Papdi Kegawatdaruratan Medik

  • Uploaded by: Erika Kusumawati
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Papdi Kegawatdaruratan Medik as PDF for free.

More details

  • Words: 83,786
  • Pages: 159
Loading documents preview...
22 TERAPI OKSIGEN Anna Uyainah Z.N.

PENDAHULUAN

Agar pemberian oksigen aman dan efektif diperlukan pemahaman mengenai mekanisme hipoksia, indikasi, efek

Sejak penemuan penting mengenai molekul oksigen oleh Joseph Priestley pada tahun 1775 dan bukti adanya pertukaran gas pada proses pernapasan oleh Lavoisier, oksigen menjadi suatu cara pengobatan dalam perawatan

terapi, dan jenis pemberian oksigen serta evaluasi

pasien. Sebelum tahun 1920 suplementasi oksigen

MEKANISME HIPOKSIA

dievaluasi oleh Baruch dkk dan akhirnya pada tahun 1920 ditetapkan suatu konsep bahwa oksigen dapat digunakan sebagai terapi. Sejak itu efekhipoksia lebih dimengerti dan

Pada saat istirahat rata-rata laki-1aki dewasa

penggunaan oksigen tersebut.

membuhrhkan kira-kira225)50 ml oksigen permenit, dan meningkat sampai 10 kali saat beraktivitas. Jaringan akan mengalami hipoksia apabila aliran oksigen tidak adekuat

pemberian oksigen pada pasien dengan penyakit paru membawa dampak meningkahrya jumlah perawatan pasien.

Dua penelitian dasar

di awal tahun

1960-an

dalam memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan, hal

memperlihatkan adanya bukti membaiknya kualitas hidup pada pasien penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) yang mendapat suplemen oksigen. Pada studi The Nocturnal Oxygen Therapy ?lal (NOTT), pemberian oksigen selama

ini dapat terjadi kira-kira 4 - 6 menit setelah ventilasi spontan berhenti.

Berdasarkan mekanismenya, penyebab hipoksia jaringan dibagi dalam 3 kategori, yaitu: 1). Hipoksemia artei, 2). Berkurangnya aliran oksigen karena adanya kegagalan transport tanpa adanya hipoksemia arleri, dan 3). Penggunaan oksigen yang berlebihan dijaringan.

12 jam atau24jam sehari selama 6 bulan dapat memperbaiki

keadaan umum, kecepatan motorik, dan kekuatan genggaman, namun tidak memperbaiki emosional mereka

Jika aliran oksigen ke jaringan berkurang, atau jika penggunaan berlebihan di jaringan maka metabolisme akan

atau kualitas hidup mereka. Namun penelitian lain memperlihatkan bahwa pemberian oksigen pada pasienpasien dengan hipoksemia, dapat memperbaiki harapan hidup, hemodinamik paru, dan kapasitas latihan. Keuntungan lain pemberian oksigen pada beberapa penelitian di antaranya dapat memperbaiki kor pulmonal,

berubah dari aerobik ke metabolisme anaerobik untuk menyediakan energi yang cukup untuk metabolisme. Apabila ada ketidakseimbangan, akan mengakibatkan produksi asam laktat berlebihan, menimbulkan asidosis dengan cepat, metabolisme selular terganggu dan

meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi neuropsikiatrik dan pencapaian latihan, mengurangi

mengakibatkan kematian sel. Pemeliharaan oksigenasi jaringan tergantung pada 3 sistem organ yaitu sistem kardiovaskular, hematologi, dan resplrasl.

hipertensi pulmonal, memperbaiki metabolisme otot, dan diperkirakan dapat memperbaiki impotensi. Oksigen dapat diberikan secara temporer selama tidur

maupun saat beraktivitas pada penderita dengan

Walaupun pada hipoksemia biasanya berhubungan dengan rendahny aP aO ry an1merupakan gangguan fungsi

hipoksemia. Selanjutnya pemberian oksigen dikembangkan

terus ke arah ventilasi mekanik, pemakaian oksigen di rumah. Pengembangan oksigen rawat jalan dapat

paru, namun kegagalan pengangkutan oksigen dapat

mengurangi perawatan di rumah sakit.

sistem hematologi.

disebabkan oleh kelainan sistem kardiovaskular ataupun

161

.162

KEGAWAXDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

Sistem Respirasi

Kardiovaskular

SistEm saraf pusat

Neuromuskular Metabolik

Gejala dan Tanda-tanda Sesak napas, sianosis Curah jantung meningkat, palpitasi, takikardia, aritmia, hipotensi, angrna, vasodilatasi, syok Sakit kepala, perilaku yang tidak sesuai, bingung, eforia, delirium, gelisah, edema papil, koma Lemah, tremor, hiperrefleks, incoordination Retensi cairan dan kalium, asidosis laktat

Ada beberapa keuntungan dari terapi oksigen. Terapi oksigen pada pasien PPOK dengan konsentrasi oksigen yang tepat dapat mengurangi sesak napas saat aktivitas, dapat meningkatkan kemampuan beraktivitas dan dapat memperbaiki kualitas hidup.

Manfaat lain terapi oksigen adalah memperbaiki hemodinamik paru, kapasitas latihan, kor pulmonal, menurunkan cardiac output, meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi neuropsikiahik, mengurangi hipertensi pulmonal, memperbaiki metabolisme otot dan diperkirakan dapat memperbaiki impotensi.

MANIFESTASI KLINIK HIPOKSIA Manifestasi klinik hipoksia tidak spesihk, sangat bervariasi,

INDIKASI TERAPI OKSIGEN

tergantung pada lamanya hipoksia (akut atau kronik),

kondisi kesehatan individu dan biasanya timbul pada

Dalam pemberian oksigen harus diperlimbangkan apakah

keadaan hipoksia yang sudah berat. Manifestasi klinik dapat

pasien benar-benar membutuhkan oksigen , apakah dibutuhkan terapi oksigen jangka pendek (short-term

berupa perubahan status mental,lbersikap labil, pusing, dispneu, takipneu, respiratory distress, dan aitmia. Sianosis sering dianggap sebagai tanda hipoksia, namun hal ini hanya dapat dibenarkan apabila tidak terdapat anemia.

Untuk mengukur hipoksia dapat digunakan alat oksimetri (pulse oxymetty) dan analisis gas darah. Bila nilai saturasi kurang darig0o/o diperkirakan hipoksia, dan

o xy g

en

th

er apy) atau terapi oksi gen j angk a p anjang (l o n g -

term oxygen therapy). Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat manfaat terapi dan menghindari toksisitas.

membutuhkan oksigen.

Terapi Oksigen Jangka Pendek

Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang Lain Berbagai tanda dan gejala hipoksia bervariasi dan tidak spesifik, maka untuk menentukan hipoksia diperlukan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan yang paling sering

digunakan adalah pemeriksaan PaO, arteri atau saturasi oksigen arteri melalui pemeriksaan invasif yaitu analisis gas darah arteri ataupun noninvasif yaitl pulse oximetry (dengan menjepitkan alat oksimetri pada ujung jari atau daun telinga). Pada pemeriksaan analisis gas darah,

spesimen darah diambil dari pembuluh darah arteri

Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang dibutuhkan pada pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut, di arrtaranya pneumonia, PPOK dengan eksaserbasi akut, asma bronkial, gangguan kardiovaskular, emboli paru. Pada keadaan tersebut, oksigen harus segera diberikan dengan adekuat. Pemberian oksigen yang tidak adekuat akan menimbulkan cacattetap dan kematian. Pada kondisi ini, oksigen harus dibenkan dengan FiO, 60- 100% dalam waktu pendek sampai kondisi membaik dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya oksigen diberikan

(a.radialis atau a.femoralis) dan akan didapatkan nilai PaO,

dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan

PCO2, saturasi oksigen dan parameter lain. Pada pemeriksaan oksimetri hanya dapat melihat saturasi oksigen. Pengukuran saturasi oksigen melalui oksimetri

meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan, oksigen

ini tidak cukup untuk mendeteksi hipoksemia, karena hanya dapat memperkirakan PaOr> 60mmH gatauPaOr<60 mmHg. Berulang kali studi dilakukan, ternyata oksimetri tidakbisa untuk menentukan indikasi pemberian terapi oksigenjangka

panjang, namun pemeriksaan noninvasif ini efektif digunakan untuk evaluasi kebutuhan oksigen selama latihan, dan untuk mengevaluasi dan memastikan dosis oksigen bagi pasien yang menggunakan oksigen di rumah.

MANFAATTERAPIOKSIGEN Tujuan terapi oksigen adaiah mengoptimalkan oksigenasi jaringan dan meminimalkan asidosis respiratorik.

harus diberi secara terus-menerus. Untuk pedoman indikasi terapi oksigen jangka pendek telah ada rekomendasi dari The American College of Chest

Physicians dan the National Heart, Lung and Blood Institute. (Tabel2)

lndikasi yang sudah direkomendasi Hipoksemia akut (PaOz < 60 mmHg; SaO2 < 90%) Henti jantung dan henti napas Hipotensi (Tekanan darah sistolik < 100 mmHg) Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolik (bikarbonat < 18 mmol/L) Respiratory disfress (frekuensi pernapasan > 24lmin) lndikasi yang masih dipertanyakan lnfark miokard tanpa komplikasi Sesak napas tanpa hipoksemia :

-

-

:

Krisis sel sabit Angina

163

TERAPIOKSIIGEN

Terapi Oksigen Jangka Panjang Banyak pasien dengan hipoksemia membutuhkan terapi

Pemberian oksigen secara kontinyu PaOz istirahat < 55 mmHg atau saturasi oksigen < BB % PaOz istirahat 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 89 % pada salah satu keadaan Edema yang disebabkan karena CHF P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P > 3 mm pada lead ll, lll, aVF) Eritrosiiemia (hematokrit > 56 %) PaOz > 59 mmHg atau oksigen saturasi > 89% Pemberian oksigen tidak kontinyu Selama latihan : PaOz < 55 mmHg atau saturasi oksigen < BB% Selama tidur : PaOz < 55 mmHg atau saturasi oksigen < 88 Yo dengan komplikasi seperti hipertensi pulmoner' somnolen, dan aritmia

oksigen jangka panjang. Pasien dengan PPOK

-

merupakan kelompok yang paling banyak menggunakan

:

terapi oksigen jangka panjang. Studi awal pada terapi

-

oksigen jangka panjang pada pasien PPOK memperlihatkan bahwa pemberian oksigen secara kontinyu selama 4 -8 minggu menurunkan hematokrit,

-

memperbaiki toleransi latihan, dan menurunkan tekanan vaskular pulmonar. Pada pasien dengan PPOK dan kor pulmonal, terapi oksigen jangka panjang (long-term oxygen therapy I UIOT) dapat meningkatkan jangka hidup sekitar enam

-

sampai tujuh tahun. Angka kematian menurun pada pasien dengan hipoksemia kronis apabila oksigen diberikan lebih

dari l2jam sehari dan manfaat survival lebih besar telah ditunjukkan dengan pemberian oksigen berkesinambungan. Berdasarkan beberapa penelitian didapatkan bahwa terapi oksigenjangka panjang dapat memperbaiki harapan hidup. Karena adatya perbaikan dengan terapi oksigen jangka panjang, maka saat ini direkomendasikan untuk pasienhipoksemia (PaO, < 55 mmHg atau saturasi oksigen < 88 %) oksigen diberikan secara terus menerus 24 jam dalam sehari. Pasien dengan PaO, 56 -59 mmHg atau

PaOz < 55 mmHg or SaOz < 88%

saturasi oksigen 89%o, kor pulmonal atau polisitemia juga memerlukan terapi oksigen jangka panjang. Pada keadaan ini , awal pemberian oksigen harus dehgan konsentrasi rendah (PiOr24 - 28 %) dan dapat

PaOz 55-59 mmHg atau SaOz > 89% Adanya P pulmonal pada EKG, hematokrit > 55% dan gagal jantung

lndikasi

Pasien dengan kor

pulmonal

kongestif lndikasi khusus Nocturnal hypoxemia

analisis gas darah, dengan tujuan mengoreksi hipoksemia dan menghindari penurunan pH di bawah 7,26. Oksigen dosis tinggi yang diberikan kepada pasien dengan PPOK yang sudah mengalami gagal napas tipe II akan dapat mengurangi efek hipoksik untuk pemicu gerakan bernapas dan meningkatkan mismat c/z ventilasi-perfu si. Hal ini akan menyebabkan retensi CO, dan akan menimbulkan asidosis respiratorik yang berakibat fatal. Pasien dengan gagal napas tipe II mempunyai risiko hiperkapnia yang sering adekuatnya terapi yang diberikan. Pasien yang menerima terapi oksigen jangka panjang harus dievaluasi ulang dalam 2 bulan untuk menilai apakah hipoksemia menetap atau ada perbaikan dan apakah masih

dibutuhkan terapi oksigen? Hingga

40%o

9jYo

Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan saat iidur dan

ditingkatkan bertahap berdasarkan hasil pemeriksaan

terjadi karena kelebihan pemberian oksigen dan tidak

Pendapaian terapi PaOz > 60mmHg atau SaO2 >

Tidak ada hipoksemia saal istirahat, tetapi saturasi menurun selama latihan atau tidur

latihan PaOz > 60mmHg atau SaO2'>

90% Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan saat tidur dan latihan

Dosis oksigen sebaiknya

disesuaikan saat tidur Dosis oksigen sebaiknya

disesuaikansaat latihan

.

lebih atau sama dengan 60 mmHg dantidakmempunyai hipoksia kronik. Pasien yang meneruskan merokok, karena kemungkinan prognosis yang buruk dan dapat meningkatkan risiko

.

kebakaran. Pasien yang tidak menerima terapi adekuat

pasiet yang

mendapat terapi oksigen mengalami perbaikan setelah 1 bulan dan tidak perlu lagi meneruskan suplemen oksigen.

Indikasi terapi oksigen jangka panjang yang telah direkomendasi (Tabet 3 dan Tabel4)

KONTRAINDIKASI Suplemen oksigen tidak direkomendasi pada : . Pasien dengan keterbatasan jalan napas yang berat dengan keluhan utama dispneu, tetapi dengan PaO,

TEKNIK PEMBERIAN OKSIGEN Cara pemberian oksigen dlbagi 2jenis yaitu sistem arus rendah dan sistem arus tinggi, keduanya masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Alat oksigen arus rendah di antaranya kanul nasal, topeng oksigen, r e s erv o ir m as k, katetet tr atstracheal, dan

simple mask. Alat oksigen arus tinggi di antaranya venturi mask dan res ert,oir nebulizer blenders.

764

KEGA\I'ATDARURAIAN MEDIK DI BIDAI\G ILMU PENYAKIT DALAM

Alat Pemberian Oksigen dengan Arus Rendah Kateter nasal dan kanul nasal merupakan alat dengan sistem arus rendah yang digunakan secara luas. Kanul nasal arus rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran l-6Llm,dengan FiO, antaraI,24 - 0,44 (24% - 44%). Aliran yang lebih tinggi tidak meningkatkan FiO, secara bermakna

di

atas 44oh dan dapat mengakibatkan

mukosa membran menjadi kering. Untuk memperbaiki efi siensi pemberian oksigen, telah didisain beberapa alat, di attaranya electronic demand

devices, reservoir nasal canulas, dan transtracheal cathethers, dan dibandingkan dengan kanul nasal konvensional, alat- alat tersebut lebih efektif dan efi sien. Electronic demand devices. Secara komersial dibuat dengan perbedaan dalam hal waktu, frekuensi, dan volume.

Berdasarkan beberapa studi alat

ini menunjukkan

pendorongan dengan arus tinggi tersebut. Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40Ll menit oksigen melalui mask,yangumumnya cukup unfuk total kebutuhan respirasi. Dengan penggunaan mask ini tidak mempengaruhi FiOr. Dua indikasi klinis untukpenggunaan oksigen dengan

arus tinggi adalah pasien dengan hipoksia yang memerlukan pengendalian

FiO,

dan pasien hipoksia

dengan ventilasi abnormal.

Sistem Suplai Oksigen Ada beberapa macam sistem untuk suplai oksigen, di arfiaratya: Oxygen concentrdtors, sistem gas kompresor

dan oksigen dalam bentuk cair. Masing-masing ada kerugian dan keuntungannya, oleh karena itu harus dipilih

yang mana yang terbaik ,disesuaikan dengan kondisi

penghematan oksigen 50 - 86%. Salah satu kerugiannya adalahbunyi yang gaduh dari alat ini.

paslen.

Reservoir nasal canulas. Alat ini dapat mengurangi penggunaan oksigen 50- 15%. Namun kerugian

menyaring molekul oksigen udara lingkungan dengan

Oksigen concentrators, secara elektrik bertenaga mesin, konsentrasi oksigen9}o/o- 98o/o, dan aliran oksigen maksimum

penggunaan alat ini adalah tidak nyaman bagi pasien di antaranya harus bernapas dengan cara bibir dikatup.

dapat mencapai 3-5 L/menit. Concentrators merupakan sistem pemberian oksigen yang paling hemat biaya.

Transtracheal oxygen. Mengalirkan oksigen secara langsung melalui kateter ke dalam fiakea. Oksigen transtrakeal dapat meningkatkan kesetiaan pasien

dipadatkan menyediakan oksigen kurang lebih 57 jam

Compressed gas cylinders, silinder dengan gas yang dengan aliran oksigen

2Llmerit sampai 15 L/menit.

menggnnakan oksigen secara kontinyu selama 24 jam, dan

sering berhasil pada pasien dengan hipoksemia yang refrakter. Dari hasil studi , dengan oksigen transtrakeal ini dapat menghemat penggunaan oksigen 30 - 60%. Keuntungan dari pemberian oksigen transtrakeal yaitu tidak menyolok mata, tidak ada bunyi gaduh dan tidak ada

iritasi muka/hidung. Rata-rata oksigen yang diterima mencapai 80-96 %. Kerugian dari penggunaan oksigen transtrakeal adalah biaya tinggi dan risiko infeksi lokal. Komplikasi yang biasa terjadi pada pemberian oksigen transtrakeal ini adalah emfisema subkutan, bronkospasme, dan batuk paroksismal. Komplikasi lain di antaranya infeksi stoma, dan mulkus ball yang dapat mengakibatkan fatal. Risiko retensi CO, ini perlu dihindari dengan berhatihati mengatur pemberian oksigen dengan mempertahankan PaOrantara60- 65 mmHg.

Alat Pemberian Oksigen dengan Arus Tinggi Alat oksigen arus tinggi di antaranya Venturi mask dan Reservoir Nebulizer Blenders. Alat venturi mask menggunakan prinsip jet mixing (efek Bernoulll). Jet mixing masks, mask dengan arus tinggi, bermanfaat untuk mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah ( 24-35%). Pada pasien dengan PPOK dan gagal napas tipe II , bernapas dengan mask ini mengurangi risiko retensi CO, dan memperbaiki hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai,

dan masalah rebreathing diatasi melalui proses

Aliran 02 100%

Fio, (%)

Sistem aliran rendah Kanul nasal

1Um

24

2Ll

m

aa

3L/m

32 36 40 44

4Llm

5L/m 6L/m Transtrakeal

0,5-41lm

24-40

Mask Oksigen

5-6Um

6-7Um 7-8 L/ m Mask dengan kantong reservorr

6L/m 7Ll

m

8L/m 9L/m

40 50 60 60 70 80 90 >99

'10 L/ m

Nonrebreathing 4-10 L/m

60-'100

Sistem aliran tinggi Venturi mask 3 L/m

24

6Um

2B

9 L/m

40 40 50

12Llm 15 Um

165

TERAPIOKSIGEN

Liquid oxygen reservoirs, oksigen dalam bentuk cat yang

KESIMPULAN

bertahan 5 sampai 7 hari dengan aliran oksigen 2 L/menit dan dapat digunakan dengan mengisi ulang. Kerugian, alat ini cukup mahal dan kadang-kadang terj adi pembekuan pada klep apabila pemberian oksigen mencapai 8 L/menit, dan kadang

Terapi oksigen merupakan sistem pengobatan yang telah dikenal sejak lama, dapat diberikan pada pasien-pasien

dengan hipoksemia akut maupun kronik. Pemberian

terjadi penguapan oksigen cair tersebut apabila tidak

oksigen dapat memperbaiki keadaan umum, mempermudah

digunakan.

perbaikan penyakit dan memperbaiki kualitas hidup. Oksigen dapat diberikan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk pemberian oksigen kita harus mengerti

HAL.HAL YANG PERLU DIPERHAIIKAN

indikasi pemberian oksigen, tehnik yang akan dipakai, dosis oksigen yang akan diberikan dan lamanya oksigen yang akan diberikan serta waktu pemberian. Pemberian oksigen perlu dievaluasi melalui pemeriksaan analisis gas darah atau dengan oksimetri, sehingga dapat mengoptimalkan pemberian oksigen dan mencegah terjadinya retensi COr.

Pada terapi oksigen jangka panjang, peningkatan PCO,

arteri biasanya kecil dan ditoleransi baik. Namun, kadangkala berkembang hiperkapnia yang serius sehingga harus berhati-hati melanjutkan terapi oksigen.

Penggunaan oksigen yang berlebihan pada pasien PPOK dengan gagal napas tipe2 dapatmenimbulkan efek toksisitas , retensi CO, dan asidosis respiratorik, yanggejala

awalnya dapat berupa adanya nyeri

substernal, takipnu, dan batuk yang tidak produktif. Karena untuk deteksi toksisitas oksigen tidak mudah, maka perlu dilakukan pencegahan timbulnya toksisitas oksigen dengan cara pemberian oksigen harus dilakukan

dengan dosis dan carayar'g tepat. Pemberian oksigen

yang paling aman dilakukan pada FiO, 0,5

REFERENSI

dada

- l.

Menggunakan suplemen oksigen berisiko terhadap api, oleh karena itu hindari merokok, dan tabung harus diyakinkan aman agar tidakjatuh dan meledak.

Bames PJ. Chronic obstructive pulmonary disease. New Eng J Med.

2000:343; 4:269-280. Brusasco V, Pellegrino R. Oxygen in the rehabilitation of patients with chronic obstructive pulmonary disease. Am J Respir Crit Care Med. 2003;168:1021 -2. Celli B.R., MacNee W, and Committee members. Standard for the diagnosis and treatment of patients with COPD Eur Respir J. 2OO4:23;932-46. Emtner M, Porszasz J, Burns M, et all. Benefits of supplemental oxygen in exercise training in nonhypoxemic chronic obstructive pulmonary disease patients. Am J Respir Crit Care Med.

2003;168:1034-42. Michael F. Beers. Oxygen therapy and pulmonary oxygen toxicity. In: Fishman AP, ed. 3'd ed. Fishman's pulmonary diseases and

disorders. 1998;2627 -42. Tarfu SP, Celli BR. Long term oxygen therapy. Review article. New Eng J Med. 1995;333:11:710-4.

23 DUKUNGAN VENTILATOR MEKANIK Ceva W. Pitoyo, Zulkifli Amin

Dari berbagai tipe yang ada, ventilator yang dipilih

PENDAHULUAN Ventilator adalah suatu sistem alat bantuan hidup yang dirancang untuk menggantikan atau menunjang fungsi pernapasan yang normal. Tujuan utama pemberian dukungan ventilator mekanik adalah untuk mengembalikan

fungsi normal pertukaran udara dan memperbaiki fungsi pemapasan kembali ke keadaan normal. Ventilator mekanik dibagi menjadi dua, yaitu ventilator mekanik invasif dan ventilator mekanik non invasif

hendaknya mudah untuk mengontrol konsentrasi oksigen, volume tidal, frekuensi napas serta yang terpenting adalah yang dikuasai oleh operator mesin ventilator. Ventilator juga sebaiknya diperlengkapi alarm untuk diskoneksi tipe ventilator mendadak' batas pressure, dan volume eksPirasi.

MAN FAAT PEMASANGAN VENTILATOR

. . . . . .

PEMILIHAN DAN TIPE VENTILATOR Pada saat manusia bernapas spontan, udara masuk ke paru

akibat tekanan negatif (hisapan) dari dalam paru karena paru dan rongga toraks mengembang. Ventilator tekanan negatif bekerja dengan mengembangkan rongga dada. Ventilator tipe ini saat ini sudah tidak digunakan lagi. Ventilator tekanan positif bekerja dengan menghembuskan udara melalui saluran napas ke dalam paru. Ventilator tipe inilah yang saat ini umum digunakan dan oleh karena itu tulisan ini akan lebih dibahas tentang

. . .

.

negatif Ventilator tekanan

positif

a. Cuirass ventilator b. Tank ventilator (iron lung) a. Pressure limit devices Volume limit devices (MA-2'

.

Time cycled devices (Siemens

erpenuhi' dan penyampaian oksigen yang juga untuk digunakan Tekanan positif ventilator dapat

9008, e00c) Ventilatorfrekuensi

tinggi

a. Jet ventilators b. High frequency

c.

Menurunkan kebutuhan pemakaian oksigen sistemik danmiokard. Menurunkan tekanan intrakranial Menstabilkan dinding dada.

mengkonsumsi oksigen berlebihan, dengan "positive usaha ini pressure mode" ventilator dapat

Bear 2)

c.

neuromuskular.

imbangan) ventilasi-perfusi dan memperbaiki oksigenasi daerah yang ventilasinya buruk. Usaha bernapas pasien yang tak adekuat dengan memakai otot napas tentunya

(Bird, Bennet PR-2)

b.

Memudahkan pemberian sedatif atau blokade

berfungsi sebagai pendukung sampai penyebab utama kondisi yang memerlukan dukungan ini teratasi. Tekanan positif dapat mengembangkan kembali atelektasis atau mempe tbaiki mis m at chin g (ketidak-

disebutkan di bawah ini:

Ventilatortekanan

Mencegah atau mengatasi atelektasis paru Mengatasi kelelahan otot bantu pemapasan

Harus diingat bahwa ventilator mekanik hanya

ventilator tekanan positif. Beberapa tipe ventilator

.

Mengatasi hipoksemia Mengatasi asidosis respiratorik akut Mengatasi distres pemapasan

venti lators

menstabilkan dinding dada pada keadaan fungsi bernap as terganggu seperti pada "Jlail chest".

Ossilators

r66

t67

DUKUNGAN VENTILAI1OR MEKANIK

MODUS BANTUAN VENTILATOR

Untuk dapat memahami berbagai modus/metode kerja ventilator harus dipahami dulu istilah-istilah initiation/ trigger, target/limit, dan cycle off (disingkat cycle). Trigger (initiulion) adalah pencetus awal inspirasi. Inisiatif atau pencetus awal inspirasi pada pernapasan dengan ventilator bisa berasal dari mesin (machine triggered / controlled breath) atau dari pasien sendiri Qtatient triggered/assisted breath). Jenis trigger yang dipakai pada suatu modus ventilator seringkali menjadi kata kedua dari nama modus tersebut, misalnya pada modus Volume C ontrolled Ventilation, Volume As sisted Vent ilation, dll. Kebanyakan ventilator dapat diatur untuk menghantarkan udara baik dengan cara terkontrol (mandatory I control mode) maupun dengan cara bantuan (assist mode). adalah jenis batas pemberian udara inspirasi oleh ventilator. Ada dua jenis limit pada ventilator yang saat ini ada yaitu volume limited dan pressure limited. Padavolume limited, jumlah volume udara yang diberikan

Limit (larget)

saat inspirasi oleh ventilator ditentukan oleh operator mesin,

sedangkan pada pressure targeted, operator menentukan besar tekanan yang diberikan pada saat inspirasi. Jenis target ini sering kali dipakai sebagai kata pertama pada nama

modus ventilator, seperti pada Pressure Support Ventilation, Vo lume Controll ed Ventil ation, dll. Cycle/cycle off/cycling to exhalation adalah proses perpindahan dari inspirasi ke ekspirasi. Proses cyclingbisa

didasarkan atas waktu (time cycled), volume (volume cycled), tekanan (pressure cycled), atau besarnya aliran

tdara Qflow cyclefi. Ventilator jenis baru sering kali menggabungkan antara beberapa parameter cycling, misalnya arfiara volume cycling dan pressure cycling. Pada cycling berdasarkan waktu, inspirasi berhenti

paru-pam mengembang. Hal ini mengakibatkan distribusi gas ke seluruh paru lebih homogen. Kerugiannya adalah pengantaran volume pada setiap respirasi tergantung pada

compliance paru dan rongga dada. Perubahan dinamis pada mekanik paru mengakibatkan tidal volumebervariasi.

Hal ini membutuhkan pengawasan ketat dan mungkin membatasi kegunaan cara ini pada pasien dalam keadaan gawat darurat. Ventilator jenis terbaru dapat menyediakan ventilasi volume-assured pressure cycled. P ada volume-cycl ed inhalasi berj alan sampai volume

tidal dihantarkan dan diikuti pengeluaran udara secara pasif. Dasar daricara ini adalah gas dihantarkan dengan pola aliran inspirasi yang konstan, mengakibatkan puncak tekanan yang ada dalam jalan napas lebih tinggi dari yang

yang dibutuhkan untuk mengembangkan paru (plateau pressure). Karena volume yang dihantarkan konstan, tekanan jalan napas berubah-ubah sesuai perubahan compliance paru dan resistensi jalan napas. Kerugian utama adalah tekanan jalan napas yang berlebihan akan mengakibatkan barotrauma. Pengawasan ketat dan pembatasan tekanan bermanfaat untuk menghindari masalah ini. Karena volume-cycled menjamin volume yang konstan, cara ini menjadi pilihan awal di unit gawat darurat. P ada

cycling berdasarkan flow, ventilator akan mulai

ekspirasi bila mesin mendeteksi bahwa aliranudara inspirasi oleh pasien sudah menurun atau dianggap tidak adalagi

oleh mesin. Cycling ini ada pada pasien yang bernapas spontan ata:u assisted-spontaneous breaths. Ambang di mana mesin m ergatggap flow inspirasi telah berhenti bisa didasarkan atas nilai flow yang absolut atau persentase dari peakJlow rate (mtmnya25%). Umumnya ambang ini sudah diset tetap oleh pembuat ventilator tetapi ada juga ventilator yang ambangnya dapat diubah-ubah. Bila ambang ini diturunkan makaberarti memperlama inspirasi demikian pula sebaliknya.

pada waktu yang telah ditentukan (Ti) oleh operator mesin

dan akan terjadi proses ekspirasi. Cara menset waktu lamanya inspirasi adalah dengan menentukan jumlah napas dalam semenit (frekuensi) dan dilanjutkan dengan menentukan rasio inspirasi : ekspirasi (I:E ratio) dalam setiap napasnya. Caru lain menentukan lamanya inspirasi adalah dengan menentukan volume tidal disertai pola aliran(flow) inspirasi dan laju aliran tertinggi(peakflow rate).Yentllator jenis lama atau yang kecil, seperti ventilator unfuk transportasi, dioperasikan dengan cara time cycled. Pada pressure-cycled, puncak tekanan inspirasi

ditetapkan dan perbedaan tekanan antara ventilator dan paru-paru mengakibatkan pemompaan sampai puncak tekanan tercapai. Apabila puncak tekanan tercapai inspirasi akan berhenti diikuti katup ekspirasi akan terbuka dan pengeluaran udara secara pasifakan terjadi. Keuntungan utama dari pressure-cycled adalah deselerasi pola aliran inspirasi, di mana aliran inspirasi semakin berkurang saat

CONTROLMODES Padamodes ini inisiatifbemapas seluruhnya dikontrol oleh ventilator, alat menghantarkan volume tidal (volume r4asuk sekali napas) tanpa usaha napas dari pasien. Pada pasien

apnea atau pasien yang'peak airway pressure'rrya melebihi ventilator (asma) atau terbatas usaha napasnya atau yang pernapasannya cepat (>25 kali/menit) cara terkontrol ini adalah pilihan utama. Cara ini menjamin penghantaran ventilasi yang sesuai setiap menit. Ada dua macam control mode yang bisa diberikan pada pasien, yaiht Volume Controlled Ventilation (VCV) dan Pressure

Controlled Ventilation (PCV). Vol

u

me Controlled Ventilation (VCV)

Sesuai namanya modus

ini adalah volume targeted dan

{68

KEGAWATDARURAf,AN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

machine triggered. Modus ini disebut juga controlled mechanical ventilation (CMV). Pada modus ini volume tidal umumnya dihantarkan dengan pola flow yang telah diatur sebelumnya sehingga merupakan volume cycled ata:: /low cycled, namun bisa pula ditambahkan pause setelah akhir inspirasi selama waktu tertentu sehingga merupakan time cycled. Karena volume tidal dan waktu inspirasi ditentukan mesin, maka untuk mencegah barotrauma, tidak boleh terjadi peningkatan tekanan jalan

napas, misalnya akibat batuk, pasien berontak, bronkospasme atau complience rongga toraks yang menurun. Untuk itu modus ini hanya digunakan pada pasien dengan sedasi berat, anestesia, paralisis otot napas atau gangguan neuromuskular berat. Selain itu harus terpasang alarm untuk membatasi tekanan jalan napas (umumnya diatur pada 60 cmHg). Keuntungan modus ini adalah hilangnya work of breathing (WOB)

pada pasien yang memang harus diturunkan/ diistirahatkan WOBnya.

Pressure Co ntro I led Ve nti I ati o n ( PCV) Pada modus ini mesin bekerja dengan machine triggered, pressure targeted dan time cyled. Pada saat mesin secara otomatis memberikan napas, tekanan jalan napas segera mencapai peak airway pressure dan

selanjutnya menurun sampai

titik awal. Kecuali bila

modus ini dioperasikan dengan PEEP maka titik awal adalah 0 mmHg. Bila modus ini dioperasikan dengan positive end expiratorlt pressure (PEEP) maka titik awal tekanan adalah PEEP itu sendiri. Apabila PEEP digunakan, maka besarnya peak airway pressure adalah PEEP ditambah tekanan yang telah 'ditugaskan' (mandatory) pada mesin untuk diberikan. Karena modus ini didasarkan atas time cycled, ekspirasi hanya akan terjadi

bila waktu inspirasi (Ti) habis. Apabila penurunan tekanan saat inspirasi telah mencapai titik awal sebelum Ti maka akan terjadi pause dt mana tekanan jalan napas akan dipertahankan sampai waktu ekspirasi tiba. I nterm ittent M a ndatory Ventil ati on (lMVl Modus ini bukan murti controlled mode karena pasien juga bernapas spontan. Napas dari mesin dihantarkan setiap interval waktu tertentu (machine triggered), dan

pasien dapat melakukan pernapasan spontan di antara bantuan napas ventilator. Lebih tepat bila mode ini disebut sebagai VCV pada pasien bernapas spontan. Agar pasien dapat bernapas spontan, pada mesin harus dibuat memiliki aliran udara yang terus menerus walaupun mesin sedang tidak memberikan inspirasi.

Apabila inspirasi mesin terjadi saat pasien baru ekspirasi dapat muncul risiko barotrauma atau volutrauma. Oleh karena itu cara ini telah digantikan dengan synchronized IMV (SIMV).

ASSISTED VENTILATION MODES

Volume Assisted Ventilafion (VAV) Modus ifi adalah patient's triggered dan volume limited. Ventilator akan bekerja memb anf.t (as s isting) memberikan udara inspirasi bila mendeteksi usaha napas dari pasien. Modus ini disebut j.uga assisted mechanical ventilation. Besamya volume tidal yang diberikan ditentukan oleh mesin (volume limiteQ. Sama seperti VCV modus ini memakai volume cycled atau /low cycled. Modus ini diindikasikan pada pasien yang bemapas spontan namun tidak adekuat (selama masih cukup adekuat untuk terbaca oleh mesin). Berkebalikan dari VCY modus ini tidak boleh diberikan pada pasien henti napas, dalam sedasi b erat atau

pelemas otot. Modus ini juga berbahaya pada pasien dengan hiperventilasi sentral karena akan meningkatkan volume semenit (VE), menyebabkan hipokarbia, alkalosis respirasi akut, hipokalemia dan aritmia. P ressu re S u

pport Venti lation (PSVI

Modus ini sering disingkat PS saja. Modus ini bekerja secara patient's trigerred, pressure targeted, flow cycled. Apabila pasien memicu mesin, mesin akan memberikan udara secara cepat sehingga tekanan jalan napas yang ditargetkan dicapai. Seperti halnya pada PCV, apabila PEEP digunakan lebih dari 0 mmHg, maka

peak airway pressure yang terjadi adalah PEEP ditambah nilai PS (besarnya tekanan maksimal yang dib erikan oleh me s in). S el anj utnya/ ow akarr disesuaikan terus untuk mempertahankan tekanan jalan napas tersebut, sehingga selama pasien masih menarik napas (berarti pasien membuat tekanan negatif) maka mesin terus memberikan udara/tekanan. Apabila flow inspirasi

pasien menurun sampai ambang cycle off mesin (umumnya 25oh dari peak expiratory pressure), mesin akan beralih ke ekspirasi. PSV dirancang untuk menghindari barotrauma dan mengurangi kerja napas. PSV berbeda dengan IMV/SIMV, di mana PSV dikondisikan untuk membantu setiap usaha napas spontan. PSV sekarang menjadi pilihan pada pasien dengan gagal napas yang tidak terlalu berat dan memiliki usaha napas yang adekuat. Hasilnya dapat meningkatkan kenyamanan pasien, mengurangi efek buruk terhadap

kardiovaskular, mengurangi risiko barotrauma, dan meningkatkan distribusi gas.

Assisfed-co ntro I I ed

ve

nti I ati o n m ode

Pada modus-modus tipe ini ventilator mendeteksi

inisiatif

inspirasi dari pasien dan menyediakan bantuan tekanan selama inspirasi. Pada mesin juga diset frekuensi napas

minimal. Bila pasien bernapas di bawah target minimal tersebut maka mesin memberikan napas secara otomatislmandatory.

t69

DUKUNGAI{ VENTIL.TIiTOR MEI(ANIK

e Assi sted -Co ntro I I ed Ve nti I ation (VACV) VACV sering disebut assist-control ventilation atat disingkat A/C saja. Modus ini adalah volume limited dan

PaCOrnya meningkat mendadak dan menimbulkan

time cycled. Pasien menginisiasi inspirasi seperti pada VAV namun frekuensi minimal sudah diatur di mesin sehingga bila pasien bernapas sangat lambat atau sangat lemah, modus ini akan menjadi VCV' Pada modus

Hipoksemia

ini setting frelttensi inpirasi terkontrol tidak boleh di bawah kebutuhan minimal pasien.

.

Vo I u m

volume

ata:u

asidosis.

. .

PaO, <60mmHg atau SatO2<90% pada FiO2>50o

Adanya 'shunt'(pada atelektasis, edema paru, pneumonia, emboliparu) Adanya ketidakimbangan ventilasi-perfusi (V/Q) atau percampuran dar ena (pada asma dan PPOK) Adanya hipoventilasi dan peninggian tekanan PaCO2 (pada henti napas, gagal napas akut). Pada FiO, yang rendah, tekanan barometrik yang rendah,

. Synchronous lntermittent Mandatory Ventilation (srMV)

.

dan adanya toksin tertentu (kebakaran, ketinggian

Modus ini bekerja secara patient s triggered dan volume targeted seperti halnya VSV. Namun walaupun pasien bisa mentrigger mesin, bila pasien tidak juga bemapas dalam wakfu terlentu, mesin akan memberi napas secara otomatis

seperti pada VCV atau IMV. Usaha penyelarasan (synchronis ation) adalah untuk mengurangi barotrauma, yang mungkin timbul dengan cara IMV, ketika napas diantarkan kepada pasien yang sudah dalam keadaan

tertentu, keracunan CO). Keseimbangan difusi yang tak adekuat (anemia, curah jantung yang tinggi, umumnya ini adalah faktor yang memperburuk bukan faktor utama)

.

Hiperkapnia

inspirasi maksimal atau sedang berusaha penuh untuk

PaCOr> 55 dengan asidosis atau peningkatan PaCO, dari keadain awal yang disertai asidosis). Hal ini dapat terjadi

ekspirasi.

pada

Pilihan awal modus ventilasi (misalnya SIMV atauA/ C) tergantung dokter atau institusi yang bersangkutan. Ventilasi CMV, juga NC, adalah cara bantuan penuh di mana ventilator bisa mengambil alih seluruh usaha napas. Kedua cara ini bermanfaat bagi pasien yang membutuhkan ventilasi semenit (VE) yang tinggi. Dukungan penuh, akan mengurangi kerja otot pernapasan (tvork of breathing) sehingga mengurangi konsumsi O, dan produksi CO, dari otot-otot pernapasan. Suatu kekurangan yang mungkin terdapat pada modus A/C pada pasien dengan penyakit sumbatan jalan napas adalah perburukan dari keadaan udara yang terperangkap (air trapping) dan napas yang berlumpukan (breath stacking). Ketika bantuan napas penuh diberikan pada pasien yang dilumpuhkan dengan blokade neuromuskular, tidak ada perbedaan antara VE pada berbagai cara ventilasi yang ada. Pada pasien apnoe, A/C dengan frekuensi napas 10 dan VT 500 ml mengantarkan VE yang sama dengan SIMV dengan parameter yang sama. SIMV membutuhkan usaha napas lebih besar daripada A/C karena itu SIMV jarang dipakai sebagai modus awal ventilator.

IN

DIKASI PEMASANGAN VENTILATOR

Indikasi utama pemasangan ventilator adalah adanya gagal napas atau keadaan klinis yang mengarah ke gagal napas.

Kondisi yang mengarah ke gagal napas adalah termasuk hipoksemia yang refrakter, hiperkapnia akut, atau kombinasi keduanya. Indikasi lainnya adalah pneumonia berat yang

tetap hipoksemia walaupun sudah diberikan oksigen dengan tekanan tinggi atau eksaserbasi PPOK di mana

.

:

Peningkatan beban kerja melebihi kapasitas keq'a karena Compliance yatgtertdah(ARDs, luka bakar daerah

-

. . .

dada, efusi pleura, obesitas, pneumonia) Resistensi yang tinggi (asma, PPOK, tumor atau sumbatan pada saluran naPas)

Peningkatan YCO2 bersamaan dengan terbatasnya kapasitas kerja (diet, PPOK) Peningkatandead space (ruang rugi) yang memerlukan peningkatan ventilasi bersamaan dengan keterbatasan kapasitas kerja. Penurunan kapasitas kerja.

di otak

-

Karena penurunan pusat napas

-

overdosis obat dan sindrom hipoventilasi sentral Penyakit neuromuskular (miastenia gravis, sindrom

pada

Cuillain-Bane)

-

Mechanical disadvantage ( hipetventilasi, auto PEEP)

-

Atrofi otot

napas (pada malnutrisi, paralisis jangka

lama, steroid)

-

Gangguan metabolik (asidosis, penurunan O,

-

Kelelahan.

delivery)

TATA LAKSANA VE NTI LATO R Pada ventilator invasif, pasien mulanya harus diintubasi

dulu dengan pemasangan pipa endotrakeal. Karena memerlukan pemantauan gas darah berulang maka kanula untuk pengambilan darah arterial harus dipasang juga. . Pilihlah ventilator yang paling anda kuasai atatpahng familiar dengan anda, dan sesuai dengan kebutuhan

170

KEGA\I/AIDARURAf,AN MEDIK DI BIDAI\G ILMU PENYAKIT DALAI\il

pasien. Ingat tujuan utama kita adalah untuk memberikan

ventilasi dan oksigenasi yang adekuat, mengurangi beban napas pasien, sinkronisasi alat dan pasien, dan menghindari tekanan inspirasi yang tinggi. Berilah FiO, awal 100%, kemudian FiO, ini diturunkan dengan titrasi unfuk memperlahankan saturasi O, pada

.

terjadi tekanan inspirasi tinggi berlebihan yang tak bisa

dikoreksi dengan berbagiai cara, maka untuk mensinkronkan pasien dengan alat boleh

92-94%. Pasanglah volume tidal awal pada 8- I Oml/kgBB. Pasien

dengan gagal napas akut karena gangguarr neuromuskular sering memerlukan volume tidal sampai

10-l2ml/kgBB, sedangkan beberapa kasus ARDS memerlukan volume tidal 5-8m1/kgBB, lebih baik

memperpanjang waktu ekspirasi pada penyakit sumbatan jalan napas. Dengan bantuan ventilasi, s ens it ivity diatur pada 1 -2 cm HrO. Bila ada kesulitan dengan oksigenasi, ventilasi atau

dipertimbangkan pemakaian sedasi, analgesik atau ubah

.

pos1s1.

Konsultasi kepada yang lebih berpengalaman untuk kasus/alat bersangkutan bila masih ada kesulitan.

)

menghindari tekanan inspirasi saluran napas yang tinggi.

ATURANMEMULAI PEEP

Respiratory Rale (RR). Pilih frekuensi pernapasan yang sesuai dengan keadaan klinis pasien. Targetkan ke pH bukan saja PaCOr. Pernapasan yang terlalu cepat

mengurangi waktu untuk ekspirasi, meningkatkan tekanan jalan napas rata-rata dan menyebabkan udara terperangkap pada pasien dengan penyakit sumbatan jalan napas. Pernapasan awal dapat dibuat 5-6 kali per

Mulailah PEEP pada 5 cm HrO dan tingkatkan secara berlahap dengan 2-3 cm HrO. Efek rekruitment penuh mungkin belum muncul untuk beberapa jam. Monitor selalu tekanan darah, denyut jantung, PaO, saat menaikkan PEEP, dan pada interval waktu tertentu. Ingat selalu efek buruk PEEP yaitu: barotrauma, hipotensi,

menit pada pasien dengan asma, dengan teknik

turunnya curah jantung, peninggian PaCO, dan gagalnya

hiperkapnik.

oksigesnasi.

Inspiration/expiration ratio (IlE ratio). Rasio normal dimulai dengan l:2. Kemudian dikurangi menjadi 1:4 atau 1:5 pada keadaan penyakit sumbatanjalan napas dalam usaha menghindari udara terperangkap dan pada auto atau intrinsik PEEP. Pasanglah PEEP pada kelainan paru yang difus, untuk

menunjang oksigenasi dan menurunkan FiO,. Pada

sebagian besar kasus gagal napas. PEEi, juga meningkatkan tekanan puncak inspirasi saluran napas, suatu efek yang sebenarnya tak diinginkan. Jarang diperlukan tekanan PEEP melebihi 15 cm H,O. PEEP memindahkan cairan dari alveoli ke ruang interstisial perivaskular. PEEP tidak mengurangi jumlah total dari

cairan ekstravaskular paru. Umumnya PEEP diatur secara fisiologis pada 3-5 cmHrO untuk mencegah penumnan fungsi kapasitas residu paru. PEEP 6 - l0 cmH2O dipakai untuk mencegah atelektasis pasca bedah. Alasan peningkatan PEEP pada pasien dengan

penyakit berat adalah untuk menyediakan cukup oksigen, dan menurunkan FIO, pada keadaan nontoksik (FIOr<0,5). Tingkat PEEP harus diselaraskan sehingga tekanan intratorakal yang berlebihan (dengan resultan berupa penurunan aliran balik vena dan risiko barotrauma) tidak terjadi. Jika ventilator memerlukan pengaturun flow rate

gnakanlahfl owrateatauRRyangmenghindarinapas yang bertumptkan(stacking) dan auto PEEP. Inspira-

totyflow rates adalah fungsi dari VT,

VE ratio dan RR

yang bisa dikendalikan secara internal oleh ventilator.

Inspiratory flow rates diatur pada 60 l/menit. Pengaturan ini dapat ditingkatkan sampai 100 l/menit untuk mengantarkan VT secara cepat dan

Modifikasi Seting Ventilator Setelah pasien diintubasi (pada ventilator invasif) dan tersambung ke ventilator mekanik, dengan teliti

perhatikan efek dari intervensi ini. Lihat frekuensi napas pasien, atur laju pernapasan oleh mesin. Pasien yang

tetap takipnea setelah terpasang ventilasi mungkin memerlukan sedatif. Diazepam (2-5 mg iv) tiap 2 jam elektilpada keadaan ini. Penting memonitor hasil pemeriksaan gas darah secara serial. Hasil ini sebagai dasar untuk mengubah seting ventilator. Mengingat pH normal adalah 7,40, P aCO rnormal

40, dan PaO, normal sekitar 100. Maka kita perlu mengetahui data dasar analisis gas darah ini. Hal ini membantu untuk mengetahui nilai dasar, karena pasien dengan penyakit paru kronik mungkin merasa nyaman dengan Pa0, 50. Nilai normal ini merupakan target saat mengatur seting ventilator.

Kurang tepat merubah lebih dari satu paramcter sebelum memeriksa efek dari perubahan sebelumnya dengan pemeriksaan gas darah. Walaupun begitu masih dapat diterima mengubah dua parameter secara bersamaan sepanjang yang satu mempengaruhi Pa0, dan yang lain mempengaruhi PaC0, (seperti FI0, dan frekuensi/RR). Jangan merubah PEEP dan FI0, secara bersamaan karena hal ini akan menyulitkanmeramalkan efekyang diinginkan.

Periksalah gas darah arterial 30-60 menit setiap setelah mengubah seting ventilator. Mengubah Pa0r. Pa0, dipengaruhi olehperubahanFI0, dan PEEP. Berikan FI0, kurang dari 60% untuk menghindari efek

toksik oksigen.

'

17t

DUKUNGAN vENnL/tg1oR MEKAT{IK

a). Pa0, tinggi. Bila Pa0, tinggi, FIO, dapat diturunkan

dengan menggunakal "rule

o"f

7" sebagai patokan

pengaturan FIOr. Setiap penurunan 1% FI0r, Pa0, akan turun 7. Contoh :jika Pa0r 380 pada FI0, 9}o/o,Dengantarget Pa0, 100, maka adalah aman untuk menurunkan FI0, dari 90% menjadi 50%(40 X 7:280). Jikapasien sudahpadaposisi FI0, rendah, maka bila PaO, tetap tinggi, PEEP dapat diturunkan. Direkomendasikan penurunan PEEP dengan tahapan 2cm Hr0, periksa hasil gas darah tiap saat sesudah pemrmnan tersebut. Turunkan PEEP pada level fisiologis 3-5 cm H20. Karena efek toksik oksigen, pasien dengan

bedah faktor yang penting diperhatikan adalah rasa sakit sayatan akibat operasi mempengaruhi lama bantuan ventilator. Akibatnya pasien setelah laparotomi atau torakotomi (keduantr a sakit sayatan lebih lama) akan membutuhkan periode lebih panjang dalam intubasi dan ventilator dibanding yang disebabkan oleh median sternostomy (relatif kurang sakit). Parameter yang harus ada sebelum menyapih pasien adalah sebagai berikut:

1.

Pa02 tinggi pertama-tama harus diturunkan FIO, nya barulah kemudianPEEP.

b). PaO, rendah. Pasien dengan PaO, yang rendah, PEEP pada level hsiologis dapat meningkatkan Pa0, dengan hanya mengatur Fi0, sekitar 50-60%. Kemudian mulailah menaikkan PEEP pada kenaikan 2. Monitor efek tiap-tiap perubahan dengan memeriksa gas darah, apabila diperlukan PEEP >10 cm HrO maka kateter arteri pulmonalis perlu dipasang untuk memonitor efek dari penambahan PEEP, karena PEEP dapat

Pasien harus memperoleh oksigenasi yang adekuat (ditentukan oleh PaOr), pada PEEP fisiologis dan FI0, tidak lebih besar dari 500/o. Secara obyektif harus ditemukan Pa0, lebih besar dari 70 pada penurunan secara serial PEEP 3-5 dan FIOr 40-50%.

a.

b.

yang baru pada alat bantu pernapasan. Pa0, >70 diperkenankanuntukpenyapihan. Pasien harus memperoleh ventilasi adekuat (ditentukan oleh PaC0r) yang harus kurang dari 45 sebelum

c.

2.

menurunkan aliran balik darah ke jantung dan mengakibatkan efek terbalik terhadap curah jantung.

ekstubasi. a. Sapihlah sampai frekuensi 2-4. hka gas darah tetap memperlihatkan ventilasi adekuat ( PaCO, rtormal) ubah seting ventilator ke CPAP (Continous Positive Airway Pressure). Perhatikan laju pernapasan

Besarnya curah jantung bervariasi dari pasien ke pasien. atau pada pasien yang sama pada waktu yang berbeda.

PEEP dengan level tinggi juga berisiko menyebabkan

pasien dengan baik. Jika pasien menjadi takipnu pada frekuensi rendah, atau setelah dengan seting

barotrauma (pneumotorak, pneumediastinum atau pneumo peritoneum). Pada beberapa sentra, pasien yang diberi PEEP tinggi dipasang prohlaksis chest tube bilateral.

ke CPAP, maka penyapihan j angan diteruskan dulu. Jangan membiarkan pasien pada frekuensi ventila-

Merubah PaC0r. PaC0, dipengaruhi oleh pengaturan

tor 2, atau CPAP terlalu lama setelah diputuskan penyapihan tidak diteruskan' Pernapasan melalui pipa endotrakeal tidak seperti pemapasan normal melalui mulut dan tidak tepat membiarkan pasien bernapas terlalu lama melalui tube. Walaupun

frekuensi dan volume tidal.

a. PaC0, tnggi. PaC0, tinggi menandakan hipoventilasi; jagalah volume tidal pada 10-15 ml,&gBB. Sesudah itu naikkan frekuensi untukmemperbaiki ventilasi semenit (\{E), periksa efek tiap perubahan dengan analisis gas darah.

b.

PaCO, rendah. Menandakan adarrya ventilasi yang berlebihan dan biasanya diikuti oleh keadaan alkalosis. Jagalah volume tidal tidak lebih dari 15 ml&gBB. Turunkan frekuensi ventilator. Jika pasien takipnu pemberian sedatif

b.

Capacity (YC). Agar ekstubasi berjalan lancar maka, NIF harus 25 cm HrO atau lebih besar (lebih negatif). Volume tidal harus 400 pada ukuran dewasa normal.

(rate).Hal ini menunjukkan kelelahan karena kurangnya bantuan ventilasi dan hal ini setelah penumnan frekuensi

Prinsip umum untuk mengubah seting ventilator. a). Bila pasien memburuk baru lakukan intervensi. b). Mengubah FIO, selalu dibatasi kemungkinan keracunan oksigen. c). Mengubah VE dibatasi oleh kemungkinan penurunan PaC0, dengan akibat alkalosis. d). Mengubah PEEP dibatasi kemungkinan penurunan PaC0, dengan akibat alkalosis.

kebanyakan orang menggun akkan T-p iece sebelum ekstubasi, jika pasien bisa menerima CPAP pada 5 cm Hr0, maka sebetulnYa MenenfukankemamPuan

harus diperoleh parameter respirasi atau disebut juga faktor mekanik pemapasan, meliputi volume tidal (VT), negative inspiratory force (NIF) dan Wtal

atau paralisis mungkin diperlukan untuk mengontrol ventilasi. Perhatikan kemungkinan munculnya takipnu

memerlukan peningkatan frekuensi ventilator.

Pa0r<60 memerlukan kembali pada level sebelum pemasangan alat bantu pernapasan. Pa0, 60-70 % memerlukan menunggu pada level

3.

Mempersiapkan ekstubasi. a. Tentukan tingkat kesadaran, pasien harus sadar (bangun) dan kooperatif. Mintalah pasien untuk mengangkat kepalanya untuk memperlihatkan kekuatan yang adekuat dan kemampuan untuk mengikuti perintah.

b.

curah jantung.

Berikan oksigenasi dan ventilasi yang adekuat, Pa0, dan PaC0, harus mencukupi pada CPAP + 5 cm HrO dan FI0, tidak lebih dati 50o/o. Pernapasan mekanik

Penyapihan (weaning) dari ventilator. Pada pasien pasca

harus memperlihatkan NIF tidak kurang dari 25

e). Mengubah PEEP dibatasi oleh kemungkinan penurunan

172

KEGA\ilATDARURAf,AN MEDIK DI BIDANG ILMU PET.WAKIT DALAM

dengan tidal volume 400

c.

4.

ml atau lebih

besar.

penyapihan dari ventilator invasif. . Tingkat kesadaran stabil atau membaik . Tanda vital stabil . Frekuensi napas < 25lmenit . gas darah mendekati atau pada :

Frekuensi pernapasan harus 25 atau kurang. Tanda vital stabil atau tidak ada risiko aspirasi atau

tidak terkontrolnya pemapasan. Prosedur ekstubasi. Sebagai kunci ekstubasi yang sukses dijelaskan kepada pasien prosedur yang akan

P0r>7OmmHg

dilakukan a.

b.

PC0r<5OmmHg

pasien 'disuction' melalui rongga mulut dan

endotrakeal

kempeskan balon selang endotrakeal.

selang

. .

Persyaratan

pH < 7,35. Kapasitas vital >15 ml/kg

Volumetidal >400ml (50-T0kgdewasa)

Kemungkinan perlu ventilasi mekanik Anam nesis/pem eriksaan fisik

Kapasitas vital

-l<--

Depresi pusat pernapasan

Penyakit paru kronik

V!, K ro

nik

Prognosis ad malam

t

+ Apneu

H

iperkapn

I

ia

mHg

PaCO, < 50 mmHg

Teruskan tera pi

Kesadaran menurun Kesadaran ba

k

I

Teruskan tera pi Penyakit paru akut PaCO, < 60 mmHg

Trauma dinding toraks Fail chest

Fto,

ringan

Fail chest beral PaCO, > 45

PaCO, < 45

Hemodinamik

mmHg stabil

PaCO, > 60 mmHg

1,0

PaCO,> 45 mmHg

mmHg

PaC0, < 4$ I

t-t Kesadaran menurun

Hemodinamik tak stabil

Kesadlran baik

[-----------l jelas

I

Tidak ada kelelahan

Kelelahan

Lanjutkan terapi

T.,.r.ki l\.4

Bukan Pascasurgical

asalah neurom uskula

Kapasitas vital <'10 ml/kg

Bukan bypass

kardiopulmonari

kard iopu lm ona ri

Sukar menelan

rJi Kelelahan lelas

I

>'1 0 ml/kg

Efek obat prolong

Bisa menelan Tidak ada kelelahan Teruskan terapi

Prosed ur surgical major

Hemodinamik tak stabil

Peninggiantekanan Asidosismetabolik

intrakranial

l\itungkin perlu IPPV

1.

Kapasitas vital

+

+

Gambar

t.,,.pi

r

YV

By pass

Obesitas

p16q

berat

173

DUKI,JNGAI\ VENTILATOR MEI(ANIK

'

NIF (negative inspiratoty force) > -25 cm

HrO

(lebih negatifl.

c.

Sebelum pipa endotrakeal dilepas, pasien harus dalam fase inhalasi. Jadi saat pelepasan pipa, pasien

d. 5.

adalah pada fase ekshalasi yang akan membantu mencegah terhisapnya sekret yang ada di trakea ke paru. Ingat bahwa pipa berbentuk lengkung dan ikutilah lengkungan itu saat melePasnYa.

Pesan penting setelah ekstubasi.

a. Pasang40-50o%maskermuka b. Sucsion bilamana perlu c. Bila pasien telah mengalami

bantuan pernapasan di samping ventilator biarkanlah dalam waktu lama, dapat jam, waktu setiap karena pasien selama24

dipergunakan bila terjadi hal kegawatat yang memerlukan ventilator kembali. d. Cek gas darah setelah 30-60 menit e. Periksa spirometn tiap jam f Rangsang batuk dan napas dalam o Perhatikan takipnu, yang sering merupakan peftanda b' awal gagal napas.

KOMPLIKASI

Keputusan untuk memasang ventilator harus dipertimbangkan secara matang. Sebanyak 75o% pasien yang dipasang ventilator umumnya memerlukan alat tersebut lebih dari 48 jam. Bila seseorang terpasang ventilator lebih dari 48 jam maka kemungkinan dia tetap hidup keluar dari rumah sakit (bukan saja lepas dari ventilator)jadi lebih kecil

distensi berlebihan alveolar (volutrauma), meningkatkan

permeabilitas mikrovaskular dan kerusakan parenkim. Konsentrasi oksigen inspirasi yang tinggi (FIO, lebih besar dari 0,5) mengakibatkan pembentukan radikal bebas dan kerusakan sel sekunder. Konsentrasi oksigen yang tinggi ini dapat mengakibatkan hilangnya nitrogen alveolar dan atelektasis sekunder.

Pengaruh pada Kardiovaskular Jantung, aor1a, dan pembuluh darah pulmonal berada di dalam rongga dada dan potensial dalam meningkatkan tekanan intra torakal. Hasilnya berupa penurunan curah

jantung sehingga aliran balik vena ke jantung kanan menurun, disfungsi ventrikel kanan, dan pembesaran jantung fi.i. P"nr*nan curah jantung akrbat preload ventrikel kanan kurang, banyak dijumpai pada pasien hipovolemik dan memberikan reaksi pada penambahan volume cairan.

Pengaruh pada Ginjal, Hati, dan Saluran Cerna

Tekanan ventilasi positif bertanggung jawab pada keseluruhan penunrnan fungsi ginjal dengan penurunan volume urin dan ekskresi natrium. Fungsi hati mendapat pengaruh buruk dari penurunan curah jantung, meningkatnya resistensi pembuluh darah hati, dan peningkatan tekanan saluran empedu' Iskemia mukosa gaster dan perdarahan sekunder mungkin terjadi akibat penurunan curah jantung dan peningkatan tekanan vena lambung.

Ventilator Noninvasif (NIPPV)

Secara statistik angka survivai berhubungan sekali dengan diagnosis utama, usia , dan jumlah organ yang gagal

Ventilasi invasif adalah suatu alat bantuan napas mekanik (ventilator) tanpa suatu pemasangan pipa endotrakeal ke

. Pasien asma bronkial lebih dari 90o/o survive sedangkan pasien kanker kurang dari l0o/o. Usia di atas 65 tahun kemungkinan survivekurang dari 50'/o. Sebagian penyebab rendahnya .sur"vival pasien terpasang ventilator ini adalah

jalan napas

akibat komplikasi pemakaian ventilator sendiri, terutama tipe

Manfaat alat ini adalah: efek samping akibat intubasi jalan napas atau efek samping trakeostomi dapat dihindari, ukuran alatnya relatif kecil, portabel, pasien saat alat terpasang bisa bicara, makan, batuk, dan bisa diputus

positive pressure.

untuk istirahat. NIPPV disebut juga body ventilator (iron lung, pneumo

wrap, chest cuirass), positive pressure ventilator (PPV),

AKIBAT MERUGIKAN DARI VENTILASI MEKAN!K

continuous possitive airway pressure (CPAP).

Pengaruh pada Paru-Paru

ventilator.Alat ini bekerja dengan menimbulkan tekanan negatif di sekeliling dada dan perut yang menghasilkan

Body ventilator diseb:ut juga negative pressure

tinggi (lebih besar dari 40 cmHrO) berhubungan dengan

pengembangan rongga dada sehingga udara terisap ke paru melalui mulut dan hidung. Saat tekanan sudah sama kembali dengan sekitarnya, maka secara pasif akibat elastic recoil parudan dinding dada akan terjadi ekspirasi'

peningkatan insidens barotrauma. Disfungsi sel alveolar

Pada pneumo

Barotrauma mengakibatkan emfisema, pneumomediastinum, pneumoperitoneum, pneumotoraks, dan tension pneumothorax. Puncak tekanan pengisian paru yang

timbul akibat tekanan jalan napas yang tinggi'

Pengurangan lapisan surfaktan mengakibatkan atelektasis, yang mengakibatkan peningkatan tekanan jalan napas lebih lanjut. Tekanan jalan napas yang tinggi juga mengakibatkan

belt (intermitent abdominal pressure

ventilator),mekanisme kerja justru sebaliknya; yaitu alat melakukan penekanan pada perut untuk ekspirasi aktif dan inspirasi terjadi secara pasif karena gravitasi. Pada rocking bed ventilator mekanisme kerjanya adalah

774

pengubahan posisi pasien dan akibat gravitasi akan membantu pergerakan pasif diafragma untuk inspirasi dan ekspirasi.

Non invasif positive pressure ventilators, mekanisme kerjanya adalah secara aktif membantu inpirasi dengan mengantarkan suatu volume tidal udara yang sudah diatur tekanannya. Teknik ini memungkinkan kita mengontrol ventilasi menyeluruh atau hanya membantu usaha napas spontan saja. Ekspirasi (ekshalasi) terjadi secara pasif terhadap PEEP yang sudah diatur tekanannya atau terhadap tekanan atrnosfer.

KEIGAWTTDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

Keuntungan

Keterbatasan

Mudah dipasang dan dipindah Lebih nyaman Mengurangi pemakaian sedatif Bisa sambil bicara/menelan /batuk

Stres psikis Peningkatan pengawasan perawatan Timbul hipoksemi saat dilepas Timbul iritasi mata Sulit higienis jalan napas Tak ada proteksi jalan napas Tak nyaman di muka Distensi lambung Terbatas kemampuan ventilasinya Tidak ada perlindungan udara

Menghindari komplikasi plpa berupa: . resistensi pipa . trauma jalan napas atas . asplrasl mlnl . infeksi paru

CPAP (Continous possitive air pressure) mengantar secara konstan suatu tekanan udara selama inspirasi dari ekspirasi, jadi tekanan udara dibuat positifterhadap tekanan atmosfir selama siklus napas. CPAP ini bukan mumi suatu model ventilator karena tak membantu inspirasi secara aktif,

tapi mengurangi beban bernapas pada pasien yang bisa bemapas spontan dengan memperbaiki compliance atau mengimbangi PEEP intrinsik. Tekanan yang dipakai biasanya 5-1 0 cmllOjarangyang melebihi/bisa mentolerir sampai lebih dari 15 cmllO.

REFERENSI Dellinger RP. Mechanical ventilation. In : The ACCP pulmonary board review 1998-1999. Illinois. ACCP: 346-359. Gomella LG, Braen GR, Haist SA, Olding M. Fundamental of ventilator management. In:Clinicians pocket reference 6'h ed. California: Appleton&Lange; 1989.p.226-32. Marini JJ and Wheeler AP. Indications and option on mechanical ventilation. In: Critical care medicine, the essentials. 2'd,ed. Baltimore: Williams&Wilkins; 1997.p.1 16-35.

24 GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT Parlindungan Siregar

CAIRAN TUBUH TOTAL Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari cairan. Pada bayi

prematur jumlahnya sebesar 80% dari berat badan; bayi

normal sebesar 70-15% dari berat badan, sebelum

INTRASEL

pubertas sebes ar 65 o/o- I }oh dari b er at badan; orang dewasa sebesar 50-60% dari berat badan. Kandungan air di dalam sel lemak lebih rendah dari pada kandungan air di dalam

6O% BB Cairan Total

sel otot, sehingga cairan tubuh total pada orang yang gemuk (obes) lebih rendah dari mereka yang tidak gemuk' Cairan dalam tubuh dibagi dalam dua kompartemen utama yaitu cairan ekstrasel dan cairan intrasel. Volume cairan intrasel sebesar 60%o dari cairan tubuh total atau sebesar 36Yo dariberatbadan pada orang dewasa. Volume cairan ekstrasel sebesar 40%o dari cairan tubuh total atau sebesar 24o/o dariberat badan pada orang dewasa. Cairan ekstrasel dibagi dalam dua subkomparlemen yaitu cairan interstisium sebesar 30oh dari cairan tubuh total atau 1 80%

Tubuh

EKSTRASEL

Gambar 1. Cairan total tubuh dengan kompartemen intrasel dan ekstrasel

dari berat badan pada orang dewasa dan cairan

intrasel dan langsung berhubungan dengan fungsi sel. Kation dalam cairan ekstrasel adalah natrium (kation utama) dan kalium, kalsium, magnesium. Untuk menj aga netralitas (elektronetral), di dalam cairan ekstrasel terdapat anion-

intravaskular (plasma) sebesar l0o/o dari cairan tubuh total atat60/o dari beratbadan pada orang dewasa (Gambar 1). Cairan ekstrasel dan cairan intrasel dibatasi oleh membran sel (l ip i d - s o lu b I e), mentpakan membran semipermeabel yang bebas dilewati oleh air akan tetapi tidak bebas dilewati oleh solut yang ada di kedua kompartemen tersebut kecuali urea. Cairan interstisium dan cairan intravaskular dibatasi oleh membran permeabel yang bebas dilewati oleh air dan

anion seperti klorida, bikarbonat dan albumin. Kation utama dalam cairan intrasel adalah kalium dan sebagai anion utama adalah fosfat.

solut kecuali Albumin. Albumin hanya terdapat di GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN

intravaskular. Dalam dua kompartemen cairan tubuh ini terdapat solut berupa kation dan anion (elektrolit) yang penting dalam mengatur keseimbangan cairan dan fungsi sel. Ada dua kation yang penting, yaitu natrium dan kalium. Keduanya mempengaruhi tekanan osmotik cairan ekstrasel dan

Gangguan keseimbangan air dalam topik ini adalah ketidakseimbalgal a.ntara air yan'g masuk ke dalam dan air yang ke luar dari tubuh, ketidakseimbangan antara cairan intra dan ekstrasel serta ketidakseimbangan antara

r75

L76

KEGAWATDARURAf,AN MEDIK DI BIDAI\G ILMU PENYAKIT DALAM

cairan interstisium dan intravaskular. Ketidakseimbangan

ini khususnya

antara intra dan ekstrasel atau antara interstisium dan intravaskular, sangat dipengaruhi oleh osmolalitas atau oleh tekanan osmotik. Osmolalitas adalah perbandingan antara jumlah solut dan air. Solut-solut yang

mempengaruhi osmolalitas dalam tubuh adalah natrium, kalium, glukosa dan urea. Makin tinggi osmalilitas maka

makin tinggi tekanan osmotik. Urea mempengaruhi osmolalitas akan tetapi tidak berpengaruh terhadap tekanan osmotik oleh karena urea memiliki kemampuan untuk menembus membran sel (lipid-soluble) betpirrdah bebas dari intrasel ke ekstrasel atau sebaliknya, sehingga

urea disebut sebagai osmol yang tidak efektif (ineffective-osmole).

Berpindahnya cairat dari intrasel ke ekstrasel atau sebaliknya, dipengaruhi oleh perbedaan osmolalitas. Cairan akan berpindah dari daerah yang osmolalitas lebih rendah ke daerah dengan osmolalitas lebih tinggi. Dalam keadaan normal maka osmolalitas cairan intrasel adalah sama dengan osmolalitas cairan ekstrasel. Kandungan air di intrasel lebih banyak oleh karena jumlah kalium total dalam tubuh lebih besar dari jumlah natrium total dalam tubuh. Natrium, kalium, glukosa bebas berpindah antar interstisium dan intravaskular (plasma), sehingga ketiga osmol ini tidak berpengaruh terhadap perpindahan cairan dari intersisium ke dalam plasma atau sebaliknya. Protein dalam plasma yaitu albumin tidak mudah berpindah dari

Dehidrasi. Dehidrasi adalah keadaan di mana berkurangnya volume air tanpa elektrolit (natrium) atau berkuran gnya a ir jauh melebihi berkurangnya natrium dari cairan ekstrasel. Akibatnya terjadi peningkatan natrium dalam ekstrasel sehingga cairan intrasel akan masuk ke ekstrasel (volume cairan intrasel berkurang). Dengan kata lain, dehidrasi melibatkan pengurangan cairan intra dan ekstrasel secara bersamaan di mana 40oh dari cairan yang hilang berasal dari ekstrasel dan60%o berasal dari intrasel. Pada keadaan dehidrasi, akan terjadi hipernatremia karena cairan yang keluar atau hilang adalah cairan yang hipotonik. Dehidrasi dapat terjadi pada keadaan keluarnya

air rnelalui keringat, penguapan dari kulit, saluran intestinal, diabetes insipidus (sentral dan nefrogenik), diuresis osmotik, yang kesemuanya disertai oleh rasa haus dengan gangguan akses cairan. Atau dapat terjadi bila cairan ekstrasel masuk ke intrasel secara berlebihan pada kejang hebat atau setelah melakukan latihan berat. Atau dapat terjadi bila asupan cairan natrium hipertonik yang berlebihan.

Ilipervolemia. Hipervolemia adalah suatu keadaan di mana terjadinya peningkatan volume cairan ekstrasel khususnya

intravaskular (volume overloafl melebihi kemampuan tubuh mengeluarkan air melalui ginjal, saluran intestinal, kulit. Keadaan ini lebih dipermudah dengan adanya gangguan pada otot jantung (gagal jantung kongestif) atau

intravaskular ke dalam cairan interstisium sehingga

pada gangguan fungsi ginjal berat (penyakit ginjal kronik stadium IV dan V atau pada gagal ginjal akut oligurik).

albumin adalah osmol utamayang mempengaruhi tekanan osmotik di intravaskular. Tekanan osmotik dalam plasma ini disebut juga sebagai tekanan onkotik dalam plasma.

Edema. Edema adalah suatu pembengkakan yang dapat

Berpindahnya cairan dari intravaskular ke interstisium atau sebaliknya sangat dipengaruhi oleh kadar albumin dalam plasma.

Ada beberapa keadaan yang dapat kita temukan dalam : 1). Hipovolemia, 2). Dehidrasi, 3 ). Hipervolemia, 4). Edema.

hal gangguan keseimbangan air antara lain

Hipovolemia. Hipovolemia adalah suatu keadaan di mana

berkurangnya volume cairan tubuh yang akhirnya menimbulkan hipoperfu si j aringan. Hipovolemia adalah berkurangnya cairat ekstrasel di mana air dan natrium berkurang dalam jumlah yang sebanding. Hipovolemia dapat terj adi pada kehilangan air dan natrium melalui saluran

intestinalis seperti muntah, diare, pendarahan atau melalui

pipa sonde. Dapat juga melalui ginjal antara lain

diraba akibat penambahan volume cairan intersisium. Ada dua faktor penentu terhadap terjadinya edema antara lain :

a). Perubahan hemodinamik dalam kapiler yang memungkinkan keluamya cairan inlravaskular ke dalam jaringan interstisium. b). Retensi natrium di ginjal. Hemodinamik dalam kapiler dipengaruhi oleh ; a). Permeabilitas kapiler. b). Selisih tekanan hidrolik dalam kapiler dengan tekanan hidrolik dalam intersisium. c). Selisih tekanan onkotik dalam plasma dengan tekanan onkotik dalam interstisium. Retensi natrium dipengaruhi oleh : a). Aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron yang erat kaitannya dengan baroreseptor di arteri aferen glomerulus ginjal. b). Aktivitas ANP (atrial natriurelik peptide) yang erat kaitannya dengan baroreseptor di atrium dan ventrikeljantung. c).

penggunaaan diuretik, diuresis osmotik, b alt-wasting neph-

Aktivitas saraf simpatis, ADH yang erat kaitannya dengan baroreseptor di sinus-karotikus. d). Osmoreseptor di

ropathy', hipoaldosteronisme. Melalui kulit dan saluran

hipotalamus.

napas seperti 'insensible wctter losses

keringat, luka bakar.

Pada keadaan volume sirkulasi efektif yang rendah

Atau juga melalui sekuestrasi cairan seperti pada ileus

misalnya pada gagal jantung kongestif, sirosis hati,

struksi, trauma, fraktur, pankreatitis akut. Pada hipovolemia cairan yang berkurang atau hilang hanyalah cairan ekstrasel. Karena cairan yang keluar atau hilang adalah cairan yang isotonik, maka kadar natrium plasma tetap dalam batas normal.

sindrom nefrotik, dan gagal ginjal, makajumlah total natrium tubuh akan meningkat oleh karena adanya retensi natrium

ob

'

,

ginjal akibat peningkatan sistem renin-angiotensinaldosteron. Akibat semua ini terjadi penimbunan air pada interstisium yang akan menimbulkan edema umum.

.

177

GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT

Di samping faktor-faktor penyebab edema diatas, ada faktor lain yang mencegah berlanjutnya penumpukan

sebanyak duapertiganya ke cairan interstisium. Bila cairan keluar dari saluran intestinal (diare atau muntah), jenis cairan

cairan dalam jaringan interstisium (edema) yaitu aliran limfatik yang dapat menampung kelebihan cairan dalam

pengganti dapat berupa NaCl isotonis atau ringer-laktat. Pada diare lebih dianjurkan pemberian ringer-laktat oleh karena potensi terjadinya asidosis metabolik pada diare yang berat.

jaritgan interstisium. Faktor lain adalah dengan meningkatnya jumlah cairan dalam jaringan interstisium pada edema, akan mengurangi tekanan onkotik dan

meningkatkan tekanan hidrolik jaringan interstisium

Dehidrasi

sehingga penumpukan cairan dalam interstisium

Dehidrasi melibatkan pengurangan cairan intrasel dan

terhambat.

ekstrasel secara bersamaan di mana 40oh dari cairan yang hilang berasal dari ekstrasel dan 60%o berasal dari intrasel.

Manifestasi klinis edema dapat berupa : edema paru, edema perifer misalnya pada tungkai, asites, bendungan pada vena setempat misalnya pada tungkai yang biasanya unilateral, bendungan vena dalam, edema 'pitting' pada

Hipernatremia pada pasien dengan hipovolemia, merupakan tanda klinis dehidrasi' Defisit cairan tubuh total ini dapat dihitung dengan rumus :

hipotiroid. DefisitCairan PENANGGUI-ANGAN GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN

:

0,4x beratbadan(NaPlASMA/ 140 - 1)

Untuk koreksi cairan, jenis cairan yang diberikan adalah cairan dekstrosa isotonik. Volume cairan yang dibutuhkan sesuai dengan perhitungan rumus di atas ditambah dengan

f

Hipovolemia Ada dua tindakan yang dilakukan dalam mengatasi keadaan ini yaitu menanggulangi penyakit yang mendasari dan penggantian cairan yang hilang. Untuk mengetahui jumlah cairan yang akan diberikan perlu diketahui prediksi cairat yang hilang dari tubuh. Pada hipovolemia, cairan

yang hilang berasal dari cairan ekstrasel (intravaskular dan interstisium) oleh karena cairan yang hilang adalah cairan yang isotonik. Dalam keadaan normal, osmolaritas cairan

interstisium dan intravaskular adalah sama, maka penghitungan cairat yang hilang didasarkan pada persen berkurangnya plasma (cairan intravaskular). Disebut hipovolemi ringan bila kehilangar, < 20%o volume plasma. Gejala klinis yang timbul hanya takikardia. Disebut hipovolemia sedang bila kehllangan2} - 40%o volume plasma. Gejala klinis yang timbul adalah takikardia dan hipotensi ortostatik

Disebut hipovolemia berat bila kehilangan > 40yo

volume plasma. Gejala klinis yang timbul adalah penurunan tekanan darah, takikardia, oliguria, agitasi, pikiran kacau. Perlu diingat bahwa volume plasma adalah sebesar 6olo dari berat badan pada orang dewasa. Sebagai contoh, deplesi volume rhgan (2Ooh) pada orang dewasa seberat 60 kg, volume cairan yang hilang sebesar 20oh dati 3,6 liter adalah 0,72liter (720 ml). Kecepatan pemberian cairan tergantung pada keadaan klinis yang terjadi. Pada deplesi volume yang berat, kecepatan cairan diberi dalam waktu yang cepat hingga terjadi perbaikan takikardia dan tekanan darah. Jenis cairan yang diberikan tergantung dari cairan yang ke luar. Bila pendarahan sebaiknya diganti dengan darah juga. Bila persediaan darah tidak ada, dapat diberikan cairan koloid atau cairan kristaloid seperti NaCl isotonis atau cairan ringer-laktat. Cairan koloid tetap tertahan dalam

intravaskular, sedangkan cairan kristaloid akan masuk

'insensible water losses' volume urin24 jam | volume cairan yang keluar melalui saluran cerna. 'Insensible water

losses' sebanyak + 40 ml/jam. Cairan dapat diberikan intravena atau oral bila pasien sadar. Kecepatan p€rirberian cairan harus tidak menimbulkan penurunan kadar natrium plasma > 0,5 meq/jam. Sebagai contoh bila kadar Na-plasma diturunkan dari 160 menuju 140, maka kecepatan pernberian cairan adalah selama 40 jam (20 dlbagl 0,5). Bila berat pasien ini adalah 60 kg, maka defisit cairan sebesar 0,4 x 60

- l):3,43 L. Bila insensible /oss sebesar 960 ml dan volume ur in I 500 mll 24j am, maka volume ca iran yang dibutuhkan sebesar 3,43 + 0,96 + 1,5 5,89 Liter. Jumlah cairan ini diberikan dalam waktu 40 jam atau 0,15 liter/jam. (160ll4O

:

Tindakan lain adalah mengatasi penyebab terjadinya dehidrasi.

Hipervolemia Hipervolemia (volume overloaQ, volume intravaskular yang meningkat, pada kegagalan otot jantung dan penurunan fungsi ginjal dapat menimbulkan edema paru' Penganggulangan yang dilakukan dalam hal ini adalah pemberian diuretik kuat, furosemid, serta restriksi asupan air. Asupan air yang dianjurkan hanya sebanyak'insensiblewater losses' yaitu + 40 mVjam. Pasien dengan gagal

ginjal akut atau gagalginjal terminal dengan hipervolemia memerlukan dialisis untuk penanggulangannya' Pasien dengan polidipsia primer, asupan air melebihi kemampuan pengeluaran melalui ginjal dan kulit, akan menimbulkan gejala akibat hiponatremia. Penanggulangan pada keadaan ini adalah dengan restriksi asupan air serta mengatasi gejala akibat hiponatremia akut bila ada.

Edema Penanggulangan edema yang dilakukan meliputi:

178

memperbaiki penyakit dasar bila mungkin, restriksi asupan natrium untuk minimalisasi retensi air, pemberian diuretik.

KEGAWAtrDARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PEITYAKIT DALAM

natriuretic peptide (BNP). liormon-hormon ini akan

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian

mempengaruhi ekskresi natrium di dalamurin. Naik turunnya ekskresi natrium dalam urin diatur oleh

diuretik untuk penanggulangan edema adalah : saat yang tepat, risiko yang akan dihadapi bila edema dikurangi, waktu yang dibutuhkan untuk menangani edema, cepat

Peningkatan volume cairan (hipervolemia) dan peningkatan

atau lambat.

Indikasi atau saat yang paling tepat untuk menanggulangi edema adalah bila ada edema paru, merupakan satu satunya indikasi pemberian diuretikyang paling tepat dalam menanggulangi edema dibandingkan dengan penanggulangan jenis edema yang lain. Retensi natdum sekunder (kompensasi) yang terjadi pada gagal jantung atau sirosis hati adalah dalam rangka untuk memenuhi volume sirkulasi efektifmenjadi normal kembali guna optimalisasi perfusi jaringan. Pemberian diuretik yang terlalu besar pada keadaan ini akan menimbulkan risiko

berkurangnya perfusi j aringan. Berkurangnya perfusi jaringan, dalam klinik dapat dinilai dari kenaikan ureum dan kreatinin.

Retensi natrium primer seperti pada penyakit ginjal,

akibat obat-obatan (minoksidil, NSAID, estrogen), eding edema', tidak adapengurangan volume sirkulasi efektif, pada keadaan ini yang terjadi adalah ekspansi cairan ekstrasel. Pemberian diuretik pada keadaan ini tidak akan mengurangi volume sirkulasi efektif sehingga tidak mengurangi perfu si j aringan. '

refe

Pada edema umum akibat gagal jantung, sindrom nefrotik, retensi natrium primer, bila dilakukan pemberian diuretik, mobilisasi cairan edema dapat berlangsung cepat sehingga pengeluaran cairan edema sebanyak 2-3 liter dalam 24 jam tidak akan mengurangi perfusi jaringan. Berbeda dengan pengeluaran cairan asites, mobilisasi cairan asites masuk ke intravaskular berlangsung lambat sehingga bila diberikan diuretik kuat untuk mengurangi

asites dengan cepat, akan terjadi penurunan perfusi jaringan sehingga akan menimbulkan kenaikan ureum atau sindrom hepato-renal dan dapat menjadi penyebab ensefalopati hepatikum.

GANGGUAN KESEIMBANGAN NATRIUM

filtrasi glomerulus dan reabsorbsi oleh tubulus ginjal. asupan natrium akan meningkatkan

laju filtrasi

glomerulus dan pada deplesi volume (hipovolemia) serta asupan natrium yang rendah akan terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus. Perubahan perubahan yang terjadi pada laju filtrasi glomerulus akan mempengaruhi reabsorbsi natrium di tubulus (glomerulotubular balance). Sebanyak 60% -65o/o

natitmyang

difi ltrasi direabsorbsi

di tubulus proksimal, 25%-30% di 'loop of Henle',5% di tubulus distal dan 4% di duktus koligentes. Reabsorbsi di tubulus proksimal dan duktus koligentes tergantung pada kebutuhan tubuh yang diatur oleh faktor neurohumoral (angiotensin-Il dan norepinefrin di tubulus proksimal dan aldosteron di duktus koligentes). Reabsorbsi di lengkung-Henle dan tubulus distal tergantung dari

jumlah natrium yang ada dalam filtrat di tubulus atau disebut juga tergantung banyaknya jumlah filtrat. Reabsorbsi natrium di tingkat sel tubulus proksimal dimulai dari aktivitas pompa NaK-AIPase di membran basolateral

sel tubulus sehingga menimbulkan gradien elektrokimia sehingga memudahkan masuknya natrium secara pasif dalam bentuk solut kotranspor dengan glukosa, asamamino, fosfat yang dihantarkan oleh protein pembawa (carrier) masuk menembus membran-sel dan juga melalui antiport Na-H (reabsorbsi natrium dan sekresi ion-H).

Reabsorbsi natrium di lengkung-Henle asending, dilakukan oleh proses elektronetral melalui kontranspor NaK2Cl. Bila Na di reabsorbsi, maka absorbsi Cl akan terhalang sebaliknya bila Cl di reabsorbsi maka reabsorbsi Na terhalang dan bila K diareabsorbsi maka reabsorbsi Na dan Cl terhalang. Kalium yang direabsorbsi akan kembali masuk ke dalam lumen melalui saluran-K yang ada di membran sel bagian lumen, sehingga membuat lumen menjadi elektropositif dan mendorong Na masuk dari lumen ke dalam sel. Natrium yang masuk ke dalam sel akan dikeluarkan dari sel masuk ke dalam sirkulasi dengan bantuan pompa NaK-ATPase di membran basolateral di mana akan ke luar 3 Na dan masuk 2 K. Kalium yang masuk kemudian di keluarkan ke dalam lumen melalui saluran-K di membran sel. Cl yang direabsorbsi, kemudian

Natrium berperan dalam menentukan status volume air dalam tubuh. Keseimbangan natrium yang terjadi dalam tubuh diatur oleh dua mekanisme yaitu pengatur : . Kadar natrium yang sudah tetap pada batas terlentu (Set-Point) . Keseimbangat arlltara natrium yang masuk dan yang keluar (Steady-State) Perubahan kadar natrium dalam cairan ekstrasel akan

mempengaruhi kadar hormon terkait seperti hormon antidiuretik (ADH), sistem RAA (renin angiotensin aldosteron), atrial natriuretic peptide (AI\P), brain

ke luar dan masuk dalam sirkulasi melalui saluran Cl di mernbran basolateral. Keluarnya kalium ke dalam lumen dan keluarnya natrium ke dalam sirkulasi membuat sel menjadi elektronegatif dan lumen menjadi elektropositif sehingga memudahkan natrium masuk ke dalam sel dari lumen lengkung-Henle asending. Reabsorbsi natrium di tubulus distal, dilakukan oleh proses elektronetral melalui kotranspor Na-Cl. Di dalam sel, natrium dikeluarkan melalui membran basolateral oleh pompa NaKAIPase ke dalam sirkulasi dan Cl keluar dari sel pada membran basolataeral melalui saluran Cl. Pompa

179

GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT

NaK-AIPase juga membuat agar sel menjadi elektronegatif sehingga mendorong Na masuk ke dalam sel melalui kotranspor Na-Cl. Reabsorbsi Na di duktus koligentes, terjadi di bagian korteks duktus koligentes dan di medulla dalam. Pada bagian korteks dilakukan melalui sel-prinsipal. Reabsorbsi natrium di sel-prinsipal bagian korteks duktus koligentes bersifat elektrogenik yang memungkinkan kadar natrium dalam lumen turun sampai kurang dari 5 meq/L pada keadaan hipovolemi. Sifat elektrogenik ini menyebabkan

Polidipsia primer atau gagal ginj al merupakan keadaan di mana ekskresi cairan

.

lebih rendah dibanding dengan asupan cairan yang menimbulkan respons fisiologis menekan sekresi ADH. Hiponatremia dengan osmolalitas plasma normal atau tinggi.

-

hiperglikemi atau pemberian manitol intra vena menyebabkan cairan intrasel keluar dari sel menyebabkan dilusi cairan ekstrasel yang

muatan dalam lumen menjadi negatif sehingga memungkinkan terjadinya reabsorbsi pasif Cl melalui jalur paraselular dan juga memungkinkan terjadinya sekresi K

menyebabkan hiponatremia.

-

ke dalam lumen melalui saluran-K yang peka aldosteron

pada membran sel bagian lumen. Aldosteron sangat berperan dalam proses transpor natrium dengan meningkatkan jumlah saluran natrium di bagian apikal membran sel prinsipal duktus koligentes. Lumen yang bermuatan negatif ini dimungkinkan oleh pompa-NaKAIPase di bagian basolateral sel prinsipal, 3 Na keluar dan kemudian

1

K keluar kembali dari sel yang menciptakan

normal. Pseudohiponatremia, padakeadaanhiperlipidemia

atau hiperproteinemia di mana menyebabkan volume air plasma berkurang. Jumlah natrium tetap,osmolalitas normal akan tetapi secara total

dalam cairan intravaskular kadar natrium jadi

.

mendorong Na masuk ke dalam sel melalui saluran naffium. Di samping itu, ion-K yang keluar ke dalam lumen melalui saluran kalium peka aldosteron, akan mendorong Na dalam lumen masuk ke dalam sel melalui saluran natrium tersebut.

Prostaglandin E2 dapat menghambat reabsorbsi natrium di sel prinsipal sebaliknya ADH meningkatkan reabsorbsi natrium di sel prinsipal dengan meningkatkan

Pemberian cairan isoosmotik tidak mengandung natrium ke dalam cairan ekstrasel dapat menimbulkan hiponatremia disertai osmolalitas plasma

-

dari sel masuk dalam sirkulasi dan 2 K masuk dalam sel muatan negatif dalam sel. Muatan negatif dalam sel,

Tingginya osmolalitas plasma pada keadaan

berkurang. Padakelompok-I (ADH meningkat) dapat dibagi dalam: Volume sirkulasi efektifturun. - Na keluar berlebihan dari tubuh. l). Melalui ginjal: diuretik aktt, renal salt wasting, muntah akut,

hipoaldosteron.

2).

Melalui non- ginjal: diare,

diuretik lama, muntah lama. - Peningkatan volume air bebas elektrolit. l). Gagal jantung. 2). Sirosis Hati 3). Pendarahan 4). Adrenal insufisiensi 5. Hipotiroidisme 6.Hipoalbuminemia Volume sirkulasi efektiftidakturun. SIADH (Syndrome Inappropriate of ADH secretion)

jumlah saluran natrium.

.

HIPONATREMIA

hiponatremia dapat dibagi dalam

Menurut waktu terjadinya hiponatremia, maka Respons fisiologis dari hiponatremia adalah terlekannya pengeluaran ADH dari hipotalamus sehingga ekskresi urin meningkat oleh karena saluran-air (AQP2) di bagian apikal duktus koligentes berkurang (osmolaritas urin rendah). Hiponatremia terjadi bila : a). Jumlah asupan cairan

melebihi kemampuan ekskresi, b). Ketidakmampuan menekan sekresi ADH misalnya pada kehilangan cairan melalui saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis hati atau pada SIADH (syndrome of inappropriate ADHsecretion). Berdasarkan prinsip di atas maka hiponatremia dapat dikelompokkan atas : . HiponatremiadenganADHmeningkat - ADH yang meningkat oleh karena deplesi volume sirkulasi efektif seperti pada : muntah, diare, pendarahan, jumlah urin meningkat, pada gagal

jantung, sirosis hati, insufisiensi adrenal, hipotiroidisme.

.

-

ADH yang meningkat pada SIADH.

Hiponatremia dengan ADH tertekan fisiologis.

:

Hiponatremia kronik. Disebut kronik bila kejadian hiponatremia berlangsung lambat yaitu lebih dari 48 jam. Pada keadaan ini tidak terjadi gejala yang berat seperli penurunan kesadaran atau kej ang, gejalayatg terjadi hanya ringan seperti lemas atau mengantuk. Kelompok ini disebut juga sebagai hiponatremia asimptomatik. Hiponatremia akut. Disebut akut bila kejadian hiponatremia berlangsung cepat yaitu kurang dari 48 jam. Pada keadaan ini akan terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran dan kejang. Hal ini terjadi akibat adanya edema sel otak karena air dari ekstrasel masuk ke intrasel yang osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini disebut juga sebagai hiponatremia simptomatik atau hiponatremia berat.

Di

dalam

klinik bila ditemukan kasus

dengan

hiponatremia disertai gejala yang berat maka hiponatremia

masuk dalam kategori akut dan sebaliknya bila tidak dengan gejala berat maka hiponatremia masuk dalam

kategori kronik. Hal ini penting untuk diketahui sehubungan tindakan yang akan dilakukan bila ada kej adian hiponatremia.

180

Penatalaksanaan

KEGAWAiIDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

H

iponatremia

Langkah pertama yang dilakukan adalah mencari sebab terjadinya hiponatremia dengan cara : . Anamnesis yang teliti (antara lain riwayat muntah, penggunaan diuretis, penggunaan manitol) . Pemeriksaan fisis yang teliti (antara lain apakah ada tanda tanda hipovolemi atau bukan)

. . .

.

Pemeriksaan gula darah, lipid darah Pemeriksaan osmolalitas darah (antara lain osmolalitas rendah atau tinggi) Pemeriksaan osmolalitas urin atau dapat juga dengan memeriksa BJ (berat jenis) urin (interpretasi terhadap adakah ADH yang meningkat atau tidak, gangguan pemekatan) Pemeriksaan natrium, kalium dan klorida dalam urin untuk melihat jumlah ekskresi elektrolit dalam urin.

Langkah selanjutnya adalah melakukan pengobatan yang tepat sasaran.

. . .

Perlu dibedakan apakah kejadian hiponatremia, akut atau

kronik. Tanda atau penyakit lain yang menyertai hiponatremia perlu dikenali (deplesi volume, dehidrasi, gagal jantung, gagal ginjal)

Hiponatremia akut, koreksi Na dilakukan secara cepat dengan pemberian larutan natriun, hiperlonik intravena. Kadar natrium plasma dinaikkan sebanyak 5 meq/L dari kadar natrium awal dalam wakhr I jam. Setelah itu, kadar natrium plasma dinaikkan sebesar 1 meq/L setiap I jam sampai kadar natrium darah mencapai 130 meq/L. Rumus yang dipakai untuk mengetahui jumlah natrium dalam lamtan natrium hiperlonik yang diberikan adalah 0,5 x Berat Badan (kg) x deltaNa. Delta natrium adalah selisih

.

antara kadar natrium yang diinginkan denga kadar natriumawal.

Hiponatremia kronik, koreksi Na dilakukan secara perlahan yaihr sebesar 0,5 meq/L setiap 1jam, maksimal l0 meq,/L dalam24 1am. Bila delta Na sebesar 8 meq/L,

dibutuhkan waktu pemberian selama 16 jam. Rumus yang dipakai adalah sama dengan di atas. Natrium yang

laktulose atau sorbitol; diabetes insipidus sentral maupun nefrogeni! diuresis osmotik akibat glukosa atau manitol; gangguan pusat rasa haus di hipotalamus akibat tumor atau gangguan vaskular. Deplesi volume dan defisit

cairan menyebabkan ekskresi Na dalam urin rendah

.

sehingga kadamya kurang dai 25 meq,/L. Penambahannatrium yang melebihijumlah cairan dalam tubuh misalnya koreksi bikarbonat berlebihan pada asidosis metabolik. Pada keadaan ini tidak terjadi deplesi

volume sehingga natrium yang berlebihan akan diekskresikan dalam urin menyebabkan kadar Na dalam

.

urin lebih dari 1 00 meq/L. Masuknya air tanpa elektrolit ke dalam sel. Misalnya pada latihan olahragayang berat, asam laktat dalam sel meningkat sehingga osmolalitas sel juga meningkat dan air dai ekstrasel akan masuk ke intrasel. Biasanya kadar natrium akan kembali normal dalam waktu 5-15 menit

setelah istirahat.

Manusia dalam keadaan normal tidak akan pernah mengalami hipematremia, karena respons haus yang timbul akan dijawab dengan asupan airyangmeningkat sehingga

tidak terjadi hipernatremia. Hipernatremia terjadi bila kekurangan air tidak diatasi dengan baik misalnya pada orang dengan usia lanjut, diabetes insipidus (volume urin dapat>10 L). Dalam keadaan hipotalamus yang normal serla fungsi ginjal normal, hipemahemia akan menyebabkan osmolalitas

urin menjadi lebih dari 700-800 mosmolkg.

Dalam kaitan dengan hipernatremia, kita harus membedakan antara deplesi volume dengan dehidrasi. Deplesi volume adalah keluarnya air bersama natrium secara seimbang (isotonik) dari dalam tubuh. Dehidrasi adalah keluarnya air tanpa natrium (cairan hipotonik) dari dalam tubuh yang mengakibatkan timbulnya hipematremia.

Dengan kata lain, deplesi volume adalah hipovolemia

dengan normonatremia sedang dehidrasi adalah hipovolemia dengan hipernatremia. Pada dehidrasi terjadi pengurangan air baik ekstra maupun intrasel sedang pada deplesi volume air yang berkurang hanyalah air ekstrasel.

diberikan dapat dalam bentuk natrium hipertonik intravena atau natrium oral.

HIPERNATREMIA Respons fisiologis hipernatremia adalah meningkatnya pengeluaranADH dari hipotalamus sehingga ekskresi urin berkurang oleh karena saluran-air (AQP2) di bagian apikal duktus koligentes bertambah (osmolalitas urin tinggi). Hipernatremia terjadi bila : . Adanya defisit cairan tubuh akibat ekskresi air melebihi ekskresi natrium atau asupan air yang kurang. Misalnya pada pengeluaran air tanpa elektrolit mel alui 'insensible water loss' ataukeringat; osmotik diare akibatpemberian

Gejala Klinis Timbul pada keadan peningkatan natrium plasma secara akut hingga di atas 158 meqlL. Gejala yang ditimbulkan akibat mengecilnya volume otak oleh karena air keluar dari dalam sel. Pengecilan volume ini menimbulkan robekan

pada vena menyebabkan perdarahan lokal di otak dan perdarahan subaraknoid. Gejala dimulai dari letargi, lemas, twitching, kejang dan akhimya koma. Kenaikan akut di atas 180 meflL dapat menimbulkan kematian.

Penatalaksanaan Hipernatremia Langkah pertama yang dilakukan adalah menetapkan etiologi hipernatremia. Sebagian besar penyebab

-

181

GANGGUAI\ KESEIMBANGAT{ CAIRAN DAN ELEKTROLIT

hipernatremi a adalah defisit cairan tanpa elektrolit akibat koreksi airyang tidak cukup akan kehilangan cairan tanpa elektrolit melalui saluran cerna, urin, atau saluran napas.

Setelah etiologi ditetapkan, langkah berikutnya mencoba menurunkan kadar natrium dalam plasma ke arah

normal. Pada diabetes insipidus, sasaran pengobatan adalah mengurangi volume urin (desmopressin pada diabetes insipidus sentral atau diuretik tiasid, mengurangi

asupan garam atau protein pada diabetes insipidus nefrogenik). Bila penyebabnya adalah asupan natrium berlebihan, pemberian natrium dihentikan. Penyebab yang tersering adalah defisit cairan tanpa elektrolit, pengobatan dilakukan dengan koreksi cairan

berdasarkan penghitungan jumlah defisit cairan (lihat penanggulangan gangguan keseimbangan cairan).

dibantu dengan adanya hiperaldosteron sekunder dari

hipovolemia akibat muntah. Kesemuanya ini akan meningkatkan ekskresi kalium melalui urin dan teqadi hipokalemi. Pada saluran cema bawah, kalium keluar bersama bikarbonat (asidosis metabolik). Kalium dalam saluran cema bawah jumlahnya lebih banyak (20-50 meq/L). Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui ginjal dapat

terjadi pada pemakaian diuretik, kelebihan hormon mineralokortikoid primer/hiperaldosteronisme primer (adenoma kelenjar adrenal). Anion yang tak dapat di reabsorbsi yang berikatan dengan natrium berlebihan dalam

tubulus (bikarbonat, beta-hidroksibutirat, hippurat) menyebabkan lumen duktus koligentes lebih bermuatan negatif dan menarik kalium masuk ke dalam lumen lalu dikeluarkan dengan urin, pada hipomagnesemia, poliuria (polidipsia primer, diabetes insipidus) dan' Salt-wasting

nephropathy' (sindrom Bartter atau Gitelman, GANGGUAN KESEIMBANGAN KALIUM

Kalium merupakan kation yang memiliki jumlah yang sangat besar dalam tubuh dan terbanyak berada di intrasel.

Kalium berfungsi dalam sintesis protein, kontraksi otot, konduksi saraf, pengeluaran hormon, transpor cairan, perkembangan janin. Untuk menjaga kestabilan kalium di intrasel diperlukan keseimbangan elektrokimia yaitu

hiperkalsemia). Pengeluaran kalium berlebihan melalui keringat dapat terjadi bila dilakukan latihan berat pada lingkungan yang panas sehingga produksi keringat mencapai 10 L. Kalium masuk ke dalam sel dapat terjadi pada alkalosis ekstrasel, pemberian insulin, peningkatan aktivitas beta-

adrenergik (pemakaian p2-agonis), paralisis periodik hipokalemik, hipotermia.

keseimbangan antara kemampuan muatan negatif dalam

sel untuk mengikat kalium dan kemampuan kekuatan

kimiawi yang mendorong kalium keluar dari sel' Keseimbangan ini menghasilkan suatu kadar kalium yang kaku dalamplasma antara 3,5-5 meq,L. Kadarkaliumplasma kurang dari 3,5 meq/L disebut sebagai hipokalemia dan kadar lebih dari 5 meq/L disebut sebagai hiperkalemia. Kedua keadaan ini dapat menyebabkan kelainan fatal listrik

jantung yaitu disebut aritmia.

HIPOKALEMIA Disebut hipokalemia bila kadar kalium dalam plasma kurang

dari 3,5 meq/L. Hipokalemia merupakan kejadian yang sering ditemukan dalam klinik. Penyebab hipokalemia dapat dibagi sebagai berikut :1.

Asupan kalium yang kurang. 2. Pengeluaran kalium yang berlebihan melalui saluran cerna atau ginjal atau keringat. 3. Kaliummasukke dalam sel. Pengeluaran kalium yang berlebihan dari saluran cema

ar.tara

lain muntah, selang naso-gastrik, diare atau

pemakaian pencahar. Pada keadaan muntah atau pemakaian

selang nasogastrik, pengeluaran kalium bukan melalui saluran cerna atas karena kadar kalium dalam cairan lamtung hanya sedikit (5-10 meq/L), akan tetapi kalium banyak ke luar melalui ginjal. Akibat muntah atau selang nasogastrik, terj adi alkalosis metabolik sehingga banyak bikarbonat yang difiltrasi di glomerulus yang akan mengikat kalium di tubulus distal (duktus koligentes) yang juga

Gejala Klinis Kelemahan pada otot, perasaan lelah, nyeri otot, 'restless legs syndrome'merupakan gejalapada otot yang timbul pada kadar kalium kurang dari 3 meq/L. Penurunan yang

lebih berat dapat menimbulkan kelumpuhan atau rabdomiolisis.

Aritmia berupa timbulnya fibrilasi atrium, takikardia ventrikular merupakan efek hipokalemia pada jantung. Hal ini terjadi akibat perlambatan repolarisasi ventrikel pada keadaan hipokalemi yang menimbulkan peningkatan arus re-entty. Tekanan darah dapat meningkat pada keadaan hipokalemia dengan mekanisme yang takjelas. Hipokalemia dapat menimbulkan gangguan toleransi glukosa dan gangguan metabolisme protein'

Efek hipokalemia pada ginjal berupa timbulnya vakuolisasi pada tubulus proksimal dan distal. Juga terjadi gangguan pemekatan urin sehingga menimbulkan poliuria dan polidipsia. Hipokalemia juga akan meningkatkan produksi NHo dan produksi bikarbonat di tubulus proksimal

yang akan Menimbulkan alkalosis metabolik. Meningkatnya NHo (amonia) dapat mencetuskan koma pada pasien dengan gangguan fungsi hati.

Diagnostik pada HiPokalemia Pada keadaan normal, hipokalemia akan menyebabkan ekskresi kalium melalui ginjal turun hingga kr'rang dari25 meq per hari sedang ekskresi kalium dalam urin lebih dari

182

KEGAWATDARURATAI\ MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAXIT DALAM

40 meq per hari menandakanadanyapembuangan kalium berlebihan melalui ginjal. Ekresi kalium yang rendah melalui ginjal dengan disertai

asidosis metabolik merupakan pertanda adanya

dari 5 meq/L. Dalam keadaan normal jarang terjadi hiperkalemia oleh karena adanya mekanisme adaptasi oleh

tubuh. Penyebab hiperkalemia dapat disebabkan oleh

: l.

pembuangan kalium berlebihan melalui saluan cema seperti diare akibat infeksi atau penggunaan pencahar. Ekskresi kalium yang berlebihan melalui ginjal dengan

Keluamya kalium dari intrasel ke ekstrasel. 2. Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal. Kalium keluar dari sel dapat

diserlai asidosis metabolik merupakan petanda adanya ketoasidosis diabetik atau adanya P.TA (renal tubular

asidosis organik (ketoasidosis, asidosis laktat), defisiensi insulin, katabolisme jaringan meningkat, pemakaian obat

acidosis) baik yang distal atau proksimal. Ekskresi kalium dalam urin rendah disertai alkalosis metabolik, petanda dari muntah kronik atau pemberian

penghambat B-adrenergik, pseudo hiperkalemia akibat

diuretiklama. Ekskresi kalium dalam urin tinggi disertai alkalosis metabolik dan tekanan darah yang rendah, petanda dari

olahraga.

Sindrom Bartter.

Ekskresi kalium dalam urin tinggi disertai alkalosis metabolik dan tekanan darah tinggi, petanda dari hiperaldosteronisme primer.

pengambilan contoh darah di laboratorium yang mengakibatkan sel darah merah lisis dan pada latihan

Berkurangnya ekskresi kalium melalui ginjal ter;adi pada keadaan hipoaldosteronisme, gagal ginjal, deplesi volume sirkulasi efektif, pemakaian siklosporin.

Gejala Klinis Hiperkalemia dapat meningkatkan kepekaan membran sel

Pengobatan Indikasi koreksi kalium dapat dibagi dalam

terjadi pada keadaan asidosis metabolik bukan oleh

:

Indikasi mutlak, pemberian kalium mutlak segera diberikan yaitu pada keadaan; 1) pasien sedang dalam pengobatan digitalis, 2) pasien dengan ketoasidosis diabetik, 3) pasien dengan kelemahan otot pernapasan, 4) pasien dengan hipokalemia berat ( K < 2 meq/L ).

Indikasi kuat, kalium harus diberikan dalam waktu tidak terlalu lama yaitu pada keadaan; 1). insufisiensi koroner/ iskemia otot jantung,2). ensefalopati hepatikum, 3). pasien memakai obat yang dapat menyebabkan perpindahan kalium dari ekstrasel ke intrasel.

sehingga dengan sedikit perubahan depolarisasi, potensial aksi lebih mudah terjadi. Dalam klinik ditemukan gejala akibat gangguan konduksi listrikjantung, kelemahan otot

sampai dengan paralisis sehingga pasien merasa sesak napas. Gejala ini timbul pada kadar K> 7 meqfl- ata:u kenaikan yang terjadi dalam waktu cepat. Dalam keadaan

asidosis metabolik dan hipokalsemi, mempermudah timbulnya gejala klinik hiperkalemia.

Pengobatan Prinsip pengobatan hiperkalemia adalah: . Mengatasi pengaruh hiperkalemia pada membran sel, dengan cara memberikan kalsium intravena. Dalam beberapa menit kalsium langsung melindungi membran

Indikasi sedang, pemberian kalium tidakperlu segera seperti pada; hipokalemia ringan (K antara 3-3,5 meq/L).

akibat hiperkalemia ini. Pada keadaan hiperkalemia yang

berat sambil menunggu efek insulin atau bikarbonat yang diberikan (baru bekerja setelah 30-60 menit), kalsium dapat diberikan melalui tetesan infus kalsium intravena. Kalsium glukonat l0 ml diberikan intravena dalam waktu 2-3 menit dengan monitor EKG. Bila

Pemberian kalium lebih disenangi dalam bentuk oral oleh karena lebih mudah" Pemberian 40 - 60 meq dapat menaikkan kadar kalium sebesar 1-1,5 meqil, sedang pemberian 135 - 160 meq dapat menaikkan kadar kalium

perubahan EKG akibat hiperkalemia masih ada, pemberian kalsium glukonat dapat diulang setelah 5

sebesar 2,5 -3,5 meq,/L.

Pemberian kalium intravena dalam bentuk larutan KCI disarankan melalui vena yang besar dengan kecepatan I 020 meqljam. Pada keadaan aritmia yang berbahaya atau kelumpuhan otot pernapasan, dapat diberikan dengan kecepatan 40-100 meq/jam. KCI dilarutkan sebanyak 20 meq dalam 100 cc NaCl isotonik. Bila melalui vena perifer, KCI maksimal60 meq dilarutkan dalamNaCl isotonik 1000 cc, sebab bila melebihi ini dapat menimbulkan rasa nyeri dan dapat menyebabkan sklerosis vena.

.

merut.

Memacu masuknya kembali kalium dari ekstrasel ke intrasel. dengan cara

-

-

:

Pemberianinsulin l0unitdalam glukosa40%, 50ml bolus intravena, lalu diikuti dengan infus Dekstrosa 50% untuk mencegah terjadinya hipoglikemi. Insulin akan memicu pompa NaK-AIPase memasukkan kalium ke dalam sel, sedang glukosa/dekstrosa akan memicu pengeluaran insulin endogen.

HIPERKALEMIA

Pemberian Natrium bikarbonat yang akan meningkatkan pH sistemik. Peningkatan pH akan merangsang ion-H ke luar dari dalam sel yang

Disebut hiperkalemia bila kadar kalium dalam plasma lebih

kemudian menyebabkan ion-K masuk ke dalam sel.

183

GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLM

.

Dalam keadaan tanpa asidosis metabolik, natrium bikarbonat diberikan 50 meq i.v selama 10 menit. Bila ada asidosis metabolik, disesuaikan dengan keadaan asidosis metabolik yang ada. - Pemberian cx,2-agonis baik secara inhalasi maupun tetesan intravena. cx, 2-agonis akan merangsang pompa NaK-ATPase, kalium masuk ke dalam sel. Albuterol diberikan 10 mg-20 mg. Mengeluarkan kelebihan kalium dari tubuh. - Pemberian diuretik-loop (furosemid) dan tiasid.

-

Sifatnya hanya sementara. Pemberian resin-penukar. Dapat diberikan per oral maupun suposltofla. Hemodialisis.

GANGGUAN KESEIMBANGAN KALSIUM Empat puluh persen kalsium dalam plasma terikat dengan protein, 150% membentuk kompleks dengan sitrat, sulfat dan fosfat, 45o/o sebagai kalsium-ion bebas.

Kalsium yang terikat dengan protein atau disebut juga sebagai kalsium yang tidak dapat terdifusi, 8}%o-9}ohterikat

dengan albumin. Perubahan kadar protein dalam plasma

juga akan mempengaruhi kadar kalsium yang terikat dengan protein. Peningkatan albumin I gram/dl akan meningkatkan kalsium terikat protein sebesar 0,8 mg/dl, sedang peningkatan globulin I gram/dl akan meningkatkan kalsium terikat protein 0,16 mg/dl. Kalsium yang tidak

terikat protein I dffisible I ultrafiltrable termasuk di dalamnya kalsium-kompleks dan kalsium-ion bebas. Kalsium-ion bebas merupakan kalsium yang aktif secara biologis; kadarnya dalam plasma sebesar 4 mgldl-4,9 mgl dl atau 45o/o dari kadar kalsium total dalam plasma. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kalsium-ion bebas membutuhkan darah segar, diambil secara anaerob, tanpa heparin dan terbebas dari fibrin. Keseimbangan kalsium merupakan hubungan timbal

balik antara absorbsi usus, ekskresi dalam urin dan faktor hormonal. Absorbsi kalsium terjadi di usus halus terutama di duodenum dan jejunum proksimal. Berbeda dengan absorbsi natrium dan kalium di usus yang berlangsung lengkap, absorbsi kalsium tidak berlangsung lengkap. Hal ini terjadi karena absorbsi Kalsium membutuhkan vitaminD dan juga terbentuknya ikatan Kalsium yang sukar larut seperti kalsium-fo sfat, kalsium- oksalat. Ab sorbsi dalam usus lebih efisien pada keadaan asupan diit rendah kalsium

dan juga meningkat bila kebutuhan tubuh akan kalsium

bertambah misalnya kehamilan atau adanya deplesi kalsium tubuh total. Beberapa obat dapat menghambat absorbsi kalsium antara lain kolkisin, fluor, teofilin dan

glukokortikoid. Motilitas usus yang tinggi juga

menghambat absorbsi kalsium. Pada keadaan malnutrisi ptotein, absorbsi kalsium juga terganggu oleh karena ikatan kalsium-protein di sel mukosa usus mengalami defisiensi.

Untuk menghitung berapa kalsium yang diabsorbsi dapat dilakukan dengan rumus di bawah sebagai berikut: Kalsium diet - Kalsium feses

Absorbsi kalsium fraksional = Kalsium diet

x

100

Ekskresi kalsium dalam urin diatur oleh kalsium yang difiltrasi oleh glomerulus (kalsium ultrafiltrable) dan kalsium yang direabsorbsi oleh tubulus (kalsium-ion bebas lebih mudah direabsorbsi dari pada kalsium-kompleks, sehingga kadar kalsium-ion bebas hanya20Yo dari jumlah kalsium yang diekskresi dalam urin). Asupan dan ekskresi natrium dalam urin akan mempengaruhi ekskresi kalsium urin. Ekskresi natrium yang meningkat pada keadaan peningkatan volume cairan ekstrasel akan meningkatkan ekskresi kalsium win. 97-99%o dari total kalsium yang difiltrasi oleh glomerulus akan direabsorbsi oleh tubulus. 50-70% dari total kalsium yang difiltrasi direabsorbsi di tubulus proks imal,30-40o/o antara akhir tubulus proksimal dan tubulus distal dan lO% di duktus koligentes. Faktor hormonal yang mempengaruhi keseimbangan kalsium diperankan oleh vitamin-D dengan metabolit aktifnya 1'25dihidroksikolekalsiferol (1 ,25 [OH]2Dr) Yang disebut juga kalsitriol dan hormon paratiroid. Sumber vitamin-D di dalam tubuh manusia berasal dari vitamin-D3 endogen.VitaminD3 atau disebut juga kolekalsiferol, dibentuk secara termal isomerisasi dari previtamin-D,. Previtamin-D3 berasal dari provitamin-D3 yang disebut juga 7-dehidrokolesterol' Kolekalsiferol dimetabolisme dalam hati menjadi 25hidroksivitam in-D3 atau 25 (OH)D3. Setelah melalui siklus enterohepatik, 25(OH)D3 dalam bentuk komplek dengan protein difiltrasi melalui glomerulus dan direabsorbsi di tubulus proksimal. Di dalam sel tubulus proksimal, 25 (OH) D, dimetabolisme menjadi 1,25[OH]2D, alau kalsitriol. fitsitriol yang bersirkulasi dalam darah merupakan pengatur utama absorbsi kalsium di usus. Efek vitamin-D pada tulang ada dua yaitu 1) Membantu mineralisasi matriks tulang organik dan 2) Membantu motilisasi kalsium tulang

untuk meningkatkan kadar kalsium plasma yang tidak berhubungan dengan kemampuan absorbsi kalsium di usus. Vitamin-D juga meningkatkan reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal.

Hormon paratiroid berperan utama dalam mengafur kadar kalsium dalam darah. Melalui efekumpanbaltk(feed-

back mechanism) perubahan kadar kalsium-ion, akan mempengaruhi sekresi hormon paratiroid yang kemudian mengembalikan kadar kalsium-ion dalam batas normal' Permukaan sel kelenjar paratiroid memiliki sensor yang

disebut sebagai'calcium-sensing receplor' yang merupakan anggota datt 'G protein-coupled receptor' ' Bila kalsium dalam darah tinggi, melalui jalur fosfolipaseC, kalsium dalam sel kelenjar paratiroid meningkat yang kemudian menghambat sekresi hormon paratiroid oleh sel

184

KEGAWATDARUR'ffAN MEDIK DI BIDANG ILMU PEI\YAKIT DALAM

kelenjar paratiroid.' Calcium-sensing receptor, juga terdapat di kelenjar tiroid dan di ginjal. Kalsitriol dan homon paratiroid saling mempengaruhi satu sama lain. Hormon paratiroid merangsang pembentukan kalsitriol di ginjal, akan tetapi kalsitriol dapat menurunkan sekresi hormon paratiroid dalam w aktu 12-24 jam. Hiperkalsemia atau hipokalsemia akan menghambat atau merangsang terbentuknya kalsitriol melalui perubahan sekresi hormon

paratiroid. Hormon paratiroid berpengaruh dalam perubahan pembentukan tulang. Hormon paratiroid akan meningkatkan aktivitas osteoblas (sel pembentuk tulang) melalui reseptor hormon paratiroid pada sel osteoblas.

Osteoblas kemudian akan menstimulasi peningkatan osteoklas (sel resorbsi kalsium tulang). Hormon paratiroid menghambat reabsorbsi kalsium di tubulus proksimal akan tetapi meningkatkan reabsorbsi kalsium di tubulus distal sehingga hasil akhir adalah menurunkan ekskresi kalsium dalam urin. Sehingga efek akhir kerja hormon paratiroid pada tulang dan ginjal adalah meningkatkan kadar kalsium dalam darah.

Pengobatan Kadar kalsium-ion normal adalah 4-5,2 mgldl atau l-1,3 mmol/L. Gejala hipokalsemia belum timbul bila kadar kalsium-ion lebih dari 3,2 mg/dl atau lebih dari 0,8 mmol/L atau kalsium-total sebesar lebih dari 8-8,5 mgldl. Pada keadaan asimptomatik, dianjurkan meningkatkan asupan kalsium dalam makanan sebesar 1000 mglhari. Gejala hipokalsemia baru timbul bila kadar kalsium-ion kurang dari 2,8 mgldl ata:u kurang dari 0,7 mmolil atau kadar kalsium-total < 7 mgl dl. Gejala hipokalsemia berupa parestesi, tetani, hipotensi dan kejang. Dapat ditemukan tanda-Chovstek atau tandaTrousseau, bradikardi dan interval-QT yang memanjang. Pengobatan yang diberikan bila timbul gejala adalah pemberian kalsium intravena sebesar 100-200 mg kalsiumelemental ata:uT gram-2 gramkalsium glukonas dalam 1020 menit. Lalu diikuti dengan infus kalsium glukonas dalam larutan dextrosa atau NaCl isotonis dengan dosis 0,5-1,5 mg kalsium-elemental/Kg BB dalam 1jam. Kalsium infus kemudian dapat ditukar dengan kalsium oral dan kalsitriol

0,25-0,5ig/irai. Hipomagnesemia dapatjuga menimbulkan hipokalsemi.

HIPOKALSEMIA

Etiologi

Bila ada hipomagnesemia dengan fungsi ginjal normal, dapat diberikan larutan l0% magnesium sulfat sebesar 2 gram selama l0 menit dan kemudian diikuti dengan I gram

Defisiensi vitamin-D. Keadaan keadaan yang dapat

kronik disertai hipoparatiroid, diberi kalsium oral seperti

menyebabkan defi siensi vitamin-D adalah : . Asupan makanan yang tidak mengandung lemak. . Malabsorbsi yang terjadi pada gastrektomi sebagian, pankreatitis kronik, pemberian laksan yang terlalu lama, bedah-pintas usus dengan tujuan mengurangi obesitas. . Metaboiisme vitamin-D yang terganggu pada penyakit riketsia, pemberian obat anti kejang, gangguan fungsi ginjal, dan gangguan fungsi hati kronik.

kalsium karbonat 250 mg kalsium elementaV650 mg tablet.

dalam 100 cc cairan per 1 jam. Pada keadaan hipokalsemi

HIPERKALSEMIA

Hiperkalsemia sering menyertai penyakit penyakit seperti

:

Hiperparatiroidisme. Hiperparatiroidisme primer terjadi

Hipoparatiroidisme. Dapat terjadi pada saat pasca bedah kelenjar tiroid, secara tidak sengaja kelenjar paratiroid ikut terangkat. Dapat juga terjadi secara idiopatik sejak anak

adenoma, karsinoma dan hiperplasia (akibat hipokalsemia yang lama) kelenjar paratiroid.

anak. Pengobatan eklampsia dengan memakai magnesiumsulfat, dapat menekan sekresi hormon paratiroid. Efek toksik

malab sorbsi vitamin-D, penyakit ginj al kronik berat.

langsung obat golongan aminoglikosida dan obat sitotoksik.

Pseudohipoparatiroidisme. Bersifat diturunkan. Organ sasaran tidak memberi respons yang baik terhadap

hormon

paratiroid.

Hiperparatiroidisme sekunder dapat disebabkan oleh

Hiperparatiroidisme tersier ditandai dengan sekresi berlebihan yang sangat bermakna hormon paratiroid dan hiperkalsemi disertai dengan hiperplasi paratiroid akibat respons berlebihan terhadap hipokalsemi. Keadaan ini disebut juga sebagai hiperparatiroidisme refrakter. Tidak memberi respon terhadap pemberian kalsium dan kalsitriol dan terjadi pada penyakit ginjal kronik tahap terminal.

Proses keganasan. Karsinoma medular kelenjar tiroid, menyebabkan kalsitonin meningkat sehingga ekskresi

pada pemberian fosfat berlebihan,

Tumor ganas. Sering terjadi pada karsinoma paru, buahdada, ginjal, ovarium dan keganasan hematologi. Faktor penyebab hiperkalsemia disebabkan oleh 1) faktor lokal pada tulang akibat metastasis yang bersifat osteoklastik dan 2) faktor humoral. Faktor humoral disebabkan oleh substansi yang beredar dalam darah dihasilkan oleh sel

penyakit ginjal kronik atau gagal ginjal akut, pemberian sitotoksik pada limfoma atau leukemia.

tumor dan bersifat osteoklastik. Substansi ini disebut juga sebagai'osleoclast-activating cytokines'.

kalsium urin meningkat. Hipoparatiroidisme akibat karsinoma payudara dan karsinoma prostat dengan anak sebar yang bersifat osteoblastik.

Iliperfosfatemia. Terjadi

185

GAI{GGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEtr(TROLIT

Intoksikasi vitamin-D. Batas antara normokalsemia dan hiperkalsemia akibat pemberian vitamin-D sempit, sehingga kadang kadang tidak disadari sudah terjadi hiperkalsemia. Hiperkalsemia dipermudah dengan pemberian vitamin-D bersama dengan diuretik tiazid.

Kelasi kalsium-ion. Kalsium-ion dapat dikelasi dengan mempergunakan Na-EDTA atau fosfat secara intravena. Penggunaan terbatas oleh karena efek toksik bahan kelasi ini.

Hemodialisis/dialisis-peritoneal. Dialisis efektif menurunkan kadar kalsium dengan memakai dialisat bebas

Intoksikasi vitamin-A. Pemberian vitamin-A berlebihan dapat menyebabkan hiperkalsemi. Pada percobaan binatang, pemberian vitamin-A berlebihan menyebabkan fraktur tulang dan peningkatan jumlah sel osteoklast serta ditemukan kalsifi kasi metastatik.

Sarkoidosis. Dapat terjadi hiperkalsemia karena adanya peningkatan absorbsi kalsium melalui usus dan pelepasan

kalsium dari tulang. Pada sarkoidosis dapat terjadi peningkatan produksi vitamin-D.

Hipertiroidisme. Terjadi akibat meningkatnya resorbsi tulang. Hormon tiroid dapat memperkuat kerja hormon paratiroid atau secara langsung hormon tiroid dapat

kalsium. Merupakan pilihan terakhir terutama untuk hiperkalsemia berat khususnya diserlai insufisiensi ginjal atau pada gagal jantung dimana pemberian cairan dibatasi.

GANGGUAN KESEIMBANGAN FOSFOR Terdapat dua bentuk fosfor di dalam badan kita yaitu fosfor

organik dan fosfor inorganik. Semua fosfor organik terdapat dalam fosfolipid yang terikat dengan protein. Fosfor inorganik, 90%o dapat dif,rltrasi oleh glomerulus (ultrafiltrable) dan sisanya terikat dengan protetn. 53%o dari fosfor ultraf,rltrabel berdisosiasi dalam bentuk H2PO4 dan HPO,,2 - dengan perbandingan

I '.4

dan sisanya dalam

Meningkatkan ekskresi kalsium melalui ginjal' Dilakukan dengan pemberian larutan NaCl isotonis. Pemberian cairan ini akan meningkatkan volume cairan

bentuk garam natrium, kalsium dan magnesium. Jumlah fosfortubuhtotal adalah 0,5-0,8 mg,kgBB, 85% disimpan dalam fulang; loh dalamcairan ekstraselular serta sisanya berada dalam sel (intraselular). Kadar fosfor dalam darah orang dewasa adalah2,5-4 mg/dl danpadaanak 2,5-6mgl dl. Terdapat hubungan yang terbalik antara kadar kalsium dan fosfor dalam darah. Hasil perkalian kedua kadar ini adalah tetap. Dalam keadaan akut, peningkatan kadar fosfor darah akan diikuti dengan penurunan kadar kalsium darah. Peningkatan akut kadar kalsium darah tidak segera diikuti penumnan fosfor darah sebelum ada perubahan fosfor dalam urin. Dalam keadaan alkalosis dan hiperventilasi terjadi penurunan kadar fosfor dan meningkat pada keadaan asidosis. Pemberian insulin dan epinefrin akan menurunkan kadar fosfor darah. Pemberian glukosa akan menurunkan kadar fosfor darah oleh karena masuknya

ekstraselular yang umumnya rendah akibat pengeluaran

fosfor ke dalam sel bersamaan dengan terjadinya

urin berlebihan disebabkan induksi oleh hiperkalsemia,

fosforilasi glukosa.

meresorbsi kalsium tulang.

Insufisiensi adrenal. Deplesi volume yang terjadi meningkatkan reabsorbsi kalsium pada tubulus ginjal. Absorbsi kalsium usus juga meningkat akibat kurangnya hormon glukokortkoid.

Sindrom'Milk-Nlkalil.

Pemberian antasid yang

mengandung kalsium karbonat dengan diserlai pemberian susu yang berlebihan pada pengobatan tukak lambung dapat menyebabkan hiperkalsemia.

Pengobatan Hiperkalsemia

muntah muntah akibat hiperkalsemia.

Absorbsi Fosfor di Usus menghambat maturasi osteoklas. Diberikan

Sekitar 50-65% fosfor dalam usus diabsorbsi secara aktif bergabung dengan natrium terutama di daerah yeyunum melalui kotransporterNa-P (NaPi2b) yang identik dengan

jam dengan dosis

NaPi2a di tubulus ginjal. Absorbsi bergantung pada

4IU,&gBB. Bifosfonat-menghambat aktivitas metabolik osteoklas dan juga bersifat sitotoksik terhadap osteoklas.

gradien natrium antara mukosa usus dan bagian basolateral sel usus oleh pompa NaKAIPase. Adanya fosfor dalam

Galium nitrat-menghambat resorpsi tulang oleh

absorbsi fosfor dihambat oleh asupan kalsium yang tinggi.

osteoklas dengan menghambat pompa proton 'ATPase dependent' pada membran osteoklas.

Absorbsi fosfor juga dihambat oleh antasid aluminium

Menghambat Resorbsi Tulang

.

Kalsitonin-menghambat resorpsi tulang dengan cara intramuskular atau subkutan setiap

. .

12

usus akan membantu absorbsi kalsium, akan tetapi

hidroksida. Vitamin-D3 menstimulasi absorbsi fosfor dalam

Mengurangi absorbsi kalsium dari usus. Glukokortikoid (prednison, 20 -40 mglhari) mengurangi produksi kalsitriol oleh paru dan kelenjar limfe yang diaktivasi produksinya

USUS.

oleh sel mononuklear. Kalsium serum dapat turun dalam 25 hari.

Ekskresi fosfor dipengaruhi oleh kadar fosfor inorganik

Ekskresi Fosfor Melalui Urin dalam plasma, Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan

186

KEGA}VATDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAXIT DALAM

kemampuan absorbsi maksimal dalam tubulus (Tm). Tm berbanding lurus dengan LFG. Makin tinggi kadar fosfor inorganik dalam darah, makin tinggi ekskresi melalui urin.

Fosfor yang difiltrasi,

60%o

kemudian meningkatkan glikolisis. Aktivitas ini

di reabsorbsi di tubulus

proksimal, 10%-25% di tubulus distal sedang sisanya 5o%20o/o terdapat dalam urin. Reabsorbsi fosfor di tubulus proksimal melalui kohanspor Na-Pi dengan bantuan energi dari pompa NaK-ATPase di basolateral, fosfor keluar dari sel bersama natrium sebesar 10%o dan tidak tergantung natrium sebesar 30o%. Ada tiga jenis kotranspor Na-Pi yaitu tipe I, II dan III. Kotranspor Na-Pi yang dominan dalam tubulus manusia adalah tipe II Q.{a-Pi2a). Hanya reabsorbsi di bagian luminal tubulus yang dipengaruhi oleh hormon paratiroid dan oleh regulator lain.

Keadaan yang Mempengaruhi Ekskresi Fosfor Hormon paratiroid, menghambat reabsorbsi fosfor di tubulus proksimal sehingga ekskresi dalam r.rin meningkat.

Hambatan ini melibatkan reseptor hormon paratiroid yang memediasi pembentukan cAMP intrasel, inositol trifosfat,

.

banyak menggunakan fo sfor. - Hungry Bone Syndrome. Terjadi setelah dilakukan paratiroidektomi atau tiroidektomi pada pasien dengan osteopeni. Pada keadaan ini akan terjadi deposisi kalsium dan fosfor pada tulang sehingga menimbulkan hipokalsemra. Absorbsi melalui usus berkurang - Asupan fosfor rendah

-

..

Menggunakan antasid yang mengandung

aluminium atau magneslum Diare kronik, steatorrea Ekskresi melalui urin meningkat

-

-

Hiperparatiroidisme primer atau sekunder Defisiensi vitamin-D atau resisten terhadap vitaminD Primaty renal phosphate wasting Sindrom Fanconi

diasilgliserol, kalsium-bebas sitosol dan aktifasi protein

TANDA DAN GEJALA YANG DITEMUKAN PADA

kinase A dan C. Vitamin-D3 merangsang reabsorbsi fosfor

HIPOFOSFATEMIA

inorganik di tubulus ginjal. Meningkatnya asupan fosfor

melalui makanan akan meningkatkan ekskresi fosfor sebaliknya diit rendah fosfor akan mengurangi ekskresi fosfor urin. Growth hormone, hormon tiroid, insulin dan insulin-like growth factor meningkatkan reabsorbsi fosfor (ekspresi NaPi-2a meningkat di tubulus). Peningkatan volume cairan ekstraselular yang akut dengan pemberi larutan NaCl isotonik meningkatkan ekskresi fosfor, sebaliknya hipovolemia akut akan mengurangi ekskresi fosfor. Diuretik yang menghambat reabsorbsi Na, Cl, HCO3 di tubulus proksimal memiliki sifat fosfaturik, akan tetapi sifat fosfaturik ini hilang sejalan dengan terjadinya hipovolemia.

Diuretik yang bersifat menghambat enzim karbonik anhidrase di tubulus proksimal, bersifat paling fosfaturik. Asidosis akan meningkatkan ekskresi fosfor urin dan sebaliknya pada alkalosis.

HIPOFOSFATEMIA Ada tiga hal yang dapat menyebabkan berkurangnya kadar fosfor dalam darah antara lain: . Redistribusi fosfor dari ekstrasel ke dalam sel. - Meningkatnya sekresi insulin khususnya pada realimentasi. Pemberian insulin atau glukosa pada orang dengan keadaan kekurangan fosfor misalnya ketoasidosi s diabetik, hiperglikemi non-ketotik, pada keadaan malnutrisi, pasien dengan realimentasi. - Alkalosis respiratorik:lakut. Pada keadaan ini, CO,

dari dalam sel akan keluar dari sel sehingga menstimulasi aktivitas fosfofruktokinase yang

Gej ala yang ditimbulkan akibat hipofosfatemia baru timbul pada saat kadar fosfor darah kurang dari 2 mg/dl dan gejala berat seperti rabdomiolisis baru timbul bila kadar fosfor kurang dari I mg/dl.

Hiperkalsiuri. Hipofosfatemi yang lama

akan menghambat

reabsorbsi kalsium dan magnesium dalam tubulus terhambat. Disamping itu terjadi resorbsi kalsium tulang yang dimediasi oleh peningkatan kalsitriol akibat induksi oleh hipofosfatenii.

Ensefalopati metabolik. Timbul gejala parestesi, berlanjut kearah gejala delirium, kejang dan koma. Gejala ini timbul akibat iskemi j aringan. Gejala gangguan otot skeletal dan otot polos. Hipofosfatenu dapat menimbulkan gejala miopati-proksimal, disfagia dan ileus. Pada keadaan akut dapat terjadi pelepasan fosfor dari otot dan menimbulkan rabdomiolisis.

Kerusakan fungsi sel darah merah. Pada keadaan hipofosfatemi terjadi pengurangan kadar ATP menyebabkan terjadi perubahan regiditas dan timbul hemolisis. Hemolisis terjadi bila kadar fosfor kurang dari

0,5 mg/dl. Kadar 2,3 difosfogliserat mengakibatkan kemampuan melepaskan oksigen ke jaringan berkurang dan menimbulkan iskemi j aringan Gangguan fungsi sel darah putih. Gangguan fungsi lekosit yaitu berkurangnya fagositosis dan kemotaksis granulosit akibat ATP intrasel berkurang.

Gangguan fungsi trombosit. Timbul gangguan retraksi bekuan dan trombositopenia sehingga menimbulkan perdarahan mukosa.

187

GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN DAN ELEKTROLIT

Pendekatan Diagnostik Hipofosfatemi Dapat dilakukan dengan mengukur ekskresi fosfor dalam trin24jam atau menghitung Ekskresi Fraksional Fosfor (EFF) dalam urin sewaktu.

EFF:

[Ufo

x Pcr x 100] :

[Pfo

x

Ucr)

Ekskresi Fosfor Rendah : Fosfor dalam urin 24 jam kurang dari 100 mg atau FFE kurang dari 5% (normal FFE 5% - 20%). Keadaan ini dapat disebabkan oleh: l).Redistribusi fosfor dari ekstrasel ke dalam sel. 2). Absorbsi melalui usus berkurang.

Ekskresi Fosfor Tinggi : 1). Hiperparatiroidisme primer atau sekunder, 2). Defisiensi vitamin-D atau resisten terhadap vitamin-D. 3). Primary renal phosphate wasting

dapat diberikan infus NaCl isotonis secara cepat yang akan meningkatkan ekskresi fosfor urin. Dapat |oga dilakukan dengan memberikan asetazolamida (inhibitor karbonik anhidrase) l5 mg/kgBB setiap 4 jam. Atau dapat juga dilakukan hemodialisis khususnya hiperfosfatemia pada gangguan fungsi ginjal. Pada hiperfosfatemia kronik, yang biasanya terjadi pada gagal ginjal kronik atau pada familial tumoral

kalsinosis, pengobatan ditujukan untuk menekan absorbsi melalui usus dengan memberikan pengikat fosfat seperti kalsium karbonat, kalsium asetat, sevelamer, Iantanum karbonat.

GANGGUAN KESEIMBANGAN MAGNESIUM

(defek pada tubulus), 4). Sindrom Fanconi.

Pengobatan Pengobatan terhadap hipokalsemia tidak diberikan bila

tidak ada indikasi yang kuat. Umumnya pengobatan ditujukan kepada faktor etiologi timbulnya hipofosfatemia.

Bila terdapat kekurangan vitamin-D, dapat diberikan vitamin-D sebanyak 400-800 IU per hari. Pemberian fosfor baru diberikan bila sudah timbul gejala atau pada keadaan gangguan tubulus sehingga terjadi pengeluaran fosfor berlebihan melalui urin secara kronik. Lebih disukai memberikan fosfor per oral karena pemberian secara intravena banyak menimbulkan efek samping seperti aritmia. Dosis per oral sebesar 2,5 gram-3,5 gram per hari. Bila terpaksa pemberian intravena, dibertkan tidak lebih dai' 2,5 mg/
pemberian dipiridamol 75 mg satu kali sehari dapat meningkatkan kadar fosfor darah.

HIPERFOSFATEMIA Ekskresi fosfor melalui urin sangat efisien, dengan sedikit saja kenaikan fosfor darah, ekskresi melalui urin akan meningkat. Hiperfosfatemi dis ebabkan oleh terutama diseb abkan oleh ketidakmampuan ginjal dalam ekskresi fosfor : . Jumlah fosfor yang meningkat tinggi dalam darah pada

sindrom lisis tumor, rabdomiolisis, asidosis laktat,

. . .

ketoasidosis, pemberian fosfor berlebihan. Gangguan fungsi ginjal, akut atau kronik. Reabsorbsi fosfor yang meningkat melalui tubulus pada

hipoparatiroid, akromegali, pemberian bifosfonat, familial tumoral calcinosis. Pseudohiperfosfatemi pada hiperglobulinemi (mieloma multipel), hiperlipidemia, hemolisis, hiperbilirubinemia.

Hipomagnesemia merupakan kelainan yang ditemukan sebesar l2o/o pada pasien rawat inap dan 60oh-65o/o dati jumlah tersebut terdapat di ruang rawat inap intensif (ICU). Ekskresi magnesium satu satunya terjadi sangat efisien melalui ginjal. Hipermagnesemia dapat terjadi apabila ada gangguan ekskresi atau pemberian yang

berlebihan. Berbeda dengan zat pelarut yang lain, magnesium yang difiltrasi oleh glomerulus sebagian besar di reabsorbsi sebesar 60-10% di Thick Ascending Limb

of Henle (TAL) bukan di tubulus proksimal. 15%-25% magnesium yang difiltrasi, di reabsorbsi secra pasif di tubulus proksimal dan S'/o-l\oh reabsorbsi di tubulus distal. 3% dari Magnesium yang difiltrasi akan dibuang dalamurin. Sepertiga dari magnesium dalam makanan akan diabsorbsi oleh usus halus secara pasif dan dalam bentuk

sistem transpor. Di dalam tubuh kita magnesium berpengaruh pada reaksi enzim di attaranya transfosforilasi, sintesis protein, metabolisme hidrat-arang, sintesis dan degradasi DNA, aktivasi AIP. Hanya sebagian kecil magnesium berada dalam cairan ekstrasel. 60oh berada di dalam tulang, 20%o betada di dalam otot. Kadar magnesium dalam serum berkisar antara I ,4-1 ,l 5 meqlL,20%o terrkat dengan protein.

Peningkatan atau penurunan kadar magnesium dalam darah berturutan akan meningkatkan atau menurunkan ekskresi magnesium melalui ginjal. Penambahan volume cairan ekstrasel yang akut dan kronik akan meningkatkan ekskresi magnesium melalui ginj al. Pemberian diuretik seperti manitol, asetazolamid, tiasid, furosemid dan asam etakrinik akan meningkatkan ekskresi magnesium dengan menghambat reabsorbsi di tubulus. Tidak ada hormon yang diketahui dapat mempengaruhi keseimbangan magnesium dalam tubuh

kita. Hiperkalsemia akan meningkatkan ekskresi magnesium dalam urin. Ekskresi magnesium mempunyai

Pengobatan

pola diurnal. Ekskresi paling rendah terjadi pada waktu sore dan paling tinggi pada waktu

Pada keadaan akut dengan disertai gejala hipokalsemia,

subuh.

188

KEGAWAiIDARURAIAN MEDIK DI BIDAIYG ILMU PEITYAKIT DALAM

HIPOMAGNESEMIA

[(0,7

Hipomagnesemia dapat terjadi oleh karena: 1). Gangguan absorbsi di dalam usus misalnya pada diare kronik maupun akut, malabsorbsi, steatorea, operasi pintas usus halus. Kelainan genetik seperti hipomagnesemia intestinal primer yang terjadi pada saat periode

neonatal menyebabkan gangguan absorbsi magne-

sium. Pankreatitis akut juga dapat menyebabkan hipomagnesemia melalui saponifikasi lemak yang nekrotik; 2). 'Ierbuang melalui ginjal antara lain pada penggunaan diuretik loop dattiazid, ekspansi volume cairan ekstrasel,

alkoholik, hiperkalsemia, nefrotoksin

seperti

aminoglikosida; sisplatin; siklosporin dll, disfungsi loop Henle atau tubulus distal seperti pasca nekrosis tubular akut; pasca cangkok ginjal; sindrom Bartter; sindrom Gitelman, Ekskresi berlebihan Ginjal Primer seperti pada Gitelman; mutasi Paracellin-1; mutasi NaKAIPase; 3). Terlihat juga pada pasca operasi, pasca pemberian foscarret, pada hungry bone syndrome.

Gejala KIinis

.

Gangguan neuromuskular seperti otot terasa lemas, fasikulasi otot, tremor, tetani, tanda Chvostek dan Trous-

seau

.

positif. Tetani dapat timbul tanpa disertai

hipokalsemia.

Hipokalemia terjadi karena pada hipomagnesemia, jumlah dan aktivitas ATP akan berkurang sehingga terjadi peningkatan saluran -kalilum (K-chann

. . .

el diloop

Henle dan di duktus koligentes. Akibatnya ekskresi kaliummeningkat. Hipokalsemia terjadi karena resisten terhadap hormon paratiroid akibat penurunan pembentukan siklik-AMP. Terjadi defisiensi vitamin-D yang sebabnya belum dapat dijelaskan.

Gangguan pada aktivitas

aritmia ventrikel.

Diagnosis Untuk membedakan apakah hipomagnesemia diakibatkan oleh gangguan renal atau non-renal dapat dilakukan

Mg urin 24 jam

atau

pengukuran ekskresi fraksional magnesium dalam urin. Bila magnesium urin 24 jam lebih dari 10-30 mg atau ekskresi fraksional lebih dari 2o/o,hal ini disebabkan oleh penggunaan diuretik, sisplatin atau aminoglikosida. Pada gangguan non-renal, ekskresi fraksional antara 0,5%o 2,1%o atau reralanya 7,4Yo. Pada pengeluran renal

berlebihan (renal wasting), ekskresi fraksional 15% (artara 4o/o-48%). Ekskresi fraksional : [UMg x Pcr x 100]:

x PMg) x Ucr]. Mg bebas

dalam plasma adalah},7

kadar Mg plasma.

Pengobatan Bila fungsi ginjal baik, kita tidak perlu takut memberikan magnesium agak berlebihan. Bila ada gangguan fungsi ginjal, pemberian harus berhati hati. Pemberian dapat dilakukan secara intravena atau intramuskular MgSO4. Pada pasien tetani atau aritmia ventrikel dapat diberikan 50 meq (600 mg) MgSO4 dalam 8-24 jam. Pemberian secara

infus intravena dilakukan pengenceran dengan larutan glukosa. Pemberian per oral pada hipomagnesemia kronik dengan MgO 250-500 mg empat kali sehari.

HIPERMAGNESEMIA Hipermagnesemia dapat terjadi pada keadaan gangguan fungsi ginjal. Pada pasien gagal ginjal terminal, kadar magnesium serum adalah2-3 meq/L(2,4-3,6 mgldl). Pemberian antasid yang mengandung magnesium pada pasien

gangguan fungsi ginjal dapat menimbulkan gejala hipermagnesemia. Pemberian magnesium berlebihan melebihi kemampuan ekskresi ginjal atau pemberian MgSO4 sebagai laksan dengan cara melalui oral maupun

suppositoria dapat menimbulkan hipermagnesemi. Pemberian laksan ini pada pasien gagal ginjal dapat bersifat

fatal.

Gejala . Kadar magnesium plasma sebesar 4,8-7,2 mg/dl, menimbulkan gejala nausea, flushing, sakit kepala,

.

listrik jantung berupa

pelebaran komplek-QRS; perpanjangan interval-PR; menghilangnya gelombang-! sehingga menimbulkan

dengan pengukuran kadar

x

.

letargi, nganfuk dan penuunan reflek tendon.

Kadar magnesium plasma sebesar 7,2-12 mgldl, menimbulkan gejala somnolen, hipokalsemi, reflek tendon hilang, hipotensi, bradikardia, perubahan EKG.

Kadarmagnesiumplasmasebesar lebihdari 12mgldl, menimbulkan gejala kelumpuhan otot, kelumpuhan pemapasan, blok jantung komplit, henti jantung.

Seluruh gejala ini ditimbulkan oleh karena gangguan neuromuskular, kardiovaskular dan efek magnesium sebagai penghambat saluran kalsium (calcium-channel

blocker) dan menurunkan sekresi hormon paratiroid yang berakibat hipokalsemia.

Pengobatan Langkah pertama adalah antisipasi akan terjadinya hipermagnesemia. Misalnya kehati-hatian pemberian magnesium padapasien gangguan fungsi ginjal. Bila timbul

gejala yang berat dapat diberikan 100 mg-200 mg elemental kalsium secara intravena selama 5-10 menit.

GANGGUAN KESEIMBANGAT{ CAIRAN

DAN'I

E'KTROI

189

IT

REFERENSI Halperin ML, Goldstein MB. Fluid, electrolyte, and acid-base

physiology. a problem-based approach. 3rd

ed.

WB.Saunders.1999.

Rose

B.D.

Symptoms

of hyponatremia and hypernatremia.

UpToDate, Version 13.2., 2005., CD-ROM. Rose B.D. Diagnosis of hypokalemia. UpToDate, Version 13.2., 2005., CD-ROM. Rose B.D. Causes of hyperkalemia. UpToDate, Version 13.2., 2005., CD-ROM. Schrier R.W. (ed). Renal and electrolyte disorders. 6th ed. Lippincolt

Williams & Wilkins. 2003. Siregar P., Roesma J., Suhardi D.A., Parsudi I. Gangguan elektrolit dalam klinik. Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid IL edisi ketiga. 2001. Suyono S., Waspadji S., Lesmana L et all (eds), halaman 307 -24.

S.A. Causes and treatment of hlpermagnesemia. UpToDate, Version 13.2., 2005., CD-ROM.

Zalman

26 GANGGUAN KESEIMBANGAN ASAM BASA METABOLIK Parlindungan Siregar

terus berlangsung dalam kehidupan manusia. Pengaturan kadar ion-H ini dimungkinkan dengan tiga cara yaitu 1) Penyangga kimiawi di dalam maupun di luar sel' 2) Pengaturan tekanan parsial CO, dengan cara pengaturan kecepatan ventilasi paru. 3) Pengaturan kadar bikarbonat

PENDAHULUAN

Ion-H merupakan salah satu komponen ion ion yang berada dalam cairan ekstrasel disamping ion-Na dan ionK. Dalam keadaan normal kadar ion-H adalah sebesar 40 nanomol/L, secara kasar senilai I per sejuta kadar ion-Na dan ion-K dalam milimol/L. Ikatan ion-H dengan protein

dalam plasma dengan cara pengaturan ekskresi ion-H melalui ginjal (net acid excretion) (Gambar 1). Menurut Bronsted, yang disebut dengan asam adalah zat penyumbang ion-H sedang basa adalah penerima ion-H' Penyangga di luar sel(Extracellular Buffer) sebagian besar dilakukan oleh ion-HCOr. Ion-HCO, bermula dari hidrasi CO, yanB larut dalam cairan ekstra selular

yang bermuatan negatif sangat kuat dan lebih kuat dibandingkan dengan ikatan ion-Na dan ion-K dengan protein. Meningkat atau berkurangnya ikatan ion-H dengan protein akan merubah muatan protein, bentuk molekul protein yang akhirrrya menimbulkan kerusakan jaringan akibat perubahan fungsi protein. Konsekuensi dari hal ini tubuh harus menjaga kadar ion-H tetap dalam

membentuk asam karbonat (HrCO3). H2CO3 kemudian berdisosiasi menjadi ion-H dan ion-HCO3. Kadar H2CO3 sangat rendah dibanding COr-terlarut (1:3a0) dan ion-

batas normal walaupun pembenfukan asam maupun basa

Keseim bangan asam -basa

Penyangaan kimiawi

E

kstra se lu la r

lntraselular

Ginjal

Eksresi Co,

Sekresi H'

H- + H PO,'

NET ACID EXCRETION

;ifu--;l Reab srop si HCO3-

Gambar

1.

Keseimbangan asam basa dan pengaturan ion-H

190

L9t

GAI\GGUAN KESEIMBANGAI\ ASAM BASA METABOLIK

HCO3 (l:6800) sehingga reaksi di atas dapat disederhanakan menjadi CO2 + H2O e H* + HCO3-. Reaksi ke kiri dan ke kanan sama kuatnya sehingga bila ion-H

Kadar H2CO3 sangat kecil dibanding dengan kadar CO2 ataupun ion-HCO3, sehingga reaksi di atas dapat diperlakukan seperti di bawah ini:

berlebihan pada keadaan asidosis metabolik, ion-H akan disangga oleh penyangga ion-HCO, membentuk H2CO3.

COr-terlarut + H2O
untuk mengatur tekanan parsial COr. Peningkatan ion-H dalam plasma akan meningkatkan sekresi ion-H dalam tubulus ginjal. Ion-H di dalam tubulus akan berikatan

dengan bikarbonat yang di filtrasi oleh glomerulus sehingga terdisosiasi menjadi HrO dan CO, dengan bantuan enzim karbonik anhidrase dalam lumen tubulus proksimal. Secara pasif CO, dan HrO akan di reabsorbsi masuk ke dalam sel tubulus proksimal yang kemudian bereaksi dengan H2O membentuk ion-HCOr. Ion-HCO, ini kemudian akan masuk ke dalam sirkulasi darah oleh kotranspor Na-3HCO, pada membran basolateral. Pada keadaan alkalosis metabolik, ion-HCO, berlebih menyebabkan kadar ion-H berkurang, reaksi akan bergeser ke kanan dan terj adi hipoventilasi untuk mempertahankan tekanan parsial COr. Akibat penurunan kadar ion-H, sekresi

ion-H di tubulus berkurang, sehingga reabsorbsi bikarbonat menurun. Bikarbonat kemudian di ekskresi dalam bentuk Na-bikarbonat.

Penyangga di dalam sel (intracellular buffer) dan penyanggaan oleh tulang (bone buffer) sebagian besar

dilakukan oleh protein, fosfat organik dan inorganik, hemoglobin dalam sel darah merah serta oleh disolusi mineral tulang berupa pelepasan CaCO, dan CaHPOo ke ekstrasel. Pada keadaan asidosis metabolik, penyanggaan terjadi sebanyak 43% di luar sel dar. 5l%o terjadi di dalam sel. Pada keadaan asidosis respiratori, penyanggaan terjadi sebanyak hanya3%o di luar sel dan sebagian besar (97%o)

HCO3-

Menurut hukum 'Law-Mass Action', reaksi ke kanan

Disamping itu, keberadaan ion-H yang berlebih menyebabkan reaksi bergeser ke arah CO, + HrO. Akibaflrya CO, akan berlebih sehingga terjadi hiperventilasi pada paru

+

sama kuatnya dengan reaksi ke

kiri sehingga:

kl . (COr-terlarut) (H,O) : k2 .(H.) (HCO3, Ka = (H+)(HCO3-)/ (CO2-terlaruQ(H2O) Oleh karena Ka dan HrO adalah sesuatu yang konstan maka reaksi berubah menjadi:

K'a = (H.)(HCO3-)/(COr-terlarut) Dalam plasma pada suhu 37 derajat celcius, K'a adalah sebesar 800 nmol/L sehingga:

(H+)

:

800

(H+)

:

x (CO2-terlarut)/(HCO3-) 24 x (PCO,) /(HCO3-)

Dalam rumus Henderson-Hasselbalch dinyatakan sebagai berikut:

pH

:

6,10

+ log (HCO3-) /

0,03

PCq

Konversi antara besaran pH dengan kadar ion-H dapat dilakukan sebagai berikut:

. . .

pH7

pH7,l0 pH7,20

. pH6,9

: 100 nmol/L : : kadar ion-H 100 x 0,8 nmol/L : kadar ion-H : 100 x 0,8 x 0,8 : kadar ion-H

: kadarion-H:100x 1,25

Berdasarkan rumus perhitungan di atas, maka perubahan menjadi asidemi atau alkalemi adalah dipengaruhi olehrasio antara PCO2 dan ion-HCO3. Bila

terjadi di dalam sel.

rasio meningkat maka kadar ion-H naik (asidemi) dan bila rasio menurun maka kadar ion-H akan tuirrn (alkalemi). Proses yang menyebabkan terjadinya perubahan rasio tersebut disebut sebagai asidosis atau alkalosis.

RUMUS HENDERSON.HASSELBALCH

ASIDOSIS METABOLIK

Sistem penyanggaan di dalam tubuh manusia terutama dilakukan oleh asam lemah yang dapat berdisosiasi sehingga memiliki kemampuan untuk menangkap atau

Asidosis metabolik ditandai dengan turunnya kadar ionHCO3 diikuti dengan penurunan tekanan parsiil CO2 di dalam arteri. Kadar ion-HCO3 normal adalah sebesar 24 meq/L dan kadar normal PCO2 adalah 40 mmHg dengan kadar ion-H sebesar 40 nanomol/L. Penurunan kadar ion-HCO3 sebesar 1 meq/L akan diikuti olehpenurunanPCO2 sebesar 1,2 mmHg. Penyebab asidosis metabolik dapat dibagi dalam tiga kelompok yaitu: I. Pembentukan asam yang berlebihan di dalam tubuh. II. Berkurangnya kadar ion-HCO3 di dalam tubuh. Itr. Adanya retensi ion-H di dalam tubuh.

melepaskan ion-H. Asam karbonat merupakan asam lemah

yang terutama dalam sistem penyanggan dalam tubuh manusia. Asam karbonat merupakanbentukan dari hidrasi COr. Tekanan parsil CO, dalam darah arteri adalah sama

dengan tekanan CO, dalam udara aieveol. Sebagian dari CO, ini yaitu sebanyak 0,03 x PCO, melarut dalam cairan plasma. Tekanan parsil CO, dalam arteri adalah 40 mm Hg, sehingga CO, yang terlarut adalah sebanyak 0,03 x 40 : 1,2 mmoUl. Hidrasi CO2terlarut menghasil asam karbonat.

COr- terlarut + H2O

e

H2CO3

e II* +

HCO3-

Kompensasi paru dengan cara hiperventilasi yang menyebabkan penurunan tekanan parsiil CO2, dapat

192

KEGAWAfi)ARUR/IffAN MEDIK DI BIDAIIG ILMU PEhIYAKIT DALAM

bersifat lengkap, sebagian atau berlebihan. Berdasarkan kompensasi ini, asidosis metabolik dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu : Asidosis metabolik sederhana (simpel), di mana pemrnman kadar ion-HCO, sebesar 1 meq/L diikuti penumnan PCO,

-

c)

I

Tubulus proksimal

sebesar 7,2mmHg.

Asidosis metabolik bercampur dengan asidosis respirasi, dimana penurunan kadar ion-HCO, sebesar I meq/L diikuti penurunan PCO, sebesarkurang dari 1,2 mmHg.

Asidosis metabolik bercampur dengan alkalosis Respirasi, dimana penurunan kadar ion-HCO3 sebesar I

;

\a

I

=

HCO, +

H-

+3 l-

=

?

+'

L

g

H,CO3

cA

I

+

meq/L diikuti penurunan PCO, sebesar lebih dari 1,2 mmHg.

C

l,lembran basolateral

Peran Ginjal Dalam keadaan asidosis metabolik, kompensasi tubuh melalui ginjal adalah meningkatkan sekresi dan ekskresi ion-H (asidifrkasi urin, pH urin turun) sebanyak 50-100

-

2K'

2.

Gambar

0,+

11

,6

lvlembran

luminal

Reabsorpsi ion-HCO, di tubulus proksimal

meq/hari serta reabsorbsi ion-HCO, yang terdapat dalam cairan fi ltrat glomerulus.

Sekresi ion-H terjadi di tubulus proksimal (sampai dengan bagian tebal/asending loop dari Henle) dan di sel

interkalated duktus koligentes. Sekresi ion-H di tubulus proksimal terjadi melalui penukar (antiporter) Na-H dan pompa H-AIPase pada bagian apikal (lumen) sel tubulus. Sebanyak dua pertiga sekresi ion-H di tubulus proksimal adalah melalui penukar Na-H sedang sisanya melalui

pompa H-ATPase. Ion-H yang disekresi

di tubulus

proksimal akan bergabung dengan ion-HCO, yang dihltrasi glomerulus membentuk H2CO3, kemudian terdisosiasi menjadi HrO dan CO2 dengan bantuan enzim karbonik anhidrase dalam lumen tubulus proksimal. Secara pasif CO, dan HrO akan di reabsorbsi masuk ke dalam sel tubulus

proksimal yang kemudian bereaksi dengan H2O membentuk ion-HCOr. Ion-HCO, ini kemudian akan masuk ke dalam sirkulasi darah oleh kotransporNa-3HCO, pada membran basolateral (perivaskular) (Gambar 2). Sebagian besar (90% dari yang difiltrasi) ion-HCO, direabsorbsi di tubulus poroksimal dan sisa l0% dibagian tebal loop dari

Henle melalui penukar Na-H dan di duktus koligentes

Tubulus proksimal

6

2K'

-3

H'-

t

=

Difiltrasi Disekresi

H,O

L

HPO,'+

I

l-1'

-

I

t I

O,+OH

H,P O.'

em bran

Membran

basolatera

luminal

M

Gambar 3. Sekresi ion-H di tubulus proksimal dan proses penyanggaan ion-H oleh HPO,z

lemah ini. Ion-NH4 dalam keadaan nornal dibentuk di tubulus proksimal melalui metabolisme glutamin menjadi

bagian medula-luar.

ion-NHo dan alfa-ketoglutarat (Gambar 4). Ion-NH,

Di tubulus distal khususnya pada duktus koligentes, asidifikasi urin terjadi dengan disekresinya ion-H oleh

kemudian disekresi ke dalam lumen melalui penukar-Na-H. Ion-NH, ini kemudian di reabsotbsi kembali di bagian tebal loop dari Henle oleh penukar Na-K-2C1. Ion-NH4 yang di reabsorbsi ini kemudian masuk dalam sel intersisium. Di jaringan intersisium, NHo kemudian terdisosiasi menjadi NH, sehingga kadar NH, dalam intersisium meningkat. NH, kemudian dapat berdifusi masuk ke dalam lumen tubulus coligentes di bagian medula dalam oleh karena pH urin di bagian ini memiliki pH yang rendah. NH3 di lumen duktus koligentes ini kemudian bergabung dengan ion-H yang disekresi oleh pompa H-AIPase dan pompa H-K-ATPase

pompa H-ATPase dan pompa H-K-ATPase pada bagian apikal. Pompa H-K-AIPase berfungsi sebagai sekresi ion-

H dan reabsorbsi ion-K dimana fungsi utama adalah mencegah hilangnya kalium pada keadaan hipokalemia. Ada beberapa asam lemah yang difiltrasi oleh glomerulus antara lain yang bertindak sebagai penyangga ion-H dalam lumen tubulus. Asam lemah yang menonjol sebagai penyangga tersebut adalah adalah HPO, (2-) (Gambar 3). Proses penyanggaan ini disebut sebagai

'titratable-acidity'. Dalam keadaan normal, sebanyak l0

-

40 meq/hari ion-H dalam lumen tubulus disangga oleh asam

membentuk NH4 yang kemudian diekskresi mealui urin (Gambar5).

193

GANGGUAN KESEIMBANGAN ASAM BASIA METABOLIK

basolateral sel tubulus proksimal awal sehingga terjadi peningkatan sekresi ion-H dan reabsorbsi ion-HCO3.

Aldosteron. Aldosteron mempengamhi sekresi ion-H melalui aktifasi pompa H-ATPase di duktus koligentes

Tubulus proksimal

_E

2K

o =

o '= o

bagian kortek ginjal pada sel interkalated dan pada medula bagian luar . Aldosteron juga mempengaruhi secara tidak langsung sekresi ion-H oleh sel prinsipal pada duktus koligentes di kortek ginjal melalui efek reabsorbsi ion-Na. Reabsorbsi

ion-Na mengakibatkan muatan negatif di dalam Lumen

L

befiambah sehingga mempermudah sekresi ion-H ke dalam

3d

lumen.

6 Y

Hormon paratiroid. Hormon paratiroid menghambat penukar Na-H di bagian apikal sel tubulus proksimal serta koteransporter Na-3HCO, di bagian basolateral. Akibahrya sekresi ion-H dan reabsorbsi ion-HCO3 terhambat. Gambar

4.

Pembentukan ion-NH, di tubulus proksimal

Anion-gap Dalam Plasma Untuk mengetahui etiologi dari tiap tiap kelompok penyebab asidosis metabolik tersebut perlu diketahui

besarnya anion-gap (senjang anion). Dalam keadaan normal, jumlah anion dan jumlah kation di dalarn tubuh adalah sama besar. Ada anion dan kation yang dapat

NH. H-

ATP _q

H-

-3

I

= L

HrO

cr'

eo

t I

3HC03+

Y

-

CO,+OH

CA

asola

te ra

anion lain dan kation lain disebut sebagai anion-gap. Besarnya anion gap, Na - (HCO, + Cl), dalam keadaan

normal sebesar 12 + 3 meq. Pada kelompok pembentukan asam organik yang berlebihan sebagai penyebab asidosis metabolik, besar

anion-gap akan meningkat oleh karena adanya penambahan anion lain yang berasal dari asam organik

anlara lain asam hidroksi butirat pada ketoasidosis diabetik, asam laktat pada asidosis laktat, asam salisilat

l\ilembran b

dihitung (C1, HCO3 danNa) dan ada anion dan kation yang tak dapat dihitung (anion atau kation lain darizat organik). Selisih antara Na dengan HCO, dan Cl atau selisih dari

pada intoksikasi salisilat atau asam organik akibat

I

Gambar 5. Difusi NH. pada duktus koligentes dan penggabungan

intoksikasi etanol.

ion-H dengan NH. di dalam lumen tubulus.

Pada kelompok berkurangnya kadar ion-HCO3 sebagai penyebab asidosis metabolik, besar anion-gap tetap dalam batas normal dengan peningkatan kadar ion-Cl. Misalnya pada keadaan diare atau Renal TubularAsidosis proksimal

Jumlah ion-H yang diekskresi melalui ginjal (net acid excretion) adalah merupakan penjumlahan dari titratableacid dengan ion-NH4 dan dikurangi dengan jumlah ionHCO3 yang terdapat dalamurin. Jadi dapat diformulasikan sebagai berikut

M

:

Net acid excretion

(RTA-2), pemakaian obat inhibitor enzim karbonik anhidrase atau pada Penyakit Ginjal Kronik Stadium III -

:

Titratable acid + NH4* - HCO3-

Ion-H dalam bentuk bebas sangat sedikit di dalam urin final yaitu kurang dari 0,04 meq/L.

Asidosis metabolik dengan anion-gap yang normal selalu disertai dengan peningkatan ion-Cl dalam plasma

sehingga disebut juga sebagai asidosis metabolik hiperkloremik.

Pada kelompok retensi ion-H sebagai penyebab

Peran Hormon Dalam Sekresi lon-H Angiotensin-Il. Angiotensin-Il dapat mengaktifasi penukar Na-H pada apikal dan kotransporter Na-3HCO, pada bagian

asidosis metabolik, besar anion-gap meningkat, misalnya pada penyakit ginjal kronik stadium IV - Y dan besar anion-gap normal misalnya pada renal tubular asidosis

(RTA-I atauMA-4).

t94

KEGAWATDARURIIiTAN MEDIK DI BIDANG ILMU PEIYYAKIT DALAM

Anion-gap Dalam Urin Pada keadaan asidosis metabolik dengan anion-gap normal (hiperkloremik), ion-Cl yang berlebih akan di sekresikan oleh sel interkalated duktus koligentes bersama dengan sekresi ion-H (ion-Cl melalui saluran-Cl dan ion-H

melalui pompa H-ATPase). Ekskresi ion-Cl dilakukan bersama dengan ion-NH3 dalam bentuk NH4CI. Ion-NH4 dibentuk dari ikatan antara ion-NH3 dalam tubulus dengan

ion-H yang disekresikan oleh sel nefron distal (duktus koligentes). Terganggu atau normalnya ekskresi ion-NH3 dalam bentuk NH4CI dapat dinilai dengan menghitung anion-gap di dalam urin. Anion-gap dalam urin dihitung dengan rumus :

(Na-urin + K-urin) - Cl-urin Bila hasilnya positif, terdapat gangguan ekskresi ion-

NH3 sehingga NH4CI tidak terbentuk akibat adanya gangguan sekresi ion-H di nefron distal (tidak dapat berikatan dengan ion-NH3) misalnya pada RTA-1 dan

Langkah pertama adalah menetapkan berat ringannya gangguan asidosis. Gangguan disebut letal bila pH darah kurang dari 7 atau kadar ion-H lebih dari 100 nmol/L. Gangguan yang perlu mendapat perhatian bila pH darahT,l -7,3 atatkadar ion-H antara 50 80nmol4l..

Langkah kedua adalah menetapkan anion-gap atau bila perlu anion-gap urin untuk mengetahui dugaan etiologi asidosis metabolik. Dengan bantuan tanda klinik lain, kita dengan mudah menetapkan etiologi.

Langkah ketiga, bila kita mencurigai adanya kemungkinan asidosis laktat, hitung rasio delta anion gap dengan delta HCO3 (delta anion gap: anion gap pada saat pasien diperiksa dikurangi dengan median anion gap normal; Delta HCO,: kadar HCO, normal dikurangi dengan kadar HCO, pada saat pasien diperiksa). Bila rasio lebih dari l, asidosis disebabkan oleh asidosis laktat atau lebih tepat 1,6. Langkah

ketiga adalah menetapkan sampai sejauh mana koreksi

RTA4.

Hasil yang negatif, menunjukkan keadaan asidosis metabolik anion-gap normal dimana ekskresi ion-Cl dalam bentuk NH4CI sebanding dengan sekresi ion-H di nefron distal yang terjadi akibat adanya asidosis metabolik,

dapat dilakukan.

.

-

22 meqlL. Pertimbangan yang dilakukan adalah mencegah terjadinya hiperkalemi, mengurangi

misalnya pada keadaan diare.

Penghitungan anion-gap dalam urin tak dapat

kemungkinan malnutrisi, mengurangi percepatan

diaplikasikan bila terjadi deplesi volume sehingga ekskresi

Na-urin menjadi rendah atau bila terjadi peningkatan ekskresi anion tak dapat dihitung seperti B-hidroksi butirat pada ketoasidosis-DM sehingga jumlah Na dan K yang diekskresi dalam urin bertambah.

Tampilan Klinik Asidosis Metabolik pHlebihdariT,l:

l. 2.

Rasa lelah (fatique) Sesak nafas (Kussmaull)

3. Nyeri perut 4. Nyeri tulang 5. Mualimuntah pH kurang dari atau sama dengan 7,1

Pada penurunan fungsi ginjal, koreksi dapat dilakukan secara penuh hingga mencapai kadar ion-HCO3 20

.

.

gangguan tulang (renal osteodistrofi). Pada keto-asidosis diabetik, atau pada asidosis-laktat tipe A, koreksi dilakukan bila kadar ion-HCO, dalam darah sebesar kurang dari atau sama dengan 5 meq/L atau bila terjadi hiperkalemi berat atau setelah koreksi insulin pada DM dan koreksi oksigen pada asidosis

laktat, asidosis belum terkendali. Koreksi dilakukan sampai kadar ion-HCO, sebesar l0 meq/L. Pada asidosis metabolik bercampur dengan asidosis respiratori, tidak dalam ventilator, koreksi harus dilakukan secara hati hati atas pertimbangan depresi pernapasan.

Koreksi dilakukan dengan pemberian larutan Na:

1. GejalapadapH>7.1 2. Efek inotropik negatip, aritmia 3. Konstriksi vena perifer 4. Dilatasi arteri perifer (penurunan resistensi perifer) 5. Penurunan tekanan darah 6. Aliran darah ke hati menurun 7. Konstriksi pembuluh darah paru (pertukaran O, terganggu)

Bikarbonat, setelah diketahui kebutuhan bikarbonat pada pasien. Kebutuhan bikarbonat adalah berapa banyak bikarbonat yang akan kita berikan untuk mencapai kadar bikarbonat darah yang kita tuju. Untuk ini kita harus mengetahui 'bicarbonate-space' atau ruang-bikarbonat (Ru-bikar) pasien pada kadar bikarbonat tertentu dari pasien. Ruang-bikarbonat adalah besarnya kapasitas penyanggaan total tubuh, termasuk bikarbonat ekstraselular, protein intraselular dan bikarbonat

tulang.

Koreksi Asidosis Metabolik Indikasi koreksi asidosis metabolik perlu diketahui dengan baik agar koreksi dapat dilakukan dengan tepat talpa menimbulkan hal hal yang membahayakan pasien.

Rumus untuk menghitung ruang-bikarbonat pada kadar

bikarbonat plasma tertentu adalah sebagai berikut

Ru-bikar = {0,4+ (2,6: [HCO3])]

x

:

BB (kg)

195

GAT{GGUAN KESEIMBANGAN ASIAM BASA METABOLIK

I.

Contoh: Ru-bikar pada kadar bikarbonat plasma 20 meq/L adalah : {0,4+ (2,6: 20)} x BB atau 0,53 BB atau 53% BB (lihat

sel.

II.

Terbuangnya cairan bebas-bikarbonat dari dalam tubuh (contraction alkalosis). III. Pemberian bikarbonat berlebihan.

Tabet 1)

%BB HCO3

HCO3

%

BB

HCO3

Ru-bikar meq/L Ru-bikar meq/L

meq/L

I 2 3 4 592 683 777 872

300 170

9 10

127

11

105

12 13 14 15 ID

17 18 19 20 21 22 23 24

69 66 64 62 60 58 57 56

%BB Ru-bikar 55 54

54 53 52 52 51 51

Ruang-bikarbonat (Ru-bikar) pada keadaan bikarbonat plasma tertentu. Bila kita menginginkan menaikkan kadar bikarbonat plasma dari I 0 meqil menj adi 20 meqlL, maka bikarbonat yang kita butuhkan adalah sebagai berikut :

Ru-bikar pada keadaan l0 meq/L : ata,u

Terbuangnya ion-H melalui saluran cerna atau melalui ginjal dan berpindahnya (shift) ion-H masuk ke dalam

{0,4 + (2,6 : I 0) x BB

660/oBB

Ru-bikar padakeadaan2} mef,L

:

{0,4 + (2,6 :20) x BB

Dalam keadaan normal, sekresi ion-H oleh gaster akan

merangsang ekskresi bikarbonat oleh pankreas dan penyanggaan ini berlangsung adekuat (tidak terjadi gangguan keseimbangan asam-basa).

Terbuangnya ion-H akibat muntah muntah maupun pemakaian sonde naso-gastrik yang terbuka, ionbikarbonat tidak diekskresi oleh pankreas karena hilangnya stimulus oleh ion-H di duodenum. Akibatnya hilangnya ion-H yang tidak diimbangi oleh berkurangnya bikarbonat akan menimbulkan alkalosis. Sekresi ion-H melalui ginjal, akan meningkat pada keadaan keadaan hiperaldosteronisme primer, penggunaan

diuretik loop dan tiazid, pasca hiperkapni, hiperkalsemi. Penggunaan diuretik loop dan tiazid akan meningkatkan

kadar aldosteron, sekunder dari pengurangan volume plasma. Deplesi volume plasma akan merangsang sistem renin-aldosteron- angiotensin. Semua keadaan keadaan ini

akan merangsang peningkatan sekresi ion-H dan reabsorbsi bikarbonat dalam tubulus (Gambar 6).

atau 53YoBB

Ru-bikar adalah attara 53% - 66% berat badan, j adirerata Ru-bikar adal ah 59,5

J-\

Yo.

Bila berat badan 60 kg, maka bikarbonat yang dibutuhkan adalah; {(0,66 + 0,53) : Rerata

Ru-bikar

2}

x

x 60 x

Berat Badan

Aldosteron

Volume sirkulasi efektifturun

(20

x

-

10)}

=

Renin

dilepas

di

duki

1

I I

Ang ll Meningkal

CIJ

K1

pH,l

kol

lon K keluar d ari sel

I I

Stimulasi

357 meq.

Na H-ATPase

dan ClHC0rexchanger

Delta Bikarbonat Plasma

357 meq bikarbonat kita berikan secara intra-vena selama 1 sampai

8

jam, tergantung berat ringannya asidosis

yang terjadi (letal atau tidak letal).

ALKALOSIS METABOLIK Alkalosis metabolik merupakan suatu proses terjadinya peningkatan primer bikarbonat dalam arteri. Akibat peningkatan ini, rasio PCO, dan kadar HCO, dalam arteri

berubah. Usaha tubuh untuk memperbaiki rasio ini dilakukan oleh paru dengan menurunkan ventilasi (hipoventilasi) sehingga PCO, meningkat dalam arteri. Pada alkalosis metabolik yang simpel, kenaikan kadar HCO3 I meqlL akan menyebabkan kenaikan PCO, sebesar 0,7 mmHg. Penyebab alkalosis metabolik dapat disebabkan oleh:

e

ks.io

n

-H

.t Reabsorbs HC0

Sekresi ion-H melalui tubulus juga meningkat pada keadaan asidosis dalam sel akibat masuknya ion-H ke dalam sel. Keadaan hipokalemi akan merangsang keluamya

kalium dalam sel masukke dalamplasma. Untukmenjaga keadaan keseimbangan elektirk, ion-H masuk ke dalam sel

sehingga terjadi asidosis intrasel. Asidosis intrasel merangsang sekresi ion-H meningkat ke lumen tubulus

dan mengakibatkan peningkatan reabsorbsi ionbikarbonat. Terbuangnya cairan bebas-bikarbonat dalam jumlah besar misalnya pada pemberian diuretik loop dalam dosis

196

KEGA}V/ITTDARURIIXAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

yang tinggi, akan meningkatkan kadar bikarbonat per liter plasma akibat volume plasma yang berkurang. Pemberian bikarbonat tanpa kendali pada keadaan ketoasidosis diabetik atau asidosis laktat dapat mengakibatkan alkalosis metabolik. Pemberian insulin pada keto-asidosis diabetik atau perbaikan oxigenisasi jaringan pada asidosis laktat akan dengan cepat meningkatkan kadar bikarbonat plasma.

Alkalosis metabolik juga ditemukan pada Sindrom

terhambat. Bila dengan antagonis enzim karbonik anhidrase tak berhasil, dapat diberikan HCI dalam larutan isotonis (150 meq/L) selama 8 - 24 jam. Kebutuhan HCI dapat dihitung dengan mengetahui jumlah distribusi bikarbonat pada keadaan alkalosis tersebut sbb: Kelebihan bikarbonat: 0,5 xBeratBadanx (HCO3 plasma-24)

Bartter dan Sindrom Gitelman suatu keadaan terjadinya

mutasi genetik pada transporter Na-K-Cl di bagian asending loop-Henle (Bartter) dan di tubulus distal

REFERENSI

(Gitelman). Keadaan ini mirip dengan alkalosis metabolik akibat diuretik loop atau tiazid.

Batlle DC. Segmental characterization of defects in collecting

Pengobatan

l.

Pada keadaan alkalosis

metabolik, disebut letal bila pH

darahlebihdari 7,7.

2. 3.

Bila ada deplesi volume cairan tubuh, normalkan kembali volume plasma dengan pemberian NaCl isotonis Bila penyebabnya hipokalemi, koreksi kalium dalam plasma.

4. Bila penyebabnya 5. 6.

hipokloremi, koreksi chlorida dengan pemberian NaCl isotonis. Bila etiologinya adaTah pemberian bikarbonat berlebihan, stop pemberian bikarbonat. Dalam keadaan fungsi ginjal tuiun atau pada keadaan edema akibat gagaljantung, cor-pulmonale atau sirosis hati, koreksi dengan NaCl isotonis tidak dapat dilakukan karena ditakutkan terjadi retensi Na dan kelebihan cafuan (edema bertambah). Dapat diberikan antagonis enzim

karbonik anhidrase, sehingga reabsorbsi bikarbonat

tubule acidification. Kidney Int 1986, 30(4):546-54. Garg LC, Narang N. Effects of aldosterone on NEM-sensitive ATPase in rabbit nepkon segments. Kidney Int 1988, 34(l):13-7. Geibel J, Giebisch G, Boron WF. Angiotensin II stimulates both Na(+)-H+ exchange and Na+/HCO3- cotransport in the rabbit proximal tubu1e. Proc Natl Acad Sci U S A 1990, 87(20):791720. Halperin ML, Goldstein

MB. Fluid, Electrolyte, and Acid-Base Physiology (A problem-based approach). Third Edition, 1999, W.B.Saunders Company, Philadelphia, p 50-51. Palmer BF, Alpem RJ. Metabolic alkalosis. J Am Soc Nephrol. 1997, 8(9):1462-9. Rose BD, Post TW. Acids and Bases. UpToDate 13.1,2005, CDRom. Rose BD, Post TW. Buffers UpToDate 13.1, 2005, CD-Rom. Ruiz OS, Qiu Y! Wang LJ, Arruda JA. Regulation of the renal Na-HCO3 cotransporter: Y mechanism of the inhibitory effect of parathyroid hormone. Kidney Int 1996, 49(2):396-402.

Sasaki S, Marumo F. Mechanisms of inhibition of proximal acidification by PTH. Am J Physiol 1991,260(6 Pt 2): F8338

26 REHIDRASI Rizka

Hu

ma rdewaya

nti Asdie, Don i Pria mbodo Witja ksono, Soeba gjo Loehoeri

PENDAHULUAN

tersering yang menyebabkan dehidrasi, khususnya di

Rehidrasi adalah usaha mengembalikan ke keaadan hidrasi

negara-negara yang sedang berkembang seperti di Asia khususnya di Asia Selatan dan Asia Tenggara, Amerika

Selatan dan Afrika. Walaupun usaha WHO untuk

yang normal dari keadaan dehidrasi. Dehidrasi dalam pengertian klinis adalah tubuh kekurangan air beserta elektrolit-elektrolitnya. Tujuan utama rehidrasi ini adalah

misalnya pada pasien asidosis diabetik harus diberikan insulin segera setelah pemberian glukosa dan kalium, pada insufisiensi adrenokortikal harus diberikan kortison atau hidrokortison lain (alfa fluorohidrokortison). Bila keadaan hidrasi ini sudah tercapai, barulah diteruskan dengan

mengantisipasi keadaan tersebut sampai saat irti telah menunjukkan perbaikan dari tahun ke tahun, tetapi di negara yang masih berkembang diare masih merupakan penyebab utama terjadinya dehidrasi. Di Indonesia sendiri diare masih merupakan penyakit urutan ke enam dari sepuluh besar pola penyakit yatg ada. Angka kesakitan diare (IR) dari tahun 1986 sampai 1991 berkisar 19,46 27,22 per seribu pasien, sedang angka kematian (CFR) berkisar 0,02 - 0,034 per seribu pasien. Pada survei yang dilakukan di Amerika serikat oleh FoodNet dari tahun 1 998 sampai 1999 dilaporkankan diare akut selama 4 minggu 6%o detganrata-rata 0,72 episode per orang dewasa per tahun, untuk anak-anak dengan 1,1 episode per tahun dan untuk geriatri usia diatas 65 tahun 0,32 episode per tahun. Pada penelitian tahun 2000 yang dilakukan di Amerika Serikat angka perkiraan penyakit hati dan gastrointestinal berkisar 135 juta kasus pertahun yang disebabkan oleh nonfoodborne dan76 juta kasus yang disebabkan oleh

menjaga keadaan hidrasi normal dengan tetesan

foodborne.

pengembalian cairanbadan ke volume normal, osmolaritas yang efektif dan komposisi yang tepat untuk keseimbangan

asam basa. Jumlah dan jenis cairan yang diberikan tergantung pada analisis keadaan dehidrasinya. Analisis harus dilakukan setiap saat untuk mengevaluasi keadaan pasien. Seperti halnya penatalaksanaan keadaan klinis yang lain, pada dehidrasi pun dibutuhkan kombinasi data, logika dan empirisme dengan tujuan juga menghilangkan komplikasi-komplikasi yang disebabkan oleh gangguan keseimbangan asam basa. Pada keadaan tertentu kadangkadang dituntut pemberian obat-obat lain yang dibutuhkan,

pemeliharaan (maintenanc e).

Hasil survei Program Pemberantasan (P2) Diare

Untuk memilih jenis cairanyang dibutuhkan harus

di Indonesia menyebutkan bahwa angka kesakitan diare

diteliti betul kasus per kasus, apakah seseorang pasien kekurangan air saja ataukah kekurangan air beserta elektrolit di dalamnya ataukah sudah ada gangguan

di Indonesia pada tahun 2000 sebesar 301 per penduduk dengan episode diare balita adalah 1,0

-

1.000

I ,5

kali

per tahun. Tahun 2003 angka kesakitan penyakit ini

keseimbangan asam basa. Gangguan asam basa sangat tergantung pada fungsi ginjal dan paru. Masalahnya menjadi lebih kompleks lagi bila ternyata pasien juga mengalami gangguan ginjal dan paru.

meningkat menjadi3T 4 per I .000 penduduk dan merupakan penyakit dengan frekuensi KIB kedua tertinggi setelah DBD. Survei Departemen Kesehatan (2003), penyakit diare menjadi penyebab kematian nomor dua pada balita, nomor tigapadabayi, dan nomor lima pada semua umur. Kejadian diare pada golongan balita secara proporsional lebih

EPIDEMIOLOGI

banyak dibandingkan kejadian diare pada seluruh golongan umur yakni sebesar 55 persen.

Diare hingga saat ini masih merupakan penyakit yang

197

198

KEGAWATDARURATAN MEDIK DI BIDAI\G ILMU PEIYYAKIT DAL/NVT

Angka kematian diare akut di negara berkembang telah menurun dari 4,5 juta kematian pada tahun 1979 menjadi 1,6 juta pada tahtn2002 namun angka kejadian diare akut masih masuk urutan 5 besar dari penyakit yang sering

penyumbatan sebagian saluran kemih, hipokalemi, aldosteronisme primer, paska transplantasi ginjal, efek toksik litium karbonat, dtau anestesia yang mengandung penthrane (methoxyflurane).

c.

menyerang anak Indonesia. Kejadian diare akut di Indonesia diperkirakan masih sekitar 60 juta episode setiap tahunnya dan 1-5 persen diantaranya berkembang menjadi diare kronis. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa dari 35 persen seluruh kematian balita akibat diare disebabkan oleh diare akut. Kebijakan pemerintah dalam pemberantasan penyakit

Kehilangan cairan karena sebab lain seperti

berlebihan misalnya luka bakar (kombusio); pengeluaran air yang berlebihan melalui saluran

diare antara lain bertujuan untuk menurunkan angka

cerna, misalny a p ada gastroenteriti s alal/./ cho

kesakitan, angka kematian, dan penanggulangan kejadian

form diaruhea

luar biasa (KLB). Departemen Kesehatan RI melalui Keputusan Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit

dan Penyehatan Lingkungan (PPM

& PL)

2.

telah

mengeluarkan Pedoman Pelaksanaan dan Pemantauan Program Pemberantasan Diare dengan tujuan khusus menurunkan angka kematian pada semua umur dari 54 per 100.000 penduduk menjadi 28 per 100.000 penduduk, menurunkan angka kematian balita dari 2,5 per 1.000 balita menjadi 1,25 per 1.000 balita dan menurunkan angka fatalitas kasus (CFR) diare pada KLB dari 1-3,8 persen menjadi 1,5 persen.

Pemberian makanan yang mengandung susu dan krim tanpa air pada pasien dengan perdarahan lambung.

c.

Secara garis besar dikenal 3 macam kehilangan cairan badan: sebagai akibat kehilangan

at

pure dehydration atao dehydration hypertonic ata,u water deficit atau water deficiency ata,u pure water depletion. Kehilangan cairan tipe ini biasa terjadi karena:

Kehilangan cairan karena pemasukan air tidak mencukupi, misalnya : orang-orang yang kehabisan air minum di kapal yang rusak di tengah laut atau di padang pasir; kesukaran atau tidak bisa menelan, misalnya pada orang yang debil, koma atau disfagia; rangsangan haus hilang, misalnya pada orang tua

dengan aterosklerosis serebral, tumor otak, poliomielitis tipe bulbar, meningitis atau kerusakan otak lainnya. Kehilangan cairan karena pengeluran melalui ginjal berlebihan: pada ginjal yang normal, misalnya pada diabetes insipidus, karena kelebihan elektrolit atau

hiperosmoler dan pada pemasukan air yang berlebihan; pada gangguan fungsi ginjal yang disebut nephrogenic diab etes ins ipidus, misalnya pada pyelonefritis kronik, glumerulonefritis, ginj al polikistik, fase diuresis pada kegagalan ginjal akut,

Pemberian makanan dengan karbohidrat tinggi pada orang-orang yang baru sembuh dari luka b akar y ang

berat.

d. Pasien

darl

badan baik karena kekurangan pemasukan air atau kehilangan air berlebih melalui paru, kulit, ginjal, atau saluran makanan. Keadaan ini sering disebut dengan

b.

i-

air yang tidak mencukupi pada pasien dengan koma.

ETIOLOGI

a.

I er

.

Kehilangan cairan karena kelebihan elektrolit (solute loading hypertonicity). Kehilangan cairan karena ekskresi urin yang mengandung banyak elektrolit seperti natrium, klorida, kalium dan anion serta kation lain-lain, atau bahan-bahanyatg bukan ion seperti dekstrosa, fruktosa atau urea, asam amino dan bendabenda nitrogen lainnya. Kehilangan cairan ini bisa karena: a. Pemberian makanan yang mengandung banyak garam dekstrosa, protein dan substansi lain dengan

b.

1. Kehilangan cairan

:

pengeluaran air berlebihan seperti melalui paru, orang-orang yang kontak dengan sinar matahari dalam waktu yang lama tanpa minum, pada hiperventilasi dan demam; pengeluaran air yang

dengan asidosis diabetik berat yang tidak

diobati.

e. 3.

Keadaan lainnya yang berhubungan dengan

hiperosmolaritas Kehilangan cairan karena hiperosmolaritas. Hal ini terjadi jika cairan ekstraselular karena suatu sebab menjadi

hiperosmoler, misalnya karena hiperosmoler hiperglikemia, koma diabetik non ketoasidotik atau hiperosmolaritas yang terjadi karena pemberian substansi baik per parenteral maupun per rektal yang

dapat meningkatkan osmolaritas darah; koma hiperglikemik hiperosmolar dapat juga terj adi pada dialisis peritoneal. Hiperosmolar dapat ju ga teqadi pada angiografi dengan kontras, sesudah pemberian natrium sulfat intravena pada hiperkalsemia, sesudah pemberian makanan hipertonik pada mega colon dan pada pasien yang baru sembuh dari luka bakar yang berat.

PATOGEN ESIS DAN PATOFISIOLOGI

Dalam penatalaksanaan rehidrasi haruslah diketahui

terlebih dahulu patogenesis dehidrasi termasuk patofisiologinya. Cairan di dalam tubuh terdiri dari unsurunsur cairan ekstraselular, intraselulaer dan intertisial.

199

REHIDRASI

Jumlah air dalam tubuh dewasa dengan rata-rata beral

badat 70 kg mendekati 40 liter, rata-rata

52o/o berat

badannya. Pada bayi yang baru lahir, mungkin mencapai I5%o dariberat badan, kemudian menurun secara progresif dari lahir sampai umur tua. Kebanyakan penurunan terjadi dalam waktu 10 tahun awal kehidupan. Juga kegemukan menurun presentase air dalam fubuh, kadang mencapai

pernapasan yang terjadi pada cuaca dingin. Sedangkan dalam cuaca yang sangat panas, air yang hilang dalam keringat ditingkatkan mencapai 1,5 -2 liter I jam, sehingga mengurangi cairan tubuh dengan cepat.

Latihan meningkatkan hilangnya air lewat 2 jalan. Pertama, latihan meningkatkan derajat pemapasan, dengan

meningkatkan kenaikan hilangnya air lewat saluran pernapasan sesuai dengan meningkatnya derajat ventilasi. Kedua, latihan meningkatkan panas badan dan akibatnya

4s%.

menghasilkan keringat yang berlebihan.

Ambilan dan Keluaran Air Kebanyakan ambilan air tiap hari masuk melalui oral. Hampir

dua pertiga dalam bentuk air murni atau dalam bentuk minuman lain dan sisanya dari makanan yang dimakan. Sejumlah kecil juga disintesis dalam tubuh sebagai hasil oksidasi dari makanan. Jumlah sekitar 150 dan 250 mVhari, tergantung dari derajat metabolismenya. Tabel I menunjukkan rute air yang hilang dari tubuh

dalam keadaan yang berbeda. Normal dalam suatu

Unsur-unsur Cairan Tubuh Sekitar dari 25 sampai 40 liter cairan tubuh ada dalam I 5

trilyun sel tubuh, disebut cairan intraselular. Masingmasing sel berisi cairan yang berisi campuran beberapa unsur yang berbeda, namun konsentrasi unsur-unsur ini serupa antara safu sel dengan yang lainnya. Semua cairatyang berada di luar sel disebut cairan

lingkungan suhu 680F (200C) hampir 1400ml dan 2300 ml ambilan air hilang lewat urin, 100 ml lewat feses dan 100 ml lewat keringat. Sisanya 700 ml hilang lewat evaporasi dari respirasi atau difusi lewat kulit, yang kita sebut dengan

ekstraselular, merupakan cairan yang konstan, rata-rata I 5 liter pada orang dewasa dengan berat b adan'l} kg. Cairan ekstraselular ini terbagi menjadi cairan interstisial, plasma,

insensible water loss. Rata-ratahilangnya air oleh difusi lewatkulit mendekati 300-400 mUhari,jumlah ini juga sama dengan seseorang yang dilahirkan tanpa kelenjar keringat. Dengan kata lain,

gastrointestinal, dan cairan ruang potensial.

molekul air secara difus menembus sel-sel kulit, yang dilapisi oleh jaringan tanduk kulit, yang terisi oleh kolesterol, bertindak sebagai pelindung terhadap hilangnya air oleh proses difusi.

Suhu normal

Cuaca panas

Latihan berat dan lama

lnsensible loss:

Kulit Saluran

350

350

350

350

250

650

1400

1200

500

100

1400

5000

napas

Urin Keringat Feses Total

100

100

100

2300

3300

6500

(Sumber: Guyton, 1991)

cairan serebrospinal, cairan intraokuler, cairan traktus Plasma adalah bagian dari darah yang non selular, yang

merupakan bagian dari cairan ekstraselular dan berhubungan dengan cairan intertisial melalui lubanglubang dalam kapiler secara terus menerus. Volume plasma rata-rata 3 liter pada dewasa normal. Darah berisi cairan ekstraselular (plasma) dan cairan intraselular (dalam darah sendiri). Rata-rata volume darah dewasa normal mendekati 5000 ml, sekitar 3000 ml berupa

plasma dan 2000 ml berupa sel darah. Nilai ini sangat bergantung dengan jenis kelamin, beratbadan, dan faktorfaktor yang mempengaruhi volume darah. Secara fisiologis, jumlah cairan tubuh pada orang dewasa berkisar 45-10 o/o berat badan (BB), rata- ruta 57o/o, dan bergantung dengan gemuk dan kurusnya seseorang, sedangkan pada anakanak cairan tubuh berkisar 70-80% berat badan, tata-rata 75%.

Cairan rubuh terdiri dari

. .

. Semua udara yang melalui alat pemapasan mencapai kelembaban yang jenuh, sampai tekanan uap hampir 47

mmHg, sebelum dikeluarkan. Tekananuap udara luaryang terhisap melalui paru-paru biasanya jauh di bawah 47 mmHg, sehingga mengakibatkan rata-rata air yartg hilang melalui paru berkisar 300-400mltrari. Karena tekanan udara luar menurun dengan menurunnya temperatur, hilangnya

:

Cairanintraselular(CIS) :4}YoBB Cairan ekstraselular (CES) : plasma (5% BB) dan cairan

Cairantransselular(CTS)

:

interstisial (15% BB) 1-3%BB

Unsur-unsur Cairan Ekstraselular Pada cairan plasma dan cairan interstisial mengandung sejumlah besar ion Na* dan ion Cl, sejumlah besar ion bikarbonat dan sejumlah kecil ion K, Ca*, Mg*t, PO4, SO4 serta ion asam organik.

air yang melewati paru terbanyak dalam cuaca yang sangat dingin dan hanya sedikit dalam cuaca yang sangat panas'

Unsur-unsur Cairan !ntraselular

Hal ini

Cairan Intraselular hanya berisi sejumlah kecil Na*, dan Cl-

menerangkan perasaan kering dalam saluran

200

KEGAWAXDARURII|IAN MEDIK DI BIDAI\G ILMU PENYAKIT DALAI\{

dan hampir sama sekali tidak terdapat ion Catt, tetapi mengandung sejumlah besar K* dan PO4, dan sejumlah kecil Mg* dan ion SO4 . Sel- sel berisi sejumlah besar protein, hampir mencapai 4 kali lipat dibandingkan di plasma.

Absorpsi Air dan Elektrolit Sejumlah kecil cairan hanya terserap dalam mukosa lambung, tetapi air terserap baik melalui mukosa usus halus dan mukosa usus besar unfuk mengatur naik turunnya nilai osmotik. Na* berdifusi ke dalam dan keluar usus halus

tergantung dengan naik turunnya konsentrasi. Karena membran lumen usus halus dan usus besar permeabel terhadap Na*, dan membran basolateral mengandung Na* Kt AIPase, sehingga Na* aktif diserap. Dalam usus halus, transportasi Nat, penting untuk menyerap glukosa, asam amino dan bahan lainnya. Adanya glukosa dalam dalam lumen usus membantu reabsorbsi Na*. Hal ini merupakan fisiologi dasar pengobatan hilangnyaNa* dan airpada diare denganpemberian larutan yang berisi glukosa dan NaCl. Begitu juga gandum berguna untuk pengobatan diare.

Ion Cl secara nonnal disekresi ke dalam lumen usus halus oleh saluran Cl- yang diaktivasi oleh siklik AMP. Enterosit juga menyerap Na, K, Cl dengan banfuan suatu cotransporter INa* - IK* - 2Cl dalam membran basolateral.

Masukan

Sekresi endogen Kelenjar ludah Perut

1500 ml

Empedu

2500 ml 500 ml

Pankreas

1500 ml

Usus

1000 ml

Reabsorbsi ileum colon

1300 ml

tergantung pada makanan yang dicema, tetapi pada waktu makanan masuk ke jejunum, osmolaritasnya mendekati plasma. Osmolaritas dipertahankan sepanjang sisa seluruh usus halus, partikel osmotik aktif yang dihasilkan oleh pencemaan diambil lewat absorpsi dan air mengalir secara

pasif keluar dari usus besar mengikuti osmotikyang dihasilkan. Dalam usus besar Na dipompakan keluar dan air mengalir secara pasifdengannya, sesuai dengan naik turunnya osmolaritas. Ada beberapa sekresi K ke dalam lumen usus, terutama sebagai komponen mukus, tetapi sebagian terbanyak, perpindahan K ke dalam usus disebabkan karena difusi. Ion K dapat juga disekresikan ke dalam kolon. Akumulasi K dalamkolon adalah akibat ke{a dari HrKtATPase dalam membran sel lumen kolon bagian distal, dengan hasil akhir transportasi K* yang aktif ke dalam sel. Walaupun demikian, hilangnya cairan di ileum dan kolon pada diare kronik dapat menyebabkan hipokalemi berat. Jika diet mengandung K tinggi untuk jangka panjang, sekresi aldosteron meningkatdan lebih banyak K yang disekresikan ke dalam kolon, dikarenakan pompa Na+ K+ AIPase di dalam membran sel, menyebabkan konsentrasi kenaikan K intraselular dan difusi K dari lumen ke dalam

Untuk keseimbangan cairan tubuh dan elektrolitnya, mekanisme homeostasis diselenggarakan oleh

;

a. Ginjal, dengan mekanisme renin-angiotensin, mempengaruhi tekanan darah anak ginjal, dengan mekanisme aldosteron akan mempengaruhi retensi Na Kelenjar hipofisis, dengan mekanisme ADH, akan mempengaruhi resorpsi air Paru-paru, dengan mekanisme asidosis-alkalosis untuk menjaga asam basa

b. Kelenjar

8800 ml Balans di tinja

duodenum

osmolaritasnya bisa hipotonik atau pun hipertonik

HOM EOSTASIS DAN PATOFISIOLOGI

9000 ml 8800 ml 5500 ml

isi usus sama dengan plasma. Isi

membran sel.

7000 ml Total input

akhir menurunkan absorbsi NaCl. Kenaikan elektrolit dan air mengisi usus sehingga timbul diare. Na*K*AIPase dan Naiglukosa cotransporter tak terpengaruh, sehingga reabsorbsi glukosa dan Na* tetap terjadi. Air bergerak keluar masuk usus sampai tekanan osmotik

200 ml

c.

Sumber: (Ganong, 1993)

d. Pada penyakit kolera yang disebabkan oleh vibrio kholera yang tinggal di lumen usus, menghasilkan suatu toksin yang mengikat adenosin difosfat ribosilase subunit

G5, menghambat aktivasi GTPase, perubahan ini menyebabkan stimulasi adenilsiklase yang berkepanjangan dan berakibat kenaikan siklik AMP intraselular.

Pada diare yang disebabkan Escherichia coli menghasilkan toksin yang serupa, di mana akumulasi siklik AMP menaikan sekresi Cl- dari kelenjar intestinal dan menghambat fungsi mukosa pembawa Nat, dengan hasil

KLASIFIKASI DEHIDRASI DENGAN MANIFESTASI KLINIS Derajat dehidrasi seseorang berdasarkan defisit berat badan, dapat digolongkan sebagai berikut : . Dehidrasi ringan ( defisit < 5%BB) Keadaan umum sadar baik, rasa haus +, sirkulasi darah nadi normal, pernapasan biasa, mata agak cekung,

201

REHIDRASI

turgor biasa, kencing biasa. Dehidrasi sedang ( defisit 5-10% BB) Keadaan umum gelisah, rasa haus ++, sirkulasi darah nadi cepat (120-140), pernapasan agak cepat, mata cekung, turgor agak berkurang, kencing sedikit. Dehidrasi berat ( defisit > 10% BB) Keadaan umum apatis/koma, rasa haus +++, sirkulasi darah nadi cepat (>140), pernapasan Kussmaul (cepat dan dalam), mata cekung sekali, turgor kurang sekali, kencing tidak ada.

.

.

virulensi yang penting yaitu faktor kolonisasi yang menyebabkan bakteri ini melekat pada enterosit pada usus halus dan enterotoksin (heat labile (HL) dan heat stabile (ST) yang menyebabkan sekresi cairan dan elektrolit yang menghasllkan watery diawhea. ETEC

tidak menyebabkan kerusakan brush border atatt menginvasi mukosa.

Enterophatogenic E.coli (EPEC). Mekanisme terjadinya diare belum jelas. Didapatinya proses perlekatan EPEC ke epitel usus menyebabkan kerusakan

dari membrane mikro PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium yang menunjukkan kelainan antara lain

1.

:

Hematokrit, biasanya meningkat akibat hemokonsentrasi Peningkatan berat jenis plasma Peningkatan protein tota Kelainan pada analisis gas darah (asidosis metabolik) Sel darah putih meningkat (karena hemokonsentrasi)

2. 3. 4. 5. 6. Fosfatase 7. Natrium

alkali meningkat dan kalium masih normal, setelah rehidrasi

kalium ion dalam serum rendah

DIAGNOSIS negara yang sedang berkembang dengan fasilitas laboratorium yang terbatas tidak semua diagnosis etiologi bisa ditegakkan, sehingga sering kali diagnosis klinis yang dapat digunakan. Media kultur yang tidak lengkap, hasil kultur yang tidak tumbuh, sehingga diagnosis klinis lah

Di

yang digunakan. Diagnosis etiologi penyebab diare akut atau dehidrasi dibagi atas

1.

:

Virus

Merupakan penyebab diare akut terbanyak pada anak (70 - S0%). Beberapa jenis virus penyebab diare akut : . Rotavirus serotype l, 2, 8, dan 9 : pada manusia. Serotype 3 dan 4 didapati pada hewan dan manusia. Dan serotype 5,6, danT didapali hanya pada hewan. . Norwalk virus : terdapat pada semua usia, umumnya akrbatfood borne atatwater borne transmisi, dan dapat juga terjadi perr,tlaran person to person. . Astroviru.s, didapati pada anak dan dewasa

. . '

Adenovirus (qpe 40,41) Small bowel structured virus CytomegaloYirus

2. Bakteri

.

Enterotoxigenic E.coli (ETEC). Mempunyai 2 faktot

vili

yang akan mengganggu

permukaan absorbsi dan aktivitas disakaridase. Enteroaggregative E.coli (EASCEC) Bakteri ini melekat

kuat pada mukosa usns halus dan menyebabkan perubahan morfologi yang khas. Bagaimana mekanisme

timbulnya diare masih belum jelas, tetapi sitotoksin mungkin memegang peranan.

Enteroinvasive E.coli (EIEC). Secara serologi dan biokimia mirip dengan Shigella. Seperti Shigella,ElBC melakukanpenetrasi danmultiplikasi di dalam sel epitel kolon. E n t er o h em o n h agic E. c o I i (EIIEC). EIIEC memproduksi

verocytotoxir (VT) 1 dar. 2 yang disebut juga Shiga-like toxin yang menimbulkan eddma dan perdarahan difuse di kolon. Pada anak sering berlanjut menj adi hemolytic-uremic syndrome.

Shigella spp. Shigella menginvasi dan multiplikasi didalam sel epitel kolon, menyebabkan kematian sel mukosa dan timbulnya ulkus. Shigella jarang masuk kedalam alian darah. Faktor virulensi termasuk'. smooth

lipopolysaccharide cell-wall antigenyang mempunyai aktivitas endotoksin serta membanfu proses invasi dan toksin (Sfrlga toxin dan Shiga-like toxin) yang bersifat sitotoksik dan neurotoksik dan mungkin menimbulkan watety diarrhea Campylobacter j eiuni (Helicobacter i ejuni). Manusia terinfeksi melalui kontak langsung dengan hewan (unggas, anjing, kucing, domba dan babi) atau dengan feses hewan melalui makanan yang terkontaminasi seperli daging ayam dan air. Kadang-kadang infeksi dapat menyebar melalui kontak langsung person to person. Cjejuni mungkin menyebabkan diare melalui invasi kedalam usus halus dan usus besar.Ada 2 tipe toksin yang dihasilkan, yaitu cytotoxin dan heatlabile enterotoxin. Perubahan histopatologi yang terjadi mirip dengan proses ulcerative colitis. Vibrio cholerae 0l dan V choleare 0139. Air atau makanan yang terkontaminasi oleh bakteri ini akan menularkan kolera. Penularan melalui person to person jarang terjadi . V.choleraemelekat dan berkembang biak

pada mukosa usus halus dan menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan diare. Toksin kolera ini sangat mirip dengan heat-labile toxin (II) dari ETEC. Penemuan terakhir adanya enterotoksin yang lain yang mempunyai karakteristik tersendiri, seperti

202

KEGAWATDARURAf,AN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

accessory cholera enterotoxin (ACE) dan zonular occludens toxtn (ZOT). Kedua toksin ini menyebabkan

.

sekresi cairan kedalam lumen usus. Salmonella (non thypoid). Salmonella dapat menginvasi

sel epitel usus. Enterotoksin yang dihasilkan menyebabkan diare. Bila terjadi kerusakan mukosa yang

atrofi

'

.

Trichuris trichuria. Cacing dewasa hidup di kolon, bloody diarrhea dan nyeri abdomen. Bakteripatogennoninvasif, antaralain : Escherichia

-

coli, Klebsiella enterobacter,

-

Giardia lamblia. Parasit ini menginfeksi usus halus.

Mekanisme patogensis masih belum jelas, tapi dipercayai mempengaruhi absorbsi dan metabolisme asam empedu. Transmisi melalui rute fecal-oral. Interaksi

host-parasite dipengaruhi oleh umur, status nutrisi, endemisitas, dan status imun. Didaerah dengan endemisitas yang tinggi, giardiasis dapat berupa asimtomatis, kronik, diare persisten dengan atau tanpa malabsorbsi. Di daerah dengan endemisitas rendah, dapat terjadi wabah dalam 5 8 hari setelah terpapar dengan manifestasi diare akut yang disertai mual, nyeri epigastrik dan anoreksia. Kadang-kadang dijumpai

nralabsorbsi dengan fatty stools, nyeri perut dan

.

.

gembung. Entamoeba histolytica. Prevalensi disentri amoeba ini bervariasi, namun penyebarannya di seluruh dunia. Insiden nya mningkat dengan bertambahnya umur, dan terbanyak pada laki-laki dewasa. Kira-kira 90% infksi asimtomatik yang disebabkan oleh E.histolytica rron patogenik (E dispar). Amebiasis yang simtomatik dapat berupa diare yang ringan dan persisten sampai disentri yang fulminant.

Cryptosporidium.

Di

cryptosporidiosls 5 -

negara yang berkembang,

dari kasus diare pada anak. Infeksi biasanya simtomatik pada bayi dan asimtomatik pada anak yang lebih besar dan dewasa. Gejala klinis berupa diare akut dengan tipe watiry dianhea, ingan dan biasanya self-limited. Pada penderita dengan 15o/o

gangguan sistem kekebalan tubuh seperti pada penderita AIDS, cryptosporidiosis merupakan

. . .

reemerging disease dengan diare yang lebih berat dan resisten terhadap beberapa jenis antibiotik.

Microsporidium spp

dengan gejala klinis watety diarrhea dan

caecum, dan appendix. Infeksi berat dapat menimbulkan

menimbulkan ulkus, akan teqadi bloo$t diawhea

3. Protozoa

villi

nyeri abdomen.

-

Clostridium

perfringens Staphylococcus aureus, Bacillus cereus Bakteri patogen invasifatau destruktifantara lain: Salmonella, Yers inia enferocol ifi c a, Campylob acter jejuni, Vibrio parahemolyticus, Vibrio mimicus, Wbrio vulviticus, E.coli invasif dan E.coli ettero hemoragik Virus penyebab diare akut : Rofa virus Protozoa penyebab diare akut '. Giardia lamblia,

Amoeba histolytica

KOMPLIKASI Dehidrasi akibat bakteri patogen noninvasif biasanya ringan, namun pada kondisi pasien yang jelek tanpa memperoleh rehidrasi yang adekuat dapat menjadi nekrosis tubular akut hingga bisa menyebabkan kematian yang diakibatkan dengan renjatan hipovolemik. Untuk rehidrasi sendiri jika tidak mencapai hidrasi normal dapat terjadi gagal ginjal akutdan sebaliknyajika terjadi overhidrasi bisa meninggal akibat edemaparu akut. Dehirasi akibat bakteri patogen invasif biasanya lebih

berat dibanding dengan noninvasif, dan komplikasinya semakin berat jika rehidrasinya tidak adekuat, sehingga bisa menyebabkan gagal ginjal akut dan akan terl'adi edema paru akutjika rehidrasi yang berlebihan.

Dehidrasi akibat virus komplikasinya hampir sama dengan yang disebabkan bakteri, kebanyakan lebih ringan. Sedangkan dehidrasi yang disebabkan protozoa biasanya

lebih akut ataupun kronik tergantung dengan banyak maupun virulensi protozoa tersebut. Bila jumlahlya banyak dan virulensinya tinggi selain komplikasinya seperti yang

disebabkan oleh bakteri juga dapat mengakibatkan perforasi usus, peritonitis maupun terjadinya abses secara emboli pada organ yang terserang.

Isospora belli Cyclospora cayatanensis PENGOBATAN

4. Helminths

. .

.

Pengobatan dapat dibagi menjadi : rehidrasi ( suportif),

Strongyloides stercoralls. Kelainan pada mukosa usus akibat cacing dewasa dan larva, menimbulkan diare.

pengobatan yang ditujukan etiologinya, pengobatan spesifik untuk rotavirus, dan pengobatan protozoa

Schistosoma spp. Cacing darah ini menimbulkan kelainan pada berbagai organ termasuk intestinal dengan berbagai manifestasi, termasuk diare dan

penyebab diare.

perdarahan usus..

REHIDRASI

Capilaria philippinensis. Cacing ini ditemukan di usus halus, terutama jejunum, menyebabkan inflamasi dan

Rehidrasi menurut Goldberge E ( 1980)

203

REHIDRASI

Cara

I

Skor x 10 %BB ( kg) x 1 liter

:

.

Jika ada rasa haus dan tidak ada tanda-tanda klinis

.

dehidrasi lainnya, maka kehilangan air diperkirukat2%o dari berat badan pada waktu itu. Jika seseorang pada waktu itu sedang berpergian 3-4 hari tanpa air dan ada rasa haus, mulut kering dan oliguria, maka defisit air diperktraart 6Yo daiberat badan

.

15

Rehidrasi menurut Morgan-Watten Dengan mengukur berat jenis plasma

Berat jenis plasma

pada waktu itu.

Czra2z Jika pasien dapat ditimbang tiap hari maka kehilangan berat badan4 kg pada fase akut sama dengan defisit air 4 liter

Cara3: Dengan kenyataan konsentrasi natrium dalam plasma

Cara Pemberian Bila pasien dapat menelan, air diberikan per oral, kecuali kalau pasien muntah-muntah. Air j uga diberikan per rektal. Air murni tidak boleh diberikan perinfus dilcarenakan akan menyebabkan eritrosit membengkak dan terjadi hemolisis. Oleh karena itu harus diberikan cairan per infus. Puruhito (19S0) memberikan pedoman sebagai berikut : . Ligasi pungsi

Infus sebaiknya diberikan pada lengan untuk

berbanding terbalik dengan volume air ekstraselular dengan pengertian bahwa kehilangan air tidak disertai dengan

memudahkan perawatanny a, antara lain vena jugularis eksterna, vena subklavia, vena basilika, vena sefalika, vena mediana kubiti, vena dorsalis manus atau pedis,

perubahan konsentrasi natrium plasma maka dapat dihitung dengan rumus

:

Na2xBW2:NalxBWl Dimana:

N, BW2

: kadarnatriumplasmanormal(l42nBqL) : volume air badan normal, biasanya 60% dari BB pria dan 50% dari BB wanita : kadar natrium plasma sekarang : volume air badan sekarang

Gejala klinis

2

Kesadaran somnolen, soporous sampai

2

I 1 1

Di samping pemberian cairan lewat infus, kita kenal pemberian cairan lewat hipodemoklinis pada pasien dengan penyakit jantung yang tidak memungkinkan pemberian lewat per oral atau infus, dengan syarat-syarat

2

sebagai berikut

1

1.

1

2

- 1 (negatif) - 2 (nesatif)

Rehidrasi menurut Daldiyono Daldiyono (1973) mengemukakan salah satu cara menghitung kebutuhan cairan untuk rehidrasi inisial pada gastroenteritis akuV diare koliform berdasarkan sistem skor (nilai). Jumlah skor dapat dihitung dan dihitung pemberian :

Urutankerja: Lihat etiket pada botol infus, apakah sesuai dengan yang dijadwalkan, lihat kualitas cairan apakah ada

Jarum pungsi difrksasi pada kulit plester, lalu pengaturan tetesan dibuka sesui dengan jadwal yang diberikan.

I

koma

vena safena magna. Untuk pemasangan central venous catheler (CVC), vena yang dipakai adalah vena jugularis ekstema, vena subklavia, vena basilika, vena sefalika, vena inguinalis interna.

kekeruhan, perubahan wama, partikel kotoran. Jarum infus yang dipakai sebaiknya yang disposable. Tunry infus dibersihkan dengan alkohol dan infus set diisi dengan cairan infus terisi penuh dan tidak ada udara. Kemudian dilakukanpungsi vena di tempatyang dipilih'

1

Tensi sistolik kurang atau sama dengan 90 mmHg Nadi lebih atau sama dengan 120/menit Napas Kussmaul (lebih dari 30/menit) Turgor kulit kurang Facies cholerica Ekstremitas dingin Jari tangan keriput(washer hand) Sianosis Umur 50 tahun atau lebih Umur 60 tahun atau lebih

.

Skor

Muntah Voxs Choleric (Suara serak) Kesadaran apatis

cairan dalam 2jam

1.025 x BB (kg) x 4

0,001

Bila ada tandatanda di atas ditambah dengan kelemahan fisik yang nyata, perubahan mental seperti bingung atau delirium maka defisit air sekitu 7 -|4%berat badan pada waktu itu.

Nal BWl

-

:

2.

:

Cairan harus isotonik dengan plasma. Jika hipertonik akan terjadi retribusi cairan ke jaringan interstisial dan merangsang subkutan Dekstrosa 5o/o dan air tidak boleh diberikan subkutan

karena akan terjadi difusi glukosa dari jaringan interstisial ke plasma dan difusi natrium dari plasma ke

jaringan interstisial.

Kecepatan Tetesan Biasanya kehilangan cairan dapat dikoreksi dalam2hari. Setengah kebutuhan diberikan pada hari yang pefiama, dapat per oral, rektal atau infus. Bila kehilangan cairan

204

KEGAWATDARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PEITYAKIT DALAM

cukup berat dan pemberian infus terlalu cepat, akan mengakibatkan intoksikasi air dan kejang, disebabkan sel-

REFERENSI

sel otak dengan osmolaritasnya yatg tinggi dibanding

Daldiyono H et al., Menghitung jumlah cairan untuk initial rehidrasi pada gastrointestinal akut/ Choleriform Diarrhea dengan sistem skore. Naskah Lengkap KOPAPDI, 1973 : 489 - 95 Depkes RI, 2005a, Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 1216/ MENKES/SK/XIl200l tentang Pedoman Pemberantasan Penyakit Diare,Edisi ke-4, Jakarta Depkes RI, 2005b, Rencana Pembangunan Kesehatan Tahun 2005-

dengan sel-sel lain mengalami edema dengan cepat. Untuk itu pemberian cairan dengan memperlambatnya dan selalu

diukur kadar natrium serum setelah setengah kebutuhan cairan diberikan.

2009, Jakarta.

PENGOBATAN PADA ETIOLOGINYA

Penggunakan antibiotik terhadap bakteri patogen noninvasif, pada umumnya

. .

:

Tetrasiklin 30 mg,&gBB per oral tiap 6 jam, selama 2 hari Trimetoprim 160 mg dan sulfametoksazol 800 mg, per or al, 2x.ttai,selama 5 hari

Pengobatan bakteri patogen yang invasif, pada umumnya selain obat - obat di atas, dapat diberikan juga kloramfenikol ataupun ampisilin. Pengobatan untuk

Rotavirus, yang spesifik tidak ada,

jadi

sifat

pengobatanny a hany a s imtomatik atau suportif. Sedangkan untuk pengobatan diare yang disebabkan protozoa adalah

. .

Untuk Giardia lamblia dengan Quinakrin 100 mg, 3xl hari, selama 5 -J ha/,ata.umetronidazol2lO mg, 3x,trari, selama 5-7 hari Unhrk amoebiasis dengan metronidazol 750 mg, 3x{hai, selama 7-10 hari

DuPont HL : Guidelines on Acute Infectious Diarrhea in Adults, American Joumal of Gastroenterology, Yol.92, No.1 1, November 1997. Goldfinger SE : Constipation, Diarrhea, and Disturbances of Anorectal Function, 1lr : Braunwald, E, Isselbacher, K.J, Petersdorf, R.G, Wilson, J.D, Martin, J.B, Fauci AS (Eds) : Harrisonb Principles of Internal Medicine, 11Lh Ed. McGraw-Hill Book Company, New York, 1987, 171 - 80. Ganong WF Review of Medical Physiology six teenth ed. Pretice Hall Intemational Inc. Appleton and Lange Simon and Schuster Business and Professional Group 1993 :434. Ilnyckyj A : Clinical Evaluation and Management of Acute Infectious Diarrhea in Adult, Gastroenterology Clinics, Volume 30, No.3, WB Saunders Company, September 2001. Montgomery L : What is the best way to evaluate acute diarrhea ?,

Journal

of Family Practice,

I:une, 2002, From

: http.//

www.cebmjr2 ox ac.uk/docs/levels html Pitisuttithum P : Acute Dysentry, DTM&H Course 2002, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Bangkok, Thailand. Puruhito. Dasar-dasar Pemberian Cairan dan Elektrolit pada Kasus - Kasus Bedah. Atr Langga Press Surabaya, 1980. Schiller LR. Diarrhea, Medical Clinics of North America, Vol.84,

No.5, September 2000.

PROGNOSIS baik, terutama jika mendapat penanganan cepat, tepat dan adekuat. Kematian terjadi jika mempunyai Pada umumnya

penyakit dasar yang berat dan penanganan yang tidak adekuat.

REHABILITASI Terutama bila pasien mempunyai penyakit dasar apalagi lebih dari satu penyakit dan multiorgan seperti pada geriatri.

ASPEK KHUSUS Penanganan rehidrasi yang terlambat dan tidak adekuat sering menimbulkan penyulit gagal ginjal, tetapi jarang yang memerlukan hemodialisis kecuali kalau memang

mempunyai penyakit dasar berat dan lama, misalnya diabetes melitus.

Suthisarnsuntorn U. Bacteria Causing Diaryheal Diseases & Food Poisoning, DTM&H Course 2002, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Bangkok, Thailand. Turgeon DK, Fritsche, T.R. Laboratory Approachs to Infectious Diarrhea, Gastroenterology Clinics, Volume 30, No.3, WB Saunders Company, September 2001 Tantivanich S. Viruses Causing Diarrhea, DTM&H Course 2002, Faculty of Tropical Medicine, Mahidol University, Bangkok, Thailand. Wa:rke CA. Epidemiology and cause o/ diaruhea in developed countries,2008 . Uptodate 16.3 Wingate D, Phillips SP, Lewis SJ, et al : Guidelines for adults on self-

medication for the treatment of acute diarrhoea, Alimenl Pharmacol Ther, 2001: 15;77 1-82.

27 PENATALAKSAN ATN UMUM KOMA Budiman

PENDAHULUAN Kondisi tidak sadar dan koma merupakan masalah umum dalam kedokteran. Keadaan ini mendominasi unit gawat

darurat pada berbagai pelayanan rumah sakit. Ketidaksadaran dan kehilangan kesadaran memiliki manifestasi klinik dan penjelasan fisiologi yang berbeda, kendati dapat disebabkan oleh berbagai penyakit.

orang, merangsang tidur ringan dan ditandai dengan mudahnya dibangunkan dan persistensi kesadaran pada periode yang singkat. Vegetative state adalahkondisi tubuh yang sadar tetapi tidak responsif. Pasien ini sudah bangun dari koma setelah periode berhari-hari atau berminggu-minggu, kondisinya

tidak responsif , yaitu kelopak mata yang terbuka, memperlihatkan bahwa dia dalam keadaan sadar' Dapat mengunyah, batuk, menelan, sebagaimana gerakan limbus dan kepala, akan tetapi dengan sedikit respons.

KEADAAN TIDAK SADAR (CONFUSTONAL

srArq

ANATOMI DAN FISIOLOGI KETIDAKSADARAN

Tidak sadar adalah kondisi mental dan perilaku dari menurunnya pemahaman (comprehensloz), rasionalitas (coherence), dan kapasitas motivasi. Ketidaksadaran, sebagaimana didefinisikan di atas, diawali dengan ketidakmampuan untuk mempertahankan fokus pikiran dan kerja, serta adanya disorientasi. Jika kondisi tidak sadar ini memburuk akan terjadi penurunan kesadaran mental secara menyeluruh, termasuk kerusakan dalam ingatan, persepsi, komprehensi, penyelesaian masalah, bahasa' praksis, fungsi visiospasial dan aspek perilaku emosional lainnya yang merupakan bagian dari otak.

Kesadaran secara kompleks berhubungan dengan korteks

serebral. RAS adalah kelompok agregasi neuron yang

terletak di atas batang otak dan talamus media, mempertahankan korteks sereberal dalam keadaan sadar.

Jadi, prinsip dasar terjadinya koma adalah : l)' Luka atau kerusakan pada RAS atau proyeksi ry a; 2). Rusaknya sebagian besar kedua serebral hemisfer; 3). Tertekannya fungsi retikulo serebral oleh obat-obatan' toksin, atau

gangguan metabolik seperti hipoglikemia, anoksia, azotemia, atau kegagalan hati. Bagian formasi retikular yang penting bagi pertahanan

kesadaran menyebar dari otak tengah kaudal menuju talamus bagian bawah. Neuron RAS berdiri pada korteks

KOMADAN KELAINAN KESADARAN LAIN

terutama melalui nukleus penghantar talamik yang

Koma adalah keadaan penurunan kesadaran dan respons dalam bentuk yang berat, kondisinya seperti tidur yang dalam di mana pasien tidak dapat bangun dari tidumya'

kemudian mengeluarkan dorongan rangsang pada aktivitas korteks serebral keseluruhan. Yang terpenting adalah pemahaman bahwa secara anatomi RAS mengontrol fi'rngsi

Stupor adalah kadar yang lebih rendah dari ketidaksadaran yang mana pasien dapat bangun hanya dengan rangsangan kuat, disertai dengan perilaku motorik yang menghindarkan

diri dari

pupil pupil maka

ketidaknyamanan atau rangsangan yang

padabatang otak bagian atas.

mengganggu. Drowsiness, yang biasa terjadi pada setiap

205

206

KEGA\ilATDARURAIAN MEDIK DI BIDAT{G ILMU PENYAKIT DALAM

Koma Akibat Lesi Besar pada Serebral dan Herniasi Lubang kranial dipisahkan menjadi kompafiemen oleh lipatan (infolding) dura. Herniasi adalah pergeseran jaringan otak ke kompartemen yang secara normal tidak

sekitar 8 - 10 detik setelah aliran darah berhenti. Ritme EEG menjadi lambat dan ketika kondisi pengiriman substrat memburuk, maka semua aktivitas elekhik otak berhenti. Pada sebagian besar ensefalopati metabolik , aktivitas

terjadi.

metabolik global otak menurun sesuai tingkat ketidaksadaran. Kondisi seperti hipoglikemia,

Herniasi transtentorial uncal. Merupakan impaksi girus

hiponatremia, hiperosmolar, hiperkapnia, hiperkalsemia,

temporal media anterior (uncus) ke bagian anterior bukaan tentorial. Jaringan yang bergeser menekan sarafketiga ketika

ia melalui ruang subarachnoid dan mengakibatkan pembesaran pupil ipsilateral (kemungkinan karena serat para simpatetik fungsi pupil terletak pada daerah periperal saraf).

Koma yang terjadi merupakan akibat dari tekanan lateral dari otak tengah yang berbenturan dengan sudut tentorial

yatg

berseberangan karena pergeseran gyrus

dan kegagalan hati dan ginjal, berhubungan dengan berbagai perubahan pada neuron dan astrosit. Efek reversibel kondisi tersebut tidak jelas, tetapi mungkin disebabkan oleh gangguan penyediaan energi, perubahan di sepanjang membran neuron, dan abnormalitas neurotransmiter. Koma dan kejang adalah penyerta yang biasa terjadi akibat ketidakseimbangan sodium dan air dalam skala

pada aliran ion

parahipokampus.

yang besar. Perubahan osmolar ini meningkat karena

Herniasi transtentorial sentral. Merupakan gerakan

ketoasidosis, kadar hiperosmolar nonketotik, dan

simetik ke bawah dari bagian thalamus atas melalui bukaan tentorial. Tanda utama adalah pupil miotik dan drowsiness.

Herniasi temporal dan sentral dianggap sebagai penyebab tekanan progresifbatang otak dari atas: pefiama otak tengah, kemudian pons dan terakhir medulla. Sehingga terjadi tanda neurologis yang berhubungan dengan tingkat yang terpapar.

Bentuk lain adalah hemiasi transfalsial (pergeseran gyrus singulat di bawah falx dan disamping garis tengah) dan herniasi foraminal (dorongan ke bawah tonsil serebelar ke foramenmagnum).

Hubungan langsung antara berbagai konfigurasi hemiasi transtentorial dan koma, tidak selalu ditemukan. Pergeseran, strukfur otak dalam ke arah manapun oleh massa, cukup adekuat untuk menekan bagian RAS, sehingga terjadi koma.

Drowsiness dan stupor dapat terjadi dengan pengangkatan sedang secara horizontal pada daerah diencefalon (thalami), sebelum transtentorial atau hemiasi. Pada kasus tempaknya massa akut, terdapat hubungan konsisten antara tingkat pergeseran horizontal struktur garis tengah dengan tingkat kesadaran.

. . .

Pergeseran horizontal pineal 3 - 5 mm : drowsiness Pergeseran horizontal pineal 6 - 8 mm : stupor Pergeseran horizontal pineal > 9 :koma

mm

Koma dan Kondisi Ketidaksadaran Karena Gangguan Metabolik Gangguan metabolik mengakibatkan koma dan mengganggu pengiriman substrat energi (hipoksia, iskemia,

adanya gangguan sistemik termasuk di antaranya diabetik

hiponatremia. Sebagaimana ensephalopati metabolik lain, keparahan perubahan neurologik tergantung pada kecepatan perubahan serum yang terjadi.

Koma epileptik. Pengeluaran listrik menyeluruh dan berkelanjutan dari korteks (s eizures I kejang) berhubungan dengan koma, walaupun tidak ada aktivitas motor epileptik (convulsion). Koma yang terjadi setelah kejang, merupakan tahap postictal, yang disebabkan oleh kekurangan persediaan energi atau efek molekul toksik lokal yang merupakan hasil dari kejang.

Koma farmakologis. Ensefalopati jenis ini sangat reversibel

dan tidak menimbulkan kerusakan residual yang menyebabkan hipoksia. Overdosis beberapa obat dan toksin dapat menekan fungsi sistem saraf. Ada pula yang menyebabkan koma dengan mengganggu nukleus batang otak termasuk RAS dan korteks cerebral.

Penatalaksanaan. Evaluasi medik yang lengkap dapat ditunda kecuali tanda vital, funduskopi, pemeriksaan

nuchal rigidity sampai evaluasi neurologi dapat menentukan keparahan dan sebab koma.

Riwayat. Padaberbagai kasus, sebab dari koma akan cepat dibuktikan (misalnya. trauma atau serangan jantung). kendati demikian, terdapat beberapa hal yang harus diketahui: 1). kondisi dan kecepatan terjadinya gejala neurologis; 2). gejala anteseden (confusion, lemah, sakit kepala, kejang, pusing, pandangan gatda, atau muntah); 3). penggunaan obat-obatan, narkoba, atau alkohol; 4). penyakit hati kronik, ginjal, paru-paru, jantung, dan lainlain.

hipoglikemia) atau dengan mengganti eksitabilitas neuron. Neuron cerebral sangat tergantung pada aliran darah

cerebral (CBF:cerebral blood flow) dan berhubungan dengan pengiriman oksigen. dan glukosa. Otak menyimpan glukosa untuk energi selama 2 menit setelah aliran darah terganggu dan oksigen yang tersisa

Pemeriksaan Umum Fisis Harus segera diperiksa:

Suhu. l). Hipertermia; kemungkinan adanya infeksi sistemik, meningitis bakterial, atau ensefalitis. Suhu 42o -

207

PEITATALAKSANAAN UMUM KOMA

44" C'. heat stroke atau intoksikasi obat antikolinergik; 2). Hipotermia; kemungkinan intoksikasi alkohol, barbiturat, sedatif, atau fenotiazin, hipoglikemia, kegagalan sirkulasi periferal, atau hipotiroid, dan suhu < 3 l'C.

Denyut nadi. Takipnea yang disebabkan oleh asidosis atau pneumonla Pola pernapasan. Pola pemapasan tidak teratur berindikasi adatya gangguan batang otak Tekanan darah. 1). Hipertensi: ensefalopati hipertensi atau peningkatan cepat tekanan intrakanial; 2). Hipotensi: koma karena intoksikasi alkohol, barbiturat, perdarahan interrral, infark miokard, sepsis, krisis hipotiroid atau penyakit

Addison.

Sebagian besar penyebab koma adalah karena masalah medis yang jelas seperli intoksikasi obat, hipoksia, strok,

trauma, atau gagal hati dan ginjal. Kondisi yang menyebabkan koma mendadak, misalnya minum obat, perdarahan serebral, trauma. serangan janfung, epilepsi, atau emboli arteri basilar. Koma subakut biasanya akibat riwayat masalah medis atau neurologis sebelumnya. seperli lumor atau infark serebral.

Penyakit serebrovaskular merupakan penyebab terbesar kejadiankoma.

. .

Pemeriksaan funduskopi mendeteksi. Perdarahan subaraknoid, ensefalopati hipertensif, dan peningkatan tekanan intrakranial (edema papil ). Petekiae mendeteksi trombotik trombositopenik purpura, meningokoksemia, atau diatesis pendarahan.

Perdarahan gangliabasal dan talamik (onset akuttetapi tidak instan, muntah, sakit kepala, hemipegia, dan tanda

tertentu pada mata) Perdarahan pontin (onset mendadak, pupil terlihat, gerakan refleks mata hilang, dan respon komea, okular

naik turun, posturing, hiperventilasi, dan keringat

. .

berlebih) perdarahan serebelar (sakit kepala oksipital, muntah, gaze

paresis, dan tidak dapat berdiri)

trombosis arteri basilar (neurologic prodome atatt warning spells, dtplopia, disartria, muntah, gangguan

KADAR TERJAGAAN (AROUSAI) DAN GERAKAN YANG DIHASILKAN Jika pasien tidak terangsang oleh suara yang keras,

gerakan mata dan respon kornea, dan paresis asimetris

.

tungkai dan lengan). perdarahan subaraknoid (komapresipitus sesudah sakit

kepala dan muntah).

stimulus yang intensif dan semakin kuat dapat digunakan

Apabila riwayat dan pemeriksaan fisik tidak

untuk menentukan besarnya terjagaan dan respons motorik optimal pada setiap sisi tubuh. Hasilnya dapat bervariasi dari menit ke menit dan sangat diperlukan pemeriksaan beruntun. Misalnya dengan menggelitik

menunjukkan penyebab terjadinya koma, maka diperlukan pindaian CT atau MRI. Sebagian besar penyebab klinis dari koma dapat diketahui tanpa pindaian neurologis.

lubang hidung, menggunakan tangan unhrk mengeluarkan rangsangan yang salah. Refleks Cahaya Pupil

Refleks Batang Otak Penilaian fungsi batang otak sangat penting untuk mengetahui lokasi lesi pada koma. Refleks yang dinilai biasanya respons pupil pada cahaya, gerakan mata spontan dan keluar, respons kornea, dan pola pernapasan. Jadi, ketika aktivitas batang otak terdeteksi, terutama

reaksi pupil dan gerakan mata, maka koma dinyatakan sebagai penyakit hemisfer bilateral.

PENEGAKAN DIAGNOSIS KOMA Penyebab koma secara umum dikategorikan menjadi 3

(tiga) konsep:l). Tanpa tanda-tanda neurologis yang penting, misalnya. ensefalopati metabolik; 2). Sindrom meningitis, dengan kategori demam atau leher kaku dan adanya keluaran sel pada cairan spinal, misalnya. meningitis bakterial, perdarahan subaraknoid; 3). Dengan tanda-tanda penting yang biasa terjadi, misalnya strok, perdarahan serebral.

Gambar 1. Pemeriksaan refleks batang otak pada koma

208

KEGAWATDARURATAI\ MEDIK DI BIDANG ILMU PEITYAKIT DALAM

Kematian Otak Kematian otak terjadi akibat terhentinya aliran darah serebral, hasil dari hilangnya fungsi otak secara global sementara itu pemapasan dipertahankan dengan alat dan jantung terus dipompa. Kerusakan otak ini merupakan jenis yang dapat dikatakan sama dengan kematian. Diagnosis kematian otak, terdiri dari beberapa elemen

penting: 1). kerusakan batang korteks yang luas, yang ditunjukkan dengan koma yang dalam (tidak responsif terhadap semua bentuk rangsangan); 2). kerusakan menyeluruh batang otak, yang ditunjukkan dengan pupil tidak bereaksi terhadap cahaya dan hilangnya refleks okulovestibular dan kornea; 3). kerusakan medulla yang disebabkan oleh apnea komplet. Denyut nadi tidak bervariasi dan tidak respons pada atropin. Biasanya terjadi diabetes insipidus, tetapi terjadi beberapa jam atau hari setelah kematian otak. Pupil

membesar berukuran sedang. Refleks tendon tidak diperlukan karena tulang belakang tetap berfungsi. Tes apnea dapat dilakukan dengan aman, dengan menggunakan difusi oksigenisasi (ventilator dilepaskan).

Kemudian dilengkapi dengan preoksigenisasi 100% oksigen. Tekanan CO, meningkat sekitar 0.3 sampai 0.4 kPa/menit (2 - 3 mmHg/menit) selama apnea. Beberapa menit pada akhir observasi, PCO, arterial minimal sebesar > 6.6 sampai 8.0 kPa (50 60 mmHg). -

Penatalaksanaan Tujuan utama adalah mencegah kerusakan sistem saraf

yang lebih parah. Kondisi hipotensi, hipoglikemia, hiperkalsemia, hipoksia, hiperkapnia, dan hipertermia harus segera diperbaiki. Pada pasien drowsy yang bernapas secara noflnal, diperlukan pengawasan agar oropharyngeal airway tetap terbuka. Intubasi trakeal diperlukan. apabila terjadi apnea, obstruksi saluran napas atas, hipoventilasi, emesis, atau jika terjadi aspirasi karena koma. Diperlukan

ventilasi mekanik jika terdapat hipoventilasi atau kebutuhan untuk merangsang hipokapnia untuk menurunkan ICP. Dilakukan suntikan intravena dan diberikan nalokson dan dekstrosa jika terjadi overdosis narkotika dan hipoglikemia; tiamin diberikan bersama

Pemberian cairan hipotonik intravena harus dilakukan dengan hati-hati pada semua gangguan serius otak karena berpotensi terjadi edema serebri. Luka pada tulang servikal harus diperhatikan, terutama jika akan dilakukan intubasi atau evaluasi respons okulosefalik. Sakit kepala dengan demam dan meningismus merupakan tanda dibutuhkannya

pemeriksaan cairan serebrospinal unfuk mendiagonsis meningitis. Jika penekanan lumbal terlambat dilakukan karena suatu hal, maka harus segera diberikan antibiotik seperti sefalosporin generasi ketiga, terutama setelah diambil kultur darah. Glasgow Coma Scale (GCS). Pertama kali diperkenalkan pada tahun 1974 oleh Teasdale dan Jennett, sebagai alat

bantu dalam asesmen klinis kondisi ketidaksadaran. Kemudian GCS digunakan secara luas untuk mengukur pasien individual, membandingkan efektifitas pprawatan, dan faktor menentukan prognosis. GCS telah digunakan pada berbagai sistem klasifikasi trauma dan penyakit kritis. Glasgow Coma Scale terdiri dari nilai dengan kisaran 3 15, yang merupakan kisaran tingkat ketidaksadaran pasien trauma atau kritis (Tabel 1). Skala dihitung dengan cara penjumlahan semua nilai respon. E+M

. Ringan : l3 - 15 poin . Moderat:9-l2poin . Berat:3-8poin . Koma: nilai< 8 poin

Eye Opening Response (E)

Respons Motorik (M)

basilar dengan iskemia batang otak, digunakan heparin

jika tidak

terdapat

perdarahan serebral. Penggunaan fisostigmin untuk membangunkan pasien overdosis obat antikolinergik,

harus diberikan oleh dokter konsulen dan dengan

Respons

pengawasan yang ketat. Banyak dokter yang berpendapat bahwa obat tersebut hanya boleh digunakan pada pasien

Verbal (V)

overdosis antikolinergik yang berhubungan dengan aritmia j antung. Penggunaan antagonis benzodiazepin memiliki prospek untuk perbaikan setelah overdosis obat soporifik dan bermanfaat untuk ensefalopati hepatik.

3 sampai dengan 15

Penjumlahan nilai respons merupakan asesmen tingkat kategori ketidaksadaran pasien, yang terbagi menjadi:

dengan glukosa untuk menghindari terjadinya penyakit Wemicke pada pasien malnutrisi. Pada kasus trombosis

intravena atau obat trombolitik,

+Y:

dengan verbal,

Spontan: terbuka kedipan pada garis dasar Terbuka pada perintah bicara, atau jeritan Terbuka pada rasa sakit, terlihat pada wajah Tidak ada

tidak

respons yang

Melakukan gerakan diperintahkan Gerakan karena rangsang sakit (rasa sakit lokal) Tidak merasakan sakit Fleksus tidak normal, decofticate posture Respons ekstensor (rgtrd), decerebrate posture Tidak ada respons Terorientasi Pembicaraan membingungkan, tetapi dapat menjawab

rasa

pertanyaan. Respons tidak jelas, kata-kata jelas Kata-kata

Tidak ada

meracau respons

4 poin 3 poin 2 poin 1 poin

6 poin 5 poin

4 poin 3 poin

2 poin 1 poin

5 poin 4 poin

3 poin 2 poin 1 poin

209

PENAf, ALAKSTANAAN UMUM KOMA

Berbagai cara pengukuran lain telah dikembangkan satu kekurangannya adalah kegagalan dalam mengukur refleks batang otak Pengukuran ini juga memiliki bias numerik

untuk mengatasi kekurangan GCS. Salah

otak. Hilangnya gelombang kortikal pada potensi teqaga somatosensori merupakan indikator prognosis koma yang buruk.

dalam menghitung respons motorik. Masalah yang bekembang sekarang ini adalah penggunaan GCS pada pasien intubasi. Beberapa pendekatan lain digunakan untuk pasien tersebut. Kendati banyak kekuranganrya, Glasgow Coma Scale

masih digunakan secara luas untuk mengukur ketidaksadaran.

PROGNOSIS

REFERENSI Bartiett D. The coma cocktail: indications, contraindications, adverse effects, proper dose, and proper route. J Emerg Nurs

2004;6:30 Fukuda N, Tanizawa Y Progress in diagnosis of and therapy for hypoglycemic coma in patients with well-controiled diabetes. Nippon Naika Gakkai Zasshi. 20O4;8:93. Gerber CS. Understanding and managing coma stimulation: are we doing everything we can? Crit Care Nurs Q. 2005:2:28.

Kochanek PM,

Dampak koma adalah dibutuhkannya perawatan jangka panjang. Vegetative slale persisten memiliki prognosis yang buruk. Prognosis lebih baik dapat terjadi pada kelompok anak-anak dan remaja. Koma metabolik memiliki pronosis yang lebih baik dibandingkan dengan koma traumatik. Segala pendapat mengenai prognosis pada orang dewasa, sebaiknya hanya

berupa perkiraan, dan keputusan medis seharusnya disesuaikan dengan faktor-faktor seperti usia, penyakit sistemik yang ada, dan kondisi medik secara keseluruhan.

Informasi prognosis dari banyak pasien dengan luka di kepala, dapat dilakukan dengan Glasgow Coma Scale; secara empiris, pengukuran ini dapat memprediksi trauma

et al. Therapeutic hypothermia for

severe

traumatic brain injury. JAMA. 2003;22:289. Michelson DJ, S Ashwal. Evaluation of coma and brain death. Semin Pediatr Neurol. 2004;2:11. Nayana PP, TV Serane, et al. Long-term outcome in coma. Indian J Pediatr. 2005;4:12. Ropper AH. Acute confusional states and coma. In: Kasper DL, et al, eds. Harrison's principles of internal medicine. 16'h edition.

New York: McGraw-Hill; 2005. Shaffer L, et al. Case report: can mild head injury cause ischaemic stroke? Arch Dis Chiid. 2003;88. Stembach GL. The Glasgow coma scale J Emerg Med. 2000;1:19. Wang JT, et al. Prognostic value of evoked responses and eventrelated brain potentials in coma. Can J Neurol Sci. 2004;4:31.

Waterhouse C. The Glasgow Coma Scale and other neurological

28 SINKOP Kasim Rasjidi, Sally Aman Nasution

PENDAHULUAN

disebabkan oleh masalah kardiak. Sedangkan pada kelompok dengan kejadian sinkop yang berhubungan dengan persarafan termasuk hipotensi ortostatik dan sinkop yang berhubungan dengan obat-obatan, tidak

Berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari kata syn dan koptein, yang artinya memutuskan. Sehingga definisi dari sinkop tersebut adalah kehilangan kesadaran dan kekuatan postural tubuh yang tiba-tiba dan bersifat sementara,

menunjukkan peningkatan tingkat mortalitas.

dengan konsekuensi terjadi pemulihan spontan. Kehilangan kesadaran tersebut terjadi akibat penumnan aliran darah ke sistem aktivasi retikular yang berlokasi di

KLASIFIKASI

batang otak, dan akan membaik tanpa membutuhkan terapi kimiawi maupun elektnk. Kebanyakan individu yang pernah mengalami pingsan

Penyebab sinkop dapat diklasifikasikan dalam enam kelompok utama yaitu vaskular, kardiak, neurologikserebrovaskular, psikogenik, metabolik dan sinkop yang

(terutama sinkop vasovagal) tidak mencari pertolongan

tidak diketahui penyebabnya. Kelompok vaskular

dokter sehingga prevalensi dari sinkop tersebut sulit ditentukan. Diperkirakan sepertiga dari orang dewasa

merupakan penyebab sinkop terbanyak kemudian diikuti oleh kelompok kardiak.

pernah mengalami paling sedikit sekali episode sinkop selama hidupnya.. Di Amerika dikatakan bahwa t 3Yo dari kunjungan pasien di gawat darurat disebabkan oleh

Penyebab Vaskular dari Sinkop Dibagi dalam beberapa kelompok gangguan vaskular

kejadian sinkop, dan merupakan6Yo darialasan seseorang datang ke rumah sakit. Angka rekurensi dalam pemantauan selama 3 tahun lebih kurang34Yo. Pada studi Framingham mengenai kejadian sinkop dilakukan pemeriksaan sekali dalam dua tahun yang melibatkan 7814 individu, dilaporkan bahwa insidens sinkop pertama kali terjadi 6,211000 or-

seperti kelainan anatomik (subclavian steal syndrome), ortostatik (insufisiensi otonom, idiopatik, hipovolemia dan akibat induksi obat-obatan) serta diakibatkan refleks (hipersensitivitas sinus karotis, sinkop yang dimediasi

persarafan, sinkop glossofaringeal, situasional pada keadaan batuk, mengunyah atau berkemih serta keadaan sensitif terhadap adenosin).

angltahun. Sedangkan biaya yatg dikeluarkan untuk melakukan evaluasi dan pengobatan pasien dengan sinkop

tersebut dapat mencapai US $ 800 juta. Pasien yang mengalami episode sinkop akan mengalami penurunan kualitas hidup mereka. Prognosis dari sinkop sangat

Hipotensi ortostatik.

D efi ni si hipotensi ortostatik adalah apabila terjadi penurunan tekanan darah sistolik 20 mmHg atau tekanan darah diastolik 10 mmHg pada posisi berdiri selama 3 menit . Pada saat seseorang dalam posisi berdiri sejumlah 500-800 ml darah akan berpindah ke daerah

bervariasi tergantung dari diagnosis etiologinya. Sebagai contoh pada studi Framingham tersebut, individu yang mengalami sinkop termasuk sinkop yang tidak diketahui penyebabnya mempunyai tingkat mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan yang tidakpernah mengalami episode sinkop. Pada pengamatan dikatakan bahwa tingkat morlalitas tertinggi ditemukan pada kasus sinkop yang

abdomen dan ekstremitas bawah, sehingga berakibat terjadinya penurunan besar volume darah balik vena secara tiba-tiba ke jantung. Penurunan besar volume ini akan mengakibatkan penurunan curah jantung dan stimulasi pada aorta, karotis dan baroreseptor kardiopulmonal yang

210

2tt

SINKOP

akan mencetuskan peningkatan refleks simpatis. Hasil akhir yang ditemukan adalah keadaan di mana te4adi peningkatan

denlut jantung, kontraktilitas otot jantung dan resistensi vaskular unfuk mempertahankan tekanan darah sistemik menjadi stabil. Kondisi hipotensi ortostatik ini dapat asimtomatik tetapi dapat pula menimbulkan gejala-gejala seperti kepala terasa ringan, pusing, gangguan penglihatan, lemah, berdebar, gemetar dan sinkop. Sinkop yang terjadi setelah makan,

terutama pada usia lanjut disebabkan oleh redistribusi darah ke usus. Penurunan tekanan darah sistolik sebanyak 20 mmHg tata-rata satu jam setelah makan terjadi pada sekitar seperliga populasi usia lanjut yang berada di rumah perawatan. Walaupun sering tidak bergejala tetapi dapat mengakibatkan gejala kepala terasa ringan bahkan sinkop. Penyebab lain terjadinya hipotensi ortostatik adalah

obat-obatan terutama yang mengakibatkan terjadinya deplesi volume atau vasodilatasi. Populasi usia lanjut merupakan kelompok yang rentan dengan efek hipotensif obat-obatan akibat penurunan sensitivitas baroreseptor, berkurangnya aliran darah serebral, renal sodiumwasting dan gangguan mekanisme haus akibat proses penuaan. Di antara obat-obatan yang sering menyebabkanhipotensi ortostatik adalah:

. . . . . . . . . .

diuretika penghambat adrenergik alfa misalnya : terazosin penghambat saraf adrenergik misalnya : guanetidin

Sinkop yang dimediasi persarafan. Ada beberapa sindrom

sinkop yang dimediasi refleks di antaranya adalah hipersensitivitas sinus karotis, sinkop yang dimediasi persarafan, sinkop glossofaringeal, situasional (batuk, mengunyah dan berkemih) serta sensitif terhadap adenosin. Pada setiap kasus refleks timbul akibat pencetus $tada afferent limb) datrespon(pada efferent limb). Al
dari refleks tersebut akan timbul peningkatan aktivitas vagal dan umpan balik pada simpatis perifer sehingga terjadi bradikardi, vasodilatasi dan pada akhirnya hipotensi, presinkop atau sinkop. Penyebab refleks yang paling sering adalah hipersensitivitas sinus karotis dan hipotensi yang dimediasi persarafan. Pencetus yang khusus dari masing-masing keadaan misalnya pada sinkop akibat berkemih disebabkan oleh

aktivasi mekanoreseptor pada kandung kemih. Sinkop akibat defekasi timbul akibat input neural dari reseptor tekanan pada dinding usus, sedangkan sinkop akibat mengunyah timbul akibat impuls saraf aferen yang berada

di saluran cerna bagian atas.

Penyebab Kardiak dari Sinkop Sinkop yang disebabkan oleh masalah kardiak merupakan penyebab kedua tersering dari sinkop tersebut, meliputi 10-20% atau seperlima dari seluruh kejadian. Sinkop yang disebabkan kardiak ini akan menyebabkan risiko moftalitas

yang lebih tinggi dibandingkan kasus yang tidak

penghambatACE

mempunyai dasar kelainan jantung. Pasien dengan sinkop kardiak ini mempunyai risiko kematian tertinggi dalam 1 sampai 6 bulan. Tingkat mortalitas dalam I tahun perlama

antidepresan : MAO Inhibitor

alkohol penghambat ganglion misalnya : heksametonium,

18-33yo, dibandingkan dengan sinkop yang bukan

mekamilamin

disebabkan kelainan kardiak yaitu 0-l2oh, bahkan pada

tranquilizermisalnya: fenotiazin,barbiturat vasodilator : prazosin, hidralazin, penghambat saluran

sinkop tanpa sebab yang jelas hanya kira-kira 6oh. Demikian pula dengan angka kematian mendadak yang

kalsium

lebih tinggi pada populasi yang mempunyai kelainan dasar kardiak.

obat hipotensif yang bekerja sentral misalnya

:

metildopa, clonidin.

penyebab neurogenik yang digolongkan dalam gangguan

Aritmia. Sinkop akibat irama jantung yang tidak beraturan paling sering disebabkan oleh keadaan takiaritmia (ventrikular atau supraventrikular) atau bradiaritmia.

primer dan sekunder. Gangguan atau kelainan primer

Takikardia ventrikel merupakan keadaan takiaritmia yang

Hipotensi ortostatik juga dapat disebabkan oleh

biasanya idiopatik, sedangkan kelainan sekunder biasanya berhubungan dengan zat biokimiawi tertentu atau kelainan

paling sering menyebabkan sinkop. Takikardia

struktur yang merupakan bagian dari sindrom terlentu. Salah satu contoh adalah postural orthostatic tachycardia syndrome (POTS) adalah salah satu bentuk ringan dari gangguan otonom kronik dan intoleransi ortostatik ini ditandai dengan gejala-gejala yaitu peningkatan denyrt jantung sebanyak 28 kali/menit atau lebih tanpa diikuti

cukup sering, walaupun sebagian besar penderita

perubahan bermakna dari tekanan darah selama 5 menit dalam posisi berdiriatatupright tilt. POTS ini diakibatkan

oleh kegagalan vaskular perifer sehingga terjadi vasokonstriksi. Dapat pula terjadi akibat sinkop yang berhubungan dengan hipotensi yang dimediasi persarafan.

supraventrikular juga merupakan penyebab sinkop yang mempunyai keluhan yang lebih ringan seperti berdebar, sesak napas dan kepala terasa ringan. Bradiaritmia juga dapat menyebabkan terjadinya sinkop termasuk sick slners syndrome dan blok atrioventrikular. Contoh yang spesifik misalnya sinus arrest, fibrilasi atrial dengan respons ventrikel yang sangat cepat melalui jalur aksesori pada

pasien dengan sindrom Wolff-Parkinson-White dan takikardia ventrikel monomorfik yang menetap. Sedangkan padapasien dengan blokjantung komplit dapat mengalami episode sinkop yang membaik sendiri pada saat terjadinya curah jantung yang tidak efektif akibat takiaritmia ventrikel

212

atau episode asistol sementara (pada serangan stokesAdams). Satu bentuk dari takikardi ventrikel polimorfik adalah Torsade de pointes yang terjadi pada pasien dengan

repolarisasi ventrikel yang memanjang (sindrom QT memanjang atau Long QT syndrome /LQTS), tetapi mempunyai jantung yang secara stmktural normal. LQTS dapat terjadi akibat penyakit dasar yang didapat ataupun

kongenital misalnya pada keadaan hipokalemia atau terpapar obat-obatan tertentu. Tbrsade de pointes dalam perkembangannya dapat menjadi fibrilasi ventrikel. Maka seseorang dengan LQTS mempunyai risiko mengalami sinkop atau bahkan kejang (akibat hipoksia serebral sesaat) dan yang lebih fatal adalah kematian mendadak. Kelainan kongenital lain yang berpotensi mengakibatkan gangguan aitmiayang fatal adalah sindrom Brugada (elevasi segmen ST di daerah prekordial V,, V, dan V, yang sering disertai blok berkas cabang kanan inkomplit maupun komplit),

takikardi ventrikel polimorfik akibat katekolaminergik familial serta displasia ventrikel kanan yang berhubungan dengan aritmia ventrikel. Pada kardiomiopati hipertrofi, akibat hipertrofi kardiak yang terjadi dapat menyebabkan kematian mendadak karena takiaritmia ventrikel menetap. Penjelasan lain dari sinkop yang dapat terjadi adalah tipe obstruktif di mana terdapat gradien intraventrikular. Pada pengguna pacu jantung dan ICD (Implantable Cardiac Defibrillalor) yang mengalami gangguan fungsi dapat menyebabkan terjadinya sinkop. Individu pengguna ICD misalnya, apablla terjadi takiaritmia ventrikel yang cepat dan dapat diatasi dengan alat tersebut, sinkop masih

KEGAWTfi)ARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

menyebabkan obstruksi pada pengisian ventrikel dan terjadi sinkop.

Penyebab neurologik/serebrovaskular dari sinkop. Penyebab neurologik dari sinkop termasuk migrain, kejang,

malformasi Amold-Chiari dan TIA (Transient Ischemic Attack) yang ternyata cukup mengejutkan karena

merupakan < l\yo sebagai penyebab sinkop secara keseluruhan. Kebanyakan individu yang mengalami sinkop akibat kelainan neurologik seringkali mengalami kejang, daripada hanya episode sinkop saja. Kelainan neurologi yang terjadi seringkali mirip dengan

sinkop yaitu terdapatnya gangguan atau hilangnya kesadaran seseorang. Keadaan ini termasuk iskemi serebral sementara (biasanya pada daerah vertebrobasiler), migrain

(daerah arteri basiler), epilepsi lobus temporal, kejang atonik dan serangan kejang umum. Pada gangguan neurologi yang berhubungan dengan nyeri hebat seperti

neuralgia trigeminal atau glosofaringeal, kehilangan kesadaran biasanya disebabkan sinkop vasovagal.

Penyebab metabolik/lain-lain dari sinkop. Penyebab metabolik pada sinkop sangat jarang,hatya kira-kira 5% dari seluruh episode sinkop. Gangguan metabolik yang seringkali menjadi penyebab sinkop tersebut adalah hipoglikemi, hipoksia dan hiperventilasi. Sinkop akibat

hipoglikemi adalah hilangnya kesadaran yang berhubr.rngan dengan kadar gula darah di bawah 40 mgldL dan disertai gejala tremor, bingung, hipersalivasi, keadaan hiperadrenergik dan rasa lapar. Hipoglikemi selalu harus

dipikirkan pada pasien dengan diabetes melitus yang

mungkin dapat terjadi, hal ini tergantung dari lamanya keadaan hipotensi akibat proses terminasi dari takiaritmia tersebut. Sehingga penting sekali mendapatkan keterangan mengenai ICD yang dipergunakan terutama

mendapatkan terapi insulin atau obat hipoglikemik oral.

apabila terdapat episode sinkop tersebut.

dalam posisi terlentang. Hipoadrenalism yang dapat menyebabkan terjadinya hipotensi postural akibat sekresi kortisol yang tidak adekuat, merupakan penyebab penting episode sinkop yang dapat diobati. Keadaan ini harus dipikirkan pada individu yang mendapatkan terapi steroid jangka panjang dan tiba-tiba menghentikannya atau bila sudah terdapat stigmata insufisiensi adrenal.

Struktur anatomi jantung. Kelainan anatomi jantung yang dapat menyebabkan sinkop termasuk stenosis valvular (aorta, mitral, pulmonal), disfungsi katup protesa atau hombosis, kardiomiopati hiperfrofft, emboli paru, hipertensi

pulmonal, tamponade jantung dan anomali dari arteri koroner. Sinkop pada stenosis aorta terjadi saat aktivitas ketika terjadi obstruksi katup menetap dan menghambat peningkatan curahjantung sehingga timbul dilatasi vaskular pada otot-otot skeletal yang bergerak. Sinkop dapat terjadi saat aktivitas atau latihan tersebut bahkan sesaat setelahnya. Sinkop juga dapat terjadi pada saat istirahat pada stenosis aorta bila ditemukan keadaan takiaritmia paroksismal atau bradiaritmia yang timbul bersamaan dengan abnormalitas katup ini. Diseksi aorta, subclavian steal syndrome, disfungsi berat ventrikel kiri dan infark miokard merupakan penyebab penting lain dari sinkop kardiak. Pada usia lanjut, sinkop

dapat merupakan tampilan dari infark miokard akut. Miksoma atrial kiri atau trombus pada katup protesa yang menutupi katup mitral selama fase diastolik akan

Penting diperhatikan bahwa sinkop akibat hipoglikemi berbeda dengan sinkop pada keadaan lain yaitu tidak berhubungan dengan hipotensi, bahkan pada saat pasien

UJIDIAGNOSTIK Mengetahui penyebab pasti dari sinkop seringkali merupakan sesuatu keadaan sulit yang menantang. Hal ini disebabkan oleh karena kejadian sinkop tersebut terjadi secara sporadis dan jarang, sehingga sulit untuk dapat melakukan pemeriksaan fisis ataupun membuat rekaman jantung saat kejadian sinkop tersebut.

Anamnesis dan Pemeriksaan Fisis Pada saat sinkop kehilangan kesadaran terjadi akibat berkurangnya perfusi darah di otak. Penting sekali

213

SINKOP

diketahui riwayat kejadian di saat-saat sebelum terjadinya sinkop tersebut untuk menentukan penyebab sinkop serta

menyingkirkan diagnosis banding yang ada. Dari anamnesis harus ditanyakan riwayat pasien secara teliti dan seksama, sehingga dari riwayat tersebut dapat menggambarkan kemungkinan penyebab sinkop tersebut atau dapat sebagai petunjuk untuk strategi evaluasi pada pasien. Gambaran klinis yang muncul pada setiap pasien sangat penting untuk diketahui terutama faktor-faktor yang dapat merupakan predisposisi terjadinya sinkop beserta

akibatnya.

Hal-hal penting untuk ditanyakan pada saat anamnesis tercantum pada Tabel 1. Sebaiknya semua hal

yang tercantum ditanyakan secara teliti dan seksama. Selain berguna untuk diagnostik, mengetahui riwayat kejadian juga dapat merupakan strategi untuk evaluasi. Sebagai contoh, penyebab kardiak sangat mungkin dipikirkan apabila sinkop didahului dengan keluhan berdebar-debar, atau sinkop terjadi pada posisi terlentang ataupada saat selama melakukan latihan hsik. Sebaliknya, mekanisme mediasi oleh persarafan sangat mungkin menjadi penyebab apabila terdapat faktor-faktor

predisposisi, keadaan yang memberatkan, gejala ikutan dan pasien mengalami episode sinkop berulang dalam beberapa tahun. Beberapa penyebab terjadinya kehilangan kesadaran

yang paling sering ditemukarr antara lain : l). Serangan Stokes-Adam misalnya, keadaan asistol sementara atau fibrilasi ventrikel pada blok atrioventrikular ; 2). Aritmia Jantung lain, atau 3). Kejang (misalnya petit mal pada epilepsi). Kemungkinan bahwa hal-hal tersebut di atas

merupakan penyebabnya harus dipikirkan apabila kehilangan kesadaran tersebut teg'adi tiba-tiba dan lamanya

berkisar anlara I sampai 2 detik. Kejadian yang gradual atau bertahap kemungkinan disebabkan oleh sinkop vasodepresor, misalnya pingsan pada umumnya atau sinkop akibat hiperventilasi atau hal lain yang lebihjarang adalah hipoglikemia. Pada pemeriksaan fisis, gambaran klinis dan tampilan pasien sangat penting diketahui. Pemeriksaan-pemeriksaan

yang meliputi tanda-tanda sistem kardiovaskular, pemeriksaan neurologis serta gejala-gejala terdapatnya hipotensi ortostatik harus dilakukan pada pasien dengan sinkop. (Tabel2)

Rekomendasi klas

I

untuk diagnosis berdasarkan

evaluasi awal (anamnesis, pemeriksaan fisis, pengukuran

tekanan darah ortostatik dan elektrokardiogram, maka diagnosis penyebab sinkop pada keadaan-keadaan : Pertanyaan-pertanyaan seputar keadaan saat sebelum serangan Posisi (duduk, terlentang atau berdiri) Aktivitas (istirahat, perubahan posisi, sedang atau sehabis melakukan latihan fisik, sedang atau sesaat setelah berkemih, buang air besar, batuk atau menelan) Faktor-faktor predisposisi (misalnya tempat ramai atau panas, berdiri dalam waktu lama, saat setelah makan) dan faktor yang memberatkan (misalnya ketakutan, nyeri hebat, pergerakan leher)

-

Sinkop vasovagal : bila terdapat kejadian-kejadian yang memberatkan seperti rasa takut, nyeri hebat, stres emosi, berdiri lama yang timbul dengan gejala prodromal tipikal

-

Sinkop situasional : bila sinkop terjadi selama atau segera setelah berkemih, defekasi, batuk atau mengunyah

Pertanyaan-pertanyaan mengenai saat terjadinya serangan Mual, muntah, rasa tidak enak di perut, rasa dingin, berkeringat, aura, nyeri pada leher atau bahu, penglihatan kabur

-

Pertanyaan-pertanyaan mengenai serangan yang terladi (saksi mata) Bagaimana cara seseorang tersebutjatuh (merosot atau berlutut), warna kulit (pucat, sianosis, kemerahan), lamanya hilang kesadaran, jenis pernapasan (mengorok), pergerakan (tonik, klonik, tonik-klonik atau minimal mioklonus, otomatisasi) dan lama kejadiannya, jarak antara timbulnya pergerakan-pergerakan tersebut dengan kejadian jatuh, lidah tergigit

-

Pertanyaan-pertanyaan mengenai latar belakang Riwayat keluarga dengan kematian mendadak, penyakit jantung aritmogenik kongenital atau pingsan Riwayat penyakit jantung sebelumnya Riwayat kelainan neurologis (parkinsonisme, epilepsi, narkolepsi) Gangguan metabolik (misalnya diabetes melitus) Obat-obatan (antihipertensi, antiangina, antidepresan, antiaritmia, diuretika dan obat-obatan yang dapat membuat QT memanjang) (Bila terjadi sinkop berulang) Keterangan mengenai berulangnya sinkop misalnya waktu dari saat episode sinkop pertama dan jumlah rekurensi yang terjadi

-

-

Sinkop ortostatik : bila diketahui terdapat hipotensi ortostatik dan berhubungan dengan kejadian sinkop atau pre-sinkop. Pengukuran tekanan darah ortostatik dilakukan

setelah pasien berbaring terlentang selama 5 menit. Pengukuran diteruskan setelah 1 atau 3 menit berdiri dan tetap diteruskan pengukurannya bila tekanan darah masih menurun dalam 3 menit. Bila pasien tidak dapat berdiri lama, tekanan darah sistolik terendah selama posisi tegak harus direkam. Penurunan tekanan darah sistolik > atau sama dengan 20 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik sampai 90 mmHg dapat didefinisikan sebagai hipotensi ortostatik, terlepas dari ada atau tidaknya gejala yang menyertarnya. Sinkop akibat aritmia : Dilihat dari gambaran EKG dan bila terdapat: . Sinus bradikardia < 40 kali/menit atau blok sinoatrial berulang atau henti sinus > 3 detik

. . .

.

Mobitz II. BlokAV deraj at2 atau3

Blokberkas cabang kanan dan diri bergantian Takikardia supraventrikular paroksismal dengan laju ventrikel cepat Malfungsi pacu jantung dengan henti irama.

214

Gejala atau Penemuan Klinis Setelah tibatiba timbul perasaan, suara atau bau yang tidak menyenangkan dan tidak dapat

dijelaskan Posisi berdiri dalam waktu lama atau di keramaian, tempat yang hangat Mual, muntah berhubungan

dengan sinkop Satu jam setelah makan Setelah latihan flsik Sinkop dengan nyeri di daerah tenggorokan atau wajah

Dengan rotasi kepala, terdapat penekanan pada sinus karotis (tumor, bercukur, kerah yang ketat) Dalam beberapa detik sampai menit bila berdiri aktif

Terdapat hubungan waktu dengan dimulainya terapi obat tertentu atau perubahan dosis obat yang diberikan Selama latihan fisik , atau posisi terlentang Didahului keluhan berdebardebar Riwayat keluarga mengalami kematian mendadak

KEGAWTIDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALI\M

Kemungkinan Penyebab

dilakukan pada wanita usia reproduksi, terutama yang akan

Vasovagal

menjalani head-up tilt testing atau uji elektrofisiologi. Vasovagal atau gangguan otonom

Vasovagal Post prandial (gangguan

otonom) Vasovagal atau gangguan otonom

Neuralgia (neuralgia glosofaringeal atau trigeminal) Sinkop akibat gangguan sinus karotis yang spontan

Hipotensi ortostatik

dan diplopia Lengan yang sering dipergunakan untuk latihan Perbedaan tekanan darah atau denyut nadi pada kedua lengan

Pemeriksaan elektrokardiografi. Rekaman elektrokardiografi 1 2 sandapan harus selalu dilakukan pada pasien dengan sinkop. Walaupun tidak banyak informasi yang dapat diperoleh apabila sinkop tersebut disebabkan keadaan non-kardiak, tetapi pemeriksaan ini mudah, cepat, tanpa risiko dan tidak mahal. Beberapa penemuan penting yang dapat diperoleh dari pemeriksaan ini serta kemungkinan dapat diidentifikasi sebagai penyebab sinkop

antara lain, pemanjangan interval QT (sindrom QT memanjang), pemendekan interval PRdan gelombang delta (pada sindrom Wolff-Parkinson-White), blok berkas cabang kanan dengan elevasi segmen ST (pada sindrom Brugada), infark miokard akut, blok atrioventrikular derajat tinggi atau inversi gelombang T pada sandapan prekordial kanan (pada

displasi ventrikel kanan aritmogenik). Banyak pasien dengan sinkop menunjukkan gambaran rekaman elektrokardiograhyatg normal. Hal ini sangat berguna

Drug lnduced

untuk menunjukkan kemungkinan kecil penyebab sinkop berasal dari kelainan kardiak, yang berhubungan dengan

Sinkop kardiak

prognosis yang lebih baik. Terutama bila terjadi pada pasien usia muda yang mengalami sinkop.

Takiaritmia Sindrom QT memanjang, sindrom Brugada, Displasi Ventrikel Kanan, Hipertrofi Kardiomiopati

Disertai gejala vertigo, disartria

perdarahan dan lain-lain. Pada keadaan sindrom QT memanjang keadaan hipokalemia dan hipomagnesemia harus disingkirkan terlebih dahulu. Tes kehamilan harus

Tl A (Transient

schemic Attack) pada batang otak Subclavian steal I

Subclavian stea/ atau diseksi aorta

Bingung setelah serangan selama lebih dari 5 menit

Kejang

Pergerakan tonik klonik, automatisme, lidah tergigit, wajah kebiruan, aura epileptik Seringkali serangan disertai keluhan somatis, tanpa kelainan organik pada jantung.

Kejang

Blok bifasikular (didefinisikan sebagai blok berkas cabang kiri atau blok berkas cabang kanan atau blok fasikular posterior kiri) Abnormalitas/kelainan konsuksi intraventrikular lain (durasi QRS > 0,12 detik) Blok atrioventrikular derajat dua Mobitz I Bradikardia sinus asimptomatik (< 50 derajat per menit), atau blok sinoatrial Kompleks QRS praeksitasi lnterval QT memanjang

Pola blok berkas cabang kanan dengan elevasi ST pada sadapan V1-V3 (sindrom Brugada)

Gelombang

T

negatif pada sadap prakordial

kanan,

gelombang epsilon, dan kelambatan ventrikular yang Gangguan psikiatrik

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan darah rutin. Pemeriksaan laboratorium darah rutin seperti elektrolit serum, enzim jantung,kadar gola darah dan hematokrit memiliki nilai diagnostik yang rendah.

Sehingga pemeriksaan-pemeriksaan tersebut tidak direkomendasikan pada pasien dengan sinkop, kecuali terdapat indikasi tertentu dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisis. Misalnya pemeriksaan kadar gula darah untuk menyingkirkan kemungkrnan hipoglikemia dan kadar

hematokrit untuk mengetahui kemungkinan adanya

berpotensi pada dugaan dispasia ventrikular kanan

aritmogenik Gelombang Q diduga infark miokard.

Ekokardiograli. Dipergunakan sebagai uji penapisan untuk deteksi penyakit jantung pada pasien dengan sinkop. Walaupun mempunyai nilai diagnostik yang rendah bila dari anamnesis, pemeriksaan fisis dan EKG tidak ditemukan abnormalitas kardiak. Pada pasien yang mengalami sinkop

atau pre-sinkop dengan pemeriksaan fisis yang nofinal, kelainan yang paling sering,ditemukan (4-60/o sampai l850% kasus) adalah prolaps katup mitral. Abnormalitas kardiak lain termasuk penyakit katup j antung (paling banyak stenosis aorta), kardiomiopati, abnormalitas pergerakan

2t5

SINKOP

dinding ventrikel regional yang menunjukkan kemungkinan terdapat infark miokard, penyakit jantung infiltratif seperti amyloidosis, fumor kardiak, aneurysma dan tromboemboli atrial. Penemuan kelainan jantung ini penting sebagai stratifikasi risiko. Bila ditemukan kelainan jantung yang sedang-berat, maka evaluasi langsung dilakukan pada

Di sisi lain, bila kelainan struktur yang ditemukan hanya ringan, kemungkinan sinkop kardiak menjadi kecil sehingga penyebab kardiak dari sinkop tersebut.

evaluasi dilanjutkan seperti pada seseorang tanpa kelainan

struktur jantung.

Elektrofisiologi. Untuk indikasi rekomendasi dilakukamya studi elektrofisiologi invasif bila pada evaluasi awal dicurigai sinkop terjadi disebabkan oleh aritmia (pasien dengan abnormalitas EKG dan atau terdapat penyakit struktur jantung atun sinkop yang berhubungan dengan palpitasi, atau pasien dengan riwayat kematian mendadak pada keluarga). Sedangkan untuk diagnosis dikatakan apabila hasil studi elektrofisiologi normal tidak dapat sepenuhnya menyingkirkan aritmia sebagai penyebab sinkop, sangat dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan selanjutnya. Pada beberapa keadaan dikatakan studi elektrofisiologi sangat tinggi nilai diagnostiknya sehingga tidak diperlukan pemeriksaan tambahan lain. Sebagian besar

ahli berpendapatbila hasil studi dapat menginduksi terjadinya ventrikular takikardia monomorfik yang menetap dengan mempergunakan protokol standard. Sedangkan kriteria lain yang menunjukkan hasil positif adalah : 1)'

Titt-Table Tesling,Uji ini merupakan pemeriksaan standar dan sudah diterima secara luas sebagai salah satu uji

diagnostik pada evaluasi pasien dengan sinkop. Pemeriksaan upright tilt testing dlindikasikan pada sinkop yang kemungkinan dimediasi oleh persarafan, dan uji ini penting sebagai baku emas untuk membuat diagnosis tersebut. Dalam acuan yang dikeluarkan the American College of Cardiol o gy dicantumkan rekomendasi sekaligus

interpretasi dari pemeriksaan

ini. Upright tilt

testing

biasanya dilalarkan selama 30 sampai 45 menit dengan sudut kemiringan atfiara 60 sampai 80 derajat (biasanya dipakai

70 derajat). Sensitivitas dari hasil pemeriksaan ini dapat meningkat, dengan spesifisitas yang lebih rendah, menggunakan lama pemeriksaan yang lebih panjang, sudut pemeriksaan yang lebih curam dan obat-obatan provokatif seperti isoproterenol atau nitro gliserin. Kesepakat at y ang dipakai adalah uji ini disarankan pada kejadian sinkop berulang, atau pada kejadian sinkop pertama kali tetapi pasien dengan risiko tinggi, pada serangan sinkop pertama kali tanpa kelainan struktur jantung atau penyebab sinkop lain dapat disingkirkan dengan pemeriksaan ini, dan pada

evaluasi pasien yang penyebab sinkop telah terbukti (seperti asistol, blok atrioventrikular) tetapi menunjukkan kemungkinan adanya penyebab persarafan pada kej adian sinkop tersebut yang akan mempengaruhi rencana pengobatan selanjutnya, serta pemeriksaan ini juga dianjurkan sebagai evaluasi sinkop yang berhubungan atau akibat aktivitas fisik.

Pemanjangan waktu CSNRT (Coruected Sinus Node Recovery Time)leblhdari 1000 ms; 2). Pemanjanganyang bermakna dari interval llV (His-Purkinje) lebih dari 90-100 ms; 3). Terjadinya blok infra-His baik akibat induksi ataupun secara spontan; 4). Takikardia supraventrikular dengan

hipotensi Pemijatan pada sinus karotis. Pemijatanpada sinus karotis ini adalah suatu teknik dengan melakukan tekanan secara

halus pada sinus karotis untuk mendiagnosis hipersensitivitas sinus karotis. Bila hasil yang ditemukan : . Terjadi asistol selama lebih dari 3 detik berarti : terjadi respons kardioinhibisi

.

Terjadi penurunan tekanan darah sistolik 50 mmHg berarti: terjadi respons vasodepresor

Pasien dengan respons kardioinhibisi harus ditatalaksana dengan menggunakan alat pacu jantung. Pada beberapa studi dikatakan bahwa manuver

ini

sangat

berguna bila dilakukan pada individu berusia > 60 tahun dengan rata-rata nilai diagnostiknya 46%o. Selama

dilakukan manuver

Tipe sinko turun

Denyut jantung menurun pada saat trikel tidak menurun < 40 kali/menit atau li/menit selama minimal 10 detik dengan atau tanpa periode asistol < 3 detik. Tekanan darah menurun sebelum penurunan denyut jantung. Tipe 2 A. Hambatan kardiak tanpa asistol. Denyut jantung menurun sampai laju ventrikel < 40 kali/menit selama lebih

dari 10 detik tetapi tidak terjadi episode asistol yang > 3 detik. Tekanan darah menurun sebelum penurunan denyut jantung. Tipe 2 B. Hambatan kardiak dengan asistol. Asistol terjadi > 3 detik. Tekanan darah menurun bersamaan dengan atau terjadi sebelum penurunan denyut jantung. Tipe 3, Vasodepresor. Denyut jantung tidak menurun lebih dari 10olo dari puncaknya pada saat sinkop. Pengecualian 1. lnkompetensi kronotropik. Tidak terjadi

peningkatan denyut jantung selama tllt festtng (misalnya < 10o/o dari

laju pre-tl/f tesflng)

Pengecualian 2. Peningkatan denyut jantung berlebihan. Peningkatan denyut jantung yang berlebihan pada saat posisi tegak dan selama waktu sebelum sinkop (misalnya > 130 kali/menit)

ini selalu dilakukan dengan

pemantauan EKG dan pengukuran tekanan darah, karena manuver ini bukan tanpa risiko walaupun kecil. Tentu saja pasien yang sebelumnya diketahui mempunyai kelainan pada arteri karotis (misalnya terdapat bruit karotis) atau

PENATALAKSANAAN PASIEN DENGAN SINKOP Pendekatan dalam penatalaksanaan pasien dengan sinkop

yang mempunyai risiko strok tidak dianjurkan untuk

sangat bergantung dari diagnosis yang telah dibuat.

dilakukan manuver tersebut.

Seperti contohnya pasien dengan sinkop yang disebabkan

216

KEGAWAXDARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

oleh blok atrioventrikular atau sick sinus syndromeharus dilakukan pemasangan pacu janfung menetap, tatalaksana

adalah : disopiramid, golongan antikolinergik, teofilin dan clonidine. Pacu Jantung: Secara teoritis, pacu jantung akan banyak bermanfaat pada pasien dengan dominasi kelainan pada kardioinhibisi dibandingkan dengan respon vasodepresan.

pasien dengan sindrom Wolff-Parkinson-White membutuhkan ablasi kateter, sedangkan pasien dengan takikardi ventrikel kemungkinan harus dilakukan implantasi

.

defibrilator. Jenis-jenis lain dari penyebab sinkop mengharuskan penghentian obat-obatan tertentu,

Sinkop akibat aritmia; Belum banyak data yang mengevaluasi efek antiaritmia, baik farmakologik ataupun pemasangan alatpada pasien dengan episode sinkop akibat aritmia. Saat ini telah dipertimbangkan untuk pemasangan dehbrilator intrakardiak pada pasien yang mengalami sinkop dan membutuhkannya sesuai

peningkatan asupan garam atau edukasi terhadap pasien. . Sinkop neurokardiogenik : Yairu pada pasien-pasien dengan sinkop berulang atau sinkop yang berhubungan dengan cedera fisik atau stres pada pasien. Pendekatan non-farmakologik biasanya merupakan pilihan pertama

rekomendasi dari American College Cardiology (ACCy American Heart Association (AHA), yaitu: pasien dengan riwayat infark miokard, ejection fraction (EF) < 35o/o atau sama, terdapat dokumentasi

dalam terapi, termasuk mengajari pasien untuk menghindari faktor-faktor yang dapat menjadi pemicu timbulnya sinkop, seperti panas yang berlebihan, dehidrasi, posisi berdiri setelah latihan fisik, alkohol dan obat-obatan tefientu. Ada pula pengalaman klinis yang mengatakan bahwa suplementasi garam dan asupan cairan dapat menurunkan episode sinkop. Sedangkan untuk terapi farmakologis, ada beberapa

yang membuktikan terjadinya takikardia ventrikular yang tidak menetap, dan takikardia ventrikular yang diinduksi pada studi elektrofisiologi, atau kejadian takikardia ventrikular yang spontan. Sedangkan pacu jantung harus dipasang pada pasien dengan bukti dokumentasi terjadinya bradiaritmia berat atau

obat-obatan yang direkomendasikan seperti golongan;

atenolol (.8- blocker), midodrine (a-agonist),

simtomatik.

paroxetine (se\ective serotonin reuptake inhibitor) dan

Hal lain yang harus diperhatikan adalah indikasi

enalapril. Golongan obat-obatan lain yang juga

perawatan di rumah sakit pada pasien dengan sinkop dan lamanya larangan seorang pasien unfuk mengemudikan

direkomendasikan sebagai terapi sinkop vasovagal

SINKOP I

Anamnesis, Pemeriksaan fisis, EKG

Diagnostik (termasuk vasovagal, situasional, hipotensi oilostatlk, dan poliiarmasi pada usia lanlut)

S nkop dengan penyebab yang

Suggestlve

belum jelas

(term asuk stenosis aorta,

emboli paru gejala neurologis, riwayat keluarga dengan sinkop atau kematian mendadak

1

I I

I

Penyakii lantung organik(PJ0) (abnormalilas EKG, gejala saat aklivitas, sinkop mendadak)

+ IERAPI

3

I

Pemeriksaan khusus (E koka rdlografi, kateterisasi

>60th

Us a

Tidak dicurigai terdapat peny Jantung

jantung, scan paru, EEG, tomografi komputerisasi)

Pem ijatan karotls

c TE

I

PJo RAP

-

I

t

I

Ekokardioorafi dan treadmilltest I

eloQ lrama sinus normal dengan gejala

Aritm ia dengan

I I

+

'I

Hentikan mencari penyebab aritm ia

Gejala berulang

+

I/, lesl evaluasi psikiatri

Tidak diagnostik

n.,.'.

I Studi elektrofisiolog

i

el

Ep sode per ama

J STOP

Sering

ttt

lllonitor

EKG,

Tidak

Sering

fi/t lesl,

,7f lest, evaluasi psikiaki ps ik ia tri

Gambar 1. Algoriime Diagnostik Sinkop (Sumber: Linzer M, et al, Ann lntern Med. 1997;126:989-96)

Episode pertama

evaluasi

STOp

217

SINKOP

kendaraan. Pada umumnya perawatan di rumah sakit diindikasikan pada pasien yang : . Mempunyai riwayat penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif atau aritmia ventrikular . Disertai gejala nyeri dada . Pada pemeriksaan fisik terdapat kelainan katup yang bermakna, gagal jantung kongestif, strok atau gangguan neurologis fokal

. . .

.

PadapemeriksaanEKG ditemukan gambaran : iskemia, aritmia, interval QT memanj ang atau blok berkas cabang

Indikasi lain

:

Kehilangan kesadaran yang tiba-tiba disertai terjadinya cedera, denyrt jantung yang cepat atau sinkop yang berhubungan dengan aktivitas

Frekuensi kejadian makin meningkat, kemungkinan

penyakit jantung koroner atau terdapat aritmia

. .

(misalnya pada pemakaian obat-obatan yang dapat menginduksi terjadinya torsades de pointes). Hipotensi ortostatik sedang berat Usia di atas 70 tahun Demikian pula dengan masalah izin mengemudikan

kendaraan bermotor. Dokter yang merawat pasien dengan sinkop harus memberitahukan kemungkinan risiko yang dapat timbul bila pasien tersebut mengemudikan kendaraan,

baik risiko terhadap dirinya maupun terhadap orang di sekitarnya. Sebagian ahli berpendapat seseorang yang pemah mengalami sinkop sebaiknya tidak diizinkan untuk mengemudikan kendaraan, karena terdapat kemungkinan sinkop berulang. Di AS dari AHA/NASPE dibuat suatu rekomendasi mengenai izin mengemudikan kendaraan bermotor bagi individu yang pernah mengalami episode sinkop, aturan ini dikenakan pada kejadian aritmia yang mengakibatkan kehilangan kesadaran, yaitu : . Episode vasovagal ringan (hanya pre-sinkop saja, dengan tanda-tanda sebelum kejadian sinkop tersebut, hanya pada posisi berdiri, jelas faktor pemicunya, tidak sering frekuensi timbul serangan), tidak dikenai batasan

dalam memperoleh izin mengemudikan kendaraan

.

bermotor.

Sinkop vasovagal berat (kehilatgan kesadaran sepenuhnya, tanpa tanda-tanda sebelum kejadian sinkop tersebut, dapat timbul pada berbagai posisi tubuh, tanpa faktor pemicu yang jelas, frekuensi timbul

.

serangan cukup sering), izin untuk mengemudikan kendaraan bermotor setelah sinkop teratasi dapat diberikan dengan pemantauan dalam 3 bulan. Sinkop vasovagal berat yang tidak diobati : izin untuk mengemudikan kendaraan bermotor sama sekali tidak dapat diberikan.

REFERENSI Abboud FM, Neurocardiogenic syncope N Engl J Med 1993; 328: ttt7 -20 Alboni P, Menozzi C, Brignole M et a1. An abnormal neural reflex plays a role in causing syncope in sinus bradycardia. .l Am Col1 Cardiol 1993;22: 1123-9 Alboni B Brignole I\{, Menozzi C et al. The diagnostic value ol history in patients with syncope with or without heart disease. J

Am Coll Cardiol 2001; 37;1921-8.

Atkins D, Hanusa B, Sefcik T et al. Syncope and orthostatic hypotension. Am J Med 1991 ; 91 : 179-85. Benditt DG, Ferguson DW, Grubb BP et al. Tilt table testing for of Cardiology, J Am Coll Cardiol 1996; 28: 263-7 5. Benditt DG, Lurie KG, Fabian WH : Clinical approach to diagnosis of syncope. An oven,iew. Cardiol Clin 1997; 15 165-76 Brignole M, Menozzi C, Gianfranchi L et al. Neurally mediated syncope detected by carotid sinus massage and head-up tilt test in sick sinus syndrome. Am J Cardiol 1989; 63: 58-65. Brignole M, Alboni P, Benditt D, Bergfeldt L, Blanc JJ, Thomsen PEB,Van DUk JG Fitzpatrick A, Hohnloser S, Janousek J, et al. Guidelines on management (diagnosis and treatment) of syncope. Eur Heart J,2001;'22: 1256-13O6. Brugada J, Brugada R, Antzelevithch C et al. Long-term follow-up of individual with the electrocardiographic pattem of right bundle branch block an
emergency room patients with transient loss Am J Med 1982;73: 15-23.

Denes P, IJretz

E, Ezri MD et

of consciousness.

a1. Clinical predictors of

electrophysiologic findings in patients with syncope of unknown origin. Arch Intem Med 1988; 148: 1922-8.

Fonarow GC. Feliciano Z, Boyle NG et al. Improved survival in patients with nonischemic advanced heart failure and syncope treated with an implantable cardioverter defibrillator. Am J

Cardiol 2000; 85: 981-5. Hoefnagels WAJ, Padberg GW, Overweg J et al. Transient loss of consciousness : the value of the history for distinguishing seizure from syncope J Neurol 1991;238: 39-43. Knight BP, Goyat R, Pelosi F et a1. Outcome of patients with nonischemic dilated cardiomyopathy and unexplained slrncope treated with an implantable defrbrillator. J Am Coll Cardiol 1999; 33: 1964-'70.

Krumholz HM, Douglas PS, Goldman L, Waksmonski C. Clinical utility of transthoracic two-dimensional and Doppier echocardiography. J Am Coll Cardiol 1994;24: 125-11. Leitch JW, Klein GJ, Yee R et a1. Syncope associated with supraventricular tachycardia : An expression of tachycardia or vasomotor response. Circulation 1992; 85: 1064-'7I. Linzer M et al. Syncope. Ann Intern Med 1997; t26:989-96Nienaber CA, Hiller S, Spiehnann RP, Geiger M, Kuck KH. Syncope in hypertropic cardiornyopathy : multivariate analysis of the heart of prognostic detetminants. J Am Co1l Cardiolo 1990; 15: 948-55. Schnipper JL, Kapoor WN. Diagnostic evaluati.on and management of patients with syncope. In : Thakur RK, ed. The Medical Clinics of North America, WB Saunders Company, 2001; 85(2): 423-56. L, Timothy KW, Vincent GM et al. Spectrum of ST-T wave patterns and repolartzation parameters in congenital long-QT syndrome : ECG findings identifo genotypes. Circulation 2000;

Zhang

\02:2849-55.

29 GAGAL NAPAS AKUT Zulkifl i Amin, Johanes Purwoto

PENDAHULUAN

Efektivitas dan Efisiensi Sistem Pernapasan PO, arleri 100 mmHg menunjukkan oksigenasi darah arteri

Gagal napas ialah ketidakmampuan sistem pernapasan unfuk mempertahankan suafu keadaan perlukaran udara

yang efisien. Fungsi pengeluaran/eliminasi CO, yan9 efektif diperlihatkan dengan kadar PCO, arterial dibawah 40 mmHg, kadar ini harus pada status asam basa normal. Kondisi yang berbeda ditemukan pada dua orang

antara atmosfer dengan sel-sel tubuh yang sesuai dengan kebutuhan tubuh normal. Secara sederhana, peranan sistem pernapasan ialah mempertahankan PO, PcO, dan pH darah arteri tetap normal. Gagal napas dapat diakibatkan kelainan pada: Paru,

pasienyang sama-samamempunyai PO, arterial 100 mmHg,

tetapi pasien pertama bernapas pada suasana udara

mangan (F,o, : 0,21), sedangkan pasien kedua bemapas dengan O, 100 o/o (Fror: 1,0). Pasien pertama melakukan pertukaran oksigen antara atmosfer dengan darah arteri secara lebih efisien. PaO, mengukur efektivitas oksigenasi; hubungan antara konsentrasi oksigen inspirasi dan Pao, merupakan petunjuk proses oksigenasi yang efisien. Pco, arterial menggambarkan fungsi efektivitas ventilasi. Dua orang pasien yang sama-sama mempunyai PCO,

jantung, dinding dada, otot pernapasan, mekanisme pengendalian sentral ventilasi di medula oblongata Meskipun tidak dianggap sebagai penyebab langsung gagal napas, disfungsi dari: jantung, sirkulasi paru, sirkulasi

sistemik, transpor oksigen hemoglobin, dan disfungsi kapiler sistemik mempunyai peranpenting pada gagal napas.

DEFINISI

arterial 40 mmHg mempunyai ventilasi yang sama efektifnya. Tetapi jika pasien pertama membutuhkan

Gagal napas terjadi bila: 1). PO, arterial (Paor) < 60 mmHg, atau 2). PCO, arterial (Pacor) > 45 mmHg, kecuali jika

ventilasi semenit yang lebih tinggi (volume udara respirasi dalam I menit) daripada pasien kedua, berarti pasien pertama kurang efisien dalam mengeliminasikan CO, daripada pasien kedua yang mempunyai ventilasi semenit yang lebih rendah.

peningkatan PCO, merupakan kompensasi dari alkalosis metabolik. PaO, < 60 mmHg, yang berarti adanya gagal napas hipoksemia, berlaku bila bernapas pada udara ruangan

Jadi, PaCO, ialah ukuran efektivitas ventilasi; hubungan attara PaCO, dan ventilasi semenit (Vr) merefl eksikan efisiensi ventilasi. Pengukuran deraj at

biasa (fraksi O, inspirasi [FrO, ] : 0,21), maupun saat mendapat bantuan oksigen. PaCO, > 45 mmHg yang berarti suatu gagal napas hiperkapnia. Pengecualian terhadap angka di atas terjadi pada keadaan asidosis metabolik. Tubuh pasien yang asidosis metabolik secara fisiologis akan menurunkan PaCO, sebagai kompensasi terhadap pH darah yang rendah. Tetapi jika ditemukan PaCO, meningkat secara tidak

inef,rsiensi oksigenasi dan ventilasi didiskusikan di bawah.

KLASIFIKAS! GAGAL NAPAS Kelainan yang mempengaruhi parenkim paru (termasuk

jalan napas, ruang-ruang alveolar, interstisial, dan

normal, meskipun masih di bawah 45 mmHg pada keadaan asidosis metabolik, hal ini dapat dianggap sebagai gagal napas tipe hiperkapnia.

sirkulasi pulmoner). Pasien dengan kelainan ini hampir selalu ditandai dengan hipoksemia, tetapi dapat disertai

218

2t9

GAGALNAPASAKUT

atau tidak disertai hiperkapnia tergantung pada tipe

Nilai 863 merupakan faktor yang menyesuaikan VCO, pada suhu dan tekanan standar, kering; menyesuaikan Vo

anatomik dan fisiologik antara udara di alveolus dan darah

pada suhu dan tekanan tubuh, jenuh; dan menyesuaikan PaCO, dalam mmHg. Untuk output CO, yang konstan, hubungan antara PaCO, dan Vo menggambarkan hiperbola ventilasi, dimana PaCO, dan Vo berhubungan terbalik. Jadi, hiperkapnia selalu ekuivalen dengan hipoventilasi alveolar, dan hipokapnia sinonim dengan hiperventilasi alveo-

spesifik penyakit dan derajat beratnya. Perubahan hubungan

di kapiler paru menyebabkan hipoksemia. Contoh: Pneumonia bakterial, pneumonia viral, aspirasi isi lambung, Acute respiratory distress syndrome (ARDS), emboli paru, asma, penyakit paru interstisial.

Kelainan yang terutama mempengaruhi komponen nonparu sistem pernapasan. Tipe kelainan ini umumnya

menyebabkan hiperkapnia. Contoh: Penyakit yang menyebabkan kelemahan otot pemapasan, penyakit sistem

saraf pusat yang mengganggu pengendalian ventilasi, kondisi yang mempengaruhi bentuk atau ukuran dinding dada, seperti kifoskoliosis. Paru mungkin normal, tetapi hipoksemia yang tidak proporsional terhadap hiperkapnia yang terjadi dapat menandakan adanya keterlibatan paru. Sebagai contoh seorang pasien dengan kelemahan neuromuskular karena myasthenia gravis, mula-mula menunjukkan gagal napas hiperkapnia. Tetapi kemudian mengalami pneumonia karena ketidakmampuan membatukkan dahak, sehingga selain hiperkapnia juga timbul gagal napas hipoksemia.

lar. Karena ventilasi alveolar tidak dapat diukur, perkiraan ventilasi alveolar hanya dapat dibuat dengan menggunakan PCO, arterial dan rumus di atas.

Ventilasi semenit. Pada pasien dengan hipoventilasi

alveolar, tidak yang ber

ngkat). MeskiPun umlah total udara

Vo

Paru setiaP menit dapat diukur dengan mudah. Ini didefrnisikan sebagai minute ventilation (ventilasi semenit, Vu, L/men). Konsep

fisiologis yang berguna ialah menganggap bahwa V. merupakan penjumlahan dari Vo @agian dari V, yang berpartisipasi dalam pertukaran gas) dan ventilasi ruang rugi (dead spo"" r"rrrr*r:

J:l

",

Vo=Vr-Vo GAGAL NAPAS HIPERKAPNIA

Kemudian didapatkan rumus

Berdasarkan definisi, pasien dengan gagal napas hiperkapnia mempunyai kadar PCO, arterial (PaCOr) yang

:

VCQ G,/menF PaCo, (mmH9

x\

(L/menit)

t q-%A/') 863

abnormal tinggi. Karena CO, meningkat dalam ruang alveolus, O, tersisih di alveolus dan Pao, arterial menurun. Maka pada pasien biasanya didapatkan hiperkapnia dan hipoksemia bersama-sama, kecuali bila udara inspirasi diberi tambahan oksigen. Paru mungkin normal atau tidak pada pasien dengan gagal napas hiperkapnia, terutama jika

penyakit utama mengenai bagian non parenkim paru seperti dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak. Penyakit paru obstruktif kronis yang parah tidak jarang mengakibatkan gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan asma berat, fibrosis paru stadium akhir, dan ARDS berat dapat menunjukkan gagal napas hiperkapnia'

VoA/, menunjukkan derajat inefisiensi ventilasi kedua paru. Pada orang nornal yang sedang istirahat, nilai Vo/ V, sekitar 0,30, berarti sekitar 30 % dari ventilasi semenit tidak ikut berpartisipasi dalam pertukaran udara. Pada kebanyakan penyakit paru, proporsi VE yang tidak ikut pertukaran udara meningkat, maka VrA/, meningkat. Dari rumus di atas, untuk suatu VrA/, Yang konstan dan VCO, yang konstan, hubungan antara PaCO, dan V. digambarkan sebagai hiperbola yang bergeser ke atas dari

hiperbola yang digambarkan oleh hubungan attataPaco,

dan Vo. Untuk

nilai

yang berbeda, hubungan ini

digambarkan oleh kelompok kurva hiperbola yang sejajar

Patofisiologi Hipoventilasi alveolar. Dalam keadaan stabil, pasien memproduksi sejumlah CO, dari proses metabolik setiap menit dan harus mengeliminasi sejumlah CO, tersebut dari keduaparu setiap menit. Jikakeluaran semenit CO, (VCOr) menukarkan CO, ke ruang pertukaran gas di kedua paru, sedangkan Vo adalah volume udara yang dipertukarkan di alveolus selama semenit (ventilasi alveolar), didapatkan rumus:

VCO, (L/men) = PaCO, (mmHg) x V^ (L/menit) x

J863

(lihat gambar). Kurva-kurva ini bermanfaat untuk V, atau

memperkirakan VrA/, dari pengukuran PaCO, dan

dapat dipakai untuk menentukan perubahan Vu yang diperlukan untuk merubah PaCO, yang diinginkan.

Mekanisme hiperkapnia. Hiperkapnia (hipoventilasi alveolar) terjadi saat:

1. nilaiVu

di

2. nilai\ no 3. nilai Vu di

,tetapirasioVr/V, meningkat, ,

dan rasio

VrA/, meningkat.

Perlu ditekankan disini bahwa istilah hipoventilasi merujuk pada hipoventilasi alveolar, karenanya hiperkapnia

220

KEGAWAXDARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAI}I

dapat timbul meskipun ventilasi semenit lebih besar daripada normal, jika rasio VrA/, tinggi atau keluaran CO,

Peningkatan PaCO, pada penyakit kronik berlangsung lama sehingga bikarbonat serum dan cairan serebrospinal

meningkat (pada saat aktivitas atau keadaan laju

meningkat sebagai kompensasi terhadap asidosis

metabolisme meningkat yang lain).

respiratorik kronik. Hal ini menjelaskan bahwa kadar pH yang rendah lebih berkorelasi dengan perubahan status mental dan perubahan klinis lain daripada nilai PaCO,

Ruang rugi alveolar dan rasio volume ruang rugi /

volume tidal merupakan konsep fisiologi yang memudahkan kita mengerti mekanisme ini, tetapi tidak selalu

mempunyai hubungan dengan anatomi. Trakea dan jalan napas menjadi penghantar pergerakan udara dari dan ke dalam paru selama siklus pernapasan, tetapi tidak ikut

muflak. Gejala hiperkapnia dapat tumpang tindih dengan gejala hipoksemia. Hiperkapnia menstimulasi ventilasi pada orang normal, pasien dengan hiperkapnia mungkin memiliki

ventilasi semenit yang meningkat atau menurun,

berpartisipasi pada pertukaran udara dengan darah kapiler paru. Komponen ini merupakan ruang rugi anatomis. Jalan napas buatan dan bagian dari sirkuit ventilator mekanik yang dilalui udara inspirasi dan ekspirasi juga mempakan ruang rugi anatomis. Pada pasien dengan penyakit paru, sebagian besar

tergantung pada penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas. Jadi, dispnea, takipnea, hiperpnea, bradipnea dan hipopnea dapat berhubungan dengan gagal napas hiperkapnia. Pasien dengan gagal napas hiperkapnia akut harus

peningkatan ruang rugi total terdiri dari ruang rugi fisiologis. Ruang rugi fisiologis terjadi karena ventilasi

diperiksa untuk menentukan mekanisme. Diagnosis banding utama ialah gagal napas hiperkapnia karena

regional melebihi jumlah aliran darah regiorral (ventilationperfusion lY I Ql tnismatching) . Walaupun V/Q mismatching umumnya dianggap sebagai mekanisme hipoksemia dan bukan hiperkapnia, secara teori V/Q mismatching j:uga akan menyebabkan peningkatan PaCOr. Kenyataannya

penyakit paru versus penyakit non-paru. Pasien dengan penyakit paru seringkali menunjukkan hipoksemia yang tidak sesuai dengan derajat hiperkapnia. Hal ini dapat dinilai menggunakan perbedaan PO, alveolar-arterial. Tetapi, pasien dengan masalah non-panr dapat pula mempunyai

dalam hampir semua kasus, kecuali denganV/Qmismatching yang berat, hiperkapnia merangsang peningkatan ventilasi,

hipoksemia sekunder sebagai efek kelemahan neuromuskular (sebagai contoh) yang mengakibatkan atelektasis atau pneumonia aspirasi. Kelainan pada paru-

mengembalikan PaCO, ke tingkat normal. Iadi,YlQmismatching umumnya tidak menyebabkan hiperkapnia, tetapi normokapnia dengan peningkatan V.. Seperti dapat dilihat pada gambar l, peningkatan V. pada kondisi PaCO, nor-

kontras dengan kelainan komponen lain sistem pemapasan berhubungan dengan peningkatan VrA/, dan, karenanya

mal menunjukkan peningkatan Vo/V, - dalam hal ini,

pernapasan. Tetapi, pada pasien dengan kelumpuhan otot

peningkatan ruang rugi fisiologis.

pernapasan dapat juga

sering menunjukkan peningkatan

V.

dan frekuensi

ditemui takipnea. Efek dari

hiperkapnia dan hipoksemia dapat menyamarkan gangguan

neurologis, pengobatan berlebih dengan sedatif,

Gambaran Klinis Hiperkapnia akut terutama berpengaruh pada sistem saraf pusat (Tabel 1). Peningkatan PaCO, merupakan penekan sistem saraf pusat, tetapi mekanismenya terutama melalui

turunnya pH cairan serebrospinal yang terjadi karena peningkatan akut PaCOr. Karena CO, berdifusi secara bebas dan cepat ke dalam cairan serebrospinal, pH turun secara cepat dan hebat karena hiperkapnia akut.

mixedema, atau trauma kepala. Perubahan status mental dapat menyulitkan penilaian kekuatan otot, dan kekuatan otot ekstremitas dapat tidak berhubungan dengan kekuatan otot respirasi.

GAGALNAPAS HIPOKSEMIA Gagal napas hipoksemia jauh lebih sering dijumpai daripada gagal napas hiperkapnia. Pasien tipe ini

Hiperkapnia

Hipoksemia

Somnolen

Ansietas Takikardia Takipnea Diaforesis Aritmia Perubahan status mental Bingung Sianosis Hipertensi Hipotensi

Letargi Koma

Asteriks Tidak dapat tenang Tremor Bicara kacau Sakit kepala Edema papil

Kejang

Asidosis laktat

mempunyai nilai PO, arterial yang rendah, tetapi PaCO, normal atau rendah. Paco, tersebut membedakamya dari gagal napas hiperkapnia, yang masalah utamanya ialah hipoventilasi alveolar. Selain pada lingkungan yang tidak biasa di mana atmosfer memiliki kadar oksigen yang sangat rendah, seperti ketinggian atau saat oksigen digantikan oleh udara lain, gagal napas hipoksemia menandakan adanya penyakit yang mempengaruhi parenkim paru atau

sirkulasi paru. Contoh situasi klinis yang umum menunjukkan hipoksemia tanpa peningkatan PaCO, ialah pneumonia, aspirasi isi lambung, emboli paru, asma, dan ARDS.

221

GAGALNAPASAKUT

Patofisiologi Hipoksemia dan hipoksia. Istilah hipoksemia paling sering menunjukkan PO, yang rendah di dalam darah arteri (PaOr), dan dapat digunakan untukmenunjukkan PO, padakapiler, vena dan kapiler paru. Istilah tersebut juga dipakai untuk menekankan rendahnya kadar O, darah atau berkurangnya saturasi oksigen di dalam hemoglobin. Hipoksia umumnya berarti penurunan penyampaian

ialah jumlah dari PO, PCO, PHrO, dan PNr. Bila PI{rO dan PN, tidak berubah bermakna, setiap peningkatan pada PACO2 akan menyebabkan penurunan PaO, Hipoventilasi alveolar menyebabkan penurunan PAO, yang menimbulkan penumnan PaO, bila darah arteri dalam keseimbangan dengan gas di ruang alveolus. Persamaan gas alveolar, bila disederhanakan, menunjukkan hubungan antara PO, dan PCO, alveolar:

(delivery) O, ke jaringan atau efek dari penurunan

PAOr=FiO, x PB - Pnco,

penyampaian O, ke jaringan.

R

Hipoksemia berat akan menyebabkan hipoksia. Hipoksia dapat pula terj adi akibat penurunan penyampaian O, karena faktor rendahnya curahjantung, anemia, syok septik, atau keracunan karbon monoksida, di mana Po, arterial dapat normal atau meningkat. Mekanisme hipoksemia. Mekanisme fisiologi hipoksemia mempunyai kegunaan dalam identifikasi tipe penyakitparu dan respons terapi. Mekanisme ini dibagi dalam dua golongan utama: l). berkurangnya PO, alveolar, dan 2). meningkatnya pengaruh campuran darah vena (venous admixture). Jika darah vena yang bersaturasi rendah kembali ke paru, dan tidak mendapatkan oksigen selama perjalanan di pembuluh darah paru, maka darah yang keluar di arteri akan memiliki kandungan oksigen dan tekanan parsial oksigen yang sama dengan darah vena sistemik. PO, darah vena sistemik (PVOr) menentukan batas bawah PO ,arteri. Bila semua darah vena yang bersaturasi rendah melalui sirkulasi paru dan mencapai keseimbangan dengan gas di

rongga alveolar, maka PO, :

PAOr. Maka PO, alveolar

(PAOr) menentukan batas atas PO, arteri. Semua nilai PO, berada diantara PVO, dan PAOr. Hipoksemia arteri selalu merupakan akibat penurunan

PO, alveolar, atau peningkatan jumlah darah vena bersaturasi rendah yang bercampur dengan darah kapiler pulmonal (campuran vena). Pada banyak pasien dengan gagal napas hipoksemik, kedua mekanisme ini berperan

(Tabel2).

Penurunan PO, alveolar. Tekanan total di ruang alveolar

Mekanisme POz alveolar PO2 inspirasi

Hipoventilasi

PaCOz

(PACO'

o

Pirau kanan ke-kiri YIQ mismatching Keterbatasan difusi

memasuki dan O, meninggalkan ruang alveolar. Dalam praktek, PCO, arteri digunakan sebagai nilai perkiraan PCO, alveolar (PaCOr). PAO, berkurang bila PAco, meningkat.

Jadi, hipoventilasi alveolar menyebabkan hipoksemia (berkurangnya PaOr). Persamaan gas alveolar juga mengindikasikan bahwa

hipoksemia akan terjadi jika tekanan barometrik total berkurang, seperti pada ketinggian, atau bila FIO, rendah (seperti saat seseorang menghisap campuran gas di mana sebagian oksigen digantikan oleh gas lain). HaI ini juga akibat penurunan PaOr. Pada hipoksemia yang terjadi hanya karena penunrnan PaOr, penurunan Pao, kira-kira sebanding dengan penurunan PaO, dan perbedaat arrtara PaO, dan PaO2 tidak berbeda bermakna. Perbedaan PO, alveolar-arteri adalah normal pada hipoksemia karena

hipoventilasi. Pencampuran vena (venous admixture). Meningkatnya jumlah darah vena yang mengalami deoksigenasi, yang mencapai arteri tanpa teroksigenasi lengkap oleh paparan gas alveolar. Perbedaan PO, alveolar-arterial (P(o_") Or) meningkat dalam keadaan hipoksemia karena peningkatan pencampuran darah vena. Dalam pernapasan udara ruangan, P,o-rO, normalnya sekitar 10 dan20 mmHg, meningkat dengan usia dan saat subyek berada pada posisi tegak. Dalam pemapasan udara ruangan, FiO, : 0,2 I ; j ika R 0,8, PaCOr:40 mmHg, dan PaOr: 55 mmHg, maka :

Contoh

Normal Normal

1

J

Normal atau J Normal atau J Normal atau 0

pernapasan, menunjukkan rasio steady-state CO,

PnOz

Campuran darah vena

. .

FIo, ialah fraksi oksigen dari udara inspirasi. PB ialah tekanan barometrik, dan R ialah rasio perfukaran udara

Normal Normal Normal

t 1 1

> 550 > 550

Ketinggian Penyakit neuromuskular, sindrom obesitas-hipoventilasi

<550 >550 >550

ARDS, defek septal Pneumonia, asma, PPOK Proteinosis alveolar

:

222

KEGAWAfi)ARURAf,AN MEDIK DI BIDANG ILMU PEITTYAKIT DAI.IIM

PAO,

:

(0,21 x 713)

-

40

:

150

-

50 = 100 mmHg

0r8

.

dan P1o*;

Pada contoh

O, = 100

-

55 = 45 mmHg

ini, ditemukan hipoksemia arterial (PaOr<

60 mmHg) dan

P11-a

O,

meningkat (> 20 mmHg).

Disimpulkan bahwa hipoksemia terjadi karena salah satu penyebab meningkatnya pencampuran vena:

Pirau kanan ke kiri (right-to-left shunt).Sebagian darah vena sistemik tidak melalui alveolus, bercampur dengan darah yang berasal dari paru, akibatnya ialah pencampuran

arterial dari darah vena sistemik dan darah kapiler paru PO, diantara PAO, dan PVO,. Nilai mutlak PO, tergantung pada proporsi darah yang tidak melalui paru dengan

dannilai PAO, danPVOr. Mekanisme hipoksemiaini dikenal sebagai pirau kanan-ke-kiri.

Hal ini dapat terjadi pada: . kolaps lengkap atau atelektasis salah satu paru atau lobus sedangkan aliran darah dipertahankan, . penyakit jantung kongenital dengan defek septum. . ARDS, dimana dapat terjadi edema paru yang berat, atelektasis lokal, atau kolaps alveolar sehingga terjadi pirau kanan-ke kiri yang berat.

Petanda terjadinya pirau kanan-ke kiri ialah: 1). Hipoksemia berat dalam pemapasan ndara ruangan,2). Hanya sedikit peningkatan PaO, jika diberikan tambahan oksigen, 3). Dibutuhkan FiO2 > 0,6 untuk mencapai Pao, yang diinginkan, dan 4). PaO, < 550 mmHg saat mendapat o . Berdasarkan kesepakatan, j ika PaQ < 5 5 0 mmHg O 21 00 saat bernapas dengan O, 100 o%, dikatakan terjadi pirau kanan-ke kiri.

Ketidaksesuaian ventilasi-perfusi (ventilation- perfusion mismatching : Y lQ mismatching). Merupakan penyebab hipoksemia tersering, terjadi ketidaksesuaian ventilasiperfusi. Ketidaksesuaian ini bukan disebabkan karena darah vena tidak melintasi daerah paru yang mendapat ventilasi seperti yang terjadi pada pirau kanan-ke-kiri. Sebaliknya beberapa area di paru mendapat ventilasi yang kurang dibandingkan banyaknya aliran darah yang menuju ke areaarea tersebut. Di sisi lain, beberapa area paru yang lain mendapat ventilasi yang berlebih dibandingkan aliran darah regional yang relatif sedikit.

Darah, yang melalui kapiler paru di area yang hipoventilasi relatif, akan kurang mendapat oksigen dibandingkan keadaan normal. Hal tersebut menimbulkan hipoksemia darah arteri. Efek ketidaksesuaian V/Q terhadap

pertukaran gas antara kapiler

-

alveolus seringkali

kompleks, tetapi untuk kepentingan klinis, kelainan ini dapat disebabkan semua penyakit paru yang merubah distribusi ventilasi atau aliran darah. Contohnya ialah : . Asma dan penyakit paru obstruktif konik lain, dimana

variasi pada resistensi jalan napas cenderung

mendistribusikan ventilasi secara tidak rata. Penyakit vaskular paru seperti tromboemboli paru, dimana distribusi perfusi berubah.

Petunjuk akan adanya ketidaksesuaian V/Q ialah Pao, dapat dinaikkan ke nilai yang dapat ditoleransi secara relatif mudah dengan pemberian oksigen tambahan.

Keterbatasan difusi (diffusion limitation). Keterbatasan difusi O, merupakan jarang menyebabkan hipoksemia. Dasar mekanisme ini sering tidak dimengerti. Dalam keadaan

normal, terdapat waktu yang lebih dari cukup bagi darah vena yang melintasi kedua paru untuk mendapatkan kesetimbangan gas dengan alveolus. Walaupun jarang, dapat terjadi darah kapiler paru mengalir terlalu cepat sehingga tidak cukup waktu bagi PO, kapiler paru untuk

mengalami kesetimbangan dengan PO, alveolus. Keterbatasan difusi akan menyebabkan hipoksemia bila PAo, sangat rendah sehingga difusi oksigen melalui membran alveolar-kapiler melambat atau jika waktu transit untuk darah kapiler paru sangat pendek. Beberapa keadaan di mana keterbatasan difusi untuk

transfer oksigen dianggap sebagai penyebab utama hipoksemia ialah:

. '

Penyakitvaskularparu

Pulmonery alveolar proteinosis, keadaan di mana ruang alveolar diisi cairan mengandung protein dan lipid.

Gambaran Klinis Manifestasi gagal napas hipoksemik merupakan kombinasi dari gambaran hipoksemia arterial dan hipoksia jaringan

(Tabel 1). Hipoksemia arterial meningkatkan ventilasi melalui stimulasi kemoreseptor glomus karotikus, diikuti dispnea, takipnea, hiperpnea, dan biasanya hiperventilasi.

Derajat respon ventilasi tergantung kemampuan mendeteksi hipoksemia dan kemampuan sistem pemapasan

untuk merespons. Pada pasien hipoksemik dengan penyakit paru berat atau keterbatasan ventilasi, peningkatan ventilasi mungkin hanya ditemukan sedikit atau bahkan tidak ada, dan tidak ada hiperventilasi. Pada pasien yang terganggu fungsi glomus karotikusnya, tidak ada respon ventilasi terhadap hipoksemia. Mungkrn didapatkan sianosis, terutama jelas di ekstremitas distal, tetapi juga didapatkan pada daerah sentral di sekitar membran mukosa dan bibir. Derajat sianosis tergantung pada konsentrasi hemoglobin dan keadaan perfusi pasien. Manifestasi lain dari hipoksemia adalah akibatpasokan oksigen yang tidak mencukupi ke jaringan, atau hipoksia. Hipoksia menyebabkan pergeseran metabolisme ke arah anaerobik, disertai pembentukan asam laktat. Peningkatan kadar asam laktat di darah akan selanjutnya merangsang ventilasi. Hipoksia dini yang ringan dapat menyebabkan gangguan mental, terutama untuk pekerjaan kompleks atau

berpikir abstrak. Hipoksia yang lebih berat dapat menyebabkan perubahan status mental yang lebih lanjut,

223

GAGALNAPASAKUT

seperti somnolen, koma, kejang, dan kerusakan otak hipoksik permanen. Aktivitas sistem saraf simpatis meningkat, sehingga turut menyebabkan terjadinya

2.

takikardia, diaforesis, dan vasokonstriksi sistemik, diikuti

.

hipertensi. Hipoksia yang lebih berat lagi' dapat menyebabkan bradikardia, vasodilatasi, dan hipotensi, serta menimbulkan iskemia miokard, infark, aritmia, dan gagal jantung. Manifestasi gagal napas hipoksemik diperburuk oleh adanya gangguan hantaran oksigen ke jaringan (tissue oxygen delivery). Pasien dengan curah jantung yang berkurang, anemia, atau kelainan sirkulasi, dapat diramalkan akan mengalami hipoksia jaringan global dan

regional pada derajat hipoksemia yang lebih dini. Contohnya ialah peningkatan risiko iskemia miokard dari hipoksemia pada pasien dengan aterosklerosis arteri koroner atau pasien dengan syok hipovolemik yang

Penurunan curahjantung, yang tergantung dan: . Aliran balik vena sistemik yang adekuat, . fungsi ventrikel kanan dan kiri, . resistensi pulmonar dan resistensi sistemik,

frekuensi denYut jantung

Hipoksemia dan asidosis mempengaruhi kontraktilitas miokaid, atau dapat menimbulkan takikardia, bradikardia, atau infarkmiokard. Sepsis dan syok sepsis dapatmenekan

fungsi miokard. Ventilasi mekanik dengan tekanan tinggi mempengaruhi jantung dan sirkulasi, di antaranya melalui berkurangnya aliran balik vena sistemik, compliance diastolik ventrikel kiri, peningkatan resistensi vaskular paru, serta perubahan afterload venhikel kanan dan kiri' Tanda - tanda kurangnya O, delivery terlihat dari pemantauan fungsi ginjal, hati, jantung, dan sistem organ lainnya. Asidosis laktat juga dapat menjadi petunjuk adanya gangguan O, deliverY.

menunjukkan tanda-tanda asidosis laktat pada hipoksemia arterial ringan.

Oxygen Delivery. O, delivery yang adekuat ke jaringan ialah fungsi sistem pernapasan yang paling penting, dan membutuhkan fungsi paru, j antung, dan sirkulasi yang normal. Deteksi dan penatalaksanaan gangguan O, delivery sistemik harus menjadi tujuan utama pada tatalaksana gagal napas, selain memperbaiki kelainan gas darah arteri. O, delivery merupakan hasil dari konsentrasi O, arteri (mL OrlL darah) dan curah jantung (L/menit).

: (ml/menit) Ordelivery

mL

CaO,

x

(mL OrlL darah)

a (L/menit)

TATALAKSANA GAGAL NAPAS AKUT Dasar-dasar Fisiologis TeraPi Gagal napas hiperkapnia. Karena hiperkapnia berarti adanya hipoventilasi alveolar, tata laksana suportif bertujuan memperbaiki ventilasi alveolar menjadi normal,

hingga penyakit dasar dapat diobati. Kadang-kadang ventilasi alveolar dapat ditingkatkan dengan mengusahakan tetap terbukanya jalan napas yang efektif - penyedotan sekret, stimulasi batuk, drainase postural, atau perkusi dada atau dengan membuat jalan napas artifisial dengan selang

-

darah: mmHgx tidak m

1,34

x10' akah

darah dan O2terdistribusi ke organ-organ dengan proporsi

yang sesuai dengan kebutuhan organ tersebut, sehingga O, delivery yang normal atau tinggi mungkin tidak cukup .,ntuk beberapa kondisi tertentu seperti syok, sepsis atau

endotrakeal atau trakeostom i Alat bantu napas mungkin diperlukan untuk mencapai

dan mempertahankan ventilasi alveolar yang normal sampai masalah primer diperbaiki. Meskipun secara teoritis ventilator mekanik dapat memperbaiki ventilasi sesuai yang diinginkan, pada pasien dengan hiperkapnia kronik harus

hati-hati dalam menurunkan hiperkapnia. Hal ini karena

penyakit hati stadium akhir. Hal-hal yang potensial

koreksi PaCO, hingga batas normal pada kasus tersebut

menyebabkan penurunan O, del iv ery ialah:. 1. Penurunan konsentrasi 02 arteri yang dapat berkurang sebagai akibat:

nyawa karena sudah terjadi kompensasi berupa

.

Penurunan saturasi O, berkurangnya PaO, atau bergesernya kurva

hemoglobin karena

disosiasi oksihemoglobin ke kanan (karena asidemia,

. .

hipertermia, atau hemoglobinopati).

Alemia, Karbon monoksida, yang akan menggantikan O, karena afinitas terhadap hemoglobin yang tinggi, serta menggeser kurva disosiasi oksihemoglobin ke

kiri. Pergeseran ke kiri ini meskipun tampaknya meningkatkan konsentrasi O, pada semua tingkat PaO, akan menyebabkan kesulitan melepas oksigen kejaringan.

dapat menyebabkan alkalosis yang berat dan mengancam

peningkatan kadar bikarbonat serum. Hipoksemia sering ditemukan pada pasien dengan gagal napas hiperkapnik - terutama yang didasari oleh penyakit

puir,

-

dan pemberian oksigen tambahan seringkali

dibutuhkan. Tetapi pada beberapa pasien dengan

hiperkapnia, oksigen tambahan dapat berbahaya bila tidak dimonitor dan disesuaikan secara hati-hati' Kelompok pasien dengan penyakit paru kronik ini (obstruktif maupun restriktifl atau gangguan dinding dada (kifoskoliosis) tampaknya tidak sensitif lagi terhadap hiperkapnia dan tergantung pada hipoksemia sebagai pemicu ventilasi' Bila

oksigen yang cukup diberikan untuk mengatasi

hipoksemia, rangsang ventilasi menjadi tumpul dan pasien

224

akan mengalami hipoventilasr.

Pasien dengan gagal napas hiperkapnik karena overdosis obat sedatif atau botulisme, dan kebanyakan pasien dengan trauma dada, akan membaik seiring berlalunya waktu, dan penatalaksanaan terutama bersifat suportif. Penyakit primer yang membutuhkan terapi khusus

ialah miastenia gravis, kelainan elektrolit, penyakit paru obstruktif, obstructive sleep apnea, dan miksedema.

Gagal Napas Hipoksemia Suplementasi oksigen ialah terapi terpenting untuk gagal napas hipoksemik. Pada penyakit berat seperti ARDS,

mungkin diperlukan ventilasi mekanik, positive endexpiratoy pressure (PEEP) dan terapi respirasi tipe lain. Walaupun umumnya tidak didapatkan hiperkapnia, tetapi dapat terjadi karena beban kerja pernapasan menyebabkan

kelelahan otot pernapasan. Perhatian terhadap transportasi oksigen penting, dan anemia berat harus dikoreksi serta curah jatung yang adekuat harus dipertahankan. Penyakit dasar yang menyebabkan gagal napas hipoksemik harus diatasi, terutama jika pneumonia, sepsis, atau penyebab lain sebagai dasamya. Tatalaksana dapat meliputi diuretika, antibiotik, dan bronkodilator selain

tindakan-suportif lainnya. Pada beberapa pasien dengan penyakit paru yang tidak merata pada semua bagian paru (tidak mengenai kedua paru), memiringkan pasien pada posisi di mana area paru yang tidak terlibat atau yang kurang terlibat berada lebih bawah dapat meningkatkan oksigenasi. Hal ini karena gravitasi dan berat paru meningkatkan perfusi dan ventilasi ke derah paru yang tergantung/lebih di bawah. Pasien dengan hemoptisis berat atau sekret /dahak banyak, tidak

boleh ditempatkan pada posisi seperti ini karena kemungkinan akan terjadi aspirasi darah atau sekret ke arca yarrg belum terlibat. PadaARDS dengan edema paru nonkardiogenik yang difus, terdapat banyak pendapat yang menganjurkan pasien ditempatkan dalam posisi pronasi (tengkurap). Pasien yang berada pada posisi pronasi lebih jarang mengalami kolaps pada sisi paru yang tergantung. Selain itu lebih sedikit area paru yang mendapat penekanan oleh jantung atau isi abdomen. Pada beberapa pasien, perbaikan pada hipoksemia arterial bersifat sementara setelah perubahan dari posisi supinasi ke pronasi, tetapi pada banyak kasus efeknya bertahan selama minimal beberapa Jarn

Jalan napas (airway). Jalan napas sangat penting untuk ventilasi, oksigenasi, dan pemberian obat-obatan pernapasan. pada semua pasien dengan gangguan pernapasan, harus dipikirkan dan diperiksa adanya obshuksi jalan napas atas. Perlimbangan untuk insersi jalan

napas artifisial, seperti endotracheal tube (ETT) berdasarkan manfaat dan risiko jalan napas artifisial

KEGAWAIIDARURATAN MEDIK DI BIDAIYG ILMU PENYAKIT DALI\M

dibandingkan jalan napas alami. Risiko jalan napas artifisial ialah trauma insersi, trauma

orofaring atau nasofaring karena penekanan kronik, kerusakan trakea (erosi, trakeomalasia), gangguan respons batuk, risiko aspirasi meningkat, gar,gg:uan fungsi mukosiliar, risiko infeksi meningkat, tak dapat berbicara, dan meningkatnya resistensi dan kerja pernapasan. Keuntunganjalan napas artifisial ialah dapat melintasi obstruksi jalan napas atas, menjadi rute pemberian oksigen dan obat-obatan, memfasilitasi ventilasi tekanan-positif dan PEEP, memfasilitasi penyedotan sekret, dan rute untuk

bronkoskopi fiberoptik.

Pada pasien dengan gagal napas akut, pilihan didasarkan pada apakah oksigen, obat-obatan pernapasan, dan terapi pemapasan viajalan napas alami cukup adekuat ataukah lebih baik denganjalan napas artifisial. Tatalaksana yang agresifsebelum intubasi dapat dicoba, dan hasilnya membimbing dokter untuk membuat keputusan. Indikasi intubasi dan ventilasi mekanik ialah :

.

.

Secara fisiologis: a). hipoksemia menetap setelah pemberian oksigenb). PCO2 > 55 mm Hg dengan pH < 7 ,25 , c). Kapasitas vital < I 5 mlikg dengan penyakit neuromuskular Secara klinis: a). Perubahan status mental dengan gangguan proteksijalan napas, b). Gangguan respirasi dengan ketidakstabilan hemodinamik c). obstruksi jalan napas atas (pertimbangkan trakeostomi jika obstmksi terletak di atas trakea), d). sekret yang banyak yang tidak dapat dikeluarkan oleh pasien, dan membufuhkan penyedotan

Panduan untuk memilih pasien yang memerlukan intubasi endotrakeal di atas mungkin berguna, tetapi pengkajian klinis respons terhadap terapi seringkali lebih berguna lagi. Faktor lain yang perlu dipikirkan ialah ketersediaan fasilitas dan potensi manfaat ventilasi tekanan-positif tanpa ETT (ventilasi tekanan-positif non-

invasif,NIPPV:NIV). Oksigen. Besarnya oksigen tambahan yang diperlukan tergantung pada mekanisme hipoksemia; tipe alat pemberi oksigen tergantung pada jumlah oksigen diperlukan, kecenderungan pasien dan doktel potensi efek samping

oksigen pada konsentrasi berbeda-beda, dan ventilasi semenit pasien. Karena oksigen konsentrasi tinggi merusak paru, harus diupayakan untuk meminimalkan jumlah dan lama terapi oksigen. Lebih lengkap mengenai terapi oksigen akan dibahas dalam bab tersendiri.

Bronkodilator. Bronkodilator mempengaruhi langsung terhadap kotrtraksi otot polos, tetapi beberapa mempunyai

efek tidak langsung terhadap edema dan inflamasi. Bronkodilator merupakan terapi utama untuk penyakit paru obstruktif, tetapi peningkatan resistensi jalan napas juga ditemukan pada banyak penyakit paru lainnya, seperti edema paru, ARDS, dan mungkin pneumonia.

225

GAGALNAPASAKUT

Alat

Ozflow rate (Um)

Keuntungan

Fio2

Kerugian

Low-flow delivery devices :

.

Kanul nasal Simple mask

2-6

0,24

- 0,35 Pasien nyaman

4-8

0,24

- 0,40

High-flow delivery devices :

.

Venturi mask

2-12

0,25

- 0,50

FlOz konstan dengan VE

.

Nonrebreathing mask

6-15

0,70

- 0,90

FlO2 tinggi

.

High-ftow

0,50

- 0,90 FlO,

O2btender

6

- 20

Agonis beta-adrenergik / simpatomimetik. Obat-obat ini

lebih efektif bila diberikan dalam bentuk inhalasi dibandingkan secara parenteral atau oral. Untuk efek bronkodilatasi yang sama, efek samping sangat berkurang bila dilakukan dengan rute inhalasi, sehingga dosis yang lebih besar dan kerja lama dapat diberikan. Terapi yang efektif mungkin membutuhkan jumlah agonis beta-adrenergik yang dua hingga empat kali lebih banyak daripada yang direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit obstruksi paru stabil. Peningkatan dosis (kuantitas lebih besar pada nebulisasi) dan peningkatan frekuensi pemberian (hingga setiap jam atau nebulisasi kontinu) seringkali dibutuhkan. Pemilihan jenis obat didasarkan pada potensi, efikasi, kemudahan pemberian, dan efek samping. Diantara yang

tersedia ialah albuterol, metaproterenol, terbutalin. Epinefrin tidak digunakan karena tidak spesifik terhadap reseptor a2, ju1a tidak menunjukkan kelebihan dalam mengatasi bronkospasme dibandingkan obat lain yang lebih selektif. Agonis beta-adrenergik kerj a lama (LABA), berguna untuk penggunaan kronik seperti mencegah

bronkospasme, tetapi tidak direkomendasikan untuk serangan bronkospasme akut.

Efek samping meliputi tremor, takikardia, palpitasi, aritmia, dan hipokalemia. Efek kardiak pada pasien dengan penyakit jantung iskemik dapat menyebabkan nyeri dada dan iskemia, walaupun jarang terjadi. Hipokalemia biasanya

dieksaserbasi oleh diuretik tiazid dan kemungkinan disebabkan oleh perpindahan kalium dari kompartemen ekstrasel ke intrasel sebagai respons terhadap stimulasi beta-adrenergik. Komplikasi yang jatatg terjadi ialah

perburukan hipoksemia karena eksaserbasi dari ketidakseusaian ventilasi-perfusi. Pada kasus ini, vasokonstriksi arteri pulmonar lokal yang wajar di area yang rendah rasio ventilasi-perfusinya, dinetralkan oleh efek obat.

Antikolinergik. Respons bronkodilator terhadap obat antikolinergik (parasimpatolitik) tergantun g pada derajat

FlOz bervariasi dengan VE FlOz bervariasi dengan VE

Aliran tidak adekuat Pada FlOz tinggi Tidak nyaman; FlOz tidak daPat disesuaikan

tinggi pada aliran total

tonus parasirnpatis instrinsik. Obat-obat ini kurang berperan pada asma, di mana obstruksi jalan napas berkaitan dengan

inflamasi, dibandingkan bronkitis kronik, dimana tonus parasimpatis tampaknya lebih berperan.

Antikolinergik direkomendasikan terutama untuk bronkodilatasi pasien dengan bronkitis kronik. Pada gagal napas, antikolinergik harus selalu digunakan dalam kombinasi dengan agonis beta-adrenergik.

Ipratropium bromida tersedia dalam bentuk MDI (metered-dose inhaler) atau solusio untuk nebulisasi' Efek samping jarang terjadi, seperti takikardia, palpitasi dan retensi urin.

Teofilin. Teofilin kurang kuat sebagai bronkodilator dibandingkan agonis beta-adrenergik. Mekanisme kerj a ialah melalui inhibisi kerja fosfodiesterase padaAMP siklik (cAMP), translokasi kalsium, antagonis adenosin, stimulasi reseptor beta-adrenergik, dan aktivitas anti-inflamasi. Sekitar 90 % teofilin dimetabolisme di hepar menjadi metabolit tidak aktif dengan sistem sitokrom P450. Sistem enzim ini distimulasi oleh merokok tembakau atau marijuana dan fenobarbital. Aktivitas enzim ini memrun dengan adanya simetidin, eritromisin, kontrasepsi oral, danbanyak obat lain. Metabolisme teofilin sangat berkurang dengan demam, usia

lanjut, berhenti merokok, atau dengan obat yang meningkatkan metabolisme, penyakit hati, dan gagal jantung'

Efek samping meliputi takikardia, mual dan muntah'

Komplikasi yang lebih parah ialah aritmia jantung, hipokalemia, perubahan status mental, dan kejang.

Kortikosteroid. Mekanisme kortikosteroid dalam menurunkan inflamasi jalan napas tidak diketahui pasti, tetapi perubahan pada sifat dan jumlah sel inflamasi telah didemonstrasikan setelah pemberian sistemik dan topikal' Kortikosteroid aerosol kurang baik distribusinya pada gagal napas akut, dan hampir selalu digunakan preparat oral atau parenteral.

Efek samping kortikosteroid parenteral ialah hiperglikemia, hipokalemia, retensi natrium dan air, miopati

226

steroid akut (terutama pada dosis besar), gangguan sistem

imun, kelainan psikiatrik, gastritis dan perdarahan gastrointestinal.

Kortikosteroid inahalasi sangat j arang menimbulkan efek samping sistemik kecuali batuk, karena provokasi

bronkospasme, dan kandidiasis oral dan faring. Kortikosteroid inhalasi yang lebih kuat mempunyai efek samping jangka panjang pada pertumbuhan, osteoporosis, dan perkembangan katarak. Penggunaan kortikosteroid bersama-sama dengan obat penghambat neuromuskular

non-depolarisasi telah dihubungkan dengan kelemahan otot yang memanjang dan menimbulkan kesulitat.weaning.

Ekspektoran dan nukleonik. Cairan per oral atau parenteral dapat memperbaiki volume atau karakteristik sputum pada pasien yang kekurangan cairan. Katium yodida oral mungkin berguna untuk meningkatkan volume dan menipiskan

sputum yang kental. Penekan batuk seperti kodein dikontraindikasikan bila kita menghendaki pengeluaran seket melalui batuk. Obat mukolitik dapat diberikan langsung pada sekret jalan napas, terutamapadapasien dengan ETT. Sedikit (35 ml) Na Cl 0,9 0%, salin hipertonik, dan natrium bikarbonat hipertonik juga dapat diteteskan sebelum penyedotan (suctioning) dan bila berhasil akan keluar sekret yang 1ebih banyak.

Asetilsistein merusak ikatan disulfrd pada protein spu-

tum dan dapat menjadi obat mukolitik yang kuat. Tetapi asetilsistein yang diaerosolisasi kurang efektif dan dapat merangsang bronkospasme pada penderita asma. Jika diperlukan, sedikit asetilsitein dapat diberikan saat lavase dengan bronkoskopi fleksibel pada jalan napas yang bermasalah. Karena beberapa kualitas abnormal sputum disebabkan

DNA yang berasal dari penghancuran sel, enzim yang melisiskan DNA @NAase) dapat bermanfaat, tetapi belum disetujui untuk pemakaian pada pasien ppOK atau asma.

TATALAKSANALAIN Fisioterapi dada dan nutrisi merupakan aspek tata laksana yang perlu diintegrasikan dalamtata laksana menyeluruh gagal napas akut. Pemantauan hemodinamik dilakukan sesuai kondisi dan

umumnya meliputi pengukuran rutin frekuensi denyut jantung, ritme jantung, tekanan darah sistemik, tekanan vena sentral, dan penenfuan hemodinamik dengan teknik

I(EGAWATDARURAf,AN MEDIK DI BIDAI{G ILMU PENYAKIT DALAM

yang lebih invasif seperti kateterisasi j antung kanan. perlu

diperhatikan bahwa pengukuran tekanan vena sentral (CVP) dipengaruhi positive end-expiratory pressure (PEEP). Pada kateterisasi jantung kanan penderita dengan resistensi vaskular paru yang meningkat (emfisema, emboli paru, dan penyakit vaskular paru lainnya), tekanan

diastolik arteri pulmonar (PAD) tidak

dapat

menggambarkan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDP). Hasil perhitungan curah jantung dengan metode Fick juga terpengaruh pada gagal napas akut, karena ketidakakuratan pengukuran konsumsi oksigen saat fraksi oksigen inspirasi melebihi 0,6. Pemantauan respirasi meliputi frekuensi napas, penilaian mekanika respirasi, pertukaran udara, dan fungsi terintegrasi sistem kardiovaskular dan respirasi.

Ventilasi Mekanik Mengenai ventilasi mekanik akan dibicarakan dalamjudul

tersendiri.

REFERENSI Amir, Z. Acute Respiratory Distress Syndrome. 2"d National Symp. Cardiovascular, Respiratory and Immunology, Jakarta Mei 2003 Bellini LM. Nutrition in Acute Respiratory Failure. In Fishman Ap, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM (eds). Fishman's Manual of Pulmonery Diseases and Disorders. New

York: McGraw-Hill 2002. 1082-9). Bellini LM, Grippi MA. Hemodynamic and Respiratory Monitoring in Acute Respiratory Failure. In Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM (eds). Fishman's Manual of Pulmonery Diseases and Disorders. New York: McGraw-Hill. 2002. 1064-72.) Brochard L, Mancebo J, Elliot MW. Noninvasive ventilation for acute respiratory failure. Eur Respir J, 2002;19:712'21. Colin Selby. Respiratory Medicine: An Illustrated Colour Text. Edinburgh: Churchill Livingstone, 20O2:70-1. Consensus Conference Report: Clinical indications for noninvasive positive pressure ventilation in chronic respiratory failure due to restrictive lung disease, COPD and nocturnal hypoventilation. Chest, I999;1 I 6:521-34. Make BJ et al Mechanical ventilation beyond the intensive care unit. Report of a consensus conference of the American College

of Chest Physicians. Chest. 1998;t l3(Suppl):289S-344S. Sue DY, Lewis DA. Respiratory Failure. In Bongard FS, Sue Dy (eds). Cunent Critical Care Diagnosis and Treatment. New york: Lan ge Medical B ooks/McGraw -Hrll, 2002 :268 -3 04. Wysocki M, Antonelli M. Noninvasive mechanical ventilation in

acute hypoxaemic respiratory failure. Eur Respir J, 2001;18:209-

20.

30 RESUSITASI JANTUNG PARU Arif Mansjoer

Pada rekomendasi ILCOR 2005 terdapat beberapa perubahan mendasar dalam tata laksana resusitasi. Beberapa hal penting dalam rekomendasi resusitasi

PENDAHULUAN Resusitasi jantung pam mempakan upaya perlolongan pertama pada orang tidak sadar yang mengalami henti jantung atau henti napas. Perkembangarr lupaya pertolongan ini memiliki sejarah yang panjang. Tercatat pada tahun 1740 Paris Academy of Science secara resmi merekomendasikan resusitasi mulut ke mulut pada korban

jantung paru 2005:

.

. .

tenggelam. Selanjutnya metode resusitasi terus berkembang hingga Peter Safar tahun 1950-an

.

mengembangkan pengendalian jalan napas (airway controL) serta metode pernapasan buatan dari mulut ke mulut dan W.B. Kouwenhoven tahun I 960. mengembangkan metode

pijat jantung dada tertutup (closed-chest cardiac massage). Selanjutnya kedua metode ini dipadukan menjadi resusitasi jantung paru (RJP). Pada tahun 1914 American H eart A s s o c iation merekomendasikan dan mensosialisasikan

metode resusitasi jantung paru. Sistem

ini

Tekanan dan rekomendasi perbaikan efektivitas tindakan kompresi dada Rasio kompresi dan ventilasi yang sama oleh penolong pada semua korban (kecuali bayi baru lahir) Rekomendasibahwa setiap napas buatandiberikan selama 1 detik dan harus dapat menyebabkan kenaikan dada. Rekomendasi satu shock segera diikuti resusitasi jantung paru yang digunakan saat defibrilasi korban henti jantung akibat fibrilasi ventrikular. Iramajantung diperiksa seti ap 2 menit. Perubahan yang ada menitikberatkan pada informasi

tentang cara melakukan resusitasi jantung paru lebih sederhana sehingga mudah dipelajari, mudah diingat, dan mudah dilakukan. Hal penting lainnya adalah semakin diminimal waktu terputusnya kompresi dada sehingga aliran darah ke organ vital dapat dipertahankan. Rekomendasi hasil konsensus terakhir tersebut dibuat

kemudian

digunakan dan dikembangkan di seluruh dunia. Pada tahun 2005 perhimpunan berbagai organisasi bidang resusitasi di dunia bersepakat membentuk suatu komite pemersatu (ILCOR) bertemu dan membuat konsensus dan rekomendasi.

sebagai panduan pembentukan pedoman resusitasi bagi para

International Liaison Committee on Resuscitation

anggota ILCOR. Di Amerika, misalnya, American Heart Association (AHA) membuat '2005 American Heart

(ILCOR) yang dibentuk tahun 1993 merupakan organisasi yang terdiri dari berbagai organisasi resusitasi di dunia dan dibentuk untuk melakukan pengkajian berbagai ilmu pengetahuan resusitasi secara sistematis dan membuat rekomendasinya. ILCOR telah dua kali mengadakan

Association Guidelines

for

Cardiopulmonary Resuscitation

and Emergency Cardiovascular Care' sedatgkan di Eropa, European Resuscitation Council (ERC). Panduan yang dibuat dari rekomendasi ILCOR 2005 banyakberbeda dengan panduan-panduan yang ada sebelumnya.

konferensi, yaitu pada tahun 1999 dan 2005. Pada konferensi pertama dihasilkan Guidelines 2000 for C ar di opul monary Resus c it ation (CPR) and Emer g ency Cardiovascular Care (ECC). Sedangkan pada konferensi kedua di Texas pada 23-30 Januari2005, yang diikuti 249 peserta dari 1 8 negara dikeluarkan konsensus internasional yang memuat kesimpulan dan rekomendasi pengobatan berdasarkan bukti ilmiah (evidence-based medicine).

KEBERHASILAN RESUSITASI JANTUNG PARU Henti jantung mendadaktelah menjadi penyebab kematian utama di dunia. Di Eropa 700.000 kematian per tahun

disebabkan oleh henti jantung mendadak. Di Amerika

227

228

KEGAWAIDARURAf,AN MEDIK DI BIDANG ILMU PETTYAKIT DALAM

insidensnya 0,55 kernatian per 1.000 populasi/tahun dengan kematian karena penyakit arteri koroner di luar rumah sakit atau unit gawat darurat sebesar 330.000

(kompresi dada dan pemberian napas buatan) ditambah

defibrilasi. Sedangkan pada trauma, overdosis obat, tenggelam, dan kebanyakan anak mekanisme henti jantungnya adalah asfiksia di mana resusitasi terbaiknya adalah pemberian napas buatan. Agar resusitasi korban, baik fibnlasi ventrikular maupun asfiksia, dapat berhasil ada 4 langkah penting yang dikenal dengan konsep Chain of Survival, yail.t'. l. Pengenalan dini keadaan gawat (emergency) dan

kematian per tahun sedangkan di dalam rumah sakit 250.000 kematian per tahun.

Empat puluh persen korban henti jantung mendadak mengalami fibrilasi ventrikular (VF) saat pertama kali

diperiksa. Namun sedemikian banyaknya fibrilasi ventrukular atau takikardia ventrikular yang terjadi pada

henti jantung mendadak, saat dilakukan rekaman

meminta banfuan pelayanan gawat darurat medis atau pelayanan medis setempat. Pertolongan dini dan efektif

elektrokardiogram irama jantung telah berubah menjadi asistol. Fibrilasi ventrikular merupakan depolarisasi dan repolarisasi yang cepat dan tidak teratur di manajantung kehilangan fungsi koordinasi dan tidak dapat memompa darah secara efektif. Banyak korban henti jantung dapat ditolong jika penolong segera bertindak saat masih terdapat fibrilasi ventrikular, namun sebaliknya resusitasi kurang berhasil bila irama jantung telah asistol. Tindakan terbaik yang dapat diberikan pada henti jantung akibat fibrilasi ventrikel adalah resusitasi segera

dapat mencegah henti jantung.

2.

Resusitasi jantung paru dini oleh penolong. Resusitasi segera dapat menyelamatkan hidup dan henti jantung

akibat fibrilasi ventrikular dua hingga tiga kali lipat.

3. Defibrilasi dini. Resusitasi

jantung paru ditambah defibrilasi dalam 3-5 menit pertama terjadinya kolaps dapat menyelamatkan hidup hingga 49-7 5'/o. Tiap menit

penundaan defibrilasi mengurangi kemungkinan selamat sebany ak l0

-

1

5%".

Shout for help 0pen Airway Look for signs of life

call EMS/Resuscitation Team Give 2-5 initial Breaths jf no regular breathing

Give 30 chest Compressions (almost 2 compressions/second) followed by 2 breaihs Continue untill defibrillator/monitor is attached

N

on-Shockkable

(P

Advanced Life Support

Give 1 shock

During CPR Maintain open airway Ventilate and oxygenate 0btain vascular access Verify electrode/paddle postion and contact Correct reversible causes Consider: Airway adjunct Vasopresso rs/a ntiarrhythm ics

Monitor and Manager: G I u co se /te m p e

ratu relC O,/e le ctro ly te s

Gambar 1. Algoritme umum penanganan henti jantung (lLCOR, 2005)

E

A/A sv sto le )

229

RESUSITASI JANTUNG PARU

4.

Bantuan hidup lanjut dini dan perawatan pascaresusitasi. Kualitas pengobatan selama fase pasca-

resusitasi akan mempengaruhi hasil (outcome). Weisfeldt dan Becker (2005) mengemukakan 3 fase henti jantung akibat frbrilasi ventrikular. Fase pertama

adalah fase elektrik yag berlangsung dalam 4 menit pertama henti jantung. Tindakan yang penting pada fase ini adalah defrbrilasi. Fase kedua adalah fase sirkulasi (hemodinamik) fase ini berlangsun g antara 4 sampai 1 0 menit pertama. Pada fase ini yang penting adalah kompresi

dan ventilasi untuk memberi perfusi pada otak dan jantung. Sedangkan fase ketiga adalah fase rnetabolik yang berlangsung setelah 10 menit henti jantung. Pilihan pada fase ini adalah memberi kesempatan pada otak untuk

recovery atau menurunkan kebutuhan oksigen otak dengan cara terapi hipotermia.

HENTI JANTUNG DAN RESUSITASI JANTUNG PARU

Henti jantung adalah keadaan terhentinya aliran darah dalam sistem sirkulasi tubuh secara tiba-tiba akibat terganggunya efektivitas kontraksi j antung saat sistolik. Berdasarkan etiologinya henti jantung dapat disebabkan oleh penyakit jantung (82,4%); penyebab intemal non-

jantung (8,6%) seperti akibat penyakitparu, penyakit serebrovaskular, penyakit, kanker, perdarahan saluran cerna, obstetrik/pediatrik, emboli paru, epilepsi, diabetes melitus, penyakit ginjal; dan penyebab eksternal nonjantung (9,0%) seperti akibat trauma, asfiksia, overdosis obat, upaya bunuh diri (selain yang telah disebutkan), listrik/petir. Henti j antung dibedakan berdasarkan aktivitas listrik jantung (elektrokardiogram), yaitu asistol, aktivitas elektrik tanpa nadi (pulseless electrical activity, PEA), fibrilasi ventrikel (VF), dan takikardia ventrikel tanpa nadi (pulseless VT). Tindakan resusitasi jantung paru dilakukan oleh tenaga

BANTUAN HIDUP DASAR Bantuan hidup dasar (basic life support) adalah suatu tindakan Pada saat pasien ditemukan dalam keadaan tiba-tiba tidak bergerak, tidak sadar, atau tidak bemapas, maka periksa respons pasien. Bila pasien tidak respons, aktifkan sistem darurat dan lakukan tindakan bantuan

hidup

dasar.

Singkatan ABCD sudah terkenal luas dan

mempermudahtata laksana pasien henti jantung' ABCD tersebut adalah airway, breathing, circulation' dan defibrillation. Aitway adalah upaya untuk mempertahan

kan jalan napas yang dapat dilakukan secara noninvasif maupun invasif. Breathing adalah upaya memberikan pernapasan atau ventilasi. Circu lation adalah upaya mempertahankan sirkulasi darah baik dengan obat-obatan maupun dengan kompresi dada fiantung). Pembukaan jalan napas dengan teknik non-

invasif dilakukan dengan cara mengekstensikan kepala (head tilt) serta mengangkat dagu (chin lift). Membuka jalan napas dengan mengangkat rahang Qaw trust) dilakukan bila dicuriga ada trauma kepala (fraktur vertebra servikal). Penilaian pernapasan (breathing) dengan memantau atau observasi dinding dada pasien dengan cara melihat (look) nark dan turunnya dinding dada, mendengar (listen) tdara yang keluar saat

ekshalasi, dan merasakan (feel) aliran udara yang menghembus di pipi penolong. Bila pasien bernapas, posisikan pasien dalam posisi pemulihan. Bila pasien tidak bernapas atau pernapasan tidak adekuat, berikan napas buatan 2 kali. Setiap napas diberikan 1 detik dan terlihat menaikkan dinding dada.

Penilaian sistem sirkulasi datah (Circulation) dilakukan dengan menilai adatya pulsasi arteri karotis. Penilaian ini maksimal dilakukan selama 5 detik. Bilatidak ditemukan nadi maka dilakukan kompresi jantung yang

keterangan DNAR (do not attemptresuscitation), pasien

efektif, yaitu kompresi dengan kecepatan 100 x/m, kedalaman 4-5 cm, memberikan kesempatan jantung mengembang (pengisian ventrikel), waktu kompresi dan relaksasi sama, minimalkan terputusnya kompresi dada,

memiliki tanda kematian yang ireversibel (seperti

dan rasio kompresi dan ventilasi 30:2.

rigormortis, dekapitasi, dekomposisi, atau pucat), atau tidak ada manfaat fisiologis yang dapat diharapkan karena fungsi

jantung adalah defibrilasi

medis bila sudah ditegakkan masalah henti jantung. Resusitasi janfung paru tidak dimulai bila pasien memiliki

vital telah menurun walau telah diberi terapi maksimal (seperti syok septik atau syok kardiogenik yang progresif). RJP dihentikan bila sirkulasi dan ventilasi spontan secara efektif telah membaik, perawatan dilanjutkan oleh tenaga medis di tempat rujukan atau di tingkat perawatan yang lebih tinggi, ada kriteria yang jelas menunjukkan sudah terjadi kematian yang ireversibel, penolong sudah tidak dapat meneruskan tindakan karena lelah atau ada keadaan

lingkungan yang membahayakan atau meneruskan tindakan resusitasi akan menyebabkan orang lain cedera, atau keterangan DNAR diperlihatkan kepada penolong

Salah satu faktor keberhasilan penanganan henti

diti (early defibrillation).

Resusitasi jantung paru yang disertai dengan defrbrilasi dini (dalam 3-5 menit henti jantung) akan memberikan angka kesintasan 49-1 5% dan tiap keterlambatan defibrilasi I menit maka kesintasan akan menurun 1 0- 1 5' Berdasarkan hal tersebut dikembangkan alat yang dapat

mengenali irama jantung, menganalisis dan memberikan

instruksi tindakan yang perlu dilakukan. Alat yang disebut AED (automated axternal defibrillator) ir,i diletakkan di tempat-tempat umum dan dapat dapat digunakan oleh orang awam pada pasien henti jantung di luar rumah sakit.

230

KEGAWIIT-DARURAf,AN MEDIK DI BIDANG ILMU PEIIYAKIT DAIJ\M

Tidak ada gerakan atau respon

Hubungi 9'll atau nomor kontak gawat darurat Minta alat deflbrilasi atau kirlmkan tenaga penyelamat kedua jika ada untuk mendapatkannya

Bebaskan jalan napas, cek pernapasan

Jika

tidak bernapas, berikan 2 kali napas bantuar yang membuat dada terangkat

respon, cek nadi: jelas teraba nadi

a

i

jetas:

i i--------------- i

rrioetirz i

i

;5

:

;i i

-.-l

Berikan siklus 30 kali kompresi dan 2 kali napas bantuan hingga defibrilator tiba, penyedia bantuan hidup lanjut mengambil alih, atau korban bergerak Tekan kuat dan cepat (1 00 kali/menit) dan lepaskan penuh lvlinimalkan interupsi pada kompresi

Berikan satu kali tembakan (shock) Segera ulangi RJP 5 siklus

Segera ulangi RJP 5 siklus Cek ritme tiap 5 siklus; lanjutkan hingga penyedia bantuan hidup lanjut mengambil alih atau korban bergerak

Gambar 2. Algoritma bantuan hidup dasar (AHA, 2005)

C

Gambar 3. Tindakan{indakan bantuan hidup dasar: a. Evaluasi respons pasien b. Minta pertolongan, c Amankan jalan napas, d Evaluasi pernapasan pasien, e Pemberian napas buatan, f. Kompresi dinding dada.

231

RESUSTTASI JANTUNG PARU

BANTUAN HIDUP LANJUT

Gambar 4. Posisi pemulihan

Bantuan hidup lanjut(Avanced Life Support) dilakukan di fasilitas kesehatan. Tindakan bantuan hidup dasar tetap dipertahankan dan dilengkapi oleh bantuan hidup lanjut. Pada manajemen jalan napas (airway), tindakan yang

dilakukan adalah mempertahankan patensi jalan napas dengan head tilt-chinlift blla perlu gunakat orophatyngeal airway ataunasopharyngeal airway. Tindakan lanjut seperti intubasi endotrakeal atau penggunaan latyngeal mask airway (LMA) dapat dilakuan. Suplementasi oksigen diberikan dan nilai oksigenasi dan ventilasi dengan melihat naiknya dinding dada, saturasi oksigen, kapnograf' Pada Gambar 5. Kompresi dinding dada dilakukan di titik tengah

pasien yang sudah menggunakan pipa endotrakeal

sternum Saat melakukan kompresi dada maka tekanan intratoraks meningkat dan jantung paru akan tertekan. Darah dari jantung (ventrikel kiri) akan terpompa ke sistem sirkulasi Saat kompresi dilepas (dekompresi) maka tekanan intratoraks menurun dan jantung-paru akan mendapat kesempaian pengisian volume

(endotracheal tub e) maka ventilasi dapat diberikan dengan frekuensi 10-12 kali permenit dan kompresi dinding dada dapat dilakukan 100 kali permenit tanpa terputus. Periksa

posisi pipaendotrakeal baik dengan auskultasi atau kapnograf. Fiksasi pipa enfotrakeal agar tidak mudah lepas. Untuk menjamin akses vascular maka pada pasien perlu

dipasang akses intravena. Lead EKG dipasang untuk memantau adaflya aritmia atau henti jantung (asistol, PEA, VF, atau VT tanpa nadi). Sesuai indikasi berikan cairan dan obat untuk mengatur:irama seperli amiodaron, Iidokain,

sulfas atropine, magnesium; mempertahankan tekanan Gambar 6. Automated external defibrillator diletakkan di tempat umum dan digunakan saat ditemukan pasien yang dicurigai mengalami henti jantung

darah seperli epinefrin, dopamin. Panduan algoritma penanganan henti jantung dibagi menjadi dua, yaitu henti jantung yang dapat dilakukan

dengarkan instruksi Gambar 7. Langkah-langkah pemasangan AED (automated external defibriltator): a. buka tutup tas atau kotakAED, apeks di sisi elektroda dan klavikula pada di bawah sternal kanan sisi yang terdengar dari mesin Reb, n,c,O. iempelkan elektroda sternal tidak memegang Lteiat apetJpada garis aksilaris anterior, e,f,g,h ikuti instruksi menghentikan kompresi dada saat mesin AED menganalisis, pasien saat mesin AED melakukan shock, melanjutkan kompresi dada, dan pemberian napas buatan

232

KEGAWATDARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PEIYYAKIT DALAM

Pulseless Arrest Algorilme bantuan hidup dasar: meminta bantuan, lakukan RJP Bedkan oksigen jika tersedta Pasang monitor/defibrilator jika tersedia

Shockable

'l

Cet r rm-" R im e

sho.trhlp?

No/ Shockab/e

I

Aslsto e/PEA

Berikan 1 kali tembakan (shock) . BiFasik manual: sesuai alati (pada umumnya 120 hingga 200 J) . Catatan: iika tidak dlketahui, gunakan 200 J . AED: sesuai alat . N4onofasik: 360 J

t ;*r* I

Berikan 5 sik us

Segera ulangi RJP sebanyak 5 siklus Jika lersedia akses lV ateu lO, berkan vasopresor Epinekin 1 mg lVi lO Ulangiiap 3 hingga 5 menil atau

Berikan selu dos s vasopresin 40 U lV/ O untuk mengganlikan epinefrin dos s pedama alau kedua

RJF

I Berikan 5 siklus RJP Cek rtme R rtm e shockable?

engisi lcharying) h

tinggi

. -

AED: sesuai alsl N,4onofasikt 360 J Segera ulangi RJP selelah tembakan Jiks tersedia akses lV atau IO, berikan vasopresor selema RJp (sebelum atau sesudah tembakan) Epinefrin'1 mg lV/lO . Ulangi tiap 3 hingga 5 menit . atau . Berikan satu dosis vasopresin 40 U lV/lO untuk mengganlikan eprnefrin dosis pedama alau kedua Benkan 5 siklus R,iP Cek

'T",.^

I

Not asisto

ridak

e

able lanjulkan

5

rka lidak ada nadi, laniu kan ke kotak 1 0 ka lerdapat nadi mulal tala aksana poshesul

Shockable

Berlk

:

kotak

bih tinggi

SaaI RJP _ Te

enit)

J

- lvli

resi dada

-Pa

Sa

Monofasik: 360 J JP

'

uikan 2 ka i napas bantueni

5

Hrndar h peryenlrasi

IV

o H poksia o on Hidrogen (as dosis) o Hipo/h perka em a o H pog ikem a o H potermla o o o o

Toks

n

Tamponade,la Tension pneum Trombosis (kor o lrauma

x

teu paru)

Gambar 8. Algoritma bantuan lanjut dasar (AHA, 2005)

defibrilasi (fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel tanpa nadi) dan yang tidak dapat dilakukan defibrilasi (asistol dan pulseless electrical activie). Saat melakukan bantuan hidup lanjut, maka penyebab henti jantung yang reversibie harus dicari dan diatasi.

PENUTUP Perubahan pada rekomendasi tahun 2005 didasarkan pada

upaya mengurangi waktu terputusnya kompresi yang

Tamponade Jantung, Tension pneumothorax, Thrombosis coronary, Thrombosis pulmonary), dan

mempakan waktu perfusi. Perubahan besar adalah kapan CPR dimulai, rasio kompresi:ventilasi 30:2, perkembangan AED, dan strategi |-shock diikuti kompresi-ventilasi. Ilmu pengetahuan tentang resusitasi jantung paru terus berkembang. Pedoman saat ini akan berkembang dan berubah di kemudian hari. Saat ini prinsip resusitasi tetap

Trauma.

early recognition and call

Penyebab yang reversible adalah 5H dan 6T, yaitu Hypovolemia, Hypoxia, Hydrogen ion (asidosis),Hypo-l Hyperkalemia, Hypoglycemia, hypothermia, Toxins,

for

help, early CPR, early

233

RESUSITASI JAT{TUNG PARU

defibrillation, dan postresuscitation care. Berbagai penelitian terus berjalan dengan tujuan mendapatkan

Ewy GA. Cardiocerebral resuscitation-the new cardiopulmonary

metode resusitasi dengan hasil (outcome)yang lebih baik.

Handley

REFERENSI American Heart Association. Guidelines 2000 for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Circulation. 2000;1 02(suppl):I 1 -I3 84. American Heart Association, In collaboration with International Liaison Committee on Resuscitation Guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care - an international consensus on science. Resuscitation. 2000;46:l-

430.

resuscitation. Citculation. 2005: I 1 l:2134-2142 A, Koster R, Monsieurs K, GD Perkins, Davies S, Bossaert L. European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2005 - section 2. adult basic life support and use of automated extemal defibrillators. Resuscitation. 2005;6'7 (suppl 1):S7-S23. International Liaison Committee on Resuscitation. 2005 International consensus on cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care science with treatment recommenda-

tions. Circulation. 2005; 1 12:IIIl -lII1 36. Mitka M Peter J. Safar, MD j'father of CPR," innovator, teacher, humanist. .I Am Med Assoc. 2003:289:2485-6.

31 ACUTE RESPIRATORY DIS TRESS S r/VDR OME (ARDS) Zulkifl i Amin, Johanes Purwoto

DEFINISI ARDS merupakan sindrom yang ditandai oleh peningkatan

akumulasi cairan yang mengandung protein dalam parenkimparu. Dasar definisi dipakai konsensus Komite Konferensi ARDS Amerika-Eropa tahun 199 4 tdd: 1. Gagal tapas (respiratory failure/distress) dengan onset akut

2. 3.

4.

Akibat Paru sendiri

Akibat Sistemik

permeabilitas membran alveolar-kapiler terhadap air, larutan dan protein plasma, disertai kerusakan alveolar difus, dan

a a

Rasio tekanan oksigen pembuluh arteri berbanding fraksi oksigen yang diinspirasi ( PaO, I FIO) < 200 mmHg -hipoksemia berat.

Radiograhtorak: infiltratalveolarbilateralyang sesuai dengan edema paru Tekanan baji kapiler pulmoner Qtulmonary capillary

a

wedge pressure) < 18 mmHg, tanpa tanpa tanda klinis (Ro d11) adanya hipertensi atrial kiril(tanpa adarryatanda

gagaljantung kiri).

Bila PaO, lFIOrantara200-300 mmHg, maka disebut

(ALI) Konsensus juga mensyaratkan terdapatnya faktor risiko terjadinyaAll dan tidak adanya penyakit paru konik

Acute LungInjury

yang bermakna. Acute Lung Injury (ALI) danARDS didiagnosis ketika bermanife stasi seb agai kegagalan pernapasan berbentuk hipoksemi akut bukan karena peningkatan tekanan kapiler paru.

Luka berat Sepsis Pankreatitis Shock Tranfusi berulang DIC Luka bakar Obat-obatan/overdosis Opiat Aspirin Phenothiazines Tricyclicls antidepresan Amiodarone Khemoterapi Nitrofurantoin Protamine Thrombotic thrombocytopenic purpura Cardiopulmonary bypass Trauma kepala Paraquat

Aspirasi asam lambung Emboli karena pembekuan darah, lemak, udara, atau calran amnton TBC miliar

Radang paru difus/luas (cth, SARS) Radang paru eosinofilik akut Cryptogenic organizing pneumonitis Obstruksi saluran napas atas Asap rokok yang mengandung kokain

Near-drowning Terhisap gas beracun: Nitrogen diosida Chlorine Sulfur dioksida Amonia Asap Keracunan Oksigen Trauma paru Ekspose radiasi High-altitude exposure Lung reexpansion or repeffusion

o o o o o

a

ARDS = acufe respratory distress syndrome (sindrom pernapas- an akut) SARS = severe acute respiratory syndrome (sindrom pemapasan akut berat

dapat diakibatkan injury langsung atau tidak langsung. Kedua hal tersebut mengaktifkan kaskade inflamasi, yang dibagi dalam tiga fase yang dapat dijumpai secara tumpang

Patogenesis dan Patofisilogi Patogenesis ALI/ARDS dimulai dengan kerusakan pada epitel alveolar dan endotel mikrovaskular. Kerusakan awal

234

235

ACUTE RESPIRATORY I'ITRESS SYNI,8OME (AR"DS)

tindih: inisiasi, amplihkasi, dan injuty. Pada fase inisiasi, kondisi yang menjadi faktor risiko akan menyebabkan sel-sel imun dan non-imun melepaskan

mediator-mediator dan modulator-modulator inflamasi didalam paru dan ke sistemik. Pada fase amplifikasi, sel efektor seperti netrofil teraktivasi, tertarik ke dan tertahan di dalam paru. Di dalam organ target tersebut mereka melepaskan mediator inflamasi, termasuk oksidan dan protease, yang secara langsung merusak paru dan mendorong proses inflamasi selanjutnya. Fase ini disebut

Diagnosis Klinis Onset akut umumnya berlangsung 3-5 hari sejak adanya diagnosa kondisi yang menjadi faktor risiko ARDS (lihat

Faktor Risiko). Tanda pertama ialah takipnea, retraksi intercostal, adanya ronkhi basah kasar yg jelas. Dapat ditemui hipotensi, febris. Pada auskultasi ditemukan ronki basah kasar. Gambaran hipoksia/sianosis yang tak respon dengan pemberian oksigen. Sebagian besar kasus disertai

disfugsr/gagal organ ganda yang umumnyajuga mengenai ginjal, hati, saluran cerna, otak dan sistem kardiovaskular.

fase injury.

Kerusakan pada membran alveolar-kapiler menyebabkan peningkatan permeabilitas membran, dan aliran cairan yangkaya protein masuk ke ruang alveolar. Cairan dan protein tersebut merusak integritas surfaktan di alveolus, dan terjadi kerusakan lebihjauh.

Pemeriksaan Penunjang

.

Laboratorium:

-

Analisa Gas darah: hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi), hiperkapnia (pada emfisema atau keadaan lanjut). Alkalosis respiratorik

Terdapat tiga fase kerusakan alveolus: 1. Fase eksudatif : ditandai edema interstisial dan alveolar, nekrosis sel pneumosit tipe I dan denudasi/terlepasnya membran basalis, pembengkakan sel endotel dengan

-

pelebaran intercellular junction, terbentuknya

-

membran hialin pada duktus alveolar dan ruang udara,

intravaskular diseminata (sebagai bagian dari

dan inflamasi netrofil. Juga ditemukan hipertensi

.

pulmoner dan berkurangtya compliance paru-

2.

Fase proliferatif: paling cepattimbul setelah 3 hari sejak onset, ditandai proliferasi sel epitel pneumosit tipe II,

3.

Fase fibrosis: kolagen meningkat dan paru menjadi padat karena fibrosis.

pada awal proses, akan berganti menjadi asidosis respiratorik. leukositosis (pada sepsis), anemia, trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik dan kerusakan endotel), peningkatan kadar amilase (pada pankreatitis) gangguan fungsi ginjal dan hati, tanda koagulasi

MODSI multiple organ dysfunction syndrome) Radiologi Foto toraks: pada awal proses, dapat ditemukan

lapangat paru yang relatif jernih, serial foto

kemudian tampak bayangan radio-opak difus atau

Penyebab

Ciri-ciri

t

Densitas dipenden (berdasar CT scan) (terjadi Kolaps/konsolidasi)

t

Elastisitas

t

Kebutuhan volume per menit

t

Usaha napas

(!

Compliance)

True shunt (perfusi ruang udara Vasokonstriksi pulmoner hipoksik terganggu VtQ mismatch adalah komponen minor ketidakstabilan alveolar Disfungsi surfaktan Kompresi normal yang berlebihan pada paru karena peningkatan berat (t cairan paru, inflamasi) Disfungsi surfaktan (1 elastisitas spesifik) J volume paru ('baby lung) 1 elastisitas dinding dada Alveolitis fibrosis (lambat) 1 ruang rugi alveolar (alveolar dead space) [VorJVr sering 0,4-0,7

)

t V"o, t elastisitas

1 kebutuhan volume per menit Vasokonstriksi pulmoner (TxAz, endotelin) Trombosis mikrovaskuler pulmoner Alveolitis fibrosis PEEP

Hipertensi pulmoner

Toraks < 300 mmHg < 200 mmHg

lnfiltrat bilateral

< 18 mmHg atau tidak ada tanda klinis dari peningkatan tekanan atrium kiri 18 mmHg atau tidak ada tanda klinis dari tekanan atrium kiri

<

236

KEGAWATDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PEI\TYAKIT DALAM

patchy bilateral dan diikuti pada foto serial berikutnya lagi gambarat conJluent, tid.ak

9.

terpengaruh gravitasi, tanpa gambaran kongesti atau pembesaran jantung.

CT scan : pola heterogen, predominasi infiltrat pada area dorsal paru (foto supine).

Stenosis mitral dengan perdarahan alveolar

10. Vaskulitis I 1.

Pneumonitis hipersensitivitas interstisial

12. Penyakit paru

Perbedaan edema paru kardiogenik dan non kardiogenik (IRDS)

Interpretasi foto toraks berorientasi pada definisi ALI dan ARDS, meskipun demikian terdapat keberagaman

yang sangat dipengaruhi oleh pengamat baik pada interpretasi foto toraks dan penentuan infiltrat. pada definisi Konferensi Konsensus Amerika-Eropa, infiltrat harus bilateral dan konsisten dengan edema paru. CT toraks terbukti sangat membantu dalam penelitian

patofisiologi

ALI,

Bisa menggambarkan keberagaman

inflasi paru, dan secara umum digunakan unfuk memandu tatalaksana klinis. Otopsi dan foto toraks ALI memrnjukkan proses yang seragam yang melibatkan kedua paru, akan tetapi CT toraks pada awal perjalanan ALI pada pasien

dengan posisi terlentang menunjukkan terdapat peningkatan densitas paru pada bagian dorsal, danpada

paru ventral relatif normal. Selain itu, CT sering kali menunjukkan adanya pneumotoraks, pneumomediastinum dan efusi pleura yang tidak terdiagnosis sebelumnya. Setelah dua minggu dengan ventilasi mekanik, CT scan dapat menunjukkan arsitektur paru yang berubah dan kista emfisematosa atau pneumatokel. Banyaknya CT atau unit Hounsfield dapat ditetapkan menjadi masing-masing voxel (- 2000 alveolus dalam s/zce standar 10 mm). Data ini dapat digunakan untuk menilai proporsi dari bagian yang menarikperhatian,apakah tidak

terdapat aerasi, sedikit aerasi, aerasi normal, atau hiperinflasi. Pada mulanya dinilai satt slice paru basal, tetapi jelas bahwa informasi yang lebih jauh dapat diperoleh

dengan mempelajari seluruh paru. Ini memberikan (i) rekonstruksi lobus atas dan bawah (lobus tengah sulit untuk dipisahkan, (ii) potongan paru yang sama dapat dinilai pada level inflasi yang berbeda atau pEEp (paru juga digerakkan arah sefalo-kaudal dengan pernapasan) dan (iii) gambaran paru yang lebih luas dapat dicapai (kerusakan paru bervariasi padaALI). Namun CT seluruh paru membutuhkan paparan yang banyak terhadap radiasi

ionisasi, dan informasi yang berbeda, mungkin lebih berhubungan dengan ventilasi mekanik yang didapatkan dari CT dinamik. Diagnosis banding secara radiologi:

1.

Edemaparukardiogenik

2. Infeksi paru: viral, bakterial, fungal 3. Edema paru yang berhubungan dengan ketinggian (High-altitude pulmonary edema : HAPE) Edema paru neurogenik Edemaparudiinduksi laringospasme Edema paru diinduksi obat: heroin, salisilat, kokain

4. 5. 6. 7. Pneumonitis radiasi 8. Sindrom emboli lemak

PERJALANAN PENYAKIT ARDS muncul sebagai respons terhadap berbagai trauma dan penyakit yang mempengaruhi paru secara langsung

(seperti aspirasi isi lambung, pneumonia berat, dan kontusio paru) atau secara tidak langsung (sepsis sistemik, trauma berat, pankreatitis). Dalam 12-48 jam setelah kejadian awal pasien mengalami distress pernapasan dengan perburukan sesak napas dan takipneu. Pemeriksaan gas darah arteri menunjukkan hipoksemia yang tidak respons terhadap oksigen melalui nasal. Infiltrat difus bilateral terlihat pada rontgen tanpa disertai gambaran edema paru kardiogenik. ARDS merupakan bentuk acute lung injury yang paling berat dan dicirikan oleh: ' Riwayat trauma atau suatu penyakit yang menjadi

'

rmstator Hipoksemia efrakter terhadap terapi oksigen (misal P02 < 8.0 kPa (60 mmHg) dengan 40% oksigen). Derajat hipoksemia dapat terlihat sebagai rasio tekanan oksigen arteri @O2) terhadap konsentrasi fraksi oksigen inspirasi @i02l100% oksigen:FiO2 dari l). PadaARDS PO2E(O2

<261OaQ0}mmHg)

' '

Infiltrat difus bilateral pada rontgen toraks (gambar 18.2) Tidak ada bukti suatu edem paru kardiogeik (misalparlmonary capillary wedge pressure <18 mmHg)

TATALAKSANA PENYEBAB PENYAKIT Penanganan secara holistik pada tahap awal penyakit merupakan hal yang penting. Berbagai faktor yang mengarah pada ALI harus ditangani dengan cepat dan tepat. Termasuk diagnosis dan penanganan infeksi yang

tepat dengan drainase dan antibiotika yang tepat, pengenalan renjatan dan resusitasi cepat, tatalaksana trauma dan bantuan sarana/layanan pendukung yang baik. Pencegahan: trombosis vena dalam, ulserasi akibat tekanan, infeksi nosokomial adalah penting pada semua pasien dengan penyakit kritis. Begitu juga pemberian nutrisi yang adekuat. TatalaksanaARDS intinya adalah mengatasi hipoksemia berat, mengobati penyebab dasar ARDS dan tindakan suportif untuk mencegah komplikasi. Empat prinsip dasar menjadi pegangan tatalaksana ARDS. Pertama: pemberian oksigen, PEEP dan ventilasi

tekanan positif, hampir semuanya menunjukkan keuntungan bagi pasienARDS dibalik itu dia juga memiliki

237

ACUTE RESPIRATORY DITRESS SYNI'ROME (ARDS)

potensi efek samping yang berat. Kedua, walaupun ARDS seringkali dianggap kegagalan napas primer, kegagalan multiorgan non paru dan infeksi adalah penyebab utama kematian. Ketiga, pengaturan ventilasi mekanik yang hati2 terutama volume tidal terbukti berakibat komplikasi yang lebih jarang dan merupakan satu satunya tatalaksana yang memperbaiki survival/kesintasan. Terakhir, prognosisnya buruk apabila penyebab dasarnya tidak diatasi atau tidak ditangani dengan baik.

Bantuan pernafasan/Venti lator Hipoksemia padaARDS umumnya refrakter terhadap terapi oksigen karena adanya shunting pada pembuluh darah

melalui bagian paru yang tidak terventilasi kemudian berakibat alveoli terisi oleh eksudat proteinaseosa sehingga menimbulkan atelektasis. Peran ventilasi non-invasifbelum teruji dalamALI dan

ARDS dan kebanyakan pasien memerlukan ventilasi mekanis dengan inrubasi.

Cara dan pemberian dukungan ventilasi harus

ALI dan ARDS. Telah sekian tahun penelitian laboratorium menunjukkan perlukaan paru akibat ventilator (ventilator-induced lung disesuaikan dengan patofisiologi

Nonkardiogenik (ARDS)

Kardiogenik Riwayat penyakit jantung Bunyi jantung ketiga Kardiomegali lnfiltrat pada foto dada distribusinya ditengah Pelebaran pembuluh darah mediastinum (increased width of mediastinum at level of azygos vein) Peninggian tekanan baji afteri paru

Tidak adanya penyakit jantung Tidak ada bunyi jantung yang ketiga Jantung normal lnfiltrat pada foto dada distribusinya dtperifer Normal

.

Keseimbangan cairan neqatif

MENGENALI PASIEN KRITIS Pasien yang mengalami ARDS dapat dideteksi padatahap

awal. Deteksi dini dan observasi secara hati-hati pada pasien berisiko merupakan hal yang penting untuk mendeteksi tanda perburukan dan mengidentifikasi kebutuhan unit terapi intensif. Beberapa gejala alarm dapat

diterapkan di bebagai kondisi karena terdapat pola perburukan fisiologis yang sama pada pasien kritis yang dapat dideteksi dengan observasi sederhana menggunakan denl.ut nadi, frekuensi perapasan, tekanan darah, suhu, poduksi urin dan deralat kesadarn. Pengukuran gas darah

arteri memberikan informasi tambahan tentang perhrkaran gas dan kondisi metabolik pasien.

Frekuensi napas Denyut nadi Tekanan darah Suhu Produksi urin Derajat kesadaran Oksigenasi

Asidosis

volume rendah. Dari penelitian oleh ARDS Network melibatkan 861 pasien ALI dari 75 ICU diacak untuk mendapat volume tidal (Vr) 12 atau 6 ml/kg prediksi berat badan. Mortalitas dikurangi menjadi22Yo dai40o/o sampai 3loh padapada kelcmpok Vr yang lebih rendah. Continous positive air way pressure (CPAP) dapat

dilakukan dengan menggunakan masker sempit untuk

Normal atau menurunnya tekanan baji arteri paru

Keseimbangan cairan positif

inj uty [YILI]). dan penelitian klinis akhir-akhir ini ditemukan bahwa mortalitas dapat diturunkan dengan pemberian tidal

mencegah atelektasis alveolus dan mengurangi ventilasi/ perfusi yang tidak tepat serta mengurangi kerja pernafasan. Pasien dengan gagal napas hipoksemia akut, dan sesak berat biasanya membutuhkan ventilasi mekanik. Intubasi endotrakhea dan pemasangan ventilasi mekanik segera harus dilakukan. Setelah intubasi, ventilasi terkontrol mengakibatkan penurunan usaha bernafas dengan segera dan ikuti dengan aplikasi PEEP dan atur konsentrasi oksigen inspirasi dalam fraksi tinggi (FiOr). Kemudian pada perj alanan klinis, mode ventilasi yang dibantu atau dengan dukungan (assisted/

support ventilation)dapat memberikan interaksi pasienventilator yang lebih baik dan memungkinkan peningkatan oksigenasi (V/Q mismatch) yang lebih baik. Sebagai hasil dari kontraksi diafragma.

Intermitten positive pressure ventilasi mekanik mampu memompa paru, menghantarkan oksigen sesuai dengan volume tidal dan kecepatan yang diatur. Ketentuan volume, tekanan pemompaan, kecepatan dan prosentase oksigen diatur agar ventilasi adekuat. Untuk mencegah

kolaps alveolus ditambahkan Positive end expiratory

<8 atau >30/menit <40 atau >130/menit

(>380

C.

'1oO

40

C),

(<360 C. 96.80 C) <30 ml/jam selama 3 jam

Tidak respons terhadap Perintah

Saturasi oksigen <90% atau PaO2 < BkPa (60 mmHg) meski dengan 600/o oksigen yng diinspirasi pH< 7 2, bikarbonat <20 mmol/L

pressure (PEEP) 5-15 cmH2O pada akhir siklus ekspirasi. Tekanan yang tinggi akan memacu ventilasi paru yang sulit mengembang pada ARDS dan mengurangi curah jantung (cardiack output)dan risiko barotrauma (contoh: pneumotoraks). Kombinasi tekanan ventilasi yang tinggi dan konsentrasi oksigen tinggi menimbulkan kerusakan

mikrovaskular sehingga menyebabkan edema paru (ventilator lungitoksisitas oksigen). Vari asi dai teknik lung-

protective ventilator telah berkembang. Permissive hipercapnia merupakan teknik yang membiarkan pasien dengan PaCO2 tinggi ( misal 10kpa,75 mmHg) untuk mengurangi ventilasi alveolus dan menghindari tekanan

238

KEGA\ilIIiTDARURAIAN MEDIK DI BIDAI\G ILMU PENYAKIT DALAM

pernafasan eksesif. Inverse ratio ventilation memperpanjang fase inspirasi daripada fase ekspirasi sehingga volume tidal yang dihantarkan akan lebih lama pada tekanan yang lebih rendah. Namun hal ini dapat menyebabkan progresive air trapping. High-frequency jet

ventilasi merupakan tehnik dengan volume kecil dihantarkan berupa udara yang diinjeksi pada frekuensi tinggi ( contoh 1 00-300/menit). Ventilasi pasien pada posisi

terlentang bermanfaat mengurangi gravitasi dan atelektasis. Extru corporeal membrane oksigenasi @CMO) merupakan pengalihan sirkulasi melalui mernbrane external untuk menyediakan oksigen dan membuang . karbondioksida.

Tidak satupun dari strategi ventilasi

mampu meningkatkan prognosis ARDS namun masingmasing bermanfaat.

frekuensi napas. Protokol ARDS Network mentargetkan normokapnia, dengan frekuensi napas maksimal 35, untuk memperkecil asidosis respiratorik. Hal ini membuka paru

terhadap peregangan tidal berulang, dan dapat mengakibatkan hiperinfl asi dinamik akibat waktu ekspirasi

yang memendek (meskipun hal ini tidak muncul dalam penelitianARDS Network). Selain itu, membiarkan PaCO, meningkat di atas normal tidak berbahayapada banyak paslen.

Jika asidosis hiperkapnia terjadi perlahan, asidosis intraselular terkompensasi dengan baik, dan peningkatan yang berhubungan dengan tonus simpatik dapat memperbesar cardiac outpul dan tekanan darah. Meskipun

TARGETKADARGAS DARAH

asidosis respiratorik dapat memperburuk hipertensi pulmoner, dan menginduksi aritmia miokardial namun dampaknya seringkali kecil, khususnya jika telah terjadi kompensasi metabolik. Selain itu, pada modelALI iskemireperfusi, penatalaksanaan hiperkapnia mengurangi

Seperli yang telah dibahas sebelumnya, terdapat banyak

perlukaan paru dan apoptosis. Bagaimanapun penelitian klinis yang membolehkan hiperkapnia harus dilakukan

variabel untuk dipertimbangkan ketika menentukan gas darah sasaran pada ARDS. Sebagai contoh jika psien mengalami cedera otak traumatik, mungkin tidak tepat untuk dibiarkan sedikit hiperkapnia.

Sasaran Oksigenasi dan FiO,

Harus disepakati altara faktor yang menentukan oksigenasi, termasuk paru yang teraerasi buruk atau tidak teraerasi yang luas, vasokonstriksi pulmoner hipoksik, dan

tercampur saturasi oksigen vena, dan sasaran PaOr. Adanya hubungan altara gatgguan kognitifdan saturasi oksigen lSaOr) <90yr, mengesankan bahwa SaOre" 90o/o, biasanya PaO, > 60 mmHg adalah target yang rasional. Karena ventilasi tekanan positif dapat menurunkan cardiac output, penting juga dipertimbangkan oksigenasi jaringan pada proses yang menentukan ini. Selain PEEP, peningkatan FiO, digunakan untuk memperbaiki SaOr. Meskipun demikian, FiO, dapat juga menyebabkan perlukaan jaringan termasuk kerusakan alveolar difus. Keseimbangan antara peningkatan tekanan jalan napas dan FiOrtidak diketahui, tetapi FiO, yang tinggi biasanya dianggap kurang merusak. Sebagian hal ini

disebabkan oleh kerusakan laveolar difus itu sendiri melindungi paru dari hiperoksia, mungkin melalui induksi pemangsa sebelumnya untuk spesies oksigen reaktif. Kesepakatan yang masuk akal adalah untuk memulai FiO, pada satu dan dititrasi turun sampai d" 0,6. Pada pasien dengan hipoksemia berat, pengukuran tambahan seperti nitrit oksid yang terhirup (iNO), posisi telungkup dapat dicoba, bersama dengan target SaO, yang lebih rendah.

Target Karbondioksida

sebelum tatalaksana hiperkapnia dipertimbangkan. Hiperkapnia harus dihindan pada pasien dengan atau dalam risiko peningkatan tekanan intrakranial.

TEKNIK TAMBAHAN UNTUK MEMPERBAIKI OKSIGENASI

Postur telungkup (prone) Pada 70o/o pasien ARDS, posisi telungkup akan menghasilkan peningkatan PaO, yang signifikan, dengan

peningkatan PaO, yang sedikit pada posisi terlentang (sup ine).Mekanisme yang terlibat

meliputi rekrutmen paru

dorsal, bersamaan dengan kolapsnya paru ventral; bagaimanpun perfusi lebih mudah didistribusikan untuk mencapai V/Q sesuai yang lebih baik. Meskipun penelitian klinis mortalitas belum menemukan perbaikan mofialitas, analisa post-hoc menduga bahwa mortalitas dapat diturunkan pada sebagian besar pasien hipoksemia.

MANIPULASI SIRKULASI PU LMONER Nitrit oksid yang terhirup (iNO) dan prostasiklin (PGIr) mungkin dapat digunakan untuk merltrunkan shunt pulmoner dan after-load verttrrkel kanan dengan menurunkan impedansi arteri pulmoner. Ketika vasokonstriksi pulmoner hipoksik aktif, terdapat distribusi aliran darah pulmoner dari daerah dengan ventilasi buruk ke daerah dengan ventilasi nonnal untuk mencapai PaO, Baik iNo maupun PGI, _merupakan vasodilator poten, karena mereka dapat dikirmkan sebagai campuran gas (iNO) atau terinhalasi (PGIr), mereka dapat terkirim pada paru

dengan ventilasi baik. Keduanya bekerja untuk

Strategi V, rendah akan menghasilkan peningkatan PaCO2

vasodilatasi sirkulasi pulmoner lokal dan meningkatkan

kecuali ventilasi menit diperbesar dengan peningkatan

redistribusi aliran darah pulmoner dari paru dengan

239

ACUTE RESPIRATORY DITRESS SYNDROME (ARDS)

ventilasi buruk, menurunkan shunt pulmoner dan memperbaiki oksigenasi. Almitrin intravena merupakan vasokonstriktor pulmoner selektif yang dapat menguatkan vasokontriksi pulmoner hipoksik, dan meskipun ini dapat memperbaiki oksigenasi sendiri, almitrin mempunyai efek

sinergistik dengan iNO. NO terinhalasi atau PGI, dapat juga digunakan untuk mengurangi afterload venfrkel kanan; biarpun peningkatan cardiac output jarang terjadi pada ARDS. PGI, akan meningkatkat cardiac output pada ARDS, meskipun demikian, terdapat vasodilatasi pulmoner nonspesifik dengan peningkatan aliran darah melalui daerah paru

pasien yang respons. Dua percobaan besar iNO telah menunjukkan tidak ada perbaikan mortalitas atau pembalikanALl. Namun iNO aman dan secara signifikan memperbaiki oksigenasi inisial (dibandingkan dengan plasebo atau tanpa NO), tetapi hal ini tidak terus-menerus

melebihi 12-24 jam, dan beberapa pasien yang menerima plasebo mengalami peningkatanPaOre" 20o/o dalam4 jam. Oleh karena itu, peran iNO padapsien denganARDS masih tidak pasti. Pada pasien dengan hipoksia berat, mungkin dalam kombinasi dengan almitrin, iNO akan memberikan pertolongan sementara.

dengan ventilasi buruk, menghasilkan perburukan

Prostasiklin lnhalasi

oksigenasi.

PGI, (sampai 50 nglkg per menit) memperbaiki oksigenasi sama efektifrrya dengan iNO padapasienARDS. PGI, secara

Nitrit Oksid lnhalasi Nitrit oksid merupakan relaksan otot polos yang diturunkan dari endotel. Nitrit oksid juga mempunyai peranan fisiologis penting lainnya termasuk neurotransmisi, pertahanar. host, agregasi trombosit, adhesi leukosit, dan bronkodilatasi. Dosis iNO serendah 60 bagian per milyar dapat meningkatkan oksigenasi,

terus-menerus dinebulisasi pancaran karena waktu paruhnya yang singkat (2-3 menit). Keuntungan yang potensial meliputi peningkatan pelepasan surfaktan dari sel tipe II yang teregang, menghindari potensi komplikasi

meskipun demikian, dosis yang umum digunakan dalam ARDS adalah 1-40 bagian per milyar, dengan dosis yang

turunan dari PGlryang mempunyai aktivitas yarrg- serupa, dengan durasi kerja yang lebih panjang, tanpa bufer alkalin. Namun begitu tidak ada agen yatg taTah menunjukkan perbaikan keluaran pasien ARDS.

lebh tinggi membuthkan penurunan tekanan arteri pulmoner. Peningkatan PaO, melebihi 20% dianggap

iNO, dan toksisitas yang minimal. Namun PGI, terlarut dalam

bufer glisin alkalin, yang mana itu sendiri dapat menyebabkan inflamasi jalan napas. Iloprost adalah

sebagai respon positif, dan iNO harus dilanjutkan pada dosis efektifminimal.

NO inhalasi dapat diberikan terus-menerus atau menggunakan inj eksi respirasi intermiten. Pemberian biasanya dalam bentuk angka medis NOA{2, dan harus tercampur dengan cukup untuk menghindari pemberian

TERAPI FARMAKOLOGI LAIN

konsentrasi NO yang bervariasi. Direkomendasikan konsentrasi respirasi NO dan NO, diukur, dengan metode elektrokimia atau dengan chemiluminesence. Metode

tambahan untuk

elektrokimia akurat sampai I ppm, dimana adekuat untuk penggunaan klinis, dan kurang mahal. Kadar NO dan NO, pada lingkungan lokal sebagian besar tergantung dari konsentrasi atmosfer, meskipun demikian masih umum latihan untuk mencari gas ekspirasi. Pengikatan terhadap hemoglobin pada sirkulasi pulmoner secara cepat menginaktifasi NO, dan dampak sistemik hanya dilaporkan setelah konsentrasi tinggi dari iNO. Kadar metahemoglobin sistemik mungkin dipantau, dan biasanya kurang dati 5%6 selama penggunaan klinis iNO, tetapi harus dibandingkan dengan kadar dasar. Nitrit oksid dapat menyebabkan toksisitas paru melalui kombinasi dengan oksigen radikal bebas, dan melalui metabolisme NO menjadi NO, namun

Terapi Pengganti Surfaktan

hal ini tampaknya bukan masalah klinis utama. Hanya 40-10% dengan ARDS mengalami perbaikan

Terlepas dari perbaikan mortalitas pada sepsis setelah

aktivasi protein-C, tidak terbukti terapi farmakologi ALI dan ARDS berdasarkan banyak

penelitian memberi luaran lebih baik.

Disfungsi surfaktan adalah abnormalitas penting dan awal yang berperan dalam kerusakan paru pada ALI. Surfaktan

paru mengurangi tegangan permukaan yang menjaga stabilitas alveolus, mengurangi kerja napas dan cairan paru. Selain itu surfaktan mempunyai peranan penting dalam pertahanan paru /zosl. Spesies oksigen reaktif, fosfolipase, dan peningkatan penneabilitas protein mengarah pada hambatan fungsi surfaktan, komposisinya tidak normal,

dan pergantiannya jelas bertambah. Cedera paru yang diinduksi ventilasi sulit terjadi tanpa disfungsi surfaktan. Oleh karena itu, menarik untuk mempertimbangkan terapi penggantian surfaktan eksogen. Meskipun membesarkan hati data laboratorium dan penelitian kecil, penggantian surfaktan eksogen tidak dapat

oksigenasi dengan iNO (yang respon), dan hal ini sepertinya akibat vasokontrikso pulmoner hipoksik aktif

direkomendasikan tanpa data yang lebih banyak. Meskipun sebuah penelitian besar mengenai surfaktan

pada sisanya. Penambahan almitrin i.v. dapat mempunyai dampak aditif pada oksigenasi, dan dapat meningkatkan

aerosol gagal mempengaruhi keluaran atau menunjukkan efek fisiologi, masih diragukan apakah surfaktan dapat

240

KEGAWAIDARURAf,AN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT

DALAII

mencapai paru distal karena dosis yang rendah

dat'rain out' dari aerosol. Selain itu, preparat yang digunakan

sirkulasi. Pasien terpasang ventilator denganARDS rentan terhadap infeksi nosocomial dan lavage bronchoalveolar

sensitif terhadap inhibisi protein dan tidak mengandung protein, yang jelas menurunkan tegangan permukaan. Hasil

dapat mengidentifikasi patogen. Multi organ failure merupakan komplikasi dari ARDS yang memerlukan intervensi khusus (seperti dialisis pada gagal ginjal).

yang lebih menjajikan telah ditemukan dengan preparat yang mengandung protein surfaktan diberikan dengan penanaman; meskipun data definitif masih diperlukan.

TERAPIANTI INFLAMASI

Optimalisasi Hemodinamik Penurunan tekanan arteri pulmonal mampu mengurangi derajat kebocaran kapiler pulmonal. Hal ini dapat dicapai

dengan menghindari pemberian cairan yang eksesif, penggunaan diuretik dan penggunaan obat-obat yang

bekerja sebagai vasodilator pada arteri pulmonal. Adakalanya dipandu oleh ballon-tipped pulmonary artery catheter (swan-ganz) yang mengukur tekanan arleri pulmonal, tekanan baji kapiler pulmonal (menggambarkan tekanan atrium kiri) dan kardiak output (menggunakan tehnik dilusi termal). Tujuan managemen hemodinamik adalah mencapai keseimbangan optimal antara tekanan arteri pulmonal yang rendah unfuk mengurangi kebocoran cairan terhadap alveoli, tekanan darah sistemik adekuat untuk mempertahankan perfu si j aringan dan organ (contoh ginjal) dengan kardiak output cukup dan hantaran oksigen optimal pada jaringan ( hantaran oksigen sebagai fungsi dari konsentrasi haemoglobin, saturasi oksigen darah dan kardiak output). Obat-obatan yang digunakan sebagai

vasodilator arteri pulmonal seperti nitrat atau kalsium antagonis, obat-obat ini juga menyebabkan vasodilatasi sistemik disertai hipotensi dan gangguan perfusi organ.

Inotropik dan vasodilator seperti dobutamin atau norepinephrin (noradrenalin) diperlukan untuk mempertahankan tekanan darah sistemik dan kardiak output terutama pada sepsis (disebabkan oleh septikemia atau peritonitis), sepsis berkaitan dengan vasodilatasi. Nitric oxide inhalasi digunakan sebagai vasodilator arteri pulmonal selektif. Karena diberikan secara inhalasi, obat ini didistribusikan secara selektif pada regio ventilasi seperti paru yang menimbulkan vasodilatasi. Vasodilatasi terhadap alveoli akan meningkatkan ventilasi/perfusi secara signifikan sejalan dengan meningkatnya pertukaran udara. NO diinaktifkan oleh hemoglobin. Hal ini penting

untuk memantau konsentrasi udara yang dihirup, nitrogen dioxide dan methemoglobin untuk mencegah toksisitas.

Managemen Umum Lainnya Koreksi anemi dengan transfusi darah meningkatkan kadar oksigen dalam darah dan hantaran oksigen ke jaringan. Dukungan nutrisi ( misalnya enteral feding melalui jejunostomy) merupakan hal yang penting untuk memelihara

target kunci terhadap tatalaksana adalah kaskade inflamasi yang berasal dari kerusakan jaringan. namun kondisi ini sulit dipahami dan belum ada obat anti inflamasi dapat mengatasi ards. kortikosteroid tidak meningkatkan luaran

tetapi agen ini dapat digunakan untuk mengurangi alveolitis fibrosis, namun ini berdasarkan penelitian kecil, dengan cros s-oyer, menunjukkan penurunan mortalitas. penting untuk menyingkirkan infeksi sebelum memulai steroid, dan melanjutkan dengan pengawasan yang agresif.

hal ini dapat meliputi bilasan bronkoalveolar untuk menyingkirkan pneumonia yang berhubungan dengan ventilator.. ibuprofen digunakan untuk mengurangi jumlah aktivasi neutrofil dan pentoksifilin digunakan karena dapat mengurangi produksi interleukin- 1. hemohltrasi digunakan untuk mengatur keseimbangan cairan tetapi pada pasien sepsis juga bermanfaat untuk menyingkirkan endotoxin. saat ini telah dikatahui adanya kaitan altara sistem koagulasi dan respon imun terhadap sepsis dengan mengaktivasi citokine, monosit, komplemen, koagulasi dan sistem fibrinolitik sebagai bagian respon inflamasi sistemik

terhadap infeksi. protein c rekombinan memiliki efek antiinflamasi dengan menghambat produksi citokine dan adhesi sel dan melalui hambatan produksi trombin. obatobat ini telah terbukti menurunkan mortalitas terutama bila digunakan lebih dini pada pasien sepsis berat dan multiple organ failure.

Prognosis Meskipun telah banyak penelitian mekanisme infamasi ARDS dan tehnik ventilasi dan kontrol hemodinamik, namun mortalitas pasien ARDS masih sangat tinggi > 50 0%. Pasien yang masih hidup mungkin dengan fibrosis paru dan gangguan difusi oksigen namun beberapa pasien sembuh sempuma walaupun telah melewati masa kritis pada

dengan trauma paru yang berat yang membutuhkan peruwatatyang lama.

KONTROVERSI DAN MASALAH YANG BELUM TERPECAHKAN

kestabilan pasien pada kondisi kritis, dan koreksi

A.Manajemen Cairan Apakah sebaiknya volume intravaskular sebaiknya

hipoalbuminemia akan meningkatkan tekanan osmotik plasma sehingga mengurangi kebocoran cairan dari

peningkatan permeabilitas paru, edema paru dijaga pada

diturunkan padaARDS tetap menjadi kontroversial. Karena

241

ACUTE RESPIRATORY DITRESS SYNDROME (ARDS)

tekanan hidrostatik kapiler paru yang rendah atau normal.

Masih diperdebatkan apakah resolusi edema paru difasilitasi dengan merendahkan tekanan hidrostatik mikrovaskular dengan diuretik dan restriksi cairan. Ventilasi tekanan positif dan PEEP menurunkan cardiac output dan penghantaran oksigen. Cardiac output dijaga adekuat dengan menjamin adekuatnya volume cairan intravaskular. Sepsis dan shock, yang merupakan faktor risiko utama pada ARDS sering memerlukan pemberian cairan masif karena hipotensi dan penurunan perfusi jaringan. Faktor-faktor ini menjadi alasan bahwa ekspansi volume mungkin diperlukan dan diuretik serta keseimbangan cairan yang negatif sebaiknya dihindari. Dipihak lain bukti retrospektif menunjukkan bahwa keseimbangan cairan negatif diharapkan pada ARDS. Penurunan tekanan mikrovaskular paru menurunkan cairan

konservatif, pada protokol yang bebas menghasilkan ratarata keseimbangan cairan yang positif mendekati 7000m1. Tidak ada perbedaan kematian pada 60 hari tetapi strategi konservatif ini menghasilkan durasi yang lebih pendek dari ventilasi mekanik dan tinggal di ICU. Tidak ada komplikasi tambahan. Pada sebuah studi lain, randomisasi pasien ALI pada insersi dan penggunaan kateter arteri pulmonar atau kateter vena sentral menunjukkan tidak ada perbedaan pada

sut'vival 60 hari atau disfungsi organ. Ditemukan lebih banyak aritmia dengan kateter arteri pulmoner tetapi tidak ada perbedaan insiden kegagalan ginjal atau penggunaan vasopresor, diuretik atau dialisis.

REFERENSI

di paru meskipun

ada kegagalan paru berat dan keseimbangan cairan negatif bersih kumulatif serta

Amir Z. Acute Respiratory Distress Syndrome. 2'd National Symp.

penurunan berat badan secara bermakna lebih tinggi pada yang berlahan hidup dibandingkan yang meninggalpada ARDS. Trial ini mempunyai masalah dalam pada pemilihan pasien dengan prognosis yang lebih baik tetapi mereka

Cardiovascular, Respiratory and Immunology, Jakafia Mei 2003 Bongard FS, Sue DY and Vintch JRE. Acute Respiratory Distress Syndrome. In. Curent Diagnosis & Treatment Critical Care 3'd Ed. New York: McGraw Hill, 2008: 295-309.

tidak menduga bahwa keseimbangan cairan mungkin

Bourke SJ. Acute Respiratory Distress Syndrome.

In:

determinan penting pada keluaran. Pada sebuah studi,

Respiratory Mecicine. Oxford: Blackwell, 2007: 19l--196. Parsons PE. Acute Respiratory Distress Syndrome. In Hanley ME,

survival lebih baik pada ARDS yang setidaknya

Welsh CH (eds). Current Diagnosis and Troatment in

mengurangi 25%o tekanan tepi kapiler paru dibandingkan dengan yang tidak. Rata-rata lama perawatan di ICU dan penggunaan ventilator lebih cepat pada pasien-pasien yang mendapat cairan lebih sedikit dari 1 liter dalam 36 jam pertama. Tidak ada efek pelemahan pada fungsi sistem organ meskipun asupan cairanyang rendah. Pada sebuah studi strategi yang konservatif dari penggantian cairan dibandingkan dengan yang lebih bebas. Penggunaan kateter vena sentral untuk panduan sama seperti banyaknya urin yang keluar dan tekanan arteri rata-rata dimana pasien dengan ALI diatur menurut protokol. Pada I hari pertama, ada keseimbangan cairan

Pulmonary Medicine. New York: Lange,2003:161-6. Grippi MA. Acute Respiratory Distress Syndrome. In Fishman AP, Elias JA, Fishman JA, Grippi MA, Kaiser LR, Senior RM (eds). Fishman's Manual of Pulmonary Diseases and Disorders.3'd ed. New York: McGraw-Hill, 2002: 1023-8. Moss M, Ingram RH Jr. Acute Respiratory Distress Syndrome. In Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL. Harrison's Principles of Internal Medicine.l5'i ed. New York: McGraw-Hill, 20Ol:1523-6. Bersten AD. Acute respiratory distress syndrome. In Bersten AD, Soni N and Oh TE(eds) Oh's Intensive Care Manual. London: Elsevier; 2O03: 329-337. Papadakis MA and McPhee SJ. Acute Respiratory Distress Syndrome In Current Medical Diagnosis & Treatment New York: McGraw Hill, 2009: 284-286.

kumulatif negatif yang sangat kecil untuk protokol

32 SYOK HIPOVOLEMIK Ika Prasetya Wijaya

PENDAHULUAN

PATOFISIOLOGI SYOK

Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi akibat

Perdarahan akan menurunkan tekanan pengisian pembuluh

gangguan hemodinamik dan metabolik ditandai dengan kegagalan sistem sirkulasi untuk mempertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital tubuh. Hal ini muncul akibat kejadian pada hemostasis tubuh yang serius seperti, perdarahan yang masif, trauma atau luka bakar yangberat (syok hipovolemik), infark miokard luas atau emboli paru (syok kardiogenik), sepsis akibat bakteri yang tak terkontrol (syok septik), tonus vasomotor yang tidak adekuat (syok neurogenik) atau akibat respons imun (syok anafrlaktik).

darah rata-rata dan menurunkan aliran darah balik ke jantung. Hal inlah yang menimbulkan penurunan curah

ETIOLOGI

pelaksanaan metabolisme di jantung dan otak sangat tinggi

jantung. Curah jantung yang rendah di bawah normal akan menimbulkan beberapa kejadian pada beberapa organ:

Mikrosirkulasi Ketika curah jantung turun, tahanan vaskular sistemik akan berusaha untuk meningkatkan tekanan sistemik guna menyediakan perfusi yang cukup bagi jantung dan otak melebihi jaringan lain seperti otot, kulit dan khususnya

traktus gastrointestinal. Kebutuhan energi untuk tetapi kedua sel organ itu tidak mampu menyimpan

Syok hipovolemik adalah tergangguanya sistem sirkulasi

cadangan energi. Sehingga keduanya sangat bergantung akan ketersediaan oksigen dan nutrisi tetapi sangat rentan bila terjadi iskemia yang berat untuk waktu yang melebihi kemampuan toleransi jantung dan otak. Ketika tekanan

akibat dari volume darah dalam pembuluh darah yang berkurang. Hal ini bisa terjadi akibat perdarahan yang masif atau kehilangan plasma darah.

arterial rata-rala (mean arterial pressurelMAP) jatuh hingga < 60 mmHg, maka aliran ke organ akan turun drastis dan fungsi sel di semua organ akan terganggu.

Perdarahan Hematom subkapsular hati Aneurisma aorta pecah Perdarahan gastrointestinal Perlukaan berganda Kehilangan plasma Luka bakar luas Pankreatitis Deskuamasi kulit Sindrom Dumping Kehilangan cairan ekstraselular Muntah (vomitus) Dehidrasi

Neuroendokrin Hipovolemia, hipotensi dan hipoksia dapat dideteksi oleh baroreseptor dan kemoreseptor tubuh. Kedua reseptor

tadi berperan dalam respons autonom tubuh yang mengatur perfusi serta substrak lain.

Kardiovaskular Tiga variabel seperti; pengisian atrium, tahanan terhadap tekanan (ejeksi) ventrikel dan kontraktilitas miokard, bekerja keras dalam mengontrol volume sekuncup. Curah jantung, penentu utama dalam perfusi laringan, adalah

Diare

Terapi diuretik yang sangat agresif Diabetes insipidus lnsufisiensi adrenel

242

243

SYOKHIFOVOIT,MIK

hasil kali volume sekuncup dan frekuensi jantung. Hipovolemia menyebabkan penurunan pengisian ventrikel, yang pada akhirnya menurunkan volume sekuncup. Suatu peningkatan frekuensi jantung sangat bermanfaat namun memiliki keterbatasan mekanisme kompensasi untuk mempertahankan curah j antung.

Gastrointestinal Akibat aliran darah yang menurun ke jaringan intestinal, maka terjadi peningkatan absorpsi endotoksin yang dilepaskan oleh bakteri gram negatifyang mati di dalam usus. Hal ini memicu pelebaran pembuluh darah serta peningkatan metabolisme dan bukan memperbaiki nutrisi sel dan menyebabkan depresi jantung.

Ringan (<20% volume

darah)

dingin pengisian

Ekstremitas

Waktu

kapiler meningkat Diaporesis Vena kolaps Cemas

Sedang volume darah)

l2O-40%

Sama, ditambah Takikardia Takipnea Oliguria Hipotensi ortostatik

Berat (>40% volume

darah) Sama, ditambah: Hemodinamik tak stabil Takikardia bergejala Hipotensi Perubahan kesadaran

Perfusi ke susunan sarafpusat dipertahankan dengan baik

sampai syok bertambah berat. Penurunan kesadaran adalah gejala penting. Transisi dari syok hipovolemik ringan ke berat dapat terjadi bertahap atau malah sangat

Ginjal Gagal ginjal akut adalah satu komplikasi dari syok dan hipoperfusi, frekuensi terjadinya sangat jatang karena cepatnya pemberian cairan pengganti. Yang banyak terjadi

cepat, terutama pada pasien usia lanjut danyangmemiliki penyakit berat di mana kematian mengancam. Dalam waktu yang sangat pendek dari terjadinya ketusakan akibat syok maka dengan resusitasi agresif dan cepat.

kini adalah nekrosis tubular akut akibat interaksi antara syok, sepsis dan pemberian obat yang nefrotoksik seperti aminoglikosida dan media kontras angiografi. Secara

fisiologi, ginjal mengatasi hipoperfusi dengan mempertahankal garaTTrdan air. Pada saat aliran darah di ginjal berkurang, tahanan arteriol aferen meningkat untuk mengurangi laju filtrasi glomerulus, yang bersama-sama dengan aldosteron dan vasopresin bertanggung jawab terhadap menurunnya produksi urin.

DIAGNOSIS Syok hipovolemik didiagnosis ketika ditemukan tanda berupa ketidakstabilan hemodinamik dan ditemukan adanya sumber perdarahan. Diagnosis akan sulit bila perdarahan tak ditemukan denganjelas atau berada dalam

traktus gastrointestinal atau hanya terjadi penurunan jumlah plasma dalam darah. Setelah perdarahan maka biasanya hemoglobin dan hematokrit tidak langsung turun

GEJALA KLINIS Gejala dan tanda yang disebabkan oleh syok hipovolemik akibat non-perdarahan serla perdarahan adalah sama meski ada sedikit perbedaan dalam kecepatan timbulnya syok' Respons fisiologi yang normal adalah memperlahankan perfusi terhadap otak dan jantung sambil memperbaiki volume darah dalam sirkulasi dengan efektif. Disini akan terjadi peningkatan kerja simpatis, hiperventilasi, pembuluh vena yang kolaps, pelepasan horrnon stres sefia ekspansi besar guna pengisian volume pembuluh darah dengan

menggunakan cairan intersisial, intraselular dan menurunkan produksi urin. Hipovolemia rin ga.n (1 20%o v olume darah) menimbulkan

sampai terjadi gangguan kompensasi atau terjadi penggantian cairan dari luar. Jadi kadar hematokrit di awal

tidak menjadi pegangan sebagai adanya perdarahan. Kehilangan plasma ditandai dengan hemokonsentrasi, kehilangan cairan bebas ditandai dengan hipernatremia. Temuan terhadap hal ini semakin meningkatkan kecurigaan adanya hipovolemia. Harus dibedakan syok akibat hipovolemik dan akibat kardiogenik karena penatalaksanaan yang berbeda. Keduanya memang memiliki penurunan curah jantung dan

mekanisme kompensasi simpatis. Tetapi dengan menemukan adatya tanda syok kardiogenik seperti distensi vena jugularis, ronki dan galop 53 maka semua dapat dibedakan.

takikardia ringan dengan sedikit gejala yang tampak, terutama pada penderita muda yang sedang berbaring (Tabel2). Pada hipovolemia sedang (20-40% dari volume darah) pasien menjadi lebih cemas dan takikardia lebih jelas,

meski tekanan darah bisa ditemukan normal pada posisi berbaring, namun dapat ditemukan dengan jelas hipotensi ortostatik dan takikardia. Pada hipovolemia berat maka gejala klasik syok akan muncul, tekanan darah menurun drastis dan tak stabil walau posisi berbaring, pasien menderita takikardia hebat, oliguria, agitasi atau bingung.

TATALAKSANA Ketika syok hipovolemik diketahui maka tindakan yang harus dilakukan adalah menempatkan pasien dalam posisi kaki lebih tinggi, menjaga jalur pernapasan dan diberikan

resusitasi cairan dengan cepat lewat akses intra vena atau cara lain yang memungkinkan seperli pemasangan kateter CYP (central venous pressure) atau jalur intraarterial.

244

Cairan yang diberikan adalah garam isotonus yang ditetes dengan cepat (hati-hati terhadap asidosis hiperkloremia) atau dengan catrangaramseimbang seperti Ringer's laktat (RL) dengan jarum infus yang terbesar. Tak ada bukti medis

tentang kelebihan pemberian cairan koloid pada syok hipovolemik. Pemberian 2 - 4 L dalam 20- 30 menit diharapkan dapat mengembalikan keadaan hemodinamik. Guna mengetahui cairan sudah memenuhi kebutuhan untuk meningkatkan tekanan pengisian ventrikel dapat dilakukan pemeriksaan tekanan baji paru dengan menggunakan kateter Swan-Ganz. Bllahemodinamik tetap tak stabil, berarti perdarahan atau kehilangan cairan belum teratasi. Kehilangan darah yang berlanjut dengan kadar hemoglobin <10 gldL perlu penggantian darah dengan transfusi. Jenis darah transfusi tergantung kebutuhan. Disarankan agar darah yang digunakan telah menjalani tes cross-matclz (uji silang), bila sangat darurat maka dapat digunakan Packed red cels tipe darah yang sesuai atau Onegatif.

Pada keadaaan yang berat atau hipovolemia yang berkepanjangan, dukungan inotropik dengan dopamin, vasopressin atau dobutamin dapat dipertimbangkan untuk mendapatkan kekuatan ventrikel yang cukup setelah volume darah dicukupi dahulu. Pemberian norepinefrin infus tidak banyak memberikan manfaat pada hipovolemik. Pemberian nalokson bolus 30 mcg/kg dalam 3 -5 menit

KEGAU/ATDARURAI':AN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAIVI

dilanjutkan 60 mcg/kg dalam I jam dalam dekstros 5oh dapat membantu meningkatkan MAP. Selain resusitasi cairan, saluran pernapasan harus

dijaga. Kebutuhan oksigen pasien harus terpenuhi dan

bila dibutuhkan intubasi dapat dikerjakan. Kerusakan organ akhirjarang terjadi dibandingkan dengan syok septik atau traumatik. Kerusakan oryandapatteqadi pada susunan sarafpusat, hati dan ginjal dan ingat gagal ginjal merupakan

komplikasi yang penting pada syok ini.

REFERENSI Boeuf B, et a1 Naloxone for shock (review): The Cochrane Library: issue 4, 2005 Hofmeyr JG Hypovolaemic shock: best practice & r'esearch. Clin

Obst and Gynaecol. 2001 ;15:4.

Koelling TM, et al. Approach to the patient with hypotension and shock. Kelleyh textbook oJ inlernal medicine. Edisi ke-4. Dalam:

Humes HD, et al, ed. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins; 2000. Kumar, Clark. Intensive care medicine. Clinical medicine. Edisi ke5. In: Kumar, et al, ed. London: Elsevier Science; 2002. Landry DW, et al. The pathogenesis of vasodilatory shock. New

Engl J Med. 2001;345:588-95. Maier RV Approach to the patient with shock. Harrison's principles of internal medicine. Edisi ke-16. Dalam: Kasper DL, et al, ed. New York: McGraw-Hil1: 2005

33 SYOK KARDIOGENIK Idrus Alwi, Sally Aman Nasution

PENDAHULUAN

DEFINISI SYOK KARDIOGENIK

Syok kardiogenik merupakan penyebab kematian utama pada pasien yang dirawat dengan infark miokard akut. Terapi reperfusi segera (primary PCl) untuk kasus infark

Syok kardiogenik adalah gangguan yang disebabkan oleh penunrnan curah jantung sistemik pada keadaan volume

intravaskular yang cukup, dan dapat mengakibatkan hipoksia jaringan. Syok dapat terjadi karena disfungsi ventrikel kiri yang berat, tetapi dapat pula terjadi pada

miokard akut menurunkan insidens syok kardiogenik tersebut. Kejadian syok kardiogenik sebagai komplikasi infark miokard menumn dari 20o/o pada tahun 1960an

kemudian menetap +

80%

kiri cukup baik. Hipotensi sistemik umumnya menjadi dasar diagnosis. Nilai cert off tntuk tekanan darah sistolik yang sering dipakai adalah < 90 mmHg. Dengan menurunnya tekanan darah sistolik akan meningkatkan kadar katekolamin yang keadaan di mana fungsi ventrikel

selama 20 tahun. Syok

kardiogenik pada infark miokard kebanyakan terjadi pada infark miokard dengan elevasi segmen ST dibandingkan dengan yang tanpa disertai elevasi segmen ST. Gagal ventrikel kiri terjadi pada hampir 80% dari syok kardiogenik akibat infark miokard akut. Sedangkan sisanya adalah akibat regurgitasi mitral berat yang akut, ruptur septum ventrikular, gagal jantung kanan predominan dan

mengakibatkan konstriksi arteri dan vena sistemik. Manifestasi klinis dapat ditemukan tanda-tanda hipoperfusi sistemik mencakup perubahan status mental, kulit dingin dan oliguria. Syok kardiogenik didehnisikan sebagai tekanan darah sistolik < 90 mmHg selama > I jam di mana :

ruptur dinding atau tamponade. Penelitian menunjukkan shategi revaskularisasi dini menurunkan mortalitas dalam 6 dar' 12 bulan dan lebih

. . .

superior dibandingkan terapi medis agresif awal. Walaupun

tindakan percutaneus coronaty intet'vention ( PCI ) dini alau coronary artery bypass graft surgery (CABG)

bermanfaat, sekali diagnosis syok ditegakkan, laju mortalitas tetap tinggi ( + 50 o/o ), walaupun mendapat

Tak respons dengan pemberian cairan saja, Sekunder terhadap disfungsi jantung, atau, Berkaitan dengan tanda-tanda hipoperfusi atau indeks kardiak < 2,2 Umenit per m2 dan tekanan baji kapiler

paru> 18mmHg. Termasuk dipertimbangkan dalam definisi ini adalah : . Pasien dengan tekanan darah sistolik meningkat > 90 mmHg dalam I jam setelah pemberian obat inotropik, dan . Pasien yang meninggal dalam I jam hipotensi, tetapi memenuhi kriteria lain syok kardiogenik.

intervensi, dan separuh kematian terjadi dalam 48 jam pertama. Hal ini mungkin disebabkan oleh kerusakan miokard luas yang ireversibel dan kerusakan organ vital. Bukti baru menduga bahwa respons inflamasi sistemik, aktivasi komplemen, pelepasan sitokin infl amasi, ekspresi inducible nitric oxide synthase ( iNOS ) dan vasodilatasi yang tak adekuat mempunyai peran penting, tidak hanya pada genesis syok tetapi jluga outcome setelah syok. Syok kardiogenik ditandai dengan hipoperfusi sistemik akibat terjadinya depresi berat dari indeks kardiakl.2,2 (Llmin)lm2 dan hipotensi tekanan sistolik arterial menetap (< 90 mmHg), di samping terjadinya peningkatan tekanan baji kapiler paru (PCWP) > I 8 mmHg.

EPIDEMIOLOGI Penyebab syok kardiogenik yang terbanyak adalah infark miokard akut, di mana terjadi kehilangan sejumlah besar

miokardium akibat terjadinya nekrosis. Insidens syok

245

246

KEGAWAiTDARURAf,AN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

kardiogenik sebagai komplikasi sindrom koroner akut bervariasi. Hal ini berhubungan dengan definisi syok kardiogenik dan kriteria sindrom koroner akut yang dipakai sangat beragam pada berbagai penelitian. Syok kardiogenik terjadi pada 2,9 %o pasien angina pektoris tak stabil dan2, I o% pasien IMA non elevasi ST. Median waktu perkembangan menjadi syok pada pasien iri adalah7 6 jam dan 94 jam, di mana yang tersering setelah 48 jam. Syok lebih sering dijumpai sebagai komplikasi IMA dengan elevasi ST daripada tipe lain dari sindrom koroner akut. Pada studi besar di negara maju, pasien IMA yang mendapat terapi trombolitik tetap ditemukan kejadian syok kardiogenik yang berkisar attara 4,2 o/o sampai 7,2 oh.

Tingkat mortalitas masih tetap tinggi sampai saat ini, berkisar antar a 7 0-100%.

ETIOLOGI

klasik memprediksi bahwa vasokonstriksi sistemik berkompensasi dengan peningkatan resistensi vaskular sistemik yang te4'adi sebagai respons dari penurunan curah Jantung.

Penelitian menunjukkan adanya pelepasan sitokin setelah infark miokard. Pada pasien pasca IM, diduga terdapat aktivasi sitokin inflamasi yang mengakibatkan peninggian kadar iNOS, NO dan peroksinitrit, di mana semuanya mempunyai efek buruk multipel

. . . . . .

antaralail:

Inhibisi langsung kontraktilitas miokard Supresi respirasi mitokondriapada miokardnon iskemik. Efek terhadap metabolisme glukosa

Efekproinflamasi Penurunanresponsivisitaskatekolamin Merangsangvasodilatasi sistemik

Sindrom respons inflamasi sistemik ditemukan pada sejumlah keadaan non infeksi, antara lain trauma, pintas kardiopulmoner, pankreatitis dan luka bakar. Pasien dengan infark miokard (IM) luas sering mengalami peningkatan

Komplikasi mekanik akibat infark miokard akut dapat menyebabkan terjadinya syok. Di antara komplikasi tersebut adalah : ruptur septal ventrikel, ruptur atau disfungsi otot papilaris dan ruptur miokard yang keseluruhan dapat mengakibatkan timbulnya syok kardiogenik tersebut. Sedangkan infark ventrikel kanan tanpa disertai infark atau disfungsi ventrikel kiri pun dapat

suhu tubuh, sel darah putih, komplemen, interleukin, C-reactive protein dan petanda inflamasi lain. NO yang disintesis dalam kadar rendah oleh endothelial nitric orlde (eNOS) sel endotel dan miokard, merupakan molekul yang bersifat kardioprotektif.

menyebabkan terjadinya syok.

PREDIKTOR

Hal lain yang sering menyebabkan terjadinya syok kardiogenik adalah takiaritmia atau bradiaritmia yang rekuren, dimana biasanya terjadi akibat disfungsi ventrikel

kiri,

dan dapat timbul bersamaan dengan aritmia

supraventrikular ataupun ventrikular. Syok kardiogenikjuga dapat timbul sebagai manifestasi tahap akhir dari disfungsi miokard yang progresif, termasuk

akibat penyakit jantung iskemia, maupun kardiomiopati hiperlrofi k dan restriktif. Picard MH et al, melaporkan, abnormalitas struktural dan fungsional jantung dalam rentang lebar ditemukan pada pasien syok kardiogenik akut. Mortalitas jangka pendek dan jangka panjang dikaitkan dengan fungsi sistolik ventrikel kiri awal dan regurgitasi mitral yang

dinilai dengan ekokardiografi, dan tampak manfaat revaskularisasi dini tanpa dipengaruhi nilai fraksi ejeksi ventrikel kiri pada awal (baseline) atau adanya regurgitasi mitral.

Pengenalan pasien yang mempunyai risiko tinggi untuk berkembang menjadi syok dapat memfasilitasi pengiriman

lebih awal pasien risiko tinggi sebelum terjadi awitan hemodinamik. Sejumlah sistem skor menggunakan model prediktif perkembangan syok telah dilaporkan untuk membantu strategi dalam mengambil keputusan. Pada penelitian GUSTO I, usia, tekanan darah sistolik, frekuensi jantung dan klas Killip memberikan > 85 % informasi prediktif. Empat variabel yang sama, bermakna pada populasi GUSTO III dan memberikan > 95 yo informasi prediktif. (ons et) instabilitas

Prediktor utama syok pada populasi PURSUIT mencakup usia, tekanan darah sistolik, depresi Sl frekuensijantung, tinggi, infark miokard dan ronki pada pemeriksaan fisis. Studi awal pada infark miokard akut mengidentifikasi

indikator signifikan untuk prognostik pasien berdasarkan gambaran klinis dan keadaan hemodinamik. Klasifikasi

Killip dibuat PATOFISIOLOGI Paradigma lama patofisiologi yang mendasari syok kardiogenik adalah depresi kontraktilitas miokard yang mengakibatkan lingkaran setan penuflrnan curah jantung, tekanan darah rendah, insufisiensi koroner, dan selar5'utnya tef adi penunuran kontaktilitas dan curah jantung. Paradigma

berdasarkan gambaran klinis (tanda-tanda

gagaljantung kongestif, suara 53 gallop, ronki, gambaran radiografik yang menunjukkan gagal jantung kongestif, edema paru dan syok kardiogenik). Sedangkan klasifikasi Forrester dibuat berdasarkan keadaan hemodinamik yaitu: angka PCWP QtulmonarT capillary wedge pressure) dar' CI (cardiac index) yang dihubungkan dengan tingkat morlalitas. Semakin tinggi nilai PCWP dan semakin rendah CI maka mofialitas akair meningkat.

247

SYOKKARDIOGENIK

elektrokardiografi dapat membantu untuk menentukan

MANIFESTASI KLINIS

Anamnesis Keluhan yang timbul berkaitan dengan etiologi timbulnya syok kardiogenik tersebut. Pasien dengan infark miokard akut datang dengan keluhan tipikal nyeri dada yang akut,

dan kemungkinan sudah mempunyai riwayat penyakit jantung koroner sebelumnya. Padakeadaan syok akibat komplikasi mekanik dari infark miokard akut, biasanya terjadi dalam beberapa hari sampai seminggu setelah onset infark tersebut. Umumnya pasien mengeluh nyeri dada dan biasanya disertai gejala tibatiba yang menunjukkan adanya edema paru akut atau bahkan henti jantung. Pasien dengan aritmia akan mengeluhkan adanya palpitasi, presinkop, sinkop atau merasakan irama jantung yang berhenti sejenak. Kemudian pasien akan merasakan letargi akibat berkurangnya perfusi ke sistem saraf pusat.

etiologi dari syokkardiogenik. Misalnya pada infarkmiokard akut akan terlihat gambarannya dari rekaman tersebut. Demikian pula bila lokasi infark terj adi pada ventrikel kanan maka akan terlihat proses di sandapan jantung sebelah kanan (misalnya elevasi ST di sandapan V4R). Begitupula bila gangguan irama atau aritmia sebagai etiologi terjadinya syok kardiogenik, maka dapat dilihat melalui rekaman aktivitas listrik jantung tersebut.

f,'oto roentgen dada : Pada foto polos dada akan terlihat kardiomegali dan tanda-tanda kongesti paru atau edema paru pada gagal ventrikel kiri yang berat. Bila terjadi komplikasi defek septal ventrikel atau regurgitasi mitral akibat infark miokard akut, akan tampak gambaran kongesti paru yang tidak disertai kardiomegali, terutama pada onset

infark yang pertama kali. Gambaran kongesti paru menunjukkan kecil kemungkinan terdapat gagal ventrikel kanan yang dominan atau keadaan hipovolemia. pemeriksaan yang non-invasif ini sangat banyak membantu dalam membuat diagnosis dan mencari etiologi dari syok kardiogenik. Pemeriksaan ini relatifcepat, aman dan dapat dilakukan secara langsung di

Ekokardiografi : Modalitas Pemeriksaan Fisis Pada pemeriksaan awal hemodinamik akan ditemukan tekanan darah sistolik yang menurun sampai < 90 mmHg, bahkan dapat turun sampai < 80 mmHg pada pasien yang tidak memperoleh pengobatan adekuat. Denlut jantung biasanya cenderung meningkat sebagai akibat stimulasi simpatis, demikian pula dengan frekuensi pemapasatyang biasanya meningkat sebagai akibat kongesti di paru. Pemeriksaan dada akan menunjukkan adanya ronki. Pasien dengan infark ventrikel kanan atau pasien dengan keadaan hipovolemik yang menurut studi sangat kecil kemungkinannya menyebabkan kongesti paru. Sistem kardiovaskular yalg dapat dievaluasi seperti vena-vena di leher seringkali meningkat distensinya. Letak

impuls apikal dapat bergeser pada pasien dengan kardiomiopati dilatasi, dan intensitas bunyi jantung akan jauh menurun pada efusi perikardial ataupun tamponade. Irama gallop dapat timbul yang menunjukkan adanya disfungsi ventrikel kiri yang bermakna. Sedangkan regurgitasi mitral atau defek septal ventrikel, bunyi bising atau murmur yang timbul akan sangat membanfu dokter pemeriksa untuk menentukan kelainan atau komplikasi mekanikyang ada. Pasien dengan gagaljantung kanan yang bermakna akan menunjukkan beberapa tand a-+arrda arfiara lain : pembesaran hati, pulsasi di liver akibat regurgitasi trikuspid atau terjadinya asites akibat gagaljantung kanan yang sulit untuk diatasi. Pulsasi arteri di ekstremitas perifer akan menurun intensitasnya dan edema perifer dapat timbul pada gagal jantung kanan. Sianosis dan ekstremitas yang teraba dingin, menunjukkan terjadinya penurunan perfusi ke jaringan.

Pemeriksaan Penunjang

Elektrokardiografi (EKG): Gambaran

rekaman

tempat tidur p asien (bedside). Keterangan yang diharapkan dapat diperoleh dari pemeriksaan ini antaralain: penilaian fungsi ventrikel kanan dan kiri (global maupun segmental),

fungsi katup-katup jantung (stenosis atau regurgitasi), tekanan ventrikel kanan dan deteksi adanyashunt (misalnya pada defek septal ventrikel denganshunt dari kiri ke kanan), efusi perikardial atau tamponade.

Pemantauan hemodinamik : Penggunaan kateter SwanGanz untukmengukur tekanan afieri pulmonal dan tekanan baji pembuluh kapiler paru sangat berguna, khususnya untuk memastikan diagnosis dan etiologi syok kardiogenik, serta sebagai indikator evaluasi terapi yang diberikan. Pasien syok kardiogenik akibat gagal ventrikel kiri yang berat, akan terjadi peningkatan tekanan baji paru. Bilapada pengukuran ditemukan tekanan baji pembuluh darah paru lebih dari 18 mmHg pada pasien infark miokard akut memrnjukkan bahwa volume intravaskular pasien tersebut cukup adekuat. Pasien dengan gagal ventrikel kanan atau hipovolemia yang signifikan, akan menunjukkan tekanan baji pembuluh paru yang normal atau lebih rendah. Pemantauan parameter hemodinamik juga membutuhkan

perhitungan afterload (resistensi vaskular sistemik). Minimalisasi ale rl o ad sangat diperlukan, karena bila terj adi peningkatan afterload akatmenimbulkan efek penurunan kontraktilitas yang akan menghasilkan penurunan curah jantung.

Saturasi oksigen : Pemantauan saturasi oksigen sangat bermanfaat dan dapat dilakukan pada saat pemasangan kateter Swan-Ganz, yatg jluga dapat mendeteksi adanya defek septal ventrikel. Bila terdapat pintas darah yang kaya oksigen dari ventrikel kiri ke ventrikel kanan maka akan

248

KEGAWAXDARURAIAN MEDIK DI BIDAIIG ILMU PEI{YAKTT DALA.IU

terjadi saturasi oksigen yang step-up bila dibandingkan dengan saturasi oksigen vena dari vena cava dan arteri pulmonal.

Intra-aortic balloon counterpulsation (IABP) harus dikerjakan sebelum transportasi jika fasilitas tersedia. Analisis gas darah dan saturasi oksigen harus dimonitor dengan memberikan continuous positive airway

PENATALAKSANAAN Volume pengisian ventrikel kiri harus dioptimalkan, dan pada keadaan tanpa adanya bendungan paru, pemberian cairan sekurang-larangnya25O ml dapat dilakukan dalam 10 menit. Oksigenasi adekuat penting, intubasi atau

ventilasi harus dilakukan segera jika ditemukan abnormalitas difusi oksigen. Hipotensi yang terus

berlangsung memicu kegagalan otot pernapasan dan dapat dicegah dengan pemberian ventilasi mekanis. Laporan adanya penurunan secara dramatis mortalitas syok kardiogenik dengan melakukan revaskularisasi awal mulai muncul pada akhir tahun 1980. Uji klinis secara acak yang menguji superioritas dan generalisabilitas strategi revaskularisasi awal telah dilakukan di USA yaitu SIIOCTK trial. Pada penelitian SHOCK dilaporkan peningkatan surrival 3}hari dari 46,7 o/omenjadi 56 o/o dengan strategi revaskularisasi awal, namun perbedaan 9 % absolut tidak bermakna ( p:0,11 ). Pada pemantauan, perbedaan survival pada strategi revaskularisasi awal menjadi lebih besar danbermakna setelah 6 bulan (36,9 o/ov 49,7 Yo,p:O,027 ) dan satu tahun ( 33,6 oh v 46,7 Yo ) untuk reduksi absolut I 3,2 o (9 5 % CI 2,2 %o sampai 24,1 Yo, p < 0,03 ). Terdapat l0 subkelompokyang diuji, termasukjenis kelamin, usia, riwayat IM, hipertensi, diabetes, infark miokard anteriol

syok awal atau akhir dan transfer atau status rawat langsung. Manfaat revaskularisasi awal didapatkan pada semua subkelompok kecuali pada usia lanjut. Manfaat revaskularisasi awal lebih besar pada usia < 75 tahun pada 30 hari (4l,4Yov 56,8yo,95 yo CI-27,8 Yo sampai-3,0 o/o) dan 6 bulan (44,9 o y 65 o/o,95 % CI -31,6 o sampai -

l,lYo).

pressure atau ventilasi mekanis jika ada indikasi. EKG harus dimonitor secara terus menerus, dan peralatan defibrilator, obat antiaritmia amiodaron dan lidokain harus tersedia (33% pasien pada revaskularisasi awal SHOCK

trial menjalani resusitasi kardiopulmoner, takikardia ventrikular menetap atau fibrilasi ventrikel sebelum randomisasi).

Terapi fibrinolitik harus dimulai pada pasien dengan elevasi ST jika diantisipasi keterlamb atan angiografi lebih dai2 jam. Mortalitas 35 hari pada pasien dengan tekanan darah sistolik < 100 mmHg yang mendapatkan trombolitik pada meta analisis FTT adalah 28,9%o dibandingkan 3 5, I %

dengan plasebo (95% CI 26 sampai 98, p < 0,001). Meningkatkan tekanan darah dengan IABP pada keadaan ini dapat memfasilitasi trombolisis dengan meningkatkan tekanan perfusi koroner. Pada syok kardiogenik karena infark miokard non

elevasi ST yang menunggu kateterisasi, inhibitor glikoprotein IIb/IIIa dapat diberikan.

Langkah 2. Menentukan secara Dini Anatomi Koroner Hal ini merupakan langkahpenting dalam tatalaksana syok

kardiogenik yang berasal dari kegagalan pompa (pump

failure) iskemik yang predominan.

Pasien di Rumah Sakit

komunitas harus segera dikirim ke fasilitas pelayanan tersier yang berpengalaman. Hipotensi diatasi segera dengan IABP. Syok mempunyai ciri penyakit 2 pembuluh

darah yang tinggi, penyakit left main, dan penurunan

fungsi ventrikel kiri. Tingkat disfungsi ventrikel dan instabilitas hemodinamik mempunyai korelasi dengan anatomi koroner. Suafu lesicircumflex atau lesi koroner kanan jarang mempunyai manifestasi syok pada keadaan

tanpa infark ventrikel kanan, underfilling ventrikel kiri,

LANGKAH PENATALAKSANAAN SYOK KARDIO. GENIK

bradiaritrnia, infark miokard sebelumnya atau kardiomiopati.

Langkah 3. Melakukan Revaskularisasi Dini Setelah menentukan anatomi koroner, harus diikuti dengan

Langkah L Tindakan Resusitasi Segera Tujuannya adalah mencegah kerusakan organ sewaktu pasien dibawa untuk terapi definitif. Mempertahankan tekanan arleri rata-rata yatg adekuat untuk mencegah sekuele neurologi dan ginjal adalah vital. Dopamin atau noradrenalin (norepinefrin), tergantung pada derajat hipotensi, harus diberikan secepahlya untuk meningkatkan tekanan arteri rata-rata dan dipertahankan pada dosis

minimal yar,g dibutuhkan. Dobutamin

dapat

dikombinasikan dengan dopamin dalam dosis sedang atau digunakan tanpa kombinasi pada keadaan low output tanpa hipotensi yang nyata.

pemilihan modalitas terapi secepatnya. Tidak ada trial acak

yang membandingkan PCI dengan CABG pada syok kardiogenik. Trial SHOCK merekomendasikan CABG emergensi padapasienleft main atatpenyakit 3 pembuluh besar. Laju mortalitas di rumah sakit dengan CABG pada penelitian SHOCK dan regis try adalah sama dengan outcome dengan PCI, walaupun lebih banyak penyakit arteri koroner berat dan diabetes yaitu 2 kali pada pasien yang

menjalaniCABG Rekomendasi terapi reperfusi dini syok kardiogenik karena komplikasi infark mokard akut dapat dilihat pada Gamhar2.

249

SYOKKARDIOGENIK

Tanda klinis: hipoperfusi, CHF, edema paru akut Penyakit dasar yang paling mungkin ?

Pem be rian

- Furosemid lV 0,5-1,0 mg/kg - [,lorfin lV 2-4 mg - Oksigen bila diperlukan - Nitrogliserin SL, kemud an 10-20 mcg/menit bila TDS > 100 mmHg - Dopamin 5-15 mcg/kg/menit lV bila TDS 70-100 mmHg dan tanda/gejala syok (+) - Dobulamin 2-20 mcgikg/menit lV bila TDS 70-100 mmHg dan tanda/gejala syok G)

Pemberian - C airan - Transfusi darah

- lnlervensi spesifik - Vasopresor

TDS > 100 mmHg

Lihat guldelire AC C/A H A tentang lnfark miokard dengan elevasi ST

TDS 70-100 mmHg dan tanda/gejala syok (-)

TDS 70-100 mmHg

TDs < 70 mmHg dan tandaigejala syok (+)

Gambar 1. Skema penatalaksanaan syok kardiogenik

Delayed onset shock Pem eriksaan ekokardiografi untuk menyingkirkan defek mekanikal

Syok awal, diagnosa dibuat pada saat pasien masuk RS

Rujuk ke pusat invasif

Terapi fibrinolitik pada keadaan 1 > 90 menii baru dapat dilakukan PCI 2 Awitan lM < 3 jam 3 Tidak ada kontraindikasi Rujuk ke puset invasif yang memadai

yang memadai

Kateterisasi jantung dan angiografi koroner

CABG segera

Bila tidak memungkinkan

Revaskularisasi m ekanis segera dengan PCI atau CABG direkomendasikan pada 1 Usia < 75 tahun 2. Elevasi ST, LBBB atau lM posterior 3 Terjadi syok < 36 jam setelah awitan ll\4 4, Revaskularisasi dapat dilakukan dalam waktu 18 jam setelah syok

Gambar 2. Rekomendasi terapi reperfusi dini pada syok kardiogenik karena komplikasi infark miokard akut

250

reGAWAJTDARURAIAN MEDIK DI BIDAI{G ILMU PENYAKIT DALAM

PERAN INTRAAORTIC BALOON PIJMP

Sesuai dengan guidelines terakhir ACC/AHA, direkomendasikan pemasangan IABP dini pada pasien

syok kardiogenik yang merupakan kandidat strategi agresif.

Kombinasi menurunkan afterload, meningkatkan tekanan diastolik untuk perfusi koroner dan meningkatkan curah jantung, membuat IABP merupakan pilihan atraktif pada syok kardiogenik.

Pada Gambar 3 dapat dilihat diagram intra aortic ballon pump dan posisinya dalam Aorta. Pada Gambar 4 dapat dilihat efeklntra Aortic Ballon Pwnp selama sistol dan diastol

et al 1 , dalam penelitiannya terhadap I I pasien dengan syok persisten walaupun mendapat vasopressor, IABP dan PCI. Output urin dan tekanan darah meningkat nyata dan72 %o

tetap hidup dalam 30 hari. Selanjuhrya dilaporkan pula penurunan mortalitas dari 67 % menjadi 27 o/o dengan inhibitor NOS , NG-nitro-L-arginine methyl ester,pada uji acak skala kecil pada 30 pasien.

Inhibisi kaskade komplemen pada tingkat C5 menghasilkan penurunan respons iNOS berlebih, terhadap iskemia dan reperfrrsi dan secara teoritis dapat menghambat terjadinya syok. Hasil awal COMplement inhibition in Myocardial infarction treated with Angioplasty (COMMA) study menunjukkan inhibisi C5 dikaitkan dengan laju syok dan kematian yang lebih rendah pada pasien risiko tinggi yang menjalani PCI primer, walaupun tanpa efek terhadap ukuran infark. Saat ini telah didisain penelitian SHOCK-2 (Shouldwe

inhibit nitric Oxide synthase in patients with Cardiogenic shock?) untuk menguji inhibitor NO, L-NMMA, dengan uji acak yang baik pada pasien syok persisten walaupun infarct related artery (IRA) paten.

alth seal

RERERENSI Cotter G, Kaluski E, Blatt A, et al. L-NMMA (a nitric oxide synthase inhibitor) is effective in the treatment of cardiogenic shock. Circulation 2000; i01 : 1358-61 Ducas J, Grech ED. ABC of interventional cardiology. Percutaneous

coronary intervention: cardiogenic shock.

BMJ 2O03;326:1450-2. Davies CH. Revascularization for cardiogenic shock. Q J Med

ne way valve

Gambar

3

Diagram intra aoftic ballon pump

(kii)

dan

posisinya dalam aorta (kanan)

w I |

r. rela.anlL-g 2) (onsurs o<s,ger oteh

20Ol;94:57 -67

Fibrinolilytic Therapy Trialist (FTT) Collaborative Group. Indications for fibrinolytic therapy in suspected acute

: collaborative overview of early mortality and major morbidity results from all randomized tria1s of more than 1000 patients. Lancet 1994;343:311-22, Goldberg RJ, Samad NA, Yazebski J et al Temporal trends in cadiogenic shock complicating acute myocardial infarction. N Engl J Med. 1999;340:1162-8. Goldbetg RJ, Gore JM, Alpert JS, et al. Cardiogenic shock after myocardial infarction : incidence and mortality from community-wide perspective, 1975 to 1988. N Engl J Med myocardial infarction

ne--'un I I a ueninorarran rekanan d asloti( r o(a'd merLrJn I | 5r. Menin_okatkan oerfJs, koroner

199

Gambar 4. Efek intra aortic ballon pump selama sistolik dan diastolik

HARAPAN MASADEPAN Peran NG-monomethyl-L-arginine (L-NMMA), suatu inhibitor nitrik oksida selektif, cukup menjanjikan. Cotter

l;325:ll17

-22

Hochman JS. Cardiogenic shock complicating acute myocardial infarction. Circulation 2003;107 :2998-3002. Hochman JS, Sleeper LA, Webb J, et al. Early revascularization in acute myocardial infarction complicated by cardiogenic shock. N Engl J Med 1999;341:625-34 Hochman JS, Sleeper LA, White HD, et al One-year survival following early revascularization for cardiogenic shock. JAMA 2001:,285:190-2. Hochman JS, Buller CE, Sleeper LA, et al. Cardiogenic shock

complicating acute myocardial infarction : etiologies, management and outcome : overall findings of the SHOCK trial

registry J Am Coll Cardiol. 2000;36:1063-70. Holmes DR, Bates ER, Kleiman NS, et al Contemporary reperfusion therapy for cardiogenic shock : the GUSTO-I trial experience

2st

SYOKI(ARDIOGEMK

J Am Coll Cardiol 1005;26668-74. Hasdai D, Califf RM, Thomson TD, et a1. Predictors

shock after thrombolitic therapy for acute myocardial infarction. J Am Coll Cardiol 2000;35:136-43. Hochman JS, Sleeper LA, Godfrey E, et al. Should we emergently revascularize occluded coronaries for cardiogenic shock : an Intemational randomizes trial of emergency PTCA/CABG-trial design. Am Heart J 1999;137:313-21.

D, Topol EJ, Califf RM, et al. Cardiogenic shock complicating acute coronary syndrome . Lancet 2000;356:74956.

Hasdai

AK, Sleeper LA, Forman R, et al. Cardiogenic shock caused by right ventricular infarction : a report from the SHOCK registry. J Am Coll Cardiol 2003;411273-9.

Jacobs

of cardiogenic

Menon V, Hochman JS. Management of cardiogenic shock complicating acute myocardial infarction. Heart 2002;88:531-7. Picard MH, Davidoff R, Sleeper LA, et al. Echocardiographic predictors of survival and response to early revascularization in cardiogenic shock. Circulation 2003 ;1 07 :27 9 -84. Webb JG Sanborn TA, Sleeper LA, et al. Percutaeous coronary intervention for cardiogenic shock in the SHOCK trial registry. Am Heart J 2001;14l:964-'70.

34 PENATALAKSANAAN SYOK SEPTIK Khie Chen, Herdiman T. Pohan

sirkulasi yang menyebabkan perfusi jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolisme seVjaringan.

PENDAHULUAN

Terdapat berbagai sebab terjadinya syok seperti

Sepsis merupakan respons sistemik pejamu terhadap infeksi dimana patogen atau toksin dilepaskan ke dalam

perdarahaan, infark miokard, anafilaksis, emboli paru dan yang cukup sering ditemukan adalah syok septik.

sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Berbagai definisi sepsis telah diajukan, namun definisi yang saat ini digunakan di klinik adalah definisi yang ditetapkan dalam konsensts American College of Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine pada tahun 1992 yang mendefinisikan sepsis, sindroma respons inflamasi sistemik (sys/e mic infl ammatory respons e syndromel SIRS), sepsis berat dan syok/ renjatan septik. (Tabel 1) Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan

Syok septik merupakan keadaan dimana terjadi penunman tekanan darah (tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 40 mmHg) disertai tanda kegagalan sirkulasi, meskipun telah dilakukan resusitasi cairan secara adekuat atau memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ. Syok septik merupakan keadaan gawat darurat yang memerlukan penanganan segera oleh karena semakin cepat

syok dapat teratasi, akan meningkatkan keberhasilan pengobatan dan menurunkan risiko kegagalan organ dan kematian. Oleh karena itu strategi penatalaksanaan syok

Sindrom respons inflamasi sistemik (SIRS: sysfemic infl ammatory response syndrome) respon tubuh terhadap inflamasi sistemik mencakup 2 atau lebih keadaan berikut : suhu > 38oC atau <360C frekuensi jantung >90 kali/menit frekuensi napas >20 kali/menit atau PaCO2 <32 mmHg leukosit darah >12.000/mms, < 4.000/mm3 atau batang

septik yang tepat dan optimal perlu diketahui untuk mendapatkan hasil yang diharapkan.

SYOK DAN MEKANISME HEMODINAMIK

>10o/o

Pada keadaan syok terjadi gangguan hemodinamik yang menyebabkan perfusi jaringan menjadi tidak adekuat dan

Sepsis Keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS

mengganggu metabolisme pada sel dan jaringan. Terdapat 8 faktor hemodinamik yang berperan dalam terjadinya syok, antara lain: 1). Faktor pertama yang berperan penting dalam

Sepsis berat Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi termasuk asidosis laktat, oliguria dan

terjadinya syok adalah volume intravaskular. Volume

penurunan kesadaran.

Sepsis dengan hipotensi Sepsis dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik >40 mmHg dan tidak ditemukan penyebab hipotensi lainnya. Renjatan septik Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara adekuat atau memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan

intravaskular berperan dalam mempertahankan tekanan

dan aliran balik vena (venous return) ke jantung. Penurunan volume intravaskular akibat kehilangan darah, plasma atau cairan dapat mempengaruhi aliran balik dan

curah jantung; 2). Jantung merupakan faktor kedua terpenting yang mempengaruhi sirkulasi hemodinamik. Curah jantung dipengaruhi oleh frekuensi dan irama

perfusi organ.

252

253

PENATALAKSTANAAI\ SYOK SEPTIK

jantung, kontraktilitas dan keseimbangan preload dan faktor keti ga yang berperan penting dalam mempertahankan sirkulasi. Perubahan tonus afieriol akan mempengaruhi pengisian ventrikel, tekanan arteri dan distribusi volume sistemik. Perbedaan tonus arteriol pada organ akan menyebabkan aft er I o ad ; 3 ). Res i stens i vaskular merupakan

maldistribusi volume darah yang mengakibatkan ketidakseimbangal attara suplai dan kebutuhan oksigen; 4). Mikrosirkulasi dan kapiler berperan dalam transportasi cairan dan nutrisi. Gangguan sirkulasi mikrovaskular akan menyebabkan gangguan metabolisme sel, sedangkan peningkatan permeabilitas kapiler akan menyebabkan terjadinya edema interstisial; 5). Resistensi venula berperan dalam 10-15% resistensi vaskular. Peningkatan resistensi venula dan tekanan hidrostatik menyebabkan

MOF). Proses MOF merupakan kerusakan (injury) pada tingkat selular (termasuk disfungsi endotel), gangguan perfusi ke organ/jaringan sebagai akibat hipoperfusi, iskemia reperfusi dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut berperan adalah terdapatnya faktor

humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant tance), malnutrisi kalori-protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit dan efek samping dari subs

terapi yang diberikan.

PENATALAKSANAAN SYOK SEPTI K

keluarnya cairan dari intravaskular ke interstisial; 6).

Penatalaksanaan syok septik merupakan bagian dari penatalaksanaan sepsis yang komprehensif, mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi, eliminasi sumber

Hubungan arteri-vena tanpa melalui kapiler akan

infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila

menyebabkan hipoksia dan gangguan transpor nutrisi; 7). Kapasitas vena dapat menampung hingga 80o% volume sirkulasi. Penurunan tonus vena dan peningkatan kapasitas vena akan mempengamhi volume sirkulasi sistemik; 8). Faktor terakhir yang berperan adalah patensi pembuluh

terjadi kegagalan organ atau renjatan, vasopresor dan inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi bila terjadi

darah. Obstruksi pembuluh darah menyebabkan penunrnan aliran balik vena.

PATOFISIOLOGI SYOK SEPTIK DAN KEGAGALAN ORGAN

Patofisiologi syok septik tidak terlepas dari patofisiologi sepsis itu sendiri dimana endotoksin (lipopolisakarida) yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses

inflamasi yang melibatkan berbagai mediator infl4masi

yaitu: sitokin, neutrofil, komplemen, NO dan berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostatis dimana terjadi keseimbangan antara proses infl amasi dan antiinflamasi. Kemampuan homeosta-

sis pada proses inflamasi

ini terkait

dengan faktor

suseptibilitas individu terhadap proses inflamasi tersebut. Bilamana terjadi proses inllamasi yang melebihi kemampuan homeostatis, maka akan terjadi proses inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang bersifat destruktif. Keadaan tersebut akan menimbulkan gangguan pada tingkat selular pada berbagai organ. Gangguan pada tingkat sel yang juga menyebabkan

diperlukan, terapi antimikroba yang sesuai, resusitasi bila

respons imun maladaptif pejamu terhadap infeksi. Penatalaksaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi yang perlu dilakukan segera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama,

dimulai sejak pasien tiba unit gawat darurat. Tindakan mencakup aitway : a). breathing; b). circulation; c). oksi geni sasi, ter api cair an (kristaloid dan/ atau koloid), vasopresor/inotropik dan transfusi bila diperlukan. Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 812 mmHg, tekanan arterirata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5 ml/kg/jam.

Oksigenisasi Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau kegagalan sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi. Traspor (delivety) oksigen ke janngan dapat pula terganggu akibat keadaan

hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan SIRS lL-6

itihLrlL q pkcdnen Stimulls eksogen

(endotoks nl

disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO menyebabkan terjadinya maldistribusi volume darah

Amp

ifikasi

MODS lan.r

llepar

aE CRp

L,B

Paru

ARDS

L-10

Jantung

Disfungs K

D

LB P

sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Faktor lain

yang juga berperan adalah disfungsi miokard akibat pengaruh berbagai mediator sehingga terjadi penurunan curah jantung. Proses ini mendasari terjadinya hipotensi

dan syok pada sepsis. Berlanjutnya proses inflamasi yang maladapatif akan menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/

]NOS

Endotel

vaskular Aktivitas prokoag!lan kemotaksis nekofil

No

Vasodilatasi

1. Disfungsi organ multipel sebagai hasil akhir dari proses inflamasi yang berlanjut. (Modifikasi dari Dhainaut) Gambar

254

pemrrunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan menyebabkan daya angkut oksigen oleh

KEGAWAXDARUruITAN MEDIK DI BIDANG ILMU PET.TYAIilT DALAM

klinis pasien, sarana yang tersedia, keuntungan

dan

kerugian pemberian transfu si.

eritrosit menurun. Traspor oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh gangguan perfusi akibat disfungsi

vaskular, mikrotrombus dan gangguan penggunaan oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia.

Dalam tatalaksana hipoksemia dan hipoksia semua

faktor yang mempengaruhi baik ventilasi, perfusi, delivery dan penggunaan oksigen perlu mendapat perhatian dan dikoreksi. Pada keadaan hipoksemia berat

dan gagal napas bila disertai dengan penurunan kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik perlu segera dilakukan. Oksigenisasi bertujuan mengatasi

hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi oksigen di darah, meningkatkan trasport oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di j aringan.

Terapi Cairan Hipovolemia dapat terjadi pada sepsis sebagai akibat peningkatan kapasitas vaskular (penurunan aliran balik vena), dehidrasi (karena asupan yang menurun, kehilangan

cairan melalui pernapasan atau keringat), terjadinya perdarahan dan kebocoran kapiler. Pada keadaan hipovolemik akan terjadi gangguan transpor oksigen dan nutrisi ke jaringan dan menyebabkan terjadinya hipotensi dan renjatan.

Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik kristaloid (NaCl 0,9% atau ringer laktat), maupun koloid. Kristaloid merupakan pilihan pada terapi awal karena lebih murah dan mudah didapat, tetapi perlu diberikan dengan volume yang lebih besar. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar tidakkurang atauprur berlebih. Secara klinis respons terhadap pemberian cairan terlihat dari peningkatan tekanan darah, pemrmnan frekuensi jantung, kecukupan isi nadi, perabaan

Vasopresor dan Inotropik Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan secara adekuat, akan tetapi pasien masih mengalami hipotensi. Hipotensi terjadi sebagai akibat vasodilatasi atau sebagai

akibat disfungsi miokardial sehingga terjadi penurunan curah jantung. Terapi vasopresor diberikan mulai dosis terendah secara titrasi untuk mencapai tekanan arteri ratarata(MAP) 60 mmHg, atautekanan darah sistolik 90mmHg. Pemantauan terhadap tingkat kesadaran dan produksi urin dapat menggambarkan adanya perbaikan perfusi dan fungsi organ. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8 mikrogram(mcg),&g/menit, norepinefrin 0,03 - 1, 5 mcg/kg/menit, fenileferin 0, 5 - 8 mc g,&g/menit atau epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Sebagai inotropik yang

dapat digunakan dobutamin dosis 2-28 mcglkg/menit, dopamin 3 -8 mcglkg/menit, epinefrin 0, I -0, 5 mcglkgimenit atau inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).

Bikarbonat Bikarbonat telah lama digunakan dalam mengkoreksi asidemia pada sepsis. Namun terapi bikarbonat untuk

koreksi asidemia pada sepsis saat ini diragukan

manfaatnya, dengan alasan bahwa bikarbonat sebagai bufer bermanfaat pada tingkat selular; sedangkan pada sepsis dan renjatan terjadi hipoperfusi ke jaringan dengan konsekuensi terjadinya gangguan traspor karbondioksida dari jaringan, sehingga akan terjadi pH sel yang semakin rendah. Secara empirik bikarbonat dapat diberikan bila pH < '7,2 atau serum bikarbonat < 9 meq/I, dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.

kulit dan ekstremitas, produksi urin dan membaiknya penurunan kesadaran. Pada sarana yang lebih lengkap atau di unit rawat intensif dapat dipantau dengan mengukur tekanan vena sentral dan tekanan arteri pulmonalis. Perlu diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan venajugular, ronki, galop 33 dan penurunan saturasi

oksigen.

Albumin merupakan protein plasma yang juga berfirngsi sebagai koloid. Albumin berfungsi mempertahankan tekanan onkotik plasma. Pada keadaan serum albumin yang

rendah (<2 gldl) disertai tekanan hidrostatik melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit (paclc red cell) diperltkan pada kdadaan perdarahan aktif, atau bilamana kadar hemoglobin (Hb) yang rendah pada keadaan tertentu misalnya iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis dipgrtahankan di atas 8 hingga l0 g/

dl. Namun pertimbangan dalam memberikan transfusi bukan berdasarkan kadar Hb semata, tetapijuga keadaan

DisfungsiRenal Gangguan fungsi ginjal pada sepsis dan renjatan terjadi secara akut, disebabkan karena gangguan perfusi ke organ tersebut. Bilamana pasien dalam keadaan hipovolemik atau hipotensi, keadaan ini harus segera diperbaiki dengan

pemberian cairan secara adekuat, terapi dengan vasopresor dan inotropik bila diperlukan. Pada keadaan oliguria, pemberian cairan perlu dipantau secara ketat oleh karena pemberian cairan secara agresifdapat menyebabkan

edema paru. Dopamin dosis renal (1-3 mcglkg/menit)

seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, akan tetapisecara evidence based terapi ini tidak terbukti menurunkan mortalitas dan menurunkan kebutuhan akan dialisis. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat

dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu ontinuous hemofi ltr atioz). Pada hemodialisis digunakan gradien tekanan osmotik dalam filtrasi substansi plasma, (c

255

PENATALAKSANAAN SYOK SEPTIK

sedangkan pada hemofiltrasi digunakan gradien tekanan hidrostatik. Teknik hemofiltrasi yang digunakan berupa continuous art eiov enous hemofi ltratior (CAVH) atau c irculation of dialysate on ultrafiltrate chamber (CAYHDF).

Baik hemodialisis ataupun hemofiltrasi merupakan terapi pengganti yang saling melengkapi. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis. Hemofiltrasi memiliki

kelebihan dalam memperbaiki kontraktilitas miokard, memperbaiki transpor oksigen dan memodulasi respons imunologis melalui bersihan mediator infl amasi.

Nutrisi Nutrisi merupakan terapi suportif yang penting dan harus diperhatikan dalam perawatan pasien sepsis. Pada sepsis terjadi slress yang menyebabkan gangguan metabolisme berbagai zat nutrisi. Di satu pihak terjadi hiperkatabolisme akibat kebutuhan yang meningkat, sedangkan keadaan gangguan perfusi dan hipoksia menyebabkan proses utilisasi

dan kontraktilitas dengan oxygen delivery

darr

demand. Protokol tersebut mencakup pemberian cairan kristaloid dan koloid bolus 500 ml tiap 30 menit untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg. Bila tekanan arteri rata-rata (MAP) kurang dari 65 mmHg, diberikan vasopresor hingga >65 mmHg dan bila MAP > 90 mmHg diberikan vasodilator. Dilakukan evaluasi saturasi

oksigen vena sentral (ScvO2); bila ScvO2<70% dilakukan koreksi hematokrit hingga diatas 30Yo. Setelah CVP, MAP

dan hematokrit optimal namun ScvO2 < 70oA, dimulai pemberian inotropik. Inotropik diturunkan bila MAP< 65 mmHg atau frekuensi jantung >120 kalilmenit. (Gambar 2) Hasil penelitian pada 130 pasien dengan 133 kontrol didapatkan penumnan mortalitas pada kelompok early goal directed therapy 30,5% dibandingkan kontrol46.5% dengan perbaikan pada parameter ScvO2, kadar laktat darah, defisit basa lebih rendah dan pH darah lebih tinggi.

dan pengangkutan sisa metabolisme menjadi terganggu. Pada

metabolisme glukosa te{adi peningkatan produksi (proses

glikolisis dan glukoneogenesis), ambilan (uptake) dan oksidasinya pada sel; peningkatan produksi dan penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi

,/ diin

insulin. Pada metabolisme lemak terjadi lipolisis dan hipertrigliseridemia dan proses katabolisme pada metabolisme protein. Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein (asam amino), asam lemak, cairan, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian secara enteral dan bila tidak memungkinkan baru diberikan secara

-\

i, paralisis (jika ) atau kekurangan

l*

parenteral. Pengendalian kadar glukosa darah perlu

l

<65mmHo r.

dilakukan oleh karena berbagai penelitian menunjukkan manfaatnya terhadap proses inflamasi dan penurunan

0batWsoaklll

Transfusi eritrosit sam pat hematokrit > 30%

mortalitas.

Kortikosteroid Kortikosteroid dosis tinggi dicoba pemberiannya pada sepsis berat dan renjatan dengan hasil tidak terbukti menurunkan mortalitas. Saat ini terapi kortikosteroid hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal, dan dapat diberikan secara emprik bila terdapat dugaan keadaan

Perawatan rumah sakit

Gambar 2. Early goal directed therapy (Sumber Rivers 2001)

tersebut. Hidrokortison dengan dosis 50 mg bolus intravena 4 kali sehari selama 7 haripada pasien renjatan septik menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan

REFERENSI

kontrol.

Annane D, Sebille Y Charpentier C. Effect of treatment with low doses of hydrocortisone and fludrocortisone on mortality in patients with septic shock. J Am Med Assoc. 2002;288(7):862-

EARLY GOAL DIRECTED TREATMENT Penelitian yang dilakukan Rivers dengan membandingkan tatalaksana yang disebut early goal directed treatment dengan terapi standar. Inti dari tatalaksana ini bahwa terapi mencakup penye suaian beban j antun g p r e I o ad, aft e r I o ad

71.

Astiz ME, RackowEC. Septic shock. Lancet 1998;351:1501-5. Balk RA. Severe sepsis and septic shock, definition, epidemiology and clinical manifestation. Crit Care C1in. 2000;16(2):179-92. Chertow G, Sayegh M, Allgren RL. Is the admioistration of dopamine associated with adverse of favorable outcome in acute renal failure? Am J Med. 1996;101:49.

256

Dellinger RP, Carlet JM, Masur H, et al. Surviving sepsis campaign guidelines for management of severe sepsis and septic shock. Crit Care Med. 2004:32(3);858-71. Dhainaut JF, Marin N. Sepsis induce multiple organ dysfunction syndrome. In: Dhainaut JF, Thijs L, Park G (eds). Septic shock. London. WB Saunders Co. 2000. p.321-26 Jindal N, Hollenberg SM, Dellinger RP, Pharmacologic issues in the management of septic shock. Crit Care Clin 2000;16(2):233-

49. Jumois D. Prophylaxis and management of acute renal failure during sepsis. In: Dhainaut JF, Thijs LG Park G, editors. Septic shock. London: WB Sauders co. 2000 p. 511-20.

KEGAW'ITDARURr'TTAT{ MEDIK DI BIDANG ILMU PEIYYAKIT

DALI\M

Members of the American College of Chest Physician/Society of Critical Care Medicine Consensus Conference Committee. AmericanCollege of Chest Physician/Society of Critical Care Medicine Consensus Conference: Definition for sepsis and organ failure and guidelines for the use of intovative therapies in sepsis. Crit Care Med. 1992;20:864-74. Rivers E, Nguyen B, Havstad S, et.al. Early goal-directed therapy in the treatment of severe sepsis and septic shock. N Eng J Med 2001,345:1368-77 . Singer M. Management of multiple organ failure: guidelines but no

hard and fast rules. J Antimicrob Chemother. (SupplA): I03-12.

1998;41

35 RENJATAN ANAFILAKTIK Iris Rengganis, Heru Sundaru, Nanang Sukmana, Dina Mahdi

PENDAHULUAN

menghadapi keadaan tersebut sangat diperlukan.

Perkembangan yang pesat dalam penemuan, penelitian

berkaitan dengan anafilaksis, diagnosis, terapi dan

dan produksi obat untuk diagnosis, pengobatan dan pencegahan telah pula menimbulkan reaksi obat yang tidak dikehendaki yang disebut sebagai efek

pencegahan.

samplng.

ANAFILAKSIS ATAU SYOK ANAFILAKTIK

Tulisan ini akan membahas beberapa pengertian yang

Reaksi tersebut tidak saja menimbulkan persoalan baru di samping penyakit dasarnya, tetapi kadang-kadang dapat

Bila pada bagian pendahuluan dijelaskan perbedaan anafilaksis dengan reaksi anafilaktoid, maka berikut ini

membawa maut juga. Hipokalemia, intoksikasi digitalis, keracunan aminofilin dan reaksi anafilaktik merupakan contoh-contoh efek samping yang potensial berbahaya.

dikemukakan pengertian anafilaksis dan syok anafilaktik. Banyak anggapan bahwa reaksi alergi obat yang dapat mematikan adalah syok anafilaktik. Seperti terlihat pada Tabel 1, syok anafilaktik merupakan salah satu manifestasi

Gatal-gatal karena alergi obat, mengantuk karena pemakaian antihistamin merupakan contoh lain reaksi

klinik dari anafilaksis yang ditandai dengan

efek samping yang ringan. Diperkirakan efek samping

adanya

hipotensi yaflg tyata dan kolaps sirkulasi darah. Istilah syok anafilaktik menunjukkan derajat kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk menggambarkan anafilaksis secara

terjadi pada 6 sampai 15 % pasien yang dirawat di rumah sakit, sedangkan alergi obat berkisar antara 6-10 %o dari efek samping.

keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi tanpa adanya hipotensi, dimana obstruksi saluran napas merupakan gejala utamanya. Justru gejala yang terakhir ini yang sering terjadi dan bahkan ada laporan yang menyatakan kematian karena anafilaksis dua pertiga disebabkan oleh obstruksi saluran napas (terutama pada usia muda), dan sisanya oleh kolaps kardiovaskular (terutama usia lanjut). Ciri khas yang pertama dari anahlaksis adalah gejala

Anafilaksis merupakan bentuk terberat dari reaksi alergi obat. Meskipun terdapat berbagai definisi mengenai anafilaksis, tetapi umumtya para pakar sepakat bahwa

anafilaksis merupakan keadaan darurat yang potensial dapat mengancam nyawa. Gejala anafilaksis timbul segera setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor pencetus

lainnya. Gejala yang timbul melalui reaksi alergen dan antibodi disebut sebagai reaksi anafilaktik. Sedangkan yang tidak melalui reaksi imunologik dinamakan reaksi anafilaktoid tetapi karena baik gejala yang timbul maupun pengobatannya tidak dapat dibedakan, maka kedua macam reaksi di atas disebut sebagai anafilaksis. Perbedaan tersebut diperlukan manakala mencari

yang timbul beberapa detik sampai beberapa menit setelah

pasien terpajan oleh alergen atau faktor pencetus nonalergen seperti zatkimia, obat atau kegiatan jasmani.

Ciri kedua yaitu anafilaksis merupakan reaksi sistemik, sehingga melibatkan banyak organ yang gejalanya timbul serentak atau hampir serentak.

penyebab anafilaksis dan merencanakan penatalaksanaan

lanjutan.

Anafilaksis memang jarang terjadi, tetapi bila terjadi

umumnya tiba-tiba, tidak terduga, dan potensial

lnsidens

berbahaya. Oleh karena itu kewaspadaan dan kesiapan

Anafilaksis memang jarang dijumpai, tetapi paling tidak

257

258

KEGAWTfi)ARURATAN MEDIK DI BIDAIIG ILMU PETTYAKIT DALAM

dilaporkan lebih dari 500 kematian terjadi setiap tahunnya

karena antibiotik golongan beta laktam, khususnya penisilin. Penisilin menyebabkan reaksi yang fatal pada 0,002%opemakaian.

Selanjutnya penyebab reaksi anafilaktoid yang tersering adalah pemakaian media kontras untuk pemeriksaan radiologik. Media kontras menyebabkan reaksi yang mengancam nyawapada},lYodan reaksi yang

fatal terjadi antara I : 10.000 dan 1: 50.000 prosedur intravena. Kasus kematian berkurang setelah dipakainya media kontras yang hipoosmolar. Kematian karena uji kulit dan imunoterapi juga pernah dilaporkan. Enam kasus kematian karena uji kulit dat24 kasus imunoterapi terjadi selama tahun 1959 sampai tahun 1984.

Penelitian lain melaporkan 17 kematian karena imunoterapi selamaperiode 1985 sampai 19S9.

Anafilaksis (melalui lgE) Antibiotik (penisilin, sefalosporin) Ekstrak alergen (bisa tawon, polen) Obat (glukokortikoid, thiopental, suksinilkolin) Enzim (kemopapain, tripsin)

Serum heterolog (antitoksin tetanus,

globulin

antilimfosit) Protein manusia (insulin, vasopresin, serum) Anafilaktoid (tidak melalui lgE) Zat penglepas histamin secara langsung Obat (opiat,vankomisin, kurare) Cairan hipertonik (media radiokontras, manitol) Obat lain (dekstran, fluoresens) Aktivasi komplemen :

Protein manusia (imunoglobulin, dan produk darah lainnya) Bahan dialisis Modulasi metabolisme asam arakidonat Asam asetilsalisilat Antiinflamasi nonsteroid

DIAGNOSIS Sistem

Gejala dan tanda

Umum Prodromal

Lesu, lemah, rasa tak enak yang sukar dilukiskan, rasa tak enak di dada dan perut, rasa gatal di hidung dan palatum

Pernapasan Hidung Laring

Hidung gatal, bersin dan tersumbat Rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, edema,spasme

Lidah

Edema

Bronkus

Batuk, sesak, mengi, spasme

Kardiovaskular

Pingsan,sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi sampai syok, aritmia. Kelainan EKG : gelombang T datar,terbalik, atau tanda-tanda infark miokard. Disfagia, mual, muntah, kolik, diare yang kadang-kadang disertai darah, peristaltik usus meninggi Urtika, angioedema, di bibir, muka atau ekstremitas

Gastro intestinal

Kulit Mata

Susunan saraf pusat

Gatal, lakrimasi Gelisah, kejang

Diagnosis anafilaksis ditegakkan berdasarkan adaty

a

gejala klinik sistematik yang muncul beberapa detik atau

menit setelah pasien terpajan oleh alergen atau faktor pencetusnya. Gejala yang timbul dapat ringan seperti pruritus atau urtikaria sampai kepada gagal napas atau syok anafilaktik yang mematikan. Karena itu mengenal tandatanda dini sangat diperlukan agar pengobatan dapat segera dilakukan. Tetapi kadang-kadang gejala anafilaksis yang berat seperti syok anafilaktik atau gagal napas dapat langsung muncul tanpa tanda-tanda awal. Kumpulan gejala tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Gejala-gejala di atas dapat timbul pada satu organ saja, tetapi pula muncul gejala pada beberapa organ secara

serentak atau hampir serentak. Kombinasi gejala yang sering dijumpai adalah urtikaria atau angioedema yang disertai gangguan pernapasan baik karena edema larings

atau spasme bronkus. Kadang-kadang didapatkan kombinasi urtikaria dengan gangguan kardiovaskular seperti syok yang berat sampai terjadi penurunan kesadaran. Setiap manifestasi sistem kardiovaskular, pemapasan atau kulitjuga bisa disertai gejala mual, muntah,

kolik, usus, diare yang berdarah, kejang uterus MEKANISME DAN PENYEBAB ANAFILAKSIS KARENAOBAT Berbagai mekanisme terjadinya anafilaksis, baik melalui mekanisme IgE maupun melalui non-IgE seperti terlihat pada Tabel 2.Tentu saja selain obat ada juga penyebab anafilaksis yang lain seperti makanan, kegiatan jasmani, sengatan tawon, faktor fisis seperti udara yang panas, air yang dingin pada kolam renang dan bahkan sebagian anafi laksis penyebabnya tidak diketahui.

atau

perdarahan vagina.

DIAGNOSIS BANDING

Beberapa keadaan yang dapat menyerupai reaksi anafilaksis yaitu reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi histerik, atau angioedema herediter.

Reaksi vasovagal sering dijumpai setelah pasien mendapat suntikan. Pasien tampak mau pingsan, pucat dan

259

RENJATANANAFILAKTIK

berkeringat. Dibandingkan dengan reaksi anafi laksis, pada reaksi vasovagal nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun, tetapi masih mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti pada anafilaksis. Pada infark miokard akut gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut sering diikuti rasa sesak, tetapi tidak tampak tatda-tanda

obstruksi saluran napas, maupun kelainan kulit. Pemeriksaan elektrokardiografi dan enzimatik akan membantu diagnosis infark miokard.

adakalanya muncul beberapa jam kemudian. Obsevasi yang

dilakukan oleh Stark dkk menyatakan bahwa bentuk anafilaksis bisa unifasik seperti yang biasa kita temukan,

bifasik yang gejalanya muncul 1-8 jam kemudian dan protrated yaitu suatu bentuk anafilaksis berat yang dapat berlangsung 5-32 jam meskipun dengan pengobatan yang intensif.

TERAPI

Reaksi hipoglikemik dapat disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau oleh sebab lain. Pasien tampak

Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah ditegakkan pemberian epinefrin tidak boleh

lemah, pucat berkeringat sampai tak sadar. Tekanan darah kadang-kadang menurun, tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas atau kelainan kulit. Pemeriksaan kadar gula darah dan pemberian terapi glukosa menyokong diagnosis reaksi hipoglikemik. Pada reaksi histerik tidak dijumpai adanya tanda-tanda

ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mula penyakit dan lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dengan

gagal napas, hipotensi atau sianosis. Pasien kadangkadang pingsan meskipun hanya sementara. Penilaian tanda-tanda vital dan status neurologik dengan cepat membedakan keadaan ini dengan reaksi anafilaktik. Sering pasien mengeluh parestesia. Sindrom angioedema neurotik herediter merupakan salah satu keadaan yang menyerupai anafilaksis. Sindrom ini ditandai dengan angioedema saluran napas bagian atas dan sering disertai kolik abdomen. Tidak dijumpai kelainan

kulit atau kolaps vaskular. Adanya riwayat keluarga yang mempunyai sindroma ini disertai penurunan kadar inhibitor C1 esterase mendukung adanya sindrom

kematian. Dengan demikian sangat masuk akal bila epinefrin 1 : 1000 yang diberikan adalah 0,01 ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau dari awalnya kondisi penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara intramuskuler (IM) dan bahkan kadang-kadang dosis epinefrin dapat dinaikkan sampai 0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap kelainan jantung. Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin, atau sengatan serangga, segera diberikan suntikan infiltrasi epinefrin I : 1000 0,1-0,3 ml di bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorpsi alergen tadi. Bila mungkin dipasang torniket proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit. Torniket tersebut dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya

angioedema neurotikherediter.

dua hal penting yang harus segera diperhatikan dalam

Sindrom karsinoid menyerupai anafilaksis idiopatik. Sindrom ini ditandai dengan adanya gejala gastrointestinal, spasme bronkus, dan rasa panas sekitar kulit. Tetapi tidak dijumpai adanya urtikaria atau angioedema. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan serotinin darah meninggi serta kadar histamin dan 5 hidroksi indol asam asetat dalam urin meninggi.

memberikan terapi pada pasien anafilaksis yaitu mengusahakan: 1). Sistem pernapasan yang lancar,

Meskipun diagnosis anafilaksis tidak sulit, tetapi mencari alergen penyebab maupun pencetusnya tidak mudah dan bahkan kadang-kadang tidak ditemukan. Dalam

hal ini anamnesis yang teliti merupakat cara yang paling penting. Dengan demikian diagnosis anafilaksis terutama berdasarkan reaksi anafilaksis yang timbul segera setelah terpajan oleh alergen atau faktor pencetus serangan dan menimbulkan gejala klinik pada organ-organ sasaran seperti

yang telah disebutkan tadi. Akan halnya pemeriksaan penunjang seperti uji kulit hanya bermanfaat bila mekanisme anafi laksis tersebut melalui IgE (imunoglobulin E) dan obat-obat yang dapat diuji pun terbatas pada penisilin. Hormon dan enzim sangatjarang dilakukan karena prosedw tersebut juga bisa menimbulkan reaksi anafilaksis. Meskipun anafilaksis biasanya muncul dalam waktu

beberapa menit setelah terpajan

oleh alergen, tetapi

sehingga oksigenasi berjalan

baik;2).

Sistem

kardiovaskular yangjuga harus berfungsi baik sehingga perfu si jaringan memadai. Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasan dan kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau diobati. Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada

anafilaksis terutama disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis.

Sistem Pernapasan 1. Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab

tersering kematian pada anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema larings atau spasme bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin sudah memadai untuk mengatasi keadaan tersebut. Tetapi pada edema larings kadang-kadang

diperlukan tindakan trakeostomi. Tindakan intubasi trakea pada pasien dengan edema larings tidak saja sulit

tetapi juga sering menambah beratnya obstruksi.

260

KEGAWAJDARURAf,AN MEDIK DI BIDANG ILMU PEITYAKIT DALAM

Karena pipa endotrakeal akan mengiritasi dinding larings. Bila saluran napas tertutup sama sekali hanya tersedia waktu 3 menit untuk bertindak. Karena

2. 3.

trakeostomi hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau yang berpengalaman maka tindakan yang dapat dilakukan dengan segera adalah melakukan punksi membran krikotiroid denganjarum besar. Kemudian pasien segera dirujukke rumah sakit. Pemberian oksigen 4-6 Umenit sangatpenting baikpada gangguan pernapasan maupun kardiovaskular. Bronkodilator diperlukan bila terjadi obstruksi saluran napas bagian bawah seperti pada gejala asma atau status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan larutan salbutamol atau agonis beta-2lainnya 0,25 cc - 0,5 cc dalam2-4 ml NaCl 0,9% diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg / kgBB yang diencerkan dalam 20 cc dekstrosa 5%o atau NaCl 0,9o/o dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.

di atas kemudian diikuti pemapasan hiperventilasi untuk menjamin absorpsi obat yang cepat. Pernah dilaporkan selain usaha-usaha yang dilaporkan tadi ada beberapa hal yang perlu diperhatikan :

1.

obat penyakit reseptor beta (beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin atau bahkan menjadi lebih buruk karena stimulan reseptor adrenergik alfa tidakterhambat. Dalam keadaan demikian inhalasi agonis beta-2 atau sulfas atropin akan memberikan

manfaat

Gejalahipotensi atau syokyang tidakberhasil dengan pemberian epinefrin menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini membufuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9o/o) atat koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan koloid 0,5-1 L dan sisanya dalambentuk cairankristaloid.

Cairan koloid ini tidak saja mengganti cairan intravaskular yang merembes ke luar pembuluh darah atau yang terkumpul dijaringan splangnikus, tetapijuga dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali ke

2.

intravaskular. Oksigen mutlak harus diberikan di samping pemaniauan

sistem kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik.

3.

Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous pr e s s ur e). Pemasangan CVP ini selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan pemberian eairan,juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang bila bocor dapat merangsang jaringan sekitarnya.

4. Bila

tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Dengan caramelarutkan 1 ml epineprin 1 : 1000 dalam 250 ml dektrosa (konsentrasi4mglml) diberikan dengan infus 1 - 4 mglmenit atau 15 - 60 mikrodrip/menit (dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikkan sampai maksimum 10 mg /ml

Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia,

pada

keadaan anafilaksis yang berat, American Heart Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara endotrakeal dengan dosis 10 ml epinefrin 1 : 10.000 diberikan melalui jarum panjang atau kateter melalui pipa endohakeal (dosis anak 5 ml epinefrin 1 : 10.000). Tindakan

di samping pemberian aminofilin

dan

kortikosteroid secara intravena.

2.

Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH, dengan AH, bekerja secara sinergistik terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung beratnya penyakit,

AH dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat antihistamin dapat diberikan IV. Untuk

AH, seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin ( 1 50 mg) harus diencerkandengan20 mlNaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5 menit. Bila pasien mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari sebagai

Sistem Kardiovaskular

l.

Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan

3.

gantinya dipakai ranitidin. Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami gangguan napas maupun gangguan

kardiovaskular. Memang kortikosteroid tidak bermanfaat untuk reaksi anafilaksis akut, tetapi sangat bermanfaat unhrk mencegah reaksi anaf,rlaksis yang berat dan berlangsung lama. Jika pasien sadar bisa

diberikan tablet prednison tetapi lebih disukai memberikan intravena dengan dosis 5 mgikgBB hidrokortison atau ekuivalennya. Kortikosteroid ini dapat diberikan setiap 4-6 jam.

PENCEGAHAN

Pasien yang pernah mengalami reaksi anafilaksis mempunyai risiko untuk memperolehreaksi yang samabila terpajan oleh pencetus yang sama. Pasien ini harus dikenali, diberikan peringatan dan bila perlu diberi tanda peringatan

pada ikat pinggang atau dompetnya. Kadang-kadang kepada pasien diberikan bekal suntikan adrenalin yang harus dibawa kemanapun ia pergi. Hal ini terutama bila pencetus tersebut sering timbul tidak terduga seperti pada sengatan tawon atau anafilaksis idiopatik.

Pasien asma dan penyakit jantung bila mendapat serangan anafilaksis bisajauh lebih berat, oleh karena itu

setiap pasien asma atau jantung harus memperoleh pengobatan yang optimal. Pasien yang mempunyai risiko

anafilaksis dianjurkan untuk tidak memakai obat-obat penyekat beta karena bila terjadi reaksi anafilaksis pengobatannya sulit. Sebaiknya obat-obat substitusi pengganti obat penyekat beta tersebut. Pada beberap a keadaan dilaporkan adany a tindakan

pencegahan untuk menghindari reaksi anafilaksis.

261

RENJATANANAFILAKTIK

Greenberger dkk memberikan prednison dan antihistamin sebelum memberikan media kontras pemeriksaan radiologik

risiko. Tindakan desensitisasi jangka pendek dengan penisilin.

kepada pasien yang mempunyai

Desensitisasi jangka panjang diberikan kepada pasien yang alergi terhadap sengatan tawon. Oleh karena reaksi anahlaksis terutama disebabkan oleh obat-obatan barangkali petunjuk di bawah ini mungkin bermanfaat mencegah terjadinya anahlaksis baik di tempat praktek atau dimana saja. Sebelum memberikan obat : 1. Adakah indikasi memberikan obat, 2.Adakah riwayat alergi obat sebelumnya, 3. Apakah

pasien mempunyai risiko alergi obat, 4. Apakah obat tersebut perlu diuji kulit dulu, 5. Adakah pengobatan pencegahan untuk mengurangi reaksi alergi Sewaktu minum obat. Enam caramemberikan obat : 1. Kalau mungkin obat diberikan secara oral, 2. Hindari pemakaian intermiten, 3.Sesudah memberikan suntikan pasien harus selalu diobservasi, 4. Beritahu pasien kemungkinan reaksi yang terjadi, 5. Sediakan obat/alat untuk mengatasi keadaan darurat, 6. Bila mungkin lakukan uji provokasi atau desensitisasi. Sesudah minum obat. 1. Kenali tanda dini reaksi alergi obat, 2.Hentikan obat bila terjadi reaksi, 3. Tindakan imunisasi sangat dianjurkan, 4. Bila teiadi reaksi berikan penjelasan dasar kepada pasien agar kejadian tersebut tidak terulang kembali. Sangat dianjurkan untuk lebih baik melakukan tindakan berhati-hati atau pencegahan, daripada menghadapi reaksi anafi laksis. Karena betapapun canggih penatalaksanaannya

pasien yang meninggal karena anafilaksis sering dilaporkan.

Akan halnya dengan obat-obat sebagai penyebab anafilaksis, tidak semua obat dapat diuji kulit. Hanya penisilin, berbagai macam hormon, serum dan enzim yang dapat dipercaya hasil tes kulitnya. Pada beberapa keadaan uji kulit maupun provokasi dengan mernberikan obat kadang-kadang membantu diagnosis tetapi kedua cara tersebut juga bisa mencetuskan anahlaksis.

REFERENSI Bamard JH. Studies of Hymenoptera sting death in the United States. J Allergy Clin Immunol 1973:52:525-9. Belleau J, Lieberman PL. Anaphylaxis. Dalam: Milgrom EC, Usatine RP, Tan RA, spector SL (Eds). Practical Allergy. Mosby, China.

2004:97 -109

Bochner BS, Lichrenstein LM. Anaphylaxis. N. Engl J med. 1991;321:1785-90.

Busse WW. Anaphylaxis in patients receiving beta blocker drugs.

J

Allergy Clin Immunol 1986;78:76-83 De Swarte RD, Patterson R. Drug Allergy: In Roy Patterson R, Grammer LC, Greenberger PA, editors. Allergic Diseases. Diagnosis and Management 5'h ed Philadelphia: Lippincot-Raven

Publishers. 1997 : 317-412. Doctor J. Anaphylaxis: focus an early diagnosis and treatment. Can J CME. 1996;March:41-56. Ewan PW,. Anaphylaxis : Diagnosis and management In : Holgate S, Boushey HA, Fabbril LM, editor. Diffuclt asthma. London : Martin Dunitz Ltd. 1999: 521-534. Gilmore NJ, Yang WH, De1 Carplo J. Penicillin allergy. A simple, rapid intravenous methode of desensitization (abstrac) J Allergy Clin Immunol 1984;63:185. Graft DF. Venom immunotherapy for stinging insect al1ergy. Clin

Rev. Allergy 1987 ;5:149-59. Greenberger PA, Patterson R, Raden RC. Two pretreatment regimens for high risk patients receiving radio contrast media. J Allergy Clin Immunol 1984:7 4:540-3. Herrera AM, De Shazo RD. Current concepts in anaphylaxis Pathophysiology, diagnosis and featment. Immuno Allergy Clin

N Amer 1972;12:517-34. Horan RF, Fennoyar DS, Sheffer AL. Management of anaphylaxis. Immuno Allergy Clin N Amer 1991;11:117-41.

Kelly JF, Patterson R, Anaphylaxis. Course , mechanism

and

treatment. J AMA 197 4;227 :1413 -6. Kemp SF. Adverse effects of allergen immunotherapy: Assessment and treatment. Immunol Allergy Clin North Am 2000;20:571' 91

Lawlor GJ, Rosenblatt HM. Anaphylaxis. In : Lawlor GJ, Fischer FJ, Adeiman DC, editors.. Manual of Allergy and Immunology, 3'd ed. Boston: Little Brown and Company; 1995:.224-252. Lieberman PL Specific and idiophatic anaphylaxis: Phatophysiology and treatment. In : Bierman CW, Pearlman DS, Shapiro GG, Busse WW, editors. Allergy, Asthma and Immunology from Infancy to Adulthood. 3d eds. Philadelphia : WB. Saunder Company. 1996: 29'7-319. Liebennen P, Kemp SF, Oppenheimen J, Lang DM, Bernstein IL dan Nicklas RA. The diagnosis and management of anaphylaxis: An updated practice parameter. J Allergy Clin Immunol 2005; 1 1 5(suppl): 5483-S523.

Lockey RF, Benedict IM, Turkeltauk, et al. Fatalit'ies from imunotheraphy (II) and skin testing (3T). J Ailergy Clin Immunol 1987 ;7 9 :660-6. Reid MJ. Lodey RF, Turkeltauk PC. Survey of fatalities from skin testing and immunotherapy, 1985-1989. J Allergy Clin Immunol, 1993;92:6-9. Ring J. Anaphylaxis. Dalam allergy in practice. Springer. Munchen. 2005:97 -104 Stark BJ, Sulliran TJ. Biphasic and protacted anaphylaxis. J Allergy Clin Immunol 1986;78:78-83. Toogod RH. Risk of anaphylaxis in patients receiving beta blocker drugs. J Allergy Clin Immunol 1988;81:1-3. Weiszer I. Allergic emergencies. In : Patterson R, editor. Allergic disease : diagnosis and management. 2^d edition. Philadelphia: JB Lippincot,1980: 37 4-94.

36 KEGAGALAN MULTI ORGAN (DISFUNGSI ORGAN MULTIPEL) Aryanto Suwondo

Sindrom disfungsi organ multipel (Multiple organ dysfunction syndrome disingkat MODS) dapat terjadi pada penderita-penderita penyakit dengan kondisi kritis atau pasca trauma berat. Perjalanan alamiah sindrom

proses menuju kegagalan sistem organ dalam fungsinya

mempertahankan homeostasis. Penelitian-penelitian terdahulu menemukan adany a infeksi, kadang-kadang tersamar, sebagai faktor klinis utama yang berhubungan dengan MODS. Tetapi dalam penelitian-penelitian terakhir terbukti MODS dapat terjadi tanpa adanya fokus infeksi, dan secara eksperimental MODS dapat ditimbulkan dengan menl.untikkan media-

ini

meliputi perawatan yang lama di ruang intensif sehingga menghabiskan dana dan daya vpayayatg besar. MODS muncul sebagai akibat langsung dari meningkatnya

kecanggihat alat-alat maupun obat-obatan untuk menunj ang kehidupan sehingga berhasil memperpanj ang

hidup pasien-pasien kritis yang pada masa-masa

tor-mediator infl amasi. Lebih jauh, penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa kegagalan fungsi satu organ dapat

sebelumnya tidak ada harapan lagi. Berdasarkan datadari

merugikan fungsi organ-organ lain dan mempercepat

penelitian-penelitian retrospesktif terungkap bahwa

kegagalan organ-organ tersebut. MODS dapat bersifat primer maupun sekunder. MODS primer terjadi sebagai akibat langsung jejas (insult) pada organ-organ tertentu, misalnya kontusio paru, gagal girrjal karena rabdomiolisis, atau koagulopati karena transfusi multipel. Respons inflamasi pada MODS primer tidak menonjol. MODS sekunder bukan akibat langsung jejas awal (initial insult). Tapi terjadi sebagai konsekuensi respons inflamasi yang berlebihan, dan meluas keseluruh

ancaman utama terhadap kelangsungan hidup pasien-

pasien kritis

ini bukanlah dari penyakit yang

mendasarinya ataupun komplikasinya, tetapi akibat suatu

proses kegagalan fisiologis yang progresif pada beberapa sistem organ. Di ruang rawat intensif, setelah tahun 1 950-an proporsi pasien-pasien usia lanjut, dengan komorbid yang lebih banyak, meningkat dibandingkan dengan sebelumnya waktu usia menjadi alasan menolak pasien untuk dirawat di ICU. Demikian pula cara-cara resusitasi pasca trauma yang berdasarkan protokol militer

organ di dalam badan; fenomena ini dinamakan systemic inJlammatory response syndrome disingkat SIRS. Bila proses ini terjadi akibat infeksi disebut sepsis. Angka kematian MODS lebih dari 6}oh.Mortalitasnya tergantung dari jumlah organ dan lamanya organ-organ tersebut mengalami kegagalan fungsi, dan tetap menjadi penyebab kematian tertinggi di ruang rawat intensif nonkoroner.

dan dibukanya pusat-pusat penanggulangan trauma (trauma centers) meningkatkan jumlah pasien dalam kondisi kritis yang berhasil sampai di rumah sakit.

Tahw 1973 Tilney dan kawan-kawan pertama kali melaporkan kasus gagal organ multipel dalam jurnal kedokteran bedah: 3 orang pasien pasca operasi aneurisma aorta abdominalis yang pecah, yang kemudian meninggal

karena gagal organ multipel. Sejak itu dikenal istilah sequential system failure, progressive multiple organ

ETIOLOGI

system failure.

Terminologi dysfunction, lebih dinamis daripada

Beberapa jejas (insult) fisiologik maupun patologik dapat

failure, menunjukan bahwa fenomena ini adalah suatu

menyebabkan MODS (Tabel

262

l).

263

KEGAGALAN MULTI ORGAN @ISFUNGSI ORGAI\ MULTIPEL)

Trauma

lnflamasi

non-infeksi

Baktereremia

Trauma multipel

Pankreatitis

Kanker

Viremia

Pasca operasi

Vaskuliiis

Fungemia

lskemia viseral

HIV

Suntikan sitokin Reaksi obal

Penyakit riket

Status epileptikus Heat injury

Eklamsia

Abdominal compadment syndrome

Bypass kardiopulmoner

Mycobacteria lnfeksi protozoa

lnfeksi organ solid

Gagal hati

Sindrom reperfusi Reaksi transfusi Sindrom asprrasr

Transfusi masif

imun (magic bullets) untuk memblok sitokin-sitokin dan endotoksin terbukti gagal.

lnfeksi, trauma, luka bakar luas, dll

Endotoksin, komponen dinding sel kuman gram positif, superantigen

Kondisi proinflamasi

Pelepasan sitokin Aktivasi komponen, pembekuan darah, kaskade eikosanoid

Sepsis / SIRS

PATOGENESIS

Teori MODS Lama Suatu reaksi inflamasi yang masif mendasari baik SIRS maupun MODS, dan karena respons inflamasi yang mirip pada kedua fenomena ini dipikirkan patofisiologi yang sama. Teori terdahulu mengenai bagaimana terjadinya MODS berdasarkan eksperimen pada sukarelawan atau binatang percobaan yang mendapat suntikan endotoksin

atau mediator-mediator proinflamasi serta penelitian-

penelitian yang mengukur kadar mediator-mediator proinflamasi dalam serum pasien-pasien SIRS dan MODS.

Teori SIRS/MODS ini terlalu linier dan sederhana (Gambar 3). Penelitian-penelitian dengan cara modulasi

Syok MODS Ke m atia n

Gambar 3. Teori linier sepsis, SIRS dan MODS

Teori MODS Terbaru Akibat dari jejas lokal atau infeksi, mediator-mediator proinfl amasi dilepaskan untuk melawan antigen-antigen asing dan mempercepat penyembuhan luka. Kemudian akan diikuti pelepasan mediator-mediator anti-infl amasi untuk meregulasi proses ini. Homeostasis dicapai dan pasien sembuh. Bila jejas patologis berat, dan mekanisme

pertahanan lokal tidak berhasil mengatasinya, maka

MODS primer

M0DS sekunder

mediator-mediator inflamasi akan masuk ke dalam sirkulasi sistemik dan merekrut leukosit-leukosit baru di daerah inflamasi. Terjadilah respons terhadap stres di seluruh

tubuh. Sekali lagi, mediator-mediator anti-inflamasi dilepaskan ke dalam sirkulasi sistemik untuk memperbaiki

kaskade proinflamasi sehingga tercapai kembali Sembuh

Gambar 1. Kausa dan akhir yang berbeda dari MODS

homeostatis. Bila respons proinflamasi sistemik yang terjadi sifatnya berat, atau bila respons anti-inflamasi sebagai kompensasinya tidak adekuat sehingga gagal meregulasi

respons proinflamasi, terjadilah ketidakkeseimbangan dengan predominan respon proinflamasi. Pada keadaan ini didapat tanda-tanda SIRS, dan mulai didapat ancaman

terjadinya disfungsi organ. Sebaliknya, bila terjadi predominansi respons anti inflamasi, dengan akibat anergi dan imunosupresi, keadaan ini dinamakan compensatoty antiinflammatoty response syndrome disingkat CARS,

Kelangsungan hidup bergantung pada tercapainya homeostasis. Bila homeostasis tidak berhasil dicapai, sampailah pada fase terakhir proses patogenik ini, Gambar 2. Hubungan antara SIRS, sepsis dan infeksi

immunological dissonance. Pada fase ini keseimbangan

264

KEGAWTTDARUR/{IAN

MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAXIT DALAM

antara proses pro dan antiinflamasi hilang. Secara klinis didapatkan tanda-tanda MODS (Gambar 4). Molekul pro-inflamasi

Se T dan

rL-1 p

tL-2

tL-1 0

I

Sel NK

Respons anti-inflam asi

lL-10 tL-6,

ke dalam s rkulasi sistem

Kardiovasku ar komproma ( syok )

L-6

tL-8 Elatase neutrofil

IL.1 IL,6 TNF.

tL-4

k

s

apopto sis

Gambar 4. Teori baru MODS

PERAN SITOKIN Sitokin adalah glikoprotein dengan berat molekul rendah,

bersifat larut, berfungsi meregulasi sistem imun tidak spesifik (innate) dan spesifik. Cara kerjanya pleitropik terhadap berbagai sel target dengan cara-cara yang berbeda bergantung situasi dan kadamya. Pada kadar rendah sitokin mempunyai efek parakrin sedangkan pada konsentrasi tinggi mempunyai efek endokrin. Beberapa sitokin berperan dalam terjadinya SIRS dan

MODS: TNF-o IL-lp, IL-8, IL-6, IL-10, yang kadamya berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas sepsis (Tabel 2). TNF-cx, dan IL-1p, diproduksi terutama oleh monosit. Selain mengantarai demam, sitokin-sitokin ini mengaktivasi pembekuan, menginduksi ekspresi molekul-molekul adhesi,

Molekul antiinflamasi lL-1 ra tL-4

TNF-cr

IFN-y

Protein kinase MCP-I (monocyte

chemoattractant protein) MCP-2 Leukemia inhibitory factor Tromboksan PAF (platelet activating factor) Molekul adhesi terlarut Neuropetid vasoaktif Fosfolipase 42 Tirosin kinase Free radical generation Neopterin P Al1 (pl a s mi noge n activ ato r inhibitor)

tL-13 Reseptor lLl tipe ll Transforming grov/th factor B Reseptor TNF-0 terlarut LPS CD-'14 terlarut

Prostaglandin

E2

Antagonis reseptor leukotrein B+

TNF-cr dan menurunkan mortalitas sedangkan anti IL-l0 meningkatkan mortalitas sepsis pada binatang percobaan.

Kadar IL-10 yang berlebihan, diperkirakan sebagai predisposisi untuk imunosupresi, ditemukan pada pasienpasien yang meninggal karena sepsis. Di sisi lain, kadar IL-10 yang rendah, diperkirakan memudahkan terjadinya

inflamasi yang tidak terkontrol, dikaitkan dengan memburuknya prognosis ARDS. Keadaan internal milieu leblh penting daripada kadar absolut sitokin. Pasien usia lanjut atau pasien dengan komorbid diketahui meningkat risikonya untuk terjadi SIRS/ MODS. Keadaan ini berkaitan dengan kadar sitokin yang abnormal, dan telah terbukti bahwa kemampuan sel untuk mensintesis mediator pro atau antiinflamasi dipengaruhi aktivasi sebelumnya. Fenomena ini dapat menerangkan model two hit dalampatogenesis: jejas awal tidak cukup kuat untuk menimbulkan MODS, kecuali ada faktor-faktor lain, misalnya infeksi sekunder, atau dilepaskannya sitokinsitokin dari usus atau paru.

saling memacu sintesis keduanya, dan memicu produksi IL-6,-8 dan IL- 10. IL-6 memicu fase akut produksi protein

dan meregulasi produksi TNF-o dan IL-1B. Kontrol terhadap gen yang mengekspresikan sitokin-sitokin infl amas i dilakukan oleh faktor-faktor transkripsi intrasel, terutama NF-rb, bila kadarnya tinggi dikaitkan dengan prognosis buruk.

Sebagai respons terhadap mediator-mediator proinflamasi, akan diproduksi sitokin-sitokin antiinflamasi dan antagonis sitokin. IL-4,IL-10, dan IL-13 menginhibisi produksi sitokin leukosit. Antagonis reseptor IL-l ([-l ra) dan reseptor TNF terlarut pada konsentrasi tinggi akan mengikat IL-l dan TNF dengan demikian mencegah aktivitas biolo gisnya. Suntikan IL- 1 0 mengurangi produksi

MEDIATOR LIPID PADA MODS

Bila kaskade inflamasi diaktifkan, PLA, (phospholipase

Ar) memetabolisme membran fosfolipid dari sel-sel infl amasi untuk memproduks |PAF

tor)

dan

AA

(asam arahidonik).

(p

latel et activ ating fac -

AA akan dimetaboslisme

oleh siklooksigenase atau 5' lipoksigenase menghasilkan sejumlah prostaglandin dan leukotrien, yang mempunyai efek pro- dan anti-inflamasi seperti sitokin. TXA, (tromboksanAr) mempunyai peran yang penting pada fase akut dari kerusakan organ antara lain dengan merangsang agregasi trombosit sehingga terjadi trombosis

265

KEGAGALAN MULTI ORGAN (DISFUNGSI ORGAI{ MULTIPEL)

di mikrovaskular dan kerusakan jaringan. TXA, dapat menyebabkan bronkokonstriksi dengan akibat V/Q

Hipoksia Jaringan dan Kerusakan Jaringan

mismatch,dan menyebabkan depresi miokard. Kadar TXB, (metabolit TXA2 yang stabil) yang tinggi ditemukan pada pasien sepsis yangfatal. Berbeda dengan TXA, PGE, dan prostasiklin (PGIr) mempunyai efek yang menguntungkan. Sementara efek negatif yang utama adalah vasodilatasi, molekul-molekul ini berperan dalam menstabilkan lisosom

Kematian sel karena hipoksia dapat menyebabkan respon

dengan demikian mempunyai efek anti proteolitik, menginhibisi aktivasi sel T dan sel B dan mencegah

Hipoksia juga menyebabkan pelepasan IL-6, sitokin utama yang berperan dalam respon fase akut.

produksi sitokin oleh makrofag.

PAF bekerjasama dengan sitokin-sitokin lain, meningkatkan produksi IL-l dari monosit. PAF juga

karena Reperfusi inflamasi. Hipoksia juga menyebabkan sel-sel epitel melepaskan TNF-ct dan IL-S dengan akibat meningkatnya permeabilitas epitel. IL-8 berperan sebagai kemoatraktan terhadap neutrofil, dan memblok efek autokrin dari TNF-cr

sehingga fungsi penyekat (barrier) dipertahankan.

Reperfusi jaringan yang iskemik akan diikuti

meningkatnya permeabilitas vaskular.

pembentukan ROS sebagai hasil metabolisme xantin dan hipoksantin oleh oksidase xantin, dan metabolisme AA dan produksi superoksida oleh neutrofil yang teraktivasi. Sebagai tambahan, terjadi influks kalsium ke dalam sel dengan akibat kerusakan sel.

PENGARUH GENETIK

APOPTOSIS

mempunyai efek langsung pada proses inflamasi yaitu terhadap endotel dengan hasil adhesi sel-sel neutrofil dan

Pasien yang berasal dari keluarga dengan produksi TNF yang rendah, risiko mendapat infeksi meningokokus yang fatal meningkat 10 kali lipat, dan risiko ini naik 20 kali lipat bila produksi IL- 10 tinggi. TNF-cr dan IL-IRA meningkatkan risiko serta memperburuk prognosis sepsis. Sayangnya determinan genetik terhadap prognosis sepsis maupun MODS terflyata lebih kompleks dari sekedar ekspresi

kuantitatif satu atau beberapa sitokin.

Apoptosis, atau kematian sel yang terprogram, adalah suatu mekanisme penting dalam homeostasis selular pada organisme multiselular. Fenomena ini dilgstarikan secara genetik, suatu mekanisme yang memerlukan energi, yang bertujuan mengontrol jumlah sel. Berbeda dengan keadaan tanpa inflamasi dan respon inflamasi akut, pada MODS terjadi perubahan dinamik dan regulasi dari apoptosis (Tabet 3).

Kerusakan Jaringan Kerusakan jaringan terjadi selama proses inflamasi dan berjalan progresif menuju disfungsi dan berahir dengan gagal organ. Endotel vaskular mengekspresikan molekulmolekul adhesi sehingga leukosit berpindah tempat dari sirkulasi ke dalam jaringan. Leukosit berkelompok sebagai respon terhadap kemokin seperli IL-S, degranulasi sel-sel leukosit melepaskan protease-protease seperti elastase dan metaloproteinase matriks yang merusak struktur jaringan. Leukosit-leukosit yang teraktivasi mernproduksi ROS

(reactive oxygen species) yang ikut berperan dalam

Pengamatan Penundaan apoptosis neutrofil

Hipotesis

Menguntungkan Merugikan

Menguntungkan Apoptosis limfosit meningkat Merugikan

kerusakan jaringan.

Menguntungkan Merugikan

Peran Oksida Nitrit (Inducible nitric oxide synthase) iNOS dalam respons terhadap inflamasi menghasilkan NO dalam jumlah berlebihan. NO menyebabkan vasodilatasi, inotropik negatif dan nitrosilasi jaringan. Miosit pasien sepsis menunjukkan nitrosilasi dari protein intraselular. Salah satu syarat berfungsinya suafu organ secara normal adalah kemampuan sel-sel epitel menjaga permeabilitas paraselular,

dan nitrosilasi merusak integritas paraselular dengan akibat antara lain meningkatnya permeabilitas mukosa usus. Zoss of compartmentalization terjadi pada ARDS, gagal ginjal akut dan kolestasis intrahepatik.

Apoptosis oarenkim

Meningkatkan fungsi Memperpanjang fungsi Memperpanjang elaborasi metabolit yang toksik Dapat berakibat nekrosis neutrofil Mengurangi otoreaktivitas Mengurangi sel-sel efektor yang dapat melanggengkan inflamasi Supresi imun Mengurangi beban selsel sekarat Menghapus jejak inflamasi Mengurangi kapasitas fungsi dari organ

PERANAN GANGGUAN KOAGULASI Penelitian pada mikrosirkulasi hati menujukkan bahwa dalam waktu 5 menit setelah penyuntikan endotoksin telah terjadi mikrotrombus. Bila tantangan endotoksin di dalam sirkulasi sistemik berlanjut maka bekuan-bekuan fibrin akan

mulai berakumulasi. Akibatnya terjadi daerah-daerah hipoperfusi, dan nekrosis koagulasi serta kerusakan

266

MEDIK DI BIDAI\G ILMU PENYAKIT DALI\M

jaringan yang ireversibel. Dengan mengukur aktivasi koagulasi dapat dipastikan pada semua pasien syok septik teqadi trombin.

Mekanisme kontrol utama terhadap pembentukan trombin adalah jalur antikoagulasi protein C. Trombin bersifat proinflamasi, prokoagulasi dan juga regulasi

lntervensi Medis Komplikasi kateterisasi venasentral dan arteri

Komplikasi dan Kerusakan Jaringan

proliferasi selular melalui perangsangan pelepasat growth

Pneumotoraks Perdarahan lnfeksi Simpul dari kateter

factor.Defrsiensi protein C pada SIRS,MODS memudahkan terjadinya trombin, dengan akibat disfungsi sel-sel endotel

Aritmia lnfark paru, pecah arteri pulmonalis Target terapi tidak tepat

pulmonalis

(Gambar5). Komplikasi terapi cairan Hipovolemia yang tidak terditeksi Penurunan tekanan onkotik

Pemberian cairan kristaloid atau Koagulasi

lnflamasi

Gagal vaskular

f

koloid berlebihan

lnflam asi

Anasarka Edema paru Komplikasi obat inotropik

dan vasopresor

c.srh.s;l lnf la m asi

tr.nlb.rb l

fhk..h

Gambar

5.

I

Komplikasi ventilasi mekanik

Spiral Progresi lnflamasi-Koagulasi

KERUSAKAN JARINGAN SEBAGAI AKIBAT

Aritmia

lskemia/infark miokard Vasokonstriksi yang tidak dikehendaki (dopamin dan norepinefrin) Hiperglikemia Asidosis metabolik (epinefrin) Supresi hipofisis oleh dopamin Volutrauma

Gangguan hemodinamik Pelepasan sitokin ke dalam sirkulasi sistemik Supresi imun Hipotensi dan atrofi otot (sedatif dan relaksan otot)

Komplikasi nutrisi

Hiperglikemia

parenteral

Steatosis dan disfungsi hati Produksi COz berlebih

INTERVENSIMEDIS

Supresi imun

Atrofi mukosa gastrointestinal Banyak efek merugikan yang timbul sebagai kosekuensi penggunaan alat-alat penujang kehidupan di ICU yang turut berperan dalam penumnan fungsi organ (Tabel 4).

dan

limfoid

Pemberian substansi toksik

Toksisitas oksigen Aminoglikosida Kortikosteroid dosis tinggi NSAID

GAMBARAN KLINIS

DisfungsiGinjal Disfungsi Kardiovaskular NO menurunkanresistensi vaskular sistemik,

Gagal ginjal akut pada pasien dalam kondisi kritis penyebabnya multi faktor. Ginjal mudah mengalami

dan bersama TNF-cr serta IL- I B menekan fungsi miokard. Penurunan perfusi akan terjadi di semua organ. Hilangnya

kerusakan jaringan yang diperantarai oleh leukosit melalui produksi protease dan ROS. Hipovolemia, cardiac output

fungsi penyekat dari endotel menyebabkan edema dan redistribusi cairan. Resusitasi cairan dapat menyebabkan dilatasi miokard. Pada pasien sepsis indeks kardiak meningkat. Sepertiga pasien sepsis mengalami disfungsi

yang rendah, obat-obat yang bersifat nefrotoksik, tekanan

miokard.

dalam menghadapi iskemia.

Pada MODS,

intra-abdominal yang meningkat, dan rabdomiolisis berperan dalam disfungsi ginjal. Medula yang lebih aktif dalam metabolisme relatif lebih parah dari pada kortek ginjal

Disfungsi Respirasi

Disfungsi Gastrointestinal

Disfungsi pulmonar sering terjadi pada pasien SIRS dengan

Hipoperfusi

tanda-tanda: takipnea, hipoksemia (rasio PaOrlF,O,

sepsis dan syok. Iskemia mukosa usus meningkatkan permeabilitas dengan akibat terjadi translokasi bakteri dan mediator-mediator ke dalam sirkulasi sistemik. Fenomena ini mendukung teori model two hit dalam patogenesis

menurun) dan hiperkarbia. Sepsis/SIRS dapat berkembang menjadiAll (acute lung injzry) bahkanARDS. Enampuluh persen pasien syok septik mengalami ARDS.

sp

lanchnic sering dijumpai pasca trauma, pada

267

KEGAGALAI\ MULTI ORGAN (DISFUNGSI ORGAN MULTIPEL)

SIRS/MODS. Terjadi nitrosilasi dalam sel-sel epitel usus yang juga akan menaikan permeabilitas usus.

Manifestasi iskemia splanchnic dapat berupa ileus, hepatitis iskemik, kolesistitis tanpa batu, dan pankreatitis. Hiperglikemia terj adi sebagai perdarahan

s

tres s ul c er.

Gagal Respirasi

. . . .

RR (re,rylratory rate) < 5/min, atau > 49lmin

PaCOr25OmmHg P(A-a)Or>350mmHg Ventilasi mekanik atau CPAP pada hari ke-4

akibat meningkatnya glukoneogenesis dan gangguan bersihan glukosa. Lipolisis meningkatkan gliserol dan asam lemak bebas dalam plasma serta menurunkan keton. Pada

MODS lanjut terjadi hiperhigliseridemia akibat menumnnya bersihan trigliserida, dan praterminal terjadi kegagalan glukoneogenesis, yang meyebabkan hipoglikemia.

Disfungsi Neurologis Ensefalopati sering terjadi dan berkolerasi dengan mortalitas pada sepsis. Neuropati dan miopati yang heterogen dapat timbul dalam perjalan MODS. Dari review delapan penelitian yang mehbatkan242 pasien, didapatkan kelainan EEG pada 76%o pasien dengan ventilasi mekanik

lebih dari 5 hari. Dua penelitian melaporkan lamanya

ARDS . Riwayat penyakit yang menyokong . Skor hipoksemia (Pa0r,/FIOr) < 200 mmHg . Inhltrat difus pada foto rontgen dada . Tidak ada infeksi paru atau penyebab lain dari distres

. .

pernapasan

pulmonary compliance) (PCWP ( Pulmonary Capillary Wedge Pressure ) < 18 mmHg) (1,

ALI

. .

Skorhipoksemia(PaOfIOr)< 300mmHG

:ARDS

pemakaian ventilator secara statistik signilftan memanj ang

pada pasien dengan gangguan neuromuskular, dan mortalitas meningkat dua kali lipat.

. . .

DEFINISI

Gagal Kardiovaskular . Hk(heartrate)< 54lmefit

. .

.

Gagal Ginjal

MAP (mean arterial pressure) < 49 mmHg VT (ventricular tachycardia) dan atau YF (ventricular

Diuresis < 479 mU 24jamatau< l59ml-/8jam-

BUN>100mg/dl Kreatininserum>3,5 mg/dl

Gagal hati . Bilirubinserum>6mgldl . PT (Prothrombin time) > 4 s di atas kontrol (tanpa antikoagulan)

fibrillation)

PHserum <7,24 denganPCO,<40mmHg

Gagal Susunan Saraf Pusat

.

Klinis Hipotensi Hipoperfusi jaringan

lnfeksi

Trauma

Ancaman gagal organ

Skor Glasgow Coma Scale < 6 ( tanpa pemberian sedatif

Sasaran terapi

lntervensi Monitor di lCU, ekspansi volume, vasopresor Monitor di lCU, ekspansi volume, vasopresor, obat inotropik

Antibiotik yang tepat Debridemen jaringan mati Pengasatan pus Fiksasi dini patah tulang Pengasatan pus Moniior di lCU, ekspansi volume, vasopresor, obat inotropik

SBP > 90-100 mmHg, atau MAP > 7OmmHg PCWP > 12 mmHg Saturasi O, > 92o/o Cl > 3,5 tlmiilm'z Laktat serum < 2,2 mmolll Hb > 10-12 g/dl Diuresis 0,5-1 ml/kg/jam Eradikasi Hindari zat yang nefrotoksik Resusitasi cairan Hindari hipotensi Diuresis 0,5-1 ml/kg/jam Menormalkan kembali - status mental SSP - BUN, kreatinin, Ginjal diuresis 0,5-1 mUkg/jam Respirasi - P (A-a) O, - bilirubin serum Hati Nutrisi enteral, parenteral Dosis obat disesuaikan dengan fungsi organ-organ

. . . ,

268

KEGA1VATDARURATAN

Gagal Hematologis . L< 1000/ml

. .

Tr<20.000/ml Ht<200/.

Gagal Sistem Koagulasi

. . . . .

Trombositopenia

MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

Pembedahan Termasuk fiksasi patah tulang yang lebih dini, debridemen luka bakar, reseksi usus yang iskemik atau jaringan mati dan pengasatan pus. Sumber dari respon inflamasi tidak

selalu jelas. Kadang-kadang diperlukan pembedahan eksplorasi terutama bila dicurigai sumber inflamasi intra abdomen.

PT dan aPTT memanjang

Hipofibrinogenemia TFDP BTmemanjang

MOSF (Multiple Organ Sysfem Failure) Bila didapat dua atau lebih gagal organ/sistem. SIRS Bila didapat dua atau lebih : . Temperatur>38oCatau <360C . HR>90/menit . RR>20lmenitatauPaCOr<32mmHg . Leukosit> 12.000 /ml atau<4.000/ml

Antibiotik Usaha mencari patogen penyebab infeksi harus dilakukan

maksimal, termasuk kultur darah dan cairan badan, pemeriksaan serologi dan aspirasi perkutan' Pemberian antimikroba yang tepat pada awal perjalanan penyakit infeksi akan memperbaiki prognosis dan bersama-sama dengan pencegahan infeksi sekunder serta penyakit nosokomial akan menurunkan insiden MODS.

Tatalaksana Suportif Bilamana tidak berhasil ditemukan kausa yang spesifik . Defisit harus dikoreksi

. .

:

Sistem/organ yang mengalami disfirngsi harus ditopang

Sistem/organ yang masih berfungsi dijaga

Sepsis SIRS yang disebabkan infeksi.

TERAPIINOVATIF

Sepsis Berat Sepsis dengan disfungsi organ, gangguan perfusi

Modulasi lmun

(termasuk asidosis laktat, oliguria dan perubahan status mental) atau hipotensi (tekanan darah sistolik < 90 mmHg atauturun> 40 mmHg).

Syok Septik

Penelitian berskala besar dengan pemberian antibodi

monoklonal serta obat-obat lain yang bertujuan

memanipulasi sistem imun (magic bullets) menunjukkan tidak adanya penurunan mortalitas pasien-pasien MODS'

lnhibitor NO

Sepsis dengan gangguan perf,rsi dan hipotensi walaupun mendapat resu' nasi cairan.

Dari penelitian terbukti pemberian inhibitor NOS (rlfric

TATALAKSANA

dalam tatalaksana MODS.

Pencegahan

Filtrdsi Darah Hemofiltrasi volume tinggi (2-6 L frltrasi/jam) mungkin dapat menyaring sitokin-sitokin dan mediator inflamasi

Teknik pembedahan yang baik sangat penting, karena dari penelitian didapat 40% kasus MODS disebabkan karena kesalahan pembedahan. Infeksi nosokomial menaikkan mortalitas menjadi 2 kali lipat. Cuci tangan,

ruangan isolasi serta pelapisan kateter iv dengan silikon/zat antibakteri dapat mengurangi insiden MODS.

oxide synthase) bahkan meningkatkan mortalitas' Di masa mendatang mungkin inhibitor yang selektif terhadap iNOS (inducible nitric oxide synthase) mempunyai peranan

lainnya dan mengeluarkannya dari aliran darah. Sayanglya penelitian-penelitian yang ada belum memperlihatkan hasil yang baik.

Kortikosteroid Konikosteroid dosis tinggi (metilprednisolon 30 mg/kg)

KontrolKausa Hal terpenting dalam tatalaksana MODS adalah menghilangkan faktor presipitasi dan penyebab atau sumber infeksi.

secara signifikan meningkatkan mortalitas sepsis dan syok

septik. Beberapa penelitian akhir-akhir ini, dengan kotikosteroid dosis fisiologis, menunjukkan perbaikan

syok dan disfungsi organ. Mekanisme kerjanya

269

KEGAGALAIY MULTI ORGAN (DISFUNGSI ORGAN MULTIPEL)

diperkirakan : l. Anti-inflmasi melalui penekanan transkripsi sitokin-sitokin proinflamsi, 2.Terapi sulih pada insufi siensi

REFERENSI

korteks adrenal, 3. Memperbaiki sensitivitas reseptor

Baue

katekolamin.

syndrome, and systemic inflammatory response syndrome Why no magic bullets? Arch Surg 1997; 132 :703-7. Bone RC, Balk RA, Cerra FB, et al. Definition for sepsis and organ

Manipulasi Kaskade Pembekuan Darah

failure and guidelines for the use of innovative therapies in

Penelitian mengenai manfaat aPC (activated protein Q, yang melibatkan 1690 pasien, melaporkan hasil yang mengejutkan. Mortalitas pada kelompok terapi adalah 24,7% sedangkan pada kelompok plasebo 30,8yo, dengan penurunan risiko kematian relatif sebesar 19,4Yo dan penurunan risiko kematian absolut sebesar 6,1% (P:0,005). Penelitian lainnya, menilai manfaat NI III (antithrombin

III),yargmelibatkarr23T4pasien,tidakmenunjukkanefek yang mengunfungkan.

KESIMPULAN Walaupun dalam dua dekade terakhir ini banyak penelitian pengobatan baru, hasilnya masih jauh dari memuaskan. Mortalitas pasien MODS masih tetap tinggi. Dalam masa

penantian, ACCP dan SCCM pada tahun 2004

ini

merekomendasikan suafu pegangan dalam tatalaksana sepsis berat dan syok septik: I j. Resusitasi awa|'2). Diagnosis; 3). Terapi antibiotik; 4). Kontrol sumber infeksi; 5).

Terapi cairan; 6). \hsopresor; 7). Terapi inotropik; 8).

Kortikosteroid; 9. Recombinant Human Activated Protein C, 10) Pemberian produk darah; 11). Ventilasi mekanik; l2).Sedasi, analgetik; l3). Kontrol gula darah; 4). Terapi pengganti fu ngsi ginj al ; I 5 ). Terapi bikarbonat; 16). Pencegahan trombosis vena dalam; 17). Pencegahan stress ulcer. I

AE. Multiple organ failure, multiple organ dysfunction

sepsis. The ACCP/SCCM consersus conference committee. Chest 1992; 101: 1644-55. Bone RC. The pathogenesis of sepsis Ann Intern Med 1991;115: 457 -69. DeCamp MM, Demling RH. Posttraumatic multisystem organ lailure JAMA 7988; 260: 530-1.

Glauser MP, Zanetti G, Baumgartner JD, et al. Septic shock : pathogenesis. Lancet 1991; 338: 732-6. Kenyon NJ, Albertson TE. Steroids and sepsis: time for another reevaluation. Intensive Care Med 2002; 11: 68-74. Lin SC. Multiple organ failure in critically i1l patients. Medical Progress 2002; luly :27-35. Lumb PD. Murltiple organ system failure. In Hoyt JW, Tonnesen AS, Allen SJ. (eds): Critical care practice. Philadelphia, 1991, WB Saunders company, pp 422-6. McKinlay J, Bihari D. Multiple organ dysfunction. In Bersten AD, Soni N. (eds): Oh's intensive care manual. Edinburgh, 2003, Butterworth Heinemann, pp 113-26. Samra JS, Summers LKM, Frayn KN. Sepsis and fat metabolism. Br J Surg 1996; 83: 1186-96. Wilkinson JD, Pollack MM, Glass NL, et al Morlality associated with multiple organ system failure and sepsis in pediatric intensive care unit. J Pediatr 1987; I I 1: 324-8.

37 SINDROM TERMAL DAN SENGATAN LISTRIK Budiman

HIPOTERMIA

Hiperglikemia bisa terjadi walaupun lebih dari

40o/"

penderita mengalami hipoglikemia. Gangguan Hipotermia diakibatkan oleh lepasnya panas karena

keseimbangan asam basa bisa timbul tetapi tidak mengikuti pola tertentu. Pada EKG terlihat interval PR, QRS, dan QT memanjang dan gelombang Osborn J. Irama jantung takikardia sampai bradikardiajuga fibrilasi atrial dengan laju ventrikular yang

konduksi, konveksi, radiasi, atau transpirasi. Local cold inj ury danfros bite timbulkarena terj adi hipotermia karena penurunan viskositas darah dan kerusakan intraselular (intr ac e llul ar inj ay).

lambat sampai fibrilasi ventrikular hingga bisa terjadi asistolik pada temperatur yang sangat rendah.

Manifestasi Klinis Manifestasi tidak seberat frosbite yang berupa luka bergaung dan tidak ada jaringan yang terlepas. Trench foot diaklbatkan jaringan di lingkungan yang lembab pada suhu dingin selama beberapa jam sampai beberapa hari.

Akan timbul hiperhidrosis jangka panjang

Diagnosis Hipotermia didiagnosis bila suhu tubuh di bawah 35'C (9

.

dan

insensitivitas dingin.

5'F). penyakit yang menyerupai gej ala hipotermia seperti : Defisiensi tiroid, insufisiensi adrenal, disfungsi susunan sarafpusat, infeksi, sepsis, penyakit kulit, keracunan

obat dan gangguan metabolisme yang perlu

D eraj at pertam a dan ke duafr o s b i t e s;.tp erfrs ial ditandai dengan edema, luka bakar, dan eritema serta melepuh pada derajat kedua. Derajat ketigafrosbite ditandai dengan luka

.

yang lebih dalam timbul sedalam kutis dan jaringan subkutis. Derajat keempat ditandai dengan luka yang

dipertimbangkan dan dievaluasi. Cold injury yang terlokalisir didapat dari anamnesis dan pemeriksaan

mencapai jaringan subkutaneus, otot, tendon, dan fulang.

fisik

Klasifikasi Luka Dingin Menurut Beratnya

Pasien datang dengan sianosis dan bisa terjadi hemoragik dan nekrosis kulit. Kadang-kadang jaringan

Klasifikasi luka dingin menurut berat kasus terbagi menjadi tiga kategori. (Tabet 1)

menjadi sepertimumi.

Mild hypothermia 32"C (89,6"F) sampai 35"C (95'F) menyebabkan timbulnya menggigil, takikardia, dan

Penatalaksanaan 1. Luka di kaki ditangani dengan pengangkatan, penghangatan, dan pembalutan jari yang terluka. Nifedipin 20 mg per oral 3 kali sehari, kortikosteroid

peningkatan tekanan darah. Menggigil mengakibatkan

penurunan denyut jantung dan tekanan darah ketika temperatur di bawah 32'C (89,6"F). Mental melambat dan kehilangan refleks menelan. Komphkasi yang umum terjadi adalah aspirasi. Dengan temperafur yang sangat rendah, pasien menjadi

2.

letargi dan koma. Imobilisasi menimbulkan risiko

topikal prednison, dan prostaglandin El (limaprost 20 mg per oral 3 kali sehari) dapat membantu. Pemanasan cepat dengan air yang mengalir pada suhu 42'C (107"F) selama 10-30 menitpada ekstremitas yang mengalamiy'osb#e. Pasien bisa diberi narkotilg ibuprofen, dan aloe vera. Pemberian penicillin E 500.000 U setiap 6 jam selama 48 -7 2 jammemperlihatkan hasil yang baik.

rabdomiolisis dan gagal ginjal akut. Hemokonsentrasi dan

pengurangan volume bisa menimbulkan trombosis intravaskular dan koagulasi intravaskular diseminata.

270

271

SINDROM TERMAL DAI\ SENGATAN TISTRIK

8.

pemanasan yang lebih agresif (bilas lambung, kandung kemih, lavase peritoneal dan pleural.) Temperatur cairan

Derajat pertama

. . .

Kulit membeku sebagian Eritema, edema, hiperemia

Tidak melepuh atau nekosis Deskuamasi kulit jarang (5 sampai 10 hari kemudian)

bilas bisa samp ai 42" C ( 107'F)

9.

Pasien dengan kecurigaan kekurangan tiamin dan alkoholisme bisa diberikan tiamin 100 mg iv (IM) dan 50% glukosa sebanyak 50ml-l00rnl ivjika kadar glukosa

10.

Pasien dengan kecurigaan hipotiroidisme atau insufisiensi adrenal dapat diberikan tiroksin iv dan

Gejala Seperti sengatan dan rasa terbakar, berdenyut dan bisa timbul hiperhidrosis

Derajat kedua . Luka jaringan kulit

o

Eritema, vesikel substansial dengan cairan bening melepuh merupakan deskuamasi dan jaringan kehitaman Gejala Mati rasa dan gangguan vasomotor pada kasus berat

Jika ada ketidakstabilan kardiovaskular, dibutuhkan

sewaktu rendah.

hidrokartison 100 mg. fibrilasi ventrikular dilakukan def,rbrillasi sampai

11. Pada

temperatur 30'C (86'F), meskrpun 3 countershockhatss

diukur.

Derajat ketiga (dalam)

.

Jaringan kutis dan subkutaneus, otot, tendon dan tulang membeku. Edema lokal Awalnya luka benryarna merah tua atau cyanosis Kadang-kadang jaringan mengering, hitam, seperti muml. Gejala Sendi terasa nyeri

. . .

kembali melalui sirkuit ekstrakorporal

12. Pemanasan

merupakan metode pilihan pada pasien hipotermia berat

dalam henti jantung. Jika perlengkapan tidak tersedia, resusitasi trakeostomi dan pijat jantung dalam dan bilas mediastinal merupakan alternatif yang dapat diterima. 13. Semua pasien dengan fro s bile superfisial terlokalisir atau hipotermia sedang dapat dirujuk ke RS. Pasien tidak

dirawat, mereka bisa kembali pada lingkungan yang hangat. -r_

Luka bersih banyak mengandung prostaglandin dan tromboksan dapat dibersihkan atau diaspirasi. Luka yang berdarah seharusnya dibersihkan dan dirapikan

HIPERTERMIA

kembali. 4

1

Teknik penghangatan termasuk penghangatan pasif, penghangatan aktif eksternal, dan penghangatan

Keringat dan penguapan jumlahnya cukup tinggi terjadi

perawatan aktif (Tabel 2).

Kelembaban mengurangi kemampuan tubuh untuk

Pasien dengan hipotermia sedang dapat diatasi dengan penghangatan pasif dengan cara memindahkannya dari lingkungan dingin dan menggunakan selimut kolasi.

mendinginkan diri sendiri melalui keringat. Ketidakmampuan respons termoregulasi dan kontrol terhadap sistem peningkatan presipitat atau depresi pusat temperatur disebabkan disfungsi organ lain, dapat menimbulkan manifestasi klinis arfiara lain sindrom

Pasien dengan hipotermia berat, sebaiknya dipantau degat pulse oxymetri.. Perhatikan jalan napas, pemapasan, dan jantung. Bila tidak ada gangguan kardiovaskular, penghangatan aktif

bila temperatur mencapai 35"C (95'F) atau lebih.

eksternal dapat diterapkan (radiasi panas, selimut

hipertermia. Pencegahan terjadinya peningkatan suhu abnormal tergantung pada keseimbangan antara pelepasan panas

hangat, immersi air hangat dan obyek yang dipanaskan)

dan pembentukan panas.

dengan cairan hangat

IV dan oksigen yang

dihangatkan. Sumber Panas Pencairan

-

-

Pencairan dalam air hangat (40o C sampai 42o C) selama 10-30 menit sampai ekstremitas melunak dan kemerahan. Analgesik opioid parenteral (misalnya Morfin 0,1 mg/kg iv)

Sesudah Pencairan

- Bersihkan luka - Perbaiki jaringan yang mengalami pendarahan - Oleskan daerah luka dan lepuh dengan krim aloe vera - Profilaksis dengan imunisasi tetanus - lbuproten 12 mlkglhr dalam dosis terbagi - Mempertimbangkan limaprost 20lkg oral 3 kali/hari - Memulai hidroterapi harian

Laju metabolik normal Maximal shinering Kelembaban 02 pada 20 l/menit (45oC) iv fluid (45"C) Dialisis peritonial 1llhari 4Lhari C a rd i op u I mo na

ry bypass (45'C)

1l l/hari

28 llhr Trunk immersion pada air panas (45oC)

Vasokonstriksi Vasodilatasi

272

KEGAW}iTDARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

Pakaian, ventilasi, latihan dan air sertapelepasan garam

ditimbulkan oleh panas dan kesanggupan tubuh untuk mengatur temperatur rubuh.

Latihan yang berat harus disesuaikan dengan suhu udara, kelembaban udara, garam, dan yang lebih penting lagi, pelepasan air harus cukup dan diberikan sebelum timbul gangguan gejala suhu (heat illness). Usia muda, usia lanjut dan orang-orang dengan penyakit tertentu, umumnya penyakit kardiovaskular, kemungkinan terjadi risiko sakit akrbat heat stress. Saiah satu akibat yang ditimbulkan oleh heat stress adalah heat stroke.

mengenai metoda pendinginan yang terbaik, umumnya merupakan pengecualian bagi heat stroke yang berat dan durasi dari hipertemia yang berpengaruh terhadap terjadinya kesakitan bahkan kematian. Penanganan yang umum merupakan dasar terapi. Intubasi endotrakeal disarankan untuk pasien dengan ventilasi yang tak cukup atal yang tidak mempunyai refleks muntah. Pemberian oksigen, pemantauan EKG, CVR tekanan darah, dan output urin dengan kateter Foley merupakan prosedur standar penanganan heat stroke. Pendinginan dengan cara pencelupan dalam tabung berisi air es, seperti pencelupan untuk penderita hipotermia,

merupakan teknik yang sulit bila pasien labil. HEAT STROKE

Heal stroke merupakan kasus emergensi. Pasien yang mempunyai riwayat heat exposure, dapat disertai peningkatan suhu tubuh dan disfungsi CNS yang cukup berat, misalnya delirium, coma, atau kejang. Kerusakan otak dapat terjadi pada kasus yang berat. Ada 2 tipe pada heat stroke; tipe klasik banyak terjadi pada usia lanjut, pada penyandang keterbelakangan mental atau pada usia muda. Terjadi beberapa kali sehari selama

gelombang panas dan orang

ini tidak

mempunyai

kesanggupan untuk bertahan pada lingkungan dingin dan mempertahankan asupan cairan yang cukup.

Tipe heat stroke yang terjadi saat latihan yang berlebihan pada suhu sangat panas dan lingkungan yang lembab. Terjadi cepat dan dehidrasi pada pasien dengan heat stroke klasik. Gejala heat stroke dia?,:tbatkanoleh gangguan metabolik sel dan kematian sel. Kreatin kinase, aspartan aminotransferase (AST) dan enzim serum dehidrogenase laktat meningkat dan dapat terus meningkat selama 7-10 hari. Rabdomiolisis yang diakibatkan mioglobinuria, dapat menimbulkan gagal ginjal akut. Waktu pembekuan kadangkadang memanjang dan koagulasi intraselular diseminata (KlD)jarang terjadi. Meskipun terjadi peningkatan curah jantung, hipotensi dapat timbul karena vasodilatasi perifer berat dan penunrnan volume. Tahanan sistemik vaskular rendah terjadi vasodilatasi sekunder. Padatemperatur di atas 40oC,

kontraksi jantung menurun dan terapi cairan harus dipantau secara hati-hati pada pasien hipotensi. Terapi mendinginkan pasien harus dimulai di lapangan, jangan menunggu mencari penyebab hipertemia. Jika temperafur merupakan faktor untuk mendinginkan secara cepat terhadap pasien yang mengalami coma, prosedur diagnosa lain harus segera ditegakkan. pungsi lumbal penting untuk menyingkirkan diagnosis meningitis atau

ensefalitis. Sepsis, trauma kepala dan bencana serebrovaskular dapat juga dipertimbangkan. Pendinginan yang cepat dan segera merupakan terapi utanra pada heat stroke. Walaupun banyak perdebatan

Meningkatkan penguapan merupakan cara yarlg praktis dan efektif. Pasien tanpa pakaian disemprot dengan air dingin dengan cara menyalakan kipas angin diatas pasien. Teknik ini menggunakan pendinginan temperatur 0,3 1"C/menit, menghasilkan hal yang sama atau merupakan

efek yang sama atau lebih baik daripada pendinginan dengan cara pencelupan dalam bak mandi. Teknik ini dilakukan pada pasien yang aksesnya mudah, ivlines dan perlengkapan monitor. Pendinginan aktif dapat dihentikan ketika temperatur

tubuh rrrencapai 39oC untuk mencegah dingin yang berlebihan. Hipertemia umumnya pulih 4-8 j am, sedangkan mekanisme termoregulasi pasien menjadi tidak stabil untuk beberapa minggu sesudah terjadi heat stroke. Terapi cairan harus dievaluasi secara hati-hati, hipotensi dapat berubah dengan pendinginan. Output urin harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya risiko gagal ginjal akut. Vasopressor dapat digunakan hanya pada kasus tertentu. Menggigil dengan peningkatan produksi panas

dapat diatasi dengan pendinginan. Umumnya ditekan dengan klorpromazin 25-50 mg iv. CPZ menurunkan ambang kejang dan dapat menyebabkan hipotensi. Pengobatan kej ang termasuk diazepam > I 0 mg ivlambat, fenitoin 15 mg/kg ivdalam larutan garam dengan kecepatan

tidak lebih dari 50 mg/mnt atau fenobarbital120-240 mg ivlambat setiap 20-30 menit sampai total 400-600 mg. Asidosis berat (pH<7,2) dapat dikoreksi dengan natrium bikarbonat (0,5-1meqlkg, iv lebih dari 30-60 menit) Pasien heat stroke dipantau secara intensif selama 4872 jampadapendinginan cepat dan perubahan status mental. Ikterus, rabdomiolisis dan gagal ginjal akut dapat te{adi pada kasus yang berat. Prognosis buruk terjadi bila koma lebih dari 10 jam, ditandai dengan masa protrombin yang memanjang atau AST lebih dari 1000 IU/I.

SENGATAN LISTRIK Pada sengatan listrik dapat timbul kerusakan jaringan dengan spekhum luas, mulai dari lukabakarkulit superfisial sampai kerusakan organ-organ tubuh hingga kematian.

Kerusakan yang timbul sangat penting untuk

273

SINDROM TERMAL DAI\ SENGAiTAN LISTRIK

mendiagnosis adanya luka padajaringan dan organ tubuh agar dapat ditentukan tindakan selanjutnya. Sebagian besar sengatan listrik terjadi pada anak-anak, remaja, dan pekerja yang terpapar bahaya listrik.

Gambaran Klinis Listrik dapat menyebabkan kerusakan jaringan sebagai efek langsung arus listrik searah pada sel dan oleh kerusakan termal dari panas yang diteruskan oleh jaringan. Energi terbesar terjadi pada titik kontak sehingga kerusakan jaringan pada daerah tersebut harus diobservasi lebih baik. Luka ke luar sengatan listrik lebih besar daripada luka rrasuk. Bila sengatan listrik masuk ke dalam tubuh, kerusakan terbesar terjadi pada jaringan saraf, pembuluh darah dan otot. Sengatan listrik dapat mengakibatkan nekrosis berupa koagulasi, kematian saraf, dan kerusakan pembuluh darah. Luka yang ditimbulkan lebih menyerupai jaringan nekrosis atau kerak daripada luka bakar termal. Karena ukuran dari luka karena sengatan listrik tidak berkorelasi baik dengan kerusakan yang ditimbulkan, pemeriksaan teliti untuk luka yang dalam sangat penting. Luka traumatik sering terjadi bersamaan dengan sengatan listrik.

Diagnosis Diagnosis sengatan listrik berdasarkan riwayat penyakit. Bila riwayat penyakit tidak jelas, ciri-ciri luka pada kulit sangat menolong. Pemeriksaan yang menyeluruh serta memperhatikan luka akibat sengatan listrik sangat penting unfuk mengesampingkan adatya suatu trauma. Pemeriksaan untuk tulang patah dan dislokasi tetap

dilakukan walaupun tanpa riwayat trauma. Tidak ditemukannya luka sengatan listrik pada pemeriksaan j aringan mengesampingkan sengatan listrik serius. Pemeriksaan laboratorium hitung darah lengkap elektrolit, kalsium, urea nitrogen darah, kreatinin, analisa gas darah, myoglobin (MB), kreatinin kinase (CK). CK MB dapat meningkat tanpa adanya kerusakan otot jantung tapi ada luka otot secara ekstensif. Fungsi hati dan amilase diperiksa bila diduga ada luka abdomen. EKG dapat dilakukan bila ada indikasi ; pemeriksaan radiologis dilakukan pada sisi luka sengatar.listf.k.CT scan kepala merupakan indikasi pada luka kepala yang berat, korna atau bila ada perubahan mental.

serebral, ensefalopati hipoksia, nyeri kepala, afasia, lemah,

paraplegia, kuadriplegia, disfungsi sumsum tulang, pheriperal neuropati, insomnia, emosi labil

Kulit.

Vaskular. Trombosis, nekrosis koagulasi, DIC, ruptur pembuluh darah, aneurisma, sindrom kompartemen

Pulmonal. Henti napas (sentral atau perifer mis. tetanus), pneumonia aspirasi, edema pulmonal, kontusi pulmonal, kerusakan inhalasi

RenaVmetabolik. Gagal ginj al akut, mioglobinuria, asidosis metabolik, hipokalemia, hipokalsemia, hiperglikemia Gastrointestin al. Perforasi, tukak sttes (Curling Ulc er), Pendarahan GIT

Muskular. Mionekrosis, sindrom kompartemen

Skeletal. Fraktur kompressi vertebra, fraktur tulang, dislokasi bahu (anterior dan posterior), fiaktur skapula

Optamologi. Cornel burns, delayed catarac, trombosis atau hemoragia intraokular, uveitis, fraktur orbita

Pendengaran. Hilangnl'a pendengaran, tinnitus, p9rforasi membran timpani, mastoiditis,-meningitis

Oral burns. Hemoragia arteri labialis, scarring dan deformitas fasialis,gangguan bicara, perubahan bentuk mandibula dan gangguan pembentukan gigi Obstetrik. Aborsi spontan, kematian janin

Tindakan l. Airway, breathing dan sirkulasi harus diperbaiki, mobilisasi spinal harus diperhatikan karetra potensial 2. -).

Kardiovaskular. Kematian mendadak (frbrilasi ventrikel, asistolik), Nyeri dada, disritonia, segmen ST-T abnormal, blok cabang berkas, kerusakan miokardial, disfungsi ventrikel, MCl, hipotensi (volume deplesi), hipertensi (pelepasan katekolamin)

Neurologis. Status mental, agitasi, koma, kejang, edema

terjadi trauma spinal. Pemberian O, tekanan tinggi dengan masker' Monitor jantung, pulse oksimetri, pemantauan tekanan darah non invasif.

4

Fibrilisasi ventrikel, asistolik atau takikardi ventrikular dapat diterapkan dengan protokol standar ACLS.

Disritmia sering tirnbul tapi tidak membutuhkan tindakan langsung. 5

5.

Komplikasi Sengatan Listrik

luka akibat sengatan listrik, akibat sekunder luka bakar

Cairan kristoloid iv dengan bolus inisial 20-40 mlkg setelah satu jam pertama. Perbaikan cairan tergantung pada luasrtya luka bakar pasien. Untuk mengukur output urine digr.rnakan kateter Foley pada kasus berat.

Jika terjadi rabdomiolisis, lebih banyak dibutuhkan

cairan untuk mencegah gagal ginjal. Profilaksis tetanus sebaiknya diberikan. 8. Antibiotik profilaksis tidak penting sekali, kecuali bila ditemukan luka terbuka yang besar. 9. Kejang
1.

274

KEGAWTTIDARURITIAN MEDIK DI BIDAIYG ILMU PEDTYAKIT DALAM

12. Konsultasi dengan dokterbedah umum bila terjadi

luka

jaringan yang dalam dan luas. Pasien di

atas

membutuhkan eksplorasi luka bakar, debridemen, fasiotomi, dan perawatan cukup lama. Anak-anak dengan luka lokal dapat dievaluasi dengan spesialis ENT atau bedah plastik. Wanita hamil yang mengalami sengatan listrik membutuhkan konsultasi kandungan untuk penanganan dan monitor janin. Pasien dengan sengatan listrik yang berat dapat diisolasi di unit luka bakar atau pusat trauma. 13. Anak-anak yang mengalami luka lokal yang

terlokalisir

atau luka pada tangan dapat dipulangkan. Orang tuanya

harus diberi instruksi untuk mengontrol pendarahan arteri labialis yang dapat timbul kemudian.

listrikll}-22}Y tanpa gejala/luka. EKG normal dan pemeriksaan fisik normal dapat dipulangkan.

14. Pasien yang mengalami sengatan

REFERENSI Bacon CJ, et al : Case controi study of thermal environmenl proceeding haemorrogic shock encephalopathy. Arch Dis Chitd

81,1999 Bouchama

A, Knochel JP: Heat Stroke. N engl J Med.

,

2002:.346:1978 Cauchy E et al: Retrospective study of 70 cases of severe frostbite lesions: a proposed new classification scheme. Wildernedd Environ Med,. 2001;12:248, Daley BJ, et al: Electrical injuries. Updated November 11 20A4. Available at: http ://www emedicine com/med/topic28 1 O.htm

Danzl DF: Hypothermia and Frostbite. Kasper DL, et al

eds.

Harrison's principles of Intemal Medicine. 16s edition. McGrawHil1. New York, 2005 Danzl DF: Hypothermia. Senib Respir Crit Care Med. 2002;23:57 Dinarello CA, et al: Fever and Hyperthermia. Kasper DL, et al eds. Harrison's principles of intemal medicine. l6s edition. McGraw-

Hill. New York, 2005 Dinarello CA: Proinflammatory cytokines. Chest. 2000;118:503 Giesbrecht GG: Cold stress, near drowning and accidental hypo thermia: A review. Aviat Space Environ Med. 2000;71:733 Kochanek PM,

et al: Therapeutic hypothermia for

severe

traumatic brain injury. JAMA. 2003;22:289

Leibovici D, et al: Electrical injuries: current concepts. Injury. 1995l.9:26.

38 SENGATAN SERANGGA Budiman

PENDAHULUAN

diikuti pengracunan dapat disebabkan oleh Laxosceles

Sengatan serangga dan pagutan ular merupakanbagian

reclusa, laba-laba cokelat, dan empat spesies terakhir dari Laxosceles yang banyak terdapat di Amerika Tengah dan Utara.

dari kegawatan karena lingkungan. Pada dasarnya penatalaksanaan sengatan serangga dan pagutan ular tergantung jenis binatang itu sendiri. Oleh karena itu,

Laba-laba lain yang menyebabkan ulkus nekrotik termasuk dalam jenis laba-laba hobo (Tegenaria agrestis). Laba-laba reclus e berwamacokelat dan mempunyai warna ungu gelap berbentuk titik pada permukaan dorsal. Labalaba hobo cokelat dengan tanda abu-abu dan laba-laba kantung dapat berwarna kuning pucat, hijau atau cokelat. Laba-laba ini tidak agresif dalam menggigit manusia dan gigitannya hanya berupa tekanan pada kulit. Labalaba ini menyerang dari balik batu dan tumpukan kayu, sering menyerang pada malam hari. Gigitan timbul pada korban yang berpakaian, mula-mula di lengan, di leher, dan di bawah perut. Cairan jemih dari laba-laba ini berisi esterase, fosfatase

sangat penting untuk mengetahui secara langsung binatang yang menggigit atau setidaknya mengetahui ciri

binatang tersebut melalui wawancara dengan pasien maupun saksi kejadian. Perlu diketahui bahwa tidak semua serangga dan ular

itu beracun. Kendati beracun pun, belum tentu kadar toksinnya dapat membahayakan manusia. Toksin itu sendiri merupakan alat mempertahankan diri maupun mencari makan bagi serangga maupun ular. Pada tulisan ini, akan dibahas penatalaksanaan gigitan dan pagutan beberapajenis serangga dan ular yang dapat membahayakan manusia, baik secara umum maupun khusus.

alkalin protease dan enzim lain yang menyebabkan nekrosis jaringan dan hemolisis. Sfingomielinase B, faktor dermonekrotik yang penting, terletak di antara membran sel yang merupakan kemotaksis neutrofil, akan menyebabkan trombosis vaskular dan reaksi

SENGATAN SERANGGGA

.

seperti Arthus. Mulanya gigitan tidak nyeri atau terasa panas. Setelah beberapa jam terasa nyeri dan gatal dengan indurasi di sekeliling gigitan ada daerah pucat iskemik dan daerah kemerahan. Pada banyak kasus tanpa terapi akan sembuh dalamwakhr2-3 hari.

Sengatan laba-laba dapat menimbulkan rasa sakit, kulit dan

bahkan dapat menimbulkan nekrosis

.

keracunan sistemik. Dari 30000 spesies laba-laba, ada seratus yang bersifat

.

mengadakan penetrasi pada kulit manusia. Identifikasi bahwa ini gigitan laba-laba dapat diketahui sejak awal terapi.

agresif dan mempunyai gigi taring yang cukup

Pada kasus yang berat, kemerahan merata dan di bagian

tengah ada pendarahan dan nekrosis disertai timbulnya bula. Timbul jaringan kehitaman dan terkelupas yang beberapa minggu kemudian meninggalkan ulkus yang diameiernya bisa mencapai 25 cm dan kadang-kadang

GIGITAN LABA.LABA PERTAPA DAN NEKROSIS ARACHNIDISM

membuat j aringan cekung.

Proses penyembuhan bisa 3 hingga 6 bulan. Bila mengenai jaringan lemak, penyembuhan bisa sampai 3

Nekrosis kulit yang berat dan nekrosis jaringan subkutis

275

276

KEGAWATDARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PE}TYAKIT DAI.AM

tahun. Kompikasi lokal bisa melukai jaringan saraf dan infeksi sekunder. Demam, nyeri, lemah, mual, muntah,

mialgia,

artr algia, makulopapul

ar

dan leuko sito

si

dengan kompres dingin pada sengatan agar mengurangi

absorbsi racun. Berikan infus intravena midazolam untuk mengontrol agitasi, gerakan otot yang tidak

s dapat

timbul setelah 72 jam gigitan serangga. Jarang terjadi komplikasi akut berupa anemia hemolitik, hemoglobinuria dan gagal ginjal.

'

/ Penatalaksanaan

. . .

. . .

Tindakan awal dengan membersihkan gigitan, balut dengan balutan yang steril dan beri kompres dingin, angkat dan lakukan imobjlisasi bagian yang baru digigit. Bila ada indikasi, berikan analgetik, antihistamin, antibiotik dan profilaksis tetanus. Pada 48-72 jampertama diberi dapson, inhibitor leukosit yang dapat menghentikan lesi yang akan menjadi nekrosis. Dapson diberikan per oral 50-100mg 2kalil hari, setelah dipastikan tidak ada G6 phosphatase dehydrogenase G6PD defiuency. Bila efek lokal atau sistemik dari glukokortikoid tidak terlihat maka lebih potensial dignakan Laxosceles yang spesifrk antivenin.

Debridemen dilanjutkan dengan skin grafting Pasien dimonitor terhadap tanda-tanda hemolisis, gagal ginjal dan komplikasi sistemik yang lain.

beraturan yang disebabkan oleh sengatan kalajengking. Pemantauan selama pengobatan dapat diberi dan sedatif atau narkotik j ika perlu temtama pasien yang mengalami gej ala-gej ala

.

neuromuskular untuk mencegah terjadinya

henti napas. Hiperlensi dan edema pulmonal dapat dikontrol dengan nifedipin, hidr alazit atau prazosin dan bradiaritmia bisa

dikontrol dengan atropin.

SENGATAN HYMENOPTERA Yang termasuk di dalamnya adalah 1ebah, tawon dan semut.

Umumnya mereka menyerang bila koloni atau sarangnya diganggu. Racunnya diproduksi pada kelenjar di bagian belakang perut yang akan keluar dengan cepat bila terjadi kontraksi otot kantung racun dengan kapasitas di atas 0,1 ml pada serangga yang besar. Toksin polipeptida pada lebah madu termasuk melitin yang dapat merusak selYnembran; degranulasi protein sel mast dapat menyebabkan pelepasan histamin berupa apamin (neurotoksin); adolapin (anti inflamasi). Enzim dalam racun terdiri dari hialuronidase yang merupakan

SENGATAN KALAJENGKING

sebagian besar komponen dan fospolipase yang

Kalajengking merupakan binatang yang hidup di tanah dan memakan artropoda serta kadal kecil. Kalajengking

merupakan major venom allergen. Sengatan lebih menimbulkan nyeri, bengkak dan reaksi kemerahan, edema lokal dan bengkak yang timbul setelah

memiliki sepasang penjepit yang digunakan untuk menggenggam mangsanya. Kemudian melumpuhkan mangsanya dengan sengatan yang terdapat pada ujung ekor. Sengatan tersebut menimbulkan rasa nyeri dan panas

yang potensial menimbulkan pengracunan yang mematikan. Kalajengking yang mematikan terdiri dari 301000 spesies (yang telah diketahui) dan menyebabkan 5000 kematian di dunia setiap tahunnya. Kalajengking mencari makan pada malam hari dan

menyengat pada siang hari biasanya tinggal di bawah kayu, di batu atau di dalam tanah. Bila didalam gedung, ia ditemukan di sepatu, pakaian, tempattidur, bakmandi dan bak cuci piring. Kalajengking menyengat manusia bila diganggu.

beberapa jam. Gigitan multipel dapat menyebabkanmual, diare, edema menyeluruh, dispnea, hipotensi, dan kolaps.

Rabdomiolisis dan hemolisis intravaskular dapat menyebabkan gagal ginjal. Kematian akibat efek langsung dari racun terjadi bila sengatan lebah madu antara 300-500 sengatan.

Penatalaksanaan Pada sengatan dibersihkan, diberi desinfektan dan diberikan es batu. Bila perlu diberikan analgetik, antihistamin oral dan losion kalamin topikal. Reaksi lokal

yang cukup luas diobati dengan glukokortikoid. Pasien dengan banyak sengatan dimonitor selama 24 jam untuk mencegah terjadinya gagal ginjal atau koagulopati.

Penatalaksanaan

.

Sengatan dari spesies yang tidak mematikan, sebaiknya

SENGATAN SEMUTAPIDAN SEMUT LAIN

.

diberikan es batu, analgetik atau antihistamin. Umumnya sengatan hanya menimbulkan nyeri lokal dapat ditangani di rumah dengan instruksi kembali ke

Sengatan semut api merupakan masalah kesehatan di Amerika. Semut menggigit pada waktu banjir bila terjadi

bagian gawat darurat bila terjadi perkembangan penyakit menjadi gangguan saraf dan otot atau

.

gangguan saraf kranial.

Perlakukan pasien dengan tenang, berikan tekanan

kontak dengan manusia. Semut merah-cokelat atau semut cokelat-hitam menyengat kulit manusia dengan kekuatan rahang ketika menyemprotkan racun. Racun alkaloid berisi piperidines sitotoksik dan hemolitik serta beberapa

277

SENGAfrAN SERANGGA

protein dengan enzim aktif. Mula-mula timbul reaksi kemerahan, bengkak dan rasa terbakar timbul dalam 30 menit. terjadi pustula steril dalam wakfi 24 jam. Pustula menjadi ulkus setelah 48 jam dan sembuh dalam I 0 hari bila tak terjadi infeksi sekunder. Eritem yang cukup luas dan edema dapat timbul dalam

Pengobatan dengan antihistamin dan antipruritus. Pencegahannya yaitu membersihkan tempat bersarangnya

kutu, tempat tidur dan pejamu dengan menyemprot insektisida seperti pyrethin, DDT atau malathion.

beberapa hari walaupun tak selalu terjadi. Pada kasus yang berat dapat terjadi penekanan sarafdan pembuluh darah.

REFERENSI

Sengatan diberi es batu, glukokortikoid topikal dan antihistamin oral. Pustula ditutup dengan verban dan diberi antibiotik bila ada indikasi. Epinefrin dan terapi suportif lainnya diberikan bila ada reaksi anafilaktik.

Auerbach PS, Nonis RL. Disorders caused b1, reptile bites and marine animal exposures.In: Kasper DL, et al eds. Harrison's principles of internal medicine. 16th edition. New York:McGraw-

GIGITAN KUTU Umumnya kutu yang menggigit manusia adalah kutu anjing, kutu kucing atau kutu tikus yang mempunyai sarang dan tinggal pada pejamu. Larva kutu memakan butir-butir darah pejamu yang mengering yang dikeluarkan oleh kutu dewasa pada waktu makan. Kutu manusia menetap pada tempat tidur atau furnitur. Pada orang yang sensitif akan timbul eritema, papul,

urtika vesikel dan infeksi bakteri pada tempat gigitan.

Hill; 2005 Auerbach PS, ed. lYilderness medicine.4h ed. St. Louis: Mosby;2001 Barzilai A et al.Insect bite-like reaction in patients with hematologic malignant neoplasms. Arch Dermatol .19991,135. Goddard J.Physician's guide to arthropods of medical importance. 4'h ed Boca Raton: CRC Press; 2002 Gold BS et al.Bites of venomous snakes. N Engl J Med. 2002;347. Mauguire JH, et al. Ectoparasite infestations and arthropod bites and sting. Kasper DL, et al eds. Harrison's principles of intemal medicine 16th edition New York:McGraw-Hill;2005 Sharma SK et al.Impact of snake bites and determinants of fatal outcomes in Southeastern Nepal. Am J Trop Med Hyg. 2004;2:71. Werner GTPoisonous-snake bites. Therapy and preventive measures. Fortschr Med. 1978;6:96.

39 PENATALAKSAN MTN KERACUNAN BISA I(ALA"IENGKING Djoni Djunaedi

INSIDENS, JENIS DAN KARAKTERISTIK

dalam sepatu, pakaian, tempat tidur bahkan menyelam di dalam bak mandi serta ditemukan di tempat-tempat gelap

KALAJENGKING

laindalamrumah. Sengatan kalajengking terasa nyeri namun pada

Kalajengking (Scorpion) merupakan jenis binatang tanah yang terhra. Diperkirakan kalajengking telah ada di muka bumi ini sejak sekitar 400 juta tahun yang lalu (Depkes, 2001). Di antara 1000 spesies yang sejauh ini telah berhasil diidentifrkasi, hanya sekitar 30 spesies yang memiliki racun yang mematikan (Maguire,2005). Beberapa spesies yang beracun tersebut berikut r,egara tempat hidupnya adalah

umumnya tidak berbahaya kecuali sengatan oleh

kajengking jenis beracun. Racun kalajengking mengandung aampuran kompleks fosfolipase A2, asetilkolinesterase, hialuronidase, protein dengan berat molekul rendah, asam amino dan serotonin (Depkes, 2001). Spesies Zelra s quinquestriatus merupakan spesies dengan racun yang kardiotoksik dan dapat menyebabkan syok, hipotensi serta edema paru.

Centruroides suffuses (Meksiko), Tityus serrulatus (Brazil), Leirus quinquestrialas (Afrika Utara) dan Centruroides sculpturatus atau C. axilacauda (bark scorpion) yang hidup di Amerika Serikat, Arizona, Texas, Meksiko Utara dan di beberapa daerah California. Centruroides sculpturatus memiliki panjang I - 7 cm dengan alat penyengat di bagian ekor dan melakukan kegiatan (aktif) pada malam hari. Pada tahun 1950 katAjengking jenis ini dilaporkan menyebabkan banyak kematian meskipun sejak tahun 1968 tidak pernah ada

laporan mengenai kematian akibat sengatan

GAMBARAN KLINIS Gambaran klinis pada lokasi sengatan kalajengking kadangkadang teriihat minimal dan secara umum racun kalajengking menunjukkan sifat hemolitik dan neurotoksik yang dapat bermuara pada tingkat keracunan berat (Wirtz, l99l).

C.

sculpturatus selain kematian bayi umur 5 bulan. Di seluruh dunia setiap tahunnya dilaporkan sekitar 5000 kematian akibat sengatan kalajengking (Maguire, 2005). Di IRD RSUD dr. Saiful Anwar Malang sepanjang tahun 2004 2005 hanya menerima satu kasus sengatan kalajengking tanpa kej adian kematian. Pada umumnya kalajengking tidak agresif kepada manusia namun dapat menyengat jika terancam atau marah akibat diusik oleh manusia. Mereka umumnya melakukan kegiatan pada malam hari dan sebagian besar hidup di dalam pohon, dekat pohon atau mencari tempat teduh di bawah bangunan. Namun adakalanya kalajengking juga

Gejala Lokal Nyeri seperti terbakar, gejala peradangan disertai parestesi

lokal. Gejala-gejala tersebut umumnya membaik dalam waktubeberapa jam.

Gejala Sistemik

.

Umumnya ditemukan pada anak-anak berusia kurang dari l0 tahun. Gejala yang timbul dapat berupa gelisah,

keluar keringat berlebihan, diplopia, nistagmus, fasikulasi, opistotonus, salivasi, hipertensi, takikardi dan kadang-kadang kejang, paralisis otot pernapasan (terutama pada orang tua dan anak-anaQ.

ditemukan masuk ke dalam rumah dan bersembunyi di

278

279

PENATALAKSANAAT{ KERACUNAN BISA I(ALAIENGKING

.

Gejala-gejala tersebut dapat pula disertai dengan edema

.

paru, syok, koagulopati, koagulasi intravaskular diseminata (KID), pankreatitis, gangguan fungsi ginjal, hemoglobinuna, ikterus, rabdomiolisis, hipertermia, dan asidosis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

.

.

Pada penderita yang gelisah dengan gerakan-gerakan tak terkontrol dapat diberikan infus intravena kontinu

dengan midazolam. Bagaimanapun juga pemberian sedatif tidak boleh berlebihan. Pemberian antivenin harus dilakukan secara hati-hati sebab dapat memberikan reaksi anafilaksis dan serum s icknes s. mengemukakan bahwa pemberian antivenin yang berasal dari domba masih kontroversial. Reaksi syok anafilaksis dapat dijumpai pada penderita

Dilakukan pemeriksaan darah untuk mengukur kadar: Hb, leukosit, trombosit, elektrolit, gula darah, urea, kreatinin, CPK (kreatinin fosfokinase), profil koagulasi, analisis gas

yang sensitifterhadap racun kalajengking. Reaksi yang ditimbulkan akibat keracunan sengatan kalajengking

darah dan uji faal hati.

penatalaksanaannya pada tingkat immediate treatment, mild reaction treatment dan serum reaction treatment. Reaksi klinis yang timbul dapat berupa konjungtivitis, rinitis, urtikaria,/angioderm a, pruritius, eritema edema laringeal, bronkospasme dan hipotensi yang dapat berakhir dengan kematian.

pada penderita yang sensitif membedakan

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan kasus sengatan kalajengking dapat dipilah ke dalam:

Terapi Suprotif

Stabilisasi: 1). Penatalaksanaan jalan tapas, 2). Penatalaksanaan fungsi pernapasan: ventilasi dan

ANJUMN PENCEGAHAN PADA DAERAH SCORP'ON INFESTED

.

oksigenasi, 3).Penatalaksanaan sirkulasi: pasang infus kristaloid.

.

Dekontaminasi: 1). Cuci luka dan berikan tetanus

.

profilaksisjika diperlukan, 2). Jangan diberi es pada lokasi luka dan jangan melakukan insisi lokal serta pengisapan. Prosedur ini berbeda dengan prosedur yang dianjurkan oleh Dreisbach, Maguire, dan Wirtz (1991) yang menganjurkan unhrk melakukan kompres es pada lokasi sengatan pada beberapajam pertama dengan tujuan untuk melokalisasi racun sehingga absorpsi racun berkurang.

Terapispesifik Terapi antivenin dengan pemberian serum skorpion (polivalen)

Terapi Tingkat Lanjut Terapi ini dilakukan untuk mengatasi gejala sistemik akibat keracunan sengatan kalaj engking seperti hipertensi, edema

paru, bradiritmia, gelisah, syok.

.

Hipertensi dan edema paru dapat diatasi dengan

.

pemberian nifedipin, nitroprus s ide, hy dralazine ata,u prazostn Bradiaritmia dapat dikontrol denganpemberian atropin

Periksa dan kibaskan benda-benda seperti sepatu, pakaian, handuk dan tempat tidur sebelummemakainya

Singkirkan kayu, batu, tumpukan benda-benda yang disukai oleh kajengking untuk menyembunyikan diri Semprotan insektisida dapat mengurangi sumber makanan kalajengking sehingga antropoda jenis ini dapat punah.

REFERENSI Depkes: Penatalaksanaan keracunan bisa sengatan kalajengking (scorpion). Dalam SIKer. Dirjen POM Depkes RI. Pedoman penatalaks anaan keracunan untuk rumah s akil:2001.p.240-42 Dreisbach, R.H. dan Robertson, WO.Handbook of poisoning: prevenlion, diagnosis and lreatment. 12'h eds. Connecticut: Appleton & Lange:i987.p. 486-90 Maguire, J.H., et.al:Ectoparasite infestations and arthropod bites and stings. In D.L. Kasper et.al. (eds.). Harrisonb Principles of

Internal Medicine. 16'h ed. NY: McGraw-Hill:2l5.p2603-4 Reid HA:Animal poisoning, in Manson's Tropical Diseases. 18th ed., PEC Manson-Bahr, FIC Apted (eds). London:Bailliere Tindall: I e82.p .544-65. Rekam Medik RSUD dr. Saiful Anwar Malang, 2005

Wirtz, R. dan Azad AF:Injurious arthropods. In: GT. Strickland (ed). Hunter's Tropical Medicine. T'h ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company: 1991 .p.907 -9.

40 PENATALAKSAN A/\N GIGITAN ULAR BERBISA Djoni Djunaedi

protease ancrod merupakan prokoagulan dari

INSIDENSI

C. rhodostoma yenom (menekan fibrinopeptida-A dari

fibrinogen dan dipakai untuk mengobati kelainan trombosis). Amin biogenik seperti histamin dan 5-

Luka akibat gigitan ular dapat berasal dari gigitan ular tidak

berbisa maupun gigitan ular berbisa. Umumnya ular menggigit pada saat ia aktif, yaitu pada pagi dan sore hari, apabila ia merasa terancam atau diganggu. Di seluruh dunia setiap tahunnya ditemukan ribuan orang yang meninggal dunia akibat gigitan ular berbisa. Di Amerika Serikat ditemukan 8000 kasus gigitan ular berbisa per tahunnya dengan 98%o gigiranterjadi di daerah ekstremitas danl\Yo

hidroksitriptamin, yang ditemukan dalam jumlah dan variasi yang besar pada Viperidae, mungkin bertanggung jawab terhadap timbulnya rasa nyeri pada gigitan ular. Sebagian

besar bisa ular mengandung fosfolipase

A

yang

bertanggung jawab pada aktivitas neurotoksik presinaptik, rabdomiolisis dan kerusakan endotel vaskular. Enzim venom lain seperti fosfoesterase, hialuronidase, ATP-ase, 5nuklotidase, kolinesterase, protease, RNA-ase dan DNAase perannya belum jelas. Peran procoagulant yenom factors (enzim) dapat dilihat pada bagan berikut:

disebabkan oleh Rattlesnake. Dibagian Emergensi RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung dalam kurunwaktu 1996- 1998

dilaporkan sejumlah 180 kasus gigitan ular berbisa. Sementara di RSUD dr. Saiful Anwar Malang dalam kurun

waktu satu tahun (2004) dilaporkan sejumlah 36 kasus gigitan ular berbisa. Kepada semua kasus gigitan ular tersebut diberikan terapi antivenom dan menunjukkan hasil yang baik kecuali pada satu kasus yang dibawa ke rumah sakit sudah dalam keadaan koma dan apnoe. Hal ini sejalan

FAKToRxZ

dengan laporan Auerbach (2005) bahwa angka kematian ditemukan kurang dari |Yo padakasts gigitan ular berbisa yang diberi terapi antivenom. Estimasi global menunjukkan sekitar 30.000 - 40.000 kematian akibat gigitan ular berbisa.

I

I

Ca--PL

PROTROIVBIN

Komposisi, Sifat dan Mekanisme "Ketja" Bisa Ular Bisa ular (venom) terdiri dari 20 atau lebih komponen

II

Some bothrops species ("Stypven')

Echis carinatus ("Ecarin") some Australian Elapids some Colubrids TR0M BIN lla Calloselasma rhodostom ("Arvin, Ancrod") Trimeressurus specres Some B species

sehingga pengaruhnya tidak dapat diinterpretasikan sebagai akibat dari satu jenis toksin saja. Venom yang sebagian besar (90%) adalahprotein, terdiri dari berbagai

Ca"

FIBRINOGEN

RIN

Xllla +-

a

Xlll

macam enzim, polipeptida non-enzimatik dan protein nontoksik. Berbagai logam seperti zink berhubungan dengan beberapa enzim seperti ecarin (suafit enzim prokoagulan dari E. carinatus venom yang mengaktivasi protrombin).

Gambar 1. Kerja beberapa bisa ular yang bersifat prokoagulan

Karbohidrat dalam bentuk glikoprotein seperti serine

pada kaskade pembekuan (adaptasi dari Warrell)

I I

t CROSS-LINKED FIBRIN

280

281

PENATALAKSIANAAN GIGITAN ULAR BERBISA

Bisa ular dapat pula dikelompokkan berdasarkan sifat dan dampak yang ditimbulkannya seperti neurotoksik, hemoragik, trombogenik, hemolitik, sitotoksik, antifibrin,

antikoagulan, kardiotoksik dan gangguan vaskular (merusak tunika intima). Selain itu bisa ular juga merangsang jaringan untuk menghasilkan zat-zat peradangan lain seperti kinin, histamin dan substansi cepat lambat.

GAMBARAN KLINIS Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut (Dreisbach, 1987):

1.

2. 3.

JENISJENIS ULAR BERBISA Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat diklasifikasikan ke dalam 4 famili utama yaitu: . Famlli Elapidae misalnyaular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan ular cabai . Famili CrotalidaelWperidae misalnya ular tanah, ular hijau dan ular bandotan puspo . Famili Hydrophidaemisalnya ular laut

.

Gejala lokal: edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 mernt - 24 1am) Gejala sistemik: hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, menggigil, mual, hipersalivasi, muntah, nyeri kepala dan pandangan kabur Gejala khusus gigitan ular berbisa: . Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritonium, otak, gusi,hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis),

. . .

berbisa atau ular tidak berbisa dapat dipakai rambu-rambu

bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan sebagai berikut:

Ciri-ciri ular berbisa : l).Bentuk kepala segi empat

Neurotoksik hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis, oftalmoplegi, paralisis otot laring, refleks abnormal, kejang dankoma Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan

tanda-tanda 5P (pain, pallor, paresthesia,

Famili Colubridaemisalnyaularpohon

Untuk menduga jenis ular yang menggigit adalah ular

hemoptoe, hematuria, koagulasi intravaskular diseminata (KID)

paralysis, pulselesness) Menurut Schwartz (Depkes, 2001), gigitan ular dapat diklasifi kasikan sebagai berikut:

Derajat

panjang, 2). Gigi taring kecil, 3). Bekas gigitan: luka halus berbentuk lengkungan

Venerasi

00+ l+l-+ ll

1). Kepala segi tiga, 2).Dta gigi taring besar di rahang atas, 3). Dua luka gigitan utama

Ciri-ciri ular tidakberbisa:

+

akibat gigi taring

Nyeri

+

+l+++

+++

Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang

Edema/

Eritema <3 cm / 12jam

0

3-12 jaml12 iam

0 +

>12-25 cml12 jam

neurotoksik, mual, puslng, syok >25 cml12 jam

++

> ekstremitas

ptekhiae, syok, ekhimosis ++

ditimbulkannya yang banyak dijumpai di Indonesia adalah jenis ular:

+++

Sistemik

gagal ginjal akut, koma, perdarahan

Hematotoksik seperti: Trimeresurus albol aris (ular hij au), Ankistrodon rhodostoma(ular tanah). Aktivitas hemoragik pada bisa ular Wperidae menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun prokoagulan memicu kaskade

pembekuan).

Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan:

s (lular welang),

.

Naya sputatrx (ular sendok), ular kobra, ular laut Neurotoksin pascasinaps seperti a-bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada reseptor asetilkolin pada motor

.

Neurotoksik

seperti : B u n g aru sfa

sc

i

a tu

Beberapa spesies Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik sementara spesies

yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.

sebelumnya.

Pemeriksaan

fisik: status umum dan lokal

serta

perkembangannya setiap 12 jam

end-plate sedangkan neurotoksin prasinaps seperti bbungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromus cular j unction.

Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular, riwayat penyakit

Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular: Gigitan Elapidae:

.

Efeklokal (kraits, mambas, coral snakesdanbeberapa kobra) timbul berupa sakit ringan, sedikit atau tanpa pembengkakan, atau kerusakan kulit dekat gigitan.

282

.

Gigitan ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan melebar. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa

.

sakit yang berdenyut, kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan luar mata Gejala sistemik mrurcul 15 menit setelah digigit ular atau

muncul setelah l0 jam kemudian dalam bentuk paralisis dari urat-urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan sehingga menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun, susah menelan, otot lemas, sakit kepala, kulit

dingin, muntah, pandangan kabur dan mati rasa di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralisis otot leher dan anggota badan, paralisis otot pernapasan sehingga lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun, denlut nadi lambat dan tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali terjadi dan berlangsung hebat. Pada keracunan berat dalam waktu satu jam dapat timbul gejala-gejala neurotoksik. Kematian dapat terj adi dalam24jam.

Gigitan Wperidae:

.

.

Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan, rasa sakit dekat gigitan

KEGAWAIDARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PEITYAKIT DALAM

Gigitan Coral snake: Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus fulvius anti-

venin)

PEMERIKSAAN PENUNJANG

.

Pemeriksaan darah: Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, N, elektrolit, waktu perdarahan, waktu pembekuan, waktu protrombin, fibrinogen, APT! D-dimer, uji faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria urea

. . .

(mioglobulinuria) EKG

Foto dada

PENATALAKSANAAN Tujuan penatalaksanaal pada kasus gigitan ular berbisa adalah:

. ' .

Menghalangi/memperlambatabsorpsibisaular Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah Mengatasi efek lokal dan sistemik

Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa muntah, berkeringat, kolik, diare,

perdarahan pada bekas gigitan (lubang dan luka yang

Tindakan Penatalaksanaan A. Sebelum penderita dibawa ke pusat

dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa hari

. . .

berikutnya akan timbul memar, melepuh dan kerusakan jaringan, kerusakan ginjal, edema paru, kadang-kadang tekanan darah rendah dan denyut nadi cepat.

.

Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.

Gigitan Hydropiidae:

. .

Gejala yang segera muncul berupa sakit kepala, lidah terasa teba'l, berkeringat dan muntah Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh, spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot ekstraokular, dilatasi pulil dan ptosis, mioglobulinurtayang ditandai dengan urin wama coklat gelap (gejala ini penting untuk diagnostik), ginjal rusak, henti jantung.

Gigitan Rattlesnuke d,an Crotalidae:

.

.

Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri pada daerah gigitan merupakan indikasi minimal yang perlu dipertimbangkan untuk pemberian polivalen crotalidae antivenin Anemia, hipotensi dan trombositopenia merupakan tanda penting.

pengobatan,

beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah

B.

:

Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan Jangan memanipulasi daerah gigitan Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung alkohol Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat daerah proksimal dan distal dari gigitan. Tindakan mengikat ini kurang berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah untuk menahan aliran limfe,

bukan menahan aliran vena atau arteri. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportifsebagai berikut :

. . . .

.

Penatalaksanaan jalan napas

Penatalaksanaan fungsi pemapasan Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid Beri pertolongan pertama pada luka gigitan : verban ketat dan luas di atas luka, imobilisasi (dengan bidai)

Ambil 5-10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu protrombin, APTT, D-Dimer, fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika

>10 menit, menunjukkan kemungkinan adatya

.

koagulopati Apus tempat gigitan dengan yenom detection

283

PENATALAKSANAAN GTGITAI\ ULAR BERBISA

.

l0-50LD1}bisaAnlEstrodon

-

25-50LD50bisaBzrngarus 25-50 LD50 bisaNaya Sputarix Fenol 0.25ohvlv

- Gangguan neurotoksik: beri

Beri SABU (SerumAnti BisaUlar, serumkudayang dikebalkan) polivalen 1 ml berisi :

. . . .

dan edema hebat pada bagian luka.

Neostigmin

(asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas atropin

Teknik pembeiat 2 vial @ 5 ml intra vena dalam 5 00 ml NaCl 0,9% atau Dextrose 50% dengan kecepatan 40-80 tetes/ menit. Maksimal 100 ml(20 vial). Infiltrasi lokal pada luka

tidak dianjurkan. Indikasi SABU adalah adarry a gejala venerasi sistemik

Hipotensi: beri infus cairan kristaloid Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat Monitor pembengkakan lokal setiap jam dengan ukuran lilitan lengan atau anggota badan Sindromkompartemen: lakukanfasiotomi

.

depresan

Terapiprofilaksis:

-

Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz danWay (Depkes,2001); Derajat 0 dan 1: tidak diperlukan SABU; dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika derajat meningkat maka diberikan

Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat-obatan narkotik

-

Pemberian antibiotika spektrum luas. Kuman terbanyak yang dijumpai adalah P. aeroginosa, Proteus sp., Clostridium sp., B. fragilis Beri toksoid tetanus Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi

SABU

. . .

Derajatll :3-4 vialSABU

DerajatIII : 5 15 vial SABU DerajatlV : berikanpenambahan6-

8

vial SABU

Petunjuk Praktis Pencegahan Terhadap Gigitan Ular . Penduduk di daerah di mana ditemukan banyak ular berbisa dianjurkan untuk memakai sepatu dan celana berkulit sampai sebatas paha sebab lebih dari 50%

Lreratat

'

Tidak ada Minimal Sedang Berat Berat

0 I

il

ilt

Geiala .. ststemtK

Beratnva evenomast + + + + +

<2

Jumlah vtal venom 0

2-15 1

5-30 >30 <2

+

++ +++

10 15 15

kasus gigitan ular terjadi pada daerah paha bagian

. . . .

Pedoman terapi SABU menurut Luck Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberian

bawah sampai dengan kaki Ketersediaan serum antibisa ular (SABU) untuk daerah di mana sering terjadi kasus gigitan ular Hindari berjalan pada malam hari terutama di daerah berumput dan semak-semak

Apabila mendaki tebing berbatu harus mengamati sekitar dengan teliti Jangan membunuh ular bila tidak terpaksa sebab banyak penderita yang tergigit akibat kejadian semacam itu.

. .

antivenom - Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak

meningkat, waktu pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi

-

pemeriksaan d arah pada I dan 3 j am berikutnya dst. Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun) maka monitor ketat

diteruskan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor perbaikannya. Monitor dilanjutkan hingga 2 x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan

.

koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan . Terapi suportif lainnyapadakeadaan:

-

Gangguan koagulasi berat: beri plasmafresh-frozen

-

Perdarahan: beri transfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K, transfusi

(dan antivenin)

trombosit

REFERENSI Auerbach, P.S. danNorris, R.L.2005. Disorders causedby reptilebites andmarine animal exposures. InD.L. Kasper et.al. (eds.). Harrison's Principles of Internal Medicine. I 66 ed. NY: McGraw-Hill : 2593-2598 Depkes. 2001 . Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer. Ditjen POM Depkes RI . Pedomanpenatalal<sanaan keracunan untuk Rumah Sakit: 253-259 Dreisbach, R.H. dan Robertson, W.O. 1987. Handbook of poisoning: prevention, diagnosis and treatment. l2th eds. Connecticut: Appleton & Lange: 467-490 Rekam Medik RSUD dr. Saiful Anwar Malang, 2005 Warrell, D.A. 1991. Snakes. In G.T. Strickland(ed.). Hunter b Tropical Medicine.l'h ed. Philadelphia: W.B. Saunders Company: 877-888.

4l INTOKSIKASI NARKOTIKA (OPIAT) Nanang Sukmana

edema paru, bising usus menurun, hiporefleksi, kejang (pada kasus berat).

PENDAHULUAN Kecepatan danketepatan penanganan intoksikasi (keracunan) sangatlah penting agar penderita dapat segera dikelola dan diobati sesuai dengan besar masalah sehingga penderita tersebut tidak mengalami komplikasi yang lebih berat maupun kematian. Akan tetapi pada kenyataannya sering kita jumpai penanganan kasus keracunan mendapat kesulitan karena penyebab yang sukar diketahui atau banyak organ yang mengalami

PRINSIP PENATATAKSANAAN KASUS KERACTJNAN

Mengingat kecepatan diagnosis sangat bervariasi dan disisi lain bahaya keracunan dapat mengancam nyawa maka upaya penatalaksanaan kasus keracunan ditujukan kepada hal seperti berikut: 1). Penatalaksanaan kegawatan. 2). Penilaian klinis. 3). Dekontaminasi racun. 4). Pembenan

kerusakan akibat zatlbahan penyebab.

Setiap keadaan yang menunjukkan kelainan multisistem dengan penyebab yang tidak jelas harus dicurigai kemungkinan keracunan, misalnya bila ditemukan penurunan tingkat kesadaran mendadak, gangguan napas, pasien psikiatri dengan manifestasi berat, anak remaja dengan sakit dada , aritmia yang mengancam nyawa atau pekerja yang menunjukkan

antidotum. 5). Terapi suportif. 6). Observasi dan konsultasi. 7). Rehabilitasi. Dari rincian tersebut di atas terlihat dengan jelas bahwa yang paling utama adalah menentukan besar masalah yang muncul untuk segera diatasi.

gejala klinis di lingkungan kerja yang mengandung bahan kimia, asidosis metabolik yang sukar dicari penyebabnya, tingkah laku aneh ataupun kelainan neurologis dengan kausa yang sukar diketahui. Dari keadaan tersebut di atas maka setiap klinikus harus mempunyai kemampuan dan penalaran yang baik untuk

Berhubung setiap keracunan dapat mengancam nyawa maka walaupun tidak dijumpai adanya kegawatan maka setiap kasus keracunan harus diperlakukan seperti pada keadaan kegawatan yang mengancam nyawa. Penilaian terhadap tanda vital seperti jalan napas/pernapasan, sirkulasi dan penurunan kesadaran harus dilakukan secara cepat dan seksama sehingga tindakan resusitasi tidak

Penatalaksanaan Kegawatan

dapat menegakkan diagnosis keracunan meskipun dihadapkan dengan kasus yang rumit. Pada tulisan ini akan dibahas "simtomatologi dan penatalaksanaan darurat pada pengguna zat adlktif ".

terlambat dimulai.

Semua urutan resusitasi seperti yang

umumnya dilalrukan. yaitu

A

Simtomatologi Opiat Pada kelompok ini dimasukan beberapa obat dengan simptomatolo gi yanghampir sama yaitu golongan opiat (morpin, petidin, heroin, kodein) dan sedatif : 1). narkotika. 2).barbiturat. 3).benzodiazepin. 4). meprebamat. 5). etanol.

:

(Airways), bebaskanjalannapas dari sumbatan bahan muntahan, lendir, gigi palsu. Bila perlu dengan perubahan posisi dan oropharyngeal airway dan alat penghisap lendir.

B C

Tanda dan gejala yang sering ditemukan : Koma, Depresi napas, miosis, hipotensi, bradikardi, hipotermi,

284

(Breathing), jaga agar pernapasan sebaik mungkin dan bila memang diperlukan dapat dengan alat respirator. (Circulation), tekanatt darah dan volume cairan harus dipertahankan secukupnya dengan pemberian cairan dalam keadaan tertentu dapat diberikan cairan koloid.

285

INTOKSII(ASI iIARKOIIKA (OPIAT)

Bila terjadi henti jantung lalarkan RJP (resusitasi Jantung

Pemberian Antidotum

Paru).

Tidak semua keracunan ada penawarnya sehingga prinsip utama adalah mengatasi sesuai dengan besar masalah. Apalagi antidotum belum tentu tersedia setiap saat.

Penilaian Klinis Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa penatalaksanaan keracunan harus segera dilakukan tanpa menunggu hasil penapisan toksikologis. Walaupun diagnosis etiologi hampir sebagian sulit ditegakkan akan tetapi dengan penilaian dan pemeriksaan klinis yang cermat dapat ditemukan beberapa kelompok kelainan yang memberi arah kepada diagnosis etiologi. Oleh karena itu pada kasus keracunan bukan saja hasil laboratorium toksikologis yang selalu harus diperhatikan akan tetapi standar pemeriksaan kasus keracunan yang telah disetujui di masing-masing rumah sakit perlu dibuat unfuk memudahkan penanganan yang bertepat guna.

Beberapa keadaan klinis yang perlu mendapat perhatian karena dapat mengancam nyawa ialah : koma, kejang, henti jantung, henti napas dan syok. Anamnesis. Upaya yang paling penting adalah anamnesis atau allo-anamnesis yang rinci. Beberapa pegangan

anamnesis yang keracunan

. .

. .

ialah

penting dalam upaya

mengatasi

:

Kumpulkan informasi selengkapnya tentang seluruh obat yang digunakan termasuk obat yang sering dipakai.

Kumpulkan informasi dari anggota keluarga, teman dan petugas tentang obat yang digunakan. Tanyakandansimpan (untukpemeriksaantoksikologis) sisa obat, muntahan yang masih ada. Tanyakan riwayat alergi obat atau riwayat syok anafilaksis.

Pemeriksaan Fisis. Lakukan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda /kelainan akibat keracunan yaitu pemeriksaan kesadaran, tekanan darah, nadi, denyut jantung, ukuran pupil, keringat, air liur dan lainnya. Pemeriksaan penunjang diperlukan berdasar skala prioritas dan pada keadaan yang memerlukan observasi pemeriksaan fi sik harus dilakukan berulang.

Dekontaminasi Umumnya zat atao bahan kimia tertentu dapat dengan cepat diserap melalui kulit sehingga dekontaminasi permukaan sangat diperlukan, sedang dekontaminasi saluran cerna difujukafi agar bahan yang tertelan akan sedikit diabsorbsi. Biasanya dapat diberikan arang aktif, pencahar, pemberian obat perangsang muntah dan kumbah lambung. Beberapa upaya lain untuk mengeluarkan bahanl obat dapat dilakukan dengan dialisis, akan tetapi kadangkadang peralatan tersebut tidak tersedia di rumah sakit (hanya RS tertentu) sehingga pemberian diuretikum dapat dicoba sebagai tindakan pengganti.

Suportif, Konsultasi dan Rehabilitasi Terapi suportif, konsultasi dan rehabilitasi medik harus dilihat secara holislik dar, cost elfectivenes disesuaikan dengan kondisi di masing-masing pelayanan kesehatan.

OPIAT Umumnya kelompok opiat digunakan untuk mengatasi

nyeri melalu mekanisme efek depresi pada otak (depressant elfect on the brain). Morfin yang merupakan bagian dari kelompok ini sering digunakan (untuk medis) pada nyeri dada, edema paru dan untuk mengatasi rasa

sakit berlebih pada keganasan. Akan tetapi dalam perkembangannya sering disalahgunakan. Untuk mengetahui lebih

jauh

beberapa obat yang termasuk

golongan narkotika yang sering dijumpai di lapangan yaitu:

walaupun penyalahgunaan obat tersebut'sering dilaporkan, misalnya di New York 1970 terjadi kematian 1200 penderita karena overdosis dan di Amerika Serikat diperkirakan lebih dari 10.000 kematiankarena kelebihan dosis, akan tetapi angka kematian (karena over dosis) di Indonesia belum ada pelaporan. Belum adanya laporan ini j angan sampai melengahkan para klinisi karena mrurgkin

saja kasus penyalahgunaan obat akan bertambah seiring dengan kemajua\zamar'.

Pengaruh obat terhadap susunan saraf pusat (SSP) sangat bervariasi dari berbagai obat tersebut di atas. Sedangkan penemuan secara patologis pada kematian yang disebabkan overdosis gambarannya tidak khas.

Jenis obat

Dosis

Kodein Dekstrometorfan Heroin Loperamid (imodium) Meperidin (petidin) Morfin Naloxone (Narcan) -) Opium ( Papaver somniferum ) Pentazocaine (Talwin)

*) Antagonis narkotika

fatal

(s)

Dosis pengobatan (ms)

0,8

60 60 -12Olhari 4

u,c 0,2 0,5

I

100 10

0,2 0,3 0,3

Dosis s/d 5 mg tidak menyebabkan kematian

Farmakologi Opiat Setelah pemberian dosis tunggal heroin (putaw) di dalam tubuh akan dihidrolisis oleh hati (6 10 menit) menjadi 6

-

monoacetyl morphine dan setelah itu akan diubah menjadi

morfin. Morfin selanjutnya diubah menjadi Mo

j

286

MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

monoglucoronide dan Mo 6 monoglucoronide yang larut di dalam air. Bentuk metabolit ini yang dapat di tes di dalam

cukup efektif untuk memastikan diagnosi dan zat adrktif lainnya.

s

keracunan opiat

urin. Oleh karena heroin (putaw) larut di dalam lemak maka bahan tersebut (+ 60%) dapat melalui sawar otak dalam

waktu yang cepat.

Mekanisme Toksisitas kelompok opiat mempunyai kemampuan untuk menstimulasi SSP melalui aktivasi reseptomya yang akan menyebabkan efek sedasi dan depresi napas. Kematian umumnya terjadi karena apnea atau aspirasi paru dari cairan lambung, sedangkan reaksi edema Pada umumnya

Jenis obat

Lamanya waktu dapat dideteksi

Amfetamin Barbiturat

2 hari t hari (kerja pendek) 3 minggu (kerja panjang)

Benzodiazepin Kokain

3 hari

Kodein Heroin

2-4 hari 2 hari 1-2 hari

Methadone

3 hari

Morfin

2-5hari

pulmoner yang akut (non kardiogenik) mekanismenya masih belumjelas. Reaksi toksisitas sangat beragam dari masing-masing jenis obat opiat tergantung cara (rute) pemberian, efek toleransi (pemakai kronik), lama keq'a dan masa paruh obat yang akhirnya akan menentukan tingkat toksisitas. Dengan ditemukannya tipe reseptor opiat di SSP (otak)

GAMBARAN KLINIK Umumnya kasus keracunan dari golongan narkotika cenderung adanya penurunan kesadaran (sampai koma) dan gangguan sistem pernapasan (depresi napas). Kita

maka mekanisme toksisitas dan antidottya dapat

perlu mengetahui tanda dan gejala keracunan akut baik

diterangkan melalui reseptor. Beberapajenis reseptor ialah : . Reseptor Mul (p1) : berefek analgesik, euforia, dan hipotermia Mu2 (p2) : bradikardi, depresi napas, miosis, euforia, penurunan kontraksi usus dan ketergantungan fisik. . Reseptor Kappa (rc) : spinal analgesik, depresi napas dan miosis. hipotermia. . Reseptor Delta (o) : depresi napas, disporia, halusinasi, vasomotor stimulasi.

karena pemakaian per oral maupun parenteral.

.

Reseptor Gamma (y) : inhibisi otot polos, spinal analgesik?

Dosis toksis selalu akan menyebakan kesadaran yang

turun sampai koma, pupil yang pin point dapat terjadi dilatasi pupil pada anoksia yatgberat, pernapasan yang pelan (depresi pernapasan), sianosis, nadi yang lemah, hipotensi, spasme dari saluran cema dan bilier, dapat te{adi edema paru, dan kejang. Kematian karena gagal napas dapat terjadi dalam 2 - 4 jam setelah pemakaian oral maupun subkutan, sedang pada pemakaian secara intravena dapat berlangsung lebih cepat lagi. Beberapatanda gejalayang dapat terjadi ialah hiperlermi, aritmia jantung, hipertensi, bronkospasme, parkinson like syndrome, nekrosis tubu-

lar-akut yang terjadi karena rabdomiolisis

dan

mioglobulinuria, gagal ginjal. Kulit dapat berwarna DIAGNOSIS

kemerahan, dapat terjadi leukositosis dan hipoglikemia (pernah dilaporkan).

Bila ditemukan gejalaklinis yang khas (pinpoint, depresi napas dan membaik setelah pemberian nalokson) maka penegakan secara klinis dapat dengan mudah. Kadangkadang ditemukan bekas suntikan yang khas (needle track slgr). Pemeriksaan laboratorium tidak selalu seiring dengan gejala klinis. Pemeriksaan secara kualitatif dari bahan urin

Kasus-kasus keracunan opiat merupakan bagian kecil

dari seluruh pemakai sesuai dengan fenomena gunung sepefii tertera di bawah ini:

Emergensi

Morpin Meperidin Nalorpin Nalokson

Ag (+++) Ant

Ag (+)

Ag

(0) Ag (+)

(-)

(+)

Ant

Ag

(As) +++

Ant

Ant

Ag

G-)

(-)

(-)

c)

Kelompok risiko tinggi Ant

Gambar 1. Fenomena gunung es pemakai narkoba

es

287

INTOKSIKASI NARKOTIKA (OPIAD

Pemeriksaan laboratorium untuk melihat kadar dalam darah tidak selalu diperlukan karena pengobatan berdasar

besar masalah sangat diperlukan daripada konfirmasi kadar/jenis obat. Pada evaluasi perlu pemeriksaan analisa darah serial, penilaian fungsi paru dan foto dada untuk

kasus dengan kelainan paru, di samping pemeriksaan

Tindakan

.

Penanganan kegawatan :

l). Bebaskanjalan

napas; 2).

Berikan oksigen 100% sesuai kebutuhan; 3). Pasang infus dektrose 5o% emergensi atau NaCl 0,9%; cairan

.

koloid bila diperlukan Pemberianantidotumnalokson: 1). Tanpahipoventilasi:

glukosa darah dan elektrolit.

Dosis awal diberikan 0,4 mg iv; 2). Dengan hipoventilasi: Dosis awal diberikan I -2 rlg iv; 3). Bila tidak ada respons

PENATALAKSANAAN INTOKSIKASI OPIAT

timbul respons perbaikarl kesadaran dan hilangnya

dalam 5 menit, diberikarl nalokson

l-2 mg iv hingga

depresi pemapasan, dilatasi pupil atau telah mencapai dosis maksimal l0 mg. Bila tetap tidak ada respons lapor konsulen tim narkoba; 4). Efek nalokson berkurang 2040 menit dan pasien dapat jatuh kedalam keadaan overdosis kembali, sehingga perlu pemantauan ketat tanda-tanda penumnan kesadaran, pernapasan dan perubahan pada pupil serta tanda vital lainnya selama

Sebelum melangkah pada pengobatan maka para klinisi perlu mengetahui alur penatalaksanaan keracunan opiat seperti di bawah ini agar mendapat suatu gambaran yang jelas.

24 jam. Untuk pencegahan dapat diberikan drip nalokson satu ampul dalam 500 cc D5o/o atau NaCl 0,9% diberikan dalam 4 - 6 jam;5). Simpan sampel urin untuk pemeriksaan opiat urin dan lakukan foto dada; 6). Pertimbangkan pemasangan ETT (endotracheal tube)bila: a). Pernapasan tidak adekuat, b).

lntoksikasi golongan opiat

Oksigenasi kurang meski ventilasi cukup, c.

Aloanam nesa

Riwayat pemakaian obat Bekas suntikan (Need/e track sign) Pemeriksaan urin

Hipoventilasi menetap setelah pemberian nalokson

ke- 2; 7). Pasien dipuasakan untuk menghindari

. Trias intoksikasi opiat Depresi napas Pupil pin-point Kesadaran menurun (kom a)

. Dalam menjalankan semua tindakan

harus

memperhatikan prinsip-prinsip kewaspadaan universal

oleh karena tingginya angka prevalensi hepatitis C

. Suport sistem pernapasan dan sirkulasi

aspirasi akibat spasme pilorik. Pasien dirawat dan dikonsultasikan ke Tim Narkoba Bagian Ilmu Penyakit Dalam untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi.

danHIV.

Bila diperlukan, pasien sebelumnya dipasang NGT untuk mencegah aspirasi.

PENGOBATAN Nalokson intravena (lihat protokol) Naloksone. Nalokson adalah antidotum dari intoksikasi opiat baik kasus dewasa maupun anak. Dosis dewasa :0,4 - 2.0 mg , dosis dapat diulang pada kasus berat Observasi/pengawasan tanda vital dan dipuasakan selama 6 jam

Gambar 2. Alur tatalaksana intoksikasi opium

Gejala Klinis Penurunan kesadaran diserlai salah satu dari: 1 ). Frekuensi pemapasan < 12 kali/menit; 2). Pupil miosis (seringkalipin-

point); 3). Adanya riwayat terdapat needle track sign.

pemakaian morflrn/heroin/

dengan pemanduan perbaikan gejala klinik. Dapat dipertimbangkan nalokson drip bila ada kecurigaan intoksikasi dengan obat narkotik kerja panjang. Efek nalokson sekitar 2 - 3 jam.

Bila dalam observasi tidak

ada respon setelah pemakian (nalokson) total 10 mg diagnosis intoksikasi opiat perlu (Gambar dikaji ulang. 3) Edema paru diobati sesuai dengan antidotnya yaitu pemberian nalokson disamping oksigen dan respirator bila diperlukan. Hipotensi diberikan cairan iv yang adekuat, dapat dipertimbangkan pemberian dopamin dengan dosis 2 -

288

KEGAWAXDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

REFERENSI Bittikofer JA. Toxicology. Dalam : Bishop ML, Fody EP, Duben von Laufen JL ( Editors). Philadelphia : Lippincott C, 1985

TIDAK EMERGENSI overdosis Gelala put!s obaUkegawatan psikialri Erergens komplikasi (ARDS AIDS, dt

547

l\4asalah psikiatris )

I

Masalah komunikasi (HCV, pneumonia drug ahse, HlV, dll)

I

t-d_l Penanganan sesuai besat masa ah

t-;;'**ffiil;-l

Penanganan sesual besat masalah

:

9.

AL, Currance PL. Morphine sulfate Dalam : Weiner R, Culverwell (Editors) Emergency care for Hazardous materials exposure Missouri: Mosby Company, 1988: 280 - 1 Chiu LPW Diagnosis and Management of drug abuser. Medicine Digest 1996; 14 : 18 25 Dreisbach RH, Robertson WO, editors. Handbook of poisoning Narcotic analgesic Norwalk: Appleton & Lange, 1987 : 324 Bronstein

:

8.

|-;_l trol

rutin)

Ruang Rawat lnap Penyak t Dalam Psikiatrl

I

|

II

I

Ruanorawa

*-

inal

POLIKLINIK RAWAT JALAN

I Detoksifikasl konvensional

d

Rs/bercbat]alan Deloksifkasi cepat denoan anestes

REHABILITASI

Grant HD, Murray RH, Bergeron JD., editors. Basic life suppofi I The airway and pulmonary resuscitation Emergency care. Fift edition. London : Prentice Hall International Editions 1990. Handley AJ, Fisher JM. Dalam : Colquhoun MC, Handley AJ, Evans TR (Editors). Dalam : ABC of Resuscitation. London : BMJ Publishing Group, 1995: 1 5. Hung OL, Hoffman RS. Opioid Intoxication. Reversal. Medical Progress 199'7;24 : 39 - 43 Micromedex, Inc. Volume 93. 1997. Olson KR. Opiats and Opioids. Dalam : Olson KR, Anderson IB, Blanc PD, Benowitz NL, Kearney TE, Osterloh JD dan Woo OF (Editors). Poisoning & Drug Overdose Norwalk: Appleton

& Lange,1994:238

40.

Sukmana N. Penatalaksanaan kasus keracunan bahan kimia obatobatan. In service training for National and Provincial level

poison information centre and hospital staff. Direktorat Pengawasan Narkotika dan Bahan berbahaya. Jakarta 5 Desember 1994.

-

11

Widodo D, Sukmana N, Basri , Husni Azis, Muchtar A, Latif A. Gambar 3. Protokol penanganan lntoksikasi opiat di unit gawal darurat

Kasus keracunan akut di RSUPN Cipto Mangunkusumo (tahun 1996 1997). Tim Penanggulangan dan Informasi Keracunan

RSCM

-

Jakarta.

Widodo D. Pelatihan tatalaksana perawatan kasus penyalahgunaan

.

5 mcg/Kg BB/menit dan dapat dititrasi bila diperlukan. Pasien jangan dicoba untuk muntah (pada intoksikasi

oral)

' . .

Kumbah lambung. Dapat dilakukan segera setelah intoksikasi dengan opiat oral , awasijalan napas dengan baik. Activated Charcoal dapat diberikal pada intoksikasi peroral dengan memberikan : 240 ml cairan dengan 30 g charcoal. Dapat diberikan sampai : 100 gram. Bila terjadi kejang dapat diberikan diazepam iv 5 - l0 mg dan dapat diulang bila diperlukan. Monitor tekanan darah dan depresi napas dan bila ada indikasi dapat dilakukan intubasi.

obat dan bahan berbahaya. Jakarta 25 29 Nopember 1996 Schrank KS. Poisoning Dalam : Gardner LB (Editors) Acute Internal Medicine. New York : Elsevier Science Publishing Co, 1986: 461 - 82. Snodgrass WR. Dalam : Klaassen CD, Amdur MO, Doull J, (Editors). Toxicology. The basic science of Poisons. New York: Mc.Graw Hill, 1996: 969 86.

42 KERACUNAN BAHAN KIMIA, OBAT DAN MAKANAN Widayat Djoko, Djoko Widodo

PENDAHULUAN Di masa kini makin sering terjadi masalah keracunan, mulai dari kecelakaan wisata, kecelakaan kerja atau kecelakaan rumah tangga sampai usaha bunuh diri, pembunuhan perorangan bahkan pembunuhan masal yang dikaitkan dengan "Bio terrorism". Penanggulangan masalah ini cukup rumit karena beberapa faktor yaitu kurangnya informasi tentang zat penyebab keracunan karena korban tidak sadar atau enggan bicara dan faktor ketersediaan antidot racun yang belum semuanya tersedia, serta terkadang antidotnya sendiri merupakanbahan toksik, oleh karena itu penatalaksanaan keracunan seringkali bersifat simptomatis dan suportif.

bisa diketahui lewat bau mulut atau muntahan kecuali racun

yang sifat dasarnya tidak berbau dan berwarna seperti arsenikum yang sulit ditemukan hanya berdasar inspeksi saja. Luka bakar warna keputihan pada mukosa mulut atau keabuan pada bibir dan dagu menunjukkan akibat bahan

kaustik atau korosif baik yang bersifat asam kuat maupun basa kuat. Perbedaan pada dampak luka bakamya yaitu nekrosis koagulatif akibat paparan asam kuat sedangkan basa kuat menyebabkan nekrosis likuitaktif. Kerusakan korosifhebat akibat alkali (basa) kuat pada esofagus lebih berat dibandingkan akibat asam kuat, kerusakan terbesar bila pH>l2 tapi tergantung juga pada konsentrasi bahan tersebut. Waspadai kemungkinan kerusakan esofagus dan lambung meskipun tidak ditemukan kerusakan pada rongga mulut. Beberapa jenis racun mempunyai bau yang spesifik tetapi kemampuan mendeteksi bau pada populasi umum di masyarakat hanya 50o/o. (Tabel 1) Beberapa ciri terlentu dari urin dapat pula membantu menegakkan diagnosis' (Thbel 2)

DIAGNOSIS Penegakkan diagnosis pasti penyebab keracunan cukup sulit karena diperlukan sarana laboratorium toksikologi yang cukup handal, dan belum ada sarana laboratorium swasta yang ikut berperan sedangkan sarana laboratorium rumah sakit untuk pemeriksaan ini juga belum memadai sedangkan sarana instansi resmi pemerintah juga sangat

minimjumlahnya. Untuk membantu penegakan diagnosis maka diperlukan autoanamnesis dan aloanamnesis yang cukup cermat serta diperlukan bukti-bukti yang diperoleh ditempat kej adian'

Selanjutnya pada pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya racun yang dapat melalui berbagai cara yaitu inhalasi, per oral, absorpsi kulit dan

Bau

PenYebab

Aseton Almond Bawang putih Telur busuk

lsopropil alkohol Aseton. Sinida Arsenik, selenium, talium Hidrogen sulfida, MerkaPtan

Warna urin Hijau/ biru Kuning-merah Coklat tua Butiran keputihan Coklat.

mukosa atau parenteral, hal ini penting diketahui karena berpengaruh pada efek kecepatan dan lamanya (durasi) reaksi keracunan. Racun yang melalui rute oral biasanya

289

Penyebab Metilin biru Rifampisin, besi(Fe). Fenol, kresol Primidon Mio/haemoglobin uria

290

KEGAWITIDARURAIAN

Penilaian keadaan klinis yang paling awal adalah status kesadaran. Alat ukur kesadaral yatg paling sering digunakan adalah GCS (Glasgow Coma Scale). Apabila pasien tidak sadar dan tidak ada keterangan apapun

ini selain

MEDIK DI BIDAI\G ILMU PENYAKIT DALAI\I

dapat membantu penegakan diagnosis juga

berguna untuk kepentingan penyidikan polisi pada kasus kejahatan. Sampel yang dikirim ke laboratorium adalah 50 ml urin, 10 ml serum, bahan muntahan, feses.

(alloanamnesis) maka diagnosis keracunan dapat dilakukan

pereksklusionam dan semua penyebab penurunan kesadaran seperti meningoensefalitis, trauma, perdarahan subaraknoid./intrakranial, subdural/ekstradural haematom, hipoglikemia, diabetik ketoasidosis, uremia, ensefalopati. Penemuan klinis seperti ukuran pupil mata, frekuensi

napas dan denyut jantung mungkin dapat membantu penegakkan diagnosis pada pasien dengan penunman kesadaran. (Tabel 3)

Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan radiologi perlu dilakukan terutama bila curiga

adanya aspirasi zat racur, melalui inhalasi atau dugaan adany a perforasi lambung.

Laboratorium Klinik Pemeriksaan ini penting dilakukan terutama analisis gas

darah. Beberapa gangguan gas darah dapat membantu penegakkan diagnosis penyebab keracunan. (Tabel 4)

Gambaran klinis

Kemungkinan penyebab

Pupil pin point, frekuensi napas turun.

Opioid.

lnhibitor kolinesterase (organofosfat, carbamate insektisida) Klonidin. Fenotiazin.

Dilatasi pupil, laju napas turun Dilatasi pupil, takikardia

Benzodiazepin Antidepresan trisiklik Amfetamin,ekstasi, kokain Antikolinergik (benzeksol, benztropin)

Sianosis.

Antihistamin. Obat depresan SSP. Bahan penyebab meth aem og lobinem ia.

Hipersalivasi

Organofosfat / karbamat, insektisida.

Nistagmus, ataksia, tanda serebelar

Antikcnvulsan (fenitoin, karbamazepin)

Analisis gas Darah

lnterpretasi

Asidosis respiratorik (pH<7,3; PCOz>5,6kPa)

Hipoventilasi, retensi COz mungkin akibat antidepresan SSP

Alkalosis respiratorik (pH>7,45; PCOz<4,7kPa)

Hiperventilasi mungkin sebagai respons hipoksia; injuri obat (aspirin) atau injuri SSP Jarang tejadi akibat keracunan, sebagai akibat hilangnya asam atau kelebihan alkali. Sering pada keracunan, bila berai waspada keracunan etanol, metanol/ etilen glikol.

Alkalosis metabolik (pH>7,45; HCO:>30mmol/l)

Asidosis metabolik (pH>7,45; HCO3<24mmol/l; defisit basa <-3), kompensasi bila PCOz<4,7kPa.

Anion gap tinggi.

Metformin, isoniazid, salisilat, sianida

Alkohol. Gejala ekstrapiramidal. Seizures

Hipertermia

Hipertermia & hipertensi, takikardi,

Fenotiazin, haloperidol. Metoklopramid Antidepresan trisiklik, antikonvulsan. ieofilin, antihistamin, OAINS. fenothiazin, isoniazid. Litium, antidepresan trisiklik, antihistamin. amfetamin, ekstasi, kokain.

agitasi.

Hipertermia & takikardi, asidosis metabolik.

Salisilat.

Bradikardia.

Penghambat beta, digoksin, opioid, klonidin.

Abdominal cramp, diare, takikardi, halusinasi

antagonis kalsium (kecuali dihidropiridin). Organofosfat insektisida. Withd rawal alkohol, opiat,

Pembriksaan fungsi hati, ginjal dan sedimen urin harus

pula dilakukan karena selain berguna untuk mengetahui dampak keracunan juga dapat dijadikan sebagai dasar ' diagnosis penyebab keracunan seperti keracunan parasetamol atau makanan yang mengandung asam jengkol. Pemeriksaan kadar gula darah sewaktu dan darah perifer lengkap juga harus dilakukan.

Pemeriksaan EKG Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada kasus keracunan karena sering diikuti terjadinya gangguan irama jantung yang berupa sinus takikardia, sinus bradikardia, takikardia supraventikular, takikardia ventrikular, Tbrs ade de pointes,

PEMERIKSAAN PENUNJANG

fibrilasi ventrikular, asistol, disosiasi elektromekanik. Beberapa faktor predisposisi timbulnya aritmia pada keracunan adalah keracunan obat kardiotoksik, hipoksia, nyeri dan ansietas, hiperkarbia, gangguan elektrolit darah, hipovolemia, dan penyakit dasar jantung iskemik.

Analisis toksikologi harus dilakukan sedini mungkin hal

oksigenasi, koreksi gangguan elektrolit dan asam-basa,

benzodiazepin.

Sangat penting diperhatikan, pada semua kasus aritmia:

291

KERACUNAT{ BAHAN KIMIA, OBITT DAN MAKANAN

hindari obat antiaritmia karena justnr bisa mencetuskan timbulnya aritmia, gunakan obat inotropik negatif dan kronotropik.

pasien ditengadahkan dan miring ke sisi mata yang terkena atau terburuk kondisinya. Buka kelopak matanya perlahan dan irigasi larutan aquades atauNaCl 0,9o2 perlahan sampai

zat racnffiya diperkirakan sudah hilang (hindari bekas larutan pencucian mengenai wajah atau mata lainnya) PENATALAKSANAAi.I

selanjutnya tutup mata dengan kassa steril segera konsul

doktermata.

kulit (rambut dan kuku).

Tindakan

Stabilisasi

Dekontaminasi

Penatalaksanaan keracunan pada waktu pertama kali berupa tindakan resusitasi kardiopulmoner yang dilakukan dengan cepat dan tepat berupa:

dekontaminasi paling awal adalah melepaskan pakaian, arloji, sepatu dan aksesori lainnya dan masukkan dalam

. .

Pembebasan jalan napas.

.

oksigenasi). Perbaikan sistem sirkulasi darah.

Perbaikan fungsi pernapasan. (ventilasi dan

Dekontaminasi

absorpsi dan mencegah kerusakan. Petugas, sebelum memberikan pertolongan harus menggunakan pelindung berupa sarung tangan, masker dan apron. Tindakan dekontaminasi tergantung pada lokasi tubuh yang terkena racun yaifu:

Dekontaminasi pulmonal. Dekontaminasi pumonal berupa tindakan menjauhkan korban dari pemaparan inhalasi zat racun, monitor kemungkinan gawat napas dan berikan oksigen lembab 100% dan jika perlu beri ventilator. Dekontaminasi mata. Dekontaminasi mata berupa tindakan untuk membersihkan mata dari racun yaitu posisi kepala

Stimulasi mekanis pada orofaring.

Pengenceran

Air dingin atau susu 250 ml

Aspirasi dan kumbah lambung

Posisi lrendelenberg left lateral dekubitus, pasang NGT, aspirasi, bilas 200300 ml sampai bersih tambah karbon aktif 50 gram

Arang aktif

Dosis tunggal 30-50 g + 240 ml air.

lrigasi usus

Polietilen glikol 60 gr + NaCl 1,46 g + KCI 0,75 g + Na bic 1,68 g+Na sulfat 5,68 g + air sampai '1 liter. Bila menelan zat sangat korosif (asam kuat), asing.

Bedah

pemberian bahan pengikat (karbon aktif), pengenceran atau mengeluarkan isi lambung dengan cara induksi muntah atau aspirasi dan kumbah lambung dapat mengurangi jumlah paparan bahan toksik. (Tabel 5)

Eliminasi Tindakan eliminasi adalah tindakan untuk mempercepat pengeluaran racun yang sedang beredar dalam darah, atau dalam saluran gastrointestinal setelah lebih dari 4 jam. Apabila masih dalam saluran cerna dapat digunakan pemberian arang aktif yang diberikan berulang dengan dosis 30-50 gram (0,5 - 1 gram / kg BB) setiap 4jam per oraV enteral. Tindakan ini bermanfaat pada keracunan obat s

ep ert

i

karb amazepin,

Ch Iordeco n

e, qloinin, dap s on,

Perhatian Khusus

Kontraindikasi

Tata Cara

lnduksi muntah

minimal 10 menit selanjutnya keringkan dengan handuk kering dan lembut. dan disabun

Dekontaminasi gastrointestinal. Penelanan merupakan rute pemaparan yang tersering, sehingga tindakan

Dekontaminasi merupakan terapi intervensi yang bertujuan untuk menurunkan pemaparan terhadap racun, mengurangi

Jenis Tindakan

wadah plastik yang kedap air dan tutup rapat, cuci (scrubbing) bagian kulit yang terkena dengan air mengalir

-

Pneumopati inhalasi, sindrom Mallory Weis.

-

-

Kesadaran turun, kejang Apneu, paparan > 4jam Keracunan zat korosif. Kesadaran turun. Gangguan menelan/ napas Nyeri abdomen. Asam pekat, non kaustik. Kesadaran iurun tanpa pasang intubasi. Zat korosif. Zat hidrokarbon. Asam pekat, non kaustik Petrolium destilat. Paparan >'1jam. lleus/ obstruksi GIT Zat korosif. Zat hidrokarbon. Gangguan napas, SSP, jantung tidak stabil, kelainan patologis USUS.

-

Efektif paparan

< 1jam. Kehamilan, kelainan jantung, depresi SSP, perforasi lambung.

Konstipasi. Distensi lambung.

lndikasi keracunan Fe , lithium., tablet lepas lambat atau tablet salut enterik.

292

KEGAWTTDARURATAN MEDIK DI BIDAIYG ILMU PEITYAKIT DALAM

digoksin, nadolol, fenobarbital, fenilbutazone, fenitoin, salisilat, teofilin, phenoxyacetate herbisida. Tindakan eliminasi yang lain perlu dikonsulkan pada

dokter spesialis penyakit dalam karena tindakan spesialistik berupa cara eliminasi racun yaitu: 1). Diuresis paksa (forc e d diures i s); 2). Alkalinisasi urin, 3 ). Asidifi kasi urin; 4). Hemodialisis/peritoneal dialisis.

AntiDotum Pada kebanyakan kasus keracunan sangat sedikit jenis

racun yang ada obat antidotumnya dan sediaan obat antidot yang tersedia secara komersial sangat sedikit j umlahnya. Beberapa j enis antidotum pada keracunan dapat

dilihat pada Tabel 6.

Bahan racun

TERAPI

G

EJALA PENYERTA ATAU PENYU LIT

Gangguan Cairan, Elektrolit dan Asam Basa Kebutuhan dasar cairan harian 30-35m14
Gangguan lrama Jantung Sinus bradikardia yang disertai hipotensi dapat diberikan atropin 0,6 mg intravena sedangkan pada sinus takikardia tidak diberikan terapi spesifik dan penghambat beta jangan diberikan karena dapat menyebabkan dekompensasi.

Anti dotum

Metode

nitrit (sodium/amil nitrit) sodium tiosulfat. dikobalt edetate (kasus berat). ethanol 4-metilpirazol EDTA Asam 2,3-dimercaptosuksinat Penisilamin, BAL. D-penisilaminb BAL(Dimercaprol), DMPS Asam 2,3-dimercaptosuksinat Natrium tiosulfat Potasium ferric (prussian blue) Sodium jodida, BAL. Sulfas atropine pralidoksim

Amyl nitrite inhalasi. 50ml (12,59)Na thiosulfat 25% dlm10mnt.

Kimia. Sianida Metanol/ Etilen glikol Timbal.

Merkuri.

Arsenicum. Na hipoklorit Talium Organofosfat Fe (besi)

Obat. Amfetamine. Digoxin.

lsoniazide. OpioiJ Parasetamol Warfarin. Propranolol.

Racun alam. Datura/kecubung Amanita phaloides Oleander

2,5m|/kgBB ethanol 40% (vodka, gin) dalam airijus jeruk, oral 30mnt Terapi kelasi

Terapi kelasi

50mg atau 250 ml larutan 1%.i v 10gr dalam 100m1 manitol 1,So/oi 2X oral 1-2mg

iv

Desferrioxam ine.

'15

Lorazepam. Fab fragmen (antibodispesifik) Piridoksin. Nalokson.

2mgi.v.

ulang"l0-15 mnt, max 50mg/hari

mg/kg BB/jam

N-asetilsistein, metionin Vitamin K1 / FFP lsoproterenol. Adrenalin Glukagon

Dosis tergantung digoksin serum. 1 gram i v /tiap gram lNH, maks 5 g. 0,01mg/kgBBiv ulang tiap 2 menit. Metionin efektif, paparan <8jam. 5-10mg.i v. pelan Titrasi mulai 4 mcg/menit. Bolus 'lOmg glukagon + Smg/jam drip i.v.

Fisostigmin salisilat Salibinin. Benzilpenisilin Kolestiramin.

0,02m9/kg BB i v.2mnt; ulang 20mnt Smg/kg BB infus ljam+2Omglkgl24jam. 300m9/kg BB infus. 3X 4 gram/ hari.

Racun binatang Scorpion Ubur-ubur Ular berbisa. Makanan. Jengkol.

Antivenin (polivalen) Antivenom SABU

Metode Schwartz-Way; metode Luck.

Na bikarbonat.

4X2 graml hari.

Antitoksin tipe A, B, E.

100 000 unit tipe A+B+10 000 unit tipe E

Toxin mikroba. Botulinum.

293

KERACUNAN BATIAN KIMIA, OBAT DAN MAKANAN

Gangguan SVT disertai gangguan hemodinamik diberikan kardioversi sinkronisasi mulai 50 Joule, 100, 200, 300 Joule, setelah stabil diberikan adenosin 3 mg i.v. bolus dan bila perlu dapat diulang tiap 1- 2 menit dengan dosis 6 mg dan kemudian 12mg.

Rabdomiolisis. Kelainan ini bisa dideteksi dengan

Methaemoglobinaemia (metHb). Kebanyakan obat oksidan dapat menyebabkan hal ini yaitu dapsone, sulfonamid, trimetoprim, nitrit, nitrat, lokal anestesia (benzokain,

terapi simptomatik dan suportif saja.

lignokain, prilokain), metoklopramid, metilen biru, klorat dan bramat. Pada kasus ringan (kadar metHb < 30%) diberikan oksigen, sedangkan kasus berat diberikan metilen biru 1-2 mg/kg BB dalam > 5 menit, selanjutnya periksa ulang kadar MetHb setelah ljam. Perlu diwaspadai bahwa metilen biru sendiri dapat menyebabkan metHb dan hemolisis terutama pada dosis >15 mgkg BB dan mudah terjadi pada pasien dengan defisiensi G6PD.

REFERENSI

Hiperemesis. Bila muntah gagal dikendalikan, maka dapat diberikan metoklopropamid I 0 mg .i.v.atau proklorperazin 10 mg oral atau ondansetron 8 mg intravena pelan. Distonia. Distonia sering terjadi akibat overdosis obat anti psikotik dan beberapa antiemetik. Reaksi yang terjadi berupa oculogtric, torticolis dan trismus. Beberapa gejala ekstrapiramidal yang lain seperti tremor, diskinesia, rigiditas dapat terjadi akibat overdosis obat yang lain. Gejala ekstrapiramidal harus diterapi dengan procyclidine 5-10 mg i.v./i.m, maksimum 20 mgl 24 jam atau diberikan b

enztrop ine I -2 mg.i.m. I i.v.

pemeriksaan kadar kreatinin kinase (CK) serum dan kadar mioglobin urin. Penatalaksanaan meliputi pemberian cairan rehidrasi i.v. dan alkalinisasi urin.

Sindrom antikolinergik. Penatalaksanaan terbaik adalah

AL, Dargan PI. Churchill's Pocke book of Toxicology. lstedition. 2001. Harcourt publisher. London. Henry J, Wiseman H. Management of poisoning. A handbook for Jones

Health care workers.WHO, Geneva 1997. Olson KR. Caustic and Corrosive Agents. In Olson Poisoning Drug Overdosis. London. 1990; 114-116.

lst edition.

Kr

editor.

Prentice Hall Int,

In Olson Kr editor. Poisoning Drug Overdosis. lstedition. Prentice Hall Int,London.1990;312-313Becker CE. Ethylen Oxide, . In Olson Kr editor. Poisoning Drug Overdosis.lst edition. Prentice Hall Int, London.1990; 153Buchanan JF. Etanol.

1s4

.

Eilenhorn MJ, Schonwald S, Ordog G, Wasserberger J. Ellenhom's Medical Toxicology. Diagnosis & Treatment of Human Poisoning 2nd ed. Williams & Wilkins. Baltimore. 1997. Anderson BI. Ethylene g1yco1 and other Glycols. In Olson Kr editor. Poisoning Drug Overdosis 1st edition. Prentice Hall Int,London.

I

990; 202-203

.

Almond GL. Salicylate. In Viccelio P editor. Handbook of Medicai Toxicology. 1st edition. Little Brown.Co. USA. 1993.

43 HEMOPTISIS Ceva W. Pitoyo

masif bila terinfeksi. Kelainan imunologi juga dapat

DEFINISI

menyebabkan perdarahan intrapulmonar difus yang harus dipertimbangkan pada hemoptisis masif tanpa etiologi lain yang jelas. Fistula arteri trakeal sering terjadi sebagai komplikasi dari trekeostomi. Sementara itu ruptur arteri

Hemoptisis adalah mendahakkan darah yang berasal dari bronkus atau paru. Hemoptisis bisa banyak, atau bisa pula sedikit sehingga hanya berupa garis merah cerah di dahak. Hemoptisis masif adalah ekspektorasi 600 ml darah dalam

pulmonalis bisa terjadi pada kateterisasi dengan

24 sampai 48 jam. Hemoptisis dinyatakan sebagai nyata atau jelas (gross/frank)blla lebih dari sekedar garis di sputum

pengembangan balon. Harus diingat bahw a 2 hingga 32 oh

kasus hemoptisis tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik. Hemoptisis idiopatik disebut juga hemoptisis esensial. Hemoptisis esensial umumnya menyebabkan

namun kurang dari kriteria masif. Hemoptisis juga bisa berupa bekuan darah hitam bila darah sudah terdapat dalam saluran napas berhari-hari sebelum dapat didahakkan. Pseudohemopfsrs adalah membatukkan darah yang

hemoptisis tidak masif, walaupun pada hemoptisis masif < 5%o

bukan berasal dari saluran napas bagian bawah. Hemoptisis palsu seperti ini dapat berasal dari rongga

adalahidiopatik.

Rincian dari penyebab hemoptisis dapat dilihat pada Tabel I, Untuk mencari etiologi hemoptisis, secara rutin perlu dilakukan evaluasi anamnesis, pemeriksaan fisik,

mulut, hidung, farings, lidah atau bahkan hematemesis (perdarahan saluran cerna bagian atas) yang masuk ke

hemogram darah perifer lengkap, urinalisis, tes koagulasi,

tenggorokan dan memancing refleks batuk.

elektrokardiografi, dan foto toraks. Kecuali pada kasus

Pseudohemoplisls juga bisa timbul pada pasien yang mengalami kolonisasi kuman Serratia marcescens yarrg berwarna merah. Kolonisasi ini sering timbul pada pasien yang dirawat serta menerima antibiotik berspektrum luas dan ventilator mekanik. Tidak pula boleh dilupakan, hemoptisis palsu juga dapat berasal dari kelebihan dosis rifampisin dan juga kejadiat malingering ata:upasien yang melukai diri sendiri sehingga tampak sebagai batuk darah.

atau diduga kasus emboli paru, flstula aorlopulmonar dan

gagal jantung. bronkoskopi perlu dilakukan pada kasuskasus hemoptisis, bila sarana memungkinkan.

PATOGENESIS Arteri-arteri bronkialis adalah sumber darah utama bagi saluran napas (dari bronkus utama hingga bronkiolus terminalis), pleura, jaringan limfoid intra pulmonar, serta persarafan di daerah hilus. Arteri pulmonalis yangpada dasarnya adalah membawa darah dari vena sistemik, memperdarahi jaringan parenkim paru, termasuk bronkiolus

ETIOLOGI Upaya menduga etiologi hemoptisis dapat dilakukan dari pendekatan masif atau tidak masifnya hemoptisis. Pada dasarnya semua penyebab hemoptisis dapat menyebabkan

respiratorius. Anatomosis arteri dan vena bronkopulmonar, yang merupakan hubungan antaruke-2 sumber perdarahan di atas, terjadi di dekat persambungan antara bronkiolus

hemoptisis masif, akan tetapi penyebab terseringnya adalah infeksi (terutama tuberkulosis), bronkiektasis dan keganasan. Pada aspergiloma, fibrosis kistik serta berbagai

respiratorius dan terminalis. Anastomosis ini memungkinkan ke-2 sumber darah untuk saling mengimbangi. Apabila aliran dari salah satu sistem

penyakit parenkimal paru difu s umumnya teq'adi hemoptisis

294

295

HEMOPTISIS

granulasi yang menggantikan dinding bronkus yang normal. Penyakit Parenkim Paru

Penyakit Parenkimal Paru Difus (')

Abses paru (.) Aktinomikosis Amebiasis Askariasis Aspergiloma (.) Endometriosis paru Histoplasmosis

Angiosarkoma diseminata Kapilaritis (dengan/tanpa vaskulitis sistemik) Farmer's lung Granulomatosis Wagener Hemosiderosis paru idioPatik lnhalasi lsosianat Keracunan trimellitik anhidrida Krioglobulinemia campuran Lupus eritematosus sistemik Mixed connective trssue dlsease Nefropati lgA Penyakil Legionnaire Pneumonitis virus Poliarteritis nodosa Sindrom Goodpasture Skleroderma Vaskulitis sistemik

Kista paru

:

congenital atau

didapat Koksidiodomikosis Kontusio paru (-) lVletastasis di paru (.) Mola hidatidosa Mukormikosis Nokardiosis Paragonimiasis Pneumonia akut dan kronik Sekuestrasi bronkopulmonar Sporotrikosis (.) Tuberkulosis paru (.) Kelainan Trakeobronkial Adenoma bronkus Amiloidosis Aspirasi benda asing Aspirasi isi lambung Bronkiektasis (.) Bronkitis kronik Bronkolitiasis Endometriosis bronkus Fibrosis kistik (.) Fistula trakeoesofageal Fistula arteritrakeal (') Hamartoma endobronkus Karsinoma bronkogenik (.) l\iletastasis endobronkus (.) lmpaksi mukoid di bronkus Telangiektasia bronkus Trakeobronkitis akut (.) Tuberkulosis endobronkus (.)

Kelainan Kardiovaskular Aneurisma aorta Aneurysma arteri pulmonalis Aneurysma arteri subklavia CABG (coronary aftery byqass graft) Emboli paru Embolisasi lemak Embolisasi tumor Fistula arteriovena pulmonalis (.) Gagal jantung kongestif (.) Ruptur arteri bronkial (.) Ruptur arteri pulmonalis (.) Penyakit jantung kongenital . Perdarahan intrapulmonar difus (-) Sindrom Hughes-Stovin Sindrom pasca infark miokard Sindrom vena kava superior Skistosomiasis Stenosis mitral Varises vena pulmonalis

Kelainan hematologi

Lain-lain

DIC( Dlsseminate di ntrava scula t coagulation ) Leukemia (.) Terapi antikoagulan Trombositopenia

ldiopatik latrogenik : (-) Biopsi Jarum Paru Bronkoskopi Kateterisasi Jantung Malposisi pipa drainase toraks

-

(WSD)

*

Penyebab tersering

meningkat maka pada sistem yang lain akan menurun. Studi arteriografi menunjukkan bahwa 92Yo hemoptisis berasal dari arteri-arteri bronkial i s. Patogenesis hemoptisis bergantung dari tipe dan lokasi dari kelainan. Secara umum bila perdarahan berasal dari lesi endobronkial,maka perdarahan adalah dari sirkulasi bronkialis, sedang bila lesi di parenkim maka perdarahan adalah dari sirkulasi pulmoner. Pada keadaan kronik dimana terjadi perdarahan berulang maka perdarahan sering kali

berhubungan dengan peningkatan vaskularitas di lokasi yang terlibat. Pada karsinoma bronkogenik, perdarahan berasal dari nekrosis tumor serta terjadinya hipervaskularisasi pada tumor, atau juga bisa berhubungan dengan invasi tumor

ke pembuluh darah besar. Pada adenoma bronkial, perdarahan sering terjadi dari ruptur pembuluh-pembuluh

darah permukaan yang menonjol. Pada bronkiektasis perdarahan terjadi akibat iritasi oleh infeksi dari jaringan

Walaupun masih diperdebatkan, tetapi mekanisme hemoptisis pada stenosis mitral dan gagal jantung diduga berasal dari pecahnya varises dari vena bronkialis di submukosa bronkus besar akibat dari hipertensi vena pulmonalis. Hal ini tampak dari pelebaran pembuluh-

pembuluh darah yang beranastomosis antara arteri bonkialis dan pulmonalis. Pada emboli paru, hemoptisis tampaknya timbul akibat

infark jaringan paru. Bisa juga perdarahan akibat aliran darah berlebihan pada anastomosis bronkopulmonar pada

sebelah distal dari tempat sumbatan. Pada tuberkulosis, penyebab perdarahan bisa sangat beragam. Pada lesi parenkim akut, perdarahan bisa akibat nekrosis percabangan arteri I vena. Pada lesi kronik, lesi fibroulseratif parenkim paru dengan kavitas bisa memiliki tonjolan aneurisma arteri ke rongga kavitas yang mudah

berdarah. Pada tuberkulosis endobronkial, hemoptisis disebabkan oleh ulserasi granulasi dari mukosa bronkus. Pada trakeostomi, perdarahan bisa terjadi akibat fistula trakeoarteri terutama dari arteri inominata.' Perdarahan difus intrapulmonal yang berasal dari pecahnya kapiler bisa terjadi pada berbagai penyakit autoimun.

DIAGNOSIS Evaluasi hemoptisis melibatkan evaluasi rutin dan evaluasi khusus. Evaluasi rutin pada kasus hemoptisis dimulai dari anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mengkategorikan berbagai penyebab hemoptisis seperti yang tercantum di tabel I . Sebagian besar hemoptisis di Indonesia disebabkan oleh tuberkulosis. Apabila foto dada tidak menunjukkan gambaran spe sifi k untuk tuberkulosis, frekuensi' lama dan

waktu perdarahan dapat dipakai untuk memperkirakan kemungkinan lain penyakit dasar penyebab hemoptisis. Misalnya, perdarahan sedikit-sedikit setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan perlu dipikirkan kemungkinan karsinoma terutama bronkogenik. Sementara itu perdarahan berulang selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun perlu dipikirkan adanya bronkiektasis atau adenomabronkus.

Hemoptisis yang berhubungan dengan menstruasi mengarahkan pada kemungkinan endometriosis paru. Hemoptisis yang berhubungan dengan aktivitas fisik walaupun ringan, termasuk hubungan seksual, harus dipertimbangkan adanya bendungan paru. Pada usia muda adanya gejala tersebut harus dicari kemungkinan kelainan jantung atau paru kongenital. Selain kelainan kongenital, hemoptisis pada usia muda harus selalu dipertimbangkan sebagai akibat infeksi baik oleh tuberkulosis maupun trakeobronkitis non spesifik. Di samping itu, perlu pula dicari kemungkinan fibrosis kistik, kelainan darah atau tumor-tumor jarang Yang lain.

296

KEGAWTIDARURAf,AN

Apabila hemoptisis telah diketahui penyebabnya dan telah diterapi dengan baik, tetapi tetap tidak berhenti dalam 24 jam, kemungkinan kelainan hemostasis (koagulopati) harus dicari. Riwayat terapi antikoagulan membangkitkan

kemungkinan kelebihan dosis antikoagulan atau justru emboli paru karena dosis kurang. Kecurigaan emboli paru diperkuat bila ada tanda trombosis vena dalam.

Pada pasien dengan trakeostomi, selain akibat perlukaan arteri trakealis akibat lubang yang dibuat, perdarahan bisa terjadi akibat dari tindakan suction atau kelainan hemostasis. Pada pasien dengan perdarahan intrapulmonal difus, gejala utamanya lebih sering berupa sesak napas dan bukan hemoptisis. Pasien dengan trias ; kelainan saluran napas atas, penyakit saluran napas bawah, dan kelainan ginjal harus dipikirkan adanya granulomatosis sistemik Wegener.

PENATALAKSANAAN

MEDIK DI BIDAIYG ILMU PEITYAKIT DALAM

hanya dipertimbangkan pada kasus dengan bercak darah minimal tetapi batuk sangat kuat. Obat - obat anti trombosit

hendaknya dihentikan. Fisioterapi dada dan drainase postural hendaknya ditunda. Lavase bronkus dengan larutan salin normal dingin dapat dipertimbangkan pada kasus yang tidak masif.

Selanjutnya terapi penyakit penyebabnya harus diberikan. Bila sebabnya infeksi (misalnya pada bronkiektasis, bronkitis kronik dan fibrosis kistik yang terinfeksi) antibiotik harus diberikan diserlai teofilin atau

agonis b-adrenergik (sebagai perangsang gerakan mukosiliar). Pada tuberkulosis paru yang terinfeksi selain obat anti tuberkulosis antibiotik non spesifik harus diberikan. Pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), antibiotik belum pernah diteliti betul namun tampaknya

antibiotik spektrum luas membantu mempercepat penghentian hemoptisis. Bila penyebabnya gagal jantung maka terapi gagal jantung harus diberikan. Keganasan di bronkus harus diupayakan untuk direseksi.

Terapi lain yang digunakan di dunia sekarang

hanya sedikit atau hanya berupa bercak di dahak dan umumnya pertukaran gas tidak terganggu, maka

mencakup terapi foto laser, terapi emboli, dan reseksi bedah dari paru atau lobus yang berdarah. Terapi foto laser sulit digunakan bila hemoptisis sangat masif. Reseksi bedah sudah tegak manfaatnya pada hemoptisis yang disebabkan oleh penyakit yang berindikasi bedah misalnya keganasan

penegakkan diagnosis menjadi prioritas. Namun apabila perdarahan masif, maka mempertahankan jalan napas dan

atau trauma dada. Demikian pula untuk fistula arteri trakealis, bedah adalah pilihan utama penatalaksanaan.

pertukaran gas adalah harus didahulukan. Upaya

Namun untuk tuberkulosis, bronkiektasis terinfeksi,

mempertahankan jalan napas adalah termasuk mencegah asfiksia atat darah masuk dan meny.umbat saluran napas yang sehat. Pemberian oksigen dilakukan bila ada tandatanda gangguan perlukaran gas. Bila perlu resusitasi cairan dan darah harus diberikan.

bronkitis, maupun karena kelainan koagulasi, tindakan

Kecepatan perdarahan dan efek terhadap pertukaran gas menentukan penatalaksanaan hemoptisis. Bila perdarahan

Mengistirahatkan pasien umumnya membantu mengurangi perdarahan. Memiringkan pasien ke arah sisi

paru yang diduga sumber perdarahan akan membantu menjaga asfiksia sisi yang sehat. Pada perdarahan masif

bisa

jadi intubasi dan bahkan ventilator mekanik

dibutuhkan untuk menjaga jalan napas dan pertukaran udara. Ada satu jenis pipa endotrakeal yang didisain khusus memiliki lumen dua sehingga masing-masing paru menjadi terpisah salurannya dan terjaga dari tumpahnya darah ke sisi lain. Ada juga upaya pemasangan kateter balon menyumbat bronkus yang berdarah. Pemasangan ini dipandu dengan bronkoskopi. Upaya ini bukan saja mencegah asfiksia lobus yang sehat tetapi membantu menghentikan perdarahan.

Obat antitusif (termasuk narkotika) tidak dianjurkan

untuk digunakan dengan pertimbangan batuk yang adekuat mungkin dibutuhkan untuk mengeluarkan darah dari jalan napas dan mencegah asfiksia. Obat antitusif

bedah tampaknya masih kontroversil. Tidak ada kematian

karena hemoptisis pada kasus-kasus tersebut dengan perdarahan kurang dari 200 mllhari. Di Indonesia di mana embolisasi dan laser umumnya tidak tersedia, terapi bedah harus dipertimbangkan pada perdarahan lebih dari 250 ml/ hari. Namun pada sentra dengan kemampuan embolisasi atau foto laser, tindakan bedah hanya dibatasi pada kasus y ang dapat dioperasi (op er ab I e) pada perdarahan 1 l/hari atau lebih

REFERENSI Corey R, Hla KM. Major and massive hemptysis: reassestment of conservative management. Am J Med Sci. 1987;294-301. Cahi11 BC, Ingbar DH. Massive hemoptysis: assestment and management. Clin Chest Med,. 1994:15;1,47. Corey R, Hla KM. Major and massive hemoptysis: reassestment of conservative management. Am J Med Sci. 1987;294-301. Weinberger SE, Braunwald E. Cough and hemoptysis In: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ,et al, editors. Harrison's principles of intemal medicine. 15'h ed. Philadelphia: Mc Graw Hill; 2002.

p.

194-8.

PERDARAHAN

PENATALAKSAN

FAGUS

VARISES

Hernomo Kusumobroto

PENDAHULUAN Dipakai 1 kali

Perdarahan varises gastro-esofagus, merupakan salah satu

komplikasi terbanyak dari hipertensi portal akibat sirosis, terjadi sekitar 10 - 30 0% seluruh kasus perdarahan saluran cema bagian atas. Perdarahan varises sendiri terjadi pada 25 - 35 o/, pasien sirosis. Perdarahan ini sering disertai dengan angka morbiditas dan mortalitas yang jauh lebih tinggi dibanding dengan penyebab perdarahan saluran cerna yang lain, demikian pula dengan biaya perawatan di rumah sakit yang lebih tinggi. Perdarahan pertama biasanya memberi angka mortalitas yang tinggi, bisa sampai 30 0%, sementaruT0 %o dari pasien yang selamat (survivor) akan mengalami perdarahan ulang setelah perdarahan yang pertama tersebut. Selain itu, ketahanan hidup selama I tahun setelahperdarahanvarises biasanya rendah (32

-

SB Tube Vasopressin Skleroterapi Endoskopik (STE) Somatostatin Ligasi varises endoskopik (LVE) Transhepatik var. scler. (PTO) Transjugular intrahepatik portosistemik shunt (Tl PS)

<1 950

'1956

1973 1978 1

986

1974 1 988

, .Di lndonesia 1

976

1976 1

983

1992 994 1987 1 995

1

Pengobatan Medik Perdarahan varises akut Vasopressin Somatostatin Balon tamponade Pengobatan jangka panjang Penghambat beta

80 %).

Selama 3 dekade terakhir ini, pengobatan pasien hipertensi portal telah mengalami kemajuan yang cukup

Vasodilator

pesat, dengan tersedianya makin banyak pilihan

Pengobatan Endoskopik Skleroterapi EndoskoPik Ligasi Varises EndoskoPik Pengobatan

pengobatan, baik bagi pasien yang belum maupun yang sudah pernah mengalami perdarahan varises esofagus; demikian pula untuk pengobatan pada saat perdarahan akut, maupun untuk pengobatan jangka panjang guna mencegah perdarahan ulang (Tabel 1 dan 2). Seperti kita maklumi, selama bertahun-tahun sebelumnya, pengobatan pertama perdarahataktif varises esofagus yang kita kenal hanya terdiri atas pemberian infus vasopressin dan

PTO TIPS

transhePatic obliteration)

trahepatik portosystemik shunting)

Pengobatan Bedah Transeksi esofagus dan devaskularisasi Pintasan portosistemik Transplantasi hati

pemasangan balon tamponade Sengstaken-Blakemore tub e

(SB tube). Ini menyebabkan angka kematian penderita

8, pengobatan perdarahan varises esofagus mengalami perubahan revolusioner. Temuan ini kemudian disusul dengan penggunaan endoskopi untuk pengobatan skleroterapi endoskopik (STE) sekitar tahun 1973, dan

dengan perdarahan varises esofagus pada saat itu sangat tinggi, r ala-r ata di atas 40%o (Tabel 3). Baru sekitar tahun 1970, setelah ditemukannyapreparat vasopresor baru, somatostatin dan analognya pada tahun

1

297

97

298

Penulis, tahun Hilmy, 197'1 Djajapranata, '1973 Abdurachman, '1975 Akit,'1975 Simadibrata, 1978 Hernomo,1978 Soemarto, 198'1 Julius, 198'l

KEGAWATDARURAIAN MEDIK DI BIDAT{G ILMU PEIYYAKIT DALAM

Kota

Jml.kasus

Jakarta

108

Surabaya Bandung U Pandang

35'l

Jakarta Surabaya Yogyakarta

237

Padang

132 17

Mortalitas 54 6 o/o 43 3 o/o 57.6 % 35 5 o/o

bb

45.9 % 32.4 %

138

624%

182

483%

ligasi varises endoskopik (LVE) secara rutin mulai tahun 1986.

Di Indonesia, sirosis hati masih tetap merupakan penyebab perdarahan saluran cerna yang paling banyak ditemukan. Frekuensinya bervariasi antara 25 82 oh, tergantung di daerah mana pemeriksaan dikerjakan. Dari hasil pemeriksaan endoskopi, perdarahan varises esofagus ditemukan hampir merata di seluruh Indonesia, dengan frekuensi bervariasi antara 15 - 63 %. Pengobatan pasien dengan perdarahan varises gastroesofagus meliputi : prevensi terhadap serangan perdarahan pertama Q)rimary pr op hy I aris), mengatasi perdarahan aktif, dan prevensi perdarahan ulang setelah perdarahan pertama

teqadi (secondaty prophylaxrs). Selama beberapa dekade

terakhir, banyak modalitas pengobatan baru dan yang menarik telah ditemukan untuk perdarahan varises ini. Pengelolaan perdarahan varises'akut menrpakan proses yang sangat kompleks, termasuk di antaranya penanganan secara umum, seperti : resusitasi, monitoring kardiopulmoner, transfusi, pengobatan terhadap perdarahannya sendiri, dan pencegahan terhadap komplikasi.

>30F, untuk aspirasi dan pencucian lambung. Tidak terdapat bukti bahwa pemasangan pipa ini meningkatkan risiko pada pasien yang mengalami perdarahan varises. Cara ini selain memberi keuntungan untuk mengetahui apakah perdarahan masih aktif, juga dapat digunakan untuk

membersihkan lambung, sehingga endoskopi dapat dilakukan lebih efektif. Dalam Konsensus Baveno I

(

1

990), disebutkan bahwa

untuk diagnosis perdarahan varises mutlak dibutuhkan pemeriksaan endoskopi secepat mungkin. Untuk itu perlu dicatat waktu pemeriksaan endoskopi (tanggal dan jam pemeriksaan) dalam setiap laporan. Sebagai batasan perdarahan aktif disebutkan bila tampak ada perdarahan pada saat pemeriksaan endoskopi (oozing atau spurting). Sebagai tanda bekas perdarahan baru (recent bleeding),

dipakai tanda papil putlh (white nipple). Sedang bila terdapat bekuan darah, harus dibersihkan dengan penyemprotan (wash). Diagnosis perdarahan varises tanpa sumber perdarahan lain, dapat digunakan bila ditemukan darah dalam lambung danlatau endoskopi dikerjakan dalam

waktt24 jam. Secara endoskopi batasan perdarahan varises adalah

:

perdarahan dari varises esofagus atau lambung yang tampak pada saat pemeriksaan endoskopi, atau ditemukan adanya varises esofagus yang besar dengan darah di lambung tarpa adanya penyebab perdarahan yang lain. Perdarahan disebut bermakna secara klinik bila kebutuhan transfusi daruh2 unit atau lebih dalam waktu 24 jamsejak pasien masuk rumah sakit, disertai dengan tekanan darah sistolik kurang dari 100 mm Hg, atau penurunan tekanan darah lebih dari 20 mmHg dengan perubahan posisi, dan atau nadi lebih dari 100 kali/menit pada saat masuk rumah sakit.

Sesuai dengan konsensus Baveno

(I

sampai

III)

maupun Inggris (UK consensus), untuk menilai beratnya sirosis, dapat digunakan skor Child-Pugh (Tabet 4).

DIAGNOSIS Pasien dengan perdarahan varises biasanya menunjukkan gejala-gejala yang khas, berupa: hematemesis, hematokezia atau melena, pemrrunan tekanan darah, dan anemia. Namun

harus dipahami bahwa adalya tanda-tanda yang khas sirosis hati, dengan demikian ada dugaan hipertensi portal, tidak otomatis menyingkirkan sumber perdarahan lain. Hampir 50% pasien dengan hipertensi portal mengalami

Kategori Ensefalopati

0

Asites

C)

Albumin (g/l)

<34 >35

INR

< 1.3

Bilirubin (mMol/l)

t/il sedang 34-51 28-35 1.3- 1,5

Ringan -

ilt/tv Beral

>51

<28 > 1.5

perdarahan non-varises. Beberapa di antaranya disebabkan oleh gastropati hipertensi portal, yang berhubungan dengan peningkatan tekanan portal, namun sebagian besar tidak berhubungan dengan peningkatan tekanan portal. Karena itu pasien-pasien ini membutuhkan pemeriksaan endoskopi yang segera, untuk menetapkan diagnosis yang pasti, sehingga pengobatan yang adekuat dapat segera diberikan. Sebelum endoskopi, dilakukan pemasangan pipa nasogastrik, dianjurkan dengan ukuran

Menurut sistem

skor di

atas, kelas

sesuai dengan skor 6 atau kurang, Kelas B kelas C: 10 atau lebih.

A

:

Child-Pugh, skor 7 -9, dan

Pasien dari kelas A, biasanya meninggal akibat efek perdarahannya sendiri, sementara pasien dengan kelas C kebanyakan akibat penyakit dasarnya. (Rekomendasi kuat

tingkatAl).

299

PENATALAKSANAAN PERDARAHAN VARISES ESOFAGUS

Untuk menilai derajat

bes

a

varises, baik konsensus

Inggris maupun Baveno I-1990 sampai dengan III-2000, semuanya menganjurkan pemakaian cara yatg paling sederhana, yaitu membagi menjadi 3 tingkatan (Tabel 5).

Tingkat

1

Tingakt Tingakt

2 3

varises yang kolaps pada saat inflasi esofagus dengan udara varises antara tingkat 1 dan 3. varises yang cukup untuk menutup lumen esofagus. (Rekomendasi kuat tingkat Cll )

Dari Konsensus Baveno II-1995, telah disepakati bahwa pada semua pasien sirosis hati seyogyanya secara rutin

diperiksa ada tidaknya hiper-tensi portal, dengan pemeriksaan endoskopi dan USG (sebaiknya dengan dop-pler), terutama pada pasien yang belum pernah

dalam wakh-r 12

Baveno

kronik akibat GHP, adalah adanya fecal blood loss, penurunan Hb > 2 gramo/o dalam 3 bulan, dan saturasi transferin yang rendah, disertai adalya GHP pada pemeriksaan endoskopi, tanpa adanya kolopati, duodenopati, supresi sumsum tulang, penyakit ginjal kronik, maupun pamakaian obat-obat antiinflamasi (OAN)'

Lesi MLP (Mosaic Like Pattern) Ringan Berat RM (Red Marking) Terisolasi Berkonfluen GAVE (Gastric Anhral Vascular Ectasis) Negatif Positif GHP ringan GHP berat

1

2

seperti: pengukuran tekanan varises dengan cara langsung, angiografi, dan MRI, hanya dianjurkan untuk keperluan penelitian saja. Dalam Konsensus Baveno II ini ada beberapa kesepakatan baru yang dibuat, antara lait: perdarahan varises baru berarti secara klinik bila memenuhi

hematemesis dan atau melena baru, setelah24 jamkeadaan umum pasien stabil (tensi, nadi, Hb, PCV) pasca perdarahan akut.

Konsensus Baveno III-2000 (41) menyebutkan bahwa

:

clinical diagnosis klinik hipertensi portal (CSPH significant of portal hypertension), dapat ditegakkan berdasarkan

.

.

:

Meningkatnya gradien tekanan portal di atas batas sekitar l0mmHg.

Adanya varises, perdarahan varises, dan/atau asites, dapat dipakai sebagai dasar adanya hipertensi portal secara

klinik (CSPH).

GHP, Konsensus

sepakat untuk menggunakan sistem skoring

seperti dalam tabel 6. Knteria untuk menetapkan perdarahan

mengalami perdarahan SMBA. Sarana diagnosis yang lain

persyaratan membutuhkan minimal 2 unit darah dalam waktu 24 j am. S edang perdarahan ulang terj adi bila timbul

II

-24 jam.Untuk klasifftasi

Skor 1

2 1

2

0

<3 >4

FAKTOR RISIKO PADA PERDARAHAN PERTAMA Faktor-faktor predisposisi dan yang memacu terjadinya perdarahan varises, sampai saat ini masih tetap belum jelas.

Dugaan bahwa esofagitis dapat memacu terjadinya perdarahan varises telah diabaikan. Pada saat ini faktorfaktor paling penting yang dianggap berlanggung jawab adalah: l). Tekanandalamvarises; 2). Ukuranvarises; 3)' Tekanan di dinding varises, dan; 4). Beratnya penyakit hati.

Pada sebagian besar kasus, tekanan portal yang merefl eksikan (menunjukkan) tekanan intravarises, dan gradien tekanan vena hepatika (HVPG : hepatic venous pressure gradient)lebihbesar dari 12 mm Hg, dibutuhkan

Selain itu, semua pasien sirosis seyogyanya dilakukan

untuk terjadinya perdarahan varises esofagus; namun

skrining secara rutin untuk mengetahui adanya varises

tidak ditemukan hubungan lurus antara beratnya hipertensi portal dan risiko terjadinya perdarahan varises. Gradien tekanan vena hepatika (HPVG) menunjukkan tendensi lebih tinggi pada pasien yang mengalami perdarahan, demikian pula pasien yang mempunyai varises yang lebih besar. Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa

pada saat diagnosis awal sirosis dibuat. Pemeriksaanulang

untuk setiap pasien yang dengan ala.utanpa tanda-tanda klinik hipertensi portal (CSPH) dapat dilakukan sepefti berikut:

.

.

Pada pasien dengan sirosis kompensata tanpa varises,

pemeriksaan endoskopi dapat diulangi setiap 2 - 3 tahun, untuk mengetahui kapan varises mulai timbul.

risiko perdarahan varises meningkat dengan makin besarnya ukuran varises.

Padapasien dengan sirosis kompensata dengan varises kecil, endoskopi dapat diulangi setiap 1 -2 tahun, untuk mengetahui progresivitas pembesaran varises.

Dengan menggunakan model in vitro, Polio dan Groszmann menunjukkan bahwa pecahnya varises berhubungan dengan tegangan (tension) pada dinding

Untuk diagnosis perdarahan akut akibat gastropati hipertensi porlal (GHP), dibutuhkan pembuktian secara

varises. Tegangan ini tergantung pada radius varises. Pada

endoskopik adanya lesi yang berdarah aktif. Bila ditemukan varises esofagus atau lambung, endoskopi dapat diulangi

model ini, meningkatnya ukuran varises

dan

mengurangnya tebal dinding varises, menyebabkan varises pecah.

300

KEGAIVAIIDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

Gambaran endoskopi, seperti bintik kemerahan (red dan tatda wale, pertama kali dikemukakan oleh Dagradi. Kedua tanda ini digambarkan sebagai sangat

Indeks hati (Tabel 7) juga dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menilai prognosis pasien hematemesis

penting dalam meramalkan terjadinya perdarahan varises. Dalam penelitian retrospektif di Jepang (The Japanese Research Society for Portal Hypertension), Beppu dan kawan-kawan menunjukkan bahwa 80% pasien yang

penelitian sebelumnya, pasien yang mengalami kegagalan

spots)

mempunya varises kebiruan (blue varices) atau bintik

kemerahan (cherry

melena yang mendapat pengobatan secara medik. Dari hasil

hati ringan (indeks hati 0 2), angka kematian antara 0 - 16 0%, sementara yang mempunyai kegagalan hati sedang sampai berat (indeks hati 3 - 8) angka kematian antara 18 40%.

red spots) ternyata mengalami

perdarahan varises. Hal itu menimbulkan dugaan bahwa keduanya merupakan prediktor penting untuk terjadinya perdarahan varises esofagus pada sirosis.

Kedua penelitian int, - The North ltalian Endoscopic C/arb (NIEC) dan data dari Jepang menunjukkan bahwa

Pemeriksaan

risiko perdarahan tergantung pada 3 faktor : 1). Beratnya

2.

penyakit hati (diukur dengan klasifikasi Child); 2). Ukuran varises, dan; 3). Tanda kemerahan (red wale markings).

3 4

Penelitian lebih jauh menunjukkan bahwa gradien tekanan vena hepatika (HVPG) dan tekanan intravarises juga merupakan prediktor independen untuk timbulnya

3.6 <2.0 -

1. Albumin (g %)

1

2 3

>

Bilirubin (mg %) Gangguan kesadaran Asites Kegagalan hati ringan Kegagalan hati sedang Kegagalan hati berat

= = =

indeks hati indeks hati indeks hati

3.0

- 3.5

<30

2.0-30

> 3.0

minimal

+

minimal

+

0

-

3

4- 6 7 - 10

perdarahan varises yang pertama. Sebagai ringkasan, 2 faktor terpenting (utama) yang menentukan risiko perdarahan varises adalah : beratnya

penyakit hati dan ukuran varises. Pengukuran gradien

PROFILAKSTS PRIMER ( pRtMARy pROpHyLAXtSl

tekanan vena hepatika (HPVG) berguna sebagai petunjuk unfuk seleksi pasien, guna menentukan cara pengobatan dan responsnya terhadap terapi.

Karena 30-50% pasien dengan hipertensi portal akan mengalami perdarahan dari varises, dan sekitar 50 o/o akan meninggal akibat efek perdarahan pefiama, tampaknya

sangat rasional untuk membuat panduan pengobatan profilaksis untuk mencegah terjadinya varises, juga

PROGNOSIS PERDARAHAN VARISES AKUT

perdarahan varises. Namun sebagian besar penelitian yang

Angka kematian rata-rata pada serangan perdarahan

dipublikasi tidak mempunyai cukup data untuk

pertama pada sebagian besar penelitian menunjukkan sekitar 50%. Angka kematian ini berhubungan erat dengan

menunjukkan cara pengobatan mana yang paling efektif. Bedah pintasan profilaksis telah banyak dicoba dengan cara acak, penelitian dengan metaanalisis menunjukkan keunfungan yang bermakna dalam menekan perdarahan varises, tetapi ternyata juga memrnjukkan peningkatan risiko terjadinya ensefalopati hepatik dan mortalitas pada pasien yang dilakukan operasi pintasan. Inokuchi dan kawan-kawan berhasil menunjukkan penurunan yang bermakna dalam perdarahan varises dan mortalitas pada pasien yang mendapat pengobatan dengan berbagai macam prosedur devaskularisasi. Namun ada sejumlah masalah yang berhubungan dengan interpretasi penelitian

berabrya penyakit hati. Dalam pengamatan rata-rata selama 1 tahun, angka kemati an rata-rata akibat perdarahan varises berikutnya adalah sebesar 5 o/opadapasien dengat Child kelas A, 25 oh pada Childkelas B, dan 50 o/o pada

Child

kelas C. Walaupun kreatinin serum dapat dipakai sebagai

prediktor ketahanan hidup secara menyeluruh pada beberapa penelitian, klasifikasi Child masih dianggap tebih

superior dibanding prediktor-prediktor lain, dalam menentukanmortalitas dalam 6 minggu atau 30 hari setelah perdarahan pertama. Vinel dan kawan-kawan menunjukkan bahwa HVPG dapat dipakai sebagai prediktor ketahanan hidup, bila diukur 2 minggu setelah perdarahan akut. Masih belum jelas, apakah perdarahan aktif pada saat pemeriksaan

endoskopi dapat dipakai sebagai prediktor mortalitas. Namun perdarahan aktif pada saat endoskopi ini dapat dipakai sebagai prediktor terjadinya perdarahan ulang yang lebih awal. Risiko kematian menurun dengan cepat sesudah perawatan di rumah sakit, demikian pula risiko kematian ini menjadi konstan sekitar 6 minggu setelah perdarahan.

ini, karena tiap-tiap senter (ada22 pusat penelitian) temyata menggunakan teknik devaskularisasi yang berbeda-beda. Hasil penelitian ini masih membutuhkan konfirmasi lebih

jauh. Panduan utama penggunaan obat farmakologi sebagai

profilaksis primer perdarahan varises masih tetap propanolol, yang terbukti dapat menurunkan gradien tekanan portal, menurunkan aliran darah vena azigos, dan

juga tekanan varises. Efek ini disebabkan karena vasokonstriksi splanknik dan penurunan volume semenit. Hasil metaanalisis menunjukkan bahwa risiko perdarahan

301

PENAf,ALAKSANAAN PERDARAHAN VARISES ESOEAGUS

lebih rendah secara bermakan, namun untuk angka kematian hanya berbeda sedikit. Perhatian terhadap pemakaian vasodilator, seperti isosorbid mononitrat tumbuh karena dalam penelitian terbukti bahan ini dapat menekan tekanan portal sama efektifnya dengan propanolol. Kombinasi nadolol dan isosorbid mononitrat telah dibandingkan dengan nadolol sebagai obat tunggal, dalam penelitian acak terkontrol. Ternyata terapi kombinasi dapat menekan frekuensi perdarahan secara bermakna, tetapi tidak berbeda dalam angka kematian pasien. Terdapat bukti-bukti yang kuat bahwa penurunan denlut nadi istirahat sebesar 25 %o detgan penghambat beta (propanolol, atenolol, atau nadolol) dapat mencegah perdarahan pertama, karena penurunan ini berhubungan langsung dengan penurunan tekanan portal. Isosorbide5-mononitrate 2 x 40 mg, dalam penelitian yang belum terlalu banyak, efektif juga untuk mencegah perdarahan y ang pertama. Masih dibutuhkan metodologi penelitian

yang lebih baik untuk menetapkan siapa saja yang mempunyai risiko yang paling tinggi untuk berdarah,

gradien tekanan vena hepatika

(IIVPG:

hepatic venous

pressure gradient) menjadi kurang dati 12 mm Hg. (Rekomendasi tingkat AI).

.

Dosis: Mulai dengan dosis 2 x 40 mg, dinaikkan hingga x 80 mg bila perlu. Pemakaianlong acting propranolol

2

.

dalam dosis 80 atau 160 mg dapat dipakai untuk memperbaiki ketaatan pasien. (Rekomendasi tingkatAl) Padakasus dimanaterdapatkontraindikasi atauterjadi

intoleransi tehadap propanolol, pengobatan LVE

.

merupakan pilihan utama (Rekomendasi tingkat AI') Dalam situasi di manabaikpropanolol maupun LVE tidak dapat digunakan, isosorbide mononitrate dapat dipakai sebagai obatpilihanutama(2 x 20 mg). (Rekomendasi

tingkatBl.)

l.

Siapa yang harus dilakukan surveilans untuk perdarahan varises

.

?

Semua pasien dengan sirosis sebaiknya dikerjakan

endoskopi pada saat diagnosis dibuat. (Rekomendasi tingkat CI.)

sehingga dengan demikian dapat diketahui siapa saja yang

2. Berapa kali pasien sirosis harus di endoskopi ? . Bila pada saat endoskopi perlama tidak ditemukan

paling diuntungkan untuk pengobatan profilaksis. Metodologi yang lebih baik juga dibutuhkan untuk

varises, pasien sirosis harus dilakukan endoskopi berkala dengan jarak 3 tahun sekali. (Rekomendasi

menetapkan obat mana yang efektif unfuk menurunkan tekanan porlal. Endoskopijuga telah dipakai sebagai salah satu teknik

tingkat AII.) Bila ditemukan varises kecil pada saat diagnosis dibuat, pasien harus dilakukan endoskopi berkala setiap tahun sekali. (Rekomendasi grade aii.) Pasien sirosis mana yang harus diberi profilaksis

untuk mencegah perdarahan varises. Sklero Terapi Endoskopi (STE) telah dipakai sejakbeberapa tahun untuk pengobatan perdarahan varises, namun akhir-akhir ini tidak dianjurkan lagi sebagai pengobatan profilaksis karena kurang efektif. Ligusi varises endoskopi (LVE) mungkin bermanfaat untuk pengelolaan perdarahan varises akut, tetapi untuk pengobatan profilaktik masih belum banyak

.

3.

primer

.

.

dipakai, sehingga efektivitasnya juga masih perlu dibuktikan. Pada saat ini skleroterapi endoskopi (STE) belum dapat direkomendasi sebagai terapi profilaksis untuk perdarahan

varises pada pasien sirosis. Sarin dan kawan-kawan membandingkan terapi ligasi varises (LVE) dengan tanpa terapi aktifdengan cara acak, dan hasilnya menunjukkan terjadi penurunan secara bermakna perdarahan varises pada pasien yang mendapat pengobatan LVE. Sementara angka

kematian tidak berbeda. Penelitian selanjutnya yang menyangkut 120 pasien, menunjukkan hasil yang sama. LVE juga telah dibandingkan dengan propanolol dalam penelitain secara acak, hasilnya menunjukkan bahwa LVE dapat menekan frekuensi perdarahan pertama, namun tidak mempengaruh i angka kematian. Sesuai dengan rekomendasi Inggris, juga rekomendasi Baveno III-2000, metode profilaksis primer yang paling bark dan efektifadalah:

. '

Terapi farmakologi dengan propranolol merupakan modalitas terapi terbaik yang ada pada saat ini. (Rekomendasi tingkat AI.) Tujuan pengobatan dengan propranolol: Menurunkan

?

Bila dibuat diagnosis varises tingkat 3, pasien harus mendapat profilaksis primer, tanpa melih atbetatnya gangguan faal hati pasien (Rekomendasi tingkatAl.) Bila pasien mempunyai varises tingkat 2, detgan gangguan faal hati Child kelas B atau C, mereka harus mendapat profilaksis primer. (Rekomendasi tingkatBl).

PENATALAKSANAAN AWAL (INITIAL MANAGE. MENT) Langkah pertama yang paling penting dalam pengelolaan perdarahan varises akut adalah segera mulai resusitasi dan proteksi jalan napas untuk mencegah terjadinya aspirasi. Endoskopi dini dapat mengevaluasi saluran cerna bagian atas secara lebih akurat unfuk membuat diagnosis sumber perdarahan, serta menenfukan pengobatan secara tepat.

Di

negara-negara maju, setiap pasien dengan

perdarahan akut saluran makan bagian atas (SMBA), terutama perdarahan varises, dianjurkan diawasi di rumah sakit, bila perlu di ruangan perawatan intensif, walaupun perdarahan tampaknya ringan. Bila ada Tim Hipertensi Portal, sebaiknya Tim tersebut telah dilibatkan sejak awal perawatan pasien. Setelah keadaan umum pasien stabil, segera dilakukan pemeriksaan endoskopi darurat untuk

302

KEGAWATDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKTT DALAM

menetapkan penyebab perdarahan dan menentukan pengobatan yang tepat. Konsensus Baveno III-2000 (41) merekomendasikan

perdarahan, menunjukkan perbaikan perjalanan klinik

bahwa pemberian darah harus dikerjakan secara hati-hati dan lebih konsernatif, dengan menggunakan sel darah

klavulanik dan siprofl oksasin).

: packed red cell), cukup untuk mempertahankan hematokrit antara 25 - 30 %o, dan

aspirasi pneumonia atau infeksi. Penelitian terakhir menunjukkan bahwa pasien dengan sirosis yang mengalami dengan pemberian antibiotika profi laksis (amoksisilin-asam

yang dipadatkan (PRC

pemberian cairan pengganti plasma (plasma expander)

PENGOBATAN DEFINITIF (DEF|N|T|VE TH ERApy)

untuk mempertahankan hemodinamik yang stabil. Mengenai pemberian obat-obat koagulopati dan

Pipa Sengstaken-Blakemore (SB tube) dengan modifikasi

pengobatan terhadap trombositopeni, masih diperlukan

Minnesota (dengan penambahan lubang aspirator di atas

data yang lebih banyak. Adanya infeksi harus

balon esofagus) dapat dipakai untuk mengatasi

dipertirnbangkan pada semua pasien. Karena itu pemberian antibiotika profilaksis seyogyanya dilakukan sebagai bagian pengobatan rutin untuk semua pasien pada saat masuk rumah sakit. Intervensi awal untuk setiap pasien dengan perdarahan

perdarahan varises esofagus atau varises lambung di daerah proksimal, namun harus dipastikan dulu sumber perdarahannya. SB tube harus dipasang secara tepat dan dengan pengawasan (monitoring) yang ketat, karena risiko kernungkinan terjadinya komplikasi yang sedang sampai berat. Pada umumnya dianjurkan untuk melakukan inflasi balon esofagus maupun lambung pada awalnya, dan segera dilakukan deflasi dalam waktu 12 - 24 jam, :ul;rt'tk

akut adalah pemasangan akses intravena yang baik, selanjutnya mulai dengan penggantian volume darah yang (v o lum e r ep I a c em enl). Hampir pada semua pasien, tindakan ini dapat dimulai dengan cairan kristaloid, diikuti dengan transfusi darah. Bila pasien masih berdarah aktif, dan diketahui kemungkinan besar ada hipertensi portal, vasopressin atau octreotide dapat diberikan dalam dosis empirik sebagai usaha untuk menurunkan tekanan portal dengan cepat. Dengan demikian dapat menurunkan risiko atau menghentikan perdarahannya. Vasopressin diberikan dalam dosis 0.1- 1.0 unit/menit, meskipun dosis di atas 0.6 unit/menit masih diragukan efektifitasnya. Obat ini dapat

hilang

menimbulkan vasokonstriksi bermakna, yang dapat menyebabkan iskemi atau nekrosis organ. Pasien dengan penyakit pembuluh darah koroner atau penyakit pembuluh darah perifer, merupakan kontraindikasi pemberian obat ini. Pemberian nitrogliserin intravena dalam dosis 0.3 mgl menit, atau secara sublingual, maupun transdermal (patch) dapat ditambahkan pada vasopressin untuk menurunkan risiko terhadap komplikasi pada jantung dan pembuluh darah. Octreotide (analog sintetik dari somatostatin) dapat

menurunkan tekanan portal tanpa menimbulkan efek samping seperti pada vasopressin. Penelitian menunjukkan bahwa dosis efektif octreotide adalah25-200 mcg/jam secara intravena, dengan atau tanpa didahului bolus 50 - 100 mcg. Plasma segar beku (FFP : fresh frozen plasma) dapat

diberikan pada pasien yang terus berdarah yang menunjukkan PPT yang memanjang. Demikian pula tombosit (TC

:

thrombocyte concentrate) dapat dlberlkan

bila trombosit < 50,000/m1 dan perdarahan masih berlangsung. Pasien dengan ensefalopati, intoksikasi, atau gangguan mental/ kesadaran yang lain, perlu dilakukan pemasangan intubasi endotrakheal sebelum pemeriksaan endoskopi, atau prosedur invasif lain, karena.risiko aspirasi cukup

tinggi. Setiap pasien dengan perdarahan varises mempunyai tambahan risiko tinggi untuk mengalami efek samping yang lebih berat, bila terjadi komplikasi seperti

menghindari kerusakan mukosa. Sekali balon dikempeskan, dianjurkan untuk segera dilakukan pengobatan lanjutan untuk mencegah perdarahan ulang, karena perdarahan ulang setelah pengempesan SB tube

terjadi sekitar 80

o/o

atau lebih. Beberapa pengobatan

definitif termasuk antara lain : terapi endoskopi (STE atau LVE), embolisasi transhepatik atau transmesenterik (minilaparotomi), operasi (pintasanl shunt, ligasi, devaskularisasr), Transjugular Intrahepatic Portosyslemic Shunts (TIPS), ata:u orthotopic liver transplantation (OIjI). Terapi definitifawal yang terpilih adalah STE atau LVE. Baik penyuntikan bahan sklerosan (1 .5% sodium tetradecyl suffote atau 5%o ethanolamine oleate) darr pemasangan ligator pada varises esofagus, terbukti dapat mencegah perdarahan ulang varises dan memperpanjang ketahanan hidup pasien (survival). Untuk mencapai tujuan ini, pasien harus diterapi secara berkala dan teratur, dengan pengobatan awal selanjutnya dengan intewall -2 minggu sampai varises dapat dieradikasi. Makin cepat eradikasi

tercapai, makin baik hasil prevensi perdarahannya. Sayangnya, STE mempunyai banyak efek samping seperli : demam, nyeri dada, mediastinitis, efusi pleura, tukak esofagus yang dalam, perforasi esofagus, dan striktur). LVE lebih efektif dari pada STE, mempunyai efek samping jauh lebih sedikit, juga menunjukkan perdarahan ulang yang lebih sedikit serta mortalitas yang lebih baik dibanding STE. Dengan pemakaian ligator ganda (multiple ligators),

pemakaian oyertube dapat dikurangi bahkan dihindari, sehingga LVE menjadi lebih aman dan lebih cepat. Embolisasi radiologik pada arteri koronaria gastrika dan kolateralnya, yang memberi pasokan pada varises yang berdarah, dapat menghentikan perdarahan secara efektif. Namun pendekatan transhepatik menjadi sulit pada hati yang sangat sirotik, keras, dan disertai asites, dan dapat

303

PENAf,ALAKSANAAN PERDARA}IAN VARISES ESOFAGUS

menimbulkan risiko komplikasi yang sangat tinggi. Pendekatan lewat vena transmesenterik tampaknya dapat mengatasi masalah ini, namun membutuhkan insisi kecil, yang tetap masih dapat memberi tambahan komplikasi. Tindakan bedah mempunyai hasil yang sangat bervariasi. Devaskularisasi lambung bagian proksimal dan esofagus,

dengan atau tanpa transeksi esofagus, mempunyai beberapa keuntungan, namun tindakan ini belum dapat diterima secara luas sebagai tindakan yang aman dan efektif. Pintasan porto-sistemik dengan bermacam cara, sangat efektif untuk menghentikan perdarahan, tetapi mempunyai angka morbiditas dan mortalitas yang bermakna, khususnya pada pasien dengan Child C. Pintasan mesokaval (H-graft) dan splenorenal distal (War-

ren) telah dikembangkan untuk menekan angka ensefalopati pasca pintasan. Meskipun hasilnya cukup lumayan, pada beberapa kasus pintasan ini dapat mengalami pembuntuan (clotting),sehingga ensefalopati tetap dapat timbul di kemudian hari. Pengenalan prosedur TIPS menambah perbaikan dan makin banyaknya variasi pilihan pengobatan pada pasien yang mengalami kegagalan dengan pengobatan endoskopi.

Di tangan seorang radiolog yang handal atau terlatih, kesuksesan prosedur TIPS dapat mencapai 950% kasus. Pintasan ini dapat menurunkan tekanan portal secara efektif sampai <12 mmHg, sehingga dapat menekan angka perdarahan ulang cukup tinggi. Pintasan ini juga tetap mempunyai risiko untuk buntu, karena itu perlu di monitor secara berkala dengan USG atau dengan venografi,

Sesuai dengan rekomendasi Inggris: idealnya pasien dengan perdarahan varises seyogyanya dirawat di unit dimana tenaga yang ada sudah familiar dengan pengelolaan pasien dan penggunaan semua alat-alat untuk intervensi secara rutin. (Rekomendasi tingkat CII.)

Cara Kanula perifer No 16, paling sedikit 2 Cross mafch untuk 6 unit darah. Perbaikan waktu protrombin, jumlah trombosit. Akses CVC (central venous catheter). Proteksi jalan nafas dengan intubasi elektif Perdarahan varises yang berat tak terkontrol; :

-

[.

2.

Resusitasi

SaatMelakukanEndoskopi . Secepat mungkin begitu hemodinamiknya stabil.

.

. .

pasien seperti

ini

seyogyanya disiapkan untuk

pemasangan pintasan lebih awal, dibanding pasien dengan

perdarahan varises esofagus.

LVE (ligasi varises endoskopik) merupakan pilihan pertama. (Rekomendasi tingkat AI.) Bila LVE sulit karena perdarahan yang masif dan terus berlangsung, atau teknik tidak memungkinkan, STE dapat dikerjakan (Rekomendasi tingkat AI.) Bila endoskopi tidak memungkinkan, pemberian vasokonstriktor seperti octr eotide atau glypres s in,

atau pemasangan pipa Sengstaken (dengan pengawasan yang ketat), dapat dikerjakan sambil menunggu tindakan yang lebih definitif. (Recom-

4.

mendation grade AI.) Kegagalan Mengatasi Perdarahan Aktif . Dalam keadaan di mana perdarahan sulit dikontrol,

pipa

baik dengan STE maupun LVE. STE dengan jumlah

untuk menghindari dislokasi ligator lebih awal. Penyuntikan bahan lem atau glue (sianoakilat) ke dalam varises lambung cukup efektif, tapi bahan ini belum tersedia di AS. Pasien-

)

(Rekomendasi tingkat BIII. )

bukan kandidat transplantasi, yang menginginkan untuk kembali, untuk manajemen tindak lanjuft. Sayangnya, ensefalopati cukup sering dijumpai pasca TIPS, yang

lebih jelek dibandingkan dengan hasil pengobatan pada varises esofagus. Kombinasi STE + LVE dilaporkan efektif pada pasien dengan varises terisolasi di daerah kardia lambung. Pasien-pasien ini membutuhkan pengobatan supresi asam lebih banyak setelah pemasangan ligator,

Pneumonia aspirasi. (Rekomendasi tingkat Blll

3. MengatasiPerdarahan

dianggap sebagai jembatan emas menuju ke transplantasi hati. Prosedur ini juga dapat digunakan pada pasien yang

sklerosan yang banyak dikatakan sedikit lebih baik daripada dengan dosis standard, namun hasilnya tetap

Ensefalopati berat; Tak mampu mempertahankan saturasi oksigen di atas 90%;

lV.

pada banyak kasus. Dengan demikian, TIPS sering

membatasi penggunaan cara ini, khususnya pada pasien dengan fungsi hati yang jelek. Transplantasi hati masih tetap merupakan pilihan paling baik untuk pasien dengan perdarahan varises yang tidak terkontrol. Adanya varises lambung merupakan situasi yang lebih sulit untuk diatasi, karena biasanya tidak mudah dieradikasi

:

l. ll. lll

.

Sengstaken dapat dipasang, sampai pengobatan lanjutan seperti terapi endoskopi, TIPSS, atau tindakan bedah dapat dikerjakan. (Rekomendasi tingkat BI.) Pada saat ini konsultasi kepada spesialis harus segera dikerjakan, dan

bila mungkin juga

pemindahan pasien ke unit spesialis yang lebih

.

pengalaman dalam menangani keadaan seperti ini. (Rekomendasi tingkat BII. ) Modalitas pengobatan seperti antara lain, intervensi bedah seperti transeksi esofagus atau TIPSS harus ditetapkan dulu berdasarkan pengalaman serta

tersedianya spesialis yang biasa mengerjakan tindakan tersebut di pusat rujukan yang dituju. (Rekomendasi tingkat BII.)

304

KEGAWATDARURAf,AN MEDIK DI BIDANG IIJVIU PEIYYAKIT DALAM

PENGOBATAN JANGKA PANJANG/PROFILAKSIS SEKUNDER (SECONDA Ry pROpHyLAXtS)

diikuti dengan endoskopi beikala setiap 3 bulan dan 6 bulan. Bila terjadi varises baru, segera dilakukan eradikasi ulang. (Rekomendasi tingkatAII.)

Sementara terapi endoskopi secara berkala dapat menimbulkan eradikasi varises, menekan perdarahan ulang,

dan memperbaiki ketahanan hidup (survival) pasien sirosis, tindakan ini khususnya hanya terbatas pada pasien dengan Child A dan B. Sampai saat ini belum ada satu penelitian pun yang menunjukkan perbaikan ketahanan

hidup pada pasien Child C, bahkan pada beberapa penelitian pengurangan perdarahan ulangpun tidak

terbukti. Demikian pula pada perbandingan endoskopi versus prosedur pintasan pada pasien Child C. Karena itu sampai saat ini masih belum terbukti secara jelas, dari sekian banyak variasi pilihan pengobatan, tindakan apa yang paling terpilih, khususnya dalam hal cost elfectivity. Tampaknya pilihan terapi terbaik saat ini masih tergantung pada : tersedianya sarana serta tenaga terlatih, serta kondisi pasien secara keseluruhan.

Skleroteterapi Endoskopik (STE)

. . .

dicapai adalah penurunan nadi pada saat istirahat sebesar %o, dengan menggunakan propanolol, atenolol, atau

25

Interval antara pengobatan sama seperti LVE di

atas.

Penghambat Beta Non-selektif dengan atau Tanpa Terapi Endoskopik

.

Kombinasi STE denganpenghambatbetanon-selektif maupun beta bloker tunggal, dapat digunakan. Bila yang

dipilih yang terakhir, maka sebaiknya dlakukan pemeriksaan pengukuran HVPG, untuk memastikan bahwa pengobatan tersebut berhasil menurunkan tekanan HVPG di bawah 12 mm Hg. (Rekomendasi tingkat AII.)

pengobatan tunggal atau dengan kombinasi terapi

mengukur tekanan portal. Tujuan baku yang hendak

(Rekomendasi tingkat BI.)

Bahan sklerosan yang dipakai tergantung persediaan yang ada. (Rekomendasi tingkat AII.)

Penurunan tekanan portal secara medik (dengan bantuan obat), telah terbukti dapat menurunkan risiko perdarahan ulang. Tindakan ini dapat dikerjakan dengan endoskopi, untuk mendapatkan hasil maksimal dalam hal perbaikan ketahanan hidup dan mengurangi perdarahan ulang. Penghambat beta merupakan obat yang biasanya digunakan untuk menurunkan tekanan portal, namun efeknya hanya dapat diperkirakan saja, mengingat tidak ada tindakan non-invasif yang dapat dipakai untuk

Bila LVE tidak memungkinkan, STE dapat dikerjakan.

TIPSS (T ranjugular lntrahepatic Portosystemic Stenf Shunf)

.

TIPSS lebih efektif dibanding terapi endoskopik dalam menekan perdarahan ulang varises esofagus, tetapi tidap dapat memperbaiki ketahanan hidup pasien, dan sering diikuti ensefalopati hepatik. Tindakan ini hanya dikerj akan pada pusat tertentu yang mempunyai fasilitas untuk tindakan ini. (Rekomendasi tingkat AI.)

nadolol. Hasil yang lumayan juga telah dibuktikan dengan penggunaan isosorbid-5 -mononitrat (ISMN) 40 mg,2kali sehari. Hasilnya mungkin akan lebih baik bila dilakukan kombinasi antara penghambat beta + isosorbid. Bila varises telah mengalami eradikasi dengan STE atau LVE, pengobatan medis dapat dihentikan, kecuali terjadi

VARISES LAMBUNG Khusus untuk varises lambung, rekomendasi Inggris menganj urka L

c ar

a- car a

pengelolaan sebagai berikut:

masalah lain, seperti timbulnya portal hypertensive gastropathy.

Sesuai dengan rekomendasi Inggris, profilaksis sekunder untuk perdarahan varises pada sirosis dapat dilakukan dengan cara-cara berikut

Ligasi Varises Endoskopik (LVE)

. . . .

Setelah perdarahan aktifvarises dapat diatasi, varises

harus dieradikasi dengan cara endoskopik. pilihan pertama adalah LVE. (Rekomendasi tingkatAl.) Dianjurkan setiap varises diligasi dengan I ligator setiap minggu sampai varises menghilang. (Rekomendasi

Klasifikasi Varises Lambung

Primer. Varises lambung dapat dideteksi

dengan

pemeriksaan endoskopi. Sekunder. Varises lambung yang timbul dalam waktu 2 tahun setelah eradikasi varises esofagus.

Macam-macam (tipe) varises lambung.

l.

Gastro-

tingkatBII.)

oesophageal varices tipe I dan2 (GOV): varises lambung yang merupakan lanjutan varises esofagus dan biasanya timbul di daerah kurvatura minor dan fundus. 2. Isolated gastric varices tipe 1 dan 2 (IGV): varises lambung yang bukan merupakan lanjutan varises esofagus, dan biasanya

Pemakaian over tube sebaiknya dihindari karena dapat menambah komplikasi. (Rekomendasi tingkat BII.) Setelah varises berhasil dieradikasi, pasien harus tetap

timbul di daerah fundus atau di tempat manapun di lambung, termasuk korpus, antrum, pilorus, dan duodenum. (Rekomendasi tingkat BII.)

30s

PENATALAKSANAAN PERDARAHAN VARISES ESOFAGUS

Pengelolaan Perdarahan Aktif Varises Lambung Varises Gastro-oesophageal. Pengobatan sama dengan varises esofagus. (Rekomendasi tingkat BII.) Isolated gastric varices (IGC). 1. Pengobatan awal : STE dengan bahan sklerosan khusus : butyl-cyanoacrylate, atau thrombin. (Rekomendasi tingkat BII.), 2. Bila

terjadi kegagalan, tamponade balon SengstakenBlakemore. (Rekomendasi tingkat BII.) 3. Untuk pengobatan jangka panjang perdarahan varises : TIPSS atau bedah pintasan. (Rekomendasi tingkat BIL)

REFERENSI P, Alves MM, Fidalgo P, et al. Is sclerotherapy the first choice treatment for active variceal bleeding in cirrhotic patients? Final report of a randomised clinical lrial. J

Alexandrino

Hepatol.l990;71 (suppl):S 1 . Andreani T, Poupon RE, Balkau Bt, et al. Preventive therapy of first gastrointestinal bleeding in patients with cirrhosis: Results

of a controlled trial comparing propranolol,

endoscopic sclerotherapy and placebo. Hepatology 1990;12:1413-19. Angelico M, Carli I-, Piat C, el a/. Isosorbide-5-mononitrate versus propranolol in the prevention of first bleeding in cirrhosis. G

KESIMPULAN Diagnosis hipertensi portal secara klinik (CSPH - clinical

significant of portal hypertension) dapat ditegakkan dengan adarrya: varises, perdarahan varises, danJatat asites. Secara endoskopi batasan perdarahan varises adalah: perdarahan dari varises esofagus atau lambung yang tampak pada saat pemeriksaan endoskopi, atau ditemukan adanya varises esofagus yang besar dengan darah di lambung tanpa adanya penyebab perdarahan yang lain. Pembagian gradasi varises yang paling sederhana yang dianjurkan saat ini adalah dalam 3 tingkatan : kecil, sedang dan besar. Semua pasien sirosis hati seyogyanya dilakukan skrining adanya varises pada saat diagnosis sirosis mulai ditegakkan. Untuk tata laksana medik perdarahan akut varises esofagus, penggunaan obat-obat farmakologik seperti somatostatin dan analognya (octreotide), serta analog vasopressin (Terlipressin atau Glypressin) dan vasopressin * nitrogli-serin, masih tetap merupakan obat optimal yang menjadi pilihan pertama, sambil menunggu tindakan yang lebih definitif. Terapi endoskopik, khususnya ligasi varises esofagus (LVE), telah diterima secara luas sebagai sarana

pengobatan endoskopik yang definitif untuk menghentikan perdarahan varises akut. Skleroterapi endoskopik (STE) hanya dicadangkan bila LVE tidak mungkin dikerjakan karena sesuatu alasan. Untuk pencegahan primer sebelum terjadi perdarahan, dapat diberikan penghambat beta atau nitrat jangka lama, baik sebagai kombinasi atau obat tersendiri, khususnya pada pasien dengan varises esofagus yang besar, atau varises sedang dengan gangguan faal hati sedang sampai berat. Sedang untuk pencegahan sekunder perdarahan ulang, skleroterapi endoskopik (STE) dan ligasi varises esofagus (LVE), keduanya telah diterima secara luas sebagai sarana pengobatan endoskopik yang definitif, untuk pencegahan perdarahan ulang, karena dapat dipakai untuk menimbulkan oblitrasi varises esofagus. Untuk mendapatkan efek yang lebih maksimal, diharapkan kombinasi terapi endoskopik dan farmakologik, akan merupakan pilihan pengobatan yang ideal di masa depan.

astro enterol

o

gy

1993 ;1O4

:l

460 -65.

Bosch J, Groszman RJ, Garcia-Pagan JC, et a/. Association of transdermal nitroglycerin to vasopressin infusion in the treatment of variceal hemorrhage: a placebo-controlled clinical trial. Hepatology I 989; 1 0:962-8. Conn HO, Grace ND, Bosch J, et al Proptanolol in the prevention of the first hemorrhage lrom esophagogastric varices: A multicenter, randomized controlled clinical trial. Hepatology 1991;13:902-12. D'Amico G, Traina M,Yizzint G, et al. Terlipressin or vasopressin plus transdermal nitroglycerin in a treatment strategy for digestive bleeding in cirrhosis. A randomized clinical trial J

Hepatol.

199 4:20 :206 - 12.

D'Amico G, Pagliaro L, Bosch J The treatment of portal hypertension: A meta-analytic review. Hepatology 7995;22:332-54. De Franchis R, Primignani M, Arcidiacono PG, et al. Prophylactic sclerotherapy in high-risk cirrhotics selected by endoscopic

criteria: A multicenter randomized controlled trial. Gastroentero Logy 199 I

De Franchis H epat

ol

R

;

1

01

:1

087-93.

Developing concensus in portal hypertension.

.-/

1996;25 :390 -4.

Freeman JG Cobden MD, Record CO. Placebo-controlled trial of terlipressin (glypressin) in the management of acute variceal bleeding. J Clin Gastoenterol 1989;11:58-60. Groszmann RJ, Kravetz D, Bosch J, et al. Nitroclycerin improves the hemodynamic response to vasopressin in portal hypertension. Hepatology. 1982;2:7 57'62. Hernomo K, Indrawan D, Nizam O, Pangestu A dan Iswan A.N. Pengalaman pengobatan somatostatin pada perdarahan saluran makan bagian atas di Surabaya. Buletin PGI-PPHI-PEGI Cabang Surabaya 1994; l: 40. Hemomo K. Pengalaman klinik dengan octreotide pada perdarahan akut saluran makan bagian atas. Medika. \994;20 : 22. Hernomo, K. Perbandingan analog somatostatin dan vasopresin pada perdarahan akut varises esofagus. Penelitian prospektif secara acak. Bul PGI-PPHI-PEGI Cabang Surabal'a 1995;

2:

41.

Fleig WE, Stance EF, Hunecke R, et al. Prevention of recurrent

bleeding

in cirrhotics with recent variceal hemorrhage:

Prospective, randomized comparison of propranolol and sclerotherapy. Hepatology 1987 ;7 :355-61. Hayes PC, Davis JM, Lewis JA, Bouchier IAD. Meta-analysis of the value of propranolol in the prevention ol variceal haemorrhage.

Lancet

1990;336: 153-6.

Hernomo K. Pengelolaan perdarahan masif varises esofagus pada sirosis hati Thesls. Surabaya:Airlangga University Press; 1 983. Penatalaksanaan perdarahan varises Hernomo, K

esofagus.In:Suyono HS.etal.eds. Buku ajar ilmu penyakit dalam.3'd ed.vol II.Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001 p.158'

306

KEGAWAXDARURAf,AN MEDIK DI BIDAT{G ILMU PENYAKIT DALAM

Hernomo, K. Hipertensi Portal. Buku Ajar llmu Penyakit Dalam, Jilid 1, Edisi ke 3, Editor: Sjaifoellah Noer HM dkk., Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1996, hal. 280. Inokuchi K, Sugimachi K, Sato T, et al. Improved survival after prophylactic portal nondecompression surgery for esophageal varices: A randomized clinical trial. Hepatologt 1990;12 1-6 Italian Multicenter Project for Propranolol in Prevention of Bleeding. Propranolol prevents first gastrointestinal bleeding in nonascitic cirrhotic patients. Final report of a multicenter randomized trial. J Hepatol. 1989;9:75-83. Jalan R, Hayes PC. UK guidelines on the management of variceal haemorrhage in cir:rhotic patients. Gur 2000;46(Suppl 3):iii1-

iii 1 5.

Lay CS, Tsai YT, Teg C! e/ a/. Endoscopic variceal ligation in prophylaxis of first variceal bleeding in cinhotic patients with high-risk esophageal varices. Hepatology. 1997;25:1346-50. Lebrec D, Poynard T, Capron !P, et al. Nadolol for prophylaxis of gastrointestinal bleeding in patients with cirrhosis. A randomized trial. J Hepatol. 1988;7:l 18-25. Merkel C, Marin R, Enzo E, at a/. Randomised trial of nadolol alone

or with isosorbide mononitrate for primary prophylaxis of

variceal bleeding in cirrhosis. Gruppo-Triveneto

per

Engl J Med. 1996;334:1624-29. Navasa M, Chesta J, Bosch J, Rodes J. Reduction of portal pressure by iso-sorbide-5-mononitrate in patients with cirrhosis. Effects L'ipertensione portale.

.A/

upon splanchnic and systemic haemodynamics and liver func-

tion. Gastroenterology 1989;96:11 10-8. New Italian Endoscopic Club (NIEC) for the study and therapy of esophageal varices. Definitions, methodology, and therapeutic strategies in portal hypertension. BAVENO III - portal hypertension into the third millenium. 3'd Baveno International Consensus Workshop and 1't Postgraduate Course. Lake Maggiore, Ita1y,

April

12

-

14, 2000.

North Italian Endoscopic Club (NIEC) for the study and treatment

of esophageal varices. Prediction of first variceal haemorrhage in patients with cirrhosis of the liver and esophageal varices. A prospective multicenter study. 1r' Engl J Med 1988;319:983-9 Pascal JP, Cales P and Multicentre Study Group. Propranolol in the prevention of first upper gastrointestinal tract hemorrhage in patients with cirrhosis of the liver and esophageal varices. N Engl J Med 1987;317:856-61.

Piai G, CipollettaL, Claar M, el al. Prophylactic sclerotherapy of high-risk esophageal varices: Results of a multicentric prospective controlled trial. Hepatology 1988;8:1495-1500. Prada A, Bortoli A, Minoli G Camovali M, Colombo E, Sangiovanni

A. Prediction of

oesophageal variceal bleeding: Evaluation

of

the beppu and North Italian Endoscopic Club scores by an independent grorp. Eur J Gaslroenterol Hepatol 1994;6:100913.

Sarin SK, Guptan RKC, Jain AK, Sundaram KR. A randomized controlled trial of endoscopic variceal band ligation for primary prophylaxis of variceal bleeding. Eur J Gastroenterol Hep ato

l.

199 6;8 :337

-42.

Sarin SK, Lamba GS, Kumar M, Misra A, Murthy NS. Comparison of endoscopic ligation and propranolol for the primary prevention

of variceal bleeding. N Engl J Med. 1999;340:988-93.

AI, Rockey DC. Gastroesophageal Variceal Haemorrhage New Engl J Med. 20Ol;345:669-81. Silvain C, Carpentier S, Sautereau D, et a1. Terlipressin plus transdermal nitroglycerin vs octreotide in the control of acute bleeding from esophageal varices: a multicenter randomized trial. Hepatology. I993; 1 8:61-5. Siringo S, McConnick PA, Mistry P, Kaye G, Mclntyre N, Burroughs AK. Prognostic significance of the white nipple sign in variceal bleeding. Gastroinlest Endos l99l;37 :51-5. Soderlund C, Magnusson I, Torngren S, Lundell L. Terlipressin (triglycyl-lysine vasopressin) controls acute bleeding oes.ophageal varices. A double-blind, randomized, placebo-controlled trial. Sc and J G as troenterol. \990 ;25:622-30. The PROVA Study Group. Prophylaxis of first hemorrhage from oesophageal varices by sclerotherapy, propranolol or both in cirrhotic patients A randomised multicenter trtal. Hepatology. 1991;14 1016. Triger DR, Smart HL, Hosking SW, Johnson AG. Prophylactic sclerotherapy for esophageal varices: Long-term results of a single-center trial. Hepatology l99l;13:117 -23. Tsai Y! Lay CS, Lai KH, et al. Corrtrolled trial of vasopressin plus nitroglycerin vs vasopressin alone in the treatment of bleeding esophageal vartces Hepatologyl9S6;6:406-9. VA Cooperative Variceal Sclerotherapy Group. Sclerotherapy for male alcoholic cirrhotic patients who have bled for esophageal Sharara

varices: results of a randomized multicenter clinical trial. Hep ato

I

ogy

199 4;20 :618 -25.

45 ILEUS PARALITIK Ali Djumhana, Ari Fahrial Syam

splanknikus, pankreatitis

PENDAHULUAN

Metabolik. Gangguan keseimbangan elektrolit (terutama

Ileus paralitik atauadynamic ileus adalahkeadaan di mana usus gagalltidak mampu melakukan kontraksi peristaltik untuk menyalurkan isinya. Ileus paralitik ini bukan suatu

hipokalemia), uremia, komplikasi DM, penyakit sistemik seperti SLE, sklerosis multipel

Obat-obatan. Narkotik, antikolinergik, katekolamin,

penyakit primer usus melainkan akibat dari berbagai penyakit primer, tindakan (operasi) yang berhubungan dengan rongga perut, toksin dan obat-obatan yang dapat

fenotiazin, antihistamin

Infeksi. Pneumonia, empiema, urosepsis, peritonitis, infeksi

mempengaruhi kontraksi otot polos usus. Gerakan peristaltik merupakan suatu aktivitas otot polos usus yang terkoordinasi dengan baik, dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti keadaan otot polos usus,

sistemik berat lainnya.

Iskemia usus.

hormon-hormon intestinal, sistem saraf simpatik dan MANIFESTASI KLINIS

parasimpatik, keseimbangan elektrolit, dan sebagainya. Ileus paralitik hampir selalu dijumpai pada pasien pasca

operasi abdomen. Keadaan

ini

Pasien ileus paralitik akan mengeluh perutnya kembung (abdominal distention), anoreksia, mual, dan obstipasi. Muntah mungkin ada, mungkin pula tidak ada. Keluhan perut kembung pada ileus paralitik ini perlu dibedakan

biasanya hanya

berlangsung antara 24-'72 jam. Beratnya ileus paralitik pascaoperasi bergantung pada lamanya operasi/narkosis, seringnya manipulasi usus dan lamanya usus berkontak dengan udara luar. Pencemaran peritoneum oleh asam lambung, isi kolon, enzim pankreas, darah, dan urin akan

dengan keluhan perut kembung pada ileus obstruksi. Pasien ileus paralitik mempunyai keluhan perut kembung,

tidak disertai nyeri kolik abdomen yang paroksismal. Pada pemeriksaan fisis didapatkan adanya distensi abdomen, perkusi timpani dengan bising usus yang lemah danjarang bahkan dapat tidak terdengar sama sekali. Pada palpasi, pasien hanya menyatakan perasaan tidak enak pada perutnya. Tidak ditemukan adanya reaksi peritoneal (nyeri tekan dan nyeri lepas negatif). Apabila penyakit primernya peritonitis, manifestasi klinis yang ditemukan adalah gambaran peritonitis.

menimbulkan paralisis usus. Kelainan retroperitoneal seperti hematoma retroperitoneal, terlebih lagi bila disertai

fraktur vertebra sering menimbulkan ileus paralitik yang berat. Demikian pula kelainan pada rongga dada seperti

pneumonia paru bagian bawah, empiema, dan infark miokard dapat diserlai paralisis usus. Gangguan elektrolit terutama hipokalemia merupakan penyebab yang cukup serlng. Penyakit/kea daan y ang menimbulkan ileus paralitik dapat diklasifikasikan seperti yang tercantum di bawah 11I:

PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium mungkin dapat membantu mencari kausa penyakit. Pemeriksaan yang penting untuk dimintakan yaitu leukosit darah, kadar elektrolit, ureum,

Kausa lleus Paralitik Neurogenik. Pascaoperasi, kerusakan medula spinalis, keracunan timbal, kolik ureter, iritasi persarafan 307

308

glukosa darah, dan amilase. Foto polos abdomen sangat membantu menegakkan diagnosis. Pada ileus paralitik akan ditemukan distensi lambung usus halus dan usus besar. Air fluid level ditemukan berupa suatu gambaran line up (segaris). Hal ini berbeda dengan air fluid level padaileus obstruktif yang memberikan gambaran stepladder (seperti anak tangga). Apabila dengan pemeriksaan foto polos abdomen masih meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan foto abdomen dengan mempergunakan kontras.

PENGELOLAAN

KEGAWTIDARURATAN

MEDIK DI BIDA,T{G ILMU PENYAKTT DALAIVT

PROGNOSIS Prognosis ileus paralitik baik bila penyakit primemy a dapat

diatasi.

REFERENSI Livingstone AS, Sasa JL. Ileus and obstruction. In: Haubrich WS, Schaffner F, eds. Bockus gastroenterology. 5th ed. Philadelphia:

WB Saunders; 1995. Livingstone EH, Passoro EP. Postoperative ileus. Dig Dis Sci.

Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservat if dan suportif. Tindakannya berupa dekompresi, menjaga

1990;35:121-32. Saudgren JE, Mc Phee MS, Greenberger NJ. Narcotic bowel syndrome treated with clonidin. Resolution of abdominal pain and pseudoobstruction Ann Intern Med 1990;101:331-4.

keseimbangan cairan dan elektrolit, mengobati kausa atau penyakit primer dan pemberian nutrisi yang adekuat.

Schuffer WD, Sinanan MN. Intestinal obstruction and pseudoobstruction. In: Sleissenger MH, Fordtran JS, eds.

Beberapa obat-obatan jenis penyekat simpatik (simpatolitik) atau obatparasimpatomimetik pemah dicoba, tenyata hasilnya tidak konsisten. Untuk dekompresi dilakukan pemasangan pipa nasogastrik (bila perlu dipasang juga rectal tube). Pemberian cairan, koreksi gangguan elektrolit dan nutrisi parenteral hendaknya diberikan sesuai dengan kebutuhan dan prinsip-prinsip pemberian nutrisi parenteral. Beberapa obat yang dapat

dicoba yaitu metoklopramid bermanfaat untuk gastroparesis, sisaprid bermanfaat untuk ileus paralitik pascaoperasi, dan klonidin dilaporkan bemanfaat untuk mengatasi ileus paralitik karena obat-obatan.

Gastrointestinal disease; pathophysiology/diagnosis management. 5th ed. Philadelphia: WB Saunders; 1993. Sileu W. Acute intestinal obstruction. In: Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS, Kasper DL, eds. Harrison's principles of internal medicine. 13th ed. New York: Mc Graw-

Hill;

1994.

46 TROMBOSIS ARTERIAL TUNGI(AI AKUT MurnizalDahlan

saat yang sama, mencegah terjadinya trombosis yang

PENDAHULUAN

patologis.

Trombosis adalah istilah yang umum dipakai untuk

Pada kepustakaan, bisajuga karena emboli udara atau DVT, dimana embolus bisa ke aorta melalui foramen ovale yang tidak menutup dan menimbulkan trombus akut ditungkai. Ada 3 hal yang menjadi penyebab timbulnya trombus ini, yaitu; kondisi dinding pembuluh darah (endotel), aliran

sumbatan pembuluh darah, baik arteri maupun vena . Istilah lain adalah emboli. Sebetulnya perbedaan keduanya adalah

dalam proses terjadinya, sedangkan manifestasi klinik, gejala serta tindakannya praktis tidak berbeda. Trombosis adalah terbentuknya masa dari unsur darah di dalam pembuluh darah vena atau arteri pada makhluk hidup. Trombosis hemostasis yang bersifat self-limited dan

darah yang melambat/stasis atau komponen yang terdapat

di dalam darah sendiri berupa peningkatan koagulabilitas (triadVirchow).

terlokalisir untuk mencegah hilangnya darah yang berlebihan merupakan respons normal tubuh terhadap trauma akut vaskular. Sedangkan trombosis patologis

Gejala Klinik Gejala klinik sangat bervariasi dari yang ringan sampai berat. Apakah yang terkena arteiyang besar/utama atau cabang-cabangnya. Apakah kolateral c0kup banyak,

seperti trombosis vena dalam (TVD), emboli paru, hombosis arteri koroner yang menimbulkan infark miokard,

dan oklusi trombotik pada serebrovaskular merupakan respons tubuh yang tidak diharapkan terhadap gangguan akut dan kronik pada pembuluh darah dan darah. Pada

karena prognosis tergantung pada arteri mana yang terlibat

dan yang penting adalah ketepatan dan kecepatan dokter bertindak. Gejala pertama biasanya adalah rasa nyeri pada tungkai bersangkutan. Bisa nyeri hebat, bila daerah yang

topik ini, pembicaraan dibatasi pada trombosis arterial tungkai akut.

Ahli bedah vaskular berperanan untuk mengeluarkan trombus yang sudah terbentuk yaitu trombektomi

terkena cukup luas. Pada pasien muda, biasanya kejadiannya lebih akut, rasa nyeri lebih hebat, tetapijustru prognosisnya lebih baik, karena pembuluh darah relatif baik. Pada pasien yang lebih tua, dimana sudah terjadi kelainan kronis arteri, bila timbul trombosis akut biasanya

Penyebab/Kausa

Bisa lokal di tempat/tungkai bersangkutan

atau proksimalnya. Sebagian besar adalah kelainan di jantung seperti kelainan katup, infarkjantung, fibrilasi atrium dan lainJain. Bisa pula karena aneurisma aorta, bila trombusnya lepas dan bergerak ke tungkai. Trombus yang bergerak ini

disebut embolus. Sistem hemostasis terdiri dari

tidak begitu jelas gejalanya dan nyerinya tidak begitu hebat. Pada pasien ini justru prognosisnya lebih buruk. Mati rasa, kelemahan otot, rasa seperti difusuk-tusuk

juga bisa timbul. Bila gejala komplit, "5 P" adalah gamb arannya, y artu; Pain, Palene s s, Pare sthesia, Paralysis, dan Pulsessness.

6

komponen utama yaitu trombosit, endotel vaskular, faktor

Sebagai pegangan utama, bila ada pasien dengan keluhan nyeri hebat ditungkai dan tidak terabanya nadi, maka diagnosis trombosis akut arteri ini harus ditegakkan dan ditindak lanjuti. Bila fasilitas ada, pemeriksaan noninvasif bisa dikerjakan (Doppler). Ini terutama bisa

protein plasma prokoagulan, protein antikoagulan, protein fibiinolitik dan protein antifibrinolitik. Semua komponen hemostasis ini harus ada dalam jumlah yang cukup pada lokasi yang tepat untuk mencegah hilangnya darah yang berlebihan setelah trauma vaskular, dan pada

309

310

KEGAWAIDARURAIAN MEDIK DI BIDAIYG ILMU PENYAKIT DALAIVI

membantu menegakkan diagnosa pasti dan menenfukan luasnya daerah yang terkena. Pemeriksaan penunjang lain,

yaitu laboratorium darah segera dilakukan untuk memastikan adatya proses trombosis yang tentunya diterangkan di bab yang lain. Arleriografi biasanya tidak

dikerjakan, malahan pada keadaaan akut, akan memperlambat tindakarVpertolongan kita.

Pada Pasien yang tua dimana kejadian akut

timbul pada

kondisi sudah adanya tanda-tanda kronis, maka diagnosis penunjang sangat penting. Bila pada Doppler terlihat kelainan obstruksi atau stenosis yang cukup luas kadang-kadang operasi by pass segera bisa dikerjakan. Setelah dilakukan trombektomi maka tindakan lain yang terus dilakukan terutama heparinisasi.

Tindakan/Pertolongan Garis besar rencana perawatan dari sumbatan arteri tungkai

akut adalah sebagai berikut

l.

:

Diagnosis dini dan tindakan segera. Dari anamnesis dan gejala klinik, kita harus bisa menegakkan diagnosis. Bila ada fasilitas pemeriksaan penunjang, dapat dikerjakan tapi jangan sampai terlalu lama sehingga terapiltindakan kita jangan sampai terlambat. Pasien harus istirahat baring/dirawat dan diberikan analgetika. Pemberian antikoagulan seperti heparin dan LMWH, penting untuk mencegah meluasnya proses trombosis, biasanya diberikan selama l0 hari, sesudah itu berangsur-angsur diganti per oral. Dosis dan lamanya pemberian tergantung masing-masing sentra. Bisa pula diberi trombolitik. Untuk memperbesar hasil terapi yang terbaik adalah bila pemberian langsung

intraarterial. Tindakan dengan PTA, juga sangat menolong pada keadaan tertentu. Tindakan bedah berperan penting, karena trombus yang

terjadi dikeluarkan melalui arteriotomi yang bisa dilakukan dengan anestesi lokal. Biasanya kita cari arteri femoralis superfisialis dan setelah arteriotomi, trombus bisa dikeluarkan dari proksimal maupun distal. Alat yang dipakai adalah kateter Fogarty yang mempunyai balon diujungnya. Setelah kateter menembus trombus, balon dikembangkan dan ditarik untuk mengeluarkan trombus.

ini

terutama berhasil sangat baik bila kejadiannya benar-benar akut dan pada Pasien yang

Tindakan

relatifmuda.

Gambar 1. Teknik trombektomi dengan kateter Fogarty

REFERENSI Bletry O. Et Kieffer E. - Embolies arterielles des membres. - Encycl. Med. Chir., Paris, Coeur-Vaisseaux, 11319 D 10, 3-1980 Deitcher SR, Rodgers GM. Thrombosis and antithrombolitic therapy. ln : Greer JP, Foerster J, Lukens JN, Rodgers GM, Paraskevas F, eds. Wintrobe's clinical hematology, 11 'l ed. Philadelphia:

Lippincott Williams & Wilkins; 2004.p. 1713-58. Jusi D: Dasar-dasar Ilmu Bedah Vaskular Balai Penerbit FKtlI, 2004 Paradoxial Arterial Emboli Causing Acute Limb Ischemia in Patient with Essential Thrombocytosis Am J Med Sci 2003; 326 (3):

156

-

158.

Shahid Ahmed, Md; Adnan Sadiq, Md; Anita

Borgen, Md; Joseph Mattana, Md

K

Siddiqui, Md; Elliot

47 DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN SINDROM LISIS TUMOR Zakifman lack

derajat keganasan tinggi dan pada tumor padat walaupun

PENDAHULUAN

Jarang.

Dengan berkembangnya ilmu pengobatan kanker, khususnya kemoterapi, mulai dari penggunaan obat tunggal sampai penggunaan obat kombinasi yang kemudian berkembang menj adi berkembang menj adi

PATOFISIOLOGI Pemberian kemoterapi pada sel tumor yang sensitif akan berakibat terjadinya penghancuran "mendadak" sejumlah besar sel tumor sehingga terjadi degradasi asam nukleat, mengakibatkan katalisis hipoksantin dan xantin oleh

kemoterapi agresif, berbagai laporan hasil terapi yang menggembirakan diperoleh. Tetapi seiring dengan itu berbagai efek samping pun timbul dari yang ringan sampai yang berat bahk an fatalyang tidak j arang rnengakibatkan kematian, salah satunya yaitu sindrom lisis tumor.

xantin oksidase yang meningkatkan pembentukan asam urat yang relatif tidak larut dalam air. Ekskresi asam urat yang meningkat mengakibatkan konsentrasi intratubular yang meningkat pula sampai melebihi tingkat/batas kelarutan (limits of solubility), sehingga terjadi keadaan supersaturasi dan kristal asam urat pada tubulus renal dan distal collecting system yang mengakibatkan

Pengelolaan efek samping yang tidak diinginkan ini adalah bagian dari terapi suportif kanker yang merupakan hal penting dalam pengobatan kanker. Oleh karena itu kita harus mengenal benar kelainan ini, mulai dari faktor risiko,

tanda-tanda klinis, patofisiologi, komplikasi, cara penanggulangan, dan cara pencegahannya sehingga pasien tidak meninggal akibat tindakan kemoterapi

gangguan fungsi ginjal. Keadaan terakhir ini

tersebut.

mengakibatkan terj adinya hiperfosfatemia yang makin memperburuk fungsi ginjal sehingga terjadi penumnan ekskresi kalium sampai terjadi hiperkalemia, di samping

SINDROM LISIS TUMOR

hiperfostatemia sendiri mengakibatkan terjadinya hipokalsemia.

Hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung, sedangkan hipokalsemia dapat mengakibatkan kejang otot, penurunan kesadaran (confusion), tetani dan gangguan irama jantung berupa pemanjangan interval

Sindrom lisis tumor adalah suatu kelainan metabolik yang mengancam j iwa akibat pelepasan sejumlah zat intraselular ke dalam aliran darah akibat tingkat penghancuran sel tumor yang tinggi karena pemberian kemoterapi. Zat intraselular tersebut adalah hasil degradasi asam nukleat akibat destruksi sejumlah besar sel tumor yang

Qr.

mengakibatkan meningkatnya metabolisme purin, diikuti oleh meningkatnya pembentukan asam urat.

FAKTORRISIKO

Sindrom lisis tumor terdiri dari: hiperurisemia,

. .

hiperkalemia, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Keadaan ini sering terjadi pada: leukemia akut, limfoma

311

PeningkatanLDH. Ukuran tumor yang besar (bullqt tumor) dengan tingkat

312

. . .

KEGA1VATDARURATAN

proliferasi yang tinggi. Tumor yang sangat sensitif terhadap kemoterapi. Hiperurisemia yang sudah ada sebelum pengobatan. Penurunan fungsi ginjal.

DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan dengan ditemukannya tanda-tanda sindrom yang disebutkan di atas yaitu: hiperuriksemia, hiperfosfatemia, hiperkalemia dan hipokalsemia serta tanda

gangguan ginjal berupa peningkatan kadar ureum, kreatinin, penurunan volume urin, asidosis metabolik dengan pernapasan "Kussmaul", atau gejala sesak napas karena over load cairan tubuh, tetani, kejang otot, gangguan irama janfung sampai penurunan kesadaran.

MEDIK DI BIDANG ILMU PET\IYAKIT DALAM

sementara alkalinisasi urin tetap dilakukan. Bila terjadi keadaan oliguria maka harus diberikan diuretik atau manitol 7 2,5 gr am dalam larutan 20%o. Hip erkalemia adalah keadaan

yang mengancam jiwa, sehingga harus segera dilakukan tindakan berupa pemberian 20-30 I.U insulin regular dalam 200-300 ml glukosa 20%o intrayena selama 30 menit, bisa ditambahkan 15 gram Kayexalate setiap 6 jam peroral. Keadaan hiperkalemia ini dapat dikenali dengan timbul nya gelombang T tinggi pada EKG. Keadaan hipokalsemia dapat dikoreksi dengan pemberian kalsium glukonat intravena. Bila timbul hiperfosfatemia maka tindakan alkalinisasi

urin harus dihentikan karena dapat meningkatkan presipitasi kalsium fosfat. Bila volume urin tetap sedikit, gangguan asam basa dan gangguan elektrolit tetap terjadi disertai adanya perburukan fungsi ginjal, maka tindakan dialisis harus dilakukan untuk menyelamatkan jiwa.

PENATALAKSANAAN Pencegahan adalah langkah terbaik yang dilakukan. Pengenalan jenis tumor dan pasien dengan risiko tinggi harus dilakukan sebelum kemoterapi dimulai, sehingga tindakan pencegahan dapat dilakukan untuk melindungi

fungsi ginjal. Untuk pasien-pasien tersebut diberikan hidrasi cairan sebesar 2000-3000 mllm2l24 jamyang sudah dimulai24 jam sebelum pemberian kemoterapi. Selain itu diberikan alopurinol 2 kali 300 mg,lhari untukmenghambat produksi asam urat, dan dilakukan tindakan alkalinisasi urin dengan pemberian natrium bikarbonat 50-100 mEq untuk setiap liter cairan intravena yang diberikan untuk

1. Kalium, serum > 6 mcg/l 2. Asam urat serum > 10 mg/dl 3. Kreatinin serum > 10 mg/dl 4. Fosfat serum > 10 mg/dl.

5 6 7

"Volume overloaded state" Hipokalsemia yang simtomatik Perburukan fungsi ginjal

B.

Oliguri.

(dikutip dari Current Therapy in Hematology-Oncology, fifth edition)

meningkatkan kelarutan asam urat sehingga dapat KESIMPULAN

disekresikan melalui ginjal.

Walaupun fungsi ginjal normal sebelum kemoterapi dirnulai, tidak tertutup kemungkinan terjadinya sindrom lisis tumor akibat pemecahan sejumlah besar sel tumor dalam waktu yang singkat, sehingga harus dilakukan pemantauan elektrolit, ureum, kreatinin, kalsium, fosfat , asam urat dan pH urin paling sedikit sekali sehari selama 4 han setelah kemoterapi dimulai. Demikian pula pemantauan balans cairan harus dilakukan setiap hari terutama pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal dan jantung yang sudah ada sebelumnya. Pemeriksaan elektrokardiogram

dilakukan bila ada hiperkalemia dan hipokalsemia. Frekuensi monitor yang dilakukan tergantung kepada keadaan klinis. Bila terjadi kenaikan serum kreatinin maka harus dilakukan diuresis paksa (forced diuresis) selama 24 jam perlama dengan penambahan alopurinol 600-800

mglhai,

Sindrom lisis tumor adalah suatu keadaan darurat medik dalam bidang onkologi yang sering timbul sesudah tindakan pemberian kemoter api y ang dapat mengakibatkan kematian apabila tidak disikapi dan diterapi secara baik dan benar. Tindakan pencegahan tetap merupakan pilihan terbaik yang harus diambil.

REFERENSI Fojo AT. Metabolic emergencies in cancer principles and practice of oncology. In: Devita VTJr, et al, editors. 7th edition. 2003. p. 2292-9. Krecker E, Muggia FM. Oncologic nalignancies in current therpy in Hematology-Oncology. In: Braint MC, Carbone PP, et a1, editors. 1995. p. 600-9.

48 KEGAWATAN ONKOLOGI DAN SINDROM PARANEOPLASTIK Aru W. Sudoyo, Sugiyono Somoastro

PENDAHULUAN

TEKANANATAU OBSTRUKSI OLEH TUMOR

Kanker saat ini frekuensinya meningkat. Faktanya selama hidup seorang pria berisiko terkena kanker prostat I di

Sindrom Vena Cava Superior Sindrom vena cava superior disebabkan oleh adanya obstruksi atau tekanan pada vena cava superior yar,g

attara 6, begitu pula seorang wanita selama hidupnya berisiko terkena kanker payudara 1 diantara 8. Secara statitistik juga terjadi peningkatan insidens kanker, sebagai contoh CPIC (colorectal cancer) 42,3-60,8 per 100.000 penduduk, paru 70 per 100.000 penduduk di

mengalirkan darah ke atrium kanan. Vena cava superior dibentuk dari penyatuan vena brachiocephalica kanan dan kiri dan berakhir pada bagian superior-posterior atrium kanan. Lokasinya di mediastinum tengah dan berdekatan dengan sternum, trakea, bronchus kanan, aorta, arteri

Amerika Serikat.

Dengan semakin banyak kanker yang dapat didiagnosis dan diterapi, semua dokter harus mampu

pulmonaris, kelenj ar getah bening paratrakeal dan parahiler. Dinding vana cava superior tipis sehingga dengan mudah ditekan. Bila dindingnya sebagian atau seluruhnya

mengenali dan menangani kegawatan onkologi.

Sindrom paraneoplastik adalah gangguan klinik

tertekan, akan terjadi sirkulasi kolateral. Yang paling

dengan tanda dan gejala yang mengenaijauh dari tempat

penting adalah kolateral melalui v ena azygos, yang lainnya adalah vena m amaria interna, vena torakalis lateral, venavena paraspinalis dan esofagus. Vena-vena yang letaknya subkutan juga penting dan pelebarannya pada leher dan dada adalah tanda pemeriksaan fisik yang khas.

tumor primer dan metastasis. Insidens sindrom paraneoplastik adalah sekitar 50%. Sangat penting mengenali manifestasi klinik sindrom paraneoplastik karena sering kali merupakan petunjuk awal adanya kanker dan pengenalan segera akan mengarah diagnosis

yang lebih awal dan pada stadium yang lebih bisa ditangani. Keberhasilan penanganan tumor yang

Etiologi Sindrom vena cava superior disebabkan oleh penekanan,

mendasari akan menghilangkan sindrom paraneoplastik. Pada beberapa keadaan, tumor tidak bisa diobati tetapi

invasi atau trombosis pada vena cava superior. Saat ini penyebab terbanyak adalah keganasan (80-98%)' Penyebab terbanyak adalah kanker paru diikuti oleh limfoma, kanker yang bermetastasis di mediastinum dan

gejala dan komplikasi sindrom paraneoplastik bisa ditangani. Kegawatan pada kanker dapat dikategori menjadi 3 kelompok:

1.

tomor primer mediastinum lihat Tabel

Tekanan atau obstruksi oleh SOL (space-occupying lesion)

Evaluasi

2. Masalah metabolik atau hormonal (sindrom 3.

l.

Manifestasi klinik sindrom ini bisa akut maupun subakut.

Penekanan vena cava superior yang berlahan memungkinkan berkembangnya sirkulasi kolateral.

paraneoplastik) Komplikasi akibat pengobatan kanker

313

314

KEGAWAXDARURATAN MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAM

Penyebab sindrom vena cava supeior Kanker paru 52-81% Small cell Non small cell

Limfoma

2-20o/o

limfoblastik Metastasis di mediastinum 8-10% kanker payudara kanker germ cell kanker gastrointestinal Tumor primer di mediastinum 10% timoma sarkoma melanoma Penyebab bukan keganasan 5% infeksi (tuberkulosis, sifilis, histoplasmosis) strume aneurisma aorta trombosis pada kateter vena sentral

membantu diagnosis pada 213 pasien. Mediastinoskopi, torakotomi maupun sternotomi bila perlu dikerjakan untuk diagnosis. Pemeriksaan iaringan penting dilakukan dengan bronkoskopi, biopsi jarum halus, biopsi kelenjar getah bening supraklavikula atau dengan biopsi dipandu CT-

scan pada masa atau kelenjar getah bening di mediastinum.

PENATALAKSANAAN Dibedakan arfiara yar,g gawat dengan yang tidak gawat. Gawat bila ada gangguan saluran napas, kardiovaskular atau peningkatan tekanan intrakranial yang signifikan yang memerlukan penanganan segera.

Radioterapi Beratnya sindrom vena cava superior terganfung pada penyebab yang mendasari, kecepatan obstruksi, adarrya

trombus, lokasi obstruksi, dan kecukupan sirkulasi kolateral. Gejala dan tandanya lihat Tabel2. Pada pemeriksaan foto dada umumnya dijumpai kelainan

pada setengah sampai 213 pasiendijumpai pelebaran atau masa pada mediastinum superior. Bisa didapat massa pada hilus kanan (10-40yo), efusi pleura kanan(25o/o), adenopati hilus dan masa pada paru (20%). Tapi bisa ditemukan foto dada yang no rmal (3 - | 5%).

CT-scan dengan kontras atau imaging resonansi magnetik (MRI) adalah pemeriksaan yang penting untuk mendeteksi lokasi obstruksi, adanya trombus pada vena cava superior, sirkulasi kolateral, masa atau adenopati mediastinum. Pemeriksaan venografi diperlukan bila

Radioterapi efektif pada sebagian besar kasus dan memberi perbaikan gej ala 7 0 -9 0o/o pasien dan hanya I 0 - I 5Yo y ang tidak berespon. Pemberian fraksinasi dosis tinggi ( >3 Gy/ hari ) memberikan hasil yang lebih baik daripada dosis

konvensional 2 Gy lhari.

Kemoterapi Kemoterapi diindikasikan pada tumor yang kemosensitif (kankerparu sel kecil, tumor sel germinatrium, limfoma). Dapat digunakan sebagai terapi tunggal, bersamaan atau setelah radioterapi. Evaluasi setelah 3 siklus, bila berespons dilanjutkan kemoterapi 3 siklus lagi. Pada kasus dengan stable

disease atau disease progression drberlkan jenis kemoterapi lain dan atau radioterapi.

antisipasi bedah akan dilakukan. Sitologi sputum Terapi Antikoagulan atau Trombolitik Pemakaian antikoagulan atau trombolitik dipefianyakan.

Karena sebagian besar pasien respons dengan terapi Gambaran kinik sindrom vena cava superior

Gejala Sesak 63% Muka terasa penuh 50% Batuk 24o/" Nyeri dada 15% Disfagia 9% Sakit kepala Gangguan penglihatan Mual Hidung terasa mampat Tanda Vena leher distensi 66% Vena dinding dada distensi 54% Muka edem 46% Sianosis 20% Plethora 19% Lengan edem 14% Ekstremitas atas edem Kemosis Papil edem Kesadaran menurun Sinkop

spesifik. Jika pada pemeriksaan dengan venografi atau CT:

scan ditemukan trombus, pemberian heparin akan bermanfaat. Terapi fibrinolitik efektif pada pasien yang penyebabnya adalah trombus pada kateter vena sentral, dan tidak efektifyang disebabkan oleh invasi tumor atau penekanan dari mediastinum.

Expandable Metal Stent Keberhasilan cukup tinggi, 95o/o,tapi akan terjadi obstmksi lagi pada 11o%. Secara keseluruhan keberhasilan jangka panjang92o/o.

Pembedahan Pembedahan hanya dikerj akan pada pasien yang tak berhasil dengan terapi konvensional. Tekniknya bisa dengan rekonstruksi vena kava superior atau pembuatan bypass vena.

315

KEGAWAIDARURAIAN ONI.OI.OGI DAN SINDROM PARANEOPLASTIK

Terapi Suportif

l. 2. 3.

4. 5.

Posisi kepala agak ke atas Pemberian oksigen Diuresis (terapi diuresis memperbaiki keadaan klinis tapi dehidrasi dapat memperburuk sindrom vena cava superior dan trombosis) Steroid, digunakanjangka pendek. Bisajangka panjang bila respons terlihat atau terbukti adatya edema otak. intubasi atau trakeostomi segera dilakukan bila adany a stridor (obstmksi saluran napas atas) tidak berespons dengan steroid dan bronkodilator.

KOMPRESI PADASIMPUL SARAF SPINAL

Terjadi pada tumor primer maupun metastasis yang menekan simpul saraf dengan akibat terjadi defisit neurologi. Metastasis spinal sering terjadi pada bagian posterior korpus vertebra dan akan menekan simpul saraf

spinal bagian anterior. Kebanyakan pasien diketahui sebelumnya menderita kanker, tapi sebagian yang lain kompresi pada simpul saraf spinal merupakan manifestasi

awal kanker. Diagnosis banding meliputi tuberkulosis vertebra, osteomielitis, hematoma epidural, hemia nukleus pulposus, spondilosis. Lokasi tersering adalah verlebra torakalis 70% diikuti vertebra lumbalis 20o/o dan vertebra

EFUSI PERIKARDIAL DAN TAMPONADE JANTUNG

sevikalis 10% walaupun metastasis multipel sering diternukan. Kanker yang sering menyebabkan adalah

Efusi pericardial ditemukan pada pasien kanker secara

kanker payudara, paru, prostat, ginjal, mieloma multipel

otopsi 5-10%. Sering terjadi pada kankerparu lanjut, kanker payudara, leukemia, limfoma, melanoma maligrum. Gejala

dan sarkoma.

timbul bisa cepat atau pelan tergantung kecepatan

Evaluasi

akumulasi cairan. Akumulasi cairan mengakibatkan peningkatan tekanan intraperikardial yang berefek pada

Nyeri pinggang/punggung adalah awal gejala yang dapat lokal, radikular maupun keduanya tergantung

pengisian diastolik jantung, akibatnya terjadi penurunan busulfan, sitarabin, tretinoin.

lokasi tumor. Nyeri bertambah dengan mengedan, batuk, gerakan. Kadang memungkinkan mendeteksi lo"kasinya dengan perkusi spinal secara gentle. Bila lebih berat

Evaluasi

dapat dijumpai gangguan sensorik, motorik, inkontinensia urin dan alvi dan akhirnya paralisis.

curahjantung. Kemoterapi bisa mengakibatkan efusi seperti

Gejalanya sesak napas, nyeri dada, batuk, palpitasi, ortopnea, lelah, lemah, gelisah. Tandanya takikardia, penurunan bunyi jantung, distensi vena leher, edema

peifer

friction rubs . Bila telah timbul tamjantung ponade akan ditemukan hipotensi, disritmia, jugularis meningkat dan tanda kardinal tekanan vena dan pericardial

adalah pulsus paradoksus. Foto dada terlihat pembesaran jantung. Pada EKG ditemukan low-voltage kompleks dan

electrical alternans. Ekokardiografi adalah prosedur diagnostik pilihan, dimana cairan efusi dengan mudah dapat terlihat. Pada tamponade, dapat dilihat kolaps atrium kanan dan ventrikel pada diastol. CT-scan adalah alternatif

bila ekokardiografi tidak bisa dikerjakan karena pasien gemuk atau COPD. Analisis cairan perikardium sitologi, mikrobiologi, biokimia untuk mengetahui etiologi dengan cara perikardiosentesis pada pasier. dengan tamponade

Pemeriksaan radiologi dengan foto polos dijumpai lesi

litik

deteksi dan lokalisasi kompresi tulang belakang. Mielografi dan CT-Scan dapat dilakukan bila MRI tak ada atau ada kontraindikasi.

Penatalaksanaan Pasien dengan gejala neurologi

. . . .

Kemoterapi dan radioterapi dapat diberikan pada kanker yang kemosensitif (limfoma, leukemia, kanker payudara, kanker paru sel kecil) atau radiosensitif (limfoma, kanker payudara, kanker paru). Pasien dengan hipotensi ringan dapat diberikan cairan cepat NaCl 0,9%o atauringer laktat. Pasien dengan tamponade jantung harus dikerjakan perikardiosentesis.

Segera dirawat

Kontrol nyeri dengan alat analgesik Deksametason suntikan 8-10 mg tiap 6 jam dengan tujuan megurangi edema Pembedahan dikerjakanbila

:

1. Kompresi

2.

jantung.

Penatalaksanaan Pada pasien dengan tanpa atau gejala ringan dan hemodinamik stabil dapat diberikan terapi sistemik.

maupun blastik atau keduanya pada vertebra.

Pemeriksaan MRI merupakan pemeriksaan terpilih untuk

.

spinal oleh fragmen tulang Kompresi spinal yang tidak diketahui penyebabnya dan biopsy jaringan diperlukan karena perburukan

defisit neurologi Tumor tidak berespons dengan radioterapi Radioterapi setelah pembedahan

3.

Pasien dengan nyeri punggung atau tanpa defisit neurologi

tetapi radiologi abnormal . Kontrol nyeri dengan analgetik . Radioterapi diberikan fraksinasi 25-30 cGy sampai dosis total 3000-3500 cGy

.

Kemoterapi diberikan pada tumor yang sensitif, umumnya setelah selesai radioterapi atau pembedahan

316

KEGAWAXDARURAIAN MEDIK DI BIDANG ILMU PEI\YAKIT DALAM

KOMPLIKASI METASTASIS OTAK

hiperleukositosis adalah 5-13% pada AML dan l0-30% ALL. Peningkatan sel blast di perifer meningkatkan viskositas darah, aliran darah diperlambat oleh agregrat pada

Metastasis otak terjadi pada l0-30Yo pasien kanker dan dua pertiganya akan menimbulkan gejala. Penyebab terbanyak adalah kanker paru diikuti oleh payudara dan melanoma. Kanker paytdara metastasis ke otak 10-20% kasus. Kanker paru sel kecil metastasis ke otak 20-40% kasus. Melanoma metastasis ke otak l2-20o/okasus.

sel hrmor dan sel leukemia mampu menembus endotel yang

menyebabkan perdarahan. Otak dan paru adalah organ

yang paling sering terkena. Leukostasis otak bisa mengakibatkan stupor, nyeri kepala, pusing, telinga mendenging, gangguan visual, ataksia, koma, mati mendadak. Komplikasi ini bisa dilindungi dengan

radioterapi otak 600cGy dan diikuti kemoterapi

Evaluasi Metastasis otak menyebabkan gejala dan tanda oleh karena

lokasi atau adatya peningkatan tekanan intrakranial. Adanya metastasis otak harus dicurigai bila pasien kanker ditemukan gejala neurologi. Defisit neurologi umumnya dihubungkan dengan adanyamasa fumor yang membesar dan berhubungan dengan edema (Tabel 3).

antileukemia. Leukostasis paru bermanifestasi sesak, hipoksemia dan berkembang jadi gagal napas. Foto dada mungkin normal atau ditemukan infiltrat. Leukoferesis membantu menurunkan sel blast perifer. Pengobatan leukemia dapat menyebabkan perdarahan paru akibat lisis

sel blast di paru yang disebut leukemic

cell

lysis

pneumopathy. Penurunan volume darah dan transfusi yang

tak perlu akan meningkatkan viskositas darah dan memperburuk sindrom leukostasis. Gejala

lnsidens %

Sakit kepala Mual muntah Astenia

35-50 30-40 35-49 15-20 10-20 15-20 15-20

Kejang Pusing

Ataksia Afasia

KEDARURATAN METABOLIK

A. Hiperkalsemia Hiperkalsemia paling berisiko pada kanker payudara,

mieloma multipel, kanker paru non sel kecil dan hipernefroma. Pasien bisa bergejala seperti pada Tabel 3, tetapi ada 70% metastasis otak tanpa gejala. Pada pemeriksaan fisik ditemukan afasia, hemiparesis, gangguan penglihatan dan

kejang, leher kaku, edema papil, hipertensi. bradikardia. Bila sudah lanjut terjadi penurunan kesadaran. Diagnosis bisa dibantu dengan CT-scatq atau MR[. MRI lebih sensitif dibanding CT-Scan.

Penatalaksanaan Radioterapi adalah terapi standar pasien dengan metastasis otak multipel dengan gejala. Kemoterapi sebagai awal terapi digunakan untuk metastasis otak yang multipel atau tunggal yang tidak bergejala. Obat kemoterapi yang

melewati sawar darah otak adalah sisplatin, karboplatin, etoposid, ifosfamid, temozolomid, gemsitabin, irinotekan. Pembedahan dikerjakan setelah radioterapi, pada pasien dengan tumor primer terkontrol, status penampilan baik dan metastasis otak soliter. Terapi suportif adalah pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan antikejang.

LEU KOSITOSTASIS PARU DAN INTRASEBRAL

Hiperleukositosis dan sindrom leukostasis berpotensi komplikasi fatal pada leukemia akut yang terjadi ketika

jumlah sel blast perifer > 100.000/ml. Frekuensi

Patofisiologi horrnone (PTH) d.an Parathyroid hormonerelatedprotein (PTHrp). Tumor jarang menghasilkan PTH kecuali kanker parathyroid. PTHrp adalah penyebab

P arathyroid

tersering hiperkalsemia yang terkait kanker. Kondisi fisiologis PTHrp adalah faktor parakrin. Bila produksi berlebihan akan berfungsi sebagai hormon yang bekerja sistemik meningkatkan absorbsi kalsium di usus, reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal dan metabolisme tulang.

Vitamin D3.

Pada pasien limfoma Hodgkin, limfoma nonHodgkin, mieloma multipel terdapat peningkatan vitamin

D3.

Sitokin. TGF disel
sebagian homologi, TGF rnerangsang reseptor EGF, sehingga meningkatkan resorpsi tulang. IL-1, IL-6 dan TNF meningkatkan resorpsi tulang. Diagnosis Banding

Penyebab hiperkalsemia adalah banyak (Tabel 4), penyebab tersering adalah hiperparatiroidisme dan keganasan. Jika hiperkalsemia terjadi pada pasien yang dirawat, 65% umumnya berhubungan dengan keganasan. Evaluasi Manifestasi klinik hiperkal semia adalahfali gue, kelemahan

otot, depresi, nyeri perut, konstipasi dan anoreksia.

317

KEGAWATDARUR/IffAN ONLOLOGI DAN SINDROM PARANEOPLASTIK

B. Sindrom Lisis Tumor Pemecahan sel kanker yang cepat akan mengeluarkan metabolit selular terutama asam urat, ion intraselular yang

Diagnosis banding hiperkalsemia

Kanker

- PTHrp - Non-PTHrp Endokrin Dan Metabolik - Hiperparatiroid primer - Addison's drsease - lmobilisasi - Terapi hormon tiroid lnfeksi Dan Granulomatosis - TBC - HIV - arcoidosis - Berryliosis - Coccidiodomycosis Diet dan Obat - Vitamin D eksogen - Vitamin A eksogen - Lithium - Suplemen kalsium - Thiazide

melampui kapasitas ginjal mengekskresi. Sindrom lisis tumor tegantung : l. Ukuran dan derajat tumor, 2. fungsi ginjal, 3. terapi. Pemecahan sel akan mengeluarkan banyak asam nukleat,kalium dan fosfat. Asam nukleat mengandung basa

purin yang diubah enzim xantin oxidase menjadi

Hiperkalsemia dapat mengakibatkan pankreatitis dan predisposisi ulkus peptikum. Komplikasi ginjal akut, terjadi

vasokonstriksi renal, natriuresis, penurunan laju frltrasi glomerulus. Komplikasi ginjal kronik terjadi gangguan konsentrasi ginjal, diabetes insipidus nefrogenik, tubular ginjal asidosis, nefrolitiasis dan penurunan fungsi ginjal, hiperkalsemia ringan, teqadi gangguan kognitif ringan, hiperkalsemia sedang terjadi anxietas dan hiperkalsemia berat terjadi halusinasi, psikosis, somnolen dan koma. Komplikasi kardiovaskular adalah kecenderungan terj adi hiperlensi dan percepatan deposisi kalsium di endotel. Penatalaksanaan

Terapi optimal hiperkalsemia akibat kanker adalah menyembuhkan kanker. Pada kenyataannya hal ini sulit

hipoksantin dan xantin dan akhimya menjadi asam urat. Jika asam urat konsentrasinya meningkat. pH menurun, asam urat mengendap pada tubulus. Diikuti penurunan tungsi ginjal. Kalium juga dikeluarkan dari sel. Terdeteksi 6 jam setelah dimulai kemoterapi. Jika terdapat penurunan fungsi ginjal, kalium tidak dapat diekskresi. Fosfat dikeluarkan dari sel yang lisis. Terdeteksi 24 jam sesudah sel lisis. Fosfat akan mengikat kalsium akibatnya kadar kalsium turun. Pasien dengan tumor yang proliferasinya cepat misalnya limfoma, ALL, AML, MM merupakan risiko tinggi terjadi sindrom lisis tumor. Risiko terjadinya sindrom lisis tumor : I ). peningkatan LDH > I 000 U/l; 2). leukosit > 50. 000/ mL; 3). asam urat > 6,5 mg/dl; 4). itmor bullqt ; 5 ). gangguan fungsi ginjal; 6). dehidrasi.

Evaluasi

Gejala. Menunjukkan gejala hipokalsemia seperti penurunan kesadaran, tetani, otot kram, disritmia, akhimya bisa terjadi bradikardi dan syok. Gejala hiperkalemia bisa berupa kelemahan otot atau letargi.

Tanda. l). Kalium > 6 mmol/l, 2). Kalsium < 6 mg/dl, 3). Kreatinin > 2,4 mgl dl, 4). Di sritmia, 5 ). Peningkat an 25o/o

dikerjakan karena pasien telah ada metastasis saat

fosfat, 6). Peningkatan 25oZ asam urat.

hiperkalsemia ditemukan.

EKG. Peningkatan gelombang

Terapiumum: . kurangi immobilisasi . hentikan atau batasi obat yang menghambat ekskresi kalsium di ginjalmisal tiazid . hentikan atau batasi obat yang menurunkan perfusi

QRS

.

ginjal misal OAINS, penghambat ACE, penghambat reseptor angiotensin II hentikan suplemen vitamin D, A seperti multivitamin

Pencegahan

. . . .

Terapi spesifik:

.. .

Meningkatkan ekskresi kalsium urin dengan cara

- Bisfosfonat misal klodronat, zolendronat.

.

-

Kalsitonin

Kortikosteroid Komplikasi akibat pengobatan kanker

Profilaksis hidrasi. Pasien harus dapat 3-5 Llm2 cairan intravena (glukosa 5%:NaCl 0,9%o

l:l).

Alkalinisasi urin dengan pemberian natrium bikarbonat. Target pH urin dipertahankatrarrtara 7 sampai 7,5. Balans cairan minimal 2 kali sehari Bila pasien dengan risiko tinggi terjadi sindrom lisis fumor harus diperiksa setiap hari asam urat, Na, K, Ca, Mg, fosfat, kreatinin, LDH, INR, fibrinogen, DPL, glukosa.

pemberian NaCl 0,9o/o intravena. Menghambat resorpsi tulang dengan pemberian

T dan pelebaran kompleks

:

pamidronat,

Penatalaksanaan Jika secara klinik terbukti ada sindrom lisis tumor maka: . Pasien segera dimasukkan ke ICU

. .

Monitor EKG dan tanda vital Tekanan vena sentral harus diukur tiap 8 jam

318

. . .

Balans cairan ketat

Hidrasi harus dilanjutkan dengan 5 Vm2 Diuresis sedikitnya 150-200 mUjam. Jikadiuresis kurang

atau berat badan bertambah saat hidrasi, berikan

.

diuretika terutama furosemid intravena, diuretika hemat kalium dihindari. Hindari pemakaian kontras medium, aminoglikosida, OAINS, probenesid, tiazid.

Terapi Hiperurisemia pada Sindrom Lisis Tumor Alopurinol adah obat pilihan untuk mencegah peningkatan asam urat. Enzim xantin oksidase mengubah alopurinol menjadi oksipurinol, yang selanjutnya menghambat enzim tersebut. Akibatnya mencegah metabolisme hipoxantin menjadi asam urat. Kelarutan dan eliminasi xantin lebih baik dibanding asam urat di ginjal. Dosis alopurinol yang diperlukan 10 mg/kgBB. Jika terdapat penumnan pungsi ginjal , dosis alopurinol diturunkan. Bila kreatinin klirens >20 ml/menit diberi 300 mg/hari. Alopurinol tidak boleh

dikombinasi dengan 6-merkaptopurin, ampisilin, siklosporin. Jika alergi alopurinol, bisa diberikan urat oksdase atau rasburikase.

Terapi Hiperkalemia pada Sindrom Lisis Tumor

. . . .

Hidrasi dan diuresis Pemberian nebulisasi beta-2 agonis seperti fenoterol dapat membantu. Pemberian 10-20Uinsulindan25-50 g glukosa.

l0 ml bolus perlahan-lahan selama 2-3 menit diberikan dalam keadaan yang

Kalsium glukonat l0% mengancam disritmia.

KEGAWTIDARURAf,AN

MEDIK DI BIDANG ILMU PENYAKIT DALAITI

Dialisis pada Sindrom Lisis Tumor Jika kalium > 7 mmolil tidak bisa ditangani dengan pengobatan konvensional harus segera dilakukan dialisis bila keadaannya mengancam nyawa. Indikasi lain adalah kalium > 6 mmol/ldalam terapi hidrasi, fosfat > 10 mg/dl, ureum > 150 mg/dl dan oliguria atau anuria.

Komplikasi Sindrom lisis tumor adalah keadaan yang mengancam nyawa, dengan komplikasi gagal ginjal akut, disritmia maligna, DIC dan akhirnya meninggal.

REFERENSI Friedman JD. Oncologic Emergencies In : Pillot G et al eds.The Washington Manual Hematology and Oncology Subspeciality Consult. Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins, 2004. Gucalp R, Dutcher J. Oncologic Emergencies In: Kasper DL et al eds. Harisson's Principle of Internal Medicine, 16th ed. New

York, McGraw-Hill, 2005. Jouriles NJ. Oncologic Emergencies. In : Markovchick VJ, Pons PT eds.Emergency Medicine Secrets 3'd ed. Philadelphia, Hanley & Belfus, 2003. Kosmidis PA, Schijvers D, Andre F, Rottey S, eds. European Society for Medical Oncology Handbook of Oncological Emergencies. London, Taylor & Francis, 2005. Liu G, Robins HI. Oncological Emergencies. In: Pollock RE, ed. UICC Manual of Clinical Oncology, 8th ed.New Jersey, John

Wiley & Sons, 2004. Yahalom J. Oncologic Emergencies. In : de Vita VT et ai eds. Cancer Principles & Practice in Oncology, Th ed. Philadelphia, Lippincott

Williams & Wilkins, 2005.

Related Documents

Obat Kegawatdaruratan
March 2021 0
Modul Kegawatdaruratan
March 2021 0
Papdi Nutrisi
February 2021 1
Kegawatdaruratan Paru
January 2021 3

More Documents from "Priambodo Ilham"