien usia lanjut, be rat badan rendah, warfarin diberikan dengan dosis awal yang lebih rendah (2-4 mgj hari). 10

2. Trombolisis •

Terapi ini tidak dianjurkan pada DVT karena risiko perdarahan intrakranial yang besar, kecuali kasus tertentu seperti trombus ileofemoral masif atau bagian dari protokol penelitian. 8

3. Antiagregasi trombosit (aspirin, dipiridamol, sulfinpirazon) •

Bukan merupakan terapi utama



Pemakaiannya dapat dipertimbangkan 3-6 minggu setelah terapi standar heparin atau warfarin

DVT PADA KEADAAN KHUSUS KEHAMILAN • Warfarin merupakan kontraindikasi pada kehamilanY • Terapi terpilih: unfractionated heparin subkutan dan LMWH jangka panjang- mis. Tinzaparin 1 x 17 5 IUfkg/hari SC. 5• 10 • Pilihan terapi unfractionated heparin atau LMWH merupakan keputusan klinis berdasarkan kondisi pasien. 5 KOMPLIKASI Perdarahan akibat antikoagulanjantiagregasi trombosit, trombositopenia imbas heparin, osteoporosis imbas heparin (biasanya setelah terapi >3 bulan). 5 PROGNOSIS Sekitar SO% pasien dengan DVT proksimal simptomatis yang tidak mendapat diterapi akan berkembang menjadi emboli paru simptomatis dalam waktu 3 bulan. Meskipun telah mendapat terapi adekuat, DVT dapat berulang. Sekitar 10% pasien dengan DVT simptomatis berkembang menjadi sindrom post-trombosis berat dalam 5 tahun. 9 UNIT YANG MENANGANI : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi• RS pendidikan Onkologi Medik • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan : Departemen Radiologi, BedahfVaskular • RS non pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah

REFERENSI 1.

Ramzi DW. Leeper KV. DVT and Pulmonary Embolism: Part I. Diagnosis. Am Fam Physician 2004;69:2829-36. Diunduh dari http:/ /www.aafp.org/afp/2004/0615/p2829 .pdf pad a tanggal 29 Mei 2012.

2.

McGraw-Hill Concise Dictionary of Modern Medicine. New York, McGraw-Hill. 2002

3.

Hull RD, Pineo GF, Raskob GE. Venous Thrombosis. In : Lichtman M, Beutler E, Selighson U, et al. Williams Hematology. 7th Edition. New York, McGraw-Hill. 2007

4.

Sukrisman L. Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru. Dalam : Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II. 2009. Hal1354-8.

5.

Goldhaber SZ. Deep Venous Thrombosis and Pulmonary Thromboembolism. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.

6.

Ho WK. Deep vein thrombosis: risks and diagnosis. Australian Family Physician July 2010;39:7

7.

Ramzi DW. Leeper KV. DVT and Pulmonary Embolism: Part II. Treatment and Prevention. Am Fam Physician 2004;69:2841-8.

8.

Kovacs MJ, Rodger M, Anderson DR, Morrow B, Kells G, Kovacs J, et al. Comparison of 10-mg and 5-mg warfarin initiation nomograms together with low-molecular-weight heparin for outpatient treatment of acute venous thromboembolism. A randomized, double-blind, controlled trial. Ann Intern Med 2003;138:716.

9.

Kearon C. Natural history of venous thromboembolism. Circulation 2003;107(23 suppl1 ):i22-30.

10. Hirsh J, Lee A YY. How we diagnose and treat deep vein thrombosis. Blood 2002; 99; 31 02-10.

TROMBOSITOSIS ESENSIAL

PENGERTIAN Trombositosis esensial/TE (nama lainnya antara lain trombositosis primer, trombositemia esensial, trombositosis idiopatik, trombositemia hemoragik) termasuk dalam klasifikasi penyakit keganasan mieloproliferatif. TE merupakan kelainan klonal dengan etiologi yang belum diketahui, yang melibatkan sel progenitor hematopoiesis multipoten dengan manifestasi klinis produksi trombosit berlebihan tanpa penyebab yang jelas. 1 Istilah trombositosis esensiallebih banyak dipakai di Amerika Serikat, sedangkan di Eropa dikenal dengan trombositemia vera. 2 Macam-macam etiologi trombositosis dapat dilihat pacta tabel 1. label 1. ·Etiologi Trombositosis3

~t:iiA!):~~J~;f~~~~~~~~:t~~!~i~~~~:~~~~*l;~:,~;t~r~~~;~~;~t~~l:*~:~-%~~~~:~~~~~~.~~ ~~t;g%i~~-i~lliY~~~r~ft~iq lnfeksi

Mikrosferosit (mis. luka bakar yang luas)

lnfla rnqsi

... __ Kri.oglobulinemia ___ _

Kerusakan jaringan

Frogmen sitoplasma sel ·neoplastik

Mieodisplasia

Hiposplenisme

Schistocytes

Anemia refrakter dengan cincin sideroblast yang berkaitan dengan trombositosis

Pasco operasi

Bakteri

Perdarahan

Pappenheimer bodies

Trombositosis esensial Polisitemia vera Mieloflbrosis primer

Leukemia mieloid kronis Leukemia mielomonositik kronis

Deflsiensi besi

Leukemia mieloid kronis atipikal

Keganasan

Keganasan mieloproliferasi/ mielodisplasia

Hemolisis Terapi obat (kortikosteroid, adrenalin) Administrasi sitokin (trombopoietin)

Rebound pada kemoterapi mielosupresif

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis1.2 •

Tidak ada tanda dan gejala spesifik, 113 pasien tidak memiliki gambaran klinis



Acroparesthesis: sensasi gatal pada kaki yang diikuti dengan rasa nyeri I terbakar,

kemerahan, berdenyut, cenderung timbul kembali disebabkan panas, pergerakan jasmani dan hilang bila kaki ditinggikan (eritromialgia). •

Riwayat mudah memar



Riwayat gangguan penglihatan sementara, klaudikasio intermiten, infark I gangren pada jari kaki dengan pulsasi arteri perifer masih baik, perdarahan spontan dari hidung atau ginggiva, genitourinarius, saluran cerna



Pada wanita hamil ditemukan riwayat abortus berulang, pertumbuhan janin terhambat

Pemeriksaan Fisik1·2 •

Splenomegali (70%), hipertensi (30%), tanda-tanda perdarahan atau trombosis sesuai lokasi yang terkena

Pemeriksaan Penunjang 1•4 •

Laboratorium : darah perifer lengkap, morfologi darah tepi



Pemeriksaan genetik molekuler

• •

Tes sitogenetika Biopsi dan aspirasi sumsum tulang : peningkatan selularitas dengan hiperplasia megakariositik

Kriteria diagnosis trombositosis esensial :4 •

Hitung trombosit > 600.000/llL (yang telah dikonfirmasi > 1x)



Hemoglobin 13 gl dl atau mas sa eritrosit normal (pria <36 mljkg, wan ita <32 mljkg)



Besi yang terlihat pada pewarnaan sumsum atau kegagalan uji besi (kenaikan



hemoglobin <1 gldl setelah terapi besi 1 bulan) Tidak ditemukan kromosom Philadelphia



Fibrosis kolagen sumsum: a) tidak ada, atau b) <113 area biopsi tanpa splenomegali



dan reaksi leukoeritroblastik Tidak ditemukan penyebab trombositosis reaktif



Megakariosit dalam gumpalan

DIAGNOSIS BANDING Seperti tercantum pacta tabel 1. TATALAKSANA4 Tujuan pengobatan untuk menurunkan jumlah trombosit dan menurunkan fungsi trombosit • Untuk menurunkan trombosit: o PThombopheresis -7 pacta trombositosis akut dan gangguan hemostasis yang mengancam nyawa o Hydroxyurea: 10-30 mgjkgBB/hari. Hitung darah harus diperiksa dalam 7 hari setelah terapi dimulai dan diperiksa secara rutin karena hydroxyurea dapat menyebabkan mielosupresi dengan cepat o Anagrelide: dosis awal 4 x 0,5 mgjhari atau 2 x 1 mgjhari (maksimal 10 mgj hari), dosis disesuaikan dengan interval tiap minggu. Do sis pemeliharaan 2-3 mgj hari o Rekombinan interferon alfa: 3 juta IU subkutan sebanyak 3xjminggu • Untuk menurunkan fungsi trombosit (terapi adjuvan): o Aspirin dosis rendah (100 mgjhari) masih menjadi kontroversi KOMPLIKASI Risiko klinis komplikasi trombohemoragik pacta trombositosis esensial tercantum pacta tabel 2. label 2. Risiko Klinis Komplikasi Trombohemoragik pada Trombositosis Esensial 4

Risiko il"

Riwayat trombosis sebelumnya

Penggunaan aspirin dan nonsteroidal antiinflammatory drugs (NSAIDs) lainnya

Faktor risiko terkait kardiovaskular (terutama merokok)

Trombositosis ekstrim (trombosit > 1.500.000/IJL)

Usia lanjut (> 60 tahun) Trombositosis tidak terkontrol (pada pasien risiko tinggi) Tanpa risiko terkait

Derajat trombositosis

Masa perdarahan {bleeding time) memanjang

Fungsi trombosit in vitro

Fungsi trombosit in vitro

PROGNOSIS Tergantung usia dan riwayat trombosis. Angka harapan hid up 10 tahun pacta 64%80% terutama pacta pasien usia muda. Kurang dari 10% pasien dengan trombositosis

esensial berubah menjadi leukemia mieloid akut dan kurang dari 5% berubah menjadi mielofibrosis dengan metaplasia meiloid. 5

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi HematologiOnkologi Medik



RS non pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

ft'EFEIENSI 1.

Spivak JL. Polycythemia Vera and Other Myoproliferative Diseases. In: Longo DL Fauci AS, Kasper DL Hauser SL Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181" Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.

2.

Wahid I. Trombositosis Esensial. Dalam: Sudoyo A Setiyohadi B, Alwi Let al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid II. 2009. Hal1220-4.

3.

Harrison CN, Bareford D, Butt N, et al. Guideline for investigation and management of adults and children presenting with a thrombocytosis. British Journal of Haematology 201 0; 149:352-375.

4.

Schafer AI. Essential Thrombocythemia and Thrombocytosis: Overview. In : Lichtman M, Beutler E, Selighson U, et al. Williams Hematology. 7th Edition. New York, McGraw-Hill. 2007

5.

Ciesla B. Hematology in Practice. Philadelphia, FA Davis. 2007

PENATALAKSANAAN Dl BIDING ILMU PENYAKIT DAlAM

PANDOAN PRAKTIK KLINIS KARDIO-~ Angina Pektoris Stabil ................ r······~···n·/;_t:;_:_"···r-r-7·~;,_·· .. . Angina Pektoris Tidak Stabil/ Non St Elevation Myocardiallnfara~ (I ST Elevation Myocardia/Infarction d;TE

Peripartum Cardiomyopathy ...........,......... -. .......................... ,...... Perikarditis .................................... .. .................. ~---Penyakit Jantung Kongenital.... ........ .... .... .. . .... . . ... .. .. Hipertensi Pulmonal.............. ........... . .. ... .. . . .... ... ..... . M/--,_ /'I''--,

Penyakit Arteri Perifer ............................................. ~( ~56 Kelainan Sistem Vena dan Limfatik ...............l" .... ~,k(t564 1. . . . . .

..

~-/r/' ! ---<: ''•,,,,

ANGINA PEKTORIS STABIL

PENGERTIAN Angina pektoris stabil adalah nyeri dada atau chest discomfort yang terjadi karena keadaan seperti olahraga atau stres emosional yang meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. Karakteristik nyeri dada khas angina yang mengarah ke infark miokard/ iskemia miokard akut adalah: 1.

1

Lokasi di dadajsubsternaljsedikit di kiri, dengan penjalaran ke leher, rahang, bahu kiri, sampai dengan lengan dan jari-jari bagian ulnar, punggungjpundak kiri.

2. Kualitas nyeri biasanya merupakan nyeri tumpul seperti rasa tertindih, terdesak, diremas-remas, dada mau pecah. Seringkali disertai keringat dingin, sesak napas. 3. Nyeri pertama kali timbul biasanya agak nyata, dari beberapa menit sampai

<

20

menit. Nyeri dada ada yang memiliki ciri-ciri iskemik miokardium yang lengkap, sehingga tak diragukan lagi diagnosisnya disebut nyeri dada (angina) tipikal, sedangkan nyeri dada yang meragukan tidak memiliki ciri yang lengkap dan perlu dilakukan pendekatan yang hati-hati disebut, nyeri dada (angina) atipik. Nyeri dada lain yang sudah jelas berasal dari luar jantung disebut nyeri non kardiak. 1 Klasifikasi angina pektoris stabil dapat dilihat pada tabel 1. label 1. Klasifikasi Angina Pektoris StabiF Kelas ..

canadian Cqi¢Jio~asc'Yia{$ocfety ffinefionaf Classiticatlcrt( :> · ·.····: ·, :C.' .• : Aktivitas sehari-hari seperti berjalan atau menaiki tangga tidak menyebabkan angina. Angina muncul jika melakukan aktivitas berat terus-menerus sa at kerja maupun rekreasi.

II

Keterbatasan ring an saat melakukan aktivitas sehari-hari. Berjalan atau menaiki tangga dengan cepat atau setelah makan, berjalan menanjak, dalam kedinginan, atau dalam kondisi stres. Be~alan sebanyaklebih dari 2 blok dan menaiki tangga lebih dari 1 lantai dengan kecepah:iri"normal. · · · · ·· · · ·· · · · ··· · ·

Ill

Keterbatasan bermakna dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Berjalan dengan mendatar sebanyak 1 atau 2 blok dan menaiki tangga 1 lantai dalam kondisi normal.

IV

ketidakmampuan beraktivitas tanpa ketidaknyamanan. Angina dapat timbul saat istirahat

Terdapat 3 kriteria untuk membantu menentukan jenis Angina: 1. Nyeri dada substernal, 2. Dicetuskan oleh aktifitas/ emosi, 3. Membaik dengan istirahat atau NTG. Pasien disebut non anginal chest pain bila hanya ada~ 1 gejala, disebut angina atipik bila terdapat 2 gejala, dan angina tipikal bila ada 3 gejala. Kemungkinan penyakit arteri koroner berdasarkan kombinasi usia, jenis kelamin dan gejala dapat dilihat pada Tabel 2. label 2. Probabilitas Penyakit Arteri Koroner Berdasarkan Usia dan Gejala (NEJM 1979:300:1350)3 .,

~-·~-.~~.,,~_

.,..

~.

30-39

4%

1%

34%

12%

76%

26%

40-49

13%

3%

51%

22%

87%

55%

50-59

20%

7%

65%

31%

93%

73%

60-69

27%

14%

72%

51%

94%

86%

,..,

Keterangan Gejala : nyeri dada substernal, nyeri dada karena aktivitas, nyeri dada hilang saat istirahat

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Biasa muncul pada pria >SO tahun atau wanita > 60 tahun dengan keluhan chest

discomfort (seperti berat, tertekan, diremas, terdesak, dan jarang nyeri yang nyata), biasanya lokasi di dada, crescendo-decrescendo, berlangsung 2-S menit (dapat menjalar ke bahu maupun kedua lengan, punggung, interscapular, leher, rahang, gigi, dan epigastrium). Biasanya episode angina muncul karena latihan atau emosi, dapat juga saat istirahat dan membaik setelah istirahat. Pasien dapat terbangun pada malam hari karena chest discomfort dan dispnea. 2 Pemeriksaan Fisik

Auskultasi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan posisi lateral dekubitus. Pada auskultasi dapat ditemukan bruit arteri, bunyi jantung III atau IV, jika iskemi akut atau infark sebelumnya merusak fungsi otot papilar maka dapat ditemukan murmur sistolik di apikal karena regurgitasi mitral, meskipun tidak khas untuk iskemi miokard. 2 Pemeriksaan Penunjang2



Elektrokardiografi (EKG): tidak spesifik, dapat ditemukan hipertrofi ventrikel



Stress testing dengan EKG



Rontgen dada: pembesaran jantung, aneurisma ventrikular (tidak khas)



Darah (untuk mengetahui faktor yang memperberat seperti DM, gangguan ginjal, dan lain-lain): GDS, profillipid, hemoglobin AlC, fungsi ginjal



Pencitraan jantung: SPECT, MSCT



Arteriografi koroner, dipertimbangkan pada: pasien yang tetap pada kelas III-IV meskipun telah mendapat terapi yang cukup, pasien dengan risiko tinggi tanpa mempertimbangkan beratnya angina, pasien-pasien yang pulih dari serangan aritmia ventrikel yang berat sampai cardiac arrest, yang telah berhasil diatasi, dan pasien-pasien yang diketahui mempunyai disfungsi ventrikel kiri (fraksi ejeksi < 45%)

DIAGNOSIS BANDING NYERI DADA3 • Kardiovaskular: infark miokard, unstable angina, perikarditis, mioperikarditis, diseksi aorta. • Paru: pneumonia, pleuritis, pneumotoraks, efusi pleura, hipertensi pulmonal • Saluran cerna: refluk esofagus, spasme esofagus, Mallory-weis, pankreatitis, penyakit bilier. • Muskuloskeletal dan lainnya: costochondritis, herpes zoster, ansietas. TATALAKSANA •

Non farmakologis: stop rokok, stop alkohol, kurangi be rat badan, olahraga 30-60 menit setiap hari. 4



Farmakologis: 2.4 Aspirin 75-162 mgjhari Hipertensi: ACE inhibitor, Renin-Angiotensin-Aldosterone System Blockers, Penyakit Beta. Kontrol gula darah,lipid Untuk obat-obatan nirat, nitrogliserin, penyakit beta dan calcium channel blocker dapat dilihat pada tabel 3, 4 dan 5.

KOMPLIKASI Aritmia jantung, regurgitasi mitral, gagal jantung kongestif, perikarditis, emboli paru, renjatan kardiogenik, stroke.

label 3. lerapi Nitrat dan Nitroglycerin 2

. Rtit& .

,,

Nitroglycerin

·[)g~ls'· '·· ·

Tablet sublingual

0.3-0.6 mg sampai dengan 1.5 mg

Spray

0.4 mg sesuai kebutuhan

Salep

2%(15x15cm) 7.5-40 mg

Transdermal

2x0.2-0.8 mg/jam

Oral sustained release

2.5-13 mg

lntravena

5-200 mcg/menit

lsosorbide dinitrate

Sublingual

2.5-10 mg

Oral

2-3x5-80 mg

Spray

1x1.25 mg

Tablet kunyah

5mg

Oral slow release

1-2x40 mg

lntravena

1.25-5.0 mg/jam

Salep

1x100 mg

lsosorbide mononitrate

Oral

2x20 mg atau 1x 60-240 mg

Pentaerythritol tetranitrate

Sublingual

10 mg sesuai kebutuhan

label 4. lerapi Penyakit Beta 2

: •· : ·

;7I,~:~~U\~~~t).;~;;~~''.:i~ i::.~,im"': ~;,:,v'';~~hfY\: ~~'''!:· ~,., ;:,r '~',1·"/·lil'P~Is .}f:? ~u;"; ;,;,,;,,;,·i,;JJ,~> · · Acebutolol 2x200-600 mg Atenolol 50-200 mg/hari Betaxolol 10-20 mg/hari Bisoprolol 2,5-1 0 mg/hari Esmolol (intravena) 50-300 mcg/kg/menit 2x200-600 mg Labetalol Metoprolol 2x50-200 mg Nadolol 40-80 mg/hari Nebivolol 5-40 mg/hari Pindolol 3x2.5-7.5 mg Propranolol 2x80-120 mg Timolol 2x10 mg

label 5. lerapi Antagonis kalsium 2

;,~_~-~~·~~~,~~, ~~;:l-~~r:t~t~~~:~rtt~;i~~~~iJ~i_ij.AfJ:i;~t~f:t_j;~rN; \j;~?~~1J:~}}'~~t~V~~~:~ t,·~;~-:-~:/~I<~~~-U~ i~~~~~~ ~:~; f~;~~-\~ ~~:\~:s})Q"O:si$~f~.:~~;~,~~ :~.~<:
PROGNOSIS Prognosis menggunakan bantuan tes Treadmill, akan didapatkan Dukes Treadmill score seperti tercantum pada tabel 6.

Pektoris SJopiL label 6. Duke Treadmill Score' !

· lnferpretasi Nilai

Risiko Risiko rendah Risiko sedang Risiko tinggi

Mortalitas dalam 1 tahun

~5

<1%

4sampai -10 s; -11

2-3% ;::5%

Keterangan : Duke Treadmill Score= lama latihan (menit)- (5 x max ST deviasi (mm))- (4 x indeks angina) lndeks Angina = 0 : tidak ada angina 1 : angina non limiting 2 : limiting angina

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan



RS non pendidikan

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Departemen Penyakit dalam - Divisi Kardiovaskular



RS non pendidikan

: Departemen Penyakit dalam - Divisi Kardiovaskular

REFERENSI 1.

Rahman, A Muin. Angina pektoris stabil. Dalam : Sudoyo, Aru W. Setyohadi, Bambang. Alwi, ldrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati. Siti. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI-RSCM: 2009. Halaman 1735-39.

2.

Ischemic heart disease in adult. Dalam : Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies. 2011.

3.

Diamond GA. Forrester JS. Analysis of Probability as an Aid in the Clinical Diagnosis of CoronaryArtery Disease. N Eng I J Med 1979; 300: 1350-8. Theroux, Pierre. Angina Pectoris. Dalam: Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23'd edition. Saunders : Philadhelphia. 2007.

4. 5.

5.

Fraker, Theodore D. 2007 Chronic Angina Focused Update of the ACC/AHA 2002 Guidelines for the Practice Management of Patients With Chronic Stable Angina: A Report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Guidelines Writing Group to Develop the Focused Update of the 2002 Guidelines for the Management of Patients With Chronic Stable Angina. J. Am. Coli. Cardiol. 2007;50;2264-2274: originally published online Nov 12, 2007 Harris, lan S. Foster, Elyse. Congenital Heart Disease in Adults. Dalam : Crawford, Michael H. Current Diagnosis & Treatment Cardiology 3'd Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.

6.

Warnes, Carole A. et al. ACC/AHA 2011 Guidelines for the management of adults with congenital heart disease : executive summary. Circulation. 2008; 118:2395-2451 ;originally published online November 7, 2008; doi: 10.1161 I CIRCULATIONAHA.1 08.190811.

7.

Fox, Kim. Et all. Guidelines on the management of stable angina pectoris: full text {The Task Force on the Management of Stable Angina Pectoris of the European Society of Cardiology. Diunduh dari : http:/ /www.escardio.org/guidelines-surveys/esc-guidelines/GuidelinesDocuments/guidelinesangina-FT.pdf. pada tanggal1 0 juni 2012.

ANGINA PEKTORIS TIDAK STABIL/ NON ST ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION (APTS/NSTEMI)

PENGERTIAN Unstable angina (UA) adalah angina pektoris setara dengan ischemic discomfort

dengan 1 diantara 3 kriteria: 1. Muncul saat istirahat (atau latihan ringan), biasanya berlangsung > 10 menit, 2. Gejala berat dan baru pertama kali timbul, dan atau 3. Muncul dengan pola crescendo (lebih berat, panjang, dan sering daripada sebelumnya). Diagnosis Non ST Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI) ditegakkan jika pasien dengan UA memiliki nekrosis miokard, yang terlihat pad a peningkatan cardiomarkers. 1

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 1



Nyeri dada : lokasi regio substernal atau kadangkala epigastrium, yang menjalar ke leher, bahu kiri, dan atau tangan kiri



Sesak napas, epigastric discomfort

Pemeriksaan Fisik1

Jika iskemi miokard luas, dapat ditemukan diaphoresis, pucat, kulit dingin, sinus takikardi, bunyi jantung ketiga atau keempat, ronki basal paru, terkadang ditemukan hipotensi. Pemeriksaan Penunjang 1



EKG : depresi segmen ST, peningkatan transien segmen ST dan atau inversi gelombang T -7 tampak pada 30-50% pasien.



Cardiac Biomarkers: CK-MB dan Troponin meningkat



Stress testing



CT angiography

Tabel 1. Kemungkinan Sindrom Koroner Akut2 Anamnesis

Nyeri dada atau lengan kiri seperti angina, riwayat penyakit jantung koroner (termasuk infark miokard)

Nyeri dada atau lengan kiri, usia > 70 tahun, lokiloki, diabetes

Pemeriksaan Fisik

Hipotensi, diaphoresis, gaga! jantung kongestif, regurgitasi mitral transient

EKG

Depresi ST baru (?.1 mm), inversi gelombang T pada multipellead

Gelombang Q lama, deperesi ST (0,5-0,9 mm), inversi gelombang T (>1mm)

Gelombang T datar atau inversi gelombang T (< 1 mm) dengan gelombang R dominan

Biomarker

Troponin atau CK-MB (+)

Normal

Normal

Gejala atipik (nyeri pleuritik, tajam, atau posisional)

Penyakit arteri perifer atau Pain reproduce on pa/p penyakit serebrovaskular

Pendekatan untuk triage : • Jika hasil anamnesis PF, EKG, dan biomarker tidak mengarah diagnosis, ulangi EKG dam biomarker 12 jam kedepan. • Jika tetap normal dan kemungkinan kecil sindrom koroner akut, cari penyebab nyeri dada lain. • Jika tetap normal dan nyeri hilang -7 singkirkan infark miokard, • Jika curiga sindrom koroner akut berdasarkan anamnesis PF, singkirkan NSTEMI dengan tes treadmill. Jika risiko rendah (usia> 70 tahun, tidak memiliki penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskular, penyakit arteri perifer sebelumnya, tidak ada sisa angina), pasien dapat dipulangkan dalam 72 jam. Jika tidak risiko rendah -7 rawat inap dan evaluasi iskemi (tes treadmill atau kateter) • Jika EKG atau biomarker abnormal atau kemungkinan tinggi sindrom koroner akut -7 rapat inap dan terapi Risiko Rendah

Rlslko Tlnggi Troponin (+), depresi ST > 0.5mm, TIM I Risk Score >3, curiga go gal jantung kongestif

Aspirin, clopidogrel (upstream atau soot PC I) UFH, ENOX, atau bival (tergantung hasil kateter sebelumnya) + GP lla/llb inhibitor (GPI)

sebelum pulang ranap

Risiko tinggi Treadmill score < ll .----::--....,.---, (Defek perfusi besar (terutama anterior), defek perfusi

Gambar 1. Algoritme Pendekatan NSTEMF

DIAGNOSIS BANDING ST elevation myocardial infarction (STEMI). TATALAKSANA 3 •

Nitrat diberikan sublingual atau buccal spray (0,3-0,6 mg). Jika telah diberikan 3 dosis dengan jeda 5 menit tetapi nyeri tetap ada, maka berikan nitroglycerin intravena (5-10 gjmenit), titer infus dapat dinaikkan 10 gramjmenit setiap 3-5 menit sampai gejala hilang atau tekanan darah sistol turun jadi < 100 mmHg. Setelah 12-24 jam bebas nyeri, ganti nitroglycerin iv dengan oraljtopikal.



Beta Adrenergik Bloker : Metoprolol 4x25-50 mg po. Jika diperlukan dan tidak ada gaga! jantung dapat dinaikkan bertahap 5 mg setiap 1-2 menit.



Atorvastatin 20-80 mg



Calcium channel blockers: verapamil atau diltiazem. Direkomendasikan untuk pasien yang memiliki gejala persisten atau rekuren setelah terapi beta bloker dan nitrat dosis penuh, atau pada pasien yang kontaindikasi ca channel blocker



Angiotensin-Converting Enzyme (ACE) inhibitor



Morfin (bila diperlukan); 2-5 mg IV dapat diulang setiap 5-30 menit



Antitrombotik

Tabel 1. Obat Antitrombotik pada NSTEMP

i~J1~p!gt!l~fi~Ji9Jj~_if:£(; ·. . ,,Yir:.':~i": .;i{i·'~!.j ,; Aspirin

Dosis awol 162-325 mg formula nonenterik lalu 75-162 mg/hari formula enterik I nonenterik

Clopidogrel

Loading dose 300-600 mg lalu 75 mg/hari

Prasugrel

Pre-percutaneous coronary intervention (PCI): Loading dose 60 mg lalu 10 mg/hari

Abciximab

0.25 mg/kg bolus lalu infus 0.125 g/kg per men it (maksimal 10 g/menit) selama 12-24 jam

Eptifibatid

180 g/kg bolus lalu infus 2.0 g/kg/menit selama 72-96 jam

Tirofiban

0.4 g/kg/menit selama 30 me nit lalu infuse 0,1 gram/kg selama 48-96 jam

l)ofrgr.;tioooted Heparin (UFH) Enoxaparin

. Bolus 6Q-70 U/kg ..(maksimal 5000 U) IV lalu infus .12-15 U/kg/jam (dosis maksimal awol 1000 U/jam) titrasi sampai PTT 50-70 detik a tau 1,5-2,5 kali kontrol 2x1 mg/kg SC, dosis awol 30 mg iv bolus. Disesuaikan dengan kondisi ginjal jika creatinin clearance < 30 cc/menit :1 x1 mg/kg

Fondaparinux

2.5 mg SC qd

Bivalituoin ·

DbsisCiwal 0,1 rl1g7J
PROGNOSIS Prognosis NSTEMI berdasarkan TIM! Risk Score dapat dilihat pada tabel 1. Tabel2. Timi Risk Score. 4

: ·•:s~~~i@ .· · · · .·Cf;.· \

·"

Timi score

/i~~~iltM'~~~~~),~:::::~JJ~;t~~~'t,~tilliJ}f*~·~ilt:f~I·d~~~~~~~~q"~f,)· .,~!t;~;. Usia ~ 65 tahun

~3

faktor risiko CAD

Menggunakan ASA (7 hari terakhir)

Nila I

Kematian/ infark miokard/ revaskularisasl segera dalam 14 hari

0-1

5%

2

8%

3

13%

4

20%

Deviasi segmen ST

5

26%

Meningkatnya marker kardiak

6-7

41%

Diketahui CAD

(stenosis~

50)

> 1 episode angina saat istirahat dalam < 24 jam

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan



RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam Divisi Kardiovaskular

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Kardiovaskular

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

REFERENSI 1.

Unstable Angina and Non ST Elevation Miocard lnfark. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2011.

2.

Anderson, Jeffrey L. Et all. ACC/AHA 2007 Guidelines for the Management of Patients With Unstable Angina/Non-ST-Eievation Myocardial Infarction. Vol. 50, No.7, 2007.

3.

Wright, R. Scott. 2011 ACCF/AHA Focused Update of the Guidelines for the Management of Patients With Unstable Angina/Non-ST-Eievation Myocardial Infarction (Updating the 2007 Guideline). JAm Coli Cardiol, 2011; 57:1920-1959, doi:lO.l 016/j.jacc.2011.02.009.

4.

Goncalves, Pedro de Araujo. Et all. TIMI, PURSUIT, and GRACE risk scores : sustained prognostic value and interaction with revascularization in NSTE-ACS. European Heart Journal (2005) 26, 865872. Doi:l 0.1 093/euheartj/ehil87.

ST ELEVATION MYOCARDIAL INFARCTION (STEMI)

PENGERTIAN MenurutACC/AHA STEM/ Guidelines 2004, STEM I adalah elevasi segmen ST > lmm pada 2 lead berturut-turut (baik prekordial atau limb leads). Progresifitas infark miokard dibagi menjadi 1. akut (beberapa jam pertama-7 hari), 2. healing (7-28 hari), dan 3. Sembuh (29 hari).

1

DIAGNOSIS Anamnesa

Nyeri vi sera seperti terbakar a tau tertusuk, letaknya biasanya di dada tengah atau epigastrium, biasanya terjadi pada saat istirahat, terkadang menjalar ke lengan, dapat juga ke perut, punggung, rahang bawah, dan Ieber, nyeri dibarengi dengan lemah, nausea, keringat, muntah, ansietas. 1 Pemeriksaan Fisik

Pucat, eketremitas teraba dingin, dapat ditemukan takikardi dan atau hipertensi (pada anterior infark), bradikardi dan atau hipotensi (posterior infarc). Terdapat bunyi jantung III dan IV, penurunan intensitas bunyi jantung, paradoxical splitting pada bunnyi jantung II, dapat juga ditemukan transient midsystolic atau late systolic apical systolic murmur karena disfungsi katup mitral. Pericardia/ friction rub dapat ditemukan pada transmural STEM I. Pulsasi karotis seringkali menurun dalam volume. 1 Laboratorium 1

1. EKG: elevasi segmen ST dengan gelombang Q

Tabel 1. Lokasi lnfark Miokard 2

Septal

Proksimal/eft anterior descending coronary artery

v,-V 2

(LAD) Anterior Apikal

LAD Distal LAD, Left coronary circumflex artery (LCx), .atau

V3-V•

V5-V6

right coronary artery (RCA) Lateral

LCx

L aVL II, IlL aVF

Inferior Ventrikel kanan

.RCA (-85%), LCx (-15%) Proksimal RCA

V,-V 2 & V4R Depresi ST V.-V

Posterior

RCA atau LCx

2. Serum Cardiac Biomarkers: •

Cardiac-specific troponin T (cTnT) and cardiac-specific troponin I (cTnl)

meningkat >20 kali dari nilai normal tertinggi dan bertahan 7-10 hari setelah STEM I. 45 40

.... :;::: Ill

...

35 30

Qj

·;;;

25

....!!!

20

r:: Q)

1/)

r::

0

15

~

10 5 0 0

5

10

24

Waktu setelah onset nyeri dada Keterangan: > = GPBB, o = mioglobin, o = Troponin T, segitiga penuh: CKMB

Gombar 1. Diagram Perbandingan Konsentrasi Cardiacmarker.•

3. Pencitraan jantung •

Ekokardiografi: infark ventrikel ,kanan, aneurisma ventrikel, efusi perikardial, dan trombus ventrikel kiri. Doppler ekokardiografi untuk deteksi dan kuantitas defek septum ventrikel dan regurgutasi mitral.



Cardiac MRI

DIAGNOSIS BANDING Unstable angina, Non ST Elevation Myocardial Infarction, gambaran EKG elevasi

segmen ST: perikarditis dengan miokard infark, kor pulmonal akut, kontusio miokard, dressier's syndrome.

TATALAKSANA Pacta ruang emergensi 1. Aspirin: 160-325-mg tablet buccal, lanjutkan 75-162 mgjhari,l 2. Jika hipoksemia, berikan suplementasi 02 2-4ljmenit selama 6-12 jam 3. Kontrol ketidaknyamanan • Nitrogliserin sublingual3x0,4 mg dengan jeda 5 menit. Bila gejala tidak hilang, berikan nitrogliserin intravena. • Morfin 2-4 mg intravena, dapat diulang sampai 3 kali dengan jeda 5 menit. • Beta blocker iv: Metoprolol5 mg. 2-5 me nit sebanyak 3 kali. 15 me nit setelah dosis ke-3, berikan 4x50 mg p.o selama 2 hari, lalu 2x100mg. atenolol: 2,5-5 mg selama 2 menit, total10 mg selama 10-15 menit. bisoprolol1x 2,5-10 mg. Percutaneous Coronary Intervention (PCI): jika diagnosis meragukan, kontraindikasi terapi fibrinolisis, ada renjatan kardiogenik, risiko perdarahan meningkat, atau gejala tidak tertangani dalam 2-3 jam. 4. Terapi revaskularisasi • Jika tidak tersedia sarana Intervensi Koroner Perkutan (IKP) atau tidak mungkin mengerjakan IKP primer< 2jam a.

Terapi Fibrinolisis 5 • • •

Waktu pemberian: efektifitas menurun dengan lamanya waktu, terutama hila > 3 jam setelah onset Indikasi: serangan < 12 jam, elevasi segmen ST ~ 0,1 mV (~1mm) dalam 2 lead berturut-turut atau adanya Left Bundle Branch Block (LBBB) Kontraindikasi: Absolut: neoplasma intrakranial, aneurisma, malformasi arteri vena, strok non hemoragik atau trauma kepala tertutup dalam 3 bulan terakhir; perdarahan internal aktif atau adanya perdarahan diastesis, curiga diseksi aorta Relatif: hipertensi be rat dengan tekanan darah sistol > 180 atau diastol > 110 mmHg, strok iskemik, resusitasi kardiopulmonal yang lama> 10 me nit, trauma atau operasi besar dalam 3 minggu terakhir, perdarahan interna dalam 2-4 minggu terakhir, noncompressible vascular puncture, kehamilan, menggunakan antikoagulan.



Tissue Plasminogen Activator (tPA): 15 mg bolus iv, lanjutkan 50 mg selama 30 menit, lalu 35 mg selama 60 menit



Streptokinase: 1,5 juta unit iv selama 1 jam



Tenecteplase (TNK): 0,53 mgjkg iv bolus



Reteplase (rPA): 2x10 juta unit bolus dalam 2-3 menit, jeda 30 menit antara dosis pertama dan kedua.

b. 5.

6. 7.

8.

Intervensi Koroner Perkutan (IKP): jika tersedia sarana ikp dan ikp bisa

dikerjakan <2 jam. jika tidak bisa berikan fibrinolitik Tienopiridin 2 • Clopidogrel 300-600 mg • Prasugrel 60 mg Glycoprotein lib/Ilia Inhibitors {GP Ilbjiiia inhibitors): bekerja menghambat agregasi trombosit. 2 ACE Inhibitor untuk hipertensi, akut miokard infark anterior, atau disfungsi ventrikel kiri: captopril 3x6,25 mg, mulai dalam waktu 24 jam atau ketika stabil (tekanan darah sistolik > 100 mmHgJ-3 Lipid-lowering agent (jika LDL > 70-100 mgjdL, total cholesterol> 135 mgjdL): Atorvastatin 10-BOmgjhari, rosuvastatin 20-40 mgjharU

KOMPLIKASI Disfungsi ventrikel, hipovolemia, gaga! jantung kongestif, renjatan kardiogenik, infark ventrikel kanan, aritmia, ventrikel takikardi dan fibrilasi. 1

PROGNOSIS Terapi jangka panjang dengan antiplatelet agent (biasanya aspirin) mengurangi angka kekambuhan STEMI sebesar 25%. 1

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Kardiovaskular



RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan: Departemen Rehabilitasi Medik



RS non pendidikan: Departemen Rehabilitasi Medik

DJ!;JA{f~XJ ,__ 5, • ~~~

'W"~"f~

~

··~~~i'':tr'£:!5'!TI5:!:t"~~iJ~J ~..c~~ IKP bisa dilaksanakan <120 menit

Lebih baik <60 menit

Segera kirim ke RS dengan fasilitas PCI .----.~

Lebih baik .:::. 90menit

1

Lebih baik .:::_30menit Segera kirim ke RS dengan fasilitas PCI

'The time point the diagnosis incomfirmed with patient history and EGG ideally within 10 min from the first medical contact(FMC) All delay are related to FMC (first medical contact)

FMC = first medical contact, IKP = lntervensi Koroner Perkutan, STEM/ = ST Segment Elevation Myocardia/Infarction

Algoritme Tatalaksana STEMI

REFERENSI 1.

ST Elevation Miocard lnfark. Dalam: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2011.

2.

Boyle, Andrew J. Jaffe, Allan S. Acute Myocardial Infarction. Dalam: Crawford, Michael H. Current Diagnosis & Treatment Cardiology 3'd Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.

3.

Jois, Preeti. NSTEMI and STEMI Therapeutic Updates 2011. Emergency Medicine Reports I Volume 32, Number 1 I January 1, 2011.

4.

Anderson, Jeffrey L. ST Segment Elevation Acute Myocardial Infarction and Complications of Myocardial Infarction. Dalam: Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23'd edition. Saunders: Philadhelphia. 2007.

5.

Wright. RScott. 2011 ACCF/AHA Focused Update of the Guidelines for the Management of Patients With Unstable Angina/Non-ST-Eievation Myocardial Infarction (Updating the 2007 Guideline).

6.

http:/ /en.wikipedia.org/wiki/File:CardiacMarkerComparison.JPG

PENYAKIT JANTUNG KORONER

PENGERTIAN Penyakit jantung koroner (PJK) adalah penyempitan atau blokade arteri yang mensuplai oksigen dan nutrisi ke jantung. Penyempitan itu dapat disebabkan ateroskeloris yaitu akumulasi zat lemak pad a bagian dalam arteri yang menyebabkan keterbatasan aliran darah ke jantung. 1 Faktor risiko PJK: 1. Yang tidak dapat dimodifikasi: usia, riwayat keluarga, riwayat penyakit jantung

koroner sebelumnya, jenis kelamin (laki-laki) 2. Yang dapat dimodifikasi: merokok, obesitas, dislipidemia, hipertensi, diabetes mellitus.

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Nyeri dada, napas pendek, letih, lemah, berkurangnya kapasitas aktivitas, palpitasi, kaki bengkak, berat badan turun, gejala yang berkaitan dengan faktor risiko seperti DM dan hipertensi. 3 Pemeriksaan Fisik

Dapat ditemukan hipo/hipertensi, S4/S3 gallop, murmur, edema tungkai, dan pemeriksaan fisik lain yang berkaitan dengan faktor risiko. 3 Pemeriksaan Penunjang



Darah: Darah lengkap, profillipid, hemoglobinAtc' gula darah



Elektrokardiografi: inversi gelombang T pada lead aVL



Stress testing



Ekokardiografi



Arteriografi jika ditemukan hasil tes risiko tinggi yaitu pada Tes Treadmill

ditemukan depresi ST recovery~ ~

~

2 mm atau

~

1 mm pada stage 1 atau di

~

5 lead atau

5 me nit, menurunnya tekanan darah, angina selama latihan, duke score

-11, serta fraksi ejeksi < 35%.

DIAGNOSIS BANDING Penyakit jantung hipertensi, angina pektoris stabil dan tidak stabil, infark miokard. Gambaran EKG T inverted: miokarditis, kardiomiopati.

TATALAKSANA4 Tujuan terapi: tekanan darah ~ 140/90 mmHg, HbA 1 c ~ 7%, kolesterol LDL .:5...100 mg/dL

(~

70 mgjdL pada pasien dengan DM).

Non farmakologis : stop rokok, olahraga 30-60 menitjhari, kurangi berat badan (BMI 21-25 kgjm 2) •

Hipertensi: ACE inhibitor, beta blocker, calcium channel blocker, diuretik



Aspirin 81-162 mgjhari, clopidogrel75 mgjhari, prasugrel



Nitrat



Hiperkolesterolemia : statin

KOMPLIKASI Strok, infark miokard, aritmia.

PROGNOSIS Prognosis tergantung beratnya penyakit.

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular



RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

REFERENSI 1.

Coronary artery disease definition. Diunduh dari : http:/ /medical-dictionary.thefreedictionary. com/coronary+artery+disease pad a tanggal 10 juni 2012.

2.

Crawford, MH. Chronic Ischemic Heart Disease. Dalam: Crawford, Michael H. Current Diagnosis & Treatment Cardiology 3'd Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.

3.

Ischemic heart disease in adult. Dalam : Fauci A, Kasper D. Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2011.

4.

The UCLA Comprehensive Atherosclerosis Treatment Program Clinical Practice Guideline. Diunduh dari: www.med.ucla.edu/champ/CHAMP05b.pdf pada tanggal 10 juni 2012

5.

Cardiovascular Disease (ASCVD) Prevention, Screening, and Treatment Guideline. Diunduh dari : http:/ /www.ghc.org/all-sites/guidelines/ascvd.pdf pada tanggal 10 juni 2012.

BRADIARITMA

PENGERTIAN Bradikardia adalah laju denyut jantung kurang dari 60 kalijmenit. Pada orang yang sering berolahraga, laju denyut jantung 50 kalijmenit saat terjaga dapat merupakan hal yang normal. Sinus bradikardia yang penting secara klinis umumnya didefinisikan sebagai laju denyut jantung kurang dari 45 kalijmenit yang menetap saat terjaga. Disfungsi nodus sinus/ sinus node dysfunction (SND), atau lebih dikenal dengan sick sinus syndrome (S~S), dapat juga merupakan manifestasi dari kegagalan akselerasi laju sinus (kurangnya respons kronotropik) dalam situasi seperti olahraga, gagal jantung, demam, obat simpatomimetik, atau parasimpatolitik. Sangat penting untuk menentukan bahwa SND termasuk sinus bradikardia pad a seorang individu bukanlah akibat sekunder dari obat kardioaktif seperti ~-blockers a tau calcium-channel blockers non dihydropyridine. 1 Klasifikasi bradiaritmia secara umum dapat dilihat pada tabell. Tabell. Klasifikasi Bradikardia' Disfungsi nodus sinus/sinus node dysfunction (SND) • Sinus bradikardia <45 kali/menit • Sinoatrial exit block (SA block) : derajat satu, derajat duo, derajat tiga • Sinus arrest • Bradycardia-tachycardia syndrome Blok atrioventrikular (A V block.) • Derajat satu • Derajat duo: Mobitz tipe I (fenomena Weckenbach), Mobitz tipe IL derajat lebih tinggi (contoh 2:1, 3:1) • Derajat tiga (blok total) : atrioventricular node, sistem His-Purkinje

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 1·2 • Gejala bradikardia: pusing, Ielah, exertional dyspnea, perburukan gagal jantung, lightheadedness (presinkop), atau pingsanjsinkop



Sindrom nervus vagus: episode vasovagal, muntah, bedah abdomen, prosedur invasif saluran cerna atas dan bawah



Penyakit komoabid: penyakit jantung koroner, iskemik atau infark miokard,

tumor intrakranial, tumor servikal dan mediastinum, peningkatan tekanan intrakranial, hipoksia berat, myxedema, hipotermia, perubahan fibrodegeneratif, fase konvalesens dari infeksi tertentu, depresi mental, sepsis gram negatif •

Riwayat konsumsi obat digitalis, antiaritmia



Riwayat penyakit infeksi (mis. Penyakit Chagas, meningitis)



Pasca bedah jantung dengan trauma pada sinus node



Riwayat operasi mata, arteriografi koroner

Pemeriksaan Fisik1.2



Tekanan darah, nadi: dapat ditemukan bradikardia, takikardia (pada bradycardia-

tachycardia syndrome). •

Stimulasi sinus karotis: masase karotis dilakukan saat pasien supine dan nyaman, dengan kepala menengok ke arah yang berlawanan dengan sisi yang distimulasi. Auskultasi bruit karotis perlahan-lahan sebelum dilakukan masase karena dapat terjadi emboli akibat masase. Palpasi sinus karotis pada bifurkasio arteri dengan 2 jari, pad a sudut rahang sampai pulsasi yang bagus teraba. Dengan tekanan minimal dapat menginduksi reaksi hipersensitivitas pada individu yang terkena. Apabila tidak ada efek inisial, gerakan jari memutar atau sisi-demi-sisi (side-by-side) di atas bifurkasio arteri dilakukan seiama 5 detik. Respons negatif adalah kurangnya efek pad a EKG setelah penekanan adekuat selama 5 detik yang menyebabkan rasa tidak nyaman yang ringan (tidak ada penurunan laju denyut nadi ~20%). Karena respons masase dapat berbeda pad a kedua sisi, maneuver ini dapat dilakukan pada sisi kontralateral, akan tetapi kedua sisi tidak boleh dirangsang secara bersamaan.



Temuan fisik lain sugestif penyakit struktural jantung.

Pemeriksaan Penunjang 1• 3



EKG 12 sadapan. Interpretasi EKG dapat dilihat pada tabel 2.



Ambulatory monitoring, Holter monitors (lebih lengkap lihat pada bab prosedur Holter Monitoring), event monitors, implantable loop recorders



Tilt table testing: untuk menyingkirkan diagnosis sinkop neurokardiogenik



Sulphate Atropine test



Studi elektrofisiologis



Ekokardiografi



Exercise testing

label 2. lnterpretasi EKG pada bradiaritmia 1•3

Sinus bradikardia

Laju denyut nodi <60 kali/menit, hilangnya aktivitas sinus mendadak (gelombang P tidak ada), kontur gelombang P normal dan te~adi sebelum kompleks QRS, biasanya dengan interval PR konstan > 120 milidetik (ms). Terkadang bersamaan dengan sinus aritmia.

SA block derajat II tipe I

Interval PP memendek secara progresif setelah jed a I pause, dan siklus berulang.

SA block derajat II tipe II

Gelombang P menghilang tiba-tiba, dan jeda sepanjang kelipatan interval PP

SA block derajat Ill

Gelombang P sinus menghilang seluruhnya

Sinus arrest

Jeda gelombang P yang hilang bukan merupakan kelipatan dari interval PP

Bradycardia-tachycardia syndrome

Sinus bradikardia dan atrial takiaritmia muncul bergantian (alternating). Dapat juga muncul atrial takikardia, atrial flutter, fibrilasi atrial

biiP~IR!~t~!SJYlQit~f:1i!~WJ~~!!Ii~t~~l&~~~il~m~i~~!\~~l~\'~~~~~~i~\~~Iit£Z4!~¥&f:~\!~t~1 Derajat satu

Interval PR >200 ms, semua impuls atrium terkonduksi (1 :1)

Derajat duo Mobitz tipe I

tPR progresif hingga tidak ada konduksi impuls ("grouped beating"), tinterval RR, durasi jed a <2x yang mendahului interval RR

Derajat duo Mobitz tipe II

Blok impuls sesekali atau berulang dengan interval PR konsisten

Derajat Ill (blok total)

Tidak ada konduksi A V

DIAGNOSIS BANDING Sinus bradikardia fungsional, peningkatan rangsangvagal, kondisi gastrointestinal dan neurologis, sinkop neurokardiogenik, hipersensitivitas sinus karotis (carotid sinus

syndrome/ collar syndrome, inflamasi (perikarditis, miokarditis, penyakit jantung reumatik, penyakit Lyme), iatrogenik, pasca operasi, penyakit jantung kongenital, penyakit infeksi. 1•3.4

TATALAKSANA •

Apabila tanpa gejala (asimptomatik) -7 terapi tidak diperlukan 1



Manajemen SND dan blok AV derajat II dan III :atropine 1 mg IV a tau isoproterenol 1-2 IJ.g/menit infusan, pacu jantung sementara mungkin dibutuhkan 1



Sinus bradikardia: apabila curah jan tung tidak cukup atau bila aritmia berkaitan dengan laju denyut jantung pelan, berikan atropine 0,5 mg IV sebagai dosis inisial, dapat diu lang bila perlu. Pada episode sinus bradikardia simtomatik yang lebih dari

sesaat atau rekuren (mis. saat infark miokard), pacu jantung sementara melalui elektroda transvena lebih disukai daripada terapi obat yang lama atau berulang. Pada sinus bradikardia kronis, pacu jantung permanen mungkin dibutuhkan bila •

ada gejala 2 Sinus aritmia: terapi biasanya tidak diperlukan. Meningkatkan laju denyut jantung dengan olahraga atau obat-obatan umumnya menghilangkan sinus aritmia. Pada pasien simtomatik, palpitasi dapat reda dengan sedatifjpenenang, sedangkan



atropin, efedrin, atau isoproterenol untuk terapi sinus bradikardia 2 BlokAV: pacu jantung buatan semen tara a tau permanen. Eksklusi penyebab blok AV reversibel berdasarkan kondisi hemodinamik pasien. Terapi farmakologis adjuvan seperti atropin a tau isoproterenol mungkin dibutuhkan bila blok berada di AV node. Pacu jantungtranskutaneus sangat efektifpada serangan akut, namun durasi pemakaian sangat tergantung dari kenyamanan pasien dan kegagalan menangkap ventrikel pada penggunaan jangka panjang. Bila pasien memerlukan dukungan pacu jantung lebih dari beberapa menit

~

gunakan pacu jantung

transvena. Sadapan pacu jantung sementara dapat diletakkan pada sistem vena jugularis atau subklavia dan diteruskan ke ventrikel kanan. Pada kebanyakan kasus blokAV node distal tanpa adanya resolusi ~ pacujantungpermanen. 3 Rekomendasi implantasi pacemaker pada disfungsi SA node dapat dilihat pada tabel 3.

BRADIARITMIA PADA USIA LANJUT SND paling sering terjadi pada dekade ketujuh atau kedelapan kehidupan akibat penuaan dari sinus node. Chronotropic incompetence (CI) merupakan suatu kegagalan peningkatan laju denyut jantung saat olahraga. 3 Diagnosis CI dapat dipertimbangkan pada pasien yang memiliki keluhan Ielah atau dispneu saat berolahraga tanpa laju denyut jantung meningkat menjadi >100xjmenit (atau lebih tinggi pada pasien usia muda). Selanjutnya dilakukan pemeriksaan formal menggunakan standar Protokol Bruce, modifikasi Protokol Bruce atau Protokol Naughton. Penegakan diagnosis CI didefinisikan sebagai ketidakmampuan jantung untuk mencapai 85% laju denyut jantung maksimal yang diprediksi sesuai umur dan jenis kelamin pada do sis maksimum dobutamin (40 11g/kgjmenit) yang digunakan pada studi dobutamine stress test. 5

label 3. Rekomendasi lmplantasi Pacemaker pcida Disfungsi SA Node 3 Kelas 1

1. Disfungsi SA node dengan bradikardia simptomatik atau jeda sinus (sinus pauses) 2. Disfungsi SA node simtomatik sebagai akibat dari terapi obat esensial jangka panjang tanpa alternatif yang do pat diterima 3. Simptomatik chronotropic incompetence 4. Fibrilasi atrial dengan bradikardia dan jeda > 5 detik Kelas lla

1. Disfungsi SA node dengan laju denyut jantung <40 x/menit tanpa hubungan yang jelas dan konsisten antara bradikardia dan gejala · 2. Disfungsi SA node dengan laju denyut jan tung <40 x/menit akibat dari terapi obat esensial jangka panjang tanpa alternatif yang dapat diterima, tanpa hubungan yang jelas dan konsisten antara bradikardia dan gejala 3. Sinkop tanpa sebab yang diketahui soot abnomalitas disfungsi SA node diketahui atau diprovokasi oleh pemeriksaan elektrofisiologis Kelas lib

1. Pasien simtomatik ring an dengan laju denyut jantung <40 x/menit soot terjaga Kelas Ill

1. Disfungsi SA node pad a pasien simptomatik, meskipun laju denyut jantung <40 x/menit 2. Disfungsi SA node'pada gejala sugestif bradikardia yang tidak berhubungan dengan laju denyut jantung lambat 3. Disfungsi SA node pada bradikardia simtomatik akibat terapi obat non-esensial Keterangan : Kelas Kelas Kelas Kelas

I : keunlungan jauh melebihi risiko prosedur dan prosedur dinilai efeklif sebagai terapi IIa : keuntungan melebihi risiko prosedur dan prosedur kemungkinan besar efektif sebagai !era pi lib : keuntungan mungkin melebihi risiko prosedur dan kegunaan prosedur sebagai lerapi tidak tentu efeklif Ill : risiko mungkin melebihi keunlungan prosedur dan prosedur tidak direkomendasikan unluk dikerjakan

KOMPUKASI Pacemaker syndrome, takikardia terkait pacu jantung. 3 PROGNOSIS Beberapa penelitian6•7 mengevaluasi morbiditas dan mortalitas pasien dengan SSS yang menggunakan berbagai mode pacu jantung. Bila dibandingkan dengan pacu ventrikel, pacu atrium berkaitan dengan insidens komplikasi tromboemboli, atrial fibrilasi, gagal jantung, mortalitas kardiovaskular, dan morbiditas totallebih rendah. 8•9 Pasien dengan SSS dengan gejala sinus bradikardia saja, memiliki prognosis yang lebih baik. 4 UNITYANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan • RS non pendidikan

REFERENSI 1.

Akhtar M. Cardiac Arrythmias with Supraventricular Origin.ln: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23rd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.

2.

Olgin J. Specific Arrhythmias: Diagnosis and Treatment. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL, Zipes DP. Braunwald's Heart Disease. 9th Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2012.

3.

Spragg D. The Bradyarrythmias. In :Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.

4.

Adan V, Crown L. Diagnosis and Treatment of Sick Sinus Syndrome. Am Fam Physician. 2003 Apr 15;67(8):1725-1732.

5.

Elhendy A, Domburg RT, Box JJ, et al. The functional significance of chronotropic incompetence during dobutamine stress test. Heart 1999;81 :398-403

6.

Lamas GA. Lee K, Sweeney M, Leon A, Yee R, Ellenbogen K, et al. The mode selection trial (MOST) in sinus node dysfunction: design, rationale, and baseline characteristics of the first 1000 patients. Am Heart J. 2000; 140:541-51 .

7.

Tang CY, Kerr CR, Connolly SJ. Clinical trials of pacing mode selection. Cardiol Clin. 2000;18:1-23.

8.

Mangrum JM, DiMarco JP. The evaluation and management of bradycardia. N Eng! J Med. 2000;342:703--9.

9.

Andersen HR, Nielsen JC, Thomsen PE, Thuesen L, Mortensen PT, Vesterlund T, et al. Longterm follow-up of patients from a randomised trial of atrial versus ventricular pacing for sick-sinus syndrome. Lancet. 1997;350:121 0-6.

TAKIARITMIA

PENGERTIAN Sinus takikardia didefinisikan sebagai peningkatan laju denyut sinus> 100xjmenit sebagai respons stimulus fisiologis sesuai (mis. olahraga) atau stimulus berlebihan (mis. hipertiroidisme ). Kegagalan mekanisme yang mengatur laju denyut sinus dapat menyebabkan sinus takikardia yang tidak sesuai. Penyebabnya antara lain pireksia, hipovolemia, atau anemia, yang dapat berasal dari infeksi. Obat-obatan yang dapat menginduksi sinus takikardia termasuk stimulan (kafein, alkohol, nikotin); komponen yang diresepkan (salbutamol, aminofilin, atropine, katekolamin); terapi antikanker (doxorubicin/adriamycin, daunorubicin); dan beberapa obat rekreasionaljilisit (amfetamin, kokain, kanabis, "ecstasy'V Istilah takiaritmia umumnya merujuk pada bentuk takikardia berkelanjutan (sustained) atau tidak (nonsustained), yang berasal dari fokus miokardial atau sirkuit reentrant. 2 Takiaritmia supraventrikular dapat terjadi tunggal atau sebagai kompleks

prematur berturut-turut atau dalam bentuk takikardia sustained atau nonsustained. Definisi nonsustained tachycardia adalah suatu aritmia dengan laju denyut jantung >100xjmenit

yang berlangsung;:: 3x namun bertahan <30 detik. Sustained tachycardia adalah episode pemanjangan takikardia yang berlangsung sedikitnya 30 detik atau diterminasi lebih awal dengan intervensi, seperti obat-obatan intravena, overdrive pacing, atau direct current electrical cardioversion karena situasi yang mendesak (urgentP

Penting untuk membedakan takikardia ventrikular (VT) dari SVT dengan konduksi intraventrikular abberant karena (a) VT umumnya lebih berat (meskipun SVT dapat juga mencetuskan iskemia akut atau gagal jantung), dan (b) terapi lini pertama SVT seperti

~-blocker

dan calcium-channel blocker (CCB) dapat mencetuskan kolaps

hemodinamik pada pasien VT. SVT pada pasien dengan bundle branch block (BBB) dapat diidentifikasi dengan ketidaksesuaian QRS pada sadapan dada (kompleks positifpredominan pada V1-V2 hanya dengan right bundle branch block (RBBB), dan left bundle branch block (LBBB) hanya pada VS-V6. Sementara takikardia pacemakerdependent diidentifikasi berdasarkan pacemaker spikes dan adanya generator pacemaker pada pemeriksaan klinis dan radiologis. 4

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 1-3.5•6



Palpitasi, melambatnya nadi atau pusing akibat denyut prematur, dengan takiaritmia cepat dapat terjadi gangguan hemodinamik seperti pusing a tau pingsan akibat penurunan curah jantung atau sulit bernapas.



Terkadang dapat terjadi rasa tidak nyaman pada dada yang menyerupai gejala iskemi miokard.



Kegagalan hemodinamik dengan berkembangnya fibrilasi ventrikel dapat menyebabkan kematian mendadakjsudden cardiac death (SCD).



Kondisi jantung komorbid umumnya menentukan derajat keparahan gejala pada laju jantung tertentu.



Riwayat penyakit komorbid seperti hipertiroidisme.



Perlu juga ditanyakan riwayat konsumsi obat-obatan stimulan (kafein, alkohol, nikotin); komponen yang diresepkan (salbutamol, aminofilin, atropine, katekolamin); terapi antikanker (doxorubicin/ Adriamycin, daunorubicin); dan obat adiktif (amfetamin, kokain, kanabis, "ecstasy')

Pemeriksaan Fisik3·5 ·6



Maneuver fisik saat takikardia : maneuver Valsava atau masase sinus karotis dapat menyebabkan peningkatan tonus vagal sementara; takiaritmia yang bergantung pada nodus AV untuk kontinuasi dapat berhenti atau melambat dengan maneuver ini, namun dapat juga tidak ada perubahan. Takikardia atrium fokal sesekali berhenti karena respons stimulasi vagal, begitu juga takikardi ventrikel yang jarang. Takikardia sinus sedikit melambat mengikuti stimulasi vagal, dan kembali ke laju semula langsung setelahnya; respon ventrikel saat fluter dan fibrilasi atrium dan takikardia atrium lainnya dapat menurun dengan jelas. Selama takikardia QRS lebar 1:1 hubungan antara gelombang P dengan kompleks QRS, pengaruh vagal dapat menggentikan atau memperlambat takikardia supraventrikular (SVT) yang tergantung pada nodus AV; sebaliknya efek vagal pada nodus AV dapat memblok konduksi retrograd sementara dan menegakkan diagnosis VT yang menunjukkan disosiasi AV. Efek dari maneuver ini hanya bertahan beberapa detik; sehingga pemantauan adanya perubahan pada EKG saat

• •

maneuver ini dilakukan seringkali tidak dianggap Stimulasi sinus karotis (lebih lengkap lihat pada bab Bradiaritmia)

Temuan fisik sugestif penyakit struktural jantung (lebih lengkap lihat pada bab Bradiaritmia)

Pemeriksaan Penunjang2 ·3·5



Laboratorium (sesuai indikasi) : tes fungsi tiroid, elektrolit, urinalisis untuk obat ilisit



EKG 12 sadapan untuk mengkonfirmasi aritmia. Hasil ritme sinus harus dinilai

secara hati-hati pacta pasien tanpa penyakit jantung struktural untuk bukti adanya elevasi segmen ST pacta V1 dan V2 yang konsisten dengan Brugada syndrome, perubahan interval QT yang konsisten dengan long or short QT syndromes, atau interval PR pendek dan gelombang delta yang konsisten dengan Wolff-ParkinsonWhite (WPW) syndrome. Pola EKG ini mengidentifikasi kemungkinan substrat aritmogenikyang dapat mengancam nyawa dan membutuhkan evaluasi dan terapi lebih lanjut. Interpretasi EKG pacta SVT dapat dilihat pacta tabell. •

Holter monitoring selama 24 jam sebaiknya dipertimbangkan pacta pasien dengan

gejala harian, event monitor (King of Hearts) apabila gejala mingguan •

Rawat inap dan pemeriksaan elektrofisiologis pacta pasien dengan penyakit jantung struktural dan sinkop yang dicurigai takikardia ventrikel dengan pertimbangan kuat alat implantable cardioverterjdefibrillator (/CD).



Penilaian ukuran dan fungsi ventrikel kiri dan kanan dengan ekokardiografi pacta pasien takikardia ventrikel.

Tabell. lnterpretasi EKG pada Takikardia Supraventrikular3

tir-lt-~ErYLT£11-.~llflliili:~IJtJBJ~~w~~ Takikardia atrium

Positif di II, Ill, aVF Takikardia sinus Regular Sinus node re-entry Positif di II, Ill, aVF Regular Takikardia atrium, unifokal P berbeda dari sinus Regular Takikardia atrium, multifokal P berbeda ~3 !regular Regular. iregular bila Gelombang fluter sawtooth; bentuk Fluter atrium. common, gelombang regular; negatif di II, Ill, aVF blok A V varia bel counterclockwise Fluter atrium, uncommon, Regular, iregular bila Gelombang fluter upright; positif di II. Ill, aVF blok AV varia bel clockwise Fibrilasi atrium Irregularly irregular Gelombang fibrilasi iregular Takikardia AV junctional AV re-entry {menggunakan accessory pathway) Regular P retrograd pada gelombang ST-T Orthodromik Antidromik Regular preeksitasi P retrograd, RP pendek Kondtiksilambat~ ···--~~ · -·~·-·-···---- :--·-Regular·-··-· ---P·retrograd-pada·akhirgelombang·f·atauberikutnya (RP panjang) Regular preeksitasi P retrograd, RP pendek A triofasikular (antidromik) A V nodal re-entry P retrograd yang ditutupi oleh QRS atau Common (slow-fast) Regular perubahan pada akhir QRS (RP pendek) Uncommon (fast-slow) . . Regular . P retrograd pada akhir gelombang _T atau

---- -------------

------------------------------~----~:,-enf
Lainnya (slow-slow)

Regular

PR-RP hampir soma

····- ·--

·-

~~~~:~;~;"i" ~,;,;~";;.~."·~,:,;.'; l;1; ::" ;:,.l·; .•~,~r~~.~~ilg9~ti:!~tg.~{~t~;!~~~~~.,;l~,j~.;~~~~,;•;.k~!:!:rtP.'2sts~.'.Pcro~~.tt9?P;,,•.t•\L~ '''"~~>si Takikardiajunctional nonparoksismal* Takikardia junctional otomatis*

Regular, slow rate

Disosiasi AV

Regular

Disosiasi A V

Keterangan : *lokasi asal biasanya berasal dari infranodal, AV = atrioventrikular

Evaluasi pasien dengan palpitasi, pre-sinkop, dan/atau sinkop

Penyakit jantung struktural? (P JK, kardiomiopati. penyakit katup)

Rujuk ke studi elektrofisiologi (EP study)

Anamnesa, EKG, echo, exercise testing

Kemungkinan lCD Co

lndak Tift table testing, ambulatory monitoring, rujuk ke studi EP bila rekuren

Ya

I+-

Baseline EKG normal?

Tidak.l

1 [

Pre-eksitasi (WPW)

1 atau 2 A V block atau QRS Iebar

1 Mungkin SVT

I

Mungkin bradiaritmia

1

Rujuk ke studi EP Ablasi

ke studi EP I I I Rujuk Pacu jantung

Bagaimana ___.., kelainannya?

I

1

+

Long QT (LQTS) Tanda Brugada Epsilon wave/R' Vl (ARVD)

[

l lnfark lama

l l-



Mungkin sindrom SCD yang diturunkan

~

I Kemungkinan Rujuk ke studi EP I lCD 1

Keterangan : Echo= ekokardiografi. WPW =Wolff-Parkinson-White, lCD =implantable cardioverter-defibrillator. PJK = penyakit jantung koroner, ARVD= arrythmogenic right ventricular dysplasia, AV = atrioventikular, SCD = sudden cardiac death, LQTS = Long QT syndrome

Gombar 1. Algoritma evaluasi pasien dengan gejala palpitasi, pusing, dan/atau sinkop 4

Kriteria diagnosis takikardia sinus berdasarkan metode invasif dan non-invasif (ACC/ AHA/ESC 2003) :1



Adanya takikardia sinus persisten (laju denyut jantung >100xfmenit) saat siang hari dengan peningkatan laju berlebihan dalam merespons aktivitas dan normalisasi laju denyut jantung pada malam hari yang dikonfirmasi dengan monitor Holter selama 24 jam.



Takikardia dan gejalanya bersifat non-paroksismal.



Morfologi gelombang P dan aktivasi endokardium identik dengan ritme sinus.



Eksklusi penyebab sekunder sistemik (mis. hipertiroidisme, feokromositoma, physical deconditioning)

DIAGNOSIS BANDING

Hipertiroidisme, tirotoksikosis, feokromositoma, sindrom Brugada, sindrom WolffParkinson-White, sindrom long QTY TATALAKSANA

Tatalaksana primer takikardia sinus yaitu identifikasi penyebab serta mengeliminasi atau mengobatinya. Beta blocker dapat menjadi sangat berguna dan efektifpada takikardia sinus simptomatis fisiologis yang dipicu oleh stres emosional, dan gangguan lain terkait ansietas; manfaat prognostik pasca infark miokard; simptomatis dan manfaat prognostik pada kondisi lain dengan etiologi sinus takikardia ireversibel seperti gagal jantung kongestif; dan tirotoksikosis simptomatis yang dikombinasikan dengan carbimazole atau propylthiouracyl (PTU). Nondihydropyridine calcium-channel blockers, seperti dilitiazem a tau verapamil, dapat bermanfaat pada pasien tirotoksikosis simptomatis apabila beta blocker dikontraindikasikan. 1 Terapi SVT dapat dilihat pada tabel 2. Tatalaksana AF dapat dilihat pada tabel 3. Tabel 2. Tatalaksana SVT1•3·5

i;: ~'~ti,k:zii;::~fii!ttm~~~&:.n~:.f,~:::: l[t,:~;•. ;i:~~'~if;;:,~;;J~f.qpJ:;g.~IJJ;;si.i,\~:~~·~:~'~:x;';~,(;;)1:£i;: i;!i1!:t~l;JtiJM9!<2tJi.~6J9n9.1Rt,;0•. ~~~,J Tidak stabil

Kardioversi per ACLS

n/a

Takikardia sinus

Terapi stresor pencetus

n/a

Takikardia atrium

[)-blocker, CCB, atau amiodaron

[)-blocker atau CCB, dengan/ tanpa antiaritmia, RFA**

AVNRTatau AVRT

Maneuver vagal, adenosine (hati-hati pada AVRT*), CCB, atau [)-blocker

Untuk AVNRT: RFA CCB atau [)-blocker (kronis atau prn) dengan/tanpa antiaritmia kelas IC (bila jantung normal)

NPJt

CcB. ~~blOCker. OmTodaron

i'erapi penyakitprirner (mis. intoksikasi digitalis, iskemia)

··. h•\. M·~i.~.tijtn'f~:§~.· ~~~r-i\~'i'':i~:,_;l~.~~\~~¥;OC~\l'~gati&J~:~~~ii~i-i~~~~$:k~1~~~~7.!ilRi11~6gki:lli~:giJ{i!~Sir~~~~~1.:.1 Fibrllasi atrium

13-b/ocker, CCB, digoxin, AAD

Lihat "fibrilasi atrium"

Fluter atrium

13-b/ocker, CCB, digoxin, AAD

RFA, 13-b/ocker atau CCB, dengan/ tanpa antiaritmia

Taklkardia atrium multlfokal

CCB atau 13-blocker bila ditoleransi

Terapi penyakit primer, ablasi A V node + paeu jantung permanen

Keterangan: *Hindari adenosin dan agen nodus pada WPW karena dopa! mencetuskan fibrilasi atrium. siapkan defibrilator **Ablasi kateter memiliki tingkat kesuksesan tinggi pada fluter atrium/AVNRT -95%, fibrilasi atrium -80% n/a = tidak tersedia, CCB =calcium-channel blockers, RFA = radiofrequency ablation, AVNRT =atrioventricular nodal reentrant tachycardia, AVRT =atrioventricular reciprocating tachycardia. NP JT =non paroxysmal junctional tachycardia, prn = bila perlu

label 3. Tatalaksana Fibrilasi Atrium (AF) pada seting akut 6

Tanpa accessory pathway

.._

11u

Esmolol*

500 meg/kg IV dim 1 mnt

5 mnt

60-200 meg/kg/ mnt IV

J..BP, HB, J.HR, asma, HF

-9 c!l.

Metoprolol

2,5-5 mg IV bolus dim 2 mnt, dapat diulang 3x tiap 5 mnt

5 mnt

n/a

J.BP, HB, J.HR, asma, HF

Propanolol

0,15 mg/kg IV

5 mnt

n/a

J..BP, HB, J.HR, asma, HF

Diltiazem

0,25 mg/kg IV dim 2mnt

2-7 mnt

5-15 mg/jam IV

J.BP, HB, HF

Verapamil

0,075-0,15 mg/ kg IV dim 2 mnt

3-5 mnt

n/a

J.BP,HB,HF

.2

ell

u u

Dengan accessory pathway

Amiodaron**

150 mg dim 10 mnt PO'"

Berharihari

0,5-1 mg/menit IV

J.BP, HB, toksisitas paru, diskolorasi kulit, hipotiroidisme, deposit kornea, neuropati optikus, interaksi warfarin, bradikardia

Pada gagal jantung & tanpa accessory pathway

Digoxin

0,25 mg IV tiap 2 jam hingga 1,5mg

Amiodaron** · ·- -lsOmg dlmlO mnt

<:60 me nit Berharichari

0,125-0,375 mg/ hari IV atau PO

Toksisitas digitalis, HB, J.HR

0~5°1-mg/menit

-J,BP; HB, toksisitas paru, diskolorasi kulit, hipotiroidisme, deposit kornea, neuropati optikus, interaksi warfarin, bradikardia

IV

Keterangan: *Onset bervariasi dan beberapa efek terjadi lebih awoL Obal disusun berdasarkan susunan alfabel "Amiodaron dopa! digunakan untuk mengontrollaju denyut jantung pada AF apabila lindakan lainnya lidak berhasil atau dikontraindikasikan ' " Apabila rilme lidak dopa! dikonversi a tau diablasi. namun konlrollaju de nyu! jantung diperlukan. amiodaron IV dianjurkan eBP = hipotensi. HB =heart block, eHR = bradikardia, HF = gagal jantung, n/a =not applicable

Tabel 4. Terapi Pemeliharaan AF Kronis dan pada Seting Non-akut6

·•?:. ,;~, ;

,'AsJ~~\;ii5ii,~P/~.~·0;;:~~,{~o:q~l,9i4P'f~ll~~~.;:,.g>,Jii~~t&i~\'i~i'.':l::~,m~XIti~~~P·Jt,.···l:·' •.,'i'~~~~~~ijmR!b9r:··.·•··i Metoprolol

Soma dengan dosis pemeliharaan

4-6 jam

2 x 25-100 mg/ hari PO

J-BP, HB, J-HR, asma, HF

Propanolol

Soma dengan dosis pemeliharaan

60-90 mnt

80-240 mg/ hari terbagi dim beberapa dosis, PO

J-BP, HB, J-HR, asma, HF

Diltiazem

Soma dengan dosis pemeliharaan

2-4jam

120-360 mg/ hari terbagi dim beberapa dosis; tersedia slow release, PO

J-BP, HB, HF

Verapamil

Sam a dengan dosis pemeliharaan

1-2jam

120-360 mg/ hari terbagi dim beberapa dosis; tersedia slow release, PO

J-BP, HB, HF, interaksi digoxin

._ ~ u _Q

.!? tO..

co

(.) (.)

Pada gagal jantung & tanpa accessory pathway

Digoxin

0,5 mg/hari PO

2 hari

0,125-0,375 mg/ hari PO

Toksisitas digitalis, HB,J.HR

Amiodaron**

800 mg/hari PO selama 1 minggu, 600 mg/hari PO selama 1 minggu, 400 mg/hari PO selama 4-6 minggu

1-3 minggu

200 mg/hari PO

J.BP, HB, toksisitas paru, diskolorasi kulit, hipotiroidisme, deposit kornea, neuropati optikus, interaksi warfarin, bradikardia

Keterangan: 'Onset bervariasi dan beberapa efek terjadi lebih awoL Obat disusun berdasarkan susunan alfabet "Amiodaron do pat digunakan untuk mengontrol laju denyut jantung pad a AF apabila tindakan lainnya tidak berhasil atau dikontroindikasikan .i.BP = hipotensi. HB =heart block, .i.HR = bradikardia, HF =gaga/ jantung

Pencegahan tromboemboli pada AF 6 •

Terapi antitrombotik diberikan pada semua pasien dengan AF, kecuali pasien dengan lone AF atau memiliki kontraindikasi



Pemilihan agen antitrombotik sebaiknya berdasarkan risiko absolut stroke dan perdarahan, dan risiko relatif dan manfaat pemberian bagi pasien



Pada pasien tanpa katup jantung mekanis dengan risiko tinggi stroke, terapi antikoagulan kronis dengan antagonis vitamin K dianjurkan pada do sis penyesuaian untuk mencapai target INR 2,0-3,0 kecuali dikontraindikasikan



Pada pasien dengan katup jantung mekanis, target intensitas antikoagulan sebaiknya berdasarkan tipe prostetik dengan pemeliharaan INR sedikitnya 2,5



INR sebaiknya diperiksa sedikitnya setiap minggu selama inisiasi terapi dan bulanan setelah antikoagulasi stabil



Aspirin 81-325 mgjhari dianjurkan sebagai alternatif antagonis vitamin K pada pasien risiko rendah atau pada pasien dengan kontraindikasi oral antikoagulasi

label 5. Pilihan Terapi pada VT4

Elektrik

+(DCC)

+(DCC)

+1 (DCC)

+ (ICD 4 )

+

+

Farmakologis Obat antiaritmia

+

+

Non-obat antiaritmia

+2

+2

Revaskularisasi koroner

-

+3

+3

+

+3

-

+

Ablasi

Keterangan: 1 Biasanya bukan merupakan terapi pilihan pertama 'Atropin, adrenalin untuk cardiac arrest; magnesium sulfate, isoproterenol untuk torsades des pointes 'Biasanya VT tidak merespon terapi medis soja, dan memerlukan revaskularisasi koroner emergensi atau RFA DCC =direct current cardioversion; lCD =implantable cardioverter defibrillator

KOMPLIKASI Tromboemboli, gagal jantung, kematian mendadak. 6 PROGNOSIS Tergantung penyebab, berat gejala dan respons terapi UNITY ANG MENANGANI RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular • RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam •

UNIT TERKAIT RS Pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Medical High Care/ ICCU • RS non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, ICCU •

REFERENSI 1.

Blomstrom-Lundqvist C, et al. ACC/AHA/ESC guidelines for the management of patients with supraventricular arrhythmias: a report of the American college of cardiology/American heart association task force on practice guidelines and the European society of cardiology committee for practice guidelines (writing committee to develop guidelines for the management of patients with supraventricular arrhythmias) Developed in Collaboration with NASPE-Heart Rhythm Society. JAm Coli Cardiol. 2003; 42:1493-1531

2.

Marchlinski F. The Tachyarrythmias. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.

3.

Akhtar M. Cardiac Arrythmias with Supraventricular Origin. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23rd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.

4.

Adelmann GA. Rhythm and Conduction Disorders. In: Cardiology Essentials in Clinical Practice. London. Springer-Verlag. 2011

5.

Olgin J. Approach to the Patient With Suspected Arrythmia.ln: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23rd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.

6.

Olgin J, Zipes DP. Specific Arrhythmias: Diagnosis and Treatment. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL Zipes DP. Braunwald's Heart Disease. 9th Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2012.

7.

Fuster V, et al. 2011 ACCF/AHA/HRS Focused Updates Incorporated Into the ACC/AHA/ESC 2006 Guidelines for the Management of Patients With Atrial Fibrillation: A Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines. Circulation 2011; 123:e269- e367.

CARDIAC ARREST

PENGERTIAN Cardiac arrest didefinisikan sebagai berhentinya fungsi mekanis jantung secara mendadak, yang mungkin dapat reversibel dengan intervensi cepat namun dapat menyebabkan kematian apabila tidak ada intervensi,l

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 1

Didapatkan secara aloanamnesis. Dapat diawali dengan riwayat peningkatan angina, dispneu, palpitasi, mudah lelah, dan keluhan tidak spesifik lainnya. Akan tetapi gejala prodromal umumnya prediktif untuk penyakit jantung, namun tidak spesifik untuk memprediksi sudden cardiac death (SCD). Pemeriksaan FisikU



Nadi tidak teraba

Pemeriksaan Penunjang 1·2



EKG : dapat ditemukan fibrilasi ventrikel, takikardia ventrikel, artifak EKG yang mirip dengan fibrilasi ventrikel, left bundle branch block baru

DIAGNOSIS BANDING Hipovolemia, hipoksia, asidosis, hipokalemia/hiperkalemia, hipotermia, tension

pneumothorax, tamponade jantung, toksin, trombosis paru, trombosis koroner. 2

TATALAKSANA Tatalaksana cardiac arrest dapat dilihat pada gam bar 1.

Panduan Praktik llinis

Perhimpunan Ookter sPesiatis·'P9nyakit Dotam lndohe~i~

Cardiac arrest dewasa Kualitas CPR

Mulai CPR berikan oksigen, tempelkan monitor/defibrilator

o

o o o

o

o

Tekan 5 em dan cepat (~100x/ menit), allow complete chest recoil Kurangi interupsi soot kompresi Hindari ventilasi berlebihan Rotasi kompresor tiap 2 menit Bila tidak ada advanced airway, gunakan rasio kompresi-ventilasi 30:2 Kapnografi kuantitatif: bila PETC02 <10 mmHg, tingkatkan kualitas CPR Tekanan intraarteri: bila tekanan lase relaksasi (diastolik) <20 mmHg, tingkatkan kualitas CPR

Return of Spontaneous Circulation (ROSC) o o

o

Nodi dan tekanan darah Kenaikan PET C02 ~40 mmHg berkelanjutan Gelombang tekanan arteri spantan dengan monitor intraarterial

Shock energy o Bifasik: dosis inisial 120-200 J; bila

o

tidak diketahui, gunakan dosis maksimum yang tersedia. Dosis kedua dan selanjutnya sebaiknya ekuivalen atau lebih tinggi Monofasik : 360 J

Terapi obat Epinefrin IV /10 1 mg per 3-5 me nit o Vasopressin IV /10 40 unit dapat

o

menggantikan dosis epinefrin pertama dan kedua Amiodaron IV /10. Dosis pertama 300 mg bolus, dosis kedua 150 mg

Advanced airway o

shockable?

o

12 o

Tanda kembalinya sirkulasi spontan I ROSC (-) -7 lanjut ke 10 atau 11. Bila ROSC (+) -7 post-

cardiac arrest care

Lanjut ke 5 atau 7

lntubasi endotrakeal atau supraglottic advanced airway Kapnografi waveform untuk konfirmasi dan monitor pemasangan ETT RR: 8-1 Ox/me nit dengan kompresi dada kontinu

Etiologi reversibel

-71ihat pada diagnosis banding

Gam bar 1. Algoritma Penanganan Cardiac Arrest (ACLS 201 0) 2

Cardiac Arrest PERAWATAN PASCA RESUSITASI Fase tatalaksana ini ditentukan oleh seting klinis cardiac arrest. Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard akut (tidak diikuti dengan keadaan low-output) umumnya sangat responsif terhadap resusitasi dan mudah dikontrol setelah peristiwa inisial. Dalam seting rumah sakit (RS), dukungan respirator umumnya tidak diperlukan atau hanya diperlukan dalam waktu singkat, dan stabilisasi hemodinamik dilakukan segera setelah defibrilasi atau kardioversi. Pada fibrilasi ventrikel sekunder pada infark miokard akut (abnormalitas hemodinamik yang berpotensi aritmia fatal), us aha resusitasi jarang berhasil, dan pasien yang sukses diresusitasi memiliki rekurensi tinggi. Gambaran klinis dan prognosis didominasi oleh instabilitas hemodinamik dan kemampuan untuk mengontrol disfungsi hemodinamik. Bradiaritmia, asistole, dan pulseless electrical activity (PEA) seringkali merupakan peristiwa sekunder pada pasien dengan hemodinamik tidak stabil. Fase rawat inap dari korban selamat dari cardiac arrest di luar RS ditentukan oleh masalah klinis spesifik. Yang paling sulit adalah adanya ensefalopati anoksia, yang merupakan prediktor kuat kematian dalam RS. Tambahan manajemen terkini dari kondisi ini adalah hipotermia yang diinduksi untuk menurunkan kebutuhan metabolik dan edema serebrai.l KOMPLIKASI Ensefalopati pasca resusitasi, kematian PROGNOSIS Prognosis cardiac arrest di dalam RS terkait penyakit non-kardiak buruk, dan perawatan pasca resusitasi didominasi oleh penyakit komorbid. Pasien dengan kanker stadium akhir, gaga! ginjal, penyakit sistem saraf pusat akut, infeksi tidak terkontrol, memiliki survival rate <10%. 1 UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan : Medical High Care I ICCU • RS non pendidikan : ICCU REFERENSI 1.

Castellanos A, Myerburg RJ. Cardiovascular Collapse, Cardiac Arrest, and Sudden Cardiac Death. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL Hauser SL Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'" Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.

2.

Sinz E, Navarro K, et al. Part 5: Managing VF/Pulseless VT. Advanced Cardiovascular Life Support Provider Manual. American Heart Association. 2011

EKSTRASISTOL VENTRIKULAR

PENGERTIAN Ekstrasistol ventrikular /premature ventricular contractions (PVC) merupakan suatu aritmia yang terlihat jelas pada elektrokardiogram dengan Iebar (umumnya > 120

milidetik) dan morfologi QRS unik, yang terjadi akibat aktivasi atrium secara

independen (gelombang P). PVS dapat terjadi akibat peningkatan automatisitas, aktivitas yang dipicu, atau re-entry. 1 Macam-macam PVC dapat dilihat pada tabell. label 1. Macam-macam PVC 2

f''"t:J~~@r~"~:;;:.p>o:;·~·~;,;··;:r:;:;r§f5'e'il 10/jam). Jumlah >10 vs <10/jam terutama pada pasien dengan penyakit jantung komorbid Mortologi tunggal vs multipel (PVC Mortologi Probabilitas penyakit jantung komorbid uni- vs multifokal) lebih tinggi pada PVC multifokal PVC dapat terjadi secara acak Bila frekuen, dapat menyebabkan Regularitas atau mengikuti suatu polo: PVC tiap palpitasi dan/atau kardiomiopati gelombang ke-2, ke-3, atau ke-4 (bi-, tri-, atau quadrigeminy) Waktu PVC R-on-T dapat memicu VT atau Beberapa PVC sangat prekoksius, VF; PVC prekoksius mempunyai stroke dengan kompleks QRS jatuh pad a gelombang T pada kompleks volume rendah, akibat poor filling, dan sebelumnya (fenomena R-on-T) dapat menyebabkan gejala "missed beats" 2 PVC berturut-turut disebut couplet, 3 Risiko lebih tinggi terjadi aritmia signifikan Clustering pada couplets dan triplets =triplet, disebut "Vfrun" bila HR >100x/ menit. dan "accelerated idioventricular rhythm" bila :s;10Qx/menit Efek pada Absennya depolarisasi sinus node Compensatory pause menyebabkan sinus node retrograd (full compensatory pause) gejala klinis "missed beats" atau ada (incomplete compensatory pause)a Keterangan: oseringkali PVC tidak menyebar secara retrograd ke sinus node, sehingga 2 gelombang P konsekutif gagal mengaktivasi ventrikel: pertama akibat PVC, dan kedua, karena PVC mencapai ventrikel pada periode refrakier post-PVC. Hanya gelombang P ke-3 yang dapat mencapai ventrikel; sehingga jeda post-PVC soma dengan 2x siklus jantung normal [antara gelombang P pertama dank e-3). lni adalah full compensatory pause. Apabila PVC berjalan retrograd dan depolarisasi sinus, selanjulnya akan di-reset, dan compensatory pause menjadi incomplete [namun lebih panjang dari normal, dengan durasi konduksi retrograd); ini merupakan interpolasi dari PVC. VT = lakikardia venlrikel; VF =fibrilasi ventrikel; HR =heart rate

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis1. 3 •

Umumnya asimptomatik



Palpitasi, rasa tidak nyaman pada leher atau dada, sinkop



Pasien akan merasa jantungnya seolah-olah berhenti berdenyut setelah suatu PVC



Pada pasien dengan penyakit jantung dan PVC frekuen jangka panjang, dapat menyebabkan angina, hipotensi, atau gagal jantung



Riwayat penyakit komorbid seperti penyakit jantung struktural (iskemia atau penyakit katup jantung)



Perlu juga ditanyakan riwayat konsumsi obat-obatan digitalis, kebiasaan mengonsumsi tembakau, kafein, alkohol berlebihan

Pemeriksaan Fisikl.3 •

Tekanan darah (dapat ditemukan hipotensi), nadi (dapat ditemukan denyut ektopik yang diikuti dengan long pause), dapat diikuti dengan menurunnya intensitas bunyi jantung, pulse oxymetry (hipoksia dapat memicu PVC)



Gelombang A atau giant A pada pulsasi vena jugularis, splitting bunyi jan tung II, dapat juga terdapat bunyi jantung S3 dan ronki (pada gagal jantung kongestif), hipertensi dan S4 pada PVC dengan hipertensi lama



Temuan neurologis: agitasi dan temuan aktivasi simpatis (dilatasi pupil, kulit kering dan hangat, tremor, takikardia, hipertensi) sugestifkatekolamin sebagai penyebab PVC

Pemeriksaan Penunjangl. 3 •

Laboratorium (sesuai indikasi): elektrolit (terutama kalium dan magnesium), kadar obat digitalis dalam serum darah, skrining obat-obatan



EKG 12 sadapan selama 2 menit dapat membantu untuk menentukan frekuensi ektopi dan merekam PVC infrekuen. Pada EKG dapat ditemukan hipertrofi ventrikel kiri, iskemia jantung aktif (ST depresi atau elevasi, T-inverted), infark miokard sebelumnya (gelombang Q atau hilangnya gelombang R, bundle branch block), gangguan elektrolit (QT memanjang, gelombang T hiperakut), efek obat (QRS melebar, QT memanjang), gambaran morfologi PVC. Derajat keparahan PVC dapat diukur dengan skoring Lown yaitu nilai 0 = tidak ada PVC, 1 = sesekali ( <30/jam), 2 = frekuen (>30/jam), 3 =multiform, 4 = repetitif (A= couplets, B =Salvos atau 2:3), 5 = pola R-on-T. Semakin tinggi nilai Lown, maka PVC makin serius.



Holter monitoring selama 24 jam untuk menentukan kuantitas dan karakteristik PVC.



Ekokardiografi berguna untuk evaluasi fraksi ejeksi, yang berguna untuk menentukan prognosis dan juga mengidentifikasi penyakit katup atau hipertrofi ventrikel.

DIAGNOSIS BANDING Sindrom koroner akut, infark miokard, miokarditis, fibrilasi ventrikel, takikardia ventrikel

TATALAKSANAL3 •

Secara umum tidak perlu diterapi, terutama pacta pasien yang tidak memiliki penyakit jan tung struktural.



Indikasi terapi primer adalah meredakan gejala.



Terapi lini pertama adalah /]-blocker: atenolol 25-100 mgjhari atau metoprolol 50-200 mgjhari. Apabila tidak efektif, amiodaron dapat dipertimbangkan.



Obat antiaritmia kelas I atau kelas III dapat dipertimbangkan, namun potensi untuk proaritmia dan toksisitas organ harus menjadi pertimbangan. Alternatif pada pasien simptomatis, terutama yang tidak memiliki penyakit jantung struktural, adalah ablasi kateter radiofrekuensi (RFA).



PVC yang mengikuti denyut ventrikel lambat dapat dihilangkan dengan meningkatkan laju denyut jantung dasar dengan atropine a tau isoproterenol a tau dengan pacu jan tung, sementara menurunkan HR pada pasien dengan takikardia sinus dapat menghilangkan PVC.



PVC frekuen, meskipun dalam seting infark miokard akut, tidak perlu diterapi, kecuali memberi kontribusi hemodinamik kompromais. Pacta pasien rawat inap dapat diberi lidokain. Apabila dosis maksimum lidokain maksimal tidak berhasil, procainamide IV dapat diberikan. Propranolol dianjurkan bila obat lain tidak berhasil.



Koreksi gangguan elektrolit, gangguan keseimbangan asam basa, dan hipoksia

KOMPLIKASI Takikardia ventrikel, fibrilasi ventrikel, kematian mendadak

PROGNOSIS Tergantung penyebab, beratnya gejala dan respons terapi

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular



RS non pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

REFERENSI 1.

Lerman BB. Ventricular Arrythmias.ln: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23'd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.

2.

Adelmann GA. Rhythm and Conduction Disorders. In :Cardiology Essentials in Clinical Practice. London. Springer-Verlag. 2011

3.

Olgin J, Zipes DP. Ventricular Rhythm Disturbances. In: Libby P, Bonow RO, Mann DL Zipes DP. Braunwald's Heart Disease. 91h Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2012.

GAGAL JANTUNG

PENGERTIAN Merupakan sindrom klinis yang terjadi karena abnormalitas struktur danjatau fungsi jantung yang diturunkan atau didapat sehingga mengganggu kemampuan pompa jantung. Ada beberapa istilah gagal jantung :1 · 4 •

Berdasarkan onset tejadinya: o

Gagal jantung akut: adalah suatu kondisi curah jan tung yang menurun secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer, disebabkan sindrom koroner akut, hipertensi berat, regurgitasi katup akut.

o

Gagal jan tung kronikjkongestif: adalah suatu kondisi patofisiologis terdapat kegagalan jantung memompa darah yang sesuai dengan kebutuhan jaringan, terjadi sejak lama.



Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan keluhan hipoperfusi. Gagal jantung diastolik yaitu gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel a tau disebut juga gagal jantung dengan fraksi ejeksi > SO%.



Gagal jantung kanan dan gagal jantung kiri. Gagal jantung kiri disebabkan kelemahan ventrikel kiri, sehingga meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan paru, sedangkan gagal jantung kanan terjadi akibat kelebihan melemahnya ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer jsekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik.



Low output dan high output heart failure (secara klinis tidak dapat diebdakan) o

Low output heart failure adalah gagal jan tung yang disertai disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan katup dan perikardium.

o

High output heart failure adalah gagal jantung yang disertai penurunan resistensi vaskular sistemik seperti pada hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A-V, beri-beri, dan penyakit Paget.



Berdasarkan klasifikasi NYHA :

Tabel 1. Klasifikasi Gagel Jantung berdasarkan NYHA3.4

Class I

Pasien dengan penyakit jantung tanpa keterbatasan aktivitas. Aktivitas biasa tidak menyebabkan fatigue, dyspnea,atau nyeri angina

Class//

Penderita penyakit jantung dengan keterbatasan ringan pada aktivitas fisik. Aktivitas biasa menyebabkan fatigue, dyspnea,atau nyeri angina; yang hilang dengan istirahat

Class Ill/

Penderita penyakit jantung dengan keterbatasan pada aktivitas fisik. Sedikit aktivitas menyebabkan fatigue, dyspnea,palpitasL atau nyeri angina; yang hilang dengan istirahat

Class IV

Penderita penyakit jantung dengan ketidakmampuan melakukan aktivitas fisik. Keluhan gaga I jantung atau sindroma angina mungkin masih dirasakan meskipun saat istirahat. Jika melakukan aktivitas fisik, rasa tidak nyaman bertambah.

Tabel 2. Penyebab Gagel Jantung Akut5

[ De,kompeiisa~tp:a~a 'gagai jant!i~-g J
Faktor predisposisi non kardiovaskular : pelaksanaan terhadap pengobatan kurang Overload volume lnfeksi Severe brain insult Penurunan fungsi ginjal Asma Penyaldhgurraan obat-

• Penggunaan alkohol • Feokromositoma

Klasifikasi gagal jantung akut2 ·5

Klasifikasi Killip a. Stage I : tidak ada gagal jantung, tidak ada tanda klinis yang menunjukkan dekompensasi kardiak b. Stage II : gagal jantung, kriteria diagnosis : ronki di basal paru, S3 gallop, dan hipertensi vena pulmonal c.

Stage III : gagal jantung be rat yang ditandai adanya edema pulmonal dengan ronki di seluruh lapangan paru.

d. Stage IV : rejatan kardiogenik yang ditandai hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHG), vasokontriksi perifer seperti oligouria, sianosis, dan diaforesis.

Klasifikasi ini dikembangkan untuk pasien dengan infark miokard akut, terdiri dari: 1. Klasifikasi Forrester

Pasien diklasifikasikan berdasarkan hipoperfusi perifer, kongesti pulmonal, hemodinamik, dan meningkatnya tekanan kapiler pulmonal, dikembangkan untuk infark miokard akut 2. Klasifikasi berdasarkan perfusi dan kongesti (Klasifikasi Stevenson): a.

Kategori Forrester 1 (grup A) :warm and dry. Berisiko tinggi menderita gaga! jantung tetapi tanpa kelainan struktur jantung atau tanpa adanya keluhan gaga! jantung

b. Kategori Forrester 2 (grup B): warm and wet. Adanya penyakit struktur jantung tanpa keluhan atau tanda gaga! jantung, PCWP > 18 mmHg c.

Kategori Forrester 3 (grup C) :cold and dry. Adanya penyakit struktur jantung dengan keluhan atau tanda gaga! jantung, hipoperfusi : cardiac index< 2,2

d. Kategori Forrester 4 (grup D) : cold and wet. Gaga! jantung refrakter, kongesti paru dan hipoperfusi 3. Klasifikasi berdasarkan Framingham a. Kriteria major : o

Paroxysmal nocturnal dyspnea

o

Distensi vena leher

o

Ronki paru

o

Kardiomegali

o

Edema paru akut

o

Gallop S3

o

Peninggian tekanan vena jugularis

o

Refluks hepatojugular

b. Kriteria minor ; o

Edema ekstremitas

o

Batuk malam hari

o

Dispnea d'effort

o

Hepatomegali

o

Efusi pleura

o

Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal

o

Takikarida (> 120 kalijmenit)

4. Klasifikasi berdasarkan dominasi jantung yang kiri atau kana yaitu :

a. Forward acute heart failure_ b. Left heart backward failure: yang dominan gagal jantung kiri c.

Right heart backward failure: berhubungan dengan disfungsi paru dan jantung

sebelah kanan.

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Fatigue, dyspnea, shortness of breath. Keluhan dapat berupa keluhan saluran

pencernaan seperti anoreksia, nausea, dan rasa penuh. Jika be rat dapat terjadi konfusi, disorientasi, gangguan pola tidur dan mood. 1 Pemeriksaan Fisik

Posisi pasien dapat tidur terlentang atau duduk jika sesak. Tekanan darah dapat normal atau meningkat pada tahap awal, selanjutnya akan menurun karena disfungsi ventrikel kiri. Penilaian perfusi perifer, suhu kulit, peninggian tekanan pengisian vena, adanya murmur sistolik, murmur diastolik, dan irama gallop perlu dideteksi dalam auskultasi jantung. Kongesti paru ditandai dengan ronki basah pada kedua basal paru. Penilaian vena jugular dapat normal saat istirahat tetapi dapat meningkat dengan adanya tekanan pada abdomen (abdominojugular reflux positif). Pada abdomen adanya hepatomegali merupakan tanda penting pada gagal jantung, asites, ikterus karena fungsi hepar yang terganggu. Edema ekstremitas yang umumnya simetris dapat ditemukan. 1 Pemeriksaan Penunjang



Laboratorium : DPL, elektrolit, urea, kreatinin, gula darah, albumin, enzim hati.



Analisa gas darah



Natriuretic peptide (B type natriuretic peptidesjBNP atau NT- pro BNP)



Elektrokardiografi



Foto toraks



Ekokardiografi



Exercise Testing Dicurigai gaga I jantung akut

Adakah penyakit jantung? Pemeriksaan EKG/BNP/Rontgen

I

l Normal

Evaluasi fungsi kardiak dengan ekokardiografi/pemeriksaan pencitraan lain

l

I Abn;rmal I

Normal

Gaga I jantung ditentukan dari ekokardiografi

1-------------•

~ Menentukan tipe dan derajat keparahan

Gambar 1. Algoritma Pendekatan Diagnosis Pada Gagal Jantung Akut5

Menentukan fungsi ventrikel (L VEF /left ventricular ejection fraction)

~ Disfungsi diastolik

!

Disfungsi sistolik transien

l Penyebab lain dari gaga I jantung. Kesalahan dalam diagnosis /pemeriksaan

Gambar 2. Algoritma Pendekatan Gagal Jantung dari Fungsi Ventrikel 5

l

diagnosis lain

Kemungkinan bukan gagal jantung

Kemungkinan gagal jantung

Kemungkinan gagal jantung, tapi pikirkan diagnosis lain

Kemungkinan gagal jantung

Kemungkinan gagal jantung, tapi pikirkan diagnosis lain

Gam bar 3. Algoritma Pendekatan Diagnosis pad a Gaga I Jantung 6

DIAGNOSIS BANDING Acute respiratory distress syndrome, gagal ginjal. TATALAKSANA Gagal jantung akuF·8

Oksigen •

Ventilasi non invasif (dengan PEEP /positive end-expiratory pressure) o Indikasi : Edema paru kardiogenik, gagal jan tung akut hipertensif. o

Kontraindikasi : pasien tidak kooperatif, diperkirakan perlu segera pemakaian

o

intubasi endotrakial karena hipoksia yang progresif Penyakit obstruksi saluran napas berat leih hati-hati dalam pemberian



Morfin: jika pasien gelisah atau ada nyeri dada. Dosis 2.5-5 mg IU bolus intravena



(iv). Diuretika loop



Vasodilator (tabel 5)

o

diberikan jika tidak ada tanda-tanda hipotensi yang simptomatik, tekanan sistolik < 90 mmHg atau penyakit valvuler yang serius

o

Nitratjnitroprusside iv bila tekanan darah > 110 mmHg.



Nesiritide : menurunkan tekanan pengisisan ventrikel kiri.



Obat-obat inotropik (tabel 6) o

Indikasi: tekanan sistolik rendah, cardiac index rendah dengan adanya tandatanda hipoperfusi atau kongesti.

o

Dobutamin

o

Dopamin

o

Milrinone dan enoximone

o

Levosimendan

Tabel 4. Jenis Diuretika pada Gagel Jantung Akut6 · 7

f~;ff1:t~~l!t!tn$)i~J~;;;;~~;,m;1~4~n!~~t!!lwif!.irJi~~~J~1~~h:qo~!:l!£-ffl's~~~~f~{l\t~t~gfs~~~t~~:~,;F\J Sedang

Fursemid atau Bumetanide atau Torasemid

20-40 0.5-1 10-20

Be rat

Furse mid Fursemide infus

40-100 5-40 mg/jam

Bumetanid Torasemid Tambah HCT atau

1-4 20-100 50-100

Metolazon atau

2.5-10

Spironolakton

25-50

Acetazolamid Tambah dopamin atau dobutamin

0.5

Refraktor terhadap diuretika

Dengan Alkalosis Refraktor terhadap diuretika dan HCT

Oral/iv sesuai klinis Dosis dititrasi Monitor kalium, natrium, kreatinin, tekanan darah Dosis iv ditinggikan Lebih baik daripada bolus dosis tinggi Oral/iv Oral Kombinasi lebih baik daripada loop diuretika dosis tinggi Labih poten jika CCT < 30 ml/menit Terutama bila fungsi renal baik dan kalium normal atau renhda iv Pertimbangkan ultrafiltrasi dan HD apabila ada gangguanrenaldan hiponatremia.

Tabel 5. Jenis Vasodilator pada Gagel Jantung Akut 1•6

Kongesti paru ata.u edema dengan TD >90 mm Hg

Nitrogliserin

Mulai 10-20 ~g/menit, ditingkatkan sampai 200 ~g/menit. Maksimal 40-400

Hipotensi. sakit kepala.

~g/menit

lsosorbide

Mulai dengan 1 mg/jam,

_c1ioifrat~________ .QiDaikkqn~g_r:ru::)_g_iJQ_mg/ ..... jam

Hipotensi. sakit _k~?pglg -

If~ ,:::·;.;.::··~·,f}~~Jn~t~~~~.~~t~~;~x:i:iJ;£1:·::~; ::~~~~i;~j9Ji~U(qtSl~~i~~~i{fC~;.::~~~;-~:~~~t:!l~f~~i~lt~~t~~:~:!tJ~~:~~~:~i~~,~·i)f~~i~~i~f;~~~itir9!i~iE~:~~:, .: _. -~·. I Nitroprusside

Dosis awol 0.3 1-19/k9/menit dan naikkan dosis sampai 5 1-19/k9/ menit. Maksimal 30-350 1-19/menit

Hipotensi, keracunan isocyanate . sensitif terhadap cahaya

Nesiritide

Bolus 2 1-19/k9 + infus 0.0150.03 1-19/k9/menit. Maksimal 0.01-0.031-19/k9/menit

Hipotensi

Tabel 6. Jenis lnotropik pada Gagel Jantung Akut1·6

H!~~hr~Jn~lfir31~~§~~ff~i~~J&m:ti~I'~~JJ~fi~t~&~~ii;~~~%•tlll~~~~i'm~~~it9:liif!~tqfi~H~~~1 Dobutamin

Tidak

2-20 1-19/k9/menit (13 +)

< 31J9/k9/menit: efek renal (13 +) Dopa min

Tidak

3-5 1-19/k9/menit: inotropik (13 +) > 5 1-19/k9/m~nit: (13 +), vasopresor a+

Milrinon Enoximon Levosimendan

25-75!-19/k9 selama 10-20 menit 0.25-0375 m9/k9 12 1-19/k9 selama 10 menit

Norepinephrine Epinefrin

Tidak 1 m9 dapat diberikan selama resusitasi intravena, diulan9 setiap 3-5 menit

0.375-0.75 1-19/k9/menit 1.25-7.5 1-19/k9/menit 0.1 1-19/k9/menit, dapat diturunkan mencapai 0.05 atau ditin9katkan menjadi 0.2 1-19/k9/menit 0.2-1 .0 1-19/k9/menit 0.05-0.5 1-19/k9/menit

GAGAL JANTUNG KRONIK

Non farmakologis 4·8

a.

Diet (hindarkan obesitas, rendah garam: 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g pada gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada gagal jantung ringan.

b. Hentikan rokok c.

Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 gjhari pada yang lainnya

d. Aktivitas fisik (latihan jasmani : jalan 3-5 kalijminggu selama 20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/ minggu selama 20 me nit dengan be ban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan sedang) e.

Istirahat baring pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut

Farmakologis 1.4.8

a. Diuretik. Kebanyakan pasien dengan gagal jantung membutuhkan paling sedikit diuretik regular dosis rendah tujuan untuk mencapai tekanan vena jugularis normal dan menghilangkan edema. Permulaan dapat digunakan loop diuretic atau tiazid. Bila respons tidak cukup baik dosis diuretik dapat dinaikkan, berikan

diuretik intravena, a tau kombinasi loop diuretik dan tiazid. Diuretik he mat kalium, spironolakton, dengan dosis 25-50 mgjhari dapat mengurangi mortalitas pacta pasien dengan gagal jantung sedang sampai berat (klas fungsional IV) yang disebabkan gagal jan tung sistolik. b. Penghambat ACE bermanfaat untuk menekan aktivasi neurohormonal, dan pacta gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri. Pemberian dimulai dengan dosis rendah, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif. c.

Penyekat Beta bermanfaat sa rna seperti penghambat ACE. Pemberian mulai dosis kecil, kemudian dititrasi selama beberapa minggu dengan kontrol ketat sindrom gagal jantung. Biasanya diberikan bila keadaan sudah stabil. Pacta gagal jantung klas fungsional II dan III. Penyekat Beta yang digunakan carvedilol, bisoprolol atau metoprolol. Biasa digunakan bersama-sama dengan penghambat ACE dan diuretik.

d. Angiotensin II antagonis reseptor dapat digunakan bila ada kontraindikasi penggunaan penghambat ACE e.

Kombinasi hidralazin dengan isosorbide dinitrat memberi hasil yang baik pacta pasien yang intoleran dengan penghambat ACE dapat dipertimbangkan

f.

Digoksin diberikan untuk pasien simptomatik dengan gagal jantung disfungsi sistolikventrikel kiri dan terutama yang dengan fibrilasi atrial, digunakan bersamasama diuretik, penghambat ACE , penyekat beta. Dosis : 0.125 qd dengan dosis maksimal 0.375 qd.

g. Antikoagulan dan antiplatelet. Aspirin diindikasikan untuk pencegahan emboli serebral pacta penderita dengan fibrilasi atrial dengan fungsi ventrikel yang buruk. Antikoagulan perlu diberikan pacta fibrilasi atrial kronis maupun dengan riwayat emboli, trombosis dan transient ischemic attacks, trombus intrakardiak dan aneurisma ventrikel. h. Antiaritmia tidak direkomendasikan untuk pasien yang asimptomatik atau aritmia ventrikel yang tidak menetap. Antiaritmia klas I harus dihindari kecuali pacta aritmia yang mengancam nyawa. Antiaritmia kelas III terutama amiodaron dapat digunakan untuk terapi aritmia atrial dan tidak digunakan untuk mencegah kematian mendadak. i.

Antagonis kalsium dihindari. Jangan menggunakan kalsium antagonis untuk mengobati angina atau hipertensi pacta gagal jantung.

j. Pemakaian alat dan tindakan bedah: o

Revaskularisasi

o

Operasi katup mitral

o

Aneurismektomi

o

Kardiomioplasti

o

External cardiac support

o

Pacu jan tung konvensional, resinkronisasi pacu jan tung biventricular

o

Implantable carioverter defibrillators (/CD)

o

Heart transplantation, ventricular assist devices, artificial heart

o

Ultrafiltrasi, hemodialisis

Tabel 7. Jenis Diuretik pada Gagal Jantung Kongestif'· 8

· ~~t!:i1~~~~;i~;',;ei~~~¥;J~!~~?i~n!m:s~;,~;:;s~~~~~~~~l;W!!!i~~r•~~ :~;,;~~~~]~!&Gc#-'~m~X6l~5~i;j Furosemid

20-40

1-2 kali sehari

500

Bumetanid

0.5-1.0 1-2

1-2 kali sehari

10

Torasemid

10-20 qd at au bid

1 kali sehari

200

Hidroklorotiazid

25qd

1-2 kali sehari

100

Metolazon

2.5 qd atau bid

1 kali sehari

20

lndapamid

2.5

1 kali sehari

2.5

Amilorid

5

1 kali sehari

40

Triamteren

50

2 kali sehari

200

Spironolakton

1.5-50 qd

1 kali sehari

100-200

Tabel. 8. Jenis Obat yang Digunakan pada Gagal Jantung Kongestif'· 4·8

l'.tX8~t;'~ti:~::~s~~~~~6f:~:@ni~t~a:qi'J"f};'r~;eM~::'~~~:;~t~3!~?i''~§fR~)X$1:,nJ~~'!f:'tm91':\~l~:,}lti:!.it~:tt~ro:~u6:QtQ91fJm91~1 Obat ACE inhibitor

Obat ARB inhibitor

Qpat penyekaJ 13

Captopril

6.25

25~50

Benazepril

2.5

5-10 bid

Enalapril

2.5

10bid

Lisinopril

2.5-5

5-20 perhari

Ramipril

1.25-2.5

2.5-5 bid

Trandolapril

0.5

4qd

Valsartan

40bid

80-320

Candesartan

4qd

4-32

lrbesartan

75qd

150-300

Losartan

12.5qd

50-100

Carvedilol

3.l25.qd

-

tid

. 12.5-SO.bid

Bisoprolol

1.25qd

2-10qd

Metoprolol suksinat

12.5-25 qd

10-30

KOMPLIKASI Syok kardiogenik, infeksi paru, gangguan keseimbangan elektrolit

PROGNOSIS Angka kematian dalam 1 tahun setelah terdiagnosis mencapai 30-40 o/o, sedangkan angkan dalam 5 tahun 60-70 %. Kematian disebabkan karena perburuhkan klinis mendadakan yang kemungkinan disebabkan karena arimia ventrikel. Berdasarkan klasifikasi, NYHA kelas IV mempunyai angka kematian 30-70 %, sedangkan NYHA kelas II 5-10 %. 1

UNITY ANG MENANGANI •

RS Pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi



RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS Pendidikan

: ICCU medical High Care



RS non Pendidikan : ICCU / ICU

REFERENSI

;

604

1.

Anil Chandraker A. Heart Failure. In: Fauci A. Kasper D. Longo D, Braunwald E. Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181" ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 234.

2.

Panggabean M. Gagal Jantung .. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B. Simadibrata M, Sudoyo AW, editors. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid Ill Edisi IV. Jakarta: lnterna Publishing; 2006: Hal 1513-1514

3.

Gary S. Francis, Theodore G. Ganiats, Marvin A. Konstarn. 2009 Focused Update: ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis and Management of Heart Failure in Adults: 2009 Wrint Group to review new evidence and update the 2005 guideline for the management of patients with chronic heart failure witing on behalf the 2005 heart failure writing. Circulation. 2009;119:1977-2016. Diunduh dari http:/ /circ.ahajournals.org/content/119/14/1977 pada tang gal 19 Juni 2012.

4.

Sharon Ann Hunt. William T. Abraham, Marshall H Chin. ACC/AHA 2005 Guideline Update for the Diagnosis and Management of Chronic Heart Failure in the Adult : A Report of the American College of Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Update the 2001 Guidelines for the Evaluation and Management of Heart Failure): Developed in Collaboration With the American College of Chest Physicians and the International Society for Heart and Lung Transplantation: Endorsed by the Heart Rhythm Society. Circulation. 2005;112:e 154-e235. http:/ /circ.ahajournals.org/content/112/12/e 154

5.

Nieminen MS, Bohm M, Cowie MR et all. Executive summary of the guidelines on the diagnosis and treatment of acute heart failure :The Task Force on Acute Heart Failure of the European Society of Cardiology. European Heart Journal (2005) 26, 384-416.

6.

Greenberg B, Kahn AM. Clinical Assessment of Heart Failure. In: Bonow RO, Mann DL Zipes DP, Lib P, editors. Braunwald's Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine.9 1" ed. United States of America; Elsevier, 2012. P.517-542

Gagol Jantung 7.

Panggabean MM. Dalam BAB 248: Gagaljantung akut. Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW, editors. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010: Hal1583-1585

8.

Ghanie A. Gagal jantung kronik. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW, editors. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010: Hal 1596-1601

ENDOKARDITIS INFEKTIF

PENGERTIAN Definisi endokarditis infektif (EI) menurut modifikasi kriteria Duke adalah :1 • Kriteria patologis : o Kultur atau pemeriksaan histologis adanya vegetasi yang telah menjadi emboli, a tau spesimen abses intrakardiak menunjukkan mikroorganisme (+), a tau o Lesi patologis; vegetasi atau abses intrakardiak yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan histologis menunjukkan endokarditis aktif • Kriteria klinis o 2 kriteria mayor, atau o 1 kriteria mayor dan 3 kriteria minor, atau o 5 kriteria minor • Kemungkinan EI o 1 kriteria mayor dan 1 atau 2 kriteria minor, atau o 3 kriteria minor • Bukan EI o Tegaknya diagnosis alternatifyang menjelaskan bukti EI atau o Resolusi sindrom EI dengan terapi antibiotik dalam ::; 4 hari, atau o Tidak ada bukti patologis EI pada saat operasi atau autopsi, dengan terapi antibiotik dalam ::; 4 hari, atau o Tidak memenuhi kriteria kemungkinan EI seperti diatas Penjelasan kriteria mayor dan minor dapat dilihat pada tabel 1. Klasifikasi dan definisi EI menurut European Society of Cardiology tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 2. Beberapa kondisi jantung terkait peningkatan risiko prognosis buruk dari endokarditis ketika profilaksis tindakan dental diperlukan dapat dilihat pada tabel 3.

Tabell. Modifikasi kriteria Duke 1

Kultur darah El (+) • Mikroorganisme tipikal konsisten dari 2 kultur terpisah : Viridans streptococci, Streptococcus bovis, kelompok HACEK, Staphylococcus aureus, atau enterokokus didapat dari komunitas tanpa fokus primer, atau • Setidaknya 2 kultur darah (+) dengan sam pel yang diambil pad a interval > 12 jam; atau ketiganya atau mayoritas dari ;::4 kultur darah terpisah (sam pel pertama dan terakhir diambil selang 1 jam) • Kultur darah (+) untuk Coxiella bumetii atau titer antibodi lgG anti-fase 1 > 1:800 Bukti keterlibatan endokardial Ekokardiogram (+) untuk El (TEE direkomendasikan pada katup prostetik, dengan indikasi kemungkinan El berdasarkan klinis, atau El komplikasi [abses paravalvular], TTE sebagai tes pertama pada pasien lainnya) : adanya massa intrakardiak pada katup atau struktur pendukung yang berosilasi, in the path of regurgitant jets, atau pada materi implan dengan absennya penjelasan anatomis lain; atau abses; atau dehisensi parsial baru katup prostetik; regurgitasi katup baru (perburukan atau perubahan atau adanya murmur tidak cukup)

• Predisposisi, kondisi jantung yang mempermudah te~adinya EL atau pengguna obat intravena • Demam > 38°C • Fenomena vaskular, emboli arteri mayor, infark paru septik, aneurisma mikotik, perdarahan intrakraniaL perdarahan konjungtiva, lesi Janeway • Fenomena imunologis: glomerulonefritis, nodus Osier, Roth's spots, dan faktor rheumatoid • Bukti mikrobiologis: kultur darah (+) tapi tidak memenuhi kriteria mayor*, atau bukti serologis adanya infeksi aktif organisme yang konsisten dengan El

Keterangan : *tidak termasuk kultur (+) untuk stafilokokus yang tidak memproduksi enzim koagulase dan organisme yang tidak menyebabkan El. TEE : fransesophageal echocardiography, ITE : transthoracic echocardiography, HACEK (Haemophilus, Actinobacillus, Cardiobacterium, Eikenella, dan Kingella; Haemophilus aphrophilus dan Actinobacillus actinomycefemcomifans Ieiah direklasifikasikan ke dalam genus Aggregatibacter)

Tabel 2. Klasifikasi dan Definisi El Menurut European Society of Cardiology Tahun 2009 2 El menurut lokasi infeksi dan adanya atau absennya materi intrakardiak

• El katup asli (native) sebelah kiri (NVE) • El katup prostetik sebelah kiri (prosthetic valve endocarditis I PVE) o PVE dini : < 1 tahun setelah operasi katup o PVE lam bat : > 1 tahun setelah operasi katup • El sebelah kanan • El terkait alat (pacu jantung permanen atau cardioverter-defibrillator) El menurut cara didapat

• El terkait pelayanan kesehatan o Nesokomial o

Non-nosokomial

·· El berkembang pada pasien rawatinap >48 jam sebelum onset tanda/gejala konsisten dengan El Tanda dan/atau gejala El muncul <48 jam setelah dirawat dengan definisi kontak sebagai berikut: 1. Perawatan di rumah atau terapi IV, hemodialisis, atau kemoterapi IV <30 hari sebelum onset El; atau 2. Dirawat <90 hari sebelum onset El; atau

·-·~---.-3,--Pefl§AtJfli-rumaM·jemJ')e

jangka panjang

atau-fasilitas-perawatafl--···

• El didapat dari komunitas

• El terkait penyalahgunaan obat IV El • • • •

Tanda dan/atau gejala El dimulai <48 jam setelah dirawat pada pasien yang tidak memenuhi kriteria infeksi terkait pelayanan kesehatan El pada pengguna injeksi aktif tanpa sumber infeksi lainnya

aktif El dengan demam persisten dan kultur darah (+) atau Morfologi inflamasi aktif yang ditemukan soot operasi atau Pasien masih do lam terapi antibiotik atau Bukti histopatologis El aktif

Rekuren • Relaps • Reinfeksi

Episode berulang El oleh mikroorganisme yang soma <6 bulan setelah episode inisial lnfeksi oleh mikroorganisme berbeda Episode berulang El oleh mikroorganisme yang soma >6 bulan setelah episode inisial

Tabel 3. Kondisi Jantung Terkait Peningkatan Risiko Prognosis Buruk dari Endokarditis dimana Protilaksis Tindakan Dental Diperlukan 1 Katup jantung prostetik atau materi prostetik yang digunakan untuk perbaikan katup jantung Riwayat El sebelumnya Penyakit jantung bawaan {PJB)* PJB sianotik yang tidak dapat diperbaiki, termasuk shunt dan pipa (conduit) paliatif Defek jantung kongenital yang telah diperbaiki dengan materi atau alat prostetik, baik yang ditempatkan melalui operasi atau kateter, dalam 6 bulan pertama setelah tindakan** Defek residual PJB yang telah diperbaiki pad a tempat pemasangan patch atau alat prostetik atau sekitarnya (yang menghambat endotelialisasi) Resipien transplantasi jantung yang memiliki valvulopati jantung Keterangan : *Kecuali kondisi yang disebutkan diatas, antibiotik profilaksis tidak lagi direkomendasikan **Profilaksis dianjurkan karen a endotelialisasi materi prostetik terjadi do lam 6 bulan pasco tindakan

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 2 ·3



Demam: akut dan subakut, menggigil, keringat, sepsis of unknown origin



Anoreksia, penurunan be rat badan, malaise



Mialgia, artralgia



Nyeri punggung



Riwayat EI sebelumnya, penyakit jantung bawaan (PJB), atau penyakit katup jantung

Pemeriksaan Fisik2 ·3



Febris (dapat absen pacta usia lanjut, setelah pre-terapi antibiotik, pasien imunokompromais, dan EI virulensi rendah atau organisme atipikal)



'

608

Manifestasi kardiak: takikardi, murmur regurgitasi baru atau perburukan (pacta

EI akut murmur dapat absen namun pada akhirnya akan terdeteksi), gagal jantung kongestif akibat disfungsi katup atau fistula intrakardiak. Abses perivalvular dapat menimbulkan perikarditis atau masuk ke dalam septum ventrikel atas dan mengganggu sistem konduksi menimbulkan berbagai derajat blok jantung. Emboli arteri koroner dapat menyebabkan infark miokard.



Manifestasi non-kardiak o

Perdarahan subungual, nodus Osler (pada EI S. aureus), lesi Janeway, Roth's spots, petekia

o o

Nyeri muskuloskeletal, nyeri dada pleuritis, batuk (akibat emboli sepsis), infiltrat paru nodular, piopneumotoraks Splenomegali

Pemeriksaan Penunjang 3



Laboratorium : anemia, leukositosis, hematuria mikroskopis, peningkatan LED dan protein C-reaktif, faktor rheumatoid, kompleks imun sirkulasi, penurunan komplemen serum, tes serologis Brucella, Bartonella, Legionella, Chlamydophila psittaci, dan C. burnetii



Kultur darah



Ekokardiografi : konfirmasi anatomis EI, ukuran vegetasi, deteksi komplikasi intrakardiak, dan penilaian fungsi jantung. Definisi anatomis dan ekokardiografi dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Definisi anatomis dan ekokardiografi 2

f:!tltJf~11t11~~~-1tt~tl~Q:ltQf!Wfrftlf. . .~~-r~lfAW~Riltfif~~~~Jt~1Zl Vegetasi

Massa yang terinfeksi melekat pad a struktur endokardium, atau materi imp/an intrakardiak

Massa intrakardiak pada katup atau struktur pendukung yang berosilasi atau tidak pada struktur endokardium, atau materi implan intrakardiak Area perivalvular menebal. nonhomogen dengan gambaran ekodens dan ekolusen

Kavitas perivalvular dengan nekrosis dan materi puri.Jien yang tidak berhubungan dengan lumen kardiovaskular Pseudoaneurisma Ruang echo-free perivalvular Kavitas perivalvular berhubungan . y(lng. puis(Jfile_, c:l~D.9(J_n_ (]li!(]n_yqng d(;ll1~(ln l~fT1~11-~(]r::c:ji()\!(J~k~!(lr .. terdeteksi oleh Doppler warna Diskontinuitas·jaringan Perforasi Diskontinuitas jaringan endokardium endokardium yang dilalui oleh Doppler warna Hubungan antara 2 kavitasi melalui Hubungan Doppler warna ant ora 2 Fistula perforasi kavitasi melalui perforasi Aneurisma katup Kantung sakular jaringan valvular Penonjolan sakular jaringan valvular -· ---- -Dehisensi-katup-------------Gehisensi-pr-ostetil::~-­ -Regurgitasi-paravalvularyang-- ··· prostetik diidentifikasi oleh TTE/TEE, dengan atau tanpa gerakan prostetik Abses

PENDEKATAN DIAGNOSIS Klinis curiga EI

Katup prostetik

lntracardiac device

TEE

Jika TEE pertama (-) tapi masih curiga El, ulang TEE setelah 7-10 hari Keterangan: TIE

=transthoracic echocardiography. TEE =trans esophageal echocardiography Gam bar 1. Algoritma Pendekatan Diagnosis EF

Tiga sam pel kultur darah independen diinkubasi dalam kondisi aerob dan anaerob

Mulai terapi antibiotik yang sesuai

Observasi pasien dan pertimbangkan diagnosis lain

Terapi medikamentosa

Memerlukan

Kirim potongan katup atau materi emboli ke patologi & cryopreservation untuk kemungkinan PCR

Kerjasama dengan lab mikrobiologi, Pertimbangkan penunjang tambahan Terapi sebagai kultur (-) IE dengan regimen yang menutup kemungkinan organisme. (ganti ke regimen sesuai ketika organisme sudah teridentifikasi) Observasi pasien dan pertimbangkan diagnosis lain

Gombar 2. Algoritma Pendekatan Diagnosis Mikrobiologis EF

DIAGNOSIS BANDING Demam reumatik, atrial myxoma, endokarditis Libman-Sacks, non-bacterial thrombotic endocarditis (NTBE). TATALAKSANA Tabel 5. Terapi Antibiotik El Akibat Streptokokus Oral dan Streptokokus Grup 0 2 •''-'''o'

'"l.o.V>'"·"•''"'

•'"oo>-~---··

~.,.,,..,_• ..., .. CO.h.~'''c~'

-•'d •

Strains fully susceptible to penicillin (MIC <0,125 mg/L) Terapi standard

Penicillin G

a tau Amoxicillin

a tau Ceftriaxone

12-18 juta U/hari IV dalam 6 dosis

40

Lebih dipilih pada pasien >65 tahun atau gangguan fungsi ginjal

100-200 mg/kg/hari IV dalam 4-6 dosis

40

Dapat diganti dengan ampicillin dengan dosis yang sam a

2 g/hari IV atau IM dosis tunggal

40

Lebih dipilih pada pasien rawat jalan

12-18 juta U/hari IV dalam 6 dosis

2

100-200 mg/kg/hari IV dalam 4-6 dosis

2

Dapat diganti dengan ampicillin dengan dosis yang sam a

2 g/hari IV atau IM dosis tunggal

2

Lebih dipilih pada pasien rawat jalan

3 mg/kg/hari IV atau IM dosis

2

Fungsi ginjal dan konsentrasi serum gentamisin sebaiknya dimonitor tiap minggu. Pada dosis tunggal. konsentrasi serum pre-dose <1 mg/L dan post-dose (puncak 1 jam setelah injeksi) -1 0-12 mg/L

Terapi 2 minggub

Penicillin G a tau Amoxicillin

a tau Ceftriaxone dengan

Gentamisin

tunggal

a tau Netilmicin Vancolllydn ·

4-5 mg/kg/hari IV dosis tunggal 2 Pada pasien alergi beta laktam -30 mg/kg/hariiV dafal11-2dosis - -- -- 4°

Konsentrasi serum vancomycin mencapai 10-15 mg/L pada pre-dose dan 30-45 mg/L postdose (puncak 1 jam setelah infus selesai)

··~~~b~;~t~~···· ·• ·:;<:. ·"~~~~~~~~~~ir~~~r~i'~~?.::5;. :• it~&re:vl •·. _-:~~:~~~-~;~··s~~~~~~l1t~~~:r:t;!1;~~l;,~-~1

Strains relatively resistant to penicillin (MIC 0,125-2 mg/dL) Terapi standard

24 juta U/hari IV dalam 6 dosis

40

200 mg/kg/hari IV dalam 4-6 dosis

40

Gentamisin

3 mg/kg/hari IV atau IM dosis tunggal

2

Vancomycin

30 mg/kg/hari IV dalam 2 dosis



Konsentrasi serum vancomycin mencapai 10-15 mg/L pada pre-dose dan 30-45 mg/L postdose (puncak 1 jam setelah infus selesai)

3 mg/kg/hari IV atau IM dosis tunggal

2

Fungsi ginjal dan konsentrasi serum gentamisin sebaiknya dimonitor tiap minggu. Pada dosis tunggal, konsentrasi serum pre-dose <1 mg/L dan post-dose (puncak 1 jam setelah injeksi) -1 0-12 mg/L

Penicillin G a tau Amoxicillin dengan

Fungsi ginjal dan konsentrasi serum gentamisin sebaiknya dimonitor tiap minggu. Pada dosis tunggal, konsentrasi serum pre-dose <1 mg/L dan post-dose (puncak 1 jam setelah injeksi) -1 0-12 mg/L

Pada pasien alergi beta laktam

dengan

Gentamisin

Kelerangan : 'Terapi 6 minggu pada PVE bHanya pada NVE tanpa komplikasi

Tabel 6. Terapi antibiotik El akibat Staphylococcus spp 2

Katup asli Methicillin-susceptible staphylococci

Flucloxacillin

12 g/hari IV dalam 4-6 dosis

4-6

atau Oxacillin dengan

· Gentamisin

-31Tlg/kg/hari-IV-atau IM .. dalam 2 atau 3 dosis

<~-Shari

-- Gentamicin .. tetap-dianj.u.rkan pada PVE meskipun manfaat klinisnya belum jelas. Fungsi ginjal dan konsentrasi serum gentamisin sebaiknya dimonitor tiap minggu, pada pasien gagal ginjal 2x/ minggu. Saat diberikan dalam 3 -·· ----·-------------------------~-.. -------·---dosis..Jmos.e.ntra.sL~rum p_re-_cjpse __ <1 mg/L dan post-dose (puncak 1 jam setelah injeksi) 3-4 mg/L

Paslen alergl penlsilin atau stafilokokus resisten methicillin Vancomycin

30 mg/kg/hari IV dalam 2 dosis

4-6

Konsentrasi serum vancomycin mencapai 25-30 mg/L pada predose

3 mg/kg/hari IV atau IM dalam 2 atau 3 dosis

2

Fungsi ginjal dan konsentrasi serum gentamisin sebaiknya dimonitor tiap minggu. Pada dosis tunggaL konsentrasi serum pre-dose <1 mg/L dan post-dose (puncak 1jam setelah injeksi) -1 0-12 mg/L

dengan Gentamisin

Katup prostetik Methicillin-susceptible staphylococci

(Fiu)coxacillin

12 g/hari IV dalam 4-6 dosis

;::6

1200 mg/hari IV atau PO dalam 2 dosis

;::6

Rifampin meningkatkan metabolisme warfarin dan obat lainnya di hati. Sebaiknya digunakan dalam kombinasi dengan obat lain untuk mencegah resistensi

3 mg/kg/hari IV atau IM · dalam 2 atau 3 dosis

2

Gentamicintetap dianjurkan pada PVE meskipun manfaat klinisnya belum jelas. Fungsi ginjal dan konsentrasi serum gentamisin sebaiknya dimonitor tiap minggu, pada pasien gagal ginjal 2x/ minggu. Soot diberikan dalam 3 dosis, konsentrasi serum pre-dose <1 mg/L dan post-dose (puncak 1 jam setelah injeksi) 3-4 mg/L

a tau Oxacillin dengan Rifampin

dan Gentamicin

Pasien alergi penisilin atau stafilokokus resisten methicillin Vancomycin

30 mg/kg/hari IV dalam 2 dosis

;::6

Konsentrasi serum vancomycin mencapai 25-30 mg/L pada predose

1200 mg/hari IV atau PO dalam 2 dosis

;::6

Rifampin meningkatkan metabolisme warfarin dan obat lainnya di hati. Sebaiknya digunakan dalam kombinasi dengan obat lain untuk mencegah resistensi

dengan Rifampin

-d
Gentamisin

2

3 mg/kg/hari IV atau IM dalam 2 atau 3 dosis

Fungsi ginjal dan konsentrasi serum gentamisin sebaiknya dimonitor tiap minggu. Pada dosis tunggal. konsentrasi serum pre-dose <1 mg/L dan post-dose (puncak 1 jam setelah injeksi) -1 0-12 mg/L

Tabel 7. Terapi Antibiotik El Akibat Enterococcus spp 2

Beta-/actam and gentamicin susceptible strain (pada strain resisten lihat a.b.c)

Amoxicillin

200 mg/kg/hari IV dalam 4-6 dosis

4-6

Terapi 6 minggu dianjurkan pada pasien dengan gejala >3 bulan dan pada PVE

3 mg/kg/hari IV atau IM dalam 2 atau 3 dosis

4-6

Monitor kadar serum aminoglikosida dan fungsi ginjal sesuai yang diindikasikan pada tabel 6

200 mg/kg/hari IV dalam 4-6 dosis

4-6

Terapi 6 minggu dianjurkan pada pasien dengan gejala >3 bulan dan pada PVE

3 mg/kg/hari IV atau IM dalam 2 atau 3 dosis

4-6

Monitor kadar serum aminoglikosida dan fungsi ginjal sesuai yang diindikasikan pada tabel 6

30 mg/kg/hari IV dalam 2 dosis

6

Pada pasien alergi beta-lactam. Monitor serum vancomycin do pat dilihat pada tabel 6

3 mg/kg/hari IV atau IM dalam 2 atau 3 dosis

6

Monitor kadar serum aminoglikosida dan fungsi ginjal sesuai yang diindikasikan pada tabel 6

dengan Gentamisin

atau

Ampicillin

dengan Gentamisin

atau

Vancomycin

dengan

Gentamisin

Keterangan : Resistensi tingkat tinggi terhadap gentamisin (MIC >500 mg/L): bila sensitif terhadap streptomycin, ganti gentamicin dengan streptomycin 15 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Jika tidak, gunakan terapi beta-lactam jangka panjang. Kombinasi ampicillin dengan celtriaxone dianjurkan pad a E. faecalis yang resisten terhadap gentamicin bResistensi beta-lactam: (i) bila akibat produksi beta-lactamase, ganti ampicillin dengan ampicillin-sulbactam atau amoxicillin dengan amoxicillin-clavulanate; {ii) bila akibat PBPS, gunakan rejimen berbasis vancomycin cBila multiresistensi terhadap aminoglikosida. bela-/actam, dan vancomycin ~ alternatif : {i) linezolid 2 x 600 mg IV /hari atau PO selama ~8 minggu (monitor toksisitas hematologis); {ii) quinupristin-dafopristin 3 x 7,5 mg/kg/hari selama ~8 minggu; {iii) kombinasi beta-lactam dengan imipenem dilambah ampicillin atau ceftriaxone ditambah ampicillin selama ~8 minggu 0

o,;

'·/·"

Tabel 8. Terapi Antibiotik El dengan Kultur Darah Negatif2

: ' •· :;::~(Jfqg~o:. · ,, ·;.· · ,r~"c;il't~riJu~a!l ···· · ·· ·'./~~:~R~~~·r,~,f~Rf:~~'"

··:;t'';;'·~·::;;l(~m~nta'r~?' :

;e· · 'n

Brucella spp.

Doxycycline (200 mg/24 jam) + Cotrimoxazole (960 mg/12 jam) + Rifampin (300-600 mg/24 jam) selama ~3 bulan PO

Sukses apabila titer antibodi <1 :60

Tambahan streptomycin 25 mg/kg/hari dalam 2 dosis pada beberapa minggu pertama bersifat optional

Coxiella burnetti (Q fever)

Doxycycline (200 mg/24 jam) + Hydroxychloroquine (200-600 mg/24 jam) PO gtgy Doxycycline (200 mg/24 jam) + Kuinolon (Ofloxacin 400 mg/24 jam) PO selama >3 bulan

Sukses apabila titer anti-fase lgG <1 :200, titer lgG dan lgM <1:50

Doxycycline + Hydroxychloroquine (dengan monitor kadar serum hydroxychloroquine) lebih superior dibanding doxycycline sendiri dan doxycycline+fluoroquinolone

Bartonella spp.

Ceftriaxone (2 g/24 jam) atau Ampicillin (atau Amoxicillin) (12 g/24 jam) IV gtgy

Diharapkan sukses pada ~90% kasus

dilaporkan termasuk aminopenici/lin

Doxycycline (200 mg/24 jam) PO selama 6 minggu + Gentamicin (3 mg/24 jam) atau Netilmiciri IV selama 3 minggu

Beberapa rejimen terapi dan cephalosporin dikombinasikan dengan aminoglikosida, doxycycline, vancomycin, dan kuinolon

Legionella spp.

Eritromisin (3 g/24 jam) IV selama 2 minggu, kemudian PO selama 4 minggu + Rifampin (300-1200 mg/24 jam) atau Ciprofloxacin (1,5 g/24 jam) PO selama 6 minggu

Terapi optimal tidak diketahui. Karena high susceptibility, maka kuinolon sebaiknya disertakan

Mycoplasma spp.

Fluoroquinolon terbaru

Terapi optimal tidak diketahui

Fluoroquinolon terbaru lebih poten dibanding ciprofloxacin terhadap patogen intraselular seperti Mycoplasma spp., Legionella spp., dan Chlamydia spp.

Terapi jangka Terapi ini bersifat empiris. Cotrimoxazole panjang, durasi Kesuksesan terapi dilaporkan Penicillin G ( 1.2 juta U/24 jam) dan Streptomycin optimal tidak dengan terapi cotrimoxazole ·· (1 g/24 jam) IV selama diketcillui· jangl 1 tahun). 2 minggu, kemudian y-interferon berperan sebagai pelindung pada infeksi Cotrimoxazole PO selama intraselular dan telah diajukan 1 tahun gtgy sebagai terapi adjuvan pad a penyakit Whipple Doxycycline (200 mg/24 jam) ··· --- - --,vRyaroxycnloroquine-----·-·----------- ----

Tropheryma whipplei (agen penyakit Whipple)

---~~-----·--·----

(200-600 mg/24 jam) PO selama ~ 18 minggu

EVALUASI DAN TINDAK LANJUT TERAPI Panduan evaluasi dan tindak lanjut terapi dapat dilihat pada tabel 9. label 9. Panduan Evaluasi Selama dan Setelah Terapi Antimikroba Selesajl

!Qli~~~~~~@il:i:ltq:q;s~'tit
:' . ••·. ,, ·.· ·•

<: ·. i

Lakukan ekokardiogram transtorakal untuk menetapkan baseline baru Rujukan rehabilitasi obat bagi pasien yang menyalahgunakan obat-obatan intravena Edukasi tanda El, kebutuhan antibiotik profilaksis untuk beberapa tindakan invasif/bedah/dental Evaluasi dental menyeluruh dan tatalaksana apabila tidak dilakukan dalam evaluasi sebelumnya Cabut kateter IV segera soot terapi selesai .i

Ambil 3 set kultur darah dari beberapa lokasi berbeda untuk semua penyakit demam dan sebelum inisiasi terapi antibiotik Pemeriksaan fisik untuk bukti adanya gagal jantung kongestif Evaluasi toksisitas dari terapi antibiotik sebelumnyd/saat ini

i n~:~api<:J~"ni~t':i~lfl~f!?i5'~l'!li:irl9 ..~ .•::'\

~:~·· ,u•;;~~~;:'~~\'• ';:~~, :·'~···:
.: •. ':r"t:;::,:~.;

'

Ambil 3 set kultur darah dari beberapa lokasi berbeda untuk semua penyakit demam dan sebelum inisiasi terapi antibiotik Evaluasi fungsi katup dan ventrikel (ekokardiografi} Edukasi pasien untuk ora/ hygiene dan kunjungan rutin ke dokter gigi

PEMBERIAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS Rekomendasi pemberian antibiotik profilaksis dapat dilihat pada tabellO. TabellO. Rekomendasi Profllaksis pada Tindakan Dental dengan Risiko 2

··• :·. · ··· :Situcisi ···

· ijQ'sl~'•tung§(ji'~0.;'69;11\~~it sl!li~lutrdln(iq~an A.i:i!i~i6ttf

·

• • · , J~~wt(s,a

: • / ; , •· · •, .'Anak

Tidak ada alergi terhadap penisilin atau ampisilin

Amoxicillin atau ampisilin*

2 g PO atau IV

50 mg/kg PO atau IV

Alergi terhadap penisilin atau ampisilin

Klindamisin

600 mg PO atau IV

20 mg/kg PO atau IV

Keterangan : Sefalosporin sebaiknya tidak digunakan pada pasien dengan anafilaksis, angioedema. atau urtikaria setelah intake penisilin dan ampisilin. 'Aiternatif cephalexin 2 g IV atau 50 mg/kg IV untuk anak, cefazolin atau ceftriaxone 1 g IV untuk dewasa atau 50 mg/kg IV untuk anak

KOMPLIKASI Kerusakan lokal pada endokardium atau miokardium, perforasi katup a tau fistula intrakardiak, abses paravalvular, abses miokardium, gagal jantung, abses ginjal, emboli serebrovaskular. 3

'

616

,Endokarditis lnfektif PROGNOSIS Studi menunjukkan EI dengan komplikasi gagal jantung, operasi katup dapat menurunkan tingkat mortalitas sebesar 1 tahun. 4 Tingkat mortalitas NVE bervariasi sebesar 16-27%, sedangkan PVE lebih tinggi. Lebih dari 50% kasus menunjukkan infeksi dalam 2 bulan pasca operasi. Tingkat fatalitas pacu jantung EI dapat mencapai 34o/0 Prediktor prognosis buruk pada pasien EI dapat dilihat pacta tabel. Karakteristik pasien : usia tua, El katup prostetik, diabetes melitus insulin-dependent, komorbiditas (kelemahan, penyakit kardiovaskular, ginjal, paru sebelumnya) Adanya komplikasi El : gaga I jantung, gagal ginjal, stroke, syok sepsis, komplikasi perianular Mikroorganisme : S. aureus, jamur, basil gram negatif Temuan ekokardiografi : komplikasi perianular, regurgitasi berat katup sebelah kiri, fraksi ejeksi ventrikel kiri rendah, hipertensi pulmonal, vegetasi besar, disfungsi prostetik berat penutupan katup mitral prematur dan tanda lain dari meningkatnya tekanan diastolik

UNITYANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Kardiovaskular • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan : Departemen Patologi Klinik • RS non pendidikan : Bagian Patologi Klinik REFERENSI 1.

Baddour LM, Taubert KA Gewitz MH, Wilson WR. Infective Endocarditis. In : Fuster V. The AHA Guidelines and Scientific Statements Handbook. American Heart Association. Texas: WilleyBiackwell. 2009. Hal 312-35.

2.

Habib G, Hoen B, Tornos P, et al. Guidelines on the prevention, diagnosis, and treatment of infective endocarditis (new version 2009). The Task Force on the Prevention, Diagnosis, and Treatment of Infective Endocarditis of the European Society of Cardiology (ESC). European Heart Journal 2009:30; 2369-2413.

3.

Karchmer AW. Infective Endocarditis. In: Longo DL. Fauci AS, Kasper DL. Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.

4.

KieferT, Park L, Tribouilloy C, Cortes C, Casillo R, Chu V, et al. Association between valvular surgery and mortality among patients with infective endocarditis complicated by heart failure. JAMA. Nov 23 2011 ;306(20):2239-47. -

5.

Wallace SM, Walton Bl, Kharbanda RK, Hardy R, Wilson AP, Swanton RH. Mortality from infective endocarditis: clinical predictors of outcome. Heart. Jul 2002;88(1 ):53-60.

PENYAKIT KATUP JANTUNG

PENGERTIAN Penyakit katup jantung adalah gangguan dari katup jantung, yaitu jaringan yang mengatur aliran darah melalui bilik jantung. 1 Pada bab ini akan dibahas mengenai stenosis Mitral dan regurgitasi, aorta stenosis dan regurgitasi.

Area Mitral

Area Tricuspid

STENOSIS MITRAL PENGERTIAN Stenosis Mitral adalah penyempitan atau konstriksi dari katup mitral, yaitu katup yang memisahkan atrium kiri dengan ventrikel kirU PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Sesak napas yang diperberat aktivitas, paroxysmal nocturnal dyspnea, orthopnea,

fatique. 3

Pemeriksaan Fisik

Opening snap, loud 51 (closing snap), diastolic rumbling murmur dengan hipertensi pulmonal, a parasternal lift with a loud P2. 3 Pemeriksaan PenunjangH 5



Elektrokardiogram: pembesaran atrium kiri, fibrilasi atrial, hipertrofi ventrikel kanan



Rontgen thorax: pembesaran atrium kiri dan ukuran ventrikel normal



Echokardiografi dua dimensi: penebalan katup mitral dengan keterbatasan gerakan katup dan berkurangnya diameter katup.



Doppler echokardiografi: peningkatan tekanan trasmitral dan pressure half-time memanjang



Kateter jantung: peningkatan tekanan baji kapiler paru, gradient transmitral biasanya > 10 mmHg, pada kasus berat di area katup mitral< 1 cm 2 •

DIAGNOSIS BANDING, Atrial septal defect dalam klinis, EKG dan rontgen thorax seringkali mirip dengan stenosis Mitral yaitu ditemukannya pembesaran ventrikel kanan dan peningkatan vaskularisasi paru, left atrial myxoma dapat menghalangi pengosongan atrium kiri menyebabkan dyspnea dan murmur diastolik 4 TATALAKSANA3 • Nor farmakologis: diet rendah natrium, olahraga • Farmakologis • Beta bloker, kalsium channel bloker, diuretik, digoksin • Perkutaneus BMV • Pembedahan: closed commissurotomy, open commissurotomy, dan mitral valve replacement Algoritme terapi stenosis mitral dapat dilihat pada gam bar 1.

Stenosis Mitral simptomatik

Stenosis sedang-berat, area katup mitral~ 1,5 cm2

PASP > 60 mmHg PAWP?. 25 mmHg MVG > 15 mmHg

Morfologi katup baik untuk PMBV

Hipertensi pulmonal berat, tekanan arteri paru > 60 mmHg

Follow up per tahun

Pertimbangkan PMBV Pertimbangkan commisurotomy atau mitral valve replacement Keterangan : PASP = Pulmonary Artery Sistolic Pressure PAWP = Pulmonary Artery Wedge Pressure MVG =Mean Mitral Valve Pressure Gradient PMBV =Percutaneous Mitral Balloon Valvotomy

Gombar 1. Algoritma Tatalaksana Stenosis Mitral

4

Tabel 1. Penilaian Anatomi Katup Mitral Berdasarkan Wilkins Score 9 [ -~ :--.- ~.: ;

2

3

4

---' ;_:;::-=-.;· ~--·_:>7'';-·• ·, -

"-·'·.''><_;~~~,:.---_:_·--~~.y ~ ~-;~~{:_~:·~~~,;o_/;F..-

Katup bebas bergerak dengan ujungnya sedikit terbatas Mobilitas normal pada katup bagian tengah dan dasar Katup terus-menerus bergerak rnaju selama diastol, terutama dari dasar Mobilitas minimal atau tidak ada pergerakan katup selama diastol.

"'···

/;,o~1

" ';.'"'--·:,

~-' >-~~-c~~

·:_t1J; ..

Penebalan ujung mendekati normal (4-5 mm)

Pada echo tampak 1 Sedikit penebalan, area terang hanya pada bagian bawah katup mitral Bagian tengah normal, Area terang tampak Penebalan struktur chordal sepanjang banyak penebalan menyebar batas pada tepi (5-8 mm) katup 1/3 chordal Penebalan pada Area terang tampak Penebalan sampai setiap katl.Jp (5~8 mm) pada bag ian tengah 1./3 distal chordal katup

a

Banyak penebalan pad a jaringan katup (>8-10 mm)

Penllalan: Karakteristik yang baik untuk PMBV adalah jika wilkins score <8. >8 = keberhasilan rendah untuk PMBV.

Tampak banyak area Banyak penebalan terang pada jaringan dan pemendekan pada struktur katup chordal sampai

----·----ml.Jsl
STENOSIS MITRAL PADA KEHAMILAN Pacta kehamilan, wanita dengan stenosis Mitral ringan sampai sedang dapat diterapi dengan diuretik dan beta bloker. Obat antiaritmia yang disarankan adalah quinidine atau procainamide. Jika memerlukan antikoagulan, sebaiknya berikan heparin, hindari warfarin. Pacta stenosis Mitral berat, bila anatomi katup mitral baik, pertimbangkan percutaneus balloon valvuloplasty. 3

REGURGITASI MITRAL PENGERTIAN Regurgitasi mitral (RM) adalah aliran balik darah dari ventrikel kiri ke atrium kiri karena insufisiensi dari katup mitral. 6

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis Dyspnea karena latihan, orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea. 5 Pemeriksaan Fisik Holosistolik murmur menjalar ke aksila, S3, pergeseran apex jantung. 5

Pemeriksaan Penunjang 4·5 • EKG: pembesaran atrium kiri, hipertrofi ventrikel kiri •

Rontgen thorax: pembesaran jantung kiri



Echokardiografi: pacta mitral regurgitasi yang kronis dan berat dapat ditemukan pembesaran atrium dan ventrikel kiri



Doppler echokardiografi: pad a MR be rat dapat ditemukan jet regurgitasi yang besar



Kateter jantung: peningkatan tekanan baji kapiler paru (PCWP), ventrikulografi: regurgitasi kontras ke atrium kiri

DIAGNOSIS BANDING Stenosis aorta -7 murmur pacta stenosis aorta dapat menyerupai mitral regurgitasi, terutama bila murmur mitral regurgitasi atipik atau menjalar ke area aorta, ventricular

septal defect, prolaps katup mitral. 3

TATALAKSANA4 ·5 •

RM asimptomatik tanpa pembesaran ventrikel kiri, ritme sinus: hindari olahraga atau latihan isometrik, ekokardiografi ulang setiap 6 bulan



RM kronik: antikoagulan, ACE inhibitor, pembedahan



RM akut: vasodilator nitropruside, jika terjadi hipotensi: intra-aortic balloon counterpulsation



Pembedahan: valvuloplasti



lndikasi: o

Regurgitasi mitral kronik, berat, atau non iskemik.

o

Hipertensi pulmonal: tekanan arteri pulmonal > 50 mmHg saat istirahat atau > 60 mmHg saat aktivitas.

PROGNOSIS Mitral regurgitasi kronik memiliki prognosis lebih baik daripada akut. 3

MITRAL REGURGITASI PADA KEHAMILAN Regurgitasi mitral pada kehamilan biasanya ditoleransi dengan baik meskipun be rat, tetapi disfungsi ventrikel kiri dapat menyebabkan gagal jantung. Manajemennya adalah pemberian diuretik, dan pembedahan jika dibutuhkan. Pembedahan yang disarankan adalah mitral valve repair diindikasikan hila mitral regurgitasi be rat, akut atau ruptur chordae dan gejala gagal jantung tidak terkontrol.

STENOSIS AORTA PENGERTIAN Stenosis aorta adalah penyempitan pada katup aorta yaitu katup an tara ventrikel kiri dengan aorta.

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Angina pektoris, sinkop, gejala gagal jantung kongestif: dyspnea saat aktivitas, orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea. 7

'

622

Pemeriksaan Fisik Murmur ejeksi sistolik; medium pitched, baik terdengar pada area aorta menjalar sampai arteri karotis, carotid upstroke ; volume rendah, keterlambatan mencapai amplituda puncak. 7

Pemeriksaan Penunjang 3 ·5 •

EKG: pembesaran atrium kiri, hipertrofi ventrikel kiri

• •

Rontgen thorax: boot-shaped heart, pada foto lateral tampak kalsifikasi katup aorta Echokardiografi: penebalan katup aorta, berkurangnya mobilitas katup, hipertrofi ventrikel kiri konsentris. Doppler echokardiografi: meningkatnya tekanan gradient transvalvular dan menurunnya area aorta, gradient rata-rata > 50 mmHg (pada kasus berat).



Kateter jantung: meningkatnya left ventricular end-diastolic pressure, gradient transaorta 50 mmHg, area katup aorta< 0,7cm 2 •

DIAGNOSIS BANDING Sindrom koroner akut, mitral regurgitasi, stenosis Mitral , prolaps katup mitral, miokard infark.

TATALAKSANA3.4 •

Hindari aktivitas berat



Terapi simptomatik o Hipertensi: ACE inhibitor (perlu hati-hati dalam penggunaannya karena dapat menyebabkan hipotensi, penggunaanACE inhibitor pad a pasien asimptomatik tidak direkomendasikan), beta bloker o

Angina: nitogliserin

o

Statio untuk memperlambat kalsifikasi katup aorta



Transcateter Aortic Valve Implantation (TAVI)



Pembedahan: aortic valve replacement Indikasi: o

Stenosis aorta berat: area katup < 1 cm 2 atau 0,6 cm 2 jm 2 area permukaan tubuh

o o

Disfungsi ventrikel kiri Aneurisma atau expanding aortic root (dimensi maksimal >4.5 em atau

o

peningkatan ukuran >0.5 cmjtahun). Hipertrofi ventrikel kiri dengan ketebalan dinding >15 mm

PROGNOSIS Rata-rata kematian sebesar 5% dalam 3 bulan setelah gejala muncul, 75% dalam 3 tahun setelah gejala muncul, bila tidak dilakukan intervensi pembedahan. 3

AORTA STENOSIS PADA KEHAMILAN Bila aorta stenosis berat, lakukan balloon valvuloplasty atau valve replacement.

REGURGITASI AORTA PENGERTIAN Regurgitasi aorta adalah ali ran balik darah dari aorta ke dalam ventrikel kiri karena insufisiensi katup semilunaris aorta. 6

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Dyspnea, orthopnea, proxismal nocturnal dyspnea, angina, sinkop. 5 Pemeriksaan Fisik

Kronik: Diastolic blowing murmurpada batas kiri sternum, sirkulasi hiperdinamik, perubahan point maximal impulse. Akut: short diastolic blowing murmur, soft 51. 5 Pemeriksaan Penunjang 4·5·8



EKG: pembesaran atrium kiri, hipertrofi ventrikel kiri



Rontgen thorax: kronik

~

pembesaran jan tung, uncoiling of the aorta, akut

~

kongesti paru dengan ukuran jantung normal. • •

Echokardiografi: kronik

~

pembesaran ventrikel kiri, large Doppler jet pressure

halftime< 400 ms, akut

~

ventrikel kiri belum membesar

Kateter jan tung tekanan pulsasi Iebar, aortografi: regurgitasi kontras ke ventrikel kiri

DIAGNOSIS BANDING Mitral stenosis , regurgitasi pulmonal, stenosis tricuspid.

TATALAKSANA4 ·5 ·8 •

Kronik: Vasodilator jika asimptomatik dan fungsi ventrikel kiri normal Pembedahan



Akut: vasodilator



Pembedahan: aortic valve replacement Indikasi: o Kronik: adanya gejala, ejection fraction< 0,55, end-systolic diameter> 55 mm o Akut: gagal jantung (walaupun ringan)

PROGNOSIS Dengan aortic valve replacement, rata-rata kematian 3-4% dan bertahan selama 5 tahun sebesar 85%. 3

REGURGITASI AORTA PADA KEHAMILAN Regurgitas aorta kronik tanpa disfungsi ventrikel kiri biasanya ditoleransi dengan baik, bahkan yang dengan gejala. Manajemen dengan vasodilator, diuretik, dan restriksi garam. Indikasi pembedahan yaiutu pada aorta regurgitasi akut a tau yang gejalannya tidak dapat dikontrol.

UNITY ANG MENANGANI • •

RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Kardiovaskular RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT • •

RS pendidikan RS non pendidikan

: Departemen Bedah Jantung, Departemen Rehabilitasi Medik : Departemen Bedah Jantung, Departemen Rehabilitasi Medik

REFERENSI 1.

Mosby's Medical Dictionary, 8th edition.© 2009, Elsevier.

2.

The American Heritage® Medical Dictionary Copyright© 2007, 2004 by Houghton Miffiin Company. Published by Houghton Mifflin Company.

3.

Bryg, Robert J. Stenosis Mitral . Dalam: Crawford, Michael H. Current Diagnosis & Treatment Cardiology 3'd Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.

4.

Valvular Heart Disease. Dalam: Fauci A. Kasper D. Longo D. Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies. 2011.

5.

Carabello, Blase A. Valvular Heart Disease. Dalam: Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23'd edition. Saunders: Philadhelphia. 2007.

6.

Dorland's Medical Dictionary for Health Consumers.© 2007 by Saunders, an imprint of Elsevier.

7.

Carabello, blase A. Crawford, Michael H. Aortic stenosis. Dalam: Crawford, Michael H. Current Diagnosis & Treatment Cardiology 3'd Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.

8.

Zoghbi, William A. Crawford, Michael H. Aortic Regurgitation. Dalam: Crawford. Michael H. Current Diagnosis & Treatment Cardiology 3'd Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.

9.

Bonser, Robert. Pagano, Domenico. Haverich, Axel. Stenosis Mitral Surgery. Springer. 2011.

PERIPARTUM CARDIOMYOPATHY

PENGERTIAN Peripartum cardiomyopathy (PPCM) merupakan suatu kardiomiopati idiopatik dengan gagal jantung sekunder akibat disfungsi sistolik ventrikel kiri pada akhir mas a kehamilan atau dalam bulan menjelang persalinan, dan merupakan suatu diagnosis eksklusU Kriteria diagnosis PPCM yaitu: 2 1. Berkembangnya gagal jantung pada akhir bulan masa kehamilan atau dalam 5 bulan pasca persalinan 2. Disfungsi sistolik ventrikel kiri (fraksi ejeksi ventrikel kiri <45%) 3. Penyebab gagal jantung tidak dapat diidentifikasi, dan 4. Tidak ditemukannya penyakit jantung sebelum bulan terakhir masa kehamilan PPCM berkembang selama trimester akhir a tau dalam 6 bulan pertama kehamilan, dengan frekuensi 1:3.000 dan 1:15.000 kelahiran. Faktor risikonya antara lain meningkatnya usia maternal, paritas, kehamilan kembar, malnutrisi, penggunaan terapi tokolitik pada kehamilan prematur, dan preeklampsia. 3 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 1·3 ·4



Tanda dan gejala awal PPCM seringkali menyerupai fisiologis normal kehamilan dan dapat meliputi kelelahan, edema perifer, sesak napas terutama saat beraktivitas

(dyspnea on exertion), orthopnea, paroxysmal nocturnal dyspnea, dan batuk kering persisten. •

Gejala tambahan: rasa tidak nyaman pada abdomen akibat kongesti hati, pusing, nyeri prekordial, palpitasi, pada stadium lanjut dapat terjadi hipotensi postural, anemia



Riwayat PPCM pada kehamilan sebelumnya



Riwayat gagal jantung, miopati skeletal, gangguan konduksi dan takiaritmia, kardiomiopati, sudden death dalam keluarga



Riwayat kebiasaan minum alkohol, narkoba, kemoterapi, atau terapi radiasi

··panduan Praktik Klinis PerhlmpUnan Doktef SpesialiS Penycikit DCicm lndotlesia

Pemeriksaan Fisik1A

I



Konjungtiva anemis, takikardia, tekanan darah dapat normal atau meningkat, peningkatan tekanan vena jugularis (JVP)



Bunyi jantung ke-III ( +), pergeseran impuls apeks (displaced apical impulse}, murmur baru yang konsisten dengan regurgitasi mitral dan trikuspid



Ronki basal paru (+)



Bunyi jantung ke-11 yang loud atau split, ronki ( +) -7 tanda hipertensi pulmonal

Pemeriksaan Penunjang 1A



Laboratorium: darah perifer lengkap, parameter biokimia, fungsi tiroid, skrining sepsis, serologi virus, marker molekular



Marker jantung: troponin T (ditentukan dini setelah onset PPCM), peningkatan

B-type natriuretic peptide (BNP) dan N-terminal pro-BNP (NT-proBNP) •

EKG: umumnya tidak spesifik. Dapat menunjukkan gambaran ritme sinus atau sinus takikardia, dapat terjadi atrial fibrilasi atau ventrikel takikardia terutama hila disfungsi sistolik ventrikel kiri menjadi kronis



Radiologis: o

Foto toraks: dapat ditemukan kardiomegali, edema parujkongesti, efusi pleura

o

Ekokardiografi: tidak diagnostik untuk PPCM, namun penting untuk menyingkirkan penyebab gaga] jantung lainnya, melihat EF, besar ventrikel kiri

o

Cardiac magnetic resonance imaging (MRI): menilai struktur dan fungsi jantung, deteksi fibrosis miokard



Biopsi endomiokard: tidak rutin dilakukan karena pola mikroskopik spesifik PPCM tidak ada

DIAGNOSIS BANDING

Pre-existing idiopathic dilated cardiomyopathy (IDC) yang terungkap saat hamil, pre-existing familial dilated cardiomyopathy (FDC) yang terungkap saat hamil, HIV J AIDS cardiomyopathy, pre-existing valvular heart disease yang terungkap saat hamil, penyakit jantung hipertensi (hypertensive heart disease), pre-existing unrecognized

congenital heart disease, infark miokard terkait kehamilan, emboli paru. 4

TATALAKSANA 1 •

Gagal jantung akut pada PPCM

o

Inisial: 1.

Suplementasi oksigen hingga saturasi oksigen arteri ;:: 95%

2.

Furosemid 20-40 mg IV bolus bila ada kongesti atau volume overload

3.

Nitrogliserin 10-20 hingga 200 11g/menit IV pada pasien dengan tekanan sistolik > 110 mmHg dan diberikan dengan hati-hati pacta sistolik 90-110 mmHg.

4.

Pertimbangkan agen inotropik (mis. dobutamin) bila ada tanda hipoperfusi jaringan (akral dingin, kulit lembab, vasokonstriksi, asidosis, gangguan ginjal, disfungsi hati, gangguan kesadaran) atau pada kongesti persisten setelah administrasi vasodilator danjatau diuretik

o

Dukungan ventilator mekanik dan transplantasi jantung: apabila pasien bergantung pada agen inotropik atau intra-aortic balloon pump counterpulsation, meskipun telah mendapat terapi medis optimal.



Gagal jantung stabil pada PPCM

o

Farmakologis Pasca persalinan 7 mengikuti tatalaksana gagal jantung Antepartum: kombinasi hydralazine/ diuretik dan nitrat long-acting, diuretik (furosemid, hidroklortiazid/HCT), beta blocker, terapi antitrombosis (warfarin, heparin). Kontraindikasi: ACE inhibitor, ARB, antagonis aldosterone.

o

Cardiac resynchronization therapy and implantable cardiovertersjdefibril/ators

sesuai indikasi o

Strategi terapeutik baru Bromocriptine 2 x 2,5 mg jhari selama 2 minggu, dilanjutkan dengan 1 x 2,5 mg jhari selama 4 minggu

Skrining awal PPCM dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Skrining Awal PPCM (Fett JD, 2011 ) 4

i;~:;,;;~~flt4~T~!ii!iYJ-§jj~lg:~itJ~i"~iE0!~~#),J"~l~5!:~~~~qfij!it@IJl~tik~:~~~~~;fi~ii:~btitrh~~~ijh$i~~ii:~~~!1s~":~~,j Orthopnea (sulit bernapas saat berbaring)

Tidakada Perlu elevasi kepala Perlu elevasi kepala ~ 45°

0 1 2

Dispnea (napas pendek saat Tidak ada 0 -- ·--b-eraktivitas) _________ tvtEmaikP--a-an-aR'tc:rrrg-g-o-·---------,-------------Berjalan menanjak 2



f'

.tq~d~/gtt)!iilci.:·;;.}~:

K~rQJPertsttk

Batuk kering yang tidak diketahui penyebabnya

.•

·s.K9r!n9.:'~'j·a·.·~·''

Tidak ada Malam hari Siang dan malam

0 1

Bengkak pada ekstremitas bawah

Tidak ada Dibawah lutut Diatas dan dibawah lutut

0 1 2

Kenaikan berat badan berlebih (selama trimester Ill)

<1 kg/minggu 1-2 kg/minggu >2 kg/minggu

0

Palpitasi (sensasi denyut jantung ireguler)

Tidakada Saat berbaring di malam hari Siang dan malam, semua posisi

0

lnterpretasi skoring: <4- monitor BNP dan protein C-reaktif; 4- perlu investigasi lebih lanjut; berhubungan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri

2

1 2 1

2 ~5-

selalu

KOMPLIKASI Gagal jantung kronis, kematian. 1•3.4

PROGNOSIS Pemulihan fungsi sistolikterjadi pada 23-41% dan biasanya terjadi dalam 6 bulan setelah onset gejala. Pemulihan fraksi ejeksi cepat seringkali terlihat pada pasien setelah diagnosis inisial dan diuresis. Fraksi ejeksi >45% pada 2 bulan setelah diagnosis memberikan prognosis pemulihan fungsional secara penuh pada 75% wanita. Akan tetapi suatu studi melaporkan mortalitas 28% dapat terjadi hingga 2 tahun setelah terdiagnosis meskipun telah terjadi pemulihan fungsional. Sekitar 50% wanita tanpa pemulihan fungsi sistolik sempurna, sebagian memperoleh perbaikan fraksi ejeksi atau status fungsional, sementara lainnya mengalami disfungsi sistolik persisten atau progresif sehingga membutuhkan transplantasi atau berakibat pada kematian. 4

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular



RS non pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Medical High Care j ICCU



RS non pendidikan

: ICCU

REFERENSI Sliwa K, Hilfiker-Kleiner D, Petrie MC, et al. Current state of knowledge on aetiology, diagnosis, management, and therapy of peripartum cardiomyopathy: a position statement from the Heart Failure Association of the European Society of Cardiology Working Group on peripartum cardiomyopathy. European Journal of Heart Failure (201 0) 12, 767-778. Diunduh dari http:/ /eurjhf. oxfordjournals.org/ pada tanggal 6 Juni 2012. 2.

Morales A, Painter T, Li R, et al. Rare Variant Mutations in Pregnancy-Associated or Peripartum Cardiomyopathy. Circulation 201 0;121 :2176-2182. Diunduh dari http:/ /circ.ahajournals.org/ content/121 /20/2176 pada tanggal 6 Juni 2012.

3.

Loscalzo J, Stevenson LW. Cardiomyopathy and Myocarditis. In: Longo DL Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18'h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.

4.

Aursulesei V, Datcu MD. Periparturn Cardiomyopathy: A Systematic Review. In: Veselka J. Cardiomyopathies- From Basic Research to Clinical Management. Croatia, lntech. 2011. Hal 83- 116. Tersedia di http://www.intechopen.com/books/cardiomyopathies-frorn-basic-researchto-clinical-management

I

PERIKARDITIS

PENGERTIAN Perikardium adalah lapisan avaskular yang melapisi jan tung, terdiri dari 2 bagian yaitu perikardium viseralis dan parietalis. Perikardium viseralis merupakan membran serosa yang terdiri dari satu lapisan tersusun atas sel mesotelial dan menempel pada jantung, sedangkan perikardium parietalis merupakan membran fibrosa dengan tebal < 2 mm yang banyak mengandung kolagen dan sedikit elastin. Perikardium viseralis dan parietalis dipisahkan oleh cairan yang berasal dari ultrafiltrasi plasma dalam jumlah sedikit ±15-35 ml. Fungsi dari perikardium yaitu Y • Mencegah dilatasi jantung tiba-tiba terutama pada atrium dan ventrikel kanan selama aktivitas dan hipervolemia. • Menjaga posisi anatomis jantung dan mencegah terlipatnya pembuluh darah besar • Mengurangi gesekan antara jantung dan struktur sekitarnya • Mencegah perpindahan letak jan tung • Mengurangi risiko penyebaran infeksi dari paru-paru dan rongg pleura Walaupun perikardium mempunyai fungsi yang penting, tidak adanya perikardium karena kelainan kongenital ataupun operasi, tidak menimbulkan keluhan klinis. Salah satu kelainan yang dapat terjadi pada perikardium yaitu perikarditis. Perikarditis adalah peradangan pada perikardium viseralis danjatau parietalis yang dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan klinis dan etiologi,l label 1. Klasifikasi Perikarditis Berdasarkan Keadaan Klinis' Perikarditis akut (< 6 minggu)

Fibrinosa Efusi (serousa dan sanguineous)

Perlkardifis subakut (6 minggu-6 bulan)

Effusive-consfi"ictive Constrictive

Perikarditis kronik (> 6 bulan)

Constrictive Efusi Adhesif (non Constrictive)

label 2. Klasifikasi Perikarditis berdasarkan Etiologi 1·2

Perikarditis infeksi

• Virus (coxsackievirus A and B, echovirus, mumps, adenovirus, hepatitis, HIV) • Pyogenic (pneumokukus, streptokokus, stafilokokus, Neisseria, Legionella) • Tuberkulosis • Jamur (histoplasmosis, kokidiomikosis, kandida, blastomikosis) • Lain-lain (sifilis, protozoa, parasit)

Perikarditis non infeksi

• lnfark miokar akut • Uremia • Keganasan (primer atau metastasis ke perikardium) • Myxedema • Kolesterol • Chylopericardium • Trauma ( penetrasi dinding dada dan tidak penetrasi) • Diseksi aota (dengan kebocoran ke dalam rongga perikardium) • Setelah radiasi • Familial Mediterranean fever • Perikarditis familial (Mulibrey nanism) ldiopatik • Whipple's disease • Sarkoidosis

Perikarditis berhubungan dengan hipersensitivitas atau autoimun

• Demam reumatik • Penyakit kolagen vaskular (SLE/systemic lupus erythematosus), artritis reumatoid, spondilitis ankilosing, skleroderma, demam -reumatik~akut; ·granulomatosis~dengan poliangitis/wegener's)

• Obat-obatan (prokainamid, hidralazin, fenitoin, isoniasid, minoksidil, antikoagulan, metisergid • Setelah penyakit jantung seperti infark miokard, perikardiotomi, trauma.

Perikarditis rekurens adalah perikarditis yang memenuhi kriteria :3 •

Intermiten (gejala yang bervariasi disertai ada interval be bas gejala tanpa terapi)



Terjadi terus-menerus (penghentian OAINS/ObatAnti Inflmasi Non Steroid pasti menyebabkan relaps Perikarditis rekurens terjadi karena insufisiensi dosis danfatau durasi yang tidak

cukup dari kortikosteroid pacta penyakit perikard autoimun, terapi kortikosteroid yang terlalu dini menyebabkan bertambahnya replikasi virus DNA/RNA pad a jaringan perikard, reinfeksi, dan eksaserbasi panyakit jaringan ikat.

PENDEKATAN DIAGNOSIS Tabel 3. Diagnosis perikarditisL 4

i·····••.

··:r* .;;

·!'.;~g:~:;.'.'• . ~i2·~~:~!i.mij~s•s::·:::;:;;:f·~.·~~S!SI1f~·ffi~~~\l:P~!-rt~•~;"';Y:'~;/•• ·~-i'~ifi~~a9riKF!Il!ri:ij'h}Q'@·.•··· ·•

• Tampak cemas, subfe- • Laboratorium : leukosistobril, sinus takikardia sis, limfosistosis ringan. • Pada auskultasi terden- • Peningkatan creatine kinase MB (CKMB} atau gar friction rub pada akhir ekspirasi di bagian troponin I • Rontgen toraks : normal bawah batas sternalis pada perikarditis akut sinistra, terdengar jelas yang tidak komplikasi. jika pasien membungDapat ditemukan kelainkuk. an-kelainan sesuai etiologi penyebabnya. • EKG : ST elevasi cekung (bedakan dengan infark jantung akut dan repolarisasi dini). • Echocardiography : menentukan adanya cairan pericardia!, lokasi , dan jumlahnya. Jantung dapat bergerak bebas dalam perikardium • Computed tomography (CT) atau magnetic resonance imaging (MRI) : mengetahui lokasi cairan, penebalan perikardium, dan massa perikardium. • Asimptomatik, ke• Pada palpasi : iktus kor- • Rontgen toraks : jantung Efusi perikdrdr- - - cuaJrsudan terjadr dis dcipat tidal< teraba tampak nortndljikd jUmlan cairan efusi sedikit. Jika tamponade • Pada auskultasi : bunyi jantung dapat terdencairan efusi bertambah, tamponade • Jika sudah terjadi jantung tampak memtamponade : sesak gar menjauh, friction bulat. Pada posisi lateral, napas, nyeri dada rub tidak terdengar, tampak daerah lusen bunyi napas pada berbentuk linear antara basal paru dapat menghilang, ewart's dinding dada dan jantung bag ian anterior yang sign yaitu adanya bagian redup, peningmenandakan terpisahnya lemak parietal perikarikatan fremitus (egofoni) di bawah sudut dum dari epikardium. skapula kiri • EKG : /ow voltage and • Trias Beck : hipotensi, electrical alternans • Echocardiography : muffled heart sounds, -· daerEih lusen di antara dan peningkatan perikardium viseralis dan tekanan vena jugular. parietalis. Cairan efusi • Tanda-tanda shok: yang sedikit do pat terlihat takipnea, diaforesis, di ventrikel kiri posterookra! dingin, sianosis perifer. basa/. • Computed tomography ______________________________ ----~~-------------------- _ ____ _____{C_T}_ a tau cardiac magn@r:;_ __ resonance (CMR): mentukan kuantitas dan lokasi regional dari cairan efusi Perikarditis akut

• Nyeri dada tiba-tiba yang terkadang berat, dirasakan di retrostema/ dan dada sebelah kiri (precordial), penjalaran yang khas ke trapezius ridge ,tetapi do pat menjalar ke leher, lengan, atau bahu kiri. Nyeri sering bersifat pleuritic, dirasakan seperti tertusuk (tajam), bertambah berat dengan batuk, inspirasi, dan tidur terlentang. • Sesak napas • Batuk • Demam • Riwayat penyaki sistemik, keganasan, autoimun (tabel 2)

i.•.Aitc(rvit$$i~;: ...•. ~.;·:·.·~. ;;:,;:::r.~m!i!n~9ii.ti~tl~!~v:~·: . :s:t~1~~-m'~!i~gi!'l'!:1¥~~~lP'Qs:·•· Perikarditis konstriktiva

• Sesak napas, batuk, orthopnea.

• Lemos, muscle wasting • Edema ekstremitas inferior. tanda-tanda kongestif hepar (asites, ikterik) • Peningkatan tekanan vena jugularis • Tanda Kussmaul: peningkatan tekanan vena sistemik pada saat inspirasi. • Auskultasi jantung : murmur, bunyi jantung kedua melebar, pericardia/ knock: early diastolic pada batas sternalis sinistra atau apeks jantung. • Abdomen : hepatomegali dengan/atau tanpa asites. • Tanda-tanda kongesti hepar atau kardiak sirosis : ikterik, spider angiomas, dan palmar erythema.

Perikarditis rekuren





Rontgen toraks : jantung tampak membesar. Pada toto lateral tampak kalsifiaksi sepanjang batas jantung kanan dan atrioventrikular. Dapat ditemukan efusi pleura. EKG : tidak spesifik, abnormalitas gelombang T tidak spesifik, penurunan voltage, abnormalitas atrium kiri. atrial fibrilasi. Echocardiography : penebalan perikardial. displacement septum interventrikular yang tibatiba selama early diastolik (septal bounce). Cardiac catheterization dan angiography : dilakukan pada pasien yang akan dilakukan perikardiektomi. Computed tomography (CT} atau cardiac magnetic resonance (CMR) : mendeteksi kalsifikasi perikardial dalam jumlah kecil, penebalan perikardium.



•·.· ·:=:='m~ . .~, . . ~"-*d.l.n . ., ::=.~:~JII::]l~-~~ttHi~~-:m~f-tt~;il-f;-0~1-}~t~min~

+--fit""~~· -·.· · · · · .· · ·-- lf t~ Gombar 1. Gambaran EKG pada Perikarditis Akuts

Gamber 2. Gambaran EKG pada Repolarisasi Dini Normal•

Pendekatan pada suspek perikarditis akut :4



Jika dicurigai tetapi diagnosis perikarditis akut belum pasti, lakukan auskultasi jantung untuk mencari adanya pericardia/ rub dan dilakukan elektrokardiografi lebih sering,



Jika dicurigai atau sudah pasti terdiagnosis, lakukan pemeriksaan penunjang berikut ini untuk menentukan apakah etiologi spesifik berhubungan dengan kondisis klinis atau komplikasinya :



o

Rontgen thoraks

o

Hemogram

o

Ekokardiografi

o

Kreatinin kinase dengan fraksi MB dan Troponin I

o

Ekokardiogram

o

Jika wanita muda, periksa antibodi antinuklear serum

Jika diagnosis sudah pasti, terapi inisial dengan OAINS (obat anti inflamasi non steroid) dapat diberikan.

Pendekatan pada pasien dengan efusi perikard :4



Menentukan apakah ada tamponade jantung dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan ekokardiogram



Jika tidak ada tamponade jantung o

Jika penyebab diketahui, lakukan pemeriksaan penunjang seperti pada perikarditis akut

o

Jika efusi banyak, berikan OAINS atau kortikosteroid. Jika tidak ada respon, lakukan perikardiosentesis tertutup.

~

lnrl

Drainase efusi

Gambar 3. Algoritma Penanganan Pasien dengan Efusi Perikard Sedang-Beraf

Tabel 4. Hemodinamik dan Ekokardiografi pada Perikarditis Konstriktiva Dibandingkan dengan Kardiomiopati Restriktif4

·.. :KO:itstl:!kf1v
!-:

Penurunan tekanan vena yang bermakna

,_,ll~tgttil
Ada

bervariasi

Paradoxical pulse

'12 kasus

Tidak ada

Pericardia! knock

+

Filling pressures kiri sama dengan kanan Filling pressures > 25 mmHg

+

Kiri > 3-5 mmHg dari kanan

Jarang

Umum

Tekanan sistolik arteri pulmonal > 60 mmHg Tanda square root

Variasi pola pernapasan pada tekanan kiri dan kana

umum

+

Bervariasi

Berlebihan

normal

Ketebalan dinding ventrikel

Normal

tlmumnya meningkat

Ukuran atrium

Normal

Pembesaran kedua atrium

Septal bounce

+

Kecepatan dalam Doppler

Meningkat

Menurun

Ketebalan perikardium

Meningkat

Normal



Jika ada tamponade jantung: o

Lakukan perikardiosentesis tertutup emergensi atau observasi pasien secara ketat jika efusi berkurang setelah diberikan terapi percobaan dengan farmakologis

DIAGNOSIS BANDING



Perikarditis akut: infark jantung akut, emboli paru, pleuropneumonia, diseksi aorta, pneumonia, penumonitis, kostokondritis, gastroesophageal reflux disesase, akut abdomen. 4



Efusi perikardjtamponade: kardiomiopati dilatasi atau gaga! jantung, emboli paru,



Perikarditis konstriktiva: kardiomiopati restriktif

Tabel 5. Perbedaan Perikarditis dari lskemi/lnfark Miokard dan Emboli Paru 7

,,~~w~~j'~~:~~~::;f.~ ~~~~a(~Jp~\·~<.·: -.- T~m#~i"~~r~.-·. •. Karakter

Seperti ada yang menekan, squeezing

Tajam, stabbing

Tajam, stabbing

Perubahan dengan pernapasan

Tidakada

Memburuk

Tidak ada

Perubahan denganposisi

Tidakada

Memburuk jika terlentang, berkurang jika duduk ·atau,membungkuk ke depan

Tidak ada

Durasi

Menit (iskemia), jam (infark)

Jam-hari

Jam-hari

Respon terhadap nitrogliserin

Meningkat

Tidakada perubahan

Tidakada perubahan

Pemeriksaan fisik

Friction rub

Tidak ada (kecuali ada periakrditis)

Ada pada 85% kasus

Jarang. Pleural friction rub ada pada 3 % kasus.

EKG

Elevasi segmen ST

Konveks, lokal

Konkaf. luas

Terbatas di lead Ill, aVF, dan Vl

Dep[esi segmen PR

Jatang

Sering

Tidak ada

Gelombang Q

Mungkin ada

Tidakda

Mungkin ada di lead Ill dan/atau aVF

Nyeri dada

Gelombang T

Inverted ketika segmen ST ___________.. __ ------------------melnlngkat ----

Inverted setelah Inverted di lead segmen ST normal II, aVF, Vl-V4 --------·------k:etika segm-ensr meningkat

TATALAKSANA Perikarditis Akut 1.4 •

Cari etiologijkausal



Pasien harus dirawat inap dan istirahat baring untuk memastikan diagnosis dan diagnosis banding serta melihat kemungkinan terjadinya tamponade



OAINS: o

Ibuprofen 600-800 mg (3x sehari) setiap hari secara oral,

o

Aspirin 2-4 gramjhari

o

Indometasin 25-50 mg (3x sehari)

o

Diberikan sampai gejala menghilang atau tidak demam selama seminggu lalu dosis di- tapering off



Kolkisin 2-3 mg per oral dilanjutkan dengan 1 mg setiap hari selama 10-14 hari jika respon terhadap OAINS tidak adekuat.



Kostikosteroid sebaiknya dihindari karena dapat meningkatkan risiko rekurensi. o

Indikasi : onset akut, perikarditis karena kelainan jaringan ikat dan gagal ginjal, respon terhadap OAINS danjatau kolkisin tidak adekuat.

o

Prednison 40-80 mg setiap hari per oral selama 2 hari, lalu tapering offselama selama

Perikarditis Rekuren 4 •

OAINS selama 2 minggu



Kolkisin 2-3 mg per oral dilanjutkan dengan 1 mg



Predniosn 0.2-0.5 mgjkg berat badanjhari



Perikardiotomi

Efusi Perikard 4 •

OAINS atau kolkisin : dapat mengurangi cairan efusi



Pungsi perikardi untuk diagnostik

Tamponade Jantung 4 • •

Perikardiosentesis perkutan Bila belum bisa dilakukan perikardiosentesis perkutan, infus normal salin 500 ml dalam 10 menit disertai dobutamin 2-10 ugjkgBB/menit, untuk memperbaiki hemodinamik atau isoproterenol 2-20 ugjmenit



Kalau perlu membuat jendela perikardial dengan :

o

Dilatasi halon melalui perikardiostomi jarum perkutan

o

Pemhedahan (dengan mortalitas sekitar 15%) untuk memhuat jendela perikardial dapat dilakukan hila : tidak ada cairan yang keluar saat perikardiosentesis, tidak memhaik dengan perikardiosentesis, kasus trauma





Pemhedahan yang dapat dilakukan : o

Bedah sub-xyphoid perikardiostomi

o

Reseksi perikard lokal dengan hantuan video

o

Reseksi perikard anterolateral jantung

Pengohatan kausal : hila sehahnya antikoagulan, harus dihentikan; antihiotik, antituherkulosis, atau steroid tergantung etiologi, kemoterapi intraperikard hila etiologinya tumor.

Perikarditis Konstriktiva 4 •

Bila ringan diherikan diuretika atau dapat dicoha OAINS



Bila progresif, dapat dilakukan perikardiektomi

KOMPLIKASI 4 • Perikarditis akut: chronic relapsing pericarditis, efusi perikard, tamponade, perikarditis konstriktiva •

Efusi perikardl tamponade: henti jantung, aritmia : fihrilasi atrial atau flutter, _perikarditis ·konstriktiva.

PROGNOSIS Tergantung heratnya gejala dan komplikasi yang terjadi. Perikarditis akut idiopatik umumnya akan semhuh sendiri atau rekuren pada 70-90% kasus. Pada perikarditis konstrikitiva, kematian saat dilakukan perikardiektomi terjadi pada 5-15 % kasus. Kematian dini terjadi karena curah jantung yang rendah, sepsis, perdarahan masif, insufisiensi ginjal, dan insufisiensi pernapasan. 4

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi



RS non pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT

640



RS pendidikan

: ICCU I medical High Care, Departemen Bedah



RS non pendidikan

: ICCU I lCU, Bagian Bedah

Perikarditis REFERENSI 1.

Braunwald E. Pericardia! Disease.ln: Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 20 12.chapter 239.

2.

Little W, Freeman G. Pericardia! Disease. Circulation. 2006;113:1622-1632. Diunduh dari http:/I circ.ahajournals.org/content/113/12/1622.full.pdf+html pada tanggal 3 Juni 2012.

3.

Maisch B, Seferovi PM, Ristic A et all. Guidelines on the Diagnosis and Management of Pericardia I Diseases Full Text: The Task Force on the Diagnosis and Management of Pericardia! Diseases of the European Society of Cardiology. 2004. Diunduh dari http:/ /www.nvvc.ni/UserFiles/Richtlijnen/ ESC/Pericardial%20diseases%202004.pdf pada tanggal 2 Juni 2012.

4.

LeWinter M, Tischler M. Pericardia! Diseases. In : Bonow R, Mann D, Zlpes D, Lib P, editors. Braunwald's Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine.9h ed. United States of America; Elsevier, 2012. P. 1651-1 671

5.

Diunduh dari http:/ /www.cardiacedu.com/ecg/pericarditis.jpg pada tang gal 21 Juni 2012.

6.

Diunduh dari www.emedu.org pada tanggal 12 Juni 2012.

7.

Little WC, Freeman GL. Pericardia I Disease. Circulation. 2006; 113:1622-1632. Diunduh dari http:/I circ.ahajournals.org/content/113/12/1622 pada tanggal 2 Juni 2012.

PENYAKIT JANTUNG KONGENITAL

PENGERTIAN Penyakit jantung kongenital adalah defek pada struktur jantung atau fungsi dari sistem kardiovaskular yang sudah ada saat lahir, walaupun dapat ditemukan di kemudian hari. Berdasarkan lesi, Penyakit jantung kongenital dapat diklasifikasikan menjadi: 1. Sianosis: membran mukosa berwarna kebiruan karena peningkatan pengurangan (saturasi oksigen yang rendah) hemoglobin, sianosis sentral terjadi karena bercampurnya sirkulasi karena right-to-left shunt, dan 2. Asianosis. 1 Pada bab ini hanya akan dibahas Atrial Septal Defect (ASD), Ventricular Septal Defect (VSD), Patent Ductus Arteriosus (PDA), Tetralogy of Fa/lot (TOF). Tabel 1. Pembagian Penyakit Jantung KongenitaF

, " lic:J:n9i!~

I

Bikuspid atrioventrikel

Tetralogy of Fa/lot (TOF)

ValvarPS

Eisenmenger Syndrome

.Mrium Septal Detect(.ASD)..Secundum

Tricuspid-Atresia------

Atrium Septal Defect (ASD) Primum

Pulmonary atresia with intact septum

Atrioventrikular Septal Defect

Dextra type-Transposition of Great Arteries

Ventricular Septal Defect (VSD) Patent Ductus Arteriosus (PDA) Coarctatio Aorta Congenitally Coreccted Transposition of Great Arteries Ebstein Anomaly Coronary Atrioventricular Fistulae

.__ .;

ATRIAL SEPTAL DEFECT (ASD) PENGERTIAN Atrial Septal Defect (ASD) adalah keadaan adanya defek pada bagian septum an tar

atrium sehingga terjadi komunikasi langsung antara atrium kiri dan kanan. Berdasarkan lokasi anatomi, ASD diklasifikasikan menjadi: 1. Ostium Sekundum ASD: kelainan pada bagian tengan septum interatrium yang disebabkan karena pembesaran foramen ovale atau resorpsi berlebihan dari septum primum, 2. Ostium primum ASD: kelainan pada bagian bawah septum atrium, 3. Sinus venosus ASD: kelainan pada superior dari hubungan an tara vena cava superior dengan atrium kanan. 1

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Jika tekanan arteri pulmonal normal, biasanya tanpa gejala. Dapat ditemukan sesak napas setelah latihan dan nyeri dada yang atipik yang frekuensinya makin meningkat. 2 Pemeriksaan Fisik

Impuls ventrikel kanan yang menonjol pada batas dada kiri bawah, arteri pulmonal teraba, sistolik ejeksi murmur, bunyi jan tung II dengan fixed split (patognomonik). Pad a pasien dengan ostium primum ASD ditemukan holosistolik murmur. Jika terdapat hipertensi pulmonal, dapat ditemukan peningkatan P2 dengan high-pitched murmur. Tanda gagal jantung kanan: peningkatan tekanan vena jugular. 2 Pemeriksaan Penunjang 2



Elektrokardiografi (EKG):

• •

Pada 90% kasus ditemukan incomplete right bundle branch block Pada ostium secundum dan sinus venosus ASD: aksis QRS tampak vertikal pada



lead VI atau rightward Rontgen thorax: cabang arteri pulmonalis tampak menonjol, small aortic knob,



pembesaran ventrikel kanan. Ekokardiografi: pembesaran jantung kanan, meningkatnya aliran arteri pulmonal,



ada shunt Kateter jantung kanan: oxygen step up dari vena kava ke atrium kanan. Semakin besar saturasi oksigen arteri pulmonal, semakin besar shunt nya.

TATALAKSANA3 • Shuntkecil (rasio sirkulasi pulmonal: sirkulasi sistemik (Qp:Qs) < 1,5), ASD kecil (<Smm) dan tidakada pembesaran jan tung kanan: observasi, ulangi ekokardiogram setiap 2-3 tahun untuk memantau fungsi dan ukuran jantung kanan serta tekanan pulmonal. • Penutupan defek baik bedah maupun perkutaneus: hila ada pembesaran ventrikel maupun atrium kanan dengan a tau tanpa gejala, adanya komplikasi. Sinus venosus, sinus coronary atau primum ASD sebaiknya dikoreksi dengan pembedahan. KOMPLIKASI Gagal jantung kanan, hipertensi pulmonal, paradoxical embolization. 2 PROGNOSIS Ostium secundum ASD yang tidak dikoreksi, harapan hidup sebesar 50% dibawah usia 40 tahun. Rata-rata kematian sebesar 6% per tahun setelah usia 40 tahun. 2 ASD DAN KEHAMILAN Kehamilan dapat menyebabkan paradoxical embolization pacta ibu dan kematian pacta fetus. 3 _,

VENTRICULAR SEPTAL DEFECT (VSD) PENGERTIAN Ventricular Septal Defect (VSD) adalah defekkongenital pacta septum di antara ventrikel,

biasanya disebabkan karena kegagalan septum spiral menutup foramen interventrikular. VSD diklasifikasikan berdasarkan lokasi anatomi: 1. Membranous: supracristal, perimembranous, rna/alignment. 2. Muscular: inlet dan oulet. 1

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Jika tekanan arteri pulmonal normal, biasanya tanpa gejala. Dapat ditemukan sesak napas setelah latihan. 2

Pemeriksaan Fisik2·4



Murmur holosistolik, kadangkala sistolic thrill, terdengar jelas di ruang interkostal IV atau V sepanjang batas sternum kiri, menjalar ke regia parasternal kanan



Bunyi jantung II denganfixed split.



Dapat ditemukan S3 gallop dan diastolic rumble karena peningkatan aliran melalui katup mitraL



Jika ada komplikasi insufisiensi trikuspid akan ditemukan prominent jugular venous v wave dan murmur sistolik.



Jika ada komplikasi regurgitasi katup aorta akan ditemukan diastolic blowing murmur, peningkatan pulsasi arteri

Pemeriksaan Penunjang2



EKG: jika shunt besar, dapat ditemukan pembesaran ventrikel kiri atau kedua ventrikel.



Rontgen thorax lateral: pembesaran atrium kiri



Ekokardiografi



Color-flow Doppler: jet sistolik berkecepatan tinggi melintasi septum ventrikular

ke ventrikel kanan •

Kateter jantung kanan; menilai saturasi oksigen ventrikel kanan (untuk mengetahui besarnya shunt dari ratio Qp:Qs), tekanan arteri pulmonal, dan resistensi vascular.

TATALAKSANA3 •

Observasi: jika Op:Qs < 2, tidak ada gejala, tidak ada overload volume ventrikel kiri, tidak ada regurgitasi aorta yang berhubungan dengan VSD.



Pembedahan: jika Qp:Qs

~

2 atau bila Op:Qs > 1,5 dengan disfungsi sistolik atau

diastolik ventrikel kiri atau dengan tekanan arteri pulmonal < 2/3 dari tekanan sistemik. •

Terapi vasodilatasi pulmonal dapat dipertimbangkan pacta pasien VSD dengan penyakit vaskular pulmonal berat.



Percutaneus device closure dapat dipertimbangkan pacta VSD muskular

PROGNOSIS VSD yang tidak dikoreksi, rata-rata bertahan 10 tahun sejak gejala muncul adalah 75%. 3

VSD DAN KEHAMILAN Pada pasien dengan VSD ringan, kehamilan biasanya ditoleransi dengan baik, tanpa peningkatan risiko kematian ibu maupun bayi meskipun /eft-to-right shunt meningkat karena meningkatnya cardiac output selama kehamilan. Pada pasien dengan VSD be rat (large shunt) dapat mengalami aritmia, disfungsi ventrikeP

PATENT DUCTUS ARTERIOSUS (PDA) PENGERTIAN Patent Ductus Arteriosus (PDA) adalah sisa dari sirkulasi normal fetus. Pada neonatus normal, PDA akan menutup dalam 10-15 jam setelah lahir. 2 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Riwayat ibu terinfeksi rubela ketika hamil, sesak nap as karena latihan, nyeri dada, palpitasU Pemeriksaan Fisik

-,

Pulsasi nadi teraba lebar dan kolaps, murmur yang terdengar paling jelas dibawah klavikula kiri dan bunyinya meningkat pada late systole. Jika shuntnya besar, dapat ditemukan S3 gallop dan diastolic murmur. 4 Continous machinery murmur Pemeriksaan Penunjang2



EKG: Pada shunt yang besar dapat ditemukan hipertrofi atrium dan ventrikel kiri, jika ada hipertensi pulmonal, dapat ditemukan P-pulmonale, right-axis deviation, dan hipertrofi ventrikel kanan.



Rontgen thorax: jika shunt besar, dapat ditemukan bayangan jantung membesar dan vaskular pulmonal yang berlebihan. Jika ada hipertensi pulmonal, dapat ditemukan ; pembuluh darah paru perifer berkurang, arteri pulmonalis sentral menonjol. Pada pasien dewasa tampak duktus mengalami kalsifikasi.

• •

Ekokardiografi Color-flow Doppler: aliran berkecapatan tinggi yang kontinu didalam arteri

pulmonalis utama de kat cabang kiri. •

Kateter jantung kanan

TATALAKSANA 3 • Observasi denganfollow-up rutin setiap 3-5 tahun pada PDA ringan tanpa bukti overload volume jantung kiri • Penutupan PDA secara perkutaneus lebih disarankan karena tingkat keberhasilan tinggi dan komplikasi kecil. KOMPLIKASI Gagal jantung kongestif, hipertensi pulmonal. 4 PROGNOSIS Sekitar 15% pasien > 40 tahun memiliki kalsifikasi dan aneurismal dilatation dari duktus yang menyulitkan operasi.

TETRALOGY OF FALLOT (TOF) PENGERTIAN Empat komponen tetralogy of fa/lot adalah rna/aligned VSD, obstruksi aliran ventrikel kanan, aortic override of the VSD, dan hipertrofi ventrikel kanan karena respon ventrikel kanan terhadap tekanan aorta lewat VSD besar. 4 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Riwayat sianosis ketika lahir, intoleransi latihan. 2 Pemeriksaan Fisik

Sianosis, clubbing, pulmonic flow murmur, Pemeriksaan Penunjang4

• • • • •

EKG: hipertrofi ventrikel kanan Rontgen thorax: boot shaped heart dengan ventrikel kanan yang menonjol dan cekung di daerah konus paru. Echokardiografi dua dimensi: rna/aligned VSD dengan overriding aorta MRI Kateter jantung: tekanan pulmonal normal

TATALAKSANA Pembedahan ; angioplasty dan stenting of branch pulmonary stenosis. 3

PROGNOSIS Hanya 11 o/o individu yang lahir dengan TOF dapat bertahan hidup tanpa operasi paliatif sampai usia 20 tahun, dan hanya 3% yang dapat hid up sampai usia 40 tahun. 2

UNITY ANG MENANGANI • •

RS pendidikan RS non pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular : Depatemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

: Departemen Bedah Jantung, Departemen Ilmu Kesehatan Anak Divisi Kardiologi : Departemen Bedah, Departemen Anak, Departemen Rehabilitasi Medik

REFERENSI

-I

1.

Morelli. Ariane J. Congenital Heart Disease. Dalam: Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23'd edition. Saunders: Philadhelphia. 2007.

2.

Harris, ian S. Foster, Elyse. Congenital Heart Disease in Adults. Dalam: Crawford, Michael H. Current Diagnosis & Treatment Cardiology 3•d Edition. The MacGraw Hills Companies. 2009.

3.

Warnes. Carole A. Et all. ACC/ AHA 2008 Guidelines for the management of adults with congenital heart disease: executive summary. Circulation. 2008;118:2395-2451 ;originally published online November 7. 2008; doi: 10.1161 I CIRCULATIONAHA.108.190811.

4.

Congenital heart disease in adult. Dalam: Fauci A. Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S. Jameson J. Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2011.

HIPERTENSI PULMONAL

PENGERTIAN Definisi hipertensi pulmonaljpulmonary hypertension (PH) merujuk pada adanya tekanan vaskular paru yangtinggi secara abnormal. Sedangkan hipertensi arteri pulmonalj pulmonary arterial hypertension (PAH) adalah kumpulan gejala akibat dari restriksi aliran melalui sirkulasi arteri pulmonal, yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskular paru dan pada akhirnya gagal jantung kanan. PAH merupakan suatu kategori PH, oleh karena itu keduanya bukan merupakan sinonim. 1 Pada individu yang sehat, tekanan darah pada arteri pulmonallebih rendah daripada arteri lainnya didalam tubuh. Apabila tekanan darah yang melewati seluruh tubuh berkisar 120/80 mmHg, maka tekanan arteri pulmonal berkisar 25/10 mmHg. Apabila tekanan arteri pulmonal mencapai 40/20 mmHg, atau tekanan rata-rata melebihi 25 mmHg, maka terjadi PH. Apabila PH menjadi persisten atau sangattinggi, maka ventrikel kanan jantungyang menyuplai darah ke arteri pulmonal tidak dapat memompa secara efektif sehingga pasien akan mengeluh napas pendek, kehilangan energi, dan edema, yang merupakan tanda gagal jantung kanan. 2 Berbagai kondisi dan penyakit juga dapat meningkatkan tekanan arteri pulmonal tercantum pada tabel 1.

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis2 ·3 • Sesak, Ielah, angina pektoris, sinkop, hampir sinkop • Riwayat penyakit komorbid Pemeriksaan Fisik 1 • Mencerminkan derajat keparahan PH : o Aksentuasi komponen pulmonal S2 (terdengar pada apeks >90%) o Bunyi klik pada awal sistolik (early systolic click) o Ejeksi murmur midsistolik o Left parasternal lift

:Panduan,Praltill/Kiinis iiokter ,\e~hiri;p;j~Ori

~

o

S4 ventrikel kanan (38%)

o

Meningkatnya gelombang "a" jugular

label 1. Mekanisme Penyakit yang dapat menyebabkan Hipertensi PulmonaF Akibat gagal jantung kiri (tekanan balik pembuluh darah paru 1I)

• Gaga! pampa ventrikel kiri (serangan jantung, kardiomiopati) • Kekakuan ventrikel kiri (hipertensi, diabetes, sindrom metabolik) • Penyakit katup (stenosis katup mitral atau aorta, atau regurgitasi) Penyakit yang mempengaruhi seluruh paru (penyakit paru yang merusak pembuluh darah)

• Bronkitis kronis dan emfisema • Penyakit paru interstitial (fibrosis paru, sarkoidosis, dll) Terkait hipoksia (berkurangnya oksigen membuat pembuluh darah paru konstriksi)

• Tinggal di daerah pegunungan • Sleep apnea dan sindrom hipoventilasi lainnya • Hipoksia akibat ronkitis kronis dan emfisema (penyakit paru obstruktif kronik/PPOK) Hipertensi arteri pulmonal (perubahan pada struktur dan fungsi arteri pulmonal)

• • • • • • • •

ldiopatik (sebelumnya dikenal dengan hipertensi pulmonal primer) Diturunkan (akibat mutasi BMPR2 atau Alk-1) lmbas obat dan toksin (stimulan) Penyakit jaringan konektif (khususnya skleroderma) lnfeksi HIV (jarang terjadi <1%) Hipertensi portal (sirosis dan penyakit hati lanjut lainnya) Penyakit jantung kongenital Penyakit oklusi vena pulmonal dan hemangiomatosis kapiler paru

Penyakit obstruksi pembuluh darah paru primer

• • • • -I

Tromboemboli paru Schistosomiasis Anemia sickle cell Emboli tumor

-·Meutastinitis fibrosa\oi:YstroK:si-cJK:iooTliorosisyangterRaitnisfopfasmosiS)

Klasifikasi revisi PH menurut WHO dapat dilihat pacta tabel 2. Tabel2. Klasifikasi Revisi Hipertensi Pulmonal menurut WHO'

1. Hipertensi arteri pulmonal (PAH) : idiopatik (IPAH), familial (FP AH), terkait dengan (APAH); penyakit jaringan konektif, shunt sistemik-ke-paru kongenital, infeksi HIV, obat dan toksin, lainnya (penyakit tiroid, penyakit cadangan glikogen, penyakit Gaucher, teleangiektasis hemoragik herediter, hemoglobinopati, gangguan mieloproliferatif kronis, splenektomi), terkait dengan keterlibatan vena atau kapiler (pulmonary vena-occlusive disease, pulmonary capillary hemangiomatosis), hipertensi pulmonal persisten pada neonatus 2. Hipertensi pulmonal dengan penyakit jantung kiri : penyakit jantung atrium atau ventrikel bagian kiri, penyakit katup jantung bagian kiri 3. Hipertensi pulmonal terkait dengan penyakit paru dan/atau hipol<semia : PPOK, penyakit paru interstitial,_ gangguan bern a pas sa at tidur, _gangguan hipoventilasi alveolar, _papa ran kronis terhadap ketinggian, gangguan perkembangan 4. Hipertensi pulmonal akibat trombosis kronis dan/atau penyakit emboli (CTEPH) : obstruksi tromboernboli arteri pulmonal proksimal, distal, emboli paru non-trombosis (tumor, parasit, benda asing) 5. Lainnya (sarkoidosis, histiositosis X, limfangiornatosis, kompresi pembuluh darah paru; adenopati,

--·tumor,-mearastinftisfirnoSO}--------------~------------~-------------------



Sugestif PH derajat sedang-berat : o Derajat sedang-berat : murmur holosistolik yang meningkat saat inspirasi, meningkatnya gelombang "v" jugular, pulsatile liver, murmur diastolik, hepatojugular reflux o

PH stadium lanjut dengan kegagalan ventrikel kiri : S3 ventrikel kanan (23%), distensi vena jugular, hepatomegali, edema perifer (32%), asites, tekanan darah rendah, hilangnya tekanan nadi, akral dingin



Sugestif kemungkinan penyebab lain atau kaitan dengan PH : o Sianosis sentral, clubbing o

Temuan pacta auskultasi jantung (murmur sistolik, diastolik, opening snap, gallop)

o

Ronki, perkusi redup atau menurunnya bunyi napas

o

Ronki basah halus, penggunaan otot aksesorius, mengi, ekspirasi protraksi, batuk produktif

o

Obesitas, kifoskoliosis, pembesaran tonsil

o

Sklerodaktili, artritis, teleangiektasis, fenomena Raynaud, ruam

o

Insufisiensi vena perifer atau obstruksi

o

Ulkus vena stasis

o

Bruit vaskular paru

o

Splenomegali, spider angiomata, palmar eritem, ikterus, kaput medusa, asites

Pemeriksaan Penunjang 1·3



Laboratorium : darah perifer lengkap, ANA, HIV, TSH, fungsi hati, biomarker jantung (BNP, NT-proBNP, troponin T)



EKG : right axis deviation, hipertrofi ventrikel kanan, hipertrofi atrium kanan



Radiologis : o Foto toraks: pembesaran arteri pulmonalis sentral, hipertrofi ventrikel kanan, hipertrofi atrium kanan o

Ekokardiogram : pembesaran ventrikel dan atrium kanan, penurunan fungsi ventrikel kanan, regurgitasi trikuspid, pergeseran septum intraventrikular, efusi perikardial

o

MRI jantung : menilai ukuran dan fungsi ventrikel kanan secara akurat

DIAGNOSIS BANDING Lihat tabel 2

PENDEKATAN DIAGNOSIS

I

Tes pivotal

1

l

I

I

Tes kontingen

.I

Anamnesis, pemeriksaan fisik, rontgen thorax, EKG

~ Echocardiogram

~ VQ scan

1

PFTs

I

Index kemungkinan PH

r====:

Excersice Echo

L~

Angiografi pulmonal PE kronis

Chest CT angiogram Profil koagulopati

I

I

ABGs

I

Fungsi ventilator Pertukaran gas

~ Overnight oxymetri

1

I

Polysomnography

I

·I

Gangguan tidur

lnfeksi HIV

HIV ANA

I

RVE, RAE, naiknnya RSVP, fungsi RV Penyakitjantung kiri VHD, CHD

TEE

I~

Penilaian

Serologis CTD lainnya

LFTs

I

Skleroderma, SLE, RA Hipertensi portopulmonar

T Data dasar prognosis

Tes fungsional (6MWT, CPED Tes vasodilator Excersice Rh cath

Konfirmasi PH

Volume loading

Profil hemodinamik

Kateter jantung kiri

Respon vasodilator

Rh Cath

Gamber 1. Algoritma Pendekatan Diagnosis PH'

I

TATALAKSANA 3 Prinsip terapi : 1. Memastikan diagnosis dengan benar : pasien sebaiknya melakukan kateterisasi

jantung sebelum terapi dimulai 2. Menilai kondisi baseline penyakit: untuk menilai efektivitas terapi 3. Tes vasoreaktivitas :sebaiknya diperiksa saat didiagnosis untuk memandu terapi 4. Pasien reaktif sebaiknya diterapi dengan calcium channel blockers dosis tinggi [drug of choice)

5. Pasien non-reaktif sebaiknya ditawarkan terapi lain, namun tidak ada terapi spesifik yang ditawarkan sebagai terapi lini pertama 6. Follow-up periodik manfaat obat sangat penting: lakukan penilaian ulang dalam 8 minggu setelah obat baru dimulai, karena pasien yang tidak merespon pada awalnya mungkin dapat merespon setelah paparan lebih lama. Efektivitas terapi dapat menghilang seiring berjalannya waktu 7. Terapi yang tidak efektif sebaiknya diganti daripada ditambah. Pasien yang gaga! pada semua terapi sebaiknya dipertimbangkan transplantasi paru 8. Manfaat dan risiko terapi kombinasi tidak diketahui : hanya tambahan sildenafil pada epoprostenol yang terbukti bermanfaat label 3. Agen untuk Pemeriksaan Vasodilator Akut'

l:i~~'ti~:.~~~~~~:i,;:i~.nh~i·i~.}~~'tjgR:§m~t~111.~~,~~~5~i~~~:if~~~i!§!(t\~~i~·~:r~-~;~1l.Sl:f:~;,·~~itlifti~iJJlt.t'0~~;;~jf;:J

· --Rute-aaminfstrasr-- --

··-~--·-Tnfos-,v~---·-----

·---Tnfilllv-·-----------,nnaJosi____ _

2 ng/kg/menit tiap 10-1S menit

SO mcg/kg/menit tiap 2 menit

Range dosis

2- 10 ng/kg/menit

SO- 2SO mcg/kg/menit

10-80 ppm

Efek sam ping

Sakit kepala, mual, pre-sinkop

Dispneu, nyeri dada, blokAV

Peningkatan filling pressure jantung kiri pada pasien yang memiliki kecenderungan

Titrasi dosis

Tidak ada

KOMPLIKASI Gaga! jantung kanan (cor pulmonale), bekuan darah, aritmia, perdarahan

TATALAKSANA PH Antikoagulan + diuretik + oksigen + digoksin

Risiko tinggi

Risiko rendah

~ Respon berkelanjutan

~

ERAs atau PDE-5 Is (oral) Epoprostenol atau Treprostinil (iv) lliprost (inhalasi) Treprostinil (Sc)

Epoprostenol atau treprostinil (iv) lliprost (inhalasi) Treprostinil (Sc) ERAs atau PDE-5 Is (oral)

,-------1.-----,

Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan PH'

PROGNOSIS Determinan prognosis PH dapat dilihat pada tabel 4. -I

Tabel4. Determinan Prognosis PH' e~"f'~~)c"ift~-~~(ii;i"'ll!:!''-"®'""~llfj~ZfJI!Il:>'~""' ~§82fi"P'i:~""'t"6;i;io;"'"'~~~ft;W~&~~i>~]~5ilriW;~iT&lfli.'i'."J"~~ff,"F"'~'"'I':'\i"t;i !L~>\1!i.it~i!ot~l!!B!J]!0~.~!~~~~{,(~&a<1..m.l ~,JJl..,,,!l!"~\~!!I~JSJPJ!:~!t.cSI\IJDK~;fl>'!!i~J:rM~-li.~!!!-~;M£ID!!t!il~J..!!9_9!l~'!i(!

Bukti klinis kegagalan ventrikel kanan

Tidak ada

Ada

Progresi gejala

Perlahan-lahan

Kelas WHO*

II, Ill

IV

Jarak 6MW**

Lebih jauh (> 400 meter)

Lebih pendek (< 300 meter)

Cepat ·

CPET

Peak V0 2 > 10,4 mL/kg/menit

Peak V0 2 < 10,4 mL/kg/menit

Ekokardiografi

Disfungsi ventrikel kanan minimal

Efusi perikardial. disfungsi ventrikel kanan signifikan

Hemodinamik

RAP <1 0 mmHg, Cl >2,5 L/ menit/m 2

RAP >20 mmHg, Cl <2,0 L/ menit/m 2

BNP***

Sedikit meningkat

Meningkat secara signifikan

Keterangan : *Kelas WHO merupakan klasifikasi fungsional PH dan merupakan modifikasi kelas fungsional NYHA •• Jarak 6-minute-walk juga do pat dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, dan tinggi bad an ***Soot ini penelitian BNP do lam mempengaruhi prognosis masih terbatas, oleh karena itu angka absolut tidak diberikan pada variabel ini Cl =cardiac index; CPET =cardiopulmonary exercise testing; peak V0 2 =average peak oxygen uptake during exercise; RAP =right atrial pressure; WHO= World Health Organization

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan



RS non pendidik

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiovaskular

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

REFERENSI 1.

Mclaughlin V, ArcherS, Badesch D, et al. ACCF/AHA 2009 Expert Consensus Document on Pulmonary Hypertension: A Report of the American College of Cardiology Foundation Task Force on Expert Consensus Documents and the American Heart Association Developed in Collaboration With the American College of Chest Physicians; American Thoracic Society, Inc.; and the Pulmonary Hypertension Association. J. Am. Coli. Cardiol. 2009;53; 1573-1619. Diunduh dari http:/ /content.onlinejacc.org/cgi/reprintframed/53/17 /1573 pada tanggal 14 Juni 2012.

2.

Newman JH, Hemnes AR. Pulmonary Hypertension. In : Schraugnagel DE. Breathing in America : Diseases, Progress, and Hope. American Thoracic Society. 2010. Hal175-84. Diunduh dari http:/I www.thoracic.org/education/breathing-in-america/resources/breathing-in-america.pdf pada tanggal 23 Mei 2012.

3.

Rich S. Pulmonary Hypertension. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine.lB'hEdition. New York, McGraw-Hill. 2012

·~

-I

PENY A KIT ARTERI PERl FER

PENGERTIAN Penyakit arteri perifer (PAP) adalah kelainan klinis karena adanya stenosis atau oklusi di aorta atau arteri ekstremitas. Stenosis atau oklusi pada usia> 40 tahun paling banyak disebabkan karena aterosklerosis, sisanya disebabnya trombosis, emboli, vaskulitis, displasia fibromuskular, tekanan organ sekitar, cystic adventitial disease, dan trauma. Lokasi primer terjadi di aorta abdominalis dan arteri iliaka (30 o/o pada pasien dengan gejala), arteri femoral dan poplitea (80-90 o/o pasien), dan arteri tibia dan peroneus (40-50 o/o pasien).l,Z Ada berbagai macam PAP yaitu : • Vaskulitis : arteritis Takayasu, arteritis sel giant (temporal) • Oklusi arteri akut • Arteroemboli • Thoracic Outlet Compression Syndrome • Popliteal Artery Entrapment • Aneurisma arteri poplitea • Fistula arteriovena • Raynaud's Phenomenon • Akrosianosis • Livedo Reticularis • Pernio (Chilblains) • Eritromelalgia • Frostbite Faktor Risiko PAP pada Ekstremitas lnferior2 • Usia < SO tahun, dengan diabetes melitus dan satu faktor risiko arterosklerosis (merokok, dislipidemia, hipertensi, atau hiperhomosisteinemia) • Usia 50-69 tahun dan riwayat merokok atau diabetes melitus. • Usia ;o: 70 tahun • Abnormalitas pulsasi ekstremitas bawah • Diketahui adanya aterosklerotik koroner, carotid, atau penyakir arteri renalis.

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis Keluhan terjadi pada < 50 o/o pasien yaitu klaudikasio intermiten (rasa nyeri, ache, keram, baal, atau kelelahan pada otot selama aktivitas dan menghilang dengan

istirahat) yang dirasakan di distal dari lokasi oklusi, misalnya di bokong, pinggul, dan otot paha jika oklusi di aortoiliaka, sedangkan sakit di betis dirasakan jika oklusi di arteri femoral-poplitea. Keluhan dirasakan lebih sering pada ekstremitas bawah dibandingkan ekstremitas atas. Keluhan lain yaitu pasien merasakan dingin atau baal pada kaki dan ibu jari kaki yang seringkali dirasakan pada malam hari ketika posisi tungkai horizontal dan meningkat ketika tungkai pada posisi menggantung. Pada kasus iskemia berat, nyeri dapat tetap ada pada saat istirahat. 1•2

Pemeriksaan Fisik Menurunnya atau tidak terabanya nadi di distal dari oklusi, terdengarnya bruit, dan otot ampak atrofi. Pada kasus berat terdapat penebalan kuku, kulit tampak hal us dan mengkilap, menurunnya suhu kulit, ram but kaki rontok, pucat atau sianosis. Ulkus atau gangren dapat ditemui pada pasien dengan critical limb ischemia. Pemeriksaan refleks tungkai juga dapat menurun karena neuropati iskemia.

13 ·

Pemeriksaan Penunjang 1·3 • Laboratorium: darah lengkap, PT (prothrombine time], APTT (activated partial thromboplastin time], trombosit • Elektrolit, ureum, kreatinin, gula darah, profillipid • Urin lengkap • Rontgen toraks • Elektrokardiografi • Ankle brachial index (ABI] (lebih lengkap pada bab ABI) • Pengukuran tekanan segmental • Segmental pulse volume recordings • Ultrasonografi dupleks: gambaran B-mode dan pengukuran kecepatan aliran darah dengan Doppler • Oksimetri transkutaneus • Tes stress (treadmill] • Arteriogram • Magnetic resonance angiography (MRA], computed tomographic angiography (CTA], dan angiografi kontras konvensional

o

tidak dilakukan secara rutin untuk mendiagnosis PAP

o

Dilakukan sebelum revaskularisasi

Ada 2 klasifikasi penyakit arteri perifer: 2 Tabel 1. Klasifikasi Fontaine untuk Penyakit Arteri Perifer2 ,,'.~{:$tbg,e.,~:U~'''"-;:J0t,

I

,;\::','''" ,;lt+.

::.c:,::,,~,,

,,,,,:z,l JfGeJalg'' : .,;,

Asimptomatik Klaudikasio intermiten Tidak ada nyeri, klaudikasio jika jolon >200 m Nyeri soot istirahat dan nocturnal Nekrosis, gangren

II a lib Ill IV

Tabel 2. Klasifikasi Rutherford untuk penyakit arteri perifer2

':tK..\:ii~9.ri:/ ;· '" 0 2

3 4 Ill

5

IV

6

;;j·:': c;.·..:

.G~jalq;,,.

Asimptomatik Klaudikasio intermiten Klaudikasio sedang Klaudikasio berat Nyeri iskemik soot istirahat Kehilangan jaringan minor Ulserasi atau gangren

-I

l ABI50.90 {abnormal)

Terapi farmakologik: antiplatelet. inhibitor ACE

Gombar 1. Algoritma Pendekatan Berisiko PAP Tanpa Keluhan 2

Anamnesis gangguan berjalan dan keterbatasan

ABI > 0.9

ABI s; 0.9

ABI setelah treadmill (TBI, tekanan segmental, atau ultrasonografi dupleks)

Hasil abnormal

Hasil normal

Konfirmasi diagnosis PAP

Mengatasi faktor risiko : stop rokok, mengontrol tekanan darah, kadar lemak darah, dan gula darah

Tidak ada PAP atau pikirkan adanya sindroma entrapment arteri

Terapi farmakologik: antiplatelet, inhibitor ACE

Gamber 2. Algoritma pendekatan berisiko PAP dengan keluhan klasik2

DIAGNOSIS BANDING

Pseudoklaudikasio (nyeri jika berdirijposisi lordosis dan menghilang dengan duduk, tidur terlentang, membungkuk ke depan, atau meregangkan spinal), penyakit

obstruksi vena berat, kompartemen sindrom kronik, penyakit lumbar dan stenosis spinal, penyakit muskular inflamasi.

~

Diagnosis pasti PAP

~

.6

ISObilitas

Tidak perlu terapi. Periksa secara rutin soot kontrol apakah ada tanda-tanda iskemik

l

I

........

Keterbatasan aktivitas

I

Farmakologik : Cilostazol atau Pentoxifylline

latihan

!

Percobaan selama 3 bulan

,I

Keterbatasan aktivitas disertai bukti adanya PAP

~

I Program

I

~

I Pemeriksaan angiografik untuk membantu diaanosis 1

Percobaanl~

I

....----

selama 3 bula

Terapi endovaskular atau operasi bypass per anatomy

~

Tes efikasi sebelum dan sesudah program

+

Perbaikan klinis. Follow up secara rutin soot kontrol

Disabilitas yang signifikan walaupun dengan terapi medis dan/atau terapi endovaskular.

! Evaluasi kebutuhan operasi revaskularisasi atau endovaskular.

-I

Gamber 3. Algoritma Penanganan PAP 2

TATALAKSANA 1·2 •

Tujuan: menurunkan risiko kardiovaskular, meningkatkan fungsi ekstremitas, mencegah progresifitas menjadi iskemia, dan menjaga viabilitas ekstremitas.



Modifikasi faktor risiko : o

Menghentikan rokok

o

Mengontrol tekanan darah dengan Angiotensin converting-enzyme inhibitors dan penghambat ~ adrenergik

o •

Mengatasi hiperkolesterolemia: statin. Target penurunan LDL < 100 mg/dl.

Antiplatelet: o

Aspirin 81-325 mgjhari per oral

o

Klopidogrel 75 mgjhari per oral

o

Menurunkan risiko kardiovaskular pacta pasien dengan aterosklerosis



Antikoagulan : warfarin o





Sarna efektif dengan antiplatelet, tetapi meningkatkan risiko perdarahan

sehingga tidak direkomendasikan pada PAP kronik. Suportif o

Perawatan kaki, menjaga kebersihan, dan menjaga kelembapan kulit kaki

o

Mengurangi trauma dengan memakai sepatu dengan ukuran yang sesuai

o

Menghindari pemakaian kaus kaki (berbahan karet) karen a dapat menurunkan aliran darah ke kulit

Olahraga: o

Secara teratur dan meningkat secara progresif

o

Olahraga dengan pengawasan dilakukan 30-45 menit, 3-5 kali seminggu selama 12 minggu

o

Olahraga dilakukan dengan berjalan kaki sampai muncul klaudikasio hampir maksimal, lalu beristirahat sampai gejala menghilang sebelum mulai berjalan lagi.



Obat-obatan : o

Cilostazol: inhibitor fosfodiesterase dengan efek vasodilator dan anti platelet,

meningkatkan durasi olahraga. Dosis 100 mg (2 kali sehari), hati-hati o

pemberian pada gagal jantung (dosis menjadi SO mg 2 kali sehari) Pentoxifylline : derivate xantin, meningkatkan aliran darah ke mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan, meningkatkan durasi olahraga. Dosis 3x400 mgjhari minimal 8 minggu.



Revaskularisasi o

Indikasi: keluhan klaudikasio intermiten progresif atau berat, adanya diabilitas, critical limb ischemia.

o o

Sebelum revaskularisasi sebaiknya dilakukan angiografi kontras konvensional. Operasi: Indikasi : pasien dengan keluhan klaudikasio dengan disabilitas fungsi

yang tidak membaik dengan farmakoterapi atau olahraga, pasien yang berisiko keluhan klaudikasio bertambah berat. Tidak diindikasikan untuk mencegah progresivitas critical limb ischemia pada pasien dengan klaudikasio intermiten. Tergantung lokasi oklusi, luasnya oklusi, dan komorbid. Jenis operasi untuk penyakit aortoiliaka: aortobifemoral bypass, axillofemoral bypass,femoro-femoral bypass, and aortoiliac endarterectomy

Jenis operasi untuk penyakit arteri femoralis-poplitea : autogenous saphenous vein bypass grafts, penempatan PTFE (polytetrafluoroethylene),

dan tromboendarterektomi. label 3. Jenis operasi untuk revaskularisasi'

Aortobifemoral bypass

3.3

87.5

Aortoiliac atau aortofemoral bypass

1-2

85-90

Iliac endarterectomy

0

79-90

Femorofemora/ bypass

6

71

Axillofemora/ bypass

6

49-80

4.9

63-67.7

Axi/lofemoral-femoral bypass

o

Non-operasi: Percutaneous transluminal angiography (PTA),pemasangan stent,

arterektomi Angka keberhasilan pacta PTA iliaka sebesar 90-95 %, dan ketahanan selama 3 tahun sebesar > 75% Angka keberhasilan pacta PTA dan pemasngan stentpada femoral-poplitea 1

sebesar 80 %1 dan ketahanan selama 3 tahun sebesar 60%

KOMPLIKASI Critical limb ischemia, amputasi, ulkus, gangren PROGNOSIS Pacta 1/3-1/2 pasien PAP dengan keluhan, berdasarkan klinis dan EKG juga mengidap penyakit arteri koroner (CADjcoronary artery disease), sedangkan > liz pasien terdeteksi dengan angiografi koroner. Angka harapan hidup 5 tahun pacta pasien dengan PAP sebesar 15-30 %, dan meningkatkan risiko kematian akibat CAD sebesar 2-6 kali. Angka kematian meningkat seiring dengan derajat beratnya PAP. Sebanyak 75-80% pasien dengan PAP tanpa diabetes mellitus mempunyai keluhan yang stabil, sedangkan 1-2% berkembang menjadi critical limb ischemia setiap tahun. Pacta kasus critical limb ischemia, 25-30% kasus menjalani amputasi dalam 1 tahun, dan mempunyai prognosis buruk pacta yang merokok dan diabetes mellitus. 1

REFERENSI 1.

Creager MA. Vascular Diseases of the Extremities. In: Fauci A. Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 249

2.

Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR et al. ACC/AHA 2005 Practice Guidelines for the Management of Patients With Peripheral Arterial Disease (Lower Extremity, RenaL Mesenteric, and Abdominal Aortic) : A Collaborative Report from the American Association for Vascular Surgery/Society for Vascular Surgery.* Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, Society for Vascular Medicine and Biology, Society of lnterventional Radiology, and the ACC/AHA Task Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Develop Guidelines for the Association of Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation; National Heart, Lung, and Management of Patients With Peripheral Arterial Disease): Endorsed by the American Blood Institute; Society for Vascular Nursing; TransAtlantic Inter-Society Consensus; and Vascular Disease Foundation. Circulation. 2006; 113:e463-e654. Diunduh dari http:/ /circ.ahajournals.org/ pad a tang gal 2 Juni 2012.

3.

Antono D, Ismail D. Penyakit arteri perifer. Dalam: Alwi L Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW, editors. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010: Hal1831-1841

KELAINAN SISTEM VENA DAN LIMFATIK

KELAINAN SISTEM VENA

J

PENGERTIAN Penyakit vena kronik (chronic venous disease) yaitu kelainan yang ditimbulkan akibat abnormalitas struktur dinding vena, katup danjatau abnormalitas sehinggga menyebabkan refluks danjatau obstruksi. Pembuluh darah vena pada ekstremitas terbagi atas superfisial dan profundus. Pada ekstremitas inferior, vena superfisial terdiri dari vena safena magna dan parfa, sedangkan vena profundus berjalan bersamaan dengan permbuluh darh arteri besar. Vena superfisialis dan profundus dihubungkan dengan vena perforantes. Sistem vena disertai dengan katup bikuspid yang mengatur aliran darah vena. Beberapa kelainan sistem vena yaitu :1 • Trombosis vena o Trombosis vena dalam (deep venous thrombosisjDVT) dan tromboemboli pulmonal Akut (bila gejala < 10 hari) Kronik (bila gejala > 10 hari) o Trombosis vena superfisial o Faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya trombosis vena : Operasi: prosedur ortopedik, thoracic, abdominal, dan genitourinarius Keganasan: pankreas, paru-paru, ovarium, testis, traktus urinarius, payudara, lambung Trauma Imobilisasi Kehamilan Pemakaian kontrasepsi atau preparat estrogen Hiperkoaguabilitas Venulitis Riwayat DVT sebelumnya



Vena varikosa (varicose veins) o

Primer: berasal dari sistem vena superfisial, terjadi lebih banyak pada wan ita daripada laki-laki, disertai riwayat dalam keluarga.

o

Sekunder: berasal dari insufisiensi sistem vena dalam dan oklusi vena dalam yang menyebabkan pelebaran vena supersial



Insufisiensi vena kronik o

Dapat berasal dari DVT danjatau inkompetensi katup. Setelah DVT, katup menjadi menebal dan berkontraksi sehingga tidak dapat mencegah aliran darah balik. Dinding vena menjadi kaku dan tebal.

o

Klasifiaksi berdasarkan CEAP (clinical, etiologic, anatomic, pathophysiologic) untuk memperkirakan derajat keparahan klinis.

label 1. Klasifikasi lnsufisiensi Kronik Berdasarkan CEAP 1

l~i~GlSli-Bli~Wif-Aul!tl!l\wa~~tt-~11t~iiilt~iiltif!ilJ~'~~~;~~~i:~~

Klinis

CO

Tidak terlihat atau terabd adanya kelainan vena

Cl

Teleangiektasis, vena retikular

C2

Vena varikosa

C3

Edema tanpa perubahan kulit

C4a

Adanya perubahan kulit seperti pigmentasi dan/atau eksema

C4b

Lipodermatoskeloris dan/atau atrophie blanche

CS

c6 Ec Etiologi

Anatomis Patofisiologi

Healed venous ulcer · ~------·

----~ulkusve-na-al
Kongenital

Ep

Primer

Es

Sekunder

En

No venous etiology indentified

As

Vena superficial

Ap

Perforator vein

Ad

Vena dalam (deep vein)

An

No venous location indentified

Pr

Refluks

Po

Obstruksi

Pr,o

Refluks dan obstruks

Pn

No venous pathophysiology indentified

Keterangan:diagnosis horus mencakup keempat klasifikasi di alas

PENDEKATAN DIAGNOSIS Diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik : Tabel 2. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik pada Kelainan Vena 1.4

"''· , . . ··"'' . .·.·.; .rr~~;~~~~~ii~· cJrf~~l~~r~B.::. ·~<~:~hf\~~~~R~s~~·:·~:,plrftt~~~~,1~"eri~ Anamnesis

Asimptomatik sampai menyebabkan nyeri atau kram di betis selama beberapa hari dan menjadi progresif.

Pemeriksaan Kemerahan, bengkak, nyerL fisik peningkatan suhu

Nyeri

Dull ache atau merasakan ada tekanan pada ekstremitas setelah berdiri lama dan menghilang dengan elevasi tunkai. Terasa berat pada tungkai. Terlihat vena pada Kemerahan, suhu kulit teraba posisi tungkai hangat, dan nyeri menggantung, tekan sepanjang disertai edema vena superfisialis pada pergelangan kaki. Ulkus pada kulit dekat dengan pergelangan kaki.

Dull ache yang semakin memberat dengan posisi berdiri lama dan menghilang dengan elevasi tungkai

Terlihat vena, edema, meningkatnya diameter tungkai. Pada bagian distal terlihat kemerahan, dermatitis, dan hiperpigmentasi. Ulkus terjadi pada daerah sekitar maleolus medial dan lateral, serta dapat berkembang menjadi selulitis.

Pemeriksaan Penunjang 3



Ultrasonografi: Continuous-wave (CW) Doppler, duplex scan, echocardiografi Doppler:

o

Tujuan: melihat adanya refluks, mencari sumber lokasi dan morfologi, pemeriksaan preoperatif



Imajing: angiografi-CT scan, angiografi-MRI



Plethysmography: quantitative photoplethysmography, phlebography (venography)

o

Indikasi phlebography: mempunyai anomali anatomis atau malformasi, atau jika ada indikasi operasi sistem vena dalam.

label 3. Kriteria Diagnosis DVT4

Kanker aktif Paralisis, paresis, atau menggunakan cast Terbaring di tempat tidur > 3 hari, post operasi mayor< 12 minggu Nyeri tekan di sepanjang vena dalam Edema tungkai Pembengkakan pada betis unilateral > 3 em Edema pitting Collateral superficial nonvaricose vein -2

Adanya diagnosis alternative rnenyerupai DVT Kelerangan : « 0 : kecil kemungkinan adanya DVT 1-2 : kemungkinan DVT « 3 : kemungkinan besar DVT

Pendekatan diagnosis untuk DVT

Pemeriksaan imajing

Ultrasonografi vena

IUltrasonografi vena I ~

lcr II scan

Phlebography

I

Gombar 1. Algoritma Pendekatan Diagnostik untuk DVT4

DIAGNOSIS BANDING Ruptur kista Baker, selulitis, sindroma postflebitis, sumbatan arteri menahun. 4 TATALAKSANA 1•3 •5 Trombosis vena dalam/DVT



Antikoagulan : o

Indikasi:untuk mencegah perluasan trombos ke vena dalam dan mencegah emboli paru.

o

12 jam sejak gejala prtama. Streptokinase 250.000 IU, dilanjutkan 100.000 IU/jam selama 1-5 hari.

o

Jarang dipakai karena risiko perdarahan lebih besar



Anti agregasi trombosit: o Golongan vasoaktif



Operasi: o Indikasi: jika terapi antikoagulan dan trombolitik tidak berhasil serta ada o

bahaya gangrene Ligasi vena, trombektomi vena, femorofemoral grafts, atau saphenopoliteal bypass: sesuai indikasi

Trombosis vena superfisial

• •

Suportif Bed rest dengan elevasi tungkai dan kompres hangat

• •

OAINS (obat anti steroid non inflamasi) Obat antikoagulan: untuk mencegah perluasan trombos ke vena dalam dan mencegah emboli paru. Diberikan jika trombosis berada di vena safena magna pacta daerah paha dan meluas sampai perbatasan dengan femoral (saphenofemoral junction).

J

Vena varikosa

• •

Menghindari posisi berdiri terlalu lama Memakai kaus kaki elastis atau compression stocking



Elevasi tungkai secara periodik



Prosedur: o Indikasi: jika keluhan tetap ada, trombosis vena superficial yang rekuren, dan/ o o

atau adanya Skleroterapi: jika varikosa kecil Radiofrekuensi endovenus:untuk mengatasi vena safena magna inkompeten

o

Ablasi laser.

o

Operasi: berupa ligasi dan stripping vena safena magna dan parva.

lnsufisiensi vena kronik

668



Menghindari posisi berdiri dan duduk terlalu lama



Elevasi tungkai secara periodik



Memakai kaus kaki elastic atau compression stocking setiap hari



Ulkus: kompres dan ditutup dengan occlusive hydrocolloid



Operasi: o

lndikasi: jika ulkus berulang dan edema berat

o

SEPS (Subfascial endoscopic perforator surgery): untuk memutuskan vena yang inkompeten.

o

Valvuloplasty dan bypass of venous occlusions

Tabel 3. Prosedur operasi pada kelainan vena 2 "_Y-~c:'v-':,;:,-t.:~1'"•".i(.;,;-~1,::c.0'_:•,:,-~~;; i_L_\~-- •

Femorai-AK popliteal vein

1.3-6.3

66

Femorai-AK popliteal prosthetic

1.3-6.3

50

Femorai-BK popliteal vein

1.3-6.3

66

Femorai-BK popliteal prosthetic

1.3-6.3

33

Femoral-tibial vein

1.3-6.3

74-80

Femoral-tibial prosthetic

1.3-6.3

25

0-4

28-40

2.7-3.2

64-67

0-3

49-50

Composite sequential bypass Femoral-Tibial blind segment bypass Profundaplasty Keterangan:AK :above knee. BK:below knee

KOMPLIKASI Tromboemboli, emboli paru, ruptur vena, perdarahan, gangguan sistem limfatik. 1

PROGNOSIS Komplikasi tromboemboli dapat meningkatkan morbiditas ada DVT dan meningkatkan angka kematian sebesar 30% dalam 1 bulan. Pacta 25 o/o kasus dengan emboli paru akan menyebabkan kematian mendadak. Angka rekurensi DVT sebesar 30% dalam 10 tahun. 6

KELAINAN SISTEM LIMFATIK PENGERTIAN Pacta sistem limfatik juga dikenal sistem limfe tepi dan dalam. Sistem limfe tepi menerima cairan limfer dari dermis dan jaringan di bawah kulit, sedangkan sistem limfe dalam menerima cairan limfe dari otot dan sendi. Cairan limfe akan didorong

dari dalam ke arah tepi. Cairan limfe diperoleh dari cairan interstitial yang berasal dari darah arterial melalui proses ultrafiltrasi pacta dinding kapiler serta adanya perbedaan tekanan onkotik. Kelainan sis rem limfatik yaitu kelainan yang ditimbulkan akibat abnormalitas sistem limfatik sehingga menyebabkan gangguan drainase cairan pacta jaringan dan organ. 1 Pacta bab ini akan dibahas mengenai limfedema.

LIMP EDEMA Limfedema adalah akumulasi cairan berlebihan dari cairan ekstraseluler yang dapat disebabkan oleh :

Kongenital Lymphedema praecox Limfedema tarda

Limfangitis rekuren Filariasis Tuberkulosis Keganasan Operasi Terapi radiasi

PENDEKATAN DIAGNOSIS _I

Anamnesis Asimptomatik atau tungkai terasa berat, chronic dullY

Pemeriksaan Fisik Edema yang dimulai dari kaki dan menyebar sampai tungkai atas. Awalnya edema bersifat hal us dan pitting, selanjutnya menjadi indurasi dan fibrosis. Dermatitis stasis dan hiperpigmentasi dapat ditemui.

17 •

Pemeriksaan Penunjang1.7 •

Ultrasonografi vena:sesuai indikasi



Ultrasonografi abdomen dan pelvis:untuk mendeteksi lesi obstruksi seperti keganasan.



MRI atau CT scan: sesuai indikasi



Lymphoscintigraphy dan lymphangiography:

o

Tujuan: untuk mendiagnosis a tau membedakan an tara limfedema primer atau sekunder.

o

Lymphoscintigraphy: menyuntikkan plasma protein radioaktif yang berlabel technetium ke distal dari jaringan subkutaneus pada ekstremitas yang terkena.

o

Lymphangiography: Tujuan: mencari penyebab, melihat kelainan anatomis dari saluran limfe.

kontras disuntikkan ke distal saluran linfe yang sudah dikanulasi.

DIAGNOSIS BANDING DVT, myxedema pretibial, lipedema.

TATALAKSANA 1·7 •

Edukasi perawatan kaki pada pasien, menjaga kebersihan tungkai



Fisioterapi: massage untuk meningkatkan drainase



Konservatif: elevasi tungkai, kompresi dengan kaos kaki elastis, pemakaian pelembab jika kulit kering



Obat vasoaktif seperti flavonoid:memperbaiki mikrosirkulasi dinding pembuluh darah.



Antibiotik profilaksis:sesuai indikasi



Terapi bedah: limfangioplasti, transposisi flap omentum, eksisi radikal dan graft kulit, lymphovenous shunts.

KOMPLIKASF •

Komplikasi dermatologis:inflamasi (erysipelas, selulitis, dermatitis, limfangitis ), onkologi (angiosarkoma/ Sindroma Stewar-Treves).



Komplikasi terlibatnya sistem saraf, otot, dan skeletal:artropati, ligamentoses, tendinoses, dan periostases.

PROGNOSIS Limfedema menyebabkan keterbatasan dalam aktivitas yang dapat mengakibatkan distress psikis. Selain itu dapat menjadi limfangiosarkoma, dengan insiden sebesar 10

% pada penderita limfedema selama 10 tahun. 8•9

UNITY ANG MENANGANI •

RS Pendidikan

:Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Kardiologi



RS non Pendidikan :Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS Pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Hematologi Onkologi Medik, ICCU

I

medical High Care, Departemen

Bedah •

RS non Pendidikan

: ICCU

I

ICU, Departemen Bedah

REFERENSI 1.

Creager MA. Vascular Diseases of the Extremities. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 249.

2.

Hirsch AT, Haskal ZJ, Hertzer NR et all. ACC/AHA 2005 Practice Guidelines for the Management of Patients With Peripheral Arterial Disease (Lower Extremity, Renal, Mesenteric, and Abdominal Aortic):A Collaborative Report from the American Association for Vascular Surgery/Society for Vascular Surgery,* Society for Cardiovascular Angiography and Interventions, Society for Vascular Medicine and Biology, Society of lnterventional Radiology, and the ACC/AHA Task Force on Practice Guidelines (Writing Committee to Develop Guidelines for the Association of Cardiovascular and Pulmonary Rehabilitation; National Heart, Lung, and Management of Patients With Peripheral Arterial Disease): Endorsed by the American Blood Institute; Society for Vascular Nursing; TransAtlantic Inter-Society Consensus; and Vascular Disease Foundation. Circulation. 2006;113:e463-e654. Diunduh dari http:/ /circ.ahajournals.org/ pada tanggal 2 Juni 2012

3.

Agus GB, Allegra C, . Arpaia G et all. Guidelines for the diagnosis and therapy of diseases of the veins and lymphatic vessels. Evidence-based report by the Italian College of Phlebology. INTERNATIONAL ANGIOLOGY vol. 21 - suppl.2 to issue 2- JUNE 2005

4.

Goldhaber SZ. Deep Venous Thrombosis and Pulmonary Thromboembolism .. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 262.

5.

Jusi HD. Flebolofi. Dalam:Jusi HD. Dasar-Dasar llmu Bedah Vaskuler.edisi IV.Jakarta:Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal 21 0-31 6

6.

CDC Division of Blood Disorders:Public Health Research Activities in Venous Thromboembolism. Michele G. Beckman, Sara E. Critchley, W. Craig Hooper, Althea M. Grant and Roshni Kulkarni. Arterioscler Thromb Vase Bioi. 2008;28:394-395.Diunduh dari http:/ /atvb.ahajournals.org/ content/28/3/394.full.pdf+html pada tanggal 4 Juni 2012.

7.

Jusi HD.Limfologi. Dalam:Jusi HD. Dasar-Dasar llmu Bedah Vaskuler.edisi IV.Jakarta:Balai Penerbit FKUI. 2008. Hal317-343

8.

Chopra, S; Ors, F; Bergin, D (2007). "MRI of angiosarcoma associated with chronic lymphoedema: Stewart Treves syndrome". British Journal of Radiology 80 (960): e310-3.DOI:10.1259/ bjr/19441948. PMID 18065640.

9.

Stopple mS. Lymphedema.Diunduh dari http://www.emedicinehealth.com pada tanggal 22 Juni 2012.

J

PENATALAKSANAAN Dl BIDING ILMU PENYAKIT DALAM

PANDUAN PRAKTIK KLINIS PSI KOSO

ANSI ETAS

PENGERTIAN Ansietas merupakan kecemasan yang berlebihan dan lebih bersifat subyektif. Pada umumnya pasien datang ke poliklinik penyakit dalam dengan keluhan somatik. Sindrom ansi etas menurut Diagnostic and Statistical Manual ofMental Disorder Fourth Edition Text Revision (DSM IV-TR) dibedakan menjadi beberapa macam yaitu: ansi etas GAD (Generalized Anxiety Disorder), ansietas panik (Panic Disorder), ansietas OCD (Obsessive Compulsive Disorder), Fobia, PTSD (Post Traumatic Stress Disorder), dan ansietas lainnya. 1 Pada bab ini akan lebih dibahas mengenai Generalized Anxiety Disorder (GAD) karena kasusnya yang lebih sering ditemukan. Pada beberapa penelitian menyebutkan adanya pengaruh dari agen anxiogenic sebagai penyebab. 1 PENDEKATAN DIAGNOSJS3.4 Kriteria Diagnosis GAD menurut DSM IV- TR a. Rasa cemas berlebihan mengenai beberapa aktivitas atau kejadian, lebih sering dialami daripada tidak selama paling tidak 6 bulan. b. Orang terse but mengalami kesulitan untuk mengontrol rasa cemas tersebut. c. Rasa cemas terse but berhubungan dengan setidaknya tiga a tau lebih gejala berikut (paling tidak selama 6 bulan): (1) tidak bisa istirahat; (2) gampang Ielah; (3) kesulitan berkonsentrasi; (4) mudah tersinggung; (5) otot tegang; (6) gangguan tidur. d. Fokus ansietas dan kecemasan tidak berhubungan dengan kelainan Axis I. contoh: ansi etas tidak berhubungan dengan serangan panik (seperti pada kelainan panik), merasa malu di depan umum (seperti pada fobia sosial), merasa terkontaminasi (seperti pada kelainan obsesif kompulsif). Rasa cemas dan ansietas juga tidak terjadi pada posttraumatic stress disorder (PTSD). e. Ansi etas, rasa cemas, atau keluhan fisik menyebabkan adanya penurunan kualitas hid up.

f.

Gangguan tersebut tidak disebabkan oleh efek langsung penggunaan obat atau kondisi medis (contoh: hipertiroid), dan tidak muncul saat terdapat gangguan mood, gangguan psikotik, atau gangguan perkembangan pervasive.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan bila dicurigai adanya kelainan organik. • •

Hb, Ht, Leukosit, Ureum, Kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap. Analisa gas darah, Na+, K+, Ca 2 -, T3, T4, TSH sesuai indikasi.



Foto toraks, bila perlu.



EKG, elektromiogram, elektroensefalogram, bila perlu.



Endoskopi, kolonoskopi, USG bila perlu.



Stress analyzer/ Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance

DIAGNOSIS BANDING Ansietas panik, fobia, PTSD, gangguan campuran ansietas dan depresi, depresi, gangguan somatisasi, kelainan organ yang ditemukan (koinsidensi). TATALAKSANA5·6 • Nonfarmakologis : Edukasi, Reassurance, psikoterapi • Farmakologis a. Benzodiazepin : Diazepam, alprazolam, clobazam b. Nonbenzodiazepin : Buspiron, penyekat beta bila gejala hiperaktivitas menonjol c. SSRI : Sertraline, fluoxetine, citalopram d. SNRI : Duloxetine, venlafaxine e. Simtomatik : Sesuai indikasi KOMPLIKASI Kurang atau tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari PROGNOSIS Angka remisi kurang dari 50% dalam rentang 5 - 12 tahun. Penurunan angka remisi dapat disebabkan oleh: 1. Hubungan keluarga yang tidak harmonis. 2. Komorbid dengan kepribadian menghindar. 3. Komorbid dengan kepribadian dependent.

674

4. Komorbid dengan gangguan kepribadian obsesif kompulsif. 5. Komorbid dengan gangguan Axis I. 6. Jenis kelamin perempuan.

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Psikosomatik - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

: Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

REFERENSI 1.

Mudjaddid E. Pemahaman dan penanganan psikosomatik gangguan ansietas dan depresi: di bidang ilmu penyakit dalam. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid Ill edisi V. Jakarta: Intern a Publishing; 2010:2105-8.

2.

Reus VI. Mental disorders. In: Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Jameson JL, Kasper DL, Longo DL. Harrison's rinciples of Internal Medicine 17th Edition. New York: McGraw-Hill Companies; 201 0:2547-61 .

3.

Diagnostic and statistical manual of mental disorders 41h ed. Washington DC. American Psychiatric Association. 2000

4.

Yonkers A. Factors predicting the clinical course of generalised anxiety disorder .The British Journal of Psychiatry.2000; 176: 544-9.

5.

Baldwin DS, Anderson IM, Nutt DJ, et al. Evidence-based guidelines for the pharmacological treatment of anxiety disorders: recommendations from the British Association for Psychopharmacology. J Psychopharmacol, Nov 2005; 19: 567- 596.

6.

Kendall T, Cape J, Chan M, Taylor C .Management of generalised anxiety disorder in adults: summary of NICE guidance. BMJ;2011 :342: c7460.

DEPRESI

PENGERTIAN Depresi merupakan gangguan afektifyang ditandai adanya mood depresi (sedih), hilang minat, dan mudah Ielah. Pad a umumnya pasien datang ke klinik penyakit dalam dengan keluhan somatik. Pada pembahasan berikut, depresi berat dengan gejala psikotik tidak termasuk didalamnya. 1•2 PENDEKATAN DIAGNOSIS 1•3.4 Depresi mayor ditegakkan apabila pasien mengalami gejala-gejala di atas selama minimal 2 minggu. Adapun kriteria diagnosis episode depresi mayor berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Fourth Edition Text Revision {DSM IV-TR) adalah sebagai berikut: Tabell. Kriteria Diagnosis Depresi Mayor Berdasarkan DSM IV-TRl A. Lima atau lebih dari gejala berikut dialami selama 2 minggu yang soma dan merasa terdapat perubahan fungsional dari keadaan sebelumnya; minimal mengalami satu dari gejala berikut yaitu (1) mood depresif atau (2) hilang miriat atau kesenangan. Catatan: gejala yang disebabkan karena kondisi medis umum atau waham mood-inkongruen atau halusinasi tidak diikutsertakan. 1. Mood depresif sepanjang hari. hampir setiap hari yang ditandai dengan keluhan pasien berupa perasaan sedih atau hampa atau laporan dari orang lain (misalnya terlihat menangis) 2. Kehilangan minot atau rasa senang pada semua atau hampir semua aktivitas sepanjang hari, hampir setiap hari 3. Terdapat penurunan atau peningkatan berat badan signifikan(>S% berat badan awol dalam sebulan) walaupun tidak sedang dalam program diet atau penurunan atau peningkatan nafsu makan hampir setiap hari 4. Insomnia atau hipersomnia hampir setiap hari 5. Agitasi psikomotor atau retardasi hampir setiap hari 6. Merasa Ieiah atau hilang energi hampir setiap hari 7. Perasaan tidak berharga atau perasaan bersalah yang berlebihan atau tidak sesuai hampir setiap hari 8. Kehilangan kemampuan untuk berpikir atau konsentrasi. sulit membuat keputusan hampir setiap hari 9. Timbul pemikirao akaD kematianygog_beriJiqng-ulang, ide uotukbuoub diri den gem atau tanpa rencana spesifik

B. Gejala-gejala tersebut tidak memenuhi kriteria untuk episode campuran C. Gejala-gejala tersebut secara klinis menimbulkan distress atau gangguan dalam kehidupan sosial. pekerjaan atau kegiatan fungsionallainnya D. Gejala-gejala tersebut timbul tanpa terkait dengan penggunaan obat-obatan atau kelainan medis umum (misal hipotiroid) E. Gejala-gejala tersebut tidakterkait dengan adanya kejadian menyedihkan seperti kehilangan orang yang dicintai. gejala menetap >2 bulan atau adanya gangguan fungsional yang berarti, preokupasi morbid terhadap rasa tidak berharga, ide bunuh diri, gejala psikotik atau retardasi psikomotor

Depresi minor ditegakkan apabila pasien mengalami minimal dua gejala depresi selama dua minggu namun tidak memenuhi kriteria depresi mayor. Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi, Stress analyzer/ Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance. Terdapat beberapa alat penapisan untuk depresi: •

Beck Depression Inventory



Beck Depression Inventory-PC



Center for Epidemiological Studies Depression



Edinburgh Postnatal Depression Scale



Zung Depression Rating Scale

DIAGNOSIS BANDING Gangguan campuran ansietas dan depresi, ansi etas, gangguan somatisasi, kelainan organ yang ditemukan (koinsidensi), kelainan karena pengaruh obat-obatan. 1 TATALAKSANA Nonfarmakologis : edukasi, reassurance, psikoterapF· 5•6 Farmakologis : 1•2 • Antidepresan: o antidepresan trisiklik (nortriptilin, imipramin, desipramin, amineptin) o penghambat reversibel MAO (moklobemid) o antidepresan generasi dua (amoksapin, maprotilin, trazodon, bupropion) o golongan SRRI (sertralin, paroksetin, fluoksetin, sitalopram, esitalopram) • Simtomatik, sesuai indikasi Berikut ini adalah algoritma penatalaksaan depresi mayor menggunakan terapi farmakologis. KOMPLIKASI Berkurangnyajtidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari (bekerja), bunuh diri, komplikasi akibat pengobatan. 5 PROGNOSIS Di antara individu dengan depresi mayor dengan pengobatan, 76% mencapai remisi dengan angka rekurensi mencapai 70% dalam waktu 5 tahun dan setidaknya 80% dalam 8 tahun. 1

Tanyakan riwayat pengobatan depresi sebelumnya pada pasien atau pada keluarga lini pertama yang pernah menjalani pengobatan, bila ada, pertimbangkan untuk menggunakan obat yang soma. Bila tidak ada, evaluasi karakteristik pasien dan sesuaikan dengan obatobatan yang ada, pertimbangkan status kesehatan, efek samping, kenyamanan, harga, preferensi pasien, interaksi obat, potensi bunuh diri dan riwayat kepatuhan pasien

lnisiasi terapi, mulai dengan 1/3 hingga 'h dosis sasaran apabila obat yang akan digunakan adalah golongan antidepresan trisiklik, bupropion, venlafaksin, mirtazapin. A tau gunakan dosis penuh yang dapat ditoleransi apabila menggunakan obat golongan SSRI

Apabila terjadi efek samping, evaluasi kemungkinan toleransi, pertimbangkan penurunan dosis atau terapi pengganti sementara

Apabila efek samping berlanjut, turunkan dosis obat bertahap dalam satu minggu dan inisiasi terapi baru. Pertimbangkan interaksi obat-obatan yang dipilih.

Evaluasi respon setelah 6 minggu pada dosis sasaran, apabila respon tidak adekuat, tingkatkan dosis bertahap sesuai kemampuan toleransi pasien.

Apabila setelah pemakaian dosis maksimal respon belum adekuat, pertimbangkan untuk penurunan dosis bertahap dan ganti dengan obat jenis lain atau pertimbangkan terapi tambahan. Apabila obat yang dipakai adalah antidepresan trisiklik, periksa kadar obat dalam plasma sebagai dasar untuk pemilihan obat selanjutnya Gamber 1. Algoritma Penatalaksanaan Depresi Mayor Menggunakan Terapi farmakologis 2

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Psikosomatik- Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

: Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

REFERENSI 1.

Mudjaddid E. Pemahaman dan penanganan psikosomatik gangguan ansietas dan depresi: di bidang ilmu penyakit dalam. In: Sudoyo A Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi V. Jakarta: Intern a Publishing; 2009:2105 -10

2.

Reus V.Mental disorders. In: Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine 18'" ed. New Yark: McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2012: 3529-43.

3.

Diagnostic and statistical manual of mental disorders 4'"ed. Washington DC. American Psychiatric Association. 2000

4.

Sharp L Lipsky M. Screening for depression across the lifespan: a review of measures for use in primary care settings. Am Fam Physician. 2002;66(6):1001- 9.

5.

Current depression among adults---United States, 2006 and 2008. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 201 0;59 (38): 1229-35

6.

Eisendrath S, Lichtmacher J. Psychiatric disorders. In: McPhee S, Papadakis M, Rabow M, editors. Current medical diagnosis and treatment 2012. 51" ed. Asia; The McGraw -Hill Education. 2012:1034-47

7.

Qaseem A Snow V, Denberg, TD, et al. Using Second-Generation Antidepressants to Treat Depressive Disorders: A Clinical Practice Guideline from the American College of Physicians. Ann Intern Med. 2008;149:725-733

679

DISPEPSIA FUNGSIONAL

PENGERTIAN Dispepsia merupakan gejala atau kumpulan gejala berasal dari regio gastroduodenum yang dapat berupa nyeri epigastrium, rasa terbakar, rasa penuh setelah makan, perasaan cepat kenyang, dan lainnya termasuk rasa kembung pada area abdomen atas, mual, muntah, dan berdahak. Keluhan dispepsia kronik dapat terjadi terus-menerus, intermiten, atau kambuhan yang dirasakan minimal 6 bulan atau lebih. 1•2•3 Berdasarkan kriteria Roma III, dispepsia fungsional adalah adanya satu atau lebih dari: • Rasa penuh (kekenyangan) setelah makan (bothersome postprandial fullness) • Perasaan cepat kenyang • Nyeri ulu hati • Rasa terbakar di ulu hati • Tidak ditemukan kelainan struktural yang dapat menjelaskan keluhan saat dilakukan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas (SCBA). Keluhan berlangsung ~ 3 bulan terus menerus, a tau dimulai sejak 6 bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Dispepsia fungsional dibagi kedalam dua kategori diagnostik, yaitu: 1•2•3 1. Postprandial distress syndrome (PDS) 2. Epigastric Pain Syndrome (EPS) Penyebab dispepsia fungsional bersifat multifaktorial, diduga dapat timbul karena keterlambatan pengosongan lam bung, hipersensitif aferen visera terhadap zat asam dan lemak sehubungan dengan rangsang sentral maupun perifer, status inflamasi ringan, serta predisposisi genetis. Rangsang psikis atau emosi dapat mempengaruhi fungsi saluran cerna melalui jalur neurogenik atau jalur neurohormonal.

23 •

PENDEKATAN DIAGNOSIS Diagnosa ditegakkan berdasarkan klinis dan pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atasu

Anamnesis 1·4

Rasa sakit dan tidak enak di ulu hati. Perih, mual, muntah, cepat kenyang, kembung, sering bersendawa, regurgitasi. Keluhan dirasakan umumnya berhubungan / dicetuskan dengan adanya stres, berlangsung lama dan sering kambuh. Sering disertai gejala- gejala ansietas dan depresi (misalnya dysphoric state) Pemeriksaan Fisik1.4

• •

Evaluasi sistem kardiovaskuler, hepatobilier, ginjal, tiroid: dalam batas normal Turgor kulit, berat badan

Pemeriksaan Penunjang 1.4



Laboratorium: Hb, Ht, leukosit, gula darah, faal ginjal, tes fungsi hati, urin lengkap, darah samar feses, dan pemeriksaan laboratorium lain sesuai indikasi untuk menyingkirkan diagnosis banding (misal hormon tiroid, kalsium, dsb)

• •

EKG Radiologi : Foto lambung dan duodenum dengan kontras



Pemeriksaan endoskopi bagian atas (EGD) :



Pemeriksaan untuk Helicobacter Pylori



Stress analyzer/ Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance

I Dispepsia yang tidak teratasi minimal 3 bulan I ·l Menyingkirkan penyebab dispepsia lain dari anamnesa J I

I Terapi empiris I I Tes dan terapi untuk H.py/ori 1-----+ ~

Tanda "alarm" Tidak

Ya

I Endoskopi SCBA I

Respon setelah 4 minggu

Tidak

Ya

I

Etiologi keluhan

Tidak

:

Ya

!

I

Jika ada indikasi klinis : pemeriksaan feses untuk parasit dan darah samar, kimia darah, dan/atau imaging abdomen

I

j_

I Dispepsia organik I

Ya

I Hasil dapat menjelaskan l keluhan I I

Tidak

Algoritma 1. Diagnose Dispepsia Fungsional'

·l Dispepsia fungsional J

Sebelum mendiagnosa dispepsia fungsional, hendaknya diperhatikan terlebih dahulu apakah ada tanda-tanda bahaya seperti: ( lebih lanjut lihat di bab Dispepsia ). 2 • •

Penurunan berat badan Disfagia yang progresif



Muntah yang berulang atau menetap



Perdarahan saluran cerna



Anemia

• • •

Demam Mempunyai riwayat keluarga menderita kanker lambung Dispepsia pertama kali dirasakan pada kasus keganasan



Usia > 45 tahun atau > 50 tahun pada populasi yang prevalensinya rendah

TATALAKSANA 1.4.s



Pendekatan psikosomatik terhadap aspek fisik, psikososial dan lingkungan: psikoterapi suportif dan psikoterapi perilaku

• •

Pengaturan diet untuk mencegah pencetus gejala Simptomatik: diberikan antasida, antagonis H2 (simetidin, ranitidin), penghambat pompa proton (omeprazol, lansoprazol) dan obat prokinetik (metoklopramid, domperidon, cisapride ).



Bila jelas terdapat ansietas atau depresi diberikan anti cemas atau anti depresan



yang sesuai. Eradikasi Helicobacter pylori bila terbukti ada infeksi penyerta.



Obat relaksan fundus gaster (nitrat, sildenafil (phosphodiesterase-S inibitor) dan sumartiptan (antagoni reseptor 5-HT 1)

DIAGNOSIS BANDING 6



Dispepsia organik, misalnya ulkus peptikum, gastritis erosif, infeksi saluran cerna, GERD

• • •

Gangguan pada sistem hepato-bilier dan pankreas Intoleransi laktosa atau karbohidrat lain (fruktosa, sorbitol), sindrom kolon iritabel Dispepsia yang disebabkan penyakit kronik seperti gagal ginjal, diabetes melitus, keganasan,dsb



Iskemia jantung, gagal jantung kongestif, tuberkulosis



Gangguan psikologis (ansietas dengan ataupun tanpa aerofagia, gangguan penyesuaian, somatisasi pada depresi, hipokondriasis)

Tes dan eradikasi H.pylori apabila belum pernah dilakukan sebelumnya

Rasa penuh setelah makan, mual, muntah, cepat kenyang, kembung

Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Dyspepsia Fungsional'

KOMPLIKASI •

Dehidrasi hila muntah berlebihan



Gangguan gizi



Berat badan turun

PROGNOSIS Dispepsia fungsional merupakan penyakit kronis dan keluhan dapat menyerupai gangguan gastrointestinallainnya. Pada beberapa pasien, keluhan akan tetap dirasakan 10 % kasus akan mempunyai keluhan menyerupai gangguan gastrointestinal lain,

sedangkan 10% kasus akan remisi spontan. Walaupun perjalanan penyakit ini tidak stabil, tetapi hanya 2 % kasus akan berkembanga menjadi ulkus peptikum dalam 7 tahun, bel urn terbukti penyakit ini menyebabkan kematian.

7

UNITY ANG ME NANG ANI •

RS pendidikan

: Divisi Psikosomatik- Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Divisi Gastroentero-Hepatologi, Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Metabolik Endokrin - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

REFERENSI 1.

Asian Consensus Report on Functional Dyspepsia, J Neurogastroenterol Motil. 2012 April; 18(2): 150-168. http:/ /www.ncbi.nlm.nih.gov /pmc/articles/PMC3325300/

2.

Mudjaddid E. Dispepsia Funsional. Dalam: Sudoyo AW, et al editor. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. him 916

3.

Hasler, W L. Naussea, Vomiting and Indigestion. In : Kasper D L, et al ediors. Harrison's Principal of Internal Medicine 16th ed. Me Grow-Hill Companies: 2005. p222- 223.

4.

Djojoningrat Dharmika. Dispepsia fungsional. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam jilid 1 edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. Hal 354-356.

5.

Karamanolis Georgios P, Tack Jan. Current management of functional dyspepsia: impact of Rome Ill subdivision, Annals of gastroenterology. Volume 25. No. 2 (2012). http:/ /www.annalsgastro.gr/ index.php/annalsgastro/article/view/111 0/819

6.

HANNAH VU, D.O. Ferri Fred F. Irritable bowel syndrome. In: Ferri's Clinical Advisor 2008, lOth ed. Mosby. 2008.

7.

Bhatia Shobna, Grover Anumeet Singh. Natural History of Functional Dyspepsia. SUPPLEMENT TO JAPI • march 2012. VOL. 60. http:/ /www.japi.org/march_2012_special_issue_dyspepsia/05_ natural_history_of.pdf

NYERI PSIKOGENIK

PENGERTIAN Nyeri psikogenik adalah keluhan nyeri yang penyebabnya bukan penyebab penyakit organik. Faktor psikologis berperan dalam persepsi, awitan, keparahan, eksaserbasi dan lamanya nyeri. Nyeri psikogenik tidak pura-pura diciptakan atau dibuat-buat. Nama lainnya adalah pain disorder.1.3 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 2 ·3

Faktoryang harus ditanyakan adalah lokasi nyeri, intensitas sifatnya terus-menerus atau hilang timbul, karakteristik nyeri, faktor-faktor pemberat dan peringan nyeri, faktor penyebabnya, akut atau kronik, riwayat penggunaan analgetik sebelumnya, dan keadaan lain yang berhubungan dengan nyerinya. Perlu juga dilakukan penilaian status psikis. 1 Nyeri psikogenik pada umumnya bersifat difus, tidak jelas hubungannya dengan struktur jaringan, intensitasnya berubah-ubah, terdapat disparitas an tara mekanisme yang mencetuskan dengan jenis dan beratnya nyeri. Pasien umumnya memiliki riwayat sudah berulang kali mengunjungi petugas kesehatan, riwayat telah mengonsumsi berbagai obat penghilang nyeri, dan riwayat memiliki stresor psikososial, an tara lain masalah pernikahan, pekerjaan, a tau keluarga. Sering disertai komorbid depresi a tau ansietas atau penyalahgunaan obat. Pemeriksaan status psikis menunjukkan bahwa keluhan utama akan memburuk hila terdapat stres. Pemeriksaan Fisik1·3

Diperlukan pemeriksaan yang teliti pada area nyeri dan sekitarnya, sistem saraf, fungsi motoris dan sensoris serta fungsi organ-organ dalam. Pada nyeri psikogenik tidak terdapat temuan fisis, atau temuan fisis tidak adekuat untuk menjelaskan keparahan nyeri.

Pemeriksaan Penunjang 1· 3



Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai indikasi dan diagnosis banding nyeri organik Untuk menilai nyeri secara obyektif dapat dilakukan metode visual analog scale (VAS). Untuk menilai deskripsi nyeri secara terperinci dapat digunakan McGill Pain Questionnaire (MPQ). Untuk menilai nyeri kronik dapat digunakan The Westhave-Yale Multidimensional Pain Inventory (WHYMPI). Stress analyzer j Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance.

Kriteria Diagnosis

Kriteria diagnosis nyeri psikogenik menurut Diagnostic and Statistical Manual ofMental Disorder Fourth Edition Text Revision (DSM-IV-TR):'

1. Nyeri pada satu atau lebih daerah anatomis dengan keparahan yang cukup sehingga

membutuhkan perhatian klinis. 2. Menyebabkan distres atau gangguan pada bidang sosial, pekerjaan, atau bidang fungsionallain yang signifikan secara klinis 3. Faktor psikologis dinilai memiliki peran penting dalam awitan, keparahan, eksaserbasi atau lamanya nyeri. DIAGNOSIS BANDING

Nyeri organik sesuai dengan lokasi nyeri TATALAKSANA

3- 6

Nonfarmakologis

istirahat, cognitive behavior therapy (CBT) Farmakologis

1. Antidepresan: Fluoxetin, citalopram, fluvoxamin, mianserin, clomipramin 2. Antiansietas : benzodiazepin 3. Antinyeri KOMPLIKASP

Kurang/tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari (bekerja), bunuh diri

PROGNOSIS Bel urn ada studi yang melaporkan prognosis nyeri psikogenik UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Psikosomatik - Departemen Penyakit Dalam •

RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS Pendidikan



RS non pendidikan

: Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

REFERENSI 1.

Shatri H, Setiyohadi B. Nyeri psikogenik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; lnternaPublishing; 2009. hal. 2143-7.

2.

Reus VI. Mental disorders. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies; 2012. Hal. 3529-3545

3.

Oyama 0, Paltoo C, Greengold J. Somatoform disorders. Am Fam Physician 2007;76:1333-8.

4.

Kroenke K. Efficacy of treatment for somatoform disorders: a review of randomized controlled trials. Psychosomatic Medicine 69:881--888 (2007)

5.

Diagnostic and statistical manual of mental disorders. 41h ed. Washington DC. American Psychiatric Association. 2000

6.

Fishbain DA, Cutler RB, Rosomoff HL. , et al. Do antidepressants have an analgesic effect in psychogenic pain and somatoform pain disorder? A meta-analysis. Psychosom Med 1998 ; 6:503.

PENY A KIT JANTUNG FUNGSIONAL (NEUROSIS KARDIAK) PENGERTIAN Penyakit jantung fungsional adalah kelainan dengan keluhan seperti penyakit jantung tanpa disertai kelainan organik. Etiologi berhubungan dengan keadaan psikiatri, paling sering disebabkan ansietas, biasanya berhubungan dengan depresi aktif dan tidak jarang dengan gejala histerik. 1 Menurut ICD 10, Penyakit jantung fungsional dikategorikan dalam gangguan somatisasi. 3 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 2 1. Nyeri dada menyerupai angina pectoris, biasanya dicetuskan suatu stressortertentu

2. Berdebar-debar jpalpitasi, sesak nafas, nafas terasa be rat 3. Keluhan vegetatif: kesemutan, tremor, sakit kepala, tidak bisa tidur, dan sebagainya 4. Keluhan psikis: rasa takut, risaujwas-was, gelisah, dan sebagainya 5. Keluhan-keluhan umum lainnya seperti pandangan mata gelap, berkunang-kunang 6. Terdapat stressor psikososial 7. Pemeriksaan penunjang1 8. EKG, echocardiography, maupun tes Treadmill normal 9. Stress analyzer I Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance

DIAGNOSIS BANDING Penyakit jantung Koroner (angina pectoris, infark miocanl)l TATALAKSANA2 .4 Nonfarmakologis



Memberikan edukasi dan bimbingan, menjelaskan tentang gejala yang timbul

dengan tepat tanpa menakuti pasien, meluruskan pola pikir pasien yang salah ten tang penyakit jan tung. •

Terapi Kognitif dan Perilaku (Cognitive Behavioural Therapy I CBT)

Farmakologis



Analgetik untuk rasa nyeri



Vasodilator koroner

• •

Psikotropik go Iongan benzodiazepine untuk mengurangi kecemasan Terapi simptomatik lain dapat diberikan sesuai indikasi.

KOMPLIKASP • Merasa memiliki penyakit jantung organik sehingga menghindari aktivitas I kegiatan sehari-hari. • Pada pasien usia tua dengan faktor psikis yang menonjol dapat mencetuskan timbulnya penyakit jan tung organik. • Aritmia. PROGNOSIS Gangguan ini bersifat kronis, hilang timbul dan jarang sembuh secara sempurna. Sangat jarang seseorang dengan gangguan ini dapat bebas dari gejala selama lebih dari 1 tahun. 3 UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Psikosomatik- Departemen Penyakit Dalam • RS nonpendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan • RS nonpendidikan

: Divisi Kardiovaskular - Departemen Penyakit Dalam

REFERENSI 1.

Shatri H. Gangguan jantung fungsional. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo A W. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid Ill Edisi V. Jakarta: Intern a Publishing; 201 0:21222126.

2.

Wood P. Refresher Course for General Practitioners Cardiac Neurosis. British Medical Journal. 1950; 2(4669) :33-5.

3.

Sa dock BJ, Sadock VA. Somatization disorders. In: Kaplan & Sadock's Synopsis of Psychiatry Behavioural sciece/Ciinical Psychiatry 1Oth Edition. Lippincott Williams & Wilkins; 2007.

4.

Thompson DR, Lewin RJP. Management of the post-myocardial infarction patient: rehabilitation and cardiac neurosis. Heart 2000;84: 101-105

SINDROM KOLON IRITABEL PENGERTIAN Berdasarkan Rome III, Sindrom Kolon Iritabel (SKI) merupakan nyeri abdomen berulang atau ketidaknyamanan abdomen (sensasi tidak nyaman yang tidak bisa dikatakan sebagai nyeri) paling tidak 3 hari dalam satu bulan pada 3 bulan terakhir yang berhubungan dengan 2 atau lebih hal berikut: • Perbaikan gejala setelah defekasi • Onset berhubungan dengan perubahan frekuensi defekasi • Onset berhubungan dengan perubahan bentuk feses Dikatakan positif jika kriteria terpenuhi pad a 3 bulan terkahir dengan onset paling tidak 6 bulan sebelum didiagnosis. 1 •3 Sindrom kolon iritabel dibagi menjadi beberapa subtipe berdasarkan konsitensi feses yaitu tipe konstipasi, tipe diare, tipe campuran, dan tipe lainnya1.3 Tabell. Subtipe Sindrom Kolon lritabeP·3 IBS dengan konstipasi

Feses keras > 25%, dan feses lunak atau cair <25%

IBS dengan diare

Feses lunak atau cair >25% dan feses keras < 25 %

IBS tipe campuran

Feses keras > 25% dan feses lunak atau cair > 25%

IBS yang tak terklasitikasi

Abnormalitas yang tidak memenuhi semua kriteria di atas

Penyebab sindrom ini belum diketahui pasti, diperkirakan karena beberapa faktor pencetus seperti: 1 •

Gangguan Motilitas Kemungkinan terdapat gangguan intestinal inhibitory reflex karena distensi kolon



tidak dapat mengurangi motilitas duodenal. Hipersensitivitas viseral Yaitu sensitivitas terhadap nyeri yang meningkat pada stimulasi usus. Hal ini yang menyebabkan nyeri kronik pada pasien ini.



Post Infeksi Biasa terjadi setelah infeksi Shigella, Salmonella dan Campylobacter, ditandai dengan meningkatnya jumlah limfosit dan sel mast pada mukosa usus.



Faktor dalam lumen yang merangsang kolon Komponen dalam makanan (eksogen) atau faktor kimiawi (endogen) yang terlibat dalam proses pencernaan. Faktor endogen seperti hormon kolesistokinin (CCK) dapat mempercepat motilitas sigmoid



Respon terhadap stress Stress yang berasal dari lingkungan dan riwayat penyiksaan masa kanak-kanak adalah faktor predisposisi.

PENDEKATAN DIAGNOSIS2 Anamnesis

Pasien mengeluhkan nyeri pacta abdomen bagian bawah dengan kelainan pola defekasi selama periode waktu tertentu tanpa progresivitas penyakit. Keluhan muncul selama stress atau perubahan emosional tanpa disertai keluhan sistemik. Apakah nyeri dirasakan hanya pacta satu tempat atau berpindah-pindah, seberapa sering merasakan nyeri, berapa lama nyeri dirasakan, bagaimana keadaan nyeri jika pasien defekasi atau flatus; memenuhi kriteria Rome III. Pacta anamnesis juga perlu menyingkirkan tanda-tanda "alarm" seperti: usia> 55 tahun, riwayat gejala yang progresif atau sangat berat, riwayat keluhan pertamakali kurang dari 6 bulan, berat badan menurun, gejala nokturnal,laki-laki, riwayat kanker kolon pacta keluarga, anemia, anoreksia, perdarahan rektal, anemia, distensi abdomen, demam. 1•2 Pemeriksaan Fisik

Perut tampak kembung atau distensi, kadang dapat teraba kolon pacta fosa iliaka kiri (86%) disertai nyeri tekan (78%), bising usus meningkat pacta fosa iliaka kanan(36%). Pacta colok dubur didapatkan adanya rasa nyeri (52%), rectum kosong (64%), feses yang keras dalam rectum (68%), dan lendir yang banyak. 2 Pemeriksaan Penunjang 2A

• • • • • •

Laboratorium: dilakukan untuk mencari etiologi lain misalnya pemeriksaan darah lengkap, Pemeriksaan hormon TSH dan serologis sesuai indikasi. Pemeriksaan feses: melihat adanya darah samar, bakteri a tau paras it jika dicurigai pacta kasus diare kronik Rontgen abdomen: jika dicurigai adanya penyakit Crohn atau ada obstruksi Kolonoskopi atau sigmoidoskopi: dilakukan sesuai indikasi. Stress analyzer/ Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance

DIAGNOSA BANDING2 ·3 • Intoleransi laktosa ~ diperiksa dengan hydrogen breath test • Intoleransi makanan ~ contohnya MSG • Infeksi • Penyakit Celiac ~ diidentifikasi dengan analisis kadar lgA, antibodi anti transglutaminase • Pertumbuhan bakteri usus halus berlebih ~ ditandai malabsorpsi nutrient • Inflammatory bowel disease ~ ditandai anemia, leukositosis. Kolonoskopi: inflamasi, eritema, eksudat, ulserasi • Kolitis mikroskopik • Divertikulitis • Obstruksi mekanis pada usus halus • Iskemia • Maldigesti • Malabsorbsi • Penyakit hati dan kandung empedu • Pankreatitis kronik • Endometriosis . TATALAKSANA Terapi Non farmakologi:

1. 2•3

o

Penjelasan mengenai penyakit yang diderita dapat disembuhkan

o

Menjaga asupan tinggi serat dan menghindari makanan yang menjadi pen cetus keluhan. Menghindari kafein, produk olahan, makanan berlemak, gandum, bawang, coklat.

o

Terapi perilaku: terutama pada pasien usia muda yang stressor psikososial cukup tinggi.

o

Olah raga teratur dan menjaga asupan cairan yang cukup

Terapi Farmakologi:

1•2·3-s

o

Anti spasmodik yang bersifat anti kolinergik: dicyclomine 10-20 mg ( 1-3 x sehari), hyosin N-butilbromida 3x10 mg.

o

Obat anti diare: loperamid 2-16 mg sehari,, diphenoxylate hydrochlorideatropine sulfate, cholestyramine resin

o

Obat memperbaiki konstipasi: laksatif osmotif seperti laktulosa, tegaserod

o

Obat anti ansietas: antidepresan trisiklik, Selective Serotonin Re-uptake Inhibitors (SSRI) Probiotik

o

Tabei2.Terapi FarmakologP

Diare

Konstipasi

Loperamide

2-4 mg , maks 12 mg/hari

Cholestyramine resin

4 x 4 g /hari

Alosetron

0,5 -1 mg duo kali sehari

Metilselulose

3 g/hari

Calcium po/ycarbophil

1 g per hari, sampai 4 x per hari

Sirup laktulosa

10-20 g2 x/hari

Sorbitol 70%

15 ml 2x/hari

Polietilen glikol

17 g dalam 250 ml air. per hari

Nyeri Abdomen

disiklomin, trimebutin

Depresi

Antidepresan trisiklik (Amitriptilin)

·Mulai 25-50 mg menjelang tidur

Selective serotonin reuptake inhibitor (ftuoxetine, sertraline, paroxetine, citalopram, escitalopram).

Dimulai dari dosis kecil, ditingkatkan bilaperlu

KOMPLIKASI Sindrom kolon irritabel tidak menyebabkan komplikasi yang berbahaya. Beberapa gangguan akibat Sindrom Kolon Iritabel seperti menurunnya kualitas hid up, dan waktu cuti dari sekolah dan kerja yang memanjang, masalah psikologis seperti ansietas dan depresi, malnutrisi. 5 PROGNOSIS Keluhan akan membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50% kasus, dan hanya kurang dari 5 %yang akan memburuk, dan sisanya dengan gejala menetap. 6 UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNITY ANG TERKAIT •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Gastroenterohepatologi, Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Metabolik Endokrin



RS non pendidikan

REFERENSI 1.

Owyang C. Irritable bowel syndrome. In: Kasper, Braunwald, Fauci et al. Harrison's Principles of Internal Medicine volll 17th ed. McGrawHill. 2008 pg 1899-1903.

2.

Mudjaddid E. Sindrom kolon iritabel. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. II. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI. 2006; hal2115-2118.

3.

Ferri Fred F. Irritable bowel syndrome. Ferri's Clinical Advisor 2008, 1Oth ed. Mosby. 2008.

4.

Hay David W.lrritable bowel syndrome. The Little Black Book of Gastroenterology. 2nd ed. Jones and Bartlett Publishers. 2006; hal 154-1 62.

5.

Friedman S. Irritable bowel syndrome. In: Greenberger NJ, Blumberg RS, Burakoff R. Lange Current Diagnosis &Treatment, Gastroenterology, Hepatology, Endoscopy. McGrawHill. 2009.

6.

Manon Chudahman, Ari Fahrial Syam. Irritable bowel syndrome. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 4 ed. Vol. I. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI. 2006; hal383-385.

7.

R Spiller, Q Aziz, F Creed, A Emmanuel, L Houghton, P Hungin, R Jones, D Kumar, G Rubin, N Trudgill, and P Whorwell. Guidelines on the irritable bowel syndrome: mechanisms and practical management. Gut. 2007 December; 56(12): 1770-1798.

8.

Aragon G, Graham DB, Borum M, Doman DB. Probiotic Therapy for Irritable Bowel Syndrome. Gastroenterol Hepatol (NY). 2010 January; 6(1 ): 39-44.

SINDROM LELAH KRONIK

.~ PENGERTIAN Suatu kumpulan gejala yang ditandai dengan keluhan rasa Ielah yang berlangsung terus-menerus atau berulang dalam waktu enam bulan atau lebih, dapat disertai gejala demam tidak tinggi, mialgia, artralgia, sefalgia, nyeri tenggorok (faringitis) yang kadang-kadang disertai pembesaran kelenjar, gejala psikis terutama depresi dan gangguan tidur. Kelelahan yang tidak berkurang dengan istirahat dan mungkin akan bertambah berat saat melakukan aktifitas fisik atau mental, sehingga sering menurunkan tingkat aktivitas seseorang. Keluhan pasien dapat bervariasi dan tidak spesifik, seperti kelemahan, nyeri otot, gangguan daya ingat atau konsentrasi, gangguan tidur, dan kelelahan setelah aktifitas yang berlangsung minimal 24 jam atau lebih, bahkan bertahun-tahun. Beberapa keluhan-keluhan pada sindrom Ielah kronik seperti : 1 •2•3 ·4 Tabel 1. Keluhan pada Sindrom Lelah Kronik2

L~~~~.,.~{;t+-~24;~-~;~~~fi~-?~#-:;'H·····,j~·J4i~~t~~~~~~~·!f'r',.~~~~i Fatigue Sulit berkonsentrasi Sakit kepala Sa kit tenggorokan Pembesaran KGB Nyeri otot Nyeri sendi Demam Sulit tidur Permasalahan psikiatri Alergi Keram perut Berat badan menurun Rash Nadi cepat Berat badan menurun Nyeri dada Keringat malam

100 90 90 85 80 80 75 75 70

65 55 40

20 10 10 5 5 5

PENYEBAB Bel urn diketahui penyebab pastinya, ada kemungkinan bahwa sindrom Ielah kronik menggambarkan tingkat akhir dari beberapa penyakit. Beberapa kemugkinan seperti infeksi, gangguan imunologi, faktor stres yang mengaktifkan jalur hipotalamik-pituitari, hipotensi neural, danjatau defisiensi nutrisi. 4 Tabel 2. Faktor Predisposisi2

~ Trauma masa kanak (seksual,fisik.penyalahgunaan emosional;pengabaian fisik dan emosional) lnaktivitas fisik selama masa kanak kanak Psikiatrik atau psikopathologi Premorbid Hiperaktivitas premorbid Kejadian somatik: infeksi (mononukleosis, demam Q, penyakit Lyme),pembedahan,kehamilan Stres Psikososial.kejadian hidup

!~flHR!Qiitq~J:tf~~lr~iffbiXi~~1-~~r:f~£~~~:~;~)~£~i~1}i~~;~r:t~~~{~¢~~~~1~~::·~~~1~~~£~~~~11~\V~Jl~~~itj~~~~1i:!~i (Non)penerangan oleh dokter Negatifitas efikasi diri Atribusi fisik yang kuat Fokus yang kuat pada gejala tubuh Takut atau lemah (Kekurangan) dukungan social Pola aktivitas fisik lemah

PENDEKATAN DIAGNOSIS Kriteria untuk diagnosis hila memenuhi 2 kriteria dan tidak memenuhi kriteria eksklusi (Tabel 3) 2 Tabel 3. Kriteria diagnostik sindrom Ieiah kronik2

~~f~~n~~~~Jr;~«~*tii~!~~~fq~~bfi€!~~~*~~~Jtf)~~~~¥4i~~!1~~ii~~~!@qJt!~t~9!~~f~!ii~~@~f~t~;~~; ~;;,~r Lelah selama 6 bulan terakhir Lelah onset baru atau definitif Lelah bukan merupakan hasil dari penyakit organik atau pengeluaran tenaga secara terus-menerus Lelah tidak berkurang dengan istirahat Lelah merupakan hasil reduksi substansi dari pekerjaan,edukasi,sosial.dan aktivitas personal sebelumnya Empat gejala atau leb.i.b dari gejala berikut.dan berlanjut terus-menerus selama 6 bulan: Gangguan memori daifkonsentrasi,nyeri tenggorok;p~emb-esaran kelenjargetah-bening-o3rvil
Kondisi Medis yang menjelaskan Ieiah Gangguan depresi mayor (gambaran psikotik) atau gangguan bipolar Skizoprenia.demensia,atau gangguan delusi Anorexia nervosa. bulimiarretvosa Penyalahgunaan Alkohol dan substansinya Obesitas berat (BMI rel="nofollow">40)

Pemeriksaan Penunjang



Tidak ada pemeriksaan spesifik yang dapat mendiagnosa atau mengukur tingkat keparahan penyakit. Stress analyzer/ Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance. Pemeriksaan lain dapat dilakukan tergantung pada basil anamnesa 23 dan pemeriksaan fisik. '

I

DIAGNOSIS BANDING 3 • Depresi psikososial, dysthymia, gangguan cemas, dan penyakit psikiatrik lainnya. • Penyakit infeksi (SBE, penyakit Lyme, janur, mononucleosis, HIV, hepatitis B kronik atau C, TB, parasit kronik. • Autoimun : SLE, miastenia gravis, multi pel sklerosis, tiroiditis, rheumatoid arthritis • Kelainan endokrin: hipotiroid, hipopituari, insufisiensi adrenal, sindroma Cushing, diabetes mellitus, hiperparatiroid, kehamilan, hipoglikemia reaktif • Penyakit keganasan tersamar • Ketergantungan obat • Gangguan sistemik: gaga! ginjal kronik, penyakit kardiovaskular, anemia, kelainan elektrolit, penyakit hati. • Lain-lain : kurang istirahat, sleep apnea, narcolepsy, fibromyalgia, sarkoidosis, medikasi, paparan bahan toksik, granulomatosis Wegener.

TATALAKSANA Terapi Non farmakologi 2,3· 6



Menyakinkan pasien bahwa penyakitnya tidak berbahaya dan dapat membaik seiring waktu



Latihan fisik dapat meningkatkan daya tahan dan kekuatan pasien sehingga mengurangi keluhan atau cognitive behaviour therapy (CBT) dan graded exercise therapy (GET)

Terapi Farmakologi

Umumnya bersifat paliatif, seperti anti depresi, anti inflamasi non steroid, terapi alternatif (multivitamin, suplemen nutrisi). 2,3

KOMPLIKASI lsolasi sosial,tidak mampu kerja

698

PROGNOSIS Perbaikan sempurna dari sindrom Ielah kronik yang tidak diobati jarang: tingkat pemulihan median adalah 5% (rentang 0-31 %) dan tingkatperbaikan dan 39% (rentang 8-63%). Hasil akan lebik buruk bila pasien dengan latar belakang gangguan psikiatri dan kondisi gejala yang berlanjut tanpa ditangani secara medis .Keluhan berkurang pada > 50 % kasus Penyembuhan total dalam 1 tahun terjadi pada 22 - 60 % kasus. 2•3 UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Psikosomatik - Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam • RS pendidikan • RS non pendidikan REFERENSI 1.

Mudjaddid E, Shatri H. Sindrom Lelah Kronik. dalam: Sudoyo,Setiyohadi, Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta. lnterna Publishing. 2011.

2.

Bleijenberg G.Chronic Fatigue Syndrome. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's principles of internal medicine 18'h edition.United States of America.Mcgraw Hill.

3.

Ferri Fred F. Chronic Fatigue Syndome. In: Ferri's Clinical Advisor 2008, 1Oth ed. Mosby. 2008.

4.

CDC (http:/ /www.cdc.gov /cfs/general/index.html)

5.

Fernandez AA, Martfn AP, Martinez MI. Bustillo MA, Hernandez FJB, Labrado JC, et al. Penas RD, Chronic fatigue syndrome: aetiology, diagnosis and treatment. BMC Psychiatry. 2009; 9 (Suppl 1): S1

6.

White PD, Goldsmith KA. Johnson AL, Potts L Walwyn R, DeCesare JC, et al. Comparison of adaptive pacing therapy, cognitive behaviour therapy, graded exercise therapy, and specialist medical care for chronic fatigue syndrome (PACE): a randomised trial. Lancet. 2011 March 5; 377(9768): 823--836 ..

SINDROM HIPERVENTILASI

I PENGERTIAN Hiperventilasi didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi ventilasi berlebihan yang mengakibatkan menurunnya PaC0/· 2 Ketika hiperventilasi berlangsung lama (kronis) atau terjadi episode berulang dan berkaitan dengan gejala somatik (respirasi, neurologis, intestinal) ataupun psikologis (ansietas), maka kumpulan gejala ini dinamakan sindrom hiperventilasi (SH). Etiologi dan mekanisme terjadinya hiperventilasi belum diketahui dengan jelas, namun SH erat kaitannya dengan gangguan panik (panic disorder], karena sebagian besar pasien menunjukkan karakteristik dari kedua kelainan tersebut namun tidak ditemukan kelainan organik pada keduanya. 3•4 Pada level fisiologis, hiperventilasi murni merupakan gangguan pernapasan. Hal ini hampir tidak pernah menjadi masalah hingga saatnya bermanifestasi sebagai gejala menjadi kunci penting dalam memahami mengapa hiperventilasi menjadi masalah besar bagi sebagian pasien. Oleh karena itu, sangat penting untuk mencari faktor pencetus terjadinya SH pada pasien. 5 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Cari faktor pencetus :5•6 1. Fisiologis: setelah berolahraga, nyeri. dispnea, pireksia, efek progesteron pada wanita hamil 2. Organik: asma, pireksia, obatjalkohol, hipertiroid, gagal jantung, emboli paru, hipertensi pulmonal, alveolitis fibrosa, gangguan metabolik (contoh: diabetes ketoasidosis), dll 3. Psikogenik: pura-pura, depresijansietas, gangguan panik, fobia Gambaran Klinis 6

1. Kesulitan be rna pas intermiten yang bersifat episodik dan tidak berkaitan dengan olahraga, meskipun dapat diperburuk dengan olahraga.

2. Oapat berkaitan dengan gejala alkalosis respiratorik, seperti kebasjmati rasa

3. 4. 5. 6.

(numbness), kesemutan pada daerah ekstremitas (tingling of the extremities), perasaan 'kiamat sudah dekat', dan rasa melayang (light-headedness), biasanya sampai hilang kesadaran (vasokonstriksi serebral karena hipokapnia). Sensasi tidak dapat bernapas dengan !ega. Tidak ada riwayat sugestif gangguan pernapasan sebelumnya, meskipun terkadang juga dapat ada. Riwayat stres dalam kehidupan pasien. Episode sebelumnya.

Pemeriksaan Penunjang 2

• •

Saturasi oksigen Sa0 2 Hb, Ht, leukosit, ureum, kreatinin, gula darah, tes fungsi hati, urin lengkap, Elisa 0-dimer



Analisa gas darah (AGO), K, Na, Ca



Foto toraks, EKG (interval QT memanjang, ST depresi atau elevasi, gelombang T inversi), sesuai diagnosis banding

• •

Hormon paratiroid VjQ scan, computed tomography pulmonary angiogram



Stress analyzer/ Heart rate variability untuk menilai vegetative imbalance

Kriteria Diagnosis 6

Untuk menegakkan diagnosis SH, pada dasarnya menggunakan kriteria diagnosis ekslusi namun tetap diperlukan pemeriksaan penunjang tambahan lain, an tara lain: 6 1. Tidak ditemukannya etiologi kardiak pada kesulitan bernapas

2. Tidak ditemukannya etiologi respirasi pada kesulitan bernapas (fungsi paru normal, rontgen thorax paru normal, dan Sa0 2 normal dalam keadaan istirahat maupun olahraga) 3. Pola napas ireguler dalam keadaan istirahat maupun olahraga 4. Tidak ada bukti adanya hipertensi pulmonal 5. Tidak ada bukti yang cukup kuat untuk menegakkan emboli paru 6. Tidak ada bukti hipertiroidisme 7. PaC0 2 rendah, pH meningkat pad a AGO (dan gradien A-a normal) 8. Tidak ditemukannya asidosis metabolik pada AGO (contoh: ketoasidosis, laktoasidosis) 9. Masalah psikologis yang belum sembuh, atau fobia sosialjagorafobia

Selain itu, juga dapat digunakan skoring hiperventilasi Nijmegen.

I

Nyeri dada

D

D

D

D

D

Perasaan tegang

D

D

D

D

D

Pandangan kabur

D

D

D

D

D

Pusing

D

D

D

D

D

D

D

Rasa bingung

D

D

D

Napas cepat I dalam

D

D

D

D

D

Napas pendek

D

D

D

D

D

Rasa tercekik di dada

D

D

D

D

D

Perut kembung

D

D

D

D

D

Jari kesemutan

D

D

D

D

D

Sulit bernapas dalam

D

D

D

D

D

Sulit buka mulut

D

D

D

D

D

Tongan atau kaki dingin

D

D

D

D

D

Palpitasi

D

D

D

D

D

Ansi etas

D

D

D

D

D

Total skor Keterangan : Formulir ini diisi oleh pasien. dan nilai
DIAGNOSIS BANDING

Sangat penting untuk menyingkirkan penyebab patologis yaitu :6 1. Penyakit paru interstitial dengan rontgen thorax normal -7 pertimbangkan CT scan

2. Asma ringan dengan fungsi paru normal -7 pertimbangkan monitoring peak expiratory flow rate (PEFR), provokasi olahraga, atau tes provokasi bronkus

3. Hipertensi pulmonal j penyakittromboembolus -7 pertimbangkan ekhokardiografi atau CT pulmonary angiogram (CTPA) 4. Hipertiroidisme 5. Asidosis yang tidak terduga: misalnya pada gaga! ginjal, laktoasidosis, ketoasidosis

TATALAKSANA2 ·6·7 Pada penatalaksanaan pada pasien dengan SH, sangat penting untuk tidak melupakan gejala pasien hanya karena beranggapan "ini hanya pikiran saja". Pasien memiliki gejala, yang membutuhkan penjelasan sebenarnya. Belum ada rekomendasi untuk manajemen pacta pasien SH, namun sebagian besar klinisi akan memberikan penjelasan berdasarkan sensasi napas berlebihan yang diperburuk dengan ansietas. Rekomendasi lama untuk bernapas di dalam paper bag belum sepenuhnya terbukti dan tidak praktis. Penjelasan dengan hati-hati mungkin dirasakan cukup, atau dapat digunakan anxiolitikjangka pendek (contoh: diazepam 2 x 2-5 mgjhari). Penanganan dari bagian psikologis atau fisioterapi untuk latihan pernapasan mungkin dibutuhkan untuk mengontrol gejala. Apabila pasien gagal merespon, selalu pikirkan penyakit yang menyertai. KOMPLIKASI Sesuai dengan penyakit organik yang menyertai. PROGNOSIS4 · 6 Baik pada serangan akut. Pada kasus kronik, 65% mengalami perbaikan dan 26% keluhannya hilang dalam 7 tahun. Sindrom ini sangat jarang menyebabkan kematian.

UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Psikosomatik- Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan : Divisi Pulmonologi, Divisi Kardiologi- Departemen PenyakitDalam • RS non pendidikan REFERENSI 1.

McConville J, Solway J. Chapter 264: Disorders of Ventilation. In: Longo D. Fauci A. Kasper D. et al. Harrison's Principles of Internal Medicine. 18th ed. New York: McGraw-Hill. 2011.

2.

Mudjaddid E. Putranto R. Shatri H. Sindrom Hiperventilasi. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jakarta: lnterna Publishing; 2009.p. 2130-32.

3.

Malmberg L Tamminen K. Sovijarvi A. Orthostatic increase of respiratory gas exchange in hyperventilation syndrome. Thorax 2000;55:295-301.

4.

Cowley DS, Roy-Byrne PP. Hyperventilation and panic disorder. Am J Med 1987;83:929-37.

5.

Gardner W. The Pathophysiology of Hyperventilation Disorders. Chest 1996;109;516-534. DOl 10.1378/chest.l 09.2.516

703

I

6.

Chapman S, Robinson G, Stradling J, et al. Chapter 29: Hyperventilation Syndrome. Oxford Handbook of Respiratory Medicine. 2nd Ed. Oxford University Press. 2011

7.

Kern B. Hyperventilation Syndrome. Emedicine(serial online) last updates April2012 (cited 2012, Jun 2) Available from: URL: http:/ /www.emedicine.com.

8.

Meuret AE, Ritz T. Hyperventilation in Panic Disorder and Asthma: Empirical Evidence and Clinical Strategies.lnt J Psychophysiol. 2010 October; 78(1): 68-79.

PENGELOLAAN PALIATIF PADA PENY A KIT KRONIS

PENGERTIAN Organisasi kesehatan dunia, World Health Organization (WHO) mendefinisikan palliative care sebagai suatu intervensi yang dapat memperbaiki kualitas hid up pasien dan keluarganya yang sedang mengalami pengalaman penyakit yang berat. Tujuan intervensi ini adalah mengurangi keluhan nyeri dan gejala lain termasuk dukungan psikososial dan spiritiual. Karakteristik penyakit kronis adalah perjalanan penyakit yang fluktuatif dengan prognosis yang kadang tidak jelas. Menurut Centers for Disease Control, yang termasuk penyakit kronis adalah heart disease, stroke, kanker, diabetes dan arthritis. Klasifikasi lain penyakit kronis adalah depresi, diabetes, penyakit paru obstruksi kronis,gagal ginjal kronis dan HIV j AIDS. Penyakit kronis menyebabkan kecacatan dan kematian utama di Amerika serikat. Murray dkk menyatakan bahwa pengelolaan pasien dengan penyakit kronis progresif sering terlupakan aspek paliatif sehingga pengelolaan pasien tidak holistik. Beberapa studi menunjukkan bahwa pasien dengan penyakit kronis non kanker menunjukkan penderitaan yang lebih be rat dalam hal nyeri dan kualitas hid up dibanding pasien kanker yang penilaiannya lebih baik. Pengelolaan paliatif dapat digunakan sebagai model pelayanan kesehatan pasien penyakit kronis termasuk kanker, sejak pasie terdiagnosis dan bukan saat pasien menjelang fase terminal. Kementerian kesehatan telah mengeluarkan surat keputusan menteri yang menegaskan bahwa seluruh rumah sakit diharapkan dapat menerapkan model pelayanan paliatifbagi pasiennya. (SK Menkes Nomor: 812/MenkesjSK/VII/2007) RUANG LINGKUP 1. Inisiasi diskusi tentang paliatif 2. Penapisan dan penilaian paliatif (lihat lampiran) serta tujuan pengelolaan 3. Pengelolaan aspek fisik, seperti : • Nyeri

• Ansietas dan depresi • Anoreksia dan kaheksia • Konstipasi • Delirium • Diare • Sesak nafas • Fatik • Gastroesophageal reflux disease

• Hypodermoclysis • •

Malignant ascites and pleural effusions Mual dan muntah

4. Pengelolaan aspek psikis : ansietas, depresi (lihat ansietas, depresi) 5. Pengelolaan aspek kultural, psikologi, sosial, spiritual, religious, etika, dan legal 6. Hospis dan Rawatan rumah (Home care) 7. Konsultasi dan rujukan ke spesialis 8. Pengelolaan fase kritis (last day) dan masa duka cita

PENGELOLAAN (Berdasarkan Rekomendasi American College of Physicians,2008) Rekomendasi 1: Setiap pasien rawat inap dengan penyakit seriusjberat pada fase terminal, maka dokter harus secara reguler menilai adanya nyeri, sesak nafas, dan depresi. Recomendasi 2: Setiap pasien dengan penyakit berat pada fase terminal, dokter harus melakukan pengelolaan nyeri dengan baik. Pada pasien kanker dapat antiinflammatory, opioid, dan bisphosphonate.

Recomendasi 3: Setiap pasien dengan penyakit berat pada fase terminal , dokter harus dapat mengelola keluhan sesak napas dengan baik termasuk menggunakan opioid pacta pasien yang tidak perbaikan dengan terapi stan dar dan pemberian oksigen jangka pendek bila terjadi hipoksemia Recomendasi 4: Setiap pasien dengan penyakit berat pada fase terminal, dokter harus mengelola depresi dengan efektif, termasuk pasienkanker dengan trsiklik antidepresan, selective serotonin reuptake inhibitors (SSRl), atau psikoterapi Recomendasi 5: Para klinisi harus memastikan perencanaan lanjut (advance care planning) pada setiap pasien penyakit berat.

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Psikosomatik - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

: Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

REFERENSI 1.

Effiong A Effiong AI. Palliative care for the management of chronic illness: a systematic review study protocol. BMJ Open. 2012; 2(3)

2.

Keputusan Menteri Kesehatan Rl No 812 Menkes/VII/ 2007 tentang kebijakan perawatan paliatif

3.

Qaseem A Snow V, Shekelle P, Casey Jr DE .. Cross Jr JT., Owens DK, for the Clinical Efficacy Assessment Subcommittee of the American College of Physicians. Evidence-Based Interventions to Improve the Palliative Care of Pain, Dyspnea, and Depression at the End of Life: A Clinical Practice Guideline from the American College of Physicians. Ann Intern Med January 15, 2008 148:141-146

4.

LoB, Quill T, Tulsky J. Discussing palliative care with patients. ACP-ASIM End-of-Life Care Consensus Panel. American College of Physicians-American Society of Internal Medicine. Ann Intern Med. 1999 May 4;130(9):744-9.

5.

Beynon T, Hodson F,Coady K, Kinirons K, Selman L, Higginson I. Provision of palliative care for chronic heart failure inpatients: how much do we need? BMC Palliat Care. 2009; 8: 8.

707 "~

Lampiran. Penapisan pasien paliatif Tabell. PENAPISAN PASIEN PALLIATIVE CARE Kriteria- Silakan membuat skor bila anda akan menetukan pasien dalam kriteria paliatlf

1.

~

Penyakit Dasar

SKORING

a.

Kanker (Metastatis/Rekuren)

d.

b.

PPOK lanjut

e.

c.

Stroke (dengan penurunan

3.

skor 2, Tiap pain

Penyakit Jantung Be rat- i.e. CHF, severe CAD, CM (LVEF < 2S%)

fungsional >50%)

z.

Penyakit Ginjal Kronis

f.

HIV/AIDS

Penyakit Ko Morbiditas

Skor 1, pain

a.

Penyakit hati Kronis

d.

Gaga I Jantung Kongestif

b.

Penyakit Ginjal Moderat

e.

Kondisi/Komplikasi lain

c.

PPOK Moderat

Status Fungsional Pasien

Skorspesifik dibawahini

Menggunakan Status Performa ECOG (Eastern Cooperative Oncology Group) ECOG

Derajat

Skala

0

Aktif penuh, dapat melakukan kegiatan tanpa hambatan seperti

1

Terdapat hambatan dalam aktifitas berat tetapi dapat melakukan

sebelum ada penyakit

Skora

pekerjaan ringan seperti pekerjaan rumah dan kantor yang ringan, Skora.

rawatjalan 2

rawat jalan, dapat mengurus diri sendiri, tetapi tidak dapat

3

Dapat mengurus diri sendiri secara terbatas; lebih banyak

4

Tidak dapat mengurus diri sendiri, sebagian besar waktu di tempat

melakukan semua aktifitas ,lebih dari 50% jam bangun

Skor 1

waktunya di tempat tidur atau dikursi roda dengan wakti

Skor 2 Skor3

tidur, kondisi berat/cacat.

4.

Kriteria Lain yang perlu dipertimbangkan

Skor 1 untuk tiap kondisi

Pasien:

a.

Tidak akan menjalani pengobatan kuratif

b.

Kondisi penyakit berat dan memilih untuk tidak melanjutkan terapi

c.

Nyeri tidak teratasi lebih dari 24 jam

d.

Memiliki keluhan yang tidak terkontrol (contoh; mual dan muntah)

e.

Memiliki kondisi psikososial dan spiritual yang perlu perhatian

f.

Sering berkunjung ke unit gawat darurat/dirawat di rumah sa kit (lebih dari 1 kali /bulan

g.

Lebih dari satu kali untuk diagnosis yang sama dalam 30 hari

h.

Memiliki lama perawatan tanpa kemajuan yang bermakna

untuk diagnosis yang sama )

i.

Lama rawat yang panjang di ICU tanpa kemajuan

j..

Memiliki prognosis yang jelek TOTALSkor

PETUNJUK SKORING:

TOTAL SKOR = 0-2 Tldak perlu lntervensi Paliatif TOTAL SKOR

=3

Observasi

TOTAL SKOR =;;: 4 Perlu Konsultasi Paliatif

PENATALAKSANAAN Dl BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

PANDUAN PRAKTIK KLINIS PULMON~~~~ Acute Respiratory Distress Synaro

Sindrom Vena Kava Superior ..........•. Kelainan Napas Sa at Tidur

. . .. . >~ .,..~~·

~~~=~-~~~;~::~--~~~~-~~~~-~:.~:~~.(. .... l... .J /

Tumor Paru ....................................................... .( ...

i '···.,,, // i •'•,,, ·f·····V: .... ;802

:

f I

ACUTE RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME

PENGERTIAN Acute respiratory distress syndrome (ARDS) merupakan suatu kondisi ketika paru mengalami jejas berat yang tersebar, sehingga mempengaruhi kemampuan untuk mengambil oksigen. Rendahnya kadar oksigen dalam darah dan ketidakmampuan untuk mengambil oksigen pada tingkat normal merupakan gejala khas ARDS. Jejas paru akut (acute lung injury/ALI) merupakan istilah baru yang saat ini digunakan, yang meliputi ARDS dan juga jejas paru yang lebih ringan. Penyakit yang dapat menyebabkan ARDS banyak sekali, dan dapat merusak organ lain selain paru, namun jejas paru biasanya mendominasi gambaran klinis. 1 Gangguan klinis yang umumnya berkaitan dengan ARDS dapat dilihat pada tabel 1.



label 1. Gangguan Klinis yang Umumnya Berkaitan dengan ARDS 2

Pneumonia

Sepsis

Aspirasi cdirdn larnbung

Trauma berat : frdktur multipel, flail chest, trauma kapitis, luka bakar

Kontusi paru

Transfusi multipel

Hampir tenggelam

Overdosis obat

Jejas inhalasi toksin

Pankreatitis Pasco bypass kardiopulmonar

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 1·2 Identifikasi penyakit yang mendasari: sepsis, pneumonia, aspirasi isi lambung, pankreatitis, transfusi darah, atau trauma berat

Pemeriksaan Fisikl.2 •

Demam, takipneu, takikardi, ronki difus

Pemeriksaan Penunjang 1•2



Laboratorium: darah perifer lengkap, analisa gas darah, elektrolit, plasma brain natriuretic peptide (BNP)



EKG, ekokardiografi



Radiologis: foto toraks menunjukkan infiltrat bilateral yang konsisten dengan edema paru, CT scan tidak rutin dilakukan Kriteria diagnosis ALI dan ARDS dapat dilihat pada tabel 2.

label 2. Kriteria Diagnosis All dan ARDS 2

[,;. '·~::>,~;;g,ij,~~b~l~J, . ~,;.; .,i;.::.;p,~'~j;~;·:.i".i "" f'l~t~,.t~!~~~2; .,~j,. ;~)::·..~!;is,~~~Y,;q~§Jp~~i~~~Js9.tr!~'Jl;~rg,;) All : Pa0/FI0 2 :5300 mmHg ARDS : PaO/FI0 ::; 200 2 mmHg

Akut

lnfiltrat alveolar atau interstitial bilateral

PCWP :518 mmHg atau tidak adanya bukti klinis peningkatan tekanan atrium kiri

Kelerangan: All =acute lung injury; ARDS =acute respiratory distress syndrome; FI0 2 = persentose inspirasi O,; PaO, = tekanan porsial 0 2 arteri; PCWP =pulmonary capillary wedge pressure

Pendekatan Diagnosis 1·2



Pendekatan urn urn - ALI/ ARDS merupakan suatu diagnosis eksklusi; sehingga sebaiknya penegakan diagnosis dilakukan setelah penyebab infiltrat bilateral akut, hipoksemia berat, dan distres pernapasan lain telah disingkirkan.



Edema paru kardiogenik adalah satu penyakit yang harus selalu disingkirkan, karena sering terjadi dan seringkali sulit dibedakan secara klinis. Setelah edema paru kardiogenik disingkirkan, pertimbangan lainnya termasuk pneumonia, perdarahan alveolar difus, pneumonia eosinofilik idiopatik akut, cryptogenic organizing pneumonia (COP), pneumonia interstitial akut (Hamman-Rich syndrome), dan kanker progresif. Untuk menyingkirkan diagnosis edema paru

kardiogenik- Dibutuhkan beberapa pemeriksaan penunjang yaitu plasma BNP, ekokardiografi, dan kateterisasi jantung kanan.



Menyingkirkan penyebab gagal napas lainnya - Apabila penyakit tersebut tidak bisa disingkirkan berdasarkan gambaran klinis dan tanda dan gejala yang menyertai, pemeriksaan diagnostik tambahan (mis. bronkoskopi) sebaiknya dilakukan. Biopsi paru sebaiknya dilakukan pada beberapa pasien dengan etiologi gaga! napas akut yang masih bel urn pasti setelah bronkoskopi nondiagnostik dan pada pasien yang memiliki kemungkinan diagnosis: perdarahan alveolar difus, COP, metastasis kanker, vaskulitis, a tau penyakit paru difus yang tidak terdiagnosis.



Diagnosis akhir - ALI/ ARDS ditegakkan setelah semua diagnosis banding disingkirkan.

DIAGNOSIS BANDING Edema paru kardiogenik, pneumonia difus, perdarahan alveolar, penyakit paru interstitial akut (misalnya pneumonitis interstitial akut), jejas imunologis akut (mis. pneumonitis hipersensitivitas), jejas toksin (mis. pneumonitis radiasi), dan edema paru neurogenik. 2 TATALAKSANA 1•2 • Prinsip urnurn: (1) identifikasi dan tatalaksana penyakit primer dan kelainan bedah (mis. sepsis, aspirasi, trauma); (2) meminimalisir tindakan dan komplikasinya; (3) profilaksis terhadap tromboemboli vena, perdarahan saluran cerna, aspirasi, sedasi berlebihan, dan infeksi kateter vena sentral; (4) identifikasi infeksi nosokomial; dan (5) nutrisi adekuat. • Dukungan ventilasi mekanik : tidal volum rendah, kurangi tekanan pengisian atrium kiri -? lebih lengkap lihat pada bab Ventilasi Mekanik • Kebutuhan cairan : restriksi cairan dan diuretik digunakan untuk mengurangi tekanan pengisian atrium kiri, monitor tanda hipotensi dan hipoperfusi organ seperti ginjal • Glukokortikoid: beberapa studi menunjukkan adanya penurunan mortalitas dan perbaikan prognosis pada pemberian kortikosteroid dosis rendahY KOMPLIKASI Fibrosis paru, pneumotoraks, emboli paru, infeksi akibat pemasangan ventilator. 2-4 PROGNOSIS Mortalitas diperkirakan 26-44%. Pasien usia >75 tahun memiliki mortalitas lebih tinggi ( ~60%) dibandingkan dengan <45 tahun ( ~20%).2.4 UNITY ANG MENANGANI • RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi • RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT : Departemen Radiologi j Radiodiagnostik, Patologi Klinik • RS Pendidikan • RS non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Radiologi

REFERENSI 1.

Hudson LD. Acute Respiratory Distress Syndrome. In : Schraugnagel DE. Breathing in America : Diseases, Progress, and Hope. American Thoracic Society. 2010. Hal 15-24.

2.

Choi AMK, Levy BD. Acute Respiratory Distress Syndrome. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL Hauser SL Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.

3.

Tang BMP, Craig JC, Eslick GD, Seppelt I, Mclean AS. Use of corticosteroids in acute lung injury and acute respiratory distress syndrome: A systematic review and meta-analysis. Crit Care Med 2009 Vol. 37, No.5

4.

Amin Z. Sindrom Gangguan Respirasi Akut (ARDS). Dalam: Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

BRONKIEKTASIS

PENGERTIAN Dilatasi jalan napas yang ireversibel dan melibatkan paru-paru lokal atau difus, dengan gambaran pelebaran alveoli dapat berupa silindris atau tubular, varicose, atau kistik. Etiologi bronkiektasis pada banyak kasus tidak diketahui, kemungkinan penyebabnya dapat dilihat di tabell :1 Tabel 1. Etiologi BronkiektasisL 2

Fokal

Difus

Obstruksi • lntrinsik : tumor di dalam jalan napas, aspirasi benda asing, stenosis/jaringan parut pada jalan napas, atresia brokus akibat perkembangan tidak sempurna (kongenital) • Ekstrinsik : limfadenopati, tumor parenkimal lnfeksi : bakteri, mikobakterium non tuberkulosis [Mycobacterium aviumintracellulare complex (MAC)]

lapangan tengah paru

Rontgen toraks dan/atau CT scan toraks, bronkoskopi

lapangan tengah paru

lmunodefisiensi : hipogamaglobulinemia, HIV, bronkiolitis setelah transplantasi paru

lapangan bawah paru

Kultur, pewarnaan Gram, BAL (bronchoalverolar lavage) jika tidak ditemukan kuman patogen DPL , immunoglobulin, tes HIV

Genetik : cystic fibrosis, sindroma Kartegener, defisiensi al antitripsin.

• Autoimun atau rematologi : artritis rematoid, sindrom Sjogren, inflammatory bowel diseqse, . • Penyakit terkait imun : allergic bronchopulmonary aspergillosis (ABPA) Aspirasi berulang

Lain-lain : yellow nail syndrome .. ldiopatik (25-50 %)

daerah sentral paru

lapangan bawah paru

Pengukuran kadar klorida dalam keringat, kadar al antitripsin, atau biopsi/ sikatan saluran napas. Pemeriksaan sendi, serologis (faktor rematoid).

Tes fungsi menelan dan kekuatan neuromuskular. Kondisi .klinis Singkirkan penyakit lain

i':PIInduan Praktillldinis

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Pada pasien bronkiektasis dapat ditemukan riwayat batuk produktif persisten dengan sputum yang purulen (jika ada infeksi sekunder) atau mukoid (jika tidak ada infeksi sekunder) dengan jumlah banyak terutama pada pagi hari sesudah perubahan posisi tidur. Bau mulut yang tidak sedap (fetor ex ore) ditemukan jika ada infeksi sekunder. Batuk darah, sesak napas, demam berulang dapat dikeluhkan pasien. 1 · 3 Pada kasus bronkiektasis harus dicari kemungkinan penyebab seperti kelainan kongenital, aspirasi cairan lam bung, riwayat infeksi saluran napas bawah yang disebabkan bakteri atau virus pneumonia, pertusis, atau tuberkulosis, kelainan imunitas seperti pada tabel 1. Pada orang dewasa jika tidak ditemukan penyebab bronkiektasis, riwayat asma harus ditanyakan. 4 Bronkiektasis harus dicurigai jika ada gejala :4 •

Batuk produktif persisten, terutama jika ada satu dari kriteria di bawah ini o Usia muda o

Riwayat keluhan selama beberapa tahun

o

Tidak ada riwayat merokok

o o

Jumlah sputum yang banyak dan purulen setiap hari Batuk darah

o

Pada sputum ditemukan kolonisasi P. aeruginosa



Batuk darah yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya a tau batuk tidak produktif



Pasien yang dicurigai mempunyai Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) dapat terjadi pula bronkiektasis, dan membutuhkan pemeriksaan lanjutan jika : o

penyembuhan infeksi saluran napas bawah yang lam bat

o o

eksaserbasi rekuren tidak ada riwayat merokok

Pemeriksaan fisik

Pada kasus bronkiektasis dapat ditemukan sianosis, retraksi dinding dada dan berkurangnya gerakan dada daerah yang terkena disertai pergeseran mediastinum akibat bagian paru yang terkena luas, ronki, mengi, jari tabuh, serta dapat disertai demam. 1 Pada kasus be rat dapat ditemukan tanda-tanda kor pulmonal kronik maupun gagal jantung kanan.

Sindrom kartagener terdiri atas gejala: bronkiektasis kongenital, sering disertai dengan silia bronkus imotil, situs invertus, sinusitis paranasal atau tidak terdapatnya sinus frontalis. Pemeriksaan Penunjang



1.2.s

Pemeriksaan sputum: kultur dan uji sensitivitas antibiotik. Untuk memperbesar kemungkinan menemukan kuman H.influenzae dan S. pneumonia, spesimen hendaknya diperiksa di laboratorium dalam waktu 3 jam setelah spesimen didapatkan. 3



Imunoglobulin serum (lg G, Ig A, lg M) dan elektroforesis serum: sesuai indikasi



Ig E serum, tes skin prick: untuk mencari kemungkinan aspergilus



Bronkoskopi dilakukan bila: 4 o

Pada kasus kelainan lokal: untuk menyingkirkan adanya obstruksi proksimal

o

Pemeriksaan sputum negatif dan tidak membaik dengan pengobatan

o

Jika pada pemeriksaan HRCT (high-resolution CT scanning) dicurigai adanya infeksi mikobakterium atipikal dan kultur sputum yang negatif.

o

Bronkoskopi saluran napas bawah dengan pengambilan sampel, tidak dianjurkan dilakukan secara rutin pada pasien dengan bronkiektasis.



Pemeriksaan fungsi silia :4 o

Dilakukan jika ada riwayat kelainan kronik pada saluran napas atas, otitis media, a tau adanya riwayat otitis media kronik saat anak-anak, bronkiektasis di lobus medius, infertilitas, atau dekstrokardia.

o

Tes sakarin danjatau NO ekspirasi dari hidung dapat digunakan untuk menyingkirkan kelainan yang tidak membutuhkan pemeriksaan fungsi silia.



Rontgen thoraks : dapat menunjukkan tram track yang menandakan adanya dilatasi jalan napas, gambaran sarang lebah, kista-kista kecil dengan air fluid level (13 %), bercak-bercak pneumonia, fibrosis, kolaps, bahkan dapat menunjukkan gambaran paru normal (7%)_3



Pemeriksaan Faal paru:

3

o

Tergantung pada luas dan beratnya penyakit

o

Bronkiektasis ringan : fungsi ventilasi masih normal

o

Keadaan berat dan difus: VC (vital capacity) dan FEV1 (forced expiratory volume in 1 s) cenderung menurun karena obstruksi aliran udara pernapasan.



CT scan toraks: lebih spesifik untuk bronkiektasis. Bronkiektasis pada CT scan

toraks dapat menunjukkan adanya dilatasi jalan napas (tram track atau signet ring yang merupakan area cross sectional dengan diameter minimal 1,5 kali dari

pembuluh darah sekitarnya), tidak adanya bronchial tapering (termasuk adanya struktur tubular 1 em dari permukaan pleura), penebalan dinding bronkus, the "tree-in-bud" pattern, serta adanya kista yang berasal dari din ding bronkus (cystic bronchiectasis) Tabel2. Jenis Pemeriksaan Fungsi Paru Yang Harus Dilakukan Pada Orang Dewasa

4

~Y~tt~tt~~~l~~t~l11:~~Q)J~~~~&:~~~t;~t~t1~~M~~~~1ffi~l~m~!TK~I91ttJ~f7~~4~3~i~:~\4i~itltlgY~if~itfillliiiii.4j!((&if1~~~ Bronkiektasis

FVC, FEVl, PEF (peak expiratory flow}

Secara rutin setiap kontrol ke dokter 4 kail dalam setahun

Defisiensi imun

FVC, FEVl

PPOK/emfisema

Volume paru, gas transfer coefficient

Sebelum dan setelah antibiotik intravena

FVC, FEVl

Antibiotik oral atau nebulisasi

Spirometri dan volume paru

Pemeriksaan untuk menyingkirkan cystic fibrosis dilakukan terutama pada :4 •

Usia > 40 tahun dan tidak ditemukan penyebabnya



Ditemukannya S.aureus persisten pada sputum

• •

Adanya malabsorbsi Infertilitas primer pada laki-laki



Bronkiektasis pada lobus atas

• •

Riwayat steatorrhoea pada anak-anak Penapisan (screening) mencakup pemeriksaan kadar klorida pada keringat dan CFTR genetic mutation analysis.

Bronkiektasis karena infeksi mikobakterium non tuberkulosis 1

Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, yaitu: •

Pemeriksaan kultur sputum minimal 2 menunjukkan hasil positif dengan minimal 1 pemeriksaan BAL (bronchoalveolar lavage) cairan sam pel positif pada kultur.



Atau pemeriksaan kultur sputum atau cairan pleura minimal 1 hasil positif disertai sampel biopsi histopatologik menunjukkan adanya mikobakterium non tuberculosis (granuloma atau pewarnaan asam-basa positif).

DIAGNOSIS BANDING 3

• •

Bronkitis kronik Tuberkulosis paru



Abses paru



Karsinoma paru, adenoma paru



Fistula bronkopleural dengan empiema

TATALAKSANA 1·2 •

Mengontrol infeksi dan meningkatkan sekresi sputum dan higienitas bronkus untuk menurunkan jumlah mikroba dalam jalan napas dan risiko infeksi berulang





Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien :3 o Membuat ruangan hangat, udara ruangan kering o

Menghentikan merokok

o

Mencegahfmeghindari debu, asap

Memperbaiki drainase sekret bronkus dan menjaga higienitas bronkus 3 o

Drainase postural: dikerjakan 10-20 menit 2-4 kali setiap hari, atau sampai sputum tidak keluar lagi, dibantu dengan memberikan tepukan pacta punggung pasien.

o

Mencairkan sputum yang kental: hidrasi, mukolitik, inhalasi uap air panasj din gin

o

Mengatur posisi tempat tidur pasien

o

Nebulisasi dengan bronkodilator dan cairan hiperosmolar (saline hipertonik): Ketika nebulisasi dengan cairan saline hipertonik, sebelumnya diberikan bronkodilator pacta pasien yang mempunyai hipereaktivitas bronkus. Sebelum dan 5 me nit setelah dilakukan nebulisasi, FEV1 atau PEF harus diperiksa untuk menilai adanya bronkokonstriksi. 4 · 6

o

Fisioterapi dada: drainase postural, chest flapping, oscillatory positive expiratory pressure flutter valve, a tau high-frequency chest wall oscillation vest.

o

Sebelum dilakukan fisioterapi dapat diberikan nebulisasi dengan

~2

agonis

3

o •

Latihan rehabilitasi paru o o



untuk meningkatkan pengeluaran sputum. Setiap 3 bulan harus dinilai keefektifan terapi. Jika ada kesulitan bernapas ketika melakukan aktivitas sehari-hari Latihan kekuatan otot pernapasan

Antiinflamasi o

Glukokortikoid oral/sistemik: jika disebabkan ABPA, kondisi autoimun

o

Glukokortikoid inhalasi: tidak dianjurkan secara rutin, kecuali pacta pasien asma.4.6



Anti jamur o



Jika disebabkan ABPA: itrakonazol

Antibiotik o

Eksaserbasi akut: patogen terduga paling sering adalah Haemophilus influenzae dan P. aeruginosa. Antibiotik diberikan selama 7-10 hari.

o

Pada kasus infeksi MAC dan HIV negatif : makrolid dengan rifampisin dan etambutol

o

Kombinasi antibiotik tidak diberikan jika infeksi disebabkan H. influenza, Moraxel/a catarhalis, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia.

o

P.aeruginosa yang sensitif terhadap siprofloksasin dapat diberikan

siprofloksasin secara oral sebagai antibiotik lini pertama, dan diganti ke intravena jika tidak membaik. o

Nebulisasi dengan antibiotik: jika eksaserbasi :::: 3 kali setahun atau episode eksaserbasi yang jarang tetapi diperkirakan menyebabkan morbiditas yang signifikan. Antibiotik disesuaikan dengan hasil kultur sensitivitas. 4



Operasi

:3.4. 6

o

Tujuan : mengangkatjreseksi segmen atau lobus paru yang terkena

o

Indikasi: Bronkiektasis terbatas dan dapat tereseksi, yang tidak berespon terhadap tindakan-tindakan konservatifyang adekuat Bronkiektasis terbatas tetapi sering mengalami infeksi berulang atau hemoptisis yang berasal dari derah terse but.

o

Kontraindikasi: Bronkiektasis dengan PPOK (penyakit paru obstruksi kronik) Bronkiektasis berat Bronkiektasis dengan komplikasi kor pulmonal kronik dekompensata

o

Jenis operasi: elektif dan paliatif (pada keadaan gawat darurat dan tidak terdapat kontraindikasi)

o

Persiapan operasi: Pemeriksaan faa! paru : spirometri, analisa gas darah, bronkospirometri CT scan a tau USG

Meneliti ada tidaknya kontraindikasi operasi Memperbaiki keadaan umum pasien •

Ventilasi non-invasif: 3 o

Meningkatkan kualitas hidup pasien dengan gaga! napas kronik akibat bronkiektasis





Pada kasus refrakter: o

Operasi dengan reseksi bagian paru yang mengalami supurasi.

o

Transplantasi paru: sesuai indikasi

Pada kasus eksaserbasi (3 episode dalam setahun) : o

Antibiotik oral: siprofloksasin selama 1-2 minggufbulan

o

Merotasi jadwal pemberian antibiotik untuk menurunkan risiko resistensi

o

Makrolid setiap hari atau 3 kali seminggu

o

Inhalasi antibiotik: tobramycin inhalation solution {TOBJ) dengan jadwal rotasi 30 hari pemakaian, 30 hari penghentian

o

Antibiotik intravena intermiten: pada kasus bronkiektasis berat danfatau resistensi kuman.

KOMPLIKASI Perdarahan sampai hemoptisis masifkarena kerusakan mukosa pembuluh darah akibat infeksi berulang. Resistensi terhadap antibiotik karena infeksi berat, berulang, atau pemakaian antibiotik terlalu sering. 1 Pneumonia denganfatau tanpa atelektasis, pleuritis, efusi pleura atau empiema, abses metastasis di otak, hemoptisis, sinusitis, kor pulmonal kronik, kegagalan pernapasan, amiloidosis. 3•6 PROGNOSIS Prognosis tergantung etiologi penyebab dan frekuensi eksaserbasi. FEV1 menurun 50-55 mlftahun, sedangkan pada orang sehat 20-30 mlftahun. Risiko infeksi berulang dapat diturunkan dengan memberikan vaksinasi pada kasus infeksi pernapasan kronik (seperti influenza, pneumokokus).l Pada kasus berat dan tidak diobati lama harapan hidup <5-15 tahun. Penyebab kematian dikarenakan pneumonia, empiema, gagal jantung kanan, hemoptisis. 3•6 UNIT YANG MENANGANI • RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Pulmonologi • RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS Pendidikan

: Departemen Radiologi, Bedahjtoraks, Departemen Rehabilitasi Medik



RS non Pendidikan

: Bagian Radiologi, Bedah

REFERENSI 1.

Baron R. Bronchiectasis and Lung Abscess. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 20 12.chapter 258.

2.

Iseman M. Bronchiectasis. In: Mason: Murray & Nadel's Textbook of Respiratory Medicine, 4'h ed. United States of America: Saunders .2005. chapter 39.

3.

Rahmatullah P. Bronkiektasis. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid Ill Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010: Hal2297-2304.

4.

British Thoracic Society. BTS Guideline for non-CF Bronchiectasis A Quick Reference Guide.201 0. Diunduh dari www.brit-thoracic.org.uk pada tanggal 30 mei 2012.

5.

O'Donnell A. Bronchiectasis. Chest 2008; 134;815-823. Diunduh dari http:/ /chestjournal.chestpubs. org/content/134/4/815.full.html pada tanggal30 Mei 2012.

6.

Pranggono E. Mikobakteriosis Non-TB. Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A {Eds). Panduan Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

EMBOLI PARU

PENGERTIAN Emboli paru adalah kelainan jaringan paru yang disebabkan oleh embolus pacta arteri pulmonalis paru. Bekuan vena sistemik yang menyangkut di percabangan arteri pulmonalis, merupakan komplikasi Deep Vein Thrombosis (DVT) yang umumnya terjadi pacta kaki atau panggul. Faktor predisposisi trombosis vena yaitu: 1•2 • Trias Virchow, yaitu o Stasis: Imobilitas, tirah baring, anestesi, gaga! jantung kongestifjkor pulmonal, trombosis vena sebelumnya o Hiperkoagulabilitas: keganasan, antibodi antikardiolipin, sindrom nefrotik, trombositosis esensial, terapi estrogen, heparin-induced thrombocytopenia, inflammatory bowel disease, Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, koagulasi intravaskular diseminata, defisiensi protein C danS, defisiensi antitrombin III o Kerusakan dinding pembuluh darah: trauma, pembedahan • Keganasan • Riwayat trombosis • Preparat estrogen PENDEKATAN DIAGNOSIS Pacta 50 o/o kasus dapat asimptomatik Tabel 1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik pada Emboli Paru 1· 3 ''~'





'•~~

.. ,,"'·•.

Anamnesis

Pemeriksaan fisik

>;'•,;_<-.-">..h"~''~"<•

_.,d.

.'~'•''•-'

··-·~_,,,~·~

-

-,•o,"•''-

'"•--·c

Se sa k n a p a s j i k a nyeri pleura, sesak napas· batuk b e r a k t i v it a s y a n g darah terjadi berulang sampai . berbulancbulan ....mud.ah. Ieiah, pingsan saat beraktivitas. Tidak spesifik. Dapat Peningkatan suhu tubuh, pleura/ berupa takipneu (laju rub, suara napas dan gerak paru pernapasan > 20 kali/ berkurang pada sisi yang terkena, menit), takikardia, fremitus raba mengeras, perkusi demam, sianosis, pleura/ redup pada sisi yang terkena, suara ruo; tahdcHanda efust·brcnchial dan·egofonimengeras. Dapat ditemukan efusi pleura dan pleura. wheezing.

~:

,••

sinkop mendadak, renjatan, pucat. sesak napas berat

tanda-tanda gagal jantung kanan akut (be r k e ring at. J V P meningkat. bunyi P2 mengeras, murmur sistolik daerah katup pulmonal}.

Pemeriksaan Penunjang 3



Laboratorium: DPL, hemostasis (PT, aPTT, INR, aktivitas protrombin, kadar fibrinogen), kadar protein C danS, ACA



Urin lengkap



Analisa gas darah/ AGO: hipoksemia, alkalosis respiratorik



0-dimer plasma: meningkat (sensitif, tidak spesifik). Bila > 500 ngjmL, dilanjutkan dengan pemeriksaan



Foto toraks: menyingkirkan penyebab lain berupa emboli paru infiltrat, efusi, atelektasis, gambaran khas emboli paru Hampton's sign, Westermark's sign, Palla's sign, pada sebagian kasus: tidak tampak kelainan



EKG: terutama menyingkirkan penyakit lain, perubahan ST-T tidak spesifik. Inversi gelombang T di Vl - V4, kadang-kadang dijumpai RBBB, fibrilasi atrium. Dapat dijumpai perubahan aksis tiba-tiba. Pacta emboli paru masif dapat dijumpai RAD, P pulmonal, Sl Q3 T3 (Mcginn White Pattern).



Ekokardiografi: jika terlihat adanya peningkatan tekanan atau volume ventrikel kanan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, maka dapat dicurigai adanya emboli paru. Ekokardiografi trans esophageal mempunyai sensitivitas dan spesifisitas mencapai 90 % untuk mendeteksi emboli paru proksimal.



Ventilation/Perfusion Lung Scan: (sensitif, tidak spesifik)

o

Pacta emboli paru: kelainan perfusi tidak disertai kelainan ventilasi, atau kelainan perfusi lebih menonjol

o

Berdasarkan adanya, ukuran, dan hubungan defek ventilasi-perfusi, hasil dibagi atas: high-probability lung scan, non-high probablity lung scan (=low dan intermediate probability lung scan ), normal lung scan.



USG (ultrasonografi) tungkai. o

Indikasi: jika hasil scan menunjukkan non-high probablity lung scan, sedangkan klinis sangat mengarah ke emboli paru, mencari adanya trombosis vena dalam.

o

Jika hasil scan adalah high-probability lung scan, atau USG kaki positif DVT: diterapi sebagai emboli paru.



Angiografi pulmoner: baku emas. o

Indikasi: hasil diagnostik lain tidak jelas, dan dibutuhkan diagnosis pasti (seperti pacta pasien yang tidak stabil, atau yang memiliki risiko tinggi bila diterapi antikoagulan atau trombolitik).

Terdapat 2 cara penilaian klinis untuk memprediksi adanya emboli paru :1

Tabel 2. Penilaian klinis Berdasarkan Skor Geneva'

·

v~rlab~(··

<

Skor.

Usia > 65 tahun

+1

Riwayat trombosis vena dalam atau emboli paru sebelumnya

+3

Riwayat operasi atau fraktur dalam 1 bulan

+2

Keganasan

+2

Nyeri pada tungkai bawah unilateral

+3

Batuk darah

+2

Faktor predisposisi

Keluhan

Klinis

Denyut jantung 75-94 kali/menit

+3

<:: 95 kali/menit

+5

Nyeri tekan pada tungkai bawah dan edema unilateral

+4

Keterangan : Kemungkinan emboli paru : rendah : skor 0-3 sedang : skor 4-l 0 tinggi : skor :<: ll Tabel 3. Penilaian Klinis Berdasarkan Skor Wells'

:' ;{;';:J,~'i~!ii.l}:~l ;.,;:,.., Faktor predisposisi

Riwayat trombosis vena dalam atau emboli paru sebelumnya

+ 1.5

Riwayat operasi atau imobilisasi

+ 1.5

Keganasan

+1

Batuk darah

+ 1

Keluhan

+2 Klinis

Denyut jantung > l 00 kali/menit

+ 1.5

Tanda klinis trombosis vena dalam

+3

Adanya alternatif diagnosis selain emboli paru

+3

Kemungkinan emboli paru : rendah : skor 0-l sedang : skor 2-6 tinggi : skor :<: 7 Kemungkinan emboli paru kecil jika skor 0-4, sedangkan kemungkinan paru besar jika skor > 4

DIAGNOSIS BANDING

Pneumonia, bronkitis, asma bronkial, bronkitis kronis eksaserbasi akut, infark miokard, sindrom koroner akut, edema paru, kanker paru, pneumotoraks, kostokondritis, aorta dissekans, tamponade, fraktur iga, hipertensi pulmoner primer, nyeri muskukoskeletal, ansietas. 2

1 Poff

Pemeriksaan lain tidak tersedia dan pasien tidak stabil

1

Tera pi emboli paru. Pertimbangkan trombolisis atau embolektomi

Gamber 1. Algoritma Pendekatan Diagnosis Berisiko Tinggi Emboli Paru dengan Gangguan Hemodinamik1

Gamber 2. Algoritma Pendekatan Diagnosis Berisiko Rendah Emboli Paru Tanpa Gangguan Hemodinamik'

TATALAKSANA Terapi Suportif4 •

Oksigen

• •

Infus cairan Inotropik: dobutamin drip, bila hipotensi, a tau tanda-tanda gagal jantung akut lain

• •

Vasopresor sesuai indikasi Anti aritmia sesuai indikasi



Analgetik

Terapi Emboli Paru Akuf'5· 6



Unfractionated heparin (UFH) o Bolus inisial intravena 80 IU/kgBB atau sekitar 5.000 IU, dilanjutkan dengan drip 18 IU/kgBBjjam IV o Pemantauan dengan pemeriksaan aPTT setiap 6 jam: target <1.2 kali kontrol

Tabel 4. Perubahan Dosis Berdasarkan Nilai aPTTl



< 35 detik (< 1.2 kali kontrol)

80 U/kg bolus. kecepatan infus dinaikkan menjadi 4 U/kg/jam

< 35-45 detik ( 1.2-1.5 kali kontrol)

40 U/kg bolus, kecepatan infus dinaikkan menjadi 3 U/kg/jam

< 46-70 detik (1.5-2.3 kali kontrol)

Tidak berubah

< 71-90 detik (2.3-3.0 kali kontrol)

kecepatan infus dikurangi menjadi 2U/kg/jam

>90 detik (>3.0 kali kontrol)

Stop infuse selama 1 jam. selanjutnya kecepatan infus dinaikkan menjadi 3 U/kg/jam

Low Molecular Weight Heparin (LMWH) o Diberikan subkutan tiap 12 jam o Enoxaparin 1 mgjkgBB subkutan o Dalteparin 200 IU jkgBB subkutan o Nadroparin 0,1 mL/kgBB o Tinzaparin 175 Ujkg satu kali sehari o Fondaparinux (diberikan sekali sehari). Be rat bad an< 50 kg do sis Smg, be rat 50-100 kg dosis 7.5 mg, dan berat > 100 kg dosis 10 mg.

Terapi Emboli Paru 4 · 9 •

Trombolitik : o Indikasi: emboli paru masif, pemberian dipertimbangkan jika emboli paru tanpa gangguan hemodinamik, tetapi berisiko tinggi (emboli paru submasif),

adanya trombois vena dalam, adanya penyakit jantung atau paru yang belum mengalami perbaikan dengan pemberian heparin, dan risiko perdarahan rendah o

Streptokinase: dosis loading 250.000 IU dalam larutan garam fisiologis atau glukosa 5% drip IV dalam 30 menit. Dilanjutkan 100.000 IU per jam drip IV, selama total 24-72 jam. Perbaikan biasanya terlihat dalam 24 jam.

o

Urokinase 4400 unit/kgBB/jam selama 12-24 jam. Perbaikan biasanya terlihat dalam 12 jam.

o

Recombinant tissue plasminogen activator (rTPA) 100 mg dalam 2 jam atau 0.6 mgjkgBB dalam 15 menit. Dosis maksimum 50 mg.

o

Terapi trombolitik terbukti mengurangi obstruksi dan memperbaiki hemodinamik.

o

Kontraindikasi absolut: Stroke hemoragik atau stroke yang tidak diketahui penyebabnya Stroke iskemik yang terjadi dalam 6 bulan Kerusakan susunan saraf pus at a tau keganasan Baru saja terkena traumajoperasijtrauma kepala (dalam waktu 3 minggu) Perdarahan saluran cerna dalam waktu 1 bulan Adanya perdarahan

o

Kontraindikasi relatif:

Transient ischaemic attack dalam 6 bulan Mengkonsumsi antikoagulan oral Kehamilan atau 1 minggu setelah melahirkan

Non-compressible punctures Hipertensi refrakter (tekanan darah sistolik > 180 mmHg) Penyakit hati lanjut Endokarditis infektif Ulkus peptikum aktif

Traumatic resuscitation •

Percutaneous catheter embolectomy and fragmentation: o Tujuan: menghilangkan obstruksi dari arteri pulmonal o

Indikasi: sebagai alternatifjika ada kontraindikasi absolut terapi trombolitik, jika ada kegagalan terapi trombolitik untuk memperbaiki hemodinamik, atau sebagai alternatif operasi jika akses bypass kardiopulmonal tidak tersedia.



Trombektomi



IVC filter: jika ada kontraindikasi atau tidak ada perbaikan hemodinamik setelah pemberian antikoagulan

.

726

~

Terapi Preventif Tabel 5. Terapi Tromboprofilaksis pada Emboli Paru 7 · 9

·.··'f;~7')t1$UG:f·}'':r·· . ·

::.

c·Ys~ISJIQ'!s!;!;lQri'Ri?"n~ls(~!fls~~-rc!.r~··;•·:·;t''\'•'~7t~>;~'r.of.liC!~~~~:~~:::~?~:,·~"''<

Rendah (< 10 %)

Operasi minor pada pasien yang dapat bergerak

Mulai gerak secara dini

Sedang (1 0-40 %)

Operasi pada umumnya, pasien yang diharuskan bed rest

UFH 5000 U subkutan (bid atau tid}

Tinggi (40-80 %)

Operasi ortopedik, trauma susunan saraf belakang

LMWH (Fondaparinux), warfarin

·

Terapi Jangka Panjang



Warfarin: dimulai bersamaan dengan pemberian heparin dengan dosis awal 5 mgjhari. Pemantauan dengan pemeriksaan INR tiap 1-3 hari :target INR 2- 3. Bila INR < 2: dosis dinaikkan Yz tablet jhari, hila INR > 3: dosis diturunkan, hila INR 2-3: dosis dipertahankan Menentukan risiko dan klinis emboli paru

Gambar 3. Algoritma Penatalaksanaan Emboli Paru 2

KOMPLIKASI Sindroma posttrombotik (25%) berupa nyeri dan edema. Emboli paru berulang (1% pada emboli paru pertama kali- 5% dalam setahun pada emboli paru berulang), gagal napas, gagal jantung kanan akut, hipotensi j renjatan kardiogenik. Komplikasi diagnostik: reaksi alergi terhadap zat kontras. Komplikasi terapi: perdarahan (termasuk intra-kranial), heparin-induced thrombocytopenia, nekrosis kulit, warfarin embriopati.

PROGNOSIS Prognosis baik jika terapi yang tepat dapat segera diberikan. Prognosis juga tergantung pacta penyakit yang mendasarinya, ketepatan diagnosis, dan pengobatan yang diberikan. Umumnya prognosis emboli paru kurang baik. Angka kematian karena emboli paru mencapai 15% dalam 6 bulan. Sedangkan pacta emboli paru masif 70% mengalami kematian dalam waktu 2 jam sesudah serangan akut. Prognosis juga buruk pacta pasien emboli paru kronik dan sering mengalami serangan ulangan. Resolusi komplit dapat tercapai dalam waktu 7-19 hari, tergantung dari waktu mulai terapi, adekuat tidaknya terapi, dan derajat emboli paru. 4•8•9 UNITY ANG MENANGANI • RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi, Kardiovaskular, Hematologi-Onkologi Medik. • RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS Pendidikan •

RS non Pendidikan

: Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Departemen Radiolog, Patologi Klinik, Bedah / toraks : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Radiologi

REFERENSI 1.

Torbicki A. Perrier A. Konstantinides S. Guidelines on the diagnosis and management of acute pulmonary embolism. European Heart Journal (2008) 29, 227 6-2315.Diunduh dari www.escardio. erg/guidelines pada tanggal23 Juni 2012.

2.

Goldhaber SZ. Deep Venous Thrombosis and Pulmonary Thromboembolism. In: Fauci A. Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 262.

3.

Fedullo PF, Morris TA. Pulmonary Thromboembolism. In :Mason: Murray & Nadel's Textbook of Respiratory Medicine, 4th ed. United States of America :Saunders .2005. chapter 48

4.

Rahmatullah P. Tromboemboli Paru. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: lnterna Publishing; 2006: Hal1050-1056.

5.

Diunduh dari Chest 2008;133;454S pada tanggal23 Juni 2012.

6.

Diunduh dari NEJM 2008;359:2804 pada tanggal 23 Juni 2012.

7.

Diunduh dari Chest 2008;133:381S pada tanggal 23 Juni 2012.

8.

Diunduh dari Circ 2003;107:1-4 pada tanggal23 Juni 2012.

9.

Rasyid A. Emboli Paru. Dalam: Am in Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

FLU BURUNG

PENGERTIAN Flu burung (avian influenza) merupakan penyakit infeksi akibat virus influenza tipe A yang biasa mengenai unggas. Subtipe virus influenza yang lazim mengenai man usia adalah dari kelompok Hl, H2, H3, serta Nl dan N2 dan disebut sebagai human influenza. Secara ringkas virus ini dikenal dengan virus A (HSNl).l PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis1.2



Gejala sistemik mendadak: sakit kepala, demam, menggigil, mialgia, malaise, batuk, radangtenggorokan



Keluhan gastrointestinal: diare



Identifikasi untuk kelompok risiko tinggi: pekerja peternakanjpemrosesan unggas (termasuk dokter hewanjinsinyur peternakan), pekerja laboratorium yang memproses sam pel pasien, pengunjungpeternakanjpemrosesan unggas dalam 1 minggu terakhir, pernah kontak dengan unggas (ayam, itik, burung) sakit/mati mendadakyang bel urn diketahui penyebabnya danjatau babi serta produkmentahnya dalam 7 hari terakhir, atau pernah kontak dengan penderita flu burung dalam 7 hari terakhir.

Pemeriksaan Fisik1·2



Febris, takipneu, takikardi



Konjungtivitis



Ronkhi kasar pacta kedua lapang paru

Pemeriksaan Penunjang 1·2



Laboratorium : darah perifer lengkap, fungsi hati1 fungsi ginjal, kreatin kinase, analisa gas darah



Uji konfirmasi : o Kultur dan identifikasi virus HSNl

o

Uji Real Time Nested PCR untuk H5

o

Serologis immunofluorescence test (IFA), uji netralisasi, uji penapisan dengan rapid test, HI test, atau ELISA



Radiologis (tidak ada gambaran khas) : foto toraks PA/lateral ditemukan gambaran infiltrat bilateralluas, difus, multilokal, atau terse bar (patchy}, atau dapat berupa kolaps lobar

Kriteria diagnosis flu burung menurut Departemen Kesehatan Rl (2005) :



Pasien dalam observasi Demam >38°C disertai 1 atau lebih gejala berikut: o

Batuk,

o

Sakit tenggorokan,

o

Pilek,

o

Napas pendekfsesak napas (pneumonia) dimana belum jelas ada/tidaknya kontak dengan unggas sakitfmati mendadak yang belum diketahui penyebabnya dan produk mentahnya.

Pasien masih dalam observasi klinis, epidemiologis, dan pemeriksaan laboratorium.



Kasus suspekAI H5N1 (dalam pengawasan) Demam >38°C disertai 1 atau lebih gejala berikut : o

Batuk, sakit tenggorokan, pilek, napas pendekfsesak napas, pneumonia dan diikuti salah satu atau lebih keadaan: 1.

Pernah kontak dengan unggas sakitfmati mendadakyang belum diketahui penyebabnya danfatau babi serta produk mentahnya dalam 7 hari terakhir,

2.

Pernah tinggal di daerah yang terdapat kematian unggas yang tidak biasa dalam 14 hari terakhir sebelum timbulnya gejala,

3.

Pernah kontak dengan penderita flu burung konfirmasi dalam 7 hari terakhir sebelum timbulnya gejala,

4.

Pernah kontak dengan spesimen AI H5N1 dalam 7 hari terakhir sebelum timbulnya gejala (pekerja lab), ~3000/!J.L,

5.

Ditemukannya leukopeni

6.

Ditemukan adanya titer antibodi H5 dengan pemeriksaan HI test menggunakan eritrosit kuda atau ELISA untuk influenza A tanpa subtipe.

ATAU o

Kematian akibat acute respiratory distress syndrome (ARDS) dengan 1 atau lebih keadaan dibawah ini: 1) leukopenia atau limfopenia denganjtanpa trombositopenia (trombosit <150.000/!lL), 2) gambaran pneumonia atipikal atau infiltrat di kedua sisi paru yang makin meluas pada foto toraks serial





Kasus probabel AI H5N1 Kriteria kasus suspek ditambah dengan 1 atau lebih keadaan dibawah ini : o Ditemukan adanya kenaikan titer antibodi minimum 4x terhadap H5 dengan pemeriksaan HI test menggunakan eritrosit kuda atau ELISA o Hasillaboratorium terbatas untuk influenza H5 (dideteksi dengan antibodi spesifik H5 dalam spesimen serum tunggal) menggunakan tes netralisasi (dikirim ke referensi laboratorium) o Dalam waktu singkat menjadi pneumonia beratjgagal napasjmeninggal dan terbukti tidak ada penyebab lain Kasus konfirmasi AI H5N1 Kasus suspek atau pro babel dengan 1 atau lebih keadaan dibawah ini : o Kultur virus influenza A/H5N1 (+) o PCR influenza A/H5N1 (+) o

IFA test ditemukan antigen (+) menggunakan antibodi monoklonal influenza A/ H5N1 o Kenaikan titer antibodi spesifik influenza A/H5N1 sebanyak 4x dalam paired serum dengan uji netralisasi Kriteria rawat •

• • •

Suspek flu burung dengan gejala klinis be rat yaitu 1) sesak nap as dengan frekuensi napas ;:::30xjmenit, 2) nadi ;:::100xjmenit, gangguan kesadaran ( +), 3) kondisi umumlemah Suspek dengan leukopenia Suspek dengan gambaran radiologis pneumonia Kasus probabel dan konfirmasi

DIAGNOSIS BANDING Pneumonia TATALAKSANA 1"3 • Prinsip penatalaksanaan adalah istirahat, peningkatan daya tahan tubuh, pengobatan antiviral, antibiotik, perawatan respirasi, antiinflamasi, dan imunomodulator • Antiviral sebaiknya diberikan pacta awal infeksi yaitu 48 jam pertama o Penghambat M2 : amantadine, rimantidin dengan dosis 2 x 100 mgjhari atau 5 mgjkgBB selama 3-5 hari o Penghambat neuramidase (WHO) : zanamivir, oseltamivir (tamiflu) dengan dosis 2 x 75 mg selama 1 minggu



Pedoman Departemen Kesehatan RI : o

Kasus suspek: oseltamivir (tamiflu) 2 x75 mg selama 5 hari, simptomatik dan antibiotik jika ada indikasi

o

Kasus probabel : oseltamivir (tamiflu) 2 x 75 mg selama 5 hari, antibiotik spektrum luas yang mencakup kuman tipik dan atipikal, dan steroid jika ada indikasi (pneumonia berat, ARDS). Respiratory care di ICU sesuai indikasi.



Profilaksis pada kelompok risiko tinggi: oseltamivir 1 x 75 mg selama 1-6 minggu

KOMPLIKASI Pneumonia dan manifestasi ekstrapulmonal seperti diare dan keterlibatan sistem saraf pusat. Kematian berkaitan dengan disfungsi sistem multipel, termasuk gagal jantung dan ginjai.2 PROGNOSIS Berkaitan dengan derajat dan durasi hipoksemia. Angka mortalitas dari semua kasus sampai saat ini mencapai 60%. Risiko mortalitas tergantung dari derajat penyakit respirasi daripada komplikasi bakteri (pneumonia). Hanya sedikit bukti yang tersedia yang menunjukkan efek jangka panjang dari korban selamat. 3 UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi • RS non pendidikan: Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan: RadiologijRadiodiagnostik, Patologi Klinik • RS non pendidikan:·Bgian Radiologi, Bagian Patologi Klinik REFERENSI

732

1.

Nainggolan L, Rumende CM, Pohan HT. Influenza Burung. Dalam : Sudoyo A. Setiyohadi B, Alwi L et al. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jilid Ill. 2009. Hal 2786-9.

2.

Keliat EN. Pneumonia Virus. Dalam: Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/ Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

3.

Dolin RD. Influenza. In: Longo DL Fauci AS, Kasper DL Hauser SL Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181hEdition. New York, McGraw-Hill. 2012.

GAGAL NAPAS

PENGERTIAN Gagal napas adalah suatu kondisi kegagalan sistem pernapasan pada fungsi pertukaran gas seperti oksigenasi danjatau eliminasi karbondioksida dari darah vena. Gagal napas juga didefinisikan tekanan oksigen arteri (Pa 0 2) <60 mmHg (8.0 kPa) danjatau tekanan karbondioksia arteri (Pa C0 2) >45 mmHg (6.0 kPa). Sistem pernapasan terdiri dari :1 Paru-paru: sebagai organ pertukaran gas Sistem pompa yang memventilasi paru-paru: terdiri dari din ding dada, otot pernapasan, pusat pernapasan di susunan saraf pusat (SSP), dan jalur yang menghubungkan SSP dengan otot pernapasan (saraf spinalis dan saraf perifer) Gagal napas dapat terjadi karena 2 mekanisme yaitu : Gagal napas

Kegagalan pertukaran udara yang ditandai dengan hipoksemia

Kegagalan ventilasi yang ditandai dengan hiperkapnia

Gombar 1. Algoritma Tipe Gagal Napas 1

Penyabab gagal napas yaitu : Tabell. Penyebab Gagal Napas Berdasarkan Onset Kejadian 1 'A·-·- cr~~-~~~~~7',~;;:.:~r.,.r:~~:-:~';<:""':''f'";; ~:-.~ -~"'R::, ... ""'J~':--~.r:::~~-rf\= '" ·j" ,. .-;'n~h'-~;;-,_ l'l!Cl..\" ,""_.~~~t ;~\t.,.(.~~'~'~"I "~-if~~:{".:.-->£,~ ~~~~~~~~~.1_::"=-=..'::;;:i:~;,}i~1_3·~~£t~lt:_iJ,.tKilTh.t_~~J:s!i[~~~±ML~ffil~ "2.Z=t·~~~~J~:~;~_r,. ·- ·''~ 'l~~ ~~C\'h~~~-l::!i ········ ;.•··Akt!F----~Penurunon'ftJngsi-s0st!non:sorat----::.~ebdt-fsedotif);::peiW'alusat---·- ···

·

pusat Gangguan transmisi neuromuskular dan neural

(ensefalitis, stroke, trauma) Trauma saraf spinal, mielltis transversal, tetanus, amyotrophic lateral sclerosis, poliomyelitis, sindroma Guil/ain-Barre, keracunan organofosfat, keracunan botulinum

Abnormalitas otot Distrofi muscular, atrofi, prematuritas ·-----------A6normalitasdlndmg-dada-aa_n___ RljJerinflasi akut, trauma 01nd1ng dada pleura

c: .·"

.

Ons~f.

f:~tly~bg"·JilpoJ~~Iitil~sKqly.eolg(· :

Penyakit paru dan jolon napas

Kronik

Sepsis, rejatan sirkulasi penyakit paru obstruktif kronik (bronkitis, emfisema, bronkiektasis) Obesitas, kifoskoliosis, efusi pleura, gangguan Abnormalitas dinding dada neuromuskular Penyakit paru dan dinding dada Polimiositis, skleroderma, SLE Abnormalitas susunan saraf pusat Hipoventilasi alveolar primer (Ondine's curse) Lain-lain Malnutrisi, gangguan elektrolit, kelainan endokrin Lain-lain Penyakit paru dan jolon napas

Gagal napas mempunyai beberapa tipe yaitu : label 2. Tipe Gagal Napas'·4 Tipe I

Gaga! napas hipoksemia akut

Disebabkan korea ventilasi/perfusi yang tidak seimbang, peningkatan shunt, gangguan difusi, hipoventilasi alveolar. Faktor risiko: • Disfungsi kardiak • lnfeksi pulmonal atau aspirasi • Tromboemboli vena • Penyakit paru obstruktif. • Trauma toraks: pneumotoraks, hemotoraks, kontusi paru

Tipe II

Gaga! napas hiperkapnia

Terjadi karena adanya hipoventilasi alveolar dan ketidakmampuan mengeliminasikarbondioksida yang disebabkan: • Gangguan pada SSP dalam mengontrol pernapasan (intoksikasi obat-obatan, trauma batang otak, hipotiroid, kelainan napas saat tidur) • Melemahnya otot pernapasan karena gangguan fungsi neuromuskular (miastenia gravis, sindroma Guillain Barre, sklerosis lateral amiotrofik, trauma nervus frenikus) • Peningkatan beban sistem respirasi: - meningkatnya beban resistive: bronkospasme - menurunnya compliance paru: edema elveolar, atelektasis, intrinsic positive end-expiratory pressure (autoPEEP) menurunnya compliance dinding dada : pneumotoraks, efusi pleura, distensi abdomen - meningkatnya kebutuhkan ventilasi/menit: emboli paru dengan peningkatan dead space fraction, sepsis.

Tipe Ill

Akibat atelektasis, terjadi paling sering pada periode perioperatif sehingga disebut kegagalan napas perioperatif.

TipeiV . -··.

- ·--· ·-- ·- . - --····

~····

-·-·--·-·-

Disebabkan hipoperfusi otot pernapasan pada pasien dengan -·refatan.Pasieliden~fOn

reiafan meligalamidlSti'esspernapasan

karena edema paru, laktat asidosis, dan anemia.

;

,-,J

Asma akut, penyakit paru obstruktif kronik eksaserasi akut, pneumonia, obstruksi jolon napas atas, bronkiektasis

DIAGNOSIS label 3. Diagnosis Gagal Napas 1· 4 :~rlil(Bt.<~<J'g''ailnaga.;:s\';;'&t",,;,)!~;~;:11fHir.i¥;za~rt$~:e;tY:I;::·;i!,~~,;;'i'iC:t•:. ·~~,;;~;·:~·i!.:it~r~elit'iiiiJ·~a'h~~~sJ~''t~~p1•1''~"~·~~H>i;J\;1'~''.l [:;:,-,.t"~Cill!!L_..'h .,,_,J\,r.. f'!~<:...:~.f;,!,."{;:~':£·trdt~"'A'* ,$! ~""-'"'-'·w,;:tW...!...-.. :!f:,~ '·"'~4J-:.;r.;;*t'.o·~•\ .,.f "'·~-J;"c% ""'-}..1!.'%,,~~'\!.'.'}ie;f?J_-~1·~;0H,,~;U~t-\!;rm ~-~'"r,:,,. ... ._IJI...,,-.;« -~:f..~{~. j·fK~~"~Jk:'A!:O~-,"·r'·•~ Tipe I

• Mengenali faktor risiko • Sesak napas ·

Cemas, perubahan status mental, bingung, takikardia, takipnea, diaforesis, sianosis, hipertensi/hipotensi, aritmia.

Tipe II

Mencari penyebab dan faktor risiko. Pasien mengeluhkan sesak napas.

Somnolen, letargi, atau koma. Asteriks, tremor, bicara kacau, edema papil.

Pemeriksaaan penunjang



Laboratorium : DPL.



Analisis gas darah



Foto toraks



Kateter Swan Ganz dengan monitor- tekanan kapiler paru (PCWP)



EKG



CT (computed tomographic) angiography toraks: sesuai indikasi



Bronkoskopi: sesuai indikasi

DIAGNOSIS BANDING Edema paru, ARDS TATALAKSANA Tipe I



Mengobatai penyakit dasar



Oksigen



Ventilasi mekanik: pada penyakit berat (ARDS)



Bronkodilator o

Agonis beta adrenergik: terbutalin, albuterol

o

Antikolinergik: diberikan kobi~asi dengan agonis beta adrenergik



Antibiotika: sesuai indikasi



Kortikosteroid oral atau parenteral



Ekspektoran dan nukleonik



Fisioterapi dada

Tipe 113.4 • • • •

Tujuan: memperbaiki ventilasi alverolar menjadi normal, hingga penyakit dasar dapat diobati Menjaga patensi jalan napas: penyedotan secret, drainase postural, stimulasi batuk, perkusi dada, atau dengan pemasangan selang endotrakea atau trakeostomi. Alat napas buatan: ventilator mekanik Oksigen: jika ada hipoksemia, diberikan secara hati-hati

KOMPLIKASI • Komplikasi paru: emboli paru, barotrauma, fibrosis pulmonal. • Komplikasi kardiovaskular: hipotensi, cardiac output menurun, aritmia, perikarditis, infark miokard akut PROGNOSIS Prognosis tergantung dari penyakit penyebab dan komorbid. Kematian pada kasus gagal napas umumnya disebabkan karena kegagalan multi organ. Angka kematian pada gagal napas yang disertai kegagalan kardiovaskular, ginjal, atau neurologis sebesar 55.4 %, 57.4 %, dan 48.1 %. Sedangkan angka kematian pada gagal napas dengan kegagalan satu organ sebesar 20.7 %. 3-4 UNIT YANG MENANGANI • RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi • RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS Pendidikan : Departemen Patologi Klinik, Radiologi, AnestesijiCU • RS non Pendidikan : Bagian Patologi Klinik, Radiologi, Anestesi/ICU REFERENSI



.

736

1.

C. Roussos, A Koutsoukou. Respiratory failure. Eur Respir J 2003; 22: Suppl. 47, 3s-14s. Diunduh dari http:/ /erj.ersjournals.com/content/22/47_suppl/3s.full.pdf pad a tanggal 20 Juni 2012.

2.

Amin Z, Purwoto J. Gagal Napas Akut. Dalam :Simadibrata M, Setiati S, Alwi I, Maryantoro, Gani RA. Mansjoer A. editors. Pedoman Diagnosis dan Terapi di Bidang llmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV Jakarta: Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI; 2006.p. 170-75.

3.

Vincent JL, de Mendonca A. Cantraine F, Moreno R, Takala J, Suter PM, Sprung CL, Colardyn F, Blecher S: Use of the SOFA score to assess the incidence of organ dysfunction/failure in intensive care units: results of a multicenter, prospective study. Working group on 'sepsis-related problems' of the European Society of Intensive Care Medicine. Crit Care Med 1998, 26: 1793-1800.

4.

Amin Z, Pitoyo CW. Gagal Napas. Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.



MASSA MEDIASTINUM

PENGERTIAN Mediastinum adalah regio di dalam rongga dada di antara rongga pleura yang di dalamnya terdapat jan tung dan organ lain, kecuali paru-paru. Batas-batas mediastinum yaitu sebelah lateral dibatasi oleh pleura parietalis, anterior oleh sternum, posterior oleh kolum vertebra, superior oleh thoracic inlet, dan inferior oleh diafragma. Daerah mediastinum terbagi menjadi 3 yaitu :1•2 • Mediastinum anterior • Mediastinum media • Mediastinum posterior Massa mediastinum adalah lesi spesifik yang ditemukan di dalam mediastinum, baik dari metastasis atau tumor dari lokasi intratorakallain yang menginvasi ke dalam mediatinum, seringkali ditemukan secara kebetulan pada saat pemeriksaan. Etiologi dari massa mediastinum dapat dibagi berdasarkan lokasi dari massa : label 1. Etiologi dari Massa Mediastinum2 Mediastinum anterior

kelenjar tim us, perluasan kelenjar tiroid dan paratiroid ke substernal. saluran limfe dan kelenjar getah bening, jaringan ikat.

Mediastinum media

Jantung, perikardium, arkus aorta dan pembuluh darah besar, hilus, kelenjar getah bening, vena inominata dan vena kava superior, nervus phrenikus, nervus vagus bagian atas, jaringan ikat

Mediastinum posterior

aorta torakalis desending, esofagus, duktus torasikus, vena azigos, vena herniazigos, dan kelenjar getah bening bag ian posterior, nervus vagus bagian bawah, jaringan ikat.

Ada banyak jenis mas sa mediastinum, yang tersering ditemukan : label 2. Jenis Massa Mediastinum yang lersering Ditemukan 2

i4~~~~~*k~~ltlili~tfu~S~t~ti;~,~(~~~~~-~~~7~t~~~:~~i¥i .;h~~~~·:. {~~cri_.~~~~fJ~.~~:~Ji$~{$);.{:;;~.~~:~ ,~:~~-~~~;-~t·~i4·:~~; Developmental cysts Tumor neurogeni Timoma Limfoma Germ cell tumors Tumor mesenkim Tumor endokrin (tiroid, paratiroid, karsinoid) Keganasan lain

21 21 19 13 11

7

6 3

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Keluhan dapat disebabkan karena efek lokal atau gejala sistemik sesuai dengan jenis tumor, yaitu :2 • •

Keluhan sesuai tirotoksikosis pada gondok intratoraks Sindroma cushing pada timoma dan tumor karsinoid



Diare pada ganglioneuroma

Pemeriksaan fisik dan Pemeriksaan Penunjang label 3. Pemeriksaan Fisik Dan Pemeriksaan Penunjang Berdasarkan Jenis Tumor 2 ·3

[&~~~1~il~.lt}1i>'§i~~~i:%~~T-~~~~idf!fJ§JJ~~B~ill:l,'f!'!l;~g'~~~-l'fJ.i ,..B&:"1M-&t·~;
Ganglioneroma, feokromositoma, kemodiktoma

Ginekomastia

Human chorionic gonadotropin-secreting germ cell tumors

Peningkatan suhu tubuh

Limfoma

Opsomioklonus

Neuroblastoma

Kelainan vertebra

Kista enterik

Laboratorium : DPL Hiperkalsemia

Adenoma paratiroid dan limfoma

Hipoglikemia

Tumor pleura, teratoma, fibrosarkoma, neurosarkoma

Fungsi tiroid, tiroid scan

Gandok

Kadar katekolamin

Tumor neurogenik

Alpha-fetoprotein and !3-human chorionic gonadotropin

Germ cell tumor

Anti-acetylcholine receptor antibody

Simptom miastenik atau massa berkaitan dengan tim us

Hipogamaglobulinemia

Timoma

Gallium-67 scan

Sarkoidosis

Somatostatin receptor scintigraphy

Timoma

Technetium-99m scan

Adenoma paratiroid

PET

Kanker paru

Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan untuk membantu mendiagnosis massa mediastinum: •

Rontgen toraks: menentukan lokasi, karakteristiktumor (ukuran, bentuk, densitas, dan invasinya)



CT (computed tomography) scan toraks:

o



5

Tujuan: menentukan lokasi massa (anterior, media, atau posterior) karakteristik tumor ( ukuran, bentuk, densitas) memperkirakan asal tumor (neural, esophagus, atau dari jalan napas) Penyebaran dan kompresi ke struktur sekitar o Dengan kontras dapat terlihat jelas: gondok, adenoma paratiroid, penyakit castleman, lesi vaskular, paraganglioma, dan beberapa lesi metastasis. o Berdasarkan densitas massa: Massa yang mengandung cairan: gondok, kista timus, timoma, teratoma, limfoma, nodus nekrotik dari inflamasi atau keganasan (kista perikardium, bronkogenik, dan oesophageal duplication cysts) Mengandung lemak (densitas rendah): timolipoma, teratoma Mengandung kalsifikasi: gondok, timoma, limfoma, tumor karsinoid, massa inflamasi (tuberkulosis, histoplasmosis, sarkoid), aneurisma o Kelebihan CT scan dibandingkan MRI: Spatial resolution. Dapat mendeteksi kalsifikasi dan destruksi tulang Skrining hati, paru-paru, dan metastasis adrenal dalam sekali pemeriksaan Dapat digunakan sebagai pemandu aspirasi jarum untuk biopsi massa Alat lebih banyak dijumpai o Kekurangan: Paparan terhadap radiasi Pemakaian kontras (iodinated contrast agent) MRI (magnetic resonance imaging) 5 o Kegunaan: Memberikan informasi mengenai sumber massa, lokasi, dan penyebaran ke struktur sekitar. Mengkonfirmasi adanya lesi kistik pada mediastinum yang tampak solid pada cr scan. Menggambarkan adanya jaringan lemak intralesi yang jumlahnya sedikit Mendiagnosis: hemangioma, teratoma, atau hematopoiesis ekstramedular. Tumor neurogenik (75% kasus massa mediastinum posterior) o Kelebihan : Potongan lebih banyak Resolusi tinggi Tidak menggunakan zat kontras

o

Kekurangan: Keterbatasan alat Lebih mahal



PET (positron emission tomography) 5 o

Memberikan informasi mengenai abnormalitas mediastinum, informasi ten tang metabolism dan penyebaran penyakit.



o

Sensitivitas dan spesifisitas mencapai 90-95%

o

Kerugian: biaya mahal dan keterbatasan fasilitas.

Angiografi 5 o Indikasi: Jika ada kecurigaan adanya keterlibatan vaskular (aneurisma, haemangioma, dan malformasi arteriovenosus) Memastikan invasi ke vaskular oleh tumor Embolisasi pada Iesi vaskular sebelum operasi



Biopsi jaringan 5 o

Kegunaan: untuk diagnosis definitif dan tatalaksana Ian jut

o

Komplikasi: perdarahan, pneumotoraks

o

Dapat dilakukan dengan endoscopic ultrasonography (EUS) : Menggambarkan secara akurat aortopulmonal, nodus subkarina, mediastinum posterior dan inferior yang tidak dapat terdeteksi dengan CT scan. Dapat digunakan untuk pemandu aspirasi jarum halus (free needle aspirationjFNA) massa mediastinum. Sensitivitas dan Spesifitas EUS: 84,7% dan 84,6% Sedangkan jika EUS dikombinasi dengan FNA, sensitivitas dan spesifisitas menjadi 88 % dam 96,4 %.

o

Endobronchial ultrasound (EBUS) dan EBUS transbronchial needle aspiration (EBUS-TBNA). Menggambarkan Iesi paratrakeal dan peribronkial utama Digunakan untuk panduan FNA

o

Transthoracic atau transesophageal needle biopsy: untuk Iesi yang mudah diakses yang tidak dapat dilakukan reseksi primer.

o

Mediastinoscopy atau mediastinotomy: untuk Iesi yang mudah diakses jika pemeriksaan lain tidak berhasil.



Operasi reseksi primer o Pendekatan diagnosis terakhir dan dapat digunakan sebagai pilihan terapi

)<:~.:5"Massa

Mediastinum·

DIAGNOSIS BANDING Sesuai etiologi tabel1. 6•7 TATALAKSANA Tergantung etiologi. KOMPLIKASI Obstruksi trakea, sindroma vena kava superior, invasi vaskular dan perdarahan katastropik, serta ruptur esofagus. 4•7 PROGNOSIS Prognosis tumor mediastinum jinak umumnya cukup baik, terutama jika tanpa gejala. Sedangkan tumor mediastinum ganas tergantung dari keparahan penyakit dan komorbid. Umumnya penyakit infeksi berespon baik terhadap terapi konvensional, sedangkan penyakit infeksi berespon baik dan cepat terhadap pemberian antibiotik yang tepat dan tindakan bedah. 6•7 UNITYANG MENANGANI • RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Pulmonologi • RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT : Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedah / toraks • RS Pendidikan • RS non Pendidikan : Bagian Radiologi, Bedah REFERENSI 1.

Light RW. Disorders of the Pleura and Mediastinum. In: Fauci A. Kasper D, Longo D, Braunwald E. Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 263.

2.

Park D. Vallieres E. Tumors and Cysts of the Mediastinum. In :Mason: Murray & Nadel's Textbook of Respiratory Medicine, 4th ed. United States of America :Saunders .2005. chapter 71.

3.

Diunduh dari www.chestjournaLchestpubs.org pada tanggal 30 Mei 2012.

4.

Amin Z. Penyakit Mediatinum. Dalam: Alwi I. Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010: Hal2249-2253.

5.

Amin Z. Tumor Mediastinum. Dalam: Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/ Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

6.

Diagnostic Imaging Pathways :suspected mediastinal mass. 201 L Diunduh dari http://www. imagingpathways.health.wa.gov.au/includes/pdf/med_mass.pdf pada tanggal 30 Mei 2012.

7.

Haas C, Haap M. A mediastinal mass. The journal of family practise vol 59, no 6. Juni 2010. Diunduh dari http:/ /www.jfponline.com/Pages.asp?AID=8696&issue=June%20201 O&UID= pada tanggal30 Mei 2012.

PENYAKIT PARU KERJA

PENGERTIAN Penyakit paru interstitial merupakan istilah klinis bagi sekelompok gangguan traktus respiratorius bagian bawah yang meninggalkan jejas pada parenkim paru, dan memberikan gambaran klinis, radiologis, dan manifestasi fisiologis atau patologis yang sama. 1-3 Penyakit paru kerja adalah sekumpulan diagnosis yang disebabkan oleh inhalasi debu, zat kimia, atau protein. "Pneumokoniosis" merupakan istilah yang digunakan untuk penyakit yang berkaitan dengan inhalasi debu mineral. Keparahan penyakit ini berkaitan erat dengan materi yang dihirup, intensitas, dan durasi dari paparan terhadap materi terse but. Bahkan beberapa orang yang tidak bekerja di industri pun dapat terkena penyakit ini melalui paparan tidak langsung. 4 Berikut daftar penyakit paru kerja, zat paparan, dan waktu terpapar sampai onset timbul gejala tercantum pada tabel 1. label 1. Dafter Penyakit Paru Kerja, Zat Paparan, dan Waktu Paparan sampai Onset Gejala 4 '

~-

-0

-,

- · · ' "....·"""'",

' " · """'

Silika

Silikosis

Penambang, pembuat gelas, penggali pasir, pengrajin tanah liat penambang terowongan, pekerja konstruksi, pembuat adonan tepung silika, pekerja abrasif [pembuat gigi)

Akut [<1 tahun) Accelerated [3-1 0 tahun) Kronik atau silikosis klasik [berabad)

Asbestos

Asbestosis

Primer : penambang, pekerja penggilingan Sekunder : pekerja keramik, asbestos insulators, fireproofing,

Tahunan Efusi pleura asbestos jinak [<20 tahun) Plak pleura [tahunan)

~hipql)ilc:fing ()f1dJ~PC1ir, /:)rq~~­

liners, boilermakers lndirek : tukang listrik, tukang ledeng, tukang kayu Batu bora

Pneumokoniosis

Bahan kimia reaktif Pneumonitis sederhanEl, proGiu~--"hij::>er~ensitivitas serangga, produk binatang, produk tanaman

Penambang batu bora

Tahunan s/d berabadabad Hari dori paporan

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 1· 3•5· 7 •

Tempat tinggal pasien



Manifestasi pulmonal dan ekstrapulmonal o

Sesak nap as terutama setelah beraktivitas (dyspnea on exertion), batuk kering/ non-produktifyang semakin memburuk pada usia pertengahan atau usia lanjut yang tidak diketahui penyebabnya



Tempo perjalanan penyakit



Kebiasaan merokok



Obat-obatan



Riwayat penyakit dahulu dan komorbid



Riwayat penyakit keluarga



Riwayat pekerjaan, paparan lingkungan dalam waktu lama

Pemeriksaan Fisik5 · 7 •

Auskultasi paru: crackles (ronki) pada kedua basal paru, terutama saat akhir inspirasi

• •

Jari tabuh Tanda ekstrapulmonal

Pemeriksaan Penunjang 1-3. 5 · 7 •

Laboratorium : darah perifer lengkap, panel kimia, urinalisis o

Kasus tertentu : tes serologis (pneumonitis hipersensitivitas, penyakit jaringan ikat), antibodi antinetrofil sitoplasmik, kadar brain natriuretic peptide (BNP)



Radiologis: foto toraks, CT scan toraks dengan resolusi tinggi, foto toraks dan CT scan toraks sebelumnya, ekokardiografi (bila ada indikasi)



Bilas bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage) : identifikasi dan hi tung badan asbestos dan seratnya



Tes fungsi paru: spirometri, volum paru, kapasitas difusi, dan oksimetri, analisis gas darah arteri, cardiopulmonary exercise testing (bila ada indikasi)



Bronkoskopi (bila ada indikasi)



Biopsi paru (bila ada indikasi)

DIAGNOSIS BANDING Bronkitis kronis, penyakit paru obstruktifkronis j PPOK, fibrosis paru, kanker paru. 1

PanlluanPraktikKiinis TATALAKSANA 1-3 •

Silikosis o

Prinsip: mencegah progresifitas penyakit dan timbulnya komplikasi

o

Terapi suportif, rehabilitasi, oksigen

o

Pad a pasien positif silikosis dengan tes tuberkulin (+), pertimbangkan untuk terapi infeksi TB Iaten, misalnya profilaksis INH 300 mgjhari



Asbestosis o

Tidak ada terapi spesifik yang efektif, terapi umumnya bersifat suportif (sam a dengan fibrosis interstitial difus yang tidak diketahui penyebabnya)

o

Vaksinasi influenza dan pneumococcus

o

Terapi oksigen

o

Transplantasi paru dapat dipertimbangkan pada kasus tertentu

o

Konseling untuk berhenti merokok karena adanya peningkatan risiko kanker paru





Pneumokoniosis o

Terapi suportif dan rehabilitasi untuk gangguan fungsi paru

o

Konseling untuk berhenti merokok

Pneumonitis hipersensitivitas

KOMPLIKASI Emfisema paru, infeksi tuberkulosis Iaten, PPOK, kanker paru, mesothelioma, kanker lambung.U

PROGNOSIS Tergantung lamanya paparan, usia saat onset gejala, dan komplikasi yang muncul.

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi



RS non pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Radiologi, Patologi Klinik, Mikrobiologi klinik, Patologi Anatomi



RS non pendidikan

: Radiologi, Patologi Klinik, Patologi Anatomi, Mikrobiologi klinik

.ParuK~rja

REFERENSI 1.

King Jr. TE. Interstitial Lung Diseases. In : Longo DL Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL Jameson JL, Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.

2.

Raghu G.lnterstitial Lung Diseases. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23'd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.

3.

King Jr. TE, Schwarz MI. Infiltrative and Interstitial Lung Diseases. In : Mason, Murray, Broaddus, Nadel. Murray and Nadel's Textbook of Respiratory Medicine. 41h Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2005.

4.

Boylan AM, Broaddus VC. Pleural Diseases. In : Schraugnagel DE. Breathing in America : Diseases, Progress, and Hope. American Thoracic Society. 2010. Hal 145-54. Diunduh dari http://www. thoracic.org/education/breathing-in-america/resources/breathing-in-america.pdf pada tanggal 23 Mei 2012.

5.

Guidotti TL Miller A Christiani D, et al. American Thoracic Society Documents : Diagnosis and Initial Management of Nonmalignant Diseases Related to Asbestos. Am J Respir Crit Care Med 2004; 170:691-715.

6.

Ryu JH, Daniels CE, Hartman TE, Yi ES. Diagnosis of Interstitial Lung Diseases. Mayo Clin Proc. 2007;82(8) :97 6-986. Diunduh dari http:/ /www.cchil.org/hospitalmedicine/images/ resources/091408-024700am-ILD.pdf pada tanggall Juni 2012.

7.

Pasiyan R, Arsyad Zulkarnain, Tandjung A Penyakit Paru akibat Kerja dan Lingkungan. Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

PENGERTIAN Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara kronis dan perubahan patologis pada paru-paru, beberapa memiliki efek ekstra pulmonaJ.l Ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan aliran udara biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel berbahaya atau gas. 2 Faktor risiko yaitu perokok aktif atau pasif, tinggal di daerah berpolusi, lingkungan kerja) industri kapas, pertambangan batu bara, pertambangan emas) defisiensi al antitripsin. 1

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Sesak napas yang diperberat oleh latihan, batuk-batuk kronis, sputum yang produktif, faktor risiko (+), PPOK ringan dapat tanpa keluhan atau gejala. 1 Pemeriksaan Fisik3



Laju napas meningkat > 20 kalijmenit, bila sesak napas berat: sianosis (hipoksia berat), retraksi intercostal.



Pemeriksaan paru : barrel chest : meningkatnya diameter anteroposterior (merupakan tanda hiperinflasi), diafragma letak rendah, suara napas melemah,



dapat ditemukan ronki dan wheezing. Suara jan tung melemah. Pada PPOK berat dapat ditemukan gagal jan tung kanan, kor pulmonal : bunyi jantung kedua meningkat, distensi vena jugular, kongesti hati, edema mata kaki.

Pemeriksaan Penunjang



Uji spirometri (standard baku) Volume Ekspirasi Paksa (VEPh < 70 %.

I Kapasitas Vital Paru (KVP) atau FEVJFVC

3

Meningkatnya kapasitas total paru-paru, kapasitas residual fungsional, dan •

volume residuaJ.l Rontgen Thorax: paru hiperinflasi, diafragma mendatar. 3

• •

Analisis gas darah Level serumal antitripsin sesuai indikasF

PPOK EKSASERBASI AKUT 1 Gejala eksaserbasi: bertambahnya sesak napas, kadang-kadang disertai mengi, bertambahnya batuk disertai meningkatnya sputum dan sputum menjadi lebih purulen atau berubah warna. Gejala non-spesifik: malaise, insomnia,fatigue, depresi Spirometri: fungsi paru sangat menurun Etiologi Eksaserbasi

Infeksi mukosa trakeobronkial, terutama Streptococcus pneumonie, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrha/is, pajanan polusi udara. 1 label 1. Klasifikasi Derajat Sumbatan PPOK2

['1fKi!tfi((lipi)i~l~~,j~~;\~£,,~'0::5.?~~~\l,~~t'f~~~~;~~;;~~~t~j''iJ;~~:i~i{~~~~lg~ID_l{ff!~¥~"~'i~l~~!iJ~fi;~:~r~~~~~;~\t:~i.;],f1~~(]Gj PPOK rinqan VEP1 I KVP < 70% VEP 1 > 80% prediksi Denganltanpa keluhan kronik (batuk, sputum produktif) II

Ill

PPOK sedanq VEP1 I KVP < 70% 30%5 VEP 1 $80% prediksi Dengan keluhan naps pendek terutama pada saat latihan, terkadang ada keluhan batuk dengan sputum produktif PPOK berat

VEP1 LKVP <:JQ% 30% 5 VEP 1 < 50% prediksi

Keluhan napas pendek bertambah, kemampuan latihan berkurang, Ieiah, dan eksaserbasi berulang sehingga mempengaruhi kualitas hidup pasien

IV

PPOK sangat berat VEPJKVP < 70% VEP 1 < 30% prediksi atau VEP1 <50% prediksi + gagal napas kronik -----P-a02 <-60 mm Hg-elengen/-teApe-F'-aC02->-&.i0-mmFig--- -- - ---- -------- Gejala gaga I jantung kanan dan atau pulmonal Kualitas hidup pasien sangat terganggu, eksaserbasi bisa menyebabkan kematian.

DIAGNOSIS BANDING As rna dapat berbarengan dengan PPOK. Beda asma dan PPOK dapat dilihat pacta asma terjadi peningkatan eosinofil dan obstruksi saluran napas yang terjadi biasanya reversibel, sementara pada PPOK tampak peningkatan neutrofil dan obstruksi saluran nap as yang terjadi tidak sepenuhnya reversibel. Akan tetapi as rna yang sudah berlangsung lama dapat saja menyebabkan terbatasnya aliran udara yang menetap. 2 Diagnosis banding lain: Bronkiektasis, gaga! jantung kongestif.3 TATALAKSANA Terapi PPOK Stabil 2 • Terapi Farmakologis a. Bronkodilator Secara inhalasi (MDI/ metered dose inhalation), kecuali preparat tak tersedia/ tak terjangkau Rutin (bila gejala menetap, kapasitas fungsional rendah atau sering kambuh sesak) atau hanya bila diperlukan (kapasitas fungsional baik dan kambuh kurang dari 2 kali/ tahun) 3 golongan: o agonis b-2: fenopterol, salbutamol, albuterol, terbutalin, formoterol, salmeterol, o antikolinergik: ipratropium bromid, oksitroprium bromid o metilxantin: teofilin lepas lam bat, bila kombinasi agonis b-2 dan steroid belum memuaskan Dianjurkan bronkodilator kombinasi daripada meningkatkan dosis bronkodilator monoterapi b. Steroid, pada: PPOK yang menunjukkan respons pada uji steroid PPOK dengan golongan C dan D Eksaserbasi akut c. Obat-obat tambahan lain mukolitik (mukokinetik, mukoregulator): ambroksol, karbosistein, gliserol iodida antioksidan: N-asetil-sistein imunoregulator (imunostimulator, imunomodulator): tidak rutin antitusif: tidak rutin vaksinasi: influenza, pneumokok

-p•'>"'~·c ·. :, 'i~·+·~a1 · . • ', )\;.@i8..~··y••(;i~·•t~ ~}:cf:ci·:··•;. . · ·.. ~QY9,l}lr;{;~Q(l . .,L.~~S;!\nq~•'l•;.~f@Jl,J. ~ · __· : .-.~-· ....... :.- c:· __ -~- }A~-,~< ·-~ ~ -----·---•

Terapi Non-farmakologis :1•2 a.

Berhenti merokok

b. Rehabilitasi : latihan fisik, latihan endurance, latihan pernapasan, rehabilitasi psikososial. c.

Terapi oksigen jangka panjang ( > 15 jam sehari ): Pada PPOK stadium IV Pa02 < 55 mmHg, atau Sa02 ~ 88 % denganjtanpa hiperkapnia Pa02 55- 60 mmHg, atau Sa02 ~ 88% disertai hipertensi pulmonal, edema perifer karena gagal jantung, polisitemia.

d. Nutrisi e.

Pembedahan: bullectomy, transplantasi paru, lung volume reduction surgery (LVRS).

Terapi PPOK Eksaserbasi Akut

Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut di rumah: bronkodilator seperti pada PPOK stabil, dosis 4-6 kali 2-4 hirup sehari. Steroid oral dapat diberikan selama 10-14 hari. Bila infeksi: diberikan antibiotika spektrum luas (termasuk S pneumonie, H influenzae, M catarrhalis). 2 Terapi eksaserbasi akut di rumah sakit: 1•2 •

Terapi oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask.



Bronkodilator: inhalasi agonis b-2 (dosis dan frekuensi ditingkatkan) + antikolinergik. Pada eksserbasi akut berat: + aminofilin (0,5 mgjkgbbjjam)



Steroid: prednisolon 30-40 mg PO selama 10-14 hari. Steroid intra vena: pada keadaan berat.



Antibiotika terhadap S pneumonie, H influenzae, M catarrhalis.



Ventilasi mekanik pada: gagal napas akut atau kronik dengan PaC0 2 >45 mmHg.

Agonis b-2 Masa kerja pendekFenoterol Salbutamol (albuterol) Terbutaline Masa kerja panjang

100-200 (MDI) 100,200 (MDI.DPI) 400, 500 (DPI)

5

0,05% (sirup) 5 mg (tablet), sirup 0,024%

0.1, 0.5

4-6 4-6

0.2, 0.25

4-6

.[Qfm.Qteml _____________ 4J_5.::12. (MDI,_D_EI)

12:1-__ _

Salmeterol

12+

25-50 (MDI & DPI)

····lhh~la;,· . •.·. . · · .· -.· ~~1t\~~r{uk··_

~b~t

····';&t.a~'/.::.~ .'::?~~~·;·, .·J\1%~~~i·.··.

Antikolinergik Masa kerja pendek

lpratroprium bromida Oxitroprium bromida Masa kerja panjang Tiotropium

20,40 (MDI)

0,25-0,5

6-8

100 (MDI)

1.5

7-9

18 (DPI)

24+

Kombinasi agonis b-2 kerja pendek dengan antikollnergik dalam 1 inhaler Fenoterol/ 200/80 (MDI) 1,25/0,5 6-8 ipratropium Salbutamol/ 75/15 (MDI) 0,75/4,5 6-8 ipratropium Metilsantin 200-600 mg Aminofilin 240 mg Variatif. (tablet) sampai 24 jam 100-600 mg Variatif, Teofilin (tablet) sampai 24 jam Glukokortikoid inhalasi

50-400 (MDI & DPI) 100, 200, 400 (MDI) 500-500 (MDI &

Beklometason Budesonid Flutikason

0,2- 0.4 0.2, 0.25, 0.5

DPI)

100 (MDI)

Triamsinolon

40

40

Kombinasi agonis b-2 kerja panjang dengan glukokortikoid dalam satu inhaler Formoterol/ 4,5/160, 9/320 (DPI) budesonid 50/100, 250, 500 Salmeterol/ (DPI) Flutikason

25/50, 125, 250 (MDI) Glukokortikoid sistemik

5-60 mg

Prednison

(tablet)

4, 8,16 mg

Metil-prednisolon

(tablet) label 2. Terapi Farmakologis yang Umum Digunakan pada Ppok Eksaserbasi Akut3

~~-~.:;;·,;QA?'f!J2]JH;;::l,.•,i;·~~,;{~[d,~bi;.;',i,;,~~J~q~gtq~Ul.9$Ji'~i'i.~~f!:~~,::~.;~iE1ilit~~~.~~if;;;~:0~~t~k~~~~~;c;; ···"· ··

·

· · · ·- ·

·· · · - - -

-

Bronkodilator

-

- -

Agonis 1)-Adrenergik Salbutamol

Metaproterenol

. ·--- ·--···----------------- -------------------

Terbutalin

Metered-dose inhaler

100-200 ~g

4 kali sehari

Nebulizer

0.5-2.0 mg

4 kali sehari

Nebulizer

0.1-0.2 mg

4 kali sehari

-- .... __ , -- --- ---·--·--·----------------------- -----------400 ~g

Metered-dose inhaler

4 kali sehari

f •·:~: ·&~~·1~~i·.~'~;:Q'134f';;~~r~1;;':'ir ?X:'i\\;,

·~~.~f~J~i~f¢g(g;,gpi!~~~('/ ~;':~:d:~;;)j<

•< ': :~i.P~~~~~~\~~·;f;j1¥~~·x;;~\~f,i~:~~~!q~l]t~~¥,~i:!l

Antikolinergik lpratropium bromid

Metered-dose inhaler

18-36j..lg

4 kali sehari

Nebulizer

O.Smg

4 kali sehari

Metilsantin Aminofrlin

lntravena

0.9 mg/kgBB/ hari

lnfus

Teofrlin

Tablet (sustained-release preparations)

150-450 mg

2 kali sehari

125mg

Setiap 6jam selama 3 hari. lalu

60mg

1x1 selama 4 hari

Kortikosteroid Metilprednisolon suksinat

iv lalu oral

40mg

1x1 selama 4 hari

20mg

1x1 selama 4 hari

Tablet

30-60 mg

1x1 selama 5-10 hari

Tablet

160 mg dan 800mg

2 kali sehari selama 5-10 hari

Amoksilin

Tablet

250mg

4 kali sehari selama 5-10 hari

Doksisiklin

Tablet

100mg

Hari pertama 2 tablet, lalu 1xl tab/ hari selama 5-10 hari

Prednison (untuk rawat jalan) Antibiotik spektrum terbatas Trimetoprimsulfametoksazol

Tabel 3. Terapi Antibiotik pada PPOK Eksaserbasi Akut2A

u~~Jgfi~~~liHfi~;~#·U·~~:; . ~·at2,:'~~~~~~~£~~~\1~r~~n~t~l~,i , ~l:~~~~i~:~~~~t~.I~·~;~~~~t~~~tt~·Ci A

Eksaserbasi ringan, tidak ada risiko perburukan

H.influenza, S.pneumonia, M.catharralis, Chlamidia pneumonia, virus

Pasien dengan b-lactam hanya 1 gejala I inhibitor cardinal. tidak b-lactamase memerlukan (co-amoxiclav terapi antibiotic. 3 x 625 mg Jika ada indikasi atau 2 x 875 maka gunakan mg), makrolid : b-laktam (azithromycin (penisilin, 1 x 500 mg ampisilin, lalu 1 x 250, · amORsisilinJ,·- ··--claritnromYCin · · 2 x 500mg, tetrasiklin, trimetoprimroxithromycin), sulfametoksazol cephalosporin generasi 2 dan 3, ketotid (telithromycin)

Grup A + adanya mikroorganisme resisten (produksi b-laktamase. s.pneumonia resisten penicillin), enterobacteriaceae (K.pneumonia, E.coli. Proteus, Enterobakter, dll)

B

Eksaserbasi sedang dengan risiko perburukan

c

Eksaserbasi Grup B + P. berat dEmgan aeruginosa risiko infeksi P.aeruginosa

Flurokuinolon (Gemifloksasin. levofloksasin 1x500mg, moksifloksasin 1x400mg)

b-laktam/ penghambat b-laktamase (co-amoksiklav 3x625 mg atau 2x875mg)

Pasien risiko infeksi pseudomonas : Florokuinolon (Siprofloksasin, Levofloksasin dosis tinggi)

b-laktam/ penghambat b-laktamase (ko-amoksiklav /ampisilin/ sulbaktam), sepalosporin geresai 2 atau 3, Florokuinolon (Levofloksasin. Moksifloksasin) Florokuinolon (Siprofloksasin, Levofloksasin 1x500mg) atau b-laktam dengan aktivitas P.aeruginosa

KOMPLIKASI Bronkitis akut, pneumonia, tromboemboli pulmo, gaga! jantung kanan, kor pulmonal, hipertensi pulmonal, gaga! napas kronik, pneumotoraks spontan. 5 PROGNOSIS Prognosis berdasarkan BODE index, dapat dilihat pada tabel 4 dan 5. Tabel4. The BODE lndex. 6 ·B

FEV1 (prediksi dalam %) Jarak tempuh berjalan (m) dalam 6 menit Dyspnea berdasarkan MMRC Body Mass Index

.:::,65 .:::,350 0-1 >21

50-64 250-349 2

~35

36-49 150-249 3

~149

4

g1

label 5. lnterpretasi BODE lndex/·8

~~:~~g~B~~~1~~"~qrt:

·

~9~t,t!t~~r~~~~~~~~r~~~6~

0-2

2

6

19

3-4

2

8

32

4-6

2

14

40

7-10

5

31

80

Penyokit

Pa5~~:~,~~~~'tru ktif'Kronik· (PPOK) _1~~~~ ;1·i~'@;~1{,)• 9

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Pulmonologi



RS non pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS Pendidikan

: Departemen Rehabilitasi Medik, Radiologi/Radiodiagnostik, Anestesi/ICU



RS non pendidikan

: Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Anestesi / ICU

REFERENSI 1.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Dalam: Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181" ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2011.

2.

Global strategy for the diagnosis, management. and prevention of chronic obstructive pulmonary disease. Global initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2006.

3.

Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23'd edition. Saunders: Philadhelphia. 2007.

4.

Hunter, Mellisa. King, Dana E. COPD: Management of Acute Exacerbations and Chronic Stable Disease. Am Fam Physician. 2001 Aug 15;64(4):603-613.

5.

Pulmonary disorders. Dalam: McPhee, Stephen J. Papadakis, Maxine A. Current Medical Diagnosis and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011.

6.

Bartolome, R. Et all. The Body-Mass Index, Airflow Obstruction, Dyspnea, and Exercise Capacity Index in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. N Engl J Med 2004; 350:1005-1 012March 4, 2004

7.

Childers, Julie Wilson. Arnold, Ronald. Curtis, J Randall. Prognosis in End Stage COPD. Diunduh dari: http:/ /www.eperc.mcw.edu/EPERC/FastFactslndex/ff_l4l.htm pada tanggall 0 juni 2012.

8.

Yuwono A. Penyakit Paru Obstruksi Kronik. Dalam : Am in Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

PENYAKIT PLEURA

PENGERTIAN Penyakit pleura merupakan suatu gangguan yang mempengaruhi lebih dari 3000 orang dalam 1 juta populasi setiap tahunnya. Penyakit ini berasal dari berbagai kelainan patologis dan sering merupakan efek sekunder dari proses penyakit lain, oleh karena itu dibutuhkan pendekatan sistematis untuk identifikasi dan tatalaksana lebih lanjutY Penyebab tersering penyakit pleura adalah kanker, dan diperkirakan efusi pleura maligna terjadi pada 150.000 orang per tahun di Amerika Serikat. 1 Penyakit pleura terdiri dari efusi pleura dan pneumotoraks. 3 PENDEKATAN DIAGNOSIS I.

EFUSI PLEURA

Efusi pleura adalah akumulasi cairan berlebihan dalam rongga pleura. 3 Hal ini dapat disebabkan oleh berbagai mekanisme seperti tercantum pada tabell. Tabel 1. Berbagai Mekanisme Penyebab Akumulasi Cairan Pleura 4 Peningkatan tekanan hidrostatik dalam sirkulasi mikrovaskular (gagal jantung) Penurunan tekanan onkotik dalam sirkulasi mikrovaskular (hipoalbuminemia berat) Penurunan tekanan dalam rongga pleura (kolaps paru) Peningkatan permeabilitas dalam sirkulasi mikrovaskular (pneumonia) Gangguan drainase limfatik dari rongga pleura (efusi maligna) Perpindahan cairan dari rongga peritoneal (asites)

AnamnesisM

• • • • •

Nyeri unilateral, tajam, bertambah parah saat inspirasi atau batuk, dapat menjalar ke bahu, leher, atau abdomen Sesak napas, batuk Riwayat trauma dada Riwayat penyakit komorbid (gagal jantung kongestif, sirosis, sindrom nefrotik, tuberkulosis/TB, emboli paru, tumor mediastinum, dll) Riwayat penggunaan obat (nitrofurantoin, dantrolen, metisergid, bromokriptin, prokarbazin, amiodaron, dasatinib)

Pemeriksaan Fisik4



Paru: restriksi ipsilateral pada pergerakan dinding dada; fremitus taktil menghilang, perkusi redup, bunyi napas menurun, splinting (pada daerah paru yang terkena). Kadang ditemukan egobronkofoni pada batas cairan atas bila terjadi kompresi parenkim paru.

Pemeriksaan Penunjang



Radiologis : o Foto toraks :4 Gambaran sudut kostofrenikus tumpul dan bergeser ke arah medial menggambarkan efusi pleura Peningkatan nyata hemidiafragma atau perluasan bayangan lambung yang terisi gas dan batas paru kiri bawah membawa kecurigaan efusi subpulmonal Bila efusi > 300 mL akan terlihat pada foto toraks PA Bila efusi 150-300 mL akan terlihat pada foto toraks lateral dekubitus o

USG : menentukan adanya efusi, lokasi cairan di rongga pleura, membimbing aspirasi efusi berseptajterlokulasi. 2

o

CT Scan, dengan indikasi :2 Efusi pleura eksudatif yang tidak terdiagnosis, untuk membedakan penebalan pleura benigna dari maligna Sebelum dilakukan drainase cairan pleura, pertimbangkan CT scan dengan kontras lnfeksi pleura dengan komplikasi saat drainase awal gagal dan dipertimbangkan untuk operasi



Torakosentesis (pungsi pleura) dan analisis cairan pleura : melihat komposisi cairan pleura dan membandingkan komposisi cairan pleura dengan darahY Tentang ini lebih lengkap lihat pada bab prosedural Pungsi Cairan Efusi Pleura



Biopsi pleura perkutaneus 4 lebih lengkap lihat pada bab prosed ural Biopsi Pleura



Torakoskopi : merupakan prosedur invasif terpilih pada efusi pleura eksudatif dimana aspirasi cairan pleura tidak konklusif dan dicurigai keganasan. 2A

PENDEKATAN DIAGNOSIS

Tatalaksana penyebab

-

~B

.

I""' Tatalaksana penyebab

Berikan terapi yang sesuai

Pertimbangkan torakoskopi atau bedah VATS

Pertimbangkan kondisi yang dapat diterapi mis. Edema paru, TB, gagal jantung kronis, dan limfoma. Observasi.

Berikan terapi yang sesuai

Pertimbangkan biopsi pleura dengan bantuan radiologis +/- drainase chest tube bila simptomatik Keterangan: VATS= video-assisted thoracoscopic surgery

Gambar 1, Pendekatan Diagnosis Efusi Pleura Unilatera!2

·~'~·Fi~~~:~ir~·e.~.•~.··· DIAGNOSIS BANDING

Tergantung etiologi seperti tercantum pada tabel 2. Kriteria Light untuk membedakan efusi eksudat dari transudatyaitu apabila memenuhi ~1 kriteria berikut : (1) ratio kadar protein cairan pleura: kadar serum protein >0,5; (2) ratio kadar LDH cairan pleura: kadar serum LDH >0,6; (3) kadar LDH cairan pleura >2/3 batas atas nilai normal untuk kadar serum LDH. 5 label 2. Diagnosis Banding Efusi Pleura 3

Efu$1 i'ie;Ura}TignsudQtlf 1. Gaga\ jantung kongestif 2. Sirosis 3. Emboli paru 4. Sindrom nefrotik 5. Dialisis peritoneal 6. Obstruksi vena cava superior 7. Miksedema 8. Urinotoraks

:#iJsiPieura eksodatif 1. 2. 3. 4.

Penyakit neop\astik Penyakit infeksi Emboli paru Penyakit gastrointestinal

5. Penyakit kolagen vaskular

6. Pasco operasi bypass arteri koronaria 7. Po paron asbes 8. Sarkoidosis 9. Uremia 1O.Sindrom Meig 11 .Sindrom yellow nail 12.Penyakit pleura imbas obat 13.Trapped lung J4.Terapi radiasi 15.Sindrom pasco jejas kardiak 16.Hemotoraks 17 .Jejas iatrogenik 18. Sindrom hiperstimulasi ovarium 19. Penyakit pericardia\ 20. Chylothorax

Metastasis, mesote\ioma \nfeksi bakteri, TB, infeksi jamur, virus, parasit Perforasi esofagus, penyakit pankreas, abses intraabdomina\, hernia diafragmatika, pasco operasi abdomen, skleroterapi endoskopik varises, pasco transplantasi hati Pleuritis rheumatoid, lupus sistemik eritematosus, lupus imbas obat, limfadenopati imunob\astik, sindrom Sjogren, granulomatosis Wegener, sindrom Churg-Strauss

Nitrofurantoin, dantrolen, metisergid, bromokriptin, prokarbazin, amiodaron, dasatinib

TATALAKSANA 6 Efusi karena gagal jantung •

Menurunkan afterload, diuretik, dan inotropik sesuai indikasi



Torakosentesis diagnostik bila: Efusi menetap dengan terapi diuretik Efusi unilateral Efusi bilateral, ketinggian cairan berbeda bermakna Efusi + febris Efusi + nyeri dada pleuritik

Efusi Parapneumonia/Empiema



Torakosentesis diagnostik, torakosentesis terapeutik, tube thoracostomy, tube



thoracostomy dengan trombolitik, torakoskopi, dan torakotomi dengan dekortikasi, drainase Antibiotika sesuai tatalaksana pneumonia bakteri

Efusi pleura karena pleuritis tuberkulosis



Obatanti Tuberkulosis (minimal9 bulan)+ kortikosteroid dosis 0,75-1 mgfkgBB/ hari selama 2-3 minggu, setelah ada respons diturunkan bertahap + torakosentesis terapeutik, bila sesak atau efusi lebih tinggi dari sela iga III

Efusi pleura keganasan

Tatalaksana efusi pleura keganasan dapat dilihat pada gam bar 2. Chylothorax

Chest tube/thoracostomy sementara, selanjutnya dipasang pleuroperitonea/ shunt Hemotoraks

Chest tube/thoracostomy, bila perdarahan > 200 mL/jam, pertimbangkan torakotomi Efusi karena penyebab lain

Atasi penyakit primer

Rujuk ke konsultan Pulmonologi 1~

'~

I

I

Observasi

I

Aspirasi sebanyak yang diperlukan untuk mengontrol gejala

Ya

I

Lengkap?*

I

Pleurodesis mung kin gaga/ .... pertimbangkan indwelling pleural catheter

Tidak

I~

Ya



1

I 1

Tidak

Ya

Pertimbangkan indwelling pleural catheter at au ulangi pleurodesis

• Aposisi pleura <50% cenderung membuat pleurodesis tidak berhasil

Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Efusi Pleura Keganasan 2

KOMPLIKASI Efusi pleura berulang, efusi pleura terlokalisir, empiema, gagal napas. 4•6 PROGNOSIS Tergantung etiologi yang mendasari dan respon terapi. II. PNEUMOTORAKS Pneumotoraks adalah akumulasi udara dalam rongga pleura, yang dapat disebabkan oleh 1) perforasi pleura viseral dan masuknya gas dari paru-paru, 2) penetrasi dinding dada, diafragma, mediastinum, atau esofagus, atau 3) produksi gas oleh mikroorganisme dalam empiema. 4 Pneumotoraks spontan dapat terjadi tanpa

trauma dada sebelumnya. Pneumotoraks spontan primer dapat terjadi tanpa adanya penyakit komorbid, sedangkan pneumotoraks sekunder terjadi karena adanya penyakit komorbid. Pneumotoraks traumatik merupakan akibat dari jejas dada denganjtanpa penetrasi, sedangkan tension pneumothorax adalah suatu keadaan pneumotoraks dengan terbentuknya tekanan positif dalam rongga pleura selama siklus respirasi. 3

Anamnesis3.4 •

Onset mendadak atau dalam waktu beberapa jam



Sesakjsulit bernapas, nyeri dada terlokalisir, batuk



Riwayat trauma dada



Riwayat penyakit paru komorbid

Pemeriksaan Fisik3.4 • •

Takipneu Pada area paru yang terkena: gerakan dada tertinggal, fremitus taktil menghilang, perkusi hipersonor, bunyi napas menghilang



Tanda pneumotoraks tension: 0

Keadaan umum sakit berat Denyut jantung > 140 xjm

0

Hipotensi

0

Takipneu, pernapasan berat

0 0

Sianosis Diaforesis

0

Deviasi trakea ke sisi kontralateral

0

Distensi vena leher

0

Pemeriksaan Penunjang 3.4 •

Radiologis o Foto toraks: Tepi luar pleura viseral terpisah dari pleura parietal oleh ruangan lusen PA tegak pneumotoraks kecil: tampak ruangan antara paru dan dinding dada pada apeks, Bila perlu foto saat ekspirasi: mediastinum bergeser, depresi diafragma, o

pelebaran rongga toraks dan sela iga. USG: Dapat mendiagnosis pneumotoraks secara cepat, bed side sebelum basil radiologis

o •

CT Scan: membedakan pneumotoraks terlokulasi dari kista atau bullae

Analisis gas darah (AGD): hipoksemia, mungkin disertai hipokarbia (karena hiperventilasi) atau hiperkarbia (karena restriksi)

DIAGNOSIS BANDING

Penyakit tromboemboli paru, pneumonia, infark miokardium, PPOK eksaserbasi akut, efusi pleura, kanker paruY PNEUMOTORAKS SPONTAN Apobilo biloterol/hemodinomik tidok stobil -71akukan drainase dado

I

Usia > 50 to hun dan riwayat merokok signifikan Bukli odonyo penyokit paru primer ~----••lj podo klinis otou foto toroks? .

j

.

Tidok

Yo Tidok I

Pertimbangkan rawat jolon, follow-up dolom 2·4 minggu

Berhosil. ukuran menjadi < 1 em

Tidok

Yo! Rawat inap, suplementasi oksigen lkecuoli suspek sensitif oksigen). observasi selama 24 jam

•Pod a beberopa pasien dengan pneumotoraks besar namun geja!a minimal. totoloksana konservatif mungkin sesuai

Gambar 3. Tatalaksana Pneumotoraks Spontan 2

TATALAKSANA4 · 7



Tatalaksana pneumotoraks spontan dapat dilihat pada gam bar 3.



Jika pneumotoraks rekurens: o

Pleurodesis kimiawi dengan zat iritan terhadap pleura, atau:

o

Konsul Bagian Bedah/Subbagian Bedah Toraks untuk pertimbangan: Pleurodesis mekanik (abrasi permukaan pleura parietal atau stripping pleura parietal ), atau Torakoskopi, atau torakotomi terbuka. Indikasi: Kebocoran udara memanjang,

Reekspansi paru tidak sempurna Bullae besar Risiko pekerjaan Indikasi relatif: Pneumotoraks tension Hemopneumotoraks Bilateral pneumotoraks Rekurens ipsilateraljkontralateral

KOMPLIKASI Gagal napas, pneumotoraks tension, hemopneumotoraks, infeksi/piopneumotoraks, penebalan pleura, atelektasis, pneumotoraks rekurens, emfisema mediastinum, edema paru reekspansL4· 6•7

PROGNOSIS Tergantung etiologi dan respon terapi

UNITY ANG MENANGANI • •

RS Pendidikan RS non Pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS Pendidikan



RS non Pendidikan

: Departemen BedahjToraks, Radiologi/Radiodiagnostik, Patologi Klinik, mikrobiologi klinik, Patologi Anatomi : Bagian Bedah, Patologi Klinik, Radiologi, Patologi Anatomi, Mikrobiologi klinik

REFERENSI 1.

Boylan AM, Broaddus VC. Pleural Diseases. In: Schraugnagel DE. Breathing in America: Diseases, Progress, and Hope. American Thoracic Society. 2010. Hal 145-54.

2.

Rand ID, Maskell N. British Thoracic Society Pleural Disease Guideline 2010. Thorax Vol 65 Suppl2.

3.

Halim H, Budiono E, Wibisono BH. Penyakit Pleura. Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

4.

Light RW. Disorders of the Pleura. In : Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.

5.

Celli BR. Diseases of the Diaphragm, Chest Wall, Pleura, and Mediastinum. In: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23'd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.

6.

Light RW. Pleural Effusion. N Engl J Med 2002; 346:1971-1977

7.

Broaddus VC, Light RW. Disorders of the Pleura.ln: Mason, Murray, Broaddus, Nadel. Murray and Nadel's Textbook of Respiratory Medicine. 41h Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2005.

PNEUMONIA ATIPIK

PENGERTIAN Pneumonia atipik adalah pneumonia yang disebabkan infeksi bakterial, tapi mempunyai gambaran klinis radiologis tersendiri yang berbeda dari pneumonia umumnya, yakni onset yang perlahan, demam ringan sampai berat, batuk tanpa produksi sputum, dan tidak berespons dengan terapi antibiotik b-laktam.Etiologi: Mycoplasma pneumoniae, chlamydia pneumoniae, legionella spp, influenza virus tipe A dan 8. 1 Pneumonia ini disebut juga walking pneumonia. PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 2

Pada pneumonia yang disebabkan oleh mikroba atipik, gejala sistem pernapasan dapat tidak khas (umumnya tampak seperti faringitis dan trakeo bronkitis ), sedangkan gejala sistemik seperti sakit kepala, nyeri ototjsendi dapat lebih menonjol. •

Batuk tanpa sputum, kecuali bila penyakit memberatjinfeksi sekunder·



Demam ringan, dapat dengan cepat meningkat hingga menggigil

• •

Malaise, kelemahan seluruh anggota tubuh Sakit kepala, nyeri otot (sering)



Nyeri dada (jarang), sesak napas (bila berat)

Pemeriksaan Fisik2



Tanda-tanda radang dan konsolidasi paru: suara napas bronkial, ronkhi

• •

Efusi pleura, abses paru (bila berat) Gejala gangguan ekstra paru (terutama oleh Legionella dan Mycoplasma): Infeksi saluran napas atas: laringitis, faringitis, rinitis Saluran gastrointestinal: diare, muntah, nyeri perut, hepato-splenomegali Sistem kardiovaskular: bradikardia relatif, miokarditis, perikarditis Gangguan sistem saraf: gangguan kesadaran, ensefalitis, meningismus, paralisis Guilla in Barre, kelumpuhan saraf kranial, neuropati perifer

Gangguan dermato-muskuloskeletal: rash, eritema, myalgia, artritis, arthralgia, Gangguan sistem urogenital: glomerulonefritis, gagal ginjal akut, abses tubaovarian Mata: bullous myringitis Telinga: otitis media

Laboratorium Leukositosis (jarang), biasanya < 15.000/mL, trombositopenia, anemia hemolitik (kadang-kadang), LED meningkat, SGOT, SGPT meningkat

Foto Thoraks •

Legionella: infiltrat pada lobus bawah paru, adenopati hilus



Mycoplasma: infiltral dapat unijbilateral, dapat multilobus, adenopati hilus.



Chlamydia: infiltrat subsegmen

DIAGNOSIS BANDING •

Pneumonia didapat di masyarakat Comunity Aqcuired Pneumonia (CAP): CAP memiliki onset lebih cepat dan keadaan umum pasien lebih buruk sementara gejala pneumonia atipik lebih ringan dan lebih menonjol gejala sistemiknya.



Bronkitis kronik

TATALAKSANA Antibiotik: pemilihan antibiotika dengan spektrum sesempit mungkin: 3 •



Makrolid: Eritromisin 4 x 250-500 mg Claritomisin 2 x 500 mg Azitromicin 1 x 500 mg Roksitromisin 2 x 500 mg



Doksisiklin 2 x 100 mg



Respirasi- Fluorokuinolon



Bila penyebabnya terkonfirmasi Legionella pertimbangkan Rifampisin 2 x 300-600 mg

Tatalaksana umum pneumonia atipik sama dengan tata laksana umum CAP): 4 ' 5

Rawat jalan



Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat, dan minum banyak cairan



Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan parasetamol

• •

Ekspektoranjmukolitik Nutrisi tambahan pada penyakit yang berkepanjangan

• •

Kontrol setelah 48 jam atau lebih awal bila diperlukan Bila tidak membaik dalam 48 jam: dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit, atau dilakukan foto toraks

Keputusan merawat pasien di RS ditentukan oleh



Derajat berat

• •

Penyakit terkait Faktor prognostik lain



Kondisi dan dukungan orang di rumah



Kepatuhan, keinginan pasien

Rawat inap di RS



Oksigen, hila perlu dengan pemantauan saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen



inspirasi. Tujuannya: mempertahankan PaOz> 60 mmhg dan SaOz >90 %. Terapi oksigen pada pasien dengan penyakit dasar PPOK dengan komplikasi gagal napas dituntun dengan pengukuran AGD berkala



Cairan: bila perlu dengan cairan intravena



Nutrisi

• • •

Nyeri pleuritik/demam diredakan dengan parasetamol Ekspektoranjmukolitik Foto toraks diulang pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang memuaskan

Rawatdi ICU



Bronkoskopi dapat bermanfaat untuk retensi sekret, mengambil sampel untuk kultur guna penelusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan endobronkial.

KOMPLIKASI 5

Efusi pleura, empiema, abses paru, atelektasis, gagal napas, kor pulmonal, pneumotoraks, septikemia, herpes labialis, penyakit tromboemboli

PROGNOSIS5 Tergantung derajat berat penyakit dan penyakit terkait.

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi



RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS Pendidikan

: Departemen Radiologi/Radiodiagnostik, Patologi Klinik, Mikrobiologi Klinik



RS non pendidikan

: Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Mikrobiologi klinik

REFERENSI 1.

McGraw-Hill Concise Dictionary of Modern Medicine.© 2002 by The McGraw-Hill Companies.

2.

Bahar A. Diagnosis Pneumonia Atipik. Makalah Siang Klinik Penyakit Dalam FKUI!RSUPN CM, 25 Maret 1999.

3.

Suwondo A. Penatalaksanaan Pneumonia Atipik. Makalah Siang Klinik Penyakit Dalam FKUI/ RSUPN CM, 25 Maret 1999.

4.

American Thoracic Society. Guidelines for the Management of Adults with Community-Acquired Pneumonia: Diagnosis, Assessment of Severity, Antimicrobial Therapy, and Prevention. Am J Respir Crit Care Med, 2001 ;163:1730-54.

5.

Dahlan Z. Pneumonia Bakterial. Dalam: Am in Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/ Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

PNEUMONIA DIDAPAT Dl RUMAH SAKIT

PENGERTIAN Pneumonia didapat dirumah sakit a tau hospital acquired pneumonia (HAP) adalah pneumonia yang muncul ~ 48 jam setelah dirawat di Rumah Sakit (RS) dan tidak diintubasi saat masuk. HAP dapat dibagi menjadi: 1. onset dini : muncul 4-5 hari setelah masuk RS, 2. onset lambat: muncul setelah > 5 hari dirawat di RS. 1

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Gambaran klinis HAP tidak begitu jelas dan tidak bisa dijadikan kriteria diagnosis HAP. Dapat ditemukan demam, sputum purulen. 1 Pemeriksaan Fisik (PF)

Suhu tubuh > 38,3°C, pemeriksaan paru dapat ditemukan tanda-tanda konsolidasi seperti perkusi yang pekak. 1 Pemeriksaan Penunjang 1



Darah: leukositosis > 10.000/mm3, atau leukopenia< 4000/mm 3



Rontgen thorax: infiltrat alveolar



Broncho alveolar lavage (BAL)



Kultur darah

DIAGNOSIS BANDING Eksaserbasi PPOK, tromboemboli paru, pendarahan paru, acute respiratory distress syndrome (ARDS).

Panduan Praktik Klinis Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dc1c.im, lndoriesia

TATALAKSANA2 • Suplementasi 0 2 jika perlu • Berikan terapi cairan yang adekuat • Jika ada nyeri pleuritik berikan analgetik: diklofenak 3 x 80 mg • Terapi antibiotik seperti pada tabel 1. Antibiotik diberikan selama 8 hari. • Tidak ada kriteria khusus untuk mengubah terapi antibiotik intravena menjadi terapi per oral, hal ini disesuaikan dengan kondisi perbaikan pasien yang diobservasi setiap hari. • Pad a pasien yang imunokompromais, terutama yang neutropenia (hi tung neutrofil < 0,5 x 10 9 /L selama > 2 minggu atau < 0,1 x 10 9 /L selama 1 minggu) yang sering mengunjungi RS secara teratur atau dirawat di RS, disarankan untuk diberikan profilaksis anti jamur. Tabell. Rekomendasi Terapi Antibiotik pada HAP. 2 ·3

l~·~~j~'li;';~:;;!;:~i~E!~~~i~~~~~~~:~i~fi'~~j'~~t~~~~~;~::,; ,/:~~Ji~I!ffl!:lftiii~tt~:~~f~ Onset dini, tidak ada faktor risiko multi drug resistant (MDR)

Streptococcus pneumonia, Haemophillus influenza, methicillinsusceptible Staphylococcus aureus (MSSA), basil enterik gram negatif (E. coli, K. pneumonia, spesies Enterobacter, Proteus sp, seratia marcescens)

Ceftriazone; levofloxacin 1x750mg iv, moxifloxacin 1x400mg iv, ciprofloxacin 3x400mg iv; ampicillinsulbactam 3 gram iv q6h; atau ertapenem 1x1 gram iv.

Onset lambat, ada factor risiko MDR

Pseudomona aeruginosa, K. pneumonia, Acinetobacter species, Legionella pneumophila, methicillin resistant Staphylococcus aureus (MRSA).

Kombinasi terapi antibiotik: • antipseudomonal cephalosporin (cefepime 2x2 gram iv atau ceftazidime 2 gram iv q8h), • antipseudomondl carbepenem (imipenem 500 mg iv q6h atau 1 gram iv q8h atau meropenem 1 gram iv q8h), • b-lactam atau b-lactam inhibitor (piperacilintazobactam 4,5 gram iv tds) + antipseudomonal flouroquinolone (ciprofloxacin a tau levofloxacin) + linezolid 600 mg.ivq12b atau. • vancomycin 15mg/kgBB, sampai 1 gram iv, q12h (jika ada faktor risiko MRSA)

Kelerangan : Faktor risiko MDR : terapi antibiotik dalam 90 hari terakhir. insiden tinggi MDR pada komunitas atau RS terkait, rawat inap selama > 5 hari. terapi atau penyakit imunosupresif.'

Pneurnonio•Oiq.a.p:qt; · '" ,



-

.\.

'..

-''·

' .. :~

..

'·-.

'

KOMPLIKASI Syok septik PROGNOSIS Mortalitas yang berhubungan dengan HAP a tau attributable mortality diperkirakan sebesar 33-50%. Rata-rata mortalitas meningkat berkaitan dengan infeksi Pseudomonas aeruginosa a tau Acinetobacter spesies, dan terapi antibiotik tidak adekuat. 5 Rata-rata mortalitas pada patogen risiko tinggi dapat dilihat pada tabel 2. Tabel2. Rata-Rata Mortalitas pada Pathogen Risiko Tinggi 6

~~\i:~t'i~~~l;'(;~I!g:~:@~lia.bJs,;f:I~~{,JI~~~~.~~~~~~~~~~f~;4i~~i§~~~~~~~:;t>tf¥~R.~A*r@t9~Mgfig:l.i_tg~.i{$)~'<,~: ,.,1e;.::& :;,,, ,:~;J 62,9

Gram negatif

Acinetobacter baumannii

73,8 dari seluruh gram negatif

Psedomonas aeruginosa

67,9 dari seluruh gram negatif

Gram positif

66.7

MRSA

71 A dari seluruh gram positif

PNEUMONIA TERKAIT VENTILATOR PENGERTIAN Pneumonia terkait ventilator atau ventilator associated pneumonia (VAP) adalah pneumonia yang muncul > 48 jam setelah intubasi trakea dan pemasangan ventilasi mekanik yang belum muncul sebelumnya. VAP dapat dibagi jadi : 1) Onset dini : muncul pada 4 hari pertama setelah intubasi f pemakaian ventilasi mekanik, dan 2) Onset lambat: muncul?. 5 hari setelah intubasi atau pemasangan ventilasi mekanik. PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Pemasangan intubasi atau ventilasi mekanik > 48 jam, demam. 4 Pemeriksaan Fisik

Suhu tubuh >38,3°C, tachypnea, takikardi, perburukan oksigenasi, meningkatnya minute ventilation, pemeriksaan paru dapat ditemukan tanda-tanda konsolidasi seperti perkusi yang pekak. 4

Pemeriksaan Penunjang 4

• •

Darah: leukositosis >10.000/mm 3, atau leukopenia< 4000/mm 3 Rontgen thorax: infiltrat alveolar



Kultur aspirasi trakea



Kultur darah Untuk mendiagnosis VAP dapat digunakan Modified Clinical Pulmonary Infection

Score (CPIS) seperti tampak pada tabel3. apabila CPIS > 6 aVAP. 7 Tabel 3. Modified Clinical Infection Pulmonary Score. 8 · 10

tfk~~iri\t~~fifdll"!lif~ilt~fl~t~Ji~Wi~~~'•l~Bil~i?tiiifii~~it~~lii~~~bi~~w~~ Suhu Leukosit Oksigenasi [Pa02 (dalam mmHg) x 100 I Fi02 (dalam%)]

2: 36,5 dan ~ 38.4

38,5 dan 2:38,9

2:39 dan.$.36

2: 4.000 dan ~ 11 .000

< 4000 atau > 11.000

+ bentuk batang 2:500

> 240 atau ARDS

Roentgen thorax

lnfiltrat (-)

Sputum

Tidakada

Kultur aspirasi trakea

<10

.$..240 dan tidak ada bukti ARDS

lnfiltrat difus

lnfiltrat terlokalisasi

Non purulen

Purulen

dan~

> 100

2:10

100

Gambaran klinis curiga VAP

CIPS > 6

Antibiotik 10-21 hari

Ciprofioxacin iv selama 3 hari

Re-evaluasi 3 hari berikutnya CPIS <6

Terapi sebagai pneumonia

Stop ciproftoxacin Gambar 1. Strategi Tatalaksana pada Pasien VAP Berdasarkan CPIS.'· 10

~ Pilih salah satu regimen Ceftriazone, levofioxacin, moxifioxacin atau ciprofioxacin, ampicillin/sulbactam, ertapenem

+I ITidak

Agen antipseudomonas (A,B,C) Jika hipotensi (-), dapat dipilih regimen A soja

A Cephalosporin (cefepime, ceftazidime) Carbapenem (imipenem, meropenem) b-lactam/ b-lactamase inhibitor (piperacillin-tazobactam)

Perbaikan klinis pada hari ke-2 atau 3 (CPIS berkurang, perbaikan PF, demam turun, leukosit turun, sputum purulen atau temuan rontgen thorax)

8 Flouroquinolone (ciprofioxacin) Jika strain ESBL, dgunakan carbapenem dan fiuoroquinolone Aminoglycoside (amikacin, gentamicin, tobramycin) C (jika curiga MRSA) Vancomycin, linezoid.

r--e:JCp

[ill

I

1

Stop antibiotik

I

T

Tingkatkan antibiotik, observasi ulang 7-8 hari kedepan. Terapi yang lebih lama dipertimbangkan pada infeksi P. aeruginosa, Acinetobacter, Burkhoideria cepacia, Stenotrophomona mattophilia

T

Ulang kultur Empiema, sinusitis, abses paru, clostridium dificile, infeksi sa luran kemih

Berikan antibiotik yang sesuai, cari penyebab infeksi atau noninfeksi tambahan lain

Atelektasis, tromboemboli vena, gaga! jantung kongestif, lase fibroinfiltrat ARDS, pancreatitis, pneumonitis kimia, drug fever

Gamber 2. Algoritma Strategi Tatalaksana pada VAP. 9·10

DIAGNOSIS BANDING Pneumonia aspirasi. TATALAKSANA Suportif: cairan adekuat, oksigenasi yang cukup, bersihkan jalan napas dari sekret, antipiretik. Antibiotik; dapat dilihat pada gam bar 2. Dosis obat dapat dilihat pada tabell. KOMPLIKASI Pemasangan ventilator mekanik dan perawatan ICU yang semakin lama. 4 PROGNOSIS Crude mortality rate adalah 50-70%, tapi sebenarnya adalah mortalitas yg disebabkan karena penyakit lain. Banyak pasien dengan VAP, memiliki penyakit lain yang mendasari yang menyebabkan kematian bahkan jika VAP tidak timbul. Attributable mortality melebihi 25%. 4 UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS Pendidikan •

RS non pendidikan

: Departemen Rehabilitasi Medik, RadiologijRadiodiagnostik, Anestesi /ICU : Bagian Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Anestesi/ICU

REFERENSI 1.

Masterton, RG. Et all. Guidelines for the management of hospital-acquired pneumonia in the UK: Report of the Working Party on Hospital-Acquired Pneumonia of the British Society for Antimicrobial Chemotherapy. Journal of Antimicrobial Chemotherapy (2008) 62, 5-34 doi: 10.1 093/jac/dkn 162

2.

Tores. Et all. Treatment Guidelines and Outcomes of Hospital-Acquired and Ventilator-Associated Pneumonia. Clin Infect Dis. 2010 Aug 1;51 Suppl 1:S48-53.

3.

Pneumonia. Dalam : Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of America; The McGrawHill Companies, 2011.

4.

Overview of Pneumonia. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23'd edition. Saunders : Philadhelphia. 2007.

5.

Guidelines for the Management of Adults with Hospital-acquired, Ventilator-associated, and Healthcare-associated Pneumonia. American thoracic society. Am J Respir Crit Care Med Vol 171. pp 388-416, 2005.

Pneumoni:~l)iqi~apat D.i Rumah Sakit '

6.

Emine, Alp. Et all. Incidence, risk factors and mortality of nosocomial pneumonia in Intensive Care Units: A prospective study. Ann Clin Microbial Antimicrob. 2004; 3: 17.

7.

Luyt, Charles-Edouard. Chastre Jean. Fagon, Jean Yves. Value of the clinical pulmonary infection score for the identification and management of ventilator-associated pneumonia. Intensive Care Med (2004) 30:844-852 DOI10.1007/s00134-003-2125-0

8.

Schurink, Carolina A.M. Clinical pulmonary infection score for ventilator-associated pneumonia: accuracy and inter-observer variability. Intensive Care Med (2004) 30:217-224 DOl 10.1007/ s00134-003-2018-2.

9.

Koenig, Steven M. Truwit, Jonathan D. Ventilator-Associated Pneumonia: Diagnosis, Treatment, and Prevention. Clin Microbial Rev. 2006 October; 19(4): 637-657.

10. Dahlan Z. Pneumonia Bakterial. Dalam: Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/ Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

PNEUMONIA DIDAPAT Dl MASYARAKAT

PENGERTIAN Pneumonia adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidas jaringan paru dan pertukaran gas setempat. 1 Pneumonia dikelompokan menjadF:

1. Pneumonia didapat di masyarakat atau Community-Acquired Pneumonia (CAP) : Pneumonia pada individu yang menjadi sakit di luar rumah sakit, atau dalam 48 jam sejak masuk rumah sakit. 1 2. Pneumonia di dapat di rumah sakit atau Hospital-Acquired Pneumonia (HAP), 3. Pneumonia terkait pelayanan kesehatan atau Health Care Associated Pneumonia (HCAP)

4. Pneumonia karena pemakaian ventilator atau Ventilator-associated Pneumonia (VAP). Di bab ini akan dibahas mengenai PNEUMONIA DIDAPAT DI MASYARAKAT dan PNEUMONIA TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN.

ETIOLOGI Etiologi pneumonia dibagi menjadi 4 kelompok pasien berdasarkan tempat dirawat, ada tidaknya penyakit kardiopulmonal dan faktor modifikasinya. Untuk lebih jelas dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Etiologi Pneumonia.M 5 . : ,EtJ6!o9l <

>',,--

·
Grup 1: Rawat jalan, tanpa penyakit kardiopulmonal, tanpa faktor modifikasi

• Streptococcus pneumoniae • Mycoplasma pneumonia • Chlamydia pneumoniae (tunggal atau infeksi campuran) • Hemophilus influenza .. ____ .. • Yirl!s_sgll,)rg_op~ro_qRgsgn • Lain: Legionella spp., Mycobacterium tuberculosis. fungi endemik

Makrolid (azithromycin lxSOOmg per oral (po) lalu 1x250 mg po, clarithromycin 2x500mg po, atau erythromycin 4x500mg po). Doxycycline 2x100 mg po.

Eflologl ··~t~r~Rl;,.,,,; . <. ,~.·~,,. Grup II : Rawat jolon, dengan penyakit kardiopulmonal, dan I atau faktor modifikasi • Streptococcus pneumoniae (termasuk • Fluoroquiriolone (moxifloxacin lx400mg po, gemifloxacin, atau Streptococcus Pneumoniq yang resisten) • Mycoplasma pneumonia levofloxacin lxSOOmg po/iv) • b-lactam + makrolid • Chlamydia pneumonia • lnfeksi campuran (bakteri + patogen atipik atau (pilihan : amoxicillin dosis tinggi

virus) Hemophilus influenza Enterik gram negative Virus saluran pernapasan Lain: Moraxella catarrhalis, Legionella spp, aspirasi (anaerob), Mycobacterium tuberculosis, fungi endemik Grup Ill: rawat inap Non-ICU A. Dengan penyakit kardiopulmonal dan/atau faktor modifikasi (termasuk penghuni panti jompo) • Streptococcus pneumoniae (termasuk Streptococcus Pneumonia yang resisten) • Hemophilus influenzae • Mycoplasma pneumoniae • Chlamydia pneumoniae • lnfeksi campuran (bakteri + patogen atipik) • Enterik gram negatif • Aspirasi (Anaerob) • Virus • Legionella spp • Lain: Mycobacterium tuberculosis, fungi endemik, Pneumocystis carinii B. Tanpa penyakit kardiopulmonal, tanpa faktor modifikasi • Streptococcus pneumoniae • Hemophilus influenzae • Mycoplasma pneumoniae • Chlamydia pneumoniae • lnfeksi campuran (bakteri + patogen atipik) • Virus • Legionella spp • Lain: Mycobacterium tuberculosis, fungi endemik, Pneumocystis carinii Grup IV : Rawat ICU A. Tanpa resiko infeksi Pseudomonas aeruginosa Streptococcus pneumoniae (termasuk DRSP) Legionella spp Hemophilus influenzae Enterik gram negatif Staphylococcus aureus Mycoplasma pneumoniae Respiratory Virus Lain: Chlamydia pneumoniae,Mycobacterium tuberculosis, fungi endemik B. Ada resiko infeksi Pseudomonas aeruginosa Semua patogen diatas (IV.a) + Pseudomonas aeruginosa

3xl gram iv atau amoxicillinclavulanate 2x2 gram, atau alternatif ceftriaxone lxl gram iv, cefpodoxime 2x200mg po, dan cefuroxime 2x500 mg po atau 3x750-1500mg iv dengan doxycycline (makrolid alternatif)

• • • •

Fluoroquinolon b-lactam + makrolid (b-lactam pilihan: cefotaxime, ceftriaxone, dan ampicillin, ertapenem (untuk pasien tertentu) dengan doxycycline 4x500-1 OOOmg iv (alternatif makrolid) jika alergi penicillin, gunakan fluoroquinolon

• b-lactam (cefotaxime, ceftriaxone, or ampicillin-sulbactam) + azithromycin atau fluoroquinolon (jika alergi penicillin, gunakan fluoroquinolon atau aztreonam) • jika ada risiko infeksi pseudomonas, gunakan antipneumococcal, antipseudomonal b-ladam (piperacillin-tazobactam, cefepime, imipenem, atau meropenem) + ciprofloxacin atau levofloxacin 750 mg atau b-lactam + aminoglikosida + azithromycin atau b-lactam plus + aminoglycosida + antipneumococcal ·----- ---- -----------------------------------~uoroqulnolon (untuk alergi penicillin, ganti b-lactam dengan aztreonam}-

Kelerangan Kriteria rawat inap :jika terdapat kriteria CURP 65?. 2 (Kriteria CURB 65: C.onfusion, !Jremia, Respiratory rate, low fl/ood pressure, age

Q.2 years or greater). alau tidak mendapat perawatan yang baik dirumah'

Kriteria rawat ICU :4

1. Ditemukan 1 diantara 2 kriteria mayor: Memerlukan ventilasi mekanik Syok septik dan memerlukan obat vasopresor 2. Atau ditemukan 3 kriteria minor; Laju napas > 30xjmenit Pa02/Fi02 rasio < 250 Infiltrat multilobus Konfusi Blood Urea Nitrogen (BUN) > 20 mgjdl Leukopenia (leukosit < 4.000jmm3) Trombositopenia (trombosit < 100.000jmm3) Hipotermi (suhu tubuh < 36°C) Hipotensi, memerlukan terapi cairan agresif Faktor modifikasi : penyakit jantung, hati, a tau ginjal yang kronis, diabetes mellitus, alkoholik, keganasan, asplenia, imunokompromais, menggunakan antibiotik dalam 3 bulan terakhir, adanya risiko streptococcus pneumonia resisten obat.

ITatalaksana I rawat Jalan

CAP

Tanpa Penyakit Kardiopulmonal, tanpa faktor modifikasi

I Riwayat penyakit Kardiopulmonal, +I atau faktor modifikasi

Grup I

Grup II

I

[ Tatalaksanal Rawat Inap

ISaki! ringan-sedang I

I

Severe CAP

I

Penyakit Kardiopulmonal +/ atau faktor modikasi

Tampa penyakit Kardiopulmonal, tanpa faktor modifikasi

Tanpa risiko P.aeruginosa

Tanpa risiko P.aeruginosa

Grup lilA

Grup Ill B

Grup IVA

Grup IVB

Gombar 1. Stratifikasi Pasien CAP. 3

DIAGNOSIS Anamnesis

Demam, fatique, malaise, sakit kepala, mialgia, athralgia, batuk produktif/tidak produktif dengan sputum purulen, bisa disertai darah. Dapat dijumpai keluhan sesak napas, nyeri dada. 2

.'Rne· ··u·····m·. 'nn·,,·•~ r.;·,...Ja.·· na·. ~ b\··, ·:N.Ar:t<:•'i:,....,;,;..~l :.~ .!•>': ·:,..·:·-·~~·.,;:~.·~;j~::-:·:q~~/.~~.·9-; ·-·~-.tf<.-:'.::J··:,,;-~-- .:·
}.:r '- .,

Pemeriksaan fisik

Demam, sesak napas (berbicara dengan kalimat terpengal), perkusi paru pekak, ronki nyaring, suara pernapasan bronchia[.! Pemeriksaan penunjangu



Rontgen thoraks



Pulse oxymetry



Laboratorium Rutin: DPL, hitung jenis, LED/laju endap darah, glukosa darah, ureum, kreatinin, SGOT, SGPT



Analisis gas darah, elektrolit



Pewarnaan Gram sputum



Kultur sputum



Kultur darah



Pemeriksaan serologis



Pemeriksaan antigen



Pemeriksaan polymerase chain reaction ( PCR)



Tes invasif (torakosentesis, aspirasi transtrakheal, bronkoskopi, aspirasi jarum transtorakal, biopsi paru terbuka dan thorakoskopi

DIAGNOSIS BANDING Bronkitis akut, bronchitis kronis eksaserbasi akut, gagal jantung, emboli paru, pneumonitis radiasi. 2 TATALAKSANA4·6 Tatalaksana Umum Rawat jalan



Dianjurkan untuk tidak merokok, beristirahat, dan minum banyak cairan



Nyeri pleuritik/ demam diredakan dengan parasetamol



Ekspektoranjmukolitik



Nutrisi tambahan pada penyakit yang berkepanjangan



Kontrol setelah 48 jam atau lebih awal bila diperlukan



Bila tidak membaik dalam 48 jam: dipertimbangkan untuk dirawat di rumah sakit, atau dilakukan foto toraks

Rawat lnap di RS



Oksigen, bila perlu dengan pemantauan saturasi oksigen dan konsentrasi oksigen inspirasi.



Terapi oksigen pada pasien dengan penyakit dasar PPOK dengan komplikasi gagal napas dituntun dengan pengukuran analisis gas darah berkala



Cairan: bila perlu dengan cairan intravena

• •

Nutrisi Nyeri pleuritikjdemam diredakan dengan parasetamol



Ekspektoranjmukolitik

Foto toraks diulang pada pasien yang tidak menunjukkan perbaikan yang memuaskan Rawat di ICU



Bronkoskopi dapat bermanfaat untuk retensi sekret, mengambil sampel untuk kultur guna penelusuran mikrobiologi lain dan menyingkirkan kelainan endobronkial.

Tatalaksana Antibiotika



Pemilihan antibiotika dengan spektrum sesempit mungkin, berdasarkan perkiraan etiologi yang menyebabkan CAP pada kelompok pasien tertentu seperti tercantum pada tabel 1.

• •

Terapi antibiotik diberikan selama 5 hari. Syarat untuk alih terapi antibiotik intravena ke oral (ATS 2007) : Hemodinamik stabil dan gejala klinis membaik.



Kriteria pasien dipulangkan: klinis stabil, tidak ada masalah medis aktif, memiliki



lingkungan yang sesuai untuk rawat jalan. Kriteria klinis stabil; suhu .$. 37,6, laju nadi .$. 100xjmenit, laju napas

.$.

24xjmenit,

tekanan darah sistolik-": 90 mmHg, saturasi oksigen arteri-": 90% atau Pa0 2 > 60 mmHg pada udara ruangan, dapat memelihara asupan oral, status kesadaran compos mentis. KOMPLIKASI



CAP berat:4 Bila memenuhi satu kriteria mayor atau dua kriteria minor Kriteria Mayor o o

Memerlukan ventilasi mekanik Syok septik dan memerlukan obat vasopresor

Kriteria minor;



o

Laju napas > 30xjmenit

o

Pa02/Fi02 rasio < 250

o

Infiltrat multilobus

o

Konfusi

o

Blood Urea Nitrogen (BUN) > 20 mgjdl

o

Leukopenia (leukosit < 4.000jmm3)

o

Trombositopenia (trombosit < 100.000jmm3)

o

Hipotermi (suhu tubuh < 36°C)

o

Hipotensi, memerlukan terapi cairan agresif

Gagal napas, syok, gagal multiorgan, koagulopati, eksaserbasi penyakit komorbid. 2

PROGNOSIS Mortalitas pasien CAP yang dirawat jalan < 1%, yang dirapat inap di rumah sakit 5, 7-14%, yang dirawat di ICU > 3 0% (penelitian di United Kingdom). 4 Mortalitas pasien dengan nilai CURB-65=0 adalah 1.2%, 3-4 adalah 31%. 5

PNEUMONIA PADA KEHAMILAN DIAGNOSIS Anamnesis

Batuk (90%), sesak napas (65%), sputum produktif, nyeri dada, malaise. 7 Pemeriksaan Fisik

Laju napas meningkat. 7 Pemeriksaan Penunjang



Rontgen thorax



Kultur sputum, tes serologis, identifikasi cold agglutinin, dan tes antigen bakteri tidak direkomendasikan. 7

TATALAKSANA7·s 1. Tanpa faktor risiko komplikasi atau kematian ; Erythromycin, 500-1000 mg IV

q6h, diberikan dalam 10-14 hari.

2. Jika ditemukan faktor risiko seperti tercantum dalam tabel, maka pasien perlu di rawat inap dan berikan tambahan cefotaxime (1 gram iv q24h) atau ceftriaxone (1 gram iv q8h) selain erithromycin. Monoterapi dengan obat antipneumococcal seperti fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, levofloxacin) juga dapat diberikan. 3. Jika dicurigai penyebabnya adalah virus (biasanya paparan infeksi terjadi pada bulan Oktober-Mei): Oseltamivir 2x75 mg oral, Zanamivir 2x10mg inhalasi

Tabel 2. Faktor Risiko Komplikasi atau Kematian 7 Temuan klinis Laju napas 30/min, hipotensi. nodi 125 x/menit, > 40° C, atau perubahan status mentaL keterlibatan ekstrapulmo. Temuan laboratorium Leukopenia (< 4000/L) or leukocytosis 30,000/L; P0 2 60 mmHg atau retensi C0 2 retention dalam udara ruangan, peningkatan serum kreatinin, anemia, bukti adanya sepsis atau disfungsi organ seperti asidosis atau koagulopati. Temuan Radiologis Keterlibatan lebih dari 1 lobus, kavitas, efusi pleura

KOMPLIKASI Persalinan prematur, sepsis dan asfiksi neonataJ.7

PNEUMONIA PADA GERIATRI Gejala pneumonia pada geriatri cenderung lebih samar dari pada pneumonia umumnya, dan terkadang dapat muncul delirium. Hal ini disebabkan karena kapasitas paru pada usia lanjut cenderung menurun sehingga kemampuan untuk batuk berkurang. Produksi sputum dapat banyak tapi kemampuan membersihkannya berkurang, dan juga karena respon imum pasien usia lanjut telah menurun. 9 Faktor risiko pneumonia pada geriatri: kondisi komorbid, usia >70 tahun, status nutrisi yang buruk, imunosupresi, curiga aspirasi, level serum albumin yang rendah, gangguan menelan, kualitas hidup yang buruk, konsumsi alkohol dan merokok. Terapi pneumonia pada geriatri sesuai dengan penyebab sama seperti pada umumnya dapat dilihat pada tabel 1. Terapi antibiotik empiris adalah fluoroquinolon karena kebanyakan CAP pada geriatri disebabkan oleh streptococcus pneumonia. 9 Pasien usia lanjut disarankan untuk melakukan vaksinasi pneumococcal dan influenza untuk mencegah terjadinya pneumonia. 10

"~·~·e.u·.mpn··i·q;·~fo9j8q~~~»~i~~~~~~v·· PNEUMONIA TERKAIT PELAYANAN KESEHATAN PENGERTIAN Pneumonia terkait pelayanan kesehatan atau Health Care Associates Pneumonia (HCAP) adalah pneumonia yang terjadi pada pasien setelah >48 jam masuk ke pelayanan kesehatan. PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Demam, batuk dengan sputum purulen. 11 Pemeriksaan Fisik

Suhu tubuh > 38,3°C, pemeriksaan paru dapat ditemukan tanda-tanda konsolidasi paru.U Pemeriksaan Penunjang 11



Darah: leukositosis



Rontgen thorax: bervariasi dari infiltrat samar sampai konsolidasi lobus dengan air bronchogram sampai infiltrat alveolar atau interstitial difus.



Kultur darah, analisa gas darah, elektrolit, fungsi hati dan ginjal



Aspirasi endotrakeal menggunakan kateter steril dan fibreoptic bronchoscopy dengan broncholalveolar lavage untuk mengambil spesimen sehingga dapat di analisis.

DIAGNOSIS BANDING Gagal jantung kongestif, atelektasis, aspirasi, tromboemboli paru, perdarahan paru, dan reaksi obat.U

TATALAKSANA Suportif



Terapi 0 2 jika diperlukan, untuk mencapai Pa0 2 80-100 mmHg atau saturasi 9596%.



Humidifikasi dengan nebulizer untuk mengencerkan dahak



Fisioterapi dada untuk pengeluaran dahak



Terapi cairan



Antipiretik

Antibiotik: dapat dilihat pacta tabel 3. Tabel 3. Terapi Antibiotika Empiris pada HCAP. 2 Pasien tanpa faktor risiko patogen MDR

Ceftriaxone (2' g IV q24h) atau Moxifloxacin (400 mg IV q24h), ciprofloxacin (400 mg IV q8h), atau levofloxacin (750 mg IV q24h) or Ampicillin/sulbactam (3 g IV q6h) atau Ertapenem (1 g IV q24h) Pasien dengan faktor risiko patogen MDR 1. b-lactam:

Ceftazidime (2 g IV q8h) atau cefepime (2 g IV q8-12h) atau Piperacillin/tazobactam (4.5 g IV q6h), imipenem (500 mg IV q6h atau 1 g IV q8h), or meropenem (1 g IV q8h) ditambah 2. Agen kedua melawan bakteri patogen gram negatif Gentamicin atau tobramycin (7 mg/kg IV q24h) atau amikacin (20 mg/kg IV q24h) atau Ciprofloxacin (400 mg IV q8h) atau levofloxacin (750 mg IV q24h) ditambah 3. Agen aktiv melawan bakteri patogen gram positif Linezolid (600 mg IV q12h) atau Vancomycin (15 mg/kg, sampai 1 gram iv, q12h) Kelerangan Faktor risiko MDR: terapi antibiotik dalam 90 hari terakhir, rawat inap selama > 5 han, immonokompromais, dialisis kronik dalam 30 hari terakhir, terapi infus di rumah (termasuk antibiotik), perawatan luka di rumah, insiden tinggi MDR pada komunitas atau pada pelayanan kesehatan terkait, riwayat keluarga MDR."·"

PROGNOSIS

Prognosis berdasarkan Pneumonia Severity Index (PSI) Bila nilai PSI < 90 (risiko rendah, rata-rata mortalitas sebesar 3,3%. Bila nila PSI >130 (risiko tinggi), maka rata-rata mortalitas sebesar 34%. Detail PSI dapat dilihat pacta tabel4. 13•14 Tabel 4. Pneumonia Severity Index

i Faktorcter1lografi

Nll.al

Usia (dalam tahun)

Pria Wan ita Nursing home resident

-10 +10

t

Fa)If()~ :i:ierhCI'9rafi~"''{ ?·.;'t·l' '.<.' ·., 1,; · ,;~~· •• ·•' ,.;;l• g.·.·.r'!·jl6f,;i'ilf~f<'··•. •., Penyakit lain

Penyakit neoplastik Penyakit hati Gaga I jantung kongestif Penyakit serebrovaskular Penyakit ginjal

+30 +20 + 10 + 10 + 10

Pemeriksaan Fisik

Perubahan status mental Laju napas ~ 30/menit Tekanan darah sistolik < 90 mmHg Suhu < 35oC atau > 40oC Laju nadi > 125 kali/menit

+20 +20 +20 + 15 + 10

Temuan laboratorium dan radiografi

pH arteri < 7,35 Blood urea nitrogen (BUN) ~ 30 mg/dl (11mmoi/L) Natrium < 130 mmoi/L Glukosa > 250 mg/dl (14 mmOI/L) Hematokrit < 30% Tekanan parsial dari oksigen arteri < 60 mmHg atau saturasi oksigen < 90% Efusi pleura

+30 +20 +20 + 10 + 10 +10

+ 10

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi



RS non pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS Pendidikan

: Divisi Tropik - Infeksi, Departemen Radiologi/ Radiodiagnostik, Patologi Klinik, mikrobiologi klinik, Parasitologi, AnestesijiCU



RS non pendidikan

: Bagian Paru, Patologi Klinik, Radiologi, Parasitologi, Mikrobiologi klinik, Anestesi/ICU

REFERENSI 1.

Dahlan, Zul. Pneumonia. Dalam: Sudoyo, Aru W. Setyohadi. Bambang. Alwi. ldrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati. Siti. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid Ill. Edisi V. Jakarta :Balai Penerbit FKU I; 2009. p 2196-2206.

2.

Dahlan Z. Pneumonia Bakterial. Dalam: Amin Z, Dahl an Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/ Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

3.

Pneumonia. Dalam: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of America; The McGrawHill Companies, 2011

4.

American Thoracic Society. Guidelines for the Management of Adults with Community-Acquired Pneumonia: Diagnosis, Assessment of Severity, Antimicrobial Therapy, and Prevention. Am J Respir Crit Care Med, 2001 ; 163: 1730-54.

5.

Mandell, Lionel A. Et all. Infectious Diseases Society of America .American Thoracic Society Consensus Guidelines on the Management of Community-acquired Pneumonia in Adults. CID 2007:44 (Suppl 2). Diunduh dari : http:/ /www.thoracic.org/statements/resources/mtpi/idsaatscap.pdf. pada tanggal 29 Mei 2012.

6.

Lutfiyya, M. Nawal. Et all. Diagnosis and Treatment of Community-Acquired Pneumonia. American Family Psycian. 2006. Diunduh dari: http:/ /www.aafp.org/afp. pad a tanggal 29 Mei 2012.

7.

British Thoracic Society Standards of Care Committee. British Thoracic Society Guidelines for the Management of Community Acquired Pneumonia in Adults. Thorax 2001 ;56 (suppiiV) :1-64.

8.

Pulmonary Disorders. Dalam : Cunningham, Gary F. Et all. William Obstetric 22nd Edition. The MacGraw Hills Companies. 2007.

9.

Infectious Complications. Dalam : Evans, Arthur T. Manual of Obstretic. Lippincott Williams & Wilkins. 2007.

10. Marie, Thomas J. Community-Aquired Pneumonia in Elderly. Clinical Infectious Diseases 2000;31 :1 066-78 q 2000 by the Infectious Diseases Society of America. 11. Fung HB. Chu MO, Monteaqudo. Community-acquired pneumonia in the elderly. Am J Geriatr Pharmacother. 2010 Feb;8(1):47-62. 12. Pulmonary disorders. Dalam: McPhee, Stephen J. Papadakis, Maxine A. Current Medical Diagnosis and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011. 13. Tuberculosis. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23rd edition. Saunders: Philadhelphia. 2007. 14. Seymann, Gregory B. Health care-associated pneumonia : Meeting the clinical challenges. The Journal Of Respiratory Diseases • Vol. 29, No.5 • May 2008

SIND ROM VENA KAVA SUPERIOR

PENGERTIAN Sindrom vena kava superior (SVKS) adalah kumpulan gejala yang disebabkan obstruksi pada dinding vena kava superior yang tipis, sehingga terjadi penurunan venous return dari kepala, leher, dan ekstremitas atas. Obstruksi dapat disebabkan 2 hal yaitu keganasan dan non-keganasan. Penyebab keganasan seperti kanker paru (small cell dan squamouscellpada 85 o/o kasus), limfoma (pada usia muda), dan tumor metastasis. Sedangkan penyebab non-kegansan yaitu aneurisma aorta, thyromegaly, trombosis, mediastinitis fibrosing akibat radiasi, histoplasmosis, atau sindroma Behcet, dan alat intravaskular (seperti permanent central venous access catheters, pacemakerI defibrillator leads) angka kejadian SVKS semakin meningkat (40% kasus). 1•2 DIAGNOSIS Diagnosis berdasarkan keluhan klinis Anamnesis

Onset keluhan terjadi tanpa diketahui (insidious) dan berkembang menyebabkan sesak nafas (63% kasus), batuk dapat berdarah (hemoptysis) pada 24% kasus, suara serak, sakit kepala, hi dung tersumbat, epsitaksis, kesulitan menelan (dysphagia pad a 9% kasusJ, nyeri dada (15% kasus ), dizziness, sinkop. Keluhan dapat diperberat dengan membungkukkan tubuh ke depan atau tidur terlentang. 1•2 Pemeriksaan Fisik

Pasien tampak lethargy, ditemukan adanya pembengkakan tangan (18 o/o kasus), distensi vena leher (66 o/o), dinding dada (54%), edema wajah terutama pada daerah mata ( 46 o/o), plethora (46 o/o), sianosis (19 %) pembengkakan lidah dan laring, nasal congestion. Keluhan terjadi progresif dan dapat lebih ringan jika obstruksi terjadi di atas vena azygos. Adanya edema serebral danjatau laring walaupun jarang terjadi tetapi menandakan prognosis buruk dan membutuhkan penanganan segera. Kejang terjadi lebih sering karena metastasis ke serebral daripada edema serebral akibat

oklusi vena. Adanya keluhan kardiorespiratori yang dipicu dengan perubahan posisi menandakan adanya obstruksi jalan napas dan pembuluh darah disertai keterbatasan cadangan fisiologis. Pada pasien yang mendapat sedatif atau anestesi umum dapat terjadi cardiac arrest atau gaga! napas. Jika obstruksi vena kava superior terjadi di proksimal vena azygos dapat menyebabkan terjadinya varises esofagus pada 1/3 bagian atas, sedangkan jika mengenai distal dari vena azygos maka varises akan terjadi di sepanjang esofagus. Pemeriksaan Penunjang 1



Rontgen dada: pelebaran mediastinum superior terutama pada sisi kanan, adanya efusi pleura eksudat dan chylous (hanya 25 % kasus) terutama pada sisi kanan. Jika rontgen normal (16 %) kembali melihat pada keluhan klinis.



CT scan: melihat mediastinum lebih jelas. Diagnosis ditegakkan bila tidak adanya opasifikasi pada struktur vena sentral dengan sirkulasi vena kolateral yang dominan.



Venography: mengetahui sumber obstruksi dari dalam lumen atau luar lumen, jika akan dilakukan operasi bypass. Tidak dilakukan jika ada peningkatan tekanan intralumen karena dapat merusak integritas dinding pembuluh darah sehingga berisiko perdarahan masif pada daerah penyuntikan.



Galium single photo emission CT: sesuai indikasi



Bronchoscopy, percutaneous needle biopsy, mediastinoscopy, dan thoracotomy: dilakukan sesuai indikasi dan dilakukan oleh tenaga profesional.



Percutaneous transthoracic CT guided fine needle biopsy: sesuai indikasi

Modalitas diagnostik pada SVKS dapat dibagi menjadi :4-6 Tabell. Modalitas Diagnostik pada SVKS 4 - 6 Non lnvasif

Rontgen dada Venogram dengan kontras

Radionucleotide venogram - CTscanlnvaslf

lnduced sputum cytology Bronchoscopy Mediastinoscopy Thoracotomy -------,Meeien-5temetemy--------

Penatalaksanaan SVKS :4

T

Berikan segera : oksigen, diuretik, deksamateson 16 mg sekali sehari

r

1

J

NSCLC (non small cell lung cancer)

! Paliatif. External beam XRT (radiation therapy, single fraction)

Tumor kemosensitif

I

Kemoterapi

I

Rekuren, tidak responsive terhadap kemoterapi dan XRT

Diagnosis belum pasti

!

-r

lnisial external beam XRT waktu singkat. Diagnosis histologis sebelum terapi definitif

Stent. Antikoagulan jika ada komplikasi edema pulmonal.

Gombar 1. Algoritme Penatalaksanaan SVKs•·•

DIAGNOSIS BANDING • Tumor mediastinum: tumor ganas, teratoma, limfoma malignum • Tumor paru TATALAKSANA3 • Elevasi kepala • Menjaga patensi jalan napas • Bed rest • Oksigen • Diet rendah garam • Cairan infus: diberikan secara hati-hati • Diuretik: furosemid 40 mg intravena (IV) untuk menghilangkan gejala • Glukokortikoid: metilprednisolon 125 mg IV, dekstametason 16-20 mg IV; untuk mengecilkan masa limfoma. Tidak berguna pada kasus kanker paru. • Radioterapi: jika obstruksi disebabkan oleh non-small cell lung cancer dan metastasis tumor solid lainnya. Pada kasus darurat dapat meringankan gejala pada 70% kasus, dosis harian dimulai dengan dosis tinggi (>3Gy /hari) untuk mendapatkan pengecilan masa tumor yg dibutuhkan 4



Kemoterapi: jika obstruksi disebabkan small cell carcinoma of the lung, lymphoma, atau germ cell tumor.



Kombinasi radioterapi danjatau kemoterapi: keluhan berkurang pada waktu 2-4 minggu, efek sam ping seperti mual, muntah, nekrosis tumor, dan fibrosis radiasi. 3



Antikoagulan: mencegah trombosis dan embolisasi pada pasien dengan kateter vena sentral jangka panjang. Jika trombosis ditemukan secara dini dapat diberikan fibrinolitik tanpa pencabutan kateter.



Pemasangan stent: untuk kasus berulang, kasus berat.



Operasi: jika obstruksi disebabkan oleh non-keganasan, dilakukan setelah pasien stabil

KOMPLIKASI Trombosis vena jugularis dan otak PROGNOSIS Angka rekurensi terjadi pada 10-30% kasus. Tanpa diterapi, pasien SVKS karena keganasan dapat bertahan sekitar 1 bulan. Angka rekurensi terjadi pada 17% pasien yang diterapi dengan radiasi dan 19 % kasus yang diterapi dengan radiasi dan kemoterapi. Rekonstruksi vena kava superior menunjukkan patensi 80-90 % dengan angka kematian pada operatif mencapai 5%. 5•6 Kematian pada SVKS dikarenakan penyakit penyebabnya, tidak berhubungan dengan obstruksi,l Efek samping serius SVKS jarang terjadi dan berhubungan dengan obstruksi jalan napas atau edema serebral. Pada 1986 pasien dengan SVKS, kematian hanya terjadi pada 1 kasus.4,6 UNITYANG MENANGANI • RS Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam Divisi Hematologi Onkologi Medik, Pulmonologi • RS non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS Pendidikan • RS non Pendidikan

: Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedahjtoraks : Bagian Radiologi, Bedah

REFERENSI 1.

'

788

Dutcher J. Oncologic Emergencies. In: Fauci A, Kasper D. Longo D, Braunwald E. Hauser S, Jameson J, Loscalzo J. editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 27 6.

SinoroFri"'Vena Kava Superior --~...:,,,_~ -----~-~_;, •• ~M

~

-'

2.

Yahalom J. Superior Vena Cava Syndromes. In: Debvita V, Hellman S, Rosenberg S. Cancer: Principles and Practice of Oncology. 6th ed. Lippincott. 2001. Chapter 51.

3.

Roman M. Emergency Complications of Malignancy. In : Tintinalli J, Kelen G, Stapczynski. Emergency Medicine. United States of America; The McGraw-Hill Companies. 2004. Chapter 18.

4.

Shah A, Kennedy M. Oncologic Emergencies. In: Johnston P, Spence R. Cardiovascular Emergencies. USA: Oxford University Press Inc. 2009.chapter 1.

5.

Grant J, Lee J, Lee E. Superior Vena Cava Syndrome An update on causes and treatments. 2009. Diunduh dari http://bmctoday.net/evtoday/pdfs/EVT0709_09.pdf pada tanggal30 Mei 2012.

6.

Amin Z. Sindrom Vena Cava Superior. Dalam : Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

KELAINAN NAP AS SAAT TIDUR (SLEEP-DISORDERED BREATHING/ SLEEP APNEA)

PENGERTIAN Sleep-disordered breathing atau sleep apnea merupakan merupakan istilah bagi beberapa kondisi kronis berupa hilangnya napas parsial a tau seluruhnya, yang terjadi beberapa kali sepanjang malam, yang mengakibatkan ngantuk atau kelelahan di siang hari sehingga mempengaruhi fungsi kehidupan seseorang dan menurunkan kualitas hidup. Obstructive sleep apnea (OSA) merupakan bentuk sleep-disordered breathing yang paling sering terjadi, dan berkaitan dengan meningkatnya risiko kematian. 1 Obstructive sleep apneajhypopnea syndrome (OSAHS) didefinisikan sebagai koeksistensi dari ngantuk berlebih pada siang hari yang tidak dapat dijelaskan dengan sedikitnya 5 kali obstruksi napas (apneu atau hipopneu) per jam waktu tidur. Apneu pada dewasa merupakan jeda napasjbreathing pauses selama :?:10 detik dan hipopneu sebagai momen;::: 10 detik dimana nap as berlanjut tetapi ventilasi berkurang sedikitnya SO% dari baseline sebelumnya saat tidur. Indikator klinis pada pasien ngantuk dapat dilihat pada tabel1. 2

label 1. lndikator Klinis pada Pasien Ngantuk2 OS.AHS

t.~qik()lepsi

·IHS ·

35-60

10-30

10-30

Tidak

Ya

Tidak

Normal Kadang-kadang Ya, keras Kadang-kadang

Normal Sering Kadang-kadang Kadang-kadang

Panjang Jarang Kadang-kadang Umum

Biasanya

Banyak

Sedikit

lngikc:d()r .

Umur waktu onset (tahun) Katapleksi Tidurmalam Durasi Terbangun Mengorok Mabuk pagi hari Tidur siang Frekuensi

. ----- ·--··-·-·--·-- . --·· .. - _Q.~Q.~gp_SJ____________________________ .. Waktu Durasi

Siang/malam < 1 jam

Kelerangan: HIS =idiopathic hypersomnolence

Siang/malam < 1 jam

Pagi > 1 jam

DIAGNOSIS Anamnesis 1•4 •

Aloanamnesis oleh pasangan tidur pasien: mengorok saat tidur, pausejjeda saat bernapas, tidur terganggu



Somnolen berlebihan di siang hari, gangguan kewaspadaan, performa kognitif dan menyetir, hubungan interpersonal terganggu



Kesulitan berkonsentrasi, sakit kepala di pagi hari, tidur malam tidak puas, rasa tercekik di malam hari, libido menurun

Pemeriksaan Fisik2 · 4 •

Hipertensi



Obesitas



Kelainan saluran napas atas: kongesti nasal, rhinitis, sinusitis kronis, kelainan anatomis nasofaringeal, pembesaran tonsil atau adenoid, lidah besar



Kelainan kraniofasial: mikrognatia, retrognatia



Tanda hipotiroidisme atau akromegali

Pemeriksaan Penunjang •

Tes tidur (polisomnografi): mengukur beberapa parameter fisiologis saat tidur. Salah satu parameter penting adalah napas dan hilangnya napas saat tidur. Jeda napas (breathing pause) ::::10 detik disebut sebagai apnea.



EEG (Electroencephalography)



EKG (Elektrokardiogram)

DIAGNOSIS BANDING Tidur tidak cukup, kerja shift, penyebab psikologis, obat-obatan, narkolepsi, IHS, phase alteration syndromes. 2

TATALAKSANA3A Tujuan tatalaksana adalah mengurangi fragmentasi tidur dan repetisi asfiksia, stress kardiovaskular, dan meningkatnya us aha napas yang berkaitan dengan OSAHS. •

Umum o

Posisi tidur: posisi lateral dekubitus lebih baik daripada supinasi atau pro nasi

o

Penurunan be rat bad an

o

Terapi mekanis



o o

Ventilasi tekanan positif Oksigen

o

Cara mekanis lain untuk meredakan atau bypass obstruksi

Operasi o Trakeostomi o



Uvulopalatofaringoplasti

Medikamentosa o Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI): fluoxetine dan paroxetine 20 mgj hari selama 4-6 minggu

KOMPLIKASI Hipertensi, gagal jantung, stroke, penyakit jan tung koroner, hipertensi pulmonal, sampai kematian. 3 PROGNOSIS lndeks ApneajHypopnea (AHI) tidur 5 per jam berkaitan dengan meningkatnya risiko hipertensi arterial, gagal jantung, stroke, penyakit jantung koroner, dan hipertensi pulmonal. Data menunjukkan bahwa OSAHS yang tidak diterapi berkaitan dengan meningkatnya mortalitas, terutama pada pasien dengan indeks apneu sedikitnya 20 kali per jam tidur. Pasien dengan OSAHS memiliki risiko lebih tinggi untuk kematian mendadak saat tidur dan morbiditas dan mortalitas dari kecelakaan lalu lintas 3 kali lebih tinggi. 3 UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan • RS non pendidikan REFERENSI 1.

Prasad B, Croft JB, Liu Y. Sleep-Disordered Breathing. In: Schraugnagel DE. Breathing in America :Diseases, Progress, and Hope. American Thoracic Society. 2010. Hal237-48. Diunduh dari http:/ I www.thoracic.org/education/breathing-in-america/resources/breathing-in-america.pdf pad a tanggal 23 Mei 2012.

2.

Douglas NJ. Sleep Apnea. In: Longo DL Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL Jameson JL Loscalzo J. Harrison's Principles of Internal Medicine. 181h Edition. New York, McGraw-Hill. 2012.

~~laihan

No pas Soot Tidur

3.

Basner RC. Obstructive Sleep Apnea-Hypopnea Syndrome.ln: Goldman, Ausiello. Cecil Medicine. 23'd Edition. Philadelphia. Saunders, Elsevier. 2008.

4.

Sumardi. Sleep Studies. Dalam: Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

TUBERKULOSIS PARU

PENGERTIAN Tuberkulosis paru (TB paru) adalah infeksi paru yang menyerang jaringan parenkim paru, disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis. 1 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Demam biasanya subfebril, batuk (dapat ditemukan batuk darah), sesak napas, nyeri dada, malaise, be rat badan menurun, keringat malam, riwayat kontak penderita TB.z,3 Pemeriksaan Fisik

Demam, konjungtiva anemis, berat badan berkurang, auskultasi suara napas bronkial, dapat ditemukan ronki basahjkasar jnyaring. Bila infiltrat diliputi penebalan pleura, suara napas jadi vesikuler melemah, hila terdapat kavitas besar ditemukan perkusi hipersonor ertimpani, auskultasi suara amphorik. 1 Laboratorium2 ·3 ·4



Darah: LED meningkat



Mikrobiologis



BTA sputum positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS



Kultur Mycobacterium tuberculosis positif (diagnosis pasti)



Foto toraks PA ± lateral (hasil bervariasi) : infiltrat, pembesaran kelenjar getah bening (KGB) hilus/ KGB paratrakeal, milier, atelektasis, efusi pleura, kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas, destroyed lung. 3



Imuno- Serologis



Uji tuberculin: sensitivitas 93,6%, spesifisitas 98,4%. 4 Kriteria positifuji tuberculin dapat dilihat pada tabell.



Tes PAP, ICT-TB: positif



PCR- TB dari sputum (hanya menunjang klinis)



Pemeriksaan adenosine deaminase pacta tuberkulosis di cairan pleura, perikardial dan peritoneal. Kriteria positif adalah 100U /L untuk pleural TB, 92U /L untuk peritoneal dan 90 U/L untuk efusi perikardial. Sensivisitas 100% dan spesifisitas 94,6%.

Tabel 1. Kriteria Positif Uji Tuberkulin 3

finBm&:•f~T'"IIi&;!~l-tiKJL~ii~

~

5

Pasien HIV (+), baru kontak dengan pasien TB (+), pada rontgen thorax tampak fibrosis, pasien immunocompromized

10

Baru bermigrasi dari tempat yang berprevalensi tinggi TB, HIV (-) pengguna obat suntik, yang memiliki risiko tinggi: tinggal dipanti jompo, orang yang merawat pasien AIDS, tuna wisma, tenaga medis. Orang yang memiliki kondisi medis yang dapat meningkatkan risiko TB: post gastrektomi. berat badan < 10% dari berat ideaL bypass jejunoileol. diabetes mellitus, silikosis, gagal ginjal kronik, kelainan hematologi. keganasan. Anak-anak <4 tahun, bolita atau remaja yang kontak dengan orang dewasa berisiko TB. Pasien yang tidak memiliki faktor risiko TB

> 15

DIAGNOSIS BANDING Pneumonia, tumor jkeganasan paru, jamur paru, penyakit paru, akibat kerja. TATALAKSANA Suportif: istirahat, stop merokok, hindari polusi, tata laksana komorbiditas, nutrisi, vitamin. Medikamentosa : obat anti tuberkulosis ( OAT ) 6•7 1. Kategori 1. Pasien baru yaitu pasien yang belum pernah mendapatkan terapi OAT atau pernah mendapatkan OAT sebelumnya selama <1 bulan, maka regimen terapinya adalah 2HRZE/4HR. Dosis obat dapat dilihat pacta tabel 2. Pacta pasien baru yang diketahui resisten isoniazid atau diketahui lingkungan sekitar risiko ringgi resisten isoniazid, maka berikan 2HRZE/4HRE. 2. Kategori 2. Pasien yang sebelumnya pernah mendapat terapi OAT • Kultur dan resistensi OAT atau drug susceptibility test (DST) • Jika hasil DST belum ada o Pasien yang gagal terapi (sputum BTA atau kultur tetap positif pacta akhir bulan ke-5 pengobatan) Pasien yang putus berobat (pasien yang putus berobat selama >2 bulan berturut-turut) atau kambuh, berikan 2HRZES/1HRZE/5HRE • Jika hasil DST sudah ada, sesuaikan terapi dengan antibiotik spesifik patogen.

Panduan Praktik Klinis Perhirripu~~n DOid~~·sPeSiaiis:PenYOidt pa!~n, lnd~O~sla Tabel 2. Dosis dan Efek Samping OAT'· 6 Dosis berkclla 3 ~~tnlnggu

[!9~is hari~!"

· i

I
1

•·,

:.'c'Nam~.ot rel="nofollow">bt::u·····:~ft~:~~~~··t.i1 M;~Ji~~~··.·' ·:·;·~~:~~~:·~:·· .• ;~:~si~t~.~:·: (!TtgjkgBB}

lsoniasid (H) Rifampisin (R)

.

5 (4-6)

300mg

10 (8-12}

600mg

{mgl~gBB}'

'

..

10 (8-12)

900

10 (8-12)

600

Pirazinamide (Z)

25 (20-30)

35 (30-40}

Streptomisin (S}

15 (15-20}

15 (12-18}

Etambutol (E)

15 (15-20)

30 (25-35}

Neuropati perifer

Sindrom flu, hepatotoksik 1000

Nefrotoksik, gangguan NVIII kranial Neuritis optika, nefrotoksik, skin rash/dermatitis

3. Indikasi kortikosteroid 7 •

Meningitis TB



TB milier dengan atau tanpa meningitis



TB dengan Pleuritis eksudativa



TB dengan Perikarditis konstriktiva.



Manifestasi klinis insufisiensi adrenal karena TB

Pemeriksaan Terapi 6 • Pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT, periksa hasilDST pada bulan kedua pengobatan, bila terdapat resistensi ganti obat sesuai protokol MDR-TB •

Cek sputum BTA pad a akhir fase intensif (akhir bulan ke- 2 terapi pada pasien baru dan akhir bulan ke-3 pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT)



Jika masih positif, cek ulang sputum BTA pada akhir bulan ke-3 terapi pada pasien baru dan akhir bulan ke-4 pada pasien yang sebelumnya telah mendapat OAT



Jika masih positif, pasien dinyatakan gagal terapi. Pada pasien baru yang belum pernah mendapat OAT stop kategori 1 atau mulai terapi kategori 2. Cek kultur dan DST pada pasien baru cek bulan dan DST pasien yang sebelumnya telah mendapat



OAT) Jika hasil kultur dan DST positif ditemukan resistensi, maka pasien mulai dulu protokol MDR-TB.

PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS Multi Drug-Resistant TB (MDR-TB) dan Extensively Drug-ResistantTB (XDR-TB) MDR-TB adalah resisten terhadap 2 jenis OAT lini pertama yang paling efektif yaitu Isoniazid dan Rifampisin. XDR-TB adalah resiten terhadap Isoniazid, Rifampisin dan OAT lini kedua? Faktor risiko MDR; tidak patuh berobat, hasil monitoring sputum BTA tetap positifpada akhir bulan ke-2 dan ke-3 setelah terapi, riwayatperburukan dengan terapi OAT, terpajan pada lingkungan atau instansi yang prevalensi tinggi MDR, gaga! terapi sebelumnya, kondisi komorbid seperti malabsobsi, atau rapid-transit diare, memiliki diabetes mellitus tipe 2. 6 Prinsip terapi MDR TB : •

Terapi dengan setidaknya 4 obat yang masih efektif berdasarkan hasil kultur International Standars for Tuberculosis Care (ISTC)



Pengobatan paling sedikit selama 18 bulan (ISTC)



Monitoring kulturjsputum BTA setiap bulan, sampai terjadi konversi



Bila sudah terjadi konversi, monitoring kultur /sputum BTA dilakukan tiap 2-3 bulan



Terapi dilanjutkan selama 18 bulan setelah konversi. Tetapi agen injeksi dilanjutkan 4-6 bulan setelah konversi.

Pemilihan terapi MDR TB: •

Pemilihan obat berdasarkan hierarki seperti yang tercantum pada tabel 3.



Pilihlah obat yang paling efektif (berdasarkan hasil DST) pada kelompok 1 terlebih dahulu, baru kemudian kelompok 2, 3, dan 4.

Tabel 3. Kelompok Obat untuk Terapi MDR TBM Kelompok 1: Agen lini pertama peroral Kelompok2: Agen injeksi

Pyizinamide (Z)

25 mg/kg/hari (maksimal2 grom/hari) (po)

Etambutol (E) Rifabutin (Rfb)

15-25 mg/kg/hari (po) 5 mg/kg/dosis (maksimal 300 mg) (po)

Kanamycin (Km)

15 mg/kg/hari. 5-7 hari/minggu (maksimal 1 gram) ~ 15 mg/kg/hari, 2-3 kali/minggu setelah periode awol (iv atau im)

Amikacin (Am)

.Cap~e.omycin.(Cm) ......

Streptomycin (S)

Kelompok3: ···-··rrou~oquinotone

15 mg/kg/hari. 5-7 hari/minggu (maksimal 1 gram)~ 15 mg/kg/hari, 2-3 kali/minggu setelah periode awol (iv atau im) . ..l5mg/kg/hari,5.-7 hari/minggu(maksimal 1 gram)~ 15 mg/kg/hori, 2-3 kali/minggu setelah periode awol (iv otau im) ·

Moxifloxacin (Mfx)

15 mg/kg/hari. 5-7 hari/minggu (maksimal 1 gram) ~ 15 mg/kg/hari, 2-3 kali/minggu setelah periode awol (iv atau im) 500--1000 mg/hari (po atou iv) 1x400 mg (po atau iv) ·-----

Ofloxacin (Ofx)

2x400 mg (po)

Levofloxacin (Lfx)

t~·· -.: ":--··:.•,\K§llp!titJqK' .-· < '":i'X'.":r' • C:iP.P'pf(lilrig~{:ttt!6,i•f!jf:i!.iiti~~:J4;tt;;1!~4:~iJ~X·17i ~~~;·Q~~~~ :~~·ll~i•@;.~;~iti'~~~;\'.:~:~\·j Kelompok 4: Agen lini kedua Bakteriostatik oral

Para-aminosalicylic acid (PAS} Cyclocerine (Cs}

8-12 gram/hari dibagi 2-3 kali dosis (po}

Terizidone (Trd)

15-20 mg/kg/hari (maksimal 1 gram} (po)

Protionamide (Pto}

10-20 mg/kg (maksimal750mg} (po}

Clofazimine (Cfz} Kelompok5: Agen yang belum jel Linezolid (Lzd} as perannya dalam Amoxicillin/clavulanate terapi MDR TB (Amx/Civ} Thiacetazone (Thz}

2x250 mg (po)

100-200 mg/hari (po} 1x600 mg 2 x 2 gram Amx + 125 mg Clv (po) 1x150 mg (po}

lmipenem/cilastatin (lpm/Cin} Dosis tinggi Isoniazid (H)

2x1 gram (iv}

Clarithromycin (Cir}

2x500mg (po}

16-20 mg/kg/hari (po}

TB ekstra paru TB ekstra paru diterapi sama seperti TB paru. Pada meningitis TB, disarankan terapi berlangsung selama 9-12 bulan sementara pada TB tulang dan sendi, disarankan terapi selama 9 bulan. Kortikosteroid ditambahkan pada terapi meningitis TB dan perikarditis. Dosis kortikosteroid pada meningitis TB dan efusi perkardial dapat dilihat pada tabel4. Pada meningitis TB, etambutol diganti streptomisin. 6 Tabel4. Rekomendasi dosis kortikosteroid pada TB ekstrapulmonal. 10•11

t~i'i~~I~_;;~;9~s:2J~tt~'d!iJllS{ilii~;~•.

_XO;<::···

~r;~ -~::,;:~:!~:':;_. '~;,~i~~~9lminr§t)~t;• ··~

.;:;; ·.t

{§..• Durasi selama 6 minggu Hari 1-7: Dexamethasone 0,3 mg/kg iv Hari 8-14 : 0,2 mg/kg iv Hari 15-21 :0,1 mg/kg iv Hari 22-28: 1x3 mg po Hari 29-35 : 1x2mg po Hari 36-42: 1x1mg Durasi 8 minggu Meningitis TB stadium 2 dan 3 Hari 1-7: Dexamethasone 0,4 mg/kg iv Hari 8-14 : 0,3 mg/kg iv Hari 15-21 :0,2 mg/kg iv Hari 22-28 : 0,1 mg/kg iv Hari 29-35 : 1x4mg po Hari 36"42 : 1x3mg po Hari 43-49 : 1x2mg po Hari 50-56 : 1x1 mg po Efusi pericardia! TB Total durasi 11 minggu Hari 1-28: prednisone 1x60 mg po Hari 29-56 : 1x30 mg po Hari 57-70: 1x15 mg po ·-----------------------Hari-7-1-=T-7-.-lxSmg-poMeningitis TB stadium 1

Kehamilan

Pacta prinsipnya pengobatan TB pacta kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pacta umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pacta kehamilan karena bersifat ototoksik permanen dan dapat menembus sekat plasenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pacta bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. 6•7•11 lbu menyusui dan bayinya

Pacta prinsipnya pengobatan TB pacta ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pacta umumnya. Semua jenis OAT relatif aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi terse but dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi terse but sesuai dengan be rat badannya. 6 Pasien TB dengan infeksi HIV I AIDS

Tatalaksana pengobatan TB pacta pasien dengan infeksi HIVf AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pacta pasien HIVf AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV /AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV (antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal) Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing= Konsul sukarela dengan test HIVJ.7

Rekomendasi ARV pacta pasien dengan TB adalah evafirenz (EFV) dan 2 nukleoside. 6 KOMPLIKASI PENY AKIT



Komplikasi paru: atelektasis, hemoptisis, fibrosis, bronkiektasis, pneumotoraks, gagal napas,



TB ekstra paru: pleuritis, efusi pleura:, perikarditis, peritonitis, TB kelenjar limfe,



Kor Pulmonal

PROGNOSIS Dengan terapi INH dan rifampisin selama 6 bulan dan pyrazinamide selama 2 bulan, sekitar 96-99% sembuh (bagi pasien HIV negatif). 8 Angka kambuh <5%. 3 UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Pulmonologi • RS non pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS Pendidikan

: Divisi di Departemen Ilmu Penyakit Dalam yang terkait dengan keterlibatan organjkomplikasi TB, Departemen Radiologi/Radiodiagnostik, Patologi Klinik, mikrobiologi klinik, Patologi Anatomi, Bedahjtoraks dan Bagian lain yang terkait dengan keterlibatan organjkomplikasi TB



RS non pendidikan

: Bagian Bedah, Patologi Klinik, Paru, Radiologi, Patologi Anatomi, Mikrobiologi klinik dan Bagian lain yang terkait dengan keterlibatan organjkomplikasi TB

REFERENSI 1.

Amin, Zulkifli. Bahar, Asril. Tuberkulosis Paru. Dalam: Sudoyo, Aru W. Setyohadi. Bambang. Alwi. ldrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati. Siti. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jilid Ill. Edisi V. Jakarta :Balai Penerbit FKU I; 2009. P2230-39.

2.

Achmad Y. Tuberkulosis Paru. Dalam: Amin Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/ Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

3.

Tuberculosis. Dalam : Fauci A Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGrawHill Companies, 2011.

4.

Pulmonary disorders. Dalam: McPhee, Stephen J. Papadakis, Maxine A. Current Medical Diagnosis and Treatment. The McGraw Hills Companies. 2011.

5.

EA. Talbot. D, Harland. W, Wieland-Aiter. S, Burrer. LV, Adams. Specificity of the tuberculin skin test and the T-SPOT.TB assay among students in a low-tuberculosis incidence setting. Jam Coli Health. 2012;60(1) :94-6. Diunduh dari : http:/ /www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22171735 pada tanggal3 Juni 2012.

6.

Tuberculosis Coalition for Technical Assistance. International Standards for Tuberculosis Care (1ST C). The Hague: Tuberculosis Coalition for Technical Assistance, 2006.

7.

Treatment of Tuberculosis Guidelines 4th Edition. World Health Organization. 2010.

8.

Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis Edisi Kedua Cetakan Pertarna. Depatemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007.

9.

Francis J. Curry National Tuberculosis Center and California Department of Public Health, 2009: Tuberculosis Drug Information Guide

Tuberkulosis Paru 10. Tuberculosis. Dalam : Ausiello. Goldman. Cecil Medicine 23rd edition. Saunders : Philadhelphia. 2007. 11. Kadhiravan, Tamilarasu. Deepanjali, Surendran. Role of Corticosteroids in the Treatment of Tuberculosis: An Evidence-based Update. http:/ /medind.nic.in/iae/t1 O/i3/iaetl Oi3p 153.pdf pad a tanggal 10 juni 2012.

TUMOR PARU Pembagian tumor paru berdasarkan klasifikasi WHO : label 1. Klasifikasi pembagian tumor berdasarkan WH0 1·2

Epithelial tumors

Benign Preinvasive lesions

Malignant

Papiloma, adenoma Squamous dysplasia/Carcinoma in situ, Atypical adenomatous hyperplasia, Diffuse idiopathic pulmonary neuroendocrine Squamous cell carcinoma, Small cell carcinoma, Adenocarcinoma, Large cell carcinoma, Adenosquamous carcinoma, Carcinoma$ with pleomorphic, sarcomatoid or sarcomatous elements, Carcinoid tumour, Carcinomas of salivarygland type, Unclassified carcinoma

Soft Tissue Tumours Mesothelial Tumours

Benign Malignant

Miscellaneous Tumours

Hamartoma Sclerosing hemangioma Clear cell tumour Germ cell neoplasms

Lymphoproliferative Disease

Thymona Melanoma Others Lymphoid interstitial pneumonia Nodular lymphoid hyperplasia Low-grade marginal zone B-ee// lymphoma of the mucosaassociated lymphoid tissue Lymphomatoid granulomatosis

Secondary Tumours Unclassified Tumours Tumour-like Lesions

Pada bab ini akan dibahas mengenai karsinoma paru.

Adenomatoid tumour Epithelioid mesothelioma, Sarcomatoid mesothelioma, Biphasic mesothelioma

Teratoma, mature or immature Malignant germ cell tumour

KARSINOMA PARU PENGERTIAN Merupakan sel kanker yang tumbuh dan berasal dari jaringan paru. Pembagian praktis karsinoma paru untuk tujuan pengobatan yaitu :1 •

small cell lung cancer (SCLC)



non small cell lung cancer (NSCLC)

Faktor risikol. 3 •

Merokok (aktif, pas if),



Polusi lingkungan kerja: asbestis (galangan kapal, konstruksi, pertambangan) arsenik (kebun anggur, gembala kambing, tambang emas, pelapis logam), hidrokarbon aromatik polisiklik (industri baja) kromat dan kromium (pekerja industri, pelapis krom) silika (penemuan baja), pabrik gas beracun, penyulingan nikel tam bang uranium, radon, dan turunannnya



Polusi udara: gas buangan kendaraan bermotor mengandung hidrokarbon aromatik polisiklik

• •

Radiasi non-ionisasi (telepon selular), Radiasi prosedur diagnostik

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis Asimptomatis, batuk, hemoptisis, nyeri dada, dyspnea karena efusi pleura. Jika sudah ada metastasis dapat memberikan keluhan nyeri tulang, sakit kepala, suara serak, sulit men elan, dan sesak napas. 1

Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan wheezing, stridor, abses, atelektasis, aritmia (invasi ke pericardium), sindrom vena kava superior, sindrom Horner (facial anhidrosis, ptosis, miosis), suara serak (penekanan pad a N.laryngea/ recurrent), sindrom Pancoast (invasi pleksus brakialis dan saraf simpatis servikalis ). Jika sudah ada metastasis dapat ditemukan ikterus, perubahan neurologis, pembesaran kelanjar g~tah bening. 1

Pemeriksaan Penunjang 1·3



Pemeriksaan serologijtumor marker: karena spesifisitas yang rendah dalam mendiagnosis karsinoma paru, maka lebih banyak digunakan untuk evaluasi hasil pengobatan. o

CEA(carcinoma embryonic antigen)

o

NSE (neuron-spesific enolase)

o

Cyfra 21-2 (cytokeratinfragments 19)



Foto rontgen dada



CT scan atau MRI



Bone scanning

o •

Indikasi: jika diduga ada tanda-tanda metastasis ke tulang

Pemeriksaan sitologi sputum: dilakukan rutin dan sebagai skrining untuk diagnosis dini o

Hasil pemeriksaan tergantung: letak tumor terhadap bronkus, jen is tumor, teknik mengeluarkan sputum, jumlah sputum yang diperiksa, dan waktu pemeriksaan sputum.



Pemeriksaan histopatologi: standar emas diagnosis karsinoma paru. Cara mendapatkan spesimennya: o

Bronkoskopi

o

Trans torakal biopsi (TTB)

o

Torakoskopi

o

Mediastinoskopi

o

Torakotomi

Sindrom paraneoplastik terdapat pada 10% karsinoma paru, terdiri dari: •

Gejala sistemik: penurunan berat badan, anoreksia, demam



Hematologi: leukosistosis, anemia, hiperkoagulasi



Neurologik: demensia, ataksia, tremor, neuropati perifer



Endokrin: sekresi PTH (hiperkalsemia)



Dermatologi: eritema multiform, hiperkeratosis, jari tabuh



Renal: SIADH (Syndrome Of Inappropriate Antidiuretic Hormone)



Osteoartropati hipertrofi

STAGING KARSINOMA PARU label 2. Staging Karsinoma Paru1. 3

c. ,: . j\!TIIIM~''' . '·:"'\·:> :. : : '· .;;; . Stage lA

..:)i;~

;;;:.

''; :': I

TlNOMO

Stage IB

T2NOMO

Stage II A

TlNlMO

Stage II B

T2NlMO

Stage Ill A

Tl-3N2MO

Stage Ill B

T4 any N MO

Stage IV

AnyTany N Ml

T3NlMO

AnyT N3MO

KETERANGAN Tx : Tumor terbukti ganas didapat dari secret bronkopulmonar. tapi tidak terlihat secara bronkoskopis dan radiologis. Tumor tidak dopa! dinilai pada staging retreatment. Tl : Tumor dengan diameter< 3 em T2 : Tumor dengan diameter> 3 em atau terdapat atelektasis pad a distal hilus T3 : Tumor ukuran apapun meluas ke pleura, dinding dada. diafragma. perikardium, < 2 em dari carina. terdapat atelektasis total T4 : Tumor ukuran apapun invasi ke mediastinum a tau !erda pat efusi pleura malignan NO: Tidak ada kelenjar getah bening (KGB) yang terlibat N 1 : Metastasis KGB bronkopulmoner at au ipsilateral hilus N2 : Metastasis KGB mediastinal atau sub carina N3 : Metastasis KGB mediastinal kontralateral atau hilus atau KGB skaleneus atau supraklavikular MD : Tidak ada metastasis jinak M 1: Metastasis jinak pad a organ (otak, hati)

Pendekatan diagnosis pada nodul soliter paru

I,,~v" ,~,~· •·~ • ·~· •v•, ,...~~~ •v• .,,~,, I

~~

Tidak perlu pemeliksaan lebih lanjut

I

ITir

1

~

I

1

kemungkinan kanker sedang

I

1 1 Tidak 1

I Ada faktor lisiko operasi I

Pemeriksaan tambahan :

Hasil negatif

• PET jika ukuran nodul ~ 1 em • Aspirasi jarum halus trans torasik jika letak nodul di perifer • Bronkoskopi jika udara bronkus positif • CTscan

Video-assited thoracoscopic surgery. P

1--1

Hasil Positif

J---+

emeriksaan klenjar getah bening mediastinum dan frozen section diikuti lobektomi jika sel ganas.

Gamber 1. Algoritma Pendekatan Diagnosis pada Nodul Soliter Paru 4·5

DIAGNOSIS BANDING Tumor metastasis dari kanker primer di tempat lain, tumor jinak paru TATALAKSANA SCLC • Limited stage (status tampilan baik)

kemoterapi kombinasi dan radioterapi toraks



Extensive stage (status tampilan baik) : kemoterapi kombinasi



Respons tumor komplit (semua stage) : radioterapi kranial profilaktik



Status tampilan buruk (semuastage)

: kemoterapi kombinasi dengan modifikasi dosis radioterapi paliatif

label 3. Terapi untuk NSCLC 1·3·5 Stage

OperCisi

·· RCidioterapi

· Kemoter!Jpi kombinasi .

I dan II

Lini pertama

Adjuvan pada stage IB, IIA, lib

Lini kedua

Tidak

II B lilA

Lini pertama Lini kedua

Tidak Tidak

Lini pertama-neoadjuvan Lini pertama

Ill B resectable Ill B unresectable IV

Lini pertama Tidak Tidak

Tidak Lini keduaneoadjuvan Tidak Tidak Lini pertama

Tidak Tidak Lini kedua

Lini pertama ± neoadjuvan Lini pertama Tidak

Keinoterapi .

Kemoterapi : Lini pertama : siklofosfamid, doksorubisin, metotraksat prokarbasin Lini kedua : docetaxel. pemetrexed, and er/otinib, vinore/bine, gemcitabine, paclitaxe/, gisplatin, carboplatin

Pendekatan Tatalaksana pada Karsinoma Paru Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang Menentukan status performance. adakah penurunan berat badan.

Tidak ada gejala atau hasil pemeriksaan yang menunjukkan

adanya metastasis

Kemoterapi dan/atau radioterapi untuk paliatif

Gombar 2. Algoritma Terapi pada SCLC 4

Anamnesis, pemeriksaan f1sik, dan pemeriksaan penunjang Menentukan status performance. adakah penurunan berat badan.

Tidak ada gejala atau hasi pemeriksaan yang menunjukkan adanya metastasis. Tidak ada kontraindikasi operasi. kemoterapi kombinasi , atau radioterapi

Tes fungsi paru. pemeriksaan imajing untuk melihat adanya metastasis. Tes kardiopulmonar. Tes koagulasi

NO atau Nl

-r - -

i

,

,_,....,,.... U.)l

,

l

Stage II atau Ill : Operasi diikuti kemoterapi adjuvan

Stage IB: Ukuran < 4cm operasi. Ukuran > 4 em operasi dan kemoterapi adjuvan

I

"'T' I

Tidak dioperasi. Terapi kemoterapi kombinasi

Gambar 3. Algoritma Terapi pada NSCLC 4·5

KOMPLIKASI

Obstruksi jalan napas, gagal napas, perdarahan / hemoptisis, abses, atelektasis, metastasis ke organ: otak, PROGNOSIS

Tergantung tipe histologi, staging, resektabilitas dan operabilitas. Pada SCLS kemungkinan harapan hidup rata-rata yaitu 1 tahun. Pada kelompok limited stage kemungkinan hidup rata-rata yaitu 1-2 tahun. Sebesar 30 % kematian terjadi karena komplikasi lokal dari tumor, 70% meninggal kareka karsinomatosis. Pada NSCLC yang dilakukan tindakan bedah, kemungkinan hidup 5 tahun setelah operasi adalah 30 %. Survival setelah tindakan bedah yaitu 30-40% pada stadium I, 10-15% pada stadium II, dan< 10% pada stadium III. Kemungkinan hid up rata-rata pasien tumor metastasis bervariasi, dari 6 bulan sampai dengan 1 tahun tergantung dari performance status (skala Karnojsky), luasnya penyakit, adanya penurunan berat badan dalam 6 bulan terakhir. 1·3

UNITY ANG ME NANG ANI •

RS Pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Divisi Pulmonologi



RS non Pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS Pendidikan

: Divisi Hematologi Onkologi Medik Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Radiologi, Radioterapi, Bedah/ toraks



RS non Pendidikan

: Bagian Radiologi, Bedah

REFERENSI 1.

Amin Z. Kanker paru. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW, editors. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid Ill Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010: Hal2254-62.

2.

Brarnbilla E, Travis WD, Colby TV et all. The new World Health Organization classification of lung tumours. Eur Respir J 2001; 18: 1059-1068. Diunduh dari http:/ /erj.ersjournals.corn/ content/18/6/1059.full.pdf+htrnl pada tanggal22 Juni 2012.

3.

Takahashi T, Sidransky D. Neoplasms of the Lungln : Mason: Murray & Nadel's Textbook of Respiratory Medicine, 4th ed. United States of America : Saunders .2005. chapter 42.

4.

Horn L. Neoplasms of the Lung.ln: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18th ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012.chapter 89.

5.

Am in Z. Kanker Paru. Dalam: Am in Z, Dahlan Z, Yuwono A (Eds). Panduan Tatalaksana/Prosedur Respirologi dan Penyakit Kritis Paru.

PENATALAKSANAAN Dl BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

PANDOAN PRAKTIK KLINIS Artritis Reumatoid .........................................,..___.. Artritis Gout Dan Hiperurisemia ...... ~ .............. . Artritis Septik ........................................,....... ,..... .

ARTRITIS REUMATOID

PENGERTIAN Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif dimana sendi merupakan target utama selain organ lain, sehingga mengakibatkan kerusakan dan deformitas sendi, bahkan disabilitas dan kematian. Walaupun etiologi yang sebenarnya belum dapat diketahui dengan pasti, ada beberapa faktor yang diperkirakan berperan dalam timbulnya penyakit ini seperti kompleks histokompatibilitas utama kelas II dan faktor infeksi seperti virus Epstein Barr (EBVJ.l PENDEKATAN DIAGNOSIS AnamnesisL 2 •

Radang sendi (merah, bengkak, nyeri) umumnya menyerang sendi-sendi kecil, lebih dari empat sendi (poliartikular) dan simetris.



Kaku pada pagi hari yang berlangsung lebih dari 1 jam atau membaik dengan beraktivitas



Terdapat gejala konstitusional seperti kelemahan, kelelahan, anoreksia, demam ringan

Pemeriksaan Fisik Dalam keadaan dini AR dapat bermanifestasi sebagai palindromic rheumatism yaitu timbulnya gejala monoartritis yang hilang timbul antara 3-5 hari dan diselingi masa remisi sempurna sebelum bermanifestasi sebagai AR yang khas. AR awal juga dapat bermanifestasi sebagai pauciarticular rheumatism yaitu gejala oligoartikuler yang melibatkan 4 persendian atau kurang. Kedua gambaran ini seringkali menyulitkan dalam menegakkan diagnosis AR dalam masa dini. 1

Panduan Praktik Klinis

Perhimpunan D~kter Spesialis Penyakit O~lam l~donesia

Tabel 1. Kelainan yang Ditemukan pada Pemeriksaan Fisik

12 •

Ekstra Artikular

Artil
• Tanda kardinal inftamasi pada sendi, sendi yang terkena umumnya adalah metakarpofalangeaL pergelangan tangan dan interfalang proksimal • Deformitas sendi (deformitas leher angsa, deformitas boutonniere, deformitas kunci piano, deviasi ulna, deformitas Z-thumb, artritis mutilans, hallux valgus)

• Nodul reumatoid • Skleritis, episkleritis • Kelainan pada pemeriksaan paru dan atau jantung • Splenomegali • Vaskulitis.

• Ankilosis tulang

Pemeriksaan Penunjang2 ·3



Darah perifer lengkap: anemia, trombositosis



Rheumatoid Factor (RF), anti-cyclic citrullinated peptide antibodies (ACPA/antiCCP janti-CMV)



Laju endap darah atau C-reactive protein (CRP) meningkat



Fungsi hati, fungsi ginjal



Analisis cairan sendi (peningkatan leukosit > 2.000 jmm3 ).



Pemeriksaan radiologi (foto polojsUSG Doppler): gambaran dini berupa pembengkakan jaringan lunak, diikuti oleh osteoporosis juxta-articular dan erosi pada bare area tulang.



Biopsi sinoviumjnodul reumatoid.

Tabel2. Kriteria Diagnosis Artritis Reumatoid berdasarkan ACR 2010 4

!Kriteiia.dibgnosis dip~r{~6'kb~lPd~apa.~iJo. d~[lg'~Jn ~!3ru'h~n·~siti
~£~~~~ii:~~1*'~i~~J~ltQ,~1~W:~~~;~~g~,·~~z~W~!i~""• A Keterlibatan sendi**

B. Serologi (minimall pemeriksaan untuk dimasukkan dalam klasifikasi)#

Satu sendi besar ••• 2 - 10 sendi besar 1 - 3 sendi kecil**** dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar 4 - 10 sendi kecil dengan atau tanpa keterlibatan sendi besar > 10 sendi , minimal satu sendi kecil RF negatif dan ACPA negatif RF positif lemah a tau ACPA positif lemah RF positif kuat atau ACPA positif kuat

0

2 3 5 0 2 3

C. Protein lase akut (minimal 1 CRP normal dan LED normal pemeriksaan untuk dimasukkan CRP abnormal atau LED abnormal dalam klasifikasi)##

0 1

D. Lama gejala###

0 1

< 6 minggu minggu

~6

Keterangan: • Walaupun skor pasien <6/1 0 tidak dianggap menderita artritis reumatoid, akan tela pi status mereka dopa! dinilai ulang dan kriteria dopa! dipenuhi secara kumulatif sepanjang waktu Kelerlibatan sendi merujuk pada adanya pembengkakan atau rasa nyeri sendi pada pemeriksaan yang dikonfirmasi dengan gambaran sinovitis pada pencitraan. Sendi interfalangeal distal, karpomelakarpofalangeal pertama dan metatarsofalangeal pertama tidak dianggap bermakna. Kategori sendi yang terlibat berdasarkan pada lokasi dan jumlah sendi yang terlibat dengan Sendi besar merujuk pada bahu, siku, paha, lulu! dan pergelangan kaki Sendi kecil merujuk pada sendi metakarpofalangeal, interfalangeal proksimal, metatarsofalangeal duo hingga lima, interfalangeal ibu jari, pergelangan Iangan dan sendi-sendi lidak spesifik seperli temporomandibular, akromioklavikular, sternoklavikular Nilai negatif merujuk pada nilai IU lebih kecil a tau soma dengan nilai bolas alas normal unluk laboratorium, positif lemah merujuk pada nilai IU lebih linggi dari nilai bolas alas normal namun ::; 3 kali bolas alas nilai normal, positif kuat merujuk pada nilai IU >3 kali bolas alas nilai normal. Apabila pemeriksaan faklor reumatoid hanya terdiri dari posilif dan negalif, maka nilai posilif dianggap sebagai posilif lemah. ACPA= anti citrulinated protein antibody " Nilai normal memakai patokan nilai laboratorium setempat " ' Durasi gejala adalah durasi pasien mengalami keluhan sinovitis yang dinilai secara klinis pada saat pemeriksaan *ACR: American College of Rheumatology

ACR juga menilai sensitivitas dan spesifisitas baik dari pemeriksaan fisik atau pemeriksaan penunjang guna mengarah pada diagnosis AR. label 3. Sensitivitas dan Spesifisitas Pemeriksaan 4

.....•~£ :.~~~~~. ~K~itiirr6~.~¢!: ; :·,~~:t'c.~,·~1iit~r~;'{t$~~~~w'!t~M~><~;

'''' i'c; , tf~~~~¥ffl~J~~~j(~f !./'

Kaku pagi hari

68

65

Artritis >3 tahun

80

43

Artritis sendi tangan

81

46

Artritis simetris

77

37

Nodul reumatoid

3

100

Faktor reumatoid

59

93

Perubahan radiologis

22

98

j

DIAGNOSIS BANDING Lupus eritematosus sistemik, gout, osteoartritis, spondiloartropati seronegatif, sindrom Sjogren 2•6

TATALAKSANA Nonfarmakologis

Edukasi, proteksi sendi pada stadium akut, foot orthotic/splint (jika perlu), terapi spa, latihan fisik (dynamic strength training) 30 me nit setiap latihan 2-3 kali seminggu dengan intensitas sedang, suplemen minyak ikan, suplemen asam lemak esensiaJ. 2.4

Farmakologis 1.2.6



Disease modifying anti rheumatic drugs (DMARD) konvensional: MTX,

hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomid, azatioprin, siklosporin • •

Agen biologik: infliksimab, etanersep, tocilizumab, golimumab, adalimumab Glukokortikoid



OAINS: non-selektif atau selektif COX-2

label 4. Dosis Obat untuk Penatalaksanaan Artritis Reumatoid {DMARD konvensional) •..~ . Nama

obcit .

6

Dosls .Obats

Metotreksat

Oral: 7.5-25 mg setiap minggu

Sulfasalazin

Oral: 500 mg setiap hari lalu naikkan sampai maksimal 3 g setiap hari.

Anti malaria

Pirimidin, synthesis inhibitors

Hidroksikloroquin

Oral: 400-600 mg/hari

Kloroquin sulfat

Oral 250 mg/hari

Leflunomide

Dosis: 20 mg/hari; jika tidak dapat mentoleransi. 10 mg/hari.

Azatioprin Alkylating agents

Oral: 50-100 mg/hari. sampai maksimal 2.5 mg/ kg/hari. Siklofosfamid

Oral: 50-100 mg setiap hari lalu naikkan sam poi maksimal 2.5 mg/kg/hari

Siklosporin

Oral 2.5-5 mg/kg/hari

Terapi Bedah

Dilakukan bila terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi yang ekstensif, nyeri persisten pada sinovitis yang terlokalisasi, keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat, kompresi saraf dan adanya ruptur tendon 1•2

KOMPLIKASI Anemia, komplikasi kardiak, gangguan mata, pembentukan fistula, peningkatan infeksi, deformitas sendi tangan, deformitas sendi lain, komplikasi pernapasan, nodul reumatoid, vaskulitis, komplikasi pleuroparenkimal primer dan sekunder, komplikasi akibat pengobatan. 6 Osteoporosis lebih sering terjadi pada penderita AR yang berkaitan dengan aktivitas penyakit AR dan pemakaian glukokortikoid, sehingga perlu terapi terhadap pencegahan osteoporosis dan patah tulang.

Artritis Reumatoid PROGNOSIS Kriteria remisi pada artritis reumatoid dapat menggunakan ACR/EULAR yaitu apabila pasien memenuhi seluruh kriteria berikut: 2 1. Jumlah sendi yang nyeri .$. 1 2. Jumlah sendi yang bengkak .$. 1 3. Nilai CRP .$. 1mg/dL 4. Penilaian global pasien .$.1 (dalam skala 0- 10) Sejumlah 10% pasien yang memenuhi kriteria AR akan mengalami remisi spontan dalam 6 bulan. Akan tetapi kebanyakan pasien akan mengalami penyakit yang persisten dan progresif. Tingkat kematian pada AR dua kali lebih besar dari populasi urn urn dengan penyakit jantung iskemik yang menjadi penyebab utama kematian terbanyak diikuti dengan infeksi. Median harapan hid up lebih pendek dengan rata-rata 7 tahun untuk lakilaki dan 3 tahun untuk perempuan dibandingkan populasi kontrolY UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi • RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan



RS non pendidikan

: Semua Sub-Bagian Di Lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Ortopedi, Departemen Rehabilitasi Medik : Bagian Ortopedi, Bagian Rehabilitasi Medik

REFERENSI 1.

Suarjana I. Artritis reumatoid. In: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. S'h ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI, 2009:2495-513

2.

Shah A, StClair E. Rheumatoid arthritis. In: Fauci A, Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 181h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012: 2738 - 52

3.

Mercier Lonnie R. Rheumatoid Arthritis. In: Ferri: Ferri's Clinical Advisor 2008, 1Oth ed. Mosby. 2008.

4.

Aletaha C, Neogi T, Silman A Funovits J, Fe/son 0, Bingham C, eta/. 2010 rheumatoid arthritis classification criteria. Arthritis & Rheumatism. 201 0;62(9): 2569- 81

5.

Beers MH, Berkow R, editors. Crystal-Induced Conditions. In: The Merck Manual of Diagnosis and Therapy 17th ed.

6.

USA: Merck Research Laboratories, 1999. p 460- 4.

7.

Hellmann D, Imboden J. Musculosceletal and immunologic disorders. In: McPhee S, Papadakis M, Rabow M, editors.

8.

Current medical diagnosis and treatment 2011. SO'h ed. California; The McGraw -Hill Education. 2010:779-840.

ARTRITIS GOUT DAN HIPERURISEMIA

PENGERTIAN Hiperurisemia adalah meningkatnya kadar asam urat darah diatas normal (pria >7 mgjdL, wanita >6 mg/dL) yang bisa disebabkan oleh peningkatan produksi asam urat, penurunan ekskresi as am urat pad aurin, atau gabungan keduanya. Hiperurisemia yang berkepanjangan dapat menyebabkan gout, namun tidak semua hiperurisemia menimbulkan patologi berupa gout. 1 Gout atau pirai adalah penyakit metabolik yang sering ditemukan pada laki-laki > 40 tahun dan perempuan pasca menopause, karena penumpukan kristal monosodium urat (MSU) pada jaringan akibat dari hiperurisemia. Biasanya ditandai dengan episode artritis akut dan kronis, pembentukan tofus, serta risiko untuk deposisi di interstitium ginjal (Nefropati) dan saluran kemih (nefrolitiasis). 1 Artritis gout adalah peradangan akut yang he bat pada jaringan sendi disebabkan oleh endapan kristal-monosodium urat dan mengakibatkan satu atau beberapa manifestasi klinik. 2•3 PENDEKATAN DIAGNOSIS Diagnosis Hiperurisemia Anamnesis

Perjalanan alamiah gout terdiri dari tiga periode yaitu: periode hiperurisemia tanpa gejala klinis, episode artritis gout akut diselingi interval tanpa gejala klinis, dan artritis gout kronis. Serangan artritis gout akut yang pertama paling sering mengenai tungkai bawah (80-90% kasus) umumnya pada sendi metatarsofalangeal I (MTP I) yang secara klasik disebut podagra, onsetnya tiba-tiba, sendi terkena mengalami eritema, hangat, bengkak dan nyeri tekan, serta biasanya disertai gejala sistemik, seperti demam, menggigil, dan malaise. 1•2 Pada beberapa pasien hanya mengalami satu kali episode serangan akut, namun pasien pada umumnya akan mengalami serangan artritis akut kedua dalam 6 bulan sampai dengan 2 tahun. Serangan akut artritis berikutnya dapat mengenai beberapa sendi, menyebar

./%rtriti~,@8Ht .·t~t~Q··P~Tp·~.~~fi$ierr-no··· ke tungkai atas terutama lengan dan tangan. Serangan akut artritis yang tidak terobati dengan baik akan mengakibatkan artritis gout kronis yang ditandai destruksi kronis beberapa sendi yang telah sering mengalami serangan akut, disertai inflamasi ringan pada sendi, deformitas sendi dan terdapattofi (kristal MSU dikelilingi sel mononuklear dan sel raksasa). artritis gout Kronis berkembang dalam 5 tahun dari onset pertama akut artritis gout pada sekitar 30% pasien yang tidak terobati dengan baik. 1•2 Anamnesis arthritis, perjalanan penyakit ditujukan untuk mencari adanya riwayat keluarga, penyakit lain sebagai penyebab sekunder hiperurisemia, riwayat minum minuman beralkohol, obat-obatan tertentu. 1 Pemeriksaan Fisik

Keadaan sendi harus dievaluasi apakah terdapat tanda-tanda inflamasi, seperti eritema, hangat, bengkak, dan nyeri tekan, serta tanda deformitas sendi dan tofi (tanda khas gout). Sendi yang terkena biasanya pada tungkai bawah, umumnya pada sendi metatarsofalangeal I (MTP I). Faktor lain perlu juga dicari kelainan atau penyakit sekunder seperti tanda-tanda anemia, pembesaran organ limfoid, keadaan kardiovaskular, tekanan darah, tanda kelainan ginjal. 1 Pemeriksaan Penunjang 1· 3



Pemeriksaan darah rutin, asam urat, kreatinin



Ekskresi asam urat urin 24 jam



Bersihan kreatinin



Radiologis sendi (jika perlu)

Diagnosis Artritis Gout

Berdasarkan Kriteria ACR (American College Rheumatology), diagnosis ditegakkan bila salah satu dari poin (A), (B) dan (C) berikut terpenuhi. 4•5 A.

Didapatkan kristal MSU di dalam cairan sendi, atau

B. Didapatkan kristal MSU pada tofus, atau C. Didapatkan 6 dari 12 kriteria berikut:



Inflamasi maksimal pada hari pertama



Serangan artritis akut lebih dari 1 kali



Serangan artritis monoartikular



Sendi yang terkena berwarna kemerahan



Pembengkakan dan sakit pada sendi metatarsofalangeal (MTP) I



Serangan pada sendi MTP unilateral



Serangan pada sendi tarsal unilateral



Tofus (atau suspek tofus)



Hiperurisemia

• •

Pembengkakan sendi asimetris (radiologis) Kista subkortikal tanpa erosi (radiologis)



Kultur bakteri cairan sendi negatif

DIAGNOSIS BANDING 4 • Pseudogout (penimbunan kristal kalsium piro fosfat dehydrogenasefCPPD) • Artritis septik • Artritis reumatoid •

Palindromic rheumatism

label 1. Perbandingan Gout dan Pseudogout: 4

rt~r~~~ri~~~~~~~~ll~~~~~~~~~~~~~~~~~m~~f~f;~~~~~!\t~i9»Kt~JtDltf&~r~E~~l Rasio laki-laki: perempuan Kelompok Usia Asam urat darah Sendi yang terlibat

Keterlibatan sendi MTP digiti I (podagra)

7:1

1:1.5

Laki-laki >40 tahun Perempuan pascamenopause

Lansia

Meningkat

Normal

metatarsophalangeal (MTP) digiti L insteps, lutut, pergelangan tangan, jari, bursa olekranon.

Lutut, pergelangan tangan, pergelangan kaki

Sering

Jarang

Ada

Jarang, deposit mirip tofus

Temuan radiologis

Erosi dengan tepi (Erosions with overhanging edges)

Chondrocalcinosis

Krista I

Berbentuk jarum, birefringence positif kuat

Berbentuk rhomboid, birefringence positif lemah

Tofus

TATALAKSANA Prinsip pengelolaan hiperurisemia maupun gout, yaitu: 1. Non-farmakologis: 1•2•6 • Penyuluhan diet rendah purin (hindari jerohan, seafood) • Hidrasi yang cukup • Penurunan berat badan (target 88 ideal)



Menghindari konsumsi alkohol dan obat-obatan yang menaikkan asam urat darah (etambutol, pirazinamid, siklosporin, asetosal, tiazid)

• Olahraga ringan 2. Farmakologis: 2 •

Pengobatan fase akut: Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) kerja cepat, baikyang non selektif maupun yang selektif. Kortikosteroid (glukokortikoid) per oral dosis rendah, parenteral, atau injeksi lokal lA (seperti triamsinolon 5-10 mg untuk sendi kecil atau 20-40 mg untuk sendi besar) terutama bila ada kontraindikasi dari OAINS. Kolkisin dapat menjadi terapi efektif namun efeknya lebih lambat dibandingkan OAINS dan kortikosteroid. Manfaat kolkisin lebih nyata untuk pencegahan serangan akut, terutama pada awal pemberian obat antihiperurisemik, dengan dosis 0,5-1 mgjhari. Obat antihiperurisemik seperti alopurinol tidak boleh diberikan pada fase akut kecuali pada pasien yang sudah rutin mengkonsumsinya.



Obat antihiperurisemik: a. Obat penghambatxantin oksidase (untuk tipe produksi berlebih), misalnya allopurinol b. Obat urikosurik (untuk tipe ekskresi rendah), misal probenesid,

KOMPLIKASI Tofus, deformitas sendi, nefropati gout, gaga! ginjal, batu saluran kencing ( obstruksi danjatau infeksi). PROGNOSIS Angka kekambuhan gout akut: 60% dalam satu tahun pertama; 80 % dalam 2 tahun; 90% dalam 5 tahun. Perjalanan penyakit gout akan lebih buruk bila: onset gejala muncul pada usia muda ( <30 tahun), serangan sering berulang, kadar asam urat darah tinggi (tidak terkontrol), dan mengenai banyak sendi. Sekitar 20 o/o pasien gout akan timbul urolitiasis dengan batu asam urat atau batu kalsium oksalat. 7 UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi • RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT • RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam-Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Bedah Urologi, Departemen Ortopedi



RS non pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Bedah/ Ortopedi

REFERENSI 1.

Tjokorda RP. Hiperurisemia. Dalam: Sudoyo AW, et al editor. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. Him 1213-7.

2.

Edward ST. Artritis Pirai. Dalam: Sudoyo AW, et al editor. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam jilid II edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. Him 1218-20.

3.

Chen Lon X. Primary Immune Deficiency Diseases. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of Internal Medicine 181h edition.United States of Arnerica:Mcgraw Hill. 2012

4.

Schlesinger N. Diagnosis of Gout: Clinical. Laboratory, and Radiologic Findings. Arn JManagCare. 2005 Nov; 11 ( 15 suppl) :s443-50.http://www.ajrnc.com/publications/supplernent/2005/2005-11-vol 11-n 15Suppi/Nov05-2217pS443-S450

5.

Hadi S. Garnbaran Klinik dan Diagnosisi Gout. Dalarn:Setiyohadi B, Kasjrnir Yl. editor. Kurnpulan Makalah Temu llmiah Reumatologi 2010. Hlrn 94- 7.

6.

Karapang K. Penatalaksanaan Artritis Gout. Dalam:Setiyohadi B, Kasjrnir Yl, editor. Kumpulan Makalah Temu llrniah Reurnatologi 2011. Hlrn 17-21.

7.

Thompson AE. Tarascon Pocket Rheumatologica, 4th ed. Massachusetts: Jones and Bartlett Publishers. 2010, p 39-42.

ARTRITIS SEPTIK

PENGERTIAN Artritis septik adalah infeksi pada sendi, yang umumnya disebabkan oleh bakteri gonokokal maupun nongonokokal. Penyakit ini disebut juga artritis bakterialis, artritis supuratif, atau artritis infeksiosa. Penyebab nongonokokal tersering adalah Staphylococcus aureus, diikuti oleh Streptococcus sp. Selain itu, Escherichia coli dan Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri gram negatif paling sering ditemukan pada de was a. Artritis septik yang disebabkan Neisseria gonorrhoeae merupakan entitas yang terpisah dari disseminated gonococcal infection .Faktor risiko artritis septik an tara lain adalah sebagai berikut: 1•2 • Prostesis sendi lutut dan sendi panggul disertai infeksi kulit • Infeksi kulit dengan prostesis • Prostesis panggul dan lutut tanpa infeksi lutut tanpa infeksi kulit • Umur >80 tahun • Diabetes Melitus • Artritis reumatoid yang mendapat imunosupresif • Tindakan bedah persendian atau prosedur injeksi intra-artikular Lupus eritematosus sistemik (merupakan faktor risiko ke-5 di Filipina) PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 3



Keluhan Utama: nyeri sendi akut, nyeri tekan, hangat, gerakan terbatas, gangguan

fungsi. Pada 90% pasien umumnya hanya terkena satu sendi, yaitu sendi lutut. Lokasi lainnya dapat juga terjadi pada sendi panggul, bahu, pergelangan tangan atau siku meskipun lebih jarang. Selain itu, keluhan demam ditemukan pada rentang suhu tubuh 38.3°-38.9°C (101 °-102°F), namun dapat pula ditemukan suhu tubuh yang lebih tinggi pad a keadaan, seperti: artritis reumatoid, insufisiensi •

renal atau hepatik, dan kondisi yang membutuhkan terapi imunosupresif. Riwayat Penyakit Dahulu: prostesis sendi, injeksi intra-artikular, trauma sendi.

Panduan Praktik Klinis

Perhimpunan ookter Spe~iali,s Penyakit Dalam lridonesia

Pemeriksaan Fisik 2

Demam pada sepertiga pasien, pemeriksaan sendi yang terlibat: hangat, merah dan bengkak. Sebagian besar kasus mengenai 1 sendi (80%-90%). Pemeriksaan Penunjang

1. Evaluasi cairan Sinovial: 1•3



Dapat ditemukan cairan sinovial yang keruh, serosanguin, atau purulen.



Jumlah sel dan diferensiasi



Jumlah selleukosit, yang berkisar 100,000/L (50,000-250,000/L), dengan >90% neutrofil, merupakan karakterisitik infeksi bakteri akut. Pada Crystal-induced, reumatoid, dan inflamasi artritis lainnya biasanya <30,000-50,000 seljL. Sedangkan, hitung sel 10,000-30,000/L, 50-70% neutrofil dan sisanya limfosit, merupakan gambaran yang paling umum dari infeksi mikobakterial dan infeksi fungal.



Pewarnaan gram dan kultur untuk antibiotik



Organisme yang ditemukan pada infeksi dengan S. au reus dan streptokokus hampir mendekati tiga per empat kasus dan sisa 30-50% infeksi disebabkan oleh gramnegatifbakteri lain. Kultur cairan sinovial positifpada >90% kasus.



Mikroskopi polarisasi untuk mengeksklusi kristal artritis.

2. Pemeriksaan darah: Kultur darah bisa positifwalaupun kultur cairan sinovial negatif. Jumlah sel darah putih dan diferensiasinya, protein c reaktif, laju endap darah juga dapat membantu monitoring terapi. 1•3 3. Gambaran rontgen Pada orang dewasa pencitraan tidak dapat digunakan sebagai alat diagnostik artritis septik, tetapi dapat membantu sebagai dasar penilaian kerusakan sendi. Rontgen palos dapat digunakan untuk melihat jaringan lunak yang membengkak, pelebaran ruang sendi, dan pergeseran jaringan oleh kapsul yang mengalami distensi. Gambaran penyempitan ruang sendi dan erosi tulang menunjukkan bahwa telah terjadi infeksi lanjut dan prognosis yang buruk. Ultrasonografi dapat digunakan untuk mendeteksi adanya efusi sendi dan bisa sebagai pemandu pada tindakan aspirasi. CT scan dan MRI dapat digunakan untuk membantu menilai luasnya infeksF·3•5 DIAGNOSIS BANDING Selulitis, bursitis, osteomielitis akut, artritis reumatoid, still disease, gout dan pseudogout

TATALAKSANA A. Aspirasi sendi yang adekuat 1•2 B. Pengobatan empiris dengan obat antibiotik intravena dapat dimulai setelah sam pel kultur dan jenis gram didapatkan 1•3.4·5 1. Bila pada hasil pemeriksaan gram didapatkan gram positif maka antibiotik empirik yang dapat diberikan adalah Oxacillin atau Cefazolin 2. Bila pada hasil pemeriksaan gram didapatkan gram negatif maka antibiotik empirik yang dapat diberikan adalah sefalosporin generasi ketiga seperti ceftriaxon atau cefotaxim 3. Antibiotik definitifintravena diberikan sesuai dengan hasil kultur selama dua minggu dan dilanjutkan dengan antibiotik oral selama empat minggu. C. Latihan sendi segera setelah infeksi teratasi untuk mencegah deformitas sendi KOMPLIKASI Kerusakan kartilago atau tulang, osteomielitis, syok septik, gagal organ PROGNOSIS Angka mortalitas rawat inap mencapai 7-15% meski dengan penggunaan antibiotik. Pacta usia tua, angka kematian ditemukan lebih tinggi. Angka mortalitas pacta pasien dengan sepsis poliartikular dapat mencapai 30%. Dari 335 pasien yang datang ke rumah sakit dengan artritis septik, ditemukan data angka kematian sebagai berikut: 6 0.7% dari 87 pasien dengan umur < 60 tahun 4.8% dari 206 pasien dengan umur 60-79 tahun 9.5% dari 42 pasien dengan umur > 80 tahun UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi • RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan

: Divisi Tropik Infeksi, Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Departemen Ortopedi, Departemen Rehabilitasi Medik, Departemen Patologi Klinik/Departemen Mikrobiologi Klinik



RS non pendidikan

: Bagian Ortopedi, Bagian Rehabilitasi Medik, Departemen Patologi Klinik/Departemen Mikrobiologi Klinik

REFERENSI

:

822

1.

Fischer A.Primary Immune Deficiency Diseases. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of Internal Medicine 18'h edition.United States of America:Mcgraw Hill. 2012

2.

Setiyohadi B, Tambunan A. lnfeksi Tulang dan Sendi. dalam: Sudoyo,Setiyohadi,Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta. lnterna Publishing. 2011

3.

McPhee, Current Medical Diagnosis and Treatment 2011. 50'h ed. United State of American. 201

4.

Kelley. Septic arthritis. 1701-45.

5.

Primer 271-6.

6.

Gavet F, et al. Septic arthritis in patients aged 80 and older: a comparison with younger adults. J Am Geriatr Soc 2005 Ju1;53(7): 121 0). Diunduh dari http://www .ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/161 08940 pada tanggal3 Mei 2012.

FIBROMIALGIA

PENGERTIAN Sindrom kronik yang ditandai dengan nyeri otot dan sendi yang menyebar luas. Sering terkait dengan kelelahan, kesulitan tidur; gangguan kognitif, ansietas, dan depresU· 3

PENDEKATAN DIAGNOSIS Diagnosis fibromialgia ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis American College of Rheumatology (ACR) tahun 2010 (tabel1). 3 Tabell. Kriteria Diagnosis Berdasarkan ACR 2010:3 Pasien memenuhi kritena diagnosis jika 3 kondisi berikut dipenuhi: I. Widespread pain index (WPI) "?!.7 dan skor skala symptom severity (SS) "?!.5 atau WPI "?!.3-6 dan skor skala ss "?!.9 2. Gejala telah ada selama minimal 3 bulan 3. Pasien tidak memiliki penyakit lain yang dapat menjelaskan nyeri yang dialami Skor

WPI: perhatikan daerah-daerah di mana pasien mengalami nyeri selama seminggu terakhir. Pada berapa banyak daerah pasien mengalami nyeri? Skor antara 0 dan 19 Punggung atas Bahu, kiri Panggul (bokong. trokanter), kiri Rahang. kiri Bahu, kanan Panggul {bokong, trokanter). kanan Rahang. kanan Punggung bawah Leher Lengan atas, kin Dada Tungkai atas, kin Lengan atas, kanan Tungkai atas, kanan Abdomen Lengan bawah, kiri Tungkai bawah. kiri Lengan bawah, kanan Tungkai bawah. kanan 2. Skor skala SS · a. Kelelahan b. Tidak segar pada waktu bangun tidur c. Gejala kognitif Untuk masing-masing dan gejala di atas. tentukan tingkat keparahan dalam satu minggu terakhir menggunakan skala benkut: 0 = tidak ada masalah 1 = masalah minimal atau nngan, biasanya ringan atau intermiten 2 = masalah sedang. sering muncul dan atau pada tingkat sedang 3 = masalah berat: pervasif, berkesinambungan dan mengganggu kehidupan Mempertimbangkan gejala somatik secara umum. tentukan apakah pasien memiliki: 0 =tidak ada gejala 1 =sedikit gejala 2 = gejala dalam jumlah sedang 3 =banyak gejala· Skor skala SS adalah jumlah dari keparahan tiga gejala (kelelahan. tidak segar pada waktu bangun tidur. gejala kognitif) ditambah keparahan gejala somatik secara umum. Skor akhir antara 0 dan 12 1.

*gejala somatik yang dapat dipertimbangkan: nyeri otot, irritable bowel syndrome. kelelahan, masalah dalam bepikir atau mengingat, kelemahan otot, saki! kepala, kram peru!, baal/ kesemutan. pusing. insomnia, depresi, konstipasi, nyeri peru! bagian alas, mual, gugup. nyeri dada, pandangan kabur. demam, diare, mulut kering, gala I, mengi. fenomena Raynaud 's, berdering di telinga, muntah, rasa terbakar di dada, ulkus di mulut, hilangnya I perubahan pengecapan. kejang, mala kering, sesak napas, hilangnya nafsu makan, ruam, sensitif terhadap matahari. kesulitan mendengar, mudah memar, ram but rontok, urinasi sering, dan spasme kandung kemih

PanduanPraklik·Kiinis R~rh_linpu~·a_n o~_~er ~pfsf~lis Pe~Yakit:~~!~m,ln-d~?~~a ·.,

DIAGNOSIS BANDING1.2 Sindrom nyeri regional miofasial, miopati karena kelainan endokrin (hipotiroid, hipertiroid, hiperparatiroid, insufisiensi adrenal), miopati metabolik, neurosis, metastasis karsinoma, sindrom lelah kronik. TATALAKSANA • Nonfarmakologis 1·2·4 Edukasi, olahraga aerobik, pemanasan, cognitive-behaviorial therapy, terapi kolam panas, relaksasi, fisioterapi. • Farmakologis 1·2·4 1. Antinyeri: tramadol, parasetamol, opioid lemah lainnya. 2. Antidepresan: amitriptilin, fluoxetin, duloxetin 3. Antikonvulsan: pregabalin. gabapentin KOMPLIKASI Depresi, penurunan kualitas hidup PROGNOSIS Pada usia muda dengan gejala ringan, prognosis lebih baik. Prognosis lebih buruk pada pasien dengan ansietas atau depresi. Kebanyakan pasien terus mengalami nyeri kronik dan kelelahan namun sebagian pasien masih dapat bekerja penuh dan hanya sedikit mengganggu kehidupan mereka. 2.4 UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Reumatologi • RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan •

RS non pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Psikosomatik, Departemen Rehabilitasi Medik, Departemen Psikiatri : Departemen Rehabilitasi Medik, Departemen Psikiatri

REFERENSI 1.

Sjah OKM. Fibromialgia dan nyeri miofasial. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; lnternaPublishing; 2009. Hal. 2709-13

2.

Crofford LJ. Fibromyalgia. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL Loscalzo J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies; 2012. Hal. 2849-51

3.

Wolfe F, Clauw DJ, Fitzcharles MA Goldenberg DL Katz RS, Mease P, et al. The american college of rheumatology preliminary diagnostic criteria for fibromyalgia and measurement of symptom severity. Arthritis Care and Research 201 0; 62 (5): 600-610.

4.

Carville SF, Arendt-Nielsen S, Bliddal H, Blotrnan F, Branco JC, Buskilla D. Eular evidence based recommendations for the management of fibromyalgia syndrome. Ann Rheum Dis. 2007;67(4):536-41.

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

PENGERTIAN Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit reumatik autoimun yang ditandai adanya inflamasi sistemik, yang dapat mengenai beberapa organ a tau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan. Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti. Diduga melibatkan interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan lingkungan. 1

DIAGNOSIS Diagnosis SLE mengacu pada kriteria dariAmerican College ofRheumatology (ACR) yang direvisi pada tahun 1982 dan kriteria Systemic Lupus International

Collaborating Clinics (SLICC) 2012. Berdasarkan kriteria ACR, diagnosis SLE

dapat ditegakkan jika memenuhi 4 dari 11 kriteria terse but yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu (Tabel 1).1.2 Berdasarkan kriteria SLICC 2012, diagnosis SLE dapat ditegakkan jika memenuhi 4 dari kriteria klinis dan imunologis (Tabel 2), atau memiliki biopsi terbukti nefritis kompatibel dengan SLE dengan adanya ANA (antinuclear antibody) dan antibodi anti-dsDNA (anti-doublestranded DNA). 3

Ruam malar

Eritema menetap, datar, atau menonjoL pada malar eminensia tanpa melibatkan lipat nasolabial.

Ruam diskoid

Bercak eritema menonjol dengan gambaran keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLE lanjut qapqt ditemukan parut atrofik.

Fotosensitivitas

Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari. baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa.

Ulkus mulut

Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa.

Artritis non-erosif

Melibatkan duo atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyerL bengkak, dan efusi.

Pleuritis atau perikarditis

Pleuritis-riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura. A tau Perikarditis-bukti rekaman EKG atau pericardia/ friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial.

Gangguan renal

a. Proteinuria menetap >0,5 gram per hari atau >3+ a tau b. Cetakan selular-dapat eritrosit, hemoglobin, granular, tabular, atau c. gabungan.

Gangguan neurologi

Kejang yang tidak disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit) a tau Psikosis yang tidak disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik (uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit).

Gangguan hematologik

a. Anemia hemolitik dengan retikulosis a tau b. Leukopenia-<4000/mm 3 pada dua kali pemeriksaan atau c. Limfopenia-<1500/mm 3 pad a duo kali pemeriksaan a tau d. Trombositopenia-<100.000/mm 3 yang tidak disebabkan oleh obatobatan.

Gangguan imunologik

a. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal a tau b. Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm a tau c. Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas: 1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik lgG atau lgM, 2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metode stand or, atau 3) hasil tes positif palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponema!.

Antibodi antinuklear Titer abnormal dari dntibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan (ANA) positif imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa keterlibatan obat.

Pemeriksaan Penunjang 2



Darah perifer lengkap: Hemoglobin, Leukosit, Trombosit, Hematokrit, LED



Ureum, kreatinin, fungsi hati dan profillipid



Urinalisis



ANA, Anti dsDNA



Foto toraks



C3 dan C4 (untuk menilai aktifitas penyakit)

Pemeriksaan berikut dilakukan jika ada indikasi: •

Protein urin kuantitatif 24 jam



Profil ANA: Anti Sm, Anti-RojSS-A, anti La/SS-B dan anti-RNP



antiphospholipid antibodies, lupus anticoagulant, anticardiolipin, anti-{32glycoprotein lbila ada kecurigaan sindroma anti-fosfolipid



Coomb test, bila ada kecurigaaan AIHA



EKG, ekokardiografi



Biopsi kulit

Tabel2. Kriteria Diagnosis Lupus Eritematosus Sistemik berdasarkan SLICC 2012*3 A.

Kriteria klinis: I. Lupus kutaneus akut: Ruam malar (kecuali malar diskoid) Lupus bulosa Nekrolisis epidermal toksik Ruam makulopapular Ruam fotosensitivitas tanpa adanya dermatomiositis ATAU lupus kutaneus subakut (nonindurated psoriasiform dan/atau lesi anular polisiklik yang hilang tanpa jaringan parut, walaupun terkadang timbul pigmentasi abnormal setelah inflamasi atau telangiektasis. 2. Lupus kutaneus kronis: Ruam discoid klasik Terlokalisir (diatas leher) Meyeluruh (diatas dan dibawah leher) Lupus hipertropik (veruka) Lupus panikulitis (profundus) Lupus mucosal Lupus eritematosus tumidus Lupus chilblain Lupus discoid bersamaan dengan linchen planus 3. Ulkus mulut Langit-langit Bukal Lidah ATAU ulkus nasal tanpa adanya penyebab lain, seperti vaskulitis, infeksi virus herpes, penyakit Behcet, inflammatory _bowel disease, artritis reaktif, dan makanan asam. 4. Alopesia tanpa jaringan parut (penipisan yang menyeluruh, atau ram but rapuh dengan kerusakan yang jelas) tanpa adanya penyebab lain, seperti a/opesia areata, obat-obatan, deifisiensi besi, dan alopesia androgenik 5. Sinovitis yang melibatkan 2 sendi/lebih ditandai dengan adanya pembengkakan atau efusi ATAU nyeri pada 2 sendi/lebih dan kekakuan pagi setidaknya selama 30 menit 6. Serositis Pleuritis tipikallebih dari 1 hari ATAU efusi pleura ATAU pleural rub Nyeri perikardial tipikallebih dari 1 hari ATAU efusi pericardium ATAU pericardia/ rub ATAU perikarditis pada EKG tanpa adanya penyebab lain, seperti infeksi, uremia, dan Dressler's pericarditis 7. Ginjal Rasio protein kreatinin urin (atau protein urin 24 jam) menunjukkan .SOOmg protein/24 jam ATAU cast eritrosit

:·,.,.

8.

9. 10.

11.

B.

Neurologi Kejang Psikosis Mononeuritis multiplex tanpa adanya penyebab lain, seperti vaskulitis primer Mielitis Neuropati perifer atau kranial tanpa adnaya penyebab lain, seperti vaskulitis primer, infeksi, dan DM Status konfusional akut tanpa adanya penyebab lain, seperti toksik/metabo/ic, uremia, obat-obatan Anemia hemolitik Leukopenia {<4.000/mm3 ) setidaknya sekali tanpa adanya penyebab lain, seperti sindrom Felty, obat-obatan, dan hipertensi portal ATAU limfopenia {
Kriterla lmunologis: Level ANA yang meningkat melebihi batas atas normal 2. Level antibody anti-dsDNA yang meningkat melebihi batas atas normal (atau 2x batas atas normal bila pemeriksaan dilakukan dengan ELISA) 3. Anti-Sm: adanya antibodi terhadap antigen nuklir Sm 4. Adanya antibody antifosfolipid yang ditentukan dengan: Tes lupus antikoagulan positif Pemeriksaan RPR (rapid plasma regain) yang positif palsu Titer antibodi antikardiolipin {lgA lgM, atau lgG) yang sedang atau tinggi Anti-[)2-glikoprotein I {lgA lgM, atau lgG) positif 5. Kadar komplemen yang rendah Rendah C3 Rendah C4 Rendah CHSO 6. Tes Coombs langsung tanpa adanya anemia hemolitik I.

Keterangan: 'Kriteria SUCC bersifal kumulalif dan lidak horus timbul pada waklu yang bersamaan. SLICC: Systemic Lupus International Collaborating Clinics; ANA: antinuclear antibody; anti-dsDNA: anti-double-stranded DNA: ELISA: enzyme-linked immunosorbent assay.

DIAGNOSIS BANDING3

Undifferentiated connective tissue disease (UCTD), artritis reumatoid, sindrom

vaskulitis, sindrom sjogren primer, sindrom anti-fosfolipid primer, fibromyalgia, lupus imbas obat. Derajat Berat Ringannya Penyakit LES

Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengelolaan LES, terutama menyangkut obat yang akan diberikan, berapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan LES.

Penyakit LES dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa. •

Kriteria untuk dikatakan LES ringan adalah: 3 1. Secara klinis tenang 2. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa 3. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit. 4. Tidak ditemukan tanda efek sam ping atau toksisitas pengobatan



Contoh LES dengan manifestasi artritisjatralgia dan kulit. Penyakit LES dengan tingkat keparahan sedang apabila ditemukan. 3 1. Nefritis ringan sampai sedang (Lupus nefritis kelas I dan II)

2. Trombositopenia (trombosit 20-50x10 3 jmm3) •

3. Serositis mayor Penyakit LES berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu 3 : 1. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis,

tamponade jantung, hipertensi maligna. 2. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru, fibrosis interstisial, shrinking lung. 3. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika. 4. Ginjal: nefritis persisten, RPGN (rapidly progressive glomerulo nephritis), sindroma nefrotik. 5. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister). 6. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi. 7. Otot: miositis. 8. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm 3 ), 3

trombositopenia <20.000/mm, purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri. 9. Konstitusional: demam tinggi yang persisten tanpa bukti infeksi.

Penilaian Aktifitas Penyakit LES Perjalanan penyakit LES yang ditandai dengan eksaserbasi dan remisi, memerlukan pemantauan yang ketat akan aktifitas penyakitnya. Untuk itu dapat digunakan berbagai indeks aktifitas penyakit seperti SLEDAI, MEX-SLEDAI, SLAM, BILAG Score, LAM-6 dsb. Dianjurkan untuk menggunakan MEX-SLEDAI atau SLEDAI. MEX-SLEDAI lebih

830

·

~·-··Q·~•.~••ws,. _gbiff,£Z)cy1bJr9·~~·~'\:si'st$t¥ti·l<.·. muctah ctiterapkan pacta pusat kesehatan primer yang jauh ctari tersectianya fasilitas laboratorium canggih, ctengan cara sebagai berikut:

4

Masukkan bobot MEX SLEDAI hila terctapat gambaran cteskripsi pacta saat pemeriksaan a tau ctalam 10 hari ini. BOBO'r

DESKRIPSI

8

Gangguan neurologis

6

4 3 3

2 2

2

DEFINI~I.

• Psikosa.Gangguan kemampuan melaksanakan aktifitas fungsi normal dikarenakan gangguan persepsi realitos. Termasuk: halusinasi, inkoheren, kehilangan berasosiasi. isi pikiran yang dangkal, berfikir yang tidak log is, bizzare,disorganisasi atau bertingkah laku kataton. • Eksklusi:uremia dan pemakaian obat. • CVA (Cerebrovascular accident): Sindrom baru. Eksklusi arteriosklerosis. • Kejang: Onset baru, eksklusi metabolik, infeksi. atau pemakaian obat. • Sindrom otak organik: Keadaan berubahnya fungsi mental yang ditandai dengan gangguan orientasi, memori atau fungsi intelektuallainnya dengan onset yang cepat, gambaran klinis yang berfluktuasi. Seperti: a) kesadaran yang berkabut dengan berkurangnya kapasitas untuk memusatkan pikiran dan ketidak mampuan memberikan perhatian terhadap lingkungan, disertai dengan sedikitnya 2 dari b) gangguan persepsi; berbicara melantur; insomnia atau perasaan mengantuk sepanjang hari; meningkat atau menurunnya aktifitas psikomotor. Eksklusi penyebab metabolik, infeksi atau penggunaan obat. • Mononeuritis: Defisit sensorik atau motorik yang baru disatu atau lebih saraf kranial atau perifer. • Myelitis: Paraplegia dan/atau gangguan mengontrol BAK/BAB dengan onset yang baru. Eksklusi penyebab lainnya Gangguan ginjal • Caste, Heme granular atau sel darah merah. • Haematuria. >5 /lpb. Eksklusi penyebab lainnya (batu/infeksi) • Proteinuria. Onset baru, >O.Sg/1 pad a random spesimen. • Peningkatan kreatinine (>5 mg/dl) • Ulserasi, gangren, nodul pada jari yang lunak, infark periungual, splinter Vasculitis haemorrhages. Data biopsi atau angiogram dari vaskulitis. • Hb3%. Hemolisis Trombositopeni • Trombosit: < 100.000. bukan disebabkan oleh obat Miositis • Nyeri dan lemahnya otot-otot proksimal, yang dihubungkan dengan peningkatan CPK Artritis • Pembengkakan atau efusi lebih dari 2 sendi. • Ruam malar. Onset baru atau malar erithema yang menonjol. Gangguan Mucokutaneous • Mucous ulcers. Oral atau nasopharyngeal ulserasi dengan onset baru atau berulang. • Abnormal Alopenia. Kehilangan sebagaian atau seluruh rambut atau mudahnya rambut rontok. • Pleuritis. Terdapatnya nyeri pleura atau pleural rub atau efusi pleura Serositis pada pemeriksaan fisik. • Perikarditis. Terdapatnya ny~ri peric:arc;lipl qtqu terdengarnya rub. • Peritonitis. Terdapatnya nyeri abdominal difus dengan rebound tenderness (Eksklusi penyakit intra-abdominal). Demam • Demam >38° C sesudah eksklusi infeksi. Fatigue • Fatigue yang tidak dapat dijelaskan • Sel darah putih < 4000/mrn 3 , bukan akibat obat Leukopenia Limfopeni • Limfosit < 1200.mrn3 , bukan akibat obat. TOTAL'SKOR · MEX~SfEDAI.;

.~.~.-::.-................. ::-

,

PENGELOLAAN 1•5•6 Pengelolaan pasien SLE harus dilakukan secara komprehensif dengan memperhatikan berbagai faktor seperti jenis organ yang terlibat dan derajat berat ringannya, aktifitas penyakit, komorbiditas, dan komplikasi. Pengelolaan ini terdiri dari: 1. Edukasi dan konseling: penjelasan tentang penyakit Lupus, perjalanan penyakit, program pengobatan yang direncanakan, komplikasi dan perlunya upaya pencegahan termasuk menghindari paparan sinar matahari (ultraviolet) 2. Rehabilitasi: istirahat, terapi fisik, terapi dengan modalitas, ortosis 3. Medikamentosa berdasarkan keterlibatan organ dan derajat aktifitas penyakit: SLE ringan: parasetamol, OAINS, kortikosteroid topikal, klorokuin, kortikosteroid oral dosis rendah, tabir surya SLE sedang: kortikosteroid dosis sedang-tinggi, beberapa imunosupresan seperti azatioprin dan mikofenolat mofetil (MMF) SLE berat atau mengancam nyawa: kortikosteroid pulse dose, siklofosfamid Terapi lain yang dapat digunakan pada kondisi respons steroid yang tidak adekuat atau diperlukan steroid sparing agent antara lain: MMF, siklosporin, azatioprin, metotreksat, klorokuin, rituximab. 2 KOMPLIKASI Anemia hemolitik, trombosis, lupus serebral, nefritis lupus, infeksi sekunder.1.2 PROGNOSIS Angka harapan hidup pasien dengan SLE di Amerika Serikat, Kanada, Eropa, dan Cina sekitar 95% dalam 5 tahun, 90% dalam 10 tahun, 78% dalam 20 tahun. Ras Afrika-Amerika dan Hispanik-Amerika keturunan mestizo mempunyai prognosis lebih buruk daripada ras kaukasia. Prognosis di negara berkembang lebih buruk daripada negara maju yaitu dengan angka kematian SO% dalam 10 tahun; seringkali berkaitan dengan saat pertama kali terdiagnosis, an tara lain: pasien dengan nilai kreatinin serum >124 moljL atau >1.4 mgjdL, hipertensi, sindroma nefrotik (ekskresi protein urin >2.6 g/24 jam), anemia (hemoglobin <124 g/L atau <12.4 gjdL), hipoalbumin, jenis kelamin laki-laki, dan ras (Afrika-Amerika dan Hispanik-Amerika keturunan mestizo). Disabilitas pada pasien SLE karena kelelahan kronis, artritis, nyeri, adanya penyakit ginjal. Remisi terjadi pada 25% kasus selama hanya beberapa tahun. Kematian pada dekade pertama karena penyakit sistemik, gagal ginjal, tromboemboli, dan infeksV

.·;;c;~f~~j~ite rTIQt~sV.~ ~$J~f:.E UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Reumatologi



RS non pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Alergi Imunologi, Divisi Ginjal Hipertensi, Divisi Pulmonologi, Divisi Hematologi dan Departemen Ilmu Penyakit Kulit-Kelamin



RS non pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Kulit-Kelamin

REFERENSI 1.

lsbagio H, AI bar Z, Kasjmir YL Setiyohadi B. Lupus Eritematosus Sistemik. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jakarta: lnterna Publishing; 2009.p. 2565-77.

2.

Hahn BH. Systemic Lupus Erythematosus. ln:Longo DL Kasper DL Jameson JL Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J. Harrisons Principles of Internal Medicine 18'h ed. USA: The McGraw Hill companies; 2012.p.2724-35

3.

Petri M, Orbai AM, Alarcon GS, et al. Derivation and validation of the systemic lupus international collaborating clinics classification criteria for systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum. 2012;64(8):2677-86.

4.

American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on systemic lupus erythematosus guidelines. Arthritis Rheum 1999;42(9): 1785-96

5.

Guzman J, Cardiel MH, Arce-salinas, et al. Measurement of disease activity in systemic lupus erythematosus. Prospective validation of 3 clinical indices. J Rheumatol 1992; 19:1551-1558

6.

Petri M. Systemic Lupus Erythematosus. In: Imboden J, Hellmann DB, Stone JH. Current Rheumatology Diagnosis and Treatment. Singapore: McGraw Hill; 2005. P.171-178

7.

Rekomendari IRA 2011

NYERI PINGGANG



PENGERTIAN Nyeri pinggang diartikan sebagai nyeri pada daerah pinggang atau punggung bagian bawah (low back pain) yaitu daerah di daerah lumbal antara tulang rusuk paling bawah dan garis pinggang. Identifikasi faktor risiko penting untuk memahami penyakit dasarnya, umumnya berhubungan dengan radikulopati, fraktur, infeksi, tumor, atau nyeri alih visera.l,2 Klasifikasi nyeri pinggang (LBP):3 - Akut : durasi 0-3 bulan - Kronik: durasi >3 bulan PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis



Deskripsi nyeri pinggang: sifat, tingkat beratnya nyeri, onset, durasi, frekuensi, lokasi nyeri, distribusifpenjalaran, serta faktor pencetus a tau yang memperberat.



Adakah tanda bahaya (red flags) atau tanda waspada (yellow flags).



Adakah defisit neurologis

12 ·

1.

Tabel 1. Tanda-tanda alarm nyeri pinggang 2 ·5·6

Red Flags (tanda bahaya)

Yellow Flags (tanda waspada)

Sindrom kauda equina Nyeri yang memberat. terutama malam hari

Sikap dan kepercayaannya tentang sakit pinggangnya Suasana hati/emosi Perilaku saat sakit Problem diagnosis dan terapi Problem keluarga Problem pekerjaan

dan saat istirahat Trauma yang signifikan Penurunan berat badan Riwayat keganasan Demam Penggunaan obat intravena atau steroid Pasien berusia <:50 tahun

Panduan PrakUk Klinis

PerhimPunan Dokter spesialis Penyakit Dalam lndo~esia

Pemeriksaan Fisik4



Inspeksi bentuk tulang belakang dengan posisi pasien berdiri, terlentang, atau



telungkup: adakah kifosis/skoliosis/hiperlordosisjgibbusjdeformitas lain Palpasi untuk menilai kelainan struktur anatomis, lokasi dan adanya nyeri tekan



Perkusi daerah sekitar tulang belakang seperti pemeriksaan nyeri ketok pada



daerah kostovertebra untuk menyingkirkan kemungkinan sumber nyeri dari ginjal Pemeriksaan persendian sakroiliaka: tes Fabere atau Patrick yaitu abduksi dan rotasi eksternal panggul; pelvic rock test dengan cara meletakkan jari-jari pada krista iliaka bilateral dan ibu jari pada spina iliaka anterior superior dan kemudian dilakukan tekanan kea rah garis tengah.



Pemeriksaan neurologis sesuai dermatom keluhan nyeri, tes Laseque a tau straight leg raising {SLR)atau reverse SLR, serta pemeriksaan kekuatan otot ekstremitas

inferior. •

Pemeriksaan pergerakan tulang belakang: Schober test, lateral flexion.



Sindrom kauda ekuina ditandai dengan kesulitan miksi, berkurangnya tonus sphincter ani a tau inkontinensia alvi, saddle anaesthesia, gangguan berjalan.

DIAGNOSIS ETIOLOGI1.2A Berasal dari tulang belakang dan sekitarnya



Mekanis: herniasi diskus, spondilolistesis, stenosis spinalis, hiperostosis skeletal difus idiopatik, fraktur, idiopatik (lumbago, sprain and strain)



Neoplasma

• •

Infeksi (spondilitis TB) Inflamasi (spondilitis ankilosa)



Metabolik

Berasal dari visera



Nefrolitiasis



Pielonefritis



Pankreatitis

• •

Kolelitiasis Endometriosis

Nyeri pinggang

(di luar sebab trauma, non-spinal, atau penyakit sistemik)

Anamnesis dan pemeriksaan fisik : • lama gejala • Faktor risiko yang mengarah ke kondisi berat (RED FLAG) • Gejala-gejala yang mengarah pada radikulopati atau stenosis spinal • Adanya tanda dan keparahan defisit neurogis • Faktor risiko psikososial 'f

t

Kecurigaaan kuat adanya keganasan, infeksi/inflamasi, sindrom kauda ekuina, atau defisit neurologis berat/progresif

+

[ Konsul ke spes1a11s MRI atau CT scan

Ya

)

Tidak

/

Tidak mengarah kuat pada keganasan, infeksi/infiamasi, atau fraktur kompresi vertebra, atau kondisi spesifik lain, tetapi terdapat satu atau lebih faktor risiko

/

1

Ya

f-----+

+ Tidak Tidak diperlukan pemeriksaan radiologi rutin atau tes diagnosis lain. Berikan informasi dan nasehat perawatan diri kepada pasien • Berikan informasi tentang target yang diharapkan serta perawatan diri yang efektif • Sarankan sebisa mungkin melanjutkan aktifitas, tidak dianjurkan bed rest • Jelaskan indikasi pemeriksaan kembali dan untuk diagnosis

"--

• Pertimbangkan pemeriksaan radiologi/foto palos awal (pada banyak kasus) • Pertimbangkan pemeriksaan LED untuk evaluasi keganasan, infeksi atau infiamasi • Jika faktor risiko lemah ke arah kondisi berat 7 pertimbangkan teraoi aw al

+ Terdapat kondisi spesifik Ya

r_

~

lidak

[ Evaluasi dan berikan terapi yang sesuai

~ Nyeri pinggang sedang dan tidak ada gangguan fungsi yang

Ya

lanjutkan perawatan diri Jelaskan indikasi pemeriksaan kembali

signifikan

t

Tidak

Pertimbangkan terapi farmakologi, non-farmakologi/non-invasif, sebagai terapi awal. Terapi farmakologi: asetaminofen, NSAID, opioid, tramadol, benzodiazepin, obat pelemasotot (nyeri pinggang akut), antidepresan trisiklik (nyeri pinggang kronik) Terapi non-farmakologi (untuk nyeri pinggang kronik): akupuntur, latihan fisik, massage, yoga, terapi behavioral, manipulasi spinal (juga untuk nyeri pinggang akut), rehabilitasi fisik yang holistik

~

Terapi inisial

Pasien bersedia menerima risiko dan manfaat terapi

l

l

J

Evaluasi respon terapi

..

Tidak

Lanjutkan perawatan diri, pasien kontrol setelah satu bulan

J

~ [ Nyeri pinggang teratasi atau memberat dengan tanpa

I

disertai gangguan fungsi

'

J

·l

lanjutkan perawatan diri

Jelaskan indikasi untuk kontrol

~

Nyeri Pipggang KOMPLIKASP Kerusakan sarafpada ganglion nervus dorsalis

PROGNOSIS 3 Sebagian besar nyeri pinggang mekanik sembuh spontan dengan penjelasan,

reassurance, dan analgesik sederhana. Setelah 2 hari, 30% mengalami perbaikan, dan dalam 6 minggu, 90% sembuh. Akan tetapi nyeri berulang sering terjadi, dan pada 1015% pasien dengan nyeri pinggang akut yang menjadi kronis, 85% merupakan nyeri punggung.

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi



RS non pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Ginjal Hipertensi, Departemen Neurologi, Departemen Bedah Saraf, Departemen Bedah Orthopedi



RS non pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam

REFERENSI 1.

Back and Neck Pain. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson DL Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, editors. Harrison's Principals of Internal Medicine 18'h ed. McGraw Hill. 2012

2.

Kasjmir Yl. Nyeri Spinal. Dalam: Sudoyo AW, et al editor. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam jilid II edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam FKUI, 2011 him 1314- 6.

3.

Huddleston J. Hip and Knee Pain. In: Firestein G, Budd R, Harris Jr E et al. Kelley's Textbook of Rheumatology. 8th Edition. Vol I. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2008

4.

Colledge NR, Walker BR, Ralston SH, editors. Presenting Problems In Musculoskeletal Disease. In: Davidson's Principles and Practice of Medicine 21'' ed. Churchill Livingstone-Eisevier: 2010.Page 1072-4.

5.

The Peterborough Back Rules chart template. G. Powell and The Peterborough Back Rules Working Group. September, 1997.

6.

Guide to Assessing Psychosocial Yellow Flags in Acute Low Back Pain: Risk Factors for Long-Term Disability and Work Loss. January 1997

OSTEOPOROSIS



PENGERTIAN Osteoporosis didefinisikan sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh compromised bone strength sehingga tulang mudah patah. Meningkatnya aktivitas resorpsi tulang (bone resorption) melebihi aktivitas pembentukan tulang (bone formation) merupakan patogenesis utama terjadinya osteoporosis. Pada wanita post-menopause hal terse but terjadi karena adanya defisiensi estrogen. Osteoporosis merupakan penyakit dengan etiologi multifaktorial. Umur dan densitas tulang merupakan faktor risiko osteoporosis yang berhubungan erat dengan risiko terjadinya fraktur osteoporotik. 1•2 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 1•3



Keluhan utama: Seringkali pasien tidak disertai keluhan sampai timbul fraktur. Apabila sudah terjadi fraktur maka akan memberikan gejala sesuai lokasi fraktur (leher femur, vertebra torakal dan lumbal, distal radius) misalnya nyeri pinggang bawah, penurunan tinggi badan, kifosis.



Faktor risiko osteoporosis atau penyebab osteoporosis sekunder: Riwayat konsumsi obat-obatan rutin: kortikosteroid, harmon tiroid, anti konvulsan (fenitoin, fenobarbital, karbamazepin, pirimidon, asam valproat), warfarin. Penyakit-penyakit lain yang berkaitan dengan osteoporosis: penyakit ginjal kronik, saluran cerna, hati, hipertiroidisme, hipogonadisme, sindrom Cushing, insufisiensi pankreas, artritis reumatoid. Faktor-faktor lain: merokok, peminum alkohol, riwayat haid, menarche, menopause dini, penggunaan obat-obat kontrasepsi, riwayat keluarga dengan osteoporosis, asupan kalsium kurang.

.

.

·. ·Osfeopor<:,;sis· ~'~~~--·-· :·.~-~---·-··--~~

---·-···---·--- ___ ___:~----------·

Pemeriksaan Fisik1- 3



Keadaan umum, tinggi dan berat badan, gaya berjalan, deformitas tulang, leglength inequality.



Evaluasi gigi geligi



Tanda-tanda goiter, atau adanya jaringan parut pada leher dapat menandakan riwayat operasi tiroid.

• •

Protuberansia abdomen yang dapat disebabkan oleh kifosis Kifosis dorsal (Dowager's Hump), spasme otot paravertebra



Nyeri tulang atau deformitas yang disebabkan oleh fraktur



Kulit yang tip is (tanda McConkey)

Pemeriksaan Penunjang



Radiologis

+ Foto polos (untuk kecurigaan fraktur osteoporosis misalnya pada fraktur vertebra atau panggul)

+ Dual Energy X-Ray Absorptiometry (DXA) untuk mengukur Bone Mineral Density (BMDp- 6

Indikasi: wanita premenopause dengan risiko tinggi, laki-laki dengan satu atau lebih faktor risiko (hipogonadisme, pengguna alkohol, osteoporosis pada radiografi, fraktur karena trauma ringan), imobilisasi lama (lebih dari 1 bulan), masukan kalsium yang rendah lebih dari 10 tahun, artritis reumatoid atau spondilitis ankilosa selama lebih dari S tahun terus menerus, awal pengobatan kortikosteroid atau methotrexat dan setiap 1-2 tahun pengobatan, menggunakan terapi antikonvulsan dengan dilantin atau fenobarbital selama lebih dari S tahun, kreatinin klirens < SO mililiter j menit atau penyakit tubular ginjal, osteomalasia, hiperparatiroidisme, penggunaan terapi pengganti tiroid lebih dari 10 tahun, evaluasi terapi osteoporosis, wanita postmenopause dengan 2 atau lebih faktor risiko. Pada wanita postmenopause dan laki-laki;::: SO tahun tanpa adanya fraktur patologis menggunakan T-score: Nilai T-score;::: -1 dikatakan normal Nilai T-score -1 sampai dengan -2,S dikatakan osteopenia Nilai T-score ~ -2,S dikatakan osteoporosis + Pada wanita premenopause dan laki-laki < SO tahun, dan anak-anak menggunakan Z-score:

Nilai Z-score > -2 dikatakan within expected range for age Nilai Z-score::;; -2 dikatakan low BMD for chronological age o Keterangan: Bagian tulang yang diperiksa adalah: tulang belakang (L1-L4), tulang panggul (femoral neck, total femoral neck), lengan bawah (diperiksa bila tulang belakang danjatau panggul tidak dapat diukur, hiperparatiroidisme, obesitas).

Petanda biokimia tulang3



Tabell memuat semua petanda biokimia tulang yang dapat diperiksa dari sam pel darah atau urin, yang terbagi dalam kelompok petanda pembentukanjformasi dan resorpsi tulang. Tabel 1. Petanda Biokimia Tulang 3

',~.

,,;';/,·.'

;~~ilihiii9'F®Jlc]~i:?

· . ··.··.~c

·/'~':·.;; :'~tahpalt~~oij;lsj:."·

:o< ... ,. ,

Pemeriksaan Serum

Bone-specific alkaline phosphatase Osteocalcin Procollagen I carboxyterminal propeptide

Aminoterminal telopeptide of type 1 collagen Carboxyterminal telopeptide of type 1 collagen

Procollagen I aminoterminal propeptide Pemeriksaan Urine

Amino-terminal telopeptide of type I collagen {NTX) Carboxy-terminal telopeptide of type I collage {CTX) Pyridinoline and deoxypyridinoline cross-links

Pemeriksaan petanda biokimia tulang ini ditujukan untuk menilai turnovertulang. Pada osteoporosis high bone turnover pemeriksaan petanda biokomia tulang bisa digunakan untuk menilai respon terapi secara lebih dini.

DIAGNOSIS BANDING Osteomalasia, tumor, osteonekrosis, metastasis, osteogenesis imperfekta, renal osteodystrophy, sickle cell anemia, fraktur patologis sekunder yang disebabkan metastasis. u TATALAKSANA 1· 3 Non farmakologis

• •

Edukasi dan pencegahan Latihan dan program rehabilitasi

• •

Belum terkena osteoporosis: sifat latihan adalah pembebanan terhadap tulang Pasien osteoporosis: latihan dimulai dengan latihan tanpa beban, kemudian ditingkatkan secara bertahap hingga mencapai latihan be ban yang adekuat. Memenuhi kebutuhan kalsium > 1200 mgjhari dan Vitamin D 800- 1000 Ujhari. Paparan sinar matahari yang cukup

Farmakologis







Bifosfonat: Alendronat, dosis 10 mgjhari atau 70 mgjminggu peroral Risendronat, dosis 5 mgjhari atau 35 mgjminggu atau 150 mgjbulan peroral lbandronat, dosis 150 mgjbulan peroral atau 3 mgj3bulan intravena Asam Zoledronat, dosis 5 mgjtahun intravena Selective Estrogen Receptor Modulator (SERM): Raloxifene, dosis 60-120 mgjhari Terapi lainnya Kalsitriol Hormon Paratiroid Strontium Ranelat Kalsitonin injeksi (untuk pencegahan acute bone loss pada pasien dengan imobilisasi, diberikan paling lama empat mingguJ? Denosumab (belum tersedia di Indonesia)

Bedah

Tindakan pembedahan dilakukan hila terjadi fraktur, terutama fraktur panggul. Beberapa hal yang harus diperhatikan: 1. Penderita osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, bila diperlukan tindakan bedah, sebaiknya segera dilakukan untuk menghindari imobilisasi yang lama dan komplikasi fraktur. 2. Tujuan pembedahan adalah untuk mendapatkan fiksasi yang stabil, sehingga mobilisasi dapat dilakukan sedini mungkin. 3. Asupan kalsium harus tetap diperhatikan, sehingga mineralisasi kalus menjadi sempurna. 4. Walaupun dilakukan pembedahan, terapi medikamentosa tetap diberikan.

KOMPLIKASI Kifosis, penurunan tinggi badan, nyeri punggung, nerve entrapment syndrome, peningkatan risiko jatuh, dan fraktur. 1-3

PROGNOSIS

Untuk menentukan risiko terjadinya fraktur panggul dan fraktur osteoporosis lainnya, dapat menggunakan WHO Fracture Risk Assessment Tool (FRAX).? Hanya dengan mengisi kuesioner yang terdiri dari 12 pertanyaan yang dapat diakses di http:/ jwww.shef.ac.ukjFRAXjtool.jsp?country=46 (khusus Indonesia), maka akan keluar prediksi berupa persentase terjadinya fraktur panggul osteoporosis mayor dalam 10 tahun yang akan datang. Berikut merupakan faktor risiko yang digunakan pacta kalkulasi FRAX ini (tabel 2). label 2. Faktor risiko yang dinilai dalam kalkulasi FRAX 7 Usia

Model ini hanya menerima rentang usia 40-90 tahun, apabila usia yang diinput lebih rendah atau lebih tinggi, maka program akan menghitung pada usia 40 atau 90 tahun

Jenis Kelamin

Pilih laki-laki atau perempuan

Tinggi baden

Dalam sentimeter {em)

Beret baden

Dalam kilogram {kg)

Fraktur sebelumnya

Riwayat fraktur yang terjadi secara spontan dalam kehidupan dewasa, apabila fraktur terjadi akibat trauma pada individu yang sehat, maka tidak digolongkan ke dalam riwayat fraktur sebelumnya

Fr a k t u r orangtua

Riwayat fraktur panggul yang terjadi pada ayah atau ibu

pad a

Kebiasaan merokok scat ini

Pilih YA atau TIDAK, tergantung dari apakah saat ini pasien merokok atau tidak

Glukokortikoid

Pilih YA apabila soot ini pasien sedang mengonsumsi glukokortikoid oral atau telah terpapar glukokortikoid oral selama > 3 bulan pad a dosis ekuivalen dengan prednisolon 5 mg per hari

Artritis reumatoid

Pilih YA apabila pasien telah terdiagnosis dengan artritis rheumatoid

0 s t e o p o r o s i s Pilih YA apabila pasien memiliki kelainan yang berkaitan erat dengan sekunder osteoporosis {termasuk diabetes tipe L osteogenesis imperfekta pada

dewasa, hipertiroid yang tidak diobati dalam waktu lama, hipogonadisme atau menopause dini {<45 tahun), malnutrisi kronis, atau malabsorpsi atau penyakit hati kronis Alkohol ~ 3 unit I hari

Pilih YA apabila pasien meminum alkohol ~ 3 unit I hari. 1 unit alkohol pad a tiap negara berbeda-beda, berkisar antara 8-10 gram atau setara dengan 1 gelas bir standar {285 ml), 1 ukuran spirits {30 ml), gelas wine medium {120 ml), atau 1 ukuran aperitif {60 ml)

UNITY ANG MENANGANI



RS Pendidikan

: Bagian Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi



RS Non Pendidikan : Bagian Ilmu Penyakit Dalam

. OsteoartriNs UNIT TERKAIT : Bagian bedah - ortopedi, Rehabilitasi Medik



RS Pendidikan



RS Non Pendidikan : Bagian bedah- ortopedi, Rehabilitasi Medik

REFERENSI 1.

Lindsay R, Cosman F. Osteoporosis. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of Internal Medicine 18th Edition. United States of America. McGraw Hill. 2012

2.

Setiyohadi B. Osteoporosis. Dalam: Alwi I, Setiati S, Setiyohadi B, Simadibrata M, Sudoyo AW. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam Jilid Ill Edisi V. Jakarta: lnterna Publishing; 2010:2650-76

3.

Saag G, Sambrook P, Watts N. Osteoporosis. In: Klippel J, Stone J, Crofford L White P. Primer on the Rheumatic Disease. 13th Edition. Springer. 2008

4.

Curtis JR, Delzell E, Kilgore M, Patkar NM, Saaq K, Warriner AH. Which Fractures Are Most Attributable to Osteoporosis? J Clin Epidemiol2011 Jan;64(1 ):46

5.

Qaseem A, Snow V, Shekelle P, Hopkins R Jr, Forciea MA, Owens DK, Clinical Efficacy Assessment Subcommittee of the American College of Physicians. Pharmacologic treatment of low bone density or osteoporosis to prevent fractures: a clinical practice guideline from the American College of Physicians. Ann Intern Med. 2008 Sep 16;149(6):404-15

6.

Bates D, Black DM, Cummings SR. Clinical Use of Bone Densitometry: Scientific Review. JAMA 2002 Oct 16;288(15);1889

7.

FRAX. WHO Fracture Assessment Tool. Diakses melalui http:/ /www.shef.ac.uk/FRAX/tool. jsp?country=46 pada tanggal5 Mei 2012

OSTEOARTRITIS

PENGERTIAN Osteoartritis (OA) adalah penyakit sendi degeneratif dan inflamasi yang ditandai dengan perubahan patologik pada seluruh struktur sendi. Keadaan patologis yang terjadi adalah hilangnya rawan sendi hialin, diikuti penebalan dan sklerosis tulang subkondral, pertumbuhan osteofit pad a tepi sendi, teregangnya kapsul sendi, sinovitis ringan, dan kelemahan otot yang menyokong sendi.u Secara etiopatogenesis, osteoartritis adalah kegagalan perbaikan kerusakan sendi yang disebabkan oleh stres mekanik yang berlebih. Faktor mekanik yang mendasari OA adalah peningkatan stres intra-artikular patologis, yang terjadi akibat peningkatan kuantitatif dari pembebanan sendi (misalnya pembebanan impulsifberulang). Behan impulsif menyebabkan jejas mikro pacta tulang subkondral dan rawan sendi yang melebihi kemampuan sendi untuk memperbaiki kerusakan. Inflamasi pacta osteoartritis timbul sekunder akibat produk degradasi rawan sendi dan tulang. 3-5 Faktor risiko osteoartritis adalah faktor genetik, faktor konstitusional (usia, jenis kelamin perempuan, obesitas), dan faktor biomekanik (jejas sendi, penggunaan pacta pekerjaan, berkurangnya kekuatan otot, rna/alignment sendi). 2 PENDEKATAN DIAGNOSIS label 1. Kriteria diagnosis osteoartritis lutut berdasarkan ACR tahun 1986 6 · 7 ;,. ·<JC!iitlf~gijilq~Bi:Qt6~ijnf;: ' ;; Klifi{sall!lr'cl~~ :;< ·. >. ;;>. · · Kllnis ';·• -~·····.--· Nyeri lutut dan setidaknya S dari Nyeri lutut dan setidaknya 1 dari Nyeri lutut dan setidaknya 3 dari 9 kriteria berikut: 3 kriteria berikut: 6 kriteria berikut: 1. Usia > SO tahun 1. Usia > SO tahun 1. Usia > SO tahun 2. Kaku sendi<: 30 men it . 2-.Kaku-sendi < 30menit 2. Kaku-sendi <30menit 3. Krepitus 3. Krepitus + osteofit 3. Krepitus 4. Nyeri tulang 4. Nyeri tulang S. Pembesaran tulang S. Pembesaran tulang

6. Tidak teraba hangat pada palpasi

Z. .LED :5 40..mm/jam __ _

6. Tidak teraba hangat pada palpasi

Klh;ils.dcm labQtatorluin

KJinis itan .tadlografi

•J;,

8. Faktor reumatoid (RF) < 1:40 9. Cairan sinovial petanda OA uernih, viscous, atau hitung leukosit <2000/mm 3) Sensitifitas 92%, spesifisitas 75% Sensitifitas 91 %, spesifisitas 86% Sensitifitas 95 %, spesifisitas 69%

Kriteria diagnosis osteoartritis tangan berdasarkan kriteria ACR tahun 1990 6 ·8 1. Nyeri tangan atau kaku, dan 2. Tiga dari empat dari kriteria berikut: a) Pembesaran jaringan keras pada ;:: 2 dari 10 sendi tangan tertentu (sendi DIP II dan III, sendi PIP II dan III, serta sendi CMC I pada tangan kiri dan kanan) b) Pembesaran jaringan keras pad a ;:: 2 sendi DIP c) Pembengkakan pada < 3 sendi MCP d) Deformitas pada minimal1 dari 10 sendi tangan tertentu. f._____

Kriteria diagnosis osteoartritis sendi pinggul berdasarkan kriteria ACR tahun 1991 9 1. Nyeri pinggul, dan 2. Minimal 2 dari 3 kriteria berikut: a) LED ::;; 20 mmfjam b) Radiologi: terdapat osteofit pada femur a tau asetabulum c) Radiologi: terdapat penyempitan celah sendi (superior, aksial, dan/ atau medial)

DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding perlu dipikirkan terutama pacta osteoarthritis dengan efusi sendi a tau inflamasi minimal. Diagnosis banding pacta kasus terse but adalah: Reumatik ekstraartikuler (bursitis, tendinitis), artritis gout, artritis reumatoid, artritis septik, spondilitis ankilosa, dan hemokromatosis. 10

TATALAKSANA Nonfarmakologis Edukasi, menghindari aktivitas yang menyebabkan pembebanan berlebih pada sendi, olahraga untuk penguatan otot lokal dan olahraga aerobik, penurunan berat badan jika berat badan berlebih atau obes, aplikasi lokal panas atau dingin, peregangan sendi, transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS), penggunaan penyokong sendi, penggunaan alat bantu pada yang mengalami gangguan dalam aktivitas sehari-hari. 2•10

Farmakologis 2· 10

1. Antinyeri: Parasetamol, obat anti inflamasi non steroid (OAINS) topikal atau sistemik (baik yang nonspesifik maupun spesifik COX II), opioid, tergantung derajat nyeri dan inflamasi 2. Pertimbangkan injeksi kortikosteroid intraartikular terutama untuk OA lutut dengan efusi. 3. Injeksi hialuronat atau viscosupplement intra-artikular untuk OA lutut Bedah

Tindakan bedah dilakukan jika terapi farmakologis sudah diberikan dan tidak memberikan hasil misalnya pasien masih merasa nyeri, disabilitas, dan mengurangi kualitas hid up mereka. Tindakan bedah yang diindikasikan untuk osteoartritis lutut dan sendi panggul adalah total joint arthroplasty. 2

KOMPLIKASI Deformitas sendi PROGNOSIS Osteoartritis tangan memiliki prognosis yang baik. Keterlibatan dasar ibu jari memiliki prognosis yang lebih buruk. Osteoartritis lutut memiliki prognosis yang bervariasi. Osteoartritis sendi pinggul memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan osteoartritis pada tern pat lain. Faktor risiko untuk total hip replacement adalah usia ~60 tahun, kaku pagi, nyeri pada kemaluan atau paha sisi medial, berkurangnya ekstensi/ adduksi, rotasi internal yang nyeri, IMT :530 kg/m 2 .U UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Reumatologi • RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan : Departemen Bedah- Orthopedi, Rehabilitasi Medik • RS non pendidikan : Departemen Bedah

Osteoartritis c _:,.,~~,,.:..__:._

REFERENSI

-----------

1.

Soeroso J, lsbagio H, Kalim H, Broto R. Pramudiyo R. Osteoartritis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; lnternaPublishing; 2009. Hal. 2538-49

2.

Felson DT. Osteoarthritis. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL Fauci AS, Hauser SL. Loscalzo J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies; 2012. Hal. 2828-36

3.

Brandt KD, Dieppe P, Radin EL. Etiopathogenesis of osteoarthritis. Rheum Dis Clin N Am 2008;34:531-59

4.

National Collaborating Centre for Chronic Conditions. Osteoarthritis: national clinical guideline for care and management in adults. London: Royal College of Physicians, 2008

5.

Abramson SB, Attur M. Developments in the scientific understanding of osteoarhtritis. Arthritis research and therapy 2009, 11:227

6.

Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH, penyunting. Primer on the rheumatic diseases. Edisi XIII. New York: Springer Science;2008. Hal 669-82

7.

Altman R, Asch E, Block G, et al. Development of criteria for the classification and reporting of osteoarthritis: classification of osteoarthritis of the bone. Arthritis Rheum 1986; 29. 1039-49.

8.

Altman R, Alarcon G, Appelrouth D, Bloch D, Borenstein D. Brandt K. The american college of rheumatology criteria for the classification and reporting of osteoarthritis of the hip. Arthritis and Rheumatism 1991 ;34:5:505-14

9.

Altman R, Alarcon G, Appelrouth D. et al. The American College of rheumatology for the classification and reporting of osteoarthritis of the bone. Arthritis Rheum 1990; 33: 1601-10.

10. Conaghan PG, Dickson J, Grant RL. Care and management of osteoarthritis in adults: summary of nice guidance. BMJ 2008;336:502-3 11. Lievense AM, Koes BW, Verhaar JAN, Bohnen AM, Bierma-Zeinstra SMA. Prognosis of hip pain in

general practice: a prospective followup study. Arthritis and rheumatism 2007; 57 (8): 1368-1374

REUMATIK EKSTRAARTIKULAR

PENGERTIAN Reumatik ekstraartikular adalah sekelompok penyakit dengan manifestasi klinik umumnya berupa nyeri dan kekakuan jaringan lunak, otot a tau tulang tanpa hubungan yang jelas dengan sendi bersangkutan ataupun penyakit sistemik serta tidak semuanya dapat dibuktikan penyebabnya. Terdapat tiga faktor yang diduga menjadi penyebab REA antara lain mekanikal, inflamasi dan deposisi kristal. Beberapa penyakit reumatik ekstraartikular yang penting dan sering ditemui adalah periartritis kalsifik, entesopati, tenosinovitis, bursitis. Pada bab ini, reumatik ekstraartikular yang akan dibahas adalah berdasarkan lokasi bagian tubuh yang terkena.L 2 PENDEKATAN DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING Kelainan Reumatik pad a Bahu 1.3•4 1. Rotator cuff tendinitis

Anamnesis: nyeri saat abduksi aktif terutama pada sudut 60°- 120°, nyeri he bat pada otot deltoid lateral, nyeri biasanya dijumpai pada malam hari. Pada kasus yang lebih berat, nyeri dirasakan mulai awal abduksi dan sepanjang lingkup gerak sendi (LGS). Nyeri bertambah hebat apabila lengan dalam posisi menjangkau, mendorong, menarik, mengangkat, meluruskan lengan setinggi bahu atau berbaring ke sisi yang sakit. Pemeriksaan fisik: pemeriksaan LGS aktif dengan tahanan akan menimbulkan rasa nyeri sesuai dengan tendon yang terlibat, misalnya supraspinatus untuk gerakan abduksi. Diagnosis banding: robekan rotator cuff, angina pektoris, tendinitis bisipital, radikulopati servikal. 2. Frozen shoulder syndrome Anamnesis: Nyeri pada bagian atas humerus dan menjalar ke lengan atas bagian ventral, scapula, lengah bawah serta terutama hila lengan atas digerakkan dan kambuh pada malam hari, gerakan abduksi, elevasi dan rotasi eksternal terbatas,

umumnya menyerang usia di atas 40 tahun. Pemeriksaan fisik: nyeri pada palpasi, pemeriksaan LGS aktif dan pasif terbatas ke semua arab Diagnosis banding: artritis glenohumeral. 3. Tendinitis bicipital Anamnesis: nyeri difus pada anterior bahu, nyeri bersifat kronis dan berkaitan dengan penjepitan tendon bisep oleh akromion. Pemeriksaan fisik: palpasi daerah bisipital, terdapat nyeri pada manuver supinasi lengan bawah melawan tahanan (Yergason's sign), fleksi bahu melawan tahanan (speed's test), ekstensi bahu. Diagnosis banding: robekan labral, osteoartritis, robekan rotator cuff, rotator cuff tendinitis, bursitis subakromial. Kelainan Reumatik pad a Siku 1•2

1. Epikondilitis lateral (tennis elbow) dan epikondilitis medial (golfer's elbow) Anamnesis: nyeri lokal subakut atau kronik pada bagian medial (golfer's elbow) atau lateral sendi siku (tennis elbow), menyerang lengan yang dominan, kadangkadang dapat timbul bilateral, tidak ditemukan adanya hambatan sendi. Pemeriksaan fisik: nyeri tekan pada atau sekitar (epicondylus) lateral atau medial. Diagnosis banding: radikulopati servikal, fibromialgia, robekan pronator teres, neuritis ulnar. 2. Bursitis olekranon Anamnesis: pembengkakan pada daerah posterior siku, nyeri yang memberat dengan adanya tekanan, adanya riwayat trauma terisolasi atau mikrotrauma berulang. Pemeriksaan fisik: Pembengkakan, nyeri dan hangat pada palpasi olekranon dan sering disertai efusi Kelainan Reumatik pada Jari dan Tanganl.2.4 1. Stenosing tenosinovitis [trigger finger)

Anamnesis: nyeri lokal pada basis jari yang terkena, gerakan makin lama makin kaku hingga suatu saat jari tak dapat diluruskan kembali yang terasa terutama malam hari, sensasi 'pop' atau 'klik' hila jari digerakkan, bengkak, hila terkena > 3 jari tangan cari kaitan dengan diabetes dan hipotiroid. Pemeriksaan fisik: nodul yang terasa nyeri pada telapak tangan distal yang bergerak dengan fleksi dan ekstensi jari dan bunyi 'klik'.

PanduanPraktik llinis D_okter Dillam-lrl<wnesi8' Pe'ih/nip~~an

sp~.SialiS.Pe~Yakit

2. Tenosinovitis De Quervain

Anamnesis: nyeri lokal pada bagian punggung pergelangan tangan menjalar ke ibu jari dan lengan atas sisi radial, benda yang dipegang terlepas sendiri dari genggaman. Pemeriksaan fisik: nyeri dan pembengkakan tendon di daerah prosesus stiloideus radii, tes Finkelstein positif (nyeri bertambah dengan adduksi ibu jari dan deviasi ulnar). 3. Carpal Tunnel Syndrome

Anamnesis: parastesia atau mati rasa pada ibu jari, telunjuk dan jari tengah, dapat menjalar hingga telapak tangan, keluhan semakin bertambah pada saat mengetuk, memeras, menggerakkan pergelangan tangan, nyeri bertambah he bat pada malam hari, pergelangan tangan terasa diikat ketat dan kaku gerak. Pemeriksaan fisik: kekuatan tangan menurun, atrofi tenar, tes provokasi (phalen test), Tinnel's sign. Diagnosis banding: sindrom nyeri servikobrakial, mononeuritis multipleks. Kelainan Reumatik pada Panggul1·2 ·8 Bursitis trokanterik

Anamnesis: nyeri di daerah trokanter mayor, pembengkakan lokal, rasa nyeri terutama malam hari, nyeri dirasakan intensif bila berjalan, gerakan yang bervariasi dan berbaring pada sisi yang terkena. Pemeriksaan fisik: nyeri tekan di atas daerah panggul lateral dan dapat menjalar ke bawah, ke kaki atau ke lutut, nyeri bertambah pada rotasi eksternal dan abduksi melawan tahanan, tenderness point pada daerah trokanterik.

Diagnosis banding: radikulopati, osteoartritis panggul. Kelainan Reumatik pada Lutut 1. Kista popliteal (Baker's cyst) 1•2

Anamnesis: bengkak ringan pada lutut bagian belakang, rasa tidak nyaman di lutut terutama dalam keadaan fleksi dan ekstensi penuh. Pemeriksaan fisik: tampak kista apabila pasien berdiri dan diperiksa dari belakang, pembengkakan yang difus dari betis bila terjadi ruptur kista. Diagnosis banding: tromboflebitis (bila ruptur kista). 2. Bursitis pes anserina 7 Anamnesis: nyeri, kadang-kadang bengkak dan terasa panas di bagian medial

inferior dan distal garis sendi lutut, nyeri bertambah berat apabila naik tangga. Pemeriksaan fisik: nyeri tekan dan pembengkakan pada daerah bursa anserine (anteromedial dari tibia proksimal), nyeri memberat dengan kontraksi otot sartorius, grasilis dan semitendinosus. 3. Bursitis prepatelar (Housemaid's knee) 1•2 Anamnesis: nyeri saat berlutut, terasa kaku. Pemeriksaan fisik: bengkak superfisial dan merah pada bagian anterior lutut. Diagnosis banding: infeksi, gout, pseudogout, fraktur, dislokasi patella, robekan ligamen, bursitis infrapatella. 4. Tendinitis patellar1•2•6 Anamnesis: nyeri di daerah tendon patella, nyeri saat melompat, naik tangga a tau jongkok Pemeriksaan fisik: nyeri tekan pada tendon patellar.

Kelainan Reumatik pada Kaki dan Pergelangan 1·2 1. Tendinitis Achilles

Anamnesis: nyeri tumit posterior, nyeri tajam di atas tumit terutama pada saat awal melangkah setelah duduk, nyeri dan kaku terlokalisasi pada distal tendon

Achilles, fleksibilitas pergelangan kaki terbatas saat berjalan. Pemeriksaan fisik: pembengkakan, nyeri tekan tendon Achilles, nyeri pada pergerakan aktif dan pasif dorsofleksi. 2. Fasciitis plantaris

Anamnesis: nyeri pada area plantar tumit, serangan biasanya bertahap a tau diikuti beberapa trauma atau penggunaan berlebihan pada aktivitas atletik, berjalan terlalu lama atau memakai sepatu yang tidak sesuai, nyeri timbul pada pagi hari dan bertambah berat saat awal berjalan. Pemeriksaan fisik: nyeri tekan pada palpasi di anteromedial pada tuberkel kalkaneus medial dari fasia plantaris

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan-pemeriksaan penunjangyang bisa dilakukan an tara lain ultrasonografi muskuloskeletal, MRI, foto polos untuk menyingkirkan diagnosis banding, artrografi, aspirasi bursa untuk mencari etiologi (pada bursitis), elektromiografU-8 Pemilihan pemeriksaan penunjang untuk penyakit Reumatik ekstraartikular harus disesuaikan dengan kecurigaan klinis. Misalnya pada kasus dengan nyeri bahu yang diduga

tendinitis rotator cuff disertai dengan ruptur tendon, maka diperlukan pemeriksaan USG atau MRI bahu.

TATALAKSANA 1- 5 ·8 Nonfarmakologis: edukasi, menghindari faktor pencetus, istirahat, latihan, rehabilitasi, fisioterapi (kompres air dingin, pemanasan, ultrasound, diatermi), pemasangan bidai. Farmakologis: OAINS, Analgesik, Injeksi intralesi (kortikosteroid, lidokain lokal) Bedah: apabila dengan terapi konservatif tidak menunjukkan perbaikan KOMPLIKASI Kontraktur, jepitan saraf PROGNOSIS Pada umumnya penyakit Reumatik ekstraartikular bersifat self-limiting. UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi • RS non pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu PenyakitDalam • RS non pendidikan REFERENSI 1.

Marpaung B. Reumatik ekstra artikular. In: Sudoyo A. Setiyohadi B. Alwi I. Simadibrata M, Setiati S. editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. S'h ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI. 2009:2698 - 2704

2.

Langford C. Gilliland B. Periarticular disorders of the extremities. In: Fauci A. Kasper D. Longo D. Braunwald E. Hauser S. Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies. 2012: 2860-3

3.

Woodward T, Best T. The painful shoulder. Am Fam Physician. 2000;61 (10):3079- 3088

4.

Makkouk AH. Oetgen M, Swigart C, Dodds S. Trigger finger: etiology, evaluation and treatment. Curr Rev Musculoskelet Med. 2008;1 (2): 92-96

5.

Hellmann D, Imboden J. Musculosceletal and immunologic disorders. In: McPhee S, Papadakis M, Rabow M. editors. Current medical diagnosis and treatment 2011. 501h ed. California; The McGraw -Hill Education. 2010:779-840

,,

··'::~g:I~~w·rndtik Ekstraartikular·.·

.; · ;~;.~J·.as::{~ :. 6.

Visentini PJ, Khan KM, Cook JL Kiss ZS, Harcourt PR, Work JD. The VISA score: an index of severity of symptoms in patients with jumper's knee (patellar tendinosis). Victorian Institute of Sport Tendon Study Group. J Sci Med Sport.1998;1 (1 ):22- 8

7.

Handy JR. Anserine bursitis: a brief review. South Med J. 1997;90(4):376 -7

8.

Starr M, Kong H. Recognition and management of common forms of tendinitis and bursitis. Canadian J CME. 2001:155- 63

SKLERODERMA

PENGERTIAN Sklerosis sistemik (skleroderma) adalah penyakit jaringan ikat yang tidak diketahui penyebabnya yang ditandai oleh fibrosis kulit dan organ viseral serta kelainan mikrovaskuler. Penyakit ini merupakan penyakit autoimun, yang dimediasi oleh limfosit. 1•2 DIAGNOSIS Pada tahun 1980, American Rheumatism Association (ARA) mengajukan kriteria pendahuluan untuk klasifikasi sklerosis sistemik progresif. Kriteria ini terdiri atas: 3 1. Kriteria Mayor: Skleroderma proksimal: penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang simetrik pada kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau metatarsofalangeal. Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks dan abdomen). 2. Kriteria Minor: • Sklerodaktil: perubahan kulit seperti disebut diatas, tetapi hanya terbatas pada jari. • Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari terjadi akibat iskemia. Daerah yang mencekung pada ujung jari atau hilangnya substansi jari terjadi akibat iskemia. • Fibrosis basal dikedua paru. Gambaran linier a tau lineonodular yang retikuler terutama dibagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto dada stan dar. Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang lebah. Kelainan ini bukan merupakan kelainan primer paru. Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor atau <:: 2 kriteria minor. Namun kriteria ARA ini sudah mulai ditinggalkan dan tidak lagi ditujukan untuk diagnosis karena banyak pasien dengan sklerosis sistemik terbatas (limited systemic sclerosis) tidak memenuhi kriteria ini. 4

'SI
(Tabel 2). Berdasarkan kriteria ini, diagnosis dapat ditegakkan apabila skor total pasien

~9.

label 2. Kriteria Sistemik Sklerosis Berdasarkan ACR/EULAR 2013

Sub-Item

' · Item ' Penebalan kulit jari pada kedua tangan sampai ke bagian proksimal sendi metakarpofalangeal (kriteria yang mencukupi)

Skor

9

Penebalan kulit pad a jari (hanya menghitung nilai yang paling tinggi)

Jari bengkak Skelerodaktil pada jari (bagian distal dari sendi metakarpofalangeal tetapi proksimal dari sendi interfalangeal)

2 4

Lesi pada ujung jari (hanya menghitung nilai yang paling tinggi)

Ulkus pada ujung jari Luka yang mencekung pada ujung jari

2 3

Telangiektasia

2

Kapiler abnormal pada lipatan kuku Hipertensi pulmonal dan/atau penyakit paru interstisial (skor maksimal: 2)

2 Hipertensi pulmonal Penyakit paru interstisial

Fenomena Raynaud Autoantibodi yang berhubungan dengan sklerosis sistemik {skor maksimal: 3}

2 2

3 Anticentromere Anti-topoisomerase I (anti-Sc/-70 antibody} Anti-RNA po/yemerase Ill

3

Secara klinis, sklerosis sistemik dibagi dalam 5 kelompok, yaitu: 1•2•5 •

Sklerosis sistemik difus, dengan penebalan kulit terdapat di ekstremitas distal, proksimal, muka dan seluruh batang tubuh.



Sklerosis sistemik terbatas, penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut, tetapi dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah CREST syndrome (C = Calsinosis subkutan; R= Raynaud phenomenon;

E =Oesophagus dismotility; S = Sklerodaktili; T = Telengiektasis). •

Sklerosis sistemik sine scleroderma, secara klinins tidak didapatkan kelainan kulit, walaupun terdapat kelainan organ dan gambaran serologis yang khas untuk sklerosis sistemik.



Sklerosis sistemik pada overlap sindrom, artritis reumatoid atau penyakit otot inflamasi.



Penyakit jaringan ikat yang tidak terdiferensial, yaitu bila didapatkan fenomena raynaud dengan gambaran klinis danjatau laboratorik sesuai dengan sklerosis sistemik. Selain itu terdapat varian skleroderma lokal yang hanya mengenai kulit tanpa

disertai kelainan sistemik: 6

• •



Morfea adalah perubahan skleroderma setempat yang dapat ditemukan pacta bagian tubuh mana saja. Fenomena raynaud sangat jarang didapatkan. Skleroderma linier umumnya didapatkan pacta anak-anak, ditandai oleh perubahan skleroderma pacta kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai atrofi otot dan tulang dibawahnya. Skleroderma en coupe de sabre. Merupakan varian skleroderma linier, dengan manifestasi berupa garis sklerotik pacta ekstremitas atas atau bawah a tau daerah frontoparietal yang dapat menyebabkan deformitas muka dan kelainan tulang.

Pemeriksaan Penunjangu Laboratorium

Autoantibodi ditemukan hampir pacta semua pasien dengan skleroderma (sensitivitas >95%). ANA merupakan antibodi yang paling sering ditemukan, tetapi tidak cukup spesifik untuk skleroderma. 4 label 1. Autoantibodi yang Berhubungan dengan Skleroderma 1

i?~~~~~'~l\9Q$~~~~~l~~~)~~lf!liJin~D~!Jl~If~~§P!HR1lqfililfM_(t~~~~~~y,~j~ Antinuclear antibody

>95%

Anti-Sci-70 (Anti-topoisomerase I)

20-40%

Penyakit Paru, Kulit, Afro-Amerika, Prognosis buruk

Anti-centromere

20-40%

Sindrom CREST. Ulserasi atau hilangnya jari

Anti-RNA polymerase

4-20%

Keterlibatan penyakit kulit difus, skleroderma, krisis Renal, penyakit Jantung, prognosis buruk

Anti-B23 Anti-Pm-Sci Anti-U3-RNP(Antifibrillarin)

Hipertensi Pulmoner

10%

Limited cutaneous involvement, miositis

2-10%

8% -

Anti-U 1-R NP Anti-Th/To Anti-Th/To

Pemeriksaan Patolog

biopsi kulit

856

5% 1-5%

Penyakit Paru, keterlibatan penyokit kulit difus, loki-loki

-Afro~Ameriko

Penyokit Joringon ikat campuran

Limited cutaneous involvement, penyokit poru

Pemeriksaan Penunjang lainnyau • oesophagus maag duodenum (OMD): untuk menilai adanya dismotilitas saluran

• • • •



cerna bagian atas Ekokardiografi: untuk mendeteksi kelainan kardiologi, seperti efusi perikard, dan hipertensi pulmonal Spirometri: untuk menilai adanya restriksi paru Urinalisis dan kadar kreatinin serum: untuk menilai keterlibatan ginjal Kapilaroskopi: untuk menilai status mikrovaskuler pasien, pada skleroderma didapatkan gambaran kapiler-kapiler yang berdilatasi dengan area pembuluh yang dropout tampak jelas. Esofagogastroduodenoskopi dilakukan sesuai indikasi.

DIAGNOSIS BANDING 1·2 Nephrogenic sistemik fibrosis, eosinofilic fasciitis, sclerodema diabeticorum dan scleremyxedema

TATALAKSANA5 • Penyuluhan dan dukungan sosial • Penanganan Fenomena raynaud dan kelainan kulit Menghindari merokok dan udara dingin. Pada keadaan berat, bila disertai ulkus pada ujung jari atau mengganggu aktivitas sehari-hari dapat dicoba vasodilator,misalnya nifedipin,prazosin,atau nitrogliserin topikal. Obat lain adalah iloprost suatu analog protasiklin, diberikan secara intravena dengan dosis 3ng/kgBB/mnt, 5-8 jamjhari selama 3 hari berturut-turut. Selain itu obat ini juga digunakan untuk mengobati ulkus pada jari. Perawatan kulit dapat dipertimbangkan bila ada infeksi sekunder, hila luka cukup dalam dibutuhkan perawatan secara bedah,nekrotomi dan pemberian antibiotik parenteral. • Pemberian obat remitif • 0-penisilamin,kolkisin, metotreksat, siklofosfamid dan obat-obat imunosupresif lainnya. • Penanganan kelainan muskuloskeletal Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) dapat diberikan. Bila nyeri menetap dipertimbangkan injeksi steroid lokal atau steroid sistemik dosis kecil dalam waktu singkat. Fisioterapi untuk mencegah dan mengatasi kontraktur.



Penanganan kelainan gastrointestinal Pasien dengan dismotilitas esofagus disarankan meninggikan kepalanya pacta waktu berbaring, makan pacta posisi tegak dengan porsi kecil dan sering. Antasida ,antagonis H2 dan obat sitoprotektifpada kasus ringan sedang, pacta kasus berat dianjurkan PPI. Obat prokinetik pacta keadaan disfagia dan hipomotilitas usus. Bila terdapat striktur esofagus dilakukan dilatasi secara berkala. Bila konstipasi diberikan pelunak tinja dan diet serat tinggi.



Penanganan kelainan paru Pneumonitis interstitial diterapi menggunakan kortikosteroid atau siklofosfamid. Bila terjadi hipertensi arteri pulmonal,pengobatan dimulai dengan oral endothelin-1 receptor antagonist atau phosphodiesterase inhibitor seperti sildenafil, selain itu pasien mungkin membutuhkan diuretik,antikoagulan dan digoksin.



Penanganan kelainan ginjal Krisis renal dengan hipertensi be rat merupakan komplikasi yang serius dan angka kematian yang cukup tinggi, yang dapat diturunkan dengan menggunakan obat penghambat enzim pengkonversi angiotensin. Jika diperlukan dapat dilakukan dialisis.

KOMPLIKASI Hipertensi pulmonal, krisis renal sistemik, Barret's esofhagitis. ulkus dan gangren ujung jari.1,2.s PROGNOSIS Angka harapan hidup 5 tahun pasien sklerosis sistemik adalah sekitar 68%. Penelitian Altman dkk, mendapatkan beberapa prediktor yang memperburuk prognosis sklerosis sistemik adalah: 5 •

Usia lanjut (>64tahun) penurunan fungsi ginjal (BUN


Penurunan kapasitas difusi C02 pacta paru (<50% prediksi)



Penurunan kapasitas difusi C02 pacta paru (<50% prediksi)



Penurunan kadar protein serum total (6mgjdl)



Penurunan cadangan paru (kapasitas vital paksa <80% pacta Hb >14gjdl atau kapasitas vital paksa <65% pacta Hb <14g/dl).

···SI


-c.

.·'

i'

-::,_

·-·<.-- : ··., -· . ~

·,<.:

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam - Divisi Reumatologi



RS non pendidikan

: Departemen Ilmu Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: SemuaDivisidilingkunganDepartemenllmuPenyakitDalam, Departemen Bedah Vaskuler



RS non pendidikan

: Departemen Bedah

REFERENSI 1.

Varga J. Systemic Sclerosis (Scleroderma) and Related Disorders. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of Internal Medicine 18'h Edition. United States of America. McGraw Hill. 2012

2.

Setiyohadi B. Sklerosis Sistemik. Dalam: Sudoyo, Setiyohadi. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta. lnterna Publishing. 2011

3.

Subcommittee for Scleroderma Criteria of the American Rheumatism Association Diagnostic and Therapeutic Criteria Committee. Preliminary criteria for the classification of systemic sclerosis (scleroderma). Arthritis Rheum 1980;23:581-90.

4.

Haustein U. Systemic Sclerosis- scleroderma. Dermatology Online Journal 8(1 ):3. 2002. Diakses melalui http:/ /dermatology.cdlib.org/D0Jvol8num 1/reviews/scleroderrna/haustein.html pad a tanggal4 Mei 2012.

5.

Hummers L, Wigley F. Scleroderma. In: Imboden J, Hellmann D, Stone J. Current Rheumatology Diagnosis & Treatment. 2nd Edition. United States of America. McGraw Hill. 2004

6.

Falanga V, Killoran C. Chapter 62: Morphea. In: Wolff K, Goldsmith L Katz S, et al. Fitzpatricks's Dermatology in General Medicine. 7'h Edition. United States of America. McGraw Hill. 2008 p543-6

SPON Dl LOARTROPATI

PENGERTIAN Spondiloartropati adalah sekelompok penyakit radang sendi yang mempunyai faktor predisposisi dan tampilan klinis yang mirip. Yang termasuk spondiloartropati adalah spondilitis ankilosa, artritis reaktif (termasuk Reiter's syndrome), artritis psoriatik, inflammatory bowel disease-associated spondyloarthropathy,dan undifferentiated spondyloarthropathy. Penyakit-penyakit ini mempunyai kesamaan yaitu berhubungan dengan gen HLA-827 dan adanya entesitis sebagai lesi patologi dasar. Tampilan klinis lain diantaranya adalah inflammatory back pain, daktilitis, manifestasi ekstraartikular seperti uveitis dan ruam kulit. 1•2 DIAGNOSIS SPONDILOARTROPATI Spondiloartropati dicurigai pada setiap kasus dengan nyeri pinggang inflamasi ;:::3 bulan (spondiloartritis aksial), maupun artritis perifer yang asimetris, danjatau yang predominan di ekstrimitas bawah (spondiloartritis perifer). Kriteria nyeri pinggang inflamasi mengikuti kriteria ASAS tahun 2009 (tabel 1].3 Selanjutnya penegakan diagnosis spondiloartropati berdasarkan kriteria menurutASAS tahun 2010 (gam bar 1). 4 Tabel 1. Kriteria Nyeri Pinggang lnflamasi menurut ASAS (2009)

Pada pasien dengan nyeri pinggang > 3 bulan Onset usia pasien <45 tahun Onset insidious (perlahan-lahan) Perbaikan dengan aktifitas/latihan Tidak membaik dengan istirahat Nyeri di malam hari Nyeri pinggang inflamasi jika minimal terdapat 4 dari 5 kriteria terse but terpenuhi. Sensitifitas 77% dan spesifisitas 91,7% {diadaptasi dari Sieper J, dkk. Ann Rheum Dis 2009:68:784-8)

Pad a pasien nyeri pinggang bawah-3 bulan (dengan/tanpa manifestasi perifer)

Pad a pasien dengan manifestasi perifer saja :

dengan onset usia pasien <45 tahun

! Sakroiliitis pada pencitraaan PLUS =1 gambaran SpA

'

H LA-827 PLUS =2 gambaran SpA yang lain

Artritis atau entesitis atau daktilitis PLUS

Gambaran SpA yang dimaksud: Nyeri pinggang inflamasi Artritis Entesitis (tum it) Uveitis Daktilitis Psoriasis Penyakit Crohn/Colitis Ulseratif Respon baik dengan OAINS Riwayat keluarga dengan SpA HLA-B27 Peningkatan kadarC-Reactive Protein (CRP)

=1 gambaran SpA:

• •

• • • • •

.• .• ... ..

.

Uveitis Psoriasis Penyakit Crohn/Colitis Ulseratif lnfeksi yang mendahul ui HLA-827 Sakroiliitis pada pencitraan

I

----------------------------------------~---------------------------------------

(diadaptasi dari Rudwa/eit M, dkk. Ann Rheum Dis 2011 ;70:25-31)

Keterangan:

1.

Nyeri pinggang inftamasi: adanya gejala soot ini atau riwayat nyeri spinal {pinggang. dorsal atau servikal), dengan 4 dari 5 gejala. yaitu onset <45 tahun. onset insidious. perbaikan dengan latihan. kaku pagi hari dan durasi > 3 bulan. 2. Sinovitis: adanya gejala soot ini atau riwayat artritis asimetris atau artritis yang predominan di ekstrimitas bawah. 3. Riwayat keluarga pada tingkat satu atau duo. berupa spondilitis ankilosa. psoriasis. uveitis akut, artritis reaktif. IBD 4. Psoriasis: adanya gejala soot ini atau riwayat psoriasis yang didiagnosis oleh dokter 5. IBD: adanya gejala soot ini a tau riwayat penyakit Crohn atau colitis ulseratif yang didiagnosis oleh dokterdan dikonfirmasi dengan pemeriksaan radiologi dan endoskopi 6. Nyeri gluteus yang bergantian: adanya gejala soot ini atau riwayat nyeri bokong yang bergantian an tara regia gluteus kanan dan kiri. 7. Entesopati: adanya gejala soot ini atau riwayat nyeri spontan atau nyeri tekan pada insersi tendon achilles dan fasia plantaris soot pemeriksaan fisik. 8. Diare akut: diare yang terjadi dalam satu bulan sebelum timbulnya artritis. 9. Urethritis/servisitis: uretritis atau servisitis non-gonokokal yang terjadi dalam satu bulan sebelum timbulnya artritis. 10. Sakroilitis: sakroilitis dengan grade 2-4 {bilateral) atau grade 3-4 {unilateral) berdasarkan pemeriksaan radiografi. {0= normal. I =suspek. 2=minimal. 3=sedang. 4=ankilosis).

Gam bar 1. Kriteria Diagnosis Spondiloartropati ASAS 2010

SPONDILITIS ANKILOSA Nyeri pinggang pada spondilitis ankilosa timbul secara bertahap dan sifat nyerinya tumpul, dengan penjalaran ke arah gluteal. Nyeri pinggang memberat pada pada pagi hari dan membaik dengan aktivitas dan serta mempunyai komponen nyeri nokturnal. Hal terse but sesuai dengan kriteria nyeri pinggang inflamasi, seperti yang telah dijelaskan di subtopik Spondiloartropati. Seiring dengan berjalannya waktu, artritis aksial dapat berkembang dari sendi sakroiliak, menuju ke vertebra lumbalisjservikalis. Mobilitas

tulang belakang menjadi terbatas karena adanya deformitas spinal seperti lordosis lumbar yang mendatar, kifosis dada yang berlebih, hiperekstensi vertebra servikalis, dan adanya sindesmofit dian tara ruas-ruas tulang belakang. Pemeriksaan tulang belakang seperti tes Schober dan tes jarak occiput ke din ding memberikan hasil positifterutama yang sudah lanjut. 5· 8 Pemeriksaan Penunjang 5· 8



DPL, LED, dan CRP



HLA-B27 (dapat dilakukan untuk membantu penegakan diagnosis tetapi tidak



direkomendasikan dilakukan secara rutin) Pemeriksaan radiologis: foto polos sendi sakroiliaka dan vertebra serta sendi lain yang terlibat, bila diperlukan dapat dilakukan MRI pada sendi sakroiliaka, terutama pada awal perjalanan penyakit

DIAGNOSIS Diagnosis AS dapat ditegakkan dengan menggunakan kriteria modifikasi New York 1984 seperti pada tabel 2. 9 Tabel2. Kriteria Diagnosis Ankilosing Spondilitis (AS), New York 1984 Kriteria:

- Nyeri pinggang bawah minimal 3 bulan, yang membaik dengan aktifitas, dan tidak membaik dengan istirahat - Keterbatasan gerak vertebra lumbalis pad a arah sagital dan frontal - Penurunan ekspansi rongga dada, jika dibandingkan umur dan jenis kelamin yang sesuai - Sakroiliitis bilateral grade 2 sampai 4 - Sakroiliitis unilateral grade 3 sampai 4 Ankilosing Spondilitis definitif: jika didapatkan kriteria sakroiliitis dengan salah satu kriteria klinis (diadaptasi dari van der LindenS, dkk. Arthritis Rheum 1984;27: 361-8)

TATALAKSANA 10·11 t

Non farmakologis

Edukasi, terapi fisik, program latihan di rumah, sikap tubuh yang tepat dan sesuai. Rehabilitasi pasien rawat mungkin dibutuhkan pada pasien-pasien tertentu. Farmakologis



OAINS adalah pilihan utama untuk mengatasi nyeri dan kaku. Analgesik lain seperti asetaminofen dan tramadol bisa dipertimbangkan untuk kombinasi.

.spond.it¢ortrop(;lti> -·~--·-·~: --~-··--•·--~"----,T~W'~.·~.~.-'---.0<-



Injeksi steroid lokal dapat digunakan untuk mengontrol inflamasi lokal, sedangkan pemberian sistemik tidak dianjurkan.



DMARD konvensional seperti metotreksat dan sulfasalazine tidak terbukti bermanfaat, kecuali sulfasalazin yang bisa digunakan pada kasus yang disertai artritis perifer.



Agen biologik yang saat ini direkomendasikan untuk terapi AS adalah golongan antiTNFa. Agen biologik sebaiknya diberikan pada kasus dengan aktifitas penyakit yang tinggi dan menetap serta kurang respon dengan terapi konvensional.

Tindakan Bedah



Artroplasti panggul dilakukan pada nyeri panggul yang refrakter disertai dengan kerusakan struktural secara radiologis.



Spinal corrective osteotomy dipertimbangkan pada pasien dengan deformitas

tulang belakang berat.

ARTRITIS REAKTIF 1· 12•13 Anamnesis

Artritis reaktif terjadi satu sampai em pat minggu setelah infeksi saluran pencernaan atau genitourinarius. Organisme penyebab diantaranya adalah Chlamydia, Ureaplasma, Shigella, Salmonella, Yersinia, dan Campylobacter sp. Diare akut seringkali merupakan

manifestasi yang terlihat jika artritis reaktif terjadi setelah infeksi Shigella, Yersinia dan Salmonella. Beberapa studi menunjukkan adanya bukti bahwa Chlamydophila (Chlamydia) pneumoniae yang menimbulkan infeksi saluran nafas dapat menimbulkan

artritis reaktif, meskipun angka kejadiannya lebih jarang. Pada 20% pasien laki-laki dengan artritis reaktif didapatkan balanitis sirsinata. Pemeriksaan Fisik

Oligoartritis akutterjadi dalam beberapa hari, dengan distribusi asimetris, terutama di ekstrimitas bawah. Entesitis seringterjadi, terutama pada tumit. Manifestasi ekstraartikuler dapat berupa konjungtivitis (50%), atau uveitis (akut, unilateral, dan berulang). Pemeriksaan Penunjang



Laboratorium: darah perifer lengkap, LED, CRP, dan analisa cairan sendi (gambaran inflamasi). Pemeriksaan mendapatkan sumber infeksi pemicu seperti dengan

kultur atau serologi, dapat membantu penegakan diagnosis (terutama untuk Chlamydiae), namun tidak dianjurkan untuk dilakukan secara rutin.



Radiologi: Pacta kasus artritis reaktifyang kronik, pemeriksaan radiologis foto palos dapat memberikan gambaran sakroiliitis, periostitis, sindesmofit non-marginal, erosi sendi dan penyempitan celah sendi. Pemeriksaan USG dan MRI pada sendi terutama sendi sakroiliak akan sangat membantu deteksi dini perubahan terse but.

Tatalaksana



Non farmakologis: edukasi, terapi fisikjrehabilitasi medik



Farmakologis Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS) Injeksi kortikosteroid intraartikuler dapat digunakan pada artritis yang mengenai 1-2 sendi atau monoartritis yang berat Pacta arthritis reaktif yang kronik dan be rat dapat diberikan DMARD, seperti sulfasalazin dan metotreksat, atau steroid sistemik Terapi terhadap infeksi pemicu hanya diindikasikan pada infeksi Chlamydia trachomatis, an tara lain dengan kombinasi terapi sinovektomi dan azitromisin selama 3 bulan.

Prognosis

Pada umumnya prognosis baik, dan sebagian besar sembuh total setelah beberapa bulan, dan hanya didapatkan 14-20% pasien yang menetap dan menjadi artritis kronik.

ARTRITIS PSORIATIK1.14,15,l6 Anamnesis

Pada kebanyakan kasus, manifestasi kulit mendahului keterlibatan sendi. Walaupun dapat terjadi sebaliknya pada 15-20% kasus. Ada beberapa tipe, yaitu tipe oligoartikular (empat atau kurang sendi terlibat), tipe poliartikuler (lima atau lebih sendi terlibat), pola dengan predominan keterlibatan sendi interfalangeal distal, artritis mutilan, dan spondilitis psoriatik. Lebih dari 70% kasus merupakan tipe oligoartikular.

label 2. Kriteria CASPAR 17

Untuk memenuhi kriteria CASPAR, pasien horus mempunyai penyakit radang sendi (joint, spine, atau entheseol) dengan ;::: 3 poin dari 5 kategori berikut:a 1. Bukti adanya psoriasis, b. c riwayat psoriasis pribadi, a tau riwayat keluarga psoriasis d 2. Distrofi kuku • yang khas psoriatik, didapatkan pad a pemeriksaan sekarang 3. Faktor rematoid (-) 4. Dactylitis soot ini atau riwayat dacly/itis 1 yang dinilai oleh seorang ahli Reumatologi 5. Bukti radiologi adanya pembentukan tulang baru juxtaarticu/arg pad a telapak tang an dan kaki Keterangan: Spesifitas 99% dan sensitivitas 91% bPsoriasis soot ini mendapat poin 2. sedangkan yang lain bernilai I poin 'Penyakit kulit atau kulit kepala psoriatik yang ada pada soot pemeriksaan. ditentukan oleh ahli Reumatologi atau ahli kulit dRiwayat psoriasis pada keturunan pertama dan kedua •Onikolisis. pitting. a tau hiperkeratosis 'Pembengkakan pada seluruh jari oQsifikasi didekat batas sendi. namun tidak termasuk pembentukan osteofit 0

Pemeriksaan Fisik

Manifestasi klinis dapat ringan hingga berat (destruktif). Selain di tempatnya yang khas, permukaan ekstensor lutut, psoriasis dapat pula terdapat pada bagian kecil pada kulit kepala, telinga, celah anus, perineum, a tau umbilikus. Lesi kuku, termasuk pitting dan onikolisis, terdapat pada lebih dari 80% pasien dengan artritis psoriatik. Pacta artritis psoriatik, uveitis cenderung kronik dan terjadi bilateral. Tempat Predileksi

Asimetris, pada sendi distal. Jika akan dibuat diagnosis artritis psoriatik, maka kulit diperiksa secara hati-hati untuk mencari lesi psoriatik. Radiologi

Gambaran radiografi pasien dengan artritis psoriatik memperlihatkan adanya artritis erosif, dengan terse ring terjadi pad a sendi DIP dan terjadi perubahan pencil-in-cup akibat resorpsi tulang. Temuan lain diantaranya adalah enthesitis dengan reaksi periosteal, sakroiliitis, dan spondilitis, sama seperti yang ditemukan pacta artritis reaktif Tatalaksana

• •

Non farmakologis Farmakologis: Manifestasi Kulit •

Terapi topikal kortikosteroid, retinoid



Terapi UV

Manifestasi Sendi •

Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS)



Kortikosteroid oral



Injeksi kortikosteroid intraartikular



Metotreksat, sulfasalazin, dan inhibitor TNF-a

Prognosis

Riwayat keluarga adanya artritis psoriatik, onset penyakit dibawah 20 tahun, adanya HLA DR3 atau DR4, kelainan sendi poliartikuler atau erosif dan kelainan kulit yang luas diduga berkaitan dengan prognosis yang buruk.

SPONDILOARTROPATI YANG BERHUBUNGAN DENGAN INFLAMMATORY BOWEL DISEAS£1 Anamnesis

Penyakit ini berhubungan dengan penyakit Crohn atau kolitis ulseratif. Pada beberapa pasien, manifestasi artritis terjadi sebelum manifestasi penyakit usus. Pemeriksaan Fisik

Penyakit ini biasanya terjadi tiba-tiba dan pola nyeri berpindah-pindah. Artritis secara umum berkurang dalam waktu enam hingga delapan minggu. Walaupun rekurensi sering terjadi, 10% pasien terjadi artritis kronik. Pada 20% pasien, manifestasi spondiloartropati yang berhubungan dengan inflammatory bowel disease tidak berbeda dengan spondilitis ankilosa idiopatik. Tempat predileksi

Artritis terjadi pada ekstremitas bawah secara asimetris Tatalaksana



Non farmakologis: edukasi, terapi fisikjrehabilitasi medik.



Farmakologis Obat anti inflamasi non-steroid harus digunakan secara hati-hati, karena dapat mengeksaserbasi penyakit usus Sulfasalazin, metotreksat, dan azatioprin TNF-a inhibitor.

. c.

.

:~

:, ·t·. . .·;· "

'.~·~···.·.·

..~·R@J)u I Q.ar cor n

I •



••



-··

•o~·-··----··

- -'- -··-

~--......::..._

__...,_______

·...

J

--~---

...:__,_,

_____

UNDIFFERENTIATED SPONDYLOARTHRITIS1,2 Kriteria Diagnosis

Kebanyakan pasien mempunyai gejala yang tidak spesifik termasuk nyeri punggung, nyeri pada bokong unilateral atau bergantian, entesitis, daktilitis, dan kadang-kadang terdapat manifestasi ekstraartikular. Undifferentiated spondyloarthritis merupakan diagnosis ekslusi, dimana terdapat manifestasi spondiloartritis tanpa adanya spondilitis ankilosa, infeksi yang mendahului, psoriasis, kolitis ulseratif, ataupun penyakit Crohn. Tatalaksana (sesuai klinis yang muncul)



Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS)

Sulfasalazin, Metotreksat



Injeksi intraartikular kortikosteroid



TNF-a inhibitor.

Ringkasan label 3. Karakteristik Spondiloartropati Seronegatif'· 8 o •.>

Prevalens

<

.,

"

.•

·~·oLC

•.•-

>'ooY"•"'''"'">'•

"

-•

>

··-



"'C.~·

•'- 0

0,1%-0,2%

0,1%

0,2%-0.4%

Jarang

Akhir remaja sampai awol dewasa muda

Akhir remaja sampai awol dewa sa

35-45 tahun

Umur berapapun

3:1

5:1

1:1

1:1

HLA-B27

90-95%

80%

40%

30%

Sacroiliitis Frekuensi Distribusi

100% Simetrik

40-60% Asimetrik

40% Asimetrik

30% Simetrik

Onset

Laki-laki: wanita

Sindesmofit Artritis perifer Frekuensi Distribusi

Entesitis

Bulky, Delicate, Bulky, margir1gl .. ___ ... r1c:>nrn_(lrginal_··- ... _nQ.QrT"I(lrgiogl

Delicate, marginal ·-----·--·- ---

Jarang Asimetrik, ekstremitas bawah

Sering Asimetrik, ekstremitas bawah

Sering Asimetrik, setiap sendi

Sering Asimetrik, ekstremitas bawah

Sering

Sangat sering

Sangat sering

Jarang

$p.oil(ji1His Ankilosa

·

· ':''AtrWI~~¥eai
.

syn
..·

.

t:'

Daktilitis

Jarang

Sering

Sering

Jarang

Lesi kulit

Tidak ada

Carcinate balanitis, keratoderma, blennorhagicum

Psoriasis

Eritema nodosum, pyoderma gangrenosum

Perubahan kuku

Tidak ada

Onikolisis

Pitting, onikolisis

Clubbing

Ulkus

Ulkus

Ulkus

Ulkus

Kondisi jantung

Aortic regurgitation, conduction defects

Aortic regurgitation, conduction defects

Aortic regurgitation, conduction defects

Aortic regurgitation

Paru-paru

Fibrosis lobus at as

Tidak ada

Tidakada

Tidakada

Saluran pencernaan

Tidakada

Diare

Tidak ada

Penyakit Crohn, ulcerative colitis

Kondisi ginjal

Amiloidosis, lgA nefropati

Amiloidosis

Amiloidosis

Nefrolitiasis

Prostatitis

Uretritis, servisitis

Tidak ada

Tidakada

Kondisi mulut

Kondisi genitourinarius

KOMPLIKASI Deformitas UNITY ANG ME NANG ANI : Departemen Ilmu Penyakit Dalam- Divisi Reumatologi • RS pendidikan • RS Non Pendidikan : Departemen Ilmu Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS Pendidikan : Departemen Rehab Medik • RS Non Pendidikan : Bagian Rehab Medik REFERENSI 1.

Taurog JD. The Spondyloarthritides. In: Longo DL. Kasper DL Jameson JL Fauci AS, Hauser SL Loscalzo J. Harrisons Principles of Internal Medicine. Singapore: The McGraw Hill companies; 20 12.p.277 4-85

.· sRohcfiloc1rtr0:~ · -;:_·:''---~e-:,_:-<··_{: _ .:.,.-.. :·

-:_··--<,,_:.:_:~.·-_·: ::':: -_

·-'·-:-· .. :

2.

Yu D. McGonagle D, Marzo-Ortego M et al. Undifferentiated Spondyloarthritis and Reactive Arthritis. In: Firestein G, Budd R, Harris Jr E et al. Kelley's Textbook of Rheumatology. 8th Edition. Vol I. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2008

3.

Sieper J, van der Heijde D, Landewe R, Brandt J, Burgos-Vagas R, Colfantes-Estevez E. eta/. New kriteria for inflammatory back pain in patients with chronic back pain -a real patient exercise of the Assessment in SpondyloArthritis international Society {ASAS). Ann Rheum Dis 2009;68:784-8

4.

Rudwaleit M, van der Heijde D. Lande we R. Listing J. Akkoc N, Brandt J, eta/. The development of Assessment of Spondy/oArthritis international Society classification kriteria for axial spondy/oarthritis {part II}: validation and final selection. Ann Rheum Dis 2009;68;777-83

5.

Rudwaleit M, van der Heijde D. Lande we R, Listing J, Akkoc N, Brandt J, eta/. The development of Assessment of Spondy/oArthritis international Society classification kriteria for axial spondy/oarthritis (part II}: validation and final selection. Ann Rheum Dis 2009;68;777-83

6.

Kataria RK, Brent LH. Spondyloarthropathies. Arn Farn Physician. 2004. 2853-60

7.

Zochling J, van der Heijde D, Burgos-Vargas R, Co/lantes E, Davis JC, Dijkrnans B. ASAS/EULAR recommendation for the management of ankylosing spondylitis. Ann Rheum Dis 2006:65: 444-52

8.

Gladman DD. Psoriatik arthritis:clinica/ feature. In: Klippel JH, eta/. {eds) Primer on the Rheumatic Diseases. 13th ed. New York: Springer Science, 2008.pp.l70-7

9.

van der LindenS, Valkenburg HA, Cats A Evaluation of diagnostic criteria for ankylosing spondylitis: A proposal for modification of the New York kriteria. Arthritis Rheum 1984;27: 361-8

10. Kiltz U, van der Heijde D, Mielants H, et al., ASAS/EULAR recommendations for the management of ankylosing. spondylitis- the patient version, Ann Rheum Dis 2009:68:1381-6 11. Braun J, van der Berg R, Baraliakos X, Boehm H, Burgos-Vargas R, Collantes-Estevez E, et al. 2010 update of the ASAS/EULAR recommendations for the management of ankylosing spondylitis. Ann Rheum Dis 2011:70:896-904 12. Carter JD, Hudson AP. Reactive arthritis: clinical aspects and medical management. Rheum Dis Clin N Am 2009;35:21-44 13. Sieper J, Rudwaleit M. Braun J, van der Heijde D. Diagnosing Reactive Arthritis: Role of Clinical Setting in the Value of Serologic and Microbiologic Assays. Arthritis Rheum 2002; 46(2): 319-327 14. Albar Z. Artritis Psoriatik. In: Sudoyo AW. Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jakarta: lnterna Publishing: 2009.p. 2532-34 15. Hidayat R. Reactive Arthritis. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Sirnadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llrnu Penyakit Dalam. Jakarta: lnterna Publishing; 2009.p. 2535-37 16. Fitzgerald 0. Psoriatic Arthritis. In: Firestein G, Budd R, Harris Jr E et al. Kelley's Textbook of Rheumatology. 8th Edition. Vol I. Philadelphia: Elsevier Saunders. 2008 17. Taylor W, Gladman D, Helliwell P, Marchesani A Mease P, Mielants H: CASPAR Study Group. Classification kriteria for psoriatic arthritis: development of new kriteria from a large international study. Arthritis Rheum 2006;54(8):2665-73

PENATALAKSANAAN Dl BIDANG ILMU PENYAKIT DAlAM

PANDOAN PRAKTIK KLINIS

Demam Berdorah Dengue ..................... "'··---········ Demam Neutropenia ........................,.......•............. Demam Tifoid ...................................................................---·-·-···

>/'; Keracunan Makanan ......................... ~·:+······+····956 "'·· .>:::~:':.J,::-;:959 Malaria................................................. Penatalaksanaan Gigitan Ulor ............................... :::~::·: .......... 970 Penggunaan Antibiotika Rasional ............................'............. 976 Rabies ........................................................................................ 981 Sepsis Dan Renjatan Septik ..................................................... 986

L

CHIKUNGUNY A

PENGERTIAN Demam chikungunya merupakan suatu infeksi akutyang disebabkan oleh alfavirus dan ditularkan melalui gigitan nyamuk A. aegypti dan A. albopictus.u PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 1· 3

Penyakit ini dapat bersifat akut, subakut, maupun kronis. Fase akut berlangsung 3-10 hari, ditandai dengan demam tinggi mendadak (39°-40°C) dan nyeri sendi berat. Nyeri sendi ini terkadang membuat seseorang menjadi terbaring lemah, namun biasanya sembuh dalam beberapa hari atau beberapa minggu. Infeksi chikungunya dapat juga disertai gejala lain seperti sakit kepala, nyeri seluruh punggung, mialgia, mual, muntah, poliartritis, bintik merah [rash), dan konjungtivitis. Pada fase subakut dan kronis, dapat memberikan gejala klinis pembengkakan tangan disertai deskuamasi halus, hiperpigmentasi wajah, tenosinovitis pada tangan, mata kaki, higroma siku, bengkak dan kaku pada jari-jari tangan. Manifestasi AtipikaP

Meskipun sebagian besar infeksi virus chikungunya (CHIKV) bermanifestasi sebagai demam dan artralgia, manifestasi atipikal dapat muncul seperti yang digambarkan pada tabel 1. Manifestasi ini dapat terjadi akibat efek langsung dari virus, respon imunologis tubuh terhadap virus, atau toksisitas obat. label 1. Manifestasi atipik dari infeksi CHIKV3

Neurologis

meningoensefalitis, ensefalopati, kejang, sindrom guil/ain-barre, sindrom serebelar, paresis, kelemahan saraf, neuropati

Okular

neuriffs optlk, uveitiS, episkleiitis, retinitis

Kardiovaskular

miokarditis, perikarditis, gaga I jan tung, aritmia, instabilitas hemodinamik

Panduan Praktikllinis

P~rhimpUnc~ pokter Speslalis P~nYOkit polcim lnd~r1e~ia

Sistem

Manifesla$1 Klinis

Dermatologis

hiperpigmentasi fotosensitivitas, ulkus intertriginosa (bentuk seperti sariawan), dermatosis vesikobulosa

Renal

nefritis, penyakit ginjal akut

Lainnya

Perdarahan abnormal, pneumonia, gagal napas, hepatitis, pankreatitis, hipoadrenalisme, SIADH

Pemeriksaan Fisik

Demam 39°-40°C berlangsung beberapa hari - 1 minggu, bersifat kontinu atau intermiten, terkadang dapat disertai bradikardi relatif.3 Nyeri sendi biasanya simetris dan sering mengenai sendi-sendi kecil pacta tangan dan kaki. Pembengkakan sendi sering dikaitkan dengan tenosinovitis. 1•2•3 Bintik merah biasanya muncul2-3 hari setelah onset demam, dengan karakteristik makulopapular pacta batang tubuh dan ekstremitas, namun juga dapat ditemukan pacta telapak tangan, telapak kaki, dan wajah. Bintik merah juga dapat bermanifestasi sebagai eritema difus, yang menghilang pacta penekanan. Pacta bayi, lesi vesikulobulosa sering ditemukan. 3 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah dapat ditemukan :3 •

Trombositopenia

• •

Leukopenia Peningkatan tes fungsi hati



Peningkatan LED dan CRP



Ig M Chikungunya

Kriteria Diagnosis3



Kasus suspek Pasien dengan onset demam akut >38,5°C dan artralgia be rat atau artritis yang tidak dapat dijelaskan oleh kondisi medis lain, dan telah tinggal atau berkunjung ke daerah endemis atau epidemis dalam dua minggu terakhir sebelum munculnya gejala.



Kasus terkonfirmasi (confirmed case) Pasien kasus suspek dengan salah satu hasil pemeriksaan spesifik CHIKV : 1. Isolasi virus

2. Deteksi virus RNA dengan RT-PCR 3. IgM positif pacta satu sampel serum yang diambil pacta fase akut atau convalescent


Catatan :3 Apabila terjadi epidemi, semua pasien tidak wajib dikonfirmasi dengan pemeriksaan diatas. Evaluasi sensitivitas dan spesifisitas dari kriteria klinis infeksi CHIKV dilakukan saat KLB terjadi. Kombinasi demam dan poliartralgia memiliki sensitivitas dan spesifisitas terbaik dengan nilai 84% dan 89%. Kriteria klinis tersebut mampu menegakan diagnosis pacta 87% individu dengan infeksi CHIKV yang konfirm secara serologis. Pemeriksaan penunjangyang saat inidapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis :3

a. lsolasi virus chikungunya (CHIKV) lsolasi CHIKV dapat diambil dari nyamukyang didapat dari lapangan atau spesimen serum akut yang diambil dari darah pasien pacta minggu pertama demam. Setelah spesimen ini didapat, harus segera dikirim ke laboratorium dalam waktu 48 jam setelah pengambilan dengan suhu 2- 8°C atau dry ice. lsolasi CHIKV ini kemudian harus dikonfirmasi dengan immunofluorescence assay (IFA), antiserumspesifik CHIKV, atau dengan kultur supernatan reverse transcriptase-polymerase chain

reaction (RT-PCR), atau suspensi otak tikus. b. RT-PCR Deteksi RNA CHIKV menggunakan metode RT-PCR sudah beberapa kali dipublikasikan. Penggunaan sistem assay tertutup dan real time untuk meningkatkan sensitivitas dan menurunkan resiko kontaminasi. Serum yang digunakan sama dengan isolasi CHIKV.

c. Tes serologis Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)dan plaque reduction neutralization testing (PRNT) untuk memeriksa serum darah digunakan untuk diagnosis serologis. Pengiriman spesimen ke laboratorium dengan suhu 2- 8°C, tidak boleh dibekukan. Diagnosis serologis fase akut dan pemulihan ditegakkan dengan hasil titer lgM antibodi spesifik CHIKV yang positif ata.u kenaikan titer PRNT sebanyak 4x lipat. antibodi IgG dan lgM anti-chikungunya. Level antibodi IgM mulai muncul pacta akhir minggu pertama demam, tertinggi pacta 3-5 minggu setelah onset penyakit dan bertahan selama 2 bulan. Oleh karena itu, untuk menyingkirkan diagnosis chikungunya, sam pel fase pemulihan (convalescent) harus tetap diperiksa apabila hasil pemeriksaan sam pel fase akut negatif.

Apabila PRNT tidak tersedia, pemeriksaan serologis lain seperti hemaglutination inhibition (HI) dapat digunakan untuk mengidentifikasi infeksi alfavirus yang baru

saja terjadi (recent infection). Namun PRNT tetap diperlukan untuk mengkonfirmasi recent infection CHIKV. Spesimen lain yang dapat digunakan untuk pemeriksaan laboratorium : 1. Cairan serebrospinal pada kasus meningoensefalitis

2. Cairan sinovial pada kasus artritis disertai efusi 3. Materi autopsi- serum atau jaringan yang tersedia Sebelum mengidentifikasi CHIKV di sebuah negara, survailans laboratorium harus mengambil 3 set sam pel untuk memeriksa : 1. Spesimen dengue negatif pada pasien dengan keluhan nyeri sendi berat

2. Sampel dari penyakit yang gambaran klinisnya serupa dari area geografis baru tanpa sirkulasi dengue aktif 3. Sekumpulan (clusters) penyakit demam dengan nyeri sendi berat Berikut adalah tabel yang menunjukkan pemeriksaan ideal yang sebaiknya dilakukan dalam setting epidemiologis yang bervariasi : Tabel 2. Survailans Laboratorium untuk CHIKV menurut Variasi Epidemiologis 3

[: · · Sl§~nal'lo ~ptc:lemli:>Jog!s

..·res van9'r:>tP'EirJul<ar1 •·

saillp~J vCin9 orJ)~rnc.sa

Tidak ada tanda penularan/ ELISA lgM dan lgG transmisi Suspek penyakit CHIKV

Transmisi berkelanjutan

Semua sam pel dari pasien dengan gambaran klinis yang serupa ELISA lgM dan lgG, RT-PCR real Semua sam pel dari pasien time, isolasi virus, PRNT dengan gambaran klinis yang serupa ELISA lgM dan lgG, RT-PCR real Sampel dari kasus CHIK klasik, time, isolasi virus terbatas yang ditentukan oleh lab dan status epidemiologis; sampel dari semua kasus berat atau atipikal sebaiknya diperiksa

Kejadian LuarBiasa (KLB) periodik ELISA lgM dan lgG, RT-PCR rea/ Sampel dari kasus CHIK klasik, (CHIKV pernah terdeteksi pada time, isolasi virus terbatas yang ditentukan oleh lab dan daerah tersebut) atau survailans status epidemiologis; sampel aktif pada area sekitar transmisi dari semua kasus berat atau CHIKV atipikal sebaiknya diperiksa Tabel 3. lnterpretasi Hasil Pemeriksaan CHIKV menurut waktu pascainfeksP

t~~~tjlj~~~p~$~4·t~(i~~~;
> Hari 8

lsolasi : Positif RT-PCR : Positif lsolasi : Negatif RT-PCR : Negatif lsolasi : Negatif

PRNT :Negatif lgM :Positif PRNT :Negatif lgM :Positif ···· PRNT :Positif

.•. ;.•!

Berikut adalah hasil pemeriksaan laboratorium untuk mengkonfirmasi recent

infection CHIKV :3 Isolasi CHIKV, termasuk identifikasi konfirmasi (IFA, RT-PCR, atau sequencing) Deteksi RNA CHIKV dengan RT- PCR real time Identifikasi hasil IgM positifpada pasien dengan gejala akut CHIKV, diikuti dengan adanya antibodi spesifik CHIKVyang ditentukan oleh PRNT dengan virus lain yang ada didalam serogrup Semliki Forest virus (SFV) Adanya serokonversi a tau kenaikan titer 4x lip at pad a PRNT, HI, a tau ELISA (sekali lagi, dengan menggunakan virus lain yang ada di dalam serogrup SFV) antara spesimen fase akut dan convalescent.

DIAGNOSIS BANDING Malaria, demam dengue, leptospirosis, demam rematik 3, demam typoid, influenza Tabel 4. Perbandingan Gambaran Klinis dengan Laboratorium lnfeksi CHIKV dengan Denguec 3

.. GAMBARAN;KUNIS [)AN: LABORATORIUM

Demam > 39°C

•;

INFEkSI CHIKV ·

+++

·

..· ·. ++

+

++

Artralgia

+++

+I-

Sakit kepala

++

++b

Bintik-bintik merah

++

+

+I-

++

Syok Leukopeni

++

+++

Neutropeni

+

+++

Limfopeni Trombositopeni

· .··

·~

+

+++

++ ++

Peningkatan hematokrit

b

·

Mialgia

Perdarahan abnormal

c

. \·~lNFEKSi:~IRUS DENGUE

+

+++

Rata-rata trekuensi gejala yang muncul pada pasien terhadap kedua penyakit ini dibandingkan dengan penelitian; +++ = dialami oleh 70-l 00% pasien; ++ = 40-69% pasien; + = l 0-39% pasien; +/- = < l 0% pasien; - = 0% Lebih sering berupa nyeri retroorbita

TATALAKSANA Tidak ada terapi spesifik, tatalaksana ditujukan untuk meringankan gejala, termasuk nyeri sendi.

label 5. Tatalaksana Demam Chikungunya 3 --c;cc\FA'$~ ~l(ijy?'

··•·· ..

· .· .: ;J=).;ses~~;(~qr·~~~·~~~~l§/.~~~\:. •

Rehidrasi (bila muntah, berkeringat, insensible losses)

Nyeri sendi : kortikosteroid oral atau injeksi intraartikular, atau NSAID oral

Antipiretik : asetaminofen (parasetamol)

Alternatif: metotreksat**

Anti radang* : ibuprofen, naproksen

Fisioterapi -7 kasus artralgia lama dan kaku sendi

Nyeri sendi berat yang tidak membaik dengan NSAID : narkotik (morfin), kortikosteroid durasi sing kat • Perhallan :tidak dianjurkan memberikan aspirin karena resiko perdarahan dan sindroma Reye pada anak <12 tahun **Pada lase subakut dan kronis, dopa! dipertimbangkan bila terapi lain lidak adekuat untuk mengatasi keluhan artralgia berulang (refractory joint symptoms)

PROGNOSIS Sebagian besar pasien sembuh sempurna, namun pada beberapa kasus, nyeri sendi dapat persisten untuk beberapa bulan sampai beberapa tahun. Tingkat mortalitas pada individu >65 tahun lebih tinggi 50 kali lipat dibandingkan dengan dewasa muda <45 tahun. 3 UNITY ANG MENANGANI • • RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam • • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan • RS non pendidikan REFERENSI 1.

Peters CJ. Infections Caused by Arthropod- and Rodent-Borne Viruses. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of Internal Medicine 17th edition. United States of America. McGraw Hill. 2008

2.

WHO. Fact sheets: Chikungunya. Diunduh darihttp:/ /www.who.int/mediacentre/factsheets/ fs327 /en/ pada tanggal 26 April 2012

3.

Staples CJ eta\. Preparedness and Response for Chikungunya Virus: Introduction in the Americas. CDC. 2011

DEMAM BERDARAH DENGUE

PENGERTIAN Merupakan penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamukAedes aegypty dan Aedes albopictus serta memenuhi kriteria WHO untuk demam berdarah dengue. 1 PENDEKATAN DIAGNOSIS2 Anamnesis

Demam mendadak tinggi dengan tipe bifasik disertai oleh kecenderungan perdarahan (perdarahan kulit, perdarahan gusi, epistaksis, hematemesis, melena, hematuria), sakit kepala, nyeri otot dan sendi, ruam, nyeri di belakang mata, mual-muntah, pemanjangan siklus menstruasi. Riwayat penderita DBD di sekitar tempat tinggal, sekolah atau di tempat bekerja di waktu yang sama. Pasien dapat juga datang disertai dengan keluhan sesak, lemah hingga penurunan kesadaran. Pemeriksaan Fisik

Demam Gejala infeksi viral seperti: injeksi konjungtiva, mialgia, artalgia Tanda perdarahan: ptekie, purpura, ekimosis Hepatomegali Tanda-tanda kebocoran plasma: efusi pleura, asites, edema, kandung empedu Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah rutin: lekopenia, trombositopenia, hemokonsentrasi Serologi: IgG-IgM antidengue (+), pemeriksaan protein virus NS-1 Dengue, Foto toraks: penumpulan sudut kostofrenikus USG abdomen: double layer pada din ding kandung empedu, a tau asites

Kriteria Diagnosis3.4 Definisi Kasus untuk Demam Dengue Probable- demam akut disertai dua atau lebih gejala berikut: • sakit kepala • nyeri retro-orbital • myalgia • artralgia • ruam • manifestasi perdarahan • leukopenia ; dan • Hasil pemeriksaan serologi (+) a tau adanya demam dengue di lokasi dan waktu yang sama Confirmed- kasus di konfirmasi dengan kriteria laboratorium • lsolasi virus dengue dari serum atau sampel otopsi • Kenaikan 2: 4 kali titer antibodi IgG atau IgM pada sampel plasma • Terdapatnya antigen virus dengue pada sam pel otopsi jaringan, plasma, atau LCS dengan teknik imunihistokimia, imunofluoresens, atau ELISA • Deteksi sekuens genom virus dengue di sampel jaringan atau LCS dengan cara PCR Reportable - setiap kejadian kasus probable atau confirmed harus dilaporkan Kriteria Diagnosis Klinis Demam Berdarah Dengue (DBD) WHO 1997

1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik. 2. Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut: • Uji bendung positif. • Ptekie, ekimosis, atau purpura. • Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat lain. • Hematemesis atau melena. 3. Trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/ml). 4. Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran plasma) sebagai berikut: • Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan umur dan jenis kelamin.

• •

Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, atau hiponatremia

Derajat Keparahan Demam Berdarah Dengue



Derajat 1: Demam disertai gejala-gejala konstitusional yang tidak spesifik; satu-

satunya manifestasi perdarahan adalah hasil uji tourniquet yang positif. •

Derajat II: Sebagai tambahan dari manifestasi pasien derajat I, terdapat perdarahan

spontan, biasanya dalam bentuk perdarahan kulit danjatau perdarahan lainnya. •

Derajat III: Kegagalan sirkulasi dengan manifestasi nadi yang lemah dan cepat,

menyempitnya tekanan nadi (2 0 mmHg atau kurang) atau hipertensi, serta gelisah dan kulit teraba dingin •

Derajat IV: Renjatan j syok berat dengan nadi dan tekanan darah yang tidak

terdeteksi

DENGUE SHOCK SYNDROME (DSS) Diagnosis Dengue Shock Syndrome (DSS)

Semua gejala kriteria DBD ditambah bukti adanya kegagalan sirkulasi seperti: Nadi lemah dan cepat Tekanan nadi sempit (< 20 mmHg) Atau adanya manifestasi: Hipotensi Akral dingin, lembab dan gelisah Diagnosis Banding

Demam akut lain yang disertai trombositopenia seperti demam tifoid, malaria, chikungunya Pemeriksaan Penunjang

Hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), lekosit, trombosit, serologi dengue, foto toraks. Evaluasi Ht dan trombosit setiap 12/24 jam sesuai keadaan klinis, USG abdomen sesuai indikasi atau bila perlu. DIAGNOSIS BANDING

Demam akut lain yang disertai trombo,sitopenia seperti demam tifoid, malaria, chikungunya.

TATALAKSANA4 Nonfaramakologis



lstirahat, makanan lunak, tingkatkan asupan cairan oral



Pantau tanda-tanda syok, terutama pada transisi fase febris (hari 4 - 6) Klinis: tingkat kesadaran, nadi, tekanan darah Laboratorium: Hb, Ht, Trombosit, Lekosit

Farmakologis



Simtomatis: antipiretik parasetamol bila demam



Tatalaksana terinci pada lampiran protokol tatalaksana DBD Cairan intravena: Ringer Laktat atau ringer asetat 4-6 jamjkolf. Evaluasi jumlah cairan, kondisi klinis, perbaikanjperburukan hemokonsentrasi. Koloidjplasma ekspander pada DBD stadium III dan IV bila diperlukan. Transfusi trombosit dan komponen darah sesuai indikasi Pertimbangan heparinisasi pacta DBD stdadium III dan IV dengan Koagulasi intravaskular diseminata (KID)

Kriteria Merujuk Pasien ke RS/ICU:

Takikardi Capillary refill time ( < 2 detik) Kulit dingin, lembab dan pucat Nadi perifer lemah atau hilang Perubahan status mental Oliguria Peningkatan mendadak Ht atau peningkatan kontinyu Ht setelah terapi cairan diberikan Tekanan nadi sempit ( < 20 mmHg) Hipotensi Protokol penatalaksanaan DBD pada pasien dewasa: Protokoll: Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok Protokol 2: Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat Protokol3: Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20% Protokol4: Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD dewasa Protokol 5: Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pacta dewasa

,D~em.citrl•···ser(:id:r<:ffi·i~e:n,g;~•·~~: Protokoll: Penanganan Tersangka (Probable) DBD dewasa tanpa syok

Observasi Rawat jolon Periksa Hb, Ht, Leuko, trombo/24 jam

Observasi Rawat jolon Periksa Hb, Ht, Leuko, trombo/24 jam

Penanganan protocol rawat inap untuk DBD (protokol2)

Protokol 2: Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat Suspek DBD Perdarahan Spanton dan Masif (-) Syok (-)

1

~

~

Hb, HtTrombo < 100.000 lnfus Kristaloid Hb, Ht, Trombo tiap 24 jam

Hb, Ht meningkat 10-20% Trombo < 100.000 lnfus Kristaloid Hb, Ht, Trombo tiap 12 jam

f-+

~ f-+

Hb, Ht meningkat > 20% Trombo < 100.000

~ Protocol pemberian cairan DBD dengan Ht meningkat 2:20% Keterangan :

* Volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan: Sesuai rumus berikut 1500 + 20 x (berat badan dalam kg- 20) Contoh volume rumatan untuk berat bad an 55 kg : 1500 + 20 x (55-20) = 2200 ml ** Pemantauan disesuaikan dengan fase/hari perjalanan penyakit dan kondisi klinis

Setelah cairan diberikan dilakukan pemeriksaan Hb, Ht tiap 24 jam: •

Bila Hb,Ht meningkat 10 -20% dan trombosit < 100.000 jumlah pemberian cairan tetap sperti rum us di atas tapi pemantauan Hb, Ht, trombosit dilakukan tiap 12 jam



Bila Hb, Ht meningkat > 20% dan trombosit

<

100.000 maka pemberian cairan

sesuai protocol penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%.

'PaodJ18D.PflkU.,IiDi$

~ P~rhlinpurla~ pokter Speslalis P~nYaldt.Da1omJ0dori.esia

Protokol3: Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Ht > 20%

Terapi awol cairan intravena kristaloid 6-7 ml/kg/jam

PERBAIKAN

TIDAK MEMBAIK Ht dan frekuensi nodi meningkat, tekanan darah menurun < 20 mmHg, produksi urin menurun

Ht dan frekuensi nadi turun, tekanan darah membaik, produksi urin meningkat

Kurangi infus kristaloid 5 ml/kg/jam

TANDA VITAL DAN HEMATOKRIT MEMBURUK

lnfus kristaloid 10 ml/kg/jam

PER BAlKAN

Kurangi infus kristaloid 3 ml/kg/jam

lnfus kristaloid 10 ml/kg/jam

KONDISI MEMBURUK Tanda syok Terapi cairan dihentikan 24-48 jam PERBAIKAN

Tatalaksana sesuai protocol syok dan perdarahan

Membaik: penurunan hematokrit, stabilnya pulsasi dan tekanan darah, urine output meningkat Tidak membaik: hematokrit dan pulsasi meningkat, tekanan darah menurun dibawah 20 mmHg, menurunnya urine output Tanda -tanda vital tidak stabil: menurunnya urine output, tanda-tanda syok

'

882

'

.

-•••PE;m~·nT•.~e_r(j.CJ·:r(J·h··IT)·e·n;gwe·•··· Protokol 4: Penotoloksonoon Perdorohon Sponton podo DBD dewoso Kasus DBD: Perdarahan spontan masif: Epistaksis tidak terkendali,Gross hematuria, Hematemesis dan atau melena, Hematokezia, Perdarahan otak

T

Hb, Ht. Leukosit. Trombosit, Pemeriksaan hemostasis (KID) Golongan darah, uji cocok serasi

~ KID(+) Transfusi komponen darah : PRC (Hb
1 KID(-) Transfusi komponen darah : PRC (Hb
Protokol5: Tatalaksana Sindroma Syok Dengue pada dewasa Jalan nap as Pernapasan : 02 l-2L/menil dengan nasal kaleler. Bila lebih memakai sungkup wajah. Sirkulasi : cairan krislaloid dan alau koloid l 0-20 ml/kg secepalnya (bila mungkin < lO menil) Perhalikan : Ianda-Ianda hipovolemia. hipervolemia/ overload dan respon pemberian cairan

Perburukan

T Koloid 10-20 ml/kg dalam 10-15 me nil

Perhilungon

1------......:----' nutrisi setelah T

24-48 jam selelah syok leralasL Ianda vital I HI slabil, dieresis cukup

l2jom (dextrose 5% bila tidak ada kontra indikasi)

Transfusi darah 10 ml/kg, dapat diulang sesuai kebuluhan

Stop infus

Koloid. bila dosis maksimal belum dicapai atau krislaloid/gelalin (bila koloid sebelumnya Ieiah mencapai dosis maksimal) 10 ml/kg dalam 10 menit, dapat diulang sampai 30 menil: sasaran tek vena senlral (TVS) 15-18 smH,O

Perbaikan

Kombinasi koloid -krislaloid

Koreksi gangguan asam basa, eleklrolit. hipoglikemia, anemia. KID, infeksi sekunder

IIIII

bertahap 1------1 1 Perbaikan vasopresor

D~rnam

Berdarah Dengue

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

KOMPLIKASI Renjatan (syok), ensefalopati dengue, perdarahan saluran cerna, KID (koagulasi intravaskular diseminata)

REFERENSI 1.

Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL Hauser SL, Longo DL Jameson JL. Infection caused by arthropod and rodent-borne viruses. Harrisson's: Principle of Internal Medicine.17th ed.New York: McGrawHill Companies; 2009: 1230,1239.

2.

Suhendro LN, Khie C, Herdiman TP. Demam Berdarah Dengue. Dalam: Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi 5. Jakarta: lnterna Publishing; 2009: 2773-9.

3.

World Health Organization. Dengue hemorrhagic Fever: Diagnosis, treatment prevention, and control. 2nd ed. Geneva: World Health Organization Publication; 1997.

4.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

DEMAM NEUTROPENIA

PENGERTIAN Demam didefinisikan bila ditemukan suhu oral~ 38,3°C pacta satu kali pengukuran atau suhu :::: 38°C bertahan lebih dari satu jam. Neutropenia didefiniskan sebagai penurunan jumlah netrofil absolut <500 seljmm 3 atau jumlah netrofil diperkirakan akan menurun <500 seljmm 3 selama 48 jam kemudian. 1•2

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Gejala dan tanda inflamasi seringkali kurang tampak atau tidak tampak sama sekali pacta pasien neutropenia pacta keadaan klasik adanya. Infeksi bakteri pacta kulit dan jaringan lunak jarang menimbulkan indurasi, eritema, panas, dan pustulasi. lnfiltrat pacta infeksi paru dapat tidak terlihat pacta radiografi. Infeksi pacta meningen dapat hanya ditemukan pleiositosis ringan di cairan serebro spinal (CSS). Infeksi traktus urinarius dapat menunjukkan piuria ringan atau bahkan tidak ada sama sekali. Demam seringkali merupakan satu-satunya tanda infeksi. Adanya kondisi komorbid yang mendasari seperti diabetes, penyakit paru obstruktifkronik, danjatau prosedur bedah harus dievaluasi. Pemeriksaan fisik pasien demam neutropenia membutuhkan ketelitian untuk mendeteksi gejala dan tanda yang minimal, khususnya pacta lokasi yang paling sering terkena infeksi seperti di kulit (khusunya tempat pemasangan kateter, seperti tempat masuk atau keluarnya kateter atau tempat aspirasi sumsum tulang), orofaring (termasuk periodontium), saluran cerna, paru, dan perineum. 2 I

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pasien demam neutropenia membutuhkan ketelitian untuk mendeteksi gejala dan tanda yang minimal, khususnya pacta lokasi yang paling sering terkena infeksi seperti di kulit (khususnya tempat pemasangan kateter, seperti tempat masuk atau keluarnya kateter atau tempat aspirasi sumsum tulang), orofaring (termasuk periodontium), saluran cerna, paru, dan perineum. 2

Pemeriksaan Penunjang



Laboratorium sebaiknya dilakukan pemeriksaan darah lengkap dengan hitung jenis leukosit dan jumlah trombosit, mengukur kreatinin serum dan blood urea nitrogen, elektrolit, enzim transaminase hati, dan bilirubin totaJ.2



Kultur : sebaiknya dilakukan sesuai dengan gejala dan tanda klinis tetapi tidak secara rutin. 2 Feses: diambil untuk memeriksa Clostridium difficile toxin assay pada pasien yang mengalami diare Urin: dilakukan pemeriksaan jika ditemukan gejala dan tanda infeksi saluran kemih, terpasangnya kateter saluran kemih, atau ditemukannya hasil urinalisis yang abnormal. CSS: Pemeriksaan dan kultur cairan spinal diindikasikan jika dicurigai meningitis Kulit: biopsi dari lesi kulit yang terinfeksi sebaiknya dilakukan pemeriksaan sitologi, pewarnaan gram, dan kultur. Spesimen respiratori: sampel sputum untuk kultur bakteri rutin dikirim jika pasien mengalami batuk produktif. Spesimen traktus respiratori bawah diambil dengan cara bilasan bronkus direkomendasikan pada pasien dengan infiltrat yang penyebabnya tidak jelas pada foto thoraks. Nasal wash atau spesimen BAL direkomendasikan untuk mengevaluasi gejala infeksi virus respirasi.



Pencitraan Pasien dengan gejala dan tanda respiratori sebaiknya dilakukan foto thoraks untuk mengeksklusi pneumonia. Pneumonia selama neutropenia biasanya perjalanan penyakitnya berlangsung progresif sehingga disarankan untuk segera dilakukan perawatan di ruang rawat inap. 2

DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding berdasarkan etiologi yang menyebabkan demam neutropenia yaitu: 2 Tabel 1. Etiologi Demam Neutropenia

Kokus gram positif

Staphylococcus epidemiidis . StaphyJQCQCc_u_s._a_uJ:eus_ _..

Varidans Streptococcus Enterococcus faecalis Streptococcus pneumoniae

Basilus gram negatif

Escherichia coli ____ f'se.udomonas.aerugioosa.-----··-·· Non-aeruginosa Pseudomonas spp

Panduan Pralnikllinis

Enterobacter spp. Klebsiella spp. Serratia spp

Acinetobacter spp Citrobacter spp

Basilus gram positif

Diphtheroids

Fungi

Candida spp Aspergillus spp

TATALAKSANA Penilaian risiko komplikasi infeksi berat sebaiknya dinilai pada saat demam. Penilaian resiko dapat menentukan jenis antibiotik empiri (oral a tau IV), jenis perawatan (rawat inap atau rawat jalan), dan durasi terapi antibiotik. 2 Sistem skoring MASCC (Multinational Association for Supportive Care in Cancer Risk-Index Score) merupakan hasil penjumlahan skor faktor risiko, termasuk umur pasien, riwayat, status rawat inap a tau rawat jalan, tanda klinis akut, adanya kondisi komorbid, dan deratnya demam dan neutropenia yang dinilai oleh beratnya beban penyakit. Penilaian risiko dengan sistem skor MASCC ini dapat membantu menilai kondisi pasien untuk menentukan regimen dan tern pat perawatan yang sesuai untuk pemberian antibiotik empiris, juga waktu pemulangan dari rumah sakit. 2•3 Tabel2. The Multinational Association for Supportive Care in Cancer Risk-Index Score (apendiks) 2

:·. :i{A~~~ERISTI~ " ' .•r·• .'f

-.--~

~-,--·,-,,•{:,

:c;.:t:C=~--~---'

__ ,

>$tori

,-.y-

':'L~·,<':

Demam neutropenia dengan tidak ada gejala atau ringan

5

Tidak ada hipotensi(tekanan darah sistolik<90mmHg)

5

Tidak ada Penyakit Paru Obstruktif

4

Tumor solid a tau keganasan hematologis tanpa adanya riwayat infeksi jamur sebelumnya

4

Tidak ada dehidrasi yang membutuhkan cairan parenteral

3

Beban demam neutropenia dengan gejala sedang

3

Status rawat jalan

3

Umur <60tahun

2

Catalan: Nilai skor maksimum 26. a. Demam neutropenia merujuk kepada status klinis umum yang dipengaruhi episode demam neutropenia. Sebaiknya di evaluasi pada skala: gejala tidak ada atau ringan (skor 5); gejala moderate (skor 3); dan gejala berat (skor 0). b. Penyakit Paru Obstruktif Kronis berarti bronkilis aktif kronis. emfisema, penurunan FEY. membutuhkan oksigen dan/atau steroid dan/atau bronkodilator pada soot epsode demam neutropenia. c. Riwayat infeksi jamur sebelumnya berarti terkena infeksi jamur at au secara empiris mengobati pasien suspek jamur

··@@:rn(:J .Q'1.· ~\e.qtt()p~gia····· Pasien Risiko Tinggj2

Pasien dengan kriteria di bawah ini dipertimbangkan menjadi risiko tinggi untuk komplikasi serius selama demam dan neutropenia. Sebagai alternatif, skor MASCC <21 dapat digunakan sebagai panduan. Pasien risiko tinggi sebaiknya mendapatkan terapi antibiotik empiris di rumah sakit:

• •



Profound neutropenia (Jumlah neutrofil absolut <100 seljmm3) diperkirakan bertahan >7hari Adanya penyakit komorbiditas dibawah ini: Instabilitas hemodinamik Mukositis oral atau gastrointestinal yang menganggu proses menelan atau yang mengakibatkan diare berat Gejala gastrointestinal, termasuk nyeri abdomen, mual, muntah,atau diare Perubahan neurologis atau status mental Infeksi kateter intravaskular Infiltrat paru baru atau hipoksemia, atau penyakit paru kronis yang mendasari Bukti adanya insufisiensi hepatik (didefinisikan sebagai peningkatan aminotransferase >Sx batas atas normal) atau insufisiensi ginjal (didefinisikan sebagai bersihan kreatinin <30 mL/min).

Pasien Risiko Rendah 2

Pasien risiko rendah adalah pasien dengan neutropenia yang diharapkan membaik dalam 7 hari dan tidak ada penyakit komorbid, secara klinis stabil, serta fungsi hepar dan renal yang adekuat. Kebanyakan pasien ini ditemukan dengan tumor solid. Pasien dengan risiko rendah mempunyai kriteria MASCC skor >21. Penatalaksanaan Pengobatan Antimikroba

Adapun prinsip pengobatan empirik pada neutropenia febris adalah sebagai berikut: 3

• • •

Prompt a tau secepatnya, karena cepat dan tingginya angka kematian. Empirik yang didasarkan pada surveillance, kondisi pasien dan kondisi setempat. Bakterisidallebih dipilih daripada antibiotik bakteriostatik pada keadaan netrofil rendah. • Spektrum luas untuk mencakup semua bakteri patogen. Regimen antibakterial sebaiknya diberikan sesuai dengan hasil kultur. Kultur darah merupakan pemeriksaan yang paling relevan terhadap dasar terapi, sedangkan kultur permukaan kulit dan membran mukosa dapat terjadi salah interpretasU

Demam ~ 38,3°C dan neutropenia

Reslko tinggl Anticipated neutropenia > 7 hari atau secara klinis tdk stabil atau Penyakit komorbiditas lain

Reslko rendah Anticipated neutropenia < 7 hari dan secara klinis stabil dan tidak ada komorbiditas

+

Antibiotlk IV rawat inap • lnfeksi yang membutuhkan antibiotik IV • lntoleransi Gastrointestinal • Keputusan pasien dan dokter

I

Jika respon dan masuk kriteria rawat jolon

I

Ciproftoxacilin oral

+

+

Antlblollk rawat ]alan • Regimen oral jika mampu mentoleransi dan mengabsorbsi • Tersedianya caregiver, telefon, transportasi • Keputusan pasien dan dokter

I

amoxicillin7clavulanat

Observasi 4-24 jam di klinik untuk memastikan antibiotik empiris dopa! ditoleransi dan pasien tetap stabil sebelum rawat jolon

/

< 500 seijmm'

Antlbiotik IV rawat lnap Antibiotik empiris monoterapi: • Piperacilin/tazobactam atau • Carbapenem • Ceftazidime • Cefepime

I Sesuaikan pemberian antlmlkroba berdasarkan Ianda kllnis spesifik, radiografi dan/ atau data kultur. Contoh ·Vancomycin atau linezolid untuk selulitis atau pneumonia • Tambahkan aminoglikosid dan ganti ke carbapenem untuk pneumonia atau bakteremia gram negatif • Metronidazol untuk gejala abdomen atau suspek infeksi C.difficile

Gombar 1. Algoritme manajemen inisial demam neutropenia 2

Pengobatan Antijamur dan Dekontaminasi Antibiotik Parsial

Sebelum dilakukan pemberian kemoterapi, beberapa pus at pengobatan termasuk Indonesia, terlebih dahulu memberikan PAD (Partial Antibiotic Decontamination) dengan tujuan sterilisasi usus atau saluran cerna. Regimen PAD dapat berupa kolistin, neomisin, pipemidic acid ditambah dengan anti jamur profilaksis seperti flukonazol, itrakonazol, atau amfoterisin B, atau dapat juga regimen lain seperti kuinolon-siprofloksasin, bahkan yang sederhana dengan kotrimoksazol. Pengobatan standar sampai saat ini masih menggunakan flukonazol, itrakonazol, amfoterisin B atau liposomal amfoterisin B. Pacta risiko rendah penggunaan obat antijamur tidak direkomendasikan. Pengobatan Antivirus

Pengobatan antivirus tidak dipergunakan sebagai pengobatan empirik. Obat antivirus hanya diindikasikan hila terbukti secara klinis atau laboratoris dengan adanya penyakit virus.1.3

oo ,~eutrq:p,er;li: Pengobatan Lain

Pengobatan growth factor dn imunomodulator serta empirikal immunoglobulin tidak direkomendasikan secara rutin, karena belum ada bukti nyata.1.3

KOMPLIKASI Bakteriemia. 1.4

PROGNOSIS Demam neutropeni terjadi pada 10%- 50% pasien dengan tumor solid dan 80% pada keganasan hematologi, dan biasanya membutuhkan waktu pengobatan 7-12 hari dengan angka kematian 10%. Angka kematian rata -rata sebesar 15% pada kelompok risiko tinggi dan 1% pada kelompok risiko rendah. Demam neutropenia, jika tidak ditangani dalam 48 jam pertama, maka angka kematian mencapai 50 %. 4

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Divisi Alergi lmunologi - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

REFERENSI 1.

Kosten T.lnfections in Patients with Cancer. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of Internal Medicine 18th edition.United States of America.Mcgraw Hill. 2012

2.

Clinical Practice Guideline for the Use of Antimicrobial Agents in Neutropenic Patientswith Cancer: 2010 Update by the lnfectiousDiseases Society of America

3.

Ranuhardy D. Neutropeni Febril pad a Kanker. dalam: Sudoyo,Setiyohadi. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta. lnterna Publishing. 2011

4.

Klastersky Jean. Management of Fever in Neutropenic Patients with Different Risks of Complications. Diunduh dari http:/ /cid.oxfordjournals.org/content/39 /Supplement_ 1/S32.full pada tanggal 1 Mei 2012.

DEMAM TIFOID

PENGERTIAN Demam tifoid merupakan penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi atau Salmonella paratyphU PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Gejala yang paling menonjol adalah prolonged fever (38.8°-40.5°C), dan berlanjut hingga 4 minggu jika tidak ditangani. S.paratyphi A dapat mengakibatkan gejala penyakit yang lebih ringan daripada S.typhi, dengan predominan gejala gastrointestinal. Pacta minggu pertama, gejala yang ditemukan adalah sakit kepala, menggigil, batuk, berkeringat, mialgia, malaise, dan artralgia. Gejala gastrointestinal yang ditemukan yaitu: anoreksia, nyeri abdomen, mual, muntah, diare, konstipasU Pemeriksaan Fisik

Pacta pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu badan meningkat. Sifat demam adalah meningkat perlahan-lahan dan terutama pacta sore hingga malam hari. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi jelas berupa demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1 oc, tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8xjmenit), lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorism us, gangguan mental berupa somnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis. Roseola jarang ditemukan pacta orang Indonesia. 1 Pemeriksaan Penunjang

Pacta pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal, atau leukositosis walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu dapat ditemukan anemia dan trombositopenia. Nilai SGOT dan SGPT seringkali meningkat. 1•2 Pemeriksaan lain yang rutin dilakukan adalah uji Widal dan kultur organisme. Kuman tifoid yang mengandung antigen (0 and H) dapat menstimulasi host untuk

terbentuknya antibodi. Saat ini belum ada kesamaan pendapat mengenai aglutinin yang bermakna diagnostik untuk demam tifoid. Batas titer yang sering dipakai hanya kesepakatan saja, hanya berlaku setempat dan batas ini bahkan dapat berbeda di berbagai laboratorium setempat. 1•2 Pada uji Widal, bila terjadi kenaikan 4 kali titer antibody 0 dan H pada spesimen yang diambil dalam jarak 2 minggu, maka kemungkinan tinggi terjadi proses infeksi

S.typhi. Pembentukan aglutinin mulai terjadi pada akhir minggu pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak pada minggu keempat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Bagaimanapun juga, pemeriksaan ini mempunyai persentase sensitivitas sekitar 70% dan mempunyai nilai spesifitas yang rendah; banyak strain Salmonella non typhoidal terjadi reaksi silang, dan sirosis hepatis dapat mengakibatkan false-positif.l.2 Kultur merupakan standar baku dalam menegakkan diagnosis. Kultur darah, feses dan urin sebaiknya dilakukan. Kultur darah biasanya positifpada awal2 minggu pertama, tapi kultur feses biasanya positif selama minggu ke 3 hingga ke 5. Sedangkan kultur urin pada minggu ke 4. Jika kultur tersebut negatiftetapi secara klinis suspek kuat demam tifoid, maka kultur biopsi spesimen sumsum tulang belakang dapat dijadikan pertimbangan untuk mencari kuman Salmonella. Tingkat sensitivitas kultur sumsum tulang mencapai 55-90%, dan tidak seperti kultur darah, hasil kultur tidak berkurang walaupun setelah 5 hari pemberian antibiotik sebelumnya. Akan tetapi, metode ini memakan waktu lama dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang relatif rendah, dan juga memerlukan fasilitas laboratorium yang khusus. 1•2 Selain uji Widal, terdapat beberapa metode pemeriksaan lain yang dapat dilakukan dengan cepat, mudah serta memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik antara lain uji TUBEX, Typhidot dan dipstik. Uji TUBEX merupakan uji semikuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini digunakan untuk mendeteksi antibodi anti-S.typhi 09 pada serum pasien. Deteksi terhadap anti 09 dapat dilakukan lebih dini,yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Pada penelitian tahun 2006, di Jakarta, Surya H dkk, didapatkan sensitivitas uji Tubex sebesar 100%, spesifitas 90%. Uji Typhidot dapat mendeteksi antibody lgM dan IgG yang terdapat pad a protein membran luar Salmonella Typhi. Hasil positif didapatkan 2-3 hari setelah infeksi dan dapat mengidentifikasi secara spesifik lgM dan IgG terhadap antigen S.typhi seberat 50 kD, yang terdapat pada strip nitroselulosa. 3

Tabel 1. lnterpretasi Hasil Uji Tubex2

<2

Negatif

3

Borderline

-~~~~~

Tidak menunjuk infeksi tifoid aktif

Pengukuran tidak do pat disimpulkan. Ulangi pengujian, apabila masih meragukan lakukan pengulangan beberapa hari kemudian

4-5

Positif

Menunjukan infeksi tifoid aktif

>6

Positif

lndikasi kuat infeksi tifoid

Saat ini, metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) telah banyak digunakan dalam membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dari serum dan urin. Meskipun metode ELISA dengan mengambil cairan tubuh memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang lebih tinggi dibanding uji Widal, teknik yang invasif serta kesulitan mengambil dan mempertahankan sam pel hingga waktunya untuk diperiksa telah mengurangi manfaat metode ini. Oleh karena itu, saat ini telah dikembangkan ELISA untuk mendeteksi antibodi IgA lipopolisakarida anti-S.typhi pada sampel air liur pasien yang dicurigai menderita demam tifoid. Dari hasil penelitian, metode ini mampu mendeteksi demam tifoid pada fase akut dan paling efisien selama minggu ke-2 dan ke-3 demam, yaitu saat dimana pasien datang untuk dirawat. 3 Tabel 2. Perbedaan Nilai Sensitivitas dan Spesifisitas dari Pemeriksaan ELISA, Tubex-TF, Typhidot lgGdan lgM.

Tubex-TF Typhidot lgM Typhidot lgG ELISA total lg ELISA lgG ELISA lgM ELISA lgA ELISA lgG + lgM EI:ISA-IgG+ lgA ELISA lgM + lgA ELISA lgG + lgM + lgA

75 63 28 93 75 79 57 88 -- 84 88 90

78 62 28 78 65 78 64 84 73 85 86

85 95 99 95 95 95 96 91 ---93-91 90

88 97 99 94 96 95 97 92 9.\i--

94 92

100 100 100 100 100 100 100 100 100 100 100

Toksik Tifoid Demam tifoid disertai gangguan kesadaran dengan a tau tanpa kelainan neurologis lainnya dan hasil pemeriksaan cairan otak masih dalam batas normal. 2

Tifoid Karier Seseorang yang kotorannya (feses atau urin) mengandung S.typhi setelah satu tahun pasca demam tifoid, tanpa disertai gejala klinik. 2

DIAGNOSIS BANDING 6 Demam dengue, malaria, enteritis bakterial TATALAKSANA Trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu: 1. Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif) Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makan padat dini yaitu (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman. 2•3 2. Pemberian antimikrobaLZ Pilihan utama: Kloramfenikol4 x 500 mg sampai dengan 7 hari bebas demam. Alternatif lain: Tiamfenikol 4 x 500 mg (komplikasi hematologi lebih rendah dibandingkan kloramfenikol) Kotrimoksazol 2 x 960 mg selama 2 minggu Ampisilin dan amoksisilin 50-150 mgjkgBB selama 2 minggu Sefalosporin generasi III; yang terbukti efektif adalah seftriakson 3-4 gram dalam dekstrosa 100 cc selama Yz jam per-infus sekali sehari, selama 3-5 hari. Dapat pula diberikan sefotaksim 2-3 x 1 gram, sefoperazon 2 x 1 gram Fluorokuinolon (demam umumnya lisis pada hari III atau menjelang hari IV): •

Norfloksasin 2 x 400 mgjhari selama 14 hari



Siprofloksasin 2 x 500 mgjhari selama 6 hari



Ofloksasin 2 x 400 mgjhari selama 7 hari

• •

Pefloksasin 400 mgjhari selama 7 hari Fleroksasin 400 mgjhari selama 7 hari

Kasus Toksik Tifoid 3 Pada kasus toksik tifoid langsung diberikan kombinasi kloramfenikol 4 x 500 mg dengan ampisilin 4 x 1 gram dan Prednison 20 hingga 40 mg sekali sehari PO (atau yang ekuivalen) selama 3 hari pertama dari pengobatan biasanya cukup. Dosis tinggi kortikosteroid (dexametason 3 mgjkg IV awal, diikuti dengan 1 mgjkg per 6 jam selama 48 jam), digunakan pada pasien dengan delirium, koma, syok.

KOMBINASI ANTIBIOTIKA 3 Kombinasi antibiotika hanya diindikasikan pada toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, dan renjatan septik.

Kasus Tifoid Karier 2 •

Tanpa kolelitiasis

--7

pilihan rejimen terapi selama 3 bulan:

Ampisilin 100 mg/kgBB/hari + Probenesid 30 mgjkgBBjhari Amoksisilin 100 mg/kgBB/had + Probenesid 30 mgjkgBB/hari Kotrimoksazol 2 x 2 tabletjhari •

Dengan kolelitiasis

--7

kolesistektoini + regimen tersebut di atas selama 28 hari

atau kolesistektomi + salah satu rejimen berikut: Siprofloksasin 2 x 750 mgjhari Norfloksasin 2 x 400 mgjhari •

Dengan infeksi Schistosoma haematobium pada traktus urinarius

--7

eradikasi

Schistosoma haematobium: Prazikuantel40 mg/kgBB dosis tunggal, atau Metrifonat 7,5-10 mgjkgBB hila perlu diberikan 3 dosis, interval2 minggu Setelah eradikasi berhasil, diberikan rejimen terapi untuk tifoid karier seperti di atas

Perhatian: Pada kehamilan fluorokuinolon dan kotrimoksazol tidak boleh digunakan. Kloramfenikol dan tiamfenikol tidak dianjurkan pada kehamilan.

KOMPLIKASI Komplikasi lntestinaF Perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis

Komplikasi Ekstraintestinai 2

:

896



Komplikasi kardiovaskuler: gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis



Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, KID, trombosis,



Komplikasi paru: pneumonia, empiema, pleuritis.



Komplikasi hepatobilier: hepatitis, kolesistitis.



Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, perinefritis.



Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, arthritis.



Komplikasi neuropsikiatrik atau tifoid toksik

~~·. >

PROGNOSIS Jika tidak diobati, angka kematian pada demam tifoid 10-20%, sedangkan pacta kasus yang diobati angka mortalitas demam tifoid sekitar 2%. Kebanyakan kasus kematian berhubungan dengan malnutrisi, balita dan lansia. Pasien lanjut usia atau pasien debil prognosisnya lebih buruk. Bila terjadi komplikasi, maka prognosis semakin buruk. Relaps terjadi pacta 25% kasus. 6 UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan • RS non pendidikan REFERENSI 1.

Peters CJ. Infections Caused by Arthropod- and Rodent-Borne Viruses. In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of Internal Medicine 17th edition.United States of America. McGraw Hill.2008

2.

Widodo D. Demam Tifoid. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta: Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam; 2009 : 2797- 2805.

3.

Parry Christopher M, Hi en Trans tin h. Thyphoid Fever. N Eng! J Med 2002; 347:1770-1782.

4.

Herath. Early diagnosis of typhoid fever by the detection of salivary lgA. J Clin Pathol2003;56:694698.

5.

Utah Public Health- Disease Investigation Plans. Thypoid Fever (Enteric Fever, Typhus Abdominalis). 2010. Diunduh dari http:/ /health.utah.gov /epi/diseases/typhoid/plan/TyphoidPian08161 O.pdf pada tanggal 2 Mei 2012.

DIARE INFEKSI

PENGERTIAN 1·2 · 3

Diare didefinisikan sebagai perubahan frekuensi buang air besar menjadi lebih sering dari normal/ lebih dari 3 kali per hari disertai perubahan konsistensi feses menjadi lebih encer. Diare juga dapat diartikan sebagai keluarnya feses lebih dari 200 gram per hari (pada populasi barat), atau kandungan air pada feses lebih dari 200 mL per hari. Berdasarkan durasinya, diare dibagi menjadi tiga: diare akut (kurang dari 14 hari), diare persisten (berlangsung selama 2 - 4 minggu), dan diare kronis (berlangsung lebih dari 4 minggu). Diare disebut sebagai diare infeksi bila etiologinya adalah karena infeksi bakteri, virus, parasit, jamur, atau toksin dalam makanan Penyebab Gastroenteritis Karena lnfeksi

Toksin dalam makanan (inkubasi < 6 jam): •

Bacillus cereus



Staph. aureus



Clostridium spp. enterotoxin

Bakteri (inkubasi 12-72 jam): • • • •

Vibrio cholerae E. colienterotoksigenik (ETEC) Shiga toxin-producing E. coli (EHEC)* E. colienteroinvasif (EIEC)*

• • • •

Salmonella* Shigella* Campylobacter* Clostridium difficile*

Virus (inkubasi singkat): Rotavirus, Norovirus Protozoa (inkubasi lama): Giardiasis, Cryptosporidium, Microsporidiosis, disentri amuba*, lsosporiasis Keterangan: *diare berdarah

PENDEKATAN DIAGNOSIS4 Anamnesis

Onset, durasi, frekuensi, progresivitas, kualitas diare (konsistensi feses, adakah disertai darah atau lendir), gejala penyerta (muntah, nyeri perut, demam), riwayat makananjminuman yang dikonsumsi 6 - 24 jam terakhir, adakah keluarga atau orang disekitarnya dengan gejala serupa, kebersihan/ kondisi tempat tinggal, apakah wisatawan atau pendatang baru, riwayat seksual, riwayat penyakit dahulu, penyakit dasar jkomorbid. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum, tanda vital, status gizi, tanda dehidrasi, tanda anemia, kualitas dan lokasi nyeri perut, colok dubur (dianjurkan untuk usia > SO tahun, dan feses berdarah), identifikasi penyakit komorbid. Pemeriksaan Penunjang

Darah Perifer Lengkap (DPL), elektrolit, ureum, kreatinin, Analisa Gas Darah (AGD) bila dicurigai ada kelainan asam basa, analisa tinja, kultur dan resistensi feses, immunoassay toksin bakteri (C. difficile)/antigen virus (rotavirus), antigen protozoa (Giardia, E. Histolytica) DIAGNOSIS BANDING



Gastroenteritis (non infeksi)



Infeksi C. difficile



Divertikulitis akut

• •

Sepsis Pelvic inflammatory disease (PID)

TATALAKSANA4 A. Terapi Suportif

1. Rehidrasi cairan dan elektrolit

Per oral: larutan garam gula, oralit, Larutan Rehidrasi Oral (LRO) Intravena: ringer laktat, ringer asetat, normal salin, ringer dekstrosa, dsb Jumlah kebutuhan cairan disesuaikan dengan status hidrasi (menggunakan klasifikasi berdasarkan CDC AS 2008) atau dengan menggunakan skor Daldiyono.

Tabel 1. Klasifikasi Dehidrasi menurut WHO

:cc~~':V ,, <'#~~tiQ!pll' :.·• .•.·.·· ' · . ''::· q~~W:~(i!rW.l>~l~n)%~~···. ::~~J?~~s{t'~9if~6''t)~~;,;::~i.{i~··~tif~·~ Tanpa dehidrasi/ dehidrasi ring an

<5%

<50 ml/kg

Dehidrasi sedang

5-10%

50-1 00 ml/kg

Dehidrasi berat

>10%

>100 ml/kg

Kebutuhan cairan per hari menggunakan metode ini adalah : •

Dehidrasi minimal

: 103/100 x 30- 40 mLjkgBB/hari



Dehidrasi ringan sedang



Dehidrasi berat

: 109/100 x 30-40 mL/kgBBjhari

: 112/100 x 30- 40 mLjkgBB/hari

Tabel 2. Penilaian Derajat Dehidrasi menurut WHO

. ~;

·~~nl!.p,,~n>L•'

;sidst:f ·~· ·· ··

S~(ltt

.sk:br2.·.

Keadaan umum

Baik

Lesu/haus

Gelisah, mengantuk, hingga syok

Mata

Biasa

Cekung

Sangat cekung

Mulut

Bias a

Kering

Sangat kering

30 x/menit

/men it

>40x/menit

Pernapasan

.

Turgor Nodi Skor

>6 7-12 ?.13

>

Baik

Kurang

Jelek

120x/menit

120-140x/menit

> 140 x/menit

"~ '

J

1

; Tanpa dehidrasi ; dehidrasi ringan-sedang ; Dehidrasi berat

Evaluasi dan penatalaksanaan dehidrasi berdasarkan CDC AS 2008: •

Dehidrasi minimal (kekurangan cairan <3% dari kebutuhan normaljberat badan): Kebutuhan cairan = 103/100x30-40mljkgBB/hari ,atau Kebutuhan cairan



=pengeluaran [feses+IWL(10%BB)]+30-40mljkgBB/hari

Dehidrasi ringan sedang (kekurangan cairan 3-9% dari kebutuhan normaljberat badan):

=109 /100x30-40mljkgBB/hari ,atau Kebutuhan cairan =pengeluaran [feses+IWL(10%BB)]+30-40mljkgBB/hari

Kebutuhan cairan •

Dehidrasi berat (kekurangan cairan >9% dari kebutuhan normaljberat badan) Kebutuhan cairan = 112/100x30-40mljkgBBjhari ,atau Kebutuhan cairan

=pengeluaran [feses+IWL(10%BB)]+30-40mljkgBB/hari

Tabel 3. Skor Daldiyono

·. . ·. Ki-lteria ;\~,.c ·.~.~~~··-:'s

Haus/muntah _ID_sisiQlik..6_Q..,_2.0_mrnl:ig ______________ _l __ .______ _ TD sistolik<60 mmHg Frekuensi nodi> 120 x/ me nit

2

. <~n•~r~#. / . Kesadaran apatis

1

Somnolen/spoor koma

2

Frekuensi napas> 30 x/menit Facieskholerica

2

Voxkholerica

2

Turgor kulit menurun

Washer Woman Hand Ekstremitas dingin

2

Sianosis Umur 50-60 tahun

-1

Umur>60 tahun

-2

Kebutuhan cairanj 2 jam pertama melalui metode ini adalah= Skorj15 X 10% X KgBB X 1liter •

Terapi nutrisi sesuai kebutuhan: nutrisi oral, enteral, parenteral, ataupun kombinasi

1. Terapi Etiologis lnfeksi



Bakteri • E.Co/ipatogen (EPEC), toksigenik (ETEC), hemoragik (EHEC); Enterobacter aerogenes; Shigella sp:

Kuinolon: siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasin 2 x 400 mg p.o, levofloksasin 1 x 500 mg p.o selama 3 hari Kotrimoksazol forte 2 x (160 mg + 800 mg) tab p.o selama 5 hari •

Salmonella sp: •

Kloramfenikol 4 x 500 mg p.o, Tiamfenikol SO mgjkgBB (qid) p.o selama 10-14 hari Kuinolon: siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasin 2 x 400 mg p.o, levofloksasin 1 x 500 mg p.o selama 3-5 hari Kotrimoksazol forte 2 x (160 mg + 800 mg) tab p.o selama 10- 14 hari



Vibrio cholera: Tetrasiklin 4 x 500 mg p.o selama 3 hari Doksisiklin 4 x 300 mg p.o, dosis tunggal Fluorokuinolon (siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasinjlevofloksasin 1x500 mg p.o)



Clostridium difficile:

Metronidazol (PO) 4 x 250-500 mg selama 7- 14 hari Vankomisin (PO) 4 x 125 mg selama 7- 14 hari (Bila resistensi metronidazole) Probiotik •

Yersinia enterocolytica :

Aminoglikosida: streptomisin (IM) 30mgjkgBBjhari p.o bid, selama 10 hari Kotrimoksazol forte 2 x (160 mg + 800 mg) tab p.o Fluorokuinolon (siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasin 2 x 400 mg p.o, levofloksasin 1 x 500 mg p.o •

Shigela dysentrase: Kuinolon Cephalosporine generasi III Aminoglikosida



Campylobacter jejunii:

kuinolon: siprofloksasin 2 x 500 mg p.o, norfloksasinjlevofloksasin 1 x 500 mgp.o makrolid: eritromisin 2x500 mg p.o selama 5 hari •

Virus: tidak diberikan antivirus, hanya terapi suportif dan simptomatik



Parasit: • Giardia Iamblia: metronidazol4 x 250-500 mg p.o selama 7-14 hari •

Cryptosporidium: paromomisin (4gjhari p.o dosis terbagi) plus azitromisin

(500 mg p.o dosis tunggal dilanjutkan 1 x 250 mg p.o selama 4 hari) •

Entamoeba histolytica:

Metronidazol4 x 250-500 mg p.o selama 7- 14 hari Tinidazol 2 gjhari p.o selama 3 hari Paromomisin 4 gjhari p.o, dosis terbagi •

Isospora belii:

Kotrimoksazol forte 2 x (160 mg + 800 mg) tab p.o, selama 7- 10 hari •

Jamur (pada pasien dengan HIV j AIDS): Candida sp,Cryptococcus sp, Coccidiomycosis sp.



Biasanya diberikan intravena dulu, dilanjutkan oral, tergantung keadaan urn urn



Flukonazol 2 x 50 mg; itrakonazol 2 x 200 mg; vorikonazol 2 x 200 mg; amfoterisin B 1mgjkgBB/hari; nistatin 4 x 1 mL atau 1 tab

2.

Terapi Simptomatik •

Adsorbent (kaolin, attapulgite, smectite, karbon aktif, kolestiramin): bekerja

dengan cara mengikat dan inaktivasi toksin bakteri atau zat lain yang •

menyebabkan diare. Probiotik:terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran cerna akan

memiliki efekyang positifkarena berkompetisi dengan bakteri patogen untuk nutrisi dan reseptor saluran cerna. •

Antimotilitas (loperamid hidroklorida, difenoksilat dengan atropin, tinktur opium, tinktur opium camphor, paregoric, kodein): mengurangi frekuensi BAB pada orang dewasa, tetapi tidak mengurangi volume tinja. Tidak boleh diberikan pada bayi dan anak-anak dengan diare karena dapat menyebabkan ileus paralitik berat dan memperpanjang durasi infeksi karena menghambat eliminasi organisme penyebab. Pada dosis tinggi dapat menyebabkan toksik megakolon. Antimotilitas yg membuat spasme, tidak boleh diberikan pada wanita hamil (komplikasi abortus).



Bismuth subsalisilat: mengurangi volume tinja dan keluhan subyektif. Diberikan setiap 4 jam, dapat mengurangi volume tinja pada diare akut sampai 30%.

Obat antidiare: kontraindikasi bila feses berdarah, immunocompromise, a tau pada risiko sepsis·

KOMPLIKASP Komplikasi sistemik: hipovolemia, hiponatremia, hipoglikemia, sepsis, kejang dan ensefalopati, sindroma uremik hemolitik (HUS), pneumonia, kurang energi protein. Komplikasi saluran cerna: perforasi, toksik megakolon. PROGNOSIS5.6 • akut, diare cair, tipikal berlangsung 5-7 hari • kebanyakan kasus membaik dalam 2 minggu • hila ada komplikasi serius seperti dehidrasi dan syok hipovolemik: prognosis umumnya baik bila rehidrasi berhasil • faktor-faktor yang memiliki prognosis yang lebih buruk, diantaranya: diare disertai darah· dehidrasi dan hipovolemia syok hipovolemik, gejala diare berulang malnutrisi·immunodefisiensi, termasuk infeksi HIV usia > 65 tahun· diare karena antibiotika

infeksi nosokomial atau wabah diare tanda - tanda peritonitis

UNITY ANG ME NANG ANI •

RS pendidikan

: Divisi Infeksi Tropik, Divisi Gastroenterologi - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT YANG TERKAIT •

RS pendidikan

: Divisi Ginjal Hipertensi - Departemen Penyakit Dalam, Bagian Parasitologi, Bagian Mikrobiologi,



RS non pendidikan

REFERENSI 1.

Makmun D, Simadibrata M, Abdullah M, Syam AF, Fauzi A editors. Konsensus penatalaksanaan diare akut pada dewasa di Indonesia. Perkumpulan Gastroenterologi Indonesia (PGI), 2009

2.

Camilleri M, Murray JA. Diarrhea and constipation. In: Longo DL, Kasper DL, Jameson DL, Fauci AS, FauciAS,HauserSLLoscalzoJ, editors. Harrison's Principals of Internal Medicine 18th ed. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2012. Chapter40, p308-19.

3.

Colledge NR, Walker BR, Ralston SH, editors. Presenting problems in infectious diseases. In : Davidson's Principles and Practice of Medicine 21st ed. Churchill Livingstone-Eisevier;201 0. Page 302-4

4.

Setiawan B. Diare akut karena infeksi. Dalam: Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia, 2011. Halaman 1794-8

5.

WorldHealthOrganization.Thetreatmentofdiarrhoea:amanualforphysiciansandothersenior health workers. WHO 2005 PDF

6.

Manatsathit S; Dupont HL Farthing M, et al; Working Party of the Program Committee of the Bangkok World Congress of Gastroenterology 2002. Guideline for the management of acute diarrhea in adults.

DIARE TERKAIT ANTIBIOTIK (INFEKSI CLOSTRIDIUM DIFFICILE)

PENGERTIAN Diare terkait antibiotikjpseudomembran adalah peradangan pada kolon akibat toksin A maupun toksin B dari Clostridium difficile yang ditandai dengan terbentuknya lapisan eksudatif (pseudomembran) yang melekat di permukaan mukosa, yang umumnya timbul setelah menggunakan antibiotik. Penggunaan antibiotik menyebabkan terganggunya kolonisasi flora normal di kolon sehingga Clostridium difficile tumbuh berlebihan. Antibiotik yang paling sering dikaitkan dengan keadaan ini adalah klindamisin, ampisilin dan sefalosporin generasi 2 dan 3. 1•2 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 1· 3



Diare cair atau berlendir 10- 20 x sehari

• •

Diare berdarah Kram perut

• •

Demam Riwayat penggunaan antibiotik minimal 72 jam sebelumnya

Pemeriksaan Fisik1•3



Febris



Nyeri tekan abdomen bawah

Pemeriksaan Penunjang 1· 3

• •

Darah tepi lengkap -7 leukositosis, sering hingga 50.000/mm 3 Hipoalbuminemia



Kolonoskopi -7 diawali lesi kecil (2- Smm) putih atau kekuningan, diskret, timbul, mukosa di antaranya terlihat normal atau eritema, granularitas, kerapuhan. Jika lesi membesar, terbentuk pseudomembran yang luas berwarna kuning keabu-abuan

dan jika diambil dengan forsep biopsi terlihat mukosa di bawahnya mengalami ulserasi. • •

Histopatologi ELISA, PCR -7 mencari toksin A ataupun toksin B, antigen C.difficile

DIAGNOSIS BANDING Diare akibat kuman patogen lain, efek samping obat non-antibiotik, kolitis noninfeksi, sepsis intra abdominal. 1 TATALAKSANA Nonfarmakologis 1.2.4



Menghentikan antibiotik yang diduga sebagai penyebab, obat-obatan yang mengganggu peristaltik, opiat



Mencegah penyebaran nosokomial



Pemberian cairan dan elektrolit (lebih lengkap lihat di bab Diare Infeksi)

Farmakologis 1·2·4





Metronidazol-7 pada kasus ringan-sedang (leukosit~ 15.000/mm 3 atau kreatinin ~ 1,5 kali kreatinin awal) diberikan peroral dengan dosis 4 x 250- 500 mg selama 7-10 hari Vankomisin -7 digunakan pada kasus berat dengan dosis peroral 4 x 125-500 mg selama 7-14 hari. Pada kasus berat dengan komplikasi atau fulminan, dosis vankomisin yang digunakan adalah 500 mg per oral a tau per NGT ditambah dengan metronidazol iv 3 x sehari selama > 2 minggu. Tigesiklin iv 2 x 50 mg setelah dosis



awal100 mg dapat menggantikan metronidazol Kasus rekurensi pertama menggunakan dosis yang sama dengan kasus baru. Kasus rekurensi kedua menggunakan vankomisin per oral dengan do sis tapering yaitu 4 x 125 mg selama 10-14 hari lalu 2 x sehari selama 1 minggu lalu 1x sehari selama



1 minggu lalu setiap 2-3 hari selama 2-8 minggu Kolestiramin -7 untuk mengikat toksin, dosis 3 x 4 gram selama 5- 10 hari



Kuman laktobasilus atau ragi (Saccharomyces boulardil) selama beberapa minggu



Imunoglobulin iv -7 antibodi terhadap toksin C.difficile

Bedah: operasi kolektomi subtotal untuk menyelamatkan nyawa dan apabila dengan terapi farmakologis tidak berhasi1 2.4

KOMPLIKASI Dehidrasi, gangguan elektrolit, syok, edema anasarka, megakolon toksik, perforasi kolon, gagal ginjal, sepsis, kematian 1 PROGNOSIS Sebanyak 15-35% kasus akan kambuh dalam beberapa minggu atau bulan. Rekurensi dapat timbul sebagai relaps a tau reinfeksi oleh strain baru. Rekurensi lebih sering pada pasien geriatri, pasien yang tetap melanjutkan pemakaian antibiotik penyebab saat terapi Clostridium diffici/e, pasien yang tetap dirawat di rumah sakit setelah pengobatan pertama selesai dan pasien yang menggunakan proton pump inhibitor. Pasien yang telah mengalami rekurensi pertama memiliki kemungkinan rekurensi kern bali sebesar 33-65%. Pada kasus rekuren, risiko timbulnya komplikasi serius meningkat sebesar 11%. Angka mortalitas meningkat hingga 6, 9% dan lebih tinggi pad a usia tua. 2•3 UNITY ANG MENANGANI : Divisi Tropik Infeksi, Divisi Gastroenterologi - Departemen • RS pendidikan Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan • RS non pendidikan

: Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam

REFERENSI 1.

Oesman N. Kolitis infeksi. In: Sudoyo A. Setiyohadi B. Alwi I, Simadibrata M. Setiati S. editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5'h ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI. 2009:560- 6

2.

Gerding DN. Johnson S.Ciostridium difficile infection. including pseudomembranous colitis. In: Fauci A. Kasper D. Longo D. Braunwald E. Hauser S. Jameson J. Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'h ed. United States of America; The McGraw-Hill Companies, 2012: 1091 -4

3.

Bartlett JG, Gerding DN. Clinical recognition and diagnosis of clostridium difficile infection. Clin Infect Dis. 2008;46 Suppl 1:S 12-

4.

Cohen SH. Gerding DN, Johnson S, et al. Clinical practice guidelines for clostridium difficile infection in adults: 2010 update by the society for healthcare epidemiology of America (SHEA) and the infectious disease society of america (IDSA). Infect Control Hosp Epidemiol. 2010;31 (5):431- 55

FEVER OF UNKNOWN ORIGIN

PENGERTIANL 2 Fever of Unknown Origin (FUO) dibagi menjadi em pat rna cam, yaitu :



FUO klasik adalah demam>38,3°C selama lebih dari 3 minggu, kemudian dirawat selama 1 minggu untuk dicari penyebabnya, namun tidak ditemukan penyebabnya. Penyebab bisa merupakan undetermined infection, malignancy, autoimmune disease.



FUO pada pasien HIV adalah demam > 38,3°C selama lebih dari 4 minggu pada rawat jalan atau lebih dari 3 hari pada pasien rawat inap



FUO pada pasien netropenia adalah demam > 38,3°C pada pasien dengan jumlah lekosit PMN <500 filL a tau diperkirakan akan turun mencapai nilai terse but dalam 1-2 hari (dibahas lebih lanjut pada bab demam neutropenia)



FUO pada pasien nosokomial demam > 38,3°C timbul pada pasien yang dirawat di RS dan pada saat mulai dirawat tidak timbul gejala atau dalam masa inkubasi, penyebab demam tak diketahui dalam waktu 3 hari, termasuk 2 hari telah diperiksa kultur.

ETIOLOGI FUO disebabkan karena infeksi (30-40%), neoplasma (20-30%), penyakit kolagen vaskular (10-20%), dan beberapa penyakit lainnya (15-20%). FUO yang menetap selama lebih dari 1 tahun cenderung disebabkan oleh infeksi atau neoplasma dan kebanyakan adalah penyakit granulomatosa. PENDEKATAN DIAGNOSIS 3 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Keluhan utamanya adalah demam berkepanjangan tanpa sebab yang jelas. Hal yang perlu ditanyakan diantaranya : onset demam, durasi demam, pola demam. Riwayat pengobatan yang berhubungan dengan FUO diantaranya adalah antimikroba [carbapenem, cephalosporin, erythromycin, isoniazid, minocycline, nitrofurantoin, penicillin G, penicillin~ rifampin, sulfonamides}, antileptik (carbamazepine, phenytoin},

obat kardiovaskular [captopril, clofibrate, heparin, hydralazine, methyldopa, nifedipine,

procainamide, quinidine}, allopurinol, barbiturate, cimetidine, meperidine, pil diet,

obat herbal. Riwayat penyakit terdahulu : keganasan, penyakit inflamasi, riwayat operasi sebelumnya (terutama yang berhubungan dengan benda asing), infeksi HIV. Riwayat pada keluarga (kondisi keluarga ke arab FUO): demam periodik,fami/ial Mediterranian fever (FMF), penyakit reumatik, kondisi inflamasi sistemik (seperti inflammatory bowel disease, polimialgia rematika, temporal arteritis, atau vaskulitis lain). Riwayat sosial:

mengenai paparan ke hewan peliharaan atau binatang lain, terpapar dengan orang dengan mempunyai gejala yang sam a, riwayat bepergian, tern pat tinggal sebelumnya, riwayat pekerjaan, ketergantungan obat injeksi, aktivitas seksual. Selain itu, perlu ditanyakan lagi gigitan kutu. Pemeriksaan Penunjang

Sesuai mikroorganisme dan organ terkait. Pemeriksaan hematologi, kimia darah, urine Lengkap, mikrobiologi, imunologi, radiologi, EKG, biopsi jaringan tubuh, pencitraan, sidikan (scanning), endoskopijperitoneoskopi, angiografi, limfografi, tindakan bedah (laparatomi percobaan), uji pengobatan, PET scan.

DIAGNOSIS BANDING Infeksi, penyakit kolagen, neoplasma, efek sam ping obat TATALAKSANA Tidak ada pengobatan untuk FUO sampai penyakit yang mendasari teridentifikasi. Obat-obatan untuk mengurangi demam tidak didukung bukti yang kuat. Pengobatan empirik dengan menggunakan antibiotik, antituberkulosis, atau kortikosteroid tidak direkomendasikan bila belum ditegakkan diagnosis pasti KOMPLIKASI Efek sam ping dari tes diagnostik untuk mencari etiologi FUO PROGNOSIS • 19-34% pasien dengan FUO tidak pernah mengetahui diagnosisnya • Pasien dengan FUO idiopatik mempunyai prognosis yang baik sebab pada sebagian besar kasus, penyakit dapat sembuh dengan spontan.

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Tropik dan lnfeksi - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS Pendidikan

: Divisi Pulmonologi, Divisi Hematologi-Onkologi Medik, Divisi Reumatologi - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

REFERENSI 1.

ErgonOI 0, Willke A. Azap A, et al. Revised definition of 'fever of unknown origin': limitations and opportunities. J Infect. 2005;50(1):1-5.

2.

Cunha BA. Fever of Unknown Origin. New York, NY: lnforma Healthcare; 2007.

3.

Arnow PM, Flaherty JP. Fever of unknown origin. Lancet.1997;350:575-80.

4.

http:/ /medical-mastermind-community.com/uploads/Fever-of-Unknown-Origin.pdf

FILARIASIS

PENGERTIAN Filariasis adalah infeksi pada saluran limfe atau kelenjar limfe yang disebabkan oleh cacing Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, a tau B. timori, dengan klinis bervariasi mulai dari infeksi subklinis, limfedema, sampai hidrokel, dan kaki gajah (elephantiasis). Toksin yang dilepaskan oleh cacing dewasa menyebabkan limfangiektasia, apabila cacing dewasa telah mati dapat mengakibatkan limfangitis filaria akut dan obstruksi saluran limfe.u PENDEKATAN DIAGNOSIS2 Filariasis dapat berlangsung selama beberapa tahun dengan gambaran klinis yang berbeda-beda. Infeksi filaria, dibagi 3 stadium: 1. Bentuk tanpa gejala j asimptomatik • Pembesaran kelenjar limfe terutama daerah inguinal • Dalam darah ditemukan banyak mikrofilaria, disertai eosinofilia. 2. Filariasis dengan peradangan (akut) • Demam, menggigil (bila ada infeksi sekunder karena bakteri), sakit kepala, muntah, lemah, mialgia, hematuria mikroskopik, proteinuria • Saluran limfejkelenjar getah bening (KGB) yang terkena: aksila, inguinal, tungkai, epitroklear, genitalia (funikulitis, epididimis, orkitis) • Pembengkakan epididimis, jaringan retro peritoneal, kelenjar ari-ari, dan iliopsoas • Infeksi kulit, plak edematosa, disertai vesikel, ulkus steril (cairan serosanguineus ), dan hiperpigmentasi. • Lekositosis dengan eosinofilia • Sindroma eosinofilia paru tropik (tropical pulmonary eosinophilia), kejadian <1% dari seluruh kasus filariasis, ditandai dengan: kadar eosinofil darah tepi yang sangat tinggi, gejala mirip asma, mengi, batuk penyakit paru restriktif (dan kadang obstruktif)

Panduan Praktik Klinis

kadar antibodi spesifik antifilaria sangat tinggi respon pengobatan yang baik dengan terapi antifilaria (DEC) •

Berlangsung selama satu bulan atau lebih

3. Filariasis dengan penyumbatan Limfedema pada filariasis bancrofti biasanya mengenai seluruh tungkai, dapat dibagi dalam 4 tingkat, yaitu: Tingkat 1: edema pitting pada tungkai, hilang bila tungkai diangkat Tingkat 2: edema pitting f non-pitting, tidak hilang bila tungkai diangkat Tingkat 3: edema non-pitting, tidak hilang bila tungkai diangkat, kulit menjadi tebal Tingkat 4: edema non-pitting dengan jaringan fibrosis dan verukosa pada kulit (elephantiasis) Pemeriksaan Penunjang



Pemeriksaan parasitologi mikroskopik, ditemukan mikrofilaria dalam darah (kapiler lebih baik daripada vena), cairan hidrokel, atau cairan tubuh lainnya. Kesulitan penegakan diagnosis sering dialami, karena mikrofilaria menghilang setelah cacing dewasa mati, dan cacing dewasa hid up yang ada di pembuluh limfe atau KGB sulit dijangkau.



Limfoskintigrafi dengan radionuklir pada sistem limfatik ekstremitas



USG Dopier pada skrotum atau payudara, terlihat cacing dewasa aktif



ELISA dan ICT untuk antigen W: bancrofti yang bersirkulasi (sensitivitas 96-100 o/o, spesifisitas hampir 100%)



Polymerase chain reaction(PCR) untuk deteksi DNA W: Bancrofti

DIAGNOSIS BANDING 2 Pada episode akut: tromboflebitis, infeksi, keganasan, gaga! jantung kongestif, trauma, abnormalitas sistem limfatik.

TATALAKSANA 1·2 ·3 •

Umum: tirah baring, penggunaan stocking elastis untuk kompresi edema, antibiotik bila ada infeksi sekunder atau abses.



Spesifik: •

Pengobatan infeksi: Dietilkarbamazin (DEC), 6 mgjkgBBjhari selama 12 hari, dapat diulangi 1- 6 bulan kemudian bila perlu, atau selama 2 hari per bulan (6- 8 mg/

kgBB/hari)

Ivermektin, 200 meg/ kgBB, efektifuntuk mikrofilaremia Albendazol, 1 - 2 x 400 mg setiap hari selama 2 - 3 minggu •

Pengobatan penyakit: Aspirasi dan operasi, untuk drainase cairan limfe Psikoterapi Fisioterapi

KOMPLIKASP • Abses pelvis renalis sampai kerusakan ginjal • Fibrosis interstisial paru kronik dan gaga! nafas • Rejeksi sosial, disabilitas seksual, depresi PROGNOSIS Prognosis baik pada kasus yang terdeteksi dini dan sedang, sedangkan prognosis lebih buruk pada kasus yang sudah Ian jut terutama dengan edema genitalia (skrotum) dan tungkaijelephantiasis, dapat menyebabkan kecacatan permanen. 2• 4 UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi InfeksiTropik- Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNITY ANG TERKAIT • RS pendidikan : Bagian Parasitologi, Bagian Bedah, Bagian Rehabilitasi Medik • RS non pendidikan REFERENSI 1.

Colledge NR, Walker BR, Ralston SH, editors. Infections caused by helminths. In: Davidson's Principles and Practice of Medicine 21 '' ed. Churchill Livingstone-Eisevier: 2010. page 366-8.

2.

Herdiman T Pohan. Filariasis. Dalam: Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Indonesia, 2011.

3.

Filarial and Related Infections. ln:Longo DL. Kasper DL. Jameson DL. Fauci AS, Hauser SL. Loscalzo J, editors. Harrison's Principals of Internal Medicine 181h ed. Me Grow Hill. Chapter 218

LEPTOSPIROSIS

PENGERTIAN

Adalah penyakit zoonotik yang disebabkan spirochaeta dari genus Leptospira. Dalam tubuh hewan, leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak di dalam epitel tubulus ginjal dan secara terus-menerus ikut mengalir dalam filtrat urin. Leptospira menginfeksi manusia melalui mukosa atau melalui abrasi kulit, memasuki aliran darah dan berkembang. Masa inkubasi berkisar antara 2-26 hari, rata-rata 10 hari. Leptospira dapat melewati rongga interstisial ginjal, menembus membran basal tubulus proksimal ginjal dan sel tubuloepitel proksimal ginjal dan menempel pada brush border tubulus proksimal ginjal, sehingga dapat diekskresikan ke urin.l-3 Penyakit Wei/'s merupakan bentuk berat leptospirosis yang ditandai oleh demam, ikterus, gagal ginjal akut, syok refrakter dan perdarahan (terutama perdarahan paru). 2 PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis 1• 3

Riwayat paparanj kontak dengan urin serta air, tanah, atau makanan yang terkontaminasi urin dari hewan yang terinfeksi (hewan ternak, babi, kuda, anjing, kucing, hewan pengerat, atau hewan liar) Riwayat pekerjaan risiko tinggi, mencakup tukang potong hewan, petani, peternak, pekerja limbah, dan pekerja kehutanan Demam yang muncul mendadak, bersifat bifasikyaitu demam remiten tinggi pada fase awalleptospiremia (berlangsung antara 3-10 hari) kemudian demam turun dan muncul kembali pada fase imun. Sakit kepala, terutama di bagian frontal Anoreksia Nyeri otot Mata merah/ fotofobia Mual, muntah Nyeri abdomen

Pemeriksaan Fisik 1• 3

Demam Injeksi konjungtiva tanpa sekret purulen Bradikardi Eritema faring tanpa eksudat Nyeri tekan otot, terutama pada betis dan daerah lumbal Ronki pada auskultasi paru Redup pada perkusi dada di atas area perdarahan paru Ruam (dapat berupa makula, makulopapula, eritematosa, petekia, atau ekimosis) Ikterus Meningismus Hipo- atau arefleksia, terutama pada tungkai. Penyakit Wei/'s ditandai oleh ikterus, gagal ginjal akut, hipotensi dan perdarahan (terutama perdarahan paru namun juga dapat mengenai saliran cerna, retroperitonium, perikardium dan otak). Sindrom lainnya mencakup meningitis aseptik, uveitis, kolesistitis, akut abdomen, dan pankreatitis. Hepar dapat membesar dan nyeri. Splenomegali dapat terjadi pada sebagian kecil kasus. Pemeriksaan Penunjang 1· 3

Leukositosis atau leukopenia disertai gambaran netrofilia dan laju endap darah yang meninggi. Anemia hemolitik Trombositopeni Urinalisis: proteinuria, leukosituria, sedimen abnormal (leukosit, eritrosit, cast hialin dan granular) Diagnosis definitif: pemeriksaan langsung urin atau darah dengan mikroskop lapang gelap. Microscopic Agglutination Test (MAT) atau Macroscopic Slide Agglutination Test

(MSAT) Kultur ganda darah atau LCS pada 7-10 hari pertama, kultur urin mulai minggu kedua. Peningkatan kreatin kinase isoform nonkardiak, menunjukkan kerusakan otot rangka Penyakit Weil ditandai dengan peningkatan blood urea nitrogen dan kreatinin serum, campuran hiperbilirubinemia terkonjugasi dan tak terkonjugasi, serta peningkatan aminotransferase sampai kurang dari 5 kali batas atas normal.

DIAGNOSIS BANDING Influenza, malaria, infeksi dengue, chikungunya, demam tifoid, hepatitis virus TATALAKSANA Nonfarmakologis 1•3

Tirah baring Farmakologis 1. Pengobatan suportif dengan observasi ketat untuk mengatasi dehidrasi, hipotensi,

perdarahan, gagal ginjaF· 3 2. Antibiotik:H a. Leptospirosis ringan: Doksisiklin oral 2 x 100 mg selama 7 hari Amoksisilin oral4 x 500 mg selama 7 hari Ampisilin oral4 x 500-750 mg selama 7 hari Azitromisin oral 1 x 1 gram pada hari pertama, selanjutnya 1x 500 mg pada hari kedua dan ketiga. 5 b. Leptospirosis sedang-berat: Penisilin G intravena 1,5 juta unit/6 jam selama 7 hari Seftriakson intravena 1 gram/24 jam selama 7 hari Doksisiklin intravena 100 mg/12 jam selama 7 hari Amoksisilin intravena 1 gram/6 jam selama 7 hari Ampisilin intravena 1 gramj6 jam selama 7 hari Sefotaksim intravena 1 gram/6 jam selama 7 hari

KOMPLIKASI Gaga! ginjal, meningitis aseptik, pankreatitis, perdarahan masif, hepatitis, miokarditis PROGNOSIS Usia lanjut, keterlibatan paru, peningkatan kadar kreatinin serum, oliguria, dan trombositopeni terkait dengan prognosis yang buruk. Faktor independen yang terkait dengan keparahan penyakit meliputi hipertensi kronik, alkoholisme kronik, keterlambatan pemberian antibiotik, hasil pemeriksaan auskultasi dada yang abnormal, ikterus, oligoanuria, gangguan kesadaran, peningkatan AST, hiperamilasemia, dan

'

916

Leptospirosis Leptospira interrogans serovar icterohemorrhagiae. Oliguria, ikterus dan aritmia m-erupakan prediktor kuat munculnya komplikasi gagal ginjal akut atau miokarditis. Angka kematian yang dilaporkan bervariasi antara <5% sampai >20%. 6-8 UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan • RS non pendidikan

: DivisiGinjal-Hipertensi- DepartemenPenyakitDalam

REFERENSI 1.

Zein U. Leptospirosis.Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; lnternaPublishing; 2009. Hal2807-12

2.

Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL, Loscalzo J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies; 2012. Hal.

3.

Levett PN, Haake DA. Leptospira species. Dalam: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, penyunting. Mandell, douglas, and bennett's principles and practice of infectious diseases. Edisi VII. Philadelphia: Churchill Livingstone Elsevier; 2010.

4.

Gilbert DN, et al. The sanford guide to antimicrobial therapy. Edisi ke-40. 2010

5.

Phimda K, Hoontrakul S, Suttinont C, Chareonwat S, Losuwanaluk K, Chueasuwanchai S, et al. Doxycycline versus azithromycin for treatment of leptospirosis and scrub typhus. Antimicrob Agents Chemother 2007; 51 (9): 3259-63

6.

Ko AI. Leptospirosis. Dalam: Goldman L, Schafer AL penyunting. Goldman's cecil medicine. Edisi XXIV. Philadelphia: Elsevier. 2012.

7.

Herrmann-Storck C, Louis MS, Foucand T, Lamaury L Deloumeaux J, Baranton G, et al. Severe leptospirosisin hospitalized patients, guadeloupe. Emerging Infectious Diseases 201 0; 16 (2) :331-4

8.

· Dassanayake DLB, Wimalaratna H, Nandadewa D, Nugaliyadda A. Ratnatunga CN, Agampodi SB. Predictors of the development of myocarditis or acute renal failure in patients with leptospirosis: an observational study. BMC Infectious Diseases 2012; 12:4

HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)/ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME (AIDS) PENGERTIAN

Infeksi HIV adalah suatu spektrum penyakit yang menyerang sel-sel kekebalan tubuh ( dari infeksi primer, dengan a tau tanpa sindrom akut, stadium asimtomatik, hingga stadium lanjut) yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus.l,2 PENDEKATAN DIAGNOSIS 1· 4 Anamnesis



Kemungkinan sumber infeksi HIV



Gejala dan keluhan pasien saat ini



Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterima termasuk



infeksi oportunistik Riwayat penyakit da:n pengob-atan tuberkulosis (TB) termasuk kemungkinan kontak dengan TB sebelumnya



Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)



Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan



Riwayat penggunaan terapi anti retroviral (Anti Retroviral Therapy (ART)) termasuk riwayat rejimen untuk PMTCT (prevention ofmother to child transmission) sebelumnya

• •

Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual

• •

Kebiasaan merokok Riwayat Alergi



Riwayat vaksinasi



Riwayat penggunaan NAPZA suntik

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Fisik meliputi tanda-tanda vital, berat badan, tanda-tanda yang

mengarah kepada infeksi oportunistik sesuai dengan stadium klinis HIV seperti yang terdapat pada tabel di bawah ini. Pemeriksaan fisik juga bertujuan untuk mencari faktor risiko penularan HIV dan AIDS seperti needle track pada pengguna NAPZA suntik, dan tanda-tanda IMS. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Darah untuk Skrining HIV •

Anti HIV rapid

Pemeriksaan Darah untuk Diagnosis HIV •

Anti-HIV ELISA 3 X



Anti-HIV Western Blot 1 X

Pemeriksaan Darah lainnya •

DPL dengan DiffCount.



Total Limfosit Count (TLC) atau hi tung limfosit total: % limfosit x jumlah Leukosit (dengan catatan jumlah leukosit dalam batas normal)



Prediksi Hi tung CD4+ Berdasarkan Hi tung Limfosit Total

I

CD4+

=0,3 Iimfosit- 8,2 I

Persamaan ini digunakan bila tidak didapatkan faktor perancu seperti infeksi CMV dan Tuberkulosis. CD4+ = 0,3 Iimfosit- 41 CMV + 37 antiretrovirus- 16

Persamaan di atas dapat membantu dokter untuk mengestimasi hi tung CD4+ pad a penderita infeksi HIV dimana sudah diketahui ada infeksi oportunistik seperti infeksi CMV atau tuberculosis. •

Hitung CD4



Jumlah virus HIV dengan RNA-PCR

Pemeriksaan HIV dipertimbangkan pada keadaan dibawah ini : •

Infeksi menular secara seksual (IMS)



Pasangan atau anak: diketahui positif HIV mengidap HIV a tau penyakit yang terkait dengan HIV



Kematian pasangan muda yang tidak jelas penyebabnya



Pengguna NAPZA suntikan



Pekerjaan yang berisiko tinggi



Aktif secara seksual dan mempunyai banyak mitra seksual.

Berikut merupakan strategi penyaring tes HIV menurut WHO dan UNAIDS (tabel1). label 1. Strategi Penyaring Tes HIV menurut WHO dan UNAIDS Berdasarkan Tujuan Pemeriksaan dan Prevalens lnfeksi pada Populasi SampeP

TuJi/anPer'rleiiks~ari.

' ~r&va!~~~~rnt~~J

Keamanan transfusi/ tranplantasi

Semua Prevalensi

I

?.10%

Surveilans Diagnosis

. S,fi:C!tegi,~.eri*'~~an:~

..:;10% Terdapat gejala klinis infeksi HIV Tanpa gejala klinik infeksi HIV

>30% ..:;30% >10% <10%

Ill

Stadium WH0 2



Stadium 1: asimtomatik, limfadenopati generalisata



Stadium 2

Berat badan turun <10% Manifestasi mukokutan minor (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur kuku, ulkus oral rekuren, cheilitis angularis) Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir Infeksi saluran napas atas rekuren •

Stadium 3

Berat badan turun >10% Diare yang tidak diketahui penyebab, >1 bulan Demam berkepanjangan (intermiten atau konstan), >1 bulan Kandidiasis oral Oral hairy leucoplakia

t

Tuberkulosis paru Infeksi bakteri be rat (pneumonia, piomiositis) •

Stadium 4 HIV wasting syndrome

Pneumonia Pneumocystis carinii Toksoplasma serebral Kriptosporidiosis dengan diare >1 bulan

Sitomegalovirus pacta organ selain hati, limpa atau kelenjar getah bening (misalnya retinitis CMV) Infeksi herpes simpleks, mukokutan (>1 bulan) atau viseral Progressive multifocalleucoencephalopathy

Mikosis endemic diseminata Kandidiasis esofagus, trakea, dan bronkus Mikobakteriosis atipik, diseminata atau paru Septikemia salmonela non-tifosa Tuberkulosis ekstrapulmonar Limfoma Sarkoma kaposi Ensefalopati HIV

DIAGNOSIS BANDING1.2 Penyakit imunodefisiensi primer TATALAKSANA 1•4 • •

Konseling Suportif



Terapi infeksi oportunistik dan pencegahan infeksi oportunistik ( dapat dilihat pada bab Infeksi Oportunistik)



Terapi antiretrovirus (ARV) kombinasi, efek samping dan penanganannya

-

--

-

--

-

-

label 2. Obat ARV yang digunakan 2 · 4

Lint pertama

1.

2.

Zidovudin (ZDV)

Lamivudin (3TC)

Tablet: 300mg

Semua umur

< 4 minggu: 4 mg/kg/

dosis, 2x/hari (untuk pencegahan) 4 minggu sampai 13 tahun: 180.240 mg/m2/dosis, 2x/hari Dosis maksimal: . --~-~~---- .....:~-----~---------------------~:l3.tahun:.300 mg/dosis,2x/hari . Tablet: Semua umur < 30 hari: 2 mg/kg/dosis, 150 mg ·2x/han (dosis pellC:egahan) ~ 30 hari atau < 60 kg: 4 mg/kg/dosis, 2x/hari Dosis maksimal: > 60 kg: 150 mg/dosis, 2x/hari

3.

Kombinasi tetap ZDV+3TC

Tablet: 300 mg ZDV plus 150 mg3TC

Remajadan Dewasa

Tablet tahan suhu panas, 200mg lopinavir + 50 mg ritonavir

<::6 bulan

Dosis maksimal:

> 13 tahun atau > 60 kg:

1 tablet/dosis, 2x/hari (tidak untuk berat badan <30 kg) Tablet: 200 mg 4. Nevirapin (NVP) Semua umur < 8 tahun: 200 mg/m 2 , dua minggu pertama sekali sehari. Selanjutnya dua kali sehari. > 8 tahun: 120-150 mg/m 2, dua minggu pertama sekali sehari. Selanjutnya dua kali sehari. 5. Efavirenz (EFY) 600mg Hanya untuk 10-15 kg: 200 mg sekali sehari anak > 3 tahun 15- < 20 kg: 250 mg dan berat > sekali sehari 10kg 20- < 25 kg: 300 mg sekali sehari 25- < 33 kg: 350 mg sekali sehari 33- < 40 kg: 400 mg sekali sehari Dosis maksimal: <:: 40 kg: 600 mg sekali sehari 6. Stavudin (d4T) Tablet: 30 mg Semua umur < 30 kg: 1 mg/kg/dosis, 2x/hari 30kg atau lebih: 30 mg/dosis, 2x/hari 7. Abacavir (ABC) Tablet: 300 mg Umur > 3 bulan < 16 tahun atau < 37.5 kg: 8 mg/kg/dosis, 2x/hari Dosis maksimal: > 16 tahun atau <:: 37.5 kg: _ _ _ ___ 300 mgj_cj()sis,_2xj_h<:J_ri,______ -------Tablet: 300 mg 8. Tenofovir disoproxil Diberikan setiap 24 jam fumarat {TDF) lnteraksi obat dengan didanosine (ddl), tidak lagi dipadukan dengan ddl 9. Tenofovir+ Emtricitabin Tablet 200 mg/ 300 mg LiniKedua

.

.

922

1.

Lopinavir /ritonavir (LPV/r)

2.

TDF

Tablet : 300 mg

400 mg/ 100 mg setiap 12 jamuntuk pasien naif baik dengan atau tanpa kombinasi EFV atau NYP 600 mg/150 mg setiap 12 jam bila dikombinasi dengan EFY atau NVP-untuk pasien yang pernah mer1aapallerapi.ARV 2 minggu-6 bulan: 16 mg/4 mg /kgBB 2x/hari 6 bulan-18 tahun :. 10 mg/kgBB/ dose lopinavir Diberikan setiap 24 jam lnteraksi obat dengan ddl, tidak lagi dipadukan denganoal-

~~"we~·j;{g~~A~~~S:ll~~~~Jt~1~;~~~·u< Tabel 3. Rekomendasi Rejimen Lini Pertama pada Target Populasi yang belum pernah Terapi ARV 1-5 · lqrg~f.~oP.!,Ila$i ' .:; -:Rf:t.koin~b~g~l,_,._

.- ·--·· _-: . ,).}(~1\

__

"•lik>•- 'Q<;dgtcini;

<:>:,_ :;,_l,· _•;:. i7:;.•..•./ :

Dewasa dan Remaja

ZDV atau TDF + 3TC atau FTC + EFV atau NVP

Pilih rejimen yang sesuai untuk mayoritas ODHA Gunakan FDC

Perempuan Hamil

ZDV + 3TC + EFV atau NVP

Tidak boleh menggunakan EFV pada trimester pertama TDF bisa merupakan pilihan Pada perempuan HIV yang pernah menjalani rejimen PMTCT, lihat rekomendasi di bagian lain (Tabel4)

Koinfeksi HIV /TB

ZDV atau TDF + 3TC atau FTC + EFV

Mulailah terapi ARV secepat mungkin (dol am 8 minggu pertama) setelah memulai terapi TB Gunakan NVP atau triple NRTI bila EFV tidak dapat digunakan

Koinfeksi HIVI HBV

TDF + 3TC atau FTC + EFV atau NVP

Pertimbangkan screening HBsAg sebelum memulai terapi ARV Diperlukan penggunaan 2 terapi ARV yang memiliki aktivitas anti-HBV

Pada ODHA yang mengalami resistensi pada lini pertama maka kombinasi obat yang digunakan adalah : (TDF atau ZDV) + 3TC atau FTC+(LPV /RTV) Tabel 4. Rekomendasi Pemeriksaan Laboratorium untuk Memonitor Pasien dalam Terapi ArV (Modifikasi Depkes} 3

- l,Tah~~ T~r~~f-~~~;·;__ --~- )

.T~s.vang_Dit,~~om~nd
--PeE!e-s-eeteliegncsis-HIV--- -------- - - - - - Sebelum memulai ARV

CD4

Pada saat memulai ARV

CD4

- Hb untuk ZDV - Kreatinin Klirens untuk TDF - SGPT untuk NVP

Pada saat menjalani ARV

CD4 (tiap berapa bulan)

- Hb untuk ZDV - Kreatinin Klirens untuk TDF - SGPT untuk NVP

Pada saat kegagalan klinis

CD4

Pada saat kegagalan imunologis Wanita yang menjalani PMTCT dengan NVP dosis tunggal dengan lanjutan dalam 12 bulan

Viral load Viral load enam bulan setelah memulai terapi ARV

- Viralload

-

Tabel 5. Efek Samping ARV dan Subsitusinya'· 2

~~~f~~~----.i~~l~~mlif§~f11!©~~1t~~~~Nl.~i~~I~~I~~~~1l~trf!YiUlL~~jiW:~1 Zidovudin

Stavudin Lamivudin Abacavir

Tenofovir

- Supresi sumsum tulang - Anemia makrositik atau neutropenia - lntoleransi gastrointestinal, sakit kepala, insomnia, asthenia - Pigmentasi kulit dan kuku - Asidosis laktat dengan steatosis hepatic - Pankreatitis, neuropati perifer, asidosis laktat dengan steatosis hepatitis (jarang), lipoatrofi - Toksisitas rendah - Asidosis laktat dengan steatosis hepatitis (jarang) - Reaksi hipersensitif (dapat fatal) - Demam, ruam, kelelahan, mual, muntah, tidak nafsu makan - Gangguan pernafasan (sakit tenggorokan, batuk) - Asidosis laktat dengan steatosis hepatitis (jarang) - Asthenia, sakit kepala, diare, rnual, muntah, sering buang angin, insufisiensi ginjal, sindrom Fanconi - Osteomalasia - Penurunan densitas tulang - Hepatitis eksaserbasi akut berat pada pasien HIV dengan koinfeksi Hepatitis B yang menghentikan TDF

Jika digunakan pada terapi lini pertama, TDF (atau d4T jika tidak ada pilihan lain) Jika digunakan pada terapi lini kedua, d4T ZDV atauTDF

ZDVatauTDF

Jika digunakan pada lini pertama, ZDV (atau d4T jika tidak ada pilihan) Jika digunakan pada lini kedua, Secara pendekatan kesehatan masyarakat, maka tidak ada pilihan lain jika pasien telah gaga! ZDV /d4T pada terapi lini pertama. Jika memungkinkan, dipertimbangkan merujuk ke tingkat perawatan yang lebih tinggi dim ana terapi individual tersedia.

Emtricitabine Ditoleransi dengan baik Etavirenz -----Reaksi hipersemsitivitcis- - - - - - -----------NVP-------·----·-·--- --bPI jika tidak toleran SindromaSteven-Johnson Ruam terhadap kedua NNRTI Toksisitas hepar - Tiga NRTI jika tidak ada Toksisitas sistem saraf pusat yang berat dan pilihan lain persisten (depresi dan pusing) - Hiperlipidemia - Ginekomastia (pada laki-laki) - Kemungkinan efek teratogenik (pada kehamilan trimester pertama atau wanita yang tidak menggunakan kontrasepsi yang adekuat)

-

Nevirapin

" -

Ritonavir

Hiperlipidemia

Lopinavir

Reaksi hipersensitivitas Sindroma Steven-Johnson Ruem -- ------ · Toksisitas hepar Hiperlipidemia

- EFV - bPI jika tidak toleran . terbadap.kedua NNRTI - Tiga NRTI jika tidak ada pilihan lain Jika digunakan pada lini kedua, tidak ada pilihan lain*

lntoleransi gastrointestinaL mual, muntah, semutan, hepatitis, dan pankreatitis, hiperglikemia, -~-------pemindahan lemak dan abnormalitas lipTa___________ R =rekomendasi; RT= rekomendasi pada orang tertentu; D =dipertimbangkan pada orang tertentu

924

Tabel 6. Jadwal Vaksin pada Pasien HIV Dewasa 6

Influenza

1 dosis TIV* setiap tahun

Tetanus, difteri, pertusis (Td/Tdap)

Ganti 1 dosis Tdap dengan boosterTd, lanjutkan dengan booster Td tiap 10 tahun

Varisela

Kontraindikasi

HPV (wanita)

2 dosis

3 dosis setelah berusia 26 tahun

HPV (pria) Zoster

Kontraindikasi

1 dosis

MMR

Kontraindikasi

1 atau 2 dosis

Polisakarida pneumokokus

1 at au 2 dosis

Meningokokus

Dosis 1 atau lebih**

Hepatitis A

2 dosis**

Hepatitis B

3 dosis

Keterangan: *TIV: trivalent inactivated influenza virus **Dianjurkan apabila ada faktor resiko lain (riwayat kesehatan, pekerjaan, gaya hid up, dll)

Penatalaksanaan Penanganan Pajanan HIV di Tempat Kerja 2 · 4



Pertolongan pertama diberikan segera setelah cedera: luka dan kulit yang terkena darah atau cairan tubuh dicuci dengan sabun dan air, dan permukaan mukosa



dibilas dengan air. Penilaian pajanan tentang potensi penularan infeksi HIV {berdasarkan cairan



tubuh dan tingkat berat pajanan). PPP (profilaksis pasca pajanan) untuk HIV dilakukan pada pajanan bersumber



dari ODHA (atau sumber yang kemungkinan terinfeksi dengan HIV). Sumber pajanan perlu dievaluasi tentang kemungkinan adanya infeksi HIV. Pemeriksaan HIV atas sumber pajanan hanya dapat dilaksanakan setelah diberikan konseling pra-tes dan mendapatkan persetujuan (informed consent), dan tersedia rujukan untuk konseling, dukungan selanjutnya serta jaminan untuk menjaga



konfidensialitas. Evaluasi klinik dan pemeriksaan terhadap petugas yang terpajan hanya dilaksanakan setelah diberikan konseling dan dengan persetujuan (informed





consent). Edukasi tentang cara mengurangi pajanan yang berisiko terkena HIV perlu diberikan oleh konselor yang menilai urutan kejadian pajanan dengan cara yang penuh perhatian dantidak menghakimi. Harus dibuat laporan pajanan.

Pemberian PPP dengan ARV2 · 4

PPP harus dimulai sesegera mungkin setelah pajanan, sebaiknya dalam waktu 2-4 jam. Pemberian PPP setelah 72 jam dilaporkan tidak efektif. Direkomendasikan pengobatan kombinasi dua atau tiga jenis obat ARV. Pilihan jenis obat ditetapkan berdasarkan pengobatan ARV pacta sumber pajanan sebelumnya dan informasi tentang kemungkinan resistensi dari obat yang pernah digunakan. Pili han juga berdasarkan tingkat keseriusan pajanan dan ketersediaan ARV. Pemberian ARV terse but didasarkan pacta pedoman yang ada, dan disediakan satu "kit" yang berisi ARVyang direkomendasi, a tau berdasarkan konsultasi dengan dengan dokter ahli. Konsultasi dengan dokter ahli sangat penting dalam hal adanya resistensi terhadap ARV. Perlu tersedia jumlah ARV cukup untuk pemberian satu bulan penuh sejak awal pemberian PPP. label 7. Penilaian Pajanan untuk Profilaksis Pascapajanan HIV4

Kurang berat• Dianjurkan Pengobatan dasar 2- obat PPP -iebihberat1

Pengobatan dengan 3-obat PPP

Anjuran pengobatan dengan 3-obat PPP Anjuran pengobatan dengan 3-obat PPP

Umumnya Tidak perlu PPP, pertimbangkang 2-obat PPP bila sumber berisikoh

Umumnya Tidak perlu ppph.i

umumnya--~---u-momnya

Tidak perlu PPP pertimbangkan 2-obat PPP bila sumber berisikoh

Tidak perlu ppph.i

perlu ppp

-----TIC!alc- --perlu PPP

~g~~9~Pt9-~;:eei~F2n_:a9q~J~~9:~i~~!~ . . = ~f<~i~~~~.~~f~gJ~&ci~'·';'•

Volume sedikit (beberapa tetes)

Pertimbangkan Pengobatan dasar 2- obat PPPh

Anjuran pengobatan dengan 3-obat PPP

Volume bany(]k (tumpahan banyak darah)

Dianjurkan Pengobatan __ dasar 2- obat PPP

Anjuran pengobatan dengan 3 -obat PPP

J

Umumnya Tidak perlu PPP pertimbangkang 2-obat PPP bila sumber berisikoh Umumnya Tidak perlu PPP pertimbangkan 2-obat PPP bila sumber berisikoh.i

Umumnya Tidak perlu ppph.i

Tidak perlu PPP

Umumnya Tidak perlu ppph.i

Tidak perlu PPP

Keterangan: a HIV Asimtomatis a tau diketahui viral load rendah [yaitu < 1500 RNA/ml) b HIV Simtomatis, AIDS, serokonversi akut, atau diketahui viral load tinggi. bila dikhawatirkan adanya resistensi obat, konsultasikan kepada dhlinya. Pemberian PPP tidak boleh ditunda dan perlu tersedia sarona untuk melakukan perawatan lanjutan secepatnya c contoh, pasien meninggal & tidak do pat dilakukan pemeriksaan darah

d contoh, jarum dari tempo! sampah e y.i. jarum buntu, luka di permukaan f y.i. jarum besar berlubang, luka tusuk dalam, nampak darah pada alai, atau jarum bekas dipakai pad a arteri atau vena g Pernyataan "Pertimbangkan PPP" menunjukkan bahwa PPP merupakan pilihan tidak mutlak dan horus diputuskan secara individual tergantung dari orang yang terpajan dan keahlian dokternya. Namun, pertimbangkanlah pengobatan dasar dengan 2-obat PPP bila ditemukan faktor risiko pad a sumber pajanan, atau bila terjadi di daerah dengan risiko tinggi HIV. h Bila diberikan PPP dan diterima, dan sumber pajanan kemudian diketahui HIV negatif, maka PPP horus dihentikan. i Pada pajanan kulil, tindak lanjut hanya diperlukan bila ada tanda-tanda kulit yang tidak utuh {seperti, dermatitis, abrasi atau luka)

Tabel 8. Rejimen ARV untuk Profilaksis Pascapajanan•

Risiko menengah (Kemungkinan ada risiko terjadi infeksi)

Rejimen kombinasi dua obat dasar, contohnya: AZT 2 x 300 mg + 3TC 2 x 150 mg atau d4T 2 x 40 mg + 3TC at au ddl 1 X 400 mg + d4T

Risiko tinggi (Risiko terjadi infeksi yang nyata, misalnya pajanan dengan darah volume banyak, luka tusuk yang dalam)

Rejimen kombinasi 3 obat, contohnya: AZT/ 3TC/ IDR (3 x 800 mg) ataur NFV (3 x 750 mg) AZT/ 3TC/ IDV/r AZT/ 3TC + NNRTI (EFV 1 x 600 mg]2

Keterangan: 1 Rejimen PPP perlu disesuaikan dengan menggunakan obat yang tidak resisten terhadap sumber pajanan {bila diketahui) 2 Efavirenz lebih baik dari pada NVP tapi tidak dianjurkan untuk perempuan hamil. Telah dilaporkan 2 kematian dari petugas kesehatan dengan toksisitas hali yang terkait dengan PPP yang mengandun_g NVP, oleh karena itu tidciK dianjurkan

Efek Samping 2 · 4

Efek sam ping yang paling sering terjadi pada pemberian ARV adalah mual dan rasa tidak enak. Pengaruh yang lainnya kemungkinan sakit kepala, Ielah, mual dan diare. Efek sam ping lain yang berat pada pemberian ARV adalah seperti di bawah ini •

NVP: pernah dilaporkan hepatotoksisitas berat pada PPP (NVP tidak dianjurkan untuk rejimen kombinasi pada PPP)



ddl: pankreatitis yang fatal



IDV /NFV: diare, hiperglikemia, lipodistrofi

Pemeriksaan Tindak Lanjut dan Konseling 4 Orang yang mendapatkan ARV untuk PPP perlu dievaluasi dan ditindak lanjuti dalam 72 jam setelah pajanan serta perlu dipantau terhadap timbulnya gejala toksisitas obat untuk sedikitnya selama 2 minggu. Pemeriksaan antibodi HIV sebagai data dasar dapat dilakukan dalam 8 hari pascapajanan dan untuk selanjutnya dievaluasi

secara berkala setidaknya selama 6 bulan pascapajanan, misalnya pada minggu ke 6, bulan ke 3 dan bulan ke 6, namun apabila timbul gejala penyakit yang sesuai dengan sindrom retroviral akut maka pemeriksaan antibodi HIV perlu dilakukan segera. Perlu diberikan konseling dukungan dan juga anjuran untuk melakukan pencegahan terhadap penularan sekunder HIV sedapat mungkin selama masa pemantauan. label 9. Pemantauan Laboratorium pada Profilaksis Pascapajanan 2 · 4 i

~> ~ ;. yt~~
:_;; , }

.•@~~!T~m•rlU:(ii.·~~~;, ·>= ;~ ·····.·•·· '~'~Tida~me.:A!ntitrt•PP.i>ht· •··

Data Dasar (Dalam waktu 8 hari)

HIV, HCV, HBV DL Transaminase

HIV, HCV, HBV

Minggu ke 4

Transaminase, DL

Transaminase

Bulan ke 3

HIV, HCV, HBV Transaminase

HIV, HCV, HBV Transaminase

Bulan ke 6

HIV, HCV, HBV Transaminase

HIV, HCV, HBV Transaminase

Keterangan:

HIV HCV HBV DL

pemeriksaan antibodi HIV pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis C pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis B Pemeriksaan darah lengkap

PENATALAKSANAAN INFEKSI HIV PADA KEHAMILAN 5 Semua ARV diketahui memiliki toksisitas terhadap kehamilan, namun tetap diperlukan dalam keadaan seperti : • Terapi kombinasi paten bagi penyakit HIV maternal; atau • Sebagai profilaksis untuk mencegah infeksi HIV ke janin.

I dariwanita Status HIV I +

-.

~

Sudah didiagnosis HIV sebelumnya dan sudah mendapatkan terapi

I

Tes HIV (+)

I

r

ZDV+3TC+NVP atau TDF+3TC+EFC atau TDF+3TC (atau FTC)+EFV

I

Lanjutkan terapi ARV

l

Gambar 1. Algoritma Tatalaksana HIV Pada Wanita Hamil

928

Tes HIV (-)

I

..

~

-

"

Human imfitf~~~~~~ficienc;y virus (HIV)l acquired immunod~-~:,~l~[bjf~y syndrome (AIDS) ..

~~;:::,.,~--~~r-.i-~ .,;;,;.;:-~;::.\L·.~; .;.,-;;_;;:,£,:·;

.

KOMPLIKASI Infeksi oportunistik, kanker terkait HIV, dan manifestasi HIV pacta organ lain.H

PROGNOSIS Pemberian terapi ARV kepada orang dengan HIV j AIDS (ODHA) dapat menurunkan penyebaran virus Human Immunodefficiency Virus (HIV) hingga 92%. 1"4

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Tropik Infeksi, Divisi Alergi lmunologi- Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS Pendidikan

: Divisi Pulmonologi, Divisi Hematologi- Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

REFERENSI 1.

Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus: AIDS and related disorders. In: Fauci A, Braunwald E, Kasper D. Harrison's Principles of Internal Medicine. 17th ed. New York: McGrawHill; 2009: 1138-1204

2.

HIV. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jakarta: lnterna Publishing; 2009.p. 2130-32.

3.

Departemen Kesehatan Rl. Tata Laksana HIV/AIDS. 2012

4.

World Health Organization. Antiretroviral therapy for hiv infection in adults and adolescent. 2010 revision. [Update 2010; cited 2011 Mar 11] Available from http://www.who.int

5.

Antiretroviral Drugs for Treating Pregnant Women and Preventing HIV Infections in Infants: Guidelines on care, treatment and support for women living with HIVI AIDS and their children in resource-constrained settings. World Health Organization. Switzerland. 2004

6.

Centers for Disease Control and Prevention. Recommended Adult Immunization Schedule. United States. 2012. Diunduh dari http:/ /www.cdc.gov/vaccines/recs/schedules/downloads/adult/ adult-schedule.pdf pada tanggal2 Mei 2012.

INFEKSI JAMUR

PENGERTIAN Mayoritas jamur tidak patogenik bagi orang yang imunokompeten, namun beberapa jamur dapat menginfeksi orang sehat, diantaranya dermatofita (trikofiton, epidermofiton, dan mikrosporum), histoplasma, blastomyces, cryptococcus, Coccidioides, dan paracoccidioides. 1 Pada individu dengan imunokompromis berisiko terkena infeksi oportunistik oleh jamur seperti kandida, aspergillus, fusarium atau mukor. Mereka yang terkena diantaranya adalah infeksi HIV, terapi imunosupresan, kemoterapi kanker, pasien netropenik, pasien dengan diabetes melitus yang tidak terkontrol. Pada keadaan tertentu, jamur dapat menginfeksi hampir semua organ a tau dapat terjadi diseminasi dan menyebabkan sepsis fungal.

KANDIDIASIS DefinisP Kandidiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh organisme dari genus Candida, yang paling sering Candida albicans. Infeksi kandida pada penderita imunokompromais dapat dilihat pada bab Infeksi Oportunistik.

Faktor Risiko Faktor risiko untuk infeksi kandida adalah netropenia, imunosupresi, antibiotik spektrum luas, terpasang infus, pengguna jarum suntik, operasi abdomen, OM, gagal ginjal

Manifestasi Klinis Tergantung dari lokasi terkenanya, kandidiosis memiliki manifestasi klinis : •

Mukokutan: kutan (merah, lesi maserasi, zona intertriginosa)



Candidiuria : kolonisasi karena antibiotik spektrum luas dan atau indwelling catheter



Candidemia: (nosocomial bloodstream infection)

Panduan PraktikKiinis

remimpunan oOkter SpesialiS PenY.akit DaiCm lndo'nesia





Hepatosplenik : intestinal seeding of portal and venous circulation; ditemukan



pada leukimia akut Diseminasi hematogenus : paru-paru, otak, meningen

Diagnosis4 Untuk menegakkan diagnosis candidiasis dengan menemukan pseudohifa atau hifa spesies candida pada kultur spesimen. Sebelum menunggu hasil kultur, kondisi pasien dapat kita nilai dengan menggunakan scoring kandida untuk menentukan apakah ia memiliki kecenderungan menderita infeksi jamur. Skoring kandida secara lengkap dibahas pada appendiks.

Tatalaksana 2 ·3 Terapi empirik Terapl empirik

Mukokutan

Topikal klotrimazol, nistatin, flukonazol, itrakonazol.

Kandiduria

Flukonazol 200 mg/hari selama 2 minggu, atau intravesikal ampho B. Jika simptomatik, imunosupresi berat, akan melakukan prosedur genitourinari

Kandididemia tanpa netropenia

Flukonazol 400mg/hari atau ekinokandin, atau ampho B

Febril netropenia

Ekinokandin (micafungin 1OOmg/hari iv selama 2 minggu atau SQR'l~Gli-1'1Glsil-k{Jjti.Jf-.fl€9Gltif.)--.,.-Glt.QI.J-QR'l~R~

Prognosis Pada pasien sehat dengan kandidiosis superfisial, terapi yang tepat dapat sembuh sempurna tanpa meninggalkan kerusakan permanen. Candidiasis tidak akan kambuh bila pasien tetap sehat dan asupannya baik. Pacta pasien immunokompromis, kandidiosis lebih persisten dan lebih resisten terhadap terapi.

ASPERGILLOSIS DefinisP Aspergilosis adalah infeksi yang disebabkan oleh jamur Aspergillus.

Manifestasi Klinis Beberapa bentuk aspergillosis



Aspergilloma: biasanya didahului adanya kavitas (dari TB); kebanyakan



asimptomatik tapi dapat menyebabkan hemoptisis Necrotizing tracheitis: pseudomembran nekrotik putih pada pasien dengan AIDS transplan paru



Necrotizing kronik: pada pasien dengan PPOK; imunosupresi ringan



Diseminatajinvasif : pada pasien dengan imunosupresi (neutropenia, post transplant, steroid, AIDS dengan steroid atau neutropenia)

PENDEKATAN DIAGNOSIS Laboratorium: Kultur, pemeriksaan antibodi, deteksi antigen (histo urinjserum Ag, 1,3-~-D-glucan, Galactomannan, Crypto Ag), pemeriksaan histopatologik. TATALAKSANA4 Nonfarmakologis

Lepaskan akses intravaskular, menjaga higienitas Farmakologis

Fungus ball biasanya tidak diterapi dengan antijamur kecuali ada perdarahan pada

jaringan paru-paru. Pada kasus tersebut, diperlukan tindakan operasi. Aspergillosis invasiv aiterapi dengan antijamur voricunazole oral a tau intravena; Dapat juga menggunakan Amphotherisin B, Ekinokandin, atau ltraconazole. Endokarditis yang disebabkan Aspergillus diterapi dengan tindakan operasi mengambil katup jantung yang terinfeksi serta terapi antijamur dalam jangka panjang.

PROGNOSIS Invasif aspergilosis sulit membaik dengan terapi farmakologis, dapat menyebabkan kematian. UNITY ANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS Pendidikan : Divisi Pulmonologi - Departemen PenyakifDalam • RS non pendidikan

lnfeksi Jamur,. REFERENSI 1.

In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Jakarta: lnterna Publishing; 2009.p. 2130-32.

2.

Charlier C. HartE, Lefort A eta/. Fluconazole for the management of invasive candidiasis: where do we stand after 15 years?. J Antimicrob Chemother. Mar 2006;57{3):384-410. [Medline].

3.

Kuse ER, Chetchotisakd P, do Cunha CA. eta/. Micafungin versus liposomal amphotericin B for candidaemia and invasive candidosis: a phase Ill randomised double-blind trial. Lancet. May 5 2007:369(9572): 1519-27. [Medline].

4.

Fa unci et all. Harrison 'sPrincipal of Internal Medicine 181h Edition.

INFEKSI OPORTUNISTIK PADA AIDS

PENGERTIAN 1

Infeksi oportunistik adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh. Infeksi ini dapat timbul karena mikroba yang berasal dari luar tubuh, maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh kekebalan tubuh. Infeksi oportunistik pada ODHA dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuhnya (kadar CD4). Berikut akan dibahas infeksi oportunistik yang sering terjadi pada ODHA di Indonesia.

PENDEKATAN DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA Berikut adalah diagnosis dan tatalaksana beberapa infeksi oportunistik tersering:

lUBER-KULOSlS Pendekatan Diagnosis



• •

Anamnesis: demam diurnal, keringat malam, batuk kronik lebih dari 3 minggu, hemoptisis, penurunan berat badan, penurunan napsu makan, rasa letih, dan nyeri dada pleuritik. Pemeriksaan fisik: febris, kakeksia, takipnea, suara napas bronkial, amorfik, suara napas melemah, ronki basah yang terdengar jelas saat inspirasi. Pemeriksaan penunjang: sputum BTAyang positif minimal 2 dari 3 spesimen SPS pada waktu yang bersamaan, foto rontgen toraks (infiltrat, pembesaran KGB hilus/ paratrakeal, roilier, kavitasi, efusi pleura), laju endap darah meningkat, kultur Mycobacterium tuberculosis yang positif, tes Mantoux positif, tes IGRA positif.

Diagnosis Banding

Pneumonia, tumor /keganasan paru, bronkiektasis, abses paru.

Tatalaksana



Obat antituberkulosis (OAT) yang diberikan pada pasien ODHA tidak berbeda pada pasien biasa.



Semua pasien ODHA harus menerima terapi antiretroviral (ARV). OAT diberikan lebih dahulu, disusul pemberian ARV sesegera mungkin selambat-lambatnya 8 minggu setelah dimulainya OAT.



ARVyang dianjurkan adalah zidovudin atau tenofovir disoproksil fumarat (NRTI/ Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor) dikombinasikan dengan lamivudin a tau

emtrisitabin. Untuk NNRTI/ Non-Nucleotide Reverse Transcriptase Inhibitor, WHO merekomendasikan efavirenz atau nevirapin.

MYCOBACTERIUM AVIUM COMPLEX (MAC) Pendekatan Diagnosis



Anamnesis: demam, penurunan berat badan, keringat malam, rasa letih, diare.



Pemeriksaanfisik: limfadenopati, hepatosplenomegali, anemia.



Pemeriksaan penunjang: gangguan fungsi hati, peningkatan alkali fosfatase serum, leukopenia, anemia, kultur darah a tau cairan lain yang steril, pemeriksaan sputum yang menunjukkan MAC positif sebanyak 2 kali, biopsi sumsung tulang atau hati.

Diagnosis Banding

Tuberkulosis Tatalaksana



Klaritromisin 2x500 mg + etambutol 15 mgjkgBB atau azitromisin 1x600 mg +



etambutol 15 mgjkgBB. Obat tambahan untuk kuman resisten makrolid: Moksifloksasin 1x400 mg atau levofloksasin 1x500-750 mg + etambutol 15 mg/kgBB + rifabutin 1x300 mg ±



amikasin iv 10-15 mgjkgBB. CDC menganjurkan penghentian terapi kronis dapat dihentikan setelah 12 bulan terapi jika tidak ditemukan gejala dan tanda infeksi MAC disertai peningkatan CD4 > 100 selfl..tL yang menetap selama lebih6bulandenganpemberian ARV.

KANDIDIASIS Pendekatan Diagnosis



Anamnesis: Kandidiasis orofaring: rasa terbakar, gangguan mengecap, sulit menelan makanan cair atau padat. Kandidiasis esophagus: disfagia, odinofagia, nyeri retrosternal, nyeri seperti ada yang terhambat di kerongkongan. Kandidiasis vulvovagina: gatal, keputihan, kemerahan di vagina, dispareunia, disuria, pembengkakan vulva dan labia, gejala memburuk seminggu sebelum menstruasi. Kandidiasis kulit: gatal dan kemerahan.



Pemeriksaan Fisik Plak putih 1 - 2 em atau lebih di mukosa mulut, jika dilepaskan akan meninggalkan bercak merah atau perdarahan. Plak kemerahan hal us di palatum, mukosa bukal atau permukaan dorsallidah. Kemerahan, fisura atau keretakan di sudut bibir. Inflamasi vulvolabia,duhtubuh berwarna putih kekuningan, lesi pustulopapuler diskrit. Maserasi kulit, paronikia, balanitis, lesi pustular diskrit pada kulit.



Pemeriksaan penunjang: Pemeriksaan spesimen jaringan/ sekret dengan KOH, endoskopi.

Diagnosis Banding



Kandidiasis orofaring: lik-en planus, karsinoma sel skuamosa, leukoplakia, aspergilosis invasif, mukormikosis, blastomikosis, histoplasmosis.



Kandidiasis esofagus: esofagitis radiasi, GERD, infeksi CMV, esofagitis herpes simpleks.

t



Kandidiasis vulvovagina: trikomoniasis, vaginosis bakterialis.



Kandidiasis kulit: eritroderma, infeksi jamur lainnya.

Tatalaksana



Kandidiasis orofaring: Terapi pilihan: Nistatin drop 4- Sx kumur 500.000 U lringga lesi hilang (10- 14hari) Flukonazol oral1x100 mg selama 10- 14hari

Terapi alternatif: Itrakonazol suspensi 200mgjhari saat perut kosong Amfoterisin B iv 0,3mgjkgBB



Kandidiasis esofagus: Terapi pilihan: Flukonazol oral 200mgjhari hingga 800 mgjhari selama 14- 21 hari ltrakonazol suspensi 200mgjhari selama 14- 21 hari Terapi alternatif: Amfoterisin B iv 0,3 mgjkgBB



Kandidiasis vulvovagina: Terapi pilihan: Klotrimazol krim 1% Smgjhari selama 3 hari atau tablet vagin Mikonazolkrim2%Smgjhari selama7hari Tiokonazolkrim0,8%5mgjhari selama 3 hari Terapi alternatif: Flukonazol oral 1x150 mg tunggal ltrakonazol oral 1 - 2x 200 mg selama 3 hari Ketokonazol oral 1x200 mg selama5-7hariatau2x200mg selama 3 hari



Kandidiasis kulit: Krim atau losio klotrimazol, mikonazol, ekonazol, ketokonazol, sulkonazol, oksikonazol.

KRIPTOKOKOSIS (INFEKSI OLEH CRYPTOCOCCUS NEOFORMANS) Pendekatan Diagnosis:



Anamnesis Meningitis kriptokokus: gejala prodromal 2 - 4 minggu, mual, muntah, gangguan kesadaran dan perilaku, sakit kepala. Kriptokokosis paru: Demam, batuk dengan sputum tidak terlalu produktif.



Pemeriksaan Fisik Meningitis kriptokokus: kaku kuduk, edema papil, parese. Pada infeksi C.neoformans juga dapat ditemukan lesi kulit yaitu kelainan serupa akne, papul, vesikel, nodul, tumor, abses, ulkus dan granuloma. kriptokokosis Jugidapat terjadipada mata dan menirribtilkan konjungtivitis, korioretinitis, endoftalmitis, kebutaan.



Pemeriksaan penunjang CT scan /MRI otak: hidrosefalus, edema difus, atrofi, penyangatan meningen dan pleksus koroideus. Isolasi jamur (pewarnaan tinta India) dari darah, cairan serebrospinal, urin, cairan pleura, sputum, bilasan bronkus, lesi kulit. Histopatologi. Serologi antigen C.n,eoformans.

Diagnosis Banding

Tuberkulosis, tuberkuloma,sifilis sistem saraf pusat Tatalaksana



Meningitis kriptokokus Menurunkan tekanan intrakranial/ TIK hingga <200mmHg dengan: punksi lumbal (bila TIK >250 mmHg), pemasangan drain lumbal (bila TIK > 400 mmHg), VP shunt (bila kedua terapi di atas gagal). Antijamur pilihan pertama: Induksi: amfoterisin 8 iv 0, 7 - 1mgjkg88jhari dan 5-fluorositosin oral 100 mgj kg88/hari selama 2 minggu. Konsolidasi:flukonazol oral400 mgjhari selama 8 minggu atau hingga cairan serebrospinal steril. Pilihan kedua: Induksi: amfoterisin 8 iv 0,7- 1mgjkg88jhari selama 2 minggu. Konsolidasi:flukonazol oral400 mgjhari selama 10 minggu atau hingga cairan serebrospinal steril. Pilihan ketiga: Flukonazol oral 400- 800mg/ hari dan fluorositosin oral100 mgjkg88/hari selama 6- 10 minggu

't



Kriptokokosis paru, kriptokokosis diseminata dan antigenemia: Flukonazol 200- 400mgjhari secara oral hingga nilai CD4 >200selfllL.

.lnfe:~si ··Op,ont.l:Jr1istH~'.p\jiLJ~>·~• > ·' .'



', ,-

··,.

·.<.

· .·, ·· c

·' • . ·

• •

,;

,

• '''

Y.

·: r"~-

ENSEFALITIS TOKSOPLASMA (ET) & KORIORETINITIS TOKSOPLASMA Pendekatan Diagnosis



Anamnesis Ensefalitis toksoplasma: demam, rasa letih,sakit kepala, defisit neurologi fokal (hemiparese, kejang, ataksia, afasia, parkinsonism, koreaatetosis ), penurunan kesadaran, gangguan perilaku. Korioretinitis toksoplasma: demam, rasa letih, penglihatan kabur, skotoma, nyeri mata, fotofobia, epifora



Pemeriksaan Fisik Penemuan umum: pembesaran KGB kenya!, tidak nyeri, berkonfluens, umumnya di daerah servikal, hepatosplenomegali, ruam kulit. Ensefalitis toksoplasma: parese saraf cranial, heimparese, gangguan lapang pandang, rubral tremor, gangguan sensorik daerah tungkai. Korioretinitis toksoplasma: penurunan visus



Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan umum: serologi toksoplasma. Ensefalitis toksoplasma : CTscan/MRl: lesi tunggalf multipel hi pod ens pacta CT atau hipointens pacta

MRI menyangat kontrasberbentukcincin disertai edemadan efek masa. Histopatologi jaringan otak. Korioretinitis toksoplasma: Funduskopi: nekrosis multi focal a tau bilateral, bercak multiple yellowish

white di daerah kutub posterior. Diagnosis Banding



Ensefalitis toksoplasma: limfoma sistem saraf pusat, tuberkuloma, progressive



multifocalleucoencephalopathy. Korioretinitis toksoplasma: korioretinitisTB, sifilis, lepra, histoplasmosis.

Tatalaksana



Pilihan pertama

Fase akut: pirimetamin oral 200mg hari pertama, selanjutnya SO- 7S mgjhari + leukovorin oral 10- 20 mgf hari + sulfadiazin Ol"al 1000- lSOOmgjhari. Rumatan: pirimetamin oral 2S- SO mgjhari + leukovorin oral 10- 20 mgjhari +sulfadiazine oral SOO- 1000mgjhari.



Pilihan kedua Fase akut: pirimetamin+leukovorin+klindamisin oral atauiv4x600mg Rumatan: pirimetamin+leukovorin( do sis rumatan )+ klindamisinoral4x300-450mg



Pilihan ketiga: Fase akut: pirimetamin + leukovorin + salah satu: atovaquone oral 2x1500 mg, azitromisin oral1x900- 1200mg,klaritromisinoral2x500 mg, dapson oral1x100 mg, minosiklinoral2x150-200mg.

Fase rumatan: pirimetamin + leukovorin (dosis rumatan) + salah satu antibiotik tersebut dosis sama. •

Di Indonesia tidak terdapat sulfadiazin dan pirimetamin tunggal karena itu dapat digunakan fansidar (pirimetamin 25mg dan sulfadoksin SOOmg) dengan dosis pirimetamin seperti di atas.

PNEUMOCYSTIS PNEUMONIA Pendekatan Diagnosis



Anamnesis: demam tidak tinggi, batuk kering,nyeri dada retrosternal (tajam a tau seperti terbakar)yang memburuk saat inspirasi, sesak napas subakut (2 minggu atau lebih).



Pemei'iksaanfisik: takipnea, takiK:ardi,- siahOsis akraC sentral; d-an. m.embrcm mukosa. Tidak ditemukan ronki pada auskultasi paru.



Pemeriksaan penunjang: Roentgen dada: infiltrat interstitial bilateral di daerah perihiler yang kemudian menjadi lebih homogen dan difus sesuai dengan perjalanan penyakit. Kadang ditemui nodul soliter atau multipel, infiltrat di lobus bawah, abses, pneumatokel, pneumotoraks .



CTscan: gambaran "ground glass" a tau lesi kistik. Peningkatan LDH (umumnya :2: 220 IU /L ).

Peningkatan gradient oksigen alveolar-arterial (AaDO ), pO <70 mmHg pada analisis gas darah. Peningkatan LED >50 mmjjam Leukositosis ringan Serum (1-3) beta-D-glukan positif Pemeriksaan mikroskopik sputum, lavase bronkoalveolar atau jaringan paru menunjukkan adanya kista Pneumocystis jiroveci

Diagnosis Banding

Pneumonia bakterialis, pneumonitis interstitial nonspesifik Tatalaksana



Derajat sedang- berat (sesak napas saat istirahatjPaO <70mmHg dalam udara kamar atau AaD02 >35mmHg): Rawat inap, oksigen, ventilator bila perlu. Kotrimoksazol iv atau trimetoprim oral 15 - 20 mgjkgBB/hari dan 75 - 100 mgjkgBB/hari sulfametoksazol dibagi 4 dosis selama 21 hari. Prednison oral2x40 mg 5 hari pertama, 1x40 mg 5 hari berikutnya dilanjurkan 20mgj hari hingga terapi selesai atau metilprednisolon iv dosis 75% dosis

prednison atau hidrokortison iv dosis awal4x100mg. Alternatif: primakuin 30mgjhari + klindamisin 3x600 mg atau pentamidin •

4mgjkgBB/hari. Derajat ringan- sedang (sesak napas pacta latihan, PaO >70 mmHg dalam udara kamar, AaDO >35mmHg): Trimetoprim oral 15 - 20 mgj kgBB/hari dan 75 - 100 mg/ kgBB/hari sulfametoksazol dibagi 4 dosis selama 21 hari. Alternatif: primakuin pral 30mg/ hari+klindamisin3x600mgjhari atau atovaquone 2x750 mg selama 21 hari.



Rep oris pengobafari dapaf dilihat setelah nad ke~5 sampai ke-7.

CYTOMEGALOVIRUS (CMV) Pendekatan Diagnosis

Anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang: •

Korioretinitis: Gangguan penglihatan unilateraL penglihatan floater, fotopsia, skotoma, gangguan lapang pandang unilateral. Funduskopi: perdarahan retina brush-fire, catchup-sauce appearance, pigmentasi granuler atau eksudat kekuningan seperti pizza pie appearance, cotton-wool spot pacta daerah perifer atau fundus.

Pemeriksaan antigen CMV secara serologis. •

CMV saluran cerna:

Diare, sariawan, nyeri epigastrium, ulkus pacta sfinkter esofagus, ulkus rectum,

perforasi ileum. Biopsi mukosa saluran cerna: tanda inflamasi dan CMV inclusion body. Pemeriksaan antigen CMV secara serologis. •

Pneumonitis CMV: Sesak napas yang memburuk perlahan, sesak saat aktivitas, batuk nonproduktif, ronki minimal. Roentgen dada: infiltrat difus interstitialis seperti PCP. Biopsi parujmakrofag dari bilasan bronkoalveoler: CMV inclusion body intraselular. Pemeriksaan antigen CMV secara serologis.



Ventrikuloensefalitis CMV: Letargi, gangguan mental, delirium, demam, sulit konsentrasi, sakit kepala, somnolen, gangguan saraf kranial. Pemeriksaan cairan serebrospinal: ditemukan antigen atau DNA CMV dan kultur. Pemeriksaan antigen CMV secara serologis.

Tatalaksana



Mata Gansikloviriv2x5mgjkgBBjhari dalam infus 1 jam selama 2 - 3 minggu, · dilanjutkari. dengari dosis rumatan iv SmgjkgBBfhari sekali :sehari. Valgansiklovir oral2x900 mg selama 21 hari dilanjutkan dosis rumatan 1x900mg. Foscarnet iv 2x60 mgfkgBB atau 2x90 mg/kgBB selama 2 - 3 minggu dilanjutkan dosis rumataniv2x90-120mgjkgBB. Pada ancaman gangguan penglihatan berat dan pemulihan sistem imun sulit diharapkan, dipasang implant gansiklovir intraokuler per 6-8 bulan dikombinasi dengan valgansikloviroral1x900mg.



Saluran cerna Gansiklovir iv 2x5 mgjkgBB selama 2 - 3 minggu. Valgansiklovir2x900mgselama 2 -3 minggu. Foscarnetiv3x60mgjkgBBatau 2x90 mg/kgBB selama 2 - 3 minggu. Tidak diperlukan terapi rumatan kecuali relaps selama atau setelah terapi



Paru Gansiklovir iv 2x5 mgjkgBB selama >21 hari. Valgansik.lovir2x900mgselama 21 hari. Foscarnetiv3x60mgjkgBBatau 2x90mg/kgBBselama>21hari.



Sistem saraf Gansiklovir iv 2x5 mgjkgBB kombinasi dengan foscarnet iv 3x60 mg/kgBB atau 2x90 mgj kgBB selama 3 - 6 minggu, dilanjutkan dengan dosis rumatan seperti pada mata. Gansiklovir iv 2x5 mgjkgBB selama3-6minggudilanjutkan dengan rumatan gansiklovir iv atau valgansiklovir seperti dosis pada mata.

DIARE KARENA PROTOZOA Pendekatan Diagnosis • Anamnesis: Infeksi cryptosporidia sp., microsporidia, isospora belli menunjukkan gejala yang sama yaitu:diarenon-inflamasi,kram perut, mual, muntah, demam, sakit kepala, penurunan be rat badan. Dapat menyebabkan kolesistitis, kolangitis, pankreatitis. Microsporidia dapat menyebar di luar usus yaitu pada mata, otak, otot, hati dan dapat menyebabkan konjungtivitis dan hepatitis. • Pemeriksaan penunjang: analisis tinja (mencari ookista), pemeriksaan tinja dengan mikroskop elektron, aspirasi usus atau biopsi usus. Diagnosis banding Diare karena parasit lain, amebiasis, infeksi Campylobacter, colitis CMV, gastroenteritis virus, gastroenteritis bakteri, giardiasis. Tatalaksana • Cryptosporidia sp.:Tidak ada terapi spesifik untuk infeksi Cryptosporidia sp. lnfeksi ini akan mengalami resolusi dengan sendirinya apabila kadar CD4>100selj~L. Alternatif: paramomisin 500 mg peroral3xsehariselama14hari. • Microsporidia: Albendazol 400 mg 2x sehari selama 14 hari. Untuk infeksi diseminata, albendazol dapat dikombinasikan dengan itrakonazol 200 - 400mgjhari. lnfeksi okular dapatmendapatterapi tambahan fumagilin bisiloheksilammonium topikal • Isospora belli: Kotrimoksazol160mg TMP/800mg SMX oral atau iv 2- 4x sehari selama 10 hari, dapat diperpanjang hingga 3- 4 minggu hila gejala menetap. Alternatif: pirimetamin 50 - 75 mgjhari ( +asam folat 5 - 10 mgj hari) atau siprofloksasin 500mgoral2x sehari selama7harL Terapi rumatan: kotrimoksazol 320mgTMP /1.600 SMX 1x sehari atau 3x seminggu hila CD4 < 200selNL atau pirimetamin 25 mgjhari.

KOMPLIKASI Kematian, komplikasi sesuai organ yang terlibat, komplikasi akibat pengobatan

PROGNOSIS Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati, namun jika kekebalan tubuh tetap rendah, infeksi oportunistik dapat kambuh kembali atau juga timbul infeksi oportunistik yang lain.

UNITY ANG MENANGANI • •

RS pendidikan

: Divisi Tropik Infeksi, Divisi Alergi lmunologi- Departemen

RS non pendidikan

Penyakit Dalam : Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT • •

RS pendidikan RS non pendidikan

: Semua Divisi di lingkungan Departemen Penyakit Dalam

REFERENSI 1.

Yunihastuti E. Djauzi S, Djoerban Z, editors. lnfeksi oportunistik pada AIDS. Jakarta; Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005.

2.

Nasronudin. lnfeksi jamur. In: Sudoyo A. Setiyohadi B. Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th ed. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUI. 2009:2871-80

3.

Pohan HT.. Toksoplasmosis. In: Sudoyo A. Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th edition. Jakarta; Pusat lnformasi dan Penerbitan Bag ian llmu Penyakit Dalam FKUI. 2009:2881 -8

4.

FauciAS,LaneHC.Humanimmunodeficiencyvirusdisease:AIDSandrelateddisorders.ln:FauciA. Kasper D, Longo D, Braunwald E, Hauser S, Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internalmedicine.18thed.UnitedStatesofAmerica;TheMcGraw-HiiiCompanies,2012:1506-87

5.

World Health Organization. Treatment of tuberculosis guidelines. 4th edition. 2010:65- 74

6.

Kaplan JE, Benson C, Holmes KH. Brooks JT, Pau A. Masur H. Guidelines for prevention and treatment of opportunistic infections in HIV-infected adults and adolescents: recommendations from CDC, the National Institutes of Health, and the HIV Medicine Association of the Infectious Diseases Society of America. MMWR Recomm Rep. 2009;58(RR-4):1-207.

7.

Limper AH, KnoxKS,SarosiGA.AmpeiNM, Bennett JE, Cat a nzaroA.AnofficiaiAmericanthoracic society statement: treatment of fungal infections in adult pulmonary and critical care patients. Am J Respir Crit Care Med.2011; 183:96- 128

t

I

INFEKSI PADA KEHAMILAN

PENGERTIAN Infeksi telah lama diketahui sebagai penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin di seluruh dunia, dan infeksi ini masih menjadi masalah di abad 21. Faktor-faktor seperti status serologis maternal, waktu terjadinya infeksi saat hamil, cara penularan, dan status imunologis mempengaruhi manifestasi penyakitnya. 1 Infeksi akut selama kehamilan yang sering seperti infeksi kulit atau infeksi saluran nafas, biasanya bukan merupakan masalah yang serius, namun pada beberapa kasus dapat mempengaruhi persalinan ataupun pemilihan cara persalinan, dan meningkatkan resiko kejadian abortus, ketuban pecah dini, kelahiran prematur, dan stillbirth. 2 -4 PENDEKATAN Berikut merupakan beberapa infeksi yang sering ditemukan selama kehamilan (tabell). Tq!)Etl_}_.[)iqgll()Sis, Penc:_egghgn, I~rgRi,_cl_g_nKQJTIPJil
Rubella

lsolasi virus, PCR, serologis ELISA lgMdan lgG

Vaksinasi dengan interval 3 bulan sebelum hamil, hindari kontak dengan penderita

Simptomatik

Sindrom rubella kongenital

CMV

lsolasi virus, PCR, serologis ELISA lgMdan lgG

lmunisasi pasif dengan imunoglobulin (IG) CMV, hindari kontak dengan penderita

Simptomatik, ganciclovir1

Pertumbuhan jan in terhambat (IUGR), mikrosefaiL prematuritas, oligo/polihidramnion_

Varicella zoster virus (VZV)

Klinis, sitologis, isolasi virus

Vaksinasi tidak dianjurkan pada wanita hamil, VZIG profilaksis2 625 unit im

lsolasL rawat inap bila komplikasi (+), asiklovir 10-1 5 mg/kgBB tiap 8 jom

lnfeksi neonatorum, malformasi kongenital, infeksi berat pada ibu

Panduan Praktik Klinis

Perhlmpunan Dokter Spesialis PenyOidt Dalom Indonesia

INFEKSI

YES LABORATORIUM

PENCEG,AHAN

I<,OMPLIKA,SI

(bila riwayat cacar air dan seronegatif VZV) dalam kurun waktu 96jam paska paparan. Herpes simplex

Klinis, sitologis, isolasi virus, PCR, serologis

Kontrasepsi bonier (kondom), hindari kontak dengan penderita

Hepatitis B

Asiklovir atau valasiklovir. pertimbangan sectio caesarea (SC). Neonatus yang terinfeksi diberikan asiklovir.

lnfeksi neonatorum, infeksi berat pada ibu

Lihot pembohoson podo bob Hepatitis Virus Akut Lihot pembahoson pada bob HIV

HIV Parvovirus B19

PCR, Serologis antibodi lgG dan lgM

Campak (Rubeola/ Measles)

Klinis, PCR, serologis

Vaksinasi tidak dianjurkan pada wanita hamil

Simptomatik

Anemia fetus, abortus spontan, hydrops fetalis

Simptomatik

Abortus, prematuritas, berat bad an lahir rendah (BBLR)

Sifllis Neisseria gonorrhoeae and Chlamydia trachomatls Listeriosis

Brucellosis

Lihot pembohoson poda bob lnfeksi Menular Seksuol

Kultur darah

Riwayat paparan, isolasi bakteridari darah atau jaringan, kultur. PCR, serologis, tes aglutinasi. dipstick

Hindari keju atau produk susu yang tidak dipasteurisasi. mencuci sayur mentah, memasak dengan matang

Ampisilin + gentamisin, bila alergi trimetoprimsulfametoksazol (TMP-SMX)

lnfeksi fetus, stillbirth

Hindari produk susu yang tidak terpasteurisasi

Dual therapy antimikroba: TMPSMX, rifampin

Abortus spontan

a

" K()tz\~tlkjii'Ji~',t .' ; lnfeksi Strep-

Klinis, darah lengkap, kultur dari swab vagina dan rektum

Profilaksis: Penicillin G 5 juta unit iv (dosis awol), dilanjutkan 2,5 juta unit iv tiap 4 jam s/d partus gtgy ampisilin 2 g iv (dosis awol), dilanjutkan 1 g iv tiap 4 jam s/d partus. Bila alergi penisilin: Cefazolin2g iv (dosis awol), dilanjutkan 1 g iv tiap 8 jam s/d partus gtgy_klindamisin 900 mg iv tiap 8 jam s/d partus atau eritromisin 500 mg iv tiap 6 jam s/d partus gtgy_vancomycin 1 g iv tiap 12 jam s/d partus

Toxoplasmosis

PCR, serologis ELISA lgM dan lgG, isolasi parasit. USG

Hindari daging yang kurang matang I mentah, cuci tangan setelah kontak dengan oag1ng mentah, cuci buah dan sayuran sebelum dikonsumsi, gunakan sarung tangan saat membersihkan kotciran kucing, hindari memberi makan daging mentah pada kucing, hindari memelihara kucing di dalam rumah

Malaria

Lihat pembahasan pada bob Malaria

tococcus GrupB

Sesuai dengan profilaksis

ISK

Lihat pembahasan pada bab lnfeksi Saluran Kemih

Tuberkulosis

Lihat pembahasan pada bob Tuberkulosis Paru

Sepsis matemal post partum, infeksi neonatorum

Malformasi kongenital

-~

PROGNOSIS Tergantung infeksi

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Infeksi Tropik - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam

UNITY ANG TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

: Departemen Obstetri dan Ginekologi

REFERENSI 1.

Cunningham, Leveno, Bloom et al. Williams Obstetrics 23'd Ed. United States of America. McGrawHill. 201 0;58:121 0-34.

2.

Brocklehurst P.lnfection and preterm delivery. BMJ 1999;318:548e9.

3.

Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW. Intrauterine infection and preterm delivery. N Engl J Med 2000;342:1500e7.

4.

Goldenberg RL McClure EM, Saleem S, et al. Infection-related stillbirths. Lancet 201 0;37 5: 1482e90.

5.

Gershon A. Chapter 186: Rubella (German Measles). In: Longo Fauci Kasper, Harrison's Principles of Internal Medicine 17'h edition. United States of America. McGraw Hill. 2008

6.

Yinon Y, Farine D, Yudin Metal. Cytomegalovirus Infection in Pregnancy. Society of Obstetricians and Gynaecologists of Canada (SOGC) Clinical Practical Guideline no. 240, April 201 0. Diunduh ggrLbttR:/ ,I~.S_()gc;_.oJg[g~i<::J~Iine;~_c:lociJ_01 el')tSjQUJ240C::PQ1QQ4~.p_d!fl()_<=l9_t(]nQg(JI2 Mei 201 2.

7.

Anzivino E, Fioriti D, Mischitelli Metal. Herpes simplex virus infection in pregnancy and in neonate: status of art of epidemiology, diagnosis, therapy and prevention. Virology Journal 2009, 6:40 doi:1 0.1186/17 43-422X-6-40. Diunduh dari http:/ /www.virologyj.com/content/pdf/17 43-422X-6-40. pdf pada tanggal 2 Mei 2012.

8.

Parvovirus B19 Infection in Pregnancy: Information Pack. Diunduh dari http:/ /www.fifthdisease. org/cmsFiles/parvovirus_b 19_and_pregnancy_information_booklet.pdf pada tanggal2 Mei 2012.

9.

Pappas G, Akritidis N, Bosilkovski M, et al. Brucellosis. N Eng I J Med 2005; 352:2325-2336. Diunduh dari http:/ /www.nejm.org/doi/full/1 0.1 056/NEJMra050570 pada tanggal 2 Mei 2012.

10. Khan M, Mah M, Memish Z. Brucellosis in Pregnant Women. Clinical Infectious Diseases 2001; 32:1172-7. Diunduh dari http:/ /cid.oxfordjournals.org/content/32/8/1172.full.pdf pada tanggal 2 Mei 2012.

INTOKSIKASI ORGANOFOSFAT

PENGERTIAN Adalah intoksikasi akibat zat yang mengandung organofosfat. Organofosfat digunakan sebagai insektisida. Mekanisme kerjanya adalah melalui inhibisi enzim asetilkolinesterase, menyebabkan akumulasi asetilkolin pada sinaps-sinaps kolinergik, baik perifer maupun sentral. Asetilkolin berlebih menyebabkan triggering reseptor asetilkolin secara konstan, stimulasi berlebih pada sinaps kolinergik di sistem saraf pusat, sistem saraf otonom, dan neuromuscular junction. 1•3 Intoksikasi organofosfat bermanifestasi dalam 3 fase, yaitu krisis kolinergik akut,

intermediate neurotoxic syndrome, dan delayed polyneuropathy. 3

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik2 ·3



Riwayat minumjkontak dengan zat yang mengandung organofosfat, bau pestisida



GambaFan-kliniskhas-kFisis-koHneFgik akut:a.

Gejala dan tanda muskarinik: Diare, banyak berkemih, Miosis, Bradikardi,

Bronchorrhoea, Bronkokonstriksi, Emesis, Lakrimasi, Salivasi (DUMBELS), hipotensi, aritmia jantung b. Gejala dan tanda nikotinik: fasikulasi, tremor, kelemahan otot dengan gaga! napas, hipertensi, takikardi, berkeringat, midriasis c.

Gejala SSP: gangguan kesadaran, kejang



Gambaran klinis intermediate neurotoxic syndrome



Cranial nerve palsies, kelemahan leher dan ekstremitas proksimal, dan gaga! napas tipe II



Gambaran klinis delayed polyneuropathy



Gangguan neurologis 1-3 minggu setelah paparan akut, terutama gangguan motorik, namun juga dapat sensorik

Pemeriksaan PenunjangM



Berkurangnya aktivitas kolinesterase darah atau butirilkolinesterase plasma

Panduan PrakUk Klinis DOkter s~sial~ 'PStwaidt. oc;;ICim lndoheSiO 1imPUnon



<80% menunjukkan paparan signifikan



EKG: bradikardi, pemanjangan QT, torsade de pointes ventricular tachycardia, ventricular fibrillation

DIAGNOSIS BANDING Intoksikasi karbamat, perdarahan pontin TATALAKSANA Nonfarmakologis5·6



Membebaskan jalan napas



Melepas pakaian yang terpapar



Dekontaminasi kulit dengan air dan sabun



Menempatkan pasien pada posisi lateral dekubitus kiri

Farmakologis 5 1. Resusitasi adekuat: oksigen, cairan normal saline (NS) 0,9%

2. Antagonis muskarinik: Atropin; untuk memperbaiki tanda dan gejala muskarinik Dosis awal1-3 mg bolus 5 menit setelahnya, periksa nadi, tekanan darah, ukuran pupil, keringat dan auskultasi dada; Jika belum ada perbaikan, gandakan dosis peFtama Pantau setiap 5 menit, gandakan dosis jika respon masih belum muncul. Jika terjadi perbaikan, hentikan penggandaan dosis. Gunakan dosis yang sama atau lebih kecil. Berikan atropin bolus sampai denyut jantung rel="nofollow">80 kalijmenit, dan tekanan darah sistolik >80 mmHg dan lapang paru bersih. Setelah pasien stabil, berikan infus atropin setiap jam sebesar 10-20% total dosis yang dibutuhkan untuk menstabilkan pasien. 3. Reaktivator kolinesterase: pralidoxime (2-PAM), obidoxime, trimedoxime, metohoxime, dll untuk memperbaiki tanda dan gejala nikotinik 7•8 2 g IV selama 20-30 me nit dilanjutkan dengan 0,5-1 gj jam dalam NS 0, 9%. Berikan pralidoxime sampai atropin tidak digunakan lagi selama 12-24 jam dan pasien telah diekstubasi 4. Diazepam jika agitasi dan kejang Dosis awal2-10m:g, dosis maksimal30 mg. 5. Kumbah lambung

Hanya dilakukan setelah pasien stabil, biasanya dilakukan <4jam setelah keracunan, yaitu dengan cara memberikan dan mengaspirasi 5 ml cairan/ kgBB melalui French

orogastric tube (OGT). Dapat menggunakan air atau NS. 6. Pemberian activated charcoal 50 mg dalam bentuk suspensi secara oral melalui cangkir, sedotan, atau nasogastric tube (NGT) 7. Ventilasi mekanik jika terjadi gagal napas

KOMPLIKASI Hipoksia, asidosis, pneumonia, gagal napas, aritmia jantung. 9•10 PROGNOSIS Angka kematian lebih dari 15%. Skor APACHE II awal dapat digunakan sebagai indikator prognostik. Nilai GCS juga dapat digunakan untuk memprediksi outcome. Hipoksemia, asidosis, dan gangguan elektrolit merupakan faktor predisposisi komplikasi jantung. 9•10 UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Tropik lnfeksi - Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan

: Divisi Pulmonologi, Divisi Psikosomatik, Divisi Gastroenterologi - Departemen Penyakit Dalam, Unit Perawatan ICU



RS non pendidikan

: Unit Perawatan ICU

REFERENSI 1.

Dalam: Sudoyo AW. Setiyohadi B. Alwi L Simadibrata M. Setiati S. penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; lnternaP ublishing; 2009. Hal

2.

Poisoning and drug overdose. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL Fauci AS. Hauser SL Loscalzo J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies; 2012. Hal.

3.

Aardema H. Meertens JHJM. Ligtenberg JJM, Peters-Polman OM. Tulleken JE. Zijlstra JG. Organophosphorus pesticide poisoning: cases and developments. The Netherlands Journal of Medicine 2008; 66 (4): 149-153

4.

Korki P. Ansari JA. Bhandary S, Koirala S. Cardiac and electrocardiographical manifestations of acute organophosphate poisoning. Singapore Med J 2004; 45(8): 385

5.

Eddlestone M, Buckley NA. Eyer P. Dawson AH. Management of acute organophosphorus pesticide poisoning. Lancet 2008; 371 (9612): 597-607

951

6.

Roberts MD, Aaron CK. Managing acute organophosphorus pesticide poisoning. BMJ 2007; 334: 629-34

7.

Eddleston M, Eyer P, Worek F, Juszczak E, Alder N, Mohamed F, et a!. Pralidoxime in acute organophosphorus insectiside poisoning- a randomised controlled trial. PLoS Med 2009;6(6)

8.

Bajgar J. Treatment and prophylaxis of nerve agent. Organophosphates intoxication. Therapeutics pharmacology and clinical toxicology 2009;13(3):hal247-253

9.

Kong EJ, Seok SJ, Lee KH, Gil HW, Yang JO, Lee EY, eta!. Factors for determining survival in acute organophosphorus poisoning. Korean J Intern Med 2009;24:362-267

10. Conder B, DurA, Yildiz M, Koyuncu F, Girisgin AS, Gul M, eta!. The prognostic value of the glasgow coma scale, serum acetylcholinesterase and leukocyte levels in acute organophosphorus poisoning. Ann Saudi Med 2011 ;31 (2):163-6

.

952

·, -~

INTOKSIKASI OPIAT

PENGERTIAN Intoksikasi opiat merupakan intoksikasi akibat penggunaan obat golongan opiat yaitu morfin, petidin, heroin, opium, pentazokain, kodein, loperamid, dekstrometorfan 1 PATOFISIOLOGI Opiat akan berikatan dengan reseptor opiat pada sistem sarafpusat, menyebabkan inhibisi jalur nyeri ascending, menyebabkan perubahan persepsi dan respons terhadap stimulus nyeri. Opiat juga bekerja pada sistem neurotransmitter SSP lain seperti dopamine, GABA, dan glutamate, menyebabkan depresi SSP secara umum. 2 PENDEKATAN DIAGNOSIS1.2 Anamnesis

Informasi mengenai seluruh obat yang digunakan, sisa obat yang ada Pemeriksaan Fisik

Perubahan status mental (somnolen, konfusi, stupor, kama), miosis pupil, hipotensi, sinus bradikardia, bising usus menurun, kelemahan otot, depresi napas, apneu, koma, kejang (lebih sering karena overdosis propoksifen dan meperidin) Pemeriksaan Penunjang

Opiat urinfdarah, AGD, elektrolit, gula darah, rontgen toraks Pemeriksaan Lain

Penemuan needle track sign, respon cepat terhadap pemberian nalokson menunjang diagnosis intoksikasi opiat

DIAGNOSIS BANDING Intoksikasiobatsedatif: bar.biturat, benzodiazepin, etanol.L2

Panduan Praktill Klinis-

PerhlmPunan Dolder Speslalls Perlyaki,t Dalam lnd~nesld

TATALAKSANA A. Penanganan kegawatan: resusitasi A-B-C (airway, breathing, circulation) dengan memperhatikan prinsip kewaspadaan universal. Bebaskan dan proteksi jalan napas, berikan oksigen sesuai kebutuhan, pemasangan infus dan pemberian cairan sesuai kebutuhan. 2-5 B. Pemberian antidot nalokson 2•3•6 1. Glukosa (D5W), tiamin 100 mg dan nalokson 2 mg harus diberikan pada semua pasien dengan perubahan kesadaran dan ada kecurigaan keracunan. 4 2. Tanpa hipoventilasi: dosis awal nalokson 0,4 mg intravena pelan-pelan atau diencerkan 3. Dengan hipoventilasi: dosis awal nalokson 1-2 mg intravena pelan-pelan atau diencerkan 4. Bila tak ada respon, diberikan nalokson 1-2 mg intravena tiap 5 -10 me nit hingga timbul respons (perbaikan kesadaran, hilangnya depresi pernapasan, dilatasi pupil) atau telah mencapai dosis maksimal 10 mg. Bila tetap tak ada respon, diagnosis intoksikasi opiat perlu dikaji ulang, 5. Efek nalokson berkurang dalam 20-40 menit dan pasien dapat jatuh kedalam keadaan overdosis kembali, sehingga perlu pemantauan ketat tanda vital, kesadaran, dan perubahan pupil selama 24 jam. Untuk pencegahan dapat diberikan drip nalokson satu ampul dalam 500 ml D5% atau NaCl 0,9% diberikan dalam 4-6 jam. 6. Simpan sam pel urin untuk pemeriksaan opiat urin dan lakukan foto toraks 7. Pertimbangan pemasangan pipa endo trakeal hila: pernapasan tak adekuat setelah pemberian nalokson yang optimal, oksigenasi kurang meski ventilasi cukup, atau hipoventilasi menetap setelah 3 jam pemberian nalokson yang optimal 8. Pasien dipuasakan 6 jam untuk menghindari aspirasi akibat spasme pilorik, bila diperlukan dapat dipasang NGT untuk mencegah aspirasi atau bilas lam bung pada intoksikasi opiat oral 9. Activated charcoal dapat diberikan pada intoksikasi peroral dengan memberikan 240 ml cairan dengan 30 gram charcoal, dapat diberikan sampai 100 gram 10. Bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam intravena 5-10 mg dan dapat diulang bila perlu Pasien dirawat untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi. KOMPLIKASI Pneumonitis aspirasi, gagal napas, edema paru akut1. 2

lntoksikasi Qpiot · PROGNOSIS Dubia

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Infeksi Tropik - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Divisi Psikosomatik, Divisi Pulmonologi - Departemen Penyakit Dalam, Departemen Psikiatri, Departemen Anestesi/Unit Perawatan ICU



RS non pendidikan

: Bagian Psikiatri

REFERENSI 1.

Griffith CH. Hoellein AR. Feddock CA. Harrell HE. First Exposure to Internal Medicine: Hospital Medicine. Edisi. McGraw-Hill Companies; 2007. Hal: 451-2

2.

Toxicology in adults. Dalam: Hall JB. Schmidt GA. Hogarth DK, penyunting. Critical Care Medicine just the facts. Edisi. McGraw-Hill Companies; 2007. Hal: 377

3.

Clarke SFJ, Dargan PI, Jones AL. Naloxone in opioid poisoning: walking the tightrope. Emerg Med J 2005;22:612-61 6

4.

Poisoning and drug overdose. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL, Fauci AS, Hauser SL Loscalzo J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill .. i=.QffiRQni~~_2_Q12,Hql

5.

The American Heart Association. Guidelines 2005 for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation. 2005; 112(Suppll): IV1-211

6.

En do Pharmaceuticals. Narcan®(naloxone hydrochloride injection, USP) prescribing information. Chadds Ford, PA; 2003 Jul

KERACUNAN MAKANAN

PENGERTIAN Adalah penyakit yang disebabkan oleh konsumsi makanan yang terkontaminasi bakteri, toksin bakteri, parasit, virus, atau zat kimia. 1 · 3 Yang dibahas di sini adalah keracunan makanan oleh bakteri atau toksin bakteri.

PENDEKATAN DIAGNOSIS Hal yang perlu ditanyakan adalah makanan yang dikonsumsi; periode waktu an tara konsumsi makanan dengan awitan gejala; gejala klinis yang dominan; jumlah orang yang mengonsumsi makanan dan berapa banyak yang menjadi sakit; cara penyiapan dan penyimpanan makanan yang dicurigaP label 1. Keracunan Makanan Akibat Bakteri'· 4

l-6jam Staphylococcus

Mual, muntah,

··Eif;IFEW'5-.~~- · -----Eiiere

Bacillus cereus tipe

Mual, muntah, diare

emetik 8-16jam Clostridium perfringens Kram perut diare [muntahjarang te~adi)

Bacillus cereus tipe

diare

Ham, daging unggas,

identifikasi toksin dan kultur dan___ makanan identifikasi toksin dan kultur pada feses dan makanan

----SGkld-ker:~tol"lQ-a!aU----~-pa.daJeses,.m mtahan

Kram perut diare (muntah jarang

telur, mayonais Nasi goreng

Daging sapi. daging unggas, kacangkacangan Daging, sayuran, kacang kering, sereal

pemeriksaan enterotoksin dan kultur kuantitatif pada feses identifikasi toksin dan kultur pada feses dan makanan

te~adi)

>16jam Clostridium botulinum

Muntah, diare, __ pandcmg(l[) kabur, diplopia, disfagia, kelemahan otot descending

Vibrio cholerae

Diare berair

"EC0/1 enterof0Rs1genll< D1are beratr (ETEC)

Makanan kaleng yang diawetkan - - --- secara tidak benar, kentang panggang dalam aluminium foil, saus keju, bawang putih botol Kerang-kerangan, air

~

".

-

pemeriksaan neurotoksin pada feses, serum. dan makanan: kuHur pad feses dan makanan

a

Kultur feses pad a media khusus

---s-alrr~aging;-ui~ltorfeses-dengan-teknik-­

khusus

MQsa lnkubasl;

.(;ejala

:Orgc:Jhlsrofi! ·

.:S!il!l~·r:nql
E. coli enterohemoragik (EHEC)

Diare berdarah

Salmonella spp.

Diare inflamasi

Campylobacterjejuni

Diare inflamasi

Shigella spp.

Disentri

Vibrio parahaemolyticus

Disentri

Daging sapi, daging panggang, susu mentah, sayuran mentah, jus opel Daging sapi. daging unggas, telur, produk susu Daging unggas, susu mentah Salad kentang atau telur, selada, sayuran mentah Moluska, krustasea

~

Kultur feses pada media khusus

Kultur feses rutin

Kultur feses rutin pada media khusus dan inubasi pada suhu 42°C Kultur feses rutin

Kultur feses pada media khusus

DIAGNOSIS BANDING Keracunan makanan akibat penyebab lain, gastroenteritis non-infeksi

TATALAKSANA label 2. Tatalaksana Keracunan Makanan Akibat BakteriH

·., {~::<~~:~~~~is:.:rfe ' · Staphylococcus aureus Baci//us-cereustip·e-emeti ·

Clostridium perfringens Bacillus cereus tipe diare

·

;~·;~~~~~~i ,;t~i~~l!~~

:

Suportif

-S0j50ffif Suportif Suportif

Clostridium botulinum

Suportif; antitoksin botulinum equine trivalen dosis tunggal 10 ml

Vibrio cholerae

Suportif dengan rehidrasi oral dan intravena agresif; pada kasus kolera confirmed, antibiotik direkomendasikan (lihat di bob diare infeksi)

E. coli enterotoksigenik (ETEC)

Suportif; antibiotik diberikan pad a kasus berat (lihat di bob diare infeksi)

E. coli enterohemoragik (EHEC)

Suportif; pantau fungsi ginjal, Hb dan trombosit secara ketat

Salmonella spp.

Suportif; selain untuk S. typhii dan S. paratyphii. antibiotik tidak diindikasikan kecuali terdapat penyebaran ekstra-intestinal (lihat di bob diare infeksi)

Campylobacter jejuni

Suportif; pada kasus beratdapat diberikan antibiotik (lihat di bob Diare lnfeksi)

Shigella spp.

Suportif; antibiotik lihat di bob Diare lnfeksi

Vibrio parahaemolyticus

Suportif, antibiotik direkomendasikan pada kasus berat (lihat di bob Diare lnfeksi)

Terapi Suportif Mencakup 1. Rehidrasi, baik oral ataupun intravena (lebih lengkap lihat di bab Diare lnfeksi)

2. Koreksi gangguan elektrolit dan asam basa 3. Simtomatik: antiemetik 4. Ventilasi mekanik jika terjadi gaga I nap as (pada kasus botulisme)

KOMPLIKASI • Dehidrasi • Gangguan elektrolit dan keseimbangan asam basa • Perforasi, perdarahan dan sepsis (kasus C. perfringens tipe C) • Gagal napas (kasus botulisme) PROGNOSIS Sebagian sembuh sendiri. Mortalitas akibat C. perfringens tipe C 40%. Mortalitas akibat C. botulinum 10-46% UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi, Divisi Gastroenterologi- De parte men Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT • RS pendidikan : Bagian Mikrobiologi, ICU • RS non pendidikan REFERENSI 1.

Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, penyunting. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta; lnternaPublishing; 2009. hal

2.

Acute infectious diarrheal diseases and bacterial food poisoning. Dalam: Longo DL. Kasper DL. Jameson JL Fauci AS, Hauser SL Loscalzo J, penyunting. Harrison's principle of internal medicine. Edisi XVIII. McGraw-Hill Companies; 2012. Hal.

3.

Giannella RA. Infectious enteritis and proctocolitis and bacterial food poisoning. Dalam: Feldman M.', ~riedman LS, Brandt LJ, penyunting. Sleisenger and fordtran's gastrointestinal and liver disease: pathophysiology/ diagnosis/ management. Edisi IX. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2010

4.

CDC. Diagnosis and management of food borne ilnesses. MMWR 2004; 53(RR04): 1-33

5.

Lawrence DT, Dobmeier SG, Bechtel LK, Holstege CP. Food poisoning. Emerg Med Clin N Am 2007; 25: 357-373

MALARIA

PENGERTIAN 1· 4 Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit genus Plasmodium (P. falsiparum, P.vivax, P.ovale, a tau P.malariae, P.knowlesi) yang hid up dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia (eritrositik) atau jaringan (stadium ekstra eritrositik). Penyakit ini secara alami ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina. (WHO 201 0) PENDEKATAN DIAGNOSIS • Klinis :demam, menggigil, berkeringat, sakit kepala, mual, muntah, diare, nyeri otot, penurunan kesadaran. • Parasitologi: SediaanApus Darah Tepi (SADT) tebal dan tipis dijumpai parasitmalaria Tanda dan gejala klinis malaria sangat tidak spesifik Secara klinis, kecurigaan malaria sebagian besar berdasarkan riwayat demam. Diagnosis berdasarkan gambaran klinis sendiri memiliki spesifisitas yang sangat rendah dan dapat berakibat pacta tatalaks-crn;:cyang-b e rleoinart;3 ANAMNESIS Riwayat demam intermiten atau terus menerus, riwayat dari atau pergi ke daerah endemis malaria, dan trias malaria (keadaan menggigil yang diikuti dengan demam dan kemudian timbul keringatyang banyak; pacta daerah endemis malaria, trias malaria mungkin tidak ada, diare dapat merupakan gejala utama)Y Kriteria diagnosis menurut rekomendasi WHO tahun 201 0 5



Pacta daerah resiko rendah, diagnosis klinis malaria inkomplikata 1 sebaiknya berdasarkan kemungkinan terpapar malaria dan riwayat demam dalam 3 hari terakhir tanpa ada tanda penyakit akut lain.



Pacta daerah resiko tinggi, diagnosis klinis sebaiknya berdasarkan keluhan demam dalam 24 jam terakhir danjatau adanya anemia, yang pacta anak-anak, telapak tangan yang pucat merupakan tanda yang sangat jelas. Malaria tanpa komplikasi didefinisikan sebagai malaria simptomatik tanpa adanya Ianda malaria berat a tau bukli klinis/laboratoris adanya disfungsi organ vital.'

Panduan Praktik Klinis

Perhimpunan Dolder Speslalis Penyakit Dalain Indonesia

label 1. Survailans Laboratorium untuk Malaria menurut Variasi Epidemiologis 6 : Skenario Epidemiolo'gi~

Yes yang Diperluf
Keterangan

Transmisi rendahsedang dan/atau tidakstabil

Konfirmasi parasitologis; mikroskop cahaya dan rapid diagnostic tests (RDT)

Pemilihan tes konfirmasi tergantung situasi lokal. termasuk tenaga ahli yang tersedia, jumlah kasus, epidemiologi malaria, dan kemungkinan diagnosis mikroskop untuk penyakit lain.

Transmisi tinggi dan stabil

Mikroskop kualitas tinggi atau RDT

Terapi antimalaria berdasarkan gejala klinis sebaiknya hanya dilakukan pada kelompok resiko tinggi (anak <5 tahun, wanita hamil. suspek malaria berat, dan area dengan prevalensi HIV/AIDS tinggi) apabila diagnosis parasitologis tidak tersedia, mengingat penyakit ini dapat beresiko fatal terhadap kelompok ini.

Area yang sering terinfeksi dengan ;e:2 spesies malaria

ldentifikasi spesies (RDT)

Apabila monoinfeksi P. vivox sering dan mikroskop tidak tersedia, disarankan menggunakan kombinasi RDT yang mengandung antigen pan-malaria. Apabila P. vivax, P.malariae, atau P.ova/e terjadi dan selalu ko-infeksi dengan P.fa/ciparum, maka cukup dilakukan RDT untuk P.falciparum soja.

Situasi epidemi dan kegawatdaruratan kompleks

Pada situasi ini, fasilitas untuk diagnosis parasitologis mungkin tidak tersedia atau tidak cukup menampung dengan banyaknya kasus sehingga terapi dapat dimulai segera.

Pemeriksaan Fisik

·· Demam:: rel="nofollow">37,5°e, -konjurrgtiva·atau-telapaktangan-pucat; sklera -ikterik,-hepato/ splenomegali. 1•2,4,s Pemeriksaan Penunjang

Sediaan darah tebal dan tipis ditemukan plasmodium, serologi malaria (+).1.2.4.s Pada tersangka malaria P. falciparum berat, kriteria diagnosis berdasarkan ditemukannya P. falciparum stadium aseksual disertai satu atau lebih gejala klinis atau laboratorium berikut: 1•2.4· 5 Kriteria Diagnosis 1. Malaria Berat :

Klinis Parasitologik 2. Malaria Rrngan: Klirtis Parasitologik (WHO, 2010)

Gejala Klinis

1. Gangguan kesadaran a tau kama yang tidak dapat dibangunkan

2. Prostrasi, contoh kelemahan menyeluruh (generalized weakness) sehingga pasien tidak dapat duduk atau berjalan tanpa bantuan 3. Tidak dapat makan (failure to feed) 4. Kejang berulang - lebih dari 2 episode dalam 24 jamsetelah pendinginan pada hipertermia 5. Napas dalam, distres pernapasan (napas Kussmaul) 6. Gagal sirkulasi atau syok, tekanan sistolik <70 mmHg pada dewasa dan <50 mmHg pada anak-anakdisertai keringat dingin atau perbedaan temperatur kulit-mukosa >1oc 7. Ikterik disertai tanda disfungsi organ vital 8. Hemoglobinuria 9. Perdarahan spontan dan disertai abnormaldari hidung, gusi, saluran cerna, dan/ atau disertai gangguan koagulasi intravaskular 10. Edema paru (radiologis)jacute respiratory distress syndrome (ARDS)

Laboratorium

1. Hipoglikemia (gula darah <2.2 mmol/L atau <40 mgjdL) 2. Asidosis metabolik (pH 7,25, plasma bikarbonat <15 mEq/L) 3. Anemia normositik berat pada keadaan hitung parasit >10.000/ul(Hb <5 grjdL atauHt<-15%} · ·· · - -- - ---- - - - - -- - --4. Hemoglobinuri amakroskopik oleh karena infeksi malaria akut (bukan karena efek sam ping obat antimalaria pada pasien dengan defisiensi G6PD) 5. Hiperparasitemia (> 2%/100 000/lll pada area transmisi rendah atau 5% atau 250 000/lll pada area transmisi tinggi) 6. Hiperlaktatemia (laktat > 5 mmoljl) 7. Gangguan ginjal (urin <400 mlj24 jam pada orang dewasa, atau <12 mljkgBB pada anak-anak setelah dilakukan rehidrasi disertai kreatinin >3 mgjdl). 8. Ditemukannya P. Falciparum yang padat pada pembuluh darah kapiler jaringan otak apabila dilakukan otopsi Beberapa keadaan yang juga digolongkan sebagai malaria berat sesuai dengan gambaran klinis daerah setempat: 2A 1. Gangguan kesadaran 2. Kelemahan otot tanpa kelainan neurologis (tak bisa dudukjjalan) 3. Hiperparasitemia >5% pada daerah hipoendemis atau daerah tak stabil malaria 4. Ikterus (bilirubin >3 mgjdl) 5. Hiperpireksia (suhu rektal >40°C) --

---

Kriteria Diagnosis2·5 1. Konfirmasi ditemukannya parasit malaria dibawah mikroskop atau alternatif lainnya dengan rapid diagnostic test (ROT) dianjurkan bagi semua pasien tersangka malaria sebelum dimulainya pengobatan. 2. Tatalaksana hanya berdasarkan kecurigaan klinis sebaiknya hanya dipertimbangkan apabila diagnosis parasitologis tidak tersedia.

Pemeriksaan Penunjang Oarah tebal dan tipis malaria, serologi malaria, OPL, tes fungsi ginjal, tes fungsi hati, gula darah, urin lengkap, AGO, elektrolit, hemostasis, foto toraks, EKG_l.ZA.s DIAGNOSIS BANDING

lnfeksi virus, demam tifoid toksik, hepatitis fulminan, leptospirosis, meningoensefalitis. ZA.s TATALAKSANA2•4·5

A. Pengobatan malaria tanpa komplikasi

1. Pengobatan malaria falsiparum dan malaria vivaks Metode pengobatan saat ini: ·- Dihidroartemisin-P-Fimakuin{IJHP}fAFtesunat-Amodiakuin-+-12Fimakuin. • Pengobatan malaria falsiparum: Pada malaria tipe ini, metode pengobatan yang diberikan adalah: ACT 1 kalijhari selama 3 hari + Primakuin 0,75mgjkgBB pada hari pertama saja Oosis obat diberikan sesuai dengan berat badan atau kelompok umur penderita (lihat Tabell dan 2). Tabel 1. Pengobatan dengan DHP dan Primakuin

~;~~~,,~,*:~:~~~;:::4~~~~E~~~~~~~J~~!~t~~~1~~w~~~~~~~~;p;:~~:;~4;:,~~~,:.~u

SS:kg · . , . ¥lOkQ: .··.· : .·ll·J~k!f , l~"~Qkg :·.. . 3F;JokQ . :' ',41•5~kg: . ' ~~Okg :~r.~~'~·7;·~--~·.-:;: ~li- fb1ll(in~~"'2~ ll'&uibl!'"':c 1~4 fallon.> t~~~liiilllJiis"\':fo"';I~Wil';r1S"~"t'l~ttoi\':'.' '2ls:tc:ifiGn .·

: l;l.i:Jr.t :.Ienis. o~qt : 1-3

DHP

Primakuin

'!.

'h

1

1'h

2

3

4

"!.

1'h

2

2

3

ATAU

label 2. Pengobatan dengan Artesunat+Amodiakuin dan Primakuin .. ·"···· .· •. , r .,•.. , , ...,,,, .~.IJry:~la,h,t~b!~J.P.~r;bqr!:ni~P:~M,~erq_p:Jciqqi:l.

'7S$i'('g.' .! , ,

1-3

·•~~·fo'kg. ')Fiik9''')a"~Pk:9 :~a1~41lk9''

~~;~~ ~ ~ •;:~\~\;'' ~. 'I ;~~~~·,~·>;c~::~~~~~~J?m;~~"

-iF~'t@· s()~s91<9y :!:~!iks

,·: ·i~~:~. ,... ·1~g~~~ ·:~·:(!Je~ .

Artesunat

'!.

Y2

1

1'h

2

3

4

4

Amodiakuin

'!.

'h

1

1'h

2

3

4

4

%

1'12

2

2

2

3

Primakuin

• Pengobatan malaria vivaks: Pada malaria tipe ini, metode pengobatan yang diberikan adalah: ACT 1 kalijhari selama 3 hari + Primakuin 0,25mgjkgBB selama 14 hari Dosis pengobatan malaria vivaks juga diberikan sesuai dengan berat badan atau kelompok umur penderita (Tabel 3 dan 4). label 3. Pengobatan dengan DHP dan Primakuin Hari :

Jf!!lis obaf

1-3

DHP

1-14

Primakuin

ss

·

kg · 6· JOl
P1 tahull

1o~ 14 tahun

1Y:.

2

Y:.

%

'h

'!.

'!.

~t.okg·

~l5tahun

4

3

ATAU label 4. Pengobatan dengan Artesunat+Amodiakuin dan Primakuin

.

·

<~iirritcifi tc:~biE!f J)'er..fipil

n1eijur(it b!i[at baC:\a11

#

. ·k~ti§,,· . .· .,. '/J~Ilis;~~.f:;:··~ ·:··:~:;~~~·.%t~~~t~l';,t:~~?·~· ·~!~~~·~J~l~i~i~~~,:~"~ r

' ,_

1

is,> :. ·~"Qkg ~it$'tah~n :

~

. 1-3

1-14



Artesunat

'!.

'h

Amodiakuin

'!.

y2

Primakuin

1'12

'!.

2

3

4

4

1Y:.

2

3

4

4

'h

%

Pengobatan malaria vivaks yang relaps (kambuh): Dugaan relaps pada malaria vivaks adalah apabila pemberian primakuin dosis 0,25mgjkgBB/hari sudah diminum selama 14 hari dan pasien sakit kembali dengan parasit positif dalam kurun waktu 3 minggu sampai 3 bulan setelah pengobatan. Pada kasus seperti ini regimen yang diberikan adalah ACT 1kali/ hari selama 3 hari ditambah dengan primakuin yang ditingkatkan menjadi O,SmgjkgBB. 2. Pengobatan malaria ovale Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan ACT {DHP a tau kombinasi Artesunat+Amodiakuin) dengan dosis pemberian obat yang sama dengan untuk malaria vivaks.

3. Pengobatan malaria malariae Pengobatan P.malariae cukup dengan pemberian ACT 1kalijhari selama 3 hari dengan dosis yang sama dengan pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan primakuin. 4. Pengobatan infeksi campur P.faciparum + P.vivaksjP.ovale Metode pengobatan yang digunakan adalah: ACT 1 kalijhari selama 3 hari + Primakuin 0,25mgjkgBB selama 14 hari Pemberian obat pada kasus seperti ini disesuaikan berdasarkan be rat bad an a tau kelompok umur penderita (Tabel 5 dan 6). Tabel5. Pengobatan dengan DHP dan Primakuin

· •• Ju'f11.iat\'i4~1~fii~f~c3ri•i11~~~~Rlft;,~r0i;t,ci~!ln. · 6f1Qit9'···•· •· ~1~~~1il<9~.b?··£1_~~®t(ii•:.:•.••3t"~df<9i ~p :4i"~~~9's ·~1

~,lqJ

•..• -. .- . • ·. -. - ·--: .. --.-... -.• - ·-·::ro:•,.;{ :·- ': :. ; -. . ·:.··. ' 5~9-tahun •>· ::,;... . :!15 tahun i!:l5 tatluri. ·..2-11 -btili:m. -··· l-• ·~·•IP'''••l··:j4;'l.\'•• ••i,-i-;;fahur(fc.•~ .- •.. ;-~ ·~·--•••••,i:;l

0-1 bulari

>· -.--,

1-3

DHP

1-14

Primakuin

Y2

'!.

'!.

1V2

2

'h

a;.;

3

4

ATAU Tabel 6. Pengobatan dengan Artesunat+Amodiakuin dan Primakuin

Han•

'!5 - -- ··• -·~-:."'~-"'< :~·.;~u.,lqJ)'~f~fP.~~·Ha~•m~ill!ruf~el-0113'c:'i~an~/!:5JqJ 411o~ _;•H-ig~};~.~a~lok9 _:H~4oi(!J 41~4~J(g ~~~Jeriis obot

i!:6okg

. bei~n .• • -~~l1t ·d~~tb
Artesunat Amodiakuin

1-14

'!. '!.

Y2

1

1Y2

2

3

1

1'h

3

'!.

'h

2 >;.;

4 4

4

Y2

1

1

1

Primakuin

4

Dosis obat: Artesunat: 4mg/kgBB dan Amodiakuin basa: 1Omg/kgBB Catalan: Apabila ada kelidaksesuaian anlara umur dan beral badan (pada label pengobalan), maka dosis yang dipakai berdasarkan beral badan. • Unluk anak dengan obesilas, gunakan dosis berdasarkan beral badan ideal.

B. Pengobatan malaria pada ibu hamil Metode pengobatan pada ibu hamil prinsipnya sama dengan pengobatan pada orang dewasa lainnya. Perbedaannya adalah pemberian obat malaria disesuaikan berdasaran umur kehamilan. ACT tidak boleh diberikan pada ibu hamil trimester 1 dan Primakuin tidak boleh diberikan sama sekali pada ibu hamil. label 7. Pengobatan malaria falsiparum .Umurk~hamilan

.. P~ngobate~.n

Trimester I (0-3bulan)

Kina 3x2tablet + Klindamisin 2x300mg selama 7 hari

Trimester II (4-6bulan)

ACT tablet selama 3 hari

Trimester Ill (7-9bulan)

ACT tablet selama 3 hari

label 8. Pengobatan malaria vivaks

liiiwrl<e~C;Irnitbn

'

~eri9o~Crt'
Trimester I (0-3bulan)

Kina 3x2tablet selama 7 hari

Trimester II [4-6bulan)

ACT tablet selama 3 hari

Trimester Ill (7-9bulan)

ACT tablet selama 3 hari

Dosis klindamisin 1Omg/kgBB diberikan 2 kali sehari.

C. Pengobatan malaria berat 1. Pengobatan di puskesmasjklinik non-perawatan •

Berikan artemeter intramuskular 3,2mgjkgBB.



Rujuk ke fasilitas dengan rawat inap.

2. Pengobatan di puskesmasjkliik perawatanjrumah sakit •

Pilihan pertama: Artesunat intravena Dosis: 2,4mgjkgBB sebanyak 3 kali (jam ke 0,12,24) dilanjutkan dengan dosis yang sama setiap 24jam sehari sampai penderita mampu minum obat. Apabila penderita sudah bisa minum obat, berikan ACT 3hari dan Primakuin (sesuai jenis plamodiumnya). Kemasan dan cara pemberian: Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60mg serbuk kering as am artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi natrium bikarbonat 5%. Keduanya dicampur untuk membuat 1 ml larutan sodium artesunat. Kemudian diencerkan dengan Dextrose -5% atau NaCI 0;9% s·eoanya.k-5 mlsel:ringga-diaap


Alternatif: Artemeter intramuskular Dosis: 3,2 mgjkgBB pada hari pertama dan dilanjutkan dengan 1,6mgjkgBB satu kali sehari sampai penerita mampu minum obat. Apabila penderita sudah bisa minum obat, berikan ACT 3hari dan

Primakuin (sesuai

jenis plamodiumnya). Kemasan dan cara pemberian: Artemeter diberikan secara intramuskular. Obat ini tersedia dalam ampul yang berisi 80mg artemeter dalam larutan min yak. •

Alternatif lain: Kina drip Dosis pemberian kina pada dewasa: •

Loading dose: 20mgjkgBB dilarutkan dalam 500ml Dextrose 5% atau

NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam pertama. •

4 jam kedua hanya diberikan cairan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%.



4 jam oerikutriya diberikari Kina del1gan dosis ru.111atarilOmgjkgBB dalam larutan 500ml Dextrose 5% atau NaCl 0,9%.



4 jam selanjutnya hanya diberikan cairan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%.



Setelah itu diberikan lagi dosis rumatan seperti diatas sampai penderita dapat minum kina per-oral.



Bila sudah dapat minum obat, pemberian kina IV diganti dengan kina tablet per-oral dengan dosis 10mgjkgBBjkali diberikan tiap 8 jam. Kina oral diberikan bersama doksisiklin atau tetrasiklin pada orang dewasa atau klindamisin pada ibu hamil. Dosis total kina selama 7 hari dihitung sejak pemberian kina perinfus yang pertama.

Dosis pemberian kina pada anak: Kina HCl 25% perinfus dosis 10mgjkgBB (bila umur <2bulan: 6-8mg/ kgBB) diencerkan dengan Dextrose 5% atau NaCl 0,9% sebanyak 5-10ccj kgBB diberikan selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita dapat minum obat. Kemasan: Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina dihidroklorida 25%. Satu ampul berisi 500mgj2ml. Catatan: •

Kina tidak boleh diberikan secara bolus intravena, karena toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan kematian.



Dosis kina maksimum dewasa: 2000mgjhari.

Pengobatan malaria-berat-pada-ibu-hamil--- Pengobatan malaria berat untuk ibu hamil dilakukan dengan memberikan kina HCI drip intravena pada trimester 1 dan artesunat/artemeter injeksi untuk trimester 2 dan 3 D~-

PEMANTAUAN PENGOBATAN

Hitung parasit minimal tiap 24 jam, target hitung parasit pada H1 50% HO dan H3 <25% HO. Pemeriksaan diulang sampai dengan tidak ditemukan parasit malaria dalam 3 kali pemeriksaan berturut-turut. Z.4,s PENCEGAHAN 2 A· 5

WHO menetapkan langkah ABCD untuk pencegahan malaria, yakni dengan: A. Awareness (Pengetahuan)

Mengetahui segala hal yang berisiko untuk terkena malaria, habitat nyamuk Anopheles; sada:ri masa. inkubasi dan gejala u:ta.manya.

B. Bite prevention (Pencegahan gigitan nyamuk)



Hindari gigitan nyamuk terutama menjelang senja hingga fajar dengan cara: Membatasi aktivtas luar saat menjelang senja hingga fajar. Memakai pakaian yang sesuai, misalnya dengan memakai baju lengan panjang dan celana panjang. Tutup jendela dan pintu rapat-rapat atau menggunakan kelambu yang menggunakan insektisida. Menggunakan spray atau losion anti nyamukyang mengandung diethyltoluamide



(DEET) Bersihkan daerah-daerah yang memungkinka untuk menjadi sarang nyamuk: Menutup rapat tempat penampungan air. Menguras bak mandi dan membuangjmengganti genangan-genangan air secara rutin. Mengubur kaleng bekas atau wadah kosong ke dalam tanah.

C. Chemoprophylaxis (Kemoprofilaksis)

Doksisiklin: diberikan 1-2 hari sebelum keberangkatan, diminum pacta waktu yang sama pacta setiap harinya, sampai 4 minggu setelah meninggalkan daerah tersebut. Obat ini tidak boleh diberikan kepada anak-anak <8 tahun dan ibu hamil. Dosis dewasa: 1x100mg ·oosBanak2:8 tahun:2mgjkgBB1hcrri,maksimumlOOmg- -- -



Untuk daerah dengan infeksi P.vivax: Primakuin dengan cara pemberian yang sama dengan pemberian obat malaron. Obat ini tidak boleh diberikan pacta pasien defisiensi G6PD, ibu hamil dan menyusui (kecuali bayi yang disusui mempunyai bukti dokumen dengan level G6PD yang normal). Dosis dewasa: primakuin basa 1x30mg Dosis anak: primakuin basa O,SmgjkgBB/hari, maksimum 30mgjhari, dikonsumsi saat makan.



Sebagai terapi anti relaps pada infeksi P.vivax dan P.ovale: Primakuin diberikan pacta orang-orang yang telah terkena eksposur yang lama terhadap P.vivax dan P.ovale. Obat ini diberikan selama 14 hari setelah meninggalkan daerah endemis malaria dan tidak boleh diberikan pacta pasien defisiensi G6PD, ibu hamil dan menyusui (kecuali bayi yang disusui mempunyai bukti dokumen dengan level G6PD yang normal). Do sis dewasa: primakuiri. basa1x30mg Dosis anak: primakuin basa O,SmgjkgBB/hari, maksimum 30mgjhari

D. Diagnosis •

Segera dapatkan diagnosis dan terapi apabila mengalami gejala malaria yang muncull minggu setelah memasuki daerah rawan malaria sampai 3 bulan setelah meninggalkan daerah tersebut.

KOMPLIKASI Malaria berat, renjatan, gagal napas, gagal ginjal akut.l.2· 4•5 Pacta kehamilan, dapat menimbulkan abortus spontan, pertumbuhan janin terhambat (IUGR), BBLR, malaria kongenital ( <5% pacta bayi dari ibu terinfeksi), malaria berat pacta ibu, kematian ibu dan janin. 7 label 2. Penatalaksanaan segera pada manifestasi berat dan komplikasi malaria P. falciparum

r ·:!··':'l'F"~··:rf~f:i~\:l!~k~'tu1#Cin'}~9~ra ·: :;X'JF' •.·.· .· ··.

· MC:Ii'lifeltgsttk'6miiJIIk~fsi"'!;:

·········~·~ ·

Koma (malaria serebral)

Jaga patensi jalan napas (airway), posisi miring kanan/kirL singkirkan etiologi lain (hipoglikemia, meningitis bakterial); hindari terapi tambahan yang dapat membahayakan seperti kortikosteroid, heparin, adrenalin; intubasi jika perlu.

Hiperpireksia

Kompres hangat, selimut pendingin, dan obat antipiretik. Parasetamol menjadi pilihan utama dibanding NSAID.

Kejang

Jaga airway; beri diazepam iv/rektal atau paraldehid im. Cek gula darah.

Hipoglikemia

Cek gula darah, koreksi hipoglikemia, dan atur infus glukosa.

Anemia berat

Transfusi whole blood

Edema paru akut

Posisi kepala naik 45°, beri 0 2, diuretik, stop cairan iv, intubasi dan berikan ventilasi tekanan positif (VTP) pada hipoksemia yang mengancam nyawa.

Gaga! ginjal akut

Eksklusi etiologi pre-renaL periksa balance cairan dan natrium urin; pada gaga! ginjal tambahkan hemoflltrasi atau hemodialisis, atau peritoneal dialisis bila tidak tersedia.

Perdarahan spontan dan koagulopati

Transfusi whole blood(kriopresipitat, FFP, dan trombosit jika tersedia), berikan injeksi vitamin K.

Asidosis metabolik

Eksklusi atau koreksi hipoglikemia, hipovolemia, dan septikemia. Jika berat tambahkan hemoflltrasi atau hemodialisis.

Syok

Suspek septikemia, ambil kultur darah; berikan antimikroba parenteral spektrum luas, koreksi gangguan hemodinamik.

PROGNOSISL2.4 • Malaria falsiparum ringanjsedang, malaria vivax, atau malaria ovale: bonam. • Malaria berat: dubia ad malam. Prognosis malaria be rat tergantung kecepatan dan ketepatan diagnosis serta pengobatan. Apabila tidak ditanggulangi, dilaporkan bahwa mortalitas pacta anak-anak 15%, dewasa 20%, dan pacta kehamilan meningkat sampai 50%. Mortalitas dengan kegagalan 3 fungsi organ adalah 50%, kegagalan

Malaria 4 fungsi organ atau lebih adalah 75%. Adanya korelasi antara kepadatan parasit dengan mortalitas yaitu : Kepadatan parasit < 100.000/ul, maka mortalitas < 1% Kepadatan parasit > 100.000/ul, maka mortalitas > 1% Kepadatan parasit > 500.000/ul, maka mortalitas >50%

UNITY ANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan

: Divisi Ginjal-Hipertensi, Divisi Pulmonologi- Departemen Penyakit Dalam dan Departemen Neurologi, ICU



RS non pendidikan

: Bagian Neurologi

REFERENSI 1.

White NJ, Breman JG. Malaria Introduction. In: Kasper, Braunwald, Fauci et al. Harrison's Principles of Internal Medicine voll 17 th ed. McGrawhill. 2009: 1280-1293

2.

Harijanto PN. Malaria. Dalam: Sudoyo K, Setiyohadi B, et al., ed. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta: Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006: 1732-1744.

3.

Treiman M, Warberg J. Chapter 33: Infectious Diseases. In: Paulev PE, Textbook in fy\edical Physiology and Pathophysiology: Essentials and clinical problems. Copenhagen Medical Publishers. 1999-2000. Chapter 33.

4.

Buku saku penatalaksanaan kasus malaria. Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementrian Kesehatan Rl. 2012.

5.

Pedoman Penatalaksanaan Malaria di Indonesia. Departemen Kesehatan Rl. 2008.

6.

WHO. Guidelines for the treatment of Malaria. 2nd Edition. 2010. Diunduh dari http:/ I whqlibdoc. who.int/publications/201 0/9789241547925_eng.pdf pad a tanggal26 April 2012.

7.

WHO Expert Committee on Malaria. Twentieth report. Geneva, World Health Organization, 2000 in WHO Technical Report Series, No. 892.

8.

Marchesini P, Crawley J. Reducing the burden of malaria in pregnancy. Roll Back Malaria Department. Geneva, World Health Organization, 2004. Diunduh darihttp:/ /www. who.int/malaria/ publications/atoz/merajan2003.pdf pada tanggal1 Mei 2012.

PENATALAKSANAAN GIGITAN ULAR

PENGERTIAN Merupakan penyakit akibat gigitan ular. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 famili utama yaitu Famili Elapidae (ular sendok, ular wereg), Famili Viperidae (ular tanah, ular hijau), Famili Hydrophidae (ular laut), dan Famili Colubridae (ular pohon). Ciri-ciri ular tidak berbisa yaitu bentuk kepala segi em pat panjang, gigi taring kecil, bekas gigitan berupa luka hal us berbentuk lengkungan. Sedangkan ciri-ciri ular berbisa yitu kepala segi tiga, dua gigi taring besar di rahang atas, dua luka gigitan akibat gigi taring. 1 Sedangkan berdasarkan dampak yang ditimbulkan yang banyak di Indonesia yaitu: 1 • Hematotoksik:menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade pembekuan) • Neurotoksik: neurotoksin pasca sinaps seperti a-bungarotoxindan dan cobratoxin terikat pacta reseptor asetilkolin pacta motor end-plate, sedangkan neurotoksin prasinaps seperti {3-bungarotoxin, crotoxin, taipoxin, dan notexin merupakan fosfolipase A- 2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pad aneuromuscular junction. MANIFESTASI KLINISL 2 • Gejala lokal: edema, nyeri tekan pacta luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit-24 jam) • Gejala sistemik: hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, menggigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur • Gejala khusus gigitan ular berbisa: Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jan tung, ginjal, peritoneum, otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit, hemoptoe, hematuria, koagulasi intravascular diseminata (KID) Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis, oftalmoplegi, paralisis otot laring, refleks abnormal, kejang, kama. Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda SP (pain, pallor, paresthesia, paralysis, pulseslesness).

Tabel 1. Klasifikasi Gigitan Ular Menurut Schwartz 3

t~~!t~1~r\;~;,9~~;~i~: :.~~kb · ~:~~Y:;~n::~t1.,;·~~~·m~f~tij~w~ . i.;t •. 0

+/-

::c ::):: ~ ~~it~ipi~. ' '

< 3 em /12jam

0

3-12em /12jam

0

+++

12-25 em /12jam

Neurotoksik, mual, pusing, syok

+

+++

> 25 em/ 12 jam

Petekie, syok, ekimosis

+

+++

>ekstremitas

Gagal ginjal akut. koma, perdarahan

0

+

+/-

+

+

+

Ill

+

IV

+++

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesis

Identitas individu, waktu dan tempat kejadian, memastikan bahwa benar digigit oleh ular, jenis, dan ukuran ular, riwayat penyakit sebelumnya. Perlu ditanyakan lokasi yang tergigit, jarak dan waktu dari tergigit sampai ke pusat kesehatan, keberadaan ular tersebut saat ini apakah sudah mati dan dibawa hal ini dapat mempermudah mengetahui jenis spesies. Menanyakan bagaimana keadaan pasien saat ini, apakah ada yang dirasakan nyeri, apakah pasien cenderung mengantuk. 2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan meliputi status umum dan lokal, serta perkembangannya setiap 12 jam. Pemeriksaan Status Lokal pada Bekas Gigitan

Luasnya pembengkakan, nyeri tekan, pembesaran getah bening, ekimosis, suhu kulit apakah dingin, pergerakan bebas atau terbatas dan palpasi nadi arteri. Hal ini untuk mencari adakah tanda-tanda trombosis intravascular atau sindrom kompartemen. Jika memungkinkan dapat dilakukan pengukuran tekanan dalam kompartemen, aliran darah, dan patensi arteri maupun vena (menggunakan Doppler ultrasound). Mencari tanda-tanda nekrosis seperti blister, warna kulit menghitam

a tau pucat, sensorik menunin. 2 Pemeriksaan Status Umum

Memeriksa tekanan darah pasien saat duduk dan tiduran untuk menilai adakah hipotensi postural yang mengarah ke hipovolemia; mengukur denyut jantung. Pemeriksaan seluruh tubuh untuk melihat adanya ptekie, purpura, ekimosis konjungtiva, kemosis, perdarahan gusi, epistaksis. Nyeri tekan abdomen perlu dicurigai

971

adanya perdarahan saluran cerna atau retroperitoneal. Nyeri punggung bawah dapat mengarah ke iskemia ginjal akut. Jika ada gangguan neurologis seperti pupil anisokor, kejang, atau gangguan kesadaran; perlu dibuktikan apakah ada perdarahan intrakranial. 2 Pemeriksaan Penunjang 1 •

Laboratorium: Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protrombin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji faa! hepar, golongan darah dan uji cocok silang.



Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria



EKG



Foto dada

DIAGNOSIS BANDING Gigitan hewan lain seperti binatang !aut, sengatan lebah 2 TATALAKSANA 1. Penatalaksaan sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan yaitu: 1•2•4 • Penderita diistarahatkan dalam posisi horisontal terhadap luka gigitan • Jangan memanipulasi daerah gigitan • Penderita dilarang berjalan dan dilarang min urn minuman yang mengandung alkohol. • Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Tindakan ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit setelah gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau arteri, 2. Penatalaksanaan setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif: 1•2.4 • Penatalaksanaan jalan napas, fungsi pernapasan, sirkulasi (beri infus cairan kristaloid) • Beri pertolongan pertama pacta luka gigitan: verbim ketat dan luas di atas luka, imobilisasi dengan bidai • Cek pemeriksaan laboratorium: ambi!S-10 ml darah untuk pemeriksaan waktu protrombin, APTT, D-Dimer, fibrinogen, Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea, elektrolit (terutama kalium), CK. Jika waktu pembekuan > 10 menit menunjukkan kemungkinan adanya kogulopati. • Apus tern pat gigitan dengan venom detection.



Berikan SABU (Serum Anti Bisa Ular, merupakan serum kuda yang dike balkan) polivalen 1 mi. Indikasi: adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada bagian luka. Kontraindikasi: tidak ada kontraindikasi absolut. Perhatian diberikan pada individu yang mempunyai riwayat alergi terhadap serum kuda atau domba, seperti pada. anti tetanus serum, anti rabies serum. Serta pada individu yang mempunyai riwayat dermatitis atopi, misalnya asma berat; atau diperkirakan akan mengalami reaksi berat. Pada kasus seperti ini, pemberian antivenom ditunda sampai muncul gejala sistemik. Cara pemberian: 2 vial(@ 5 ml) dalam 500 ml NaCl 0.9% atau Dekstrosa 5% diberikan melalui intravena dengan kecepatan 40-80 tetesjmenit. Jumlah maksimal100 ml (20 vial). Tidak boleh diberikan secara infiltrasi pada luka.

Pedoman terapi SABU berdasarkan Schwartz dan Way



Derajat 0 dan I

13 •

tidak memerlukan SABU, evaluasi dalam 12 jam, jika ditemukan peningkatan derajat maka diberikan SABU

• Derajat II

3-4 vial SABU

• •

5-15 vial

Derajat III Derajat IV

berikan penambahan 6-8 vial SABU

Pedoman terapi SABU berdasarkan Luck

1



Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit



Pedoman terapi SABU menurut Luck berdasarkan derajat gigitan:

label 2. Pedoman terapi SABU menurut Luck3

+

<2

0

Minimal

+

2-15

5

Sedang

+

15-30

Ill

Berat

+

IV

Berat

+

0



Tidak ada

+

10

>30

++

15

<2

+++

15

Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberian antivenom. 1 Jika koagulopati tidak membaik yang ditandai dengan fibrinogen tidak meningkat dan waktu pembekuan darah tetap memanjang, maka ulangi pemberian SABU Ulangi pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya.

Jika koagulasi membaik yang ditandai dengan peningkatan fibrinogen dan penurunan waktu pembekuan, maka monitor ketat diteruskan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikannya. Monitor dilakukan hingga 2x24 jam untuk mendeteksi koagulasi berulang. Pada penderita yang digigit

ular dari spesies Vipiridae hendaknya tidak menjalani operasi minimal 2 •

minggu setelah gigitan Terapi suportif lainnya pad a keadaan: 1. 4 Gangguan koagulasi be rat: berikan plasma fresh-frozen dan antivenom Perdarahan: beri transfusi darag segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, transfusi trombosit Hipotensi: beri infus cairan kristaloid Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat Monitor pembengkakan lokal setiap jam dengan ukuran lilitan lengan atau anggota badan Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi Gangguan neurotoksik: beri sulfas atropin 0.6 mg IV, diikuti edrophonium: 10 mg IV (children, 0.25 mgjkg) atau neostigmin 1.5-2.0 mg IM (asetilkolinesterase ). Jika ada perbaikan dalam 5 menit, neostigmin dapat dilanjutkan dengan dosis 0.5 mg setiap 30 menit sesuai indikasi, dilanjutkan pemberian sulfas atropin 0.6 mg selam 8 jam melalui infus.

Beri tetanus profilaksis jika diperlukan. Analgetik: aspirin atau kodein, jangan memberikan obat narkotik depresan. •

Terapi profilaksisl.2·4 Antibiotika spektrum luas. Kuman yang banyak dijumpai adalah P.aeroginosa, Proteus sp., Clostridium sp., B. fragilis

Ampisillinjsulbaktam 1.5-3.0 gram IV setiap 6 jam. Klindamisin 2 x 150-300 mg PO ditambah TMP-SMX (2x1 tablet PO) atau siprofloksasin 2x500 mg PO. Berikan tetanus toksoid Pemberian serum anti tetanus sesuai indikasi.

KOMPLIKASF • Kehilangan permanen fungsi ekstremitas yang terkena gigitan • Hipotensi dan syok • Gagal ginjal akut • Gangguan pembekuan darah • Sindrom kompartemen

Pen~+8i~~$~anaan Gigitan Ular PROGNOSIS Angka kematian karena gigitan ular berbisa rendah pada area yang dekat dengan pusat kesehatan dan tersedianya antivenom. Pada individu yang mendapat antivenom, kematian hanya terjadi <1% kasus. 4 UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi InfeksiTropik - Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT YANG TERKAIT • RS pendidikan

: Bagian Parasitologi, Departemen, Bedah, Departemen Rehabilitasi Medik



RS non pendidikan

REFERENSI 1.

Djoni D. Penatalaksanaan Gigitan Ular Berbisa. Buku ajar llmu Penyakit Dalam. Edisi IV jilid 1. Jakarta: Pusat Penerbitan llmu Penyakit Dalam; 2006: Hal 210-212.

2.

Warrell David A. WHO: Guideline for the management of snake-bites 2010. Diunduh dari http:/ /www.searo.who.int/LinkFiles/BCT_snake_bite_guidelines.pdf pad a tanggal 2 Mei 2012.

3.

Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ularberbisa. Dalam SIKer. Ditjen POM Depkes Rl. Pedoman penatalaksanaan keracunan untuk Rumah Sait: 253-259.

4.

Norris Robert L. Disorders caused by reptile bites and marine animal exposures: Introduction. Harrison's Principles of Internal Medicine 18'h edition.United States of Arnerica.Mcgraw Hill.2008

A

PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA RASIONAL Pertimbangan penting dalam memberikan antibiotik rasional mencakup: 1•2 1. Indikasi yang tepat sesuai dengan pertimbangan me dis.

2. Obat yang tepat sesuai dengan kebutuhan pasien dan memperhitungkan efektifitas, keamanan, dan biaya. 3. Dosis obat, cara administrasi, dan durasi terapi yang tepat. 4. Pasien yang tepat, yaitu tanpa adanya kontraindikasi dan dengan kemungkinan efek sam ping yang minimal. 5. Pemberian obatyang tepat, termasuk pemberian informasi terkait mengenai obat terse but. 6. Ketaatan pasien terhadap terapi.

MEMILIH DAN MEMULAI TERAPI ANTIBIOTIK 1. Diagnosis Penyakit Infeksi yang Tepat Diagnosis penyakit infeksi ditegakkan dengan menentukan lokasi infeksi, status peJa~~ (imunokompromais,d.iabetes, atauuslalanjut),dan -rrierietapKandfagnosis mikrobiologi. Untuk mengoptimalkan diagnosis, spesimen diagnostik harus diambil dengan benar dan dikirimkan ke laboratorium mikrobiologi, sebaiknya sebelum pemberian terapi antibiotik. 2 2. Waktu untuk Memulai Terapi Antibiotik Waktu untuk terapi awal tergantung pada urgensi situasi. Pada pasien kritis, seperti syok septik, netropenia febris, dan pasien dengan meningitis bakteri, terapi empirik harus diberikan segera sesudah atau bersamaan dengan pengambilan spesimen diagnostik. Pada kondisi klinis yang lebih stabil, terapi dapat ditunda sampai spesimen diagnostik telah diambil, sebagai contoh endokarditis bakterial subakut, dan osteomielitis vertebral. 3. Terapi Empirik vs Terapi Definitif Karena hasil kultur resistensi mikrobologi belum tersedia dalam 24-72 jam, terapi awal untuk infeksi adalah terapi empirik. Terapi yang inadekuat pada pasien kritis di rawat inap terkait dengan outcome yang buruk, peningkatan morbiditas dan mortilitas, dan juga peningkatan length ofstay. Antibiotik empirik awal yang dipilih biasanya antibiotik

Panduan Praktik IOinis

..•. '·enggpqpJ21n~.l';'\'8'l~J~ .··.·•• '·. · ·•·• ·• · · · ·•· >··.··. , •· }i.. . . ·-~-;~~::t·"~Jht'<.··· · · ·.· ·.·.. :···· . · ~· · ·• • ·•· ·: ·P 11}9· ...·R·. ..a~'9RlG :

'~-<'

~'

'",

:,. .' ,",- ,-·.•'

..

r

'_

~,',

''

spektrum-luas (atau antibiotik kombinasi) dengan tujuan untuk mencakup patogen multipel yang paling mungkin menginfeksi, dengan mempertimbangkan apakah infeksinya didapat dari komunitas atau nosokomial. Pemilihan antibiotik dilakukan berdasarkan pola kuman rumah sakit setempat, lokasi infeksi, serta uji klinis. Rejimen antibiotik sebaiknya mengikuti pedoman penggunaan antibiotik (PPAB) setempat kecuali ada pertimbangan khusus, an tara lain riwayat memakai antibiotik yang sama dalam waktu dekat, sudah ada hasil kultur yang resisten terhadap antibiotik terse but, serta alergi terhadap antibiotik terse but. Setelah hasil mikrobiologi keluar, terapi untuk infeksi merupakan terapi definitif. Pemberian antibiotik definitif ini mengikuti hasil kultur resistensi pada spesimen yang didapatkan sesuai lokasi infeksi, dengan perhatian khusus yaitu mempertimbangkan pola kultur dari sumber infeksi yang paling be rat, dan wasp ada kolonisasi atau flora normal. Antibiotik yang dipilih harus merupakan drug of choice bakteri yang diisolasi, dengan spektrum paling sempit dan diutamakan monoterapi. Jika kuman resisten, optimalisasi dilakukan dengan dosis yang lebih besar atau terapi kombinasi. 4. Strategi eskalasi vs strategi de-eskalasi Strategi eskalasi adalah strategi terapi awal dengan satu antibiotik. Jika pendekatan ini gaga! setelah 72 jam, digunakan antibiotik yang lebih poten. Terapi eskalasi dilakukan dengan pertimbangan spektrum antibiotik yang digunakan sebelumnya; jika spektrum antibiofik.Yang sebelumnya sudan luas, gunakcl.n antlbioiik dEmgan spektrum yang lebih luas dari antibiotik terse but. Strategi ini umumnya digunakan pada infeksi ringan. Strategi menggunakan terapi kombinasi antibiotik empirik spektrum luas kemudian setelah hasil kultur resistensi keluar, dilakukan pengurangan jumlah antibiotik dan penyempitan spektrum disebut terapi de-eskalasi. Terapi de-eskalasi umumnya dilakukan pada pasien kritis atau sepsis, dan jika lokasi infeksi berisiko tinggi dan memiliki dampak besar jika terapi gaga! (contoh: infeksi pada sendi, prostesis, mata, dan meningoensefalitis). Antibiotik yang paling sering dideeskalasi adalah aminoglikosida. 5. Interpretasi Hasil Kultur Resistensi Data hasil kultur resistensi dilaporkan dalam bentuk minimum inhibitory concentration (MIC) dan diinterpretasikan laboratorium sebagai "sensitif", "resisten", atau "intermediet". Hasil ini memiliki beberapa keterbatasan. Yang pertama, klinisi dan petugas lab harus waspada terhadap lokasi infeksi karena suatu antibiotik, walaupun sensitif secara in vitro, belum tentu mencapai

konsentrasi terapeutik pada lokasi infeksi tertentu. Kemudian, beberapa bakteri memiliki enzim yang ketika diekspresikan secara in vivo, dapat menginaktivasi antibiotik yang sensitif secara in vitro. 6. Terapi Bakterisidal vs Terapi Bakteriostatik Antibiotik bakterisidallebih dipilih pada kasus infeksi berat seperti endokarditis dan meningitis untuk cepat mencapai kesembuhan (lihat Tabell) label 1. Contoh Golongan Antibiotik Bakterisidal dan Bakteriostatik2 ·6

t i)

::;;;'- .-. :i~'~E!~'tlsi$;l~t~~ -······

.. :,>~~ .\';i{<'~~kt~ii()~attk'

Aminoglikosida

Makrolid

Kuinolon

Tetrasiklin

Beta-laktam

Kloramfenikol

Rifamisin

Sulfonamid

Daptomisin

Linezolid

'···' ,_,. ~;

Catalan: pembagian ini tidak absolut. beberapa agen bakterisidal terhadap mikroorgan- isme tertentu dapat bersifat bakterostatik terhadap bakteri lainnya dan sebaliknya.

7. Penggunaan Antibiotik Kombinasi Walapun monoterapi lebih dipilih, kombinasi 2 atau lebih antibiotik dibutuhkan pada beberapa keadaan: a. Ketika antibiotik menunjukkan aktivitas sinergistik Kombinasi antibiotik

~-laktam

tertentu dan aminoglikosida menunjukkan

aktivitas sinergistik terhadap berbagai bakteri gram positifdannegatif dan digunakan pada infeksi berat. Pacta streptokokus tertentu, kombinasi sinergistik yang sama juga dapat memperpendek durasi terapi antibiotik. b. Ketika pasien kritis membutuhkan terapi empirik sebelum hasil kultur resistensi keluar Kombinasi antibiotik digunakan sebagai terapi empirik pada infeksi nosokomial yang sering disebabkan multi-drug resistant organisms (MDRO). c.

Untuk memperluas spektrum antibiotik pada infeksi polimikrobial

d. Untuk mencegah munculnya resistensi Penggunaan terapi kombinasi dapat memberikan kesempatan yang lebih tinggi untuk setidaknya satu antibiotik akan efektif, sehingga mencegah munculnya populasi mutan resisten. 8. Faktor Penjamu yang Dipertimbangkan pacta Pemilihan Antibiotik a. Fungsi ginjal dan hati b. Usia c.

Variasi genetik

d. Kehamilan dan laktasi e. f.

Riwayat alergi atau intoleransi Riwayat penggunaan antibiotik dalam waktu dekat

9. Terapi Oral vs Terapi Intravena Pasien umumnya menggunakan terapi intravena berdasarkan keparahan penyakitnya. Pasien dengan infeksi ringan-sedang yang dirawat dan memiliki fungsi sa luran pencernaan normal dapat diberikan terapi oral. Pasien yang awalnya mendapat terapi intravena juga dapat diganti ke terapi oral jika sudah stabil secara klinis. 10. Karakteristik Farmakodinamik Karakteristik farmakodinamik yang penting dipahami adalah konsep timedependent dan concentration-dependent killing. Antibiotik dengan aktivitas timedependent (contoh:

~-laktam

dan vankomisin) lebih baik diberikan secara infus

kontinu atau frekuensi pemberian yang sering. Sedangkan antibiotik dengan aktivitas concentration-dependent (contoh: aminoglikosida, fluorokuinolon, metronidazol, dan daptomisin) lebih mengutamakan konsentrasi serum "puncak" daripada frekuensi pemberian. 11. Efikasi pada Lokasi Infeksi Efikasi antibiotik juga bergantung pacta kapasitasnya untuk mencapai konsentrasi yang sama dengan atau di atas MIC pacta lokasi infeksi. Pada beberapa lokasi, Ronsentrasi antibiotik sering lebih rendah daripada konsentrasi di serum. 12. Pemilihan Antibiotik pada Terapi Antibiotik Parenteral Pasien Rawat Jalan Beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan adalah: a. Antibiotik dengan frekuensi pemberian yang lebih jarang lebih dipilih b. Antibiotik harus memiliki stabilitas kimia dan harus stabil selama sekitar 24 jam setelah mixing c. Antibiotik dengan toksisitas minimallebih dipilih d. Harus dipertimbangkan pemberian antibiotik oral 5.

Therapeutic Drug Monitoring

Pemantauan konsentrasi serum diperlukan pacta antibiotik dengan therapeutic index sempit.

PERTIMBANGAN UNTUK MELANJUTKAN TERAPI ANTIBIOTIK 1. Durasi Terapi Antibiotik Antibiotik diberikan dengan durasi sesingkat mungkin, sesuai dengan PPAB dan uji klinis. Durasi yang lebih lama diperlukan pada infeksi sistem saraf pusat

(SSP), prostesi dan infeksi vaskular. Pemberian antibiotik yang terlalu lama akan meningkatkan resistensi dan menurunkan efikasi. 2. Pengkajian Respons Terapi Respon terapi dapat dinilai dengan parameter klinis dan mikrobiologi. Parameter klinis mencakup gejala dan tanda, nilai laboratorium, dan temuan radiologik. Parameter mikrobiologi antara lain hilangnya bakteremia. 3. Efek Samping Efek sam ping yang dapat timbul antara lain: a. Efek langsung Alergi Toksisitas lnteraksi obat Kegagalan terapeutik b. Efek tidak langsung Efek terhadap flora komensal: infeksi Clostridium difficile, meningkatnya kemungkinan terinfeksi oleh MDRO Efek terhadap flora lingkungan

REFERENSI 1.

World Health Organization. Managing for rational medicine use. Management Sciences for Health. 2012. Chapter 27, p27.1-27.6.

2.

Leekha S, Terrell CL, Edson RS. General principles of antimicrobial therapy. Mayo Clin Proc 2011; 86 (2): 156-167

3.

Morel J, Casoetto J, Jospe R, Aubert G, Terrana R, Dumont A, et al. De-escalation as part of a global strategy of empiric antibiotherapy management: a retrospective study in a medico-surgical intensive care unit. Critical Care 2010; 14:R225

4.

Mouton JW, Ambrose PG, Canton R, Drusano GL, Harbarth S, MacGowan A et al. Conserving antibiotics for the future: new ways to use old and new drugs from a pharmacokineticand pharmacodynamic perspective. Drug Resistance Updates 2011; 14: 107-117

5.

Rodloff AC, Goldstein EJC, Torres A. Two decades of imipenem therapy. Journal of Antimicrobial Chemotherapy 2006; 58:916-929

6.

Kohanski MA Dwyer OJ, Collins JJ. How antibiotics kill bacteria: from targets to networks. Nat Rev Microbiol2010; 8(6):423-35

l ~'

RABIES

PENGERTIAN Rabies adalah infeksi virus akut dari sistem sarafpusat (SSP) yang ditransmisikan dari hewan yang terinfeksi ke man usia dan dapat bermanifestasi sebagai ensefalitis bahkan dapat menyebabkan koma dan kematian. 1

ETIOLOGI Infeksi disebabkan virus rabies yang termasuk dalam genus Lyssavirus danfamili Rhabdoviridae. Virus menular melalui gigitan he wan yang tertular, seperti anjing yang merupakan reservoir pertama dan vektor untuk rabies. 1 MANIFESTASI KLINIS label 1. Manifestasi klinis 1

Fase Masa inkubasi

D\Jrasi~

1-3 bulan

Tidak ada

Prodro~------1=7 hari-- Demam, malaise, saklt k~pal~,-;ual, muntah, agitasL par~s­ tesia fokal, nyeri Fase neurologik akut

1-7 hari

Ensefalitis ( 80%)

2-1 0 hari

Demam, konfusi, halusinasi, hiperaktivitas, spasme faringeal (hidrofobia, aerofobia), kejang.

Paralitik ( 20%)

2-1 0 hari

Ascending fiaccid paralysis

Koma I kematian

1-14 hari



Pemeriksaan cairan serebro spinal (CSS): bisa ditemui peningkatan ringan sel mononuklear, peningkatan kadar protein, dan pleositosis. Pleositosis berat ( > 1000 selj!J.l) sangat jarang ditemui dan harus dicari penyebab lain. Infeksi virus rabies dicurigai jika ditemukan antibodi spesifik virus rabies pada CSS.



Isolasi Virus: dari saliva, CSS, atau serum.



CT Scan kepala: umumnya normal pada kasus rabies.



MRI kepala: abnormalitas pada batang otak dan area lain, tetapi sangat beryariasi.



Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction {RT-PCR): mendeteksi RNA virus

rabies dan membedakan variasi virus. Dapat ditemukan pada saliva, CSS, dan jaringan

iPanduan Pr; _

~ Perhirripuhdn Dcilc.ler Spe_sialis PenyakffDo_lam 'lndo~e~i.O

I'P&nduan PraktikKiinis

Perhlnlounan Dolder Speslaiis Pe~y9~ft Dalam:lndOneSi~



Pemeriksaan Direct Fluorescent Antibody (DFA): antibodi dikonjugasikan ke bahan

pewarna flouresens, dapat dilakukan pada jaringan otak, biopsi kulit dari leher, sarafkutaneus pada dasar folikel ram but. Pemeriksaan ini mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi.

PENDEKATAN DIAGNOSIS Anamnesia

Riwayat tergigit binatang, adanya saliva binatang yang mengenai membran mukosa, bekas garukan, atau luka terbuka. Diagnosa rabies dicurigai pada kasus ensefalitis akut atau dengan ascending paralysis yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya. 1 Pemeriksaan Fisik

Pada fase prodromal belum ada tanda-tanda yang spesifik. Jika memasuki fase neurologik akut dapat ditemukan kelainan neurologi seperti hidrofobia, paresis, disfagia. Jika selama pemeriksaan tidak ditemukan perubahan neurologi dan penyakit sudah berlangsung selama

~

2-3 minggu makan dapat dipikirkan penyebab lainnya. 3

Pemeriksaan Penunjang



Laboratorium: pemeriksaan darah lengkap. Pada fase awal pemeriksaan mungkin dalam batas normal.1· 2



Antibodi virus rabies: ditemukannya antibodi neu{ralizirfg serum merupaka:n diagnostik untuk kasus rabies. Antibodi mungkin dideteksi dalam beberapa hari setelah muncul gejala. Beberapa pasien meninggal tanpa antibodi yang terdeteksi.

DIAGNOSA BANDINGL2 • Fase awal: penyebab lain ensefalitis, seperti infeksi virus herpes simpleks tipe 1 atau virus herpes lainnya, enterovirus, virus yang menular melalui arthropoda. • Ensefalitis setelah vaksinasi rabies (contohnya: Semple vaccine). • Reaksi obat • Vaskulitis • Rabies histeria: kelainan karena rasa ketakutan berlebihan terhadap rabies yang bermanifestasi perilaku agresif, kehilangan kemampuan menelan atau berkomunikasi. • Guillain-Barre syndrome: fase paralitik. • Poliomielitis •

Delirium tremens

TATALAKSANA Nonfarmakologis2



Isolasi pasien untuk mencegah transmisi virus ke orang lain.



Terapi suportif

Farmakologis 1·2



Tidak ada terapi spesifik untuk rabies.



Profilaksis pada individu yang terpapar seperti pembersihan dan irigasi Iuka secepat mungkin, imunisasi aktif dan pasif efektif dalam 72 jam setelah terpapar.

Tabel 2. Vaksinasi Virus Rabies 3.4

·. .

i,·:.:_"~": ~-~e~~,~~~~~-e"~ ·~:t:~~~~~j·~·~:_ ·:~.,-·~§~-~~;~~-~~~~:~~ ·;~~;;/~:1'~Hr.:~;;,-~+:~!~~a·n'' lntramuskular Human diploid cell vaccine (HDCV} Human rabies imunoglobulin (RIG}

k e 1ml intramuscular (deltoid} Ha ri 0,3,7, 14, dan 28 20 IU/kg. lnfiltrasi sekitar luka sebanyak mungkin, dan disuntikkan secara intramuscular pada lokasi lain yang jauh dari luka.

Tidak boleh diberikan pada area gluteus p ad a in d i v i d u yang belum pernah mendapat imunisasi

Vaksinasi intradermal ~uma~iploid_s:~--

vaccine (HDCV} Purified vero cell vaccine (PVRV} Purified chick embryo cell vaccine (PCECV}



________Q_,__L_mL.dL8__jo.ka.s1__s_e_c_ar.a_Dapat.digur:Jak.aA-pGld.a-intradermal (8-0-4-0-1-1} kasus darurat yang tidak tersedia RIG 0,1 ml di 2 lokasi secara intradermal (2-2-2-0-1-1} 0.1 ml di 8 lokasi secara intradermal (8-0-4-0-1-1} atau 0,2 mldi 2 lokasi secara intradermal (2-2-2-0-1-1}

Penatalaksanaan setelah terpapar virus rabies pada individu yang belum divaksinasi: 3 •4•5 Merupakan kasus emergensi sehingga penatalaksanaan harus dimulai secara dini baik pembersihan Iuka maupun pemberian vaksinasi tanpa menunggu hasil Iaboratorium a tau mengobservasi binatang jika dicurigai terinfeksi virus rabies. Sebaiknya luka tidak dijahit terlebih dahulu, jika akan menjahit Iuka pastikan sudah memberikan RIG terlebih dahulu pada Iuka terse but. WHO membagi kategori paparan dan penatalaksanaannya menjadi 3 yaitu:

Tabel 3. Kategori Paparan dan Penatalaksanaan 3 , ,_,

""J- i'>'~ ".

~,'~,

,~ 'rz"

: , Ka.~~.g~rl;,· ·.·, · ~· . ,:·' ·,



r

"'~',"

.~

'r.._

\

,

~"'""'

':u

,~-,~~-,-

: /, , .-,~~niH:ontak," ;

·

-,- - -

·· .

-!,z'~-~~~~~J.·:;;

.

;-"----.,--,- .,

· Te(a~i · ···. ·:

··

1

Menyentuh, memberi makan binatang, atau terjilat pad a kulit intak

·

2

Garukan ringan atau abrasi tanpa berdarah, terjilat pada kulit yang terluka

Vaksin

3

Satu atau lebih gigitan, garukan, terkena membran mukosa

Vaksin + lmunoglobulin

Penatalaksanaan setelah terpapar virus rabies pacta individu yang sudah divaksinasi: Pembersihan luka, lalu vaksinasi 1 dosis pacta hari 0 dan 3. Tidak perlu diberikan RIG. 4•5



Pencegahan virus rabies pada individu beresiko tinggi. 4·5

Profilaksis sebelum terpapar dengan HDCV atau RNA (1 ml intramuscular pacta hari 0, 7, dan 21 atau 28) pada individu yang beresiko tinggi, seperti pada dokter hewan, pekerja laboratorium,anak dan balita pada daerah endemis, rencana berkunjung ke wilayah endemis. Individu yang beresiko tinggi hendaknya melakukan pemeriksaan rutin setiap tahun dan dapat diberikan vaksinasi booster jika titer< 0.5 IU /ml. Individu yang berhubungan dengan virus rabies hid up dilakukan pemeriksaan setiap 6 bulan dan diberikan vaksinasi booster jika titer < 0.5 IU jml.

PROGNOSIS Rabies merupakan penyakit yang fatal. Pacta umumnya pasien dengan rabies meninggal dalam beberapa hari meskipun sudah mendapat perawatan pacta unit internsif. Akan tetapi, hal ini dapat dicegah dengan penanganan yang tepat setelah terkena infeksi dan pemberian profilaksis setelah terpapar. Vaksinasi akan efektifjika diberikan dalam waktu 2 hari setelah terpapar, seiring bertambahnya hari makan tingkat efektivitasnya akan menurun. Walaupun demikian selama belum ada gejala, vaksinasi akan tetap efektif diberikan dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan setelah terpapar. 1 Jika gejala sudah muncul, koma dan kematian akan terjadi dalam 3-20 hari setelah awal mulai gejala. Hampir 100% individu yang menunjukkan gejala akan meninggal. Hanya kurang dari 10 kasus yang sembuh dan 2 diantaranya tidak ada riwayat profilaksis sebelum maupun sesudah terpapar. 5•6

Rabies

UNIT YANG MENANGANI •

RS pendidikan

: Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam



RS non pendidikan

: Bagian Penyakit Dalam

UNIT TERKAIT •

RS pendidikan



RS non pendidikan

REFERENSI 1.

Jackson Alan C. Rabies and Other Rhabdovirus Infections. In: Harrison's Internal Medicine 17'h ed.United States of America.Mcgraw Hill.

2.

Opal Steven M, Policar Maurice. Rabies. In: Ferri's Clinical Advisor 2008, 1Oth ed. Mosby. 2008.

3.

WHO. Current WHO Guide for Rabies Pre and Post-exposure Treatment in Human. Diunduh dari http:/ /www.who.int/rabies/en/WHO_guide_rabies_pre_post_exp_treat_humans.pdf pada tanggal 2 Mei 2012.

4.

National Guidelines for Rabies Prophylaxis and Intra-dermal Administration of Cell Culture Rabies Vaccine. 2007. National Institute of Communicable Diseases. New Delhi. Diunduh dari b11J:2;LL www.ncdc.gov.in/Rabies_Guidelines.pdf pada tanggal2 Mei 2012.

5.

CDC. Rabies. Diunduh dari http://www.cdc.gov/rabies/symptoms/index.html pada tanggal 2 Mei 2012.

6.

MDGuidelines. Rabies. Diunduh dari http:/ /www.mdguidelines.com/rabies/prognosis pad a tanggal 2 Mei 2012.

f il

SEPSIS DAN RENJATAN SEPTIK

PENGERTIAN 1

Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria sebagai berikut: a) suhu >38° C atau <36°C, b) denyut jantung >90 denyutlmenit, c) respirasi >201menit atau PaC0 2 < 32mmHg, d) hitung leukosit >12.000lmm 3 atau >10% sel imatur (band). Sepsis adalah SIRS ditambah sumber infeksi yang diketahui ( ditandai dengan biakan positifterhadap organisme dari tempat tersebut). Sepsis berat adalah sepsis ditambah dengan satu atau lebih disfungsi organ seperti berikut: • Tekanan sistolik darah < 90mmHg a tau MAP< 70 mmHg yang berespon terhadap pemberian cairan intravena, • keluaran urin <0,5 mLjkg/jam untuk selama 1 jam dengan resusitasi cairan,

• • •

Pa0zfFI0 2 < 300, Trombosit < 100.000, pH .$.7,30 atau defisit basa~S,O mEqiL dan laktat plasma >1,5 kali batas atas nilai normal, (> I mmol I L) • adanya resusitasi cairan yang adekuat ditandai dengan tekanan arteri paru ~12mmHg atau tekanan vena sentral ~8mmHg. Renjatan septik adalah sepsis dengan hipotensi (tekanan darah sistolik <90 mmHg a tau 40 mmHg lebih rendah dari tekanan darah pasien yang biasa) selama kurang lebih satu jam dengan resusitasi cairan adekuat atau pasien memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan sistolik~90 mmHg a tau MAP ~70 mmHg. PENDEKATAN DIAGNOSIS 3 Anamnesis



Menentukan apakah infeksi didapat dari komunitas a tau nosokomial a tau apakah pasien imunokompromais



Demam



Sesak napas



Disorientasi, bingung, perubahan status mental



Perdarahan



Mual, munta!l,diare, ileus

Pemeriksaan Fisik



Hi{wtensi



Sianosis



Nekrosis iskemik jaringan peri fer, umumnya jari



Selulitis, pustul, bula a tau lesi hemoragik pada kulit

• •

Ikterik Pemeriksaan fisik lengkap untuk mencari sumber infeksi

Pemeriksaan Penunjang



Darah perifer lengkap dengan hitung diferensial



Urinalisis



Gambaran koagulasi



Glukosa darah



Urea darah, kreatinin



Tes fungsi hati



Kadar asam laktat



Analisis gas darah



Kadar asam laktat



Biakan darah (minimal 2 set dalam 24 jam), sputum, urin dan tempat lain yang dicurigai terinfeksi

DIAGNOSIS BANDING Renjatan kardiogenik, renjatan hipovolemik TATALAKSANA2.4· 5 Nonfarmakologis



Stabilisasi pasien (pemulihan airway, breathing, circulation)



Perawatan ICU



Dialisis



Nutrisi, pemantauan glukosa hingga <150 mg/dL setiap 1- 2 jam hingga 4 hari



Transfusi darah PRC apabila Hb<7 g/dL , TC apabila trombosit < 5000 tanpa perdarahan atau 5.000- 30.000 dengan perdarahan



Menghilangkan fokus infeksi (penyaluran eksudatpurulen, nekrotomi, drainase abses)

Farmakologis



Cairan kristaloid atau koloid



Obat-obatan vasoaktif untuk kondisi renjatan: dopamin (> 8 mcg/kg/menit), norepinefrin (0,03 -1,5 mcgjkgjmenit), epinefrin (0,1- 0,5 mcgjkgfmenit) atau fenilefrin ( 0,5 - 8 mcgjkgjmenit)



Obat-obatan inotropik: dobutamin (2 - 28mcgfkgjmenit), dopamin (3 - 8 meg/ kgfmenit), epinefrin (0,1- 0,5/kgfmenit) atau fosfodiesterase inhibitor (amrinon dan milrinon).



Dalam 6 jam pertama, target resusitasi adalah: tekanan vena sentral 8 - 12mmHg, MAP :2.65mmHg, keluaran urin :2.0,Smljkgjjam, saturasi oksigen vena sentral atau campuran berturut-turut :2.70% atau :2.65%. Target tekanan vena sentral pada penggunaan ventilasi mekanik atau penurunan compliance ventrikel adalah 12 -15mmHg.



Sodium bikarbonat bila pH <7,2 a tau bikarbonat serum <9meq/L



Antagonis reseptor HZ a tau penghambat pampa proton pada sepsis berat untuk mencegah stress ulcer



Kortikosteroid dosis rendah (hidrokortison 200- 300 mg/hari terbagi dalam 3- 4 dosis selama 7 hari) bila terbukti insufisiensi adrenal



Bila terdapat KID dan didapatkan bukti terjadinya tromboemboli, dapat diberikan heparin dengan dosis 100 IU/kgBB bolus, dilanjutkan 15-251UjkgBB/jam dengan infus kontinu, dosis lanjutan disesuaikan untuk mencapai target aPTT 1,5-2 kali kontrol atau antikoagulan lainnya



Antimikroba empirik diberikan sesuai dengan tempat infeksi, dugaan kuman penyebab, profil antimikroba (farmakokinetik dan farmakodinamik), keadaan fungsi ginjal dan fungsi hati. Antimikroba definitif diberikan hila hasil kultur mikroorganisme telah diketahui, antimikroba dapat diberikan sesuai hasil uji kepekaan mikroorganisme. Antimikroba yang dipakai adalah yang dianggap tidak menyebabkan pelepasan lebih banyak lipopolisakarida (LPS) sehingga menimbulkan masalah yang lebih banyak. Antimikroba yang dianggap tidak menyebabkan perburukan adalah: karbapenem, seftriakson, sefepim, glikopeptida, aminoglikosida, kuinolon.

" "<<·····

'""'"·._:::~.:0.5~

Berikut adalah pilihan antimikroba sesuai sumber infeksi; Pneumonia komuniti: 2 regimen obat, yaitu sefalosporin generasi 3 (seftriakson lxl gram selama 2 minggu) atau keempat (sefepim 2x2 gram selama 2 minggu) dan aminoglikosida (gentamisin iv atau im 2mgjkgBB dilanjutkan dengan 3x1,7 mgjkgBB atau 1x5 mgjkg BB selama 14- 21 hari atau amikacin lx15 mgjkgBB a tau tobramisin 1xl, 7 mg/kgBB) Pneumonia nosokomial: sefepim (2x2 gram selama 2 minggu) atau imipenem - silastatin ( 4x0.5 gram) dan aminoglikosida lnfeksi abdomen: imipenem - silastatin ( 4x0.5 gram) atau piperasilin tazobaktam (4- 6x3,37Sgram) dan aminoglikosida Infeksi abdomen nosokomial: imipenem - silastatin ( 4x0.5 gram) dan aminoglikosida atau piperasilin- tazobaktam (4-6x 3,37Sgram) dan amfoterisin B (dosis inisial 0,25 - 0,3 mgjkgBB/hari, tingkatkan perlahan-lahan hingga mencapai dosis biasa 0,5- 1 mgjkgBB atau hingga 1,5 mgjkgBB, pada keadaan mengancam nyawa dosis inisial dapat langsung diberikan 0,6- 0, 7 mgjkgBB) Kulit/ jaringan lunak: vankomisin (2x15 mgjkgBB) dan imipenem- silastatin (4x0.5 gram) atau piperasilin- tazobaktam (4- 6x 3,375gram) Kulit/ jaringan lunak nosokomial: vankomisin (2x15 mgjkgBB) dan sefepim (2x2 gram selama 2 minggu) lnfeksi traktus urinarius: siprofloksasin (2x400 mg) dan aminoglikosida lnfeksi traktus urinarius nosokomial: vankomisin (2x15 mgjkgBB) dan sefepim (2x2 gram selama 2 minggu) lnfeksi SSP: vankomisin (2x15 mgjkgBB) dan sefalosporin generasi ketiga atau meropenem (3x1 gram) Infeksi SSP nosokomial: meropenem (3x1 gram) dan vankomisin (2x15 mgjkgBB)

KOMPLIKASI 6 • Sindrom distres pernapasan dewasa (ARDS) • Koagulasi intravascular diseminata (DIC) • Gaga! ginjal akut (ARF) • Perdarahan usus • Gaga! hati • Disfungsi sistem saraf pusat (SSP) • Gaga! jantung • Kematian

PROGNOSIS 6 Sekitar 20- 35% pasien dengan sepsis berat dan 40- 60% pasien dengan renjatan septik meninggal dalam 30 hari. Sistem stratifikasi prognosis seperti APACHE II menunjukkan bahwa usia pasien, penyakit dasar dan berbagai variabel fisiologi menentukan risiko kematian pada sepsis berat. Pada pasien tanpa penyakit morbiditas sebelumnya, case-fatality rate di bawah 10% hingga usia dekadekeempat, dan setelahnya meningkat hingga 35%.

UNIT YANG MENANGANI • RS pendidikan : Divisi Tropik Infeksi - Departemen Penyakit Dalam • RS non pendidikan : Bagian Penyakit Dalam UNIT TERKAIT : Semua Divisi di lingkungan Departemen Ilmu Penyakit Dalam • RS pendidikan • RS non pendidika'n REFERENSI 1.

Bone RC, Balk RA, Cerra FB. eta!. Definitions for sepsis and organ failure and guidelines for the use of innovative therapies in sepsis. The ACCP /SCCM Concensus Conference Committee. American College of Chest Physicians/Scoiety of Critical Care Medicine. Chest. 1992. 101:1644-55

2.

Chen K. Pohan HT. Penatalaksanaan syok setiks.ln: Sudoyo A. Setiyohadi B. Alwi I. Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5'" ed. Jakarta; Pusat lnformasi ggnPenerbjtan Bagian llmu Penyakit Dalam FKUJ. 2009:252 - 7

3.

Guntur A. Sirs & sepsis. 1'' edition. Surakarta; Sebeias Maret University Press. 2006:1 -66

4.

Dellinger P, Carlet J, Masur H. Gerlach H. Calandra T, Cohen J, eta!. Surviving sepsis campaign. guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med. 2004;32:858 -7.

5.

Dellinger P, Levy M. Carlet J, Bion J, Parker M. Jaeschke R. Surviving sepsis campaign: international guidelines for management of severe sepsis and septic shock:2008.1ntensive Care Med. 2008;34: 17-60.

6.

Reus V. Severe sepsis and septic shock, In: Fauci A. Kasper D. Longo D. Braunwald E. Hauser S. Jameson J, Loscalzo J, editors. Harrison's principles of internal medicine. 18'" ed. United States of America; TheMcGraw-Hill Companies, 2012: 271 0- 23

Related Documents


More Documents from "eliya"