Papdi 122-145 Geriatri

  • Uploaded by: Edward Arthur Iskandar
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Papdi 122-145 Geriatri as PDF for free.

More details

  • Words: 97,077
  • Pages: 178
Loading documents preview...
122 PROSES MENUA DAN IMPLIKASI KLINIKNYA SitiSetiati, Kuntjoro Harimufti, Arya Govinda

PENDAHULUAN

R

berusia lanjut umumnya tidak berespons terhadap berbagai

rangsangan, internal atau eksternal, seefektif yang dapat

dilakukan oleh orang yang lebih muda. Menurunnya

Pembahasan tentang proses menua semakin sering muncul seiring dengan semakin bertambahnya populasi usia lanjut

kapasitas untuk berespon terhadap lingkungan internal yang berubah cenderung membuat orang usia lanjut sulit untuk memelihara kestabilan status fisikawi dan kimiawi di dalam tubuh, atau memelihara homeostasis tubuh. Gangguan terhadap homeostasis tersebut menyebabkan disfungsi berbagai sistem organ lebih mungkin tedadi dan juga toleransi terhadap obat-obatan menurun. Perlu disadari bahwa amat sulit membedakan apakah proses menua yang terjadi pada seseorang mumi sematamata karena proses menua itu sendiri atau akibat penyakit

di berbagai belahan dunia. Penelitian-penelitian mengenai perubahan yang terkait usia merupakan areayang menarik dan penting belakangan ini. Berbagai aspek mengenai

proses menua banyak dibahas seperti aspek sosial, psikologi, ekonomi, atau fisik. Telah banyak dikemukakan bahwa proses menua amat

dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Usia kronologi yang diukur dengan tahun dan

usia fisiologi yang diukur dengan kapasitas fungsional tidaklah selalu seiring sejalan. Seseorang dapat terlihat lebih muda atau lebih tua dari umurnya, dan mungkin memiliki kapasitas fungsional yang lebih besar atau lebih

yang menyertai usia tua tersebut. Amat dibutuhkan penelitian yang dapat membedakan penurunan fungsi akibat penyakit atau proses menua nornal yang tentunya tidak mudah, karena proses menua normal belum dapat sepenuhnya dijelaskan dan kebanyakan oftIng berusia lanjut juga sudah mengalami beragam penyakit ketika

kecil dari yang diperkirakan dimilikinya pada umur tertentu. Proses menua bukanlah sesuatu yang terjadi hanya pada orang berusia lanjut, melainkan suatu proses normal

mereka bertambah tua. Penelitian yang sudah ada, sebenarnya lebih banyak menggunakan disain potong lintang dimana parameter yang diteliti, diukur dan dibandingkan pada saat yang sama untuk berbagai kelompok umur. Kelemahan penelitian dengan disain tersebut adalah amat sulit untuk menetapkan apakah

yang berlangsung sejak maturitas dan berakhir dengan

kematian. Namun demikian, efek penuaan tersebut umunnya menjadi lebih terlihat setelah usia 40 tahun. Proses menua seyogianya dianggap sebagai suatu proses normal dan tidak selalu menyebabkan gangguan fungsi organ atau penyakit. Berbagai faktor seperti faktor genetik, gaya hidup, dan lingkungan, mungkin lebih besar

perubahan-perubahan fungsi organ yang terjadi disebabkan

karena usia atau perubahan akibat sejumlah faktor sosial dan lingkungan, karena semuanya diuku pada satu saat yang sama dan tidak diikuti dari waktu ke waktu (kohort). Sebuah penelitian kohort besar, Framingham Study, yang melibatkan sekitar 5000 orang sejak tahun 1950-an, atau biasa disebut studi longitudinal Framingham, dan

mengakibatkan gangguan fungsi, daripada penambahan usia itu sendiri. Di sisi lain, hubungan antara usia dan penyakit

amatlah erat. Laju kematian untuk banyak penyakit meningkat seiring dengan menuanya seseorang, terutama disebabkan oleh menurunnya kemampuan orang usia lanjut berespons terhadap stres, baik stres fisik maupun psikologik. Secara umum dapat dikatakan terdapat kecenderungan menurunnya kapasitas fungsional baik pada tingkat selular maupun pada tingkat organ sejalan dengan proses menua. Akibat penurunan kapasitas fungsional tersebut, orang

Baltimore Longitudinal Study of Aging (BLSA) yang dimulai pada tahun 1958 dan melibatkan lebih dari 1000 subyek, mencoba mengikuti berbagai perubahan pada manusia dari waktu ke waktu seiring dengan penuaan.

757

758

GERI'TIRI

Penelitian-penelitian mengenai perubahan akibat proses menua menjadi semakin populer dan dirasakan penting pada tahun-tahun belakangan ini seiring dengan semakin bertambahnya populasi usia lanjut di berbagai belahan dunia. Berbagai artikel ihniah danpopuler semakin banyak membincangkan masalah proses menua tersebut dari berbagai aspek, baik sosial, psikologi, ekonomi, atau fisik. Tulisan ini akan lebih banyak membahas aspek biologi proses menua, yakni berbagai perubahan pada tubuh akibat proses menua padatataranmikroskopik dan makro skopik. Selanjutnya fisiolo gi pro ses menua disertai dengan implikasi kliniknya akan dibicarakan lebih jauh, dan akhirnya konsep menua yang sukses/sehat akan dikemukakan untuk melengkapi pembahasan mengenai proses menua mr.

DEFINISI DAN TERMINOLOGI Menua didefinisikan sebagai proses yang mengubah seorang dewasa sehat menjadi seorang yan g

frail ' (lemah,

rentan) dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit dan kematian secara eksponensial. Menua

juga didefinisikan sebagai pemrmnan seiring-waktu yang terjadi pada sebagian besar makhluk hidup, yang berupa kelemahan, meningkatnya kerentanan terhadap penyakit dan perubahan lingkungan, hilangnya mobilitas dan ketangkasan, serta perubahan fi siologis yang terkait-usia.

Terdapat beberapa istilah yang digunakan oleh gerontologis ketika membicarakan proses menua:

l.

aging @errarrrbahnya umur): menunjukkan efek waktu;

suatu proses perubahan, biasanya bertahap dan spontan

2. 3.

senescence (menjadi tua): hilangnya kemampuan sel untuk membelah dan berkembang (dan seiring waktu akan menyebabkan kematian) homeostenosls: penyempitan/berkurangnya cadangan homeostatis yang terjadi selama penuaan pada setiap sistem organ

Membedakan antara aging dan senescence dianggap perlu, karena banyak perubahan selama aging mung)
tidak merusak dan mungkin suatu perubahan yang diharapkan. Sebagai contoh, kebijakan (wisdom) yarrg meningkat seiring usia tidak dianggap sebagai senescence melainkan su att aging,walaupun hal itu merupakan bagian dari proses menua. Sebaliknya, gangguan memori yang terjadi selama aging merupakan manifestasi senescence.

Sementara konsep homeostenosis menunjukkan bahwa seiring dengan bertambahnya usia maka makin kecil kapasitas seorapg tua untuk membawa dirinya ke keadaan homeostasis setelah terjadinya stattt 'challenge' (di sni yang dimaksud 'challenge'adalah kondisi atau perubahan yang mengganggu homeostasis). Penjelasan mengenai konsep homeostenosis ini akan diuraikan pada bagian lain dari tulisan ini. Beberapa istilah lain yang perlu dikemukakan terkait dengan proses menua adalah gerontologi, geriatri, dan

longevitlt. Gerontologi adalah ilmu yang mempelajari proses menua dan semua aspek biologi, sosiologi, dan sejarah- yang terkait dengan penuaan. Geriatri merujuk pada pemberian pelayanan kesehatan untuk usia lanjut.

Geriatri merupakan cabang ilmu kedokteran yang mengobati kondisi dan penyakit yang dikaitkan dengan proses menua dan usia lanjut. Pasien geriaki adalah pasien usia lanjut dengan multipatologi (penyakit ganda). Sementara longevity merujuk pada Tama hidup seorang individu. Dua aspek longevity adalah mean longevity dan

maximum longevity. Mean longevity mertpakan longevity rata-rata suatu populasi, disebut pula usia harapan hidup (life expectancy). Mean longevif,, dihitung berdasarkan penjumlahan umur semua anggota populasi saat meninggal dibagi jumlah anggota populasi tersebut. Maximum longevity (ltfe span) merupakan usia saat

meninggal

dari

anggota populasi yang hidup

paling lama. Pada manusia, maximum longevity diyakini sekitar 110-l20tahun.

TEORI MENGENAI PROSES MENUA

lstilah aging yang hanya menunjukkan efek waktu, dianggap tidak mewakili apa yang terjadi pada proses menua. Sebab berbagai proses yang terjadi seiring waktu, seperti perkembangan (development), istilah yang sering

Berbagai teori mengenai proses penuaan telah diajukan, namun hingga 20 tahun yang lalu teori-teori tersebut kelihatannya sama dengan teori-teori penuaan yang pernah

digunakan di bidang pediatri, dapat disebut sebagai aging. Aging merupakan proses yang terus berlangsung (continuum), yang dimulai dengan perkembangan (development) yaitu proses generatif seiring waktu yang dibutuhkan untuk kehidupan, dan dilanjutkan dengan senescence yaitu proses degeneratif yang inkompatibel dengan kehidupan. Istilah senescence juga digunakan untuk menggambarkan turunnya fungsi efisien suatu

teori mengenai proses menua yang telah ditinggalkan dan ditolak antara lain adalah: (1) Model "error catastrophe" yang diperkenalkan oleh Orgel; (2) Teori "laju kehidupan" atau "rate of living" yang diajukan oleh Pearl; dan (3) Hipotesis " glukokortikoid". Suatu teori mengenai penuaan dapat dikatakan valid bila ia dapat memenuhi tiga kriteria umum berikut: (l) teori yang dikemukakan tersebut harus terjadi secara umum di seluruh anggota spesies yang dimaksud', (2) proses yang dimaksud pada teori itu harus terjadi secara progresif

organisme sejalan dengan penuaan dan meningkatnya kemungkinankematian

diajukan 200 tahun bahkan 2000 tahun yang lalu. Beberapa

759

PROSES MENUA DAt{ IMPLII(ATTI KLINIKNYA

seiring dengan waktu, dan (3) proses yang terjadi harus menghasilkan perubahan yang menyebabkan disfungsi atau kegagalan suatu organ/ sistem tubuh tertentu.

Berbagai penelitian eksperimental

di

bidang

gerontologi dasar selama 20 tahtn terakhir ini berhasil memunculkan teori-teori baru mengenai proses menua yang mencoba memenuhi ketiga kriteria di atas. Dari berbagai penelitian tersebut, terdapat tiga hal mendasar (fundamental) yang didapatkan dan kemudian dipergunakan sebagai dasar untuk menyusun berbagai teori menua. Ketiga hal fundamental tersebut adalah: (1) pola penuaan pada hampir semua spesies mamalia diketahui sama, (2) laju penuaan ditentukan oleh gen yang sangat bervariasi pada setiap spesies, dan (3) laju penuaan dapat diperlambat dengan pembatasan kalori (calor ic r es triction), setidaknya pada hewan tikus.

Beberapa teori tentang proses menua yang dapat diterima saat ini, antara lain:

1. Teori "radikal bebas" yang

menyebutkan bahwa

produk hasil metabolisme oksidatif yang sangat reaktif

(radikal bebas) dapat bereaksi dengan berbagai komponen penting selular, termasuk pr6tein, DNA, dan lipid, dan menjadi molekul-molekul yang tidak berfungsi

namun bertahan lama dan mengganggu fungsi sel

bebasjuga dapat bereaksi dengan DNA, menyebabkan mutasi kromosom dan karenanya merusak mesin genetik normal dari sel. Radikal bebas dapat merusak fungsi sel dengan merusak membran sel atau kromosom sel. Lebih jauh, teori radikal bebas menyatakan bahwa terdapat akumulasi radikal bebas secara bertahap di dalam sel

sejalan dengan waktu, dan bila kadarnya melebih konsentrasi ambang maka mereka mungkin berkontribusi pada perubahan-perubahan yang seringkali dikaitkan dengan penuaan. Sebenarnya tubuh diberi kekuatan untuk melawan radikal bebas berupa antioksidan yang diproduksi oleh tubuh sendiri, namun pada tingkat tertentu antioksidan tersebut tidak dapat melindungi tubuh dari kerusakan akibat radikal bebas yang berlebihan.

Teori "glikosilasi" yang menyatakan bahwa

proses

glikosilasi nonenzimatik yang menghasilkan pertautan

glukosa-protein yang disebut sebagai advanced glycation end products (AGEs) dapat menyebabkan penumpukan protein dan makromolekul lain yang termodifikasi sehingga menyebabkan disfungsi pada hewan atau manusia yar'g menua. Protein glikasi

menunjukkan perubahan fungsional, meliputi menurunnya akitivitas enzim dan menurunnya degradasi

lainnya.

protein abnormal. Manakala rnanusia menua, AGEs

Teori radikal bebas (Free Radical Theory of Ageing) diperkenalkan pertama kali oleh Denham Harman pada tahun 1956, yang menyatakan bahwa proses menua normal merupakan akibat kerusakan jaringan akibat radikal bebas. Harman menyatakan bahwa mitokondria sebagai generator radikal bebas, juga merupakan target kerusakan dai radikal bebas tersebut.

hemoglobin, dan lensa mata. Karena muatan kolagennya tinggi, jaringan ikat menjadi kurang elastis dan lebih kaku. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi elastisitas dinding pembuluh darah. AGEs didugajuga berinteraksi dengan DNA dan karenanya mungkin mengganggu kemampuan sel untuk memperbaiki perubahan pada

Radikal bebas adalah senyawa kimia yang berisi elektoon

tidak berpasangan yang terbentuk sebagai hasil sampingan berbagai proses selular atau metabolisme normal yang melibatkan oksigen. Sebagai contoh adalah reactive oxygen species (ROS) dan reactive nitrogen species (RNS) yang dihasilkan selama metabolisme normal. Karena elektronnya tidak berpasangan, secara kimiawi radikal bebas akan mencari pasangan elektron lain dengan bereaksi dengan substansi lain terutama dengan protein dan lemak tidak jenuh. Melalui proses

berakumulasi di berbagai jaringan, termasuk kolagen,

DNA. Bukti-bukti terbaru yang memrnjukkan tikus-tikus yang dibatasi kalorinya mempunyai gula darah yang rendah dan menyebabkan perlambatan penumpukan produk glikosilasi (AGEs), merupakan hal yang mendukung hipotesis glikosilasi ini.

Teori "DNA repair" yang dikemukakan oleh Hart dan Setlow. Mereka menunjukkan bahwa adanya perbedaan pola laju' repair' kerusakan DNA yang diinduksi sinar ultraviolet (fV) padaberbagai fibroblas yang dikultur.

oksidasi, radikal bebas yang dihasilkan selama fosforilasi oksidatif dapat menghasilkan berbagai modifikasi makromolekul. Sebagai contoh, karena

Fibroblas pada spesies yang mempunyai umur maksimum terpanjang menunjukkan laju 'DNA repair' terbesar, dan korelasi ini dapat ditunjukkan pada

membran sel mengandung sejumlah lemak, ia dapat bereaksi dengan radikal bebas sehingga membran sel mengalami perubahan. Akibat perubahan pada struktur membran tersebut membran sel menjadi lebih permeabel

berbagai mamalia dan primata. Teori 'DNA repai' , alau

terhadap beberapa substansi dan memungkinkan substansi tersebut melewati membran secara bebas. Struktur di dalam sel seperti mitokondria dan lisosom juga diselimuti oleh membran yang mengandung lemak sehingga mudah diganggu oleh radikal bebas. Radikal

tepatnya'mitochondrial DNA repair' ini terkait erat dengan teori radikal bebas yang sudah diuraikan di atas, karena sebagian besar radikal bebas (terutama ROS) dihasilkan melalui fosforilasi oksidatif yang terjadi di

mitokondria. Mutasi DNA mitokondria (mtDNA) dan pembentukan ROS di mitokondria saling mempengaruhi satu sama lain, membenfuk "vicious cycle" yang secara

eksponensial memperbanyak kerusakan oksidatif dan

760

disfungsi selular, yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel. Mutasi mtDNA di manusiaterutama terjadi

setelah umur pertengahan tigapuluhan, terakumulasi seiring pertambahan umur, dan jarang melebihi 1%. R.endahnya jumlah mutasi mtDNA yang terakumulasi ini diakibatkan proses repair yang terjadi di tingkat mitokondria. Bukti-bukti menunjukkan gangguan repair pada kerusakan oksidatif ini menyebabkan percepatan proses penuaan (accelerated aging). Selain itu, mutasi mtDNA akibat gangguan repair ini juga terkait dengan munculnya keganasan, diabetes melitus dan penyakitpenyakit neurodegeneratif. Selain teori-teori di atas, beberapa teori lainjuga telah dikemukakan untuk menjelaskan proses yang terjadi selama penuaan, antara lain: 'aging by program', teori gen dan mutasi gen, cross-linkage theory, cellular garbage theory, wear-and-tear theory, dan teori autoimun. Yang pasti, tidak ada satu teori tunggal pun yang dapat menjelaskan seluruh proses menua. Semua teori-teori tersebut saling mengisi dan mencoba menjelaskan berbagai sebab dan perubahan akibat proses menua,

walaupun belum dapat menjelaskan seluruh proses yang terjadi..

FISIOLOGIPROSES MENUA Seiring dengan bertambahnya usia, terjadi berbagai perubahan fisiologis yang tidak hanya berpengaruh terhadap penampilan fisik, namun juga terhadap fungsi dan responsnya pada kehidupan sehari-hari. Namun harus

dicermati, bahwa setiap individu mengalami perubahanperubahan tersebut secara berbeda pada beberapa individu, laju penurunannya mungkin cepat dan dramatis; sementara untuk lainnya, perubahannya lebih tidak bermakna.

Membicarakan fisiologi proses penuaan tidak dapat dilepaskan dengan pengenalan konsep homeostenosis. Konsep ini -diperkenalkan oleh Walter Cannon pada tahun 1940- yang telah disinggung di atas, terjadi pada seluruh sistem organ pada individu yang menua. Pengenalan terhadap konsep ini penting untuk memahami berbagai

GERIITTRI

keadaan dasar (b as e I ine), dan semakin besar " c ha I I en g e " yang terjadi maka semakin besar cadangan fisiologis yang

diperlukan untuk kembali ke homeostasis. Di sisi lain dengan makin berkurangnya cadangan fisiologis, maka seorang usia lanjut lebih mudah untuk mencapai suatu ambang (yang disebut sebagai "precipice"), yang dapat berupa keadaan sakit atau kematian akibat "challenge" tersebut. Penerapan konsep homeostenosis ini tergambar pada sistem skoring APACHE (Acute Physiology and Chronic

Health Evaluation), suatu skala penilaian beratnya penyakit. Penilaian perubahan fisiologis akut yang terjadi dinyatakan dengan semakin besarnya deviasi dari nilai homeostatis pada 12 variabel, antara lain tanda vital, oksigenasi, pH, elektrolit, hematokrit, hitung leukosit, dan kreatinin. Seorang normal pada keadaan homeostasis mempunyai nilai nol. Semakin besar penyimpangan dari

homeostasis skornya semakin besar. Pada awal penerapannya, skoring APACHE ini tidak memasukkan variabel usia sebagai salah satu faktor penilaian. Namun ketika diterapkan pada pasien-pasien yang dirawat karena

kondisi akut, terdapat perbedaan nilai yang signifikan antara kelompok usia muda dan kelompok usia tua pada satu kondisi penyakit yang sama; skor APACHE pada kelompok usia tua cenderung lebih rendah. Terlihat bahwa dengan penyimpangan yang lebih kecil dari keadaan homeostasis, seorang usia tua lebih rentan untuk menjadi

sakit atau meninggal dibandingkan orang muda. Oleh karena itu penggagas sistem skoring APACHE kemudian memasukkan variabel usia sebagai 'nilai bonus' pada skoring itu, sehingga skor total untuk satu keadaan sakit tidak berbeda antara usia muda dan usia tua. Dengan mengingat bahwa mempertahankan keadaan homeostasis merupakan proses yang aktif dan dinamis, konsep homeostenosis yang digambarkan pada Gambar 1 dapat direinterpretasi seperti apa yar.g terlihat pada

Gambar 2. Seorang usia lanjut tidak hanya memiliki cadangan fisiologis yang makin berkurang, namun mereka juga memakai atau menggunakan cadangan fisiologis itu hanya untuk mempertahankan homeostasis. Akibatnya akan semakin sedikit cadangan yang tersedia untuk menghadapi "challenge".

perubahan yang terjadi pada proses penuaan. Homeostenosis yang merupakan karakteristik fisiologi penuaan adalah keadaan penyempitan (berkurangnya) cadangan homeostasis yang terjadi seiring meningkatnya usia pada setiap sistem organ. Konsep homeostenosis dapat lebih mudah dipahami dengan memperhatikan

Homeostasis

Gambarl. Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa seiring bertambahnya usia jumlah cadangan fisiologis untuk menghadapi berbagai perubahan yang mengganggu homeostasis (challenge) berkurang. Setiap " challenge " terhadap homeostasis merupakan pergerakan menjauhi

Gambar 1. Skema standar homeostenosis yang menunjukkan bahwa seiring dengan meningkatnya usia maka cadangan fisiologis semakin berkurang, sehingga seorang usia lanjut lebih mudah untuk menjadi sakit atau meninggal (Modifikasi dari Taffet GE, 2003).

761

PROSES MENUA DAI{ IMPLIKASI KLINIKI'IYA

---_____

Precipice

Berkurangnya vasodilatasi yang dimediasi beta-adrenergik Vasokonstriksi yang dimediasi alfa-adrenergik tidak berubah Terganggunya perfusi autoregulasi otak

Paru-paru

Gambar 2. Skema revisi konsep homeostenosis.pada gambar ini ditunjukkan bahwa selain cadangan fisiologis yang makin berkurang seiring meningkatnya usia, juga ternyata cadangan fisiologis yang ada sudah terpakai hanya untuk mempertahankan homeostasis (Modifikasi dari Taffet cE, 2003).

Konsep homeostenosis inilah yang dapat menjelaskan berbagai perubahan fisiologis yang terjadi selama proses

menua dan efek yang ditimbulkannya. Walaupun merupakan suatu proses fisiologis, perubahan dan efek penuaan te{adi sangat bervariasi dan variabilitas ini makin meningkat seiring peningkatan usia. Variasi terjadi antaru satu individu dengan individu lain pada umur yang sama, antara safu sistem organ dengan organ lain, bahkan dari

satu sel terhadap sel lain pada individu yang sama. Tabel 1 merangkum berbagai perubahan utama sistem organ pada proses menua.

b

erbagai

Sistem endokrin Toleransi glukosa terganggu (gula darah puasa meningkat 1 mg/dl/dekade; gula darah postprandial meningkat 10 mg/dl/dekade lnsulin serum meningkat, HbAIC meningkat, IGF-1 berkurang Penurunan yang bermakna pada dehidroepiandrosteron (DHEA) Penurunan testosteron bebas maupun yang bioavailable Penurunan horman T3 Peningkatan hormon paratiroid (PTH) Penurunan produksi vitamin D oleh kulit 'Ovaian failure' diserlai menurunnya hormon ovarium Peninqkatan kadar homosistein serum

Kardiovaskular Tidak ada perubahan frekuensi jantung saat istirahat, penurunan frekuensi jantung maksimum Berkurangnya pengisian ventrikel kiri Berkurangnya sel pacu jantung (pacemaker) di nodus SA Hipertrofi atrium kiri Kontraksi dan relaksasi ventrikel kiri bertambah lama Menurunnya respons inotropik, kronotropik, lusitropik terhadap stimulasi beta adrenergik Menurunnya curah jantung maksimal Menurunnya hipertrofi sebagai respons terhadap peningkatan volume dan tekanan Peningkatan atrial natriuretic peptide (ANP) serum Lapisan subendotel menebal dengan jaringan ikat Ukuran dan bentuk yang iregular pada sel-sel endotel Fragmentasi elastin pada lapisan media dinding arteri Peninokatan resistensi vaskular oerifer

Tekanan Darah Peningkatan tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik tidak berubah

Penurunan FEVI dan FVC Meningkatnya volume residual Berkurangnya efektivitas batuk Berkurangnya efektivitas fungsi silia 'V e nti I ation-peiu sion mi smatch ing' yang menyebabkan PaO2 menurun seiring bertambahnya usia: 100 - (0,32 x umur) Peningkatan diameter trakea dan saluran napas utama Membesarnya duktus alveolaris akibat berkurangnya elastisitas struktur penyangga parenkim paru, menyebabkan berkurangnya area permukaan Penurunan massa jaringan paru Ekspansi toraks Penurunan tekanan maksimum inspirasi dan ekspirasi Berkurangnya kekuatan otot-otot pernapasan Kekakuan dinding dada Berkurangnya difusi CO Berkurangnya respons ventilasi akibat hiperkapnia

Hematologi Berkurangnya cadangan sumsum tulang akibat kebutuhan yang meningkat aftenuated retikulosis terhadao oemberian eritroooietin

Ginjal Menurunnya bersihan kreatinin (creatinin clearance) dan laju filtrasi glomerulus (GFR) 10 ml/dekade Penurunan massa ginjal sebanyak 25%, terutama dari korteks dengan peningkatan relatif perfusi nefron yukstamedular Menurunnya ekskresi dan konservasi natrium Menurunnya ekskresi dan konservasi kalium Menurunnya kapasitas konsentrasi dan dilusi Berkurangnya sekresi akibat pembebanan asam Aksentuasi pelepasan ADH sebagai respons terhadap dehidrasi Berkurangnya produksi nitrit oksida Meningkatnya ketergantungan prostaglandin ginjal untuk mempertahankan perfusi Menurunnya aktivasi vitamin D

Regulasi Suhu Tubuh Berkurangnya vasokonstriksi dan vasodilatasi pembuluh darah kutaneus Berkurangnya produksi keringat Meningkatnya temperatur inti untuk mulai berkeringat

Otot Massa otot berkurang secara bermakna (sarkopenia) karena berkurangnya serat otot Efek penuaan paling kecil pada otot diafragma, lebih pada otot tungkai dibandingkan lengan Berkurangnya sintesis rantai berat miosin Berkurangnya inervasi, meningkatnya jumlah miofibril per unit otot lnfiltrasi lemak ke berkas otot Peningkatan fatigabilitas Berkurangnya laju metabolisme basal (berkurang 4o/o /dekade setelah usia 50)

Tulang Melambatnya penyembuhan fraktur Berkurangnya massa tulang pada pria dan perempuan, baik pada tulang trabekular maupun kortikal Berkurangnya formasi osteoblas tulang

762

GERIATRI

Sistem Saraf Perifer Hilangnya neuron motor spinal Berkurangnya sensasi getar, terutama di kaki Berkurangnya sensitivitas termal (hangat-dingin) Berkurangnya amplitudo aksi potensial saraf sensorik Berkurangnya ukuran serat yang termielinasi Meningkatnya heterogenitas selaput akson mielin

Sistem saraf pusat Berkurangnya sedikit massa otak Berkurangnya aliran darah otak dan terganggunya autoregulasi perfusi Proliferasi astrosit Berkurangnya densitas koneksi dendritik Berkurangnya mielin dan total lipid otak Berubahnya neurotransmiter, termasuk dopamin dan serotonin Meningkatnya aktivitas monoamin oksidase Berkurangnya reseptor glukokortikoid hipokampal Melambatnya proses sentral dan waktu reaksi

Gastrointestinal Berkurangnya ukuran dan aliran darah hati Terganggunya clearance obat oleh hati sehingga membutuhkan metabolisme fase I yang lebih ekstensif Terganggunya responb terhadap cedera pada mukosa lambung

Berkurangnya massa pankreas dan cadangan enzimatik Berkurangnya kontraksi kolon yang efektif tserkurangnya absorpsi kalsium

dan mengambil informasi dari memori Kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang baru saia teriadi

APAKAH PROSES MENUA DAPAT DIPERLAMBAT? Pertanyaan ini masih menjadi tantangan bagi para peneliti di bidang gerontologi dasar untuk dijawab, dan penelitian mengenai hal ini telah banyak dilakukan. Bila merujukpada

berbagai teori mengenai proses menua yang telah disebutkan di atas, maka memperlambat atau bahkan mencegah proses penuaan nampaknya bukan hal yang tidak mungkin. Beberapa penelitian telah menunjukkan hasil yang menjanjikan, walaupun sampai saat ini belum didapatkan hasil yang konklusif terutama bila diterapkan pada mamaliadanpimata, juga pada manusia. Berikut ini beberapa konsep dan penelitian yang telah dilakukan untuk mencoba menjawab pertanyaan

di atas.

Penglihatan Terganggunya adaptasi gelap Pengeruhan pada lensa Ketidakmampuan untuk fokus pada benda-benda jarak dekat (presbiopia) Berkurangnya sensitivitas terhadap kontras Berkurangnya lakrimasi

Penghidu Deteksi penghidu berkurang 50% Haus Berkurangnya rasa haus Terganggunya kontrol haus oleh endorfin

Keseimbangan Meningkatnya respons ambang vestibuler Berkurangnya jumlah sel rambut pada organ Corti Pendengaran Hilangnya nada berfrekuensi tinggi secara bilateral Defisit pada proses sentral Kesulitan untuk membedakan sumber bunyi Terganggunya kemampuan membedakan target dari noise

Jaringan Adiposa Meningkatnya aktivitas aromatase Peningkatan kemungkinan lipolisis

Sistem lmun Berkurangnya imunitas yang dimediasi sel Rendahnya afi nitas produksi antibodi Meningkatnya autoantibodi Banyaknya nonresponder terhadap vaksinasi Berkurangnya hipersensitivitas tipe lambat Terganggunya fungsi makrofag Atrofi timus dan hilangnya hormon timus Meningkatnya lL-6 dalam sirkulasi Berkurangnya produksi sel B oleh sumsum tulang

Fungsi Kognitif Kemampuan meningkatkan fungsi intelektual berkurang Berkurangnya efisiensi transmisi saraf di otak, menyebabkan proses informasi melambat dan banyak informasi hilang selama transmisi

RESTRIKSIKALORI Sudah sekitar 70 tahun yang lalu, McKay menunjukkan bahwa restriksi kalori yang dilakukan seumur hidup pada

hewan tikus (roden) dapat secara bermakna memperpanjang usia sampai dengan 40% dibandingkan

pada hewan tikus yang diberi akses bebas terhadap

makanan dan minuman. Efek restriksi kalori ini menyebabkan kadar glukosa dan insulin menurun, sedikit

peningkatan pada kadar serum glukokortikoid bebas, menurunnya suhu tubuh basal sebesar 0,5-loC, dan meningkatnya proteksi sel terhadap kerusakan yang disebabkan radikal bebas. Efek-efek inilah yang dipercaya

dapat memperlambat proses penuaan, dan nampaknya sesuai bila dihubungkan dengan teori mengenai proses menua. Restriksi kalori juga terbukti dapat mengurangi produksi ROS di mitokondria otak dan ginjal, dan menurunkan berbagai petanda-petanda (markers) shes oksidatif. Saat ini ada 3 penelitian besar yang sedang berlangsung dengan menggunakan hewan monyet dan tupai, untuk mengetahui efek restriksi kalori tersebut pada hewan selain tikus. Hasil definitif mungkin masih akan lama didapatkan, karena sebagian besar hewan tersebut akan

hidup lebih dari 30 tahun, namun beberapa hasil pendahuluan seperti perubahan pada otot, sistem imun, dan fungsi kognitif mungkin akan didapatkan tidak lama lagi.

Saat

ini isu mengenai restriksi kalori dalam

hubungarurya dengan upaya memperpanjang usia pada

763

PROSES MENUA DAN IMPLIKASI KLINIKNYA

manusia masih menjadi perdebatan, mulai dari mendefinisikan restriksi kalori dan menerapkannya ke

tidak berbeda. Tikus mutan yang rendah jumlah reseptor IGF-lnya

manusia dalam konteks fisiologi dan evolusi.

menunjukkan konsumsi makanan dan energt expenditure yang lebih rendah dibandingkan tikus kontrol. Tikus mutan juga lebih tahan terhadap stres oksidatifakibat pemberian bahan oksidan (radikal bebas), sehingga kerusakan pada DNA, protein, dan lipid lebih rendah dibandingkan tikus kontrol. Hal-hal ini nampaknya juga sesuai dengan teori penuaan yang telah diuraikan di atas. Strategi pencegahan penuaan secara ilmiah dan rasional bertujuan untuk memperlambat penuaan, mencegah dan memperlambat penurunan fisiologis, dan mengembalikan kemampuan fungsional y ang hilang. Seyogianya upaya-upaya tersebut mengacu pada buktibukti ilmiah yang didapat dari berbagai penelitian dasar mengenai proses menua. Namun penelitian-penelitian

Pemanjangan Telomer Setiap sel mempunyai kemampuan untuk membelah diri untuk mempertahankan fungsinya dan memperlambat

kematian. Kemampuan untuk membelah diri ini terjadi sampai sel-sel tersebut cukup padat untuk saling bertemu satu sama lain, untuk kemudian berhenti untuk membelah diri, suatu fenomena yang disebut 'contact inhibition'. Bila sel-sel yang sudah berhenti membelah diri ini kemudian 'diencerkan' (diluted), maka sel kembali akan membelah diri. Hal ini dapat diulang sampai kira-kira 50 kali, saat selsel sudah kehilangan kemampuan untuk membelah diri kembali. Sel-sel yang sudah tidak membelah ini kemudian akan membesar, bertahan beberapa lama, unfuk kemudian perlahan-lahan akan mati. Terbatasnya sel-sel untuk membelah diri setelah 50 kali

dikenal dengan fenomena Hayflick ata.o 'Hayflick limit'. Fenomena Hayflick ini ternyata berhubungan dengan panjang telomer -suatu sekuensi DNA pada ujung setiap kromosom manusia. Setiap kali sel membelah, maka telomer ini akan semakin pendek, sampai suatu saat telomer tidak dapat memendek lagi (yaitu setelah sel membelah 50 kali). Walaupun belum dapat dibuktikan, nampaknya dengan memodifikasi panjang telomer melalui enzim telomerase,

maka proses penuaan khususnya kematian sel dapat diperlambat. Dengan membuat telomer menjadi lebih panjang, kemampuan sel untuk membelah diri tidak lagi dibatasi oleh fenomena Hayflick.

Pengaruh Aksis GH/lGF-1

Berbagai penelitian pada tikus dan cacing (Caenorhabditis elegans) menunjukkan bahwa keadaan panhipopituarisme dengan defisiensi jelas pada hormon

tirotropin, prolaktin, dan growth hormone (GH) akan memperpanjang usia pada hewan-hewan tersebut dibandingkan kontrol. Dibuktikan juga bahwa insulinlike growthfactor-l (IGF-l) yang rendah di sirkulasi juga mempengaruhi usia pada cacing. Satu penelitian kohort pada tikus yang telah dilakukan mutasi sehingga terjadi pengurangan jumlah reseptor IGF-1 sebanyak 500/o, menunjukkan usia yang lebih panjang 33o/o pada tikus betina (bermakna secara statistik) dan l6oh pada tikus jantan (tidak bermakna) dibandingkan dengan tikus kontrol. Pemeriksaan kimia darah yang dilakukan secara berkala menunjukkan bahwa tikus mutan sama sehatnya dengan tikus kontrol, dan hasil pemeriksaan nekropsi menunjukkan patologi yang terjadi juga sama pada kedua kelompok. Walaupun ada penelitian lain

yang menunjukkan bahwa semakin panjang usia berhubungan dengan rendahnya fertilitas, penelitian ini mendapatkan bahwa tingkat fertilitas kedua kelompok

dengan hasil yang memuaskan belum ada, khususnya pada

manusia, maka kemudian muncul upaya-upaya yang bersifat coba-coba. Upaya yang dilakukan antaralain dengan suplementasi hormonal seperti growth hormone, d ehy dr o ep i andr o s t er o ne (DHEA), melatonin, dan estrogen, serta suplemen nutrisi dengan antioksidan sintetik maupun natural yang berasal dari tumbuh-tumbuhan atau binatang. Beberapa pendekatan di atas menunjukkan manfaat klinis pada pengobatan berbagai penyakit pada usia lanjut, namun tidak ada yang benar-berar dapat

mengubah proses penuaan tersebut. Klaim yang menyatakan bahwa asupan vitamin dosis tinggi dan berbagai antioksidan mempunyai efek anti-penuaan dan memperpanjang hidup ternyata masih belum didukung

buktiilmiah.

IMPLIKASI KLINIK PROSES MENUA

Mengelola orang berusia lanjut berbeda dengan mengelola orang muda untuk beberapa alasan, antara lain karena adanya perubahan-perubahan yang terjadi di dalam proses menua. Perbedaan yangjelas antara proses

menua normal dan perubahan-perubahan yang bersifat patologis sebenarnya penting dipahami dalam mengelola

dan mengasuh orang usia lanjut. Dengan demikian diharapkan dapat dicegah patologi yang menyertai usia lanjut yang sebenarnya dapat diobati, dan dapat pula dihindari pengobatan masalah kesehatan yang sebenarnya merupakan bagian dari proses menua normal akan tetapi dianggap sebagai suatu penyakit. Setiap individu tidak menua secara seragam, baik cara

maupun laju kecepatannya. Belakangan ini perhatian ditujukan pada adanya variasi dalam proses menua, dengan perhatian besar ditujukan pada mereka yang mengalami proses menua dengan sukses, yakni hanya mengalami penurunan minimal pada status frrngsionalnya. Banyak perubahan yang dikaitkan dengan proses menua merupakan akibat dari kehilangan yang bersifat

764

GERIATRI

bertahap (gradual /oss). Berdasarkan perbandingan yang diamati secara potong lintang antar kelompok usia yang berbeda, sebagian besar organ tampaknya mengalami kehilangan fungsi sekitar I persen per tahun, dimulai pada

Di sisi lain, sebagian besar orang usia lanjutjuga telah mengembangkan mekanisme untuk mengatasi berbagai

usia sekitar 30 tahun. Namun demikian, data lain menyatakan perubahanpada orang usia lanjut yang diikuti secara longitudinal kurang dramatis dan baru mulai pada

khususnya para dokter adalah meningkatkan kemampuan copying tersebut dengan mengidentifikasi dan mengobati masalah yangdapat diobati, dan memfasilitasi perubahan

usia 70-an.

lingkungan untuk memaksimalkan fungsi dalam

Hilangnya fungsi organ tidak bermakna sampai melampaui tingkat tertentu. Jadi kine{a firngsional sebuah organ pada orang berusia lanjut tergantungpada2 faktor

penting yakni: laju penurunan dan tingkat kinerja yang dibutuhkan. Tidaklah mengherankan bahwa sebagian besar orang usia lanjut akan memiliki hasil laboratorium dengan nilai normal. Perbedaan penting, yang merupakan kekhususan proses menua, bukan terletak pada level kine{ a saat istirahat, akan tetapi pada bagaimana organ atau organisme beradaptasi terhadap stres eksternal. Sebagai contoh, orang usia lanjut mungkin memiliki kadar gula darah puasa normal, tetapi tidak dapat mempertahankan kadar gula darah dalam nilai normal dengan pembebanan glukosa. Contoh lain, seorang usia lanjut mungkin memiliki denyut nadi dan curah jantung yang normal saat istirahat, tetapi tidak dapat mencapai peningkatan yang adekuat pada saat latihan jasmani.

Kadang perubahan-perubahan pada proses menua berlangsung bersamaan sehingga menghasilkan nilai normal unhrk beberapa parameter lain. Sebagai contoh,

walaupun filtrasi glomerulus dan aliran darah ginjal: menurun sejalan dengan usia, banyak orang usia lanjut memiliki kadar kreatinin serum normal karena pada saat yang bersamaan massa otot bebas lemak dan produksi kreatinin juga mengalami penurunan. Oleh karena itu, kreatinin serum bukan indikator yang baik untuk fungsi ginjal orang usia lanjut. Dalam pemberian obat-obatan pada orang usia lanjut, bukan kreatinin semm yang digunakan untuk menentukan dosis obat melainkan klirens kreatinin yang dapat diestimasi berdasarkan nilai kreatinin serum.

Salah satu formula yang cukup terkenal untuk memperkirakan klirens kreatinin adalah rumus Cockcroft dan Gault.

Perlu disadari pula adanya variasi individu dalam menetapkan kinerja seorang pasien yang ditentukan oleh kine{a pasien tersebut sebelumnya. Seorang pelari berusia

keterbatasan dan terus mampu melaksanakan aktivitas

hidupnya dengan baik. Peran petugas kesehatan,

menghadapi masalah yang menetap.

Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh para

dokter adalah sulitnya memperoleh riwayat penyakit dengan baik. Hal ini disebabkan karena pasien seringkali sudah beradaptasi dengan masalah atau penyakit yang

dialami. Pada kondisi tersebut, pasien umumnya beradaptasi dengan penyakitnya melalui mekanisme pengabaian, penyangkalan atau adaptif terhadap masalah atau penyakitnya tersebut. Sebagai contoh, seseorang

yang mengalami gangguan pendengaran justru akan

banyak bicara untuk menyembunyikan defisit pendengarannya. Salah satu cara untuk mencegah tidak terdeteksinya gangguan firngsi kognitif pada pasien, direkomendasikan evaluasi yang seksama menggunakan pengkajian paripuma geriatri yang memasukkan penapisan formal terhadap frrngsi kognitif dan mental. Proses menua juga ditandai oleh berkurangnya respons

terhadap stres termasuk stres terhadap penyakit. Intensitas gejala mungkin tertutup oleh menurunnya respons tubuh pada orang berusia lanjut. Tanggung jawab dokter adalah menatalaksana pasien,

mengobati penyakit atau masalah yang dapat diobati. Setelah memperbaiki kemampuan pasien secara fisiologi dan psikologi semaksimal mungkin, tugas selanjutnya adalah mengelola lingkungan yang memfasilitasi fungsi pasien dengan ototnomi yang maksimal. Tugas yang terakhir ini tidaklah semata-mata merupakan tanggung jawab dokter, tetapi juga berbagai profesi kesehatan yang lain.

Lingkungan dapat menyebabkan teg'adinya disfungsi, menyebabkan terjadinya jatuh dan mengakibatkan pula dekompensasi. Sebagai contoh, seorang pasien dengan sesak napas pada saat aktivitas, dapat tetap beraktivitas bila tinggal di lantai bawah, tetapi menjadi tidak berfungsi bila tinggal di lantai atas atau harus naik turun tangga.

Pasien juga bisa mengalami imobilisasi akibat

75 tahun mungkin memiliki fungsi kardiovaskular yang lebihbaik dibandingkan dengan seorang dokteryang lebih muda tapi tidak pernah berolah raga.

ketidakpahaman keluarga atau pengasuhnya. Pada banyak

Proses menua juga bukan semata serangkaian

mengalami imobilisasi karena keluarga atau pengasuh

perubahan biologis. ProSes menua merupakan sebuah waktu untuk berbagai kehilangan, kehilangan peran sosial akibat pensiun, kehilangan mata pencahariaan, kehilangan teman dan keluarga. Proses menua, juga sebuah wakfu dengan banyak ketakutan atau kecemasan; cemas akan keamanan pribadi, cemas akan tidak adanya jaminan finansial, dan cemas akan ketergantungan.

khawatir pasien mengalami jatuh atau celaka. Tugas dokter atau petugas kesehatan adalah melatih dan meyakinkan keluarga atau pengasuh untuk mengelola pasien dengan benar, dengan tidak membatasi pasien beraktivitas, akan

keluarga atau pengasuh cukup sering terjadi pasien

tetapi juga tetap menjaga agar pasien tidak mengalami kondisi yang membahayakan. Karena diagnosis yang diperoleh seringkali tidak dapat

765

PROSES MENUA DAN IMPLIKASI KLINIKIiTYA

menceritakan masalah pasien secara utuh, diperlukan pula penetapan masalah kesehatan yang muncul pada pasien. Beberapa masalah kesehatan yang sering muncul pada

MENUAYANG SUKSES DAN SEHAT (SUCCESSFUT

pasien geriatri adalah: imobilisasi, instabilitas, inkontinensia, gangguan intelektual, infeksi, gangguan

Konsep menua sukses (successful aging) sebenarnya masih dalam perkembangan dan pencarian jati diri.

pendengaran dan penglihatan, isolasi, inanisi (malnutrisi),

Walaupun menua sukses/sehat diyakini dapat dicapai,

iatrogenesis, insomnia, defisiensi imun, dan impotensi. Masalah-masalah tersebut penting untuk diketahui karena beberapa alasan. Pada usia lanjut, timbulnya masalah mungkin bukan merupakan suatu tanda etiologi, namun masalah dapat timbul karena beberapa sebab. Sebagai contoh, seseorang menderita imobilisasi dapat disebabkan fraktur panggul, angina berat, atau karena artritis. Namun pasien juga dapat menderita imobilisasi karena adanya rasa takut. Seorang usia lanjut yang telah diobati fraktur panggulnya mungkin tidak berkeinginan untuk dapat berjalan kembali karena takut jatuh kembali yang dapat menimbulkan fraktur lainnya. Dokter dan tenaga kesehatan

namun definisi dan faktor-faktor yang berperan di dalamnya belum sepenuhnya disepakati. Penelitian-

harus mendapatkan informasi riwayat penyakit yang cukup

sukses. Walaupun sering diidentikkan dengan menua yang sehat, konsep menua sukses temyata tidak hanya

AGTNG)

penelitian besar yang mencoba mengikuti perjalanan hidup sekelompok manusia menuju usia tua mendapati bahwa sulit sekali menentukan faktor-faktor yang dapat dijadikan

indikator suksesnya suatu proses menua. Belum lagi perbedaan sudut pandang mengenai indikator-indikator tersebut antara peneliti dan para usia lanjut yang menjadi subyek penelitian. Walaupun demikian, secara umum dapat disimpulkan sementara bahwa seluruh segi kehidupan seharusnya dipertimbangkan ketika membicarakan konsep menua

untuk memahami etiologi dari masalah yang timbul jika akan melakukan tata laksana dengan tepat untuk menyembuhkan masalah y ang ada.

Faktor lain yar,g menyebabkan

timbulnya

ketergantungan adalah biaya. Seringkali lebih mudah dan lebih murah melakukan suatu hal untuk seseorang dengan keterbatasan fungsional daripada melakukan sesuatu yang diperlukan untuk memotivasi mereka untuk melakukannya untuk diri sendiri. Namun, sayangnya hal tersebut hanya akan berlangsung dalam jangka waktu pendek, karena tingkat ketergantungan mereka akan semakin tinggi dan memerlukan perawatan yang lebih besar. Diantara masalah pada pasien geriatri yang penting untuk diperhatikan adalah iahogenesis. Dalam beberapa kasus, terdapat beberapa risiko sebagai konsekwensi dari perawatan yang dapat memperburuk kesehatan pasien.

'Perhitungan

keuntungan sebagai salah satu dasar melakukan tata laksana terhadap kondisi pasien harus dilakukan dengan hati-hati pada pasien usia lanjut. Risiko biasanya terdapat pada pemberian obat-obatan sebagai akibat dari tata laksana yang mungkin sebenarnya tidak terlalu diperlukan. Petugas kesehatan yang tiba-tiba menambahkan obat kepada pasien geriatri dengan polifarmasi sebenarnya berhadapan dengan set kimia hidup. Penurunan laju metabolisme obat dan ekskresi pada usia lanjut akan memperburuk masalah interaksi obat. Hal yang lebih bahaya adalah ketidakhati-hatian, penetapan

label klinis yang tergesa-gesa. Pasien yang menjadi disorientasi dan kebingungan di rumah sakit mungkin bukan disebabkan karena menderita defnensia. Seseorang yang mengalami masalah berkemih belum tentu menderita inkontinensia urin. Menetapkan pasien menderita demensia atau inkontinensia urin mungkin terlalu dini sebagai alasan menempatkan mereka di nursing homes. Petugas kesehatan harus lebih hati-hati dalam mengevaluasi dan menetapkan diagnosis pada pasien usia lanjut.

-

terpaku pada kesehatan (baik fisik maupun mental) saja, namun juga faktor intelektual, emosional, sosial, dan kultural juga penting dan terbukti berpengaruh pada terciptanya menua yang sukses. Dari segi kesehatan fisik pun, ternyata didapatkan bahwa bukan penyakit (disease)

yang paling berperan tetapi lebih pada bebas dari keterbatasan (hendaya, dis abilitas)fisik. Suatu penelitian besar, MacArthur Longitudinal Study on Successful Aging,menyimpulkan bahwa menua yang sukses terdiri dari 3 komponen, yaitu: (1) rendahnya risiko untuk mengalami sakit dan disabilitas akibat penyakit,

(2) kapasitas kognitif dan fisik yang tinggi, dan (3) kehidupan yang selalu aktif, terdiri atas hubungan interpersonal yang baik serta aktivitas yang produktif. Walaupun terdapat beberapa perbedaan pada definisi dan operasionalisasi, penelitian-penelitian lain umunmya secara konsisten mendapatkan bahwa komponen kesehatan fisik yang baik, yang disertai dengan kemandirian (bebas dari disabilitas), fungsi kognitif yang teqaga, hubungan sosial yang terbina dengan baik, serta kehidupan spiritual yang kuat merupakan indikator-indikator menua sukses yang

penting.

BAGAIMANA MENCAPAI MENUA YANG SU KSES? Atas dasar temuan-temuan ilmiah yang secara khusus dirancang untuk mengidentifikaSi faktor-faktor apa saja yang berperan pada terwujudnya menua yang sukses, berikut adalah langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mencapainya: l. Upayakan fisik dan mental selalu sehat Lakukan

latihan-latihar' atau kegiatan fisik yang teratur.

Walaupun dianjurkan dilakukan sejakusia muda, latihan fisik teratur yang dilakukan setelah usia tua pun tetap

766

GERI'TIRI

memberikan banyak manfaat. Dalam melakukan latihan fisik seyogyanya disertai dengan kontak yang erat dan

yang mendera seorang tua. Tetapi jangan berkecil hati,

karena berbagai masalah yang selama ini dihadapi tersebut merupakan pelajaran berharga agar dapat bersikap positif terhadap kehidupan. Seorang yang bersikap positif umumnya lebih mudah menerima berbagai peristiwa apapun yang terjadi, serta dapat

sehat dengan lingkungan/orang-orang disekitar. Dengan bermain dan bercengkrama dengan cucu-cucu,

selain bermanfaat secara fisik, hubungan sosial dan kondisi mentalpun akan tetap terjaga bahkan meningkat sampai pada tahap optimal. Nikmati berbagai aktivitas yang menjaga ketajaman pikiran, seperti membaca, menulis, bermain musik, dan terlibat dalam pembicaraan atau diskusi yang santai atau serius. Jangan dilupakan tidur yang cukup sangat dibutuhkan tubuh untuk tetap sehat secara fisik maupun psikis. Upayahan nutrisi yang baik. Walaupun status nutrisi yang buruk lebih mudah didapatkan pada mereka yang berusia lanjut, namun bukan hal tidak mungkin mereka mampu mendapatkan nutrisi yang cukup dan seimbang untuk mempertahan kesehatan dan kebugaran fisik.

mengendalikan emosi pada keadaan apapun. Bersikap positif diyakini akan memberikan manfaat yang lebih dalam kehidupan seorang usia lanjut yang berkualitas.

7.

Tingkatkan vitalitas spiritual. Kehidupan spiritual yang baik, di masyarakat dan kultur kita, telah diyakini

dapat memberikan makna lebih dalam menjalani kehidupan, terutama bagi mereka yang menuju usia senja. Hal yang sama pun juga te{adi di negaraBarat yang selamaini terkesan cenderung memisahkan agama dari kehidupan. Larry Dossey, seorang peneliti, dokter,

dan penulis buku terkemuka, setelah mengamati

Pemenuhan kebutuhan nutrisi tidak semata-mata terbatas pada jenis dan jumlah makanan, tetapi yang tidak kalah penting adalah aktivitas makan yang tentu

berbagai studi menyimpulkan bahwa: "Terdapat paling tidak 250 studi yang menunjukkan bahwa mereka yang taat menjalankan ajaran agarnanya lebih sehat selama

melibatkan hubungan sosial dan rekresi yang

kehidupannya dibanding yang tidak. Mereka lebih jarang ke dokter. Mereka lebih sedikit membelanjakan uang untuk biaya kesehatan. Dan mereka lebih jarang sakit."

manfaatnya juga akan sangat dirasakan.

Perhatikan keinginan hati (heart's desire). Dalam menjalani hidup, seyogyanya keinginan yang berasal dari lubuk hati yang paling dalam harus diperhatikan; tidak memaksakan kehendak dan j angan biarkan apapun

menganggu keinginan hati. Manusia yang diketahui berumur paling panjang, Ms. Jeanne Calment yang meninggal pasa usia 122 tahwpada 1997 , mempunyai motto: "If you can\ do anything about it, just accept

il." Tingkatkan kesejahteraan material. Walaupun kekayaan dan kesejahteraan material bukan merupakan

hal paling penting dalam kehidupan, kemampuan pemenuhan kebutuhan material baik untuk diri maupun

keluarga berdampak pada tingkat kesehatan fisik, mental, maupun sosial. Bagi seorang yang akan memasuki usia pensiun, adalah sangat tepat dan bermanfaat bila dapat merencanakan masa-masa pensiunnya tanpa harus kekurangan materi. Hubungan sosial yang sehat. Sahabat-sahabat sejati

serta anggota keluarga yang mendukung tentu merupakan obat yang mujarab, terutama pada masa akhir-akhir kehidupan. Dengan membina hubungan yang positif dengan berbagai pihak, kita akan semakin sehat, semakin panjang umur, dan makin menikmati hidup. Di kultur masyarakat kita, sebenarnya peran sosial orang tua sudah sangat jelas. Sebagai seorang yang dituakan, umumnya seorang berusia tua selalu diminta nasehat dan pemikiran-pemikirannya dalam berbagai masalah. Perasaan telah memberikan manfaat bagi orang lain temyata sangat membantu baik dari segi mental maupun kesehatan fisik. Sikap yang positif. Dalam perjalanan hidup menjadi tua, tentu banyak tantangan dan kehilangan yang terjadi

PENUTUP Proses menua hingga saat ini masih merupakan misteri yang belum banyak terj awab. Perubahan-perubahan

fisiologis yang terjadi pada proses menua, yang erat kaitannya dengan berkurangnya cadangan fisiologis seiring bertambahnya usia, sangat mempengaruhi seorang usia lanjut dalam mempertahankan kondisi homeostasis.

Perubahan-perubahan yang terjadi serta kemampuan mempertahankan homeostasis ini terjadi secara individual,

walaupun terjadi pada seluruh individu yang menua. Konsep mengenai memperlambat proses menua dan memperpanjang usia serta penelitian-penelitian di bidang

itu masih merupakan kontroversi, terlebih lagi untuk penerapannya di manusia. Masih banyak hal yang belum te{awab dan membutuhkanpenelitian lanjutan, yang tentu membutuhkan waktu, dana, dan sumber daya lain yang

tidak sedikit. Pemahaman mengenai proses menua serta perubahanperubahan yang terjadi akan sangat mempengaruhi cara pandang kita bila menghadapi seorang usia lanjut yang sakit, dan pada akhirnya mempengaruhi penatalaksanaannya. Implikasi klinis akibat proses menua yang tef adi harus diwaspadai, baik oleh dokter dan tenaga kesehatan, maupun oleh keluarga dan care giver yang merawat pasien usia lanjut sehari-hari. Sehingga diharapkan seorang usia lanjut tidak mengalami pengabaian masalah kesehatan yang dialaminya,

sementara

di lain pihak tidak terjadi diagnosis

dan

pengobatan yang berlebihan (overdiagnosis dan

PROSES MENUA DAI\I IMPLIKASI

767

KLINIKI{YA

overtreatment) terhadap hal-hal yang fisiologis akibat proses menua.

6.

Akhirnya, menjadi tua (menua) dengan sukses dan sehat bukanlah suatu angan-angan lagi. Menjadi tua

7.

tidaklah identik dengan banyak penyakit

8.

dan

ketidakberdayaan. Banyak hal yang dapat dilakukan sejak

usia muda, bahkan setelah usia tua pun, yang dapat

menuntun kita untuk menjadi tua dengan sukses. Kesehatan fisik dan tidak adanya disabilitas, bersama-sama

dengan kesehatan mental, hubungan sosial, dan kehidupan spiritual yang baik merupakan indikatorindikator utama keberhasilan proses menua yang sukses.

M. The GH/IGF-I axis and longevity. Eur J Endocrinology. 2004 ;1 5 1 :523 -27 . Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB, Resnick B. Clinical implications of the aging process. Dalam: Essential of Clinical Geritrics. 6'h Edition. USA: McGraw-Hill Companies, 2009. Mobbs C. Molecular and biologic factors in aging. In: Cassel AK, Leipzig RM, et al. Geriatric Medicine: An Evidence-Based Approach. Fourth edition. New York: Springer-Verlag New York, Holzenberger

Inc. 2003. p. 15-25.

9.

Martell RE, Cohen HJ. The science of neoplasia and its relationship to aging. In: Cassel AK, Leipzig RM, et al. Geriatric

Medicine: An Evidence-Based Approach. Fourth edition. New York: Springer-Verlag New York, Inc. 2003. p.363-73. 10. Miller RA. The biology of aging and longevity. In: Hazard WR, Blass JP, Halter JB, Ouslander JG Tinetti ME. Principles of

Geriatric Medicine and Gerontology. Fifth edition. USA:

REFERENSI

McGraw-Hill Companies, Inc., 2003. p. 3. 1. Rowe JW, Kahn RL. Human aging: usual and successful. Science. 1987;137:.143-9. 12. Rusell RM. The aging process as a modifier of metabolism. Am

1

1. 2. 3.

Alexander P Spence. Biology of human aging. Second Edition. New York: Prentice Hall Inc., 1999. p. l-37. Depp CA, Jeste DV. Definition and predictors of successful aging: a comprehensive review of larger quantitative studies. Am J Geriatr Psychiatry. 2006;14:6-20. Druzhyna NM, Wilson GL, LeDoux SP. Mitochondrial DNA repair 90.

4. 5.

in aging and disease. Mech Ageing Dev. 2008;129:383-

Halliwell B, Gutteridge JMC. Free radicals in biology and medicine. Oxford: University Press, 1999. p. 784-859. Harman D. The aging process: major risk factor for disease and death. Proc Natl Acad Sci USA. 1991;88:5360-3.

J Clin Nutr 2000;72(suppl):529S-32S. 13. Scharlach AE, Robinson B. Curriculum module on the aging process. University of California Barkeley. Diunduh dari http: www.moduleprocessaging. com. diakses pada tanggal ll -3 -2004. 14. Taffett GE. Physiology of aging. Cassel AK, Leipzig RM, et al. Geriatric Medicine: An Evidence-Based Approach. Fourth edition. New York: Springer-Verlag New York, Inc., 2003. p.27' 35. 15. Quick S, Hesseldenz P, Hayhoe C, et al. Aging gracefully: Making the most of your later life adventure. Available from http:/ /www.ca.ukv.edu/fcs/aging Cited at July 10. 2008.

t23 PENGIG"IIAN PARIPURNA PADA PASIEN GERIATRI Czeresna H Soejono

Akibat populasi usia lanjutyang meningkat maka akan

PENDAHULUAN

terjadi transisi epidemiologi, yaitu bergesernya pola Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini sedang terjadi perubahan proporsi kelompok umur penduduk dunia termasuk Indonesia. Perubahan proporsi kelompokkelompok umur di dalam penduduk dapat terjadi antara lain sebagai akibat menurunnya tingkat fertilitas dan

penyakit dari penyakit infeksi dan gangguan gizi merrjadi

penyakit-penyakit degeneratif, diabetes, hipertensi, neoplasma, penyakit jantung koroner. Selain perubahan pola morbiditas, penyebab kematianpun berubah ; pada

Bangsa-Bangsa, Indonesia diperkirakan mengalami

%o dari semua penyebab kematian diakibatkan oleh penyakit infeksi saluran pernapasan, sedangkan penyebab kematian oleh neoplasma dan

peningkatan jumlah warga berusia lanjut yang tertinggi di dunia, yaitu 4l4o/o, hanya dalam waktu 35 tahun (1990 -

penyakit sistem sirkulasi masing-masing adalah 3,0%o dan 7,5 yo. Pada tahun 1995, infeksi saluran pernafasan

tahun 1980, 25

mortalitas (Tabel 1 dan Tabel2). Menurut dataPerserikatan

2025); sedangkan di tahun 2020 diperkirakan jumlah

merupakan 14 Yo dai semua penyebab kematian, sementara neoplasma dan penyakit sistem sirkulasi masing-masing

pendudukusia lanjut akan mencapai25,5 jutajiwa. Menurut Lembaga Demografi Universitas Indonesia, persentase jumlah penduduk berusia lanjut tahun 1985 adalah3,4o/o dari total penduduk, tahun 1990 meningkat menjadi 5,\Yo dan di tahun 2000 mencapaiT ,4o/o.

Persentase Usia lanjut

5,8

0/o

7,4

Yo

adalah6,0Yodar23,0%(dataSKRIl995untukJawa-Bali). Faktor yang turut berperan pada transisi epidemiologi ini adalah keberhasilan mengatasi infeksi dengan penggunaan antibiotika serta majunya sistem penanggulangan dan pencegahan penyakit infeksi di bawah pengarahan WHO. Konsekuensi lain dari peningkatan jumlah warga usia lanjut adalah meningkatnya jumlah pasien geriatri. Pasien geriatri pada hakikatnya adalah warga usia lanjut juga namun karena karakteristiknya maka perlu dibedakan dari mereka yang sekadar berusia lanjut namun sehat. Karakteristik pasien geriatri yang pertama adalah multipatologi, yaitu pada satu pasien terdapat lebih dari satu penyakit yang umumnya penyakit bersifat kronik degeneratif. Kedua adalah menurunnya daya cadangan faali; yang menyebabkan pasien geriatri amat mudah jatuh dalam kondisi gagal pulih (failure to thrive). Ketiga, yaitu berubahnya gejala dan tanda penyakit dari yang klasik. Keempat adalah terganggunya status fungsional pasien geriatri; status fungsional adalah kemampuan seseorang untuk melakukan aktivitas hidup sehari-hari. Keadaan status fungsional ini menggambarkan kemampuan umum

8,O %

Sumber: Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan Rt,2004

Parameter Demografi TFR IMR

'1971

5,6 142

1980 1985 1990 4.7 4,1 3,3 70 112 71

1997 2,6 50

Catatan : TFR = total fertility rate (angka kelahiran total) ; IMR = infant mortality rate (angka kematian bayi / 1000 kelahiran) Sumber: Biro Pusat Statistik, 1 998

768

769

PENGKA.'IAIY PARIPURNA PADA PASIEN GERIITTRI

seseorang dalam memerankan fungsinya sebagai manusta

atau penyesuaian tujuan pengobatan spesifik secara

yang mandiri, sekaligus menggambarkan kondisi kesehatannya secara umum. Kelima adalah kerapnya terdapat gangguan nutrisi , gizikurang atau giziburuk.

berkala sesuai perkembangan yang terjadi.

Jika karena sesuatu sebab pasien mengalami kondisi

akut (seperti pneumonia, infeksi saluran kemih, gagal jantung, keganasan atau strok) maka pasien geriatri juga sering kali muncul dengan gangguan fungsi kognitif, depresi, instabilitas, imobilisasi dan inkontinensia (atau yang lazim disebut sebagai geriatric gianfs). Keadaan akan semakin rumit jika secara psikososial terdapat hendaya seperti neglected atatmiskirr (finansial). Pendekatan yang dilakukan mutlak harus bersifat holistik atau paripurna. Pendekatan paripurna di sini tidak semata-mata dari sisi bio-psiko-sosial namun juga harus senantiasa dari sisi kuratii rehabilitatif, promotif dan preventif. Pendekatan

yang dilakukan untuk menyembuhkan kondisi akutnya tidak akan cukup untuk mengatasi permasalahan yang muncul. Pengkajian status fungsional untuk mengatasi berbagai hendaya menjadi penting karena acap kalijustru hal ini yang menjadi prioritas penyelesaian masalah.

Kegagalan mengatasi hendaya maupun gejala yang muncul (geriatric giants) akanmengakibatkan kegagalan pengobatan secara keseluruhan. Menatalaksana pasien geriatri dengan pendekatan paripurna tersebut memerlukan pendekatan yaqg khusus yang disebut sebagai pendekatan paripurna pasien geriatri (comprehensive geriatric assessment). Selain tujuan yang telah dikemukakan di atas, tujuan lain pendekatan geriatri paripuma adalah mengkaji aset (aset sosial, psikologik maupun biologik) yang ada untuk kemudian ditingkatkan guna memperoleh hasil penatalaksanaan optimal dari segi kuratif (ika masih mungkin), rehabilitatif maupun preventif.

Sifat/jenis pendekatan yang digunakan di sini adalah interdisiplin dan bukan multidisiplin apalagi parudisiplin. Potensi efek buruk yang mungkin timbul jika pengelolaan dilakukan tidak bersifat interdisiplin misalnya interaksi obat, iatrogenesis akibat inkoordinasi serta tujuan pengobatan tak tercapai (tujuan pasien / keluarga dan bukan semata-mata tujuan dokter).

Komponen pendekatan paripurna pasien geriafii meliputi: pendekatan interdisiplin, intensitas perawatan lebih tinggi, rehabilitasi medik langsung merawat tanpa konsul (automatis), psikiatri langsung merawat tanpa konsul (automatis), tempat I ruang rawat bersifat khusus

(terpisah dari ruang rawat umum) sehingga

penatalaksanaan rehabilitasi dan psikiatrik dapat lebih incorporated (menyatu) dan terfokus, terdapat sarana komunikasi intens dari para pakar, terdapat sarana

komunikasi intens antara unsur-unsur yang terkait (penyelia Ilmu Penyakit Dalam, Rehabilitasi Medik, Psikiatri, ahli farmasi, perawat gerontik dan ahli gizi), kewaspadaan akibat bahaya iatrogenesis lebih tinggi, terdapat tim keperawatan gerontik, tindak lanjut / follow up tervs menerus yang diikuti dengan perubahan

Jika pendekatan paripurna pasien geriatri di ruang rawat

khusus ini benar-benar diterapkan maka hasil perawatan pasien geriatri akan lebih baik, lebih efektif. Efektivitas perawatan pasien geriatri di ruang rawat inap akut dapat

dilihat dari: lama rawat memendek, lama imobilisasi memendek, skorADL (activity of daily living) meningkat dengan cepat, tidak timbul dekubitus pada pasien dengan perawatan lebih dari dua minggu, tidak muncul polifarmasi,

tidak muncul efek samping akibat interaksi obat, tidak muncul efekdeconditioning, depresi cepat terdeteksi dan terkelola, demensia cepat terdeteksi dan terkelola; serta biaya perawatan akan berkurang.

PENGERTIAN PENDEKATAN PARIPURNA PASIEN GERTATRT(P3G) Pendekatan paripuma pasien geriatri dimaksudkan sebagai prosedur evaluasi multidimensi di mana berbagai masalah pada pasien geiatri diungkap, diuraikan (described and explained) , semua aset pasien (berbagai sumber dan

kekuatan yang dimiliki pasien) ditemu-kenali, jenis pelayanan yang dibutuhkan diidentifikasi, rencana asuhan

dikembangkan secara terkoordinir, yang semua itu berorientasi kepada kepentingan pasien (dilihat tidak semata-mata dari sudut medik). Pendekatan klinik ini bertujuan agar pasien yang sudah berusia lanjut tersebut dapat mencapai derajat kesehatan optimal serla memiliki kemampuan fungsional tertinggi. Bagi pasien geriatri yang

biasanya mempunyai penyakit kronik dan disertai gangguan status fungsional maka pendekatan ini akan memberikan banyak informasi penting dan lengkap yang

diperlukan untuk memformulasikan rekomendasi penatalaksanaan selanjutnya. Selain hal-hal yang lazim dikaji maka di sini dilakukan pula evaluasi terhadap: 1). Jenis pelayan an apa y arrg dikehendaki pasien pada situasi

tertentu; 2). Hendaya dan kemampuan fungsional yang masih dimiliki pasien; 3). Sumber finansial yang dimiliki; 4). Keberadaan anggota keluarga yang bersedia merawat pasien di rumah; 5). Kondisi mental atau emosional yang bisa mempengaruhi kondisi kesehatan dan status fungsional. Pendekatan klinik yang multidimensi ini amat diperlukan agar masalah-masalah yang ada dapat ditemu-kenali dan dideskripsikan dengan lebih akurat; perencanaan asuhan akan difokuskan tidak saja pada aspek kesehatan namun

juga aspek kesejahteraan (well-being) serta kemampuan fungsional. Pendekatan y anglazimdilakukan pada pasien dewasa muda umumnya bertujuan unhrk menegakkan diagnosis

pasti (atau mendekati pasti) agar pengobatannya lebih

akurat. Secara implisit tujuan penatalaksanaan yalag termaktub di sini adalah menyembuhkan penyakit. Pada

770

GERIAIRI

pengkajian paripurna pasien geriatri, maka tujuan penatalaksanaan dan rencana jangka panjang harus ditelaah terlebih dahulu sebelum berbagai tindakan diagnostik akan dikerjakan. Dengan demikian maka rencana penatalaksanaan pasien (diagnostik, terapeutik

maupun edukasi) bersifat lebih indivual (individually tailoreQ; setiap pasien betul-betul dihargai keunikan maupun perbedaan karakternya. Pendekatan seperti ini akan meningkatkan efisiensi kinerja petugas kesehatan agar tujuan yang diinginkan dapat dicapai dengan lebih efektif. Sejalan dengan mekanisme kerja yang ada pada tim pengelola kesehatan pasien geriatri maka saat ini terdapat berbagai model hubungan kerja di antaraberbagai disiplin ilmu yang terkait. Spektrum model hubungan kerja antar disiplin tersebut disampaikan berikut ini.

SPEKTRUM MODEL HUBUNGAN KERJA ANTAR DrsrPLrN (SATIN 1996)

Model Unidisiplin ini setiap disiplin (ilmu) membuat rencana, bekerja (praktik) dan mendapatkan pengalaman secara Pada model

sendiri-sendiri, tanpa memperhatikan bahwa ada disiplin lain yang juga bisa berkembang bersama. Pada model ini dokter atau tenaga kesehatan yang bekerja bahkan kerap tidak memahami keberadaan disiplin lain yang bisa berperan. Perkembangan profesionalisme terj adi masingmasing di dalam disiplinterkait. Pengembangan individu-

baik dalam hal kompetensi, minat maupun hubungan profesi di luar bidangnya dianggap sebagai sesuatu yang 'aneh' dan tidak profesional.

Model Paradisiplin Di sini, setiap disiplin atau bidang membuat

kepentingan pasien. Mereka bertemu, saling berbagi informasi, merencanakan dan menetapkan siapayang akan ikut berperan / berkontribusi dan jenis ekspertise apayalg bisa diperankan. Namun demikian, setiap bidang ilmu mengembangkan pengalaman masing-masing di bidang masing-masing kecuali unfuk ekspertise yang memang area 'abu-abu' pada saat mereka melakukan koordinasi. Tugas dan tanggung jawab diterapkan pada setiap bidang ilmu dengan batasan yang tegas sesuai disiplin masing-masing. Setiap bidang melaksanakan (mempraktekkan) pekef aan mereka secara independen, sangat berhati-hati untuk tidak

'memasuki wilayah' bidang lain. Pengembangan profesionalisme terjadi di dalam masing-masing bidang.

Model lnterdisiplin ini, perencanaan, pengembangan pengalaman dan pelaksanaan pelayanan dikerjakan dengan penuh pemahaman bahwa terdapat tumpang tindih dalam hal Pada model

kompetensi dan bahwasanya masalah-masalah pasien bisa saling terkait satu sama lain. Setiap bidang mampu mengembangkan diri bersama; mereka bertemu unfuk mengevaluasi masalah yang sedang

dihadapi; membicarakan tujuan spesifik yang harus dicapai serta berbagai intervensi yang harus diambil untuk mencapai tujuan tadi. Pekeq'aan, tugas dan tanggung jawab

diterapkan tidak semata-mata berdasarkan disiplin atau bidang terkait namun juga berdasarkan kompetensi atau kemampuan individu, maupun atas dasar kebutuhan dan situasi masalah yang sedang dihadapi. Peran dan tanggung jawab setiap disiplin tidaklah kaku namun dapat beralih sesuai perkembangan masalah yang ada saat itu. Pada model ini, identitas dan praktik masingmasing bidang tidak terikat pada disiplin terkait, melainkan bisa tumbuh dan berkembang sesuai dengan paparan dengan disiplin lain saat bekerja, juga dengan pengalaman

teflcan:a,

yang didapat serta sejalan dengan perkembangan

praktik dan memperoleh pengalaman secara sendiri-sendiri walau mengetahui bahwa terdapat disiplin lain yang juga bisa turut berperan. Pengakuan keberadaan disiplin lain

kebutuhan profesional yang semakin mendalam; yang lebih penting adalah sesuai pula dengan kemampuan dan ketertarikan untuk mengembangkan profesinya masing-

tidak termasuk kompetensi dan peran profesinya. Berbagai data maupun laporan yang masuk boleh saja dipelajari atau dibaca oleh disiplin lain, namun tidak dirasakan perlunya meminta keikut-sertaan disiplin lain tersebut secara

masmg.

profesional. Model ini lazim terdapat pada fasilitas kesehatan yang multispesialistik dimana pasien bisa saja dirujuk ke berbagai departemen hanya dengan surat rujukan dan catatanmedik.

Model Pandisiplin Sebagian geriatrisien melihat geriatri/gerontologi sebagai sebuah ilmu yang terpisah dari ilmu lain (sebagai satu

kesatuan ilmu tersendiri); dan tidak dilihat sebagai subspesialisasi dari ilmu tertentu. Mereka menganggap ilmu geriatri sebagai ilmu yang meliputi pula kompetensi di bidang sosiologi, pendidikan, advokasi, selain di bidang

intervensi pengobatan dan evaluasinya. Implikasinya

Mode! Multidisiplin Model ini paling sering keliru diinterpretasikan sebagai model interdisiplin. Berbagai disiplin atau bidang ilmu berupaya untuk mengintegrasikan pelayanan demi

adalah seorang geriatrisien menganggap dirinya mempunyai kompetensi primer di semua ranah proses penuaan. Ia menganggap dirinya paling kompeten sebagai konsultan, praktisi maupun pendidik sekaligus.

PENGKA"TIAN PARIPURNA PADA PASIEN GERIATRI

IMPLIKASI KLINIS

771

sama dan keakraban yang lebih kental; hubungan kerja

juga lebih fleksibel. Ketiga, ranah keluasan ilmu dan Dalam pengelolaan pasien geriatri diperlukan kompetensi berbagai disiplin ilmu; hal tersebut karena: kebutuhan jenis pelayanan kesehatan pada populasi usia lanjut beragam di samping karakteristik multipatologi yang melekat pada

mereka. Aspek fisik, emosional, psiko-sosial, kognitif,

hubungan interpersonal dan aspek material saling mempengaruhi pada saat mengelola pasien geriatri. Karena banyak disiplin atau bidang ilmu yang terkait dan juga berbagai jenis sarana kesehatan yang dibutuhkan- maka amatlah beralasan untuk mengerti dan memahami struktur hubungan kerja di antara berbagai pihak tersebut; tidak saja demi kepentingan pasien berusia lanjut, namun juga demi efektivitas kerja dan kepuasan bekerja pelaku layanan kesehatan. Terdapat tiga hal penting yang memberikan ciri pada

berbagai model pendekatan tadi: pertama adalah mengetahui dan memahami adanya disiplin atau bidang ilmu lain yang terkait atau yang ikut berperan, bobot kebersamaan saat membuat perencanaan, dan klasifikasi peran masing-masing. Pada model unidisiplin, keberudaan disiplin lain tidak dipahami dan tidak ada ke{a sama dengan bidang lain. Pada model paradisiplin, disiplin ilmu lain mulai ikut berperan, namun hubungannya baru sekedar berbagi informasi. Pada model multidisiplin, setiap bidang sudah ikut berperan cukup besar dan melakukan perencanaan pengelolaan secara bersama. Perlu diperhatikan bahwa sampai di sini semua disiplin atau bidang terkait melakukan aktivitas mereka berdasarkan batasan ilmu masing-masing (strictly distinct and isolated): secara konseptual dan operasional peran tiap disiplin sudah terpisah-pisah, setiap lenaga kesehatan di bidangnya bekerja dan memperoleh pengalaman secara eksklusif (walaupun tiap bidang bisa saja mengikuti proses pendidikan di disiplin lain atau berkontribusi di sarana kesehatan yang terkait). Oleh

sebab

itu, kompetensi dan identitas disiplin ilmu

berkembang di dalam disiplin masing-masing. Pada model pandisiplin, sama saja dengan yang telah disebut terlebih dahulu; mereka menganggap yang paling

mengetahui perihal pengobatan pada pasien geriatri. Semua ditangani sendiri dan merasa tidak perlu bantuan disiplin atau bidang ilmu lain. Sesungguhnya model inilah yang paling terisolasi. Model interdisiplin paling berbeda,pertama ia sangat menyadari adanya tumpang tindih kompetensi dan kemudian menerapkannya dalam praktek sehari-hari. Di satu sisi menemu-kenali keunikan peran berbagai disiplin dan bahwa keberadaan mereka tidak dapat diabaikan, namun sebenarnya di sisi lain hal ini justru merupakan modal bersama (yang besar) dalam kerangka mengatasi problem pasien geriatri yang memang kompleks. Kedua, dalam praktek sehari-hari ketika menangani pasien maupun dalam proses pendidikan maka di antara masing-masing anggota disiplin ilmu biasanya terjalin kerja

ketrampilan yang dimiliki -dan akan diterapkanmerupakan yang paling komprehensif(: paripurna); terdapat pula rasa saling menghormati, keinginan untuk memikul bersama

beban yang berat serta hasrat untuk saling berbagi pengalaman dan pengetahuan. Keempat, peran yang diemban tidak diterapkan berdasarkan disiplin atau bidang ilmu semata namun lebih ditekankan kepada kompetensi

tenaga yang bersangkutan dan tidak terlepas dari,, karakteristik personal setiap anggota tim, sesuai kebutuhdn saat itu. Kelima, pada model ini akan terlihat bahwa kompetensi dan identitas bidang ilmu dapat berkembang tidak saja didalam disiplinnya sendiri namun dipengaruhi oleh pengalaman profesional, kemampuan pengembangan

ketrampilan diri pribadi dan ketertarikan (interest) unt.tk mengembangkan diri serta adanya kontak denganl pengalaman belajar dari disiplin lain. Dengan kata lain identitas profesi bisa diperkaya. Mengapa diperlukan suatu model yang interdisiplin?

Menangani pasien geriatri memerlukan ketrampilan khusus yang menuntut pemahaman bahwa 1) perjalanan penyakitnya (atau masalah-masalah kesehatannya) lazim bersifat interdependensi dan 2) sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi masalah juga mengandung interdependensi (saling tergantung, saling berpengaruh).

Pengkajian pada pasien geriatri yang dilakukan oleh berbagai disiplin dalam konteks berpikir yang seirama membuat pengelola kesehatan mampu melihat pasien dari semua sudut secara lengkap sehingga penatalaksanaannya bisa lebih efisien dan paripuma.

Dalam pelaksanaannya, pendekatan yang bersifat multidimensi ini tidak selalu membutuhkan begitu banyak lenaga ahli yang bekerja di dalam tim. Satu sampai tiga drang dokter ahli (misalnya seorang dokter ahli rehabilitasi medik, seorang psikiater geriatri, dan seorang internis geriatri) ditambah seorang dokter gigi dapat bertindak selaku anggota tim dokter yangtetap bersama mitra kerja dari berbagai disiplin lain seperti tim rehabilitasi medik, ahli gizi,perawat gerontik dan ahli farmasi klinik. Personil dari bidang lain dapat ikut serta dalam tim tersebut jika memang terdapat masalah kesehatan spesifik. Seorang petugas sosio-medik (social worker) maupun anggota tim rehabilitasi medik yang lain (petugas terapi f,rsik, petugas terapi okupasi, petugas terapi wicara) harus memahami relevansi berbagai masalah medik yang adapada pasien agar upaya-upaya mereka efektif. Seorang psikiater geriatri juga dituntut untuk memahami perjalanan klinik pasien secara lengkap agar sudut telaahnya lengkap dan pengobatan yang diberikan menjadi relevan; demikian pula seorang intemis geriatri harus memandang pasien tidak saja dari sudut medik (fisik-biologik) namun juga perlu memperhatikan aspek psiko-sosialnya agar pendekatannya diperkaya dengan aspek-aspek lain dari kehidupan pasien tersebut. Tujuan penatalaksanaan fraktur femur akan

772

berbeda pada pasien dengan atautanpa demensia berat; seorang internis geriatri yang merawat bersama ahli bedah orthopedi harus memahami hal ini. Demikianpula dengan

GERIAIRI

dari aspek bio-psiko-sosial maka penatalaksanaan pasien

juga ditilik dari semua kurun waktu perjalanan masalah kesehatan. Aspek kuratif yang selama ini menjadi

perawat, ia tidak hanya harus melaksanakan berbagai tindakan keperawatan namun juga harus memahami mengapa pasien yang ia asuh tidak kunjung mampu melaksanakan aktivitas hidup dasar secara mandiri? Seorang dokter gigi tidak sekedar mengobati masalah gigi pasien, namun ia mempunyai perhatian (concern) yang mendalam mengenai relevansinya bagi asupan makanan maupun proses penyembuhan dan pemulihan pasien.

penekanan utama harus diimbangi dengan pemberian perhatian pada aspek rehabilitatif, preventif dan promotif. Ketika dokter merawat pasien geriatri dengan demensia ringan, maka keluarga harus diberi edukasi tentang perjalanan penyakit yang nantinya akan berkembang menjadi demensia sedang dan akhirnya demensia berat. Keluarga pasien harus diberi informasi yang memadai

Dengan perkataan lain, semua pefugas kesehatan yang mempunyai predikat profesi sebagai geriatris (baik itu

berbagai masalah psiko-sosial yang menyertainya. Mereka perlu diperkenalkan kepada konsep pelaku rawat; konsep status fungsional, konsep continuum of care (asuhan berkesinambungan) yang semuanya amat diperlukan dalam

intemis, psikiater, dokter spesialis rehabilitasi medik, dokter gigi, perawat, ahli gizi, tim rehabilitasi medik, ahli farmasi klinik) harus memiliki sudut pandang multidimensi dalam mengelola pasien geriatri. Kemampuan memandang masalah kesehatan pasien secara multidimensi tidak boleh diartikan sebagai pelanggaran terhadap autoritas ekspertise disiplin

yang bukan bidang ilmu utamanya. Dengan kemampuan tersebut maka masing-masing pihak mempunyai bahasa yang sama dalam memandang persoalan pasien sehingga komunikasi bisa lebih baik, penetapan daftar masalah dan penyusunan rencana bisa lebih terkoordinir dan pada gilirannya efisiensi pengelolaan bisa lebih terjamin. Jadi untuk penerapan pendekatan paripurna pada pasien geriatri ini diperlukan suatu pendekatan klinik yang bersifat interdisiplin. Ruang rawat akut yang diperlukan

untuk melakukan berbagai program bagi pasien dan

keluarga harus dikelola dengan prinsip-prinsip interdisiplin. Pada setiap kesempatan maka semua anggota yang terlibat di dalam penanganan pasien harus dapat atau dimungkinkan untuk berkomunikasi tanpa hambatan. Ruang rawatharus dimanfaatkan secara optimal tidak saja oleh yang empunya pasien (biasanya internis) namun juga harus terasa 'dimiliki' oleh disiplin lain. Selain sarana dasar sebuah ruang rawat maka perlu diperhatikan beberapa modifikasi (misah'rya railing atau pegangan untuk berj alan, ketinggian j amban harus disesuaikan, harus tersedia ruang rehabilitasi akut dengan beberapa perlengkapan dasar). Selain sarana, maka perlu pula dipahami perlunya sistem pelayanan yang bersifat lebih intensif. Hal ini amat penting

mengingat daya cadangan faali pasien geriatri telah menurun sehingga tergantung pada asuhan dari luar. Asuhan yang diberikan tidak hanya perlu diperhatikan dari

sisi kualitasnya namun juga kuantitas dan intensitas pemberiannya. Selain hal-hal di atas maka masih terdapat beberapa aspek lain dari P3G ini yang perlu ditilik, seperti yang akan dikemukakan pada butir berikut ini.

NUANSA LAIN P3G Selain sudut pandang multidimensi yang menelaah pasien

bahwa pasien dengan demensia potensial memiliki

mengasuh pasien demensia . Hal-hal tersebut

di

atas

merupakan salah satu contoh tindakan promosi dan prevensi di bidang geriatri. Sebagai contoh lain dapat disampaikan, seorang pasien geriatri yang masuk untuk dirawat di rumah sakit karena pneumonia, maka mutlak diperlukan pengkajian kesehatan gigi dan mulut. Adakah penyakit-penyakit gigi yang bisa merupakan fokus infeksi dan sumber kolonisasi kumar di orofarings? Seperti diketahui kolonisasi kuman orofarings merupakan salah satu faktor risiko penting untuk kejadian pneumonia. Tindakan pengkajian kesehatan gigi dan mulut di atas merupakan pendekatan preventif yang dilakukan dalam rangka mencegah berulangnya pneumonia. Masih contoh unhrk pasien dengan pneumonia, disadari bahwa pada pasien geriatri terdapat berbagai penunrnan faal organ termasuk sistem pemapasan. Pada keadaan ini

terdapat kesulitan pasien untuk mengeluarkan sputum karena kelemahan umum yang mempengaruhi kemampuan

batuk. Pasien perlu mendapat bantuan dari luar berupa vibrasi atau tapping agar dahak dapat diluruhkan; selanjutnya pasien dibantu untuk mengeluarkan dahak dengan latihan posisi maupun latihan batuk. Tindakantindakan semua itu tidak dapat dilakukan jika program rehabilitasi medik tidak diterapkan. Sputum yang tidak efektif dikeluarkan merupakan media yang baik untuk tumbuhnya kuman sehingga masa rawat pasien bisa memanjang. Selain hal di atas, semua tenaga kesehatan yang terlibat

harus memahami bahwa penatalaksanaan pasien merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah. Dalam artian praktikal dapat disampaikan bahwa, pemberian obat (oral atau inj eksi) tidaklah cukup ; modalitas non-farmakolo gik juga harus ditilik perannya. Selanjutnya, program nutrisi dan pemberian cairan yang memadai harus diperhatikan dengan seksama dan dievaluasi berkala. Lebih lanjut lagi,

program asuhan psikologik dan sosial juga perlu dikembangkan sejalan dengan program yang disebutkan sebelumnya. Dalam kaitan dengan telaah pasien sebagai manusia yang utuh maka program aktivitas (fisik dan mental) harus pula dikaji dan diprogram sesuai dengan penemuan yatg ada dan perkembangan yang terjadi.

773

PENGKA"IIAN PARIPURNA PADA PASIEN GERIATRI

MANFAAT P3G Selama sekitar satu dekade terakhir ini telah dilakukan berbagai telaah untuk mengkaji manfaat P3G di berbagai

tempat. Bukti manfaat terutama dapat dilihat.pada pengkajian dan penerapan pendekatan paripurna yang dilanjutkan dengan tindak lanjut sesuai pengkajian awal sebelumnya. Keluaran yang diukur pada berbagai penelitian tentang manfaat P3G antara lain: lama rartrat, perubahan status fungsional, perubahan kualitas hidup, biaya perawatan,

sintasan yang lebih baik, perawatan ulang (rehospitalisation) yang makin jarang serta kepuasan pasien dan keluarga. Untuk telaah yang mengukur efektivitas biay a (cos t-effectivenes s) maka patut pula dikaji mengenai return of investmenl dan kepuasan tenaga kesehatan. Kedua hal tersebut terakhir sangat berkaitan

Selain itu, pengkajian paripuma pada pasien geriatri ini akan mampu menjaring berbagai pemeriksaan penunjang yang diprioritaskan. Dalam kurun waktu yang simultan atau singkat maka anggota tim dapat selalu berkomunikasi untuk membicarakan pemeriksaan apa yang diperlukan. Keadaan

ini

akan menghindarkan duplikasi serta mencegah

permintaan pemeriksaan penunjang yang sebenarnya tidak diperlukan atau 'salah minta' karena dilakukan oleh bidang yang kurang kompeten. Perlu dicatat bahwa biaya untuk pemeriksaan penunjang biasanya lebih besar (kalau tak dapat disebut didominasi) oleh pemeriksaan saat pasien baru masuk di rumah sakit. Sej ak tahun I 994 hingga tahun

2003 berbagai penelitian yang mengkaji masalah ini mendapatkan bahwa P3 G leb th cost-effective dibandingkan

dengan kesinambungan program yang diterapkan. Trentini (2001) melakukan penelitian terhadap 79 pasien geriatri yang dikelola dengan pendekatan paripurna yang dibandingkan dengan kelompok kontrol (73 pasien geriatri

dengan pendekatan konvensional. Seperti telah dikemukakan sebelumnya, pengelolaan pasien geriatri amat dititik-beratkan pada aspek kualitas hidup yang dapat dicapai. Tinjauan kualitas hidup menjadi penting karena acap kali tujuan kuratif mungkin tidak sepenuhnya tercapai. Cohen (2002) melakukan uji klinik tersamar ganda pada 1388 pasien di 11 unit perawatan.

yang dikelola dengan pendekatan konvensional).

Keluaran yang dinilai adalah kualitas hidup terkait

Didapatkan bahwa lama rawat kelompok intervensi (20,3 hari) lebih singkat dari kelompok kontrol (32,7 harl) (p < 0,05 ). Elliot ( I 998) melakukan pengamatan terhadap pasien geriatri yang mengalami fraktur femur. Kelompok intervensi

kesehatan serta kesintasan (survival). Penilaian kualitas hidup terkait kesehatan dilakukan dengan menggunakan

dikelola dengan pendekatan interdisiplin sedangkan kelompok kontrol dengan sistem konvensional. Pada pengamatan tersebut didapatkan pula bahwa lama rawat pasien pada kelompok intervensi hanya 20,7 hari sementara kelompok kontrol selama 28 hari (p<0,05). Cohen et al (2002) melakr-rkan penelitian untuk mengkaji efek P3G terhadap status fungsional pasien. Diperoleh hasil dimana tingkat ketergantungan pasien yang dikelola secara paripurna tidak menurun secepat pasien yang dikelola secara konvensional. Hal yang sama juga diperoleh Stuck (199'7), Anirzadeh (2000) dan Trentini (200 l). Seorang pasien geriatri yang sedang mengalami kondisi sakit akut akan menjadi imobil; imobilitas ini mengandung

konsekuensi yang luas. Imobilitas hampir selalu identik dengan tingkat ketergantungan yang berat atau bahkan total. Pada kondisi ini hampir semua kegiatan dan kebutuhan pasien harus dibantu. Dengan membaiknya kondisi klinikpasien maka diharapkan terjadi pula perbaikan status fungsional. Keadaan ini pada pasien geriahi juga berlaku sebaliknya, dimana semakin cepat pasien menuju ke arah tingkat mobilitas lebih tinggi maka hal itu akan memberikan pengaruh positif terhadap perjalanan pasien ke arah pemulihan. Dengan kata lain maka kondisi tersebut akan mempercepat kemampuan pasien untuk transfer dan berbagai kondisi yang menceflninkan kemandirian. Pada gilirannya maka lama perawatan di rumah sakit akan berkurang. Memendeknya masa perawatan dapat dipahami akan mengurangi jumlah biaya yang harus dikeluarkan pasien.

perangkat Medical Outcome Study 36-Item Short-Form General Health Surttey (SF-36). Penilaian dilaksanakan setahun setelah randomisasi. Pada saat pasien pulang diperoleh perbaikan pada empat ranah dari delapan ranah yang dinilai, perbaikan angkaADL dan perbaikan keadaan umum dibandingkan kelompok kontrol. Pada satu tahun setelah randomisasi temyata bahkan terdapat perbaikan skor SF-36 subskor fungsi kognitif. Fungsi kognitif yang membaik turut menentukan kualitas hidup karena terkait dengan perilaku dan perubahan gejala psikologik ; hal ini ditemukan pada pasien dengan demensia. Fetter (2003) menggunakan pendekatan paripurna ini untuk mengelola pasien yang harus menjalani terapi infus di rumah pada program asuhan rumah. Ia mendapati manfaat pendekatan ini terutama dalam hal kemampuannya mencegah kematian

prematur dan terjadinya penyakit-penyakit yang fatal (pneumonia, trombosis vena dalam) sehingga kualitas pasien dankeluargayang merawat di rumahjuga memadai. Pengaruh P3G terhadap kesintasan masih mengandung

kontroversi. Aminzadeh (2000) melakukan telaah pada berbagai laporan penelitian berbahasa Inggris dari tahun 1980 hingga 1999. Khusus untuk keluaran kesintasan diperoleh gambaran bahwa pada penelitian yang dilakukan terhadap pasien usia sangat lanjut dan stadium terminal

serta pasien dengan status fungsional mandiri maka manfaat P3G tidak jelas terlihat; pada kasus-kasus di luar spesifikasi tersebut masih dapat dilihat manfaahrya. Hasil terbaik dapat dilihat pada pasien yang berusia sekitar 75 tahun dan pada pasien dengan hendaya yang reversibel; kondisi seperti ini terdapat p ada l0-25oh dari pasien yang dirawat inap.

774

Sarana pemeliharaan kesehatan usia lanjut yang disediakan oleh pemerintah untuk penduduk sampai di tingkat kelurahan masih kurang memadai. Pasien geriatri yang baru saja pulang dari perawatan masih mengalami kelemahan umum. Fase pemulihan pada kelompok ini memerlukan waktu yang lebih panjang. Karena hal tersebut maka jika pasien sudah berada di rumah maka ia terpajan pada risiko untuk dirawat kembali karena beberapa hal: program rumatan untuk mempertahankan kemandirian tidak

tersedia sehingga pasien lebih mudah berisiko untuk imobilisasi dengan berbagai penyulitnya. Pemantauan

GERIITITI

pengaruh terhadap sebaran penyakit terutama di segmen

populasi berusia lanjut. Transisi epidemiologi yang menyertai tersebut mengakibatkan munculnya berbagai

masalah pada penatalaksanaan pasien geriatri yang memiliki karakteristik khusus. Keadaan tersebut pada gilirannya menyebabkan perlunya sebuah pendekatan

paripurna bagi pasien geriatri. Komponen pada pendekatan paripurna pasien geriatri harus dilaksanakan dengan sistem ke{a yang bersifat interdisiplin. Pendekatan tadi jika dilaksanakan dengan optimal akan memperbaiki

asupan nutrien dan kesinambungan obat juga tidak

tef amin karena terbatasnya keberadaan sarana dan sumber daya

keluaran (outcome) penatalaksanaan pasien geriatri; seyogyanya penatalaksanaan yang paripurna tersebut tidak saja terselenggara di rumah sakit pendidikan, oleh

tenaga kesehatan yang dekat dengan mereka. Pada

tim terpadu geriatri, namun juga oleh berbagai jenis tenaga

gilirannya maka pasien tersebut akan mudah jatuh dalam sindroma dekondisi dan penyulit-penyulitnya sehingga

kesehatan di semua lini pelayanan kesehatan.

terj adi rehospitalisasi. Pada pendekatan yang paripuma maka sejak awal pasien

REFERENSI

dan keluarganya diajak berperan serta melpksanakan

berbagai program yang menunjang tercapainya fase pemulihan yang lebih optimal. Keluarga diajari untuk memahami dan bersedia turut serta dalam program rehabilitasi di rumah misalnya. Dengan kondisi seperti itu maka harnbatan ketidaktersediaan fasilitas rehabilitasi sampai

di tingkat kelurahan seyogyanya mampu disikapi dengan lebih baik. Rainfray (2002) memperlihatkan bahwa pasien

geriati (batrkan yang rapuh sekalipun) yang dikelola dengan pendekatan paripuma bisa dicegah dari kondisi akut yang memerlukan perawatan segera (acute emergency referral) seperti jatuh, instabilitas, kekurangan asupan makanan, dehidrasi. Naylor et al (1999)jugamendapatkanbahwa dari 363 pasien geriatri rawat inap yang diteliti ternyata hanya

6,2o/o dari kelompok intervensi yang m€merlukan rehospitalisai berulang (mulitiple readmission)

dibandingkan dengan 14,5o/o pada kelompok kontrol 1p : 0,01). Waktu menjelang rehospitalisasi lebih lama pada kelompokintervensi dibandingkan kontrol (p < 0,001).

Thorsten (1999) mengevaluasi program P3G yang

diterapkan pada pasien rawat inap untuk melihat manfaatnya dalam menunda rehospitalisasi, biaya langsung (direct cost) dar, kesintasan. Walaupun tidak terdapat perbedaan kesintasan yang bermakna (mortalitas 18,2o/opada kelompok dengan P3G dan mortalitas 17,3%o pada kelompok kontrol, p > 0,05) dan laju rehospitalisasi namun terdapat perbaikan pada parameter lain. Perbaikan

yang nampak adalah: status fungsional, memendeknya lama rawat, serta jumlah yang harus masuk ke panti rawat werdha makin kecil pada kelompok intervensi ; biayalangsung rawat inap juga lebih rendah pada kelompok intervensi.

KESIMPULAN Transisi demografi yang sedang terjadi saat ini membawa

Adelman AM. Managing Chronic Illness.

ft:

Adelman AM, Daly New

MP, eds.20 Common Problems Geriatrics,lst ed.

York:McGraw-Hi11; 200 1.p.3-14. Agostini JV, Inouye SK. Delirium. In: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JF, Ouslander JG, Tinetti ME, eds. Principles of

Geriatric Medicine and Gerontology. New York: McGrawHill;2003.p.1503-5. Aminzadeh F. Adherence to Recommendations of Community-Based Comprehensive Geriatric Assessment Programmes. Age and Age-

ing.2000;29:401-07

.

Apfeldorf WJ, Alexopoulos GS. Late-Life Mood Disorders.

ft:

Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JF, Ouslander JG Tinetti ME, eds. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. New York: McGraw-Hi11,2003 :1443-7 . Betes-Jensen BM. Quality Indicators for Prevention and Management of Pressure ljlcers in Vulnerable Elders. Ann Intem Med 2001;,135:7 44-51.

Brummel-Smith K. Assessment in Rehabilitation. In: Osterweil D, Brummel-Smith K, Beck JC, eds. Comprehensive Geriatric Assessment. New York: McGraw-Hill; 2000.p.154-5. Butler RN et al. Uinary Incontinence: Keys to Diagnosis of The Older Woman. Geriatrics October 1999;54(10):22-6. Cohen HJ, Feussner JR, Weinberger M, et al. A Controlled Trial of

Inpatient and Outpatient Geriatric Evaluation and Management.

N Engl J Med,2002;346(12):905-91

1.

Damping CE. Depresi pada Geriatri: Apa Kekhususannya? Dalam: Prosiding Temu Ilmiah Geriatri 2003. Iakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian I.Penyakit Dalam FKUI; 2003.p.107-11. Elliot JR, Wilkinson TJ, Hanger HC, Gilchrist NL, Sainsbury R, Shamy S, Rothwell A. The Added Effectiveness of Early Geriatrician Involvement on Acute Orthopaedic Wards to Orthogeriatric Rehabilitation. N Z Med J. 1996 Mar 8 ; 109

(t0r7) :72-73

Elon R, Phillips C, Loome JF, Denman S, Woods A. General Issues and Comprehensive Approach to Assessment of Elders. 1z: Osterweil D,Brummel-Smith K, Beck JC,eds. Comprehensive Geriatric Assessment. New York:McGraw-Hill;2000.p.1-17. Fetter MS. Geriatric Assessment and Management Protocols: Issues

for Home Infusion Therapy Providers. J Infus Nurs. May-June; 26 (3) : 153-160. Fitzpatrick R, Davey C. Assessing Quality of Life.

2003

In: Evans LG,

775

PENGI(A"IIAII PARIPURNA PADA PASIEN GERIATRI

Williams TF, Beattie BL, Michel J-P, Wilcock GK, eds. Oxford Textbook of Geriatric Medicine. New York:Oxford University Press;2000.p.

1

147

ciples of Geriatric Medicine and Gerontology. New York:

-52.

Geriatric Interdisciplinary Team Training Implementation l\{anual 2001. Model Approaches to GITT. Chapter 6. New York :John A Hartford Foundation;2001.p.1 -12. Kalache A, Keller I. Population Ageing in Developing Countries: Demographic Aspects. In: Evans LG, Williams TF, Beattie BL, Michel J-P, Wilcock GK, eds. Oxford Textbook of Geriatric Medicine. New York:Oxford University Press;2000.p.26-32. Kenny RA. Falls and Syncope. In: Evans JG Williams TF, Beattie BL, Michel J-P, Wilcock GK, eds. Oxford Textbook of Geriatric Medicine. Oxford: Oxford University Press; 2000.p. 111-4. King MB. Falls. 1n: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JF, Ouslander JG Tinetti ME, eds. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. New York: McGraw-Hi11;2003.p. 1517-20. Kossovsky MP, Sarasin FP, Chopard P, et al. Relationship Between Hospital Lengthf of Stay And Quality of Care in Patients with Congestive Heart Failure. Qual Saf Health Care 2002;ll:219223.

Luk JK, Or KH, Woo J Using the Comprehensive Geriatric Assessment Technique to assess Elderly Patients. Hong Kong Med J. 2000 Mar; 6 (1) : 93-98. Makmun LH, Soejono CZH, Setiati S, Sari NK, Govinda A. Laporan Tahunan Divisi Geriatri Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUPN CM / FKUI Tahun 2000. Jakarta: tidak diterbitkan. Nasrun MWS. Diagnosis dan Tatalaksana Demensia Alzheimer dalam Praktik. Dalam: Prosiding Temu Ilmiah Geria.;.i 2002. Jakafia: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian I.Penyakit Dalam FKUI;

2002.p. 5l-6. National Institutes of Health Consensus Development Conference Statement. Geriatric Assessment Methods for Clinical Decision Making. 1998. New York: NIH: 1-7. Naylor MD, e/ al. Comprehensive Discharge Planning and Home Follow-up of Hospitalized Elders. JAMA. 1999 ;281' : 613-620 Nikolaus ! Specht-leible N, Bach M, Oster P, Schlierf G A Randomized Trial of Comprehensive Geriatric Assessment and Home Intervention in the Care of Hospitalized Patients. Age and Ageing 1999;28:543-550. Nuhonni SA. Jenis dan Penyebab Mengompol dan Beser. Makalah: Masalah Mengompol dan Beser. Iakarta, Simposium Sehari Inkontinensia pada Usia Lanjut, 2001. Osterweil D, Brummel-Smith K, Beck JC. Preface. 1n: Comprehensive Geriatric Assessment. New York: McGraw-Hi11,2000:xiii:

xv1.

Penhall RK. Understanding Geriatric Assessment. Dalam: Asuhan Berkesinambungan pada Usia Lanjut dan Pasien Geriatri. Prosiding Temu Ilmiah Nasional Geriatri III. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Penyakit Dalam FKUI;2004.p.60-65. Purba JS. Demensia dan Penyakit Alzheimer. Dalam: Prosiding Temu Ilmiah Geriatri 2002. lakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian I.Penyakit Dalam FKUI; 2002.p. 78-83. Rainfray M, Bourdel_marchasson I, Dehail B Richard-Harston S.

Comprehensive Geriatric Assessment:

Reuben DB. Principles of Geriatric Care. In: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JF, Ouslander JG, Tinetti ME, eds. Prin-

A Useful Tool

for

Prevention of Acute Situation in the Elderly. Ann Med Intern. 2002 Oct;153 (6) : 397-402.

McGraw-Hill;2003.p. 99- 1 02. Satin DG. The Interdisciplinary, Integrated Approach to Profesional Practice with the Aged. In: Satin DG Blakeney BA, Bottomley JM, Howe MC, Smith HD, eds. The Clinical Care of the Aged Person, An Interdisciplinary Perspective. New York: Oxford University Press ; I 996.p.39I -402. Semeraro STM, Motta M. Effectiveness of Geriatric Evaluation and C4r6. One-year results of a Multicenter Randomized Clinical Trial. Aging (Milano),2001;13(5):395-404. Setiati S. Implikasi Klinik Imobilitas pada Pasien Geriatri. Dalam: Prosiding Temu ilmiah Geriatri 2004. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2004.p. I-5. Soejono CH. Imobilisasi dan Penyulitnya. Dalam: Prosiding Temu Ilmiah Nasional Geriatri I-Kongres Nasional ke-2 PERGEMI. Semarang: Panitia KONAS II PERGEMI,2003. Soejono CH. Pendekatan Klinis Pasien Geriatri dengan 'Jatuh'. Dalam: Prosiding Temu Ilmiah Geriatri 2003. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI;

2003.p.129-32. Stuck AE. Multidimensional Geriatric Assessment in the Acute Hospital and Ambulatory Practice Schweiz Med Wochenschr. 1997:127

(4j):

I 78 I -8 8.

Supartondo. Pendekatan Holistik Seorang Dokter Penyakit Dalam, Pada Penatalaksanaan Pasien. Disampaikan pada:"sarasehan 'Pendekatan Holistik Terhadap Pasien' , 14 Maret 2002. Jakarta: Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSUPN CM. Supartondo. Pendekatan Klinik Pasien Geriatri di Rawat Jalan dan

Rawat Inap. Dalam: Prosiding Temu Ilmiah Geriatri 2002 :P etatalaksanaan Pasien Geriatri/Usia Lanjut secara Terpadu dan Paripurna. Jakarta: PIP Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2002.p.18-21. Thorsten N, Specht-Leible N, Bach M, Ostewr B Schlierl G. A Randomized Trial of Comprehensive Geriatric Assessment and Home Intervention in the Care of Hospitalized Patients. Age and Ageing. 1999;28:543-550.

Trentini M. Semeraro S, Motta M. Effectiveness of Geriatric Evaluation and Care. One -year Results of a Multicenter RCT. Aging (Milano). 2001 Oct ; 13(5) : 395-405. White SJ, el al. Effectiveness of an Inpatient Geriatric Service in a University Hospital. J Tenn Med Assoc. 1994 Oct; 87 (10) : 425-8. Wieland D, Hifih V. Comprehensive Geriatric Assessment in Cancer Patients. Cancer Control. 2003 Nov-Dec; 10 (6) :454 - 462. Williams ME. The Approach to Managing the Elderly Patients. In'.Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JF, Ouslander JG, eds. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. New York: McGraw -Hill;l 999.p.249 - 52.

World Health Organization. International Classification of Functioning, Disability and Health. Geneva: World Health Organization, 2001.

t24 PEDOMAN MEMBERI OBAT PADA PASIEN GERIATRI SERTA MENGATASI MASALAH POLIEARMASI Supaftondo, Arya Govinda Roosheroe

menyesuaikan dosis obat dengan berat badan untuk

USIA LANJUT DAN OBAT

meningkatkan rasio risikolkegunaan pada pasien tua yang kurus. Metabolisme di hati dipengaruhi oleh umur, genotipe, gaya hidup, curahjantung, penyakit dan interaksi antara berbagai obat. Obat dapat mengalami bio-transformasi di hati dengan cara oksidasi (mengaktifkan obat) dan

Mengapa segi ini perlu mendapat perhatian khusus ? Apakah pengolahan obat pada pasien berumur lanjut berbeda dengan prosesnya pada pasien dewasa ? Meskipun judul lain sudah membahas segi ini, ada baiknya menekankan kembali perubahan penting pada pasien usia lanj lut, y aitufarmakokinesis (perlakuan badan terhadap obat) danfarmakodinamik (yterlakuan obat pada badan).

konjugasi (obat jadi inaktif). Mengecilnya massa hati dan proses menua dapat memengaruhi metabolisme obat.

Unhrk obat yang ekskresinya terutama liwat ginjal pedoman bersihan kreatinin 24 jam penting diperhatikan, yaitu untuk memperkirakan dosis awal.

Kadar kreatinin serum tidak menggambarkan

FARMAKOK!NES!S

penurunan fungsi ginjal karena massa otot berkurang pada

Ini terdiri dari absorpsi, distribusi, metabolisme

dan ekskresi obat. Sesudah diabsorpsi, obat melewati hati dan mengalami metabolisme pintas awal. Bila tahap ini turun, sisa dosis obat yang masuk dalam darah dapat melebihi

proses menua . GFP' {6lom.filtrrate) lebihpenting dan jika iurun sampai l0-50 mVmenit, dosis obat harus disesuaikan.

perkiraan dan mungkin menambah efek obat, bahkan sampai efek yang merugikan (ADR, adverse drug

FARMAKODINAMIK

reaction: efek obat yang merugikan).

Ada perubahan lain pada usia lanjut, yaitu perubahan

Pada obat dengan metabolisme pintas awal

linggi

ada

reaksi pada reseptor seperti penurunan kegiatan reseptor

beda besar antara dosis intravena (rendah) dan dosis oral

adrenergik p atau perubahan di jaringan dan organ,

(tinggi). Makanan dan obat lain dapat memengaruhi absorpsi obatyangdiberikan oral (lihat pembahasan segi interaksi). Distribusi obat dipengaruhi oleh berat dan komposisi tubuh, yaitu cairan tubuh, massa otot, fungsi dan peredaran

berakibat kesadaran makin turun. Sebagai contoh : hilang ingatan dengan b enzo diazepin.

Perubahan mekanisme homeostasis tidak mampu mengurangi denyut jantung dan menurunkan curah jantung waktu tekanan darah naik akibat obat pada pasien muda. Hipotensi postural akibat obat tertentu pada pasien tua disebabkan kurang tanggapnya pengendalian liwat pembuluh darah tepi yang menghasilkan tekanan darah. Perubahan farmakokinesis dan farmakodinamik obat

darah berbagai organ, juga organ yang mengatur ekskresi

obat.

Kadar albumin plasma memastikan kadar obat bebas ini memerlukan pedoman yang

dalam sirkulasi. Hal

776

777

PEI,OMAN PEMBERIAN OBAT PAI,A PASIEN GERIITIRI SERTA MENGITf,ASI MASALAH P'OLIFARMASI

harus diperhatikan oleh dokter yang meresepkan obat kepada pasien tua. Makin besar jumlah obat baru tidak

Kebanyakan obat digunakan untuk sistem kardiovaskular dan saraf pusat

memudahkantugas ini. Faktor lain yang berperan pada pemberian obat ialah multipatologi (adanya lebih dari satu penyakit) pada pasien

MENGAPA POLIFARMASI SUKAR DIHINDARI ?

geriatri. B

MU

LTIPATOLOGI DAN PENGOBATAN

Walaupun cara nonfarmakologi juga merupakan pilihan dalam penanganan berbagai masalah, obat tetap menjadi

pilihan utama sehingga macam dan jumlah obat

erbagai alasan dikemukakan. Penyakit yang diderita banyak dan biasanya kronis. Obat diresepkan oleh beberapa dokter. Kurang koordinasi dalam pengelolaan. Gejala yang dirasakan pasien tidakjelas. Pasien meminta resep.

Untuk menghilangkan efek samping obat justru ditambah obat baru.

banyak.

Adanya berbagai alasan di atas tidak dapat menutup upaya mencari jalan keluar. Leipzig mengusulkan pedoman ini. Prinsip pemberian obat yang benar unhrk pasien usia lanjut.

POLIFARMASI Ada beberapa definisi untuk istilah ini :

. . . . . .

l).

Meresepken

obat melebihi indikasi klinis; 2). Pengobatan yang mencakup paling tidak satu obat yang tidak perlu; 3). Penggunaan empirik lima obat atau lebih. Telah dibuktikan bahwa pada pasien usia lanjut sering te{adi interaksi antara obat yang digunakan; makinbanyak obat, makin sering interaksinya Beberapa jenis interaksi serta akibatnya perlu diketahui:

Riwayat pengobatan lengkap. Pasien harus membawa semua obat, termasuk obat tanpa resep, vitamin dan bahan

dari

toko

bahan kesehatan. Tanya tentang alergi, efek

yang merugikan (ADE), merokolg alkohol, kopi, obat wakhr santai dan siapa pemberi obat.

Jangan memberikan obat sebelum waktunya. Hindari memberikan resep sebelum diagnosis ditegakkan, bila

keluhan ringan atau tidak khas, atau

jika

manfaat

Jenis lnteraksi dan Akibatnya

pengobatan meragukan.

Obat-makanan. Bila absorpsi obat sangat dipengaruhi makanan, obat harus digunakan sebelum atau sesudah

Jangan menggunakan obat terlalu lama. Lihat kembali

makan, tergantung toleransi pasien terhadap obat waktu puasa.

Contoh : antikoagulasi warfarin berkurang pada

daftar obat setiap pemeriksaan dan sesuaikan obat dengan

kebutuhan. Hentikan obat yang tidak perlu lagi. Nilai penggunaan obat sesuai kebutuhan, juga obat tanpa resep.

suplemen nutrisi berisi vitamin K.

Kenali obat yang digunakan. Ketahui sifat farmakologi

Obat-penyakit. Penyakit yang mengenai hati dan ginjal atau yar^g menghambat sampainya obat ke organ itu

obat yang diberikan, efek merugikan dan keracunan yang

menyebabkan interaksi yang landasannya farmakokinesis dan farmakodinamik. Contoh : perubahan prednison menjadi bentuk aktif

prednisolon terhambat, obstipasi bertambah karena

mungkin terjadi. Nilai dengan teliti tanda-tanda kemunduran segi fungsi dan mental yang mungkin disebabkan obat.

Mulai dengan

dosis rendah

naikkan perlahan-lahan. Pakai

suplemen Ca dan opioid.

selalu dosis terendah untuk mendapat hasil. Gunakan kadar obat dalam darah bila ada dan tepat untuk masalah ini.

Obat-obat. Interaksi di sinijugaberlandasan farmakokinesis

Obati sesuai patokan. Gunakan dosis cukup untuk

dari tahap absorpsi sampai ekskresi. Landasan farmakodinamik dapat terjadi bila NSAID diberikan bersama

antikoagulan oral, yang dapat menambah risiko perdarahan.

Risiko dan akibat yang dibahas di atas sebaiknya menjadi pedoman untuk menghindari polifarmasi. Suatu tulisan tentang 50 pasien diabetes usia lanjut

dengan berbagai komplikasi melaporkan bahwa 74 menggunakan kurang dari lima obat.

oh

Linjakumpu melaporkan penggunaan lebih dari 5 obat bertambah dari 19 Yo ke 25 o/o pada pasien usia lanjut.

mencapai tujuan terapi, yang sesuai toleransi. Jangan mengurungkan terapi untuk penyakit yang dapat diobati.

Beri dorongan supaya patuh berobat. Jelaskan kepada pasien tujuan pengobatan dan cara mencapainya. Buat instruksi tertulis. Pertimbangkan sulit tidaknya jadwal pengobatan, biaya dan kemungkinan efek merugikan bila memilihobat. Hati-hati menggunakan obat baru. Obat baru belum dinilai tuntas untuk kelompok usia lanjut, dan rasio risiko/ kegunaan sering tidak diketahui.

778

GERIISTI

KESIMPULAN Pengalaman

Dalam FKUI

Divisi Geriatri, Departemen Ilmu Penyakit

RSCM menunjukkan bahwa pengelolaan interdisiplin oleh suatu Tim Terpadu Geriatri telah lama

-

mengatasi berbagai kendala yang menyebabkan berlangsungnya polifarmasi. Pasien geriatri yang merupakan kesatuan bio-psikososio-spiritual tetap dapat menggunakan beberapa pilihan : obat, tindakan non farmakologi/tradisional untuk segi biologi, obat dan bimbingan untuk segi psikologi.Untuk segi sosio-spiritual digunakan berbagai pendekatan berupa asuhan non farmakologi. Dengan cara pendekatan holistik

ini sangat mungkin polifarmasi dihindari.

REFERENSI Setiati S, Roosheroe, AG, Proses menua dan implikasi klinis, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed. 4, sedang dicetak. Edelberg, HK and Leipzig RM, Pharmacology, in Eskin BA, Troen BR (eds) The Geripause, London, Parthenon Publ., 2003 : 31-50. Swonger AK and Burbank FM. Altered Pharmacokinetics and Pharmacodynamics in the Elderly 1995, p.46. Jones and Bartlett Pub1.

Michocki RJ. Polypharmacy and Principles of Drug Therapy in Adelman AM, Daly MP (eds) 20 Common Problems in Geriatrics, Intern. Ed., S'pore, McGraw Hill, 2001 : 72-73. Supartondo, Supriadi E. Penatalaksanaan Diabetes Melitus pada Usia ...Lanjut. PIT Ilmu Penyakit Dalam 2002, hal. 154-158, Pusat

' Informasi dan Penerbitan, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUI. Linjakumpu, T et al. Use of medications and polypharmacy are increasing among the elderly. J Clin. Epid 2002 ;55 : 809-817. Supartondo. Kecenderungan Polifarmasi pada Multipatologi, Apa Masalahnya ? Prosiding TI Geriatri 2003, hal. 1 - 5. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUI Shenfield G. Prescribers and drug withdrawal (editorial). Australian Prescriber vol. 28 no. 3 June 2005. Rahayu RA, Bahar A. Penatalaksanaan infeksi pada usia lanjut secara menyeluruh. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed. 4 jilid III.

r25 PELAYANAN KESEHATAN, SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN PADA USIA LANJUT Hadi Martono,I Dewa Putu Pramantara S.

PENDAHULUAN

usia lanjut, sehingga dalam GBHN 1993 usia lanjut

Pelayanan kesehatan dan sosial-kesejahteraan pada

mendapat perlakuan tersendiri, walaupun masih dalam seksi bersama perempuan dan remaj a. GBHN I 998 diharapkan

segmen usia lanjut (usila) tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal ini sesuai dengan definisi Geriatri yaitu:"Health and Social Care of the Elderly". Paradigma pelayanan kesehatan yang tak terpisahkan dengan pelayanan sosial tersebut merupakan konsekuensi karakteristik usia lanjut. Seperti diketahui, penyakit pada populasi usia lanjut

memberikan perhatian yang lebih bagi para usia lanjut. Undang-undang mengenai kesejahteraan usia lanjut (JU no.13 tahun 1998) telah secara jelas mengatur berbagai

upaya kesejahteraan bagi para usia lanjut, akan tetapi sayang sekali bahwa peraturan pelaksanaarurya belum ada,

sehingga dapat dimengerti bahwa pelaksanaannyapun menjadi belum seperti yang diharapkan. Dibandingkan

berbeda perjalanan dan penampilannya dengan yang terdapat pada populasi lain. Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pada usia lanjut:

.

negara maju, misalnya Amerika atau Australia, Indonesia sangat tertinggal dalam hal pemberian kesejahteraan bagi

penyakit bersifat multipatologis atau mengenai

usia lanjut ini.

Bahasan berikut akan mengemukakan konsep

multiorgarVsistem, bersifat degeneratif, saling terkait.

. penyakit biasanya bersifat kronis, cenderung

pelayanan kesehatan, sosial, dan kesejahteraan pada usia lanjut di Indonesia dan di luar negeri.

menyebabkan kecacatan lama sebelum terjadinya

. .

kematian. sering terdapat polifarmasi dan iatrogenesis. biasanya juga mengandung komponen psikologis dan sosial.

PELAYANAN KESEHATAN PADA USIA LANJ UT

Brocklehurst dan Allen pada tahun (1987)

Konsep Kesehatan pada Usia Lanjut

menambahkan satu hal lagi yang penting, yaitu: usia lanjut juga lebih sensitif terhadap penyakit akut.

Sebelum membicarakan tentang pelayanan kesehatan pada usia lanjut, terlebih dahulu akan dijelaskan perbedaan apa yangterdapat dalam konsep kesehatan pada usia lanjut dan populasi lain.

Mengingat hal tersebut di atas, maka jelaslah bahwa pelayanan kesehatan pada usia lanjut dengan sendirinya berbeda dengan pelayanan kesehatan pada golongan populasi lain. Sebaliknya, pelayanan kesejahteraan sosiai

Pada usia lanjut terdapat 3 hal yang perlu diingat dalam konsep kesehatannya, yaitu:

bagi warga usia lanjut secara umum boleh dikatakan masih merupakan hal yang baru. Hal ini dikarenakan prioritas

Status/kapasitas fungsional. Keadaan usia lanjut sebagai akibat interaksi antara fungsi kesehatan fisik, psikologis dan sosial-ekonomi (religius spiritual). Interaksi dari ketiga komponen tersebut menunjukkan keadaan fungsional or-

yang diberikan pada populasi usia lanjut memang baru saja mulai diperhatikan. Sebelum GBHN 1993, upayakepada populasi usia lanjut selalu dikaitkan dengan istilah "usia lanjut dan jompo". Pandangan ini mulai diperbaiki, seiring dengan peningkatan pengertian dan pemahaman tentang

ganl dan atau

itbuh secara keseluruhan, sebagai gambaran

"kesehatan" pada usia lanjut. Status fungsional ini, yang

779

780

GERIAIRI

pada manifestasinya benipa kemampuan melakukan aktivitas hidup sehari-hari (AHS) baik dasar maupun instrumental seringkali bahkan lebih penting dibanding penegakkan diagnosis penyakit pada seseorang dan dinilai dengan cara " scoring" antara lain dengan indeks dariKatz.

Aktivitas Hidup Sehari-

Aktivitas Hidup Sehari-hari

hari (Dasar)

(lnstrumental)

Makan Berpakaian Berjalan (ambulasi) Buang air besar/kecil ("toileting") Mandi

Bergerak (dari tempat tidur atau toilet) Mengontrol BAB/BAK (kontinensia) Mematut diri (grooming) Berkomunikasi

Menulis Membaca Memasak Membersihkan peralatan rumah Berbelanja Membersihkan pakaian (cuci-

. .

Mampu mengerjakan tugas yang dibayar atau pekerjaan di luar rumah(misalnya berkebun) Mampu melakukan perjalanan jauh (menggunakan transportasi publik, keluar kota sendiri)

Pada usia lain hal ini tidak terjadi, dan keadaan fisik,

psikis dan sosial-ekonomi seolah-olah tidak saling berkaitan.

Pada lansia:

Incontinence

Dari Solomon

et al,

California, UCLA "the Impaction' latrogenic

ImmobiliQ Isolation Instability Impotence Intelectual Impairment Incontinencelnfection

Inanition

13

I"

:

Imuno-dfficiencylnsomiia Imapirmentofvision.smell

hearing etc

Brocklehurst, Allen et al "the Geriatric Giants"

:

Bone diseases and fractures Cerebral syndromes Autonomic disorders Incontinence Confusion and dementia Prsesure sores (decubitus)

Falls

setrika) Naik tangga di rumah bertingkat

Pakai telepon Menangani keuangan

Instability/Immobility

Pembagian manapun yang dipakai, seorang dokter

wajib mencari penyebab/penyakit dari keluhan tersebut untuk kemudian mengupayakan pengobatan dan pencegahannya lebih lanjut.

akit : D i s e as e : D i agn osls. Jenis-j enis penyakit/ diagnosis pada usia lanjut serupa dengan apayalgterjadi pada usia muda,walaupun pada usia lanjut seringkali lebih banyak jenis yang diakibatkan penyakit degeneratif dan dengan penampilan yang tidak sama dengan yang terjadi pada usia muda. Stieglitz (1954) telah menunjukkan perbedaan penyakit pada usia muda dan usia lanjut sebagai berikut: Mengingat berbagai kekhususan konsep kesehatan pada usia lanjut seperti dikemukakan di atas, terdapat2 prinsip utama yang harus dipenuhi guna melaksanakan pelayanan kesehatan pada usia lanjut, yaitu pendekatan P eny

Holistik

serta tatakerja dan tatalaksana dalam

Tim.

Prinsip holistik pada pelayanan kesehatan usia lanjut sangat unik karena menyangkut berbagai aspek, yaitu: Seorang pasien usia lanjut harus dipandang sebagai

.

manusia seutuhnya, meliputi pula lingkungan kejiwaan

(psikologis) dan sosial ekonomi. Hal ini ditunjuktan

Pada populasi lain:

antara lain bahwa aspek diagnosis penyakit pada pasien usia lanjut menggunakan tata cara khusus yang disebut sebagai pengkajian geriatri, yang bukan saja meliputi

. Sindrom geriatri. Sindrom geriatri adalah kumpulan gejala (:sindrom) yang sering dikeluhkan oleh para usia lanjut

datlatau keluarganya bergantung pada peneliti dan tempat penelitian, maka terdapat berbagai pembagian atas sindrom geriatri ini yaitu: Cape et al : "the O complex" :

. Fall . Incontinence . Irnpairedhomeostasis

. .

Coffision Iatrogenic disorders

ConirWeber and Davison , "the Big Three":

.

Intelectual Failure

seluruh organ dan sistem, akan tetapi menyangkut pula aspekkejiwaan dan lingkungan sosial ekonomi. Sifat holistik mengandung artian baik secara vertikal atau horisontal. Secara vertikal dalam arti pemberian pelayanan harus dimulai dari pelayanan di masyarakat sampai ke pelayanan rujukan tertinggi, yaitu rumah sakit

yang mempunyai pelayanan subspesialis geriatri. Holistik secara horisontal berarti bahwa pelayanan kesehatan harus merupakan bagian dari pelayanan kesejahteraan usia lanjut secara menyeluruh. Oleh karenanya, pelayanan kesehatan harus bekerja secara lintas sektoral dengan dinas/lembaga terkait di bidang kesejahteraan, misalnya agan,a, pendidikan dan kebudayaan, serta dinas sosial.

781

PELAYANAI{ KESEHATAN SOSIAL DAI{ IGSEtrA}ITERAAN PADA USIA LANJUT

.

Pelayanan holistik juga berarti bahwa pelayanan harus

mencakup aspek pencegahan (preventif), promotif, penyembuhan (kuratif), dan pemulihan (rehabilitatif). Begitu pentingnya aspek pemulihan ini, sehingga WHO menganjurkan agar diagnosis penyakit pada usia lanjut harus meliputi 4 tingkatan penyakit, sebagai berikut: - Diseuse (penyakit), yaitu diagnosis penyakit pada pasien, misalnya penyakit j antung iskemik. - Impairmenl (kerusakan atau gangguan), yaitu adanya gangguan atau kerusakan dari organ akibat penyakit, misalnya pada keadaan di atas: infark miokard akut atau kronis.

-

Disabilily (ketidak-mampuan), yaitu akibat obyektif pada kemampuan fungsional dari organ atau individu tersebut. Pada kasus di atas misalnya terjadi dekompensasi jantung.

-

Handicap (hambatan) yaitu akibat sosial dari penyakit. Pada kasus tersebut di atas adalah ketidakmampuan pasien untuk melakukan aktivitas sosial baik di rumah, maupun di lingkungan sosialnya.

Prinsip tatakerja dan tatalaksana dalam tim yang harus dilaksanakan di manapun pelayanan geriatri diberikan. Tim geriatri merupakan bentuk kerjasama multidisiplin yang bekerja secara interdisiplin dalam mencapai tujuan pelayanan geriatri yang dilaksanakan. Yang dirnaksud dengan kata multi disiplin di sini adalah berbagai disiplin ilmu kesehatan yang secara bersama-sama melakukan penanganan pada pasien usia lanjut . Komponennya

Istilah interdisiplin diberikan sebagai suatu tatakerja dimana masing-masing anggotanya saling tergantung (:interdependent) satu sama lain. Perbedaan dengan tim multidisiplin yang beke{a secara multidisiplin pula (seperti banyak tim kesehatan yang lain) dimana tujuan seolaholah dibagi secara kaku berdasarkan disiplin masingmasing anggota. Pada tim interdisiplin, tujuan merupakan tujuan bersama. Masing-masing anggota mengerjakan tugas sesuai disiplinnya sendiri-sendiri, akan tetapi tidak secara kaku. (Pada skema di bawah digambarkan sebagai garis terputus). Disiplin lain bisa memberi saran demi tercapainya tujuan bersama. Secara periodik dilakukan pertemuan antar anggota tim untuk mengadakan evaluasi kerja yang telah dicapai, dan kalau perlu mengadakan perubahan demi tujuan bersama yang hendak dicapai. Dengan perkataan lain, pada tim multidisipHn kerjasama terutama bersifat pada pembuatan dan penyerasian konsep,

sedangkan pada tim interdisiplin kerjasama meliputi pembuatan dan penyerasian konsep serta penyerasian tindakan. Secara praktis, tatakerja interdisiplin dari Tim Geriatri adalah melalui konferensi, bersama-sama

menentukan prioritas masalah (setting priority), menekankan kualitas hidup, membuat program penanganan

dan evaluasi berdasarkan prioritas masaliih, serta menentukan kondisi "setting limits".Secata skematis perbedaan antara tim multidisiplin dan tim interdisiplin dapat

dilihatpada Gambar 1.

berbeda dengan berbagai tim yang kita kenal pada populasi . usia lain. Pada tim geriatri, komponen utama terdiri dari dokter, pekerja sosio medik, dan perawat. Tergantung dari

kompleksitas dan jenis layanan yang diberikan, anggota tim bisa ditambah dengan tenaga rehabilitasi medik (dokter, fisioterapis, terapi okupasi, terapi wicara, dan lain-lain), psikolog dan/atau psikiater, ahli farmasi, ahli gizi, dan tenaga lain yang bekerja dalam layanan tersebut.

Tim multi

disiplin

Tim inter disiplin

Gambar '1. Perbedaan skematis antara tim multidisiplin dan tim lnterdisiplin

Tim geriatri di samping mengadakan pengkajian Parameter Etiologi a

a

Awitan gejala Perjalanan penyakit

a

a

Variasi gejala

Pada Usia Lanjut

Pada Usia Muda

Endogen Tersembunyi (occulf) Kumulatif/multipel Telah lama terjadi /nsidious/kronik Kronis/menahun, progresif menyebabkan cacat lama sebelum terjadinya kematian Justru membuat lebih rentan terhadap penyakit lain Besar, aneka ragam bentuk

Eksogen Jelas, nyata Spesifik, tunggal Recent (baru terjadi) F/orid (ielas sekali) -self limitting

atas

masalah yang ada, juga mengadakan pengkajian atas sumber daya manusia dan sosial ekonomi yang bisa digunakan untuk membantu penatalaksanaan masalah pasien tersebut. Cara kerja seterusnya dapat dilihat seperti dalam skemaberikut.

PELAKSANAAN PELAYANAN KESEHATAN USIA LANJUT

Memberi kekebalan Kecil

Dengan prinsip pelayanan geriatri seperti di atas, konsep pelayanan kesehatan pada populasi usia lanjut harus

direncanakan dan dilaksanakan. Untuk mengupayakan prinsip holistik yang berkesinambungan, secara garis besar pelayanan kesehatan pada usia lanjut dapat dibagi sebagai

berikut.

782

GERIATRI

rumah sakit harus selalu bersedia berlindak sebagai rujukan dari layanan kesehatan yang ada di masyarakat. lde ntifikasi sumber daya

Layanan Kesehatan Usia lanjut Berbasis Rumah Sakit (Hospital Based Geriatric Service) ini rumah sakit, tergantung dari jenis layanan yang ada, menyediakan berbagai layanat bagi para usia

Pada layanan

lanj ut. Mulai dari layanan sederhana berupa poliklinik usia lanjut, sampai pada layanan yang lebih maju, misalnya

Pembagian Tugas

Gambar 2. Alur kerja penatalaksanaan pasien geriatri

Pelayanan Kesehatan Usia lanjut di Masyarakat (Co m m u n ity Based G eri atri c Se rvi ce I Pada pelayanan kesehatan ini, semua upaya kesehatan

yang berhubungan dan dilaksanakan oleh masyarakat harus diupayakan berperan serta pula dalam menangani kesehatan para usia lanjut. Puskesmas dan dokter praktek

swasta merupakan tulang punggung layanan di tingkat ini. Puskesmas berperan dalam membentuk kelompok usia lanjut. Di dalam dan melalui kelompk usia lanjut ini pelayanan kesehatan dapat lebih mudah dilaksanakan, baik usaha promotif, preventif, kuratif, atau rehabilitatif. Dokter praktek swasta terutama menangani para usia lanjul yang memerlukan tindakan kuratif insidental. Seperti telah dikemukakan di atas, semua pelayanan kesehatan harus diintegrasikan dengan layanan kesejahteraan yang lain dari dinas sosial, agama, pendidikan dan kebudayaan, dan lain-lain. Peran serta LSM untuk membentuk layanan sukarela misalnya dalam pendirian badan yang memberikan

layanan bantu perawatan (home nursing), kebersihan rumah atau pemberian makanan bagi para usia lanjut (:meals on wheels) juga perlu didorong. Pada dasarnya layanan kesehatan usia lanjut di tingkat

masyarakat seharusnya mendayagunakan dan mengikutsertakan masyarakat (termasuk para usia

bangsal akut, klinik siang terpadu (day-hospital), bangsal kronis dan/atau panti rawat wreda, (nursing homes). Di samping itu, rumah sakit jiwa juga menyediakan layanan kesehatan jiwa bagi usia lanjut dengan pola yang sama. Pada tingkat ini, sebaiknya dilaksanakan suatu layanan terkait (con-joint care) antara unit geriatri rumah sakit umum dengan unit psikogeriaki suatu rumah sakit jiwa, terutama untuk menangani pasien penyakit fisik dengan komponen gangguan psikis berat atau sebaliknya.

Pada Gambar

3 dapat dilihat konsep pelayanan

kesehatan usia lanjut, mulai dari tingkat pelayanan kesehatan di masyarakat sampai dengan rujukan tertinggi di rumah sakit dengan layanan geriatri paripuma.

Layanan berbasis rurnah sakit

P0LIKLINIK/Bangsal/ - Pengkajianikonsultasi - Kuratit (sederhana) BANGSAL AKI,IT: - Pengkajian/konsultasi - Kuratit (akut) - Rehab "jlr cepat'

D

ay-hospital dll Berbagai penyakit psikis - Depresi berat - Demensia (SDAT) - Paraphrenia,dil

DAY HOSPITAL: -Terapi terencan aiterpad u - Ambulat lnon ambulatory BANGSAL KRONIS - Pengkajian/konsultasi - kuratif (kronis) - Konsultatif - Rehabil

REHAB'JALUR LAMBAT' lcare>cure) P E N D ID

IKA N.LATIH AN.

PENELITIAN

lanjutnya) semaksimal mungkin. Yang perlu dikerjakan adalah meningkatkan kepedulian dan pengetahuan masyarakat, dengan berbagai cara, attara lain ceramah, simposium, lokakarya, dan penluluhan-penyuluhan.

Pelayanan Kesehatan Usia lanjut di Masyarakat Berbasis Rumah Sakit (Hospital Based Community Geriatric Service) Pada layanan tingkat ini, rumah sakit setempat yang telah

melakukan layanan geriatri bertugas membina usia lanjut yang berada di wilayahnya, baik secara langsung atau tidak langsung melalui pembinaan pada puskesmas yang berada di wilayah kerjanya "Transfer of Knowledge" berupa

Dokter prakt swasta

Mental Flsik

Dinas sosial

Sosial

lokakarya, simposium, ceramah-ceramah baik kepadateflaga kesehatan ataupun kepada awam dilaksanakan.

Di lain piha(

Gambar 3. Skema pelayanan geriatrik komprehensif

783

PELAYANAN KESEHATAN SOSIAL DAN KESE'AHTERAAT{ PADA USIA LANJUT

kerja (pasien tidak rawat inap), pelayanan diberikanpada pasien baik yang telah atau belum dilakukan pengkajian geriatri, baik yang di dalam RS maupun yang di rumah

Keterangan: Placement: adalah jenis pelayanan, di mana unit geriatri di suatu rumah sakit setelah mengadakan pengkajian pada seorang pasien, memberikan rekomendasi pada pasien tersebut untuk dapat diterima di suatu institusi usia lanjut,

terutama bila institusi tersebut dilaksanakan oleh/atau mendapatkan subsidi dari pemerintah.

(ambulatory). Tindakan yang dilakukan antara lain pengkajian, kuratif (ambulatory), rehabilitasi, dan

.

Tim Pengembangan Pelayanan dan Pendidikan Geriatri

PB. PAPDI telah menyusun konsep dasar pelayanan geriatri di berbagai jenis rumah sakit. Tingkatan-tingkatan pelayanan yang diberikan berdasarkan pada kemampuan rumah sakit yang bersangkutan, dan dapat dibagi sebagai berikut. . Tingkat sederhana, hanya menyediakan layanan

. . .

poliklinik usia lanjut. Tingkat sedang, dimana layananyang diberikan selain poliklinik juga klinik siang terpadu (: day-hospital). Tingkat lengkap, sama seperti layanan pada tingkat sederhana ditambah dengan pengadaan bangsal usia lanjut dengan penyakit akut.

Tingkat paripurn:t, dimana diberikan semua jenis layanan yang ada pada tingkat lengkap ditambah dengan adanya bangsal usia lanjut dengan penyakit kronis.

Pada semua tingkatan, pengadaan upaya pendidikan dan pelatihan merupakan suatu keharusan. Tabel dan skema di bawah ini menunjukkan berbagai layanan dari berbagai tingkat pelayanan geriatri dengan ketenagaannya.

.

rekreasi.

Konsultan: konsultan dalampelayanan geriatri adalah dokter spesialis/subspesialis klinis yang dapat dimintai b antuan p er dap at I e k s p e r t i s e I tindakan me di s guna peningkatan pemeliharaan/pemulihan kesehatan pasien usia lanjut di RS. Tenaga*): - Dokterumum + pelatihan pelayanan geriatri - Perawat * pelatihan pelayanalgeriatri

-

Pekerja sosial medik

Fisioterapis Dokter umum * pelatihan rehabilitasi medik Speechteraprsl (terapi wicara) Internis + pelatihan pelayanan geriatri Okupasi terapis Terapis ortotis

Dokterahlirehabilitasimedik Psikolog/Psikiater Geriatris Farmasis/asisten farmasis

Berbagai pengertian dari tabel dan skema di atas dapat dij elaskan sebagai berikut

:

Poliklinik geriatri: yaitu suatu layanan geriatri di mana diberikan jasa pengkajian, tindakan kuratif sederhana dan

konsultasi, bagi pasien rawat jalan. Perlu

Sumber

daya

Sederhana Sedang Lengkap Paripurna Keterangan

Keterangan a. Tenaga tim geriatri

1-2.)

1-7.)

++

b. Konsultan

dengan ahli hukum

dalam pelayanan geriatri Fasilitas pelayanan

RJ

RJ

RM DaY H

RJ RJ RI RI RM RM Day Hos. Day Hos. Diklat Diklat Peneliti Peneliti

Berbeda dalam

dikonsulkan ke poliklinik ini.

jumlah

Bangsal geriatri akut: adalah bangsal di mana pasien geriatri dengan penyakit akut

Tergantung tenaga spesialis yang ada

atau subakut (oleh Coni dan Davidson

disebut sebagai "hot" dan "warm"

admission, antara lain: strok, pneumonia, ketoasidosis diabetika, penyakit jantung kongestif akut, dll). Pada pasien tersebut dilakukan tindakan pengkajian, kuratif, dan rehabilitasijalur cepat oleh tim geriatri.

RI:Rawatinap

Day-hospital (klinik siang) adalah suatu layanan geiafryang dapat melaksanakan semua tindakan yang dilakukan oleh bangsal akut atau kronis, tetapi tanpa pasien harus rawat inap, dan layanan hanya dilakukan pada jam kerja. Layanan yang diberikan antara lain: pengkajian,

RM: PelayananRehabilitasiMedik

kuratif ambulatory, rehabilitasi, dan rekreasi. Oleh

Diklat:Pendidikandanlatihan

karenanya ten aga yatgdiperlukan selain geriatrisiintemis (+), perawat dan sosio-medik, juga tenaga rehabilitasi (FT, Ol IV), psikolog, rekreasionis, dan lain-lain.

Keterangan: . RI: Rawatjalan

. . . '

diingatkan bahwa poliklinik geriatri bersifat subspesialistik, sehingga hanya pasien yang telah melewati poliklinik spesialis lain dan memenuhi syarat sebagai pasien geriatri bisa

Day-hospital: Tempat di mana dilakukan tindakan seperti pada bangsal geriatri, tetapi hanya pada jam

784

GERIATRI

Bangsal geriatri kronis: bangsal ini diperlukan untuk merawat pasien dengan penyakit kronis yang memerlukan tindakan kuratif inap dalam j angka waktu I ama. " Turn over

POLISPESIALIS

rate" -nya rendah, sehingga pembiayaannya menjadi sangat mahal. POLIGERIATRI pes peny,Dalam

(Panti rawat wreda). Di negara maju, layanan ini disebut

(+

sebagai nursing home, yaitl suatu institusi yang memberikan layanan bagi pasien usia lanjut dengan masalah medis kronis yang sudah tidak memerlukan DAY-HOSPITAL

tindakan perawatan di RS, akan tetapi masih terlalu berat

untuk bisa dirawat di rumah sendiri. Oleh karena tidak memerlukan tindakan spesialistik oleh dokter, maka biayanya bisa ditekan. Turn over rate juga rendah, akan tetapi untuk kepentingan pendidikan, adanya bangsal ini di suatu RS pemerintah dapat menggantikan keberadaan

Dr Praktek Swasta

PUSKESMAS

suatu bangsal kronis.

Rehabilitasi geriatri: merupakan suatu keharusan untuk dikerjakan pada semua pasien geriatri. Rehabilitasi jalur cepat (fas t s tream r ehabil itat ion) dkeqakan selama pasien

masih dirawat di bangsal geriatri, oleh karena itu pelaksanaannya sebaiknya diintegrasikan dengan

POPULASI GOLONGAN USIA LANJUT

Gambar 4. Alur pelayanan kesehatan usia lanjut di rumah sakit

dan masyarakat

pelayanan geriatri. Rehabilitasi jalur lambat (slow stream

rehabilitation) dilaksanakan secara kronis, yang bisa dilaksanakan oleh unit rehabilitasi medik atau bisa juga diintegrasikan ke dalam pelayanan geriatri.

Gerialric home heallhs care (rawat-rumah geriatri): adalah komponen perawatan kesehatan komprehensif

kepada pasien geriatri dan keluarganya

di tempat

tinggalnya dengan tujuan meningkatkan, mempertahankan, memulihkan kesehatannya atau meminimalkan efek sakit

dan keterbatasan. Pelayanan yang diberikan harus direncanakan, dikoordinasikan, dan dilaksanakan oleh suatu agen atau institusi dengan melibatkan komponen medis, dental, keperawatan, fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara, pelayanan sosial, nutrisi, alat bantu kesehatan, laboratorium, dan peralatan medis.

Konsultasi geriatri: yaitu suatu layanan konsultasi dari bagian lain terhadap seorang pasien usia lanjut. Dari tindakan konsultasi ini, pada pasien yang bersangkutan dapat diberikan pengobatan bahkan pindah perawatan ke bagian geriatri Pendidikan dan penelitian: merupakan bagian implisit dari pelayanan geriatri. Penelitian dilaksanakan baik untuk publikasi atau, dan ini yang lebih penting, adalah untuk upaya memperbaiki pelayanan itu sendiri.

TATAKE RJA

PE

LAYANAN

GE

RIATRI

Tatakerja pelayanan geriatri seperti yang telah disepakati dalam Lokakarya Geriatri yang diadakan oleh Direktorat Rumah Sakit Umum-Pendidikan dan Rehabilitasi di Ciloto tahun 1994 tergambar dalam Gambar 4.

Dari skema terlihat bahwa pelayanan kesehatan di tingkat masyarakat yang dijalankan oleh puskesmas, dokter praktek swasta, dan dokter keluarga pada suatu tahap dapat merujuk pasien ke RS yang mempunyai pelayanan geriatri, atau ke poliklinik spesialis bidang lain. Di instalasi gawat darurat atau poliklinik lain, apabila pasien ternyata merupakan pasien geriatri, akan dirujuk ke poliklinik geriatri (yang bisa ditangani oleh spesialis penyakit dalam (+)/ geriatris) yang akan melaksanakan pengkajian geriatri untuk kemudian:

.

.

kalau perlu dikonsultasikan ke konsultan untuk mendapatkan pemeriksaarVtindakan khusus sesuai pengkajian dan/atatr konsultasi yang didapat, pasien bisa dirawat di ruang geriatri akut, ruang geriatri kronis, atau dirawatjalan di klinik siang terpadu (dayhospital). Kalau dipertimbangkan bahwa pasien bukan pasien geriatri atau memerlukan perawatan lain yang lebih penting, pasien bisa dirujuk untuk dirawat di ruang rawat lain.

PELAYANAN SOSIAL.KESEJAHTERAAN Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam memberikan pelayanan kesejahteraan sosial bagi populasi usia lanjut, sebagai berikut: Populasi usia lanjut merupakan populasi yang heterogen.

Tidak semua individu dalam populasi usia lanjut memerlukan pelayanan sosial dalam bentuk yang sama. Ini karena populasi usia lanjut, walaupun secara keseluruhan termasuk golongan populasi yang rapuh

kesehatan/kesejahteraan, tetapi dalam derajat yang

PELAYAT{AN KESEHATAIY SOSIAL DAN KESE'AHTERAAN PAT'A USIA LANJUT

berbeda-beda. Perbedaan ini terlihatbukan saja dari aspek kesehatan (ada yang "sehat", setengah sehat setengah sakit, sakit akut, sakit kronis sampai sakit terminal), tetapi juga dari segi psikologis dan sosial-ekonomi.

.

Jenis pelayanan yang dibutuhkan sangat bervariasi. Mengingat heterogenitas populasi usia lanjut yang ada, disertai kenyataan bahwa aspek fungsional seorang individu usia lanjut tergantung dari 3 faktor (fisik, psikis, dan sosial-ekonomi) maka jelaslah bahwa akan terdapat banyak segi pelayanan yang dibutuhkan.

Pelayanan kesejahteraan sosial pada usia lanjut

.

membutuhkan keterkaitan antara semua bidang kesejahteraan, antaralain: kesehatan, sosial, agama, olahraga, kesenian, koperasi, dan lain-lain. Hubungan antara heterogenitas populasi usia lanjut dan berbagai jenis pelayanan kesejahteraan sosial yang dibutuhkan akan dijelaskan lebih lanjut berikut ini.

Heterogenitas Populasi Usia Lanjut Untuk melihat jenis pelayanan yang diperlukan oleh populasi usia lanjut, cara yang paling praktis adalah melihat heterogenitas populasi usia lanjut ditinjau dari aspek fungsional dan kesehatannya. Dari aspek tersebut, maka populasi usia lanjut bisa diklasifikasikan sebagai berikut:

78s

spesialistik, karenanya perlu dirawat di bangsal geriatri akut suatu RS. Mereka yang menderita sakit kronis/tak bisa mandiri di rumah: untuk golongan ini suatu pelayanan geriatri di bangsal kronis atau panti raw atwredha (nursing home) merupakan suatu kebutuhan, hingga pengadaannya perlu diupayakan. Apabila jenis penyakitnya hanya memerlukan perawatan di rumah, maka perawat/dokter/ petugas kesehatan lain dapat mengadakan kunjungan rumah.

Mereka yang menderita gangguan mental danlatau demensia berat: untuk golongan usia lanjut ini, suatu layanan psikogeriatri di berbagai tingkat pelayanan sudah harus mulai diupayakan keberadaannya. Bagi mereka yang juga menderita sakit fisik berat, suatu kerja

.

sama dengan institusi geriahi merupakan pemecahan yang baik. Perlindungan hukum melalui suaf't " guardianship board' untuk melindungi kepentingan mereka perlu dipikirkan.

Mereka yang memerlukan bantuan rehabilitasi: tergantung dari jenis rehabilitasinya, maka pasien

ini

bisa mendapat bantuan dari perawat/petugas rehabilitasi/klinik rawat siang atau dari institusi rehabilitasi lain.

Populasi usia lanjut dengan penyakit terminal: upaya

Populasi usia lanjut yang "sehat": golongan populasi usia lanjut ini secara fungsional masih tidak tergantung pada orang lain, aktivitas hidup sehari-hari (AHS) masih penuh, walaupun mungkin ada keterbatasan dari segi

yang diberikan bagi populasi ini lebih mengarah ke

sosial-ekonomi yang memerlukan beberapa pelayanan,

Dari berbagai penjelasan di atas beberapa hal perlu

misalnya perumahan, peningkatan pendapatan, dan pelayanan lain. Pelayanan kesehatan yang diperlukan

mendapatkan keterangan lebih lanjut, antara lain adalah mengenai:

terutama adalah dari segi pencegahan danpromosi. Upaya dari parausia lanjutnya sendiri memerlukan motivasi dan fasilitasi dari petugas yang terkait, antara lain dengan membentuk klub usia lanjut atau "karang wteda".

Populasi usia lanjut dengan penyakit akut maupun kronis: populasi golongan ini jelas memerlukan pelayanan kesehatan khusus, misalnya penyediaan bangsal akuti kronis dan rehabilitasi termasuk upaya penyediaan dana perawatan. Walaupun tergantung pada keadaan individu, secara umum populasi usia lanjut sangat rawan dalam bidang sosial ekonominya, sehingga pelayanan sosial bagi golongan ini juga perlu mendapatkan perhatian khusus. Populasi usia lanjut yang termasuk golongan ini dapat dibagi lagi menjadi beberapa golongan, antara lain: . Merekayang mempunyai sakit akutringan atau sedang:

untuk golongan ini diperlukan upaya pelayanan kesehatan di puskesmas atau dokter praktek swasta,

.

dengan dukungan pendanaan yangjelas. Apabila perlu rujukan maka bangsal geriatri akut baik di RS kabupaten atau propinsi sudah harus dipersiapkan.

Mereka dengan sakit akut berat: golongan ini memerlukan pelayanan geri atriyang lebih lengkap dan

pemberian rumatan kesehatan, baik di rumah atau di rumah

sakit, tetapi beberapa dukungan peraturan mungkin diperlukan.

Klub usia lanjut: adalah suatu perkumpulan atau paguyuban para usia lanjut yang sebaiknya berasal dari satu lingkungan hunian. Dalam istilah sosial, klub ini sering disebut sebagai "karang wtedha". Di dalam klub ini para usia lanjut yang sehaVmandiri dapat mengadakan berbagai

kegiatan fisik/rohani-kejiwaan/sosial-ekonomi

secara

bersama-sama. Salah satu kegiatan dari klub ini adalah yang

disebut rumatan siang (day care) yang berupa kegiatan pemeriksaan kesehatan, rumatan fisik ringan, olahraga bersama dan upaya pencegahan dan promosi kesehatan lain secara bersama-sama. Kegiatan lain yang mungkin

bermanfaat untuk semua anggota klub, antara lain: peningkatan kesejahteraan bersama (dengan membentuk usaha ekonomikoperasi) yang merupakan upaya produktif yang menghasilkan. Pengadaan dan pengiriman makanan (meals on wheels), upaya pendalaman keagamaan (pengajian) dan lain-lain. Apabila klub ini mempunyai tempat khusus untuk melakukan kegiatan bersama, biasanya disebut sebagai pusat kegiatan usila. Meals on wheels adalah suatu usaha penyediaan dan pengiriman makanan bagi parausia lanjut/cacat yang tidak bisa menyediakan makanannya sendiri (baik karena tidak

786

mampu secara fisik/sosial ekonomi maupun karena jenis makanannya yang khusus (diet, vegetarian, dll). Upaya penyediaan makanan ini seringkali diorganisasikan oleh badan sosiaVLSM swasta. Pelayanan bantuan di rumah (home help service) merupakan suatu kegiatan pemberian bantuan pada para usia lanjut dengan berbagai keterbatasan fisik. Layanan bisa berupa pengerjaan berbagai kegiatan rumah tangga

GERIAIRI

bisa disediakan oleh suatu panti wredha atau bangsal geriatri kronis, berupa masuknya sementara seorang pasien geriatri kronis yang tadinya dirawat di rumah, dimaksudkan untuk memberi istirahat/liburan bagi keluarga yang merawatnya untuk menghindari kejenuhan dalam merawat pasien. Secara garis besar pelayanan kesejahteraan sosial bagi berbagai golongan usia lanjut dapat dilihat dari Tabel 4.

(pembersihan rumah, cucillaundry) atau pemberian rawatan/rehab llitasi (h o m e nu r s i n g I r e h a b i I i t a t i o n) di rumah. Pelayanan ini bisa diupayakan oleh layanan geriatri suatu puskesmas atau badan kesehatan swasta.

Hunian khusus usia lanjut: di samping para usia lanjut yang masih bisa dan mau tetap tinggal di rumahnya yang lama, terdapat beberapajenis hunian yang dirancang dan diperuntukkan bagi para usia lanjut, antara lain adalah: 1). Perumahan khusus usia lanjut: biasanya merupakan suatu kompleks dimana rumah-rumahnya sudah dibentuk

dan diatur sedemikian sehingga ukuran, perabotan dan peralatan sudah disesuaikan dengan kepentingan para usia lanjut. Lantaitidak licin, penerangan cukup, ukuran kursi, meja, tempat tidur, dan peralatan dapur sudah disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan para usia lanjut. Biasanya diperuntukkan bagi keluarga usia lanjut yang masih mandiri, yang anak-anaknya sudah berkeluarga dan hidup terpisah. 2). Perumahan usia lanjut yang terlindungi (sheltered housing): merupakan kelompok rumah dengan berbagai fasilitas khusus usia lanjut yang mempunyai berbagai keterbatasan fisik. Anak

tangga dilengkapi dengan ram (ramp) sehingga memudahkan akses dengan kursi roda, berbagai penyediaan pelayanan, misalnya penyediaan makanan, kebersihan rumah, kunjungan perawatan dll disediakan

oleh pengurus perumahan yang biasanya tinggal di daerah yang sama. 3). Panti wredha adalah suatu institusi hunian bersama dari para usia lanjut yang secara fisik/

UPAYAPEMERINTAH

Dalam berbagai upaya peningkatan kesehatan/ kesejahteraan/sosial bagi para usia lanjut, pemerintah tidak bisa dan tidakmungkin akan mampubertindak danbekerja

sendiri. Berbagai organisasi sosial-keagamaan perlu dimotivasi agar bersedia mendirikan berbagai pelayanan

yang diperlukan. Dalam hal ini pemerintah perlu mengadakan percontohan-percontohan.

Peran pemerintah yang penting

di samping upaya

percontohan adalah pembuatan peraturan/kebijakan yang diperlukan guna membantu memberikan jaminan atau pendapatan bagi para usia lanjut yang memerlukannya. UU Jaminan Kesehatan bagipara usia lanjut bisa dibuat

untuk menjamin agar setiap warga usia lanjut bisa memperoleh pelayanan kesehatan di institusi kesehatan milik pemerintah dengan biaya minimal atau bahkan tanpa biaya. UU Kesejahteraan Sosial dapat dibuat untuk memberikan bantuan sosial bagi semua usia lanjut yang tentu saja setelah melalui penglitian oleh petugas sosial

pendapatan per bulannya berada

di bawah

batas

kemiskinan. Dalam masalah perawatan pasien terminal perlu ditambahkan pasal (bilamana saat ini belum terdapat) dalam UU Narkotik yang memperlonggar syarat penggunaan narkotik-analgetik bagi pasien terminal untuk mengurangi rasa nyeri (biasanya pada pasien kanker stadium lanjuQ. Di masa depan diperkirakan akan banyak pasien dengan

kesehatan masih mandiri, akan tetapi (terutama) mempunyai keterbatasan di bidang sosial-ekonomi. Kebutuhan harian dari para penghuni biasanya

demensia yang memerlukan perhatian dalam hal perlindungan hak-haknya secara hukum. Untuk itu

disediakan oleh pengurus panti. Diselenggarakan oleh pemerintah atau swasta. 4). Panti-rawat wreda adalah suatu institusi hunian bagi usia lanjut yang oleh karena menderita penyakit kronis tetap memerlukan perawatan (nursing-care) dan atau rehabilitasi jangka panjang. Misalnya pasien pasca strok, PPOM, arhitis rematoid berat dan lain sebagainya. Pasien tersebut sudah tidak memerlukan perumatan di RS, namun akan menghadapi kesulitan untuk hidup di rumah sendiri. Sebagai suatu

lanjut yang termasuk golongan ini perlu diperhatikan. Pembentukan suatu badan perlindungan hukum mirip dengan guardianship board yang terdapat di negara maju juga mulai harus dipikirkan. Di samping itu beberapa konsesi bagi para usia lanjut di berbagai bidang, ar,tara lain bidang perumahan,

"aneks" dari suatu rumah sakit, institusi ini bisa menggantikan kedudukan suatu bangsal kronis geriafii yang seringkali pendiriannya terkendala oleh karena berbagai perbedaan kebutuhan dengan suatu rumah sakit (misalnya lama rawat yang panjang dsb). 5). Respilecare atau rumatan liburan adalah suatu pelayanan yang

pembuatan perangkat hukum yang mencakup para usia

transportasi, keuangan/perbankan bisa diatur secara nasional. Institusi-institusi perumahan, peralatan dan berbagai hal yang berkaitan dengan usia lanjut perlu didorong agar membuat desain khusus bagi keperluan para usia lanjut. Suatu pusat pelayanan kesej ahteraanbagipara usia lanjut dengan inti berupa pelayanan kesehatan, yang mencakup berbagai sektor kesejahteraan lain, terdapat di negara-negara maju dengan rama extended care service

for

the elderly.

787

PELAYAITAN KESEHATAITI SOSIAL DAN KESE'A}ITERAAN PADA USIA LANJUT

Layanan di Komunitas Sasaran

Dukungan Sosial

usia lanjut sehat

Klub usia lanjut (berbagai kegiatan) Dr.Praktek Swasta. Puskesmas

usia lanjut sakit akut flngan sampar sedang usia lanjut sakit akut berat usia lanjut yang perlu layanan perawatan/bantuan (di rumah)

Puskesmas / Dokter Praktek Swasta Bangsal geriatri akut

Bantuan ahli / sarana tingkatkan kesejahteraan

Rujukan ke Bagian Geriatri RS

Undang-Undang Jaminan Kesehatan usia lanjut

perawatan/Klinik rawat siang/bantuan makan/

usia lanjut yang perlu berbagai rehabilitasi usia lanjut yang tergantung secara sosial, masalah kesehatan minimal, mereka yang sangat rapuh / sangat tua

--

sda

--

-- sda -Peraturan Kesehatan lain

. Kunjungan rutin perawat petugas

.

kesehatan Bantuan makan/upaya kesejahteraan lain

. Puskesmas/Dr. Praktek

usia lanjut dengan gangguan mental

swasta . Psikogeriatri

Modifikasi rumah (bila perlu)

--

sda

--

--

sda

--

--

sda

--

--

sda

--

--

sda

--

Kunjungan

kerja di rumah Kunjungan perawatan/ petugas rehabilitasi/Klinik rawat srang

Dukungan Hunian

Jangka Panjang

Jangka Sedang

Perluasan UU Jaminan Kesejahteraan Sosial

Modifikasi rumah / peralatan

--

sda

--

UU Jaminan UU Jaminan Kesehatan &

Sosial bagi usia lanjut

. r

Kesejahteraan Sosial (untuk semua usia lanjut), Berbagai konsesi

Panti wredha / rawat wredha

UU Jaminan Kesehatan &

Panti wredha / rawat

lnstalasi Psikogeriatri RSJ

Badan Perlindungan usia lanjut

Sosial

wredha

(Guardianshipboardl Disorientasi berat, ambulatorik tapi perlu pengawasan usia lanjut dengan sakit kronis tak bisa hidup sendiri usia lanjut dengan sakit terminal

Bangsal psikogeriatri di RS Jiwa Bangsal geriatri kronis/Panti Rawat Wredha Perawatan hospis di rumah/RS,Kon-sultasi keluarga

--

--

sda

UU Jaminan Kesejahteraan

Sosial bagi usia lanjut

.

o

UU narkotika

Tim Hospis di RS

MASA DEPAN PELAYANAN PADA USIA LANJUT DIINDONESIA Dengan makin meningkatnya jumlah populasi usia lanjut di Indonesia, jelaslah pelayanan pada usia lanjut akan makin dibutuhkan. Akan tetapi beberapa masalah perlu

digarisbawahi sebelum keberhasilan dalam pelayanan tersebut dapat dicapai. Masalah yang mungkin timbul adalah:

.

kesiapan sumber daya, baik fasilitas fisik maupun

.

ketenagaan pelayanan geriatri hanyalah merupakan sebagian dari

pelayanan kesehatan menyeluruh yang seperti diketahui berupa pelayanan kesejahteraan itu sendiri. Oleh karenanya kesiapan dari pemerintah, masyarakat, dan populasi usia lanjut harus sedemikian rupa sehingga keterpaduan tpaya dapat dilaksanakan. Oleh karena itu beberapa upaya perlu dipersiapkan agar

geiatri

sda

sda

sda

--- sda

--

Panti wredha / rawat wredha

--- sda

--

di rumah sakit tipe A. Sumber daya manusia meliputi semua tenaga kesehatan dan kesejahteraan yang diharapkan memberikan layanan pada populasi usia lanjut, mulai perawat, tenaga sosiaUsosio-medik, tenaga rehabilitasi, dan lain-lain. Hal ini membutuhkanupayabukan saja dari departemen kesehatan akan tetapi juga dari departemen P dan K, dan departemen lain yang terkait. 2). Pengertian tentang kesehatan usia lanjut bukan saja hanya perlu dimengerti dan dipahami oleh jajaran tenaga kesehatan, akan tetapi juga oleh jajaran tenaga kesejahteraan, sehingga upaya yang perlu dilakukan bisa dijalankan

secara terpadu.

KESIMPULAN Di bidang peningkatan kesehatan dan kesejahteraan sosial

bagi para usia lanjut, Indonesia sangat tertinggal

khususnya dan pelayanan

dibandingkan negara-negara maju. Karena sifat kerapuhan

kesejahteraan usia lanjut pada umumnya dapat dicapai, yaitu: l). Penyiapan fasilitas dan sumber daya fisikmaupun manusia. Fasilitas meliputi kelengkapan mulai di tingkat layanan berbasis masyarakat sampai ke fasilitas rujukan

pada usia lanjut yang merupakan kombinasi afltara berbagai aspek fisik, psikis, sosial dan lingkungan, maka

usaha pelayar.ar,

bantuan kesehatan, kesejahteraan dan sosial bagi para usia lanjut harus merupakan suatu kesatuan antara berbagai

788

GERIAIRI

aspek kesejahteraan. Oleh karena sifat heterogenitas populasi usia lanjut, maka jenis dan macam bantuan

Hazzard, WR. Introduction, the practice

kesejahteraan bagi para usia lanjutjuga bermacam-macam.

Halter, editors.l994. Kane RL, Ouslander Jr, Abrass IT. The geriatric department in essentials of clinical geriatrics. New York: McGraw-Hill Inform.

Dua hal yang merupakan dasar bagi bantuan tersebut adalah bantuan peningkatan pendapatan, pelayanan

Di samping itu hunian perlu

kesehatan, dan bantuan upaya kesehatan.

upaya bantuan berbagai jenis

diselenggarakan bagi para usia lanjut yang memerlukannya.

Statt extended care seryice bagi usia lanjut yang merupakan pelayanan multidimensional di bidang kesejahteraan sosial yang berintikan pelayanan kesehatan,

terdapat di berbagai negara maju, yang mungkin bisa dikembangkan di Indonesia. Kita menyadari bahwa banyak dari bahasan tersebut di atas barulah merupakan konsep yang dibuat atas dasar pengalaman di luar negeri, yang kemudian sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada dicoba diterapkan di Indonesia. Konsep tersebut tentu saja akan tinggal menjadi konsep yang tidak berguna tanpa upaya untuk mewujudkannya menjadi kenyataan.

of geratric medicine. In: WR. Hazzard, EL. Bierman, JP. Blass, WH. Ettinger, JB.

Ser.Coy;1989. Martono H. Department of geriatric and rehabilitation medicine, a comparative study from Royal Adelaide hospital and its posible application in Indonesia, paper presented at Royal Adelaide

Hospital, 1987. Martono H. Aspek fisiologik dan patologik usia lanjut. Lokakarya Geriatri BagiaruiUPF Ilmu Penyakit Dalam FK UNDIP/ RS Dr. Kariadi Semarang. t993. Martono H. Geriatri pencegahan dalam simposium awam tentang kesehatan usia lanjut dalam rangka HUT PMI Semarang, 1993. 7.

Martono H. Beberapa prinsip geriatri. Simposium geriatri dalam rangka KOPAPDI Padang, Juni 1996. Martono H, Darmojo B. Pelayanan kesehatan usia lanjut di masyarakat berbasis rumah sakit, lokakarya kesehatan jiwa. Ciawi: DEPKES R.I.; 1993. Martono H. Pelayanan sosial dan kesejahteraan bagi usia lanjuL In: R Boedhi-Darmojo, Hadi-Martono, editors. Buku ajar geriatri. Edisi

3;2003.

REFERENSI Burvill PB. Psychiatric assesment of the elderly. In: Wame RW, Prinsley DM, editors. A manual of geriatric care. Sidney: Williams&Wilkins Assc; 1988. p. 53-65. Coni N, Davidson W, Webster S. The geriatric department in lecture notes in geriatric medicine. 2nd edition. Oxford: Blackwell Sc.Publ; 1980. p. 60-78. Editor(s). The role of consultant physician in geriatric medicine The Newsletter, The Australian Society of Geriatric Medicine, September, 1996,1.

Maguire GH, et al. The team approach in action. In: Maguire GH, editor. Care of the elderly: a health team approach. Boston: Little Brown and Coy; 1985. p. 221-69. Mykyta L. Aged care, the South Australia experience. Simposium Usia lanjut menjelang tahun 2000, Jakarta 1992. Stieglitz EJ. Geriatric medicine. 3'd edition. Philadelphia, London

Montreal: JB Lippincott Co; 1954. TPPG: Katalog Pendidikan dan Pelayanan Geriatri PB PAPDI, 1993. Wieland D, Ferrell BA, Rubenstein LZ. Geriatrrc home health care,

BA. Fenell, LZ. Rubenstein, editors. Geriatric home care. Philadeiphia: W.B. Saunders Comp; 1991. p.645 - 54. conceptual and demographic consideration. In:

tzB REGULASI SUHU PAT'A USIA LANJUT Siti Setiati, Nina Kemala Sari

PENDAHULUAN

kurang gerak,krxangnya tingkat kebugaran, dan berbagai penyakit. Pada usia lanjut, suhu oral rata-rataadalah36C. Berbagai studi yang menunjukkan suhu tubuh inti pada usia lanjut lebih rendah daripada dewasa muda tampaknya mencerminkan pengaruh status nutrisi, penyakit,'dian obat-

Kemampuan mengatur suhu pada usia lanjut berkurang dengan meningkatnya usia. Dengan bertambahnya usia, irama sirkadian suhu tubuh berkurang amplitudonya. Irama sirkadian pada temperatur inti disebabkan oleh irama sirkadian dalam produksi dan kehilangan panas. Suhu tubuh inti maksimal pada sore hari dan mencapai minimum pada dini hari. Suhu tubuh inti merupakan satu indikator yang paling kuat dan stabil yang mencerminkan aktivitas

obatan.

PERUBAHAN PADA TERMORESEPSI USIA I.ANJUT

irama sirkadian. Sistem termoregulasi dapat dikonsep mengandung 3

Ujung sarafbebas yang terkait dengan sensasi suhu tetap utuh pada usia lanjut, beilawanan dengan berkurangnya jumlah reseptor kulit rasa sentuh seperti badan Meissner

bagian: jalur aferen termosensitif, integrasi neuron dan sistem kontrol, danjalur efektor desenden yang mangubah perolehan atau kehilangan panas. Anatomi fungsional dan mekanisme fisiologis kompartemen-kompartemen ini,

mencakup perubahan

-

dan Pacini. Selain itu, kecepatan hantaran juga tetap utuh pada usia lanjut. Daerah sensoris primer neokortikal juga

perubahan karena modulasi

tetap relatifintak pada usia lanjut. Disregulasi suhu pada usia lanjut merupakan contoh

sirkadian dan proses menua seperti termoresepsi, termogenesis (perolehan dan retensi panas), kehilangan

berkurangnya regulasi mekanisme homeostatis yang te{adi dengan meningkatnya usia. Orang-orang tua kurang dapat menyesuaikan diri terhadap suhu lingkunganyang ekstrim. Keadaan hipotermi dan hipertermi merupakan gangguan regulasi suhu yang sering terdapat pada usia lanjut. Terdapat bukti peningkatan morbiditas dan mortalitas pada periode musim panas dan musim dingin

panas dan kurangnya perolehan panas, kontrol termoregulasi sentral, perubahan-perubahan terkait usia lanjut dalam modulasi sirkadian suhu tubuh, siklus suhu

harian yang memiliki implikasi fungsional penting. Meningkatnya kerentanan terhadap deviasi dari batas normal siklus ini pada usia lanjut memiliki konsekuensi

pada populasi usia lanjut. Mayoritas penyakit ini disebabkan oleh peningkatan insidensi gangguan

fungsi dan kesehatan fisik dan mental. Karena itu, ponting

untuk memeriksa faktor-faktor yang memengaruhi termoregulasi dan amplitudo irama suhu.

kardiovaskular (infark miokard dan strok) dan penyakitpenyakit infeksi (pneumonia) selama masa suhu ekstrim.

Penting juga dibedakan pembahan-perubahan terkait usia yang primer dan sekunder. Perubahan terkait usia

primer adalah hal yangjuga terdapat pada usia lanjut sehat, atau setelah koreksi perubahan-perubahan sekunder. Perubahan-perubahan terkait usia sekunder adalah hal yang bukan semata-mata disebabkan oleh proses menua tetapi torhadap faktor-faktor yang mana orang tua berada pada risiko tinggi. Sebagai contoh adalah gaya hidup

HIPOTERMIA

Definisi Hipotermia didefinisikan sebagai temperatur tubuh inti (rektal, esofageal, timpani) kurang dari 35"C.

789

790

GERI'TIRI

Patofisiologi Kerentanan seorang usia lanjut terhadap hipotermia berhubungan dengan adanya penyakit dan perubahan fisiologis. Pusat termoregulasi menjaga suhu tubuh melalui

kontrol keringat, vasokonstriksi,

vasodilatasi,

Gangguan termoregulapi dapat terjadi sebagai hasil disfungsi sistem hipotalamus dan sistem saraf pusat atau karena obat. Trauma, hipoksia, tumor, atau penyakit serebrovaskular dapat mengganggu regulasi sentral suhu. Obat-obat yang paling sering terkait hipotermia adalah

termogenesis kimia, dan menggigil. Berkurangnya sensasi terhadap suhu dingin dan gangguan sensitivitas terhadap

etanol, barbiturat, fenotiazin, benzodiazepin, obat anestesi,

perubahan temperatur dikaitkan dengan memburuknya termoregulasi pada usia lanjut dan dapat menyebabkan perilaku maladaptif pada lingkungan dingin. Pada usia lanjut, proses menggigil biasanya kurang intens, meskipun terdapat kehilangan suhu tubuh inti yang lebih besar.

karena bekerja sebagai vasodilator, penekan sistem saraf pusat, anestetik, penyebab hipoglikemia, dan faktor risiko trauma dan pajanan lingkungan. Fenotiazin menghambat menggigil melalui efek kurare perifer. Pada sepsis, hipotermia mencerminkan perubahan titik setting hipotalamus dan tanggapan tubuh yang berkurang serta sering paradoks terhadap pirogen sebagai mekanisme

Karena proses menggigil yang maksimal akan meningkatkan produksi panas 3 hingga 5 kali lipat lebih besar daripada saat istirahat, orang tua dengan gangguan proses menggigil atau proses menggigil yang kurang efisien akan meningkatkan risiko terjadinya hipotermia. Mekanisme di mana defisit adrenergik berkontribusi terhadap timbulnya hipotermia pada populasi usia lanjut

belum dapat ditentukan. Bagaimana pun, respons vasokonstriktor otonom abnormal terhadap dingin merupakan faktor kunci terjadinya disregulasi suhu pada usia lanjut. Disregulasi otonom ini juga bermanifestasi pada

insidensi hipotensi ortostatik yang lebih tinggi pada orang-orang dengan risiko hipotermia. Berkurangnya termogenesis merupakan faktor kunci lainnya dalam terjadinya disregulasi suhu pada usia lanjut. Ketuaan berkaitan dengan berkurangnya termogenesis yang diperantarai oleh beta adrenergik. Laju metabolisme juga lebih rendah pada usia lanjut karena berkurangnya massa tubuh kering sehingga berkontribusi terhadap risiko hipotermia pada individu-individu ini. Efek termal makanan juga berkurang pada usia lanjut. Karena lemak tubuh berkontribusi untuk menahan kehilangan panas, usia lanjut yang kurus dengan berkurangnya massa lemak juga meningkatkan risiko hipotermia. Di samping pajanan aktual terhadap dingin, terdapat faktor-faktor predisposisi tubuh terhadap hipotermia. Gangguan terkait pemrnrnan produksi panas mencakup hipotiroidisme, hipoglikemia, kelaparan, dan malnutrisi. Kondisi endokrinopati yang paling sering menimbulkan hipotermia adalah hipotiroidisme, yakni 80% pasien yang dialami karena penurunan laju metabolisme dan

kalorigenesis. Hipoglikemia juga menyebabkan

berkurangnya proses menggigil, mungkin melalui efek sental. Hipotermia juga terjadi pada lebih dari 50% pasien

dengan hipoglikemia. Kelaparan dan malnutrisi berkontribusi terhadap risiko hipotermia karena berkurangnya massa tubuh kering total dan simpanan energi untuk kalorigenesis seperti kehilangan lemak tubuh dengan efek penyekatnya. Imobilisasi dan berkurangnya aktivitas karena strok, artritis, dan parkinsonism juga menyebabkan berkurangnya produksi panas. Pada pasien

dengan parkinsonism, disfungsi autonom juga berkontribusi terhadap disregulasi suhu.

dan opioid. Etanol merupakan predisposisi hipotermia

pertahanan tubuh yang berlebihan. Pada penyakit

kardiovaskular, sistem sirkulasi mungkin tak dapat merespons perubahan-perubahan tekanan suhu tubuh atau terhadap kebutuhan mekanisme regulasi seperti menggigil. Pada individu usia lanjut, terutama yang tinggal sendiri atau hidup sendiri, kurangnya pemanasan sentral,

kegagalan menggunakan panas (apa pun jenisnya), dan demensia atau konfusi berkaitan dengan meningkatnya risiko hipotermia. Berikut ini adalah tabel faktor-faktor yang meningkatkan risiko hipotermia pada usia lanjut:

Gangguan termoregulasi Kegagalan vasokonstriksi segera pada pajanan dingin Kegagalan merasakan dingin

Kegagalan tanggapan perilaku untuk melindungi diri dari cuaca dingin

Berkurang atau tidak adanya proses menggigil untuk membentuk panas Kegagalan respons peningkatan laju metabolisme terhadap dingin

Kondisi-kondisi yang menurunkan produksi panas Hipotiroidisme, hipopituitarisme, hipoglikemia, anemia, malnutrisi, kelaparan lmobilisasi/berkurangnya aktivitas (contoh: strok, kelumpuhan, parkinson, demensia, artritis, fraktur panggul, koma) Ketoasidosis diabetikum

Kondisi-kondisi yang meningkatkan kehilangan panas Luka terbuka, inflamasi umum di kulit, luka bakar

Kondisi-kondisi yang mengganggu kontrol termoregulasi sentral atau perifer Strok, tumor otak, ensefalopati Wernicke, perdarahan subarachnoid Uremia, neuropati (contoh: diabetes, alkoholisme) Penyakit akut (contoh: pneumonia, sepsis, Ml, CHF, emboli paru, pankreatitis)

Obat-obat yang mengganggu termoregulasi Penenang (contoh: fenotiazin) Hipnotik sedatif (contoh: barbiturat, benzodiazepin) Antidepresi (contoh: trisiklik) Obat-obat vasoaktif (contoh: vasodilator) Alkohol (menyebabkan vasodilatasi superfisial) Lain-lain: metildopa, litium, morfin

791

REGULASI SUHU PADA USIA LANJUT

Klinis Karena gejala awal sangat tidak spesifik dan samar-samar, perlu kewaspadaan yang tinggi untuk deteksi dini. Riwayat adanya pajandn akan sangat membantu tetapi pasien usia lanjut dapat mengalami hipotermia bahkan pada suhu sedang. Tanda-tanda awal yang terjadi pada suhu inti 3235'C adalah kelelahan, kelemahan, melambatnya gerakan,

apati, bicara tidakjelas, kebingungan, dan kulit dingin. Hipopnea dan sianosis ada, pertama karena berkurangnya kebutuhan metabolik dan kemudian karena depresi dorongan respirasi sentral. Bradikardia, aritmia atrium dan ventrikel serta hipotensi juga terjadi. Semikoma atau koma dan rigiditas muskular juga terdapat. Hilang kesadaran biasanya terjadi bila suhu otak mencapai 3 2-30"C. Refleksrefleks melambat dan pupil kurang reaktif. Bisa terdapat edema umum dan poliuria atau oliguria. Pajanan dingin dikaitkan dengan diuresis ar dar. zat terlarutnya. Kontraksi volume terjadi karena diuresis danjuga karena pergeseran cairan ekstrasel dan intrasel. Ketika suhu tubuh turun dari 28'C, kulit menjadi sangat kering, individu menjadi tidak responsif, kah.r/rigid, arefleksia dan terfiksir, pupil dilatasi. Apnea dan fibrilasi ventrikel sering terjadi. Pasien kadangkadang disangka sudah meninggal. Berbagai laporan kasus menggambarkan pasien-pasien yang bertahan

setelah ditemukan tidak bernapas atau nadinya tak berdenyut.

Komplikasi dini yang paling penting dari hipotermia

berat adalah aritmia serta henti jantung dan napas. Komplikasi lanjut mencakup bronkopneumonia dan pneumonia aspirasi. Refleks batuk ditekan oleh hipotermia, dan dingin menyebabkan banyaknya produksi sekresi bronkial yang kental. Edema paru mungkin terjadi terutama pada

individu dengan penyakit kardiovaskular. Pankreatitis dan perdarahan traktus gastrointestinal merupakan komplikasi yang sering meskipun perdarahan masif jarang terjadi.

QRS. Kelainan ini kembali hilang bila suhu kembali normal. Kelainan lain yang sering adalah bradikardia dan pemanjangan interval P-R, QRS kompleks, segmen Ql selain fibrilasi atrial, kontraksi ventrikel prematur, dan fibrilasi ventrikel. Perubahan-perubahan EKG bisa menyerupai iskemi atau infark miokard akut. Seringkali, diagnosis banding tersulit pada hipotermia

adalah hipotiroidisme, penyebab tersering hipotermia. Riwayat adanya penyakit tiroid terdahulu, jaringan parut di leher bekas operasi tiroid, dan melambatnya fase relaksasi refleks tendon dalam dapat membantu diagnosis hipotiroidisme.

Terapi Perawatan gawat darurat. Di lapangan, pasien dengan hipotermia harus segera dipindahkan dari lingkungan dingin, daerah berangin, dan kontak dengan objek yang dingin, Pakaian basah harus disingkirkan untuk mencegah kehilangan panas lebih jauh. Harus digunakan beberapa lapis selimut. Pasien harus dipindahkan dengan hati-hati, karena dingin, jantung dengan bradikardia sangat sensitif sehingga stimulus ringan pun dapat mencetuskan fibrilasi

ventrikel atau asistol. Monitor jantung harus segera dilakukan. Pasien dengan denyutjantung yang terdeteksi dan dapat bernapas spontan meskipun sangat lambat, jangan mendapat perlakuan salah dengan tindakan yang tidak perlu seperti kompresi dada atat pemasangan pacu jantung. Sebaliknya, pasien dengan fibrilasi ventrikel atau asistole harus diresusitasi tetapi jantun gyalgdingin dapat

menjadi relatif tidak responsif terhadap obat-obat atau stimulasi listrik. Cairan intravena, lebih baik dekstrosa 5olo, natrium fisiologis tanpa kalium, harus dihangatkan sebelum

digunakan.

Mungkin terjadi gagal ginjal akut. Trombosis intravaskular

Perawatan umum. Di rumah sakit, terapi dukunganumum untuk hipotermia berat terdiri dari tatalaksana perawatan

merupakan komplikasi hemokonsentrasi dan perubahan-

intensif dari disfungsi multisistem yang kompleks.

perubahan viskositas yang diinduksi oleh suhu.

Mortalitas biasanya lebih dari 50% untuk hipotermia berat dan meningkat dengan bertambahnya usia dan sangat

Abnormalitas EKG sering terjadi. Temuan EKG yang paling spesifik adalah gelombang Osborne setelah kompleks

Tanda Awal Suhu 32-35'C Kelelahan Kelemahan Berjalan lambat Apatis Bicara tak jelas Kebingungan/konfus Menggigil (t) Kulit dingin Sensasi dingin (t)

Tanda-tanda Lanjut Suhu 28-30'C Kulit dingin Hipo.pnea

Sianosis Bradikardia Aritmia atrial dan ventrikular Hipotensi Semikoma dan koma Otot kaku Edema umum Refleks melambat Reaksi pupil lambat Poliuria atau oliguria

berhubungan dengan penyakit yang mendasarinya.

Tanda-tanda Lebih Lanjut Suhu < 28oC Kulit sangat dingin Rigiditas Apnea Tak ada denyut nadi- fibrilasi ventrikel Arefleksia Tidak bereaksi Pupil kaku, tidak bergerak

792

G,ERIITIXI

Tiap usaha harus dilalarkan untuk menilai dan mengatasi setiap gangguan medis yang mungkin berkontribusi (contoh: infeksi, hipotiroidisme, atau hipoglikemia). Sering terdapat infeksi yang mendasari. Hipotermia pada pasien usia lanjut awalnya harus ditatalaksana sebagai sepsis sampai terbukti tidak ada. Jika dicurigai hipotiroidisme, pasien harus segera diberi levotiroksin 0,5 mg intravena dan kortikosteroid. Meskipun pada pasien harus segera dipasang monitor EKG rutin, jalur vena sentral harus dihindari jika mungkin, karena iritabilitas miokard.

.Karena

metabolisme melambat, banyak obat

memberikan sedikit efek pada pasien hipotermia yang berat

namun dapat menimbulkan masalah saat pasien dihangatkan kembali. Aritmia biasanya resisten terhadap kardioversi dan terapi obat. Insulin tidak efektifpada suhu

kurang dari 30"C dan harus dihindari pada pasien hiperglikemia dengan hipotermia. Jika diberikan selama hipotermia, insul!1 dapat nrenimbulkan hipoglikemia saat pasien telah dihaigatkan. Resistensi insulin membaik spontan saat suhu tubuh inti meningkat. Pada hipotermia kronik (berlangsung lebih dari 12 jam),kekurangan cairan

bisa berat dan diperlukan penggantian cairan saat pemanasan terjadi. Gas darah harus diobservasi untuk menilai fungsi pernapasan. Terapi oksigen, sedotan paru,

dan intubasi endotrakea mungkin dibutuhkan saat pemanasan terjadi. Pada kasus dengan aritmia serius, asidosis, serta gangguan cairan dan elektrolit, biasanya

digunakan untuk mengatasi hipotermia pada pasien dengan penyakit kritis. Pada prosedur ini kateter arteri dan

vena femoral dipasang perkutan, dihubungkan ke saluran masuk keluar cairan lebih hangat untuk msrnbuat fistel melalui mekanisme pemanasan. Pada sebuah studi yang membandingkan CAVR dan teknik pemanasan standar, CAVR berkaitan dengan mernbaiknya kelangsungan hidup setelah trauma sedang berat dan berkurangnya secara bermakna kebutuhan darah dan cairan, gagal organ, dan

lama rawat di ICU. Pendekatan lain adalah dengan menggunakan lavase gaster, dimana ditempatkan balon di lambung dan diisi dengan air. Dengan metode ini, daerah yang diFanaskan lebih kecil daripada dengan dialisis peritoneal dan iritasi faring lokal dapat mencetuskan aritrnia.

Dialisis peritoneal dan pemanas6 inhalasi mungkin merupakan teknik yang paling praktis. Namun, terapi inhalasi tidak begitu efektif pada hipoGrmia sedang sampai berat. Dialisis peritoneal monberi sedikit risiko bagr pasieg

mudah dilakukan, butuh peralatan sederhana,,lan dapat dilakukan di setiap rumah sakit. Lebih baik dipilih dialisis dengan2liter larutan bebas kalium. Biasanya normotennia dicapai setelah 6 sampai 8 kali penggantian. Enernajarang dilakukan namun dapat dikerjakan bersamaan deqgan dialisis. Mortalitas biasanya lebih dari 5OYo pada hipotermia berat, yang bertambah dengan meningkatnya usia dan terutama berhubungan dengan penyakit yang mendasari.

tanggapan terhadap terapi hanya setelah dilakukan pemanasan. Lebih baik menstabilkan pasien dan segera melakukan teknik pemanasan spesifft .

Pemanasan. Unhrk hipotermia ringan (>32"C) biasanya diberikan pemanasan pasif dengan bahan penyekat/ pengisolasi dan menempatkanpasien di lingkungan hangat (>21 "C). Pemanasan eksternal aktif (selimut listrik, matras hangat, dan botol air hangat, berendam/mandi air hangat) merupakan teknik yang lebih cepat untuk pemanasan daripada prosedur pasif. Bagaimana pun, pemanasan

eksternal aktif pada kondisi

ini berkaitan

dengan

peningkatan morbiditas dan mortalitas karena darah yang

dingin dapat secara tiba-tiba dialihkan ke suhu inti sehingga menurunkan suhu inti lebih jauh lagi. Vasodilatasi

perifer karena pematrasan eksternal dapat mencetuskan syok hipovolemik dengan berkuranpya volume darah sirkulasi. Untuk hipotermia yang lebih berat (<32"C) diperlukan pematrasan inti. Beberapa teknik pemanasan inti dapat digunakan tetapi hasil positif hanya dilaporkan oleh studistudi yang kecil dan tidak terkontrol. Lavase mediastinum cukup efektifnamun ini menrpakan prosdur bedah rxryorSirkulasi ekstrakorporeal merupakan metode cepat rmtuk pemanas:m tetapi membutuhkan unit khusus rumah sakit, juga terdapat risiko hipotensi dan perdarahan dengan

penggutraan heparin. Pemanasan arteri vena rutin (Continuous,Arterio l/enous Reworming/CAZR) telah

HIPERTERMIA

Definisi Hipertermia adalah peningkatan suhu tubuh di atas titik pengaturan hipotalamus bila mekanisme pengeluaran panas terganggu (oleh obat atau penyakit) atau dipengaruhi oleh panas eksternal (lingkungan) atau internal(metabolik). Sengatan patas (heat stroke) per defrnisi adalah penyakit berat dengan ciri ternperatur inti > 40"C disertai kulit panas dan kering serta abnormalitas sistern sarafpusat seperti delirium, kejang, ataukomayang disebabkan oleh pajanan panas lingkungan (sengatan panas klasik) atau kegiatan fisis yang berat (sengatan panas terkait aktivitas).

Patofisiologi Sengatan panas didefinisikan sebagai kegagalan akut pemeliharaan suhu tubuh normal dalam mengatasi lingkungan yang panas. Orang tua biasanya mengalami

sengatan panas yang tidak terkait aktivitas karena ganggum kehilangan panas dan kegagalan mekanisme homeostatik. Seperti pada hipotermia, kerentanan usia lanjut terhadap sengatan panas berhubungan dengan penyakit dan perubahan-perubahan fisiologis.

793

REGULI\$ SUHU PAT'A USIA LANJUT

Heat wavel

gelombang panas Heaf stress/ stres

panas

Hipertermia

Tiga hari atau lebih berturulturut dimana suhu udara > 32,2C.

tidak

nyaman dan ketegangan fi siologis berhubungan dengan pajanan lingkungan panas, terutama saat kerja fisis. Peningkatan suhu tubuh di atas titik pengaturan hipotalamus bila mekanisme pengeluaran panas atau terganggu (oleh penyakit) atau jenuh oleh panas eksternal (lingkungan atau induksi) atau internal (metabolik). Penyakit ringan sampai sedang karena kehilangan air dan garam akibat pajanan dengan lingkungan panas atau latihan fisis yang berat; tanda dan gejala mencakup rasa sangat haus, kelemahan, tidak nyaman, cemas, pusing, pingsan, dan sakit kepala; suhu bawah inti dapat normal, normal, atau sedikit meningkat (>37"C tetapi <40'C). Penyakit berat dengan ciri suhu tubuh inti >40'C dan abnormalitas sistem saraf pusat seperti delirium, kejang, atau koma pajanan terhadap lingkungan panas (sengatan panas klasik) atau latihan fisis yang berat (sengatan panas terkait aktivitas). Kelanjutan perubahan-perubahan yang terjadi pada lebih dari satu sistem organ setelah adanya gangguan seperti trauma, sepsis atau senqatan panas. Perasaan

obat

Heat exhaustion

/kelelahan panas

di

Heat sfroke/sengatan panas

karena

Sindrom disfungsi

multiorgan

Fungsi Kelenjar Keringat Gangguan sistem termoregulasi dengan berkurang atau tidak adanya keringat merupakan penyebab terpenting sengatan panas pada lingkungan panas. Respons berkeringat terhadap stimulasi panas dan neurokimia berkurang pada usia lanjut dibandingkan dengan dewasa muda. Juga terdapat ambang suhu inti yang lebih tinggi pada usia lanjut untuk memulai proses berkeringat. Pada kondisi stres panas, manusia mengaktifkan kelenjar keringat ekrin (di bawah kontrol kolinergis simpatis) dan kemampuan kelenjar tersebut untuk mengeluarkan keringat untuk mengatur suhu tubuh. Meskipun terdapat variasi luas antar individu sebagai respons kelenjar keringat terhadap stimulus farmakologis (contohnya oleh analog kolinergis seperti metilkolin atau pilokarpin), terdapat pengaruh proses menua yang jelas. Laju berkeringat lokal lebih rendah pada usia lanjut yang mendapat stimulus

sangat kecil pada kelenjar yang diaktifkan secara farmakologis sampai usia 60 tahun namun setelah usia 70 dan 80 tahun fungsi kelenjar merurrun secara bertahap. Temuan lain memperlihatkan perbedaan pola distribusi keringat. Pengaruh penuaan terhadap menurunnya fungsi kelenjar keringat lebih jelas terlihat di daerah dahi dan ekstremitas daripada di badan.

Aliran Darah Kulit Respons aliran darah kulit terhadap pemanasan lokal langsung pada kulit nonakral berkurang pada usia lanjut. Berkurangnya perfusi kulit pada usia lanjut berkaitan dengan hilangnya unit-unit fungsional pleksus kapiler. Pada kulit yang menua, bagian dalam epidermis mendatar

sehingga menjadi rata pada orang yang sangat tua. Transformasi ini berhubungan dengan kolapsnya, disorganisasi, dan hilangnya pembuluh-pembuluh darah mikrosirkulasi di papilaris kulit dan pleksus vaskular superfisial. Perubahan anatomis ini mendukung peran perubahan struktural pada berkurangnya kapasitas aliran darah kulit maksimal pada usia lanjut. Meskipun ambilan

oksigen maksimal, status penyesuaian

diri, hidrasi,

penyakit-penyakit, dan obat-obatan dapat memengaruhi aliran darah kulit, ketidakmampuan relatifkulit yang menua untuk vasodilatasi tampaknya merupakan konsekuensi utama pada usia lanjut.

Gurah Jantung Adaptasi kardiovaskular normal terhadap stres panas berat adalah dengan meningkatkan curah jantung hingga 20

liter per menit dan pergeseran darah yang panas dari sirkulasi inti ke sirkulasi perifer. Ketidakmampuan untuk meningkatkan curah jantung karena adanya deplesi air dan

garam, penyakit kardiovaskular, atau pengaruh obatobatan yang menganggu fungsi jantung dapat menghambat toleransi panas yang mengakibatkan kerentanan terhadap sengatan panas. Berkurangnya cqrah jantung pada usia lanjut terutama merupakan akibat dari berkurangnya isi sekuncup karena orang tua dapat meningkatkan denyut jantungnya seperti pada dewasa muda. Bagaimanapun, untuk mencapai peningkatan denyut

jantung ini, usia lanjut perlu mencapai proporsi yang lebih besar dari cadangan denyutjantungnya. Meskipun hasil ini untuk pria, sebuah studi yang menggunakan protokol pemanasan yang sama menemukan bahwa perempuan (5280 tahun) tidak mengalami penurunan isi sekuncup dengan

pemanasan pasif langsung. Ini benar untuk perempuan yang tidak mendapat HRT ataupun estrogen, progesteron,

dan kombinasi terapi hormon. Mekanisme adanya perbedaan antarjenis kelamin ini masih belum diketahui.

farmakolo gis. Densitas kelenj ar-kelenj ar yang diaktifkan

secara farmakologis tidak dipengaruhi usia, efek ini disebabkan oleh produksi keringat yang lebih sedikit per kelenjar yang diaktifkan. Menurut Sato, pengaruh usia

Redistribusi Aliran Darah Studi yang menunjukkan berkurangnya aliran darah kulit pada usia lanjut ternyata tidak saja berhubungan dengan

794

GERIITTRI

berkurangnya peningkatan curah jantung namun juga dengan berkurangnya redistribusi aliran darah dari sirkulasi splanknikus dan ginj al. Bila pengaruh ortostatik ditambahkan pada pemanasan

pasif, pria usia lanjut bereaksi bermakna

pada berkurangnya aliran darah perifer dibandingkan dewasa muda. Karena itu, tampaknya penuaan berhubungan dengan berkurangnya respons aliran darah kulit baik

terhadap refleks vasodilatasi aktif maupun refleks nontermoregulasi (barorefleks) di pembuluh darah kulit selama stres panas. Bukti lebih lanjut untuk perubahan respons perifer ditunjang oleh studi yang menunjukkan

bahwa selama tes kemiringan kepala pada kondisi normotermi, pria usia lanjut menunjukkan berkuralgnya

diantaranya dapat mengganggu respons terhadap kondisi

panas. Antikolinergik, fenotiazin, dan antidepresi menimbulkan hipohidrosis. Diuretik berkaitan dengan hipovolemia dan hipokalemia, dan beta bloker dapat menekan fungsi miokard. Sengatan panas dan progresivitas menjadi sindrom disfungsi multiorgan disebabkan olen interaksi kompleks perubahan-perubahan fisiologis akut terkait hipertermia (kegagalan sirkulasi, hipoksia, dan peningkatan kebutuhan metabolik), efek sitotoksik langsung dari panas, dan respon inflamasi dan koagulasi tubuh. Rangkaian peristiwa ini menimbulkan perubahan-perubahan dalam aliran darah mikrosirkulasi dan mengakibatkan trauma pada endotel vaskular danjaringan.

peningkatan resistensi vaskular dahi dibandingkan dewasa muda. Bagaimanapun pada studi ini, resistensi vaskular splanknikus meningkat lebih besar pada kelompok usia lanjut. Temuan ini menunjukkan bahwa perubahan-

perubahan terkait usia pada struktur dan regulasi pembuluh darah perifer mengharuskan adanya modifikasi mekanisme kontrol homeostatik sistem kardiovaskular. Kematian orang-orang tua pada masa gelombang panas biasanya dianggap karena penyakitjantung atau masalah kardiovaskular lainnya yang dieksaserbasi oleh stres panas. Bagaimana pun, beberapa morbiditas berhubungan

langsung dengan kegagalan termoregulasi primer. Melambatnya dilatasi vaskular kulit dan berkurangnya curah jantung dan redistribusi sirkulasi splanknikus dengan pemanasan juga menganggu terjadinya kehilangan panas pada usia lanjut. Perubahan laju keringat dan aliran darah

ini lebih berhubungan dengan pengaruh deconditioning daripada penuaan itu sendiri. Bila ambilan oksigen maksimal disesuaikan antara orang tua dan dewasa muda, tidak terdapat perbedaan bermakna laju keringat atau aliran darah lengan atas selama latihan. Gangguan sensitivitas terhadap perubahan-perubahan suhu dapat menimbulkan

perilaku yang tidak sesuai pada lingkungan panas. Penyesuaian diri terhadap panas kurang berjalan dengan baik pada usia lanjut karena itu berkontribusi pada defisit

fisiologis. Ketidakmampuan melakukan tindakan-tindakan yang diperlukan seperti mengganti pakaian tebal, pindah ke lingkungan sejuk, dan meningkatkan asupan cairan, akan meningkatkan sengatan panas pada usia lanjut dengan mobilitas yang terbatas. Tinggal sendiri dan kebingungan/ delirium juga akan meningkatkan risiko ini. Usia lanjut dengan penyakit kardiovaskular mungkin tak dapat

meningkatkan curah jantung secara adekuat dalam merespons stres panas. Gagal jantung kongestif, diabetes melitus, obesitas, dan penyakit paru obstruktif berkaitan

dengan meningkatnya risiko kematian pada korban sengatan panas. Faktor risiko lain kematian dari sengatan panas adalah alkoholisme, penggunaan obat-obat penenang dan antikolinergik, serta berkurangnya aktivitas

fisik. Orang tua rentan polifarmasi yang

beberapa

KIinis Sengatan panas memiliki ciri khas dimana suhu tubuh inti lebih dari 40,6'C disertai disfungsi sistem sarafpusatyang berat (psikosis, delirium, koma), dan anhidrosis ftulityang panas dan kering). Manifestasi dini, disebut heat exhaustionkelelahanpanas, tidak khas dan terdiri dari rasa pusing, kelemahan, sensasi panas, anoreksia, mual, muntah, sakit kepala, dan sesak napas. Komplikasi sengatan panas mencakup gagal jantung kongestif dan aritmia jantung, edema serebral dengan kejang dan defisit neurologis difus dan fokal, nekrosis hepatoselular dengan ikterik dan gagal hati, hipokalemia,

alkalosis respiratorik dan asidosis metabolik, serta hipovolemia dan syok. Rabdomiolisis, koagulasi intravaskular diseminata, dan gagal ginjal akut jarang terjadi pada usia lanjut dibandingkan pada dewasa muda dengan sengatan panas terkait aktivitas. Komplikasi terberat, kematian, terjadi pada 80% pasien yang sindrom sengatan panasnya telah muncul secara penuh.

Terapi Kunci mengatasi hipertermia adalah pendinginan cepat. Hal ini harus dimulai segera di lapangan dan suhu tubuh inti harus diturunkan mencapai 39"C dalam jam pertama. Lamanya hipertermia merupakan penentu utama hasil akhir. Berendam dalam air es lebih baik dari pada pendinginan dengan alkohol atau fan listrik. Komplikasi membutuhkan perawatan di ruang intensif.

Pendinginan Kehilangan panas efektif tergantung pada transfer cepat dari inti ke kulit dan dari kulit ke lingkungan luar. Pada orang-orang dengan hipertermia, transfer panas dari inti ke kulit difasilitasi oleh vasodilatasi kulit aktif. Tujuan teknik pendinginan terapi adalah meningkatkan transfer panas dari kulit ke lingkungan. Hal ini dicapai dengan meningkatkan gradien suhu antara kulit dan lingkungan (untuk pendinginan dengan induksi) atau dengan meningkatkan gradien tekanan air-uap air antara kulit dan

795

REGULASI SUHU PAT'A USIA LANJUT

lingkungan (untuk pendinginan dengan penguapan) Teknik pendinginan konduksi Eksternal* Berendam dalam air dingin Penggunaan kompres es di seluruh tubuh atau bagianbagian tubuh tertentu Penggunaan selimut pendingin

. .

.

lnternal*.

o o

Lavase lambung dengan es Lavase peritoneal dengan es

Teknik pendinginan evaporasi/penguapan atau konveksi

. .

.

Berikan kipas angin pada pasien yang telah dibuka bajunya pada suhu ruangan (20-22'C) Basahi permukaan tubuh selama pemakaian kipas angin terus menerus (kulit ditutupi dengan lembaran kasa halus yang telah direndam dalam air 20"C saat pasien dikipasi. Kipas angin dikurangi atau dihentikan jika suhu kulit turun <30'C) Gunakan unit pendinginan tubuh (tempat tidur khusus yang menyemprotkan air 15"C dan air hangat 45'C ke seluruh permukaan tubuh untuk menjaga suhu kulit basah antara 32-33"C

sebagaimana dengan meningkatkan kecepatan udara di sekitar kulit (untuk pendinginan dengan konveksi). Pada prakteknya, air dingin atau es digunakan di kulit, yang

juga diberi kipas angin. Kebanyakan cara tersebut menurunkan temperatur kulit di bawah 30oC, mencetuskan

vasokonstriksi kulit dan menggigil. Untuk mengatasi respons ini, pasien dipijat kuat, disemprot dengan air hangat-hangat kular (40'C), atau dipajankan ke air panas yang mengalir (45"C), baik pada saat yang sama dengan metode pendinginan atau bergantian. Tidak ada zat-zal farmakologis yang mempercepat pendinginan yarg dapat menolong pada terapi sengatan panas. Peranan obat-obat antipiretik pada sengatan panas

belum dievaluasi, meskipun diketahui bahwa sitokin pirogen terlibat pada stres panas.

Penyembuhan fungsi sistem saraf pusat selama pendinginan merupakan tanda prognosis yang baik dan bisa diharapkan pada mayoritas pasien yang mendapat terapi agresif segera. Kerusakan otak terjadi pada 20Yo pasien dan dikaitkan dengan tingginya mortalitas.

Tujuan

lntervensi Di luar rumah sakit Ukur suhu inti pasien, jika >40'C, pindahkan pasien ke tempat sejuk, lepaskan pakaiannya, mulai pendinginan eksternal: kompres es batu di leher, aksila, lipat paha; kipas angin terus menerus (atau buka jendela ambulans); dan semprot kulit dengan air bersuhu 25'C hingga 30'C. Posisikan pasien tak sadar menyamping dan bebaskan jalan napas. Berikan oksigen 4 l/menit. Berikan kristaloid isotonik/garam fisiologis. Segera bawa pasien ke ruang gawat darurat.

Stres panas (karena gelombang panas, musim panas, atau latihan berat) dengan perubahan status mental (ansietas, delirium, kejang, atau koma)

a a

a a

Diagnosis sengatan panas. Turunkan suhu inti sampai <39,4"C, lakukan pendinginan dengan konduksi dan evaporasi. Minimalkan risiko aspirasi. Tingkatkan saturasi oksigen arteri >90%. Menambah volume tubuh.

Di rumah sakit

Periode pendinginan

Hipertermia

. a

Kejang Gagal

napas

Hipotensi

Rabdomiolisis

a

.

Pastikan diagnosis dengan termometer yang dikalibrasi untuk mengukur suhu tinggi. Monitor suhu rektum dan kulit, lanjutkan pendinginan Beri benzodiazepin. Pertimbangkan intubasi elektif (untuk gangguan refleks muntah dan batuk atau gangguan fungsi pernapasan). Berikan cairan untuk ekspansi volume, pertimbangkan vasopresor, dan pertimbangkan monitor tekanan vena sentral. Kembangkan volume dengan salin normal dan berikan furosemid intravena, manitol, dan sodium bikarbonat. Monitor kalium serum dan kadar kalsium serta atasi hiperkalemia.

Pertahankan suhu rektum <39,4"C dan suhu kulit 30-33'C.

Terapi suportif

Penyembuhan fungsi organ

Kontrol kejang. Lindungi jalan napas dan tingkatkan oksigenasi (saturasi oksigen arteri >90%)

Tingkatkan tekanan arteri ratarata hingga >60 mmHg dan kembalikan perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Cegah trauma ginjal yang diinduksi oleh mioglobin, tingkatkan aliran darah ginjal, diuresis, dan alkalinisasi urin. Cegah aritmia jantung Yang mengancam nyawa.

Periode pasca pendinginan Disfungsi multiorgan

TX

GE8IANX

xilffilg-Ail

REEAEilg

Diartgulasi suilu gada ueia laajrs msmperlihatkan noeksaismp fromemffiis yng atjadi dcrym olffiingJ€frya rysira- Ormg ben sia laqi$brffig

Abrass IB. DisorderE of temporature regulatiom. In: Hazzard WR. Blass JP, Hztor IB, Ouslzn& JG fin€tri ME, ods. Prirciphs of gettafric oedicim & gerontology, 5t ed. New York McGraw-

@tmry*esuaikandiri

sufuulingkroganyang ekstrim. Kondisi hipo da{, hipertermia menrpakan

gaagil@ yaug serrog taqadilpada usia laqtuf, fcnfrma pa&usia laajut

prymkit

Pacegabn

yangpalingsesuai

untuk tatalaksaaa disr*gu*asi subu pada usia lanjut. kr.ffire. pera usia taldrf te{frsflg kmatman

{@ hip*ermb &ll hipsermia di tiagkmgan t€nfang perilabyang ttpat krefui skseis, ren*a

padaMdisibrs€&{rf,dar1 usia *aajut

ymgpalagrentm

kus

hagiindividn rrampr mengurangi k€taf

mor6&litas&r rrer€litas dari ga$#uatr iai-

Hill;2O03:

1587-91.

Bouchama A, Knochel JP. Heat stroke. N En.gl J Med.2002; 346 (25): 1978-88. Ebersole B Hess P. Maif,taiDitrg mobility and environmental safety. Ia: Gaiatric nrrsiag & trealthy egrng, le ed. St. Louis: Mosby,

lrc;2001: 469-72. Florez-Duquat 14 McDomld RB. Cold-induced thermoregulation and biologieal agng. Physiol Rev. 1998; 78: 339-58. Kane RL, Ouslaader JG, Abrass IB. Disorder of temperature regulation. In: Essentials ofclinical geriatrics, 56 ed New York: McGraw-Ifill; 2O04l. 328-34. Kpnney WL, lvlunce TA. Physiology of aging. Invited review: Aging aad human temperature regulation. J Appl Physiol. 2003; 95: 2598-6$3.

t27 DEHIDRASI DAN GANGGUAN ELEKTROLIT R,A. Tuty Kuswardhani, Nina Kemala Sari

kemampuan homeostatik seiring dengan bertambahnya usia. Secara khusus, te{adi penurun:an respons rasa haus terhadap kondisi hipovolemik dan hiperosmolaritas. Di samping itu juga terjadi pemrrunan laju filtrasi glomerulus,

PENDAHULUAN Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit sangat sering terjadi pada usia lanjut (usila). Gangguan tersebut meliputi

dehidrasi, hipernatremia, dan hiponatremia. Di Amerika Serikat, dehidrasi terjadi pada sekitar 7o/o pendeitaberusia lebih dari 55 tahun yang dirawat di rumah sakit dengan

kemampuan fungsi konsentrasi ginjal, renin, aldosteron, dan penumnan respons ginjal terhadap vasopresin. Peningkatan kadar a*ial natriuretic peptlde (ANP) akan menyebabkan supresi sekresi renin ginjal, aktivitas renin plasma, angio-

rerata lama rawat 14 hari dan terjadi pada 82% pasien febris yang dirawat di rumah. Dehidrasi merupakan salah satu

tensin

berkaitan dengan terjadinya hendaya progresif. Jika dehidrasi tidak teriangani, angka mortalitas mencapai lebih dai, 50%. Data di Indonesia diperoleh dari instalasi gawat darurat Departernen Ilmu Penyakit Dalam RSUPN-CM tahun 2000-2001 dimana sebanyak 45Yo pasien usia lanjut yang dibawa ke gawat darurat, qrenderita dehidrasi. Hipernatremiaterjadi pada sekitar l% pasien berusia lebih dari 60 tahun yang dirawat di rumah sakit dengan angka mortalitas lebrh dai 40% .Weinberg et a/ menemukan

plasma, dan kadar aldosteron. Selain efek

DEH!DRASI Dehidrasi adalah berkurangnya cairan tubuh total, dapat berupa hilangnya air lebih banyak dari natrium (dehidrasi hipertonik), atau hilangnya air dan natrium dalam jumlah yang sama (dehidrasi isotonik), atau hilangnya natrium yang lebih banyak daripada air (dehidrasi hipotonik). Dehidrasi hipertonik ditandai dengan tingginya kadar natrium serum (lebih dari 145 mEq/L) dan peningkatan osmolalitas efektif serum (lebih dari 285 mosmoVliter). Dehidrasi isotonik ditandai dengan normalnya kadar natrium serum (135-145 mEq/L) dan osmolalitas efektif serum (27 0-285 mosmoVliter). Dehidrasi hipotonik ditandai dengan rendahnya kadar natrium serum (kurang dari 135 mEq/L) dan osmolalitas efektif serum (kurang dan 270

60%o pasien febris yang dirawat di rumah mengalami hipernatremia atau peningkatan rasio BUN

bahwa pada

terhadap kreatinin atau keduanya dibandingkan dengat pada populasi kontrol.

II

kehilangan natrium dari ginjal secara tidak langsung ini, ANP secara langsung juga menimbulkan hilangnya natrium dari ginj al melalui efek natriuretik.

alasan utama pasien usia lanjut dibawa ke ruang gawat darurat dan salah satu dari enam diagnosis utama yang

5%o

KTeinfield et a/ melaporkan kej adian hiponatremia pada penderita usila yang dirawat di rumah sakit sebesar 1lolo.

Penelitian lainnya tentang mortalitas di rumah sakit, hiponahemia saat masuk rumah sakit berhubungan dengan

peningkatan risiko kematian sebesar dua kali lipat. Pada penelitian selama lebih dari 1 tahun terhadap penderita yang dirawat di rumah, diketahui bahwa pada 53% kasus sedikitnya mengalami I kali episode hiponatremia. Dalam penatalaksanaan keseimbangan cairan dan elektrolit pada usila, pengertian mengenai perubahan fisiologi yang menjadi faktor predisposisi gangguan tersebut sangat penting. Secara umum, terjadi penurunan

mosmoVliter).

GEJALA KLINIS DEHIDRASI PADA USIA LANJUT Gejala dan tanda klinis dehidrasi pada usia lanjut takjelas, samar-samar, bahkan bisa tidak ada sama sekali. Gejala

797

798

klasik dehidrasi seperti rasa haus, lidah kering, pemrrunan turgor, dan mata cekung sering tidak jelas. Gejala klinis paling spesifik yang dapat dievaluasi adalah penurunan berat badan akut lebih dari 3%o. Tanda klinis obyektif lainnya yang dapat membantu mengidentifikasi kondisi dehidrasi adalah hipotensi ortostatik. Tidak spesifiknya presentasi klinis dehidrasi pada usila, mendorong klinisi untuk melakukan usaha-usaha dalam

mengidentifikasi penderita yang berisiko mengalami dehidrasi. Studi yang dilakukan oleh Divisi Geriatri

GERIAIRI

menggunakan obat-obat sitostatik, tidak ada perdarahan

saluran cerna, dan tidak ada kondisi overload (gagal jantung kongestif, sirosis hepatis dengan hipertensi portal, penyakit ginjal kronik stadium terminal, sindrom nefrotik). Terdapat berbagai penyebab dehidrasi pada usia lanjut. Secara klasik penyebabnya adalah peningkatan kehilangan

cairan atau penurunan asupan cairan (Tabel 1). Infeksi seperti pneumonia dan infeksi saluran kemih sangat sering terjadi pada usila. Pada pneumonia dapat

laboratoris dehidrasi pada usia lanjut. Ternyata tidak

terjadi peningkatan kehilangan cairan dari keringat dan takipnu. Kehilangan cairan berlebihan melalui urin dapat disebabkan oleh penggunaan diuretika, manitol, kontras

didapatkan perbedaan bermakna dalam persepsi rasa haus, hampir separuh usila yang menderita dehidrasi tidakmerasa

radiografr, hiperglikemia, dan hiperkalsemia. Penyebab lain dari kehilangan cairan lewat urin adalah diabetes insipi-

haus. Hampir semua usia lanjut, baik yang dehidrasi

dus, hiperaldosteronisme, dan penekanan vasopresin. Kehilangan cairan melalui haktus gastrointestinal yang

Depademen Ilmu Penyakit Dalam FKULRSIIPN-CM pada tahun 2000-2001 mencoba mendapatkan gejala klinis dan

maupun tidak dehidrasi, mengalami penurunan turgor kulit di atas dahi dan di atas sternum, terutama pada dehidrasi berat, demikian pula gejala mata cekung. Kadar natrium serum dalam penelitian ini ternyata tidak bermakna. Seperti banyak digunakan dalam studi terdahulu di luar negeri, kadar natrium serum dengan batasan yang berbeda-beda digunakan sebagai penanda dehidrasi. Gross memakai kriteria kadar natrium serum < 145 mEq/L untuk dehidrasi ringan, natrium serum meningkat pada dehidrasi sedang, dan natrium serum > 145 mEq/L pada dehidrasi berat. Weinberg menyebutkan kadar natrium serum > 148 mEq/L sebagai penanda dehidrasi. Pada studi geriatri di RSCM, ditemukan kadar natrium serum pada pasien dehidrasi rata-

rata 144,39 mEq/L sedangkan pada usila yang tidak mengalami dehidrasi 141,92 mEq/L. Pada studi ini klasifikasi

natrium serum terbanyak pada usila dehidrasi adalah normonatremia (53o/o), hipernatremia (38%), dan hiponatremia (9%). Pengukuran osmolalitas serum dalam

menilai status hidrasi sebaiknya menggunakan perhitungan osmolalitas plasma efektif (Eosm) yang ditentukan oleh osmol yang bekerja menahan air dalam ruang ekstrasel, jadi tidak menyertakan zat yang aklif secara osmotik seperti ureum dan alkohol yang bebas berdifusi melintasi membran sel sehingga kurang bermakna dalam menilai defisit air bebas. Pada studi ini, juga tidak ditemukan perbedaan bermakna osmolalitas efektif serum

pada usia lanjut dehidrasi dan tidak dehidrasi. Tidak bermaknanya perbedaan kadar natrium serum dan osmolalitas efektif plasma ini sesuai dengan terdapatnya 3 kemungkinan jenis dehidrasi yaitu dehidrasi hipertonik, isotonik, dan hipotonik. Berdasarkan studi Divisi Geriatri ini bila ditemukan aksila lembab/basah, suhu tubuh meningkat dari suhu basal, diuresis berkurang, BJ urin lebih dari atau sama dengan 1,019 (tanpa adanya glukosuria dan proteinuria), serta rasio

Blood Urea NitrogenlKreatinin lebih dari atau sama dengan 16,9 (tarryaadanyaperdarahan aktif saluran cerna) maka kemungkinan terdapat dehidrasi pada usia lanjut adalah 8l%. Kriteria ini dapat dipakai dengan syarat: tidak

tersering adalah penggunaan laksan dan diare. Penyebab penurunan asupan cairan pada usila dapat dilihat pada Thbel2.

lnfeksi kronik atau akut Kehilangan urin berlebihan Guna salah diuretika Glikosuria Hiperkalsiuria Manitol Zat kontras radiografi Peningkatan nitrogen urea darah Diabetes insipidus Sentral Nefrogenik Hipoaldosteronism Penyakit Addison Hipoaldosteronisme Hiporeninemik Supresi vasopresin Fenitoin Etanol Pasca takiaritmia atrial

Diuresis pasca obstruksi Kehilangan gastrointestinal Traktus gastrointestinal atas Muntah Kerusakan nasogaster Diet enteral dengan cairan hipertonik Traktus gastrointestinal bawah Guna salah laksatif/ persiapan usus Diare infeksius/ sekretori Pintas bedah/ fistula lskemia usus Kolektomi

Kehilangan darah berlebihan Lingkungan - berhubungan dengan kehilangan cairan Gelombang panas Hipotermia

Pergeseran cairan ke interstisial Hipoalbuminemia Pankreatitis Asites Anafilaksis Luka bakar Dialisat peritoneal hipertonik

DEHIDRASTI DAN GAI{GGUAI{

799

['I I'KTROLIT

Terbatasnya akses terhadap cairan Keterbatasan fisik Keterbatasan gerak Buruknya ketajaman penglihatan

minum per oral, selain pemberian cairan enteral, dapat diberikan rehidrasi parenteral. Jika cairan tubuh yang hilang terutama adalah air, maka jumlah cairan rehidrasi yang dibutuhkan dapat dihitung dengan mmus:

Defisit cairan (liter)

:

Restriksi cairan Persiapan tindakan operasi Menghindari mengompol atau tersedak Terapi edema atau hiponatremia

Perubahan sensoris Berkurangnya tingkat kesadaran Sedatif, neuroleptik, narkotik

Kerusakan sistem saraf pusat secara struktural dan metabolik Demam

Berkurangnya tingkat kewaspadaan Demensia , delirium Mania, psikosis, depresi

Gangguan gastrointestinal Gangguan menelan Obstruksi usus Mekanik Metabolik lskemik Obat-obat antikolinergik

Berat badan total (BBT) yang diinginkan - BBT saat ini

BBT yang diinginkan: KadarNa serum x BBT

saat

ini

140

(pria) : BBT saat ini (wanita) : BBT saat ini

50% x berat badan (kg) 45% x berat badan (kg)

Jenis cairan kristaloid yang digunakan untuk rehidrasi tergantung dari jenis dehidrasinya. Pada dehidrasi isotonik

dapat diberikan cairan NaCl 0,9% atau Dekstrosa 5olo dengan kecep atan25-30o/o dari defisit cairan total per hari. Pada dehidrasi hipertonik digunakan cairan NaCl 0,45yo. Dehidrasi hipotonik ditatalaksana dengan mengatasi penyebab yang mendasari, penambahan diet natrium, dan bila perlu pemberian cairan hipertonik.

Perubahan mekanisme rasa haus Adipsia Primer Terkait obat Glikosida jantung Amfetamin Berhubungan dengan patologi sistem saraf pusat fokal

PENATALAKSANAAN DEHIDRASI PADA USIA LANJUT

Terapi Rehidrasi Oral Pada dehidrasi ringan terapi cairan dapat diberikan secara oral sebanyak 1 5 00 -2 5 00 ml/ 24 jam (3 0 mU kgb er atb adan/

24 jam) untuk kebutuhan dasar, ditambah dengan penggantian defisit cairan dan kehilangan cairan yang masih berlangsung. Menghitung kebutuhan cairan sehari, termasuk jumlah insensible water loss sangat perlu dilakukan setiap hari. Perhatikan tanda-tanda kelebihan cairan seperti ortopnea, sesak napas, perubahan pola tidur,

atau confusion. Cairan yang diberikan secara oral tergantung jenis dehidrasi.

HIPERNATREMIA Hipernatremia dan hiponatremia sering terjadi pada usia lanjut. Hipernatremia pada usia lanjut paling sering disebabkan oleh kombinasi dari asupan cairan yang tidak adekuat dan bertambahnya kehilangan cairan. Gangguan mekanisme rasa haus dan hambatan akses terhadap cairan (sekunder dari gangguan mobilitas atau menelan) turut berkontribusi dalam timbulnya hipernatremia pada usia

lanjut selain adanya keterlambatan ekskresi natrium. Kehilangan air murni padakeadaan demam, hiperventilasi,

atau diabetes insipidus. Lebih sering, kehilangan air hipotonik disebabkan oleh problem saluran cerna, luka bakar, terapi diuretika atau diuresis osmotik. Seringkali deteksi hipernatremia pada usia lanjut terlambat dilakukan sehingga usia lanjut yang lemah dapat dengan mudah j atuh pada keadaan hipernatremi a y angbermakna. Penderita dengan demensia sangat mudah mengalami

hipernatremia karena penurunan rasa haus, gangguan kemampuan gntuk meminta air dan mungkin, rendahnya

atau minuman dengan kandungan sodium yang renda!,

kadar vasopresin. Penyebab penting lainnya adalah hiperkalsemia yang mungkin dapat menyebabkan

jus buah seperti apel, jeruk, dan anggur.

kerusakan sel-sel pada gelung Henle dan berinteraksi

Dehidrasi hipertonik: cairan yang dianjurkan adalah air

Dehidrasi isotonik: cairan yang dianjurkan adalah air dan suplemen yang mengandung sodium (us tomat), juga dapat diberikan larutan isotonik yangada di pasaran. Dehidrasi hipotonik: cairan yang dianjurkan seperti di atas tetapi dibutuhkan kadar sodium yang lebih tinggi.

dengan vasopresin pada tingkat duktus kolektus. Hipokalemia yang bermakna juga dapat menyebabkan hipematremia.

Gejala Klinis Manifestasi klinis hipematremia pada usia lanjut sering

Terapi Rehidrasi Parentera!

tidak khas dan silmar-samar. Gejala-gejala sistem sarafpusat utama adalah iritabilitas, restlessness, letargi, kejang otot,

Pada dehidrasi sedang sampai berat dan pasien tidak dapat

spastisitas dan hiperrefleksi, yang merupakan gejala

800

GERIAIRI

sekunder dari berkurangnya cairan di sel-sel otak. Air ke luar dari sel sehingga sel mengkerut. Di otak, hal ini mengakibatkan traction on vessels sehingga timbul perdarahan. (Natrium plasma-140)

Defisit cairan =

menimbulkan letargi, kelelahan, anoreksia, mual, dan luam otot. Dengan memburuknya hiponatremia, gejala-gejala

susunan saraf pusat mengemuka dan bervariasi dari kebingungan hingga koma dan |ejang. Terdapat risiko kematian bila kadar natium serum < 1 l0 mEq/L.

x Air tubuh total

140

Tatalaksana Terapi hipematremia adalah mengganti kehilangan cair: an atau hentikan pemberian natrium pada kasus dengan pemberian natrium yang berlebihan. Karena adaptasi susunan sarafpusat terhadap pengerutan sel dan karena koreksi terlalu cepat dapat menyebabkan edema serebral

yang berbahaya, hipernatremia kronik harus diatasi perlahan dan hati-hati. Aturan umum adalah mengoreksi 50% defisit cairan dalam 12 sampai24 jampertama dan sisanya diberikan dalam satu hingga dua hari berikutnya. Pada hipernatremia akut defisit cairan harus diganti lebih cepat. Defisit air bersih dikalkulasi dengan memperkirakan air tubuh total dalam liter dan menggunakan formula: Memburuknya status neurologis selama pemberian cairan dapat menunjukkan terjadinya edema serebral dan

membutuhkan reevaluasi segera dan penghentian sementara cairan.

HIPONATREMIA Hiponatremia sering ditemukan pada usia lanjut. Pada usia lanjut sehat, terdapat penurunan sekitar I mEq/L per dekade dai nilai rata-ra|a I 4l + 4 rnBqlLpada usia dewasa muda. Pada usia lanjut, hiponatremia dilusional merupakan

Tatalaksana Dalam memeriksa pasien usia lanjut dengan hiponatremia, faktor penyebab lainnya harus disingkirkan. Pendekatan awal pada hiponatremia adalah pengukuran osmolaritas

serum. Dalam hal

ini, nilai osmolaritas yang normal

memrnjukkan adanya hiperlipidemia atau hiperproteinemia. Nilai osmolaritas yang tinggi sering tampak pada kondisi

hiperglikemia atan pemberian infus hipertonik. Jika osmolaritas rendah, terlebih dahulu tentukan status volume penderita. Pada keadaan hiponatremia hipovolemik, pengukuran

natrium urin sangat berguna. Kadar natrium urin yang rendah nampak pada keadaan-keadaan kehilangan natrium

secara ekstrarenal seperti kerusakan kulit dan gangguan gastrointestinal. Kadar natrium urin yang tinggi nampak

pada kehilangan natrium melalui gangguan ginjal, penggunaan diuretika, dan hipoaldosteronisme. Asupan

air dan aktivitas vasopresin yang berlebihan serta hipokalemia juga berhubungan dengan terjadinya hiponatremia. Diuretika seperti tiazid beke4a pada tubulus distal dan mengganggu transport natrium sehingga mengakibatkan kehilangan natrium melalui kehilangan air yang berlebihan. Hiponatremia hipovolemik ringan seperti yang terjadi pada orang yang mendapat diet cairA.{GT, dapat dikoreksi dengan menambahkan larutan salin atau menambahkan tablet NaCl yang dihaluskan ke dalam cair- an

enteral.

Hiponatremia seringkali merupakan penanda penyakit

Hiponatremia euvolemik pada umumnya terjadi pada kondisi seperti SIADH dan kegagalan regulasi osmolaritas. Penyebab SIADH tersering pada usila adalah infeksi, hematom subdural, medikamentosa, penyakit paru dan

berat yang mendasari dengan prognosis buruk dan mortalitas tinggi. Risiko utama timbulnya perburukan hiponatremia adalah pemberian cairan hipotonik. Rendahnya asupan natrium disertai pengaruh proses

hiponatremia, hipoosmolalitas dengan gambaran klinis euvolemia, kegagalan urin untuk menjadi encer, ekskresi natrium di urin > 20 rri,BqlL dan tidak ada penyakit lain

mekanisme mendasari yang cukup sering terjadi namun yang paling sering adalah karena syndrome ofinappro-

priate antidiuretic hormone secretion (SIADH).

menua dengan gangguan ginjal dalam menahan natrium

memudahkan terjadinya kehilangan natrium dan hiponatremia. Banyak pasien yang mendapat dukungan

nutrisi melalui NGT mangalami hiponatremia intenniten atau persisten karena rendahnya kandrmgan natrium dalam

kanker (Tabel 3). Gambaran khas SIADH adalah

yang dapat menimbulkan hiponatremia seperti hipotiroidisme, insufisiensi adrenal, gagal j antung kongestif, sirosis, atau penyakit ginjal. Terapi jangka pendek SIADH terdiri dari restriksi cairan dan penggantian natrium. Loop diuretics dapat digunakan sebagai ajuvan,

diet tersebut.

sedangkan terapi jangka panjangnya adalah restriksi

Gejila Klinis

cairan dan meningkatkan aiupan garam. Kondisi hiponatrernia hipervolemik seringkali nampak pada kondisi pertambahan berat badan dan edema. Penyebab tersering kondisi ini pada usila adalah penyakit

Beratnya gejala klinis hiponatremia tergantung pada rendahnya kadar natrium dan cepatnya penurunan kadar natrium serum tersebut. Hiponatremia kronik ringan bisa saja tidak bergejala. Kadar natium serum < 125 ntE QL dapat

jantung kongestif. Penyebab lainnya adalah sindrom nefrotik dan sirosis hati. Terapi pilihan pada hiponatremia hipervolemik adalah restriksi cairan.

DEHIDRASI DAT{ GANGGUAITI

801

EIIKTROIJT

Terapi hiponatremia secara umum adalah sebagai berikut: hitung jumlah natrium yang diperlukan untuk

fi

siologis menjadi berkurang sehingga meningkatkan risiko

mengoreksi defisit sehingga mencapai kadar 120 mmol,

timbulnya perubahan keseimbangan cairan dan natrium yang bermakna secara klinis. Diperlukan kewaspadaan yang tinggi mengenai terdapatnya keterbatasan

Defisit natrium (pria) [0,6 x berat badan kering (kg)] plasmal,

penyakit dan obat-obatan terhadap status volume dan

Defisitnatrium(wanita) (kg)l * [120

- kadar natrium

kemampuan homeostasis

x ll20

-

kadar natrium

[0,5 x berat badan kering

elektrolit pasien usia lanjut sehingga intervensi terapi dan tatalaksana menjadi lebih rasional.

plasma],

namun perhitungan di atas tidak dapat digunakan pada kehilangan cairan yang isoosmotik. Laju koreksi sangat tergantung pada berutnya gejala dan derajat hiponatremia. Kadar natrium yang aman yaitu 120 mBqlL yang diikuti dengan peningkatan secara bertahap menuju kadar normal. Menurut Laureno dan Karp, laju koreksi sebaiknya kurang dari 10 mEq/L dalam 24 jam. Koreksi yang terlalu cepat menyebabkan terjadinya mielinolisis sehingga mengakibatkan paraparesis atau kuadriparesis , pseudobulbar palsy dankoma. Hal ini sering terjadi pada koreksi hiponatremia kronik, karena pada kondisi kronik otak telah beradaptasi dengan kadar natrium yang rendah sehingga peningkatan kadar natrium yang tiba-tiba menyebabkan dehidrasi serebral dan kerusakan saraf. Mekanisme yang pasti dari kerusakan otak karena hal ini masih belum dimengerti sepenuhnya.

KESIMPULAN Proses menua normal disertai dengan perubahan berikut yang berpengaruh pada regulasi cairan dan natrium: 1).

Gangguan persepsi rasa haus, 2). Penurunan laju filtrasi

glomerulus, 3). Gangguan kapasitas ginjal untuk memekatkan urin, 4). Gangguan kapasitas ginjal untuk menahan natrium. Sebagai konsekuensi perubahan-

perubahan

ini guna mengantisipasi akibat

ini, kapasitas seorang berusia lanjut

menghadapi berbagai penyakit, obat-obatan, dan stres

REFERENSI Gross Cr, Lindquist Rd, Wooley Ac, Granieri R, Allard K, Webster B. Clinical indicators of dehydration severity in elderly patients.

J Emerg Med 1992; 10 Kavanagh S, Knapp M. The impact on general practitioners of the

of care for elderly people living in institutions. BMJ. Com 1998; 317, Kemala Sari N. Deteksi dini dehidrasi usia lanjut. Maj Kedokt Indon. 2005; 55:4. Knight El, Minaker Kl. Disorders of fluid and electrolyte balance. In Oxford Textbook of Geriatric Medicine, Evans J G Williams T F, Beattie BL, Michel JP, Wilcock GK (eds). Oxford University changing balance

Press 2000, pp 647-53. Kugler Jp, Hustead T. Hyponatremia and hypernatremi6 in the

elderly. Am Fam Physi 2000 ;61:12. K. Fluid balance in the elderly : Assessment and intervention important role in community health and home care nursing. Geriatr Nurs. 2003; 24:5. Lindeman Rd, Romero Lj, Limrg Hc, Baumgartner Rn, Koehler Km, Garry Pj. Do elderly persons need to be encouraged to drink more fluids? Journal of Gerontology. 554:7, 2000. lrtiller U. Gangguan keseimbangan cairan dan natrium. Dalam The Merck Manual of Geriatrics, Abrams WB, Berkow R (eds). Bina Aksara: 1997. p. 38 - 55. Rose Bd. Regulation of the effective circulating volume. ln Clinical Physiology of Acid Base and Electrolyte Disorders, Vellas B, Albarede JL, Garry PJ (eds). McGraww-Hill lrrc;'1994. p.235-60. Turner T, Cassano Am. Subcutaneous dextrose for rehydration of elderly patients - an evidence based review. BMC Geriatrics Larson

2004.

128 GANGGUAN TIDUR PADA USIA LANJUT Rejeki Andayani Rahayu

PENDAHULUAN

sambil tidur, dll). Dalam ICD l0 tidak dibedakal ar,tata insomnia primer atau sekunder akibat penyakit/kondisi

Hampir sepertiga umur kita dihabiskan untuk tidur. Tidur

abnormal lain. Insomnia di sini adalah insomnia kronik yang

yang lelap tanpa gangguan dan nyenyak menjadi kebutuhan manusia yang esensial, sama pentingnya

menyebabkan gangguan fungsi dan sosial.

sudah diderita paling sedikit 1 bulan dan sudah

dengan kebutuhan makan, minum, tempat tinggal dan lainlain. Gangguan terhadap tidur pada malam hari (insomnia)

Dalam DSM IV, gangguan tidur (insomnia) dibagi menjadi 4 tipe yaitu: l). Gangguan tidur yang berkorelasi dengan gangguan mental lain; 2). Gangguan tidur yang disebabkan

akan menyebabkan rasa mengantuk sepanjang hari esoknya. Mengantuk merupakan faktor risiko untuk

oleh kondisi medis umum; 3). Gangguan tidur yang

terjadinya kecelakaan, jafuh, penurunan stamina dan secara

diinduksi oleh bahan-bahan/keadaan tertentu; 4).

ekonomi mengurangi produktivitas seseorang. Pada usia lanjut gangguan tidur di malam hari akan mengakibatkan banyak hal lain selain seperti yang disebut di atas. Hal-hal lain yang dapat terjadi adalah ketidakbahagiaan, dicekam kesepian dan yang terpenting, mengakibatkan penyakitpenyakit degeneratif yang sudah diderita mengalami eksaserbasi akut, perburukan dan menjadi tidak terkontrol. Selain itu akan menimbulkan problem sosial lain terhadap lingkungan, terutama terhadap keluarganya. Secara luas gangguan tidur pada usia lanjut dapat dibagi menjadi: kesulitan masuk tidur (sleep onset prob/ems), kesulitan mempertahankan tidur nyenyak (deep maintenance problem), dan bangun terlalu pagi (early morning awakening/EMA). Gejala dan tanda yang muncul

Gangguan tidur primer (gangguan tidur tidak berhubungan sama sekali dengan kondisi mental, penyakit, ataupun obat-

obatan). Gangguan tidur primer pengertiannya mirip dengan insomnia non organik pada ICD 10 yaitu gangguan tidur

menetap dan diderita minimal I bulan. Dalam ICSD klasifikasi gangguan tidur lebih lengkap dan rinci, dibagi dalam12 subtipe dan lebih dari 50 tipe sindrom

insomnia. Untuk mendiagnosisnya sering memerlukan berbagai pemeriksaan penunjang laboratorium tidur, klinik, dan

radiologi seperti CT s can, PEI serta EEG.

TERMINOLOGI DAN SIKLUS TIDUR

sering kombinasi ketiganya, munculnya ada yatg sementara atau kronik. Secara internasional insomnia masuk dalam 3 sistem

Untuk dapat memahami tentang tidur, maka terminologi tidur harus jelas. Terminologi ini termasuk flrsiologi, waktu

diagnostik yaitu: International Code of Diagnostic (ICD) 10, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) IV dan International Classification of Sleep Disorders (ICSD). Dalam ICD 10 insomnia dibagi menjadi 2 yaitu organik dan non organik. Untuk non organik dibagi lagi menjadi 2 kategori yaitu dyssomnias (ganggrtatpada lama, kualitas dan waktu tidur) danparasomnias (ada episode abnormal yang muncul selama tidur scperti mimpi buruk, berjalan

dan kualitas tidur. demikian juga penyakit-penyakit penyefta yang mengganggu tidur (sleep apnea, restless leg syndrome, myoclonus) dan kelengkapan penampilan psikomotor.

Siklus tidur (secara singkat dapat dilihat pada tabel l), ada 2 stafus primer pada siklus tidur yaiturapid eye movement @EM) dan non REM. Status non REM dibagi menjadi 4 stadium antara lain:

802

803

GAT{GGUAII{ TIDUR PADA USIA LANJUT

transisi antara bangun penuh dan tidur, sekitar 30 detik sampai 7 menit dengan karakteristik Stadium

1: saat

gelombang olak low-voltage pada pemeriksaan el e c tr o enc ep ha I o gr afi

(EEG)

Stadium 2 : Juga ditandai dengan gelombang otak low voltage padaEEG. Perbedaan dengan stadium 1 adalah adanya gelombang high voltage yang disebut "sleep spindles" dan K complexes. Stadium 3 & 4: sering disebut tidur yang dalam atau "deha sleep". EEG menunjukkan gelombang yang

GH sehingga orang terbangun. Jika malam tiba, NSC merangsang pengeluaran hormon melatonin sehingga orang mengantuk dan tidur. Melatonin adalah hormon yang diproduksi oleh glandula pineal (suatu bagian kecil

gelap, melatonin memengaruhi dan akan dikeluarkan dalam darah

di otak tengah).

Saat hari mulai

terjadinya relaksasi serta penurunan temperatur badan

dan kortisol. Kadar melatonin dalam darah mulai meningkatpadajam g malam, terus meningkat sepanjang malam dan menghilang pada jam 9 pagi (Gambar 1).

lambat dengan amplitudo tinggr. REM : ditandai oleh periode autonom yang bervariasi, seperti perubahan detakjantung, tekanan darah, laju pemapasan, dan berkeringat. Pada stadium inilah mimpi saat

tidur teriadi. 12 iam

I malam

I

Rapid eye movement (REM), atau paradoksikal, tidur tidak selaras (de synchroni zed)

ll.

Tidur non REM: Stadium 1: tidur ringan Stadium 2: tidur ringan Stadium 3: tidur dalam atau SWS (Slow-wave

a b. c. d.

S/eep)

Stadium 4: tidur dalam atau SWS (Slow-wave S/eeP)

Sumber Feldman & Abernathy,200O

9 pagi

Sumber: National Sleep Foundation Washington DC 2004

Gambar 1. Kadar melatonin dalam darah

PERUBAHAN TIDUR AKIBAT PROSES MENUA DAN

PREVALENSINYA Orang usia lanjut membutuhkan waktu lebih lama untuk masuk tidur (berbaring lama di tempat tidur sebelum tertidur)

Dua puluh lima persen waktu tidur dihabiskan pada status REM dat75%o pada status non REM. Pada orang muda yang sehat waktu yang dibutuhkan dari stadium I sampai dengan 3 hanya 45 menit. Stadium 4 berlangsung sekitar '70-120 menit, berulang sampai 6 kali sebelum

terbangun. Pada

tidur yar.g normal

terdapat

kecenderungan perpindahan stadium dari tidur yang dalam menuju tidur yang ringan. Empat jam pertama tidur terdiri atas pengulangar status non REM dan kebanyakan berada pada stadium 3 dan4, sedangkan 4 jamkedua lebihbanyak

terjadi pengulangan pada stadium 7 darr 2 serta status REM. Pola siklus tidur dan bangun (irama sirkadian), adalah

bangun sepanjang hari saat cahaya terang dan tidur sepanjang malam saat gelap. Jadi faktor kunci adalah adanya perubahan gelap dan terang. Stimulasi cahaya terang akan masuk melalui mata dan memengaruhi suatu

bagian di hipotalamus yang disebut nucleus supra-chi asmatic (NSC). NSC akan mengeluarkan neurotransmiter

yang memengaruhi pengeluaran berbagai hormon pengatur temperatur badan, kortisol, growth hormone (GH), dan lain-lain yang memegang peranan untuk bangun dan tidur. NSC bekerja seperti jam, meregulasi segala kegiatan bangun dan tidur. Jika pagi hari cahaya terang masuk, NSC segera mengeluarkan hormon yang menstimulasi peningkatan temperatur badan, kortisol, dan

dan mempunyai lebih sedikit/lebih pendek waktu tidur nyenyaknya. Dari penelitian The Gallup Organization didapatkan 50% pendudukAmerika pemah mengalami sulit tidur. Dari hasil penelitian di masyarakat, prevalensi sulit tidur (insomnia) pada usia lanjut di Amerika adalah 36Yo untuk laki-laki dan 54% untuk perempuan, hanya26o/olaktlaki dan 2lo/operempuan usia lanjut yang mengatakan tidak ada kesulitan tidur. Data epidemiologi lain mengenai prevalensi gangguan tidur pada orang usia lanjut dapat dilihat pada Tabel 2. Pada penelitian di laboratorium tidw, orang usia lanjut mengalami waktu tidur yang dalam (delta sleep) lebih pendek, sedangkan tidur stadium I dan2lebih lama. Hasil uj i dengan alat p oly s o m

n o g r ap

hic didapatkan penumnan

yang bermakn a dalam s I ow w at e s I e ep dar' r apid ey e mov e ment (REfuI). Orang usia lanjut juga lebih sering terbangun

di tengah malam akibat perubahan fisis karena usia dan penyakit yang dideritanya, sehingga kualitas tidur secara nyata menurun. Gambaran polysomnographic tersebut dapat dilihat pada Gambar 2. Hasil survei pada masyarakat usia lanjut di Amerika, mendapatkan bahwa mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk j atuh tidur, tidur nyenyak hanya sebentar, lebih sering terbangun saat tidur, bangun terlalu dini hari, dan membutuhkan waktu lebih banyak untuk tidur pada siang hari karena sangat mengantuk (Tabel 3). Pada usia lanjut juga terjadi perubahan pada irama

804

GERI'IiTRI

Umur

(tahun) Florida, USA

60-69

>70

Los Angeles, USA Sampel Nasional, USA Nottingham, UK NIMH Catchment London, UK

51

-80

65-79 >65

Prevalensi (%)

Jumlah Responden

Total Perempuan

Subyektif Pria

DL TDL 336 798

25 0

TDL

TDL

1023

225

27,7

160

'19,0

T

209 259 39 8

22,6 29,4 TDL

Menghabiskan terlalu banyak waktu di tempat

'18,3

tidur

20,o TDL

Menghabiskan lebih sedikit

Paris, Perancis Mannheim, German Boston Timur, USA New Haven, USA lowa, USA Sampel Nasional, Perancis 4 propinsi USA 4 propinsi USA

>65

1801

120

TDL

14,6 11,6 TDL

>60 (w)

705

335

TDL

TDL

1070

350

40,7

25,3

758 330

31 0

42,5

22,5

230 170

29,1

7,9 16,9 29,4

Veneto, ltaly Montreal, Canada Lund, Swedia Sampel nasional, Jepang

>65 >55 66-92 >65

3537

337

17,5 36,4

>65

27 17

)7^

31 ,1

)4 )

>65 >65

3028

23,2

TDL

TDL

25,4 37,3

19,5 28,7

>65 >65 >65 >65

5201 5201

TDL TDL TDL

30.0 65,0 54,0 9,8

14,0

65,0 35,6

TDL TDL

TDL

>80 >60

2398

Penurunan tidur REM.

waktu untuk dapat tidur nyenyak. Jumlah terbangun meningkat. Memerlukan waktu lebih banyak untuk bisa tidur Kepuasan tidur kurang Keletihan sepanjang hari.

>65 (L) Liverpool, UK

Obyektif Penurunan tidur stadium 3 dan 4 (delta sleep).

227

1

212 766

19,0 29,5

5,1

18,7

TDL

Keterangan: TDL= tidak dilaporkan Empat propinsi USA= Carolina utara, California, l\.4aryland, dan Pensytvania lnsomnia dinyatakan sebagai "gangguan tidur" (Sumber: Morgan K,2003\

.

Lebih sering dan lebih lama menghabiskan waktu untuk istirahat.

Peningkatan nyata dalam jumlah terbangun. Frekuensi gangguan tidur meningkat. Efisiensi tidur menurun. Rasa mengantuk di siang hari secara nyata meningkat. Jumlah istirahat meningkat.

Sumber: Cohen-Zion & Ancoli-lsrael, 2003

berfluktuasi dan kurang menonjol. Melatonin, hormon yang diekskresikan pada malam hari dan berhubungan dengan tidur, menurun dengan meningkatnya umur. Penelitian lain menunjukkan kualitas tidur usia lanjut yang sehat, juga tergantung pada bagaimana aktivitasnya pada siang hari. Bila siang hari sibuk dan aktifsepanjang hari, pada malam hari tidak ada gangguan dalam tidumya, sebaliknya bila siang hari tidak ada kegiatan dan cenderung tidak aktif, malamnya akan sulit tidur.

PENYEBAB GANGGUAN TIDUR PADA USIA I-ANJUT Perbandingan siklus tidur pada dewasa muda dan usia lanjut REM Srrg€

1

$age 2

sbse 3 Sage 4

12315678

Jar

Sampai saat ini berbagai penelitian menunjukkan, bahwa penyebab gangguan tidur pada usia lanjut merupakan gabungan banyak faktor, baik fisis, psikologis, pengaruh obat-obatan, kebiasaan tidur, maupun penyakit penyerta lain yang diderita. Beberapa faktor penyebab pada gangguan tidur dapat dilihat pada Tabel 4.

lidur

Awake REM Slage

1

Slags 2 Sl6ge 3 Stag€ 4

Gambar 2. Hipnogram

sirkadian tidur normal yaitu menjadi kurang sensitif dengan perubahan gelap dan terang. Dalam irama sirkadian

. . . . . . .

Perubahan-perubahan irama sirkadian. Gangguan tidur primer (SDB, PLMS, RBD) Penyakitpenyakit fisik (hipertiroid, artritis). Penyakit-penyakit jiwa (depresi, gangguan ansietas) Pengobatan polifarmasi, alkohol, kafein Demensia Kebiasaan higiene tidur yang tidak baik

Kel: PLMS: periodic leg movements in sleep; RBD: rapid eye-movement behaviour disorder; SDB; s/eep-dlsordered breathing. Sumber: Cohen-Zion & Ancoli-lsrael, 2003

yang normal terdapat peranan pengeluaran hormon dan perubahan temperatur badan selama siklus 24 jam. Ekskresi korlisol dan GH meningkat pada siang hari dan temperatur badan menurun di waktu malam. Pada usia lanjut, ekskresi

Terdiri atas: 1). gangguan tidur karena gangguan

kortisol dan GH serta perubahan temperatur tubuh

pemapasan (sleep di.sordered breathing); 2). sindrom kaki

GANGGUAN TIDUR PRIMER

805

GAIiIGGUAI{ TIDUR PAI'A USIA LANJUT

kurang tenang (restless legs syndrome) dan gangguan gerakan tungkai periodik (periodic limb moyement disorder);3). gangguan perilaku REM (REM behavior disorder).

Gangguan Tidur Karena Gangguan Pernapasan (Sleep Diso rdered B reath i ng)

penyakit lain seperti trauma batang otak, disfungsi otonom, distrofi otot pernapasan, pernapasan cheyne-stokes, darr idiopatik (sindrom hiperkapnia dan non hiperkapnia).

Kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortaHtas) pasien GTGP berhubungan dengan 2 kategori besar penyakit sebagai berikut:

. Neuropsikiatrik atau Psikososial:

Gangguan tidur ini ditandai dengan mengorok waktu tidur dan mengantuk hebat pada siang hari. SDB dibagi menjadi 3 yaitu : l). sindrom tahanan saluran napas atas (Upper airway resistance syndrome:UARs); 2). henti napas karena obstruksi (Obstructive sleep apnea:OsA); 3).

Sindrom hipoventilasi karena obesitas (Obesity oventil ation syndrome : O H S).

hyp

mengantuk

berlebihan di siang hari, konsentrasi dan daya ingat menurun, penurunan prestasi/daya guna diri, mudah emosi, depresi, rusaknya hubungan dengan orang lain. Angka kejadian kecelakaan saat mengendarai mobil meningkat 7 kali pada pasien dibandingkan orang nor-

.

mal.

Kardiovaskular : Angka kejadian hipedensi

pada pasien

Gangguan tidur karena gangguan pemapasan ini sering disebut s/eep apne o/ hypopruea syndro ma Terdapat 3 tipe

OSA sekitar 45-90%, hipertensi pulmonal sekitar 15-20%. Terjadi perubahan sirkadian tekanan darah pada malam

gangguan yaitu: henti napas karena obstruksi (OSA) akibat oklusi sebagian atau total saluran napas atas; henti napas karena proses sentral (central sleep apnea= CSA

hari akibat terjadinya apnea. Saat apnea, terjadi peningkatan tekanan darah mendadak, akibat adanya

) akibat gangguan rangsang bernapas dari pusat pernapasan di medula oblongata sehingga terjadi

baroreseptor dan aferen pulmonal. OSA juga menjadi salah satu faktor penyebab hipertensi pulmonal. Hal ini

penurunan kemampuan/tonus otot pemapasan, dan tipe

dapat dibuktikan dari penelitian pada pasien OSA dengan hipertensi pulmonal, setelah OSA ditangani

campuran keduanya.

Patofisiologi gangguan tidur karena gangguan pemapasan (GTGP), merupakan interaksi komplek dari sistem sarafpusat dan perifer, otot-otot saluran napas atas dan beberapa neurotransmiter yang menghasilkan kolaps (collapse) sebagian atau seluruh lubang pemapasan atas (faring), sehingga mengakibatkan obstruksi jalan napas dan hipoksia. Faktor dasar seperti anatomi saluran napas atas (hipertrofi tonsil), obstruksi hidung, distribusi dan pengumpulan lemak tubuh, dan tonus otot pernapasan atas, mungkin memegang peranan pada berat ringannya GTGP, baik sendiri-sendiri ataupun bersama-sama. Data terbaru menunjukkan adanya cacat primer anatomi faring,

yang kecil dan mudah kolaps, dikombinasi dengan

mekanisme refleks kimia dan interaksinya dengan refleks

dengan baik terdapat penurunan tekanan pulmonal yang nyata. Penelitian lain menunjukkan pasien dengan OSA

dan tekanan pulmonal >20 mmHg ternyata menderita kegemukan (obese) dan PaOr- nya relatifrendah saat

bangun penuh. OSA juga berperan

pada ketidakseimbangan vasodilator dan vasokonstriktor akibat terjadinya stres oksidatif karena terjadinya katabolisme nitric oxide (NO), peningkatan aktivitas saraf simpatik, peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAA) dan sintesis endotelin. Akibat ketidakseimbangan ini terjadi disfungsi endotel dan fisiologi pembuluh darah sehingga kejadian strok dan serangan jantung meningkat.

lemahnya otot saluran napas atas pada pasien GTGP.

Gambaran klinis pasien GTGP adalah pada saat tidur

Faktor risiko terjadinya GTGP antara lain : obesitas, jenis kelamin laki-laki, ras (lebih banyak pada kulit hitam), usia lanjut, depresi sistem saraf pusat (alkohol, obat-obatan

terdapat mengorok sangat keras, tersedak dan batuk-batuk, henti napas beberapa detik, dan gerakan-gerakan seperti

sedatif), penyempitan saluran napas atas (micrognathia,

retrognathia), hipertensi, penyakit jantung, strok, hipotiroid, akromegali, keturunan, penyakit paru obstruktif, penyakit degeneratif saraf seperti sindrom Shy-Dragger dan penyakit-penyakit penyebab kejang.

Frekuensi terjadinya GTGP cukup tinggi pada usia lanjut. Di Amerika terdapat 28-67% laki-laki dan 20-54%o perempuan usia lanjut yang menderita GTGP tipe henti napas karena obstruksi (OSA), dimana pasien

laki-laki

8

kali lebih berat manifestasinya dibandingkan perempuan. Di Hongkong terdapat l0% usia lanjut (umur > 65 tahun) menderita henti napas karena obstruksi. Pasien CSA lebih jarangditemui, biasanya berhubungan atau sebagai akibat

orang kehabisan napas. Gambaran tersebut biasanya dilaporkan oleh teman tidurnya. Yang dirasakan oleh pasien adalah sering terbangun tanpa sebab, nokturia, dan merasa tidak tidur semalaman, Pada pagi hari sering muncul keluhan nyeri kepala, kepala terasa ringan, dan mengantuk terus. Bila berlangsung terus akan muncul gangguan koglitif,

penurunan intelektual, perubahan perilaku dan kepribadian, depresi, dan penurunan gairah seksual.

Diagnosis GTGP dibuat berdasarkan penilaian lengkap yang terdiri atas anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan penunj ang,

Anamnesis dilakukan kepada pasien dan keluarganya, terutama teman tidurnya; meliputi; kebiasaan tidur, kebiasaan mengorok waktu tidur, penyaksian henti napas

806

GERI'TIRI

saat tidur, kepuasan tidur, mengantuk pada siang hari, perubahan perilaku, perubahan emosi, perubahan sikap saat berhubungan dengan orang lain, kemampuan seksual (impotensi), penyakit-penyakit lain yang diderita terutama penyakit kardiovaskular, kebiasaan kencing malam hari (nokturia), obat-obatan yang sedang dan sering diminum

baik dengan resep dokter atau beli sendiri, pemakaian alkohol dan rokok kretek. Pemeriksaan fi sis meliputi: adanya obesitas dan

tidur ini juga diperlukan untuk menghitung apneuhipopnea index (AIID, yaitu menghitung jumlah total episode apnea dan hipopnea dibagi lama tidur. Jika AHI >5 kali episode per jam maka diagnosis OSA bisa ditegakkan.

palatum, lidah besar, oklusi gigi, kesejajaran mandibula). Obesitas diidentifrkasi dengan mengukur antropometri

seperti berat badan, tinggi badan dan atau panjang rentang tangan serta indeks masa tubuh (body mass index/BMI). BMI >28 sangatberisiko mengalami OSA. Status mental: dilakukan untuk mencari depresi (dengan skor depresi), kecemasan (ansietas) dan penyakit psikiatrik lain (dikonsulkan pada spesialis jiwa). Tekanan darah: hipertensi muncul pada >50o% kasus GTGP. Dianjurkan pada pasien hipertensi agar diperiksa adanyakejadian GTGP. Ukuran leher: lingkar leher dapat untuk memprediksi

ukuran membran krikotiroid. Pada laki-laki dengan lingkar leher >17 inci, prevalensi OSA 30o/o. Pada perempuan dengan lingkar leher >15 inci risiko OSA jugameningkat. Pemeriksaan hidung: Penting untuk mengidentifrkasi adanya kelainan penyebab obstruksijalan napas, antara lain: deviasi septum, adenoid yang besar, polip atau

massa tumor

.

Pemeriksaan di laboratorium tidur: Pemeriksaan yang dilakukan selama tidur dengan alat polisomnogram dapat memberikan informasi yang akurat mengenai pola tidur pasien sehingga dapat diketahui apakah pasien menderita OSA atau CSA (Gambar 4). Pemeriksaan di laboratorium

dismorfologi kepala, wajah, dan gigi. (micrognathia, retro gnathia, hipoplasia maksilaris, sumbing pada bibir/

Karakteristik umum: identiflrkasi

.

berdasarkan indikasi individual untuk menunjang diagnosis. Pemeriksaan blood gas analyzes ( BGA) dibutuhkan apabila terdapat tanda-tanda hipoksia yang jelas, terutama pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronik.

di hidung

Uvula

Class

lass ll

Class lll

Class

lV

Apnu obstuktif Aliran udara Dinding dada

Pemeriksaan ini

Aliran

udara

nasofaringoskop.

Dinding dada

Orofaring: periksa adanya kelainan anatomi yang menyebabkan penurunan luas orofaring seperti hipertroh tonsil, palatum lunak terlalu panjang, ulula

Abdomen

yang besar, flap faringeal, stenosis, tumor dan jaringan

C

Gambar 3. Klasifikasi saluran napas

Abdomen

menggunakan

I

Sumber: MallampaliSR Clinicalsigns lo pr.dictdifficulthechealintubation Can Anaoslh Soc J 1983;30(3 Pi 1):316-317

maupun nasofaring, pembengkakan mukosa hidung dan nasofaring.

biasanya

Hard palate

APnu senrral

Sumber: Drazen JM Sleep apnea syndrome,N Engl J Med 2002i346i390-391

Gambar 4, Polisomnogram menunjukkan OSA dan CSA, diikuti oleh arousal dari tidur

parut di faring posterior. Untuk mendeteksi tingkat

.

. .

kesulitan intubasi dan luasnya orofaring perlu dilakukan pemeriksaan dengan skor Mallamp ati y ang membagi menjadi 4 kelas (Gambar 3). Leher: deposit lemak yang cukup banyak di sekitar leher dapat melemahkan tonus otot pemapasan terutama selama tidur fase REM. Tumor, termasuk limfadenopati yatg tyata harus dievaluasi.

Pemeriksaan fisis lain (sistem organ): untuk mengidentifikasi adanya penyakit kardiovaskular dan penyakit paru obstmktif. Pemeriksaan fungsi kognitif dan memori: terutama penurunan konsentrasi, intelektual, dan daya ingat.

Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan: Laboratorium klinik: Pemeriksaan yang dibutuhkan

Pemeriksaan lain yang dilakukan adalah multiple sleep latency /esl (MSLT). MSLT dilakukan untuk pasien yang mengeluh mengantuk terus sepanjang hari dengan riwayat GTGP tidak jelas. Dengan alat polisomnogram, uji ini mengukurperiode laten (waktu/kecepatan) dari saat masih bangun sampai tertidur. Uji dilakukan berulang kali pada siang hari sesuai jadwal yang ditentukan. Uji ini juga mencatat munculnya stadium REM. Adanya 2 atau lebih stadium REM saat uji ini dilakukan, menunjukkan pasien dalam kondisi narcolepsy. Narcolepsy adalah gangguan tidur yang ditandai dengan 4 gejala, yaitu serangan mendadak tidur, katapleksi, paralisis sementara dan halusinasi. MSLT dapat membantu diagnosis hipersomnia

pri-o

807

GAIGGUAT{ TIDUR PADA USIA LANJUT

Pemeriksaan mirip MSLT yang disebut repeated lest of suslained wakefulnes (RTSW) juga mengukur periode laten tetapi dengan perintah agar pasien memertahankan

agar tetap bangun selama

uji dilakukan

dan pasien

ditempatkan di ruang tenang dengan lampu temaram.

Pemeriksaan pencitraan: Pemeriksaan

ini

hanya dilakukan dalam penelitian atau untuk persiapan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini meliputi: refleksi akustik yang digunakan untuk melihat dinamika jalan napas atas,

somnofluoroskopi digunakan untuk melihat kolapsnya faring dan penyempitan maksimal jalan napas saat tidur, pemeriksaan radiologis sefalometri untuk melihat defisiensi skeletor kraniofasial, CT-scan jalan napas atas diperlukan bila ada tanda-tanda tumor di nasofaring/

orofaring posterior, magnetic resonance imaging pemeriksaan yang menghasilkan resolusi bagus dari jalan napas, jaringan lunak, dan deposit lemak di leher.

Pengelolaan GTGP terutama ditujukan untuk menghilangkan risiko kejadian penyakit kardiovaskular dan keluhan mengantuk berat pada siang hari. Pada OSA yang

berat terjadi hipoksia selama tidur dan sering mengakibatkan serangan jantung atau strok. Gambaran saturasi oksigen pasien OSA berat dapat dilihat di gambar 5. Untuk dapat mengelola dengan baik, perlu diketahui berat ringannya GTGP terutama OSA. Berdasarkan hasil pemeriksaan polisomnografr, The American Academy of Sl e ep Me dic ine pada tahun I 999, mengklasifrkasikan O SA sebagai berikut: . OSA ringan bila terdapat 5-15 kali apnea per jam tidur . OSA sedangbilaterdapat 15-30 kali apneaperjamtidur . OSA berat bila terdapat >30 kali apnea perjam tidur Terapi konservatif: Strategi yang dipakai untuk OSA antara lain: posisi tidur miring, terapi hidung tersumbat, hentikan pemakaian alkohol dan obat-obat sedatif, serta penurunan berat badan. Dari penelitian di laboratorium tidur ternyata episode apnu/hipopnu lebih banyak terjadi saat tidur terlentang dan setelah pemakaian obat benzodiazepine atau

setelah minum alkohol. Penurunan berat badan lUYo temyata memrrunkan 26%o episode apnea per jam. Untuk CSA terapi ditujukan untuk menyembuhkan penyakit yang

00

saturas okstoen \rcI

9o 8o

60

50

\t

\itiY

l\rengorok pada posisi terle

n

tan g

Menit S!mber I Flemons WW Obstructve sleep apnea,N Engl J iled 2002;347:498-505

Gambar 5. Pola saturasi oksigen pada pasien dengan s/eep apnea berat

mendasarinya, pemberian oksigen dapat membantu meringankan gejala apnea, tetapi kadang-kadang diperlukan bantuan ventilator bertekanan positif yang diberikan intermitent bila terdapat tatda-tanda hipoksia.

Terapi dengan conlinuous positive airway pressure (CPAP). CPAP adalah suatu alat bantu napas berupa masker yang dihubungkan dengan alat elektronik pompa udara. Alat ini memberikan tekanan udara yang stabil pada

saluran napas atas. Tekanan

ini membuat "pneumatic

pada saluran napas atas dan membuat peningkatan pernapasan pada pasien OSA. Alat ini dikenakan selama pasien tidur dan sudah terbukti efektif. Indikasi pemakaian alat ini adalah OSA berat tanpa gejala, OSA ringan sampai sedang dengan gejala mengantuk berat pada siang hari, pemrrunan kognitif, dan adanya penyakit kardiovaskular (hipertensi, penyakit jantung iskemik, dan strok). Terapi

splint"

dengan CPAP ini juga ditujukan untuk pasien sindrom hipoventilasi karena obesitas dan cukup efektif untuk mengatasi CSA idiopatik.

Terapi dengan alat-alat mulut(oral aplliance:OA), Alat ini direkomendasikan untuk pasien OSA ringan dan sedang yang tidak dapat mentoleransi penggunaan CPAP. Alat ini biasa dipasang pada gigi saat tidur untuk mbieposisi bentuk mandibula, memodifikasi palatum posterior dan bagian belakang lidah. Penggunaan alat tersebut hanya efektif untuk beberapa pasien GTGP dengan kelainan anatomi faring. Terapi pembedahan. Prosedur bedah yang biasa dilakukan

untuk OSA adalah pembedahan untuk menghilangkan sumbatan hidung seperti rhinosinusitis, deviasi septum, adenoidektomi; uvulopalato-pharingoplasty (UPPP), las er-asis sted uvulopalatoplasty (LAUP), tonsilektomi, reseksi sebagian atau ablasi lidah, rekonstruksi mandibula atau maksila, dan trakeostomi. Indikasi terapi bedah adalah

pasien dengan OSA berat simtomatik. atau bila penanganan konservatif dan pemakaian alat CPAP dan atau alat mulut tidak berhasil memperbaiki gejala GTGP.

Sindrom Kaki Kurang Tenang (Resfless Legs Syndrome=R[S) dan angguan Gerakan Tungkai yang Periodik (Periodic limb movement disorder =PLMSI Sindrom kaki kurang tenanC GLS) ditandai oleh rasa tidak enak yang berlebihan terutama pada kaki selama malam saat pasien istirahat. Ini adalah bentuk dari akathisia, sering disebut sebagai perasaan seperti dirayapi semut atau

hewan

kecil.

Perasaan

ini

menyebabkan pasien

menggerakkan kakinya, atau bangun lagi untuk berjalan berkeliling guna menghilangkan rasa tidak enak ini. Secara nyata gangguan ini menyebabkan usia lanjut sulit tidur atau terbangun berkali-kali.

Gangguan gerakan tungkai yang periodik (PLMS), mungkin menyertai sindrom kaki kurang tenang atau berdiri

808

GERIAIR

sendiri. PLMS ditandai oleh munculnya episode gerakan yang sama dan berulang, biasanya pada kaki tapi tidak jarang muncul juga pada tangan. Biasanya pasangan tidumya melaporkan ada episode gerakan menendang yang muncul selama 20-40 detik saat tidur dan muncul berulang-ulang. Gerakan-gerakan ini sebagian besar tidak membangunkan pasien meskipun pasien melalcukan 100

kali tendangan semalam. Hanya tendangan

dengan

frekuensi dan intensitas tinggi dapat membangunkan pasien. Pasien sering mengeluhkan rasa lelah yang berlebihan saat bangun tidur dan tidur tidak nyenyak, sehingga berakibat mengantuk sepanjang hari. Prevalensi gangguan tidur RLS dan PLMS meningkat pada usia lanjut. Prevalensi pada usia lanjut sekitar 45Yo, sedangkanpada dewasa muda5-6%. Tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, Sebagian besar pasien dengan RLS juga menderita PLMS, dan PLMS tidak j arang merupakan penyakit penyerta GTGP. Patofisiologi terjadinya RLS maupun PLMS sampai saat

ini belum jelas. Hipotesis terbaru menyatakan mungkin disfungsi sistem dopamin dan opiat di saraf pusat yang mendasari kelainan ini. Hipotesis ini dibuat karena melihat

efek terapi agonis dopamin dan opiat yang efektif mengatasi kedua gangguan tidur ini. Faktor risiko kedua kelainan ini antara lain usia lanjut, gagal ginjal, defisiensi besi (kadar ferritin serum < 50 ngl ml), dan polineuropati perifer. Diagnosis kedua kelainan ini dibuat berdasarkan gejala klinik seperti tersebut di atas dan dikonfirmasi dengan pemeriksaan elektromiografi (EMG) pada otottungkai atas di laboratoriumtidur. Terapi konservatifdengan merendam kaki dan tungkai atas dengan air hangat serta olahraga ringan (alan kaki) yang dilakukat terafix dapat membantu menghilangkan gejala kedua gangguan tidur ini. Bila belum berhasil dapat

(formula 25-100 mg) dengan dosis awal I kali setengah tablet saat mau tidur. Dosis dapat ditingkatkan % tablet tiap 3-4 hari bila belum membaik. Hati-hati bila gejala gangguan ini muncul lebih awal atau siang hari, mungkin ini akibat efek samping obat, dosis harus diturunkan atau digabung dengan obat anti parkinson lain seperti bromokriptin, karbarrazepin, dan klonazepam. Pergolid dapat digunakan disini, dosis awal sangat rendah (0,05 mg ) yang diberikan 2 jam sebelum tidur, secara bertahap dosis dinaikkan sampai dosis 0,5 mg. Obat lainyangdapat digunakan untuk kedua gangguan tidur ini adalah benzodiazepin (l kali saat tidur), atau kodein atau oksikodon.

Gangguan Perilaku REM (GPR) Gangguan perilaku REM ini sangatjarang, tetapi sering muncul pada usia lanjut. Proses yang mendasari terjadinya gangguan ini adalah adanya disinhibisi transmisi aktivitas motorik saat bermimpi. Gangguan ini sering muncul pada tengah malam saat periode REM terjadi. Bentuk gangguan

dapat bervariasi seperti mengigau, bicara sambil tidur, berjalan, bahkan makan sambil tidur. Pasien sering jatuh atau melompat dari tempat tidur sehingga terjadi perlukaan. Prevalensi GPR sampai saat ini tidak diketahui, tetapi dari beberapa laporan menunjukkanbahwa prevalensi pada usia lanjut laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.

Patofisiologi terjadinya gangguan perilaku REM ini tidak diketahui. Beberapa laporan

sampai saat

menunjukkan ada hubungan kejadian GPR akut dengan pemakaian obat-obatan antidepresi seperti antidepresi trisiklik, fluoksetin, inhibitor monoamin oksidase, dan ketagihan alkohol atau sedatif. GPR kronik dihubungkan

dengan narkolepsi dan beberapa penyakit neurodegeneratif idiopatik seperti demensia dan penyakit Parkinson.

di$unakan obat anti parkinson karbidopa-levodopa

Rabu Jam masuk tidur Waktu untuk jatuh tidur (setelah berbaring) Jumlah terbangun malam hari Jam bangun Jam keluar dari tempat tidur Jumlah waktu total tidur malam hari Jumlah waktu total bangun malam hari Waktu istirahat Obat yang diminum (dosis dan jam minum)

Alkohol (dosis dan waktu minum) Bagaimana kualitas tidur semalam Seberapa lelah waktu bangun tidur pagi hari* '1 sampai 5, nilai 1 untuk sama sekali tak lelah/ tidur puas dan 5 untuk sangat lelah/ tidur tak puas sama sekali Sumber :Cohen-Zion & Ancoli-lsrael, 2003.

Keterangan : nilai

Minggu

809

GANGGUAN TIDUR PAI'A USIA LANJUT

Diagnosis dibuat berdasarkan penilaian lengkap terutama mengenai riwayat tidur. Oleh karena pasien tidak menyadari apa yatg dilakukannya sambil tidur, maka anamnesis lengkap dilakukan terhadap keluarganya atau

teman tidurnya. Anamnesis mengenai apa saja yang dilakukan pasien sambil tidur, frekuensi dan lama te4adinya, serta sejak kapan GPR ini diderita oleh pasien. Terhadap pasien ditanyakan apayarrg dirasakan selama tidumya, mimpinya, dan juga perasaannya saat bangun tidur. Pemeriksaan dengan polisomnogram dan rekaman video tiap malam di laboratorium tidur perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis GPR.

Obat golongan benzodiazepin kerja lama seperti klonazepam yang diberikan saat mau tidur sekali sehari, dapat mengontrol gejala gangguan ini. Namun, bila obat

dihentikan biasanya gejala akan muncul lagi. Demi mencegah terjadinya perlukaan pada pasien dan teman tidurnya, perlu diatur kamar tidumya. Jangan ada bendabenda tajam di kamar tidur, tempat tidur sebaiknya rendah, jendela sebaiknya dipasang teralis besi dan pintu kamar selalu dikunci untuk mencegah pasien berjalan keluar rumah.

Gangguan Tidur Karena Gangguan lrama Sirkadian Seperti diterangkan di muka, irama sirkadian tidur diatur oleh proses endogen berupa pengaturan temperatur badan

dan pengeluaran hormon-hormon kortisol, hormon pertumbuhan, dan melatonin yang dipicu oleh NSC; dan proses eksogen berupa perubahan terang dan gelap. Pada usia lanjut terdapat gangguan tidur akibat gangguan irama sirkadian ini. Kelainan tersebut antara lain: . Ketidaksinkronan respons proses endogen terhadap rangsang eksogen, dimana terjadi penurunan respons

.

endogen terhadap perubahan siang dan malam, sehingga dapat te{adi tidur bangun tak beraturan lagi. Sindrom fase tidur lebih cepat, disini gangguan berupa

minggu berturut-turut sebelum dapat dipakai sebagai penilaian siklus tidur pasien.

PENATALAKSANAAN

Untuk gangguan irama sirkadian perlu dijelaskan pada pasien bahwa gangguan tidur

masuk tidurnya, jangan terlalu dini dengan melakukan kegiatan/kesibukan pada petang hari dan baru masuk tidur pada jam yang sama dengan keluarga lain. Kalau tetap tak dapat mengatasi, diberikan terapi lampu terang' pada saat seharusnya pasien masih bangun di pagi hari dan petang hari, lampu dipadamkan/gelap pada saat harus tidur.

Penatalaksanaan Menyeluruh Gangguan Tidur pada Usia Lanjut Karena banyaknya penyebab gangguan tidur pada usia lanjut, maka penatalaksanaan gangguan tidur pada usia lanjut harus dilakukan secara individual, dengan meneliti dan menilai gejala dan tanda yang ada pada tiap.pasien. Beberapa hal dapat diterapkan secara umum pada semua jenis gangguan tidurpada usia lanjut, yaitu: edukasi tidur, mengubah gaya hidup, psikoterapi, dan medikamentosa. Edukasi tidur diberikan baik kepada pasien maupun keluarga atau care giver. Edlkasi tersebut meliputi: . Tunggu sampai terasa sangat mengantuk sebelum naik

.

. .

periode atau siklus tidur bangun lebih cepat/maju dibandingkan usia dewasa muda. Usia lanjut sudah tidur lebih sore sehingga bangun lebih dini hari. Gangguan

. .

terletak padir pengaturan temperatur badan; temperatur badan sudah turun pada pukul 6-7 sore dan sudah meningkat pada pukul 2- 3 dini hari.

.

Prevalensi gangguan tidur tipe ini tidak jelas. Hal ini karena banyak orang usia lanjut yang menderita namun

merasa tidak membutuhkan bantuan terapi karena menganggap perubahan ini biasa. Pada usia pertengahan prevalensi sindrom fase tidur lebih cepat sekitar l% populasi usia tersebut (USA). Diagnosis kelainan ini dapat dibuat dengan membuat buku catatan harian tidur dari pasien. Catatan harian tersebut dapat dilihat pada tabel 5. Selain untuk diagnosis, tabel ini dapat untuk menilai siklus sirkadian tidur pasien. Catatanharian ini minimal harus dibuat selama2

ini bukan penyakit, tak

membutuhkan obat khusus, hanya perlu pengaturan waktu

. . . .

ke tempat tidur.

Bila

dalam 20 menit berbaring belum bisa tidur maka lebih baik bangun lagi, lakukan kegiatan lagi dengan tenang dan lakukan relaksasi. Bila mengantuk baru

kembali ke tempat tidur.

Hindarkan penggunaan kamar tidur untuk bekerja, membaca atau menonton televisi Bangun tidur pagi hari pada jam yang sama, tidak peduli sudah berapa lama ia tidur Hindarkan minum kopi atau merokok. Lakukan olahraga ringan setiap pagi setelah bangun tidur.

Kurangi tidur siang, lakukan kegiatan/hobi yang menyenangkan.

Kurangi jumlah minum setelah makan malam, hindari minumalkohol. Pelajari teknik relaksasi atau lakukan meditasi.

Hindarkan gerakan badan berlebihan saat di tempat tidur. Berdoa sebelum tidur. Mengubah gaya hidup (life style), diperlukan untuk memperbaiki faktor fisis dan psikis yang mendasari te{adinya gangguan tidur pada usia lanjut. Perubahan tersebut meliputi:

- Usaha menurunkan berat badan dengan memperbaiki pola makan pada pasien GTGP.

-

Menghindari perjalanan jauh atau bekerja sampai

810

GE,RIITIRI

malam hari (shift mdlam), agar tidak te4adij et lag.

-

Menghindari membaca atau menonton atau mendengarkan cerita-cerita yang menakutkan atau sangat menyedihkan. Bila memungkinkan buat suasana lingkungan rumah bersih dan menyenangkan

Perbaiki hubungan antar anggota keluarga, tumbuhkan suasana aman dan penuh kasih antar

sesama penghuni rumah. Lakukan aktivitas fisis,jangan duduk diam sepanjang hari. Psikoterapi perlu diberikan pada pasien gangguan tidur yang disebabkan oleh ansietas dan depresi. Di samping

-

psikoterapi dari seorang psikolog, psikoterapi berupa dorongan dan penghiburan sebaiknya dilakukan oleh anak atau cucu pasien.

Terapi medikamentosa diberikan sesuai dengan penyebab yang mendasari terjadinya gangguan tidur dan jenis gangguan tidur yang terjadi. Obat-obat transkuiliser

minor seperti golongan benzodiazepin dapat diberikan pada pasien insomnia akut, diberikan dosis kecil dan dalam waktu yang tidak lama. Terapi terhadap penyakit penyerta

yang diderita usia lanjut harus dilakukan dengan menghindarkan sebisa mungkin obat-obatan yang menyebabkan gangguan tidur. Melatonin yang sedang marak dipakai sebagai obat tidur, sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan dalam mengatasi gangguan tidur pada usia lanjut. Langkah-langkah umum yang dapat dilakukan untuk mendiagnosis dan melakukan penatalaksanaan gangguan tidur pada usia lanjut dapat dilihat pada algoritme (Gambar 6).

Pertanyaan-pertanyaan Saringan: 1 Apakah anda puas dengan tidur anda? 2. Apakah tidur atau kelelahan mengganggu aktivitas harian? 3. Apakah teman tidur anda atau yang lainnya mengeluhkan sikap yang tidak biasa selama tidur, seperti mendengkur, gangguan napas, atau gerakan tangan? Jika 1 tidak atau ya untuk 2 atau 3: l,Apakah ini sudah menjadi masalah selama lebih dari 2-3 minggu?

Jika tidak: '1 Apakah ada alasan stres yang lain (m is.alasan menderita kerugian/kekalahan, kehilangan, perawatan rumah sakit yang akut)? Atau kondisi kesehatan yang mengganggu tidur?

Jika ya, pusatkan perhatian pada stresor/kondisikondisi ini. Rx: a. Higiene tidur, b. Terapi kondisi medis yang menyertai c Jika stresor bersifat sementara (selama perawatan rumah sakit akut atau sedang dalam kedukaan) dan kesulitan tidur sangat nyata, pertimbangkan pem berian hipnotik langka pendek (jika tidak ada kontra

Gambar

6.

ike ya: 1. Fokus pada latar belakang dan pengobatan fisik,

J

2. Evaluasi higiene tidur 3. Apakah ada bukti dari gangguan tidur utama?

Jika tidak, evaluasi higiene tidur, Rx: a Usahakan meningkatkan higiene tidur b Evaluasi ulang jika tidak ada kemajuan dalam 2-3 mrnggu.

Jika ya: '1 Apakah ada kejadian sleep apnea? Rx: turunkan bb, hilangkan sedatif, rujuk ke spesialis tidur 2 Apakah ada kejadian gerakan-gerakan periodik dari badan selama tidur? Rx: coba levodopa/karbidopa, rujuk ke spesialis tidur 3 Apakah ada kejadian abnormaiitas irama sirkadian? Rx: tingkatkan kebersihan tidur, terapi sinar terang

Jika tidak: 1 Apakeh ada penyebab medis potensial (seperti nyeri karena artritis, refluks, dll)? Jika ya, terapi kondisi-kondisi tersebut, 2, Apakah ada penyebab obat-obatan yang potensial? Jika ya, hilangkan/ turunkan dosis obat tersebut. 3, Apakah ada depresi? Jika ya, obati depresi 4, Apakah ada tanda-tanda demensia? Jika ya, tingkatkan higiene tidur, terapi semua kondisi yang menyertai, pastikan lingkungan rumah aman (jika ada mesalah sering pergi malam hari)l pertimbangkan pemberian obat sedatif malam hari, 5. Apakah pasien pemakai kronik benzodiazepin/hipnotik? Jika ya, coba turunkan dosis obat untuk menghentikan atau turunkan penggunaan hanya 2-3 malam tiap minggu. Jika tidak berhasil, rujuk ke spesialis tidur, 6 Apakah ada indikasi masalah dengan pemakaian alkohol? Jika ya, rekomendasikan untuk mengurangi atau menghilangkan pemakaian alkohol, atau rujuk ke pusat rehabilitasi pemakai alkohol

Algoritme untuk penapisan gangguan tidur dan pendekatan untuk diagnosis dan perawatan

811

GAT{GGUAT{ TIDUR PADA USIA LAT{JUT

Mallampati SR. Clinical Signs to predict difficult tracheal intuba-

REFERENSI Bliwise D. Sleep in normal aging and dementia . Sleep, 1993; 16

:

40-8 1. Cohen-Zion M, Ancoli-Israel S. Sleep disorders. In: Hazzard WR, Blass JP, Halter JB, et al, editors. Principles of geriatric medicine and gerontology. 5m edition. New York: Mc Graw-Hill Companies, Inc; 2003. p. 1531- 41. Coll PP. Sleep disorders. In: Adelman AM, Daly MB Weiss BD, editors. 20 commoo problems in geriatrics. Boston: Mc GrawHill Companies, Inc; 2001. p. 187-203. Drazen JM. Sleep apnea sydrome. N Engl J Med. 2002;346:390-1. eMedicine. Breathing-related sleep disorder. www.emedicine.com. Feldman S, Abernathy J. Management of sleep disorders in the eld-

erly. American Society

Consultant Pharmacists. 2000;

15

2):l-13. Flemons WW. Obstructive sleep apnea. N Engl J Med. (supplement

2O02;347:498-505. Jao DV, Alessi CA. Sleep disorders. In: Landefeld CS, Palmer RM, Johnson MAG et al, editors. Current geriatric diagnosis & treat-

ment. New York: Mc Graw'Hill Companies, Inc, Boston; 2004.

p. ll4-21. Kribbs NB, Pack AI, Kline LR, et al. Effect of one night without nassal CPAP treatment on sleep and sleepines in patients with obstuctive sleep apnea. Am Rev Respire Dis. 1993;147:1162-8. Lam J, Lam B. Seep apnoea/ hypopnoea syndrome. Medical Progress, 2004; 3 1 :543 -8.

tion. Can Anaesth Soc J. 1983;30:316-7. K. Sleep, aging and latelife insomnia. In: Tallis RC, Fillit HM, editors. Brocklehurst's textbook of geriatric medicine and

Morgan

gerontology. 6'h edition. Churchill Livingstone Elsevier Scince

Limited; 2003. p. 1367-80. National Sleep Foundation Washington DC. Melatonin the basic facts. www.sleepfoundation.org, Juni 2004. Neubaurer DN. Sleep problems in the elderly. J American Family

Physician,1999.

I Palta M, et al. Longitudinal study of moderate weight change and sleep disordered breathing. JAMA. 2000;284:3015-21. Shimidt-Nowara W, Lowe A, Wiegand L, et al. Oral appliances for

Peppard PE, Young

the treatment of snoring and obstructive sleep apnea: a review. Sleep. 1995;18: 511-3. Sloan EP, Alastair JF, Reinish LR, et al. Circadian rhythms and psychiatric disorders in the elderly. J Geriatr Psychiatry Neurol.

1996;9:164-70. Smith JF. Sleep disorders. wrilw.chclibrary.org. Van Cauter E, Plat L, Leproult M, et al. Alterations of circadian rhytmicity and sleep and aging: endocrine consequences. Horm Res. 1998;49:147-52. Wei WI, Ho WK. Surgery for snoring. Medical Progress.

2004;31:538-42.

t29 GANGGUAN KESEIMBANGAN, JATUH, DAN FRAKTUR Siti Setiati, Punarita W. Laksmi

PENDAHULUAN

EPIDEMIOLOGI

Gangguan keseimbangan dan jatuh merupakan salah satu masalah yang sering terjadi pada orang berusia lanjut akibat berbagai perubahan fungsi organ, penyakit, dan faktor lingkungan. Akibat yang ditimbulkan oleh jatuh tidak jarang tidak ringan, seperti cedera kepala, cedera jaringan lunak, sampai dengan patah tulang. Jatuh juga seringkali merupakan petanda kerapuhan

Kejadian jatuh dilaporkan terjadi pada sekitar 30oh'orang berusia 65 tahunke atas setiap tahunnya, dan40% sampai 50% dari mereka yang berusia 80 tahun ke atas. Sepertiga dari mereka yang berusia 65 tahun ke atas dan tinggal di rumah (komunitas) mengalami satu kali jatuh setiap tahun, dan sekitar I dari 40 orang yang jatuh tersebut memerlukan perawatan di rumah sakit. Hanya sekitar setengah dari pasien usia lanjut yang dirawat akibat jatuh akan hidup setahun kemudian. Di panti rawat werda (nursing homes), sekitar 50% penghuninya mengalami satu kali jatuh setiap tahunnya; setengah dari jumlah tersebut mengalami jatuh berulang, l0 sampai dengan 25Yo mengalami komplikasi serius. Jatuh mengakibatkan dua pertiga kematian karena kecelakaan (accidental deaths). Jatuh dapat mempengaruhi kualitas hidup. Ketakutan mengalami jatuh dialami oleh 2 5-40Yo orangberusia lanjut, yang kebanyakan dari mereka belum mengalami jatuh. Rasa

(frailty), dan merupakan faktor prediktor kematian atau penyebab tidak langsung kematian melalui patah

tulang. Bersamaan dengan masalah jatuh, kejadian patah tulang panggul, vertebra, lengan bawah, pelvis, dan persendian kaki juga meningkat, dengan peningkatan

paling cepat terjadi setelah usia 75 tahun. Patah tulang tersebut merupakan penyebab utama, kesakitan, kematian,

dan pengeluaran biaya untuk pelayanan kesehatan dan sosial orang usia lanjut yang bersangkutan.

takut jatuh merupakan faktor risiko terjadinya hendaya fungsional. Rasa takut jatuh juga seringkali memicu atau dikaitkan dengan depresi dan isolasi sosial Data Indonesia mengenai kejadian instabilitas dan jatuh masih amat sedikit. Penelitian Handayani (2003) di divisi Geriatri RSUPN Cipto Mangunkusumo mendapatkan angka kejadian instabilitas sebesar 23,3yo.

Kematian dan kesakitan yang terjadi akibat patah tulang umumnya disebabkan oleh komplikasi akibat patah tulang dan imobilisasi yang ditimbulkannya.

Beberapa

di

antara komplikasi tersebut adalah

timbulnya dekubitus akibat tirah baring berkepanjangan;

perdarahan, trombosis vena dalam dan emboli paru; infeksi pneumonia atau infeksi saluran kemih akibat tirah baring lama; gangguan nutrisi, dan sebagainya Hampir 50 persen pasien pasca patah tulang panggul

KESEIMBANGAN, KONTROL POSTURAL, SIKLUS BERJALAN, DAN MOBILITAS FUNGSIONAL

menjadi lebih tergantung pada bantuan pendamping, orang lain, atau keluarga. Biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Di Inggris, biaya yang dikeluarkan untuk penatalaksanaan patah tulang akibat osteoporosis tersebut diperkirakan 942 juta poundsterling, dengan 87%

di

Keseimbangan Keseimbangan merupakan proses kompleks yang

arttaranya untuk biaya patah tulang panggul.

melibatkan penerimaan dan integrasi input sensorik serta

812

GAIIIGGIHN KESEIMBANGAN JAIUH

DAITI

813

FRAKTI,R

perencanaan dan pelaksanaan gerakan untuk mencapai tujuan yang membutuhkan postur tegak; suatu kemampuan

untuk mengontrol pusat gravitasi tetap berada di atas landasan penopang.

Pusat gravitasi adalah suatu titik imajiner dimana jumlah semua gaya adalah nol. Pada orang dewasa dengan postur normal yang sedang berdiri (posisi anatomis), pusat gravitasi berada I inci di depan tulangbelakang setinggi sakrum 2. Jika tubuh atau bagian tubuh bergerak, lokasi pusat gravitasi akan berubah. Landasan penopang adalah permukaan tubuh yang mengalami penekanan dari berat

sistem sarafpusat. Komponen muskuloskeletal antara lain meliputi lingkup gerak sendi, fleksibilitas tulaug belakang, otot, dan hubungan biomekanik antar segmen tubuh. Tiga input sensorik perifer primer yang memberikan kontribusi dalam kontrol postural adalah sistem reseptor somatosensorik, visual, dan vestibular bilateral. Sistem vestibular sangat penting untuk keseimbangan karena dapat mengidentifikasi dan membedakan gerakan tubuh sendiri dengan gerakan dari lingkungan serta memberikan kestabilan visual ketika kepala bergerak.

Sistem somatosensorik sendiri tidak mampu

badan dan gravitasi, dalam posisi berdiri adalah kaki sedangkan dalam posisi duduk adalah paha dan bokong. Sesuai dengan landasan penopang yang ada" terdapat keterbatasan jarak tubuh dapat bergerak tanpa menjadi jatuh (pusat gravitasi melewati landasan penopang) atau

membedakan antara gerakan dari pijakan dengan gerakan dari tubuh, demikian pula dengan sistem visual yang bila berdiri sendiri tidak mampu untuk membedakan gerakan dari lingkungan dengan gerakan dari tubuh, sehingga

membuat landasan penopang baru dengan menggapai atau

untuk menentukan keakuratan input pada keadaan

melangkah (untuk menempatkan kembali landasan

terdapat pertedaan antara input somatosensorik dengan visual atau bila input somatosensorik atau visual tidak tersedia. Oleh karena itu" otak memerlukan informasi dari ketiga sistem sensorik untuk secara tepat membedakan gerakan dari tubuh sendiri dengan gerakan dari lingkungan.

penopang di bawah pusat gravitasi). Keterbatasan jarak tersebut disebut sebagai batas stabilitas, yakni jarak terjauh pada arah manapun seseofimg dapat bergerak dari garis tengah tanpa mengubah landasan p€nopang awal dengan melangkah, menggapai, atau jatuh. Derajat stabilitas tubuh tergantung pada empat faktor yaitu, tinggi pusat gravitasi di atas landasan penopang, besamya ukuran landasan penopang, lokasi garis gravitasi pada landasan peropang, dan berat badan. Stabilitas lebih baik bila pusat gravitasi rendah, landasan penoparg yang Iebar, garis gravitasi berada di tengah landasan, dan berat badan yang besar. Untuk mempertahankan keseimbangan, tubuh secara konstan mengubah dan mengkoreksi posisi pusat gravitasi

sistem vesfibular digunakan sebagai referensi internal

Ada empat strategi gerakan yang paling -sering digunakan sebagai reaksi keseimbangan pada"iespon postural, yaitu strategi pergelangan kaki, panggul, suspensori, dan melangkah/menggapai. Keempat strategi tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

r-\

^ )9-', Y-/ )

// /\ q\,)

terhadap landasan penopang, yang disebut sebagai ayunan postural Qtoslural swq,).Kontrol ayunan postural berasal dari input visual, yestibular, proprioseptif

\ t/

\r

dan organ eksteroseptif-

Kontrol Postural Kontrol postural meliputi kontrol posisi tubuh untuk

stabilitas sehingga keseimbangan tubuh dapat dipertahankan dan untuk orientasi agar hubungan yang tepat antar segmen tubuh serta antara tubuh dan lingkungan saat rnelakukan kegiatan dapat dipertahankan.

Terdapat dua komponen keseimbangan, yaitu keseimbangan statis untuk mempertahankan ruatu posisi dalam periode tertentu dan keseirnbangan dinamis untuk memelihara keseimbangan pada saat melakukan gerakan. Kemampuan untuk mengonfrol posisi tubuh dalam ruang merupakan suatu interaksi kompleks dari sistem saraf dan muskuloskeletal yang kesernuanya dikenal sebagai sistem

kontrol postural. Yang termasuk dalam komponen saraf adalah proses

motorik (neuromuskular), proses sensorik (sistem visual" vestibular, dan somatosensorik), dan proses integratif

Gambar 1. Strategi postural. A, Strategi pergelangan kaki, B, $rategi panggul. C, Strategi suspensori. D, Strategi melangkah/ menggapar.

A. Strategi Pergelangan Kaki lankle strategyl Strategi pergelangan kaki paling sering digunakan pada situasi dimana gangguan terhadap keseimbangan kecil, lambat dan dekat dengan garis tengah, serta dasar permukaan pijakan yang keras, stabil, dan luas. Strategi ini membutuhkan kekuatan otot dan lingkup gerak sendi pergelangan kaki yang utuh. Strategi pergelangan kaki dan sinergi otot yang berhubungan merupakan pola pertama untuk mengontrol gerakan ayunan tubuh pada posisi tegak (upright sway), Strategi ini mempertahankan pusat gravitasi tubuh dalam posisi stabil melalui gerakan tubuh yang terutama berpusat

814

di sekitar sendi pergelangan kaki. Kontraksi otot berpola dari distal menuju proksimal. Pada gerakan ke depan, dimulai dari kontraksi otot gastroknemius kemudian diikuti oleh otot hamstring dan otot paraspinal yang menyebabkan plantar-fleksi serta mempertahankan panggul dan lutut dalam posisi ekstensi. Pada gerakan ke belakang, kontraksi otot dimulai dari otot

tibialis anterior, kemudian diikuti oleh kontraksi otot kuadrisep dan abdominal.

B. Strategi Panggul (Hip Strategy) Shategi panggul mengontrol pusat massa tubuh dengan membuat gerakan yang kuat dan cepat pada sendi panggul, punggung, dan rotasi pergelangan kaki. Kepala dan panggul bergerak pada arah yang berlawanan, dengan kontraksi ototberpola dari proksimal menuju distal, dimulai

dari kontraksi otot abdominal kemudian diikuti oleh kontraksi otot kuadrisep dan tibialis anterior. Strategi panggul digunakan untuk mempertahankan keseimbangan sebagai respon terhadap gangguan yang lebih besar, cepat, dan hampir mendekati batas stabilitas, maupun ketika landasan pijakan tidak stabil atau terlalu sempit, misalnya ketika berdiri dengan kaki tandem atau pada satu kaki.

GERIATRI

terdapat fase kaki bersentuhan dengan pijakan (stance phase) atau fase kakiberada di udara(swingphase). Stance phase dim.ulai ketika kaki bersentuhan dengan pijakan

(heel-strike) dan berakhir ketika kaki terangkat meninggalkan pijakan (toe-offl, sedangkan swing phase dimulai ketika kaki terangkat meninggalkan pijakan dan berakhir ketika kaki kembali bersentuhan dengan pijakan. Stance phase dapat terjadi dengan hanya satu kaki yang bersentuhan dengan pijakan sedangkan kaki yang lain dalam swing phase (single limb support) atau kedua kaki bersentuhan dengan prjakan (double limb support, kedta kaki dalam stance phase). Pada kecepatan berjalan yang normal, stance phase mencaktp 600/o dan swing phase 40%o dari dtrasi satu siklus berjalan (Gambar 2).

r{f[il]ttt

Tumit Jari kaki kanan kir

t kanan

Tlm

Jari k

r

kaki

Tlmlt kanan

Jari kaki kr

Waklu, persen dari sik us

C. Strategi Suspensori (Suspensory Strategyl Strategi suspensori merupakan strategi yang seringkali

digunakan bila kombinasi stabilitas dan mobilitas dibutuhkan, seperti pada saat berselancar angin. Strategi ini merendahkan pusat gravitasi terhadap landasan penopang dengan cara fleksi kedua ekstremitas bawah atau sedikit berjongkok. Dengan memendekkan jarak antara pusat gravitasi dan landasan penopang, usaha untuk mengontrol pusat gravitasi menjadi lebih mudah.

D. Strategi Melangkah dan Menggapai(Sfepping and Reaching Strategyl Jika strategi yang sedang berlangsung seperti strategi pergelangan kaki maupun strategi panggul tidak memadai untuk memulihkan keseimbangan atau jika pusat gravitasi

sudah melewati landasan penopang awal, kaki akan melangkah atau tangan akan menggapai untuk membuat landasan penopang baru.

SIKLUS BERJALAN Dalam berjalan dikenal istilah gait yaitu cara atav gaya berjalan yang umumnya meliputi pula kecepatan bergerak (meter per detik) dan jumlah langkah per unit waktu (langkahpermenit: cadence). Durasi satu siklus berjalan dimulai ketika tumit salah satu kaki menyentuh prjakan (heel-strike/heel-on) sampai dengan tumit yang sama kembali menyentuh pijakan. Selama satu siklus berjalan,

Gambar 2. Elemen dasar dari siklus berjalan

MOB!LITAS FUNGSIONAL Kemandirian fungsional merupakan kemampuan untuk melaksanakan aktivitas sehari-hari tanpa bantuan, termasuk dalam hal mobilitas. Mobilitas fungsional didehnisikan sebagai kemampuan untuk bergerak dari satu

posisi ke posisi lain (duduk, berbaring, berdiri, dan sebagainya) tanpa memperhatikan jarak antara titik awal dan akhir perpindahan. Mobilitas fungsional meliputi mobilitas di tempat tidur, transfer, ambulasi, mobilitas dengan kursi roda, dan mengemudikan kendaraan' Mobilitas di tempattidur merupakan aktivitas mobilitas yang paling dasar, membutuhkan kemampuan kontrol

kepala yang baik selain kekuatan dan ketahanan otot ekstremitas atas. Transfer menunjukkan perpindahan dari satu posisi ke posisi lain dalamjarak dekat, seperti transfer dari duduk ke berdiri kemudian duduk di kursi lain atau dari duduk di kursi roda untuk duduk di kursi lain tanpa berdiri, transfer dengan bantuan sliding board, dan transfer dari kursi roda ke lantai atau sebaliknya. Transfer

membutuhkan keseimbangan duduk yang baik serta kekuatan dan ketahanan otot ekstremitas atas maupun ekstensi panggul dan lutut yang adekuat. Ambulasi adalah

815

GANGGUAI{ I(ESEIMBAT{GAN JAiIUH DAN FRAKruR

bergerak dengan be{alan. Tingkat kemandirian fungsional

seseorang dipengaruhi secara bermakna oleh kemampuannya untuk ambulasi. Untuk dapat berjalan, seseorang harus memiliki kekuatan otot punggung dan ekstremitas bawah yang baik selain keseimbangan, koordinasi, dan ketrampilan kognitif. Kompensasi tubuh, ortosis, maupun alat bantu berjalan seperti walker dapat

digunakan untuk membantu ambulasi tersebut. Jika seseorang tidak mampu ambulasi atal hanya mampu ambulasi dalam jarak dekat, penggunaan kursi roda ataupun kendaraan yang telah dimodifikasi dapat

yang melambat, dan melemahnya kekuatan otot yang amat penting dalam memelihara postur. Kelemahan otot dan ketidakstabilan atau nyeri sendi dapat menjadi sumber

,

gangguan postural selama gerakan volunter. Keseimbangan dapat pula terganggu oleh adanya penyakit, obat-obatan, dan proses penuaan yang berakibat ketakutan akan jatuh sehingga mengurangi aktivitas seseorang. Semua perubahan tersebut dapat berperan untuk terjadinya jatuh, terutama pada kemampuan untuk mencegah jatuh manakala terpeleset atau menghadapi situasi lingkungan yang'membahayakan' (Tabet 1).

mempertahankan kemandirian frrngsional. Selama gerakan dan ambulasi normal, pusat gravitasi tubuh dipertahankan secara dinamis terhadap landasan

penopang. Ambulasi normal dan stabilitas postural tergantung pula pada fungsi sensorik, neuromuskular, sistem muskuloskeletal, dan proses integrasi dari sistem saraf pusat. Dalam sistem muskuloskeletal, kekuatan otot

Fakor yang Perubahan kontrol postural

rangka dan lingkup gerak sendi yang adekuat, terutama pada ekstremitas bawah, esensial untuk terjadinya respon

yang efektif terhadap gangguan postural dan untuk mempertahankan kontrol po stural.

Perubahan gaya berjalan

langkah pendek-pendek

Perempuan: kedua kaki menyempit

dengan gaya jalan bergoyang-

terhadap landasan penopang pada waktu yang tepat untuk

goyang

Peningkatan prevalensi kondisi patologis yang terkait dengan stabilitas

Penyakit sendi degeneratif Patah tulang panggul dan femur

Stroke dengan gejala sisa (defisit residual)

gravitasi tubuh, gangguan kemampuan sistem saraf pusat

untuk mengorganisasi dan menghantarkan respon postural, dan respon postural yang tidak efektif akibat terganggunya sistem neuromuskular, gaya jalan abnormal, refleks postural tidak memadai, instabilitas sendi, dan kelemahan otot.

Menurunnya proprioseptif Melambatnya refleks Menurunnya tonus otot Meningkatnya ayunan postural Hipotensi ortostatik Kaki tidak terangkat cukup tinggi Laki-laki: postur tubuh membungkuk,

dengan kedua kaki melebar dan

Jatuh terjadi ketika sistem konhol postural tubuh gagal mendeteksi pergeseran dan tidak mereposisi pusat gravitasi

menghindari hilangnya keseimbangan. Kegagalan ini antara lain disebabkan oleh pergeseran pusat gravitasi tubuh yang besar, cepat, dan terjadi tiba-tiba; gangguan lingkungan; serta faktor inhinsik seperli hilangnya fungsi sensorik yang esensial untuk mendeteksi gerakan pusat

Perubahan

Berkontribusi

Peningkatan prevalensi kondisi yang menyebabkan nokturia Peningkatan prevalensi demensia

otot

Kelemahan akibat tidak digunakan dan decondition i ng Neuropati perifer Penyakit atau deformitas kaki Gangguan penglihatan Gangguan pendengaran Pelupa dan demensia Proses penyakit lain (penyakit kardiovaskular, parkinsonisme, dll) Penyakit jantung kongestif lnsuflsiensi vena dll Gangguan fungsi kognitif

PERUBAHAN AKIBAT PROSES MENUA YANG BERKAITAN DENGAN INSTABILITAS DAN JATUH Berbagai faktor berperan untuk terjadinya gangguan keseimbangan danjatuh. Umumnya merupakan kombinasi beberapa faktor yang saling berinteraksi dengan masalah

lingkungan. Proses menua mengakibatkan perubahan pada kontrol

postural yang mungkin memegang peran penting pada sebagian besar kejadian jatuh. Perubahan komponen dari kapabilitas biomekanik meliputi latensi mioelektrik, waktu untuk bereaksi, proprioseptif, lingkup gerak sendi, dan kekuatan otot. Selain itu, terdapat pula perubahan pada postur tubuh, gaya berjalan, a)runan postural, sistem sensorik, dan mobilitas fungsional. Usia yang lanjut dikaitkan dengan input proprioseptif yang berkurang, proses degeneratif pada sistem vestibuler, refleks posisi

Latensi mioelektrik atau waktu pramotor adalah keterlambatan attara stimulus yang diberikan hingga timbulnya perubahan peruama dari aktivitas mioelektrik otot yang dapat diukur. Aktivitas mioelektrik berkaitan dengan sinyal elektrik yang dikirim melalui saraf untuk memulai atau memodifikasi proses kontraksi otot. Latensi mioelektrik

tersebut pada usia lanjut 10-20 milidetik lebih lama dibandingkan pada dewasa muda, tanpa ada perbedaan antarjenis kelamin. Waktu bereaksi berkaitan dengan keterlamb atan antara

sinyal stimulus yang membutuhkan reaksi hingga timbulnya kekuatan atau melakukan gerakan.Waktu ini lebih lama dibandingkan dengan latensi

bereaksi

mioelektrik karena meliputi baik latensi mioelektrik maupun

816

waktu yang dibutuhkan oleh otot untuk membangkitkan

atau mengubah besarnya kekuatan setelah aktivitas miolektrik dimulai. Pertambahan waktu interval ini disebut

waktu motor. Waktu bereaksi akan meningkat dengan semakin bertambahnya usia, semakin jauhnya perpindahan tubuh, semakin banyak pilihan aktivitas, dan pada aktivitas

yang membutuhkan akurasi. Tiap dekade umur antara dekade kedua dan kesepuluh, waktu untuk bereaksi meningkat 2 milidetik. Sebagai contoh, pada usia lanjut dibutuhkan l0-30 milidetik lebih lama untuk memulai langkah kaki setelah mengalami kehilangan keseimbangan. Proprioseptif berkaitan dengan kesadaraan mengenai orientasi dan posisi segmen tubuh. Sistem proprioseptif yang memberikan inforrnasi ke sarafpusat mengenai posisi

tubuh melalui sendi, tendon, otot, ligamen, dan kulit, mengalami gangguan akibat penuaan sehingga turut berperan pada teqadinya gar,1g;an keseimbangan. Lingkup gerak sendi menurun dengan bertambahnya

GERII\TRI

transkripsi gen, melalui jalur cepat yang tidak melibatkan sintesis DNA, dan melalui varian alel reseptor vitamin D. Diperkirakan vitamin D akan mencegah terjadinya fraktur melalui 2 cara, dengan memperbaiki fungsi muskuloskeletal dan dengan memngkatkan homeostasis kalsium. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa vitamin D berperan dalam

meningkatkan kekuatan otot, fungsi otot, koordinasi neuromuskular, dan vitalitas secara umum sehingga kecenderungan untuk jatuh menurun. Penelitian di beberapa panti di Jakarta dan Bekasi mendapatkan korelasi yang cukup baik antara konsentrasi vitamin D (25OH)DI

dan kekuatan otot kuadrisep perempuan usia lanjut Indonesia. Postur tubuh usia lanjut saat berdiri ditandai dengan jarakyang lebar antara kedua kaki pada pijakan, lutut dan panggul sedikit fleksi, punggung membentuk sudut ke arah depan terhadap bidang vertikal, vertebra lumbal mendatar, kifosis vertebra torakal meningkat, dan kepala maju ke

usia. Penurunan lingkup gerak sendi tersebut akan

depan, Perubahan tersebut berkaitan dengan proses

mempengaruhi kemampuan seseorang unfuk melaksanakan

penuaan pada sistem muskuloskeletal yang antara lain berupa berkurangnya densitas massa fulang, degenerasi diskus vertebra, dathilangnya kekuatan ligamentum spinal sehingga tubuh menjadi lebih pendek dan kepala lebih majuke depan (Gambar 3).

aktivitas tertentu yang memang membutuhkan lingkup gerak sendi yang baik.

Melemahnya kekuatan otot akibat inaktivitas, tidak digunakannya otot, dan deconditioning dapat berperan pada terjadinya gangguan carabelalan serta kemampuan memperbaiki posisi setelah kehilangan keseimbangan. Terjadi penunrnan kekuatan otot sejalan dengan proses penuaan, bahkan pada orang usia lanjut yang sehat dan aktit. Orang usia lanjut cenderung untuk kehilangan puntiran sendi (torque) pada kecepatan tinggi untuk menghasilkan kekuatan otot yang besar (kekuatan otot : puntiran x kecepatan sudut) karena hilangnya motor unit secara ireversibel sejalan dengan bertambahnya usia. Laju

pembentukan puntiran tersebut lebih rendah pada perempuan usia ianjut dibandingkan laki-laki usia lanjut. Dengan berkurangnya kemampuan membentuk puntiran

Perubahan gaya berjalan terjadi seiring dengan meningkatnya usia. Kendati perubahan tersebut tidak terlalu menonjol untuk dianggap patologis, kondisi perubahan gaya belalan tersebut dapat meningkatkan kejadian jatuh. Pada umumnya orang usia lanjut tidak dapat mengangkat atau menarik kakinya cukup tinggi sehingga

cenderung mudah terantuk (trip). Orang usia lanjut lakilaki cenderung memiliki gayaberjalan dengan kedua kaki melebar dan langkah pendek-pendek (wide-based, short stepped gaits); sedangkan perempuan usia lanjut seringkali berjalan dengan kedua kaki menyempit (narrow based)

dan gaya jalan bergoyang-goyang (waddling gait).

sendi, kapasitas untuk mempertahankan keseimbangan atau melakukan aktivitas lain yang memerlukan presisi

Orang usia lanjut cenderung untuk berjalan lebih lambat

waktu dengan kekuatan cukup, seperti menghindari

meningkatkan jumlah langkah per unit waktu dibandingkan

hambatan yang datangtiba-tiba, akan berkurang pada usia lanjut yang sehat sekalipun. Penurunan massa otot merupakan penyebab langsung menurunnya kekuatan otot. Perubahan massa otot terjadi

jarak satu siklus berjalan, serta terdapat peningkatan

karena gangguan pada sintesis dan degradasi protein, yang pada usia lanjut proses ini dipengaruhi olehwasting yaitu proses pemecahan protein sel (hiperkatabolisme) untuk memenuhi kebutuhan asam amino bagi sintesis protein dan metabolisme energi pada kondisi asupan kalori yang tidak adekuat dan kondisi sakit, serta sarkopenia yakni penurunan massa otot dan kekuatan otot yang berjalan paralel pada usia lanjut yang sehat. Defisiensi vitamin D temyata juga berperan penting untuk terjadinya jatuh, diduga karena perannya pada massa

dan kekuatan otot, Metabolit vitamin D dapat mempengaruhi metabolisme sel otot melalui mediasi

dan meningkatkan kecepatan berjalan dengan cara

Gar s vedikal gravilasr

&rb vedkl grryhB

Telinga melalu bagian lengah daun lelinga

(kepa a €brh ke depan dan klfosis)

Bahu Msalui b4ian l6ngah

DamlneElsasi lulang di tulang be akaf,g-

prtah

tu ang)

H langnya kekuatani

kssulilan yang ebih besar dalam melakukan Eklivasi lun!sional Fleksib li1as monurun padE panggul

(lsr!EmE dan luluL) PgrubaMn saya

dabm6E/

bedslanismkdan

mnysb.btrn bfr!6ngnya leri khakiyaN teEngkat dsd piakEn

Gambar 3. Perubahan postur usia lanjut

GANGGI,'AN IGSEIMBANGAN

JAII'H

DAN

817

FRAKII'R

ayunan postural. Pada uSia lanjut yang sehat, kecepatan

isometrik otot ekstensor lutut di bawah 3 Nm/kg berat

berjalan menurun l-2oh tiap tahunnya dan berkaitan dengan berkurangnya patjang langkah dan jarak satu

badan.

siklus berjalan. Gerak ekstensi sendi pergelangan kaki dan

diperlukan kekuatan dari otot ekstensor lutut dan panggul. Pada usia lanjut sehat dengan berat badan seperti saat masih muda dan fungsi kedua ekstremitas yang simetris, kekuatan otot lutut harus berkurang hingga 70oh bart menjadi tidak adekuat. Di sisi lain, jika berat badan usia lanjut tersebut 2kaliberatbadan saat masih muda, kekuatan otot lutut hanyaperluberkurang 35% untuk menjadi tidak adekuat saat bangkit dari kursi dan membutuhkan bantuan tarrgar,, serta bertambah sulit jika kursinya rendah dan landasan penopang sempit. Untuk bangkit dari tempat tidur, usia lanjut cenderung

rotasi pelvis menurun, serta periode double support meningkat untuk membuat gaya berjalan lebih stabil. Bertambahnya waktu untuk menyelesaikan satu siklus berjalan berkaitan dengan paningkatan sebesar 5 kali risiko untuk jatuh. Strategi postural yang sering digunakan pada usia lanjut adalah strategi panggul, oleh karena penggunaan

strategi pergelangan kaki membutuhkan informasi somatosensorik yang adekuat sementara pada usia lanjut mungkin terdapat kelemahan sendi atau sulit melakukan

rotasi pada pergelangan kaki, hilangnya sensasi somatosensorik perifer, dan kelemahan otot distal. Walaupun demikian, penggunaan strategi panggul membutuhkan informasi vestibular yang adekuat dan gerakan pada panggul akan meningkatkan gaya horisontal

antara pijakan dan telapak kaki sehingga risiko untuk

Untuk bangkit dari kursi ukuran standar, terutama

untuk memperlama waktu kontak antara lengan dan tempat tidur, melakukan rotasi dengan punggung miring ke salah satu sisi, menahan berat badan pada daerah panggul atau gluteal, dan menggunakan siku untuk membantu berputar saat bangun. Hal ini mungkin karena terdapat pemrnman kekuatan otot punggung. Sedangkan untuk bangkit dari

lantai, usia lanjut cenderung menggunakan posisi

terpeleset danjatuh menjadi lebih besar. Jika respon ayunan postural tidak dapat mempertahankan keseimbangan saat

peralihan, seperti bertopang pada keempat ekstremitas,

ada gangguan dan diperlukan strategi melangkah, usia

untuk mengurangi kekuatan yang dibutuhkan dan

lanjut cenderung melakukan beberapa langkah untuk

memperbaiki stabilitas postural.

mengembalikan keseirnban gaffty a. Gangguan visual terjadi pula sejalan dengan menuanya seseorang. Penurunan visus akibat proses degenerasi pada berbagai jaringan pada bola mata, berkurangnya elastisitas lensa, dan berkurangnya sel-sel reseptor mata. Gangguan keseimbangan akan terjadi bila informasi visual terganggu. Stabilitas orangberusia lebih dari 60 tahun berkurang 50% pada saat kedua mata ditutup. Tajam penglihatan yang

prevalensinya sejalan dengan meningkatnya usia turut berperan terhadap terjadinya instabilitas dan jatuh. Penyakit sendi degeneratif (terutama vertebra servikal leher, lumbosakral, dan ekstremitas bawah) dapat menimbulkan rasa nyeri, sendi tak stabil, kelemahan otot, dan gangguan neurologis. Frakturpanggul dan femur yang

kurang pada usia lanjut berkorelasi secara bermakna dengan peningkatan insidens jatuh dan ayunan postural pada pijakan yang lunak.

Sistem vestibuler juga mengalami gangguan seiring dengan penuaan berupa proses degeneratif pada utrikulus

dan sakulus sehingga terjadi penurunan kemampuan bereaksi terhadap gravitasi dan percepatan linier.

Hipotensi ortostatik (menurunnya tekanan darah sistolik 20 mmHg atau lebih ketika berubah posisi dari berbaring ke berdiri) terjadi pada I 1-30 persen orang usia lanjut. Penelitian pada 4.436 penduduk Indonesia berusia 40 tahun ke atas mendapatkan kejadian hipotensi ortostatik sebesar l2,6yu Walaupun tidak semua hipotensi ortostatik

bergejala, respons fisiologis yang terganggu tersebut dapat berperan dalam gangguan keseimbangan dan mernicu terjadinya j atuh. Penurunan kemampuan mobilitas fungsional pada usia

lanjut yang sehat akan terlihat pada aktivitas yang membuffikan kemampuan fisik dan/atau kognitif serta berkaitan dengan pemrnman variabel biomekanik. Pada usia lanjut di komunitas, kesulitan dalam aktivitas bangkit dari kursi, menaiki dan menuruni tangga, serta berjalan cepat, berkaitan dengan penurunan kapasitas kekuatan

Beberapa kondisi patologis yang meningkat

baru menyembuh dapat mengakibatkan gaya berjalan yang

tidak normal dan kurang mantap. Kelemahan otot dan defisit sensorik akibat strok yang baru dialami dapat menyebabkan instabilitas. Berkurangnya input sensorik,

seperti pada neuropati diabetik dan neuropati perifer lainnya, gangguan penglihatan, dan gangguan pendengaran mengakibatkan berkurangnya isyarat dari lingkungan yang sebenarnya berperan pada kestabilan, dan karenanya merupakan predisposisi untuk terjadinya jatuh. Gangguan fungsi kognitif dapat mengakibatkan seseorang befalan-jalan (wandering) ke tempat atau lingkungan yang tidak aman dan memudahkan untuk jatuh. Masalah podiatri (bunion, kalus, penyakit kuku, maupun

deformitas sendi) yang menyebabkan rasa nyeri. deformitas, dan perubahan dalam cara berjalan merupakan

penyebab instabilitas yang seringkali dapat diperbaiki. Penyakit lain yang sering dialami oleh orang usia lanjut, seperti penyakit Parkinson dan penyakit jantung, dapat mengakibatkan instabilitas dan jatuh pula.

INSTABILITAS DAN JATUH Terdapat banyak faktor (Gambar 4 dan Tabel 2) yang

818

GERIATRI

sistemik. Faktor intrinsik lokal antara lain adanya

Bahaya

lingkungan

osteoartritis genu ataupun vertebra lumbal, gangguan

\,

pendengaran, gangguan penglihatan, gangguan pada alat keseimbangan seperti vertigo yang dapat ditimbulkan oleh

gangguan aliran darah ke otak akibat hiperkoagulasi, hiperagregasi, atau osteoartritis servikal. Kelemahan otot kuadrisep femoris turut berperan untuk terjadinya jatuh karena ketidakmampuan mengangkat tungkai secara optimal saat berjalan dan mengangkat tubuh saat bangun dari duduk. Ke ra puha

n/kere n ta na terkait usia

n

FAKTOR RISIKO

Gambar 4. Faktor-faktor dan interaksi dari berbagai etiologi jatuh

Faktor intrinsik sistemik dapat berupa berbagai penyakit yang dapat memicu timbulnya gangguan keseimbangan dan jatuh seperti penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pneumonia, infark miokard akut, gagal jantung, infeksi saluran kemih; demikian pula gangguan

metabolik seperti hiponatremia, hipoglikemia atau hiperglikemia, maupun hipoksia serta adanya gangguan Penyebab Jatuh Kecelakaan

Sinkop Drop attacks Dizziness dan/atau vertigo Hipotensi ortostatik

Obat-obatan

Proses penyakit

Keterangan Kecelakaan murni (terantuk, terpleset, dll) lnteraksi antara bahaya di lingkungan dan faktor yang meningkatkan kerentanan Hilangnya kesadaran mendadak Kelemahan tungkai bawah mendadak yang menyebabkan jatuh tanpa kehilangan kesadaran Penyakit vestibular Penyakit sistem saraf pusat

Hipovolemia atau kardiak output yang rendah Disfungsi otonom Gangguan aliran darah balik vena Tirah baring lama Hipotensi akibat obat-obatan Hipotensi postprandial Diuretika Antihipertensi Antidepresi golongan trisiklik Sedatif Antipsikotik Hipoglikemia Alkohol Berbagai penyakit akut Kardiovaskular: aritmia, penyakit katup jantung (stenosis aorta), sinkop sinus karotid Neurologis: TlA, strok akut, gangguan kejang, penyakit Parkinson, spondilosis lumbar atau servikal (dengan kompresi pada korda spinalis atau cabang saraf), penyakit serebelum, hidrosefalus tekanan

normal (ganggual gaya berjalan), lesi sistem saraf pusat (tumor, hematom subdural) ldiopatik

Tak ada

penyebab

yang

dapat

diidentifikasi

berperair untuk terjadinya instabilitas dan jatuh pada orang usia lanjut. Berbagai faktor tersebut dapat diklasilftasikan menjadi faktor risiko intrinsik (faktor risiko yang ada pada pasien) dan faktor risiko ekstrinsik (faktor yang terdapat di lingkungan). Faktor intrinsik terdiri atas faktor lokal dan faktor

aliran darah ke otak seperti pada keadaan hiperkoagulasi, strok, dan transient ischemic attact (TIA).

Faktor Risiko lntrinsik Sinkop, drop attacks, dan dizziness merupakan penyebab

jatuh pada orang usia lanjut yang sering disebut-sebut. Beberapa penyebab sinkop pada orang usia lanjut yang perlu dikenali antara lain respons vasovagal, gangguan kardiovaskular (bradi dan takiaritmia, stenosis aorta), gangguan neurologis akut (TIA, strok, atau kejang), emboli paru, dan gangguan metabolik. Drop attacks merupakan kelemahan tungkai bawah mendadak yang menyebabkan jatuh tanpa kehilangan kesadaran. Kondisi tersebut seringkali dikaitkan dengan insufisiensi vertebrobasiler yaflg dipicu oleh perubahan posisi kepala. Dizziness atau rasa tidak stabil merupakan keluhan yang sering diutarakan oleh orang usia lanjut yang mengalami jatuh. Pasien yang mengeluh rasa ringan di kepala harus dievaluasi secermat mungkin akan adanya hipotensi postural atau deplesi volume intravaskular. Di sisi lain, vertigo merupakan gejala yang lebih spesifik walaupun merupakan pemicu jatuh yang lebih jarang. Kondisi ini dikaitkan dengan kelainan pada telinga bagian dalam seperti labirinitis, penyakit Meniere, dan benign parorysmal positional yert g,o (BPPV). Iskemia dan infark vertebrobasiler, serta infark serebelum juga dapat menyebabkan vertigo.

Kebanyakan pasien usia lanjut dengan gejala diz zin e s s dan un s t e adines.r merasa cemas, depresi, sangat takut jatuh, sehingga evaluasi gejala mereka menjadi sulit. Beberapa pasien, terutama pada mereka dengan gejala ke arah vertigo, memerlukan pemeriksaan otologi, termasuk

uji auditori, yang dapat membedakan lebih jelas antara gejala akibat gangguan telinga dalam atau adanya keterlibatan sistem saraf pusat. Sekitar 10-20 persen orang usia lanjut mengalami

GAIIIGGUAT{ KESEIMBANGAT{

819

JAIUH DAN FRAKTUR

hipotensi ortostatik yang sebagian besar tidak bergejala. Namun demikian, beberapa kondisi dapat menyebabkan

ke kamar kecil untuk buang air kecil atau efek mengantuk

hipotensi ortostatik yang berat sehingga memicu timbulnya jatuh. Kondisi-kondisi tersebut antara lain curah jantung rendah akibat gagal jantung'atau

waspada saat berjalan.

hipovolemia, disfungsi otonom (sebagai akibat diabetes melitus), gangguan aliran balik vena (insufisiensi vena), tirah baring lama dengan deconditioning otot dan refleks,

PENGKAJIAN INSTABILITAS DAN JATUH

serta beberapa obat. Hubungan hipotensi ortostatik dengan hipertensi perlu dipahami sehingga tatalaksana hipertensi yang baik amat diperlukan untuk mencegah timbulnya hipotensi ortostatik tersebut. Berbagai penyakit, terutama penyakit kardiovaskular dan neurologis, dapat berkaitan dengan jatuh. Sinkop dapat merupakan gejala stenosis aorta dan merupakan indikasi perlunya evalua'si pasien akan adanya stenosis aorta yang memerlukan penggantian katup. Beberapa pasien memiliki baroreseptor karotis yang sensitif dan rentan mengalami sinkop karena refleks tonus vagal yang

meningkat akibat batuk, mengedan, atau berkemih sehingga terjadi bradikardia atau hipotensi. ' Strok akut dapatmenyebabkan jatuh atau memberikan gejala jatuh. TIA sirkulasi anterior dapat menyebabkan

kelemahan unilateral dan memicu jatuh.

TIA sirkulasi posterior (vertebrobasiler) mungkin juga dapat mengakibatkan vertigo, namun perlu disertai dengan satu atau lebih gejala lain seperti disartria, ataksia, kelemahan tungkai, dan berkurangnya lapangan paqdang. Insufisiensi vertebrobasiler seringkali disebut sebagai peny ebab drop attacks; kompresi mekanik arteri vertebralis oleh osteofit spina vertebra servikal manakala kepala diputar disebutkan pula sebagai penyebab ketidakstabilan dan jatuh. Penyakit lain pada otak dan sistem sarafpusat dapat

dari obat sedatif sehingga seseorang menjadi kurang

Evaluasi yang komprehensif terdiri atas riwayat jatuh dan medis yang rinci, pemeriksaan fisik, pengkajian cara berjalan dan keseimbangan, pengkajian terhadap kondisi lingkungan tempat pasien tinggal atau terjatuh, serta pada keadaan tertentu, pemeriksaan laboratorium (Tabel 3).

Keterangan Anamnesis Riwayat medis umum Tingkat mobilitas Riwayat jatuh sebelumnya Obat-obatan yang dikonsumsi Apa yang dipikirkan pasien sebagai penyebab jatuh? Lingkungan sekitar tempat jatuh

Gejala yang terkait

Hilangnya kesadaran

pula menyebabkan jatuh. Penyakit Parkinson dan hidrosefalus tekanan normal menyebabkan gangguan gaya

berjalan yang menyebabkan instabilitas dan jatuh. Gangguan serebelum, tumor intrakranial, dan hematoma

subdural j,rga menyebabkan ketidakstabilan (unsteadiness) dengan kecenderungan mudah jatuh.

Faktor Risiko Ekstrinsik Faktor risiko ekstrinsik merupakan faktor-faktor yang berada di lingkungan yang memudahkan orang usia lanjut mengalami jatuh. Berbagai faktor tersebut antara lain lampu ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, basah, atau tidak rata, furnitur yang terlalu rendah atau tinggi, tangga

yang tak aman, kamar mandi dengan bak mandlJcloset terlalu rendah atau tinggi dan tak memiliki alat bantu untuk berpegangan,

tali atau kabel yang berserakan di lantai,

karpet yang terlipat, dan benda-benda di lantai yang membuat seseorang teranhrk. Obat-obatan juga dapat menjadi penyebab jatuh pada orang usia lanjut (Tabel2). Misalnya obat diuretikayang dikonsumsi menyebabkan seseorang berulang kali harus

Terutama obat antihipertensi dan psikotropika Apakah pasien sadar bahwa akan jatuh? Apakah kejadian jatuh tersebut sama sekali tak terduga? Apakah pasien terpleset atau terbhtuk? Waktu dan tempat jatuh Saksi Kaitannya dengan perubahan postur, batuk, buang air kecil, memutar kepala Kepala terasa ringan, dizziness, vertigo Palpitasi, nyeri dada, sesak Gejala neurologis fokal mendadak (kelemahan, gangguan sensorik, disartria, ataksia, bingung, afasia) Aura lnkontinensia urin atau alvi Apakah yang langsung diingat segera setelah jatuh? Apakah pasien dapat bangkit kembali setelah jatuh dan jika dapat, berapa lama waktu yang diperlukan untuk dapat bangkit setelah jatuh? Apakah adanya hilangnya kesadaran dapat dijelaskan oleh saksi?

Pemeriksaan Fisik: Tanda vital

Kulit Mata Kardiovaskular Ekstremitas

Neurologis

Demam, hipotermia, frekuensi pernapasan, frekuensi nadi dan tekanan darah saat berbaring, duduk, dan berdiri Turgor, trauma, kepucatan Visus Aritmia, bruit karotis, tanda stenosis aorta, sensitivitas sinus karotis Penyakit sendi degeneratif, Iingkup gerak sendi, deformitas, fraktur, masalah podiatrik (kalus, bunion, ulserasi, sepatu yang tidak sesuai, kesempitan/kebesaran, atau rusak Status mental, tanda fokal, otot (kelemahan, rigiditas, spastisitas), saraf perifer (terutama sensasi posisi), proprioseptif, refl eks, fungsi saraf kranial, fungsi serebelum (terutama uji tumit ke tulang kering), gejala ekstrapiramidal: tremor saat istirahat, bradikinesia, gerakan involunter lain, keseimbangan dan cara berjalan dengan mengobservasi cara Pasien berdiri dan berialan (uii set up and sol

820

GERIAMI

Riwayat penyakit seyogyanya difokuskan pada riwayat medis umum dan pengobatan yang dijalani pasien, pendapat pasien tentang penyebab jatuh yang dialami mereka, lingkungan tempat pasien jatuh, gejala dan tanda yang menyertai (seperli palpitasi akibat arihnia atau gejala neurologis fokal akibat TIA), dan apakah terdapat riwayat

pemeriksaan penunjang seperti pemeriksan darah perifer lengkap, elektrolit, ureum, foto toraks, ata:u elektrokardiogram. Jika dicurigai adanya aritrnia sesaat atau

blok jantung, elektrokardiogram perlu dikerjakan. Ekokardiografi perlu dilakukan bila dicurigai terdapat murmur jantung lebih keras dari derajat 2. Pencitraan

kehilangan kesadaran. Manakala terdapat riwayat hilangnya kesadaran perlu dipertimbangkan adanya kejang (terutama bila terdapat inkontinensia) maupun kelainan j antung seperti aritmia sesaat atau blok jantung (heart block). Ekstremitas, kulit, dan jaringan lunak yang dirasakan nyeri oleh pasien perlu dikaji untuk mendeteksi adanya luka yang diakibatkan oleh jatuh. Beberapa masalah lain

dengan CT scan danelektroensefalogram perlu dikerjakan bila dicurigai kuat terdapat lesi intrakranial atau kejang.

instabilitas danjatuh. Oleh karena jatuh dapat diakibatkan oleh berbagai penyakit akut, perhatian seksama perlu diberikan padatanda vital. Demam, takipneu, takikardia, dan hipotensi perlu dikaji untuk mencari adanya penyakit akut seperti pneumonia atau sepsis, infark miokard, emboli paru, dan perdarahan saluran cerna. Adanya hipotensi postural perlu diwaspadai karena selain dapat terjadi pada usia lanjut yang sehat dan tanpa gejala, dapat pula terjadi pada orang yang mengalami de c o ndit io n in g akibat imobilisasi b erkep anj an gan atau mengalami insufisiensi vena. Adanya hipotensi postural dapat pula diakibatkan oleh dehidrasi, kehilangan darah

mobilitas sehingga dapat mendeteksi perubahan klinis

perlu juga ditelusuri untuk menetapkan penyebab

akut, atan efek samping obat.

Ketajaman penglihatan perlu dikaji, apakah berperan pada instabilitas dan jatuh. Pemeriksaan kardiovaskular perlu difokuskan pada adanya aritmia dan tanda stenosis aorta. Bila kedua kondisi tersebut dicurigai ada pada pasien, seyogyanya dilakukan pemantauan berkesinambungan dan ekokardiograf,r.

Pemeriksaan ekstremitas seyogyanya dilakukan untuk

mencari adanya deformitas, keterbatasan lingkup gerak sendi, atau inflamasi aktif yang mendasari instabilitas dan menyebabkan jatuh. Perhatian khusus sebaiknya diberikan pada kaki pasien untuk mencari adanya deformitas, lesi yang nyeri (kalus, bunion, ulkus), maupun sepatu yang tidak sesuai ukuran dan tidak nyaman. Pemeriksaan neurologis juga merupakan komponen penting yang harus dikaji. Status mental harus dievaluasi dengan mencari tanda neurologis fokal. Adanya kelemahan

PEMERIKSAAN KESEIMBANGAN DAN MOBIUTAS FUNGSIONAL Terdapat sejumlah pemeriksaan untuk mengevaluasi fungsi

bermakna yang menyebabkan seseorang berisiko untuk jatuh atau timbul disabilitas dalam mobilitas. Tidak ada baku emas untuk mengukur keseimbangan dan mobilitas fungsional, namun telah dikembangkan berbagai alat ukur untuk mengukur kemampuan keseimbangan dan mobilitas serta pemantauan perubahan kemampuan ini sejalan dengan waktu, baik yang dilakukan di laboratorium untuk penilaian obyektif penampilan biomekanik maupun uji fungsional yang lebih mudah dilakukan, berbiayarendah,

dan dapat diinterpretasikan langsung relevansi Uji fungsional tersebut antara lairr: the timed up-and-go test (TUG), uji menggapai fungsional

fungsionalnya.

(functional reach test), dan uji keseimbangan tserg (the Berg balance sub-scale of the mobility index).

Uii The Timed Up and Go Uji TUG merupakan modihkasi danuji get up and go (GUG) untuk menghilangkan unsur subyektivitas dalam penilaian uji GUG. Pada uji GUG subyek diminta untuk bangkit dari kursi, berjalan sepanjang 3 meter, berbalik arah kembali menuju kursi, dan duduk kembali. Oleh pemeriksa dinilai cara berjalan dan ada tidaknya gangguan gaya berjalan subyek, kemudian diberikannilai berskala l-5; nilai I berarti normal, sedangkan nilai 5 menunjukkan abnormalitas berat. Uji TUG dapat digunakan untuk rnengukur mobilitas, keseimbangan, dan pergerakan pada usila. Fungsi mobilitas fungsional dasar tersebut diukur dari berapa detik waktu

otot, rigiditas atau spastisitas, abnormalitas fungsi

yang diperlukan subyek untuk melakukan aktivitas

serebelum, tanda penyakit Parkinson, dan tanda neuropati perifer perlu dicari.

berturut-turut: bangkit dari kursi bertinggi duduk 46 cm

Pengkajian cara berjalan dan keseimbangan juga merupakan komponen penting dalam pemeriksaan fisik.

sepanjang 3 meteq berbalik arah kembali menuju kursi, dan duduk kembali. Nilai < I 0 detik menunjukkan kemandirian penuh, nilai 1 0 - <20 detik umunmya mandiri untuk berbagai aktivitas mobilitas seperti aktivitas mandi, mampu untuk

Pengkajian sederhana berup a ' get up dar go test ' mlngkin

cukup

praktis dalam mengkaji cara berjalan

dan

keseimbangan.

Pemeriksaan laboratorium tidak selalu diperlukan, tergantung data yang diperoleh dari riwayat penyakit dan pemeriksaan f,rsik. Jika didu ga terdapat penyakit akut yang mendasari teq'adinya instabilitas atau jatuh, perlu dilakukan

dengan sandaran lengan dan punggung, berjalan

naik tangga, dan bepergian sendiri, nilai 20-29 detik terdapat variasi dalam mobilitas dan keseimbangan, sedangkan nilai 30 detik atau lebih menunjukkan mobilitas terganggu dan ketergantungan pada kebanyakan aktivitas karena risiko jatuh tinggi.

821

GAIiIGGUAN KESEIMBANGAN JATUH DAN FRAKTUR

Pemeriksaan

ini selain valid (bila dilakukan

pada

individu yang tidak menggunakan alat bantu berjalan) karena berkorelasi tinggi dengan uji keseimbanganBergl Berg Balance Scale (uji aktivitas fungsional terhadap 14

tugas), indeks Barthel (penilaian kemampuan untuk melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari/AKS), dan kecepatan berlalanlgait speed, juga mudah dilakukan karena hanya membutuhkan perlengkapan, waktu, dan tempat yang minimal, dapat dikuantifftasi, berkorelasi dengan kemampuan usila untuk bergerak dengan aman di lingkungannya, serta dapat digunakan untuk mengukur perubahan mobilitas setelah dilakukan suatu intervensi. Intraclass correlation cofficients (ICC) uji ini untuk reliabilitas intra dan inter rater sangat baik, yakni 0,99. TUG berkorelasi dengan uji keseimbangan Berg, indeks

AKS Barthel, dan kecepatan berjalan dengan

r:

-

0,51

sampai dengan - 0,72. Shumway - Cook et a/ melaporkan

pemeriksaan TUG memiliki sensitivitas 87oh dan spesivisitas 87% untuk mengidentifikasi orang dewasa di komunitas yang berisiko untuk jatuh.

berdiri tanpa bantuan, berdiri dengan mata tertutup, berdiri dengan kedua kaki rapat, berdiri dengan kedua kaki dalam posisi tandem, berdiri dengan satu kaki, rotasi punggung saat berdiri, mengambil obyek tertentu dari lantai, berputar 360", melangkahi kursi tanpa sandaran, dan menggapai ke arah depan saat berdiri. Dilakukan penilaian dua dimensi

dari keseimbangan yaitu kemampuan subyek untuk mempertahankan postur tegak dan melakukan penyesuaikan yangtepat pada gerakan yang dikehendaki

(gerukanvolunter).Dlbunthkanwaktuselamal0-20menit

untuk melaksanakan tugas: duduk, berdiri, berjalan, berbalik arah 360 derajat, menggapai, dan sebagainya. ICC interrater uji ini 0,91. Berdasarkan penelitian, uji ini merupakan prediktor tunggal terbaik status jatuh. Untuk kisaran skor 56-54, tiap penurunan 1 nilai berkaitan dengan peningkatan odds ratio risiko jatuh sebesar 3-4%o; rmntk kisaran 54-46, tiap pemrrunan I nilai berkaitan dengan peningkatan risiko jatuh 6-8%. Nilai 36 atau kurang, risiko

jatuhhampir 100%.

TATALAKSANA NSTABI LITAS DAN JATU I

H

Biaya yangharus dikeluarkan akibat jatuh ternyati'iukup besar, baik dalam konotasi fisik maupun trauma psikologi, hilangnya kemandirian, atau bahkan kematian. Oleh karena itu, amat diperlukan berbagai strategi untuk mengatasi dan mencegah jatuh pada orang berusia lanjut. Prinsip dasar tatalaksana usia lanjut dengan masalah Gambar 5. Uji menggapai fungsional

Uji Menggapai Fungsional Uji ini menilai kontrol postural dinamis

dengan mengukur jarakterjauh seseorang yang berdiri mampu menggapai atau

mencondongkan badannya ke depan tanpa melangkah (Gambar 5). Nilai normal untuk usia 41- 69 tahun pada laki-

laki 14,98 rnci + 2,21 dan perempuan 13,81 inci + 2,2; untuk usia 70-87 tahun pada laki-laki I 3, I 6 inci + 1,5 5 dan perempu an 10,47 inci + 3,5. Pada individu berusia 70 tahun atau lebih, nilai 6 inci atau kurang berkorelasi dengan kecepatan bet'alan dan risiko untuk jatuh. Uji ini mudah dilakukan, namlm hanya mengukur satu komponen dari keseimbangan dinamik. ICC intrarater pemeriksaan ini sedan gkan

092.

Uji Keseimbangan Berg Uji ini merupakan uji aktivitas dan keseimbangan fungsional yang menilai penampilan mengeq'akan 14 tugas, diberikan angka 0 (tidak mampu melakukan) sampai 4 (mampu mengerjakan dengan normal sesuai dengan waktu dan jarak yang ditentukan) dengan skor maksimum 56. Tugas-tugas yang dinilai adalah duduk tanpa bantuan, bangkit dari duduk ke berdiri, berdiri ke duduk, transfer,

instabilitas dan riwayat jatuh adalah mengkaji dan mengobati trauma fisik akibat jatuh; mengobati berbagai kondisi yang mendasari instabilitas dan jatuh; memberikan terapi fisik dan penyuluhan berupa latihan caraberlalan, penguatan otot, alat bantu, sepatu atau sandal yang sesuai; mengubah lingkungan agar lebih aman seperti pencahayaan yang cukup; pegangan; lantai yang tidak licin, dan sebagainya. Lallhan fisik (penguatan otot, fleksibilitas sendi, dan keseimbangan), latihan Tai Chi, adaptasi perilaku (bangun dari duduk perlahan-lahan, menggunakan pegangan atau perabot untuk keseimbar.gar,, dan teknik bangun setelah jatuh) perlu dilakukan untuk mencegah morbiditas akibat

instabilitas dan jatuh berikutnya. Perubahan lingkungan acapkali penting dilakukan untuk mencegah jatuh berulang. Lingkungan tempat orang usia lanjut tinggal seringkali tidak aman sehingga upaya perbaikan diperlukan untuk memperbaiki keamanan mereka agar kejadian jatuh dapat dihindari.

FRAI(IUR Berbagai penelitian di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia menunjukkan bahwa risiko terjadinya patah tulang tidak hanya ditentukan oleh densitas massa tulang,

822

melainkan juga oleh faktor-faktor lain yang berkaitan dengan

kerapuhan frsik (frailty) dan meningkatnya risiko untuk jatuh. Densitas massa tulang dan ayunan tubuh (sway),

keduanya, merupakan faktor prediktor untuk risiko teq'adinya patah tulang osteoporotik, akan tetapi kombinasi densitas massa tulang yang rendah dan ayrnan tubuh yang meningkat merupakan risiko patah tulang yang lebih tinggi. Faktor-faktor risiko terjadinya patah tulang pada mereka

yang mengalami jatuh juga telah diteliti. Didapatkan data bahwa ada hubungan yang kuat antara frekuensi (umlah)

kejadian jatuh dengan risiko terjadinya patah tulang. Didapatkan pula data tipe jatuh yang meningkatkan risiko patah tulang panggul, yakni jatuh ketika posisi sedang berputar. Beberapa faktor risiko patah tulang panggul pada mereka yang mengalami jatuh attaralainfalls to the side, densitas tulang panggul rendah, dan gangguan mobilitas.

Tatalaksana Medis Fraktur Tujuan utama tatalaksana adalah mengembalikan pasien pada keadaan dan fungsi sebelum terjadi fraktur. Hal ini dapat dicapai dengan operasi diikuti mobilisasi dini. Walaupun demikian, adakalanya operasi dapat meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas bila ada penyakit penyerta seperti riwayat infark miokard. Pada keadaan ini operasi sebaiknya ditunda hingga risiko infark berkurang. Operasi sebaiknya ditunda pula pada pasien yang membutuhkan terapi antikoagulan segera. Tata laksana non-operatif ditujukan pada pasien nonambulatoar dan demensia. Pada pasien ini, target tatalaksana adalah keadaan dan fungsi sebelum fraktur tanpa operasi. Mobilisasi dini penting untuk menghindari komplikasi akibat tirah baring lama. Pada pasien usia lanjut yang mengalami fraktur diperlukan penilaian geriatri yang komprehensif. Kelompok pasien ini umumnya lemah, memiliki beberapa masalah medis, minum banyak obat, serta acapkali sudah terdapat demensia atau penyakit terminal lainnya. Berdasarkan data

yang dikumpulkan, dibuat pengkajian geriatri yang prinsipnya mencakup penyakit dasar, penyakit penyerta,

faktor risiko, prognosis, dan kelayakan operasi. Bila didapatkan penyakit penyerta pada pasien yang akan dioperasi maka dilakukan manajemen perioperatif hingga penyakit penyerta tersebut dapat terkontrol atau terkendali. Perlu pula dilakukan penapisan aktivitas hidup harian sebelum dan setelah fraktur, maupun adanya gangguan fungsi kognitif dan depresi. Aktivitas hidup harian secara sederhana dapat dinilai dengan indeks activity daily living (ADL) Barthel. Evaluasi fungsi kognitif dapat secara kuantitatif menggunakan abbreviated mental test (AMT) atau mini-mental state examination (MMSE). Adanya depresi ditapis dengan geriatric depression scale (GDS).

Persiapan mental pasien pun harus dilakukan dimulai dengan penjelasan kepada pasien tentang penyakit dan tatalaksananya.

GE,RIITTRI

Obat-obatan yang digunakan pasien sebelumnya perlu dievaluasi. Pasien harus dihindarkan dari efek samping polifarmasi. Obat yang tidak/sedikit efektif dihentikan. Namun obat yang berefek buruk bila dihentikan tetap diteruskan. Obat Parkinson tidak perlu dihentikan sebelum operasi. Pada pemeriksaan fisik dievaluasi adanya komplikasi

akibat fraktur, faktor penyebab fraktur, dan penyakit penyerta. Pemeriksaan frsik awal sangat penting untuk mengevaluasi komplikasi yang mungkin terjadi kemudian. Penilaian status nutrisi pasien dapat dinilai melalui berat badan dan tinggi badan, konsentrasi albumin, dan jumlah total limfosit. Penilaian kulit dilalarkan terhadap adanya dekubitus. Perlu dilal
Selain itu, perlu diingat kemungkinan terjadinya komplikasi pascaoperasi seperti infeksi, tromboemboli, delirium, infeksi saluran kemih dan retensio urin, ulkus dekubitus akibat tirah baring lama, maupun malnutrisi.

Risiko infeksi dapat diturunkan dengan pemberian antibiotik perioperatif. Untuk mencegah tromboemboli, baik trombosis vena dalam maupun emboli paru, pasien perlu mendapat antikoagulan selama masa perioperatif. Warfarin diberikan dengan targel international normalized ratio (INR) 2-3. Heparin diberikan dengan tatgetpartial thromboplastin time (aPTT) 1,5-2,5 kontrol. Low molecular

weight heparin (LMWH) dapat diberikan tanpa pengontrolan aPTT. Sebelum operasi, antikoagulan perlu dihentikan dahulu agar perdarahan luka operasi terkendali. Setelah operasi, antikoagulan dapat diberikanhingga 2-4 minggu atau bila pasien sudah dapat mobilisasi. Walaupun aspirin bila dibandingkan dengan heparin efektivitasnya

lebih rendah, namun pada keadaan pasien dengan kontraindikasi terhadap antikoagulan maka pada pasien dapat y'iberikan aspirin 75-325 mg/hari' atau hanya menggunakan tindakan mekanis seperti sepatu kompresi pneumatik. Stoking kompresi dapat menjadi tambahan dari terapi di atas. Penggunaan aspilet dan stoking kompresi diteruskan hingga 6 minggu setelah operasi. Delirium pasca operasi dapat dipicu oleh gangguan elektrolit dan obat-obatan yang diberikan seperti golongan benzodiazepir- agar pasien dapat tidur atau opiat untuk

mengatasi nyeri. Faktor preoperatif terjadi delirium pascaoperasi adalah demensia sebelum fraktur, mobilisasi rendah sebelum fraktur, dan MMSE rendah. Oleh karena itu, perlu dilakukan pemeriksaan elektrolit berkala, evaluasi

823

GAT{GGUAT{ IGSEIMBANGAN JAIIUH DAN FRAKTUR

Penilaian dan Faktor Risiko

Tatalaksana

Perubahan lingkungan dan aktivitas untuk mengurangi

Lingkungan saat jatuh sebelumnya

kemungkinan jatuh berulang Konsumsi obat-obatan Obat-obat berisiko tinggi (benzodiazepin, obat tidur lain, neuroleptik, antidepresi, antikonvulsi, atau antiaritmia kelas lA) Konsumsi 4 macam obat atau lebih Penglihatan Visus <20160 Penururlan persepsi kedalaman (depth perception) Penurunan sensitivitas terhadap kontras Katarak

Review dan kurangi konsumsi obat-obatan

Tekanan darah postural (setelah >5 menit dalam posisi berbaring/suprne, segera setelah berdiri, dan 2 menit setelah berdiri) tekanan sistolik turun Z 20 mmHg (atau : 20%), dengan atau tanpa gejala, segera atau setelah 2

Diagnosis

-

-

Penerangan yang tidak menyilaukan; hindari pemakaian kacamata multifokal saat berjalan; rujuk ke dokter spesialis mata

dan

Pemeriksaan muskuloskeletal: pemeriksaan tungkai (sendi dan lingkup gerak sendi) dan pemeriksaan kaki

tatalaksana penyebab dasar jika memungkinkan; review dan kurangi obat-obatan; modifikasi dari restriksi garam; hidrasi yang adekuat; strategi kompensasi (elevasi bagian kepala tempat tidur, bangkit perlahan, atau latihan dorsofleksi); stoking kompresi; terapi farmakologis jika strategi di atas gagal Diagnosis tatalaksana penyebab dasar jika memungkinkan; kurangi obatobatan yang mengganggu keseimbangan; intervensi lingkungan; rujuk ke rehabilitasi medik untuk alat bantu dan latihan keseimbangan dan gaya berjalan Diagnosis tatalaksana penyebab dasar jika memungkinkan; tingkatkan input proprioseptif (dengan alat bantu atau alas kaki yang sesuai, berhak rendah dan bersol tipis); kurangi obat-obatan yang mengganggu fungsi kognitit;,kewaspadaan pendamping mengenai adanya defisit kognitif; kurangi faktor risiko lingkungan; rujuk ke rehabilitasi medik untuk latihan gaya berjalan, keseimbangan, dan kekuatan Diagnosis tatalaksana penyebab dasar jika memungkinkan; rujuk ke rehabilitasi medik untuk latihan

Pemeriksaan kardiovaskular

keseimbangan serta untuk alat bantu; gunakan alas kaki yang sesuai; rujuk ke podiatrist Rujuk ke dokter spesialis jantung; pemijatan sinus karotis

menit berdiri Keseimbangan dan gaya berjalan Laporan pasien atau observasi adanya ketidakstabilan Gangguan pada penilaian singkat (uji get up and go alau peiormance-oriented assessme nt of mobility)

-

dan

Pemeriksaan neurologis Gangguan proprioseptif Gangguan kognitif Penurunan kekuatan otot

-

- Sinkop - Aritmia (ika telah diketahui adanya

dan

dan

kekuatan, lingkup gerak sendi, gaya berjalan,

dan

(pada kasus sinkop) penyakit

kardiovaskular, terdapat EKG yang abnormal, dan

sinkop) Evaluasi terhadap "bahaya" di rumah setelah dipulangkan dari rumah sakit

obat-obatan yang digunakan, dan pasien diperkenankan menggunakan pakaian, kacamata, dan alat pendengarannya serta ditunggui keluarga. Satu anggota keluarga tetap

menunggui pasien khususnya pada malam hari. Pemindahan ruang rawat yang tidakperlu diminimalkan. Untuk mencegah infeksi saluran kemih dan retensio urin, kateter urjn harus dilepas segera setelah operasi; tidak

boleh dipertahankan lebih dari24-36 jam kecuali bila dibutuhkan evaluasi jumlah urin. Retensio urin sementara dapat terjadi akibat nyeri, opiat, anestesi, atau faktor lain.

Ulkus dekubitus perlu dicegah dengan melakukan mobilisasi dini, menjaga kesehatan kulit, dan penggunaan

kasur dekubitus. Asupan nutrisi pasien juga perlu diperhatikan untuk mencegah malnutrisi. Umumnya pasien

dapat menerima nutrisi enteral dalam 12-24 jam pascaoperasi. Suplemen protein oral harus diberikan dalam

Rapikan karpet yang terlipat dan gunakan lampu malam hari, bathmats yang tidak licin, dan pegangan tangga; intervensi lain yang diperlukan

jumlah besar, karena asupan pada masa pascaoperasi dapat kurang dari seharusnya. Bila asupan oral tidak adekuat maka digunakan pipa nasogastrik untuk memperbaiki keseimbangan nitrogen dan asupan kalori. Aspek penting pada pascaoperasi adalah mobilisasi dini untuk mencegah komplikasi akibat imobilisasi. Pada usia lanjut dengan fraktur femur proksimal, hal ini sangat penting agar dapat hidup tanpa tergantung pada orang lain dengan target terapi adalah mengembalikan fungsi berjalan. Rehabilitasi harus dimulai satu hari setelah operasi dengan mobilisasi bertahap dari tempat tidur ke kursi dan selanjutnya berdiri dan berjalan. Pada hari pertama dapat dimulai dengan latihan kekuatan isometrik dan latihan mobilisasi. Pada hari keempat latihan berdiri dan latihan berjalan dengan pegangan.

824

Perencanaan pulang ke rumah merupakan hal penting. Agar pasien dapat melakukan fungsi tanpa ketergantungan

saat kembali ke rumah, pasien harus memulihkan kemampuan untuk melakukan aktivitas hidup harian dasar.

Kebanyakan pemulihan terjadi pada 6 bulan pertama setelah fraktur.

Pencegahan Fraktur Osteoporosis dengan bertambahnya usia baik pada perempuan maupun laki-laki menyebabkan meningkatnya risiko fraktur pada trauma minimal. Fraktur osteoporotik sering terjadi pada lengan bawah, vertebra, dan femur proksimal. Risiko fraktur selain berhubungan dengan aktivitas fisik dan meningkatnya risiko jatuh juga dapat diperhitungkan dengan densitas massa tulang (bone mineral density, BMD). Penyebab osteoporosis sekunder harus pula digali seperti terapi kortikosteroid, hipertiroid, hiperparatiroidisme, dan hipogonadisme. Kendati terapi osteoporosis menurunkan resorpsi tulang dan meningkatkan densitas tulang, penurunan insidens fraktur sebagian berhubungan dengan mekanisme rlonskeletal. Suplementasi 800 IU vitamin D3 dan 1,2 gram kalsium elemental setiap hari selama 3 tahun menurunkan risiko fraktnr panggul (ftrp) sebesar 27 %o, denganhanya sedikit perbaikan pada densitas tulang. Penambahan vitamin D3 berhubungan dengan berkurangnya ayunan tubuh dan jumlah jatuh. Selain itu, perlu dilakukan penilaian klinis dan tatalaksana bagi orang usia lanjut yang berisiko untuk

jatuh(Tabel4).

KESIMPULAN Gangguan keseimbangan, jatuh, dan fraktur merupakan masalah besar pada usia lanjut. Terdapat berbagai faktor yang menjadi faktor risiko dan penyebab instabilitas dan jatuh tersebut yang memerlukan pengkajian secara menyeluruh untuk mencegah jatuh dan fraktur maupun

fraktur berulang. Bila telah terjadi fraktul diperlukan tatalaksana secara holistik dan interdisiplin.

REFERENSI Ackermann RJ. Medical Consultation for the elderly patient with hip fracture. J Am Board Fam Pract 19981,11:366-77. Available from: URL: http://www.medscape.com (Access atMarch 26, 2003 )

Adunsky A, Leqz R, Heim M, Mizrahi E, Arad M. The unfavorable of perioperative delirium in elderly hip fractured patients. Arch Gerontol Geriatr 2003; 36: 67-74. Allison L, Fuller K. Balance and vestibular disorders. In: Umphred DA, ed. Neurological rehabilitation. 4th ed. St. Louis: Mosby,

2001. p.616-60.

GERIITIRI

Antiplatelet Tiralists's Collabotation. Collaborative overview of randomised trial of antiplatelet therapy-Ill: reducation in venous thrombosis and pulmonary embolism by antiplatelet prophylaxis among surgical and medical patients. Brit Med J 1994; 308: 235-46. Handayani A, Prevalensi dan sebaran faktor-faktor risiko intrinsik sistemik yang mempengaruhi instabilitas postural pada pasien geriatri di divisi egriatri departemen ilmu penyakit dalam RSUPN Jakarta. Tesis 2003. Departemen Ilmu penyakit Dalam FKUI. Ashton-Miller JA, Alexander NB. Biomechanics of mobility in older adults. In: Hazzard WR, Blass JP, Halter JB, Ouslander JQ Tinetti ME, eds. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. 5tt ed. New York: McGraw-Hill Health Professions Division; 2003. p.9 I 9-3 0.

Bischoff, dkk, Effect of vitamin D on falls. A meta analysis. JAMA. 200 4 Apr ;29 I (l 6): I 999 -200 6

Berg KO, Maki BE, Williams JI, Holliday PJ, Wood-Dauphinee SL. Clinical and laboratory measures of postural balance in an elderly population. Arch Phys Med Rehabil. 1992;73:10'73-80. Brauer C, Morrison RS, Silberzweig SB, Siu AL. The cause of delirium in patients with hip fracture. Arch Intern Med 2000; 160: 1856-60 Clark E. Preoperative assesment: primary care work-up to identify surgical risk. Geriatrics. 2001; 56:36-40. Coogler CE, Wolf SL. Falls. In: Haz:zard W& Blass JP, Ettinger WH, Halter JB, Ouslander JQ eds. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. 4b ed. New York: McGraw-Hi11 Health ProfeSsions Division; 1999.p. 1535-46. Chapuy, MC.Vitamin D3 and calcium to prevent hip fracture in the elderly women. N Eng J Med 1992; 327: 1637-42 Elble RI. Changes in gait with normal aging. ln: Masdeu JC, Sudarsky L, Wolfson L, eds. Gait disorders of aging: fa1ls and therapeutic strategies. Philadelphia: Lippincott-Raven; 1997 .p. 93- 105. Fuller GF. Falls in the elderly. Am Fam Physician. 2000:'61:2159'7 4. Francis RM, Baillie SR Chuck AJ, Crook PR, Daymond T, Durur N,

et al. Management of osteoporosis in patients with hip fractures. Q J Med 2000; 93: 501-6. Huddleston JM, Whitford KJ. Medical care of elderly patients with hip fracture. Mayo Clin Proc. 2001;76:295-8. Instability and falls. In: Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB. Eds. Essentials of clinical geriatrics. 5th ed. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2004. p. 219-44. Kirkendall D! Garrett WE. The effects of aging and training on skeletal muscle. Am J Sports Med. 1998;26:598-602. Loeser RF, Delbono O. Aging and the musculoskeletal system. In: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JB, Ouslander JG, eds. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. 4s ed. New York: McGraw-Hill Health Professions Division; 1999. p.1097-111. Lichtblau S. Treatment of hip fractures in the elderly - the decision process. Mount Sinai J Med 2002;69:250-60. Mechanical principles: kinetics. In: Smith LK Weiss EL, Lehmkuhl LD, eds. Brunnstrom's clinical kinesiology. 5b ed. Philadelphia: F.A. Davis Company; 1996. p. 49-56. Mix CM, Specht DP. Achieving functional independence. In: Braddom RL. Physical medicine and rehabilitation. 2'd ed. Philadelphia: WB Saunders; 2000. p.517-34.

MitchWE, Goldberg AL. Mechanism of muscle wasting: the role of

the ubiquitin-proteasome pathway. N

Engl

J

Med. 1 996;3 35 (25): I 897- 1 905. Morgenthal AP. The age-related challenges of posture and balance.

82s

GAI{GGUAN KESEIMBANGAT{ JAIIUI{ DAN FRAKruR

In: Bougie JD, Morgenthal AP, eds. The aging

body:

conservative management of common neuromusculoskeletal conditions. New York: McGraw Hill Medical Publishing Division; 2001. p.45-68. Nashner LM. Physiology of balance, with special reference to the healthy elderly. In: Masdeu JC, Sudarsky L, Wolfson L, eds. Gait disorders of aging: falls and therapeutic strategies. Philadelphia: Lippincott-Raven;1997. p.46-7. Nevitt MC. Falls in the elderly: risk factors and prevention. In: Masdeu JC, Sudarsky L, Wolfson L, eds. Gait disorders of aging: falls and therapeutic strategies. Philadelphia: Lippincott-Raven; 1997. p.13-36.

Pfeifer M, et al. Effect of short-term vitamin D and calcium supplementation on body sway and secondary hyperparathyroidism in elderly women. J Bone Miner Res. 2000; 15 : 11138

Podsiadlo D, Richardson S. The'timed "up & go": a test of basic functional mobility for elderly persons. (Abstract). J Am Geriatr Soc. 1991;39(2):142-8. Postural Control. In: Shumway-Cook A, Woollacott MH. Eds. Motor control: theory and practical applications. 2"d ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001.p.163-91. Roubenoff R, Hugher VA. Sarcopenia: current concepts. J Gerontol.

2000;554:M776-24. Rubenstein LZ, Josephson KR. Interventions to reduce the multifactorial risks for fallhg. In: Masdeu JC, Sudarsky L, Wolfson L, eds. Gait disorders of aging: falls and therapeutic strategies. Philadelphia: Lippincott-Ravet;1997.p. 309-24. Setiati S. Imobilisasi sebagai faktor risiko gangguan hemostasis pada pasien geriatri, bagaimana mencegah dan mengobati. Prosiding

Temu Ilmiah Geriatri 2002. Setiati S. Implikasi klinik imobilitas pada pasien geriatri. Prosiding Temu Ilmiah Geriatrr 2002. Setiati S, Prodjosujadi W, Sutrisna B. Prevalence of orthostatic hypotension and its risk factors among 40 years and above adult pbpulation in Indonesia. Med J Indones. 2004;13:180-9 Steinweg KK. The changing approach to falls in the elderly. Am

Fam Physician. 1997 ;56:1815-23. Standing and walking. In: Smith LK, Weiss EL, Lehmlarhl LD, eds. Brunnstrom's clinical kinesiology. 5n ed. Philadelphia: F.A. Davis

Company, 1996. p.401-35. Studenski S. Mobility. ln:Hazzard WR, Blass JP, Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME. eds. Principles of Geriatric Medicine and Ger-

ontology. 5th ed. New York: McGraw-Hill Health Professions Division; 2003.p.950. TUG (timed up and go). In: Finch E, Brooks D, Stratford PW, Mayo NE. Eds. Physical rehabilitation outcome measures: a guide to enhanced clinical decision making. 2'd ed. Canada: Canadian Physiotherapy Association; 2002.p. 240. Tinetti ME. Preventing falls in elderly persons. N Engl J Med 2003;348:42-9. Verhar, HJJ. Muscle strength, functional mobility and vitamin D in older women. Aging Clin Exp Res. 2000; 12:455-60 Wolfson L. Balance decrements in older persons: effects of age and drsease. In: Masdeu JC, Sudarsky L, Wolfson L, eds. Gait disorders of aging: falls and therapeutic strategies. Philadelphia: fippincottRaven; 1997. p.79-91. Zuckerman JD. Hip fracture. N Engl J Med. 7996;334:1519-25.

130 DIZZINESS PADA LANJUT USIA Probosuseno, Niko Adhi Husni dan Wasilah Rochmah

PENDAHULUAN

Dizziness dikaitkan dengan perasaan kesehatan yang buruk tetapi tidak dikaitkan dengan risiko kematian.

Sejak dahulu kala (1973-1980) dizziness merupakan

bahayanya besar, ada hub dg kesehatan menurun,

gangguan yang seringkali membingungkan para ahli dalam

penanganannya secara tuntas, meskipun gangguan ini banyak dialami terutama pada usia lanjut, dan tidak mematikan. Hal ini berkaitan dengan akibat yang timbul yaitu fall yang dapat terjadi luka, patah tulang, atau takut untuk beraktivitas. Banyak pasien dengan dizziness Wonis terutama lanjut usia tingkat rujukan untuk konsultasi ke

Etiologi dan Akibat Penyakit yang mengancam jiwa pada dizziness mttrrrya j arang (penyakit serebrovaskulat 6%o, atitmia katdia l,5o/o, dan tumor otak
spesialis masih rendah, sehingga terapi yang tepat terlambat diberikan @inestone, 19821,Bird et al,1998).

akan roboh, ansietas atau depresi, dan hilangnya kemandirian pada lansia (Kwong & Pimlott, 2005; Yardley et

aI,2004).

Penyebab Dizziness Jonsson & Lipsitz (1994). secara ringkas dlbagi2,(l) berkaitan dengan usia dan (2)betkaita dengan gangguan pada saraf, sistemik, psikiatrik dan gabungan dari hal tersebut. Sedangkan Kroenke dkk.

PEMBAHASAN

Batasan & Prevalensi

(2000); Adelman (2001); Wasilah Rochmah & Probosuseno (2006) lebih rinci sesudah menganalisis, sebagai penyebab dizziness adalah : a vestibulopati perifer (antara lain Benign Positional ver-

Dizziness adalahsensasi, kepala terasa ringan, seperti akan pingsan, berputar, perasaan mabuk, dan bisa juga tidak mengarah, seperti gangguan mental, pandangan kabur, pusing, atau perasaan perih, dalam istilah bahasa Jawa disebut dengan nggliyer. Disamping itu juga pada individu

tigo

:

BPV:VPB,Labirintis, Penyakit Meniere, dll)

sebesar 38-44olo,

dengan gangguan berj alan, mielopati, spastisitas, parkin-

h

sonism, atau ataksia serebelar mengeluh dizziness walaupun tanpa adanya vertigo atau sensasi abnormal

vestibulopati sentral (seperti CVD, tumor, dll jarang dengan prevalensi pada lanjut usia kurang dari l0

;

persen. Iskemik serebrovaskular merupakan penyebab

Dizziness merupakan keluhan yang sering dijumpai

dizziness yang makin sering seiring peningkatan usia. Pasien dengan penyebab sentral jarang mengeluhkan

kepala yang lain (Triwibowo, 200 I ; Daroff & Carlson, 2005

Wasilah Rochmah 2006).

dizziness sebagai gejala tunggal' Dizziness yang awitannya baru terjadi disertai dengan simptom lain

pada lanjut usia (lansia), prevalensinya berkisar 30% pada

individu yang berusia >65 tahun (Colledge et al,1994).

(sakit kepala, gangguan visus, atau simptom

Sebanyak2o/okonsultasidipelayananprimermenyangkut dizziness (Sloan , 1989), dan dizziness merupakan penyebab utama nomor 13 penderita datang berobat ke spesialis penyakit dalam (Adelman, 2001)' prevalensi sedikit, daril622orang (>60 tahun)di masyarakat didapat Dizziness 29,30 dan dalam I tahun prevalensinya l8,2yo.

neurologis) harus dipikirkan kemungkinan gangguan sistem saraf pusat yang serius. Evaluasi lebih lanjut termasuk pencitraan sistem saraf pusat biasanya

c. 826

diperlukan sebesar l0'l loA, psikiatris (16-32%),

827

DIZZINES PADA USIA LANJUT

d. kondisilain (26%), dan e. tidakdiketahuipenyebabnya (9-1^3n

Di perawatan primer jenis vertigonya 93%o benign paroxysmal positional vertigo (BPPV), neuronitis

f,

defisitsensorimultiple l3 %

g.

penyakit sistemik (8 %) Untuk menegakkan diagnosa dizziness, ada beberapa

vestibular akut, atau penyakit Meniere. Penyebab lain adalah obat-obatan (alkohol, aminoglikosida, antikejang [fenitoin (Dilantin)], antidepresan, antihipertensi, barbiturat, kokain, diuretik fFurosemide (Lasix)], nitrogliserin, kuinin, salisilat,

algoritrna, tetapi secara ringkas umumnya berdasar orientasi

penyakit, yaitu klinisi berusaha untuk mengeksklusi

sedatif/ hipnotik), penyakit serebrovaskular, migrain,

penyebab yangfatal, dan mungkin juga berusaha mencari

labirinitis akut, multipel sklerosis, dan neoplasma intrakranial (Labuguen, 2006). Penyebab vertigo bisa perifer, atau sentral. Karakteristik dari vertigo sentral dan perifer dapat dilihatpada Tabel l. Diagnosis banding dari vertigo adalah vestibuler perifer (berasal dari sistem sarafperifer), vestibuler sentral (berasal dari sistem sarafsentral), dan kondisi lain

penyebab yang spesifik lalu memberikan terapi yang sesuai.

Dizziness pada lanjut usia termasuk sindrom geriahik karena menggambarkan disfungsi pada satu atau lebih sistem tubuh, dan mempunyai berbagai macam faktor risiko predisposisi yang beragam, antaralain: ansietas, depresi, menggunakan lima atau lebih macam obat, gangguan keseimbangan, infark miokard terdahulu, hipotensi postural, (penurunan tekanan darah sistolik > 20 mmHg (atau > 20o/o) denganatautanpa gejala segera setelah berdiri atau setelah 2 menit berdiri (Setelah > 5 menit dalam posisi terlentang) (Tinetti (2000) & Tinetti (2003), Carsotet a1,2004) dan gangguan pendengaran .

MACAM (SU BTrPE)

DTZZTN

ESS

Drachman dan Hart membagi dizziness menjadi empat tipe, yaitu (1) vertigo, (2) presinkop, (3) disekuilibrium, dan (4) kepala yang terasa ringan tapi samar-samar diluar vertigo, sinkop, ataupun disekuilibrium (vague lighlheadedness).

PENYEBAB VERTIGO PERIFER

A. Benign Paroxysmal Positional Vertigo/ Benign Positional Vertigo (BPPV) Benign paroxysmal positional vertigo umumnya penyebab tunggal dizziness pada lansia. BPV merupakan kondisi episodik, sembuh sendiri, dicetuskan oleh gerakan kepala mendadak atau karena perubahan pada posisi fubuh seperti berguling di tempat tidur. BPV disebabkan oleh akumulasi debris dalam kanal semisirkular. Pergerakan dari debris menstimulasi mekanisme vestibular menghasilkan

simptom pada pasien. BPV kadang-kadang berkaitan temporer dengan penyakit viral, dan menghasilkan

inflamasi (Adelman, 2001). Diagnosis BPV dapat ditegakkan melalui tes Dix-Hallpike (kadang disebut juga

1. Vertigo Vertigo merupakan suafu sensasi berputar, pasien merasa bahwa dia ataupun lingkungannya berputar. Seringkali vertigo terjadi dengan seketika, kadang-kadang, dan ketika berat umumnya dibarengi dengan mual, muntah, dan jalan

yang terhuyung-huyung (Drachman, 1998). Vertigo merupakan lipe dizziness yang paling banyak ditemukan pada perawatan primer sebanyak 54% (Kroenke et al, 1992).

Ketidakseimbangan Mual, muntah Hilang pendengaran, tinnitus Simptom neurology nonauditori Late

ncy setel a h man uve r

Terapi dari BPV saat ini adalahmanuverEpley ataupun

senam vertigo (lihat lampiran), yang bertujuan untuk

merelokasi debris yang melayang bebas di kanal semisirkuler posterior kedalam vestibula dari vestibular labirin agar tidak vertigo lagi saat menggerakkan kepala, atau untuk desensitisasi

Vertigo Sentral

Vertigo Perifer

Tampilan Nistagmus

sebagai tes Barany atau Nylen-Barany). Ilustrasi pemeriksaan ini dapat dilihatpada Gambar 1.

Kombinasi horisontal dan torsional; dihambat oleh fiksasi dari mata ke suatu obyek; menghilang setelah beberapa hari; arahnya tidak berubah dengan tatapan ke tiap sisi Ringan sampai sedang; dapat berjalan Bisa berat Sering

Jarang Lebih lama (sampai 20 detik)

diagnostik provokatif Labuguen RH. lnitial evaluation of vertigo. Am Fam Physician 2006;73;244-51

Murni vertikal, horisontal, atau torsional; tidak dihambat oleh fiksasi mata ke suatu obyek; bisa berlangsung mingguan sampai bulanan; arahnya bisa berubah dengan tatapan ke arah fase cepat dari nistagmus Berat; tidak dapat berdiri tegak atau berjalan Bervariasi Jarang Sering

Lebih singkat (sampai 5 detik)

828

GERIAIRI

llr*.s

F

J

Ia 1?rt

Gambar 1.Tes Dix-Hallpike pada pasien dengan Benign Paroxysmal Positional Vertigo yang mengenai telinga kanan. Pada panel A, pemeriksa berdiri pada sisi sebelah kanan pasien dan merotasi kepala pasien ke kanan 45 derajat untuk mensejajarkan dengan kanal semisirkuler posterior sebelah kanan dengan bidang sagital dari tubuh. Pada panel B, pemeriksa menggerakkan pasien (posisi mata dalam keadaan terbuka) dari posisi duduk ke posisi telentang dengan telinga kanan posisinya lebih rendah, dan perlahan mengekstensi leher pasien sehingga posisi dagu hampir tegak lurus. Latency, durasi, dan arah nistagmus beserta latency dan durasi vertigo bila ada harus dicatat. Panah benrrarna merah pada inset menunjukkan arah dari nistagmus pasien benign paroxysmal positional vertigo yang tipikal. Debris yang bebas terapung pada labirin diperkirakan sebagai penyebab kelainan tersebut ditunjukkan pada gambar (Sumber : Furman JM, Cass SP. Benign paroxysmal positional vertigo. New England Journal of Medicine 1999;21 ;1590-1596)

B. Labirintitis Labirintitis merupakan penyebab lain dizziress karena vestibuler perifer, kelainan ini sembuh dengan sendirinya. Umumnya kelainan ini akan berakhir pada hitungan hari atau beberapa minggu. Labirintitis diperkirakan terjadi karena adanya inflamasi pada saraf vestibular (Adelman, 2001).

G. Penyakit Meniere Sindrom ini biasanya terjadi pada usia muda dan bukan penyebab umum dizziness pada lanjut usia. Episode penyakit ini biasanya sembuh sendiri, tetapi seringkali berulang. Pada akhirnyalercapai suatu fase lconik "burrred out" yang ditandai oleh hilangnya pendengaran makin j elas,

tetapi episode dizz in e s s b erkurang (Adelman,

2

yang buram, dan terdengar suara gemuruh di telinga. Presinkop biasanya menandakan adanya pasokan darah dan atau nutrisi yang tidak adekuat ke seluruh otak, dan bukan merupakan suatu gambaran dari iskemik serebral fokal. Jika penyebabnya berasal dari kardiovaskular timbulnya gejala tibatiba, dan dapat terjadi pada segala posisi. Apabila penyebabnya hipotensi ortostatik maka pasien akan mengeluh timbul dizziness dalam hitungan detik sampai menit saat bangun atau berdiri. Apabila

timbulnya onset gradual, dan menetap saat posisi berbaring menunjukkan adany a gangguan metabolisme sereberal seperti hipoglikemia (Drachman, 1 998). Umumnya penyebab dizziness tipe ini adalah faktor kardiovaskular (Adelman,2001).

00 1 ).

3. Disekuilibrium Disekuilibrium adalah suatu rasa dari tidak kukuh PENYEBAB VERTIGO SENTRAL

(unsteadines s) atau ketidakseimbangan. Terjadi gangguan keseimbangan dan melangkah dalam kondisi tidak adanya

Dizziness karena penyebab sentral biasanya jarang, prevalensi pada lanjut usia kurang dari I 0 persen. Iskemik serebrovaskular merupakan penyebab dizziness yang makin sering seiring peningkatan usia. Pasien dengan

gangguan sensasi

penyebab sentral jarang mengeluhkan dizziness sebagai

umumnya karena defisit sensoris tunggal atau multipel. Kondisi lain (umumnya gangguan sistem sarafpusat) yang

gejala tunggal. Dizziness yang awitannya baru terjadi disertai dengan simptom lain (sakit kepala, gangguan

visus, atau simptom neurologis) harus dipikirkan

di kepala. Pasien kadangkala

menyebutkan dizziness tipe ini sebagai "dizziness in the feet", dan seringkali dikarenakan gangguan kontrol motorik

(Drachman, 1998). Penyebab dari dizziness tipe ini

mempengaruhi mobilitas seperti penyakit parkinson, stroke, dan sklerosis multipel (Adelman, 2001).

kemungkinan gangguan sistem saraf pusat yang serius. Evaluasi lebih lanjut termasuk pencitraan sistem saraf pusat biasanya diperlukan (Adelman, 2001).

4. Vague light-headedness

2. Presinkop (Nearsinkop) Presinkop adalah suatu sensasi dari seperti akan pingsan atau hilangnya kesadaran, seringkali diawali pandangan

yang mendasarinya kadang sulit untuk ditentukan. Pasien mungkin mengeluhkan seakan merasa selalu dalam keadaan berkabut (feeling like in a constan "fog"). Penyebab

Kategori ini digunakan untuk memasukkan gejala yang tidak dapat diidentihkasi sebagai tipe l, 2, ata:u 3 . Penyebab

829

DIZ:ANES PADA USIA LANIUT

psikogenik seringkali ditemukan pada tipe ini, bila penyebabnya memang murni psikogenik pasien akan mengeluh gejala-gejala depresi (seperti rasa tertekan, sulit tidur), ansietas (seperti rasa cemas), atau serangan panik (seperti hiperventilasi, palpitasi). Pasien dengan gangguan somatoform juga dapat mengeluh adanya nyeri dada, sakit kepala atau nyeri abdominal. Penyebab lain bisa karena ensefalopatie s, muhis ensory dizzines s, ataupun kondisi lain yang tidak menyebabkan ke-3 tipe dizziness diatas.

INVESTIGASI PENYEBAB DIZZINESS

Riwayat Penyakit Yang perlu diperhatikanpada riwayatpenyakit adalah : (l)

Awitan , dan pe{alanan dari simptom. (2) Simptom dari dizziness dijelaskan oleh pasien sendiri. Simptom yang dijelaskan menurut perkataan pasien sendiri penting, karena penelitian yang dilalrukan oleh Kwong dan Pimlott menunjukkan diagnosis umumnya dapat ditegakkan bila

pasien menjelaskan dizziness-nya berdasarkan

et

al,l996;Ktmtar

et

al,2003).

Untuk mengevalusi status kognitif dapat digunakan Mini-Mental State Examinalion (MMSE), skor total dari MMSE adalah 30 umumnya angka dibaw ah 24 suggestive demensia atau delirium. Untuk memastikan simptom dari depresi dapat digunakat the Cenler for Epidemiologic

Studies-Depression test (CES-D) yang

terdiri dari 20

pemyataan . Sedangkan untuk evaluasi dari ansietas dapat digunakan the Hamillon Anxiety Scale (HAS) yang terdiri dari 14 items,rilai dari rentang skala dari nol sampai empat : nol tidak ada ansietas, satu ansietas ringan, dua ansietas sedang, tiga ansietas berat, dan empat ansietas sangat berat. Tujuhpsyci ic anxiety itemuntuk mendapatkan nilai psychic anxiety dengan rentang 0 sampai 28, n$lh ilems sisanya untuk menampilkan nilai somatic anxiety jruga memprmyai rentang dari 0 sampai 28 . Nilai total mulai dari rentang 0 sampai 56.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

perkataannya sendiri. (3) Subtipe dari dizziness. (4) Terapi/ obat-obatan yang dikonsumsi oleh pasien.

Pemeriksaan rutin termasuk EKG, gula darah, dan darah rutin. Pemeriksaan pemrnjang lain juga diperlukan untuk menegakkan diagrrosis, tetapi pemeriksaan tersebrit harus

Pemeriksaan Fisik

berdasarkan pendekatan sistematis bukan hanya pendekatan "shotgun". Audiogram lengkap harus

Pemeriksaan awal mencakup pemeriksaan ortostatik,

kardiovaskular, neurootologik, tajam penglihatan, hiperventilasi selama 2 menit, tes Romberg, tes langkah truiem(tandem gail test)pemijatan sinus karotis, manuver Hallpike, status kognitif, simptom depresi, dan ansietas (Adelman 2001; Carson et al,2OO4; Colledge et al,1996; Tinetnet al,2OOO). Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah sistolik > 20 mmHg(atau220Yo) denganatautanpa gejala segera setelah berdiri atau setelah 2 menit berdiri (Setelah > 5 menit dalam posisi terlentang) (Carson et aI,2004; Tinetti,2003). Pemeriksaan kardiovaskular dilakukan untuk mencari kemungkinan aritmia, kelainan katup jantung, dan bruit karotis Pemeriksaan neurotologik mencakup pemeriksaan telinga terrnasuk sarafkranial, evaluasi telinga luar, dan tengah, dan tes fistula. Tes fistula dilakukan dengan memberikan tekanan ke telinga, dan dievaluasi terjadinya vertigo & nistagmus. Hasil positif menunjukkan adanya fistula dari labirin bisa karena kolesteatoma, atau infeksi. Tes Romberg, dan tes langkah tandem ditujukan untuk mengevaluasi komponen vestibuler, propioceptive, dan serebelar.

Pemijatan sinus karotis dilakukan

di

bawah

pengawasan yang ketat, diperlukan monitoring elekhokardiografi (EKG). Kontra indikasi pemijatan sinus karotis bila terdapat karotid bruit, mendapat digoksin, riwayat stroke, atau terdapat tanda stenosis aorta (Colledge

dilakukan pada pasien dengan gangguan pendengaran disertai vertigo dan terdapat kelainan pada pemeriksaan

neurootologik. Elektro- nistagmografi (ENG) adalah p€meriksaan yang dapat membantu membedakan disfungsi vestibuler sentral atau perifer. ENG dilahkan pada pasien

dengan keluhan vertigo atau terdapat temuan dalam pemeriksaan neurootologik seperti nistagmus. Auditory brainstem-evoked responses dllakukan pada pasien dengan asymmetric sensoineural hearingloss rmtuk menyingkirkan

neuroma akustik. Pemeriksaan magnetic resondnce imaging @IF.l) dari tulang temporal sering dikerjakan pada

pasien yang dicurigai dengan neuroma akustik atau cerebellopontine angle masses. Computed tomography (CT) dmi tulang temporal juga dapat dikerjakan bila dicurigai terdapat kolesteatoma atau lesi pada telinga tengah.

Brainstem evoked response auditory (BERA) alaa brainstem auditory evoked potential (BAEP) suatu pemeriksaan neurologis dari flrngsi batang otak auditori terhadap respon dari stimulus auditori dilakukan pada pasien dengan kondisi seperti : @hattacharyya & Scott, BCBSF)

l.

asymmetric sensorineural hearing /oss untuk menyingkirkan neuroma akustik

2

evaluasi dari hilangnyapendengaran dengan gangguan

keseimbangan, tidak stabil saat melangkah, atau simptom lain yang berhubungan dengan lesi pada sistem auditori

3. evaluasi Meniere

dari simptom yang mengarah ke penyakit

830

4. 5. 6.

GERI'IIRI

evaluasi dari dizziness setelah penyebab-penyebab lain sudah disingkirkan evaluasi dari dizziness yang terus berlanjut walaupun penyebabnya sudah mendapat terapi evaluasi dari "true vertigo" (ditunjukkan berdasarkan riwayat dan pemeriksaan fisik mengarah kepenyakit

vestibuler) Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dari

tulang temporal sering dikerjakan pada pasien yang dicurigai dengan neuroma akustik atau cerebellopontine angle masses. Computed tomography (CT) dari tulang temporal juga dapat dikerjakan bila dicurigai terdapat kolesteatoma atau lesi pada telinga tengah.

Rontgen cervical dilakukan pada pasien dengan kecwigaan cervical dizziness. Pemeriksaan ekokardiogram, dopler karotis, dan arteri vertebral, tilt-table testing, dan

24 jam Holter monitoring dikerjakan bila didiagnosis presinkop. Cara terbaik untuk mengevaluasi dizziness pada lanjut usia, ditelitioleh Colledge dkk, yang rirelibatkan kelompok dizziness dankontrol. Hasil pemeriksaan darah, EKCL ENG dan MRI tidak dapat membedakan antara kelompokdizziness dan kontol. Yang membedakan antara kedua kelompok

adalah posturografi (suatu tehnik yang dapat mendeteksi goyangan saat berdiri), dan ass essment klinis. Assessment klinis meliputi pemeriksaan fisik, provokasi dizziness (seperti hiperventilasi, memutar kepala, tes Romberg, dan perubahan postural), dan assessmen / psikologis. Penelitian

lainjuga menunjukkan Pemeriksaan MRI rutin tidak dapat membedakan antara kelompok dizziness dengan kontrol (Colledge et a1,2002).

dokumentasi dari : (1) Hubungannya dengan perubahan posisi. (2) Simptom kardial (3) Sinkop (4) Perubahan

tekanan darah ortostatik, (5) apakah dimintakan pemeriksaan EKG atau Holter monitoring.

Indikator kualitas spesifik untuk disekuilibrium adanya dokumentasi dari : (l) Roboh (2) Pemeriksaan neurologis (3) Tanda-tanda cerebellar (4) Pemeriksaan

gaya berjalan (5) Tanda Romberg (7) ketajaman penglihatan (visual acuity)

Indikator kualitas untuk vague lightheadedness adanya dokumentasi dari simptom depresi dan ansietas.

PENANGANAN Pengobatan yang paripurna dizziness tergantung penyakit dan atau penyakit yang mendasaritya, sebaiknya secara multi disiplin dan inter disiplin. Langkahpenghentian obat atau penetusnya, dan atau segera merujuk lebih lanjut ke ahli yang lain yang kompeten dibidangnya. Pengobatan

simpotamtik dapat menggunakan sedative (efek sementara). Setiap pemberian medikasi pada usia lanjut harus dipertimbangan untung ruginya (meperhatikan efek samping, misalnya falls, bingung).

Apabila sebabnya vertigo perifer (BPPV) dapat diberikan desensitasi dengan latihan gerakan khusus yang disebut senam vertigo (Jonsson & Lipsitz,l9941' Lumbantobing,2003).

RINGKASAN

Dizziness bukanlah penyakit, tetapi gangguan atau INDIKATOR KUALITAS UNTUK DIAGNOSIS DAN MANAJEMEN DARI DIZZINESS

Kwong & Pimlott (2005) membuat suatu Indikator Kualitas untuk keseluruhan subtipe dizziness adalah

(l) awitan, dan perjalanan dari (2) Pasien menjelaskan simptom dengan katasimptom. katanya sendiri. (3) Jumlah obat yang sedang digunakan. (4) perubahan tekanan darah berdasarkan posisi tubuh. (5) Simptom dari depresi atau ansietas, (6) Roboh (7) Sinkop (8) Diagnosis (9) Outcome dari dizziness (10) Rujukan ke spesialis. Indikator kualitas spesifik untuk vertigo adanya adanya dokumentasi dari:

dokumentasi dari

: (l) Lamanya episode. (2) Hubungannya

dengan perubahan kepala. (3) Tinnitus, dan hilangnya pendengaran. (4) pemeriksaan telinga, (5) pemeriksaan

spontan (7) nistagmus posisional (Manuver Hallpike) (8) Apakah dimintakan pemeriksaan audiometri, dan apakah manuver Epley dikerjakan bila didiagnosis benign positional vertigo. Indikator kualitas spesifik dari presinkop adanya

neurologis. (6) nistagmus

sindroma geriatrik yang menggambarkan berbagai macam sensasi, dan merupakan keluhan yang sering dijumpaipada

lanjut usia. Jarang yang mengancam jiwa tetapi menimbulkan banyak hendaya fungsional, dan pendekatannya perlu melibatkan berbagai bidang spesialistik.diharapkan kualitas hidup (ADL dan IADL) pasien usia lanjut yang mengalami dizziress akan menjadi

lebih.

REFERENSI Adelman AM. 2001. Dizziness. In: Adelman AM, Daly MP Weiss BD, ed. 20 common problems in geriatrics. McGraw-Hill lnter-

national Edition : 4ll-420 Bhattacharyya N, Scott ME. Auditory brainstem response audiometry. Available at : Bird JC, Beynon GJ, Prevost AI, Baguley DM. 1998. An analysis of referral patterns for dizziness in the primary care setting. Br "/ Gen Pract ; 48:1828-1832 Blue Cross and Blue Shield of Florida (BCBSF). Subject: evoked potentials and intraoperative neurophysiologic testing. Avail-

able at

:

831

DI'Z:ZINES PADA USIA LAT{JUT

L, Suskind-Liu DL, Knox GW 2004. Dizziness and vertigo In: Forcida MA, Schwab EP, Raziano DB, Lavizzo-Mourey R, ed. Geriatric secrets 3 edition. Mosby : 74-79 Colledge NR, Wilson JA, Macintyre CC, Maclennan WJ. 1994. Carson

The prevalence and characteristics of dizziness in an elderly community. Age Ageing; 23:117-120 Colledge NR, Barr-Hamilton RM, Lewis SJ, Sellar RJ, Wilson JA. 1996. Evaluation of investigations to diagnose the cause of dizziness in elderly people: a community based conholled study. BIvl,J: 3 13:788-792 Colledge NR, Lewis S, Mead G, et al. 2002, Magnetic resonance brain imaging in people with dizziness: a comparison with nondizzy people. J Neurol Neurosurg Psychidlry ;72:587-589 Daroff RB, Carlson MD. 2005. Faintness, syncope, dizziness, and vertigo.In: Kasper DL, et al. ed. l6th edition Harrison's principles of internal medicine. McGraw-Hill Medical Publishing

Division Drachman DA, Hart CW. 1972. An approach to the dizzy patient. Neurologt; 22:323-34 Drachman DA. 1998. A 69-year-old man with chronic dizziness.

.JAMA 280:2ll

l-2

118

Furman JM, Cass SP.1999. Benign paroxysmal positional vertigo.

N

Eng J Med ;21:1590-1596 Herfkens MX.2001. Depression, neurocognitive disorders, and HIV in prisons. HIV education prison projecl 4'.1 Jonsson PV & Lipsitz LA. 1994 Dizziness and Syncope in WR Hazzard; EL Bierman; JP Blass; WH Ettinger; JB Halter (eds): Principles of Geriatric Medicine and Gerontology, 3'd ed,

McGraw-Hill, Inc, Toronto, pp. 1165-1171 Kaplan HI, Sadock BJ, Grebb JA. 1997. Delirium, demensia dan gangguan amnestik serta gangguan kognitiflainnya, dan gangguan mental karena kondisi medis umum. Dalam: Kaplan dan Sadock

sinopsis psikiatri ilmu pengetahuan perilaku psikiatri klinis. Binarupa Aksara, Jakarta.

Kroenke K, Lucas CA, Rosenberg ML, et a/. 1992.Causes of persistent dizzill.ess. A prospective study of 100 patients in ambulatory care. Ann Inlern Med; 117:898-904 Kroenke K, Hoffman RM, Einstadter D. 2000. How Common are various causes of dizziness. Southern Medical Journal:93:160-

t67 Kumar NP, Thomas A, Mudd P. et aI.2003. The usefulness of carotid sinus massage in different patient groups. Age and Ageing; 32:666-669 Kwong E CK, Pimlott N JG. 2005. Assessment of dizziness among older patients at a family practice clinic a chart audit study. BMC Family Practise

;

6:2

Labuguen RH. 2006. Initial evaluation of vertigo. Am Fam Physician; 73;244-5 Lumbantobing . SM. 2003. Vertigo. Balai Penerbit FK lII, Jaka(a,

pp.l-72 Rochmah W, Probosuseno. 2006. Dizziness dan sinkop. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al. editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam edisi keempat-jilid IIL Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Rochmah W 2006. Hubungan pribadi Sloan PD. 1989. Dizziness in primary care. Results from the National Ambulatory Care Survey. Fam Pracl ;29:33-38 Tinetti ME, Williams CS, Gill TM.2000. Dizziness among older adults: a possible geriatric syndrome. Ann Intern Med 132:33744 Tinetti ME. 2003. Preventing falls in elderly persons. N Eng J Med

2003: 348: l:42-49

L, Donovan-Hall M, Smith HE, et a1.2004. Effectiveness of primary care-based vestibular Saeed SR. lggS.Fortnightly review Diagnosis and treatment of

Yardley

Meniere disease. BMJ 1998; 316:168-72 Yardley L, Donovan-Hall M, Smith HE, et a1.2004. Effectiveness of primary care-based vestibular rehabilitation for chronic dizziness. Ann Intern Med 2004; 141:598-605

832

GERIITIRI

LAMPIRAN ALGORITME UNTUK MENGEVALUASI PENYEBAB DIZZINESS PADA PASIEN LANJUT USIA

Dizziness kronik pada pasien

R

lan

jut usia

iwayat

d ness, atau ketid akse im ban ga n Faktor provokatif contohnya, perubahan postural, pergerakan kepala dan leher, ansietas, tidak ada (terjadi spontan) Simptom yang berkaitan, pandangan gelap (b/ackout), Ka rakter?Vertig

o, light

he

ad

e

Tes tajam penglihatan

Assess ansietas Riwayat merokok

Rujuk untuk 24 jam elektrokardiografi dan oemiiatan sinus karotis

Apakah terdapat pandangan yang gelap (blackout) TIDAK

Apakah terdapat vertigo dengan tinitus dan hilangnya pendengaran

?

Rujuk spesialis a

n (THT

TI DAK

+ Apakah sim ptom/ abnorm alitas terjadi saat o Pergerakan kepala dan leher yang cepat o Pengukuran tekanan darah saat berdiri dan terlen o Berjalan m ulai dari tum it sam pai jempol (jika abnormal periksa sistem neuromotor pada kaki) o Tindakan hiperventilasiselama dua menit o Manuver Hallpike o Apakah dizziness berkaitan dengan toboh

o Apakah dizziness berkaitan dengan roboh o Apakah temuan sesuai dengan kriteria diagnostik

:

YA) YA)

Spondilosis servikal Hipotensipostural

YA)

Penya kit Serebrovasku ler

YA) YA) YA)

Hiperventilasi

YA) TIDAK

'Rujuk ahli geriatri

Rujuk Rujuk

ah ger a tr ah ger atr

Algoritme untuk mengevaluasi penyebab Dizziness pada pasien lanjut usia di pelayanan primer controlled study. BMJ 1996; Sumber : Colledge et al. Evatuation of investigations to diagnose the cause of dizziness in elderly people: a community based 313:788-792

833

DIZZINES PAT'A USIA LAI{JUT

l\.,lemburuk

dalam kegelapan dengan pendengaran berku rang, oscii/opsi a

Hilangnya vestibu le r bilaleral (

lltemburuk dalam kegelapan dengan baal, kelemahan, disfungsi usus alau kandung ke

n

Gangguan sereb€lar

cing

con toh

obaFobatan otoloksik)

Penurunan denyul jantung Ponurunan lekanan darah

P6ltekanan darah > 20

m

Algoritme untuk mengevaluasi penyebab dizziness pada pasien lanjut usia Sumber : Rochmah & Probosuseno cit Jonsson PV and Lipsitz in WR Hazzard, EL Bierman, JP Blass, WH Ettinger Jr, JB Halter (Eds.) Principles of Geriatric Medicine ands Gerontology 3nd. Ed. New York London Singapore, 2001:'11'l-18

_ -

Pertimbangkan - lihat evaluasi Pertimbangkan penyakit saraf

penyakit kardiovaskular sinkop labirintin atau pusat

Pertimbangkan penyakit psikiakik

lVeliputi tanda vital postural, pemeriksaan jantung, pemijatan sinus karolis, pemeriksaan neurologis/otologis detil dan hiperventilasi

Penyakit kardiovaskular lihat evaluasi sinkop

Delisit sensorik m ul tipel

Ke la in an la

birintin

Diagnosis atau respons tak lelas terhadap resep

Pertimbangkan pemeriksaan khusus atau rujukan

Sistem sarai

perifer

n terhadap panas Audiogram Elektronistagmografi CT Scan/l\,4 R I

Sistem saraf

pusat

Wffi Psikiatri

kan

Algoritme untuk mengevaluasi penyebab dizziness pada pasien lanjut usia Sumber : Carson L, Suskind-Liu DL, Knox GW. Dizziness and vertigo ln: Forciea MA, Schwab EP, Raziano DB, Lavizzo-Mourey R, ed. Geriatric secrets 3 edition. Mosby 2004:74-7

834

GERIITIRI

fr{ilg

I

Manuver Eplay: untuk terapi dari pasien dengan Benign Paroxysmal Positional Vertigo yang mengenai telinga kanan. Posisi dugaan dari debris yang berada dalam labirin selama manuver ditampilkan pada tiap panel. Manuver ini merupakan prosedur tiga langkah. Pertama tes Dix-Hallpike dilakukan dengan merotasi kepala pasien 45 derajat ke telinga kanan, dan leher agak diekstensikan dengan posisi dagu hampir tegak lurus. Posisi ini menyebabkan kepala pasien bergantung di sebelah kanan (Panel A). Ketika vertigo dan nistagmus tercetus oleh tes Dix-Hallpike kepala pasien dirotasi rostral sumbu tubuh sampai telinga kiri di bawah (Panel B). Kemudian kepala dan tubuh dirotasi lebih jauh sampai muka menghadap ke bawah (Panel C). Puncak kepala dibuat agar tetap mengarah ke bawah selama rotasi. Manuver ini biasanya mencetuskan vertigo singkat. Pasien harus tetap dalam posisi terakhir, muka menghadap ke bawah untuk 10 sampai 15 detik. Dengan kepala tetap dalam posisi menoleh bahu kiri, pasien didudukkan (Panel D). Setelah pasien dalam kondisi tegak, kepala dimiringkan

sehingga posisi dagu agak ke bawah. (Sumber : Furman JM, Cass SP. Benign paroxysmal positional vertigo. New England Journal of Medicine 1999;21 ;1590-1596)

30

&rie

*"aJ-*

3$ detih

Senam vertigo (sumber : Lumbantobing, 2003)

Io dsil(

835

DIZZINES PAT'A USIA LANJUT

Analgesics

Antimicrobial Drugs

An

aI

gesic-a nti pyti c

a

nd

Va

sodil ators and Anti a ngi n al

Antiinflammatory Drugs

Drugs Nitroglycerin and other organic

Butorphanol

Amithiozone

Salicylates*

Dezocine Hydromorphone Meperidine* Metazimide Morphine Nalorphine Pentazocine Propoxyphene

ColistinGentamicin* Griseofulvin' lsoniazidKanamycin* Minocycline* Nalidixic Acid* Paromomycin* PolymyxinStreptomycin*

Phenylbutazone* Apazone*

Perhexiline lsoxuprine

lndomethacin* Sulindac Tolmetin lbuprofen

Nylidrin

Diuretics Treamterene

Naproxen

Ergot Alkaloids

Fenoprofen Ketoprofen*

Drug Used in the Treafinent of

SulfonamidesTobramycin* Trimethoprin*

Allopurinol*

nitras

Anasthelics

Parasific Disease Ketamin Methoxyflurane

Antiarrhythmic Drugs

Antiarrhytnic Drugs Aprindine

Anticonvulsants Diphenylhydantoin. Ethosuximide* Phensuximide* Primidone*

Quinidine* Procainamide

Antiprotozoal and antihelminthic Drug

Lidocaine Bretylium

Hydrochloroquine* Omidazole Oxamniquine Piperazine adipate* Thiabendazole

nti hyperten sive Methyldopa* Clonidine Hydralazine Prazocin Nitroprusside Spectinomycin

A

D

rugs

Hycanthone Pyrantel pamoate Thiabendazole Chloroquine * Amodiaquine QuininePentamidine Metronidazole* Quinacrine

Antimiuobial Drugs *

Antihypertensive Drugs

CNS Sfimulan(s

Polymyxin B

Nalidixiac acid Oxolinic acid Nitrofurantoin* Aminoglycosides* any (streptomycin, kanomycin, tobramycin, etc) Minocyline*

Bethanidine Clonidine*

Methylphemidate

Antiinflammatory

Acetazolamide*

Colistin Vancomycin Griseofluvin* Vidarabine

lsoniazid Rifampin Cycloserine* Ethambutol

Appetite depressanfs Antihistamines Cimetidine

Fenfluramine* Mazindol

Diuretics Drugs Aspirin* Apazone

erythromycin Drugs for the Treatment

of

Psyxhiatric Disorders Diflunisal Flurbiprofen

Benzodiazepines*

Gold

Meprobamate* Phenothiazines* Tricyclic Antidepressants*

lndomethacin. Phenylbutazone

Drugs Used in neoplastic Dlsease Cyclophosphamide Fluorouracil Azaribine Cisplatin

Lithium

Hormon and related Agents Hormones and Homone Antagonists

Estrogents

Bromocriptime Progesterone-estrogen combinations "The Pill"*

lnsulins Oral hypoglycemic agents

Parasympatholylic Drugs* Dicvclomine. *Vertigo specifically Source: Medlars ll Search; reference geberated weew from

mentioned. '1973-1980

date

.vertigo or vetibular dysfunction specilly mentioned. Source:Compiled from side effects listed in goodman and Gilman's The Pharmocological Basis of Therapeutics.

Sumber : Finestone AJJ982 Evaluation and Clinical Management of Dizzines and Vertigo

836

GERIATRI

Automic Drug

Local Anesthetrbs

Lidocaine Cholinesterase Reactivators Pralidoxime

Antimuscarinic Drugs Atropine Scopolamin Sympathomimetics Epinephrine lsoproterenol Amphetamine Drugs lnhibiting Adrenergic Nerues or Blrcking Adrenergic Receptors Phenorybenzamine Phentolamine Tolazoline Propranolol Timolol Metoprolol Guanethidine G anglionix Stimulants and Blockers Nicotine Ganglionic Blocking drug (any) Antihistamines HrBlockers (diphenhydramine, tripelennamine, etc) H, Blockers (cimetidine)

Drugs Actingon the CNS Benzodiazepines' (chlordiazepoxide, diazepam, fl urazepam, etc) Barbiturates* Ethchlorvynol Meprobamate' Methaqualone Ethyl alcohol Disulfiram* Phenothiazines (chlorpromazine, etc) Tricyclic antidepressants (imipramine, amitriptyline, etc)

Phenytoin' Primidonet Carbamazepine Ethosuximide Clonazepam Levodopa Amantadine Baclofen Dentrolene Morphine and other opiates LSD Xanthenes (amonophylline, theophylline, caffeine, etc)

Sumber : Finestone AJ.1982 Evaluation and Clinical Management of Dizzines and Vertigo

131 DEMENSIA Wasilah Rochmah, Kuntjoro Harimurti

wajar pada seorang yang sudah menua. Akibatnya,

PENDAHULUAN

penurunan fungsi kognitif terus akan berlanjut sampai akhimya mulai memengaruhi status fungsional pasien dan pasien akanjatuh pada ketergantungan kepada lingkungan sekitamya. Saat ini telah disadari bahwa diperlukan deteksi

Demensia merupakan masalah besar dan serius yang dihadapi oleh negara-negara maju, dan telah pula menjadi masalah kesehatan yang mulai muncul di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini disebabkan oleh makin mengemukanya penyakit-penyakit degeneratif (yang beberapa di antaranya merupakan faktor risiko timbulnya demensia) serta makin meningkatnya usia harapan hidup di hampir seluruh belahan dunia. Studi prevalensi menunjukkan bahwa di Amerika Serikat, pada populasi di atas umur 65 tahun, persentase orang dengan

dini terhadap munculnya demensia, karena ternyata berbagai penelitian telah menunj ukkan bila gej ala-gej ala penurunan fungsi kognitif dikenali sejak awal maka dapat dilakukan upaya-upaya meningkatkan atau paling tidak mempertahankan fungsi kognitif agar tidak jatuh pada keadaan demensia. Selain peran pasien dan keluarga dalam pengenalan gejala-gejalapenurunan fungsi kognitif dan demensia awal, dokter dan tenaga kesehatan lain juga mempunyai peran

penyakit Alzheimer (penyebab terbesar demensia) meningkat dua kali lipat setiap pertambahan umur 5 tahun. Tanpa pencegahan dan pengobatan yang memadai, jumlah

yang besar dalam deteksi dini dan terutama dalam pengelolaan pasien dengan penurunan fungsi kognitif ringan. Dengan diketahuinya berbagai faktor risiko (seperti hipertensi, diabetes melitus, strok, riwayat keluarga, dan lain-lain) berhubungan dengan penurunan fungsi kognitif yang lebih cepat pada sebagian orang usia lanjut, maka diharapkan dokter dan tenaga kesehatan lain dapat melakukan upaya-upaya pencegahan timbulnya demensia pada pasien-pasiennya. Selain itu, bila ditemukan gejala awal penurunan fungsi kognitif yang disertai beberapa faktor yang mungkin dapat memperburuk fungsi kognitif

pasien dengan penyakit Alzheimer di negara tersebut meningkat dari 4,5 juta pada tahun 2000 menjadi 13,2 juta orang pada tahun 2050. Biaya yang dikeluarkan untuk merawat pasien dengan penyakit Alzheimer juga sangat luar biasa, sekitar US$83,9 milyar sampai US$100 milyar pertahun (data di Amerika Serikat tahun 1996).Biaya-biaya

tersebut selain meliputi biaya medis, perawatan jangka panjang (longlerm care), danperawatan di rumah (home care), j:uga perlu diperhitungkan hilangnya produktivitas pramuwerdha (caregivers). Dari segi sosial, keterlibatan emosional pasien dan keluarganya juga patut menjadi

pasien maka seorang dokter dapat merencanakan berbagai upaya untuk memodifikasinya, baik secara farmakologis

pertimbangan karena akan menjadi sumber morbiditas yang bermakna, antara lain akan mengalami stres psikologis yang bermakna, Secara klinis munculnya demensi a pada seorang usia lanjut sering tidak disadari karena awitannya yang tidak

maupun non-farmakol ogis.

DEFINISI

jelas dan perjalanan penyakitnya yang progresif namun perlahan. Selain itu, pasien dan keluarga juga sering menganggap bahwa penurunan fungsi kognitif yang terjadi pada awal demensia (biasanya ditandai dengan

Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak

berkurangnya fungsi memori) merupakan suatu hal yang

Demensia merujuk pada sindrom klinis yang mempunyai

berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran.

837

838

GERIr'TIRI

bermacam penyebab. Pasien dengan demensia harus mempunyai gangguan memori selain kemampuan mental lain seperti berpikir abshak, penilaian, kepribadian, bahasa, praksis, dan visuospasial. Defisit yang terjadi harus cukup berat sehingga memengaruhi aktivitas kerja dan sosial secara bermakna.

Walaupun sebagian besar kasus demensia menunjukkan penumnan yang progresif dan tidak dapat pulih (irreversible), namur bila merujuk pada definisi di atas maka demensia dapatpula terjadi mendadak (misalnya: pasca strok atau cedera kepala), dan beberapa penyebab demensia dapat sepenuhnya pulih (misalnya: hematoma

subdural, toksisitas obat, depresi) bila dapat diatasi dengan cepat dan tepat. Demensia dapat muncul pada usia berapapun meskipun umumnya muncul setelah usia 65 tahun. Penting pula membedakan demensia dengan delirium. Delirium merupakan keadaan confus ion (kebingungan), biasanya timbul mendadak, ditandai dengan gangguan memori dan orientasi (sering dengan konfabulasi) dan biasanya disertai gerakan abnormal, halusinasi, ilusi, dan perubahan afek. Untuk membedakan dari demensia,pada delirium terdapat pemrunan tingkat kesadaran selain dapat

pula hyperalert. Delirium biasanya berfluktuasi intensitasnya dan dapat menjadi demensia bila kelainan yang mendasari tidak teratasi. Penyebab paling sering delirium meliputi ensefalopati akibat penyakit infeksi, toksik dan faktor nutrisi, atau penyakit sistemik. Pasien demensia sendiri secara khusus cenderung untuk timbul delirium.

Alzheimer. Faktor-faktor risiko lain yang dari berbagai penelitian diketahui berhubungan dengan penyakit Alzheimer adalah hipertensi, diabetes melitus, terj adinya penyakit

dislipidemia, serta berbagai faktor risiko timbulnya aterosklerosis dan gangguan sirkulasi pembuluh darah otak.

Mutasi beberapa gen familial penyakitAlzheimer pada kromosom 2 I , kromosom 14, dan kromosom 1 ditemukan pada kurang dari 5%o pasien dengan penyakit Alzheimer. Sementara riwayat keluarga dan munculnya alel e4 dari Apolipoprotein E pada lebih dari 30% pasien dengan penyakit ini mengindikasikan adanya faktor genetikyang berperan pada munculnya penyakit ini. Seseorang dengan riwayat keluarga pada anggota keluarga tingkat-pertama (first-degree relative) mempunyai risiko dua sampai tiga kali menderita penyakit Alzheimer, walaupun sebagian besar pasien tidak mempunyai riwayat keluarga yang positif. Walaupun alel e4 Apo E bukan penyebab timbulnya demensia, namun munculnya alel ini merupakan faktor utama yang mempermudah seseorang menderita penyakit Alzheimer.

EPIDEMIOLOGI Insidensi demensia meningkat secara bermakna seiring meningkatnya usia. Setelah usia 65 tahun, prevalensi demensia meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia 5 tahun. Secara keseluruhan prevalensi demensia pada

populasi berusia lebih dari 60 tahun adalah

penurunan insidensi pada usia 95 tahun yang diduga karena terbatasnya jumlah subyek di atas usia 90 tahun. Secara umum dapat dikatakan bahwa frekuensi penyakit Alzheimer meningkat seiring usia, dan mencapai 20-40% populasi berusia 85 tahun atau lebih. Proporsi perempuan yang mengalami penyakitAlzeimer lebih tinggi dibandingkan laki-laki (sekitar 2/3 pasien adalah perempuan), hal ini disebabkan perempuan memiliki harapan hidup lebih baik dan bukan karena perempuan lebih mudah menderita penyakit ini. Tingkat pendidikan yang rendah juga disebutkan berhubungan dengan risiko

5,60/o.

Penyebab tersering demensia diAmerika Serikat dan Eropa adalah penyakit Alzheimer, sedangkan di Asia diperkirakan

demensia vaskular merupakan penyebab tersering demensia. Tipe demensia lain yang lebih jarang adalah demensiatipeLewybody,demensiafrontolemporal(FTD), dan demensia pada penyakit Parkinson. Sebuah penelitian pada populasi usia lanjut di AS mendapatkan lebih dari 45% mereka yangberusia 85 tahun

atau lebih menderita penyakit Alzheimer. Hasil ini dikonfirmasi oleh penelitian di Swedia yang menyebutkan 44Yo dari usia lanjut yang berusia lebih dari 85 tahun mengalami penyakit Alzheimer. Di Jepang dari seluruh penduduk sentenarian (usia 100 tahun atau lebih), 70 persen mengalami demensia dengan 76o/o-rrya menderita penyakit Alzheimer. Berbagai penelitian menunjukkan laju insidensi penyakit Alzheimer meningkat secara eksponensial seiring bertambahnya umur, walaupun terjadi

PATOBIOLOGI DAN PATOGENESIS Komponen utama patologi penyakitAlzheimer adalah plak

senilis dan neuritik, neurofibrillary tangles, hilangnya neuron/sinaps, degenerasi granulovakuolar, dan Hirano b odies. Plak neuritik mengandung b-amyloid ekstraselular yang dikelilingi neuritis distroftk, sementara plak difus (atau nonneuritik) adalah istilah yang kadang digunakan untuk deposisi amyloid tanpa abnormalitas neuron. Deteksi adanyaApo E di dalam plak p-amyloid dan studi mengenai ikatan high-avidity antara Apo E dengan p-amyloid menunjukkan bukti hubung an arrtara amyloidogenesis dan Apo E. Plak neuritikjuga mengandung protein komplemen, mikroglia yang teraktivasi, sitokin-sitokin, dan protein faseakut, sehingga komponen inflamasi juga diduga terlibat pada patogenesis penyakitAlzheimer. Gen yang mengkode the amyloid precursor protein (APP) terletak pada kromosom 2 1, menunjukkan hubungan potensial patologi penyakit Alzheimer dengan sindrom Down (trisomi-21), yang diderita oleh semua pasien penyakitAlzheimer yang muncul pada usia 40 tahun.

839

DEMENSIA

Pada Gambar 1 dapat dilihat bagaimana pembentukan amyloid merupakan pencetus berbagai proses sekunder yang terlibat pada patogenesis penyakit Alzheimer (hipotesis kaskade amyloid). Berbagai mekanisme yang terlibat pada patogenesis tersebut bila dapat dimodifikasi

dengan obat yang tepat diharapkan dapat memengaruhi

Alzheimer. Adanya dan jumlah plak senilis adalah satu gambaran patologis utama yang penting untuk diagnosis penyakit Alzheimer. Sebenamya jumlah plak meningkat seiring usia, danplak ini juga muncul di jaringan otak orang usia lanjut yang tidak demensia. Juga dilaporkan bahwa satu dari tiga orang berusia 85 tahun yang tidak demensia mempunyai deposisi amyloid yang cukup di korteks serebri untuk memenuhi kriteria diagnosis penyakit Alzheimer, namun apakah ini mencerminkan fase preklinik dari penyakit masih belum diketahui. N eur ofi brill ary t angl e s merupakan struktur intraneuron yang mengandung tau yang terhiperfosforilasi pada pasangan filamen helix. Individu usia lanjut yang normal perj alanan penyakit

juga diketahui mempunyai neurofibrillary tangles di beberapa lapisan hipokampus dan korteks entorhinal, tapi struktur inijarang ditemukan di neokodeks pada seseorang

tanpa demensia. Neurofibrillary tangles ini tidak spesifik

untuk penyakit Alzheimer dan juga timbul pada penyakit lain, seperti subacute sclerosing panencephalitis (SSPE), demensia pugilistika (boxer b dementia), dar, the parkinsonian dementia complex of Guam. Pada demensia vaskular patologi yang dominan adalah adanya infark multipel dan abnormalitas substansia alba (white matter). Infark jaringan otak yang terjadi pasca strok dapat menyebabkan demensia bergantung pada volume total korteks yang rusak dan bagian (hemisfer) mana yang terkena. Umumnya demensia muncul pada strok yang mengenai beberapa bagian otak (multi-infarct dementia)

Pem

atau hemisfer

kiri otak. Sementara abnormalitas substansia

(dffise white matter disease atau leukoaraiosis atau penyakit Binswanger) biasanya terjadi berhubungan dengan infark lakunar. Abnormalitas substansia alba ini dapat ditemukan pada pemeriksaan MRI pada daerah subkorteks bilateral, berupa gambaran hiperdens abnormal yang umumnya tampak di beberapa tempat. alba

Abnormalitas substansia alba ini juga dapat timbul pada suatu kelainan genetik yang dikenal sebagai cerebral

autosomal dominant arteriopathy with subaortical infarc ts and I euko enc ephal op athy (CADASIL), YatE secara klinis terjadi demensia yang progresif yang muncul pada dekade kelima sampai ketujuh kehidupan pada beberapa anggota keluarga yang mempunyai riwayat

migren dan strok berulang tanpa hipertensi. Petanda anatomis pada fronto -t emp or al dementia (FTD) adalah terjadinya atrofi yang jelas pada lobus temporal dan/atau frontal, yang dapat dilihat pada pemeriksaan pencitraan saraf (neuroimagirg) seperti MRI dan CT. Atrofi yang terjadi terkadang sangat tidak simetris. Secara mikroskopis selalu didapatkan gliosis dan hilangnya neuron, serta pada beberapa kasus terjadi pembengkakan dan penggelembungan neuron yang beisi cytoplasmic inclusion. Sementara pada demensia dengan Lewy body, sesuai dengan namanya, gambaran neuropatologinya adalah adanya Lewy body di seluruh korteks, amigdala, cingulated corlex, dan substansia nigra. Lewy body adalah cytoplasmic inclusion intraneuron yang terwarnai dengan periodic acid-Schiff (PAS) dan ubiquitin, yang terdiri dari neurofilamen lurus sepanjang 7 sampai 20 nm yang dikelilingi material amorfik. Lewy body dikenali melalui antigen terhadap protein neurofilamen yang terfosforilasi maupun yang tidak terfosforilasi, ubiquitin, dan protein presinap yang disebut a-synuclein Jika pada seorang demensia tidak ditemukan gambaran patologis selain

bentukan p-amyloid

Agregasi p-amyloid

pe rfosfo rila s

H

i

p

rote in ta u

i

Plak senilis dengan aktivasi mikroglial

Defisit neu rotra nsm iter

Abnormalitas kognitif dan perilaku (penyakit Alzheim er)

Gambar 1. Hipotesis kaskade amyloid yang menunjukkan konsekuensi sekunder akibat pembentukan dan deposisi amiloid.

840

GERI'TIfl

adanya Lewy body maka kondisi ini disebut dffise Lewy body disease, sementara bila ditemukan juga plak amyloid

Kriteria diagnosis klinis untuk probable penyakit Alzheimer mencakup: Demensia yang ditegakkan oleh pemeriksaan klinis dan tercatat dengan pemeriksaan the mini-mental test, B/essed Dementia Sca/e, atau pemeriksaan sejenis, dan dikonfirmasi oleh tes neuropsikologis Defisit pada dua atau lebih area kognitif Tidak ada gangguan kesadaran Awitan antara umur 40 dan 90, umumnya setelah umur 65 tahun

da;r neurofibrillary tangles maka disebut varian Lewy body dari penyakit Alzheimer (the Lewy body variant of

-

AD), Defisit neurohansmiter utama pada penyakit Alzheimer, juga pada demensia tipe lain, adalah sistem kolinergik.

Walaupun sistem noradrenergik dan serotonin, omato s tatin- like reactiv ity, dan. corticotropin-releas ing factor juga berpengaruh pada penyakitAlzheimer, defisit asetilkolin tetap menjadi proses utama penyakit dan menjadi target sebagian besar terapi yang tersedia saat ini

-

s

2

untuk penyakit Alzheimer.

DIAGNOSIS

tidak, juga harus ditentukan berat-ringannya penyakit, serta

atau tipe yang lain). Hal

ini berpengaruh

dan kognitif Diagnosis probable penyakit Alzheimer didukung oleh: Penurunan progresif fungsi kognitif spesifik seperti afasia, apraksia, dan agnosia Gangguan aktivitas hidup sehari-hari dan perubahan pola perilaku Riwayat keluarga dengan gangguan yang sama, terutama bila sudah dikonfirmasi secara neuropatologi Hasil laboratorium yang menunjukkan: Pungsi lumbal yang normal yang dievaluasi dengan teknik standar Pola normal atau perubahan yang nonspesifik pada EEG, seperti peningkatan aktivitas slow-wave Bukti adanya atrofi otak pada pemeriksaan CT yang progresif dan terdokumentasi oleh pemeriksaan serial Gambaran klinis lain yang konsisten dengan diagnosis probable penyakit Alzheimer, setelah mengeksklusi penyebab demensia selain penyakit Alzheimer:

-

-

Evaluasi terhadap pasien dengan kecurigaan demensia harus dilakukan dari berbagai segi, karena selain menetapkan seorang pasien mengalami demensia atau tipe demensianya (penyakit Alzheimer, demensia vaskular,

Tidak adanya kelainan sistemik atau penyakit otak lain yang dapat menyebabkan defisit progresif pada memori

3

pada

-

penatataksanaan dan prognosisnya. Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan kriteria diagaosis yang sesuai dengan Diagnosis and Statistical

Perjalanan penyakit yang progresif namun lambat (plateau)

Gejala-gejala yang berhubungan seperti depresi, insomnia, inkontinensia, delusi, halusinasi, verbal

katastrofik, emosional, gangguan seksual,

Manual of Mental Disorders, edisi keempat (DSM-IV)

-

dapat dilihat pada Tabel 1.

dan

penurunan berat badan

Abnormalitas neurologis pada beberapa pasien, terutama pada penyakit tahap lanjut, seperti peningkatan

tonus otot, mioklonus, dan gangguan melangkah (gatt

A. Munculnya defisit kognitif multipel yang bermanifestasi pada kedua keadaan berikut 1. Gangguan memori (ketidakmampuan untuk mempelajari informasi baru atau untuk mengingat informasi yang baru saja dipelajari) 2. Satu (atau lebih) gangguan kognitif berikut a. Afasia (gangguan berbahasa) b. Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas motorik walaupun fungsi motorik masih normal) c. Agnosia (kegagalan mengenali atau mengidentifikasi benda walaupun fungsi sensorik masih

4

-

Gangguan fungsi eksekutif (seperti merencanakan, mengorganisasi, berpikir runut, berpikir abstrak)

Defisit kognitif yang terdapat pada kriteria

Al

dan

Sementara untuk diagnosis klinis penyakit Alzheimer

diterbitkan suatu konsensus oleh the National Institute of Neurological and Communicative Disorders and Stroke (NINCDS) dan the Alzheimer's Disease and Related Disorders Association (ADRDA) (Tabel 2).

Berdasarkan kedua kriteria diagnosis

di

-

A2

menyebabkan gangguan bermakna pada fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang bermakna dari fungsi sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus saat timbulnya delirium.

atas,

menegakkan diagnosis penyakit Alzheimer dan demensia

6

7

Terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis,

gangguan sensorik, defisit lapang pandang,

dan

inkoordinasi pada tahap awal penyakit; dan kejang atau gangguan melangkah pada saat awitan atau tahap awal perjalanan penyakit Diagnosis possib/e penyakit Alzheimer: Dibuat berdasarkan adanya sindrom demensia, tanpa adanya gangguan neurologis, psikiatrik, atau sistemik lain yang dapat menyebabkan demensia, dan adanya variasi pada awitan, gajala klinis, atau perjalanan penyakit Dibuat berdasarkan adanya gangguan otak atau sistemik sekunder yang cukup untuk menyebabkan demensia, namun penyebab primernya bukan merupakan penyebab demensia Kriteria untuk diagnosis definite penyakit Alzheimer adalah: Kriteria klinis untuk probable penyakit Alzheimer Bukti histopatologi yang didapat dari biopsi atau autopsi Klasifikasi penyakit Alzheimer untuk tujuan penelitian dilakukan bila terdapat gambaran khusus yang mungkin merupakan subtipe penyakit Alzheimer, seperti: Banyak anggota keluarga yang mengalami hal yang sama Awitan sebelum usia 65 tahun Adanya trisomi-2'1 Terjadi bersamaan dengan kondisi lain yang relevan seperti penyakit Parkinson

-

normal)

B.

Gambaran yang membuat diagnosis probable penyakit Alzheimer menjadi tidak cocok adalah: Onset yang mendadak dan apolectic

untuk

d

disorder) Kejang pada penyakit yang lanjut Pemeriksaan CT normal untuk usianya

-

-

DEMENSIA

tipe lain harus dilakukan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis yang teliti, serta didukung oleh pemeriksaan penunjang yang tepat.

Anamnesis. Anamnesis harus terfokus pada awitan (on-

set),lamanya, dan bagaimana laju progresi penurunan fungsi kognitif yang terjadi. Kebingungan (confusion) yang terjadi akut dan subakut mungkin merupakan manifestasi delirium dan harus dicari kemungkinan penyebabnya seperti intoksikasi, infeksi, atau perubahan metabolik. Seorang usia lanjut dengan kehilangan memori

yang berlangsung lambat selama beberapa tahun kemungkinan menderita penyakit Alzheimer. Hampir 7 5o/o pasien penyakit Alzheimer dimulai dengan gejala memori, tetapi gejala awal juga dapat meliputi kesulitan mengunrs keuangan, berbelanja, mengikuti perintah, menemukan kata, atau mengemudi. Perubahan kepribadian, disinhibisi, peningkatan berat badan, atau obsesi terhadap makanan

mengarah pada frontolemporal dementia (FTD), bukan penyakit Alzheimer. FTD juga patut diduga bila ditemukan apati, hilangnya fungsi eksekutif, abnormalitas progresif fungsi berbicata, atan keterbatasan kemampuan memori atau spasial. Diagnosis demensia denganlewy body (DLB) dicurigai bila terdapat adanyagejala awal berupa halusinasi visual, parkinsonisme, delirium, ganguan tidur (rapid-eye

movement) REM, atau sindrom Capgras, yaitu delusi bahwa seseorang yang dikenal digantikan oleh penipu, Riwayat adanya strok dengan progresi bertahap dan

tidak teratur mengarah pada demensia multi-infark. Demensia multi-infark umumnya terj adi pada pasien-pasien

dengan faktor risiko hipertensi, fibrilasi atrium, penyakit vaskular perifer, dan diabetes. Pada pasien yang menderita penyakit serebrovaskular dapat sulit ditentukan apakah demensia yang terj adi adalah penyakit Alzheimer, demensia

multi-infark, atau campuran keduanya. Bila dikaitkan dengan berbagai penyebab demensia, maka anamnesis harus diarahkan pula pada berbagai faktor risiko seperti trauma kepala berulang, infeksi susunan saraf pusat akibat

sifilis (neurosifilis), konsumsi alkohol berlebihan, intoksikasi bahan kimia pada pekerja pabrik, serta penggunaan obat-obat jangka panjang (sedatif dan tranquilizer). Riwayat keluarga juga harus selalu menjadi bagian dari evaluasi, mengingat bahwa pada penyakit Alzeimer, FTD, dan penyakit Huntington (sebagai salah satu penyebab demensia) terdapat kecenderungan familial. Gejala depresi seperti insomnia dan kehilangan berat badan sering tampak pada pseudodemensia akibat depresi,

yang dapat disebabkan oleh anggota keluarga yang barubaru ini meninggal. Pemeriksaan fisis dan neurologis. Pemeriksaan fisis dan neurologis pada pasien dengan demensia dilakukan untuk mencari keterlibatan sistem saraf dan penyakit sistemik yang mungkin dapat dihubungkan dengan gangguan

kognitifnya. Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjulkan gangguan sistem motorik kecuali pada tahap

841

lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial, hemi-

paresis, parkinsonisme, mioklonus, atau berbagai gangguan motorik lain umumnya timbul pada FTD, DLB, atau demensia multi-infark. Penyebab sistemik seperti defisiensi vitamin B12, intoksikasi logam berat, dan hipotiroidisme dapat menunjukkan gejala-gej ala yang khas.

Yang tidak boleh dilupakan adalah adanya gangguan

pendengaran dan penglihatan yang menimbulkan kebingungan dan disorientasi pada pasien yang sering disalahartikan sebagai demensia, Pada usia lanjut defisit sensorik seperti ini sering terjadi. Pemeriksaan kognitif dan neuropsikiatrik. Pemeriksaan yang sering digunakan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif adalah the mini mental status examination (MMSE), yang dapat pula digunakan untuk

memantau perjalanan penyakit. MMSE merupakan pemeriksaan yang mudah dan cepat dikerjakan, berupa 30 point-test terhadap fungsi kognitifdan berisikan pula uji orientasi, memori ke{a dan memori episodik, komprehensi bahasa, menyebutkan kata, dan mengulang kata. Pada

penyakit Alzheimer defisit yang terlibat berupa memori episodik, category generation (sebutkan sebanyakbanyaknya binatang dalam satu menit), dan kemampuan visuokonstruktif. Defisit pada kemampuan verbal dan memori episodik visual sering merupakan abnormalitas

neuropsikologis awal yang terlihat pada penyakit Alzheimer, dan tugas yang membutuhkan pasien untuk menyebutkan ulang daftar panjang kata atau gambaf setelah jeda waktu tertentu akan menunjukkan defisitpada sebagian pasien penyakitAlzheimer. Pada FTD def,rsit awal sering melibatkan fungsi eksekutif frontal atau bahasa (berbicara atau menyebutkan kata). Pasien DLB mempunyai

defisit lebih berat pada fungsi visuospasial tetapi melakukan tugas memori episodik lebih baik dibandingkan

pasien dengan penyakit Alzheimer. Pasien dengan demensia vaskular sering menunjukkan campuran defisit eksekutif frontal dan visuospasial. Pada delirium, defisit cenderung terjadi pada area pemusatan perhatian, memori kerja, dan fungsi frontal. Pengkajian status fungsional harus juga dilakukan.

Dokter harus menentukan dampak kelainan terhadap memori pasien, hubungan di komunitas, hobi, penilaian, berpakaian, dan makan. Pengetahuan mengenai status fungsional pasien sehari-hari akan membantu mengatur pendekatan terapi dengan keluarga. Pemeriksaan penunjang. Tes laboratorium pada pasien demensia tidak dilakukan dengan serta merta pada semua

kasus. Penyebab yang reversibel dan dapat diatasi seharusnya tidak boleh terlewat. Pemeriksaan fungsi tiroid, kadar vitamin Bl2, darah lengkap, elektrolit, dan VDRL

direkomendasikan untuk diperiksa secara rutin. Pemeriksaan tambahan yang perlu dipertimbangkan adalah

pungsi lumbal, fungsi hati, fungsi ginjal, pemeriksaan toksin di urin/darah, dan Apolipoprotein E.

842

GE,RIITITI

Pemeriksaan penunjang yang juga direkomendasikan

adalah CT/MRI kepala. Pemeriksaan

ini

dapat mengidentifikasi tumor primer atau sekunder, lokasi area infark, hematoma subdural, dan memperkirakan adanya

intervention) menunjukkan kedua pendekatan tersebut sama efektifnya. Walaupun demikian, karena terkadang

hidrosefalus bertekanan-normal atau penyakit white matter yang luas. MRI dan CT juga dapat mendukung

terapi perilaku yang dilakukan secara benar dan dilakukan setiap hari dengan intensif sulit dilakukan, maka pilihan terapi medikamentosa lebih disukai. Terapi kolinesterase inhibitor sebagai terapi terpilih untuk meningkatkan fungsi

diagnosis penyakit Alzheimer, terutama bila terdapat atrofi

kognitif pada pasien demensia, seringkali dapat pula

hipokampus selain adanya atrofi kortikal yang difus.

mengurangi gejala apati, halusinasi visual, dan beberapa gejala psikiatrik lain. Dalam mengelola pasien dengan demensia, perlu pula diperhatikan vpaya-upaya mempedahankan kondisi fi sis atau kesehatan pasien. Seiring dengan progresi demensia, maka banyak sekali komplikasi yang akan muncul seperti

Abnormalitas white mqtter yang luas berkorelasi dengan demensia vaskular. Peran pencitraan fungsional seperti single photon emission computed tomography (SPECT) danpositron emission tomography (PET) scanning maslh dalam penelitian. SPECT dan PET scanning dapat memrnjukkan hipoperfusi atau hipometabolisme temporalparietal pada penyakit Alzheimer dan hipoperfusi atau hipometabolisme frontotemporal pada FTD.

pneumonia dan infeksi saluran napas bagian atas, septikemia, ulkus dekubitus, fraktuq dan berbagai masalah

nutrisi. Kondisi-kondisi ini terkadang merupakan sebab utama kematian pasien dengan demensia, sehingga pencegahan dan penatalaksanaan menjadi sangat penting.

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan Umum Tujuan utama penatalaksanaan pada seorang pasien dengan demensia adalah mengobati penyebab demensia

yang dapat dikoreksi dan menyediakan situasi yang nyaman dan mendukung bagi pasien dan pramuwerdhanya (c or e giv er s). Menghentikan obat- ob at y ang bersifat

sedatif dan memengaruhi fungsi kognitif banyak

memberikan manfaat. Bila pasien cenderung depresi ketimbang demensia, maka depresi harus diatasi dengan adekuat. Pasien dengan penyakit degeneratif sering muncul gejala depresi, dan sebagian dari mereka akan

respons pada terapi antidepresi. Antidepresi yang mempunyai efek samping minimal terhadap fungsi kognitif seperti s erotonin s el ectiv e reuptakeinhibllor (S SRI), lebih dianjurkan pada pasien demensia dengan gejala depresi.

Antikonvulsi kadang-kadang dibutuhkan untuk mengendalikan kejang.

Agitasi, halusinasi, delusi, dan kebingungan (coffision) seringkali sulit ditatalaksana, dan sering menjadi alasan utama memasukkan seorang usia lanjut dengan demensia ke panti werdha atau rumah rawat usia lanjut. Sebelum memberikan obat untuk berbagai gangguan perilaku tersebut, harus disingkirkan faktor lingkungan atau metabolik yang mungkin dapat dikoreksi atau dimodifikasi.

Imobilisasi, asupan makanan yang kurang, nyeri, konstipasi, infeksi, dan intoksikasi obat adalah beberapa faktor yang dapat mencetuskan gangguan perilaku, dan bila diatasi maka tidak perlu memberikan obat-obatan antipsikosis. Obat-obatan yang dapat digunakan untuk

Pada stadium awal penyakit, seorang dokter harus mengusahakan berbagai aktivitas dalam rangka mempertahankan status kesehatan pasien, seperti melakukan latihan (olahraga), mengendalikan hipertensi dan berbagai penyakit [ain, imunisasi terhadap pneumokok dan influenza, memperhatikan higiene mulut dan gigi, serta mengupayakan kaca mata dan alat bantu dengar bila terdapat gangguan penglihatan atau pendengaran. Pada fase lanjut demensia, merupakan hal yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan dasar pasien seperti nutrisi, hidrasi, mobilisasi, dan perawatan kulit untuk mencegah ulkus dekubitus. Pada beberapa keadaan mungkin dapat dipertimbangkan tindakan gastrostomi, pemberian nutrisi dan cairan intravena, serta pemberian antibiotika dalam

upaya memperpanjang hidup yang tentunya perlu pertimbangan bersama dengan keluarga pasien. Yang juga sangat penting dalam pengelolaan secara paripurna pasien dengan demensia adalah kerja sama yang

baik antara dokter dengan pramuwerdha (caregivers). Pramuwerdha pasien dengan demensia merupakan orang yang sangat mengerti kondisi pasien dari hari ke hari dan

bertanggung jawab terhadap berbagai hal seperti pemberian obat dan makanan, mengimplementasikan terapi nonfarmakologis kepada pasien, meningkatkan status kesehatan umum pasien, sertra mampu memberikan waktu-

waktu yang sangat berarti sebagai bagian dari upaya meningkatkan kualitas hidup pasien dengan demensia. Walaupun demikian, perlu pula diperhatikan kondisi fisik dan mental pramuwerdha, mengingat apa yang mereka lakukan sangat menguras tenaga, pikiran, bahkan emosi yang terkadang menimbulkan morbiditas tersendiri,

meredam agitasi dan insomnia tanpa memperberat demensia di antaranya haloperidol dosis rendah (Q,S sampai

2 mg), trazodone, buspiron, atau propranolol. Beberapa penelitian yang membandingkan terapi obat (farmakoterapi) dengan intervensi perilaku (behavioral

Pengobatan untuk Mempertahankan Fungsi Kognitif Penyakit Alzheimer tidak dapat disembuhkan dan belum ada obat yang terbukti tinggi efektivitasnya. Selain

843

DEMENITIA

mengatasi gejala perubahan tingkah laku dan membangun

gangguan kognitif ringan. Sebagian penelitian

'rapport' dengan pasien, anggota keluarga,

menunjukkan terdapat perbedaan dengan plasebo pada pemakaian 6 bulan, walaupun ada pula yang tetap menunjukkan perbaikan pada pemakaian sampai satu tahun bahkan sampai dua atau tiga tahun. Satu penelitian menunjukkan perlambatan penurunan fungsi kognitif yang

dan

pramuwerdha, saat ini fokus pengobatan fungsi kognitif adalah pada defisit sistem kolinergik. Selain itu beberapa penelitian klinis juga mencoba mengarah pada terapi lain

yang disesuaikan dengan patofisiologi timbulnya demensia yang melibatkan berbagai mekanisme.

Kolinesterase inhibitor. Tacrine (tetrahydroaminoacridine), donepezil, rivastigmin, dan galantamin adalah kolinesterase inhibitor yang telah disetuj u i oleh U. S. F o o d and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan penyakit Alzheimer. Efek farmakologik obat-obatan ini adalah dengan menghambat enzim kolinesterase, dengan hasil meningkatnya kadar asetilkolin di jaringan otak. Dari

ini jarang digunakan karena efek sampingnya ke organ hati (hepatotoksik). keempat obat tersebut, tacrine saat

Donepezil dimulai pada dosis 5 mg perhari, dan dosis dinaikkan menjadi l0 mg perhari setelah I bulan pemakaian. Dosis rivastigmin dinaikkan dari 1,5 mg dua kali perhari menjadi 3 mg dua kali perhari, kemudian 4,5 mg dua kali perhari, sampai dosis maksimal 6 mg dua kali perhari. Dosis dapat dinaikkan pada interval antara I sampai 4 minggu; efek samping umumnya lebih minimal bila peningkatan

dosisnya dilakukan lebih lama. Sementara galantamin diberikan dengan dosis awal 4 mg dua kali perhari, untuk dinaikkan menjadi 8 mg dua kali perhari dan kemudian 12 mg perhari. Seperti rivastigmin, interval peningkatan dosis yang lebih lama akan meminimalkan efek samping yang terjadi. Dosis harian efektif untuk masing-masing obat adalah 5 sampai 10 mg untuk donepezil, 6 sampai 12 mg untuk rivastigmin, dan 16 sampar24 mg untuk galantamin. Berbagai uji klinis telah menunjukkan obat-obatan

tersebut dapat meningkatkan fungsi kognitif secara bermakna dibandingkan plasebo, terutama pada kelompok pasien dengan demensia ringan dan sedang. Selain itu pasien-pasien yang menggunakan kolinesterase inhibitor lebih dapat mempertahankan kemampuan mereka untuk

bermakna pada pasien yang mendapat donepezil dibandingkan vitamin E dan plasebo pada satu tahun pertama pemakaian, namun perbedaan tersebut tidak bermakna bila pemakaian dilanjutkan sampai 2tahun. Perbedaan antara masing-masing obat kolinesterase

inhibitor masih belum dapat dibuktikan. Indikasi untuk berpindah dari satu kolinesterase inhibitor ke obat yang lain adalah adanya reaksi alergi, efek samping yang tidak dapat diatasi, keinginan keluarga, dan tidak ada respons pengobatan setelah pemakaian enam bulan. Bila akan mengganti satu kolinesterase inhibitor dengan yang lainnya maka dianjurkan untuk menghentikan sementara pemberian obat (washout period) selama 3-4 minggu. Penggunaan bersama-sama lebih dari satu kolinesterase inhibitor pada saat yang bersamaan belum pernah diteliti

dan tidak dianjurkan. Kolinesterase inhibitor umunmya digunakan bersama-sama dengan memantin dan vitamin E.

Antioksidan. Antioksidan yang telah diteliti dan memberikan hasil yang cukup baik adalah alfa tokoferol (vitamin E). Pemberian vitamin E pada satu penelitian dapat memperlambat progresi penyakit Alzheimer menjadi lebih berat. Vitamin E telah banyak digunakan sebagai terapi tambahan pada pasien dengan penyakit Alzheimer dan demensia tipe lain karena harganya murah dan dianggap aman. Dengan mempertimbangkan stres oksidatif sebagai

salah satu dasar proses menua yang terlibat pada patofisiologi penyakit Alzheimer, ditambah hasil yang didapat pada beberapa studi epidemiologis, vitamin E bahkan digunakan sebagai pencegahan primer demensia pada individu dengan fungsi kognitif normal. Namun suatu

pramuwerdha dan lingkungan sekitar, serta dapat menunda masuk ke panti werdha. Efek samping yang dapat timbul pada pemakaian obatobatan kolinesterase inhibitor ini antara lain adalah mual,

studi terakhir gagal membuktikan perbedaan efek terapi antara vitamin E sebagai obat tunggal dan plasebo terhadap pencegahan penurunan fungsi kognitif pada pasien-pasien dengan gangguan fungsi kognitif ringan. Efek terapi vitamin E pada pasien demensia maupun gangguan kognitif ringan tampaknya hanya bermanfaat bila dikombinasi dengan kolinesterase inhibitior.

muntah, dan diare, dapat pula timbul penurunan berat

Memantin. Obat yang saat ini juga telah disetujui oleh

badan, insomnia, mimpi abnormal, kram otot, bradikardia, sinkop, dan fatig. Efek-efek samping tersebut umunnya muncul saat awal terapi, dan seperti telah disinggung di atas, dapat dikurangi bila interval peningkatan dosisnya

FDA sebagai terapi pada demensia sedang dan berat

aktivitas kehidupan sehari-hari, lebih sedikit timbul perubahan perilaku, lebih tidak tergantung kepada

diperpanjang dan dosis rumatan diminimalkan. Efek samping pada gastrointestinal juga dapat diminimalkan bila obat-obat tersebut diberikan bersamaan dengan makan. Sampai saat ini masih belum didapatkan data yang pasti mengenai berapa lama pemberian kolinesterase inhibitor yang dianjurkan pada pasien dengan demensia dan

adalah memantin, suatu antagonis N-metil-o-aspartat. Efek terapinya diduga adalah melalui pengaruhnya pada

glutaminergic excitotoxicity dan fungsi neuron di hipokampus. Suatu uji klinis tersamar ganda yang menggunakan memantin pada pasien dengan penyakit

Alzheimer stadium sedang dan berat menunjukkan kelebihan memantin dibandingkan plasebo dalam perbaikan status fungsional, namun tidak ada perbedaan dalam hal penurunan status fungsi kognitif. Bila memantin

844

GEXUAIRI

ditambahkan pada pasienAlzheimer yang telah mendapat kolinesterase inhibitor dosis tetap, didapatkan perbaikan

REFERENSI

fungsi kognitif, berkurangnya penurunan status

Amar K, Wilcock G. Vascular dementia. BMJ. 1996;312:227-31. Bird TD, Miller BL. Alzheimer's disease and other dementias. Dalam: Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, penyunting. Harrison's Principles of Intemal Medicine, Edisi ke-16. New York: McGraw-Hill Medical Publishing

fungsional, dan berkwangnya gejala perubahan perilaku baru bila dib4ndingkan penambahan plasebo. Terapi lain. Dengan adanyabukti bahwaproses inflamasi pada jaringan otak terlibat pada patogenesis timbulnya penyakit Alzheimer, maka beberapa penelitian mencoba mendapatkan manfaat obat-obat antiinflamasi baik dalam hal pencegahan maupun terapi demensiaAlzheimer. Hasil negatif (tidak berbeda dengan plasebo) ditunjukkan baik pada predaison, rofecoxib, maupun naproxen, sehingga

sampai saat

ini tidak

ada data yang mendukung

penggunaan obat antiinflamasi dalam pengelolaan pasien

demensia. Selain itu, walaupun beberapa studi epidemiologik menduga bahwa terapi sulih-estrogen mungkin dapat mengurangi insidensi demensia, namun

penelitian klinis menunjukkan ternyata tidak ada manfaatnya pada perempuan pascamenopause. Beberapa obat lain yang dari beberapa studi pendahuluan nampaknya punya potensi untuk dapat digunakan sebagai pencegahan dan pengobatan demensia di antaranya ginko

biloba, huperzin A (suatu kolinesterase inhibitor), imunisasi/vaksinasi terhadap amyloid, dan beberapa pendekatan yang bersifat neuroprotektif.

Division; 2005. p. 2393-406. Black S, Roman GC, Geldmacher DS, Salloway S, Hecker J, Burns Alistair. Efficacy and tolerability of donepezil in vascular dementia. Stroke. 2003;34:2323 -32. Cummings JL. Alzheimer's disease. N Engl J Med. 2004;351:56-67. Erkinjuntti T, Roman G Gauthier S, Feldman H, Rockwood K. Emerging therapies for vascular dementia and vascular cognitive impairment. Stroke. 2004;35:1010-7. Friedland RP, Wilcock GK. Dementia. Dalam: Evans JG William TF, Beattie BL, Michel J-B Wilcock GK, penyunting. Oxford Textbook of Geriatric Medicine, Edisi ke-2. New York: Oxford University Press; 2000. p.922-31.

Kawas CH. Alzheimer's disease. Dalam: Hazzard WR, Blass JB Ettinger WH, Halter JB, Ouslander JG, penyunting. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology, Edisi ke-4. New York: McGraw-Hill Health Professions Division; 1999. p. 1257-69. Kivipelto M, Helkaka E-L, Laakso MP, Hanninen Hallikainen M, Alhainen K, dkk. Midlife vascular risk factors and Alzbeimer's disease in later life: longitudinal, population based study. BMJ. 2001;322:1447 -51. Sachdev PS, Brodaty H, Looi JCL. Vascular dementia: diagnosis, managemert and possible prevention. MJA. 1999; 170: 8l-5. van der Flier WM, Scheltens P. Epidemiology and risk factors of dementia. J Neurol Neurosurg Psychiatry. 2005:76:2-7. Wilcock G, Howe I, Coles H, Lilienfeld S, Truyen L, Zhu Y, dkk. A long-term comparison of galantamine and donepezil in the treatment of Alzheimer's disease. Drugs Aging. 2003;20:77:l-89.

I

t32 DEPRESI PADA PASIEN USIA LANJUT Czeresna H. Soejono, Probosuseno, Nina Kemala Sari

PENDAHULUAN

mempunyai konsekuensi medis, sosial, dan ekonomi penting. Hal ini menyebabkan penderitaan bagi pasien dan

Depre,si merupakan penyakit mental yang paling sering

keluarganya, memperburuk kondisi medis dan

pada pasien berusia di atas 60 tahun dan merupakan contoh

membutuhkan sistem pendukung yang mahal. Depresi pada geriatri sulit diidentifftasi sehitgga tidak /terlambat diterapi, mungkin karena perbedaan pola gejala tiap kelompokumur. Selain itu, depresi pada geriatri sering tidak diakui pasien dan tidak dikenali dokter karena gejala yang tumpang tindih, sering komorbiditas dengan penyakil medis lain sehingga lebih menonjolkan gejala somatik daripada gejala depresinya. Tulisan ini akan membahas secara umum perihal cara mengenali gejala depresi pada pasien geriatri, komorbiditas yang sering terdapat pada penderita depresi usia lanjut, tatalaksana, hingga evaluasi pengobatan.

penyakit yang paling umum dengan tampilan gejala yang tidak spesifik/tidak khas pada populasi geriatri. Terdapat beberapa faktor biologis, fisis, psikologis, dan sosial yang membuat seorang berusia lanjut rentan terhadap depresi. Perubahan pada sistem saraf pusat seperti meningkatnya aktivitas monoamin oksidase dan berkurangnya konsentrasi neurotransmiter (terutama neurotransmiter katekolaminergik) dapat berperan dalam terj adinya depresi pada usia lanjut. Kondisi multipatolo gi dengan berbagai penyakit kronik dan polifarmasi kian meningkatkan kejadian depresi pada usia lanjut. Pasien geriatri yang menderita depresi juga sering memiliki komorbid penyakit vaskular dengan lesi di daerah ganglia basalis dan prefrontal otak. Pasien-pasien ini sering memperlihatkan kemunduran fungsi motorik, kurangnya kemampuan penilaian (j udgement), dan terganggunya

EPIDEMIOLOGI Prevalensi terbesar gangguan psikiatri pada geriatri adalah depresi. Prevalensi dipengaruhi oleh lokasi pengambilan subyek penelitian dan komorbiditas. Prevalensi depresi pada usia lanjut di pelayanan kesehatan primer adalah 5l7oh, semeniara prevalensi depresi pada usia lanjut yang mendapat pelayanan asuhan rumah (home care) adalah

fungsi eksekusi. Faktor-faktor psikososial juga berperan sebagai faktor predisposisi depresi. Orang tua seringkali mengalami periode kehilangan orang-orang yang dikasihinya. Faktor kehilangan fisik juga meningkatkan kerentanan terhadap depresi dengan berkurangnya kemauan merawat diri serta hilangnya kemandirian. Berkurangnya kapasitas sensoris

l3,5yo. Prevalensi depresi geriatri lebih tinggi di ruang perawatan daripada di masyarakat. Usia lanjut di perawatan

jangka panjang memiliki tingkat depresi yang lebih tinggi

(terutama penglihatan dan pendengaran) akan

daripada di masyarakat. Data prevalensi depresi pada usia lanjut di Indonesia diperoleh dari ruang rawat akut geriatri dengan kejadian depresi sebanyak 76,3yo. Proporsi pasien geriatri dengan depresi ringan adalah 44,lyo sedangkan depresi sedang sebanyak 18%, depresi berat sebanyak 10,8% dan depresi sangat berat s ebanyak3,2%o. Semakin berat tingkat depresi maka semakin lama masa rawat. Studi unflrk populasi

mengakibatkan penderita terisolasi dan berujung pada depresi. Berkurangnya kemampuan daya ingat dan fungsi intelektual sering dikaitkan dengan depresi. Kehilangan pekerjaan, penghasilan, dan dukungan sosial sejalan

dengan bertambahnya usia turut menjadi faktor predisposisi seorang berusia lanjut untuk menderita depresi. Depresi pada pasien geriatri adalah masalah besar yang

Indonesia Timur dilakukan di Kabupaten Buru, Maluku

84s

846

GERIAMI

pada tahun 2003 dengan subyek sebanyak 401 orang usia

lanjut. Penapisan depresi pada usia lanjut yang berada di daerah pasca konflik tersebut menunjukkan hasil positif

dan kondisi multipatologi tadi dengan sensasi passive helplessness yang sering terjadi pada usia lanjut.

Menurut teori Erik Erikson, kepribadian terus berkembang dan terus tumbuh dengan perjalanan

pada52,4oh subyek.

kehidupan. Perkembangan ini melalui beberapa tahapan

psikososial seperti melalui konflik-konflik yang ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

terselesaikan oleh individu tersebut yang dipengaruhi oleh

Berbagai teori mengenai etiologi dan patogenesis diajukan para ahli tentang gangguan depresi usia lanjut namun pada banyak kasus jelas berhubungan dengan polifarmasi yang berkaitan erat dengan multipatologi. Beberapa penyebab lain adalah kondisi medik seperti strok dan hipotiroidisme.

sebelumnya, dukungan lingkungan terdekatnya dan tekanan hidup yang dihadapinya. Erikson menyebutkan adanya krisis integrity versus despairyait:rt individu yang

maturitas kepribadian pada fase perkembangan

Obat-obatan dan beberapa kondisi umum yang berhubungan dengan depresi dapat dilihat pada Tabel 1.

Beberapa

golongan obat yang dapat menimbulkan

depresi: Analgetika

OAINS

Antihipertensi Antipsikotik Ansiolitika Antikanker Sedativa

Lain-lain

: kodein, morfin : ibuprofen, naproksen, indometasin

:klonidin,propranolol,kaptopril : haloperidol, klorpromazin : diazepam : vinkristin : :

fenobarbital, triazolam, pentobarbital simetidin, ranitidin, deksametason

Beberapa kondisi medik umum yang berhubungan dengan depresi: Hipotiroidisme Tumor otak (terutama lobus frontalis)

CVD hemisfer kanan, Alzheimer, Parkinson,

demensia

vaskular SLE

Defisiensi vitamin Brz, defisiensi folat

sukses melampaui tahapan tadi akan dapat beradaptasi dengan baik, menerima segala perubahan yang terjadi dengan tulus dan memandang kehidupan dengan rasa

damai dan bijaksana. Contoh resolusi yang berhasil dari krisis dicirikan dengan perasaan individu tersebut yang hidup dengan baik dan nyaman. Sebaliknya resolusi yang kurang berhasil akan dicirikan dengan perasaan bahwa hidup ini terlalu pendek, dengan perasaan tidak memiliki, pemberontakan, rasa marah, putus asa dan juga dengan kegetiran bahwa ia tidak akan mau hidup lagi jika diberi kesempatan. Kondisi ini akan menyebabkan orang usia lanjut rentan terhadap depresi. Penelitian akhir-akhir ini juga mengatakan bahwa konflik integritas versus despair berhasil baik pada usia lanjut yang lebih muda dibanding usia lanjut yang lebih tua. Teori Heinz Kohut menekankan pada aspek hilangnya rasa kecintaaatpada diri sendiri akibat proses penuaan ditambah dengan rasa harga diri dan kepuasan diri yang kurang, juga dukungan sosial yang tidak terpenuhi akan menyebabkan usia lanjut tidak mampu lagi memelihara dan mempertahankan rasa harga diri. Mereka sering merasa tegang dan takut, cemas, murung, kecewa dan tidak merasa

sejahtera di usia senja.

Faktor-faktor lain yang memperberat depresi perlu pula diperhatikan, arrtara lain kehilangan (pasangan hidup, perpisahan teman dekat dan anggota keluarga, taraf

kesehatan yang menurun, kehilangan rasa aman,

DIAGNOSIS DAN KOMORBIDITAS

kekuasaan/jabatan dan kebebasan), serta pemiskinan sosial dan lingkungan. Beberapa teori tentang etiologi depresi antara lain teori

Depresi pada usia lanjut lebih sulit dideteksi karena 1). penyakit fisis yang diderita sering mengacaukan gambaran depresi, antara lain mudah lelah dan penurunan berat

neurobiologi yang menyebutkan bahwa faktor genetik belperan. Kemungkinan terjadinya depresi pada saudara

badan, 2). usia lanjut sering menutupi rasa sedihnya dengan justru menunjukkan dia lebih aktif, 3). kecemasan, histeria dan hipokondria yang sering merupakan gejala depresi justru sering menutupi depresinya dan 4). masalah sosial sering membuat depresi menjadi lebih rumit. Diperkirakan sampai 40Yo depresi pada usia lanjut tidak terdiagnosis karena 1). dokter, pasien maupun keluarga mengira gejala depresi adalah normal pada usia lanjut, 2).

kembar mono zigot adalah 60-80% sedangkan pada saudara kembar heterozigot adalah 25 -3 5%. Freud dan Karl Abraham berpendapat bahwa pada proses berkabung akibat hilangnya obyek cinta (orang

maupun obyek abstrak seperti status sosial) dapat terintrojeksikan ke dalam individu sehingga menyatu atau merupakan bagian dari individu itu. Obyek cinta yang hilang bisa berupa kebugaran yang tidak muda lagi,

kemunduran kondisi

fisik akibat berbagai kondisi

gambaran depresi pada usia lanjut berbeda dari yang muda dalam penggunaan kriteria ICD-10 maupun DSM-IY 3).

polifarmasi dan adanya komorbiditas.

multipatologi, kehilangan fungsi seksual, dan lain-lain.

Istilah komorbiditas digunakan untuk menyatakan

Seligman berpendapat bahwa terdapat hubungan antara kehilangan yang tak terhindarkan akibat proses penuaan

adanya dua atau lebih penyakit pada seorang pasien pada waktu yang sama. Pada pasien usia lanjut sering ditemukan

847

DEPRESI PADA PASIEN USIA LAT{JUT

dua atau lebih penyakit fisis (adanya multipatologi) dan

tidak jarang dijumpai kelainan fisis bersamaan (komorbiditas) dengan gangguan psikis seperti depresi.

Komorbiditas antara dua penyakit dapat merupakan hubungan sebab akibat dan dapat pula saling memperberat. Diagnosis depresi yang menyefiai atat bersama-sama dengan penyakit fisis tidak mudah karena tampilan klinisnya sering tidak sesuai dengan kriteria diagnosis yang ada dalam DSM-IV maupun PPDGJ-IIL

Gejala depresi pada usia lanjut sering tumpang tindih dengan komorbiditas penyakit medis lain, dimana depresi

geriatri sering menonjolkan gejala somatiknya dibandingkan gejala depresinya sendiri. Penyakit yang sering te{adi bersamaan dengan depresi

antara lain diabetes melitus, hipertensi, gagal jantung, penurunan fungsi hepar dan ginjal, penyakit Parkinson, penyakitAlzheimeq strok, artritis. Penyakit serebrovaskular merupakan predisposisi dan presipitasi sindrom depresi. Infeksi virus, endokrinopati seperti kelainan tiroid dan paratiroid, serta keganasan seperti limfoma dan karsinoma pankreas kerap menimbulkan komplikasi depresi. Penderita hepatitis C lebih dari 5 tahun akan mengalami depresi sebanyak22,4% dan pasien-pasien yang berusia lebih dari 50 tahun secaraklinis lebih mangalami depresi dibandingkan dengan mereka yang berusia lebih muda. Pasien dengan

Menurut ICD-10 gejala-gejala depresi terdiri dari: Gejala utama,yakni:

. . .

perasaan depresif. hilangnya minat dan semangat mudah lelah dan lenaga hilang.

Gejalalain adalah:

. . . . . . . .

konsentrasi menurun. harga dirimenurun.

perasaan bersalah. pesimis terhadap masa depan. gagasan membahayakan diri (self harm) atau bunuh diri. gangguan tidur. gangguan nafsu makan.

memrrunnyalibido.

Tingkat Depresi

Gejala Utama

Ringan

2

Sedang

2

Berat

3

Gejala Lain

2 4 >4

3-

Fungsi

Keterangan

Baik Terganggu Sangat terganggu

Nampak distress Sangat dlsfress

penyakit ginjal stadium akhir yang menjalani dialisis, prevalensi untuk terjadi depresi dapat mencapai25,4%o. Diagnosis awal dan terapi segera terhadap depresi pada pasien geriatri dapat menaikkan kualitas hidup, status fungsional dan mencegah kematian dini. Ada beberapa cara pe,negakan diaposis depresi, menurut DSM-IV atau menurut ICD-I 0. Memrut DSM-IV laiteria depresi berat mencakup 5 atau lebih gejala berikut, dan telah berlangsung 2 minggu atau lebih, yakni:

. . . . . .

. . .

Perasaan depresi.

Hilangnya minat atau rasa senang, hampir setiap hari. Berat badan menurun atau bertambah yang bermakna. Insomnia atau hipersomnia, hampir tiap hari. Agitasi atau retardasi psikomotor, hampir tiap hari. Kelelahan (rasa lelah atau hilangnya energi), hampir tiap hari. Rasa bersalah atau tidak berharga, hampir tiap hari. Sulit konsentrasi. Pikiran berulang tentang kematian atau gagasan bunuh diri.

Gejala-gejala tersebut di atas harus menimbulkan gangguan klinis yang bermakna dalam kehidupan individu.

Dalam menegakkan diagnosis, gejala perasaan depresif dan atau hilangnya minat harus ada. Penggunaan DSM

IV

mungkin tidak spesifik, dan dianjurkan dengan skala Depresi Khusus Usia Lanjut (Geriatric Depression Scale).Gejala fisis yang tiba-tiba yang tidak sesuai atau tak dapat diterangkan, perlu dikaitkan dengan depresi sebagai penyebabnya.

Berdasarkan gejala di atas, pasien yang didiagnosis depresi dapat digolongkan dalam depresi ringan, sedang dan berat, sebagai berikut: Depresi pada usia lanjut dapat muncul dalam bentuk

keluhan fisis seperti insomnia, kelemahan umum, kehilangan nafsu makan, masalah pencernaan, dan sakit kepala.

Gallo dan Gonzales (2001), menuliskan bahwa untuk memudahkan diagaosis depresi dibuat jembatan keledai (mnemonic) SIGEM CAPS (sleep, interest, guilt, energl mood, concentration, appetite, psychomotor retardation or agitation, suicide). Ciri khas depresi pada usia lanjut anlaralain 1). terdapat fluktuasi yangjelas dari gejala,2). gejala depresi mungkin tertutup keluhan somatik, 3). adanya depresi yang berbarengan dengan demensia

mengganggu pengenalan dan pelaporan depresi, 4).terdapat hubungan yang erat antara penyakit fisis dan depresi. Pasien depresi bisa mengalami imobilisasi lebih lama

dan secara bermakna mengalami perburukan status fungsional lebih besar dibandingkan dengan penderita penyakit kronis saja. Depresi dapat memperberat penyakit medik, sebaliknya penyakit medik dapat memperberat depresi, oleh karena itu pengobatan antidepresi yang efektif mempunyai potensi untuk meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarganya serta dapat menurunkan biaya perawatan.

848

GERIII|IRI

PROGNOSIS Depresi pada geriatri sering berlanjut kronis dan kambuhkambuhan, ini berhubungan dengan komorbiditas medis,

kemunduran kognitif dan faktor-faktor psikososial. Kemungkinan kambuh cukup tinggi pada pasien dengan riwayat episode berulang, awitan pada usia lebih tua, riwayat distimia, sakit medis yang sedang terjadi, kian beratnya depresi dan kronisitas depresi.

Komplikasi yang dapat terjadi adalah rnalnukisi dan

pneumonia (akibat imobilitas atau berbaring terusmenerus) serta akibat sampingan dari pemberian obat antidepresi. Pasien yang depresi mempunyai risiko lebih tinggi untuk bunuh diri dari populasi lain. Sepertiga pasien usia lanjut melaporkan kesepian sebagai alasan utama untuk bunuh diri, sepuluh persen karena masalah keuangan. Kirakira 60%o yang melakukan bunuh diri adalah laki-laki, dan 75o/oyang mencoba bunuh diri adalah perempuan.

mampu dan harga diri. Pendekatan aspek sosial dalam penanganan pasien depresi meliputi antaralain diikutkan

dalam lembaga sosial kemasyarakatan yang berperan dalam mendukung sosialisasi dan mengatasi beberapa masalah sosial ekonomi (day care centres, senior club, self help groups, domiciliary care, dll); jangan lupa untuk melibatkan keluarga pada saat yang tepat.

Faktor-faktor yang memperberat depresi perlu diperhatikan, antara lain penyakit fisis, penyakit neurologis (didapat sekitar 50% depresi pasca strok yang timbulnya

dapat tertunda sampai 12 b:ulan, 30-50% penderita Alzheimer menderita depresi), obat-obatan, kehilangan (pasangan hidup, perpisahan teman dekat dan anggota keluarga, taraf kesehatanyafig menurun, kehilangan rasa

aman, kekuasaan/ jabatan dan kebebasan), serta kemiskinan sosial dan lingkungan.

lndikasi Pemberian Obat Antidepresi Secara umum indikasi pemberian obat antidepresi adalah

untuk gangguan depresi sedang sampai berat, episode depresi berulang, dan depresi dengan gambaran

PENATALAKSANAAN

Tujuan utama terapi adalah untuk mencegah relaps, rekuren dan kronisitas. Depresi pada geriatri dapat lebih efektif diobati dengan kombinasi terapi psikologis dan farmakologis disertai pendekatan interdisiplin yang menyeluruh. Terapi harus diberikan dengan memperhatikan

secara individual hardpan-harapan pasien, martabat (dignity) dan otonomi/ kemandirian pasien. Problem-problem fisis yang ada bersama-sama dengan penyakit mental harus diobati. Serhua teknik psikoterapi (psikodinamik, kognitif, perilaku, dll) dapat dipergunakan. Intervensi terapeutik untuk memacu kemandirian seperti melatih keterampilan sehari-hari dan peningkatan keamanan di rumah, terapi okupasi dan berbagai program rehabilitasi yang praktis serta pemberian informasi jangan dilupakan. Penanganan depresi pada usia lanjut memerlukan perhatian ekstra, segala kesulitan dan keluhan perlu

melankolia atau psikotik. Karena manifestasi klinis depresi pada usia lanjut seringkali tidak khas, maka menentukan indikasi pemberian obat antidepresi pada pasien geriatri seringkali merupakan pertimbangan klinis berdasarkan pada pengalaman klinis dalam mengenali tanda dan gejala

depresi yang terselubung.

Pemilihan Obat Antidepresi Pemilihan jenis obat antidepresi bagi pasien usia lanjut lebih merujuk pada prohl efek samping obat. Antidepresi generasi lama seperti golongan trisiklik dan golongan penghambat enzim monoamin oksidase, meskipun cukup efektif meredakan gejala-gej ala depresi namun mempunyai profil efek samping yang kurang menguntungkan untuk

digunakan pada pasien geriatri. Efek samping antikolinergik, hipotensi ortostatik, serta gangguan konduksi jantung, dapat menjadi beban tambahan bagi

didengarkan dengan sabar. Karena ketidaksabaran terapis

status fisis pasien geriatri, bahkan dapat memicu

dianggap sebagai penolakan (empati terapis sangat diperlukan karena penghormatan dan perhatian dapat

komplikasi medik yang serius. Profil efek samping ini

mengembalikan harga diri pasien). Strategi praktis pada terapi individu adalah :l).menyusun jadwal pertemuan

untuk menjaga kepatuhan dan

komitmen,

2).mengetengahkan topik pembicaraan tentang kehidupan sosial yang umum untuk membangun hubungan dokterpasien yang baik, 3). secara terfokus membicarakan masalah dan menetapkan sasaran realistis yang dapat dicapai untuk memberikan arah yang pasti bagi pasien, 4).mendorong pasien terlibat dalam kegiatan yang berarti dan berguna untuk meningkatkan kemampuan menikmati pengalaman yang menyenangkan, 5).menunjukkan kepedulian melalui sentuhan fisis yang wajar, 6).meninjau kembali apayang telah dicapai di masa lalu untuk membangkitkan rasa

terutama sangat menonjol pada obat-obat golongan tersier trisiklik (amitriptilin, imipramin) sehingga obat-obat ini

kurang dianjurkan penggunaannya pada usia lanjut. Preparat sekunder trisiklik (desipramin, nortriptilin) masih cukup aman dan efektifuntuk digunakan pada usia lanjut.

Antidepresi generasi baru bekerja pada reseptor susunan saraf otak, bersifat lebih selektif dan spesifik sehingga profil efek sampingnya lebih baik. Termasuk dalam kelompok ini adalah Serotonin Selective Reuptake

Inhibitor/SSRI Qfluoxetin, sertralin, paroksetin, fluvoksamin, sitalopram), Serotonin Enhancer (tianeptin), Reversible MAOIs (moclobemide), antidepresi lainnya (trazodone, nefazodone, mirtazepirt, venlafaksin). Profil efek samping yang baik akan mengurangi risiko komplikasi

849

DEPRESI PADA PASIEN USIA LANJUT

dan memperbaiki kepatuhan pasien. Oleh sebab itu saat ini pemilihan antidepresi lini pertama untuk pasien geriatri mulai bergeser ke generasi baru. Saat ini golongan SSRI merupakan obat antidepresi yang dianjurkan sebagai lini pertama pengobatan depresi pada usia lanjut. Dari golongan SSRI, sitalopram dan

sertralin dianggap paling aman karena kedua obat ini sangat sedikit dimetabolisme oleh isoenzim cytochrom P450, sehingga mengurangi risiko interaksi obat yang merugikan. Efek samping SSRI umumnya berkaitan dengan keluhan serotoninergik seperti sakit kepala, mual, diare, insomnia, dan agitasi psikomotor. SSRI juga dapat menimbulkan efek samping ekstrapiramidal khususnya pada pasien depresi

dengan komorbiditas penyakit saraf. Salah satu efek samping berbahaya dari SSRI adalah Central Serotonine Syndrome, yang dapat timbul bila digunakan bersama obatobat yang dapat memacu transmisi serotonin, seperti MAOIs dan obat-obat dekongestan (misalnya: phenylpr op ano I amin e). P enggunaan fl uvoksamin bers ama teofilin harus dihindari karena dapat menyebabkan takikardi supraventrikular yang serius. Pertimbangan lain dari pemilihan obat antidepresi adalah tampilan gejala-gejala klinis yang akan menjadi bagian dari target terapi. Pasien dengan keluhan insomnia dapat dipilihkan preparat antidepresi yang bersifat sedatif kuat seperti mirtazepinatau trazodone. SSRI dan tianeptin bersifat non-sedatif dan dikatakan efektif memperbaiki

keluhan gangguan kognitif pada pseudodemensia. Trazodone baik untuk mereka dengan keluhan disfungsi seksual, tetapi hati-hati terhadap efek samping hipotensi

ortostatik. Pemberian antidepresi dimulai dengan dosis rendah,

dinaikkan perlahan-lahan (start low and go slow). Pengobatan antidepresi dibedakan atasliga fase, yaitu: . Fase akut yang berlangsung antara6-12 minggu. Pada tahap ini dosis optimal obat untuk memperbaiki gejala depresi diharapkan telah tercapai. . Tahap kedua disebut sebagai fase lanjutan yakni dosis optimal dipertahankan selama 4 sampai dengan 9 bulan untuk mencegah terjadinya relaps. . Tahap berikutnya disebut sebagai terapi rumatan yang dapat berlangsung hingga satu tahun atau lebih. Terapi rumatan diberikan terutama untuk gangguan depresi dengan riwayat episode berulang. Beberapa penelitian

terakhir meneguhkan anjuran pemberian obat antidepresi pada pasien geriatri sampai minimal satu tahun karena terbukti menurunkan risiko relaps maupun rekurens dibandingkan apabila hanya diberikan sampai 6

bulan.

Terapi Elektrokonvulsi (ECT) Untuk pasien depresi yang tidak bisa makan dan minum, intoleransi terhadap efek samping obat antidepresi atau

gagal terapi, kecenderungan tidak patuh minum obat, berniat bunuh diri atau retardasi hebat maka ECT diberikan

l-2kali seminggu pada pasien rawat inap, unilateral untuk mengurangi problem memori. Terapi ECT diberikan sampai ada perbaikan mood (sekitar 5-1 0 kali), dilanjutkan dengan obat antidepresi untuk mencegah kekambuhan. Terapi ini masih efektif dan aman (kematian kurang dari I per 10.000) bagi depresi mayor, angka remisi lebih dari 90%o detgan efek samping paling sedikit (kemunduran ingatan, bingung/ confusion). Olahraga temy atabermanfaat dalam tatalaks ana depresi

namun efeknya lambat, dan hasil nampak sesudah

16

mmggu.

Nutrisi sangat perlu diperhatikan, karena penderita depresi sangat sering mengalami malnutrisi, jika perlu dipasang NGT (makanan lewat sonde). Komplikasi depresi yang dapat te{adi adalah malnutrisi dan pneumonia (akibat imobilisasi dan berbaring terus). Dalam mengelola pasien depresi perlu diingat beberapa hal yang berkaitan dengan edukasi, yakni: 1). pasienjangan

menghentikan obat tanpa instruksi dokter, 2). ada jarak waktu untuk sembuh (membutuhkan waktu) sekitar 1-2 minggu sesudah obat diminum, 3). terangkan tentang efek samping yang mungkin te{adi, 4) olahraga dan psikoterapi adalah hal yang sangat menunjang kesembuhan.

Perawatan Lanjut dan Asuhan Rumah (Home Care) Setelah terdapat perbaikan selama 6 bulan, biasanya pasien

mempunyai sedikit risiko untuk episode baru depresi (kambuh). Pengobatan antidepresi harus dilanjutkan sedikitnya 6 bulan lagi (fase lanjutan). Pengobatan ini digunakan untuk mencegah kekambuhan. Pasien dengan

risiko tinggi untuk kambuh harus mendapat pengobatan berkelanjutan untuk sedikitnya l-2 tahtn, antidepresi yang dapat dipakai antara lain serhalin, fluoxetin danparoxetin. Pelayanan kesehatan asuhan rumah bagi usia lanjut

adalah salah satu unsur pelayanan kesehatan yang ditujukan untuk kesehatan perorangan ata:u kesehatan keluarga di tempat tinggal mereka dalam segi promotif,

rehabilitatif, kuratif, dalam upaya mempertahankan kemampuan individu untuk mandiri secara optimal selama mungkin. Asuhan rumah bagi para usia lanjut merupakan

bagian yang tidak terpisahkan dari perawatan dalam menghadapi kondisi tubuh yang makin rapuh atau sakit kronik. Upaya penyelenggaraan asuhan rumah yang dikoordinasikan oleh rumah sakit merupakan upaya yang secara ekonomis layak sebagai altematif lain dari perawatan

di RS sejauh pertimbangan-pertimbangan

medis,

lingkungan sosial dan aspek-aspek psikologik dapat te{aga secara cocok dan serasi. Kunjungan rumah oleh seorang

dokter dan atau paramedis sebagai satu tim amat bermanfaat bagi penderita karcna dapat meningkatkan pemahaman menyeluruh penderita dan akan dapat

8s0

memberikan pilihan terbaik untuk penderitayang dirawat,

GERI'TIRT

REFERENS!

selain dapat meningkatkan kepuasan penderita yang akhirnya akan mempercepat proses perbaikan. Idealnya asuhan rumah dilaksanakan oleh suatu tim dengan melibatkan dokter keluarga, bila diperlukan dokter spesialis, ahli gizi,paramedis, care giver (pramuwerdha),

relawan usia lanjut, dan lain-lain dengan tujuan meningkatkan kualitas hidup usia lanjut, sedang tujuan khususnya adalah: l). menekan serendah mungkin biaya perawatan kesehatan (penghematan biaya pemondokan di RS), 2). mengurangi frekuensi hospitalisasi dan memperpendek lama perawatan di rumah sakit setelah fase akut, 3). meningkatkan usaha promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, 4). melakukan pence-gahan primer, sekunder dan tersier misalnya melaksanakan imunisasi (in-

fluenza dan pneumonia), melakukan penatalaksanaan paliatif penderita dengan keganasan, serta memperlambat / mencegah timbulnya gangguan fungsi tubuh (disabil-

l/y)

sehingga penderita dapat mempertahankan otonominya (dititikberatkan pada kemampuan ADL dan IADL) selama mungkin. Keuntungan/manfaat program lainnya dari asuhan rumah ini bagi pasien depresi dan keluarganya adalah mengurangi stres akibat perawatan di RS dan pasien lebih mudah berkomunikasi dengan orangorang sekitarnya; serta memberikan suasana yang lebih nyaman dan akrab bagi pasien.

KESIMPULAN Depresi pada pasien geriatri sulit didiagnosis antara lain karena gejalatya tidak khas, dan keluarga pasien maupun dokter acap kali tidak mewaspadai kondisi ini. Kondisi multipatologi selain menyulitkan pengenalan gej ala dini, juga merupakan faktor risiko penting selain polifarmasi, obat-obat tertentu, rasa kehilangan dan berbagai faktor lain. Penatalaksanaan meliputi psikoterapi suportif pada tahap ringan dan obat antidepresi untuk depresi sedang sampai berat. Terapi elektrokonulsi masih ada tempatnya terutama pada depresi berat. Keluarga amat penting perannya jika dilibatkan pada saat yang tepat. Asuhan rumah juga dapat memberikan alternatif solusi lain yang lebih mendekatkan pasien pada suasana 'rumah'.

Apfeldorf WJ, Alexopoulos GS. Late-life mood disorders. [n: Hazzard WR, Blass JP, Halter JB, Ouslander JG Tinetti ME, eds. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. New York: McGrawHill; 2004.p. 1443-1457. Damping CE. Depresi pada pasien geriatri: Apa kekhususannya. Temu Ilmiah Geriatri ke-2. Jakarta: PIP FKUI; 2003.p. 107-9. Dharmono S. Pertimbangan pemilihan obat antidepresan pada pasien geriatri. Temu Ilmiah Geriatri ke-2. Jakarta: PIP FKUI; 2003.p

123-28. Evers M.M. Marins D.B. Mood disorder effective management of major depressive disorder in the geriatric patient. Geriatric, 2002; 57(10): 36-40. quiz. Gallo, J, J; Gonzales, J. 2001 Depression and other mood disorders. in: A, M, Adelman; M, R Daly; B, D, Weiss (eds): 20 problems in Geriatrics Laksmana (1996); Pieper (20M); Passik & Kirsh (2004); Paulsen (2004.b).

Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB. Diagnosis and management of depression. In: Essentials of clinical geriatrics. 4ed. New York :McGraw-Hi11; .p.1999: 154-80. Kaplan, H.I., Saddock, B.J., Mood disorder, comprehensive Textbook of Psychiatry, 7'l ED. William & Wilkins. 2000. Katon, W; Clechanowski. Treatment of depression I-II. Up to date.2004. Kemala Sari N. Wibisono S. Survey on depression among elderly populations in Buru Island, Maluku. Acta Medi Indones. 2003;4: t70-7 s. Kraus M.R., Csef, A.S.H., Scheurlen, M., Faller H., 2000, Emotional State, Coping styles, and somatic variables in patients with chronic hepatitrs C, Psychomatics 2000; 4l: 377-384. Krishnan K.R., Deleong W., Kraemer H., et al, , Comorbidity of depression with other medical diseases in elderly, Biologycal Psychiatry, 2002;56 (6): 559-88. Mudjaddid E. Depresi dan komorbiditasnya pada pasien geriatri. Temu Ilmiah Geriatri ke-2. Jakarta: PIP FKUI; 2003.p. 113-5. Montano C.B.Primary case issues related to the treatment of depression in elderly joumal of clinical psychiafy, 1999; 60 Suppl 20: 45-51. Nelson J.C. Diagnosing and treatting depression in elderly, Journal of Clinical Psychiatry.2001 Nuhriawangsa,

I.

Penatalaksanaan depresi yang rasional pada lansia.

Naskah Lengkap Temu Ilmiah Nasional

I

dan Konferensi Kerja

III

PERGEMI. Semarang: Badan Penerbit UNDIP; 2002. p. 689-7 02. O'Connor D.W., Rosswame R., Bruce A., , Depression in primary care 2'. geteral practitioners' recognition of major depression in elderly patient, International Psychogeriatric, 2001; 13 (3): 367

-'7

4.

Paradiso S., Hermann B.D., Blumer D., et al. Impact of depresses mood on neuropsychological status in temporal lobe epilepsy, J Neurol Neurosurg Psychiatry 20011'70: 180-185. Periyakoil V.S., Hallenbeck J., Indentiffing and managing prepatory

133 PENYAKIT PARKINSON Rejel{ Andayani Rahayu

PENDAHULUAN

inklusi sitoplasmik eosinofilik yang disebut Lewy bodies.

Penyakit parkinson (PP) adalah suatu kelainan fungsi otak

tremor waktu istirahat, kekakuan, bradikinesia, dan hilangnya refleks postural akibat penurunan kadar

Parkinsonism adalah suatu sindrom yang ditandai oleh

yang disebabkan oleh proses degeneratif progresif

dopamin dengan berbagai macam sebab. Sindrom ini

di sel-sel substansia nigra pars compacta (SNc) dan karakteristik ditandai dengan tremor waktu istirahat, kekakuan otot dan sendi (rigidity),kelambanan gerak dan bicara (bradikinesia), dan instabilitas posisi tegak Qtos tural ins tability). Prevalensi PP di Amerika Serikat berkisar l% jumlah penduduk, meningkat dari0,6 yo pada usia 60-64 tahun menj adi3 ,5 Yo pada umur 85-89 tahun. PP dapat mengenai semua usia, tapi lebih sering pada usia lanjut. Dengan perawatan yang baik penderita PP dapat bertahan hidup dengan baik lebih sehubungan dengan proses menua

sering disebut sebagai Sindrom Parkinson. Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka Sindrom Parkinson (SP) diklasifftasikan sebagai berikut:

.

.

dari 20 tahun. PP dimulai perlahan, tidak disadari, dan secara berangsur-angsur memburuk. Gejala seperti tremor waktu

Primeratauidiopatik:

-

Sekunderatauakuisita: - timbul setelah terpajan suatu penyakit/zat

-

istirahat awalnya hanya muncul kadang-kadang, menjadi memberat dan menetap saat ada stres fisik maupun psikis. Penyebab PP sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, tetapi beberapa penelitian terhadap anak kembar monozigot menunjukkan bahwa terdapat faktor genetik yang mendasari terjadinya PP. Faktor lain yang juga

Penyebab tidak diketahui sebagian besar merupakan Penyakit Parkinson adaperan toksin yang berasal dari lingkungan adaperan faktor genetik, bersifat sporadis

infeksi dan pasca infeksi otak (ensefalitis) terpapar kronis oleh toksin seperti L-methyl-4p h e ny I - l, 2, 3, 6 I etr a hy dr opyr i dine (MPTP), Mn (mangan), CO (karbon monoksida), sianida, dan lainlain.

-

menjadi penyebab proses degenerasi ini antara lain proses menua otak, stres oksidatif, terpapar pestisida/herbisida atau anti jamur cukup lama, infeksi, kafein, alkohol, trauma kepala, depresi, dan merokok.

.

efek samping obat penghambat reseptor dopamin (sebagian besar obat anti psikotik) dan obat yang menwunkan cadangan dopamin (reserpin) pasca strok (vaskular) Iain-lain: hipotiroid, hipoparatiroid, tumor/trauma otak, hidrosefalus bertekanan normal

SindromParkinsonPlus: Gejala Parkinson timbul bersama gejala neurologi lain seperti: progressive supraneural palsy, multiple systern

DEFINISI DAN KLASIFIKASI

atrophy, cortical-basal ganglionic degeneration,

Penyakit Parkinson merupakan 80Yo dari kasus-kasus

P arkins on-dernentia-AlS complex of Guam, pro gres s ive

Parkinsonism. Terdapat dua istilah yang harus dibedakan yaitu Penyakit Parkinson dan Parkinsonism:

palidal atrophy, dffise Lewy bofu disease (DLBD).

. Kelainan Degeneratif Diturunkan (heredodegenerative disorders)

Penyakit Parkinson adalah bagian dari Parkinsonism yang secara patologis ditandai oleh degenerasi ganglia basalis terutama substansia nigra pars compacta disertai adanya

Gejala Parkinsonism menyertai penyakit-penyakit yang

diduga berhubungan dengan penyakit neurologi lain

851

852

GERI'IIRI

yang faktor keturunan memegang peran sebagai etiologi, seperti: PenyakitAlzheimer, Penyakit Wilson, Penyakit

Hutington, Demensia frontotemporal pada kromosom l7q2l, X-linked dystonia parkinsonism (di Filipina disebut lubag)

ETIOLOGI PENYAKIT PARKINSON Sampai saat ini penyebab kematian sel-sel SNc belum diketahui dengan pasti. Beberapa penelitian pada penderita PP baik penelitian berdasarkan autopsi pasien yang sudah meninggal dan penelitian epidemiologis, maupun penelitian pada hewan primata yang dibuat menderita PP, menghasilkan beberapa dugaan penyebab PP seperti tersebut di bawah ini:

Umur (Proses Menua) Tidak semua orang tua akan menderita PP, tetapi dugaan adanya peranan proses menua terhadap terjadinya PP didasarkan pada penelitian-penelitian epidemiologis tentang kejadian PP (evidence based). Ditemukan angka kejadianPP padausia 50 tahun diAmerika lO-l2per 100.000 pendudulg meningkat manjadi200-250 per I 00.000 penduduk pada usia 80 tahun. Pada penderita PP terdapat suatu tanda reaksi mikroglial pada neuron yang rusak dan tanda ini tidak

terdapat pada proses menua yang normal, sehingga disimpulkan bahwa proses menua merupakan faktor risiko yang mempermudah terjadinya proses degenerasi di SNc tetapi memerlukan penyebab lain (biasanya multifaktorial) untuk tefadinya PP.

Ras

Angka kejadian PP lebih linggi pada orang kulit putih dibandingkan kulit berwarna.

Faktor Genetik Ditemukan 3 gen yang menjadi penyebab gangguan degradasi protein dan mengakibatkan protein beracun tak dapat didegradasi di ubiquitin-proteasomal pathway.

Kegagalan degradasi

ini menyebabkan peningkatan

apoptosis di sel-sel SNc sehingga meningkatkan kematian sel neuron di SNc. Inilah yang mendasari terjadinya PP sporadik yang bersifat familial. Pada penelitian didapatkan kadar sub unit alfa dari proteasome 20S menunrn secara bermakna pada sel neuron SNc penderita PP, dibandingkan

Cedera Kranioserebral Prosesnya belum jelas. Trauma kepala, infeksi, dan tumor

di otak lebih berhubungan dengan Sindrom Parkinson daripada PP.

Stres Emosional Diduga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya

PP.

dengan orang normal, demikian juga didapatkan penurunan sekitar 40oh 3 komponen (chymotriptic, trytic dan postacidic) dari proteasome 265 pada sel neuron SNc penderita PP.

Peranan faktor genetik juga ditemukan dari hasil penelitian terhadap kembar monozigot (MZ) dandizigot (DZ), dimana angka intrapair ioncordance padaMZ ja:uh lebih tinggi dibandingkan DZ.

PATOFISIOLOGI PENYAKIT PARKINSON Secara umum dapat dikatakan bahwa Penyakit Parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamin akibat kematian nenron di substansia nigrapars compacta (SNc) sebesar 40-50% yarydisertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies) dengan penyebab multifaktor.

Substansia nigra (sering disebut sebagai black

Faktor Lingkungan Faktor lingkungan sebagai penyebab terjadinya PP sudah diteliti sejak 40 tahun yang lalu, sebagian setuju bahanbahan beracun seperti carbon disuffide, manganese, dan

substance), adalah suatu regio kecil di otak(brain stem) yang terletak sedikit di atas medula spinalis. Bagian ini menjadi pusat kontroVkoordinasi dari seluruh pergerakan. Sel-selnya menghasilkan neurotransmiter yang disebut

pelarut hidrokarbon yang menyebabkan Sindrom

dopamin, yang berfungsi untuk mengatur seluruh

Parkinson; demikian juga pasca ensefalitis. Pada penelitian selanjutnya ternyata parkinsonism yang terjadi bukan PP. Saat ini yang paling diterima sebagai etiologi PP adalah

pergerakan otot dan keseimbangan badan yang dilakukan

proses stres oksidatif yang terjadi di ganglia basalis, apapun penyebabnya. Berbagai penelitian telah dilakukan

terutama dalam mengatur pergerakan, keseimbangan dan

antara lain peranan xenobiotik (MPTP), pestisida/ herbisida, terpapar pekerjaan terutama zat kimia seperti bahan-bahan cat dan logam, kafein, alkohol, diet tinggi

Pada PP sel-sel neuron di SNc mengalami degenerasi, sehingga produksi dopamin menurun, akibatnya semua fungsi neuron di sistem saraf pusat (SSP) menurun dan

protein, merokok, trauma kepala, depresi dan stres;

menghasilkan kelambanan gerak (bradikinesia),

semuanya menunjukkan peranan masing-masing melalui

kelambanan bicara dan berpikir (bradifrenia), tremor, dan kekakuan (rigiditas).

jalan yang berbeda dapat menyebabkan PP maupun Sindrom Parkinson baik pada penelitian epidemiologis maupun eksperimental pada prim4ta.

oleh sistem saraf pusat. Dopamin diperlukan untuk komunikasi elektrokimia antara sel-sel neuron di otak refleks postural, serta kelancaran komunikasi (bicara).

Hipotesis terbaru proses patologi yang mendasari proses degenerasi neuron SNc adalah stres oksidatif. Stres

8s3

PENYAKITPARKINIiON

oksidatif menyebabkan terbentuknya formasi oksiradikal, seperti dopamin quinon yang dapat bereaksi dengan alfa sinuklein (disebut protofibrils). Formasi ini menumpuk, tidak dapat di degradasi oleh ubiquitin-proteas omal pathway, sehingga menyebabkan kematian sel-sel SNc. Mekanisme patogenik lain yang perlu dipertimbangkan antaralain: . Efek lain dari stres oksidatif adalah terjadinya reaksi antara oksiradikal dengan nitric-oxide Q.{O) yang menghasilkan perorynitric radical. . Kerusakan mitokondria sebagai akibat penurunan

1

3.

Trauma kepala Strok

PSP

obat Adanya rigiditas satu sisi dengan atau

MSA

tanpa distonia, apraksia,

4

terdapat gaya berjalan jatuh atau kaku - Disfungsi otonom yang bukan karena obat - Mengeluarkan air liur terus - Demensia awal atau halusinasi karena memakai obat - Distonia yang diinduksi oleh levodopa Neuroimaging (MRl atau CT-scan) terdapat - lnfark lakunar

-

CT-scan,MRl, dan PET atas indikasi untuk menyingkirkan diagnosis Sindrom Parkinson selain PP. Pada Tabel I dapat dilihat cara menyingkirkan diagnosis PP pada penderita parkinsonism yang didasarkan atas adanya suatu gejala.

5

Ventrikel-ventrikelserebral melemah

Atropi serebelar Atropi otak tengah atau bagian lain dari brain-stem Efek obat Responsjelek terhadap levodopa

CBGD CBGD, MSA PSP

MSA MSA DLBD MSA vaskular NPH

OPCA, MSA PSP, MSA

PSP, MSA,

Tidak ada diskinesia meskipun mendapat CBGD, vaskular, dosis tinggi

levodopa

NPH

sama seperti di atas

Keterangan: CBGD, cortical-basal gahglionic degenerationi DLBD, diffuse Lewy body disease, juga disebut demensia dengan Lewy Bodies; MSA, multiple system atrophy; NPH, normal pressure hydrocephalus; OPCA, olivo-ponto-cercbellar atrophy, mungkin merupakan suatu bentuk dari MSA; PSP, progressiye supranuclear

GAMBARAN KLINIS PENYAKIT PARKINSON Umum: l. Gej ala mulai pada satu sisi (hemiparkins onism), 2. Tremor saat istirahat, 3. Tidak didapatkan gejala neurologis lain,4. Tidak dijumpai kelainan laboratorik dan

palsy.

KRITERIA DIAGNOSIS KLINIS

postural tidak dijumpai pada awal penyakit

.

Khusus: gejala motorik pada penyakit parkinson (rRAP): . Tremor: l.Laten,2. Saat istirahat, 3. Bertahan saat

.

istirahat, 4. Saat gerak disamping adanya tremor saat istirahat Rigiditas Akinesia/bradikinesia : l. Kedipan mataberkrtrang, 2. Wajah seperti topeng, 3. Hipofonia (suara kecil), 4. Air liur menetes, 5. Akatisia/takikinesia (gerakan cepat tidak terkontol), 6. Mikrografia (tulisan semakin kecil),7 . Cara be{alan: langkah kecil-kecil, 8. Kegelisahan motorik (sulit duduk atau berdiri)

.

Hilangnya refleks postural. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan sejumlah kriteria: 1 Klinis, 2. Menurut

.

Koller,3. MenurutGelb

kehilangan

sensor kortikal Myoclonus

Diagnosis PP dibuat terutama berdasarkan gambaran klinis, di samping adanya pemeriksaan penunjang seperti

levodopa cepat dan dramatis, 7. Gangguan refleks

OPCA, MSA

Gerakan ke bawah okuler menghilang Adanya hipotensi postural tanpa makan

- Pada awal penyakit

radiologis, 5. Perkembangan lambat, 6. Respon terhadap

Pasca trauma Vaskular

Ataksia serebeler

kematian sel.

Perubahan akibat proses inflamasi di sel nigra, memproduksi sitokin yang memicu apoptosis sel-sel

Pasca ensefalitis Toxin-induced Drug-induced

Ditemukan gejala ini pada pemeriksaan flsik

-

DIAGNOSIS

.

lain Mendapat obat-obat neuroleptik Munculnya gejala parkinsonism mengikuti

elektron--elektron yang memperburuk stres oksidatif, akhirnya menghasilkan peningkatan apoptosis dan

SNc

. .

Riwayat dari : Ensefalitis Terpapar lama dengan CO, Mn atau toksin

2.

produksi adenosin trifosfat (ATP) dan akumulasi

.

Kemungkinan diagnosis

Kriteria

Didapatkan 2 dari3 tanda kardinal gangguan motorik: tremor, rigiditas, bradikinesia, atau Tigadai4 tanda motorik: tremor, rigiditas, bradikinesia, ketidakstabilan postural

KRITERIA DIAGNOSIS KLINIS MODIFIKASI Diagrosis possible (mungkin): adanya salah satu gejala: tremor, rigiditas, akinesia atau bradikinesia, gangguan refleks postural. Tanda-tanda minor yang membantu ke arah diagnosis

klinis possible: Myerson sign, menghilang atau berkurangnya ayunan lengan, refleks menggenggam. Diagnosis probable (kemungkinan besar): kombinasi dari dua gejala tersebut di atas (termasuk ganggoan

8s4

GERIIIIT

refleks postural), salah satu dari tiga gejala pertama

.

asimetris.

Diagnosis deJinite (pasti): setiap kombinasi 3 dari 4 gejala; pilihan lain: setiap dua dengan satu dari tiga gejala pertama terlihat asimetri s.

KRITERIA DIAGNOSIS KOLLER

. .

. . .

Protektif, dengan cara mempengaruhi patofisiologi penyakit Restoratif, mendorong neuron baru atau merangsang pertumbuhan dan fungsi sel neuron yang masih ada.

Pilihan terapi PP dapat dibagi menj adi beberapa pendekatan sebagai berikut:

. Didapatt2dari 3 tandakardinal gangguanmotorik: tremor istirahat atau gangguan refleks postural, rigiditas, bradikinesia yang berlangsung satu tahun atau lebih. Respons terhadap terapi levodopa yang diberikan sampai perbaikan sedang (minimal 1 .000 mglhari selama 1 bulan), dan lama perbaikan I tahun atau lebih.

Simtomatis, untuk memperbaiki gejala dan tanda penyakit

Meningkatkan transmisi dopaminergik dengan jalan: 1). meningkatkan konsentrasi dopamin pada sinap (levodopa), 2). memberikan agonis dopamin, 3). meningkatkan pelepasan dopamin, 4). menghambat

re-uptake dopamin, 5). menghambat degradasi

.

dopamin

Manipulasi neurotransmiter non-dopaminergik dengan obat-obat antikolinergik dan obat-obat lain yang dapat memodulasi sistem non-dopaminergik

KRITERIA DIAGNOSIS GELB

.

.

. Memberikan obat-obat neuroprotektif

Diagnosis possible (mungkin): adanya 2 dari 4 gejala

kardinal (resting tremor, bradikinesia, rigiditas, onset asimetrik). Tidak ada gambaran yang menuju ke arah diagnosis

parkinsonism yang muncul

.

.

Untuk menentukan berat ringannya penyakit, digunakan penetapan stadium klinis Penyakit Parkinson berdasarkan Hoehn and Yahr, sebagai berikut:

il

Unilateral, ekspresi wajah berkurang, posisi fleksi lengan yang terkena, tremor, ayunan lengan berkurang. Bilateral, postur membungkuk ke depan, gaya jalan lambat dengan langkah kecil-kecil, sukar membalikkan badan. Gangguan gaya berjalan menonjol, terdapat ketidakstabilan postural.

Disabilitasnya jelas, berjalan terbatas tanpa bantuan, lebih cenderung jatuh

Hanya berbaring atau duduk di kursi roda, tidak mampu berdiri/berjalan meskipun dibantu, bicara tidak jelas, wajah tanpa ekspresi, jarang berkedip.

untuk

menghambat progresivitas PP dengan mencegah

.

lain termasuk halusinasi yang tidak berhubungan dengan obat, demensia, supranuclear gaze palsy ata.u disotonom. Mempunyai respons yang baik terhadap levodopa atau agonis dopamin. Diagnosis probable (kemungkinan besar): terdapat tiga dari 4 gejala kardinal, tidak ada gejala yang mengarah ke diagnosis lain dalam 3 tahun, terdapat respon yang baik terhadap levodopa atau agonis dopamin. Diagnosis deJinile (pasti): seperti probable disertai dengan pemeriksaan histopatologis yang positif.

Memberikan terapi simtomatik terhadap gejala

.

kematian sel-sel neuron. Terapi pembedahan: ablasi (tallamotomy, pallidotomy), stimulasi otak dalam, brain grafting (bertujuan untuk memperbaiki atau mengembalikan seperti semula proses patologis yang mendasari).

Terapi pencegahar/preventif: menghilangkan faktor

risiko atau penyebab

PP.

Tujuan utama terapi PP adalah memulihkan disabilitas

fungsional yang disandang penderita. Biasanya penatalaksanaan dilakukan secara komprehensif baik dengan obat (langkah-langkah pemilihan obat seperti terlihat pada Gambar 1), perbaikan diet dengan mengruangi asupan protein sampai 0,5-0,8 gram/kg BB per hari, terapi

fi.sik berupa latihan teratur untuk mempertahankan penderita tetap dapat berjalan. Untuk dapat memahami pemilihan terapi obat kita perlu mengetahui proses degradasi dopamin (DA) di otak. Dopamin memiliki 2 reseptor yaitu Dl yang bersifat eksitatorik dan reseptor D2 yang bersifat inhibitorik. Dalam keadaan normal setelah DA dilepaskan dari ujung saraf nigrostriatum akan merangsang reseptor Dl dan D2. Keberadaan DA bila tak diperlukan lagi akan dikonversi sebagai:

. 3-}-methyldopa oleh enzim .

m e t hy I tr an

cathecol-)-

sfer as e (COMT).

3-4 dihydroxyphenilacetic acid oleh enzim monoamine oxidas e (MAO). (Lihat Gambar 2)

PENATALAKSANAAN PENYAKIT PARKINSON

TERAPIMEDIKAMENTOSA

Secara garis besar konsep terapi farmakologis maupun pembedahan pada PP dibedakan menjadi 3 hal yaitu:

penatalaksanaan PP, yaitu:

Ada 6 macam obat utama yang dipergunakan untuk

PE,ITTYAKIT

855

PANKINSON

Gambar 1. Algoritme manajemen penyakit parkinson

I

arur. 9l,II^=^

i

-

Gambar 2, Terapi farmakologis pada penyakit parkinson

856

GERIITIRI

Obat yang Mengganti Dopamin (Levodopa, Carbidopa) Obat ini merupakan obat utama, hampir selalu digunakan unhrk terapi PP. Di dalam badan levodopa akan diubah

sebagai dopamin. Obat

ini

sangat efektif untuk

menghilangkan gejala karena langsung mengganti DA yang produksinya sangat memrun akibat degenerasi SNc. Efek

samping obat

ini antara lain: mtal, dizziness, muntah,

hipotensi postural, dan konstipasi. Obat ini juga mempunyai

di bagian lain otak. Obat ini dulu ditemukan sebagai obat

antivirus, selanjutnya diketahui ternyata dapat menghilangkan gejala PP yaitu menurunkan gejalatremor, bradikinesia, dan fatigue pada awal PP dan dapat menghilangkan fluktuasi motorik (fenomena on-ofi) dan

diskinesia pada penderita PP lanjut. Dapat dipakai sendirian, atau sebagai kombinasi dengan levodopa atau agonis dopamin. Efek samping obat yang paling menonjol mengakibatkan mengantuk.

efek samping jangka lama yaitu munculnya diskinesia (gerakan involunter yang tidak dikehendaki seperti korea, mioklonus, distonia, akatisia). Ada kecenderungan obat ini memerlukan peningkatan dosis bila dipakai sendirian. Pada pemakaian obat ini juga dikenal fenomena "On-Off' atau disebut fenomena "wearing

off'.

Olehsebab itu pemakaian

obat ini harus dipantau dengan baik.

Agonis Dopamin (Bromocriptine, Pergolide, Prami pexole, Ropi ni roll Merupakan obat yang memptrnyai efek serupa dopamin pada reseptor Dl maupun D2. Di dalam badan tidak akan mengalami konversi, sehingga dapat digunakan sebagai obat tunggal pengganti levodopa. Biasanya dipakai sebagai

kombinasi utama dengan levodopa-carbidopa agar dapat memrrunkan dosis levodopa, sehingga dapat menghindari terjadinya diskinesia atau mengurangi fenomena o n-olf. Efek samping obat ini adalah: halusinasi, psikosis, eritromelalgia, edema kaki, mual, dan muntah. Sayangnya obat ini tidak dapat menghambat progresivitas PP.

Penghambat Catechol O-Methyl TransferaselGOMT (To I c a po

n

e, E nta c a po

n

e)

Ini merupakan obat yang masih relatif banr, berfungsi menghambat degradasi dopamin oleh enzim COMT dan

memperbaiki transfer levodopa ke otak. Mulai dipakai sebagai kombinasi levodopa saat efektivitas levodopa menurun. Diberikan bersama setiap dosis levodopa. Obat ini dapat memperbaiki fenomena on-off, memperbaiki kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari (AKS). Efek

samping obat berupa ganggloan terhadap fungsi hati, sehingga perlu diperiksa tes fungsi hati secara serial pada penggunanya. Obat ini juga menyebabkan perubahan warnaurin menjadi merah oranye. Titik tangkap keenam macam obat tersebut di atas dapat dilihat secara singkat pada Gambar 2 di bawah. Selain obat utama tersebut di atas sering juga diberikan obat-obat neuroprotektif seperti antioksidan dan obat-obat yang memperbaiki metabolisme otak. Obat lain yang sering digunakanjuga adalah obat anti depresi dan anti ansietas

(berdasarkan indikasi yang tepat).

Antikol i nergik (Benztropi n, Tri heksifen idil, Biperiden) Obat ini menghambat aksi neurotransmiter otak yang disebut asetilkolin. Obat ini membantu mengkoreksi keseimbangan antara dopamin dan asetilkolin, sehingga dapat mengurangi gejala tremor. Efek samping obat ini antara lain mulut kering, dan mata kabur. Sebaiknya jenis

obat ini tidak diberikan pada penderita PP yang berusia diatas 70 tahun; karena dapat menyebabkan pemrrunan daya ingat dan retensio urin pada laki-laki. Pen ghambat M onoami n oxruaselMAO (SetegrTine). Peranan obat ini untuk mencegah degradasi dopamin menjadi 3-4 dihydroxyphenilacetic di otak. Karena MAO dihambat maka umur dopamin menjadi lebih panjang. Biasa

dipakai sebagai kombinasi dengan gabungan levodopacarbidopa. Selain itu obat ini bisa berfungsi sebagai antidepresi ringan (merupakan obat pilihan pada PP dengan

gejala depresi menonjol). Efek samping obat penurunan tekanan darah dan aritmia.

ini berupa

Amantadin Berperan sebagai pengganti dopamin, tetapi bekerja

TERAPI PEMBEDAHAN Sebagian besar penderita PP dapat memperbaiki kualitas hidupnya dengan terap medikamentosa seperti tersebut di atas, tetapi ada juga yang tidak dapat dikendalikan dengan obat, terutama efek fluktuasi motorik (fenomena " on-off'). P ada saat " on" penderita dapat bergerak dengan mudah, terdapat perbaikan pada gejala tremor dan kekakuannya. Pada saat "off' penderita akan sangat sulit

bergerak, tremor dan kekakuan tubuhnya meningkat. Periode "off' adakalanya muncul sejak awal pemberian levodopa dan tak dapat diatasi dengan meningkatkan dosis, kejadian ini disebut"wearing off". Pemakai lama levodopa sering terkena efek samping obat berupa munculnya gejala diskinesia. "Wearing off' dan diskinesia yang terjadi pada penderita PP kadang-kadang tidak dapat dikontrol dengan terapi medikamentosa dan memerlukan terapi pembedahan. Ada beberapa tipe prosedur pembedahan yang dikerjakan untuk penderita PP, yaitu: Terapi ablasi lesi di otak. Termasuk dalam kategori ini adalah thalamotomy dan pallidotomy. Pada prosedur ini dokter bedah melakukan penghancuran di pusat lesi di

857

PEIYYAKITPARKINSiON

otak dengan menggunakan kauterisasi. Tidak ada instrumen apapun yang dipasang di otak setelah penghancuran tersebut. Efek operasi ini bersifat pernanen

berpegangan pada dinding. Hindari eskalator atau pintu

seumur hidup, dan sangat tidak aman untuk melakukan ablasi di kedua tempat tersebut. Pembedahan thallamic saat ini secara umum diterima untuk terapi definitif penderita tremor esensial, dan tidak lagi diterima sebagai terapi pada PP.

sekitar.

Terapi stimulasi otak dalam (deep brain stimalation, DB.y). Pada operasi ini dokter bedah menempatkan semacam elektroda pada beberapa pusat lesi di otak yang

dihubungkan dengan alat pemacunyayaug dipasang di bawah kulit dada seperti alat pemacu jantung. Pada prosedur ini tidak adapenghancuran lesi di otak,jadi relatif aman. Prosedur ini termasukbaru sehinggabelum ada data mengenai efek samping.

berputar. Saat berjalan di tempat ramai atat lantai tidak rata harus konsentrasi penuh jangan bicara atau melihat Seorang psikolog diperlukan untuk mengkaji fungsi

kognitif, kepribadian, status mental pasien

dan

keluarganya. Hasilnya digunakan untuk melakukan terapi rehabilitasi kognitif dan melakukan intervensi psikoterapi.

PENUTUP Penyakit parkinson (PP) merupakan bagian dari Sindrom Parkinson primer. Perlu dipahami perbedaal ar:tara keduanya. PP merupakan penyakit yang berhubungan dengan proses menua di otak yaifu merupakan proses

penelitian terhadap penderita yang telah menjalani

degenerasi di substansianigra pars compacta (SNc) disertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik Zewy bodies. Etiologi masih belum jelas benar, tetapi beberapa faktor risiko telah diidentifftasi menjadi penyebab PP, antara lain: umur, ras, genetik, lingkungan (berbagai macam zat toksik seperti MPTP, CO, Mn, alkohol, merokok, infeksi otak, diet tinggi protein, pestisida, dan lain-lain), cedera kepala, dan

prosedur ini memberikan harapan baikbagi penyembuhan

stres emosional.

Transpantasi otak (brain grafting). Prosedur ini menggunakan graft sel otak janin atau "autologous adrenal". Teknik operasi ini sering terbentur pada bermacam hambatan seperti ketiadaan donor, kesulitan prosedur baik teknis, maupun perijinan. Namun hasil-hasil

PP.

P atofi s iolo g i terj adiny a PP adalah berkurangnya neurotransmiter dopamin akibat kematian sel-sel neuron

TERAPI REHABILITASI

di SNc yang mengakibatkan gangguan motorik dan keseimbangan postural seperti tremor saat istirahat,

Rehabilitasi penderita PP sangat penting. Tanpa terapi rehabilitasi penderita PP akan kehilangan kemampuan aktivitas fungsional kehidupan sehari-hari (AKS). Latlhan yang diperlukan penderita PP meliputi latihan fisioterapi,

kelambanan gerak (bradikinesia), penurunan refleks postural, dan kekakuan (rigiditas). Diagnosis dibuat berdasarkan kriteria klinis dan menyingkirkan penyakit lain yang termasuk dalam sindrom Parkinson.

okupasi, dan psikoterapi. Latihan fisioterapi meliputi: latihan gelang bahu dengan tongkat, latihan ekstensi trunkus, latihan Frenkle untuk berjalan dengan menapakkan kaki pada tanda-tanda di lantai, latihan isometrik untuk otot kuadrisep femoris dan otot ekstensor panggul agar memudahkan menaiki tangga dan bangkit dari kursi. Latihan okupasi yang memerlukan pengkajian AKS pasien, pengkajian lingkungan tempat tinggal atau pekerjaan. Dalam pelaksanaan latihan dipakai berbagai macam strategi, antara lain:

Penatalaksanaan penderita PP ditujukan untuk meminimalkan disabilitas fungsional dan menghambat progresivitas penyakit. Terapi yang diberikan meliputi

Strategi kognitif, untuk menarik perhatian penuh/ konsentrasi, bicara jelas dan tidak cepat, mampu menggunakan tanda-tanda verbal maupun visual dan

Amin-Husni. Penyakit Parkinson, patofisiologi, diagnosis dan

hanya melakukan satu tugas kognitif maupun motorik.

Strategi geralq seperti bila akan berbelok saat berjalan gunakan tikungan yang agak lebar,jarak kedua kaki harus agak lebar bila ingin memungut sesuatu dari lantai.

Strategi keseimbangan : melakukanAKS dengan duduk atau berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar dan dengan

terapi medikamentosa, terapi bedah, dan terapi rehabilitasi.

Selain itu pendekatan terapi juga dilakukan melalui pencegahan, pengobatan, dan modifikasi faktor-faktor

risiko.

REFERENSI

wacana terapi. Dalam : Boedhi-Darmojo, Martono H, Andayani

R, dkk, ed; Naskah lengkap temu ilmiah nasional I dan konferensi kerja III Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI), Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2O02.p. 499-

5t4. BUPA. Parkinson's disease. www.parkinsons.org.uk/.

25

cited on March

7005

Carey E, Adler J. Parkinson's disease and essential tremor. In; Landefeld CS, Palmer RM, Johnson MA, et al, ed. Current Geriatric Diagnosis & Treatment. The Mc Graw-Hill Companies;

2004.p.88-99.

858

Fahn S. Parkinson's Disease and related disorders. In: Hazzard WR, Blass JP, Halter JB, et al, ed. Principles of Geriatric Medicine & Gerontology 5tr ed. New York: Mc Graw-Hill Companies ,Inc;

2003.p.1401-8 Elbaz A, Levegue C, Clavel J, et al. Cyp 206 polimorphism, pestiside exposure and Parkinson's disease. Ann Neurol. 2004; 55:430-4. Hoehn MM, Yahr MD. Parkinsonism: Onset, progression, and mor-

tality. Neurology. 1967 ;17 :427. Jankovic JJ. Therapeutic strategies in Parkinson's disease. In: Jankovic JJ, Tolosa E, ed. Parkinson's Disease and Movement Disorders 4h ed, Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2002.p. 116-41 McGeer P, Itagaki S, Akiyama H, et al. Rate of cell death in parkinsonism indicates active neuropathological process. Ann Neurol. 7988;24:57 4-6

Olanow CW, Tatton WG, Jenner P. Mechanisms of cell death in Parkinson's disease. In: Jankovic JJ, Tolosa E, ed. Parkinson's disease and movement disorders 4'h ed, Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2002.p. 38-53. Olanow CW, Tatton WG Etiology and pathogenesis of parkinson's Disease. Ann Rev Neurosci 7999;22:123-44. Poewe W, Wenning G. Levodopa in Parkinson's disease: mechanisms of action and pathophysiology of late failure. In: Jankovic JJ, Tolosa E, ed. Parkinson's Disease and Movement Disorders 4'h ed. Philadelphia: Lippincot Williams & Wilkins; 2002.p.

104-rt2.

GERIITIru

Silver DE, Ruggieri S. Initiating therapy for Parkinson's disease. Neurology 1998; 50(supp1 6): 518-22. Tanner CM, Aston DA. Epidemiology of Parkinson's disease and akinetic syndromes. Curr Opin Neurol 2000;13: 427-30. Tanner CM, Goldman SM, Ross GW. Etiology of Parkinson's disease. ln: Jankovic JJ, Tolosa E, ed, Parkinson's disease and movement disorders 4m ed, Philadelphia, Lippincot Williams & Wilkins:2002 : 90-9. Tagliati M, Alterman R, Shils J, et al. Surgical treatment for Parkinson disease. eMedicine. www.emedicine.com. Cited on March 25,

2005.

The National Parkinson Foundation USA. Treatment options. www.parkinson.org/siteipp.asp?. c=9dJFJLPwB&b:71 1 17 . cited on March 25, 2005. Worldwide Educator and Awarness for Movement Disorders. The substancia nigra in PD. www.wemove.org/parldefault'htm. Updated March 26,2005. Waters CH. Diagnosis and management of Parkinson's disease'2'd ed. Caddo: Profesional Communication,lnc, 1999.

Wijaya S. Rehabilitasi komprehensif pada penderita Parkinson' Dalam: Boedhi-Darmojo, Martono H, Andayani R, dkk, ed.

I dan Konferensi Kerja Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia (PERGEMI). Semarang:Badan Penerbit Universitas Diponegoro; 2002.p. 5I5 -

Naskah Lengkap Temu Ilmiah Nasional

III 9.

t34 IMOBILISASI PADA USIA LANJUT Siti Setiati, Arya Govinda Roosheroe

PENDAHULUAN

PENYEBAB IMOBILISASI

Imobilisasi merupakan salah satu masalah kesehatan yang cukup besar di bidang geriatri yang timbul sebagai akibat penyakit atau masalah psikososial yang diderita.

Berbagai faktor fisik, psikologis, dan lingkungan dapal

Di ruang rawat inap geriatri RSUPN Dr. Cipto

menyebabkan imobilisasi pada usia lanjut. Penyebab utama imobilisasi adalah adanya rasa nyeri, lemah, kekakuan otot, ketidakseimbaflgan, dan masalah psikologis. Rasa lemah

Mangunkusumo Jakarta pada tahun 2000 didapatkan prevalensi imobilisasi sebesar 33,6yo dan pada tahun

tidak digunakannya otot, anemia, gangguan neurologis

sering kali disebabkan oleh malnutrisi, gangguan elektrolit,

atau miopati. Osteoartritis merupakan penyebab utama kekakuan pada usia lanjut. Penyakit Parkinson, artritis reumatoid, gout, dan obat-obatan antipsikotik seperti haloperidol juga dapat menyebabkan kekakuan. Rasa nyeri, baik dari tulang (osteoporosis, osteomalasia, Pagetb

2001 sebesar 31,5%.

Imobilisasi didefinisikan sebagai keadaan tidak bergerak/tirah baring selama 3 hari atau lebih, dengan gerak anatomik tubuh menghilang akibat perubahan fungsi fisiologik. Di dalam praktek medik istilah imobilisasi digunakan untuk menggambarkan sebuah sindrom degenerasi fisiologis yang merupakan akibat menurunnya aktivitas atat deconditioning. Terdapat beberapa faktor risiko utama imobilisasi seperti kontraktur, demensia berat, osteoporosis, ulkus,

disease, metastase kanker tulang, trauma), sendi (osteoartritis, artritis reumatoid, gout), otot (polimalgia,

pseudoclaudication) atau masalah pada kaki dapat menyebabkan imobilisasi. Ketidakseimbangan dapat disebabkan karena kelemahan, faktor neurologis (shok,

gangguan penglihatan, dan fraktur merupakan beberapa faktor risiko utama imobilisasi.

kehilangan refleks tubuh, neuropati karena diabetes melitus, malnutrisi, dan gangguan vestibulosereberal),

Imobilisasi seringkali tidak dapat dicegah, namun

hipotensi ortostatik, atau obat-obatan (diuretik,

beberapa komplikasi akibat imobilisasi dapat dicegah.

antihipertensi, neuroleptik, dan antidepresan). Gangguan fungsi kognitif berat seperti pada demensia dan gangguan fungsi mental seperti pada depresi tentu

Perubahan pada beberapa sistem organ dan fungsi metabolik akan terjadi sebagai akibat imobilisasi. Perubahan-perubahan tersebut akan menimbulkan

sangat sering menyebabkan terjadinya imobilisasi. Kekhawatiran keluarga yang berlebihan atau kemalasan petugas kesehatan dapat pula menyebabkan orang usia lanjutterus menerus berbaring di tempattidurbaik dirumah maupun di rumah sakit. Efek samping beberapa obat dapat menyebabkan gangguan pada mobilisasi, namun biasanya tidak teridentif,rkasi oleh petugas kesehatan. Obat-obat hipnotik dan sedatif menyebabkan rasa kantuk dan ataksia yang mengganggu mobilisasi. Untuk itu kontrol teratur dan seksama terhadap obat-obat yang dikonsumsi oleh pasien sangat penting untuk dilakukan.

berbagai komplikasi yang akan memperberat kondisi dan

memperlambat proses penyembuhan serta dapat menyebabkan kematian. Upaya seperti mobilisasi dini

dapat dilakukan untuk mengurangi insiden dan mengurangi beratnya komplikasi imobilisasi, sehingga dapat mempercepat proses penyembuhan dan kualitas hidup pasien. Berikut ini akan dibahas masalah imobilisasi pada usia lanjut, berbagai komplikasi yang ditimbulkan serta upayaupaya pencegahannya.

859

860

PENGKAJ IAN PASIEN ]MOBILISASI Anamnesis riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik penting dilakukan dalam mengkaji pasien imobilisasi. Beberapa informasi penting meliputi lamanya menderita disabilitas

yang menyebabkan imobilisasi, penyakit yang mempengaruhi kemampuan mobilisasi, dan pemakaian obat-obatan untuk mengeliminasi masalah iatrogenesis yang menyebabkan imobilisasi. Adanya keluhan rasa nyeri penting untuk dikaji secara rutin karena mungkin dapat sebagai penyebab utama imobilisasi. Pengkajian faktor psikologis, seperti depresi dan rasa takut, serta pengkajian

GERIITIRI

faktor X dan merangsang akumulasi leukosit dan trombosit.

Sel endotel pembuluh darah belakangan ini tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang tidak berperan dan pasif di dalam proses koagulasi. Sebaliknya, berbagai perubahan yang terjadi di sel-sel endotel pembuluh darah akan mengubah sifat alamiah sel tersebut yakni yang semula bersifat antitrombotik menj adi bersifat trombotik, sehingga justru memudahkan terj adinya keadaan trombo sis. Gejala trombosis vena dalam timbul pada kurang dari separuh pasien dengan trombosis vena dalam. Gejala yang

timbul bervariasi, tergantung pada ukuran dan lokasi trombosis vena dalam, dapat berupa rasa panas, bengkak,

lingkungan penting untuk dilakukan. Pemeriksaan terhadap

kemerahan, dan rasa nyeri pada tungkai; sebagian besar

kulit penting dilakukan untuk mengidentifikasi adatya

trombosis vena dalam timbul hanya pada satu kaki; trombosis vena dalam pada betis menimbulkan gejala

ulkus dekubitus.

Status kardiopulmonal, khususnya volume intravaskular dan perubahan tekanan darah dan nadi akibat perubahan posisi penting untuk diketahui sebagai dasar

untuk penatalaksanaan imobilisasi. Pengkajian muskuloskeletal secara rinci seperti evaluasi kekuatan dan tekanan otot, gerakan sendi, serta adatya masalah pada kaki (lesi dan deformitas pada kaki) penting juga untuk

dilakukan. Selain itu, perlu juga diberikan perhatian terhadap pengkajian neurologis unhrk mengidentifikasi adanya kelemahan fokal, dan masalah persepsi serta sensor. Status imobilisasi pasien harus selalu dikaji secara terus-menerus.

KOMPLIKASI IMOBILISASI

hanyapada betis, sedangkan trombosis vena dalam pada paha menimbulkan gejala p adapaha dan atau betis. Untuk penapisan adanya trombosis vena dalam akhir-akhir ini dilakukan dengan pemeriksaan test D-dimer dan pletismografi. Sedangkan untuk diagnosis pasti trombosis vena dalam dapat digunakan pemeriksaan venografi, ultrasonografi, tomografi terkomputerisasi, dan dengan magnetic resonance imaging (l|4RI).

Emboli Paru Emboli paru dapat diakibatkan oleh banyak faktor seperti emboli airketuban, emboli udara, dan sebagainya. Emboli paru dapat menghambat aliran darah ke paru dan memicu refleks tertentu yang dapat menyebabkan panas yang mengakibatkan nafas berhenti secara tiba-tiba. Sebagian besar emboli paru disebabkan oleh emboli karena trombosis

Trombosis Trombosis vena dalam merupakan salah satu gangguan vaskular perifer yang penyebabnya bersifat multifaktorial, meliputi faktor genetik dan lingkungan. Terdapat tiga faktor yang meningkatkan risiko kombosis vena dalam yaitu adanya luka di vena dalam karena trauma atau pembedahan,

sirkulasi darah yang tidak baik pada vena dalam, dan berbagai kondisi yang meningkatkan risiko pembekuan darah. Luka di vena dalam karena pembedahan atau trauma

menyebabkan penglepasan beberapa substansi yang mengaktivasi sistem pembekuan. Darah yang tidak mengalir akan cenderung untuk mengalami pembekuan. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan sirkulasi darah tidak baik di vena dalam meliputi gagal jantung kongestif, imobilisasi lama (tidak berjalan atau bergerak), dan adanya gumpalan darah yang telah timbul sebelumnya.

Kondisi imobilisasi akan menyebabkan terjadinya akumulasi leukosit teraktivasi dan akumulasi trombosit yang teraktivasi. Kondisi tersebut menyebabkan gangguan pada sel-sel endotel dan juga memudahkan terjadinya trombosis. Selain itu, imobilisasi yang menyebabkan stasis akan menyebabkan timbulnya hipoksia lokal pada sel endotel yang selanjutnya akan menghasilkan aktivator

vena dalam. Berkaitan dengan trombosis vena dalam, emboli paru disebabkan oleh lepasnya trombus yang biasanya berlokasi pada tungkai bawah yang pada gilirannya akan mencapai pembuluh darah paru dan menimbulkan sumbatan yang dapat berakibat fatal. Emboli paru sebagai akibat trombosis merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada pasienpasien di rumah sakit, terutama pada pasien usia lanjut. Suatu penelitian yang dilakukan pada 617 pasien yang

mengalami imobilisasi menunjukkan adany a kej adian emboli paru s ebesar 27o/o, dimana sebagian besar kejadian emboli paru tersebut tidak terdiagnosis sebelum pasien meninggal. Emboli paru timbul pada lebih dari 300.000 orang setiap tahun di Amerika Serikat yang menyebabkan kematian paling sedikit 50.000 orang setiap tahun. Gejala emboli paru dapat berupa sesak napas, nyeri dada, dan peningkatan denyut nadi.

Kelemahan Otot Imobilisasi lama akan mengakibatkan atrofi otot dengan penurunan ukuran dan kekuatan otot. Penurunan kekuatan otot diperkirakan l-2 persen sehari. Untuk mengetahui pemrmnan kekuatan otot dapat juga dilihat dari ukuran

861

IMOBILISASI PADA USIA LANJUT

lingkar otot (mu s c I e c ir c t tmfe r e n c e). IJkur an lingkar otot tersebut biasanya akan menurun sebanyak 2,1-2lo/o. Kelemahan otot pada pasien dengan imobilisasi seringkali

terjadi dan berkaitan dengan penurunan fungsional, kelemahan, danjatuh. Terdapat beberapa faktor lainyang menyebabkan atrofi otot yaitu perubahan biologis proses menua itu sendiri, akumulasi penyakit akut dan kronik, serta

malnutrisi. Perubahan otot selama imobilisasi lama menyebabkan degenerasi serat otot, peningkatan jaringan lemak, serta fibrosis. Massa otot berkurang setengah dari pada uk-uran semula setelah mengalami 2 bulan imobilisasi. Massa otot sebagian besar menurun dari kaki bawah dan otot-otot tubuh.

Posisi imobilisasi juga berperan terhadap beratnya pengurangan otot. Imobilisasi dengan posisi meringkuk akan mengakibatkan pengurangan otot yang lebih banyak dibandingkan posisi imobilisasi terlentang (lurus).

Kontraktur Otot dan Sendi Pasien yang mengalami tirah baring lama berisiko mengalami kontraktur karena sendi-sendi tidak digerakkan. Akibatnya timbul rasa nyeri yang menyebabkan seseorang semakin tidak mau menggerakkan sendi yang kontraktur

tersebut. Kontraktur dapat terjadi karena perubahan patologis pada bagian tulang sendi, pada otot, atau pada jaringan penunjang di sekitar sendi. Penyebab kontraktur otot lainnya adalah spastisitas dan neuroleptik. Faktor posisi dan mekanik juga dapat menyebabkan kontraktur pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Kontraktur artrogenik seringkali disebabkan karena inflamasi, luka sendi degeneratif, infeksi, dan trauma. Kolagen sendi dan jaringan lunak sekitar akan mengerut. Kontraktur akan menghalangi pergerakan sendi dan mobilisasi pasif yang akan memperburuk kondisi kontraktur. Deteksi dini, pencegahan, dan penatalaksanaan penyebab kontraktur seperti penatalaksanaan inflamasi, nyeri, dan infeksi akan menurunkan risiko kontraktur atau mengurangi tingkat keparahan kontraktur. Metode yang biasa digunakan untuk mencegah kontraktur adalah mobilisasi sendi dini dengan penatalaksanaan nyeri yang sesuai serta positioning yang optimal dari ekstrimitas yang terlibat.

Osteoporosis Osteoporosis timbul sebagai akibat ketidakseimbangan antara resorpsi tulang dan pembentukan tulang. Imobilisasi lemyata meningkatkan resorpsi tulang, meningkatkan kadar kalsium serum, rnenghambat sekresi PTH, dan

inorganik dan organik tidak berubah. Konsentrasi kalsium, pospor, dan hidroksiprolin di urin meningkat pada minggu pertama imobilisasi. Kalsium tubuh total menurun hingga 4%o selama7 minggu imobilisasi. Suatu penelitian terhadap

170 usia lanjut strok dan 72 kontrol, mendapatkan imobilisasi meningkatkan kalsium serum dan berkorelasi negatif dengan indeks Barthel, yang menunjukkan bahwa imobilisasi meningkatkan resorpsi tulang. Didapatkan pula adanya penurunan kadar 1,25 (OH) 2D dan 25-OHD, sementara serum PTH tidak meningkat.

Ulkus Dekubitus Pasien imobilisasi umumnya tidak bergerak pada malam hari karena tidak adanya gerakan pasif maupun aktif. Skor aktivitas sakral pasien pada kondisi tersebut adalah nol gerakan perjam, yang mengakibatkan peningkatan tekanan pada daerah kulit yang sama secara terus menerus. Tekanan akan memberikan pengaruh pada daerah kulit sakral ketika dalam posisi berbaring. Aliran darah akan terhambat pada

daerah kulit yang tertekan dan menghasilkan anoksia jaringan dan nekrosis.

Jumlah tekanan yar,g dapat mempengaruhi mikrosirkulasi kulit pada usia lanjut berkisar artara 25 mmHg. Tekanan lebih dai 25 mmHg secara terus menerus pada kulit atau jaringan lunak dalam waktu yang lama akan menyebabkan kompresi pembuluh kapiler. Kompresi pembuluh darah dalam waktu lama akan mengakibatkan trombosis intra-arteri dan gumpalan fibrin yang secara pennanen mempertahankan iskemia kulit. Relief bekas tekanan pada keadaan tersebut mengakibatkan pembuluh

darah tidak dapat terbuka dat pada akhirnya akan terbentuk luka akibat tekanan. Luka akibat tekanan merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Faktor risiko timbulnya ulkus dekubitus adalah semua jenis penyakit dan kondisi yang menyebabkan seseorang terbatas aktivitasnya. Faktor-faktor risiko tersebut memperpanjang waktu tekanan ke kulit dan menurunkan resistensi jumlah tekanan. Faktor risiko yang sering pada usia lanjut adalah demam, kondisi koma, penyakit serebrovaskular, infeksi, anemia, malnutrisi, kaheksia, hipotensi, syok, dehidrasi, penyakit neurologis dengan paralisis, limfosit, imobilisasi, penurunan berat badan, kulit kering, dan eritema.

Hipotensi Postural

berperan pula pada turunnya vitamin D3 aktif. Faktor utama

Komplikasi yang sering timbul akibat imobilisasi lama pada pasien usia lanjut adalah penurunan efisiensi jantung, perubahan tanggapan kardiovaskular postural, dan penyakit tromboemboli. Hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sebanyak 20 mmHg dari posisi

yang menyebabkan kehilangan massa tulang pada

baring ke duduk dengan salah satu gejala klinik yang sering

imobilisasi adalah meningkatnya resorpsi tulang. Massa tulang menurun tetapi komponen rasio antara matriks

timbul adalah iskemia serebral, khususnya sinkop. Peningkatan denyut jantung lebih dari l0 kali/menit

produksi vitamin D3 aktif (1,25-(OH)2D). Selain itu, insufisiensi vitamin D3 inaktif (25-(OH)D) mungkin

862

menunjukkan adanya hipcitensi postural tipe simpatis sedangkan denyutjantung kurang dari 10 kalilmenit adalah tipe asimpatis. Pada posisi berdiri, secara nornal 600-800 ml darah

dialirkan ke bagian tubuh inferior terutama tungkai. Penyebaran cairan tubuh tersebut menyebabkan penurunan curah jantung sebanyak 20oh, pentrutan volume sekuncup jantung sebanyak 35Yo dan akselerasi frekuensi jantung sebanyak 30%o.Pada orartg normal sehat, mekanisme kompensasi menyebabkan vasokonstriksi dan

peningkatan denyrt jantung yang menyebabkan tekanan darah tidak menurun. Tekanan darah tidak berubah atau sedikit meningkat pada kondisi bangun (dari berbaring ke duduk) dengan tiba-tiba. Pada usia lanjut umumnya fungsi baroreseptor menurun. Tirah baring total selama paling sedikit 3 minggu akan mengganggu kemampuan seseorang untuk menyesuaikan posisi berdiri dari berbaring pada orang sehat, hal ini akan lebih terlihat pada pasien usia lanjut. Pada posisi baring, secara normal 600-800 ml volume plasmakembali ke paru-paru danjantung dan terjadi

peningkatan stimulasi baroreseptor, denyut jantung, volume sekuncup jantung, dan curah jantung. Pelepasan hormon antidiuretik berkurang selama minggu awal imobilisasi yang mengakibatkan diuresis dan penurunan volume plasma. Penurunan volume plasma mencapai 100/o selama 2 minggu pertama imobilisasi dan bisa mencapai 20% setelah itu.

Tirah baring lama akan membalikkan respons kardiovaskular normal menjadi tidak normal yang akan menghasilkan pemrmnan volume sekuncup jantung dan curah jantung. Curah jantung rendah mengakibatkan terjadinya hipotensi poshral. Gajala dan tanda hipotensi postural adalah penurunan tekanan darah sistolik dari tidur

ke duduk lebih dari 20 mmHg, berkeringat, pucat, kebingungan, peningkatan denyutjantung, letih, dan pada

keadaan berat dapat menyebabkan jatuh yang pada akhirnya akan mengakibatkan fraktur, hematoma jaringan lunak dan perdarahan otak.

Pneumonia dan lnfeksi Saluran Kemih Imobilisasi juga dikaitkan dengan terjadinya pneumonia dan infeksi saluran kemih. Akibat imobilisasi retensi sputum dan aspirasi lebih mudah terjadi pada pasien geriatri. Pada posisi berbaring otot diafragma dan interkostal tidak berfungsi dengan baik sehingga gerakan dinding dada juga menjadi terbatas yang menyebabkan sputum sulit keluar. Manakala kondisi ini dibarengi dengan daya pegas (recoil) elastik yang sudah berkurang (karena proses menua) yang mengakibatkan perubahan pada tekanan penutup saluran udara kecil, kondisi tersebut akan memudahkan usia lanjut untuk mengalami atelektasis paru dan pneumonia. Aliran urin juga terganggu akibat tirah baring yang kemudian menyebabkan infeksi saluran kemih lebih mudah

GERIITIRI

terjadi. Inkontinensia urin juga sering terjadi pada usia lanjut yang mengalami imobilisasi, yang umumnya disebabkan ketidalonampuan ke toilet, berkemih yang tidak sempurna, gangguan status mental, dan gangguan sensasi kandung kemih. Pengisian kandung kemih yang berlebihan

akan menyebabkan mengembangnya dinding kandung

kemih yang kemudian akan meningkatkan kapasitas kandung kemih dan retensi urin. Retensi urin ini akan memudahkan terjadinya infeksi saluran kemih dan bila dibarengi dengan hiperkalsiuria akan mengakibatkan terjadinya pembentukan batu ginjal kalsium. Bila hal ini dibiarkan, maka akan menurunkan fungsi saluran kemih bawah dan timbulnya hidronefrosis.

Gangguan Nutrisi (Hipoalbuminemia) Selain infeksi, imobilisasi ternyata juga berperan pada terjadinya hipoalbuminemia pada pasien usia lanjut yang menjalani perawatan di rumah sakit. Imobilisasi akan mempengaruhi sistem metabolik dan endokrin yang akibatnya akan terjadi perubahan terhadap metabolisme zat gizi. Salah satu perubahan yang terjadi adalah pada metabolisme protein. Kadar plasma kortisol lebih tinggi pada usia lanjut dengan imobilisasi dibandingkan dengan usia lanjut tanpa imobilisasi. Kadar plasma kortisol yang lebih tinggi mengubah metabolisme menjadi katabolisme sehingga metabolisme protein akan lebih rendah pada pasien usia lanjut dengan imobilisasi. Keadaan tidak beraktivitas dan imobilisasi selama 7 hari akan meningkatkan ekskresi nitogen urin. Peningkatan

ekskresi nitrogen mencapai puncak dengan tata'rata kehilangan 2 mg/hari, sehingga pasien akan mengalami hipoproteinemia, edema, dan penurunan berat badan. Kehilangan nihogen (nitrogen /oss) meningkathhgga 12 gram pada keadaan imobilisasi dengan malnutrisi, trauma, fraktur pinggul, atau infeksi. Penekanan sekresi hormon antidiuretik selama imobilisasi juga akan terjadi yang akan meningkatkan diuresis danpemecahan otot sehingga akan mengakibatkan penurunan berat badan. Pasien usia lanjut yang mengalami imobilisasi lama akan memiliki natium serum dan natriumurin yang lebihrendah dibandingkanpada yang tidak imobilisasi, sehingga pasien dengan tirah baring lama akanmemiliki defisiensi natrium kronik. Tirah baring lama dan malnutrisi, baik di rumah sakit maupun di rumah, menyebabkan atrofi otot dan turunnya kekuatan dan ukuran otot. Kelemahan otot pada pasien geriatri yang mengalami imobilisasi sering terjadi dan

sangat berkaitan dengan kerapuhan (frailty), mengakibatkan penurunan status fungsional yang berat sehingga imobilisasi terus terjadi, seperti lingkaran setan, dan mengakibatkan pula terjadinya instabilitas, jatuh dan trauma senus.

Konstipasi dan Skibala Konstipasi, skibala, dan obstruksi usus merupakan

863

IMOBIIJSASI PADA USIA LI\NJUT

masalah utama pada usia lanjut dengan imobilisasi. Imobilisasi lama akan menurunkan waktu tinggal feses di kolon. Semakin lama feses tinggal di usus besar, maka absorbsi cairah akan lebih besar sehingga feses akan

darah serta mobilisasi dini perlu dilalarkan untuk mencegah terjadinya hipotensi. Latihan kekuatan otot serta kontraksi abdomen dan ototpadakaki akanmenyebabkan aliran darah balik vena lebih efisien. Khusus untuk mencegah te{adinya

menjadi lebih keras. Asupan cairan yang kurang, dehidrasi,

trombosis dapat dilakukan tindakan kompresi intermiten pada tungkai bawah. Teknik tersebut meningkatkan aliran darah

dan penggunaan obat-obatan juga dapat menyebabkan konstipasi pada pasien imobilisasi

dari vena di kaki dan menstimulasi aktivitas fibrinolitik. Kompresi intermiten bebas dmi efek samping tetapi menrpakan kontraindikasi pada pasien dengan penyakit vaskular perifer.

UPAYA PENCEGAHAN KOM PLI KAS! Pencegahan timbulnya komplikasi dapat dilakukan dengan

memberikan penatalaksanaan yang tepat terhadap imobilisasi. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan meliputi penatalaksanaan farmakologik dan non farmakologik.

Non Farmakologis Penatalaksanaan non farmakologis memegang peran penting dalam mencegah terjadinya komplikasi akibat imobilisasi. Berbagai \paya yarrg dapat dilalarkan adalah dengan beberapa terapi fisik dan latihan jasmani secara teratur. Pada pasien yang mengalami tirah baring total, perubahan posisi secara teratur dan latihan di tempat tidur dapat dilakukan sebagai upaya mencegah terjadinya kelemahan dan kontraktur otot serta kontraktur sendi. Selain itu, mobilisasi dini berupa turun dari tempat tidur, berpindah dari tempat tidur ke kursi dan latihan fungsional dapat dilakukan secara bertahap. Latihan isometris secara teratur 10-20% dantekanan maksimal selama beberapa kali

dalam sehari dapat dilakukan untuk mempertahankan kekuatan isometri. Untuk mencegah terjadinya kontraktur otot dapat dilakukan latihan gerakan pasi€sebanyak satu atau dua kali sehari selama 20 menit. Untuk mencegah terjadinya dekubitus, hal yang harus

dilakukan adalah menghilangkan penyebab terjadinya ulkus yaitu bekas tekanat pada kulit. Untuk itu dapat dilakukan perubahan posisi lateral 30", penggunaan kasur anti dekubitus, atau menggunakan bantal berongga. Pada pasien dengan kursi roda dapat dilakukan reposisi tiap jam atau diistirahatkan dari duduk. Melatih pergerakan dengan memiringkan pasien ke kiri dan ke kanan serta mencegah terjadinya gesekan juga dapat mencegah dekubitus. Pemberian minyak setelah mandi atau mengompol dapat dilakukan untuk mencegah maserasi. Program latihan jasmani yang dilakukan harus disesuaikan dengan kondisi pasien, berdasarkan ada tidaknya penyakit, status imobilisasinya, tingkat aktivitas, dan latihannya. Pasien yang baru sembuh dari penyakit akut tetapi masih belum banyak bergerak harus menghindari

latihan jasmani yangberat secara tiba-tiba. Sebaliknya pasien harus didorong untuk program latlhanjasmani secara bertahap. Kontol tekanan darah secara terafur dan penggunaan obat-obatan yang dapat menyebabkan penunman tekanan

Monitor asupan cairan dan makanan yang mengandung serat perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya konstipasi. Selain itu juga perlu dilakukan evaluasi dan pengkajian terhadap kebiasaan buang air besar pasien. Pemberian nutrisi yang adekuat perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya malnutrisi pada pasien imobilisasi. Pada pasien yang mengalami hipokinesis perlu diberikan suplementasi vitamin dan mineral.

Farmakologis Penatalaksanaan farmakologis dapat diberikan sebagai salah satu upaya pencegahan komplikasi akibat imobilisasi, terutama pencegahan terhadap terj adinya trorrtbosis. Pemberian antikoagulan merupakan terapi farmakologik yang dapat diberikan untuk mencegah terj adinya trombosis pada pasien geriatri dengan imobilisasi. Low dose hep-

arin (LDH) dan low molecular weight heparin (LMWH) merupakan profilaksis yang aman dan efektif untuk pasien

geriatri dengan imobilisasi dan risiko trombosis non pembedahan terutama strok. Namun pemberian antikoagulan pada pasien geriatri perlu dilakukan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan. Penurunan faal organ ginjal dan hati serta adanya interaksi obat terutama antara

rvarfarin dengan beberapa obat analgetik atau NSAID merupakan hal yang harus amat diperhatikan.

REFERENSI Anderson LC, Cutter NC. Immobility.In: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JB, Ouslander JG. Principles of geriatric

medicine and gerontology. 4'h ed. New York:McGrawHill;1999.p.1565-75. Albers GW, Amrenco

bolytic

B

Easton JD, et al. Antithrombotic and throm-

therapy for

ischemic stroke.

Chest

200 I ; I I 9(Suppl):300S-20S

Aschwanden M, Labs KH, Jeanneret C, Gehrig A, Jaeger KA. The value of rapid D-dimer testing combined with structured clinical evaluation for the diagnosis of deep vein thrombosis. J Vasc Surg 1999;30:929-35 Aschwanden M, Labs KH, Jeanneret C, Gehrig A, laeger KA. The value of rapid D-dimer testing combined with structured clinical evaluation for the diagnosis of deep vein thrombosis. J Vasc Surg 1999;30:929-35. Cohen AT, Zaw HM, Alikhan R. Benefits of deep-vein thrombosis prophylaxis in the nonsurgical patient: The MEDENOX trial.

864

Seminars in Hematology 2001; 38(2):31-8.

GERIIIIIRI

Piliotis G Geerts WH. Prevention of venous thromboembolism in

2004;329:821-9 Geerts WH., Heit JA, Clagett GP, et al. Late deep venous thrombosis and dilayed weightbearing after total hip arthoplasty. Clin Orthop 1999;361:123-3O. Geiger M, Binder BR. Pathophysiologic der immobilisation. Wiener Medizinische Wochenscrhrift 1999 Jan;t49(2-4):33-4.

the elderly. Geriatrics and aging 2001;4(8):20-1,38 Resnick NM. Geriatric medicine. In: Braunwald, Fauci, Kasper, Hausel Longo, Jameson. Editors. Harisson's principles of internal medicine. 15'h ed. USA: McGraww-Hill; 2001.p. 36-46. Sato Y, Oizumi K, Kuno H, Kaji M. Effect of immobilization upon renal sl.nthesis of 1,25-dihydroxivitamin D in disabled elderly stroke patients. Bone 1999 March;24(3):271-5 Sato Y, Kuno H, Asoh T, Honda Y, Oizumi K. Effect of immobilization on vitamin D status and bone mass in chronically hospitalized disabled stroke patients. Age and Ageing 1999;28:265-9 Setiati S. Imobilisasi: masalah dan pengelolaannya di bidang geriatri. Maj Kedokt Indon 1999 Agust; 49(8):328-31. Seiler WO. Consequences of immobility. Dalam: Evans JG Williams TF, Beattie BL, Michel JB Wileock GK. Editors. Geriatric medicine, New York: Oxford University Press; 2000'p.1175-81.

Hale LP, Owen J. Thrombotic and hemonhagic disorden. h HazzNd W\ Blass JP, Ettinger WH, Halter JB, Ouslander JG Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. 4h ed. New York:McGraw-

Setiati S. Pedoman pengelolaan imobilisasi pada pasien geriatri. Dalam: Soejono CH, Setiati S, Wiwie M, Silaswati S. Editor. Pedoman pengelolaan kesehatan pasien geriatri untuk dokter dan perawat.

Denstman F, Lowry A, Vemava A, Burnstein M, Fazio Y Gleruron E, et al. Practice parameters for the prevention of venous throm-

boembolism. Practice parameters 2000 August;43(8). Didapat dari: http://www.fascrs.org/ascrspppvt.html. Ebell MH. Evaluation of the patient with suspected deep vein thrombosis. J Fam Pract 2001;50:167-71 Fancher TL, White RH, Kravitz RL. Combined use of rapid DDimer testing and estimation of clinical probability in the diag-

'

nosis of deep vein thrombosis:systematic review. BMJ

Hill;1999.p.933-47. Kane RL, Ouslander JG, Abras IB. Immobility. In : Kane RL. Editors. Essential of clinical geriatrics. New York: McGraw Hill; 2004.p.

24s-77. Kahn RS. The clinical diagnosis of deep venous thrombosis integrating incidence, risk factors, and symptoms and signs. Arch

Intern Med 1998;158:23 15-23. Kiekegaard A, Norgen L, Olson C-G Castenfors J, Perrson Q Persson S. Incidence of deep vein thrombosis in bedridden non-surgical patients. Acta Med Scand. 1987;22:409-14. Neuhaus A, Berfrzz RR, Weg JG. Pulmonary embolism in respiratory failure. Chest 1978;73:460-5

Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Penyakit Dalam FKUI; 2000.p. 115-22. Samama MM, Cohen AT, Darmon J-Y, et al. A comparison of enoxaparin with placebo for the prevention of venous thromboembolism in acute ill medical patiens. N Eng J Med

1999;341:793-800. Tovey C, Wyatt S. Diagnosis, investigation, and management of deep vein thrombosis. BMJ 2003;326:1180-4 Van Gorp ACM, Brandjes DPM, Cate JWT' Rational antithrombotic therapy and prophylaxis in elderly, immobile patient' Drug &

Aging 1998, Aug 13(2):145-57.

135 INKONTINENSIA URIN DAN K^A.NDUNG KEMIH HIPERAKTIF Siti Setiati,

I

Dewa Putu Pramantara

PENDAHULUAN

sebagai keluamya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan

cukup sering dijumpai pada orang berusia lanjut,

jumlahnya, yang mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya. Untuk kepentingan penelitian

khususnya perempuan. Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya, antara lain karena menganggap bahwa masalah tersebut merupakan masalah

epidemiologi, definisi di atas yang dipergunakan. Dalam menentukan prevalensi inkontinensia urin di klinik, tempat perawatan kronik, klinik rawat siang, dan masyarakat masih

yang memalukan atau tabu untuk diceritakan,

digunakan definisi yang beragam dalam hal frekuensi, derajat keparahan, volume urin yang keluar, dan

Inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang

ketidaktahuan mengenai masalah inkontinensia urin, dan menganggap bahwa kondisi tersebut merupakan sesuatu yang wajar terjadi pada orang usia lanjut serta tidak perlu diobati. Pihak kesehatan, baik dokter maupun tenaga medis yang lain juga tidak jarang tidak memahami tatalaksana

determinasi keluarnya urin. Tabel

I

menunjukkan

keragaman definisi yang dipergunakan dalam penelitian

prevalusi inkontinensia urin.

inkontinensia urin dengan baik atau bahkan tidak mengetahui bahwa inkontinensia urin merupakan masalah kesehatan yang dan dapat diselesaikan. Berbagai komplikasi dapat menyertai inkontinensia urin seperti infeksi saluran kemih, kelainan kulit, gangguan tidur, problem psikososial seperti depresi, mudah marah, dan rasa terisolasi. Secara tidak langsung masalah - masalah

1.

2.

tersebut juga dapat menyebabkan dehidrasi karena umumnya pasien akan mengurangi minum karena khawatir mengompol. Dekubitus, infeksi saluran kemih berulang, jatuh, dan tidak kalah pentingnya adalah biaya perawatan yang tinggi untuk pembelian popok. Berbagaiupaya dapat

3.

dilakukan untuk mengatasi masalah inkontinensia urin, baik bersifat nonfarmakologis maupun terapi obat dan pembedahan

jika diketahui

dengan tepat jenis atau tipe

Definisi Keluarnya Urin Kesulitan menahan berkemih sampai mencapai toilet. Keluarnya air kencing yang tidak diharapkan. Hilangnya pengendalian berkemih. Underpanfs basah. Definisi Keparahan Sekali atau lebih. Dua kali atau lebih. Tiga kali atau lebih. Menyebabkan problem sosial atau kebersihan. Definisi Frekuensi Selalu terjadi. Terjadi 1 tahun yang lalu. Terjadi 1 bulan yang lalu. Terjadi 1 minggu yang lalu. Terjadi setiap hari.

inkontinensianya. Overactive bladder atau kandung kemih hiperaktif (KKH) adalah kelainan pada kandung kemih yang mengakibatkan

DEFINISI

penderitanya mengalami keinginan berkemih tidak tertahankan (urgensi), miksi yang sering, dengan atau

Dari aspek klinis praktis, inkontinensia urin didefinisikan

tanpa inkontinensia urin.

865

866

GERI'ITRI

dan disuplai oleh saraf pudendal, sedangkan otot

PREVALENSI

detrusor kandung kemih dan sfingter uretra intemal berada Prevalensi inkontinensia urin sulit ditentukan dengan pasti. Hal ini disebabkan karena hasil penelitian epidemiologi yang beragam dalam subjek penelitian, metode kuesioner, dan definisi inkontinensia urin yang digunakan. Sekitar 50% usia lanjut di instalasi perawatan kronis dan ll-30% di masyarakat mengalami inkontinensia urin. Prevalensinya meningkat seiring dengan peningkatan umur. Perempuan lebih sering mengalami inkontinensia urin daripada lai-laki denganperbandingan 1,5 : 1. Survei inkontinensiaurin yang dilakukan oleh Divisi

Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada 208 orang usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga (PUSAKA) di Jakarta (2002) mendapatkan angka kejadian inkontinensia urin tipe stres sebesar 32,20 . Sedangkan survei yang dilakukan di Poliklinik Geriatri RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (2003) terhadap 179 pasien geriatri didapatkan angka kejadian inkontinensia urin stres pada laki-laki sebesar 20,50 dan pada perempuan sebesar 32,5yo. Penelitian di Poli Geriatri RS Dr. Sardjito mendapatkan angkaprevalensi

inkontinensia urin I 4,7 4o/o. KKH terjadi pada 16,50/o pada populasi di Amerika Serikat dengan 6,lYo disertaiinkontinensia (KKH basah) dan 10,4 %otanpa inkontinensia (KKH kering). National Ov er a c t iv e B I add er Ev alu at i on (N O B L E), pr o gr am y ang meneliti inkontinensia urin pada 5204 orang dewasa di Amerika Serikat memperkirakan jumlah perempuan di ll.egara tersebut yang mengalami inkontinensia urin sebesar 14,8 juta orang, sepertiga di antarar,ya merupakan

inkontinensia urin tipe campuran (34,4oh). Penelilian lain yang dilakukan oleh Diokno dkk, pada perempuan usia lanjut di atas 60 tahun (Medical, Epidemiological, and Social Aspect of AginglMESA) mendapatkan dari 1150

subyek yang dipilih secara random, 434 orang di arfiarartya mengalami inkontinensia urin. Dari mereka yang mengalami inkontinensia urin

merupakan inkontinensia urin tipe campuran, 26,7o/o dengan inkontinensia urin tipe stres saja, 9o/o dengan inkontinensia urin tipe urgensi saja, dan 8,8olo dengan diagnosis lain. 55,5o/o

FISIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI BERKEMIH Proses berkemih normal merupakan proses dinamis yang

memerlukan rangkaian koordinasi proses fisiologik berurutan yang pada dasamya dibagi menjadi 2 fase yaitu fase penyimpanan dan fase pengosongan. Diperlukan keutuhan struktur dan fungsi komponen saluran kemih bawah, kognitif, fisik, motivasi, dan lingkungan .

'

Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada di bawah kontrol volunter

di bawah kontrol sistem saraf otonom, yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detruso! lapisan submukosa, dan

lapisan mukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi, dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih berlangsung. Kontraksi kandung kemih disebabkan oleh aktivitas parasimpatis yang dipicu oleh asetilkolin pada reseptor muskarinik. Sf,rngter uretra internal menyebabkan uretra terhltup, sebagai akibat kerja

aktivitas saraf simpatis yang dipicu oleh noradrenalin. Otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor, saraf pelvis, medula spinalis, dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketika kandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsang saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusat saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal

(pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut, rasa

penggembungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobus frontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikal dan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin. Ketika terjadi desakan berkemih, rangsang saraf dari koteks disalurkan melalui medula spinalis dan syaraf pel-

vis ke otot detrusor. Aksi kolinergik dari saraf pelvis kemudian menyebabkan otot detrusor berkontraksi sehingga terjadi pengosongan kandung kemih. Interferensi aktivitas kolinergik saraf pelvis menyebabkan pengurangan kontraktilitas otot. Kontraksi otot dekusor tidak hanya tergantung pada inervasi kolinergik oleh saraf pelvis. Otot detrusor juga mengandung reseptor prostaglandin . Prostaglandin-inhibiting drugs dapat mengganggu kontraksi detrusor. Kontraksi kandung kemih juga calcium-channel dependent. Oleh karena ito, calcium channel blockers dapat juga mengganggu kontraksi kandung kemih. Inervasi sfingter uretra intemal dan eksternal bersifat

kompleks. Untuk memberikan pengobatan dan penatalaksanaan inkontinensia yang efektif, petugas kesehatan harus mengerti dasar inervasi adrenergik dari sfingter danhubungan anatomi ureter dan kandung kemih. Aktivitas adrenergik-alfa menyebabkan sfingter uretra berkontraksi. Untuk itu, pengobatan dengan agonis adrenergik-alfa (pseudoefedrin) dapat memperkuat

kontraksi sfingter, sedangkan zat alpha-blocking (terazosin tHyfrin]) dapat mengganggu penutupan sfingter.

867

INKONTINENSIA URIN DAIY KANDUNG KEMIH HIPERAKTIF

Inervasi adrenergik-beta menyebabkan relaksasi sfingter uretra. Karena ilu, zat beta-adrenergic blocking (propra-

nolol) dapat mengganggu karena menyebabkan relaksasi uretra dan melepaskan aktivitas kontraktil adrenergik-alfa. Komponen penting lainnya dalam mekanisme sfingter adalah hubungan uretra dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan

1

2

angulasi yang tepat antara uretra dan kandung kemih. Fungsi sfingter uretra normaljuga tergantung pada posisi yang tepat dari uretra sehingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditransmisikan ke uretra. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat terdapat tekanan atau batuk yang

t!!-q51

A

Gambar

C

I

darr 2 berikut melukiskan beberapa komponen yang terlibat dalam mempertahankan proses miksi dan sekaligus kontinen urin. Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleksrefleks yang berpusat di medula spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian

(penyimpanan) kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding

kandung kemih, serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inervasi somatik pada

h

(Nervus erigenus)

B

meningkatkan tekanan intra-abdomen.

Kontraks kandung kem

Ko nergik paras mpatk

Relaksasi kandung kemih (denqan menghambat Lonus pa rasim pa lis) Relaksas kandung kem h (adreaenerik Il) Kontraksi leher kand!n! kemih dan uretra (adgenerik 0) Kontraksi oiot dasar paiggu

Simpatetk Simpatetik

D

Simpatetik

E

Somatik (Nerv!s pudendus)

Gambar 2. Saraf-saraf perifer yang terlibat dalam proses berkemih

batang otak, korteks serebri, dan serebelum. Bagaimana proses neurofisiologik ini beroperasi dalam proses miksi belum diketahui dengan jelas. Umumnya dikatakan bahwa peranan korteks serebri adalah menghambat sedangkan

otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses refleks ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu

Aktiv las EMG (dasar 25

Aliran ur n (mL/men t) 0

50 Tekanan (cm H,0 U

)

teka

De[usor 0

Pengisian volume kandung kemih

(mL)

Lama pengosongan kandung kem

h

(d e Uk)

Gambar 3. Skematik fungsi dinamik traktus urinarius bawah dalam proses pengisian dan pengosongan kandung kemih

batang otak dan supra spinal memfasilitasi. Secara urodinamik proses berkemih dapat dilihat pada Gambar 3. Nervus Hipogastrik (simpateiik)

1-----_:t-

.,r

y

PROSES MENUA DAN INKONTINENSIA URIN

Telah disebutkan sebelumnya bahwa kejadian Drostat 1l? Uret€ ..-.^,1-)

rusat miksi

,_'r.sakral

Gambar 1. Komponen-komponen struktural proses berkemih normal

inkontinensia urin meningkat seiring dengan lanjutnya usia. Usia lanjut bukan penyebab terjadinya inkontinensia urin, artinya sindrom ini bukan merupakan kondisi normal pada usia lanjut melainkan merupakan faktor predisposisi

(kontributor) terjadinya inkontinensia urin.

868

GERIATRI

Proses menua baik pada laki-laki maupun perempuan

telah diketahui mengakibatkan perubahan-perubahan anatomis dan fisiologis pada sistem urogenital bagian bawah. Perubahan-perubahan tersebut berkaitan dengan menurunkan kadar estrogen pada perempuan dan hormon

androgen pada laki-laki. Secara singkat perubahan anatomik dan fisiologik saluran urogenital bagian bawah dapat dilihat pada Tabel 3 . Pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis dan kandungan kolagen sehingga mengakibatkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi, dan mudah terbentuk trabekulasi sampai

pada sistem urogenital bawah mengakibatkan posisi kandung kemih prolaps sehingga melemahkan tekan ar ata,u tekanan akhiran kemih keluar seperti terlihat pada Gambar4. Dari pembahasan dampak proses menua terhadap struktur anatomi dan fisiologis sistem urogenital bawah

dapat dipahami bahwa usia lanjut merupakan faktor kontributor terj adinya inkontinensia tipe stres, urgensi. dan luapan (overflow).

Tekanan

divertikel.

lniraabdomen

Atrofi mukosa, perubahan vaskularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot uretra mengakibatkan menunrnnya tekanan penufupan uretra dan tekanan out-

stres

Kandung Kemih

Perubahan Morfologis Trabekulasi Fibrosis

Gambar 4. Posisi kandung kemih pada 2 situasi yang berbeda. a = normal; 5 = prolaps akibat lemahnya otot dasar panggul

Saraf autonom J Pembentukan divertikula Perubahan Fisiologis Kapasitas J

FAKTOR RISIKO

. . . . . . . .

t

t

Kemampuan menahan kencing

t

Kontraksi lnvolunter Volume residu pasca berkemih Perubahan Morfologis Komponen selular

Uretra

I

. .

t

I

t

Deposit kolagen Perubahan Fisiologis Tekanan penutupan J

. .

Prostat

Tekanan akhiran keluar 0 Hiperplasi dan membesar

Vagina

Komponen selular J Mukosa atrofi

Dasar Panggul

Deposit kolagen Rasio jaringan ikalotot Otot melemah

Jlow.

P

Prevalensi inkontinensia urin meningkat seiring meningkatnya usia. Inkontinensia urin lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Usia lanjut seringkali memiliki kondisi medik yang dapat mengganggu proses berkemih yang secara langsung mempengaruhi fungsi saluran berkemih, perubahan status volume dan ekskresi urin, atau gangguan kemampuan untuk ke jamban. Pada orang usia lanjut di masyarakat, inkontinensia urin dikaitkan dengan depresi, transienl ischaemic altacks dan

strok, gagal jantung kongestif, konstipasi

dan

inkontinensia feses, obesitas, penyakit paru obstruktif

t

f

adalakt-laki terjadi pengecilan testis dan pembesaran

kelenjar prostat sedangkan pada perempuan terjadi penipisan dinding vagina dengan timbulnya eritema atau ptekie, pemendekan dan penyempitan ruang vagina serta berkurangnya lubrikasi dengan akibat meningkatnya pH lingkungan vagina. Telah diketahui dengan baik bahwa dasar panggul (pelvic /loor) mempunyai peran penting dalam dinamika miksi dan mempertahankan kondisi kontinen. Melemahnya fungsi dasar panggul disebabkan oleh banyak faktor baik fisiologis maupun patologis (trauma, operasi, denervasi neurologik). Perubahan fisiologis akibat proses menua pada organ dasar panggul seperti tercantum pada Tabel 3. Secara keseluruhan perubahan akibat proses menua

kronik, batuk kronik, dan gangguan mobilitas. Pada orang usia lanjut di panti, inkontinensia urin dikaitkan dengan terdapatnya gangguan mobilitas, demensia, depresi, strok, diabetes, dan Parkinson. Risiko inkontinensia urin meningkat padaperempuan dengan nilai indeks massa tubuh yang iebih besar, dengan riwayat histerektomi, infeksi utin, dan trauma perineal. Melahirkan per vaginam akan meningkatkan risiko inkontinesia urin tipe stres dan tipe campuran. Penelitian terhadap 5418 usia lanjut di luar negeri mendapatkan tiga faktor risiko yang dapat dimodifikasi

dan berhubungan secara bermakna dengan inkontinenisa

urin, yaitu infeksi saluran kemih, keterbatasan aktivitas, dan faktor gangguan lingkungan.

PENYEBAB DAN TIPE INKONTINENSIA Perlu ditekankan sekaU lagi bahwa usia lanjut bukan

869

INKONTINENSIA URIN DAN KANDUNG KEMIH HIPERAKTIF

sebagai penyebab inkontinensia urin. Mengetahui penyebab inkontinensia urin penting dalam penatalaksanaannya yang tepat. Perlu dibedakan 4 penyebab pokok yaitu: gangguan urologik, neurologis,

tungkai bawah akan mengakibatkan nokturia dan inkontinensia akut malam hari. Jangan dilupakan bahwa inkontinensia urin akut terutama pada laki-laki sering berkaitan dengan retensi

fungsional/psikologis, dan iatrogenik/lingkungan. Perlu dibedakan pula antara inkontinensia urin akut dan kronik (persisten). Inkontinensia akut terjadi secara mendadak, biasanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenik yang menghilang jika bila kondisi akut teratasi atau problem medikasi dihentikan. Inkontinensia persisten merujuk pada kondisi urikontinensia yang tidak berkaitan dengan kondisi akut/iatrogenik dan berlangsung lama. Penyebab inkontinensia urin akut dapat di ingat dengan akronim DRIP seperti tercantum

urin akibat hipertrofi prostat. Skibala

padaTabel4.

channel, dan lain lain.

dapat mengakibatkan obstruksi mekanik pada bagian distal kandung kemih baik pada laki-laki maupun perempuan yang selanjutnya menstimulasi kontraksi otot detrusor involunter. Evaluasi terhadap pemakaian obat penting dalam menentukan kemungkinan penyebab inkontinensia urin baik akut maupun kronik. Beberapa golongan obat

telah diketahui seperti: diuretik, anti kolinergik, psikotropik, analgesik-narkotik, penghambat adrenergik alfa, agonis adrenergik alfa, penghambat calsium

Ahli lain memakai akronim yang lebih lengkap yaitu DIAPPERS seperti terlihat pada Tabel 5.

Delirium merupakan gangguan kognitif akut dengan

INKONTINENSIA URIN KRONIK.PERSISTEN

latar belakang yang beragam seperti dehidrasi, infeksi paru,

gangguan metabolisme, dan elektrolit. Delirium

sementara. Usia lanjut dengan kecenderungan mengalami frekuensi, urgensi, dan nokturia akibatproses menua akan mengalami inkontinensia kalau terjadi gangguan mobilitas

klinis, dibagi 4 tipe, namun dalam kenyataannya sering terjadi tumpang tindih satu dengan lainnya. Ada 2 kelainan mendasar pada fungsi saluran kemih bawah yang melatarbelakangi inkontinensia persisten y?itu: 1). Kegagalan menyimpan urin pada kandung kemih akibat hiperaktif atau menurunnya kapasitas kandung kemih atau

oleh karena berbagai sebab seperti

menyebabkan proses hambatan refleks miksi berkurang

sehingga menimbulkan inkontinensia yang bersifat

Secara

gangguan

lemahnya tahanan saluran keluar, dan 2). Kegagalan

muskuloskeletal, tirah baring dan perawatan di rumah sakit. Inflamasi dan infeksi pada saluran kemih bawah akan

pengosongan kandung kemih akibat lemahnya kontraksi

meningkatkan kejadian frekuensi, urgensi, dan dapat mengakibatkan inkontinensia. Kondisi-kondisi yang

keluar.

mengakibatkan poliuria seperti hiperglikemia,

ketidakmampuan menunda berkemih setelah sensasi berkemih muncul. Manifestasinya berupa urgensi, frekuensi, dan nokturia. Kelainan ini dlbagi2 subtipe yaitu motorik dan sensorik. Subtipe motorik disebabkan oleh

hiperkalsemia, pemakaian diuretika dan minum banyak dapat mencetuskan inkontinensia akut. Kondisi kelebihan cairan seperti gagaljantung kongestif insufisiensi vena

otot detrusor atau meningkatnya tahanan aliran Inkontinensia urin tipe urgensi ditandai dengan

lesi pada sistem saraf pusat seperti stroke, parkinsonism,

tumor otak dan sklerosis multipel atau adanya lesi pada medula spinalis suprasakral. Subtipe sensorik disebabkan D

Delirium

R

Restricted Mobility, retention

I P

Polyuria, pharmaceuticals

I

nfection, I nfl a m m atio n,

Im

paction

oleh hipersensitivitas kandung kemih akibat sistitis, uretritis, dan divertikulitis. Inkontinensia urin tipe stres terjadi akibat tekanan intraabdominal yang meningkat seperti batuk, bersin, atau mengejan, terutama terjadi pada

perempuan usia lanjut yang mengalami hipermobilitas uretra dan lemahnya otot dasar panggul akibat seringnya D I A

P

P

E R

s

Delirium or acute confusional state

lnfection, urinary Atrophic vaginitis or urethitis Pharmaceutical

. . . . .

Sedative hypnotic Loop diuretics Anti-cholinergic agents Alpha-adrenergic agonist and antagonist Calcium channel blochers P sychologic di sorde rs : d e pre ssi on Endocrine disorders Restricted mobility Stoolilmpaction

melahirkan, operasi dan penurunan estrogen. Meningkatnya tegangan kandung kemih akibat obstruksi

prostat hipertrofi pada laki-laki atau lemahnya otot detrusor akibat diabetes melitus, trauma medula spinalis, obat-obatan dapat menimbulkan inkontinensia urin tipe ove(low. Manifestasi klinisnya berupa berkemih sedikit,

pengosongan kandung kemih tidak sempurna, dan nokturia. Inkontinensia urin tipe fungsional terjadi akibat penur"unan berat frrngsi fisik dan kognitif sehingga pasien tidak dapat mencapai toilet pada saat yang tepat. Hal ini terjadi biasanya pada demensia berat, gangguan mobilitas

870

(artritis genu, kontraktur), gangguan neurologik dan psikologik. Secara skematis ke 4 tipe inkontinensia urin dapat dilihatpada Gambar 5. Pada pasien geriatri sering pula terjadi inkontinensia tidak satu tipe melainkan merupakan tipe campurat, ata:u kombinasi dari 2 tipe atau lebih. Inkontinensia tipe campuran yang sering terjadi adalah kombinasi antara inkontinensia urin tipe stres dan urgensi.

GERI,IITRI

Semua Pasien Riwayat penyakit termasuk kartu catatan berkemih Pemeriksaan fisik Urinalisis Pengukuran volume residu urin postmiksi Pasien Dengan Kondisi Tertentu Laboratorium Kultur urin Sitologi urin Gula darah, Kalsium darah Uji fungsi ginjal USG ginjal

. . . . 2.

.

. . . .

Gambar 5. Tipe-tipe inkontinensia urin persisten

DIAGNOSIS Diagnosis inkontinensia urin berhrjuan untuk : 1. Menentukan kemungkinan inkontinensia urin tersebut reversibel.

Menentukan kondisi yang memerlukan uji diagnostik khusus.

Menentukan jenis penanganan operatif, obat, dan perilaku. Langkah pertama proses diagnosis adalah identifrkasi

inkontinensia urin melalui observasi langsung atau mengajukan pertanyaan-pertanyaan penapis. Untuk mencapai tujuan diagnosis dilakukan pendekatan yang

komprehensif beberapa aspek: riwayat penyakit, pemeriksaan fisik terarah, urinalisis, volume residu urin pasca berkemih dan pemeriksaan penunjang khusus. Komponen-komponen evaluasi diagnostik dapat dilihat pada Tabel 6.

Melalui anamnesis kita harus dapat memperkirakan karakteristik inkontinensia, problem medik dan medikasi yang sedang dijalani, gejala-gejala lain yang sangat mengganggu, dan dampak inkontinensia urin terhadap kualitas hidup pasien dan orang yang merawatnya. Pemeriksaan fisik lebih ditekankan pada pemeriksaan abdomen, rektum, genital dan evaluasi persyarafan lumbosakral. Pemeriksaan pelvis perempuan penting untuk menemukan beberapa kelainan seperti prolaps,

) F F > >

Pemeriksaanginekologik Pemeriksaan urologik Cystouretroskopi Uji Urodinamik Simpel : Observasi proses pengosongan kandung kemih Uji batuk Cystometri simpel Kompleks : Uine flowmetry Multichannelcystometrogram Pressure-flow study Leak-point pressure Urethral pressure profilometry

!

. . , F . . . . . . .

Sphincterelectromyography Video urodynamics.

inflamasi, keganasan. Penilaian khusus terhadap mobilitas pasien, status mental, kemampuan mengakses toilet akan membantu penanganan pasien yang holistik. Pencatatan aktivitas berkemih (bladder record alau voiding diary), baik untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap dapat membantu menentukan jenis dan beratnya inkontinensia urin serta evaluasi respon terapi. Contoh pencatatan

aktivitas berkemih dapat dilihat pada lampiran. Pengambilan sampel urin untuk dianalisis dengan cara yang benar dapat memberikan informasi tentang adanya infeksi, sumbatan akibat batu saluran kemih atau tumor. Pemeriksaan residu urin pasca miksi baik dengan kateter maupun ultrosonografi dapat membantu menentukan ada tidaknya obstruksi saluran kemih. Bila volume residu urin sekitar 50 ml menunjukkan gambaran inkontinensia tipe stres, sedangkan volume residu urin lebih dari 200 cc menunjukkan kelemahan detrusor atau obstruksi. Pemeriksaan-pemeriksaan dengan prosedur khusus seperti pada Tabel 6hanya dilakukan pada kasus-kasus dengan riwayat dan pemeriksaan fisik sebagai berikut : operasi atau radiasi daerah urigenital bawah, infeksi saluran

kemih berulang, prolaps (cystocele) berat, hipertrofi prostat atau kanker, gagahya kateterisasi nomor 14, vol' ume residu urin pasca miksi > 200 ml, hematuria tanpa petunjuk infeksi saluran kemih, dan gagal terapi yang telah

diberikan. Berdasarkan pendekatan diagnostik yang meliputi beberapa aspek, dapat dipahami bahwa sejak awal evaluasi

871

INKONTINENSIA URIN DAN KANDUNG KEMIH HIPERAKTIF

penderita inkontinensia urin harus bersifat multidimensi yang sebaiknya dilakukan oleh sebuah tim. Pendekatan multidimensi ini dikenal dengan pengkajian geriatri khusus inkontinensia urin. Pada Gambar 6 berikut disampaikan algoritme evaluasi inkontinensia urin.

yang baik dari pasien. Secara umum strategi meliputi edukasi pada pasien atau pengasuh pasien (caregiver).

Intervensi perilaku meliputi bladder training, habit training, prompted voiding, dan latihan otot dasar panggul. Teknikteknik canggih yang dapat melengkapi teknik behavioral ini antara lain stimulasi elektrik, biofeedback, dan neuromodulasi. Bladder training merupakan salah satu terapi yang efektifdi antara terapi non farmakologik lainnya. Terapi ini bertujuan mempetpanjang interval berkemih yang normal dengan teknik distraksi atau teknik relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jamsekali. Pasien diharapkan dapat menahan sensasi untuk berkemih. Pasien diinstruksikan untuk berkemih pada interval waktu tertentu, mula-mula setiap jam,

Evaluasi awal - Riwayat yang terfokus - Pemeriksaan fisis terarah - U rinalisis - Residu pascam iksi I

t I

selanjutnya interval berkemih diperpanjang secara ldentifikasi pemeriksaan khusus

?

t. r..^r.. -lEvaluasi:

I

1 Tidak |

-

u rologi - Ginekologi - Urodinamik

I

Terapi empiris - 0bat dan atau behavioral - Suportif dan behavioral

I T dak memba

k

Gambar 6. Algoritme evaluasi inkontinensia urin

bertahap sampai pasien ingin berkemih setiap 2-3 jam. Teknik ini terbukti bermanfaat pada inkontinensia urgensi dan stres, namun untuk ifu diperlukan motivasi yang kuat dari pasien untuk berlatih menahan keluarnya urin dan hanya berkemih pada interval waktu tertentu saja. Latihan otot dasar panggul merupakan terapi yang efektif untuk inkontinensia urin tipe stres atau campuran dan tipe urgensi. Latihan dilakukan tiga sampai lima kali sehari dengan 1 5 kontraksi dan menahan hingga I 0 detik. Penelitian uji klinik menunjukkan bahwa 56-77% pasien mengalami perbaikan dalam jangkapendek dengan latihan tersebut. Terdapat pula penelitian yang menunjukkan bahwa peningkatan perbaikan akan timbul selama paling tidak l0 tahun. Latihan dilakukan dengan membuat

kontraksi berulang-ulang pada otot dasar panggul. Dengan memperkuat otot tersebut, latihan ini diharapkan

dapat meningkatkan kekuatan uretra untuk menutup TATALAKSANA

secara sempuma. Sebelum pasien menjalani latihan, harus

Telah dikenal beberapa modalitas terapi dalam

untuk menetapkan apakah mereka

penatalaksanaan pasien dengan inkontinensia urin.

mengkontraksikan otot dasar panggulnya.

Umumnya berupa tatalaksana non farmakologis,

inkontinensia urin diatasi dengan beberapa modalitas

Habit training memerlukan penjadwalan waktu berkemih. Diupayakan agar jadwal berkemih sesuai dengan pola berkemih pasien sendiri. Teknik ini sebaiknya digunakan pada inkontinensia urin tipe fungsional dan membutuhkan keterlibatan petugas

terapi bersama-sama. Spektrum modalitas terapi meliputi:

kesehatan atau pengasuh pasien. Prompted voiding

terapi non farmakologis meliputi terapi suportif nonspesif,rk (edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentr); intervensi tingkah laku (latihan otot dasar

dilakukan dengan cara mengajari pasien mengenali kondisi atau status kontinensia mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin berkemih. Teknik ini digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif.

dilakukan lebih dahulu pemeriksaan vagina atau rektum

farmakalo gis, maupun pembedahan. Tidak ada satu modalitas terapi yang dapat mengatasi semua jenis inkontinensia urin, sebaliknya satu tipe

panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih, latihan kebiasaan); terapi medikamentosa; operasi; dan pemakaian kateter. Keberhasilan penanganan pasien tergantung pada keberhasilan proses diagnosis dalam menentukan tipe inkontinensia, faktor-faktor kontribusi reversibel, dan problem medik akut. Intervensi perilaku yang merupakan tatalaksana non farmakologis memiliki risiko yang rendah dengan sedikit efek samping, namun memerlukan motivasi dan kerjasama

dapat

Terapi biofeedback bertujuan agar pasien mempu mengontrol/menahan kontraksi involunter otot detrusor kandung kemihrya. Cara biofeedback mempunyai kendala

karena penderita perlu mempunyai intelegensia yang cukup untuk dapat mengikuti petunjuk pelatihnya, sementara pelatihnya sendiri harus mempunyai kesadaran

dan motivasi yang tinggi karena waktu yang diperlukan

872

GERI'IIRI

untuk dapat mendidik satu orang pasien dengan cara ini cukup lama.

Stimulasi elektrik merupakan terapi yang menggunakan dasar kejutan kontraksi otot pelvis dengan menggunakan alat-alat bantu pada vagina atau rektum. Terapi ini tidak begitu disukai oleh pasien, karena pasien

harus menggunakan alat dan kemajuan dari terapi ini terlihat lamban.

Neuromodulasi merupakan terapi dengan menggunakan stimulasi saraf sakral. Mekanisme yang pasti dari teknik ini masih belum diketahui, tetapi diduga karena adanya kegiatan interneuron tulang belakang atau

neuron adrenergik beta yang menghambat kegiatan kandung kemih. Beberapa penelitian menunjukkan

bahwa neuromodulasi merupakan salah satu cara penatalaksanaan kandung kemih hiperaktif yang berhasil. Penggunaan keteter menetap (indwelling catheter)

sebaiknya tidak digunakan secara rutin dalam pengelolaan inkontinensia urin karena dapat terjadi infeksi saluran kemih bahkan sampai sepsis, pembentukan batu, abses, dan bocor. Kateter menetap ini dapat digunakan bila terjadi retensi urin yang lama sehingga menyebabkan

Modalitas sgportif non-spesifi k Edukasi Memakai substitusi toilet Manipulasi lingkungan Pakaian tertentu dan pads Modifikasi intaks cairan dan obat lntervensi behavioral Bergantung pasien Latihan otot pelvis Bladder training Bladder retraining Bergantung caregiver Penjadwalan miksi Latihan kebiasaan Prompted voiding Obat Relaksan kandung kemih agonrs o antagonis o estrogen Periuretral infeksi Operasi Peralatan mekanik Urethral plugs, champs

. . . . . .

. . .

.

'. . .

o o o o o o o o

infeksi saluran kemih atau gangguan ginjal. Kateter intermiten merupakan alat yang secara rutin digunakan

. .

Artificialsphincters

Kateter Eksternal lnterniten Menetap

. . .

untuk mengosongkan kandung kemih. Teknik ini diajarkan kepada pasien yang tidak dapat mengosongkan kandung

ini berisiko untuk terjadinya infeksi saluran kemih. Pilihan terapi kemih. Namun demikian teknik

inkontinensia urin pada pasien geriatri dapat dilihat pada Tabel 7, sementara terapi primer yang ditujukan untuk mengatasi berbagai tipe inkontinensia urin dapat dilihat pada Tabel 8.

Tipe Stres

a a

Terapi farmakologis atau medikamentosa telah dibuktikan mempunyai efek yang baik terhadap inkontinensia urin tipe urge dan stres. Obat-obat yang dipergunakan dapat digolongkan menjadi: antikolinergikantispasmodik, agonis adrenergik cr, estrogen topikal, dan antagonis adrenergik cr. Pada semua obat yang digunakan untuk terapi inkontinensia urin, efek samping harus diperhatikan apabila dipergunakan pada pasien geiafi,, seperti mulut kering, mata kabur, peningkatan tekanan bola mata, konstipasi, dan delirium. Sementara obat yang lain dapat menimbulkan hipotensi postural, bradikardia, sakit kepala, dan lain-lain. Daftar obat yang sering dipakai tercantum pada Tabel 9.

Terapi Primer

lnkontinensia

o a

Urgensi

a a a

Luber (Oveilow) a a a

Fungsional

a a o

Latihan Kegel Agonis adrenergik o estrogen lnjeksi periuretral Operasi bagian leher kandung kemih Relaksan kandung kemih Estrogen Bladder training Operasi untuk menghilangkan sumbatan Bladder retraining Kateterisasi intermiten Kateterisasi menetap lntervensi behavioral Manipulasi lingkungan Pads

Obat fenilpropanolamin saat ini dihentikan penggunaannya untuk inkotinensia urin tipe stres karena uji klinik menunjukkan adanya peningkatan risiko strok.

jantung, dan angina. Dengan demikian penggunaannya

Pseudoefedrin dapat digunakan untuk tatalaksana inkontinensia tipe stres karena meningkatkan tekanan

jarang ditemui pada orang usia lanjut. Antikolinergik dapat digunakan untuk tatalaksana

sfingter uretra, sehingga menghambat pengeluaran urin. Pseudoefedrin memiliki efek samping seperti insomnia, sakit kepala, dan gugup/gelisah. Penggunaannya harus

inkontinensia urgensi. Oksibutinin memiliki efek

amat hati-hati pada pasien dengan hipertensi, aritmia

antikolinergik dan merelaksasikan otot halus. Tolterodin

Uji klinik menunjukkan bahwa oksibutinin dan tolterodin merupakan kompetitif bloker reseptor M3.

873

INKONTINENSIA URIN DAN I(ANDUNG KEMIH HIPERAKTIF

ileosistoplasti dan miektomi detrusor. Teknikpembedahan Obat

Dosis

Tipe

Efek Samping

intraurethral bulking agents, suspensi leher kandung

lnkontinensia Hyoscamin

3 x 0,125 mg

Urge atau campuran

sphincters. Teknik pembedahan untuk inkontinensia tipe urgensi adalah augmentation cystoplasty, dan stimulasi elektrik. Salah satu modalitas terapi yang perlu mendapat

perhatian bagi tenaga kesehatan adalah pemakaian kateter dan perawatannya. Dalam praktek klinik,

2x4mg

Urgensi dan OAB

lmipramin

3 x 25-50 mg

Urgensi

Delirium,hipote nsi ortostatik

Pseudoephedrin

3 x 30-60 mg

Stres

Sakit kepala, takikardi,

tekanan darah tinggi.

Doxazosin

Urgensi dan stres

4x14mg

BPH dengan urgensr

lritasi lokal Hipotensi postural

0,4{,8 mg

Tamsulosin

1x

Terazosin

4x1-5mg

kemih, urethral slings, dan artificial urinary

Mulut kering, mata kabur, glaukoma, delirium, konstipasi Mulut kering, Konstipasi

Tolterodin

Topikal estrogen

untuk inkontinensia tipe stres adalah injectable

menyebabkan penurunan frekuensi inkontinensia urgensi dibandingkan dengan plasebo. Pemberian dosis sehari sekali berhubungan dengan efek samping yang lebih rendah khususnya efek mulut kering. Beberapa

efek samping antikolinergik adalah xerostomia, xeroftalmia, konstipasi, gangguan penglihatan, sedatii

retensi urin, insomnia, takikardia, ortostasis, kebingungan, dan delirium. Tolterodin lebih selektif untuk resptor muskarinik di kandung kemih dari pada di kelenjar parotis, sehingga diharapkan dapat memberikan efek samping kolinergik yang lebih sedikit, seperti xerostomia. Penggunaan agen trisiklik seperti imipramin dibatasi pada usia lanjut karena efek samping yang

ditimbulkannnya. Uji klinik juga tidak menunjukkan adanya efektifitas penggunaan imipramin. Tindakan operatif dilakukan atas pertimbangan yang matang dan didahului dengan evaluasi urodinamik. Pada perempuan dengan prolaps pelvik yang signifikan dan inkontinensia tipe stres yang tidak membaik dengan penanganan konservatif harus dilakukan upaya operatif. Pada laki-laki dengan tanda obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat dapat dilakukan operasi sebagai upaya pencegahan inkontinensia tipe overflow dikemudian hari.

Beberapa cara untuk melemahkan detrusor dilakukan dengan menggunakan pendekatan postsakral atau paravaginal. Teknik pembedahan yang bertujuan untuk merusak struktur dan kekuatan detrusor seperti transeksi terbuka kandung kemih, transeksi endoskopik, injeksi penol periureter dan sistolisis telah banyak digunakan. Teknik pembedahan yang paling sering digunakan adalah

kateterisasi sering merupakan tindakan pertama yang dilakukan untuk penderita inkontinensia urin akut. Datadata yang ada menunjukkan pemakaian kateter yang berlebihan. Terdapat 3 cara atau prosedur pemakaian kateter yaitu : kateter eksternal (kateter kondom), kateterisasi intermiten, dan kateterisasi kronik atau menetap. Kateter eksternal hanya dipakai pada inkontinensia intractable tanpa retensi urin yang secara fisik dependenl bedridden. Bahaya pemakaian kateter tersebut adalah risiko infeksi dan iritasi kulit.

Kateterisasi intermiten dipakai untuk mengatasi retensi urin dan inkontinensia tipe overJlow akibat kandung kemih yang akontraktil atau Detruss"o.r hyper' activiQ with impaired contractilif/ (DHIC). Prosedur

ini dapat dilakukan 2 - 4kali per-hari oleh pasien atau tenaga kesehatan. Biasanya teknik ini dilakukan pada pasien dengan inkontinensia urin akut. Risiko infeksi sering terjadi pada prosedur ini, oleh karenanya harus dicegah dengan melakukan teknik aseptik. Sedangkan kateterisasi menetap harus dilakukan secara selektif oleh

karena risiko bakteriuria kronik, batu kandung kemih, abses periuretral, dan bahkan kanker kandung kemih. Induksi pemakaian kateter kronik adalah retensi urin akibat inkontinensia overfl ow persisten, tak layak operasi, tidak efektif dilakukan kateterisasi intermiten, ada dalam perawatan dekubitus, dan perawatan terminal dengan demensia berat. Konsensus mengenai rekomendasi dan panduan tata laksana inkontinensia urin pada perempuan dan laki-laki

dengan inkontinensia urin neurogenik dan pada usia

lanjut telah dikeluarkan oleh The Scientific Committee on the First International Consultation on Incontinence. Tujuan tata laksana pada risia lanjut akan berbeda pada tiap individu dan harus didasari oleh keinginan dan motivasi dari pasien dan keluarga untuk ditangani, komorbiditas, prognosis, dan harapan hidup. Gambar 7 menunjukkan algoritme tata laksana inkontinensia urin

pada usia lanjut yang direkomendasikan oleh The

Scientific Committee on the First International Consultation on Incontinence.

874

GERIITTRI

lU aktivitas fisik

lU dengan urgensi/ frekuensi

lU dengan nyeri, hematuria, infeksi berulang, lvl assa pelvis/iradiasi/

lU dengan gejala retensi

bedah

Pengkajian umum Catatan berkemih Pen gkajian kua litas hidu p/keingina n u ntu k d iterapi Pem eriksaan fisis: abdom en rektum,neurologis Tes batuk untuk diagnosis inkontinensia stres Analisis urin +/- kultur urin (iika ada infeksi, diterapi) Kaji PVR

tt

tt ++ Menduga tipe

lU

Stres

I U

I I

I

+

+

Latihan otot dasar panggul Biofeedback Stimulasi otot dasar panggul

l--.-..-.

Latihan berkemih Antimuskarinik Biofeedback

I

Antagonis alfa

v

Assisted toileting

Pem bedahan

I

I

v

Prompted voiding

I

I

I

v Alat bantu

Overtlow

rgensi

v Pads

Catheters

I

v

I

Tata laksana khusus

Gambar 7. Algoritme tatalaksana inkontinensia urin pada usia lanjut

REFERENSI Abrams, P. & Wein, A.J. The Oyeractive Bladder A widespread but trealable condition Eric Sparre Medical, Stockholm, Swedien. 1 998. Abrams P dkk. The standardisation of terminology of lower urinary tract function: report from the Standardization Sub-committee

of the Internatignal Continence Society. Neurourol Urodyn 2002;21: 167-78 Augspurger, R.R. Urinary incontinence and catheters in the elderly male and female dalam R.W. Schrier : Geriatric Medicine. W.B. Saunders, Philadelphia 1990.p.156 - 67. Abrams P, Cardozo L, Fall M, Griffrths D, Rosier P, Ulmsten U, dkk.

The standardization of terminology of lower urinary tract function: report from the standardization sub-committee of the International Continence Society. Neurology and Urodynamics 2002;21 :167

-17 8

Artibani W. Difficult to manage patient populations: mixed symptomatology. BJU Int 2000; 85 (suppl 3):53-54 Bravo, C.V. Aging and the urogenital system. Reviews in Clinical G eronto I o gy 2000;10 :3 1 5-24. Chaliha C, Khullar V. Mixed incontinence. J. Urology 2004;63 (suppl

3A):51-7

Chutha, D.S., Fleming, K.C. dkk. Urinary incontinence in elderly populattor,. Mayo Clin Proc 1996.:,71:93-101. Dubeau CE. Urinary incontinence. In: Evans JG, Williams TF, Beattie BL, Michel JP, Wilcock GK, Editor. Oxford text-

book of geriatric medicine. 2'd ed. NewYork: Oxford University Press; 2000.p. 677-89. DuBeau, C.E. Epidemiology, risk factor, and pathogenesis of urinary incontinence Up to Date 2002.;10(2). Diokno AC, dkk. J Urol 1986:'136:1022-25 Graffith, W.R. Urinary Incontinence in the Elderly. Health & Age. Novartis Foundation for Gerontology 2003;357- 60. Hextall A. Estrogens and lower urinary tract function. Maturitas

2000;36:83-92 Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB. Incontinence. New York: McGraw-

Hill; 2004.p 173-218. Klimas TCK. Current management of urinary incontinence. Journal of Pharmacy Practice 2004;17(2):103-ll4 Khullar V, Hill S, Laval K, Schotz HA, Jonas U, Versi E.Treatment

of urge-predominant mixed urinary incontinence with tolterodine extended release : a randomized, placebo-controlled trial. Urology 2004;64: 269-7 5. Kris-Pranarka, Inkontinensia dalam R. Boedhi - Darmojo dan H. Hadi Martono (Eds) : Buku Ajar Geriatri Ed. 3. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2004.p.197-215. Lagro-janssen ALM, dkk. Value of the patient's case history in diagnosing urinary incontinence in general practice. Br J Urol

1991;67:569-572 Lockher, J.L., Goode, P.S. et a1.. Reability assesment of the bladder diary for urinary incontinence. Journal of Geroniology. Medical Science 2001; 56,4'(1):14 - 18. Minem,. Gambaran tipe inkontinensia urin pada pasien usia lanjut di

INKONTINENSIA URIN DAN KANDUNG IGMIH HIPERAKTIF

Poliklinik Geriatri RS Dr, Sardjito Yogyakarta. Karya Tulis llmiah Program studi Ilmu Keperawatan FK UGM. Yogyakarta. 2004. Mc Intosh LJ, Richardson DA. 30-minute evaluation of incontinence in the older vr'oman. Geriatrics 1994 Feb;49:36-44. Norton PA, Zinner NR, Yalcin I. Duloxetine versus placebo in the treatment of stress urinary incontinence. Am J Obstet Gynecol 2002;187:40-48 Nihira MA, Henderson N. Epidemiology of urinary incontinence in women. Current Womens's Helath Reports 2003;3:340-7 Ouslander JG Urinary incontinence. In: Osterweil Dan, Smith KB, Beck JC, Editor. Comprehensive geriatric assessment. New York:

McGraw-Hill; 2000,p.5 5 5 -7 2 Ouslander JG Johnson TM. Incontinence. ln: Hazzard WR, Blass JP, Ettinger WH, et al (eds). Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. 4'h ed. New York: McGraw-Hill;1999.p 1505-

614.

I. Urinary incontinence Clinical Gerialric 3'd. Ed. Philadelphia: Lippinncot Company; 199 6.p.7 0 I -7 07 Pauls, J. Urinary incontinence and impairment of the pelvic floor in the older ad:ult. dalam A.A. Guccione : Geriatric Physical Therapy 2n Ed. St Louis: Mosby; 2000.p. 340 - 50. Pramantara, D.P. & Wasilah Rochmah. Sindroma Geriatrik yang berkaitan dengan gangguan sistem muskuloskeletal. Naskah

Rossman,

.

875

Lengkap Simposium Gangguan Muskuloskeletal pada usia lanjut, Medrka FK UGM & Klinik Lansia FK UGM. 2003 Setiati S, Istanti R. Survei inkontinensia urin (mengompol) pada usia lanjut di lingkungan Pusat Santunan Keluarga (PUSAKA). Maj Kedokt Indon 2003 April;53 (4):137-9 Setiati S. Pedoman penatalaksanaan inkontinensia urin pada pasien geriatri. Dalam: Soejono CH, Setiati S, Wiwie M, Silaswati S, Editor. Pedoman Pengelolaan Kesehatan Pasien Geriatri. Edisi pertama. Jakarta: Pusat Informasi dan Penerbitan Penyakit Dalam FKUI, 2000;85-94 Sorbera LA, Castaner RM, Castaner J. Duloxetine oxalate. Drugs of the future 2000;25:907 -16 Steers WD. Pathophysiology of overactive bladder and urge urinary incontinence. Rev Urol 2002;4 (suppl 4) : S7-S18. Stewart WF, dkk. Prevalence and burden of overactive bladder in the United States.World J Urol 2003; 20: 327-36 Wells, dkk. Urinary incontinence in elderly women: clinical findings. J Am Geriatr Soc 1997;35 :933-39 Weiss BD. Diagnosis evaluation of urinary incontinence in geriatric patients. Am.Fam Physic 1998. Weiss BD. Urinary incontinence. In: Adelman AM, Daly MB editors. 20 Common Problems Geriatrics. Singapore: McGrawHill; 2001.p.85-114.

136 KONSTIPASI DAN INKONTINENSIA ALVI Kris Pranarka, RejekiAndayani R

PENDAHULUAN

ditemukannya sejumlah besar feses memenuhi ampula rektum pada colok dubur, dan atau timbunan feses pada

Konstipasi merupakan suatu keluhan, bukan penyakit.

kolon, rektum, atau keduanya yang tampak pada foto polos perut. Studi epidemiologis menunjukkan kenaikan pesat dari konstipasi terkait dengan usia terutama berdasarkan keluhan pasien dan bukan karena konstipasi klinis. Banyak orang mengira dirinya konstipasi bila tidak buang air besar (BAB) tiap hari sehingga sering terdapat perbedaan pandang antara dokter dan pasien tentang arti konstipasi itu sendiri. Frekuensi BAB bervariasi dari 3 kali per hari sampai 3

Sekitar 80% manusia pernah menderita konstipasi dalam hidupnya dan konstipasi yang berlangsung singkat masih

dianggap normal. Menurut National Health Interview rv ey pada tahun I 99 l, sekitar 4, 5 juta penduduk Amerika mengeluh menderita konstipasi terutama anak-anak, perempuan, dan orang berusia 65 tahun ke atas. Hal ini menyebabkan kunjungan ke dokter sebanyak2,5 j:utakalil tahun dan menghabiskan dana sekitar 725 juta dolar untuk obat-obatan pencahar. Konstipasi merupakan keluhan saluran cetrra yarrg terbanyak pada usia lanjut. Terjadi peningkatan keluhan ini dengan bertambahnya usia; 30-40% orang berusia di atas 65 tahun mengeluh konstipasi. Di Inggris, 30o/o Su

kali per minggu. Secara umum, bila 3 hari belum BAB, massa feses akan mengeras dan ada kesulitan sampai rasa

sakit saat BAB. Konstipasi sering diartikan sebagai kurangnya frekuensi BAB, biasanya kurang dari 3 kali per minggu dengan feses yang kecil-kecil dan keras, serta kadangkala disertai kesulitan sampai rasa sakit saat BAB. Orang usia lanjut seringkali terpancang dengan kebiasaan BAB-nya. Hal ini mungkin merupakan kelanjutan dari pola hidup semasa kanak-kanak dan saat masih muda, dimana setiap usaha dikerahkan untuk BAB teratur tiaphai,kalau perlu dengan menggunakan pencahar unhrk mendapatkan perasaan sudah bersih. Ada anggapan umum yang salah bahwa kotoran yang tertimbun dalam usus besar akan

penduduk berusia di atas 60 tahun merupakan konsumen yang teratur menggunakan obat pencahar. Di Australia, sekitar 20o/o dari populasi berusia di atas 65 tahun mengeluh mengalami konstipasi dan terjadi lebih banyak pada

perempuan dibandingkan pria. Suatu penelitian yang

melibatkan 3.000 orang berusia di atas 65 tahun menunjukkan sekitar 34o/o perempuan dan 26o/o pria mengeluh mengalami konstipasi.

diserap lagi, berbahaya untuk kesehatan, dan dapat memperpendek usia. Ada pula yang mengkhawatirkan keracunan dari fesesnya sendiri bila dalamjangka waktu tertentu tidak dikeluarkan. Suatu batasan dari konstipasi diusulkan oleh Holson, meliputi paling sedikit2 datj' keluhan di bawah ini dan terjadi dalam waktu 3 bulan: a). konsistensi feses yang keras; b). mengejan dengan keras saat BAB; c). rasa tidak tuntas saat BAB, meliputi 25oh daikeseluruhan BAB; d). frekuensi BAB 2 kali seminggu atau kurang. Int ernational Worlcs hop on C ons t ip ati on berusaha lebih jelas memberikan batasan konstipasi. Berdasarkan

DEFINISI KONSTIPASI Pada umumnya konstipasi sulit didefinisikan secara tegas

karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berlainan antara individu. Penggunaan istilah konstipasi secara keliru dan belum adanya dehnisi yang universal menyebabkan lebih kaburnya hal ini. Biasanya konstipasi

berdasarkan laporan pasien sendiri atau kdnstipasi anamnestik dipakai sebagai data pada penelitian-penelitian. Batasan dari konstipasi klinis yang sesungguhnya adalah

876

877

KONSTIPASI DAN INKONTINENSTA ALVI

rekomendasinya, konstipasi dikategorikan dalam dua golongan: 1). konstipasi fungsional, 2). konstipasi karena penundaan keluamya feses pada muara rekto-sigmoid. Konstipasi fungsional disebabkan waktu perj alanan yang lambat dari feses, sedangkan pemrndaan pada muara rektosigmoid menunjukkan adanya disfirngsi anorektal. Yang terakhir ini ditandai adanya perasaafl sumbatan pada anus.

Penelitian dengan petanda radioopak yang ditelan oleh orang usia lanjut yang sehat tidak mendapatkan adanya

perubahan dari total waktu gerakan usus, termasuk aktivitas motorik dari kolon. Total waktu pergerakan usus dengan mengikuti petanda radioopak yang ditelan, normalnya kurang dari 3 hari sudah dikeluarkan. Sebaliknya, penelitian pada orang usia lanjut yang menderita konstipasi menunjukkan perpanjangan waktu

t hari. Pada mereka yang dirawat atau terbaring di tempat tidur, dapat lebih panjang lagi sampai l4hari. Petanda radioaktif yang dipakai terutama lambat j alarurya pada kolon sebelah kiri dan paling lambat saat pengeluaran dari kolon sigmoid. Pemeriksaan elektrofi siologis untuk mengukur aktivitas motorik dari kolon pasien dengan konstipasi menunjukkan gerakan usus dari 4 sampai

Tipe

1. Konstipasi fungsional

2.

Penundaan pada muara rektum

Dua atau lebih dari keluhan ini ada paling sedikit dalam 12 bulan: mengedan keras 25o/o dari BAB feses yang keras 25% dari BAB rasa tidak tuntas 25o/o dari BAB BAB kurang dari 2 kali per minggu hambatan pada anus lebih dari 25% BAB waktu untuk BAB lebih lama perlu bantuan jari-jari untuk mengeluarkan feses

-

PATOFISIOLOGI KONSTIPASI Defekasi seperti juga pada berkemih adalah suatu proses fisiologis yang menyertakan kerja otot-otot polos dan serat lintang, persarafan sentral dan perifer, koordinasi dari sistem refleks, kesadaran yang baik dan kemampuan fisis untuk mencapai tempat BAB. Kesukaran diagnosis dan pengelolaan dari konstipasi adalah karena banyaknya

mekanisme yang terlibat pada proses BAB normal. Gangguan dari salah satu mekanisme ini dapat berakibat

konstipasi. Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantarkan feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan meregangkan ampula dari rektum diikuti relaksasi

dari sfingter anus interna. Untuk menghindarkan pengeluaran feses yang spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus ekstema dan kontraksi otot dasar pelvis

yang dipersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsang keinginan untuk BAB dan sfingter anus ekstema

diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot levator ani. Baik persarafan simpatis maupun parasimpatis terlibat dalam proses BAB. Patogenesis dari konstipasi bervariasi, penyebabnya multipel, mencakup beberapa faktoryang tumpang tindih.

berkurangnya respons motorik dari sigmoid akibat berkurangnya inervasi intrinsik karena degenerasi pleksus mienterikus. Ditemukan juga berkurangnya rangsang saraf

pada otot polos sirkuler yang dapat menyebabkan memanjangnya waktu gerakan usus. Individu di atas usia 60 tahun juga terbukti mempunyai

kadar plasma beta-endorfin yang meningkat, disertai peningkatan ikatanpada reseptor opiat endogen di usus. Hal ini dibuktikan dengan efek konstipatif dari sediaan opiat yang dapat menyebabkan relaksasi tonus kolon, motilitas berkurang, dan menghambat refleks gaster-kolon. Selain ifu, terdapat kecenderungan menurunnya tonus sfingter dan kekuatan otot-otot polos berkaitan dengan

usia, khususnya pada perempuan. Pasien dengan konstipasi mempunyai kesulitan lebih besar untuk mengeluarkan feses yang kecil dan keras, sehingga upaya mengejan lebih keras dan lebih lama. Hal ini dapat berakibat penekanan pada saraf pudendus sehingga menimbulkan kelemahan lebih lanjut. Sensasi dan tonus dari rektum tidak banyak berubah pada usia lanjut. Sebaliknya pada mereka yang mengalami konstipasi dapat mengalami tiga perubahan patologis pada rektum:

Diskesia Rektum Ditandai dengan penurunan tonus rektum, dilatasi rektum, gangguan sensasi rektum, dan peningkatan ambang kapasitas. Dibutuhkan lebih besar regangan rektum untuk menginduksi refleks relaksasi dari sfingter eksterna dan intema. Pada colok dubur pasien dengan diskesia rektum sering didapatkan impaksi feses yang tidak disadari karena dorongan untuk BAB sering sudah tumpul. Diskesia rektum juga dapat diakibatkan kurang tanggapnya ata,u

Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada usia lanjut, motilitas kolon tidak terpengaruh oleh bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak

penekanan pada dorongan untuk BAB seperti yang dijumpai pada penderita demensia, imobilitas, atau sakit

mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cerna.

daerah anus dan rektum.

Perubahan patofisiologi yang menyebabkan konstipasi bukanlah karena bertambahnya usia tetapi memang khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi.

Dis-sinergia Pelvis Terdapat kegagalan untuk relaksasi otot pubo-rektalis dan

878

GERI'TTRI

sfingter anus eksterna saat BAB. Pemeriksaan secara manometrik menunjukkan peningkatan tekanan pada

penyebabnya. Konstipasi merupakan suatu keluhan klinis yang umum dengan berbagai tanda dan keluhan lain yang

saluran anus saat mengejan.

berhubungan. Pasien yang mengeluh konstipasi tidak selalu sesuai dengan patokan-patokan yang obyektif. Misalnya bila dalam24 jambelum BAB atau ada kesulitan harus mengejan dan perasaan tidak tuntas untuk BAB sudah mengira dirinya menderita konstipasi.

Peningkatan Tonus Rektum Te{adi kesulitan mengeluarkan feses yang bentuknya kecil. Sering ditemukan pada kolon yang spastik seperti pada penyakit iritable bowel syndrome, dimana konstipasi

Beberapa keluhan yang mungkin berhubungan dengan konstipasi adalah:

merupakan hal yang dominan.

FAKTOR.FAKTOR RISIKO KONSTIPASI PADA USIA LANJUT Dibutuhkan pengenalan faktor-faktor risiko yang berkaitan

dengan konstipasi pada usia lanjut untuk memahami

masalah

ini.

Sebagai contoh, polifarmasi dapat

menyebabkan konstipasi karena beberapa golongan obat

mempunyai potensi untuk hal ini. Beberapa kelainan neurologis dan endokrin-metabolik juga dapat mengakibatkan konstipasi yang berat. Secara singkat, sebagian faktor-faktor risiko tersebut dapat dilihat pada Thbel2.

Obat-obatan

. . . . .

golongan golongan golongan golongan NSAID

antikolinergik narkotik analgetik diuretik

Kondisi neurologis

. .

strok Penyakit Parkinson

. . . . . . .

kalsium antagonis preparat kalsium preparat besi antasida aluminium penyalahgunaan pencahar trauma medula spinalis neuropati diabetik

hiperkalsemia hipokalemia hipotiroid

Kausa psikologis

. . .

psikosis depresi demensia

Penyakit-penyakit saluran cerna

. . . . .

kanker kolon divertikel ileus hernia volvulus

Lain-lain

. . .

diet rendah serat kurang cairan imobilitas/kurang olahraga

. kurang privasi untuk BAB . mengabaikan dorongan BAB . konstipasi imajiner . . . . .

lritable bowel syndrome rektokel

wasir fistulaifisura ani inersia kolon

. bepergian jauh . pasca tindakan

kesulitan memulai dan menyelesaikan BAB mengejan keras saat BAB massa feses yang keras dan sulit keluar perasaan tidak tuntas saat BAB sakit pada daerah rektum saat BAB rasa sakit pada perut saat BAB adanya perembesan feses cair pada pakaian dalam

.

feses menggunakan obat-obatan pencahar untuk bisa BAB

menggunakan bantuan jari-jari untuk mengeluarkan

Pemeriksaan fisis pada konstipasi sebagian besar tidak

didapatkan kelainan yang jelas. Walaupun demikian pemeriksaan'fisis yang teliti dan menyeluruh diperlukan untuk menemukan kelainan-kelainan yang berpotensi mempengaruhi khususnya fungsi usus besar. Diawali dengan pemeriksaan rongga mulut meliputi gigi-geligi, adanya lesi selaput lendir mulut dan tumor yang dapat

Gangguan metabolik

. . .

. . . . . . . .

mengganggu rasa pengecap dan proses menelan. Pemeriksaan daerah perut dimulai dengan inspeksi adakah pembesaran abdomen, peregangatT, atalu tonjolan. Selanjutnya palpasi pada permukaan perut untuk menilai kekuatan otot-otot perut. Palpasi lebih dalam dapat meraba massa feses di kolon, adanyatumor atau aneurisma aorta. Pada perkusi dicari antara lain pengumpulan gas berlebihan, pembesaran organ, asites, atau adanya massa feses. Auskultasi antara lain untuk mendengarkan suara gerakan usus besar, normal atau berlebihan, misalnya pada

sumbatan usus. Pemeriksaan daerah anus memberikan petunjuk penting, misalnya adakah \Masir, prolaps, fisura, fistula, dan massa tumor di daerah anus yang dapat mengganggu proses BAB. Pemeriksaan colok dubur harus dikerjakan antara lain untuk mengetahui ukuran dan kondisi rektum serta besar

dan konsistensi feses. Colok dubur dapat memberikan informasi tentang: bedah

perut

TAMPILAN KLINIS KONSTIPASI Anamnesis yang terperinci merupakan hal terpenting untuk mengungkapkan adakah konstipasi dan faktor risiko

. . . . . . .

tonus rektum tonus dan kekuatan sfingter kekuatan otot pubo-rektalis dan otot-otot dasar pelvis adakah timbunan massa feses adakah massa lain (misalnyahemoroid)

adakah darah adakah perlukaan di anus

Pemeriksaaan laboratorium dikaitkan dengan upaya

879

KONSTIPASI DAN INKONTINENSIA ALVI

mendeteksi faktor-faktor risiko penyebab konstipasi, misalnya glukosa darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia yang berhubungan dengan keluarnya darah dari rektum, dan sebagainya. Prosedur lain misalnya anuskopi dianjurkan dikerjakan secara rutin pada semua pasien dengan konstipasi untuk menemukan adakah fisura, ulkus, wasir dan keganasan. Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi, terutama yang terjadinya akut. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi adakah impaksi feses dan adanya massa feses yang keras yang dapat menyebabkan sumbatan dan perforasi kolon. Bila diperkirakan ada sumbatan kolon, dapat dilanjutkan dengan barium enema untuk memastikan tempat dan sifat sumbatan. Pemeriksaan yang intensif ini dikerjakan secara selektif setelah 3-6 bulan pengobatan konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusatpusat pengelolaan konstipasi tertentu. Uji yang dikerjakan dapat bersifat anatomik (enema,

proktosigmoidoskopi, kolonoskbpi) atau hsiologik (waktu singgah di kolon, cinedefecografi, manometri dan

elektromiografi). Proktosig-moidoskopi biasanya dikerjakan pada konstipasi yang baru terjadi sebagai prosedur penapisan adanya keganasan kolon-rektum. Bila ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah da/, rektum atau adanya riwayat keluarga dengan kanker kolon perlu dikerj akan kolonoskopi. Waktu persinggahan suatu bahan radio-opak di kolon dapat diikuti dengan melakukan pemeriksaan radiologis setelah menelan bahan tersebut. Bila timbunan zat ini terutama ditemukan di rektum menunjukkan kegagalan fungsi ekspulsi, sedangkan bila di kolon menunjukkan kelemahan yang menyeluruh. Sinedefecografi adalah pemeriksaan radiologis daerah anorektal untuk menilai evakuasi feses secara funtas, mengidentifikasi kelainan anorektal dan mengevaluasi kontraksi serta relaksasi otot rektum. Uji ini memakai semacam pasta yang konsistensinya mirip feses, dimasukkan ke dalam rektum. Kemudian penderita duduk pada toilet yang diletakkan dalam pesawat sinar X. Penderita diminta mengejan untuk mengeluarkan pasta tersebut. Dinilai kelainan anorektal saat proses berlangsung.

Uji manometri dikerjakan untuk mengukur tekanan pada rektum dan saluran anus saat istirahat dan pada berbagai rangsang untuk menilai fungsi anorektal. Pemeriksaan elektromiograf,r dapat mengukur misalnya tekanan sfingter dan fungsi sarafpudendus, adakah atrofi saraf yang dibuktikan dengan respons sfingter yang terhambat. Pada kebanyakan kasus tidak didapatkan kelainan anatomik maupun fungsional, sehingga penyebab dari konstipasi disebut sebagai non-spesifik.

KOMPLIKASI KONSTIPASI PADA USIA LANJUT Walaupun untuk kebanyakan orang usia lanjut, konstipasi

hanya sekedar mengganggu,tetapi untuk sebagian kecil dapat berakibat komplikasi yang serius, misalnya impaksi feses. Impaksi feses merupakan akibat dari terpaparnya feses pada daya penyerapan dari kolon dan rektum yang berkepanjangan. Feses dapat menjadi sekeras batu, di rekixn(70yo), sigmoid (2002), dan kolon bagian proksimal (10%o).

Impaksi feses merupakan penyebab yang penting dari morbiditas pada usia lanjut, meningkatkan risiko perawatan di rumah sakit dan mempunyai potensi untuk komplikasi

yang fatal. Penampilannya sering hanya berupa kemunduran klinis yang tidak spesiflft. Kadang-kadang dari pemeriksaan fisis didapatkan panas sampai 39,5oC, delirium, perut yang tegang, suara usus melemah, aritmia serta takipnea karena peregangan dari diafragma. Pemeriksaan

laboratorium didapatkan lekositosis. Peristiwa ini bisa diakibatkan ulserasi sterkoraseus dari suatu fecaloma yang keras menyebabkan ulkus dengan tepi yang nekrotik dan meradang. Dapat terjadi perforasi dan penderita datang dengan sakit perut berat yang mendadak. Impaksi feses yang berat pada daerah rektosigmoid dapat menekan leher kandung kemih menyebabkan retensio urin, hidronefrosis bilateral, dan kadang-kadang gagal ginjal yang membaik setelah impaksi dihiiangkan. Inkontinensia alvi juga sering didapatkan, karena impaksi feses di daerah kolorektal. Volvulus daerah sigmoid juga sering terjadi sebagai komplikasi dari konstipasi. Mengejan berlebihan dalam jangka waktu lama pada penderita dengan konstipasi dapat berakibat prolaps dari rektum.

PENGOBATAN Banyaknya macam-macam obat yang dipasarkan untuk

mengatasi konstipasi, merangsang upaya untuk memberikan pengobatan secara simtomatik. Sedangkan bila mungkin, pengobatan harus ditujukkan pada penyebab dari konstipasi. Penggunaan obat pencahar jangka panjang terutama yang bersifat merangsang peristaltik usus, harus

dibatasi. Strategi pengobatan dibagi menjadi: l).Pengobatan non farmakologis, 2). Pengobatan farmakologis

Pengobatan Non Farmakologis Latihan usus besar. Melatih usus besar adalah suatu bentuk latihan perilaku yang disarankan pada penderita konstipasi yang tidak jelas penyebabnya. Penderita dianjurkan mengadakan waktu s ecaratetat;)r tiap hari untuk memanfaatkan gerakan usus besarnya. Dianjurkan waktu ini adalah 5-10 menit setelah makan, sehingga dapat memanfaatkan refleks gastro-kolon untuk BAB. Diharapkan kebiasaan ini dapat menyebabkan

880

GERIATRI

penderita tanggap terhadap tanda-tanda dan rangsang

INKONTINENSIA ALVI

untuk BAB, dan tidak menahan atau menunda dorongan

untukBAB ini.

Pendahuluan

Diet. Peran diet penting untuk mengatasi konstipasi

Inkontinensia alvi sering digambarkan sebagai peristiwa

terutama pada golongan usia lanjut. Data epidemiologis

yang tidak menyenangkan tetapi tidak terelakkan, berkaitan

menunjukkan bahwa diet yang mengandung banyak

dengan usia lanjut. Sebenarnya, seperti halnya dengan ulkus dekubitus, inkontinensia alvi seringkali tef adi akibat sikap dokter dan tindakan keperawatan yang kurang tepat.

serat mengurangi angka kejadian konstipasi dan macam-

macam penyakit gastrointestinal lainnya, misalnya divertikel dan kanker kolorektal. Serat meningkatkan massa

dan berat feses serta mempersingkat waktu transit

Dengan diagnosis dan pengobatat yar,g sesuai, inkontinensia alvi pada usia lanjut hampir seluruhnya

di usus.

dapat dicegah.

Untuk mendukung manfaat serat ini, diharapkan cukup asupan cairan sekitar 6-8 gelas sehari, bila tidak ada kontraindikasi untuk asupan cairan.

Inkontinensia alvi lebihjarang ditemukan dibandingkan inkontinensia urin. Tiga puluh hingga lima puluh persen

Olahraga. Cukup aktivitas atau mobilitas dan olahraga juga membantu mengatasi konstipasi. Jalan kaki atau larilari kecil yang dilakukan sesuai dengan umur dan kemampuan pasien, akan menggiatkan sirkulasi dan meningkatkan tonus otot usus. Dianjurkan juga untuk melakukan senam perut untuk memperkuat otot-otot dinding perut, terutama pada penderita dengan atoni pada

otot perut.

sekali seminggu, dan sampai 50o% dari mereka yang dirawat

terapi farmakologis, dan biasanya dipakai obat-obatan golongan pencahar. Ada 4 tipe golongan obat pencahar: . memperbesar dan melunakkan massa feses, antara lain: Cereal, Methyl selulose, Psilium

. .

ini bekerja

dengan menurunkan tegangan permukaan feses, sehingga mempermudah penyerapan air. Contohnya antara lain: Minyak kastor, Golongan docusate golongan osmotik yang tidak diserap, sehingga cukup aman untuk digunakan, misalnya pada penderita gagal gtnjal, antaralain: Sorbitol, Lactulose, Glycerin

merangsang peristaltik, sehingga meningkatkan motilitas usus besar. Golongan ini yang banyak dipakai. Perlu diperhatikan bahwa pencahar golongan ini bila dipakai untuk jangka panjang, dapat merusak pleksus

mesenterikus dan berakibat dismotilitas kolon. Contohnya antara lain: Bisakodil, Fenolptalein

Bila dijumpai konstipasi kronis yang berat dan tidak dapat diatasi dengan cara-caratersebut di atas, mungkin

dibutuhkan tindakan pembedahan. Misalnya kolektomi sub total dengan anastomosis ileorektal. Prosedur ini dikerjakan pada konstipasi berat dengan masa transit yang lambat dan tidak diketahui penyebabnya serta tidak ada

respons dengan pengobatan yang diberikan. Pada umumnya, bila tidak dijumpai sumbatan karena massa

atau adanya volvulus, tidak dilakukan tindakan pembedahan.

dapat mengakibatkan pengurangan aktivitas fisis, kehilangan kontak sosial, dan lebih jelek lagi sampai diisolasi. Inkontinensia alvi saat ini merupakan penyebab kedua di Amerika Serikat untuk memasukkan orang usia lanjut di rumah-rumah perawatan. Sekitar 7% dari populasi

Pengobatan Farmakologis

melunakkan dan melicinkan feses, obat

inkontinensia alvi. Untuk sebagian orang usia lanjut, inkontinensia alvi

usia lanjut mengalami inkontinensia alvi paling sedikit

Jika modifikasi perilaku ini kurang berhasil, ditambahkan

.

pasien dengan inkontinensia urin, juga menderita inkontinensia alvi. Keadaan ini menunjukkan mekanisme patofisiologi yang sama antara inkontinensia urin dan

di rumah-rumah perawatan bagi usia lanjut, menderita inkontinensia alvi. Kebanyakan pasien tidak pernah melaporkan masalah ini pada doktemya. Pria usia lanjut lebih sering mengalami inkontinensia alvi dibandingkan perempuan usia lanjut, dan bentuk inkontinensianya lebih sering cair daripada bentuk padat.

PENGATURAN DEFEKASI NORMAL Defekasi, seperti juga halnya berkemih, adalah suatu proses fisiologis yang melibatkan :

.

koordinasi susunan sarafpusat dan perifer serta sistem

.

refleks kontraksi yang baik dari otot-otot polos dan serat lintang

.

yang terlibat kesadaran dan kemampuan untuk mencapai tempat buang air besar.

Di daerah rektum dan anus sendiri, adaliga hal yang penting untuk mekanisme pengaturan buang air besar, yang tugasnyamempertahankan penutupan yang baik dari

saluran anus, yaitu

: a). Sudut anorektal

yang

dipertahankan pada posisi yang paling ideal, di bawah 100" oleh posisi otot-otot pubo-rektal; b). Sfingter anus eksterna yang melindungi terutama terhadap kenaikan mendadak dari tekanan intra-abdominal, misalnya batuk, bersin, olahraga, dan sebagainya; c). Bentuk anus sendiri

KONSTIPASI DAN IIIKONTINENSIA ALVI

881

yang seakan menguncup berbentuk katup, dengan otototot serta lipatan mukosa yang saling mendukung.

lunak sebagai penyebab. Pengelolaan yang sesuai untuk konstipasi akan menyembuhkan inkontinensia alvi.

GAMBARAN KLINIS Klinis inkontinensia alvi tampak dalam dua keadaan: l).

Langkah pertama adalah mengidentifikasi semua kemungkinan penyebabnya. Secara umum diet yang kurang baik, imobilitas, kebiasaan buang air besar yang tidak tertib dan penggunaan laksans yang tidak tepat merupakan penyebab paling sering untuk inkontinensia

Feses yang cair atau belum terbentuk, sering bahkan selalu

pada usia lanjut.

keluar merembes; 2). Keluarnya feses yang sudah

Pemberian diet tinggi serat dengan cairan cukup dan meningkatkan aktivitas/mobilitas merupakan langkah

terbentuk, sekali atau dua kali per hari, di pakaian atau di tempat tidur. Perbedaan dari penampilan klinis kedua macam inkontinensia alvi ini dapat mengarahkan pada penyebab yang berbeda dan merupakan petunjuk untuk diagnosis. Penyebab dari inkontinensia alvi dapat dibagi menjadi 4 kelompok:

. .

inkontinensia alvi akibat konstipasi inkontinensia alvi simtomatik, yang berkaitan dengan penyakit pada usus besar . inkontinensia alvi akibat gangguan kontrol persarafan dari proses defekasi (inkontinensia neurogenik) . inkontinensia alvikarenahilangnyarefleks anal Jenis-j enis Inkontinensia Alvi Selanjutnya akan dibicarakan masing-masing tipe dari inkontinensia dan pengelol aarffiya.

lnkontinensia Alvi Akibat Konstipasi Batasan dari konstipasi (obstipasi) masih belum tegas. Secara teknis dimaksudkan untuk buang air besar kurang dari tiga kali per minggu, tetapi banyak pasien sudah mengeluhkan konstipasi bila ada kesulitan mengeluarkan feses yang keras atau merasa kurang puas saat buang air besar. Konstipasi sering sekali dijumpai pada usia lanjut dan merupakan penyebab utama pada inkontinensia alvi pada usia lanjut. Obstipasi bila berlangsung lama dapat mengakibatkan sumbatan/impaksi dari massa feses yang keras (skibala). Massa feses yang tidak dapat keluar ini akan menyumbat lumen bawah dari anus dan menyebabkan perubahan dari sudut anorektal. Kemampuan sensor menumpul dan tidak dapat membedakan antara flatus, cairan atau feses. Akibatnya feses yang cair akan merembes keluar. Skibalayang te{adi juga akan meyebabkan iritasi pada mukosa rektum sehingga akan diproduksi cairan dan mukus, yang selanjutnya melalui sela-sela dari feses yang

impaksi akan keluar dan terjadi inkontinensia alvi. Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisis, antara lain meraba adanya skibala pada colok dubur. Dari anamnesis didapatkan keterangan keluarnya feses yang tidak berbentuk atau lunak sekali, beberapa kali sehari dan penderita hampir selalu basah tercemar. Pada colok dubur bila didapatkan massa feses yang keras akan mendukung diagnosis konstipasi sebagai penyebab inkontinensia alvi, tetapi dapat juga massa feses yang

pertama yang harus diperhatikan: Buang air besar secara teratur dengan menyesuaikan refleks gaster-kolon yang

timbul beberapa menit setelah selesai makan harus dimanfaatkan, dengan mengatur waktu untuk buang air besar pada saat itu. Tempat buang air besar yang tenang dan pribadijuga akan mendukung. Bila konstipasi merupakan keluhan yang baru saja dialami dan ada perubahan dari buang air besar, maka macam-macam kelainan/penyakit kolo-rektal harus dicari. Demikian juga kelainan metabolik, misalnya neuropati diabetik, kelainan-kelainan neurologis lain seperti strok, gangguan medula spinalis, depresi, dan lain-lain. Akhirnya tidak boleh dilupakan adalah efek.samping

obat yang penggunaannya kurang tepat. Beberapa golongan obat-obatan memang sering dimanfaatkan untuk pengobatan konstipasi, dengan catatarr digunakan secara

rasional sesuai tipe konstipasi yang dihadapi. Bila indikasinya tidak sesuai, obat tersebut bahkan dapat berakibat konstipasi. Misalnya penggunaan secara berlebihan dapat menyebabkan atoni kolon, sehingga dianjurkan pemakaian tidak lebih dari tiga kali seminggu. Obat-obatan yang disebut sebagai laksans atau pencahar tersebut, kerjanyaantara lain dengan menambah volume feses, atau dengan cara melunakkan dan melicinkan permukaan feses hingga mudah keluar, meningkatkan pembentukan cairan dalam lumen usus, menstimulasi pergerakan usus dan meningkatkan refleks buang air besar.

lnkontinensia Alvi Simtomatik Inkontinensia alvi simtomatik dapat merupakan penampilan klinis dari berbagai macam kelainan patologis

yang dapat meyebabkan diare. Keadaan ini mungkin dipermudah dengan adanya perubahan berkaitan dengan bertambahnya usia dari proses kontrol yang rumit pada fungsi sfingter terhadap feses yang cair dan gangguan pada saluran anus bagian atas dalam membedakan flatus dan feses yang cair. Beberapa penyebab diare yang mengakibatkan inkontinensia alvi simtomatik ini antara lain gastroenteritis, divertikulitis, proktitis, kolitis-iskemik, kolitis ulseratif, karsinoma kolon-rektum. Semua pertimbangan diagnosis di atas, menunjukkan perlunya pemeriksaan tambahan misalnya kolonoskopi dan foto kolon dengan barium enema. Penyebab lain dari inkontinensia alvi simtomatik

882

GERIAIRI

misalnya kelainan metabolik, seperti diabetes melitus, kelainan endokrin, seperti tirotoksikosis, kerusakan sfingter anus sebagai komplikasi dari operasi hemoroid

menunjukkaq berkurangnya unit-unit yang berfungsi motorik pada otot-otot daerah sfingter dan pubo-rektal. Keadaan ini menyebabkan hilangnya refleks anal,

yang kurang berhasil, dan prolaps-rektum. Akhimyajangan dilupakan penyebab paling umum dari diare pada usia lanjut adalah obat-obatan, antara lain yang

berkurangnya sensasi pada anus disertai menurunnya tonus anus. Hal ini dapat berakibat inkontinensia alvi pada peningkatan tekanan intra-abdomen dan prolaps dari

mengandung unsur besi atau memang akibat kerja

rektum. Pengelolaan inkontinensia

pencahar. Pengobatan dari inkontinensia alvi simtomatik adalah

diserahkan pada ahli proktologi untuk pengobatannya.

terhadap kelainan penyebabnya, dan bila tidak dapat diobati dengan cara tersebut, maka diusahakan terkontrol dengan obat-obatan yang menyebabkan obstipasi.

lnkontinensia Alvi Neurogenik Inkontinensia alvi neurogenik terjadi akibat

gangguan

fungsi menghambat dari korteks serebri saat terjadi regangan/distensi rektum. Proses normal dari defekasi melalui refleks gatro-kolon. Beberapa menit setelah makanan sampai di lambung/gaster, akan menyebabkan pergerakan feses dari kolon desenden ke arah rektum. Distensi rektum akan diikuti relaksasi sfingter interna. Dan

seperti halnya kandung kemih, tidak terjadi kontraksi intrinsik dari rektum pada orang dewasa normal, karena ada inhibisi/hambatan dari pusat di korteks serebri. Bila buang air besar tidak memungkinkan, maka hal ini tetap ditunda dengan inhibisi yang disadari terhadap kontraksi rektum dan sfingter eksternanya. Pada usia lanjut dan terutama pada pasien dengan penyakit serebrovaskular, kemampuan untuk menghambat proses defekasi ini dapat terganggu bahkan hilang. Karakteristik inkontinensia neurogenik ini tampak pada penderita dengan infark serebri multiple atau penderita demensia. Gambaran klinisnya ditemukan satu-dua potong feses yang sudah berbentuk di tempat tidur, dan biasanya setelah minum panas atau makan.

Pengelolaan inkontinensia alvi neurogenik kadangkadang dengan cara yang sederhana dan cukup baik hasilnya, tetapi sering dilupakan. Penderita disiapkan pada suatu komodo (commode), duduk santai dengan ditutup

kain sebatas lututnya, kemudian diberi minumanhangat, relaks dan dijaga ketenangannya sambil ditunggu sampai feses keluar. Bila dengan cara tersebut tidak berhasil, diberikan obat-

obatan yang menyebabkan konstipasi, tetapi dipastikan

diikuti evaluasi usus bagian bawah satu atau dua kali seminggu dengan supositoria atau enema. Cara ini membutuhkan penyesuaian individual yang hati-hati dan

teliti, agar tidak mengubah inkontinensia menjadi konstipasi sesungguhnya.

ini

sebaiknya

KESIMPULAN Konstipasi merupakan keluhan terbanyak dari saluran cerna pada usia lanjut. Konstipasi sulit diberikan batasan secara tegas karena sebagai suatu keluhan terdapat variasi yang berbeda antar individu. Konstipasi-anamnestik sering dipakai sebagai patokan dalam penelitian-penelitian. International Workshop on C onstip ation memberikan rekomendasi konstipasi sebagai berikut : l.Konstipasi fungsional, 2. Konstipasi karena penundaan keluarnya feses pada muara rektosigmoid. Walaupun konstipasi merupakan keluhan yang banyak pada lanjut usia, motilitas kolon tidak terpengaruh dengan

bertambahnya usia. Proses menua yang normal tidak mengakibatkan perlambatan dari perjalanan saluran cema. Perubahan patofi siologis yang menyebabkan konstipasi bukanlah karenabertambahnya usia tetapi memang khusus terjadi pada mereka dengan konstipasi.

Anamnesis merupakan hal terpenting untuk mengr.rngkapkan etiologi dan faktor-faktor risiko penyebab

konstipasi, sedangkan pemeriksaan fisis pada umumnya tidak mendapatkan kelainan yang jelas. Pemeriksaan colbk dubur dapat memberikan banyak informasi' yang berguna pemeriksaan-pemeriksaan lain yang intensifdikerjakan secara seleklifsetelah 3 sampai 6 bulan pengobatan konstipasi kurang berhasil dan dilakukan hanya pada pusat-pusat pengelolaan konstipasi tertentu. Pengobatan konstipasi sebaiknya ditujukan untuk

menghilangkan penyebabnya. Langkah-langkah pengobatan adalah secara nonfarmakologis, farmakologis dan pada keadaan khusus antara lain dilakukan tindakan pembedahan. Inkontinensia alvi lebih jarang ditemukan dibandingkan

inkontinensia urin. Defekasi, seperti halnya berkemih, adalah suatu proses fisiologis yang melibatkan koordinasi

dari sistem saraf pusat dan perifer, respons refleks, kontraksi otot-otot polos dan serat lintang, kesadaran yang cukup baik serta kemampuan mencapai tempat buang air besar.

Perubahan-perubahan akibat proses menua dapat

lnkontinensia Alvi Akibat Hilangnya Refleks Anal Inkontinensia alvi ini terjadi akibat hilangnya refleks anal, disertai kelemahan otot-otot serat lintang.

Parks, Henry, dan Swash dalam penelitiannya,

mencetuskan terjadinya inkontinensia, tetapi inkontinensia bukan suatu hal yang normal pada usia lanjut. Penampilan klinis dari inkontinensia dapat memberikan petunjuk penyebabnya, dan selanjutnya pengelolaannya

883

KONSTIPASI DAN INKONTINENSIA ALVI

yang terutama berdasarkan penyebab, baik dengan tindakan suportif, obat-obatan dan bila perlu tindakan pembedahan.

Dengan diagnosis yang tepat dan pengobatan yang sesuai, inkontinensia alvi pada usia lanjut hampir seluruhnya dapat dicegah dan diobati. Tujuannya tidak hanya terletak pada keadpan yang kurang nyaman, bahkan

memalukan pada penderita, telapi fakta bahwa inkontinensia alvi dapat merupakan petunjuk pertama adanya penyakit serius pada saluran cerna bawah yang mungkin dapat diobati bila ditemukan dini

REFERENSI American Society of Colon and Rectal Surgeons ( ASCRS ) : Constipation June 3,2002 : 7-3 Azer, S A : Constipation Medicine, Nov.7, 2002 : 1-13 Brocklehurst JC, Alllen SC. Faecal incontinence. Geriatric Medicine for Studenta, 3'd ed. Churchill-Livingstone: 1987.p. 92-97. Brocklehurst JC, Allen SC. Urinary incontinence. Geriatric Medicine for Students, 3'd ed. Churchill-Livingstone, 1987;73-91 Cahill,M : Constipation. Mastering geriatric Care, Springhouse Corp:.1997 .p.65-67 Cheskin LJ ; Schuster MM : Constipation. In Hazzard WR 2'd ed.Principles of Geriatric medicine and Gerontology, Mc Graw Hill inc: 1990.p. 1161-1167. Cheskin L J; Schaefer, D.C : Constipation in the Elderly. American

Family Physician, Sept.15,1998. Fonda D. Management of the incontinent elderly patient. In : Update in Geriatric Medicine. The MSD General Practitioner Universities Programme.

Harari, D. Constipation in the elderly. ln Hazzatd WR 4 th ed. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology, Mc Graw Hill inc: 1999.p. 149l-1505. Hamdy RC. Altered Bowel Habits. Geriatric Medicine, a problem oriented approach. Bailiere Tindall ed. 1984.p. 158-164. Holson,

D. : Constipation Medicine, May 14, 2002 : l-I4

Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB. Incontinence. Essentials of clini-

cal geriatrics, 2'd ed. Mc Graw-Hill Information Services Co; 1989.p.139-182. Kane RL ; Ouslander JG ; Abrass IB : Constipation. Essentials of Clinical Ceriatrics, Mc Graw-Hill inc; 1995.p. 224-227 Landefeld C.S ; Lyons W.L. : Anorectal Disorders, Fecal Incontinence. Current Geriatric Diagnosis & Treatment. Intemational Edition. 2004 .p.229-231, . Morley, M.D.; Khan, A : Constipation in the Elderly. St.Louis University Health Sbiences center, October,1999. National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney diseases (NIDDK): Constipation. NIH Publication ro. 95-2754, May

2000

:

1-14.

Robert -Thomson IC : Constipation. The M S D general practitioner Universities Programme, 1989. Resnick B : Constipation In Adelman AM ed : 20 common problems in Geriatrics Mc Graw-Hill inc. International ed. 2001.p. 31135. Reuben, DB; Yoshikawa TT; Besdine RW : Small and Large Bowels disorders. American geriatric Society, Geriatric review syllabus 1996 : 289-294 Reuben DB, Yoshikawa TT, Besdine RW. Urinary incontinence. Geriatric review syllabus. Kendall/Hunt Publ. Co., 1996;12413 3. Whitehead JB. Urinary incontinence.

In : William Reichel eds. Care Williams and Wilkins, 1995: 280-286. Van der Cammen TJM, Rai GS, Exton-Smith AN. Urinary incontinence. Manual of Geriatric Medicine. Churchill Livingstone, of the elderly,

4th ed.

t99t:'254-263.

t37 PENATALAKSAN A/TN INFEKSI PADA USIA LANJUT SECARA MENYELURUH Rejeki Andayani Rahayu, Asril Bahar

PENDAHULUAN

Infeksi pada usia lanjut (usila) merupakan penyebab

kesakitan dan kematian no.

.-'

lnfeksi virus saluran napas atas

2

Fibrilasr

atrium

/J

setelah penyakit

kardiovaskular di dunia. Hal ini terjadi akibat beberapa hal antara lain: adanya penyakit komorbid kronik yang cukup banyak, menurunnya daya tahanlimunitas terhadap infeksi, menurunnya daya komunikasi usila sehingga sulit/ jarang mengeluh, sulitnya mengenal tanda infeksi secara dini. Populasi usia lanjut juga sangat rentan terhadap infeksi nosokomial karena menurunnya daya tahan selular, perubahan gaya hidup yang sering bepergian atau bahkan terikat di tempat tidur serta adanya kondisi lingkungan yang sering tidak mendukung hidup sehat. Ciri utama pada semua penyakit infeksi biasanya ditandai dengan meningkatnya temperatur badan, dan hal ini sering tidak dijumpai pada usia lanjut, 30-65 % usia lanjut yang terinfeksi sering tidak disertai peningkatan suhu badan, malah suhu badan dibawah 360 C lebih sering dijumpai. Keluhan dan gejala infeksi menjadi tidak khas antara lain berupa konfusio / delirium sampai koma, adanya penurunan nafsu makan tiba-tiba, badan menjadi lemas, dan adanya perubahan tingkah laku sering terjadi pada pasien usia lanjut. Karena sangat bervariasinya keluhan dan gejala untuk infeksi pada usia lanjut maka perubahan apapun yang terjadi di luar kebiasaan pasien usila harus dipikirkan adanya penyakit infeksi dan harus ditelusuri secara aktif dengan asesmen geriatri yang lengkap sampai terbukti benar-benar tidak ada infeksi. Kenapa begitu? Hal ini disebabkan karena penyakit infeksi yang diderita tadinya ringan saja dapat berubah dengan cepat menjadi

-____\\_

I

lnfeksi

I

Edema Paru

nlr,,= --\

Konfusio tol(sil(

I

Emboli {-

\

I Jatuh dan lm m obilitas

------..-f

---/

Fraktu r fem ur

--------r

I

v

^/t

Kontraktur

\

lnkontinensia

---'-'

Terika t tem pat tidur

I I I

+ Dekubitus

-/ Disabilitas permanen

-------, Mat

Gambar 1. Diagram untuk menunjukkan penyakit flu biasa pada lanjut usia dapat menyebabkan penyakit serius/kematian

PERUBAHAN AKIBAT PROSES MENUA Terdapat berbagai perubahan pada daya tahan tubuh dan perubahan anatomi maupun fungsi pada sistem organ tubuh seorang usia lanjut yang dapat menjadi alasan

kenapa seorang usila lebih mudah terkena infeksi dibanding usia muda. Perubahan-perubahan tersebut antara lain:

.

lebih berat, angka kematian infeksi pada usia lanjut 3 sampai l0 x lebihtinggi dibandingusia dewasamuda dan kematian bisa terjadi pada infeksi yang paling ringan sekalipun seperti terlihat pada Gambar 1.

. 884

Pada kulit, terjadi penipisan dermis dan penurunan vaskularisasi pada kulit yang dapat meningkatkan risiko terjadinya selulitis dan infeksi pada dekubitus. Pada salwannapas, terjadi penurunan fungsi danjumlah

88s

PEIIAf,N. TSANAAN INFEKSI PADA USIA LAT{JUT SECARA MENYELURUH

mukosilia serta penurunan reflek batuk memudahkan terjadinya pemmonia.

Perubahan pada peristaltik usus yang cenderung melambat dan atropi dari vili usus serta menunrnnya imunitas menyebabkan lansia mudah terkena gastroenteritis akut baik yang ditularkan melalui air maupun

.

usia lanjut juga sangat mempengaruhi daya tahan tubuh terhadap infeksi, dimana akan menghasilkan tampilan klinik ataupun pengobatan yang jauh berbeda antara usia lanjut dan dewasa muda.

Kondisi ko-morbid lain berupa penwunan fungsional seperti: nafsu makan berkurang, kesadaran menurun,

jatuh berulang, inkontinensia sering menjadi faktor

makanan yang tercemar. Pada saluran kemih, te{ adi pengosongan vesika urinaria

pemicu sekaligus faktor risiko te{adinya infeksi dan penurunan daya tahan.

yang tidak sempurna dan penurunan keasaman urin, menyebabkan lebih mudah/ sering terkena ISK (infeksi salurankemih)

Secara singkat perubahan imunitas pada usia lanjut yang terjadi karena proses menua dapat dilihat pada

Terjadi penurunan imunitas selular akibat penuaan pada thymus, produksi sel T juga menurun, sehingga terjadi peningkatan kejadian anergi. Respon proliferasi sel T

Tabel 1.

terhadap antigen/mitogen juga menurun, dan juga terj adi penurunan aktivitas sel T-helper dan sel T-Cyto-

PREDISPOSISI PENYAKIT INFEKSI PADA USIA LANJUT

foxlc. Sintesis sitokin juga menurun disebabkan karena kesalahan ekspresi m-RNA atau tanda transduksi pada usia lanjut. Peningkatan antagonis sitokin pada usia lanjut juga menjadi salah satu penyebab memrnrnnya produksi/proliferasi sel T yang berakibat supresi

Infeksi berarti te{adi keberadaan mikro-organisme di dalam

jaringan tubuh penderita dan mengalami replikasi. Jadi infeksi merupakan proses interaksi antara kuman (agent), lingkungan. Faktor predisposisi pada usia lanjut yang memudahkan

pej amu (ho s t) dan

imunitas. Pada percobaan binatang ditemukan penurunan fungsi netrofil dan makrofagpada usia lanjut, sedang pada manusia masih belum jelas. Perurrunan fungsi limfosit B dan pembentukan antibodi secara tidak bermakna berkurang pada usia lanjut, tetapi beberapa penelitian

.' terjadinyainfeksiantaralain: . Faktor intrinsik penderita usia lanjut sendiri seperti yang .

menunjukkan sebaliknya karena fungsi sel B juga

.

bergantung pada limfosit T.

telah ditulis diatas yang terjadi akibat proses menua Faktor kuman: a). jumlah kuman yang masuk dan bereplikasi, b). virulensi kuman Faktor lingkungan: apakah infeksi terjadi/didapat di masyarakat, rumah sakit atau di panti werda.

Berbagai penyakit kronis seperti diabetes melitus, penyakit jantung koroner, penyakit paru obstruksi kronik, gagalhati,gagal ginjal dllyang diderita seorang

Gambar 2 dapat menjelaskan hubungan ke-3 faktor predisposisi tersebut.

Perubahan akibat proses menua

Fungsi limfosit

lmmunitas bawaan KuliVmembran mukosa

Perubahan akibat proses menua

+++ Tipis dan kering

Komplemen

Netiofil

Respon proliferasi

++ Menurun

Produksi sitokin i sekresi Reseptor lL2llL-2

+++ Menurun

Polimorfonuklear

Adherencelchemotaxis lngestion Pembunuhan intraselular

+

tL-4 lL-6 Menurun

lmmunitas didapat Hormon-hormon timus Kumpulan limfosit

tL-1 0

IFN-y

+++ MenUrun

PGEz H

ipersensitivitas

tipe lambat Sel T Natural killer cells

+++ Berubah

++

Autoimunitas

+++ Meningkat +++ Meningkat +++ Meningkat

++ ++

Meningkat Meningkat +++ Menurun

++

Meningkat

Menurun

Keterangan : lL, interleukin; lFN, interferon; PGE2, prostaglandin E2 tidak berubah karena menua; +, ringan; ++ sedang; +++, berat

"-,

Kebanyakan imunitas bawaan berubah karena penyakit ko-morbid, bukan dari proses menua sendiri. " Fenotip sel T berubah dari bentuk asli menjadi sel T aktif / sel T memori

oJumlah sel NK meningkat, tapi status fungsionalnya menurun. eAutoantibodi sering teridentifikasi; hubungan sebagai penyebab penyakit belum diketahui.

886

GERIATRI

biasa (outbreak) gastroenteritis akut pada usila di Milwaukee AS pada tahun 1993 yang disebabkan oleh virus Cryptosporidium, suatu virus yang biasa hidup pada air minum dan banyak menyebabkan kematian, sedangkan bila menyerang orang dewasa muda biasanya tidak parah dan dapat sembuh sendiri.

DIAGNOSIS Penurunan fisiol, organ : tgiljal, hati, oaru-paru, ola(. jantung,

lmunitas:

Kulit,mukosa,

Nutrisi

:

dalll !b,albumin cL, Zn patologi:

LyT,LyB,makrofag,dll

l'idral

Proses

Dl\'4,malignancy,PPoK, Gagal jantung dll

Gambar 2. lnteraksi Beberapa faktor predisposisi infeksi pada usia lanjut

Berbagai jenis penyakit infeksi dapat mgngenai usia lanjut mulai dari yang paling ringan seperti influenza sampai dengan yang dapat mengancam jiwa seperti pneumonia. dan dari keadaan yang sederhana sampai sepsis. Dari Tabel 2dapat dilihat berbagai jenis infeksi yang terjadi pada usia lanjut dan risiko angka kematiaffiya.

Imuno-defisiensi pada usia lanjut juga menjadi penyebab penyakit Sarkoma Kaposi klasik yang kebanyakan diderita oleh para usia lanjut keturunanYahudi, Italia dan Eropa tengah. Laki-laki lebih banyak dari wanita (2;1) dan berlokasi di bagian bawah pantat. Sarkoma

Kaposi ini merupakan faktor predisposisi infeksi herpes virus yang asimtomatik. Pemeriksaan serologi terhadap herpes virus Sarkoma Kaposi dapat menjadi petanda adanya imuno-defisensi berat pada usia lanjut di Eropa Tengah dan Timur serta Israel dan Amerika Serikat. Imunodefisiensi juga menjadi dasar terjadinya kejadian luar

Seperti telah dikemukakan diatas, penampilan klinik infeksi pada usia lanjut sangat bervariasi dan tidak khas (atipikal),

diperlukan kewaspadaan dan kejelian pengasuh/perawat/ dokter yang merawat penderita, terhadap adanya perubahan yang terjadi baik perubahan fisik, kesadaran, psikis, fungsional dan kebiasaan sehari-hari. Bila ada perubahan tersebut terutama yang terjadi secara akut, harus dipikirkan salah satu penyebabnya adalah infeksi. Asesmen lengkap perlu dilakukan dengan segera untuk menegakkan diagnosis infeksi atau bukan infeksi, karena bila terlambat angka kematiannya tinggi. Panas yang merupakan gejala utama bagi adanya infeksi, sering tidak muncul pada usia lanjut. Hal ini disebabkan penumnan respon interleukin- 1 , fakor nekrosis tumor dan interleukin-6 terhadap adanyapirogen endogen.

Hasil penelitian dari Norman dan Yoshikawa (1996) mengusulkan kriteria baru untuk panas pada usia lanjut sebagai berikut: l.Peningkatan suhu badan lebih atau sama dengan 20 Fahrenheit yang menetap dari suhu normal 2.Temperatur oraT > 37 .20 C setelah pengukuran berulang, 3.Temperatur rektal > 37 .50 C pada pengukuran berulang. Tidak adanya panas pada setiap infeksi pada usia lanjut

selain menyulitkan diagnosis, juga menunjukkan prognosis yang je1ek, karena panas itu sendiri menunjukkan adanya kemampuan badan dalam melawan infeksi.

Penilaian dimulai dari anamnesis lengkap baik auto maupun allo-anamnesis, ditanyakan bukan hanya keluhan utama penyakit tetapi juga riwayat penyakit yang pemah lnfeksi

Angka kematian relatif dibandingkan usia muda*

Pneumonia lnfeksi saluran kemih lnfeksi kulit dan jaringan lunak Endokarditis infektif Meningitis bakterialis

J

5-1

ot

NA

z-5 J

Tuberkulosis

1o+

Herpes zoster

NA

Sepsis Kolesistitis

3

2-8

Appendiksitis

15-20

Divertikulitis

NA

Catatan NA = Tidak ada data untuk pembanding .Tidak, Faktor-faktor yang diindikasikan (contoh 3 kali lebih besar) f Untuk infeksi ginjal lnfeksi HIV dikeluarkan dari usia muda

t

diderita, riwayat obat-obatan yang digunakan, riwayat perjalanannya atau lingkungannya, riwayat makan atau minum sebelumnya dan riwayat kenapa sampai terjadi adanya infeksi ini. Yang tak kalah penting juga perlu ditanyakan pemakaian prothese seperti katup jantung, prothese sendi/kapsul sendi, lensa tanam, pacu jantung, graft pembuluh darah dan lain-lain. Hal ini karena sering terjadi interaksi antara benda asing tersebut dengan bakteri maupun antibodi usila yang menimbulkan infeksi misalnya pada endokarditis bakterial, artritis terinfeksi. Pemeriksaan fisik lengkap perlu dilakukan organ-per organ secara teliti, termasuk keadaan gigi, hidung, telinga dan tenggorokan sampai colok dubur atau vagira pada wanita. Penunjang diagnostik standar yang harus dilakukan

untuk mendeteksi adanya infeksi ar,tara lain darah

887

PENATALAKSANAAI\ INFEKSI PADA USIA LAT{JUT SECARA MET{YELURUH

rutin, urinalisa, feses, foto torak, dan bila terjadi di daerah endemik suatu penyakit maka lakukan pemeriksaan terhadap jenis penyakit tersebut misalnya malaria, tifoid, hepatitis virus dan lain-lain. Di samping penunjang diagnostik untuk infeksi perlu dilakukan pemeriksaan lain utnuk mencari faktor penyakit ko-morbid atau penurunan fungsi organ seperti gula darah, protein darah, ureum, kreatinin, elektrolit, analisis gas darah bila terdapat sesak napas, EKG dan lain-lain sesuai dengan kebutuhan. Bila ternyata ada sumber infeksi maka lakukan kultur darah/ urirVpus/sekret/sputum sesuai dengan lokasi infeksi untuk mencari mikro-organisme penyebab infeksi.

masih terdapat kontroversi terhadap penurunan fungsi limfosit B pada usila. Limfosit B lah yang dibutuhkan

Begitu diagnosis infeksi telah dibuat maka p enanganan/ terapi harus segera dilakukan (dengan antibiotika yang diberikan secara empirik) tanpa harus menunggu hasil kultur. Tatalaksana mulai dari penegakan diagnosis sampai penatalaksanaan infeksi pada usia lanjut dapat dilihat pada

Pasien immunocompromised seperti: HIV (+) sebelum muncul AIDS, nefrosis akut, multipel mieloma, limfoma,

peranannya dalam keberhasilan imunisasi. Masih banyak

yang setuju dan berbagai penelitian menunjukkan hasil baik dari imunisasi pada usila untuk pencegahan terhadap infeksi virus terutama untuk usila dengan risiko tinggi. Yang termasuk usila dengan risiko tinggi merutrut The

National Health dan Medical Research Council Q.{HMRC) Amerika Serikat adalah sebagai berikut: . Seluruh individu dengan umur > 65 tahun

.

.

Individu dengan asplenia baik fungsional maupun anatomi, termasuk penyakit sickle-cell

penyakit Hodgkin dan pasien dengan transplantasi

.

Gambar3.

organ Pasien dengan immunocompetent, tetapi menderita

penyakit kronik seperti: penyakit jantung kronik, penyakit ginjal kronik, diabetes mellitus, penyakitparu kronik, pecandu alkohol Orang Aborigin dan Tbrrest Strait Islander dengan umur > 50 tahun Pasien dengan kelemahan CSF.

PENATAI.AKSANAAN

.

Terapi infeksi selalumemerlukan anti mikrobayang sesuai dengan penyebab infeksi. Tetapi pada infeksi virus banyak

.

virus tidak ada anti virusnya, sehingga diperlukan peningkatan daya tahan tubuh yang prima untuk mengeliminasi virus tersebut. Beberapa infeksi virus

Untuk infeksi bakterial diperlukan terapi antibiotika yang sesuai dengan hasil kultur. Tetapi bila hasil kultur belum ada, diperlukan terapi empirik yang sesuai dengan lokasi infeksi, lokasi penderita dan lokasi terjadinya infeksi

seperti influenza, pneumonia, hepatitis, meningitis, enterovirus dapat dilakukan pencegahan dengan vaksinasi

(di masyarakat atau di rumah sakit). Dalampemberian dosis

dan pemilihan jenis antibiotika perlu diingat adanya perubahan fungsi organ akibat proses menua serta ko-

untuk mencegah terjadinya penyakit tersebut. Vaksinasi pada usila kenapatidak? Seperti dikemukakan dimuka bahwa

pilan m asalah/problem non-spesifik (konfusio, jatuh, kehilangan nafsu makan, dll)

Tam

Riwayat penyakit secara detil Kemajuan evaluasi pasien, diagnosis dan penatalaksanaan infeksi pada pasien usia lanjut

(contoh riwayat demam repatik)

Temuan

pemeriksaan fisik (contoh terdengar suara 54 dan bising anterior)

Pengkajian lab. Dasar

Pengkajian lab. Awal dan radiografi(contoh kultur darah serial, ekokardiografi) Diagnosis spesifik (contoh Endokarditis infeksi, identitas bakteri penyebab)

Terapi organism e spesifik -Nilai ambang rendah untuk penelitian objektif (kultur darah, foto toraks, dll) dibutuhkan untuk pasien dengan gangguan kognitif

Gambar 3. Penampilan penyakit dan evaluasi infeksi pada usia lanjut

888

GERIAIRI

morbid yang ada pada usila yang kesemuanya akan berakibat pada terjadinya perubahan distribusi obat, metabolisme obat, ekskresi dan interaksi obat. Penuaan sendiri telah menyebabkan menurunnya filtrasi glomerulus sebanyak 50 % padausia 70 tahun, sehingga diperlukan

penurunan dosis obat yang diekskresi lewat ginjal. Beberapa antibiotika juga berinteraksi dengan obat-obat lain yang secara bersamaan sering diminum usila untuk terapi penyakit ko-morbidnya. Interaksi tersebut dapat dilihat pada Tabel3. Interaksi obat tersebut dapat meningkatkan toksisitas

obat, atau penurunan efektivitas obat. Contohnya makrolid, tetrasiklin, sulfa dll (tidak termasuk azitromisin) dapat meningkatkan toksisitas digoksin, warfarin, teofilin dan terfenadin, atau pemakaian antasid atau I! bloker akan menurunkan absorbsi kuinolon. Efektivitas antibiotika juga dapat berubah atau menurun karena adanya perubahan motilitas gaster,

penurunan permukaan untuk absorbsi, peningkatan jaringan adiposa dan interaksi obat.

Antibiotika p-Laktam (golongan penisilin, sefalosporin, karbapenem, monobaktam)

Tabel 4 dibawah dapat dipakai sebagai contoh terapi antibiotika empirik pada usila. Penatalaksanaan infeksi pada usila tidak hanya dengan

antibiotika saja, tetapi terapi terhadap penyakit komorbidnya dan perbaikan keadaan umum (nukisi, hidrasi, oksigenasi, elektrolit, albumin,dll) sangat diperlukan juga untuk mengeliminasi infeksi. Penyakit ko-morbid yang berat serta keadaanumum yang jelek sering menimbulkan sepsis. Terapi nutrisi sangat penting bagi usila, dan perlu diingat bahwa usila yang tidak sakitpun sudah susah makan apalagi bila sakit, karena itu evaluasi terhadap diet harus sangat ketat. Bila penderita tidak dapat / mau makan seperti biasa, perlu diberikan per-sonde atau kalau perlu secara parenteral. Cairan juga harus cukup, monitor osmolaritas plasma atau kalau perlu monitor CVP serta balans cairan,

diperlukan untuk mengetahui kecukupan cairan pada penderita. Peranan asuhan keperawatan yang baik sangat

diperlukan, seperti menjaga kenyamanan penderita, kebersihan penderita dan tempat tidurnya terutama bila ada inkontinensia, mencegah terjadinya dekubitus dan

Rute primer pembuangan Ginjal

lnteraksi obat Beberapa sefalosforin dengan rantai samping MTT (contoh sefoperazon, sefotetan) mungkin bereaksi dengan warfarin

(f

PT)

Digoksin, warfarin, terfenadin, teofi lin

Makrolidb (eritrom isin, klaritromisin, roksitrom isin, azitrom isin)

Hati

Tetrasiklin

Hati (?)

Digoxin, antasid, "besi"

Fluoroquinolon (ciprofloxacin, ofloxacin, levofloxacin, etc)

Ginjal

Teofi lin,

Ginjal/Hati

Digoxin,procainamide,phenytoin,

Trimetoprim-sulfametoksazol

dantasid,

"besi"

warfarin, Obat hipoglikemik oral Vancomycin

Ginjal

Rifampisin (rifampin, rifabutin) Lain-lain Clindamycin Metronidazole Azole anti jamul

Hati

,

'Sedikit interaksi Beberapa"

Hati

Hati Hati

ETOH Beberapa,"H2 b lockerlantasid

(ketokonazol, itrakonazol, flukonazol)

'Catatan kecuali yang dibuang lewat hati: nafcillin, ceftriaxone, cefoperazone b

Azithromycin aOitatr gotonban azalide, bukan macrolide, dan hanya mempunyai sangat sedikit interaksi obat. Penelitian PK spesifik-mengindikasikan tidak ada perubaha pada kadar digoxin, terfenadine, warfarin atau Theophylline dengan azithromycin. " Suplemen Fe2** dan antasid menghalangi dan menghambat absorbsi quinolon dan tetracyclin Penurunan asam lambung sendiri tidak penting mereka bukan asli penghambat H2. d Kadar Teofilin meningkat dengan beberapa fluoroquinolon, " rifampins dan azole antijamur menghambat dan kemudian menginduksi Cyp 3 A4 di system P450 apa, interaksi (fatau J kadar beberapa obat lain). e memerlukan asam lambung untuk absorbsinya sedangkan fluconazole tidak.

dan rKe

889

PENAIAL/\KSANAAN INFEKSI PAT'A USIA LANJUT SECARA MENIELURUH

Komentar Didapat di masyarakat (Community Acquited) i Penderita rawat jalan Sinusitis akut Bronkitis kronik Pneumonia Selulitis lnfeksi ulkus kaki lnfeksi saluran kemih simtomatik Diare infeksi Antibiotik berhubungan dengan diare Herpes zoster

Amoksisilin

Amox-clav, jika sumbernya dari gigi

Amoksisilin Amox-clav/ azitromisi n/ FQ generasi ke-2l3 Cephalexin Amox-clav TMP-SMZ (wanita); Fa (lakilaki) FQ Metronidazol

Eksaserbasi lnfeksi Perokold PPOK sering dijumpai

Famsiklovir atau valasiklovir

Terapi awal untuk infeksi kaki diabetik Sistitis biasa (Uncomplicated cysf,Iis) atau pielonefritis Kuncinya rehidrasi per oral Panas dan nyeri abdominal atau mual dapat disebabkan oleh C difficile Harus dimulai terapi dalam 72 jam

Terapi pasien rawat inap Pneumonia Pneumonia (berat)

Seftriakson + makrolid Seftriakson ditambah makrolid/Generasi ke-2l3 FQ

Pielonefritis (tanpa katete0 Urosepsis (dengan kateter)

Generasi ke-3/4 sefalosporin Generasi ke-3/4 sefalosporin ditambah ampisilin

Meningitis Akut

Seftriakson ditambah vankomisin

Kolesistitis Akut Komplikasi kolesistitis akut (perforasi, gangrene, kolesistitis emfisematosa, cholangitis) Appendisitis Divertikulitis

Ampisilin-sulbaktam ESPCN-BL + gentamisin

Sefoksitin/ sefotetan/ amp-

FQ untuk pasien alergi p-lactam Penyakit sangat serius (lCU); dapat disingkirkan penyebab legionell a; tambahkan vancomycin jika terdapat S pneumoniaeyang sangat resisten terhadap penicillin AZreonam atau FO jika pasien alergi p-laKam Urosepsis yang berhubungan dengan kateter sering polimikrobial, termasuk spesies enterococcal, ditambah dengan aerobic basilus gram negative Vankomisin plus TMP-SMZ untuk pasien alergi/anafilakgi pJaktam; diperlukan vanc.untuk kasus S. pneumoniaeyang resisten terhadap penisilin Sering diperlukan pembedahan Peranan esensial untuk pembedahan gawat darurat atau dekompresi/ drainase eksternal

Jika tidak ada respons diperlukan pembedahan

sulbaKam Generasi ke-3/4 sefalosporin + klindamisin/ESPCN-BL Penisilin + nafsilin Amp-sulbactam atau ESPCNBL 0ika Rx terdahulu) Sefazolin lmipenem/ silastatin

Kolitis lskemik Endokarditis katup lnfeksi ulkus kaki diabetik Selulitis Sindrom syok septik; tanpa ketemu sumbemya

Perlu intervensi pembedahan jika terjadi perforasi dan infark Vankomisin untuk penderita alergi penisilin Generasi ke-3/4 ceph. Atau FQ dan clinda. Untuk penderita alergi PCN Vankomisin atau klindamisin untuk penderita alergi pJaktam Perawatan suportif perlu agresif

Panti rawat werda (Nursing home): Dekubitus terinfeksi

FO + klindamisin (PO); ESPCNBL (rv)

Pneumonia

cenerasi ke-2l3 FQ (PO);

Pemerataan tekanan (alih baring), nutrisi, esentta/ debridement; kultur/foto Rof untuk mengidentifikasi adanya osteomielitis dan MRSA Pertimbangkan tuberkulosis

Urosepsis

seftriakson (lV) Siprofloksasin (PO); seft riakson

Tambahkan terapi untuk enterokokus jika memakai kateter

(rM/rv) kolitis C.drfficlle

Metronidazol

Perhatian melekat untuk mengontrol infeksi seperti infeksi nosocomial yang terdokumentasi

Pneumonia

Klindamisin + seftazidim atau FQ;ESPCN-BL

Pemilihan antibiotik dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mendasari kondisi medis, status mental, alat Bantu pernapasan, antibiotik terdahulu, pengecatan gram sputum, resiko terhadap MRSA

Urosepsis yang berhubungan dengan kateter lnfeksi yang berhubungan dengan kateter intravena (selulitis, phlebitis, abses, bakteriemi)

Ampisilin +generasi ke-3/4 seph Vankomisin

Diperlukan kultur untuk pemilihan terapi Pada penderita immunocompromise4 tambahkan seftazidim; diperlukan pembedahan pada sepsis trombophlebitis

Diare yang berhubungan dengan C difficile

Metronidazol

Jika mungkin putuskan hubungan dengan antimikrobial;

lnfeksi insisi jaringan Post-operasi (abdominal) dengan selulitis, abses, atau baKeriemi

Sefazolin (infeksi ringan); vankomisin + Generasi ke-3/4 seph. (infeksi berat)

Nosokomial/Rumah sakit

:

perhatian untuk kontrol infeksi Pembukaan kembali dan pembersihan jaringan merupakan terapi definitif, pemilihan antibiotik berdasarkan kultur

Keterangan : Amoks-klav., amoksisilin-klavulanat; Amp-sulb , ampisilin-sulbaktam; Seph., seftralosporin; ESPCN-BL, ekstendedspektrum penicillin-betalactamase combination (contoh, tikarsilin-klavulanat, piperasilin-tazobaktam); FQ, fluorokuinolon (generasi pertama: siprofloksasin, ofloksasin, lomefloksasin; Generasi kedua: levofloksasin, trovafloksasin, grepafloksasin); Ticar-clav., tikarsilin-klavulanat; TMP-SMZ, trimeto-pri-sulfametoksazol. Catatan: Pemilihan antibiotik untuk terapi empirik harus segera diganti apabila sudah ditemukan hasil kultur dan tes sensitivitas.

890

GERIAIRI

kontraktur pada penderita-penderita yang tidak dapat bergerak ataupun kesadaran menurun. Jadi jelas bahwa penatalaksanaan infeksi pada usia lanjut sangat membutuhkan kerja sama tim multi-disiplin yang bekerja secara inter-disiplin.

puluh persen FUO pada usia lanjut berhubungan dengan penyakit keganasan terutama keganasan hematologik. LangkahJangkah penatalaksanaan FUO dapat dilihat pada tabel 5. Asesmen lengkap perlu dilakukan ditambah dengan berbagai pemeriksaan canggih seperti CT scan dan MRI terutama untuk kepala, abdomen dan tulang. Terapi diberikan sesuai dengan faktor penyebabnya.

FEVEROF UNKNOWN ORtGtN (FUO) FUO adalah suatq keadaan yang klasik ditandai dengan panas >

KESIMPULAN

minggu dan tetap tidak diketahui penyebabnya setelah dilakukan berbagai pemeriksaan selama I minggu. Penyebab FUO pada usia lanjut relatif tidak sama dengan pada usia muda. Faktor penyebab dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini. 3

8.30C yang sudah berlangsung

minimal

3

Penyakit infeksi pada usia lanjut perlu diwaspadai pada setiap adanya perubahan mendadak (akut) dari tingkat kesadarannya, kebiasaannya maupun keadaan fisiknya.

Setiap perubahan akut yang cenderung menurun / membwuk harus dipikirkan adanya penyakit infeksi dan

Sekitar 1/3 kasus FUO pada usia lanjut ternyata berhubungan dengan infeksi bakteri seperti abses

perlu di nilai secara teliti, sampai terbukti tidak ada penyakit infeksi. Bila terlambat akan mempertinggi angka kematian pada usia lanjut. Panas yang merupakan tanda kardinal pada penyakit infeksi, kadang-kadang tidak ditemukan pada usia lanjut (sekitar 20-35% kasus infeksi usia lanjut tidak panas),

abdominal, endokarditis bakterial, tuberkulosis, abses periginjal atau osteomielitis tersembunyi. Lebih banyak kasus FUO pada usia lanjut ternyata berhubungan dengan penyakit jaringan penghubung seperti arteritis temporal, polimialgia reumatika, poliarhitis nodosa. Dua

Penyebab lnfeksi

Abses inkaabdominal

Jumlah 35 6

Endokarditis infeksi

10

28

Temporal arteritis/ polimialgia reumatika

19

Poliarteritis nodosa

6

Lain-lain

3

Limfoma/hematologik

1:

Pastikan panasnya dengan pengukuran secara serial, riwayat sebelumnya ,contoh. perjalanan, terpapar TB, obat-obatan yang diminum (dari resep dokter maupun beli sendiri), gejala-gejala yang dialami (gejala temporal arteritis), dan fisik. Hentikan obat-obatan yang tidak penting

Step

2:

Step

3:

Evaluasi laboratorik dasar: kadar leukosit dengan hitung jenisnya, enzim hati, laju endap darah (LED), kultur darah 3x, PPD, TSH, ANA, pertimbangkan ANCA atau HIV tidak spesifik. (A) CT-scan abdominal/pelvis jika tidak diketahui sumbernya, atau (B) Biopsi arteri temporal jika gejala dan tanda menyerupai polimialgia reumatika/temporal artritis dan peningkatan LED atau (C) Tempat ditunjukkan berdasarkan pada gejala dan tanda dan abnormalitas hasil laborat

Step

4:

Step

5:

Step

6:

7

Penyakit vaskular kolagen

Malignansi

Step

12

Tuberkulosis Lain-lain

Langkah-langkah Evaluasi FUO

Kasus (%)

19 10

Solid tumor Lain-lain (e.,9 emboli pulmonal, drug fevef

I I

Tidak terdiagnosis

I

Jika 3A dikerjakan dan tetap tidak diketahui sumbernya 38, dan sebaliknya (A) Hasil terbaik biopsi BM jika hemogram abnormal dikirimkan untuk H&E, pengecatan spesial, Cx's atau (B) Hasil biopsi hati hampir nol kecuali jika ditemukan LFT yang abnormal atau hepatomegali (A) Laparoskopi atau laparotomi eksplorasi; atau

)

(B) Dalam skaning-1 11/Ga-67, skan nuclear dapat efektif mengenyampingkan penyebab infeksi pada FUO jika negatif Step

7:

Terapi ekjuvantivus untuk TB dapat diterima untuk penderita immunocompromlsed atau sangat dicurigai TB (sebelumnya PPD tes positif)

Persentase ini dihitung berdasarkan 3 penelitian FUO pada usia lanjut. TB: Tuberkulosis

891

PENATALAKSANAAN INFEKSI PADA USIA LAT{JUT SECARA MENIELURUH

sehingga batasan panas pada usia lanjut berubah.

Penatalaksanaan infeksi pada usia lanjut, selain antibiotika yang sesuai, memerlukan terapi adekuat untuk penyakit-penyakit ko-morbid yang diderita para usia lanjut. Juga diperlukan penatalaksanaan keperawatan yang komplek dan terapi suportif seperti nutrisi, cairan dan elekholit, oksigen dan lain-larn.

High I(P. Infection in the elderly. In:Hr.zzmd WR, Blass JP, Ettinger WH, Halter JB, Ouslander JG, editors. Principles of geriatric medicine and gerontology. 4s ed. New York: Mc Graw-Hill, Inc; 1999. p. 1443-54. Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB. Essentials of clinical geriatrics.

3th ed. New York: Mc Graw-Hill, hq 1994. p.201-12. Kamal A, Brocklehurst JC. A colour atlas of geriatric medicine, 1983: 9.

AI, Morris RD, Griffith JK. The elderly and waterborne cryptosporidium infection: gastroenteritis hospitalizations before and during the 1993 Milwaukee outbreak. Emerging Infectious Disease. 2003 ; 9 :4:418-23. Norman DC, Yoshikawa TT. Fever in the elderly. Infect Dis Clin North Am. 1996;10 (1):93. Richardson JP. Infections. In: Adelman AM, Daly MB ed. 20 Common problem in geriatrics. Boston: Mc Graw-Hill, Inc; Naumova EN, Egorov

REFERENSI Departement of Veterans' Affairs 13 Keltie Street, Woden ACT 2606. Pneumoccal infection and vaccination in the elderly, 2003. Engels EA, Clark E, Aledort LM, Goedert JJ, Whitby D. Kaposi's sarcoma- associated herpesvirus infection in elderly Jews and

non-Jews from New York

City. International J

Epid.

2003;31:946-50.

HH.

Infeksi pada usia lanjut. Buku ajar geriatri. In: Darmojo B, Martono H, editors. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 1999. p.323-38.

Hadisaputro S, Martono

2001. p.349-65. Strausbaugh LJ. Emerging health care-associated infections in the geriatric population. Emerging infectious diseases. 2007;7:2:268-

71. Williams GO, Jogerst GJ. Infectious disease problems in the elderly. In: Reichel W, ed. Care of the elderly: Clinical aspects of aging. 4'b ed.

Baltimore: Williams & Wilkins; 1995. p.206-17.

138 STROK DAN PENATALAKSAN LINNYA OLEH INTERNIS Hadi Maftono, RA Tuty Kuswardani

PENDAHULUAN

JENIS DAN EPIDEMIOLOG!

Strok didefinisikan sebagai suatu manifestasi klinis gangguan peredaran darah otak yang menyebabkan defisit

Di seluruh dunia strok merupakan penyakit yang terutama mengenai populasi usia lanjut. Insidens pada usia 75-84

neurologis.Definisi lain lebih mementingkan defisit

tahun sekitar 10 kali dari populasi berusia 55-64 tahun.

neurologis yang terladi sehingga batasan strok adalah sebagai berikut: "suatu defisit neurologis mendadak sebagai akibat iskemia atau hemoragi sirkulasi saraf otak". Dari definisi tersebut jelas bahwa kelainan utama strok adalah kelainan pembuluh darah yang tentu saja,

Inggris strok merupakan penyakit ke-2 setelah infark miokard akut sebhgai penyebab kematian utama,

Di

sedangkan di Amerika strok masih merupakan penyebab

kematian ke-3. Total biaya yang diperlukan untuk penatalaksanaan I (satu) kasus strok diperkirakan sekitar US $ 8 0.000- 1 00. 000. Dengan makin meningkatny a lopay a pencegahan terhadap penyakit hipertensi, diabetes melitus dan gangguan lipid, insidens strok di negara-negara maju

merupakan bagian dari pembuluh darah sistemik. Penyebab dan kelainan pembuluh darah tersebut secara patologis bisa didapati pada pembuluh darah di bagian

makin menurun. Di Perancis strok disebut sebagai

lain tubuh. Oleh karenanya strok harus dianggap merupakan akibat komplikasi penyakit sistemik.

"serangan otz/r. (attaque cerebrale)" yang menunjukkan analogi kedekatan strok dengan serangan jantung. Berdasarkan atas jenisnya strok terbagi atas:

Komplikasi yang terjadi, mengingat pembuluh darah di otak masih merupakan bagian dari pembuluh darah sistemik. Di samping itu, kematian otakyang sudahterjadi tidak akan dapat diobati dengan cara apap:ur;. Obat-

Strok Non Hemoragik Jenis strok ini pada dasarnya disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak yang kemudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak. Stok ini

obatan neuroprotektor yang sering digunakan oleh para

dokter ternyata tidak terbukti bermanfaat berdasrkan penelitian-penelitian ilmiah (EUSI 2003). Oleh karena itu, penatalaksanaan utama strok berupa perawatan umum dan mengatasi komplikasi sistemik, yang pada giliran

sering diakibatkan oleh trombosis akibat plak aterosklerosis arteiotaUatatyang memberi vaskularisasi pada otak atau

selanjutnya diharapkan dapat mencegah perluasan

suatu emboli dari pembuluh darah di luar otak yang

kerusakan jaringan otak. Karena itu seyogyanya semua spesialis penyakit dalam harus berperan, bahkan berperan

tersangkut di arteri otak. Strok jenis ini merupakan strok yang tersering didapatkan, sekitar 80% dai semua strok. Strok jenis ini juga bisa disebabkan berbagai hal yang menyebabkan terhentinya aliran darah otak, antara lain syok atau hipovolemia dan berbagai penyakit lain.

utama, dalam penatalaksanaan strok, termasuk pula dokter yang berkecimpung dalam bidang geriatri, sebagai

subbagian ilmu penyakit dalam, harus menguasai penatalaksanaan strok pada usia lanjut, mengingat pada

ini insidens kelainan ini sangat tinggi dan komorbiditas berbagai organ dan sistem merupakan hal yang sangat penting.

populasi

Strok Hemoragik Strok jenis ini merupakan sekitar 20o/o dari semua strok,

892

893

STROK DAN PENATALAKSANAANNYA OLEH INTERNIS

diakibatkan oleh pecahnya suatu mikro aneurisma dari

GEJALADAN TANDA

Charcot atalu etat crible di otak. Dibedakan attara: perdarahan intraserebral, subdural, dan subaraknoid. Secara patologis pada strok non hemoragik, yang merupakan jenis terbanyak dari seluruh strok, apa yang terjadi pada pembuluh darah di otak sempa dengan apa yang te{adi di jantung, terutamajenis emboli dan trombosis. Oleh karena itu faktor, risiko terjadinya strok serupa dengan faktor risiko penyakit jantung iskemik, yaitu:

.

Usia, yang merupakan faktor risiko independen

.

terjadinya strok Jenis kelamin, pada perempuan pre menopause lebih rendah dibanding pria. Setelah menopause faktor

perlindungan pada wanita

.

Gejala strok bisa dibedakan atas gejalaltanda akibat lesi

dan gejalaltanda yang diakibatkan oleh komplikasinya.Gejala akibat lesi bisa sangat jelas dan mudah unhrk

didiagnosis, akan tetapi bisa sedemikian tidak jelas sehingga diperlukan kecermatan tinggi untuk mengenalinya. Pasien bisa datang dalam keadaan sadar dengan keluhan lemah separuh badan pada saat bangun tidur atau sedang bekerja, akan tetapi tidakjarang pasien datang dalam keadaan koma dalam sehingga memerlukan penyingkiran diagnosis banding sebelum mengarah ke strok. Secara umum gejala tergantung pada besar dan letak lesi di otak, yang menyebabkan gejala dan tanda organ yang dipersarafi oleh bagian tersebut. Jenis patologi (hemoragik atau non hemoragik) secara umum tidak menyebabkan perbedaan dari tampilan gejala, kecuali bahwa pada jenis hemoragi seringkali ditandai dengan nyeri kepala hebat, terutama terjadi saat bekerja. Beberapa perbedaan yang terdapat pada strok hemisfer kiri dan kanan dapat dilihat dari tanda-tanda yang didapatkan dan dengan pemeriksaan neurologis sederhana dapat diketahui kira-kira letak lesi, seperti yang terlihat di bawah ini.

ini menghilang, dan

insidensnya menjadi hampir sama dengan pria Hipertensi, baik sistolik maupun diastolik merupakan

faktor risiko dominan untuk terjadinya strok baik

. .

hemoragik maupun non hemoragik

diabetesmelitus,hiperlipidemia Keadaan hiperviskositas berbagai kelainan jantung, antara lain gangguan irama (fibrilasi-atrial), infark

miokard akut atau kronis, yang mengakibatkan hipoperfusi (dekompensasi jantung), infeksi yang disertai vegetasi (endokarditis bakterialis subakut), tu-

.

Lesi di korteks

moratrium.

.

Penyebab jantung dikatakan bertanggung jawab atas sekitar 30o/o daripenyebab strok

.

Koagulopati karena gangguan berbagai komponen

.

Faktor keturunan juga memegang peranan penting

.

Hipovolemia dan syok terutama pada populasi usia

darah antara lain hiperhbrinogenemia,

.

dll

. .

dalam epidemiologi strok

gejala terlokalisasi, mengenai daerah lawan dari letak lesi hilangnya sensasi kortikal (stereognosis, diskriminasi 2 itlk) ambang sensorik yang bervariasi kurang perhatian terhadap rangsang sensorik bicara dan penglihatan mungkin terkena

Lesi di kapsula . lebih luas, mengenai daerah lawan letak lesi

lanjut, di mana refleks sirkulasi sudah tidak baik lagi.

Gagal pompa jantung H ipotensi sistem ik (syok) Pen ingktan tekanan intrakranial

Arteri

Penebalan dinding pembuluh darah Obstruksi lum inal tromboem boli spasme

Kompresi eksternal

Fokal

Subaraknoid

Ruptur anerisme

Hemoragik Ru ptu r a ln te

rsereb ra

I

rteri/intrasere bra a rtriol

I

(Ebrahim and lammie,2003) Gambar 1. Skema pembagian strok

(Ebrahim and Lam mIe,2003)

894

GERIAIRI

Kerusakan otak sebelah kiri

Paralisis sisi kanan

Defisit-bahasab ica ra

Tipe prilaku: impulsif cepat

Tipe prilaku:

hati-hatilambat

Defisit ingatan (bahasa)

Defisit ingatan (tampilan)

Gambar 1. Perbedaan antara strok hemisfer kiri dan kanan (Harrel, 1988)

. .

sensasi primer menghilang

Gangguan respirasi, baik akibat infeksi maupun akibat

bicara dan penglihatan mungkin terganggu

penekanan di pusat napas.

Lesi dibatang otak . luas, bertentangan letak lesr . kenai sarafkepala sesisi dengan letak lesi tengah)

.

Infeksi dan sepsis merupakankomplikasi strokyang serius. Gangguan ginjal dan hati.

(III-IV otak

(V,VI,VII, dan VIII di pons), (IX,X,XI, XII di medula)

Lesi di medula spinalis . neuron motorik bawah di daerah lesi, sesisi . neuron motorik atas di bawah lesi, berlawanan letak

.

lesi

gangguan sensorik

Gejala akibat komplikasi akut menyebabkan kematian 5 kali lebih banyak dibandingkan akibat lesi, dan bersamasama keduanya menyebabkansekitar 20Yo kematian pada

haripertama. Komplikasi akut yang terjadi adalah: Kenaikan tekanan darah. Keadaan ini biasanya merupakan

Cairan, elektrolit, asam, dan basa.

Ulcer stres, yanE sering menyebabkan terjadinya hematemesis danmelena Penelitian Clifford Rose, 1990 di Inggris tentang kematian akibat strok akut dapat dilihat pada Tabel 1. Komplikasi kronis akibat strok yang sering terjadi dan perlu diperhatikan adalah: . Akibat tirah baring lama di tempat tidur bisa teg'adi pneumonia, dekubitus, inkontinensia serta berbagai akibat

. ' .

imobilisasi lain Rekurensi strok

Gangguansosial-ekonomt Gangguan psikologis.

mekanisme kompensasi sebagai upaya mengejar kekurangan pasokan darah di tempat lesi . Oleh karena itu kecuali bila menunjukkan nilai yang sangat tinggi (sistolik > 22}ldiastolik >130) tekanan darah tidak perlu diturunkan, karena akan turun sendiri setelah 48 jam. Pada pasien hipertensi kronis tekanan darah juga tidak perlu

diturunkan segera. Kadar gula darah. Pasien sfrok seringkalimerupakanpasien DM sehingga kadar gula darah pasca strok tinggi. Akan tetapi seringkali te{adi kenaikan gula darah pasien sebagai reaksi kompensasi atau akibat mekanisme stres.

Penyebab

kematian Kematian otak pnmer Pneumonia Emboli paru lnsufisiensi ginjal lnsufisiensi jantung lnfark jantung Rekurensi strok

lnfark Hemoragia iskemik serebral 9o/o 4OY" 20o/o 8o/o 13yo <1Yo 9Yo

70Yo 13Yo 10o/o

3Yo <1o/o

Keterangan Kematian akibat luasnya lesi, tak ada yang bisa diperbuat

4% <1o/o

Dari : Clifford Rose, 1990 (dengan catatan penulis)

Gangguan jantung baik sebagai penyebab maupun sebagai komplikasi Keadaan ini memerlukan perhatian khusus, karena seringkali memperburuk keadaan strok bahkan sering merupakan penyebab kematian.

PENATALAKSANAAN STROK AKUT Melihat berbagai hal yang telah dibicarakan di atas, maka

STROK DAN PENATALAKSAN/MNI\IYA

OLEH INTERNIS

89s

penatalaksanaan strok akut pada dasarnya adalah sebagai berikut: Diagnosis, ditujukan unffi mencari beberapa keterangan,

terbiasa dengan keadaan tekanan darah yang meninggi, sehingga bila mendadak tekanan,darah diturunkan, akan terjadi gangguan metabolik otak yang sering justru

antara lain:

memperburuk keadaan. Pada hari-hari pertama ini

. .

Apakah pasien menderita strok atau bukan Bila memang strok, letak, jenis, dan luas lesi. Untuk kedua keadaan di atas, pemeriksaan baku emas adalah pemeriksaan dengan pencitraan tomograh terkomputer (CT-scan), walaupun pada beberapa keadaan, antara lain strok di batang otak pada hari-hari pertama sering kali tidak didapatkan abnormalitas, sehingga harus

diulang setelah 24 jam kemudian. Dengan MRI

.

belum pernah menderita hipertensi maka sasaran pemrrunan tekanan darah bisa sampai 160-180/90-100

mmHg. Apabila direncanakan tindakan trombolisis, tekanan darah sistolik tidak boleh melebihi 180 mmHg. Agar

pencitraan dengan

pemrrunan darah bisa dilaksanakan secara titrasi maka dianjurkan pemakaian obat labetaloVurapidil/nitroprusid

resonansi magnetik) diagnosis letak danjenis lesi dapat lebih diketahui dengan pasti. Lesi kecil di batang otak yang tidakterlihat dengan CT:scantersebut, akan dapat

Penggunaan nifedipin oral atau penurunan tekanan darah yang terlalu drastis perlu dihindari.

(magnetic resonance imaging

.

pemrnrnan tekanan darah juga dibedakan apakah pasien memang pasien hipertensi kronis, yang penurunan tekanan darahnya sebaiknya sampai 180/100-105 mmHg. Apabila

:

terdeteksi dengan MRI Status pasien secara keseluruhan, termasuk di sini adalah tekanan darah, kadar gula darah, keadaan kardiorespirasi, keadaan hidrasi, elektrolit, asam-basa, keadaan ginjal, dan lain-lain.

Terdapat beberapa sistem skor untuk mendiagnosis jenis, letak dan besarnya lesi, antara lain skor Siriraj, skor Gajah Mada, dan lain lain, akan tetapi ketepatannya

masih tidak bisa diandalkan Perawatan umum, diarahkan unfuk memberikan perawatan yang optimal pada pasien, memberikan posisi yang tepat, alih baring untuk pasien dengan kesadaran menurun, dan pemberian hidrasi yang cukup merupakan beberapa aspek perawatan yang penting. Termasuk disini adalah pengkajian gangguan menelan dan tatacara pemberian nutrisi bila terdapat gangguan menelan. Seringkali pemberian makanan per oral (aktif atau dengan sonde) diberikan pada pasien yang berbaring. Pada usia lanjut hal ini sangat berbahaya, karena sering menyebabkan pneumonia aspirasi.

Perbaikan gangguan/komplikasi sistemik: seperti dikemukakan di atas, berbagai komplikasi sistemik sering lebih berbahaya dibandingkan stroknya sendiri. Oleh

karena itu keadaan tersebut harus selalu dipantau. Beberapa di antaranya akan dibicarakan berikut ini.

Tekanan darah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pada strok akut, biasanya tekanan darah akan meningkat sebagai mekanisme kompensasi, untuk kemudian kembali

menjadi normal setelah 2-3 hari. Oleh karena itu, peningkatan tekanan darah pada hari-hari pertama strok tidak perlu dikoreksi, kecuali bila mencapai nilai yang sangat tinggi (sistolik >220 mmHgidiastolik >130mmHg) atau merupakan tekanan darah yang emergency. Pada keadaan inipun penurunan tekanan darah harus secara perlahan, tidak sampai normal. Pada pasien usia lanjut kehati-hatian dalam menurunkan tekanan darah tersebut

sangat penting, karena pada pasien sudah terjadi gangguan autoregulasi, artinya otak pasien seolah menj adi

atau nitrogliserin intravena atau kaptopril oral.

Gula darah. Seperti halnya dengan tekanan darah, gula darah seringkali meningkat pada hari-hari pertama strok, akan tetapi penelitian merurnjukkan bahwa gula darah yang

tinggi akan memperburuk kerusakan otak, sehingga peninggian kadar gula darah pada hari-hari pertama strok harus diturunkan senormal mungkin, kalau perlu dengan pemberian insulin melalui p ompa syringe Keadaan kardiorespirasi telah dikemukakan di atas sering menyebabkan kematian oleh karena itu perlu pemantauan yang baik dan diberikan tindakan pengobatan bila perlu.

Ulkus stres, infeksi, gangguan ginjal, atau hati juga merupakan berbagai keadaan yang perlu diperhatikan pada penderita strok, karena keadaan tersebut seringkali terjadi dan sering menentukan kelangsungan hidup pasien.

Emboli paru dan/atau trombosis vena dalam: sering merupakan komplikasi strok. Keadaan ini bisa dihindari dengan pemberian hidrasi yang cukup dan mobilisasi dini, baik secara pasif maupun aktif. Terhadap lesi. Perlakuan terhadap lesi tergantungjenis, besar, dan letak lesi, serta berapa lama lesi sudah terjadi. Lesi hemoragik, terutama subaraknoid dan subdural bisa segera dilaksanakan operasi, akan tetapi jenis intraserebral hanya yang terletak superfisial bisa dilaksanakan operasi, itupun kalau waktunya masih kurang dari 12 jam. Lebih dari itu sudah terjadi edema sekitar sehingga walaupun masih bisa dilakukan operasi hingga 72 jam hasilnya tidak sebaik bila operasi dilakukan lebih awal. Setelah 120 jam tidakbisa dilakukan operasi, karena sudah terjadi nekrosis jaringan otak. Pemberian obat hemostatik

menurut kepustakaan barat tidak banyak berbeda hasilnya dengan tanpa pemberian obat tersebut. Pada beberapa keadaan strok non hemoragik intra serebral, tindakan operatif kadang diperlukan untuk melakukan dekompresi dan menghilangkan efek massa pada otak. Tindakan ini perlu dikerjakan oleh dokter bedah saraf yang berpengalaman

896

GERIATRI

Lesi iskemik, pada dasarnya harus dibedakan antara pusat infark dan jaringan sekitarnya, yangdisebut jaringan penumbra. Di pusat infark sudah terjadi kematianjaringan otak,

sehingga tidak dapat dikerjakan sesuatu. Penumbra merupakan jaringan iskemik yang bila tak dilakukan upaya pengobatan akan memberat menjadi infark. Di daerah ini

Tindakan pengawasan lanj utan (follow- up). Tindakan untuk mencegah strok berulang dan upaya rehabilitasi kronis harus terus dikerjakan. Hal ini sebaiknya dilakukan oleh spesialis penyakit dalam yang mengetahui penatalaksanaan berbagai faktor risiko terjadinya strok ulangan.

akan terjadi suatu rantai reaksi metabolik, antara lain

masuknya ion kalsium dan laktat ke intraselular, menyebabkan terjadinya edema sel dan akhimya nekrosis. Berbagai tindakan terapeutik antara lain:

. .

.

Upaya perbaikan status umum (tekanan darah, gula darah, hidrasi, keseimbangan cairan dan asam-basa, kardiorespirasi dan lainJain).

Pemberian antikoagulasi dengan menggunakan antikoagulans (heparin,warfarin) berdasarkan penelitian di Eropa @USI 2003) tidak direkomendasikan. Trombolisis hanya dilakukan dengan aktivator plasminogenjaringan rekombinan (rtPA), itupun dengan syarat yang sangat ketat, yaituwaktupengerjaantidakboleh lebih dari 3 jam dari saat awitan strok @USI 2003). Penggunaan streptokinase, heparin atau heparinoid walaupun beberapa laporan tak terkontrol menunjukkan hasil, akan tetapi memilki kendala dengan kemungkinan besar te{adinya komplikasi hemoragik di daerah infark atau daerah lain. Pemberian antiagregasi trombosit (aspirin) 1 00-3 00 mg diberikan dalam waktu 24 jam setelah terjadinya strok

akan menurunkan mortalitas dan mencegah strok ulangan secara bermakna. Aspirin tidak boleh diberikan apabila akan dilakukan trombolisis. atau dal am w akit 24

.

jam setelah hombolisis. Perbaikanmetaboliksekitar lesi, antara lainpemberian vasokonstriktor umum yang diharapkan memberikan

vasodilatasi lokal di tempat lesi (reverse steal phenomenon) "antagonis kalsium" dan berbagai zat "neuroprotektif'walaupun dari segi teoritis hal ini sangat menarik, akan tetapi hasil dari berbagai penelitian

dengan derajat bukti tingkat I (level of evidence temyatatidak ada gunanya sama sekali.

I)

Upaya untuk menurunkan viskositas darah bila Ht di 54%o (terapi hemodilusi) menurut EUSI 2003 juga tidak direkomendasikan pada strok iskemik. atas

Rehabilitasi dini. Upaya rehabilitasi harus segera dikerjakan sedini mungkin apabila keadaan pasien sudah stabil. Fisioterapi pasifperlu diberikan bahkan saat pasien masih di ruang intensif yang segera dilanjutkan dengan fisioterapi aktif bila memungkinkan. Apabila terdapat gangguan bicara atau menelan, upaya terapi wicara bisa diberikan. Setelah pasien bisa beg'alan sendiri, terapi fisis dan okupasi perlu diberikan, agar pasien bisa kembali

mandiri. Pendekatan psikologis terutama berguna untuk memulihkan kepercayaan diri pasien yang biasanya sangat

menurun setelah terjadinya strok. Kalau perlu dapat diberikan antidepresi ringan.

ABC PENATALAKSANAAN STROK

OLEH

SPESIALIS PENYAKIT DALAM Dengan melihat tinjauan di atas,maka penatalaksanaan

strok akut setelah diagnosis ditegakkan (terutama dengan CT-ScanlMRl), terutama harus dilakukan oleh spesialis penyakit dalam dan meliputi ABC seperti juga dalam menghadapi kegawatan lain sebagai berikut: jalan napas bebas dari segala hambatan, baik akibat hambatan yang terjadi akibat benda asing maupun sebagai akibat stroknya sendiri

Airway, artinya mengusahakan

agar

Brcathing atau fungsi bernapas, yang mungkin terjadi akibat gangguan di pusat napas (akibat strok) atau oleh karena komplikasi infeksi di saluran napas

Cardiavascular Function (Fungsi kardiovaskular), yaitu fungsi jantung dan pembuluh darah. Seringkali terdapat gangguan irama, adanya trombus, atau gangguan tekanan

darah yang harus ditangani secara tepat.Gangguan jantung seringkali merupakan penyebab strok, akan tetapi juga bisa merupakan komplikasi dari strok tersebut. Penatalaksanaan hipertensi yang sangat penting sebagai faktor risiko maupun sebagai komplikasi dari strok

dibicarakan di bawah huruf

((H".

Dalam huruf "C" ini bisa dimasukkan pula aspek koagulasi. Status koagulasi menyeluruh tennasuk kadar fibrinogen perlu diperiksa dan kalau mungkin dikoreksi. Keadaan hiperviskositas (hematokrit yang terlalu tinggi, misalnya pada keadaan PPOM) perlu diturunkan secara moderat, sedangkan keadaan obstruksi parunya perlu diperbaiki.

Drug/medication (obat-obatan) harus dievaluasi yang sudah,/sedang atau akan diberikan, jangan mengganggu

fungsi homeostasis yatg pada saat ini sedang dalam keadaan terkompromi.

Electtolyte (elektrolit) terutama natrium, kalium, kalsium yang akan mengganggu/memperberat berbagai fungsi organ

Fluid stulus/bslance (status/keseimbangan cairan)' Keadaan gangguan cairan akan mempengaruhi fungsi ginjaljantung, dan fungsi organ yang lain, sehingga perlu dipantau dengan baik dan kalau perlu dikoreksi bila temyata terdapat gangguan keseimbangan cairan. Glucose level (kadar gula darah) yang terlalu tinggi atau

STROK DAN PENATALAKSANAAT{NYA OLEH INTERNIS

897

terlalu rendah. Kadar gula darah yang terlalu rendah seringkali memberikan gejala neurologis fokal serupa dengan strok, sedangkan kadar gula darah yang terlalu

tinggi dikatakan akan memperburuk lesi sehingga akan memperburuk pula status neurologis. "G" disini juga bisa dikenakanpada"gastric bleeding (perdarahan lambung)" sebagai aklbat stress ulcer yang memerlukan penanganan tersendiri termasuk perubahan jalur pemberian nutrisi. Apabila pada pemasangan pipa nasogastrik ternyata teralirkan cairan hitam tanda terdapat perdarahan gaster, maka semua tindakan konvensional untuk menghentikan perdarahan lambung ini harus dijalankan

Hypertension (hipertensi) sebagai akibat dari penyakit

hipertensi kronis akan tetapi bisa sebagai akibat kompensasi akut akibat strok. Penatalaksanaan hipertensi pada penderita strok akut telah dijelaskan di atas. "H" juga bisa diartikan sebagi "hidrasi". Pemberian hidrasi yang kurang baik akan berakibatpadateqadinya berbagai gangguan homeostasis organ-organ, akan tetapi juga

harus diperhatikan kemungkinan hidrasi berlebihan (terutama apabila keadaan ginjal ataujantung kurang baik).

Intake (asupan) diperlukan guna mempertahankan fungsi metabolisme tubuh.Walaupun dalam keadaan kesadaran menurun, masalah asupan harus diperhatikan,karena nutrisi yang baik akan membantu penyembuhan keadaan penderita. Nutrisi yang baik juga akan membantu daya tahan tubuh terutama dari keadaan infeksi. "I" juga bisa dikenakan pada kedaan NFEKSI, yang

berisiko emboli tinggi (usia lebih dari 75 tahun atau lebih dari 60 tahun ditambah risiko tinggilmenderita tekanan darah tinggi, disfungsi ventrikel kiri, diabetes melitus) diberikan terapi antikoagulanjangka panjang dengan warfarin dengan target INR 2,0-3,0.

UNITSTROK Dari pengalaman berbagai senter dapat diambil kesimpulan

bahwa perawatan pasien strok dalam suatu unit strok secara bermakna akan menurunkan angka kem atian, angl
disabilitas dan perawatan institusional dibandingkan perawatan di bangsal rawat umum. Suatu unit shok adalah suatu unit rumah sakit atau bagian di rumah sakit yang secara khusus ditujukan untuk menangani penderita strok. Dalam unit ini para staf yang bersifat multidisiplin sudah terlatih secara khusus dalam pengobatan dan perumatan penderita strok. Disiplin inti yang terikut dalam unit strok ini adalah tenaga medis (penyakit dalam, jantung, dan neurologis), perawat, dan berbagai modalitas rehabilitasi. Berbagai jenis unit strok, antara lain adalah: unit strok akut, unit kombinasi shok dan rehabilitasi, unit rehabilitasi strok, dan tim strok mobil.

REFERENSI Brocklehurst JC,

Allen

SC. Cerebral syndrome. Geriatric medicine

for students. 3rd edition. Churchil Livingstone;

1987.

selalu harus dicegah dan kemudian diatasi seefektif

Bogousslavsky J. Meeting the challenge

mungkin karena akan mempengaruhi prognosis dari pasien strok. Bronkopneumonia dan infeksi saluran kemih,yang

Oddyssey,3/3: 1 996. Rose C. Clinical diagnosis and therapy of stroke. In: Meier-Ruge,W, editor. Vascular brain disease in old age, teaching and training

kemudian bisa berlanjut ke keadaan sepsis merupakan infeksi tersering yang harus selalu dipantau kemungkinan

terjadinya. Pada keadaan perawatan yang kurang baik,dekubitus merupakan penyebab infeksi lain yang harus diperhatikan.

UPAYAPENCEGAHAN Upaya pencegahan primer dan sekunder berupa perbaikan dari berbagai faktor risiko seperti yang telah disebutkan di muka.Salah satu yang menjadi bahan perdebatan adalah penatalaksan aan end- art erectomy pada arteri karotis.

Kesepakatan saat

ini adalah anjuran unttk

end-

arterectomy pada pasien TIA bila terdapat stenosis arteri karotis lebih dari 7l%o.Padaindividu yang belum terserang TlA"/strok endarterectomy juga bisa dianjurkan apabila stenosis lebih dari 90%o, lerutama bila bersifat progresif, dan risiko peri-operatif <3o/o. Pemberian aspirin atau warfarin harus dilaksanakan sebagai upaya pencegahan primer pada semua pasien dengan f,rbrilasi atrial non vahular yang berisiko sedang untuk te{adinya emboli. Pada mereka yang

of stroke: on the attack.

ingeriatric medicine. Switzerland: Karger

AG;

1990.

p.

135-76.

Caplan LR. Intracerebral hemorrhage. Stroke octet. Lancet. 1992;339187 94:656-8. Editor. Rehabilitation congress in Berlin. Brain plasticity greater than had expected. The News, 36/1993.

European Stroke Initiative,recommendation 2003""EUSI,Ischaemic Stroke.Prophylaxis and treatment, Information for doctors in hospitals and practice,2003 Gelmers: "Cerebral Ischaemia" Springer Yerlaag,7993 Hacke,W:"What's right for MI is right for stroke as well" The News,36/ 1993 Hadi-Martono:"Stroke, who in Indonesia is supposed to manage

it?"

(unpublished). I 993

Hadi-Martono:"Stroke pada usia lanjut" Pertemuan Ilmiah Ilmu Penyakit Dalam, FK UNDIP-RS Dr.Kariadi, 1990

Meier-Ruge,W:"The Pathophysiology of Stroke, Causes and mecahnism of Cerebral Infarction"in Meier Ruge W(ed) Vascular Brain Disease in old age,Teaching and training in Geriatric Medicine. Karger AG Switzerland; 1990. p. 43-85.

of acute stroke"in Stroke Octet,Lancet 1992. 33918795,21-724 ,. Paulson,OB and Strandgaard,S:"The old brain's Blood flow.Its mechanism of cerebral infarction"in Meier Ruge,W(ed) Vascular Brain Disease in old age, Training and teaching in Geriatric Medicine. Karger AG Switzerland; 1990.p.1-42, Oppenheimer,S and Hachinsky,V:"Complication

898

GERIITIRI

Van der Cammeln TJM,: Stroke in Van der Cammeln,Rai,GS and

Exton-Smith,AN(eds) Manual of Geriat.Medicine.ChurchilLivingstone, Edinburgh, 1991.

p.

Van Gijn,J:"subarachnoid Hemorrhage"

1-8.

in Stroke Octet,Lancet,I992;

339187 94,653-6s6.

of stroke"in STroke Octet, Lan-

Warlow,C:"Secondary prevention

cet 1992;339

I 87 9

5,7 24-7 27

.

Wade,DT:"Stroke:rehabilitation and long-term care"in Stroke Octet, Lancet 1992: 33918796, pp.79l-193.

139 HIPERTENSI PADA USIA LANJUT Suhardjono

HIPERTENSI PADA USIA LANJUT

pemeriksaan minimal 1 menit. Pengukuran pertama diabaikan, kemudian diambil nllai rata-rata dari dua pengukuran selanjutnya. TD saat berdiri juga harus diukur setelah pasien berdiri 2 menit, demikian pula bila pasien memiliki keluhan hipotensi ortostatik. Pengukrlran TD sebaiknya dilakukan pada kedua lengan pada minimal lx kunjungan. Bila salah satu lengan secara konsisten

Jumlah penduduk berusia lebih dari 60 tahun di Indonesia pada tahun 2010 mengalami kenaikan sebesar 400yo, sehingga jumlahnya lebih di bawah lima tahun (balita).

Usia lanjut membawa konsekuensi meningkatnya morbiditas dan mortalitas berbagai penyakit kardiovaskular. TDS (tekanan darah sistolik) meningkat sesuai dengan

menunjukkan TD yang lebih tinggi, maka lengan tersebut sebaiknya digunakan sebagai patokan untuk pengukuran maupun interpretasi TD.

peningkatan usia, akan tetapi TDD (tekanan darah diastolik) meningkat seiring dengan TDS sampai sekitar usia 55 tahun, yang kemudian menurun oleh karena terj adinya proses kekakuan arteri akibat aterosklerosis.

Pada usia lanjut terdapat berbagai keadaan yang sering menjadi masalah dalampenentuantekanan darah. TD yang akurat yang dianggap mewakili nilai sebenarnya, amat dipengaruhi oleh keadaan pembuluh darah pasien yang sudah mengalami kekakuan akibat aterosklerosis dan

Sekitar usia 60 tahun dua pertiga pasien dengan hipertensi mempunyai hipertensi sistolik terisolasi (HST), sedangkan

di atas 75 tahun tiga perempat dari seluruh pasien

barorefleks yang berkurang. TD dapat menurun secara berlebihan pada posisi berdiri, sesudah makan atau sesudah aktivitas. Selain itu pada pengukuran TD sering

mempunyai hipertensi sistolik. Di negara maju saat ini tekanan darah yang terkonhol (TDS <140, TDD <90 mmHg) hanya terdapatpada2}o/o pasien hipertensi. Keberhasilan pengobatan yang rendah pada usia lanjut dapat diakibatkanjuga oleh karena banyak

terdapat pseudohipertensi akibat manset pengukur tekanan darah harus menekan lebih keras arteri brachialis yang kaku, mengeras karena kalsifikasi. Keadaan ini harus dipertimbangkan apabila terdapat hipotensi ortostatik atau respon pengobatan yang kurang. Oleh karena pada usia lanjut pengukuran tekanan darah sebaiknya dilaktrkan juga

dokter tidak mengobati hipertensi usia lanjut sampai optimal (kurang dari 1a0l90 mmHg) mengingat kekuatiran adinya efek samping. Pada usia lanjut, prevalensi gagal jantung dan strok tinggi, yang keduanya merupakan komplikasi hipertensi. Oleh karena itupengobatan hipertensi yang optimal penting teg'

pada posisi berdiri.

sekali dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas

DEFINISI HIPERTENSI PADA USIA LANJUT

kardiovaskular.

Dalam rekomendasi penatalaksanaan hipertensi yang kesemuanya didasarkan atas bukti penelitian (evidence based) antaralaindikeluarkan olehThe Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC-7), 2003, World Health Organization/International

PENGUKURAN TEKANAN DARAH

Dalam rekomendasi pengukuran TD dari Canadian Hypertension E ducation Pro gram (CHEP, 2009) dilakukan pengukuran minimal 3 kali pada posisi duduk deng an jarak

Society of Hypertension (WHO-ISH), 1999, British

899

900

GERIITTRI

pada pasien.

obat didapatkan penumnan kejadian koroner (23o2), strok (30%), kematian akibat kardiovaskular ( I 8%) dan seluruh kematian (13%), terutama di usia lebih dari 70 tahun. Penurunan tekanan darah j:uga bermanfaat pada usia di atas 80 tahun. Analisis meta pada intervensi pada usia 80 tahun atau lebih, mendapatkan penurunan kejadian strok,

HTPERTENST SISTOLIK TERISOLASI (HST)

keseluruhan. Dari hasil penelitian terakhir Hypertension in the Very Elderly Trial ftIYYET, 2008), pada pasien

HST didefinisikan sebagai TDS rel="nofollow"> 140 mmHg dengan TDD < 90 mmHg. Keadaan ini diakibatkan oleh kehilangan

tahun, pengobatan hipertensi juga berhasil mengurangi morbiditas dan mortalitas.

elastisitas arteri karenaproses menua. Kekakuan aorta akan meningkatkan TDS dan pengurangan volume aorta,yang pada aldrimya menurunkan TDD. Semakin besar perbedaan

PENGARUH HIPERTENSI TERHADAP MORBIDITAS

S o c i e ty of Hyp ert ens i on/ Europ e anso ciety of Cardiolo gy (ESH/ESC), definisi hipertensi sama unfuk semua golongan umur. Pengobatan juga didasarkan bukan atas umur akan tetapi pada tingkat tekanan darah dan adanyarisiko kardiovaskular yang ada

Hyp ert ens i on Society, Europ e an

akan tetapi menunjukkan sedikit kenaikan mortalitas

TDS dan TDD atau tekanan nadi(pulse pressure),sema\
besarnya kerusakan yang terjadi pada organ target; jantung, otak dan ginjal. Pada usia lanjut tekanan darah sistolik (TDS) lebih berkaitan dengan prognosis komplikasi KV dibandingkan tekanan darah diastolik (TDD).

MANFAATPENGOBATAN Hipertensi pada uqia lanjut sama seperti hipertensi pada usia lainnya. Bahkan risiko terjadinya komplikasi lebih besar. Terdapat hasil 2 penelitian yang terkonhol yang memengaruhi cara pengobatan hipertensi sistolik pada usia lanjut, yaitu Systolic Hypertension in the Elderly Program (SHEP) dan Systolic Hypertension in Europe (Syst-Eur). Pada studi SIIEP yang melibatkan pasien dengan usia lebih

60 tahun dan TD lebih dari 160/90 mmHg, pemberian diuretik klortalidon (tanpa atau dengan penghambat beta) mengurangi kejadian strok (36%), gagal jantung (54%), infark miokard (27%") dan seluruh komplikasi kardiovaskular (32%) dibandingkan dengan kelompok plasebo.

Dengan disain dan besar sampel yang sama, studi Syst-EUR membandingkan pengobatan' antata golongan antagonis kalsium (nifedipin) dengan plasebo pada hipertensi sistolik terisolasi. Didapatkan penurunan

kejadian strok (41%) dan keseluruhan komplikasi kardiovaskular (fatal dan nonfatal 3 1%). Penurunan tekanan darah menghasilkan penurunan risiko morbiditas maupun mortalitas akibat komplikasi kardiovaskular. Hasil-hasil dari penelitian besar yang telah

dilakukan pada hipertensi sistolik dan diastolik menghasilkan penurunan risiko yang sama. Hal ini dapat dilihatpada tabel dibawah ini,yangsaat ini telah diatggap sebagai dasar pengobatan hipertensi pada usia lanjut. Pada analisis-meta dari 8 studi pengobatan hipertensi denganplasebo yang terkontrol danmelibatkan 15.693 usia lanjut yang diikuti sampai 4 tah:on, didapatkan penurunan morbiditas dan mortalitas yang bermakna. Pada yang diberi

populasi usia sangat lanjut yang berusia lebih dari 80

SELAIN KARDIOVASKULAR lanjut, hasil pengobatan tidak hanya diukur oleh keberhasilan penurunan tekanan daruh pada morbiditas dan mortalitas kardiovaskular, tetapi juga oleh berbagai Pada usia

hal, termasuk efek terhadap diabetes, pencegahan demensia atau penurunan kogrritif, dan pengaruhnya kepada indeks massa tubuh (IMT atau obesitas).

Diabetes Melitus Pasien DM mempunyai risiko kardiovaskular yang lebih besar dibandingkan yang tanpa DM. Dari hasil penelitian SHEP yang dilaporkanpertama kali tahun 1996, dan Syst-

Eur tahun 1999 pada pasien usia lanjut dengan DM, didapatkan bahwa pengobatan diuretik atau antagonis kalsium mempunyai efek penurunan tekanan darah yang sama. Dibandingkan dengan non DM, pasien dengan DM mempunyai penurunan morbiditas dan mortalitas yang lebih besar. Hasil ini penting mengingat anggapan bahwa hanyaACEI atauARB yang amat dianjurkan pada pasien DM. Hasil 2 studi ini menekankan pada pentingnya pengendalian tekanan darah pada usia lanjut.

lndeks Massa Tubuh Pada penelitian SHEP yang menggunakan diuretik, menghasilkan parameter, survival dan kejadian klinik, lebih

baik pada yang termasuk obes, dibandingkan yang mempunyai IMT normal. Sudah lama diketahui bahwa pasien hipertensi yang gemuk mempunyai prognosis lebih

baik dibandingkan pada yang kurus. Salah

satu

penjelasannya adalah bahwa pada hipertensi gemuk peningkatan tekanan darah terutama diakibatkan oleh peningkatan volume plasma sedangkan pada yang hipertensi yang tidak gemuk diakibatkan peningkatan sistem simpatis dan sistem renin angiotensin.

Fungsi Kognitif dan Demensia Keadaan pemrmnan fungsi kognitif dan demensia pada usia lanjut, lebih sering didapat pada hipertensi kronik.

901

HIPERTENSI PADA USIA LAi{JUT

Pengobatan dengan antihipertensi terbukti dapat mengurangi perburukan. Keadaan ini terjadi karena penyempitan dan sklerosis arteri kecil di daerah subkortikal, yang mengakibatkan hipoperfusi, kehilangan autoregulasi, penunrnan sawar otak, dan pada akhimya terjadi proses

demyelinisasi white matter subkortikal, mikroinfark dan penurunan kognitif. Pemeriksaan MRI pada pasien dengan hipertensi kronik sering mendapatkan lesi subkortikal, mikroinfark, astrogliosis, pelebaran ventrikel, dan

didapatkan penurunan TD lebih lanjut. Selain itu dianjurkan melakukan latihan atau aktivitas fisik secara teratur dan menghentikan konsumsi alkohol. National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE/BHS, 2006) merekomendasikan untuk memulai intervensi medikamentosa antihipertensi bila: Tekanan darah diatas 160/100 mmHg; atau Hipertensi sistolik terisolasi (TDS > 160 mmHg); atau tekanan darah > 140

mmHg dan disertai: Risiko kardiovaskular (+); atau

akumulasi cairan ekstrasel dibanding yang lanpa

kerusakan organ target; atau risiko kardiovaskular (dalam)

hipertensi. Kemunduran kognitif ditandai dengan lupa pada hal yang baru, akan tetapi masih dapat melakukan aktivitas dasar sehari-hari. Hipertensi dan hiperkolesterolemia merupakan faktor risiko utama. Pengobatan hipertensi dapat mencegah terjadinya pemrmnan kognitif. Tekanan darah yang optimal untuk mencegah proses ini adalah TDS antara 1 3 5 - 1 50 mmHg dan TDD ariara 7 0 -7 9 mmHg. Tidak ada dataperbandingan obat hipertensi yang lebih efektif, akan tetapi dalam studi SystEUR pengobatan dengan golongan antagonis kalsium mendapat hasil yang baik. Penelitian yang lain mendapatkan golongan penghambat reseptor angiotensin danACEI terutama pada yang pernah mengalami strok, cukup efektif. Penghambat reseptor beta tidak menunjukkan perbaikan kognitif dibanding dengan

l0tahunminimal2}Yo.

penghambat reseptor angiotensin walaupun efek penunman tekanan darah sama. Penelitian longitudinal seperti SHEP, Syst-Etr, the

Medical Research Councilb (MRC), the Protection Against Recurrent Stroke Study (PROGRESS), daIJ the Study of Cognition and Prognosis in the Elderly (SCOPE) melaporkan efek manfaat terapi antihipertensi terhadap

fungsi kognitif dan demensia. Sedangkan substudi HYVET-Cognitive (HYYET-COG) tidak menjumpai perbedaan bermakna antara kelompok antihipertensi dan non-antihipertensi pada sisi demensia maupun penumnan fungsi kognitif. Sebagai kesimpulan yang digarisbawahi adalah bahwa pemberian OAH tidak meningkatkan risiko demensia maupun pemrrunan fungsi kognitif.

Pengobatan hipertensi harus dimulai sejak dini untuk mencegah kerusakan organ sasaran, tanpa memandang usia. Diuretika dianjurkan sebagai pengobatan pertama hipertensi sistolik terisolasi. Pada usia lanjut penurunan

tekanan darah harus dilakukan hati-hati dengan memperhatikan apakah terdapat hipertensi b erat y anglama. Pada hipertensi resisten diperlukan waktu yang cukup untuk mencapai sasaran. Pada pasien dengan DM, sasaran tekanan darah adalah kurang dari 130/85 mmHg, sedangkan pada gagal ginjal

atau jantung, sasaran yang dicapai adalah TD yang paling rendah yang dapat ditolerir. Khusus pada usia sangat lanjut di atas 80 tahun target TD berdasarkdn studi

HYVET adalah I 5 0/80 mmHg. Sedangkan pada hipertensi diastolik target TD adalah TDD 85-90 mmHg, pada HST target TDS <140 mmHg. Penelitian lain memperlihatkan TDD optimal 70 mmHg pada pasien dengan HST karena TDD < 60 mmHg akan menurunkan surttival. Hubungan antara TDD dengan mortalitas kardiovaskular ini akan membentuk kurva berbentuk J (-I curve)karenaterdapatnya 4 mekanisme patofi siologi: l. J curvemerupakan epifenomena dari berbagai penyakit kronis berat yang mendas ariny a y ang menyebabkan peningkatan mortalitas 2. TDD yang rendah merupakan petanda flrngsi kardiak

yang rendah menunjukkan peningkatan kekakuan atleial, yang merupakan marker independen penyakit vaskular

3. J curtte

tahap lanjut dan peningkatan mortalitas karena tekanan

nadi menjadi lebar

PENGELOLAAN HIPERTENSI USIA LANJUT Pengelolaan hipertensi pada dasarnya sama pada setiap

4. TDD yang rendah dapat mengganggu

perfusi koroner

selama fase diastolik dari siklus jantung,tervtamapada

pasien dengan PJK

tingkatan usia kecuali adanya perbedaan seperti yang dibicarakan di atas. Direkomendasikan agar tekanan darah dapat mencapai kurang dari 140/90 mmHg. Hg. Pada usia lanjut penurunan berat badan (pada obesitas)

dan mengurangi asupan garam amat penting dalam

pengelolaan hipertensi. Dalam

studi trial of

nonpharmacologicic interventions in the elderly (TONE), pengurangan asupan garam sampai2 gram (Na: 80 mmol) sehari, berhasil menurunkan TD selama lebih dari 30 bulan

balkan 40o/o pasien dapat menghentikan penggunaan obat hipertensi. Apabila disertai dengan pemrnman berat badan,

Apakah semua obat hipertensi mempunyai efektivitas yang sama? Pegelitian yang amat komprehensif yang membandingkan berbagai hasil klinik dari berbagai obat adalah penelitian

STOP-2 (swedish Trial

in Old Patients with Hyper-

tension-2). Walaupun penelitian ini secara statistik tidak mempunyai kekuatan yang cukup unhrk membandingkan berbagai karakteristik obat-obat yang diteliti, efek terhadap mortalitas kardiovaskular, strok, dan infark didapatkan

902

sama, tak berbeda. Anatrisis meta yang besar juga menyimpulkan bahwa diuretik, penghambat beta, ACEI,

GERIITTRI

1.

dan antagonis kalsium menghasilkan penurunan morbiditas dan mortalitas yang sama. Pengecualiannya adalah bahwa pada nefropati diabetes atau non diabetes, pengobatan dengan ACEI atau ARB harus dipergunakan sebagai pilihan yang utama.

tradisional. Pada saat kontrol sebaiknya pasien

2.

Untuk mencapai sasaran pengobatan diperlukan kombinasi 2 obat atau lebih. Apabila sasaran TDS tercapai, biasanya TDD juga akan turun. Secara umum penggunaan obat hipertensi, diuretik, penghambat beta, ACEI, antagonis kalsium mempunyai efek klinik yang sama. Penelilianyatg lebih baru melaporkan perbedaan efektivitas pada beberapa obat dibandingkan dengan yang lainnya. Penelitian LIFE (Losartan Interventionfor End-point Reduction in Hypertension), lerutama pada pasien dengan hipertensi sistolik dan pembesaran ventrikel kiri, mendapatkan hasil yang tebih baik pada pemberian losartan dibanding penghambat beta, dalam hal penurunan angka kejadian strok (25%) dankejadian diabetes (25%). Walaupun pada kelompok TD 140-160 belum ada

Pasien usia lanjut sering mendapat banyak obat, sehingga kemungkinan interaksi harus selalu dipikirkan. Ada obat dari dokter, obat bebas maupun obat membawa semua obat yang diminum selama ini, atau catatan y ang lengkap mengenai obat- obat yang didap at. Pendengaran dan penglihatan yang menurun sering

mengakibatkan kesulitan dalam memahami intruksi

3.

4.

dokter. Cara pemberian obat harus sesederhana dan semudahmungkin. Adanya demensia atau gangguan fungsi kognitifperlu jadi pertimbangan untuk menentukan pilihan obat. Kemasan dan tempat obat yang diberikan apotik.

Kesulitan membuka tutup, mengeluarkan obat

5. 6.

mengakibatkan kepatuhan minum obat terganggu. Kebanyakan pasien usia lanjut mempunyai kesulitan keuangan, sehingga dalam pemilihan obat, pemeriksaan penunjang dan lain lain hal ini harus dipertimbangkan. Komunikasi dengan pasien. Agar dokter menyediakan

lebih banyak waktu untuk mendengarkan keluhan seperti efek obat, segala kesulitan dan menasehatinya.

penelitian terkontrol yang membuktikan manfaat penurunan tekanan darah, keputusan untuk mengobati TD dianjurkan jangan ditunda dan jangan atas dasar

REFERENSI

pertimbangan umur.

1. British Hypertension Society Guidelines. Guidelines for of hypertension: report of the fourth working party of the British Hypertension Society, 2004-BHS IV. J Hum Hypertens 2004; 18: 139-185 Baruch L. Hypertension and the elderly: More than just blood pressure control. J Clin Hypertens 2004;6:249-55 Becket NS, Peters R, Fletcher AE, Staessen JA, et al. Treafirert ofHypertension in Patient 80 Years ofAge or Older. N Engl J Med. 2008; 356(8): 789-96 Canadian Hypertension Education Program. 2009 CHEP Recommendations for the Management of Hypertension [homepage on the Internet]. Canadian Hypertension Education Program; [updated 2009; cited 2009 Feb 20]. Available from: http:// www.hypertension.ca Chobanian AY Bakris GL, Black HR, et a1.. The Seventh Report of the Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure: the JNC 7 report. JAMA. 2003 ;289 (19) :25 60 -7 2. management

HIPOTENSI ORTOSTATIK

2.

Hipertensi ortostatik ditemukan pada usia lanjut yang

3.

mendapat pengobatan obat hipertensi, terutama apabila

ia pasien DM. Dikatakan hipotensi ortostatik apabila perbedaan TD pada posisi berbaring dengan posisi berdiri >20 mmHg sistolik atau>10 mmHg diastolik.

4.

Hipotensi ortostatik juga sering mengalami komplikasi seperti jaffi, fraktur sehingga meningkatkan morbiditas

dan mortalitas. Penyebab hipotensi ortostatik cukup banyak, antara lain kurangnya cairan tubuh, disfungsi barorefleks, insufi siensi saraf otonom, obat antihipertensi tertentu seperti penghambat reseptor alfa atau penghambat

beta. Penggunaan diuretik dan obat golongan nitrat

5.

6. Guidelines Committee. 2003 European Society of Hypertension-European Society

memacu terjadinya hipotensi ortostatik.

Gejala hipotensi ortostatik seperti rasa tidak stabil, riwayat terjatuh, rasa oleng atau pernah pingsan, harus

of Cardiology guidelines for

the management of arterial hypertension. J Hypertens 2003;21:l0ll-53

7.

dipastikan dengan pengukuran tekanan darah pada posisi

Hansson L, Zanchetti A, Carruthers SG et al. Effects of intensive blood-pressure lowering and low dose aspirin-in

berbaring, duduk dan berdiri atau tegak. Diperlukan

patients with hypertension: principal results of

penyesuaian obat dan dosis agar keluhan dapat berkurang

Hypertension

atau tidak terjadi.

8. National Institute for Health and Clinical

MASALAH KHUSUS PADA USIA LANJUT

9. Ada berbagai masalah khusus yang sering dijumpai pada usia lanjut seperti di bawah ini ;

the

Excellence. Hypertension: Management of Hypertension in Adults in Primary Care-NICE Clinical Guideline 34 [homepage on the Internetl. NHS; [updated 2006 June; cited 2008 Oct l6]. Available from: http:// www.nice.org.uk/ Optimal Treatment (HOT) randomized trial. HOT Study Group.

Lancet, 1998;91 18:17 55-62 L, Lindholm LH, Ekbom

10. Hansson

let

al. Randomised trial of

HIPERTENSI PAT'A USIA L/\NJUT

old and new antihypertensive drugs in elderly patients: cardiovascular mortality and monality the Swedish Trial in Old Patients with Hypertension-2 study. Lancet, 1999:9192:1751-56 11. Staessen J, Fagard R, Thijs L, et al. Randomized double-blind comparison of placebo and active treatment for older patients with isolated systolic hlpertension. The Systolic Hypertension in Europe (Syst-Eur) Trial Investigators. Lancet. 1997 ;3 50:7 57 -64. 12. Wong JG Staessen JA, Gong L, Liu L. Chinese trial on systolic hypertension in the elderly. Arch Intern Med. 2000;160:211-20.

903

t40 KEGAWATDARURATAN PADA PASIEN GERIATRI Lukman H. Makmun

. . . . . .

PENDAHULUAN Pada usia lanjut (usila)

te{adi proses menua, dimana secara struktur anatomi maupun firngsional te4'adi kemunduran,

yaitu terjadi proses degenerasi. Pada usila berusia 80-90 tahun terjadi penurunan fungsi pada banyak organ dan sistem, sehingga yang tersisa adalah sebagai berikut: . kecepatankonduksi saraftinggal 85% . lajubasalmetabolitmenjadi 80%

. .

. . . .

di bidang neurologis di bidang saluran cerna; acute abdomen di salurankemih di bidang endokrin dan metabolik trauma Pada usila gejala dan tanda biasanya agak menyimpang

dari yang biasa didapatkan pada usia dewasa muda, sehingga perlu diperhatikan kekhususannya.

volume cairan tubuh juga menj adi$}Yo, sehingga mudah terjadi dehidrasi bila ada infeksi. indeks kardiakmenurun,trnggalT0%o,sehingga mudah

TRAUMA

terjadi sesak bila beraktivitas

Pada usila penyebab utamanya adalah karena jat.th (fall), lebih kurang terjadi pada40Yo usila. Sepuluh persen dari

kapasitas vital paru pun menurun, menjadi 68% kapasitas vital maksimum menjadi4}%o

jatuh tersebut terjadi cedera berat dan 50o/o diantaranya te{adi fraktur. Penyebab dari jatuh dengan trauma berat perlu

laju lrltrasi glomerulus turun menjadi67Yo aliranplasma ginjal tinggal:40 -47%o

Penurunan yang terjadi pada pasien usia lanjut ini adalah karena perubahan fisiologis, tetapi bila terkena

ditelusuri lebih lanjut dan biasanya karena kombinasi dari perubahan-perubahan yang terjadi pada proses menua. Misalnya turunnya dayapropriosepsi dan kelemahan otot yang sudah terjadi, dengan penyakit seperti Parkinson, strok dan penglihatan kabur. Begitujuga efek obat-obatan seperti vasodilator, anti depresi. Pengaruh lingkungan

suatu penyakit, maka akibat ataupun efeknya akan berbeda

dengan pasien muda.

Manifestasi klinis yang timbul juga berbeda. Misal pasien usila dengan penyakit jantung koroner, keluhan yang timbul mungkin adalah sesak bukan angina pektoris, karena organ parunya sudah mempunyai masalah. Begitu juga bila terserang pneumonia, tidak selalu disertai panas karena sudah berkurangnya faktor-faktor inflamasi seperti

seperti cahaya kurang, lantai licin, juga perlu dipertanyakan. Karena itu dalam melakukan anamnesis pada kasusjatuh, perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: . aktivitas pasien pada saat kejadian, misalnya kencing

interleukin 6 dan lain-lain. Pengobatan harus

. . . . .

memperhatikan fungsi ginjal dan fungsi hati supaya tidak terjadi interaksi obat ataupun terjadi efek samping. Pada pasien geriatrik kegawatdaruratan yang sering terjadi adalah meliputi bidang sebagai berikut:

.

di bidang pemapasan

dibidangkardiovaskular

904

malam apakah ada simtom prodromal: dizziness, nausea. kesadaran menurun atau menghilang timbul nyeri dada dan berdebar karena seranganjantung rasa sesak riwayat pernah sakit dada.

905

KEGAII'ITTT'ARURATAN PADA PASIEN GERIITTRI

. . . . . .

strok ataksia, Parkinson dan artritis. obat-obatan yang diminum pernah mengalami hipotensi postural

panas, rasa nyeri, menggigil. Sedangkan keluhan non spesif,rk yang sering dikeluhkan pasien usila, adalah: 1). Inkontinensia :urin, 2). Malais e, weal*tess, dan confusion. Pada ISK perlu dilakukan pemeriksaan kultur urin.

tibatibamenjadilemah lingkungan mengenai c4haya,licin dan sebagainya.

fisis

selain pemeriksaan rutin, perlu dilihat tanda-tanda trauma. Bila tekanan darah (TD) turun, waspada pendarahan internal misal ruptur limpa. Pada Pada pemeriksaan

keadaan syok, mungkin hanya didapatkan TD turun,tanpa kenaikan nadi karena sudah ada gangguan sarafotonom,

sehingga denyut nadi tidak meningkat akibat respons simpatis berkurang. Perlu diuji penglihatan, pendengaran, dan keseimbangan. Diperiksa status kardiovaskular dengan

EKG. Pengukuran tekanan darah pada pasien usila dilakukan dalam posisi duduk supaya langsung terlihat apakah sudah ada hipotnsi ortostatik. Status neurologisjuga dilihat apakah ada stroke ringan. Juga otot-otot diperiksa kelemahannya. Bila terlihat ada

risiko jatuh, pasien perlu dirawat.

KEGAT'VATAN G E N ITOU RI NARI

U

S

Biasanya terjadi infeksi saluran kencing (ISK) dan retensi urin. Retensi urin pada pasien usila pria umumnya adalah karena pembesaran kelenj ar prostat. Pada pasien usila perempuan, ISK sering terjadi karena secara anatomis uretra lebih pendek, mukosa sudah menipis di samping masalah higiene genital yang kurang diperhatikan. ISK dapat juga terjadi karena sebab lain, yaitu: 1). Penggunaan obat anti kolinergik, 2). Striktur uretra, 3). Ca prostat,4). Fecal impaction,4). Strok, 5). Kompresi medula spinalis, 6). Trauma uretra/pelvis.

Kesemuanya

ini menyebabkan tertahannya urin di

kandung kemih dalam waktu lama, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Di samping kemungkinan adanya gejalabiasa seperti disuria, gejala klinis lain dapat

berupa agitasi, gejala non spesifik dan kandung kemih teraba penuh. Kadang-kadang pasien datang tanpa panas, tetapi gelisah, delirium, dimana harus dicurigai adanya infeksi. ISK merupakan infeksi kedua terbanyak pada usila

setelah pneumonia. Pengobatan segera untuk menghilangkan retensi urin adalah dengan kateter urin atau pungsi supra pubis. Etiologi ISK adalah karena dayatahantubuh menurun, dengan pencetusnya misalnya penggunaan kateter urin. Selain itujugaterjadi perubahan mukosa genital danuretra

yang menipis.

Di

samping itu Benign Prostate

Hypertrophy (BPH) dan juga pada keadaan strok dan DM sering merupakan komorbid penyakit ISK. Kuman yang sering ditemukan adalah E.coli dan bisa juga Proteus Sp. Enterococcus, Staphylococcus. Tanda klinis ISK sering didapat sebagai berikut: disuria,

KEGAWATAN NEUROLOGIS Biasanya pasien dibawa ke rumah sakit dengan keadaan gangguan kes adaran, yaitu: delirium, koma, sinkop.

Delirium. Dapat terjadi pada cerebro vascular accident (CVA) akut, dan selain itu dapat terjadijuga karena: efek samping obat, adanya infeksi, penyakit kardiovaskulaq dan adanya trauma non sistem sarafpusat (SSP). Delirium dapat rancu dengan demensia. Awitan delirium dapat bersifat akut dan fluktuatif. Penyebab delirium pada

usila dapat oleh karena; . obat anti kolinergik, antidepresi, psikotropik, sedatif hipnotik, anti konvulsi, anti Parkinson, anti hipertensi dananti aritmia.

.

gangguan keseimbangan metabolik yaitu: hipo/

. . .

hipematremia, hipo/hiperkalsemia, hipo/hiperglikemia, alkalosis, dehidrasi, uremia infeksi: pneumonia, ISK. kelainan neurologis: strok kelainan kardiopulmoner: CHF, aitmi4lMA, emboli

.

paru

penyalahgunaan alkohol. Pengobatan delirium dapat dicoba dengan haloperidol.

Koma. Penyebabnya dapat karena beberapa hal misalnya konsumsi alkohol berlebihan, adanya infeksi seperti meningitis, gangguan metabolik berupa hipo atau hiperglikemik dan adanya massa di otak. Keadaan lain adalah seperti koma hepatikum, strok dan Adam Stokes attack dengmkehilangan kesadaran singkat. Koma harus dibedakan dengan kolaps akibat perubahan hemodinamik dimana kesadarannya hanya terganggu sementara.

KEGAWATANAKUTABDOMEN Pasien datang sakit perut yang hebat dimana penyebabnya dapat berupa: obstruksi, inflamasi, katastrofal vaskular.

Keluhan yang dirasakan adalah rasa nyeri, yang mungkin disebabkan: inflamasi, perforasi, ischemic vascular disease, obstruksi kolon (kanker), obstruksi usus halus (adhesi, ileus, batu empedu), kelainan hepato bilier,

pankreatitis, kelainan genito urinarius, peritonitis, katastrofal vaskular: infark usus, ruptur aneurisma aorta abdominalis. Tanda klinisnya sering atipical, karena pendarahan

GI

tract dapat keliru dengan iskemia atau CHF, sehingga datangnya pun terlambat. Karena itu perhatikan tipe dan lokasi nyeri. Untuk diagnostik dilakukan foto abdomen

906

GERIAMI

polos 3 posisi dan kalau perlu dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan CT scan abdomen. Terapinya dengan

mengatasi syok dan atas indikasi misal kecurigaan perforasi usus, dilakukan laparotomi.

KEGAVI'ATAN PE RNAPASAN terjadi penurunan compliance dinding dada, tekanan maksimal inspirasi dan ekspirasi menurun dan elasitisitas jaringan paru juga menumn. Pada pengukuran terlihat FEV1, FVC menurun, PaO2

Pada proses menua

kematian pada usila dan juga bila hidup menyebabkan disabilitas. Pada sistem kardiovaskular, proses menua menyebabkan: . basal heart rate menurun . respons terhadap stres menurun

. . .

menurun, V/Q naik. Penurunan ventilasi alveolar, merupakan risiko untuk terjadinya gagal napas. Penyebab kegawatan napas adalah : I ). obstruksi jalan napas atas, 2). hipoksia : misalnya karena Penyakit Paru

Obstruktif Kronik (PPOK), 3). tension pneumotoraks 4). pneumonia aspirasi, 5). rasanyeri, 6). bronkopneumonia berat, 6). pneumonia, 7). emboli paru, 8). asidosis metabolik. Etiologinya dapat berupa: 1). obstnrksi jalan napas atas

karena adanya benda asing, infeksi, tumor, alergi, 2). pneumonia atau karena aspirasi, 3). PPOK atau asma bronkial, 4). Edanaparu e.c. kardiogenik atau non kardiogenik acute respiratory distress qmdrome,5). Emboli paru atau emboli fat, 6). Pneumotoraks, 7). Kelainan neuromuskular : miastenia gravi s, Guillan Bane, 8). Asidosis metabolik karena ketoasidosis diabetikum.

Pneumonia

.

left ventricle (LY) compliance meiltrur,karena terjadi hiperkofi danjuga karena senile amyloidosis Pada daun-daun katup terjadi sklerosis dan kalsifikasi

yang menyebabkan disfungsi katup, sehingga sering terdengar bising sistolik dengan intensitas rendah. Pada AY node dan sistem konduksi terjadi fibrosis, sehingga pada usila sering didapat fibrilasi atrial ataupnn atrial Jlutter. Compliance pembuluh darah perifer menurun, karena proses aterosklerosis sehingga afterload meningkat dan

.

didapatkan peninggian tekanan sistolik.

Terjadi proses aterosklerotik pada pembuluh darah koroner dan terjadi penyakitjantung koroner (PJK).

Pada pasien usia lanjut dengan IMA hanya S}%oyang mengalami nyeri dada. Pada pasien usia lanjut dengan PJK sering timbul simtomyang atypical yaituberupa confusion, perubahan kesadaran. Selain itu pengobatan pada usila perlu berhati-hati, karena dapat terjadi pendarahan GI tract dengan pemberian thrombolitik, aspirin ataupun heparin. Dengan betablocker dapat menimbulkan confusion.

KEGAVI'ATAN EN DOKRI N DAN METABOLIK

Tanda klasik berupa demam, batuk produktif dan sesak, tetapi pada usila gejalanya menjadi atipikal, yaitu: suhu

normal atau rendah, tak ada batuk, status mental terganggu, nafsu makan menurun, aktivitas berkurang Pemeriksaan fisik didapatkan: ronki, bronkofoni, suara napas menumn. Lekosit naik dan pada rontgen thoraks

Pasien dapat datang dengan kesadaran menurun dan sering didapatkan pada keadaan: . hipematremia dan dehidrasi

. .

terlihat infiltrat.

Emboli Paru Gejala klinisnya berupa: 1). Sesak napas mendadak, nyeri dada (pleuritik), takipnea, 2). Takikardia, hipoksemia, 3). Subfebril, batuk, hemoptisis Pada anamnesis didapatkan riwayat operasi terutama ortopedik dan urologi, trauma. Selain itu sering didapat

juga bila pasien imobilisasi yang dapat berkomplikasi menjadi Deep Vein Thrombose (DVT).

KEGAVI'ATAN KARD OVAS KU LAR I

Pasien datang dengan kegawatan kardiovaskular yarl,g dapat berupa : Henti jantung, syok/hipotensi, nyeri dada, penyakit jantung koroner, Congestive Heart Failure (CHF), aritmia berat, krisis hipertensi. Kegawatan kardiovaskul ar adalah penyebab utama

Koma diabetikum dimana terjadi pemapasan Kussmaul yang dalam dan cepat, kesadarandalamkeadaan koma. Hiponatremia.

Selain itu sering terjadi dehidrasi akibat diare dan muntah, dengan tandanya adalah: mukosa kering, turgor menurun, hipotensi dan takikardia. Pengobatannya adalah dengan substitusi cairan.

REFERENSI Aronow WS, Fleg JL. Cardiovascular Disease in the Elderly. New York: Marcel Dekker, kd ed. 2004. Lonergan. Geriatrics: a Lange clinical Manual. London :Practice Hall International; 2000. Ranjit. N Ratnake. Practical Guide to Geriatric Medicine. Sydney: Mc Graw Hill;2002. Wilson LB, Simon SP, Baxter CR. Handbook of Geriatric Emergency Care. Maryland, USA: University Park Press.1984. Yoshikawa TT, Norman DC. Acute Emergencies and Critical Care of the Geriatric Patient. USA : Marcel Dekker Inc; 2000.

t4t SINDROM DELIRIUM (ACUTE CONFUSIONAL STATE) Czeresna H.Soejono

PENDAHULUAN

gangguan kognitifpascaoperasi yang cukup sering terjadi namun acap kali lepas dari pengamatan.

Sindrom delirium adalah kondisi yang sering dijumpaipada pasien geriatri di rumah sakit. Sindrom ini sering tidak terdiagnosis dengan baik saat pasien berada di rumah (akibat kurangnya kewaspadaan keluarga) maupun saat pasien sudah berada di unit gawat darurat atau unit rawat jalan. Gejala dan tanda yang tidak khas merupakan salah satu penyebabnya. Setidaknya32o/o - 67% dan sindrom ini tidak dapat terdiagnosis oleh dokter, padahal kondisi ini dapat dicegah. Literatur lain menyebutkan bahwa7}Yo dai kasus sindrom delirium tidak terdiagnosis atau salah terapi

PATOFISIOLOGI Defisiensi neurotransmiter asetilkolin sering dihubungkan

dengan sindrom delirium. Penyebabnya artara lain gangguan metabolisme oksidatif di otak yang dikaitkan dengan hipoksia dan hipoglikemia. Faktor lain yang

berperan antara lain meningkatnya sitokin otak pada penyakit akut. Gangguan atau defisiensi asetilkolin atau neurotransmiter lain maupun peningkatan sitokin akan

oleh dokter. Sindrom delirium sering muncul sebagai keluhan utama atau tak jarang justru terjadi pada hari pertama pasien dirawat dan menunjukkan gejala yang ber{luktuasi. Keadaan

mengganggu transduksi sinyal neurotransmiter serta second messenger system. Pada gilirannya, kondisi tadi akan

yang teratrrtrir ini tentu -jikatidak adaketeranganyang memadai

memunculkan gejala-gejala serebral dan aktivitas

dari dokter- dapat disalah-artikan keluarga pasien sebagai

psikomotor yang terdapat pada sindrom delirium.

kesalahan pengelolaan di rumah sakit. Prevalensi sindrom delirium di ruahg rawat akut geriatri

RSCM adalah 23%o (tahtn 2004) sedangkan insidensnya mencapai l7%o pada pasien yang sedang dirawat inap

FAKTOR PREDISPOSISI DAN FAKTOR PENCETUS

(2004). Sindrom delirium mempunyai dampak buruk, tidak saja karena meningkatkan risiko kematian sampai 10 kali lipat namun juga karenamemperpanjang masa rawat serta meningkatkan kebutuhan perawatan (bantuan ADL) dari petugas kesehatan dan pelaku rawat. Sindrom delirium memiliki banyak nama, beberapa literatur menggunakan istilah seperti acute mental status change, altered mental status, reyersible dementia, toxic/

Faktor predisposisi antara lain: usia sangat lanjut, gangguan faal kognitif ringan. (mild cognitif impairment

:

MCI) sampai demensia, gangguanADl, gangguan sen-

sorium (penglihatan dan I atau pendengaran), usia lanjut y ang raptth ([ragile), usia lanjut yang sedang menggunakan

obat yang mengganggu faal neurotransmiter otak (misalnya ranitidin, simetidin, siprofloksasin, psikotropika),

keseragaman istilah agar terjamin standardisasi identifikasi

polifarmasi dan komorbiditas. Faktor pencetus yang sering dijumpai anlara lain: pneumonia, infeksi saluran kemih dan kondisi akut lain seperti hiponatremia, dehidrasi, hipoglikemia dan CVD,

gejala dan tanda maka buku ini menggunakan istilah sindrom delirium. pada tulisan ini juga akan disinggung

misalnya).

metabolic encephalopathy, organic brain syndrome, dysergasticreaction dan acute confusional state. Untuk

serta perubahan lingkungan (perpindahan ruangan

907

908

GERIATRI

GEJALA KLINIS

sering).

Sesuai dehnisi maka gejala yang dapat dijumpai antara lain gangguan kognitif global berupa gangguan memori

: memori jangka pendek), gangguan persepsi (halusinasi, ilusi), atau gangguan proses pikir (disorientasi waktu, tempat, orang). Gejala yang mudah diamati namun justru terlewatkan adalah bila terdapat komunikasi yang tidak relevan, atau autoanamnesis yang sulit dipahami; kadang-kadang pasien tampak seperti mengomel terus atau terdapat ide-ide pembicaraan yang melompat-lompat. Gejala lain meliputi perubahan aktivitas psikomotor baik hipoaktif (25%), hiperaktif (25%) maupun campuran keduanya sekaligus (35%); sebagian pasien (recent memory

(15%) menunjukkan aktivitas psikomotor normal; gangguan siklus tidur(siang hari tertidur sedangkan malam

hari terjaga). Rudolph dan Marcantonio (2003) memasukkan gejala perubahan aktivitas psikomotor ke dalam kelompok perubahan kesadaran, yakni setiap kondisi kesadaran selain compos mentis, termasuk di dalamnya keadaan hipoaktivitas dan hiperaktivitas.

Pasien yang hiperaktif paling mudah dikenali di ruang rawat karena sangat menyita perhatian. Pasien bisa nampak gaduh gelisah, berteriak-teriak, jalan mondar-mandir, atau mengomel sepanjang hari. Dibandingkan dengan tipe lain, pasien yang hiperaktif mempunyai prognosis lebih baik. Hal yang perlu diperhatikan pada pasien yang hiperaktif adalah hati-hati jangan sampai disalah-artikan oleh tenaga kesehatan sebagai 'pasien sedang bad mood' atau jika ditenangkan dengan memberi obat sedativum sering justru akan memperburuk sindrom delirium.

DIAGNOSIS Kondisi delirium pertama kali dilaporkan sekitar 2000 tahun yang lalu olehAurelius; namun demikian, baru pada tahun 1987 laiteria diagnosis sindrom delirium dapat disepakati oleh para ahli. Kriteria diagnosis ini dituangkan dalam Diagnosis and Statistical Manual III (DSM-III) yang telah direvisi dalam DSM-IV lima tahun kemudian. Berdasarkan DSM-IV tersebut, telah disusun algoritme (disebut Confusion Assessment Methode: CAM) untuk

menegakkan diagnosis sindrom delirium. Algoritme latrogenik Obat-obatan Gangguan metabolik/cairan Penyakit fisiUpsikiatrik Overstimulation

pembedahan, kateterisasi, urin, physical restraints psikotropika insufisiensi ginjal, dehidrasi, hipoksia, azotemia,

hiperglikemia, hipernatremia, hipokalemia. demam, infeksi, stres, alkohol, putus obat (tidur),

fraktur, malnutrisi, gangguan pola tidur perawatan di lCU, atau perpindahan ruang rawat

tersebut telah divalidasi oleh Inouye et al padatahun 1990 sehingga dapat digunakan untuk penegakkan diagnosis. CAM ditambah uji status mental lain dapatdipakai sebagai baku emas diagnosis. Uji status mental lain yang sudah

lazim dikenal antaralaitt Mini-mental State Examination (MMSE, Folstetn), Delirium Rating Scale, Delirium Symptom Interview. Kombinasi pemeriksaan tersebut dapat dikerjakan dalam waktu sekitar 15 menit oleh tenaga kesehatan yang terlatih dan cukup andal, spesifik sefia sensitif

(k:0,95).

Gejala-gejala klinik tersebut di atas terjadi secara akut dan berfluktuatif; berarti dari hari ke hari dapat terjadi perubahan gejala secara berganti-ganti. Dapat pula terjadi

kondisi pasienyangfully allert di satu hari namun pada hari berikutnya pasien tampak gelisah (hiperaktif). Gejala yang khas (yang membedakan dari demensia) adalah

perhatian sangat terganggu, pasien tidak mampu mempertahankan konsentrasi maupun perhatiannya pada suatu topik pembicaraan misalnya.

Tanda yang dapat diamati antara lain terdapatnya gangguan pada uji atensi (mengurutkan nama hari dalam seminggu, mengurutkan nama bulan dalam setahun, atau mengeja balik kata 'pintu').

BEBERAPA TIPE SINDROM DELIRIUM

Klasifikasi sindrom delirium berdasarkan aktivitas psikomotor (tingkaV kondisi kesadaran, aktivitas perilaku) yakni: 1). Hiperaktif, 2). Hipoaktif. 3). Campuran (paling

Gambar

1.

Confusion assessmenf method untuk sindrom

delirium

Diagnosis Banding Banyak gejala yang menyerupai delirium. Demensia dan depresi sering menunjukkan gejala yang mirip delirium; bahkan kedua penyakit i kondisi tersebut acap kali terdapat bersamaan dengan sindrom delirium. Pada keadaan

909

SINDROM DEIJRIUIM (ACUTE oONFUSIONAL SNI,TE)

tersebut maka informasi dari keluarga dan pelaku rawat menjadi sangat berarti pada saat anamnesis. Demensia dan delirium juga sering terdapat bersamaan;

gangguan yang acap kali tumpang tindih antara lain gangguan orientasi, memori dan komunikasi. Demensia sendiri merupakan faktor risiko untuk terjadinya sindrom delirium terutama jika terdapat faktor pencetus penyakit akut. Beberapa jenis demensia seperti demensia Lewy

juga psikiatrik, status fungsional, riwayat penggunaan obat, dan riwayat perawatan/penyakit/operasi terdahulu serta asupan nutrisi dan cairan sebelum sakit. Pemeriksaan tanda vital (kesadaran, tanda rangsang meningeal, tekanan darah, frekuensi napas dan denyut jantung serta suhu rektal) sangat penting, selain untuk diagnosis namun juga bermanfaat dalam evaluasi hasil pengobatan. Pemeriksaan penunjang dasar seperti darah perifer

Bo$t

lengkap, elekholit, analisis gas darah, gula darah, ureum,

dan demensia lobus frontalis menunjukkan perubahan perilaku dan gangguan kognitifyang sulit dibedakan dari

kreatinin, SGOT dan SGPT, urin lengkap, EKG, foto toraks

sindrom delirium. Sindrom delirium dengan gejala

Obat-obat yang tidak esensial untuk sementara dihentikan. Jika terdapat kecurigaan terhadap putus obat (biasanya obat sedatir,um atau hipnotikum) maka riwayat tersebut bisa diperoleh dari keluarga ataupelaku rawat. Pengobatan/penanganan yang diberikan tidak saja menyangkut aspek fisik, namun juga psikologik/psikiatrik,

psikomotor yang hiperaktif sering keliru dianggap sebagai pasien yang cemas (anxietas), sedangkan hipoaktif keliru

dianggap sebagai depresi. Keduanya dapat dibedakan dengan pengamatan yang cermat. Pada depresi terdapat perubahan yang bertahap dalam beberapa hari atau minggu sedangkan pada sindrom delirium biasany a gejala berkembang dalam beberapa jam. Tingkat kesadaran pada depresi biasanya compos mentis, proses berpikirnya utuh. Pada depresi juga biasanya terdapat kehilangan minat,

depressed mood serta faal sensorium yang normal. Berbagai gejala dan tanda pada sindrom delirium akan berfluktuasi dari waktu ke waktu, sementara pada depresi dan demensia lebih menetap. Pasien dengan sindrom delirium bisa muncul dengan gejala seperti psikosis yakni terdapat delusi, halusinasi serta pola pikir yang tidak terorganisasi. Pada kondisi seperti ini maka sebaiknya berkonsultasi dengan psikiater.

Gangguan Kognitif Pasca-operasi (GKPO) GKPO (Post operative cognitive dysfunction:POCD) agak berbeda dari sindrom delirium namun mempunyai implikasi

klinik yang mirip. Secara klinis GKPO jarang disertai penurunan tingkat kesadaran dan perjalanannya tidak berfluktuasi. Sampai dua minggu pasca-operasi jantung insidensnya mencapai 30-70% (Savageau, dikutip oleh Rasmussen, 2003). Pada minggu ketiga hingga bulan keenam, insidensnya turun sampai 10-40%. Pada operasi non-jantung insidensnya lebih rendah yakni sekitar 1025Yo segeru setelah operasi dan menurun hingga 5-1506 pada beberapa bulan pasca-operasi.

PENATALAKSANAAN (ROCKWOOD, 2003; SAMUELS,2OO3)

Tujuan utama pengobatan adalah menemukan dan mengatasi pencetus serta faktor predisposisi. Keselamatan pasien dan keluarga harus diperhatikan. Comprehensive geriatric ass es sment (pengkajian geriatri paripuma) sangat bermanfaat karena akan memberikan gambaran lebihjelas tentang beberapa faktor risiko yang dimiliki pasien. Pemeriksaan tak hanya terhadap faktor fisik, namun

dan kultur darah harus segera dilaksanakan.

kognitif, lingkungan, serta pemberian obat. Untuk mencegah agar pasien tidak membahayakan dirinya sendiri atau orang lain (pasien yang hiperaktif, gaduh gelisah bisa

menendang-nendang, sangat agitatif, agresif, bisa terj atuh dari tempat tidur atau bisa menciderai diri sendiri) maka sebaiknya pasien ditemani pendamping atau yang biasa mendampingi pasien. Mengikat pasien ke tepian tempat

tidur bukanlah tanpa risiko, misalnya trauma atau trombosis.

Data empiris manfaat obat untuk mengatasi gejala

sindrom delirium masih terbatas. Beberapa obat antipsikotik mempunyai efek yang mampu menekan berbagai gejala hiperaktifdan hipoaktifdari sindrom delirium; menjadi obat pilihan utamapadafase akut (agitasi hebat, perilaku agresif, hostility, halusinasi, atau gejala lain yang membahayakan dirinya). Untuk kondisi di atas haloperidol masih merupakan pilihan utama. Dosis juga

dapat ditingkatkan sesuai tanggapan

pasien.

Dibandingkan dengan obat lain seperti chlorpromazin dan

droperidol, haloperidol memiliki metabolit dan efek antikolinergik, sedasi serta efek hipotensi yang lebih kecil sehingga lebih aman. Dosis obat per oral pada umumnya dapat diterima dengan baik, namun jika pasien tak mampu menelan maka dapat diberikan intramuskular maupun intravena. Olanzapin dapat diberikan sebagai tambahan jika agresivitas masih muncul dengan dosis maksimal haloperidol. Beberapa laporan kasus menunjukkan manfaat antipsikotik generasi kedua seperti risperidon dan

penghambat asetilkolin-esterase; masih diperlukan penelitian intervensional lebih lanjut. Perlu dicatat bahwa penggunaan antipsikotik harus dimulai dengan dosis rendah dan ditingkatkan secara bertahap jika diperlukan. Walaupun risiko efek samping yang mungkin muncul rendah namun beberapa efek serius seperti perpanjangan QT dan torsades de pointes, gejala ekstrapiramidal dan

diskinesia putus obat dapat terjadi. Oleh karena itu penggunaan antipsikotik harus dikonsultasikan ke psikiater geriatri.

910

Secara umum penanganan yang bersifat suportif amat

GERIITIRI

PROGNOSIS

penting dalam pengelolaan pasien dengan sindrorn de-

lirium, baik untuk pengobatan maupun dalam konteks pencegahan. Asupan nutrisi, keseimbangan cairan dan elektrolit, kenyamanan pasien harus diupayakan seoptimal mungkin. Keberadaan anggota keluarga atau yang selama

ini biasanya merawat akan sangat berperan dalam memulihkan orientasi. Sedapat mungkin ruangan pasien haruslah tenang dan cukup penerangan. Masih dalam konteks oreintasi, dokter dan perawat harus mengetahui apakah sehari-hari pasien mengenakan kacamata untuk melihat atat alat bantu dengar untuk berkomunikasi dan mengusahakan agar pasien dapat mengenakan manakala diperlukan setiap saat. Hal umum lain yang perlu diperhatikan adalah : perawat harus waspada bahwa pasien sangat mungkin tidak mampu menelan dengan baik sehingga asupan per oral tidakboleh

diberikan selama belum terdapat kepastian mengenai

Walaupun gejala dan tanda sindrom delirium bersifat akut namun temyata dilaporkan adanya beberapa kasus dengan gejala dan tandayang menetap bahkan sampai bulan ke12. Beberapa penelitian melaporkan hasil pengamatan tentang prognosis sindrom delirium yang berhubungan

dengan mortalitas, gangguan kognitif pasca-delirium, status fungsional serta gejala sisa yang ada.

Prognosis yang berhubungan dengan mortalitas dilaporkan oleh Rockwood (1999) dalam pengamatan selama tiga tahun. Pasien dengan sindrom delirium mempunyai risiko 1,71 kali lebih tinggi untuk meninggal dalam tiga tahun kedepan dibandingkan mereka yang tidak

(95% CI 1,02 ;2,87). Sementara McCusker (2002) dat Kakuma (2003) masing-masing melaporkan peningkatan risiko tersebut sebesar 2,11 (1,18 ;3,77) dan7,24 (1,62 ;

32,35). Perlu disampaikan bahwa peningkatan risiko

kemampuan menelan. Dokter yang merawat harus menilai kesadarannya dan dokter ahli rehabilitasi medik harus menilai kemampuan otot menelan jika pasien sadar. Setelah yakin bahwa kesadaran pasien compos mentis dan tidak

tersebut tetap ada walaupun sudah dilakukan pengendalian terhadap faktor-faktor lain yang turut

terdapat kelumpuhan otot menelan barulah perawat

(tinggal di panti atau tidak) serta faktor perancu yang lain. Terhadap faal kognitif digunakan beberapa instiumen untuk membantu menetapkan diagnosis demensia pasca delirium seperti MMSE (mini mental state examination) dan IADL (instrumental activities of daily living), yang kedua lebih tepat untuk menentukan derajat demensia.

diizinkan memberikan asupan per oral. Selamaperawatan, tanda vital harus lebih sering dievaluasi, setidaknya setiap empat jam, jika diperlukan dapat dinilai setiap dua atau bahkan setiap satu j am tergantung kondisi pasien. Penilaian yang lebih sering dengan kewaspadaan yang tinggi ini diperlukan karena gejala dan tanda klinik yang sangat berfluktuatif. Selain tanda vital, jumlah produksi urin dan cairan yang masuk harus diukur dengan cermat setiap empat jam dan dilaporkan kepada dokter yang merawat agar

perubahan instruksi yang diperlukan dapat segera dilaksanakan tanpa menunggu laporan keesokan harinya (akan terlambat). Sehubungan dengan hal di atas, makakeluarga pasien atau pelaku rawat yang menunggu harus diberi informasi tentang bahaya aspirasi jika memberikan makanan atau minuman dalam keadaan kondisi yang tidak compos mentis atau terdapat kelumpuhan otot menelan. Diberitahukan pula perlunya kerj a sama yang baik antara perawat dengan peunggu pasien terutama perihal pemantauan urin dan asupan cairaL

Perlu dicatat bahwa pasien sindrom delirium sering merasa apayagbaru dialami saat delirum sebagai mimpi. Pada saat kondisi pasien membaik maka dokter atau perawat harus menjelaskan / mendidik pasien tentang keadaan yang baru dialaminya untuk mengantisipasi atau mencegah episoda cemas. Penatalaksanaan spesifik ditujukan untuk mengidentifikasi pencetus dan predisposisi. Segera setelah faktor pencetus diketahui maka dapat dilakukan tindakan

yang lebih definitif sesuai faktor pencetusnya. Memperbaiki faktor predisposisi harus dikerjakan tanpa memrnggu selesainya masalah terkait faktor pencetus.

berperan terhadap kematian seperti beratnya kondisi komorbid, demensia, gangguan status fungsional, domisili

Rockwood (1999) mendapatkan peningkatan risiko demensia sebesar 5,97 pada kelompok dengan sindrom delirium (95% CI 1,83 ; 19 ,54 [setelah mengontrol faktor jenis kelamin, usia dan komorbiditas]). Besamya perbedaan derajatperubahan faal kognitif dalam observasi selama 12 bulan lebih besar secara bermakna pada kelompok yang pemah mengalami sindrom delirium (21,8 * 5,5 dan 18,9 + 5,7) dibandingkan dengan kelompok kontrol (25,5 + 3,5 dan24,2+3,9) dengannilai rasio odd -3,4 (95%CI -6,2; 0,6) seperti dilaporkan leh McCusker (2001). Lebih lanjut diperlihatkan bahwa besarnya perbedaan perubahan skor IADL juga lebih besar pada kelompok dengan sindrom delirium (10,7 +2,3 dan8,3 + 3,8) dibandingkankelompok kontrol (9,3 +2,9 dan8,0 + 3,2).

Pada penelitian yang menilai status fungsional, ternyata delirium berhubungan dengan status fungsional yang lebih rendah, baik pada kelompok dengan maupun tanpa demensia. McCusker (200 1) memperlihatkan bahwa pasien-pasien dengan sindrom delirium mempunyai skor

ADL Barthel (rentang

0

-

100) yang lebih buruk (skor 53,4

+ 29,9 menladi 80,6 + 28,2 dalam 12 bulan pasca delirium) dibandingkan dengan kontr ol (62,7 + 26,2 menjadi 87, I + 13,2 dalam 12 bulanpasca delirium).

Levkoff (seperti dikutip McCusker,2003) meneliti gejala sisa delirium dan didapatkan hasil bahwa dari 125 pasien berusia 65 tahun ke atas yang masuk dengan sindrom delirium; saat pulang, hatya 44Yo dari pasien yang

SINDROM DELIRIUM (AC U TE AONFUS IONAL

S

911

TATE)

gejalanya sudah tidak sesuai kriteria diagnostik DSM-IV untuk delirium. Temyata enam bulan pascarawat terdapat 1 3olo pasien yang menunjukkan gejala delirium, 69o/o pasien yang menunjukkan gejala perubahan aktivitas namun tidak sesuai kriteria diagnostik delirium dan hanya 18% pasien yang menunjukkan resolusi komplit. McCusker (2003) juga

meneliti gejala sisa delirium pada kelompok pasien demensia dibandingkan dengan yang tidak demensia. Pada akhir pengam atan r ata-rata satu gej ala delirium menghilang

pada kedua kelompok. Disorientasi, kurang perhatian

(kurang konsentrasi) serta penurunan daya ingat merupakan gejala sisa yang tersering dijumpai. Pada pengamatan bulan ke-12, 14,8o/o pasien yang tidak

demensia masih mempunyai satu gejala delirium sedangkan pada kelompok dengan demensia terdapat 48,9yo pasien yang masih menunjukkan gejala

Rudolph (2003) melaporkan bahwa separuh dari kasus

yang diamatinya mengalami delirium pada saat sedang dirawat di rumah sakit. Berarti ada karakteristik pasien tertentu dan suasana / situasi rumah sakit sedemikian rupa yang dapat mencetuskan delirium. Beberapa obat juga dapat mencetuskan delirium, terutama yang mempunyai efek antikolinergik dan gangguan faal kognitif. Beberapa obat yang diketahui meningkatkan risiko delirium antara lain: benzodi azepin, kodein, amitriptilin (antidepresan), difenhidramin, ranitidin, tioridazin, digoksin, amiodaron, metildopa, procainamid, levodopa, fenitoin, siprofl oksasin. Beberapa tindakan sederhana yang dapat dilakukan di rumah sakit (di ruang rawat akut geriatri) terbukti cukup efektif mampu mencegah delirium. Inouye et al (1999)

menyarankan beberapa tindakan yang terbukti dapat mencegah delirium seperti yang terterupada Tabel 2.

delirium.

Dari berbagai penelitian yang ada didapatkan pasienpasien dengan sindrom delirium akan mempunyai risiko

kematian lebih tinggi jika: komorbiditasnya tinggi, penyakitnya lebih berat (skorAPACHE II tinggi), dan jenis kelamin laki-laki. Episoda delirium juga lebih panjang pada kelompok pasien dengan demensia dibandingkan tanpa demensia.

KESIMPULAN Sindrom delirium sering tidak terdiagnosis dengan baik

karena berbagai sebab. Keterlambatan diagnosis memperpanjang masa rawat dan meningkatkan mortalitas. Defisiensi asetilkolin yang berhubungan dengan beberapa

PENCEGAHAN

faktor predisposisi dan faktor pencetus merupakan mekanisme dasar yang harus selalu diingat. Pencetus tersering adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih.

Berbagai literatur menyebutkan bahwa pengobatan

Gangguan kognitif global, perubahan aktivitas psikomotor, perubahan siklus tidur, serta perubahan kesadaran yang

sindrom delirium sering tidak tuntas. Sembilan puluh enam persen pasien yang dirawat karena delirium pulang dengan

gejala sisa. Hanya 20% dai kasus-kasus tersebut yang tuntas dalam enam bulan setelah pulang. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya prevalensi sindrom delirium di masyarakat lebih tinggi daipadayang diduga sebelumnya. Pemeriksaan penapisan oleh dokter umum atau dokterkeluarga di masyarakat menjadi penting dalam rangka menemukan kasus dini dan mencegah penyulit

yangfatal.

Panduan lntervensi Reorientasi Memulihkan siklus tidur

Mobilisasi

Penglihatan Pendengaran Rehidrasi

terjadi akut dan berfluktuatif merupakan gejala yang paling sering ditemukan. Beberapa peneliti menggolongkan

sindrom delirium ke dalam beberapa tipe. Kriteria diagnosis baku menggunakan DSM-IV ; instrumen baku

yang dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis adalah CAJiI (confusion assessment method). Beberapa penyakit mempunyai gejala dan tanda mirip sehingga diperlukan kewaspadaan serta pemikiran kemungkinan diferensial diagnosis.-Pengelolaan pasien terutama ditujukan untuk mengidentifrkasi serta menatalaksana

Tindakan Pasang jam dinding

Kalender Padamkan lampu Minum susu hangat atau teh herbal Musik yang tenang Pemijatan (massage) punggung Latihan lingkup gerak sendi Mobilisasi bertahap Batasi pengguna an re straint Kenakan kacamata Menyediakan bacaan dengan huruf berukuran besar Bersihkan cerumen prop Alat bantu dengar Diagnosis dini dehidrasi Tingkatkan asupan cairan oral Kalau perlu per infus

Keluaran Memulihkan orientasi

0,04

Tidur tanpa obat

0,001

Pulihnya mobilitas

Meningkatkan kemampuan

0,06

penglihatan

0,27

Meningkatkankemampuanpendengaran 0,10 BUN/Cr < 18

912

faktor predisposisi dan pencetus. Penatalaksanaan nonfarmakologik sama pentingnya dengan farmakologik. Diperlukan kerja sama dengan psikiater-geriatri terutama dalam pengelolaan pasien yang gelisah/delirum. Sebagian pasien sebenarnya dipulangkan masih dalam keadaan belum sembuh total (belum 'remisi' komplit) sehingga gejala sisa masih ada bahkan hingga 12 bulan. Munculnya sindrom delirium berulang tidak jarang dilaporkan; oleh sebab itu penapisan dan program pencegahan amat penting dilaksanakan.

REFERENSI Friedland RP, Wilcock GK. Dementia. In: Evans JG Williams TF, Beattie BL, Michel J-R Wilcock GK, eds. Oxford Textbook of Geriatric Medicine. 2nd ed. Oxford: Oxford University Press,

2000: 922-930. Inouye SK, Agostini JV. Delirium. lrl'. Hazzard WR, Biass JP, Halter JB, OuslanderJG, Tinetti ME, editor. Principles of Geriatric Medicine and Gerontology. 5th edition. New York: McGraw-

GERI'TIRI

Hill Co.Inc; 2003.p.1503-15 16. Kane RL, Ouslander JQ Abrass IB. Confusion: Delirium and derlentia. In: Kane RL, Ouslander JCr, Abrass IB, editor. 5th edition. New York: McGraw-Hill;2004.p.121-145. McKusker J. The Long-term prognosis of delirium. Geriatrics and Aging; Decemb er 2003 ;6(10): 22-27 . Rasmussen LS. Postoperative cognitive dysfunction in older adults. Geriatrics and Aging; December 2003;6(10): 36-38. Rockwood K. Disordered Level of Consciousness and Acute Confu-

sional State. Dalam: Hazzard WR, Blass JP, Halter JB, OuslanderJG Tinetti ME, editor. Principies of Geriatric Medi-

cine and Gerontology. 5th edition. New York: McGraw-Hi1l Co., Inc; 2003.p.932-937. Rudolph JL, Marcantonio ER. Diagnosis and Prevention of Delirium. Geriatrics and Aging; December 2003;6(10): 14-19. Samuels C, Evers MM. Delirium: pragmatic guidance for managing a common, Confounding, and Sometimes Lethal Condition' Geriahics and Aging; June 2002;57(6):33-38. Skrobik Y. An Averview of delirium in the critical care setting. Geriatrics and Aging; December 2003;6(10): 30-35.

t42 IATROGENESIS RA Tuty Kuswardhani, Nyoman Astika

Kelainan iatrogenik didefinisikan sebagai efek merugikan

akibat tindakan pengobatan atau diagnostik yang

Tindakan diagnostik Kateterisasi jantung Arteriografi Tindakan pengobatan Pengobatan intravena Kateter urin Selang nasogastrik Dialisis Transfusi Obat-obatan Salah pemberian obat lnteraksi obat Reaksi obat Efek samping obat Pembedahan Anestesia lnfeksi Gangguan metabolik Hipovolemia lstirahat di tempat tidur Hipovolemia dan hipertensi Metabolisme kalsium lmpaksi fekal lnkontinensia urin Tromboemboli lnfeksi nosokomial Jatuh

menyebabkan kelainan patologis di luar keadaan sebab tindakan tersebut dilakukan. Orang usia lanjut merupakan suatu organisme dengan keseimbangan yang halus dengan

lingkungannya. Seperti halnya pada fase kehidupan dini,

kehidupan pada usia lanjut juga ditandai dengan meningkatnya sensitivitas terhadap lingkungan. Tidak mengherankan apabila pasien usia lanjut sangat rentan terhadap berbagai stres akibat perawatan medis modern. Pada Tabel 1 dapat dilihat beberapa masalah iatrogenik pada pasien usia lanjut.

Overzealous labeling Demensia

lnkontinensia Underdiagnosis lstirahat di tempat tidur Polifarmasi

Ketidaktergantungan yang dipaksakan Gangguan lingkungan Trauma transfer

usia lanjut lebih besar kemungkinannya untuk mengalami

RUMAH SAKIT

kejadian yang tidak diinginkan mengingat adanya kemunduran

Rumah Sakit merupakan tempat yang berbahaya bagi setiap pasien. Harus dipertimbangkan dengan seksama untungrugi pasien usia lanjut dirawat di rumah sakit. Bila banyak hal tidak diperhitungkan, dapat menyebabkan kerugian bagi penderita seperti infeksi nosokomial, salah pemberian obat, stres akibat pembedahan besar atau bahaya beberapa

fisik dan peningkatan kerentanan. Ada

beberapa faktor risiko untuk terjadinya kejadian iatrogenik dirumah sakit, yaitu saatmasuk daripanti werda ataurumah

sakit lain, pemeriksaan keseluruhan oleh dokter saat masuk

rumah sakit, umur, jumlah obat, dan lamanya perawatan. Masuk rumah sakit akan membawa pasien usia lanjut ke

tindakan diagnostik. Beberapa contoh akibat buruk di

dalam dunia asing, apalagi bila mereka sudah dalam keadaan stres, maka akan menambah beban kejiwaan maupr.rn fisik.

rumah sakit, meliputi masalah pengobatan yang berlebihan atau kekurangan (Tabel 2). Selama di rumah sakit, pasien

Harvard Medical Malpractice Study menemukan bahwa pasien dengan usia di atas 65 tahun memiliki kemungkinan

913

914

GERI'TTRI

kali terkena jejas selama dirawat di rumah sakit

metabolisme obat yang mengakibatkan penyakit

dibandingkan mereka yang berusia lebih muda. Mereka lebih mudah mendapatkan penyakit akibat kekurangan perhatian.

iatrogenik. Orang usia lanjut menunjukkan jendela pengobatan yang lebih sempit dibandingkan dengan mereka yang lebih muda; respons terapinya menurun sedangkan respons toksiknya meningkat (Gambar 1). Adanya gangguan metabolisme obat ini akan menyebabkan kadar obat yang tinggi di dalam darah pada pemberian dosis "normal".

dua

Risiko penyakit iatrogenik meningkat seiring dengan lamanya dirawat di rumah sakit. Pada sebuah penelitian, 58% pasien yang berusia di atas 65 tahun menderita sekurangnya satu komplikasi iatrogenik pada saat dirawat

di rumah sakit selama 15 hari atau lebih. Intervensi pengobatan mengakibatkan komplikasi sebesar

440%,

sedangkan prosedur diagnostik dan akibat kelalaian masingmasing mengakibatkan komplikasi sebesar 1 0oZ.

Istirahat di tempat tidur juga berbahaya untuk pasien

Respons Pengobatan

usia lanjut. Kenyataannya, tempat tidur merupakan tempat berbahaya di samping berisiko untuk membuat seseorang

jatuh (Tabel 3.). Merawat pasien usia lanjut memerlukan kesabaran dan waktu, karena mereka dalam keadaan ketergantungan. Misalnya mandi yang harus disupervisi,

demikian juga harus diperhatikan perpindahan dari satu

tempat ke tempat lainnya, dan sebagainya. Pada

Respons Toksik

hakekatnya, bahaya iatrogenik pada usia lanjut banyak terletak pada underdiagnosis, terutama keadaan yang

kelihatannya biasa tetapi sesungguhnya kritis yang melibatkan pendengaran, penglihatan, dan gigi-geligi. Demikian juga ada beberapa penyakit yang sering terabaikan dalam pemeriksaan seperti penyakit tiroid atau aneurisma aorta.

U

Gambar

sia

1

Penelitian di berbagai negara menunjukkan bahwa pasien usia lanjut yang dirawat di rumah sakit mengalami

efek samping obat dua sampai tiga kali lebih banyak Nyeri akibat penekanan Penyerapan tulang Hiperkalsemia Hipotensi postural Atelektasis dan pneumonia Tromboflebitis dan tromboemboli lnkontinensia urin Konstipasi dan impaksi fekal Kekuatan otot menurun Kapasitas kerja fisik menurun Kontraktur Depresi dan kecemasan

dibandingkan mereka dengan usia 20-30 tahun. Angka kejadian efek samping obatpadausia lanjut di dalamrumah sakit dan di masyarakat masing-masitg 15-42% dan2,550,60 . Laporan lain mendapatkan bahwa dua dari lima pasien berusia di atas 70 tahun yang dirawat di bangsal medis umum mengalami efek samping obat, dan setengahnya adalah berat. Delapan puluh persen dari efek samping obat pada usia lanjut terkait dengan dosis obat. Untuk menghindari efek samping obat perlu diketahui beberapa prinsip dalam pemberian obat untuk pasien usia lanjut di rumah sakit, seperti terlihat pada Tabel 4.

LABELING

EFEKSAMPING OBAT Penyebab utama penyakit iatrogenik adalah efek samping obat akibat polifarmasi. Banyak efek samping obat yang

tidak bermakna, tapi beberapa dapat menimbulkan perdarahan seperti akibat warfarin, sinkop akibat obat penyekat reseptor adrenergik alfa atau vasodilator, delirium

akibat obat antikolinergik, dan pengobatan psikotropik yang bisa memberikan efekburuk pada pasien usia lanjut. Walaupun noflnogram unhrk peresepan obat bermanfaat pada keadaan klinik tertentu, banyak pasien usia lanjut mempunyai keadaan komorbid multipel dan menggunakan beberapa obat yang berpengaruh terhadap ikatan dan

Barangkali lebih berbahaya dibandingkan kasus underdiagnosls adalah mereka yang mendapatkan predikat

atau label overdiagnosis. Dokter yang dengan mudah memberikan label disorientasi sebagai demensia atau gangguan kencing sebagai inkontinensia akan mengakibatkan nasib pasien yang tidak menyenangkan. Kedua diagnosis ini akan menjadi indikasi kuat untuk dirawat di panti werda. Sayang sekali kebanyakan panti werda tidaklah sama dengan rumah atau rumah sakit yang mampu memberikan perhatian maupun perawatan dan

pengobatan yang baik. Sebaiknya dokter turut bertanggungjawab terhadap pasien yang meliputi hal-hal

915

IAIROGENESIS

berikut: l) pasien memang memerlukan perawatan di panti werda, 2) panti werda dapat memberikan perawatan yang Tinjau semua pengobatan yang dipakai sebelum masuk rumah sakit, nilai kepatuhan sebelumnya

Hindari polifarmasi yang tidak perlu: gunakan obat yang

dibutuhkan, dan 3) pasien dipersiapkan sebelum dipindahkan ke panti werda.

dapat mengobati lebih dari satu penyakit

(misalnya penyekat beta untuk hipertensi dan angina pektoris) Jika memulai obat baru, pilih obat dengan sifat farmakokinetik yang jelas Jika pasien memerlukan pengobatan multipel, hindari obat penghambat atau penginduksi sitokrom P450 atau sangat kuat mengikat albumin. Jika meragukan, konsultasi kepada ahli farmasi, ahli farmakolog, program tarmakologi on-line, atau sumber bacaan Jika dosis rumatan belum berhasil, maka naikkan dosis obat dengan prinsip "start low and go slovl'sampai efek obat tercapai Gunakan obat dengan dosis yang lebih rendah jika obat diekskresikan lewat ginjal (misalnya aminoglikosida) Memulai dengan obat kerja pendek dari suatu kelas obat, pada saat keluar rumah sakit diganti dengan obat yang diberikan satu atau dua kali sehari untuk meningkatkan kepatuhan dan mengurangi beban pembantu (caregivef di rumah

Tinjau semua obat yang diberikan dengan pasien dan keluarga dan berikan petunjuk secara tertulis Pertimbangkan efek samping obat jika pasien menunjukkan masalah medis baru atau yang tidak diharapkan: delirium, hipotensi, disritmia, gagal ginjal, kelainan elektrolit, konstipasi

REFERENSI Kane RL, Ouslander JG, Abrass IB. Iatrogenesis in essentials of clinical geriatrics. Singapore: McGraw-Hill; 1994. p.341 -9 Kong TK. Iatrogenesis- still a geriatric giant. J Hong Kong Geriatric Soc.1997; 8: 3-5. Palmer RM. Acute hospital care: future direction. In: acute emergencies and critical care of the geriatric patient. Yoshikawa T! Norman DC, Marcel Dekker; New York, 2000. p.461-86 The Editors. The practice of medicine. In: Harrison's principles of internal medicine. Braunwald E, Hauser SL, Fauci AS, et al.

(Editors).

15m

Edition. New York: McGraw-Hill, 2001. p.3-4

143 ASUHAN PADA KONDISI TERMINAL Supaftondo

strok, penyakit jantung, penyakit paru obstruksi dan

TUGAS DOKTER MASA KINI

masalah kronis lain dari sistem organ.

Sebagai perbandingan suatu sistem asuhan di rumah di Yogyakarta menangani 49 pasien pasca strok, 39 pasien diabetes dan l6 pasien kanker. Selama 5 tahun l22pasien

Kemajuan teknologi medik seperti pernapasan buatan dan dialisis ginjal telah berhasil memperpanjang umur pasien, yang dahulu dapat dipastikan meninggal'

dari 427 pasien dirawat sampai meninggal.

Meskipun banyak pasien dapat memanfaatkan kemajuan ini dan proses penyakit dapat dihentikan atau dibalik, mulai dipertanyakan apakah tindakan

PELAYANAN PASIEN PADA AKH I R HAYAT

memperpanjang umur benar sesuai dengan kepentingan

Di negara Barat telah berkembang jenis pelayanan yang disebut hospice care (astthan sakit) dengan ciri-ciri :

pasien.

Pelayanan kesehatan sejak dulu diarahkan untuk

. .

menyembuhkan penyakit dan mencegah kematian' tetapi baru sekarangpara dokter berhadapan dengan keadaan menjelang ajal yang tidak dapat dielakkan. Jadi, berupaya keras untuk meringankan derita sambil menerima ajal yang mendekat, merupakan tujuan baru di bidang kedokteran. Temyata tindakan dalam pelayanan medik menjelang akhir hayat tidak selalu mencerminkan pendapat ini. Segala daya tpaya masih diarahkan untuk menyelamatkan jiwa. Banyak ahli membahas segi medik, hukum, etik dan klinik tentang keputusan di akhir hayatpada pasien yang

Harapan hidup pasien 6 bulan atau kurang

.

Koordinasi oleh tim interdisiplin terdiri dari perawat, pekerja sosial, dokter, keluarga, ketua tim medik, relawan,

. . . .

penolong dan rohaniwan Perawat siap datang di rumah 24 jam sehari. Pokok utama : pengelolaan nyeri dan gejala

.

Bimbingan untuk keluarga dan layanan berkabung sampai I tahun sesudah pasien meninggal. Pendekatanlebihpaliatifdibanding kuratif. Pasien memilih hospice care yalg didukung asuransi khusus.

tidak sepenuhnya mampu dan menghadapi kematian

(sumber : Dept. Geriatr. Health, Am.Med.Assoc, 1998)

segera. Salah satu pasal adalah hak pasien untuk menolak pengobatan. Untuk Indonesia hal ini belum lazim dan perlu dibahas dari segi etik dan hukum.

Di Jakarta RS Kanker "Dharmais" telah menlusun panduan untuk asuhan paliatifberbagai umur pasien, yang

mencakup Dasar-dasar Perawatan Paliatif a.l. dukungan spiritual, hak penderita dan Menghadapi Kematian dan Masa Duka seperti pesan dan warisan, saat-saat terakhir

MASALAH PADA PASIEN USIA LANJUT YANG DAPAT MENGANCAM JIWA

(DNR). (7II,7 VIID. Asuhan sakit dapat dilakukan di rumah, rumah sakit, panti rawat werda dan klinik asuhan bebas. Asuhan di rumah pasien menguntungkan dari segi lingkungan yang

Keganasan merupakan masalah yang menekan pada stadium akhir yang singkat, menyusul masa relatif panj ang

yang tenang. DiAS kebanyakan orang meninggal

akrab, nyaman dan mudah diatur untuk pasien' Tetapi pengaturan lingkungan ini jangan sampai menghilangkan kenyamanannya. Walaupun tidak sampai menjadi "ruang

sesudah demensia,

916

ASUIIAN PADA KONDISI TERMINAL

917

rawatinap", harus diperhatikan hambatan seperti taflgga, jenis tempat tidur dan jamban untuk mempermudah asuhan

Pertanyaan lain ialah

:

Rincian untuk merencanakan peralatan sederhana ftursi roda) sampai perlu tidaknya alat pengisap lendir,

Bila dan bagaimana pasien dipersiapkan untuk menghadapi saat-saat akhir hidup? Rohaniwan merupakan anggota tim asuhan sakit seperti telah dijelaskan sebelum ini dan ada petunjuk di Buku

menggambarkan masalah dari segi dana.

PanduanRS Dharmais.

dirumah.

Di RS Dr Sardjito Yogyakarta subbagian Geriatri SIAPA UJUNG TOMBAK ASUHAN SAKIT PADA AKHIR HAYAT ? Di manapun asuhan sakit ini ditangani, dokter yang trampil tentu diperlukan. Rumah sakit dengan fasilitas lengkap

rnemanfaatkan perawat yang sudah mengikuti pelatihan menangani pasien menuju kematian.

CARAKITAMENINGGAL

menjadi tempat rujukan bila pasien mengalami kegawatan,

Tentu saja belum ada manusia yang dengan tegas dapat

yang biasanya berlangsungpada masa akhir.

memberi laporan. Sebagai cerminan idaman seorang spesialis bedah, sekaligus pengajar, pemerhati peka dan

Ada laporan bahwa dokter untuk

keluarga

(community physician) yang berpraktek di lingkungan tempat tinggal, menjadi pilihan untuk asuhan sakit ini. Para dokter telah mengenal pasiennya paling tidak selama 1 tahun dan menangani mas a gawat selama I bulan sebelummeninggal.

penulis, merangkum harapan i Tuhan, berilah kami kematian yang sesuai untuk kami masing-masing (Oh Lord, give each of us his own death,

Resusitasi j antung-paru dan bantuan pernapasan tidak

pasien pada akhir hayat, terdesak oleh pertolongan yang gemilang. Tetapi pasien ditinggaljika pertolongan tidak berhasil.

terlalu sering. Diskusi keluarga dan dokter untuk menetapkan terapi ada, sebulan sebelum pasien meninggal.

Di Indonesia, variasi jenis

home care (asuhan di

rumah) seperti di Yogyakarta,lebih lazim. Penelitian lebih mendalam di Yogyakartajuga meninjau segi pembiayaan,

yang mungkin lebih kecil dibanding cara asuhan

sebagian syair Rilke).

Asuhan sakit, contoh yang baik untuk menolong

"Keputusan akhir akan kutetapkan sendiri atau kuwakilkan kepada mereka yang memahami keinginanku, bila aku tak mampu lagi". Meninggal dalam kehormatan ialah penutup hidup dalam kehormatan.

lain. Pengobatan unfuk rasa nyeri merupakan suatu masalah di seluruh dunia. Para ahli di luar dan dalam negeri mengikuti

petunjuk WHO 1990, yang menggunakan obat analgesi secara bertingkat, non-opioid (nyeri ringan) - opioid ringan (nyeri sedang) - opioid kuat (nyeri sangat). Ada obat tambahan bila diperlukan. Di Jakarta Tim Terpadu Geriatri bekerja sama dengan Unit Akupungtur RS Cipto Mangunkusumo, antara lain untuk pengobatan nyeri. Akupungtur merupakan bagian dari Ilmu Kedokteran Komplementer. Cara ini menunjang upaya mengurangi polifarmasi.

RINGKASAN DAN KESIMPULAN Telah dibahas penatalaksanaan kondisi pasien pada akhir masa hidupnya, oleh berbagai sebab. Hak pasien untuk memilih cara pertolongan seperti tercantum dalam asuhan sakit (hospice care) belum sepenuhnya dapat diterapkan

di Indonesia.Masih diperlukan penyesuaian di tingkat perhimpunan (IDI) dan segi hukum.

Persiapan kejiwaan pasien dibahas secafa spiritual.Kurikulum Fakultas Kedokteran perlu dilengkapi dengan pelatihan bidang spiritual lintas sektol supaya dokter mampu mendampingi pasienpada masa terminal.

MENYTAPKAN BTDANG KEJTWAAN(KEROHANTAN) PASIEN PADAAKHIRHAYAT

Meninggal adalah suatu pengalaman yang tak ada duanya dalam hidup, ada dimana-mana tetapi jarang

REFERENS!

1

Hoefler JM. Managing Death, Boulder, Cola, Westview Press,

Penelitian di masa lalu menghasilkan beberapa model kesiapan pasien. Salah satu ialah model Kubler-Ross, dengan tahapan menolak, marah, menawar, murung, menerima, mengharap. Atas dasar ini dokter dapat

2.

Supartondo. Segi legal-etik pasien usia lanjut dengan penyakit

3.

membantu pasien yang menghadapi akhir hayat, berupaya ke arah menerima dan mengharap. Bidang yang sulit ini terus menerus diteliti.

4.

dan KonKer III PERGEMI, BP Univ. Diponegoro, Semarang 2002 : 857-862. Dahlan S. Terminally ill, dilihat dari aspek etikolegal. ibid,283297. Lynn J, Caring at the End of Our Lives, N Engl J Med 1996,

5.

Widhiarti NE dkk, Profile Home Care SMF Geriatri RS Dr Sardjito

diteliti.

t99',7.

erminal. TI Nasional

t

I

335: 201-202.

918

GERIITTRI

Yogyakarta. KonKer IV, PERGEMI 2005 : MBP 20,253. Reichel W Care at the end of life, dalam Adelman A M et al (eds): 20 Common Problems in Geriatrics, Intern.Ed. 2001, Mc Graw Hill, Boston : 20-21. Perawatan Paliatif dan Bebas Nyeri pada Penyakit Kanker.Djauzi S dkk, YPI PRESS, Iakarta,2003, 9-38, 201-202. Cain JM, Practical aspects of hospice care at home.Best Pract & Research Clin.Ob&Gyn 2001, 15 : 305-311. Hanson LC et a1, Community Physicians who provide terminal care, Arch Intern. Med 1999, 159 : 1133-1138. 10. Pramantara S IDP et al, Kajian biaya manfaat program rawat rumah pasien gedatri. TI Nasional II KonNas III PERGEMI 2004, MU 60-67. 11. Reichel W, Care at the end of life.ibid no. 6;29-33. 12. Meliala L, Penatalaksanaan nyeri pada Lansia; TI Nasional II KonNas III PERGEMI 2004, MU 40.50.

6. 7. 8. 9.

II

Vlll

I

3. Sapufia K, Ilmu Kodokteran Komplementer pada proses menua : Peran Akupungtur untuk mengelola nyeri.Prosiding TI Geriatri 2005, hal 105-110, Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam, FKUI.

14. Supartondo, Kecenderungan polifarmasi pada multipatologi, apa inasalahnya ? Prosiding TI Geriatri 2003, hal 1-5. Pusat Informasi dan Penerbitan Bagian IImu Penyakit Dalam FKUI. 15. Kubler-Ross E. On death and dying. New York : Macmillan,

1969. 16. Asdie HA. Perawatan orang sakit terminal. Tinjauan Agama Islam, Seminar / Pelatihan bagi Perawat Penanganan Pasien menuju Kematian. Panitia Ramadhan di RSUP Dr. Sardjito, 5 Desember 2000. 17. Nuland SB. How we die.Vintage Books, Random House, Inc,

New York, 1995.

144 ELDERLY MISTREATMENTI SALAH PERLAKUAT{ TERHADAP ORANG TUA Supaftondo, Nina Kemala Sari

minum obat, tiba-tiba si kakek mendapat serangan strok karena tekanan darah yang terlalu tinggi. Strok tersebut al:trimya membuat pasien mengalami gangguan menelan sehingga setiap kali makan harus m6lalui selang nasogastrik. Pasien juga mengalami inkontinensia urin sehingga memerlukan pemasangan kateter jangka panjang. Dokter sudah menganjurkan penggunaan kateter silikon yang hanya diganti sekali sebulan namun karena si isteri ingin semua yang dijamin ASKES akhimya kateter yang didap at adalah kateter Folley yang harus diganti seminggu sekali. Pada penggantian kateter yang kesekian, terjadi false route sehingga timbul striktur uretra dan berujung pada dilakukannya tindakan pembuatan sistostomi.

PENDAHULUAN

obat hipertensinya lagi. Setelah hampir sebulan tidak

Seorang nenek sudah lama sakit dan sudah dianjurkan dokter

untuk dirawat di rumah sakit. Namun oleh anak-anaknya beliau hanya ditempatkan di salah satu kamar hotel milik si nenek sendiri. Ketika sakit beliau bertambah parah barulah anak-anak membawanya ke rumah sakit. Selama di rumah sakit, beliau hanya ditunggui oleh anaknya yang menderita sakit jiwa tanpa dibekali uang secukupnya untuk menebus obat-obatan dan pemeriksaan laboratorium. Anak-anak yang lain hampir tak pemah datang menjenguk. Karena obat-

obatan yang digunakan terputus-putus, sakit si nenek bertambah parah dan memerlukan tindakan serta pengobatan darurat. Untuk mendapatkan bantuan dari sebuah yayasan sosial yang ada di rumah sakit tersebut, pasien haruslah merupakan pasien bangsal kelas 3, sedangkan si nenek dirawat di bangsal kelas 2 sehingga

Salah Perlakuan terhadap orang berusia lanjut merupakan gejala serius. Data di Amerika memperlihatkan bahwa setiap tahun lebih dari 1,5 juta orang tua mendapat perlakuan salah. Peneliti lain memperoleh data prevalensi salah perlakuan pada 32 dar.1000 populasi usia lanjut. Meski pun belum terdapat data akurat di Indonesia namun dalam praktek sehari-hari kian sering dijumpai kasus-kasus yang mengindikasikan adanya salah perlakuan terhadap orang berusia lanjut. Berbagai sikap seperti kekasaran,

tidak bisa mendapat bantuan gratis dari yayasan tersebut.

Untuk memindahkan si nenek ke kelas 3 diperlukan persetujuan keluarga. Anak yang menunggu si nenek tidak dapat dipercaya akalnya, sementara keluarga yang relatif 'sehat' tidak kunjung datang, dan ketika di telpon mereka merasa tersinggung dengan ide pindah kelas tersebut.

Kasus lain adalah kasus terputusnya pengobatan hipertensi seorang kakek. Selama ini beliau rutin kontrol

pengabaian, eksploitasi, dan meninggalkan/mengisolasi oleh pramurawat, keluarga, teman-teman, atau kenalan dapat memberikan akibat fatal bagi seorang berusia lanjut. Sikap-sikap tersebut, baik disengaja maupun tidak, dapat berujung pada merosotnya kualitas hidup dan kesehatan

ke sebuah poliklinik di rumah sakit umum untuk pengobatan hipertensinya. Pengobatan berjalan lancarlancar saja. Ketika PT. ASKES mengubah kebijaksanaan, obat yang biasa diperoleh secara gratis dengan jaminan ASKES tersebut temyata harus dibayar sebagian.Isteri pasien yang biasa mengantar berobat tidak bisa menerima kenyataan tersebut namun juga tidak mau obatnya ditukar

seorang berusia lanjut.

Salah perlakuan terhadap orang tua baru mulai mendapat perhatian pada akhir tahun 1970-an setelah dimuatnya laporan pemukulan terhadap seorang nenek di

dengan obat lain yang masih ditanggung ASKES. Akhimya

media masa Inggris. Karena itu, pengetahuan kita mengenai

obat tersebut tidak ditebus dan sang kakek tidak minum

salah perlakuan pada usia lanjut jauh tertinggal

919

920

GERITI|TRI

dibandingkan kejahatan terhadap anak maupun wanita. Meskipun berbagai kelompok seperti para ahli hukum, sosiolog, pekerja sosial, dan perawat secara klinis dan akademis terlibat dengan masalah ini, namun para dokter, umumnya, belum berkontribusi signifikan. Hal ini, untuk

sebagian, mencerminkan kenyataan bahwa dokter keluarga, yang paling tepat untuk menilai ada tidaknya diagnosis salah perlakuan, merasa tidak cukup bekal pengetahuan, mungkin karena kejahatan interpersonal dalam pendidikan kedokteran selama ini terabaikan.

Menurut Callahan, salah perlakuan yang terbesar pada

usia lanjut adalah kegagalan menyediakan kebutuhan ekonomi untuk hidup layak dan kesempatan memilih keinginan sendiri. la menyimpulkan bahwa kesehatan

ekonomi seorang berusia lanjut sejalan dengan membaiknya taraf kesehatan, tempat tinggal, hubungan keluarga, dan memperkecil situasi salah perlakuan.

ETIOLOGI Para ahli sosiologi telah mengajukan sejumlah teori seperti

Penganiayaan Fisik mencakup tindakan - tindakan kejahatan yang menyebabkan nyeri, trauma, gangguan , atau penyakit. Contoh: memukul, menendang, mendorong.

Pengabaian Fisik memiliki ciri khas berupa kegagalan pramurawat untuk menyiapkan barang-barang atau pelayanan yang dibutuhkan untuk dapat berfungsi optomal atau untuk menghindari bahaya. Penganiayaan Psikologis adalah kekerasan terhadap mental orang lanjut sehingga menimbulkan kesedihan yang mendalam.Contoh: ancaman, caci maki, perlakuan seperti terhadap anak-anak , atau mengisolasi Pengabaian Psikologis adalah kegagalan untuk menyediakan stimulasi sosial bagi orang berusia lanjut yang tidak mandiri Penganiayaan Finansial atau Material mencakup salah guna pendapatan atau sumber-sumber finansial atau penghasilan seseorang oleh orang lain atau perawat Pengabaian Finansial atau Material adalah kegagalan menggunakan dana atau sumber-sumberyang diperlukann untuk menopang atau pemulihan kesehatan dan kesejahteraan usia lanjut. Kejahatan terhadap Hak Azasi Manusia terjadi bila orang yang merawaVmengawasi usia lanjut mengabaikan hak-hak orang berusia lanjut dan kemampuan untuk mengambil keputusan bagi mereka.(kebebasan pribadi, kekayaan

pribadi, keinginan berkumpul, berbicara,

Pivacy, memberikan suara) Contoh: mengambil hak milik pribadi dari orang tua.

DEFINISI

tertera pada Tabel 2. Teori situasional/isolasi soasial biasanya te{adi pada pasien usia lanjut yang tidak memiliki

jaringan pendukung.

Teori penukaranlketergantungan korban pada pramurawat dan pramurawat pada korban terjadi bila

pramurawat tergantung pada pasien, pramurawat memperlakukan pasien dengan salah sebagai strategi penyeimbang.

Teori pembelaj arn sosial lkejatahan transgenerasi merujuk pada orang tua yang bertindak kasar dalam mendidik anak, anak belajar menggunakan kekasaran sebagai mekanisme adaptasi. Anak-anak kemudian mengasari orang tua saat mereka berperan sebagai pengawas orang fua.

Hipotesis psikoanalitik/psikopatolo gi pramurawat diajukan bila pramurawat memilki problem psikologis atau penyalahgunaan obat.

Hambatan utama untuk pencegahan dan intervensi salah perlakuan terhadap usia lanjut adalah kurangnya

kewaspadaan dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Meskipun salah perlakuan ini terkait dengan meningkatnya mortalitas pada usia lanjut, hanya 2l%o dari 550.000 perkiraan kasus salah perlakuan yang dilaporkan pada tahun 1996 ke pelayanan proteksi usia lanjut di Amerika. Tabel 3. memperlihatkan alasan mengapa kasus-kasus salah perlakuan tidak dilaporkan.

Salah perlakuan terhadap orang tua adalah segala jenis

hal yang membahayakan termasuk tindakan kasar, pengabaian, eksploitasi, serta kejahatan terhadap hak azazi manusia @ulmer and O'Malley 1987). Rincian definisi salah

perlakuan terhadap orang berusia lanjut menurut American Medical As sociationterlihat dalam Tabel berikut:

Sedikit atau kurangnya pelatihan mengenali salah perlakuan Sikap yang kurang menyenangkan terhadap usia lanjut Sedikitnya literatur medis tentang salah perlakuan pada orang berusia lanjut Penolakan menghubungkan tanda-tanda salah perlakuan (tidak yakin) pada orang berusia lanjut Menyembunyikan korban (pasien tidak sering dilihat oleh doker)

Teori lnteraksi simbolik Teori situasional Teori penukaran

Teori pembelajaran sosial Teori psikoanalitik

Faktor Risiko yang ditawarkan Stress pramurawat lsolasi korban Ketergantungan korban pada pramurawat, dan pramurawat pada korban Kejahatan transgenerasi Psikopatologi pada korban atau pramurawat

Tanda-tanda/ gejala samar-samar (higiene buruk atau dehidrasi) Penolakan atau takut berkonfrontasi dengan penyerang Menolak melaporkan salah perlakuan yang masih merupakan kemungkinan Orang yang diperlakukan secara salah memohon agar agar hal tersebut tidak dilaporkan (hak istimewa pasien/dokter) Kurangnya pengetahuan tentang prosedur pelaporan yang benar Ketakutan timbulnya hubungan yang membahayakan dengan rumah sakit atau fasilitas perawatan.

921

ELI'ERLY IWSTNEATMENT <SALA}I PERLAKUAT{ PADA USIA LANJUT)

FAKTORRISIKO

berbelanja, dan kehidupan sosial. Penting juga ditanyakan

kualitas hubungan dengan pramurawat Gangguan kognitif dan ketergantungan merupakan faktor-

faktor risiko utama untuk timbulnya salah perlakuan pada usia lanjut. Tabel 4 memperlihatkan daftar faktor risiko terjadinya salah perlakuanpada usia lanjut. Deteksi adanya salah perlakuan ini sangat penting karena terkait dengan berbagai sindrom geriatri yang umum terdapat yaitu depresi, demensia, jatuh disertai fraktur panggul, dan ulkus dekubitus.

dengan pertanyaan" Apakah . . . . . . (nama pramurawat) menjagamu dengan baik?" Hal yang penting juga adalah menilai status mental pasien untuk indikator adanya depresi atau salah guna obat atau alkohol. Diskusi mengenai status

finansial pasien juga diperlukan. Jika dicurigai adanya salah perlakuan, pramurawat juga harus diwawancara. Dokter juga harus waspada untuk tidak menginterpretasi secara berlebihan atau membuat komentar yang menjurus,

terutama bila faal kognitif pasien terganggu. Tabel 5 memperlihatkan riwayat yang penting untuk menduga adany a salah periakuan. Usia lanjut Kurangnya akses terhadap berbagai sumber Rendahnya pendapatan lsolasi sosial Status minoritas Rendahnya pendidikan Rendahnya kemampuan fungsional Salah guna zat oleh pramurawat atau penderita Gangguan psikologis dan abnormalitas karakter Riwayat kejahatan/ kekejaman dalam keluarga Kelelahan dan frustrasi pramurawat Gangguan kognitif

PEN DEKATAN TERHADAP PASIEN

Masalah medis/diagnosis Deskripsi terperinci lingkungan rumah (adekuatnya makanan, tempat berlindung, persediaan, dst) Deskripsi akurat kejadian yang berhubungan dengan kecelakaan atau trauma (misalnya penanganan yang kasar, isolasi, salah perlakuan secara verbal maupun emosional)

Riwayat kejahatan terdahulu Deskripsi trauma terdahulu dan kejadian di seputarnya Deskripsi caci maki, ancaman, atau salah guna emosi Penanganan masalah medis yang tidak sesuai, trauma yang tidak diatasi, higiene buruk, lama tidak dibawa berobat Depresi atau penyakit mental lainnya

Anamnesis Mengenali adanya salah perlakuan seringkali sulit. Orang berusia lanjut mungkin tak dapat memberikan informasi karena adanya gangguan kognitif. Riwayat sering kali sulit didapat dari korban, karena takut akan balas dendam pelaku. Pembalasan tersebut dapat berupa hukuman fisik

DETEKSI ADANYA SALAH PERLAKUAN PADA USIA

I.ANJUT Para

klinisi harus lebih mengandalkan teknik-teknik

penapisan, pengenalan tand a-tatda, dan timbulny a gejala-

atau ancaman kekerasan dan ditinggalkan. Orang tua sering

gejala. Para ahli geriatri biasa menggunakan instrumen

kali takut ditempatkan di fasilitas perawatan dan beberapa lebihbaikmemilih di perlahrkan tidakbenar di rumah sendiri daripada pindah ke tempat lain. Orang yang diperlakukan salah seringkali datang dengan keluhan somatik. Dokter harus menanyakan pada pasien tentang penanganan yang kasar, isolasi, serta salah

penapisan berupa Mini Mental Slate Evaluation (MMSE) untuk penilaian status kognitif , Geriatric Depres sion Scale (GDS) untuk status afektif, dan skala Activities of Daily Living (ADL) untuk status fungsional. Sayangnya, meski

perlakuan secara verbal maupun emosional. Keluhan yang samar atau membingungkan dapat menunjukkan indikasi salah perlakuan. Penting diingat bahwa salah perlakuan

atau penyia-nyiaan paling sering terungkap pada kunjungan rutin di ruang praktek dokter atau pada saat perawatan j angka panj ang.

Umumnya, pasien harus diwawancara tanpa pramurawat. Gangguan kognitif mungkin membatasi kemampuan untuk memperoleh riwayat yang akurat. Penting untuk memberikan pertanyaan umum tentang kondisi di rumah atau fasilitas perawatan. Dokter harus mencoba mendapatkan pandangan akurat kehidupan pasien sehari'hari termasuk makanan, obat-obatan,

pun berbagai protokol telah diteliti untuk mendeteksi adanya penganiayaaan pada usia lanjut namun masih beleum ada instrumen untuk kegunaan klinis di ruang perawatan. Lebih jauh, masih belum jelas apa yang

seharusnya digunakan sebagai baku emas untuk mengevaluasi protokol ini. Asosiasi Medis Amerika menyarankan agar paru dokter mengajukan pertanyaanpertanyaan seperti tertera pada Tabel 6 Hal ini berarti bahwa para klinisi harus mengandalkan

keahlian dan inisiatifnya sendiri. Perlu ditimbulkan kecurigaan tinggi karea mayoritas kasus tidak jelas terlihat. Perlu dibangun hubungan yang baik dengan pasien dan pramurawat untuk mengetahui apakah terdapat masalah. Tabel berikut ini memperlihatkan daftar hal-hal yang perlu dievaluasi unhrk penapisan ada tidaknya salah perlakuan.

922

GERIIITRI

lanjut. Jika terdapat sikap salah perlakuan haruskah menjadi perhatian dokter ataukah dilaporkan kepada

Adakah yang menyakiti Anda di rumah?

Adakah yang pernah menyentuh Anda tanpa persetujuan Anda?

Adakah orang yang membuat Anda terpaksa melakukan sesuatu yang tidak ingin Anda kerjakan? Adakah orang yang mengambil milik Anda tanpa ijin? Adakah orang yang pernah memaki atau mengancam Anda? Apakah Anda pernah menandatangani dokumen yang tidak Anda mengerti? Apakah ada seseorang yang Anda takuti di rumah? Apakah Anda lebih banyak sendirian? Adakah orang yang pernah gagal/ tidak bisa menolong Anda saat Anda membutuhkan?

Pemeriksaan Fisis Trauma dalam bentuk frakhrr, dislokasi, laserasi, abrasi, luka bakar, atau memarbiasanyajelas terlihat. Tabel berikut memrnjukkan tanda-tanda yang perlu dievaluasi.

Waspadai perjanjian yang tidak ditepati, ketyerlambatan untuk mencari pertolongan yang tak dapat dijelaskan, trauma berulang atau yang tak dapat dijelaskan. Selalu berbicara pada pasien seorang diri.

Penilaian adanya depresi, ansietas, menarik diri, atau

penegak hukum atau departemen sosial? Demikian juga, pada bentuk salah perlakuan yang ringan seperti melalui perkataan, tentunya tidak ditatalaksana serupa dengan kejahatan frsik yang membahayakan. Tak ada seorang pun dokter yang membenarkan sikap

salah perlakuan pada usia lanjut namun demikian berhadapan dengan hal tersebut akan menimbulkan berbagai masalah etik bagi dokter. Dokter diajari untuk menjaga konfidensialitas pasien. Dokter juga diajari untuk menghargai dan menjaga otonomi pasien. Merujuk ke

negara lain, sebagai contoh Amerika, Adult Protective Service (APS) lah yang berperan, bukan dokter, untuk memutuskan apakah pasien kompeten untuk memi I iki hak

memilih untuk tetap berada dalam situasi abusive tersebut.

Penting sekali untuk menentukan apakah pasien memiliki kapasitas dan kebebasan untuk mengambil keputusan terhadap intervensi yang akan dilakukan. Individu yang tak lagi dapat mengelola keuangannya tidak berarti bahwa ia tak dapat mengekspresikan keinginan dimana ia ingin tinggal.

kebingungan. Selalu menerima riwayat seksual dengan hati-hati.

Tanyakan pada pasien secara langsung tentang adanya penganrayaan.

Nilai kualitas interaksi antara pasien dan pramurawat.

Tanyakan pada parmurawat apakah dalam melakukan perawatan.

ia

memiliki masalah

Nilai sistem pendukung sosial pasien.

Penganiayaan: Fraktur atau dislokasi Laserasi, abrasi, luka bakar Memar Penyakit menular seksual, nyeri, atau perdarahan di daerah genitalia Tandatanda penggunaan obat berlebihan, kekurangan obat, atau salah guna obat Higiene yang buruk Pengabaian: Kakeksia Higiene buruk Cara berpakaian yang tidak sesuai Gangguan mobilitas Gangguan sensoris Tidak adanya alat bantu (kaca mata, alat bantu dengar, gigi, tongkat atau walker) Gangguan komunikasi (hambatan sensoris atau kognitif) Kelemahan Ulkus dekubitus Kontraktur

ETIKA DOKTER Sering terjadi dilema etika ketika berhadapan dengan kasus

salah perlakuan atau dugaan salah perlakuan pada usia

PERAN DOKTER Dokter dapat berperan dalam pencegahan salah perlakuan. Meskipun data riset formal masih kurang, secara intuitif jelas bahwa orang berusia lanjut yang paling rentalah yang berisiko tinggi terhadap sikap salah perlakuan. Penilaian geriatri secara komprehensif dari fungsi kognitif, afektif, fungsional, dan status sosial akan sangat membantu mengidentifikasi kasus-kasus yang potensial berisiko. Dengan meletakkan otonomi pasien pada porsinya serta meminimalkan stres pramurawat, secara signifikan akan mengurangi risiko salah perlakuan pada usia lanjut. Selain itu dari hasil studi juga diketahui bahwa pengetahuan dokter tentang adanya salah perlakuan pada usia lanjut adalah relatifyang paling baik sehingga diharapkan dapat berperan serta secara aktif dalam riset-riset terkait salah perlakuan pada usia lanjut. Faktor kunci untuk penilaian perawatan dapat dilihat pada Tabel9.

Apakah tejadi salah perlakuan? Apa jenis salah perlakuan yang terjadi? Apakah hal ini telah terjadi sebelumnya? Apakah pasien pernah mendapat bantuan sebelumnya untuk salah perlakuan ini? Apakah si pelaku masih ada pada saat ini? Apakah aman bila pasien kembali ke rumah? Pelayanan/perlindungan apa yang diperlukan agar pasien aman? Apa yang pasien harapkan? Apakah perlu melaporkan kasus ini ke pihak berwenang?

923

ELDERLY MISTRMTMENT <SALATI PERLAKUAN PADA USIA LANJUT)

Penting menentukan apakah masalah yang ada merupakan kasus tersendiri atau masalah yang telah berlangsung lama. Seberapa seriusnya akibat salah perlakuan tersebut? Apakah aman bagi usia lanjut yang mendapat salah perlakuan untuk kembali ke tempat yang sama? Apa yang dipikirkan dan apa yang diinginkan pasien? Jika pasien kompeten, keputusan dapat diambil

oleh pasien sendiri. Jika pasien tidak kompeten, dokter perlu membantu melindunginya. Pramurawat dari pasien yang mendapat salah perlakuan juga perlu mendapat layanan pendukung. Untuk itu, dokter perlu mengetahui sistem dukungan sosial dan finansial pasien, sumber daya apa yang tersedia di masyarakat dan bagaimana cara

mengaksesnya, serta bagaimana cara mendapatkan perlindungan hukum bila sewaktu-waktu diperlukan.

mempengamhi cara pandang dan perlakuan terhadap warga berusia lanjut meskipun nilai-nilai kebenaran yang bersifat universal menjadi bahan pertimbangan di sisi lain. Kepedulian dan kewaspadaan dokter dalam mendeteksi

adanya salah perlakuan pada usia lanjut sangat dibutuhkan.

REFERENSI Fulmer I Guadagno L, Bolton Mm. Elder Mistreatment In Women. Jognn 2004; 33:5. Jogerst Gj, Daly Jm, Brinig Mf, Dawson Jd, Schmuch Ga, Ingram Jg.Domestic elder abuse and the law American Joumal of Public Health 2003;93:12. Kruger MRM. Moon CCH. Can you spot the signs of elder

mistreatment? Post Graduate Medicine,.http:/ /www .postgradmed.com/issues/

MASADEPAN Problem salah perlakuan pada usia lanjut akan terus meningkat di masa depan karena berbagai alasan diantaranya adalah meningkatnyajumlah warga usia lanjut

yang tidak mandiri, menciutnya ukuran keluarga dan pramurawat, meningkatnya perpecahan keluarga seperti

perceraian dan pindah tempat yang menyebabkan terkikisnya sistem pendukung. Hal yang perlu diingat, perbedaan kultur budaya jelas akan sangat mempengaruhi

kriteria salah perlakuan. Perlu dipertimbangkan adat kebiasaan yang berlaku di suatu daerah yang

Lachs

1

999/08-99ikruger.htm

M. Elder mistreatment. ln Principles of Geriatric Medicine &

Gerontology, Hazard WR, Blass JP, Halter JB, Ouslander JG, Tinetti ME (eds). New York: Mc Graw Hill; 2003. p. 1593-98 O'brien Jg, Piper Me. Elder abuse. In Principles and Practice of Geriatric Medicine. Pathy OBE MSJ (ed). New york: John Willey & Sons; 1991. p. 211- 18. Rosenblatt De, Lachs MS. Elder mistreatment. In Oxford,Textbook of Geriatric Medicine, Evans JG, Williams TF, Beattie BL, Michel J-B Wilcock GK (eds). Oxford University Press. New York 2000. p. 1164-69

Swagerty DL, Takahashi Py, Evans JM. Elder mistreatment. American Family Physician 1999;59:10.

145 GERONTOLOGI DAN GERIATRI R. BoedhiDarmojo

PENS,MJLUAN

Hippocrates, menganggap hal kurang sehat sebagai senilitas prematur dan menganggap usia lanjut sebagai

Definisi menua (menjadi ttta= aging) adalah suatuproses

suatu penyakit. Claudius Galenus (130-200 SM) menganjurkan untuk berhati-hati dalam mengobati penyakit-penyakit pada

menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan j aringan

untuk memperbaiki diri/mengganti diri

dan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap trauma (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita. IstiLah Gerontologi didapat dari bahasa Yunani

orang tua; ia menganjurkan suatu diet yangingan,bergui, tetapi mudah dicerna. Ikan dianggapnya sebagai makanan yang paling sesuai unhrk ini. Ia juga menganjurkan jalanjalan di hawa terbuka, pemijatan dan latihan-latihan pagi

"geront" yang berarti "orang usia lanjut", diusulkan pertama kali oleh Elie Metchnikoff pada tahun I 903. Ilmu usia lanjut ini termasuk penelitian ilmiah, proses menua, pengetahuan klinis pada manusia dewasa, perspektif

banyak menganjurkan beraneka ragam cara rejuvenasi, dari penggunaan zat-zalkimiawi sampai hal-hal yang bersifat

bidang hurnaniora dan penerapan ilmu ini untuk pelayanan para usia lanjut tersebut.

dipergunakan unflrk ini.

hari. Pendapalpendapatnya ini ternyata masih berlaku sampai sekarang. Dokter-dokter pada abad pertengahan

blach magic. Berbagai macam "longbvily elixirs"

Istilah Geriatri pertama kali dipakai oleh Ignatz Nascher pada tahun 1909. Geriatri merupakan disiplin ilmu

kedokteran yang menitik beratkan pada pencegahan, diagnosis, pengobatan dan pelayanan kepada para pasien

GERONTOLOG! DAN GERIATRI DI INDONESIA

usialanjut. Ternyata ilmu ini baru dikatakan berkembang dqngan nyata pada tahun 1935 di Inggris oleh seorang dokter perempuan Marjorie Warren di West Middlesex Hbspital, yang dianggap sebagai perintisnya. Beratus-

Masalah usia lanjut mulai diungkap dalam karangan Dr. Seno Sastroamidjojo yang berjudul "Masalah masa tua dan ilmu penyakit di masa tu a" , tahw 1966. Pada tahun 19661196'7 Boedhi-Darmojo ditugaskan oleh Dep. Veteran danDemobilisasi ke NegaraEropa (Belanda,

ratus'orang lusia lanjut yang dirawat di rumah sakit tersebut mulai diberikan " active treatment " berupa latihan-latihan

Swedia, Inggris, Jerman) untuk mempelajari Geriatri/

jasmani dan rohani dengan giat dan sistematik, yang

Gerontologi. Baru pada 1977 dtadakffiSimposium Nasional Geriatri di Semarang, yang diikuti sentrum pendidikan lainnya. Pada Simposium Geriatri Pertama tahtn 1977

ternyata memberikan manfaat yang nyata lebih besar.

Hippocrates (abad ke- 4-5 SM) di dalam karyanya Corpus flippocraticum telah mengetahui bahwa ada

tersebut direkomendasikan kepada pemerintah untuk mencantumkan hal ihkwal para usia lanjut dalam GBHN

perbedaan ny ala ariarareaksi terhadap stimuli antara kaum

muda dan tua. Dikatakannya bahwa pada orang tua terdapat pengurangan dalam elastisitas kulit maupun otot,

1978.

kenaikanjumlah air dalam darah, dan pengurangan dalam peredaran darah. Aristoteles, dua abad sesudah

Indonesia) PERGERI didirikan di Jakarta. Berdasarkan konsensus antara pengurus PERGERI, Dirj en Yankes, dan

Baru tahun 1985 (Perhimpunan Gerontologi

924

92s.

GERONTOLOGI DAT{ GERIATRI DI INDONESIA

IDI waktu itu, disetujui geriatri dikembangkan oleh bagian

dipakai lagi). Pelaksanaan Undang-undang ini ternyata

Ilmu Penyakit Dalam, tentu saja dengan kerjasama erat dan saling mengisi dengan bagian-bagian dan sub bagian lain yang terkait.

tidak lancar.

Dalam Simposium Geriatri (1978) di Jakarta, penulis telatr mencoba memformulasikan tujuan GerontologilGeriatri di

Indonesia sebagai berikut: "Mengadakan upaya dan tindakantindakan sehingga orang-orang usia lanjut selama mungkin tetap dalam keadaan sehat, baik fisis, mental, dan

Undang-undang mengenai penyelenggaraan, pembinaan, pendanaan, dan perlindungan golongan usia lanjut ini juga harus dibuat oleh pemerintah. Al*rirnya pada tahun 1998 telah dikeluarkan Undang-undang No. 13 tahun

1998 mengenai Kesejahteraan Orang Usia lanjut. Selanjutnya Undang-Undang ini perlu segera disusul

tidaknya sedikit mungkin merupakan beban bagi

peraturan-peraturan pemerintah (PP) yang merumuskan peraturan pelaksaanaan dan anggaran yang diperlukan. Untuk mempercepat berkembangnya geriatri, pada

masyarakat Indonesia"

Kongres Persatuan

sosial, sehingga masih berguna bagi masyarakat, setidak-

sebelum 1993 belum mencantumkan hal ikhwal golongan

Ahli Penyakit Dalam Indonesia (KOPAPDI) tahun 1996 di Padang didirikan PERGEMI (Perhimpunan Gerontologi Medik Indonesia) yang dalam

usia lanjut yang masih mandiri dan produktif, yang

waktu relatif singkat dapat membentuk

tenaganya masih dapat dimanfaatkan untuk pembangunan negara. GBHN 1993 dalam rumusan mengenai usia lanjut

di Indonpsia. Selanjutnya diharapkan masalah geriatri dikembangkan dalam masing-masing bidang ilmu

akhirnya berbunyi sebagai berikut: "Dengan meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan makin panjangnya usia harapan hidup sebagai akibat

kedokteran.

kemajuan yang telah dicapai dalam pembangunan selama ini, maka mereka yang memiliki pengalaman, keahlian, dan kearifan perlu diberi kesempatan untuk berperan dalam pembangunan. Kesejahteraan penduduk usia lanjut yang

DEMOGRAFI DAN EPIDEMIOLOGI

Ternyata MPR

RI dalam GBHN bertahun-tahun

karena kondisi fisis dan/atau mentalnya tidak memungkinkan lagi untuk berperan dalam pembangunan, perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah dan masyarakat". (Keterangan: GBHN sebelumnya hanya memuat kalimat ke-2 pernyataan tersebut di atas, bersama-sama dengan anak yatim piatu, fakir miskin, cacat veteran , anaklerlantar, usia lanjut, dan sebagainya, tak merupakan rumusan

khusus seperti GBHN 1993 ini). Pada tahun 1989, di tingkat Menko Kesejahteraan

Rakyat telah dibentuk Kelompok Kerja

Tetap

c

abang-cabangnya

Menurut UN-Population Division, Departryent of Economic and Social Affalrs (1999) jumlah populasi usia lanjut 260 tahun diperkirakan hampir mencapai 600 juta orang dan diproyeksikan menjadi 2 milyar pada tahrm 2050, saat ituusialanjut akan melebihijumlahpopulasi anak (0 14 tahun), pertama kali dalam sejarahumatmanusia. Usia lanjut diukur menurut usia kronologis, fisiologis

(biologi) dan kematangan mental, ketiganya seringkali tak be{alan sejajar seperti yang diharapkan, serta tak berbatas tegas. Dalam geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut) yang dianggap penting adalah usia biologis seseorang bukan usia kronologisnya. Peningkatan jumlah orang usia lanjut akan lebih cepat

lanjut (POzuA-TAPJAHLANSIA)

daripada anak atau jumlah pertumbuhan penduduk

unhrk merumuskan kebijakan Pelayanan Nasional terhadap usia lanjut ini. Pada hari Keluarga Nasional, 29 Jnru 1994 oleh Presiden telah dicanangkan "Gerakan Pembangunan Keluarga Sejahtera". Jadi para usia lanjut nantinya akan dilayani sebagai anggota keluarga (extended family).

keseluruhan, dapat pula dihitung dengan rumus geometrik.

Kesej ahteraan Usia

Dengan dicanangkannya tanggal 29 i|lfei (mulai tahun 1996) sebagai hari Usia Lanjut Nasional oleh Presiden Soeharto di Semarang, diharapkan kepedulian dan pelayanan/pembinaan pada kaum lansia akan meningkat. Akhirnya oleh Pemerintah didirikan suatu Lembaga Lansia Indonesia (LLI) dan dilantik oleh Wakil Presiden RI tanggal 30 Januari 200 I di Jakarta. Sebetulnya pada tahun 1965, telah dikeluarkan Undang-

Undang No.4 tahun 1965 tentang Pemberian Bantuan Penghidupan Orang Jompo. Yang dimaksud orang jompo dalam undang-undang ini ialah setiap orang yang berhubung dengan usia lanjut, tidak mempunyai atau tidak

berdaya mencari nafkah untuk keperluan pokok bagi hidupnya sehari-hari. (Istilah j ompo sekarang sudah tidak

Golongan usia lanjut

di Indonesia akan naik

3,960/0

setahunnya, sedangkan angka pertumbuhan anak di bawah 15 tahun hanya akan naik 0,49Yo per tahun. Angka

pertumbuhan usia lanjut yang berumur 70 tahun ke atas bahkan akan naik 5,6%o setahunnya dalam kurun waktu 1985-1995 (angka-angka dihitung dari BPS, Supas 1985). Angka harapan hidup seluruh dunia disajikan dalam Tabel 1. (D

WHO menghitung harapan hidup seseorang dengan ab i I i ty A dj u s t e d L ife - Exp e c t an cy) D ALE, yang

is

disesuaikan dan tak menghitung usia lanjut yang cacat/ invalid. Dengan demikian harapanhidup orang Indonesia padapia62,6 tahun dan perempuan 66,7 tahun (BPS, 1998),

namun menurut DALE baru mencapai 59,7

tahw

(Tabel2). Negara-negara maju di Eropa danAmerikamenganggap batasan umur tua ialah 65 tahun, dengan pertimbangan bahwa pada usia tersebut orang akan pensiun, tetapi akhir-

926

GERIr'TIXI

Life Expectancy Life expectancy at birth (Harapan hidup waktu lahir)

1950-

1955

World

MDR LDR

47 0

652 424

19751980

19952000

57.5 71.9 55.1

63.9 73.7 62.5

20202025

at age 60 (Harapan hidup pada usia 60 th) 1

975-l 980 15.3 18.5

demografi, persentase Lansia diproyeksikan menjadi

14.9

Sumber: United Nations 'World Population Prospects as Assessed 1980" Population Studles No. 78 U.N. New Yo*, 1981 (MDR: more developed regions, LDR: less developed regions)

Years

Japan Australia Switzerland UK Germany Singapore Argentina U. Arab Emirates Rep. of Korea Mexico Saudi Arabia Brunei D. Hongary Kuwait Sri Lanka China Malaysia Russian Fed. Thailand

74.5 (no. 1) 73.2 72.5 7',\.7

70.4 69.3 66.7 65.4 65.0 65.0 64.5 64.4 64.1 63.1

62.8 62.3 6'1.4

6't.3

ll,34o/o padatahw 2020 yang akandatang (Tabel 3). AnCka dalam tabel 3 adalah jumlah absolut populasi lansia.

Struktur masyarakat Indonesia berubah dari masyarakat/populasi "muda" (1 97 1) menjadi populasi yang lebih "tua" pada tahun 202}.Piramida penduduk Indone-

sia berubah dari bentuk dengan basis lebar (fertilitas tinggi) menjadi piramida berbentuk kubah masjid atau

Country lndonesia Brazil Philippines Vietnam Pakistan lraq lndia N Korea Myanmar Bangladesh Papua NG Laos Cambodia Ghana South Africa Kenya Afganistan Ethiopia Mali

TRANSISI DEMOGRAFI Seperti diketahui, Indonesia sekarang ada dalam transisi

70.4 75.4 69.6

in

Country

sebanyak ini terutama akan terjadi diAsia. Di Cina dan di India saja pertambahan tersebut mencapai 270 juta lansia.

Years 59.7 (no. '103)

59

1

58.9 58.2 55.9 55.3 53.2

523

bawang (menunjukkan fertilitas dan mortalitas rendah) pada tahun 2020. Pergeseran ini menuntut perubahan dalam strategi pelayanan kesehatan, dengan lain perkataan lebih perlu perhatian dan prioritas untuk penyakit-penyakit pada usia dewasa dan lansia. Tetapi dalam hal ini penyakitpenyakit pada balita dan anak-anak masih juga menjadi masalah yang belum diselesaikan (beban ganda).

5't.6 49.9

470 46.1

Absolute numbers of person (in millions) above 60 years of age in countries with total population approaching or above 100 million inhabitants (in 2002)

45.7 45.5 39.82

393

2002

37.7 33.5

2025

China

134.2

China

287.5

lndia

81.0 46.9

lndia

168.5

USA

86.1

Japan

43.5

Russia

31.0 26.2

lndonesia

35.0

lndonesia

17.1

Brazil

33.4

Brazil

14.1

Russia

32.7

akhir ini telah dicapai konsensus sebagai batas umur

Pakistan

8.6

Pakistan

18.3

tersebut ialah 60 tahun. Lambat tetapi pasti masalah usia lanjut (Lansia) mulai mendapatkan perhatian pemerintah dan masyarakat. Hal

Mexico

7.3

Bangladesh

17.7

Bangladesh

7.2

Mexico

17.6

Nigeria

5.7

Nigeria

11.4

ini merupakan konsekuensi logis berhasilnya

uN, 2001

60.2

Zambia Sierra Leone

33.'1

30.3 25.9

(no

'19'l)

Source: WHReport, 2000 Catatan: Tidak semua negara anggota WHO dicantumkan

pembangunan, yaitu bertambahnya usia harapan hidup dan bertambah banyaknya jumlah lansia di Indonesia.

USA

Japan

Catatan: lndonesia akan menjadi negara ke-5 yang paling banyak jumlah lansianya pada tahun 2025.

Menurut laporan data demografi penduduk internasional yang dikeluarkanolehBureau of the Census USA (1993), dilaporkan bahwa Indonesia pada tahtrn 19902025 akarmempunyai kenaikan jumlah usia lanjut sebesar 41 4Yo, suatu angka paling tinggi di seluruh dunia. Sebagai perbandingan kami kutip : Kerry a 3 47 o/o,Brazll 25 5o/o, India

242yo,Chna220o/o,Jepangl29Yo,Jerman66%danSwedia 33%. Pada tahun 2000, dua di antara tiga lansia di seluruh dunia yang berjumlah 600 juta, akan hidup dan bertempat tinggal di negara-negara sedang berkembang. Sebelumnya angka ini pada tahun 1960 adalah 50%. Kenaikan jumlah

KEADAAN SOSIO.EKONOMI.BUDAYA PARA USIA !.ANJUT Keadaan sosial-ekonomi (sosek) adalah suatu masalah.

Usia lanjut Indonesia masih banyak tergantung pada orang lain (terutama anaknya). Dalam penelitian di lapanganlkomunitas, di desa maupun kota, 78,3olo usia

lanjut mengaku hidup serba pas-pasan, hanya

14,106

mengaku dapat hidup memanfaatkan tabungan sebelumnya.

927

GERONTOLOGI DAN GERIITIRI DI INDONESIA

Ketergantunganpada anak lebih banyak dialami oleh

perempuan usia lanjut dan persentasenya semakin meningkat dengan bertambahnya usia (Gambar 1). Bantuan dari keluarga ini meliputi semua bidang, baik finansial, makanan, pakaian, dan bantuan fisis dan moral.

yang terlantar dua kali lebih banyak daripada di kota. Hidup bertempat tinggal dengan keluarga merupakan

kebiasaan umum bila seorang usia lanjut ditinggal meninggal dunia oleh suami/istrinya, atalu sebelum ini

arrangement) dapat dilihat pada Gambar 2.

terjadi. Umumnya memang keluargalah yang merumat para usia lanjut di rumahnya (uga di flegara-negataAsia yang lain), terutama hal ini dilakukan oleh anak perempuan.

Di bawah ini dicantumkan tabel para usia lanjut yang terlantar, rawan terlantar dan tidak terlantar. (Tabel 4).

dalam rumahnya dapat dilihat pada Tabel 5, suatu

Kehidupan dalam susunan keluarga (family living

Alasan keluarga untuk menerima orang usia lanjut gambaran bahwa di negara-negara Asia Tenggara ini masih banyak mempertahankan budaya tradisionalnya dengan model"extendedfamilysystem".(KefuargaTigaGenerasi). Data ini berbeda dengan yang terjadi di negara maju. Sebagai contoh, di Australia 57Yo orangtsia lanjut tinggal berdua dengan suami/istrinya. 32,2o/ohidup sendirian, dan

60 50 40 30 20 10 0

60-64 65-69 70-74 75-79

hanya L0,S%otinggal di keluarga dengan 3 anggota keluarga atau lebih.

80+

Gambar 1. lndonesia, Percentage with Children as Main lncome (Boedhi-Darmojo et al, 1991)8

Ada pendapat yang semakin kuat (antara lain oleh WHO) untuk menyalurkan bantuan kepada usia lanjut melalui keluarga yang ditempati (caregivers). Pada organisasi LSM-pun dianjurkan untuk juga melakukan hal

llu.

700/ 600/o 50o/o

40Yo

30%

Negara

20%

Karena r.anggung Jents KetaminmelaKuKannya :a.nqgup jawab

Myanmar

10o/o 0?/o

dg -

anak

do.

Psg+'3n31

dg

Psg sendiri

lndonesia

lainnya

Sri

Gambar 2. lndonesia, Living Arrangemenfs (Boedhi-Darmojo et al, 1991)

Lanka

Thailand

keluarga

Tanggung jawab masyarakat

62,0 58,3

6,0 4,2

86,1

10,4 16,4

P

32,1

W

W

37,5 3,5 o,z 32,8 33,2

P

42,1

80,4 59,5 55,7 42,2

W

38,4

42,1

P

W P

7,6 10,9 15,7 19,6

P=pria,W=wanita

No. Perkotaan/urban Tidak terlantar Rawan terlantar Terlantar Pedesaan/rural Tidak terlantar Rawan terlantar Terlantar Perkotaan & pedesaan Tidak terlantar Rawan terlantar Terlantar

Pria

Wanita

Total

(%)

$t

63.85 25.05

56.85 29 73

11.10

50 70 33 84 15 46

(Y.l

13.42

41.40

32.18

36.61

34.06 24.54

38.72

36.48

29.10

26.91

49.85 30.67

39.38 36 82

44.36 33.89

19.49

23 80

21 .75

Sumber: Biro Pusat Statistik, 2000

Dapat kiranya disimpulkan bahwa usia lanjut yang terlantar dan rawan terlantar terutama adalah perempuan yang tinggal di pedesaan. Di pedesaan angka usia lanjut

KINERJA DAN KEHIDUPAN KAUM USIA LANJUT MenurutAgate (I970), kaum usia lanjut merupakan tenaga kerja yang handal dan berpengalaman, lebih dapat dipercay a (r el iab I e), leblh teliti (more ac cur at e), dan j arang mangkir kerja. Bahkan menurut WHO (1982) tenaga kerja berusia lanjut merupakatterraga yang setara dengan tenaga muda, malahan dinyatakan merupakan gudang kebijaksanaan dan contoh dalam sikap etika. Hasil evaluasi "Activity of Daily Living" (ADL) atau aktivitas hidup sehari-hari fisis menunjukkan bahwa >9 5o/o responsden dapat dan mampu menolong diri-sendiri (ADL Fisis), meskipun dipengaruhi oleh bertambahnya usia. Hasil ADL instrumental tak seburuk seperti yang diduga semula dan berkisar dari 7 5oh (dapatmenyiapkan makanan sendiri) sampai 82% (dapat pergi belanja keluar rumah). Sejumlah 62,6 o/o responsden di daerah kota masih mampu

928

GERIAIRI

menggunakan telepon. Hanya kurang dari 3% memerlukan bantuan sepenuhnya kepada orang lain. Sesuai dengan rekomendasi Boedhi-Darmojo ( I 985) pada Seminar Pemanfaatan Tenaga Ke{a Usia Lanjut oleh Depnaker, penugasan seorang lansia dapat diperpanjang bila didasarkan hal-hal sebagai berikut: keadaan kesehatan jasmani dan rohani masih cukup

. . .

baik mempunyai motivasi yang cukup positif untuk terus bekerja prestasi ket'a sebelumnyabaik/baik sekali, mempunyai

track record yang baik.

.

memiliki pengalaman dan kemahiran (expertise) yarrg

.

bila sulit untuk mencari penggantinya dan akhimya bila

langka formasi dan peraturan ketenagake{ aan memungkinkan.

Dapat ditambahkan bahwa kerja fisik berat (b/rze collar worker) memang tak sesuai lagi dengan usia lanjut dan perlu dialihtugaskan. Motivasi yang baik juga diperlukan agar para usia lanjut ini tak menghalangi karir para pekerja muda, justru mereka wajib mendidik kaderkadernya. Kegiatan para usia lanjut sehari-hari di rumah dapat dilihat pada

lhbel

6.

Pergaulan antara orang-orang usia lanjut juga tetap dilakr.rkan dengan teratur. Di pedesaan mereka lebih sering

kunjung-mengunjungi /bertemu, dibandingkan di daerah kota. Tetapi di daerah perkotaan orang-orang usia lanjut lebih banyak yang ikut serta dalam organisasi-organisasi masyarakat (sosial, perkumpulan kematian, dan sebagainya).

STATUS PSIKOSOSIAL USIA LANJUT Keadaan psiko-sosial para usia lanjut kita umumnya memang masih baik, rasa kesepian yang banyak drjumpai di negara-negara industri maju tak begitu banyak dijumpai, juga perasaan depresi dan ketergantungan pada orang lain hanya kurang dari 5%. Yang masih ingin tetap bekerja dan tetap aktif di rumah masih sekitar angka 60-75%, hal yang sangat membanggakan hati kita. (Tabel 7)

STEREOTIPE PSIKOLOGIS ORANG USIA LANJUT Biasanya sifat-sifat stereotipe para usia lanjut ini sesuai dengan pembawaannyapada waktu muda. Beberapa tipe yang dikenal adalah sebagai berikut:

Tipe konstruktif. Orang usia lanjut memprmyai integritas

PENDID!KAN Golongan usia lanjut di Indonesia pada waktu sekarang

ini masih berkualitas rendah, 7l,2yo belum

pernah

mengalami pendidikan formal (tak pernah sekolah), terutama kaum perempuan, di pedesaan. Hal ini merupakan sisa-sisa penjajahan jaman dulu. Banyak di antara mereka

merupakan tenaga kerja tak terlatih (unskilled workers). Hal ini juga terutama berlaku untuk daerah pedesaan. Pekerja-pekerja professional hanya 21,2y, pia dar T ,5%o perempuan di kota, dan hanya 4,2%o pria dan 0,7Yo percmpuan di pedesaan. Pada tahun-tahun mendatang kualitas usia lanjut Indonesia diharapkan akan meningkat.

MasaU

Negara Myanmar

Jents . menuaDKan Ketamrn : ' maKanan

P

15,5 57,6 10,2

W

28,1

P

4,0 58,6 14,9

P

W RRKorea lndonesia

W Sri Lanka

P

W Thailand

P

W

66,9 22,2 49,8

baik, dapat menilcnati hidupnyq mempunyai toleransi tinggi, humoristilg fleksibel (luwes), dan tahu diri. Biasanya sifat-

sifat ini dibawanya sejak muda. Mereka dapat menerima fakta-fakta proses menua, mengalami masa pensiun dengan tenang, juga dalam menghadapi masa akhir. .

Tipe ketergantungan (dependent). Orang usia lanjut ini masih dapat diterima di tengah masyarakat, tetapi selalu pasif tak berarnbisi, masih tahu diri, tak mempunyai inisiatif, dan bertindak tidak praktis. Biasanya orang ini dikuasai istrinya. Ia senang mengalami pensiun, malahan biasanya banyakmakan danminum, tidak sukabekerja, dan senang untukberlibur.

Bersih-

bersih

Menjahit

rumah

Guci

piring

Cuci

pakaian

Bantu

di kebun

28,8

8,6

13,1

11,9

53,7

43,9

51,4

32,7 67,4

2,4

1,1

56,8

57,1

46,0 't,9 55,6

22,8

1,9

2,7

5,6

59,3

18,s 2,3

53,1

42,6

1

16,7

52,3

7,3

8,9 59,2 20,0

30,0

48,3

43,1

33,2 18,8 34,3 22,7

33,6 66,5 28,5 51,4

17,1

17,O

24,3 15,6

48,0 50,6 5,7 1,3

Sumber: Agrng rn the South-East-Asia-WHO-Region, *country Study on health of the elderly in the community, 1993.

929

GERONTOLOGI DAT{ GERIITIRI DI INDONESIA

U+R

50,3 20,4 21,3 4,2 2,1 29,3 58,8 75,1 14,0 36,6 49,2 75,6

Pelupa Kesepian Sulit tidur Depresi Sepenuhnya tergantung Sakit kronik Masih ingin bekerja Masih aktif di rumah Masih kerja cari uang Masih ikut organisasi sosial Melihat TV Mendengarkan radio

48,0 19,8 19,7 4,3 3,3 34,7 50,9 75,4 17,8 53,6 79,2 88,6

57,3 20,8 23,8 4,2 1,2

22,5 63,0 74,3 11,5 18,9 18,7

63,0

Sumber: Boedhi-Darmojo dkk, 1991

Tipe defensif. Orang ini biasanya dulunya mempunyai pekerjaan/jabatan tak stabil, bersifat selalu menolak bantuan, seringkali emosinya tak dapat dikontrol, memegang teguh pada kebiasaannya, bersifat kompulsif aktif. Anehnya mereka takut menghadapi "menjadi tua" dan tak menyenangi masa pensiun.

Tipe bermusuhrn (hostility). Mereka menganggap orang lain yang menyebabkan kegagalannya, selalu mengeluh, bersifat agresif, curiga. Biasanya pekerjaan waktu dulunya tidak stabil. Menjadi tua dianggapnya tidak ada hal-hal yang baik, takut mati, iri hati pada yang muda, senang mengadu untung pada pekerjaan-pekerjaan aktif untuk menghinddri masa yang sulit/buruk. Tipe membenci/menyalahkan diri sen diri (self-haters). Orang ini bersifat kritis terhadap dan menyalahkan diri sendiri, tak mempunyai ambisi, mengalami penurunan kondisi sosio-ekonomi. Biasanya perkawinan yang tak bahagia, mempunyai sedikit hobi, merasa menjadi korban dari keadaan, namul mereka menerima fakta pada proses menua, tidak iri hati pada yang berusia muda, merasa sudah cukup mempunyai apa yang ada. Mereka menganggap kematian sebagai suatu kejadian yang membebaskannya dari pasienan.

Di Indonesia belum

pernah diadakan penelitian

mengenai stereotipe usia lanjut ini. Kriterianya tentu sangat dipengaruhi oleh faktor nilai, budaya, lingkungan dan tradisi masyarakat. Tujuan tiap usia lanjut terutama tentu

saja masuk tipe konstruktif, yang tentu masih dapat diikutsertakan dalam pembangunan negara. Statistik kasus bunuh diri menunjukkan angka yang lebih tinggi persentasenya pada golongan usia lanjut ini, apalagi pada mereka yang hidup sendirian. Kesusahan kehilangan seseorang yang dicintai seringkali berakibat depresi, juga bila kehilangan teman atau relasi lain (bereavement). Ini dapat menyebabkan gangguan fisis dan psikiatrik.

PENGARUH PROSES

IN

DUSTRIALISASI

Di negara-negara maju ternyata kualitas hidup

dapat

ditingkatkan dengan cepat berkat indushialisasi. Namun dengan adanya industrialisasi, urbanisasi juga terjadi, sehingga menambah kepadatan penduduk kota dengan segala macam problemanya, yang tentu secara

langsung atau tak langsung akan mempengaruhi perkembangan geriatri (gerontologi) pada umumnya. Selain itu industrialisasi juga akan membawa pikiran-

pikiran yang lebih materialistik dan dapat mendesak budaya tradisional yang baik. Jadi perkembangan industri

di sini bisa berpengaruh positif, tetapi bila tak diawasi dengan baik, juga dapat berpengaruh negatif terhadap segmen penduduk usia lanjut tadi. Pada proses industrialisasi, bertambah cepatnya perempuan yang biasanya melayani para usia lanjut, memasuki lapangan kerja merupakan fenomena y arrg global.

MASALAH PENSIUN Pensiun (purna tugas) adalah suatu sistem peraturan sejak ada negara industri, suatu hal yang baru dimasyarakatkan sejak pertengahan abad 20 ini. Mungkin hal ini memang diperlukan demi kebaikan kaum usia lanjut. Tetapi peraturan

pensiun

ini dalam perkembangannya terlalu birokratik syarat-syarat yang sering berbelit-belit. Di suatu

dengan negara agraris, para petani tak mengenal istilah pensiun. Bila seorang petani tua masih kuat bekerja di ladang/sawah, dia akan terus bekerja sampai suatu waktu tertentu dia merasa takkuat lagi bekerja fisis, sebagian tugasnya akan

diserahkan kepada anak atau saudaranya yang lebih muda. Alasan menghentikan pekerjaan tadi dapat berupa

mundurnya kesehatan dan kemampuan/kekuatan, kemudian dilakukan alih tugas.

Bila seseorang dipensiun, ia-pun akan mengalami kehilangan-kehilangan, antara lain sebagai berikut:

Kehilangan finansial. Pada umumnya, pemasukan uang pada seseorang yang pensiun akan menurun, kecuali pada orang yang sangat kaya dengan tabungan yang melimpah.

Kehilangan status. Terutama ini terjadi bila sebelumnya orang tersebut mempunyaijabatan dan posisi yang cukup tinggi, lengkap dengan fasilitasnya.

Kehilangan teman/kenalan. Mereka akan jarang sekali bertemu dan berkomunikasi dengan teman sejawat yang sebelumnya tiap hari dijumpainya, hubungan sosialnyapun akan hilangiberkurang. Kehilangan kegiatan/pekerj aan yang teratur dilakukan setiap hari. Ini berarti bahwa rutinitas yang bertahuntahun telah dikerjakan akan hilang. Terbukti di sini pentingnya masa persiapan pensiun (MPP) yang sayangnya di Indonesia tak begitu seragam dan kurang terencana dengan baik. Di negara industri maju MPP ini dilaksanakan dalam 5-10 tahun.

930

GERIATRI

Biasanya orang yang pensiun akan mempunyai ketergantungan sosial finansial, selain juga kehilangan prestise, kewibawaan, peranan-peranan sosial, dan sbagainya, yang akan merupakan stres bagi orang-orang

faktor sosio budaya masyarakat. Di negara industri, yang sangat materialistik pandangan hidupnya, keakraban berkeluarga dan penghormatan kepada orang-orang tua (kakek atau nenek) tidaklah sebaik yang kita lihat di dunia

tua tadi.

[mu.

Untuk menghadapi masa pensiun dengan stres yang sekecil mungkin banyak negara yang mengadakan apa yang

disebut preretirement course bagi pegawainya. Timbul pemikiran untuk, mengadakan pensiun secara bertahap, apa yang disebut "slepwise" ata,u "phasing out" employment plan. Ini dikerjakan dengan secara bertahap mengurangi

PROBLEMA PENANGANAN GOLONGAN USIA IANJUT

jam dinas sambil memberikan persiapan-persiapan

Di atas telah diuraikan (Gambar 3) mungkin problema sosio-ekonomi inilah yang akan merupakan problema

penyaluran ke arah macam pekerjaan yang akan diajalankan

terbesar apalagi mengingat bahwa inflasi telah melanda

sesudah pensiun.

sebagian besar negara-negara sedang berkembang seluruh

dunia, maka tabungan yang telah disimpan oleh orangorang usia lanjut sejak masa mudanya menjadi tidak/kurang

KEBIJAKSANAAN SOSIAL DAN PELAYANAN

berarti lagi. Akhirnya orang tua akan tergantung juga

TERHADAP USIALANJUT

hidupnyapada orang lain (anak, keluarga, ataupemerintah dan/ atat badan-badan sosial swasta).

Norma dan nilai sosial di Indonesia pada saat ini masih menempatkan anggota masyarakat yang lebih tua pada kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan dengan orang yang lebih muda. Orang usia lanjut merupakan sumber nasihat dan restu, dan sangat dihormati baik dalam upacara

maupun dalam pergaulan sehari-hari. Perkembangan industri dengan segala perubahan yang mengiringinya sedikit banyak tentu akan mendesak faktor-

Peranan dan Kewajiban Pemerintah Saat ini, persoalan orang-orang usia lanjut belumlah merupakan prioritas penting di negara kita, malah dalam urutan prioritas penggunaan dana dapat dikatakan rendah

sekali. Oleh karena itu, sebaiknya kebijaksanaan harus diteruskan untuk membatasi jumlah panti werda dalam

jumlah minimal, karena keterbatasan dana untuk

A.PEMERINTAH: - UU / Peraluran-peraturan - Pensiun - Subsidi, asuransi - Panti Werda/ Rum ah Sakit/ Karang Werda , dan sebagainya

]L C. INDUSTRIALISASI: - Perbaikan Sosial Ekonom - Teknologi modern - Pencernaan Lingkungan Hidup - Urbanisasi - Pikiran lV ateria lisrik dan sebagainya

\,/

i

PROBLEMA ORANG-ORANG USIA LAN JUT

-lr/

h \r-r

D,FAKTOR SOSIAL BUDAYA: Kea kraban keluarga Penghormatan terhadap orang tua gotong royong, tanggung jawab kolektif keluarga, dan sebagainya

,/\

tt-

B. SEKTOR SWASTA: - Organisasi/SLM - Suka relawan-s ukarelawa n - Pengumpulan dana - Panti Werda /Rum ah Sakit/ Kara ng Werda - Keluarga - Asuransi

Gambar 3. Keadaan/Faktor penting yang mempengaruhi problema usia lanjut (Boedhi-Darmojo, KOPAPDI, 1981)

931

GERONTOLOGI DAI{ GERIATRI DI INDONESIA

mengelolanya, sedangkan, "daycare centers" (karang werda non panti) dan pusat-pusat rehabilitasi sebaiknya didirikan sebanyak mr.rngkin, baik oleh pemerintah maupun oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pada saat ini Departemen Sosial sudah membangun model panti werda tersebar di hampir tiap propinsi yang

ada.

Di kota-kota

besar banyak pusat perawatan

dikembangkan oleh pemerintah, sebagaimana juga oleh proyek-proyek LSM. Setiap RS yang besar dilengkapi dengan apayang disebut (Preventive Rehabilitation Unil) PRU yang selalu disibukkan dengan pasien-pasien usia lanjut, yang juga mempunyai kegiatan-kegiatan ekstra mural.

Hospital based dan Community based Gerontologic/ Geriatric careyarglengkap dapat dilihatpada Gambar 4.

orang usia lanjut tadi, dan yang paling penting pelaksanaan

peraturan-peraturan tersebut dengan baik dan tertib. Peraturan-peraturan yang dimaksud di sini meliputi pengaturan bantuan-bantuan baik dari luar maupun dari dalam negeri, besamya subsidi dari pemerintah, siapa yang

berhak tinggal di panti, kewajiban keluarga orang usia lanjut yang menempati panti, dan sebagainya. Selain pembentukan panti werda, yang tentunya hanya

akan diperuntukkan bagi orang-orang usia lanjut yang betul-betul tidak mempunyai sanak keluarga atau teman yang mau menerima mereka, pemerintah juga berkewajiban mengatur dan mengadakan Rumah Sakit Khusus Geriatri

atau hanya suatu bagian Geriatri di Rumah Sakit. Juga pemerintah wajib memberikan subsidi dan pembinaan pada orang-orang usia lanjut tadi, baik yang tinggal dalam panti

Selain panti werda (rumah perawatan orang-orang usia

apalagi terutama yang non panti, semacam sistem

lanjut) yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial,

pelayanan kesehatan MEDICARE (asuransi) dan MEDICAID (bantuan).

tertyata sekarang banyak panti yang dikelola oleh badanbadan sosial swasta. Namun berapa banyakpun panti werda tersebut, tentu tidak cukup untuk menampung orang-orang usia lanjut yang memerlukannya. Di negararregara majupun banyak orang yang masih harus antri untuk mendapatkan tempat dalam panti, dan menurut pendapat penulis, kita memang tidak usah meniru negararregara maju tersebut, dalam penanganan masalah usia lanjut. Sudah sewajarnya sejak sekarang ini pemerintah mulai mengafur perundang-undangan dan perafuran-peraturan yang mengatur hal ikhwal penanganan masalah sosial

Peranan Badan Sosial Swasta Seperti di negara-neg aralain,biasanya badan-badan sosial yang mulai bergerak di bidang orang-orang usia lanjut ini

mempunyai corak keagamaan. Diharapkan tentu saja,

sesuai dengan Pancasila kita, jangan sampai ada pembedaan-pembedaan agarr,a yang mempengaruhi diterima atau tidaknya seseorang untuk tinggal di panti werda yang dikelola oleh kelompok agama tertentu. Selain itu, sebetulnya organisasiorganisasi swasta tadi

dapat bersama-sama badan-badan pemerintah

Hospital based - acute and chronic med care - Health assesment facilities - Day-hospital (day care C0 Rehabilitiation

-

Memory clinic etc. pecial therapy/rehabilitation

S

0ccupationalth/ Physical Speech P

od

ia

try

Audiology N

utritio

n a

l/m ea

I

Dentalcare - Respite ca re etc. - Hospice care/religious service - Orthopedic etc

Home/community based - Careers's program Elderly sitters (Pramu Rukti Werda) - Community nurses - Socialworkers - Home help service - Nursing home - Dementia care - Elderly clubs (sports, recreation, etc.) - Hostels (STW)/village/Posyandu - Religious service

Manpower: LSM, Kr. Taruna, Darmawanita/PKK, Relawan (TOT, T0C) Funding : Government, LSM, insurance, Syst, "MEDICARE, MEDICAID", etc

Gambar 4. Care of the elderly

932

GE,RI'TIXI

mengorganisasi sukarelawan, mulai dari membersihkan

perkumpulan kematian, dan sebagainya (hospice care).

rumalr, memasalg membantubelanja sampai berupa gerakan-

Perlu diadakan kegiatan MEDICARE (asuransi kesehatan) dan MEDICAID (bantuan dana pemeliharaan kesehatan

gerakan pengumpulan dana, dan sebagainya untuk para usia lanjut tadi. Ini mungkin merupakan suatu langkah lebih maju dari apayang disebut "Pembinaan Non-panti" atau "Bantuan Non-panti". Selain itu, orang-orang usia lanjut yang masih

cukup kuat untuk bekerja dapat diberi modal kerja (pekerjaan tangan kerajinan dan sebagainya). Jadi peranan badan-badan sosial swasta di sini adalah saling melengkapi

dengan pemerintah dalam semua usahanya. Juga perkumpulan-perkumpulan dari orang usia lanjut sendiri yang telah ada, seperti: Persatuan Wredhatama Republik Indonesia (PWRI), Legiun Veteran, Persatuan Pensiunan Anggota ABRI (PEPABRI), dan sebagainya, diharapkan akan lebih kuat dan lebih mampu untuk mengurus anggota-

anggotanya.

Bila perawatan keluarga tetap akan dilakukan,

seperti di USA dan negara industri maju yang lain). Sekarang kita baru mengenalAskes (terutama bagi PNS), Jamsostek dan asuransi swasta. Bagi yang kurang mampu dapat dikeluarkan surat keterangan tidak mampu, surat miskin, dan sebagainya. Untuk menjadi orang usia lanjut yang sukses (success-

ful

aging) paling sedikit perlu dipertimbangkan kriteria,

sbb:

Dimensi psikologis: Integritas pribadi (Ego-integrity). Dapat mencapai integritas hidup yang baik (bijaksana). Tujuan hidup yang baik, penyesuaian diri terhadap lingkungannya, dapat mengerti dan menghargBi pendapat orang lain, dapat menangkal duka-nestapa (bereavement) dan mempunyai kehidupan religius yang baik.

pelestarian adanya kerjasama sanak keluarga akan menjadi

Dimensi fisiologis dan fognitif yang baik a.l dapat

penting dalam rangka sistem kesejahateraan keluarga

melaksanakan aktivitas hidup sehari-hari

tradisional. Perawatan keluarga harus terdiri atas pelayanan dukungan masyarakat, seperti: respite care, rehabilitasi,

instrumental dengan baik bebas dari disabilitas meski mengalami hambatan fisis/mental, dapat mandiri selama mungkin, tetap dapat mempertahankan kreativitas dan produktivitas kondisi fisis dan mental, dsb.

rekreasi dan fasilitas komunikasi, makanan, dan sebagainya. Martabat orang-orang usia lanjut dalam keluarga dan keakraban hidup kekeluargaan di dunia timur

(:ADL) flsis

dan

seperti yang kita punyai, dirasa perlu dipertahankan, walaupun ada segi negatif dari penghargaan kepada oranlgtrua ini yang sering dijumpai berupa "over-proteksi".

Dimensi keterlibatan dalam masyarakat (Social engangement & participation). Dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat secara aktif dan berhasil guna, terlibat dalam aktivitas kerelawanan dan

MACAM PELAYANAN UNTUK PARA USIA LANJUT

kedermawanan, dapat menyesuaikan diri dalam kehidupan antar generasi yang serasi, mempersiapkan kader-kader dan generasi penerus yang handal, mempunyai sumbersumber dana sosio-ekonomi selama mungkin, dsb. Penulis mengidentifikasi sepuluh kebutuhan para usia

YANGADADI INDONESIA Panti werda (sasana tresna werda) dan karang werda(daycare centers) yang non-panti mulai bennunculan di kotakota besar di Indonesia. Pemberian paket-paket perkakaspertukangan pemah diberikan/dibagikan oleh Departemen

Sosial, untuk menaikkan pendapatan dan ketrampilan orang usia lanjut tadi, peningkatan gizi usia lanjut (di Inggns lmi disebut " Meals on Wheels"), pelayanan bantuan untuk mengurus tempat tinggal, membersihkan, mencuci, memasak, dan sebagainya (home-care nursing, home-help serttice) dapat dijalankan oleh LSM atau relawan-relawan

di sekeliling rumah usia lanjut tersebut. Hal ini

dapat diorganisasi lebih baik lagi. Pemberian potongan harga, pajak, ongkos transportasi, dan sebagainya, mulai banyak diberikan. Untuk pelayanan dalam bidang kesehatan, Posyandu Lansia telah mulai dipersiapkan, bahkan telah dilaksanakan oleh beberapa daerah di Indonesia. Unhrk para usia lanjut yang menghadapi saat-saat akhir

akan menghadap Ilahi, biasanya pihak keluarga yar,g mengurusnya, tetapi akan lebih baik apabila para ulama/ rohaniawan dapat selalu siap mendampinginya. Alangkah baiknya bila hal ini dapat dipersiapkan oleh rumah sakit,

lanjut sebagai berikut:

Kebutuhan (The Needs) 1

2

Makanan cukup dan sehat (=heafthy food) Pakaian dan kelengkapannla (=6/616 and common accesson'es)

3

Perumahanitempat tinggal/tempat berteduh (=homes, a place to stay)

4 5 6 7

I I 10

Perawatan dan pengawasan kesehatan (=health care, facilities) Bantuan teknis praktis sehari-hari/b6ntuan hokum (=technical, J udicial assistance) Transportasi umum bagi lansia (=facflrfies for public transpoftation, etc) Kunjungan, bicara/informasl (=ylslsfs, com pan i es, i nformation, etc) Rekreasi dan hiburan sehat yang lain (=rgg76"7ior", activities, picnics, etc) Rasa aman dan tentram (=safety feeling) Bantuan alat-alat panca indera (kacamata, heaing aid) (=other assistancelaid). Kesinambungsn bantuan dane dan fasilitas (continuation of subsrdieo And facilities)

teman

GERONTOI.OGI

933

I'A!I GERI'TIRI DI INT'ONESIA

RINGKASAN

.

.

Populasi usia lanjut dalam waktu dekat ini, baik di seluruh dunia, apalagi di Asia dan negara sedang berkembang, akan naik dengan cepat jumlahnya, sehingga cepat atau lambat akan merupakan masalah, bila tidak dipersiapkan dari sekarang penanggulangannya.

.

maupun yang masih harus ditingkatkan

sampai sekarang ini masih menempatkan orang-orang

pelaksanaannya, harus dilaksanakan oleh pemerintah bahu-membahu dengan masyarakat dan keluarga.

mendapatkan penghargaan yang tinggi. Keadaan sosio-ekonomi mereka pada umumnya akan makin menurun dengan bertambahnya usia dan akan lebih tergantung pada orang lain, yaitu keluarga,badar badan sosial (LSM), pemerintah, dan sebagainya.

Keluarga (anak-anak) masih merupakan tempat berlindung yang paling disukai oleh usia lanjut ini. Sampai sekarang penelitian dan observasi tak menemukan bukti-bukti yang menunjukkan batrwa anak/

keluarga segan untuk melakukan hal ini. Menempatkan

.

.

.

orang usia lanjut di panti werda masih merupakan alternatifterakhir. Pada sisi yang lain sebetulnya kinerja sebagian besar kaum usia lanjut masih cukup bait cukup aktif, dan cukup produktif, sehingga -uril dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan keluarga.

Kineda (fungsi dalam masyarakat) seorang usia lanjut memang ditentukan oleh resultante 3 faktor penting, yaitu faktor fisis, psikologis/mental, dan sosio-ekonomi. Penulis menganggap faktor sosio-budaya juga penting, apalagi di duniatimur. Akibat perkembangan dalam bidahg industri, kualitas golongan usia lanjut di Indonesia/negara sedang berkembang akan makin baik. Tetapi akibat proses industrialisasi yang merugikan, juga haruslah diawasi,

antara lain berupa polusi, urbanisasi, pikiran materialistik, dan sebagainya yang dapat menggusur

.

.

REFERENSI Andrews G. Aging in the WHO-South-East-Asian-Region, Report on WHO-5-Country Community Study of the Elderly. 1993 Boedhi-Darmojo dan Hadi Martono. Buku Ajar Geriatri, Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;2004

Boedhi-Darmojo R, et al. WHO-5-Country-Study. Indonesia Country Report. Colombo-WHO-Meeting of Principal In vestigators, Sri Lanka.l99l Boedhi-Darmojo R. Beberapa Masalah Penyakit pada Usia.Lanjut. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Universitas Diponegoro. I 974. Boedhi-Darmojo R. Care of tle Elderly of Indonesia, WorldCongress of Gerontology, Adelaide, Australia. I 997 Boedhi-Darmojo R. A Journey Through Gerontology and Geriatrics in Indonesia, Joint Symposium on Gerontology Universify of Indonesia & University of Oxford, Jakarta.2004.

Boedhi-Darmojo R. Masa Depan Geriatri di Indonesia. Acta Medica Indonesiana X, 84-104 (Simposium Geriatri ke-2, I akarta).197 9 ;10 : 84- 1 04 Boedhi-Darmojo . Kondisi dan Syarat Kerja Tenaga Ke{a Usia Lanjut. Seminar Pemanfaatan Tenaga Kerja USILA, Departemen Tenaga

Ke{a, Jakarta. In: Bunga Rampai Karangan Ilmiah Pengantar Purna Bhakti 1994, Prof. R. Boedhi-Darmojo.l985.p. 132. Brocklehurst J & Allen SC. Geriatric Medicine for Students, 2'd ed. Churchill & Livingstone.l98T. Boedhi-Darmojo R. Berbagai Problema Geriatrik di Indonesia, Naskah lengkap KOPAPDI V/Simposia Semarang, Juni, 1981.p.70 - 88.

faktor-faktor sosio-budaya yang baik. Pensiun, sebagai sistem pada industrialisasi, dapat merupakan kendala untuk orang-orang usia lanjut terhadap keadaan sosio-ekonominya, finansial, dan sebagainya. Maka dari itu haruslah dipersiapkan dengan masa persiapan pensiun (MPP) yang baik dan

Boedhi-Darmojo. Orasi Purna Tugas, 2004, Through Healthy and Active Aging to Successful Aging, Nasakah Lengkap Kongres Nasional III dan Temu Ilmiah II PERGEMI, Yogyakarta, 2004. Boedhi-Darmojo R. Pertemuan Lembaga Usia lanjut (LLI), Jakarta:

terencana.

Haryono Suyono Pokok-pokok Pikiran Mentri Negara

Selain faktor fisis harus juga diperhatikan faktor psikologis/mental pada usia lanjut tadi, karena pada waktu pensiun akan terjadi kehilangan pada bidang finansial, status dan fasilitas, kenalan dan komunikasi. psikologis akan banyak terjadi

Pada perempuan, faktor

apalagi dengan datangnya masa klimakterium dan meno-

.

.

Kebiasaan sosio-budaya masyarakat di dunia timur

usia lanjut, pada tempat yang terhormat dan

.

.

stereotipe konstruktif, tipe ketergantungan, defensif, bermusuhan (hostility), dan s elf-haters. Pengadaan dana dalam bentuk asuransi kesehatan atau bantuan pemeliharaan kesehatan semacam " Medicare" dan"Medicaid' di negara maju perlu dipersiapkan dan disempumakan pelaksanaannya. Bermacam-macamtindakanpelayanan/pembinaanpada golongan usia lanjut ini, baik yang sudah dike{akan,

pause. Terdapat stereotipe-stereotipe usia lanjut pada waktu bertambahnya usia ini, yang kebanyakan meneruskan

sifat-sifat yang dipunyai pada waktu muda, yaitu

2003. Constantinides P I: General Pathology, chap 3. Connecticut: Appletonand Longer;1994. Kependudukan. Kepala BKKBN. Simposium Nasional Gerontologi

dan Geriati, Dewan Riset Nasional, Serpong., 1994. p. 1-15. Pignolo RI & Forceia MA. Biology of Aging, In: Geriatric Secrets, 3d ed, Hanley & Belfus (Elsevier). 2004.p. 7-13 World Health Report, WHO-Geneva.2000.

WHO Techn. Rep. Series 779, Health of the Elderly, WHOGeneva.1989. Kinsella K & Taeuber : An Aging World II, Intemational Population Report P97l92, US Bureau of The Cencus, Washington DC.1993. WHO. World Health Day. 1981. Add life to Years, WHO-Chronicle

36; 2:68. WHO, Geneva.1982.

Related Documents

Papdi 122-145 Geriatri
February 2021 1
Geriatri
February 2021 2
Farmakoterapi Geriatri
January 2021 1
Referat Geriatri
February 2021 0
Papdi Nutrisi
February 2021 1
Papdi Rheumatologi
February 2021 11

More Documents from "Anonymous xF8fv4OYCg"