Papdi Rheumatologi

  • Uploaded by: Anonymous xF8fv4OYCg
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Papdi Rheumatologi as PDF for free.

More details

  • Words: 227,758
  • Pages: 414
Loading documents preview...
I ::-.-:...

,- i,

-,

'

.lt.: ',

j1,::,

I

373 INTRODUKSI REUMATOLOGI A.R. Nasution, Sumariyono

PENDAHULUAN

Reumatologi merupakan ilmu yang relatif muda di Indonesia dibandingkan dengan sejawatnya Ilmu Bedah Orlopedi. Istilah reumatologi pertama kali diperkenalkan oleh Joseph I Hollander dalam buku ajar yang terbit tahun 1949. Dalam berbagai buku kuno penyakit reumatik jarang didiagnosis secara jelas seperti sekarang' Sebagai contoh

William Heberden tahun 1802 menggunakan istilah rheumatismunltkberagam keluhan nyeri pada sendi tanpa membedakan jenisnya. Salah satu tonggak penting dalam perkembangan reumatologi adalah berdirinya International League Against Reumatism (ILAR) pada tahun 1928. Pada tahun 1953 ILAR memutuskan bahwa reumatologi adalah salah satu cabang Ilmu Penyakit Dalam. Reumatologi adalah ilmu

tulang, dan angka tersebut diperhitungkan akan meningkat tajam karena banyaknya orang yang berumur lebih dari 50 tahun pada tahun 2020. Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan dan WHO pada 30 Nopember 1999 telah mencanangkan suatu ajakan 10 tahun baru yang disebut Bone and.Ioinl

Decade. Ajakan tersebut menghimbau pemerintah di seluruh dunia untuk segera mengambil langkah-langkah dan bekerjasama dengan organisasi-organisasi untuk penyakit muskuloskeletal, profesi kesehatan di tingkat nasional maupun internasional untuk pencegahan dan penatalaksanaan penyakit muskuloskeletal' Di Indonesia pencanangan Bone and Joint Decade dilakukan pada tanggal 7 Oktober tahun 2000 oleh Menteri Kesehatan dan

Kesejahteraan Sosial Republik Indonesia dr. Achmad Sujudi, bersamaan dengan Temullmiah Reumatologi ke III di Jakada.

yang mempelaj ari penyakit sendi, termasuk penyakit artritis,

Banyak kemajuan reumatologi di dunia terrnasuk di

fibrositis, bursitis, neuralgia dan kondisi lainya yang

Indonesia, di samping itu juga banyak permasalahan yang perlu dipecahkan berkaitan dengan pemahaman penyakit reumatik (baik oleh masyarakat umum maupun kalangan

menimbulkan nyeri somatik dan kekakuan. Reumatologi

mencakup penyakit autoimun, artritis dan kelainan muskuloskeletal. Jenis, berat dan penyebaran penyakit reumatik dipengaruhi oleh beberapa faktor risiko seperti faktor umur, jenis kelamin, genetik dan faktor lingkungan. Saat ini telah dikenal lebih dari I 10 jenis penyakit reumatik yang sering menunjukkan gambaran klinik yang hampir sama. Dari sekian banyakpenyakit reumatik ini yang banyak

medis), diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit, pencegahan kecacatan dan rehabilitasi akibat penyakit reumatik serta pendidikan di bidang reumatologi.

EPIDEMIOLOGI DAN MASALAH PENYAKIT

dijumpai adalah osteoartritis, artritis reumatoid, artritis gout, osteoporosis, spondioloartropati seronegatif, lupus eritematosus sistemik, serta penyakit reumatik jaringan

REUMATIK DIINDONESIA

lunak.

Osteoartritis

Pelayanan kesehatan di seluruh dunia

20 tahun

Osteoartritis (OA) adalah sekelompok peny akjt yang overlap detganetiologi yang mungkin berbeda-beda, namun

mendatang, karena peningkatan yang luar biasa orang

mengakibatkan kelainan bilologis, morfologis dan

yang terkena penyakit muskuloskeletal. Organisasi kesehatan sedunia (WHO) menyatakan bahwa beberapa juta orang telah menderita karena penyakit sendi dan

hanya mengenai rawan sendi namun juga mengenai seluruh sendi, termasuktulang subkondral, ligamentum, kapsul dan

menghadapi tekanan biaya yang berat pada 1 0

-

akan

gambaran klinis yang sama. Proses penyakitnya tidak

23s3

2354

jaringan sinovial serta jaringan ikat periartikular. Osteoarhitis merupakan penyakit sendi yang paling banyak di jumpai dan prevalensinya semakin meningkat dengan

bertambahnya usia. Masalah osteoartritis di Indonesia tampaknya lebih besar dibandingkan rregara barat kalau

melihat tingginya prevalensi penyakit osteoartritis di Malang. Lebih dari 85% pasien osteoartritis tersebut terganggu aktivitasnya terutama untuk kegiatan jongkok, naik tangga dan berjalan. Arti dari gangguanjongkok dan menekuk lutut sangat penting bagi pasien osteoartritis di Indonesia oleh karena banyak kegiatan sehari-hari yang tergantung kegiatan ini khususnya Sholat dan buang air besar. Kerugian tersebut sulit diukur dengan materi. Pemahaman yang lebih baik mengenai patogenesis osteoartritis (OA) akhu-akhir ini diperoleh antara lain berkat meningkatnya pengetahuan mengenai biokimia dan biologi molekuler rawan,sendi. Dengan demikian diharapkan kita dapat mengelola pasien OA dengan lebih tepat dan lebih

RET.JMAIIOI.OGI

Pada sisi lain diagnosis dini sering menghadapi kendala yaitu pada masa dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik AR karena gambaran karakteristik AR berkembang sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan yang adekuat . Diagnosis AR hingga saat ini masih mengacu pada kriteria diagnosis menurut ACR tahun 1987, tetapi di Indonesia gejala klinis nodul reumatoid sangat jarang dijumpai. Berdasarkan hal ini perlu dipikirkan untuk membuat kriteria diagnosis AR versi Indonesia pada masa yang akan datang berdasarkan data pola klinis AR di Indonesia. Artritis reumatoid sering mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan ekonomi yang besar.

Gout Gout adalah sekelompok penyakit yang ter.ladi akibat deposit kristal monosodium urat di jaringan. Deposit ini berasal dari cairan ekstra selular yang sudah mengalar.ni

aman.

supersarurasi dari hasil akhir metabolisme purin yaihr asam

Perlu dipahami bahwa penyebab nyeri yang terjadi pada OA bersifat multifaktorial. Nyeri dapat bersumber

urat.

dari regangan serabut syaraf periosteum, hipertensi intraosseous, regangan kapsul sendi, hipertensi intra-artikular,

regangan ligament, mikrofraktur tulang subkondral, entesopati, bursitis dan spasme otot. Dengan demikian penting difahami, bahwa walaupun belum ada obat yang

dapat menyembuhkan OA saat ini, namun terdapat berbagai cara untuk mengurangi nyeri dengan memperhatikan kemungkinan sumber nyerinya, memperbaiki mobilitas dan meningkatkan kwalitas hidup.

Artritis Reumatoid (AR) Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan pada

.

Prevalensi gout di Eropa dan Amerika Utara hampir

sama yaitu 0.30o/o dan 0.27yo, sedang pada populasi Asia

Tenggara dan New Zaelarrd prevalensinya lebih tinggi. Lebih dari 90o/o serangangout primer terjadi pada laki-laki, sedang pada wanita jarang terjadi sebelum menopause. Manifestasi klinik gout meliputi arlritis gout, tofus, batu asam urat saluran kemih dan nefropati gout. Tiga stadium klasik perjalanan alamiah artritis gout adalah artritis gout akut, gout interkritikal dan gout kronik bertofus. Artritis gout atau lebih umum di masyarakat disebut dengan istilah sakit asam urat, selama ini banyak terjadi mispersepsi yaitu bahwa hampir semua keluhan reumatik yang berupa nyeri, kaku dan bengkak sendi dianggap sebagai kelainan akibat asam urat atau artritis gout. Bahkan sejumlah kalangan medis ada yang masih memiliki persepsi

beberapa kasus disertai keterlibatanjaringan ekstraartikular. Sebagian besar kasus perjalananya kronik fluktuatifyang

yang sama dengan sebagian besar masyarakat tersebut.

mengakibatkan kerusakan sendi yang progresif, kecacatan dan bahkan kematian dini .

perlu mendapat perhatian lebih, agar pemberian obat tersebut dapat lebih tepat sehingga akan memberikan

Prevalensi dan insidensi penyakit ini bervariasi antara populasi satu dengan lainya, di Amerika Serikat, kanada dan beberapa daerah di Eropa prevalensi AR sekitar l% pada kaukasia dewasa. Di Indonesia dari hasil penelitian di Malang pada penduduk berusia di atas 40 tahun didapatkan prevalensi AR 0.5% di daerah Kotamadya dan 0,6% di daerah Kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, pada tahun 2000 kasus baru artritis reumatoid merupak an 4.1o/o dari seluruh

manfaat yang lebih besar bagi pasien.

kasus baru.

Dampak penting dari AR adalah kerusakan sendi dan kecacatan. Kerusakan sendi padaAR terjadi terutama dalam

2 tahw pertama perjalanan penyakit. Kerusakan ini bisa dicegah atau dikurangi dengan pemberian DMARD, sehingga diagnosis dini dan terapi agresifsangat penting untuk mencegah terjadinya kecacatan pada pasien AR.

Selain itu, pemberian obat penurun asam urat juga masih

Lupus Eritematosus Sistemik Lupus eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengan nama systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan penyakit kronik inflamatif autoimunyang belum diketahui etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta berbagai perjalanan klinis dan prognosisnya. Penyakit ini ditandai oleh adanya periode remisi dan episode serangan akut dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat. SLE merupakan penyakit yang kompleks dan terutama menyerang wanita pada usia reproduksi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan berperan dalam proses patofi siologi penyakit SLE. Prevalensi SLE di Amerika adalah I : I .000 dengan rasio

2355

INTRODUKSI REUMAIOI.OGI

jender wanita dan laki-laki antaru 9 -14'.7. Data tahw 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta, didapatkan I ,4o/o

kasus SLE dari total kunjungan pasien di poliklinik Reumatologi. Belum terdapat data epidemiologi yang mencakup semua wilayah Indonesia, namun insidensi SLE dilaporkan cukup tinggi di Palembang. Meskipun relatif jarang, penyakit ini menimbulkan masalah tersendiri karena seringkali mengenai wanita pada usia produktif dengan prognosis yang kurang baik. Kesintasannya (survival) SLE berkisar attara 85%o dalam kurun waktu

l0

tahun pertama dan 650/o setelah 20 tahun menderita

SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3 kali lebih

tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit

dan infeksi, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vaskular ateroslerotik. Kalim H dan Kuswonni H (1 996) melaporkan bahwa meskipun gambaran klinis dan penyebab kematian pasien LES di Malang tidak berbeda dengan pasien Kaukasia (kulit putih), harapat hidup pasien-pasien tersebut nyata lebih rendah yaifi 67 ,5o/o 5 tahun dan 48,650/o harapan hidup I 0 tahun. Faktor sosial ekonomi seperti tingkat pendidikan dan penghasilan dipandang berperan penting pada timbulnya perbedaan harapan hidup pasien LES. Meskipun demikian latar belakang genetik (ras) perlu diperhatikan. Kusworini

kependudukan tahun 1990, temyata jumlah penduduk yang berusia 55 tahun atau lebih mencapai 9,2%o,meningkaf 50%o dibandingkan survey tahun 1971 . Dengan demikian, kasus osteoporosis dengan berbagai akibatnya, terutama fraktur diperkirakan juga akan meningkat. Pada studi epidemiologi

yang dilakukan di Bandungan, Jawa Tengah, ternyata jumlah pasien osteoporosis meningkat secara bermakna setelah usia 45 tahun, terutama pada wanita. Penelitian Roeshadi di Jawa Timur, mendapatkan bahwa puncak massa tulang dicapai pada usia 30-34 tahun dar' rata-tata kehilangan massa tulang pasca menopause adalah l,4o/ol tahun. Penelitian yang dilakukan di klinik Reumatologi

RSCM mendapatkan faktor risiko osteoporosis meliputi

umur, lamanya menopause dan kadar estrogen yang rendah, sedangkan faktor proteksinya adalah kadar estrogen yang tinggi, riwayat berat badan lebih/obesitas dan latihan yang teratur.

Berbagai problem yang cukup prinsipiil masih harus dihadapi oleh Indonesia dalam penatalaksanaan osteoporosis yang optimal, seperti tidak meratanya

alat pemeriksaan densitas massa tulang (DEXA), mahalnya pemeriksaan biokimia tulang dan belum adanya pengobatan standard untuk osteoporosis di Indonesia.

H (2000) melaporkan bahwa alel kerentanan untuk

MASALAH PENYAKIT REUMATIK SEBAGAI

timbulnya LES pada populasi Indonesia ialah HLA-DR 2 yang ternyata sama dengan yang dilaporkan pada Cina

PENYEBAB KETIDAKMAMPUAN

(ras Mongoloid) dan Afro-Amerika (ras Negroid). Telah diketahui bahwa harapat hidup pasien LES Cina dan Afro- Amerika tersebut lebih buruk dari pada ras Kaukasoid, dengan alel kerentanan HLA-DR3. Dalam kaitan

dengan LES, orang-orang dengan alel HLA DR2 diduga mempunyai respons imun yang lebih patogenik dari pada orang-orang dengan alel HLA-DR3. Apakah hal ini bahwa secara genetik pasien lebih rentan terhadap LES, masih perlu penelitian lebih lanjut. Bagaimana interaksi latar

belakang genetik tersebut dengan faktor sosial ekonomi dalam menentukan harapan tetap hidup, juga perlu diteliti.

Dua jenis ketidakmampuan timbul dari penyakit reumatik.

Ketidak mampuan fisik mengakibatkan gangguan pada fungsi muskoloskeletal dasar seperti; membungkuk, mengangkat, berjalan dan menggenggam. Ketidak mampuan sosial menunjuk pada aktivitas sosial yang lebih

tinggi seperti makan, memakai baju, pergi ke pasar dan interaksi dengan orang lain. Penyakit reumatik pertama-tama menyebabkan gangguan fungsi fisik yang kemudian menyebabkan gangguan fungsi sosial. Osteoartritis atau reumatisme merupakan penyebab paling sering dari ketidakmampuan diAmerika Serikat.

Ketidak mampuan kerja merupakan bagian terbesar dari

rapuh dan mudah patah. Pada tahun 2001,

beaya tak langsung dari penyakit reumatik. Telah ditunjukkan bahwa ketidakmampuan kerja timbul dengan cepat pada pasien artritis reumatoid (AR). Kerusakan sendi yang memburuk timbul dalam 2 tahun setelah onset penyakit pada 50%o pasien. Keadaan ini disusul dengan

National Institute of Health (NIH) mengajukan definisi

penurunan fungsional yang nyata dan ditunjukkan

baru osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh compromised bone strength sehinggatulang mudah patah. Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka berbagai penyakit degeneratif dan metabolik, termasuk osteoporosis akan menjadi problem muskuloskeletal yang memerlukan perhatian khusus, terutama di negara-negara

oleh ketidakmampuan kerja. Sulit sekali dan hampir tak mungkin untuk menghitung nilai uang dari hambat an-hambatan tersebut (Sharma, Fellson, 1998). Beberapa penelitian telah melihat akibat non-moneter dari penyakit reumatik. Secara keseluruhan, hal itu disebut dengan

Osteoporosis Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perbunrkan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menj adi

berkembang, termasuk Indonesia. Pada survey

hambatan aktivitas. Hasil penelitian

di

Malang

menunjukkan bahwa cukup banyak orang yang tak dapat aktif karena penyakit reumatik (Tabel 1).

2356

REI,JMr'IIOI.OGI

pasien (dan juga dokter) kurang memahami hal ini sehingga

Kotamadya

Kabupaten

Pria

Jumlah Jumlah dengan penyakit reumatik Jumlah tak dapat aktif Wanita Jumlah Jumlah dengan penyakit reumatik Jumlah tak dapat aktif

mengakibatkan rendahnya tingkat kepuasan pasien reumatik yang berobat. Selain itu sering dokter tidak memberikan penjelasan yang cukup kepada pasien.

374

483

Keadaan tersebut mungkin merupakan faktorpenting yang

1e8 (52.e%)

193 (43.1o/o)

berkaitan dengan banyaknya pasien yang mengobati

25 (6.7yo)

21(4.3%)

sendiri penyakit reumatiknya dengan menggunakan obat yang kurang tepat atau campur-campur.

391

495 219 (45.5%)

21

9

(56.0010)

31 (7.9%)

35 (7.1o/o)

MASAI.AH EFEK SMAMPING OBATANTI REUMATIK NON-STEROtD (OA!NS) Banyaknya pasien yang mengobati sendiri penyakit

Kabupaten

reumatiknya dapat menimbulkan efek samping yang serius. Di Indonesia dan Philipina, kebanyakan pasien dengan

59.5%

64 5%

keluhan ringan tidak berobat ke dokter, didiagnosis dan

19.6%

13.8%

26.3o/o

42.4o/o

21 .3o/o

15.6% 16.6% 18 9o/o

Kotamadya

Cara pengobatan

1

Pengobatan sendiri Obat campur-campur Jamu Obat dan jamu 2. Pergi ke dokter 3.Berobat ke bukan dokter

26

60/0

13.90/o

Dari daftar National Health Interview Study, 1984 ditemukan bahwa 2,8%o dari 38 juta (15% penduduk Amerika Serikat) dengan artritis terhambat aktivitasnya. Artritis menjadi alasan utama hambatan artritis pada usia di atas 50 tahun. Fibrositis dan SLE juga mengakibatkan hambatan aktivitas yang lebih tinggi. Besarnya masalah penyakit reumatik di seluruh dunia dapat di dilihat dari data-data di bawah :

l. Di seluruh dunia penyakit

2.

sendi merupakan separuh

dari semua penyakit menahun pada orang-orang di atas 60 tahun . Osteoartritis dengan nyeri yang nyata dijumpai pada 25o/o masyarakat dengan usia di atas 60 tahun di

Amerika

Serikat

3. Nyeri pinggang

merupakan penyebab hambatan

diobati oleh tenaga kesehatan yang relatif kurang berpengalaman. (WHO 1992).

Penekanan dari pendidikan rnasyarakat mengenai penyakit reumatik ialah pada pemakaian obat, pengenalan penyakit-penyakit yang sering dijumpai dan faktor-faktor risiko yang berperan. Harus disadari oleh pasien bahwa walaupun reumatik menimbulkan nyeri yang dapat hebat sekali, sebagian besar tidak berkaitan dengan kematian. Dalam hal seperti itu maka penggunaan obat yang dapat menimbulkan risiko tinggi sedapat mungkin dihindari. Salah satu efek samping yang serius dari obat anti inflamasi non steroid (OAINS) adalah perdarahan saluran cerna. Risiko tersebiut akan semakin besar dengan semakin tingginya dosis, pemakaian campuran dan tingginya usia pasien. Tidak jarang dijumpai pasien reumatik (biasanya orang tua) masuk rumah sakit bukan karena penyakit reumatiknya tetapi karena efek samping obat atau jamu anti reumatik yang diminumnya. Risiko tertinggi kematian akibat perdarahan saluran cerna tersebut adalah pada orang tua, pasien yang memakai banyak obat dan pasien dengan penyakit lain (misalnya ginjal dan hati).

aktivitas yang paling sering pada usia muda dan pertengahan, menjadi salah satu penyebab yang paling sering untuk pergi ke dokter dari masyarakat kerja

MASALAH BEBAN SOSIAL EKONOMI PENYAKIT

@ditorial,2000).

REUMATIK

Hasil di atas sesuai dengan hasil penelitian di berbagai negara yang menunjukkan bahwa penyakit reumatik

Melihat pada tingginya prevalensi, banyaknya

merupakan penyakit dan penyebab ketidak mampuan yang paling besar (Chaia dkk, 1998).

penyakit reumatik, maka dapat dimaklumi jika dilaporkan

MASALAH PENATALAKSANAAN PENYAKIT REUMATIK Penatalaksanaan penyakit reumatik merupakan upaya jangka panjang yang memerlukan pengertian dan kerjasama yang baik antara dokter, pasien dan keluarganya. Banyak

ketidakmampuan dan turunya produktivitas karena bahwa beban ekonomi (nasional maupun pribadi) penyakit reumatili adalah tinggi. Beban ekonomi dibagi menjadi 2 komponen utama. Beban langsung menunjuk pada jumlah uang yang diperlukan untuk mengobati penyakit, sedang beban tak langsung menunjuk pada hilangnya produktivitas karena morbiditas dan mortalitas. Hasil penelitian di negara-negara maju menunjukkan bahwa beban sosial-ekonomi (baik bagi rregara maupun pasien) penyakit reumatik adalah besar sekali. Besarnya

2357

INTRODUKSI REUMAT'OLOGI

beban tersebut timbul dari tingginya prevalensi

Melalui kerjasama dengan organisasi-organisasi

penyakit reumatik, lamanya pengobatan yang diperlukan

kesehatan yang berkecimpung di bidang reumatologi, dilakukan upaya-upaya perbaikan kebijakan dan sistem kesehatan yang seimbang. Tujuan utama upaya ini ialah

dan efek samping obat, ketidakmampuan pasien dan penurunan aktivitas atau jam kerja. Besarnya beban sosial-ekonomi penyakit khususnya penyakit reumatik sampai sekarang belum diteliti dengan

baik di Indonesia, akan tetapi, beban tersebut dapat diperkirakan dengan melihat data di atas dan juga data dari Inggris (Moll, 1987,) maupun negara-negara lain.

meningkatkan pelayanan kesehatan pasien penyakit

reumatik, menyebar luaskan upaya menolong sendiri pasien penyakit reumatik dengan merancang

pendidikan menolong sendiri (self-help) pada penatalaksanaan reumatik sehari-hari, dan menunj ang program aktivitas fisik yang bermanfaat untuk pasien reumatik.

UPAYA MENGATASI MASALAH PENYAKIT REUMATIK DI INDONESIA

PERBAIKAN KURIKULUM PENDIDIKAN DOKTER Masalah penyakit reumatik pada masa mendatang jelas akan semakin meningkat karena

l.

YANG MENYANGKUT REUMATOLOGI

:

Bertambahnya jumlah orang tua, urbanisasi,

Peningkatan ketrampilan dan pengetahuan dokter

peningkatan industri dan pencemaran lingkungan yang akan meningkatkan prevalensi penyakit reumatik.

dari

umum maupun ahli penyakit dalam sangat penting untuk segera dilakukan. Kebutuhan ini tak hanya timbul di Indonesia, akan tetapi juga di negara-negara lain, oleh

masyarakat karena tingkat pendidikan dan kesadaran yang makin tinggi.

karena ternyata porsi yang diberikan untuk penyakit reumatik di berbagai fakultas kedokteran maupun di

3.

Harga obat-obatan dan prosedur diagnostik yang

pendidikan ahli penyakit dalam sangat tak memadai. Jam

kuliah dan lamanya pelatihan hendaknya dikoreksi

4.

semakin mahal karena datangnya obat-obat baru dan alat-alat canggih yang lebih baik. Globalisasi di bidang kesehatan yang akan memaksa

di Indonesia mengembangkan

dan dijumpai di mana-mana (Dequeker & Raskar, 1998). Dengan perubahan tetmaksud, maka hasil pendidikan

2. Tuntutan akan pelayanan yang lebih baik

dokter-dokter

kemampuanya sendiri untuk dapat bersaing dengan dokter-dokter dari luar negeri. Berdasarkan hal-hal tersebut di atasjelas terlihat bahwa

upaya mengatasi masalah penyakit reumatik merupakan

kebutuhan yang nyata yang harus dipikirkan mulai sekarang. Upaya ini merupakan usaha yang terus menerus

dengan tujuan pokok untuk pencegahan dan penatalaksanaan penyakit reumatik yang sebaik-baiknya. Supaya usaha tersebut dapat berhasil, maka perlu adanya

program terpadu secara nasional mengenai penyakit reumatik.

PENYUSUNAN PROGRAM KEBIJAKAN DAN SISTEM YANG MEMUNGKINKAN PENINGKATAN KUALITAS HIDUP PASIEN REUMATIKDAN UPAYA. UPAYAPENCEGAHAN

a.

Menyusun program penanganan penyakit reumatik yang terpadu. Kegiatan di bidang ini meliputi pelatihan untuk tenaga kesehatan yang terpadu secara nasional, merancang

jaringan kerja sama, meningkatkan kesadaran masyarakat, membentuk badan-badan penasehat, mengkoordinasikan aktivitas secara nasional dan uji coba usaha-usaha intervensi. b. Memperbaiki sistem dan kebijakan kesehatan.

sehingga dapat sesuai dengan kenyataan bahwa penyakit

reumatik merupakan salah satu penyakit yang tersering

dokter di masa depan dapat menjawab tantangan kesehatan, sesuai yang banyak diharapkan oleh ahli kesehatan (Towle, 1 998).

Pentingnya pendidikan reumatologi dibicarakan dengan mendalam pada suatu simposium liga anti reumatik Eropa (EULAR) pada 1987. Pada saat itu beberapa fakultas kedokteran di Eropa masih belum memberikan pengaj aran reumatologi, tapi pemeriksaan sistem lokomotor telah masuk ke dalam kurikulum pendidikan dokter. Di Australia, hasil-hasil terakhir telah menunjukkan bahwa lebih dari setengah mahasiswa kedokteran tak cukup mendapat pendidikan reumatologi.

Secara keseluruhan, pendidikan dokter di fakultas kedokteran kurang menekankan pentingnya penyakit sendi, meskipun pada kenyataannya, lebih dati20%o dari pasien di tempat praktek adalah penyakit reumatik (WHO,

te92).

Sistem pendidikan ahli penyakit dalam di Indonesia pada saat ini juga menunjukkan kurangnya perhatian terhadap penyakit reumatik. Keberadaan sub bagian reumatologi dalam pusat pendidikan ahli penyakit dalam merupakan suatu keharusan. Sebelum ini asisten yang menempuh pendidikan penyakit dalam tak diharuskan bekerja di sub bagian tersebut. Jika kita ingin memperbaiki pelayanan pasien reumatik, maka sub bagian ini harus lebih diperhatikan (Nasution, I 988).

2358

REI.JMAIOI.OGI

PENELITIAN.PENELITIAN UNTUK PENCATATAN

PASIEN, EPIDEMIOLOGI DAN TINDAKAN PENCEGAHAN YANG BERTUJUAN UNTUK

Klarifikasi Pentingnya Peran Nutrisi dan Aktivitas Fisik yang Baik. Perlu dilakukan penelitian-penelitian untuk mengetahui

MEMPERKUAT DASAR ILMIAH

peran aktivitas fisik dalam mencegah atau mengurangi efek

Penelitian Epidemiologik untuk Menetapkan Besarnya Masalah Penyakit Reumatik Informasi tentang prevalensi dan kecenderungan penyakit reumatik sangat penting untuk merangsang dan inplementasi program-program pencegahan. Dalam survei kesehatan rumah ke rumahperlu ditambahkan hal-hal yang

mencakup penyakit reumatik. Dalam kaitan dengan penelitian epidemiologi, maka perlu diperhatikan peran keadaan sosial, kesesuaian kriteria diagnosis yang digunakan dan pandangan penyakit reumatik sebagai penyakit ke4'a (Bemard dan Fries, 1997). Di antara golongan sosial yang lebih rendah temyata lebih sering dijumpai keluhan yang lebih berat. Di samping itu juga terdapat lebih sering penyakit reumatik, kecuali gout dan anklosing spondylitis (Adebayo, I 9 9 I ). Prevalensi beberapa penyakit yang lebih tinggi di pedesaan mungkin dapat dijelaskan karena perbedaan golongan sosial. Misalnya, terdapat bukti-bukti bahwa gout sering dijumpai pada masyarakat desa dari pada masyarakat kota yang sebanding dan di Indonesia lebih sering dijumpai pada suku tertentu (Padang, 1 997

;T

ehtpeiory, I 992).

Dengan penelitian epidemiologis diharapkan dapat data yang bermanfaat unh* : . Menetapkan besamya penyakit dan ketidakmampuan yang ditimbulkannya di masyarakat . Dikembangkannya kriteria klasifikasi penyakit reumatik . Menilai perjalanan penyakit alami dan prognosanya . Penetapan faktor-faktor etiologi yang meliputi dua unsur yaitu genetik dan lingkungan

.

Penilaian mengenai pengaruh dan efektifitas usaha-usaha pengobatan dan pencegahan

Tindakan untuk Menghambat Ketidakmampuan karena Penyakit Reumatik Upaya pencegahan penyakit reumatik di masyarakat masih

terhambat karena banyaknya mitos bahwa penyakit reumatikmerupakan akibatyang tak dapat dihindarkan dari ketuaan. Akibatnya banyak pasien dan keluarganya yang menyerah begitu saja pada penyakit reumatik, Akan tetapi, sebenarnya banyak upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengurangi nyeri dan ketidak mampuan

karena penyakit reumatik. Misalnya, osteoartritis lutut dapat dicegah dengan mengurangi kegemukan dan mencegah pekerjaan berat dan cedera olahraga. Nyeri dan ketidak mampuan yang menyertai penyakit reumatik dapat dikurangi dengan diagnosis awal, penatalaksanaan yang

baik, termasuk mengontrol berat badan/aktivitas fisik,

terapi fisik, dan operasi penggantian sendi kalau diperlukan.

penyakit reumatik. Hal ini penting, khususnya osteoartritis lutut yang lebih sering timbul pada kegemukan. Nutrisi yang baik dan olah raga merupakan faktor yang perlu dalam menjaga berat badan yang ideal. Latihan fisik yang baik juga penting untuk menjaga kesehatan sendi.

Evaluasi Strategi lntervensi Perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengembangkan dan menilai efektivitas program pendidikan pasien dan masyarakat tentang penyakit reumatik dalam kerangka layanan terpadu.

PENDIDIKAN tlI/qSYAl?Al(AT UNTUK MENINGKATI(AN KESADARAN DAN MEMBERIKAN INFORMASI YANG AKU RAT TENTANG PENYAKIT REU MATIK. Peran masyarakat adalah penting oleh karena penyakit

reumatik pada umumnya merupakan penyakit yang menahun dengan beberapa faktor risiko yang dapat dikendalikan. Program pendidikan masyarakat di Indonesia akan memperoleh dukungan jika masyarakat dapat segera menikmati hasilnya. Mengingat hal itu, maka perbaikan pelayanan kesehatan pada pasien penyakit reumatik merupakan upaya pertama yang perlu segera dilaksanakan. Beberapa penyakit reumatik, misalnya bursitis dan tennis elbow memang dapat membaik dengan pengobatan yang sederhana. Akan tetapi kebanyakan penyakit reumatik memerlukan penanganan yang lebih baik untuk mencapai hasil yang memuaskan. Hal ini memerlukan pengetahuan yang lebih baik dari dokter-dokter di pusat pelayanan kesehatan masyarakat (PUSKESMAS) maupun di Rumah Sakit. Di rumah sakit daerah, penatalaksanaan pasien reumatik memerlukan kerjasama yang baik dari dokter-dokter yang terlibat (seperti ahli penyakit dalam, penyakit saraf, fisioterapi, ahli bedah tulang dan lain-lain).

Di beberapa negara, iklan di kendaraan umum dan televisi digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan mengenai penyakit reumatik. Departermen Kesehatan telah mengeluarkan iklan-iklan kampanye yang memperingatkan masyarakat mengenai merokok, narkotik, alkohol danAIDS,

Kampanye serupa hendaknya juga diberikan untuk mencegah osteoporosis dan beberapa penyakit reumatik

yang lain.

REFERENSI American College of Rheumatology Ad Hoc Commitie on Clinical Guidelines. Guidelines for the management of rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1996: 39 :713 -31.

2359

INTRODUKSTI REUMATOI-OGI

American College of Rheumatology Subcommittee on

Rheumatoid

Arthritis Guidelines. Guidelines for the Management of Rheumatoid

Arthritis 2002 lJpdare. Arthrits Rheum 2002; 46

:

328-346. American College of Rheumatology 2004. Frequently

asked

question. Becker MA, Jolly M. Clinical gout and the pathogenesis of hyperuricemia. In : Koopman WJ, Moreland LW. Arthritis and allied

conditions a textbook

of rheumatology 11 edit. 2005 :

2303 2339. Combe B, Eliaou JF, Daures JP, Meyer O, Clot J Sany J.

Prognostic

factor in rheumatoid arthritis : comparative study of two subset of patients according to severity of articular damage. Br J rheumatol. 1995 :34 : 529-34. Darmawan J Rheumatic condition in the northern part of Central Java An epidemiological survey. 1988 : 97-111 Emery P, Breedveld FC, Dougados M, Kalden JR, Schiff MH, Smolen

JS. Early referral recomendation for newly diagnosed rheumatoid arthritis: evidence based development of clinical guide Ann Rheum Dis 2OO2 ;

6l: 290-7

Handono Kalim, Kusworini Handono. Masalah penyakit

reumatik

di Indonesia sefta upaya-upaya penanggulanganya Temu Ilmiah Reumatologi 2000 : 1-11. Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan diagnosis systemic lupus erythematosus. 2004 Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan diagnosis osteoporosis. 2005 Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan diagnosis osteoartritis. 2004 Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan diagnosis

dan pengelolaan dan pengelolaan dan pengelolaan

dan pengelolaan

artritis reumatoid In pres. Nasution AR, Isbagio H, Setiyohadi B. Pendekatan diagnostik penyakit reumatik. In : Syaifoelah Noer dkk Buku ajar llmu Penyakit Dalam. 1996 : 43 61. Nasution AR. Pidato pengukuhan guru besar : Peranan dan perkembangan reumatologi dalam penanggulangan penyakit muskuloskeletal di Indonesia. 1995. Scottish Intercollegiate Guidelines Network : Management of Early Rheumatoid Arlhritis. A National Clinical Guide 2000 : l-44. Terkeltaub RA Gout : epidemiologi, pathology and pathogenesis. In : Klippel JL. Primer on the rheumatic diseases. 12 edit. 2001 : 307-m312.

374 PENERAPAN EVIDENCE-BASED MEDICINE DALAM BIDANG REUMATOLOGI Joewono Soeroso

PENDAHULUAN

2. 3.

Tetap mengikuti perkembangan ilmu kedokteran

Meningkatkan kualitas dan kuantitas riset

Evidence-based medicine (EBM) adalah pendekatan pada pengelolaan pasien yang mengaplikasikan informasi medis dari hasil penelitian yang paling baik dan sahlh(the best evidence). Penelitian yang baik adalah yang dilaksanakan melalui metode yang baik. Sesungguhnya lebih baik kita

Terdapat 3 komponen utama pada pengelolaan pasien

mengambil acuan pengelolaaan (evidence) pasien dari

yaitu:

MODEL PENGELOI-AAN PASIEN MENURUT EBM

artikel asli yang berisi informasi tentang proses bagaimana peneliti dapat menyimpulkan hasilnya. Tugas dokter adalah memilih hasil penelitian yang terbaik untuk diterapkan pada pasien, tetapi kendalanya adalah bagaimana cara memilih artikel penelitian yang baik. Disini EBM memberi solusi bagaimana mencari dan mengkritisi literatur penelitian yang baik, melalui telaah kritis (critical apprarsal). EBM bahkan menyediakan secara instan data penelitian yang didapat melalui kritisi tersebut Di negara sedang berkembang, seperti di Indonesia, tingkat kesehatan masyarakat belum optimal, sedangkan

Clinical Expert se Adalah tingkat kompetensi seorang dokter dalam menangani pasien. Dokterharus melakukan anamnesis dan

pemeriksaan secara cermat dan sistematik untuk menegakkan diagnosis, memilih terapi dan menentukan

prognosis. kompetensi seorang dokter ditentukan oleh faktor . Ilmu (sclence)yangterdiri dari:

-

dana sektor kesehatan terbatas, sehingga perlu pemanfaatan sumber dana secara efisien. EBM juga digunakan di negara maju untuk men).usun konsensus

.

diagnosis dan pengelolaan pasien oleh berbagai organisasi

Governance (CG. CG merupakan bagian utama dari

pengalaman

Seni yang merupakan komposit dari:

-

profesi, pedoman diagnosis dan terapi (clinical practice guidelines) di rumah sakit. Bahkan di Inggris dan Australia EBM merupakan pilar pokok dalam Clinical National Health Serttice (NHS) dan akreditasi RS di negara tersebut tergantung baik tidaknya CG. CG juga membantu meminimasi masalah mediko-legal

-

pengetahuan (ilmu kedokteran)

logika; sintesis dan analisis data klinis mis; melalui problem oriented medical record (POMR)

Keyakinan (beliefs), pertimbangan (clinical judgement),

intuisi

Clinical expertise merupakan bagian yang paling penting dari EBM. Evidence saja tidak bisa bekerja tanpa clinical expertise.

Evidence yang Didapatkan dari Literatur Tujuan EBM

1. Meningkatkan

akurasi, efektivitas dan efisiensi dalam diagnosis. terapi dan pognosis.

Literatur (luar negeri) tidak selalu sahih. Kita harus mengkritisi metode literatur tersebut, jika sahih dapat terapkan pada pasien.

2360

2361

PENERAPAN.EWDENCEBASET' MEDICINE DN.AM BIDAI\G REUMATOLOGI

han Pasien (patient's preferences) Kita harus memberikan informasi klinis terbaik (tersahih) kepada pasien seperti kausa penyakit, faktor yang Pi li

.

Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan sering tidak

.

Agar dokter tetap up to date, karena banyak literatur

efektif.

terakhir yang lebih bermanfaatbagi kita dan pasien

mempengaruhi kesembuhan, efektivitas obat, efek samping obat, harga obat dan tindakan lain yang akan kita lakukan

pada pasien. Kita perlu mengakomodasi apa yang LANGKAH PELAKSANAAN EBM

dikehendaki pasien.

a. Clinical expertise

Best Evidence

Patient's prelerence

Pilih Suatu Masalah Klinis (clinrcal questionl

Kita mendapatkan seorang pasien dengan SLE yang harus menggunakan kortikosteroid jangka panjang, kita tentu ingin tahu obat apa yang terbaik untuk mencegahnya osteoporosis. Kita pernah membaca bahwa bisfosfonat misalnya Drug A bisa mencegah osteoporosis dan mencegah fraktur akibat osteoporosis akibat penguunaan Kortikosteroid jangka pan;ang. Jadi masalah klinis kita adalah:

Apakah benar Drug Abisa mencegah timbulnya fraktur pada pasien dengan osteoporois akibat kortikosteroid?

b. Mencari Literatur yang Sesuai dengan Masalah Klinis

Gambar. 1. Model pengelolaan pasien pada EBM

MENGAPA EBM DIPERLUKAN?

..

Strategi

.

Lupakan buku ajar (textbook).

Banyak artikel penelitian (sebagi evidence) tidak sahih - Haynes et. al. (1986), melalui kritisi pada metode

artikel penel itian

earch article), melaporkan

Buku ajar terbitan terakhirpun sebetulnya sudah

bahwa pada artikel yang dimuat di 4 majalah penyakit

ketinggalan, karena isinya diambil dari literatur 1-3 tahun yang lalu atau bahkan lebih. Buku ajarjuga sering tidak

(res

dalam terkemuka drdunia, haqta I90% 8 yang metode dasamya memenuhi syarat . Untuk peneltian akurasi

-

berbagi tes diagnosik mulai dari tes celup urin sampai MRI, Reid, Lachs dan Feinstein (1995) melaporkan haryta 6'% e yang metodenya baik Kasus Mesin Gaslric Freezing Pada awal tahun 70an di Amerika beredar mesin

mencantumkan metode yang menginformasikan bagaimana proses pencapaian hasil penelitian, sehingga kita bisa melihat sejauh mana kesahihan penelitian tersebut. Mengetahui tingkat kesahihan desain penelitian.

.

Desain penelitian mempunyai berbagai tingkat

gastic freezing, yaitu mesin yang dapat

kesahihan. Makin kurang kesahihannya makin kurang

tujuan untuk terapi perdarahan lambung. Mesin

baik hasilnya dan mungkin tidak relevan untuk diterapkan pada pasien. Pengetahuan ini diperlukan

tersebut sempat terjual 2500 unit, setelah suatu saat

untuk memahami mengapa dilakukan telaah kritis itu

sebuah penelitian independen randomized clinical trial (RCT) yang membandingkan mesin

(Tabel 1).

membekukan miliu gaster sampai -100 C, dengan

. . .

tersebut dengan terapi konvesional menemukan bahwa mesin tersebut tidak lebih baik dari terapi konvensional. Banyak kasus yang mirip dengan kasts gastric freezing tersebut yang termuat dalam berbagai literatur Jumlah artikel penelitian di majalah kedokteran terus meningkat, mencapai I juta artikel baru setiap tahun Para dokter sering tidak berkesempatan memperoleh evidence, padahal ada akses.

Pengetahuan dan kinerja dokter menurun karena pengaruh umur.

Jenis penelitian tidak hanya uji klinis terapi saja tetapi juga penelitian tentang: Penyebab atau faktor risiko penyakit (mis, asam urat sebagai faktor risiko strok) Uji saring (mis; tesANAcekup tahunan, menjaring

A B

Pilih masalah (clinical question) yang kita hadapi pada pasren

Cari the best evidence dari literatur yang relevan dengan masalah pasien melalui telaah kritis C. Terapkan the best evidence pada pasien

2362

RET.JMAiTIOIOGI

pasienHIVdll.)

- Uji -

akurasi tes diagnostik (mis; USG untuk

mendiagnosis Ca Caput pankreas)

Faktor prognosis (mis; hipotensi sebagai faktor yang meningkatkan kematian pada infark jantung

aku|.

.

- Penelitian ekonomi klinis dll. Mencari literatur yang relevan dengan masalah klinis. - Ke perpustakaan: akan memakan waktu lama dan tidak lengkap. - Ke internet mencari

literatur penelitian asli (original article ata:u research article). Tanda

artikel asli terlihatpada abstrak, di manaterlihat ada kata o bj e ctive (Tujuan Penelitian), Methods . Situs

yang menyediakan literatur sangat banyak. Beberapa malah menyediak at artlkelfulltexl secara gratis. Misalnya; PubMed (h@://www.entrez.gov,f ,

Free Medical Journals (http:www.freemedical joumal.com/), Highwire ( h@://wwwstanford.edu/) dll.

-

EBM instan. Kita bisa mendapatkan informasi medis secara instan yang sudah dilakukan kritisi (critical appraissal) oleh tim yang terdiri dari para klinisi senior dan ahli epidemiologi klinis senior. Untuk mendapatkan EBM instan Para dokter mengunjungi

situs tempat kelahiran EBM di Mc Master University (h@;/,rhru.mcmaster.calebm/default.htrn) atau Cochrane Library ftttp//wwwldnder.com/), Cltncal Evidence BMJ (http://www.clinicalevidence.org/),

National Guidelines Clearing House (http:ll www.guideline.gov/) dll.) Anda akan mendapatkan informasi lebih banyak tentang situs-situs EBM di dunia melalui email: [email protected]

. . .

Apakah desain penelitiannya minimal suatu RCT? Apakah data dasar (baseline data) pada kelompok obat dan kelompok pembanding homogen? Apakah semva outcome penting ditampilkan dan terukur

.

Apakah drop-out dari subyek penelitian kurang dari

'

Apakah di samping secara statistik bermakna, secara

obyektifl 20%

klinis |uga bermakna? Kalau dari salah satu kriteria di atas tidak lolos, berarli metodenya belum dapat dikatakan sahih dan hasil penelitian tersebut belum dapat diterapkan pada pasien. Penekanan pembahasan kali ini adapada butir 5 dan 6, yaitu apakah yang dimaksud dengan secara statistik bermakna, secara

klinis juga bermakna? Sebagai contoh suatu obat anti kolesterol dapat menurunkan kadar kolesterol yang secara statistik bermakna tetapi juga harus dapat menurunkan angka komplikasi (outcome) yang secara klinis bermakna yang berkaitan dengan hiperkolesterolemia seperti penyakit janfung koroner dan stroke serta dapat menurunkan angka kematian yang berkaitan dengan hiperkolesterolemia secara

bermakna. Angka kematian yang meningkat dapat disebabkan karena efek samping obat yang tidak terdeteksi klinis fase IIL Pada konteks Drug A sebagai

pada penelitian

obat anti osteoporosis, apakah Drug A selain dapat meningkatkan densitas mineral fulang secara bermakna juga dapat menurunkan insidens fraktur secara bermakna?

Mengukur Kemaknaan Klinis Suatu Terapi Kemaknaan klinis diukur melalui Relatif Risk Reduction (RRR) dalam konteks obat antiosteoporosis adalah dengan formula: Proporsi fraKur kelompok plasebo

Melaksanakan Telaah Kritis Untuk menentukan terapi yang rasional dan efisien kita sebaiknya memilih the best evidence dari artikel asli. Seharusnya kita mencari beberapa artikel yang relevan dari

beberapa literatur kemudian kita pilih yang terbaik metodenya melelui telaah kritis. Untuk melakukan telaah

-

proporsi fraktur kelompok Drug A

Proporsi fraktur kelompok plasebo

. .

Jika nilai RRR, misalnya obat X dibanding plasebo ) 25oh,maka obat X dapat dianggap mempunyai makna

klinis. Jika

RRR

50%o,

bisa dianggap sangat bermakna.

kritis kita perlu membaca buku, misalnya'. Eyidence based medicine. How to practice and teach EBMilisanSackett dkk atau buku yang lain. Sebagai contoh penerapan EBM kita pilih satu literatur penelitian (hipotetis) yang kita ambil dari internet yang berjudul.'

Contoh penghitungan RRR adalah sebagai berikut: Dari literatur tersebut kita lakukan telaah kritis seperti tercantum pada Tabel 2.

Drug A therapy prevents corticosteroid induced bone loss. A six months, multicenter, randomized double blind,

Subyek Penelitian

placebo controlled, parallel group study. Uncles MR, Brothers CJ, Aunties G et al. Acta Keroposa 2002: 34: 20007-20001 3 Telaah kritis dapat kita lakukan dengan menelusuri bagian bahan dan cara (Materials and methods) dan hasil

. . . .

Plasebo:N:77

DrugA2,5mg/hari:N:75 DrugA5 mglhalrr76 Lamapenelitian 12bulan.

penelitian (results). Adapun kriteria telaah kritis untuk

Penghitungan RRR

rnengetahui baik tidaknya penelitian tentang terapi adalah:

Penghitungan RRR pada Dru g A2,5 mg/hari terdap at pada

2363

PENERAPAN EVIDENCF.BASED MEDICINE DALAM BIDANG REUMATOLOGI

Mengukur Efisiensi Terapi Secara Sederhana

Tingkat 1

2 .J

Tujuan penelitian

Desain

Kesahihan

Meta-regression Mega-trial Meta-analysis

Terapi Terapi Terapi, Uji diagnositik,

Kita tetap pada penelitian di atas. Disini diukur efisiensi terapi secara sederhana melalui cara Number Needed to ?eaf (I.trNT) dengan formula

NNT:I/ARR Sedangkan formula AP.P. (absolute risk reduction) dalam konteks obat antiosteoporosis adalah:

uji saring, risiko, prognosrs 4. E

6. 7 8 o

Randomized Clinical Trial (RCT) Cohort Case-Control Cross-secflona/ Case-serles (seri kasus) Clinical opinionexpeflence

Terapi, uji saring,

proporsifraktur kelompok plasebo

Faktor prognosis Faktor Risiko Akurasi Tes Diagnostik Membuat Kriteria Diagnostik

Interpretasi hasil NNT terapi Drug A2,5 mglhari seperti

Tabel3. Ternyata Drug A 2,5 mglhari yang diberikan selama 12 bulan, secara klinis cukup bermakna dibanding plasebo dalam menurunkan insidens fraktur untuk pasien osteoporosis akibat kortiko steroid, RRR : 3 5, 8 % (25 - 50%)

(Tabel3)

Untuk selanjutnya kita lakukan penghitungan RRR

-

proporsifraktur kelompok DrugA

tercantum dalam Tabel 5 adalah:

Pada pasien osteoporosis akibat kortikosteroid diperlukan 16.l pasien yang diterapi dengan Drug A 2,5 mg/hari selama I2 bulan untuk mencegah terjadinya I fraktur vertebra. Jika terapi Dru g A2,5 mghaimemerlukan dana sebesar Rp 5000,-/hari atauRp. 150.000,- setiapbulan, makadalam terapi selama 12 bulan diperlukan dana Rp 1.800.000,-. Jadi untuk mencegah 1 fraktur pada pasien CIO, dalam waktu 12 bulan diperlukan dana sebesar 16,1 x Rp 1.800.000,-

:

Rp 28.980.000,- (Tabel 5)

pada DrugA 5 mg seperti tercantum pada Tabel4.Temyata Drug A 5 mg yang diberikan selama 12 bulan, secara klinis

sangat bermakna dibanding plasebo dalam menurunkan

insidens fraktur untuk pasien osteoporosis akibat korlikosteroid, RRR

:

67,5% (>50%) (Tabel 4).

lnsidens Fraktur Vertebra Plasebo

P

NNT

ARR

Drug A (RS)2,5 ms

0,173

0,111

(P-RS)

0,358 0,062

1/0,062 = 16,1

Penjelasan

1

Apakah desain RCT?

Ya (lihat Materials and Methods

2

Dala dasar antara plasebo, Drug A 2,5 mg dan 5 mg homogen? drop-out <20o/o?

Ya (lihat Tabel

3

4.

section)

Outcome diukur obyektif?

5a, Statistik bermakna? 5.b Klinis bermakna? 5.c Efisiensi Drug A

lnsidens vertebra PlaseboP o11oAn 0,173

Relative Risk Reduction (RRR)

P

m0

0,111

pada literatur di

Tidak dan Ya folal drop out 781228 (34,2o/o\ Plasebo: 20 17 7 (25,9o/o\ Drug A 2,5 mg: 44175 (58,6%) Drug A 5 mg: 15/76 ('19,6%) (lihal Patient and Methods section) Ya, BMD dan X-Ray etc Ya, BMD dll. pada berbagai tempat berbeda secara signifikan (p<0,0010,05) (Tabel 3. literatur di atas) Lihat tabel penghitungan RRR Lihat tabel penghitungan NNT

Fraktur

z.c

1

0,173

-

- R2,5/P

0,1111 0,173 = 0,358 = 35,8%

lnterpretasi Hasil NNT pada Terapi Drug A 5 mg/hari adalah Pada pasien osteoporosis akibat kortikosteroid diperlukan 8,6 orang yang diterapi dengan Drug A 5 mg/hr selama 12 bulan untuk mencegah terjadinya 1 fraktur vertebra. Jika terapi Drug A 5 mg memerlukan dana sebesar Rp 10.000,&ari atau Rp. 300.000,J bulan maka dalam terapi selama 12 bulan diperlukan dana Rp 3.600.000,-, Jadi uatuk mencegah I fraktur dalam waktu I 2 bulan diperlukan dana sebesar 8,6 x Rp 3.600.000,-: Rp 30,960.000,-

lnsidens Fraktur

NNT

Vertebra

Plasebo

P

0,1 73

Drug A 1Rs;s ms 0,057

RRR 67Yo

ARR (P-RS)

0.116

1/ARR

1/0.1'16 = 8,6

2364

REI,JMITIOI.oGI

KESIMPULAN SEMENTARA

besar sampelya atau melakukan meta-analisis. EBM

Pemberian Drug A 2,5 mglhari selama 12 bulan (Rp 28.980.000,-) lebih efisien dibanding Drug A 5 mglhari

sebaiknya memang dikembangkan di kalangan dokter dan

seterusnya di tingkat yang lebih tinggi yaitu dalam

selama 12 bulan (Rp 30.960.000,-) unhrkmencegah 1 frakhr vertebra pada pasien osteoporosis akibat kortikosteroid.

pengambilan kebijakan di Bagian, di Rumah Sakit, misalnya dalam pembuatan Pedoman Diagnosis dan Terapi maupun oleh organisasi profesi dalam penyusunan Konsensus

TERAPKAN PADA PASIEN

Diagnosis atau Konsensus Terapi. Bahkan EBM bisa diterapkan dalam sistem pelayanan kesehatan secara nasional Dari penjelasan di atas kita lihat bahwa pengelolaan pasien yang baik hampir selalu berasal dari penelitian yang baik, Oleh karena itu pemahaman EBM

Jika dari hasil telaah kritis menurutAnda sebagai seorang clinical expertis e,Drug A2.5 mg memang efektif dan efi sien silahkan dterapkan pada pasien.

EBM tidak hanya mengkritis artikel tentang terapi, tetapi juga artikel tentang kausa penyakit,

uji saring, tes

diagnostik, faktor prognostik dan sebaginya. Untuk mempelajai lebih lanjut silahkan baca bukr.r/artikel pada daftar pustaka di bawaah.

RINGKASAN EBM adalah upaya untuk melakukan pengelolaan pasien dengan menerapkan informasi medis yang sahih agar pasien tidak dirugikan secara moral maupun finansial. Oleh

itu seorang klinisi sebaiknya kritis terhadap informasi medis yang akan digunakan untuk menentukan diagnosis, terapi dan prognosis pasien, sebab tidak semua informasi medis yang kita dapatkan adalah sahih. Perlu diluangkan sedikit waktu untuk mempelajari memahami metode penelitian dan telaah kritis serta metode kuantitatif agar kita dapat memberikan yang terbaik kepada pasien. Dalam konteks EBM pada terapi Drug A, telah dapat ditunjukkan efikasi Drug Adan komparasi efisiensi Drug A2,5mglhai dan 5 mglhari selama 12 bulan pada pasien osteoporosis akibat penggunaan kortikosteroid. Namun sebaiknya dilakukan evaluasi EBM pada trial yang lebih karena

diharapkan akan merangsang para klinisi untuk meningkatkan kualitas maupun kuantitas penelitian.

REFERENSI Dixon RA, Munro JF, Silcocks PB. The evidence based medicine work book. Critical appraisal for clinical problem solving.Oxford: Butterworth-He itemat 1997 Geyman. E . Evidence based medicine in primary care: Aa overview.

In: Evidence Based Clinical Practice: Concepts and approaches. Eds. Geyman JP, Deyo RA, Ramsey SD Boston: ButterworthHeineman. 2000. pp 1-11 Gray TA. Clinical govemance. Ann Clin Biochem 2000; 37: 9-15. Haynes RB et al. How to keep up with medical literature IL Deciding which journal to read regularly. Ann Intem Med 1986; 309:105 Kehoe R. Local initiatives in clinical effectiveness. Advances in Psychiatric Treatment. 2000; 6: 173-379. Reid MC, Lachs MS, Feinstein AR. Use of methodological standards in diagnostic test research. Getting better but still not good. IAMA. 1995;274:651 Sackett DL, Haynes RB, Guyatt GH, Tugwell P: Clinical epidemiology. A basic science for clinical medicine. Boston: Little, Brown and Company 1991. Sackett DL, Richardson WS, Rosenberg W, Haynes RB. Evidence based medicine. How to practice and teach EBM. New York:

Churchil-Livingstone,

1

999.

375 METROLOGI DALAM BIDANG REUMATOLOGI Rizasyah Daud

Berlainan halnya dengan cabang kedokteran klinik lain

pada umumnya, penguk\rafl outcome dalam bidang reumatologi tidak selalu mudah untuk dilakukan. Hal ini disebabkan karena dalam mengelola pasien penyakit reumatik, kita seringkali berhadapan dengan rasa nyeri, pengaruh penyakit pada aktivitas sehari hari bahkan sampai

mencakup masalah kesejahteraan pasien akibat penyakit

yang di deritanya. Berbagai ukuran ini agaknya lebih banyak mendekati suatu construct dari pada ukuran yang dapat diukur secara secara langsung seperti kadar gula

darah pada pasien NIDDM atau SGPT pada pasien hepatitis virus. Akan tetapi, sejak 50 tahun terakhir ini

saja dapat mengecilkan arti ukuran nyeri sendi yang sebenarnya telah dianggap valid dan cukup responsif. Dengan demikian jika kita ingin menggunakan instrumen ini untuk mengurangi variasi yang mungkin terjadi, pengukuran sebaiknya harus dilakukan oleh seorang peneliti tunggal. Jika pengukuran ini harus dilakukan oleh beberapa orang peneliti, maka akan diperlukan jumlah sample yang lebih besar. Hal ini tentu saja akan meningkatkan biaya, mengurangi kelayakan dan efisiensi penelitian.

Dalam 10 tahun terakhir ini terjadi beberapa perkembangan penting dalam bidang pengukuran o utcome penyakit reumatik. Bombardier5 dan kawan kawan pada tahun 1982 telah meng-identifikasi bahwa nyeri, joint count, global assessment, grip strength, kaku pagi hari dan

metrologi dalam bidang reumatologi dan muskuloskeletal pada umumnya telah berkembang dari sekedar usaha pengenalan deskriptif menuju kearah metode pengukuran yang lebih canggih yang lebih banyak menekankan pada faktor validitas dan efisiensisa, walaupun dengan perkembangan yang demikian tersebut sampai saat ini belum berhasil dijumpai adanya suatu ukuran tunggal yang seragam dan dapat memenuhi semua persyaratan serta dapat digunakan secara luas pada setiap aspek yang ingin ditetiti. Lebih jauh lagi, ketidak seragaman ini juga terjadi karena perbedaan selera para peneliti yang juga

membentuk suaf,t core set dari ukuran aktivitas penyakit penelitianAR yang terdiri dari patient global assessments, patient pain, physical disability, tender joint count, swol-

berbeda dalam pola penggunaan outcome dalam

len

penelitiannyar. Dengan demikian, pada saat ini masih banyak terdapat heterogenitas yang membingungkan dalam metode pengukuran yang digunakan dalam penelitian bidang reumatologi, di mana outcome yang di inginkan tidak selalu mudah untuk di ukur Pentingnya pemilihan outcome penelitian yang tepat dapat di ilustrasikan dalam contoh di bawah ini. Cooperating Clinics Articular Index yang di susun oleh the American Rheumatism Association (ARA) dan banyak digunakan dalam penelitian artritis reumatoid (AR), seperti juga indeks lain yang serupa memiliki variasi interobserver yang lebih besar dari variasi intraobserver. Hal ini tentu

penelitian fungsional merupakan indeks yang penting dalam penelitian AR. Smythe dan kawan kawan mengajukan p etgutaan Pooled Index sebagai suatu teknik dalam pengukuran effect pengobatan pada AF.6. The

American College of Rheumatology3 juga telah

joint

count, physician global, assessment, dart' pemeriksaan sinar xjika penelitian dijalankan untuk menguji DMARD selama lebih dari 1 tahun (persyaratan dari WHO dan ILAR). Core set ini kemudian disempumakan oleh Boers dan kawan kawan dalam konferensi OMERACT di Maastricht dengan menambahkan ukuran reactant fase akut. Walaupun masih terdapat banyak variasi yang cukup besar dalam preferensi pemilihar, outcome penelitian, saat

ini telah terlihat

adanya suatu pola atau garis besar

keseragaman tertentu. Saat

ini ukuran yang banyak

digunakan dalam penelitian penyakit reumatik adalah nyeri,

jumlah sendi yang terlibat, penilaian global, indeks fungsional, kekakuan dan performance test.

2365

2366

REUMATOI.OGI

Pada sebagian besar penelitian AR, penggunaan berbagai outcome akan cenderung memperlihatkan bahwa suatu pengobatan hanya bermanfaat pada ukuran ukuran tertentu saja dan tidak bermanfaatpadaukuran yang lain.

Hal ini akan menyebabkan timbulnya kekacauat yatg membingungkan dalam menginterpretasi hasil pengobatan, atau menyebabkan seorang peneliti dapat hanya memilih atau melaporkan outcome yang menunjukkan perbaikan akibat pengobatan yang bermakna saja. Akhirnya sebagian

besar penelitian yang sudah dijalankan tidak sensitif terhadap perubahan, walaupun efek pengobatan sudah terlihat dengan jelas.

Untuk mengatasi permasalahan di atas The American College of Rheumatologytelah menyusun core set un.t.)k digunakan dalam penelitian effect pengobatan pada pasien AR. Outcome dalam core set dari The American College of Rheumatology yar'g akan dibahas ini terdiri dari:

. . . . . . . .

patient global assessments patient pain physical disability tender

joint count joint count

physician global assessment acute phase reactants pemeriksaan sinar X kalau penelitian dilakukan untuk menguji DMARD dan berlangsung lebih dari 1 tahun (sesuai dengan persyaratan WHO dan ILAR)

di antaratya

bahkan dapat meramakan outcome jangka panjang pada AR serta disabilitas fisik, kematian dan kerusakan tulang

secara radiologis. Kemudian pada the International

Conference on Outcome Measures in Rheumatoid Arthritis Clinical ?ial (OMERACT) in Maastricht, The Netherlands, acute phase reactants juga dimasukan oleh komite ACR ke dalam core set ini. Beberapa ukuran aktivitas

penyakit yang sering digunakan seperti grip strength atau waktu berjalan l5 meter tidak dimasukan ke dalam core set

ini karena berbagai alasan seperti: . Tidak sensitif terhadap perubahan. . Cukup sensitif terhadap perubahan pada pengobatan suatu regimen terapi akan tetapi tidak sensitif pada pengobatan lainnya,

Menduplikasi informasi yang diperoleh dari salah satu ukuran yang terdapat dalam core sel (seperti tender joint score dan tenderjoint count).

PATI ENT

G

terhadap perubahan untuk penelitian AR. Walaupun perbaikan akibat pemberian obat obatan anti reumatik yang bermakna secara statistik dapat terjadi akibat persepsi

gejala pada beberapa individu dapat terpengaruh oleh berbagai faktor, yang mungkin sama sekali tidak berhubungan dengan penyakit yang dideritanya, patient global assessments dapat di anggap sebagai suatu ukuran outcome yang penting pada AR.

Nyeri merupakan gejala utama pada penyakit reumatik,

Keenam ukuran pertama bersama dengan pemeriksaan sinar-x, dianggap telah dapat menggambarkan perbaikan padaAR secara luas, dan setidaknya bersifat cukup sensitif

.

Bombardier and Gcitzsche pada penelitiannya menemukan bahwa the patient s global categorical selfctssessment merupakan ukuran yang paling sensitif

RASA NYERI

swollen

terhadap perubahan. Beberapa outcome

secara global di nilai sendiri oleh pasien pada saat penelitian dimulai dan pada akhir penelitian. Pasien sendiri akan menilai restriksi fungsional yang dideritanya akibat AR sebagai asimtomatik, ringan, moderat, berat atau sangat berat.

LOBAL ASSESSMENT

Patient global assessment didasarkan pada kesan yang diperoleh oleh seorang pasien tentang status kesehatannya secara global pada saat ini. Kategori pasien

walaupun menghilangkan rasa nyeri merupakan tujuan utama dari banyak pengobatan, hampir seluruh literatur tentang rasa nyeri menyebutkan bahwa rasa nyeri memiliki sifat yang kompleks dan sukar untuk di ukur secara akurat. Untuk dapat menunjukkan kemampuan pengobatan dalam

mengatasi rasa nyeri, nyeri harus di ukur secara langsung. Pengukuran tidak langsung seperti kadar obat obatan

antireumatik dalam plasma, umurtnya tidak berkorelasi dengan respons klinik. Juga penurunan laju endap darah dan titer faktor reumatoid tidak selalu berarti sebagai terdapatnya perbaikan dari AR Rasa nyeri merupakan pengalaman yang sangat pribadi dan karena itu umumnya bersifat sangat subjektif. Sampai

saat ini belum terdapat ukuran objektif yang dapat digunakan untuk dapat mengukur beratnya rasa nyeri. Karena itu rasa nyeri hanya dapat di ukur oleh pasien yang merasakannya sendiri.Selain dari pada itu, nyeri pada artritis dapat mempunyai kwalitas yang berbeda dan intensitasnya dapat berlainan pada persendian yang berbeda atau pada waktu tertentu. Akan tetapi telah diketahui bahwa beratnya rasa nyeri pada pengukuran pertama merupakan faktor penentu utama dari respons potensial sehubungan dengan pengurangan rasa nyeri tersebut. Pengukuran rasa nyeri merupakan usaha yang sangat penting dalam menilai hasil pengobatan. Rasa nyeri merupakan umumnya merupakan keluhan utama dari pasien

yang memerlukan pengobatal dat hilangnya rasa nyeri merupakan tujuan utama dari hampir semua pengobatan. Walaupun misalnya terdapat suatu ukuran outcome yatg canggih dari suatu penyakit tertentu, pengukuran rasa nyeri pasien umumnya masih harus dilakukan. Dari ukuran beratnya penyakit saja, tidak pernah akan dapat ditentukan bahwa seorang pasien telah sembuh dengan sempurna. Dengan demikian jika kita ingin mengetahui apakah suatu

2367

METROLOGI DALAM BIDANG REUMATOLOGI

pengobatan dapat mengurangi rasa nyeri, kita harus mengukur rasa nyeri tersebut atau pengurangan rasa nyeri untuk mengetahuinya. Saat ini terdapat 6 metoda untuk menilai rasa nyeri atau pengurangan rasa nyeri yang relevan unfuk digunakan dalam penelitian obat obatan anti-reumatik yaifi: Visual

.

Rating Scale, Graphic Rating Scale, Continuous

.

Analogue Scale, Likert Scale, Numerical Chromatic Analogue Scale and Pain Faces Scales. Dari skala yang ada, Visual Analogue Scale (YAS) merupakan skala yang paling umum digunakan dalam evaluasi obat obatan anti-reumatik. Selain untuk mengukur rasa nyeri, VAS juga pemah digunakan untuk mengukur sejumlah ukuran lain seperti kekakuan, fungsi tubuh dan fungsi sosio-emotional. VAS merupakan garis sepanjang l0 cm yang di anggap mengambarkan kontinum dari rasa nyeri. Kedua ujung garis tersebut ditentukan sebagai ekstrim rasa nyeri yang berupa "TidakNyeri Sama Sekali" dan "Nyeri YangAmat Sangat". Pasien menentukan suatu titik pada garis tersebut yang sesuai dengan rasa nyeri yang dirasakanny a. J arak antara"Tidak Nyeri Sama Sekali" dan titik yang dibuat pasien di anggap merupakan beratnya rasa nyeri. Walaupun VAS merupakan skala penentuan yang bersifat subjektif, VAS telah banyak diselidiki dan di

anggap sebagai salah satu suatu metoda yang paling akurat untuk mengukur rasa nyeri. Content validity dari VAS telah diketahui sebagai memenuhi syarat.

I4sual Analogue Scale

Tidak nyeri

Nyeri

Sama sekali

yang

Amat sangat cm ------------- >

VAS memiliki korelasi yang sangat baik dengan simple verbal rating scales, akantetapi VAS lebih sensitif terhadap

perubahan dibandingkan dari verbal rating scales. Walaupun daya deteksi VAS pada perubahan kecil masih bersifat kontroversialdan reliabil itas t e s t - r e t est masih

..

mempengaruhi nilai VAS yang di ukur kemudian. Saat ini telah disepakati untuk membiarkan subjek yang di uji untuk mengetahui nilai sebelumnya. Reprodusibilitas akan lebih baik pada kedua ujung garis VAS, dibandingkan dari bagian tengahnya yang disebut sebagai golden section (kurang lebih 2 cm dari titik tengah. Proses fotokopi dapat mengganggu panjang garis yang sebenarnya, sehingga semua hasil reproduksi harus di teliti sebelum digunakan.

Karena nilai VAS tidak terdistribusi normal, untuk

inferensi statistik harus digunakan metode non parametrik.

DISABILITAS FISIK Ukuran disabilitas fisik dimasukkan kedalam ACP. Core Set of Disease Activity karena ukuran ini menunjukkan sensitivitas terhadap perubahan dan ukuran ini sendiri merupakan gold standard outcome yang penting secara klinis. Juga status disabilitas fisik pada pasien AR dapat meramalkan disabilitas fisik dan kematian yang terjadi lambat, lama setelah waktu permulaan menderita penyakit tersebut. Jika banyak ukuran aktivitas penyakit pada AR berkorelasi dengan disabilitas fisik, ukuran ini agaknya merupakan prediktor yang terbaik untuk disabilitas lambat. Terdapat beberapa instrumen status disabilitas fisik yang telah banyak digunakan seperti MACTAR dan AIMS. Pengaruh suatu penyakit kronik atau pengaruh suatu

pengobatan pada kualitas hidup pasien tidak dapat di evaluasi dengan cara menggunakan uji laboratorium spesihk tertentu atau dengan pemeriksaan klinis. Karena keputusan klinis seringkali dipengaruhi oleh gangguan fungsional, maka adalah sangat penting untuk dapat menggunakan suatu cara pengukuran disabilitas yang dapat mendeteksi perubahan yang penting secara klinis dan menggambarkan suatu situasi klinis dimana suatu keputusan penatalaksanaan harus diambil. Beberapa

dipertanyakan, tidak satupun instrumen pengukur nyeri

peneliti telah membentuk berbagai instrumen yang spesihk

yang ada saat ini dapat dibuktikan mempunyai kemampuan yang lebih baik dibandingkan dari VAS. Berbagai sifatVAS

untuk artritis baru yang dapat mengukur fungsi dan status kesehatafl yalg juga memasukkan beberpa

telah di telaah oleh Bird dan Dixon yang diringkas sebagai berikut:

perkembangan baru dalam pengukuran klinis.

Terdapat suatu korelasi yang cukup kuat (r: 0.75, p < 0.01) antara respons yang dinilai dengan VAS dan skala deskriptifnyeri sederhana (simple descriptive pain

hanya MACTAR yang memiliki kemampuan untuk

.

scale)20.

'

.

Terdapat suatu korelasi yang sangat kuat (r:0.99, p < 0.001) antara respons yang dibuat pada VAS vertical dan horizontal analogues, walaupun nilai VAS horizontal cenderung untuk lebih rendah dibandingakan dengan VAS vertical. Diketahuinyanilai pemeriksaanVAS yan gpertama dapat

Dari beberapa instrumen yang adapada saat ini, agaknya mengkuantifikasi prioritas fungsional spesifik dari setiap

pasien. MACTAR merupakan satu satunya kuesioner prioritas fungsional yang ada pada saat ini, yang di disain untuk dapat mengidentifikasi disabilitas akibat RA secara individual dan kepentingannya untuk pasien yang bersangkutan.

MACTAR merupakan kuesioner yang di isi oleh seorang pewawancara yang memungkinkan pasien dapat

mengidentifikasi dan memprioritaskan kemampuan

2368

fungsionalnya sendiri yang secara spesifik dipengaruhi oleh penyakit yang di deritanya. Dengan pendekatan ini, "bising" statistik yang umumnya di dapatkan dengan menggunakan kwesioner konvensional yang mengandung item yang tidak relevan terhadap pasien tertentu dapat

dihindarkan. Index ini merupakan kuesioner multidimensional yang mencakup daerah daerah sosial, emosional and fungsional. Dimensi fungsional juga terdiri

dari 4 componen, termasuk mobilitas, self care, kerja, aktivitas pada saat bersantai. Dengan menggunakan suatu interview yang bersifat semistructured, pasien diminta untuk menggambarkan aktivitas utama yang terganggu menurut pandangannya dan 5 aktivitas fungsional yang paling nyata terganggu akan di evaluasi, Pada penilaian kembali pada pasien ditanyakan apakah kemampuannya untuk melakukan 5 aktivitas tersebut telah membaik, tidak berubah atau menjadi lebih buruk.

Jika dibandingkan dengan kuisioner standard

REUMATOLOGI

JOINTCOUNTS Berbagai jenis joint counts seringkali digunakan pada penilaian pasien RA danjoint count rr,euempati prioritas

tertinggi yang disepakati dalam The 1982 Hamilton Structured Workshop for Endpoinl Measures in Clinical Trialss. Joint count yang terbanyak digunakan adalah swollen joint count dan tender joint count merurut the ARA Co-operating Clinics Committee Articular Index. Tender

sebagai nyeri tekan atau nyeri gerak menurut skala sebagai

berikut:

0: 1: 2: 3

:

konvensional, teknik "pencapaian tujuan" ini agaknya lebih

sensitif terhadap perubahan yang kecil. Juga jika dibandingkan dengan indeks konvesional lainnya, penggunaan strategi ini akan memungkinkan untuk mendapatkan persentasi perbaikan fungsi prioritas pasien yang lebih tinggi. Dengan demikian penggunaan MACTAR

akan memungkinkan pengurangan jumlah sample yang

dibutuhkan pada suatu penelitian dibandingkan dari penggunaan kwesioner konvensional sebagai ukuran outcome yang utama. Sebagai suatu instrumen yang mengukur disabilitas hsik, MACTAR telah terbukti merupakan instrumen yang

valid dan reliable. Sensitivitas MACTAR terhadap perubahan telah di uji oleh Tugwell dan kawan kawan dalam suatu double blind, randomized trial pasien AR yang membandingkan methotrexate (63 pasien) dengan placebo (60 pasien). Hasilnya menunjukkan bahwa methotrexate temyata lebih baik, dimana kemajuan dari outcome yang di ukur temyata lebih berkisar antaru 2oh sampai 39% leblh tinggi pada kelompok methotrexate dibandingkan dari kelompok plasebo. Kwesioner quality of life konvensional juga menunjukkan perbedaal yang bermakna secara statistik akan tetapi perbedaan ini hanya berkisar antaru 5Yo sampai l2o/o. S angat mencolok bahwa nilai MACTAR menunjukkan perbaikart 29Yo pada

kelompok methotrexate dibandingkan dari kelompok plasebo. Lebih sensitifnya MACTAR dibandingkan traditional standardized item funclion questionnaire kemungkinan besar disebabkan oleh: . Pada MACTAR pertanyaan lebih menekankan pada terjadinya perubahan dan bukan hanya pertanyaan sewaktu yang tidak mengukur terjadinya perubahan.

.

Item kwestioner disusun sesuai dengan disabilitas yang spesif,rk bagi pasien, sehingga dapat menghindarkan "bising statistik" seperti yang terdapat pada kuesioner konvensional yang mengandung item yang tidak relevan bagi pasien tertentu.

joint count dari 66 sendi diarthrodial ditentukan

Sama sekali tidak nyeri Nyeri ringan (respons positifjika ditanyakan)

Nyeri moderat (memperlihatkan respons spontan) Nyeri berat (usaha pasien untuk menghindarkan rasa nyeri yang terlihat dengan jelas seperti menarik bagian yang sakit pada pemeriksaan).

Swollen joint count dari 66 sendi diarthrodial ditentukan sebagai pembengkakat yatg bukan bony proliferation, menurut skala sebagai berikut: 0 : Tidak terdapat pembengkakan 1 : Pembekakan ringan (penebalan sinovial yang teraba tanpa hilangnya kontur tulang) 2 : Pembengkakan moderat (hilangnya kontur tulang yang 3

:

jelas) Pembengkakan berat (barlging aktbatproliferasi sinovial dengan karakteristik kistik.

Setelah gradasi dibuat, penghitungan akan dilakukan dan dilaporkan sebagai ada atart tidak adanya rasa nyeri atau pembengkakan pada 66 unit sendi. Indeks ini hanya menyatakan jumlah sendi yang secara klinis aktif tanpa memperhatikan ukuran persendian. Indeks ini mengandung 66 sendi atau kelompok persendian seperti pergelangan tangan termasuk articulatio temporomandibular, tetapi tidak menyertakan sendi panggul, karena pembengkakan sendi panggul tidak mungkin dapat ditentukan secara klinis.

Metode ini memberikan reprodusibilitas yang lebih baik serta lebih cepat digunakan dibandingkan dari Ritchie index tanpa kehilangan nilai klinis yangjelas.

P HYSICI AN G LO BAL

ASSESSMENT

Physician global assessment didasarkan pada kesan yang dirasakan oleh dokter pemeriksa tentang status kesehatan pasien secara keseluruhan. Suatu penilaian keadaan pasien secara global, akan dilaksanakan oleh dokter pemeriksa masing masing pada awal dan akhir penelitian. Pemeriksa akan menilai tingkat restriksi fungsional pasien akibat RA sebagai asimptomatik, ringan, moderat, berat dan sangat berat.

2369

METROI.OGI DALIIM BIDAIYG REUMAIOI-OGI

ACUTE PHASE REACTANT Peningkatan kadar protein fase akut umumnya terjadi akibat respons terhadap jejas jaringan atau infeksi. Pada manusia,

konsentrasi C-reactive protein (CRP), serum amyloid protein (SAA) dan a, antichymotrypsin akan meningkat 100 - 3000 kali jika terdapat suatu stimulus inflamasi. Laju endap darah (LED) secara tidak langsung menggambarkan peningkatan konsentrasi proteins serum, terutama molekul asimetrik seperti fibrinogen, protein fase akut yang lain atau imunoglobulin. Walaupun LED juga dipengaruhi oleh faktor yang tidak berhubungan dengan inflamasi seperti morfologi eritrosit, LED sering digunakan sebagai ukuran protein fase akut karena sangat sederhana dan mudah untuk dilakukan. Uji LED yang umum dilakukan adalah menurut cara Westergreen (pembacaan l jam) yang telah terpilih oleh the International Committee for Standardization in Hematolog,t untuk mengukur LED.

global. Indeks fungsional sebaiknya disertakan dalam pengukuran walaupun indeks yang terbaik yang terbaik untuk OA masih harus ditetapkan. Ukuran seperti grip strength pada OA tidak banyak berguna kecuali pada pasien OA dengan keterlibatan persendian tangan. Suatu hal yang perlu diperhatikan pada OA adalah walaupwt range of motion merupakan ukuran yang banyak digunakan dalam penelitian OA, kesalahan type II pada ukuran ini akan sangan tinggi jika keterlibatan sendi yang ingin diukur sangat rendah. Hal ini dapat diatasi dengan pemilihan subjek penelitian yang teliti. Saat ini The Western Ontario McMaster (WOMAC)

Scales merupakan instrumen yang paling banyak digunakan untuk mengukur status fungsional pada pasien osteoartritis (OA). WOMAC adalah suatu instrumen yang

telah di validasi yang di disain secara spesifik untuk penilaian nyeri ektremitas bawah dan status fungsional pada pasien OA lutut atau panggul. WOMAC Scales pada beberapa penelitian terbukti lebih responsif dibandingkan

instrumen lain yang pernah digunakan pada pasien OA

PEMERIKSAAN SINAR.X Pemeriksaan sinar-X hanya perlu dilakukan jika obeservasi dilakukan lebih dari satu tahun.

sperti index Lequesne*o'u'2 . Walaupun demikian WOMAC

masih dipengaruhi oleh comorbiditas lain seperti fatig, depresi atau nyeri pinggang bawah sehingga dalam interpretasi comorbiditas tersebut harus .selalu diperhitungkanwomac

OUTCOME PADA PENYAKIT REU MATIK YANG LAIN REFERENSI

Untuk osteoartrosis (OA), belum terdapat suatu kesepakatan yang pasti mengenai outcome apa yang perlu

digunakan dalam penelitian. Akan tetapi dianjurkan untuk antara lain menggunakan ukuran rasa nyeri dan status

Bellamy N. Musculoskeletal Clinical Metrology. 1't ed. Kluwer Academic Publioshers, Boston, 1993.

376 STRUKTUR SENDI, OTOT, SARAF DAT{ ENDOTEL VASKULAR Sumariyono, Linda K. Wijaya

Tulang manusia saling berhubungan satu dengan yang

kedua os pubika pada orang dewasa; ataujaringan tulang

lain dalam berbagai bentuk untuk memperoleh fungsi sistem

(sinostosis) misalnya persambungan antara os olium,

muskuloskeletal yang optimal. Aktivitas gerak tubuh

osiskium dan os pubikum. Diartrosis adalah sambungan antara 2 tulangatau lebih yang memungkinkan tulang-tulang tersebut bergerak satu sama lain. Di antara tulang-tulang yang bersendi tersebut terdapat rongga yang disebut kamm artikulare. Diatrosis

manusia tergantung pada efektifnya interaksi antara sendi

yang normal dengan unit-unit neuromuskular yang menggerakkanya. Elemen-elemen tersebut juga berinteraksi untuk mendistribusikan stres mekanik ke jaringan sekitar sendi. Otot, tendon, ligamen, rawan sendi dan tulang saling bekerjasama di bawah kendali sistem saraf agar fungsi tersebut dapat berlangsung dengan sempurna.

Dahulu endotel vaskular hanya dilihat secara sederhana yaitu hanya sebagai barier permeabel pasif, akan tetapi pada saat ini telah banyak diketahui fungsifungsi penting lainnya yang harus dipahami oleh semua dokter. Oleh karena itu pada bab ini selain akan membahas struktur sendi, otot dan saraf juga akatt dibahas struktur dan fungsi dari endotel vaskular.

disebut juga sendi sinovial. Sendi ini tersusun atas bonggol sendi (kapsul artikulare), bursa sendi dan ikat s endi (l i g am entum). B erdas arkan b entuknya di artro s i s dibagi dalam beberapa sendi, yaitu sendi engsel (interfalang, humereoulnaris, talokruralis), sendi kisar (radio ulnaris), sendi telur (radiokarpea), sendi pelana (karpometakarpal I), sendi peluru (glenohumeral) dan sendi buah pala (coxae). Amfiartrosis merupakan sendi yang memungkinkan

tulang-tulang yang saling berhubungan dapat bergerak secara terbatas, misalnya sendi sakroiliaka dan sendi-sendi

antara korpus vertebra.

STRUKTURSENDI RAWAN SENDI Pengertian sendi adalah semua persambungan tulang, baik yang memungkinkan tulang-tulang tersebut dapat bergerak satu sama lain, maupun tidak dapat bergerak satu sama lain. Secara anatomik, sendi dibagi 3, yaitu sinartrosis, diartrosis dan amfi artrosis.

Pada sendi sinovial (diartrosis), tulang tulang yang saling

berhubungan dilapisi rawan sendi. Rawan sendi merupakan jaringan avaskular dan juga tidak memiliki

ikat.(s indemosls), seperti pada tulang tengkorak, antara

jaringan saraf, berfungsi sebagai bantalan terhadap beban yang jatuh ke dalam sendi. Rawan sendi dibentuk oleh sel rawan sendi (kondrosit) dan matriks rawan sendi. Kondrosit berfungsi menyintesis dan memelihara matriks rawan sehingga fungsi bantalan rawan sendi tetap terjaga dengan baik. Matriks rawan sendi

gigi dan rahang, antara radius dengan ulna dsb; atau jaringan tulang rawan (sinkondrosis), misalnya antara

terutama terdiri dari air, proteoglikan dan kolagen. Proteoglikan mempakan molekul yang kompleks yang

Sinartrosis adalah sendi yang tidak memungkinkan tulang-tulang yang berhubungan dapat bergerak satu sama lain. Di antara tulang yang saling bersambungan tersebut

terdapat jaringan yang dapat berupa jaringan

2370

2371

STRUKTUR SENDI, OTOT, SARAF DAN ENDOTEL VASKULAR

tersusun atas inti protein dan molekul glikosaminoglikan. Glikosaminoglikan yang menyusun proteoglikan terdiri dari keratan sulfat, kondroitin-6-sulfat dan kondroitin-4-sulfat.

(TGF-b) dan insulin-like growth factor- I (IGF -l) berperan merangsang sintesis proteoglikan dan menghambat kerja

Bersama-sama dengan asam hialuronat, proteoglikan membentuk agregat yang dapat menghisap air dari

Rawan sendi merupakan salah satu jaringan sumber keratan sulfat, oleh sebab itu keratan sulfat dalam serum

sekitarnya sehingga mengembang sedemikian rupa dan membentuk bantalan yang baik sesuai dengan fungsi rawan sendi. Bagian proteoglikan yang melekat pada asam

dan cairan sendi dapat digunakan sebagai petanda

hialuronat adalah terminal-N dari inti proteinnya' Pada terminal ini juga melekat proteinJink. Terminal inti karboksi inti protein proteoglikan, merupakan ujung bebas yang mungkin berperan dalam interaksinya dengan matriks ekstraselular lainnya. Kolagen merupakan molekul protein yang sangat kuat.

Terdapat berbagai tipe kolagen, tetapi kolagen yang terdapat di dalam rawan sendi terutama adalah kolagen tipe IL Kolagen tipe II tersusun dari 3 rantai alfa yang membentuk gulungan triple-heliks. Kolagen berfungsi sebagai kerangka bagi rawan sendi yang akan membatasi pengembangan berlebihan agr egat proteo glikan.

Rawan sendi merupakan jaringan yang avaskular, oleh sebab itu makanan diperoleh dengan jalan difusi. Beban yang intermiten pada rawan sendi sangat baik bagi fungsi difusi nutrien untuk rawan sendi. Pada rawan sendi yang normal, proses degradasi dan sintesis matriks selalu terjadi. Salah satu enzim proteolitik

yang dihasilkan oleh kondrosit dan berperan pada degradasi kolagen danproteoglikan adalah kelompok enzim

metaloprotease, seperti kolagenase dan stromelisin. Berbagai sitokinjuga berperan pada proses degradasi dan sintesis matriks. Interleukin-l ([-l) yang dihasilkan oleh

makrofag berperan pada degradasi kolagen dan proteoglikan dan menghambat sintesis proteoglikan. Growth factors seperti transforming growth factor-beta

a

ILl.

kerusakan rawan sendi.

MEMBRAN SINOVIAL Membran sinovial merupakan jaringan avaskular yang melapisi permukaan dalam kapsul sendi, tetapi tidak melapisi permukaan rawan sendi. Membran ini licin dan lunak, berlipat-lipat sehingga dapat menyesuaikan diri pada setiap gerakan sendi atau perubahan tekanan intraartikular.

Membran sinovial tersusun atas 1-3 lapis sel-sel sinovial (sinoviosit) yang menutupi jaringan subsinovial di bawahnya,lanpa dibatasi oleh membran basalis. Walaupun banyak pembuluh darah dan limfe di dalam jaringan subsinovial, tetapi tidak satupun mencapai lapisan sinoviosit. Jaringan pembuluh darah ini berperaq dalam transfer konstituen darah ke dalam rongga sendi dan pembenfukan cairan sendi. Sel sinoviosit terdiri dari 2 lipe, yaifi sinoviosit tipe A yang mempunyai banyak persamaan dengan makrofag dan sinoviosit B yang mempunyai banyak persamaan dengan fibroblas. Sebagian besar (70-80%) sinoviosit merupakan tipe B dan 20-30% merupakan sinoviosit tipe A. Selain itu

ada sebagian kecil sinoviosit yang mempunyai ultrastruktur antara sel A dan sel B yang disebut sel C. Sel sinoviosit A befungsi melepaskan debris-debris sel dan material khusus lainnya ke dalam rongga sendi. Sel

b

Gambar 1. a Agregat proteoglikan; b. Matriks rawan sendi KS: Keratan Sulfat; CS:Kondroitin Sulfat; HA: Asam Hialuronat; DS: Dermatan Sulfat

2372

REUMI$OI.OGI

sinoviosit B berperan menyintesis dan menyekresikan

MENISKUS

hialuronat'yang merupakan zat aditif dalam cairan sendi yang berperan dalam mekanisme lubrikasi. Cairan sendi yang normal bersifatjernih, kekuningan dan viskous,

Meniskus merupakan struktur yang hanya ditemukan didalam sendi lutut, temporomandibular, sternoklavikular, radioulnar distal dan akromioklavikular. Meniskus merupakan diskus fibrokartilago yang pipih atau segitiga atau iregular yang melekat pada kapsul fibrosa dan selalu pada salah satu tulang yang

hanya beberapa ml volumenya dalam sendi yang normal. Viskositas cairan ini diperlihara oleh hialuronat dan material proteinaseus lainnya. Selain itu sinoviosit B

juga berperan memperbaiki kerusakan sendi yang meliputi produksi kolagen dan melakukan proses Sinovium dan kapsul sendi diinervasi oleh

berdekatan. Sebagian besar meniskus bersifat avaskular, tetapi pada bagian yang melekat pada tulang sangat kaya dengan pembuluh darah, tidak adajaringan saraf

mekanoreseptor, pleksus saraf dan ujung bebas saraf yang

atau pembuluh limfe. Nutrisi diperoleh secara difusi dari

remodelling.

tidak dibungkus mielin. Ujung saraf ini merupakan

cairan sendi atau dari pleksus pembuluh darah pada

neuron aferen primer yang berfungsi sebagai sarafsensoris dan memiliki neuropeptida yang disebut substansi-P (SP)

bagian yang melekat pada tulang. Berbeda dengan rawan sendi, meniskus mengandung kolagen tipe I sampai 60-900 , sedangkan proteoglikan

harya 10%. Konstituen glikosaminoglikan yang terbanyak adalah kondroitin sulfat dan dermatan sulfat,

CAIRAN SINOVIAL

sedangkan keratan sulfat sangat sedikit. Selain itu fibrokartilago meniskus juga lebih mudah membaik bila

Pada sendi yang normal, cairan sendi sangat sedikit, sehingga sangat sulit diaspirasi dan dipelajari. Cairan sendi merupakan ultrafi ltrat atau dialisat plasma. Pada umumnya kadar molekul dan ion kecil adalah sama dengan plasma, tetapi kadar proteinnya lebih rendah. Molekul-molekul dari plasma, sebelum mencapai rongga sendi harus

rusak.

DISKUS INTERVETERBRAL

melewati sawar endotel mikrovaskular, kemudian

Diskus invertebral merupakan kompleks fibrokartilago yang

melalui matriks subsinovial dan lapisan sinovium. Sawar endotelial sangat selektif, makin besar molekulnya makin sulit melalui sawar tersebut, sehingga molekul protein yang

membenfuk persendian di antara 2 korpus vertebra yang berdekatan dan berfungsi sebagai peredam kejut atas beban yang yangjatuh pada pada tulang belakang. Gerak anatara

besar akan tetap berada dalam jaringan vaskular.

2 korpus vertebra terbatas oleh karena konfigurasi diskus intervetebral mempunyai lingkup gerak yang cukup luas untuk seluruh tulang belakang. Bentuk dan ukuran diskus pada masing-masing regio tulang belakang adalah berbeda, tetapi bentuk dasarnya sama. Diskus intervetebral dibentuk oleh 3 komponen,

Sebaliknya, molekul dari cairan sendi dapat kembali ke

plasma tanpa halangan apapun melelaui sistem limfatik walaupun ukurannya besar. Rasio protein cairan sendi dan plasma (JF/P) dapat menggambarkan

keseimbangan kedua proses di atas. JF/P untuk albumin pada sendi lutut yang normal berkisar antara 0,2-0,3. Untuk fibrinogen, tentu lebih rendah lagi,

yaitu lapisan luar yangmerupakan lapisan-lapisan cinbin fibrosa yang disebut annulus fibrosus; bagian tengah yang

itulah sebabnya cairan sendi tidak mudah beku. Karakteristik cairan sendi pada berbagai keadaan ditunjukkan pada Tabel l:

Sifat cairan sendi

Grup

merupakan massa semifluid yang disebut nukleus pulposus dan lempeng kartilago yang menutupi permukaan superior dan inferior.

Volume (lutut, ml) Viskositas

Grup ll

I

(Non inflamasi

Grup lll (Septik)

( lnflamasi)

< 3,5

>3,5

>3,5

Sangat tinggi Tidak berurarna

tinggi

rendah

bervariasi

kekuningan

Kuning

Tergantung mikro-

transparan Tak mudah putus

Translusen-opak

opak

Bekuan musin

transparan Tak mudah putus

Mudah putus

Leukosit /mm3

200

200

2000- 1 00 000

Mudah putus >500 000, umumnya

Sel PMN (%) Kultur Mo

<25

<25

>50

>75

Negatif

Negatif

Negatif

Positif

Warna

>3,5

organrsmenya kejernihan

-

2000

2373

STRUT(TUR SENDI, OTOT, SARAF DAI\ ENDOTEL VASKULAR

Otot Polos atau sering disebut otot tak sadar. Otot ini terdapat pada saluran cerna dan pembuluh darah dan diatur oleh sistem saraf otonom. Otot jantung, yang didapatkan pada jantung dan dikontrol oleh sistem saraf otonom. Walaupun sel otot jantung sangat banyak tetapi otot ini bereaksi secara sinkron dimana sel ototjantung ini mengalami kontraksi dan relaksasi dalam waktu yang hampir sama. Otot rangka / otot skelet, disebut demikian karena otot ini sebagian besar menempel ke tulang walaupun dalam

KAPSUL DAN LIGAMEN Struktur ligamen dan kapsul satu sendi berbeda dengan sendi yang lain baik dalam hal ketebalannya maupun dalam hal posisinya. Pada sendi bahu, struktur ligamennya tipis dan longggar, sedangkan pada sendi lufut tebal dan kuat. Pada beberapa sendi, ligamen menyatu ke dalam kapsul sendi sedangkan pada sendi yang lain dipisahkan oleh lapisan areolar. Kelonggaran kapsul sendi sangat belperan pada lingkup gerak sendi yang bersangkutan. Ligamen dan kapsul sendi, terutama tersusun oleh serat

kolagen dan elastin, dan sedikit proteoglikan. Komponen glikosaminoglikannya terutama adalah kondroitin sulfat

jumlah kecil menempel ke fascia, aponeurosis dan tulang rawan. Otot ini juga disebut otot lurik karena bila dilihat di bawah mikroskop terlihat lurik. Otot ini kadang-

dan dermatan sulfat.

kadang juga disebut otot sadar karena umumnya dikendalikan oleh kemauan.

OTOT Otot merupakan jaringan tubuhyang memiliki kemampuan berkontraksi. Terdapat tiga jenis otot dalam tubuh manusia yaitu ototrangka (skelet), ototpolos dan ototjantung. Otot rangka secara nornal tidak berkontraksi tanpa rangsangan saraf, sedang otot yang lain akan berkontraksi tanpa rangsangan saraftetapi dapat dipengaruhi oleh sistem saraf. Oleh karena itu maka sistem saraf dan otot merupakan suatu

sistem yang saling berkaitan. Kerangka tubuh dibentuk oleh tulang dan sendi, adanya otot akan memungkinkan tubuh untuk menghasilkan suatu gerakan. Hampir 40% tubuh kita terdiri dari otot rangka yang berjumlah lebih kurang 500 otot, sedangkan otot polos dan otot jantung hanya 109i, saja. Pada bab ini dibatasi pada otot rangka.

.;

;.t.,a,:i

"

,_ -

F-".i'.

-',

_',

Gambar 2. Otot rangka (kiri) dan otot polos (kanan)

STRUKTUR DAN PERLEKATAN OTOT Bila kita memperhatikan pergerakan tubuh pada aktivitas

sehari-hari maka kita akan mendapatkan kesan KARAKTERISTIK OTOT

kompleksitas dari sistem muskuloskeletal' Kemampuan otot untuk melakukan gerakan sangat terganfung pada bentuk

Setiap otot memiliki 4 karakteristik : Iritabilitas : otot memiliki kemampuan untuk menerima

otot dan arsitektur sistem skeletal. Otot bervariasi

.

dalam bentuk, ukuran dan strukturnya menurut fungsi yang

dan merespons berbagai jenis stimulus. Otot dapat

harus dilakukan. Beberapa otot di desain terutama

lnerespons potensial aksi yang dialirkan oleh serabut saraf menjadi stimulus elektrik yang dialirkan secara

untuk kekuatan, untuk memungkinkan mang gerak yang luas, untuk gerakan yang cepat, untuk gerakat yang lama dan beberapa di desain untuk melakukan gerakan yang halus.

langsung ke permukaan permukaan otot atau tendonnya.

.

Kontraktilitas : apabila otot menerima stimulus maka

.

Ekstensibilitas : otot mampu memanjang baik pasif

.

maupun aktif. Elastisitas : Setelah otot memendek atau memanjang.

otot memiliki kemampuan untuk memendek. Nucleus

Sarcole

I

maka otot mampu untuk kembali pada kondisi

'

SarmPlasn

trlurtlr l'ibpr

normal atau istirahat baik dalam hal panjang maupun bentuknya.

diri\ T

NeNe Ending

TIPE OTOT Terdapat tigajenisjaringan otot

Gambar 3. Struktur otot :

Dikutip dari BIO 301 : Human physiology (cited 2005 Sept)' Available from : http//people eku edu

2374

RELrM/r(Ilf,LOcI

STRUKTUROTOT

Sa

rcomere

Sel otot atau serabut otot rangka merupakan suatu silinder panjang dan lurus yang mempunyai banyak inti. Serabut ini berdiameter antara 0.01 mm sampai 0.1 mm dan panjang antara beberapa sentimeter sampai lebih dari 30 sentimeter.

Inti sel terdapat didalam sarkoplasma. Serabut otot dikelilingi oleh selaput jaringan ikat yang disebut endomisium. Serabut-serabut otot ini akan membentuk fasikulus yang dibungkus oleh perimisium. Pada sebagian besar otot, fasikulus-fasikulus ini terikat bersama-sama

oleh epimisium, yang merupakan jaringan yang sama dengan fascia dan kadang-kadang bergabung dengan fascia. Pada ujung dari otot, jaringan ikat fibrosa dari epimisium dan perimisium bercampur dengan serabut putih dari tendon dan menempel pada periosteum atau fulang. Setiap serabut otot rangka terdiri dari ratusan miofibril. Miofibril merupakan kumpulan dari ribuan filamen miosin dan filameri aktin. Dua jenis filamen ini tersusun pararel

dimana masing-masing saling tumpang tindih. Miosin berwarna gelap dan tebal sedang aktin tipis dan terang.

Gambar 5. Sarkomer Dikutip dari BIO 301 : Human physiology (cited 2005 Sept) Available from: http//people eku.edu

ini, terdapat satu daerah yang pada kondisi tertentu akan berwarna terang, daerah ini disebut H zone yang akan tampak apabila ujung dari filamen aktin tertarik lepas. Pada otot yang normal tidak mungkin filamen

aktin ini terpisah sehingga H zone akan terlihat hanya apabila otot diregangkan secara paksa.

F]LAMEN MIOSIN Sebuah filamen miosin terdiri dari kumpulan sekitar 200

molekul miosin. Masing-masing molekul terdiri dari kepala dan ekor. Kepala ini terdiri dari protein sedang ekor terdiri dari dua untai peptida . Kepala ini sangat penting pada mekanisme cross bridge pada kontraksi otot.

Hinge

l\4yosin head (cross bridge)

Gambar 6. Molekul miosin

Gambar 4. Struktur otot

Sarkomer Unit dasar dari miofibril adalah sarkomer. Batas antara akhiran filamen aktin dan akhiran filamen aktin berikutnya membentuk daerah gelap yang disebut Z line. Sarkomer memanjang antara satu Z line detgan Z line berlkutnya. Filamen aktin yang terletak antara kedua sisi Z line int akan tampak terang sampai terdapat tumpang tindih dengan filamen miosin. Daerah yang terang ini disebut

I band. Daerah gelap yang merupakan tempat tumpang tindih aktin dan miosin ini disebut A band. Di tengah A band, daerah yang normalnya berwarna gelap

FILAMEN AKTIN Filamen aktin terdiri dari dua untai aktin. Selain itu pada filamen aktin ini juga terdapat dua untai protein lagiyang terletak pada lekukan yang dibentuk oleh dua untai aktin. Dua protein tambahan ini adalah molekul tropomiosin. Pada setiap molekul tropomiosin terdapat satu molekul troponin. Troponin ini teriri dari tiga sub unit

yaitu T, C dan L Troponin T mengikatkan troponin ke tropomiosin, troponin C mengikat ion kalsium sedang troponin I berikatan dengan aktin dengan cara menempel/menutupi tempat pada molekul aktin yang

biasanya digunakan untuk berikatan dengan molekul miosin.

2375

STRUKTUR SENDI, OTOT, SARAF DAN ENDOTEL VASKULAR

[6i 1i

I

iti :iI d-l:.. Gambar 9. Kontraksi otot

Gambar 7. Struktur molekular actin dan hubunganya dengan troponin dan tropomiosin Dikutip dari BIO 301 : Human physiology (cited 2005 Sept) Available from : http//people.eku edu

myosin yang terlinggal pada H zone dan tampak lebih terang dibandingkan pada saat kedua filamen tersebut saling tumpang tindih. Kontraksi akan menyebabkan kedua

filamen tersebut saling tumpang tindih dan tampak lebih gelap. I bandhanya terdiri dari molekul aktin, pada saat

KONTRAKSI OTOT Motor unit adalah unit fungsional dari otot skelet. Otot terdiri dari ribuan motor unit. Motor unit terdiri dari beberapa serabut otot yang masing-masing diinervasi oleh safu cabang saraf dari satu motor neuron. Jumlah serabut

otot pada satu motor unit bervariasi, yang berhubungan dengan tipe gerakan dari otot tersebut. Sebagai contoh otot gastrocnemius yang terdiri dari lebih kurang 2000 serabut otot per motor unit, bila sejumlah besar motor unit diaktivasi maka akan terlaksana gerakan plantar fleksi yang kuat, sebaliknya otot-otot yang menggerakkan bola mata yang memerlukan ketepatan tinggi dengan tenaga ringan memiliki serabut otot yang sedikit per motor unit. . Setiap serabut otot didalam motor unit berkontraksi

menurut prinsip

"

all-or-nothing

"

apabila mendapat

stimulus dari motor neuron.

kontraksi ujung myosin akan masuk kedaerah ini sehinggga terlihat lebih gelap. Pada saat kontraksi penuh seluruh filamen aktin dan myosin saling tumpang tindih sehingga tidak ada daerah yang terang'

CROSSBR'DGES Mekanisme sliding (tumpang tindih) antara filamen aktin dan myosin adalah sebagai berikut. Kepala molekul myosin akan melekat pada satu tempat di molekul aktin kemudian membuat lekukan dan menarik molekul aktin. Selanjutnya kepala tersebut akan melepaskan diri dari molekul aktin dan lekukan pada kepala tersebut kembali seperti posisi sebelumnya, kemudian membentuk ikatan lagi dan terjadi proses seperti sebelumnya. Setiap gerakan myosin menarik aktin tersebut hanya akan menyebabkan pergerakan yang sediktjaraknya, tetapi oleh kareta adanya sejumlah gerakan menarik yang sangat cepat dari sejumlah besar molekul myosin, maka akan terjadi pemendekan otot.

Kepala myosin yang melekat ke filamen aktin disebut sebagai cross bridge. Troponln

Gambar 8. Motor unit

Actln

.TrTornyosin

Adn'binding ATP6inding

.

Gabungan dari neuron motorik beserta semua otot yang dipersarafi disebut motor unit.

MEKAN ISM E KONTRAKSI OTOT Mekanisme kontraksi otot sama antara otot rangka, otot polos dan otot jantung. Untuk lebih mudah memahami mekanisme kontraksi otot ini sebaiknya pembaca memperhatikan dengan seksama gambar 3 dan 4 terlebih

Gambar 10. Struktur molekular dan hubungan dari miosin dan aktin pada mekanisme kontraksi otot (Dikutip dari BIO 301 : Human physiology. (cited 2005 Sept). Availablefrom : http// people.eku.edu)

dahulu. Pada saat kontraksi filamen aktin dan myosin saling tumpang tindih sehingga Z line menjadi semakin dekat

TROPOMYOSIN, TROPONIN DAN ION KALSIUM

antara satu dengan lainya, sedang H zone semakin menyempit. Apabila otot diregangkan maka ujung dari molekul aktin akan tertarik sehingga hanya molekul

Myosin dan aktin memiliki afinitas yang tinggi antara keduanya, sehingga bila diletakkan bersama-sama pada

2376

suatu tempat akan membuat ikatan yang kuat. Tetapi apabila

ada untaian tropomyosin di antaranya maka tidak akan terjadi ikatan. Menurut hipotesis ini terdapat tempat ikatan spesifik (spesific binding site) pada molekul aktin dimana kepala myosin secara normal melekat. Untaian tropomyosin

REI,JMAIOI.OGI

respons, maka serabut otot akan berkontraksi. Kontraksi adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan

terbentuknya suatu respons tegangan otot terhadap stimulus. Otot hanya bisa menarik yang arahnya ke tengah

otot. Tegangan pada tempat perlekatan biasanya

sama.

diperkirakan terletak di atas tempat ikatan tersebut

Terdapat dua tipe kontraksi yaitu isotonik dan isometrik.

sehingga tidak terjadi ikatan keduanya. Selanjutnya ion kalsium akan dikeluarkan dan bereaksi dengan troponin, akibatnya akan terjadi perubahan bentuk dan secara fisik

(Gambarll)

akan memindahkan tropomyosin sehingga binding site pada aktin tidak tertutup dan kepala myosin sekarang bebas untuk melekat pada binding slte tersebut. Bila hipotesis ini benar maka ada dua asumsi lagi yang harus dibuat yaitu : 1. Apabila ion kalsium dikeluarkan dari daerah cross bridge, maka tropomyosin akan kembali menutupi binding site sehingga tidak terjadi perlekatan aktin-myosin dan otot berhenti berkontraksi. 2. Harus ada mekanisme yang mengantarkan dan mengeluarkan ion kalsium ke daerah cross bridge. Sisterna dari retikulum sarkoplasma mengandung ion kalsium konsentrasi tinggi. Potensial aksi yang memulai suatu kontraksi akan menyebabkan pelepasan ion kalsium. Sisterna terletak sangat dekat dengan sarkomere dan terdapat dua sistema tiap sarkomere. Sehingga ion kalsium yang dilepaskan dari sistema tersebut akan berdifusi ke filamen-filamen tersebut

dan menyebabkan terjadinya kontraksi. Pompa kalsium diasumsikan sebagai kekuatan yang mampu mengerakkan ion kalsium melawan gradien konsentrasi kembali masuk ke sisterna. Pada saat potensial aksi berhenti dan tidak ada lagi ion kalsium yang dilepaskan, maka pompa kalsium akan dengan cepat memompa kalsium dari daerah filamen kembali ke sistema.

Kontrasi isometrik Kontraksi konsentrik Kontrasi eksentrik

Gambar 11. Tipe kontraksi oiot.

Kontraksi isometrik terjadi apabila tegangan didalam serabut otot tidak menyebabkan gerakan sendi . Isometrik berarti panjang otot sama antara sebelum dan saat kontraksi.

Kontraksi isotonik melibatkan kontraksi otot dan gerakan sendi. Pada kontraksi isotonik ini tegangan tetap konstan sedang panjang otot memendek. Apabila suatu otot menjadi aktif dan menghasilkan suatu tegangan yang menyebabkan otot menjadi memendek dan mengakibatkan

gerakan disebut sebagai kontraksi konsentrik. Contoh kontraksi konsentrik adalah apabila otot fleksor lengan memendek yang mengakibatkan siku menjadi fleksi . Apabila lengan tersebut secara perlahan-lahan menurunkan beban

KOPEL EKSITASI.KONTRAKSI OTOT SKELETAL

Di dalam tubuh otot skeletal berkontraksi sebagai hasil

pada ujung lengan dari kondisi fleksi ke relaksasi secara perlahanJahan adalah contoh kontraksi eksentrik.

dari potensial aksi yang ditimbulkan pada membran serabut

otot. Hubungat ar,tara potensial aksi (eksitasi) dan kontraksi disebut sebagai excitation-contraction

PERLEKATAN OTOT

coupling. Potensial aksi menyebar sepanjang sarkolema, masuk dan melalui T tubule ke sisterna. Melalui beberapa cara, mungkin perubahan permeabilitas membran sisterna,

berbagai struktur didalam tubuh. Fascia

ion kalsium akan dilepaskan ke sarkoplasma sekitar miofibril. Selanjutnya kalsium akan bereaksi dengan hoponin dan selanjutnya terjadi mekanisme kontraksi seperti yang disebutkan sebelumnya. Apabila potensial aksi berhenti maka pelepasan kalsium juga akan berhenti, selanjutnya pompa kalsium akan segera mengembalikan ion kalsium dari sarkoplasma ke sisterna.

TIPE KONTRAKSIOTOT Apabila suatu potensial aksi yang dijalarkan oleh motor neuron ke serabut otot cukup kuat untuk menimbulkan

Fascia. Fascia adalah selaput membran yang menutupi

ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu : fascia super-

ficial, fascia dalam, dan fascia

subserosa. Fascia

subserosa menutupi rongga-rongga tubuh sepanjang membrana serosa. Fascia superficial didapatkan persis di bawah kulit dan menutupi seluruh tubuh. Fascia ini terdiri dari dua lapis. Fascia ini didapatkan juga pada fascia yang membungkus pembuluh darah, limfe, saraf-saraf kulit, deposit lemak dan pada daerah-daerah kusus seperli muka dan leher serta otot-otot yang melekat ke kulit. Fascia dalam terdiri dari sejumlah selaput membran yang padat dan bervariasi dalam bentuk ukuran dan kekuatanya tergantung dari fungsinya. Fascia ini terletak

2377

STRUKTUR SENDI. OTOT, SARAF DAN ENDOTEL VASKULAR

lebih dalam dari fascia superficial dan mendukung otot dan struktur lainyapada posisi tertenlu sehingga dapat berfungsi secara efektif untuk menghasilkan atau

sel yang paling kompleks dari sel tubuh. Sel

sebuah

sarafmemiliki

inti dan sitoplasma seperti sel yang lain, tetapi

sitoplasmanya memanjang diluar badan sel membentuk

membatasi gerakan. Selaput fascia di antara kelompokkelompok otot disebut septa intramuskular, yar,g

tonjolan- tonjolan (processus) yang memanjang. Processus yang panjang disebut axon, sedang yatg

memungkinkan kelompok otot tersebut bergerak secara independen. Beberapa fascia dalam ini sangat tebal dan kuat, yang selain berfungsi untuk membungkus otot juga berfungsi sebagai perlekatan otot. Contohnya adalah

pendek disebut dendrit

fascia lata

BADAN SEL

(CEtt

BODY)

yang merupakan tempat perlekatan

musculus tensor fascia lata dan gluteus maximus.

Tendon dan aponeurosis. Sebuah tendon terdiri dari sejumlah serabut kolagen putih yang berfungsi untuk menghubungkan otot dan perlekatanya di tulang. Pada tempat perlekatan tersebut serabut-serabut ini akan menyebar ke periosteum. Bentuk tendon bervariasi tergantung dari fungsinya. Beberapa tendon berbentuk seperti ekor misalnya tenton otot hamstring, ada juga yang berbentuk lebar dan ceper yang disebut aponeurosis seperti aponeurosis pada otot-otot daerah abdominal.

Origo dan insersio. Perlekatan dari otot anggota gerak disebut origo dan insersio. Para ahli anatomi menjelaskan origo otot adalah perlekatan ke arah yang lebih proksimal,

sedang insersio adalah perlekatan ke arah yang lebih distal. Beberapa ahli lain menjelaskan bahwa perlekatan yang biasanya stasioner pada suatu gerakan otot disebut origo, sedang perlekatan yang lebih bergetak (more moveable attachment slle) disebut insersio.

SISTEM SARAF Sistem saraf dan hormon memiliki tugas untuk memelihara

Di dalam badan sel terdapat sebuah inti besar, sejumlah granula (dark-staining granule) yang disebut Niss/ bodies, filamen-filamen yang disebut neurofibril, mitokondria, badan golgi, sejumlah lemak dan granula berpigmen. Badan sel hampir selalu tidak memiliki centrosome yang mencerrninkan bahwa sel saraf tidak mampu mengadakan mitosis dan tidak di reproduksi, sekali badan sel mati maka tidak akan diganti lagi. Hampir seh-ruh

badan sel terdapat didalam sistem saraf pusat, hanya sebagian kecil yang berada diluar, yang biasanya berkelompok disebut ganglion yang dikelilingi oleh jaringan ikat. Di dalam otak dan medulla spinalis badan sel ini berkelompok disebut nukleus.

PROCESSUS Processus saraf mengandung sitoplasma dan neurofibril.

Processus ini menentukan klasifikasi neuron. Neuron disebut unipolar bila satu processus menempel pada badan sel. Neuron bipolar bila didapatkan dua processus yang terpisah sedang nenron multipolar adalah neuron dengan beberapa processus pendek dan satu processus pan;ang'

(Gambar12)

sejumlah aktivitas tubuh dan mempersiapkan respons tubuh terhadap lingkungan eksternal. Sistem saraf tersebar luas di dalam tubuh. Impuls saraf dapat ditransmisikan jaringan sarafdari satu akhiran sarafke akhiran sarafyang lain, sehingga banyak didapatkan interkoneksi yang mengakibatkan aktivitas pada satu daerah di tubuh dapat dipengaruhi oleh kejadian di daerah tubuh yang lain. Sistem saraf dapat dibagi menjadi sistem saraf pusat dan perifer. Sistem sarafpusat terdiri dari otak dan medulla spinalis, sedang saraf perifer terbentuk dari saraf-saraf yang membawa impuls antara sistem saraf pusat dan otot, kelenjar, kulit serta organ-organ lainnya. Saraf perifer berdasarkan fungsinya dibagi atas serabut sarafmotorik, sensorik, dan autonom. Pada bab ini dibatasi pada saraf

Gambar 12.

perifer.

AXON ANATOMI NEURON Unit anatomi dan fungsional dasar dari sistem sarafadalah sel saraf atau neuron. Secara struktural sel saraf meruPakan

Processus panjang dari sebuah neuron disebut axon. Axon

keluar dari badan sel pada daerah yang bebas dari Nlss/

granule yang disebut axon Hillock. Panjang axon bervariasi bisa pendek seperti neuron-neuron yang

2378

terdapat pada medulla spinalis, tetapi ada jtgayangsampai

satu meter seperti neuron yang ke otot skeletal. Axon ini kemudian membentuk cabang-cabang yang lebih kecil sampai ke tempat terakhirnya sebagai sebaran dari serabut-serabut. Axon mengandung neurofibril tetapi tidak mengandung Nissl granule dan dibungkus oleh

selaput tipis yang disebut axolemma. Beberapa serabut juga dibungkus oleh bahan lemak yang disebut myelin. Serabut yang demikian disebut myelinated atau medulated fiber. Di luar sistem saraf pusat, axon akan dibungkus lagi oleh selaput dari Schwann atau neurilemma. Pada axon yang bermyelin pada interval-interval tertentu terdapat lekukan yang disebut nodes ofRanvier, disini bisa keluar cabang axon. Daerah di antara dua lekukan.ini di tutupi oleh satu sel Schwann.

REUM/I$OLOGI

terhadap satu tipe stimulus. Akhiran saraf khusus ini didapatkan di mata, hidung, telingga dan lidah. Selain itu terdapat reseptor sensoris umum yang terdapat di semua bagian tubuh yang responsif terhadap nyeri, perubahan

suhu, sentuhan dan tekanan. Reseptor yang paling sederhana.adalahfree net ve ending yang menghantarkan stimulus nyeri. Reseptor-reseptor yang lain diselimuti oleh jaringan ikat. Contoh dari reseptor ini adalah Meissner's corpuscle yang responsif terhadap sentuhan, Rffini dan

Krause yang merupakan thermoreceptor, Paccini yang responsif terhadap sentuhan dalam atau tekanan dan Stretch receptor (mtscle spindle) yang terdapat pada otot dan tendon untuk proprioseptif.

SAMBUNGAN NEUROMUSKU LAR

Sistem saraf berkomunikasi dengan otot melalui DENDRIT Processus-processus pendek dari neuron multipol.ar disebur dendrit. Dendrit mengandung Nissl granule dan neurofibril. Dendrit ini sering berhubungan dengan banyak akhiran dari neuron yang lain.

sambungan neuromuskular. sambungan neuromuskular ini

bekerja seperti sinap antar neuron yaitu : l. Impulse sampai pada akhiran saraf 2. transmiter kimia dilepaskan dan berdifusi melewati/ menyeberangi celah neuromuskular

3.

Molekul hansmiter mengisi reseptor pada membran otot dan meningkatkan permeabilitas membran terhadap

NEURON AFEREN DAN EFEREN

4.

Natrium kemudian berdifusi ke dalam membran dan

Pada keadaan normal suatu impuls saraf akan bergerak

5.

menyebabkan potensial membran menjadi larang negatif Apabila nilai ambang potensial terlampaui akan terjadi

natrium

sepanjang neuron hanya satu arah. Pada neuron multipolar, dendrit selalu membawa impuls ke badan sel, sedang axon akan membawa impuls keluar sel. Beberapa neuron hanya membawa impuls ke badan sel saraf yang disebut neuron sensoris atau aferen, beberapa hanya membawa impuls keluar badan sel saraf yang disebut neuron motoris atau eferen. Di dalam otak dan medulla

potensial aksi dan impuls akan berjalan sepanjang membran sel otot dan mengakibatkan otot berkontraksi

Otot skeletal tidak akan berkontraksi tanpa stimulasi

dari neuron, sedang otot polos dan otot jantung berkontraksi tanpa stimulasi saraf, tetapi kontraksinya dapat dipengaruhi oleh sistem saraf

spinalis terdapat neuron-neuron lain yang berfungsi sebagai penghubung antara neuron sensoris dan motoris,

atau yang menyampaikan impuls ke pusat. Neuron ini disebut neuron asosiasi atau interneuron.

ENDOTELVASKULAR Seluruh sistem peredaran darah dilapisi oleh endotel vaskular. Pada awalnya endotel hanya dipandang

SARAF

sederhana sebagai barier permiabel pasif, akan tetapi pada saat ini banyak fungsi penting lainnya yang sudah dikenali.

Saraf adalah satu berkas serabut yang dibungkus oleh jaringan ikat. Saraf motoris hanya mengandung serabutserabut motoris, saraf sensoris hanya mengandung serabut sensoris dan sarafcampuran mengandung serabut sensoris dan motoris. Sebagian besar saraf adalah tipe campuran.

Secara anatomi, endotel vaskular memisahkan antara kompartemen intra dan ekstra vaskular, menjadi barier selektifyang permiable, dan merupakan suatu lapisan yang nontrombogenic. Perubahan struktur dan fungsi endotel mengakibatkan perubahan interaksinya dengan sel-sel serta komponen makromolekul dalam sirkulasi darah dan jaringan di

AKHIRAN SARAF KHUSUS

bawahnya. Perubahan ini termasuk meningkatnya permeabilitas endotel terhadap lipoprotein plasma,

Terdapat beberapa akhiran saraf sensoris khusus yang disebut reseptor yang masing masing hanya responsif

modifftasi oksidatif dari lipoprotein tersebut, meningkatnya adesi leukosit, ketidakseimbatgan ar,tara fungsi pro dan

2379

STRUI(TUR SENDI, OTOT, SARAF DAN ENDOTEL VASKULAR

Ujung saraf bebas (nyeri)

+

ii

t.'. Badan Krause (dingin)

Muscle spindle (proprioseptit)

Badan Pacini (tekanan)

Gambar 13. Reseptor sensoris

tr

potensial aksi T9rdrrrudtdll PUtEr Perambalan di neuron motorik

Terminal akson Terminal button Vesikel asetikolin

"a plasma serat otot

dtun wGh.,

t

asetilkoli

Tempat reseptor Saluran kation - ':

As eti ko I

li n

este ra se

..tx.-rf

---

A,-11

l\,4otor

A )f6,I..i..

end plate

aliran arus lokal antara end plate yang terdepolarisasi dan membran di dekatnya

Gambar 14. Sambungan Neuromuskular 3.

an

ga 7.

anti trombotik dari faktor lokal, growth stimulatot growth inhibitor,dan substansi vasoaktif. Manifestasi perubahan struktur dan fungsi endotel ini disebut dengan disfungsi endotel, yang berperanan pada inisiasi, progresi dan

komplikasi dari berbagai bentuk penyakit inflamasi dan degenerasi. Growth promoting faclor.r untuk sel endotel seperti vascular endothelial growth factor (I/EGH)

pembuluh darah yang baru ini mempunyai peranan penting dalam membentuk dan mempertahankan pannus'

ANATOMI DAN FUNGSI DARI ENDOTEL NORMAL

Lokasi endotel merupakan faktor penting dalam

dibentuk pada tempat inflamasi, mengakibatkan

interaksinya dengan sel didalam peredaran darah dan

penyimpangan respons angiogenik. Pada arlritis reumatoid,

jaringan sekitarmya.

2380

REI.JMIIilOI.OGI

Endotel memegang peranan penting pada sistem koagulasi dan fibrinolitik. Beberapa mekanisme antikoagulan alamiah berkaitan dengan endotel dan

lokal untuk mempengaruhi perilaku sel-sel vaskular yang berdekatan dan beriteraksi dengan elemen darah.

ekspresinya bervariasi tergantung dari vaskular bed. Hal ini meliputi mekanisme heparin-antitrombin, mekanisme

DISFUNGSI ENDOTEL / ENDOTEL TERAKTIVASI

protein C-trombomodulin, dan tissue plasminogen aktivator mechanism. Disfungsi sel endotel dapat mengaktifkan sifat protrombotik dari trombosit yaitu

Kerusakan atau aktivasi dari endotel dapat menyebabkan induksi gen yang pada keadaan fisiologis tertekan. Banyak faktor yang mempengaruhi ekspresi gen endotel selama

sintesis kofaktor adesif, seperti faktor von Willebrand, fibronectin, dan thrombospondin; komponen prokoagulan seperti faktor V dan inhibitor jalur fibrinolitik dikenal

sebagai plasminogen activator

inflamasi. Penyebabnya dapat berupa perubahan henodinamik, sitokin atau protease lokal, infeksi virus, radikal bebas dan lipid teroksidasi.

inhibitor-1, yatg

mengurangi kecepatan penghancuran fibrin. Sehingga endotel mempunyai peranan "pro" dan "ant|" hemostatic-

thrombotic.

EKSPRESI DARI MOLEKUL ADESI LEUKOSIT

Sebelum ditemukannya endothelium-derived relaxing factor (EDRI), "trama" kardiovaskular dipandang hanya sebagai fungsi dari respons otot polos vaskular terhadap rangsangan saraf atau hormon di sirkulasi. Ditemukanya

Interaksi molekuler antara leukosit dalam sirkulasi dan endotel memegang peranan penting pada infl amasi. Netrofi I dan monosit menghasilkat parakrin growth faktor darr

EDRF sebagai nitric oxide endogen dan pengenalan terhadap mekanisme kerjanya pada vasodilatasi,

sitokin, faktor sitotoksik terhadap sel tetangga, dan menyebabkan degradasi darijaringan ikat lokal. Langkah pertama pengambilan leukosit ke subendotelial adalah melalui penempelan (attachment) sel leukosit ke endotel. Endotel yang sehat tidak akan mengikat leukosit. Tetapi neutrofil, monosit, dan limfosit akan terikat dengan molekul

pertahanan sel dan ekspresi gen telah banyak meningkatkan

pengertian kita terhadap regulasi "irama" vaskular. Sejumlah substansi dari endotel menyeimbangkan aksi

vasorelaksasi dari nitric oxide dan prostasiklin. Vasokonstriktor ini termasuk angiotensin II yang

adesi leukosit yang baru terekspresi pada permukaan endotel sebagai respons terhadap agen-agen aktivator seperti interleukin 1, tumor nekrosis faktor cr lipopolisakarida dan lipid teroksidasi.

dihasilkan permukaan endotel oleh angiotens in-conyerting enzim; platelet-derived growth factor (PDGF), yang disekresi oleh sel endothel dan bekerja sebagai agonis dari kontraksi otot polos ; dan endothelin I yang merupakan

Proses penempelan dan diapedesis leukosit

melibatkan

vasokonstriktor yang unik.

sejumlah molekul adesi dan kemokin. Endotel dan

Endotel vaskular menghasilkan bermacam-macam sitokin, growth factor dan growth inhibitor yang bekerja

leukosit memainkan peranan yang aktif dalam proses ini, termasuk memulai rolling atau thetering, signaling

Oxidized Lipids/ Free radrcals

ooo

oo

Viral infection

Hypoxra

Shear Stress

Cytokines

.A

{

permeab ty Leukocyte Adhesion

u Procoagulant Activity

eoo

o oo Growth factors/ Chemoattractants

Gambar 15. Proses terjadinya disfungsi endotel Sejumlah stimulator yang berperanan terhadap proses aktivasi sel endotel Sejumlah respons dari endotel yang dikaitkan dengan progresi dari penyakit vaskular dan inflamasi. Dikutip dari Vaskular endothelium. Klippel J.H.K Primer on the rheumatic Diseases. 12th ed, Canada: Arthritis Foundation. 2001: 29-31

2381

STRUKTUR SENDI, OTOT, SARAF DAN ENDOTEL VASKULAR

process, strong attachment step dar. migrasi sel transendotel dari leukosit. Banyak yang sudah dipelajari dari proses ini melalui genetika dari tikus dan bermacammacam model inflamasi.

PRODU KSI GROWTH FACIOR MELALUI AKTIVASI

ENDOTEL

Endotel teraktivasi merupakan sumber penting growth factor untuk sel otot polos dan fibroblast- Plateletderived groth factor (PDGF), mitogen yang berperanan

pada penyembuhan luka dan aterosklerosis, diekspresikan

oleh sel endotel. Penginduksi alamiah paling efektif produksi PDGF oleh sel endotel adalah o,-trombin, yang merupakan komponen protease dari sistem koagulasi yang meningkatkan ekspresi genPDGF melalui mekanisme yang

unik. Endotel juga memproduksi growth faktor lainnya untuk sel- sel j aringan ikat seperti in s ul i - I ike gr ow t h fakt or 1, basicfibroblast growthfactor dan transforming growth factor B. Mitogens ini berperanan pada fibrosis yang terlihat pada banyak penyakit inflamasi.

REFERENSI Dicorleto P.E. Vaskular endothelium. Klippel J.H.K. Primer on the rheumatic Diseases. 12m ed, Canada: Arthritis Foundation.200l;

29-3t Isbagio H, Setiyohadi B. Sendi, membran sinovia, rawan sendi dan otot skelet. Dalam Noer Syaifullah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. 1996 : 1-6. Human physiology : Muscle (cited 2005 Sept). Available from : http//people.eku.edu. Langley LL, Telford IR, Christensen JB. Dynamic anatomy and physiology. 5 th"dMc. Graw-Hill. New York. 1980 : 112 - 40' Langley LL, Telford IR, Christensen JB. Dynamic anatomy and physiology. 5 th"d Mc. Graw-Hill New York. 1980 : 212 - 28' Landau RB. Essential human anatomy and physiology. 2 'd ed. Scott and Foresman . London .1980 :219-34. Park K.D, Comblath D.R. Peripheral Nerves. Klippel J.H.K. Primer on the rheumatic Diseases. 12t ed, Canada : Arthritis Founda-

tion.2001;31-33.

377 STRUKTUR DAN BIOKIMIA TULANG RAWAN SENDI Harry Isbagio

proteoglikan berukuran besar yaitu agrekan.Pada manusia

Rawan sendi normal merupakan jaringan ikat khusus avaskular dan tidak memiliki jaringan saraf yang melapisi

dewasa normal, kondrosit menempati kuran g

permukaan tulang dari sendi diartrodial. Tulang rawan

total dari tulang rawan sendi.

dai 2ok volum

sendi berperan sebagai bantalan yang menerima (meredam) beban benturan yang terjadi selama gerakan sendi normal

dan meneruskannya ke tulang di bawah sendi. Rawan sendi terdiri dari zona superfisial (disebut pula zona tangensial), zota tengah (disebut pula zona intermediate atau transisional), zona dal am (deep)(disebut pula zona r adial atau r a d i at e) dan zona kals ifi kasi (c a I c ffi e d). Densitas sel yang paling tinggi pada permukaan sendi, makin ke dalam makin berkurang. Sel berbenn:kpiplh (lat) pada zona superfisial, karena pada daerah inilah jaringan terpajan maksimal pada gayagesekan, gaya menekan dan regangan dari persendian. Di zona tengah, sel berbentuk bulat dan dikelilingi suatu matriks ekstraselular yang padat. (Lihat Garnbar 1)

Arcptosis associald with degEdalion and ibdllaiion

Denaluraton /ceavage of type ll @llagen loss of proleoglycns de@rin, biglycan,

€nbge

Supefcial

aggrean lncEas&

expression

Apoptosis associated with @nhge degradalion and fibrillation

of MMPs

Middte

Zone ol cylokine erpression,

Upregulation

eg lli,TNF,0 Region ol chondrocyie hypedrophy e g, lncrease of PTfrP and ts

reeptor

type X mllagen

annexin V Type Vl mllagen inc€ased

Keunikan dari rawan sendi terletak pada komposisi dan struktur matriks ekstraselular yang terutama mengandung agregat proteoglikan dalam konsentrasi tinggi dalam sebuah ikatan yang erat dengan serabut kolagen dan

0e€p zone

lncreasad synthess of lyp6llpro@l€gen

sejumlah besar air. Pelumasan oleh cairan sendi memungkinkan berkurangnya gesekan antara permukaan tulang rawan sendi artikuler pada pergerakan.

ncreassd conlenl of ag916€n, dsorin, blgly€n

Paitly ellilage hypedrophic canilage

KONDROSIT Tulang rawan sendi hanya mempunyai satu sel spesialis yang berperan dalam sintesis dan pemeliharaan matriks ekshaselular yang dikenal sebagai kondrosit. Lebih dari 70% komponen tulang rawan sendi artikuler adalah air, sedangkan 90%o darl bagian tulang rawan sendi kering mengandung 2 komponen utama yaitu kolagen tipe II dan

2382

Angiogenesisreadivabd (previously seen dudng qrowh)

Subchondral bon€ marow

Gambar 1. Perubahan pada tulang rawan sendi OA yang melibatkan kondrosit dan matriks ekstraselular. Dikutip dari Poole

AR, Howell DS. Etiopathogenesrs of osteoafthritis.

2383

STRUKTUR DAN BIOKIMIA TULAT{G RAWAN SENDI

KOLAGEN

Matriks ekstraselular terutama mengandung kolagen (sebagian besar kolagen tipe II dan sejumlah kecil kolagen tipe lain seperti kolagen tipe IX dan tipe XI) dan proteoglikan (terutama agrekan, yang berukuran besar dan beragregrasi dengan asam hialuronat). (Tabel 1)

Komposisi

Jumlah (Y"l

Air

66-78%

Matriks

22-34o/o

1

metaloproteinase (MMP) terdapat pula kelompok proteinase lain yang dipercaya berperan pula dalam degradadasi matriks ekstraselular yaituADAMTS (a disintegrin and a metalloproteas e with thrombospondin motifs). Aktivasi MMP diregulasi oleh oleh inhibitor endogen

metalloproteinase (TIMP) yang bereaksi dengan MMP aktif dalam rasio molar 1: I

<1o/o

04-2%

Kondrosit Anoroanik

5-60k

PROTEOGLIKAN

Kolagen tipe II, IX dan XI dari tulang rawan sendi membentuk anyaman fibriler yang merupakan struktur penyangga dari matriks dalam bentuk serabut inhomogen dan anisotropik yang dikelilingi oleh larutan yang kaya akan proteoglikan yaitu agrekan.(Gambar 2)

O lX asam hialuron

:SLN- I matriks Selain yang disebut pula sebagai MMP-3). gelatinase dan stromelisin (terutama Stromelisin-

alami yang disebut sebagai Tissue inhibitors of

48-62% 22-380k

Kolagen tipe ll Proteoglikan Hialuronan

Kolagen tipe II didegradasikan oleh enzim proteolitik yang disekresi oleh kondrosit dan sinoviosit, antara lain matriks metaloproteinase (MMP) seperti kolagenase (MMP 1, MMP* MMP,,), membran tipe MMP (MT-MMP$,

Gambar 2.

ari fibril kol

kolagen tipe

dan Proteog

Proteoglikan merupakan suatu makromolekul kompleks

yang memiliki protein

inti, tempat melekat rantai

glikosaminoglikan. Glikosaminoglikan dari tulang rawan sendi artikuler terutama kondroitin sulfat dan keratan sulfat' Glikosaminoglikan yang dalam larutan bermuatan negatif mempunyai peranan pada hidrasi dan pengembangan jaringan terhadap suatu tekanan. Dalam jaringan tulang rawan sendi ditemukan pula sejumlah proteoglikan lain yang berukuran kecil serta sejumlah molekul lain yang mungkin berhubungan langsung dengan frbril kolagen'

am matriks sendi artikuler Dikutip dari Poole AR, Howell DS. Etiopathogen-

esis of osteoarthritis. Sintesis kolagen tipe II berjalan seiring dengan sintesis

glikoprotein lainnya yang disekresi oleh kondrosit. Beberapa saat setelah sekresi, segera setelah molekul mencapai ruang ekstraselular maka domain non-helikal

pada kedua ujung heliks amino-terminal tipe

II dan

: (PIINP dan karboksi-terminal tipe II prokolagen-propeptide PIINP dan Jadi helikal. PIICP) akan terpotong dari domain kolagen' dai sintesis gai marker PIICP dapat digunakan seba

<

Roglon ofpilmary cle€vags s t€s by ['4['4Ps and agg€canase(s)

Gambar 3. Struktur proteoglikan agrekan dan link protein, yang berikatan satu sama lain dan dengan hialuronan melalui domain globular G1. Dikutip dari Poole AR, Howell DS '

2384

RETJMIIIOI.OGI

2.200 kd.Domain Gl mempunyai stuktur yang mempunyai 3 buah loop terlkat disulfid. Loop Amempunyai struktur

Molekul

Stuktur dan Ukuran

Funosi dan Lokasi

Kolagen Tipe ll

lo1 (ll)ls

Kekuatan rentang ; Kolagen fibril utama Regulasi ukuran fibril:cross-rnk ke kolagen tipe ll Kekuatan rentang; periseluler di antara fibril tipe ll Mikrofibril pada ruang periseluler Berhubungan dengan fibril kolagen dalam perikondrium dan permukaan artikuler Berhubungan dengan fibril kolagen di seluruh tulang rawan sendi artikuler

Tipe lX

Tipe Xl

Tipe Vl Tipe Xll

Tipe XIV

o1(lX) o2(lX) o3(lX) Rantai DS atau CS tunggal o1(Xl) o2(Xl) o3(Xl)

o1(Vl) o2(Vl) c3(Vl) Mikrofibril [a1(Xll)]3

lc1(xlV)l

Proteoglikan Aglekan

Biglikan

Protein inti 255 kDa; Rantai samping CS/KS Terminal-c EGF, dan domain seperti-lektin

;

Protein inti 38 kDa dengan 2 rantai DS (76 kDa)

Kekenyalan kompresif (Compressive stlffness) melalui hidrasi atau fxed charge density Berperan pada stabilisasi anyaman fibril

Dekorin

Protein inti 36 5 kDa dengan 1 rantai samping CS atau DS

Sama dengan biglikan

Fibromodulin

Rantai KS 4N-linked (58

Sama dengan biglikan

kDa)

Molekul lainnya Asam hialuronat

1000-3000 kDa

(HA)

Protein sambungan (Link protein\ Anchorin C ll Sindekan

cD44 Fibronektin

38 6 kDa

34 kDa, membran protein integral lvlembran protein intergral ekstraseluler dengan rantai samping HS/CS Membran protein intergral ekstraseluler dengan rantai samping HS/CS Dimer dari subunit 220 kDa

Tenaskin

Trombospondin Caftilege oligomeric matrix protein (COMP\

6 subunit 200 kDa membentuk struktur heksabraki 3 subunit 1 38 kDa 550 kDa; 5 subunit 1 10

Retensi agrekan di dalam matriks Stabilisasi perlekatan agrekan ke HA via Domain G'l Mengikat kolagen tipe ll dan kalsium lnteraksi sel-matriks Mengikat HA lnteraksi sel-matriks Mengikat HA Perlekatan sel via sekuen RGD Mengikat kolagen dan GAG Berhubungan dengan kondrogenesis Pengikat kalsium Pengikat kalsium

kDa

Agrekan merupakan proteoglikan yang mempunyai komposisi berupa protein inti (core protein) dan rantai glikosaminoglokan (GAG) yang melekat secara kovalen pada protein inti. Protein inti dari agrekan mempunyai massa molekul sebesar 230 kd dan terdiri atas 3 domain globular (GI,G2,G3) dan 2 domain GAG yang melekat padanya (yaitu domain keratan sulfat: KS dan kondroitin sulfat: CS), sehingga massa molekulnya dapat mencapai

karateristik yang umum dikenal sebagai anggota keluarga IgG dan terlibat pada interaksi di antara agrekan dan link-protein. LoopB dan B' berperan dalam ikatan dengan HA. Domain intraglobuler di antara Gl dan G2 (IGD) mempunyai bentuk cabang dan merupakan lokasi yang sensitif terhadap enzim proteolitik pemotong (cleavage) seperti Metaloprotease, aspartik protease, serin protease

(seperti plasmin dan leukosit estalase) dan sistein protease (seperti katepsin B). Domain G2 mempunyai asam

amino yang 6TYohomolog dengan loopB-B'dari domain G1. Setelah sintesis protein inti oleh kondrosit melalui jalur yang umum digunakan oleh molekul sekretori lainnya maka padaprotein inti dilekatkan 50 rantai KS dan 100 rantai CS, kedua karbohidrat ini merupakan 90olo massa molekul. Sebagian besar rantai KS berlokasi pada domain KS dari terminal-C domain G2. Pada agrekan maka domain CS merupakan domain terbesar. Domain G3 yang berlokasi pada terminal-C mempunyai 3 modul yaitu modul-mirip-

epidermal growthfactor (EGF), modul lektin tipe-C dan modul kompl emen regulator protein. (Gambar 3) Rawan sendi normal mengandung pula sejumlah molekul molekul non-kolagen dan non-agrekan yang dapat digurakan sebagai investigasi patofi siologi OA/AR. (Tabel 2)

REFERENS! Eyre D. Collagen of articular cartilage. Arthritis Res 2002; 4:30-5. Goldring MB. The Musculoskeletal system B.Articular cartilage. In Klippel HJ, editor . Primer on the rheumatic diseases. 12th ed Atlanta: Arthritis Foundation; 2001. p 10-6 Gamero P, Rousseau J-C, Delmas P. Molecular basis and chnical use of biochemical markers of bone, cartilage and synovium in joint diseases. Arthritis Rheum 2000:43:953-61. Mayne R. Structure and function of collagen. In: Koopman WJ, editor. Arthritis and Allied Conditions.A Textbook of Rheumatology. 13th ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 1997,p.201-27. Murphy G, Knauper V, Atkinson S, Butler G, English W, Hutton M, et al. Matrix metalloproteinases in arthritic disease. Arthritis Res 2002; 4 (suppl 3): S39-S49. .

Mort JS, Billington CJ. Articular cartilage and changes in arthritis.

Matrix degradation. Arthritis Res 2001; 3:337-41. Sandy JD .Plaas AHK, Rosenberg L, Structure, function and metabolism of cartilage proteoglycan. In : Koopman WJ, editor. Arthritis and Allied Conditions. A Textbook of Rheumatology. l3th ed. Baltimore: Williams & Wilkins; 1997, p. 229-41. Poole AR. Cartilage in health and disease. In : Koopman WJ, editor.

Arthritis and Allied Conditions. A Textbook of Rheumatology. 13th ed, Baltimore: Williams & Wilkins; 1997,p.255-308. Poole AR, Howell DS. Etiopathogenesis of osteoarthritis. In: Moskowitz WR, Howell DS, Altman RD, Buckwater JA, Goldberg VM editors. Osteoarthritis. Diagnosis and Medical/surgical Management. 3'd ed. Philadelphia: WB Saunders; 2001,p.29-47. Roughley PJ. Articular cattilage and changes in arthritis. Noncollagenous and proteoglycans in the extracellular matrix of cartilage. Arthritis Res 2001; 3:342-7.

378 STRUKTUR DAN METABOLISME TULANG Bambang Setiyohadi

Tulang adalah organ vital yang berfungsi untuk alat gerak pasif, proteksi alat-alat didalam tubuh, pembentuk tubuh, metabolisme kalsium dan mineral, dan organ hemopoetik. Tulang juga merupakan jaringan ikat yang dinamis yang selalu diperbarui melalui proses remodeling yang terdiri dari proses resorpsi dan formasi. Dengan proses resorpsl, bagian tulang yang tua dan rusak akan dibersihkan dan diganti oleh tulang yang baru melalui proses formasi. Proses resorpsi dan formasi selalu berpasangan. Dalam keadaan normal, massa tulang yang diresorpsi akan sama dengan massa tulang yang diformasi, sehingga terjadi keseimbangan. Pada pasien osteoporosis, proses resorpsi lebih aktif dibandingkan formasi, sehingga terjadi defisit massa tulang dan tulang menjadi semakin tipis dan

perforasi.

transmisi signal dan stimuli dari satu sel dengan sel lainnya. Baik osteoblas maupun osteosit berasal dari sel

mesenkimal yang terdapat didalam sumsum tulang, periosteum, dan mungkin endotel pembuluh darah. Sekali osteoblas selesai mensintesis osteoid, maka osteoblas akan langsung berubah menjadi osteosit dan terbenam didalam osteoid yang disintesisnYa. Osteoklas adalah sel tulang yang bertanggung jawab terhadap proses resorpsi tulang. Pada tulang trabekular,

osteoklas akan membentuk cekungan pada permukaan tulang yang aktif yang disebut lakuna Howship. Sedangkan pada tulang kortikal, osteoklas akan membentuk kerucut sebagai hasil resorpsinya yang disebut cutting cone, dan osteoklas berada di apex kerucut tersebut. Osteoklas merupakan sel raksasa yang berinti banyak, tetapi berasal

Sebagaimana jaringan ikat lainnya, tulang terdiri dari komponenmatriks dan sel. Matriks tulang terdiri dari seratserat kolagen dan protein non-kolagen. Sedangkan sel

dari sel hemopoetik mononuklear.

tulang terdiri dari osteoblas, osteoklas dan osteosit. Osteoblas adalah sel tulang yang bertangung jawab terhadap proses formasi tulang, yaitu berfungsi dalam

DIFERENSIASI OSTEOBLAS

sintesis matriks tulang yang disebut osteoid, yaitu komponen protein dari jaringan tulang' Selain itu osteoblas juga berperan memulai proses resorpsi tulang dengan cara

membersihkan permukaan osteoid yang akan diresorpsi melalui berbagai proteinase netral yang dihasilkannya. Pada permukaan osteoblas, terdapat berbagai reseptor permukaan untuk berbagai mediator metabolisme tulang, termasuk resorpsi tulang, sehingga osteoblas merupakan sel yang sangat penting pada bone turnover. Osteosit merupakan sel tulang yang terbenam didalam matriks tulang. Sel ini berasal dari osteoblas, memiliki

juluran sitoplasma yang menghubungkan antara satu osteosit dengan osteosit lainnya dan juga dengan bone lining cells di permukaan tulang. Fungsi osteosit belum sepenuhnya diketahui, tetapi diduga berperaq pada

Seperti dijelaskan di muka, osteoblas berasal dari dari stromal stem cell atau connective tissue mesenchymal stem cell yangdapat berkembang menjadi osteoblas, kondrosit,

sel otot, adiposit dan sel ligamen. Sel mesenkimal ini memerlukan tahaptahap transisi sebelum menjadi sel yang matang. Setiap tahap transisi tersebut membutuhkan faktor aktifasi dan supresi tertentu. Untuk diferensiasi dan maturasi osteoblas dibutuhkan faktor pertumbuhan lokal,

seperti fibroblast growth

factor FGF), bone morpho-

genetic protelns (BMPs) danl4/nt protefus. Selain itu juga diubutuhkan faktor transkripsi, yaitu C or e b inding factor

1 (Cbfa 1) atau Runx2 dan Osterix (Osx). Prekursor osteoblas ini akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi preosteoblas dan kemudian menjadi osteoblas yang matur. Osteoblas selalu ditemukan berkelompok pada permukaan tulang yang dapat mencapai 100-400 sel

2386

REI,JMATOI.OGI

kuboidal per bone-forming site. Di bawah mikroskop cahaya, osteoblas tampak memiliki inti yang bulat pada

tulang. Efek GH langsung pada tulang adalah melalui

basal sel yang berdekatan dengan permukaan tulang dengan sitoplasdma yang basofilik kuat dan kompleks Golgi yang prominen di antara inti dan apeks sel yang

lin-like growth factor-1 (IGF-

menunjukkan aktivitas biosintesis dan sekresi yang tinggi. Selain itu osteoblas juga memiliki retikulum endoplasmik

kasar yang berkembang baik dengan cisterna yang berdilatasi dan berisi granul-granul padat.

Osteoblas selalu tampak melapisi matriks tulang (osteoid) yang diproduksinya sebelum dikalsifikasi. Osteoid yang diproduksi oleh osteoblas tidak langsung dimineralisasi, tetapi membutuhkan waktu sekitar 10 hari,

sehingga secara mikroskopik, osteoid yang belum dimineralisasi ini akan selalu tampak. Di belakang bsteoblas, selalu tampak sel mesenkimal yang sudah teraktifasi dan preosteoblas yang menunggu maturasi untuk menjadi osteoblas. Membran plasma osteoblas kaya akan fosfatase alkali

dan memiliki resentor untuk hormon paratiroid dan prostaglandin, tetapi tidak memiliki reseptor untuk

kalsitonin. Selain itu, osteoblas juga mengekspresikan reseptor estrogen dan reseptor vitamin Dr, berbagai sitokin,

seperti colony stimulatingfactor I(CSF-l) dan reseptor dan osteoprotegriz (OPG). RANKI berperan pada maturasi prekursor osteoklas karena prekursor osteoklas memiliki reseptor RANK pada permukaannya. Sedangkan efek

anti nuklear factor kB ligand (RANKL)

RANKL akan dihambat oleh OPG. Cbfa I atau Runx2 merupakan faktor transkripsi yang sangat penting bagi maturasi osteoblas, baik pada osifikasi intramembranosa maupun endokondral. Cbfa I akan berikatan dengan osteoblast-specffic cis-acting element (OSE2) dan mengaktifkan ekspresi osteoblast-specific gene, Osteokalsin (OG2). Terdapat2 isoform Cbfa1, yaitu Tipe I dan II. Cbfa tipe I diekspresikan oleh jaringan mesenkimal non-oseus dan sel progenitor osteoblas yang

tidak akan berubah selama diferensiasi osteoblas. Sedangkan Cbfa I tipe II meningkat ekspresinya selama diferensiasi osteoblas dan promieloblas sebagai respons terhadap BMP-2. Cbfa 1 juga berperan pada maturasi kondrosit. Faktor transkripsi lain yang berperan pada diferensiasi osteoblas adalah osterix (Osx) yang diekspresikan pada semua tulang yang sedeang tumbuh dan dibutuhkan pada diferensiasi osteoblas dan formasi tuIang.

FAKTOR PERTUMBUHAN OSTEOGENIK Hormon pertumbuhan (Grawlh Hormone,GH). Hormon ini mempunyai efek langsung dan tidak langsung terhadap osteoblas untuk meningkatkan remodeling tulang dan pertumbuhan tulang endokondral. Defisiensi GH pada manusia akan menyebabkan gangguan pertumbuhan

interaksi dengan reseptor GH pada permukaan osteoblas, sedangkan efek tidak langsungnya melalui produksi insu1).

InsulinJike Growth Factor-l dan 2 (lGF-l dan IGF-2). IGF merupakan growth hormone-dependent polypeptides yang memiliki berat molekul

7 .600. Ada2 macam IGF, yaitu dan IGF II, yang disintesis oleh berbagai macam jaringan, termasuk tulang, dan mempunyai efek biologik

IGF

I

yang sama, walauprurlGF I lebihpoten4-7 kali dibandingkan IGF II. IGF I mempunyai efek merangsang sintesis matriks

dan kolagen tulang danjuga merangsang replikasi sel-sel turunan osteoblas. Selain itu, IGF I juga menurunkan degradasi kolagen tulang. Dengan demikian IGF I memegang peranan yang penting pada formasi tulang dan

juga berperan mempertahankan massa tulang. Berbagai faktor sistemik dan lokal turut berperan mengatur sintesis

IGF-l oleh osteoblas, antaralait,estrogen, PTH, PGE, dan BMP-2, sedangkan PDGF dan glukokortikoid menghambat ekspresi IGF-I dan 1,25(OH)rD,, TGFb danFGF-2 memiliki efek stimulator dan inhibitor ekspresi IGF-1. Didalam sirkulasi, IGF akan terikat pada IGF binding proteins (IGFBPs). Sampai saat ini telah ditemukan 6 IGFBP yang diproduksi oleh sel tulang, dan jumlah yang terbanyak adalah IGFBP-3. IGFBP memiliki afinitas yang tinggi

terhadap IGF, menghambat interaksi IGF dengan reseptomya dan mempengaruhi aksi IGF.

Bone Morphogenetic Proteins (BMPs). Merupakan anggota superfamili TGFp, terdiri dari BMP-2 sampai -7. BMP disintesis oleh jaringan skeletal dan ekstraskeletal, sedangkan BMP-2, -4 dan -6 disintesis oleh sel-sel seri osteoblas dan berperan pada diferensiasi osteoblas. Selain

itu BMPs juga berperan pada osifikasi endokonciral

dan

kondrogenesis.

Protein Wnt. Protein Wnt memiliki aktivitas yang sama dengan BMP dan menginduksi diferensiasi sel. Signat Wnt

yang optimal pada osteoblas membutuhkan lipoprolein receptor-related protein 5 (LRP 5). LRP 5 diekspresikan oleh osteoblas dan sel stromal dan distimulasi oleh BMP. Mutasi yang menyebabkan inaktifasi LI{P 5 menyebabkan

penurunan densitas tulang sedangkan mutasi yang menyebabkan LRP 5 resisten terhadap inaktifasi menyebabkan peningkatan massa tulang.

TGF p. Merupakan polipeptida dengan BM 25.000. Pada mamalia didapatkan 3 isoform yang memiliki aktivitas biologik yang sama dan diekspresikan oleh sel tulang dan

pl, TGF B2 dan TGF 83, TGF B berfungsi menstimulasi replikasi preosteoblas, sintesis sel osteosarkoma, yaitu TGF

kolagen dan menghambat resorpsi tulang dengan cara menginduksi apoptosis osteoklas.

I dan 2 adalah 17.000, bersifat angiogenik dan

Fibriblqst Growth Fuclors (FGFs). FGF polipeptida dengan

BM

2387

STRUKTUR DAN METABOLISME TULAI\G

berperan pada neovaskularisasi, penyembuhan luka dan reparasi tulang. FGF I dan2 akan merangsang replikasi sel tulang sehingga populasi sel tersebut meningkat dan

memungkinkan terjadinya sintesis kolagen tulang. Walaupun demikian, FGF tidak akan meningkatkan

sumsum fulang. Nampaknya leptin merupakan regulator

yang penting pada sel tulang dan mengkontrol pertumbuhan tulang dan aktivitas osteoblas melalui berbagai mekanisme.

diferensiasi osteoblas secara langsung. Selain itu, FGF juga memiliki peran yang kecil pada resorpsi tulang, yaitu dengan meningkatkan ekspresi MMP 13 yang berperan pada

OSTEOKLAS DAN REMODELING TULANG

degradasi kolagen dan remodeling tulang.

Setelah pertumbuhan berhenti dan puncak massa tulang tercapai, maka proses remodeling tulang akan dilanjutkan

Platelet-Derived Growlh Factor (PDGF). Merupakan polipeptida dengan BM 30.00 dan pertama kali diisolasi dari trombosit dan diduga berperan penting pada awal penyembuhan luka. PDGF merupakan dimeryang dihasilkan

oleh 2 gen, yaitu PDGF-A dan -B. PDGF-AB dan -BB merupakan isoform yang terbanyak didapatkan dalam sirkulasi. Sama dengan FGF, PDGF berfungsi merangsang replikasi sel dan sintesis kolagen tulang. Selain itu PDGFBB juga berperan meningkatkan jumlah osteoklas dan menginduksi ekspresi MMP l3 oleh osteoblas.

Vascular Endothelial Growth Factors (VEGF). Merupakan polipeptida yang berperan pada angiogenesis

pada permukaan endosteal. Osteoklas akan melakukan resorpsi tulang sehingga meninggalkan rongga yang disebut lakuna Howship pada tulang trabekular atau rongga keructt (cutting cone) padaiilatg kortikal. Setelah resorpsi selesai, maka osteoblas akan melakukan formasi

tulang pada rongga yar.g ditinggalkan osteoklas membentuk matriks tulang yang disebut osteoid, dilanjutkan dengan mineralis as i primer yang berlangsung dalam waktu yang singkat dilanjutkan dengatmineralisasi sekunder dalam waaktu yang lebih panjang dan tempo yang lebih lambat sehingga tulang menjadi keras. Proses remodeling tulang merupakan proses yang

Osteoblas mengekspresikan 2 tipe reseptor VEGF, yaitu VEGFR-I dan -2. VGEF berperan sangat pentingpada

kompleks dan terkoordinasi yang terdiri dari proses resorpsi dan formasi tulang baru yang menghasilkan pertumbuhan dan pergantian tulang. Hasil akhir dari

osifikasi endokondral. Selama osihkasi endokondral,teiadi invasi pembuluh darah kedalam rawan sendi selama mineralisasi matriks, apopto sis kondro sit yang hipertrofik, degradasi matriks dan formasi tulang. Inaktifasi VEGF pada tikus yang berumur 24 hari menyebabkanpenekanan invasi pembuluh darah, peningkatan zota hiperlrofik kondrosit dan gangguan formasi tulang trabekular.

tidak terjadi disembarang tempat disepanjang tulang, tetapi merupakan proses pergantian tulang lama dengan fulang baru. Pada tulang dewasa, formasi tulang hanya terjadi

yang sangat penting pada perkembangan skeletal.

remodeling tulang adalah terpeliharanya matriks tulang yang termineralisasi dan kolagen. Aktivitas sel-sel tulang terjadi disepanjang permukaan tulang, terutama pada permukaan endosteal. Proses resorpsi dan formasi tulang,

bila didahului oleh proses resorpsi tulang. Jadi urutan proses yang terjadi pada tempat remodeling adalah REGULASI HORMONAL FORMASI TULANG

Steroid dan hormon polipeptida berperan pada pertumbuhan osteoprogenitor dan pertumbuhannya menjadi osteoblas yang matur. PTH berperan pada pertumbuhan populasi osteoprogenitor sedangkan PTHrP

aktifasi-resorpsi-formasi (urutan ARF). Pada fase antara resorpsi dan formasi (fase reversal), tampak beberapa sel mononuklear seperti makrofag pada tempat remodeling membentuk cement line yang membatasi proses resorpsi dan merekatkan tulang lama dan tulang baru. Osteoklas yang bertanggung jawab terhadap proses

berperan pada diferensiasi osteoblas. Glukokortikoid berperan pada diferensiasi sel mesenkimal menjadi

resorpsi tulang, berasal dari sel hemopoetik/fagosit

osteoblas in vitro, tetapi penggunaan glukokortikoid untuk pengobatan justru menghambat formasi tulang dan menyebabkan osteoporosis. Vitamin D [1,25(OH)rD3] merupakan regulator trsnkripsi gen yang poten yang

membutuhkan faktor transkripsi PU-l dan MiTf yang akan

berperan meningkatkan atau menurunkan ekspresi

Leptin yang disekresikan oleh jaringan adiposa dan

mengekspresikan reseptor RANK. Selainjutnya, dengan adanya RANK ligand (RANKL), sel ini berdiferensiasi menjadi osteoklas. Berbeda dengan sel makrofag, osteoklas mengekspresikan beribu-ribu reseptor RANK, kalsitonin dan vitronektin (integrin a,b3). Setelah selesai proses resorpsi, osteoklas akan mengalami apoptosis dengan pengaeuh estrogen. Pada defisiensi estrogen, menopause

osteoblas memiliki efek anabolik terhadap osteoblas. Selain itu leptin juga dapat mebnginduksi apoptosis sel stromal

atau ovariektomi, apoptosis osteoklas akan terhambat sehingga terjadi resorpsi tulang yang berlebihan.

berbagai gen fenotip osteoblas, misalnya meningkatkan sintesis osteokalsin. Hormon steroid seks memiliki efek anabolik terhadap tulang dan osteoblas. Asam retinoat berperan pada pertumbuhan tulang selama masa embrional' Andrenomedulin berperan pada pernrmbuhan osteoblas.

mononuklear. Diferensiasinya pada fase awal merubah sel progenitor menjadi sel-sel seri mieloid. Selanjutnya dengan rangsangan M-CSF, sel-sel ini berubah menjadi sel-sel monositik, berproliferasi dan

2388

REI'MITIOI.OGI

Proses remodeling tulang diatur oleh sejumlah hormon dan faktor-faktor lokal lainnya. Hormon yang berperan pada proses remodeling tulang adalah hormon paratiroid (PTH), insulin, hormon pertumbuhan, vitamin D, kalsitonin, glukokortikoid, hormon seks dan hormon tiroid"

Osteoprotegrin (OPG)/RANKL/RANK. OPG adalah anggota superfamili reseptor TNF yang tidak memiliki domain transmembran sehingga akan disekresikan kedalam sirkulasi. Ekspresi OPG akan menghambat resorpsi tulang yang fisiologik maupun patologik. Ligand OPG hanya 2, yaitu RANKL dan TRAIL. Perlekatanan OPG pada RANKL akan menghambat perlekatan RANKI terhadap RANK di

permukaan progenitor osteoklas, sehingga akan menghambat maturasi osteoklas dan resorpsi tulang. OPG

juga menghambat formasi osteoklas yang diinduksi oleh hormon osteotropik dan sitokin,seperti 1,25(OH)2D3, PTH, PGE2, IL-l dam IL-I1. Ekspresi OPG di sel stromal dan osteoblas akan ditingkatkan oleh TGFB, hal ini mungkin

yang menerangkan mekanisme penghambatan resorpsi tulang oleh TGFP. RANKL merupakan protein membran tipe II yang diekspresikan oleh sel-sel seri osteogenik termasuk osteoblas yang matur. Dengan pengaruh M-CSF, RANKL akan merangsang maturasi osteoklas dan akibatnya, proses resolpsi tulang meningkat. 1,25(OH),D,, PTH, PGE, IL- I b, TNF-u, IL- I

1,

IL-6 dan FGF temyata dapat

meningkatkan kadar mRNA RANKL. RANK adalah protein transmembran tipe I, yang mempakan anggota superfamili TNFR dan satu-satunya reseptor untuk RANKL. RANK diekspresikan pada permukaan osteoklas

mempunyai efek langsung terhadap remodeling tulang, tetapi melalui perangsangan terhadap IGF I, GH dapat mengatur formasi tulang. Efek langsung GH pada formasi

tulang sangat kecil, karena sel-sel tulang hatya mengekspresikan reseptor GH dalam jumlah yang kecil.

1,2S-Dihydroxyvitamin-D3 [1,25(OH)rD.l, merupakan hormon yang disintesis secara primer oleh ginjal dan mempunyai fungsi yang sama dengan PTH, yaitu merangsang resorpsi tulang dan efek ini berlangsung melalui

peningkatan ekspresi RANKL oleh osteoblas. Selain itu 1,25(OH)rD3 juga dapat meningkatkan sintesis osteokalsin oleh osteoblas, menghambat sintesis kolagen tulang, meningkatkan ikatan IGF I pada pada reseptornya yang terdapat di sel-sel turunan osteoblas dan merangsang selected IGF binding proteins yang dapat memodifikasi aksi dan konsentrasi IGF. 1,25(OH)rD, juga merupakan imunomodulator yang poten yang dapat menghambat proliferasi sel T dan produksi IL-2.

Kalsitonin merupakan inhibitor yang poten terhadap efek resorpsi tulang dari osteoklas, tetapi efek ini hanya sementara, terutama pada pemberian kalsitonin yang berkepanjangan. Kalsitonin menyebabkan kontraksi sitoplasma osteoklas dan pemecahan osteoklas menjadi sel mononuklear dan menghambat pembenfukan osteoklas.

Glukokortikoid mempunyai efek merangsang resorpsi fulang, mungkin melalui penurunan absorbsi kalsium yang kemudian akan diikuti oleh peningkatan PTH. Pemberian glukokortikoid jangka pendek pada konsentrasi fisiologik,

dan berperan pada diferensiasi osteoklas dari sel progeni-

dapat merangsang sintesis kolagen tulang. Tetapi

tor hematopoetik dan aktifasi osteoklas yang matur. Overekspresi RANK pada fibroblas embrio manusia menginduksi aktifasi ligand independen NF-kB dan berhubungan dengan peningkatan diferensiasi dan

pemberian jangka panjang dapat menurunkan replikasi sel preosteoblastik, sehingga jumlah osteoblas menurun dan

maturasi osteoklas yang independen terhadap RANKL.

pembentukan matriks tulang terhambat. Selain itu, glukokortikoid juga menghambat sintesis IGF I oleh sel tulang dan hal ini mungkin berperan pada penghambatan

Hormon paratiroid berperan merangsang formasi dan

formasi tulang.

resorpsi tulang in vitro maupun in vivo, tergantung pada cara pemberiannya apakah intermiten atau terus menerus. Mekanisme keqa yang berbeda ini tidak jelas, tetapi diduga melalui jalur Cbfa, karena Cbfa merupakan faktor transkripsi untuk diferensiasi osteoblas, selain itu Cbfa juga mengatur ekspresi RANKL. Jadi efek PTH terhadap osteoklas tidak bersifat langsung karena osteoklas tidak memiliki reseptor PTH. Selain PTH, PTI{rP juga memiliki efekbifasik terhadap tulang.

Estrogen dan Androgen memegang peranan yang sangat penting pada maturasi tulang yang sedang tumbuh dan mencegah kehilangan massa tulang. Reseptor estrogen

Insulin mempunyai peranan dalam merangsang sintesis

merangsang resorpsi tulang.

matriks tulang dan pembentukan tulang rawan. Selain itu, insulin juga sangat penting pada mineralisasi tulang yang normal, dan merangsang produksi IGF I oleh hati. Peranan

insulin pada sintesis matriks terutama pada fungsi diferensiasi osteoblas, sedangkan IGF I meningkatkan jumlah sel yang dapat mensintesis matriks tulang.

Hormon pertumbuhan (growth hormon, GH) tidak

pada sel-sel tulang sangat sedikit diekspresikan, sehingga

sulit diperlihatkan efek estrogen terhadap resorpsi

dan

formasi tulang. Estrogen dapat menurunkan resorpsi tulang secara tidak langsung melalui penurunan sintesis berbagai sitokin, seperti IL-I, TNF-o dan IL-6. Il-6diketahui banyak

terdapat pada lingkungan-mikro tulang dan berperan

Hormon tiroid berperan merangsang resorpsi tulang. Hal ini akan menyebabkan pasien hipertiroidisme akan disertai hiperkalsemia dan pasien pasca-menopause yang mendapat supresi tiroid jangka panjang akan mengalami osteopenia.

Hormon tiroid (T, dan To) merupakan regulator pertumbuhan tulang yang penting. Terdapat 4 isoform reseptor hormon tiroid, yaitu TRal, TRa2, TRb I dan TRb2

2389

SIRUKTUR DAT{ METABOLISME TULANG

yang kesemuanya diekspresikan pada kondrosit pada

RANKL dan TGF-p akan menyebabkan resorpsi tulang

tempat osifikasi endokondral.

oleh osteoklas. TGF-p merupakan polipeptida yang multifungsional

Prostaglandin merupakan mediator inflamasi yang merupakan metabolit asam arakidonat dan memiliki efek

yang kompleks terhadap tulang. Prostaglandin berhubungan dengan hiperkalsemia dan resorpsi tulang

pada keganasan dan keradangan kronik. Walaupun demikian, efek prostaglandin terhadap tulang pada manusia

masih belum jelas. PGE, pada dosis rendah tertyata berperan merangsang formasi tulang, sedangkan pada dosis

yang diproduksi oleh sel sistem imun danjuga sel stromal dan osteoblas. TGF-p akan merangsang prostaglandin dan menyebabkan resorpsi tulang. Selain itu, TGF-p juga akan menghambat formasi osteoklas dengan cara menghambat

proliferasi dan diferensiasi osteoklas. TGF-p juga meningkatkan proliferasi osteoblas, meningkatkan protein matriks tulang dan meningkatkan mineralisasi tulang'

tinggi berperan meningkatkan resorpsi tulang tanpa menghambat formasi tulang. Pada fase resorps tulang, produksi PGE, akan meningkat, sedangkan pada formasi

INFLAMASI DAN REMODELING TULANG

tulang atau fase penyembuhan, produksi PGE, akan

Secara molekular, temyata remodeling tulang memiliki

merurrun.

kesamaan dengan proses inflamasi. Inflamasi dimulai oleh

Leukotrien. Sama halnya dengan prostaglandin, leukotrien juga merupakan mediator inflamasi dan metabolit asam arakidonat yang diproduksi melalui jalur enzim

rangsangan, baik akibat trauma maupun benda asing, sedangkan remodeling dicetuskan oleh faktor mekanik yang mengenai permukaan tulang yang termineralisasi. Pada inflamasi, trauma atau benda asing akan merangsang

5-lipoksigenase (5 -LO). Leukotrien berperan mengaktifkan osteoklas dan berhubungan dengan resorpsi tulang pada giant cell tumors pada tulang. Leukotrien juga diketahui berperan pada inflamasi kronik,seperti artritis reumatoid, asma bronkiale, psoriasis, penyakit periodontal dan kolitis

inflamatif. Metabolit 5-LO juga diketahui menurunkan fungsi osteoblas dan formasi tulang pada inflamasi akut,

misalnya pada artritis reumatoid. Inhibitor sintesis leukotrien atau antagonis reseptor leukotrien telah digunakan secara baik untuk terapi asma bronkiale dan diduga memiliki efek formasi tulang.

Sitokin juga berperan pada remodeling ilang. IL-1 merupakan sitokin yang berperan pada remodeling tulang. Ada 2 macamll.- 1, yaitu IL- I cr dan IL- 1 B, yang mempunyai efek biologik yang sama dan bekerja pada reseptor yang sama pula. IL-1 dilepaskan oleh sel monosit yang aktif dan juga oleh sel yang lain seperti osteoblas dan sel tumor. Peranan IL- 1 pada proses remodeling tulang cukup banyak, antara lain adalah merangsang reso{psi tulang, replikasi sel tulang dan meningkatkan sintesis IL-6. IL- I , nampaknya juga berperan pada mekanisme hiperkalsemia pada keganasan hematologik. Pada beberapa kasus osteoporosis, ternyata kadar IL- 1 juga meningkat. Efek IL- 1 pada tulang

diketahui melalui jalur RANKL, Limfotolrsin dar TNFo merupakan sitokin yang berhubungan dengan IL-l dan fungsinya juga banyak tumpang tindih dengan IL-1, Bahkan reseptomya juga sama dengan reseptor IL-1. juga berperan pada resorpsi tulang dengan jalan mengerahkan sel-sel osteoklas. IL-6 diekspresikan dan disekresikan oleh sel tulang sebagi respons terhadap PTH, 1,25(OH)rDj dan IL-l. Sintesis IL-6 akan dihambat oleh estrogen dan hal ini nampak pada penurunan resorpsi tulang pada terapi estrogen. CSF-I diproduksi oleh sel stromal dalam lingkungan mikro osteoklas. Ekspresinya berrhubungan dengan

IL-6

makrofag menghasilkan berbagai sitokin yang akan merangsang produksi dan migrasi sel darah putih lainnya ke tempat inflamasi. Berbagai sitokin yang dihasilkan pada

inflamasi merupakan stimulator yang kuat terhadap diferensiasi osteoklas dan resorpsi tulang oleh osteoklas. IL-l dan TNF-o yang dihasilkan pada inflamasi akan merangsang osteoblas untuk mengekspresikan RANKL dan M-CSF dan menghambat produksi OPG. Selain itu,

dengan pengaruh IL-1, TNF-o akan meningkatkan diferensiasi makofag menjadi osteoklas. IL- I dan TNF-u, terutama dihasilkan oleh monosit, sedangkan beberapa sitokin yang dihasilkan oleh sel T, bersifat menghambat osteoklastogenesis, misalnya Interferon (IFN)-y, GM-CSF,

IL-4 dan IL-13.m, sedangkan sitokin dari sel T yang merangsang osteoklastogenesis adalah IL-17.

Seperti diketahui, estrogen berperan menghambat proliferasi dan diferensiasi prekursor osteoklas melalui mekanisme yang belum jelas. Reseptor estrogen, ditemukan pada permukaan monosit, osteoblas, prekursor osteoklas maupun osteoklas. Defisiensi estrogen akan mengakibatkan peningkatan produksi IL-l, TNF, IL-6 dan kompleks reseptor IL-6, M-CSF dan GM-CSF. Pada fase lanjut dari inflamasi, akan terjadi pengerahan

fibroblast yang akan menghasilkan matriks untuk mengisolasi benda asing penyebab inflamasi dari jaringan

lain. Berbagai faktor pertumbuhan,

seperti pada proses (FGF) berperan turut growthfactor fibroblast ini. Persamaan proses ini dengan remodeling tulang adalah pengerahan osteoblas yang akan menutupi area resorpsi' FGF I dan 2 adalah polipeptida dengan BM 1 7.000, bersifat

angiogenik dan berperan pada neovaskularisasi, penyembuhan luka dan reparasi tulang. FGF I dan 2 akan merangsang replikasi sel tulang sehingga populasi sel tersebut meningkat dan memungkinkan terjadinya sintesis kolagen tulang. Walaupun demikian, FGF tidak akan

2390

REI.JMANOI.OGI

meningkatkan diferensiasi osteoblas secara langsung. Selain itu, FGF juga memiliki peran yang kecil pada resorpsi tulang, yaitu dengan meningkatkan ekspresi MMP 13 yang berperan pada degradasi kolagen dan remodeling tulang.

Pada proses inflamasi, terjadi neovaskularisasi yang dirangsang oleh FGF, VEGF dan sitokin lainnya. pada osteogenesis, VEGF berperan pada angiogenesis dan formasiu osteoklas. Faktor lain yang juga penting pada remodeling tulang adalah osteopontin yang dihasilkan oleh makrofag pada proses inflamasi, maupun makrofag yang banyak terdapat pada jaringan tumor.

OSTEOSIT Osteosit merupakan sel yang berbentuk stelat yang mempunyai juluran sitoplasma (prosesus) yang sangat panjang yang akan berhubungan dengan prosesus osteosit yang lain dan juga dengan bone linning cells. Didalam matriks, osteosit terletak didalam rongga yang disebut lakuna, sedangkan prosesusnya terletak didalam terowongan yang disebut kanalikuli. Lakuna dan kanalikuli berhubungan satu sama lain, termasuk dengan lakuna dan kanalikuli dari osteosit lain dan bone linning cells dipermukaan tulang membentuk jaringan yang disebut srslem lakunokanalikular (LCS). Sistem LCS berisi cairan yang merendam osteosit dan prosesusnya dan furut berperan pada mekanisme penyebaran rangsang mekanik

dan kimia yang diterima tulang melalui transduksi mekan

o - b i o - e I e ktr o - kem

i

kal.

Jaringan LCS sangat penting untuk kehidupan jaringan tulang yang sehat. Osteosit merupakan mekanosensorbagi jaringan tulang. Adanya rangsang mekanik dan kimia pada jaringan tulang akan diteeruskan ke semua osteosit dan jaringan tulang melalui struktur padat jaringan tulan g, ata.u tekanan pada cairan didalam sistem LCS, sehingga semua osteosit terangsang dan proses remodeling tulang berjalan

KOLAGEN DALAM TULANG Kolagen merupakan protein ekstraselular yang terpentiong didalamtubuh dan didalam tulang, kolagenmerupakan 65% bagian dari total komponen organik didalam tulang.

Kolagen terdiri dari struktur tripel heliks rantai polipeptida yangparyang,yaitu rantai u (alfa). Ada

13

tipe

kolagen atau lebih didalam tubuh manusia, yang dikelompokkan menjadi kolagen fibrilar (tipe I, II, III dan V) dan kolagen non-fibrilar. Kolagen fibrilar men.rpakan kolagen yang terbanyak dan ditemukan pada seluruh jaringan ikat didalam tubuh. Kolagen tipe I merupakan kolagen yang terbanyak ditemukan didalam tulang, kulit dan tendon. Setiap kolagen tersusun atas rantai c{, yang berbeda yang dikode oleh gen yang spesifikjuga. Kolagen tipe I terdiri dari 2 rafiai al(I) yang dikode oleh gen COL1A1 padakromosoml'7,dan 1 rantai o2(I) yang dikode oleh gen COL1A2 di kromosom 7.

Tipe

Rumus Mulekul

Gen

COL1A

ct1(l) cr2(l)

COL1A2

ll

(ll)l:

coL2A1

lcrl

COL3A1

[o1(lll)]3

COLSA1

[cr1(V)rcr(V)],

COLSA2

dan bentuk lain

Jaringan Tulang, dentin, kulit, tendon, dinding pembuluh darah, saluran cerna Rawan se-ndi, cairan vitreus, diskus intervertebral Jaringan fetal dengan kolagen tipe I pada semua Janngan Jaringan vaskular, otol polos

COL5A3

Biosintesis kolagen terdiri dari beberapa tahap. Pertama

dengan normal. Bila osteosit mati, maka lakuna yang ditempatinya dan matriks tulang disekitarnya akan diresorpsi dan diformasi atau LCSnya dibiarkan kosong

kali akan disintesis protokolagen. Kemudian akan terjadi beberapa modifikasi antara lain di osteoblas akan terjadi

dan mengalami mineralisasi.

hidroksilisin. Selanjutnya rantai s akan membentuk tripel

Pada tulang yang osteoporotik, terjadi diskoneksi antara prosesus-prosesus tersebut dan osteosit dapat terpencil sendiri dan berubah bentuk. Akibatnya hansduksi mekano-bio-elektro-kemikal tidak berjalan dengan

sempurna dan proses remodeling tulang juga tidak sempurna, sehingga tulang akan kehilangan kemampuan melakukan proses formasi setelah resorpsi berlangsung, akibatnya pada tulang yang osteoporotik, akan didapatkan

hidroksilasi prolin dan lisin membentuk hidroksiprolin dan heliks sebelum disekresikan. Kemudian terminal-C dan

-N

propeptida terpisah bersamaan dengan sekresinya.

Selanjutnya tropokolagen membentuk serabut-serabut kolagen. Sementara itu struktur dasar tripel heliks akan

dipertahankan sebbagai tulang punggung molekul diperkuat dengan ikatan (cross-link) kovalen selama maturasi kolagen. Ikatan tersebut terdiri dari piridinolin dan deoksipiridinolin yang teryutama terletak pada termi-

banyak lakuna Howship yang pada akhirnya akan

nal-C dan -N, dimana struktur tripel heliks digantikan

menyerbabkan turunnya kekuatan tulang. Hal yang sama juga terjadi pada pasien yang mengalami imobilisasi lama,

dengan domain non-tripelyang disebut telopeptida. Pada

karena rangsangan beban pada tulang berkurang, sehingga transduksi mekano-bio-elektro-kemikal juga menjadi hilang, sehingga tulang menjadi osteoporotik.

turnover kolagen, maka ikatan piridinolin dan deoksipiridinolin atau peptida yang mengandung keduanya akan dilepas dan diekskresikan lewat urin. Pengukuran keduanya didalam urin dapat menjadi petanda

2391

STRUKTUR DAN METABOLISME TULANG

rwesorpsi tulang karena ikatan ini hanya didapatkan pada

kolagen yang matur. Didalam jaringan tulang, kolagen berinteraksi dengan komponenjaringan lainnya, termasuk proteoglikan, glikoprotein dan mineral. Selain di tulang, kolagen tipe Ijuga didapatkan padajaringan lain, tetrapi yang mnengalami mineralisasi, hanya kolagen tripe I di tulang. Proses degradasi kolagen membutuhkan kolagenase dan pelepasan mineral karena mineral melindungi kolagen dari proses denaturasi. Hasil degradasi matriks tulang yang

meliputi berbagai perptida dan asam amino termasuk hidroksiprolin dan hidroksilisin akan dilepas ke aliran darah, kemudian diekskresikan melalui urin.

(MEPE), dentin matrix protein-l (DVP-l), osteonectin dan bone acidic glycoprotein-75 (BAG-75). Selain itu juga disintesis kolagen tipe I, fibronektin, trombospondin,

vitroneektin, fibrilin dan osteoadherin. Tabel 2 menunjukkan fungsi protein-protein tersebut pada mineralisasi tulang.

Merangsang formasiapatit

Menghambal mineralisasi

Berfungsi ganda

Tidakjelas

Kolagen tipe Proteolipid

Agrekan c2-HS glikoprotein

Biglikan Osteonektin Fibronektin

l\ilatrix gla

Bone

Dekorin BAG-75 Lumikan Tetranektln Osteoaderin Trombospondin

I

protein

(MGP) Osteopontin

MINERALISASITULANG

Sialoprotein (BSP)

efeknya

Osteokalsin

Mineral tulang yang matur adalah hidroksiapatit dengan rumus molekul Ca,o(PO)u(OH), yang bentuk kristalnya

hanya dapat dilihat di bawah mikroskop elektron, sedangkan di bawah mikroskop eahaya tampak amorf. Hidrosiapatit akan mengisi lubang-lubang didalam serat kolagen dan menyebar sehingga membentuk tulang yang terkalsifikasi secara sempuma. Pada tulang yang matur,

kristal-kristal mineral akan bertambah besar akibat penambahan ion-ion pada kristal dan dan agregasi kristalkristal itu sendiri. Setelah osteoid dibentuk oleh osteoblas, terdapat jeda 10-15 hari sebelum mineralisasi berlangsung. Dua-pertiga mineralisasi akan berlangsung dengan cepat,

sedang sepertiga sisanya akan berlangsung selama beberapa bulan.

Kalsium berperan sangat penting sejak awal mineralisasi. Kalsium memiliki afinitas yang kuat terhadap tetrasiklin sehingga labelisasi tetrasiklin dapat digunakan untuk menilai derajat mineralisasi dengan menggunakan mikroskop fluoresensi. Total kalsium

tubuh adalah l300gr dan99,9%o berada didalam tulang.

Didalam sirkulasi, kalsium dapat dibagi dalam

3

komponen, yaitu kalsium ion, kalsium yang terkat albumin dan kalsium dalam bentuk garam kompleks. Dari ketiga bentuk ini, hanya kalsium ion yang berfungsi untuk sel

hidup, yaitu untuk formasi tulang, metabolisme, konduksi saraf, kontraksi otot, kontrol hemostatik dan integritas kulit.

Selain kalsium, kation yang penting juga untuk mineralisasi tulang adalah magnesium sedangkan

elemen lain yang juga penting adalah fosfor dan fluorida. Pada umumnya, sel-sel jaringan ikat akan berinteraksi

dengan lingkungan ekstraselulamya termasuk perlekatan dengan makromolekul ekstraselular. Sel tulang minimal

mensintesis 9 protein yang akan menjadi mediator perlekatan sel dengan struktur ekstraselularnya, termasuk anggota keluarga SIBLING (small integrin-binding ligattd, N glycosylated proteilts), yaitu osteopontin, bone sialoprotein

(BSP), matrix extracellular phosphoglycoprotein

PETANDA BONETURNOVER Bone turnover merupakan mekanisme fisiologik yang sangat penting untuk memperbaiki tulang yang risak atau

mengganti "tulang tua" dengan "tulang baru". Petanda bone turnover, yang meliputi petanda resorpsi dan petanda formasi tulang, merupakan komponen matriks tulang atau enzim yang dilepaskan dari sel tulang atau matriks tulang pada waktu proses remodeling tulang' Petanda ini dapat menggambarkan dinamika remodeling tulang, tetapi tidak mengatur remodeling tulang. Yang termasuk petanda resorpsi tulang adalah hidroksiprolin

(HYP), piridinolin (PYD), Deoksipiridinolin (DPD), N-terminal cross-linking telopeptaide of type I collagen (NTX) dan C-terminal cross-linking telopeptide of type I collagen (CTX); sedangkan petanda formasi tulang adalah Bone alkaline phosphatase (BSAP), Osteokalsin (OC), Procollagen type I C-propeptide (PICP) dan Procollagen type I C-propeptide (PINP). Pengobatan dengan anti resorptif akan menurunkan kadar petanda bone turnover lebih cepat dibandingkan dengan perubahan densitas massa tulang yang diukur dengan alat DEXA. Penurunan ini terjadi lebih cepat daripada perubahan BMD, sehingga dapat digunakan untuk mengukur efektivitas pengobatan. Pada penelitian dengan risedronat (VERT study) didapatkan bahwa penurunan NTX urin > 60oh dan CTX utin> 40o/o setelah pengobatan 3-6 bulan berhubungan dengan penumnan risiko fraktur vertebra dalam waktu 3 tahun.

Walaupun demikian, terdapat hubungan yang kompleks antara turnover tulang dengan kualitas tulang. Tidak selamanya penekanan turnover tulang jangka panjang menghasilkan kualitas tulang yang baik, karena tulang menjadi sangat keras akibat mineralisasi sekunder yang berkepanjangan dan tulang menjadi getas dan mudah fraktur.

2392

REUMAIIOI.OGI

KALSIUM (Ca)

rangka, mikrosom berkembang sangat baik menjadi retikulum sarkoplasmik dan merupakan gudang kalsium

Tubuh orang dewasa diperkirakan mengandung 1000 gram kalsium. Sekitar 99% kalsium ini berada didalam tulang dalam bentuk hidroksiapatit dan lYo lagi berada didalam cairan ekstraselular dan jaringan lunak. Didalam cairan ekstraselular, konsentrasi ion kalsium (Ca'*) adalah 10r M, sedangkan di dalam sitosol 10-6 M. Kalsium memegang2 peranan fisiologik yang penting

yang penting didalam sel yang bersangkutan. Depolarisasi membran plasma akan diikuti dengan rnasuknya sedikit Ca

didalam tubuh. Didalam tulang, garam-garam kalsium berperan menjaga integritas struktur kerangka, sedangkan didalam cairan ekstraselular dan sitosol, Ca 2* sangat

berperan pada berbagai proses biokimia tubuh. Kedua kompartemen tersebut selalu berada dalam keadaan yang seimbang. Didalam serum, kalsium berada dalam 3 fraksi, yaitu Ca 2* sekitar 50%, kalsium yang terikat albumin sekitar 40% dan kalsium dalam bentuk kompleks, terutama sitrat dan

fosfat adalah 10%. Kalsium ion dan kalsium kompleks mempunyai sifat dapat melewati membran semipermeabel, sehingga akan difiltrasi di glomerulus secara bebas. Reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal terutama terjadi di

tubulus proksimal, yaitu sekitar 70o/o,kemttdian20o/o di ansa Henle dan sekitar 8% di tubulus distal. Pengaturan ekskresi kalsium di urin, terutama terjadi di tubulus distal. Sekitar 90% kalsium yang terikat protein, terikat pada albumin dan sisanya terikat pada globulin. Pada pH 7 ,4, setiap grldl albumin akan mengikat 0,8 mgldl kalsium. Kalsium ini akan terikat pada gugus karboksil albumin dan

ikatannya sangat tergantung pada pH serum. Pada keadaan asidosis yang akut, ikatan ini akan berkurang, sehingga kadar Ca * akan meningkat, dan sebaliknya pada alkalosis akut. Secara fisiologis, Ca 2t ekstraselular memegang peranan yang sangat penting, yaitu :

.

. .

Berperan sebagai kofaktor pada proses pembekuan darah, misalnya untuk faktor VH, IX, X dan protrombin. Memelihara mineralisasi tulang.

Berperan pada stabilisasi membran plasma dengan

berikatan pada lapisan fosfolipid dan menjaga permeabilitas membran plasma terhadap ion Na+. Penurunan kadar Ca2* serum akan meningkatkan permeabilitas membran plasma terhadap Na+ dan menyebabkan peningkatan respons jaringan yang mudah terangsang. Kadar Ca2* didalam serum diatur oleh2 hormonpenting, yaitu PTH dan 1,25(OH), Vitamin D. Didalam sel, pengaturan homeostasis kalsium sangat kompleks. Sekitar 90-99% kalsium intraselular, berada didalam mitokondria dan mikrosom. Rendahnya kadar Ca 2 didalam sitosol, diatur oleh 3 pompa yang terletak pada membran piasma, membran mikrosomal dan membran mitokondria yang sebelah dalam. Pada otot rangka dan otot jantung, kalsium berperan pada proses eksitasi dan kontraksi jaringan tersebut. Pada otot

2*

ekstraselular kedalam sitosol dan hal

ini

akan

mengakibatkan terlepasnya Ca 2* secara berlebihan dari retikulum sarkoplasmik kedalam sitosol. Kemudian Ca 2t akan berinteraksi dengan troponin yang akan mengakibatkan interaksi aktin-miosin dan terjadilah kontraksi otot. Proses relaksasi otot, akan didahului oleh reakumulasi Ca 2t oleh vesikel retikulum secara cepat dari dalam sitosol, sehingga kadar Ca 2* didalam sitosol akan kernbalinormal. Sel utama kelenjar paratiroid sangat sensitifterhadap kadar Ca 2t didalam serum. Peran PTH pada reabsorpsi Ca di tubulus distal, resorpsi tulang dan peningkatan absorpsi kalsium di usus melalui peningkatan kadar I ,25(OH)rVitamin D, sangat penting untuk menjaga stabilitas kadar Ca 2*

didalam serum. Selain itu, peningkatan PTH akan menurunkan renal tubular phosphate threshold (TmPl GFR) sehingga fosfat yang diserap dari usus dan dimobilisasi dari tulang akan diekskresi oleh ginjal.

FOSFOR (P) Tubuh orang dewasa mengandung sekitar 600 mg fosfor. Sekitar 85%oberada dalam bentuk kristal didalam tulang, dar, l5%o berada didalam cairan ekstraselular. Sebagian besar fosfor ekstraselular berada dalam benhrk ion fosfat anorganik dan didalam jaringan lunak, hampir semuanya dalam benfuk ester fosfat. Fosfat intraselular, memegang, peran yang sangat penting dalam proses biokimia intrasel, termasuk pada pembentukan dan transfer energi selular. Did alam serum, fosfat anorganik juga terbagi dalam 3 fraksi, yaitu ion fosfat, fosfat yang terikat protein dan fosfat dalam bentuk kompleks dengan Na, Ca dan Mg. Fosfat

yang terikat protein hanya sekitar 10% sehingga tidak bermakna dibandingkan keseluruhan fosfat anorganik didalam serum. Dengan demikian, sekitar 90% fosfat (ion dan kompleks) akan dengan mudah di filtrasi di glomerulus. Ginjal memegang peranan yang sangat penting pada homeostasis fosfor didalam serum. Beberapa faktor, baik intrinsik maupun ekstrinsik, yang mempengaruhi renal tubular phosphorus threshold (TmP/GFR), akan dapat mempengaruhi kadar fosfat didalam serum, misalnya pada

hiperparatiroidisme primer, TmP/GFR akan menurun, sehingga terjadi ekskresi fosfat yang berlebihan, akibatnya timbul hipofosfatemia. Sebaliknya, pada gangguan fungsi ginjal dan hipoparatiroidisme, TmP/GFR akan meningkat,

sehingga ekskresi fosfat menurun dan terjadilah hiperfosfatemia. Secara biologik, hasil kali Ca X P selalu konstan, sehingga peningkatan kadar fosfat didalam serum akan

2393

STRUKTUR DAI\ METABOLISME TULANG

diikuti dengan penurunan kadar Ca serum, dan yang

serum dapat digunakan untuk mendeteksi kecukupan,

terakhir ini akan merangsang peningkatan produksi PTH

defisiensi atau intoksikasi vitamin D. 25(OH)D merupakan bentuk vitamin D yang inaktif, yang akan dibawa ke ginjal,

yang akan menurunkan TmP/GFR sehingga terjadi ekskresi fosfat melalui urin dan kadar fosfat didalam serum kembali menjadi normal, demikian pula kadar Ca didalam serum.

Pada gagal ginjal kronik, terjadi hiperfosfatemia yang menahun, sehingga timbul hipertiroidisme sekunder akibat kadar Ca serum yang rendah.

VITAMIN D

dimana hidroksilasi yang kedua oleh cytochrome Poro(OH)D-lcr-hidroksilase, akan merubah 2 5 (OH)D me nladi 1,25 dihidroksivitamin D [ 1,25 (OH),D]. Secara biokimiawi, vitamin D yang telah mengalami 2 kali hidroksilasi akan lebih hidrofilik, walaupun masih sangat larut didalam lemak. Ginjal merupakan produsen utama 25 (OH)D-Icr-hidroksilase; produsen lainnya adalah monosit dan sel kulit. Selain itu, plasenta pada wanita hamil juga mo no oxy gen ase, 25

dapat memproduksi 1,25(OH)rD. Walaupun demikian, pada

(OH)Dlu-

Vitamin D diproduksi oleh kulit melalui paparan sinar

keadaan anefrik, ternyata produsen 25

matahari, kemudian mengalami 2 kali hidroksilasi oleh hepar

hidroksilase ekstrarenal tidak efektif mengatur homeostasis kalsium. Pada keadaan hipokalsemia, kadar PTH akan meningkat dan ini akan meningkatkan perubahan 25(OH)D menjadi 1,25(OH)rD. 1,25(OH)rD juga dapat mengatur produksinya sendiri baik secara langsung melalui umpan balik negatif produksi 25 (OH)D- 1 o-hidroksilase, maupun

dan ginjal. menjadi vitamin D yang aktif, yaitu 1,25- dihidroksivitaminD [ 1,25 (OH)rD].

Akibat paparan sinar matahari, provitamin D,

(7-dehidrokolesterol, 7-DHC), akan menyerap radiasi ultraviolet B (UVB) sinar matahari pada tingkat energi 290-315 nm, dan berubah menjadi previtamin D,. Sekali terbentuk, previtamin D, akan mengalami isomerisasi oleh panas dan berubah menjadi vitamin Dr. Kemudian vitamin D,, akan masuk kedalam sirkulasi dan berikatan dengan protein pengikat vitamin D. Pada orang kulit berwama dan orang tua, produksi vitamin D oleh kulit akan berkurang, karena melanin merupakan penahan sinar matahari yang

secara tak langsung dengan menghambat ekspresi gen PTH. Selain itu, beberapa hormon, seperti hormon pertumbuhan dan prolaktin, secara tak langsung akan

sangat baik, sehingga fotosintesis vitamin D akan

1,25(OH)2D akan dimetabolisme di organ targetnya (tulang dan usus) dan hati serta ginjal melalui beberapa proses hidroksilasi menjadi asam kalsitroat yang secara biologik tidak akifBaik 25(OH)D maupun 1,25(OH)2D juga

berkurang, sedangkan pada orang tua, konsentrasi 7-DHC yang tidak teresterifikasi juga berkurang. Sumber vitamin D dari makanan sangat jarang, hanya didapatkan dari lernak ikan dan minyak ikan. Institute of

Medicine, pada 1997, merekomendasikan kebutuhan vitamin D pada bayi, anak-anak dan orang dewasa <50 tahun adalah 200 IU (5 pg),&ari. Pada orang tua 5 1-70 tahun

meningkatkanproduksi 1,25(OH)2D oleh ginjal. Pada orang

tua, seringkali terjadi kegagalan peningkatan produksi 1,25(OH)2D yang dirangsang oleh PTH, sehinggapada orang tua sering terjadi gangguan absorpsi Ca di USUS.

akan mengalami 24-hidroksilasi menjadi 24,25(OH)2D dan

1,24,25(OH)3D yang secara biologik juga tidak aktif. Semua organ target vitamin D, memiliki reseptor vitamin D pada inti selnya (VDR). VDR memiliki afinitas terhadap

> 70 tahun, kebutuhan vitamin D masing-masing

1,25(OH)2D 1000 kali lebih besar daripada

adalah 400 IU 1 0 pg),4rari dan 600 IU ( 1 5 pg)/hari. Pada wanita hamil dan laktasi, pada semua umur, kebutuhan vitamin D adalah 200 IU/hari. Pada keadaan tanpa sinar matahari, kebufuhan vitamin D pada semua umur harus ditambah 200 IU/hari. Batas atas asupan vitamin D yang direkomendasikan pada bayi adalah 1000 IU/hari dan pada usia di atas 1 tahun adalah 2000 IUAari. Vitamin D yang bersumber dari minyak ikan dan lemak ikan adalah dalam bentuk vitamin D' sedangkan yang berasal dari ragi dan tanaman adalah vitamin Dr. Kedua bentuk tersebut, didalam sirkulasi akan berikatan dengan protein pengikat vitamin D dan dibawa ke hepar dan dihidroksilasi oleh cytochrome P oro-vilamin D-2 S-hydroxyI as e menjadi 25 -hidroksi vitamin D [25 (OH)D]. 2 5 (OH)D

terhadap25 (OH)D dan metabolit vitamin D lainnya. Setelah

dan

(

akan masuk kedalam sirkulasi dan merupakan bentuk vitamin D yang terbesar didalam sirkulasi. Hidroksilasi vitamin D di hepar tidak diatur secara ketat, sehingga produksi yang berlebihan di kulit atau asupan yang berlebihan dari makanan akan meningkatkan kadar 25 (OH)D didalam serum, sehingga kadar 25 (OII)D di dalam

mencapai organtarget, 1,25(OH)2D akan terlepas dari protein pengikatnya, kemudian masuk kedalam sel dan berinteraksi dengan VDR. Kemudian kompleks 1,25(OH) 2D-VDR akan berinteraksi lagi dengan retinoic acid X receptor (RXR) membentuk heterodimer yang kemudian akan berinteraksi dengan vitamin D-responsive element (VDRE) didalam DNA. Interaksi ini akan menghasilkan transkripsi dan sintesis MRNA baru untuk biosintesis

berbagai protein, baik dari osteoblas (osteokalsin, osteopontin, fosfatase alkali) maupun dari usus (protein pengikat kalsium, calcium-b inding protein, CABP). Bagian VDR yang berikatan dengan 1,25(OH)2D adalah pada

daerah terminal-C, yang disebut hormone-bipiding domain, sedangkan bagian yang berikatan dengan DNA adalah pada daerah terrninal-N, yang disebut DNA binding domain yang memlliki jari-jari Zn. Gen VDR memiliki 9 ekson. Mutasi khusus pada ekson tersebut akan menyebabkan resistensi terhadap 1,25(OH)2D

yang disebut vitamin D-dependent rickets type II.

2394

RETJM/TfiOLOGI

FUNGSI BIOLOGIK VITAMIN D Fungsi utama vitamin D adalah menjaga homeostasis kalsium dengan cara meningkatkan absorpsi kalsium di usus dan mobilisasi kalsium dan tulang pada keadaan asupan kalsium yang inadekuat. VDR di usus terdapatpada seluruh dinding usus halus,

dengan konsentrasi tertinggi didalam duodenum. 1,25(OH)2D berperan secara langsung pada masuknya

kalsium kedalam sel usus melalui membran plasma, meningkatkan gerakan kalsium melalui sitoplasma dan keluamya kalsium dari dalam sel melalui membran basilateral ke sirkulasi. Mekanisme yang pasti dari proses ini belum diketahui secara pasti, walaupun telah diketahui bahwa |,25(pH)2D akan meningkatkan produksi dan aktivitas CABP, fosfatase alkali, ATPase, brush-border

Selain itu, PTH juga merangsang produksi 1o,-hidroksilase oleh ginjal, yang berperan mengubah 25(OH)D menjadi 1,25(OH)2D, sehingga terjadi peningkatan absorpsi kalsium di usus. Hasil dari semua aksi PTH ini adalah peningkatan kadar kalsium didalam darah dan penumnan kadar fosfat didalam darah. Hormon paratiroid (PTH) berperan merangsang resorpsi tulang, tetapi tidak bersifat langsung karena osteoklas tidak memiliki reseptor PTH. PTH memiliki efek yang kompleks terhadap formasi tulang karena dapat merangsang dan menghambat formasi tulang. Efek anabolik

PTH diperantarai oleh peningkatan sintesis Insulin-like Growth Factor 1(IGF I) yang diduga mempunyai peran yang besar pada fungsi PTH yang dapat merangsang resorpsi dan formasi fulang.

PTH pada mamalia merupakan rantai tunggal

actin, kalmodulin dan brush-border protein. CABP merupakan protein utama yang berperan pada fluks Ca

polipeptida yang memiliki 84 asam amino. Daerah terminal amino dari PTH merupakan daerah yang berperan pada

melalui mukosa gastrointestinal. Di tulang, 1,25(OH)2D akan menginduksi monocytic stem cells di sumsum tulang untuk berdiferensiasi menjadi osteoklas. Setelah berdifirensiasi menjadi osteoklas, sel ini akan kehilangan kemampuannya untuk bereaksi terhadap 1,25(OH),D. Aktivitas osteoklas akan diatur oleh 1,25(OH)2D secara tidak langsung, melalui osteoblas yang menghasilkan berbagai sitokin dan hbrmon yang dapat mempengaruhi aktivitas osteoklas. 1,25(OH)2D juga akan meningkatkan ekspresi fosfatase alkali, osteopontin dan osteokalsin oleh osteoblas. Pada proses mineralisasi tulang, 1,25(OH)2D berperan menjaga konsentrasi Ca dan P di dalam cairan ekstraselular, sehingga deposisi kalsium hidroksiapatit pada matriks tulang akan berlangsung dengan baik. Di ginjal, 1,25(OH)2D, melalui VDR-nya berperan mengatur sendiri produksinya melalui umpan-balik negatif produksinya dan menginduksi metabolisme hormon ini menjadi asam kalsitroat yang inaktif dan larut didalam air.

aktivitas biologik hormon itu.

Beberapa jaringan dan sel

lain yang bersifat

nonkalsemik, juga diketahui memiliki VDR, misalnya sel tumor. Paparan 1 ,25(OH)2D pada sel tumor yang memiliki VDR, akan menurunkan aktivitas proliferasinya dan juga

diferensiasinya. Walaupun demikian, penggunaannya sebagai obat kanker tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Sel epidermal kulitjuga memiliki VDR, sehingga

efek antiproliferatif 1,25(OH)2D dapat digunakan pada penyakit kulit hiperproliferatif nonmalignan, seperti psoriasis.

Regulator terpenting dari sintesis dan sekresi PTH adalah kadar kalsium plasma, dimana kalsium yang meningkat akan menurunkan produksi dan sekresi PTH

dan sebaliknya penurunan kalsium plasma akan meningkatkan produksi dan sekresi PTH. Selain itu, I ,251O11129 iuga berperan menghambat sintesis

PTH dan

proliferasi sel paratiroid, sedangkan kadar fosfat plasma akan merangsang ekspresi gen PTH, dan secara tak langsung melalui kalsium serum merangsang sekresi PTH dan proliferasi sel Paratiroid. Hipomagnesemia dan

hipermagnesemia yang berat, ternyata juga dapat menghambat sekresi PTH, sedangkan litium dapat merangsang sekresi PTH, sehingga terapi dengan litium

sering menyebabkan hiperkalsemia akibat peningkatan produksi PTH. Pada keadaan hipokalsemia akut, PTH akan disekresikan dalam waktu beberapa detik sampai menit secara eksositosis. Pada hipokalsemia kronik, degradasi PTH intraselular didalam sel paratiroid akan dikurangi, sedangkan ekspresi gen PTH ditingkatkan, demikianjuga aktivitas proliferasi sel paratiroid. Proses ini semua dikontrol oleh calcium sensing receptor (CaR) yang terdapat baik pada pennukaan sel paratiroid, sel tubular ginjal, sel tulang dan sel epitel usus. Pada keadaan hiperkalsemia, produksi PTH akan ditekan, walaupun demikian, penekanan ini tidak berlebihan, walaupun kadar kalsium serum sangaat tinggi. Hiperparatiroidisme primer dan keganasan merupakan

penyebab hiperkalsemia yang terbanyak. HiperparaHORMON PARATTROID (PTH)

Hormon paratiroid (PTH) dihasilkan oleh kelenjar paratiroid. Pada tulang, PTH merangsang pelepasan kalsium dan fosfat, sedangkan di ginjal, PTH merangsang reabsorpsi kalsium dan menghambat reabsorpsi fosfat.

tiroidisme primer merupakan kelainan endokrin terbanyak setelah diabetes melitus dan hipertiroidisme. Biasanya penyebabnya adalah adenoma soliter kelenjar paratiroid. Pada tulang, hiperparatiroidisme akan menyebabkan osteitis fibrosa sistika. Kelainan ini ditandai oleh resorpsi subperiosteal tulang-tulang falang distal, kista tulang dan

brown tumor pada tulang-tulang

panjang.

2395

STRUKTUR DAI\ ME IABOIISME TULAIYG

Diagnosis hiperparatiroidisme primer ditegakkan berdasarkan pemeriksaan biokimia, yaltu adanya hiperkalsemia dan tanpa penekanan produksi PTH, sehingga kadar PTH dapat meningkat atau normal tinggi. Hiperparatiroidisme juga dapat terjadi secara sekunder, akibat hipokalsemia yang lama. Biasanya terjadi pada penyakit ginjal terminal, defisiensi vitamin D atau keadaan yang resisten terhadap vitamin D. Seringkali, hipokalsemia yatglama dapat menyebabkan sekresi PTH yang otonom

sehingga timbul hiperkalsemia seperti gambaran hiperparatiroidisme primer; keadaan ini disebut hiperparatiroldisme tertier. Selain itu, dapat juga hiperparatiroidisme sekunder yang berat, tidak menunjukkan perbaikan yang bermakna, walaupun kelainan metaboliknya telah dikoreksi; keadaan ini disebut hiperparatiroidisme sekunder yang refrakter.

PARATHYROID HORMONE RELATED PROTEIN (PTHRP) P arathyroid-hormone-related

Pada kehamialn dan laktasi, produksi PTHrP juga akan

meningkat. Pada kehamilan, peningkatat kadar PTHrP disebabkan oleh produksi dari jaringan janin dan ibu, seperti plasenta, amnion, desidua, tali pusat dan paludara' Peningkatan produksi ini berperan untuk mempertahankan kadar kalsium untuk mencukupi kebutuhan kalsium pada proses mineralisasi tulang janin. Pada masa laktasi,

peningkatan kadar PTHrP terutama disebabkan oleh produksinya di payudara. Kadar PTHrP didalam ASI diketahui lebih tinggi 10.000 kali dibandingkan dengan kadarnya didalam darah orang normal maupun pasien hiperkalsemi a pada keganasan.

Dalam keadaan normal, PTHrP yang beredar didalam tubuh sangat rendah, dan nampaknya tidak berperanpada metabolisme kalsium. Walaupun demikian, PTHrP diduga berperan pada proses fisiologik lokal dari sel-sel dan jaringan penghasilnya, misalnya jaringan fetal, rawan sendi, jantung, ginjal, folikel rambut, plasenta dan epitel permukaan. Pada payudara normal, PTHrP berperan pada morlogenesis payudara.

protein (PTHTP) pertama

kali diketahui sebagai penyebab hiperkalsemia

pada

memiliki 8 dari 13 asam amino pertama yang sama dengan PTH, sehingga dapat mengaktifkan reseptor PTH. Dibandingkan dengan PTH yang hanya

KALSTTONTN (CT)

keganasan. Protein ini

memiliki 84 asam amino, PTHrP yang terdiri dari 3 isoform, memiliki jumlah asam amino yang lebih banyak, masingmasing 139,141 dar ll4 asamamino. KarenaPTHrP juga dapat berikatan dengan reseptor PTH, maka aksi biologiknya juga sama dengan PTH, yaitu akan

menyebabkan hiperkalsemia, hipofosfatemia dan peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas. Walaupun demikian, ada reseptor PTH yang tidak dapat diikat oleh PTHTP, yaitu reseptor PTH-2. Demikian juga, ada pula reseptor PTHrP yang tidak dapat berikatan dengan PTH yaitu reseptor PTHrP yang terdapat di otak dan kulit. Selain

itu,

ada beberapa perbedaan aksi biologik PTHrP

dibandingkan dengan PTH, yaitu PTH akan meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal, sedangkan PTHrP tidak, sehingga akan terjadi hiperkalsiuria. Selain itu, PTHIP juga tidak meningkatkan produksi 1,25(OH),D dan absorpsi

Kalsitonin (CT) adalah suatu peptida yang terdiri dari 32 asam amino, yang dihasilkan oleh sel C kelenjar tiroid dan berfungsi menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas. Aksi biologik ini digunakan didalam klinik untuk mengatasi peningkatan resorpsi tulang, misalnya pada pasien osteoporosis, penyakit Paget dan hiperkalsemia akibat keganasan.

Sekresi CT, secara akut diatur oleh kadar kalsium didalam darah dan secara kronik dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Kadar CT pada bayi, akan tinggi, sedangkan pada orang tua, rendah kadamya. Pada wanita, kadar CT temyata juga lebih rendah daripada laki-laki. Saat

ini, telah diketahui struktur kalsitonin dari

10

terdiri dari glisin pada rersidu 28, amida prolin pada termninal karboksi dan kesamaan pada 5 dari 9 asam amino pada terminal amino. spesies yang berbeda, yang secara umum

Sel C kelenjar tiroid merupakan sumber primer kalsitonin pada mamalia, sedangkan pada hewan

kalsium di ginjal. Di tulang, PTH akan meningkatkan aktivitas osteoblas dan osteoklas, sedangkan PTHrP

submamalia, dihasilkan oleh kelenjar ultimobrankial. Selain

hanya meningkatkan aktivitas osteoklas, sehingga resorpsi tulang tidak diimbangi oleh formasi yang adekuat. Beberapa tumor yang secara spesifik menghasilkan

related producr (CGRP) yang merupakan peptida yang terdiri dari 37 asam amino yang memiliki aktivitas biologik berbeda dengan kalsitonin, yaitu sebagai vasodilator dan neurotransmiter dan tidak bereaksi dengan reseptor kalsitonin. Jaringan lain yang juga menghasilkan kalsitonin adalah sel-sel hipofisis dan sel-sel neuroendokrin yang tersebar diberbagai jaringan, tetapi kalsitonin nontiroidal ini tidak mempunyai peran yang penting pada kadar kalsitonin di perifer. Kalsitonin merupakan petanda tumor yang penting pada karsinoma tiroid meduler. Efek biologik utama kalsitonin adalah sebagai

PTHrP adalah karsinoma sel skuamosa, ginjal dan payudara. Pada hiperkalsemia akibat keganasan, akan didapatkan peningkatan kadar PTHrP dan hiperkalsemia,

sedangkan kadar PTH akan ditekan. Pada hiperparatiroidisme, kadar PTH akan meningkat, sedangkan PTHrP tetap normal. Oleh sebab itu, kadar PTHrP dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan pembedahan keganasan yang bersangkutan.

itu gen kalsitonin juga menghasllkan calcitonin

gene

2396

RET,JMAIOI.OGI

penghambat osteoklas. Dalam beberapa menit setelah pemberian, efek tersebut sudah mulai bekerja sehingga

testosteron. Enzim ini, merupakan enzim sitokrom P-450, yang terdapat didalam ovarium, testes, adiposit dan sel

aktivitas resorpsi tulang terhenti. Selain itu, kalsitonin juga

tulang. Baik estron maupun estradiol, berada dalam

mempunyai efek menghambat osteosit dan merangsang osteoblas, tetapi efek ini masih kontroversial. Efek lain

keseimbangan yang reversibel, dan keseimbangan ini diatur

yang penting adalah analgesik yang kuat. Banyak hipotesis

yang menerangkan mekanisme efek analgesik kalsitonin, misalnya peningkatan kadar b-endorfin, penghambatan sintesis PGE, perubahan fluks kalsium pada membran

neuronal, terutama di otak, mempengaruhi sistem katekolaminergik, efek anti depresan maupun efek lokal sendiri. Kalsitonin juga akan meningkatakan ekskresi kalsium dan fosfat di ginjal, sehingga akan menimbulkan hipokalsem,ia dan hipofosfatemia. Efek lain adalah efek anti inflamasi, merangsang penyembuhan luka dan fraktur, dan mengganggu toleransi glukosa. Konsentrasi kalsium plasma merupakan regulator sekresi kalsitonin yang penting. Bila kadar kalsium plasma meningkat, maka sekresi kalsitonin juga akan meningkat, sebaliknya bila kadar kalsium plasma menurun, sekresi kalsitonin juga akan menurun. Walaupun demikian, bila hiperkalsemia dan hipokalsemia berlangsung lama maka efeknya terhadap sekresi kalsitonin nampaknya tidak adekuat, mungkin terjadi kelelahan pada sel C tiroid untuk mrerespons rangsangan tersebut.

Beberapa peptida gastrointestinal, terutama dari kelompok gastrin-kolesistokinin mempakan sekretagogs kalsitonin yang poten bila diberikan secara parenteral pada dosis suprafisiologik. Kalsitonin, merupakan obat yang telah direkomendasikan oleh FDA untuk pengobatan penyakit-penyakit yang miningkatakan resorpsi tulang dan hiperkalsemia yang diakibatkannya, seperti Penyakit Paget, Osteoporosis dan hiperkalsemia pada keganasan. Pemberiannya secara intranasal, nampaknya akan mempermudah penggunaan daripada preparat injeksi yang pertama kali diproduksi.

oleh enzim 17b-hidroksisteroid dehidrogenase yang dihasilkan oleh hati dan usus. Pada wanita pasca menopause, estrogen yang banyak beredar didalam tubuhnya adalah estron, yang kemudian akan mengikuti 2 dan

jalur metabolisme menjadi l6a-hidroksiestron

2-hidroksiestron. Keseimbangan kedua estron yang terhidroksilasi ini memegang peranan yang penting pada timbulnya kanker payudara, osteoporosis, SLE dan sirosis hati. Pada laki-laki, testosteron merupakan steroid gonad utama yang diproduksi testes, walaupun, estradiol juga diproduksi dalam jumlah yang kecil. Di gonad, tulang dan otak, testosteron akan diubah menjadi metabolit yang aktif,

yaitu dihidroksitestosteron oleh 5a-reduktase,

dan

estrogen oleh aromatase.

KEHII-ANGAN MASSA TU1ANG PADA MENOPAUSE

Pada awalnya, proses remodeling ini berlangsung seimbang, sehingga tidak ada kekurangan maupun kelebihan massa tulang. Tetapi dengan bertambahnya umur, proses formasi menjadi tidak adekuat sehingga mulai terjadi defisit massa tulang. Proses ini diperkirakan mulai

pada dekade ketiga kehidupan atau beberapa tahun sebelum menopause. Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti, apa penyebab penurunan formasi fulang pada

usia dewasa, mungkin berhubungan dengan penurunan aktivitas individu yang bersangkutan, atau umur osteoblas yang memendek, atau umur osteoklas yang memanjang atau sinyal mekanik dari osteosit yang abnormal. Defisiensi estrogen pada wanita menopause telah lama diketahui memegang peran yang penting pada perhrnbuhan tulang dan proses penuaan. Penurunan kadar estrogen akan

memacu aktivitas remodeling tulang yang makin tidak seimbang karena osteoblas tidak dapat mengimbangi kerja HORMON STEROID GONADAL

osteoklas, sehingga massa fulang akan menutrun dan fulang menj adi osteoporotik. Aktivitas osteoklas yang meningkat

Yang termasuk hormon steroid gonadal adalah estrogen, androgen dan progesteron. Hormon-hormon ini disintesis setelah ada perintah dari otak yang akan mengirimkan stimulus dari hipotalamus ke hipofisis untuk menghasilkan

akan mennyebabkan terbentuknya lakuna Howship yang dalam dan putusnya trabekula, sehingga kekuatan tulang akan mwnjadi turun dan tulang mudah frakhr. Selain itu, defisiensi estrogen juga akan meningkatkan

follicle-stimulating hormone (FSH) dat luteinizing hormone (LH). Pada wanita, hormon-hormon ini akan

osteoklastogenesis dengan mekanisme yang belum

merangsang sintesis estrogen dan progestereon oleh ovarium, sedangkan pada laki-laki akan merangsang sintesis testosteron oleh testes.

tulang memegang peranan yang sangat penting pada

Progesteron, selain memiliki aktivitas biologik sendiri,

macam interleukin. Faktor-faktor sistemik yang turut menunjang suasana ini adalah berbagai hormon seperti

juga berperan sebagai prekursor hormon steroid lainnya, yaitu estron, estradiol dan testosteron. Enzim aromatase merupakan enzim yang sangat penting untuk sintesis estron dan estradiol, baik dari androstenedion, maupun

sepenuhnya dimengeri. Lingkungan mikro didalam sumsum

osteoklastogenesis, karena disini dihasilkan berbagai sitokin seperti tumour necrosis factors (TNF) dan berbagai

hormon paratiroid (PTH), estrogen dan 1,25(OH)rvitamin D3 yang turut berperan merangsang osteoklastogenesis melalui perangsangan reseptor pada permukaan sel

2397

STRUKTUR DAT{ METABOLISME TULAIYG

karena janin dan plasenta akan memobilisasi kalsium dari

turunan osteoblas. Osteoblas diketahui menghasilkan berbagai faktor yang dapat menghambat maupun

tubuh ibu untuk menieralisasi tulang pada tubnuh janin. Lebih dari 33 gram kalsium terakumulasi pada tubuh janin

merangsang osteoklastogenesis. Os teoprotegerin adalah anggota superfamili TNF yang larut yang dihasilkan oleh

selama perkembangan tulang, dan sekitar 80% terjadi pada

trimester ketiga dimana mineralisasi tulang terjadi dengan sangat cepat. Kebutuhan kalsium ini akan menjadi lebih besar lagi, karena terjadi peningkatan absorpsi kalsium di usus sampai 2kalihpat atas pengaruh 1,25(OH),D dan

osteblas yang dapat menghambat osteoklastogenesin' Sedangkan faktor yang merangsang osteoklastogenesis yang dihasilkan osteoblas adalah reseptor nuklearfactor k-B (RANK) ligand (RANKI), yang akan melekat pda reseptor RANK pada permukaan osteoklas. Selain itu,

faktor-faktor lain. Kadar 1,25(OH)rD meningkat selama

kehamilan sampai aterm. Peningkatan

osteoblas dan sel stromal sumsum tulang juga menghasilkan macrophage colony stimulating factor

ini

tidak

berhubungan dengan peningkatan PTH, karena PTH tetap normal atau rendah selama kehamilan. Kadar PTHrP meningkat selama kehamilan, karena dihasilkan oleh beberapa jaringan janin dan ibu, termasuk plasenta, amnion, desidua, tali pusat, paratiroid janin dan payudara' Walaupun demikian, tidak dapat dipastikan jaringan mana yang berperan pada peningkatan kadar PTHrP' Diduga PTHrP yang berperan pada peningkatan kadar 1,25(OH)rD didalam tubuh ibu. Selain ituy PTHrP juga berperan pada pengaturan tranport kalsium ke tubuh janin lewat plasenta,

(M-CSF) yang akan meningkatkan proliferasi sel prekursor osteoklas.

Ekspresi yang berlebih dari osteoprotegerin akan menghasilkan tulang yang sangat keras yang disebut osteopelrosis, sedangkan ablasi genetik osteoprotegerin

akan menghasilkan osteoporosis, karena tidak ada penghambat osteoklastogenesis. Sebaliknya ablasi genetik RANKI dan RANK juga akan akan menghasilkan osteopetrosis, karena tidak ada osteoklastogenesis. Defisiensi estrogen pada laki-lakijuga berperan pada kehilangan massa tulang. Penurunan kadar estradiol di

dan melindungi tulang ibu karena bagian terminal karboksil PTHrP mempunyai efek menghambat kerja

bawah 40 pMol/L pada laki-laki akan menyebabkan osteoporosis. Palahati-Nini dkk menyatakan bahwa estrogen pada laki-laki berfungsi mengatur resolpsi trlang,

osteoklas.

Penelitian biokimiawi menunjukkan bahwa bone lurnover menurun pada pertengahan pertama kehamilan, tetapi meningkat pada akhir trimester ketiga yang sesuai dengan peningkatan mineralisasi tuylang pada tubuh janin.

sedangkan estrogen dan progesteron mengatur formasi tulang. Kehilangan massa tulang trabekular pada laki-laki berlangsung linieq sehingga terjadi penipisan trabekula,

Walaupun demikian, penelitian epidemiologik tidak

tanpa disertai putusnya trabekula seperti pada wanita.

mendapatkan pengaruh yang bermakna antara kehamilan

Penipisan trabekula pada lakiJaki terj adi karena penurunan formasi tulang, sedangkan putusnya trabekula pada wanita

Peningkatan fragilitas dan risiko fraktur pada kehamilan,

dengan densitas massa tulang dan risiko fraktur. biasanya berhubungan dengan penyebab lain. seperti obat-obatan.

disebabkan karena peningkatan resolpsi yang berlebihan akibat penurunan kadar estrogen yang drastis pada waktu menopause.

Peningkatan remodeling tulang akan menyebabkan kehilangan massa tulang yang telah termineralisasi secara sempurna (mineralisasi primer dan sekunder) dan akan

PERUBAHAN TULANG SELAMA LAKTASI

digantikan tulang baru yang mineralisasinya belum sempurna (hanya mineralisasi primer). Pemeriksan densitometri tulang tidak dapat nmembedakan penurunan

Rata-rata kehilangan kalsium melalui air susu ibu (ASI) sehari dapat m ercapai200-400 mg, walaupun ada beberapa laporan yang menyatakan kehilangan kalsium ini dapat

densitas akibat penurunan massa tulang yang

mencapai 1000 mg/hari. Untuk mengatsi peningkatan

termineralisasi atau remodeling yang berlebih sehingga

kebutuhan kalsium selama laktasi, maka terjadi

tulang terdiri dari campuran tulang tua yang sudah

demineralisasi tulang selama laktasi. Proses demineralisasi ini tidak disebabkan oleh PTH atau 1,25(OH)r-D, tetapi oleh peningkatan PTHrP dan penurunan kadar estrogen didalam darah. Selama laktasi kadar PTH dan 1,25(OH)rD

mengalami mineralisasi sekunder dan tulang muda yang baru mengalami mineralisasi primer. Secara biomekanika, derajat mineralisasi memegang peran yang sangat penting terhadap fragilitas dan kekuatan tulang karena tulang yang terlalu keras akibat mineralisasi

yang lanjut akan menjadi getas, sebaliknya tulang yang belum sempuma mineralisasinya akan menj adi kurang keras

.

akan turun, sedanmgkan PTHrP akan meningkat' Produksi utama PTHrP selama kehamilan adalah payudara dan didalamASl, kadar PTHrP meningkat lebih dari 10.000 kali kadarnya didalam darah orang normal maupun pasien

PERUBAHAN TULANG SELAMA KEHAMILAN

hiperkalsemia akibat keganasan. Peran peningkatan PTHrP selama laktasi tidak diketahui secara pasti. tetapi pada binatang percobaan diketahui hubungan

Kebutuhan kalsium selama kehamilan akan meningkat

peningkatan PTHrP dengan morfogenesis dan aliran darah ke pay,udara. Selain itu PTHrP juga akan mempertahankan

2398

REI.JMIIilOI.OGI

kadar kalsium palsma dengan cara meningkatkan

gangguan pengikatan vitamin D pada VDR. Kesemuanya

resorpsi kalsium dari tulang, mengurangi ekskresi kalsium di ginjal dan secara tak langsung menghambat sekresi PTH.

ini akan menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder dan meningkatkan resorpsi tulang. Selain itu, defisiensi vitamin K juga akan meningkatkan risiko fraktur, tetapi

Absorpsi kalsium di usus selama laktasi tidak

patogenesisnya masih belum jelas.

meningkat, walaupun kebutuhan kalsium meningkat; hal

inimrmgkindisebabkantidak

kadar 1,25(OfDrD.

biokimiawi, petanda resorpsi tulang dan formasi tulang meningkat selama laktasi. Densitas massa fulangpun menurun selama laktasi. Peningkatan D one turnover ini diduga lebih disebabkan oleh peningkatan PTHrP Secara

dan bukan karena penunrnan estrogen setelah persalinan.

Walaupun demikian, kehilangan densitas massa tulang akan pulih kembali setelah masa laktasi selesai. Sama halnya

denga selama kehamilan, osteoporosis pada laktasi bukan

Faktor Hormonal Defisiensi estrogen tidak hanya menjadi masalah penyebab osteoporosis pada wanita pasca menopausal, tetapi juga pada wanita-wanita tua. Pada laki-laki tua juga diketahui bahwa penurunan kadar testosteron berperan pada proses peniurunan densitas massa fulang. Faktor hormonal lain yang berperanan pada proses osteoporosis pada orang

tua adalah penurunan produksi IGF-1, dehidro ep in dr o s t er o n e (DHE A) dan d e h dr o ep i an dr o s er o n i

t

merupakan problem yang serius, kecuali bila didapatkan faktor risiko osteoporosis laimya.

sulphate (DHEA-S).

TULANG PADA USIA LANJUT

Faktor genetik diduga berperan pada proses osteoporosis pada usia lanjut. Demikian juga faktor lingkungan,

Dengan beftambahnya umur, remodeling endokortikal dan intrakortikal akan meningkat, sehingga kehilangan tulang terutama terjadi pada tulang kortikal dan mingkatkan risiko frakor tulang kortikal, misalnya pada femur proksimal. Total pemukaan tulang untuk remodeling tidak berubah dengan

seperti merokok, alkohol, konsumsi obat-obatan tertentu, seperti glukokorlikoid dan anti konr.ulsan.

Faktor Keturunan dan Lingkungan

bertambahnya umur, hanya berpindah dari tulang trabekular ke tulang kortikal. Risiko fraktur pada orang tua juga meningkat akibat peningkatan risiko terjatuh, kebiasaan hidup yang tidak

menguntungkan bagi tulang dan tingginya remodeling

tulang; oleh sebab itu tindakan pencegahan sangat penting untuk diperhatikan. Densitas massa tulang pada orang tua akan menurun dan setiap penurunan T-Score 1 SD pada leher femur akan meningkatkan risiko fraktlr 2,5 kali lipat. Selain itu faktor umur juga sangat berperan. Wanita 80 tahun dengan BMD 0,700 glcm2 akan lebih besar risiko frakh-mya dibandingkan dengan wanita 50 tahun dengan BMD yang sama. Selama kehidupannya, seorang wanita akan kehilangan massa tulang pada daerah spinal mencapai 42o/, dan pada daerah femoral mencapai 58%o.Pada dekade ke-8 dan 9,

kehilangan massa tulang akan meningkat sama dengan pada massa perimenopausal, karena proses resorpsi akan lebih aktif dibandingkan dengan proses formasi.

Faktor-faktor yar.g mempengaruhi peningkatan kehilangan massa tulang pada usia lanjut antara lain

:

EFEK GLUKOKORTIKOID PADA TULANG Hormon steroid lain yang juga mempunyai efek terhadap

tulang adalah glukokortikoid. Glukokortikoid sangat banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit, terutama penyakit otoimun. Pada penggunaan jangka panjang, glukokorlikoid sering menyebabkan kehilangan massa tulang yang ireversibel. Efek glukokortikoid pada tulang trabekular jauh lebih besar daripada efeknya pada tulang kortikal, dan kehilangan massa tulang yang tercepat sampai terjadi fraktur pada umumnya terjadi pada vertebra, iga dan ujung tulang panjang. Kehilangan massa tulang tercepat terjadi pada tahun pefiama penggunaan steroid yang dapat mencapai 20oh dalam 1 tahun. Insidens fraktur akibat osteoporosis pada pengguna steroid tidak diketahui secara pasti. Selain itu, penggunaan

steroid dosis rendah termasuk inhalasi juga dapat menyebabkan osteoporosis. Dari berbagai penelitian, diketahui bahwa penggunaan prednison lebih dari 7 ,5 mgl hari akan menyebabkan osteoporosis pada banyak pasien. Glukokortikoid, sering menimbulkan berbagai efek pada metabolisme tulang, yaitu:

Faktor Nutrisi

Histomorfometri

Yang paling sering adalah defisien kalsium dan vitamion D. Defisiensi vitamin D biasanya berhubungan dengan asupan yang kurang, penumnan respons kulit terhadap

mengakibatkan penurunan tebal dinding tulang trabekular, penurunan mineralisasi, peningkatan berbagai parameter

ultraviolet, gangguan konversi 25(OH)D menjadi 1,25(OH)rD di ginjal, penurunan VDR di usus dan

Secara histomorfometri, glukokortikoid

akan

resorpsi tulang, supresi pengerahan osteoblas dan penekanan fungsi osteoblas.

2399

STRUKTUR DAT{ METABOLISME TULANG

Efek pada Osteoblas dan Formasi Tulang

Efek pada Sitokin

Penggunaan glukokortikoid dosis tinggi dan terus

Interleukin-

menerus akan mengganggu sintesis osteoblas dan kolagen. Replekasi sel akan mulai dihambat setelah 48

jam paparan dengan glukokortikoid. Selain itu juga terjadi penghambatan sintesis osteokalsin oleh osteoblas.

Efek pada Resorpsi Tulang In vitro, glukokortikoid menghambat diferensiasi osteoklas

dan resorpsi tulang pada kultur organ. Efek peningkatan resorpsi tulang pada pemberian glukokortikoid in vivo, berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder akibat

penghambatan absorpsi kalsium

di usus oleh

glukokortikoid.

Efek pada Hormon Seks Glukokortikoid menghambat sekresi gonadotropin oleh hipofisis, estrogen oleh ovarium dan testosteron oleh testes. Hal ini akan memperberat kehilangan massa tulang pada pemberian steroid.

Absorpsi Kalsium di Usus dan Ekskresi Kalsium di Ginjal Penggunaan glukokortikoid dosis farmakologik akan mengganggu transport aktif transelular kalsium. Mekanisme yang pasti tidak diketahui dan tidak berhubungan dengan vitamin D. Gangguan absorpsi kalsium di usus dan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal menurun secara bermakna pada pengguna glukokortikoid. Ekskresi kalsium urin dan kadar hormon paratiroid (PTH)

akan meningkat dalam 5 hari setelah seseorang menggunakan glukokortikoid. Gangguan transport ini akan makin memburuk pada asupan Natrium yang tinggi dan akan menurun dengan pembatasan asupan Natrium dan pemberian diuretik tiazid.

Efek pada Metabolisms Hormon Paratiroid dan Vitamin D Kadar PTH dar 1,25 dihidroksivitamin D (1,25(OH)rD) didalam serum meningkat pada pengguna glukokortikoid, walaupun kadar kalsium sentm tinggi. Hal ini diduga berhubungan dengan perubahan reseptor kalsium sel yang mengubah transport kalsium. Glukokortikoid meningkatkan

sensitifitas osteoblas terhadap PTH, meningkatkan penghambatan aktivitas fosfatase alkali oleh PTH dan menghambat sintesis kolagen. Efek 1,25(OH)2D juga dihambat oleh glukokortikoid, walaupun kadar 1,25(OH)rD meningkat didalam darah' Hal ini diduga akibat perubahan respons membran sel dan perubahan reseptor. Ekspresi osteokalsin oleh osteoklas

yang dirangsang oleh 1,25(OH)rD, juga dihambat oleh glukokortikoid.

(L- 1) dan IL-6 mempunyai efek peningkatan resprsi tulang dan menghambat formasi tulang. 1

Glukokortikoid akan menghambat produksi IL- 1 dan IL-6 oleh limfosit-T. Pada pasien Artritis Reumatoid, pemberian glukokortikoid akan menurunkan aktivitas peradangan sehingga penurunan massa tulang juga dihambat. Walaupun demikian, para ahli masih berbeda pendapat, apakah hal ini merupakan efek glukokortikoid pada tulang atau ada faktor-faktor lainnya.

Osteonekrosis Osteonekrosis (nekrosis aseptik, nekrosis avaskular), merupakan efek lain glukokortikoid pada tulang. Bagian tulang yang sering terserang adalah kaput femoris, kaput humeri dan distal femur. Mekanismenyabelum jelas, diduga akibat emboli lemak dan peningkatan tekanan intraoseus.

MIKROPATOANATOMI OSTEOPOROSIS DAN KEKUATAN TULANG

Sifat mekanikal tulang sangat tergantung pada sifat material tulang tersebut. Pada tulang kortikal, kekuatan tulang sangat tergantung pada densitas tulang dan porositasnya. Semakin bertambahnya umur, tulang semakin keras karena meneralisasi sekunder semakin baik, tetapi tulang semakin getas, tidak mudah menerima beban.

Pada tulang trabekular, kekuatan tulang juga tergantung pada densitas tulang dan prositasnya. Penurunan densitas fulang trabekular sekitar 25Yo, sesuai

dengan peningkatan umur 15-20 tahun dan penunrnan kekuatan tulang sekitar 4 4oh. Selain densitas tulang, sifat mekanikal tulang trabekular

juga ditentukan oleh mikroarsitekturnya, yaitu susunan trabekulasi pada tulang tersebut, termasuk jumlah, ketebalan, jarak dan interkoneksi antara satu trabekula dengan trabekula lainnya. Dengan bertambahnya umur, jumlah dan ketebalan trabekula akan menurun, jarak antara satu trabekula dengan trabekula lainnya bertambah jauh dan interkoneksijuga makrn buruk karena banyak trabekula

yang putus. Trabekulasi tulang pada tulang trabekular terdiri dari trabekula yang vertikal dan horizontal. Trabekula yang vertikal sangat penting, terutama pada tulang-tulang spinal untuk menahan gaya kompresif. Pada um)T rmnya

trabekula yang vertikal lebih tebal dan lebih kuat dibandingkan dengan trabekula yang horiontal. Trabekula

horizontal berfungsi untuk pengikat trabekula vertikal, sehingga membentuk arsitektur yang kuat yang menentukan kekuatan tulang. Kehilangan trabekula pada osteoporosis dapat terjadi akibat penipisan trabekula atau

putusnya trabekula sehingga trabekula tersebut tidak menyatu lagi dan kekukatan tulangpun akan menurun.

2400

REUMATOI.OGI

Trabekula yang menipis masih dapat pulih kembali dengan mengurangi resorpsi tulang, tetapi trabekula yang putus biasanya tidak akan pulih kembali. Dengan berlambahnya usia, maka jumlah trabekula yang putus akan makin banyak sementara formasi dan resorpsi terganggu sehingga

mendapatkan bahawa bertumbuknya tulang yang rusak dan tulang yang mati pada jaringan tulang akan menurunkan kekuatan tulang tersebut. Sehingga retakan mikro secara in vivo mungkin mempunyai peran yang tidak sedikit dalam peningkatan fragilitas tulang pasien usia

penyembuhan trabekula yang rusak akan terganggu. Selain itu dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan pada matriks tulang termasuk penurunan kualitas kolagen yang ditandai oleh penipisan kulit dan fragilitas pembuluh darah.

lanjut.

Jumlah trabekula teffiyata sangat penting dalam menentukan kekuatan tulang dibandingkan dengan ketebalan trabekula. Penelitian Silva dan Gibson mendapatkan bahwa penurunan jumlah trabekula sampai batas penurunan densitas massa tulang l0%o akan menurunkan kekuatan tulang sampai 70%, sedangkan

penunrnan ketebalan trabekula sampai batas penurunan densitas massa tulang l\oh, hanya akan menurunkan kekuatan tulang 25oh. Oleh sebab itu, mempertahankan jumlah trabekula sangat pentin g pada pasien usia lanjut.

Termasuk dalam hal ini adalah terapi terhadap osteoporosis, ditujukan untuk mempertahankan atau memperbaiki jumlah trabekula daripada mempeft ahankan ketebalan trabekula. Pada penelitian terhadap penggunaan risedronat pada pasien osteoporosis, dilakukan biopsi pada krista iliaka pasien yang mendapat risedronat dan kontrol yang tidak mendapat terapi, kemudian dilakukan pemeriksaan dengan

menggunakan high resolution 3-D micro-computed tomo graphy dan dianalisis mikrosarsitektur

jaringan tulang

tersebut. Ternyata setelah 1 tahun, kelompok yang mendapat risedronat menunjukkan tidak ada perubahan dalam mikroarsitekturnya diabndingkan dengan data dasar,

sebalinya dengan kelompok plasebo menunjjuikkan perrburukan mikroarsitektur yang signifikan. Selain itu,

pada kelompok plasebo juga didapatkan putusnya trabekula yang tidak didapatkan pada kelompok risedronat. Putusnya trabekula bersifat ireversibel dan sangat sulit

dibentuk kembali, sehingga mengakibatkan kekuatan tulang menurun. Penelitian yang dilakukan selama 3 tahun juga menunjukkan hasil yang serupa dengan penilitian yang sdilakukan selama I tahun. Oleh sebab itu pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa risedronat dapat mempertahankan kekuatan tulang dibandingkan dengan plasebo. Faktor lain yang juga turut berperan pada penurunan

kekuatan tulang adalah retakan mtkro (mocrodamage,

microcracks) yang jumlahnya makin banyak dengan bertambahnya usia. Diduga, retakan mikro ini berhubungan

dengan pembebanan yang repetitif yalg dapat dimulai pada tingkat kolagen termasuk putusnya agregat kolagen-

mineral maupun rusaknya serabut-serabut kolagen tersebut. Bertumpuknya retakan mikro ini dapat dilihat dengan mikroskop cahaya. Walaupun belum diketahui secara pasti hubungan retakan mikro dengan sifat biomekanik tulang secara invivo, banyak peneliti

REFERENSI Bukka

P,

McKee MD, Karaplis AC. Molecular Regulation of Osteoblas

Differentiation. In: Bronner F, Farach-Carson MC (eds). Bone Formation, 1st ed Springer-Verlag. London 2004: l-17. Baron R General Principles of Bone Biology In: Favus MJ, Christakos S (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed. American Society of Bone and Mineral Research, Washington 2003:l-8 Broadus AE. Mineral balance and homeostasis. In: : Favus MJ (ed) Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th edition. Lippincott-Raven Publ

1999:14-80.

X, Devogelaer J, Delloye C et al Irreversible Perforation in Vertebral Trabeculae? J Bone Miner Res 2003;18(7):1247-53. Banse X, Sims TJ, Bailey AJ. Mechanical Properties of Adult Vertebral Cancellous Bone: Correlation With Collagen Intermolecular Cross-Links, J Bone Miner Res 2002;17(9):1621-8. Borah B, Dufresne TE, Chmielewski PA. Risedronate Preseryes Trabecular Architecture and Increase Bone Strength in Vertebra Banse

of Ovariectomized Minipigs as Measured by Three-Dimensional

Microcomputed Tomography. J Bone Miner

Res

2002;17 (7):1139-47

Everts V, Delaisse JM, Korper W et al. The Bone Lining Cell: Its Role in Cleaning Howship's Lacunae and Initiating Bone Formation. J Bone Miner Res 2002;17(1):77-90. Eastell R, Barton I, Hannon RA et al Relationship of Early Changes in Bone Resorption to the Reduction in Feacture Risk With Risedronate J Bone Miner Res 2003;18(6):1051-6 Frost HM On the Estrogen-Bone Relationship and Postmenopausal Bone Loss: A New Mode1. J Bone Miner Res 1999;14(9):1473-7. Hurley MM, Lorenzo JA. Systemic and Local Regulation of Bone Remodeling. In: Bronner F, Farach-Carson MC (eds). Bone Formation, 1st ed. Springer-Verlag. London 2004: 44-70. Hollick MF Vitamin D: Photobiology, Metabolism, Mechanism of action, and clinical aplication. In : Far.us MJ (ed). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism.

4th edition. Lippincott-Raven Publ 1999:92-8. Harlap S. The benefits and risks of hormone replacement therapy: An Epidemiologic overview. Am J Obstet Gynecol 1988; t 66(6,pt2): 1 986-92. Lee CA, Einhom TA. The Bone Organ System: Form and Function In: Marcus R, Feldman D, Kelsey J (eds). Osteoporosis Vol 1, 2nd ed, Academic Press, San Diego, California 2001:3-20. Lian JB, Stein GS. Osteoblast biology. In: Marcus R, Feldman D, Kelsey J (eds). Osteoporosis. Vol 1, 2nd ed, Academic Press, San

Diego, California 2001 :21 -7 2. Lems WJ, Jacobs JWG, Bijlsma JWJ. Corticosteroid-induced osteoporosis. Rheumatology in Europe 1995;24(supp1 2):7 6-9. Mundy GR, Chen D, Oyajobi BO. Bone Remodeling. In: Faws MJ, Christakos S (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed American Society of Bone and Mineral Research, Washington 2003:46-57

240t

STRUKTUR DAN MEIABOLISME TULANG

Marcus R, Majumber S. The Nature of Osteoporosis. In: Marcus

R,

Feldman D, Kelsey J (eds). Osteoporosis. Vol 2, 2nd ed, Academic Press, San Diego, California 2001:3-18 Orwoll ES Towards on Expanded Understanding of the Role of The

in Skeletal Health. J Bone Miner Res 2003;18(6):949-54 Paschalis EP, Boskey AL, Kassem M, Eriksen EF. Effect of Hormone Replacement Therapy on Bone Quality in Eariy Postmenopausel Women. J Bone Miner Res 2003:18(6):955-9. Robey PG, Boskey AL. Extracellular matric and Biomineralization of Bone. In: Favus MJ, Christakos S (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed. American Society of Bone and Mineral Research, Washington 2003:38-45 Riggs B, Khosla S, Melton J. A Unitary model for involutional osteoporosis: Estrogen defrciency causes both type I and type II osteoporosis in postmenopausal women and contributes to bone loss in aging men. J Bone Miner Res 1998;13:763-73. Recker RR, Barger-Lux MJ Bone Remodeling Findings in Osteoporosis In: Marcus R, Feldman D, Kelsey J (eds). Osteoporosis. Vol 1,2nd ed, Academic Press, San Diego, California 2001:59-70. Rubin C, Turner AS, Muller R et al. Quantity and Quality of Periosteum

Trabecular Bone in the Femur Are Enhanced by Strongly Anabolic, Noninvasive Mechanical Intervention J Bone Miner Res 2002;17(2):349-51. Seeman E Bone Quality. Advances in Osteoporotic Fracture Management 2OO2;2(l):2-8 Seeman E Pathogenesis of bone fragility in women and men Lancet 2002;359:1841-50 Tate MLK, Tami AEG Bauer TW, Knothe U. Micropathoanatomy of Osteoporosis: Indications for a Cellular Basis of Bone Disease. Advances in Osteoporotic Fracture Management

2002;2(l):9-14 The European Prospective Osteoporosis Study (EPOS) Group. The Relationship Between Bone Density and Incident Vertebral

Fracture in Men and Women. J Bone Miner

Res

2002;17(12):2214-21 Van Der Linden JC, Homminga J, Verhaar JAN, Weinans H. Mechanical Consequence of Bone Loss in Cancellous Bone. J Bone Miner Res 2001;16(3):457-65. Wolf AD, Dixon ASJ. Osteoporosis: A Clinical guide. lst ed. Martin Dunitz, London 1998:1-56 Watts NB. Bone Quality: Getting Closer to a Definition. J Bone Miner Res 2002;1'7(7):1.148-50.

379 INFLAMASI Soenarto

Istilah inflamasi yang berasal dari kata in/lamation yatg artinya radang, peradangan. Sedang istilah inflamasi sendiri asalnya dari bahasa latin yaitu: InJlamation: InJlammare yang artinya membakar Inflamasi adalah respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera

komponen imunologik, dan ini difokuskan pada kaskade

inflamasi pada target khusus, apakah waktunya diperpendek atau diperpanjang, dan mengurangi atau meniadakan intensitasnya. Inflamasi secara normal adalah proses yang self-

atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan,

limiting, bila faktor-faktor yang mempengamhi dapat dilenyapkan, maka inflamasi dapat hilang. Keadaan

mengurangi atau mengurung suatu agen pencedera maupunjaringan yang cedera itu. Pada bentuk akut ditandai

oleh tanda klasik yaitu: nyeri (dolor), panas (kalor), kemerahan (rubor), bengkak (tumor), dan hilangnya fungsi

(tungsiolesa).

demikian merupakan rangkaian yang umum tampak pada peristiwa inflamasi akut. Inflamasi yang umum tampak pada peristiwa inflamasi akut. Inflamasi kronis tidak dapat dipungkiri karena faktor yang mula-mula ada tidak dapat

dilenyapkan, karena mereka melengkapi lagi atau

Secara histologis, menyangkut rangkaian kej adian yang rumit, yaitu mencakup dilatasi arteri, kapiler, dan venula, dan disertai peningkatan permeabilitas dari aliran darah, eksudasi cairan, termasuk protein plasma, dan migrasi leukosit ke dalam fokus peradangan. Jadi dengan kata lain, inflamasi atau radang merupakan proses sentral dalam patogenesis dan juga merupakan

mengekalkan diri, atau melalui kegagalan dari mekanisme diri yang gagal dalam proses inflamasi. Kemudian proses inflamasi akan berubah bentuk dari mekanisme protektif,

dan pada kebanyakan kasus menjadi kerusakan yang ireversibel dari jaringan normal.

suatu fungsi pertahanan tubuh terhadap masuknya organisme maupun gangguan lain. Peristiwa timbulnya inflamasi kini lebih dapat difahami dengan penemuanpenemuan berbagai macam zat y atg merup akan mediator dalam peran sertanya mengatur, mengaktifkan sel-sel, baik dari darah maupun jaringan dan kemudian dapat timbul gejala dari jaringan yang menderita. Gejala akut yang klasik seperti tertera di atas. Dikenal adanya inflamasi akut, subakut dan kronis; dan bila dilihat dari proses timbulnya, maka ada yang disebabkan karena infeksi dan yang non infeksi. Inflamasi, merupakan keadaan perubahan dinamik yang konstan, yaitu suatu reaksi dari jaringan hidup guna melawan berbagai macam rangsang. Peristiwa tersebut bercirikan adanya pancaran ke bawah (kaskade) dari selsel dan fenomena humoral.

RESPONS BAWAAN (ALAMI) DAN PENYESUAIAN (DTDAPAT)

Terdapat dua bagian fungsi perlahan tubuh, yaitu sistem

imun bawaan (tidak spesifik), dan penyesuaian (spesifik).Tabel 1. Masing-masing terdiri dari bermacam-macam sel dan faktor-faktor yang larut. Sel-sel dari respons bawaan adalah neutrofil fagositosis, dan makrofag, bersama-sama dengan basofil, sel-sel zzasf, eosinofil, trombosit, monosit dan selsel pembunuh alamilNatural Killer (NK) cellsl. Sel-sel yang termasuk dalam fungsi penyesuaian adalah antibodi, imunoglobulin IgG, IgM, IgA, IgE dan IgD, yang dihasilkan oleh limfosit B dan sel plasma, dan limfokin-

limfokin yang kebanyakan diproduksi oleh limfosit

Hampir semua kejadian inflamasi, termasuk yang dipengaruhi rangsang "non-antigenik", mempunyai

T.

Sedangkan faktor yang bawaan yang larut adalah lisosim, interferon, sitokin, komplemen protein fase akut.

2402

2403

INFI.AMASI

Respons bawaan merupakan garis pertahanan terhadap invasi ke jaringan oleh mikroorganisme dan berguna dalam

kegagalan mekanisme guna melaksanakan fugas tersebut,

pengenalan oleh antigen spesifik atau kemahiran dalam

digambarkan sebagai berikut;

hingga inflamasi berlanjut. Keadaan tersebut dapat

mengingat. Sedangkan sistem imun penyesuaian menggunakan ingatan untuk menjelaskan ke tingkat limfosit T dan B.

Sel-sel

Alami (tak spesifik)

Didapat (Penyesuaian Spesifik)

Netrofil Eosinofil Basofil

Sel B dan T

Trombosit

APC Sel - sel dendritik Sel - sel Langerhans

Makrofag

Faktor-faktor yang larut

Monosit Sel Mast Sel NK Lisozim sitokin INF

komplemen Protein fase akut

ANTIBODI ANTIBODI lgG & subklas, lg M

lgA, lgE, lgD Limfokin

Gambar 2.

INFLAMASI DAN FAGOSITOSIS Fagositosis dari mikroorganisme merupakan peltahanan alami tubuh yang utama guna membatasi pertumbuhan

INFLAMASI AKUT DAN KRONIS

dan penyebaran dari bahan-bahan patogen. Sel-sel pemangsa dengan cepat menyerbu ke tempat infeksi yang

Jika kaskade inflamasi teraktifkan maka sistem bawaan dan penyesuaian berinteraksi guna mengatur perkembangan

bersamaan dengan permulaan dari inflamasi. Dengan memangsa mikroorganisme baik yang dilakukan oleh

selanjutnya.

makrofag jaringan dan fagosit-fagosit yang sering

Bila faktor-faktor pemrakarsa telah menyingkirkan kasus-kasus inflamasi akut, dan jika respons bawaan gagal

menyingkirkan faktor-faktor tersebut, baru respons penyesuaian diaktifkan. Hal ini akan menghasilkan pengeluaran dari pencetus inflamasi, dan kaskade

berpindah memungkinkan guna membatasi kemampuan mikroba untuk menimbulkan penyakit. Famili dari molekulmolekul yang berkaitan, dinamakan " collectins ", " Soluble

defense collagens", atau "pattern-recognition molecules ", dijumpai dalam darah ("mannose-binding

memprakarsai kaskade tersebut masih ada, atau bila

lectins"), dalam paru ("surfaktan protein A dan D"), dan demikian pula di lain-lain jaringan dan juga yang terikat

kemampuan memadamkan tidak ada, maka akan terjadi

pada karbohidrat

dihilangkan. Inflamasi kronis terjadi bila faktor-faktor yang

di

permukaan mikroba guna

meningkatkan pembersihan oleh fagosit. Bakteri yang patogen tampaknya dimangsa terutama oleh neutrofil polimorfonuklear (PMN), sedangkan eosinofil sering dijumpai di tempat infeksi oleh protozoa atau parasit multiselular. Patogen yang mampu bertahan, akan dapat menghindari pembersihan oleh fagosit yang profesional, dan mampu membuat di permukaannya suatu molekul

dengan berat molekul yang besar sebagai antigen polisakarid dipermukaannya. Kebanyakan bakteri yang patogen dapat membuat kapsul antifagositik.

Selain aktivasi dari fagosit-fagosit lokal di jaringan yangmerupakankunci tahap awal dari inflamasi danmigrasi

KeGtinocytes

Gambar

1.

dari fagosit-fagosit menuju tempat infeksi, namun kini banyak perhatian yang diarahkan pada faktor mikroba yang mengawali inflamasi. Dalam kaitan ini telah pula diteliti tentang strukfur, mekanisme molekuler dan patogenesis mikroba. Dari studi yang telah dilakukan menyangkut interaksi Lipopolisakarid (LPS) dari bakteri gram negatif

2404

dan g ly c o sy Ip h o sp h at i dy I in o s i t o I (GPI) yan g menonj ol di membran protein CD14 yang terdapat di permukaan fagosit-fagosit profesional, termasuk makrofag yang beredar dan yang terikat di jaringan dan PMN.

Bentuk cair CD14 terdapat pula dalam plasma dan permukaan. Suatu protein plasma, "LPS binding protein" (LBP), mengirimkan LPS ke ikatan membranCDl4yang cair. Bentuk c airanCDl4l LPS/ LBP kompleks terikat pada banyak tipe sel dan dapat berada di dalam sel untuk mengawali respons selular terhadap mikroba yang patogen. Telah diketahui bahwa peptidoglikan dan asam

Lipoteichoic dari bakteri gram positif dan produk sel permukaan dari mikobacteria dan spiroseta dapat berinteraksi dengan CD14. Tonjolan reseptor GPI tidak mempunyai daerah sandi di dalam sel, dan "Toll-like receptors " (TLRs) dan mamalia yang melangsungkan sandi

guna mengaktifkan sel-sel akibat ikatan LPS. TLRs mengawali aktivitas selular lewat rangkaian molekul pembawa sandi, yang berperan pada translokasi inti dari

faktor transkripsi NF-kB, suatu tombol induk guna menghasikan sitokin-sitokin infl amasi yang penting seperti Tumor necrosis Factor u (TNFcr) dan interleukin (IL) I . Permulaan dari inflamasi dapat timbul tidak hanya

dengan LPS dan peptidoglikan tapi juga oleh partikel virus dan lain-lain hasil mikroba seperti polisakarida, enzim-enzim, dan toksin. Bakteri flagela mengaktifkan inflamasi dengan mengikatkan pada TLRs. Bakteri juga menghasilkan proporsi yang tinggi dari molekul DNA dengan residu GpG yang tak mengalami metilasi, yang mengaktifkan inflamasi melalui TLR9. TLR3 pengenal double stranded RNA, suatu bentuk pengenal molekul

yang dihasilkan oleh banyak virus selama siklus pembelahan. TLR1 dan TLR6 bersekutu dengan TLR2 guna

meningkatkan pengenalan dari protein-protein mikroba yang mengalami asetilasi dan peptida-peptida. Molekul mieloid diferensiasi faktor 88 (MyDS8) adalah protein adaptor yang umum, yang terikat pada daerah sitoplasma dari semua TLRs yang dikenal dan juga pada

reseptor-reseptor yang merupakan bagian dari IL-1 (IL-l Rc) famili. Sejumlah studi menunjukkan bahwa "MyD88-mediated transduction" dari sandi dari TLRs dan IL-1Rc adalah keadaan yang kritis untuk resistensi bawaan terhadap infeksi.

REUMAIOI.OGI

yang telah siap dibentuk sebelum ada rangsang atau pacu.

Kemudian dapat dikeluarkan dan berfungsi dalam pertahanan tubuh guna mengatasi inflamasi, dengan zat atau bahan yang berfungsi sebagai mediator.

Sel-sel pemangsa (fagosit) merupakan pertahanan dalam lini pertama guna membinasakan zat-zat patogen, dan yang berfungsi dalam hal ini termasuk makrofag dan neutrofil. Sel-sel yang ada dalam tubuh dilengkapi dengan reseptor-reseptor yang ada di permukaan sel. Di samping itu dari sel-sel dilengkapipt:Jazatyang dapat dikeluarkan dengan fungsi untuk pengaktifan atau pemicu terhadap sel lain agar menjadi aktif. Zat-zat tersebut merupakan mediator. Suatu contoh dari mediator sel mast manusia adalah; Yang telah dibentuk sebelumnya dan mudah dikeluarkan yaitu: Histamin, faktor kerqotaktik eosinofil, super oksida, alkil sulfatase A, elastase,b-heksosamidase, b-glukosamidase, b-galaktosid, enzim sebangsa kalikrein.

Yang dibentuk sebelumnya dan berkaitan dengan butirbutir yang ada yaitu: HeparinKondroitin sulfat E, Triptase (I, B/II, IIII, dan a.), Cymase,Karboksipeptidase, Katepsin Q Superoksidase dismutase, Katalase Yang baru terbentuk yaitu:Leukotrienes (LTC4 LID4, LTEJ, Platelel Activating factor (PAF), Prostaglandin (PGDr)

Sitokin-sitokin yang diturunkan/dihasilkan oleh sel mas t : Interleukin (IL) - la, -3, -4, -5, -6, -8, -13, -16, GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor), TNF-cr (Tumor Necroting Factor-a), NF-y flnterferon y) termasuk "liz munomodulating" bersama IL- 1 0, IL- I 3

Kemokin-kemokin yang diturunkan/dihasilkan oleh sel Masl: RANTES (Regulated upon Activation Normal kell Expressed and T-cell Secreted), MCP-1 (MonocyteChemo attractant Pro t ein), MIP -b(Macrophage Inhib itory P r o t e in), MIP

-

1

a, lL - 1 6

Faktor penumbuh yang diturunkan oleh

sel

zasl: VEGF,

FGF,NGF,FGF-p, SCF

KEGIATAN PRODUK DARISEL MAST FUNGSI BERBAGAI SEL

Seperti yang telah diungkap dalam proses inflamasi berbagai fungsi mediator pilihan yang memacu kegiatan yaitu: Histamin, Heparin, Triptase, Kimase, Prostaglandin,

Fungsi dan ke giatan Makrofag, sel m as t, neutrofi l, limfosit dat.Antigen-Precenting cells dalam proses inflamasi yaitu menangkap, menghalau, memangsa, membersihkan dan usaha menyingkirkan dari tempat di mana antigen tersebut

macam-macam Leukotrien (LTC,, LTD,, LTE,, Platelet Activating Factor (PAF), Ennimr".rnu.uil kalifiein, dan

ada dalam jaringan tubuh. Usaha tersebut dapat

Histamin, kegiatannya menampilkan tiga respons dari

dilaksanakan karena sel-sel yang berfungsi melawan antigen atau patogen telah memlllkizat-zatyang ada dalam sel

Lewis yaitu: Vasodilatasi, kontraksi sel-sel endotel, dan

berbagai sitokin. Berbagai fungsi akan dibahas.

meni ngkatkan permeab ilitas.

2405

INFI.AMAISI

-

Aksi yang lain meliputi Refleks akson (H,), Pruritus (Hr),

aktivasi kondrosit (Hr), Regulasi dari mikrosirkulasi sinovial, induksi dari P-selektin pada sel-sel endotel, dan pengeluaran Interleukin- I 1

Heparin, Zat

iil

(IL - I 1)

mempunyai efek: antikoagulasi;

antikomplemen (C1q: Co, C2, C, aktivasi, C3b

&

b

convertase); memacu angiogenesis; meningkatkan aktivitas

elastase; memodulasi hormon paratiroid kalsitonin guna mempengaruhi osteoporosis; memacu sintesis kolagenase; menghambat kolagenase yang diaktifkan; potensiasi ikatan fibronektin pada kolagen; proliferasi fibroblas, dan

potensiasi dai Fibroblast Growth Factor (FGF)

Triptase. Zatiri merupakan pecahan dari substrat tripsin, dan berperan dalam inaktivasi fibrinogen dan kininogen dengan berat molekul tinggi, aktivasi dari urinary-tipe plasminogen activator, aktivasi dai "Latent Synovial

Collagenasse" lewat konversi dari prostromelisin, degradasi dari Vasoactive Intestinal Peptide (VIP), bronkokonstriksi, memacu kemotaksis dari fibroblas, proliferasi sintesis kolagen, menginduksi proliferasi sel epitel, memacu pengeluaran IL-S, peningkatan ICAM-I, meningkatkan kemajuan migrasi dari sel endotel, dan pembentukan saluran vaskular.

Kimase, Zat ini bekerja memecah substrat kemotripsin, pengubahan dari angiotensin I ke II, memecah substansi membran basalis (Lasminin, kolagen tipe II, fibronektin, dan

elastin), pemecahan dari pertemuan dermal-epidermal, mengadakan degradasi dari neuropeptide VIP dan substansiP, memperbanyak pengaruh histamin dalam pengembangan

pengeluaran histamin. "Nuclear factor of Activated T-cells" (\IFAT:1), dan keluarga protein tersebut dalam mengatur peningkatan " transcriptional cytokine " dalam menanggapi terhadap "IgE cross-Linking" atau SCF.

Stimulasi sel Mast pada organ explant atau in vivo, mengakibatkan aktivasi sel endotelmikrovaskular, yang mengalami refleksi dengan adanya peningkatan E-selektin dan ICAM-1. Peningkatan aktivasi sel endotel dapat ditekan dengan cara menambahkan sebelumnya antibodi yang menetralisir terhadap TNF-ct.

Seperti tertera di atas, sel mast juga mensintesis, menyimpan dan mengeluarkan VEGF dan pFGF, hal ini menambah pandangan bagaimana sel ini m empunyai kontribusi dalam "Remodelling" jaritgan ikat. Di samping itu mempunyai implikasi pada penyakitpenyakit yang sering berhubungan dengan neovaskularisasi. Sel mast, mampu menampilkan MHC II antigen pada permukaan selnya dan juga molekul tambahan seperti ICAM-1. Molekul permukaan ini

memungkinkan interaksi yang produktif attata Limfosit dengan

sel mast. Jadi dengan menghasilkan macam-macam sitokin, akan mempunyai fungsi bermacam-macam terhadap -respons

biologis yang berkaitan dengan pertumbuhan, perbaikan dan inflamasi, serta mempunyai dampak pada macammacam penyakit dari manusia.

Berbagai penggerak sel mast dapat dikelompokkan dalam dua bagian yaitu: respons imun alami/bawaan, dan respons imun didapat/penyesuaian. Respons imun alami terdiri dari:

jentera, mengubah endotelin-1 yang besar menjadi "

.

vasoactive endothelin- 1 ", membebaskan aktivasi "Latet TGF-p" dari progelatinase b, meningkatkan sekresi dari kelenj ar mukosa, memecah " m embr ane- as s o ciat ed S C F "

.

Jalur yang tergantungpada IgE yaitu: alergen-alergen multivalen, IgE Complexes, IgE Rheumatoid Factor, Anti Fcu R, antibodies,IgE-dependent HRF. Jalur yang bebas dari IgE yaitu:

-

Prostaglandin Prostaglandin @GDr). Zat zat ini berfungsi sebagai : bronkonkonstriktor, kemoatraktan, penghambat agregasi trombosit, vasodilatasi, pontensiator dari LTC,

MCP-3, Regulated upon T-cell Activation Normal T-cell Expressed and Secreted (RANTES), Macrophage Inhibitory Protein

pada vasa darah. Berbagai zat ini Berbagai Leukotrien (LITC .,ffi n). ^,ffi "Slow-Reacting Substance of anaphyberfungsi sebagai:

-

laxis", pemacu kontraksi otot polos, vasodilator, pengaktifan sel endotel PAF (Plalelet Activating Factor), Zal ini berfungsi untuk mengaktifkan: neutrofi l, trombosit, kontraksi otot polos, permiabilitas vaskular, kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofi l, guna mengin dttksi immune compl ex-mediated vasculitis.

Enzim sebangsa kalikrein, merupakan keturunan bradikinin

Sitokin mempunyai efek imunologik dan efek pada jaringan ikat. Pada keadaan tertentu sekresi sitokin tergantung pada

Macam-macam kemokin seperti Monocyte Chemoatractant Protein (MCP), MCP-I, MCP-2,

(N{IP-Icr,MIP-1B) Endotelin-l Complement-derived peptides" Cra, Coa, Cra Macam-macamProtease: "tripsin", "kemotripsin" Stem cell Factor (SCF)

Kinin Paratormon

Produk-produk degradasi kolagen Eosinophil-derived major basic protein Substansi P

Respons imun penyesuaian/didapat, terdiri dai zat-zat y ar,g dibentuk guna melawan:

.

Produk bakteri seperti lipopolisakarida, Fimbriae,

.

Hemolisinis, Toksin. Parasit-parasit seperti Schistosoma mansoni

2406

. .

Virus-virus seperti influenza-A TNF-cx,IL-12

Lebih lanjut tentang keluarga sitokin dan keluarga reseptor sitokin dapat disimak pada tabel.

SITOKIN.SITOKIN DAN RESEPTOR.RESEPTOR SITOKIN IL-1cx, p, memiliki reseptor tipe 1 IL-IR dan tipe 2 IL-IR. Sitokin IL- 1 a,b dihasilkan oleh: monosit/makrofag, sel-sel B, fibroblas, sebagian besar sel-sel epitel termasuk epitel timus dan sel-sel endotil. Target sel yang dipengaruhi ialah

semua sel. Dan aktivitas biologiknya meningkatkan pengaturan penampilan molekul adhesi. IL-2, memiliki reseptor IL-2Ro,,B, dan yyang umum.

Sitokin ini dihasilkan oleh sel-sel T. Target dari zat ini adalah sel-sel T, sel-sel B, dan sel-sel NK, monosit/ makrofag. Dan aktivitas biologiknya ialah aktivasi sel T dan proliferasi, pertumbuhan sel B, proliferasi sel

NK ilan aktivasi, peningkatan aktivitas monosit/makrofag. IL-3, memiliki reseptor IL-3R, dan B yang umum. Dihasilkan oleh sel-sel ! sel-sel NK, dan sel-sel zasl. S asaran targetnya ialah : mono sit/makrofag, s el-sel m a s t, eosinofil, sel-sel pendahulu sumsum tulang. Dan aktivitas

biologiknya yaitu memacu sel-sel pendahulu hematopoietik.

IL-4, memiliki reseptor IL-4 R o, dan F yut g umum. Sitokin ini dihasikan oleh: sel-sel T, sel-sel rnasl dan basohl. Sasaran target selnya adalah: sel-sel I sel-sel B, sel-sel NK, monosit/makrofag, neutrofi l, eosinofi 1, sel-sel endotel dan fibroblas. Sitokin ini berfungsi memacu " Tr2 helper T-cell dffirentation " dan proliferasi, memacu sel B klas Ig yang berubah ke IgG I dan IgE; bekerja anti-inflamasi terhadap sel-sel T dan monosit. IL-5, memiliki reseptor IL-5Ru, dan B yang umum. Dihasilkan oleh sel-sel ! sel-sel masl dan eosinofil. Target selnya adalah eosinofil, basofil, dan murin sel-sel B. Sitokin ini mengatur migrasi eosinofil dan mengaktifkan. IL-6, memiliki reseptor IL-6R, gp 130. Dihasilkan oleh:

monosit/makrofag, sel-sel B, fibroblas kebanyakan epitelium termasuk epitel timus, dan sel-sel endotel. Tar! sel-sel B, sel-sel epitel, sel-sel hati, monosit/makrofag. Aktivitasnya ialah menginduksi untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel T dan sel B, get selnya adalah: sel-sel

pertumbuhan sel myeloma, dan perhrmbuhan serta aktivasi osteoklas. IL-7, memiliki reseptor IL-7 cx, dan yyang umum. Sitokin ini dihasilkan dari sumsum tulang, sel-sel epitel timus. Sasaran target selnya adalah:sel-sel ! sel-sel B, sel-sel sumsum tulang. Aktivitasnya untuk diferensiasi sel-sel pendahulu B, T danNK serta mengaktifkan sel-sel T danNK. IL-S, reseptomya ialah CXCR 1, CXCR2. Sebagai sumber penghasil adalah monosit/makrofag, sel-sel T, neutrofil, fibroblas, sel-sel endotel dan sel-sel epitel. Sebagaitarget

REI.JMAIOI.OGI

selnya adalah: neutrofil, sel-sel sel endotel dan basofil.

!

monosit/makrofag, sel-

Aktivitas biologiknya yaitu menyebabkan migrasi neutrofil, monosit, dan sel ! menyebabkan neutrofil melekat pada sel-sel endotel dan mengeluarkan histamin dari basofil; memacu angiogenesis; menekan proliferasi dari sel-sel pendahulu hati. IL-10, memiliki reseptor IL-10R. Sebagai penghasil adalah: monosit/makrofag, sel-sel T dan B, keratinosit dan sel-sel mast.Target sel sasarannya adalah: monosit/ makrofag, sel-sel T dan B, sel-sel NK dat sel-sel mast. Aktivitas biologiknya ialah: menghambat produksi sitokin proinflamasi dari makrofag; mengurangi pemakaian sitokin klas II antigen, dan mengurangi peningkatan B7-1 dan B7-2, menghambat diferensiasi "Tr1 helper T-cells"; menghambat fungsi sel NK; memacu proliferasi dan fungsi selmast dan aktivasi sel B dan diferensiasi. IL-l 1, dengan reseptor IL- 1 1R, gp 1 30. Berasal dari sel-

sel stroma sumsum tulang. Target selnya adalah megakariosit, sel-sel B dan sel-sel hati. Aktivitas biologiknya ialah mempengaruhi pembentukan koloni, megakariosit dan pendewasaan; meningkatkan respons antibodi, memacu produksi protein fase akut. IL-12, terdapat dua sub unit yaitu dengan berat 35-k Da dan 40-k Da. Reseptornya ialah IL- 12R. Dihasilkan dari

makrofag; sel-sel dendrit dan neutrofil yang diaktifkan. Sebagai target selnya adalah sel-sel T dan NK. Sedang aktivitas biologiknya mempengamhi pembentukan Tr1

helper T-cell darr pembentukan "lyphokine-activated killer cell";meningkatkan aktivitas CD, + 911. IL-13, reseptomya adalah IL-13/IL-4R. Dihasilkan oleh sel-sel T (THr). Sasaran targetnya ialah: monosit/makrofag,

sel-sel B, sel-sel endotel dan keratinosit. Aktivitas biologiknya ialah: meningkatkan regulasi VCAM-1 dan ekspresi kemokin C-C pada sel-sel endotel; meningkatkan pengaturan aktivasi dan diferensiasi sel B; menghambat produksi sitokin proinflamasi dari makrofag. IL- I 7, reseptomya ialah IL- I 7R. Dihasilkan oleh CD, + sel-sel T. Target selnya adalah: fibroblas, endotel dan epitel. Aktivitas biologiknya ialah meningkatkan sekresi sitokin yang memperkembangkan respons Trl yang predominan. IL- 1 8, dengan reseptor IL 1 8 (IL- 1R- Related Protein). Dihasilkan oleh keratinosit dan makrofag. Sebagai target selnya adalah sel-sel ! B, dan NK. Aktivitas biologiknya

adalah meningkatkan pengaturan produksi IFN-g,

meningkatkan sitotoksisitas sel NK. IFN-y, dengan reseptor tipe-l interferon. Dihasilkan oleh semua sel. Sebagai sel targetnya adalah semua sel.

Dan aktivitas biologiknya yaitu: aktivitas antivirus; memacu sel

!

makrofag dan aktivitas pengaturan ekspresi

MHC klas I; digunakan untuk terapi terhadap virus

dan

kondisi autoimun.

IFN-P, dengan reseptor tipe-l interferon. Dihasilkan oleh semua sel. Sel targetnya adalah semua sel. Aktivitas biologiknya sama dengan IFN-a.

2407

INFI.AMAISI

IFN-y, dengan reseptor tipe II. Dihasilkan oleh sel-sel

T dan NK. Sel targetnya adalah semua sel. Aktivitas biologiknya adalah: mengatur aktivasi marofag dan sel NK; memacu sekresi imunoglobulin oleh sel-sel B;menginduksi antigen " hi s t o c o mp at ib il ity " klas II; mengatur diferensiasi

"Trl

Keluarga Reseptor

Anggota

Gambaran Umum

IL-1 R

rL-rR1

, tL-rR ll, lLlRAcP, lL-18Ro, lL-

ekstraselu lar

18R8, Tt/STr,

cell".

eosinofil, sel-sel NK, sel-sel B, sel-sel

!

Keratinosit,

Toll-Like R

TLRl -10

Daerah kaya leucine extrasel

TNFR

TNFR1, TNFR II, FAS cD 27, CD30, LTBR,

Daerah kaya sistein ekstraselular

fibroblas, sel-sel epitel timus. Sel targetnya ialah: semua sel kecuali sel darah merah. Aktivitas biologiknya ialah:

NGFR, RANK,BAFFR, BCMA, TAC 1, TRAIL R

Hematopoietin R

Anggota Keluarga

Anggota

TNF

TNF-q, LT-o, LT-B, CD4oL, FasL, BAFF, TRAIL,RANKL, NGF, CD27-L, CD3OL, OX-401,4.1 BBI, APRIL

-

r

lL-

lRrp2

TNF-o, dengan reseptomya TNF-RI, TNF-RIL Sumber penghasilnya ialah: monosit/makrofag, sel-sel nasf, basofil,

ll

Daerah seperti lg

C{erminal W-S-XW-S motifs

tL-gR, lL-13R, lL-15R,

lL-1o, lL-1B, lL-lRa, sampai lL-1F10

lL-l8, lL-lF5

tL-6

IL-6, LIF, OSM, IL-11, CNTF, CT1, CLC

lkatan sitokin sitokin adalah ikatan y yang seflng

tL-2,tL-4, t1-7, lL-9, lL-15, lL-21

tL-10

tL-10, tL-'19, lL-20, lL-22, lL-24,

tL-12

tL-12, tL-23, lL-27

lL-17 Sitokin sitokin Hematopoietik

lL-17A, sampai lL-17F , lL-25 SCF, IL-3, TPO, EPO, GM-CSF, G-CSF, M-CSF

tL-26, tL-28,

l,2,3

tL-2R, tL-3R, lL-4R, tL-sR, tL-6R, lL-7R, G-CSFR, GM-CSFR, EPOR, TPOR

IFNR

IFR-o/p R, IFN-Y

Chemokine R

cxcRl-4,

R, tL-1 0R,tL-1 9R, lL-20R,

"Clustered four Cysteine"

tL-22R,lL-24R

ccRl-8

CR, C3XCR

"Seven transmembrane spannrng domains"

TGF-P R

TGF-B R1 , TGF-g RII, BMPR, Activin R

Serinethreonine

Growth Factor R

EGFR,PDGFR,

Tyrosine kinase

kinase

FGFR, M-CSFR (Cfms), SCFR (C-kit)

ll-29

lnterferon (lFN)

IFN-o SUBFAMILY, IFN-P, IFN-Y

B AFF, B c e I I - Ac t iv a t in g fac t or; B CMA, B c el I Matur at i o n Ant igen;BMP, Bone Morphologic Protein;EGF, Epidermal Growth Factor; FGF, Fibroblast Growth Factor; G-CSF, Granulocyte Colony Stimulating Factor; GM-CSF, Granulocyte- Macrophage

CXC Kemokines

CXCLI sampai CXCL16

C o I o ny

CC Kemokines

CCLl sampai CCL 28

C Kemokines

XCL1, XCL2

Accessoty Protein; IL-lRrp2, IL-1R Related Protein; M-CSF, Monocyle Colony Stimulating Faclor;NGF, Ner-ve Growth Factor;

-

Stimulating F act or ; IL, Interl eukin; IL- 7RacP, Int erleukin-

RANK, Receptor Acti-

CX3C Kemokines

CXC3CLI

PDGF, Plalelet Derive Growth Factor;

TGF-B Superfamily

TGF-8, BMP family, aciivin, inhibin, MlS, noctal, leftys

Faktor-faktor pen u mbuh

PDGF. EGF, PGF, IGF, VEGF

\ator of Nuclear Factor K B; SCF, Stem Cell Faclor; TACI, Transmembrane Activalor and Calcium modulator and

APRIL, A Proliferation-Inducing Ligand; BAFF, B -cell Activaling F actor; BMP, B one Morpho genitic Protein; CLC, Cardiotrophin-

Like Cytokine; CNTF, Ciliary Neutrophic Factor; CT, Cardiotrophin; EGF, Epidermal Growth F actor; EN A, Epithelial Neutrophil Activating peptide; EPO, Erythropoietin; FGF, Fibroblast Growth Factor; G-CSR Granulocyte Colony Stimulating Factor; GM-CSF, Granulocyte-Macrophage ColonyStimul ating F act or;IFN, Interferon; lGF, Insu lin-Like Growth factor; IL, Interleukin; IL-1Ra, Interleukin-1 Receptor Antagonist; L, Ligand; LlF, Leukemia Inhitory Factor; UT, Lymphotoxin; M-CSF, Monocyte Colony Stimulating Factori MlS, Mttllerian Inhibiting Substance;NGF, Nertte Growth Factor; OSM, Oncostaliz-M; PDGF, Platelet Derive Growth Factor; RANK, Receptor Activator of Nuclear Factor kB; SCF, Stem Cell Factor; TGF, Transforming Growth Factor; TNF, Tumor Necrosis Factor; TPO, Trombopoietin; TRAIL, TNF-Related Inducing Ligand; YEGF, Vascular Endothelial Growth Factor

Cyclophilin Ligand Interaclor; TGF, Transforming Growth Factor;

TLF., Toll-Like Receplor; TNF, Tumor Necrosis Factor; TPO, Trombopo ietin; TRAIL, TNF - Rel ated I nducing Ligand

demam, anoreksia, syok, sindrom kebocoran kapiler, meningkatkan sitotoksisitas leukosit, meningkatkan fungsi

sel NK, sintesis protein fase akut, induksi sitokin proinflamasi. G-CSF, dengan reseptomya G-CSFR, dan gp 130. Selsel penghasilny a adalah:

monosit/makrofag, fibroblas, sel-

sel endotel, sel-sel epitel timus, sel-sel stroma. Sel targetnya

adalah: sel-sel mieloid dan sel-sel endotel. Sedangkan

aktivitas biologiknya ialah mengatur mielopoiesis; meningkatkan survival dan fungsi neutrofil; digunakan di klinik guna mengatasi neutropeni setelah kemoterapi dengan obat sitotoksik. GM-CSF, dengan reseptomya GM-CSFR; dan 0 yurg umum. Dihasilkan oleh: sel-sel T, monosit/makrofag,

2408

REI,JMATOI.TOGI

fibroblas dan sel-sel endotel. Tentang aktivitas biologisnya

yaitu: mengatur mielopoiesis; meningkatkan aktivitas bakterisidal dan tumorisidal dari makrofag; grediator dari maturasi dan fungsi sel dendrit.

M-CSF, dengan reseptor M-CSFR (C-fims protoonkogen). Dihasilkan oleh: fibroblas, sel-sel endotel,

monosit/makrofag, sel-sel T, sel-sel B, sel-sel epitel termasuk epitel timus. Sel targetnya adalah monosit/ makrofag. Aktivitas biologiknya mengatur produksi dan fungsi mono sit/makrofag. Fraktalkin, dengan reseptornya CX3 CRI. Dihasilkan oleh sel-sel endotel yang diaktifkan. Sel targetnya adalah:

Gambar 3.

sel-sel NK, sel-sel T, monosit/makrofag. Aktivitas biologiknya adalah: "Cell surface chemokine/mucin hybrid molecule" yang berfungsi sebagai kemoatraktan, aktivator leukosit, dan cell adhesion molecule. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa mediatormediator bioaktif pada sel mast hewan coba (tikus) yang

lnteraksi

Molekul adhesi Endotil

Molekul adhesi Lekosit

Menggelinding

E-selectin P-se/ectln

ESL.1 " PSGL-1

HA

co44

Tak diketahui VCAM.1

VLA-4

diaktifkan akan menghasilkan:

1. Mediator-mediator lipid yaitu : Leukotrien 84, Leukotrien C4, Plateled-Activating Factor, dan prostaglandin D2

2.

Mediator-mediator yang dibentuk sebelumnya dari sekresi granula yaitu: histamin, proteoglikans, Triptase dan Kimase, Karbopeptidase A.

3.

Melekat menyatu

Emigrasi

tcAM-1 ICAM.2 VCAM-1

VLA-4

HA

cD44

ICAM-1

LFA-1, Mac-1

Sitokin sitokin yaitu : IL-3, lL-4, IL- 5, lL-6, GM-CSF, IL-l 3, IL- l, INF-B, TNF-cr

ICAM-2 VCAM-1

Dari ketiga kelompok mediator tersebut akan

JAM

menimbulkan respons pada Leukosit, fibroblas, substrat dan mikrovaskular. Dari respons leukosit, dapat mengadakan perlekatan, kemotaksis, produksi Ig E, proliferasi sel mast, aktivitas Eosinofil. Dari respons Fibroblas, dapat mengadakan proliferasi, vakuolisasi, produksi Globopentaosylceramide, produksi

Neutrofil dan proses

PECAIV-1

C3a

8i."h,"---r-+

kolagen.

Dari respons substrat dapat mengadakan aktivasi

L-se/ectrn

LFA-1, MaC-1 LFA-1

LFA.1

VLA-4 PECAM-1, Lain-lain? Pengikat (Ligand) multipel

ah) ]l\

\

ma)

Dolor I (Nyerl) r)

C).HOoH a

!"u

Calor (Hansat)

matriks metaloprotease, aktivasi dari kaskade koagulasi. Sedang dari respons mikrovaskular, dapat timbul

IH-o( ri;enu,br +

/^l

e/ \(\

Memangsa --1 Memanssa bakt€n ale! ala!

permeabilitas venuler terganggu, perlekatan leukosit,

I I

konstriksi dan dilatasi.

I

Berikut ini akan disajikan bagaimata rangsang

I I

inflamasi memicu kegiatan leukosit, serta tabel interaksi molekul adhesi dari leukosit/sel endotel. Dan berikutnya adalah gambar neutrofil dan proses inflamasi.

I I

I

J sered Sl& Sek€sl stohr

trr,rnr-o

I lrrr,rnr

IL.8,TNF]&. I

mak6fag Limfo6it

KOMPONEN UTAMA DARI SISTEM IMUN BAWAAN DALAM MEMICU IMUNITAS ADAPTIF Gambar 4. Sel-sel sistem imun bawaan dengan peran utamanya dalam memicu imunitas adaptif tergantung pada tipe sel-sel yang

berperan. Berikut ini akan dipaparkan macam-macam sel yang terlibat.

Sel-sel makrofag, peran utamany a dalamimunitas bawaan ialah; mengadakan fagositose dan membunuh bakteri, di samping itu menghasilkan peptide anti mikrobial; mengikat

2409

INFI.AMASI

lipopolisakarida (LPS); dan menghasilkan sitokin sitokin inflamator.

Peran dalam imunitas adaptif yaitu menghasilkan (IL)I tumor necrosis factor (TNF)u guna meningkatkan molekul-molekul adhesi limfosit dan kemokin

interleukin

untuk menalik " antigen-spesific" limfosit-limfosit; menghasilkan IL-12 guna menarik Trl helper T-cell Responses; meningkatkan pengaturan ikut memacu bersama molekul-molekul MHC guna memfasilitasi limfosit

T dan B guna mengenali dan aktivasi ; sel-sel makrofag

dan dendrit, setelah adarya isyarat dari LPS, dan meningkatkan pengaturan pacuan bersama molekulmolekul BT-1 (CD80) danB7-2 (CD86) yang diperlukan

guna menggiatkan dari sel-sel T antigen-specific antipathogen, dar. selanjutnya juga protein-protein Toll-like pada sel-sel B dan sel-sel dendrit yang setelah terikat LPS menyebabkan CD80 dan CD86 pada sel-sel tersebut menyampaikan kepada sel T antigen presenting. Sel-sel dendritikplasmasitoid @Cs) dari garis keturunan

Limfoid, peran utamanya ialah: menghasilkan sejumlah besar interferon (INF)a yang mempunyai aktivitas anti fumor dan anti virus, dan didapatkan dalamzona sel T dari organ-organ Limfoid; Sel-sel tersebut beredar dalam darah.

IFN-a merupakan aktivator yang poten pada makrofag dan DSs yang dewasa guna memangsa patogen-patogen yang masuk dan menyampaikan antigen-antigen patogen kepada sel T dan sel B.

Terdapat dua tipe sel-sel dendritik mieloid, yaitu: yang diturunkan dari sel intersisial dan Langerhans. DCs intersisial adalah penghasil kuatlL-2 dan IL-10 dan terletak dizone-zote sel T dari organ-organ Limfoid; dan sel-sel tersebut ada dalam darah, dan ada dalam sela-sela dari paru, jantung, dan ginjal; DCs Langerhans adalah penghasil kuatdarilL-l2; dan letaknya di zone-zone sel T dari Limfonodi, epitel kulit, dan medula timus; dan beredar

molekul CDI dan kemudian membinasakan sel-sel /zost yang terinfeksi dengan bakteria intraselular tersebut. Peran utama dalam imunitas adaptif, sel-sel NK-T menghasikan IL-4 guna merekrut "TH, helper T-cell responses" , dar' memproduksi

IgGl danIgE. Neutrofil, peran utamanya dalam imunitas bawaan ialah memangsa dan membunuh bakteri, dan memproduksi peptida-peptida antimikrobial. Sedang peran utama dalam

imunitas adaptif ialah menghasilkan "Nitric Oxide

Synthase" dan "Nitric Oxide" yatg menghambat apoptosis dan Limfosit-limfosit dan dapat memperpanjang respons imunitas adaptif.

Eosinofil, peran utamanya dalam imunitas bawaan ialah membunuh parasit-parasit yang masuk. Sedang peran utamanya dalam imunitas adaptif ialah menghasilkan IL-5 yang merekrut "Ig- sp ecifi c antib o dy respons e s" . Sel-sel mast dan basofil, peran utamanya dalam imunitas bawaan ialah mengeluarkan TNF-cr, IL-6, IFN-y dalam merespons pada macam-macam dari "bacterial PAMPs" (Pathogen-Associated Moleculer Patterns). Dalam kaitannya dengan peran utama sebagai imunitas

adaptif sel-sel tersebut menghasilkan IL-4 yang merekrut "TH, helper cell Responses" dan merekrut IgGl dan " IgE-spesific antibody Responses ". Sel-sel epitelial, peran utamanya dalam imunitas bawaan ialah memproduksi peptida-peptida anti-mikrobial; dan jaringan epitel spesifik menghasilkan mediator dari imunitas bawaan lokal, misalnya sel-sel epitel paru memproduksi protein-protein surfaktan (protein-protein dalam keluarga

collectin) yang mengikat dan memperkembangkan/ meningkatkan pembersihan dari mikroba yang masuk dalam paru.

Dalam aktivitas peran utama dalam imunitas adaptif, menghasilkan TGF-p yang memicu "IgA-sp esific antibody responses".

dalam darah. Peranutama dalam imunitas adaptif dari DCs interstiel adalah APC yang poten untuk sel-sel T dan yang

pertama-tama mampu mengaktifkan sel

B

guna

menghasilkan antibodi; sedangkan DCs langerhans adalah APC yang poten untuk "T cell priming".

Sel-sel pembunuh alamil nataral

PRODUK YANG DISEKRESI DARI EOSINOFIL

.

killer (NK)cells.

cationic, neurotoxin yang berasal dari eosinofil, p-Glucuronidase, asam fosfatase dan arilsul-

Tugasnya membunuh sel-sel asing dan penjamu ( host)yang

memiliki kadar rendah dari "MHC + self petides". Menampilkan reseptor-reseptor yang menghambat fungsi

.

NK dengan adarya penampilan yang banyak dari "self-MHC". Dalam peran utamanya sebagai imunitas adaptif, sel ini menghasilkan TNF-u dan IFN-y yang

Protein-protein dari granule terdiri atas "major basic

protein" eosinofil peroxidase, protein eosinofil

.

fatase B.

Sitokin-sitokin, yaitu IL -1, IL-3, IL-4, lL-5, IL-6, IL-8, [-10, [-16, GM-CSF, RANTES, TNF-o,, TGF-cr, TGF-p, danMIP. Mediator-mediator Lipid, yaitu leukotrien B. (JumlahnYa

merekrut THrhelper T cells responses.

sedikit), leukotrien Co, leukotrien Cr,

Sel-sel NK-T, peran utamanya dalam imunitas bawaan

HETE, 5-okso-15-hidroksi 6,8,1 1,13-ETE (eicosatetraenoic acifl,Prostaglandin E, dan prostaglandin E,

merupakan limfosit-limfosit baik dari kedua sel T dan petanda permukaan NK yang dapat mengenali antigen Lipid yang ada dalam sel bakteri, misalny a M.Tuberculosrs oleh molekul-

5

6-keto-prostaglandin F,, Troboksane activating .factor).

hidroksi 6,8,1 5-di

2,

PAF (platelet-

2410

RELIYTA-IOLOGI

Enzim-enzim: elastase, protein kristal Charcot-Leyden, kolagenase, 92-kd radikal.

Reactive oxygen intermediates : superoxide radical anion, HrO, dar, Hydroxy Radicals,

EOSI NOFI L KEMOATRAKTAN

Ini terdiri

.

: . .

atas:

Kemokin-kemokin yaitu Eotaksin, Eotaksin 2, Eotaksin 3, MCP2, MCP3, MCP4, RANTES, MIPIa, IL-8. Sitokin-sitokinyaitu: IL-76,1L-12 Primersyaitu: IL-3,IL-5,GM-CSF Mediator-mediatorhormonal yaitu: PAI, Cra, C,a, LTB., RD4, DTHETES dan Histamrn.

Molekul-molekul adhesi adalah protein permukaan sel berfungsi ganda yang bertindak sebagai penengah interaksi baik antara sel dengan sel dan sel dengan matriks. Di samping itu peranannya dalam pemeliharaan dari struktur jaringan dan keutuhan proteih tersebut ikut serta dalam proses kegiatan selular seperti motilitas, memberi isyarat dan pengakrifan.

PROSTAGLANDIN PADA INFLAMASI KELUARGA

LTD4 dan LTE4

Gambar 5.

PROSTAGLANDIN, LEUKOTRIEN DAN KOMPONEN YANG BERHUBUNGAN Eikosanoid-2

0 - c arb o n atau 5 double bound'.

es s

ent i al

fate acid y an gberisi

3,4

8,1 1,1 4- E ico s atri eno ic e ac id (dihomo - g- lino I en ic acifl 5,8,1I ,|4-Eicosatetraenoic acid (- asam arakidonat)

5,8,1

1,1

4,17 - E ic

os ap enta eno

ic ac

inhibtagr{al

Hy

id

Braln Mast Cells

Asal asam arakidonat dari derivat makanan yang mengandung linolic acid (9,|2-oktadecadienoic acirl atau dari konstituen makanan yang mengandung

I

+

@

5,8,1 7,7 4,17 - E i c o s ap e n t ae n o ic ac i d y arrg terdap at banyak dalam minyak ikan.

Arakidonat di esterihkasia fosfolipid dari membran sel atau lain kompleks lipids. Kadar arakidonat dalam sel sangat rendah, dari biosintesis dari eikosanoid terutama tergantung adanya arakidonat terhadap enzim-enzim eichosanoid-synthese, ini sebagai hasil dari pengeluaran dari simpanan sel-sel dari lipid oleh acylhydiolases,yang kebanyakan adalah fosfolipid Ar. Peningkatan biosintesis dari eikosanoid diatur dengan cermat dan tampaknya merupakan respons terhadap pengaruh yang sangat luas dari rangsangan fisik, kimiawi dan hormonal.

= MACAM.MACAM POSTAGLANDIN

PGA, PGB, PGB adalah keton yang tak jenuh yang dihasilkan dari bpntuk non enzimatik PGE selama prosedur

on

@

rvorovss

I

I '^f,Z",

Hyporelgesia

""

Diu16sis

Gambar 6. COX lsoforms

/ cox-1{ (coNSTrTUvE)

--\"

ARACHIDONIC ACID

hssllng Cox-2+ 'Would R6soluilon of o

lnflamatlon

rltn" I

tt

Stomach

[h.,IJf Gambar

7

I

i-

I ,u, DiseEse Taroets

iiil}

:

COX-2,lnhibitor

24tt

INFIAMASI

dan respons selular terhadap jej as/trauma. Trombosit juga

Konsep Baru EICOSANOID

merupakan sel-sel efektor inflamasi. Baik PAF (Platelet

Activating Factor) dan fragmen-fragmen kolagen menyebabkan kemotaksis trombosit ke daerah aktivasi endotelium atau daerah jejas/trauma dan hasil-hasil yang dikeluarkan setelah aktivasi, merekrut lain-lain sel dan mempunyai andil untuk meningkatkan reaksi inflamasi.

Trombosit akan menghsilkan zat yang bersifat kemoatraktan yaitu PAF dan kolagen. Di samping itu zat-zat yang berfungsi mengaktifkan seperti PAF, MBR fibrinogen, trombin, CRP, Substansi P, IhgG, FceR II, komponen-komponen komPlemen.

(Eicosatetraenoic acid) lnflamation

Resolution

P 450: Epoxygenases (Epoxyeicosatetraenoic acid)

Gambar

trombospodin dan tromboglobulin. Sitokin-sitokin yang

dihasilkan yaitu: PDGF, FGF, TGF-p dan RANTES' Lain-lain mediator yang ada ialah: PGE, LTC4, T,A2, 12.HETE, PAF, Faktor-faktor koagulasi, fibrinogen' fibronektin dan adenosin (periksa Tabel dan Gambar)

8

Gejala Utama

Mediator Lipid

Nyeri dan hiperalgesia

PGE,, LTB4, PAF

Kemerahan (vasodilatasi)

PGEZ, PGLZ, LTB+,

Panas (lokan dan sistemik)

PGE2, PGI1, LTA4, PAF

Edema

PGE2, LTB4, LTC4, LTD4,

ATL LT LX PAF PG

lnhibitor Endogen

Dalam keadaan normal perlekatan trombosit ke protein matriks ekstraselular memerlukan faktor Von Willebrant (v WF) yang terikatpada glikoprotein trombosit Ib/lX dan

menyampaikan sebagai jembatan molekuler antara trombosit dan kolagen subendotelial. Trombosit dapat pula diaktifl
PAF, C-reactive protein dan substansi P dan melalui

komponen-komponen yang diaktifkan. Dengan

L'A2, PAF

LTE4, PAF

Mediator-mediator dalam granula trombosit menghasilkan ADP, serotonin' PF-4, V.WF, PLA2,

Lipoksin ATL

: Aspirin-Triggered-LiPoxi : Leukotrien : Lipoksin '. Platelet Activating Factor, : Prostaglandin

diaktifkannya trombosit, akan mengeluarkan isi granuler yang memperkembangkan pembekuan dan lebih lanjut terj adi pengumpulan trombosit.

Meningkatkan Radang

.

Pengaturan aliran darah dan pefusi organ

ekstraksi; tampaknya zat tersebut ada secara biologik' Seri

PGE dan D adalah hidroksiketones, sedangkan Fa prostaglandin adalah 1,3-diols. Zat-zat ini adalah produk

Vasodilatasi (PGE2, pGl2, pgd2, PGll)

dari prostaglandin G (PGG) dan H (PGH) , cyclic endoperkomponen sekeluarga adalah hasil dari

iklin (PGI, ) memiliki struktur cincin incin siklopentan, cincin kedua dibentuk oleh jembatan oksigen antara karbon 6 dan 9. Tromboksan (TX, ) terdiri atas 6 anggota cincin oksan di samping cincin siklopentan dari prostaglandin. Baik PGIr- dan TX, adalah

.

hasil dari metabolisme PGG dan PGH.

.

TROMBOStT (PLATEIET) DAN MEDIATOR' MEDIATOR INFLAMASI Trombosit diturunkan dari megakariosit dalam sumsum tulang dan berfungsi untuk hemostatis, penyembuhan luka,

.

. . . .

Meningkatkan permeabilitas vaskular (interaksi dengan Ca5, LTB4, dan Histamin) Potensiasi nyeri (interaksi Bradikinin)

Mengaktifkanlimfosit dan produksi dari limfokin PGI Agregasi trombosit Pengeluaran PAF dan PGl2 Desuppressor T suppressor cells dan meningkatkan RF Resopsi dari tulang

Meredam Proses Radang PGE1, PGE2 menghambat produksi dari macrophage migration inibiting factor (MlF) oleh sel sel T PGE2 menghambat proliferasi limfosit T Menekan proliferasi sel sinovial Menekan pembentukan plasminogen Menghambat produksi dari radikal oksigen dan pengeluaran enzim oleh neutrofll

2412

Berbagai macam mediator yang diturunkan dari lipid itas kemotaktik, proliferatif trombogenik, dan proteolitik. pacuan yang mengaktifkan trombosit guna mengadakan perlekatan dan degranulasi juga merupakan pemicu pengeluaranAA dari membran melalui PLA, yang memprakarsai sintesis dari

TXA2, lewat COX-1 dan produk dari Lipoxygenase 12-HETE yang kemudian dimetaboliser menjadi lipoksin.

Produk-produk dan granula-granula trombosit juga memprakarsai reaksi inflamasi lokal. Granula-granula padat berisi ADP, suatu agonis yang mengaktifkan ikatan hbrinogen dari trombosit pada sisi dari b, integrin glikoprotein II

bl IIIa, dan serotonin, suafu vasokonstriktor yang poten yang mengaktifkan neutrofil dan sel-sel endotelial.

Alfa granul berisi PF4 dan b-troboglobulin, yang mengaktilkan leukosit-leukosit mononuklir dan pMN dan juga tempat dihasilkan PDGF dan TGF-p, yang keduanya memacu proliferasi sel-sel otot polos dan fibroblas dan

sangat penting dalam perbaikan jaringan dan angiogenesis. Di samping itu granul trombosit menghasilkan trombospodin yang memprakarsai neutrofi l, faktor koagulasi F V, VII, vWT, fibrinogen dan fibronektin.

RESPONS PENYESUAIAN (ADAPTIF)

Limfosit bertanggung jawab untuk respons imun penyesuaian (adaptifl. Limfosit pendahulu beredar dalam darah. Limfosit ini akan berkembang menjadi sel B dan sel T. Sel B yang awal melanjutkan perhrmbuhannya dalam sumsum tulang. Sedang sel T yang awal berpindah ke timus. Pendahulu kedua tipe sel tersebut mengalami penyusunan ulang dari gen untuk membenfuk reseptor-reseptor anti-

gen. Reseptor-reseptor sel B dan sel T, keduanya heterodimer, yang terdiri dari dua ikatan yang berbeda, yaiturantai ikatan disulfid, di mana sifat ikatannya dapat dikenal dari rangkaian protein sebagai hasil dari kombinasi yang tampak pada tingkat genetik. Bagian dari reseptor antigen yang akan meningkatpadaantigen diturunkan dari dua atau tiga fragmen gen yaitu segmen yang berubahubah, yang aneka ragam dan pengikat. Sel B dan T memiliki reseptor antigen yang spesifik. Pengenalan molekul untuk antigen pada sel-sel B adalah m em b r an e a s s o c i al e d- im mu n o gl o b u I in, se d,angkan reseptor antigen pada sel-sel T adalah molekul yang berbeda, yang bukan imunoglobulin. Bila diaktifkan oleh adanya antigen, maka sel-sel B berkembang menjadi antibodi yang menghasilkan sel-sel plasma, dan sel-sel yang memelihara ingatan pada antigen. Sel-sel T juga berkembang menjadi sel-sel effector dan pengingat. Awal dari reaksi ini disebut respons primer. Berikutnya terdapat periode laten kurang lebih tujuh hari sebelum perkembangan lebih lanjut. Sel T mempunyai beberapa sub-set. Ada beberapa sub-set sel T yang penting yang berpengaruh pada sel-

REUMAII'I.OGI

sel T dan B terhadap antigen dan termasuk mengaktifkan

makrofag. Ini adalah sel-sel Z helper (penolong) yang

memproses antigen T4 pada permukaannya dan membentuk T4H dan sel-sel T suppressor gutamemiliki antigen T8 dan membentuk TSs. terdapat pula klas sel-sel T sitotoksik yang juga T8 positif. Dan kebanyakan respons

antibodi pada attigen-antigen adalah sel T yang dependen, dan fungsi utama sel-sel T helper untuk menyediakan faktor yang diperlukan oleh sel B menjadi dewasa dan mensintesis antibodi. Sel-sel penolong juga diperlukan guna mempengaruhi sel-sel T sitotoksik guna mengikat dan membunuh sel-sel yang terinfeksi dengan virus dan menyerang sel-sel tumor. Di samping itu sel-sel penolong mengaktifkan selsel supresor T dan sebaliknya menekan atau mengurangi regulasi oleh sel-sel tersebut. Sel-sel T yang merespons terhadap adanya antigen, akan mensekresi zat-zat yang menyampaikan pesan yang ada dalam sel dan ini disebut Limfokin yang berbeda dengan antibodi-antibodi yang dihasilkan oleh sel-sel B yang telah diaktifkan. Limfokin-limfokin yang penting termasuk interleukin 2 (IL-2), Gamma Interferon (IFN y), dan Macrophage Inhibitor Factor (MIF). MIF merangsang makrofag untuk melaksanakan fagositosis aktif dan sekaligus menghambat migrasi dari sel-sel tersebut dari daerah di mana sel-sel Th tertumpuk.

SELSEL

T SUPPRESSOR DAN PENOLONG

(HEtpEE

IL-2yangdisekresi oleh sel-sel Th adalah faktorpenumbuh yang memacu proliferasi dari sel-sel T sehingga mereka memproduksi clone-clone sel-sel antigen spesifik yang akan menjadi sel-sel sitoksik, penolong (helper), ata:u suppressor. Sel-sel T suppressor mengurangi pengaturan respons dari lain-lain sel-sel T dan B. Ada pula anggapan bahwa prostaglandin-prostaglandin diturunkan sebagai bagian dari proses inflamasi dari fosfolipid-fosfolipid membran sel yang dapat mengurangi regulasi sel-sel T suppressor. Selanjutnya priksa tentang keluarga prostaglandin dan bagan tentang asam arakidonat. Sel-sel B, mempunyai petanda permukaan pada awal stadium akan menjadi dewasa. Langkah awal adalah

pengaturan kembali gen-gen dari imunoglobulin rantai berat. Proses ini meliputi p ecahan"germline chromosome,,

dan penggabungan dari Yn, D, dan J* yang kemudian menjadi bentuk VDJH. Terakhir, terminal deoksitransferase

(TdT) banyak terdapat dalam sel yang mengalami pengafuran ulang, dan menambah bahan dasar ekstra pada fragmen-fragmen sebelum diadakan rekombinasi. Hasilnya

akan terbentuk banyak macam gen imunoglobulin dari macam-macam sel pelopor dari B.

Kemudian sel-sel yang berhasil membentuk protein ikatan-berat yang ditampilkan di permukaan sel, akan juga membentuk kompleks rantai-ringan. Kompleks ikatan berat

2413

INF1AMASI

yang lengkap pada sel B yang belum dewasa bersamaan dengan pasangan protein transmembran yang disebut 196

Dengan adanya rangsangan awal, sel T menertma bantuan dalam menetapkan tipe sel efektor apa dari sel tersebut yang timbul. Pada tiap kasus, sel T menadi aktif

adalah molekul pembawa signal yang diperlukan guna seleksi yang positif dari sel-sel B guna dapat melewati titik-titik pemeriksaan. Setelah diferensiasi sel B berlangsung, dan sel-sel yang bertahan hidup dalam proses seleksi akan keluar dari sumsum tulang sebagai sel yang terbentuk baru,

yang juga dikenal sebagai Pg39 atau CD40L. Ini adalah lawan reseptor untuk CD40, suatu keluarga dari reseptor TNFa superfamily, yar.g ada pada sel-sel B. Ikatan dari CD40 memungkinkan isyarat sehingga sel B dilindungi dari program kematian. Molekul baru CD80 dihasilkan dari ikatan

dan ikatan ringan pada sel-sel B dan molekul

dan IgA.

imunoglobulin

Ini

dan menampilkan molekul permukaan yang baru, CD154

kemudian sel B yang dewasa melakukan perjalanan ke

CDl54 pada CD40. CD80 merupakan lawan reseptor untuk

limpa, dan masuk ke daerah PALS (Perlarteriolar lymphoid Sheath), di mana sel-sel B. Antigen yatg ada

CD28 pada sel T.

diangkut masuk dalam PALS, di mana telah ada kerja sama antara sel T dan sel B. Sel B yang ada di daerah perbatasan kemudian masuk ke dalam pulpa merah lalu mengadakan diferensiasi menj adi plasmablas, yang dengan cepat mempunyai respons awal terhadap zatyatgpatogen. Disini terjadi kerja sama yang

unik antara sel-sel T, B dan folikular dendritik. Sel B menyajikan pada sel T lewat MHC klas II yang ada pada sel B.Sel-sel B yang diaktifkan dapat menampilkan CD80 atau CD86 (B7.1 atau B7.2). Sel B yang demikian kini dapat menyampaikan dua isyarat kepada sel T yaitu satu ikatan

Ikatan CD40 pada sel B mempengaruhi peningkatan lain molekul pada sel B yaitu ikatan CD95 (CD154, Fas Ligand). Secara normal ikatan CD95 Ligand mempengaruhi kematian sel. Namun sel-sel B yang telah menerima isyarat Gambar

PUTELET/TROMBOSIT Platelet surfa@ PhosrcliPids : /lmpotunl rol6 in @agulation

Mitokondria GP lib llla

Membrane plasma

Glycogen-GP lb:Platelet glycoprotein Ib Fungsi adhesi & agrB{

dari reseptor antigen sel T ke MHC klas Il-peptid kompleks pada sel B, dan yang lain dengan mengikat CD28 pada sel

T oleh CD80 dan CD86 pada sel B. Aktivasi dua isyarat demikian itu bermanfaat untuk meningkatkan kadr dari sekresi IL-2 dan proliferasi dari sel T.

Setelah cukup stimulasi, sel - sel B membelah diri jadi sel-sel plasma dan menghasilkan imunoglobulin yaitu IgG

dengan subklas

1,2,3,4; IgA

dengan dua subklas; IgM,

IgD, serta IgE. Pengatur molekul dari fungsi limfosit, dilakukan oleh reseptor-reseptor permukaan sel dan adanya interaksi antar sel.

Lysosomes

Dense granules : I\.lg,Serotonin

ADP,ATRCa,

Alph

:

E thromboglobulin

. PDGF -TGF- beh -Chemotachc fadol - Fibrinogen

-Albumin - Thrombospdin,fibronectin

-ADP

- VEGF (vascular endotelin growth F) - Serotonin

Gambar 9.

Respons lnflamasi

Faktor yang Diturunkan dari Trombosit

. Thromboxane A2 (Cyclooxgenase . Vasokonstriksi' agregasi trombosit de leucocyte leukotriene Br . 12 xyeicosatetraenoid . Vasokonstriksi, st nase nise dependent) synthesis, inhibisi ac monosit procoagulant . 12 cosatetraenoic (emotaxis, stimul acid (lypoxygenasedePendent) . Ctycoiiotein adhesif : ' Adhesi sel Thrombospodin . Faktor-fakior penumbuh : PDGF, . Kemotaxis, fibrinogenesis, chondrogenesis, angrogenesls VEGF,TGF-P (cr-granules) . Aggregasi trombosit, kemotaxis . Platelelspesific protein : P. .

Thrombo-modulin, PFq (ugranules) Cationic protein : chemotactic factor, permeability factor granules) Acid hydrolases

.

(o,-

(lysosomes) '

Kemotaxis, permeabilitas vaskuler, release histamin Memangsa Jaringan

:

acid hydrolases

2414

REI,JMIIiIOI.OGI

dari reseptor seperti lewat CD40 akan dilindungi, bila tidak ia akan mati. Pada stadium akhir dalam aktivasi, ikatan

dengan CD28 akan mengirim pesan ke sel T guna menampilkan CDl52 (CTLA-4). Pada permukaan sel B dijumpai CD19 dan CD2l. Di samping itu terdapat pula CD32 (Fc. Reseptor).

Sejumlah Ekosanoid suatu vasoaktif dan merupakan

hasil dari imunomodulator dari metabolisme asam arakidonat yarrg termasuk pula turunan asal dari siklooksigenase juga prostaglandin dan tromboksan A!, yang merupakan vasokonstriktor yang poten dan mempunyai andil pada hipertensi pulmonal dan nekrosis rubuler akut pada syok.

RESPONS INFLAMASI PADA SYOK Aktivasi dari jaringan sistem mediator inflamasi yang sangat luas berperan dengan nyata dalam perkembangan syok dan mempunyai saham dalam menghasilkan jejas dan gangguan dari organ-organ.

Mediator-mediator humoral yang multipel diaktifkan selama syok dan kerusakan jaringan. Kaskade komplemen, diaktifkan melalui kedua jalur klasik dan alternatif,

menghasilkan anafilaktoksin C3a dan C5a. Fiksasi komplemen secara langsung pada jaringan yang rusak dapat berkembang guna menyerang secara rumit C5-C9, selanjutnya mengakibatkan kerusakan sel. pengaktifan kaskade koagulasi menyebabkan trombosis mikrovaskular, dengan akibat selanjutnya teqadi lisis utama pada peristiwa yang berulang dari iskemik dan reperfusi.

Komponen-komponen dari sistem koagulasi, seperti trombin, merupakan mediator proinflamasi yang poten. Yang mengakibatkan peningkatan dari molekul-molekul adhesi pada sel-sel endotel dan mengaktifkan neutrofil, utamanya pada kerusakan pada mikrovaskular. Koagulasi

yang mengaktifkan kaskade kalikrein-kininogen, yang mempunyai andil pada kejadian hipotensi.

RINGKASAN

Inflantasi adalah respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi atau mengurung suatu agen pencedera maupun jaringan yang cedera ifu. Pada bentuk akut ditandai adanya tanda klasik yaitu: dolor, kalor, rubor, tumor dan fungsiolesa. Dikenal adanya inflamasi akut, subakut dan kronis. Inflamsi merupakan keadaan dinamik yang konstan yaitu suatu reaksi dari jaringan hidup guna melawan berbagai rangsangan. Dalam melawan inflamasi, dan tubuh memiliki respons alami danpenyesuaian. Yang alami (tidak spesifik)

terdiri dari sel-sel: neutrofil, eosinofil, basofil, trombosit, makrofog, monosit, sel mast dan sel NK, serta faktor-faktor yang larut yang terdiri dari lisozim, sitokin, interferon, komplemen, dan protein fase akut. Sedang yang penyesuaian yang bersifat spesifik terdiri dari sel B, sel T, antigen presenting cel/ (APC), sel-sel

dendrit dan sel Langerhans, serta faktor-faktor yang larut seperti antibodi, imunoglobulin G (IgG) dengan subklasnya Ig M, IgA, Ig E, Ig D dan limfokin. Selain itu sel-sel yang ada memiliki pula reseptor di permukaan sel. Dengan demikian memudahkan cara kerja sel-se1 tersebut.

Mediator inflamasi terdiri dari: komplemen, vasoaktif amin, nitric ox ide, histamin, serotonin, adenosin, sistem pembekuan, bentuk Oryang diaktifkan, metabolisme asam arakidonat, prostaglandin, tromboksan A,, dan leukotrien.

REFERENSI Yang berkaitan dengan pernapasan meningkat

Austen KF Allergic, anaphylaxis, and systemic mastocytosis In: Harrison's principles of internal medicine Mc Graw Hill. 16s Ed. Vol. II 2005: 1947-56 Bullard CD.Ce11 adhesion molecules in the rheumatic diseases In p.477 -8

Crow MK Structure and function of macrophages and other antigen-presenting cells In Arthritis and allud conditions Koopmen, Moreland. A Textbook of rheumatology. Lippincott Williams

& Wilkins

15ft Ed Vo1. 11,2005: 305-26.

Carter RH Weaver CT.Structure and function of lymphocytes POGF I Platelel Deive Oruwth PF4 : Platel* Fador 1 LTBy' I Platelel Faclor 4

FMtor

Gambar 10. Partisipasi trombosit pada awal kejadian radang

in.p.3

2

7-5 0.

Gruber B.L Kaplan AP.Mast cells, eosinophilis,and rheumatic diseases.in: ibid 375-409. Gabay C.Cytokines and cytokine receptors In. ibid: 423.Weaver CT

2415

INFI.AMASI

Haynes BF, Fauci AS.Introduction 1

to the immune sistem In.p.

907-3 0

Maier RV Approach to the patient with shock inflammatory responses.

In Harrison's principles of internal medicine. Mc

Graw-Hill l6h. Vol II 2005: 1601-2. Morrow JD, Roberts II

LJ.

Lipid derived autacoids. eicosanoids and

piatelet-activating factor .In: Goodman & Gilman's. the pharmacological basis of theurapeutics 10 th. edition; 2001.p.669-731 Philips MR Cronstein B.N.Structure and function of neutrophils.

in. p. 351-73 Pier GB.Molucular mechanisms of microbial pathogenesis. In: Harrison's principles of internal medicine l6'h Edition. Mc GrawHill;2005.p.700-6 Saleh MN Lobuglio AF.Platelets In: Rheumatic diseasesin

p. 4II-22.

:

380 APOPTOSIS Linda Kurniaty Wijaya

Sejak pertengahan abad ke sembilan belas, banyak penelitian yang menunjukkan kematian sel memegang peranan proses fisiologis dari organisme multiselular,

sangat penting karena apabila terjadi defek apoptosis (baik

spontan ataupun karena mutasi) maka akan berdampak pada sistem imun. Ditemukannya mutasi gen-gen yang berkaitan dengan apoptosis pada hewan coba dengan penyakit autoimun menjadi suatu hal yang menarik untuk

terutama selama embriogenesis dan metamorfosis. pada tahrn 1972, Keri dkk mempublikasikan sebuah artikel mengenai proses fisiologis dari kematian sel atau dikenal dengan istilah apoptosis. Apoptosis berasal dari bahasa Yunani yang berarti turun jatuh dianalogikan seperti daun yang jatuh dari pohon atau daun bunga yang jatuh dari

dapat menerangkan kemungkinan peran kerusakan apoptosis pada penyakit autoimun pada manusia.

Organisme multiselular hidup memerlukan keseimbangat antara proses proliferasi sel dan kematian

bunga.

sel. Secara umum sel-sel mengalami kematian melalui salah

Apoptosis merupakan suatu mekanisme kematian sel secara fisiologis. Apoptosis bertanggung jawab untuk mengontrol jumlah sel dalam suatu jaringan dan menyingkirkan sel-sel yang mengancam kehidupan suatu organisme. Berbeda dengan nekrosis, yang merupakan kematian sel akibat iskemia atau pengaruh bahan toksik, apoptosis diawali oleh interaksi antara ligan dan reseptor yang teregulasi dengan tepat dan dirangkai dengan proses fagositosis dengan tujuan mengeliminasi sel yang rusak atau sel normal yang tidak diperlukan lagi. Apoptosis telah

satu dari d:oa cara yang telah diketahui tergantung dari konteks dan penyebab kematiannya. Macam-macam pola kematian sel tersebut meliputi : nekrosis dan apoptosis. Sel yang mati secara nekrosis biasanya akan membuat

respons inflamasi, dimana apoptosis akan cepat dibersihkan tanpa menimbulkan respons inflamasi. Peristiwa apoptosis dipicu oleh adanya kerusakan DNA

yang gagal diperbaiki, efek hormon glukokortikoid, hipertermia, infeksi, penurunan secara mendadak beberapa

faktor pertumbuhan (withdrawal), dan mekanisme remodeling pada proses tumbuh kembang yang bersifat

dikenal sebagai kematian sel yang terjadi pada pertengahan kehidupan jaringan. Meskipun ada bentuk lain dari dari kematian sel seperti nekrosis, apoptosis menjaga homeostasis pada differensiasi dan proliferasi vertebra. Oleh

karena

itu apoptosis juga disebut sebagai "program

kematian sel". Sel yang mengalami apoptosis akan segera mengkerut,

Gambaran

Nekrosis

Apoptosis

Rangsangan

Toksin, hipoksia, gangguan masif Sel membengkak, organel, tandatanda kematian

Kondisi fisiologis dan patologis Kondensasi kromatin, bendabenda apoptotis, kematian sel

Janngan Fragmen tidak beraturan Lisis

Potongan fragmen '185 pasang basa Utuh, menggelembung,

Makrofag imigran

perubahan molekular Sel sekitar

Keradangan

Tidak ada keradangan

Histologi

membran sitoplasmanya menggelembung, kromatinnya

kerusakan

mengalami kondensasi dan terjadi fragmentasi DNA kromosomal menjadi oligomer-oligomer yang terdiri dari 80 pasangan basa yang

padagel analysis tampak sebagai "ladder" dari DNA. Selanjutnya sel tersebut terpecah 1

Pola kerusakan DNA Membran plasma Fagositosis dari sel Reaksi jaringan

pecah menjadi benda-benda Apoptotis yang segera difagositosis oleh sel-sel disekitamya atau oleh makrofag. Proses apoptosis berlaku pada hampir semua jenis sel, termasuk juga pada pada sistem imun. Fungsi apoptosis

416

2417

AFOI,TOSIIs

kematian sel atau melalui stress selluler yang di triger oleh onkogen, iradiasi atau obatan. Signal dikeluarkan melalui

reseptor kematian yang

mengaktifas

i

Death

Inducing Signaling Complex (DISC) yang memediasikan aktifisi initiator caspase-S. Aktivasi caspase-8 memulai kaskade caspase melalui proses efektor caspase-3,-6,

dan-7 yang kemudian memotong protein substrat. Pemotongan dari substrat caspase ini memulai karakteristik

Gambar 1. Proses kematian sel secara apoptosis dan nekrosis.

fisiologis. Sinyal-sinyal yang berasal dari lingkungan sekitar sel (interselular) dan sinyal-sinyal internal secara normal menjaga agar mekanisme apoptosis tidak bekerja. Pada keadaan dimana sel sel telah kehilangan kontak dengan sekitarnya atau adanya gangguan interrral yang tidak dapat diatasi, maka sel terpicu untuk apoptosis. Reseptor kematian (death receptor), yakni reseptor permukaan sel yang dapat meneruskan sinyal awal apoptosis melalui ikatan dengan ligannyayang spesifft (death ligand), mempunyai peran penting dalam apoptosis aktif. Reseptor

mofologi dan gambaran biokimia apoptosis. Pada beberapa sistem sel, kaskade caspase ini cukup untuk suatu kejadian apoptosis(signaling tipe 1), di mana pada beberapa kasus signal yang dapatang dari DISC harus diperkuat dengan aktifasi proteolitik BH-3-onlyprotein Bid melalui caspase8 yang selanjutnya terjadi induksi kejadian apoptosis di mitokondria (signaling tipe 2). Signaling apoptosis mitokondria termasuk pelepasan sitokrom c dari ruang intermenbran mitokondria ke sitosol dimana berkontribusi pembentukan apoptosome yang mengandung sitokrom c, Apaf-1 dan dAIP. Apoptosome akan mengaktifasi caspase

9 yang merupakan inisiator

caspase lainnya yang

selanjutnya akan memper antar ai kaskade caspase melalui

aktivasi caspase-3. Faktor proapoptotoc mitokondria lainnya adalah Smac yang bekerja sebagai penghambat IAPs dari bloking aktivitas caspase. IAPs adalah keluarga protein dengan aktivitas sebagai antiapoptosis dengan menghambat caspase secara langsung. Ekspresi IAP dapat

tersebut dapat mengaktifasi caspase dalam beberapa detik

ditingkatkan dalam responsnya terhadap signal

melalui ikatan dengan ligannya, menyebabkan apoptosis sel dalam waktu beberapa jam kemudian.

pertahanan seperti yang datatg dati receptor growth factor seperti aktivasi dari transcription factor NF-AB, yang berarti menekan signal apoptosis. Yang penting juga adalah antiapoptosis keluarga Bcl-2 seperti Bcl-2 dan Bcl-XL yang bekerja meniadakan aksi BH-3 only ptotein seperti Bid juga proApoptotis Bax dan Bak dan selanjutnya dapat menghambat kejadian proapoptosis mitokondria. Signal apoptosis yang datang dari dalam sel biasanya berasal dari nukleus, sebagai akibat dari kerusakan DNA yang diinduksi irradiasi, obatan atau stress lainnya. Kerusakan DNA pada kebanyakan kasus diakibatkan oleh aktifasi dari faktor transkripso p53 yang mempromosikan ekspressi dari anggota proapoptosis Bcl-2 dan supresi

Yang tergolong dalam reseptor kematian adalah adalah CD 95 (uga disebut Fas atau APO I) dan TNFRI disebut juga p55 atau CD 120a). Yang lainnya adalah avian CARI,

death receptor 3 (DR3), DR4 dan DR5. Ligan yang mengaktifkan reseptor tersebut adalah ligan CD95 (CD95L) yang berikatan dengan CD95, TNF dan limfotoksin alfa yang berikatan dengan TNFRI, liganApo3 (Apo3L) yang

berikatan dengan DR3 dan ligan Apo2 (Apo2L) yang berikatan dengan DR4 dan DR5. Ligan untuk CARI belum

diketahui. Bc1-2 dan protein-protein sitoplasma lain (yang masih

dalam kelompok bcl-2) merupakan regulator utama anti-apoptosis. Sampai saat ini terdapat paling sedikit l5 proteinkelompokbcl-2 yang telah diketahui pada mamalia.

Sebagian besar protein-protein tersebut berfungsi meningkatkan harapan hidup sel (pro-kehidupan atau anti-apoptosis) dengan menghambat protein adaptor (protein seperti CED-4) untukmengaktivasi caspase. Yang termasuk dalam kelompok anti-apoptosis antaralainbcl-2, bcl-xl, bcl-w, mcl-1. Sebagian yang lain justru berfungsi mencetuskan apoptosis (pro-apoptosis) melalui mekanisme

yang tidak tergantung caspase (caspase-indipendent ath).Yang termasuk kelompok pro-apoptosis antara lain bax, bak,bok,bik,blk. Apoptosis dapat diinduksi melalui beberapa signal dari dalam dan luar sel, seperti ligasi disebut dengan reseptor de

Itr w*tsird*q

*Mr@il{@s

{rl@s s

Gambar 2. Skema yang mempresentasikan jalur signal apoptosis

2418

RET.JMANOI.OGI

antiapoptosis Bcl-2 dan Bcl-XL. Organela lain selain

mitokondria dan nukleus seperti ER dan lisosom juga terlibat pada jalur signal apoptosis, dan juga agaknya terdapat ratusan protein laimya mempunyai peranan dalam

Lapisan intima sinovium normal terdiri dari I sampai 3 lapisan tanpa membran dasar dan mengandung terutama

makrofag dan sel Fibroblast like sinoviosll (FLS). Gambaran mikroskopik sinovium reumatoid ditandai

network faktor pro-dan antiapoptosis.

dengan hiperplasia lapisan sinovium dan di bawah lapisan tersebut terkandung akumulasi sel ! sel plasma, makrofag dan sel lainnya. Makrofag terutama terdapat pada lapisan

FUNGSIAPOPTOSIS DALAM SISTEM IMUN

intima yang diperkirakan berasal dari monosit sumsum tulang yang berdifferensiasi setelah migrasi ke lapisan

Apoptosis diketahui sangat berperan dalam sistem imun yaitu : pertama, apoptosis merupakan suatu mekanisme yang bertanggung jawab untuk menyingkirkan atau

jaringan sebagai respons dari faktorkemotaktik. FLS yang terdapat khusus pada sinovium berasal dari fibroblast. FLS yang dikultur seperti juga FLS in situ, mengekspresikan

memusnahkan sel-sel timosit maupun sel

beberapa onkogen termasuk c-myc onkogen yang merupakan karakteristik sel yang dapat tumbuh secara abnormal.Protoonkogen adalah protein penyandi yang terlibat pada pertumbuhan dan differensiasi sel. Famili C-myc penyandi DNA- mengikat nuklear phosphoprotein, berfungsi pada faktor transkripsi dan merupakan sinyal yang penting untuk memulai proliferasi sel. Induksi

B yang

mengekspresikan reseptor yang tidak berfungsi sempuma. Termasuk di antaranya adalah sel timosit yang tidakmampu mengatur kemb ali (r e a rr a n g e) res eptor sel T- ny a atat gagal untuk melalui seleksi positif dan negatif, sel B yang tidak mampu mengatur kembali gen-gen imunoglobulin secara normal. Jadi apoptosis mempunyai peran penting didalam mengatur jumlah cadangan sel T dan B. Pada individu muda hanya sekitar 2o/o dari sel induk T dan sel jnduk B yang

c-myc yaitu pada transisi dari fase G0 ke Gl siklus sel. Pada

AR, 30% jaringan sinovial fibroblast positif protein Myc.

berkembang secara normal, lainnya sebesar 98% dimusnahkan melalui mekanisme apoptosis selama masa perkembangannya. Kedua, apoptosis berperan dalam memusnahkan sel-sel imun setelah mereka teraktivasi dan berproliferasi dalam respons imun normal melalui proses yang disebut dengan kematian sel yang diinduksi aktivasi (activation-induced cell death I AICD). Proses secara efisien menyingkirkan sel-sel keradangan yang memproduksi sitokin proinflamasi dan nampaknya sangat diperlukan dalam pengaturan respons imun. Jadi adanyakecacatan padaAICD, walaupun kecil, dapat berkontribusi untuk timbulnya penyakit autoimun.

Ketiga, apoptosis juga berperan penting dalam memusnahkan sel-sel imun yang cacat atau yang sudah

tidak diperlukan lagi. Delesi sel-sel T tersebut penting untuk menghindari penumpukan dari sel yang tidak berguna.Kerusakan dari proses apoptosis dalam hal ini akan menghasilkan penumpukan sel T dan sel B yang sudah tidak diperlukan lagi sehingga dapat berkontribusi

untuk terjadinya penyakit autoimun dengan usia onset yang lebih tua dan terbentuknya autoantibody yang berlebihan.

APOPTOSIS PADA ARTRITIS REUMATOID

Artritis reumatoid adalah penyakit inflamasi kronis pada jaringan sinovium sendi, yang berhubungan dengan morbiditas jangka panjang dan morlalitas dini, walaupun patogenesisnya sudah banyak diketahui. Mekanisme imun memegang peranan penting dalam patogenesis AR Bila dibandingkan potongan jaringan sinovial pasien osteoartritis (OA) dengan RA, maka pada sinovium RA akan didapat jumlah fibroblast yang lebih banyak daripada OA.

DISKREPANSI ANTARA FRAGMENTASI DNA DAN APOPTOSIS PADA SINOVIUM REUMATOID Pada apoptosis, terjadi fragmentasi DNA nukleus menjadi 200 pasang nukleosom, yang pada elektroforesis agarose gel tampak sebagai DNA anaktatgga. Fragmen DNA juga bisa dideteksi in situ detgantekhnikujung DNAyang dilabel

sehingga terlihat DNA yang bergelantungan atalu tumpul. Fragmentasi DNA menjadi unit-unit nukleosom disebabkan oleh er:zim c a sp a s e a c t iv a t e d D n a s e (C AD).Enzim ini tidak

aktif apabila berikatan dengan ICAD (inhibitor of CAD atau DNA fragmentation factor 45). Selama apoptosis ICAD dipecah oleh caspase 3 sehingga CAD terlepas dan DNA inti mengalami pemecahan yang cepat.

Pada penelitian yang menggunakan tekhnik ini, didapatkan gambaran karakteristik anak tangga DNA pada

kultur FLS dan dalam jaringan sinovium AR dan rantai DNA yang terbelah terutama terdeteksi pada lapisan intima. Hal ini diduga bahwa apotosis terjadi pada jaringan sinovium yang inflamasi. Didapatkan pula kerusakan selsel dilapisan intima pada jaringan sinovium yang inflamasi, tetapi bukan pada tempat agregasi limfosit yang terutama terdiri dari CD4-CD45RO* sel T dan sel B karena sel ini

mengekspresikan gene bcl-2 yang resisten apoptosis. Penelitian kedua dilakukan pada jaringan sinovium

reumatoid dengan menggunakan tekhnik electron microscopic analysis and DNA nick-end labelling (TLINEL). Tekhnik ini lebih spesifik untuk apoptosis dibandingkan dengan metode yang digunakan pada penelitian sebelumnya. Dari penelitian ini didapatkan adanya ketidaksesuaiat antara fragmentasi DNA dan apoptosis. Ujung DNA yang dilabel memperlihatkan sel

2419

AFOPTOSIS

positif terutama dilapisan bawah sinovium tetapi hanya sedikit sel positif yang ditemukan dilapisan atas jaringan sinovium dan pemeriksaan mikroskop elektron hanya menemukan sedikit sel apoptosis pada jaringan sinovial reumatoid. Hal ini diperkuat dengan penelitian lain yang

antigen self tetap bertahan hidup dan persisten. Walaupun belum banyak dilaporkan adanya mutasi pada gen Fas atau FasL, tetapi ditemukan peningkatan molekul Fas yang larut (sFas).Diduga molekul tersebut mampu mengikat ligan Fas

mendapatkan jumlah sel apoptosis p ada jaringan sinovium

merupakan akibat lepasnya Fas dari permukaan membran. Pada orang normal, didapatkan kadar sFas dalam serum atau cairan sinovial kurang lebih 0,510 nglml. Pada pasien AR didapatkan peningkatan dua sampai lima kali. Beberapa mediator apoptosis lain juga terlibat pada AR. Granzyme dan perforin terdapat pada jaringan sinovial AR, terutama granzime B. Granzyme B dapat menginduksi

reumatoid sangat sedikit meskipun didapatkan fragmen

DNA

sel pada lapisan tersebut. Fibroblast yang mengalami

apoptosis pada jaringan sinovium reumatoid hanya 3o/o dari jumlah fibroblast lapisan bawah dan FLS lapisan intima tidak menunjukkan adanya apoptosis sama sekali. Diskrepansi antara fragmentasi DNA dan apoptosis ini dimungkinkan oleh . Fragmentasi DNA terjadi sebagai akibat produksi nitric oxide (NO) lokal dan oksigen radikal. . Rendahnyajumlah sel apoptosis padajaringan sinovial reumatoid disebabkan karena cepatnya sel apoptosis disingkirkan oleh makrofag. Ketidaksesuaian ini memberi kesan adanya gangguan dalam proses apoptosis di AR.

MEKANISME APOPTOSIS PADA SINOVIUM REUMATOID

sehingga dapat menghambat apoptosis.Molekul sFas

apoptosis dengan cara memicu kaskade intraselluler apoptosis yang diinduksi oleh Fas. TNFo, adalah sitokin proinflamasi yang banyak terdapat dalam jaringan sinovial

Pro-apoptotis Faktor transkripsi

c-myc c-fos

Agen-agen genotoksik

Nitric oxide Oxygen radicals

lnteraksi reseptor-ligand Efek molekul Anti-apoptotis Gene suppresor

TNFo Granzyme B

bcl2 Ras

Apoptosis dapat dicetuskan oleh beberapa mekanisme, khususnya melalui interaksi attara molekul Fas dan ligannya (FasL), juga oleh pelepasan granzime B dan perforin ata:.i_ tumor necrosis factor a (TNFo)

lnhibitors interaksi reseptor-ligand Soluble Fas * mutasi p53 menyebabkan terganggunya apoptosis

reumatoid. Peran TNFcr pada apoptosis sulit untuk dijelaskan karena efek sitotoksiknya dapat diimbangi oleh

aktifasi Nuklear factor-€,B (NFCB), yang menekan KETERLIBATAN FAS DAN LIGAN FAS PADA

apoptosis. NFCB adalah faktor transkripsi yang menginduksi

ARTRITIS REUMATOID

rantai imunoglobulin 6, sitokin seperti interleukin (IL)l, LL2,IL6,IL8, TNF-cr dan interferone, dan sel adhesi protein.

Dari penelitian tikus percobaan didapatkan keterlibatan

TNFcr tidak selalu menyebabkan apoptosis, dia menginduksi aktifasi NF6B, dan NF6B menginhibisi

Fas- mediated apoptosis pada simptom yang menyerupai penyakit autoimun. Fas adalah merupakan suatu protein pada permukaan sel yang mempunyai peran utama dalam mencetuskan apoptosis pada sel limfoid. Kerusakan pada Fas-mediated apoptosis selama perkembangan limfosit merupakan penyebab utama penyakit autoimun termasuk

arhitis. Fas diekspresikan oleh FLS dan limfosit pada sinovium reumatoid, dan terdapat defisiensi relatif fungsional FasL

di sendi RA. Rendahnya ekspresi FasL belum jelas tetapi kemungkinan FasL di metabolisme oleh metalloproteinase,

yang banyak terdapat di jaringan sinovial reumatoid. Pen'ingkatan kadar soluble Fas pada cairan sinovial reumatoid dapat memblok interaksi Fas-FasL sehingga mengganggu apoptosis. Kelainan pada Fas dan FasL mengakibatkan ketidakmampuan untuk mengeliminasi

CD4t melalui Activated-induced cell death / AICD sehingga terjadi kegagalan apoptosis. Kegagalan apoptosis ini menyebabkan sel T helper yang mengenali

apoptosis. Beberapa sitokin lainnya dapat memodiflrkasi kerentanan target sel terhadap apoptosis. Beberapa keluarga sitokin menggunakan interleukin-2 reseptor (L-2R)g,seperti IL-2,IL-4,IL-7,IL-l3,IL- 1 5 dapat menghambat apoptosis dengan cara meningkatkan regulasi gene yang mengkode protein yang meregulasi anti apoptotis, namun hanya IL- I 5 sel yang bersifat inhibitor apoptosis yang kuat untuk sel

!

B, "natural killer sel", dan neufrofil. Ekspresi IL-l 5 meningkat secara signifikan pada sinovium reumatoid dibandingkan padajaringan sinovial pasien dengan osteoartritis atau artitis

reaktiflainnya.

MUTASI TUMOR SUPRESOR GENE P53 DI FLS REUMATOID

Apoptosis pada penyakit arthritis, diregulasi oleh beberapa proto-onkogenes dan gene onkosuppresor

2420

RET.JMANOI.OGI

seperti bcl-2 dan ras, yang bersifat menghambat apoptosis,

sedangkan dan c-myc, c-fos, dan p53 mempermudah apoptosis. Gen yang meregulasi apoptosis, pada AR, adalah tumor supresor gene p53. Protein p53 adalah fosfoprotein

inti (nuclear phosphoprotein) yang penting untuk

integritas DNA dan kendali pembelahan sel. protein ini terikat pada rantai DNA yang spesifik dan meregulasi ekspresi berbagai gen pengatur perhrmbuhan. Kehilangan atau tidak aktifnya p53 diketahui memegang peran pada

perkembangan penyakit neoplasma. Gen p53 bukan merupakan suatu onkogen, p53 berada di bawah kontrol transkripsi onkogen c-myc. Bila terjadi kerusakan DNA sel, maka p53 akan menahan pertumbuhan sel sampai

DNA

mengalami perbaikan, tetapi bila kerusakan DNA sel sangat berat maka p53 dapat menginduksi apoptosis.

Dengan tekhnik pemeriksaan western blot dan immunopresipitasi gen p53 lebih banyak didapatkan di jaringan sinovial AR dibandingkan pada arlhritis lainnya. Over ekspresi gen p53 juga didapatkan pada kultur FLS j aringan sinovium AR terutama dilapisan intimanya. Over ekspresi gen p53 ini berhubungan dengan mutasi dan fungsi protein abnormal, namun seberapa jauh hal ini berperan dalam transformasi fenotipe dan mengganggu apoptosis FLS yang dapat menerangkan mengapa terjadi ketidakmampuan untuk menghilangkan sel sinovial yang rusak sedang dalam penelitian. Mutasi p53 dapat dilihat pada cDNA dengan menggunakan teknik P.NAmismatch detection assay. Pada pasien AR mutasi p53 mismatch dapat terlihat dikultur FLS, tetapi tidak terdapat pada kulit atau darah perifer. Sedang pada pasien osteoarlritis p53 mismatches tidak terlihat pada jaringan sinovial maupun kulit. Mutasi p53 bukan merupakan penyebab primerAR, tetapi terjadi sebagai akibat proses inflamasi yang lama.Sampai saat

ini belum

ada penelitian yang

menerangkan apakah mutasi p53 juga ditemukan pada fase awal penyakit. Lebih dari 80% mutasi yang diidentifikasi pada sinovium dan kultur FLS adalah mutasi guanine/ad-

enosine (GiA) dan thymidine/cytosine (T/C), yang

REGULASI APOPTOSIS PADA FLS FLS mengekspresikan Fas fi.rngsional yang mempunyai kemampuan untuk menginduksi apoptosis, ini merupakan contoh apoptosis yang diinduksi melalui mekanisme p53 independent. Ligasi Fas dan FasL menginduksi apoptosis melalui mekanisme pengaktifan JNK (c-Jun NHr-terminal

protein kinase) untuk membentuk faktor transkripsi Activated Protein -l (AP-l). Apoptosis di FLS reumatoid juga diatur oleh bermacam-macam sitokin. TNFa, yang mencegah apoptosis di makrofag, ternyata dapat menginduksi apoptosis di FLS. Transforming growthfactorBl (TGFB1) menurunkan ekspresi Fas, meningkatkan ekspresi bcl-2 dan menghambat apoptosis FLS reumatoid.

INHIBISI APOPTOSIS SEL

T PADA JARINGAN

SINOVIAL REUMATOID Selain efek anti Apoptotis dan sitokin-sitokin yang spesifik dan gen-gen anti apoptotis, beberapa mekanisme lain juga

berperan dalam penurunan program kematian sel T pada jaringan sinovial reumatoid. Populasi sel T pada sinovium reumatoid dapat dibedakan berdasarkan sensitifitas mereka unfuk menginduksi apoptosis yang melalui Fas yaitu sel T yang sensitive Fas dan sel T yang resisten Fas.

Selain Fas dan TNF-R, anggota superfamili TNF-R lainnyajuga berperan pada proses apoptosis di sinovium reumatoid. seperti CD27, yang diekspresikan oleh sel T dan sel B, yang bila berinteraksi dengan ligannya, yaitu

CD70 dapat menginduksi apoptosis. Peningkatan CD27*selT pada sendi reumatoid, mungkin berperan dalam gangguan apoptosis di jaringan sinovial reumatoid.

Agaknya beberapa faktor yang terlibat dalam gangguan apoptosis sel T juga berperan dalam menghambat apoptosis sel B dan sel plasma, termasuk sitokin-sitokin yang menggunakan IL-2R dan beberapa anggota TNF-R superfamily.

merupakan karakteristik dari deaminasi oksidatif NO atau

radikal bebas. Hal ini menyokong pendapat bahwa genotoksik oleh lingkungan lokal pada inflamasi kronis jaringan sinovial dapat menyebabkan mutasi gene p53

APOPTOSIS PADA SLE

pada pasien AR. Peranan p53 pada sinoviosit sudah diteliti melalui transducing FLS dengan gene human papilloma virus E6

Salah satu mekanisme penyakit pada SLE adalah terdapatnya gangguan apoptosis yatg dapat

sehingga mengekspresi p53 yang wild-type. Dengan adanya E6, FLS akan tumbuh cepat, timbul gangguan apoptosis, dan E6 FLS akan lebih invasifkedalam ekstrak kartilago.Dari penelitian ini disimpulkan bahwa fungsi p53

yang abnormal merupakan salah satu penyebab terjadinya progresi pannus dan kerusakan sendi pada pasien AR.

Waktu paruh wild- tipe p53 sangat pendek, dan biasanya tidak terdeteksi pada jaringan norrnal.

menyebabkan limphosit pathogenik akan berumur tebih panjang. Hipotesis ini didukung oleh penelitian pada model murine lupus, yaitu terdapatnya kecacatan pada fas yang akan memediasi apoptosis pada tikus MRL/lpr sehingga

mengakibatkan proliferasi limfoid dan perkembangan penyakit seperti lupus yang berat dengan imunog lomerulonefritis. Gld/gld tikus, yang ditandai dengan mutasi dari gene FasL mengakibatkan molekul FasL tidak berfungsi, juga membuat proliferasi limfoid, hipergammaglobulinemia dan deposit imunoglobulin pada ginjal.

2421

AFOPTOSIS

Tetapi ada beberapa problem pada penelitian ini. Pertama, proliferasi limfoid yang masif yang diakibatkan oleh kecacatan apoptosis yang terlihat pada MRL/lpr dan Gld/gld tikus tidak karakteristik untuk SLE pada manusia, y ang ter:rry atajustru didapati limphopenia. Kedua, ekspresi kedua Fas dan FasL normal pada pasien SLE. Terakhir

abnormal kalsifikasi pada artikular kartilago dan tulang subkondral. Apakah kalsifikasi ini berhubungan langsung dengan remodelling dari calsifikasi cartilago yang terdapat pada OA masih belum dipastikan.

apoptosis pada limfosit peripheral pasien SLE

REFERENSI

menunj ukkan peningkatan dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan jumlah apoptosis pada SLE secara teori

Andreoli TE. The Apoptotis syndrome. Am J med 1999;107:488.

akan dapat meningkatkan kebocoran antigen intrasellular yang akan dapat menjadi trigger respons autoimun atau berpartisipasi untuk formasi kompleks imun. Pada keadaan normal sel Apoptotis akan dimakan oleh makrofagh pada fase awal dari kematian sel Apoptotis tanpa menyebabkan inflamasi atau respons imun. Tetapi pada studi terbaru

Aggarval BB Tumor necrosis factors receptor associated signaling molecules and their role in activation of apoptosis, JNK and NF-OB Ann Rheum Dis 2000;59 (suppl I) : i6-i16. Collantes E, Blazques MV, Mazorra V, Macho A, Aranda E, Munoz E. Nuklear factor -6E} activity in T cells from patients with

menunjukkan bahwa pembersihan sel Apoptotis oleh

Elkon KB. Apoptosis. In Wallace DJ, Hahn BH. Dubois'Lupus Erythematosus. Lippincott Williams&Wilkins. 6'h ed. 2002; 145-56. Gewies A. Aporeview introduction to Apoptosis 2003. Available

makrofagh terganggu. Ini tidak hanya terdapat pada monosit dan makrofagh yang terdapat pada darah perifer akan tetapi juga terdapat pada germinal centres lymph nodes Alasan kenapa teqadi gangguan pembersihan pada sel Apoptotis pada SLE memang masih belum jelas. Hal tersebut dapat saja terjadi karena defek kuantitatifataupun kualitatif dari protein komplemen seperti C2, C4 atau C 1 q. Reseptor Clq pada permukaan memiliki mekanisme yang penting untuk pembersihan sel Apoptotis. Pasien atau tikus dengan defisiensi Clq homozigot akan berkembang autoantibodi

ketidakmampuanuntuk membersihkan sel Apoptotis secara efektif, yang akhirnya akan meningkatkan paparan antigen pada sistem imun. Tikus yang dihilangkan Clq memperlihatkan glomerulonefritis dengan deposit imun kompleks dan sel Apoptotis pada dan lupus like syndrome akibat dari

glomerulus.

Anti Clq antibodi bisa ditemukan

pada jumlah yang

banyak pada pasien SLE terutama mereka yang dengan penyakit ginjal. Hal ini dapat berakibat dehsiensi fungsional dari protein receptor. Sepertinya anti-C lq antibodi terutama terdapat abnormal pada kebanyakan pasien SLE, mereka

juga berperan pada mekanisme dari persisten dan kekambuhan penyakit. Meskipun ekspresi bc12 meningkat pada sebagian T sel lupus, hampir keseluruhan apoptosis limfosit meningkat pada SLE. Bersama dengan gangguan pembersihan sel Apoptotis yang terlihat pada pasien SLE, hal ini dapat

menjadi predisposisi untuk berkembangnya antibodi terhadap nucleosom yang mengandung material seperti histone dan dsDNA.

APOPTOSIS PADAOA Apoptosis juga ditemukan pada osteofit cartilago pada OA. Ditemukan peningkatan jumlah kondrosit yang apoptotis. Apoptotis kondrosit yang dilihatkan melalui teknik imunohistokimia berhubungan dengan perubahan degeneratif pada kartilago dan didapati gambaran

rheumatic diseases : A preliminary reporl. Ann Rheum Dis 1998;

57 :738-41.

from http ://www.celldeath. delencyclo/aporev/apointro Ghufron B, Handono K, Kalim H. Apoptosis dan Autoimunitas. Dalam: Kalim H, Handono K, Arsana P.M. Basic Immuno Rheumatology. Malang 2001 : 133-65. Green DR. Apoptosis and the immune system.Dalam : Samters immunologic diseases. Lippincott Wiliams&Wilkirc. 200I, 127 36.

Grodzicky T, Elkon KB. Apoptosis in Reumatoid Disease Am Med. 2000; 108: 73-82

J

Handono K. Apoptosis danAutoimunitas. Dalam : Setiyohadi B, Kasjmir Y Naskah Lengkap Temu Ilmiah Reumatologi 2001 : 1-5.

I

Hough AJ. Pathology of osteoarthritis, In Koopman WJ, Moreland LW. Arthritis and Allied Condition 15s ed ;2005 :2169-9'7 Kawakami A, Eguchi K, Matsuoka N, Tsuboi M, Kawabe ! Aoyagi T, et al. Inhibition of fas antigen-mediated apoptosis of rheumatoid synovial cells in vitro by transforming growth factor 61. Arthritis Rheum. 1996; 39 ; 1267-76 M. Sugiyama, T Tsukazaki, A Yonekura, S Matsuzaki, S Yamashita dan K Iwasaki. Localisation of apoptosis related proteins in the synovium of patients with rheumatoid arthritis. [cited2001December7]. Available from http: www.ard.bmj j ournals.com/c gilcontent/abstract/ Michael W, Alisa EK. Cell cycle implication in the pathogenesis of rheumatoid arthritis, I cited2002apri15 ] . Available from http:/ /www. nums.nourthwestern. edu/-i gp/fasindex/perlmanH.html Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of Systemic lupus erythematosus. Journal of Clinical Pathology, 2003;56:481-90 Mountz JD, Zhou T, Apoptosis and Autoimmunity. In Koopman

WJ, Moreland LW. Arthritis and Allied Condition. Lippincott

Williams&Wilkins 15'h ed. 2005; 573-92. Nishioka K, Hasunuma T, Kato T, Sumida T, Kobata T. Apoptosis in Rheumatoid Artritis. Arthritis Rheum, 1998: 4l : 1'9 Paul P.Tak, Gary S, Firestein. Apoptosis in Rheumatoid Arthritis. In

: J.D. Winkler. Apoptosis and inflammation, Germany ; Birkhauser, 1999: 149-62. Paul PT, Klapwijk MS, Sophie FM, Deliana A, Marieke O and Gary SF. Primary research. Apoptosis and p53 expressions in rat adjuvant arthritis. Arhritis Res 2000, 2 :229'35 Paul PT, Barry B. The pathogenesis and prevention ofjoint damage

in Rheumatoid Arthritis. Arthritis Rheum, 2000; 43,2619-33.

381 PERAN PROTEASE, DERIVAT ASAM AIUIKIDONAT DAN OKSIDA NITRIT PADA PATOGENESIS PENYAKIT REUMATIK B.P. Putra Suryana

Inflamasi dan degradasi kartilago adalah peristiwa utama dalam patogenesis sebagian besar penyakit reumatik. Penelitian yang intens menunjukkan kompleksitas proses tersebut pada berbagai penyakit reumatik, melibatkan berbagai macam sitokin, etzim, dan berbagai senyawa lainnya, yang saling mempengaruhi. Metabolisme asam

Protease dan Degradasi Kartilago Protease berperan pada degradasi kartilago dan pemecahan molekul matriks. Pada artritis degeneratif dan inflamasi, degradasi proteoglikan dan kolagen pada kartilago artikuler disebabkan oleh adanya neulral serine

protease darr metalloproteinase yang berlebih

arakidonat dan berbagai enzimnya mempunyai peran utama pada proses inflamasi. Ketidakseimbangan protease dan

inhibitornya dapat mengakibatkan degradasi matriks kartilago secara berlebihan. Oksida nitrit (ON) juga mempunyai pengaruh yang luas pada proses inflamasi dan kerusakan jaringan. Tulisan ini membahas protease dan

inhibitornya, derivat asam arakidonat dan ON pada penyakit reumatik.

(Poole,1995). Serine protease mengaktifkan matrix metal loprot einas e, juga menghancurkan fibronektin dan molekul matriks lainnya. Neutrofil, sel radang utama pada inflamasi sendi dan efusi sendi, merupakan sumberutama s e r i n e p r o t e as e (B an et,7 97 8 ; McDonald,l 9 80). Cy s t e in e

proteinase cathepsin K disintesis oleh osteoklast dan berperan pada resorpsi tulang, ekspresinya juga meningkat oleh kondrosit pasien OA. Tapi tidak terdapat bukti bahwa

cathepsin

K berperan pada patologi

OA(387)

(Konttinen,2002). Hanya MMP yahg terbukti berperan langsung pada pemecahan molekul pada matriks

PROTEASE

ekstraselular kartilago (3 8 8,3 89)(Lark,1997).

Pada artritis reumatoid (AR), kerusakan permukaan artikuler adalah akibat dari kombinasi efek radikal bebas

Degradasi molekul matriks merupakan b agiat dari proses remodelling dalam pertumbuhan, perkembangan dan turnover matriks pada orang dewasa. Proses tersebut tidak selalu menunjukkan keadaan patologis. Proses tersebut

polimorfonuklear. Radikal bebas yang dilepaskan oleh

diatur secara seksama oleh berbagai sitokin, faktor pertumbuhan dan hormon yang mengatur sintesis

sel-sel tersebut dapat mengaktifkan kolagenase laten (486) (Burkhardt,l 986). Kerusakan kolagen tipe II pada matriks

protease (proteinase) dan inhibitornya. Proteolisis yang berlebihan dapat terj adi sebagai akibat ketidakseimbangan

di zona yang dalam dekat tulang subkondral juga terjadi seperti daerah dekat pannus. Proses tersebut terjadi berkaitan dengan ekspresi sitokin proinflamasi (IL-1, TNF-o) oleh sel-sel sekitarnya (487) (Lethwaite,l995).

dan proteinase yang dilepaskan oleh leukosit

antara proteinase dan inhibitornya. Keadaan tersebut dapat diregulasi secara fisiologis seperti pada growth plate, atau dapat menjadi patologis seperti pada artritis @oo1e,2005). Protease dikelompokkan menjadi 4 kelas yaitu

Kerusakan kartilago yang terjadi

metallo proteinase, serine proteinase, cysleine proteinase, dan aspartate proteinas

e

di sekitar

sel

Qtericellular pattern) pada daerah dekat pannus maupun dekat tulang menunjukkan degradasi oleh MMP yang dihasilkan oleh kondrosit aktifdan sel-sel sinovial. Sitokin

(Poole,2005) (Tabel 1).

2422

PERAN PROTEASE, DERIVAT ASTAM ARAKIDONAT DAN OKSiIDA NITRIT PADA PATOGENESIS PEIYYAKIT REUMATIK

Kelas proteinase

Aktivator

Substrat kartilago Kolagen tipe I, ll, lll, X, lX, aggrecan

Stromelysin-1 (MMP-3)

Stromelysin-1, plasmin, kallikrein, cathepsin B MMP-'14, MMP-2, plasmin Diduga sama dengan collagenase-1 Furn, urokinase, plasmin Plasmin, elastase MMP-14 Urokinase type plasmrnogen activator, MMP-2, MMP-'14, stromelysin-1 Plasmin, cathepsin B

Stromelysin-2 (MMP-1 0) Stromelysin-3 (MMP-1 1 )

Diduga sama dengan stromelysin-l Furln, plasmin

Matrilysin (MMP-7)

Diduga sama dengan stromelysin-1

Aggrecan

Macrophage metalloe/astase (MMP-12) Aggrecanase-1 (ADAMTS-4) Aggrecanase-2 (ADAMTS-11)

Tidak diketahui

Elastin

Tidak diketahui

Aggrecan

Tidak diketahui

Aggrecan

Plasmin (dari plasminogen) Tissue plasminogen activator (dari pro TPA) Urokinase-type plasminogen activator (dari pro UPA) E/astase

Plasminogen activator (UPA, f PA), plasmin, cathepsin B, kallikrein Cathepsin B, kallikrein

Prometalloproteinase

Cathepsin G

Tidak ada

Kallikrein

Faktor Xll

2423

Metallo proteinase Collagenase-1 (MMP-1) Collagenase-3 (MMP-1 3) Collagenase-2 (MMP-8) Membrane type 1 MMP Gelatinase A (MMP-2) Gelatinase B (MMP-9)

Kolagen tipe ll Kolagen tipe ll Aggrecan Denaturated type ll, Aggrecan Proteolisis

Aggrecan, fibronectin, kolagen tipe lX dan Xl, prokolagen, link protein, decorin, elastin Diduga sama dengan stromelysin-1 Proteolrsis

Serine proteinase Plasminogen

Cathepsin B

Tidak ada

Kolagen tipe ll, lX, X,Xl, aggrecan, fibronectin f lMP, aggrecan, elastin,

kolagen tipe ll P rocol I ag e n a se, p

rostromelysi n (?1,

progelatinase (?)

Cysteine proteinase Cathepsin Cathepsin

B L

K Catheosin D Cathepsin

lidak ada fidak ada Tidak ada

Aspartate proteinase Tidak

ada

Procollagen, kolagen tipe ll (te/opepilde) Link protein, e/asfln, kolagen tipe ll (te I o pe pti d e), agg reca n Kolagen lipe ll (intrahelical), aggrecan Aoorecan, denaturated tvpe ll collagen

ADAI\,4TS, a disintegrin and metalloproteinase with thrombospondin motlfs ; MMP, matrix metalloproteinase inhibitor of metalloproteinases; TPA, frssue p/asminogen activator i UPA, urinary plasminogen activator.

mengaktifkan kondrosit untuk menghancurkan matriks (390,391,126). Sebagian besar kolagen tipe II pada seluruh kartilago mengalami kerusakan padaAR, seperti juga pada OA. Perbedaan kerusakan kartilago pada kedua penyakit tersebut adalah pada terbentuknya sitokin prodegradatif yang masifpadaAR oleh sel sinovial, makrofag dan tulang

i Tll\ilP, tissue

pasien OA terjadi defisiensi TIMP dibandingkan dengan collagenas e sehingga terjadi proteolisis yang berlebihan (424,425,426). Inhibitor serine proteinase adalah protease

nexin-1, plasminogen activator inhibitor-1, dan &,-proteinas e inhib itor (425) (Yamada, 1 987). Cys tatin adalah inhibitor cysteine proteinase luga ditemukan pada

subkondral, sehingga kartilago pada AR diserang dari semua sisi (126) (Dodge,l989).

jaringan kartilago (428) (Barrett,l987). TGF-p1 dan IL-6 merangsang sintesis TIMP-1 pada kondrosit (429,430,431) (Gunther 1994). TIMP-3 terdapat pada

lnhibisi Protease Inhibitor metalloproteinase yang disebvt tissue

matriks ekstraselular, lebih efektif meregulasi proteolisis

inhibitor of metalloproteinase (TIMP) ada 4 macam yaitu TIMP-1, TIMP-2, TIMP-3 dan TIMP-4. Pada kartilago

faktor pertumbuhan, hormon, dan senyawa farmakologis

yang disebabkan oleh metalloproteinase. Sitokin,

dapat mempengaruhi keseimbangan proteinase

2424

REI.JMAIOI.OGI

dan inhibitornya, dapat menyebabkan degradasi atau sintesis kartilago (Poole,2005).

(membrane-bound enzym).Aktivitas COX- I terutama pada retikulum endoplasma, sedangkan aktivitas COX-2 pada

nukleus (van der Donk,2002). Hal tersebut menunjukkan adarya perbedaan ekspresi gen dan perbedaan sumber D

ERIVAT ASAM ARAKI DONAT

Asam arakidonat adalah asam lemak yang tersimpan pada membran sel (lipid bilayers) dan berasal dari diit atau disintesis oleh tubuh dari asam lemak esensial, asam linoneat

(linoleic

acifl

asam arakidonat yang dipakai, berarti kedua enzim tersebut bekerja independen pada sistem biosintesis PG. Hipotesis tersebut menjelaskan COX-1 membentuk PG secara

konstitutif yang disekresikan sebagai mediator ekstraselular, sedangkan COX-2 hanya aktifpada keadaan

(Dennis,2000). Eikosanoid (eico s ano id)

tertentu untuk menghasilkan PG dalam nukleus yang

adalah hasil oksigenasi bioaktifdari asam arakidonat dan paling banyak diteliti dari semua klas mediator lipid, yang semuanya tergolong dalam derivat asam arakidonat.

mempengaruhi pembelahan, perhrmbuhan dan diferensiasi

Eikosanoid dan platelet-activating factor (PAF) adalah mediator utama pada inflamasi akut yang menyebabkan

antiinflamasi klasik dengan berbagai efek samping),

tanda kardinal dari inflamasi akut yaitu nyeri, kemerahan, pembengkakan, panas dan gangguan fungsi pada daerah yang terkena (Serhan,2002). Penelitian yang intens terhadap eikosanoid telah memberikan penemuan baru mengenai (a)

isoenzim baru COX-I, COX-2 dan COX-3, (b) senyawa bioaktifbaru, dan (c) identifikasi reseptor (Serhan,2005).

sel (Serhan,1996).

Ekspresi COX-2 dihambat oleh kortikosteroid (obat

COX-I tidak sensitif terhadap obat tersebut. COX-2 diinduksi oleh lipopolisakarida pada makrofag. COX-2 diekspresikan oleh sel endotel sebagai respons terhadap aliran fisiologis dan gaya shear. Sebagian besar produk COX dari sel endotel dihasilkan oleh COX-2 sel sedangkan

endotel. Kemampuan COX-2 membentuk sejumlah besar PGI, menimbulkan efek trombogenik dengan pemakaian inhibitor COX-2. COX-3 diduga berperan dalam resolusi

inflamasi (efek antiinflamasi) (Wi1loughby,2000)

Sintesis Eikosanoid Sebagian besar mediator lipid tidak tersimpan dalam sel, tapi disintesis dari prekursor dalam sel yang dipicu oleh

(29,35,36).

berbagai stimulus. Biosintesis eikosanoid dipicu oleh

stimulus yang meningkatkan kadar kalsium (Ca2*) intraselular dan terjadi melalui mekanisme transduksi signal yang diperantarai oleh reseptor spesifik seperti hormon dan autakoid (autacoifr. Atau melalui disrupsi keutuhan membran sel akibat dari trauma hsik, kimiawi

PAF PAF

aeri I . i I

n,o.oase

FAF tr-"li ?nsrerase

c

[\,4emb.ane

phospholipids rostanes

maupun imun, peristiwa yang dapat mengaktifkan fosfolipase (Dennis,2 000).

Eikosanoid terbentuk oleh aktivitas tiga klas enzim intraselular: cyclooxygenase (COX), lipooxygenase (LO) dan P45 0 epoxy genas e (Gambar). Peran enzim yang terakhir pada patogenesis inflamasi

masih dalam penelitian, tulisan berikut difokuskan pada

Epo

Gambar 1. Biosintesis eikosanoid dan platelet-activating factor (PAF) (dikutip dari Serhan,2005)

biosintesis dan efek eikosanoid yang terbentuk oleh COX

danLO. Asam arakidonat mengalami esterifikasi oleh fosfolipid

yaitu fosfatidilkolin, fosfatidiletanolamin,

dan fosfatidilinositol. Pelepasan atau deasilasi asam arakidonat

yang mengalami esterifikasi oleh fosfolipase spesifik betperan sebagai penghenti (limiting s/ep) biosintesis eikosanoid. Asam arakidonat unesterifiedyang dilepaskan dari membran fosfolipid diubah menjadi produk aktif oleh COX-I atau COX-2 atau LO. Asam arakidonat diubah menjadi PG oleh COX, sedangkan LI dan LX dibentuk oleh aktivitas enzim LO (De Caterina,l993).

Eikosanoid dan lnflamasi PG bekerja lokal (autakoid), mempunyai half-life pendek

dan dimetabolisme dengan cepat dalam sirkulasi atau secara lokal menjadi bahan tidak aktif. PGE, adalah vasodilator yang poten, sebaliknya PGF,, menyebabkan vasokonstriksi. PGD, menghambat agregasi platelet dan

menyebabkan kontraksi otot polos, sedangkan prostasiklin dan tromboksan mempunyai efek sebaliknya. PGE, menyebabkan menyebabkan demam dan memperkuat

efek autakoid lainnya seperti histamin dan serotonin, tapi

tidak menyebabkan nyeri atau perubahan permeabilitas vaskular dan pembengkakan. Prostasiklin, seperti PGE,

Cyclooxygenase (COX) COX adalah enzim yang mengandung

gttg:us

heme dan

merupakan enzim yang berikatan pada membran sel

menyebabkan vasodilatasi dan hiperalgesia (Murata, 1 997). PGE, menghambat fungsi limfosit T, limfosit B dan aktivitas se7 natural killer. Produk COX-2 juga berperan dalam

PERAN PROTEASE, DERIVAT ASAM ARAKIDONAT DAI\ OKSIDA NITRIT PADA PATOGENESIS PENYAKIT

REUMATIK 2425

resolusi dan antiinflamasi endogen/penyembuhan luka

dengan masa kerja singkat yang berperan dalam

(Bandeira-Melo,2000).

neurotransmisi, dilatasi vaskular dan aktivitas antitumor maupun antimikroba (Clancy, 1998). Pentingnya peran ON ditandai dengan pemberian hadiah Nobel kepada peneliti yang pefiama kali menjelaskan efek biologis ON tersebut. Peran ON pada berbagai penyakit tidak dapat diklasifikasikan secara sederhana menjadi baik atau buruk mengingat efeknya yang sangat luas pada berbagai kondisi klinis. Pada sebagian besar kondisi inflamasi,

Leukotrin (leukotriene) diisolasi dari lekosit dan mengandung struktur conjugated triene. Leukotrin dibentuk dari asam arakidonat oleh enzim 5-LO. Campuran dari peptido-containing leukotrienes ([C*, LTD. dan

LTE.) dikenal sebagai slow-reacting substances of anaphylaxis (SRS-A), yang dibentuk oleh sel mast setelah

terjadi paparan antigenik dan transduksi signal yang diperantarai reseptor IgE. LTB. adalah aktivator poten netrofil, sedangkan LTC., LTD* dan LIE. memrnjukkan efek biologis yang berbeda seperti menimbulkan kontraksi otot polos pada berbagai macam jaringan. Senyawa tersebut juga merupakan konstriktor poten terhadap otot polos bronkus. Onset kerjanya cepat dan berlangsung beberapa jam. Efek sistemiknya dapat menimbulkan hipotensi akibat penurunan kontraktilitas miokard, aliran darah koroner dan

termasuk penyakit autoimun dan infeksi, terjadi overproduksi ON, walaupun tidak spesifik untuk penyakit tertentu. ON tampaknya menyebabkan kerusakan jaringan

pada beberapa penyakit, sebaliknya ON membatasi respons inflamasi pada penyakit lain. Oleh karena ifu peran

ON harus ditelaah sendiri-sendiri berdasar patogenesis penyakit tersebut (Oates and Gilkeson,2005).

kebocoran plasma ke ruang ekstravaskular karena peningkatan permeabilitas vaskular. Eosinofil dan basofil

adalah sumber utama mediator inflamasi tersebut (Holgate,1997).

Leukotrin sebagai aktivator netrofil yang poten mempengaruhi respons fungsional netrofil (seperti pembentukan radikal bebas dan pelepasan enzim lisosom), dan sebagai signal awal untuk terjadinya migrasi netrofil ke tempat inflamasi (kemotaksis netrofil) (Pillinger, 1995).

Lekotrin adalah regulator penting imunitas selular dan humoral (Serhan,2005).

Lipoxin adalah 6ikosanoid terakhir yang dapat diidentifikasi, yang juga diduga menunjukkan efek penting pada sel-sel inflamasi sebagai mediator khusus untuk resolusi inflamasi.

LXA.

menghambat kemotaksis dan adesi

netrofil. LXA. melemahkan efek LTC. dan LTDopada otot polos bronkus dan mikrosirkulasi ginjal, menunjukkan bahwa senyawa tersebut berperan sebagai antagonis leukohin endogen (Brink,2003).

Tanda kardinal

Mediator

inflamasi

lipid

lnhibitor

PGE2, LTB4, PAF PGE2, PGI2, LTB4, p6q, p4p PGE2, PGI2, LXA"4, PAF PGE2, LTB4,

Lipoxin, AfL

LTC4, LTD4,LTE4,

PAF

AfL,aspirinlriggered lipoxin P AF,pl ate

I

;

LT,leukotriene

;

LX,tipoxin

lnduksi apoptosis sel, pelepasan autoantigen dalam apoptotic b/ebs lnduksr nekrosis sel lnduksi vasodilatasi dan kebocoran vaskular Membentuk peroxynitrite mengubah fungsi protein (melalui proses nitrasi) lnduksi cycl ooxyg e n a se-2 lnduksi thromboxane synthase nhi bisi prostacycl i n e synth ase lphibisi cafalase Berperan pada stres oksidatif I

Aktivitas anti-inflamasi lnduksi apoptosis sel inflamasi dan sel yang menghasilkan kolagen lnhibisi apoptosis sel spesifik lnhibisi agregasi platelet dan adesi lekosit lnhibisi ekspresi molekul adesi

ProduksiOksida Nitrit Oksida nitrit (ON) terbentuk dari hasil oksidasi asam amino arginine oleh enzim nitric oride synthase (NOS) Terdapat 3 isoform dari enzim nitric oxide synthase (NOS) yaitu neuronal (nNOS atauNOS,), inducible (iNOS atauNOS,)

endogen

Nyeri dan hiperalgesia Kemerahan (vasodilatasi) Panas (lokal dan demam sistemik) Edema (pembengkakan)

Aktivitas pro-inflamasi

;

et activ ati ng facto r ; P G,prosta glandi n.

dan endothelial (eNOS atau NOS,). eNOS diekspresikan pada keadaan normal (secara konstitutif) oleh endotel vaskular, yang diafur oleh gaya shear stress, endotelin, neuropeptida dan sitokin tertentu. ON yang dihasilkan oleh eNOS berperan sangat penting dalam mengontrol tonus vaskular dan pengaturan tekanan darah, serta berfungsi sebagai agen anti-trombosis dan sitoprotektif. ON yang dihasilkan oleh nNOS pada sistem saraf berperan sebagai neurotransmitter, dan juga berperan pada transmisi nyeri

OKSIDA NITRIT

pada inflamasi dan hiperalgesia, serta menginduksi timbulnya demam sebagai respons terhadap lipopolisakarida (LPS). Pengaruh ON neuronal pada

Oksida nitrit (ON) adalah messenger interselular terlarut

endotel, sel otot polos, fibroblast, makrofag dan banyak

inflamasi masih belum diketahui. iNOS diekspresikan pada

2426

REIJMANOI-OGI

Arginine +

OZ

---\o

\

Synthase

Superoxrde (SO)

oz-- +C\ A /\ ---t /

No2 (Nihite)

No3

(Nitrite)

Peroxynitrite matriks

.t

N2

Fibrosis

nitros spe

DNA

Jrosine

Pelepasan Apoptotic

nukleosom Nitrosation Oxidation

(thiols)

Nitrasi

(tipids,

Nitration (tyrosine)

lipoproteins)

L" z' 'L Produksi

autoantibodi Gambar 2. Biokimiawi produksi oksida nitrit (ON) (dikutip dari Oates and Gilkeson,2005)

sel lainnya, yang dirangsang terutama oleh mediator inflamasi dan sitokin (Ignarro LJ,1.990, Clancy, 1998). Berbagai bahan yang merangsang produksi ON antara lain LP S, i nt e r I eu k in - 1 B (IL- 1 B), i n t e rfer o n - y (IFN-y), IFN- cr dan tumor necrosis factor-cr (TNF-cx,). iNOS yang telah

aktif akan memproduksi ON dalam waktu yang lama (Clancy,1998).

Sejumlah mediator inflamasi yang banyak terbentuk pada keadaan inflamasi mampu merangsang produksi ON.

IFN-y adalah stimulus produksi ON yang poten, terutama

bila bersama dengan faktor inflamasi

lainnya

(Mozaffarian, 1995). Lupus nefritis pada hewan coba menunjukkan overproduksi IFN-y pada glomerulusnya. Aktivitas penyakitnya menumn setelah mendapat terapi antibodi monoklonal anti-IFN-y(Ozmen, I 995). TNF-u juga merupakan stimulus produksi ON yang poten. TNF-o, yang banyak terdapat secara lokal pada sinovium sendi pasien artritis reumatoid menyebabkan overproduksi ON pada sendi yang terkena (Feldmann, 1998). Pada manusia, baik IFN-y, TNF-u, IL- 1 p maupun IL- 12, masing-masing maupun

secara bersama-sama merangsang produksi ON oleh makrofagnormal. Namun pada penyakit tertentu, masih belum diketahui peran sitokin ataupun stimulus lainnya terhadap produksi ON oleh makrofag (Morris,1996). IFN-cr diduga mediator yang paling potensial dalam produksi ON melalui iNOS pada manusia (Oates and Gilkeson,2005).

Efek Selular Oksida Nitrit Metabolisme ON sangat bervariasi tergantung pada lingkungan di mana ON tersebut dilepaskan. ON dapat bersifat sebagai ligan terhadap hemoprotein. ON sendiri mempunyai efek langsung terhadap fungsi sel melalui berbagai mekanisme (Oates and Gi1keson,2005). ON dapat

berikatan dengan dengan heme pada cyclic guanylate cyclase yang dapat mengaktifkan enzim tersebut sehingga

terjadi peningkatan kadar cyclic guanosine mono-

Transformasi

sel

Disfungsi

blebs

sintesis inflamasi

Perubahan

mediator

Peningkatan

stres oksidatif

Gambar3. Mekanisme kerusakan jaringan oleh oksida nitrit pada autoimunitas (dikutip dari Oates and Gilkeson,2005)

phosphate, menyebabkan relaksasi otot pada endotel vaskular (Messmer,1995). Dalam lingkungan cairan ON bereaksi dengan oksigen membentuk nitrogen dioksida, suatu oksidan yang poten yang dapat bereaksi dengan aniot phenol maupun thiol. S-nitrosothiols salah satu produknya, mempunyai efek biologis yang penting dalam memperpanjang half-life dari ON. Zat tersebut mampu membawa ONjauh dari tempatterbentuknya melalui proses difusi. Produk ON dan oksigen yang paling dominan dalam sistem biologis adalah NO.- dan S-nitrosothiois. ON dan superoxide (SO) dalam jumlah yang sama akan membentuk peroxynitrite (ONOO ), suatu oxidizer dan mediator patogenik yang penting. Peroxynitrite dapat bereaksi dengan sejumlah molekul biologis seperti protein, asam nukleat dan lipid. Peroxynitrite mengalami metabolisme lebih lanjut membentuk nitrat dan radikal hidroksil, yang sangat reaktif dan toksik terhadap sel (Miranda,2000). ON juga berperan pada apoptosis. ON dapat

meningkatkan apoptosis pada beberapa sel, juga menghambat apoptosis pada sel lainnya, tergantung pada jenis sel dan faktor lokal. ON dapat menginduksi apoptosis melalui berbagai mekanisme meliputi aktivasi p53, dan pelepasan sitokrom c dari mitokondria yang selanjutnya mengaktifkan c as p as e (Ramachandar an,2002). S el yang sensitif terhadap apoptosis akibat ON adalah fibroblast, makrofag, sel ls/e/ pankreas, sel otot polos, kondrosit dan osteoblast (Messmer,1995). ON juga dapat menghambat apoptosis melalui berbagai mekanisme seperli nitrosilasi terhadap caspase teftentu, sehingga terjadi inhibisi tahap

akhir dari kaskade apoptosis Leist,1997). ON juga mempengamhi apoptosis melalui Fas (Nitsch, 1 997).

Oksida Nitrit pada Penyakit Reumatik Peran ON pada berbagai penyakit reumatik telah banyak diteliti, setelah ekspresi iNOS dan produksi ON dapat dideteksi pada penyakit dengan inflamasi dan penyakit autoimun pada manusia. Peningkatan ekspresi iNOS pada

PERAN PROTEASE, DERWAT ASAM ARAKIDONAT DAN OKSTIDA NITRIT PADA PATOGENESIS PEIYYAKIT REUMITTIK

2427

sinovium dan kadar ON dalam cairan sendi terjadi pada pasien artritis reumatoid (AR). Salah satu mekanisme efek toksik ON pada AR adalah melalui apoptosis kondrosit bersama dengan adarya spesies oksigen reaktif (Del Carlo,2002). Ekspresi iNOS juga menginduksi apoptosis osteoblast menyebabkan osteoporosis (Armour,2001). Dapat disimpulkan bahwa terjadi overproduksi ON pada AR, yang berkorelasi dengan aktivitas penyakitnya, dan kadarnya menurun bila terapi berhasil (Oates and

Peran ON pada vaskulitis masih belum jelas, tapi beberapa peneliti menunjukkan peningkatan produksi ON pada penyakit arteritis temporal (Weyand,1996),penyakit Kawasaki (Adewuya,2003), dan Wagener granulomatosis

Gilkeson,2005). Produksi ON juga meningkat pada penyakit lupus, yang

Metabolisme asam arakidonat, terbentuknya oksida nitrit (ON) dan gangguan keseimbangan protease dan inhibitornya menunjukkan mekanisme kerja dan efek yang saling mempengaruhi dalam patogenesis inflamasi dan kerusakan jaringan. Berbagai macam stimulus dapat memicu metabolisme asam arakidonat menghasilkan produk yang menyebabkan peristiwa inflamasi dan mempengaruhi berbagai fungsi sel-sel inflamasi seperti kemotaksis dan adesi. Pada keadaan inflamasi terbentuk berbagai macam mediator yang dapat menjadi stimulus

ditandai oleh peningkatan kadar ON yang dikeluarkan melalui pernafasan. Sebagian besar ON tersebut dihasilkan secara lokal di paru-paru, sehingga kadar ON tersebut tidak

menunjukkan produksi ON sistemik. Terdapat korelasi antara skor SLE Disease Activity Index (SLEDAI) dengan aktivitas anti-DNA dan kadar ON serum (Rolla,l997). Expresi iNOS dapat dibuktikan pada jaringan ginjal pasien lupus. Ekspresi tersebut hanya terjadi pada pasien dengan glomerulonefritis proliferatif fokal (klas III) dan glomerulonefritis proliferatif difus (klas IV), tapi tidakpada semua pasien. Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh saat biopsi, terapi, derajat aktivitas penyakit dan kronisitas penyakit (Wang,1997). Peningkatan ekspresi iNOS pada lupus eritematosus sistemik mungkin disebabkan oleh peningkatan produksi lokal sitokin oleh sel T penolong subset 1 (Tr1) dan mediator inflamasi lainnya pada jaingan tempat terjadinya deposisi kompleks imun dan aktivasi komplemen terjadi (Wong,2002). Pasien skleroderma dengan penyakit paru interstitial

mempunyai kadar ON paling tinggi yang dikeluarkan melalui pemafasan, menunjukkan bahwa penyakit paru inflamasi dan aktivitas iNOS pada alveoli atau interstitium

adalah sumber ON. Tapi, pasien dengan hipertensi pulmonal tanpa penyakit paru interstitial, mempunyai kadar

yang lebih rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa disfungsi endotel lokal menyebabkan penurunan produksi ON dari vaskular pulmonal (Kharitonov,1997). Overproduksi jaringan kolagen pada skleroderma juga akibat peran ON sebagai mediator yang potensial. Pada kulit yang terkena, ekspresi iNOS meningkat pada sel mononuklear, sel endotel dan fibroblast (Yamamoto, I 99 8). Peran ON pada osteoartritis (OA) ditunjukkan dengan

adanya bukti bahwa ON diproduksi oleh kondrosit. Produksi ON oleh kondrosit tergantung stimulasi oleh faktor imun, seperti LPS, IL-1p, TNF-o, IL-17 dan IL-l8 (Olee,1999), Beban mekanik juga menginduksi produksi ON pada kultur kondrosit dan meniskus (Fink,2001). ON hanya berperan pada kerusakan kondrosit hanya

bila terdapat spesies oksigen reaktif. ON juga menghambat produksi matriks akibat dari peningkatan

produksi metalloproteinase. ON secara langsung meningkatkan degradasi matriks protein dan menginduksi apoptosis kondrosit, yang menjadi gambaran utama OA (Del Carlo,2002).

(Heeringa,2001).

RINGKASAN

unhrk sintesis ON. ON tersebut menjadi mediator patogenik karena mempunyai efek biologis langsung dan juga dapat

mempengaruhi apoptosis. Pada osteoartritis, ON meningkatkan degradasi matriks kartilago dan menginduksi

apoptosis kondrosit. Sitokin proinflamasi juga menyebabkan ketidakseimbangan antara protease dan inhibitomya, sehingga terjadi proteolisis matriks kartilago. Matrix metalloproteinase adalah protease utama yang menyebabkan degradasi kartilago pada artritis reumatoid dan osteoartritis.

REFERENST (OKSIDA NITRIT) Armour KJ, Armour KE, van't Hof RJ, et al. Activation of the inducible nitric oxide synthase pathway contribute to inflammation-induced osteoporosis by supressing bone formation and causing osteoblast apoptosis. Arthritis Rheum 2001;44:27 90-2796. Adewuya O, Irie Y, Bian K, et al. Mechanism of vasculitis and aneurysms in Kawasaki disease : role of nitric oxide. Nitric Oxide 2003;8:15-25. Clancy RM, Amin AR, Abramson SB. The role of nitric oxide in inflammation and immunity. Arlhritis Rheum 1998;41:Il4l1

151.

Del Carlo M Jr, Loeser RF. Nitric oxide-mediated chondrocyte cell death requires the generation of additional reactive oxygen s pecies.

Feldmann

Arthritis Rheum 2002:46:393-403.

M, Charles

P, Taylor P, et al. Biological insights from Semin

clinical trials with anti-TNF therapy. Springer Immunop ath

o

I

199 I ;20 :21

1

-228.

Fink C, Fermor B, Weinberg JB, et al. The effect of dynamic mechanical compression on nitric oxide production in the meniscus. Osteoarthritis Cartilage 2001;9:48I-487. Heeringa B Brjl M, de Jager-Krikken A, et al. Renal expression of endothelial and inducible nitric oxide synthase, and formation of peroxynitrite-modified proteins and reactive oxygen species in Wagener's granulomatosis. J Pathol 2001;193:224-232.

2428

REUMAIOI.OGI

Ignarro LJ. Biosynthesis and metabolism of endothelium-derived nitric oxide. Annu Rev Pharmacol Toxicol 1990;30:535-560. Kharitonov SA, Cailes JB, Black CM, et a1. Decreased nitric oxide in

the exhaled air of patients with systemic sclerosis with pulmonary hypertension. Thorax 1997 ;52:1051-1055. Leist M, Volbracht C, Kuhnte S, et al Caspase-mediated apoptosis in neuronal excitotoxicity triggered by nitric oxide. Mol Med 1997 ;3:7 50-1 64

Mozaffarian N, Berman JW, Casadevall A. Immune complexes increase nitric oxide production by interferon-gammastimulated murine macrophage-like J774.16 cells J Leukoc Biol 1995;57 :657 -662. Morris LF, Lemak NA, Amett FC Jq et al. Systemic lupus erythearatosus diagnosed during interferon alpha therapy South Med J 996;89:8 I 0-8 1 4. Messmer UK, Lapetina EG, Brune B. 1

Nitric oxide-induced apoptosis in RAW 264.7 mauophages is antagonized by protein kinase C- and protein kinase A-activating compound. Mol pharmacol 1995;47

:7 57 -7 65

.

Miranda KM, Espey MG, Jourd'heuil D, et al The chemical biology of nitric oxide. In : Ignnaro LJ,ed. Nitric oxide biology and pathobiology. New York : Academic,20O0:41-55. Nitsch DD, Ghilardi N, Muhl H, et a1 Apoptosis and expression of inducible nitric oxide synthase are mutually exclusive in renal mesangial cells. Am J Pathol 1997;150:889-900. Oates JC, Gilkeson GS. Nitric oxide and related compounds. In : Koopman WJ, Moreland LW (eds). Arthritis and allied

conditions.

A textbook of rheumatology,l5,h ed, vol

1

Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2005 : 541-555. Ozmen L, Roman D, Fountoulakis M, et ai. Experimental therapy of systemic lupus erythematosus: the treatment of NZB/W mice with mouse soluble interferon gamma receptor inhibits the onset of glomerulonephritis. Eur J Immunol 1995;25:6-12. Olee T, Hashimoto S, Quach J, et al IL-18 is produced by articular

chondrocytes and induces proinflammatory and catabolic responses. J Immunol 1999;162:1096-1 100. Ramachandaran A, Levonen AL, Brookes PS, et al. Mitochondria, nitric oxide, and cardiovascular dysfunction Free Radic Biol

Med 2002;33 :1465

-147 4.

Rolla G, Brussino L, Bertero MT, et al. Increased nitric oxide in exhaled air in patients with systemic lupus erythematosus. J Rheumatol 1997 ;24:1066-101 1. Wang JS, Tseng HH, Shih DF, et al. Expression of inducible nitric oxide synthase and apoptosis in human lupus nephritis. Nephron 1997 ;7 7 :404-41 l. Wong CK, Ho C! Li EK, et al. Elevated production of interleukin18 in associated with renal disease in patients with systemic lupus erythematosus. C/lzr Exp Immuno I 2002;130:3 45 -3 5 1. Weyand CM, Wagner AD, Bjornsson J, et al. Correlation of the topographical arrangement and the functional pattern of tissue-infiltrating macrophage in giant cell afieritis. J Clin

Dennis EA. Phospholipase ,42 in eicosanoid generation. Am J Respir Crit Care Med 2000;161 (suppl):32-35. De Caterina R, Endres S, Kristensen SD, et al.,eds. n-3 Fatty acrds

and vascular disease. London Springer-Verlag, 1993 :

Murata T, Ushikubi F, Matsuoka T, et al. Altered pain perception and inflammatory response in mice lacking prostacyclin receptor Nature 1997 ;388:678-682. Holgate S, Dahlen S-E,eds. SRS-A to leukotrienes: the dawning of a new treatment. Oxford, UK:Blackwell Science, 1997. Pillinger MH, Abramson SB. The neutrophil in rheumatoid arthritis. Rheumatic Dis Clin North Am 1995;21:.691-774. Serhan CN. Endogenous chemical mediators in anti-inflammation and pro-resolution.Curr Med Chem 2002;1:177 -192.

In : Koopman WJ, Moreland LW (eds) Arlhritis and allied conditions. A textbook

Serhan CN. Eicosanoids and related compounds.

of rheumatology,l5'h ed, vol 1 Philadelphia Williams & Wilkins, 2005 :517-539.

: Lippincott

van der Donk WA, Tsai A-L, Kulmacz RJ The cyclooxygenase reaction mechanism. Biochemistry 2002;41:.1545't-15458. Serhan CN. Signalling the fat controller. Nature 1996;384:23-24. Willoughby DA, Moore AR, Colville-Nash PR. COX-I, COX-2, and COX-3 and the future treatment of chronic inflammatorv disease. Lanc

et

2000 ;3 5 5 :646 -648.

REFERENST (PROTEASE)

A The possible role of neutrophil proteinases in damage to articular caftilage Agents Actions 1978 ; 8:11-18. Burkhardt H, Schwingel M, Menninger H, et al. Oxygen radicals as effector of cartilage destruction: direct degradative effect on matrix components and indirect action via activation of latent collagense from polymorphonuclear leukocytes. Arthritis Rheum Barrett

1986;29:379-387 . Barrett AJ. The cystatins: a new class of peptidase inhibitors. ZPS 1987 ;12:193 -19 6 .

Dodge GR, Poole

AR Immunohistochemical detection and of type II collagen degradation in

immunochemical analysis

human normal, rheumatoid and osteoarthritic articular cartilage and in explants of bovine articular cartilage cultured with interleukin l. J Clin Invest 1989;83:647-661.

! Stephens RW, et al. Proteinases and their inhibitors in normal and osteoarthritic articular cartt\age. Biomed Res 1987;8:289-300. Konttinen YT, Mordelin I, Li T-F, et al, Acidic endoproteinase cathepsin K in the degeneration of the superficial articular hyaline cartilage in osteoarthritis. Artlritis Meum 2002;46:953-960. Lark MW, Bayne EK, Flanagan J, et al. Aggrecan degradation in human cartilage: evidence for both matrix metalloproteinase and aggrecanase activity in normal osteoarthritic and rheumaYamada H, Nakagawa

J Rheumatol 1998;25:314-3t7. Bandeira-Melo C, Serra MF, Diaz BL, et al. Cyclooxygena se-2-derived prostaglandin E, and lipoxin Ao accelerate resolution of allergic edema Angiostrongylus costaricensisinfected rat: relationship with concurrent eosinophilia. J Immuno I 2000;1 64 :l 029 - 103 6. Brink C, Dahlen S-8, Drazen J, et al. International Union of

toid joints. J Clin Invest 1997;100:93-106. Lethwaite J, Blake S, Hardingham ! et al. Role of TNF-cr in the induction of antigen induced arthritis in the rabbit and the anti-arthritic effect of species specific TNF-6 neutralizing monoclonal antibodies. Ann Rheum Dis 1995'54 366-374. McDonald JA, and Kelley DG Degradation of fibronectin by human leukocyte elastase. J. Biol. Chem 1980 ; 255: 8848 8858 Gunther M, Haubeck H-D, Van de Leur E, et al. Transforming grou4h factor o,1 regulates tissue inhibitor of metalloproteinases-1 expression in differentiated human articular chondrocytes.

Pharmacology XXXVII. Nomenclature for leucotriene and lypoxin receptors. Pharmacol Rev 2003;55:195-227.

Poole AR. Cartilage in health and disease. In : Koopman WJ, Moreland

Inves t 199 6;98 : 1 642-1 649. Yamamoto I Katayama I, Nishioka K. Nitric oxide production and inducible nitric oxide synthase production in systemic sclerosis.

Arthritis Rheum

199 4;37

:395-405.

PERANPROTEASE,DERIVATASAMARAKIDONATDANOKITIDANITRITPADAPATOGENESISPENYAKITREUMATIK

LW (eds). Arthritis and allied conditions. A textbook of rheumatoiogy,l5'h ed, vol.1. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2005 :223-269. Poole AR, Alini M, and Hollander AP. Cellular bioiogy of cartilage degradation. In : Henderson B, Pettifer R, and Edwards J, eds. Mechanisms and Models in Rheumatoid Arthritis. Academic Press

Ltd., London, 1995 : 163-204.

! Stephens RW, et al. Proteinases and their inhibitors in normal and osteoarthritic articular cartilage. Biomed Res 1987;8:289-300.

Yamada H, Nakagawa

2429

382 IMUNOGENETIKA PENYAKIT REUMATIK Joewono Soeroso

PENDAHULUAN Imunogenetika adalah suatu konsep pendekatan genetik

untuk mengetahui hubungar. arfiara gen respons imun

dengan suatu kondisi atau penyakit. Tujuan dari imunogenetika adalah untuk membuka wawasan bagi pencegahan primer, terapi, maupun pencegahan sekunder.

Dengan mengetahui gen yang berasosiasi dengan suatu penyakit, bisa diperkirakan jenis antigen yang mencetus penyakit, dan bisa dilakukan modulasi, modifikasi, atau koreksi pada gen tersebut. Berbagai gen yang berperan pada penyakit yang terkait respons imun antara lain; 1) gen human leucocyte antigen (HLA) 2) gen cell receptor (TCR T) 3) gen sitokin 4) gen reseptor sitokin dan 5) gen imunoglobulin, dan 6) gen HSP (heat shock protein) Komponen genetik yang banyak dihubungkan dengan penyakit reumatik adalah gen respons imun yang terletak pada m aj or his t o c o mp at i b il ity c omp I ex (MHC). Pada MHC terletak gen penyandi berbagai molekul respons imun yang paling berperan pada penyakit yatg terkait dengan gen respons imun. Makalah ini difokuskan pada HLA, yang mana mekanisme molekulernya sudah difahami. Faktor risiko genetik dari penyakit reumatik otoimun dapat berupa; 1) variasi/keragamat susunan nukleotida pada gen yang disebut sebagai polimorfisme dan 2) defek genetik akibat mutasi, defek pada proses translasi dan modifikasi pasca translasi. Kedua keadaan tersebut bisa menimbulkan gangguan pada sistem sinyal selular yang akhirnya bisa menimbulkan suatu penyakit.

kromosom no 6, lengan pendek, pita no 2 I sampai 3. Lebih dari 200 gen disandi pada MHC, 40 di antaranya adalah gen human HLA. Pada MHC terdapat 3 regio penyandi yaitu, MHC kelas II yang menyandi HLA kelas II (HLA-D [P,N,M,O,Q,R]), gen transp ort er as s o ci at ed with anti gen

processing (TAP), yang berperan pada pemrosesan antigen oleh HLA kelas I, dan gen latent membrane protein (LMP), Urutan berikut adalah MHC kelas III yang menyandi berbagai protein yang berperan pada respons imun dan inflamasi, seperti TNF u dan p, heat shock protein (HSP), komplemen (C2 danC4), dan sebagainya. Urutan terakhir adalah MHC kelas I yang menyandi HLA kelas I (HLA-B, HLA-C, HLA-A).

DP DN DM OO DQ OR r-I-'r-r-'r-I-r---JrAPBpddd p LUptrAp 0 tso tsts o

B

c

Gambar 1. Organisasi gen MHC manusia pada lengan pendek kromosom 6

HI-A

HLA merupakan molekul yang berperan pada presentasi antigen. HLA kelas I berfungsi untuk mempresentasi antigen oleh sel T CD8+. HlA-kelas II pada presentasi antigen olehAPC kepada sel T CD4+, untuk selanjutnya terjadi

aktivasi sistem kekebalan adaptif, kearah sistem imun selular atau imun humoral, Pada HLA kelas I terdapat 2 ranah pengikatan peptida (o I dan cL 2), 2 ranah mirip imunoglobulin (Brm dan o,3), I ranah transmembran dan I

MHG Region MHC pada manusia merupakan kelompok gen yang berperan respons imun. Gen-gen pada MHC tersusun atas

ranah sitoplasmik HLA kelas II terdiri dari 2 rantai polipeptida yaitu rantai a dengan berat molekul 33 kD (kilo Dalton) dan rantai p (28 kD).

DNA yang terletak pada kromosom 6p21.31 (pada

2430

2431

IMUNOGENETII(A PENYAKIT REUMAIIK

LINKAGE DISQUILIBRIUM Linkage disequilibrium (LD) adalah keberadaan bersama

Ranah peptida

suatu alel HLA dengan alel HLA lain seperti, HLA-DR, DP

dan DQ atau dengan gen lain (mis; C4). Gen HLA diturunkan kepada filialnya tanpa mengikuti hukum

Ranah mirip imonuglobin

Mendel, sehingga frekuensinya pada

Ranah transmembran Ranah

Gambar 2 Gambaran skematik molekul HLA kelas I dan HLA Kelas ll. Pada HLA kelas lterdapal 2ranah pengikatan peptida (a 1 dan a 2),2 ranah mirip imunoglobulin (prm dan o3), 1 ranah transmembran dan 1 ranah sitoplasmik. Pada HLA kelas llterdapat 2 ranah pengikatan peptida (o1 dan pl), 2 ranah mirip imunoglobulin (a2 dan p2),2 ranah transmembran dan 2 ranah sitoplasmik

filial

sulit

diperhitungkan. LD antara suatu HLA dengan HLA yang lain atau gen lain dapat menunjukkan peningkatan risiko suatu penyakit

PENENTUAN TIPE HLA Tipe HLA dapat ditentukan melalui 2 cara'.

POLIMORFISME HLA

Polimorfisme adalah variasi sekuens nukleotida dari orang ke orang pada suatu lokus gen. HLA mempakan molekulpalingpolimorfik di antara semuamolekul di dalam tubuh manusia. Keadaan ini disebabkan merupakan molekul

HlApaling

sering terpapar dengan dunia luar, dalam hal ini

Pada Gen Penyandi Molekul HLA: Di sini ditentukan susunan nukleotida gen HLA tersebut' Metode yang sering dilakukan adalah polymerase chain reaction (PCR), baik dengan hibridisasi maupun deteksi sekuens nukleotida (sekuensing). Cara penulisan HLA

adalah HlA-lokus gen-asterix (*)-digit, misalnya HLA-DRBI*01. (Tabel

l)

adalah antigen eksogen (alloantigen). Karena paparatpaparan dari antigen yang berbeda-beda, celah pengikatan

peptida, strukturnya mengalami adaptasi dan evolusi sehingga susunan asam aminonya sangatbervariasi. Variasi

susunan asam amino pada HVR tersebut dapat mempengaruhi respons imun dan berkaitan penyakit otoimun.. Gen yang paling polimorhk adalah gen HLA-DR yang terdiri lebih dari 330 subtipe. Bentuk polimorfisme arfiaru lain polimorhsme biasa, polimorfisme nukelotida tunggal atau single nucleotide polymorphism (SNP), dan polimorfisme mikrosatelit yaitu pengulangan tandem tiga

Pada Molekul-Protein HLA Molekul HLA adalah produk (ekspresi) dari gen HLA. Penentuan tipe HLA ini biasanya dilakukan dengan metode serologis (reaksi antigen-antibodi), oleh sebab itu disebut

juga dengan spesifisitas serologis (serological specificities). Cara penulisan hanya lokusnya (Tabel

l).

Nama

Menunjukkan

atau empat atau lima nukleotida yang sama pada suatu gen.

HLA

Struktur nukleotida pada HVR sering mirip dengan antigen eksogen, dan ini sering disebut sebagar shared epitope (SE).

HLA-DRB1

Regio HLA dan prefiks untuk gen penyandi HLA Lokus gen HLA tertentu, misal:

DRBl HLA-DRB1 -1 3

Kelompok alel penyandi molekul DR1 3

HLA-DRB1-1 301 HLA-DRB1-1 301

HLA-DRB1.1 3 yang spesifik N

Alel nol HLA-DRB1-13 (tidak menyandi molekul HLA)

HLA-DRB1

-1

3012

HLA-DRB'1.1301102

HLA.DRBl-130,I 1O2N

Alel HLA-DRB1*'13 yang dibedakan karena mutasi Alel d HLA-DRB1*13 dengan mutasi diluar region penyandian Alel nol HLA-DRB1-'l 3dengan mutasi di luar region penyandian

NOMENKLATURGEN HLA

Gambar3. Kristalografi sinar X dari HLA-DRB1.(dari atas) Lokasi asam amino residu 70

-

74 yang polimorfik pada celah pengikatan

peptida pada HVR dari rantai p HLA-DRBl.yang sering dihubungkan dengan AR

Di bawah ini adalah contoh cara pemberian nama gen HLA kelas II berdasarkan nomenklatur HLA tahun 2000 (Bodmer). Nomenklatur tersebut dibuat atas dasar susunan nukleotida (AIGC) dari suatu gen. Untuk gen HlAkelas I,

juga berlaku cara yang sama.

2432

REI,.IMITTOI.OGI

HUBUNGAN POLIMORFISME HLA DENGAN BERBAGAI PENYAKIT REUMATIK Hubungan Polimorfisme HLA. dengan berbagai penyakit

reaktif dan dan psoriatik artritis. Hubungan HL A-B*2705 dengan AS terdapat pada ras Kaukasian, HLA-B*2706 pada orang Asia Tenggara, dan HLA-B*2709 pada orang Sardinia.

reumatik otoimun dilaporkan pertamakali oleh Stastny (1978) yang menemukan asosiasi antara molekul MHC kelas II, yaitu HLA-DR4 dengan artriris reumaroid (AR). Setelah temuan ini banyak para peneliti lain yang melaporkan hubungan antara HLA-Kelas II tipe lain dengan dengan penyakit reumatik yang lain seperti SLE, dermatomiositis, Juvenile ldiopathic Arthritis (JIA), skleroderma, sindrom Sjogren dan sebagainya. HLA-Kelas I seperti HLA-821 juga dihubungkan dengan berbagai penyakit, seperti ankylosing spondilitis, artntis reaktif sindrom Reiter (Tabel 2 dan 3).

HUBUNGAN HLA KELAS II DENGAN PENYAKIT REUMATIKOTOIMUN

HLA-DPB1x020l, HLA-DRBI*08 dan HLA-DRBI*05 mempunyai hubungan yang erat dengan JIA (dahulu disebut Juyenile chronic Arthritis) tipe pausiartikuler.

Sedangkan DRBl*0401 dan

HLA- DRBl*0404

behubungan denga JIA dengan rheumatoid faclor (RF) positif, poliarthritis dengan RR rel="nofollow"> 1 00.

Pada AR gen HLA-DRB1*04, HLA-DRB1*01 HLA-DRBl*10, HLA-DRB1xl4, HLA-DQBl*03,

HLA-DQB 1 *04, dan kombinasi haplotipe HLA-DRB I *

O4-HLA-DQB1*03 dilaporkan di berbagai rregara

Molekul HLA (tes Gen HLA (PCR)

serologis) = serological specificities

B-2701, B*2702, B-2703, B-2704,

B27

Penyakit

psoriatic afthritis *RR

= risiko relatif

Molekul HLA (tes Gen HLA (PCR)

DPBl -020

serologis) = serological specifies

Penyakit

DRB'1.1501f 1503,

DRl5

DRB1"O8

DR8

sLE, (RR=3)

DRB'1-040'1, DRB 1.0403

DR4

dematomiositis (RR=4) RA (RR=7), JIA poliarticular dengan

DRBl.0301

DR3

DRB'1"0312

DR3

DRB1.0404 DRBl.01 02

DR1

:

2,41(SignifikarVS)], sedangkan

*0 I 1

HLA-DRB HLA-DRB I * I 0, HLA-DRB 1 * I 4, ditemukan tidak berhubungan dengan keberadaan AR Di Indonesia,

HLA-DQBI *04 juga berhubungan dengan keberadaanAR IOR:2,70(S]. HLA-DRB I *04 juga berhubungan dengan peningkatan kecacatan dan peningkatan kadar RF (rheumatoid factor). LD antara alel HLA-DRB-HLA-DQB juga berhubungan dengan peningkatan kepekaan keberadaan dari berbagai penyakit reumatik. LD biasanya ditulis dengan istilah kombinasi haplotipe. Pada AR kombinasi haplotipe HLA-DRB1*04-HLA-DQB1*03 IOR : 4,16(5)], dan kombinasi haplotipe HLA-DRBI* 04-HLA-DQB

1

*03[OR:4,01] mempunyai hubr:ngan dengan

AR. JIA pausiartikular SLE (.RR=3), Sindroma Sjogren (RR=6), Juvenile dermatomiositis (RR=a), JIA pausiartikular (RR=5) SLE (RR=3) SLE (RR=3)

1

kelas II yang berhubungan denga AR adalah HLA-DRBl*04 [OR

Ankylosing spondilitis (RR=90"), reactive arthritis, Sindrom Reiter, chronic inflammatory bowel disease or

8.2708,8*2709, B-2710

mempunyai hubungan erat denganAR. Di Indonesia HLA

RF+(RR=5) RA (RR=3)

HLA-DRB1*0312, HLA-DRB1X150I, HLA-*1503, HLA-DRB1*08 juga mempunyai berhubungan erat dengan keberadan SLE, mungkin keadaan inijuga berhubungan dengan LD dari HLA-DR3 dan HLA-DR2 denga alel nol gen C4AAlel nol gen C4Amenimbulkan defek struktural pada molekul C4 sehingga molekul C4 tidak berfungsi secara nornal. Gen lain yang berhubungan dengan SLE antara lain gen FcyRIIa, FcyRIIIa, MBL, dan IL-1Ra.

MEKANISME MOLEKULAR HUBUNGAN HLA DENGAN PENYAKIT REUMATIK OTOIMUN

HUBUNGAN HLA KELAS

I DENGAN

PENYAKIT

REUMATIKOTOIMUN HLA-B27 berhubungan erat dengan anlqtlosing spondilitis (AS), 95% pasienAS membawa HLA-B-27 (RRmencapai > 90), chronic in/lammatory bowel disease (IBD), artritis

HLA Kelas

I

Hubungan antara HLA kelas I dengan penyakit reumatik dapat jelaskan melalui konsep shared epitope/SE antara bakteri intraselular atau produknya dengan HLA-B27 ,yang mana HLA-B27 sebagai otoantigen dikenali oleh sistem

2433

MUNOGET{ETIKA PETiIYAKIT REUMAflK

ini dapat menimbulkan reaksi pengikatan oleh sistem kekebalan seiular. PadaAS misalnya, dapat terjadi aktivasi sel T CD8+ oleh HLA-B27 padaAPC yang belperan sebagi otoantigen, yang mana sel T CD8+ akan mengekspresi perforin dan kekebalan sebagai eksoantigen. Keadaan

HLA-DRB1*SE+ sendiri juga dapat memicu aktivasi dan

proliferasi sel T CD4+ otoreaktif terhadap SE untuk mengawali penyakitAR+

HlAkelas II seperti HLA-DR, HLA-DQ, HLA-DP, juga mempunyai asosiasi yang kuat dengan SLE, demikian juga

granzyfie untuk menghancurkan berbagai sel yang mengekspresi HLA-B27. Konsep SE ini hampir identik dengan yang terjadi pada HLA kelas II (lihat uraian

kombinasi haplotipe HLA-DQAl *0103-DQB 1 *0201,

di bawah ini)

Keberadaan LD tidak berarti bahwa lokus HLA-DR secara tersendiri yang meningkatkan kepekaan timbulnya SLE,

Asosiasi HLA-DRB.10401

72

o o

001

R

K R R R R

1419 0402 0439

o

K

D

E R

0403

0404 0102 1

R R R R R R

R R

73 A A A

A A A A

A A E

kombinasi haplotipe DPB I *0301-DPB 1* 1401, defisiensi

C2,

dala

polimorfisme T-cell receptor b-chain 137,381.

tetapi mungkin akibat LD dengan gen lain seperti polimorfisme ger. tumor necrosis factor (TNF)p, yang terletak pada MHC kelas III atau mungkin gen C 1, C4, C2, FcyRIIa, FcyRIIIa, MBL, dan IL-1Ra

Risiko Risiko Risiko Risiko Risiko Risiko

S€leksi sel T di keleniar Timus - sel T dipapar peptida HLA DRB'1-SE+ - Linkage disequilibriumdengan HLA-DOB1

Protektif Tidak ada

Sel T spesifik SE otoreaktif rendah tetap hidup

Catatan: Q = glutamin, K = lisin, R = arginin, A = alanin, D = asam aspartat, E = asam glutamat

Sel T spesilikasi SE otoreaktif tinggi apoptosis

HLA Kelas ll Salah satu teori yang dapat diterima untuk menghubungan polimorfisme HlAkelas II denganAR adalah teori mimikri molekuler. Kesamaan susunan nukleotida pada HVR dengan antigen eksogen sering disebut dgn konsep SE. Sekuens asam amino nomor 10-71-12-13-74 (QKRAA,

QRRAA, RRRAA) pada celah pengikatan peptida HLA-DR temyata mempunyai stmktur yang sama dengan protein asing seperli E. Coli dnaJ,.EBV-gpll0 dsb. Dimulai sejak kehidupan janin, di mana terjadi seleksi sel T di kelenjar timus. Sel epitel kelenjar timus mengajari sel T yang dipapar dengan ribuan otoantigen termasuk peptida HLA kelas ll, agar kelak sel T dapat toleran terhadap otoantigen tersebut. Kelompok sel T CD4+ yang otoreaktif kuat terhadap SE akan mengalami apoptosis (seleksi negatifl, sedangkan kelompok sel T CD4+ yang otoreaktif rendah terhadap SE tetap hidup dan bersirkulasi (seleksi

positifl. Sebelum timbul penyakit secara klinis, sel T CD4+ otoreaktif rendah mengalami paparan berulang oleh anti-

gen eksogen mirip SE misalnya E. Coli dnal yang diekspresi kontinyu oleh E Coli di dalam usus manusia atau oleh SE yang dipresentasi HLA kelas II atau oleh HLA-DRBI* yang membawa SE (HLA-DRBI*SE+;. Paparan berulang tersebut merubah sel T CD4+ menjadi lebih otoreaktif terhadap SE. Sel T CD4+ otoreaktif kemudian bermigrasi dari darah perifer ke jaringan sinovia Di dalam jaringan sinovia, antigen artrotrofik, seperti

EBV-gpll0 (Epstein Barr Virus-glycoprotein 110), antigen eksogen lain atau peptida diri yang membawa SE atau

L4igran

sel

Pl\,4N

Gambar 4. Model peran HLA-DRB1. dan HLA-DQB1- pada patogenesis AR, berdasarkan kosep mimikri molekular

REFERENSI

Anthony Nolan Bone Marrow Trust. 2001

(http:l I

anth onlrnolan. com).

AA, Studelt G, Truedsson L. Analysis of HLA DR, HLA DQ, C4A, FciRIIa, FcdRIIIa, MBL, and IL-lRa allelic variants in Caucasian systemic lupus erythematosus patients suggests an effect of the combined FciRIIa R/R and IL-1.Ra 212 genotypes on disease susceptibility Arthritis Res

Andreas J, Bengtsson

Ther. 2004; 6(6): R557-R562. Albani S, Carson DA,. A multistep molecular mimicry hypothesis for the pathogenesis of rheumatoid arthritis. Immunology Today 1996; 17 (10):466-470. Auger I, Roudier J,. A Function for the QKRAA amino acid motif mediating binding of dnal to dnaK implications for the association of rheumatoid arthritis with HLA DR4. J Clin Invest 1997; 99(8):1818-1822. Bolstad AI, Roland R. Genetic aspects of Sj
2434

REI,JMITTOX.OGI

Creamer P, Loughlin J. Genetic Factors

in Rheumatic Diseases In: Meumatology. Editors; Klippel JH, Dieppe pA. St Louis Mosby Company 1999 (CD-ROM).

Marsh SGE, Bodmer JQ Albert ED, Bodmer WF, Bontrop RE, Dupont

Dinarello CA, Moldawer LL,20OO. Proinflammatory and anti Inflammatory cytokines in rheumatoid artrhritis. Thousand

Svejgaard A, Terasaki PI, 2001. Nomenclature for factors of the HLA system, 2000. Tissue Antigen 57:236-283. Reveille JD Genetic studies in the rheumatic diseases: present status and implications for the future. J Rheumatol Suppl. 2005 Jan;l2:10-31. Salamon H, Klitz W, Easteal S, Gao X,. Erlich HA, Femandez-Vifra.. Trachtenberg EA, McWeeney SK, Nelson MP, Thomson G, 1999. Evolution of HLA Class II Molecules : Allelic and Amino Acid Site Variability Accross Populations Genetics 152:393-

Oaks : Amgen Inc, pp. 3-21. Gregersen PK, 1997. Genetic analysis of rheumatic diseases. In (Kelley WN, Ruddy S, Harris ED, Sledge CB eds.). Textbook of

Rheumatology 5,h ed. Philadelphia. WB Saunders Coy, pp. 209-227. Hall FC, Bowness, 1996. HLA and disesase: From molecular function to disease association. In : (Browning M, McMichael A eds.). HLA and MHC: genes, molecule and functions Oxford Bios Scientific Publications, pp. 353-376. Howard MC, Spack EG, Choudury K, Greten TF, Schneck Jp, 1999. :

MHC-based diagnostics and theurapeutics-clinical application for disesease-linked genes. Trends Immunology 20(4): 161'164. IMGT(IMunoGeneTics)-HLA, 2003. Database sequence data. http:/ /www.ebi.ac.uk/imgt/hla. Judajana FM. Kuliah immunologi molekuler. Kursus persiapan Disertasi. Graha Masyarakat Ilmiah. FK Universitas Airlanga, Surabaya 2005

Klein J, Sato A, 2000 The HLA system : First of two parts. N Engl J Med 343(10):702-709. La Cava A, Lee Nelson J, Ollier WER, McGregor A, Keystone CE, Carter JC, Scaffuli JS, Berry CC, Carson DA, Albani S, 1997. Genetic bias in immune responses to a cassette shared by different microorganisms in patients with rheumatoid arthritis. J Clin Invest 100(3):658-663.

B, Ehrlich HA, Hansen JA, Mach B, Mayr WR, Parham

p,

Pertersdorf EW, Sasazuki T, Th Schreuder GM, Strominger JL,

400. Soeroso J. Hubungan HLA-DRB dan HLA-DQB1 dengan reumatoid artritis. (Disertasi). Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga

2004

A, Hoza J, Nemcova D, Pospisilova D, Bartunkova J, Vencovsky J.Immunological investigation in children with juvenile chronic arthritis. Med Sci Monit. 2001 Jan-Feb;7(l):99-

Sediva

1

04.

A, Karpasitou K, Georgiou D, Stylianou G, Kokkofitou A, Michalis C, Constantina C, Gregoriadou C, Kyriakides G.HLA-B27 in the Greek Cypriot population: distribution of subtypes in patients with ankylosing spondylitis

Varnavidou-Nicolaidou

and other HLA-82'7-related diseases. The possible protective

role of B*2707. Hum Immuno\ 2004 Dec;65(12):1451-1454.

383 INTERAKSI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI PADA PROSES INFLAMASI Kusworini Handono, Handono Kalim, Meddy Setiawan

keradangan. Pemutusan komunikasi tersebut pada tahap yang mana saja dan melalui mekanisme apa saja akan dapat

PENDAHULUAN

Banyak penelitian pada hewan coba dan manusia memberikan bukti

tentang adanya komunikasi antara

sistem imun dan susunan saraf pusat (SSP), dan pentingnya peran komunikasi tersebut pada terjadinya kerentanan terhadap penyakit keradangan maupun pada gejala-gejala keradangan itu sendiri. Sistem imun dan SSP merupakan bagian tubuh yang selalu menjadi benteng menghadapi gangguan lingkungan yang mengancam kelangsungan hidupnya. Kedua sistem tersebut dirancang

untuk mengenal adanya gangguan lingkungan dan memberikan respons terhadap gangguan tersebut untuk mengembalikan homeostasis. Masing-masing sistem

mengenal gangguan asing yang berbeda : kimiawi, antigenik atau infeksi oleh sistem imun dan psikologis atau fisik oleh SSP, tetapi mereka menggunakan banyak sistem tranduksi yang samaunfuk mencefuskan respons terhadap gangguan yang ada. Sistem tranduksi tersebut mungkin hormonal atau mungkin juga neuronal. Dengan demikian sitokin-sitokin sistem imun tak hanya mempengaruhi sel-sel imun yang lain,tapi juga bekerja sebagai hormon untuk merangsang SSP yang mengontrol respons stres. Sebaliknya, hormonhormon respons stres tak hanya mempengaruhi kelenjarkelenjar neuro endokrin,tapi juga menekan atau merubah respons imun dan keradangan. Sistem imun juga dapat memberikan sinyal pada SSP melalui jalur neuronal, seperti saraf vagus, dan SSP dapat memberikan sinyal pada sistem imun melalui jalur sarafperifer atau simpatik. Berbagai tahap komunikasi antara sistem imun dan SSP tersebut merupakan mekanisme hsiologik penting untuk

mengatur intensitas respons imun dan keradangan, mengatur kerentanan dan ketahanan terhadap penyakit

meningkatkan kerentanan atau menambah beratnya penyakit keradangan. Sebaliknya, pemulihan komunikasi tersebut akan mengurangi keradangan' Dengan demikian,

beratnya keradangan sebagai respons terhadap rangsangan asing tak hanya tergantung pada sifat-sifat rangsangan itu sendiri tapijuga tergantung pada intensitas respons neuronal dan neuro endokrin yang timbul. Pengetahuan tentang hal ini dapat memberikan dasar rasional mengenai mekanisme bagaimana "stress" dapat

mempengamhi timbulnya maupun beratnya penyakit keradangan dan autoimun, oleh karena hormon respons stres yang dicetuskan oleh stres mempunyai efek yang nyatapada respons imun atau keradangan. Dalam makalah ini akan dibicarakan beberapa aspek tentang interaksi neuroendokrin dengan sistem imun: 1)' Respons hsiologis sistem endokrin dan sistem sarafdalam menghadapi stres. 2). Respons/ aktivasi sistem endokrin dan sistem saraf pada keradangan. 3). Pengaruh sistem neuro-endokrin yang secara simultan memberi sumbangan pada patogenesa dan gambaran klinis keradangan dan 4)' Pendekatan alternatif yang didasarkan pada aspek

neuro-endokin untuk terapi keradangan.

Gen respons imun Respons neuro

Gambar 1. Beratnya penyakit keradangan merupakan hasil akhir keseimbangan antara aktivitas respons imun dan respons neuro endokrin dalam menghadapi gangguan dari lingkungan luar'

2436

REI,JMIIiIOI.OGI

RESPONS STRES NEURO ENDOKRIN

neuroendokrin juga merupakan unsur fisiologis yang penting dari respons stres.

Hipotalamus yang merupakan organ sentral resppon stress

neuro endokrin,akan memberikan respons terhadap berbagai rangsangan dengan mensintesa dan mensekresi

neuropeptida corticothropin-releasing hormon (CRH). CRH akan merangsang hipofise anterior mensekresi

adrenocorticotropin (ACTH), yang selanjutnya akan merangsang kelenjar adrenal untuk mensekresi kortikosteroid. Sekresi CRH oleh hipotalamus dikontrol ketat oleh beberapa sistem neurotransmiter yang akan merangsang sekresi tersebut (sistem noradrenergik, serotonergik,dan dopaminergik) dan beberapa sistem lain yang akan menghambat (y-aminobutyric acid: GABA, benzodiasepin maupun glukokortikoid).

RESPONS NEUROENDOKRIN PADAKEMDANGAN Selama terjadi proses keradangan lokal terdapat sejumlah mediator yang dilepaskan oeleh sel-sel imun yang dapat mempengaruhi sel-sel disekitamya (parakrin) maupun selsel ditempat yang jauh melalui aliran darah (endokrin), sepefii TNF,IL -7,IL-2,IL-6, IL- 1 0, IL-12 dan interferon-t. Di samping imun mediator ini, sel-sel imun yang teraktivasi juga beredar diseluruh tubuh. Pada tempat keradangan lokal, serabut afferen sarafsensoris teraktivasi oleh faktor kimiawi, mekanis, panas dan rangsangan imun, sehingga akan terlepas sejumlah neurotransmiter disekitar saraf ter-

.TBehaviorl-

minal. Ketiga mekanisme ini (mediator imun, sel-sel yang teraktivasi, afferen saraf sensoris) semuanya akan meneruskan rangsangannya ke SSP dan organ-organ lain (hati, kelenjar adrenal, kelenjar gonad, dl1).

PERUBAHAN DI TINGKAT SENTRAL PADA HIPOTALAMUS DAN HIPOFISE Pada rangsangan mediator prokeradangan yang kuat, SSP akan bereaksi dengan mengaktifkan aksis hipotalamus-pi-

tuitary-adrenal (HPA) merangsang peningkatan kadar hormon adrenokortikotropik (ACTH) dan steroid adrenal (Gambar 3). Peningkatan aktivitas saraf simpatik akan menyebabkan peningkatan sekresi neurotransmiter System

Gambar 2. Skema komunikasi antara sistem imun dan neuro endokrin

Di samping pengaruh neouroendokrinnya melalui hipofise, CRH juga bekerja sentral dalam otak sebagai suatu neuropeptida, untuk mencetuskan sejumlah perubahan perilaku seperti peningkatan kewaspadaan, perhatian dan penekanan fungsi-fungsi vegetativ seperti pencemaan dan reproduksi. Bersama-sama respons seperti

itu dikenal sebagai respons "kabur atau melawan". Komunikasi sistem CRH hipotalamus dengan dengan jalur noredrenergikjuga teraktivasi selama respons stres, melalui

hubungan anatomis antara hipotalamus dan pusat

noredrenergik dibatang otak. Sebaliknya, sistem noredrenergik batang otak mengirim sinyal ke perifer melalui saraf simpatis. Melalui hubungan seperti itu, unsur

fisiologik respons stres, seperti peningkatan denyut jantung, tonus otot dan keringat, bersamaan dengan respons perilaku, membenfuk respons stres seluruhnya. Penelitian dalam waktu akir-akhir ini menunjukkan bahwa modulasi respons imunbaik oleh sistem simpatis maupun

disekitar saraf terminal. Tetapi, sitokin prokeradangan yang sama misahya IL- 1 , TNF atau endotoxin, akan menghambat sekresi gonadolropin-rel eas ing hormon dari hipotalamus, luteinizing hormon dari kelenjar pituitari, dan berdampak pada produksi testosteron pada pria dan estrogen pada

wanita. Secara fisiologis, selama proses keradangan sistemik sistem reproduksi terhambat dan aksis HPA teraktivasi. Pada manusia dan tikus padakeadaan akut (hari ke I terapi IL-6), IL-6 akan merangsang hipotalamus dan diikuti sekresi dari ACTH. Keadaan yang sama juga terjadi pada pemberian sitokin yang lain seperti IL-1 pada tikus, IL-2

pada manusia serta TNF pada manusia dan tikus. Pemberian sitokin jangka panjang seperi IL-6 akan menghasilkan respons ACTH yang tumpul pada manusia. Pada acute adjuvant-induced arthritis terjadi aktivasi yang kuat padaACTH, dimana pada arhitis kronik akan diikuti oleh CRH hipotalamik yang rendah tetapi dengan kadar

arginin vasopresin yang meningkat. Keadaan ini menunjukkan adanya perubahan respons pada tingkat hipotalamus dan kelenjarpituitari jika sitokin ditingkatkan secara kronik (misal selama keradangan kronik). Pada keadaan seperti itu sekresi CRH danACTH relatif rendah meskipun kadar sitokin meningkat.

INTERAKSII NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI

2437

PADA PROSES INFLAMASI

Adaptasi (perubahan respons) pada hipotalamus

dan P450c17 pada sel Leydig. Kondisi ini menyebabkan

tersebut merupakan prinsip yang fisiologis, namun belum

pengurangan hormon seksual dalam kelenjar gonad. Sebaliknya sitokin prokeradangan yang sama (IL- I , TNF) dan IL-6 mampu merangsang aktivitas enzim aromatase kompleks pada jaringan nongonadal, dan menyebabkan konversi androgen disepanjang jalur estrogen di perifer. Jadi padajaringan kaya makrofag, didapatkan hubungan bermakna antara aktivitas aromatase dan produksi IL-6, yang menghasilkan kadar androgen rendah dan kadar estrogen tinggi. Hasil rasio yang tinggi antara estrogen : androgen telah diamati pada cairan sinovial pada pasien AR pria dan wanita. Selama proses keradangan, terdapat

diketahui berapa konsentrasi sitokin dan waktu yang diperlukan untuk menginduksi proses adaptasi ini pada tingkat hipotalamus atau hipofise pada pasien dengan keradangan menahun. Apabila pada pasien tidak terjadi peningkatan kadar perangsangan sitokin yang konstan, maka perubahan adaptasi pada tingkat ini mungkin tidak terjadi. Terdapat beberapa carabagaimana sitokin dari sistem imun di perifer dapat merangsang SSP.Sitokin mungkin secara aktif dibawa dari darah ke otak melewati barier otakdarah,atau mungkin melewati secara pasif melalui beberapa titik kebocoran tertentu di barier tersebut. Jalur tersebut

pengurangan produksi hormon seksual pada tingkat kelenjar gonad diikuti oleh kadar androgen yang rendah

mungkin lebih banyak timbul pada keradangan atau

pada serum dan cairan tubuh. Namun kadar estrogen relatif

penyakit lain dimana barier otak-darah menjadi lebih permiabel.Akan tetapi sitokin juga dapat menimbulkan

tetap normal karena sitokin prokeradangan merangsang produksi estrogen dari prekursor di sel-sel perifer (sel-sel mama, osteoblast, sel-sel lemak, makrofag) Secara keseluruhan respons SSP/neuro endokrin

efeknya tanpa masuk ke otak.Sitokin dapat diekspresikan pada endotel pembuluh darah otak dandapat merangsang dilepaskannya mediator kedua, seperti prostaglandin dan

ditujukan untuk menghambat proses keradangan di perifer.

di perifer

dengan

nitric oxid, di jaringan otak sekitarnya dan merangsang

SSP menghambat keradangan

neuron pada daerah tersebut. Fakta bahwa efek demam yang ditimbulkan oleh IL-1 dapat dihambat oleh obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) memberikan bukti tentang adarya mekanisme seperti itu. Di samping pengaruhnya langsung pada SSP, sitokin juga dapat mempengaruhi otak

menggunakan dua j alur secara paralel : 1 ) Aksis HPA dengan

melalui jalur saraf, terutama saraf vagus.

Perubahan di Tingkat Perifer : Kelenjar Adrenal dan Gonad Beberapa penelitian pada pasien AR menunjukkan sekresi

kortisol yang rendah dan tidak seimbang dalam

hormon anti keradangan utamanya yaitu kortisol ,.dat2). Sistem saraf simpatik dengan anti keradangan utama neurotransmiter norepinefrin (melalui p-adrenoseptor), adenosin (melalui adenosin 2 lA2) reseptor) dan opioid endogen. Kedua aksis ini mempunyai kemampuan sebagai anti keradangan yang sangat kuatjika mereka bekerja secara paralel. Namun pada AR, aksis-aksis ini mengalami gangguan secara nyata, sehingga menyebabkan hilangnya kemampuan anti keradangar.yatrg di perantarai oleh SSP pada keradangan artikular lokal.

hubungannya dengan kadar sitokin prokeradangan dan keradangan sistemik. Pada penyakit keradangan kronik lain terdapat penumnan relatif kadar kortisol, misalnya pada : Crohn's disease, Sjorgen's syndrome, SLE dan penyakitpenyakit yang lain. Data tersebut menunjukkan adanya ketidak seimbangan antara sekresi kortisol yang rendah dengan keradangan kronik yang berkelanjutan seperti pada artritis reumatoid Reseptor glukokortikoid didapatkan normal atau meningkat pada monosit pasien AR, yang sebelumnya tidak mendapat terapi glukokortikoid. Hal ini mendukung konsep gangguan sekresi kortisol pada beberapa penyakit keradangan menahun seperti artritis reumatoid. Pada pasien AR didapatkan juga penurunan kadar se-

rum androgen adrenal yang bermakna . Keadaan yang sama (dengan penurunan androgen adrenal), terutama DHEAS juga terjadi pada penyakit keradangan kronik lain, seperti Crohn's disease, Ulcerative colitis, SLE, Systemic Sclerosis dan Polymyalgia rheumatica.

Sitokin prokeradangan (IL-1, TNF) merupakan penghambat yang penting pada berbagai fase produksi hormon seksual, seperti halnya aktivitas enzim P450 ssc

Gambar 3. Jalur umpan balik anti-keradangan pada proses keradangan sistemik (model : artritis rematoid)

2438

RELJMA-^IIOLOGI

Perubahan di Tingkat Perifer : Saraf Simpatis dan Sensoris.

Dari salah satu studi menunjukkan konsentrasi yang rendah dari p-adrenoseptor pada limfosit sinovial pasien

Beberapa penelitian membuktikan pengaruh sistem saraf simpatis pada binatang model dengan artritis menahun. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa u-2 adrenergik dan reseptor A1 terlibat pada sensitisasi serabut afferen

intraselular (penurunan jumlah reseptor l) sehingga menimbulkan keadaan prokeradangan dari sel tersebut. Pada studi yang lain tidak mengkonfirmasikan jumlah yang

Sebaliknya pada penelitian lain menunjukkan bahwa artritis

penurunan ekspresi dan aktivitas G protein receptor coupled kinase dalam monosit pasien AR. pengurangan

saraf sensoris, yarrg menyebabkan pelepasan prokeradangan substansi P ke dalam lumen sendi. eksperimental dapat dikurangi dengan pemberian b- adrenergik agonis. Sistem saraf simpatis memainkan dua

peran pentlng tergantung dari ikatan atfiara neurotransmiter simpatik d errgal o,2 atau p- adrenoseptor dan A1 atau A2 adenosin reseptor secara berurutan (Gambar 4). Perbedaan efek dari neurotransmiter simpatik

(norepineprin, epineprin, adenosin) konsisten dengan konsep bahwa stimulasi b-adrenoseptor atau A2 reseptor

meningkatkan cAMP intraselular, dan menghambat produksi sitokin prokeradangan seperti TNF, interferon y, lL-2, darr IL-12. Efek yang berlawanan terjadi jika a-2 adrenoseptor atau Al reseptor di rangsang (Tabel l).

Hormon

atau

Neurotransmiter Kortisol

Modulasi fungsi imun alami dan adaptif

Menghambat kerusakan

oksidatif, kollagenase, presentasi antigen, COX-2, lL-'1, lL-2, lL-6, ll-l2, INF y, TNF, NF-rB dsb Menghambat produksi radikal oksigen, lL,I, IL-6, TNF Menghambat lL-6, aktivitas NK sel Menstimulasi produksi immunoglobulin (konsentrasi fisiologis), menghambat I L-'1, lL-6, TNF (konsentrasi farmakologis) Menghambat radikal oksigen, phagositosis, ekspresi HLA klas I and ll, lL-2,lL-12,lNF y, TNF (tetapi meningkatkan jalur Th2) Menghambat cAMP intraseluler (meningkatkan of TNF) Menghambat radikal oksigen, phagositosis, aktivitas NK sel, ekspresi HLA klas ll, lL-2, INF y,lL-12, TNF (tetapi meningkatkan jalur Th 2) Menghambat cAMP intraseluler Menghambat radikal oksigen, phagositosis, aktivitas NK sel, lL-8, tL-12, INF 1, TNF (tetapi meningkatkan jalur Th2) Menstimulasi radikal oksigen, phagositosis, kemotaksis monosit, aktivitas NK sel, lL-1, lL-2,1L-4,11-8, lL-10, lL-'12, TNF, produksi immunoglobulin, prostaglandin E2

phagositosis, produksi

DHEA Testosteron Estrogen

CAMP

Norepinephrin (a2) Norepinephrin (p)

Adenosin (Al ) Adenosin (A2)

Substansi P

Konsentrasi lokal neurotransmiter simpatik sangat penting

AR, dan menyebabkan penurunan kadar cAMp

rendah dari p--adrenoseptor, tetapi mendapatkan

aktivitas kinase akan menghasilkan stabilisasi jalur signaling b-adrenoseptor (Gambar 4), jaltx kemokin dan substansi P. Hal ini ditunjukkan melalui peningkatan produksi cAMP dan penghambatan sekresi TNF oleh rangsangan p-2 adrenergik pada monosit pasien AR. Pengobatan yang menggunakan bahan penginduksi

cAMP pada pasien AR memberi efek

yang

menguntungkan, pengobatan dilakukan dengan injeksi B- adrenergik agonis atau sintesis analog cAMP kedalam sendi. Dosis rendah methotrexate (MTX) memberikan efek

anti-keradangan, melalui induksi akumulasi adenosin ekstraselular yang berikatan dengan reseptor A2 dan peningkatan oAMP intraselular. Studi terakhir dengan kelompok yang sama menunjukkan bahwa obat anti reumatik yang lain seperti sulfasalazin atau salisilat menimbulkan efek anti keradangan melalui peningkatan konsentrasi adenosine ekstraselular. Kemungkinan lain efek lokal sistem simpatis melalui pelepasan opioid endogen yang terlokalisir pada ujung

terminal saraf simpatik. Beberapa studi saat ini menunjukkan bahwa injeksi intra artikular terutama menggunakan p-opioid-agonis morfin spesifik dapat

mengurangi keradangan pada AR yang kronik. Neurotransmiter simpatis norepineprin (melalui p), adenosin (melaluiA2) atau opioid endogen (melalui p) akan dapat menimbulkan efek anti-keradangan, hanya jika serabut saraf simpatik ada pada jaringan sinovial. Studi

terakhir yang panjang pada pasien AR yang lama (rata-rata sakit 10 tahun) menunjukkan pengurangan serabut saraf simpatis yang sangat bermakna dibandingkan pasien OA, keadaan ini tergantung dari derajat keradangan pasien AR Hal ini dimungkinkan karena pengurangan serabut sarafsimpatis pada penyakit kronik

akan menyebabkan uncoupling keradangan lokal dari input anti-keradangan oleh SSP

Substansi P sebagai neurotransmiter utama prokeradangan, telah diakui sacara luas. (Tabel l) Pemberian lokal antagonis substansi P secara bermakna mengurangi beratnya keradangan pada binatang model. Lebih lanjut pada keadaan normal substansi p mensensitisasi serabut saraf afferen artikuler dan pada tikus yang mengalami keradangan pada sendi lututnya,

untuk imunomodulasi, sehingga kehilangan secara lengkap dari serabut saraf simpatik pada eksperimen simpatektomi akan mengurangi keradangan karena jalur

tekanan mekanik, nyeri dan peningkatan terus menerus

o-2 adrenergik di hilangkan.

P memberikan rangsangan sensasi nyeri yang terus

sehingga menyebabkan peningkatan sensitivitas terhadap dari pelepasan substansi P ke dalam lumen sendi. Substansi

INTERAKSiI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI

2439

PADA PROSES INFLAMASI

menems di perifer. Kapsaisin sebagai obat analgesik, yang primer merusak terminal afferen saraf sensoris, saat ini telah dipergunakan sebagai obat topikal analgesik pada artritis reumatoid. Ada tidaknya afferen serabut saraf sensoris pada jaringan sinovial yang terkeradangan sampai saat ini masih menjadi pertanyaan. Seperli pada penemuan serabut saraf simpatik, kadar substansi P berkurang padajaringan sinovial AR. Pada suatu studi perbandingan menunjukkan bahwa kadar substansi P yang agak tinggi di dapatkan pada pasien

AR dibandingkan dengan pasien OA. Perbandingan langsung substansi P dan serabut simpatik menunjukkan jumlah yang lebih besar dari - l0:1, untuk afferen sensoris

primer dibandingkan dengan efferen simpatis, jumlah afferen sensoris yang besar ini tergantung dari keradangan lokal. Kesimpulannya adalah bahwa jumlah yang berlebihan ini mungkin menyebabkan keadaan prokeradangan yang tidak baik, kondisi ini mendukung proses penyakit AR.

di sel-sel perifer seperti makrofag. Androgen seperti halnya testosteron, mempunyai kemampuan anti keradangan. DHEA dan DHEAS, merupakan kumpulan hormon yang bertanggung jawab pada kondisi anti-keradangan di perifer, pada saat kelenjar gonad mengalami involusi selama proses

penuaan. DHEA mempunyai reseptor intraselular yang berpengaruh langsung pada efek anti-keradangan pada manusia dan hewan. Secara umum, androgen pada konsentrasi fisiologis cenderung unfuk menekan respons imun. Pada konsentrasi fisiologis (10 8 M) dan farmakologis (konsentrasi yang lebih tinggi dari fisiologis) (10j M) testosteron mampu menghambat sekresi IL-l B oleh monosit pada pasien AR'

Pada konsentrasi fisiologis testosteron menghambat sintesa IL- I pada kultur primer makofag sinovial manusia, Pada studi lain dihidrotestosteron mampu menekan ekspresi dan aktivitas human IL-6 gen promotor pada

fibroblast manusia. Hal

ini

mendukung konsep anti

keradangarVefek imunosupresif androgen. Secara umum pada konsentrasi fisiologis, estrogen meningkatkan respons imun dan terutama berperan

,[@D T \\

Sensory nerve fbers

;m\

(uo," )inephrine

Substance P

\Ad znostne //

l\

l P*

'11#\

-l

:'r-\ A;rlr #"F \.-.trarton gAtt-r, f --Y

\I t--;;f___l tl

inflammatoryl l

,inflammatoryl

antiI inftammatorY

Gambar 4. Keterlibatan dari serabut saraf simpatik dan sensoris pada keradangan .jaringan sinovial artritis reumatoid

PERAN NEURO ENDOKRIN PADA MODULASI RESPONS IMUN Selama lebih dari 50 tahun telah dipelajari secara intensif

efek multipel anti keradangan kortisol. Hormon ini mempunyai aktivitas yang multipel sebagai anti

sebagai stimulator imunitas humoral. (Gambar 5). Dari hasil

penelitian dilaporkan bahwa 17 p estradiol mampu meningkatkan produksi IgG dan IgM oleh PBMC pada pria dan wanita, tanpa merubah viabilitas atau proliferasi sel.Studi lebih lanjut mengkonfirmasikan bahwa 17 pestradiol mempunyai kemampuan untuk meningkatkan produksi poliklonal IgG yang meliputi anti double stranded

DNA IgG pada PBMC pasien SLE oleh peningkatan aktivitas sel B melalui IL-10. Efek estrogen bimodal pada produksi sitokin (IL-1, IL-6, TNF), pada konsentrasi farmakologis yang tinggi (10 6 M) terjadi penurunan sintesa, dan peningkatan produksi sitokin terjadi pada konsentrasi fisiologis (<10 8M). Ditunjukkan juga bahwa estrogen mempunyai kemampuan untuk meningkatkan sekresi matriks metaloproteinase oleh sinoviosit ' Kadar estrogen serum pasien dengan AR tidak mengalami perubahan yang berbeda dengan kadar androgen. Hormon steroid dapat dikonversi di sepanjang jalur aktivasi hormon di perifer. Dari hasil penelitian ditunjukkan bahwa konversi DHEA terjadi di dalam makrofag dan

anti keradangan IL-10. Beberapa studi menunjukkan efektivitas dari terapi glukokortikoid pada binatang

tergantung dari status diferensiasi serta adanya endotoksin. Pada wanita post menopause dan pria tua, ketersediaan DHEA adrenal sangat penting untuk memelihara kadar hormon seksual secara bermakna di perifer' Sampai saat ini belum diketahui secara pasti makrofag atau sel imun perifer lain yang mampu mensintesis hormon steroid dalamjumlah cukup dengan menggunakan kolesterol.

dengan artritis dan pada pasien AR. Disimpulkan bahwa pada konsentrasi fisiologis yang tinggi, kortisol (tO-ul0r) akan berfungsi sebagai anti keradangan

PENGARUH SISTEM SIMPATIS PADA RESPONS

keradangan, meliputi: penghambatan sitokin, fagositosis, kerusakan oksidatif, dan menginduksi siklooksigenase 2

(Tabel 1). Selain itu, kortisol secara langsung mengaktifkan respons imun Th-2 in vivo, melalui peningkatan sitokin

Dua hormon adrenal yang disekresikan karena pengaruh stimulasi ACTH adalah dehydroepiadrosterone (DHEA) dan s ulfated derivative DHEAS.DHEA merupakan hormon aktif, yang dapat dikonversi dari reaksi androgen

IMUN

Hormon epineprin adrenal, neurotransmiter gimpatis norepineprin dan adenosin (setelah konversi dari ATP)

2440

REUMIIiTOI.OGI

mempunyai peran ganda dalam imunomodulasi, karena ikatan merekapada G protein-coupled receptor subtypes yang berbeda. Epinefrin lebih cenderung berikatan dengan B-adrenoceptor (reseptor l, pada konsentrasi fisiologis tinggi a-adrenoseptor juga menunjukkan sebagai reseptor 2), dan norepineprin lebih senang berikatan dengan a-adrenoceptor (reseptor 2, pada konsentrasi fisiologis tinggi p-adrenoceptor juga menunjukkan sebagai reseptor l). Adenosin lebih suka berikatan dengan reseptor A1 (reseptor 2). Pada konsentrasi fisiologis tinggi juga berikatan dengan reseptor ,{2 (reseptor l). Ikatan padrenoseptor atau reseptor,A.2 meningkatkan kadar cAMp

intraselular, dan ikatan or-adrenoceptor atau reseptor menurunkan kadar oAMP intraselular (Gambar 6).

Al

Synovial fluid, Cartilage, Bone

TNF lL-10 lL-6

lsc

IL.4 lt-2 lFNy

kadarnya, hal ini berhubungan dengan aktivitas antikeradangan yang maksimum hanya terjadi pada konsentrasi

fisiologis l0

"-

l0 5 M. Sampai saat ini substansi P (Neurotransmiter afferen sensoris) dipandang merupakan neurotransmiter prokeradangan (Tabel 1). Sebagai contoh, substansi p mampu menstimulasi IL-l,IL-2, TNF dan Nuklear Factor rB dari beberapa tipe sel. Hal ini menunjukkan bahwa substansi P merupakan agen prokeradangan yang poten. Peran agen prokeradangan ini pada artritis akut telah dibuktikan.

Aktivasi aksis HPA dan aksis adrenergik secara bersamaan telah dibuktikan mempun yai efek modulasi respons imun yang lebih kuat dari pada efek masingmasing aksis tersebut secara terpisah.Misalnya, pada pengobatan asma secara lokal atau sistemik,p-adrenergik agonis dan glukokortikoid mempunyai efek sinergistik dalam mengeliminasi obstruksi bronkus. Aktivasi yang simultan aksis HPA melalui peningkatan korlisol dan aksis adrenergik melalui peningkatan norepineprin, mempunyai efek tambahan dalam meningkatkan cAMP intraselular (Gambar 6), seperti yang ditunjukkan pada beberapa sel.

Kortisol akan membantu meningkatkan produksi norepineprin dan epineprin dari saraf simpatis terminal dan

medulla adrenal, melalui sintesa enzim. Sehingga peningkatan kadar kortisol dan norepineprin secara bersamaan dengan konsentrasi lokal l0a - l0-5 M

Gambar 5. Efek langsung dan tidak langsung dari androgen (A) dan estrogen (E)pada produksi sitokin/imunoglobulin oleh sinovial/ sel-sel imun pada jaringan sinovial pasien Rheumatoid Arthritis. Tanda (+) : perangsangan dan tanda (-) : penghambatan.

mempunyai efek anti-keradangan yang lebih besar dari pada substansi tersebut berada dalam keadaan tunggal. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kedua sistem antikeradangan yaitu aksis HPA dan aksis adrenergik harus diaktivasi secara simultan untuk mendapatkan efek antikeradangan yang maksimal. Komunikasi aksis HPA dan

aksis adrenergik terlihat terganggu pada penyakit keradangan kronik.

t'::1,:.:r

PERJALANAN PENYAKIT ARTRITIS REU MATOID: SEBUAH MODEL UNTUK INTERAKSI NEURO. ENDOKRIN.IMUN

Gambar 6. Jalur anti-keradangan yang sinergistik antara kortisol dan neurotransmiter- neurotransmiter simpatik, Secara umum peningkatan tonus simpatik akibat dari

aktivitas saraf simpatis akan menghasilkan peningkatan kadar epineprin, norepineprin, dan adenosin (sesudah konversi dari ATP) pada sirkulasi sistemik dan disekitar saraf terminal. Keadaan ini menyebabkan peningkatan cAMP intraselular pada beberapa sel target. Peningkatan oAMP oleh mekanisme ini mampu merangsang beberapa efek anti-keradangan pada mekanisme imun. Konsentrasi lokal molekul efektor simpatik penting untuk diperkirakan

Pada fase awal atau aktivasi dari penyakit, jalur imun alamiah dan adaptif diaktifkan untuk mengeliminasi faktor pencetus yang mungkin untukAR, pada lingkungan mikro

sinovial. Pada fase ini, adalya respons imun

prokeradangan yang kuat untuk mengeliminasi faktor pencetus lokal, akan menyebabkan aktivasi organ-organ jauh seperti SSP, kelenjar pituitari, kelenjar adrenal dan hati .Pada fase awal respons prokeradangan, terjadi umpan balik anti-keradangan untuk mengontrol proses keradangan di sendi-sendi yang jauh. Namun, setelah beberapa minggu, proses keradangan tidak dapat dikontrol lagi secara adekuat karena aksis HPAdan aksis HPG akan menghasilkan hormon steroid anti-keradangan dalam

jumlah yang kurang dan sangat tidak sesuai untuk

INTERAKSI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI

mengatasi keradangan tersebut. Pada kenyataanya serum korlisol dan kadar androgen gonad/adrenal rendah pada keradangan menahun, tetapi kadar serum estrogen tetap normal. Secara simultan dalam periode 14 hari dari fase akut penyakit, jumlah serabut saraf simpatis dan serabut saraf sensoris menurun. Regenerasi serabut saraf terjadi inkomplit dan terbatas hanya pada serabut saraf sensoris saja setelah fase akut keradangan. Hasilnya substansi P dari serabut saraf hampir mencapai kadar normal selama perjalanan panjang dari penyakit, tetapi didapatkan kadar yang sangat rendah dari serabut saraf simpatis. Selanjutnya, kedua hormon steroid dan neurotransmiter

anti-keradangan dari sistem saraf simpatis (antikeradangan hanya terdapat pada konsentrasi tinggi) di sekresi dalam jumlah rendah yang sangat tidak memadai (Gambar 7). Kondisi ini menyebabkan ketidak seimbangan yang berkelanjutan pada lingkungan mikro sinovial dan menyebabkan perburukan penyakit, walaupun pada situasi tanpa adanya trigger awal yang persisten. Pada skenario

patogenesa

2441

PADA PROSES INFLAMASI

AR ini, mekanisme patogenik yang telah

diketahui pada lingkungan mikro sinovial lokal (mekanisme imun lokal) juga dipertimbangkan bersama-sama dengan konsep yang mengalami beberapa perubahan dari dua jalur umpan balik utama sistem anti-keradangan yaitu aksis HPA dan aksis HPG (Gambar 7)

Terapi

Target Substitusi kelenjar adrenal

Substitusi kelenjargonad Substitusi sistem saraf simpatis lokal fialur antikeradangan)

Kortisol dan analognya

:

roepia nd rostero n Testosterone (pasien pria); d e h id

progesteron (estrogen) Adenosin lokal (meningkat dengan metotrexat, sulfasalazin, salisilat); opioid lokal (popioidergic seperti morpin); p-agonis adrenergik lokal; mekanisme peningkatan cAMP lokal

Blokade substansi P

Antagonis Neurokinin recePtor; kaspaisin lokal

Pada suatu studi besar double blind dengan kontrol plasebo terhadap pasien dengan SLE aktif ringan, menunjukkan bahwa DHEA menghasilakan efek hemat

glukokortikoid. Pada waktu yang lebih singkat (4 bulan) studi terbuka terhadap pasien AR, tidak ditemukan efek DHEA pada aktivitas penyakit, namun studi ini tidak difokuskan pada densitas mineral tulang dan paramater jangka panjang lainnya. Efek klinis yang positif, misalnya terpeliharanya densitas mineral tulang dan perlindungan dari atherosklerosis diharapkan timbul setelah I tahun dan bukan dalam waktu 4 bulan. DHEA di perifer di ubah oleh sel target (misal makrofag)

menjadi sejumlah testosteron dan estrogen yang mencukupi, sehingga DHEA dapat dipakai sebagai

tambahan terapi pengganti testosteron

atau

estrogen pada pria atau wanita dewasa yang menderita

AR. Terapi penganti hormon dengan DHEA dapat diperlimbangkan untuk dipakai sebagai terapi pada pasien AR, jika kadar hormon tersebut menurun secara signifikan. Hal ini bermanfaat pada pasien yang secara simultan menerima terapi kortikosteroid dan berisiko tinggi untuk Gambar 7. Ringkasan skenario patogenesis penyakit kronik pada reumatoid artritis

PILIHAN PENGOBATAN BERDASARKAN PERSPEKTIF INTERAKSI NEUROENDOKRIN . IMUN Pendekatan terapeutik yang baru harus dipertimbangkan seiring dengan adanya perubahan jalur umpan balik antikeradangan pada AR (Tabel 2). Berkenaan dengan adanya interaksi imun-endokrin, substitusi kortisol pada pasien AR merupakan prinsip terpenting karena adanya sekresi

yang rendah dari hormon ini sehubungan dengan keradangan. Saat ini penggantian kortisol dosis rendah (f. 7,5 mg Prednison/hari) telah ditetapkan dalam pengobatan AR. Lebih jauh lagi pemberian androgen adrenal seperti DHEA sepertinya menghasilkan efek yang

menguntungkan pada penyakit keradangan kronik.

osteoporosis. Studi jangka panjang diperlukan untuk mengevaluasi efek yang mungkin timbul dari terapi pengganti hormon pada pasien tanpa osteoporosis. Kadar serum estrogen yang normal pada pasien AR dan fungsi estrogen sebagai pemacu respons imun seperti diuraikan sebelumnya, menunjukkan kerterkaitan yang lemah dalam pengujian terapi pengganti hormon estrogen pada pasien AR. Ketertarikan akan pengaruh estrogen ini terlihat pada penggunaan kontrasepsi oral yang memiliki efek protektif terhadap perkembangan RA. Hasil dari beberapa studi terkontrol dengan kontrasepsi oral ternyata memberikan hasil yang saling bertentangan. Studi terbaru menunjukkan hanya pada pemakaian awal dari kontrasepsi oral, pada saat fase inisiasi dari AR yang memiliki efek proteksi dari keradangan poliarthritis. Sampai saat ini, belum ada kesepakatan yang dicapai sehubungan dengan

penggunaan kontrasepsi oral dan kaitannya dengan prevensi danperkembangan RA. Namun jika ada efek, hal

2442

REI.JMIIITIOIOGI

itu merupakan efek yang kecil karena kontrasepsi oral hanya merupakan modulator yang lemah pada AR. Mungkin penggunaan modulator reseptor selektif

estrogen (SERM

-

Selective Estrogen Receptor

Modulators) dapat diperhitungkan. Kandidat SERM dapat menginduksi pembentukan tulang tanpa menginduksi efek prokeradangan sel imun. Mempertimbangkan aktivitas imunosupresif yang

dihasilkan androgen, hormon pria dan derivatnya, tampaknya memberikan pendekatan terapeutik yang paling menjanjikan. Studi terbaru mendukun gadanyaefek

positifdari terapi pengganti androgen adjuvan pada pasien

kortikosteroid saja (pengukuran hasil akhir : skor sendi, paramater keradangan sistemik, kerusakan sendi secara radiologis, densitas mineral tulang),4) Terapi lokal dengan kombinasi kortikosteroid plus morfin dosis rendah dibandingkan dengan kortikosteroid saja (pengukuran hasil akhir : pembengkakan sendi, skor nyeri, durasi efek). Hal-hal yang diungkapkan di atas merupakan 4 contoh

kemungkinan percobaan klinik yang menunjukkan pandangan yang sesuai dengan patogenitas penyakit. Hal tersebut menunjukkan adanya pilihan pengobatan yang menawarkan strategi tambahan terhadap pengobatan AR

AR pria. Obat anti reumatik Cyclosporin A dapat

berdasarkan pendekatan yang difokuskan pada faktor imun-neuroendokrin.

menghasilkan efek anti-keradangan dengan memacu kadar testosteron lokal dan metabolitnya di target sel sinovial. Terapi penggantian sistem saraf simpatis lokal harus ditujukan pada mekanisme yang merangsang kadar cAMp intasel pada sel imun target (Tabel 1). Peningkatan lokal

KESIMPULAN

dari adenosin atau noerepineprin dapat menjadi tujuan terapi. Adenosin ekstrasel yang meningkat akan menghasilkan efek anti-keradangan melalui reseptor -A2 sebagai akibat dari terapi dengan MTX dosis rendah dan

dengan sulfasalazin atau salisilat.

MTX dosis rendah

merupakan salah satu prinsip lain dalam terapi AR, yang dapat mendukung pendapat bahwa kehilangan serabut saraf simpatis menyebabkan rendahnya kadar adenosin,

ini menunjukkan sebagai suatu faktor penting dalam patogenik penyakit. Penggantian lokal dari agonis m-opiodergik dan agonis b-adrenergik akan menjadi prinsip

yang sangat penting. Substansi-P merupakan

neurotransmiter prokeradangan yang penting, sehingga inhibisinya dengan neurokrin 1 antagonis atau kapsaisin lokal dapat dipertimbangkan dalam terapi lokal AR. Berdasarkan pilihan terapi ini, perlu dikaji beberapa percobaan farmakologi klinis untuk dilakukan pada pasien dengan AR. Ini di mungkinkan untuk dijadikan percobaan

di

masa mendatang, yang memerlukan penelitian

multisenter dengan cara kontrol-plasebo dan double blind, sebagai berikut : l) Terapi kombinasi sistemik setidaknya I tahun dengan MTX dosis rendah, kortikosteroid dosis rendah plus DHEA dibandingkan dengan MTX dan kortikosteroid saja (pengukuran hasil akhir : skor sendi, paramater keradangan sistemik, kerusakan sendi secara radiologis, densitas mineral tulang), 2) Terupi sistemik

kombinasi pada pasien pria setidaknya 1 tahun dengan MTX dosis rendah, kortikosteroid dosis rendah plus testosteron dibandingkan dengan MTX dan kortikosteroid saja (pengukuran hasil akhir : skor sendi, paramater keradangan sistemik, kerusakan sendi secara radiologis, densitas mineral tulang), 3) Terapi kombinasi sistemik

setidaknya

I tahun dengan MTX dosis rendah,

korikosteroid dosis rendah plus obat anti depresan (misal

amitriptilin dosis rendah atau antagonis substansi-P yang

baru, MK-869) dibandingkan dengan MTX dan

Dari uraian yang telah disajikan di atas, pernyataan berikut

ini menjadi jelas : 1). Sekresi yang rendah dan tidak memadai dari kortisol sehubungan dengan keradangan

merupakan gambaran yang

tipikal dari penyakit

keradanagan menahun 2). Sekresi androgen adrenal berkurang secara signifikan, yang menjadi problem pada wanita postmenopause dan pria usia lanjut karena kekurangan hormon seks. 3). Kadar serum testosteron

berkurang secara nyata pada penyakit keradangan menahun. 4). Serabut saraf simpatikberkurang secara nyata

di jaringan sinovial pada pasien dengan arlritis menahun

sedangkan serabut saraf sensorik prokeradangan (substansi-P) masih ada. 5). Substansi-P bekerja untuk terus menerus merasakan rangsang nyeri di perifer, dan input nosiseptif dari sendi yang meradang menunjukkan amplifikasi yang besar pada medula spinalis. Hal ini menyebabkan nyeri yang terus menerus dengan stabilisasi input afferen sensori dan pelepasan yang kontinyu dari substansi-P prokeradangan di lumen sendi. Dari fakta inijelas bahwaperubahan sistem umpan balik anti-keradangan memberikan sumbangan yang penting pada patogenesis artritis menahun. Terapi yang di tujukan

pada perubahan ini, harus menghasilkan sebuah mekanisme untuk menggantikan kelenjar adrenal (glukokortikoid), kelenjar gonadal (androgen), dan serabut saraf simpatik (peningkatan adenosin oleh MTX dosis rendah, sulfasalazin dan salisilat) unfuk mengintegrasikan efek imunosupresinya di tempat tokal dari proses keradangan sendi tersebut. Walaupun proses lokal dari sistem imun adaptif penting pada patogenesis fase akut artritis, mekanisme ini menjadi kurang penting pada fase kronik dari penyakit ini dimana tidak ditemukan faktor pencetus yang spesifik. Adanya defek dari sistem umpan balik anti-keradangan merupakan faktor penting pada perburukan artritis menahun. Pendekatan terapi kombinasi dengan dasar imun-neuroendokrin merupakan kepentingan

yang mendasar dalam terapi artritis menahun yang berorientasi secara patogenik.

INTERAKSI NEUROIMUNOENDOKRINOLOGI

Kanda N, Tamaki K. Estrogen enhances immunoglobulin

REFERENSI

production by human PBMCs. J Allergy Clin Immunol

Baerwald CG, Laufenberg M, Specht T. Von Wichert P, Burmester GR,

Krause. A Impaired sympathetic influence on the immune response in patients with rheumatoid arthritis due tolymphocyte subset- spesific modulation of beta 2-adrenergic receptor BrJ Rheumatol 1997 ;36:1262-9. Blab S, Engel J-M, Burmester G-R. The immunologic homunculus in rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1999 ;42 :2499 - 506.

Carson

DA Rheumatoid arthritis:

pathogenesis and future

therapies. Annual Scientific Meeting of the American College of Rheumatology; 1999 Nov 13-17;Boston. Castagnetta L, Cutolo M, Granata OM, Di Faico M, Bellavia V, Cam.rba G. Endogrine end-points in rheumatoid arthritis. Ann N Y Acad Sci 1999:876: 180-91; discussion 191-2.

Chikanza 1C, Petrou P, Kingsley G, Chrousos G, Panayi GS.

Defective hypothalamic response to immune

and

inflammatory stimuli in patients with rheumatoid arthritis Arthritis Rheum 1992;35:1281 - 8. Chrousos GP. The hypothalamic-pituitary-adrenal axis and imune-mediated inflammation N Engi J Med 1995:332:1351 - 62 Cutolo M, Accardo S, Villaggio B, Barone A, Sulli A, Balleari E, et a1 Androgen metabolism and inhibition of interleukin-1 sythesis

in primary cultured human synovial macrophages. Mediators Inflamm 1995;4:138. Cutolo M, Accardo S, Villaggio B, Clerico P, Indiveri F, Camrba G, et al. Evidence for the presence of androgen receptors in the

synovial tissue of rheumatiod arthntis patients and healthy controls. Arthritis Rheum 1992 ; 35 :1007-15. Cutolo M, Sulli A, Seriolo B, Accardo S, Masi AI, Estrogens, the immune response and autoimmunity. Clin exp Rheumatol 1995; 13:217 -26. Cutolo M, Wilder R. Dilferent roles for androgens and estrogens in the susceptibility to autoimmune rheumatic diseases Rheum Dis Clin North Am 2000 ;26:825 - 39. Ebringer A, Wilson C, Tiwana H. Is rheumatoid arthritis a form of reactivearthritis ? J Rheumatol 2000 ;27 : 559 - 63. Ehrhart-Bomstein M, Hinson JP, Bomstein SR, Scherbaum WA,

Vinson GP. Intraadrenal interactions in the regulation of adrenocortical steroidogenesis. EndocrRev 1998;19:101 -43. Eijsbouts A, van den HF, Laan R, de Waal MM, Hermus A, Sweep C,

et al. Similar response of adrenocorticotrophic hormone, cortisol and prolaction to surgery in rheumatoid arthritis and osteoarthritis (letter). Br J Rheumatol 1998;37:1138-9. Firestein GS, Nguyen K, Aupperle KR, Yeo M, Boyle DL, Zvaifler NJ. Apoptosis in rheumatoid arthritis: p53 overexpresion in rheumatoid arthritis synowium. Am J Pathol 1996:149:2143

-

51.

Hales DB, Interleukin-1 inhibits leydig cell steroidogenesis primarily by decreasing 17 alpha-hydroxylase / C 17-20 lyase cytochrome p450 expression. Endrocrinologi 1992;131:2165-'72. Harbuz MS, Jessop DS. Is there a defect in cortisol production in rheumatoid arthritis ? Rheumatology (Oxflord) 1999:38:298

-

302

Hu SK, Mitcho YL, Rath NC. Effect ofestradiol on interleukin 1 synthesis by macrophages. Int J Immunopharmacol 1988; 10:247

-

2443

PADA PROSES INFLAMASI

52.

Imai S, Takunaga Y, Konttinen Y! Maeda ! Hukuda S, Santavirta S Ultrastructure of the synovial sensory peptidergic fibers is distinctively altered in different phases of adjuvant induced arthritis in rats : ultramorphological study Janossy G, Panayi G, Duke 0, Bofill M, Poulter LW, Goldstein G. Rheumatoid arthritis : a disease of T-lymphocte/macrophage immunoregulation. Lancet 1981 ;2: 839-42.

1999;1O3:282

-

8.

Khalkali-Ellis Z, Seftor EA, Nieva DRC, Handa RJ, Price RH Jr, Kirschmann DA, et al. Estrogen and progesterone regulation of human fibroblast-like synoviocyte function in vitro: implications in rheumatoid arthdtis. J Rheumatol 2000;27:1622-31 Konttinen YT, Kemppinen P, Segerberg M, Hukkanen M, Rees R, Santavirta S, et al Peripheral and spinal neural mechanism in arthritis, with particular reference to treatment ol inflammation and pain. Arthritis Rheum 1994 :37 : 965 - 82. Laemont KD, Schaefer CJ, Juneau PL, Schrier DJ. Effects of the phosphodiesterase inhibitor ro'lipram on streptococcal cell

wall-induced arthritis in rats. Int J Immunopharmacol 1999

21:7ll-25.

Lechner 0, Wiegers GJ, Oliveira-Dos-Santos AJ, Dietrich H, Recheis H, Waterman M, et a1 Glucocorticoid production in the murine

thymus Eur J Immunol 2000;30:337 - 46. Levine JD, dark R, Devor M, Helms C, Moskowitz MA, Basbaum A1 Intraneuronal substance P contributes to the severity of experimental arthritis. Science 1984;226:547 -9. Li ZG, Danis VA, Brooks PM. Effect ofgonadal steroids on the production of IL-1 and 1L-6 by blood mononuclear cells in vitro. Clin Exp Rheumatol 1993;! 1:157-62 MacDiarmid F, Wang D, Duncan Ll, Purohit A, Ghilchick MW, Reed MJ. Stimulation of aromatase activity in breast fibroblasts by tumor necrisis factor a1pha. Mo1 cell Endocrinol Metab 1994; 106:17 -21

Mapp PI, Kidd BL, Gibson SJ, Terry JM, Revell PA, Ibrahim NB, et al. Substance P, calcitonin gene-related peptide- and C flanking peptide of neuropeptide Y-immunoreactive fibres are present in notmal synovium but depleted in patients with rheumatoid arthritis. Neuroscience \990:.31 :143-53. Masi AI, Bijisma JW, Chikanza 1C, Pitzalis C, Cutolo M Neuroendocrine, immunologic, and microvascular system interactions in rheumatoid arthritis : physiopathogenetic and theraupeutic perspectives. Semin Arthritis Rheum 1999 ; 29:65-81 MatucciCerinic MM, Konttinen Y, Generini S, Cutolo M. Neuropeptides and steroid hormones in arthritis. Curr Opin Rheumatol 1998 ;17 : 64 - 102. Miller LE, Justen H-P, Scholmerich J, Straub RH. The loss of sympathetic nerve fibers in the synovial membrane of patient with rheumatoid arthritis is accompanied by increased norepineprine release from synovial cel1s. FASEB I 2000,14:2097-

2t07. Muller-Ladner U, Kriegsmann J, Franklin BN Matsumoto S, Geiler ! Gay RE, et al. SyTrovial fibroblasts of patients with rheumatiod arthritis attach to and invade normal human cartilage when engrafted into SClD mice Am J Pathol 1996:149:1607-1533 Naitoh Y, Fukata J, Tominaga ! Nakai Y, Tamai S, Mori K, et a1. Interleukin-6 stimulates the secretion of adrenocorticotropic hormone in conscious, freely-moving rats Biochem Biophys Res Commun 1988; 155:1459

-

63

Niijima A, Hori T, Aou S, Oomura Y. The effects of interleukin-1 beta on the activity of adrenal, splenic and renal sympathetic nerves in the rat. J Auton Nerv Syst1991;36:183-92. Sanden S, Tripmacher R, Weltrich R, Rohde W, Hiepe F, Burmester OR, et al Glucocorticoid dase dependent downregulation of glucocorticoid receptors in patient with reumatic diseases. J

Rheumatol 2000;27 :1265-7 0. Schmidt M, Kreutz M, Loffler G, Scholmerich J. Straub RH. Conversion of dehydroepiandrosterone to downstream steroid

2444

hormones in macrophages. J Endocrinol 2000:164:16l - 9. Seriolo B, Cutolo M, Gamero A, Accardo S. Relationships between

serum 17 beta-oestradiol and anticardiolipin antibody concentrations in female patients with rheumatoid arthritis. Rheumatology (Oxford) 1999;38:1159 - 61. Spector TD, Perry LA, Tubb G Silman AJ, Huskisson EC. Low free testosterone levels in rheumatoid arthritis. Ann Rheum Dis 1988;47:65 - 8. Strenberg EM, Komarow HD. Neuroendocrine immune interactions. Principles and relevance to systemic lupus erythematosus. In Wallace DJ., Hahn BH (eds). Dubois lupus erlhematosus 6,h ed. Lipincott William, Wilkins. Philadelphia. 2002, 3t9-338.

REUM'INOI.OGT

! Mizugaki Y, Matsubara L, Imai S, Koike T, Takada K. Lytic Epstein-Barr virus infection in the synovial tissue of

Takeda

patients with rheumatoid arthritis. Arthritis Meum 2000;43 : t218 - 25. Trang LE, Lovgren 0, Roch-Norlund AE. Horn RS, Waalas 0, Cyclic nucleotides in joint fluit in rheumatoid arthritis and in reiter's syndrome. Scand J Rheumatol 1979;8:91-6. Van der Poll T, Barber AE, Coyle SM, Lowry SF. Hypercortisolemia increases plasma interleukin-10 concentrations during human endotoxemia - a clinical research center study. J. Clin Endocrinol

Metab 1996;81:3604 - 6.

384 ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIS PENYAKIT MU SKULOSKELETAL Harry Isbagio, Bambang Setiyohadi

TERMINOLOGI

RIWAYATPENYAKIT

Sebelum melangkah lebih lanjut sebaiknya terlebih dahulu dikenal berbagai terminologi yang sering digunakan dalam

bidang penyakit reumatik. Hal ini diperlukan untuk kesamaan pengertian agar kita tidak rancu dalam

Riwayat penyakit sangat penting dalam langkah awal diagnosis semua penyakit, termasuk pula penyakit reumatik. Sebagaimana biasanya diperlukan riwayat penyakit yang deskriptifdan kronologis; ditanyakan pula

menggunakannya. Berbagai istilah yang perlu diketahui adalah

faktor yang memperberat penyakit dan hasil pengobatan untuk mengurangi keluhan Pasien.

.

. . .

:

Artralgia: merupakan keluhan subyektif berupa rasa nyeri di sekitar sendi, pada pemeriksaan fisis tidak didapatkan kelainan. Artritis: kelainan sendi obyektif, berupa inflamasi sendi disertai tanda in{lamasi yang komplit (tumor, rubor, kalor, dolor, gangguan fungsi)

Monoarfitis: arbitis yang hanya mengenai satu sendi saja. Oligo artritis/pausi-artikular: artritis yang m eny etang 2 sampai 4 sendi atau kelompok sendi kecil. Dalam hal ini sendi interfalang distal : DIP, sendi interfalang proksimal PIP, sendi metakarpofalangeal: MCP, sendi karpalis,

Umur Penyakit reumatik dapat menyerang semua umur, tetapl frekuensi setiap penyakit terdapat pada kelompok umur tertentu. Misalnya osteoartritis lebih sering ditemukan pada pasien usia lanjut dibandingkan dengan usia muda. Sebaliknya lupus eritematosus sistemik lebih sering di temukan pada wanita usia muda dibandingkan dengan kelompokusia lainnya.

:

sendi metatarsofalangeal : MTP dan sendi tarsalis merupakan kelompok sendi yang kecil yang di hitung sebagai satu sendi walaupun yang terserang beberapa sendi. Contoh bila yang diserang sendi PIP II, PIP [I, PIP IY dan PIP V baik secara serentak atau berurutan

. . . . . .

maka di hitung hanya sebagai satu sendi yang terserang.

Poliartritis: artritis yang menyerang lebih dari 4 sendi kelompok sendi kecil. Sinovotis: inflamasi sinovia sendi yang klinis nyata Tenosinovitis: inflamasi sarung tendon Tendinitis: inflamasi tendon Bursitis : inflamasi bursa Entesopati; inflamasi atau kelainan entesis (tempat melekatnya ligamen, tendon, atau kapsul sendi ke atau

periosteum tulang).

Jenis Kelamin

Pada penyakit reumatik perbandingan jenis kelamin berbeda pada beberapa kelompok penyakit. Pada tabel2 dapat dilihat perbedaan tersebut.

Nyeri Sendi Nyeri sendi merupakan keluhan utama pasien reumatik. Pasien sebaiknya diminta menjelaskan lokasi nyeri serta

punctum maximumnya, karena mungkin sekali nyeri tersebut menjalar ke tempat jauh merupakan keluhan karakteristik yang disebabkan oleh penekanan radiks saraf. Pentingnya untuk membedakan nyeri yang disebabkan

perubahan mekanis dengan nyeri yang disebabkan inflamasi. Nyeri yang timbul setelah aktivitas dan hilang setelah istirahat serta tidak timbul pada pagi hari merupakan

2446

REUMA*IOLOGI

tanda nyeri mekanis. Sebaliknya nyeri inflamasi akan bertambah beratpadapagihari saat bangun tidur dan disertai

kaku sendi atau nyeri yang hebat pada awal gerak dan berkurang setelah melakukan aktivitas. pada artritis reumatoid, nyeri yang paling berat biasanya pada pagi hari, membaikpada sianghari dan sedikit lebihberatpada malam hari. Sebaliknya pada osteoartritis nyeri paling berat pada malam hari, pagi hari terasa lebih ringan dan membaikpada siang hari. Pada artritis gout nyeri yang terjadi biasanya berupa serangan yang hebat pada waktu bangun pagi hari,

sedangkan pada malam hari sebelumnya pasien tidak merasakan ap a-apa,rasalyeri ini biasanya self limiting dal sangat responsif dengan pengobatan. Nyeri malam hari terutama bila dirasakan seperti suatu regangan merupakan nyeri akibat peninggian tekanan intra-artikular akibat suatu nekrosis avaskular atau kolaps tulang akibat artritis yang berat. Nyeri yang menetap sepanjang hari (siang dan malam) pada tulang merupakan tanda proses keganasan.

biasanya akibat desakan cairan yang berada di sekitar jaringan yang mengalami inflamasi (kapsut sendi, sinovia, atau bursa). Kaku sendi makin nyata pada pagi hari atau

setelah istirahat. Setelah digerak-gerakkan, cairan akan menyebar dari jaringan yang mengalami inflamasi dan pasien merasa terlepas dari ikatan (wears ffi. Lama dan beratnya kaku sendi pada pagi hari atau setelah istirahat biasanya sejajar dengan beratnya inflamasi sendi (kaku sendi pada artritis reumatoid lebih lama dari osteoartritis; kaku sendi pada artritis reumatoid berat lebih lama daripada artritis reumatoid ringan).

Bengkak Sendi dan Deformitas Pasien yang sering mengalami bengkak sendi, ada perubahan wama, perubahan benfuk atau perubahan posisi struktur ekshemitas. Biasanya yang dimaksud pasien dengan deformitas ialahposisi yang salah, dislokasi atau sublukasi.

Disabilitas dan Handicap Usia

Muda pertengahan lanjut (2-2s th) (30-s0 th) (65+161 Penyakit Still Spondilitis ankilosis Penyakit Reiter Demam reumatik Artritis pada kolitis ulseratif Artritis septik Gonokok Stafilokok dan infeksi lain Artritis gout Lupus eritematosus sistemik Artritis reumatoid Polimiositis Skleroderma SLE akibat obat Penyakit paget Osteoartritis Polimialgia reumatika Penyakit deposit kalsium pirofosfat Osteopenia Mestastasis karsinoma atau mieloma multipel - : hampir tak pernah terjadi; + :jarang; ++ : sering terjadi;

+

++ ++ ++

+ + +

+

++

++ +

+l-

+++ ++ + + +

+

+++ ++ + ++ ++ ++ +++ ++ +++ ++ +++

+

+++ +++

+ + +

kesukaran bila pekerjaan yang bersangkutan dapat dilakukan sambil duduk saja). Sebaliknya disabilitas ringan

+

++ ++ ++ ++ ++ ++

Disabilitas terjadi apabila suatujaringan, organ atau sistem tidak dapat berfungsi secara adekuat. Handicap terjadi bila disabilitas mengganggu aktivitas sehan-hari, aktivitas sosial atau mengganggu peke4'aan/jabatan pasien. Disabilitas yang nyata belum tentu menyebabkan handicap (seoratg yang amputasi kakinya di atas lutut mungkin tidak akan mengalami

+/- : sangatjarang; +++ : sering terjadi

justru dapat mengakibatkan handicap.

Gejala Sistemik Penyakit sendi inflamatoir baik yang disertai maupun tidak disertai keterlibatan multisistem lainnya akan mengakibatkan peningkatan reaktan fase akut seperti peninggian LED atau CRP. Selain itu akan disertai gejala sistemik seperti panas,

penurunan barat badan, kelelahan, lesu dan mudah terangsang. Kadang-kadang pasien mengeluh hal yang tidak spesifik, seperti merasa tidak enak badan. Pada orang usia lanjut sering disertai gejala kekacauan mental.

Gangguan Tidur dan Depresi Artritis reumatoid Lupus eritematosus sistemik Spondilitis ankilosis Penyakit Reiter Artritis psoriatik Artropati intestinal Artropati reaktif Artritis gout Osteoartritis koksae Osteoartritis lutut dan tangan

Pria < wanita ('l : 3) Pria < wanita Pria > wanita Pria > wanita Pria < wanita Pria = wanita Pria = wanita Pria > wanita Pria = wanita Pria < wanita

Kaku Sendi Kaku sendi merupakan rasa seperti diikat, pasien merasa sukar untuk menggerakan sendi (worn offl. Keadaan ini

Faktor yang berperan dalam gangguan pola tidur antara lain: nyeri kronik, terbentuknya fase reaktan, obat anti inflamasi nonsteroid (indometasin). Pada artropati berat terutama pada koksae dan lutut akan berakibat gangguan aktivitas seksual yang akhimya akan menimbulkan problem perkawinan dan sosial. Perlu diperhatikan pula adanya gejala depresi terselubung seperti retardasi psikomotor, konstipasi, mudah menangis dsb.

PEMERIKSAAN JASMANI Pemeriksaan jasmani khusus pada sistem muskuloskeletal

meliputi:

2447

ANAMNESIS DAI\ PEMERIKSAAN FISIS PENYAKIT MUSKULOSKELETAL

. . .

tatih dengan jangkauan yang pendek-pendek. Tubuh

Inspeksi pada saat diam / istirahat Inspeksi pada saat gerak Palpasi

bagian atas fleksi ke depan dan selama gerak berjalan, lengan tidak diayun.

.

Scissor gait,yaittgayaberjalan dengankeduatungkai

bersikap genu velgum sehingga lutut yang satu berada di depan lutut yang lain secara bergantian.

Gaya Berjalan Gaya berjalan yang normal terdiri dari 4 fase, yaitu heel strike phase, loading/stance phase, toe off phase dan swing phas e. P ada heel strike phas e, lengan dialun diikuti gerakan tungkai yang berlawanalyatg terdiri dari fleksi sendi koksae dan ekstensi sendi lutut. Pada loading/ stance phase, pelvis bergerak secara simetris dan teratur

melakukan rotasi ke depan bersamaan dengan akhir gerakan tungkai pada heel strike phase.Pada toe olfphase, sendi koksae ekstensi dan tumit mulai terangkat dari lantai. Pada swingphase sendi lutut fleksi diikuti dorsofleksi sendi

talokruralis. Gayabe{alan . Heel strike phase . Loading/stance phase . Toe offphase

.

1

Swing phase.

swing phase

.

yang nyeri atau deformitas sementara pada tungkai yang sehat akan lebih lama diletakkan di lantai; biasanya akan diikuti oleh gerakan lengan yang asimetri. GayaberjalanTrendelenburg, disebabkanolehabduksi

koksae yang tidak efektif sehingga panggul

' . .

.

, .

.

kontralateral akanjahrh pada swing phase. Waddle gait, yaitlu gayaberjalan Trendelenburg bilateral sehingga pasien akan berjalan dengan pantat bergoyang. GayaberjalanhisterikaVpsikogenik,

GaYa Berialan phaser, 2. Loading/stance phaser, 3. Toe-off phase; 4. Swtng phas

Gambar 1. Gaya berjalan 1. heel strike phase; 2. loading/stance phase;3. toe off phase;4.

Gaya berjalan yang abnormal : Gaya berjalan antalgik, yaitu gaya berjalan pada pasien artritis di mana pasien akan segera mengangkat tungkai

.

. Heel stike

tidakmemilikipola

tertentu.

Gaya berjalan paraparetik spastik, kedua tungkai melakukan gerakan fleksi dan ekstensi secara kaku dan jari-jari kaki mencengkeram kuat sebagai usaha agar tidak jatuh.

Gaya berjalan paraparetik flaksid (high stepping gait:steppage gait), yaifi gaya berjalan seprti ayam jantan, tungkai diangkat vertikal terlalu tinggi karena terdapat foot drop akibat kelemahan otot tibialis anterior. Gaya berjalan hemiparetik, tungkai yang parese akan digerakkan ke samping dulu baru diayun ke depan karena kolcsae dan lutut tidak dapat difleksikan.

Gayaberjalan ataktik/serebelar (broad base gait),ked\a tungkai dilangkahkan secara bergoyang goyang ke

depan dan ditapakkan secara ceroboh di atas lantai secara berjauhan satu sama lain. Gaya berj alan parkinson (stopping, fes tinant gait), geruk berj alan dilakukan perlahan, setengah diseret, tertatih-

Sikap/postur Badan Perlu diperhatikan bagaimana cara pasien mengatur posisi bagian badan yang sakit. Sendi yang meradang biasanya mempunyai tekanan intra-artikular yang tinggi, oleh karena ifupasien akan berusaha menguranginya dengan mengafur posisi sendi tersebut seenak mungkin, biasanya dalam posisi setengah fleksi. Pada sendi lutut sering diganjal dengan bantal. Pada sendi bahu (glenuhomeral) dengan cara lengan diaduksi dan endorotasi, mirip dengan waktu menggendong tangan dengan kain pada fraktur lengan. Sebaliknya bila dilakukan abduksi dan eksorotasi maka

pasien akan merasa sangat kesakitan karena terjadi peningkatan tekanan intraartikular. Ditemukamya postur badan yang membengkok ke depan disertai pergerakan vertebra yang terbatas merupakan gambaran khas spondilitis ankilosa.

Deformitas Walaupun deformitas sudah tampak jelas pada keadaan diam, tetapi akan lebih nyatapada keadaan gerak. Perlu dibedakan apakah deformitas tersebut dapat dikoreksi (misalnya disebabkan gangguan jaringan lunak) atautidak dapat dikoreksi (misalnya restriksi kapsul sendi atau kerusakan sendi). Berbagai deformitas di lutut dapat terjadi antara lain genu vanrs, genu valgus, genu rekurvatum, subluksasi tibia posterior dan deformitas fleksi. Demikian pula deformitas fleksi di siku. Pada jaringan langanantaru

lairt boutonniere finger, swan neck firtger, ulnar deviation, subluksasi sendi metakarpal dan pergelangan tangan. Pada ibu j ari tangan ditemukan un s t ab I e - Z- s hap e d

2448

REI,IMIIiION.OGI

thumbs. Pada kaki ditemukan telapak kaki bagian depan melebar dan miring ke samping disertai subluksasi ibu jari kaki ke atas. Pada pergelangan kaki terjadi valgue ankle.

merupakan tanda artropati atau penyakit kapsular. Nyeri raba periartikular agak jauh dari batas daerah sendi

Perubahan Kulit

Pergerakan

Kelainan kulit sering menyertai penyakit reumatik atau penyakit kulit sering pula disertai penyakit reumatik.

Pada pemeriksaan perlu

Kelainan kulit yang sering ditemukan antara lain psoriasis dan eritema nodosum. Kemerahan disertai deskuamasi pada

kulit di sekitar sendi menunjukkan adanya inflamasi

merupakan tanda bursitis atau entesopati.

dinilai luas gerak sendi pada

keadaan pasifdan aktifdan dibandingkan kiri dan kanan Sinovitis akan menyebabkan berkurangnya luas gerak sendi pada semua arah. Tenosinovitis atau lesi periartikular

penadikular, yang sering pula merupakan tanda artritis septik

hanya menyebabkan berkurangnya gerak sendi pada satu arah saja. Artropati akan memberikan gangguan yang sama

atau adritis kristal.

dengan sinovitis. Bila gerakan pasif lebih luas dibandingkan dengan gerakan aktifmaka kemungkinan ada

Kbnaikan Suhu Sekitar Sendi Pada perabaan dengan menggunakan punggung tangan akan dirasakan adanya kenaikan suhu disekitar sendi yang mengalami inflamsi.

Bengkak Sendi Bengkak sendi dapat disebabkan oleh cairan, jaringan lunak atau tulang. Cairan sendi yang terbentuk biasanya akan menumpuk di sekitar daerah kapsul sendi yang resistensinya paling lemah dan mengakibatkan bentuk yang khas pada tempat tersebut, misalnya : . Pada efusi lutut maka cairan akan mengisi cekungan

medial dan kantung suprapatelar mengakibatkan

. . .

pembengkakan di atas dan sekitar patelayangberbentuk seperti ladam kuda. Pada sendi interfalang pembengkakan terjadi pada sisi

posterolateral di antara tendon ekstensor dan ligamen kolateral bagian lateral.

Efusi sendi glenohumeral akan mengisi cekungan segitiga di antara klavikula dan otot deltoid di atas otot pektoralis.

Pada efusi sendi pergelangan kaki akan terjadi

gangguan pula pada otot atau tendon. Nyeri gerak merupakan tanda diagnostik yang bermakna, nyeri ringan

hingga sedang yang meningkat tajam bila dilakukan gerakan semaksimal mungkin sampai terasa tahanan disebut sebagai stress pain. Bila didapatkan stress pain pada semua arah gerak, maka maka keadaan tersebut merupakan tanda khas untuk gangguan yang berasal dari luar sendi (tenosinovitis). Nyeri yang dirasakan sama

kualitasnya pada semua arah gerak sendi, lebih menunjukkan gangguan mekanik dari nyeri inflamasi. Resisted active movement merupakan suatu cara pemeriksaan untuk menemukan adatya gangguan periartikular. Pemeriksaan ters ebut dilakukan den gan car a pasien melawan gerakan yang dilakukan oleh tangan pemeriksa, akibatnya terjadi kontraksi otot tanpa disertai gerakan sendi. Bila timbul rasa nyeri maka hal tersebut barasal dari otot, tendon, atau insersi tendon, misalnya pada

'

timbulnya rasa nyeri pangkal paha merupakan tanda tendinitis aduktor.

. Tahanan pada aduksi glenohumeral

pembengkakan pada sisi anterior. Bulge sign ditemukan pada keadaan efusi sendi dengan

jumlah cairan yang sedikit dalam ronggayarrg terbatas. Misalnya pada efusi sendi lutut bila ditakukan pijatan pada cekungan medial maka cairan akan berpindah sendiri ke sisi medial. Baloon sr'gn ditemukanpada keadaan efusi dengan jumlah cairan yang banyak. Bita dilakukan tekanan pada satu titik akan menyebabkan penggelembungan di tempat lain. Keadaan ini sangat spesifik pada efusi sendi. Pembengkakan kapsul sendi merupakan tanda spesifik sinovitis. Pada pembengkakan tergambar batas kapsul sendi, yang makin nyata pada pergerakan dan terabapada pergerakan pasif.

:

Tahanan pada aduksi sendi koksae yang mengakibatkan

.

yang

mengakibatkan timbulnya rasa nyeri pada lengan atas merupakan tanda gangguan otot suprasinatus dan lesi pada tendon. Tahanan pada ekstensi siku yang menyebabkan nyeri pada epikondilus lateralis merupakan tanda tennis elbow.

Sama halnya dengan di atas, pada passive stress test, bila pasien mengikuti gerakan tangan pemeriksa akan timbul rasa nyeri sebagai akibat regangan ligamen atau tendon, misalnya uji Finkelstein pada tenosinovitis De Quervain Qtassive stress otot abduktor polisis longus dan ekstensor polisis brevis menimbulkan rasa nyeri).

Krepitus Krepitus merupakan bunyi berderak yang dapat diraba

Nyeri Raba

sepanjang gerakan struktur yang terserang. Krepitus halus

Menentukan lokasi nyeri rabayatg tepat merupakan hal

merupakan krepitus yang dapat

yang penting untuk menentukan penyebab keluhan pasien.

menggunakan stetoskop dan tidak dihantarkan ke tulang di sekitamya. Keadaan ini ditemukan padaradangsarung

Nyeri raba kapsular/artikular terbatas pada daerah sendi

di dengar

dengan

2449

ANAMNESIS DAN PEIVIERIKSAAN FISIS PET.TYAKIT

tendon, bursa atau sinovia. Pada krepitus kasar, suaranya dapat terdengar dari jauh tanpa bantuan stetoskop dan dapat diraba sepanjang tulang. Keadaan ini disebabkan kerusakan rawan sendi atau fulang.

Bunyi Lainnya Ligamentous snaps mervpakan suara tersendiri yang keras tanpa rasa nyeri. Keadaan ini merupakan hal yang biasa terdengar di sekitar femur bagian atas sebagai click-

ing hips. Cracking merupakan bunyi yang diakibatkan tarikan pada sendi, biasanya pada sendi jari tangan, keadaan ini disebabkan terbentuknya gelembung gas intraartikular. Cracking tidak dapat diulang selama beberapa menit sebelum gas tersebut habis diserap. Cloncking merupakan suara yang ditimbulkan oleh permukaan yang tidak teratur (iregular), suara ini ditemukan misalnya pada gesekan antara skapula dengan

igu.

Atrofi dan Penurunan Kekuatan Otot otot merupakan tanda yang sering ditemukan. Pada

Atrofi sinovitis segera terjadi hambatan refleks spinal lokal terhadap otot yang bekerja untuk sendi tersebut. Pada

artropati berat dapat terjadi atrofi periartikular yang luas. Sedangkan pada jepitan saraf, gangguan tendon atau dtot terjadi atrofi lokal. Perlu dinilai kekuatan otot, karena ini lebih penting dari besar otot.

Perubahan Kuku Perubahan kuku sering ditemukan pada penyakit reumatik, antara lain:

.

Jari tabtth (clubbing finger) berhubungan dengan osteoartropati hipertrofik pulmoner dan alveolitis

'

fibrotik. Thimble

.

Serpihan berdarah (splinter haemorhages) pada

pitting onycholysis (lisis kuku berbentuk

lubang) dan distrofi kuku berhubungan dengan artropati psoriatik dan penyakit Reiter konik.

vaskulitis pembuluh darah kecil.

Lesi Membran Mukosa Keadaan ini sering tanpa gejala (pada penyakit Reiter atau artropati reaktif) atau dengan gejala (lupus eritematosus sistemik, vaskulitis, sindrom Behcet). Perlu diperhatikan adanya ulkus pada oral, genital dan mukosa hidung, telangiektasia.

Gangguan Mata Gangguan mata meliputi

.

:

Episkleritis dan skleritis pada artritis reumatoid,

. . .

vaskulitis dan polikondritis. Iritis pada spondilitis ankilosis dan penyakit Reiter laonik. Irdosklitis pada artritis juvenil kronikjenis pausiartikular' Konjungtivitis pada penyakit Reuter akut dan sindrom sika.

Ketidakstabilan/Goyah Sendi yang tidak stabil/goyah dapat terjadi karena proses trauma atau radang pada ligamen atau kapsul sendi. Pada

artropati dapat terjadi sendi goyah sebagai akibat kerusakan rawan sendi atau inflamasi kapsul atau ruptur ligamerV perlu dibandingkan sendi yang goyah dengan sendi sisi lainnya.

Gangguan Fungsi Fungsi sendi dinilai dengan observasi pada penggunaan normal; seperti bangkit dari kursi dan berjalan dapat digunakan untuk menilai sendi koksae, lutut dan kaki' Kekuatan genggam dan ketepatan menjepit benda halus untuk manilai tangan. Sedangkan aktivitasnya hidup sehari-hari (activities of daily living -- ADL) seperti menggosok gigi, buang air besar, memasak dan sebagainya lebih tepat ditanyakan dengan kuesioner daripada diperiksa langsung.

Nodul Nodul sering ditemukan pada berbagai artropati, umumnya ditemukan pada permukaan ekstensor (punggung tangan, siku, tumit belakang, sakrum). Nodul sering ditemukan

pada artritis gout (tofi) dan artritis reumatoid (nodul reumatoid).

EVALUASI SENDI SATU PERSATU

Sendi Temporomandibular (temporomandibular ioinf = TMJ) TMJ terletak di anterior liang telinga, dibentuk oleh kondilus mandibula dan fossa temporalis. Sendi ini dapat jari di anterior liang telinga di p

dan

embuka dan menutuP mulut dan menggerakan mandibula ke lateral kiri dan kanan bergantian. Gerak vertikal TMJ dapat diukur dengan mengukur jarak gigi seri atas dan bawah pada pada waktu pasien membuka mulut secara maksimal, normal sekitar :-6 .*. Berbagai artritis dapat mengenai TMJ, seperti

artritis kronik juvenilis yang dapat menyebabkan pertumbuhan tulangmandibula terhenti dan mengakibatkan mikrognatia. Pada arhitis yang berat, dapat dipalpasi dan diauskultasi bunyi krepitus atau clicking'

Sendi Sternoklavikular, Manubriosternal dan Sternokostal Sendi sternoklavikular dibentuk oleh ujung medial klavikula dan kedua sisi batas atas stemum. Di keduanya terdapat sendi sternokostal

I.

Sendi manubriosternal

2450

REIJMIITOI.OGI

terletak setinggi sendi sternokostal II. Sendi sternokostal III sampai dengan VII terletak sepanjang kedua sisi ster-

num di distal sendi sternokostal II. dari ketiga sendi tersebut, hanya sendi sternoklavikular yang bersifat diartrosis, sedangkan sendi yang lain merupakan amfiartrosis atau sinkondrosis. Sendi sternoklavikular, berada tepat di bawah kulit, sehingga sinovitis pada sendi ini akan mudah dilihat dan dipalpasi. Sendi ini juga sering terserang spondilitis ankilosa, artritis reumatoid dan osteoartritis. Pada sendi sternokostal, sering didapatkan ata:u rawan iga, keadaan ini disebut osteokondritis.

nyeri pada sendi tersebut

Sendi Akrom ioklavikular (acro

m

ioclavi

cu

lar

joi nt

melakukan rotasi eksternal sendi bahu dan pemeriksa menahannya. Tes positifbila pasien kesakitan, sedangkan resisted active internal rotation pasien melakukan rotasi internal sendi bahu dan pemeriksa menahannya. Tes positif bila pasien kesakitan. Selain kelainan di atas, juga harus dicari kemungkinan robekan rotator cuffyang dapat diperiksa dengan drop-arm sign, yaitupasien tidak mampu menahan abduksi pasif90' sendi bahu.

Sendi Siku Sendi siku dibentuk oleh 3 sendi, yaifi sendi humeroulnar yang merupakan sendi engsel serta sendi radiohumeral dan radioulnar proksimal yang memungkinkan rotasi

lengan bawah. Untuk memeriksa sendi siku, jempol

=ACJ)

pemeriksa diletakkan di antara epikondilus lateral dan

ACJ dibentuk oleh ujung lateral klavikula dan tepi medial prosesus akromion skapula. Pada orang tua sering didapatkan penebalan tulang pada sendi ini. Nyeri lokal pada bahu bersamaan dengan aduksi lengan melewati depan dinding dada, menunjukkan adanyakelainan pada

lateral sulkus paraolekranon, sedangkan lata:u 2 jailainnya pada medial olekranon. Siku harus dalam keadaan santai,

AC.I.

Sendi Bahu

digerakkan fleksi, ekstensi dan rotasi secara pasif, dicari keterbatasan gerak dan krepitus. Bursitis olekranon, akan

tampak dan teraba di atas olekranon, biasanya timbul setelah trauma atau akibat artritis. Pada siku pasien gout juga dapat timbul tofus. Nyeri pada epikondilus lateral dan medial menandakan adanya epikondilitis lateral

Sendi bahu merupakan sendi peluru yang dibentuk oleh kaput humeri dan fossa glenoid skapula. Nyeri pada bagian

Dengan

lateral sendi ini mungkin berasal dari bursa subdeltoid, sedangkan nyeri sepanjang kaput longus bisep biasanya berasal dari tendinitis bisipitalis. Efusi, bila terlihat, akan menggembung ke anterior. Palpasi sendi bahu dan strkturstruktur di sekitamya harus di ikuti dengan pemeriksaan lingkup gerak sendi. Pertama kali, pemeriksa harus memeriks a kemungkinan c edera dan ro t a t o r cuff . T endon

rotasi t

skapula

t( ,.

]

130

lJ

L m

BAHU Fleksi - ekstensi

fiaro6ro:olo

R

yang membent\k rotator cuff terdiri dari ligamen

supraspinatus, infraspinatus. Teres minor dan subskapularis. Untuk mencari adanya lesi pada tendontendon bahu, dilakukat resisted active movemenls sendi bahu, yaitu tes Speed dan tes Yergasson untuk mencari

L

$

lesi pada tendon bisep, resisted active abduction unhtk mencari lesi pada tendon supraspinafus, resisted active external rotation untuk mencari lesi pada tendon infraspinatus dan teres minor dan resisted active intemal

)

\

',,,)

it

l,(

rotation untuk mencari tesi pada tendon suskapularis.

R

Tes ,Speeddilakukan pada

posisi siku ekstensi, kemudian pasien melakukan fleksi sendi bahu sementara pemeriksa menahannya. Tes ini positif bila pasien merasa nyeri pada bahunya. Pada tes Yergasson, siku pasien difleksikan 90", kemudian pasien melakukan supinasi, sementara pemeriksa berusaha menahan agar supinasi tidak terjadi. Tes positif bila pasien kesakitan. P ada resisted active abduction pasien melakukan abduksi sendi bahu dan pemeriksa menahannya. Tes positif bila pasien kesakitan. Bila pasien nyeri pada lateral sendi bahu tetapi resisted actived abduction pasien tidak menimbulkan nyeri, maka nyeri berasal dari bursa subakromnion . P ada r es isted activ e extetual rotation pasien

BAHU Rotasi internal - eksternal

ro

t _-.o,o 50 oo(70) eo]80so80 9o'9090j;;

eoel1m11o--'''ur.

SIKU fleksi-ekstensi

10 m9060

70 60

130 &40

50

RADIO-ULNAR

,ooo pronasl-supinasi oo,o SO 60 to

LR

Gambar 2. Gerak sendi siku

50 60 7o

o

.o.o

.+

SO

60

/to

245t

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIS PENYAKIT MUSKULOSKELETAL

(tennis elbow) dan epikondilitis medial @olfer elbow). Dalam keadaan normal, sendi siku dapat difleksikan 150o - 160" dan ekstensi 0o. Gangguan ekstensi penuh menunjukkan tanda awal sinovitis. Hiperekstensi lebih dari o 5 menunjukkan hipermobilitas.

Pergelangan Tangan Pergelangan tangan merupakan sendi yang kompleks. Tulang-tulang karpal, terdiri dari 8 tulang pendek skafoid, lunatum, trikuetrum, pisiform, trapezium, tr apezoid, kapitatum dan hamatum. Kedelapan tulang tersebut, di proksimal bersendi dengan radius dan ulna, sedangkan di distal bersendi dengan tulang-tulang metakarpal. Tendon otot-otot fleksor longus tangan melewati bagian folar pergelangan tangan di dalam samng tendon di bawah fleksor retinakulum (ligamen transversum karpal). Fleksor retinakulum dan dasar tulang-tulang karpal membentuk terowongan karpal. Nerl'us medianus melalui terowongan

akan mencetuskan parestesi (Phallen b wrist Jlexion sign).

Pada tenosinovitis otot abduktor polisis longus dan

ekstensor polisis brevis (de quervain's stenosing tenosynovitis), deviasi ulnar secara pasif dengan posisi jari-jari dalam keadaan fleksi akan menimbulkan nyeri pada daerah radial pergelangan tangan (tes Finkelstein). Berbagai deformitas yang dapat terjadi antara lain adalah squaring pada tangan, akibat osteofitosis pada sendi karpometakarpal. Sendi MCP, PIP dan DIP merupakan sendi engsel. Pada waktu j ari-jari fleksi, dasar proksimal falang akan bergeser ke depan kaput metakarpal. Kulit pada permukaan palmar

tangan cukup tebal yang menutupi lemak dan tulang metakarpal di bawahnya sehingga palpasi pada permukaan

palmar tangan lebih sukar di bandingkan permukaan

adalah jari ketiga, disusul jari keempat dan kelima. Jari pertama dan kedua jarang terkena. Pada sisi dorsal pergelangan tangan, sering timbul pembesaran kistik yang

dorsal tangan. Artritis reumatoid merupakan kelainan yang sering terjadi pada pergelangan tangan dan tangan yang di tandai oleh pembengkakan pada sendi interfalang proksimal menyebabkan jari berbentuk fusiformis; deviasi ulnar; deformitas swan neck yang merupakan fleksi kontrakfur sendi MCP, hiperekstensi sendi PIP dan fleksi sendi DIP; dan deformitas boutonniere yang merupakan kontrakfur fleksi sendi PIP dan hiperekstensi sendi. Selain itu dapat juga di temukan deformitas Z jari I yang merupakan kombinasi fleksi sendi metakarpofalangeal I dan

disebut ganglion. Sinovitis pada pergelangan tangan, lebih mudah terlihat dari sisi dorsal, karena banyak tendon pada sisi polar yang tumpang tindih. Dalam keadaan normal,

didapatkan adanya nodus Herberden pada sendi interfalang distal dan nodus Bouchard pada sendi

ini superfisial

terhadap tendon fleksor. Aponeurosis

palmar juga menyebar keluar ke daerah palma manus dari

fleksor retinakulum. Pada kontraktur Dupuytren, aponeurosis palmarmenebal dan kontarktur sehingga jarijari terfleksi pada sendi metakarpal. Yang sering terkena

hiperekstensi interfalang I. Pada osteoarlritis tangan sering

pergelangan tangan dapat difleksikan 80o-90o, ekstensi 70o, deviasi ulnar 50o dan deviasi radial 30o. Jepitan nenus medianus pada terowongan karpal, akan

interfalang proksimal. Kelainan lain adalah jari teleskopik akibat resorpsi falang pada artritis psoriatik sehingga menimbulkan lipatan

menyebabkan carpal tunnel syndrome, yang dapat diketahui dengan melakukan perkusi nervus medianus pada retinakulum fleksor yang akan menyebabkan

lorgnette).

parestesia pada daerah yang dipersarafi nervus medianus, yaitu jempol, telunjuk dan jari tengah (tanda tinel). Palmar

fleksi sendi pergelangan tangan selama 30-60 detikjuga

kulit yang konsentrik (opera-glass hand

atau la main en

Selain kelainan sendi, kelainan pada kulit dan kukujuga

harus diperhatikan, misalnya fenomen Reynaud, sklerodaktili pada sklerosis sistemik, onikolisis dan hiperkeratosis subungual yang khas untuk arhitis psoriatik

dan

jari

tabuh (clubbing finger) yang khas untuk

osteoartritis hipertrofi k.

Sendi Koksae Sendi koksae dibentuk oleh kaput femoris dan asetabulum.

20to

PERGELANGAN devEsi rad

0

TANGAN

o-unlar

30

20 10

o

10 20

40 50

260

50

i2 L

R

Gambar 3. Gerak pergelangan tangan

Sendi metakarpopalangeal, interfalang proksimal dan distal (Metacarpophalangeal, proximal and distal interphalangeal iornts = MCP, PlP, DIP)

Lingkup geraknya cukup luas, tapi tidak seluas sendi bahu. Stabilitas sendi dijaga oleh kapsul sendi yang kuat dan dikelilingi oleh berbagai ligamen seperti lig iliofemoral Bertini, lig pubofemoral dan lig iskiokapsular. Sendi koksae juga dikelilingi oleh otot-otot yang kuat. Otot fleksor yang utama adalah otot iliopsoas yang dibantu oleh otot sartorius dan rektus femoris. Aduksi koksae, dilakukan oleh otot-otot aduktor longus, brevis dan magnus dan dibantu oleh otot grasilis dan pektineus. Otot gluteus maksimus merupakan otot abduktor utama, sedangkan gluteus

maksimus dan harmstring muscle merupakan otot

2452

REI.JM/fi)I.OGI

-^ 30

SIAS ke maleolus medialis dengan perbedaan yang dapat

90

di toleransi adalah 1 cm atau kurang. Bila pelvis miring atau terdapat kontraktur abduksi atau aduksi, maka pengukuran dilakukan dari maleolus medial ke titik tubuh

50 40 30

l0

20

20

t0

10

0

0

yang tetap, misalnya xifisternum dan hasilnya disebut

10

10

apparent leg-length discrepancy. Lokasi nyeri pada sendi koksae sangat penting untuk menilai sumber nyeri. Nyeri

2a

uo'o 'o

no

co

-rot-o'00 KoKSAE direkuk)

'oo,,o,ro

90 8o ,o

Fleksi - (lutut

oo 50

40 30

30

20

2A

10

10

0'

0

10

eo so

KOKSAE -^ '" so adukasi-adukasi

oo

7o

ao

so

50 30 20

-'

10 0

-10

), /_..,' /.' ,o C/ 40to

a a*,

20

lo o

lo

/ \..\ -,/ \\

RorASt ] ,n xo<snr 4o oou uo

20

30

,r,

,nr'o 'o 'o ' "

t'

'

*) -oo

uo

l'rr.

R

Gambar 4. Gerak sendi koksae

ekstensor koksae. Pemeriksaan koksae dimulai dengan mengamati pasien

dalam keadaan berdiri di muka pemeriksa. Bila panggul terlihat miring, maka mungkin terdapat skoliosis, an at omi c leglength discrepancy atau kelainan koksae. Kontraktur koksae akan ditandai oleh deformitas abduksi dan aduksi. Pada kontraktur aduksi, pelvis akan miring ke atas pada sisi yang sehat, dan kedua tungkai ekstensi. Pasien dengan kelainan sendi koksae, akan memiliki2 gayaberjalan yang abnormal yaitu gaya berjalan antalgik akibat nyeri pada

koksae danlatau, gaya berjalan Trendelenburg pada kelemahan otot abduktor. Untuk menilai kelemahan otot

abduktor gluteus medius, dapat dilakukan tes Trendelenburg, yaitu dengan menyuruh pasien berdiri pada sisi tungkai yang sakit; pada keadaan normal, otot abduktor akan menjaga agar pelvis tetap mendatar, bila pelvis pada sisi yang sehat jatuh, maka dikatakan tes positif dan terdapat kelemahan otot gluteus medius. Pada posisi terlentang, kontraktur fleksi koksae dapat dilihat dari adanya lordosis lumbal dan pelvis yang miring

sehingga tungkai tetap lurus pada meja pemeriksaan. Untuk menilai adanya kontraktur fleksi, dapat dilakukan tes Thomas, yaitu dengan memfleksikan tungkai yang sehat

sehingga lordosis lumbal hilang, akibatnya tungkai yang sakit akan ikut fleksi. Pada posisi terlentang, juga dapat diukur leg-length discrepancy, yaitu pada posisi kedua tungkai ekstensi. True leg-length discrepancy diukur dari

pada daerah lateral, biasanya diakibatkan oleh bursitis trokanterik. Nyeri pada daerah anterior atau inguinal biasanya berasal dari bursitis iliopsoas, atau kelainan lain seperti hernia, aneurisma femoral atau abses psoas. Sedangkan nyeri di daerah posterior biasanya berasal dari sendi sakroiliaka, vertebra lumbal atau bursa iskial. Nyeri akibat kelainan sendi koksae biasanya terasa di daerah anterior atau inguinal. Untuk menilai secara cepat gerak sendi koksae, dapat dilakukan tes Patrick, yaitu dengan meletakkan tumit pada bagian medial lutut kontralateral, kemudian menekan lutut ke lateral menuju permukaan meja. Bila kedua lutut dalam keadaan fleksi 90' dan dilakukan prosedur yang sama, maka disebut tes Fabere.

Sendi Lutut Sendi lutut merupakan gabungan dari 3 sendi, yait:u patelofemoral, tibiofemoral medial dan tibiofemoral lateral. Pada sendi tibiofemoral, terdapat meniskus lateral dan medial. Sendi lutut diperkuat oleh kapsul sendi yang kuat,

ligamen kolateral lateral dan medial yang menjaga kestabilan lutut agar tidak bergerak ke lateral dan medial; dan ligamen krusiatum anterior dan posterior yang menjaga agar tidak terjadi hiperfleksi dan hiperekstensi sendi lutut. Fleksi lutut, akan diikuti rotasi internal tibia, sedangkan ekstensi lutut akan diikuti rotasi eksternal femur. Patela mempunyai fungsi untuk memperbesar momen gaya pada

waktu lutut ekstensi sehingga kerja otot quadriseps femoris tidak terlalu berat. Pada inspeksi lutut, harus diperhatikan kemungkinan adanya genu varus, genu valgus dan genu rekurvatum. Pembengkakan di atas patela, biasanya berasal dari bursitis prepatelar, sedangkan sinovitis lutut biasanya lebih difus. Pembengkakan posterior di fossa poplitea, biasanya berasal dari kista baker. Nyeri pada sisi medial tibia di bawah sendi lutut, biasanya berasal dari bursitis anserin. Nyeri pada bagian bawah patela pada usia muda biasanya berasal dari sindrom

Sinding-Larsen-Johansson, sedangkan pada usia yang lebih tua biasanya berasal dari tendinitis patelar Qumper b knee). Nyeri pada tuberositas tibia pada anak muda, biasanya disebabkan oleh epifisiolisis (Os good-Schlatter b disease) Pada waktu palpasi lutut, dapat teraba krepitus pada

waktu lutut difleksikan atau diekstensikan. Hal ini menunjukkan kerusakan rawan sendi, misalnya pada osteoartritis. Selain itu, pada waktu palpasi juga dapat diperiksa adanya efusi sendi. Stabilitas ligamen kolateral

2453

ANAMNESIS DAIY PEMERIKSAAN FISIS PENYAKIT

dapat diperiksa dengan memfleksikan lutut 100'; kondilus

tendon itu di tekan atau penekanan pada insersinya di

femoral dipegang dengan tangan pemeriksa yang satu sementara tangan yang lain menggerakan tungkai bawah ke depan dan kebelakang. Untuk menilai stabilitas ligamen

kalkaneus. Gerak plantar-fleksi dilakukan oleh otot gastroknemius dan soleus, dorso-fleksi oleh otot tibialis anterior, sedangkan inversi oleh otot tibialis posterior dan

krusiatum, lutut di fleksikan 90", kemudian tungkai

eversi oleh otot peroneus longus dan brevis.

s itifl ,berarti ligamen krusiatum. Kerusakan meniskus dapat diperiksa

sudah ada kelemahan

ber gerak (draw er s ign po

zo

dengan melakukan tes Mc-Murray, yaitlu tungkai diekstensikan secara penuh, kemudian tangan pemeriksa yang satu menggenggam lutut pasien dengan posisi jempol pada I sisi dan jari-jari yang lain pada sisi yang satu lagi, kemudian tangan pemeriksa yang satu lagi memegang pergelangan kaki pasien. Pada posisi tungkai bawah rotasi eksterna 15o, bunyi snap yang teraba atau terdengar pada waktu tungkai bawah pasien di gerakkan dari posisi ekstensi ke fleksi 90o menunjukkan adanya robekan meniskus medial. Bunyi yang sama yang terdengar pada waktu tungkai bawah dirotasi internal 30' dan digerakkan dari fleksi ke ekstensi, menunjukkan robekan pada meniskus lateral.

CD

1! o ro ,o -30

GKt

PERGELANGAN Fleksi plantatr dorcal

40 -50

ao

zo 10 9 10

zo

50

Gambar 6. Gerak pergelangan kaki

Kaki Yang dimaksud dengan kaki adalah mid foot yang terdiri dari 5 tulang-tulang tarsal selain talus dan kalkaneus dan fore foot yang terdiri dari tulang-tulang metatarsal dan jari-jari kaki. Kaki mempunyai struktur melengkung ke dorsal yang memungkinkan penyebaran berat badan ke kalkaneus di posterior dan ke-2 tulang sesamoid pada tulang metatarsal I dan kaput metatarsal II-V di anterior' Fungsi lengkung kaki adalah untuk menjaga fleksibilitas kaki pada waktu berjalan dan berlari. Lengkung ini dapat betambah akibat kelainan neurologik dan dis ebtrt pes cavus

atau berkurang dan disebut pes planus. Deformitas lain pada kaki adalah hallux valgus, hammertoe deformity' mallet toe dar cock-up toe. Hallittx valgus adalah deviasi medial metatarsal sehingga kaki menjadi lebar dan kadangA GonuVarus;B G€nuValgus;C

,,

ono

kadang timbul bunion. Hammertoe deformity adalah

Gsnu

to'o

hiperekstensi sendi metatarsofalangeal (MTP) diikuti fleksi LUTUT Fleks )

ao

t30 30

),)

Gambar 5. Deformitas sendi lutut dan Gerak sendi lutut

sendi PIP. Deformitas fleksi sendi DIP manghasilkan mallet toe, sedangkan fleksi sendi PIP dan DIP yang diikuti ekstensi dan subluksasi plantar sendi MTP disebut cock-up toe deformity, Nyeri pada tumit, sering disebabkan oleh plantar, spur, sedangkan peradangan pada MTP I, sering disebabkan oleh artritis gout.

Pergelangan Kaki Pergelangan kaki terdiri dari 2 sendi, yaitu sendi tibiotalar (true ankle joint) yang merupakan sendi engsel dengan pergerakan dorsofleksi dan plantar-fl eksi, sedangkan sendi subtalar memungkinkan gerak inversi dan eversi dari kaki. Maleoli tibia dan fibula memanjang ke bawah, menutupi talus dari medial dan lateral dan memberikan kestabilan sendi pergelangan kaki. Kapsul sendi pergelangan kaki sangat kuat pada bagian posterior dan memungkinkan untuk pergerakan dorso dan plantar-fleksi. Pada bagian belakang sendi ini terdapat tendon achiles

yang merupakan tendon otot gastroknemius dan soleus yang memanjang ke bawah dan berinsersi pada permukaan

posterior os kalkaneus. Radang pada tendon ini, menyebabkan rasa nyeri bila banyak berjalan atau bila

KAKI

nv€rsi€versi 40 3o

t

20

I i\

10010

\'30 20

,\40

I

I 10

o

10

30

20

GambarT. kaki

Vertebra Vertebra harus diperiksa dalam posisi duduk atau berbaring

telungkup, tetapi untuk menilai kesegarisan vertebra, pemeriksaan harus dilakukan dalam posisi berdiri. Kemiringan pelvis dan bahu mancurigakan ke arah kelainan kurvatura vertebra atau I e g- I en gl h d i s crep ancy. Otot-otot

2454

REIJMAIOI.OGI

paraspinal harus selalu di palpasi untuk mencari adanya nyeri dan spasmus. Gerakvertebra servikal, meliputi antefleksi 45o, ekstensi 50o-60o, laterofleksi 45o dan rotasi 60o-80.. Separuh dari fleksi dan ekstensi total servikal terjadi pada ketinggian oksiput C1, sedangkan sisanya terbagi rata pada C2-C1 . Selain itu, separuh dari rotasi servikal terjadi pada sendi atlantoaksial (odontoid) sedangkan sisanya terbagi rata pada C2-C6. Pada laterofleksi, semua vertebra servikal mempunyai andil yang sama besar. Pemeriksaan khusus

jarak titik-titik tersebut berturut-turut dari bawah ke atas adalah 50%, 40% dan 30%o. Caru lain adalah dengan

yang harus dilakukan vertebra servikalis adalah foraminal compression test, tes Valsava dan tes Adson. Tiga tes yang pertama digunakan untuk menilai adatya jepitan saraf. Pada foraminal compression test, leher dirotasi dan dilaterofleksi ke sisi yang sakit, kemudian kepala ditekan kebawah, bila ada jepitan saraf akan

kemudian tungkai bawah difleksikan perlahan-lahan

menimbulkan nyeri yang menjalar ke lengan atau sekitar skapula. Bila kepala distraksi ke atas (distraction test), nyeri akan berkurang. Pada shoulder depression test, I tar,gat pemeriksa diletakkan pada bahu dan tangan pemeriksa yang lain diletakkan pada kepala kemudian bahu di tekan ke bawah sedangkan kepala dilaterofleksi ke arah

yang berlawanan, jepitan pada saraf servikal akan

mengukurjarakCl -Thl2 dan T12-S I dalam keadaan berdiri tegak, kemudian pasien disuruh antefleksi maksimal, maka jarak C7-Tl2 akan memanj ang 2-3 cm, sedangkan jarak T 12 -

S

I akan memanjang 7-8cm.

Untuk menilai iritasi radiks, dapat dilakukan

tes Lasegue danFemoral nerve stretch /esl. Tes Lasegue (SLR : sraight legralslng) merupakan tes yang sering dilakukan. Pasien disuruh berbaring telentang dalam keadaan santai,

sampai 70" dengan lutut dalam keadaan ekstensi, catat sudut yang dicapai pada waktu pasien merasakan nyeri. Kemudian pasien disuruh memfleksikan lehemya sampai

dagunya menyentuh dinding dada, atau secara pasif kakinya didorsofleksikan, nyeri yang timbul menandakan regangan dura, misalnya pada HNP sentral; bila nyeri tidak timbul, maka nyeri SLR diakibatkan oleh kelainan otot harmstring, atau nyeri dari daerah lumbal atau sakroiliakal. Bila pada waktu SLR dilakukan, timbul nyeri pada tungkai kontra lateral (cross over sign atau well leg raises lest), menandakan adanya kompresi intratekal oleh lesi yang besar. Bila kedua tungkai difleksikan bersama (SLR

menyebabkan nyeri radikular atau parestesia. Tes Valsava digunakan untuk menilai adanya tumor intra tekal atau hemia nukleus pulposus. Pasien disuruh ekspirasi dalam keadaan glotis tertutup, adatya kelainan di atas akan

menyebabkan nyeri yang menjalar ke dermatom yang sesuai. Tes Adson, digunakan untuk menilai adanya jepitan pada arleri subklavia. Pemeriksa melakukan palpasi pada denyut arteri radialis, kemudian pasien melakukan inspirasi maksimal sambil melakukan rotasi maksimal kepala ke sisi yang diperiksa, jepitan arteri subklavia akan menyebabkan denyut arteri radialis melemah atau menghilang. Pada pemeriksaan vertebra lumbal, pasien sebaiknya disuruh melepaskan pakaiannya, sehingga dapat dinilai berbagai deformitas seperti lordosis lumbal, kifosis torak dan skoliosis. Gaya berjalan dan gerakan pinggul juga harus diperhatikan. Lingkup gerak tulang-tulang spinal, dapat dinilai dengan melakukan tes Schober, yaitu dengan

menyuruh pasien melakukan antefleksi maksimal, kemudian ditentukan 4 titik mulai dari prominentia spinosus sakralis superior ke arah atas denganjarak antara satu titik

dengan

titik lainnya masing-masing l0 cm. Kemudian

pasien disuruh berdiri tegak dan jarak titik-titik tersebut diukur lagi, dalam keadaan normal akan te{adi pemendekan

\l 45'\ Ekslensi -

Feksi

Gambar 8. Gerak servikal

Fleksi Lateral

Gambar 8. Schober test, Laseque test, Femoral Nerue Strech

Iesf

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIS PEI,TYAKIT MUSKUI.OSKELETAL

bilateral), nyeri yang timbul sebelum sudut mencapai 70" mungkin berasal dari sendi sakroiliaka, sedangkan bila nyeri timbul pada sudut 70o mungkin berasal dari daerah lumbal.

Pada femoral nerve stretch test, pasiet disuruh berbaring pada sisi yang tidak sakit dengan koksae dan lutut sedikit fleksi, pinggang dan punggung lurus dan kepala difleksikan. Kemudian secara perlahan, fleksi lutut ditambah dan koksae diekstensikan. Bila timbul nyeri pada tungkai bagian anterior, menandakan adanya iritasi pada

L2,L3danL4. endi sakroiliaka juga harus diperiksa dengan seksama, karena pada spondiloarhopati seronegatif, sering disertai sakroilitis. Pemeriksaan khusus untuk sendi ini adalah tes distraksi dan tes lutut ke bahu. Pada tes distraksi, kedua sisi pelvis ditekan ke bawah pada pasien dalam keadaan berbaring terlentang atau pada satu sisi, tes positif bila timbul nyeri. Pada tes lutut ke bahu, pasien dalam posisi berbaring terlentang, koksae difleksikan dan di aduksi, kemudian lutut difleksikan ke arah bahu kontralateral. Tes ini hanya bermakna bila lumbal dan koksae dalam keadaan normal. S

2455

REFERENSI

M, Doherty J Clinical examination rheumatology. London :Wo1fe Publishing;l992. Gattler RA, Scumacher HR. A practical handbook of joint fluid Doherty

analysis. 2"d ed Philadelphia: Lea & Febiger; 1991 Michet CJ, Hunder GC Evaluation of the joint. In: Kelly WN, Haris JED Ruddy S et al eds. Textbook of Rheumatology. 4th ed. Philadelphia :WB Saunders; 1993.p.351-67. Shmerling RH, Liang MH. Laboratory evaluation of rheumatic disease. In: Scumacher HR, Klippel JH, Koopman WJ,eds. Primer on the rheumatic diseases. 10'h ed. Arthritis Foundation. 1993 .p.64:6

385 ARTROSENTESIS DAN ANALISIS CAIRAN SENDI Sumariyono

PENDAHULUAN

SINOVIA

Artrosentesis (aspirasi cairan sendi) dan Analisis cairan sendi merupakan pemeriksaan yang sangat penting di bidang reumatologi, baik untuk diagnosis maupun tatalaksana penyakit reumatik. Analisis cairan sendi bisa di analogikan seperti pemeriksaan urinalisis untuk menilai kelainan traktus urinarius. Pemeriksaan ini terdiri dari

Sinovia (cairan sendi) adalah lapisan cairan tipis yang mengisi ruang sendi normal, cairan sendi ini memberikan nutrisi esensial dan membersihkan sisa metabolisme dari kondrosit di dalam rawan sendi. Selain itu sinovia juga berfungsi sebagi pelumas dan sebagai perekat. Sebagai

pemeriksaan makros, mikroskopis, dan beberapa pemeriksaan khusus, dimana dari pemeriksaan ini cairan

beban mekanik, sedang sebagai perekat, sinovia

pelumas sinovia melumasi permukaan sendi yang mendapat

yaifu non inflamasi, inflamasi, purulen dan hemoragik.

meningkatkan stabilitas dan menjaga agar permukaan sendi tetap pada posisi normalnya (pada relnya) pada saat sendi digerakkan. Viskositas yang tinggi dari cairan sendi terjadi

Walaupun dari masing-masing kategori tersebut terdapat beberapa penyakit yang menyebabkanya, tetapi paling

fibroblas-like B cells di dalam sinovium.

sendi abnormal dapat dikelompokkan menjadi 4 kategori,

tidak pemeriksaan ini dapat mempersempit diagnosis

karena adanya asam hyaluronat yang disekresi oleh

banding. Berdasarkan hasil analisis sejumlah penelitian, Shmerling menyimpulkan bahwa ada dua alasan terpenting dari analisis cairan sendi adalah untuk identifikasi infeksi sendi dan diagnosis artropati kristal. Pada umumnyacairan

FrsroLoGI slNovrA (cArRAN sENDr) Cairan sendi normal adalah ultra filtrat atau dialisat dari plasma. Dengan demikian kadar ion-ion dan molekulmolekul kecil ekivalen dengan kadamya didalam plasma, sedang protein kadarnya lebih rendah. Molekul-molekul yang berpindah dari plasma ke cairan sendi pertama harus melewati endotel mikrovaskular, kemudian harus melalui matriks di sekeliling sel sinovia. Barier yang paling kritikal adalah endotel. Protein plasma yang melewati barier ini bergerak melalui difusi dengan tingkat

sendi diperoleh dari lutut, walaupun dapat juga dari sendi-sendi lainnya seperti bahu, siku, dan pergelangan kaki.

SINOVIUM Sinovium adalahjaringan yang menutupi semua pennukaan

sendi, kecuali weight bearing surface sendi diartrodial manusia normal. Jaringan ini terdiri dari l-3 lapis sel dan menutupi suatu matriks, dimana matriks tersebut bisa berupa jaringan lemak, jaringan fibrosa, areolar atau

kecepatan yang berbanding terbalik dengan ukuran molekulnya. Sebaliknya kembalinya cairan dari cairan sendi ke plasma tidak size selective . Setelah molekul protein melewati endotel dan masuk ke interstitiel, protein ini akan dibersihkan kembali ke plasma melalui saluran limfe. Konsentrasi protein-protein tertentu di dalam cairan

periosteal, tergantung dari lokasinya di dalam sendi. Sinovium normal memiliki vaskularisasi yang baik dan menghasilkan sinovia atau cairan sendi.

2456

2457

ARTROSENTESIS DAN ANALISA CAIRAN SENDI

sinovia mencerminkan keseimbangan dari dua proses tersebut. Hal inilah yang menjelaskan kenapa rasio konsentrasi cairan sendi dengan plasma (CS/P) dari protein besar lebih rendah dari protein yang lebih kecil seperti albumin. Rasio albumin adalah 0.2-0.3 pada sendi lutut normal, sedang rasio fibrinogen jauh lebih kecil karena ukuranyajauh lebih besar. Relatiftidak adanya fibrinogen pada cairan sendi ini menjelaskan kenapa cairan sendi normal tidak membeku. Pada efusi patologis, permeabilitas

endotel meningkat dan kadar proteinya meningkat mendekati kadarnya di plasma, sehingga kadar fibrinogen juga meningkat yang menyebabkan aspirat cairan sendi menjadi beku.

Bahan dan Alat

. .

. . . . . . . . . .

Spuit sesuai dengan keperluan Jarum spuit : no 25 untuk sendi kecil, no 21 unhrk sendi lain, no 15 -8 untuk efusi purulen (pus) Desinfektan iodine

Alkohol Kasa steril Anestesi lokal (bila diperlukan) Sarung tangan Pulpen Plester

Tabung gelas Tabung steril untuk kultur Lain-lain sesuai kebutuhan : media kultur, kortikosteroid

ARTROSENTESIS

lndikasi

Prosedur Tindakan (umum)

.

-

Diagnostik

. . .

-

Selama pengobatan artritis septik, artrosentesis dilakukan secara serial untuk menghitung jumlah

.

Artrosentesis saja - Evakuasi kristal untuk mengurangi inflamasi pada pseudogout akut dan crytal induced arthritis yang lain.

.

-

Mengontrol inflamasi steril pada sendi, bila obat

-

anti infl amasi non steroid telah gagal,kemungkinan akan gagal atau merupakan kontraindikasi. Mempersingkat periode nyeri pada artritis gout. Menghilangkan nyeri inflamasi dengan cepat Membantu terapi fisik pada kontraktur sendi.

saraf.

Harus dilakukan teknik yang steril untuk menghindari

cairan sendi pasien.

. Untuk mengurangi

Evakuasi serial pada artritis septik untuk

mengurangi destruksi sendi. Pemberiankortikosteroidintraartikular

Harus dikuasai anatomi regional sendi yang akan diaspirasi untukmenghindari kerusakan struktur-struktur vital seperti pembuluh darah dan

terjadinya artritis septik. Untuk desinfekti dipakai iodine dan alkohol. Dokter harus memakai sarung tangan untuk menghindari kontak dengan darah dan

Terapeutik

.

:

Lakukan pemeriksaan fisik sendi dan bila perlu periksa foto sendi yang akan diaspirasi

Membantu diagnosis artritis Memberikan konfirmasi diagnosis klinis

leukosit, pengecatan gram dan kultur cairan sendi.

Sebelum melakukan aspirasi cairan sendi

.

rasa nyeri dapat digunakan

semprotan etilklorida. Bila diperlukan dapat digunakan prokain untuk anastesi lokal.

Selama dilakukan prosedur aspirasi harus diingatkan kepada pasien untuk selalu rileks dan tidak banyak menggerakkan sendi.

PROSEDUR TTNDAKAN (KHUSUS)

Sendi Lutut Kontraindikasi Diagnostik

. . . .

secara langsung pada tengah-tengah tonjolan suprapatela lebih mudah dan lebih enak untuk

Infeksi jaringan lunak yang menutupi sendi

pasien.Tonjolan suprapatela ini dapat diperjelas dengan

Bakteriemi Secara anatomis tidak bisa dilakukan

menekan ke lateral dari bagian medial. Dengan

Pasientidakkooperatif

Terapeutik

. . . .

Pada efusi sendi lutut yang besar, tusukan dari lateral

Kontraindikasidiagnostik Instabilitas sendi Nekrosis avaskular Artritis septik

menggunakan ujung pulpen dilakukan pemberian tanda pada daerah target yaitu lebih kurang pada tepi atas patella (cephalad border of patella).Tada ini akan masih

terlihat dalam waktu yang cukup untuk melakukan desinfeksi, anastesi dan artrosentesi. Pada efusi sendi yang sedikit lebih baik dilakukan tusukan dari medial di bawah titik tengah patella.

2458

REI,.,MIIilI)I.OGI

Ujung sefalik patelik

purulen atau 5) hemoragik. Diagnosis spesifik jarang bisa dibuat hanya berdasar pemeriksaan makroskopis saja. Gambaran analisis cairan sendi normal dan patologis dapat

dilaihat pada Tabel 2 dan 3.

Jenis pemeriksaan

Gambar 1. Tusukan sendi lutut dari lateral pada efusi sendi yang banyak.

Nilai normal

Rata rata

3-7

7.38

PH

7

Jumlah leukosit/mm3

13

0 0 0 0

PMN Limfosit Monosit Sel sinovia

-

43

180

-25 -78 -71

ANALISIS CAIRAN SENDI

7

24 48

Protein total g/dl

-12 1.2-30

Albumin (%)

56

-63

60

Globulin (%)

37 -44

40

4 1.8

03

Hyaluronat g/dl

Gambar 2. Tusukan sendi lutut dari medial

OJ

Noninflamasi lnflamasi (grup l) (grup ll) Biasanya>4 Biasanya>4

Purulen (Grup lll)

Volume (ml, lutut) Warna

Xantokrom

Xantokrom

Kejernihan

Transparan

Opak

Viskositas

Tinggi

Translusen atau opak Rendah

Sangat

Biasanya > 4 Putih

atau putih

renda h

musin Bekuan spontan

Jenis-jenis Pemeriksaan Cairan Sendi

Bekuan

Jenis-jenis pemeriksaan yang dilakukan pada analisis cairan sendi dapat dilihat pada Tabel 1.

Jumlah leukosiUmm3 Polimorfonuklear

(%)

Sedang Sedang baik sampai buruk Sering Sering < 3000 3 000 -50 000

Buruk

sampai

< 25 %

>700/o

Sering

50 000300 000

>90%

Rutin . Pemeriksaan makroskopis: warna, kejernihan, viskositas,

.

potensi terbentuknya bekuan, volume

Pemeriksaan mikroskopis: jumlah leukosit, hitung jenis leukosit, pemeriksaan sediaan basah dengan mikroskop polarisasi dan fase kontras

Cairan sinovia sedikit sekali kandungan protein

Khusus

Mikrobiologi: pengecatan

khusus (silver, PAS,

Ziehl Nielsen), kultur bakteri, jamur, virus atau M tuberkulosis, analisis antigen atau asam nukleat mikroba (PCR) Serologi: kadar komplemen hemolitik (CHr), kadar Komponen komplemen (C. dan Ca), autoantibodi (RF, ANA, Anti CCP) Kimiawi: glukosa, protein total, pH, pO2, asam organik (asam laktat asam suksinat), LDH (lactate dehydrogenase)

dan

Keterangan

BEKUAN

:

ANA: antinuclear antibody; CCP : cyclic citrutlinated peptide; PAS : periodrc acid Schiff, RF : rheumatoid factor

pembekuan seperti fibrinogen, protrombin, faktord faktor VII dan tromboplastin jaringan. Sehingga cairan sinovia normal tidak akan membeku. Tetapi pada kondisi inflamasi "membran dialisat " sendi menjadi rusak sehingga protein dengan berat molekul yang lebih besar seperti protein-

protein pembekuan akan menerobos masuk ke cairan sinovia, sehingga cairan sinovia pada penyakit sendi inflamasi bisa membeku dan kecepatan terbentuknya bekuan berkorelasi dengan derajad inflamasi sinovia.

VOLUME PEM ERIKSAAN MAKROSKOPIS Sendi normal umumnya hanya mengandung sedikit cairan

Pemeriksaan makroskopis cairan sendi merupakan

sendi., bahkan pada sendi besar seperti lutut hanya

pemeriksaan bedside. Tujuan pemeriksaan ini adalah untuk

mengandung 3 -4 ml cairan sinovia. Pada kondisi sinovitis, yang mengakibatkan rusaknya "membran dialisat" sendi, sejumlah besar cairan bisa berakumulasi pada ruang sendi.

menentukan cairan sendi tersebut termasuk dalam kelompok : 1) normal, 2) non inflamasi, 3) inflamasi, 4)

2459

ARTROSENTESIS DAN ANALISA CAIRAN SENDI

Meskipun volume cairan sendi tidak dapat membedakan kelainan sendi inflamasi dan noninflamasi, tetapi volume aspirat pada aspirasi serial bermanfaat untuk menilai hasil pengobatan karena penurunan volume aspirat biasanya sesuai dengan perbaikan klinis.

VISKOSITAS Cairan sendi normal sangat kental, karena tingginya konsentrasi polimer hyaluronat . Asam hyaluronat merupakan komponen non protein utama cairan sinovia dan berperan penting pada lubrikasijaringan sinovia. Pada penyakit sendi inflamasi asam hyaluronat rusak atau

selanjutnya akan mengalami kerusakan yang akan memberikan wama kekuningan (xantochrome) pada cairan sendi inflamasi. Leukosit akan membuat wama cairan sendi menjadi putih, sehingga semakin tinggi jumlah leukosit cairan sendi akan berwarna putih atau krem seperti pada artritis septik. Selain dipengaruhi olehjumlah eritrosit dan leukosit, warna cairan sendi juga dipengaruhi oleh jenis kuman dan kristal yutgada dalam cairan sendi. Staphylococcus aureus akan memberikan pigrnen keemasan, serratia marcescens akan memberikan warna kemerahan dan kristal monosodiumurat akan memberikan wamaputih

seperlr susu.

mengalami depolimerisasi, yang menunrnkan viskositas cairan sendi. Viskositas merupakan penilaian tidak langsung

dari konsentrasi asam hyaluronat pada cairan sinivia. Penilaian viskositas cairan sendi dilakukan dengan pemeriksaan "string test", yaitu melihat cairan sendi pada saat dialirkan dari spuit ke tabung gelas. Pada cairan sendi

normal akan dapat membentuk juluran (string out) 7 cm - 10 cm atau lebih. Pemeriksaan lain adalah dengan menggunakan viscometer. Pemeriksaan bekuan musin juga merupakan pemeriksan untuk menilai konsentrasi polimer asam hyaluronat. Pemeriksaan bekuan musin dilakukan dengan cara menambahkan 1 bagian cairan sendi ke dalam 4 bagian asam asetat 2%o. Pada cairan sendi normal atau kelompok I akan membentuk bekuan, sedang pada cairan sendi kelompok II dan III (inflamasi dan purulen) akan terbentuk bekuan yang buruk atau kurang baik.

Normal Inflamasi

PurulerVsePtik

Gambar 4. Warna beberapa kelompok cairan sendi

PEMERIKSAAN

M

IKROSKOPIS

Jumlah dan hitung Jenis Leukosit Pemeriksaan jumlah dan hitung jenis leukosit sangat membantu dalam mengelompokkan cairan sendi. Paling tidak pemeriksaan ini dapat membedakan kelompok inflamasi dan non inflamasi. Pada caiian sendi kelompok II

seperti artritis reumatoid jumlah leukosit umumnya 3000-50.000 sel / ml, sedang pada kelompok III jumlah leukosit biasanya di atas 50.000/ml. Pada cairan sendi normal umurnnya PMN kurang dari 25%o, sedang pada kelompok inflamasi PMN umumnya lebih dari 10%o (inflamasi kelompok II PMN > T|oA,kelompok III > 90%).

Kristal Pemeriksaan kristal sebaiknya dilakukan pada sediaan Gambar3. Pemeriksaan viskositas (kekentalan) cairan sendi dengan sfflng fest

WARNADAN KEJERNIHAN Cairan Sendi normal tidak berwarna seperti air atau putih telor. Pada sendi inflamasi jumlah leukosit dan eritrosit pada cairan sinovia meningkat. Eritrosit pada sinovia

basah segera setelah aspirasi cairan sendi. Kristal monosodium urat dapat diperiksa dengan mikroskop cahaya biasa, tetapi untuk pemeriksaan yang lebih baik memerlukan mikroskop polarisasi. Pada mikroskop polarisasi ini terdapat dua polarizing plate. Pertama disebut polarizer yang diletakkan antara sumbet cahaya dan gelas objek (bahan), kedua disebut analyzer yang diletakkan antara gelas objek (bahan) dan observer dan diletakkan pada posisi 90 derajad dari polarizer Dengan posisi demikian tidak ada cahaya yang ke mata observer,

2460

REUMATIOI.OGI

yang dilihat observer hanyalapangan gelap. Setiap bahan yang membiaskan cahaya (termasukMSU atau CPPD) bila

PEMERIKSAAN MIKROBIOLOGI

diletakkan pada objek gelas di antara kedua polarizing plate tersebut akan membiaskan cahaya dan tampak

Artritis septik harus selalu dipikirkan terutama pada artritis inflamasi yang : ter.ladi bersama dengan infeksi ditempat lain (endokarditis, selulits, pneumonia), sebelumnya terdapat kerusakan sendi serta pada pasien-pasien

sebagai warna putih pada lapangan gelap. Gambaran pada lapangan gelap dapat diperkuat dengan menambahkan kompensator merah yang diletakkan di antara kedua polarizing plale. Aksis dari kompensator ini diletakkan 45 derajat terhadap analzer matpun polarizer. Kompensator ini akan menghambat komponen merah dari cahaya sebesar seperempat panj ang gelombang, yang mengakibatkan lapangan pandang menjadi berwama merah. Pada kondisi demikian kristal MSU atau CPPD akan berwama kuning atau biru tergantung posisi aksis dari kristal terhadap aksis

diabetes dan pasca transplantasi. Pada pengelompokkan cairan sendi, artritis septik termasuk kelompok III, yang

dari slow vibration dari cahaya pada kompensator. Dengan cara memutar MSU atau CPPD 90 derajad akan merubah

kristal biru menjadi kuning dan kuning menjadi biru Kristal MSU berbentuk batang dengan ukuran sekitar 40 um (4 kali leukosit). Kristal ini sangat berpendar sehingga pada mikroskop polarisasi tampak sangat terang. Pada mikroskop polarisasi yang ditambahkan kompensator

merah, MSU akan berwama kuning bila arah kristal paralel, dan berwarna biru bila arah kristal tegak lurus dengan aksis

dari slow vibration dari kompensator. Kristal CPPD ukuranya hampir sama dengan MSU, tetapi lebih sering berbentuk rhomboid. CPPD berpendar lemah sehingga bagi yang belum berpengalaman sulit untuk melihat kristal ini.

Kebalikan dari kristal MSU, pada mikroskop polarisasi yang ditambahkan kompensator merah, kristal CPPD akan berwarna biru bila arah kristal paralel, dan akan bet-warna kuning bila arah kristal tegak lurus dengan aksis dari s/ow vibration dari kompensator.

EYEPIECE BireFringent Crystal

on rose background

ANALYZER

COMPENSATOR

SODIUM URATE CRISTAL

POLARIZER

Gambar 6. Kristal Monosodium urat a.Kristal MSU pada mikroskop cahaya biasa.

b.Kristal MSU'pada lapangan pandang gelap dengan menggunakan mikroskop polarisasi tanpa kompensator.

Gambar 5. Prinsip-prinsip mikroskop polarisasi

c.Kristal MSU pada mikroskop polarisasi dengan kompensator

biasanya jumlah leukositnya lebih dari 50.000/mt. Tetapi

merah; disini tampak kristal MSU beruvarna kuning bila aksis kristal paralel dengan aksis dari slow vibration dari kompensator, dan benrvarna biru bila aksis kristal MSU tegak lurus dengan aksis slow vibration dari kompensaror.

kadang-kadang cairan sendi septik dapat memberi gambaran sebagai kelompok II, sebaliknya cairan sendi

Gambar ini dibuat oleh Divisi Reumatologi, Dept. Ilmu

kelompok III dapat juga terjadi pada artritiis inflamasi non

Penyakit Dalam FKUI4RSCM.

2461

ARTROSENTESIS DAN ANALISA CAIRAN SENDI

infeksi seperti gout dan pseudogout. Pada umumnya pemeriksaan dengan pengecatan gram dan kultur bakteri

cukup untuk analisis cairan sendi, tetapi beberapa pengecatan dan biakan pada media khusus sangat membantu pada kondisi tertentu seperti misalnya untuk

serta identifikasi kristal terutama monosodium urat dan CPPD dengan menggunakan mikroskop biasa dan lebih baik lagi bila dilakukan dengan menggunakan mikroskop

polarisasi. Manfaat lain dari pemeriksaan

ini

adalah

dapat mempersempit diagnosis banding artritis.

mycobacterium tuberkulosis dan j amur. REFERENSI

KESIMPULAN

Artrosentesi dan analisis cairan sendi merupakan pemeriksaan yang penting dibidang reumatologi baik

untuk tujuan diagnostik maupun terapeutik. Analisis cairan sendi terdiri dari pemeriksaan makroskopis, mikroskopis dan beberapa pemeriksaan khusus. Berdasarkan pemeriksaan analisis cairan sendi, cairan sendi abnormal dapat dikelompokkan menjadi cairan sendi

non inflamasi, inflamasi, purulen dan hemoragik. Manfaat utama analisis cairan sendi adalah identifikasi infeksi dengan pengecatan gram dan biakan cairan sendi,

Fye KH. Arthrocentesis, synovial fluid analysis, and synovial biopsy In: Klippel JH. Primer on the rheumatic diseases. l2'h edit. 2001 : 138-144. Gatter RA, Schumacher HR. A practical handbook of joint fluid analysis. 2"d edit. 1991. Mikuls TR. Synovial fluid analysis. In : Koopman WJ and Moreland LW. Arthritis and allied conditions. 15th edit. 2005 : 8l-96. Setiyohadi, sumaryono Aspirasi cairan sendi / artrosentesis. In Sumaryono, Alwi I, Sudoyo AW . Prosedur tindakan di bidang Ilmu Penyakit Dalam. 1999 :227-233.m Swan A, Amer H, Dieppe P The value of synovial fluid assay in the diagnosis ofjoint disease : a literature survey. Ann Rheum Dis 2002 :61: 493-498. :

386 PEMERIKSAAN CRB FAKTOR REUMATOID, AUTOANTIBODI DAN KOMPLEMEN Arnadi, NG Suryadhana, Yoga I Kasjmir

Pada sebagian besar penyakit reumatik,proses inflamasi merupakan gambaran patologik jaringan yangutama. Pada proses inflamasi akan terjadi peningkatan protein fase akut akibat kerusakan jaringan.Di samping itu faktor imunologis juga mendasari sebagian besar penyakit reumatik. Oleh

relatif cepat dengan waktu paruh sekitar l8 jam. Peningkatan konsentrasi CRP secara persisten

karena

menggunakan immunoassay atau nefelometri laser. Kadar CRP pada manusia dewasa sehat < 0,2mgldl.

itu, dalam menegakkan diagnosis

dan

penatalaksanaan penyakit reumatik diperlukan pemeriksaan penunjang laboratori um.

0-REACTIVE PROrEr J (CRP)

menggambarkat adanya proses inflamasi kronik seperti arthritis rheumatoid, tuberkulosis dan keganasan.

Pengukuran konsentrasi CRP secara akurat

Normal atau

Peningkatan

peningkatan tidak

Sedang

signifikan(<1mg/dl CRP merupakan salah satuprotein fase akut. CRP terdapat

Kerja berat Common cold Kehamilan Gingivitis Stroke

dalam konsentrasi rendah (trace) pada manusia. CRP adalah suatu alfa globulin yang timbul dalam serum setelah terjadinya proses inflamasi.Awalnya protein ini disangka mempunyai respons spesifik terhadap C polisakarida dari pneumokokus, tetapi ternyata protein ini adalah suatu reaktan fase akut yang timbul akibat proses inflamasi. CRP

)

(l-l0msidl

Peningkatan tinggi ( > 10 mg/dl )

)

lnfark miokard Keganasan Pankreatitis lnfeksi mukosa bronkitis, sistitis ) Penyakit reumatik

Kejang

lnfeksi bakteri akut Trauma berat Vaskulitis sistemik

Angina

terdiri atas berbagai ligan biologik yaitu berupa fosfokolin,fosfolipid lainnya serta protein histon dan merupakan konstituen dari membran sel dan inti sel, yang akan terpapar bila terjadi kerusakan jaringan. CRP mempunyai kemampuan untuk mengaktivasi jalur klasik komplemen setelah berintegrasi dan berikatan dengan berbagai ligan biologik, kemudian memacu perubahan sel fagosit melalui jalur proinflamasi dan anti inflamasi.Pada proses tersebut, CRP diduga mempunyai peranan dalam

Hampir selalu

ada

Demam reumatik, artritis reumatoid, infeksi bakteri akut, hepatitis akut

proses inflamasi.

Sering ada

Kadang kadang ada

Tuberkulosis aktif,tumor ganas stadium lanjut, leprosy, sirosis aktif, luka bakar luas, peritonitis

Sklerosis multipel, sindroma Guillain Barre, cacar air, pasca bedah, penggunaan alat kontrasepsi intrauterin

Pengukuran CRP berguna untuk menegakkan

Adanya stimulus inflamasi akut, konsentrasi CRP akan meningkat secara cepat dan mencapai puncaknya setelah

diagnosis dan penatalaksanaan penyakit reumatik seperti halnya pengukuran laju endap darah. Hanya pengukuran CRP menawarkan suatu kelebihan sebagai pengukuran yang dapat dilakukan secara langsung dalam menentukan adarrya protein fase akut yang mencerrninkan besaran

2-3 hari.Secara umum, konsentrasi CRP merefleksikan luasnya kerusakan jaringan. Bila tidak ada stimulus inflamasi maka konsentrasi CRP serum akan turun dengan

2462

2463

PEMERIKS/AAN CPR, FAKTOR REUMATOID, AUTOANTIBODI DAN KOMPLEMEN

inflamasi dan perubahan-perubahan fase akut oleh peralihan yang relatif cepat dari CRP.5 Terutama pada penyakit-penyakit yang manifestasi kliniknya tidak begitu mudah di evaluasi secara berkesinambungan misalnya penyakit crohn, vaskulitis, infeksi bakteri yang sulit di

monitor. Melalui teknik biologi baku berupa seri pemeriksaan CRP akan lebih mudah diikuti perkembangan dari hasil suatu pengobatan. Determinasi CRP terutama di anjurkan dalam situasi sebagai berikut: 1. Penapisan proses radang/nekrotik 2. Diagnosis/monitoring proses radang seperti neonatal,

septikemia, meningitis, pneumonia, pyelonefritis,

3.

4.

komplikasi pasca bedah, kondisi keganasan. Penilaian gambaran klinik pada kondisi radang seperti kelompok penyakit reumatik atau selama episode akut ataupun infeksi intermiten Diagnosis diferensial kondisi radang seperti SLE, AR ataupun penyakit artritis lainnya, kolitis ulseratif dan kistitis akut/pielomielitis

CARA PEMERIKSAAN CRP

s/de plastik hitam. Pertama-tama serum pasien di inaktifkan pada suhu 56' Celcius. Lalu diencerkan dan masing-masing diteteskan di atas kaca benda. Kemudian masing-masing satu tetes suspensi lateks anti-CRP ditempatkan di atasnya,

dicampur dengan menggunakan batang kayu yang telah disediakan atau digerak-gerakkan menggunakan alat penggoyang (shaker). Diperhatikan ada tidaknya endapan yang biasanya akan tampak setelah 2 metit. Perlu kehatihatian atas kemungkinan terjadinya fenomena prozone yaitu terhadap hasil positifyang sebenamya sangat kuat tetapi tidak tampak pada serum yang tidak di encerkan sehingga perlu dibuktikan dengan cara pengenceran. Dengan teknik ftit ini dapat dikembangkan lebih lanjut ke arah semi kuantitatif. Di samping itu CRP juga dapat

ditentukan dengan teknik endapan kapiler, difusi Ouchterloni, imuno difusi radial dan nephelometri. Yang perlu diperhatikan dengan teknik ini ialah kemungkinan positif semu oleh adanya faktor reumatoid. Terutamakalau kadarFRnya>1200 I.U/cc. Karena itu dalam pemasaran kit selalu disertakan larutan absorbsi yang terdiri dari larutan antibodi diperoleh dari biri-biri yang digunakan untuk menyisihkan faktor reumatoid tersebut.

Semula CRP dideteksi melalui reaksi endapan dengan polisakarid C kuman pneumokokus. Setelah tahut 1947 berhasil dilakukan kristalisasi CRP dan dari sini dapat dibuatkan antisera yang spesifik sehingga membuka peluang pemeriksaan protein secara imunokimiawi. Teknik endapan kapiler merupakan cara imunokimiawi yang pertama dan digunakan secara luas sampai lebih dari 25 tahun. Cara pemeriksaan semi kuantitatif tidak dapat mendeteksi konsentrasi yang kurang dari l0 mikrogram/ cc. Pengenalan teknik imunodifusi radial memungkinkan penghitungan CRP yang lebih tepat sampai ambang 2 mikrogram/cc, sementara teklik radioimunoassay yarrg amat sensitif telah pula dikembangkan tetapi cara ini sebenarnya tidak diperlukan untuk tujuan klinik karena tidakpraktis tetapi lebih di utamakan dalampengembangan penelitian laboratorium klinik. Bagaimanapun juga, akhirakhir ini dikembangkan c,ara nephelometrik yang mengandalkan penggunaan peralatan yang menjamin

Bahan Pemeriksaan Dapat diperoleh dari sekitar 2cc darah pasien yang

ketepatan dan kecepatan pemeriksaan kuantitatif.

ini diukur ialah faktor reumatoid kelas IgM. Istilah

Sementara itu telah banyak dipasarkan pemeriksaan CRP dengan menggunakan sistem aglutinasi lateks dalam bentuk kit yang meskipun tidak kuantitatif tetapi mungkin memiliki nilai terbatas dalam kecepatan sebagai awal

penapisan adanya CRP.

dibiarkan membeku dalam keadaan segar penyimpanan

maksimum 8 hari pada suhu 2 sampai 8 celcius atau sementara dapat disimpan dalam lemari es suhu di bawah

minus 25o Celcius sampai 3 bulan. Serum bekuan ini dihindari pencairan yang berulang-ulang. Bahan serum harus dijaga kejemihannya dengan memusingkan sehingga

benar-benar tidak mengandung partikel-partikel ataupun fi brin setelah sentrifugasi.

FAKTOR REUMATOID

Faktor Reumatoid (FR) merupakan antibodi sendiri terhadap determinan antigenik pada fragmen Fc dari imunoglobulin. Klas imunoglobulin yang muncul dari antibodi ini ialah IgM, IgAIgG dan IgE. Tetapi yang selama

reumatoidnya diberikan karena faktor ini kebanyakan diberikan pada penyakit artritis reumatoid. Berbagai teknik

telah dikembangkan, untuk mengukur adanya antibodi

tersebut. Dapat disebutkan seperti

uji

aglutinasi,

presipitasi, pengikatan komplemen, imunofluoresensi dan

radioimun.

CARAAGLUT!NASI LATEKS Prinsip kerja pemeriksaan ini menggunakan partikel lateks polysQrene yang permukaattya dibungkus dengan anti CRP sehingga dapat direaksikan dengan serum kontrol positifataupun negatifpada permukaan kaca benda atau

Sejarah Faktor Reumatoid Faktor Reumatoid pefiamakali di introduksi oleh patolog Norwegia, Eric Waaler, tahun 1937 . Pada waktu itu beliau melihat bahwa eritrosit biri-biri yang tersensitasi dengan zat attirrya yang diperoleh dari serum kelinci, dapat

2464

REIJMIIiIOI.OGI

digumpalkan oleh serum pasien lues dan artritis reumatoid (AR). Hasilnya, suatu aglutinasi yang agak aneh dibanding hemolisis biasa, kemudian ditelusuri berbagai literatur dan temyata peneliti lainnya juga menemukan fenomena yang sama, pada pasien sirosis hati dan bronkitis kronis. Terputus oleh perang dunia kedua, hasil penemuan

Reaksi positifuji FR yang selama ini ditunjukkan baik terhadap gamma globulin manusia ataupun kelinci,

terutama termasuk dalam kelas IgM antibodi.

yang kuat dengan aktivitas penyakit. Meskipun,

Kemungkinan klas lainnya juga ditemukan yaitu IgG dan IgA antibodi dalam bentuk intermediate complex dan terdapat terutama di dalam cairan sendi. Titer yang tinggi bukanlah indikasi beratnya penyakit. Kebanyakan pasien dengan AR hasil pemeriksaan FR nya bisa positif ataupun negatif dengan titer yang berfluktuasi dalam hitungan bulan/tahuna Sedangkan pemberian NSAID tidak selamanya dapat mempengamhi titer FR. Sebaliknya penicillamine dan preparat emas dapat menurunkan secara perlahan sampai menjadi seronegatif. FR yang negatif, dapat digunakan sebagai petunjuk

penerapan klinik yang dilakukan Waaler, masih belum jelas

penyakit-penyakit reumatik lainnya seperti ankilo

dibandingkan dengan Rose tetapi Waaler dengan jelas menampilkan aspek-aspek imunologiknya sehingga uji pemeriksaan FR, sampai sekarang dikukuhkan sebagai

spondilitis, sindrom reiter, enteropati berasosiasi artritis, psoriatik artropati, gout, kondrokalsinosis, piogenik artritis dan penyakit Still.

Waaler

ini,

seakan-akan telah dilupakan. Akhirnya

fenomena yang sama ditemukan olehRose dkk (1948) yang pada waktu itu bekerja untuk pasien Rickettsia. Lebih lanjut mereka melakukan pemeriksaan yang sama terhadap pasien

AR, Spondilitis Ankilosa, demam reumatik dan penyakit reumatik lainnya. Hasilnya amat menyolok, dibanding pasien AR sendiri yang sekaligus menunjukkan korelasi

pemeriksaan Waaler-Rose /Rose Waaler. Istilah Reumatoid Faktor, pertamakali digunakan oleh

Pike dkk, tahun 1949, karena faktor ini kebanyakan ditemukan pada penyakit AR. Mulai sejak itu, berbagai upaya modifikasi telah dilakukan, di attaranya Heler dkk (1

956) menyatakan kelemahan uji Rose-Waaler oleh adanya

faktor imunoglobulin manusia sebagai penghambat aglutinasi. Atas dasar itu, maka diajukan suatu cara yang lebih sensitif yang sifatnya non-imunologik, dengan

mengabsorbsikan imunoglobulin manusia pada lanned eritrosit biri-biri.

Dasar sistem

ini selanjutnya lebih berkembang lagi

dengan menggunakan partikel lateks, partikel bentonit, partikel bakteri. Uji Rose-Waaler, memang amat spesihk terhadap AR, terbukti dari sekitar 90% pasien dengan RW pos, menunjukkan AR. Sebaliknya uji RW hanya positip pada sekitar 60% pasien AR. Pengamatan lebih lanjut, menunjukkan bahwa FR itu bukan suatu antibodi tetapi merupakan suatu kelompokzat anti IgG dengan aviditas dan afinitas yang berbeda.

Ciri-ciri Faktor Reumatoid Faktor Reumatoid mencakup semua klas imunoglobulin, tetapi yang mendapat perhatian khusus hanyalah IgM-FR dan IgG-FR. Sedangkan FR klas imunoglobulin lainnya, sifat patologiknya belum banyak diketahui. Misalnya IgE-

FR, kadang-kadang dapat ditemukan pada pasien AR dengan manifestasi ekstra artikular ataupun penyakit paru.

IgM-FR mudah ditemukan dalam darah dengan daya aglutinasinya yang kuat. Tidak dapat bergabung mandiri

seperti yang terjadi pada IgG-FR. IgM-FR juga menr.utjukkan kemampuan mengikat komplemen yang lebih besar dibanding IgG-FR.

Faktor Reumatoid merupakan suatu reaksi normal imunitas humoral tubuh terhadap rangsangan antigen tertentu, yang tersebar secara luas dalam irama kehidupan.

Terjadinya Faktor Reumatoid Banyak teori yang mencoba mengungkapkan mekanisme

terjadinya FR. Faktor reumatoid itu sendiri sebenarnya tidak patogenik. Dasar imunopatogenik AR, dimulai dengan aktivitas imunologik yang berlangsung terusmenerus. Aktivitas ini berperan sentral dalam patogenesis penyakitAR dan terjadi sebagai respons terhadap selfan-

ligen (endogenous) ataupun non

self-antigen

(exogenous). Pada keadaan pertama, tubuh seakan-akan sudah tidak mengenal lagi komponen tubuhnya sendiri, yang kemudian menjadi konsep dasarpenyakit oto-imun. Kegagalan pengenalan diri ini dapat terjadi sebagai akibat

perubahan komponen tubuh sendiri (altered antigen), ataupun perubahan respons imunologik tubuh terhadap komponen tubuh yang normal. Masalahnya kemudian adalah mengapa perubahan-perubahan itu terjadi. Maka mulai dipikirkan adanya faktor luar (exogenous) yatg bertindak sebagai Special Stimulating Antigene yang

justru menjamin kelangsungan aktivitas imunologik tersebut. Faktor-faktor luar yang akhir-akhir ini paling banyak di bicarakan, ialah virus yang berperanan sebagai infective agent. Dalam hubungan dengan terjadinya FR, dimulai dengan terjadinya infeksi yang cenderung bersifat kronik dan berkembang dalam persendian merangsang pembentukan antibodi. Zat ini lalu bergabung dengan infective agent tersebut dan menimbulkan perubahan antigenik molekul IgG-nya. Adanya ikatan kompleks danalteredlgG sebagai antigen baru inilah yang membangkitkan produksi zat antibodi baru yang dikenal sebagai zat arfii antlbodi. Zat

inilah yang pada hakekatnya dikenal sebagai Faktor Reumatoid(FR).

Selanjutnya sarana yang paling adekuat bagi perkembangan lanjut reaksi ini ialah persendian. Karena itu tidakjarang teq'adi pada tiap infeksi asalkan melibatkan

PEMERIKSAAN CPR, FAKTOR REUMATOID, AUTOAIYTIBODI DAN KOMPLEMEN

unsur imunologik, selalu membawa dampak kesakitan pada

persendian yang maksudtya agar individu yang bersangkutan menjalani istirahat sehingga proses pemulihan dapat berlangsung secara alami. Ternyata persendian, memiliki kualifikasi yang cocok bagi berkembang/menetapnya respons imun. Tiadanya

anyaman pembuluh darah dalam tulang rawan memungkinkan kompleks Ag-Ab menjadi tersembunyi sehingga terhindar dari jangkauan aparat imun. Kombinasi antara FR dan IgG membentuk kompleks imun yang mengaktifkan sistem komplemen dengan manifestasi

timbulnya pemanggilan sel-sel neutrofil ke tempat terjadinya radang (kemotaksis). Sel-sel ini kemudian akan memfagosit kompleks imun tadi, dengan melepaskan enzim lisozim. Namun enzim ini sebaliknya akan berlindak sebagai mediator kimiawi atas terjadinya radang sinovitis. Juga

Cell-mediated immunity ikut berperanan dengan melepaskan limfokin yang juga dapat menimbulkan radang

tersebut yang ditujukan untuk melawan oto-antigen yang persisten. Memang telah dibuktikan bahwa FR diproduksi didalam sel-sel plasma pada jaringan subsinovial dan persendian yang meradang. Dengan demikian maka FR terdapat di dalam darah ataupun di dalam cairan sendi. Beberapa kemungkinan mekanisme kejadian FR ditunjukan dalam beberapa postulat sebagai berikut:

1. Agregat IgG/ kompleks imun melahirkan nilai antigen

2.

baru pada bagian Fc dari IgG/ denaturasi. Daya gabwg yang meningkat dari agregat IgG terhadap

reseptor dengan afinitas rendah dari sel-sel yang berpotensi membentuk FR. Anomali struktur IgG nya sendiri

3. 4. Kegagalan fungsi kendali dari sel-T

penekan, menimbulkan kecenderungan pembentukan auto-

5. 6.

7. 8.

antibodi terhadap IgG oleh sel B. Interaksi antaraideotip-antiideotip Reaksi silang antara nilai antigenik Fc. IgG dengan antigen lain terutama antigen dari bahan inti sel. Sensitisasi selama kehamilan Latar belakang genetik yang dikaitkan dengan HLA-DR4.

Penemuan terakhir menunjukkan bahwa artritis reumatoid seropositif, berhubungan erat dengan antigen keselarasan jaringan yaitu HLA-D yang diekspresikan oleh limfosit B dan makrofag. Lebih dari 50% pasien seropositif memiliki HLA-D ini. Sel B poliklonal, memang berpotensi

kuat dalam menginduksi produksi FR.

Spesifisitas / Sensitivitas

2465

bereaksi dengan IgG hewan daripada FR non reumatik. Demikian juga aviditasnya terhadap agregat IgG lebih

tinggi dibanding FR monomerik oleh multivalensi kompleks IgG. Mengenai IgG-FR poliklonal, tidak banyak yang diketahui. Petanda antigenik dari bagian Fc IgG bagi

FR klas imunoglobulin lainnya, juga belum jelas. Kenyataan, FR itu merupakan bagian dari imunoglobulin biasa dari orang sehat. Seperti telah dikemukakan dalam banyak kepustakaan (Suryadhana dkk, I 98 1), FR ini tidak spesifik terhadap AR. Kenyataan, faktor ini secara umum ditemukan pada pasienpasien keradangan akut dan kronis, bahkan juga pada

individunormal. Berbagai penyakit kronis lain dengan nama RF yang menunjukkan adanya faktor ini dapat di klasifikasikan sebagai berikut : . Infeksi viral akut: mononukleosis, hepatitis, influenza

.

dan banyak yang lainnya, sebagai akibat vaksinasi.

Infeksi parasit: tripanosomiasis, kala azar, malaria,

.

schistosomiasis, filariasis, dsb. Penyakit radang kronik: TBC, lepra, lues, brucellosis

. .

periodontitis. Hepatitis, paru, Cryobulinemia . Polutan: silikosis, asbestosis Neoplasma: setelah iradiasi ataupun kemoterapi.

endokarditis bakterial subakut, salmonellosis, "

Adanya faktor ini cenderung ditandai oleh antigemia persisten yang lebih lanjut dapat dibuktikan melalui percobaan hiper imunisasi kelinci dengan antigen bakteri.

ini dikaitkan dengan keadaan hipergammaglobulinemia ataupun kompleks imun yang beredar dalam darah, maka dapatpula di masukan, penyakit hati kronik, paru kronik, cryobulinemia. Dengan kenyataan ini, maka FR itu sendiri sering merupakan indikator in vivo terhadap penyakit-penyakit dengan latar belakang kompleks imun dengan kecenderungan menjadi kronik. Walaupun tak spesihkAR, tetapi faktor ini dapat menjadi perintis timbulnya penyakit AR. Sementara hasil positifjuga ditemukan pada penyakit reumatik lainnya seperti sjogren, SLE, sklerosis sistemik Banyak kelainan

dan penyakit jaringan ikat campuran (MCTD). Pada individu normal sehat, prevalensi lateks positif cenderung meningkat seiring meningkatnya usia. Arti spesifitas bagi imunolog ialah adanya struktur imunokimiawi tertentu pada IgG-nya sedangkan bagi reumatolog, hanya mempersoalkan efisiensi diagno sisnya. Dalam hubungan ini berbagai upaya modifikasi telah dicoba seperti yang tiada henti-hentinya dilakukan Klein dkk

IgM-FRpoliklonal memiliki aneka sfesifisitas. Tidak dapat disebutkan, suatu kekhasan antigenik tertentu, yang benarbenar memegang peranan penting dalam proses terjadinya

AR. Dengan demikian, spesihtas FR padaAR, cenderung lebih heterogen daripada penyakit kronik lainnya yang bukan AR. Karena itu FR pada AR cenderung lebih banyak

Tempat Diproduksinya Faktor Reumatoid Pada pasien AR, seperti juga pada individu yang sehat hanya sedikit imunoglobulin ataupun FR yang diproduksi oleh sel-sel yang berada dalam sirkulasi. Bagaimana juga, limfosit-limfosit yang terdapat dalam

2466

REUMAIIOI.OGI

aliran darah, dapat dirangsang oleh mitogen sel-sel-B untuk

dimulai rangkaian reaksi imun berkepanjangat, yang

memproduksi imunoglobulin secara in vitro. Tetapi sejumlah besar sel-sel dari kompartemen lainnya, telah

berakhir dengan kerusakan jaringan. Hampir semua klinisi reumatologi, telah mengamati tidak jelasnya hubungan

dapat ditunjukkan memproduksi FR. Telah diketahui bahwa

titer IgM-FR yang tinggi dengan jumlah sendi yang

cairan sinovial reumatoid kaya dengan IgG-FR, IgM-FR dan IgA-FR. Jadi FR pada cairan sendi, kemungkinan besar diproduksi secara lokal oleh limfosit-limfosit yang terletak dalam membran sinovial ataupun cairannya sendiri. Agen yang merintis produksi lokal, sampai saat ini masih belum diketahui. Agaknya memang berbagai faktor itu datangnya secara bertahap ataupun simultan yang tanpa disadari

meradang. Tetapi pada negara yang sedang berkembang, titer yang tinggi, dengan jelas menampilkan gambaran khas

terekam oleh tubuh sedikit demi sedikit dan akhirnya tinggal memerlukan hadirnya suatu penyulut (trigger) untuk timbulnya penyakit tersebut. Mengenai tempat diproduksinya FR pada penyakit

kronik lainnya belum dapat diungkapkan, tetapi kemungkinan seperti modus produksi imunoglobulin umunmya.

lmunopatogenesis Faktor Reumatoid Sebenarnya, FR bersifat non-patogenik. Terbukti pada tranfusi dengan IgM-FR tidak dapat menginduksi arlritis bahkan IgM-FR dapat mengurangi serum slckness, lisis oleh komplemen dan aktivitas sitotoksik selular, tetapi hadimya FR dapat menj adi pemacu dan pemantapan proses yang ditunjang oleh hal-hal sebagai berikut: . Pasien seropositif, menunjukkan penampilan klinik dan komplikasi yang lebih berat dibanding seronegatif. Pasien seronegatif, mempunyai prognosa yang lebih baik.

.

..

Pengamatan in-vitro menunjukkan bahwa IgM-FR diproduksi secara spontan oleh limfosit perifer pada seropositif, sedang seronegatif, tidak. Pasien dengan titer FR yang tinggi, menunjukkan prognosis yang buruk dan lebih sering tampil dalam

manifestasi ekstra artikular seperti nodul-nodul subkutan, fibrosis paru, vaskulitis, perikarditis. Hal ini dikaitkan dengan ditemukan CIC (Circul ating Immune

. .

Complex).

IgM-FR poliklonai mampu mangaktifkan kom-plemen, sehingga tidak diragukan keterlib atatty a, dalam berbagai kerusakan jaringan. Meningkatnya kadar IgG-FR, dikaitkan dengan meningkatnya kekerapan timbulnya nodul subkutan, LED, jumlah persendianyang terlibat dan menurunnya kadarkomplemen.

Kemungkinan efek patologiknya ialah kenyataan data

klinik yang rnenunjukkan hubungan FR dengan aktivitas penyakit terutama manifestasi ekstra-artikularnya. Hal ini juga berlaku bagi IgG-FR, yang lebih cenderung berkaitan

dengan penyakit sistemik dan vaskulitis dibanding sinovitis.

Efek biologiktya, yar.g utama ialah kemampuannya mengikat komplemen melalui kompleks imun. Dari sinilah

AR.

Pada anak-anak, adanya IgM-FR menunjukkan ' poli-artikular tipe dewasa dari JRA. Beberapa studi, justru IgG-FR yang menunjukkan korelasi lebih baik dibanding IgM-FR dengan aktivitas penyakit dan manifestasi ekstra artikular, termasuk nodul-nodul subkutan dari pasien AR seropositif. Hal ini berarti, bahwa IgG-FR kemungkinan lebih berperan di banding IgM-FR dalam patogenesis AR.

Inflamasi dan respons imun pada hakekatnya merupakan suatu penampilan dari mekanisme pertahanan tubuh yang saling kait mengkait. Berbagai kerusakan persendian yang terjadi pada AR dimulai dengan suatu

inflamasi yang melepaskan zat-zat prostaglandin dari tipe-tipe sel makrofag, sel dendrit, sel endothelial dan beberapa sel limfosit. Hadirnya prostaglandin justru mempunyai arti penting dalam ikut mempertahankan keseimbangan imunologik. Hal ini dimungkinkan karena prostaglandin langsung bekerja terhadap sel-T penekan yang memiliki reseptor prostaglandin, lalu menghambat aktivitas sel-T penekan sehingga meningkatkan fungsi sel-T penolong. Akibatnya sel-T penolong, bekerja tanpa kendali dengan tidak lagi mengindahkan notma-norma sel recognition sehingga terbentuklah antibodi yang tidak dikehendaki (Auto-antibodi). Kenyataan dengan ditemukannya prostaglandin yang berlebihan pada daerah sendi inflamasi, praktis menutup kerja sel-T penekan. Rangkaian proses ini dimungkinkan karena sel-T penolong

zatIL-2 dan IL-3. Interleukin-2, menjamin aktivitas sel-T/B, sedangkan IL-3 sebagai mediator aktif dalam proses radang. Dalam situasi seperti ini, maka FR lah yang pertama dibentuk dari tempat te{adinya inflamasi. Dari sinilah kemudian dimulai rangkaian proses imunologi yang berkelanjutan dengan berbagai efek kliniknya. Artritis reumatoid, merupakan penyakit kompleks imun ekstravaskular, yang terutama menyerang daerah persendian. Karena cairan sendi pasien AR tidak seperti serumnya, sering mangandung agregat IgG dengan kadar komplemen yang rendah. Jadi faktor ini, justru memegang peranan utama dalam patogenesis penyakit kompleks imun ekstravaskul ar yang nantinya menghasilkan sinovitis reumatoid, tetapi dengan kenyataan ditemukan faktor ini pada penyakit-penyakit lainnya yang bukan AR, telah menurunkan arli dan peranan FR tersebut, tetapi dengan berbagai alasan dan respek terhadap peranan faktor ini, maka hadirnya FR ini, antara penyakit AR dan penyakit non-reumatik, masih dapat dibedakan pada Tabel 4.

melepaskan

Jadi spesifitas jaringan dan kronisitas sinovitis reumatoid, sebagian besar dapat diterangkan dengan kemampuan unik dari faktor reumatoid. Masih ada contoh

2467

PEMERIKSAAN CPR, FAKTOR REUM'TTOID, AUTOANTIBODI DAI\ KOMPLEMEN

Artritis Reumatoid, Lupus Eritematosus Sistemik, Skleroderma, Mixed Connective Ilssue Drsease, Sindrom Sjogren's

Penyakit Rematik

lnfeksi Viral

Acq ui re d i m mu

n

od eficie

n

cy

syndrome, mononukleosis, hepatitis, influenza dan setelah vaksinasi Trypanosomiasis, kala azar, malaria, schistomiasis, filariasis Tuberkulosis, leprosi, sifilis, brucelosis, infektif endokarditis, salmonelosis Pasca radiasi atau kemoterapi, purpura hipergammaglobulinemia, kryoglobulinemia, penyakit hati kronik, penyakit paru kronik

lnfeksi parasit

lnfeksi bakterialis kronik

Neoplasma Hyperglobuli nemic state

kemungkinan meningkatkan efek biologik kompleks imun yang berinteraksi lemah dan menekan efek kompleks imun yang berinteraksi kuat. Antibodi ini juga akan mengendapkan agregat IgG, baik

dalam bentuk larutan ataupun dalam bentuk gel. Lebih

sering terjadi, antibodi

ini bergabung dengan

IgG

monomerik membentuk kompleks yang larut, yangdapat diperlihatkan dalam banyak serum AR melalui cara ultrasentrifugal. Perubahan titer FR selama perjalanan penyakit tidak memberi makna apapun bagi penyakit yang bersangkutan. Walaupun suatu obat berhasil menurunkan titer FR sampai pada keadaan menjadi seronegatif tetapi dapat kembali

menjadi seropositif walaupun secara klinik menunjukkan adanya pemulihan. Titer FR yang tinggi pada AR mengindikasikan prognosis buruk dan kecenderungan manifestasi ekstra artikuler.

Faktor reumatoid IgG Antibodi ini terdapat berlebihan dalam serum, terutama cairan sendi dari banyak pasien dengan AR berat. Konsentrasi IgG yang tinggi dalam serum dan kecenderungan antibodi ini untuk bergabung

Artritis Reumatoid

Penyakit nonreumatik

Titer Heterogenitas

Tinggi

Rendah

++

+

Reaksi nyaterhad ap

lengkap

tidak lengkap

lgM, lgG, lgA Sinovium dan tempat ekstravaskular lainnya

terutama lgM tidak jelas, tetapi bukan pada daerah sinovial.

Faktor Reumatoid

gammaglobulin manusia dan hewan Klas imunoglobulin Lokasi produksi

sendiri, daripada bergabung dengan agregat IgG, justru akan

menyulitkan pengenalannya. Pada prinsipnya FR-IgG ini, dapat dikenal dengan prohl

sedimentasirrya yang tersendiri sebagai kompleks intermediate dalam analisis ultrasentrifugal. Teknik pengenalan antibodi ini telah dikembangkan secara khusus oleh Feltkamp dkk dengan imunofluoresensi tidak

langsung. Sebelumnya memang banyak cara telah diperkenalkan tetapi praktis tidak dapat dilakukan secara

rutin ataupun dengan cara radio-imun yang ternyata laborious, demikian juga teknik Elisa.

lain dari autoantibodi dengan afinitas rendah dengan ciriciri unik yang membawakan sifat patogeniknya dalam situasi khusus. Memang secara teoritis, hadirnya faktor ini, justru menunjukkan salah satu kegagalalsistem imun tubuh dalam menangani infiltrasi benda asing secara tuntas.

Antibodi yang mula pertama dilepaskan ternyata tidak mampu menetralkan benda asing yang masuk. Upaya tubuh menyelesaikan masalah karena kegagalan pengenalan diri, justru melahirkan antigen-antigen baru, akibatnya timbul perkembangan baru, sebagai reaksi terhadap kenyataan tersebut, dengan membentuk zat antiantibodi yang dikenal dengan sebutan FR.

KEMAKNAAN KLINIK Faktor r eumatoid IgM. Klas ini

seperti juga antibodi

IgM

laimya, bersifat multivalen yang karenanya memiliki daya aglutinator yang kuat terhadap partikel-partikel yang terbungkus oleh antigen yang bersangkutan. Faktor ini

Teknik yang diungkapkan oleh Feltkam ini amat sederhana yaitu kaca benda yang telah berisi hapusan suspensi eritrosit l0% golongan darah O, diinkubasi dengan serum kelinci anti eritrosit, kemudian dengan 1/10 serum pasien ataupun serum kelola. Akhirnya dibubuhi dengan konyugat serum kelinci anti IgG. Kalau yang hendak diteksi FR dari klas IgA tentu saja digunakan konyrgat serum kelinci anti IgA. Adanya IgG-FR dalam jumlah besar justru membawa implikasi yang lebih serius dibanding IgM-FR. Para ahli menemukan IgG-FR dalam 600% serum pasien reumatoid vaskulitis dathanya9%opada pasien AR. Ditemukan hubungan kuat antara menurunya kadar IgG-FR dan respons pengobatan dari vaskulitis. Evaluasi kompleks imun (IgG-FR) yang dideteksi dengan Clq dan FR berkorelasi lemah dengan gambarun klinik yang didapat, demikian juga IgM dan IgA-FR Titer IgG-FR yang tinggi, dikaitkan dengan kejadian vaskulitis nekrotikan.dan justeru membawa implikasi yang lebih serius dibanding IgM-FR.

Faktor reumatoid IgA. Mengenai antibodi dari klas IgA, di samping dengan cara tersebut di atas, juga dapat

2468

REI,JMAT.IOI.OGI

ditunjukkan dengan cara imuno-elektroforesis dan imunoabsorbsi kuantitatif. Di samping terdapat dalam serum, juga dapat ditemukan dalam saliva.

Kepentingan pemeriksaan antibodi ini masih dipertanyakan, karena itu belum dapat dilakukan secara rutin, namun faktor ini belum banyak dipelajari karena dipertanyakan nilai kliniknya. Koopman dkk menemukan bahwa polimer IgA-FR dibuat oleh sel-sel plasma sinovial

secara

in vitro dan produksinya relatif tidak sensitif

terhadap efek stimulasi dari zat-zat mitogenik. Kenyataan ini menunjukkan perbedaan yang jelas antara sistesis IgA-FR dan IgM-FR. Dalam hal ini dipertanyakan apakah perbedaan itu mempunyai arti penting secara klinik pada pasien AR.

Adanya antibodi termasuk otoantibodi sering dipakai dalam upaya membantu penegakkan diagnosis maupun evaluasi perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan.

Menjadi suatu pertanyaan sejauh mana peran pemeriksaan otoantibodi atau antibodi secara umum dalam proses patogenik penyakit reumatik. Pembentukan otoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula halnya dengan masalah otoirnunitas. Pada masalah yang terakhir, dikatakan terdapat kekacauan dalam sistem toleransi imun dengan sentralnya pada T-helper dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi otoantigen, kemiripan atau mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross

Faktor reumatoid IgE. Faktor ini hanya ditemukan dalam

r e ac t iv e p ep ti d e

jumlah kecil (50-600 ng/cc). Zuraw dkk menemukan peningkatan kadar faktor ini pada 18 dari 20 pasien AR

idiotipik, aktivasi poliklonal dan sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan

seropositif. Karena kompleks imun IgE dapat melepaskan histamin dam mediator-mediator lainnya dari sel-sel mastosit maka kemungkinan bahwa faktor ini mungkin berperanan dalam memicu terjadinya vaskulitis reumatoid dengan

meningkatkan deposit kompleks IgG dalam dinding pembuluh darah.

terhadap epitop sel-B, mekani sme byp

as

s

mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke

peripher. Kekacauan

ini

semakin besar kesempatan

teq'adinya sejalan dengan semakin bertambahnya usia seseorang.

Otoantibodi relatif mudah ditemukan pada seseorang tanpa disertai penyakit otoimun. Tentunya hal tersebut harus ditunjang oleh sensitivitas pemeriksaan labaoratorium

yang tinggi. Apabila demikian maka otoantibodi dapat ditemukan secara universal sebagai mekanisme normal di

TEKNIKANALISIS Cara yang paling mudah dalam mengukur IgM-FR ialah teknik aglutinasi yaitu cara non imunologik menggunakan lateks dan cara imunologik menggunakan sel darah

biri-biri. Baik lateks ataupun sel darah biri-biri ini

dalam badan terhadap produk sel. Dengan kata lain otoantibodi dapat merupakan hal fisiologik. Dari sudut pemeriksaan laboratorium, adarya anggapan demikian menimbulkan dua hal yang dapat menjadi hambatan dalam terapan imunologik klinik. Dasarnya adalah, pertama, otoantibodi dapat ditemukan dalam semm orang normal

dimaksudkan sebagai perantaralamboseptor yang

tanpa manifestasi penyakit. Umumnya otoantibodi tersebut

memungkinkan pemunculan ikatan antigen antibodi. Untuk mendapatkan konsistensi hasil pemeriksaan maka perlu digunakan gabungan serum positif kuat dan serum positif lemah yang telah diketahui titernya sebagai kontrol kualitas intemal. Idealnya ialah merujuk dua kontrol

berada dalam titer rendah dan memiliki afinitas buruk terhadap antigen yang berkesuaian, serla sebagian besar tergolong imunoglobulin M. Kedua, deteksi otoantibodi

sera dari WHO sehingga pengukurannya dapat diseragamkan dalam hitungan unit internasional.

pada umumnya memerlukan data empirik dalam hal ambang

batas nilai positif. Dengan kata lain apabila nilai terukur berada di atas ambang tersebut baru dikatakan memiliki kemaknaanklinis.

Umumnya otoantibodi

itu sendiri tidak

segera

menyebabkan penyakit. Oleh karenanya, lebih baik PEMERIKSAAN AUTOANTIBODI Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya terlihat lebih nyata

pada penyakit-penyakit otoimun termasuk

di dalamnya

kelompok penyakit reumatik otoimun seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE), Rheumatoid arthritis (RA), sindrom Sjogren dan sebagainya.

otoantibodi dipandang sebagai petanda (markers) proses patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau turun dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi terapi. Kompleks

(oto)antigen dan otoantibodilah yang akan memulai

ini hipotesis yang dianut adalah otoantibodi baru dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit reumatik otoimun apabila ia berperan dalam proses rangkaian penyakit otoimun. Hingga saat

Proses patologik yang terjadi berkatan erat dengan adanya kompleks (oto)antigen (oto)antibodi yang

patologiknya.

keberadaannya dapat menimbulkan berbagai masalah yang seius. Perkembangan yang pesat terhadap deteksi antibodi membawa pengaruh terhadap fungsi pemeriksaan antibodi.

dapat

Otoantibodi yang terbentuk terhadap suatu antigen

dimiliki oleh sejumlah penyakit yang berbeda

dan

yang demikian itu dikenal sebagai antibodi yang tidak spesifik. Salah satunya yatg dapat dikelompokkan pada

2469

PEMERIKSAAI\ CPR, FAKTOR REUMATOID, AUTOANTIBODI DAT{ KOMPLEMEN

otoantibodi ini adalah anti nuclear anlibody (ANA). Ditemukannya satu jenis antibodi terhadap satu jenis

primer, hepatitis autoimun, skleroderma, Epstein Barr virus,

penyakit reumatik otoimun saja merupakan harapan dari banyak ahli. Namunhal inimasihjauh dari kenyataankarena

gammopati monoklonal dan kanker.

adarya tumpang tindih berbagai penyakit yang mendasarinya, serta besarnya kemaknaan klinis suatu

otoantibodi. Sayangnya disinilah letak kebanyakan keterbatasan pemeriksaan otoantibodi.

Antibodi Antinuklear (ANA) Antinuklear antibodi merupakan suatu kelompok

penyakit Chagas, schizofrenia, neuropati sensorik,

Anti-Ku Anti-Ku

adalah suatu antibodi terhadap antigen Ku yang terdapat pada kromatin l0S. Anti-Ku terdapat pada s cl ero derma-p o lymy o s itis overl ap syndrome. Anli-Ku }uga

ditemukan pada 20-40o/o serum pasien LES, > 20o/o pada pasien hipertensi pulmonal primer dan > 50%o serum pasien penyakit Graves.

autoantibodi yang spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada connective tissue disease seperli SLE, sklerosis sistemik, mixed connective tissue diasease (MCTD) dan sindrom sjogren's primer. ANA pertama kali ditemukan oleh Hargraves pada tahun 1948 pada sumsum tulang pasien SLE. Dengan perkembangan pemeriksaan imunodifu si dapat ditemukan spesifisitas ANA yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP), Ro/

SS-A dan LaISS-B.ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi. ANA digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease.Detgan pemeriksaan yang batk, 99o/, pasien SLE menunjukkan pemeriksaan yang positif, 680% pada pasien sindrom Sjogrens dan 40%o pada pasien skleroderma.ANA juga pada l0% populasi normal yang berusia > 70 tahun.

Antibodi terhadap DNA (Anti dsDNA) Antibodi terhadap DNA dapat digolongkan dalam antibodi yang reaktif terhadap DNA natif (double stranded DNA).Anti dsDNA positif dengan kadar yang tinggi drjumpai pada 73%o SLE dan mempunyai arti diagnostik

dan prognostik. Kadar anti dsDNA yang rendah ditemukan pada sindrom Sjogrens, artritis reumatoid.

AntisnRNP Anti snRNP adalah suatu auto antibodi terhadap partikel small nuclear ribocleoproteln dari RNA. AntiSm dan anti U I snRNP termasuk golongan anti snRNP. Anti U I snRNP memiliki hubungan klinis sebagai petanda untuk MCTD dan drjumpai 30-40% pasien SLE.Anti Sm mempunyai

spesifisitas yang tinggi terhadap SLE (spesifisitas 99o/o),walaupunhanya ditemukatpada 20 -30% pasien SLE.

SS-AJanti Ro Antibodi ini mempuyai spesifisitas yang berbeda terhadap partikel ribonucleoprotein yaitu partikel ribonucleoprotein 60 kD dan 52 kD. Antibodi Ro ditemukan pada 40-95% sindroma Sjogren dengan manifestasi ekstraglandular (keterlibatan neurologis, vaskulitis, anemia, limfopenia, trombositope nia) dar' 40oh pasien SLE.

SS-B/anti La Targen antigen oleh antibodi ini adalah partikel ribonucleoprotein 47 kD yang mempunyai peranan dalam proses

terminasi transkripsi RNA polimerase III. Antibodi ini

Peningkatan kadar artidsDNA menunjukkan peningkatan

dijumpai pada8}o/opasien sindroma Sjogren, 10% pasien

aktivitas penyakit. Pada SLE,anti dsDNA mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktivitas

SLE dan 5% pasien skleroderma

penyakit SLE. Pemeriksaan anti dsDNA dilakukan dengan

metoderadioimmunoassay, ELISA dan C.luciliae immunofluoresens.

Antihiston (N ukleosom) Antibodi antihiston merupakan suatu antibodi terhadap komponen protein nukleosom yaitu kompleks DNAprotein (suatu substmkflrr dari inaktif kromatin transkripsi). Potein histon terdiri dari H1,H2A,II2B,H3 dan H4.Antibodi ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan ELISA, indirect immuno/luoresence alau imunoblot. Pada 50-70% LES terdapat antibodi antihiston terutama terhadap protein Hl, H2B diikuti H2A, H3 serta H4, dan biasanya berhubungan anti dsDNA. Antibodi inijuga ditemukanpadalupus induksi

obat dan berhubungan dengan anti ssDNA. Antibodi antihistonjuga ditemukan dengan kadar yang rendah pada artritis reumatoid, artritis reumatoid juvenile, sirosis bilier

Scl 70 atau Anti Topoisomerase

1

Topoisomerase I sitoplasma. Anti topoisomerase 1 terdapat pada 2240o/o pasien skleroderma dan 25 -'l 5o/o pasien sklerosis sistemik. Secara umum anti tropoisomerase I merupakan faktor pediktor untuk keterlibatan kulit yang difus, lama penyakit atau hubungan dengan kanker, fibrosis paru, timbulnya parut (scar) pada j ari j ari dan keterlibatan jantung. merupakan antigen yang terdapat dalam

Antisentromer Antibodi antisentromer mempunyai target pada proses mitosis. Antisentromer ditemukan pada 22-36%, pasien sklerosis sistemik. Antisentromer mempunyai korelasi yang

erat dengan fenomena Raynauds, CREST (Calcinosis,

Raynauds phenomenon, esophageal dysmotility, s

cl ero dac

tily

dan

t el

engiect as ia)

2470

REI.JMITTOT.OGI

.

PEMERIKSAAN KOMPLEMEN Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik.Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif.

Bila terjadi aktivasi oleh antigen,

kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari + 20 protein palasma dan bekerja secara berantai (self amplifyireg) seperti model kaskade pembekuan darah dan fibrinolisis. Komplemen sudah ada dalam serum

neonatal, sebelum dibentuknya IgM. Dalam mobilitas elektroforesis, termasuk kelompok alfa dan beta globulin. Komplemen dihasilkan terutama oleh sel hati dan beredar dalam darah sebagai bentuk yang tidak aktif (prekursor), bersifat termolabil. Pengaktifan, berlangsung melalui dua jalur, yaitujalur klasik (imunologik) danjalur altematif (nonimunologik). Kedua jalur berakhir dengan lisis membran sel atau komplekAg-Ab. Jalur klasik diprakarsai oleh : Clq, Clr, CIs, C4 dan C2. Sedangkan jalur alternatifnya dicetuskan oleh properdin, faktor B, faktor D dan C3. Terminal penghancur kedua jalur tersebut ialah C5-9. Aktivasi ini, masih diimbangi oleh beberapa protein

pengatur yaitu inhibitor Cl, inaktivator C3b, protein pengikat C4, dar, faktor H. sebagai konsekuensi biologik dari aktivitas membranolisis ini dilepaskan berbagai subkomponen dari beberapa komponen yaitu: . Aktivitas kemotaktik oleh C3a, danAnafilatoksin oleh C3a dan C5a, yang melepaskan histamin dari basofil ataupun mastosit dan seritinin dari platelet. . Aktivasi seperti kinin oleh C2 dan C4, yang bekerja

meningkatkan permebilitas vaskular dalam sistem

.

amplikasi humoral

Memacu fagositosis oleh C3b

Komplemen

clq C1r

Cls C1-INH

c4

Penyakit SLE, glomerulonefritis, poikiloderma kongenital SLE, glomerulonefritis, lupus like syndrome SLE

SLE,lupus diskoid SLE,rheumatoid vasculitis,dermatomyositis, gA nephropathy, subacute sclerosing panecephalitis,scleroderma,sjogrens syndrome,grave disease SLE, discoid lupus, polymyositis, HenochSchonlein purpura,Hodgkins d isease,vascul itis, glomerulonefritis, hypog I

c3 C5

c6

c7 C8 C9

am mag lobu line m ia

Vasculitis, lupus like syndrome, glomerulonefritis SLE, infeksi Neisseria infeksi Neisseria SLE, rheumatoid arthritis, Raynauds phenomenon, sclerodactyly, vasculitis, infeksi Neisseria SLE ,infeksi Neisseria infeksi Neisseria

Fagositosis dapat terjadi terhadap kompleks AgAb-C3b, karena pemilikan reseptor C3b pada sel neutrofil, makrofag, trombosit dan sel B. hal ini memeperbesar bangunan ikatan kompleks tersebut sehingga lebih mempermudah pengenalan benda asing tersebut yang akhirnya mempercepat aksi pembersihan. Dengan demikian C3b mempunyai efek ganda yaitu di

samping sebagai trigger dalam menggiring proses penghancuran melalui jalur alternatif, juga sebagai opsonin dalam memacu proses fagositosis. Konsentrasi C3 dan C4, ditemukan meningkat dalam cairan saku gusi dari gingiva yang meradang. Jadi komplemen mampu menyingkirkan kuman setelah bergabung dengan antibodi. Pada SLE, kadar CL,C4,C2 dar, C3 biasanya rendah,

tetapi pada lupus kutaneus normal.Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada pasien dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen terlihat lebih dahulu dibanding gejala klinis.

REFERENSI Breedveld F. New Insight in the pathogenesis of RA. J. Rheumatol 25; 1998: 3-7. Cohen A S. Laboratory diagnostic procedures in the rheumatic diseases. Grune & Stratton, Inc. Sidney, Tokyo 1985. Dunne J. V, Carson DA, Spiegelberg H, dkk, IgA Rheumatoid factor in the sera and saliva of patient, with RA and Sjogren syndrom. Ann. Rheum Dis. 38; 1979:167.

Edmonds J. Immunological Mechanism and Investigations, in Rheumatic Disorders Med Int. 1985:896-900 Feltkamp TEW. Immunopathogenese van Rheumatoide arthritis Het Medischyaar 1981. Utrech : Scheltme & Holkema, 1980: 452-464. ICein F, Bronsveld W, Norde W, dkk. A modified Latex Fixation Test of the detection of Rheumatoid factors. J Clin Path 1979; 32: 90 H H Chng. Laboratory test, in rheumatic diseases Singapore med J. l99l; 32: 272-27 5. Klippel JH, Crofford LJ, Stone JH, Weyand CM in Primer on Rheumatic Disease l2'h ed,Atlanta,Arthritis Fondation 2001. Kalim H, Handono K, Arsana PM ed in Basic Immuno Rheumatology, Malang, Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 200 Maddison, P J. the use of the laboratory in diagnostic rheumatology. Proc 4'h Asean congress of rheumatology Singapore 1993: 1

t7 -122

Monestier.

.

M, Bellon B, Manheimer dkk, Rheumatoid factor Ann N

Y Acad. Sc 475; 1986: 107.

N.G. Suryadhana. dkk Membandingkan hasil lateks dan

tes

hemaglutinasi dalam diagnosis penyakit reumatoid arthritis. Kopapdi V, 1981: hal 1675-1691. Ruddy S, Harris ED, Siedge CB, Budd RC, Sergent JS in Kelleys Textbook 0f Rheumatology 6'h ed,Philadelphia,WB saunders Company,2001.

Roitt I. Essential Immunology. Oxford: Blackwell Science. 1997: 399-405 Rose NR. The use of autoantibodies. In. Peter JB, Shoenfeld ! eds: Autoantibodies. Elsevier Sciences B.V 1996: xxvii-xxix

2471

PEMERIKSAAN CPR, FAKTOR REUMITIIOID, AUTOAI{TIBODI DAN KOMPLEMEN

Suryadhana

N G. Pemeriksaan laboratorium pada penyakit

sendi,

bull Rheumatol ind. 1994; l:7-ll. Suryadhana N G dan Nasution A R. Mekanisme dan pemeriksaan imunologi pada penyakit sendi. MKI 1993;43:,24 29. Suryadhana. dkk Hubungan titer FR dengan keaktifan penyakit. Kopapdi VI, Jakarta 1984 page 2040-2044 Siegert CE, Daha MR, Tseng CM, Coremans IE, Es LA van, Breedveld FC. Predictive value of IgG autoantibodies against Clq for nephritis in systemic lupus erythematosus. Ann Rheum Dis 1993;

52:851-6. Tierney LM, McPhee SJ, Papadakis MA in Current Medical Diagnosis Hi11,2004.

&

Treatment 43'h ed, Lange Medical Books/McGraw-

Tighe H dan Carson DA. Rheumatoid factors. Dalam : Kelley's. Textbook pf rheumatology. WB. Saunders Co. Tokyo. 1997 : p 241-249 Tan E M. Role of autoantibodies: Diagnostic markers, immune system reporters and

initiator of pathogenesis. Proceeding 9th

APLAR Congress. Beijing: Chinese Rheumatology Association. 2000:10-19. Yanossy. G, Duke O. Poultier L.W dkk. RA : A Disease of T

Lymfhosyte 1981:839.

/ Macrophage immunoregulation Lancet

2;

378 PEMERIKS

L\N

PENCITRAAN DALAM BIDANG REUMATOLOGI ZuljasriAlbar

dirasakan jika kita ingin mengevaluasi jaringan lunak. Meskipun foto polos merupakan sarana yang berguna untuk menilai pengaruh massa jaringan lunak terhadap tulang yang berdekatan atau untuk mendeteksi kalsifikasi dalam jaringan lunak, teknik ini tidak cocok untuk

PENDAHULUAN Teknik pencitraan dapat membantu penegakan diagnosis,

memungkinkan penilaian aktivitas/beratnya penyakit, distribusi penyakit, respons terhadap pengobatan secara obyektif, menilai komplikasi dan kelainan ekstra-artikuler serta meningkatkan pemahaman baru tentang proses penyakit. Beberapa pemeriksaan pencitraan yang penting dalam bidang reumatologi ialah foto polos, tomografi, computerize d tomo graphy (CT-s c an), magnetic res onance

mengevaluasi j aringan lunak.

Dosis radiasi yang dihasilkan pada pemeriksaan struktur perifer seperti tangan dan kaki relatif rendah, sehingga pemeriksaan serial dapat dilakukan tanpa harus

kuatir terhadap radiasi yang berlebihan. Dilain pihak,

imaging (MRI), ultrasound, radionuclide imaging,

pemeriksaan terhadap struktur sentral seperti vertebra lumbal dan bagian lain tubuh mengakibatkan radiasi dosis tinggi terhadap pasien. Kedekatan dengan kelenjar kelamin dan sumsum tulang meningkatkan potensi timbulnya efek yang merugikan terhadap pasien. Sedapat mungkin daerah panggul perempuan hamil atau yang masih dapat hamil

artrografr, pengukuran densitas tulang dan angiografi.

Sangat diperlukan pengetahuan dasar tentang keuntungan dan keterbatasan pemeriksaan di atas, sehingga dapat diketahui pemeriksaan mana yang paling

tepat dan paling cost-effective.

Di bawah ini

akan

dibicarakan teknik pencitraan dasar dengan melihat aspek spatial dan resolusi (yang menentukan strukfur mana yang dapat dilihat dengan baik), dosis radiasi terhadap pasien,

kemudahan didapat, tingkat keahlian yang diperlukan untuk menginterpretasikan hasil pemeriksaan dan pemakaian spesifik dalam menilai keluhan dan gejala muskuloskeletal.

FOTO POLOS

tidak terkena radiasi. Demikian juga radiasi terhadap anakanak hendaklah diusahakan seminimal mungkin. Jika pada pasien ini memang diperlukan pemeriksaan radiologik, ahli fisika radiasi dapat menghihrng dosis radiasi minimum yang diperlukan untuk pemeriksaan pencitraan. Prinsip dasar ini berlaku untuk semua jenis pemeriksaan pencitraan. Pemeriksaan radiologi konvensional mudah didapat dan menyenangkan. Tambahan lagi, pengetahuan tentang kelainan radiologi (konvensional) pada bernacam-macam

penyakit reumatik sudah banyak diketahui dan sudah tersebar luas.

Pemeriksaan foto polos merupakan titik tolak sebagian besar pemeriksaan pencitraan penyakit-penyakit reumatik walaupun mungkin setelah itu akan dilakukan pemeriksaan MRI. Biayanya murah dan resolusi spatial tinggi, sehingga detil trabekula dan erosi kecil tulang dapat dilihat dengan baik. Jika diperlukan, resolusi dapat ditingkatkan dengan teknik pembesaran. Resolusi kontrasnya memang tidak

berhimpitan akan mengaburkan gambaran anatomi.

sebaik CT-scan atau MRI. Keterbatasan ini terutama

Biayanya hampir sama dengar.CT-scan. Resolusi struktur

TOMOGRAFI

Teknik ini sangat berguna untuk pemeriksaan daerah dengan anatomi yang kompleks, dimana struktur yang

2472

PEMERIKSAAN PENCITRAAN DALAM BIDANG REUMATOI]OGI

2473

tulang sedikit lebih baik, sedangkan visualisasi jaringan lunak jauh lebih buruk. Dosis radiasi lebih tinggi daripada CT-scan. Dalam praktek, teknik ini telah digantikan oleh

pemeriksaan radiologi konvensional. Teknik ini memperoleh informasi struktur berdasarkan densitas

CT-scan.

COMPUTEDTOMOGRAPHY Meskipun relatif mahal, CT-s c an lebrhmurah daripada MRI. Resolusi spatial lebih baik daripada MRI, tetapi lebih buruk daripada foto konvensional. CT-scan dapat memperlihatkan

kelainan jaringan lunak lebih baik daripada foto konvensional, walaupun tidak sebaik MRL CT tersebar

stmktur jaringan lunak yang tidak dapat diperlihatkan oleh

proton dalam jaringan dan hubungan proton ini dengan lingkungan terdekatnya. MRI dapat memberi penekanan pada jaringan atau status metabolik yang berbeda-beda. Dengan perkataan lain, pencitraarr yarrg berbeda dapat diperoleh dari tempat anatomi yang sama dengan mengubah parameter tertentu.

MRI relatif lebih mahal daripada pemeriksaan pencitraan lain, terutama karena harga peralatan dan waktu

yang diperlukan untuk melakukan pemeriksaan. Di masa depan, perlu dipertimbangkan pengurangan

luas dan banyak dokter dapat membaca hasil fotonya. CT-scan merupakan teknik yang sangat baik untuk mengevaluasi penyakit degeneratif diskus interverlebralis

sekuens pencitraan sehingga dapat menurunkan biaya pemeriksaan. Juga perlu dikembangkan sekuens pencitraan yang lebih cepat, yang dapat mengurangi waktu dan biaya

dan kemungkinan herniasi diskus pada orang tua. Penekanan tulang pada kanalis spinalis dan foramen intervertebralis lebih mudah dievaluasi daripada MRI.

MRI di samping memungkinkan shrdi dinamika gerakan sendi. MRI bebas dari bahaya ionisasi akibat radiasi, suatu keuntungan besar dalam memeriksa bagian sentral tubuh di mana pemeriksaan radiologi menimbulkan dosis radiasi yang tinggi. Meskipun demikian, ada juga beberapa

Mielografi CT dan CT-s c an dengan bahan kontras intravena merupakan teknik tomograh lain yang digunakan untuk mengevaluasi penyakit diskus intervertebralis dan kelainan

vertebra lain. MRI lebih disukai sebagai pilihan kedua-setelah foto polos-untuk menyelidiki penyakit diskus intervertebralis, tetapi CT-scan merupakan altematif

yang baik dan mungkin bermanfaat pada situasi di mana keterangan lebih lanjut tentang osteofit sangat diperlukan. CT-scanjuga bermanfaat untuk mengevaluasi struktur di daerah dengan anatomi yang kompleks di mana struktur yang saling berhimpitan menl, rlitkan pandangan pada foto konvensional. Misalnya koalisi talokalkaneus yang tidak dapat dilihat pada foto konvensional, sakroilitis (terutama

bahayanya.Medan magnet yang kuat dapat menggerakkan obyek metal seperti logam asing dalam mata, menyebabkan gangguan alat pacu jantung, memanaskan bahan logam sehingga menimbulkan luka bakar dan menarik bahan logam kedalam magnet, Bahan logam yang berdekatan dengan medan magnet juga dapat mempengaruhi kualitas pencitraan MRI. Karena itu, operator MRI harus menyaring pasien dan pengunjung lain dengan teliti. Kadang-kadang pasien kurang cocok dengan gadolinium, suatu bahan

sternoklavikular yang sangat sulit dilihat dengan foto

kontras yang digunakan padapemeriksaan MRI. Akhimya, pasien perlu dilengkapi dengan proteksi telinga karena pengaktifan medan magnet menimbulkan bising. Struktur jaringan lunak sendi seperti meniskus dan ligamen krusiatum lutut dapat diperlihatkan dengan jelas.

konvensional, cukup jelas terlihat dengan CT-scan. Dosis radiasi CT-scan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan satu foto konvensional pada daerah yang sama. Tetapi dosis radiasi ini sebandingjika diperlukan beberapa foto konvensional pada satu daerah. Akibatnya, dosis radiasi lebih rendah daripada tomografi konvensional pada banyak keadaan.

Jaringan sinovium juga dapat dilihat, terutama dengan menggunakan bahan kontras paramagnetik intravena seperti gadolinium. Demikianjugakelainan lain seperti efusi

sendi, kista poplitea, ganglioma, kista meniskus dan bursitis dapat dilihat dengan jelas dan intergritas tendo dapat dinilai. MRI makin populer untuk mengevaluasi ligamen antara tulang-tulang karpal dan fibrokartilago

Berhubung sejumlah penyakit reumatik berkaitan dengan kelainan paru-paru, cukup beralasan bahwa pemeriksaan CT-scan dengan resolusi tinggi pada paru-paru dapat memperlihatkan detil penyakit yang tidak dapat dilihat dengan CT-scan irisan tebal. Terlihatnya infiltrat 'ground g/ass'menunjukkan proses aktif yang

trianguler.

yang disebabkan infeksi) dan kolaps kaput femoris akibat o steonekrosis yang memerhkat i o int r ep l a c e m ent. Sendi

mungkin memberikan respons terhadap pengobatan.

M AG N ETt C

RESOATANCE TMA G,NG (M Rl)

MRI membawa keuntungan besar bagi pencitraan muskuloskeletal karena kesanggupannya memperlihatkan

Kalsifikasijaringan ikat terlihat tidak sebaik foto biasa karena pancaran sinyal yang rendah' Mula-mula diduga bahwa tulang yang juga mempunyai pancaran sinyal yang rendah akan menimbulkan problem. Tetapi karena sumsum tulang yang mempunya sinyal tinggi, MRI menjadi sangat sensitif untuk mendeteksi kelainan tulang. Dalam praktek, mikrofraktur akibat trauma atau stres sering disebut bone bruises tidak dikenal sebelum MRI. Sekarang, keberadaan mikrofraktur ini penting untuk diketahui. Sebagai contoh, kebanyakan nyeri yang menyertai robekan meniskus akut

mungkin disebabkan oleh mikrofraktur yang ditemukan bersama-sama. Ketika mikrofraktur menyembuh, nyeri

2474

hilang walaupun robekan meniskus masih ada. Penemuan ini mempunyai pengaruh penting dalam pengobatan. Ini juga membantu menerangkan mengapa MRI lutut pada usia tua sering menunjukkan robekan meniskus yang asimtomatik. Mikrofrakhr juga mempunyai hubungan erat dengan cedera ligamen. Setelah foto polos, MRI merupakan cara yang bagus untuk mempelajari tulang belakang dan isinya seperli pada kasus tersangka herniasi diskus interverlebralis terutama pada pasien muda karena tidak menimbulkan ionisasi. MRI merupakan sarana terbaik untuk mendiagnosis osteonekrosis. Osteonekrosis dapat menyerupai penyebab lain nyeri sendi, terutama sendi panggul. Pada masa awal penyakit, foto polos tidak menunjukkan kelainan. MRI juga

merupakan cara terbaik untuk mengevaluasi luasnya

neoplasma jaringan lunak dan tulang, dan telah menggantikanCT-scan dalam hal ini, meskipun foto polos tetap merupakal cara terbaik untuk mendiagnosis tumor

tulang. CT-scan mungkin juga bermanfaat dalam mengidentifikasi karakteristik kalsifikasi matriks yang akan membantu diagnosis jenis tumor. MRI sensitif terhadap adanya infeksi tulang karena perubahan sinyal sumsum tulang. Ini merupakan pilihan

yang baik untuk mengevaluasi daerah tertentu yang diduga terkena osteomielitis, meskipun r adionuclide bone scan lebih disukai untuk penilaian proses hematogenik yang multifokal. MRI juga dapat mengidentifikasi abses jaringan lunak.

Kelainan otot seperti robekan dan memar dapat diidentifikasi dengan MRI. Aktivitas masing-masing otot

selama gerakan sendi dapat dipelajari dengan memperhatikan perubahan sinyal yang terjadi selama

REUMATOI.OGI

Indium (1llln-labeled WBCs) berguna untuk mengevaluasi berbagai macam kelainan muskuloskeletal. Biaya pemeriksaannya hampir sama dengan CT-scan dan dosis radiasinya sebanding dengan pemeriksaan CT-scan abdomen. Sintigrafi cukup sensitif untuk menemukan banyak proses penyakit, dan seluruh tubuh dapat diperiksa sekaligus. Tetapi teknik ini tidak spesifik karena sejumlah

proses penyakit dapat menyebabkan akumulasi radionuklid. Jika terdapat daerah dengan uptake yatg meningkat, sering diperlukan pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan radiologik untuk meningkatkan spesifisitas guna mengidentifikasi jenis kelainan. Pada situasi klinis di mana kelainan tulang tidakjelas, sken tulang mungkin berguna untuk menyingkirkan penyakit. Sendi yang terkena oleh proses inflamasi atau degeneratif menunjukkan uptake yang meningkat dan dapat memetakan luas penyakit dalam I kali pemeriksaan. Secara umum ini tidak selalu berguna, tetapi mungkin bermanfaat pada keadaan tertentu. Misalnya pada pasien dengan artritis inflamasi dan kelainan yang luas pada pemeriksaan radiologik, sintigrafi dapat membantu menentukan daerah di mana terdapat inflamasi aktif. Sken

tulang merupakan pilihan yang masuk akal untuk penemuan dini osteonekrosis jika tidak ada MRI. Sken tulang juga dapat mendeteksi cedera akibat stres seperti arulsi tendo, fraktur akibat stres, shin splints yatgkadangkadang menyerupai keluhan artritis.

ULTRASONOGRAFI

aktivitas otot. MRI merupakan pemeriksaan terpilih untuk mengevaluasi osteokondritis disekans jika kita ingin

USG memberikan informasi unik dengan menimbulkan gambaran berdasarkan lokasi interface akustik dalam jaringan. Relatif murah, mudah didapat dan bebas dari

mengetahui apakah sebuah fragmen tulang terlepas atau tidak.

bahaya radiasi. Resolusi spatial sama dengan CT-scan dan

Perubahan rawan sendi dapat dilihat dengan MRI. Tetapi harus diingat bahwa penemuan kelainan minimal hanya bermanfaat secara klinis jika hal ini mengubah pengobatan yang diberikan. Pengobatan medikamentosa

MRI, bergantung kepada transducer. Tetapi resolusi

biasanya diteruskan sampai diperlukan penggantian sendi, yang dapat didiagnosis dengan foto polos biasa. Pada keadaan tertentu, MRI merupakanpilihan pertama yarg cost ffictive dalammenilai sendi lutut di mana diduga terdapat kerusakan intemal, karena arffoskopi terbukti tidak perlu pada sebagian besar kasus,

SINTIGRAFI Teknik ini merupakan cara yang mudah untuk melihatpola keterlibatan sendi dan keadaan aktivitas penyakit. Sintigrafi setelah pemberian intravena beberapa bahan seperti 99m teknisiummetilen difosfat (99mTc MDP) unflrk skentulang, 99mTc sulfur koloid untuk sken sumsum tulang, galium sitrat (67Ga sitrat) dan leukosit yang diberi label dengan

dibatasi oleh dalamnya jaringan yang diperiksa. Resolusi jauh lebih baik padajaringan superfisial. Salah satu kekurangan USG ialah ketergantungannya kepada operator. Seorang peneliti tidak selalu dapat mengulang hasil pemeriksaan peneliti lain. Karena USG tidak memiliki gambaran potong lintang yang lengkap

untuk menentukan orientasi, sulit bagi

orang

yang tidak hadir pada waktu pemeriksaan dilakukan menginterpretasikan hasil pemeriksaan orang lain. Pada beberapa pusat pemeriksaan telah terbukti bahwa USG dapat mendeteksi robekan rotator cuffdengan tepat. Hasilnyajuga baik dalam mengevaluasi penumpukan cairan seperti efusi sendi, kista poplitea dan ganglioma, sehingga dapat dipakaiuntukmenuntun aspirasi cairan sendi maupun ditempat lain. Tendo yang terletak superfisial seperti tendo

Achiles dan patela dapat diperiksa untuk kemungkinan adannya robekan. USG sangat baik untuk membedakan tromboflebitis

dengan pseudotromboflebitis. Dengan teknik real-time

2475

PEMERIKSAAN PENCITRAAN DALAM BIDANG REUMITTOI.OGI

dan penekanan, trombosis vena dan kista poplitea dapat

diidentifikasi. USG tampak menjanjikan untuk evaluasi osteoporosis. Hantaran gelombang melalui tulang memberikan informasi tentang struktur mikrotrabekula y ar'g berkaitan dengan kekuatan tulang, tetapi tidak dapat dinilai langsung dengan teknik radiografi. Informasi ini saling melengkapi dengan informasi tentang komposisi mineral tulang dalam mengevaluasi risiko fraktur pada pasien. USG juga telah dipakai untuk menilai sifat permukaan rawan sendi.

ARTROGRAFI Pada artrograh diperlukan suntikan bahan kontras kedalam sendi, diikuti oleh pemeriksaan radiologi. Pada artrografi

konvensional, ruang sendi diisi dengan bahan kontras yang mengandung yodium dan kadang-kadang udara. Biaya pemeriksaan lebih mudah daripada CT-scan atart MRI dan dapat dilakukan jika tersedia fluoroskopi. Tetapi kemungkinan masuknya bakteri kedalam sendi atau adanya reaksi terhadap bahan kontras atau anestesi lokal harus diperlimbangkan, meskipun komplikasi ini sangat jarang. Salah satu alasan utama melakukan artrografi ialah untuk memeriksa struktur dalam sendi seperti meniskus sendi lutut yang tak dapat dilihat dengan pemeriksaan radiologi konvensional. Sekarang struktur ini sudah dapat

dilihat secara non-invasif dengan MRI. Meskipun demikian, masih ada hal tertentu yang memerlukan arlrografi.

Artrografi konvensional menggunakan bahan kontras yang mengandung yodium, baik sendiri maupun dikombinasikan dengan udara dapat dengan tepat mendeteksi robekan total rotator culf. CT-scan dapat ditambahkan pada arlrogram udara kontras (artrografi CT), memberikan hasil yang sangat baik untuk mempelajari labrum glenoidalis yang sebanding dengan atau mungkin lebih baik daripada MRI.

Artrogram lutut dapat memastikan diagnosis kista poplitea dan memungkinkan dilakukannya suntikan steroid pada waktu yang sama. Teknik ini merupakan pengganti yang tepat untuk mengevaluasi meniskus pada pasien klaustrofobia atau pasien yang ukuran badannya menyebabkan pemeriksaan MRI tidak mungkin dilakukan. Artrografi pergelangan tarrgarr sangat baik untuk mengevaluasi integritas hbrokartilago trianguler, ligamen

Artrografi dengan kontras digunakan untuk memastikan lokasijarum intraartikuler setelah aspirasi cairan sendi dari sendi yang diduga terinfeksi. Artrografi merupakan

satu-satunya cara yang dapat diandalkan untuk memastikan asal spesimen.

DENSITOMETRITULANG

Densitometri tulang digunakan terutama untuk mengevaluasi osteoporosis. Dua teknik yang akurat dan telah dipergunakan secara luas ialah dual-energy x-ray absorptiomelry (DEXA) dan quantitative compuled tomography (QCT) DEXA menggunakan berkas sempit sinar-X yang

mengubah enersi. Sebuah reseptor yang sensitif mendeteksi fraksi sinar-X yang melintasi tubuh, yang menghasilkan profil jumlah radiasi yang didefleksikan oleh tubuh. Karena karakteristik absorpsi tulang dan jaringan lunak tidak sama pada tingkat enersi sinar x yang berbedabeda, jumlah radiasi yang diabsorpsi oleh tulang dapat dihitung. Dari hasil ini, jumlah tulang pada jalur sinar x pada setiap titik sepanjang penyidik dapat diteqtukan.

DEXA relatif murah dan radiasinya rendah. Jadi merupakan pilihan yang baik untuk pemeriksaan yang harus diulang-ulang. Setiap bagian tubuh dapat diperiksa. Telah dibuat nilai standar untuk vertebra lumbal dan bagian proksimal femur, yang mempakan bagian yang paling banyak dipelajari. QCT menyidik beberapa verlebra lumbal bersama-sama

dengan sebuah fantom yang berisi materi yang b

one

-eq

u iv

al en

t detgan kons entrasi

yang b erbeda-beda.

Dari nilai konsentrasi materi dan pengaruhnya terhadap pengurangan CT dibuat sebuah kurve standar, dan kemudian densitas tulang pada setiap lokasi yang disidik ditentukan dengan merujuk ke kurve standar' Biaya pemeriksaannya sedang dan dosis radiasi cukup rendah, meskipun tidak serendah DEXA. Keuntungan teknik ini ialah dapat mengevaluasi bagian tengah verlebra karena korteks dan bagian posterior vertebra tidak diukur. Bagian trabekular lebih cepat terpengaruh dibandingkan dengan korteks pada waktu terjadi kehilangan massa tulang.

ANGIOGRAFI

sebagian besar klinikus lebih menlukai artrografi daripada

Angiografi berguna dalam mendiagnosis penyakit reumatik di mana terdapat komponen vaskular. Pada poliarleritis nodosa, adatyaaneurisma kecil yang multipel pada arteri

MRI.

viseral yang berukuran sedang merupakan gambaran yang

ar.tara os skafoid dan os lunatum serta ligamen antara os lunafum dan os trikuetrum. Dalam keadaan ini

Artrografi MRI dilakukan dengan mengembangkan sendi bahu memakai bahan kontras larutan encer

penting. Pada lupus eritematosus sistemik, angiografi mungkin bermanfaat dalam mendiagnosis keterlibatan

Gadolinium. Teknik ini telah dipelajari dengan mendalam dan mungkin meningkatkan ketepatan diagnosis robekan labrum glenoidalis dan rotator cuff.

susunan saraf pusat.

Biaya angiografi lebih tinggi daripada MRI dan merupakan prosedur invasif. Sebaiknya hanya dilakukan

2476

pada situasi tertentu

REUMA*II)LOGI

di mana cara lain tidak

dapat

memberikan data diagnostik yang diperlukan.

Teknik pencitraan lain yang kadang-kadang dipakai misalnya: . Sialografi: untukmemperlihatkanpengaruhsindromsika terhadap kelenjar ludah dan membedakannya dengan sumbatan mekanis akibat batu kelenjar ludah.

. . .

Tenografi: untuk memperlihatkan ruptur tendo atau massa akibat hipertrofi sinovium.

Mielografi, radikulografi, ascending lumbar venography dandiskografi : untuk menilai nyeri pinggangatal penyakit reumatik pada verlebra serfikal. Termografi; dasamya ialah pancaran panas infra-merah dari kulit di atas tulang dan sendi. Aktivitas sinovitis dan respons terhadap pengobatan dapat dilihat dan diukur.

Teknik ini juga dapat digunakan untuk menyelidiki aliran darah perifer yang berkurang misalnya pada fenomen

Raynaud dan peningkatan aliran darah pada tulang, misalnya pada penyakit Paget.

polos bahu memperlihatkan subluksasi kaput humeri keatas dan menyentuh bagian inferior akromion, klinikus dapat memastikan tanpa pemeriksaan MRI bahwa rotalor cufftelah robek dan atrofi. Foto lutut anteroposterior dan posteroanterior (fleksi) dalam keadaan berdiri baru dapat memperlihatkan kelainan jika rawan sendi sudah habis,

tetapi tidak dapat memperlihatkan erosi minimal yang tampakpadaMRl. Akhirnya, sangat penting bagi klinikus untuk bekerja sama dengan ahli radiologi untuk memutuskan dengan tepat apa yang diharapkan dari pemeriksaan pencitraan,

lalu menetapkan pemeriksaan apa yang dipilih untuk memperoleh informasi tersebut. MRI dapat memberikan banyak informasi dari beragam struktur, sehingga pemeriksaan MRI secara mendalam mungkin tepat pada penyakit sendi yang membingungkan. Pada situasi lain, pemeriksaan MRI standar atau pemeriksaan pencitraan lain yang lebih sederhana mungkin dapat memberikan informasi diagnostik yang spesifik dalam waktu yang lebih singkat dengan biaya yang lebih murah.

REFERENSI

PEMILIHAN PEMERIKSAAN PENCITRAAN Hampir semua pemeriksaan pencitraan sebaiknya dimulai dengan foto polos. Sering pemeriksaan foto polos ini saja sudah cukup. Jika diperlukan informasi diagnostik lain yang mungkin akan mengubah tindakan klinis, MRI sering merupakan pilihan kedua. Dalam banyak kasus, hasil pemeriksaan MRI harus dikorelasikan dengan foto polos karena MRI tidak dapat memperlihatkan kalsifikasi atau erosi ringan pada korteks. Penelitian MRI akhir-akhir ini menunjukkan bahwa sering terdapat kelainan anatomi yang tidak berkaitan dengan keluhan. Karena itu gejala klinis dan kelainan pencitraan harus dinilai bersama-sama. pemeriksaan pencitraan sebaiknya tidak dilakukan, kecuali jika mereka mempunyai potensi untuk menjawab pertanyaan klinis. Pada kebanyakan kasus, pemeriksaan pencitraan yang biayanya murah sudah dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk mengambil keputusan klinis. Jika foto

Bellamy N, Buchanan WW.Clinical evaluation in the rheumatic diseases In:Koopman WJ Editor. Arthritis and atlied conditions a textbook of rheumatology. 13th ed., Baltimore:Williams and Wilkins; 1997,Yol. I, Ch.3, p 47-10 Katthagen B-D. Ultrasonography ol the shoulder. New York:Thieme Med Publ; 1990. Marcelis S, Daenen B, Ferrara MA. Peripheral musculoskeletal ultrasound atlas Dondelinger RF editors, New York:Thieme Med Publ; 1996. Peterfy CG, Genant

HK : Magnetic

resonance imaging

in arthritis.

In: Koopman WJ,editor. Arthritis and allied conditions

-

a textbook of rheumatology. l3th ed Baltimore:Williams and Wilkins; 1997.p.115-49. Resnic D, Yu JS, Sartoris D.Diagnostic tests and procedures in rheumatic diseases - imaging In:Kelley WN editors.Textbook of rheumatology 5,h ed., WB Saunders; 1997.p.626-86. Scott Jr WW. Imaging techniques. In:Klippel JH, editor. Primer on the rheumatic diseasesl lth ed. Atlanta:Arthritis Foundation; 1 997.p. 1 06- 1 5. Van Holsbeeck M, Introcaso JH. Musculoskeletal Ultrasound. St. Louis:Mosby-Year Book; I 99 1.

388 PEMERIKSAAN DENSITOMETRI TULANG Bambang Setiyohadi

Osteoporosis adalah kelainan skeletal sistemik yang ditandai dengan compromised bone strengtft sehingga tulang mudah fraktur. Osteoporosis merupakan keadaan yang sering didapatkan karena setelah menopause, seorang wanita akan kehilangan hormon estrogen didalam

tubuhnya dan proses resorpsi tulang menjadi tidak terkendali dan tidak dapat diimbangi oleh proses formasi tulang. Di Amerika, 44 juta penduduknya mengalami osteoporosis atau densitas massa tulang yang rendah. Osteoporosis merupakan keadaanyang serius karena akan mengakibatkan fraktur dan meningkatkan angka morbiditas

dan mortalitas. Dianosis osteoporosis sangat mudah dilakukan, yaitu dengan cara mengukur densitas massa ttlang (Bone Mineral Density, BMD) dan osteoporosis akan dapat dideteksi lebih dini sebelum fraktur terjadi. Pengobatan osteoporosis juga tersedia lengkap saat ini yang dapat menurunkan risiko fraktur sampai 50%. Densitometri tulang merupakan tehnik yang noninvasif yang dapat mengukur kepadatan tulang. Ada bermacam-macam tehnik densitometri mulai dari yang sederhana sampai yang canggih. Saat ini yang banyak

digunakan adalah tehnik Dual X-ray absorpliometry

(DxA)

TEKNIK DENSITOMETRI Sebelum membicarakan

DXA

secara lebih detail, ada

baiknya dibicarakan dulu berbagai tehnik densitometri secara garis besar yang meliputi teknik radiografrk, single

energy densotimetry, dual energy densitometry, quantitative computed tomography dan quantitative ultrasound.

TeKnik radiografik. Berkembang sebelum densitometer kuantitatif berkembang seperti saat ini. Tehnik ini membandingkan gambaran tulang pada frlm radiografik

yang lebih terang dibandingkan dengan sekitamya yang lebih gelap. Pada tulang yang mengalami demineralasisi, gambarannya akan lebih gelap mendekati gambaran jaringan lunak. Walaupun demikian, dibutuhkan kehilangan massa tulang mk inimal3}oh agar didapatkan gambaran yang jelas pada pemeriksaan radiologik konvensional. Karena metode ini tidak sensitif, malia dikembangkan metode

pengukuran secara radiologik yaitu dengal cara absorpsiometri radiografik (fotodensitometri) dan radiogrametri. Pada tehnik absorpsiometri radiografik, keabu-abuan gambaran radiografik dikalibrasi dengan menggunakan potongan alumunium atau hidroksiapatit yang berbenhrkbaji yang diletakkan dipermukaan film dan difoto bersama dengan obyeknya. Sedangkan tehnik radiogrametri mengukur ketebalan korteks tulang pada film, biasanya diambil tulang-tulang tar'gar', humerus atau radius. Yang tersering diambil adalah pada mid-metakarpal II.

Singte Energy Densitometry. Tehnik ini menggunakan gelombang radiasi yang melalui lengan bawah distal dan dibandingkan antara radiasi yang dipancarkan oleh alat (radiasi insiden) dengan radiasi yang keluar setelah melalui

obyek (disebut radiasi tarnsmisi) sehingga didapatkan penipisan radiasi (atenuasi) karena diserap oleh obyek tersebut. Makin tinggi mineralisasi tulang, makin besar atenuasinya. Densitas massa tulang (Bone Mineral Density, BMD) diukur dengan cara membagi Bone conlent (sesuai dengan atenuasi) dengan area tulang yang diukur. Walaupun demikian, cara ini memiliki beberapa kelemahan, misalnya: 1. Teknik ini membutuhkan isotop radioaktif sebagai sumber radiasi yang harganya mahal dan dapat menghasilkan eror pada pengukuran bila sumber tersebut diganti. Karena itu tehnik ini disebut juga Single photon absorptiometry (SPA). 2. Teknik ini tidak praktis, karena obyek yang akan diukur harus direndam dalam air debngan tujuan untuk

2477

2478

menghilangkan absorpsi radiasi pada jaringan lunak yang akan mengganggu pengukuran densitas tulang. Oleh sebab itu, tehnik ini hanya dapat mengukur densitas tulang perifer, seperti lengan bawah distal atau

tumit dan tidak dapat digunakan untuk mengukur densitas tulang aksial.

Dengan berkembangnya tehnik radiologik, maka penggunaan isotop sebagai sumber radiasi akhirnya diganti dengan sinar-X dan tehnik ini disebut Single Xr ay a b s orp t i on e try (SXlt).

Dual Energy Absorptiometry. Menggunakan 2 energi radiasi sehingga pengaruh jaringan lunak dapat dieliminir.

Semula sumber energi yang digunakan adalah isotop sehingga tehnik ini disebut Dua photon absorptiometry (DPA), kemudian sumber energinya diubahmenjadi sinarX dan teknik ini disebut Da al X-ray absorptiometry @XA). Tehnik DXA inilah yang saat ini banyak digunakan, karena dapat mengukur densitas tulang di daerah lumbal, femur proksimal, lengan bawah, dan bahkan total body. Dengan perkembangan tehnologi, digunakan telnlkfan beam geometry yang dapat meningkatkan wakttJ scanning.

Quantilativ e C o mp ut e d To m o grap hy (QC T), merupakan satu-satunya tehnik non-invasif yang dapat mengukur densitas tulang secara 3 dimensi. Hasil dari tehnik eCT adalah densitas volumetrik (dalam gram/cm3). QCT sangat baik digunakan unffi mengukur densitas tulang belakang dan sementara ini belum dapat digunakan untukmengukur area yang lain. Walaupun demikian, QCT membutuhkan radiasi yangbesar dibandingkan dengan DXA, karenaDXA hanya membutuhkan radiasi 1-5 mSv, sedangkan eCT membutuhkanradiasi sampai 60 mSv.

Quantitative Ultrusound (QUS). Dengan menggunakan tehnik ultrasonografik, dapat diukur densitas tulang, tetapi terbatas pada tulang-tulang perifer, misalnya tumit, jari atau lengan bawah. Walaupun demikian, sampai saat ini tidak jelas, struktur tulang yang mana yang diukur dengan tehnik ini, mungkin ukuran trabekula atau ukuran kristal atau struktur lainnya. Walaupun tehnik ini sangat menjanjikan karena ukurannya yang kecil, wakts scanning yangrelalif cepat dan tidak ada radiasi, tetapi presisinya buruk dan akurasinyajuga diragukan bila dibandingkan dengan tehnik sinar-X, sehingga sementara ini hanya digunakan untuk penapisan massal dan belum digunakan untuk patokan terapi.

DXA DXA merupakan tehnik BMD yang banyak dipakai secara luas. DiAmerika sendiri saat ini terdapat sekitar 10.000 alat DXA. Di Indonesia terdapat sekitar 15 alat DXA yang tersebar di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan dan Makassar. DXA merupakan baku emas untuk pengukuran BMD yang dapat mengukur tulang-

REUMATOI.OGI

tulang sentral (aksial) yang meliputi tulang belakang dan femur proksimal; maupun tulang-tulang perifer seperti lengan bawah, bahkan dapat mengukur BMD seluruh t;abuh (total body). Data-data epidemiologik osteoporo-

sis dengan menggunakan DXA juga sudah banyak dipublikasikan dan secara in vitro diketahui berkorelasi baik dengan kekuatan tulang. Tujuan pengukuran BMD adalah untuk mendiagnosis osteoporosis, memprediksi risiko fraktur dan memonitor terapi. Pada pengukuran

BMD dengan DXA, akan didapatkan

nilai BMD areal (dalam sahran grlcm2),T:score danZ-score. T-score adalah perbadingan nilai BMD pasien dengan BMD rata-rata orang muda normal dan dinyatakan dalam

skore deviasi standard (SD); sedang Z-score membandingkan nilai BMD pasien dengan BMD rata-rata orang seusia pasien, juga dinyatakan dalam skore deviasi standard. Pada pengukuran BMD spinal (tulang belakang), maka semua L 1 -L4 harus diukur rata-rata BMDnya, kecuali bila

terdapat perubahan struktur atau artefak pada ruas vertebra yang bersangkutan. Dalam hal ini, gunakan 3 ruas vertebra bila 4 ruas tidak mungkit, atau2 ruas bila 3 ruas

tidak mungkin, tetapi tidak dapat diukur bila hanya digunakan 1 ruas vertebra. Selain itu pengukuran spinal lateraljuga tidak dapat digunakan untuk diagnosis, kecuali untuk pemantauan, karena memiliki presisi yang lebih buruk dibandingkan dengan BMD spinal PA, tetapi memiliki respons yang baik terhadap pengobatan. Pada penyakit degeneratif (osteoartritis) lumbal atau adaty a fraktur pada ruas-ruas tulang lumbal, akan menyebabkan BMDnya lebih tinggi, sehingga dalam hal ini ruas-ruas lumbal yang mengalami penyakit degeneratif atau mengalami fraktur tidak dapat ikut dinilai untuk mendiagnosis osteoporosis. Beberapa artefak lain yang juga dapat mengganggu penilaian BMD spinal adalah kalsifrkasi aorta, laminektomi, fusi spinal, kontras gastrointestinal, tablet kalsium, batu ginjal atau kandung empedu, kalsifikasi pankreas, alat-alat metal yang diimplan kedalam tubuh, kancing baju, dompet, perhiasan dan lain sebagainya. Pada BMD panggul, dapat dipilih apakah akan diukur sisi kiri atau kanan, karena tidak ada perbedaan BMD yang

bermakna. Dari ROI ini yang dapat digunakan untuk diagnosis adalah BMD yang terendah darifemoral neck, total proximal femur atau trokanter. Ward b area tidak boleh digunakan untuk diagnosis osteoporosis karena akan didapatkan hasil positif palsu, karena area Ward pada hasil DXA hanya menunjukan area kecil di leher femur yang terendah BMDnya dan tidak sesuai dengan area Ward secara anatomis. Selain itu

BMD pada Ward area memiliki

presisi dan akurasi yang buruk dan tidak termasuk dalam

kriteria WHO. Selain itu pengukuran rata-rata BMD panggul kiri dan kananjuga tidak perlu dilakukan, karena tidak ada data yang menggambarkan nilai rata-rata tersebut lebih baik untuk diagnosis osteoporosis.

2479

PEMERIKS/MN DENSTTOMETRI TUIJ\I\G

Wanita berusia di aias 65 tahun Wanita pasca menopause berusia < 65 tahun dengan faktor risiko Laki-laki berumur 70 tahun atau lebih Orang dewasa dengan fraktur fragilitas Orang dewasa dengan risiko fraktur panggul, misalnya tinggi badan > 5 ft 7 in, berat badan < 127 lb, riwayal merokok, riwayat maternal dengan fraktur panggul. Orang dewasa dengan penyakit atau kondisi yang berhubungan dengan densitas massa tulang yang rendah atau kehilangan massa tulang, misalnya hiperparatiroidisme, sindrom malabsorpsi, hemigastrektomi, hipertiroidisme dsb Orang dewasa yang minum obat-obatan yang potensial menyebabkan densitas massa tulang rendah atau kehilangan massa tulang, misalnya glukokortikoid, anti konvulsan, heparinisasi kronik dsb Setiap orang yang dlpertimbangkan memerlukan terapi farmakologik untuk osteoporosis Seseorang dalam terapi osteoporosis, untuk memantau efek pengobatan Seseorang yang terbukti mengalami kehilangan massa tulang yang karena satu dan lain hal sehingga tidak mendapatkan terapi, walaupun sesungguhnya membutuhkan terapi

BMD pasien T-score '1

-

BMD rata-rata orang dewasa muda

SD BMD rata-rata orangdewasa muda

BMD pasien Z-score

-

BMD rata-rata orang seusia pasien

1 SD BMD rata-rata orang seusia pasien

Z-score yang rendah (< -2,0) mencurigakan kearah kemungkinan osteoporosis sekunder, walaupun tidak ada data pendukung. Selain itu setiap penderita harus dianggap menderita osteoporosis sekunder sampai terbukti tidak ada penyebab osteoporosis sekunder

Bagian-bagian tulang yang diukur (Reglon of /nterest, ROI): Tulang belakang (11-14) Panggul Femoral neck Total femoral neck Trokanter Lengan bawah (33% radius), bila Tulang belakang dan/atau panggul tak dapat diukur Hiperparatiroidisme Sangat obese Dari ketiga lokasi tersebut, maka nilai T-score yang terendah yang digunakan untuk diagnosis osteoporosis

1. 2

3. -

:

Klasifikasi

T-score

Normal Osteopenib Osteoporosis

-1 atau lebih besar Antara -'1 dan -2,5 -2,5 atau kurang

Osteoporosis

-2,5 atau kurang dan fraktur fragilitas

berat

Risiko

T-score

Tindakan

fraktur >

+1

Sangat rendah

0 s/d +1

Rendah

-1 s/d 0

Rendah

-1 sld -2,5

Sedang

<-)

4

Tinggi

tanpa fraktur

<-)

a

dengan fraktur

Sangat tinggi

Tidak ada terapi Ulang densitometri tulang bila ada indikasi. Tidak ada terapi Ulang densitometri tulang setelah 5 tahun Tidak ada terapi Ulang densitometri tulang setelah 2 tahun Tindakan pencegahan osteoporosis Ulang densitometri tulang setelah 1 tahun Tindakan pengobatan osteoporosis Tindakan pencegahan dilanjutkan Ulang densitometri tulang dalam 1-2 tahun Tindakan pengobatan osteoporosis Tindakan pencegahan dilanjutkan Tindakan bedah atas indikasi Ulang densitometri tulang dalam 6 bulan -1 tahun

Secara rutin, untuk diagnosis osteoporosis. cukup dilakukan BMD pada ROI spinal dan femw proksimal. Walaupun demikian, bila kedua ROI tersebut tidak dapat

dinilai atau pada keadaan sangat obese atau pada pasien hiperparatiroidisme, dapat dilakukan pengukuran BMD pada lenganbawah. Berbeda engan lumbal maupun femur proksimal, BMD lengan bawah merupakan prediktor yang baik untuk menilai densitas tulang kortikal. Pada ROI ini, pilihlah ROI 33% radius (kadang-kadang disebut 1/3

radius) pada lengan bawah non-dominan. Kriteria WHO tidak boleh digunakan untuk menilai BMD perifer, kecuali pada ROI 33% radius. BMD perifer juga tidak dapat digunakan untuk memantau hasil terapi, kecuali untuk menilai risiko fraktur. ROI lain yang dapat dinilai pada pemeriksaan BMD adalah total body. BMD total body sangat baik untuk menilai tulang kortikal, karena 8002 rangka manusia terdiri dari tulang kortikal. Kadang-kadang BMD total body juga digunakan untuk menilai komposisi trtbuh, misalnya lean body mass, persentase lemak tubuh. Dalam hal hal yang terakhir ini diperlukan piranti lunak yang khusus dan standardisasi tersendiri yang biasanya sudah disediakan

oleh pabrik yang memproduksi mesin BMD yang bersangkutan. BMD total body juga menjadi pilihan ROI untuk menilai densitas tulang anak-anak di bawah umur 20 tahun, selainBMD lumbal. Nilai T-score -2,5 ataukwang, tidak selalu menunjukkan osteoporosis, karena pada osteomalasia juga akan

memberikan hasil T-score yang rendah. Selain itu, diagnosis osteoporosis juga dapat ditegakkan walaupun T-score lebih besar dari -2,5, misalnya bila didapatkan fraktur vertebra atraumatik. Pada pengguna glukokortikoid

2480

REI,JMIIiIOI.OGI

jangka panjang (>6 minggu) atau dosis tinggi (dosis prednison >7,5 mgffiarl), maka terapi dapat dimulai bila

DIAGNOSIS OSTEOPOROSIS PADA WANITA PREMENOPAUSAL, LAKI.LAKI DAN ANAK.ANAK

nilai T-score - 1 ,5 atau lebih rendah. Selain itu nilai T:score yang rendah juga tidak berhubungan dengan penyebab

Kriteria klasifikasi diagnosis osteoporosis tidak dapat

osteoporosis, sehingga harus dilakukan evaluasi terhadap

kemungkinan adanya faktor risiko osteoporosis yang mungkin membutuhkan penatalaksanaan

te

rsendiri.

Set

iap

pasien osteoporosis harus dianggap menderita osteoporosis sekunder sampai dapat disingkirkan semua

kemungkinan penyebab osteoporosis yang diderita pasien, apalagi bila didapatkan Z-score -2 atau lebih rendah.

Mengapa untuk diagnosis osteoporosis digunakan T:score dan bukan Z-score

?

Nilai T-score berhubungan dengan kekuatan tulang dan risiko fraktur. Bila digunakan nilai Z-score untuk diagnosis osteoporosis maka akan didapatkan banyak hasil negatifpalsu walaupun terdapat fraktur fragilitas dan

osteoporosis tidak akan makin meningkat dengan

digunakan untuk kelompok wanita premonopausal sehat (umur 20 tahun sampai usia menopause), laki-laki dan anak-anak. Pada wanita pre-menopausal, tidak ada data hubungan BMD dengan risiko fraktur sebagaimana didapat pada wanita pasca menopause. Oleh sebab itu, adatya fraktur

pada wanita premenopausal yang disertai BMD yang rendah sudah cukup untuk mendiagnosis osteoporosis. Dalam hal ini, nilai Z-score lebih memiliki nilai diagnostik daripada T-score. Selain itu, osteoporosis pada anita premenopausal juga dapat didiagnosis bila didapatkan

BMD yang rendah dengan penyebab osteoporosis sekunder, misalnya pengguna steroid jangka panjang, pengguna anti konvulsan, hipogonadisme,

Beberapa faktor risiko fraktur yang lain yang juga harus diperhatikan adalah tinggi badan >5 ft 7 in, berat badan

hiperparatiroidisme dan sebagainya. Pada laki-laki yang berumur 65 tahun atau lebih atau laki-laki yang berumur 50-64 tahun dengan faktor risiko osteoporosis, maka nilai T-score dapat digunakan untuk mendiagnosis osteoporosis dan osteoporosis didiagnosis bila didapatkan nilai T-score -2,5 alau lebih rendah. Pada laki-laki yang berumur 20-50 tahun atau laki-laki yang berumur 50-64 tahun tetapi tidak memiliki faktor risiko osteoporosis, maka tidak dapat digunakan T-score unfuk mendiagnosis osteoporosis. Dalam hal ini, sama halnya

<127 lb, merokok dan riwayat maternal dengan fraktur panggul. Setiap penurunan BMD 1 SD identik dengan peningkatan risiko fraktur relatif sebesar 1,9-3,0. Tetapi hal ini juga ditentukan oleh umur pasien, karena temyata umur di atas 60 tahun merupakan faktor risiko fraktur tersendiri yang tidak tergantung pada BMD. Pasien

premenopausal, dimana nila Z-score lebih berkorelasi dengan risiko fraktur daripada nilai T-score. Walaupun demikian, nilai-nilai ini masih memerlukan standardisasi lebih lanjut. Diagnosis osteoporosis pada laki-laki yang berumur <50 tahun tidak dapat hanya didadasarkan pada

berumur 80 tahun dengan T:score -1,9 akan memiliki risiko fraktur yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien berumur 50 tahun dengan T-score yang sama. Data risiko

pada laki-laki pada setiap umur, maka diagnosis osteoporosis dapat ditegakkan secara klinis.

bertambahnya umur.

PREDIKSI RISIKO FRAKTUR Sampai saat ini masih diperdebatkan, apakah BMD yang endah merupakan prediktor fraktur fragilitas yang penting.

fraktur pada orang berusia lanjut ternyata hampir sama pada semua lokasi tulang walaupun lokasi yang diukur dan mesin yang digunakan berbeda. Oleh sebab itu, hasil BMD yang rendah pada satu lokasi tulang sudah menunjukkan pemrrunan BMD pada tulang-tulang yang lain. Kekecualian hanyalah pada prediksi risiko fraktur panggul, karena yang nilai prediksinya paling tinggi hanya BMD padafemoral neck. Saat

ini diketahui bahwa faktor

kekuatan tulang

memegang perar,yar,g sangat penting sebagai faktor risiko

fraktur akibat osteoporosis. Ada 2 variabel yang harus diperhitungkan yang menentukan kekuatan tulang, yaitu kuantitas tulang dan kualitas tulang. Kuantitas tulang meliputi ukuran tulang dan densitas tulang, sedangkan kualitas tulang meliputi bone turnover, arsitektur tulang, akumulasi kerusakan tulang, derajat mineralisasi dar, kualitas kolagen pada jaringan tulang tersebut.

dengan diagnosis osteoporosis pada wanita

nilai BMD. Bila didapatkan risiko osteoporosis sekunder

Pada anak-anak, baik laki-laki maupun wanita yang berumur <20 tahun, nilai T-score tidak dapat digunakan

untuk diagnosis osteoporosis, sebagai gantinya digunakan nilai Z-score. Selain itu, diagnosis osteoporosis pada anak-anak tidak boleh hanya didasarkan pada nilai BMD. Terminologi BMD rendah pada anak-anak

ditetapkan bila nilai Z-score <-2,0. Selain itu ROI yang dianjurkan pada anak-anak adalah lumbal dan total body. Penggunaan nilai BMD untuk prediksi fraktur pada anakanak sampai saat ini masih belum ditentukan.

BMD SERIAL BMD serial dilakukan untuk menentukan bilamana terapi osteoporosis dapat dimulai pada pasien-pasien dengan risiko kehilangan massa tulang yang bermakna atau terdapat indikasi untuk terapi osteoporosis. Selain itu BMD

2481

PEMERIKS/MN DENSTTOMETRI TUI-ANG

serial juga dapat menilai respons terhadap terapi osteoporosis. Dalam hal ini, pada pasien-pasien yang tidak

memberikan respons yang baik terhadap pengobatan, dapat dilakukan re-evaluasi terhadap terapi yang diberikan

atau evaluasi terhadap kemungkinan adanya pernyebab osteoporosis sekunder yang harus diterapi secara terpisah. Interval BMD serial tergantung pada keadaan klinik pasien. Pada pasien yang baru mendapatkan terapi atau baru

diubah terapinya, maka BMD ulangan dapat dilakukan setiap tahun dan bila hasilnya sudah menetap, maka dapat dilakukan BMD serial tiap 2 tahun. Pada pasien-pasien dengan risiko kehilangan massa tulang yang besar, seperli pada pengguna steroid, maka BMD serial dapat dilakukan lebih cepat, misalnya setiap 6 bulan. Untuk melakukan BMD serial, setiap Pusat BMD harus menentukan Least Significant Change (LSC). Selain itu setiap pergantian sistem DXA atau perubahan operator BMD, juga harus dihitung presisinya. Bila perubahan BMD serial sama atau lebih dari LSC yang telah dihitung, maka perubahan tersebut dianggap bermakna. Pada BMD serial, yang dibandingkan adalah nilai BMD areal, bukan nilai T-score. Selain itu BMD yang dilakukan dengan alat yang berbeda tidak dapat dibandingkan, karena mungkin berbeda sumber energinya, berbeda kalibrasinya, berbeda detektornya dan berbeda ROInya.

Gambar 1. Macam-macam alat densitometri

,te.*,?

.!.,!

PELAPORAN BMD Pelaporan hasil pemeriksaan BMD awal dan BMD ulangan berbeda dan harus diperhatikan baik oleh operator, analis

yang mengevaluasi hasil BMD maupun dokter yang membaca hasil BMD tersebut. Pelaporan BMD awal harus meliputi data demografik (umur, jenis kelamin, ras, tinggi badan, beratbadan), dokter yang meminta pemeriksaan BMD, dokter yang membaca hasil pemeriksaan BMD, indikasi pemeriksaan, status menopause pasien, alat BMD yang digunakan, hasil BMD yang meliputi ROI, BMD areal dalam grlcm2, T-score, Z-score, Kriteria diagnostik WHO, risiko fraktur, anjuran evaluasi medik untuk mencari kemungkinan penyebab

Gambar 2. Densitometri lumbal

;t l:'tri,

osteoporosis sekunder, anjuran untuk BMD ulangan berikutnya.

Pada pelaporan BMD ulangan (serial) harus dicantumkan ROI yang sebelumnya dan berikutnyayar,g dibandingkan, nilai LSC di Pusat BMD tersebut, pelaporan adanya perubahan yang bermakna atau tidak, baik dalam g/cm2 maupun dalam%o, dan anjuran untuk pemeriksaan

7.,

i,.

kemungkinan etiologi osteoporosis sekunder, evaluasi laboratorium, identifikasi faktor risiko fraktur dan kehilangan massa tulang yang cepat, evaluasi radiologik, tindakan pencegahan umum dan anjuran terapi.

.

arF,

*

Gds{ffr

l}tritr

kr ,94 ir1

"i :t: l?n

l ;: <

.: ;l :'

i q, f

y

I ria

11

t

':,

i

l

BMDberikutnya.

Selain itu, pada pelaporan BMD juga dapat dicantumkan rekomendasi untuk menyingkirkan

;r ,{ i$ s:. 'i * Y ':.

Gambar 3. Densitometri panggul

:

'

2482

RELJMA-^IOLOGI

REFERENSI

(eiryer€ Ea&j tt&

8WtW1

Yirt{s#

Bonnick SL. Bone Densitometry in Clinical Practice: Application and Interpretation Humana Press, 1998, New Jersey. Bonnick SL, Faulkner KG, Miller PD, McClung MR. ISCD Certification Course Clinical Track: Learning objectives, Core

,13

0$ 0$

cu AX

,2

01, 811 0,1

l

1fi3 afl!0str1881s;ffi AS lyeasj

f.d,!

Ai&$i* -{

ffi {l4l

rq.+f*e

t121

4i

iFr

Str$r* wr$ *fi1* *rr! r3i

i:g: +.ei

\i&

il): !{.5?:

Gambar 4. Densitometri lengan bawah

l*1

r@ &rrhM.{ {*) r& ;i

*

-:5

teaching points and Suggested readings International ociety of Clinical Densitometry, 2000. Faulkner KG Clinical Use of Bone Densitometri In: Marcus R, Feldman D, Kelsey J (eds) Osteoporosis, vol 2, 2nd edition. Academio Press, San Diego 2001:433-58 Kanis JA. Assessment of Fracture Risk: Who Should be Screened ? In: Far,us MJ et al (eds). Primer on the Merlabolic one Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed American Society of Bone and mineral Research, Washington DC 2003:316-22. Miller PD, Bonnick SL. Clinical Application of Bone Densitometry. In: Favus MJ et al (eds). Primer on the Mertabolic one Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th ed American Society of Bone and mineral Research, Washington DC 1999:152-9

389 NYERI Bambang Setiyohadi, Sumariyono, Yoga I. Kasjmir, Harry Isbagio, Handono Kalim

the study of pengalaman pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai sensoris dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial akan menyebabkan kerusakan jaringan. Persepsi yang disebabkan oleh rangsangan yang potensial dapat menimbulkan kerusakan jaringan disebut no s is eps ion.

Menurut The International Association

for

Nosisepsion merupakan langklah awal proses nyeri. Reseptor neurologik yang dapat membedakan antara rangsang nyeri dengan rangsang lain disebut nosiseptor. Nyeri dapat mengakibatkan impairment dan disabilitas. Impairment adalah abnormalitas atau hilangnya struktur atau fungsi anatomik, fisiologik maupun psikologik. edangkan d i s ab il i t as adalah hasil dari imp a ir m ent, y ait:.t keterbatasan atau gangguan kemampuan untuk melakukan aktivitas yang normal. S

Persepsi yang diakibatkan oleh rangsangan yang potensial dapat menyebabkan kerusakan jaringan disebut nosisepsi, yang merupakan tahap awal proses timbulnya nyeri. Reseptor yang dapat membedakan rangsang noksius

dan non-noksius disebut nosiseptor. Pada manusia, nosiseptor merupakan terminal yang tidak tediferensiasi serabut a-delta dan serabut c. Serabut a-delta merupakan serabut saraf yang dilapisi oleh mielin yang tipis dan berperan menerima rangsang mekanik dengan intensitas

menyakitkan, dan disebut juga high-threshold mechanoreceptors, Sedangkan serabut c merupakan serabut yang tidak dilapisi mielin.

Intensitas rangsang terendah yang menimbulkan persepsi nyeri, disebut ambang nyeri. Ambang nyeri biasanya bersifat tetap, misalnya rangsang panas lebih dari 50"C akan menyebabkan nyeri. Berbeda dengan ambang nyeri, toleransi nyeri adalah tingkat nyeri tertinggi

sehari-hari, toleransi nyeri lebih penting dibandingkan dengan ambang nyeri.

TERMINOLOGI NYERI

Alodinia adalah nyeri yang dirasakan oleh pasien akibat rangsang non-noksius yang pada orang normal, tidakenimbulkan nyeri. Nyeri ini biasanya didapatkanpada

pasien dengan berbagai nyeri neuropatik, misalnya neuralgia pasca herpetik, sindrom nyeri regional kronik dan neuropati perifer lainnya. adalah nyeri yang berlebihan, yang ditimbulkan oleh rangsang berulang. Kulit pada area hiperpatia biasanya

Hiperpatia

tidak sensitif terhadap rangsang yang ringan, tetapi memberikan respons yang berlebihan pada rangsang multipel. Kadang-kadang, hiperpatia disebut juga

dl sestesi

sumasl.

Disestesi adalah adalah parestesi yang nyeri. Keadaan ini dapat ditemukan pada neuropati perifer alkoholik, atau neuropati diabetik di tungkai. Disestesi akibat kompresi nervus femoralis lateralis akan dirasakan pada sisi lateral

tungkai dan disebut meralgia parestetika. Parestesi adalah rasa seperti ternrsuk jarum atau titik-titik yang dapat timbul spontan atau dicetuskan, misalnya ketika saraftungkai tertekan. Parestesi tidak selalu disertai nyeri; bila disertai nyeri maka disebut disestesi.

Hipoestesia adalah turunnya sensitifitas terhadap rangsang nyeri. Area hipoestesia dapat ditimbulkan dengan infiltrasi anestesi 1okal.

yang dapat diterima oleh seseorang. Toleransi nyeri berbeda-beda antara satu individu dengan individu lain

Analgesia adalah hilangnya sensasi nyeri pada rangsangan nyeri yang normal. Secara konsep, analgesia merupakan

dan dapat dipengaruhi oleh pengobatan. Dalam praktek

kebalikan dari alodinia.

2483

2484

Anestesia dolorosa yaitu nyeri yang timbul di daerah yang hipoestesi atau daerah yang didesensitisasi.

Neuralgia yaitu nyeri yang timbul di sepanjang distribusi suatu persarafan. Neuralgiayarrg timbul di saraf skiatika atau radiks Sl, disebut Skiatika. Neuralgia yang tersering adalah neuralgia trigeminal.

REUMA-IOLOGI

sudah tidak ada. Biasanya pasien merasakan rasa seperti

terbakar, seperti tersengat listrik atau alodinia dan disestesia.

Nyeri psikogenift yaitu nyeri yang tidak memenuhi kriteria nyeri somatik dan nyeri neuropatik, dan memenuhi untuk depresi atau kelainan psikosomatik.

Nyeri tabetik, yaitu salah satu bentuk nyeri neuropatik yang timbul sebagai komplikasi dari sifilis

I

Nyeri sentral, yaitu nyeri yang diduga berasal dari otak atau medula spinalis, misalnya pada pasien stroke atau pasca trauma spinal. Nyeri terasa seperti terbakar dan lokasinya sulit dideskripsikan.

Nyeri pindah (refewed pain) adalah nyeri yangdirasakan ditempat lain, bukan ditempat kerusakan jaringan yang menyebabkan nyeri. Misalnya nyeri pada infark miokard yang dirasakan di bahu kiri atau nyeri akibat kolesistitis

Nyeri nosiseptifi

kiteria

NVeri somatik

'{

( I

Nyeri viseral

--r{ Nyeri non-nosiseOtif

I .j

I

Nyeri neuropatik

Nyeri psikogenik

yang dirasakan di bahu kanan.

Nyeri fantom yaitu nyeri yang dirasakan paada bagian tubuh yang baru diamputasi; pasien merasakan seolaholah bagian yang diamputasi itu masih ada. Substansi algogenik adalah substansi yang dilepaskan oleh jaringan yang rusak atau dapat juga diinjeksi

MEKANISME NYERI

subkutaneus dari luar, yang dapat mengaktifkan nosiseptor,

landin terdapat di jaringan; kinin berada di plasma;

Proses nyeri mulai stimulasi nociceptor oleh stimulus noxiuos sampai terjadinya pengalaman subyektif nyeri adalah suatu seri kejadian elektrik dan kimia yang bisa dikelompokkan menjadi 4 proses, yaitu: transduksi,

substansi-P berada di terminal saraf aferen primer; histamin berada didalam granul-granul sel mast, basofil dan trombosit

transmisi. modulasi dan persepsi. Secara singkat mekanisme nyeri dimulai dari stimulasi

Nyeri akut, yaitu nyeri yang timbul segera setelah

nociceptor oleh stimulus noxiuos pada jaringan, yalg kemudian akan mengakibatkan stimulasi nosiseptor dimana

misalnya histamin, serotonin, bradikinin, substansi-p, K*, Prostaglandin. Serotonin, histamin, K*, Ht, dan prostag-

rangsangan dan hilang setelah penyembuhan.

disini stimulus noxious tersebut akan dirubah menjadi

Nyeri kronik, yaitu nyeri yang menetap selama lebih dari

postensial aksi. Proses ini disebut transduksi atau aktivasi

3 bulan walaupun proses penyembuhan sudah selesai.

reseptor. Selanjutnya potensial aksi tersebut akan

KLASIFIKASI NYERI Nyeri nosiseptif, adalah nyeri yang timbul sebagai akibat perangsangan pada nosiseptor (serabut a-delta dan serabut-c) oleh rangsang mekanik, termal atau kemikal.

Nyeri somatik adalah nyeri yang timbul pada organ non viseral, misal nyeri pasca bedah, nyeri metastatik, nyeri tulang, nyeri artritik.

Nyeri viseral adalah nyeri yang berasal dari organ viseral, biasanya akibat distensi organ yang berongga, misalnya usus, kandung empedu, pankreas, jantung. Nyeri viseral seringkali diikuti referted pain dan sensasi otonom, seperti mual dan muntah.

Nyeri neuropatik, timbul akibat iritasi atau trauma pada saraf. Nyeri seringkali persisten, walaupun penyebabnya

ditransmisikan menuju neuron susunan saraf pusat yang berhubungan dengan nyeri. Tahap pertama transmisi adalah konduksi impuls dari neuron aferen primer ke komu dorsalis medula spinalis, pada komu dorsalis ini neuron aferen primer bersinap dengan neuron susunan sarap pusat. Dari sinijaringan neuron tersebut akan naik keatas di medula spinalis menuju batang otak dan talamus. Selanjutnya terjadi hubungan timbal balik antara talamus dan pusat-pusat yang lebih tinggi di otak yang mengurusi respons persepsi dan afektif yang berhubungan dengan nyeri. Tetapi rangsangan nosiseptifptif tidak selalu menimbulkan persepsi nyeri dan sebaliknya persepsi nyeri bisa terjadi tanpa stimulasi nosiseptifptif. Terdapat proses modulasi sinyal yang mampu mempengaruhi proses nyeri tersebut, tempat modulasi sinyal yang paling diketahui adalah pada kornu dorsalis medula spinalis. Proses terakhir adalah persepsi, dimana pesan nyeri di relai menuju ke

otak dan menghasilkan pengalaman yang tidak menyenangkan.

2485

NYERI

neuron susunan saraf pusat di kornu dorsalis medula spinalis.

Medula Spinalis Kornu dorsalis medula spinalis merupakan relay point pertama yang membawa informasi sensoris ke otak dari

perifer. Gray matter mengandung badan sel saraf dari neuron-neuron spinalis dan white matter mengandung axon yang naik atau turun dari otak. Rexed memb agi gray matter menjadi 10 lamina. Lamina I - VI terdapat pada komu lvlain

sensory nucleus-

ofnV

- 1\

(secondary) ---Ventral trigeminothalamic

dorsalis dan mengandung interneuron yang merelay informasi sensoris menuju ke otak

.

Pada kornu dorsalis serabut aferen nosisepsi

MEDULA

- -'

Anterolateral fasciculus; spinothalamic spinoreticular spinomesen@Phalic

CERVICAL CORD

THORACIC CORD

membentuk hubungan dengan neuron-neuron proyeksi atau intemeuron inhibisi atau eksitasi lokal untuk mengatur aliran informasi nosisepsi ke pusat yang lebih tinggi. Terdapat 3 kategori neuron pada kornu dorsalis yaitu neuron proyeksi, interneuron eksitasi dan interneuron

inhibisi. Neuron proyeksi bertanggung jawab untuk membawa signal aferen ke pusat yang lebih tinggi. yang terdiri dari 3 tipe neuron yaitrt nocicptive-spesific cells (NS), /ow treshold (LT) neuron datwide dynamic range (WDR) neuron.

NEU ROTRANSMITER PADA KORNU DORSALIS Dorsal root ganglion

----

Terdapat banyak neurotransmiter yang berperanan pada

proses nosiseptif

Conduction

B

c

3-30

<3

Neuron diameter

tetapi tidak ada bukti yang meyakinkan adanya neurotransmiter tunggal untuk nyeri. Distribusi dari

Characteristics

(rrm)

12-22 4-12 4-12 1-5 1 5-4 <15

Meskipun

neuropeptida dan asam amino tertentu berperan penting,

Gambar 1. Mekanisme proses nyeri

Type velocity (m/s) 60-120 Ao 50-70 A0 35-70 41 5-30 A6

di kornu dorsalis.

Skeletal motor (M) Touch, vibration, light pressure (l\4)

lntrafusalproprioception(M) Primary nociceptive afferent (l\4) Autonomic preganglionic (l\4) Primary nociceptive afferent (unM) Autonomic postganglionic (unM)

Aspek Perifer Nosisepsi Terdapat2 tipe serabut saraf aferen primer nosiseptif yaitu serabut A' dan serabut C. Dua fungsi utama serabut saraf aferen primer adalah transduksi stimulus dan transmisi

stimulus menuju susunan saraf pusat. Badan sel dari neuron-neuron ini terdapat pada ganglion radix dorsalis. Axon dari neuron ini memiliki dua cabang yaitu yang menuju perifer, yang bagian terminalnya sensitif terhadap stimulus noxious; dan cabang lainya yang menuju susunan saraf pusat, dimana kemudian akan bersinap dengan

neuropeptida ini bisa berbeda di antara beberapajaringan. Misalnya neuron radix dorsalis yang menginervasi viseral umunmnya umumnya kaya akan substansi P dan CGRP

dibanding dengan yang menginervasi kulit. Stimulus noxious akan mencefuskan pelepasan glutamat dan dan beberapa asam amino lain yang terdapat bersama-sama peptida pada terminal aferen primer. Glutamat dan aspartat adalah neurotransmiter utama dalam exitatoty transmission pada tingkat spinal. Bahan ini disimpan pada terminal aferen primer nosiseptor dan dilepaskan sebagai respons terhadap aktivitas nosiseptif.

Terdapat banyak neurotransmiter inhibitor yang memodulasi nosisepsi di segmen kornu dorsalis, seperti somatostatin, GABA, adenosin, alfa2 adretergik, taurin dan endocanabinoid.

Dari Medula Spinalis Menuju ke Otak Sinyal nosiseptifyang menuju ke kornu dorsalis di relay menuju pusat yang lebih tinggi di otak melalui beberapa jalur yaitu traktus spinotalamikus, yang merupakan jalur

nyeri utama; traktus spinoretikularis dan traktus spinomesencephalic

2486

Di Tingkat Otak Terdapat beberapa nukleus pada talamus lateral yaitu

nukleus ventral posterior lateral, nukleus ventral posterior medial, nukleus ventral posterior inferior dan bagian posterior dari nucleus ventromedial; serla di daerah

medial talamus yaitu talamus centrolateral, bagian ventrocaudal dari nukleus dorsomedial dan nukleus para fasikular yang berperanan pada proses nyeri. Didaerah

kortex cerebri yang memiliki fungsi nosisepsi adalah korteks somatosensor primer, somatosensor sekunder serta daerah disekitarnya di parietal operculum, itsula, anterior

cingulate cortex dan korteks prefrontal.

MODULASI NOSISEPTIF Terdapat beberapa tempat modulasi nyeri, tetapi yang paling banyak diketahui adalah pada kornu dorsalis medula spinalis. Eksitabilitas neuron-neuron di medula spinalis tergantung dari keseimbangan dari input yang berasal dari nosiseptor aferen primer, neuron intrinsik medula spinalis dan descending system yang berasal dari supra spinal.

KONTROL SEGMENTAL (SPINAL)

Modulasi pada tingkat spinal aktivitas nosiseptif melibatkan sistem opioid endogen, inhibisi segmental, keseimbangan aktivitas antara input nosiseptif dan input aferen lainya serta descending control mechanism.

Reseptor opioid merupakan tempat kunci dalam analgesia. Mekanisme analgesi utama dari opioid adalah

REI,JMAiNOI.OGI

serabut A dan serabut C. TENS untuk menghilangkan nyeri didasark an pada teori ini.

Kontrol S u praspina ll Descend i ng Controt Kontrol nyeri supraspinal melalui dua jalur yang berasal dari midbrain (periaqueductal gray matter dan locus ceruleus) dan medula oblongata(nucleus raphe magnus dan nukleus reticularis giganto cellularis). Sistem modulasi

nyeri ini menuju medula spinalis melalui funikulus dorsolateral. Neuron-neuron di rostroventral medula oblongata membuat koneksi inhibisi pada komu dorsalis lamina I, II dan V. Sehingga stimulasi neuron di rostroventral medula oblongata akan menghambat neuron-neuron komu dor-

salis neuron-neuron traktus spinotalamikus yang memberikan respons stimulasi noxious. Serabut desenden lain yang berasal dari medula oblongata dan pons juga berakhir pada kornu dorsalis superfisial dan menekan

aktivitas nosiseptif neuron kornu

dorsalis.

Neurotransmiter utama yang berperanan pada descendin g p

ain c ontro I irri adalah serotonin (5-hydroxytryptamine,

5 HT) dan norepineprin (noradrenalin). Neuron-neuron serotoninergik dan noradrenergik turun melalui funikulus dorsolateral dari batang otak menuju medula spinalis dan berakhir pada kornu dorsalis, sangat berperanan pada modulasi nyeri. Aktivasi Reseptor + 2 adrenergik akan mengakibatkan antinosisepsi. Sejumlah subtipe reseptor

serotoninergik telah diketahui di medula spinalis dan berberanan dalam transmisi nyeri. Stimulasi elektrik pada daerah periaqueductal dan nukleus raphe magnus akan mengakibatkan analgesia melalui pelepasan serotonin dan

norepineprin endogen.

melalui inhibisi presinap dari injury-evoked neurotransmitter release dari neuron nosiseptif aferen primer (lebih da;i 70o/o dari total OP3 (%) receptor site terdapat pada terminal aferen primer). Opioid endogen tampaknya juga menyebabkan inhibisi postsinap neuron nociresponsive komu dorsalis. Transmisi input nosiseptif pada medula

spinalis bisa dihambat oleh aktivitas segmental dan aktivitas neuron descenden dari pusat supraspinal. GABA dan glisin berperan penting pada inhibisi segmental nyeri di medula spinalis. GABA memodulasi transmisi aferen informasi nosiseptif melalui mekanisme presinap dan postsinap. Konsentrasi terbesar GABA adalah pada kornu dorsalis, dimana disini merupakan neurotransmiter inhibisi utama. Mekanisme modulasi informasi nosiseptif glisin di komu dorsalis adalah melalui inhibisi postsinap. Gate

ControlTheory

lnh ibitory interneuron

Gambar 2. Teori gate

Aktivitas neuron di medula spinalis yang menerima input dari serabut nosiseptif dapat dimodifikasi oleh input dari neuron aferen non-nosiseptif. Konsep ini diperkenalkan oleh Melzac dan Wall pada 1965 sebagai gate control theory. Menurut teori ini aktivitas pada serabut aferen AB menghambat respons neuron kornu dorsalis dari input

NYERIINFLAMASI Pada proses

inflamasi, misalnya pada artritis, proses nyeri

terjadi karena stimulus nosiseptor akibat pembebasan

2487

ITYERI

berbagai mediator bikomiawi selama proses inflamasi terjadi. Inflamasi terjadi akibat rangkaian reaksi imunologik yang dimulai oleh adanya antigen yang kemudian diproses oleh antigen presenting cel/s (APC) yang kemudian akan diekskresikan ke permukaan sel dengan determinan HLA

langsung. Sebagian kerusakan jaringan pada proses inflamasi disebabkan oleh radikal hidroksil bebas yang terbentuk selama konversi enzimatik dari PGG, menjadi PGH, atau pada proses fagositosis. Pada proses inflamasi, terjadi interaksi 4 sistem yaitu

diikat oleh sel T melalui reseptor sel T pada permukaan sel

sistem pembekuan darah, sistem kinin, sistem fibrinolisis dan sistem komplemen, yang akan membebaskan berbagai

T membenttk kompleks trimolekuler.

Kompleks

protein inflamatif baik amin vasoaktif maupun zat

trimolekuler tersebut akan mencetuskan rangkaian reaksi imunolo gik dengan pelepasan berbagai sitokin (IL - l, IL-2)

kemotaktik yang akan menarik lebih banyak sel radang ke daerah inflamasi. Pada proses fagositosis oleh sel polimorfonuklear, terjadi peningkatan konsumsi O, dan produksi radikal oksigen bebas seperti anion superoksida (O, ) dan hidrogen peroksida (HrOr). Kedua radikal oksigen bebas ini akan membentuk radikal hidroksil reaktif yang dapat menyebabkan depolimerisasi hialuronat sehingga dapat

yang sesuai. Antigen yang diekspresikan tersebut akan

sehingga terjadi aktifasi, mitosis dan proliferasi sel T tersebut. Sel T yang teraktifasi juga akan menghasilkan berbagai limfokin dan mediator inflamasi yang bekerja merangsang makrofag untuk meningkatkan aktivitas fagositosisnya dan merangsang proliferasi dan aktivasi sel B untuk memproduksi antibodi. Setelah berikatan dengan antigen, antibodi yang dihasilkan akan membentuk kompleks imun yang akan menendap pada organ target dan mengaktifkan sel radang unhrk melakukan fago sitosis yang diikuti oleh pembebasan metabolit asam arakidonat, radikal oksigen bebas, enzim protease yang pada akhimya akan menyebabkan kerusakan

pada organ target tersebut.

merusak rawan sendi dan memrrunkan viskositas cairan sendi.

NYERIPSIKOGENIK Nyeri dapat merupakan keluhan utama berbagai kelainan psikiatrik, psikosomatik dan depresi terselubung. Pasien

Kompleks imun juga dapat mengaktifasi sistem

nyen kronik akibat trauma yang berat, misalnya kecelakaan,

komplemen dan membebaskan komponen aktif seperti C3a dan C5a yang merangsang sel mast dan trombosit untuk

peperangan dan sebagainya, seringkali mennjukkan gambaran posttraumatic stress disorder, dimana pasien

membebaskan amina vasoaktif sehingga timbul

selalu merasa dirirrya sakit walaupun secara medik kelainan

vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskular.

fisiknya sudah sembuh. Dalam hal ini, pasien harus

Selain itu komponen komplemen C5a juga mempunyai efek

diyakinkan bahwa keadaan psikologik ini sering terjadi dan

kemotaktik sehingga sel-sel polimorfonuklear dan

dia harus berusaha untuk mengatasinya dengan baik

mononuklear akan berdatangan ke daerah inflamasi.

karena keadaan fisiknya sebenarnya sudah sembuh.

Sej ak

tahun 1 97 I , tetah diuketahui bahwa

p

rodutkj alur

siklooksigenase (COX) metabolisme asam arakidonat mempunyai peranan yang besar pada proses inflamasi. Terdapat 2 isoform jalur COX yang disebut COX-1 dan COX-2. Jalur COX-l mempunyai fungsi hsiologis yang aktifasinya akan membebaskan eikosanoid yang terlibat

Nyeri pada merupakan salah satu bentuk kelainan psikosomatik, dimana pasien mengekspresikan konflik yang tidak disadarinya sebagai keluhan fisik. Keluhan ini dapat sedemikian beratnya sehingga mempengaruhi aktivitas sehari-harinya, termasuk pekerj aannya, aktivitas sosialnya dan hubungan interpersonalnya. Biasanya

dalam proses fisiologis sepeerti pros tas iklin, tromboksandan prostaglandin-E r(PGEr). Sebaliknya, jalur COX-2 akan men gha silkan p r o s t a g I an d i n p r o i nfl a m at if y ar.g akan

pasien akan merasa selalu sakit dar' membutuhkan perhatian medik mengenai penyakitnya. Pasien dengan

bekerjasama dengan berbagai enzim protease dan

tubuhnya atau lebih sedemikian beratnya sehingga membutuhkan perhatian dokter. Keluhan nyeri ini sangat

A,

mediator inflamasi lainnya dalam proses inflamasi. Dalam proses inflamasi, berbagai jenis prostaglandin

seperti PGE, PGE2, PGI2, PGD2 dan PGA, dapat menimbulkan vasodilatasi dan demam. Di antara berbagai jenis prostaglandin tersebut, PGI2, merupakan vasodilator terkuat. Peranan prostaglandin dalam menimbulkan nyeri pada proses inflamasi ternyata lebih kompleks. Pemberian PGE

nyeri psikosomatik akatmengeluh nyeri pada satu bagian

menonjol dan tampak bahwa faktor-faktor psikologik akan

sangat mempengaruhi timbulnya nyeri, perjalanan penyakit dan eksaserbasi nyerinya, tetapi hal ini tidak disadari oleh pasien dan selalu akan disangkal sehingga sangat menyulitkan pengobatan. Pasien akhirnya akan tergantung pada berbagai obat analgesik, apalagi bila psikoterapi tidak berhasil atau diabaikan.

pada binatang percobaan tidak terbukti dapat memprovokasi nyeri secara langsung, tetapi harus ada kerjasama sinergistik dengan mediator inflamasi yang lain seperti histamin dan bradikinin. Selain itu, tidak terdapat bukti yang kuat bahwa prostaglandin dapat menimbulkan kerusakan jaringan secara

DEPRESI PADA NYERI KRONIK Secara tradisional perbedaan nyeri akut dan kronik didasarkan pada interval waktu sejak mulainya nyeri, ada

2488

yang menyebutkan 3 bulan dan adayatgmenyebutkan 6 bulan sejak mulainya nyeri digunakan sebagai batas nyeri akut dan kronik. Batasan lain nyeri kronik adalah nyeri yang terus berlangsung melebihi periode penyembuhan cedera jaringan. Batasan ini relatif tidak tergantung pada batasan waktu, tetapi sayangnya berapa lama proses penyembuhan itu berlangsung masih belum begitu pasti. Penulis lain mengartikan nyeri kronik sebagai nyeri yang menetap lebih dari 3 bulan atau nyeri yang membutuhkan waktu perbaikan yang lebih lama dari yang seharusnya atau yang norrna. Nyeri akut biasanya dicetuskan oleh cedera jaringan

tubuh dan aktivasi nociceptor pada tempat kerusakan jaringan. Secara umum nyeri akut akan berakhir selama waktu yang singkat dan sembuh bila kelainarr yatg mendasari sudah sembuh.

Nyeri kronik biasanya dicetuskan oleh cedera tetapi mungkin diperberat oleh faktor-faktor yang baik secara patogenesis maupun fisikjauh dari penyebab aslinya. Pada nyeri kronik, karena nyeri terus berlangsung tampaknya faktor lingkungan dan afektif akhimya berinteraksi dengan kerusakan jaringan, yang berpengaruh pada ter.ladinya persistensi nyeri dan perilaku nyeri. Banyak penelitian menunjukkan bahwa angka kejadian depresi pada pasien nyeri kronik dan kejadian nyeri kronik pada pasien depresi lebih tinggi dibanding populasi umum. Pada penelitian epidemiologi di Kanada, yang meneliti prevalensi dan korelasi depresi mayor pada pasien nyeri

pinggang kronik didapatkan bahwa depresi mayor 5,9oh pada populasi yang tidak nyeri dan 19,8o/opada populasi nyeri pinggang kronik6. Pada penelitian ini juga didapatkan

orang-orang dengan nyeri pinggang kronik 6.2 kali kemungkinan untuk depresi dari pada orang yang tidak nyeri. Demikian juga sebaliknya angka kejadian nyeri pada pasien depresi lebih tinggi (30-60%;) dari pada orang yang

tidak depresi. Tetapi penelitian penelitian tersebut tidak menjelaskan apakah depresi menyebabkan nyeri kronik atau sebaliknya nyeri kronik yang menyebabkan depresis.

Terdapat beberapa teori yang berusaha menjelaskan hubungan antara depresi dan nyeri kronik yaitu teori biologi, psikologi dan sosiologi. Pada makalah ini akan dibahas mekanisme kaitan nyeri kronik dan depresi dari sudut pandang teori biologi.

REIJMATOI.OGI

sensitivitas yang lebih tinggi terhadap stimulus noxious, dengan kata lain pasien depresi memiliki ambang nyeri yang lebih rendah. Pada penelitian terdahulu beberapa penelitian mendukung teori ini, tetapi pada penelitian akhirakhir ini tidak terbukti. Nilai ambang nyeri baik terhadap stimulus thermal maupun electric didapatkan meningkat pada pasien depresi. Pada penelitian Lautenbacher dkk didapatkan bahwa nilai ambang nyeri pasien depresi justru

lebih tinggi dari pada pasien dengan panic disorder maupun orang sehat.

Biogenic Amine: Serotonin dan Norephineprine Tingginya variasi hubungan antara tingkat beratnya cedera dan beratnya nyeri telah diketahui sejak penelitian Henry Behcer terhadap tentara di Anzio Beach pada perang dunia ke dua. Sejak th 1970 banyak kemajuan yaitu identifikasi

adanya central neryous system mechanism of pain modulaition. Stimulasi pada rostral ventomedial medulla atau

endogenous

dorsolateral pontine tegmentum akan mengakibatkan analgesia pada binatang percobaan dan inhibisi dari

spinal pain transmission. Rostral ventromedial medulla adalah tempat utama neuron serotoninergik yang menuju ke komu dorsalis medula spinalis. Dorsolateral pontine tegmentum merupakan tempat utama neuron

noradrenergik yang menuju kornu dorsalis. Kedua neurotransmitter ini menghambat nociceptive neuronneuron komu dorsalis. Terdapat hipotesis bahwa mekanisme analgesia dan antidepresi obat antidepresan yang memberikan efek

analgesia melalui peningkatan neurotransmisi serotoninergik dan noradrenergik. Saling ketergantungan antara sistem opioid dan nonopioid sudah dipikirkan pada

penelitian-penlitian yang menunjukkan peningkatan analgesi opioid bila diberikan antidepresan, dan pemrunan

analgesia opioid setelah penurunan serotonin dan norephineprin. Berdasarkan hal ini tampaknya biogenic amine berperan sangat penting pada modulasi nyeri endogen. Oleh karena terdapat deplesi atau gangguan fungsi biogenic amine seperti serotonin dan norefineprin pada depresi, maka bisa dipahami bahwa hal ini bisa berperanan pada pengalaman dan penyampaian rasa nyeri pada pasien depresi mayor.

Sensitivitas Nyeri Banyak dibuktikan bahwa pasien-pasien depresi memiliki lebih banyak keluhan nyeri dari pada yang tanpa depresi. Beberapa penelitian menujukkan angka kejadian nyeri lebih tinggi pada pasien depresi dibanding populasi umum. Data prevalensi depresi di antara pasien klinik nyeri bervariasi,

KAJIAN AWAL TERHADAP RASA NYERI Terdapat beberapa hal penting yang menjadi dasar kajian awal terhadap rasa nyeri yang dikeluhkan seorang pasien,

yaitu:

tergantung metode penilaian dan populasi yang dinilai

yaitu antara 10%-100%. Sebaliknya keluhan nyeri didapatkan pada 30-600/" pada pasien depresi. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa pasien depresi memiliki

Lokasi Nyeri Mintalah pada pasien untuk menjelaskan daerah mana yang merupakan bagian paling nyeri atau sumber nyeri.

2489

Walaupun demikian perlu diperhatikan bahwa lokasi anatomik ini belum tentu sebagai sumber rasa nyeri yang dikeluhkan pasien. Misalnya pada keluhan nyeri sciatic yang dirasakan pasien sepanjang tubngkai bagian

Gejala Lain yang Menyertai

belakang, bukanlah lokasi sumber nyeri yang sebenarnya.

kelemahan?

Apakah pasien menderita keluhan lainnya di samping rasa

nyeri seperti mual dan muntah, konstipasi, gatal, mengantuk atau terlihat bingung, retensio urinae serta

lntensitas Nyeri

Kesan dan Perencanaan Pengobatan

Pada umunya dipakai rating scale dengan analogi visual

Buatlah kesimpulan akan nyeri yang diderita pasien serta

atau dikenal sebagai Visual Analogue Scale (VAS). Mintalah pasien membuat rating terhadap rasa nyerinya (0-10) baik yang dirasakan saat ini, kapan nyeri yang

lakukan pemeriksaan fisik termasuk terhadap tanda-tanda vital. Evaluasi terhadap pengobatan sebelumnya dan apakah masih memberikan matfaat dalammengatasi rasa nyeri yang diderita pasien atau tidak. Pada bagian ini perlu dievaluasi pula seberapa jauh pasien memahami akan masalah nyeri yang dialaminya. Selanjutnya pengobatan nyeri itu sendiri sebaiknya dikomunikasikan lehih dalam dengan pasien agar terdapat kesenjangan yang dapat ditekan sekecil mungkin antara harapan seorang pasien terhadap pengobatan yang diberikan oleh dokter dan hasil pengobatan sebagai suatu kenyataan. Pada pengobatan

paling buruk dirasakan atau yang paling ringan dan pada tingkatan mana rasa nyeri masih dapat diterima.

Kualitas Nyeri Gunakan terminologi yang dikemukakan oleh pasien itu sendiri seperti nyeri tajam, seperti terbakar, seperti tertarik, nyeri tersayat dan sebagainya.

nyeri perlu diingat bahwa pendekatan awal adalah Awitan Nyeri, Variasi Durasi dan Ritme

menggunakan tekhnik yang non invasif, sebagai contoh

Perlu ditanyakan kapan mulai nyeri terjadi, variasi lamanya kejadian nyeri itu sendiri serta adakah irama atau ritme terjadinya maupun intensitas nyeri. Apakah nyeri tetap berada pada lokasi yang diceritakan pasien? Apakah nyeri menetap atau hilang timbul (breakhtrough pain)?

menggunakan alat fisioterapi seperti ultra sonic lebih diutamakan dibandingkan blok saraf dan sebagainya. Mengenai pemeriksaan fisik nyeri reumatik, maka

Cara Pasien Mengungkapan Rasa Nyeri Perhatikan kata yang diungkapkan untuk menggambarkan rasa nyeri yang berbeda dari satu pasien ke pasien lainnya dan tergantung dari pengalaman sebelumnya. Beberapa

kata di bawah ini yang biasanya diungkapkan pasien berkaitan dengan rasa nyeri, yaitt: aching, stabbing,

diperlukan tekhnik tersendiri guna mendapatkan gambaran rasa nyeri yang diderita pasien. Terdapat beberapa metoda untuk mengkaji nyeri tekan, yaitu menggunakan 4-point compres s ion technique, two -point technique, fwo-thumb

technique, single tuhum pressure technique, dan two finger technique. Terhadap nyeri gerak umumnya dilakukan gerakan pasiffleksi ekstensi sesuai dengan batas lingkup gerak sendi (LGS) dari setiap sendi yang akan diperiksa.

tender, tiring, numb, dull, crampy, throbbing, gnawing, burning, penetrating, miserable, radiating, deep,

shooting, sharp, exhausting, nagging, unbearable, squeezing dan pressure.

Faktor Pemberat dan yang Meringankan Nyeri Apa saja yang dapat memperberat rasa nyeri yang diderita pasien dan faktor apayatgmeringankan nyeri hendaklah ditanyakan kepada pasien tersebut.

PENGUKURAN NYERI Kesulitan dalam mengukur rasa nyeri ini disebabkan oleh tingkat subyektivitas yang tinggi dan tentunya memberikan perbedaan secara individual. Di samping itu sebagaimana dikemukakanpadakajian awal terhadap nyeri di atas, belum

terdapat metoda yang baku baik klinis maupun menggr.rnakan alat atau pemeriksaan yang dapat diterapkan pada semuajenis nyeri. Sebagai salah satu contoh sulitnya

Pengaruh nyeri Dampak nyeri yang perlu ditanyakan adalah seputar

mengukur nyeri adalah ketidaktepatan apa yang

kualitas hidup atau terhadap hal-hal yang lebih spesifik seperti pengaruhnya terhadap pola tidur, selera makan, enerji, aktivitas keseharian (activities of the daily living),

mendapatkan kata yang tepat dalam mendeskripsikan rasa nyeri, kebingungan, kesulitan mengingat pengalaman, dan penyangkalan terhadap intensitas nyeri.

hubungan dengan sesama manusia (lebih mudah

Pengukuran nyeri seyogyanya dilakukan seobyektif mungkin dan dapat menggunakan beberapa metoda

tersinggung dan sebagainya) atau bahkan terhadap mood (sering menangis, marah atau bahkan berupaya bunuh diri), kesulitan berkonsentrasi pada pekerjaan atau pembicaraan

dan sebagainya.

dikemukakan oleh pasien, misalnya kesulitan pasien

pengukuran dan terbanyak adalah dengan kwesioner serta observasi pola perilaku terkait dengan rasa nyeri. Kategori pengukuran nyeri beragam sekali namun yang termudah

2490

REI.JM/{IOLOGI

yaitu: pengukuran nyeri dengan skala kategorikal,

Kelemahan dari pengukuran nyeri secara kategorikal

numerikal dan pendekatan multidimensional. Masing-

ini adalah kecenderungan pasien untuk lebih condong pada kategori ke arah tengah yaitu nyeri sedang

masing pendekatan pengukuran nyeri ini memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing serta tingkat obyektifitas-

subyektifitas berbeda-beda dan area yang menjadi tujuan pengukuran apakah sensorik saja, apakah mencakup afektif serta adakah sifat evaluatif dari instrumen dimaksud. Pengukuran nyeri dapat merupakan pengukuran satu

dimensional saja (one-dimensional) atau pengukuran berdimensi ganda (mu I t i - d im e n s i o n a[). P ada pengukuran safu dimensional umumnya hatya mengukur pada satu aspek nyeri saja, misalnya seberapa berat rasa nyeri menggunakan pain rating scale yang dapat berupa pengukuran kategorikal atau numerikal misalnya visual analogue scale (VAS). Sedangkan pengukuran multidimensional dimaksudkan tidak hanya terbatas pada aspek sensorik belaka, namun juga termasuk pengukuran dari

segi afektif atau bahkan prosesd evaluasi nyeri dimungkinkan oleh metoda ini.

dibandingkan ke arah ringan atau hebat. Juga tidak terdapat panduan deskripsi rasa nyeri yang memadai.

Pengukuran Nyeri Secara Numerikal Numerical rating scale QI{SR) merupakan pengukuran nyeri dimana kepada pasien dimintakan untuk memberikan angka

1 sampai 10. Nol diartikan sebagai tidak ada nyeri sedangkan angka 10 diartikan sebagai rasa nyeri yang hebat dan tidak tertahankan oleh pasien. Pengukuran ini lebih mudah dipahami pasien baik bila kepada pasien tersebut dimintakan secara lisan atau mengisi form kesioner. Salah satu bentuk yang dianggap oleh sebagian peneliti tidak identik adalah penggunaan visual analogue scale

atauVAS.

012345678910 llltttttttt

Pengukuran Nyeri Secara Kategorikal Pengukuran nyeri tipe ini disebut sebagai pengukuran satu dimensi (one dimensional) danbalkpasien maupun dokter

Worst possible

No pain

parn

dapat menggunakannya dengan mudah. Umumnya

nyeri ringan, nyeri sedang dan nyeri hebat. Satu contoh kelompok ini yang banyak dipakai adalah verbal rating

Bentr.rk di atas dapat diubah menjadi bentuk lain yang dikenal dengan ll-points box scale dimana angka-angka diletakkan dalam kotak berj aj ar serial. Pasien diminta untuk memberikan tanda silang pada intensitas nyeri yang

scale.

dirasakan.

ini menempatkan pasien

pada

bebeapa kategori yang umum dipakai yaitu: tidak ada

nyeri,

pengukuran kategorikal

Tidak terdapat nyeri tentunya diartikan pasien sebagai

tidak merasakan rasa nyeri. Sedangkan nyeri ringan umumnya diartikan sebagai nyeri yang umumnya bersifat

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

siklik dan tidak mengganggu aktivitas keseharian. Analgetikum biasanya efektif mengatasi nyeri ringan ini. Dikatakan nyeri sedang bila nyeri bersifat episodik, terdapat masa eksaserbasi. Umumnya nyeri masih dapat ditolerir walaupun pasien membutuhkan analgetikum. Pengobatan dengan analgetikum ini umumnya tidaklah menghilangkan nyeri secara total. Rasa nyeri yang terjadi akan meningkat apabila terjadi peningkatan aktivitas

banyak dipakai dalam berbagai studi klinis dan diterapkan

eseharian atau aktivitas yang tidak biasa dilakukan pasien.

terhadap berbagai jenis nyeri. Metoda pengukuran ini

Angka 0 menunjukkan tidak terdapat rasa nyeri sedangkan l0 menandakan nyeri yang sangat hebat dan tidak tertahankan.

Visual Analogue Scale VAS adalah instrumen pengukuran nyeri yang paling

Apabila pasien dalam melakukan aktivitas kesehariannya

sebagaimana yang dikembangkan oleh Stevenson KK dan

merasa nyeri dan rasa nyeri tersebut mengganggu

kawan-kawan dari Pusat Penanganan Nyeri Kanker di Wisconsin. Terdiri dari satu garis lurus sepanjang l0 cm. Garis paling kiri menunjukkan tidak ada rasa nyeri sama sekali, sedangkan garis paling kanan menandakan rasa nyeri yang paling buruk. Kepada pasien dimintakan untuk memberikan garis tegak lurus yang menandakan derajat beratnya nyeri yang dirasakannya. Sebagai contoh bila pasien tidak merasakan nyeri apapun, maka ia harus menggariskannya pada ujung sisi kiri dari garis VAS tersebut. Instrumen VAS ini tidak menggambarkan jenis rasa nyeri yang dialamai pasien, mislanya shooting pain

aktivitasnya maka dikatakan pasien menderita nyeri hebat.

Nyeri hebat tidak dapat diatasi dengan analgetikum sederhana atau hanya memberikan respons yang minimal.

Worst No

pain

M

d

Moderate

Likert pain scale

Severe

ossibl pain

dan sebagainya. Jadi sebagaimana pengukuran

2491

kategorikal, maka VAS juga mengukur nyeri secara satu dimensi saja.

Pengukuran dengan VAS pada

nilai di bawah

4

dikatakan sebagai nyeri ringan; nilai antara4-7 dinyatakan sebagai nyeri sedang dan di atas 7 dianggap sebagai nyeri hebat.

Visual analogue scale

ini memiliki beberapa tipe.

Namun tetap mencerminkan satu dimensi pengukuran nyeri saja.

Dua bentuk lagi hampir sama dengan tipe a namun dalam posisi vertikal serta satu lainnya dibagi menjadi 20 skala interval.

Masih dalam kategori ini terdapat skala pengukran nyeri yang lebih banyak dipakai pada anak-anak dan dikenal sebagai faces scale. Intensitas nyeri digambarkan oleh karikatur wajah dengan berbagai bentuk mulut. Extreme paln

Extreme parn

Extreme

Mild Modetra Severe

parn

I

Extreme' pain

No change

I

No

r",n

o09000@ Pada skala ini digambarkan garadasi emosional mulai

dari keadaan gembira sampai kesedihan yang dialami paslen.

Pada dasarnya kedua jenis pengukuran di atas merupakan pengukuran terhadap skala nyeri (pain scale).

Hingga saat ini terdapat 40 instrumen yang potensial dipakai dalam pain scale tersebut. Adapun berbagai pengukuran nyeri yang sering dijumpai adalah: verbal rating scale, YAS, numerical rating scale, wisconsin brief pain questionaire (Dout 1983) yang digunakan untuk mengukur nyeri pada saat nyeri hebat, berapa lama bertahan, rerata rasa nyeri dan nyeri saat ini, serta dampak

nyeri pada fungsi dan hasil pengobatan; memorial pain questionaire (Fishman 1 987) berupa karlu dua sisi dimana salah satu sisi menggambarkan intensitas nyeri dan mood pasien dan sisi lain merupakan modifikasi Tursky.

berbagai dimensi yang berbeda-beda. Mislanya skala 3 dimensi yaitu: sensorik, afektif dan evaluatif sebagaimana terlihat pada salah satu pengukuran yang paling banyak dipakai untuk pendekatan multi-dimensional iniyaitt the McGill Pain Questionaire (MPG, Melzack 1975) dalam bentuk format lengkap atat Short Fozz (SF-MPQ). McGill Pain Questionaire di atas membutuhkan waktu sekitar

menit untuk mengisinya, sedangkan Short form ny a cukup 2-5 menit saja. Apabila dikaitkan dengan artritis, maka arthritis impact measurement scales atau AIMS (Meenan 1980) lah yang umumnya dipakai. AIMS ini 5- I 0

mengukur sembilan skala dimensi berbeda yaitu mulai dari nyeri, mobilitas, aktivitas fisik, peran sosial, aktivitas sosial,

aktivitas hidup keseharian, depresi, ansietas dan dexterity.

Bentuk-bentuk lain pengukuran nyeri multidimensional adalah: P atient outcome questionare didesain untuk mengukur beratnya nyeri, intervensi, kepuasan terhadap kontrol nyeri dan beberapa aspek lain dalam pengobatan dan pemberian obat; Descriptor dffirential scale (Gracey 1988) yang megukur komponen sensorik dan afektif nyeri meggunakan skal a rasio; Integrated p ain s core (Ventafridda 1983) yang mengukur baik intensitas maupun durasi nyeri; P ain perception profile (Tursky 197 6) yang digunakan untuk pengukuran dimensi sensorik, afektif dan intensitas ty eri1' W est Haven-Yale multidimensional pain inventory (Kerns 1985) berupa 52 itens pengukuran nyeri

kronik; Brief pain inventory (cleeland 1994) bagi pengukuran nyeri kanker, demikian pula halnya dengan (lnmet analgesic needs questionaire dan masih banyak lagi yang dibuat untuk tujuan pengukuran ini baik pada pasien dewasa maupun pada pasien anak-anak.

Pengukuran Nyeri Menggunakan Alat Elektromekanikal atau Alat Mekanis Dolorimeter merupakan alat mekanis yang dipakai untuk kwantifftasi ambang nyeri baikpada sendi maupunjaringan lunak. Alat yang paling banyak dipakai adalah Chatillon dolorimeter yang merupakan bentuk penyempurnaan dari dolorimeter kuno Steinbrocker palpometer dan Hollander palpameter. Dua jenis Chatillon dolorimeter yaitu dengan tekanan l0 pound dan20 pound. Angka sepuluh pound dikemukakan oleh McCarty sebagai tekanan maksimum ibu jari pada pemeriksaan sendi. Analogi ibu jari digantikan dengan rubber stopper setebal 1.5 cm pada alat tersebut. Selanjutnya alat ini memiliki pula pegas lingkar dan reading pointer yang akan memberikan pembacaan pada

skala tertentu. Kepada pasien dimintakan untuk memberitahukan manakala ambang rasa nyeri tercapai

Pengukuran Nyeri Secara Multi-dimensional

dengan dilakukannya tekanan sebesar 5 pounds per detik atau2kgper detik. Alat serupa dengaf tekanan 20 pound dipakai apabila dengan alat l0 pound terlihat skor yang rendah. Jenis lain dolorimeter adalah pneumatic pressure

Pengukuran nyeri dengan cara ini memberikan skala pada

dolorimeter dari Langley.

2492

REUMITIOI.OGI

PENATALAKSANAAN NYERI DENGAN OBAT.

masif, biasanya pada peminum berat atau pasien dengan

OBATAN

riwayat ulkus peptik. Alergi aspirin jarang terjadi dan mungkin bermanifestasi sebagai rinorrhea, polip nasal, asma, dan sangat jarang terjadi anafilaksis. Aspirin pada dosis tinggi dapat menghasilkan zat yang

Terapi obat yang efektif untuk nyeri seharusnya memiliki risiko relatif rendah, tidak mahal, dan onsetnya cepat. WHO menganjurkan tiga langkah bertahap dalam penggunaan analgesik. Langkah 1 digunakan untuk nyeri ringan dan sedang, adalah obat golongan non opioid seperti aspirin,

asetaminofen, atau AINS,

ini diberikan tanpa obat

tambahan lain. Jika nyeri masih menetap atau meningkat,

langkah 2 ditambah dengan opioid, untuk non opioid diberikan dengan atau tanpa obat tambahan lain. Jika nyeri terus-menerus atau intensif, langkah 3 meningkatkan dosis potensi opioid atau dosisnya sementara dilanjutkan non opioid dan obat tambahan lain. Dosis pengobatan harus dijadwal secara teratur untuk memelihara kadar obat dan mencegah kambuhnya nyeri.

Dosis tambahan yang onsetnya cepat dan durasinya pendek, digunakan untuk nyeri yang menyerang tiba-tiba.

Obat-Obatan Untuk Nyeri Ringan Sampai Sedang Banyak orang dapat mengelola sakit dan nyeri dengan analgesik OTC, termasuk aspirin, asetaminofen, dan ibuprofen atau naproksen pada dosis 200 mg dosis formulasi. Untuk nyeri yang sedang, salisilat, ANS, atau asetaminofen dosis yang lebih tinggi sering sudah memadai, jika tidak dokter dapat meresepkan obat-obatan seperti kodein atau oksikodon.

mempengaruhi vitamin K, sehingga memperpanjang waktu penggumpalan. Asetaminofen. Asetaminofen pada dosis yang sama dengan aspirin (650 mg oral setiap 4 jam) mempunyai efek analgetik dan antipiretik yang sebanding tetapi efek antiinflamasinya lebih rendah dibanding aspirin. Ini sangat berguna untuk orang yang tidak dapat mentoleransi aspirin atau pada gangguan perdarahan dan pada pasien yang mempunyai risiko Reye 3 syndrome. Pada setiap dosis tinggi (misal >4

mg/hari pada pemberian jangka panjang, >7 mglhari sekaligus) asetaminofen dapat menyebabkan hepatotoksik,

manifestasinya nekrosis hepatis yang ditandai dengan meningkatny a kadar aminotransferase senrm. Toksisitas dapat terjadi pada dosis lebih rendah pada pengguna alkohol kronik.

Anti Inflamasi Non Steroid. Semua obatANS merupakan analgesik, antipiretik dan antiinflamasi yang kerjanya tergantung dosis. Prinsipnya, obat-obat tersebut digunakan

untuk mengontrol nyeri tingkat sedang pada beberapa gangguan muskuloskeletal, nyeri menstruasi dan lainnya terutama keadaan yang bisa sembuh sendiri termasuk

ketidaknyamanan pasca operasi.Aktivitas AINS menghambat biosintesis prostaglandin. Prostaglandin

Aspirin. Aktivitas aspirin terutama disebabkan oleh

adalah

kemampuannya menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat enzim siklooksigenase secara irreversibel (prostaglandin sintetase), senyawa yang

antaranya dibentuk karena respons kerusakan jaringan.

mengkatalisis perubahan asam arakidonat menjadi senyawa endoperoksida, pada dosis tepat, obat ini akan menurunkan pembentukan prostaglandin maupun tromboksan ,A.2 tetapi tidak leukotrien. Sebagian besar dari dosis anti-inflamasi aspirin akan cepat dideasetilasi membenhrk metabolit aktif salisilat yang menghambat sintesis prostaglandin secara reversibelAspirin umumnya digunakan sebagai obat pilihan

pertama untuk mengobati nyeri ringan sampai sedang, aspirin ini merupakan antipiretik efektif dan agen anti inflamasi. Efek analgesik dapat dicapai pada dosis yang lebih rendah dibanding efek anti inflamasinya. Aspirin tersedia dalam berbagai bentuk sediaan oral, yaitu 8l;325; dan 500 mg. Biasanyapenggunaan I atau2 tablet (325-650 mg) setiap 4jam saatdiperlukan, diminum denganairminum.

Iritasi gastrointestinal dapat dikurangi dengan makanan dan antasida. Aspirin dalam bentuk enteric coated yang mana lebih mahal (Ecotrin dan lain-lain) sangat penting untuk mencegah iritasi lambung tetapi absorbsinya lambat. Efek samping utama aspirin terutama pada dosis tinggi atau pemberian jangka panjang adalah iritasi lambung dan pada pemeriksaan mikroskopik, perdarahan terjadi pada usus. Kadang-kadang ini menjadi perdarahan gastrointestinal

famili hormone-like chemicals, beberapa di

Mekanisme yang lazim untuk semua AINS adalah menginhibisi enzim siklooksigenase (COX). COX ini diperlukan dalam pembentukan prostaglandin. Enzim ini dikenal dalam dua bentuk, COX- I yang melindungi sel-sel lambung dan intestinal dan COX-2 yang terlibatpada

proses inflamasi jaringan, tidak identik dengan siklooksigenase yang ada pada kebanyakan sel lain di dalam tubuh (COX-l). Banyak dari obat ini pada beberapa tingkat, menginhibisi agregasi platelet dan bisa menyebabkan perdarahan lambung (risiko ini berhubungan dengan perdarahan traktus gastrointestinal atas 1,5 kali normal dan insidensi lebih tinggi pada pasien berusia lanjut), kerusakan ginjal (termasuk gagal ginjal akut, penunman filtrasi glomerulair, sindroma nefrotik, nekrosis papilaris,

nefritis interstitial, dan asidosis renal tubuler tipe IV), supresi sumsum tulang, rash, anoreksia, dan nausea. Kerusakan ginjal lebih sering terjadi pada laki-laki tua, pengguna diuretik, dan pasien dengan penyakit jantung.

AINS secara umum tidak diberikan pada pasien yang menerima terapi antikoagulan oral. Keuntungan lain

AINS dibanding aspirin adalah durasi kerjanya yatg lebih lama sehingga frekuensi pemberian lebih rendah dan kepatuhan pasien lebih baik dan frekuensi efek samping pada gastrointestinal lebih rendah.

2493

Obat-obatan untuk Nyeri Sedang sampai Berat

mg setiap 4-6 jam pada tablet yang mengandung aspirin

Opioid analgesik diindikasikan untuk nyeri sedang sampai berat yang tidak berkurang dengan obat lain. Contohnya termasuk nyeri akut pada trauma berat, luka bakar, infark miokard, batu ureter, pembedahan dan nyeri kronik pada penyakit progresif seperti AIDS. Opioid efektif, mudah dititrasi dan mempunyai rasio manfaat-risiko yang baik. Dosis besar opioid dibutuhkan untuk mengontrol nyeri jika nyeri berat dan penanganan lebih luas diperlukanjika nyerinya kronik. Opioid analgesik berguna juga untuk menangani pasien yang dengan jalan yang lain tidak

325 mg atau 500 mg.

Meperidin. Meperidin 50-150 mg secara oral

atau

intramuskuler setiap 3-4 jam memberikan efek analgesikyang

sama seperti morfin pada nyeri akut tetapi sebaiknya dihindari pada nyeri kronik yang berat karena durasi kerjanya pendek dan pada insufisiensi renal karena akumulasi toksik metabolit obat ini mencetuskan kejang.

Tramadol. Tramadol adalah analgesik atipikal dengan gambaran opioid dannon opioid, mempunyai ke{arangkap.

berhasil. Terapi opioid yang berkelanjutan seharusnya didasarkan pada evaluasi dokter terhadap kesimpulan

Tramadol dan metabolitnya mengikat reseptor opioid: tramadol bekerja seperti trisiklik dan antidepresan untuk

penanganan (tingkat pengurangan nyeri, perubahan fungsi

memblok pengambilan kembali norepinefrin dan serotonin. Dosis yang dianjurkan adalah 50-100 mg tiap 4-6 jam sampai dosis total400 mg,4rari (maksimum 300 mg,4rari padapasien umur 75 tahun atau lebih).

fisik dan psikologis, jumlah peresepan, nomor telepon, kunjungan klinik atau unit kegawatan, rawat inap di rumah sakit, dan lain-lain). Pemberian opioid dalam dosis terapi secara berulang

terus-menerus dapat mengakibatkan toleransi (peningkatan dosis opioid yang dibutuhkan untuk mendapatkan efek analgesik yar.g sama) dan ketergantungan fisik (gejala putus obat terjadi bila tiba-tiba opioid dihentikan/ withdrawal syndrome atau abstinence syndrome, teriadi variasi tingkat dan periode

penggunaan). Toleransi dan ketergantungan fisik merupakan reaksi fisiologik normal dari terapi opioid dan

jangan dibingungkan dengan adiksi. Adiksi adalah ketergantungan psikologik karena penyalahgunaan obat

(bervariasi dari manipulasi mencari obat sampai penggunaan obat terus-menerus dengan fujuan non medis

dengan efek yang merugikan). Pasien dan anggota keluarga dapat diedukasi tentang perbedaan toleransi, ketergantungan fisik, serta adiksi dan risiko kecil adiksi pada penggunaan opioidjangka panjang atau dosis tinggi untuk mengurangi nyeri.

Obatan-obatan Adjuvant untuk Mengontrol Nyeri Kortikosteroid sangat membanfu manajemen nyeri kanker. Deksametasot 16-96 mg/hari secara oral atau intravena atau prednison 40-100 mg/hari secara oral mempunyai aktivitas antiinflamasi dan mengurangi edema serebral dan medula spinalis. Karena obat-obatan ini mempunyai efek

anti emetik dan menstimulasi nafsu makan, ini menguntungkan untuk penanganan kakeksia dan anoreksia. Antikonrulsi (misalnya Fenitoin 300-500 mh/hari per oral, Carbamazepin 200-1 600 mg,4rari per oral, Gabapentin

900-1800 mg/hari per oral), antidepresan (misalnya Amitriptilin atau Desipramit25-L5} mglhari per oral), dan anestesi lokal (misalnya Bupivacaine) sangat berguna

Antikonulsan generasi baru, Gabapentin (neurontin) meningkatkan kadar pada manajemen nyeri neuropati.

gamaaminobutirat otak, efektif untuk nyeri neuropati secra luas. Neuroleptik (misalnya Metotrimeprazin 40-80 mg,Arari

Contoh obat agonis opioid yang sering digunakart antara

intramuskuler) membantu pada sindroma nyeri kronik

lain:

karena mempunyai efek antiemetik dan anti cemas.

Morfin Sulfat. Merupakan opioid yang sering diresepkan dan tersedia dalam beberapa bentuk. Morfin 8-15 mg

PENATALAKSANAAN NYERI DENGAN METODE

subkutan atau intramuskular efektif untuk mengontrol nyeri berat pada pasien dewasa. Pada infark miokard akut atau

YANG LAIN

edema pulmo akut terjadi kegagalan vaskular kiri,2-6 mg disuntikkan pelan-pelan intravena pada 5 ml cairan salin.

Macam terapi non obat untuk manajemen nyeri adalah

jam sering kerjanya durasi adiksi karena untuk menangani digunakan

jangka panjang ditambah suntikan steroid dapat

Metadon. Metadon

5-

l0 mg secara oral tiap

6-8

lama.

Kodein (sufat atau fosfat). Kodein sering digunakan bersama dengan aspirin atau asetaminofen untuk memperkuat efek analgesiknya. Kodein adalah penekan batuk yang kuat pada dosis 15-30 mg oral tiap 4 jam. Oksikodon dan hidrokodon. Obat-obat ini diberikan secara oral dan diresepkan bersama analgesik lain. Dosisnya 5-7,5

Blok Saraf. Blok saraf

sederhana dengan anestetik lokal

meringankan nyeri bahu, nyeri dada dan nyeri paha. Blok pada saraf simpatik dapat membantu untuk mengurangi nyeri abdomen kronik, nyeri pelvis kromk dan angina kronik.

Injeksi pada sendi. Injeksi pada sendi menggunakan steroid dan anestesi lokal dapat mengurangi nyeri dan radang pada sendi spinal. Prosedur ini kalau perlu dilakukan

dengan bimbingan sinar X. Prosedur ini juga dapat meredakan nyeri kronik pada sendi panggul dan sendi bahu.

2494

Terapi Stimulasi

.

ENS (Trans Cutaneous Electrical Stimulation) menggunakan bantal khusus yang dihubungkan dengan mesin kecil yang menghantarkan aliran listrik

REI,JMANOI.OGI

REFERENSI Basbaum A. Anatomy and Physiology of Nociception In: Kanner R

memperbaiki kualitas nyeri. Program ini meliputi pemulihan fisik, penerapan teknik relaksasi, informasi dan edukasi

(ed). Pain Managemen secrets. 9th ed. Hanley & Belfus Inc. Philadelphia, 1997 :8-t2 Bellamy N. Musculoskeletal clinical metrology. London: Kluwer Academic Publisher. 1993: 65-76 dan 117-134. Beaulieu P, Rice ASC. Applied physiology of nociception. In : Rowbotham DJ, Macintyre PE : Clinical pain management, Acute pain. 2003 : l-16. Currie SR, Wang JL. Chronic back pain and major depression in general Canadian population. Pain 2004 ; 107 :54-60. Handono K, Kusworini H. Penatalaksanaan nyeri yang rasional. Kursus penatalaksanaan nyeri. Jakarta 2004 :3-8. IASP Task Force on Taxonomy. Merskey H, Bogduk N. Eds. Classification of chronic pain. Seattle: IASP Press. 1994:

tentang nyeri dan manajemennya, penatalaksanaan psikologis dan intervensi (terapi kognitifl, bersamaan

209 -2t4. Meliala KRT. L. Terapi rasional nyeri, Tinjauan khusus nyeri

.

lemah ke permukaan kulit dari area nyeri

Akupuntur

Program Manajemen Nyeri dan Bantuan psikologi Merupakan program rehabilitasi berdasarkan psikologi untuk pasien dengan nyeri kronik yang tidak pulih dengan metode terapi. Program ini bertujuan untuk mengurangi disabilitas dan distress yang disebabkan oleh nyeri kronik melalui pengajaran fisik, psikologis dan teknis praktis untuk

dengan pemulihan aktivitas harian secara bertahap.

Pembedahan. Pada beberapa kasus, terapi bedah diperlukan

untuk mengurangi nyeri kronik. Terapi ini merupakan lini terakhir yang dilalarkan bila semua usaha untuk mengurangi nyeri gagal.

neuropatik. 2004.

Sullivan MD, Turk DC Psychiatric illness, depression, and psychogenic pain. In : Bonicas, Management of pain 3rd edition.2001:483-500 Turk DC, Okifuji A. Pain terms and taxonomi of pain. In : Bonicas, Management of pain. 3rd edition . 2001 :17-25

390 ARTRITIS REUMATOID I Nyoman Suarjana

PENDAHULUAN

Artritis reumatoid (AR) adalah penyakit autoimun yang ditandai oleh inflamasi sistemik kronik dan progresif, dimana sendi merupakan target utama. Manifestasi

klinik

klasik AR adalah poliartritis simetrik yang terutama mengenai sendi-sendi kecil pada tangan dan kaki. Selain

lapisan sinovial sendi, AR juga bisa mengenai organorgan diluar persendian seperti kulit, jantung, paru-paru

dan mata. Mortalitasnya meningkat akibat adanya komplikasi kardiovaskular, infeksi, penyakit ginjal, keganasan dan adanya komorbiditas. Menegakkan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin, dapat menurunkan progresifitas penyakit. Metode tetapi yang dianut saat ini adalah pendekatan piramidterballk (reverse pyramid),yaifu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit. Bila tidak mendapat

terapi yang adekuat, akan terjadi destruksi sendi, deformitas dan disabilitas. Morbiditas dan mortilitas AR

mendapatkan prevalensi AR sebesar 0.2% di daerah rural dan 0.3o/o di daerah urban. Sedangkan penelitian yang dilakukan di Malang pada pendduduk berusia diatas 40 tahun mendapatkan prevalensi AR sebesar 0,5%o di daerah Kotamadya dan0,60/o di daerah kabupaten. Di Poliklinik Reumatologi RSUPN Cipto Mangunkusomo Jakarta, kasus baru AR merupakan 4,1%o dari seluruh kasus baru tahun 2000 dan pada periode Januari s/d Juni 2007 didapatkan sebanyak 203 kasus

AR dari jumlah seluruh kunjungan

sebanyak 1.346 orang (l 5,1%).8 PrevalensiARlebihbanyak

ditemukan pada perempuan dibandingkan dengan lakiJaki dengan rasio 3 : I dan dapat terjadi pada semua kelompok umur, dengan angka kejadian tertinggi didapatkan pada dekade keempat dan kelima.

ETIOLOGI

Faktor genetak

berdampak terhadap kehidupan sosial dan ekonomi. Kemajuan yang cukup pesat dalam pengembangan DMARD biologik, memberi harapan baru dalam

Etiologi dari AR tidak diketahui secara pasti. Terdapat interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan

penatalaksanaan penderita AR.

kejadian AR, dengan angka kepekaan dan ekspresi penyakit sebe sat 60 o/o. Hubungan gen HLA-DRB I dengan kejadian AR telah diketahui dengan baik, walaupun beberapa lokus non-HLAjuga berhubungan dengan AR

EPIDEMIOLOGI

lingkungan. Faktor genetik berperan penting terhadap

seperti daerah 18q21 dari gen TNFRSR1 lAyangmengkode Pada kebanyakan populasi di dunia, prevalensi AR

relatif

konstan yaitu berkisar arrtara0,5 -l o . Prevalensi yang tinggi didapatkan di Pima Indian dan Chippewa Indian masing-masing sebesar 5,3o/o dan 6,80/o.5 Prevalensi AR di India dan di negara barat kurang lebih sama yaitu sekitar 0.75%. Sedangkan di China, Indonesia, dan Philipina prevalensinya kurang dari 0,4o/o, baik didaerah urban maupun rural. Hasil survey yang dilakukan di Jawa Tengah

aktivator reseptor nuclear factor kappa B (NF-rB). Gen ini berperan penting dalam resorpsi tulang pada AR. Faktor genetik juga berperanan penting dalam terapi AR karena aktivitas enzim seperti methylenetetrahydrofolate reductase dan thiopurine methyltransferase untuk metabolisme

methotrexate dan azathioprine ditentukan oleh faktor genetik.e,r0 Pada kembar monosigot mempunyai angka kesesuaian untuk berkembangnya AR lebih dari 30%o dan

2495

2496

REI.JMAiNOI.OGI

pada orang kulit putih denganAR yang mengekspresikan HLA-DRI atau HLA-DR4 mempunyai angka kesesuaian sebesar 80o%.

Hormon sex

mempunyai 650/o untaian yang homolog. Hipotesisnya adalah antibodi dan sel T mengenali epitop HSP pada agen

infeksi dan sel host. Hal ini memfasilitasi reaksi silang limfosit dengan sel host sehingga mencetuskan reaksi imunologis. Mekanisme ini dikenal sebagai kemiripan molekul (mo I ecul ar

m

imi cry)

Prevalensi AR lebih besar pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki, sehingga diduga hormon sex berperanan

dalam perkembangan penyakit

ini.

Pada observasi

didapatkan bahwa terjadi perbaikan gejala AR selama kehamilan. Perbaikan ini diduga karena : 1. Adanya aloantibodi dalam sirkulasi maternal yang menyerang

HLA-DR sehingga terjadi hambatan fungsi epitop HLA-DR yang mengakibatkan perbaikan penyakit. profil hormon. Placental corticotropinreleasing hormone secara langsung menstimulasi sekresi dehidroepiandrosteron (DHEA), yang merupakan androgen utama pada perempuan yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus. Androgen bersifat imunosupresi terhadap respon imun selular dan humoral. DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis estrogen plasenta. Estrogen dan progesteron menstimulasi respon imun humoral (TM) dan menghambat respon imun selular (Thl). Oleh karena pada AR respon Th I lebih dominan sehingga estrogen dan progesteron mempunyai efek yang berlawanan terhadap perkembangan AR. Pemberian kontrasepsi oral dilaporkan mencegah perkembangan AR atau berhubungan dengan penurunan insiden AR yang lebih berat. 2. Adanya perubahan

Faktor infeksi. Beberapa virus dan bakteri diduga sebagai agen penyebab penyakit seperti tampak pada Tabel 1. Organisme ini diduga menginfeksi sel induk semang (host)

dan merubah reaktivitas atau respon sel T sehingga mencetuskan timbulnya penyakit. Walaupun belum ditemukan agen infeksi yang secara nyata terbukti sebagai penyebab penyakit.

FAKTOR RISIKO

Faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan terjadinya AR antara lain jenis kelamin perempuan, ada riwayat keluarga yang menderita AR, umur lebih tua, paparan salisilat dan merokok. Konsumsi kopi lebih dari tiga cangkir sehari, khususnyakopi dec affeinated mungYin juga berisiko. Makanan tinggi vitamin D, konsumsi teh dan penggunaan kontrasepsi oral berhubungan dengan penurunan risiko. Tiga dari empat perempuan dengan AR mengalami perbaikan gejala yang bermakna selama kehamilan dan biasanya akan kambuh kembali setelah melahirkan.

PATOGENESIS Kerusakan sendi padaAR dimulai dari proliferasi makrofag dan fibroblas sinovial setelah adatya faktor pencetus,

berupa autoimun atau infeksi. Limfosit menginfiltrasi daerah perivaskular dan terjadi proliferasi sel-sel endotel, yang selanjutnya terjadi neovaskularisasi. Pembuluh darah pada sendi yang terlibat mengalami oklusi oleh bekuanbekuan kecil atau sel-sel inflamasi. Terjadi pertumbuhan yang iregular pada jaringan sinovial yang mengalami inflamasi sehingga membentuk jaringan pannus. Pannus

menginvasi dan merusak rawan sendi dan tulang. (Gambar 1) Berbagai macam sitokin, interleukin, proteinase dan faktor pertumbuhan dilepaskan, sehingga mengakibatkan destruksi sendi dan komplikasi sistemik. (Gambar2 dan 3).

Agen infeksi Mycoplasma

Parvovirus B19 Retrovirus Enteric bacteria Mycobacteria Epstein-Barr Virus Bacterial cell walls

Mekanisme patogenik lnfeksi sinovial langsung, superantigen lnfeksi sinovial langsung lnfeksi sinovial langsung Kemiripan molekul Kemiripan molekul Kemiripan molekul Aktifasi makrofag

Protein heat shock (HSP) HSP adalah keluarga protein yang diproduksi oleh sel pada

semua spesies sebagai respon terhadap stres. Protein ini mengandung untaian(sequence) asam amino homolog. HSP

tertentu manusia dan HSP mikobakterium tuberkulosis

Gambar 1. Destruksi sendi oleh jaringan pannus

2497

ARTRITIS REUMATOID

AltlGn

ilHC

(? .nl6obe,

GGe

tl

IT

+l

J EotHeretbn

ndl

.*++ Gambar 2. Patogenesis artritis reumatoid

€l

sfl

co4n

T

Gambar 3. Peran sitokin dalam patogenesis artritis reumatoid

Peran sel T Induksi respon sel T pada artritis reumatoid di awali oleh interaksi antara reseptor sel T dengan share epitope dati major histocompatibility complex class II (MHCII-SE) dan peptida pada antigen-presenting cell (APC) sinovium atau

sistemik. Molekul tambahan (accessory) yang diekspresikan oleh APC antara lain ICAM-I (intracellular adhesion molucle-l) (CD54), OX40L (CD252), inducible costimulator (ICOS) ligand (CD2'75), B7-l (CD80) danBl -2 (CD86), berpartisipasi dalam aktivasi sel T melalui ikatan dengan lymphocyte function-associated antigen (LFA)-I (CDl 1alCD18), OX40 (CDl 34),

ICOS (CD278), and CD28. Fibroblast-like synoviocytes

(FLS) yang aktif mungkin juga berpartisipasi dalam presentasi antigen dan mempunyai molekul tambahan seperti LFA-3 (CD58) dan ALCAM (activated leukocyte cell adhesion molecule) (CD166) yang berinteraksi dengan sel T yang mengekspresikan CD2 dan CD6. Interleukin

(IL)-6 dan transforming growth factor-beta (TGF-p)

kebanyakan berasal dari APC aktif, signal pada sel ThlT menginduksi pengeluaran Il- I 7.

IL-17 mempunyai efek independen dan sinergistik dengan sitokin proinflamasi lainnya (TNF-u dan IL-lp) pada sinovium, yang menginduksi pelepasan sitokin,

2498

REUTvIA*IOLOGI

produksi metaloproteinase, ekspresi ligan RANKIRANK (CD26 5 I CD25 4), dan osteoklasto genesis. Interaksi CD40L

morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. RF juga bisa mencetuskan stimulus diri sendiri untuk sel B yang mengakibatkan aktivasi dan presentasi antigen kepada

(CD 1 54) dengan CD40 juga mengakibatkan aktivasi monosit/

makrofag (Mo/Mac) sinovial, FLS, dan sel B. Walaupun pada kebanyakan penderita AR didapatkan adanya sel T regulator CD4+CD25hi pada sinovium, tetapi tidak efektif dalam mengontrol inflamasi dan mungkin di non-aktifkan oleh TNF-ct sinovial. IL- 10 banyak didapatkan pada cairan sinovial tetapi efeknya pada regulasi Th I 7 belum diketahui. Ekspresi molekul tambahanpada sel ThlT yang tampakpada Gambar 4 adalah perkiraan berdasarkan ekspresi yang ditemukan pada populasi sel T hewan coba. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk menetukan struktur tersebut pada subset sel Thl7 pada sinovium manusia.

Peran sel B Peran sel B dalam imunopatogenesis AR belum diketahui secara pasti, meskipun sejumlah peneliti menduga ada

beberapa mekanisme yang mendasari keterlibatan sel B. Keterlibatan sel B dalam patogenesis AR diduga melalui mekanisme sebagai berikut : l. Sel B berfungsi sebagai APC dan menghasilkan signal kostimulator yang penting urrt:uk clonal expansion dal fungsi efektor dari sel T CD4+. 2. Sel B dalam membran sinovialAR juga memproduksi sitokin proinflamasi seperti TNF-o dan kemokin. 3. Membran sinovial AR mengandung banyak sel B yang memproduksi faktor reumatoid (RF). AR dengan RF

positif (seropositif) berhubungan dengan penyakit arlikular yang lebih agresif, mempunyai prevalensi manifestasi ekstraartikular yang lebih tinggi dan angka

lndustiwe Phase

4.

sel Th, yang pada akhirnya proses ini juga akan memproduksi RF. Selain itu kompleks imun RF juga memperantarai aktivasi komplemen, kemudian secara bersama-sama bergabung dengan reseptor Fcg, sehingga mencetuskan kaskade inflamasi. Aktivasi sel T dianggap sebagai komponen kunci dalam patogenesis AR. Bukti terbaru menunjukkan bahwa aktivasi ini sangat tergantung kepada adanya sel B. Berdasarkan mekanisme diatas, mengindikasikan bahwa sel B berperanan penting dalam penyakitAR, sehingga layak dijadikan target dalam terapiAR.

Gambar 5 memperlihatkanperananpotensial sel B dalam regulasi respon imun padaAR. Sel B mature yang terpapar oleh antigen dan stimulasi TLP. (Toll-like receptor ligancl) akan berdiferensiasi menjadi short-lived plasma cells atau masuk kedalam reaksi GC (germinal centre) sehingga berubah menjadi sel B memori dan long-lived plctsma cells

yang dapat memproduksi autoantibodi. Autoantibodi membentuk kompleks imun yang selanlutnya akan mengaktivasi sistem imun melalui reseptor Fc dan reseptor komplemen yang terdapat pada sel target. Antigen yang diproses oleh sel B mature selanjutnya disajikan kepada sel T sehinggamenginduksi diferensiasi sel T efektoruntuk

memproduksi sitokin proinflamasi, dimana sitokin ini diketahui secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam destruksi tulang dan tulang rawan. Sel B mature juga dapat berdiferensiasi menjadi sel B yang memproduksi IL-10 yang dapat menginduksi respon autoreaktif sel T.

.-.llt

FoxP3

I

I

//

{,$ysternic or Local)

MHCil-SE

o

o 4,"3,*.K I tL-6 @t

Gambar 4. lnteraksi sel Th17 patogenik dalam synovial microenvironment pada artritis reumatoid

Effector Phase

2499

ARTRITISREUM/rtflOID

<*+

f<)larrlrr t "l. *lls

Gambar 5. Partisipasi sel B pada artritis reumatoid Sendi yang terlibat pada umumnya simetris, meskipun pada

MANIFESTASI KLINIS

Awitan (onsef) Kurang lebrh 213 penderita AR, awitan terjadi secara perlahan, artritis simetris terjadi dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan dari perjalanan penyakit. Kurang

lebih 15% dari penderita mengalami gejala awal yang lebih cepat yaitu antara beberapa hari sampai beberapa minggu. Sebanyak 10-15% penderita mempunyai awitan fulminant berupa artritis poliartikular, sehingga diag-

nosis AR lebih mudah ditegakkan. Pada

8-15%o

penderita, gejala muncul beberapa hari setelah kejadian

presentasi awal bisa tidak simetris. Sinovitis akan menyebabkan erosi permukaan sendi sehingga terjadi deformitas dan kehilangan fungsi. Ankilosis tulang (destmksi sendi disertai kolaps dan pertumbuhan tulang

yang berlebihan) bisa terjadi pada beberapa sendi khususnya pada pergelangan tangan dan kaki. Sendi pergelangan tangan hampir selalu terlibat, demikian juga sendi interfalang proksimal dan metakarpofalangeal. Sendi

interfalang distal dan sakroiliaka tidak pernah terlibat. Distribusi sendi yang terlibat pada AR tampak pada Tabel2.

tertentu (infeksi). Artritis sering kali diikuti oleh kekakuan sendi pada pagi hari yang berlangsung selama satu jam atau lebih, Beberapa penderita juga mempunyai

gejala konstitusional berupa kelemahan, kelelahan, anoreksia dan demam ringan.

Manifestasi artikular PenderitaARpada umumnya datang dengan keluhan nyeri dan kaku pada banyak sendi, walaupun ada sepertiga penderita mengalami gejala awal pada satu atau beberapa

sendi saja. Walaupun tanda kardinal inflamasi (nyeri,bengkak, kemerahan dan teraba hangat) mungkin ditemukan pada awal penyakit atau selama kekambuhan (flare),namun kemerahan dan perabaan hangat mungkin tidak dijumpai padaARyang kronik. Penyebab artritis pada AR adalah sinovitis, yaitu

yang terlibal Metacarpophalangeal (MCP) Pergelangan tangan Proximal interphalangeal (PlP) Lutut Metatarsophalangeal (MTP) Pergelangan kaki (tibiotalar + subtalar) Bahu Midfoot (tarsus) Panggul (Hip) Siku Acro

m

ioclavicu lar

Vertebra servikal Tem poromandibu lar Sternoclavicular

keterlibatan (%) 85 80 75 75 75 75 60 60 50 50

50 40 30 30

adanya inflamasi pada membran sinovial yang membungkus sendi. Pada umumnya sendi yang terkena adalah persendian tangan, kaki dan verlebra servikal, tetapi persendian besar seperti bahu dan lutut juga bisa terkena.

Manifestasi Ekstraartiku lar Walaupun artritis mempakan manifestasi klinis utama,

2500

REUIUANOI.OGI

tetapi AR merupakan penyakit sistemik sehingga banyak penderita juga mempunyai manifestasi ekastraartikular. Manifestasi ekastraartikular pada umumnya didapatkan padapenderita yang mempunyai titer faktorreumatoid (RF) serum tinggi. Nodul reumatoid merupakanmanifestasi kulit

yang paling sering dijumpai, tetapi biasanya tidak memerlukan intervensi khusus. Nodul reumatoid umumnya ditemukan didaerah ulna, olekranon, jari tatgan, tendon achilles atau bursa olekranon. Nodul reumatoid hanya ditemukan pada penderita AR dengan faktor reumatoid

Bentuk deformitas*

Keterangan

Deformitas leher angsa (swanneck) Deformitas boutonnid re

Hiperekstensi PIP dan fleksi DIP Fleksi PIP dan hiperekstensi DlP. Deviasi MCP dan jari-jari tangan kearah ulna Dengan penekanan manual akan terjadi pergerakan naik dan turun dari ulnar styloid, yang disebabkan oleh rusaknya sendi radioulnar. Fleksi dan subluksasi sendi MCP I dan hiperekstensi dari sendi interfalang Sendi MCP, PlP, tulang carpal dan kapsul sendi mengalami kerusakan sehingga terjadi instabilitas sendi dan tangan tampak mengecil (operetta g/ass

Deviasi ulna Deformitas kunci piano (pranokev)

positif (sering titernya tinggi) dan mungkin dikelirukan dengan tofus gout, kista ganglion, tendon xanthoma atau nodul yang berhubungan dengan demam reumatik, lepra,

MCTD, atau multicentric reticulohistiocytosis.

Deformitas Z-thumb

Manifestasi paru juga bisa didapatkan, tetapi beberapa

perubahan patologik hanya ditemukan saat otopsi. Beberapa manifestasi ekstraarlikuler seperti vaskulitis dan Felty syndrome jarang drjumpai, tetapi sering memerlukan

Arthritis mutilans

terapi spesifik. Manifestasi ekstraartikularAR dirangkum dalam Thbel 3.

hanA. Hallux valgus Sistem organ Konstitusional Kulit

Mata

Kardiovaskular Paru-paru

Hematologi

Gastrointestina Neurologi Ginjal Metabolik

I

Manifestasi Demam, anoreksia, kelelahan (fatigue), kelemahan, limfadenopati Nodul rematoid, accelerated rh e u m atoi d n od u losi s, rh e u m atoi d vasculiti s, pyoderma gangrenosum, i nte rstiti a I g ra n u lom ato su s d e rm atiti s with afthritis, palisaded neutrophilic dan granulomatosis dermatitis, rhe umatoid neutrophilic dermatitis, dan adult-onset Stl// dlsease Sj og re n sy nd rom e ( keratoconjunctivits sicca), scleritis, episcleritis, scleromalacia. Pericarditis, efusi perikardial, edokarditis, valvulitis. Pleuritis, efusi pleura, interstitial fibrosis, nodul reumatoid pada paru, Capla n's svnd rome (infiltrat nodular pada paru dengan pneumoconiosis). Anemia penyakit kronik, trombositosis, eosinofilia, Felty syndrome ( AR dengan neutropenia dan splenomegali) Sjogre n synd rome (xerostomia), amyloidosis, vaskulitis Entrapment neuropathy, myelopathy/myositis. Amyloidosis, renal tubular acidosis, interstitial nephritis Osteoporosis

MTP I terdesak kearah medial dan jempol kaki mengalami deviasi kearah luar yang terjadi secara bilateral

.Lihat foto artritis reumatoid

KOMPLIKASI Dokter harus melakukan pemantauan terhadap adanya komplikasi yang terjadi pada penderita AR. Komplikasi yang bisa terjadi pada penderita AR dirangkum dalam Tabel 5 dan Tabel 6.

PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSTIK

Tidak ada tes diagnostik tunggal yang definitif untuk konfirmasi diagnosis AR. The American College of Rheu-

matology Subcommittee on Rheumaloid Arthritis (ACRSRA) merekomendasikan pemeriksaan laboratorium dasar untuk evaluasi antara lain : daruh perifer lengkap (complete blood cell count), faktor reumatoid (RF), laju endap darah ata:u C-reactive protein (CRP) Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal juga direkomendasikan karena akan membantu dalam pemilihan terapi. Bila hasil pemeriksaan

RF dan anti-CCP negatif bisa dilanjutkan dengan

Deformitas Kerusakan struktur artikular dan periartikular (tendon dan ligamentum) menyebabkan terjadinya deformitas. Bentuk-

bentuk deformitas yang bisa ditemukan pada penderita AR dirangkum dalam Tabel4.

pemeriksaan anti-RA33 untuk membedakan penderita AR yang mempunyai risiko tinggi mengalami prognosis buruk. Pemeriksaan p encitraan (imaging) yangbisa digunakan untuk menilai penderita AR antara lain foto polos Qtlain radiograph) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging). Pada awal perjalanan penyakit mungkin hanya ditemukan pembengkakan jaringan lunak atau efusi sendi pada

2501

ARTRITIS REUII{ATOID

Komplikasi

Keterangan

Anemia

Berkorelasi dengan LED dan aktivitas penyakit; 75% penderita AR mengalami anemia karena penyakit kronik dan 25% penderita tersebut memberikan respon terhadap terapi besi.

Kanker

Komplikasi kardiak

Penyakit tulang belakang leher (cervical spine dlsease) Gangguan mata Pembentukan fistula Peningkatan infeksi Deformitas sendi tangan

Deformitas sendi lainnya

Mungkin akibat sekunder dari terapi yang diberikan; kejadian limfoma dan leukemia 2 -3 kali lebih sering terjadi pada penderita AR; peningkatan risiko terjadinya berbagai tumor solid; penurunan risiko terjadinya kanker genitourinaria, diperkirakan karena penggunaan OAINS. 1/3 penderita AR mungkin mengalami efusi perikardial asimptomatik saat diagnosis ditegakkan; miokarditis bisa terjadi, baik dengan atau tanpa gejala; blok atrioventrikular jarang ditemukan. Tenosinovitis pada ligamentum transversum bisa menyebabkan instabilitas sumbu atlas, hati-hati

bila melakukan intubasi endotrakeal; mungkin ditemukan hilangnya lordosis servikal

Deviasi ulnar pada sendi metakarpofalangeal; deformitas boutonniere (fleksi PIP dan hiperekstensi DIP); deformitas swan neck (kebalikan dari deformitas boutonniere); hiperekstensi dari ibu jari; peningkatan risiko ruptur tendon Beberapa kelainan yang bisa ditemukan antara lain '. frozen shoulder, kista popliteal, sindrom terowongan karpal dan tarsal.

Komplikasi pernafasan

dan

berkurangnya lingkup gerak leher, subluksasi C4-C5 dan C5-C6, penyempitan celah sendi pada foto sevikil lateral. Myelopati bisa terjadi yang ditandai oleh kelemahan bertahap pada ekstremitas atas dan parestesia Episkleritis jarang terjadi Terbentuknya sinus kutaneus dekat sendi yang terkena, terhubungnya bursa dengan kulit. Umumnya merupakan efek dari terapi AR.

bisa s pada

ada

dengan den ; fibrosi old

pembentukan lesi kavitas; Bisa ditemukan uara serak dan nyeri pada laring; pleuritis

bisa ditandai dengan adanya ronki pada

pemeriksaan fisik (selengkapnya lihat Tabel 6). Nodul reumatoid

Ditemukan pada 20 -35% penderita AR, biasanya ditemukan pada permukaan ekstensor ekstremitas atau daerah penekanan lainnya, tetapi bisa juga ditemukan pada daerah skler'b, pita suara, sakrum atau vertebra

Bentuk kelainannya antara lain : arteritis distal, perikarditis, neuropati perifer, lesi kutaneus, arteritis organ viscera dan arteritis koroner; terjadi peningkatan risiko pada : penderita perempuan, titer RF yang tinggi, mendapat terapi steroid dan mendapat beberapa macam DMARD; berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya infark miokard.

Vaskulitis

PIP = proximat interphalangeal; DIP = distal interphalangeal; RF = rheumatoid factor

Pleural disease Pleural effusions, Pleural fibrosi lnterstitial lung disease Usual interstitial pneumonia, Nonspecific interstitial pneumonia, Organizing pneumonia, Lymphocytic interstitial pneumonia, Diffuse alveolar damage, Acute eosinophilic pneumonia, Apical fibrobullous disease, Amyloid, Rheumatoid nodules Pulmonary vascular disease Pulmonary hypertension, Vasculitis, Diffuse alveolar hemorrhage with capillaritis Secondary pulmonary complicatlons

. .

.

O p poftu n i

.

stic i nfe ctio n s

Pulmonary tuberculosis, Atypical mycobacterial infections, Nocardiosis, Aspergillosis, Pneumocystis jeroveci pneumonia, Cytomegalovirus pneumonitis Drug toxicity Methotrexate, Gold,D-penicillamin,Sulfasalazin

o

pemeriksaan foto polos, tetapi dengan berlanjutnya penyakit mungkin akan lebihbanyak ditemukan kelainan. Osteopenia juxtaarticular adalah karakteristik untuk AR dan chronic inJlammatory qrthritides lainnya. Hilangnya

tulang rawan artikular dan erosi tulang mungkin timbul setelah beberapa bulan dari aktivitas penyakit. Kurang lebih 70% penderitaAR akan mengalami erosi tulang dalam 2 tahun pertama penyakit, dimana hal ini menandakan penyakit bedalan secara progresif. Erosi tulang bisa tampak pada semua sendi, tetapi paling sering ditemukan pada sendi metacarpophalangeal, metatarsophalangeal dan

pergelangan tangat. Foto polos bermanfaat dalam membantu menentukan prognosis, menilai kerusakan sendi secara longitudinal, dan bila diperlukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI mampu mendeteksi adanya

erosi lebih awal bila dibandingkan dengan pemeriksaan radiografi konvensional dan mampu menampilkan stmktur sendi secara rinci, tetapi membutuhkan biaya yang lebih tinggi. Pemeriksaan penunjang diagnostik untuk AR dirangkum pada Tabel 7 dan perbandingan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan autoantibodi pada AR tampak pada Tabel 8.

2502

REI.JMAIOI.OGI

Pemeriksaan penunjang C-reactive protein (CRP). Laju endap darah (LED). Hemoglobi n/hematokrit* Jumlah lekosit* Jumlah trombosit. Fungsi hati. Faktor reumatoid (RFf

Penemuan yang berhubungan

Umumnya meningkat sampai > 0,7 picogram/ml, bisa digunakan untuk monitor perjalanan penyakit. Sering meningkat > 30 mm/jam, bisa digunakan untuk monitor perjalanan penyakit Sedikit menurun, Hb rata-rata sekitar 10 g/dl, anemia normokromik, mungkin juga normositik atau mikrositik Mungkin meningkat Biasanya meningkat Normal atau fosfatase alkali sedikit meningkat. Hasilnya negatif pada 30% penderita AR stadium dini. Jika pemeriksaan awal negatif dapat diulang setelah 6 12 bulan dari onset penyakit. Bisa memberikan hasil positif padd beberapa penyakit seperti SLE, skleroderma, sindrom Sjogren's, penyakit keganasan, sarkoidosis, infeksi (virus, parasit atau bakteri). Tidak akurat untuk penilaian perburukan penyakit.

-

Foto polos sendi*

Mungkin normal atau tampak adanya osteopenia atau erosi dekat celah sendi pada stadium dini penyakit. Foto pergelangan tangan dan pergelangan kaki penting untuk data dasar, sebagai pembanding dalam penelitian selanjutnya.

MRI

Mampu mendeteksi adanya erosi sendi lebih awal dibandingkan dengan foto polos, tampilan struktur sendi lebih rinci.

Anti cycl i c citru

I I i n ated pe antibody (antiCCP)

pti de

Anti-RA33 Anti n u cl e a r a nflbody (ANA)

Konsentrasi komplemen lmunoglobulin (lg) Pemeriksaan cairan sendi Fungsi ginjal Urinalisis

Berkorelasi dengan perburukan penyakit, sensitivitasnya meningkat bila dikombinasi

dengan pemeriksaan RF. Lebih spesifik dibandingkan dengan

RF Tidak

semua

laboratorium mempunyai fasilitas pemeriksaan anti-CCP Merupakan pemeriksaan lanjutan bila RF dan anti-CCP negatif Tidak terlalu bermakna untuk penilaian AR Normal atau meningkat. lg o-1 dan o-2 mungkin meningkat.

Diperlukan bila diagnosis meragukan. Pada AR tidak ditemukan kristal, kultur negatif dan kadar glukosa rendah Tidak ada hubungan langsung dengan AR, diperlukan untuk memonitor efek samping terapi. Hematuria mikroskopik atau proteinuria bisa ditemukan pada kebanyakan penyakit

jaringan ikat. * Direkomendasikan untuk evaluasi awal AR

Autoantibodi RF titer tinggi 50 U/ml)

(>

Anti-CCP Anti-RA33 *PPV

Sensitivitas Spesifisitas PPV. 45

96

92

41

9B

28

90

96 74

= posltiye predictive value

KRITERIA DIAGNOSTIK Pada penelitian klinis, AR didiagnosis secara resmi dengan menggunakan tujuh lffiteria daiAmerican College of Rheumatology seperti tampak pada Tabel 9. Pada penderitaAR

stadium awal (early) mungkin sulit menegakkan diagnosis definitifdengan menggunakan kriteria ini. Pada kunjungan

awal, penderita harus ditanyakan tentang derajat nyeri, durasi dari kekakuan dan kelemahan serta keterbatasan fungsional. Pemeriksaan sendi dilakukan secara teliti untuk mengamati adanya ciri-ciri seperti yang disebutkan diatas. Liao dkk30 melakukan modifikasi terhadap kriteria ACR dengan memasukkan pemeriksaan anti-CCP dan membuang

kriteria nodul reumatoid dan perubahan radiologis, sehingga jumlah kriteria menjadi enam. Diagnosis AR ditegakkan bila terpenuhi 3 dari 6 kriteria. Kriteria diagnosis ini ternyata memperbaiki sensitivitas dari kriteria ACR(74%: 51%),tetapi spesifisitasnya lebih rendah dari

kdteriaACR(81%:91%).

DIAGNOSIS BANDING

AR harus dibedakan dengan sejumlah penyakit lainnya seperti aftropati reaktif yang berhubungan dengan infeksi, spondiloartropati seronegatif dan penyakit jaringan ikat lainnya seperti lupus eritematosus sistemik (LES), yang mungkin mempunyai gejala menyerupai AR. Adanya kelainan endokrin juga harus disingkirkan. Artritis gout jarang bersama-sama denganAR, bila dicurigai ada arhitis gout maka pemeriksaan cairan sendi perlu dilakukan.

PROGNOSIS Prediktor prognosis buruk pada stadium dini AR antara lain : skor fungsional yang rendah, status sosialekonomi

2503

ARTRITIS REUMIITOID

Definisi Ada Kaku pagi hari (morning stlffness) Artritis pada 3 persendian atau lebih

Kekakuan pada sendi dan sekitarnya yang berlangsung paling sedikit selama 1 jam sebelum perbaikan maksimal.

39

14

sendi secara bersamaan menunjukkan pembengkakan jaringan lunak atau efusi (bukan hanya

32

'13

Paling sedikit

3

periumbuhan tulang saja) yang diobservasi oleh seorang

dokter Ada 14 daerah persendian yang mungkin terlibat

yaitu

: PlP, MCP,

pergelangan tangan, siku, lutut,

pergelangan kaki dan MTP kanan atau kiri. Artritis pada persendian tangan Artritis yang simetrik

Nodul reumatoid

Faktor reumatoid serum positif

Paling sedikit ada satu pembengkakan (seperti yang atau PlP. Keterlibatan sendi yang sama pada kedua sisi tubuh secara bersamaan (keterlibatan bilateral sendi PlP, MCP atau MTP dapat diterima walaupun tidak mutlak bersifat simetris)' Adanya nodul subkutan pada daerah tonjolan tulang, permukaan ekstensor atau daerah juxtaartikular yang diobservasi oleh seorang dokter Adanya titer abnormal faktor reumatoid serum yang

29

50

25

diperiksa dengan metode apapun, yang memberikan hasil positif <

Perubahan gambaran radiologis

12

disebutkan diatas) pada sendi : pergelangan tangan, MCP

5o/o

pada kontrol subyek normal

Terdapat gambaran radiologis yang khas untuk artritis

reumatoid pada

foto

21

posterioanterior tangan dan

pergelangan tangan, berupa

erosi

ikasi tulang

yang terdapat pada sendi atau d dengan sendi (perubahan akibat

berdekatan saja tidak

memenuhi persyaratan) * Diasumsikan bahwa probabilitas keseluruhan (overall probability) untuk AR adalah 30% - Diagnosis ditegakkan bila memenuhi 4 atau lebih dari kriteria di atas, kriteria 1 - 4 sudah berlangsung minimal selama 6 minggu

rendah, tingkat pendidikan rendah, ada riwayat keluarga dekat menderita AR, melibatkan banyak sendi, nilai CRP atau LED tinggi saat pennulaan penyakit, RF atau antiCCP positif, ada perubahan radiologis pada awal penyakit,

Setiap kunjungan, evaluasi bukti subyektif and obyektif untuk penyakit aktif - Derajat nyeri sendi (diukur dengan visual analog scale

ada nodul reumatoid/manifestasi ekstraartikular lainnya' Sebanyak 30% penderitaAR dengan manifestasi penyakit berat tidak berhasil memenuhi kriteria ACR 20 walaupun

- Durasi kaku pagi hari - Durasi kelelahan - Adanya inflamasi sendi aktif pada pemeriksaan

sudah mendapat berbagai macam terapi. Sedangkan penderita dengan penyakit lebih ringan memberikan

Evaluasi secara rutin terhadap aktivitas atau progresivitas

respon yang baik dengan terapi. Penelitian yang dilakukan

penyakit

oleh Lindqvist dkk pada penderita AR yang mulai tahun I 9 8 0-an, memperlihatkan tidak adanya peningkatan angka mortalitas pada 8 tahun pertama sampai 13 tahun setelah diagnosis. Rasio keseluruhan penyebab kematian pada penderitaAR dibandingkan dengan populasi umum adalah 1,6. Tetapi hasil

ini mungkin akan menurun

setelah

penggunaan jangka panjang DMARD terbaru.

:

(vAS)

-

-

fisik

(umlah nyeri tekan dan bengkak pada sendi) Keterbatasan fungsi

Bukti progresivitas penyakit pada pemeriksaan fisik (keterbatasan gerak, instabilitas, malalignment dan/atau

-

deformitas) Peningkatan LED atau CRP

Perburukan kerusakan radiologis pada sendi yang

terlibat Parameter lain untuk menilai respon terapi Physician's g/obal assessment of disease activity Patient's g/obal assessment of disease activity Penilaian status fungsional atau kualitas hidup dengan menggunakan kuesioner standar

-

PEN I LAIAN AKTIVITAS PENYAKIT

Setiap kunjungan penderita AR, dokter harus menilai apakah penyakitnya aktif atau tidak aktif (Tabel 10). Gejala penyakit inflamasi sendi seperti kaku pagi hari, lamanya kelelahan ffatigue) dan adanya sinovitis aktif pada

pemeriksaan sendi, mengindikasikan bahwa penyakit

dalam kondisi aktif sehingga perubahan program terapi perlu dipertimbangkan. Kadang-kadang penemuan pada pemeriksaan sendi saja mungkin tidak adekuat dalam

penilaian aktivitas penyakit dan kerusakan struktur, sehingga pemeriksaan LED atau CRP, demikian juga

2504

REUMAIOI.OGI

radiologis harus dilakukan secara rutin. Status fungsional bisa dinilai dengan kuesioner, seperti Arthritis Impact Measurement Scale atau Health Assessment Question-

naire. Perlu ditentukan apakah penurunan status

fungsional akibat inflamasi, kerusakan mekanik atau keduanya, karena strategi terapinya berbeda.

Ada beberapa instumen yang digunakan untuk mengukur aktivitas penyakit AR antara lain : Disease Activity Index including an 28-joint count (DAS28), Simplified Disease Activity Index (SDAI), European

DAS28 dibandingkan dengan nilai sebelum pengobatan dimulai. Terdapat korelasi yangjelas antara nilai rata-rata DAS28 dengan jumlah kerusakan radiologis yang terjadi selama periode waktu tertentu. DAS28 dan penilaian aktivitas penyakit (tinggi atau rendah) telah divalidasi. Dalam praktek sehari-hari pengukuran DAS28 dapat dilakukan dengan menggunakan rumus

= 0.56{(tender28) + 0.28 x 0.70xtn@SR)+0.014xGH DAS28

:

{

(swollen28) +

League Against Rheumatism Response Criteria (EULARC), Modified Health Assessment Questionnaire (M-HAO dan Clinical Disease Activity Index (CDAI). Parameter-parameter yang diukur dalam instrumen tersebut antara lain :

l. 2.

knder Joint Count (TJC) : penilaian adanya nyeri tekan pada 28 sendi.

Keterangan Tender 28

:

:

nyeri tekan pada 28 sendi, Swollen 28 : pembengkakan pada 28 sendi, ESR: laju endap darah dalam I jampertama, GIJ: Patient's assessment of general health diukur denganVAS

Swollen Joint Count (SJC) : penilaian pembengkakan pada 28 sendi.

3. 4.

Penilaian derajat nyeri oleh pasien : diukur dengan Wsual Analogue Scale (VAS, skala 0 -10 cm). Patient global assessment of disease activity (PGA) : penilaian umum oleh pasien terhadap aktivitas penyakit, diukur dengan Visual Analogue Scale (VAS, skala 010cm).

5. Physician global

6.

KRITERIA PERBAIKAN American College Of Rheumatology (ACR) membuat kriteria perbaikan untukAR, tetapi kriteia ini lebih banyak dipakai untuk menilai outcome dalam uji klinik dan tidak dipakai dalam praktek klinik sehari-hari. Kriteria perbaikan

assessment of disease activity (MDGA) : penilaianumumolehdoktert e r h a d a p aktifitas penyakit, diukur dengan Visual Analogue

jumlah nyeri tekan dan bengkak sendi disertai perbaikan 20o/o terhadap 3 dari 5 parameter yaitu '. patient s global

Scale (VAS, skala 0 - 10 cm).

as s es

Penilaian fungsi fisik oleh pasien : instrumen yang

oleh pasien, penilaian disabilitas oleh pasien dan nilai

sering digunakan adalah HAQ (Health A s s e s s m e n I Qu e s ti o nnair e)

atauM-HAQ (Mo d ifi e d H e al th As s e s s m en t

ACR 20% (ACR20) didefinisikan sebagai perbalkan2}o/o

sment, physician's glob al as s es sment,

petllaian nyeri

reaktan fase akut. Kriteria ini juga diperluas menjadi kriteria

perbaikan

50%o dan

1

0o/, (ACR5 0 dan

ACR70)

Questionnaire).

7. Nilai

acute-phase reactants : yaitu kadar C-reactive protein (CRP) ataunilai laju endap darah(LED)

DAS28 cukup praktis digunakan dalam praktek seharihari. Perhitungan DAS 28 (DAS28-LED) menghasilkan skala

0-9,84 yang menunjukkan aktivitas penyakit seorang penderita AR pada saat tertentu. Nilai ambang batas aktivitas penyakit berdasarkan skor DAS28-LED dan DAS28-CRP tampak pada Tabel 11. Kelebihan DAS28 adalah selain dapat digunakan dalam praktek sehari-hari, juga bermanfaat untuk melakukan titrasi pengobatan. Keputusan pengobatan dapat diambil berdasarkan nilai DAS28 saat itu atau perubahan nilai

Kriteria remisi Menurut kriteriaACR, AR dikatakan mengalami remisi bila memenuhi 5 atau lebih dari kriteria dibawah ini dan berlangsung paling sedikit selama 2bulanberhrrut-turut : 1. Kaku pagi hari berlangsung tidak lebih dari l5 menit

2. Trdakadakelelahan 3. Tidak ada nyeri sendi (melalui anamnesis) 4. Tidak ada nyeri tekan atau nyeri gerak pada sendi 5. Tidak ada pembengkakanjaringan lunak atau sarung 6.

tendon LED < 30 mm/jam untukperempuan atau < 20 mm/jam untuk laki-laki (dengan metode Westergren)

TERAPI Aktivitas penyakit

Nilai DAS28-LED

Nilai DAS28-CRP

Remisi

< 2,6 < 3,2

< 2,3

> 3,2 s/d s 5,1 > 5,1.

> 2,7 sld

Rendah Sedang Tinggi

sejak timbulnya gejala, terapi sedini mungkin akan

4,1

Destruksi sendi padaAR dimulai dalam beberapa minggu

=

4,1

menurunkan angka perburukan penyakit. Oleh karena itu sangat penting untuk melakukan diagnosis dan memulai terapi sedini mungkin. ACRSRAmekomendasikan bahwa

2s05

ARTRITIS REUMATOID

Penderita dengan penyakit ringan dan hasil

penderita dengan kecurigaan AR harus dirujuk dalam 3 bulan sejak timbulnya gejala untuk konfirmasi diagnosis

pemeriksaan radiologis normal, bisa dimulai dengan terapi hidroksiklorokuin/klorokuin fosfat, sulfasalazin atau minosiklin, meskipun methotrexate (MTX) juga menjadi pilihan. Penderita dengan penyakit yang lebih berat atau

dan inisiasi terapi DMARDs (Disease-modfying antirheumatic drugs). Modalitas terapi untuk AR meliputi terapi non farmakologik dan farmakologik. Tujuan terapi pada penderita AR adalah

ada perubahan radiologis harus dimulai dengan terapi MTX. Jika gejala tidak bisa dikendalikan secara adekuat,

:

1. Mengurangi nyeri 2. Mempertahankan status fungsional 3. Mengurangi inflamasi 4. Mengendalikan keterlibatan sistemik 5. Proteksi sendi dan struktur ekstraarlikular 6. Mengendalikan progresivitas penyakit

maka pemberian leflunomide, azathioprine atau terapi kombinasi (MTX ditambah satu DMARD yang terbaru) bisa diperlimbangkan. Katagori obat secara individual akan dibahas dibawah ini.

OAINS OAINS digunakan sebagai terapi awal untuk mengurangi nyeri dan pembengkakan. Oleh karena obat-obat ini tidak merubah perjalanan penyakit maka tidak boleh

7. Menghindari komplikasi yang berhubungan dengan terapi

TERAPI NON FARMAKOLOGIK Beberapa terapi non farmakologik telah dicoba pada penderita AR. Terapi puasa, suplementasi asam lemak esensial, terapi spa dan latihan, menunjukkan hasil yang baik. Pemberian suplemen minyak ikan (cod liver oil)bisa digunakan sebagai NSAID-sparing agents pada penderita AR. Memberikan edukasi dan pendekatan multidisiplin

digunakan secara tunggal. Penderita AR mempunyai risiko dua kali lebih sering mengalami komplikasi serius akibat

penggunaan OAINS dibandingkan dengan penderita osteoartritis, oleh karena itu perlu pemantauan secara ketat terhadap gej ala efek samping gastrointestinal.

Glukokortikoid

dalam perawatan penderita, bisa memberikan manfaat jangka pendek. Penggunaan terapi herbal, acupuncture dan splint-

Steroid dengan dosis ekuivalen dengan prednison kurang dari 10 mg per hari cukup efektif untuk meredakan gejala

izg belum didapatkan bukti yang meyakinkan.

dan dapat memperlambat kerusakan sendi. Dosis steroid harus diberikan dalam dosis minimal karena risiko tinggi mengalami efek samping seperli osteoporosis, katarak, gejala

Pembedahan harus dipertimbangkan bila : 1. Terdapat nyeri berat yang berhubungan dengan kerusakan sendi

yang ekstensif, 2. Keterbatasan gerak yang bermakna atau keterbatasan fungsi yang berat, 3. Ada ruptur tendon.

TERAPI FARMAKOLOGIK Farmakoterapi untuk penderita AR pada umumnya meliputi

obat anti-inflamasi non steroid (OAINS) untuk mengendalikan nyeri, glukokortikoid dosis rendah atau intraartikular dan DMARD. Analgetik lain juga mungkin digunakan seperti acetaminophen, opiat, diproqualone dan lidokain topikal. Pada dekade terdahulu, terapi farmakologik

untuk AR menggunakan pendekatan piramid yaitu

:

pemberian terapi untuk mengurangi gejala dimulai saat diagnosis ditegakkan dan perubahan dosis atau penambahan terapi hanya diberikan bila terjadi perburukan gejala. Tetapi saat ini pendekatan piramid terbalik (reverse

pyramid) lebih disukai, yaitu pemberian DMARD sedini mungkin untuk menghambat perburukan penyakit. Perubahan pendekatan ini merupakan hasil yang didapat dari beberapa penelitian yaitu : l kerusakan sendi sudah

terjadi sejak awal penyakit; 2. DMARD memberikan manfaat yang bermakna bila diberikan sedini mungkin; 3. Manfaat DMARD bertambah bila diberikan secara kombinasi; 4. Sejumlah DMARD yang baru sudah tersedia dan terbukti memberikan efek menguntungkan.

Cushingoid, dan gangguan kadar gula darah. ACR merekomendasikan bahwa penderita yang mendapat terapi glukokorlikoid harus disertai dengan pemberian kalsium 1500 mg dan vitamin D 400 800 IU per hari. Bila artritis hanya mengenai satu sendi dan mengakibatkan disabilitas yang bermakna, maka injeksi steroid cukup aman dan efektif walaupun efeknya bersifat sementara. Adanya artrltis infeksi

harus disingkirkan sebelum melakukan injeksi. Gejala mungkin akan kambuh kembali bila steroid dihentikan, terutama bila menggunakan steroid dosis tinggi, sehingga kebanyakan Rheumatologr,s/ menghentikan steroid secara perlahan dalam satu bulan atau lebih, untuk menghindari rebound ffict. Steroid sistemik sering digunakan sebagai bridging therapy selama periode inisiasi DMARD sampai timbulnya efek terapi dari DMARD tersebut, tetapi DMARD terbaru saat ini mempunyai mula kerja relatif cepat.

DMARD Pemberian DMARD harus dipertimbangkan untuk semua

penderita AR. Pemilihan jenis DMARD harus

mempertimbangkan kepatuhan, beratnya penyakit, pengalaman dokter dan adanya penyakit penyerta. DMARD yang paling umum digunakan adalah MTX, hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat, sulfasalazin, leflunomide, infliximab dan etanercept. Sulfasalazin atau hidroksiklorokuin atau klorokuin fosfat sering digunakan

2506

REI,,IM'ITOII)GI

sebagai terapi awal, tetapi pada kasus yang lebih berat,

IgGl anti-TNF-a antibody. Penderita AR dengan respons buruk terhadap MTX, mempunyai respon yang lebih baik dengan pemberian yang merupakan chimeric

MTX atau kombinasi terapi mungkin digunakan sebagai terapi lini pertama. Banyak bukti menunjukkan bahwa kombinasi DMARD lebih efektif dibandingkan dengan terapi tunggal. Perempuan pasangan usia subur

infliximab dibandingkan plasebo. Adalimumabuga merupakan rekombinan human IgGl antibody, yang mempunyai efek aditif bila dikombinasi dengan

(childbearing) harus menggunakan alat kontrasepsi yang adekuat bila sedang dalam terapi DMARD, oleh kerena

MTX.58 Pemberian antagonis TNF berhubungan dengan

DMARD membahayakan fetus.

peningkatan risiko terjadinya infeksi, khususnya

Leflunomide bekerja secara kompetitif inhibitor

reaktivasi tuberkulosis.

terhadap enzim intraselular yang diperlukan untuk sintesis

Anakinra adalah rekombinan antagonis reseptor interleukin-1. Beberapa uji klinis tersamar ganda

pirimidin dalam limfosit yang teraktivasi. Leflunomide memperlambat perburukan kerusakan sendi yang diukur secara radiologis dan juga mencegah erosi sendi yang baru pada 80% penderita dalam periode 2 tahun. Antagonis

mendapatkan'bahwa anatinra lebih efektif dibandingkan

dengan plasebo, baift aiUerikan secara tunggal maupun dikombinasi dengan MTX. Efek sampingnya antara lain iritasi kulit pada tempat suntikan, peningkatan risiko infeksi dan leukopenia. Rituximab merupakan antibodi terhadap reseptor permukaan sel B (anti-CD2O) menunjukkan efek cukup baik.Antibodi terhadap reseptor interleukin-6 juga sedang dalam evaluasi. Jenis-jenis DMARD yang digunakan dalam terapi AR dirangkum

TNF menurunkan konsentrasi TNF-o,, yarrg

konsentrasinya ditemukan meningkat pada cairan sendi

penderita AR. Etanercept adalah suattt soluble TNF-receptor fusion protein, dimana efek jangka panjangnya sebanding dengan MTX, tetapi lebih cepat dalam memperbaiki gejala, sering dalam 2 minggu terapi. Antagonis TNF yang lain adalah infliximab,

DMARD

dalam Tabel 12.

Dosis

Mekanisme kerja

Waktu Timbulnya Respons

Efek Samping

NON BIOLOGIK

(Konvensional) Menghambat: sekresi sitokin, enzim lisosomal dan fungsi makrofag

Methotrexate

nhibitor dihidrofolat reduktase, menghambat kemotaksis, efek antiinflamasi melalui induksi pelepasan adenosin

7,5 - 25 mg p.o, lM atau SC per minggu

1-2 bulan

Sulfasalazln

Menghambat : respon sel B, angiogenesis

2 -3 gr p.o. per hari

1

Azathioprine (lmuran)

Menghambat sintesis DNA

50- 150 mg

Leflunomide (Arava)

Menghambat sintesis pirimidin

100 mg p.o. per selama 3 hari kemudian 10 - 20 mg p.o. per hari

Cyclosporine

Menghambat sintesis lL-2 dan sitokin sel T lainnya

2,5 - 5 mg/kgBB per hari

(Mrx)

.

.

200 -400 mg p.o.

Hidroksiklorokuin (Plaquenil), Klorokuin fosfat

I

2

per hari 250 mg p.o. per hari

p.o.per

- 6 bulan

- 3 bulan

2 - 3 bulan

hari

hari

4 -12 minggu

p.o.

2-4bulan

Mual, sakit kepala, sakit perut, myopati, toksisitas pada retina

Mual, diare, kelemahan, ulkus mulut, ruam, alopesia, gangguan fungsi hati, penurunan leukosit dan trombosit, pneumonitis, sepsis, penyakit hati, limfoma yahg berhubungan dengan EBV, nodulosis Mual, diare, sakit kepala, ulkus mulut, ruam, alopesia, mewarnai lensa kontak, oligospermia reversibel, gangguan fungsi hati, leukopenia Mual, leukopenia, sepsis, limfoma Mual, diare, ruam, alopesia, sangat teratogenik meskipun obat telah dihentikan, leukopenia, hepatitis, trombositopenia Mual, parestesia, tremor, sakit kepala, hipertrofi gusi, hipertrikosis, hipertensi, gangguan ginjal, sepsis

2507

ARTRITIS REUMATOID

Waktu

Mekanisme kerja

DMARD

Efek samping

timbulnya respons

. . .

D-Penicillamine (Cuprimine)

Menghambat fungsi sel T helper dan angrogenesis

250 -750 mg p.o. per hari

3

-

6 bulan

Mual, hilangnya rasa kecaP, penurunan trombosit yang reversibel

Garam emas thiomalate (Myochrysine)

Menghambat : makrofag, angiogenesis dan protein kinase C Menghambat makrofag dan fungsi

25-50mglM

6

- 8 minggu

4

- 6 bulan

Ulkus mulut, ruam, gejala vasomotor setelah injeksi, leukopenia, trombositoPenia, proteinuria, kolitis Diare, leukopenia

Auranofin (Ridaura)

PMN

BIOLOGIK

.

. o

setiap2-4minggu 3 mg p o. 2 kali per hari atau 6 mg p.o. per hari

2

Beberapa hari

Adalimumab (Humira)

Antibodi TNF (human)

40 mg SC setiap mrnggu

- 4 bulan

Anakinra (Kineret)

Antagonis reseptor

100- 150 mg SC per hari

mrnggu

Etanercept (Enbrel)

Reseptor TNF terlarut (so/uble)

tL-1

,

25 mg SC 2 kali per minggu atau 50 mg SC per

12-24

Beberapa hari 12 minggu

-

mrnggu

.lnfliximab (Remicade)

Antibodi TNF (chimeric)

3 mg/kgBB lV (infus pelan) pada minggu ke- 0, 2 dan 6 kemudian setiap B

Reaksi infus, peningkatan risiko infeksi termasuk reaktifasi TB, gangguan demyelinisasi lnfeksi dan penurunan jumlah netrofil, sakit kePala, pusing, mual, h ipersensitivitas Reaksi ringan pada tempat suntikan, kontraindikasi pada infeksi, demYelinisasi

Beberapa hari - 4 bulan

Reaksi infus, peningkatan" risiko infeksi termasuk reaktivasi TB, gangguan demyelinisasi Reaksi infus, aritmia jantung, hipertensi, infeksi, reaktivitas hePatitis B, sitopenia, reaksi hipersensitivitas Reaksi infus, infeksi, reaksi hipersensitivitas, eksasebasi COPD

mrnggu

. Rituximab (Rituxan,

. .

Mabthera)

Abatacept (Orencia)

Belimumab

Antibodi anti-sel B (CD20)

1000 mg setiap 2 minggu x 2 dosis

3 bulan.

Menghambat aktivitas sel T (costimulation blockers\ humanized monoclonal antibodY terhadap Blymphocyte sflmulator (BlyS)

10 mg/kgBB (500, 750 atau 1000 mg) setiap 4 minggu

6 bulan*

1 mg, 4 mg aiau 10 mg/kgBB lV pada hari 0,14,28 kemudian setiap 28 hari selama 24

24 minggu-

Uji klinis fase ll

24 minggu.

Uji klinis fase lll (OPTION trial)

4 minggu*

Uji klinis fase ll

3 bulan*

Uji klinis fase ll

6 bulan.

Uji Klinis fase ll

4 minggu.

Uji klinis fase ll

24 minggu"

Uji Klinis fase ll

mrnggu

. .

Tocilizumab (Actemra TM)

Anti-lL-6 recePtor

4 mg atau 8

MAb

Ocrelizumab

humanized antiCD20 antibody

lmatinib (Gleevec) Denosumab

lnhibitor Protein tirosin kinase human monoclonal lgG2 antibodY terhadaP RANKL human anti-TNF-q antibodY

mg/kgBB infus setiap 4 minggu 10 mg, 50 mg, 200 mg, 500 mg, dan 1000 mg infus pada hari 1 dan 15 400 mg per hari

Pegol (CDP87O)

Certolizumab

.

Ofatumumab (HuMax-

cD20)

human monoclonal

antiCD20 lgGl antibody

60 mg atau 180m9 SC setiap 6 bulan selama 1 tahun 1 mg; 5 mg atau 20 mg/kgBB infus tunggal 300 mg, 700 mg atau 1000 mg infus pada hari 0 dan 14

2508

REUMANOI.GI

Mekanisme kerja

o Atacicept

o

.

Waktu Timbulnya respons 70 m9,210 mg, atau 3 bulan. 630 mg SC dosis tunggal atau 70 mg, 210 mg atau 42O mg SC dosis berulang setiap 2 minggu 50 mg atau 100 16 mingguSC setiap 2 atau 4

Recombi nant fusion protein yang mengikat dan menetralkan B lymphocyte stlmulator (BlyS dan a p rol ife rati on -i n d uc i ng I ig an d (APRTL)

Golimumab

Fontolizumab

mg

Fully human protein (antibody) yang mengikat TNF-o h u m a n i se

d a nti -i nte ie

ro

mrnggu

Efek samping

Uji klinis fase lb

Uji klinis fase ll (Uji klinis fase Ill mulai Februari 2006-Juli 2012)

n

gamma antibody -

w"lJy terpendek yang ditetapkan oleh peneliti untuk mengevaluasi respon terapi lM = intramuscular; lV = intravenous; p.o. = per oral; SC = subcutan; gBV Epstein-Barr Virus; MMps matrix = = pMN metalloproteinases; TB = tuberkulosis;

= polymorphonuclear; MAb =

Terapi Kombinasi Banyak penelitian memperlihatkan bahwa efikasi terapi kombinasi lebih superior dibandingkan

PEMANTAUAN KEAMANAN TERAPI DMARD Sebelum pemberian DMARD perlu dilakukan evaluasi dasar terhadap keamanan pemberian DMARD tersebut. ACR merekomendasikan evaluasi dasar yang harus dilakukan sebelum memberikan terapi DMARD antara lain: darah perifer

dengan terapi tunggal, tanpa memperbesar toksisitas. Regimen terapikombinasi yang efektif dan aman digunakan untuk penderita AR aktif yang tidak terkontrol adalah salah

lengkap (complete blood counts), kreatinin serum dan transaminase hati. Untuk pemberian hidroksiklorokuin atau

satu dari kombinasi berikut : MTX + hidroksiklorokuin,

MTX + hidroksiklorokuin + sulfasalazine, MTX +

klorokuin fosfat perlu dilakukan pemeriksaan oftalmologik berupa pemeriksaan retina dan lapangan pandang. Sedangkan penderita yang mendapat methotrexate dan leflunomide perlu pemeriksaan tambahan yail:u screening terhadap hepatitis B dan C. (Tabel 13) Setetah DMARD diberikan perlu dilakukan pemantauan secara berkala untuk mengidentifikasi sedini mungkin adanya toksisitas.

sulfasalazine * prednisolone, MTX + leflunomide, MTX + infliximab, MTX + etanercept, MTX+ adalimumab, MTX * anakinra, atau MTX + rituximab. Penderita AR yang memberikan respons suboptimal dengan terapi MTX saja, akan memberikan respons yang

lebih baik bila diberikan regimen terapi kombinasi. Terapi kombinasi juga efektif dalam menghambat progresivitas penyakit dan kerusakan radiografi, terutama untuk regimen terapi kombinasi MTX + inhibitor TNF, tetapi

REKOMENDASI KLINIK

harganya jauh lebih mahal bila dibandingkan dengan regimen kombinasi MTX + hidroksiklorokuin atau

Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh dokter dalam klinik sehari-hari

sulfasalazine.

penanganan penderita AR dalam praktek tampak dalam Tabel 14.

Jenis DMARD

Pemeriksaan Kreatinin Hepatitis serum BdanC

cBc*

Transaminase hati

X

X

X

X X

X X X X

Non biologik H idroksiklorokuin/ Klorokuin fosfat Leflunomide Methotrexate Minocycline Sulfasalazine

X

X X X

X

X

X

X

Biologik Semua agen biologik .CBC

= complete blood counts

Oftalmologik

2509

ARTRITIS REUMATOID

Tingkat bukti (evidence rating)

Rekomendasi klinik Penderita AR harus diterapi sedini mungkin dengan DMARD untuk mengontrol gejala dan menghambat perburukan Penyakit'

Penderita dengan inflamasi sendi persisten

(

lebih dari 6

- 8 minggu)

A

yang sudah

mendapat terafii analgetik atau OAINS harus dirujuk ke insitusi rujukan reumatologi, lebih baik sebelum 12 minggu. a

Melakukan edukasi satu per satu untuk penderita AR setelah diagnosis ditegakkan.

a

oAINS untuk meredakan gejala harus diberikan dengan dosis rendah dan

C

harus

A

diturunkan setelah DMARD mencapai respons yang baik'

Gastroproteksi harus diberikan pada penderita usia > 65 tahun atau ada riwayat ulkus peptikum.

lnjeksi kortikosteroid intra-artikular bermanfaat, tetapi tidak diberikan lebih dari 3 kali dalam setahun.

Kortikosteroid dosis rendah efektif mengurangi gejala tetapi mempunyai risiko tinggi terjadinya toksisitas, oleh kerena itu berikan dosis paling rendah dengan periode pemberian yang pendek. Kombinasi terapi lebih efektif dibandingkan dengan terapi tunggal' a

Efikasi terapi harus dimonitor, perubahan hemoglobin, LED dan CRP merupakan indikator respon terapi dan penggunaan instrumen kriteria respon dari European League Against Rheumatism bermanfaat untuk menilai perburukan penyakit'

Pendekatan secara multidisiplin bermanfaat, paling tidak dalam jangka pendek, oleh karena itu penderita harus bisa mendapatkan perawatan profesional secara luas, yang meliputi dokter pelayanan primer, ahli reumatologi, perawat khusus, ahli terapi fisik, ahli

.

occupational, ,nti giii, ahli perawatan kaki (podratnsts), ahli farmasi dan pekerja sosial Latihan bermanfaat untuk meningkatkan kapasitas aerobik dan kekuatan otot tanpa memperburuk aktivitas penyakit atau derajat nyeri

FOTO ARTRITIS REUMATOID

Foto 1. Pembengkakan PIP

Foto 4. Deformitas boutonnidre dengan nodul reumatoid multiPel

Foto 2. Erosi sendi

Foto 3. Deformitas leher angsa (swan neck)

Foto 5. Deviasi ulna

Foto 6. Deformitas Z-thumb

2510

REUMANOI.OGI

Foto 7. Artritis mutilans

Foto 8. Nodul reumatoid

Foto 10. Hallux valgus

Foto ll.Vaskulitis reumatoid

Foto 13. Scleritis pada AR

Foto 9. Accelerated rheumatoid nodulosis

Foto 12. Episcleritis pada AR

Foto 14. Scleromalacia perforans pada AR

REFERENSI

Darmawan J, Muirden KD, Valkenburg HA, Wigley RD. The epiderniology of rheumatoid arthritis in Indonesia Br J Rheumatol

Buch M, Emery P. The aetiology and pathogenesis of rhaumatoid arthritis Hospilal Farm 2002;9:5-lO Cush JJ, Kavanaugh A, Stein CM. Rheumatology Diagnosrs &

1993 32(7):s37 -40 A)bar Z. Perkembangan Pengobatan Penyakit Rematrk. Kajian khusus

Therappeutics 2th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins; 2005 p.323-333

HR Rheumatoid arthritis. (dikutip tanggal 2t Oktober 200g). Dapat diperoleh di URL : http://wwtt emedicine com/med/

Smith

TOIC2O2l HTM.

Rindfleisch JA, Muller D. Diagnosis and Management of Rheumatoid arthritis. Am Fam physician 2OO5;72:103i--47 Silman AJ, Pearson JE. Epidemiology and genetics of rheumatoid

arhtritis Arthritis Res 2OO2;4 (suppl 3):5265_5272 Mijiyawa M. Epidemiology and semioJogy of rheumatojd arthritjs in Third World countries Rev Rhum Engl Ed 1995;62(2):121-6.

terhadap farmakoterapi artritis reumatoid masa kini dan perkembangannya di masa depan Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001 51 hal. Pidato Pengukuhan Guru Besar.

Bowes J, Barton

btlity.

A

Recent advances in the genetics of RA suscepti-

eumatology 2008 47 (4):399 -402. Turesson C, Matteson EL. Genetics of rheumatoid afihritis. Mato Cl in Proc 2006;81(1):94-101 Nelson JL, Hughes ICA, Smith AG, Nisperos BB, Branchaud AM, Hansen JA Maternal-Fetal Disparity in HLA Class II Alloantigens and the Pregnancy-Induced Amelioration of Rheumatoid Rh

Arthritis. N Engl J Med 1993;329:466-71.

25ll

ARTRITIS REUMATOID

Firestein GS. Etiology and pathogenesis of rheumatoid arthritis. In: Ruddy S, Harris ED, Sledge CB, Ke11ey WN, eds. Kelley's Textbook of rheumatology. 7th ed. Philadelphia: W.B. Saunders,

2005:996-1042. Harris ED. Clinical features of rheumatoid arthritis. In: Ruddy S, Harris ED, Sledge CB, Kelley WN, eds. Kelley's Textbook of rheumatology. 7th ed Philadelphia: WB Saunders, 2005:1043-78. Mikuls TR, Cerhan JR, Criswell LA, Merlino L, Mudano AS, Burma M, et al. Coffee, tea, and caffeine consumption and risk of rheumatoid arthritis: results lrom the Iowa Women's Health Sttdy. Arthritis Rheum 2002;46:83 -91 Merlino LA, Curtis J, Mikuls TR, Cerhan JR, Criswell LA, Saag KG

Vitamin D intake is inversely associated with rheumatoid arthritis: results from the Iowa Women's Health Study. Arthrilis Rheum 20041.50:72-7. Feldmann M, Brennan FM, Majni RN. Role of cytokines in rheumatoid arthritis Annu Rev Immunol. 1996;14:397-440. Goldman JA Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis and Its Implica-

tions for Therapy - The Need for Early/Aggressive Therapy. (dikutip Tanggal 6 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL http : //www princ etoncme com/pdf/pro grams /report

Choy EHS, Panayi GS. Cytokine pathways dan

62

:

9.p df.

joint inflammation

in rheumatoid arthritis. N Engl J Med 2001;344:907-16. Lundy SK, Sarkar S, Tesmer LA, Fox DA. Cells of the s1'novium in rheumatoid arthritis T lymphocytes. Arthritis Research & Therapy 2007;9(1): 1-l 1. Shaw ! Quan J, Totoritis MC B cel1 therapy for rheumatoid arlhritis: the rituximab (anti-CD20) experience. Ann Rheum Dis 2003;62:55-59 Mauri C, Ehrenstein MR. Cells of the synovium in rheumatoid arthritis B cells Arthritis Research & Therapy 2001;9(2):l-6' Wikipedia. Rheumatoid Arthritis (dikutip tanggal 6 Oktober 2008)

Dapat diperoleh di URL :

http://en wikipedia org/wiki/

Rheumatoid arthrilis. Syah A, English JC. Rheumatoid arthritis: A review of the cutaneous manifestations J Am Acad Dermatol 2005;53:191-209' Brown KK. Rheumatoid lung disease. Proc Am Thorac Soc 2007 ;4:443-418.

American College of Rheumatology Subcommittee

on

Rheumatoid Arthritis Guidelines. Guidelines for the manage-

ment of rheumatoid arthritis: 2OO2 tpdate. Arthrilis Rheum 2002;46 328-46 Nell VPK, Machold KP, Stamm TA, Eberl G, Heinz H, Uffmann M,

et al. Autoantibody profiling as early diagnostic and prognostic tool ior rheumatoid arthritis Ann Rheum Dis 2005;64;t'7 3I-36. Scottish Intercollegiate Guidelines Network. Management of early rheumatoid arthritis. SIGN No. 48. (dikutip tanggal 6 Oktober

2008). Dapat diperoleh di URL

:

http://www.sign.ac uk/

guidelines/fulltext/4 8/index.htm1. Avouac J, Gossec L, Dougados M. Diagnostic and predictive value of anti-CCP (cyclic citrullinated protein) antibodies in rheuma-

toid arthritis: a systematic literature review. Ann Rheum Dis 2006; doi: 10. 1 1 36/ard.2006.051391. Nishimura K, Sugiyama D, Kogata Y, Tsuji G Nakazawa

I

Kawano

S, et al. Meta-analysis: Diagnostic Accuracy of Anti-Cyclic Citrullinated Peptide Antibody and Rheumatoid Factor for Rheumatoid Arthritis. Ann Intern Med 200'7;146:797-808' Liao KP, Batra KL, Chibnik L, Schur PH, Costenbader KH' Anti-CCP revised criteria for the classification of rheumatoid arthritis. Ann Rheum Dis 2008; doi:10.1136/ard 2007'082339' Amett FC, Edworthy SM, Bloch DA, McShane DJ, Fries JF, Cooper NS. et al The American Rheumatism Association 1987 revised

criteria for the classification of rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1988;31:315-24. Berglin E. Predictors of disease onset and progression in early rheumatoid arthritis A clinical, laboratory and radiological study

(dikutip tanggal 72 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL

:

Boers M. Rheumatoid arthritis. Treatment of early disease. Rheum Dis Clin North Am 2001;27:405-14. Lindqvist E, Eberhardt K Mortality in rheumatoid arthritis patients with disease onset in the 1980s. Ann Rheum Dis 1 999;5 8: 1 1 -4. Chehata JC, Hassell

AB, Clarke SA, Mattey DL, Jones MA,

Jones

al Mortality in rheumatoid arthritis: relationship

to single and composite measures of disease activity. Rheumalology 200) ;40:447 -52 Leeb BF, Andel I, Leder S, Leeb BA, Rintelen B. The patient's perspective and rheumatoid arthritis disease activity indexes

PW, et

Rh eum at olo gy 200 5 ;44:3 60 -3 65 Smolen JS, Breedveld FC, Schiff MH, Kalden JR, Emery P, Eberl G

et al. A simplified disease activity index for rheumatoid

atthritis for use in clinical practice

Rheumatology

2003;42:244-257 Aletaha D, Landewe R, Karonitsch T, Bathon J, Boers M, Bombardier C, et a1. Reporting disease activity in clinical trials of patients with rheumatoid arthritis: EULAR/ACR collaborative recommendations. Ann Rheum Dis 2008;67;136O-64' Saag KG, Teng GG, Patkar NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR, et al. American College of Rheumatology 2008 Recommendations for the Use of Nonbiologic and Biologic Disease-Modifling Antirheumatic Drugs in Rheumatoid Arthritis Althritis .

Rheum 2008;59:762 784

Inoue F, Yamanaka H, Hara M, Tomatsu T, Kamatani N' Comparison of DAS2S-ESR and DAS28-CRP threshhold va1lres. Ann Rheum Dis 2006;doi:10.11361 afi.2006' 054205' EULAR. Disease activity score in rheumatoid arthritis (dikutip tanggal 12 Oktober 2008) Dapat diperoleh di URL : http:// www.das-score.nl.

van Gestel AM, Haagsma CJ, van Riel PLCM. Validation of rheumatoid arthritis improvement criteria that include simplified joint counts. Arthritis Rheum 1998;41 : 1845-50. Leeb BF, Andel I, Sautner J, Fassl C, Nothnagi T, Rintelen B The Disease

Activity Score in 28 Joints in Rheumatoid Arthritis

and

Psoriatic Arthritis Patients. Arthritis Rheum 2007;57:25G 60' Felson DT, Anderson JJ, Boers M, Bombardier C, Furst D, Goldsmith C, et al. ACR Preliminary Defrnition of Improvement In

Rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1995:38:72'7 -35' Miikinen H, Hannonen P, Sokka T. Definitions of remission for rheumatoid arthritis and review of selected clinical cohorts and randomised clinical trials for the rate of remission Clin Exp Rheumatol 2006; 24 (Suppl.43):S22-528. Emery P, Breedveld FC, Dougados M, Kalden JR, Schiff MH, Smolen JS. Early referral recommendation for newly diagnosed rheumatoid arthritis: evidence based development of a clinical guide'

Ann Rheum Dis 20O2;61:290-7. Belch JJ, Ansell D, Madhok R, O'Dowd A, Sturrock RD. Effects ol altering dietary essential fatty acids on requirements for nonsteroidal anti-inflammatory drugs in patients with rheumatoid arthritis: a double blind placebo controlled stttdy. Ann Rheum Dis 1988;47;96-104. Kavuncu

Y Evcik D.

Medscape General

Physiotherapy in Rheumatoid Arthritis'

Med

2004;6:3.

Verhagen AP, Bierma-Zeinstra SM, Cardoso JR, de Bie

RA, Boers M,

2512

REUMANOI.OGI

de Vet HC. Balneotherapy for rheumatoid arthritis. Cochrane Database Syst Rev 2008;(4): CD000518. Van Den Ende CH, Vliet Vlieland Tp, Munneke M, Hazes JM Dy_ namic exercise therapy for rheumatoid arthritis. Cochrane e S_rrs/ Rev 2008;( 1 ):CD000322 Galataga B, Ho M, Youssef HM, Hill A, McMahon H, Hall C, et al. Cod liver oil (n-3 fatty acids) as an non-steroidal anti-inflam_ matory drug sparing agent in rheumatoid arthritis. Rheumalol_ Datab

og

as

2008;47:665-9.

Egan M, Brosseau L, Farmer M, Ouimet

MA,

Rees S, Wells G, et al.

Splints/orthoses in the treatment of rheumatoid arthritis. Cochrane Database Syst Rev 2001;(4): CD004018. Olsen NJ, Stein CM. New drugs for rheumatoid arthritis. N Engl J Med 2OO4;350: 2t67 -'79. Bijlsma JWJ, Boers M, Saag KG, Furst DE. Glucocorticoids in the treatment of early and late RA. Ann Rheum Dis 2003;62;1033-37. van Everdingen

AA,

Cohen SB, Dore RK, Lane NE, Ory PA, Peterfli CG, Sharp JT, et al. Denosumab treatment effects on structural damage, bone mineral density, and bone tumover in rheumatoid arthritis: a twelve-

month, multicenter, randomized, double-blind, placebo-controlled, phase II clinical trial. Arthritis Rheum 2008;58(5):12993 09. Yazici Y. B-Cell-Targeted Therapies: Reports From the ACR 2007 Annual Meeting (dikutip tanggal 17 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : hxp://www. medscape com /viewarticle/ 567522. Fox RL Update on Novel and Emerging Therapies for RA: Report From the ACR 2007 Amual Meeting (dikutip tanggal 17 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : htp://www.medscape.com/ viewarticle/56752 l. Smolen J The investigational compound tocilizumab (ActemraTM)

significantly reduces disease activity in patients with moderate

Jacobs JW, Siewertsz Van Reesema DR, Bijlsma

to severe rheumatoid arthritis (RA) who have an inadequate

JW. Low-dose prednisone therapy for patients with early active rheumatoid arthritis: clinical efficacy, disease-modifuing properties, and side effects. Ann Intern Med 2002;136:1-12. Cohen S, Cannon GW, Schiff M, Weaver A, Fox R, Olsen N, et a1. Two-year, blinded, randomized, controlled trial of treatment of active rheumatoid arthritis with leflunomide compared with methotrexate. Arlhritis Rheum 2OOl;44:1984-92. Bathon JM, Martin RW, Fleischmann RM, Tesser JR, Schiff MH, Keystone EC, et al. A comparison of etanercept and methotrexate in patients with early rheumatoid arthritis. N Engl J Med

response to methotrexate, researchers announced at the European League Against Rheumatism (EULAR) 2007 (dikutip tanggal 17 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http:// www.medicalnewstoday com/ heahhnews. php?newsid:74370. Kelly J. Progress in RA with rituximab, belimumab, and 2 novel approaches (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http //www.medscape.com/ viewarticle/S38181. EULAR 2007 Preliminary Results Show Potential Of Olatumumab In Rheumatoid Arthritis (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://www medicalnewstoday.com/ articles/74437 php. Novartis Pharma AG. A Study of Imatinib 400 Mg Once Daily in

2000;343:1586-93. Lipsky PE, van der Heijde DM, St Clair EW, Furst DE, Breedveld FC, Kalden JR, et al. Infliximab and methotrexate in the treatment of rheumatoid arthritis. N Engl J Med 2000;343:1594_602. Weinblatt ME, Keystone EC, Furst DE, Moreland LW, Weisman MH, Birbara CA, et a1. Adalimumab, a fully human anti-tumor necrosis factor alpha monoclonal antibody, for the treatment of rheumatoid arthritis in patients taking concomitant methotrexate: the ARMADA tial. Arthritis Rheum 2003.48:35-45 Nuki G, Breshnihan B, Bear MB, McCabe D. Long-term safety and maintenance of clinical improvement following treatment with anakinra (recombinant human interleukin-1 receptor antagonist) in patients with rheumatoid arthritis: extension phase

of a randomized, double-blind, placebo-controlled trial. Arthritis Rheum 2002; 46:2838-46. Finger E, Scheinberg MA. Rituximab (Mabthera), a new approach for the treatment of rheumatoid arthritis. A svstem-

atic review. Einstein 2007 ;5(4):37g-g6. Siddiqui MAA. The Efficacy Ard Tolerabiliry Of Newer Biologics In Rheumatoid Arthritis: Best Current Evidence. Curr Opin Rheumatol 2007; 1 9(3):308- I 3. McGonagle D, Tan AL, Madden J, Taylor L, Emery p Rituximab use in everyday clinical practice as a first-line biologic therapy

for the treatment of DMARD-resistant rheumatoid arthritis. Rh eu m at o I o gy 2008 ;47 (6) :86

5 -

67

tis: real-life experience. Rheumatology 2007 ;46:980-22. Lee ATY, Pile K. Disease modifying drugs in adult rheumatoid arAus

t

Pres

cr

2003

;26:36-40. Genovese MC, Becker JC, Schiff M, Luggen M, Shener

diperoleh di URL : http://clinicoltrials.gov/ct2/show/ term:imatinib & rank:30.

NCT001 543 36?

Tak PP, Thurlings RM, Rossier C, Nestorov I, Dimic A, Mircetic V, et al. Atacicept in patients with rheumatoid arthritis: Results of a multicenter, phase Ib, double-blind, placebo-controlled, dose-

escalating, single- and repeated-dose slrtdy. Arthritis Rheum 2008 58(t):61 -12. Centocor, Inc. A Study of the Safety and Efficacy of Golimumab (CNTO 148) in Subjects With Active Rheumatoid Arthritis Previously Treated With Biologic Anti-TNFa Agent(s) (dikutip

tanggal

i8

Oktober 2008). Dapat diperoleh di URL : http://

cIinicaltrials. gov/ct/show/NCT002 99 5 46. Kay J, Matteson EL, Dasgupta B, Nash P, Durez B Hall S, et al. Golimumab in patients with active rheumatoid arthritis despite treatment with methotrexate: A randomized, double-blind, pla-

cebo-controlled, dose-ranging study. Arthritis

t

Kremer J,

et al. Abatacept for Rheumatoid Arthritis Refractory to Tumor Necrosis Factor 6 Inhibition N Engl J Med 2005;353:1114-23. 67. Shankar S, Handa R. Biological agents in rheumatoid arthritis. _r Postgrad Med 2004;50:293-9.

Rheum

2008;58:964-7 5. BioPharma, Inc. A Phase 2 Study to Evaluate the Safety, Tolerabiliry and Activity of Fontolizumab in Subjects With Active Rheumatoid Arthritis (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat

diperoleh di URL

.

Jois RN, Masding A, Somerville M, Gaffney MK, Scott DGI. Rituximab therapy in patients with resistant rheumatoid arthri-

thiitis.

Combination With Methotrexate in the Treatment of Rheumatoid Arthritis (dikutip tanggal 18 Oktober 2008). Dapat

:

http://clinicaltrials.gov/ct2/show/record/

NCT0028 I 294. Kremer JM, Westhovens R, Leon M, Giorgio ED, Alten R, Steinfeld S, et al. Treatment of Rheumatoid Arthritis by Selective Inhibi-

tion of T-Cel1 Activation with Fusion Protein CTLA4Ig N Engl J Med 2003;349:1907-15. Weinblatt ME, Kremer JM, Bankhurst AD, Bulpitt KJ, Fleischmann RM, Fox RI, et a1. A Triat of etanercept, a recombinant tumor necrosis factor receptor : Fc fusion protein, in patients with rheumatoid arthritis receiving methotrexate. N Engl J Med 1999;340:253-9.

25t3

ARTRITISREUMATOID

Edwards JCW, Szczepaflski

L, Szechiflski J, Filipowicz-Sosnowska

A, Emery P, Close DR, et a1. Efficacy of B-Ce1l-Targete4 Therapy with Rituximab in Patients with Rheumatoid Arlhritis.

Y Cohen S, Schiff M, Weaver A, Fleischmarur R, Cannon G, et al. Treatment of Active Rheumatoid Arthritis With

Strand

Leflunomide Compared With Placebo and Methotrexate. Arch

N Engl J Med 2004;350:2512-81. O'Dell JR. Therapeutic Strategies for Rheumatoid Arthritis. N Engl J Med 2004;350:2591 -602 Breedveld FC, Emery P, Keystone E, Patel K, Furst DE, Kalden JR, et al Infliximab in active early rheumatoid arthritis. Ann Rheum Dis 2004;63;149-55.

Intern Med 1.999 ;I 59 :2542-50. van der Heijde D, Klareskog L, Singh A, Tornero J, Melo-Gomes J, Codreanu C, et al. Patient reported outcomes in a trial of combination therapy with etanercept and methotrexate for rheu-

Furst DE, Breedveld FC, Kalden JR, Smolen JS, Burmester GR, Sieper J, et al. Updated consensus statement on biological agents for

Burmester GR, Mariette

the treatment of rheumatic diseases, 2007. Ann Rheum Dis 2007

;66;iti2-iii22

Goekoop-Ruiterman YPM, de Vries-Bouwstra JK, Allaart CF, van Zebet D, Kerstens PJSM, Hazes JMW, et a1. Comparison of

Treatment Strategies in Early Rheumatoid Arthritis.

A Sebba

Randomized Trial. Ann Intern Med.2001;146:406-415-

A. Tocilizumab: The First Interleukin-6-Receptor Inhibitor.

Am J Healrh-Syst Pharm 2008;65(15):1413-18 Scott DL, Smolen JS, Kalden JR, van de Putte LBA, Larsen A, Kvien

TK, et al. Treatment of active rheumatoid arthritis with leflunomide: two year follow up of a double blind, placebo controlled trial versus sulfasalazine. Ann Rheum Dis 2001;60;91323. Hochberg MC, Tracy JK, Hawkins-Holt M, Flores RH, et al. Comparison of the efficacy of the tumour necrosis factor a blocking agents adalimumab, etanercept, and infliximab when added to

patients with active rheumatoid arthritis. Ann Rheum Dls 2003;62(Suppl II):ii13-ii16

methotrexate in

Fan PT, Leong KH. The Use of Biological Agents in the Treatment of Rheumatoid Arthritis. Ann Acad Med Singapore 2007;36:128-34. Gossec

L, Dougados M. Combination therapy in early rheumatoid

arthritis. Clin Exp Rheumatol 2003;21 (Suppl. 31):S174-S178' Capel1 A, Madhok R, Porter DR, Munro RAL, Mclnnes IB, Hunter JA, et al. Combination therapy with sulfasalazine and methotrexate is more effective than either drug alone in patients with rheumatoid arthritis with a suboptimal response to sulfasalazine: results from the double-blind placebo-controlled MASCOT stttdy. Ann Rheum Dis 2007 66;235-41.

matoid arthritis: the TEMPO trial. Ann Rheum Dis 2006:65,328-34.

X, Montecucco C, Monteagudo-S6ez I, Malaise M, Tzioufas AG, et al. Adalimumab alone and in combination with disease-modifying antirheumatic drugs for the treatment of rheumatoid arthritis in clinical practice: the

Research in Active Rheumatoid Arthritis (ReAct) trial. Ann Rheum Dis 2001 :66;732-39. van Riel PLCM, Taggart AJ, Sany J, Gaubitz M, Nab HW, Pedersen R, et a1. Efficacy and safety of combination etanercept and

methotrexate versus etanercept alone in patients with rheumatoid afthritis with an inadequate response to methotrexate: the ADORE study. Ann Rheum Dis 2006;65;1478-83.

O'Dell JR, Haire CE, Erikson N, Drymalski W, Palmer W, Eckhoff J, et al. Treatment of rheumatoid arthritis with methotrexate alone, sulfasalazine and hydroxychloroquine. or

a combination of

a1l three medications.

N Engl J

Med

1996l.334:1287 -97. Saag KG, Teng GG, Patkar NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR, et al. American Coliege of Rheumatology 2008 Rec<jmmendations for the Use of Nonbiologic and Biologic Disease-Modifying Antirheumatic Drugs in Rheumatoid Arthritis' Arlhrilis

Rheum 2008;59:762-84. NM, Anuntiyo J, Finney C, Curtis JR, et al. American College of Rheumatology 2008 Recommenda-

Saag KG, Teng GG, Patkar

tions for the Use of Nonbiologic and Biologic DiseaseModifying Antirheumatic Drugs in Rheumatoid Arthritis lrthritis Rheum 2008;59:7 62-84.

391 SINDROM SJOGREN Yuliasih

PENDAHULUAN

di Amerika diperkirakan yang menderita SS sekitar 2-4

Sindrom Sjogren (SS) adalah penyakit sistemik autoimun yang mengenai kelenjar eksokrin dengan perkembangan penyakit yang lambat. Gejala kliniknya tidak terbatas hanya

juta orang, hanya lima puluh persennya saja yang tegak diagnosisnya, dan hampir 60% ditemukan bersamaan dengan penyakit autoimun lainnya antara lain AR, LES,

skleroderma.

pada gangguan sekresi kelenjar tetapi disertai pula dengan gejala sistemik atau ekstraglanduler. Gejala awal biasanya

ditandai dengan mulut dan mata kering yang kadangkadang disertai pembesaran kelenjar parotis. Secara histopatologi kelenjar eksokrin penuh dengan infiltrasi limfosit yang mengganti epitel yang berfungsi untuk sekresi kelenj ar (exocrinop clthy). P atogenesisnya dikaitkan dengan adanya autoantibodi yaitu anti-Ro (SS-A) dan anti-

La(SS-B).

Berdasarkan penyakit yar.g mendasari

SS

dikelompokkan menjadi 2, primer bila tidak terkait dengan penyakit autoimun yang lain, dan sekunder bila ada penyakit autoimun yang mendasari misalnya SLE, RA, skleroderma. SS pertama kali dilaporkan oleh Hadden, Leber dan Mikulicz tahun 1800, kemudian Sjogren di Swedia tahun 1933 melaporkan bahwa SS terkait dengan poliartritis dan penyakit sistemik laimya. pada tahun 1960 baru ditemukan adanya autoantibodi anti-Ro dan anti-

Reaksi imunologi yang mendasari patofisiologi SS tidak hanya sistem imun selular tetapi juga sistem imun humoral. Bukti keterlibatan sistem humoral ini dapat dilih at adanya hipergammaglobulin dan terbentuknya autoantibodi yang berada dalam sirkulasi. Autoantibodi yang dapat dideteksi pada SS ini ada duajenis yaitu: ' Antibodi spesifik organ: autoantibodi kelenjar saliva, tiroid, mukosa gaster, eritrosit, pankreas, prostat dan serat saraf. Autoantibodi ini dijumpai sekitar 60% pasien

.

SS

Antibodi non spesifik organ : faktor reumatoid, ANA, anti-Ro, anli-La Gambaran histopatologi yang dijumpai pada SS adalah

kelenjar eksokrin dipenuhi dengan infiltrasi dominan

La. Sinonim SS ini a\tara lain Mickulicz's disease,

limfosit T dan B terutama daerah sekitar saluran kelenjar atau duktus gambaran histopatologi ini dapat ditemui di kelenjar saliva, lakrimal serta kelenjar eksokrin yang lainnya misalnya kulit, saluran napas, saluran cema, dan vagina.

Gougerotb syndrome, Sicca syndrome, dan autoimune expcrinopathy

Fenotip limposit T yang mendominasi adalah sel T

EPIDEMIOLOGI SS bisa

PATOFISIOLOGI

CD4+,Sel-sel ini memproduksi berbagai interleukin antara lain IL-2, IL- 4, IL - 6, IL- I b dan TNF-cr. sitokin sitokin ini

dijumpai pada semua umur, terutamaperempuan

merubah fungsi sel epitel dalam mempresentasikan

dengan perbandingan perempuan dengan pria 9:1. Sampai saat ini prevalensinya belum diketahui dengan pasti karena seringnya sindrom ini bertumpang tindih

protein, merangsang apoptosis sel epitelial kelenjar melalui regulasi Fas. Sel B selain menginfrltrasi pada kelenjar, sel B ini juga memproduksi imunoglobulin dan autoantibodi.

dengan penyakit reumatik lainnya. Selain itu gejala klinik yang muncul pada awalpenyakit sering kali tidak spesifik.

Adanya infiltrasi limfosit yang mengganti sel epitel kelenjar eksokrin, menyebabkan menurunnya fungsi

2514

2515

SINDROMS'OGREN

kelenjar yang menimbulkan gejala klinik. Pada kelenjar saliva dan mata menimbulkan keluhan mulut dan mata kering. peradangan dengan manifentasi kelenjar eksokrin pada pemeriksaan klinik sering dijumpai pembesaran kelenjar.

Gambaran serologi yang didapatkan pada SS biasanya

suatu gambaran hipergammaglobulin. Peningkatan imunoglobulin antara lain faktor reumatoid, ANA dan antibodi non spesifik organ. Pada pemeriksaan dengan teknik imunofloresen Tes ANA menunjukkan gambaran spekled yang arlinya bila diekstrak lagi maka akan dijumpai autoantibodi Ro dan La (profil ANA).

Pada tahun 1984 ditemukan autoantibodi terhadap Ro(SS-A) yang dikenal sebagai ribonukleoprotein partikel yang terdiri dari hY-RNA dan 60 k Da protein, sedang anti-La (SS-B) juga suatu ribonukleoprotein

partikel yang dihubungkan dengan RNA polimerase

III

transkrip.

Adanya antibodi Ro dan anti-La

ini

dihubungkan dengan gejala awal penyakit, lama penyakit, pembesaran

kelenjar parotid yang berulang, splenomegali, limfadenopati dan anti-La sering dihubungkan dengan infiltrasi limfosit pada kelenjar eksokrin minor Oligoklonal hiperaktiviti serla monoklonal gammopati

merupakan imunologi humoral dijumpai pada SS. Produksi globulin dan autoantibodi melalui infiltrasi pada kelenjar eksokrin minor, dan fenotip sel B yang mensintesis imunoglobulin adalah CD5+.

. . . . . . .

o

o o

Arlritis reumatoid Lupus eritematosus sistemik Skleroderma Mixed connective tlssue dlsease Sirosis biliar primer Miositis Vaskulitis Tiroiditis Hepatitis kronik aktif Mixed cryoqlobulinemia

EKSOKRINOPATI Mata Menurunnya produksi air mata dapat merusak epitel kornea maupun konjungtiva, bila kondisi ini berlanjut, maka

komea maupun konjungtiva mendapat iritasi kronis, iritasi kronik pada epitel kornea dan konjungtiva memberikan gambaran klinik keratokonjungtivitis Sicca. Gejalanya yaitu pasien mengeluh rasa panas seperti terbakar, seolah-olah di dalam kelopak mata seperti ada pasir atau benda asing,

gatal, mata merah dan fotosensitif. Pada pemeriksaan

didapatkan pelebaran pembuluh darah di daerah konjungtiva, perikornea dan pembesaran kelenjar laknmalis.

Faktor genetik, infeksi, hormonal serta psikologis diduga berperan terhadap patogenesis, yang mungkin sistem imun teraktivasi

GAMBARAN KLINIK Gambaran klinik sindrom Sjogren sangat luas, berupa suatu eksokrinopati yang disertai gejala sistemik atau ekstraglandular. Xerostomia dan xerotrakea merupakan

gambaran eksokrinopati pada mulut. Gambaran eksokrinopati pada mata berupa mata kering atau keratoatokunjungtivitis sicca akibat mata kering. Manifestasi ekstraglandular dapat mengenai paruparu, ginjal, pembuluh darah maupun otot. Gejala sistemik yang dijumpai pada SS, sama seperti penyakit autoimun lainnya dapat berupa kelelahan demam, nyeri otot, artritis. Poliartritis non erosif merupakan bentuk artritis yang khas pada SS. Raynaud"s phenomena merupakan gangguan vaskular yang sering ditemukan,

biasanya tanpa disertai teleektasis ataupun digital ulserasi. Manifestasi ekstraglandular lainya tergantung pada penyakit sistemik yang terkait misalnya AR, LES, dan sklerosis sistemik. Meskipun sindrom Sjogren

tergolong penyakit autoimun yartg jinak, sindrom ini bisa berkembang menjadi suatu malignansi. Hal ini diduga adanya transformasi sel B ke arah keganasan

Gambar 1. Keratokunjungtivitis sicca

Orofaringeal Keluhan xerostomia meupakan eksokrinopati pada kelenjar ludah yang menimbulkan keluhan mulut kering karena menurunnya produksi kelenj ar saliva Akibat mulut kering ini seringkali pasien mengeluh kesulitan menelan makanan

2516

REUMATIOI.OGI

dan berbicara lama. Selain itu kepekaaan lidah berkurang dalam merasakan makanan, geligi banyak yang mengalami karies. Pada pemeriksaan fisik didapatkan mukosa mulut yang kering dan sedikit kemerahan, atropi papila filiformis pada pangkal lidah, serta pembesaran kelenjar parotis.

Sjogren sindrorn yang terkait dengan

menurunnya fungsi kelenj ar pankreas

DU

LAR

Manifestasi kulit Manifestasi kulit merupakan gejala ekstraglandular yang paling sering dijumpai, dengan gambaran klinik yang luas. Kulit kering dan gambaran vaskulitis merupakan keluhan yang sering dijumpai. Manifestasi vaskulitis pada kulit bisa mengenai pembuluh darah sedang maupun kecil. Vaskulitis pembuluh darah sedang biasanya terkait dengan krioglobulin, dan vaskulitis pada pembuluh darah kecil

berupa purpura. Dikatakan bahwa vaskulitis di kulit merupakan petanda prognosis buruk.

Manifestasi pada Paru Manifestasi paru yang paling menonjol yaitu gambaran penyakit bronkial dan bronkiolar dan saluran napas kecil yang sering kali terkena. Intersititial lung disease lebih sering dijumpai pada SS primer dengan gambaran patologi infiltrasi limfosit pada intersisial atau fibrosis yatgberat. Adanya pembesaran kelenjar limfe parahiler yang sering menyerupai suatu limfoma (pseudolimfoma)

Manifestasi paru pada SS primer dan sekunder memberikan gambaran yang berbeda. Pada sekunder SS, manifestasi parunya disebabkan oleh primer penyakit yang mendasari

Manifestasi Pembuluh Darah Vaskulitis ditemukan hanya sekitar

5,,/o dapat mengenal pembuluh darah sedang maupun kecil dengan manifestasi

klinik berbentuk purpura, urtikaria yang berulang, ulkus

vaskulitis

pembuluh darah kecil Kryoglobulinemia vaskulitis Vaskulitis urtikaria Vaskulitis leukoklastik

Sindrom Sjogren yang terkait dengan

Organ lain Kekeringan bisa terjadi pada saluran napas serta orofaring yang sering menimbulkan suara parau, bronkitis berulang serta pnemonitis. Gejala lain yang mungkin dijumpai adalah

MANIFESTASI EKSTRAGAN

a. Kutaneus vaskulitis

vaskulitis

pembuluh darah sedang b. Manifestasi kutaneus yang lain Fotosensitive cutaneus lesions Erythema nodosum Livedoretikularis Trom bositopenic pu rpura Lichen planus Vitiligo Nodular vaskulitis Kutaneus amyloidosis Granuloma anuler Granulomatus panikulitis

Manifestasi pada ginjal Keterlibatan ginjal hanya ditemukan sekitar 10%. Manifestasi yang tersering berupa kelainan tubulus dengan gejala subklinis. Gambaran kliniknya dapat berupa hipophospaturia, hipokalemia, hiperkloremik, renal tubu-

lar asidosis tipe distal. Yang sering dijumpai di klinik gambarannya tidak jelas dan acapkali menimbulkan komplikasi batu kalsium dan gangguan fungsi ginjal. Gejala hipokalemia seringkali dijumpai di klinik dengan manifestasi kelemahan otot. Pada biopsi ginjal didapatkan infiltrasi

limfosit pada jaringan intersisial Manifestasi glomuruler

kondisinya lebih serius dan biasanya terkait dengan krioglobulinemia.

Manifestasi Neuromuskular Manifestasi neurologi yaitu diakibatkan vaskulitis pada sistem saraf dengan manifestasi klinik neuropati perifer. Kranial neuropati jugadapatdijumpai pada SS, gambaran klinis kranial neuropati biasanya mengenai serat saraf tunggal, misalnya neuropati trigeminal, atau neuropati optik. neuropati sensorik merupakan komplikasi neurologi yang tersering pada sindrom Sjogren kemungkinan terjadi kerusakan neuron sensorik pada dorsal root dan ganglia gassertan Kelainan muskular hanya berupa mialgia dengan enzim

kulit dan mononeuritis multiplek. Vaskulitis pada organ intemal jarang ditemukan. Berdasarkan infiltrasi selnya terdapat 2 macam bentuk vaskulitis, vaskulitis dengan

otot dalam batas normal

infiltrasi sel mononuklir, neutrofil, dan vaskulitis dengan tipe inhlhasi sel neutrofil seringkali dihubungkan dengan hipergammaglobulin Raynaud's fenomena dijumpai pada 35%o kasus dan biasanya muncul setelah sindrom sicca terjadi sudah

Keluhan yang sering dijumpai adalah disfagia, karena kekeringan daerah kerongkongan, mulut dan esofagus, selain itu faktor dismotilitas esofagus akan menambah kesulitan proses menelan. Mual dan nyeri perut daerah epigastrik juga sering dijumpai. Biopsi mukosa lambung

bertahun-tahun, dan tanpa disertai teleektasis dan ulserasi seperti pada skleroderma

menunjukkan gastritis kronik atropik yang secara histopatologi didapatkan infiltrasi limfosit. Gambaran ini

Gambaran Gastrointestinal

2517

SINDROMSIOGREN

Rose Bengal Staining Kerato konjuntivitis merupakan sequele pada kornea dan Multiple sk/erosls like disease Mielopati : Akut dan kronik myelitis Centra I ponti ne myel i n al i si s Parkinson Dystonic spasme Bell's palsy

Neuritis optik SSP Vaskulitis SSP T limfoma Cerebral amyloid angiopathy

konjungtiva karena menurunnya air mata. Dengan pengecatan rose bengal yang menggunakan anilin, yang

dapat mewarnai epitel kornea maupun konjungtiva. Dengan pengecatan ini keratokonjungtivitis sicca tampak sebagai keratitis puntata, bila dilihat dengan slit lamp Tear film break up: tes ini dilakukan untuk melihat kecepatan pengisian flouresin pada kertas

film

Sialometri Sialometri adalah mengukur kecepatan produksi kelenjar persis seperti yang didapati pada kelenjar liur. didapatkan juga Hepatomegali, AMA positif, serta peningkatan alkali fosfatase, sirosis bilier primer lebih sering pada tipe primer

Adritis Lima puluh persen didapatkan gejala arlritis pada sindrom Sjogren. Artritisnya mungkin muncul lebih awal sebelum gejala sindom sicca muncul. Artritis pada sindom Sjogren

tidak erosif. Atralgia, kaku sendi, sinovitis, poliartritis kronis gejala lain yang mungkin dijumpai. Pada beberapa kasus ditemukan dengan Jaccoud's arthropathy

liur tanpa adanya rangsangan, baik untuk mengukur kelenjar parotis, submandibula, sublingual atau pun total produksi kelenjar liur, Pada SS menunjukkan penurunan kecepatan sekresi

Sialografi Pemeriksaan secara radiologis untuk menetapkan kelainan anatomi pada saluran kelenjar eksokrin. Pada pemeriksaan ini tampak gambaran teleektasis

Skintigrafi Untuk mengevalusi kelenjar dengan menggunakan 99m

Manifestasi Hematologi Gambaran hematologi tidak spesifik seperli pada penyakit autoimun lainnya. Pada pemeriksaan rutin laboratorium

Tc, dengan pemeriksaan ini dilihat ambilan 99m TC di mulut selama 60 menit setelah injeksi intravena

hanya didapatkan anemia ringan. Leukopenia hanya

Biopsi

didapatkan 10%, peningkatan LED tanpa disertai

Biopsi kelenj ar eksokrin minor memberikan gambaran yang sangat spesifik yaitu tampak gambaran infiltrasi limfosit

peningkatan CRP khas pada SS primer,hipergammaglobulin ditemukan hampir pada 80% .

yang dominan

Beberapa tes untuk mendiagnosis kerato konjungtivitis

DIAGNOSIS Tes Schimer's ini digunakan untuk evaluasi produksi kelenj ar air mata. Tes dilakukan dengan menggunakan kertas filer dengan

Tes

panj ang 3 0 mm , carunyakertas ditaruh kelopak mata bagian

bawah dibiarkan selama 5 menit. Setelah 5 menitkemudian dilihat seberapa panjang pembasahan air mata pada kertas filter, bila pembasahan kurang dari 5 mm dalam 5 menit maka tes positif.

Banyak gejala SS yang non spesifik sehingga seringkali menyulitkan dalam mendiagnosis. Ketepatan membuat diagnosis diperlukan waktu pengamatan yang panjang. Oleh karena manifestasi yang luas dan tidak spesifik akhimya American European membuat suafu konsensus untuk menegakkan diagnosis SS kriteria ini mempunyai sensitivitas spesifisitas sebesar 950lo Adapun kiteria tersebut:

. . .

. . .

gejalamulutkering gejalamatakering tanda mata kering dibuktikan dengan tes Schimer atau tes Rose Bengal

tes fungsi kelenjar saliva, abnormal skintigrafi atau sialogram biopsi kelenjar ludah minor autoantibodi (SS-A, SS-B)

flow rate dengan

SS bila memenuhi 4 kriteria, 1 di antaranya terbukti pada biopsi kelenjar eksokrin minor atau positip autoantibodi

2518

Diagtrosis Banding

. . . . . .

amiloidosis diabetes melitus

sarkoidosis infeksi virus trauma

psikogenik

Sindrom mata kering bisa disebabkan oleh amyloidosis, inflamasi kronik blefaritis, konjungtivitis, pemfigoid, sindrom Steven Johnson, hipovitaminosis A. Sedangkan

pembesaran kelenjar parotis ditemukan |uga pada akromegali, gonadal hipofungsi, penyakit metabolik, pankreatitis kronik, diabetes melitus, sirosis hepatis, infeksi v1rus

PENGELOLAAN Prinsipnya hanyalah simtomatik menggantikan fungsi

REI.,IMIIIOI.OGI

OAINS digunakan bila ada gejala muskuloskletal, hidroksi klorokuin digunakan untuk atralgia, mialgia, hipergammaglobulin. Kortikosteroid sistemik 0,5 -l kghari dan imunosupresan antara lain siklofosfamid digunakan

untuk mengontrol gejala ekstraglandular misakrya difus intersisial lung diseases, glomerulonefritis, vaskulitis.

REFERENSI Arthritis and allied conditions a textbook of rheumatology. l4

"d

edition. Lippincott Williams & Wilkins. Philadelpia 200s .p.17 36-73

.

Brun JG, Madland TM, Gjesdal CB, Berlelsen LT. Sjogren syndrome in an out-patient clinic:classification of patients according to the preliminary European criteria and the proposed modified

Europian criteria.Rheumatol 2002:41 ;301 -4. Bossini N, savoldi S, Franceschini F, Mombelloni S, Baronio M, Cavazzala I, et al. Clinical and morphological features of

kidney involvement in primary Sjogren

syndrome.

kelenjar eksokrin dengan memberikan lubrikasi. Lubrikasi pada mata kering dengan tetes mata buatan membantu mengurangi gejala akibat sindrom mata kering, efek samping pemberian air mata buatan adalah pandangan kabur . Untuk mengurangi efek samping sumbatan drainage air mata

Nephrol.Dial.Transplant 200 I ;l 6 :2328 -3 6. Christoper LC, Elizabeth B, Roman GC. Treatment of myelopathy in Sjogren syndrome with a combination of prednisone and cyclophosphamide. Arch. Neurol. 2001;58:815-9. Casals MR, Tzioufas AG,Font J. Primary Sjogren syndrome: new clinical and therapeutic concepts. Ann. Rheum. Dis 2005:64:347-

pengganti air mata bisa diberi lensa kontak, tetapi sayangnya risiko infeksi sangat besar. Tetes mata yarrg mengandung steroid sebaiknya dihindarkan karena

Kassan SS, Moutsopulos HM. Clinical manifestation and early diagnosis of Sjogren syndrome. Arch Int. Med. 2004;164:1275-84

merangsang infeksi

Bila gagal dengan terapi tersebut dapat diberikan sekretagogum yaitu stimulat muskarinik reseptor. Ada 2

jenis sekretagogum yang beredar di pasaran yaitu

golonganpilokaepin dan cevimelin. Dosis pilokarpin 5 mg 4 kali sehari selam 12 minggu sedangkan cevimelin 30-15 mg diberikan 3 kali sehari Pengobatan xerostomia sangat sulit sampai saat ini

belum ada obat yang dapat untuk mengatasinya. Pada umumnya terapi hanya ditujukan pada perawatan gigi, kebersihan mulut, merangsang kelenjar liur, memberi sintetik air liur. Sintetik yang ada di pasaran yaitu oral balanceT,

karena tidak bertahan lama sangat baik kalau diberikan malam hari. Cara lain untuk mengurangi xerostamia adalah merangsang sekresi kelenjar liur dengan memberikan gula. Nasihat lainnya adalah hindari makanan kering, merokok, obat-obat kolinergik.

54

Kovacs L, Paprika D, Takaes R, Kardos A,Tamas T, Lengyel C, et a1. Cardiovascular autonomic dysfunction in primary Sjorgren Syndrome.

Moutsopulos HM, Tzioufas AG. Sjogren syndrome. In RheumatologyKlippel JH, Dieppe K PA,eds. 1't Edition .Hongkong: Mosby Year Book Europe Limited; Hongkong. t994.p. 6.27.7.1-12 Moore PM, Richardson B. Neurology of the vasculitides and connective tissue diseases. J Neurol.Neorosurg. Psychia:

try.I998:65;10 -22 Papiris SA, Maniati M, Constantopoulos SH, Roussos C, Moutsopulos

HM, Skopouli FN. Lung involment in primary Sjogren Syndrome is mainly related to the small airway disease. Ann.Rheum.Dis. 1999 :58;61-4. Price EJ, Venables PJW

Dry eyes and mouth syndrome- a subgroup

of patients presenting with sicca symptoms. 2002:41: 416-25.

Rheumatol.

392 ARTRITIS REUMATOID JUVENIL (ARTRITIS IDIOPATIK JUVENIU ARTRITIS KRONIS JUVENIL) Yuliasih

PENDAHULUAN

KLASIFIKASI

Arthritis rematoid juvenile (ARJ) merupakan penyakit

Ada 2 kriteria klasifikasi yaitu klasifrkasi yang dipakai AS dan klasifikasi menurut EULAR, Klasifikasi yang dipakai di AS ditetapkan tahun 1973 dantelahdirevisi tahun 1977, sedangkan kriteria baru oleh EULAR ditetapkan pada tahun 1 995 . Perbedaan kedua kriteria ini dapat dilihat pada Tabel 1.

artritis kronis pada anak-anak umur di bawah 16 tahun. Penyakit ini ditandai dengan keradangan pada sinovium dan pada tipe tertentu disertai gejala sistemik. Sarjana Cortil pertama kali melaporkan 4 kasus artritis pada anakanak umur 12 tahun, selanjubrya George Frederik Still tahun 1896 melakukan penelitian terhadap 19 kasus artritis pada anak dan membagiARJ ini dalam subtipe. ARJ dikenal juga sebagai Stillb disease. Ada beberapa terminologi untuk mengelompokkan artritis ini. Istilah ARJ lebih banyak digunakan di Amerika Serikat (AS) yaitu istilah yang digunakan untuk menyebut artritis pada anak-anak umur di bawah 16 tahun yang tidak diketahui penyebabnya. Di AS lebih sering digunakan istllah r emat o id karera pada umumnya anak-anak tersebut mempunyai orang tua atau keluarga yang menderita artritis rematoid dengan faktor rematoid positif. Istilah artritis kronikjuvenil lebih banyak digunakan di Inggris (Eropa). Adanya kerancuan dalam hal pengunaan istilah ini, maka

timbul kesepakatan pada pertemuan EULAR (European League Agaiust Rhematism) untuk mengunakan istilah yang seragam. Istilah yang disepakati oleh EULAR adalah artritis idiopatikjuvenil (AIJ) yang dibagi dalam 7 subtipe. ARI sering memberikan dampak buruk pada anak-anak

berupa kecacatan atau gangguan psikososial. Permasalahan yang sering mereka hadapi antara lain ketergantungan, keterlambatan proses belajar, permasalahan dalam keluarga, depresi, atau kesulitan

ARJ (AS} Umur saat onset Lama sakit Tanda artritis

Subtipe setelah 6 bulan

> 6 bulan Bengkak, efusi, nyeri tekan ROM terbatas, hangat pada perabaan Pausiartikular < 4 Poliartikular > 5 Artritis sistemik

(EULAR

)

<16 tahun > 3 bulan

Pausiartrikular < 4 Poliartikular > 5 lgM RF + lgM RF Artritis Sistemik Artritis psoriatik Entesitis Lain-lain

MenurutkriteriaARJyang dipakai diAS, adritis ini dibagi dalam 3 subtipe berdasarkan gejala penyakit yang berlangsung minimal terjadi selama 6 bulan . Sistemik: ditandai dengan demam tinggi yang mendadak

disertai bercak kemerahan dan manifestasi

.

mencari pekerjaan. Untuk itu ARI memerlukan penanganan

yang serlus.

<16 tahun

Artritis Kronik Juvenile

. 2519

ekstraartrikular lainnya.

Pausiartrikular ditandai dengan artritis yang mengenai sendi < 4

Poliartrikular ditandai dengan nyeri sendi >

5

2s20

REUMAIIOI.OGI

Penyakit

Kriteria

Ekskiusi

Diskripsi

Artritis sistemik

Demam setiap hari Minimal selama 2 minggu Artritis

Menyingkirkan infeksi keganasan

Umur saat artritis. Pola artritis pada 6 bulan pertama: oligoartritis/ poliartritis/ tanpa artritis Pola artritis setelah 6 bulan oli goartritis,/pol iartritis /ta npa artritis Faktor rematoid positif kadar CRP meningkat

Riwayat keluarga + psoriatik, spondilitis ankilosing (HLA 827). Faktor rematoid + laki-laki HLA B27+, munculnya a(ritis setelah 8 tahun menderita artritis sistemik

Umur saat artritis Pola artritis 6 bulan Hanya sendi besar Hanya sendi kecil Terutama ekstremitas bawah Artritis simetris Uveitis anterior Tes ANA positif HLA klas 1/ ll faktor predeposisi

Disertai satu atau lebih dari berikut tnt

Oligoartritis

:

Bercak kemerahan yang tidak menetap Limfadenopati, Serositis, hepatosplenomegali

Artritis 1-4 sendi pada 6 bulan awal dibagi dalam 2 kelompok. Persisten: menyerang tidak lebih dari 4 sendi. Eksten: menyerang >4 sendi setelah 6 bulan pertama.

> 4 sendi pada 6

Poliartritis RF negatif

artritis

Poliartritis RF positif

artritis

artritis psoriatik

artritis dan psoriasis dan minimal

bulan

RF

positif artritis sistemik

pertama RF negatif

>4

Umur saat artritis

Artritis simetris Tes ANA positif

sendi pada

6

bulan

RF negatif arthritis sistemik

pertama RF positif 2

RF positif artritis sistemik

gejala daktilitis, nail pitting onikolisis, dengan riwayat keluarg6 + psoriasis

Uveitis akut /kronis umur saat artritis artritis simetris tes ANA positif imunogenetik umur saat artritis/ psoriatik pola artritis 6 bulan pertama hanya sendi besar terutama ekstremitas bawah sendi yang terserang khas, dan simetris bentuk artritis oligo/poliartritis tes ANA positif uveitis anterior kronis /akut umur saat terjadinya arthritis/ entesitis pola artritis 6 bulan pertama hanya sendi besar terutama ekstremitas bawah sendi yg terserang khas, dan simetris bentuk artritis : oligo/poliartritis tes ANA positif uveitis anterior kronis :

Entesitis terkail artritis

Artritis dan entesitis artritis

atau

Riwayat keluarga + psoriasis

entesitis dengan gejala minimal 2 nyeri Sl/ inflamasi spinal positif HLA B27 riwayat keluarga positif

/akut

EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI ARJ merupakan artritis yang lebih sering dijumpai pada

anak-anak, insidennya dilaporkan hanya sekitar 1% pertahunnya dengan perjalanan penyakit ARJ bervariasi, 17% berkembang menjadi artritis kronik, 20Yo detgan gangguan mata. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa

pasien ARJ yang berlangsung lebih

7 tahut,

ARJ lebih sering menyerang anak-anak yang lebih dewasa, khususnya pada kelompok oligo-artrikular, dengan RF positif. Etiologi penyakit ini bblum banyak diketahui, diduga terjadi karena respons yang abnormal terhadap infeksi atau faktor lain yang ada di lingkungan. Peran imunogenetik diduga sangat kuat mempengaruhi

60%o

mengalami kecacatan. Prevalensi ARJ dilaporkan sekitar

PATOGENESIS

-2l100.000 populasi, di Rochester sekitar I 1/l00.000itahun dan Minnesota 35i I00.000/tahun. ARI banyakmenyerang

ARJ merupakan penyakit autoimun multisistem, yang

1

anak-anak dengan tingkat umur terbanyak sekitar 4-5

terdiri dari beberapa kelompok penyakit dengan perbedaan

tahun. Perempuan lebih banyak dengan perbandingan 3: I . Faktor suku diduga kuat sangat terkait pada ARJ. Suku Afrika dibanding sukuAmerika dan Kaukasia lebih sering terkena di Amerika. Di AS Schwartz melaporkan bahwa

klinik dan derajat penyakit. Sampai sekarang patogenesisnya belum banyak diketahui. ARJ merupakan

penyakit artritis kronis heterogen yang umumnya menyerang perempuan ditandai dengan artritis kronik yainr

ARTRITIS REUMATOIDJUVENIL (ARTRITIS IDIOPATIKJI,'VENIUARTRITIS KRONISJI,'VENIL)

ditemukannya tatda keradangan pada sinovium. Tanda adanya respons imun yaitu ditemukan autoantibodi pada pasien ARJ. Adapun autoantibodi tersebut antara lain antibodi ANA, faktor rematoid dan antibodi heat shock

2521

sedangkan CXCR4 dan CCR2 bertanggung jawab terhadap kedua tipe sel T. Adanya perbedaan ekspresi inilah yang

menentukan perbedaan patogenesis. Dari penelitian

protein. Peran HLA juga sangat besar dalam patogenesis

Thompson SD dkk, melaporkanbahwapadaARl CCR4 sel T memegang peran patogenesis ARI dan yang menentukan

ARJ.

subtipenya.

Secara histopatologi sinovium ARJ didapatkan sebukan sel radang kronik yang didominasi sel mononuklir,

hipertrofi vilus, peningkatan jumlah fibroblast, dan makrofag. Mediator inflamasi juga ditemukan pada sinovium. Mediator-mediator tersebtt antara lain lL-2, IL-6, TNF- o, GM-CSF. Jelaslah bahwa sangat besar peran

sel T dalam menimbulkan keradangan di sinovium. Bagaimana sel T menjadi autoreaktif ituyang masihmenjadi pertanyaan. Dari berbagai laporan penelitian pencetus sel T autoreaktif tak lepas dari peran HLA, hal ini dibuktikan

dengan dilakukan penghambatan gen TCR (TCRVa14+)

yang bertanggung jawab klonasi sel T. HLA yang bertanggung jawab pada manifestasi klinik antara lain HLADRB I *0801, DQAI *0401, dan DQB I'00402. Sitokin juga memegang peran dalam patogenesis ARJ. Berdasarkan sitokin yang dikeluarkan, ada2 tipe sel T. Sel T tipe I lebih banyak melepaskan sitokin IL-2, IFNy dan TNF B, sedangkan pada tipe 2 sitokin yang dilepaskan IL-4,IL-5,IL-6, IL-10, dan IL- 13. Secara klinis sitokin ini mempengaruhi keseimbangan respons selular dan humoral. Pada artritis rematoid dewasa diketahui bahwa sel T tipe I yang lebih dominan, temyata demikianjugayang ditemukan padaARI, kecuali padapausiartrikular, sel Ttipe 2 ymrg dominan. Kemokin diduga ikut berperan dalam patogenesis ARJ. Kemokin merupakan faktor penentu migrasi subtipe sel T.

Beberapa reseptor kemokin bertangung jawab terhadap klonasi sel T, yaitu reseptor CCR3, CCR4, CCRS yang bertanggung jawab proliferasi sel T lipe 2, CXCR3 dan

CCR5 biasanya dominan pada ekspresi sel T tipe

l,

Acute diseases

lmmune/inflammatory response

Ghronic diseases

Aktivasi komplemen banyak dilaporkan

pada penelitian-penelitian tentang patogenesis ARJ. Dilaporkan bahwa aktivasi komplemen yang membentukterminal attack complex yang terbanyak dijumpai pada sinovium pasien ARJ, kulit, dan limpa. Aktivasi komplemen pada ARJ dapat melalui 2 jalur baik klasik maupun alternatif. Dari beberapa laporan pada ARJ aktivasi komplemen terbanyak melalui j alur alternatif. Infeksi virus dan bakteri sebagai faktor lingkungan yang berperanan dalam patogenesis ARJ. Infeksi dikatakan dapat sebagai bahan pencetus terjadinya autoreaksi sel T. Hal ini ditunjukkan pada penelitian tentang peran HSP 60 dalam pengontrolan aktivasi sel T yang menimbulkan artritis.

GAMBARAN KLINIK

Artritis Sistemik Penyakit ini merupakan kelompokARJ yang sangat serius dibanding dengan kelompok lainnya, lebih sering dijumpai pada kelompok umur di bawah 4 tahun. Gej alanya sangat spesifik. ditandai dengan anak mendadak sakit berat yang diawali dengan panas tinggi mendadak, dan mencapai puncaknya pada sore hari dan selanjutnya kembali normal

keesokan harinya. Saat panas kadang disertai bercak kemerahan seperti warna daging ikan salmon. Bercak ini

dapat dijumpai pada ekstremitas dan badan. Sifat bercaknya biasanya berkelompclk, bentuknya makula atau pruritus, biasanya bercak menghilang bila panas turun.

Pada pemeriksaan patologi anatomi bercak hanya didapatkan edema dan inflitrasi periartrikuler. Gejala lainnya berupa kelelahan, iritatif, nyeri otot dan

hepatosplenomegali. Beberapa pasien didapatkan serositis atau perikarditis. Pada % kasus ditemukan limpadenopati yang secara patologi anatomi hanya didapatkan gambaran hiperplasi. Artritis mungkin dapat terus berlangsung beberapa minggu atau bulan, sehingga diagnosis sangat sulit. Sendi yang sering terkena adalah lutut dan pergelangan kaki. Temporomandibula dan jari-

jari tangan dapat terkena lnhibitory loop

lmmune/inflammatory response

Gambar 1. Peran infeksi dalam mencetuskan penyakit autoimun

telapi jarang. Gambaran laboratoriknya menunjukkan lekositosis dengan jumlah leukosit di atas 20.000mm3, anemia non hemolitik yang berat. LED yang meningkat, tes ANA negatif dan kadar feritin yang tinggi, jumlah trombosit meningkat, seringkali tipe ini dengan komphkasi KID. Gejala ini biasanya membaik setelah satu tahun, sedangkan 50% pasienjatuh ke kronik artritis dan 25Yo dengan gambaran erosi pada sendinya,

2522

REUMANOI.OGI

komplikasi lainya yaitu karditis, hepatitis, anemia, infeksi dan sepsis. Diagnosis bandingnya leukemia atau sepsis.

Gejala lainnya lemah, demam, penurunan berat badan,

dan anemia. Uveitis sangat jarang pada kelompok ini, arlritisnya bersifat simetris, baik pada sendi kecil maupun besar, tetapi dapat pula diawali dengan artritis yang hanya pada beberapa sendi dan baru beberapa bulan kemudian terjadi poliartritis, sendi servikal C1-2 seringkali terkena dan seringkali menimbulkan subluksasi. Pada kelompok RF positif biasanya pada usia yang

lebih muda, ditandai erosi sendi yang hebat, dengan manife stasi ekstra-arlrikul ar j arang, 2 5o/o didapatkan tes ANA positif, pada RF negatif hanya terdapat 5oh.

O

Ii

goa rtriti s/Pa us i -Artri ku la r

Insidennya

3

5% dari ARJ, ditandai dengan arlritisnya pada

1-4 sendi, tanpa gejala sistemik. Sebanyak 40-10% mempunyai tes ANA positif, lebih sering pada anak perempuan dengan umur l-3 tahun dan sering dengan komplikasi uveitis kronik, unilateral atau bilateral. Dari beberapa kasus merupakan kelompok artritis psoriatik atau

ankilosing spondilitis. Sendi yang sering terserang adalah lutut, pergelangan kaki, siku, dan jari-jari tangan. Pada lakilaki lebih sering terkait spondilitis ankilosing dengan HLA 827 positif. Dikelornpokkan 2 yaitu persisten dan eksten. Kelompok persisten ditandai dengan arlritis yang tidak bertambah meskipun telah lebih 6 bulan, sedangkan kelompok eksten

artritisnya semakin meluas setelah 6 bulan. Angka mortalitasnya rendah dengan komplikasi yang tersering kerusakan artikular maupun periartrikular dan uveitis kronis.

Entesitis yang Terkait dengan Artritis Hanya 15-20% dari ARJ yang biasa menyerang anak umur 8 tahun dengan HLA,B21 positif. Aflritisnya asimetrik, menyerang sendi besar. Keluhan yang sering dijumpai adalah nyeri pinggang khususnya pagi hari, kesulitan duduk maupun berdiri lama, jarang sekali tidur nyenyak, pada pemeriksaan fisik didapatkan entesitis pada patela atau kalkaneus gambaran sendi sakroilika pada awal penyakit normal. Artritis psoariatik hanya terjadi sekitar 40-50%.

Jh

Poliartritis Insidennya sekitar 30-40% dari ARJ, 15o/o menyerang perempuan, gambaran artritisnya mirip artritis rematoid

Pemeriksaan Laboratori um

dewasa, lebih banyak menyerang perempuan, umur sekitar 12-16 tahun, biasanya disertai gejala sistemik yang ringan. RF bisa positif maupun negatif.

Pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan darah lengkap, urin lengkap, faal hati, faal ginjal, tes ANA, dan faktor rematoid. Pada ARJ didapatkan kadar CRP

2523

ARTRITIS REUMATOID JI.'VENIL (ARTRITIS IDIOPATIK JI.'VENIUARTRITIS KRONIS JT''VENIL)

meningkat khususnya pada kelompok artritis sistemik. Selain peningkatan CRP terdapat pula peningkatan LED, C3, C4 amiloid serum, feritin, kadar trombosit, dan leukosit.

Protein-protein ini selain disintesis hati, juga disintesis makrofag dan sel endotel pada daerah inflamasi. CRP yang disintesis di hati dirangsang pembentukannya oleh IL-6,

karena CRP merupakan komponen komplemen. Peningkatan CRP ini merefleksikan aktivasi komplemen

. . . . ' . .. .

Faktorreumatoidpositif Kaku sendi yang persisten Tenosinovitis

Nodul subkutan TesANA+ Artritis pada jaritangandan kaki pada awal penyakit Erosi yang progresif Pausiarlrikular tipe eksten

yang meningkat. CHso, C3, C4 tidak berkorelasi dengan aktivitas penyakit karena adanya peningkatan komponen.

PENGELOLAAN

Pemeriksaan Radiologi

Tujuan pengobatan ARJ ini tidak hanya sekedar mengatasi nyeri. Banyak hal yang harus diperhatikan selain mengatasi

Tidak semua sendi kelompokARJ menunjukkan gambaran erosi, biasanya hanya didapatkan pembengkakan j aringan lunak, sedangkan erosi sendi hanya didapatkan pada kelompok poliarlrikular.

nyeri, yaitu mencegah erosi lebih lanjut, mengurangi kerusakan sendi yang pernanen, dan mencegah kecacatan sendi permanen. Modalitas terapi yang digunakan adalah farmakologi maupun non farmakologi. Selain obat-obatan,

nutrisi juga tak kalah penting. Pada pasien ARJ perhrmbuhannya sangat terganggu baik karena konsumsi zat giziyang kurang atau menurunnya nafsu makan akibat sakit atau efek samping obat

Mengontrol Nyeri Pengelolaan nyeri kronik pada anak tidak mudah. Masalahnya sangat kompleks, karena pada umumnya anakanak belum dapat mengutarakan nyeri. Obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) merupakan anti nyeri padaumumnya yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak. Selain

untuk mengurangi nyeri OAINS juga dapat digunakan

Diagnosis Banding

. . . . .

Infeksi: bakteri, virus, tuberkulosis Post-infeksistreptokokus Trauma

Kelainanhematologi: leukemia,hemofilia Penyakitkolagen

PROGNOSIS Perj alanan penyakit ARJ berkembang dengan variasi yang

sangat banyak tergantung umur saat onset penyakit serta

tipe dari ARJ pada tipe sistemik artritis dengan demam

tinggi, membutuhkan steroid dosis tinggi,

dan

trombositosis menunjukkan prognosis yang jelek, hanya 25%o tipe poliartrikular remisi dalam 5 tahun dan2l3 pasien ARJ mengalami erosi sendi. Beberapa faktor merupakan indikator prognosis buruk: . Tipe sistemik yang aktif pada 6 bulan pertama

. .

Poliartritis Perempuan

mengontrol kaku sendi. Efek analgesik sangat cepat. Efek samping yang sering dijumpai antara lain nyeri perut, anoreksia, gangguan fungsi hati, ginjal, dan gastrointestinal. Nefritis interstitial merupakan efek samping pada ginjal yang sering dijumpai, sehingga dianjurkan pemeriksaan urinalisis setiap 3 bulan. Adanya peningkatan SGOT dan SGPT maka dianjurkan evaluasi hati dilakukan secara teratur setiap 3-6 bulan sekali, danpara orang tua harus tahu danwaspadaterhadap efek-efek samping ini. Macam OAINS yang sering digunakan pada anak-anak: . Aspirin 75 -90 mgkglhari. Dosis yang lebih tinggi dapat ditoleransi pasien yang lebih dewasa. Pemberiannya 4 kali sehari setelah makan. Peningkatan kadar SGOT, SGPT dapat terjadi pada beberapa anak.

. . . .

Tolmetin

2

5 mglkglhai,dibagi dalam 4 dosis.

Naproksen 15 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Ibuprofen 35 mglkglhari dibagi dalam 4 dosis. Diklofenak 2-3 mglkghaiterbagi dalam2 dosis.

DMARD (D is e a s e M o diJiy ing Anlith e umatic

D r ugs).

Digunakan untuk menekan inflamasi dan erosi yang lebih lanjut . Hidroksiklorokuin: 4-6 mglkglhari, maksimal 300 mgi hari. Mempunyai efek imrxromodulator dan menghambat enzim kolagenase. Efek samping yang sering dilaporkan

2524

REI,JMIINOI.OGI

adalah toksik pada retina sehingga dianjurkan evaluasi retina tiap 6 bulan. Efek samping lainnya urtikaria, iritasi

saluran cerna dan supresi sumsum tulang. Angka

. . .

kesembuhan berkisar antara I S -7 5%. Preparat emas oral maupun intra muskular dosis 5 mg/ minggu. Dosis dapat ditingkatkan 0,75- 1 mg ,4
anak untuk melakukan peregangan otot yang dapat berguna memperbaiki fungsi sendi. Peregangan pasif sangat diperlukan, tetapi harus dikerjakan dengan pengawasan. Latihan aktif, dengan atau tanpa beban sangat membantu menambah massa otot. Fisioterapi juga berguna untuk mempertahankan fungsi gerak sendi serta mempertahankan pertumbuhan normal.

D-penisilamin: 10 mglkglhar| tidak banyak laporan tentang efektivitas penggunaan obat ini.

Obar-obatsirotoksik:

- Azatioprin: Tidak -

-

banyak laporan tentang

pengunaannya Sulfasalazin dilaporkan efektif untuk mengontrol ARJ. Dosis yang dianjurkan 50 mglkglhari sampai 2,5 grlkglhari. Tidak dianjurkan untuk anak-anak yang sensitif terhadap sulfasalazin. Metotreksat (MTX): Dosis I 0 mg/m2 luas permukaan

tubuh/minggu. MTX aman digunakan jangka panjang. Saat ini MTX lebih banyak dipilih oleh para rematologis oleh karena efek sampin gnyayalg lebih ringan dan memberikan respons yang sangat tinggi. Efek samping MTX yang tersering yaitl oral u lc er, gangguan gastrointestinal, supresi sumsum

tulang, gangguan fungsi hati. Dilaporkan kejadiannya sangat tinggi, hal ini dapat dikurangi dengan cara mengurangi konsumsi alkohol dan mengurangi obat-obat hepatotoksik.

- Leflunamid: tidak banyak

laporan tentang pengggunaan leflunamid pada ARJ meskipun banyak laporan tentang efektivitas obat ini pada

-

artritis rematoid dewasa.

Etanercept; belum banyak anjuran meskipun

Pengelolaan Nutrisi Seringkali didapatkan gangguan pertumbuhan, baik lokal karena kerusakan pusat pertumbuhan tulang maupun umun karena asupan nutrisi yang kurang dan menurunnya produksi insulin like growth factor. Anak-anak dengan inflamasi kronis mempunyai risiko untuk terjadi malnuhrsi oleh karena menahan sakit yang menyebabkan nafsu makan

menurun. Dengan demikian jumlah kalori yang didapat berkurang. Selain faktor tersebut, efek samping obat-obatan

juga mempengaruhi penurunan nafsu makan. Obat-obatan yang dapat menurunkan nafsu makan antara lain OAINS, klorokuin. Penyebab lain penurunan nafsu makan adalah adanya keradangan pada temporo mandibula. Obesitas mungkin drjumpai pada beberapa kasus, hal ini disebabkan karena kurangnya aktivitas, intake makanan yang berlebihar, atau akibat efek samping kortikosteroid. Penanganan diet pada anak sangatlah kompleks. Vitamin,

zat besi, dan kalsium sangat dibutuhkan untuk

pertumbuhan anak, dan sebaiknya ditambahkan pada diet. Oleh karena pemakaian steroid jangka panjang, maka diperlukan vitamin D. Dosis untuk anak umur 1-10 tahun adalah vitamin D 400IU dan kalsium 400 mg sedangkan kalsium 800 mg digunakan pada anak lebih dari 10 tahun.

beberapa penelitian menunjukkan hasil yang baik.

InfliximablaporanpenggunaaninfliximabpadaARl juga masih belum banyak.

Glukokortikoid Baik untuk mengontrol gejala sistemik artritis, perikarditis,dan demam, Dosis yang dipakai 0,5-2mglkgl hari. Dosis tinggi hanya digunakan pada kasus-kasus yang berat. Injeksi intra-artrikular bermanfaat artritis yang tidak terlalu banyak menyerang sendi. Pada kasus dengan uveitis anterior biasanya diberikan topikal. Bila berat dapat diberikan per oral dengan dosis 30 mglkg/nari selama 3 hari berturut-turut. Pada kasus tertentu membutuhkan lmunosupresan.

REFERENSI Aggraval A, Bhadwaj A, Alam S,Misra R. Evidence for activation of the alternate complement pathway in patients with juvenile rheumatoid arthritis. Rheum ato2003 ;3 9 : I 89 -92. Carler BD, Kronenenberger WG, Edwards JF, Marshal GS, Schikler KN, Causey DL, Psychological symptoms in chronic fatigue and juvenile rheumatoid arthritis Pediatric. 1999; 103:97 5-9. Gottlieb BS, Keenan GF, Lu Theresa,Illowite NT. Discontinuation of methotrexate in juvenilew rheumatoid arthritis. Pediatrtc.1997 ;100;994-7 Giannini EH, Ruperto N, Ravelli A, Lovell DJ, Felson DlMartini A. Prelimanary definition of improvement in juvenile arthritis. Haskes PJ, Friedland O, Uziel Y. New treatments for juvenile .

idiopathic arthritis. IMAI 2002;4:39-43,

Fisioterapi Banyak manfaat terapi dengan fisioterapi. Kegunaannya antara lain untuk mengontrol nyeri, dengan cara pemasangan bidai, terapi panas dingin, hidroterapi, dan TENS. Hidroterapi pemanasan dengan air padasuhu 960F sangat membantu mengurangi nyeri. Selain dapat membantu mengurangi nyeri, fisioterapi berguna bagi anak-

Ilowite NT Current treatment of juvenile rheumatoid arthritis. Pediatric.2002

;1

09- 1 5.

I, Jiang K, Frank MB, Szodoray P, AIex P,et al. Novel approaches to gene expression analysis of active polyarticular juvenile rheumatoid arthritis. Arthritis Res Ther.

Jarvis JN, Dozmorov

2004;6: R15-R32 Kietz DA, Pepmueller PH, Moore

in polyarticuler

couse

TL

Therapeutic use of etanercept

juvenile id.iopathic arthritis over atwo

year period. Ann. Rheum.Dis.2002;61

:

171-3.

2525

ARTRITIS REUMATOIDJUVENIL (ARTRITIS IDIOPATIKJI.IVENIUARTRITIS KRONISJI,IVENIL)

Malleson PN, Beauchamp RD. Rheumato: diagnosing musculos keletal pain in children . CMAJ. 2001;24:183-188 Murray K, Thomson SD, Glass DN. Pathogenesis of juvenile chronic arthritis: genetic and environmental factors

Thomson SD, Grom AA, Luyrink LK, Passo M, Glass DN,Enmund C. Dominant T-cel1-receptor A chain variable region V al4+ clones in juvenile rheumatoid arlhritis. Proc Nat1. Acad.Sci USA

Arch.Dis.Child.1997 ; T'7 :530-4 Meeder G, Van eden W, Rijkers GT, Prakken BJ, Kuis W Voorhorst Ogink MM,et al. Juvenile chronic artrhitis: T cell reactivity to human HSP60 in patients with a favorable course of arthritis. J Clin. Invest 1995;95:934-40. Nepom B. The immunogenetic of juvenile rheumatoid arthritis . Rheum Dis.Clin.North. Am.l99l.17 :825-42. Patience W. Juvenile chronic arthritis In : Rheumatology Klippel JH, Dieppe K PA. 1$ Edition .Hongkong: Mosby -Year Book

Vi11la J, Lee S, Giannini EH, Braham TB, Passo

Europe Limited; 1994.p.3. 17.1-10

Rose CD and Singsen BH Pathology and pathogenesis In : Rheumatology Klippel JH, Dieppe K PA,eds. 1't edition .Hongkong: Mosby-Year Book Europe Limited; I 994.p.3 1 9. I -6 Seppanen OK,Savolainen A.Changes in the incidence of juvenile rheumatoid arthritis in Finland. Rheumato2001;40:928-32. Thomson SD, Luyrink LK, Graham BT, Soras M, Ryan M, Passo MH,et al. Chemokin reseptor CCR4 on CD+4 T cells in juvenile rheumatoid arthritis synovial fluid defrnes a subset of cells with increased IL-4:IFN-g mRNA ratios. The Journal Of Immunology 2001 ;l 66 : 6899 -6906

1993; 90;1 1 104-8. MH, Filipovich A,et al. Natural ki11er cell dysfunction is a distinguishing feature of systemic onset juvenile rheumatoid arthritis and macrophage activation syndrome Arthritis Res Ther. 2005;7:R30-R37 Smolewska E, Brozik H, Smolewski P, Zielinska MB, Darzynkiewicz Z,Sranczyk J. Apoptosis of pheripheral blood lymphocytes in patients with juvenile idiopathic arthritis Ann.Rheum.Dis 2003;62:7 6l-3. Victoria M, Morin G, graham TB, Blebea JS, Dardzinski BJ, Laor I et al.Knee in early juvenile rheumatoid arthritis: MR imaging findings.Radio2 00 | ;220 69 6 -'7 0 6. Weyand CM, Gorony JJ. Pathogenesis of rheumatoid arthritis. Med.Clin.North . Am 1997 ;81 :29-55 :

Warren RW,Perez MD, Curry MR, Wilking AP, Myones BL. Juvenile idiopathic arthritis (juvenile rheumatoid arthritis). In: Arthritis and allied conditions a textbook of rheumatology.

l4 "d edition.Philladelphia: Lippincott Williams &

Wilkins;2 005.p .127 0-323 Wilkinson N, Jackson G, Medwin JG. Biologic therapies for juvenile arthritis. Arch Dis.Child. 2003;88:186-91. .

393 SPONDILITIS ANKILOSA Jeffrey A.Ongkowijaya

PENDAHULUAN

hitam. Populasi spondilitis ankilosa pada individu dengan HLA-827 positif mencapai 10-20% sedangkan jumlah pasien spondilitis ankilosa yang menekspresikan HLA827 mencapaiS0-95%. Perjalanan penyakit sangat bervariasi dari ringan tanpa gangguan status fungsional sampai berat dengan berbagai disabilitas. Keterlibatan vertebra merupakan determinan utama yang mempengaruhi stafus fungsional

Spondilitis ankilosa merupakan prototipe dari spondiloatropati seroneg attf , y an g terdiri atas artritis psoriatik, artritis reaktif dan artritis enteropati . Berasal dari bahasa Yunani ankylos yang berarti bengkok dan spondylos yang berarti vertebra. Spondilitis ankilosa merupakan inflamasi kronik yang melibatkan sendi-sendi aksial dan perifer, entesitis dan bisa mempunyai manifestasi ekstraartikular.

pasien.

ETIOLOGI Etiologi dan spondilitis ankilosa belum diketahui. Penelitian menunjukkan hubungan kuat dengan HLA-827 yang berarti ada faktor imun yang berperan, dan diperlukan peran dari infeksi bakteri gram negatifuntuk mencetuskan penyakit. Hasil riset yang ada menggambarkan peran

Klebsiela pneumonia dalam patofisiologi spondilitis ankilosa. Klebsiela mempunyai 6 asam amino yang homolog dengan HLA-821 yang mengesankan adanya molecular mimicry. Ekspresi HLA-827 menyebabkan peningkatan respon imunologik atau setidaknya

Gambar 1. Famili Spondiloartropati seronegatif

menyebabkan perubahan toleransi imun terhadap bakteri gram negatif. Banyakbukti yang mendukung peran sitokin proinflamasi seperti TNFa dan IL-1 serta adanya infiltrasi sel-sel inflamasi pada jaringan patologis pasien spondilitis ankilosa.

Prevalensi spondiloartropati mencapai l-2o/o dari populasi umum dan risiko akan meningkat menjadi 20 kali lipat pada individu dengan HLA-827 positif. Spondilitis ankilosa terutama mengenai laki-taki, dewasa muda dengan

HLA-827 sendiri mempunyai 45 subtipe dimana

awitan pada umur kurang dari 40 tahun dan puncaknya pada 20-30 tahun. Rasio pada laki-laki dibanding wanita

sebagian berhubungan dengan spondilis ankilosa seperti HLA-82705, -82702 dan -82704 sedangkan-B2706 dan -82709 malah tidak berhubungan. Populasi di Indonesia

mencapi 3 : I . Di Amerika Serikat, prevalensi mencap ai 1,4%o

dengan variasi pada berbagai kelompok etnis; hal ini menggambarkan perbedaan ekspresi HLA-B27 pada kelompok etnis tersebut. Ekspresi HLA-B27 lebih banyak ditemukan pada populasi kulit putih dibandingkan kulit

umumnya mempunyai HLA-82706. HLA-B60 dan HLA-DR1 dilaporkan juga mempunyai keterkaitan dengan penyakit ini.

2s26

2527

SPONDILITISANKILOSA

PATOLOGI Gambaran patologis spondilitis ankilosa yang unik pertama kali dideskripsikan oleh Ball ( 1971) dan disempumakan oleh Bl.waters (1984). Lokasi patologis primer adalah entesis yaitu insersi dari ligament, kapsul dan tendon ke tulang. Perubahan entesopati yang terjadi adalah fibrosis dan osifikasi jaringan. Pada vertebra, entesopati pada situs

insersi annulus fibrosus menyebabkan squaring dari korpus vertebra, destruksi vertebral end plate, danformasi sindesmofit. Osihkasi pada regio diskus, epifiseal dan sendi sakroiliaka sefia ekstraspinal diinisiasi oleh lesi pada insersi ligament.

menyebabkan resorpsi tulang yang diikuti perubahan reparasi pada korpus vertebra akan berperan dalam terjadinya squaring. Jaringan granulasi akan mengalami metaplasia kartilago yang diikuti dengan kalsifikasi pada tepi vertebra dan sisi luar annulus; dan menyebabkan

gambaran sindesmofit pada foto polos. Kertelibatan menyeluruh seluruh vertebra memberikan gambaran bamboo spine.

Lesi ekstraspinal terjadi di daerah artikular dan nonartikular. Lesi artikular meliputi sendi sinkondrotik seperli simfisis pubis dan sendi manubriostemal, sendi

synovial seperti sendi panggul dan lutut dan entesis. Inflamasi pada situs nonartikular meliputi uvea, katup jantung, fibrosis apeks paru.

GAMBARAN KLINIS Spondilitis ankilosa dapat bermanifestasi pada skeletal maupun ekstraskeletal. Presentasi klasik terjadi pada dewasa muda yang mengeluh nyeri punggung bawah dan

kekakuan yang sering memburuk pada pagi hari atau setelah istirahat lama. Nyeri akan menghilang dengan Gambar 2. Squaring korpus vertebra. Tanda panah adalah sklerosis tulang pada situs entesopati

aktivitas fisik dan biasanya terpusat di verlebra lumbosacral meski bisajuga terasa pada sendi panggul dan pantat dan kadang-kadang menjalar ke paha. Kekakuan biasanya berlangsung lebih dari 30 menit.

I 't i I

;J Jl

.t

r ....:t .1.1r

.

'1.1

I

Gambar

4.

Distr bus

nyeri pada pasien

spondilitis ankilosa

Gambar 3. Sindesmofit Pasien bisa mengeluh nyeri dan kaku pada vertebra Pe{alanan penyakit trpikal dimulai dari sendi sakroiliaka.

Sakroilitrs ditandai dengan sinovitis dan formasi panus dan jaringan granulasi. Semua proses tersebut akan

torakalis, leher dan bahu. Keterlibatan kostovertebral menyebabkan gangguan ekspansi dada. Sendi perifer dapat mengalami sinovitis, terutama sendi besar dan

mengerosi, mendestruksi dan mengganti rawan sendi dan fulang subkondral. Tulang pararlikular juga akan menipis akibat peningkatan aktivitas osteoblastik. Infl amasi pada sendi sakroiliaka mempunyai predileksi pada sisi iliaka, hal ini mungkin karena jaringan fibrokartilago yang lebih

proksimal seperti bahu dan panggul. Umumnya monoartikul ar atat oligoartikular asimetris. Nyeri

banyak dan shear stress yarrg lebih besar pada sisi

Manifestasi ekstraskeletal yang bisa timbul adalah

tersebut. Pada vertebra terjadi inflamasi kronik

di annulus fibrosus, khususnya pada insersi ke tepi vertebra,

pergelangan kaki bisa terjadi akibat entesopati di calca-

neus sedangkan Tendinitis Achiles cukup sering ditemukan. gejala konstitusional sepefii kelemahan, penurunan berat badan dan subfebril; gangguan mata, kardiovaskuler, paru,

neurologis dan ginjal

2528

-

Nyeri punggung bawah inflamasi pada usia muda Keluhan berlangsung sekurangnya 3 bulan

Gambaranradiologismenunjukkansakroilitis Berkurangnya mobilitas vertebra Berkaitan dengan anterior uveitis Riwayat keluarga yang menderita spondilits ankilosa, psoriasis, inflammatory bowel disease

REUTvIA*IOI.OGI

t, i:

ii

I't

Ii

tt ,: t: \| }I !i

IJ tr

li

Keterlibatan mata merupakan manifestasi ekstraskeletal yang cukup sering pada pasien spondilitis ankilosa, berupa uveitis anterior atau iridosiklitis. Umumnya unilateral dan

sering berulang dengan terjadi jaringan parut dan glaucoma sekunder.

Manifestasi kardiovaskuler berupa aortitis, regurgitasi

katup aorta, gangguan konduksi dan perikarditis. Keterlibatanparu cukup jarang dan merupakan manifestasi lanjut dari spondilitis ankilosa, berupa fibrosis lobus superior yang progresif lambat. Nefropati IgA dan amiloidosis sekunder dapat ditemui pada pasien spondilitis ankilosa.

Gam

hobe

menyebabkan gangguan ekspansi dada. Pengukuran dilakukan pada ruang antar iga V saat inspirasi dan

ekspirasi maksimal, normalnya mencapai 5 cm. Keterbatasan ini disebabkan fusi dari sendi kostovertebral. Gangguan pada vertebra servikalis biasanya merupakan

manifestasi lambat dari spondilitis ankilosa. Kekakuan menyebabkan pasien kesulitan untuk mengekstensi kepala. Beratnya deformitas ini dapat diukur dengan mengukur

jarak oksipital-dinding.

Manifestasi lain yang bisa didapatkan pada

Komplikasi neurologi yang sering timbul adalah akibat

pemeriksaan fisik pasien spondilitis ankilosa adalah artritis

fraktur, instabilitas, kompresi atau inflamasi. Fraktur sering

subluksasi sendi atlantoaksial dan atlanto oksipitalis.

perifer, biasanya asimetris dan pada sendi proksimal, yang cenderung menyebabkan kontraktur dini dan manifestasi ekstraartikular seperti uveitis, regurgitasi

Osifikasi dari ligament longitudinal posterior akan

aofia.

pada vertebra C5-C6 or C6-C7 , instabilitas mengakibatkan

menyebabkan kompresi mielopati dan stenosis spinalis.

Sindroma kauda equina jaratg terjadi tapi merupakan komplikasi serius.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium tidak mempunyai gambaran yang

PEMERIKSAAN FISIK Kelainan dini pada spondilitis ankilosa adalah nyeri pada sendi sakroiliaka dan nyeri akibat spasme otot paraspinal vertebra lumbalis. Tes SLR (straight leg-raising test) yang sering dipakai untuk mendeteksi iritasi nervus

sciatic biasanya negatif. Untuk mendeteksi adatya sakroilitis dapat dilakukan beberapa tes sepertipe/v ic rock slgr, kompresi lateral dari pelvis dan tes Gaenslen. Gangguan pada vertebra biasanya timbul seiring dengan perjalanan penyakit. Manifestasinya berupa berkurangnya kurvatura lordosis dan restriksi pergerakan pada semua bidang dari vertebra terutama lumbal. Tes Schober berguna untuk mendeteksi keterbatasan gerakan fleksi dari vertebra lumbal. Tes ini dilakukan dengan memberi tanda pada prosesus spinosus vertebra lumbal V (setinggi spina iliaka posterosuperior) lalu beri tanda lagi 10 cm diatasnya. Pasien diminta untuk membungkuk semaksimal mungkin tanpa membengkokkan kaki. Pada orang normal jarak antara kedua titik akan mencapai 15 cm. Gerakan fleksi ke lateral juga berkurang dan rotasi spinal bisa merangsang nyeri. Kelainan yang mengenai vertebra torakalis akan

khas untuk pasien spondilitis ankilosa. HLA-827 akat didapatkan pada lebih dari90Yo pasien dan akan mencapai 100% jika disertai dengan uveitis atau gangguan jantung. Laju endap darah (LED) dan C-reactive protein (CRP) akan

meningkat tapi tidak berhubungan dengan aktivitas penyakit. Bisa didapatkan anemia normokrom normositer ringan dan trombositosis ringan. Kadar IgA serum juga meningkat tapi belum diketahui hubungan dengan spondilitis ankilosa. Tes fungsi paru biasanya baru menunjukkan kelainan jika vertebra torakalis sudah terlibat dimana akan terjadi penurunan kapasitas vital paru dan peningkatan volume residual paru. Pemeriksaan radiologis diperlukan untuk mendeteksi

abnormalitas yang terjadi. Kelainan yang paling mendukung adalah ditemukannya inflamasi pada sendi sakroiliaka. Gambaranyalg tampak adalah erosi pada sisi iliaka terutama pada sepertiga bawah sendi sakroiliaka. Seiring dengan perjalanan penyakit akan terjadi pseudowidening dari sendi dan selanjutnya akan mengalami fusi. Teknik yang lebih superior adalah MRI dan CT yang bisa mendeteksi kelainan lebih dini. Keunggulan MRI adalah bisa memvisualisasi

2s29

SPONDILITISANKILOSA

Grade 0 1

2

3

4

Penilaian Normal Mencurigakan

Kriteria

Sklerosis, sedikit erosi Erosi berat, pelebaran celah sendi, sebagian ankilosis Ankilosis kom

3. 4. 5 lesi katilago dan entesis. Perubahan pada vertebra pada fase awal spondilitis adalah erosi yang dikelilingi sklerosis pada tepi kotpus

vertebra sebagai akibat inflamasi pada situs insersi annulus fibrosus di korpus vertebra (tanda Romanus). Selanjutnya periostitis di perifer korpus vertebra akan menyebabkan terbentuknya s quaring. Karakteristik yang penting adalah formasi sindesmofit akibat dari kondritis

Nyeri punggung bawah sekurangnya berlangsung 3 bulan, membaik dengan latihan dan tidak berkurang dengan istirahat Limitasi pergerakan vertebra lumbalis pada bidang frontal dan sagital Berkurangnya ekspansi dada a Sakroilitis unilateral gr 3-4 b Sakroilitis bilateral gr 2-4

Diagnosis pasti jika didapatkan kriteria 4a atau 4b disertai salah satu kriteria 1 - 3 Diagnosis probable hanya ada kriteria klinis saja atau hanya kriteria radiologis tanpa gejala klinis

DIAGNOSIS BANDING

vertebra dan osteitis subkondral yang diikuti dengan fibrosis dan osifikasi. Orientasi dari sindesmofit adalah

Beberapa penyakit yang harus dipikirkan sebagai diagnosis banding adalah spondylosis lumbalis, strain lumbal,

vefiical yang akan membedakannya dengan osteofit akibat penyakit degeneratif. Pada tahap akhir, gambaran radiologis vefiebra dikenal dengan nama bamboo spine.

penyakit lain dalam kelompok spondiloartropati seronegatif, diffuse idiopathic skeletal hyperostosis (DlSH/penyakit Forestier) dan osteitis condensan iliaka.

Pengawasan Status Penyakit Spondilitis Ankilosa Untuk mengawasi perkembangan spondilitis ankilosa, beberapa parameter yang dapat dipakai adalah Balh AS

Disease Activity Index (BASDAI), Bath AS Punctional Index (BASFI), Bath AS Patient Global Score (BAS-G), Bath AS Metrology Index (BASMI), visual analog scale (VAS) untuk menilai nyeri, pemeriksaan radiologis untuk menilai kerusakan struktural dan manifestasi ekstra artikular.

Penatalaksanaan Modalitas penatalaksanaan adalah program fisioterapi dan modifikasi gaya hidup, terapi farmakologis untuk nyeri dan kekakuan serta deteksi dan penanganatyatg tepat untuk komplikasi artikular dan ekstra artikular. Sangat penting Gambar 6.Tampak fusi dari sendi sakroiliaka bilateral dan

bamboo spine

DIAGNOSIS

Seperti penyakit lain dengan etiologi yang belum sepenuhnya jelas, diagnosis spondilitis ankilosa bergantung pada kombinasi gambaran klinis, radiologis dan hasil laboratorium. Kriteria klasifikasi untuk spondilitis ankilosa yang banyak dipakai saat ini adalah kriteria New York modifikasi 1984 (Tabel3). Meskipun demikian, keberatan utama pada kriteria ini adalah kurang

sensitifuntuk mendeteksi pasien dengan penyakit yang masih dini.

bagi pasien untuk mendapatkan edukasi tentang perjalanan penyakit dan berbagai modalitas penatalaksanaafl yar,g dianjurkan. Menghentikan merokok sangat dianjurkan pada pasien spondilitis ankilosa. Pro gram f,rsioterapi bertuj uan untuk mempertahankan postur tubuh yang tepat untuk berbagai aktivitas. Pasien

harus tidur pada kasur yang agak keras dengan bantal tipis. Berjalan dan berenang merupakan cara yang cukup baik untuk memperlahankan mobilitas sendi. Tujuannya adalah untuk mempertahankan mobilitas spinal atau setidaknya mencegah deformitas dan disabilitas spinal. Terapi farmakologis biasanya membutuhkan OAINS untuk mengatasi nyeri dan kekakuan dengan mempertimbangkan risiko efek samping yang mungkin terjadi. Sulfasalazin dapat mqngatasi keluhan spinal terutama pada tahap dini. Metotreksat, siklofosfamid dan

2530

RELjM/{IOLOGI

Uveids Srs.ilirJ {rIsdroFs lf 5ynrpt6ms perlisi l J da|$ ref*r to opth;tLn+iogrsl isr lf syrrrpt$Els .1/e

tetet+

$'r

re(ilrreEtI lJpper lobe pulmonartr, fbrosis Treatment: iEftorel

Cardlac d{sqa;e Usilalty rnild. Nc :Pelific irearment needed

Ch+rt wall pain Seronriary ro enth€sopathts

lreolntent' lo(*l

lrritable hiP t'1 ildirroder*e, wtthcut

JftJectiqt

severe radte5raPhie cha*gc ar'liC*lnr sta/ 0id i{ se}er*---tsIal hip

P$oriarii 1 Trexi skitr lesiqfls virh

jctr;i

lscal. tl:empy ?,

Cssidar sutfislaz]ntr F,1ild

reptocarler,t

i{

.rrtilr +pnrhy

De.tytiilg

0a

Hethotr&xn(0 if nddiiionni $ovtrs:trthrrtr$

infiltr{te with ster6ld

lnflammatory bowel dlseue TrCat eg l.jparnte en?l1y

Tr€dtrfi ant-?Glreral Prlnclpl€E

'l

A,chitle tendinids

Edua.tlron

? fxeruise e

ke+P fiI

ifitml+!r6rlnl

3 Stop srtoking

wilh H{€at

4 Sptcific phyverherapy .trd llFdrothcreFy

!t{r*t* ra! P

rc al'{iid

flrpt).F e

$. |!SAIP f$fl sFin,,tl disease

f i ,gulfrsnlaaine

f+r periphertl i*itrt dise.rse 7" Sei{-help group i{ rvarlable (e 5. NASS]

Gambar 7. Beberapa modalitas penatalaksanaan pada spondilitis ankilosa

azatioprin juga dapat membantu walaupun efikasinya belum

didukung penelitian klinis. Pemberian anti malaria tidak bermanfaat. Pemberian steroid sistemik dan lokal dapat diberikan pada keadaan Jlare. Tetapi anti reumatik baru yang mempunyai potensi pengobatan pada spondilitis ankilosa adalah anti TNF-o. Denganpenghambatan sitokin

sedikit ketidaknyamanan dan beberapa hanya mengalami sakroilitis tanpa keterllibatan spinal. Meski spondilitis ankilosa tidak bisa disembuhkan, program rehabilitasi mempunyai pencapaian yang cukup impresif sehingga dianjurkan untuk tetap dilaksanakan'

tersebut, dilaporkan terjadi penurunan kekakuan dan nyeri

nokturnal, perbaikan asesment global pasien, indeks fungsional dan memperbaiki ROM spinal dan dada serta resolusi entesitis. Operasi merupakan pilihan jika ada deformitas yang mengganggu fungsi tubuh atau keluhan nyeri yang tidak teratasi dengan terapi farmakologis. Beberapa prosedur yang sering dilakukan pada pasien dengan spondilitis ankilosa adalah total hip replacement (THR), total knee replocement (TKR), osteotomi servikal dan lumbal untuk mengurangi derajat kifosis dan stabilisasi subluksasi atlanto-axial.

PROGNOSIS spondilitis ankilo sa sangat bervariasi. Beberapa pasien mengalami progresi yang berat meski dengan terapi' Perj alanan

Sebagian mengalami ankilosis secara gradual dengan

DAFTARPUSTAKA Alvares I, Lopez de Castro. HLA-827 and immunogenetics of spndyloarthropathies. Curr Opin Rheumatol 2000; 12: 248 -

253 Aufdermaur M. Pathogenesis of square bodies in ankylosing spondylitis. Ann Rheum Dis 1989;48:628-631 Barkham N, Kong KO, Tennant A, Fraser A, Hensor A et al The unmet need for anti-tumour necrosis factor (anti-TNF) therapy

in ankylosing spondylitis. Rheumatology 2005 ;44:1 21 7 1281' Brandt J, Listing J, Haibel H, Sorensen H et al Long-term efficacy and safety of etanercept after readministration in patients with active ankylosing spondylitis Rheumatology 2005 ;44:342-348 Brown MA. Breakthrough in genetics studies of ankylosing spondylitis. Rheumatol ogY 2008;47 ;732-137 Ebringer A, Rashid T , Wilson C, Ptaszynska ! Fielder M' Ankyiosing Spondylitis, HLA-827 arid Klebsiella - An Overview: Proposal for early diagnosis and Treatment. Curr Rheumatol Rev 2006,

2: Gadsby

55-68 K, Deighton C. Characteristics and treatment responses of

2531

SPONDILITISAI{KILOSA

patients satisrying the BSR guidelines for anti-TNF in ankylosing

spondylitis. Rheumatology 2007 ;46:439-441 Gorman JD, Imboden JB. Ankylosing Spondylitis and the Arthritis of Inflammatory Bowel Disease. In: Imboden JB, Hellmann DB, Stone JH (eds). Current Rheumatology Diagnosis and Treatment 2"d ed. McGraw Hill, New York. 2007: 175 - 182 Jois RN, Leeder J, Gibb J, Gaffney K et al. Low-dose infliximab treatment for ankylosing spondylitis: clinically and cost-effective. Rheumatology 2006;45: 1 566-1569

Sidiropoulos PI, Hatemiz G, Song IH et al. evidence based recommendations for the management of ankylosing spondylitis: systematic literature search of the 3E Iniatiative in Meumatology involving a broad panel of experts and practicing rheumatologist. Rheumatology 2008; 47 : 355-361 Sieper J, Braun J, Rudwaleit M, Boonen A, Zink A. Ankylosing Spondylitis: an overview. Ann Rheum Dis 2002; 61(supl III):

iiiS

- iiil8

Van der Heijde D. Ankylosing Spondylitis. A. Clinical Features. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH (eds). Primer on the Rheumatic Diseases 13th ed. Spinger, New York. 2008; 193199

Van der Linden S, Valekburg HA. Cats A. Evaluation of diagnostic criteria for ankylosing spondylitis. A Proposal for modification of New York Criteria. Arthritis Rheum 1984; 27: 361-368 Van der Linden S, van der Heijde D, Maksymowych WP Ankylosing Spondylitis. In: Firestein GS, Budd RC, Harris Jr ED et al (eds). Kelley's Textbook of Rheumatology 8tI ed. Saunders, Philadel-

phia.2009;1169

-

1190

Yoong KCJ. Ankylosing Spondylitis. N Engl J Med 2008; 359:4 Zeboulon N, Dougados M, Gossec L. Prevalence and characteristics of uveitis in the spondyloarthropathies: a systematic literature review. Ann Rheum Dis 2008;67:955-959 Zocinling J. van der Heijde D. Burgos-Vardas R, Collanter E et al.

ASAS/EULAR recommencation

for the management of

ankylosing spondylitis. Ann Rheum Dis 2006; 65: 442-452

394 ARTRITIS PSORIATIK ZuljasriAlbar

Spondiloartropati seronegatif merupakan sekelompok penyakit radang multisistem yang saling berhubungan satu sama lain. Sebagai penyakit reumatik, mereka

mengenai tulang belakang, sendi perifer struktur periartikuler atau ketiga-ti

garLya.

Mereka juga berkaitan

dengan manifestasi ekstra-artikuler yang berbeda-beda.

Misalnya inflamasi traktus gastrointestinal atau haktus urinarius baik akut maupun kronik yang kadang-kadang akibat infeksi bakteri, inflamasi mata bagian anterior, lesi kulit dan kuku yang psoriasiform dan- jarang lesi pangkal

aorta, sistem konduksi jantung dan apeks paru. Kebanyakan kelainan ini menunjukkan peningkatan prevalensi pada individu yang memiliki getHLA-B21

GEJALA KLINIS Variasi gambaran klinis artritis psoariatika sangat luas. Dad segi diagnosis dan pengobatan, penderita dapat dibagr dalam tiga kelompok : l. Monoartritis atau oligoartritis asimetris :30 % - 50 %. 2. Poliartritis, sering simetris sehinggamirip dengan artritis

reumatoid:30%-50%.

3. Terutama

mengenai sendi aksial (spondilitis, sakroiliitis

dan atau artritis sendi panggul dan bahu yang menyerupai spondilitis ankilosa) dengan atau tanpa kelainan sendi perifer : 5 oZ. Terkenanya sendi DIP (prevalensi 25 o/o), artrttis mutilans (5 %), sakroiliitis (35 %)

.

Kelainan-kelainan yang telah diketahui sebagai diagnostic entity dalam kelompok spondiloartropati seronegatif ini ialah spondilitis ankilosa, artritis reaktif,

spondilitis dan artritis perifer yang berkaitan dengan psoriasis atau penyakit radang usus, spondiloartropati juvenile onset dan beragam kelainan yang agak sulit

diklasifikasikan yang sering disebut undifferentiated spondiloarthropathy atau - lebih singkat - spondiloartropati

dan spondilitis (30 %) dapat ditemukan pada setiap kelompok ini. Perubahan gambaran klinis dari satu bentuk ke bentuk lain tidak jarang terjadi sehingga menghasilkan gambaran klinis yang heterogen. Pada sekitar 70 % penderita, psoriasis timbul bertahuntahun sebelum artritis, atau timbul bersamaan dengan artritis (+ 15 %). Walaupun onset artritis biasanya samarsamar, pada l/3 kasus onsetnya akut. Jarang terdapat gejala konstitusional. Pada sebagian kecil penderita dewasa (+15 %) - lebih sering pada anak-anak - artritis timbul sebelum terdapat perubahan pada kulit atau kuku (artritis

saJa.

Berbagai kriteria diagnostik untuk bermacam-macam spondiloartropati telah diajukan dalam 3 dekade terakhir. Dalam makalah ini akan dibicarakan diagnosis dan pengobatan salah satu kelainan yang termasuk dalam

sine psoriasis). Kebanyakan penderita mempunyai riwayat

psoriasis atau gambaran klinis tertentu pada anggota keluarga yang lain, sehingga dapat membantu diagnosis.

kelompok spondiloartropati seronegatif, yaitu artritis psoriatika.

Kelainan sendi EPIDEMIOLOGI

Oligoartritis atau monoartritis. Manifestasi awal yang paling sering, ditemukan pada 213 kasus ialah oligo- atau

Prevalensi artritis psoriatika di Amerika Serikat + 0.1 %. Artritis timbul pada + 5-7 %openderita psoriasis. Psoariasis relatif sering pada bangsa kulit putih dan jarang pada

monoartritis yang mirip dengan artritis perifer pada spondiloartropati lain. Pada 113 - ll2 penderita ini, artritis akan berkembang menjadi poliartritis simetris yang sulit dibedakan dari artritis reumatoid.

penduduk Asia.

2532

2533

ARTRITIS PSORIATIK

Oligoarkitis yang klasik mengenai sendi besar misalnya sendi lutut- dengan I atat2 sendi interfalang dan daktilitis salah satu jari atau ibu jari. Pada beberapa kasus arlritis timbul setelah trauma. Jika pada anamnesis didapatkan riwayat psoriasis pada keluarga, pencarian psoriasis pada daerah yang tersembunyi (kulit kepala, umbilikus dan daerah perianal) disertai kelainan radiologis yang khas akan menghasilkan bukti penting untuk diagnosis yang tepat. Lesi psoriatik mungkin terbatas pada 1 atau 2 tempat dengan atau tanpa terkenanya kuku. Terkenanya sendi

DIP merupakan tanda yang khas

dan

hampir selalu

berkaitan dengan perubahan psoriatik pada kuku.

Poliartritis. Poliartritis simetris yang mengenai sendi kecil pada tangan dan kaki, pergelangan talga\ pergelangan kaki, lutut dan siku merupakan pola artritis psoriatik yang paling sering. Artritis mungkin sukar dibedakan dari AR,

tetapi sendi DIP lebih sering terkena dan terdapat kecenderungan ankilosis tulang pada sendi PIP dan DIP yang mengakibatkan deformitas 'claw' atau 'paddle' pada

tangan. Penderita dengan poliartritis simetris dan psoriasis tetapi tanpa gambaran klinis (daktilitis, entesitis, terkenanya sendi DIP atau sakroiliaka) atau radiologis yang

khas serta faktor reumatoidnya positif mungkin secara bersamaan juga menderita AR.

Artritis mutilans. Artritis mutilans akibat osteolisis jari

dan tulang metakarpal (arang pada kaki) jarang, tetapi jika ada merupakan gambaran yang sangat karakteristik untuk

artritis psoriatika. Kelainan ini mengakibatkan timbulnya jari teleskop, ditemukan pada 5 o% kasus.

Kelainan sendi aksial. Kelainan sendi aksial dapat terjadi pada penderita artritis perifer yang faktor reumatoidnya negatif dan sering asimtomatik. Pria dan wanita sama kemungkinan terkenanya. Biasanya timbul beberapa tahun setelah artritis perifer. Keluhan low backpain inflamatif alat

nyeri dada mungkin tidak ada atau minimal meskipun kelainan radiologis tampak lanjut.

Manifestasi lain. Peradangan pada tempat melekatnya tendo dan ligamen pada tulang (entesitis) sebuah gambaran yang karakteristik untuk spondiloartropati sering ditemukan

terutama pada insersi tendo Achilles dan fasia plantaris pada kalkaneus. Entesopati cenderung lebih sering terjadi

pada bentuk oligoartritis. Konyungtifitis tidak jatarrg, ditemukan pada ll3 kasus. Sebagaimana halnya dengan spondilitis ankilosa, komplikasi seperti insufisiensi aorta, uveitis, f,rbrosis paru yang mengenai lobus superior dan amiloidosis dapat terjadi tetapi jarang.

Dapat juga ditemukan pada bagian tubuh yang lain seperti telapak tangan dan kaki, bagian fleksor, pinggang bawah, batas rambut, perineum dan genitalia. Ukurannya bervariasi, berkisar dari I mm atau kurang pada psoriasis akut awal sampai beberapa sentimeter pada penyakit yang

well-established. Terkenanya kuku merupakan satu-satuny a gambaran klinis untuk mengetahui penderita psoriasis mana yang

mungkin akan mengalami artritis. Kelainan kuku dapat berupa pitting, onikolisis (terlepasnya kuku dari nail-bed),

depresi melintang (ridging) dan retak, keratosis subungual, warnakuning-kecoklatan (oil drop sign) dan leukonychia dengan permukaan yang kasar. Tidak ada kelainan

kuku yang spesifik untuk artritis psoriatik. Meskipun pitting tidak jarang pada orang normal, multipel pit (biasanya lebih dari 20) pada satu kuku pada jari yang mengalami daktilitis atauperadangan sendi DIP dianggap khas untuk artritis psoriatik.

PEMERIKSAAN RADIOLOGIS

Ada beberapa kelainan radiologis yang khas untuk penyakit ini. Perubahan tulang pada artritis psoriatik

merupakan gabungan antara erosi - yang membedakan dengan spondilitis ankilosa - dan produksi tulang dengan distribusi yang spesifik - yang membedakan dengan AR. Gambaran yang khas ialah : 1. Pembengkakan jaringan lunak yang fusiform dengan distribusi bitateral asimetris, mineralisasi yang normal;

2. Hilangnya

celah sendi dengan atau tanpa ankilosis

sendi IP tangandan kaki Destruksi sendi IP dengan pelebaran celah sendi;

3. 4. Proliferasi

tulang pada pangkal falang distal dan

resorpsi ujung falang distal yang bersangkutan;

5. Erosi sendi

dengan pengecilan falang proksimal

disertai proliferasi tulang falang distal (pencil-in-cup deformity)

6. Fluffiperiostitis. Kelainan radiologis ditemukan pada (dimulai dari yang paling sering) tangan, kaki,

sendi sakroiliaka dan tulang belakang. Sakroiliitis mungkin unilateral atau simetris pada fase awal, tetapi dapat berlanjut menjadi fusi bilateral.

DIAGNOSIS BANDING

Kelainan Kulit

Artritis psoriatik perlu dibedakan terutama dari

Lesi psoriatik yang khas berupa plak kemerahan yang berbatas tegas disertai sisik seperti perak yang tampak jelas. Ditemukan pada permukaan ekstensor siku, lutut,

spondiloarhopati lain dan AR. Kelainan tulang belakang tidak seberat pada spondilitis ankilosa dan timbul pada usia yang lebih tua (> 30 tahun). Perbedaan lain ialah kelainan psoriatik pada kulit atau kuku, riwayat psoriasis

kulit kepala, telinga dan daerah presakral.

2534

REUMATOI.OGI

pada keluarga dan kelainan radiologis yang kurang simetris.

dihindarkan suntikan steroid lokal melalui lesi psoriatik

Adanya daktilitis dan entesitis, kelainan psoriatik pada kulit dan kuku, riwayat psoriasis pada keluarga,terkenanya sendi DIP, faktor reumatoid negatif; adanya kelainan tulang belakang atau sakroiliitis dan adanya pembentukan tulang baru atau ankilosis tulang yang tampak pada pemeriksaan radiologis dapat membantu membedakannya dari AR. Yang lebih sulit ialah membedakan artritis psoriatik dari

karena mungkin terdapat koloni kuman disana.

spondiloartropati seronegatif lain. Artritis reaktif, artritis yang berkaitan dengan penyakit radang usus dan arhitis psoriatik memiliki banyak kemiripan dalam gejala klinis.

diperlukan tindakan operatif.

Penggunaan anti-TNF untuk pengobatan artritis psoriatik menunjukkan efek yang baik terhadap keluhan artritis perifer dan tulang belakang. Preparat yang banyak digunakan adalah ialah Infliximab dan Etanercept Pada penderita dengan nyeri sendi yang tidak dapat

diatasi (intractable) dan hilangnya fungsi sendi,

PROGNOSIS PENGOBATAN

Secara umum, keluhan sendi artritis psoriatika tidak seberat

Pembicaraan dalam hal ini dititik beratkan pada pengobatan

AR. Faktor prognostik yang pasti belum ada. Meskipun demikian, riwayat keluarga adanya artritis psoriatik, onset penyakit dibawah 20 tahlur', adanya pada

kelainan/keluhan sendi. Prinsip dasar penganganan penderita AR atau spondilitis juga berlaku untuk artritis psoriatik. Pengobatan bergantung kepada jenis penyakit sendi (aksial atau perifer) dan beratnya kelainan sendi dan kulit.

HLA-DR3 atau DR4, kelainan sendi poliartikuler atau erosif dan kelainan kulit yang luas diduga berkaitan dengan prognosis yang buruk. Penderita seperti ini memerlukan pengobatan yang lebih agresif.

Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS) efektif pada sebagian besar penderita. Pada penderita yang responnya

terhadap OAINS tidak adekwat serta penderita dengan penyakit poliartikuler, progresif dan erosif,

DMARD hendaknya diberikan sedini mungkin. Metotreksat efektifbaik pada kelainan kulit maupun artritis

perifer pada penderita oligoartritis dan monoartritis. Diberikan 7.5 mg - 25 mglmirrggu, disesuaikan dengan respon dan toleransi penderita. Sulfasalazin 2-3 g,/trari bermanfaat pada

afrtis

REFERENSI Klran MA : An overview of Clinical Spectrum and Heterogeneity ol Spondyloarthropathie's. Rheum Dis Clin North Amer 18:1, 1-10, Febr 1992. Boumpas D! Tassiulas IO : Psoriatic Arthrjtis. Dalam K\ippel JH

(Ed.) Primer on the

Rheumatic Diseases. 11th ed, Arthr

Foundation, Atlanta, GA, 1997.

aksial dan

artritis perifer, tetapi tidak bermanfaat untuk kelainan kulit. Kortikosteroidboleh digunakan dalam dosis rendah baik dalam bentuk kombinasi dengan DMARD maupun sebagai

bridge therapy sambil menunggu DMARD berkerja. Pengobatan kombinasi ini dipertimbangkan pada penderita

dengan penyakit yang agresif dan destruktif, yang tidak memberikan respon adekwat terhadap 1 macam obat. F1are yang hanya mengenai I atat2 sendi dapat diatasi secara baik dengan suntikan kortikosteroid lokal. Harus

Gladman DD : Psoriatic

Artkitis : Recent Advances in

Pathogenesis

and Treatment. Rheum Dis Clin North Amer 18:1, 247-256,

Febr 1992. Jackson CG, Clegg

DO : The Seronegative Spondyloarthropathies

(Ankylosing Spondylitis, Reactive Arthritis, Psoriatic Arthritis). Dalam Weisman MH et al (Eds.) Treatment of the Rheumatic Diseases. Companion to Kelley's Textbook of Rheumatology. 2nd ed., Philadelphia, WB Saunders Co., 2001. Inman RD : Treatrnent of Seronegative Spondyloarthropathy. Dalam Klippel JH (Ed.) Primer on the Rheumatic Diseases. 11th ed, Arthr Foundation, Atlanta, GA, 1997.

395 REACTIVE ARTHRIrIS RudiHidayat

PENDAHULUAN

PATOGENESIS

Reactive arthritis (ReA) atau sindrom Reiter merupakan salah satu bentuk atau varian dari spondiloartropati seronegatif. ReA didefinisikan sebagai suatu kondisi inflamasi yang steril, setelah adanya infeksi ekstraartikular, terutama infeksi urogenital dan enterik. Banyak studi yang telah dilakukan untuk memahami bagaimana patogenesa

Dari berbagai organisme yang telah terbukti menjadi pemicu terjadinya P.eA, Chlamydia sp merupakan

terjadinya ReA, dan diduga adanya reaksi imun baik serologis maupun seluler terhadap suatu patogen

penyebab, meskipun patogen tersebut tidak dapat diidentifikasi lagi di jaringan maupun cairan sinovial. Insidens lebih banyak ditemukan pada usia dewasa muda (20-40 tahun), tidak ada perbedaan pada laki-laki dan perempuan.

Suatu studi prospektif

di Swedia mendapatkan

insidens ReA adalah 28 kasus 100.000 penduduk, lebih tinggi dibandingkan insidenRA (24l100.000). Pada studistudi yang lain seperti diYunani, Finlandia, danNorwegia, rata-ratadidapatkan 3,5-10 kasus per 100.000 penduduk.

Angka kejadian ini juga dipengaruhi oleh karakteristik

populasi tertentu, seperti ReA yang lebih sering ditemukan pada populasi Eskimo Alaska, alau ReA yang

ditemukan lebih banyak pada kelompok dewasa dibandingkan anak-anak setelah adanya wabah Salmonella. Faktor genetik terutama yang berkaitan dengan human leukocyte antigen-B27 (HLA-827) juga dianggap berperan. Dari suatu studi epidemologi didapatkan lebih dari 500/o kasus ReA atau oligoartritis yang tidak terklasifikasi, didapatkan hubungan dengan patogen yang spesifik baik dengan pemeriksaan serologis maupun kultur. Organisme

yang terdeteksi terutama Chlamydia sp (patogen urogenital), Salmonella, Shigella, Yersinia dan Campylobacter sp (patogen enterik). Beberapa organisme yang lainjuga terdeteksi dari beberapa studi regional.

penyebab paling sering, dan juga paling sering diamati. Pada jaringan/cairan sinovial, atat darah tepi penderita

ReA dapat ditemukan Chlamydia DNA, mRNA, rRNA maupun Chlamydia like-cells. Menetapnya Chlamydia sp ataukomponemya, karena kemampuan organisme ini untuk menurunkan ekspresi maior outer membrane protein,meningkatkan ekspresi heat shock protein (HSP) dan lipopolysaccharide (IP.l). Selain itu juga menurunkan ekspresi major histocompatibility complex (MHC)

antigen pada permukaan sel yang terinfeksi, menginduksi apoptosis sel-T dengan cara merangsang produksi lokal

tumor necrosing factor (TNF), serta menghambat apoptosis sel host dengan menurunkan pelepasan cytocrome C dan menghllatgkan protein kinase C-delta. Hingga saat ini masih menjadi pertanyaan bagaimana infeksi sebelumnya dapat menyebabkan inflamasi dan erosi (proses autoimun) pada persendian tanpa adanya

organisme yang viable. Selain adatya komponen mikroorganisme yang menetap, juga diduga adanya molecular mimicry yang menyebabkan reaktivitas silang sel host dengan antigen microbial. Analisa pada tikus yang

terinfeksi S. typhimurium ternyata menghasilkan perubahan peptida tertentu yang homolog dengan peptida

dari DNA C. trachomatis. HLA-B27 |uga dianggap berperan pada mekanisme molecular mimicry, dimana struktur antigeniknya dapat menyerupai protein dari mikroorganisme pencetus. Proses inflamasinya melibatkan fibroblas sinovial yang menimbulkan diferensiasi dan

aktifasi osteoklas. Sebagaimana kelompok spondiloartropati seronegatif yang lain, kaitan ReA dengan HLA-827 telah banyak dianalisa, namun masih belum dapat dibuktikan adanya

2536

hubungan yang kuat seperti pada kasus ankilosing spondilitis. Kecuali dua hal yang telah diketahui berhubungan dengan HLA-827, yaitu sel imun dengan HLA-827 ternyata kurang efektif kemampuannya membunuh salmonella dibandingkan sel kontrol, dan ad,anya perangsangan LPS yang menghasilkan peningkatan sekresi TNF. Selain itu dianalisa juga besamya

peran sel T CDS+ yang berhubungan dengan molekul MHC kelas I termasuk HLA-B27. Observasi pada kelompok individu dengan defisiensi sel T CD4+ termasttk acquired immune deficiency syndrome (AIDS), ternyata masih terdapat manifestasi ReA.

GAMBARAN KLINIS Karakteristik klinis dari ReA adalah oligoartritis asimetrik terutama pada ekstrimitas bawah, meskipun pada 20%o kasus dapat berupa poliartritis. Keterlibatan daerah panggul dan ekstrimitas atas sangat jarang. Sendi yang terlibat mengalami bengkak, hangat dan nyeri sehingga menyerupai gambaran artritis septik. Aspirasi dan analisa cairan sendi akan membedakan kedua keadaan tersebut. Gejala khas yang lain yaitu entesitis (inflamasi pada insersi ligamen/tendon ke tulang), terutama tendinitis achilles dan

fasiitis plantaris. Keluhan sakit pinggang/tulang belakang dan bokong ditemukan pada lebih dari 50%o pasien, tapi tidak progresif seperti pada ankilosing spondilitis. Beberapa manifestasi ekstraartikular dapat membantu penegakan diagnosis, terutama pada keadaan dimana

infeksi pemicunya tidak diketahui. Keratoderma blenoragika adalah ruam papuloskuamosa yang mengenai telapak tangan dan kaki. Gambaran klinis dan histopatologinya menyerupai psoriasi pustular, termasuk adanya distropi kuku. Balanitis sirsinata adalahulkus yang dangkal di batang atau glans penis, berupa plak dan hiperkeratotik. napat ditemukan eritema maupun ulkus yang tidak nyeri di palatum durum atau lidah, lebihjarang di uvula, palatum mole atau tonsil. Sedangkan uveitis anterior akut dapat ditemukan pada 20%o kasus, dengan keluhan mata merah, nyeri, berair, kabur dan fotofobia. Gejala sistemik seperti demam dan malaise , atatJ keterlibatan organ lain seperti ginjal dan jantung lebih j arang ditemukan. Perj alanan penyakitnya diperkirakan akan mereda dalam jangka waktu 3-6 bulan. kecuali pada sekitar 20% kasus yang menetap sampai lebih dari 12 bulan, sebagian besar berhubungan dengan HLA-827 positif.

DIAGNOSIS Hingga saat ini belum ada kriteria diagnosis ReA yang tervalidasi dengan baik, tetapi pada tahun 1996 the 3,d International Workshop on Reactive Arthritis telah menyepakati kriteria untuk ReA, yaitu didapatkannya dua

REI.,IMIIiIOI.OGI

gambaran: 1. Inflamasi akut arthritis, sakit pinggang inflamasi, atau entesitis 2. Bukti adanya infeksi 4-8 minggu sebelumnya Bukti adanya infeksi diperoleh dari hasil tes laboratorium seperti kultur dari feses, urin, atau swab urogenital, maupun ditemukannya antibodi terhadap patogen. Pemeriksaan laboratorium yang lain memurjukkan proses inflamasi yaitu peningkatan laju endap darah (LED) dan C-reactive protein (CRP). Diagnosis semakin kuat dengan adanya suseptibilitas genetik HLA-827, danhal ini ditemukan pada 30-60% kasus. Jika dilakukan pemeriksaan analisa cairan sinovial didapatkan gambaran inflamasi ringan sampai berat, sedangkan pada biopsi sinovial juga menunjukkan adanya reaksi inflamasi. Penunjang radiologis dapat diharapkan

gambaran entesitis atau sakroilitis dari pemeriksaan ultrasonografi, foto polos, MRI atau CT scan.

Probabilitas penegakan diagnosis ReA dapat diperkirakan berdasarkan gambaran klinis, radiologis maupun laboratoris yang ditemukan:

lnflamasi akut artritis, sakit pinggang inflamasi, atau entesitis PLUS Riwayat adanya gejala uretritis, servisitis atau enteritis akut PLUS Tes bakteri positif (kultur atau serologi) PLUS HLA-827 positif

30 - 50%

70 - 80yo

>80o/o

Diagnosis banding yang harus dipikirkan antara lain

arthritis septik dengan konsekuensi tata laksana yang sangat berbeda. Selain itu juga harus dibedakan dengan arthritis gout, rheumatoid arthritis, arthritis psoriatik, dan ankilosing spondilitis. Dengan anmnesis yang baikbanyak informasi yang dapt digunakan untuk membedakan berbagai diagnosis tersebut.

TATALAKSANA Pilihan pertama tata laksana ReA adalah obat anti-inflamasi non-steroidal (OAINS), yang pada banyak keadaan mampu memperbaiki keluhan arthritis, entesitis dan sinovitis akut. Selain itu juga perlu disarankan untuk menghindari aktifitas yang berlebihan pada sendi yang terlibat. Pada monoartritis dapat diberikan injeksi kortikosteroid intraartikular (pada

tempat-tempat yarlg aman untuk dilakukan injeksi). Sedangkan untuk keratoderma blenoragika, balanitis sirsinata dan uveitis anterior digunakan kortikosteroid topikal yang ringan, seperti golongan hidrokortison valerat. Pilihan berikutnya pada keadaan sinovitis yang menetap

2537

REACTIVEARTHRITIS

adalah penggunaan sulfasalazin dan metotreksat, seperti pada RA. Kortikosteroid sistemik dianggap tidakbanyak memberikan manfaat klinis.

Patogenesa ReA yang berkaitan dengan adanya

pemicu infeksi sebelumnya, menimbulkan pertanyaan

tentang penggunaan antibiotika. Beberapa studi mengunakan siprofloksasin 2x500 mg atau lymecyclin 3x300

mg selama tiga bulan, mendapatkan manfaat perbaikan

yang signifikan hanya pada ReA dengan pencetus Chlamidya. Penggunaan antibiotika ini dianggap hanya mampu mencegah penyebaran infeksinya, terutama pada kasus yang dapat diisolasi mikroorganisme penyebabnya,

dan dianggap tidak mempengaruhi perjalanan penyakit ReA.

PROGNOSIS Pada umumnya pro gnosis baik, dan sebagian besar sembuh

total setelah beberapa bulan. Hanya beberapa kasus menjadi kronik dan menetap lebih lama, atau terjadi rekurensi dengan pencetus infeksi yang baru atau faktor stress non-spesihk. Pada beberapa studi juga didapatkan sekitar 2O-70% kasus, pada follow-up selanjutnya diketahui mengalami masalah di persendian termasuk osteoartritis.

REFERENSI Inman RD. Reactive and enteropathic arthritis.

In : Klippel

JH,

Stone JH, Croford LJ, White PH, editors. Primer on the rheumatic diseases. 13'h ed. New York: Arthritis Foundation; 2008. p. 217-23. Toivanen A. Reactive arthritis: clinical features and treatment. In: Horcberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblat ME, Weisman MH, editors. Rheumatology. 3'd ed. Edinburg 2003: Elsevier; 2003. p. 1233-40. Davicl TYY, Peng TF. Reiter's syndrome, undifferentiated spondyloarthropathy, and reactive arthritis. In: Harris ED, Budd RC, Firestein GS, Genovese MC, Sergent JS, Ruddy S, editors' Kelley's textbook of rheumatology. 7h ed, Philadelphia: Elsevier; 2005. p. 1142-54. El-Gabalawy HS, Lipsky PE. Reactive arthritis: etiology and pathogenesis. In: In: Horcberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblat ME, Weisman MH, editors. Rheumatology. 3'd ed' Edinburg 2003: Elsevier; 2003. p. 1225-32. Burmester GR, Dorner T, Sieper J. Spondyloarthritis and chronic idiopathic arthropathies. In: Rose NR, Mackay IR, editors' The autoimmune Diseases. 4th ed. Amsterdam: Elsevier; 2006'

p.437-41. Sieper J, Fendler C, Laitho S, Sorensen H, Gripenberg LC, Hiepe F,

et al. No benefit of long-term ciprofloxacin treatment in patients with reactive arthritis and undifferentiated oligoarthritis: a three-month, multicenter, double-blind, ran-

domized, placebo-controlled study. Arthritis

Rheum

1999;42(7):1386-96. Laasila K, Laasonen L, Repo ML. Antibiotic treatment and long term prognosis of reactive arthritis. Ann Rheum Dis 2003:62:655-8.

396 OSTEOARTRITIS Joewono Soeroso, Harry Isbagio, Handono Kalim, Rawan Broto, Riardi Pramudiyo

PENDAHULUAN Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif

baru tersebut sering disebut sebagai chondroprotective agents atau disease modifuing osteoarthritis drugs (DMoADs).

yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering

terkena OA. Prevalensi OA lutut radiologis di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15.5% pada pria, dan 12.7o/o pada wanita. Pasien OA biasanya mengeluh

nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena. Pada derajat yang lebih berat nyeri dapat dirasakan terus menerus sehingga sangat mengganggu mobilitas pasien. Karena prevalensi yang cukup tinggi dan sifatnya yang kronik-progresif, OA mempunyai dampak sosio-ekonomik yang besar, baik di negara maju maupun di negara berkembang. Diperkirakan I sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita cacat karena OA. Pada abad mendatang tantangan terhadap dampak OA akan lebih besar karena semakin

ETIOPATOG EN ESIS OSTEOARTRITIS Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi dua yaitu OA primer dan OA sekunder. Osteoartritis primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada sendi. OA sekunder adalah OA yang didasari oleh adanya kelainan

endokrin, infl amasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama. Osteoartritis primer lebih sering ditemukan dibanding OA sekunder (Woodhead, I 9 89; Sunarto, I 990 ; Rahardj o, 199 4).

Selama

ini OA sering dipandang sebagai akibat dari

suatu proses ketuaan yang tidak dapat dihindari. Para pakar

banyaknya populasi yang berumur tua. Terapi OA pada umumnya simptomatik, misalnya

yang meneliti penyakit ini sekarang berpendapat bahwa OA ternyata merupakan penyakit gangguan homeostasis dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum jelas diketahui (Woodhead, 1989). Jejas mekanis dan kimiawi pada sinovia sendi yang terjadi multifaktorial antara lain karena faktor umur, stres mekanis atau penggunaan sendi

dengan pengendalian faktor-faktor risiko, latihan, intervensi fisioterapi, dan terapi farmakologis, pada OA fase lanjut sering diperlukan pembedahan. Untuk membantu mengurangi keluhan nyeri pada OA, biasanya digunakan analgetika atau obat anti-inflamasi non steroid (OAINS). Karena keluhan nyeri pada OA yang kronik dan progresif, penggunaan OAINS biasanya berlangsung lama, sehingga tidak jarang menimbulkan masalah. Di Amerika, penggunaan OAINS menelurkan sekitar 100.000 pasien tukak lambung dengan 10.000-15.000 kematian setiap tahun. Atas dasar masalah-masalah tersebut di atas, para

yang berlebihan, defek anatomik, obesitas, genetik,

ahli berusaha mencari terapi farmakologis yang dapat memperlambat progresifitas kerusakan kartilago sendi, bahkan kalau mungkin mencegah timbulnya kerusakan kartilago. Beberapa obat telah dan sedang dilakukan uji pada binatang maupun uji klinis pada manusia. Obat-obat

2538

humoral dan faktor kebudayaan (Moskowitz, 1990). Jejas mekanis dan kimiawi ini diduga merupakan faktor penting yang merangsang terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi kartilago didalam cairan sinovial sendi yang mengakibatkan terjadi inflamasi sendi, kerusakan kondrosit dan nyeri (Ghosh, 1990: Pelletier, 1990). Osteoartritis ditandai dengan fase hipertroh kartilago yang berhubungan dengan suatu peningkatan terbatas dari sintesis matriks makromolekul oleh kondrosit sebagai kompensasi p erbakan (repair) (Brandt, 1 993). Osteoarkitis

2539

OSTEOARTRITIS

terjadi sebagai hasil kombinasi antara degradasi rawan sendi, remodelling iilang dan inflamasi cairan sendi (Woodhead, 1989).

Beberapa penelitian membuktikan bahwa rawan sendi ternyata dapat melakukan perbaikan sendiri dimana

kondrosit akan mengalami replikasi dan memproduksi matriks baru (Woodhead, 1989; Dingle, 1991). Proses perbaikan ini dipengaruhi oleh faktor perlumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu komunikasi antar sel. Faktor ini menginduksi kondrosit untuk mensistesis asam deoksiribonukleat (DNA) dan

protein seperti kolagen serta proteoglikan. Faktor pertumbuhan yang berperan adalah insulin-like growth factor (IGF-1), growth hormon, transforming growth factor B GGF-P) dan coloni stimulatingfactors (CSFs). Faktor pertumbuhan seperti IGF-1 memegang peranan penting dalam proses perbaikan rawan sendi. Pada keadaan inflarnasi, sel menjadi kurang sensitif terhadap efek IGF-I (Pelletier, 1990). Faktor pertumbuhan TGF-p mempunyai efek multipel pada matriks karlilago yaitu merangsang sintesis kolagen dan proteoglikan serta menekan stromelisin, yaittt enzym yang mendegradasi proteoglikan, meningkatkan produksi

prostaglandin E, (PGE,) dan melawan efek inhibisi

([-1).

Hormon lain yang mempengaruhi sistesis komponen kartilago adalah sintesis PGE, oleh interleukin-1

testosteron, p-estradiol, platelet derivat growth factor (PDGF), fibroblast growth factor dan kalsitonin (Moskowitz, 1 990; Pelletier, 1 991)

Pathogenesis of OA

+ degeneration

* Cytokin * Enzymes * Nitric oxide

Genetic

Chondroitin

.l,Matrix synthesis

I

I +

Chondroitin

(Dingle,

Pada rawan sendi pasien OA juga terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan penurunan aktivitas

fibrinolitik. Proses ini

menyebabkan terjadinya

penumpukan trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral yang menyebabkan t6rjadinya iskemia dan nekrosis jaringan subkhondral tersebut (Ghosh, 1992). Ini mengakibatkan dilepaskannya mediator kimiawi seperti

prostaglandin dan interleukin yang selanjutnya menimbulkan bone angina lewat subkhondral yang diketahui mengandung ujung saraf sensibel yang dapat menghantarkan rasa sakit (Moskowitz, 1987). Penyebab rasa sakit itu dapat juga berupa akibat dari dilepasnya mediator kimiawi seperti kinin dan prostaglandin yang menyebabkan radang sendi (Brandt, 1987), peregangan tendo atau ligamentum serta spasmus otot-otot ekstra artikuler akibat kerja yang berlebihan (Ruoff, 1986). Sakit pada sendi juga diakibatkan oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intrameduler akibat stasis vena intrameduler karena proses remodelling padatrabekuladan subkondrial (Moskowiu, 1987; Brand! 1987). Peran makrofag didalam cairan sendi juga penting, yaitu apabila dirangsang oleh jejas mekanis, material asing

hasil nekrosis jaringan atau CSFs; akan memproduksi sitokin aktivator plasminogen (PA) yang disebut katabolin. Sitokin tersebut adalah IL-I, IL-6, TNF cr dan p, dan interferon (IFN) cr dan t (Moskowitz, 1990; Pelletier, 1990; Dingle, 1991). Sitokin-sitokin ini akan merangsang memproduksi CSFs yang sebaliknya akan mempengaruhi monosit dan PA untuk mendegradasi rawan sendi secara langsung. Pasien OA mempunyai kadar PA yang tinggi pada cairan sendinya (Moskowitz, 1990). Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks rawan sendi (Ghosh,1992). Interleukin- 1 mempunyai efek multipel pada sel cairan

sendi, yaitu meningkatkan sistesis enzim yang Chondroitin

+ Chondroitin

IGF-1 = insulin like grovtth factor

TGF-F

I

1991).

kondrosit melalui reseptor permukaan spesifik untuk

Pathogenesis of OA

tu"tri*

rendah dibanding normal yairtt0,29 dibanding

transforming growth factor

Gambar 1. Patogenesis OA. Proses perbaikan rawan sendi dan faktor keseimbangan antara sintesis matriks dan hilangnya matriks (sumber : Doherty & Jones, 1994)

mendegradasi rawan sendi yaitu stromelisin dan kolagenosa, menghambat proses sintesis dan perbaikan normal kondrosit. Pada percobaan binatang terr,yata pemberian human recombinant IL-1a sebesar 0,01 ng dapat menghambat sistesis glukoaminoglikan sebany ak 50o/o pada hewan normal (Dingle, 1991). Kondrosit pasien OA

mempunyai reseptor

IL-l 2 kali lipat lebih banyak

dibanding individu normal (Pelletier, 1990) dan khondrosit sendiri dapat memproduksi IL- I secara lokal @ingle, 1 99 1 ).

Peningkatan degradasi kolagen akan mengubah

Faktor perhrmbuhan dan sitokin tampaknya mempruryai

keseimbangan metabolisme rawan sendi. Kelebihan produk hasil degradasi matriks rawan sendi ini cenderung berakumulasi di sendi dan menghambat fungsi rawan

pengaruh yang berlawanan selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang degradasi komponen matriks rawan sendi, sebaliknya faktor pertumbuhan merangsang sintesis, padahal IGF- l pasien OA lebih rendah dibandingkan individu normal pada umur yang sama (Moskowitz, 1990; Pelletier, 1990). Percobaan pada kelinci membuktikan bahwa puncak aktivitas sintesis terjadi

sendi serta mengawali suatu respons imun yang menyebabkan inflamasi sendi (Woodhead, 1989; Pelletier, 1990). Rerata perbandingan antara sintesis dan pemecahan matriks rawan sendi pada pasien OA kenyataannya lebih

2540

REUMAIOIOGI

setelah 10 hari perangsangan dan kembali normal setelah 3-4 minggu (Dingle, I 99 1).

IL-l

atau TNF yang dapat memperpanjang waktu paruh NOS mRNA atau protein tertentu. Ini menunjukkan adanya

NOS up-regulating factors lain pada kartilago yang meliputi:

KELAINAN DISEKITAR RAWAN SENDI

1. sitokin

2.

Kelainan disekitarrawan sendi tergantungpada sendi yang

terkena, tetapi prinsipnya adalah adanya tanda-tanda

1/O.S

3.

inflamasi sendi, perubahan fungsi dan stmkturrawan sendi seperti persambun-gan sendi yang tidak normal, gangguan fleksibilitas, pembesaran tulang serta gangguan fleksi dan ekstensi, terjadinya instabilitas sendi, timbulnya krepitasi baik pada gerakan aktif maupun pasif.

difusi soluble stimuli ke matriks dari sumber sinovial lain.

.. .

NeuronalcNOS dan ecNOS adalah konstitutif dan fisiologis, sedangkan iNOS bersifat patologis. iNOS merangsang produksi NO berlebihan yatrg kemudian bereaksi dengan O, membentuk peroksinitrit yang toksik. Sakurai dkk. (1995), mendapatkan peningkatan kadar inducible nitric oxide synthase (iNOS) pada pasien OA maupun rheumatoid arthritis (RA). Mc Innes (1996), juga melaporkan peningkatan kadar NO pada kultur kartilago pasien kedua penyakit tersebut.

Hayashi dkk (1997), juga mendapatkan adanya peningkatan ekspresi iNOS mRNA pada kartilago pasien OA. Pada eksplan (kultur dari eksisi jaringan) kartilago yang di tambah dengan S-nitroso- acetyl penicillamine

(donor NO), juga terjadi peningkatan prodlksi tumor necrosisfactor (TNF) cr oleh makrofag dan sinoviosit. NO dapat bersifat pro- in/lamasl, karenaNO mempunyai efek vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas kapiler,

walaupun secara kostitutif NO mempunyai efek anti-inJlamasi (Tabel 2.)

.

Efek NO terhadap kondrosit meliputi: . inhibisi produksi kolagen dan proteoglikan . aktivasi metaloproteinase . meningkatkan kepekaan trauma oksidan lain (HrOr) . menurunkan ekspresi IL-l reseptor antagonis . inhibisi polimerisasi aktin dan sinyal IL-1 integrin . apoptosis (programmed cell death)

Kartilago normal tidak memproduksi NO kecuali atas rangsangan IL-I, tetapi pada eksplan kartilago pasien OA dan RA produksi NO masih berlangsung setelah 72 jam pada keadaan tanpa rangsangan lipopolysacharide (LPS),

Makrofag, endotel, kondrosit, hepatosit, sinoviosit, sel otot polos

cNOS Neuron

Endotel,

SUSUNAN

neuron, miosit

syaraf pusat dan perifer, platelet, sel b, pankreas, sel

jantung

Stimuli

epitel NMDA,

Lokalisasi kromosom Lokalisasi

(|NOS atau NOS-ll)

Endotoksin, lnterferon g, lL-1 , TNF o

12 (manusia)

Asetilkolin, ADP, trombin, shear stress, VEGF 7 (manusia)

Sitosol

Kaveolae

Sitosol

insulin, trombin

cNOS:ncNOS:1,/O.S_4 EndothelialcNOS(ecNOS :NOS-IID

InducibleNos (iNOS:1'/OS-14

lnducible NOS

(Nos-r)

Endothelial Cnos (NOS-lll)

Neuronal

Peran NO (nitric Oxide) pada Kerusakan Kartilago NO merupakan gas yang diproduksi oleh berbagai sel tubuh dan mempunyai peran sentral pada pertahanan tubuh dan imunitas.Produksi NO di rangsang oleh nitric oxide synthase (NOS), dimana terdapat 3 is oformNOS: . Constitutively expressed NOS (cNOS, miq' neuronal

dan growthfaclors produksi kondrosit

interaksi dengan komponen matriks yang meningkatkan

17 (manusia), '1 1(tikus)

enztm

Pro-inflamasi . Vasodilatasidan hiperpermeabilitas

. . . .

Hypotensi dan kolaps vaskular pada sepsis Efek sitotoksik Aktivasi cyclo-oxygenase

. ,

toksik lnhibisi sintesis NO pada artritis eksperimental Stimulasi produksi TNFcr pada sinoviosit

Bereaksi

dengan 02 membentuk

peroksinitrit yang

Pada kartilago sendi sapi yang diberi stres oksidan, menunjukkan NO pada cairan sendi merupakan mediator apoptosis kondrosit yang tergantung IL-l (IL-| dependent apoptosis). Proses ini disertai deplesi nicotiamide adenine

dinucleotide (NAD) dan aktivasi ensim stress activated protein kinase (SAPK). Pada kultur kartilago pasien OA juga ditunjukkan adanya deplesi NAD dan

peningkatan aktivitas SAPK. Aktivasi SAPK juga merangsang produksi metaloproteinase pada kartilago dengan OA. Pada IL-l dependent apoptosis IL-l yang berperan adalah IL-1B.

Regulasi NO dan Mediator Radang pada Kartilago

Eksplan kartilago OA jugu mengekspresikan

cyclooxygenase-2 (COX-2) dan prostaglandin E, (PGE,).

Inhibisi NOS dengan L-monomethyl-L-arginine (L-NMA) meningkatkan PGE, maupun matrix metalloproteinas e-3

2541

OSTEOARTRITIS

(MMP-3) dua kali lipat pada kartilago OA, sedangkan

dijumpai pada orang-orang Amerika asli (Indian) daripada

penambahan nitroprusid natrium yang merupakan donor

orang-orang

NO, dapat menghambat PGE2 dan MMP-3. Produksi spontan dari mediator inflamasi (NO dan PGE,) Pada

dengan perbedaan cara hidup maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan

eksplan kartilago OA dan RA menghasilkan stimuli yang berlanjut dengan degradasi kartilago, misalnya ekspresi IL-l B yang menyebabkan pelepasan NO dan PGE2. IL-6, IL-S dan TNF juga terlibat dalam degradasi karlilago. NO dan PGE, juga meningkatkan IL-17 yang independen

Faktor herediter juga berperan pada timbulnya OA

dengan peningkatan IL-1 B.

kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan

Genetik misalnya, pada ibu dari seorang wanita dengan OA pada

sendi-sendi interfalang distal (nodus Heberden) terdapat 2 kali lebih sering OA pada sendi-sendi tersebut, dan anak-anaknya perempuan cenderung mempunyai 3

kali lebih sering, daripada ibu dan anak perempuanFAKTOR.FAKTOR RISIKO OSTEOARTRITIS

perempuan dari wanita tanpa OA tersebut. Adanya mutasi dalam gen prokolagen II atau gen-gen struktural lain untuk

Untuk penyakit dengan penyebab yang tak jelas, istilah faktor risiko (faktor yang meningkatkan risiko penyakit) adalah lebih tepat. Secara garis besar faktor risiko untuk

unsur-unsur tulang rawan sendi seperti kolagen tipe IX dan XII, protein pengikat atau proteoglikan dikatakan berperan dalam tirnbulnya kecenderungan familial pada OA tertentu (terutama OA banyak sendi).

timbulnya OA (primer) adalah seperti di bawah ini. Harus

diingat bahwa masing-masing sendi mempunyai biomekanik, cedera dan persentase gangguan yang berbeda, sehingga peran faktor-faktor risiko tersebut untuk

masing-masing OA tertentu berbeda. Dengan melihat faktor-faktorrisiko ini, maka sebenamya semua OA individu dapat dipandang sebagai . Faktor yang mempengaruhi predisposisi generalisata. . Faklor-faktor yang menyebabkan beban biomekanis tak normal pada sendi-sendi tertentu. Kegemukan, faktor genetik dan jenis kelamin adalah faktor risiko umum yang penting.

Umur

Kegemukan dan Penyakit Metabolik Berat badan yang berlebih nyata berkaitan dengan meningkatnya risiko untuk timbulnya OA baik pada wanita maupun pada pria. Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan dengan OA pada sendi yang menanggung beban, tapi juga dengan OA sendi lain (tangan atau sternoklavikula). Oleh karena itu di samping faktor mekanis yang berperan (karena meningkatnya beban mekanis), diduga terdapat faktor lain (metabolik) yang berperan pada timbulnya kaitan tersebut. Peran faktor metabolik dan hormonal pada kaitan antara OA dan kegemukan juga disokong oleh adanya kaitan antara OA dengan penyakit jantung koroner, diabetes

Dari semua faktor risiko untuk timbulnya OA, faktor ketuaan adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya OA semakin meningkat dengan bertambahnya umur. OA hampir tak pemah pada anak-anak, larang pada umur di bawah 40 tahun dan sering pada umur di atas 60 tahun. Akan tetapi

melitus dan hipertensi. Pasien-pasien osteoartritis

harus diingat bahwa OA bukan akibat ketuaan saja' Perubahan tulang rawan sendi pada ketuaan berbeda

Cedera Sendi, Pekerjaan dan Olah raga

dengan perubahan pada OA.

yang terus menerus (misalnya tukang pahat, pemetik kapas)

Jenis Kelamin

berkaitan dengan peningkatan risiko OA tertentu. Demikian juga cedera sendi dan olah raga yang sering menimbulkan cedera sendi berkaitan dengan risiko OA

Wanita lebih sering terkena OA lutut dan OA banyak sendi,

dan lelaki lebih sering terkena OA paha, pergelangan tangan dan leher. Secara keseluruhan, di bawah 45 tahun frekuensi OA kurang lebih sama pada laki-laki dan wanita, tetapi di atas 50 tahun (setelah menopause) frekuensi OA lebih banyak pada wanita daripada pria. Hal ini menunjukkan adanya peran hormonal pada patogenesis OA.

temyata mempunyai risiko penyakit jantung koroner dan hipertensi yang lebih tinggi daripada orang-orang tanpa osteoartritis.

Pekerjaan berat maupun dengan pemakaian satu sendi

yang lebih tinggi. Peran beban benturan yang berulang pada timbulnya OA masih menjadi pertentangan. Aktivitas-aktivitas tertentu dapat menjadi predisposisi OA cedera traumatik (misalnya robeknya meniscus, ketidak stabilan ligamen) yang dapat mengenai sendi. Akan tetapi

selain cedera yang nyata, hasil-hasil penelitian tak menyokong pemakaian yang berlebihan sebagai suatu

Suku Bangsa Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada OA nampaknya terdapat perbedaan di antara masing-masing suku bangsa. Misalnya OA paha lebih jarang di antara orang-orang kulit

hitam dan Asia daripada Kaukasia. OA lebih sering

faktor untuk timbulnya OA. Meskipun demikian, beban benturan yang berulang dapat menjadi suatu faktor penentu lokasi pada orang-orang yang

mempunyai predisposisi OA dan dapat berkaitan dengan perkembangan dan beratnya OA.

2542

RETJMA*II)I,OGI

Kelainan Pertumbuhan Kelainan kongenital dan perfumbuhan paha (misalnya penyakit Perthes dan dislokasi kongenital paha) telah dikaitkan dengan timbulnya OA paha pada usia muda. Mekanisme ini j uga diduga berperan pada lebih banyaknya OA paha pada laki-laki dan ras tertentu.

Faktor-faktor Lain Tingginya kepadatan tulang dikatakan dapat meningkatkan risiko timbulnya OA. Hal ini mungkin timbul karena tulang yang lebih padat (keras) tak membantu mengurangi benturan beban yang diterima oleh tulang

rawan sendi. Akibatnya tulang rawan sendi menjadi lebih mudah robek. Faktor ini diduga berperan pada lebih tingginya OA pada orang gemuk dan pelari

tulang belakang, lutut dan paha) adalah nyata sekali. Sebagai perbandingan, OA siku, pergelangan tangan, glenohumeral atau pergelangan kaki jarang sekali dan terutama terbatas pada orang tua. Distribusi yang selektif seperti itu sampai sekarang masih sulit dijelaskan. Salah satu teori mengatakan bahwa sendi-sendi yang sering tekena OA adalah sendi-sendi yangpaling akhirmengalami perubahan-perubahan evolusi, khususnya dalam kaitan dengan gerakan mencengkeram dan berdiri dua kaki. Sendi-sendi tersebut mungkin mempunyai rancang bangun yang sub optimal untuk gerakan-gerakan yang mereka

lakukan, mempunyai cadangan mekanis yang tak mencukupi, dan dengan demikian lebih sering gagal daripada sendi-sendi yang sudah mengalami adaptasi lebih lama.

(yang umumnya mempunyai tulang yang lebih padat) dan

kaitan negatif antara osteoporosis dan

OA. Merokok dilaporkan menjadi faktor yang melindungi untuk timbulnya OA, meskipun mekanismenya belum jelas.

Faktor-faktor untuk Timbulnya Keluhan Bagaimana timbul rasa nyeri pada OA sampai sekarang masih belum jelas. Demikian juga faktor-faktor apa

RIWAYATPENYAKIT Pada umumnya pasien OA mengatakan bahwa keluhankeluhannya sudah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan-lahan.

Nyeri Sendi

yang membedakan OA radiografik saja (asimtomatik) dan

Keluhan ini merupakan keluhan utama yang seringkali

OA simtomatik masih belum diketahui. Beberapa

membawa pasien ke dokter (meskipun mungkin sebelum-

penelitian menunjukkan bahwa wanita dan orang yang gemuk cenderung lebih sering mempunyai keluhan daripada orang-orang dengan perubahan yang lebih ringan. Faktor-faktor lain yang diduga meningkatkan timbulnya keluhan ialah hipertensi, merokok, kulit putih dan psikologis yang tak baik.

Kelainan

metabolik

berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu

kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih dibanding gerakan yang lain. Nyeri pada OAjuga dapat berupa penjalaran atau akibat radikulopati, misalnya pada OA servikal dan lumbal. OA lumbal yang menimbulkan

stenosis spinal mungkin menimbulkan keluhan nyeri di betis, yang biasa disebut dengan claudicatio

Gangguan

Cedera

nya sendi sudah kaku dan berubah bentuknya). Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit

Ketuaan,

intermitten.

faktotrfaktorintrinsik, ekstrinsik

Ketidakstabilan

Hambatan Gerakan Sendi

Kompensata Keluhan/ketidakmampuan: ringan/tidak ada Dekoompensata Keluhan/ketidakmampuan

Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat dengan pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri. :

Kaku Pagi Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi dapat timbul

setelah imobilitas, seperti duduk Gambar 4. Penggambaran OA sebagai suatu proses perbaikan yang dapat kompensata atau gagal dalam jawaban pada berbagai gangguan

di kursi atau mobil

dalam waktu yang cukup lama atau bahkan setelah bangun tidur.

Krepitasi SENDI.SENDI YANG TERKENA

Rasa gemeretak (kadang-kadang dapat terdengar) pada sendi yang sakit.

Adanya predileksi OA pada sendi-sendi tertentu

Pembesaran Sendi (deformitas)

(carpometacarpal I, metatarsophalangeal I, sendi apofiseal

Pasien mungkin menunjukkan bahwa salah satu sendinya

2543

OSTEOARTRITIS

(seringkati tertihat di lutut atau tangan) secara pelan-pelan

Perubahan Gaya Berjalan

membesar.

Keadaan ini hampir selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan. Terutama dijumpai pada OA lutut, sendi paha dan OA tulang belakang dengan

Perubahan Gaya Berjalan Gejala ini merupakan gejala yang menylsahkan paasien. Hampir semua pasien OA pergelangan kaki, tumit, lutut atau panggul berkembang menjadi pincang. Gangguan berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA yang

umumnyatua.

stenosis spinal. Pada sendi-sendi lain, seperti tangan bahu,

siku dan pergelangan taflgat, osteoartritis juga menimbulkan gangguan fungsi.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Diagnosis OA biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan radiografis.

PEMERIKSAAN FISIS

Radiografis Sendi yang Terkena Hambatan Gerak Perubahan ini seringkali sudah ada mekipun pada OA yang masih dini (secara radiologis). Biasanya bertambah berat

dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi hanya bisa dogoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan

gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja).

Krepitasi Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinis OA lutut. Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu

yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang

memeriksa. Dengan bertambah beratnya penyakit, krepitasi dapat terdengar sampai jarak tertentu. Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat sendi digerakkan atau secara pasif di manipulasi.

Pembengkakan Sendi yang Seringkali Asimetris

Pada sebagian besar kasus, radiografi pada sendi yang terkena osteoartritis sudah cukup memberikan gambaran diagnostik yang lebih canggih. Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA

ialah: . Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung beban)' . Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral. . Kista tulang . Osteofit pada pinggir sendi . Perubahan struktur anatomi sendi. Berdasarkan perubahan-perubahan radiografi di atas, secara radiografi OA dapat digradasi menjadi ringan sampai berat (kriteria Kellgren dan Lawrence). Harus diingat bahwa

pada awal penyakit, radiograh sendi seringkali masih normal. Pemeriksaan penginderaan dan radiografi sendi lain. . Pemeriksaan radiografi sendi lain atau penginderaan

magnetik mungkin diperlukan pada beberapa keadaan tertentu. Bila osteoartritis pada pasien

Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi pada sendi yang biasanya tak banyak (< 100 cc). Sebab lain ialah karena adarrya osteofit, yatg dapat mengubah

dicurigai berkaitan dengan penyakit metabolik atau genetik seperti alkaptonuria, oochronosis, displasia epifisis, hiperparatiroidisme, penyakit Paget atau

permukaan sendi.

Tanda-tanda Peradangan Tanda-tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan,

gangguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna kemerahan) mungkin dijumpai pada OA karena adanya sinovitis. Biasanya tanda-tanda ini tak menonjol dan

.

hemokromatosis (terutama pemeriksaan radiografi pada tengkorak dan tulang belakang). Radiograh sendi lain perlu dipertimbangkan juga pada

pasien yang mempunyai keluhan banyak sendi

.

(osteoartritis generalisata). Pasien-pasien yang dicurigai mempunyai penyakit-

timbut belakangan, seringkali dijumpai di lutut, pergelangan kaki dan sendi-sendi kecil tangan dan

penyakit yang meskipun jarang tetapi berat (osteonekrosis, neuropati Charcot, pigmented

kaki.

sinovitis) perlu pemeriksaan yang lebih mendalam. Untuk diagnosis pasti penyakit-penyakit tersebut seringkali diperlukan pemeriksaan lain yang lebih canggih seperti sidikan tulang, penginderaan dengan

Perubahan Bentuk (deformitas) Sendi yang Permanen Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama, perubahanpermukaan sendi, berbagai kecacatan dan

gaya berdiri dan perubahan pada tulang dan permukaan sendi.

.

resonansi magnetic (MRI), artroskopi dan artrograft.

Pemeriksaan lebih lanjut (khususnya MRI) dan mielografi mungkin juga diperlukan pada pasien dengan

2544

RELJMA-IOLoGI

OA tulang belakang untuk menetapkan sebab-sebab gejala dan keluhan-keluhan kompresi radikular atau medulla spinalis.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM Hasil pemeriksaan laboratorium pada OA biasanya tak banyak berguna. Darah tepi (hemoglobin, leukosit, laju endap darah) dalam batas-batas normal, kecuali OA generalisata yang harus dibedakan dengan artritis peradangan. Pemeriksaan imunologi (ANA, faktor reumatoid dan komplemen) juga normal. Pada OA yang disertai peradangan, mungkin didapatkan penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan ringan sel peradangan (<8000/m) dan peningkatan protein.

PEMANTAUAN PROGRESIVITAS DAN OUTCOME OA Terdapat 3 cara utama unfuk memantau progresivitas dan outcome OA'.

.

.

Pengukuran nyeri sendi dan disabilitas pada pasien Qtatient-related measures ofjoint pain and diability), misalnya nilai algofungsional dari WOMAC, indeks beratnya nyeri lutut dan panggul. Pengukuran perubahan struktural (anatomi) pada sendi

yang terserarg (measurement of the structural

dapat digunakan pula mengidentifikasi mekanisme penyakit pada tingkat molekuler. Walaupun banyak publikasi yang telah melaporkan bahwa pada OA terjadi peningkatan pelepasan marker rawan sendi, tulang dan sinovia ke dalam cairan sendi, serum dan urin, namun penggunaan marker ini untuk memantau proses penyakit pada OA masih sukar dilakukan. Kata marker telah digunakan pada berbagai keadaan. Pada OA makayang dimaksud dengan marker ialah sitokin, enzim protease dan inlibitomya, komponen matriks rawan sendi dan fragmennya, antibodi terhadap kolagen rawan

sendi dan membran protein kondrosit serta hormon pertumbuhan.

/

anatomical changes in the alfected joints) misalnya radiografi polos, MRI, artroskopi dan ultrasound

.

sendi dan bukan penilaian secara langsung proses yang terjadi pada rawan sendi. Hal yang sama ditemukanpada MRI, hingga saat ini MRI tidak dapat memantau kualitas dan komposisi rawan sendi, informasi yang diperoleh hanyalah pengukuran tidak langsung dari proses penyakit. Melihat hal tersebut maka diperlukan suatu metode yang secara cepat memberikan informasi dari fungsi, komposisi dan proses metabolik pada rawan sendi yang dapat digunakan untuk memantau hasil pengobatan. Destruksi rawan sendi pada OA melibatkan proses degradasi matriks molekul yang akan dilepaskan kedalam cairan tubuh seperti dalam cairan sendi, darah dan urin. Beberapa marker molekuler dari metabolisme matriks rawan sendi dapat digunakan dalam diagnosis, prognostik dan monitor penyakit sendi seperti pada RA dan OA dan

frekuensi tinggi Pengukuran proses penyakit yatg dilyatakan dengan perubahan metabolisme atau perubahan kemampuan fungsional dari rawan sendi artikuler, tulang subkondral

atau jaringan sendi lainnya (measurements of the disease process exemplified by changes in metabo-

JENIS MARKER MOLEKULAR PADA OSTEOARTRITIS Terdapat berbagai jenis marker molekuler yang dapat ditemukan dalam cairan sinovia atau dalam serum pasien OA yang berasal dari berbagai komponen ekstraselular matriks (lihat Tabel3)

lism or functional properties of the articular

cartilage, subchondral bone or other joints tissues) misalnya marker rawan sendi dalam cairan tubuh, skintigrafi tulang, pengukuran resistensi terhadap

kompresi pada rawan sendi dengan mengukur kemampuan identasi atau penyebaran.

Nilai algofungsional, radiologik polos dan artroskopi telah banyak digunakan pada berbagai uji klinik OA, tetapi hanya nilai algofungsional saja yang telah divalidasi sebagai instrumen outcome

Foto polos sendi selama ini digunakan sebagai standard emas untuk menilai perubahan struktur sendi pada berbagai

uji klinik

penggunaan obat DMOA t i s D ru gs). Kelemahan teknik ini terletak pada kenyataan bahwa teknik ini hanya dapat menilai secara tidak langsung, suatu surrogate marker, perubahan yang terjadi akibat destruksi rawan (D

is e

as

e Mo dify

i

n

g

O s te o

HUBUNGAN ANTARA KONSENTRASI MARKER DENGAN METABOLISME RAWAN SENDI Hal yang perlu dipertimbangkan dalam hal marker molekuler pada OA ialah :

.

Pengetahuan tentang hubungan antara konsentrasi markermolekul dengan tingkat metabolisme dari rawan sendi.

.

Pengetahuan tentang hubungan antara konsentrasi

.

marker molekul pada berbagai cairan tubuh seperti pada cairan sendi, serum dan urin Pengaruh adanya perubahan tubuh seperti inflamasi

ar tri

sinovial, gangguan fungsi hati dan fungsi ginjal

.

terhadap konsentasi marker.

Spesifitas dari marker molekul pada tulang rawan terutama pada rawan sendi.

2545

OSTEOARTRITIS

Marker OA pada cairan sendi Cartilage Aggrecan Core Protein epitopes Core Protein epitopes (cleavage site specificneoepitopes) Keratan Sulfate epitopes Chondroitin sulfate ratio (846, 383, 7D4, etc ) Chondroitin sulfate ratio 65/45 Small proteoglicans Cartilage matrix proteins Cartilage oligometric matrix protein Cartilage collagens Type ll collagen C-propeptide Type ll collagen u chain fragments Matrix metalloproteinases and inhibitors Meniscus Cartilage oligometric matrix protein Small proteoglicans Synovium Hyaluronan Matrix metalloproteinases and inhibitors Stromelvsin (MMP-3) lnterstitial collagenase (MMP-1 ) Tissue inhibitors of metalloproteinases Type lll collagen N-ProPePtide

Degradasi dari agregan

1l

Degradasi dari agregan Degradasi dari agregan

fi

Sintesis / degradasi dari agregan Sintesis / degradasi dari agregan Degradasi dari proteoglikan kecil

Bone

Bone sialoprotein Osteocalcin

Degradasi dari COMP

Marker OA pada serum

1l

lleU

1l

fi

U 1)

11

0

Sintesis dari kolagen tiPe ll Degradasi dari kolagen tiPe ll Sintesis dan sekresi

r^l

fi 1)

Degradasi dari COMP Degradasi dari proteoglikan kecil

fio

1,I

Sintesis dari hialuronan 1)

Sintesis dan sekresi dari MMP-3 Sintesis dan sekresi dari MMP-1 Sintesis dan sekresi dari TIMPs Sintesis/degradasi dari kolagen tipe lll Sintesis/degradasi dari BSP Sintesis dari osteokalsin Degradasi dari kolagen tulang

fi<= 1) 11

n 0

llo

fI fI

fl<+

ium crosslinks

Pengetahuan tentang hubungan ar.tat a perubahan

konsentrasi marker pada berbagai caitan tubuh dan perubahan metabolisme matriks sangatlah terbatas' Sebagai contoh bahwa konsentrasi dari marker degradasi matriks dalam cairan tubuh tidak hanya tergantung pada tingkat degradasi matriks rawan sendi tetapi juga tergantung

banyak faktor seperti kecepatan eliminasi (bersihan) fragmen molekul tersebut dari cairan tubuh dan jumlah matriks rawan sendi yang masih tersisa' Walaupun ada faktor perancu tersebut konsentrasi marker dalam cairan

tubuh sangatlah erat hubungannya dengan tingkat metabolisme matriks molekul rawan sendi, Komponenyang

seperti

itu antara lain: agrekan, COMP (cartilage

ologomeric matrix protein) dan collagen

II

C

-propeptide yang nampak berubah konsentrasinya dalam cairan tubuh setelah cedera atau pada OA. Perubahan ini konsisten baik pada hewan percobaan in

dengan demikan diperlukan marker untuk kondisi degradasi (misalnya fragmen agrekan) dan sintesis (misalnya collagen II pro-peptide) Masalah lain ialah bila suatu marker katakanlah tidak berhubungan dengan proses degradasi tetapi hanyalah berhubungan dengan proses sintesis maka sumber spesifik

fragmen tersebut perlu ditelusuri lebih lanjut. Suatu fragmen molekul yang telah diidentifftasi dapat berasal dari:

.

pemecahan matriks baru yang belum masuk ke dalam

.

matriks fungsional pemecahan matriks yang sudah matang Selain itu masih ada masalah lagi ialah berasal dari

kompartemen yang mana marker molekuler yang ditemukan

di cairan tubuh tersebut, apakah dari periselular, matriks teritorial atau mahiks interteritorial

vivo atau pada rawan serldi OA in vitro

Identifikasi dari sumber asal fragmen molekul merupakan pula masalah dalam hubungat antara proses dengan jaringan. Suatu peningkatan pelepasan fragmen molekul ke dalam cairan tubuh dapat berasal dari suatu proses degradasi saja (dengan akibat kerusakanjaringan)

atau sebagai akibat peningkatan degradasi yang bersamaan pula dengan peningkatan pembentukan ban'r/

perbaikan (yang menghasilkan keadaan steady state),

POTENSI PENGGU NAAN MARKER Kebutuhan pemakaian marker berbeda tergantung pada kegunaannya yaitu untuk uji diagnostik, uji prognostik atau uji evaluatif. Uji diagnostik biasanya lebih diarahkan pada kemampuan untuk nembedakan antara individu yang

2546

REI.JMANOI.OGI

terserang dengan individu yang tidak terserang yang biasanya diekspresikan sebagai sensitivitas dan spesivitas uji tersebut

Uji evaluatif

diarahkan pada kemampuan marker

tersebut untuk memantau perubahan sepanjang waktu pada seorang pasien yang diekspresikan pada sensitivitas uji tersebut pada perubahan.

Uji diagnostik yang sering digunakan di

bidang

reumatologi misalnya pemeriksaan Faktor Reumatoid (RF) dan ANA pada Artritis reumatoid. Marker yang dapat digunakan sebagai uji diagnostik pada OA antara lain Keratan sulfat dalam semm yang dapat digunakan untuk

uji

diagnostik pada OA generalisata. Problema yalg muncul ialah ternyata marker tersebut tidak seperti yang diharapkan walaupun marker serum ini erat hubungannya dengan degradasi proteoglikan rawan sendi, terdapat tumpang tindih di antara individu yang terserang dengan yang tidak terserang, selain itu marker ini dipengaruhi umur dan gender. Marker uji diagnostik lainnya ialah konsentrasi fragmen agrekan, fragmen COMP, metaloproteinase matriks dan inhibitornya dalam cairan

bukan OA ialah pengukuran reseptor estrogen pada kanker payudara. Pada OA maka analisa dari fragmen matriks rawan sendi yang dilepaskan dan yang masih tertinggal dalam rawan sendi mungkin dapat memberikan informasi penting dari perangai proses metabolik atau peranan dari

protease. Sebagai contoh maka fragmen agrekan yang dilepaskan dalam caiaran tubuh dan yang masih terlinggal dalam matriks, sangatlah konsisten dengan aktivitas 2 enzim proteolitik yang berbeda fungsinya terhadap matriks rawan sendi pada OA. Enzim tersebut ialah stromielisin dan agrekanase. Penelitian penggunaan marker ini sedang

dikembangkan. Marker dapat digunakan pula untuk monitor respons

pengobatan. Marker

ini perlu dikembangkarr

agar

dapat digunakan dalam memantau hasil pengobatan dengan DMOA (Disease modifyang osteoarthritic drugs) yaitu obat yang dapat mempengaruhi perjalanan penyakit.

PENGELOLAAN

sendi. Walaupun hasil penelitian menunjukkan tumpang

tindih yang moderat, tetapi peneltian yang ada masih bersifat potong-lintang dan retrospektif, karena itu untuk dapat digunakan lebih luas perlu penelitian prospektif.

Marker sering pula digunakan untuk menentukan beratnya penyakit. Pada penyakit bukan OA misalnya pada penyakit tiroid maka TSH selain dapat digunakan sebagai uji diagnostik dapat pula digunakan untuk menentukan beratnya penyakit. Pada OA beratnya p

enyakit bias anya ditentukan dengan

be

rb agai car a ariar a

lain: derajat radiologik Kellgren dan Lawrence, jumlah kehilangan rawan sendi pada artroskopi dan derajat kapasitas fungsional pasien. Penggunaan marker molekuler dapat digunakan sebagai tambahan dalam menentukan derajat penyakit. Penelitian lebih lanjut masih perlu dilakukan oleh karena marker molekuler mempunyai

potensi yang cukup besar dalam memberikan informasi tentang kualitas rawan sendi yang tidak dapat diperoleh dengan pemeriksaan lainnya.

Pengelolaan OA berdasarkan atas distribusinya (sendi mana yang terkena) dan berat ringannya sendi yang terkena. Pengelolaannya terdiri dari 3 hal . Terapi non-larmakologis : - Edukasi atau penerangan; - Terapi fisik dan rehabilitasi; - Penurunan berat badan. . Terapi farmakologis: - Analgesik oral non-opiat; - Analgesik topikal; - OAINS (obat anti inflamasi non steroid); - Chondroprotective: - Steroidintra-arlikuler . TerapiBedah: - Malaligment, deformitas lutut Valgus-Varus dsb; - Arthroscopic debridement dan joint lavage;

-

Osteotomi;

Artroplasti sendi total.

Marker molekuler dapat digunakan pula sebagai marker

prognostik untuk membuat prediksi kemungkinan memburuknya penyakit. Pada OA maka hialuronan serum (bukan keratan sulfat) dapat digunakan untuk membuat prediksi pada pasien OA tufut akan terjadinya progresivitas OA dalam 5 tahun. Peningkatan COMP serum dapat membuat prediksi terhadap progresifitas radiologikpasien OA dalam

5

tahun. Seperti halnya dengan

penggunaan untuk petanda lainnya maka marker untuk prognostik ini masih perlu diteliti lagi secara

TERAPI NON-FARMAKOLOGIS

Penerangan Maksud dari penerangan adalah agar pasien mengetahui sedikit seluk-beluk tentang penyakitnya, bagaimana menjaganya agar penyakitnya tidak bertambah parah serta persendiannya tetap dapat dipakai.

prospektif dan longitudinal dengan jumlah pasien yang

Terapi Fisik dan Rehabilitasi

lebih besar. Marker dapat digunakan pula untuk membuat prediksi terhadap respons pengobatan, contoh pada penyakit

Terapi ini untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat dipakai dan melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit.

OSTEOARTRITIS

Penurunan Berat Badan Berat badan yang berlebihan temyata merupakan faktor yang akan memperberat penyakit OA. Oleh karenanya berat badan harus selalu dljaga agar tidak berlebihan. Apabila berat badan berlebihan, maka harus diusahakan penumnan berat badan, bila mungkin mendekati berat badan ideal.

TERAPI FARMAKOLOGIS

Analgesik Oral Non Opiat Pada umumnya pasien telah mencoba untuk mengobati

sendiri penyakitnya, terutama dalam hal mengurangi atau menghilangkan rasa sakit. Banyak sekali obat-obatan

yang dijual bebas yang mampu mengurangi rasa sakit' Pada umumnya pasien mengetahui hal ini dari iklan pada media masa, baik cetak (koran), radio maupun televisi.

Analgesik Topikal Analgesik topikal dengan mudah dapat kita dapatkan dipasaran dan banyak sekali yang dijual bebas. Pada umumnya pasien telah mencoba terapi dengan cara

ini, sebelum memakai obat-obatan peroral lainnya.

Obat Anti lnflamasi Non Steroid (OAINS). Apabila dengan cara-aara tersebut di atas tidak berhasil, pada umnmnya pasien mulai datang kedokter. Dalam hal

seperli ini kita pikirkan untuk pemberian OAINS, oleh karena obat gologan ini di samping mempunyai efek analgetik juga mempunyai efek anti inflamasi. Oleh karena pasien OA kebanyakan usia lanjut, maka pemberian obatobatan jenis ini harus sangat berhati-hati. Jadi pilihlah obat yang efek sampingnya minimal dan dengan cara pemakaian yang sederhana, di samping itu pengawasan terhadap kemungkinan tirnbulnya efek samping selalu harus dilakukan.

nt Yang dimaksud dengan chondroprotective agent Ch o n

d ro p rotective Age

adalah obat-obatan yang dapat menjaga atau merangsang perbaikan (repair) tulang rawan sendi pada pasien OA' Sebagian peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut dalam Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs)

atau Disease Modifiing Anti Osteoarthriti,s Drugs (DMAODs). Sampai saat ini yang termasuk dalam kelompok obat ini adalah : tetrasiklin, asam hialuronat, kondroitin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin-C, superoxide desmutase dan sebagaimya . Tetrasiklin dan derivatnya mempunyai kemampuan untuk menghambat kerja enzim MMP dengan cara menghambafirya. Salah satu contoh adalah doxycycline, sayangnya obat ini baru dipakai pada hewan dan belum dipakai pada manusia.

2547

Asam hialuronat disebut juga sebagai vis co supp I ement oleh karena salah satu manfaat obat ini adaTah dapat

memperbaiki viskositas cairan sinovial, obat ini diberikan secara intra-artikuler. Asam hialuronat

ternyata memegang peranan penting dalam pembentukan matriks tulang rawan melalui agregasi dengan proteoglikan. Di samping itu pada binatang percobaan, asam hialuronat dapat mengurangi inflamasi pada sinovium, menghambat angiogenesis dan khemotaksis sel-sel in fl amasi. Glikosaminoglikan, dapat menghambat sejumlah enzim yang berperan dalam proses degradasi fulang rawan, antara lain : hialuronidase, protease, elastase dan cathepsin Bl in vitro dan juga merangsang sintesis proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur tulang rawan sendi manusia. Dari penelitian Rejholec tahun 1987 (dikutip dari Fife & Brandt, 1992) pemakaian glikosaminoglikan selama 5 tahun dapat memberikan

perbaikan dalam rasa sakit pada lutut, naik tangga, kehilangan jam kerja (mangkir), yang secara statistik bermakna. Juga dilaporkan pada pemeriksaan radiologis

menunjukkan progresivitas kerusakan fulang rawan yang menurun dibandingkan dengan kontrol, .

Kondroitin sulfat, merupakan komponen penting pada jaringan kelompok vefiebrata, dan terutama terdapat pada matriks ekstraselular sekeliling sel. Salah satu jaringan yang mengandung kondroitin sulfat adalah tulang rawan sendi dan zat ini merupakan bagian dari proteoglikan. Menurut Hardingham (1998), tulang rawan sendi, terdiri dari2%o sel dan 98% matriks ekstraselular yang terdiri dari kolagen dan proteoglikan. Matriks ini membentuk satu shuktur yang utuh sehingga mampu menerima beban tubuh. Pada penyakit sendi degeneratif seperti OA terjadi kerusakan tulang rawan sendi dan

salah satu penyebabnya adalah hilangnya atau berkurangnya proteoglikan pada tulang rawan tersebut. Menurut penelitian Uebelharl dkk (1998) pemberian

kondroitin sulfat pada kasus OA mempunyai efek protektif terhadap terjadinya kerusakan tulang rawan sendi. Sedang Ronca dkk (1998) telah mengambil kesimpulan dalam penelitiannya tentang kondroitin sulfat sebagai berikut : efektivitas kondroitin sulfat pada pasien OA mungkin melalui 3 mekanisme utama, yaitu : 1) anti inflamasi; 2) efek metabolik terhadap sintesis hialuronat dan proteoglikan; 3) anti-degradatif melalui hambatan enzim proteolitik dan menghambat efek oksigen reaktif. Mtamin C, dalam penelitian ternyata dapat menghambat aktivitas enzim lisozim. Pada pengamatan ternyata vitamin C mempunyai manfaat dalam terapi OA. (Fife & Brandt,l992) Superoxide Dismutase, dapat dijumpai pada setiap sel

mamalia dan mempunyai kemampuan untuk menghilangkan superoxide dan hydroxll radicals. Secara

in vitro, radikal superoxide mampu merusak

asam

2548

REUM/MOL.OGI

hialuronat, kolagen dan proteoglikan sedang hydrogen peroxyde dapat merusak kondrosit secara langsung. Dalam percobaan klinis dilaporkan bahwa

.

pemberian superoxide dismutase ini dapat mengurangi keluhan-keluhan pada pasien OA. (Fifi & Br andt,l 9 92) Steroid intra-arlikuler, pada penyakit arfitis reumatoid

menunjukkan hasil yang baik. Kejadian inflamasi kadang-kadang dijumpai pada pasien OA, oleh karena itukortikosteroid intra artikuler telah dipakai dan mampu mengurangi rasa sakit, walaupun hanya dalam waktu yang singkat. Penelitian selanjutnya tidak menunjukkan keuntungan yaflg tyata pada pasien OA, sehingga pemakaiannya dalam hal ini masih kontroversial.

Fife RS2. Osteoarthritis. A Epidemiology, Pathology,

and

Pathogenesis. In : Klippel JH, Weyand CM, Wortmann RL. Eds. Primer on the Rheumatic Diseases. 1led. Arthritis Foundation, Atlanta, Georgia, USA, pp :216-217,1997. Fife RS & Brandt KD. Other approaches to therapy. In : Moskowitz RW, Howell DS, Goldberg VM, Mankin HJ Eds. Osteoarthritis Diagnosis and Medical/Surgical Management. 2"d ed. W.B. Saunders Coy, Philadelphia, Pennsylvania, USA, pp: 5tl-526, 1992. Felson DT, Anderson JJ, Naimark A, Walker AM, Meenan RF. Obesity and knee osteoarthritis. The Framingham Study. Ann.

Inetrn Med 1988; 109: 18-24 Goldie I Osteoathrosis; a review, Simposium Reumatologi di Jakarta 13 Maret 1982, hal 14-21 Harry Isbagio. Tinjauan tentang praktek sekarang dan masa akan dating diagnosa dan penanganan klinik dari penyakit-penyakit reumatik yang banyak di Indonesia. Simposium Anti Rumatik .

Baru 19 Juni 1982, hal 11-29.

TERAPI BEDAH

Huskisson EC. Pain in rheumatic disorders and its medical control.

Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi rasa sakit dan juga untuk

Kumpulan naskah nyeri pada pasien reumatik. Biennial Meeting IRA, Jakarta 9 Mei 1981, hal 23-28. Hardingham T. Chondroitin sulfat and joint disease. In : Altman RD.

melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang mengganggu aktivitas sehari-hari.

Adnan HM. Diagnosis arthritis rheumatoid dan perbandingannya arthritis-artritis lain. Kongres nasional I, Ikatan Reumatologi Indonesia, Semarang tgl. 28,29,30 Juli 1983, hal. 43-5i. Altman R, Asch E, Bloch D. et al Development of criteria for the classifications of osteoarthritis Classifrcation of osteoarthritis of the knee. Arthritis. Rheum. 1986;29 : 1039-44. Bennet JC. Osteoafihritis. Controlling pain and stiffness; avoiding degenerative changes; pinpointing low back pain. Modern Medicine Nov 1981; 58-74. Bland JH Osteoarthritis Pathology and clinical patern, in : Text Boox of Rheumatology. Vol II, Philadelphia, WB Saunders Coy, 1981:1471-90 Bonomo I. Osteoarthritis, The management. In : Rheumatology,

1982;7 : 64-9

Brandt kd Pathogenesis of Osteoarthritis. Text Boox of Rheumatology. Vol II, Philadelphia, WB Saunders Coy, 1981 :

.

Brandt KD. Management of osteoarthritis.

In : Textboox of

rheumatology. Eds : Kelley WN, Hanis DE, Ruddy S, Sledge CB. Philadelphia : WB Saunders Company, 1997 : 1394-1403.

Clancy RM, Amin A, Abramson S. The role of nitric oxide in inflammation and immunity. Arthritis Rheum. 1998; 41:114151. Clancy RM, Rediske J, Nijher N, Abramson SB. Activation

activated protein kinase

Supp

6

A, p :3-5, 1998.

Hochberg MC. Osteoarthritis. B. Clinical features and treatment In : Klippel JH, Weyand CM, Wortmann RL Eds. Primer on the Rheumatic Diseases 11ed. Arthritis Foundation, Atlanta, Georgia, USA, pp :218-221,1997

REFERENSI

t457 -67

Ed. Osteoarthritis and Cartilage. J Osteoarth Research Soci,

of

stress

in osteoarthritic cartilage: Evidence

for nitric oxide dependence at [email protected] 1998. Darmawan J, Wirawan S. Soenarto P, Soeharjo H. Prevalensi penyakit reumatik di pedesaan di Jawa Tengah. Simposium Reumatologi. Eds : Tanwir JM, Pramudiyo R, Tohamuslim A. Bandung : Universitas Padjadjaran 1987 : 20-36. Fife RS1. A short history of Osteoarthritis. In : Moskowitz RW,

Howell DS, Goldberg VM, Mankin HJ. Eds. Osteoarthritis diagnosis and medical /surgical management. 2ed ed. WB Saunders Company, Philadelphia, Perursylvania

1

9

1

06, USA, pp:ll -14, 1992.

Inoue H. Arthroscopic diagnosis and treatment of the arthritis

(Abstr) 5'h SEAPAL Congress of Rheumatology, Bangkok, 26 Jan 1984. Kraus VB. Pathogenesis and treatment of osteoarthritis, In Snyderman R & Haynes BF Eds. The Medical Clinics of North America. W.B. Saunders Coy. Philadelphia, Pensylvania, USA, 81, p : 85-1 12, 1991 Kuettner KE. Cartilage integrity and homeostasis In : Rheumatology. Editors : Klippel JH, Dieppe PA. St. Louis Mosby Company 1994: :

6.6. 16.

Mathies H. Osteoarthrosis (degenerative joint Characteristic features

of the most important

disease)

rheumatic

A practical diagnostic guide Enlar Publishers Blask Switzerland, 1977 : 64-68. Muirden KD. Treatment of osteoarthritis. Medical Progress 1980; 7 (10):24-8. Nasution AR. Penatalaksanaan penyakit reumatik pada usia lanjut. Acta Medica Indonesiana April/Sept 1979 : 39-50. Nienhuis RLF. Gambaran Radiologik penyakit sendi. Kumpulan naskah nyeri pada pasien reumatik. Biennial Meeting IRA, lakafia 9 Mei 1981, 66-73. Uebelhart D, Thonar E. J-M.A, Jinwen Zhang, Williams JM. In Altman RD. Ed. Osteoarthritis and Cartilage. J Osteoarth Research Soci, 6, Supp A, p : 6-13, 1998. Poople AR. Cartilage in Health and Disease. In : Koopman WJ Ed. Arthritis and Allied Conditions. A Textboox of Rheumatology. 13th ed. William & Wilkins, Baltimore, Maryland, USA, pp 225-308, 1997. Pollison R. Non-Steroidal anti inflammatory drugs : Practical and theoritical considerations in their selection. Am J Med 1996: 100(2A): 2A-3 1S-2A-35S. Presle N, Cipolletta N, Jouzeau JY, Netter P, Terlain B (1998) In vivo chondroprotection by NO synthase (NOS) inhibitor in IL induced arthritis at [email protected] I 998. Ronca F, Palmieri L, Panicucci P, Ronca G Anti Inflamatory disease.

:

:

2549

OSTEOARTRITIS

activity of chondroitin sulfate. In : Altman RD.

Ed.

Osteoarthritis and Cartilage. J Osteoarthr Research Soci, 6, Supp

A, p: 14-21, Robinson

WD

1,998.

Management of Degenerative Joint Disease Idem

No. 3, 1941-9. Rodwan GP Primer on the rheumatic diseases 7'h Ed. JAMA 1973;

224 : 5 :740-4. Rodwan GP. Schumacer HR. Primer on the rheumatic diseases 8'h Ed. Published by the Arthritis Foundation, Atlanta GA, 1983 : 1

04- 8.

HR Osteoarthritis. What to do when it isn't just wear and tear. Modern Medicine l9'78; 46 (20) : 46-58.

Schumacher

Soemargo Sastrodiwiryo. Aspek neurologik spondiloartrosis servikalis. Kumpulan naskah nyeri pada pasien penyakit reumatik. Biennial Meeting IRA, Jakarta 9 Mei 1981, 16-22. Sokoloff L. the remodeling articular cartilage. Rheumatology 1982;

7:

l1-8.

The needle. A useful technique for evaluating inflamed joints. Geriatrics 1981; 36 i 5 :113-26 Van der Korst JK. Osteoarthrosis. Penataran Berkala Reumatology, Jakarta 9-13 Agustus 1982,51-63. Wigley RD. Clinical diagnosis of osteoarthritis. Kongres Nasional I Sterba

G

Ikatan Reumatologi Indonesia, Semarang Juli 1983, 35-42. Zainal Effendi. Pengenalan praktis penyakit reumatik. The journal of the Indonesian Family Physician 1983; 3 (1) : 4-9.

397 HIPERURISEMIA Tjokorda Raka Putra

Hiperurisemia adalah keadaan di mana terjadi peningkatan kadar asam urat (AU) darah di atas normal. Hiperurisemia

bisa terjadi karena peningkatan metabolisme AU (overproduction), penwunan pengeluaran AU urin (underexcretion), atau gabungan keduanya. Banyak batasan untuk menyatakan hiperurisemia, secara umum kadar AU di atas 2 standar deviasi hasil laboratorium pada populasi normal dikatakan sebagai hiperurisemia (Schumacheq I 992).

B atasan

pragmatis yang

sering digunakan untuk hiperurisemia adalah suatu keadaan di mana terjadi peningkatan kadar AU yang bisa

mencerminkan adanya kelainan patologi. Dari data drdapatkan hatya 5-10%o pada laki nonnal mempunyai kadarAU di atas 7 mg%o, datsedikit dari gout mempunyai kadarAU di bawah kadar tersebut. Jadi kadarAU di atas 7 laki dan 6 mg%o pada perempuan dipergunakan sebagai batasan hiperurisemia (Emmerson, 1983; WHO, I 992 ; Cohen e t al, 1 99 4; Kelley & Wortm ann, l99j : Becker & Meenaskshi,2005). Kejadian yang pasti dari hiperurisemia dan gout di mg%o p ada

masyarakat pada saat

ini

belum jelas. Prevalensi

hiperurisemia di masyarakat diperkirakan ant ara 2,3 sampai 17,6%. Sedangkan prevalensi gout bervariasi antara 1,6 sampai 13,6 per seribu penduduk (Kelley & Wortmann, 1997). Prevalensi hiperurisemia dan gout pada penduduk Maori di Selandia Baru cukup tinggi dibandingkan dengan bangsa Eropa. Prevalensi hiperurisemia pada laki 24,5o dan perempuan 23,9%o, sedangkan prevalensi gout 6,4%o (Klemp et a\,1996).

Hiperurisemia yang berkepanj angan dapat menyebabkan gout atau pirai, namun tidak semua hiperurisemia akan menimbulkan kelainan patologi berupa gout. Gout atau pirai adalah penyakit akibat adanya penumpukan kristal monosodium urat pada jaringan akibat

artritis pirai atau artritis gout, pembentukan tophus, kelainan ginjal berupa nefropati urat dan pembentukan batu urat pada saluran kencing (Terkeltaub, 2001; Kelley & Wortmann, 1 997; Becker & Meenaskshi, 2005).

PENYEBAB HIPERU RISEMIA Penyebab hiperurisemia dan gout dapat dibedakan dengan hiperurisemia primer, sekunder dan idiopatik. Hiperurisemia dan gout primer adalah hiperurisemia dan gout tanpa disebabkan penyakit atau penyebab lain. Hiperurisemia dan gout sekunder adalah hiperurisemia atau gout yang disebabkan karena penyakit lain atau

penyebab lain. Hiperurisemia dan gout idiopatik adalah hiperurisemia yang tidak jelas penyebab primer,

kelainan genetik, tidak ada kelainan fisiologi atau anatomi yang jelas (Schumacher Jr, 1992; Kelley & Wortmann,1997).

Hiperurisemia dan Gout Primer Hiperurisemia primer terdiri dari hiperurisemia dangan kelainan molekular yang masih belum jelas dan hiperurisemia karena adatya kelainan enzim spesifik. Hiperurisemia primer kelainan molekular yang belum jelas terbanyak didapatkan yaitu mencapai 99o/o, terdiri

dari hiperurisemia karena underexcretion (80-90%) dan karena overproduction (10-20%). Hiperurisemia primer karena kelainan ensim spesifik diperkirakan hanya loh, yaitu karena peningkatan aktivitas varian

dari ensim phoribosylpyrophosphatase (PRPP) synthetase, dan kekurangan 'sebagian' dari ensim hypoxanthine phosphoribosyltranferase (HPRf) (Keltey &' Wortmann, 1997; Becker & Meenaskshi,

peningkatan kadar AU (Terkeltaub, 2001; Becker & Meenaskshi, 2005). Penyakit gout terdiri dari kelainan

2005;Wortmann, 2005).

2550

2551

HIPERURISEMIA

Tipe 1. Primer Kelainan molekular yang belum jelas: (99% dari gout primer) Underexcretion (80-90% dari gout primer) Overproduction (10-200/" dari gout primer) Kelainan ensim spesifik ( < 1o/o dari gout primer) Peningkatan aktivitas varian dari enzim PRPP synthetase,

Kelainan Metabolik

Keturunan

Belum jelas

Poligenik

Belum jelas

Poligenik

Overproduction AU, peningkatan PP-ri bosa-P Overprod uction AU, peningkatan aktivitas biosintesis de novo karena peningkatan jumlah PRPP ,pada sindrom Kelley-Seegmiller

X-linked

Overproduction AU, peningkatan biosintesis de novo, pada sindrom Lesch-Nyhan Ov e rp rod uction dan u n de rex c reti on AU, pada glycogenstorage dlsease tipe I (Von Gierke) Overproduction dan underexcretion AU

X-linked

Overproduction AU, pada hemolisis kronis, polisitemia, metaplasia mieloid

Bukan keturunan

Penurunan flltrasi, hambatan sekresi tubulus dan atau perubahan resorpsi dari AU.

Beberapa autosomal dominan,

.

-

-

.

:

-

-

Kekurangan'sebagian'dari

enzim HPRT. 2. Sekunder Peningkatan biosintesis

.

-

-

de novo

Kekurangan menyeluruh enzim HPRT Kekurangan ensim g/ucosa-6phosphatase

-

kurangan ensim Frucfose-7-

.

phosphate aldolase Peningkatan degradasi ATP, peningkatan pemecahan asam nukleat

.

Underexcretion AU pada ginjal

X-linked

Autosomal recessive

Autosomal recessive

bukan keturunan,

banYak

belum diketahui Tidak diketahui.

3. ldiopatik

Keterangan

ATp .. adenosine triphosphatei HPRT: enzim hypoxanthine

phosphoribosyltranferase

PRPP

:

enzim

ph ori bosyl py rophosph atase sy nth eta se.

Hiperurisemia primer karena underexcretion kemungkinan disebabkan karena faktor genetik dan menyebabkan gangguan pengeluaran AU sehingga menyebabkan hiperurisemia. Keadaan ini telah lama dikenal, peneliti Garrod telah lama mengetahui, terjadi gangguan pengeluaran AU ginjal yang menimbulkan hiperurisemiaprimer (dikutip : Kelley & Wortmann, 1997). Kelainan patologi ginjal yang berhubungan dengan un d er ex cr e t i o n tidak menunj ukkan gambaran sp e sifrk. Peneliti Massari PU mendapatkan gambaran patologi pada ginjal berupa sklerosis glomerulus yang global fokal dan

segmental dengan fokus atropi tubulus, peradangan intersisial kronis, perubahan basal membraltar,lpa adarrya deposit electro-dense, Leuman EP mendapatkan focal

tubuloinsterstitiil nephropathy, Puig mendapatkan gambaran lesi interstitiil tubulus ginjal, dan Simmond mendapatkan kelainan nefritis interstitil non spesifik

gangguan sekresi AU dari tubulus ginjal (Cohen et al, I 994; Reiter e t al 199 5 ;Kelley & Wortmann, 1997 ). Kadar fractional uric acid clearance padahiperurisemia primer tipe underexcretion didapatkan lebih rendah dari orang nonnal (GibSon et al, 1984; Kelley & Wortmann,l997; Becker & Meenaskshi, 2005).

Terdapat suatu kelainan yang disebut familial juvenile gout atau familial juvenile hyperuricaemic nephropathy (FJHN) yaitu hiperurisemia akibat adanya penurunan pengeluaran AU pada ginjal dalam suatu keluarga yang diturunkan secara genetik (Moro, 1991 ; Puig et al,1993; Simmonds, 1994; Saeki, 1995;Reiter et aI,1995).

Kelainan ini sering diturunkan secara autosomal dominant. Secara klinis sering terjadi pada usia muda, mengenai laki dan perempuan, terjadi penurutalfractional

uric acid clearance (FUAC) dan sering menyebabkan penumnan fungsi ginjal secara cepat (Simmonds, 1994).

sehingga menyebabkan gangguan pengeluaran AU belum

Kelainan molekular dari FJHN belum diketahui, kemungkinan karena kelainan pada gen yang menyebabkan penuntnan fungsi pengeluaran AU ginjal'

jelas diketahui. Kemungkinan disebabkan karena

kemungkinan melalui kelairrar- transporterAU pada basal

(Massari et

al, l98O; Leuman,l098; Puig et al,

19931'

Simmonds, L994).Bagaimana kelainan molekuler dari ginjal

2s52

REUMATOI.OGI

membran ataupada brush border dari tubulus proksimalis

dengan gejala hiperurisemia tipe overproduction, dangout

ginjal (Simmonds, 1 994).

prematur bersama gejala neurologis berupa retardasi

Hiperurisemia primer karena kelainan ensim spesifik

akibat peningkatan aktivitas varian dari ensim PRpp synthetase menyebabkan peningkatan pembentukan purine nucleotide melalui sintesis de novo sehingga terjadi hiperuri semia tip e ov e rpro du ct i o n. T elah diketahui ensim ini disandi oleh DNA pada khromosom X, dan diturunkan secara dominan (Kamatami, 1994; Kelley & Wortmann, I 99 7 ; B ecker & Meenasksh i, 200 5 ; Wortmann, 2 005 ). Hiperurisemia primer karena kelainan ensim spesifik yang disebabkan kekurangan 'sebagian' dari ensim IIPRI disebut sindrom Kelley-Seegmiller . Ensim HPRTberperan dalam mengubahpurine bases metjadi purine nucleotide dengan bantuan PfuPP dalamproses pemakaian ulang dari

mental berat, self mutilation, choreoathetosis, dan spastisitas. Kelainan neurologis ini kemungkinan karena aktivitas ensim HPRT berkurang sehingga menyebabkan disfungsi neurokemikal otak (Wilsot et al, 1984). Diagnosis sindrom ini dibuat berdasarkan klinis dengan pemeriksaan aktivitas ensim IIPRZ pada eritrosit. Kekurangan aktivitas ensim ini dapat mencapai 1-70% (Wilson et al, 1984; Katami, 1994; Kelley & Wortmann,

1

997; Becker & Meenaskshi, 2005 ;Wortmann,

200s).

Penyakit glycogen storage diseasetipe I (Von Gierke),

akibat penurunan ensim glucosa 6-phosphatase (G 6-Pase) menyebabkan hiperurisemia yang bersifat

metabolisme purin Kekuran gan eruim

automal resesif Hiperurisemia terjadi karena kombinasi

HP RZ menyebabkan peningkatan produksi (overproductlor) AU sebagai akibat peningkatan de novo biosintesis. Diperkirakan terdapat tiga mekanisme overproduction AIJ. Perlama, kekurangan

ensim menyebabkan kekurangan inosine mono

erpr o du c t i o n dan un d er ex cr e t i o n kar ena peningkatan pemecahan dari AIP (adenosine triphosphate). Ensim G 6-Pase berperan mengubah glucosa 6-phospate (G 6-P) menjadi glukosa dalam metabolisme karbohidrat, sehingga

phosphate (IMP) ataupurine nucleotide yang mempunyai

kekurangan ensim ini gampang menyebabkan hipoglkemia.

efekfeedback inhibition proses biosintesis de novo. Kedua, penurunan pemakaian ulang menyebabkan peningkatan jumlah PRPP yatg tidak dipergunakan.

Untuk memenuhi kebutuhan glukosa, tubuh mengadakan pemecahan glikogen di hati (glikogenolisis). Karena kekurangan ensim G 6-Pase, glukosa tidak terbentuk sehingga menimbulkan penumpukan G 6-P (Becker & Meenaskshi, 2005;Kelley & Worlmann, 1997). Te4'adi juga glikolisis anaerob yaitu pemecahan glukosa menjadi G 6-P

Peningkatan jumlah PRPP menyebabkan biosintesis de

novo meningkat. Ketiga, kekurangan ensim HPRT menyebabkan hipoxanthine tidak bisa di ubah kembali menjadi IMP, sehingga terjadi peningkatan oksidasi hypoxathine menjadi AU (Kelley & Wortmann, 1991). Kekurangan etzim HP RT diturunkan secara X-linked dan

bersifat resesif, sehingga didapatkan terutama pada laki-laki. Telah diketahui terjadi berbagai jenis mutasi genetik dari kelainan ensim ini (Kamatami,1994: Kelley & Wortnarur, I 997; Becker& Meenaskshi, 2005; Wortnanq 2005).

Hiperurisemia dan Gout Sekunder Hiperurisemia dan gout sekunder dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu kelainan yang menyebabkan peningkatan

biosintesis de novo, kelainan yang menyebabkan peningkatan degradasi ATP atau pemecahan asam nukleat dan kelainan yang menyebabkan underexcretion. Hiperurisemia sekunder karena peningkatan biosintesis de novo terdiidari kelainan karena kekurangan menyeluruh ensim llPi?Zpada sindrom Lesh-Nyha4 kekurangan ensim glucosa 6-phosphatase pada glycogen storage disease

(Von Gierkee), dan kelainan karena kekurangan enzim fru ct o s e- I -pho sph at e al dol as e Sindrome Lesh-Nyhan disebabkan karena kekurangan menyeluruh ensim llPrRZyang diturunkan secaraX-linked dan bersifat resesif Telah diketahui terdapat berbagai jenis mutasi dari kelainan gen penyandi enzim ini. Kekurangan ensim F/PRI akan menyebabkan peningkatan biosintesis

de novo sehingga terjadi hiperurisemia tipe overproduction. Sindrom ini terjadi pada usia anak-anak

ov

dengan pemecahan ATP dengan hasil

lain berupa

peningkatan asam laktat, asam lemak bebas, trigliserida dan piruvat (Rosenthal, 1998). Hiperurisemia disebabkan

karena

ov

e

rp

r o du c t i o

n melalui p eningkatan melalui

biosintesis de novo akibat peningkatan PfuPP. Peningkatan PRPP ini diperkirakan melalui dua mekanisme. Pertama,

peningkatan glukosa 5-phospate menyebabkan peningkatan reaksi pentosa phosphate pathway peningkatan

r i b o s e 6 -ph o sp

hat e dan menghasilkan PRPP.

Kedua, berkurangnya feedback inhibition terhadap biosintesis de novo pada hati selama terjadi hipoglikemia sehingga menyebabkan peningkatan ensim amido PRT dan PRPP synthetase (Becker & Meenaskshi, 2005). Underexcretion diperkirakan karena adanya hasil metabolit yaitu hiperlaktemia dan ketonemia (Lihat Gambar 1). Tanda klinis sindrom ini adalah terjadi pada usia anak-

anak dengan tanda yang khas berupa bentuk tubuh pendek, dengan hepatomegali dan gejala hipoglikemia yang berulang (Kelley & Wortmann, 1997; Becker & Meenaskshi, 2005 ; Wortmann, 2005). Hiperurisemia juga dapat disebabkan oleh penyakit glycogen storage disease tipe III, V dan VI yang disebut hiperurisemia miogenik. Aktivitas fisik yang berat secara normal dapat menyebabkan hiperurisemia karena terjadi pemecahanAlP dan adanya resorpsi abnormal pada ginjal. Pada keadaan normal atau keadaan anaerob, aktivitas yang menyebabkan peningkatan hasil pemecahan ATP berupa inosine, hypoxanthine, dan didalam hati dipecah menjadi

2553

HIPERURISEMIA

1994; Kelley & Worlmann,1997; Becker & Meenaskshi, 200s). Pada penyakit hereditary fructose intolerance karena

kekurangan ensim Fructose-l -phosphate aldolase dapat menyebabkan hiperurisemia. Ensim Fructose-lphosphate aldolase mengubah fructose 1-phosphate

e t oJb sfo n at dan g I s e r a I d ehi d a. ini dan dengan diet tinggi fruktosa menyebabkan penumpukan fructos a I -phosphate, kemudian akan diubah menjadi fructosa 6-phosphate dengan bantuan ATP sebagai sumber fosfat

menj adi

d ih

i

dr o ks i - as

i

Kekurangan ensim

Glicosa 6 Phosphatase

(Lihat Skema

'onn.n"(

^i

3).

J"r*,"n

cYTs*

Hipoglikemia

Gambar 1. Skema hiperurisemia sekunder pada penyakit glycogen storage dlsease tipe I (Von Gierke).

xantine danAU. Pada penyakit glycogen storage disease tipe

III, V

VI,

akan terjadi hiperurisemia walaupun hanya melakukan aktivitas fisik ringan, terjadi pemecahan AIP yang tinggi akibat tidak cukup bahan karbohidrat pembentuk ATP. Pemecahan ATP akan membentuk adenosine mono phosphate (AMP) dan berlanjut membentuk inosine mono phosphate (IMP) atalu purine nucleotide dalam metabolisme purin (Lihat Gambar 2). dan

Penyebab glycogen storage disease tipe III karena gangguan debranching enzime, tipe V karena kekurangan ensim myophosphorilase dan tipe VII karena kekurangan enzim phosphocytokinase pada otot (Katami,

ersifr phasphoclokin

ase

Gambar 3. Skema hiperurisemia sekunder pada penya kit He

red ita

ry

f ru cto

se

i

ntole ra nce

Fructose 6-phospate juga merupakan salah satu senyawa antara di jalur glikolisis anaerob (Hardjasasmita,

1999). Peningkatan pemecahan ATP menyebabkan pembentukan AU meningkat, dan laktic acidosls serta Penumpukan

F ructosa

1

renal tubular acidosis menyebabkan hambatan AU melalui ginjal, sehingga terjadi hiperurisemia (Kelley & Wortmann, 1997; Becker &

pengeluaran

-phosph ate

Meenaskshi, 2005). Fructosa 6-phosphate

Hiperurisemia sekunder lipe overproduction dapat disebabkan karena keadaan yang menyebabkan

Bantuan AfP (sumber fosfat) ADP

AMF

MP

Biosintesis De novo

Glikosis anaerob

Asidosis laktat

Underexcretiol

Hiperurisemia

peningkatan pemecahanAlP atau peningkatan pemecahan asam nukleat dari intisel. Peningkatan pemecahanAlP akan membentuk AMP dan berlanjut membentuk IMP atau purine nucleotide dalam metabolisme purin. Keadaan ini bisa terjadi pada penyakit akut yang berat seperti pada infark miokard, status epileptikus atau pada pengisapan

rokokyang mendadak (Kelley & Wortmann,1997). Pemecahan inti sel akan meningkatkan produksi purine nucleotide dan berlanjut menyebabkan peningkatan asap

Gambar 2. Skema mekanisme hiperursemia miogenik Pada glycogen storage dtsease (Kelley & Wortmann, 1997)

2554

REUMA*IOLOGI

produksi AU. Keadaan yang sering menyebabkan pemecahan inti sel adalah penyakit hemolisis kronis, polisitemia, psoriasis, keganasan dari mieloproliferatif dan limfoproliferatif atau keganasan lainnya (Katami, 1994, Kelley & Wortmann, 1997; Becker & Meenaskshi, 2005). Beberapa penyakit atau kelainan dapat menyebabkan hiperurisemia sekunder karena gangguan pengeluaran AU melalui ginjal (under excretion). Gangguan pengeluaran AU melalui ginjal dapat melalui gangguan dalam filtrasi, reabsorpsi, sekresi dan reabsorpsi paska sekresi.

Hiperurisemia sekunder yang disebabkan karena underexcretion dikelompokkan dalam beberapa kelompok

yaifu karena penunrnan masa ginjal, penurunan filtrasi glomerulus, penttrutatfractional uric acid clerance dan pemakaian obat-obatan. (Nuki, I 99 8). Hiperurisemia karena penumnan masa ginjal disebabkan penyakit ginjal kronik yang menyebabkan gangguan filtrasi AU. Hiperurisemia karena penurunan filtrasi glomerulus dapat terjadi pada dehidrasi, dan diabetes insipidus. Hiperurisemia karena

gangguan fractional uric acid clerance adalah pada penyakit hipertensi, myxodema, hiperparatiroid, sindrom Down, peningkatan asam organik seperti pada latihan berat, kelaparan, peminum alkohol, keadaan ketoasidosis, /ead

nephropaQ, sarkoidosis, sindrom Barter dan keracunan berilium. Pemakaian obat seperti obat diuretik dosis terapeutik, salisilat dosis rendah, pirasinamid, etambutol, asam nikotinat dan siklosporin. Gangguan pengeluaran AU melalui ginjal dapat

dihitung dengan pemeriksaan fractional uric acid clerance. Pada keadaan normal pengeluaran AU melalui ginjal (kliren urat) berbanding lurus dengan kliren kreatinin,

sehingga kadar

AU darah berkorelasi dengan kadar

kreatinin darah . Pada keada an gagal ginjal karena penyakit

ginjal primer penurunan pengeluaran AU akan diikuti dengan peningkatan kadarAU darah, namun tidak pernah melebihi 10 mg%o . Diperkirakan terjadi peningkatan

pengeluaranAU melalui ekstra renal, sebagai kompensasi hambatan pengeluaran melalui ginjal walaupun belum diketahui secara pasti jumlahnya (Emmerson BT,l983). Hiperurisemia sekunder karena gangguan fungsi ginjal jaratg sampai menyebabkan penyakit gout (Kelley & Wortmann, 1997).

PEMERIKSAAN PENUNJANG UNTUK MENENTUKAN PENYEBAB HIPERURISEMIA Secara umum penyebab hiperurisemia dapat ditentukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan (Emmerson, 1983; Kelley & Wortmann,1997).

Anamnesis terutama ditujukan untuk mendapatkan faktor keturunan, dan kelainan atau penyakit lain sebagai penyebab sekunder hiperurisemia. Apakah ada keluarga yang menderita hiperurisemia atau gout. Untuk mencari

penyebab hiperurisemia sekunder perlu ditanyakan apakah pasien peminum alkohol, memakan obat-obatan tertentu secara teratur, adanya kelainan darah, kelainan ginjal atau penyakit lainnya. Pemeriksaan fisik untuk mencari kelainan atau penyakit

sekunder, terutama menyangkut tanda-tanda anemia atatt phletora, pembesaran organ limfoid, keadaan kardiovaskular darL tekanan darah, keadaan dan tanda kelainan ginjal serta kelainan pada sendi. Pemeriksaan penunj ang ditujukan untuk mengarahkan dan memastikan penyebab hiperurisemia. Pemeriksaan penunjang yang dikerjakan dipilih berdasarkan perkiraan diagnosis setelah dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik (Kelley & Wor1mann,1997). Pemeriksaan penunjang

yang rutin dikerjakan adalah pemeriksaan darah rutin untuk AU darah dan kreatinin darah, pemeriksaan urin rutin untukAU urin 24 jam dan kreatinin urin 24 jam;

dan pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan. Pemeriksaan ensim sebagai penyebab hiperurisemia dilaksanakan tergantung pada perkiraan diagnosis. P emeriksaan AU dalam urin 24 jam p enting dikerj akan

untuk mengetahui penyebab dari hiperurisemia apakah overproduction ata:u underexcretion . Kadar AU dalam urin 24 jam di bawah 600 mg/hari adalah nonnal pada orang dewasa yang makan pantang purin selama 3-5

hari sebelum pemeriksaan. Namun anjuran untuk pantang makan purin selama 3-5 hari sering tidak praktis.

Maka pada orang yang makan biasa tanpa pantang

purin kadar AU urin 24 jam di atas 1000 mglhari adalah abnormal (hipereksresi AU), dan kadar 800 sampai 1000 mg/hari adalah borderline (Kelley & Wortmann, I 997 ; Becker & Meenaskshi, 2005 ). Kadar AU urin24 jam di atas 800 mg/hr dengan makan biasa tanpa

pantang purin merupakan tanda hipereksresi AU (Schumacher Jr,1992). Batasan overproduction AU adalah kadar AU urit 24 jam di atas normal, kadar 1000 mg/hari pada orang yang

makan biasa tanpa pantang purin dapat dikatakan overproduction (Becker & Meenaskshi, 2005). Cohen MG mengatakan apabila kadar AU :urin24 jam lebih dari 670 mg/hari pada diet rendah purin perlu diteliti kemungkinan adany a ke I ainan ov e rp r o d u c t i o n kar ena keturunan. Overproduction dapat juga diketahui dengan menghitung perbandingan AU urin 24 jam dan kreatinin urin 24 jam atau perbandingan kliren AU dan kliren kreatininfractional

uric acid clearance (FUAC) yaitu perbandingan kliren urat dibagi kliren kreatinin dikalikan 100. Nilai perbandingan AU kreatinin urin lebih dari 0.75 menyatakan adaty a overproduction. Dengan data dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, terutama kadar AU darah dan pemeriksaan AU dan kreatinin urin 24 jam dapat diperkirakan faktor penyebab hiperurisemia sehingga penanganan hiperurisemia dapat diberikan sacara menyeluruh dan rasional.

2555

HIPERURISEMIA

normal dalam tubuh dan merupakan hasil akhir dari metabolisme purine, yaitu hasil degradasi dari purine

Emmerson,BT, 1983. Hyperuricaemia and Gout in Clinical Practice. Sydney: ADIS Health Science Press. Gibson ! Waterworth R, Hatfield R Robinson G, Bremner K, 1984. Hyperuricaemia, Gout and Kidney Function in New Zealand Maori Men. British J of Rheumatology. 23:276-282. Kamatami N, 1994. Genetic Enzyme Abnormalities and Gout. Asian Med J. 37(2): 65t-656.

nucleotide yang merupakan bahan penting dalam tubuh

Kelley WN, Wortmann RL, 1997 Gout and Hyperuricemia. In

RINGKASAN Hiperurisemia adalah keadaan di mana terjadi peningkatan kadar AU darah di atas normal. Asam urat adalah bahan

sebagai komponen dari asam nukleat dan penghasil energi dalam inti sel

Hiperurisemia bisa terjadi karena peningkatan metabolisme AU (overproduction), penurunan pengeluaran AU urin (underexcretion), atalu gabungan keduanya. Penyebab hiperurisemia dan gout dapat dibedakan dengan hiperurisemia primer, sekunder dan

idiopatik. Hiperurisemia dan gout primer adalah hiperurisemia dan gout tanpa disebabkan penyakit atau penyebab lain, terdiri dari hiperurisemia primer dengan kelainan molekular yang masih belum jelas dan hiperurisemia primer karena adanya kelainan ensim. Hiperurisemia dan gout sekunder adalah hiperurisemia atau gout yang disebabkan karena penyakit lain atau penyebab lain. Hiperurisemia dan gout sekunder dibagi

menjadi beberapa kelompok, yaitu kelainan yang menyebabkan peningkatan biosintesis de novo, kelainan yang menyebabkan peningkatan degradasi AIP atau pemecahan asam nukleat dankelainan yang menyebabkan

underexcretion. Hiperurisemia dan gout idiopatik adalah hiperurisemia yang tidak jelas penyebab primer, kelainan genetik, tidak ada kelainan fisiologi atau anatomi yang jelas. Penyebab hiperurisemia dapat ditelusuri dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Pemeriksaan penunjang yang rutin dikerjakan adalah pemeriksaan darah rutin AU darah, kreatinin darah, pemeriksaan urin rutin, kadar AU urin 24 jam, kadar kreatinin urin 24 jam, dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Textbook of Rheumatology, Fifth Edition, Editor WN Keltey, S Ruddy, ED Harris, CB Sledge, Philadelphia: WB Saunder Comp, 1314-1350. Klemp P, Stanfreld SA, Castel B, Robertson MC, 1996. Prevalence

hyperuricaemia and gout in New Zealand. Eight APLAR

of Rheumatology, April

Congress

2

1

26.Me1bourne (Abstrak)

Leumann EP, Wegmann W, 1983. Famiiial nephropathy with hyperuricaemia and gout. Nephron. 34(1): 51-57 Massari PU, Hsu CH, Barnes RV, Fox IH, Gikas PW, Weller JM, 1980. Familial hyperuricemia dan renal disease. Arch Intern Med. 140(5): 680-684. Moro F, Ogg CS, Simmond HA, Cameron JS, Chantler C, McBride MB, Duley JA, Davis PM, 1991. Familial juvenile gouty nephropathy with renal urate hypoexcretion preceding renal disease Clin Nephrol. 35(6): 263-269. Nuki G 1998 Gout. Medicine International. 12(42):54-59. Puig JG Miranda ME, Mateos FA, Picazo ML, Jimenez ML, Calvin TS, Gil AA, 1993. Hereditary nephropathy associated with hyperuricaemia and gout. Arch Intern Med. 153(3): 357365.(Abstrak). Reiter L, Brown MA, Edmonds J, 1995. Familial hyperuricaemic nephropathy. Am J Kidney Dis25(2):235-241. Rosenthal AN, 1998. Crystal arthropathies. In: Oxford Textbook of Rheumatology, Second Ed.,Vo11, Ed. PJ Madison, DA Isenberg, P Woo, DN Glass. Oxford New York Tokyo; Oxford University Press, 1555-1581. Saeki A, Hosoya T, Okabe H, Saji M, Tabe A, Ichida K, Itoh K, Joh K, Sakai O, 1995. New discovered familiai juvenile gouty nephropathy in a Japanese family. Nephron. 70(3): 356-366' Schumacher Jr HR, 1992. Hiperuricaemia and Gout. In Rheumatology APLAR 1992, Proceding of the 7th APLAR Congress of Rheumatology, 13th-18th September 1992, Bali, Indonesia, Edit.: A.R.Nasution, J.Darmawan and Harry Isbagiao, New York,

Edinburgh, London, Merbourne and Tokyo: Churchill Livingstone, 293-243. Simmonds HA, 1994. Purine and pyrimidine disorder. In the Inherited Metabolic Diseases,second Edition, Edinburg: Churchill

Livingstone,

REFERENSI Becker & Meenaskshi J 2005. Clinical gout and pathogenesis of hyperuricaemia. In Arlhritis and Allied Conditions, A textbook of Rheumatology. 13th Ed, Vol 2, Editor WJ Koopman, Baltimore: Williams & Wilkins a Wavelry comp,2303-2339.

HA, Cameron JS, Davies PM, 1990. Precoious Familial Gout with Reduced Fractional Urate Clearance and

Calabrese G, Simmond

Normal Purine Enzymes. Quarterly J of llded.'75(277): 441 -450 . Cohen MG, Emmerson

BT, 1994. Gout. In Rheumatology.Editor JH Klippel, PA Dippe, Part 2, St Louis Baltimore: Mosby.12. 1-12.16.

29'7

-349.

Terkeltaub,R., 2001. Gout, Epidemiology, Pathology and

In Primer on the Rheumatic Diseases, Ed. 12, Edit. J.H.Klippel, Atlanta Georgia : Arthritis Foundation, 307 -3t2. WHO, 1992. Rheumatic diseases, Report of a WHO Scientific Pathogenesis.

Group,Geneva,55-58.

Wilson JM, Young AB, Kelley WN, 1984. Hypoxathine-Guanine Phosphoribosyltraferase deficiency. N Engl J Med,309(15): 900-9 1 0.

Wortmann

RL,2005. Disoder of purine and pyrimidine

metabolisme In: Harrison's Principle of Internal Medicine 16 th Ed., Vo1.2, Editor DL Kasper, AS Fauci, DL Longo, EB Braunwald, AL Hauser, JL Lameson. MacGraw-Hill New York,

2308-23t3.

398 ARTRITIS PIRAI (ARTRITIS GOUT) Edward Stefanus Tehupeiory

PENDAHULUAN

pasien gout yang mengobati sendiri (self medication). Satu study yang lama di Massachusetts (Framingham Study) mendapatkan lebih dari lo/o dari populasi dengan kadar asam urat kurang dari 7 mgl100 ml pemah mendapat serangan artritis gout akut. Hasil penelitian terlihat pada

Artritis pirai (gout) adalah penyakit yang sering ditemukan dan tersebar di seluruh dunia. Artritis pirai merupakan

kelompok penyakit heterogen sebagai akibat deposisi kristal monosodium urat pada jaringan atau akibat supersaturasi asam urat didalam cairan ekstraselular.

Tabel 1.

Manifestasi klinik deposisi urat meliputi artritis gout akut, akumulasi kristal padajaringan yang merusak tulang (tofi), batu asam urat dan yangjarang adalah kegagalan ginjal

(gout nefropati). Gangguan metabolisme

yang

Total Pasien diperiksa

mendasarkan gout adalah hiperurisemia yang didefinisikan sebagai peninggian kadar urat lebih dari 7,0 mlldl dan 6,0

mg/dl.

<6

6-6,9

Gout merupakan penyakit dominan pada pria dewasa.

antara pria African American

lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok pria caucasian.

Di Indonesia belum banyak publikasi epidemiologi tentang artritis pirai (AP). Pada tahun 1935 seorang dokter

kebangsaan Belanda bernama Van der Horst telah melaporkan 15 pasien artritis pirai dengan kecacatan (lumpuhkan anggota gerak) dari suatu daerah di Jawa Tengah. Penelitian lainT mendapatkan bahwa pasien gout yang berobat, rata-rata sudah mengidap penyakit selama

lebih dari 5 tahun. Hal ini mungkin disebabkan banyak

0,9 2,8 17,3

11

27,5

11

-7,9

162 40

>9

10

I

Total

2463

86

90,0 3,5

PATOLOGI GOUT

Prevalensi gout bertambah dengan meningkatnya

di

27 28

Dikutip dari Framingham Study (11)

Sebagaimana yang disampaikan oleh Hippocrates bahwa gout jarang pada pria sebelum masa remaja (adolescens) sedangkan pada perempuan jarang sebelum menopause. Pada tahun 1986 dilaporkan prevalensi gout di Amerika Serikat adalah 13.6/1000 pria dan 6.411000 perempuan.

taraf hidup. Prevalensi

Yang Timbul

8-8,9

7

EPIDEMIOLOGI

1281 970

Artritis Gout

Histopatologis dari tofus menunjukkan granuloma dikelilingi oleh butir kristal monosodium urat (MS[I). Reaksi inflamasi disekeliling kristal terutama terdiri dari sel mononuklear dan sel giant. Erosi kartilago dan korteks tulang terjadi di sekitar tofus. Kapsul fibrosa biasanya prominen di sekeliling tofi. Kristal dalam tofi berbentuk jarum (needle shape) dan sering membentuk kelompok kecil secara radier.

Komponen lain yang penting dalam

tofi

adalah

lipid glikosaminoglikan dan plasma protein.s Pada arhitis

gout akut cairan sendi juga mengandung krital monosodium urat monohidrat pada 95o% kasus.

2556

2557

ARTRITIS PIRAI (ARTRITIS GOUT)

Pada cairan aspirasi dari sendi yang diambil segera pada

saat inflamasi akut akan ditemukan banyak kristal di dalam lekosit. Hal ini disebabkan karena terjadi proses fagositosis.

PATOGENESIS ARTRITIS GOUT Awitan (onset) serangan gout akut berhubungan dengan perubahan kadar asam urat serum, meninggi ataupun menurun. Pada kadar urat serum yang stabil, jarang mendapat serangan. Pengobatan dini dengan alopurinol yang menumnkan kadar urat serum dapat mempresipitasi serangan gout akut. Pemakaian alkohol berat oleh pasien gout dapat menimbulkan fluktuasi konsentrasi urat serum. Penurunan urat serum dapat mencetuskan pelepasan

kristal monosodium urat dari depositnya dalam tofi (crystals shedding). Pada beberapa pasien gout atau yang dengan hiperurisemia asimptomatik kristal urat ditemukan pada sendi metatarsofalangeal dan lutut yang sebelumnya

tidak pemah mendapat serangan akut. Dengan demikian gout, sepertijuga pseudogout, dapat timbul pada keadaan asimptomatik. Pada penelitian penulis didapat 2l % pasien gout dengan asam urat normal. Terdapat peranan temperatur, PH dan kelarutan urat untuk timbul serangan gout akut. Menurunnya kelarutan sodium urat pada temperatur lebih rendah pada sendi perifer seperti kaki dan tangan, dapat menjelaskan mengapa kristal MSU diendapkanpada kedua

tempat tersebut. Predileksi untuk pengendapan kristal MSU pada metatarsofalangeal-1 (MTP-I) berhubungan juga dengan trauma ringan yang berulang-ulang pada daerah tersebut. Penelitian Simkin didapatkan kecepatan difusi molekul urat dari ruang sinovia kedalam plasma hanya setengah kecepatan air. Dengan demikian konsentrasi urat dalam cairan sendi seperti MTP- I menjadi seimbang dengan urat dalam plasma pada siang hari selanjutnya bila cairan sendi diresorbsi waktu berbaring, akan terjadi peningkatan kadar urat lokal. Fenomena ini dapat menerangkan terjadinya awitan (onset) gout akut pada malam hari pada sendi yang bersangkutan. Keasaman dapat meninggikan nukleasi urat in vitromelalui pembentukan dariprotonated solid phases. Walaupun kelarutan sodium urat bertentangan terhadap

asam urat, biasanya kelarutan ini meninggi, pada penumnan pH dari 7,5 menjadi 5,8 dan pengukuran pH serta kapasitas bu/fer pada sendi dengan gout, gagal untuk menentukan adanya asidosis. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan pH secara akut tidak signifikan mempengaruhi

pembentukan kristal MSU sendi. Peradangan atau inflamasi merupakan reaksi penting pada artritis gout terutama gout akut. Reaksi ini merupakan reaksi pertahanan tubuh non spesifik untuk menghindari

kerusakan-jaringan akibat agen penyebab. Tujuan dari proses infl amasi adalah:

.

Menotralisir dan menghancurkan agen penyebab;

.

Mencegah perluasan agen penyebab ke jaringan yang

lebih luas. Peradangan pada artritis gout akut adalah akibat penumpukan agen penyebab yaitu kristal monosodium urat pada sendi. Mekanisme peradangan ini belum diketahui secara pasti. Hal ini diduga oleh peranan mediator kimia dan selular. Pengeluaran berbagai mediator peradangan akibat aktivasi melalui berbagai jalur, antata lain aktivitas komplemen (C) dan selular.

AKTIVASI KOMPLEMEN Kristal urat dapat mengaktifkan sistem komplemen melalui jalur klasik dan jalur alternatif. Melalui jalur klasik, terjadi aktivasi komplemen Cl tanpa peran imunoglobulin. Pada kadar MSU meninggi, aktivasi sistem komplemen melalui j alur altematif terj adi apabila j alur klasik terhambat. Aktivasi Clq melalui jalur klasik menyebabkan aktivasi kolikrein dan berlanjut dengan mengaktifkan Hageman faktot (Faktor XII) yang penting dalam reaksi kaskade koagulasi' Ikatan partikel dengan C3 aktif (C3a) merupakan proses

opsonisasi. Proses opsonisasi partikel mempunyai peranan penting agar partikel tersebut mudah dikenal, yang

kemudian difagositosis dan dihancurkan oleh netrofil, monosit atau makrofog. Aktivasi komplemen C5 (C5a) menyebabkan peningkatan aktivitas proses kemotaksis sel neutrofil, vasodilatasi serta pengeluaran sitokin IL-1 dan TNF. Aktivitas C3a dan C5a menyebabkan pembentukan

membrane attack complex (MAC). Membrane altack

complex merupakan komponen akhir proses aktivasi komplemen yang berperan dalam ion channel yang bersifat sitotoksik pada sel patogen maupun sel host.Hal ini membuktikanbahwa melalui jalur aktivasi " komplemen cascade ", kristal urat menyebabkan proses peradangan melalui mediator IL-l dan TNF serta sel radang neutrofil danmakrofag.

ASPEK SELULAR ARTRITIS GOUT Pada artritis gout, berbagai sel dapatberperan dalamproses

peradangan, antara lainsel makrofag, neutrofi I sel sinovial

dan sel radang lainnya. Makrofag pada sinovium merupakan sel utama dalam proses peradangatyarrgdapat menghasilkan berbagai mediator kimiawi antara lain IL- 1 ,

TNF, IL-6 dan GM-CSF (Granulocyte-Macrophage Colony- Stimulating F actor). Mediator ini menyebabkan kerusakan jaringan dan mengaktivasi berbagai sel radang. Kristal urat mengaktivasi sel radang dengan berba gai cara

sehinggga menimbulkan respons fungsional sel dan gene expression. Respons fungsional sel radang tersebut antara lain berupa degranulasi, aktivasi NADPH oksidase gere

expression sel radang melalui jalur signal transduction

25s8

REI.JMANOIOGI

pathway dan berakhir dengan aktivasi transcription factor yang menyebabkan gen berekspresi dengan

menimbulkan reaksi radang lokal maupun sistemik dan menimbulkan kerusakan jaringan.

mengeluarkan berbagai sitokin dan mediatorkimiawi lain. Signal transduction pathway melalui 2 carayaitu, dengan mengadakan ikatan dengan reseptor (cross-link) atau dengan langsung menyebabkan gangguan non spesifik

MANIFESTASI KLINIK Manifestasi klinik gout terdiri dari artritis gout akut, interkritikal gout dan gout menahun dengan tofi. Ketiga stadium ini merupakan stadium yang klasik dan didapat

pada membran sel.

Ikatan dengan reseptor (cross-link) pada sel membran

akan bertambah kuat apabila kristal urat berikatan sebelumnya dengan opsonin, misalnya ikatan dengan

deposisi yang progresif kristal urat.

imunoglobulin (Fc dan IgG) atau dengan komplemen (C1q C3b). Kristal urat mengadakan ikatan cross-link dengan berbagai reseptor, seperti reseptor adhesion molecule (Integrin), non tyrosin kinase, reseptor FC, komplemen dan sitokin. Aktivasi reseptor melalui tirosin kinase dan s e c o n d m e s s e n g e akan mengaktifkan tr an s cr ip t i on fa c t o r. Transkripsi gen sel radang ini akan mengeluarkan berbagai mediator kimiawi antara lain IL- l. Telah dibuktikan neutrofi I yang diinduksi oleh kristal urat menyebabkan peningkatan mikrokristal fosfolipase D yang penting dalam jalur transduksi signal. Pengeluaran berbagai mediator akan

Stimulus (MSU)

STADIUM ARTRITIS GOUT AKUT Radang sendi pada stadium ini sangat akut dan yang timbul sangat cepat dalam waktu singkat. Pasien tidur tanpa ada

gejala apa-apa. Pada saat bangun pagi terasa sakit yang

hebat dan tidak dapat berjalan. Biasanya bersifat monoartikuler dengan keluhan utama berupa nyeri, bengkak, terasa hangat, merah dengan gejala sistemik berupa demam, menggigil dan merasa lelah. Lokasi yang

Makrofag, neutrofil

I

rL-12-

u

rNF

'i-, I

I

I

IL-6

Endotel Pembuluh darah

I

I

IL-8

Low

A/eutral protease

Molecular Mediator

collagenase Proteoglicanase

(PGE,POR NO) I

Acute Phase Protein febris

r

I I

S

takt k osit

Gejala sistematik

Aliran darah

Kerusakan jantung

Febris

Gambar 1. Mediator Kimiawi pada Peradangan Akut

Keterangan

:

Stimulasi dapat berupa produk bakteri (polisakarida bakteri, eksotoksin), mediator kimiawi yang iritan antara lain kristal urat, radiasi dan molekul endogen seperti kompleks imun dan fragmen komplemen. HEV: high endothelial yessel, MSU : mono sodium urate,NO: nitrit oksid,PGB : prostaglandin E, POR : produk oksigen reaktil TNF : tumor necrosis factor,IL-7 = interleukin -1, IL-6 - interleukin - 6, IL-S - interleukin - 8. (19,20)

2559

ARTRITIS PIRAI (ARTRITIS GOUT)

paling sering pada MTP-1 yang biasanya disebut podagra. Apabila proses penyakit berlanjut, dapat terkena sendi lain yaitu pergelatgantatganlkaki, lutut dan siku. Serangan akut ini dilukiskan oleh Sydenham sebagai: sembuh beberapa hari sampai beberapa minggu, bila tidak diobati, rekuren yang multipel, interval antar serangan singkat dan dapat mengenai beberapa sendi.r6 Pada serangan akut yang tidak berat, keluhan-keluhan dapat

hilang dalam beberapajam atau hari. Pada serangan akut berat dapat sembuh dalam beberapa hari sampai beberapa mmggu.

Faktor pencetus serangan akut antara lain berupa trauma lokal, diet tinggi purin, kelelahan fisik, stres, tindakan operasi, pemakaian obat diuretik atau penurunan dan peningkatan asam urat. Penurunan asam urat darah secara mendadak dengan alopurinol atau obat urikosurik dapat menimbulkan kekambuhan.

STADIUM INTERKRITIKAL Stadium ini merupakan kelanjutan stadium akut dimana terjadi periode interkritik asimptomatik. Walaupun secara klinik tidak didapatkan tanda-tanda radang akut, namun

pada aspirasi sendi ditemukan kristal urat. Hal ini menunjukkan bahwa proses peradangan tetap berlanjut, walaupun tanpa keluhan. Keadaan ini dapat terjadi satu atau beberapa kali pertahun, atau dapat sampai 10 tahun tanpa serangan akut. Apabila tanpa penanganan yang baik dan pengaturan asam waiyang tidak benal maka dapat timbul serangan akut lebih sering yang dapat mengenai beberapa sendi dan biasanya lebih berat. Manajemen yang tidak baik, maka keadaan interkritik akan berlanjut menjadi

stadium menahun dengan pembentukan tofi.

diagnosis spesifik untuk gout. Akan tetapi tidak semua pasien mempunyai tofi, sehingga tes diagnostik ini kurang sensitif. Oleh karena itu kombinasi dari penemuanpenemuan di bawah ini dapat dipakai unflrk menegakkan diagnosis: . Riwayat inflamasi klasik artritis monoartikuler khusus

. . .

pada sendi MTP-I; Diikuti oleh stadium interkritik di mana bebas simptom;

Resolusi sinovitis yang cepat dengan pengobatan kolkisin; Hiperurisemia.

Kadar asam urat normal tidak dapat menghindari diagnosis gout. Logan dkk mendapatkan 40Yo pasien gout mempunyai kadar asam urat normal. Hasil penelitian penulis didapatkan sebanyak 2l%o artitis gout dengan asam urat

normal. Walaupun hiperurisemia dan gout mempunyai hubungan kausal, keduanya mempunyai fenomena yang berbeda. Kriteria untuk penyembuhan akibat pengobatan dengan kolkisin adalah hilangnya gejala objektif inflamasi pada setiap sendi dalam waktu 7 hari. Bila hanya ditemukan

artritis pada pasien dengan hiperurisemia tidak bisa didiagnosis gout. Pemeriksaan radiografi pada serangan pefiama artritis gout akut adalah non spesifik. Kelainan utama radiografi pada kronik gout adalah inflamasi asimefi, artritis erosif yang kadang-kadang disertai nodul jaringan lunak.

PENATALAKSANAAN ARTRITIS GOUT Secara umum penanganan artritis gout adalah memberikan edukasi, pengaturan diet, istirahat sendi dan pengobatan.

Pengobatan dilakukan secara

dini agar tidak terjadi

kerusakan sendi ataupun komplikasi lain, misalnyapada

ginjal. Pengobatan artritis gout akut bertujuan STADIUM ARTRITIS GOUT MENAHUN Stadium ini umumnya pada pasien yang mengobati sendiri (self medicatioz) sehingga dalam waktu lamatidakberobat secara teratur pada dokter. Artritis gout menahun biasanya disertai tofi yang banyak dan terdapat poliartikular. Tofi

ini sering pecah

dan sulit sembuh dengan obat,

kadang-kadang dapat timbul infeksi sekunder. Pada tofus

yang besar dapat dilakukan ekstirpasi, namun hasilnya kurang memuaskan. Lokasi tofi yang paling sering pada cuping telinga, MTP-1, olekranon, tendon Achilles dan jari tangan. Pada stadium ini kadang-kadang disertai batu saluran kemih sampai penyakit ginjal menahun.

DIAGNOSIS Dengan menemukan kristal urat dalam

tofi

merupakan

menghilangkan keluhan nyeri sendi dan peradangan dengan obat-obat, antar a lain kolkisin, obat anti infl amasi non steroid (OAINS), kortikosteroid, atau hormonACTH. Obat penurun asam urat seperti alopurinol atau obat urikosurik tidakboleh diberikanpada stadium akut. Namun pada pasien yang telah rutin mendapat obat penurun asam urat, sebaiknya tetap diberikan. Pemberian kolkisin dosis standar untuk artritis gout akut secara oral3-4ka1i,0,5-0,6 mg per hari dengan dosis maksimal 6 mg. Pembenan OAINS dapat pula diberikan. Dosis tergantung dari jenis OAINS yang dipakai. Di samping efek anti inflamasi obat inijuga mempunyai efek analgetik. Jenis OAINS yang banyak dipakai pada artritis gout akut adalah indometasin. Dosis obat ini adalah 150-200 mg/hari selama 2-3 hari dan dilanjutkan 75-100 mg/hari sampai mingguberikutnya atau sampai nyeri atau peradangan berkurang. Kortikosteroid dan ACTH diberikan apabila kolkisin dan OAINS tidak efektif atau merupakan kontra indikasi. Pemakaian kortikosteroid pada gout dapat diberikan oral atau

2560

REI.JMAiNOLOGI

parenteral. Indikasi pemberian adalah pada artritis gout

akut yang mengenai banyak sendi (poliartikular). Pada stadium interkritik dan menahun, tujuan pengobatan adalah untuk menurunkan kadar asam urat, sampai kadar

noffnal, guna mencegah kekambuhan. Penurunan kadar asam urat dilakukan dengan pemberian diet rendah purin dan pemakaian obat allopurinol bersama obat urikosurik yang lain.

Mc. Carty DJ. Gout without hlperuricemia. JAIMA.1994 ;21 : 2175-6 Naccache PH, Bourgoin S, Plante E et al. Crystal induced neutrofil activation II. Evidence for the activation of a phosphatidyl choline specific phospholipase D. Arthritis and Rheumatism.

1993;30:117-25. Klippel JH Gout. Epidemiology, pathology and pathogenesis.

In: Primer on the rheumatic

diseases.l2th edition.

Atlanta:Arthritis Foundation 200Lp.307 -24. Kelley WN, Woftman RL. Gout and hyperuricemia. Kelley, Ruddy S, editors. Textbook of rheumatology 5th ed Philadelphia: WB Saunders; 1997.p.1314-50.

REFERENSI Becker MA. Clinical gout and the pathogenesis of hyperuricemia.

In Koopman WJ editor. Arthritis and allied condition. l4th edition. Williams & Ailkins; 2001 p.2281-306 Becker MA, Jolly M. Clinical gout and the pathogenesis of hyperuricemia.In: Arthritis and allied condition. A textbook of Rheumatology. Koopman WJ,editor. 15,h edition. Baltimore: Lippincott Williams and Wilkins;2005.p.2303-33. Darmawan J, Rasker JJ, Nuralim H. The effect of control and self medication of chronic gout in a developing country : Outcome after 10 years. J Rheumatol 2003 ; 30 ;243'7-43. Emmerson BT. Hyperuricemia and gout in clinical practice. Sydney: Adis Health Sciences; 1983.p.3-60. Eichenfield LF, Jhonston RB. The complement system. Sigal LH,

Ron Y,editors. Immunology and Inflammation. Basic and clinical consequences. New York: Mc Graw Hill; 1994.p.359-86 Felson DT. Epidemiology of the rheumatic diseases. gout and hyperuricemia. Koopman WI, Moreland LW,editors,l6th edition.Philadelphia:Lippencott WL Wilkins; 2O5.p.29-30. Hochberg MC, Thomas J, Thomas DJ, et al. Racial differences in the incidence of gout the role of hypertension. Arlhritis Rheum. 1995; 38:628-32. Healey LA. Epidemiology of Hyperuricemia. Gout and purine

metabolism. Proceeding

of a conferrence The Arthritis

Foundation 1974 : 709-12. Hall AP. Barry PE. Dawber TR, et al.Epidemiology of gout and hyperuricemia. Am J Med. 1965;39 : 242-51.

Logan JA. Morrison E. Mc Gitl P. Serum uric acid in acute gout. Ann Rheum Dis 199'1 :, 56: 696-7. Peterson F, Symes Y, Springer P. Perspective on pathophysiology. Coopstead editors. Philadelphia:W.B Saunders; 1999.p 173 Rodnan GP Gout : A Clinical round table conference. When and how

to treat New York:Park Row Publ;1980.p.6-23. Tehupeiory ES. Gouty arthritis and uric acid distribution in several ethnic group in Ujung Pandang disertasi 1992. Terkeltaub RA. Pathogenesis and treatment of crystal induced inflammation. In:Arthritis and allied condition. a textbook of rheumatology. Koopman WJ. Ed 15'h edition. Baltimore: Lippencott Williams and Wilkins; 2005.p 2357-69 Tjokorda RP. Hubungan interleukin-1 (IL-1) dan IL-1 reseptor antagonis dengan keradangan pada artritis pirai akut disertasi, Surabaya 2004. Telketaub RA. Gout.

N Engl J Med.2003: 349 :17.

van der Horst. Het Voorkonien Van Jicht. Ned Ind Tv.G 1935; 12:1483-5.

Walker BAM, Fantone JC. The inflammatory

response. Immunology and inflammation basic and clinical consequences. Sigal LH, Ron leditors. New York: Mc Graw-Hill; I994.p.359-84. Walport MJ, Duff GW. Cells and mediators. Maddison PJ Isenberg

DA,editors. Oxford textbook of rheumatology . 2'd edition Oxford University Press; 1988.p.503-24. Wallace SL, Bemstein D, Diamond H. Diagnosis value of colchicine therapeutic trial .JAMA ; 1967 ; 199 : 525-8.

399 KRISTAL ARTROPATI SELAIN GOUT Faridin

PENDAHULUAN

periartikular patologik yang menyebabkan keradangan

Sampai dengantahun 1960, penyebab radang sendi akibat

sendi mirip dengan keradangan sendi gout dan pseudogout. Selanjutnya kelompok ini dikenal sebagai

kristal monosodium urat (MSU crysta[) dikenal dengan

kelompok apatit atau BCP.

artritis gout. Namun berkat kemajuan pemeriksaan analisis cairan sendi, diketahui bahwa selain kristal MSU juga ditemukan suatu kristal yang tidak sama dengan kristal MSU menyebabkan suatu penyakit yang mempunyai gejala-gejala keradangan sendi yang mirip dengan gout (pseudogout), dikenal sebagai calcium pyrophosphate dehidrogenase crystal (CPPD) dengan rumus kimia

Monosodium urat monohidrat h ate d i hyd rate Basic Calcium Phosphate (BCP)

Cal ci u m py rophosp

Apatite Tricalcium phosphate Octacalcium phosphate Di calci u m phos phate d i hyd rate (brushite) Calcium magnesium phosphate (whitlokite) Calcium carbonates (calcite and aroganite) Calcium oxalate (monohydrate and dihydrate)

CarPrO, 2H2O. Istilah pseudogout dipakai untuk menggambarkan serangan radang akut yang mirip gout

dan sering tampak pada pasien-pasien dengan penimbunan kristal CPPD. Penimbunan kristal CPPD hanya ditemukan di sekitar

Lipid Kristal kolesterol

sendi dan ditandai dengan kalsifikasi rawan sendi,

Krisral - knstal lipid Kristal - kristal protein Kryoglobulin Hematoidin Charcot-Leyden Kristal - kristal steroid (karena suntikan steroid intra artikuler)

meniskus, sinovium, dan j aringan sekitar sendi. Identifikasi

kristal CPPD dalam cairan sinovial atau jaringan sekitar sendi penting untuk membedakan antara penyakit akibat deposisi kristal CPPD dengan keradangan sendi akibat penimbunan kristal dan penyakit degeneratif sendi lainnya. Istllah c h o n dr o c al c in o s i s didasarkan atas ditemukannya kristal kalsium pada pemeriksaan radiologis sebagai radiolusen di sekitar sendi. Penimbunan kristal CPPD tidak terbatas hanya pada rawan sendi, namun kristal CPPD

dapat tertimbun pada synovial lining, ligamentum-ligamentum, tendon-tendon otot, dan jarang pada jaringan lunak periartikular seperti tofus pada artritis gout kronik.2 Beberapa kristal yang telah dikenal selain kristal MSU dan CPPD adalah kelompok apatite like crystal yang menyebabkan peradangan sendi yaitu basic calcium phos-

phate (BCP), meliputi carbonate subtituted apatite, octacalcium phosphate, tricalcium phosphate (whitlockite), dan dicalcium phosphate dihidrate (brushite) (Lihat tabel 1). Kristal ini merupakan bentuk kristal

EPIDEM!OLOGI Laporan mengenai data epidemiologi penyakit radang sendi akibat penimbunan kristal (artropati kristal) sangat

jarang. Pseudogout sering ditemukan pada umur pertengahan dan umur yang lebih tua, data yang pemah dilaporkan menyatakan bahwa 1 0- I 5 % mengenai mereka yang berusia 65-70 tahun dan akan meningkat30-60o/opada usia di atas 80 tahun, perempuan lebih sering dibanding laki-laki dengan perbandingan 2-3: I . Penelitian-penelitian

prevalensi dari CPPD hanya berdasarkan gambaran radiologis dan patologi dari kondrokalsinosis. Pada suatu

2561

2562

penelitian radiologis, prevalensi kondrokalsinosis pada populasi umum sekitar 0,9 per 1000 penduduk. Kondrokalsinosis akan meningkat sesuai dengan peningkatan umur dan umumnya asimptomatik. Hubungan antara CPPD dengan osteoarhitis masih kontroversi. Suatu

penelitian kohort pasien 70 tahun, pada awal penelitian insiden kondrokalsinosis 7 ,8%o, padafollow up 7- 1 0 tahun

kemudian dengan pemeriksaan radiologis, tidak memperlihatkan peningkatan risiko kejadian osteoartritis.

Prevalensi penyakit timbunan kristal kalsium hidroksiapatit (HA) masih belum diketahui, demikian pula dari kelompok BCP lain. Kejadian radang sendi akibat penimbunan kristal HA pernah dilaporkan pada pasien umur 30 tahun, di mana biasatya jaratgterjadi osteoartritis. Berdasarkan data-data epidemiologi di atas maka pembahasan tentang kristal artropati selain gout dibatasi pada penjelasan mengenai radang sendi akibat penimbunan

kristal CPPD dan kelompok BCP.

PSEUDOGOUT

REUMAIIOI.OGI

pembentukan PPi oleh karena adanya tulang rawan pasien deposisi CPPD.

AIP dan ekstrak

Komposisi ion matriks juga mempengaruhi pembentukankristalCPPD,dimanaiotferromenghambat r r i menurunkan pembentukan kristal CPPD ln vitro dan memperlambat degradasi intraselular kristal CPPD. Sedangkan hipomagnesemia dihubungkan dengan kondrokalsinosis dimana magnesium adalah kofaktor untuk pirofosfatase dan meningkatkan kelarutan kristal CPPD, sehingga bila terjadi defisiensi akan menurunkan hidrolisis PPi dan dapat memperlambat kelarutan kristal. Kerusakan sendi akibat penimbunan kristal CPPD disebabkan oleh faktor fisis dan perubahan kimia pada rawan sendi yang mempermudah pembentukan kristal. Bepasnya kristal CPPD pada ruang sendi diikuti oleh fagositosis neutrofil dari kristal dan lepasnya substansi inflamasi, di samping itu neutrofil akan membebaskan glikopeptida yang bersifat suatu kemotaktik untuk neutrofil yang memperhebat proses keradangan. CPPD juga dapat mengaktivasi faktor Hagemen yait't kinin dan bradikinin

pirofosfatas e, ion fe

yang mengaktivasi plasminogen menjadi plasmin, Pseudogout merupakan sinovitis mikrokristalin yang dipicu oleh penimbunan kristal CPPD, dan dihubungkan dengan

selanjutnya akan mengkativasi siklus komplemen yang merupakan mediator untuk inflamasi akut.

kalsifikasi hialin serta fibrokartilago. Ditandai dengan gambaran radiologis berupa kalsifikasi rawan sendi di mana

sendi lutut dan sendi-sendi besar lainnya merupakan predileksi untuk terkena radang.

Manifestasi Klinis Gambaran klinis pasien dengan penimbunan kristal CPP dapat asimtomatik atau dengan gejala-gejala keradangan sendi yang nyata. (Lihat Tabel 2).

Patogenesis Penyebab dari pseudogout adalah timbunan kristal CPPD di dalam struktur sendi. Penyebab penimbunan dari kristal

ini belum diketahui secara pasti. Kristal yang terbentuk akan memicu proses fagositosis, selanjutnya akan melepaskan enzim-enzim lisosom yang akan mengakibatkan

keradangan. Pembentukan kristal CPPD pada kartilago

disebabkan peningkatan kadar kalsium atau pirofosfat inorganik (PPi) dari perubahan di dalam matriks yang mencetuskan pembentukan kristal atau dari kombinasi keduanya.

Episode akut serangan artritis pseudogout timbul karena terjadinya pelepasan kristal CPPD dari deposit-deposit yang terdapat dalam fibrokartilago dan kartilago hialin

yang mekanismenya meliputi: kelarutan parsial dari kristal atau perubahan matriks kartilago sekitarnya, keduanya dapat mempercepat pelepasan kristal ke dalam ruang sendi. Pada pasien dengan kristal CPPD, biasanya tidak terjadi peningkatan kadar plasma PPi dan peningkatan ekskresi

melalui urin. Konsentrasi PPi cairan sinovial meningkat pada beberapa sendi pasien dengan kristal CPPD.2 Sumber utama PPi secara biologis adalah berasal dari pemecahan nukleotida trifosfat atau berhubungan dengan

senyawa seperti uridin difosfoglukose pada kartilago. Tenembaun dalam penelitiannya mengatakan bahwa

Mono atau oligoartritis akut dengan serangan pseudogout Osteo-artritis tipe peculai Artropati pirofosfat Pseudo spondilitis ankilosing Artropati destruktif Bentuk tofaseous atau pseudotumoral Osteokromatosis sinovial Deposit pada mata Bursitis, tendinitis Carpal tunnel syndrome Cubital tunnel syndrome Ruptur tendon Nyeri punggung akut Stenosis spinal Mielopati servikal Pseud ome

n

ing itis

Pseudogout memberikan serangan akut atau subakut, episodik dan dapat menyerupai penyakit gout, di mana inflamasi sinovium merupakan gejala yang khas. Menurut Mc Carty; artritis CPPD akut disebut pseudogout, karena sangat menyerupai gout. Pada saat serangan akut didapatkan adanya pembengkakan yang sangat nyeri, kekakuan dan panas lokal sekitar sendi yang sakit dan disertai eritema. Gambaran

2563

KRISTAL ARTROPATI SELAIN GOUT

tersebut sangat menyerupai gout. Serangan akut dapat pula diprovokasi oleh tindakan operasi, dan dapat bersifat

self-limiting. Sekitar 5oh dari pasien dengan penimbunan kristal CPPD memberikan gambaran klinis seperti artritis

Mc Carty, mengajukan kriteria diagnosis untuk timbunan kristal CPPD yang didasarkan atas gambaran kristal dan radiologis (Tabel 3).

pseudoreumatoid. Gejala-gejalanya minp dengan gambaran

artritis reumatoid, seperti melibatkan beberapa sendi bersifat simetris, kekakuan pagi hari, penebalan sinovium, dan peningkatan laju endap darah, dan sekitar 1 0olo pasien dengan penimbunan kristal CPPD mempunyai titer faktor

reumatoid serum yang rendah. Hal

ini biasa

akan

mengacaukan diagnosis dengan artritis reumatoid. Penimbunan CPPD pada tulang belakang khususnya pada segmen servikal akan bermanifestasi klinis berupa

nyeri tengkuk, kekakuan, dan kadang-kadang disertai

Kategori

Definit

CPPD

Kriteria l. Ditemukan kristal CPPD secara definitif dari aspirat cairan sendi, biopsi aiau nekroskopi

ll

demam, sehingga menyerupai meningitis. Resnik, dkk, sekitar 91% pasien CPPD servikal, akan

destruksi vertebra, dan pseudo-angkilosing spondilitis'

a.

ldentifikasi kristal monoklinik atau triklinik yang

memperlihatkan positif lemah, atau kurang jelas refraksi ganda

(membias) dengan mikroskop biasa berpolarisator. b. Adanya kalsifikasi fibrokartilago dan kartilago hialin yang khas pada gambaran radiologis.

mengalami kelainan vertebra servikal seperti hilangnya

diskus intervertebral, subluksasi vertebra servikal,

: Harus memenuhi kriteria I atau lla

Probable : Harus memenuhi kriteria lla atau llb Posslb/e : Kriteria llla atau lllb seharusnya mengingatkan klinisi kemungkinan penyakit dasar timbunan

lll.

a. Artritis akut, terutama pada lutut atau sendi besar lainnya, dengan atau tanpa bersamaan hiperurisemia

b Artritis kronik terutama pada lutut, pangkal paha,

Pemeriksaan Laboratorium Pada pemeriksaan darah tidak ada yang spesifik, laju endap

darah meninggi selama fase akut, leukosit PMN sedikit

meninggi. Sekitar 20o/o pasien dengan timbunan kristal CPPD ditemukan hiperurisemia dan 5% disertai kristal MSU.

Pemeriksaan cairan sinovium dengan menggunakan mikroskop cahaya biasa dapat terlihat bentuk kristal seperti

kubus (Rhomboid), atau batang pendek bersifat birefringece positif lemah. Pada keadaan lain dapat berbentuk jarum seperti kristal MSU. Kedua bentuk kristal ini bersifat birefringence pada pemeriksaan kristal dengan menggunakan mikroskop polarisasi cahaya.

pergelangan tangan, tangan, siku, sendi bahu dan terutama bila sendi metakarpofalangeal,

disertai eksaserbasi akut; artritis krortik

yang

- Letak OA yang tidak lazim, seperti

sendi

menunjukkan gambaran tersebut membantu untuk membedakan dengan OA.

pergelangan tangan, sendi metakarpofalangeal, atau sendi bahu.

-

Gambaran radiologis misalnya penyempitan celah sendi radiokarpal, atau patelofemoral, terutama bila terisolasi (patela yang membungkus femur). Pembentukan kista subkondral

Degenerasi progeresif berat: kolaps tulang subkondral (mikrofraktur), dan fragmentasi dengan pembentukan badan-badan radiodens intra artikular

Pemeriksaan Radiologi Gambaran radiologis timbunan kristal CPPD dapat memperlihatkan gambaran kondrokalsinosis berupa bintik-

bintik atau garis-garis radioopak yang sering ditemukan di meniskus hbrokartilago sendi lutut. Dapat pula berupa

kalsifikasi pada sendi radio-ulner distal, simfisis pubis, glenoid serta anulus fibrous diskus intervertebralis' Pemeriksaan skrining dapat dilalarkan dengan pemeriksaan foto pada sendi lutut (dalam keadaan tanpa beban) dengan

posisi antero-posterior (AP), foto pelvis posisi AP untuk melihat sekitar simfisis pubis dan panggul, dan posisi postero-anterior dari pergelangan tangan.

Diagnosis gout dicurigai bila didap atk at adany a.serangan radang sendi yang bersifat rekuren, episodik, ditandai dengan sinovitis mikrostalin dan didukung dengan P

seudo

penemuan pemeriksaan radiologis yang memperlihatkan adanya kondrokalsinosis.

Pengobatan Pada serangan akut sendi besar dapat dilakukan aspirasi sekaligus dilanjutkan dengan pemberian steroid intraartikular. Tindakan ini di samping bertujuan untuk mengurangi tekanan intra artikular juga sebagai tindakan diagnostik untuk pemeriksaan kristal. Pemberian OAINS berupa fenilbutazon dosis 400-600 mg/hari untuk beberapa hari dapat bermanfaat, indometasin dosis 75-150 mg,/hari atau dengan OANS lainnya, dengan tetap memperhatikan efek samping OAINS pada saluran cerna dan pemberian pada usia lanjut. Kolkisin efektif menghambat pelepasan faktor-faktor kemotaktik seperti sel-sel neutrofrl dan mononuklir dan juga menghambat ikatan sel neutrofil dengan endotel. Pemberian kolkisin intravena efektif untuk pengobatan pseudogout, sedangkan kolkisin oral tidak sebaik pada

pengobatan gout dibanding pseudogout (primer), tapi untuk pencegahan serangan dapat digunakan kokisin oral.

2564

REUMA*IOLOGI

Mengistirahatkan sendi penting selama serangan akut dan latihan fisik dilakukan setelah serangan akut bertujuan

memperbaiki ketegangan otot dan lingkup gerak sendi untuk menghindari kontraktur. Radang sendi akibat timbunan kristal Basic Calcium Phosphate Penimbunan kelompok Dasi c calcium phosphate (BCp) ditemukan pada j aringan sendi, kulit, pembuluh darah arteri dan jaringan lainnya. Pada sistem muskuloskletal, kristal dapat ditemukan pada tendon otot, diskus interverlebral, kapsul sendi, sinovium, dan kartilago. Umumnya kalsifikasi berbentuk tunggal, dapat pula multipel. Dari kelompok ini yang terbanyak ditemukan adalah kristal hidroksiapatit

(HA). Timbunan HA merupakan faktor penting pada kejadian artropati kronik destruktif yang sangat berat, terjadi pada usia lanjut dan sering terjadi pada sendi lutut

dan bahu. Meskipun penyakit

ini jarang,

namun

manifestasi klinis yang kadang-kadang mirip dengan OA, maka perlu difikirkan kemungkinan kristal HA dan

golongannya. Peranan kristal BCP dalam patogenesis penyakit sendi belum diketahui. Hipotesis yang dikemukakan, kistal BCp dapat mengakibatkan peradangan sendi, dan memicu terjadinya radang sendi.

Menggunakan mikroskop elektron, kristal HA mempunyai ukuran 5-720 pm, berbentuk bundar atau gumpalan tidak beraturan, tidak bersifat birefringence.

Sindrom bahu Milwaukee (Milwaukee shoulder syndrome) Sindrom bahr; Milwaukee, merupakan kelainan pada bahu yang umumnya ditemukan pada perempuan usia

lanjut. Gambaran klinis mirip dengan kelainan-kelainan pada sendi bahu, seperti tendinitis rotator cffi robekan tendon otot-otot rotator cu/f, bursitis. Pada sindrom ini biasa ditemukan efusi, robekan tendon otot-otot rotator cuffyangluas, gambaran radiologis ditemukan kalsifikasi periartikular, subluksasi kaput humeral. Analisis cairan sendi ditemukan kristal BCP, jumlah leukosit sinovial yang rendah. Gambaran klinis berupa nyeri bahu ringan sampai

berat, keterbatasan lingkup gerak sendi bahu, pada beberapa kasus terdapat subluksasi sendi bahu. Belum

diketahui cara pengobatan ataupun pencegahan penimbunan kristal BCP. Pengobatan hanya dirujuan pada gej ala-gej ala yang ditemukan.

Beberapa radang sendi akibat penimbunan kristal kelompok BCP yaitu periartritis kalsifikasi, dan kalsinosis. namun sangat jarang ditemukan. Secara umum patofisiologi dan gambaran klinis sama dengan HA, sehing_u a pada makalah ini tidak dijelaskan semuanya.

REFERENSI Finckh A, Linthoudt VD, Duvoisin B, Bovay p,Gerster JC The cervical spine in calcium pyrophosphate dihydrate deposition disease. A prevalent case control studir. J Rheumatol 2004;31: 54s-9 Gatter RA, Schumacher HR Special studies for crystalline material In Joint fluid analysis.2"d edition, phitadelphia:Lea & Fabiger;1991 p.78-84

Halverson PB., Ryan LM.: Arthritis asociated with calcium containing crystal In: Klippel JH.Primer on the rheumatic disease, l2'h edition, Atlanta:Arthritis foundation; 2001 p 298-306 Halverson PB Basic calcium phosphate (apatite, octacalcium phosphate, tricalcium phosphate) crystal deposition and calcinosis. In: Arthritis and allied conditions, 15th ed vo1 2, Koopman

WJ, Moreland LW. Philadelphial:Lippincot Witliam & Wilkins; 2005.p 2397 -416 Pons-Estel BA, Gimeniz C, Sacnon M, et al .Familial osteoarthritis and Milwaukee shoulder assocjated with calcium pyrophosphate and apatite crystal deposition J Rheumatol. 2000:21 : 471-80 Rosenthal AK, Ryan LM : Calcium pyrophosphate crystal deposition disease, pseudogout, and articular chondrcalcinosis. In

Arthritis and allied conditions, l5th edition, Koopman WJ, Moreland LW Philadelphia:Lippincot William & Wilkins; 200s.p.2373-96 Reginato AJ, Reginato AM.Diseases association with deposition ol calcium pyrophosphate or hydroxyapatite. In Kelley textbook ol rheumatology. 6'h edition, Ruddy S, Hanis ED, Sledge CB. Philadelphia:W.B. Saunders; 2001.p.1377 -90

Soenarto.Kristal artropati selain gout. Dalam: Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi ketiga jilid I, Editor: Noer S, Waspaji S,Rachman AM, dkk. Jakarta:Balai Pustaka FKUI; I 996.p.89-96 Tehupeiory ET, Faridin HP .Pseudogout. Dalam: Naskah lengkap temu ilmiah reumatologi 2000, Bambang Setyohadi, Yoga I Kasjmir, Siti Mahfudzohv editors, Jakarta, 6-8 Oktober 2000 49-52 :

400 LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Harry Isbagio, Yoga I Kasjmir, Bambang Setyohadi, Nyoman Suarjana

Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) adalah penyakit rematik

autoimun yang ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga mengakibatkan kerusakan

jaringan.

Etiopatologi dari SLE belum diketahui secara pasti'

Diduga melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi genetik dan faktor lingkungan.

Faktor genetik diduga berperanan penting dalam predisposisi penyakit ini. Pada kasus SLE yang terjadi secara sporadik tanpa identifrkasi faktor genetik, berbagai

faktor lingkungan diduga terlibat atau belum diketahui faktor yang bertanggung jawab.

Interaksi antara sex, status hormonal dan aksis hipotalamus-hipofise-adrenal (HPA) mempengaruhi

EPIDEMIOLOGI Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE diberbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda bervariasi antara 2. 9/ I 00. 000 -400/ 1 00. 000. SLE lebih sering ditemukan pada ras teftentu seperti bangsa negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Terdapat juga tendensi familial. Faktor ekonomi

dan geografi tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara (5,5-9) : 1. Pada lupus eritematosus yang disebabkan obat (drug induced LE), rasio ini lebih rendah, yaittt3 2.

autoantibodi patogenik. Respon imun yang terpapar

Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah sakit. Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/ RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai berikut: antara tahun 1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE (Ismail Ali); selama periode 5 tahun (1912-1976) ditemukan 1 kasus SLE dari setiapa 666 kasus yang dirawat (insidensi sebesar 15 per 10.000 perawatan); antara tahun 1988-1990 (3 tahun)

SLE merupakan hal yang sangat penting agar bisa

dan kriteria ARA yang telah diperbaiki. Insidensi di Yo gy akarta anatara tahun I 9 8 3 - I 9 8 6 ialah

kepekaan dan ekspresi klinis SLE. Adanya gangguan dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan

pembersihan sel-sel apoptosis dan kompleks imun merupakan konstributor yalg penting dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun, I o ad), banttan sel T yang berlebihan, gangguan supresi sel B dan

meningkatnya beban antigenik (anti genic

peralihan respon imun dari T helper

l(Thl)

ke

Th2 menyebabkan hiperaktivitas sel B dan memproduksi

faktor ekstemal/lingkungan seperti radiasi ultraviolet (fV) atau infeksi virus dalam periode yang cukup lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun. Pemahaman terhadap patogenesis/imunopatologi memberikan terapi yang sesuai. Dalam makalah ini akan dibahas berbagai faktor yang terlibat dalam patogenesis SLE.

insidensi rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan. Ketiganya menggunakan kriteria yang berbeda-beda, yaitu berturut-turut kriteria Dubois, kriteria pendahuluan ARA

10,1 per 10.000 perawatan (Purwanto, dkk). Di Medan anatara tahun 19840-1986 didapatkan insidensi sebesar 1,4 per 10.000 perawatan (Tarigan).

2565

2566

FAKTORGENETIK Kejadian SLE yang lebih tinggi pada kembar monozigotik (25%) dlbatdingkan dengan kembar dizigotlk (3%), peningkatan frekuensi SLE pada keluarga penderita SLE dibandingkan dengan kontrol sehat dan peningkatan prevalensi SLE pada kelompok etnik tertentu, menguatkan dugaan bahwa faktor genetik berperan dalam patogenesis ST

F.

Banyak gen yang berkontribusi terhadap kepekaan

penyakit. Pada sebagian kecil pasien (< 5y,), hanya gen tunggal yang ber{anggungjawab. Sebagai contoh pasien dengan defisiensi homozigot dari komponen awal komplemen mempunyai risiko terkena SLE atau penyakit

yang menyerupai lupus (lupus-like disease). Tetapi pada sebagian besar pasien memerlukan keterlibatan banyak

gen. Diperkirakan paling sedikit ada empat susceptibility genes yang terlibat dalam perkembangan penyakit. Elemen genetikyang paling banyak diteliti kontribusinya

terhadap SLE pada manusia adalah gen dari Kompleks Histokompatibilitas Mayor (MHC). Penelitian populasi menunjukkan bahwa kepekaan terhadap SLE melibatkan polimorfisme dari gen HLA (human leucocyte antigen)kelas

II. Hubungan HLA DR2 dan DR3 dengan SLE pada umumnya ditemukan pada etnik yang berbeda, dengan risiko relatif terjadinya penyakit berkisar antara2 sampai 5. Gen HLA kelas II juga berhubungan dengan adanya antibodi tertentu seperti anti-Sm (small nuclear ribonuclearmprotein), anti-Ro, anti-La, anti-nRNP (nucl ear rib onuclear protein) dan anti-DNA. Gen HLA kelas III, khususnya yang mengkode komponen komplemen C2 dan C4,memberikan risiko SLE pada kelompok etnik tertentu. Penderita dengan homozygous C4A null alleles tanpa memandang latar belakang etnik, mempunyai risiko tinggi berkembang menjadi SLE. Selain itu SLE berhubungan dengan pewarisan defisiensi

Clq, Clrls dat C2. Penurunan aktivitas komplemen meningkatkan kepekaan terhadap penyakit oleh karena berkurangnya kemampuan netralisasi dan pembersihan, baik terhadap antigen diri sendiri (self antigen) maupun antigen asing. Jika beban antigen melebihi kapasitas pembersihan dari sistem imun, maka autoimunitas mungkinterjadi.

REI.JMATOIOGI

perempuan. Serangan pertama kali SLE jarang terjadi pada usia prepubertas dan setelah menopause.

Metabolisme estrogen yang abnormal telah ditunjukkan pada keduajenis kelamin, dimana peningkatan hidroksilasi 166 dari estrone mengakibatkan peningkatan yang bermakna konsentrasi 166 hidroksiestron. Metabolit

166 lebih kuat dan merupakan feminising estrogen. Perempuan dengan SLE juga mempunyai konsentrasi androgen plasma yang rendah, termasuk testosteron, dehidrotestosteron, dehidroepiandrosteron (DHEA) dan dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS). Abnormalitas ini

mungkin disebabkan oleh peningkatan oksidasi testosteron pada C-17 atau peningkatan aktivitas aromatase jaringan. Konsentrasi androgen berkorelasi negatif dengan aktivitas penyakit. Konsentrasi testosteron

plasma yang rendah dan meningkatnya konsentrasi luteinising hormone (LH) ditemukan pada beberapa penderita SLE laki-laki. Jadi estrogen yang berlebihan dengan aktivitas hormon androgen yang tidak adekuat

pada laki-laki maupun perempuan, mungkin

bertanggungjawab terhadap perubahan respon imun. Konsentrasi progesteron didapatkan lebih rendah pada penderita SLE perempuan dibandingkan dengan kontrol sehat.

Prolactin (PRL) adalah hormon yang terutama berasal

dari kelenjar hipofise anterior, diketahui menstimulasi respon imun homural dan selular, yang diduga beryeranan dalam patogenesis SLE. Selain kelenjar hipofise, sel-sel sistem imun juga mampu mensintesis PRL. Fungsi PRL menyerupai sitokin, yang mempunyai aktivitas endokrin, parakrin dan autokrin. PRL diketahui menstimulasi sel T, sel natural killer (NK), makrofag, neutrofil, sel hemopoietik CD34+ dan sel dendritik presentasi antigen. Hormon dari sel lemak yang diduga terlibat dalam patogenesis SLE adalah leptin. Penelitian konsentrasi leptin serum pada penderita SLE perempuan yang dilakukan oleh Garcia-Gonzales dkk,ar mendapatkan kadar leptin pada penderita SLE lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol sehat.

Selain itu banyak gen non-MHC polimorfik yang dilaporkan berhubungan dengan SLE, termasuk gen

AUTOANTIBODI

yang mengkode mannose binding protelr (MBP), TNFo, reseptor sel ! interleukin 6 (IL-6),CRl, imunoglobulin

Gangguan imunologis utama pada penderita SLE adalah produksi autoantibodi. Antibodi ini ditujukan kepada self molecules yang terdapat pada nukleus, sitoplasma, permukaan sel, dan juga terhadap molekul terlarut seperti IgG dan faktor koagulasi. Antibodi antinuklear (ANA) adalah antibodi yang paling banyak ditemukan pada penderita SLE ( labih dari95o/o). Anti-double stranded DNA (anti ds-DNA) dan anti-Sm antibodi merupakan antibodi yang spesifik untuk SLE, sehingga dimasukkan dalam kriteria klasifikasi dari SLE. Antigen Sm merupakan suatu small nuclear ribonucleoproleir (snRNP), terdiri dari rangkaian uridine yang kaya molekul RNA, berikatan

Gm dam Km allotypes, Fc6RIIIA dan heat shock protein 70 (HSP 70). Penemuan daerah kromosom yang multipel (multiple chromosome regions) sebagai risiko berkembangnya SLE, mendukung pendapat bahwa SLE merupakan penyakit poligenik.

FAKTOR HORMONAL

SLE adalah penyakit yang lebih banyak menyerang

2567

LUPUS ERITEM^TTTOSUS SISTEMIK

dengan kelompok protein inti dan protein lain yang berhubungan dengan RNA. Anti-Sm antibodi berikatan dengan protein inti snRNP, sedangkan antibodi anti-DNA berikatan dengan conserved nucleic acid determinant yang tersebar luar dalm DNA. Titer antibodi anti-DNA sering kali berubah sesuai dengan waktu dan aktivitas penyakit, sedangakan titer antibodi anti-Sm biasanya konstan. Antibodi anti-DNA pada umumnya berhubungan dengan adanya glomerulonefritis, walaupun korelasi antara antibodi anti-DNA dengannefritis lupus tidaklah sempuma karena beberapa penderita dengan nefritis lupus yang aktif tidak ditemukan antibodi anti-DNA, sedangkan beberapa penderita dengan titer antibodi anti-DNA yang menetap tinggi, tidak menunjukkan adanya keterlibatan ginjal. Keterlibatan antibodi anti-DNA pada nefritis lupus didukung oleh adanya bukti-bukti : l. Observasi klinis pada sebagian besar pasien menunjukkan bahwa nefritis aktif berhubungan dengan peningkatan titer anti-DNA dan penurunan nilai total komplemen hemolitik.2. Antibodi antiDNA lebih suka mengendap di ginjal, sehingga diduga bahwa kompleks imun DNA-antibodi anti-DNA merupakan mediator inflamasi yang utama. Meskipun gangguan ginjal

mungkin akibat terbentuknya kompleks imun yang mengandung antibodi anti-DNA, tetapi keberadaan kompleks imun dalam sirkulasi sulit dideteksi oleh karenadalam serum konsentrasinya rendah. Antibodi antiDNA berikatan dengan bagian DNA yang melekat pada membran basal dari glomerulus melalui histon atau berinterkasi dengan antigen glomerular yang lain seperti

C1q, nukleosom, heparan sulfat dan laminin. Ikatan antibodi anti-DNA dengan antigen ini akan menginisiasi inflamasi lokal dan aktivasi komplemen sehingga terbentuk kompleks imun di ginjal. Meskipun telah ditemukan hubungan yang jelas antara gambaran klinis tertentu dari SLE dengan autoantibodi seperti antibodi anti-ribosomal P dengan psikosis, antibodi anti-Ro dengan blok jantung bawaan dan lupus kutaneus subakut, tetapi patogenisitas dari antibodi ini belum diteliti secara adekuat. Sehingga mekanisme imunologis yang pasti dari kelainan ini masih belum jelas. Patogenesis dari manifestasi selain glomerulonefritis belum diketahui secara baik, meskipun kemungkinan mekanisme yang mendasari

adalah deposisi kompleks imun dengan aktivasi komplemen pada tempat-tempat tertentu. Hal ini ditunjukkan dengan seringnya didapat hubungan antara hipokomplemenemia dengan tanda-tanda vaskulitis pada SLE yang aktif. Kerusakan langsung yang diperantarai oleh antibodi dan sitotoksisitas yang diperantarai oleh sel pada

jaringan target, merupakan mekanisme yang mungkin mendasari. Walaupun antibodi anti-dsDNA adalah antibodi

yang paling banyak diteliti pada penderita SLE, namun ada antibodi lain yang juga berperan dalam manifestasi

klinis khususnya pada anemia hemolitik autoimun, trombositopenia, kelainan kulit dan lupus neonatus. Autoantibodi yang umum didapatkan pada penderita SLE

dan hubungannya dengan manifestasi SLE tampak pada

Tabel3. Adanya antibodi anti-Ro, anti-La atau kedua-duanya pada kehamilan memberikan risiko terkena blok jantung fetus sebesar 1-2o/o. Antigen Ro terpapar pada permukaan ototjantung fetus (tetapi tidak pada ibu) sehinggajantung

mengalami remodeling melalui apoptosis, dan antibodi anti-Ro dari ibu melewati plasenta kemudian berinteraksi dengan antigen Ro. Autoantibodi dari ibu akan merusak jaringan konduksi jantung fetus.Tidak adanya efek pada jantung ibu memperlihatkan pentingnya keberadaan autoantibodi dan paparan antigen secara bersama-sama pada jaringan jantung.

Antibodi terhadap reseptor N-methyl-o-aspartate (NMDA) mungkin berperanan penting dalam sistem susunan saraf pusat dari SLE. NMDA adalahasam amino excitatory yang dikeluarkan oleh sel saraf. Penelitian yang dilakukan oleh Kawal dkk mendapatkan serum penderita SLE yang mengandung antibodi DNA dan reseptorNMDA

menyebabkan gangguan

kognitif dan

kerusakan

hipokampus jika disuntikkan secara intravena kepada tikus'

Mereka juga menemukan antibodi anti-reseptor-NMDA padajaringan otak penderita lupus serebral.

Antigen spesifik

Prevalensi

Efek klinik utama

(%l Anti-dsDNA Nukleosom Ro La

Sm Reseptor NMDA Fosfolipid q-Actinin

C1o

70-80 60-90 30-40 15-20 10-30 33-50 20-30 20 40-50

Gangguan ginjal, kulit Gangguan ginjal, kulit Gangguan kulit, ginjal, gangguan jantung fetus Gangguan jantung fetus Gangguan ginjal Gangguan otak Trombosis, abortus Gangguan ginjal Ganqquan qinial

NMDA = N-methyl-D-aspaftate

Baik antibodi anti-Ro dan anti-nukleosom memegang

peranan dalam lupus kutaneus. Antibodi anti-Ro berhubungan dengan peningkatan risiko berkembangnya ruam fotosensitif. Antibodi anti-nukleosum bisa ditemukan dari jaringan biopsi kulit, pada sebagian kecil penderita

dengan nefritis lupus

aktif tanpa ruam pada kulit.

Autoantibodi yang merusak sel darah merah dan trombosit berperanan penting dalam kejadian anemia hemolitik dan

trombositopenia pada penderita lupus.Pujo dkk, mendapatkan korelasi yang kuat antara trombositopenia

dengan adanya antibodi anti-trombosit. Beberapa autoantibodi seperti antinuklear, anti-Ro, ' arti-La dan antifosfolipid pada umumnya sudah terbentuk

beberapa tahun sebelum timbulnya gejala SLE' Autoantibodi yang lain seperti anti-Sm dan anti-nuklear ribonukleoprotein muncul hanya dalam beberapa bulan sebelum diagnosis SLE. Sedangkan autoantibodi antidsDNA berada dipertengahat arllara kedua kelompok

2s68

REUMATIOI.OGI

autoantibodi tersebut. Interval antara hasil positif pemeriksaan autoantibodi spesifik dengan awitan gejala dan saat diagnosis ditegakkan tampak pada Tabel 4.

potensial.

P aparan dietilstilbesterol prenatal berhubungan dengan gangguan autoimun, meskipun masih memerlukan

investigasi lebih lanjut. HRT dan penggunaan pil kontrasepsi oral juga berhubungan dengan sedikit peningkatan risiko berkembangnya

Meskipun faktor genetik dan hormonal mungkin

SLE. Estrogen lingkungan dan gangguan endokrin mungkin merupakan pencetus yang penting untuk autoimunitas pada individu yang peka.

merypakan predisposisi untuk SLE, tetapi inisiasi penyakit ini diduga merupakan hasil dari beberapa faktor eksogen dan lingkungan. Agen infeksi seperti virus Epstein-Barr

MANIFESTASI KLINIK

FAKTOR LINGKUNGAN

(EBV) mungkin menginduksi respon spesifik melalui kemiripan molekular (molecular mimicry) dan gangguan terhadap regulasi imun; diet mempengaruhi produksi

mediator inflamasi; toksin/obat-obatan memodifikasi respon selular dan imunogenisitas dari self antigen; dan

agen fisik/kimia seperti sinar ultraviolet (UV) dapat menyebabkan inflamasi, memicu apoptosis sel dan menyebabkan kerusakan jaringan. Pengaruh faktor lingkungan terhadap predisposisi individual sangat bervariasi. Hal ini mungkin bisa menjelaskan heterogenitas

dalr adanya periode bergantian altata remisi dan kekambuhan dari penyakit ini.

Manifestasi klinik penyakit ini sangat beragam dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai LES. Hal ini dapat terjadi karena manifestasi klinik penyakit LES ini seringkali tidak ter;adi secara bersamaan. Seseorang dapat saja selama beberapa lama mengeluhkan nyeri sendi yang berpindah-pindah tanpa adanya keluhan lain. Kemudian diikuti oleh manifestasi klinis lainnya seperti fotosensitifitas dan sebagainya yang pada akhirnya akan memenuhikriteriaLES. Gambaran klinis keterlibatan sendi atau muskulos keletal dijumpai pada90o/o kasus LES, walaupun artritis sebagai manifestasi awal hanya dijumpai pada 55

Faktor fisik/kimia

o . .

Amin aromatik Hydrazine Obat-obatan (prokainamid, hidralazin, klorpromazin, isoniazid, fenitoin, penisilamin) Merokok Pewarna rambut Sinar ultraviolet (UV)

Faktor makanan

. .

Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan L-canavanine (kuncup dari alfalfa)

Agen infeksi

o o Hormon . .

Retrovirus

DNAbakteri/endotoksin dan estrogen lingkungan (environmental oestrogen) Terapi sulih hormon (HRT), pil kontrasepsi oral Paparan estroqen prenatal

Radiasi UV bisa mencetuskan dan mengeksaserbasi

ruam fotosensitivitas pada SLE, juga ditemukan bukti bahwa sinar UV dapat merubah struktur DNA yang menyebabkan terbentuknya autoantibodi. Sinar UV juga bisa menginduksi apoptosis keratinosit manusia yang meghasilkan blebs rrlkTear dan autoantigen sitoplasmik pada permukaan sel.

Penggunaan estrogen meningkat pada perempuan postmenopause dan untuk kepentingan kontrasepsi. Paparan estrogen secara kronik pada tikus prepubertas non-imun mempengaruhi perkembangan timus dan toleransi imun. Paparan senyawa estrogenik selama kehidupan fetus bisa menimbulkan risiko imunologik yang

o%

kasus.

Gejala Konstitusional

Kelelahan Kelelahan merupakan keluhan yang umum dijumpai pada

penderita LES dan biasanya men-dahului berbagai manifestasi klinis lainnya. Kelelahan ini agak sulit dinilai

karena banyak kondisi lain yang dapat menyebabkan kelelahan seperti adanya anemia, meningkatnya beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti prednison. Kelelahan ini dapat diukur dengan menggunakan Profile of Mood States (POMS) dan tes toleransi latihan. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit LES ini maka diperlukan pemeriksaan penunjang lain, yaitu kadar C3 serum yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons terhadap pemberian steroid atau latihan.

Penurunan Berat Badan Keluhan ini dijumpai pada sebagian penderita LES dan

terjadi dalam beberapa bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal.

Demam Demam sebagai salah satu gejala konstitusional sulit dibedakan dari sebab lain seperti infeksi, karena suhu tubuh dapat lebih dari 40 C tanpa adanya bukti infeksi lain

2569

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

seperti leukositosis. Demam akibat LES biasanya tidak disertai menggigil.

Lain-lain Gejala-gejala lain yang sering dijumpai pada penderita LES

dapat terjadi sebelum ataupun seiring dengan aktifitas penyakitnya seperti rambur rontok, hilangnya nafsu makan, pembesaran kelenjar getah bening, bengkak, sakit kepala, mual dan muntah

Manifestasi Muskuloskeletal Keluhan muskuloskeletal merupakan manifestasi klinik yang paling sering drjumpai pada penderita LES, lebih dari 90%. Keluhan dapatberupanyeri otot (mialgia), nyeri sendi

(artralgia) atau merupakan suatu artritis dimana tampak jelas bukti inflamasi sendi. Keluhan ini seringkali dianggap sebagai manifestasi Afiritis reumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak dan simetris. Untuk ini perlu dibedakan dengan Artritis reumatoid dimana pada umumnya LES tidak

menyebabkan kelainan deformitas, kaku sendi yang berlangsung beberapa menit dan sebagainya. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah kemungkinan adanya

koinsidensi penyakit autoimun lain seperti Artritis reumatoid, Polymyositis, Skleroderma atau manifestasi klinis penyakit-penyakit tersebut merupakan bagian gejala klinisLES.

Manifestasi Kulit Ruam kulit merupakan manifestasi LES pada kulit yang telah lama dikenal oleh para ahli. Sejak era Rogerius, Paracelsus, Hebra sebelum abad 19 manifestasi kulit seperti

seborea kongestifa, herpes esthimones dan sebagainya telah diperdebatkan sebagai suatu lesi kulit pada LES. Lesi muko-kutaneus yang tampak sebagai bagian LES dapat berupa reaksi fotosensitifitas, diskoid LE (DLE), subacute cutaneous lupus erythemalosas (SCLE), lupus profundus / paniculitis, alopecia, lesi vaskuler berupa eritema periun-

gual, livedo reticularis, teleangiectasia, fenomena raynaud's atau vaskulitis atau bercak yang menonjol berwama putih perak dan dapat pula berupa bercak eritema pada palafum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau depigmentasi pada bibir.

Manifestasi Paru Berbagai manifestasi kilinis pada paru-paru dapat terjadi baik berupa radang interstitial parenkim paru (pneumonitis), emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru, atat shrinking lung syndrome. Pneumonitis lupus dapat terjadi secara akut atau

batuk kering, dan dijumpai ronkhi di basal. Keadaan ini terjadi sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini memberikan respons yang baik dengan pemberian steroid. Hemoptisis merupakan keadaan yang serius apabila merupakan bagian dari perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan penanganan yang tepat, dimana tidak hanya penggunaan steroid namun tindakan pengobatan lain seperti lasmaferesis atau pemberian sitostatika.

Manifestasi Kardiologis Baik perikardium, miokardium, endokardium atau-pun pembuluh darah oroner dapat terlibat pada penderita LES, walaupun yang paling banyak terkena adalah perikardium. Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai ada-nya

keluhan nyeri substernal, friction rub, gambaran silhouette sigz foto dada, ataupun melalui gambaran EKG, Echokardiografi. Apabila dijumpai adanya atitmia atart gangguan konduksi, kardiomegali bahkan takikardia yang

tidak jelas penyebabnya, maka kecu-rigaan adanya miokarditis perlu dibuktikan lebih lanjut. Penyakit jantung koroner dapat pula dijumpai pada

penderita LES dan bermanifestasi sebagai angina pectoris, infark miokard atau gagal jantung kongestif. Keadaan ini semakin banyak dijumpai pada penderita LES usia muda dengan jangka penyakit yang panjang serta penggunaan steroid jangka panjang.

Valvulitis, gangguan konduksi serta hipertensi merupakan komplkasi lain yang juga sering dijumpaipada penderita LES. Vegetasi pada katub jantung merupakan akumulasi dari kompleks imun, sel mononuklear, jaringan nekrosis, jaringan pantt, hematoxylin bodies, hbrin dan

trombus trombosit. Manifestasi yang sering dijumpai adalah bisingjantung sistolik dan diastolik.

Manifestasi Renal Keterlibatan ginj al dijumpaipada 40-7 5% pen-derita yang sebagian besar terj adi setelah 5 tahun menderita LES . Rasio

wanita : pria dengan kelainan ini adalah 10:1, dengan puncak insidensi antara usia 20 - 30 tahun' Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak sebelum teq'adi kegagalan ginjal atau sindroma nefrotik. Pemeriksaan terhadap protein urin>500 mgl24 jam atau 3* semi kwantitatif, adanya cetakan granuler, hemoglobin, tubuler, eritrosit atau gabungan serta pyria (>5/LPB) tanpa bukti adanya infeksi serta peningkatan

kadar serum kreatinin menunjukkan adanya keterlibatan ginjal pada penderita LES. Akan tetapi melalui biopsi ginjal

akan diperoleh data yang lebih akurat untuk menilai

berlanjut menjadi kronik. Pada keadaan akut perlu

keterlibatan ginjal ini. WHO membagi klasifikasi

dibedakan dengan pneumonia bakterial dan apabila terjadi keraguan dapat dilakukan tindakan invasive seperti bilas bronkhoalveolar. Biasanya penderita akan merasa sesak,

keter-libatan ginjal atas dasar hasil biopsi menjadi 6 klas' Kajian yang masih kontroversil dan menarik untuk dibahas adalah kaitan attara gambaran klinis, laboratorik,

2570

REUMA*IOLOGI

klasifikasi patologi. Kajian ini diperlukan sehubungan dengan kepentingan strategi pengobatan dimana tujuan

utamanya adalah mempertahankan fungsi ginjal (lihat Tabel

1). Namun demikian adanya proteinuria,

piuria kreatinin dapat diakibatkan sebab lain seperti infeksi, glomerulonefritis, efek toksik ob atpada

Pankreatitis akut dijumpai pada sekitar

80%

penderita

LES. Keluhan ditandai dengan adanya nyeri abdominal bagian atas disertai mual dan muntah serta peningkatan serum amilase. Sampai saat ini penyebabnya masih

serta buruknya bersihan

dipertanyakan apakah memang karena LES itu sendiri atau

ginjal.

akibat pengobatan seperti steroid, azathioprin yang diketahui dapat menyebab-kan pankreatitis. Namun

Man

ifestasi Gastrointesti nal

Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES, karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada penyakit ini atau sebagai akibat pengobatan. Secara klinis tampak adanya keluhan penyakit pada

esofagus, mesenteric vasculitis, inJlamatory bowel disease (IBS), pankreatitis dan penyakit hati.

Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada saat penderita dalam keadaan tertekan dan sifatnya episodik, walaupun tidak dapat dibuktikan adanya kelainan pada esofagus tersebut, kecuali gangguan motilitas. Keluhan dispesia yang dijumpai pada lebih kurang 50% penderita LES , lebih banyak dijumpai pada mereka yang

memakai glukokortikoid. Bahkan adanya ulkus juga berkaitan dengan pemakaian obat ini. Nyeri abdominal dikatakan berkaitan dengan inflamasi pada peritoneum, yang dibuktikan dengan pemeriksaan autopsi.

Kelainan lain seperti IBS sulit dibedakan dengan causa idiopatik karena gambaran klinis yang tidak banyak berbeda.

Vaskulitis yang terjadi di daerah mesenterik perlu mendapat perhatian yang besar karena, walaupunjarang, dapat mengakibatkan perforasi usus halus atau colon yang

berakibat fatal. Keluhan ditandai dengan nyeri di daerah abdominal bawah yang hilang timbul dalam periode beberapa minggu atau bulan. Pembuktian adanya vaskulitis ini dilakukan dengan arteriografi.

Mesangial

Focal

prolif.

demikian drjumpai pula pankreatitis pada penderita yang tidak mendapatkan steroid. Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai dengan peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH. Kelainan ini berkaitan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan anti inflamasi non steroid, terutama salisilat. Kecurigaan terhadap LES perlu dipikirkan apabila pada seorang wanita muda dengan poliartritis dan mendapatkan salisilat didapatkan peningkatan serum SGOT/SGPT. Transaminase ini akan kembali normal apabila akitifitas LES dapat dikontrol dan anti inflamasi dihentikan. Belum

jelas hingga kini apakah kelainan hati yang terjadi merupakan bagian dari LES, koinsidensi dengan LES, atau merupakan lupoid hepatitis (autoimmune chronic active hepatitis) dan tidak dijumpai bukti adanya kaitan infeksi

virushepatitisB (HBV). Man

ifestasi Neu ropsikiatrik

Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini

dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemunkginan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat. Pembuktian adanya keterlibatan syaraf pusat tidak terlalu banyak membantu proses penegakkan diagnosis rrri. Dapat dijumpai kelainan EEG namun tidak spesifik, pada

Diffuse prolif.

i

Tubulonterstisial

lnfeksi

Druginduced

Disuria

GG

Late onset

Late onset

+ + +

+ +

B

Gejala Hipertensi Proteinuria g/dl Hematuria Eri/LPB Piuria L/LPB Cetakan LFG ml/min CHSO

C3

N

Anti-dsDNA Kompleks imun

N N

+

5-'15 +

GG,SN seflng 1-20 Banyak Banyak Banyak

N

N

60-80

<60

N

+< +< +< +>

+ <1

<2

5-1 5 5-1 5

5-1 5

SN Late onset

N N N

N N N

N

N N

3,5-20

N

+

Banyak N

N

N N N N

N N

Keterangan: Eri=Eritrosit, LPB=luas pandang besar, L=leukosit, LFG=Laju filtrasi glomerulus, CH50=komplemen hemolitik serum total (dalam 50% hemolitik unit), C3=komplemen 3, N=Normal, +=jarang, sedikit, >=meningkat, <=menurun, >>=sangat meningkat, <<=sangat menurun, GG=gagal ginjal, SN=sindroma nefrotik

N N

2571

LUPUS ERITEMATOSiUS SISTEMIK

Kriteria

Batasan

Ruam malar

Eritema menetap, datar atau menonjol, gada malar eminence dan lipat nasolabial. Bercak eritema menonjol dengan gambaran SLE| keratotik dan sumbatan folikular. Pada SLE| tanjut dapat ditemukan parut atrofik.

Ruam diskoid Fotosensitifitas Ulkus mulut Artritis non-erosif

Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa. Melibatkan dua atau lebih sendi perifer, ditandai oleh rasa nyeri, bengkak dan efusi

Pleuritis atau perikarditis

Pleuritis - riwayat nyeri pleuritik alau pleuritc friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi pleura.

Gangguan renal

atau Perikarditis - bukti rekaman EKG atau pericardial friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau bukti efusi perikardial. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+

Gangguan neurologi

b. a.

a

atau Cetakan selular- dapat eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan. Kejang - tanpa disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolik, misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit atau

b. Gangguan hematologik

a.

Psikosis - tanpa disebabkan oleh obalobatan atau gangguan metabolik, misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidak-seimbangan elektrolit. Anemia hemolitik dengan retikulosis atau

b.

Leukopenia - <4.000/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau

c.

Limfopenia - <1.500/mm3 pada dua kali pemeriksaan atau

Gangguan imunologikb

d. a.

Trombositopenia - <100.000/mmt tanpa disebabkan oleh obat-obatan. Anti-DNA: antibodi terhadap native DNA dengan titer yang abnormal

b

atau Anti-Sm: terdapatnya antibodi terhadap antigen nuklear Sm atau

c.

Antibodi antinuklear positif (ANA)

Temuan positif terhadap antibodi antifosfolipid yang didasarkan atas: 1) kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik lgG atau lgM, 2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metoda standard, atau 3) hasit tes positif palsu paling tidak selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan test imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibodi treponemal'

Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat pada setiap kurun waktu perjalan oenvakit tanoa keterlibatan obat.

Keterangan: Klasifikaii ini terdiri dari 11 kriteria dimana diagnosis harus memenuhi 4 dari 11 kriteria tersebut yang terjadi secara bersamaan atau dengan tenggang waktu Modifikasi kriteria ini dilakukan pada tahun',l997.

cairan serebrospinal dapat ditemukan kompleks imun, kadar C4 rendah, peningkatan IgG IgA dan atau IgM, peningkatanjumlah sel , peningkatan kadar protein atau penunrnan kadar glukosa.

Keterlibatan susunan syaraf pusat

dapat

Man ifestasi Hemik-limfatik Limfadenopati baik menyeluruh ataupun terlokalisir sering dijumpai pada penderita LES ini. Kelenjar getah bening

yang paling sering terkena adalah aksila dan servikal,

bermanifestasi sebagai epilepsi, hemiparesis, lesi syaraf kranial, lesi batang otak, meningitis aseptik atau myelitis transversal. Sedangkan pada susunan syaraf tepi akan

dengan karakteristik tidak nyeri tekan, lunak, dan ukuran bervariasi sampai 3-4 cm. Organ limfoid lain yang sering dijumpai pula pada penderita LES adalah splenomegali yang iasanya disertai

bermanifestasi sebagai neuropati perifer, myasthenia gravis atau mononeuritis multiplex. Dari segi psikiatrik, gangguan

oleh pembesaran hati. Kerusakan lien berupa infark atau trombosis berkaitan

fungsi mental dapat bersifat organik atau non-organik.

dengan adanya lupus antikoagulan. Bahkan pernah

2572

REUMAIOI.OGI

dilaporkan adanya ruptur arteri lienalis walaupun tidak

10.

dijumpai bukti vaskulitis. Anemia dapat dijumpai pada suatu periode dalam perkembangan penyakit LES ini. Diklasifikasikan sebagai anemia yang diperantarai proses imun dan non-imun. Pada anemia yang bukan diperantarai proses imun diantaranya berupa anemia karena penyakit kronik, defisiensi besi,

I

sickle cell anemia dan anemia sideroblastik. Untuk

Hematologi: anemia, leukopenia, dan trombositopenia

L Neuropsikiatri: psikosis, kejang,

sindroma otak organik,

mielitis transversa, neuropati kranial dan perifer.

PRINSIP UMUM DALAM PENATALAKSANAAN SLE

hemolitik otoimun dan beberapa kelainan lain yang dikaitkan dengan proses otoimun seperti anemia

Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan dalam penatalaksanaan penderita SLE, terutama pada penderita yang baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung kepada penderita atau dengan membentuk kelompok penderita

pemisiosa, acute hemophagocytic syndrome.

yang bertemu secara berkala untuk membicarakan

anemia yang diperantarai proses imun dapat bermanifestasi sebagai pure red cell aplasia, anemia aplastik, anemia

masalah penyakitnya.

Pada umumnya, penderita SLE mengalami fotosensitifitas, sehingga penderita harus selalu

Diagnosis Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan lab orutoirtrr' American College ofRheumatolog,t (ACR), pada tahun 1982, mengajukan 11 kriteria untuk klasifikasi SLE, dimana bila didapatkat 4 kriteria, maka diagnosis SLE dapat ditegakkan. Kriteria tersebut adalah l. Ruammalar 2. Ruam diskoid

3. Fotosensitifitas 4. Ulserasi di mulut atau nasofaring 5. Artritis 6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis 7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten

>0,5

:

grlhai,

atau adalah silinder sel

8. 9.

Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang atau psikosis

11.

Antibodi antinuklear (Antinuclear antibody, ANA) positif

Kelainan hematologik, yaitu anemia hemolitik, atau lekopenia atau limfopenia atau trombositopenia 10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti DNA posistif, atau anti Sm positif atau tes serologik untuk

sifilis yang positif palsu.

Kecurigaan akan penyakit SLE bila dijumpai 2 (dua) atau lebih keterlibatan organ sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu: 1. jender wanita pada rentang usia reproduksi. 2. Gejala konstitusional: kelelahan, demam (tanpa bukti

diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar matahari. Mereka dinasehatkan untuk selalu menggunakan krem pelindung sinar matahai, baju lengan panjang, topi atau palung bila akan berjalan di siang hari. Pekerja di kantor juga harus dilindungi terhadap sinar matahari dari jendela. Karena infeksi sering terjadi pada penderita SLE, maka penderita harus selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya, terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi, obat-obat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus dipertimbangkan pada penderita SLE yang akan

menjalani prosedur genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya. Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita SLE, terutama penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang merupa kan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya anti malaria atau siklifosfamid.

1. 2 3

infeksi) dan penurunan berat badan.

6.

Muskuloskeletal: arlritis, artralgia,miositis Kulit; ruam kupu-kupu (butterfly atao malar rash), fotosensitivitas, SLEi membrana mukosa, alopesia, fenomena Raynaud, purpura, urtikaria, vaskulitis. Ginjal: hematuria, proteimria, cetakan, sindroma nefrotik Gastrointestinal: mual, muntah, nyeri abdomen

7.

Paru-paru: pleurlsT, hipertensi pulmonal, SLEi parenkhim

J. 4.

5.

paru.

8. Jantung: perikarditis, endokarditis, miokarditis 9. Retikulo-endotel: organomegali (limfadenopati, splenomegali, hepatomegali)

4

5.

6.

Penjelasan tentang apa itu lupus dan penyebabnya Tipe dari penyakit SLE dan perangai dari masing-masing tipe tersebut. Masalah yang terkait dengan fisik: kegunaan latihan terutama yang terkait dengan pemakaian steroid seperti osteoporosis, istirahat, pemakaian alat bantu maupun diet, mengatasi infeksi secepatnya maupun pemakaian kontrasepsl. Pengenalan masalah aspek psikologis: bagaimana pemahaman diri pasien SLE, mengatasi rasa lelah, stres emosional, trauma psikis, masalah terkait dengan keluarga atau tempat kerja dan pekerjaan itu sendiri, mengatasi rasa nyeri. Pemakaian obat mencakup jenis, dosis, lama pemberian dan sebagainya. Perlukah suplementasi mineral dan vitamin? Obalobatan yang dipakai jangka panjang contohnya obat anti tuberkulosis dan beberapa jenis lainnya termasuk antibiotikum. Dimana pasien dapat memperoleh informasi tentang SLE ini, adakah kelompok pendukung, yayasan yang bergerak

2573

LUPUS ERITEMJTTOSUS SISTEMIK

Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut SLE dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu pengawasan aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.

Sebelum penderita SLE diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunisupresif yang agresif. Pada umumnya, penderita SLE yang tidak mengancam

nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya.

fotosensitifitas harus berlindung terhadap paparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung,

kaca jendela yang digelapkan, menghindari paparan langsung dan menggunakan sunscreer. Sebagian besar sunscreen topikal berupa krem, minyak, lotio atau gel yang mengandung PABA dan esternya, benzofenon,

salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar ultraviolet A dan B. Sunscreer ini harus selalu dipakai ulang setelah mandi atau bila berkeringat. Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat

dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal harus hati-hati, karena glukokortikoid

topikal, terutama yang bersifat diflorinasi

dapat

menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi, teleangiektasis dan

fragilitas. Untuk kulit muka dianjur kan penggunaaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak diflorinasi, misalnya hidrokortison, sedangkan untuk kulit

TERAPI KONSERVATIF

badan dan lengan dapat di-gunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya betametason valerat dan

Artritis, artralgia dan mialgia. Artritis, Artralgia dan

triamsinolon asetonid. Untuk lesi-lesi hipertrofik, misalnya

Mialgia merupakan keluhan yang sering dijumpai pada penderita SLE. Pada keluhan yang ringan dapat diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid. Yang harus diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini adalah efek sampingnya, agar tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek samping terhadap sistem gashointestinal, hepar dan ginjal harus diperhatikan, misalnya dengan memeriksa kreatinin serum secara berkala. Bila analgetik

dan obat antiinflamasi non steroid tidak memberikan respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian obat antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin 400 mg,4rari' B ila

dalam waktu 6 bulan, obat ini tidak memberikan efek yang baik, harus segera distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin lebih dari 6 bulan memerlukan

evaluasi oftalmologik, karena obat ini mempunyai efek toksik terhadap retina. Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekwat dengan analgetik atau obat anti-inflamasi non-steroid atau obat anti malaria, dapat dipertimbangkan pemberian kortikosteroid dosis rendah,

dengan dosis tidak lebih

dari 15 mg, setiap pagi.

Metotreksat dosis rendah (7,5-15 mglminggu), juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi artritis pada penderita SLE. Nyeri pa da I atat2 sendi yang menetap pada penderita SLE yang tidak menunjukkan bukti tambahan peningkatan

aktifitas penyakitnya, harus dipikirkan kemungkinan adanya osteonekrosis, apalagi bila penderita mendapat terapi kortikosteroid. Osteonekrosis awal, sering tidak menunjukkan gambaran yang bermakna pada foto radiologik konvensional, sehingga memerlukan pemeriksaan

didaerah palmar dan plantar pedis, dapat digun akan glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi, misalnya betametason dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid berkekuatan tinggi harus dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang berkekuatan lebih rendah. Obat-obat antimalaria sangat baik untuk meng-atasi lupus kutaneus, baik lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid. Antimalaria mempunyai

efek suns blocking, antrinfl amasi dan imunosupresan' Efek imunosupresan antimalaria berhubungan dengan ikatannya pada membran lisosomal sehingga mengganggu

metabolisme rantai a dan B HLA klas

II.

Selain itu

antimalaria juga mengurangi pelepasan interleukin (IL)- 1, IL-6 dan tunor necrosis factor (TNF)-ot oleh makrofag dan IL-2 dan Interferon (IFN)-y oleh sel T. Antimalaria juga

mengikat melanin dan berperan sebagai sunscreen' Pada penderita yarrg resisten terhadap anti-malaria, dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid sistemik dan obat eksperimental lainnya. Dapson dapat

dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid, vaskulitis dan lesi LE berbula' Harus diperhatikan efek toksiknya terhadap sistem hematopoetik, seperti methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia dan anemia hemolitik, yang kadang-kadang memperburuk ruam

LEdikulit. Fatigue dan keluhan sistemik. Fatigue merupakan keluhan yang sering didapatkan pada penderita SLE, demikian juga

penurunan berat badan dan demam. Fatigue juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan penurunan

MRI.

berat badan dan fever dapat juga diakibatkan oleh

Lupus kutaneus.sekitar 70% penderita SLE akan mengalami fotosensitifitas. Eksaserbasi akut SLE dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar ultraviolet, sinar inframerah, panas dan kadang-kadangjuga sinar fluoresensi. Penderita

pemberian quinakrin. Dokter harus bersikap simpatik dalam mengatasi masalah ini. Seringkali hal ini tidak memerlukan terapi spesifik, cukup menambah waktu istirahat dan mengatur jam kerja. Pada keadaan yang berat dapat

2574

menunjukkan peningkatan aktifitas SLE dan pemberian glukokortikoid sistemik dapat dipertimbangkan. Serositis. Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita SLE dapat merupakan tanda serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat diatasi dengan salisilat, obat antiinflamasi non-steroid, antimalaria atau glukokortikoid dosis rendah (15 mglhari). Pada keadaan yang berat, harus

diberikan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol penyakitnya.

TERAPIAGRESIF

Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis tinggi harus segera dimulai bila timbul manifestasi serius SLE dan mengancam nyawa, misalnya

vaskulitis, lupus kutaneus yang berat, poliartritis,

REIJM'IIOI.oGI

NaCl 0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 literl24 jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada terapi SLE. Siklofosfamid diindikasikan pada: 1. Penderita SLE yang membutuhkan steroid dosis tinggi (steroid sparing agent) 2. Penderita SLE yang dikontraindikasikan terhadap steroid dosis tinggi 3. Penderita SLE kambuh yang telah diterapi dengan steroid jangka lama atau berulang 4. Glomerulonefritis difus awal 5. SLE dengan trombositopenia yang resisten terhadap steroid. 6. Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkat an kreatinin serum tanpa adnya faktor-faktor ekstrarenal

l.

lainnya SLE dengan manifestasi susunan saraf pusat. Pada penderita dengan penurunan fungsi

ginjal sampai

poliserositis, miokarditis pneumonitis

lupus, glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik,

dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-750 mg/ nt'. Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah lekosit darah

trombositopenia, sindrom otak organik, defek kognitif yang berat, mielopati, neuropati perifer dan krisis lupus (demam

Bilajurnlah lekosist mencapai 1500/ml, maka dosis siklofosfamid berikutnya diturunkan 2 5ok. Kegagalarr menekan jumlah lekosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis

tinggi, prostrasi).

50o%,

harus dipantau.

Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan dibandingkan jenis glukokortikoid yang akan diberikan. Walaupun demikian, pemberian glukokortikoid berefek

ditingkatkan l0% pada pemberian berikutnya.

panjang seperti deksametason, sebaiknya dihindari.

bulan, kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama

Pemberian prednison lebih banyak disukai, karena lebih mudah mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral, sebaiknya diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari. Pada manifestasi minor SLE, seperti artritis, serositis dan gejala konstitusional, dapat diberikan prednison 0,5 mgl kgBB/hari, sedangkan pada manifestasi major dan serius dapat diberikan prednison I - I ,5 mg/kgBB/hari. Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gtamatav 15 mglkgBB selama 3-5 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti

pemberian siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara

glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan prednison oral I - 1 ,5 mgikgBB/ hari. Respons terapi dapat terlihat sedini mungkin, tetapi dapat juga dalam waktu

yang cukup lama, seperti 6-10 minggu. Toksisitas SLE merupakan problem tersendiri pada penatalaksanaan SLE. Setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus mulai dilakukan penurunan dosis secara bertahap, dimulai dengan 5-10% setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis prednison mencapai 30 mg,&ari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5 mg/minggu, dan setelah dosis prednison mencapai l0-15 mg/hari, penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bita timbul eksaserbasi akut, dosis prednison dinaikkan sampai ke dosis efektif sebelum nya sampai beberapa minggu, kemudian dicoba diturunkan kembali.

Bila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi tidak menunjukkan perbaikan yang nyata, maka dipertimbangkan untuk memberikan imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya. Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 grlm'? dalam 250 ml

siklofosfamid yang tidak adekuat, sehingga dosisnya harus Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval

1

bertahap dengan memperhatikan aktifitas lupusnya. Toksisitas siklofosfamid meliputi nausea dan vomitus, alopesia, sistitis hemoragika, keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan azoospermia. Obat sitotoksik lain yang toksisitas dan efektifitasnya lebih rendah dari siklofosfam rd adalah azatioprin. Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan sebagai alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3 mg/ kgBB/hari dan diberikan secara per-oral. Obat ini dapat diberikan selama 6-12bulan pada penderita SLE; setelah

penyakitnya dapat dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis azatioprinjuga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik. Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik, peningkatan enzim

hati dan mencetuskan keganasan. Imunosupresan lain yatg dapat digunakan untuk pengobatan SLE adalah Siklosporin-A dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari) dan mofetil mikofenolat. Siklosporin A dapat digunakan pada SLE baik tanpa manifestasi renal maupun dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus diperhatikan tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah. Bila kadar kreatinin darah meningkat2}o/o dari kadar kreatinin darah sebelum pemberian siklosporin A, maka

dosisnya harus diturunkan. Terapi lain yang masih dalam taraf penelitian adalah

terapi hormonal, imunoglobulin dan

afaresis

(plasmafaresis, lekofaresis dan kriofaresis). Salah satu

2575

LUPUS ERITEMITTOSUS SISTEMIK

toksisitas Mielosupresif, hepatotoksik,

Evaluasi Awal

gangguan limfoproliferatif

kreatinin, AST / ALT

Jenis

Jenis Obat

Azatioprin

50-'150 mg

per

hari, dosis terbagi 1 -3,

tergantungberat

Darah tepi lengkaP,

badan

Siklofosfamid

Metotreksat

Siklosporin

A

50-150 Mielosupresif, gangguan hari. mg/M2 keganasan, infus jam

Per oral:

mg per limfoproliferatif, lV: 500 dalam Dextrose imunosuPresi, 250 ml, sistitis hemoragik' selama 1 infertilitas sekunder Mielosupresif, 7.5 - 20 ng I fibrosis hepatik, minggu. dosis sirosis, infiltrat tunggal atau pulmonal dan terbagi 3. Dapat fibrosis diberikan pula melalui injeksi

2.5-5 mg/kg BB, atau sekitar 100 - 400 mg per hari dalam 2 dosis, tergantung berat badan,

Mofetil

mikofenolat

2000 mg/hari mg dalam 2 dosis

Pembengkakan, nyefl gusr, peningkaian tekanan darah, peningkatan pertumbuhan rambut, gangguan fungsi ginjal, nafsu makan menurun, tremor. Mual, diare, leukopenia.

terapi hormonal yang banyak digunakan adalah danazol,

suatu androgen, yang bermanfaat untuk mengatasi trombositopenia pada SLE. Mekanisme kerjanya tidak diketahui secara pasti. Pemberian imunoglobulin intravena juga berguna untuk mengatasi trombositopenia, dengan dosis 300-400 mg/kg BB/hari, diberikan selama 5 hari

berturut-turut, diikuti dosis pemeliharaan setiap bulan untuk mencegah kekambuhan. Kontraindikasi mutlak pemberian imunoglobulin pada pada penderita defisien IgA yang kadang-kadang ditemukan pada penderita SLE.

PENATALAKSANAAN KEADAAN KHUSUS

tepi

Darah lengkap,

hitung

leukosit, urin lengkap.

jenis

Pemantauan Laboratorik Darah tepi lengkap Gejala tiap 1-2 minggu dan mielosupresif selanjutnya 1-3 bulan interval- AST tiap tahun dan pap smear secara teratur Darah tepi lengkap Gejala dan urin lengkap tiap mielosupresif, bulan, sitologi urin hematuria dan dan pap smear tiap infertilitas tahun seumur hiduP. Klinis

Darah tepi lengkap terutama hitung trombosit tiap 4-8 minggu, AST / ALT dan albumin tiap 4-B minggu, urin lengkap dan kreatinin.

Darah tepi lengkap, foto toraks, serologi hepatitis B dan C pada pasien risiko tinggi, AST, fungsi hati, kreatinin. Darah tepi lengkap, kreatinin, urin lengkap, LFT.

Gejala mielosupresif, sesak nafas, mual dan muntah, ulkus

Gejala hipersensitifitas terhadap castor oil (bila obat diberikan injeksi), tekanan darah, fungsi hati dan ginjal

Kreatinin, LFT, Darah tepi lengkap.

Darah tepi lengkap, fese lengkap

Gejala

Darah tepi lengkap terutama leukosit dan hitung jenisnya

mulut.

gasiroi ntesti nal seperli mual,

trombosis arteri karotis interrra. Trombosis arteri biasanya

mempunyai prognosis buruk. Antikoagulan lupus, biasanya mempunyai respons yang baik terhadap glukokortikoid dosis tinggi, sedangkan antibodi

antikardiolipin sangat resisten baik

terhadap glukokortikoid dosis tinggi maupun imunosupresan lain.

Abortus berulang pada SLE Aborhrs berulang pada penderita SLE dapat diakibatkan oleh aktif,rtas SLEnya atau adanya antibodi antifosfolipid. Untuk menekan aktifitas SLE, glukokor-tikoid cukup aman dan tidak mempengaruhi janin, kecuali betametason dan deksametason karena dapat mencapai janin dalam bentuk yang aktif. Pada penderita dengan antibodi antifosfolipid

Trombosis pada SLE

yang belum pernah mengalami abortus, dapat

Trombosis seringkali mempakan manifestasi dari SLE dan

dipertimbangkan untuk tidak memberikan terapi apapun. Makin sering terjadi aborlus, maka kemungkinan untuk mempertahankan kehamilan makin kecil, sehingga terapi harus diberikan. Ada beberapa pilihan terapi, antara lain

sering berhubungan dengan adatya antibodi antifosfolipid. Dalam keadaan ini, antikoagulan merupakan obat pilihan untuk mengatasinya, misalnya warfarin, dan mempertahankan nilai fNR (International Normalization Ratio) 3-3,5. Hal ini terutama sangat penting pada

aspirin dosis rendah, kombinasi aspirin dosis rendah dengan glukokortikoid dosis sedang, glukokortikoid dosis tinggi

2576

dengan atau tanpa aspirin atau penggunaan heparin (warfarin bersifat teratogenik pada kehamilan trimester I). Semua regimen ini meningkatkan angka keberhasilan kehamilan secara bermakna. Selain itu pemantauan terhadap ibu dan janin secara ketat sangat penting untuk diperhatikan.

REUMATIOI.OGI

Pengobatan lupus serebral pada dasarnya bersifat empirik karena belum banyak ditunjang dengan bukti uji klinis Pada keadaan yang berat atau terjadi perburukan cepat dapat diberikan pulse steroid therapy menggunakan metil prednisolon 1 g/hari selama 3 hari berturut-turut. Alternatif lain adalah pemberian deksametason 12-20 mg. Bila tidak memberikan respon baik dapat diberikan

1

siklofosfamid intra vena dengan dosis 0,75- 1.00 g/m'z

LUPUS NEONATAL Lupus neonatal merupakan sindrom pada neonatus yang lahir dari ibu yang menderita SLE. Gejala yang paling sering adalah ruam kemerahan di kulit disertai plakat. Lesi ini berhubungan dengan transmisi antibodi Anti Ro (SS-A) melalui plasenta. Kelainan lain yang lebih serius tapi jarang adalah blok jantung kongenital yang dapat fatal. Itulah sebabnya setiap wanita penderita SLE yang hamil harus diperiksa terhadap kemungkinan adanya antibodi anti-Ro.

setiap 3-6 minggu. 2

Pada kondisi pasien tidak terlalu buruk

berikan

prednison 1 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi. 3

Bila terdapat bukti vaskulitis yang berat

maka

pemberian kortikosteroid dosis tinggi harus diberikan segera. Demikian pula pemberian obat sitotoksik.

Atasi trombosis terutama bila terkait dengan adanya antibodi antifosfolipid Hati-hati pemberian heparin berlebihan justru dapat memperburuk keadaan.

Pasien dengan gejala kejang dapat diatasi dengan pemberian anti konvulsan seperti fenitoin. Kecuali bila terjadi status epileptikus atau kejang berulang, berikan kortikosteroid dosis tinggi.

lain yang dapat diberikan

Trombositopenia pada SLE

Pengobatan

Pada penderita SLE yang mengalami trombositopenia, harus dievaluasi kemungkinan penyebab trombositopenia

plasmaferesis, imunoglobulin intravena (lVlG), terapi oksigen hiperbarik, intratecal CSF-feresis, transplantasi

adalah

stemcell

yang lain, misalnya efek samping obat, purpura trombositopenia trombotik, infeksi virus (Hry HBY CMV) dan infeksi bakteri (endokarditis bakterialis, sepsis gram-

negatif). Berikan prednison 0,5 - 1 mg/kgBB,4rari selama 3 -4 minggu, bilajumlah trombosit <50.000/m1, kemu-dian dosis prednison diturunkan secara bertahap. Target terapi ini

adalah jumlah trombosit mencapai >50.000im1. Bila prednison tidak memberikan efek perbaikan, dapat dipertimb angkan pemb eri an danazol 400 - 8 0 0 mglhari, imunoglobulin atau splenektomi. Pada penderita yang resisten terhadap semua modalitas atau pada penderita dengan keterlibatan organ mayor, dapat diberikan bolus siklofosfamid tiap bulan sampai 6 bulan.

SLE pada Sui:unan Saraf Pusat (SSP). Penderita SLE pada Susunan SarafPusat dapat dibagi2,

yaitu penderita dengan strok dan penderita dengan kelainan SSP yang lebih luas. Pada penderita dengan strok,

pemberian antikoagulan lebih banyak gunanya daripada imunosupresan, sedangkan pada penderita dengan kelainan SSP yang luas, apalagi bila disertai vaskulitis

perifer, maka pengobatan dengan imunosupresan merupakan pilihan. Pada penderita SLE yang mengalami kejan!-kejang tanpa keterlibatan aktifitas pada organ lain, seringkali pemberian antikonvulsan tanpa imunosupresan cukup memadai. Demikian juga penderita psikotik tanpa manifestasi SLE yang lain, seringkali cukup diberikan obatobat psikoaktif. Kelainan kognitif yang ringan dapat juga diberikan prednison 30 mg,trari selama beberapa minggu,

kemudian diturunkan dosisnya secara bertahap. Pada sindrom otak organik yatg berat, koma atau mielopati, diperlukan terapi yang agresif dengan glukokortikoid dosis

tinggi, dengan atau tanpa obat sitotoksik.

NEFRITIS LUPUS

Penatalaksanaan umum

l.

:

Pada semua penderitayatg diduga menderita nefritis lupus harus dilakukan biopsi ginjal bila tidak ada kontra

indikasi, karena hal ini akan menentukan strategi

3. 4.

penatalaksanaan lebih lanjut. Kurangi asupan garam bila ada hipertensi, asupan lemak bila ada dislipidemia dan asupan protein bila fungsi ginjal mulai terganggu. Perhatikan asupan kalsium untuk mencegah osteoporosis akibat steroid. Berikan loop diuretics untuk mengtasi udem Hindari penggunaan salisilat dan obat anti inflamasi

5. 6.

non-steroid. Terapi agresifterhadap hipertensi Hindari kehamilan, karenapenderita nefritis lupus yang

2.

7. 8.

hamil akan berrisiko tinggi untuk mengalami gagal ginjal. Pada penderita nefritis lupus dengan manifestasi SLE di kulit, dapat dipertimbangkan pemberian antimalaria Pemantauan berkala aktifitas penyakit dan fungsi ginjal yang meliputi tekanan darah, sedimen urin, kreatinin serum, albumin serum, protein urin 24 jam, komplemen C3 danantiDNA.

Berdasarkan hasil biopsi ginjal, maka diberikan terapi spesifik untuk nefritis lupus sebagai berikut : l. Klas L Tidak diperlukan terapi spesifik 2. Klas II. Beberapa penderita dengan lesi mesangial, tidak memerlukan terapi spesifik. Penderita kelas IIb dengan proteinuria > I gram/hari, titer anti ds-DNA yang tinggi dan C3 yang rendah, harus diberikan prednison 20 mg/

2577

LUPUS ERITEMITFOSUS SISTEMIK

hari selama 6 minggu sampai 3 bulan, kemudian dosisnya diturunkan secara bertahap, tergantung

3.

aktifitas penyakit. Klas III dan lV.Padakeadan ini, risiko untuk terjadinya gagal ginjal dalam 10 tahun lebih dari 50%o, sehingga harus diberikan terapi yang agresif. Berikan prednison I mg/kgBB,&ari minimal selama 6 minggu tergantung respons kliniknya, kemudian dosisnya diturunkan secara bertahap dan dipertahankan pada dosis 10-15 mglhari selama 2 tahun. Bila respons terhadap

glukokortikoid tidak dapat dicapai, berikan siklofosfamid 500-1000mg/m2 setiap bulan selama 6 bulan kemudian 3 bulan sekali selama 2 tahun. Bila setelah dicapai perbaikan kemudian timbul perburukan lagi, dosis siklofosfamidbulanan dapat diulang kembali

atau diberikan tambahan bolus metilprednisolon tiap

bulan. Bila terjadi perburukan fungsi ginal, dapat dipertimbangkan pemberian bolus metilprednisolon atau afaresis. Sebagai pengganti siklofosfamid, dapat juga diberikan azatioprin, tetapi efektifitasnya lebih

4.

rendah daripada siklofosfamid. Klas Z. Diberikan prenison 1 mg/kgBB,4rari sela-ma 6-12 minggu, kemudian dosis diturunkan secara bertahap sampai mencapai l0 mg,&rari dan dipertahankan samapai 1-2 tahun. Obat sitotoksik jarang diperlukan, kecuali bila ada komponen proliferatif. Lesi membranosa sangat jarang ditemukan, dan bila ditemukan dapat dipertimbang kan pemberian siklosporin-A. Penderita dengan kadar kreatinin serum lebih dati3 mgl

mumi

5.

dl untuk jangka panjang, tidak dianjurkan pemberian obat sitotoksik. Penderita ini memerlukan dialisis atau transplantasi ginjal. Untuk mengontrol manifestasi ekstrarenal, dapat diberikan prednison dosis pemeliharaan 5- 10 mgAari. Restriksi protein dan garam

juga harus diperhatikan, demikian juga tekanan darahnya.

REFERENSI Silva C, Isenberg DA. Aetiology and pathology of systemic lupus erythematosus. Hospt Pharm 2001;7 :1"7. Mok CC, Lau CS. Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Clin Pathol 2003;56:481-490. Manson JJ, Isenberg DA. The Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Netherl Med 2003 ;61 (l 1):3 43 -346. Zvezdanovic L, Dordevic V, Cosic V, Cvetkovic T, Kundalic S, Stankovic A. The significance of cytokines in diagnosis of autoimmune diseases. Jugos lov Med Biohem 2006;25 :363 -37 2' Cervera R, Klamashta MA, Font J, et al. Systemic lupus erythematosus: clinical and immunologic patterns of disease expression

in a cohort of 1,000 patients. The European Working Party on Systemic Lupus Erythematosus. Medicine (Baltimore) 1993;72:l13-24. Formiga F, Moga I, Pac M, et al. Mild presentation of systemic lupus erythematosus in elderly patients assessed by SLEDAI' Lupus 1999;8'.462-5.

French MA, Hughes P. Systemic lupus erythematosus and Klinefelter's syndrome. Ann Rheum Dis 1983;,42:471 3. Lahita RG Bradlow HL, Kunkel HG, et al. Alterations of estrogen metabolism in systemic lupus erythematostts. Arthritis Rheum 1979;22:1195-8. Jungers P, Nahoui K, Pdlissier C, Dougados M, Athea N, Tron F, Bach JF. Plasma androgens in women with disseminated lupus

erythematosus. Presse Med 1983;12:685-8. Lahita RG Bradlow HL, Ginzler E, et al. Low plasma androgens in women with systemic lupus erythematostts. Arthritis Rheum

1987;30:241-8.

Lahita RG Kunkel HG, Bradlow HL. Increased oxidation of testosterone in systemic lupus erythematosts. Arthrilis Rheum I98f;26:1517 -21 Folomeev M, Dougados M, Beaune J, et al. Plasma sex hormones .

and aromatase activity in tissues of patients

with systemic lupus

erythematosus. Lupus 1992;1:19l-5. Sequeira JF, Keser G Greenstein B, et al. Systemic lupus erythematosus: sex hormones in male patients. Lupus 1993;2:315-17. Mok CC, Lau CS. Profile of sex hormones in male patients with systemic lupus erythematosus. Zzpus 2000;9:252-7 McMurry RW, May W (2003) Sex hormones and systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 2003 ;48:2 1 00- 1 0. ZM, Chiorazzi N, Lahita RG Regulation of the immune response by sex hormones. I. In vitro effects of estradiol and

Sthoeger

testosterone on pokeweed mitogen-induced human B cell differentiation. J Immunol 1988;141 :91-8. Kanda N, Tamaki K. Estrogen enhances immunoglobulin production by human peripheral blood mononuclear cells. J Allergy Clin Immunol 1999 ;103 :282-8. Kanda N, Tsuchida T, Tamaki K. Estrogen enhancement of

DNA antibody and immunoglobulin G pro-

anti-double-stranded

duction in peripheral blood mononuclear cells from patients

with systemic lupus erythemalostts. Arthrilis

Rheum

t999;42:328-37. Evans MJ, Maclaughlin S, Marvin RD, et al. Estrogen decreases in

vitro apoptosis of peripheral blood mononuclear cells from women with normal menstrual cycles and decreases TNF-alpha production in SLE but not in normal cultures. Clin Immunol

Immunopathol 1997 ;82:258-62. Wyle FA, Kent JR. Immunosuppression by sex steroid hormones' The effect upon PHA- and PPD-stimulated lymphocytes' Clin Exp Immunol 1971 ;21 :407 -15. McMurray RW, Ndebele K, Hardy KJ, et al. 17-beta-estradiol suppresses 7L-2 ard IL-2 receptor. Cytokine 2001;14:324-33' Rider Y Foster RT, Evans M, et al. Gender differences in autoimmune diseases: estrogen increases calcineurin expression in systemic lupus erythematosus. C/iz Immunol Immunopathol 1998;89:171-80. Ricler V Jones S, Evans M, et ai. Estrogen increases CD40 ligand expression in T cells from women with systemic lupus erythematosus. J Rheumatol 2001;28 2644-9. Kanda N, Tsuchida T, Tamaki K. Testosterone inhibits immunoglobulin production by human peripheral blood mononuclear cells' Clin Exp Immunol 1996;106:410-15. Kanda N, Tsuchida T, Tamaki K. Testosterone suppresses anti-DNA antibody production in peripheral blood mononuclear cells from patients with systemic lupus erythematosts. Arthritis Rheum 1997 ;40:17

03-l

1

.

Suzuki T, Suzuki N, Daynes RA, et al. Dehydroepiandrosterone enhances IL-2 production and cytotoxic effector function of human T cells. CIin Immunol Immunopalhol 1991'61 202-10'

2518

REUMITIOIOGI

Suzuki T, Suzuki N, Engleman EG, et al. Low serum levels of dehydroepiandrosterone may cause deficient IL-2 production by lymphocytes in patients with systemic lupus erythematosus. Clin Exp Immunol 1995;99:251-5. Jimena P, Aguirre MA, Lopez-Curbelo A, de Andres M, Garcia_ Courtay C, Cuadrado MJ. prolactin levels in patient with systemic lupus erythematosus: a case controlled sttrd,y. Lupus 1998;7:3 83-3 86.

Yu-Lee LY- Prolactin modulation of immune and inflammatory responses. lcited200TNovemberTl Available

from http://

rphr.endojournals.org/cgi/reprint/57/ I /4 3 5 AM, Rohde W, Ventz M, Riemekasten G, Burmester GR, Hiepe F. Enhanced serum prolactin (pRL) in patients with systemic lupus erythematosus: pRL levels are related to the disease activity. Lupus 2001;10:554-61.

Jacobi

Blanco-Favela

F, Quintal-Alvarez G, Lean-os-Mitanda A

Association between prolactin and disease activity in systemic lupus erythematosus. Influence of statistical power. J Rheumatol 1999;26:55 - 59.

Leaflos-Miranda

A,

Chbvez-Rueda

KA, Blanco-Favela

Biologic activity and plasma clearance of prolactin IgG

F.

com-

plex in patients with systemic lupus erythematosls. Arthritis Rheum 20O1;44:866-75. Jara-Quezada L, Graef A, Lavalle C_ prolactin and gonadal hormones during pregnancy in systemic lupus erythematosus. J Rheumatol 1 991 ; 18:349-53. Ferreira C, Paes M, Gouveia A, Ferreira E, padua F, Fiuza T plasma homovanillic acid and prolactin in systemic lupus er5..thematosus. Lupus 1998;7 :392-7. Rovensky J, Jurankova E, Rauova L, Blazickova S, Lukac J, Veselkova Z, et al. Relationship between endocrine, immune, and clinical

variatrles in patients with systemic lupus erythematosus. J Rheumatol 1997 ;24:2330-4. lara Ll, Gomez-Sanchez C, Silveira LH, Martinez-Osuna p, Vasey FB, Espinoza LR. Hyperprolactinemia in systemic lupus erythematosus: association with disease activity. Am J Med Sci 1992;303:222-6. Buskila D, Lorber M, Neumann L, Flusser D, Shoenfeld y. No correlation between prolactin levels and clinical activity in patients with systemic lupus erythematosus. -I Rheumatol 1996;23:629-32. Pacilio M, Migliaresi S, Meli R, Ambrosone L, Bigliardo B, Di Carlo R. Elevated bioactive prolactin levels in systemic lupus erythe-

matosus: association with disease activity. J Rheumatol 20Ol;28:2216-21 Miranda JM, Prieto RE, Paniagua R, Garcia G, Amato D, Barile L, Jara LJ. Clinical signifrcance of serum and urine prolactin levels in lupus glomerulonephritis. Lupus 1 998 ;7 3 7 g-3 9 1. Alvarez-Nemegyei J, Cobarrubias-Cobos A, Escalante-Triay F, Sosa-Muffoz J, Miranda JM, Jara LJ. Bromocriptine in systemic Iupus erythematosus: a double-b1ind, randomized, placebocontrolled stvdy. Lupus 1998;7 :414-419. Garcia-Gonzales A, Gonzales-Lopez L, Vaiera-Gonzales IC, CardonaMunoz EG, Salazar-Paramo M, Gonzales-Ortiz M, et al. Serum leptin levels in women with systemic lupus erythematosus Rheumatol Int 2O02;22:138-L4l Faggioni R, Feingold KR, Grunfeld C. Leptin regulation of the lmmune response and the immunodeficiency of malnutrition. .

:

FASEB

J

2001

;t5:2565-25j t.

Karmiris K, Koutroubakis IE, Kouroumalis EA The emerging role of adipocytokines as inflammatory mediators in inflammatory bowel disease. InJlamm Bowel Dis 2005;11:847-855.

Lavens D, Montoye T, Piessevaux I, Zabeat L, Vandekerckhove J, Gevaert K, et al. A complex interaction pattern of CIS and SOCS2 with the leptin receptor. J Cell Sci 2006;tl9:22142224.

Huising MO, Kruiswijk CP, Flik G. Phylogeny and evolution of class-I helical cytokines. J Endocrinol 2006;189:l-25. Fanttzzi G, Faggioni R Leptin in the regulation of immunity, inflammation, and hematopoiesis. J Leukoc Biol 2000;68:43j446.

Lam QL, Lu L. Role of leptin in immunity. Cell Mol Immunol 2007;4(I):1-t3 .

Matarese

Q La Cava A,

Sanna V, Lord GM, Lechler RI, Fontana S, Zappacosta S. Balancing susceptibility to infection and autoimmrmity: a role for leptin? Trends Immunol 2002;23(4):182'187. Lord GM, Matarese G, Howard JK, Baker RI, Bloom SR, Lechler RI. Leptin modulates the T-ce1l immune response and reverses starvation-induced immunosuppres sion. Nature 1998;394:897 -901. La Cava A, Matarese G. The weight of leptin in immulity. Nature Rev 2004;4:371-379 Mak A, Cheung BM! Mok CC, Leung R, Lau CS. Adrenomedullin -

a

potential disease activity

suppressor

marker

and

of nephritis activity in systemic lupus erythemato-

sus. Rheumatol 2006;45 :1266-7 2. Tan EM, Cohen AS, Fries JF, et al. The 1982 revised criteria for the classilrcation of systemic lupus erythematosts. Arthritis Rheum 1982;25:127 l-7 . Bootsma H, Spronk P, Derksen R, et al. Prevention of relapses in systemic lupus erythematosLts. Lancet 1995 ;24;345 :l 59 5 9.

Kalaaji M, Mortensen E, Jorgensen L,Olsen R, Rekvig

Op.

Nephritogenic lupus antibodies recognize glomerular basement

membrane-associated chromatin fragments released from apoptotic intraglomerular cells. Am J Pathol 2006,168:1j791792. van Bruggen MC, Kramers C, Walgreen B, et al. Nucleosomes and histones are present in glomerular deposits in human lupus nephritis. Nephrol Dial Transplant 1991;12:57 66 Rahman A, Isenberg DA Systemic lupus erythematosus N -Eng -/ Med 2008;358:929-39

Mok CC, Wong RWS. Pregnancy in systemic lupus erythematosus. Postgrad Med J 2001;77:157-65. Clancy RM, Kapur RP, Molad Y, Askanase AD, Buyon JP Immunohistologic evidence supports apoptosis, IgG deposition, and novel macrophage/fibroblast crosstalk in the pathologic cascade leading to congenital heart block. Arthritis Rheum 2004:50:173-82. Kowal C, Degiorgio LA, Lee fY, et al. Human lupus autoantibodies against NMDA receptors mediate cognitive impairment. proc Natl Acad Sci U S A 2006;103:79854-9. Sontheimer RD, Maddison PJ, Reichlin M, Jordon RE, Stastny p, Gilliam JN. Serologic and HLA associations in subacute cutaneous lupus erythematosus, a clinical subset of lupus ery.thematostss. Ann Intern Med 1982;97:664-71. Grootscholten C, van Bruggen MC, van der pijl JW, et al. Deposition of nucleosomal antigens (histones and DNA) in the epidermal basement membrane in human lupus nephritis. Arthritis Rheum 2003 ;48: I 355-62. Quismorio FP. Other serologic abnormalities in systemic lupus erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois'lupus erythematosus. 7th ed Philadelphia: Lippincott Williams &

Wilkins,2007:527-49. Pujol M, Ribera A, Vilardell M, Ordi J, Feliu E. High prevalence of platelet autoantibodies in patients with systemic lupus erythe-

matosus Br J Haematol 1995;89:137-4L

2579

LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK

Arbuckle M, McClain MT, Rubertone MV, Scofield RH, Dennis GJ, James JA, et ai. Development of autoantibodies before the clinical onset of systemic lupus erythematosus. N Engl J Med 2003:'349:1526-33. Hahn BH. Antibodies to DNA. N Engl J Med 1998;338:7359-68. Klinman DM, Shirai A, Ishigatsubo Y, et al. Quantitation of IgMand IgG-secreting B cells in the peripheral blood of patients

with systemic lupus erythematosus. Arlhrilis

Rheum

l99l;34:1404 10. Liossis SN, Kovacs B, Dennis G, et al. B cells from patients with systemic lupus erythematosus display abnormal antigen recep-

tor-mediated early signal transduction events J Clin Invest 1996;98:2549 57. Linker-Israeli M, Deans RJ, Wallace DJ, et al. Elevated levels of

A putative

endogenous IL-6 in role in pathogenesis. -I Immunol l99l;147:ll7-23. Monneaux F, Muller S. Epitope spreading in systemic lupus erythematosus: identification of triggering peptide sequences.

systemic lupus erythematosus.

La

Arlhritis Rheum 2002;46: 1430-8. A. T-regualtory cells in systemic lupus erythematosus.

Cava

Lupus 2008;17:421-25

Valencia X, Yarboro C, Illei G, Lipsky PE. Deficient CD4+CD25(high) T regulatory cell function in patients with active systemic lupus erythematosus. -f Immunol 2007;17 8:257 9 -88. Dean GS, Tyrrell-Price J, Crawley E, Isenberg DA Cytokines and systemic lupus erythematostts. Ann Rheum Dis 2000;59:243-

25r. Houssiau FA, Lefebvre C, Vanden Berghe M, et al. Serum interleukin 10 titers in systemic lupus erythematosus reflect disease

activity. Lupus 1995;4:393-5. Park YB, Lee SK, Kim DS, et al. Elevated interleukin-10 levels correlated with disease activity in systemic lupus erythematosus. C/iz Exp Rheumatol 1998;16:283-8. Grondal G, Gunnarsson I, Ronnelid J, et al Cytokine production, serum levels and disease activity in systemic lupus erythematosus. Ciin Exp Rheumatol 2000;18:565 70. Charles PJ, Smeenk RI, De Jong J, Feldmann M, Maid RN. Assessment of antibodies to double-stranded DNA induced in rheumatoid arthritis patients following treatment with infliximab, a monoclonal antibody to tumor necrosis factor alpha: findings

in open-label and randomized placebo-controlled ttials. Arthritis Rheum 2000;43:2383-90. Mohan AK, Edwards ET, Cot6 TR, Siegel JN, Braun MM. Druginduced systemic lupus erythematosus and TNF-alpha blockers. Lancet 2002;360:646. Gabay C, Cakir N, Moral F, et al. Circulating levels of tumor necrosis factor soluble receptors in systemic lupus erythematosus are signiflcantly higher than in other rheumatic diseases and correlate with disease activity. J Rheumatol 1997;24:303-8.

Herrera-Esparza R, Barbosa-Cisneros O, Villalobos-Hurtado R, Avalos-Diaz E. Renal expression of IL-6 and TNF-ii genes in lupus nephritis. Lupus 1998;7:154-8. Aringer M, Graninger WB, Steiner G Smolen JS. Safety and effrcacy of tumor necrosis factor alpha blockade in systemic lupus

erythematosus:

an open-label study. Arthrilis

Rheum

2004;50:3161-9. Crow MK, Kirou KA. Cy'tokines and Interferons in Lupus. In: Wallace DJ, Hahn BH, eds. Dubois' lupus erythematosus. 7t};. ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2O07:16l-75. Iilei GG Tackey E, Lapteva L, Lipsky PE. Biomarkers in systemic

lupus erythematosus. II. Marker of disease activity. Arthritis Rheum 2004;50:2048-65.

Tsokos, GC. Exploring compiement activation to develop biomarkers for systemic lupus erythematosDs. Arlhritis Rheum 2004;50:3404-3407

.

Manson JJ, Isenberg DA. The Pathogenesis of systemic lupus erythematosus. J Netherl Med 2003;61:343-346. Herrmann M, Voll RE, Zoller OM, et al. Impaired phagocytosis of apoptotic cell material by monocyte-derived macrophages from patients with systemic lupus erythematostrs. Arthritis Rheum '1998;41:1241-50. Linker-Israeli M, Quismorio FP Jr, Horwitz DA. CD8+ Iymphocytes from patients with systemic lupus erythematosus sustain, rather than suppress, spontaneous polyclonal IgG production and synergize with CD4+ cells to support autoantibody synthesis. Arthritis Rheum 1990;33:1216-25. Munoz LE, van Bavel C,Frurrz S, Berden J, Herrmann M, van der Vlag J. Apoptosis in the pathogenesis of systemic lupus erythematosus. Lupus 2008;17 :37 l-37 5. Dieker, JW, van der Vlag, J, Berden, JH. Deranged removal of apoptotic cells: its role in the genesis of lnptts. Nephrol Dial Transplant 2004: 19:282 285. Savill, J, Dransfield, I, Gregory, C, Haslett, C. A blast fiom the past: clearance of apoptotic cells regulates immune responses. Nal Rev Immunol 2002;2: 965-975 Ronnblom, L, Eloranta, ML, Alm, GV. The type I interferon system in systemic lupus erythematostts. Arthritis Rheum 2006; 54: 408-420. Dieker, JW, Fransen, JH, van Bavel, CC, et al. Apoptosis-induced acetylation of histones is pathogenic in systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 2007;56: 192I-1933. Hepburn, AL, Lampert, IA, Boyle, JJ, et al. In vivo evidence for apoptosis

in the bone marrow in systemic lupus erythematosus.

Ann Rheum Dis 2007;66: 1106-1109. Ikatan Reumatologi Indonesia. Panduan Duiagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik, 2004.

40t KEHAMILAN PADA LUPUS ERITEMATOSUS SISTEMIK Yuliasih

PENDAHULUAN

PENGARUH KEHAMILAN NORMAL TERHADAP PENYAKIT LES

Dengan kemajuan pengetahuan di bidang pengobatan five years survival rate pasien LES bisa mencapaig0o/o sehingga kehamilan pada pasien LES tidak dapat dihindarkan. Pasien LES diperbolehkan hamil tetapi dengan syarat penyakitnya harus dalam fase tenang dan harus mendapat pengawasan ketat. Kehamilan pada LES perlu dibahas tersendiri, karena merupakan kehamilan risiko tinggi. Diketahui bahwa kehamilan normal memberikan beberapa perubahan pada tubuh, yang mana perubahan-perubahan ini dapat

Pada kehamilan normal terdapat peningkatan volum

cairan, meningkatnya volum cairan dalam tubuh berdampak buruk pada pasien LES dengan gangguan fungsi jantung, ginjal serta hipertensi. Kenaikan volum intravaskular sampai 30% tidak mampu ditoleransi oleh pasien LES dengan gangguan frrngsi ginjal danjanhrng. Perubahan hormonal antara lain peningkatan hormon estrogen, dan prolaktin serta penurunan progesteron.

Hormon-hormon ini diyakini berperan dalam patogenesis lupus, sehingga bila ada gangguan keseimbangan hormon ini dapat mencetuskan kobaran atau memburuknya LES. Banyak laporan mengenai gangguan pertumbuhan plasenta pada kehamilan

mencetuskan aktivitas penyakit LES, meningkatkan risiko kehamilan pada pasien LES terutama dengan gangguan fungsi jantung atau ginjal, serta adanya autoantibodi-autoantibodi pada ibu yang mungkin dapat

menembus plasenta atau bahkan mempengaruhi

denganLES.

pertumbuhan plasenta. Dari laporan menyatakan bahwa kehamilan dengan LESterdapat gangguan pertumbuhan plasenta oleh berbagai sebab arrtara lain trombosis, vaskulopati dan vaskulitis

Pada kehamilan normal umur trombosit menurun, sedangkan produksinya meningkat hal ini seringkali

menimbulkan trombopenia yang mana kadang menimbulkan kesalahan dalam menginterprestasi nya. Pada kehamilan normal terjadi peningkatan aktivasi sistem koagulasi yang disertai dengan peningkatan sintesis faktor koagulan. Faktor-faktor koagulan yang meningkat pada kehamilan antara lain fibrinogen, faktor

Jadi jelaslah bahwa kehamilan pada LES bisa berdampak buruk pada ibu, kehamilan maupun janinnya

sendiri. Risiko pada ibu antara lain memberatlya penyakit lupus atau timbulnya kobaran, sedangkan pada janin menimbulkan abortus, partus prematur, kematian

Y VIII, X, VWF, trombosit activation inhibitorl, trombin-antitrombin kompleks. Aktivasi sistem koagulasi ini dapat mencetuskan atau mengaktifkan

janin intra uterin, gangguan pertumbuhan

serta kongenital lupus. Pengelolaan kehamilan dengan LES diperlukan kerjasama antara spesialis penyakit dalam konsultan reumatologi, spesialis kebidanan dan spesialis anak

penyakit lupus.

BEBERAPAASPEK YANG PERLU DITINJAU PADA KEHAMILAN DENGAN LES

perinatologi dengan harapan mendapatkan hasil kehamilan yang baik.

. 2580

tingkat kesuburan

2581

KEI{AIT{ILAN PADA LUPUS ERITEM'TFOSUS SISTEMIK

. . . . . .

perencanaankehamilan

risiko obstetrik segi pediatrik pengelolaan masa laktasi jenis kontrasepsi

Perubahan

Pada

Normal

lnterpretasi Pada LuPus

Kehamilan Sistem hematologi Anemia karena hemodilusi Menurunnya masa hidup trombosit Peningkatan flbrinogen Sistem endokrin Meningkatnya kortisol Meningkatnya estrogen Ginjal

:

Diduga ada eksaserbasi Merangsang remisi Memperburuk LES Yolum overload atau preeklamsia, eksaserbasi lupus nefritis

Menurunnya kliren

Dikutip

Diduga eksaserbasi LES Diduga LES aktif

LR erythe Press

M : Els

o

Locksin

Lupus Pregancy. ln RG. 4rd edition ,

; P659

Tingkat kesuburan pasien LES sama dengan perempuan tanpa LES, kecuali pada pasien-pasien yang pernah mendapat terapi kortikosteroid dosis tinggi, siklofosfamid dosis tinggi atau menderita gagal ginjal terminal. Dilaporkan bahwa pemakaian siklofosfamid pada pasien dengan lupus nefritis sering menimbulkan ov arian failure. Insiden Ovarian failure karena siklofosfamid berkisar antara I I - 59%. B eberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko

ovarian failure karena siklofosfamid yaitu umur relatif muda saat pemberian, pemberian secara oral dan dosis kumulatif yang besar. Dilaporkan bahwa ovarian failure

lebih sering terjadi pada pasien yang mendapat siklofosfamid per oral dibandingkan dengan intravena.

PERENCANAAN KEHAMILAN Sejumlah penelitian menujukkan bahwa LES aktif bukanlah

waktu yang tepat untuk memulai kehamilan, karena dilaporkan bahwa angka kekambuhan LES dengan kehamilan sangat tinggi. Mengingat adanya beberapa risiko kehamilan maka dianjurkan pasien LES yang merencanakan kehamilan sebaiknya dipersiapkan sebaik mungkin. Kehamilan baru dimulai bila penyakit dalam kondisi tenang minimal 6 bulan. Beberapa data retrospektif melaporkan data angka kekambuhannya berkisar 87%, sedangkan pada kehamilan dengan lupus nefritis angka 7

,40/o-63%.

tersebut dihentikan. Siklofosfamid, metotreksat dan warfarin bersifat teratogenik maka bila ada kehamilan segera mungkin dihentikan, bila pasien mendapat warfarin sebaiknya dilanjutkan dengan suntikan heparin.

rtzman S. r by Lahita

TINGKAT KESUBURAN PASIEN LES

kekambuhan b erkltsar

kehamilan, maka lupus nefritisnya akan mudah jatuh ke arah gagal ginjal akut. Kekambuhan LES dengan kehamilan dapat terjadi setiap saat baik saat awal kehamilan maupun pasca persalinan. Gejala klinik biasanya, hanya berupa artritis atau bercak di kulit, demam, lelah, serositis, atau trombositopenia, sedangkan yang mengenai organ mayor seperti ginjal, CNS berkisar antara5-46%o. Penghentian obat-obatan perlu dipertimbangkan sej ak perencanaan kehamilan. Klorokuin atau hidroksiklorokuin sebaiknya dihentikan sebelum kehamilan terj adi' idealnya dihentikan 6 bulan sebelum kehamilan, dengan asumsi 3 bulan awal waktu yang dibutuhkan untuk mengekskresi obat secara keseluruhan dan 3 bulan berikutnya untuk mengamati apakah terjadi kekambuhan setelah obat

Bila ada lupus nefritis saat

Gambaran klinik kobaran pada LES dengan kehamilan biasanya ringan Kekambuhan LES dapat terjadi setiap saat, mulai awal kehamilan sampai pada pasca persalinan LES dengan kehamilan perlu diperhatikan karena termasuk dalam kelompok risiko tinggi dan diperlukan pemantauan secara ketat aktivitas

RISIKO OBSTETRIK PADA KEHAMII-AN DENGAN LES

Preeklamsia Pasien dengan LES mempunyai risiko tinggi terjadi preeklamsia selama kehamilan. Insidennya lebih tinggi dibanding bukan pasien LES, yaitu berkisar 5-38%. Risiko eklamsia ini makin meningkat pada primigravida, adanya riwayat hipertensi, preeklamsia, abortus sebelumnya, obesitas, dan antibodi fo sfolipid. Peningkatan tromboksan A, plasental diduga berperan pada timbulnya preeklamsia. Membedakan preeklamsia dengan lupus nefritis pada kehamilan dengan LES cukup sulit, sebab keduanyadapat menimbulkan hipertensi, proteinuria, edema dan faal ginjal

yang cepat memburuk. Ada beberapa patokan yang membantu untuk membedakan kedua kondisi ini. Pada proteinuria yang terkait dengan lupus nefritis biasanya ditemukan tanda aktivitas penyakit LES pada organ lain' misalnya ulkus di mulut, artritis, vaskulitis, ruam, limfadenopati. Sedimen urin pada lupus nefritis lebih sering

menunjukkan gambaran sedimen yang aktif yaitu didapatkan peningkatan leukosit, eritrosit dan torak granuler. Sifat proteinuria pada lupus nefritis biasanya lebih cepat memburuk dibandingkan preeklamsia. Pemeriksaan komplemen dan anti-dsDNA juga sangat membantu. Pada preeklamsia kadar C3 dan C4 biasanya

2582

REIJMIIifl]TOGI

nolrnal, sedangkan pada lupus nefritis C3 dan C4 menurun dan disertai peningkatan kadar anti ds-DNA. pemberian prednison pada preeklamsia akan memperburuk kondisi, sedangkan pada lupus nefritis menunjukkan respons yang baik. Kedua kondisi ini harus dipastikan dengan segera

sebaiknya diberi pengobatan aspirin. Trombositopenia yang terjadi pada umur kehamilan 25 minggu, dan tidak terkait dengan aktivitas penyakit LES.

Ini merupakan petanda akan terjadinya preeklamsia atau sindrom HELLP. Pengobatan yang dianjurkan adalah melakukan terminasi dengan segera bila

karena cara pengelolaannya jauh berbeda.

Kehamilan dengan LES yang mempunyai riwayat preeklamsia berat pada kehamilan sebelumnya harus

memungkinkan.

dilakukan terminasi kehamil annya pada atau sebelum umur kehamilan mencapai 32 minggu.

maka trombositopenia ini merupakan bentuk dari ITP,

Trombositopenia tanpa disertai tanda aktivitas LES

bila trombositopenia disertai tanda aktivitas LES, trombositopenia ini mencerminkan aktivitas penyakit LES. Biasanya trombositopenia ini respons terhadap steroid. Trombositopenia ringan yang tidak terkait dengan LES, bisa terjadi pada akhir kehamilan.

Lupus nefritis terdapat

. ' . . .

Artritis, vaskulitis, ruam, limfadenopati, ulkus mulut, dan

proteinuria cepat memburuk Perbaikan klinis pada pemberian kortikosteroid Penurunan C3 dan C4, peningkatan ClqB Anti ds-DNA positif dan meningkat Proteinuria persisten postpartum

Lupus Nefritis dengan Kehamilan Insiden lupus nefritis pada kehamilan dengan LES sangat

tinggi bisa mencapai 60% dibanding pada LES tanpa kehamilan. Gambaran klinis lupus nefritisnya juga lebih berat dan sering mencetuskan eklamsia dan gagal ginjal akut. Pasien lupus nefritis jenis histopatologis proliferatif difus, sindrom nefrotik, hipertensi berat, dan serum kreatinin >2mgldl- dianjurkan untuk tidak hamil. Menurut Boumpas and Balow pasien lupus nefritis diperbolehkan

hamil dengan syarat yaitu penyakitnya terkontrol
berlangsung paling sedikit 6 bulan, proteinuria

dengan fungsi renal yang stabil dan kadar C3 yang normal. Secara umum lebih lama pasien dalam keadaan remisi akan lebih baik kehamilannya. Bila lupus nefritis dengan kehamilan yang menunjukkan kliren kreatinin mencapai 50 mlldt dianjurkan untuk segera dilakukan hemodialisis.

Trombositopenia Merupakan kelainan hematologi yang paling sering dijumpai pada pasien LES dengan kehamilan, terutama pasien dengan antifosfolipid. Penyebab trombositopenia pada kehamilan dengan LES:

. . . .

Kehamilannya sendiri Sindrom antibodi antifosfolipid LES aktif Preeklamsia

Anemia Anemia karena penyakit kronis merupakan komplikasi yang tersering dijumpai pada LES. Anemia autoimun hemolitik sangat jarang dan biasanya disebabkan oleh sindrom

antifosfolipid. Anemia pada kehamilan sesegera mungkin diatasi, mungkin diperlukan steroid yang agak tinggi atau tranfusi untuk mencegah hipoksia pada janin. Perlu diingat kehamilan sendiri menimbulkan anemia.

. . . .

lnsiden preeklamsia meningkat

Hipertensi, lupus nefritis dan keberadaan ACA meningkatkan risiko pre-eklamsia

lnsiden abortus, prematuritas, janin mati dan IUGR meningkat

Hipertensi, hipokomplemen, lupus nefritis aktif pada konsepsi dan ACA meningkatkan risiko kematian janin

SEGIPEDIATRIK Kehamilan dengan LES mempunyai nsiko tinggi terdapat peningkatan insiden abortus, prematuritas, janin mati dan IUGR, insidennya berkisar antara 6 -3 5%. Faktor risikonya antara lain hipertensi, lupus nefritis dan keberadaan antibodi fosfolipid. Risiko abortus pada lupus dengan

kehamilan bervariasi ar,tara

6-3

5%. Antifosfolipid

merupakan faktor prediktor terjadinya "fetal wastages", Keberadaan antibodi fospolipid yaitu IgG ACA dan LA (lupus antikoagulan) serta hipokomplemen (C3 yang

rendah) merupakan prediktor kuat terjadi kematian janin.

Bagaimana mekanisme antibodi fosfolipid ini

Keadaan trombositopenia yang perlu diperhatikan pada

dalam menimbulkan kematian janin atau abortus belum

kehamilan; . Bila trombositopenia terjadi pada awal kehamilan (<15 minggu) dengan fospolipid antibodi positif, tanpa

bereaksi terhadap b2GPI (beta 2 glikoprotein I), yang terikat

disertai dengan tanda aktivitas penyakit LES maka

chorionic gonadotropin) dar. menimbulkan gangguan

diketahui dengan pasti. Diduga antibodi fosfolipid dengan trofoblas menekan produksi HCH (Human

2583

IG.TIAMILAN PADA LUPUS ERITEMAI1OSUS SISTEMIK

perlekatan plasenta.Faktor lain yang dapat menimbulkan

kematian janin atau abortus yaitu adanya aktivasi komplemen yang menimbulkan trombosis pada plasenta Pemberian heparin sub-kutan 20.000 U/hr bersamaan dengan aspirin dosis rendah 80mg/hr pada kehamilan dengan LES sangat efektif untuk mencegah abortus maupun kematian janin akibat adanya antibodi fosfolipid. Demikian juga dengan pemberian prednison 40 mglhr bersama aspirin dosis rendah sama efektifnya dengan pemberian heparin bersama aspirin dalam mencegah abornrs dan kematian janin.

Pasien dengan kecenderungan preeklamsia dan pecah ketuban dini lebih baik menggunakan heparin dari

pada prednison. Profilaksis aspirin baru bermanfaat pada kehamilan dengan kadar antibodi fosfolipid yang

tinggi terutama untuk primipara tanpa riwayat kehilangan janin dengan atau pada semua ibu hamil dengan LES. Segi obstetrik dan pediatrik LES dengan kehamilan

. . . .

Meningkatnya risiko terjadinya preeklamsia Hipertensi sistolik dan lupus nefritis

Antifosfolipid merupakan faktor risiko preeklamsia dan

fetal

loss

Fetal wastage,prefiat-r dan IUGR sering terjadi

deksametason melalui ibunya, walaupun banyak yang masihmeragukan.

PENGELOLAAII KEHAMII-AN DAI\I PASCA PEIISAL|NAN

Prinsip Umum Ibu hamil dengan LES, jelas merupakan kehamilan dengan risiko sangat tinggi. Sejak awal kehamilan harus dibuat sistem yang dapat mengawasi perubahan aktivitas penyakit, termasuk pelibatan suami dan keluarganya. Sejak diketahui ada kehamilan maka secepat mungkin menentukan organ yang terkena,aktivitas penyakit, pada trimesterpertama harus dievaluasi tiap bulan dan evaluasi ditingkatkan menginjak

trimester

II

dan

III,

pengukuran tekanan darah,

perkembangan janin, jantung janin, NST: non-stress test. Evaluasi kondisi muskuloskletal khususnya pelvis dat hip untuk mengantisipasi kemungkinan adanya komplikasi juga sangat penting.

Pemeriksaan anti Ro dan anti La diperlukan untuk memprediksi kemungkinan adany a neonatal lupus, selain itu pemeriksaan antibodi antifosfolipid untuk memprediksi kemungkinan abortus, prematur atau IUGR. Pada paruh pertama kehamilan evaluasi dilakukan tiap bulan, dilakukan

pemeriksaan fisik, mulai dari tanda-tanda vital, kobaran

seperti; panas, ruam, peningkatan tensi. Pemantauan SINDROM NEONATAL LUPUS ERITEMATOSUS Sindrom NLE (Neonatal Lupus Eritematosus) terdiri dari

laboratorium juga dilakukan (Tabel5). Jika terdapat tandatanda kobaran baik selama hamil maupun postpartum harus dilakukan terapi yang agresif. Bila ada lupus nefritis dan

CHB (congenital heart block; paling sering), ruam

atau tanpa HT aspirin dosis rendah mulai pada minggu

kutaneus transien, sitopenia, dan manifestasi sistemik lainnya dari LES. Tidak hanya pada LES, NLE juga dapat

ke- 1 0 untuk mencegah preeklamsia, IUGR danfetal loss

timbul pada ibu hamil dengan sindrom Sjogren dan penyakit reumatik lain yang membawa antibodi Anti SSA/ Ro danAnti SSB/La

melalui USG, ekokardiografi, dan non-stress test. Sectio Caesaria harus dilakukan pada ibu dengan hipertensi

The Research Registryfor Neonatal Lupus di AS membuat kriteria diagnosis NLE : . Ibu dengan hasil tes terhadap 52 kD Anti SSdRo, 60 kD Anti SSA/Ro, atau 48 kD Anti SSB/La, atau anti

.

ribonukleoprotein. CHB atau ruam kutaneus transien

Pemantauan terhadap pertumbuhan

Anjuran

Pemeriksaan

Kunjungan pertama

Darah lengkap Urin 24 jam pada nefritis lupus

Insiden CHB adalah sekitar 0,005% pada bayi lahir hidup. Pada pasien LES dengan anti SSA,rRo positif risiko CHB adalah sekitar 1,5%o dan 20,5%. Patogenesis CHB belum j elas, diduga anti S SA./Ro dan anti S SB/La menembus plasenta pada trimester 2 dan menimbulkan j ej as imunologrk

pada sistem hantaran jantung. Uji saring terhadap anti Ro dan anti La sangat penting pada kehamilan dengan LES.

Ekokardiografi janin harus dilakukan pada kehamilan 16-24 mhggu termasuk untuk mendeteksi kemungkinan miokarditis dan regurgitasi. Jika pada ekokardiogram

serial kondisi klinis janin memburuk, misalnya timbul dekompensasi jantung maka dapat diberikan

janin dilakukan

. .

. . . . Kunjungan perbulan setiap trimester

Tiap minggu pada akhir trimester (ibu dengan APL+) Pada minggu 18 dan2 (ibu dengan antiRo/La+)

Bun, serum kreatinin,

kliren

kreatinin Glukosa darah Tes Coombs, C3 dan C4 VDRL, ACA dan APTT

Anti ds-DNA, anti SSA,

anti

SSB, anti Ul RNP Darah lengkap/urinalisis Kliren kreatinin, Protein uria 24 jam komplemen Anti ds-DNA Antenatal fetal head rate testing (non-sfress tesf) Fetal echocardiogram

2s84

REI.,IMIIiION.OGI

berat, trombositopenia berat, ganguan fungsi ginjal berat,

diberikan pada ibu hamil dengan LES yang tidak menderita

penyelamatan nyawa ibu dengan kelainan jantung dan paru yang berat, avaskular nekrosis pada caput femoris, fetal distress, non-stress test yang abnormal, dan indikasi obsterik biasa seperti disproporsi kepala panggul dan letak

hipertensi, mulai minggu ke-10 sampai ke-36 untuk

Aktif lupus bukan indikator untk terminasi kehamilan, beberapa indikator ibu untuk mengakhiri lintang.

kehamilan: LESJlare yang berat yg mengancam jiwa ibu, gagal terapi,psikologis, sosialfet al dis tres s, amniotikJluid indeks < 5 cm, eklamsia yang progresif, sindrom HELLP, payah jantung berat dan trombositopenia berat

Penanganan Janin Selama Kehamilan

meminimalis timbulnyapre eklamsia. Aspirin dosis rendah bersama dipiridamol dapat menurunkan insiden IUGR secara signifikan. Aspirin pada postparhrm tetap diberikan I bulan setelah postpartum untuk mencegah trombosis sedang yang mengunakan heparin diganti dengan antikoagulan oral selama 3 bulan.

Kortikosteroid Prednison dan metilprenisolon sangat kecil dapat menembus plasenta meskipun diberikan dosis besar pada ibu, sehingga aman diberikan pada ibu hamil, golongan

Pertumbuhan dan perkembangan janin harus diperhatikan,

deksametason dan betametason sebaiknya tidak

beberapa yang mempengaruhi terkait dengan aktivitas

digunakan, karena dapat menembus plasenta. Penggunaan kortikosteroid dapat menimbulkan palatoskisis pada

penyakit ibu, antibodi fosfolipid, anti Ro/anti La, meningkatnya cx, fetoprotein pada pasien LES mengindikasikan pratus prematur, tingginya dosis prednison yang diterima ibu serta adanya antibodi fosfolipid IgG mediasi trombositopenia mungkin dapat melalui plasenta. Demikian juga IgG Coombs hemolitik antibodi dapat menembus plasenta sehingga menimbulkan anemia hemolitik pada janin, anti ds-DNA juga dapat

menembus plasenta tapi tidak berefek pada janin, sedangkan antibodi fosfolipid sering menyebabkan plasenta insufisiensi, IUGR& kematian janin. Sedangkan antibodi Anti Ro/anti La menyebabkan neonatal lupus serta heart block sehingga dianjurkan untuk elektrokardiografi pada kehamilan 15-25 minggu. Kecepatan perhrmbuhan janin dan volum plasenta sebaiknya dievalusi dengan USG,

seminggu sekali antepartumfetal heart rate testing,bila ada bradikardi merupakan prediktor komplikasi janin.

OBAT.OBATAN PADA LES DENGAN KEHAMILAN

Aspirin dan OAINS Aspirin dalam dosis besar (>3gr) dapat memperpanjang waktu kehamilan maupun kelahiran, menimbulkan oligohidroamnion, menyebabkan penutupan prematur duktus arteriosus, hiperlensi pulmonal, dan perdarahan postpartum, walaupun demikian aspirin tidak menimbukan anomali kongenital. OAINS (obat anti inflamasi nonsteroid) dapat bersifat teratogenik, mempengaruhi kontraksi uterus,

hewan, tetapi jarang pada manusia. Prednison, prednisolon, metilprednisolon hanya sedikit yang melewati

plasenta ke janin, sehingga merupakan kortikosteroid pilihan pada kehamilan. Fluorinat kortikosteroid seperti deksametason dan betametason jangan digunakan pada kehamilan karena dapat melewati plasenta jauh lebih banyak dan hanya digunakan untuk mengobati kelainan pada fetus. Kortikosteroid dosis tinggi dapat menimbulkan ketuban pecah dini, IUGR (intraulerine growth restriction).Padapasien cangkok ginjal hamil yang diberi terapi berbagai imunosupresan kortikosteroid yang memberi insiden malformasi lebih trn ggi (3,5%) dibanding azatioprin dan mofetil mikofenolat.

Ibu hamil yang menggunakan kortikosteroid lebih dari

2 tahun harus dipikirkan adanya insufisiensi adrenal terutama menjelang partus. Untuk itu perlu pemberian kortikosteroid selama partus, misalnya dengan pemberian hidrokortison i.v 100 mg tiap 8 jam segera sebelum partus. Pada hari ke-2 diturunkan 50 mg tiap 8 jam, kemudian pada hari ke-3 diberikan sesuai dosis kortikosteroid sebelumnya.

Klorokuin Hidrosiklorokuin yang biasanya digunakan untuk artritis atau untuk pencegahan kobaran, bisa diteruskan pada kehamilan. Hidroksiklorokuin memang aman, tetapi klorokuin dilaporkan dapat menimbulkan anomali kongenital. Dilaporkan dari 36 kehamilan yang

mengganggu fungsi trombosit, dan menimbulkan

memakai hidrosiklorokuin tidak terdapat anomali

penutupan prematur duktus arteriosus. Sebaiknya OAINS dan aspirin dosis tinggi dihindari pada ibu hamil dengan LES. Pada suatu RCT (Randomised Controlled Tria[) dari aspirin dosis rendah (0,45 mglkglBB) yang dikombinasi

kongenital.

Azatioprin Azatioprin banyak digunakan untuk transplan ginjal dan

dengan heparin menurunkan angka abortus dan

dilaporkan amanuntuk kehamilan dengan LES, Azatioprin

prematuritas serta meningkatkan angka lahir hidup (71%) dibanding aspirin dosis rendah saja (42%) odds rasio 3,37 (95% U 1,40-8,10). Penggunaan aspirin dosis rendah juga

bersifat teratogenik pada binatang, tetapi pada manusia dilaporkan tidak menimbulkan anomali kongenital yang berat, kecuali sangat jarang dapat menimbulkan polidaktili dan pes ekuinovarus pada janin. Dilaporkan, pemberian

mencegah pre eklamsia. Aspirin dosis rendah dapat

2585

KEHAMILAN PADA LUPUS ERITEM/IfiIOSUS SISTEMIK

azatropilbersama prednison dapat menimbulkan IUGR,

BBL (berat badan lahir) rendah dan prematuritas pada pasien cangkok ginjal. Sebaliknya banyak dilaporkan ibu hamil dengan LES yang sukses dengan pemberian azatioprin bersama kortikosteroid.

Siklofosfamid Sebaiknya tidak digunakan pada kehamilan karena bersifat teratogenik, walaupun ada laporan kehamilan yang sukses

dengan siklofo sfamid.

S

iklofosfamid j uga menimbulkan

risiko kanker yang meningkat pada janin yang pernah terpapar.

Siklosporin A Siklosporin A tidak teratogenik pada binatang, juga tidak ada peningkatan risiko anomali kongenital pada manusia. Pada pasien cangkok dengan 1 54 kehamilan hanya didapat

BBL rendah tanpa adanya kelainan kongenital. Studi prospektif pada 22 anak dari ibu yang diterapi dengan siklosporin menunjukkan tidak ada efek nefrotoksik.

Mofetil Mikofenolat Mofetil mikofenolat merupakan imunosupresan yang relatif baru. Pada terapi lupus nefritis, mofetil mikofenolat menunjukkan hasil yang setara dengan siklofosfamid. Belum ada laporan yang luas dari penggunaan mofetil mikofenolat pada ibu hamil dengan LES. Terdapat satu laporan kasus malformasi kongenital dari penggunaan mofetil mikofenolat pada kehamilan.

Aspirin dosis tinggi dan OAINS sebaiknya dihindari terutama pada beberapa minggu trimester ke-3 Kortikosteroid dan hidroksiklorokuin dapat digunakan dengan hati-hati Azatioprin dan siklosporin masih dapat digunakan sebagai imunosupresan pada ibu hamil dengan LES Siklofosfamid harus dihindari karena ieratogenik

MASALAKTASI

Laktasi dan Aktivitas LES Prolaktinmempunyai peranmultipel pada sistem imun dan

bersifat imunostimulan. Pada kehamilan kadar prolaktin meningkat pada trimester 2 atat 3 dan menetap selama laktasi. Peningkatan ini disebabkan karena

Obat-obatan pada Laktasi Aspirin sangat mudah melintas ke dalam ASI dan dapat menimbulkan intoksikasi salisilat pada bayi. Pada pemberian aspirin 450-650 mg pada ibu hamil, 0,lo -2loh akan mencapai j anin dalam waktu 24 j am . AAP (Am er ic an Academy of Pediatrics) merekomendasikan bahwa aspirin harus diberikan dengan peringatan dan dosis yang besar

harus dihindari pada ibu yang menyusui. Kebanyakan OAINS tidak diekskresi ke ASI. AAP merekomendasi indometasin dan naproksen atau OAINS kerja pendek yang lebih aman untuk ibu hamil, sedangkan OANS yang lewat siklus enterohepatik (misalnya; sulindac) sebaiknya dihindari.

AAP menganggap prednison dan prednisolon aman untuk ibu menyrrsui. Tidak ada data pada penggunaan deksametason dan betametason pada ibu menyusui. Hidroksiklorokuin hanya sedikit diekskresi pada ASI, tetapi AAP memperbolehkan penggunaannya pada ibu menyusui dengan peringatan, karena hidroksiklorokuin eliminasinya cukup lama. Siklofosfamid, azaliopin dan metotreksat

tidak direkomendasikan untuk ibu

menyusui. Dikhawatirkan bisa timbul imunosupresi, gangguan perhrmbuhan dan karsinogenesis pada bayi.

. . . . .

Laktasi dapat meningkatkan insiden kobaran Aspirin dosis tinggi harus dihindari OAINS adalah kontraindikasi pada ibu LES yang menyusui Prednison, prednisolon, dan hidroksi klorokuin bisa diberikan Pada ibu LES yang mendapat imunosupresan seperti siklofosfamid, azatioprin, siklosporin dan metotreksat tidak boleh menyusui.

JENIS KONTRASEPSI Estrogen memang berperan pada patogenesis LES. Beberapa laporan kasus menunjukkan kontrasepsi oral

yang mengandung estrogen meningkatkan insiden kobaran. Jungers et al melaporkan insiden kobaran sebesar 43%o pada pasien LES dengan nefritis yang menerima kontrasepsi oral, sebaliknya Julkunen et al tidak menemukan kobaran pada 31 pasien LES yang memakai kontrasepsi oral selama 12 minggu, sedangkan Buyon et al melaporkan insiden kobaran sebesar 130lo

pada pasien LES yang memakai kontrasepsi oral. Studi Safety of Estrogens Lupus Erythematosus National Assessment (SELENA) di AS yang sedang berlangsung

adanya makroprolaktinemia yang persisten akibat adanya

akan memberi informasi yang lebih baik tentang pengaruh

antibodi antiprolaktin. Diduga peningkatan prolaktin

kontrasepsi estrogen pada LES.

meningkatkan aktivitas LES dan berperan pada kobaran postpartum. Sebaiknya pada ibu menyusui dilakukan

pemantauan yang lebih ketat untuk mengantisipasi kobaran.

Terdapat peningkatan insidens tromboemboli pada pasien LES dengan ACA yang menggunakan kontrasepsi oral lebih banyak. Kontrasepsi oral tidak boleh diberikan kepada pasien dengan ACA. Pada pasien LES muda,

2586

RE[,MIIiIOT.OGI

normotesii tanpa ACA dan riwayat keluarga dengan tromboemboli, dan penyakit yang inaktif stabil tidak

REFERENSI

dikontradiksikan untuk kontrasepsi oral. Pemantauan ketat tanda tromboemboli harus dilakukan selama penggunaan

Boumpas

kontrasepsi oral. Progestogen dan depot progestogen (Depo-Provera) dapat digunakan pada LES sebagai pengganti preparat estrogen, tetapi dapat memberi efek

samping seperti iregularitas menstruasi, amenore, spooting, edema dan peningkatan berat badan. IUD pada pasien LES sering menimbulkan infeksi terutama pada pemakai imunosupresan. Paling aman adalah kontrasepsi mekanis seperti kondom dan diafragma.

Dl Howard A. Austin tIA, Ellen M. Vaughan EM, Cheryl H. Yarboro, CH John H. Klippel JH, James E. Ballow JE. Risk for sustained amenorrhea in patients with systemic lupus erythematosus receiving intermittent.

Cortez-Hemandez J, Ordi-Ros J, Prededes F, Casselas

M, Castillo F, Villardel-Tarres. Clinical predictors of fetal and maternal outcome in systemic lupus erythematosus: A prospective study on 1 03 pregnancies. Rheumatol.ogy 2002;4 | :643 -50.

CostedoalChalumeau N, Amoura Z,Hong DLT, Wechler B, Vauthier-

D, Ghilani P, Papo T fain O, Musset L, Piette JC. Question about dexamethasone use for the prevention of anti-SSA related congenital heart block. Ann Rheum Dis Brouzes

2003:62:1O1

. . . .

Estrogen dosis rendah dapat diberikan kepada pasien dengan penyakit inaktif, tanpa risiko tromboemboli dan ACA negatif Progestogen dapat digunakan jika estrogen merupakan kontraindikasi IUD dapat meningkatkan risiko infeksi intrauterine. Kondom dan diafragma paling aman

O-1 2.

Danesy R, Del Tacca M. Teratogenesis and immunosuppressive treatment (abstract). Transplant Proc. 2004 Apr;36(3):7 05 -7 . Georgiou PE, Politi EN, Katsimbri P, Sakka V, Drosos AA.,Outcome

of lupus pregnancy: A controlled study.

Rheumatology

2000;39:1014-19 Huong DLT, Wechsler B, Vautjier -Brouzes D, Seebacher J, Lefebvre, Bletry O, Darbois J, Godeau P, Piette JC. Outcome of planned

pregnancies in systemic lupus erythematosus: A prospective study on 62 pregnancies. Brit J Rreumatol. 1991;36-.712-777. Hardy CJ, Palmer BP, Morton SJ, Muir KR, Powell RJ. Pregnancy outcome and family size in systemic lupus erythematosus. A case control study. Rheumatology 1999;38:559-663. Ioannou Y, Isenberg DA. Current concepts for the management of systemic lupus erythematosus in adults: a therapeutic challenge Postgraduate Medical Iowr,al 2002;7 8:599-60.

402 SINDROM VASKULITIS Laniyati Hamijoyo

PENDAHULUAN

Vaskulitis adalah suatu proses inflamasi pada pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan struktur dinding

pembuluh darah. Kehilangan integritas dinding pembuluh darah dapat menyebabkan perdarahan, dan adanya gangguan pada lumen pembuluh darah menimbulkan iskemik maupun nekrosis. Secara umum, vaskulitis dapat mengenai berbagai ukuran, tipe maupun lokasi pembuluh darah, dan berhubungan dengan suatu kelainan yang spesifik. Vaskulitis dapat terjadi sebagai suatu proses primer ataupun sekunder dari penyakit lain

(penyakit reumatik, keganasan atau infeksi dll.). Pembahasan di sini lebih ditujukan kepada vaskulitis pnmer.

Eploeutolocr Epidemiologi vaskulitis masih sulit dilaporkan karena beberapa hal, antara lain: 1) kejadian vaskulitis yang masih

relatif jarang; 2) seringkali ditemukan kesulitan dalam menegakkan diagnosis vaskulitis yang tepat (terutama untuk membedakan satu bentuk vaskulitis dari yang lain); 3) kenyataan penyebab sebagian besar vaskulitis masih belum diketahui; dan 4) riwayat ketidak pastian dalam klasifikasi vaskulitis ini. Meskipun demikian epidemiologi beberapa jenis vaskulitis telah dilaporkan. Gambaran epidemiologi vaskulitis sangat bervariasi sesuai dengan sebaran geografi. Variasi ini dapat

sutera. Demikian juga arteritis Takayasu dilaporkan hanya

ada 3 kasus baru per tahun di AS namun dilaporkan merupakan penyebab paling sering stenosis arteri renal di India, dimana insidensnya mencapai 200-300 kasus per satu juta penduduk.

Usia juga merupakan suatu pertimbangan penting dalam menegakkan diagnosis vaskulitis. Delapan puluh persen penderita penyakit Kawasaki berusia di bawah 5 tahun. Sebaliknya arteritis temporalis tidak pemah terjadi pada penderita berusia kurang dari 50 tahun. Usia juga berpengaruh pada parahnya penyakit dan prognosis penderita. Pada purpura Henoch Schonlein, mayoritas kasus te{adipada anak-anak danumumnya sembuh sendiri

dalam beberapa minggu. Namun pada orang dewasa sering menjadi kronis dan menyebabkan gangguan ginjal yang buruk.

Distribusi jenis kelamin juga berpengaruh terhadap bentuk vaskulitis. Penyakit Buerger predominan pada pria. Predileksi tersebut mungkin disebabkan karena prevalensi merokok lebih banyak di antara kaum pria. Sebaliknya arteritis Takayasu bertendensi lebih sering terjadi pada wanita (9:1) dibandingkan pria, kenyataan ini masih belum dapat dijelaskan hingga saat ini. Beberapa bentuk vaskulitis lebih banyak pada suatu etnik tertentu misalnya granulomatosa Wegener dan arteritis temporalis lebih banyak pada orang kulit putih sedangkan Takayasu dan Kawasaki lebih banyak pada keturunan Asia.

Meskipun faktor risiko genetik tidak diragukan merupakan faktor yang penting, namun kejadian vaskulitis dalam keluarga sangat jarang. Hal ini menunjukkan bahwa

merefl eksikan keterlibatan faktor genetik, paparan terhadap lingkungan yang berbeda, dan prevalensi faktor risiko yang lain. Sebagai contoh penyakit Behcet, jarang sekali terjadi

di utara Amerika namun angka kejadian penyakit ini

penyakit ini poligenik dan kompleks. Contoh salah satu vaskulitis yang berhubungan suatu gen tertentu dengan vaskulitis adalah penyakit Behcet dengan gen

beberapa ratus kali lebih banyak di negara-negara jalur

HLA-Bs1.

2587

2588

REUMATOI.OGI

PATOGENESIS Mekanisme pasti yang mendasari kelainan ini masih belum jelas. Ada beberapa patogenesis berbeda yang diajukan untuk membantu menjelaskan mengapa lesi pada jenis vaskulitis tertentu hanya ditemukan pada pembuluh darah tertentu. 1. Distribusi antigen yang bertanggung jawab terhadap vaskulitis menentukan pola pembuluh darah yang terlibat. 2. Akumulasi infiltrat radang ditentukan oleh sel endotel, termasuk ekspresi dari molekul adhesi, sekresi peptida dan hormon, dan interaksi yang spesifik dengan sel-sel

Selama lebih dari setengah abad, berbagai klasifikasi vaskulitis telah diajukan, namun sampai saat ini belum ada yang memuaskan, karena pengetahuan mengenai kondisi penyakit ini terus berkembang. Semua skema klasifikasi masih terus dalam perbaikan.

Vaskulitis dapat dibedakan berdasarkan pembuluh darah yang dominan terlibat (Tabel 1).

Pembuluh darah yang dominan Pembuluh darah besar:

inllamasi. Beberapa sel inflamasi lebih lanjut menarik sela-sel

Pembuluh darah sedang

radang, sementara sel yang lain tidak. Struktur non-endotel

dinding pembuluh darah bekerja mengontrol proses keradangan. Selain sel endotel yang berfungsi sebagai ko-stimulator, komponen sel-sel lain berfungsi sebagai antigent presenting cell (APC) dan berkontribusi terhadap mediator proinflamasi. Inflamasi umunmya terjadi pada pembuluh darah arteri, namun dapat juga melibatkan

Pembuluh darah sedang dan kecil Pembuluh darah kecil

Tipe vaskulitis Arteritis temporal (Giant cell afteritis) Arteritis Takayasu Poliladeritis nodosa Penyakit Kawasaki Granulomatosa Wegener Sindrom Churg-Strauss Poliangiitis mikroskopi Purpura Henoch-Schonlein Kriog lobu linem ia

Vaskulitis lekositoklastik kutaneus

pembuluh vena maupun kapiler.

Tanda dan gejala khas keradangan vaskular timbul akibat gangguan fungsi dan perfusi serta terjadi kerusakan pada organ yang terkena, contoh ekstrim adalah terjadinya infark organ akibat adanya proses inflamasi pada lumen pembuluh darah. Secara histologi, inhltrasi mielomonosit yang prominen tampakpada dinding pembuluh darah yang

terlibat.

Infiltrasi granuloma seringkali tampak

sebagai

gambaran khas beberapa tipe vaskulitis. Infiltrasi ini pada

pembuluh darah arteri kadang menyebabkan destruksi lamina elastik interna dan menimbulkan kelainan pada lapisan intima, medial dan adventisia, membentuk trombus dan menyebabkan oklusi total lumen pembuluh darah.

KLASIFIKASI Vaskulitis seringkali merupakan penyakit yang serius dan fatal yang membutuhkan deteksi dan terapi yang cepat. Gejala yang melibatkan organ tubuh dapat muncul secara terisolasi maupun kombinasi dengan keterlibatan organorgan lain. Keterlibatan suatu organ tertentu dapat menjadi petunjuk untuk jenis vaskulitis tertentu namun dapat juga terjadi overlap. Keterlibatan berbagai organ pada penyakit vaskulitis ini dengan beragam manifestasi menjadi suatu tantangan bagi klinisi untuk menegakkan diagnosa dan

memberikan terapi yatg tepat. Selain itu, pengenalan proses patologik yang tepat sedini mungkin dapat menolong mencegah sekuele yang berat yang dapat terjadi akibat penyakit ini. Pengobatan dini yang tepat dan efektif dapat memberikan perbaikan klinis maupun fungsional yang berarti bagi penderita.

Klasifikasi vaskulitis berdasarkan konsensus Ghapel Hill 1994 American college of Rheumatolog (ACR) mengeluarkan suatu seri klasifikasi vaskulitis pada tahun 1990 yang mengelompokan tujuh kelainan vaskulitis. Kriteria ini dirancang untuk mengidentifikasi kelainan inflamasi pada pembuluh darah danjugauntuk membedakan satu kelainan vaskulitis dari yang lain (Tabel2) Pada tahun 1994 suatu panel intemasional yang terdiri dari para dokter dan ahli patologi mengeluarkan suatu konsensus yang dinamakan Konsensus Chapel Hill untuk menjawab beberapa kebingungan dalam kriteria yatg dikeluarkan olehACR I 990. (Table 3). Mereka mengemukakan penjelasan terhadap definisi penyakit dan menetapkan terminologi diagnostik standart

yang digunakan dalam menggambarkan vaskulitis. Klasifikasi yang dilakukan adalah menggolongkan keradangan pembuluh darah berdasarkan kaliber pembuluh darah yang terlibat. Pembuluh darah besar meliputi aorta dan cabang-cabang paling besar (misalnyaartei subklavia dan karotid); pembuluh darah sedang meliputi arteri utama

yang memberikan suplai darah ke organ-organ dalam (misalnya arteri renal, hepatika, koroner dan mesenterika); dan pembuluh darah kecil meliputi arteriol, kapiler dan venul, termasuk di dalamnya arteri kecil yang memperdarahi parenkim organ-organ yang terlibat (misalnya arteri renal tetminal yang berhubungan dengan arteriol aferen pada ginjal). Sebagai tambahan dari kriteria ACR, klasifikasi Chapel Hill ini mengikutkan kadar antibodi sitoplasmik anti netrofil (ANCA) dalam penentuan diagnosis. Contohnya

2589

SINDROMVASKULMS

Vaskulitis pembuluh darah besar Arteritis temporalis (Giant cell afteritis)

Arteritis Takayasu

Usia 250 tahun

Awitan nyeri kepala baru LED >50 mm/jam Bukti histologik arteriiis nekrosis, dengan inflamasi granulomatosa disertai sel-sel giant yang multinuklear

Usia <40 tahun Klaudikasio pada ekstremitas Penurunan pulsasi arteri brakialis Perbedaan tekanan darah sistolik >'10 mmHg antara kedua lengan Bruitpada arteri subklavia atau aorta Bukti adanya penyempitan atau oklusi pada aofta, cabang primernya atau arteri besar ekstremitas proksimal atas maupun ekstremitas bawah pada arteriografi

Vaskulitis pembuluh darah sedang Poliarteritis nodosa

Penurunan berat badan >4 kg Livedo retikularis Nyeri dan nyeri tekan testikular Mialgia

Mononeuropati atau polineuropati Tekanan darah diastolik >90 mmHg Peningkatan kadar BUN atau serum kreatinin Adanya hepatitis B antigen dalam serum Arteriografi abnormal Pada biopsi terdapat infiltrasi granulosit atau leukosit campuran pada dinding pembuluh darah

Vaskulitis pembuluh darah kecil Granulomatosa Wegener

Hematuria (sediment sel eritrosit atau >5 sel darah merah per lapang pandang kecil) Kelainan pada foto toraks (nodul, kavitas atau infiltrat) Ulkus mulut atau sekret hidung Bukti histologi adanya keradangan granulomatosa

Sindrom Churg-

Asma Eosinofilia >1Ook pada hitung jenis lekosit Mononeuropati (termasuk multipleks), polineuropati lnfiltrat pada paru yang tidak menetap Kelainan sinus paranasal Bukti histologi adanya eosinofilia ekstravaskular pada dinding pembuluh darah

Strauss

Purpura Henoch-

Usia s20 years

Sch6nlein

Purpura yang dapat diraba Nyeri perut akut Bukti histologi adanya granulosit pada dinding pembuluh darah arteriol atau venul

Vaskulitis hipersensitivitas

Usia >16 tahun

Riwayat obat-obatan pada saat awitan penyakit yang mungkln merupakan faktor presipitasi Purpura yang dapat diraba; ruam makulopapular Bukti histolooi adanva qranulosit sekitar arteriol or venul

Klasifikasi vaskulitis berdasarkan konsensus Chapel Hill 1994

2590

REUMANOI.OGI

granulomatosa Wegener, sindrom Churg-Strauss dan poliangiitis mikroskopi berhubungan erat dengan ANCA yang positif. Selain itu kriteria ACR tidak memisahkan poliangiitis mikroskopi sebagai suatu kriteria tersendiri melainkan memasukkannya kedalam PAN. Istilah vaskulitis

hipersensitif dihilangkan karena bukti adanya hipersensitivitas sering tidak ditemukan pada banyak kasus, mereka lebih memilih istilah angiitis lekositoklastik kutaneus karena penyakit ini tipikal melibatkan kulit dan predominan sel netrofil. Berbeda dengan poliangiitis mikroskopi, angiitis lekositoklastik kutaneus tidak melibatkan ginjal, paru-paru, saraf perifer dan organ dalam lainnya dan tidak berhubungan dengan ANCA.

Klasifikasi vaskulitis untu k pediatrik berdasarkan EULAR2006 Dengan berkembangnya jaman, kriteria vaskulitis ini masih

dirasakan belum sempurna karena ifi Pediatric Rheumatologt European Sociegt (PRES) dan European League against Rheumatism (EULAR) berusaha mencari koreksi terhadap kekurangan dalam kriteria klasihkasi vaskulitis

khususnya untuk penderita anak-anak. Alasan dibuat suatu klasifikasi baru ini adalah tidak semua vaskulitis dijumpai pada anak, dan adanya perbedaan etiologi, manifestasi klinis, faktor prognosis penderita anak dengan dewasa terutama unfuk penyakit granulomatosa Wegener dan

poliarteritis nodosa. Pada tahun 2006 panelis kelompok

kerja ini menl,usun kriteria klasifikasi untuk lima vaskulitis

yang bermanifestasi pada anak-anak yaitu: purpura

Vaskulitis pembuluh darah besar Arteritis temporalis (Giant cell

Arteritis granulomatosa yang melibatkan aoda dan

arteritis))

cabang utamanya dengan predileksi cabang-cabang ekstrakranial arteri karotis. Sering mengenai arteri temporalis Biasanya terjadi pada usia lebih dari 50 tahun dan sering dihubungkan dengan polimialgia

Arteritis Takayasu

reumatika Keradangan granulomatosa aorta dan cabang-cabang utamanya Biasanya terjadi pada usia kurang dari 50 tahun.

Vaskulitis pembuluh darah sedang Poliarteritis nodosa

Keradangan nekrosis pembuluh darah sedang dan kecil tanpa glomerulonefritis atau vaskulitis pada

Penyakit Kawasaki

Arteritis yang melibatkan arteri besar, sedang dan

arteriole, kapiler dan venul.

kecil , serta berhubungan dengan sindrom

mukokutaneus- kelenjar getah bening Arteri koronaria sering terkena, juga aorta dan vena. Umumnya terjadi pada anak-anak.

Vaskulitis pembuluh darah kecil Granulomatosa Wegener *)

Keradangan granulomatosa yang melibatkan traktus

respiratorius, vaskulitis pembuluh darah kecil dan sedang (seperti kapiler, venul, arteriol dan arteri) Sindrom Churg-Strauss.)

Umumnya terjadi glomerulonefritis nekrosis Hipereosinofilia dan keradangan granulomatosa yang melibatkan traktus respiratorius, dan vaskulitis

nekrosis yang mengenai pembuluh darah kecil dan serta berhubungan dengan asma dan

sedang, Poliangiitis mikroskopi.)

Purpura Henoch-Schonlein

eosinofilia. Vaskulitis nekrosis dengan sedikit atau tanpa deposit imun, mengenai pembuluh darah kecil (seperti kapiler, venul dan arteriol) Arteritis nekrosis yang melibatkan arteri kecil dan sedang. Glomerulonefritis nekrosis dan kapilaritis pulmonal sering terjadi Vaskulitis dengan deposit imun lg-A yang dominan, mengenai pembuluh darah kecil (seperti kapiler, venul

dan arteriol). Penyakit ini khas melibatkan kulit, saluran cerna dan glomerulus, dan berhubungan Vaskulitis hipersensitivitas

') berhubungan dengan ANCA

dengan artralgia atau artritis. Vaskulitis dengan deposit imun krioglobulin, mengenai pembuluh darah kecil (seperti kapiler, venul atau arteriol) dan berhubungan dengan krioglobulin dalam serum. Kulit dan glomerulus sering terlibat.

2591

SINDROMVASKULITIS

Henoch-Schonlein, penyakit Kawasaki, poliarteritis nodosa, granulomatosa Wegener dan arteritis Takayasu (Tabela)

membagi kelainan tertentu berdasarkan pembuluh darah yang terlibat. Sehingga keterlibatan pembuluh darah sedang bersama pembuluh darah kecil dapat terjadi.

PR3-ANCA: proteinase 3 antineutrophil cytoplasmic antibodies atau C-ANCA: cytoplasmic -ANCA Klasifikasi kriteria berdasarkan EULAR ini lebih jauh

PATOFISIOLOGI

membagi vaskulitis pembuluh darah kecil menjadi keradangan granulomatosus dan bukan granulomatosus. Panel ini mengusulkan penggunaan kata predominan dalam

Pembentukan kompleks imun dan deposit produknya pada

pembuluh darah dapat menerangkan patofisiologi

Vaskulitis pembuluh darah besar Arteritis

Takayasu

Kriteria wajib: Angiografi yang abnormal pada aorta atau cabang-cabang utamanya (secara konvesional, CT atau MRI)

ditambah'r'"i::i:"ty!;:3:,::::Trterr periter atau kraudikasio ekstremitas; perbedaan tekanan darah >10 mmHg; bruitpada aorta atau cabang-cabang utamanya;

Vaskulitis pembuluh darah sedang Poliarteritis nodosa pada anak

Kriteria wajib: Suaiu penyakit sistemik yang khas dengan adanya vaskulitis nekrosis arteri kecil dan sedang pada biopsi ATAU angiografi yang abnormal (aneurisma atau oklusi) ditambah >2 kriteria berikut: keterlibatan kulit (livedo retikularis; nodul subkutaneus yang nyeri pada penekanan dan lesi vaskulitis lain); mialgia atau nyeri tekan otot; hiperlensi sistemik (relatif terhadap data normotensi pada anak);

-

-

mononeuropatiataupolineuropati;

analisis urin yang abnormal atau gangguan fungsi ginjal; nyeri dan nyeri tekan testis; tanda dan gejala mengarah pada vaskulitis sistim organ tubuh (gastrointestinal, jantung, pulmonal atau sistim saraf pusat) Kriteria wajib: Demam menetap sekurang-kurangnya 5 hari ditambah >4 dari 5 kelainan berikut: Adanya perubahan pada ekstremitas bagian perifer atau area perineal; eksantem polimorfi; injeksi konjungtiva bilateral; perubahan pada bibir dan rongga mulut (injeksi mukosa mulut dan farings); limfadenopatiservikal; Jika terdapat keterlibatan arteri koronaria (terdeteksi lewat ekokardiografi maka demam ditambah <4 kriteria di atas sudah mencukupi

Penyakit Kawasaki

-

-

Vaskulitis pembuluh darah kecil Granulomatosus

Granulomatosa Wegener

No

n

-g ra n u

lomatos

u

Harus terdapat >3 di antara 6 kondisi berikut: urinalisis yang abnormal (hematuria atau proteinuria); keradangan granulomatosa pada biopsi; keradangan sinus nasal; stenosis subglotis, trachea atau endobronkhial; Radiografi toraks atau CT scan yang abnormal; PR3-ANCA atau C-ANCA positif

-

s

Purpura Henoch-Schonlein

Kriteria wajib: Purpura yang dapat diraba Ditambah adanya >1 di antara 4 kondisis berikut: Nyeri abdomen yang difus; Bukti histologis adanya predominan deposisi lgA; artritis atau adralgia; keterlibatan ginjal (baik hematuria maupun proteinuria)

-

PR3-ANCA: proteinase 3 antineutrophil cytoplasmic antibodies atau C-ANCA: cytoplasmic

-

ANCA

2592

REI.JMANOI.OGI

vaskulitis ini. Sistim organ yang umumnya terkena adalah

yang kaya akan pembuluh darah kecil seperti kulit menimbulkan suatu rash lekositoklastik dengan purpura yang dapat diraba, pada sendi menyebabkan poliartritis inflamasi dan pada ginjal menyebabkan glomerulonefritis dengan mediasi imun kompleks. Pada saat kompleks imun ini menetap pada dinding pembuluh darah, maka timbul aktivasi jalur efektor (seperti reseptor FcR, kaskade komplemen klasik). Mediator mediator ini kemudaian menyebabkan kelainan pada jaringan dan organ fubuh melalui aktivasi kaskade komplemen dan pengumpulan selsel

mielomonosit. Mekanisme patofi siologi granulomatosa Wegener atau

poliangiitis mikroskopi berbeda dengan vaskulitis yang lain. Pada kedua vaskulitis tersebut arteriole dan arteri otot

yang berukuran sedang dan kecil merupakan target inflamasi sehingga teqadi kerusakan jaringan dan organ terminal akibat hipoperfusi. Infark dapat melibatkan saraf perifer, saluran cerna dan fungsi ginjal. Kelompok antibodi

tertentu diperkirakan berperan dalam patogenesis vaskulitis ini yaitu antibodi anti netrofil sitoplasma (ANCA) yang bekerja melawan granula sitoplasmik dalam

netrofil polimorfonuklear sirkulasi. Antibodi tersebut mengikat dan mengaktivasi netrofil yang berada dalam dinding pembuluh darah, menyebabkan sitoplasmik melakukan degranulasi dan merangsang respon keradangan. Hasil akhir adalah kerusakan yang berlanjut pada dinding pembuluh daran dan jaringan parenkim yang

diperdarahinya.

MANIFESTAS! KLINIS Meskipun gambaran klinis vaskulitis sangat beragam, gambaran umum dapat dikelompokan menjadi 5 kategori klinis yang merujuk kecurigaan ke arah vaskulitis. (Tabel 5). Gambaran klinis yang pefiama adalah gejala-gejala konstitusional (seperti demam, malaise, berkeringat, lelah,

1

. Gejala-gejala konstitusional

2 3

Awitan yang subakut Tanda dan gejala inflamasi 4 Nyeri 5. Bukti adanya penyakit multisistim

menentukan dengan pasti jam atau hari di mana sakitnya

dimulai. Hal ini seringkali menyebabkan diagnosis vaskulitis menjadi terlambat. Petunjuk ketiga adalah tandatanda inflamasi berupa demam, artritis, rash, perikarditis, anemia karena penyakit kronis, atau peningkatan LED yang bermakna. Nyeri merupakan petunjuk berikutnya, bisa berasal dari banyak sumber seperti artritis, mialgia, atau infark pada jari, pembuluh saraf, saluran cerna maupun testis. Petunjuk kelima adalah penyakit vaskulitis umumnya

menyebabkan kelainan yang melibatkan banyak sistim tubuh. Kulit, sendi, sistim saraf, ginjal, paru-paru atau saluran cerna merupakan organ target yang sering terkena pada vaskulitis. Selanjutnya manifestasi yang timbul dapat dibedakan menurut tipe pembuluh darah yang terkena (Tabel 6).

Petunjuk manifestasi ini dapat membantu menentukan pembuluh darah yang terlibat.

DIAGNOSIS Menegakkan diagnosis vaskulitis merupakan tantangan bagi paru klinisi, dengan anamnesis yang teliti dan pemeriksaan fisik yang seksama dan didasarkan pada gejala umum serta gejala dan tanda yang lebih spesifik bagi pembuluh darah tertentu yang terlibat, dapat dibangun suatu alur diagnosis (Gambar 1). Kriteria diagnosis membantu dalam penggolongan penyakit ini dan biopsi merupakan kunci pada sebagian besar diagnosis penyakit vaskulitis.

nafsu makan menurun, dan berat badan turun) . Gej ala -gejala

yang tidak spesifik ini, tanpa adanya tanda yang lebih

khusus untuk suatu penyakit tertentu, biasanya mengelabui perj alanan panyakit vaskulitis. Petunjuk kedua

adalah awitan yang subakut dalam beberapa minggu sampai beberapa bulan. Bertolak belakang dengan penderita infeksi akut, penderita vaskulitis tidak dapat

PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium yang abnormal dapat dijumpai pada penyakit vaskulitis menyertai kelainan klinis yang

terjadi. Beberapa kelainan tidaklah spesifik seperti peningkatan laju endap darah (LED) dan anemia dapat

Pembuluh darah besar

Pembuluh darah sedang

Pembuluh darah kecil

Klaudikasio ekstremitas Tekanan darah asimetrik Tidak ada pulsasi Bruit Dilatasi aorta

Nodul kutaneus Ulkus pada kulit Livedo retikularis Ganggren pada jari Mononeuritis multipleks Mikroaneurisms

Purpura Lesi vesikulobulous Urlikaria G lomeru lonefritis Hemoragik alveolus Granuloma kutaneus nekrosis ekstravaskular Splinter hemoragik Uveitis/episkleritis/skleritis

2s93

SINDROMVASKULITIS

Artritis granulomatosa pada penderita > 50thn

Artritis granulomatosa Pada penderita < 50thn

I

I I

+

t

Atlnlis Giant Cell

Artntis takayasu

tanpa bening

Artritis nekrosis dengan Artritis nekrosis sindrcma mukokutaneus sindroma mukokutaneus kelenjar getah bening kelenjar getah

tl

tt

pAN

Penyakit Kawasaki

Kompleks imun dalam pembuluh darah

lmunoglobulin daiam pembuluh darah (berhubungan dengan ANCA)

Krioglobulin dalam darah dan oembuluh darah

reumatoid

+

I

+

Vaskulitis lmun kompleks yang lain

Vaskulitis kriglobulin

Vaskulitis SLEI artritis reumaioid

Sumber lain lmun kompleks I

tanpa ataupun granuloma

Vaskulitis asma

J++

I I

MPA

tapi asma

Granuloma tidak ada

I

Hipereosinofilia, asma, granuloma I

SLEI

Sindrome Churg Vaskulitis artritis Agranulomatosa Strauss wegener

Gambar '1. Skema untuk membantu diagnosis penyakit vaskulitis

ditemukan pada penyakit kronis yang lain. Beberapa hasil laboratorium dapat memberikan hasil yang lebih spesifik untuk kelainan vaskulitis seperti ANCA.

Pemeriksaan radiologi tergantung pada pembuluh darah yang terlibat. Radiografi polos jarang memberikan petunjuk penting kecuali gambaran sinusitis dan rontgen

dada pada granulomatosa Wegener (namun seringkali memberikan gambaran yang tidak spesifik), CT scan lebih

sensitif dalam keadaan ini. Angiogram biasanya lebih membantu dalam menegakkan diagnosis arteritis Takayasu,

poliarteritis nodosa dan vaskulitis pada susunan saraf pusat.

Biopsi pada jaringan yang terlibat merupakan metoda yang paling sering dapat membantu menegakan diagnosis vaskulitis. Secara umum biopsi pada area yang

simptomatik memberikan hasil positif sampai

66oh,

Pewarnaan tertentu kadang-kadang diperlukan untuk menunjukkan derajat kerusakan pada lapisan arteri tedentu atau adanya deposisi kompleks imun.

Diagnosis Banding Diagnosis banding vaskulitis sangatlah banyak. Salah satu adalah penyakit infeksi yang menyerupai gejala vaskulitis

terutama bentuk diseminata. Infeksi

ini menyebabkan

gangguan pada berbagai organ menyerupai vaskulitis. Dapat pula vaskulitis merupakan bagian dari infeksi itu sendiri. Diagnosis banding yang lain adalah keganasan termasuk kelainan limfoproliferatif dan mieloproliferatif, metastasis dari suatu karsinoma.

Terapi dan Prognosis kortikosteroid digunakan, sebelum tahun 1950-an, prognosis vaskulitis sangat buruk, dengan harapan hidup 5 tahun hanya sekitar 15%. Setelah Pada era sebelum

penemuan kortikosteroid dan penggunaannya pada vaskulitis lebih dari 50% penderita tertolong.

Setelah pengenalan terapi imunusupresif dan kemoterapi sebagai lini kedua terapi vaskulitis, terutama siklofosfamid. Obat ini berpotensi mencapai remisi

penyakit, menurunkan kebutuhan dosis tinggi kortikosteroid lebih cepat. Obat-obat lain yang digunakan adalah azathioprin, klorambusil, dan metotreksat. Sampai tahun-tahun terakhir strategi pengobatan terhadap vaskulitis masih terbatas, dan masih kurang penelitian dengan rancangan acak berganda kontrol palsebo dalam terapi vaskulitis ini. Pengobatan dengan agen biologi masih dikembangkan saat ini. Beberapa kasus dilaporkan berespons baik terhadap agen terebut

2594

ARTERITIS TAKAYASU

Arteritis takayasu merupakan suatu inflamasi kronis, progresifdan menyebabkan oklusi pada aorta dan cabangcabangnya. Autoimun mediasi sel mempunyai peran penting terhadap mekanisme kerusakan pada pembuluh darah.

REI.JMAIOI.OGI

Kelainan jantung antara lain regurgitasi aorta, angina,

infark miokardium, kardiomiopati dan miokarditis, gagal jantung kongestif (penyebab utama kematian), aritmia dan kematian mendadak. Pada saluran napas dapat terjadi hipertensi pulmonal (sering asimptomatik), hemoptisis, pleuritis, gangguan test fungsi paru, gambaran abnormal pemeriksaan ventilasi/

perfusi (seringkali salah didiagnosis sebagai penyakit

Epidemiologi Meskipun arteritis Takayasu memiliki distribusi di seluruh dunia namun dalam observasi didapatkan lebih banyak di Asia dan India daripada di Eropah dan Amerika, dengan insidens diperkirakan 2,6 kasus perl juta penduduk per tahun. Penderita dari Jepang dilaporkan lebih banyak mengalami vaskulitis pada arkus aorta, dan penderita yang berasal dari India lebih sering mengalami arleritis pada arteri abdominalis dan torakalis, sementara di Amerika serikat lebih banyak dilaporkan keterlibatan arteri subklavia

kiri, mesenterika superior dan aorta abdominalis. Arteritis ini dilaporkan 80% teqadi pada wanita, berusia rata-rata 30 tahun. Kurang dari l5o/o kasus yang terjadi pada usia lebih dari 40 tahun.

Patogenesis Penyebab arteri Takayasu ini belum diketahui hingga saat ini. Faktor genetik mungkin berperan dalam patogenesis arteritis ini, dengan kemungkinan keterkaitan kompleks histokompatibiliti mayor. Pada penelitian di Jepang dan

Korea didapatkan adanya hubungan dengan human leukocyte anligezs (HLA) -A10, 85, Bw52, DR2, dan DR4. Namun hubungan ini belum terbukti pada penelitian di negara trarat. Sementara di Amerika serikat didapatkan berhubungan detga HL A-822. Infiltrasi mononuklear pada lapisan adventisia terjadi lebih dulu dalam perjalanan penyakit arteritis Takayasu. Perubahan granulomatosa dapat diamati pada tunika media dengan sel-sel Langerhans dan nekrosis sentral serabut elastis. Gambaran panarteritiss dengan infiltasi limfosit, sel plasma, histiosit dan sel giant dapat ditemukan, selanjutnya terjadi fibrosis tunika media dan penebalan tunika intima. Aktivasi endotelium menyebabkan status hiperkoagulobilitas yang merupakan predisposisi terhadap trombosis, selanjutnya diseksi pembuluh darah atau aneurisma bisa terjadi pada area yang mengalami

keradangan.

Gejala klinis

tromboemboli).

Gejala vaskular lain yang bisa ditemukan adalah: klaudikasio pada daerah rahang bawah. Manifestasi yatgdapatterjadi pada ginjal antara lain: hipertensi renovaskular (paling sering), glomerulonefritis proliferatif mesangial dengan deposit imunoglobulin M,

G A dan C3 pada mesangial, glomerulonefritis membranoproliferatif dan kresentik dan amioloidosis ginj al (arang). Pada kulit bisa ditemukan lesi nodular subakut yang berulserasi, eritema nodosum, erupsi papulonekrosis, lesi papular eritematosus pada tangan, gangrenosa pioderma dan eritema multiform. Manifestasi pada gastrointestinal berupa mual, muntah, diare dan nyeri abdomen dan kadang

terjadi perdarahan akibat iskemik pembuluh darah mesenterium.

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium. Reaktan fase akut dan parameter klinis yang umumnya dipakai untuk menilai penyakitkeradangan akut tidak seluruhnya merefleksikan inflamasi aktif pembuluh darahpada penyakit arteritis Takayasu. Laju endap darah (LED) umumnya meningkat pada sebagian besar kasus namun tidak semua pasien dengan inflamasi aktif. Petanda lain termasuk endotelin- 1 , faktor von Willebrand, antigen faktor VIII dan trobomodulin yang dapat ditemukan namun tidak adekuat untuk menilai aktifnya penyakit.

Radiologi. Meskipun pemeriksaan CT scan, atau MRI menunjukkan pola khas stenosis atau aneurism apada al.tei, angiografi tetap merupakan kriteria standard untuk diagnosis dan evaluasi perjalanan penyakit. Namun penelitian

belakangan

ini

menyimpulkan bahwa modalitas

pemeriksaan noninvasif seperti MRI, USG dan positron emission tomogragphy (PET) scan dapat digunakan untuk

mendiagnosis awal penyakit dibandingkan dengan angiografi standart dan dapat digunakan untuk memantau aktivitas penyakit. Pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah magnetic resonance angiography (MRA) yang sama atau bahkan lebih sensitif daripada angiografi untuk

Gejala umum vaskulitis (lihat Tabel 6) dapat ditemukan ini dan gejala-gejala khusus yang telah disebutkan dalam kriteria klasifikasi di atas. Gejala neurologis berupa serangan iskemik transien, stroke hemoragik atau iskemik, kebutaan pemanen atau

brakhiensefalik namun kurang sensitif dalam mendeteksi cabang-cabangyalg lebih kecil yang terlibat. CT helical scanning angiography juga telah terbukti lebih sensitif

sementara, nyeri kepala, kejang dan sindromasubclavian steal.

dan spesifik sebagai alat diagnostik. Sementara

pada arteritis Takayasu

menilai lesi dalam aorta dan cabang-cabang arteri

2595

SINDROMVASKULITIS

USG doppler dapat memberikan detail dinding pembuluh darah, lumen dan aliran darah. Alat ini berguna untuk skrining dan memantau arteritis terutama yang melibatkan arleri carotis dan subklavia.

tidak beraturan dan lumennya menj adi sempit. Arteritis ini

berkembang menjadi stadium sklerotik dengan fibrosis pada tunika intima dan adventisia dan terjadi jaringan parut pada tunika media

Penatalaksanaan Terapi intervensi termasuk kortikosteroid dengan atau tanpa pemberian obat sitotoksik. Pemberian kortikosteroid merupakan terapi utama pada afteritis Takayasu yang aktif'

namun beberapa penderita membutuhkan tambahan

Gambar 2.Penderita Arteritis Takayasu dengan penyempitan aorta desending proksimal dan arteri brakhiensefalik kanan (su mber:med scape )

sitotoksik untuk mencapai remisi. . Kortikosteroid dimulai dengan dosis I mg/kgBB/hari per oral sekaligus atau dosis terbagi dan diturunkan bertahap dalam beberapa minggu atau beberapa bulan setelah gejala berkurang. Dosis rendah steroidjangka panjang mungkin diperlukan. Prevensi terhadap osteoporosis harus dipertimbangkan untuk penderita yang mendapat korlikosteroid jangka panjang. . Obat sitotoksik diberikan kepada penderita yang resisten terhadap kortikosteroid atau yang relaps' Obat-obat ini biasanya dilanjutkan sampai satu tahun sesudah remisi dan diturunkan secara bertahap sampai akhirnya dihentikan. Dosis dan pemakaian sebagai berikut:

-

Azatioprin 1-2 mgkg BB,4rari per oral (PO) Metotreks at7 ,5-25 mg/minggu PO atau IM Siklofosfamid 2 mg,4
penderita dengan kasus yang berat atau resisten)

-

Siklosporin A, juga digunakan untuk penderita yang resisten terhadap steroid dengan dosis awal 5 mg/ kgBB/hari dan kemudian 2-3mg,&gBB/hari untuk pemeliharaan

-

Mikofenolat mofetil (MMF)

2 glhati PO telah

digunakan bagi penderita arteritis Takayasu yang

resisten terhadap steroid dan obat-obat

-

imunosupresan Yang lain.

Anti tumor necrosis factor (TNF) dilaporkan dalam beberapa seri- kasus arteritis Takayasu efektifpada

penderita yang aktif dan relaps meskipun telah

Gambar 3. Aortogram seorang penderita dengan aneurisma aorta desending dan dilatasi arteri inominata (sumber: medscape)

diterapi dengan steroid dan beberapa obat imunosupresan. Penelitian randomisasi terkontrol

dengan populasi yang lebih besar terhadap

Diagnosis Menegakkan diagnosis arteritis Takayasu adalah dengan biopsi dan dapat dibantu dengan kriteria diagnostik (lihat Tabel2,3,4). Biopsi terhadap pembuluh darah sedang dan besar dapat menegakkan diagnosis pada stadium awal penyakit, namun pada fase kronik, diagnosis dengan biopsi saja kurang adekuat. Pada stadium awal terjadi reaksi inflamasi granulomatosa yang menyeluruh atau sebagian pada pembuluh darah yang melibatkan makrofag, limfosit dan sel giantmultinuklear. Inflamasi awalnya terjadi pada vasa vasontm, di mana pembuluh darah arleri menjadi menebal

-

penderita arteritis Takayasu menggunakan anti TNF ini masih diperlukan. Penatalaksanaan ketat terhadap risiko tradisional kardiovaskular seperti dislipidemia, hipertensi dan

faktor gaya hidup harus diperhatikan untuk mengurangi komplikasi sekunder, yang merupakan kasus utama kematian pada penyakit ini' Sebagai tambahan dosis kecil aspirin mungkin mempunyai efek terapi pada vaskulitis pembuluh darah besar'

Terapi Bedah Lesi stenosis yang kritis harus diterapi dengan angioplasti

2s96

REI.,MATI)I.OGI

atau bedah vaskular pada saat remisi. Indikasi untuk dilakukan terapi bedah atau angioplasti adalah sebagai berikut: . Stenosis renovaskular yang menyebabkan hipertensi . Stenosis arteri koronaria yang menyebabkan iskemik miokardium . Klaudikasio intermiten yang dipicu oleh aktivitas sehari-

.

hari.

.

. .

Iskemia serebral danJatau stenosis pada 3 atau lebih pembuluh darah serebral Regurgitasi aorta Aneurismaarteriabdominalis atau torakalis dengan di-

.

Koarktasio aofia yang berat

ameter lebih dari 5 cm

Prosedur bypass graft memlllki angka keberhasilan jangka panjang yang tinggi.

temporalis, dengan adanya laporan kejadian GCA dalam keluarga, dan penelitian dewasa ini mendapatkan adanya hubungan GCA dengan gen human leukocyte antigen (HLA) DR4 varian *040 I dan *0404. Patogenesis GCA ini diawali oleh sel T pada tunika intima sebagai respon terhadap antigen yang tidak diketahui, kemudian merangsang sel T dan makrofag yang lain untuk menginfiltrasi seluruh lapisan arteri yang terlibat dan sitokin yang menyebabkan kerusakan lokal pembuluh darah dan juga berefek sistemik. Ekspresi sitokin inflamasi yang berbeda dapat menjelaskan manifestasi klinis yang adapada GCA. Sebagai contoh penderita dengan kadar interleukin 6 (IL-6) yang tinggi umumnya lebih banyak mengalami demam dan sangat kurang mengalami kebutaan.

Gejala Klinis Awitan gejala GCA umumnya perlahan-lahan dalam

Prognosis Arteritis Takayasu berhubungan dengan morbiditas yang

tinggi dan dapat mengancam jiwa. Perjalanan penyakit dapat berlangsung bertahun-tahun dengan variasi derajat

aktivitasnya.

Sekitar 20''/o penderita mengalami monofasik dan sembuh sendiri. Sementara yang lain menjadi progresif atau

relaps dan membutuhkan terapi imunosupresif. Angka harapan hidup 15 tahun dilaporkan mencapai90-95%

ARTERITIS TEMPORAL

Definisi Arteritis temporal dikenal juga dengan nama Giant cell arteritis (GCA), merupakan suatu panarteritis yang ter.ladi terutama pada orang berusia lebih tua dan lebih sering mengenai cabang-cabang ekstrakranial arleri karotid. Komplikasi yang paling menakutkan adalah kebutaan yang sebetulnya dapat dicegah dengan deteksi dini dan terapi kortikosteroid.

beberapa minggu sampai beberapa bulan, namun sepertiga kasus dapat terjadi secara mendadak. Manifestasi paling sering adalah gejala konstitusional, sakit kepala, gangguan

penglihatan, klaudikasio rahang bawah dan polimialgia reumatika (PMR). Hampir semua penderita mengalami satu

atau lebih gejala konstitusional seperti demam, lelah, penurunan berat badan, dan malaise. Berdasarkan telaah terhadap 247 5 penderita yang dilaporkan menderita GCA didapatkan 7 60/o dengankeluhan sakit kepala. Sakit kepala

ini dideskripsikan sebagai nyeri fumpul yang sedang dan paling sering dirasakan di daerah temporal. K-harakteristik paling konsisten adalah penderita mengungkapkan rasa nyeri kepala yang baru atau tidak lazim. Pada penderita yang tidak diobati nyeri mungkin akan menghilang dalam beberapa minggu walaupun aktivitas penyakit masih terus berlangsung. Nyeri kepala GCA ini umumnya tidak berhubungan dengan pemeriksaan fisik yang ditemukan.

Arteri temporal yang abnormal, seperti pembesaran, bengkak, nyeri tekan atau hilangnya pulsasi, hanya didapatkan pada seperdua dari semua penderita (lihat Gambar 4). Beberapa penderita merasakan nyeri tekan pada kulit kepala saat menyisir rambut.

Epidemiologi Hampir semua kasus terjadi pada usia di atas 50 tahun (rata-rata

7

2 tahun). Insiden GCA sangatlah bervariasi pada

populasi yang berbeda, tertinggi didapatkan di Skandinavia dan terendah dilaporkan di Jepang dan India utara. Insiden meningkat dengan bertambahnya usia dari 1,54 kasus per 100.000 orang pada dekade enam menjadi

20,7 kasus per 100.000 orang pada dekade delapan. Kejadian GCA pada wanita didapatkan dua kali lebih sering daripada pria.

Patogenesis Etiologi GCA masih belum diketahui hingga saat ini. Faktor genetik diperkirakan memegang peran pada arteritis

Gambar 4. Arteri temporalis yang melebar pada seorang penderita

arteritis temporalis (Gambar dikutip dari Hochberg et al (eds)

www. rheumtext com)

-

2597

SINDROMVASKULITIS

Pemeriksaan penunjang Laboratorium. Peningkatan LED > 50% ditemukanpada :trtpuA:*l itl.lfl

I

kurang lebih 90% penderita GCA, juga peningkatan CRP. Anemia normokrom normositer biasanya ringan, dan

trombositosis. Ophthltl:ttlt

trdiry

(h'rilitll ,irI{ir1

Furial urtcrl

(';lrttlirl

.{11(l

ltft(rr

Radiologi. Ultrasonografi dengan color duplexpada afteri temporal yang terlibat dapat menunjukkan gambaran "halo" akibat adanya edema atau stenosis, namun teknik ini tidak lebih sensitif dibandingkan dengan pemeriksaan fisik yang teliti terhadap arteri temporalis. MRI dan CT scan dapat

memberikan penilaian non invasif terhadap penyakit

-1

GCAini. Gambar 5. Arteri karotid dan cabang-cabangnya

Diagnosis Gejala hilangnya penglihatan dan diplopia sering terjadi pada GCA, bisa unilateral atau bilateral, sementara atau seterusnya, dan sebagian atau seluruh penglihatan.

Hilangnya penglihatan yang berlangsung lebih dari satu hari biasanya tidak akan pulih kembali. Hal ini sering menunjukkan adanya neuropati optik iskemia anterior yang disebabkan oleh oklusi arteri siliari posterior, cabang arteri

oftalmikus, yang memperdarahi nervus optikus. Arteri oftalmikus adalah cabang dari arteri karotid interna.

Klasifrkasi kriteria dapat dilihat pada tabel2 dan 3. Adanya abnormal arteri temporalis merupakan nilai prediktif positif yang tinggi unfuk diagnosis GCA. Meskipun peningkatan LED yang sangat tinggi (LED>100 mm/jam) sangat

mendukung diagnosis, peningkatan LED yang sedang

tidaklah spesifik dan LED yang normal tidaklah menyingkirkan diagnosis. Pada prinsipnya diagnosis GCA

diduga berdasarkan gambaran klinis didukung oleh

Kebutaan pada GCA karena oklusi arteri retina lebih jarang

peningkatan LED dan dibuktikan dengan biopsi yang positif pada afteri temporalis, yang mempakan standart

terjadi. Hilangnya penglihatan pada GCA ini umumnya

emas untuk diagnosis GCA. Gambaran biopsi menunjukkan

berat, lebih dari 80% penderita bahkan tidak dapat melihat gerakan tangan.

adanya sel giant yang multinuklear.

Kurang lebih 30-50% penderita GCA mengalami polimialgia reumatika (PMR). PMR didefenisikan sebagai nyeri dan kaku pada area leher, bahu dan panggul, biasanya lebih parah dirasakan pada pagi hari. Kriteria diagnostik untuk PMR terdiri atas: (1) usia >50 tahun, (2) nyeri dan kaku berlangsung sekurang-kurangnya satu bulan, melibatkan sekurang-kuratgr'rya2 dari 3 area yang

Penatalaksanaan Penderita dengan kecurigaan GCA yang mengalami hilang penglihatan sementara dalam beberapajam harus segera dirawat dan diberikan methylprednisolone intravena dosis tinggi (1000 mg/hari) selama 3-5 hari. Beberapa penderita dilaporkan membaik penglihatannya dengan terapi ini.

neurologi (mononeuritis multipleks, stroke, TIA,

Prednisone (dosis 40-60 mg/hari) harus diberikan secara klinis diduga kuat menderita rita segera dirujukuntukbiopsi arteri temporalis. Respons GCA maupun PMR terhadap steroid umumnya sangat dramatis dan menunjukkan perbaikan yang bermakna dalam 2 hari. Dosis inisial prednisone biasanya diberikan selama 2-4 minggu, kemudian dapat diturunkan bertahap setiap minggu atau tiap 2 minggu, sebanyak maksimum l0% dosis total perhari. Dosis yang terlalu cepat diturunkan atau dihentikan akan menyebabkan gejala relaps atau rekuren' Penilaian gejala klinis, pemeriksaan LED dan CRP secara regular sangat membantu dalam memantau penyakit penderita. Terapi untuk satu sampai dua tahun umumnya

demensia, halusinasi), gejala keterlibatan arteri besar (klaudikasio ekstremitas, tekanan darah yang tidak sama antara kedua lengan, aneurisma aorta torakalis), lesi menyerupai tumor (terutama pada payudara dan

Metotreksat (10-15 mg/minggu) dapat digunakan sebagai obat sparing untuk kortikosteroid pada GCA,

disebutkan

di atas, (3) kaku pagi hari berlangsung

sekurang-kurangnya I jam, (4) LED > 40 mm/jam, (5) Penyakit lain diekslusi kecuali GCA, dan (6) berespon cepat terhadap pemberian prednison (<20mg/hari). Penderita umunnyamelaporkan kesulitan turun dari ranjang, bangkit dari toilet, atau sulit untuk sikat gigi. Pada pemeriksaan fisik umunya tidak didapatkan kelainan yang bermakna selain turunnya ruang lingkup gerak sendi baik secara

aktif

maupun pasif.

Gejala lain yang tidak khas dapat ditemukan pada GCA antara lain gejala pada traktus respiratori (batuk kering, nyeri tenggorokan dan nyeri pada lidah), gejala

ovarium) dan syndrome of inappropiate antidiuretic hormone (SIADH).

kepad GCA.

dibutuhkan, dan beberapa penderita bahkan membutuhkan prednisone untuk waktu yang lebih lama.

namun pada penelitian masih didapatkan kontroversi' Pemberian kalsium dan vitamin D maupun bifosfonat

2598

REI,JMANOIOGI

harus disertakan bagi mereka dengan yang mendapat steroid jangka panjang. Dosis kecil aspirin (80-100 mglharl) dilaporkan dapat mengurangi risiko terjadinya kebutaan atau stroke pada

pada otot ditemukan mialgia. Manifestasi pada sarafperifer adalah mononeuritis multipleks, terjadi pada kurang lebih

Prognosis

60%o penderita dengan PAN. Saraf yang paling sering terlibat adalah suralis, peronealis, radialis dan ulnaris, dengan gejala foot drop ata:u wrist drop. Manifestasi saluran cerna meliputi angina intestinalis dengan keluhan nyeri perut, sementara pada ginjal berupa inflamasi

Sekitar 30-50% penderita akan mengalami eksaserbasi akut

intraparenkim ginjal dengan hipertensi mediasi oleh renin

GCA.

dalam dua tahun pertama. Pada penderita tersebut umumnya berespon dengan peningkatan pednison 5-10 mg dari dosis sebelumnya.

akibat adanya keterlibatan arteriol intra renal. Padajantung

terjadi infark miokard dan gagal jantung kongestif. Pada sistim saraf pusat dapat terjadi ensefalopati atau stroke. Manifestasi lain PAN adalah keterlibatan mata (skleritis), pankreas, testis, payudara, ovarium dan ureter.

POLIARTERITIS NODOSA

Defenisi Poliarteritis nodosa (PAN) yang klasik didefenisikan sebagai inflamasi nekrosis pada arteri kecil atau sedang yang tidak melibatkan arteriol atau kapiler dan tidak berhubungan dengan glomerulonefritis. Dua hal yang membedakan PAN dari vaskulitis yang lain adalah lebih melibatkan arteri dari vena dan tidak terdapat keradangan granulomatosa.

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium. Anemia, lekositosis ringan, trombositosis dan peningkatan CPR atau LED sering ditemukan. Peningkatan kreatinin dan kadang-kadang sampai gagal ginjal terminal dapat dijumpai pada PAN yang melibatkan ginjal, demikian pula peningkatan serum transaminasi pada keterlibatan arteri hepatik.

Radiologi. Arteriografi mesenterika dapat menunjukkan aneurisma pada penderita dengan nyeri abdomen pada PAN.

Epidemiologi Insidens tahunan PAN dilaporkan berkisar antara2-9 kasus per I juta penduduk per tahun. Kejadian tertinggi (77 kasus

per 1 juta penduduk) dilaporkan di daerah Alaska pada saat terjadi endemik hepatitis virus B. PAN dapat terjadi pada semua usia, termasuk anak-anak, namun awitan

tertinggi pada dekade kelima dan keenam, dengan perbandingan sekitar

2:1

attar a pria danwan ita. Meskipun

Diagnosis Karena distribusi yang iregular menyebabkan biopsi kadang-kadang sulit. Jika terdapat lesi purpura pada kulit dapat dilakukan biopsi kulit. Biopsi pada saraf yang paling sering dilakukan adalah saraf suralis. Gambaran histopatologi berupa nekrosis transmural dan fibrinoid

ditemukan etiologi yang pasti.

terdapat infi ltrasi selular pleomorfik (sel polimorfonuklear dan limfosit). Degranulasi netrofil di dalam dan sekitar dinding arteri membentuk lekositoklastik.

Patologi

Penatalaksanaan. Sekitar separuh penderita PAN mencapai remisi cukup

PAN dilaporkan timbul setelah infeksi, vaksinasi, atau penggunaan obat (terutama amfetamin), namun tidak

Distribusi PAN bersifat p atchy, dimanaterdapat area pada

pembuluh darah yang nekrosis dan inflamasi diselingi oleh area yang sama sekali tidak terlibat sehingga cenderung terjadi aneurisma terutama pada sirkulasi mesenterika. Organ target yang lain adalah ginjal, sarafdanjantung.

Gejala klinis Manifestasi klinis PAN biasanya didahului oleh gejala gejala sistemik seperti demam, nyeri perut, penurunan berat badan, mialgia dan atralgia dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Dalam masa ini dapat terjadi kejadian akut

pada berbagai organ (kecuali paru-paru), akibat iskemik atau infark padajaringan yang terlibat. Gejala kulit yang ada berupa livedo retikularis, nodul, papular, ulserasi dan iskemik jari sampai ganggren. Pada sendi dapat terjadi atralgia terutama sendi-sendi besar, dan

dengan pemberian kortikosteroid saja. Dosis inisial kortikosteroid adalahl mg/kg BB/hari, selama 4-8 minggu kemudian diturunkan secara bertahap pada saat penyakit sudah stabil tanpa ada tanda-tanda aktif. Pemberian siklofosfamid (dosis 2 mg/kgBB/hari PO atau 0.6 mglm2l bulan IV) diindikasikan untuk penderita yang refrakter terhadap terapi kortikosteroid atau penderita dengan

keterlibatan organ vital. Alternatif pengganti untuk siklofosfamid antara lain klorambusil, azatioprin, metotreksast, dapson, siklosporin, dan plasmafaresis. Pada penderita PAN yang berhubungan dengan hepatitis virus B, pemberian terapi anti virus sangat membanfu.

Prognosis Tanpa pengobatan PAN akan menjadi fatal umumnya penderita akan meninggal dalam l-2 tahun. Namun jika

2599

SINDROMVASKULITIS

diobati 80% penderita dapat selamat, dengan sebagaian

Gejala klinis

besar mencapai remisi jangka panjang. Beberapa

MPA dikenal dengan penyakit sindroma pulmonari-renal, namun pada kenyataanya kelainan yang melibatkan paru dan sekaligus renal jarang terjadi. Manifestasi klinis yang paling sering pada MPA antara lain glomerulonefritis, penurunan berat badan, mononeuritis multipleks, demam

prognostikfaktor yang memprediksi tingginya probabilitas

mortaliti adalah proteinuria >1 grlhari, azotemia, kardiomiopati, keterlibatan saluran cerna dan penyakit susunan saraf pusat. Gejala mononeuritis multipleks yang lanjut umumnya dapat menimbulkan kecacatan pada penderita. Gejala residu disfungsi saraf seperti kelemahan otot atau nyeri neuropati umum ditemukan pada PAN

POLIANGIITIS MIKROSKOPI

Definisi Poliangiitis mikroskopi (MPA) merupakan suatu vaskulitis sistemik yang mengenai banyak organ vital dan umumnya fatal. Vaskulitis nekrosis dengan sedikit atao tanpa deposit imun kompleks ini melibatkan pembuluh darah kecil (kapiler, arteriol dan venul) dan kemungkinan pembuluh darah sedang; dan seringkali berhubungan dengan glomerulonefritis nekro sis dan kapilaritis pulmonal. Tuj uh puluh persen penderita MPA ini memiliki positif ANCA. Penyakit ini dikenal juga dengan poliarteritis mikroskopi, namun istilah poliangiitis mikroskopi lebih disukai karena kecenderungan penyakit ini melibatkan baik pembuluh darah arteri maupun vena.

Epidemiologi Perkiraan insidens MPA berkisar altara 4 kasus per 1 juta penduduk per tahun, menjadikan MPA lebih banyak daripada PAN klasik namun lebih sedikit dari Wegener. MPA, mengenai semua etnik dengan predileksi pada

orang kulit putih, dan perbandingan jenis kelamin seimbang 1:l antara pria dan wanita. Penyakit ini mengenai semua usia dengan awitan puncak pada usia 65-75 tahrn

dan berbagai manifestasi kulit.

Pada daerah kepala dan tenggorokan, kelainan yang ditimbulkan adalah rinitis, sinusitis, dan otitis medtaranpa keradangan granulomatosa. Lesi pada mata (episkleritis, konjungtivitis dan keratitis) pernah dilaporkan.

Kelainan pada paru meliputi kapilaritis dengan manifestasi alveolar hemoragik dan sering hemoptisis. Di samping itu dapat terjadi fibrosis interstisial dan pleuritis. Kelainan ginjal paling sering dijumpai mencapai 80%

penderita MPA. Manifestasi klasik

adalah (RPGN). Beberapa glomerulonefritis progresif cepat

penderita mengalami penurunan fungsi ginjal lebih lambat dalam beberapa bulan. Manifestasi ginjal juga dapat berupa proteinuri4 hematuria mikroskopi dan sedlmen eriffosit.

Pada sistim saraf terjadi mononeuritis multipleks dengan pola polineuropati aksonal, distal dan asimetrik. Gejala awal neuropati vaskulitis biasanya meliputi saraf sensorik, berupa rasa kesemutan dan distesia, sementara

infark pada saraf motorik menyebabkan kelemahan otot. Manifestasi kulit meliputi purpura yatg dapat diraba, lesi papul atau vesikobulosa dan hemoragik splinter. Ulkus, nodul dan livedo retikularis juga dapat terjadi dan sering melibatkan ekstremitas bawah. Artritis dan atralgia juga sering dijumpai dan bersifat migratori, dapat pauci maupun poliartritis.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium. Anemia, lekositosis ringan

dan

trombositosis umum dijumpai. Pada MPA terjadi peningkatan reaktan fase akut dan 60-85% penderita didapatkan ANCA positif.

Patogenesis Berbeda dengan purpura Henoch Schonlein dan vaskulitis krioglobulinemia, MPA umumnya tidak terdapat deposit rmun kompleks. MPA, granulomatosa Wegener dan sindroma Churg Strauss dicirikan dengan keberadaan autoantibodi terhadap sitoplasma yang berisi netrofil dan monosit, yang

Meskipun diagnosis MPA dapat didasari oleh tampilan klinis dan laboratorium, biopsi tetap lebih pasti dalam menegakkan diagnosis MPA. Gambaran histologi yang

dikenal sebagai anti-neutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA). ANCA pada vaskulitis merupakan antibodi

glomerulonefritis pauci-imun nekrosis dan vaskulitis

terhadap proteinase 3 (PR3) atau myeloperoxidase (MPO). Peran ANCA dalam patogenesis MPA adalah melepaskan enzim litik, menginduksi aderens netrohl ke sel endotelium

dan merangsang netrofil untuk menglisis sel endotelium. Interaksi antara ANCA dan netrofil ini terjadi lewat ikatan fragment F(ab), terhadap MPO atau PR3 yang terekspresi pada permukaan netrofil dan juga oleh ikatan fragmen Fc nya kepada reseptor Fcy pada netrofil.

Diagnosis

dapat dijumpai adalah kapilaritis pulmonal, leukositoklastik.

Penatalaksanaan Karena MPA umumnya melibatkan organ utama (paru, ginjal dan saraf) maka terapi kombinasi glukokortikoid dan siklofosfamid merupakan pilihan utama. Pemberian dosis tinggi steroid (methylprednisolone 1000 mglhari) untuk 3 hari ditambah dengan siklofosfamidbaik oralAari maupun

2600

RELJMA*IOL.oGI

IV/bulan. Setiap penderita yang mendapat terapi untuk MPA harus diberikan trimetoprim sulfamethoxazole (TMP) atau dapsone untuk profilaksis terhadap pneumonia oleh pneumocystis jiroveci (dulu dikenal sebagai p.carinii). Setelah terapi induksi penderita menjadi remisi maka

terapi kortikosteroid boleh diturunkan bertahap dan siklofosfamid boleh diganti dengan azattoprine (dosis 2 mgkgAari) atau metotreksat (dosis sampai 25mglminggu). Optimal durasi dari terapi pemeliharaan ini tidak diketahui

untuk jangka berapa lama, namun disarankan dipertahankan sampai minimal

tahun setelah remisi. Bila maka terapi pencegahan 1

terjadi kelainan pada ginjal perburukan fungsi giryal juga harus segera diberikan (kontrol tekanan darah, ACE inhibitor, dan restriksi garam).

Prognosis Jika diagnosis MPA dini dan terapi cepat maka likelihood tinggi (>90%) untuk mencapai remisi penyakit. Sayangnya penyakit ini jarang cepat dikenali sebelum terjadi kerusakan organ. Diperkirakan kurang lebih sepertiga penderita akan

dari respon imun ini belum jelas diketahui, studi in vivo dan in vitro menunjukan aktivasi sel polimorfonuklear (PMN) dan monosit menyebabkan translokasi PR3 dari

kompartmen intrasel ke permukaan se1, yang memungkinkan untuk membentuk antibodi. ANCA merangsang aktivasi netrofil, degranulasi dan juga menyebabkan kerusakan sel endotelium.

Gejala Klinis Sembilan puluh persen penderita WG mengalami kelainan pada hidung, seringkali ini merupakan gejala awal. Gejala yang khas meliputi rinorea, hidung tersumbat, epikstasis.

Keradangan kartilaginus dapat menyebabkan perforasi septum nasal dan kolaps tulang hidung (deformitas saddle nose) (ganbar 6). Erosi tulang ka.,um sinus adalah khas

pada WG namun biasanya terjadi setelah penyakit ini berlangsung lama. Pada telinga dapat terjadi kehilangan

pendengaran

baik konduksi karena keradangan

granulomatosa pada telinga tengah maupun gangguan sensorineural. Gusi merah stoberi, ulkus pada mulut, lidah

mengalami eksaserbasi setelah mencapai remisi.

dan palatum, stenosis subglotis dan gangguan mata

Prognosis lebih buruk bila terjadi alveolar hemoragik.

(pseudotumor orbita, skleritis, konjungtivitis dan skleritis) juga dapat dijumpai. Pada paru-paru dapat ditemukan lesi kavitas, noduler atau infiltrat non spesifik sampai hemoragik alveolar. Gangguan katup jantung dan perikarditis terjadi pada jantung. Glomerulonefritis, vaskulitis mesenterika, manifestasi kulit vaskulitis, arlritis, mononeuritis multipleks dan gangguan susunan saral pusat juga dapat ditemukan pada WG.

GRANULOMATOSAWEGENER

Definisi Granulomatosa Wegener (WG) merupakan vaskulitis dengan keradangan granulomatosa dan nekrosis yang melibatkan pembuluh darah kecil sampai sedang, baik arteri maupun vena. Penyakit ini juga berhubungan dengan

ANCA

Epidemiologi Penyakit ini dilaporkan l0 kasus per satujuta penduduk per tahun. Timbul pada semua etnik dengan predominan orang kulit putih. Rasio pria dan wanita kurang lebih sebanding l:1. Meskipun usia rata-rata penderita WG adalah 50 tahun, penyakit ini dapat mengenai orang dengan usia lebih tua maupun anak-anak.

Patogenesa Penyebab WG belum diketahui hingga saat

ini, tetapi

keterlibatan saluran pernapasan atas dan bawah yang sangat sering menyebabkan dugaan adanya reaksi terhadap antigen yang terinhalasi. Beberapa penelitian memperkirakan inflamasi saluran pernapasan atas oleh Staphylococcus aureus mungkin berperan dalam terjdainya WG. WG berhubungan erat dengan PR3 ANCA, meskipun ada juga dengan MPO-ANCA.

ini masih belum jelas pada WG. Lesi keradangan granulomatosa pada WG Peran patogenic antibodi

menunjukan keterlibatan respons imun, meskipun target

Gambar 6. Sadd/e nose pada granuloma Wegener

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium. Gambaran laboratorium menyerupai yang ditemukan pada MPA. LED dan CRP dapat digunakan untuk

aktivitas penyakit. Positif ANCA dapat membantu dalam menegakkan diagnosis WG. Sesitivitas PR3-ANCA sekitar 90% pada keadaan aktif dat4\%,pada saat penyakit remisi, spesifitasnya 95%. memantau

2601

SINDROMVASKULITIS

Diagnosis

glukokortikoid meningkat menjadi

Biopsi pada lesi inflamasi WG khas terdapat nekrosis, perubahan granulomatosa dan vaskulitis. Jaringan yang diambil dapat berasal dari hidung atau sinus paranasal.

mencapai 80%

Biopsi transbronkial 1arung dapat memberikan hasil yang baik. Adanya kapilaritis pada jaringan paru dapat menunjang diagnosis namun tidak spesifik. Pada jaringan ginjal dapat ditemukan glomerulonefritis fokal atau difus dengan lesi kresen dan sklerosis.

Penatalaksanaan Diagnosis dini sangat penting dan pengobatan yang tepat merupakan kunci keberhasilan terapi WG. Kombinasi kortikosteroid dan agen sitotoksik biasanya digunakan pada WG Inisial terapi menggunakan dosis tinggi steroid (prednison I mg/kglhari atau lebih) dan dipertahankan sampai keadaan stabil (fungsi ginjal stabil atau infiltrat paru resolusi) lalu diturunkan bertahap, biasanya I bulan sejak terapi inisiasi. Pendekatan lain adalah dengan pulse methylprednisolone (1 g/hari) untuk 3 hari pada mereka yang mengalami keadaan gawat yang mengancam jiwa (hemoragik pulmonal yang difus atau RPGN).

Penggunaan siklofosfamid oral (2mglkglharl) dikombinasikan dengan kortikosteroid merupakan terapi standart bagi WG. Siklofosfamid dipertahankan sampai sekurang-kurangnya satu tahun penderita mencapai remisi sempuma dan kemudian diturunkarr25 mg setiap 2 sampai 3 bulan sampai berhenti atau sampai terjadi rekuren dan dosis perlu ditingkatkan kembali. Beberapa penelitian randomisasi menguji pemberian siklofosfamid secara pulse 3 minggu) memiliki efektivitas yang sama dengan dosis harian per oral. Namun pemberian pulse ini belum direkomendasikan sebagai standart terapi untuk WG. Penggunaan metrotreksat masih belum memuaskan, sementara imunoglobulin intravena dapat menjadi terapi alternatifpada penderita dengan aktivitas penyakit yang masih persistsn setelah pemberian terapi standar' Terapi Tumor necrosis factor (TNF) inhibitor seperti infliximab dan etanercept telah diberikan dalam beberapa studi dan memberikan hasil remisi sebagian atau sempuma

IV (0.7 glm2tiap

pada beberapa penderita yang resisten terhadap siklofosfamid. Agen ini cukup baik ditoleransi dan minimal toksisitasnya. Pada saat ini masih sedikit data yang mendukun inisiasi terapi anti TNF untuk penderita WG yang belum pernah diterapi, namun obat ini memegang peran penting pada keadaan resisten. Terapi operasi mungkin diperlukan bagi mereka dengan

otitis media kronis, sinusitis kronis, obstruksi duktus lakrimasi atau pseudotumor orbita. Bagi mereka dengan gagal ginjal terminal dapat dilakukan transplantasi ginjal'

12

bulan. Namun sejak

terapi kombinasi agresif dengan menggunakan glukokorlikoid dan siklofosfamid angka survival 5 tahun

SINDROM CHURG STRAUSS

Definisi Sindroma Churg Strauss (CSS) atau angiitis alergika atau granulomatosa alergika merupakan suatu kelalinat yang ditandai oleh eosinofilia, keradangan granulomatosa pada

saluran pernapasan dan vaskulitis nekrosis pembuluh darah sedang dan kecil yang berhubungan dengan asma.

Epidemiologi Sindroma ini merupakan penyakit yang jarang dibandingkan dengan bentuk vaskulitis yang lain. Insiden tahunan sekitar 2.4 kasus per 1 juta penduduk, dengan perbandingan seimbang antara pria dan wanita.

Patogenesis Penyebab CSS belum diketahui, namun asosiasi terhadap alergi dan kelainan atopik merupakan faktor yang dominan'

Beberapa kasus dewasa ini dilaporkan berhubungan dengan penggunaan obat antagonis leukotrien, namun hubungan yang pasti antara obat ini dengan vaskulitis

belum diketahui. Positif ANCA yang dijumpai pada 40-50% penderita CSS, terutama MPO-ANCA, memperkuat dugaan adanya peranan ANCA dalam patogenesis CSS

Gejala klinis Tiga fase penyakit yang sering dijumpaipada CSS adalah: . Fase prodromal: ditandai oleh adanya penyakit alergi (biasanya asma atau rinitis alergika)' Fase ini sering berlangsung selama beberapa tahun.

.

.

Fase eosinofilia/ infiltrasi jaringan: eosinofilia perifer

dapat terjadi, dan infiltrasi jaringan oleh eosinofil ditemukan pada paru-paru, saluran pencernaan dan jaringan lain Vaskulitis: vaskulitis nekrosis mengenai organ-organ tubuh dari jantung dan paru sampai pembuluh saraf dan kulit.

Lebih dari 90% penderita CSS mempunyai riwayat asma.

Kelainan pada organ tubuh antara lain: hidung (polip nasal dan rinitis alergika), sinus (pansinusitis), telinga (aringan granulasi pada telinga tengah dengan infiltrasi eosinofil yang menyebabkan tuli konduktif)' Pada paru bisa

ditemukan infiltrasi ekstensif eosinofil dalam alveolus dan interstitium selanjutnya vaskulitis nekrosis

Prognosis

dan granuloma.

Sebelum era penggunaan steroid, tata-rala survival penderita WG adalah 5 bulan, dengan penggunaan

Keterlibatan jantung ditandai oleh arteritis koroner,

Kelainan pada saraf berupa mononeuritis multipleks'

2602

REI,JMII|TON.OGI

kelainan katup dan gagal jantung kongestif. Glomerulonefritis jarang dijumpai. Kelainan muskuloskeletal berupa atralgia dan arlritis, bervariasi mulai dari pauci artritis pada sendi besar ektremitas bawah sampai poliartritis sendi-sendi tangan. Manifestasi kulit tidak ada yang spesifik dan menyerupai gambaran vaskulitis yang lain.

Pemeriksaan penunjang Laboratorium. Eosinofilia denganjumlah eosinofil

dapat

mencapai 600/o dari total lekosit, atau melebihi 1500 sel/ mm3. Jumlah eosinofil merupakan marker yang sensitif

untuk menandai aktifnya penyakit, dan biasanya sangat berespon dengan pemberian korlikosteroid. Peningkatan IgE juga sering dijumpai. Serum komplemen biasanya nor-

IgA dan seringkali melibatkan kulit, saluran cema dan glomerulus, dan berhubungan dengan atralgia dan arlritis.

Epidemiologi Penyakit ini merupakan bentuk vaskulitis sistemik yang paling sering pada anak-anak, dengan insidens tahunan mencapai 140 kasus per satu juta penduduk. Puncak tertinggi penderita adalah pada dekade perlama dan kedua dalam hidup (90% penderita berusia kurang dari l0 tahun), dengan rasio pria:wanita sebesar 2: I . Insidens pada orang dewasa sangat jaratg, namun biasanya lebih berat. Meskipun HSP dilaporkan seimbang pada semua kelompok etnik, namun ada kecenderungan lebih banyak pada orang Amerika keturunan Afrika.

mal, namun reaktan fase akut meningkat. ANCAyang positif

membantu menegakkan diagnosis.

Radiologi. Infiltrat pulmonal terdapat pada sepertiga penderita CSS, biasanya migratori dan timbul bilateral. Diagnosis

Patogenesis Hampir dua per tiga kasus HSP terjadi setelah infeksi saluran pernapasan atas, dengan awitan rata-rata 1 0 hari setelah infeksi saluran pernapasan. Meskipun demikian tidak ditemukan satu mikroorganisme atau paparan dari

menguatkan diagnosis. Pembuluh saraf dan otot

lingkungan yang terbukti menjadi penyebab penyakit ini. Asal IgAl yang terdapat dalam dinding pembuluh darah pada HSP belum jelas diketahui. Total serum IgA juga didapatkan meningkat pada kurang lebih 50% penderita HSP, peningkatan ini dihubungkan dengan peningkatan produksinya akibat stimulasi pada sistem

merupakan tempat terbaik untuk dilakukan biopsi.

imun mukosa.

Diagnosis CSS harus berdasarkan adanya bukti vaskulitis nekrosis dengan infiltrasi eosinofilia padajaringan yang

terjadi pada penderita asma atau rinitis alergika. Dokumentasi adanya granuloma ekstravaskular lebih

Penatalaksanaan

Gejala Klinis

Berbeda dengan vaskulitis asosiasi ANCA lainnya, CSS umumnya berespon baik dengan pemberian glukokorlikoid

Presentasi klasik penyakit ini adalah awitan demam yang akut, purpura yang dapat diraba pada ektremitas bawah dan bokong, nyeri perut, artritis dan hematuria. Manifestasi kulit pada HSP, selain purpura, dapat pula ditemukan papula dan plak urtikaria, lesi bulosa dan nekrosis (lebih sering pada orang dewasa), dan edema lokal pada ekstemitas bawah yang tidak berhubungan dengan proteinuria. Keterlibatan muskuloskeletal mencapai lebih dai 80"/o penderita HSP, umumnya artral,gia atau artritis

saja. Namun siklofosfamid (2 mg/kgBB/hari) kadang diperlukan terutama bagi mereka yang mengalami neuropati vaskulitis atau glomerulonefritis. Pada keadaan yang lebih ringan dapat diterapi dengan azatioprin (2mglkgBB/hari), metrotreksat (l 5 -2 5 mgl ming gu) atau mikofeno lat mofetil (2-3 glhari). Pada penderita dengan penyakit yatgtetap

aktif meskipun sudah diterapi dengan kombinasi glukokortikoid dan obat sitotoksik, dapat diberikan interferon alfa, telah dilaporkan keberhasilannya pada beberapa kasus namun masih sangat terbatas.

Prognosis Meskipun remisi klinis dapat dicapai oleh lebih darigAYo penderita, namun rekuren masih tinggi terutama setelah terapi dihentikan.

PURPURA HENOCH.SCHONLEIN

Definisi Purpura Henoch Shonlein (HSP) adalah suatu vaskulitis pembuluh darah kecil dengan deposit imun yang dominan

sendi besar terutama lutut, pergelangan kaki, siku dan pergelangan tangan. Sekitar 60% penderita HSP mengalami nyeri p erut, 33Yo bahkan mengalami perdarahan saluran cema. Nyeri perut terjadi akibat edema dinding usus dan juga perdarahan akibat vaskulitis mesenterika, umumnya bersifat kolik dan semakin nyeri setelah makan. Iskemik mesenterika ini dapat menyebabkan perforasi usus .Padaanak-anak dapat timbul intususepsi di ileosaekal. Manifestasi pada ginjal paling sering berupa glomerulonefritis dengan hematuria dan

proteinuria.

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium. Enam puluh

persen penderita mengalami

2603

SINDROMVASKULITIS

peningkatan serum IgA. Peningkatan reaktan fase akut dan

PENYAKIT KAWASAKI

LED serta lekositosis ringan sampai sedang dapat ditemukan pada pemeriksaan darah, sementara pada pemeriksaan urinalisis dapat ditemukan hematuria dan proteinuria.

Definisi Kawasaki merupakan suatu bentuk vaskulitis pada anakanak yang dapat sembuh sendiri dan melibatkan arteri sedang.

Epidemiologi Penyakit Kawasaki terjadi sporadik dengan insidens berkisar artara 6 sampai 7,6 per 100.000 anak di bawah

Gambar 7 . Purpura yang dapat diraba pada lengan kiri seorang

usia 5 tahun yang dilaporkan di Amerika serikat sementara insidens di Jepang mencapai 90 per 100.000 anak. Usia rata-rata penderita adalah 1,5 tahun dengan pertandingan pria:wanita adalah 1,5:1. Penyakit ini jarang dijumpai pada anak-anak di atas usia 11 tahun.

penderita HSP

Patogenesis Diagnosis Meskipun manifestasi klasik ditemukan pada seorang penderita, diagnosis HSP lebih ditentukan oleh biopsi. Biopsi kulit pada HSP menunjukan suatu vaskulitis leukositoklastik pembuluh darah kecil dalam lapisan superfisial dermis. Jaringan nekrosis sering dijumpai namun bukan keradangan granuloma. Pada pewarnaan imunofluoresens tampak granular IgA kasar di dalam

dan sekitar pembuluh darah kecil. Sementara pada biopsi ginjal sulit dibedakan dengan nefropati IgA.

Presentasi klinis dan epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit ini berhubungan dengan infeksi namun sampai saat ini belum diketahui mikroorganisme penyebabnya. Pada beberapa observasi patologi didapatkan adanya aktivasi endotelium dengan infiltrasi sel mononuklear pada

subendotelium, terutama sel T sitotoksik dan monosit/ makrofag di dalam arteri koroner. Sejauh ini disimpulkan bahwa penyakit ini merupakan respons imun yang abnormal, dengan peningkatan produksi sitokin menyebabkan kerusakan endotelium pada seorang host yang rentan secara genetik. Adanya trombositosis yang sangat ektrim (550.000 sampai 1.000.000/mm3) dapat menyebabkan pembentukan trombus pada endotelium vaskular yang

Penatalaksanaan Pemberian obat antiinflamasi non steroid dapat memperbaiki artritis dan atralgia namun dapat

rusak.

menimbulkan gejala gastrointestinal dan harus dihindari pada penderita dengan kelainan ginjal. Dapson (100mg/

Ada tiga fase pada penyakit Kawasaki: fase akut terdiri atas demam, kemudian fase subakut berupa turunnya

hari), yang bekerja dengan cara menghambat interaksi IgA dengan netrofil, dapat diberikan pada kasus HSP.

Kortikosteroid tampaknya tidak memperbaiki rash, namun obat ini masih kontroversi efektifitasnya pada penderita HSP dengan keterlibatan ginjal. Beberapa penelitian menyarankan penggunaan dosis tinggi methylprednisolone diikuti oleh prednisone oral atau prednison dosis tinggi dikombinasikan dengan azattoprin atau siklofosfamid untuk menolong penderita dengan

nefritis berat.

Prognosis Prognosis umumnya baik, dan tergantung pada sistim organ yang terkena serta usia penderita, semakin muda semakin baik. Pada banyak kasus HSP sembuh sendiri dalam 6-8 minggu. Rekuren ditemukan pada kurang lebih 33%o petderita. Hanya sejumlah kecil penderita mengalami insufi siensi ginj al yang pro gresif.

Gejala klinis demam disertai meningkatnya jumlah trombosit, dan fase konvalesen dimana trombosit kembali ke nilai normal' Gejata dimulai dengan demam, di mana suhu biasanya mencapai 40 C bahkan lebih, yang berlangsung 5 sampai 25 hari, rata-rata 10 hari. Gejaia mukokutaneus berupa injeksi konjuntiva, eritema pada bibir, mukosa mulut dan lidah (lidah stroberi), yang mengelupas bahkan sampai berdarah (lihat Gambar). Rash polimorfi menunjukkan

perivaskulitis dan vas dan jaringan subkut bening leher yang ti

sering ditemukan namun ce turun. Eritema yang nyeri d

setelah demam tangan' jari-jari

dan kaki muncul dalam hari-hari awal sakit'

Pada masa penyembuhan ditemukan deskuamasi dengan pengelupasan kulit pada tangan dan kaki (lihat gambar 5)' Keterlibatan organ lain dapat terjadi pada Kawasaki namun

hampir tidak pernah mengenai ginjal. Manifestasi yang

2604 REUMAiTOI.OGI

paling serius adalah vaskulitis koroner dan miokarditis. Tanpa terapi vaskulitis koroner dengan pembentukan aneurisma terjadi pada 25o/o penderita. pemberian

Penatalaksanaan

imunoglobulin intravena mengurangi kejadian ini hingga kurang dari 5%o.

kurun 10 hari sejak awal sakit. pemberian korlikosteroid masih kontroversi.

Prognosis Hampir semua kematian dini dan kebanyakan kasus

kecacatan jangka panjang disebabkan oleh keterlibatan jantung. Infark miokardium dilaporkan sekitar 2,5r% kasus dan sering terjadi pada fase subakut penyakit. Kematian disebabkan oleh infark jantung, trombosis koroner dan rupfur aneurisma.

Gambar 8. Seorang anak dengan penyakit Kawasaki

VASKULITIS KRIOGLOBULINEMIA ESENSIAL

Definisi Vaskulitis krioglubulinemia essensial adalah vaskulitis dengan deposit in yang mengenai pembuluh darah , dan berhubungan dengan krioglobul

Epidemiologi Insidens vaskulits krioglobulinemia belum diketahui jelas, diperkirakan 5% pasien- pasien dengan hepatitis C kronik akan mengalami sindoma ini, sementarag0o/o dariseluruh kasus vaskulitis krioglubulinemia berhubungan dengan infeksi virus hepatitis C (HCV).

Gambar 9. Deskuamasi pada tangan (dikutip dari www.rheumtext.com- Hochberg et al)

Pemeriksaan penunjang Patogenesis

Laboratorium. reaktan fas

sit meningkat

padapenyakitKawasaki. p transaminase dan piuria yang steril ju ga dapat ditemukan.

Radiologi. Ekokardiografi dua dimensi merupakan teknik yang sangat sensitif untuk mendeteksi vaskulitis dan aneurisma koroner proksimal. pemeriksaan ini harus dilakukan sese

penyakitKawas untuk

,dicurigai Pe{alanan

penyakit

Diagnosis didasarkan pada klinis,

r/ 4)

aneurisma sangat

Patogensis kelainan ini adalah adatyakrioglobulin, yaitu suatu imunoglobulin yang dipresipitasi oleh suhu dingin.

Ada 3 tipe krioglobulin yang dapat dideteksi. Tipe 1, terdapat pada 10-l5oh penderita, terdiri atas faktor

IgM monoklonal. Tipe III, pada 3o-40%penderita, terdiri atas faktor reumatoid IgM poliklonal dan IgG poliklonal. Tipe II dan III secara kolektif disebut krioglobulin campuran. Krioglubulin campuran ini ditemukan selama infeksi bakteri kronik atau virus dan bagian dari penyakit autoimun sistemik, terutama sindroma Sjogren. Sisanya adalah idiopatik yang disebut krioglobulinemia

campuran esensial. Tampaknya banyak kasus

2605

SINDROMVASKULITIS

kioglobulinemia esensial ini berhubungan dengan infeksi HCV Etiopatogenesis vaskulits krioglobulinemia esensial

tanpa infeksi HCV belum jelas diketahui, tetapi di duga akibat aktivasi sel B poliklonal dan/atau

antigen/superantigen yang mengaktifkan sel B. Pada krioglobulinemia yang berhubungan dengan infeksi

HCV, diperkirakan proteinB2 yang menyelubungi HCV dapat berikatan dengan CD81, yang terdapat pada sel hepatosit maupun limfosit dan memicu respon poliklonal sel B. Selain itu IgG dengan reaktif anti-HCV dapat menginduksi molekul faktor reumatoid IgM dengan suatu idiotipe silang tertentu sehingga terbentuk krioglobulin tipe III dalam titier yang rendah. Deposit dari kompleks imun ini pada dinding pembuluh darah selanjugnya memicu

kaskade inflamasi dan menghasilkan sindroma klinis vaskulitis krioglubulinemia esensial.

Gejala Klinis Manifesatasi klinis berupa rash makula, paplula, vesikobulosa dan urtikaria yang menunjukkan keterlibatan pembuluh darah kecil, serta ulkus umumnya di sekitar maleolus, yang menunjukkan keterlibatan pembuluh darah sedang. Trombus vaskular juga sering ditemukan pada banyak kasus krioglobulinemia. Purpura yang dapat diraba dengan predileksi ekstremitas bawah merupakan tipikal penyakit ini. Fenomena Raynaud dan akrosianosis juga

Hipokomplementemia (kadar C3,C4 dan CH50 yang

rendah) sering ditemukan karena protein komplemen terpakai dalam pembentukan kompleks imun. Peningkatan

fase reaktan akut dan anemia juga ditemukan. Faktor reumatoid dan anti HCV sering didapati positif. Pada krioglobulinemia yang berhubungan dengan infeksi HCY kuatitatif HCV RNA dapat digunakan untuk memantau terapi antiviral tertentu.

Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan kombinasi dari (l) manifestasi klinis vaskulitis krioglobulinemia, disertai vaskulitis pembuluh darah kecil kutaneus; (2) isolasi krioglobulin dari serum; (3) deteksi antibodi terhadap HCV atau HCV RNA; dan (4) biopsi dari organ yang terlibat

untuk menyingkirkan diagnosis yang lain. Tidak diwajibkan terdapat keempat kriteria di atas untuk diagnosis karena pemeriksaan untuk krioglobulin tidak

100% sensitif dan tidak semua kasus vaskulitis krioglobulinemia berhubungan dengan HCV. Gambaran histopatologi pada biopsi kulit menunjukan infiltrat inflamasi di sekitar dan di dalam diniding pembuluh darah, dengan nekrosis fibrinoid, hiperplasia sel endotelium dan hemoragik. Deposisi imunoglobulin dan komplemen sering ditemukan. Pada biopsi ginjal biasanya ditemukan glomerulonefritis membranoproliferatif.

dapat dijumpai.

Atralgia dan artritis merupakan manifestasi yang

prominen, melibatkan sendi interfalangs

dan

metakarpophalangea dan lutut. Pada sarat tepi terdapat neuropati perifer dengan predominan pada sarafsensorik. Keterlibatan ginjal meliputi 20% penderita, berupa

hematuria mikroskopi asimptomatik, proteinuria, dan' berbagai derajat insufisiensi ginjal, namun jarang sampai

stadium terminal. Sementara pada liver penderita krioglobulinemia yang berhubungan dengan infeksi HCV bisa ditemukan inflamasi periportal, fibrosis, dan sirosis pada biopsi hari. Pembentukan fotikel limfoid dalam hati merupakan histologi yang khas pada infeksi HCV. Di dalam folikel ini (dan juga pada sumsum tulang), dibentuk faktor reumatoid IgM. Organ-organ lain yang jarang namun dapat terlibat antara lain susunan sarafpusat, gastrointestinal, danparu-paru.

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium. Pemeriksaan krioglobulin sering berhubungan dengan hasil negatif palsu, karena salah penanganan dalam pemeriksaannya. S e gera setelah sampel darah diambil dari penderita harus dibawa ke laboratorium

pada suhu 37"C. Spesimen tersebut kemudian di sentrifus juga pada suhu 37'C dan disimpan pada suhu 4oC selama 1

minggu. Adanya krioglobulin ditandai terbentuknya presipitat putih pada dasar tabung.

dengan

Penatalaksanaan Penyakit ini ditandai oleh periode remisi dan eksaserbasi, serta tingkat beratnya penyakit yang sangat beragam, mulai dari purpura yang ringan sampai vaskulitis nekrosis yang berat, sehingga terapi harus didasarkan kepada

masing-masing penderita. Identifikasi penyebab merupakan hal yang penting, jika terdapat infeksi HCV maka interferon alfa dan ribavirin dapat merupakan pilihan.

Jika antiviral saja tidak cukup efektif, pilihan terapi seperti obat anti inflamasi non steroid untuk artralgia dan artritis, glukokortikoid dosis rendah untuk vaskulitis kutaneus dan neuropati perifer, dan glukokortikoid dosis tinggi ditambah terapi sitostatik untuk vaskulitis nekrosis yang melibatkan organ vital diperlukan. Plasmafaresis juga dapat dilakukan pada penderita dengan vaskulitis nekrosis yang berat. Berdasarkan bukti adanya keterlibatan sel B klonal dalam krioglobulinemia maka strategi inovasi terapi dengan

menggunakan Rituximab, yaitu suatu antibodi antiCD20 monoklonal telah dilakukan namun pemakaiannya harus dengan hati-hati maengingat tingginya laju replikasi virus pada penderita yarrg mendapat terapi imunosupresan.

Prognosis

Mortalitas akut akibat krioglobulinemia esensial jatatg terjadi namun risiko kematian meningkat 3 kali lipat pada penderita vaskulitis kriglobulinemia dengan keterlibatan

2606

ginjal dibandingkan tanpa keterlibatan ginjal. Kematian

biasanya disebabkan oleh gagal ginjal terminal, penyakit kardiovaskular yang fatal infeksi dan gagal fungsi hepar.

PENYAKITBEHCET

Definisi Penyakit Behcet ini merupakan suatu kelainan vaskulitis yang melibatkan multisistim dengan manifestasi ulkus oral dan genital yang rekuren, inflamasi padamata danberbagai

organ lain seperti susunan saraf pusat, gastrointestinal. Penyakit ini dinamakan Behcet sesuai dengan nama ahli dermatologi Turki yang pertama kali mendiskripsikan tentang kelainan ini pada tahun 1937.

Epidemiologi Penyakit ini banyak ditemukan sepanjang Jalur Sutera (Sl/t Road), dari Asia timur (Jepang, China, Korea) ke daerah Mediterania, Timur tengah dan Timur jauh, dan sangat jarang ditemukan di daerah lain. Prevalensi tertinggi adalah di Turki, mencapai 400 kasus per 100.000 penduduk. Biasanya mengenai orang berusia muda antara 20-30 tahun. Di daerah Timur tengah lebih banyak mengenai pria dibandingkan dengan wanita, namun di daerah Jepang

REI.,,MATIOI.OGI

jaringan parut terutama pada daerah skrotum. Pada wanita umumnya mengenai vulva atau vagina. Pada kulit dapat bermanifestasi sebagai folikulitis, eritema nodosum, eksantema seperti jerawat, dan kadangkadang berbentuk vaskulitis. Suatu bentuk inflamasi kulit yang nonspesifik sebagai reaksi terhadap tusukan jarum atau injeksi garam fisiologis secara intradermal (uji patergi) merupakan manifestasi yang sering dijumpai dan spesifik. Manifestasi pada mata berupa uveitis posterior atau anterior, atau keduanya dan dapat menyebabkan kebutaan.

Kelainan ini yang paling ditakutkan pada penyakit Behcet. Manifestasi lain berupa artritis perifer tanpa deformitas, ulkus pada mukosa usus dan keterlibatan susunan saraf pusat berupa nyeri kepada dan meningoensefalitis pernah dilaporkan.

Pemeriksaan penunjang Laboratorium Petanda inflamasi yang tidak spesifik seperti anemia, lekositosis ringan dan peningkatan LED dapat ditemukan pada keadaan aktif.

Radiologi Angiogram atau MRA dapat memperlihatkan adanya kelainan trombosis atau aneurisma yang melibatkan arteri besar.

ditemukan sebaliknya.

Diagnosis Penyakit Behcet belum diketahui penyebabnya hingga saat

Pada biopsi lesi mukokutaneus dan gastrointestinal yang terlibat umumnya menunjukan adanya reaksi neutrofil. Hal

ini, penyebaran geografi yang spesifik memungkinkan adarya keterlibatan faktor lingkungan dan genetik.

ini tidak spesifik, karena itu dibuat suatu kriteria diagnosis untuk penyakit Behcet (lihat Tabel 7)

Patogenesis

Berdasarkan penelitian genetik didapatkan hubungannya dengan HLA 85l pada penderita yang tinggal sepanjang

jalur sutera. Meskipun penyakit ini umumnya mengenai pembuluh darah kecil dan sedang, namun beberapa kasus dilaporkan juga mengenai pembuluh darah besar termasuk vena. Inflamasi arteri dapat menyebabkan oklusi, aneurisma dan ruptur, sementara pada vena menimbulkan trombosis vena. Tidak seluruh manifestasi pada Behcet disebabkan oleh proses vaskulitis, ulkus pada mukosa mulut dan usus tebih banyak desebabkan oleh reaktivasi abnormal neutrofil dan limfosit.

Gambaran klinis Ulkus pada rongga mulut yang rekuren

Penjelasan

Sariawan minor atau mayor,

ulserasi berbentuk seperti herpes, atau dokter, yang berulang sekurangkurangnya 3 kali dalam periode satu tahun Ditambah 2 dari kriteria berikut ini: Ulkus genital yang Aptosa atau jaringan parut yang rekuren diamati oleh penderita atau dokter Lesi pada mata Uveitis anterior, uveitis posterior,

diamati oleh penderita

atau adanya sel debris

pada

vitreus mata pada pemeriksaan,

Gejala klinis Ulkus pada mulut yang rekuren merupakan ciri khas penyakit ini, biasanya nyeri, dangkal maupun dalam, dengan tepi merah dan sentral yang berbasis nekrosis kekuningan, timbul tunggal atau berkelompok dan dapat mengenai berbagai lokasi dalam rongga mulut. Ulkus ini menetap selama I sampai 2minggt dan membaik tanpa meninggalkan jaringan parut. Ulkus pada daerah genital lebih jarang. Pada pria biasanya tidak mengenai glans penis atau uretra, dan sembuh dengan menimbulkan

dan vaskulitis retina yang diamati oleh dokter mata Lesi kulit

Eritema nodosum yang diamati

oleh penderita atau dokter, pseudofolikulitis atau lesi papulopustular, atau nodul seperti

jerawat yang diamati oleh dokter pada seorang penderita dewasa yang tidak sedang menggunakan glukokortikoid Uji patergi positif

Uji ini diinterpretasi oleh pada 24-48 iam setelah dilakukan

dokter

2607

SINDROMVASKULITIS

stadium subakut atau kronis, lebih dominan sel

Keterlibatan membran mukosa dapat berespon dengan

mononukleus. Sel eritrosit sering mengalami ekstravasasi dari pembuluh darah yang terlibat menyebabkan pu{pura yang dapat diraba.

pemberian glukokortikoid topikal dalam bentuk obat kumur atau pasta dan obat kolkhisin (0. 6- I 8 mg,Arari) atau Dapson (50-100 mg/hari). Pada kasus yang lebih berat thalidomid (100mg/hari) atau metotreksat (7.5-20 mg/minggu) atau interferon alfa (3 -9 juta unit/minggu) memberikan hasil yang .

efektif. Tromboflebitis dapat diterapi dengan aspirin (325mglharl). Uveitis dan keterlibatan susunan saraf pusat membutuhkan terapi glukokortikoid sistemik (prednisone 1 mg/kg/hari) dan azatioprin 2 sampai 3 mg/kg/hari atau siklosporin 5 sampai 10 mg/kg/hari' Beberapa kasus panuveitis dilaporkan berespon baik dengan penggunaan terapi anti TNF atfa (infliximab 3 mg/kg tiap 6 to 8 minggu,

kulit tersebut bisa gatal atau bahkan nyeri dengan sensasi seperti terbakar atau tertusuk, umumnya timbul di ekstremitas bawah pada penderitayalg berjalan atau di

daerah sakrum pada penderita yang berbaring, hal ini disebabkan oleh efek tekanan hidrostatik pada venul pasca kapiler. Edema dapat menyertai lesi-lesi tertentu dan hiperpigmentasi seringkali timbul pada lesi yang kronis

atau etanercept25 mgsf, 2 xper minggu)

Prognosis

Manifestasi penyakit Behcet yang terjadi berulang ini umumnya akan menghilang setelah

I

atau rekuren.

atat2 dekade, kecuali

kelainan pada mata dan inflamasi pada pembuluh darah besar. Kecacatan yang ditimbulkan adalah akibat dari uveitis (kebutaan) atau penyakit susunan saraf pusat (demensia atau stroke). Kematian terjadi akibat penyakit susunan saraf pusat, ruptur aneurisma aorta

Pemeriksaan Penunjang Laboratorium. Tidak

ada laboratorium yang

spesifftuntuk

lekositosis ringan dengan atau tanpa

gan peningkatan LED sering dijumpai'

dan komplikasi infeksi akibat terapi imunosupresan'

laboratorium lebih ditujukan untuk menyingkirkan diagnosis penyakit lain.

VASKU LITIS LEKOSITOKLASTIK KUTAN EUS

Definisi Vaskulitis lekositoklastik kutaneus (VLK) ini melibatkan pembuluh darah kecil yang terbatas pada kulit dan tidak berhubungan dengan vaskulitis primer maupun sekunder yang lain. Penyakit ini dikenal juga dengan nama vaskulitis hipersensitivitas atau angiitis lekositoklastik kutaneus. Istilah vaskulitis hipersensitivitas digunakan

penyebab lain terutama vaskulitis sistemik disingkirkan' Istilah lekositoklastik vaskulitis merupakan suatu istilah

aktor presipitasi yang menyertai, seperti obat atau infeksi, namun sebetulnya tidak ditemukan penyebab

menyeluruh untuk menyingkirkan kemungkinan lain

oleh karena pada banyak kasus terdapat suatu

f

yang pasti, sehingga istilah ini mulai ditinggalkan'

p 6 v

hasil bioPsi, dan bukan kasus denganhasilbioPsi us harus dievaluasi secara

penyebabnya.

Penatalaksanaan

Epidemiologi Insidens VLK tidak diketahui dengan pasti karena kaburnya kriteria diagnostik, kejadian yang jarang dan beragam perj alanan klinisnYa.

Patologi Histopatologi khas VLK adalah adanya vaskulitis pada pembutuh darah kecil. Venul pasca kapiler merupakan pembuluh darah yang paling sering terlibat, sedangkan tapiler dan arteriol lebih jarang. Vaskulitis ini ditandai oleh adanyu lekositoklastik, suatu istilah yang mengacu pada debris nukleus sisa neutrofil, yang menginfiltrasi ke dalam dan sekitar pembuluh darah pada stadium akut' Pada

rkan' Jika faktor pemicu VLK diketahui yang Bila faktor tersebut adalah mikrob juga akan VLK umumnya diberikan, segera harus sesuai penyakit atau pemicu, faktor ditemukan tidak Jika teratasi. yang menYebabkan VLK, api didasarkan atas beratnYa BeberaPa

VLK

daPat sebuh

ersisten atau rekuren. Pada

2608

REI.,MITTOIIrI

dapson, kolkhisin dan obat anti inflamasi non steroid sudah

baik.

bagi

VLK

Prognosis Prognosis VLK baik, hampir semua kasus yang diketahui

pemicunya sembuh dalam

l-4 minggu setelah

faktor

tersebut dihilangkan.

KESIMPULAN Vaskulitis merupakan kelainan yang sulit untuk ditegakan, namun dap4t dibantu dengan kriteria klasifrkasi dan biopsi pada lesi yang terlibat. Pengenalan dini dan terapi yang

tepat dapat menghindarkan akibat yang fatal

pad,a

vaskulitis seperti kecatatan dan kebutaan.

REFERENSI Ahmed MM, Wolf RE. Takayasu arteritis, Medscape February

14

2008. http://www.emedicine.comlmedltopic2232.htm

Andrews J, advances Jan 2007

in

Mason

JC. Takayasu,s arteritis_recent imaging offer promise. Rheumatology (Oxford).

;46(l):6-15.

Ansell BM, Bacon PA, Lie JT,yazici H. The Vasculitides, Science and practice. London. Chapman and Hall Medical. 1996 Arend, WP, Michel, BA, Bloch, DA, et al. The American College of Rheumatology 1990 criteria for the classification ofTakayasu arteritis Arthritis Rheum 1990; 33:1129. Calabrese, LH, Michel, BA, Bloch, DA, et al. The American College of Rheumatology 1990 criteria for the classification of hyper_ sensitivity vasculitis. Arthritis Rheum 1990; 33:110g. Chung, L, Funke, AA, Chakravarty, EF, et al. Successful use of rituximab for cutaneous vasculitis. Arch Dermatol 2006; 142:1407

.

Ferri C, Sebastiani M, Giuggioli D, et al. Mixed cryoglubulinemia: demographic, clinical and serologic features and survival in 23 1 patients. Semin arthritis Rheum 2004;33 :335-341 Harris ED. Budd RC, Firestein GS, Genovese MC, Sergent JS, Sledge CB. Kelley's Textbook of Rheumatology, 7,h ed. philadelphia, Elsevier Saunders, 2005: 1336-1401 Hochberg MC, Silman AJ, Smolen JS, Weinblatt ME, Weisman MH.

ed Philadelphia, Mosby Elsevier 200g: 14g9609 Hoffman GS, Merkel PA, Brasington RD, et al. Anti-tumor necrosis Rheumatology 4,h 1

factor therapy in patients with difficult to treat Takayasu arteritis.Arthritis Rheum 2004; 50(7):2296_304 Hunder, GQ Bloch, DA, Michel, BA, et al The American College of Rheumatology 1990 criteria for the classification of giant cell arteritis. Arthritis Rheum 1990; 33:1122 Hunder, GG The use and misuse of classification and diagnostic criteria for complex diseases (editorial). Ann Intern Med 199g;

403 SINDROM ANTIFOSFOLIPID ANTIBODI SumaftiniDewi

PENDAHULUAN Sindroma antifosfolipid antibodi, pertama kali dilaporkan oleh Hughes, Harris dan Gharavi pada tahun 1986, dikenal juga sebagai sindroma Hughes. Sindroma antifosfolipid antibodi ini merupakan penyakit autoimun trombofilia yang

didapat, ditandai dengan adanya autoantibodi yang

antibodi terhadap suatu plasma protein yang berikatan dengan fosfolipid anion (antibodi antifosfolipid-aPl)' Sindroma antifosfolipid antibodi diklasifrkasikan pada tahun 1999 oleh The Sapporo International Consensus Statement on Preliminary Criteria for the Classification of the Antiphospholipid Syndrome, dan diperbaharui pada tahun 2006.

membentuk fosfolipid dan protein pengikat fosfolipid.

Manifestasi klinisnya bervariasi dari tanpa keluhan sampai bentuk yang sangat berat dan mengancam jiwa

DIAGNOSIS

seseorang (catastrophic,4P,S / CAPS). Secara umum telah dilaporkan bahwa presentasi klinis

terbanyak dari sindroma antifosfolipid antibodi itu adalah trombosis vena dalam, terjadipada2g%o - 55% pasien dalam 6 tahun. Pada pasien-pasien tersebut, sedikitnya 50% mengalami emboliparu.

Sindroma antifosfolipid antibodi primer umumnya ditemukan pada penderita dengan aPL positif dengan trombosis idiopatik tanpa disertai penyakit autoimun atau faktor pencetus seperti infeksi, keganasan, hemodialisis atau aPL yang terinduksi obat. Istilah sindroma antifosfolipid antibodi sekunder digunakan untuk pasien dengan gambaran klinis yang terkait dengan penyakit autoimun (lupus eritematosus sistemik primer dan rheumatoid arthritis) yang disertai trombosis dengan aPL.

Kriteria diagnosis sindroma antifosfolipid (2006 The lnternational Gonsensus Statement on an Up' date of the Classification Criteria for Definite nti p h o s ph o I i pi d SY n d ro mel Diagnosis pasti dari sindroma antifosfolipid antibodi ditegakkan bila didapatkan minimal I kriteria klinis dan I

A

kriteria laboratorium.

Kriteria Klinis Mengalami 1 atau lebih episode trombosis vena' arterial kecil padajaringan atau organ tubuh, kehamilan' danl atau morb iditas . Trombosis : dibuktikan dengan pemeriksaan imaging atau histopatologi . (Terbukti secara klinis adanya trombosis pada organ

atau pembuluh darah

DEFINISI Sindroma antifosfolipid antibodi termasuk ke dalam golongan penyakit autoimun yang bersifat sistemik ("organ nonspesifik"), dengan karakteristik adatya

.

trombosis vaskuler (arterial atau vena) dan/atau morbiditas kehamilan yang berhubungan dengan tingginya titer

tubuh akibat trombosis pada pembuluh darah besar atau kecil. Trombosis vena lebih banyak ditemukan daripada kejadian trombosis pada arterial. Pemeriksaan serial radiologi didapat trombosis pada 59% pembuluh vena, 28Yo padaarterial, dan l3%o pada keduanya) Morbiditas kehamilan : satu atau lebih kematian janin dengan morfologi normal pada usia kehamilan < 10

minggu, atau

2609

2610

REI.JMAIOI.OGI

.

Satu atau lebih kelahiran prematur sebelum usia

.

kehamilan 34 minggu karena eklampsi, preeklampsi berat atau insufisiensi plasenta, atau Tiga atau lebih kematian janin (< 10 minggu)/abortus

habitualis, tanpa adatya kelainan kromosom ayah dan ibu atau kelainan anatomi uterus ibu atau kelainan hormonal.

Kriteria Laboratorium Memiliki titer antiphospholipid antibodies (apl.) yang tinggi secara menetap, pada p ada2 ataulebih pemeriksaan yang berbeda dalam jangka waktu minimal l2 minggu dan tidak lebih dari 5 tahun sebelum terjadi manifestasi klinis, terdeteksi menurut guideline the International Society on Trombosis and Hemostasis.

kontak kaskade koagulasi dan konversi protrombin-

trombin. b2GPI berfungsi sebagai antikoagulan plasma natural, sehingga adanya antibodi terhadap protein ini dapat merangsang terjadinya trombosis, karena fungsinya sebagai pengontrol aktivitas fosfolipid prokoagulan (PL) yang mengandung enzim fosfolipaseA.2

(PLA2). b2GPI merupakan enzim yang terikat oleh apolipoprotein-H (apo-H) sebagai penghambat enzim PLA2. Selain dari b2GPI, secara alamiah tubuh juga membentuk annexin V atau "placental anticoagulant protein I" yang disebut juga sebagai "placental apl,,,

yang sangat kuat menghambat enzim pLA2,

terutama pada kehamilan dan kematian sel (apoptosis). Penghambat PLA2 yalg secara patologis terbentuk

dikenal sebagai inhibitor Lupus yang Antikoagulan Lupus (LA) yang terdiri dari 2 subgrup, yaitu :

1. Antibodi antikardiolipin

baik dalam bentuk isotipe IgG maupun IgM antibodi pada serum atau plasma, berada dalam titer medium atau tinggi (> 40GpL,MpL, atau> 99 persentil, dengan ELISA) 2. Adanya aktivitas Lupus antikoagulan pada plasma

3. Antibodi

B2-glikoprotein

I

(p2-GpI) dalam bentuk

isotipe IgG atau IgM pada serum atau plasma (dengan titer > 99 persentile).

LA tromboplastin sensitif yang menghambat kompleks VIIa, III, PL, dan Ca2*, mengakibatkan

lnteraksi antara sel endothelial-apL : . Antibodi antikardiolipin dan antibody B2Gpl akan meningkatkan aktivasi dan adhesi trombosit pada endotel

. Penambahan kategori diagnosis sindrom pre-antifosfolipid Penambahan kategori diagnosis sindroma fosfolipid mikroangiopatik

o o o

Kriteria untuk diagnosis pasti sindrom antifosfolipid: a

a

mengganti pemeriksaan aCL dengan anti- B2-Gpl Penambahan pemeriksaan lgA untuk apL Penambahan pemeriksaan antibodi anti-protrombin Penambahan pemeriksaan antibodi anti-annexin V pada pasien dengan riwayat abortus berulang Penambahan pemeriksaan untuk jenis lain dari apl Anjuran pendekatan terbaik untuk mendeteksi lupus antikoagulan

PATOGEN ESIS DAN PATOFISIOLOGI

Adanya kerusakan atau aktivasi endotel vaskuler yang akan meningkatkan ekspresi molekul adhesi Ditemukan adanya antibodi antiendotelial aPL menginduksi adhesi monosit pada selsel endotelial peningkatan ekspresi dari tissue factor pada permukaan monosit

lnteraksi dari aPl-trombosit

-

:

aktivasi trombosit merangsang produksi tromboksan

lnteraksi antara aPL dengan sistim koagulasi

-

:

Penghambatan aktivasi dari Protein C melalui kompleks trombomodulintrombin Penghambatan aktivasi dari Protein C melalui jalur kofaktor protein S lnteraksi antara aPL dengan substrat dari protein C aktif, seperti faktor Va dan Vllla lnteraksi antara aPL dengan annexin V, anticoagulant shield

lnhibisi aktivitas protein C, protein S dan faktor-faktor

Antibodi antifosfolipid

koagulasi

Antibodi antifosfolipid (apLA) didefinisikan sebagai imunoglobulin yang bereaksi dengan dinding sel bagian luar yang komponen utamanya adalah fosfolipid.

Antibodi antifosfolipid ini mempunyai aktivitas prokoagulan terhadap protein C, annexin V, hombosit, dan menghambat fibrinolisis. Fosfolipid antikoagulan disebut juga sebagai antifosfolipid (aPL), yang secara stmktural hampir menyerupai komplemen. Secara alamiah/fisiologis,

aPL yang dibentuk oleh tubuh adalah B2-glikoprotein I (B2GPI). p2GPI akan berikatan dengan fosfolipid yang

bermuatan

negatif dan

menghambat aktivitas

lain.

Pada penderita dengan antibodi

antifosfolipid dapat ditemukan juga antibodi terhadap heparin/heparan su lfat, protrombin, pl atelet-activati ng factor, tissuelype plasminogen activator, protein S, annexin (2, lV dan V), homboplastin, oxidized low density lipoprotern, trombomodulin, kininogen, factor Vll, Vlla dan Xlt. Antibodi terhadap oxidized low density lipoprotern merupakan factor yang berperan dalam terjadinya aterosklerosis.

hep lll

Antibodi terhadap lfat pada tempat ikatan dengan antitrombin vasi koagulasi dengan cara menghambat pembentukan kompleks heparin-antitrombintrombin.

26tL

SINDROMA AITTIF1OSFOLIPID ANTIBODI

pemanjangan masa protrombin (PT), dan LA

dengan aCL tapi hanya 28%o dari jumlah tersebut yang

tromboplastin non-sensitif yang menghambat kompleks VIIIa, IXa, PL,C{* Aktivasi komplemen melalui perlekatan aPL ke

memiliki manifestasi klinis dari sindroma antifosfolipid

permukaan endotel dapat menimbulkan kerusakan endotel dan merangsang trombosis yangberperan dalam terjadinya

antibodi.

Risiko trombosis pada pasien dengan sindroma antifosfolipid antibodi diperkirakan sekitar 05% - 30%. Pada penelitian terhadap 1000 pasien yang dilaporkan

kematianjanin.

dalam the multicenter Euro-Phospholipid Project,

Kehilangan Janin/Kehamilan (Preg nancy lossl

pada wanita dibdaningkan pria dengan rasio 5:

sindroma antifosfolipid antibodi lebih banyak ditemukan

Endocrine system

,i

????t

ry

1

.

Pada pasien lupus eritematosus sistemik, rasio pria/ wanita lebih tinggi. Pasien wanita juga memperlihatkan gambaran klinis arthritis livedo retikularis, dan migrain yang lebih sering dibandingkan pria, yang terutama memberikan gejala klinis yang lain seperli infark miokard, epilepsi, dan

trombosis arleri pada tungkai bawah. Manifestasi klinis dari sindroma antifosfolipid antibodi, terutama terjadi pada usia rata-rata 31 tahun. Penyakit ini dapat ditemukan pada anak-anak ataupun usia lanjut, meskipun 85% pasien yang dilaporkan pada the EuroPhospholipid Project hanya ditemukan pada usia 15 -85 tahun, jarang ditemukan pada usia > 60 tahun. Pada pasien yang manifestasi klinisnya baru terjadi pada usia > 50

Gambar 1. Mekanisme abortus/kematian janin pada sindrom antifosfolipid antibodi

tahun, pria lebih banyak terkena dengan gejala klinis strok dan angina pektoris danjarang disertai livedo retikularis.

Manifestasi Klinis Secara umum, dikenal 5 Lupus anticoagulant (lgG & lgM) Anticardiolipin antibodies (lgG, lgA, lgM) Beta-2-Glycoprotein Hexagonal phospholipid Subgrup-subgrup antibodi Anti-phosphatidylserine (lgG, lgA, lgM) Anti-phosphatidylethanolamine(lgG, lgA, lgM) Anti-phosphatidylinositol (lgG, lgA, lgM) Anti-phosphatidylcholine (lgG, lgA, lgM) Anti-phosphatidylglycerol (lgG, lgA, lgM) Anti-phosphatidic acid (lgc, lgA, lgM) Anti-Annexin-V antibodies (lgG & lgM)

antibodi

1.

1

:

o o o o o o o

kelompok Sindroma antifosfolipid

:

Sindroma antifosfolipid antibodi yang tidak berkaitan dengan penyakit reumatik

2.

Sindroma antifosfolipid antibodi yang berkaitan dengan penyakit reumatik/autoimun 3. Catastrophic,4P,S (CAPS) 4. aPL antibody (tanpa gejala)lpre-probable APS 5. Sindroma antifosfolipid antibodi seronegatif.

f"PL "b"".t

f;y.r".".-rI

I

f A,Cffi;;;-l

EPIDEMIOLOGI

I

Prevalensi

aisease&aPr

I

fpi-P.#;l lnpsl

Lupus antikoagulan dan antibodi antikardiolipin antibodi (aCL) pada dewasa muda yang sehat hanya ditemukan 102

-s%.

Prevalensi meningkat seiring peningkatan usia, terutama pada usia lanjut dengan penyakit kronis. Meskipun trombosis dapat terjadi pada 50 - 70oh pasien dengan aPL dan lupus eritematosus sistemik dalam 20-tahun follow-up, setidaknya 30% pasien tersebut tidak mengalami sindroma antifosfolipid antibodi. The Montpellier Antiphospholipid study, dengan 1014 jumlah subj ek yang datang berobat ke poli penyakit dalam dengan berbagai diagnosis penyakit, ditemukan 7.1%

Definite APS (without SLE- 'Prlmary") APS (with SLE - "Sooondary")

Gambar

2.

Spektrum klinis dari sindroma antifosfolipid antibodi.

aPL : antiphospholipid antibody ; SLE : Systemic lupus erythematosus

2612

REI.,IMIIIOIPGI

1. Sindroma Antifosfolipid Antibodi yang Tidak Berkaitan dengan Penyakit Reumatik Manifestasi klinis yang khas dengan atal tanpa adanya hasil test positif untuk serologi aPL, namun tidak disebut

sebagai "definite" APS, melainkan dinamakan sebagai probable APS / pre-APS. Pasien-pasien ini diklasihkasikan sebagai probable APS ata:u pre-APS.

Manifestasi klinisnya meliputi : livedo reticularis, chorea, trombositopenia, abortus, dan lesi pada katup janfung.

Kelainan kulit yang paling sering ditemukan pada sindroma antifosfolipid antibodi adalah livedo retikularis. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa manifestasi kelainan kulit merupakan menifestasi awal Sindroma antifosfolipid antibodi yang terjadi pada > 47o/o pasien.

Livedo reticularis sendiri dapat memprediksi adanya sindroma antifosfolipid antibodi dan komplikasi stroke serta bentuk trombosis yang lainnya. Pasien-pasien ini dapat di sertai hipertensi, kelainan katup j antung, epilep si dan kelainan pada arteria renalis. Pemeriksaan lanjutan diperlukan untuk menilai apakah seorang pasien yang

memenuhi kriteria pre-APS tersebut mendapatkan keuntungan untuk terapi antikoagulan unfuk mencegah kejadian trombosis vascular di kemudian hari.

Diperkenalkan juga satu jenis indroma antifosfolipid

antibodi baru, yang merupakan jenis sindroma antifosfolipid antibodi mikroangiopati. Kriteria tahun 2006 juga memperkenalkan pasien dengan manifestasi klinis yang khas untuk sindroma

antifosfolipid antibodi hasil serologis aPl-nya negatif (seronegative APS/SNAP), seperti yang ditemukan pada pasien Sneddon's syndrome (dengan tiga gejala klinis : stroke, livedo retikularis, dan hipertensi). Sebagian pasien ini mengalami kejadian trombosis arteri atau vena idiopatik,

autoimun lain yang dilaporkan bersamaan dengan aPL adalah polimialgia reumatika, sindroma Behcet's, skleroderma, sindroma Sj ogren's, poliarteritis nodosa, polikondritis berulang, giant cell arteritis, arteritis Takayasu, anemia hemolitik autoimun, sindroma Evan's, dan imun trombositopenia purpura.

Hubungan antara sindroma antifosfolipid antibodi dengan lupus eritematosus sistemik dan arthritis reumatoid banyak ditemukan, namun hubungan dengan penyakit lain baru didapatkan pada laporan kasus. Kurang lebih 12% - 34oh pasienhtpus diketahui disertai aPL. Sekitar l2ok - 30%o memiliki antikardiolipin antibodi/ aCL dan lupus antikoagulan berkisar altara 15% - 34%, dan20%o didapatkan P2-GPI. Pada pasien lupus dengan aPL, 50o/o - 7 0%o menjadi sindroma antifosfolipid antibodi yang didapat pada pengamatan selama 20 tahun. Namun

demikian sekitar 30% pasien dengan aPL tidak memperlihatkan gejala klinis kejadian komplikasi trombosis. Kelangsungan hidup secara kumulatif pada pasien lupus dengan sindroma antifosfolipid antibodi (650/o) secara signifikan 15 tahun lebih rendah daripada pasien yang tanpa disertai sindroma antifosfolipid antibodi (90%). Pasien dengan sindroma antifosfolipid antibodi dan lupus lebih sering memberikan gejala klinis artritis, livedo retikularis, trombositopenia, leukope nia, atau anemia hemolitik. Dapat tegadi sumbatan pembuluh darah berbagai

ukuran pada pasien lupus dan sindroma antifosfolipid antibodi akibat trombosis. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan sebukan sel radang pada dinding pembuluh darah pasien lupus dengan vaskulitis bukan akibat sindroma antifosfolipid antibodi. Tromboemboli kardiak dapat terjadi pada pasien lupus akibat vegetasi dari Libman-Sacks verukosa, yang

juga diduga bertanggungjawab sebagai penyebab

pada pemeriksaan sPL pertama hasilnya negatif. Pemeriksaan pada beberapa bulan berikutnya baru memberikan hasil positif

.

Jenis kelamin

r o o r o o . . . o

a

Trombosis vena dalam (DVT) Trombositopenia Livedo retikularis Stroke

:31.7o/o :21.9o/o

Tromboflebitissuperfisialis

:9.1o/o

o

Emboli fulmonal Kematian Fetus Transient ischemic attack Anemia hemolitik

:9.0%

o

:6.6%

a

Catastrophic APS

: sebagian kecil (0,8%)

a

a

:20o/o

:

a

13.1o/o

: 8.3% :7.Oo/o

a

Skleroderma Sindroma Behcet's Sindroma Sjogren Mixed connective tissue disease Polimiositis dan dermatomiositis Polimialgia reumatika Osteoartritis Gout Multipel sklerosis Vaskulitis

a

Penyakit tiroid autoimun

a

a

a

2. Sindroma Antifosfolipid Antibodi

Anemia hemolitik Trombosipenia purpura imun Artritis juvenile Reumatoid Artritis Artritis psoriatik

yang

a

Berkaitan dengan Penyakit ReumatiUAutoimun Penyakit jaringan ikat yang banyak disertai sindroma antifosfolipid antibodi adalah lupus eritematosus sistemik (LES/lupus) dan artritis reumatoid. Penyakit

a a

Persentase (30%) (7-50%) (28%) (25%) (7-20yo)

(25-42%) (22yo) ,)

(20%) (<14%) ') ,)

')

26t3

SINDROMA ANTIFOSFOIJPID ANTIBODI

stenosis vah,ular, insufi siensi, dan dekompensasi janfung. Lesi pada katup mitral dan aorta, berkaitan dengan aCL dan manifestasi klinis sindroma antifosfolipid antibodi dan juga berkaitan dengan pasien lupus, lama penyakit dan aktivitas penyakit. Pasien dengan aPL dapat memiliki kelainanjantung lain, bukan akibat dari penyakit lupusnya.

3. Catastrophic APS (CAPS)

Penderita sindroma antifosfolipid dapat mengalami trombosis yang luas dengan gagal organ multipel. CAPS, adalah suatu sindromayang mengenai sistim multiorgan sebagai manifestasi klinis dari sindroma antifosfolipid antibodi, pertama kali dilaporkan olehAsherson. Sindroma rni dikenal dengan nama sindroma Asherson's pada tahun 2003. Terjadi pada kurang dari lo/o pasien sindroma antifosfolipid antibodi, sindroma ini dikenali dengan adanya penyumbatan multipel pada pembuluh darah kecil, yang kemudian menyebabkan kegagalan multi organ dan

%), anti-Ro/S S-A ( 8 %), protein anti-ribonukl eat (8%), S -B (2 %). F aktor-faktor presipitasi berperan dalam terjadinya CAPS pada 11 kasus (22%), 3 kasus dengan infeksi, 3 kasus menggunakan kontrasepsi oral, 4 kasus mengalami prosedur operasi (3 operasi minor dan I operasi major), withdrawal pemakaian antikoagulan pada 2 kasus, dan histerektomi pada 1 kasus. Analisis yang dilakukan oleh Asherson dan Cervena pada tahun 2003 mencatat bahwa infeksi dapat mencetuskan kejadian CAPS hingga 40%. Trombosis awal dapat berupa trombosis akut yang khas pada pasien dengan sindroma antifosfolipid antibodi, kemudian dapat secara cepat (5

8

dan anti-LalS

berkembang menjadi mikroangiopati sistemik yang dilaporkan oleh Kirchens sebagai suatu " thrombotic storm" . Catastrophic APS sering berakibat fatal dengan angka

mortalitas 44-48%, meskipun telah diberikan terapi antikoagulan dan imunosupresif.

meningkatkan morbiditas dan mortalitas penyakit ini. Sindroma ini memiliki onset yang akut dan ditemukan

1. Terbukti melibatkan 3 organ, sistem, dan/atau jaringan

keterlibatan sedikitnya 3 sistim organ tubuh yang berbeda dalam hitungan hari atau minggu. Secara histopatologi,

2

ditemukan bukti adanya penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan besar. Gambaran yang khas pada sindroma ini adalah adanya suatu mikroangiopati akut, dibandingkan penyumbatan pada pembuluh darah besar, yang lebih sering ditemukan pada pasien baik sindroma antifosfolipid antibodi primer maupun sekunder. Gambaran klinis berkaitan dengan adanya iskemik organ dan jaringan,

termasuk gagal ginjal akibat renal thrombotic microangiopathy, acute respiratory failure akibat dari adult respiratory distress syndrome, injuri serebral akibat dari mikrotrombi danmikroinfark, dan gagal jantung akibat danmikrotrombi. Analisis yang dilakukan oleh Asherson dan kawankawan pada tahun 1998 terhadap 50 pasien (5 dari klinik merika dan 45 yang didapat dari studi literatur), ditemukan sekitar 28%o pasien dengan gambaran klinis yang khas

tubuh Manifestasi klinis yang terjadi berlangsung < lminggu 3 Terbukti pada gambaran histopatologi dari penyumbatan pembuluh darah kecil sedikitnya pada satu organ/jaringan tubuh aPL (+) (lupus antikoagulan Konfirmasi Laboratorium dan/atau aCL dan/atau p2-GPl antibodi) Disebut Diagnosis Pasti CAPS bila memenuhi ke-4 kriteria diatas Disebut Probable CAPS bila memenuhi kriteria 2,3, dan 4, disertai bukti keterlibatan 2 organ, sistim, dan/ atau jaringan

:

4

tubuh:

. Ke-4 kriteria

tersebut, tanpa konfirmasi laboratorium

terhadap pemeriksaan aPL dalam 6 minggu setelah hasil (+) yang pertama (karena kematian yang terjadi sebelum

.

pasien sempat mengulangnya sebelum terjadi CAPS) Kriteria 1,2, dan 4 Kriteria 1,3, dan 4, ditambah episode kejadian ke-3 dalam >1 minggu <1 bulan, tanpa mendapat terapi antikoagulan

dari suatu disseminated intravascular coagulation.

4. aPL antibodi tanpa gejala klinis/asimptomatik

Kematian yang ditemukan pada dua studi besar, terhadap total 130 pasien, lebih besar dari 48%o. Keterlibatan ginjal terjadi pada '78o/o, dar 66Yo denganketerlibatan paru,560/o dengan keterlibatan sistim vena sentral, 50% dengan keterlibatan jantung, dan 50% dengan kelainan kulit. CAPS lebih sering ditemukan pada wanita (66%) dibandingkan pria (34%). Sebanyak28 pasien (56%) memiliki sindroma antifosfolipid antibodi primer, 15 pasien (30%) ditemukan

Pasien dapat ditemukan dengan aPL positif meski tanpa gejala klinis trombosis yang jelas atau manifestasi klinis yang lain. Pasien dengan infeksi, keganasan, hemodialisis, dan aPL terinduksi obat, kejadian trombosis lebih jarang ditemukan. Adanya aPL dalam tubuh seseorang masih belum dimengerti patogenesisnya, Penjelasan tentang seseorang dengan aPL tanpa disertai penyakit yang mendasarinya juga masih belum diketahui. Mengapa kemudian sebagian penderita tersebut mengalami trombosis dan sebagian lainnya tidak terj adi j uga masih menj adi pertanyaan besar. Bila keberad aar. aPL diatggap sebagai faktor predisposisi, maka adanya faktor pencetus atau "double hit," dapat menimbulkan kej adian tromb o sis pada seseorang. Penting sekali untuk dapat mengenali berbagai faktor

dengan lupus, 6 pasien (12%) memiliki sindroma "menyerupai lupus", dan I pasien (2%o) dengan artritis reumatoid. Trombositopenia didapatkan pada 34 (68%) pasien, dan anemiahemolitikpada 13 (26%) pasien.

Antibodi yang ditemukan, terutama :

lupus

antikoagulan (9 4%), aCL (9 4%), anti-double-stranded DNA (87% pasien dengan Lupus), antibodi antinuklear

2614

REUMATIOI..oGI

risiko pada aPL atau sindroma antifosfolipid antibodi

asimptomatik (tanpa trombosis) yaitu dengan ditemukannya lupus antikoagulan, dan peningkatan kadar IgG aCL. Berbagai laporan telah menyebutkan bahwa masing-masing faktor risiko tersebut meningkatkan

MANIFESTASI KLINIS SINDROMAANTIFOSFOLIPID

ANTIBODI

l. Berdasarkan Jenis Pembuluh Darah yang

risiko terjadinya trombosis hingga lima kali lipat. Ditemukannya aPL yang menetap dalam waktu lama

juga secara progressif meningkatkan risiko kejadian trombosis.

Terkena:

l.

Thombosispadavena-venabesar

a. Kelainan

neurologi '. transient ischemic attack,

stroke iskemik, chorea, kejang, demensia, mielitis transversa, ensefalopati, migrain, pseudotumor

5. Sindroma antifosfolipid antibodi seronegatif

cerebri, trombosis vena cerebri, mononeuritis

Merupakan kelompok pasien yang sudah teridentihkasi memberikan gambaran klinis sidnroma antifosfolipid antibodi, tanpa adanya aPL, lupus antikoagulan,b2-GPI, antiphospholipid subtipe antibodi, atau sebagian pasien ditemukan aPL pada pemeriksaan laboratorium. Kelompok pasien ini disebut memiliki sindroma SNAP. Sebagian pasien ini mengalami kejadian trombosis arteri atau vena

multipleks. Kelainan mata: trombosis vena dan/atau arleri retina, amaurosis fugax Kelainan kulit : flebitis superfisial, ulkus pada tungkai, iskemik distal, blue toe syndrome Kelainan jantung : infark miokard, vegetasi pada katup, thrombus pada intrakardiak, aterosklerosis Kelainan paru : emboli paru, hipertensi pulmonal, trombosis arteri pulmonari, perdarahan alveolar. Kelainan pada arterial: trombosis aorta, trombosis pada arteri besar dan kecil. Kelainan ginjal : trombosis arteri dan vena renalis, infark ginjal, gagal ginjal akut, proteinuria, hemahrria, sindroma nefrotik

b. c. d.

idiopatik dan pada pemeriksaan pertama untuk aPL hasilnya

e.

negatif. Pemeriksaan pada beberapa bulan berikutnya baru memberikan hasil positif.

f o

36% lgc antibodi antifosfolipid 17% lgM antibodi antifosfolipid 14% lgA antibodi antifosfolipid 33% memiliki campuran dari ke-3 isotrpe

i. Sindroma trombosis yang berhubungan dengan antibodi antifosfolipid ; 1. Sindromatipe I : a. Trombosis vena dalam dengan paru

2.

Sindroma tipe II

ata:u

j.

tanpa emboli

k

:

a. Trombosis arteri koroner b. Trombosis arteri perifer c. Trombosis aorta d. Trombosis afteri karotis 3. Sindroma tipe III a. Trombosis arteri retina b. Trombosis vena retina c. Trombosis serebrovaskuler d. Transient cerebral ischemic attacks 4. Sindromatipe IV a. Sindroma tipe campuran dari tipe I, II dan III 5. Sindromatipe V a. Trombosis vaskuler plasenta b. Fetal wastage (sering pada trimester I, dapat terjadi

oligo-hidramnion, preeklampsia.

L

:

:

:

pada trimester 2 dan3)

c. 6.

Trombositopenimatemal

SindromatipeVl: a. Antibodi antifosfolipid tanpa manifestasi klinis

Kelainan gastrointestinal: sindroma Budd-Chiari, infark hepar, infark kandung empedu, infark usus, infark limpa, pankreatitis, ascites, perforasi esophagus, kolitis iskemik. Kelainan endokrin : infark ataukrisis adrenal, infark testis, prostat, dan infark serla kegagalan hipofise. Trombosis vena : Trombosis pada ekstremitas, trombosis adrenal, trombosis hepatik, trombosis mesenterika, trombosis pada vena-vena limpa, trombosis vena cava. Komplikasi obstetri : aboffus, intrauterine growth retardation, anemia hemolitik, peningkatan enzim hepar, dan trombositopenia (sindroma HELLP),

m

Kelainan hematologi : Trombositopenia, anemia hemolitik, sindroma hemolilik-uremik, purpura trombotik trombo sitopeni. Lain-lain : perforasi septum nasalis, nekrosis avaskuler pada tulang,

) tombosis arteri Trombosis arterial lebih jarang dijumpai dibandingkan dengan trombosis vena dan terjadi sebagai bagian dari gejala klinis sindroma antifosfolipid antibodi primer.

Pasien-pasien dengan trombosis arteri, umumnya mengalami transient ischemic attackatau stroke (50%) atau infark miokard(23%). Kejadian serangan sumbatan

arteri tersebut umumnya diduga suatu sindroma antifosfolipid antibodi , bila terjadi pada individu tanpa faktor risiko aterosklerosis. Umumnya terjadi pada

2615

SINDROMA AT{TIFIOSFICUPID Ai{TIBODI

usia < 60 tahun, tanpa faktor risiko klasik untuk

aterosklerosis (riwayat keluarga, merokok, hiperlipidemia, hipertension, diabetes mellitus)' Ditemukannya aCL merupakan faktor risiko untuk kejadian stroke. Trombosis arterial pada pasien sindroma antifosfolipid antibodi dapat juga terjadi pada pembuluh darah besar dan kecil, yang tidak khas untuk penyakit thrombophilic disorders lain atau penyakit sumbatan aterosklerotik lainnya. Lokasi trombosis arteri ini umumnya terjadi pada arleri brakialis dan subklavia,

Livedo retikularis

arteri axillaris (sindroma arkus aorla), aorta, iliaka, femoralis, renalis, mesenterika, retinal, dan arteri perifer lainnya. Manifestasi klinis tentunya berkaitan dengan ukuran diameter pembuluh darah dan lokasi arteri yang terkena.

3. Trombosismikrovaskular a. Kelainan pada mata : retinitis b. Kelainan kulit : livedo retikularis,

l. gangren

superfi sial, pu{pura, ekimosis, nodul subkutan

c.

Kelainan jantung : infark miokard, mikrotrombi

d.

miokard, miokarditis, kelainan katup Kelainanparu: acute respiratory distress syndrome, perdarahan alveolar

e. Kelainan ginjal : gagal ginjal akut, trombosis mikroangiopati, hipertensi

f

Kelainan gastrointestinal: infark atau gangrene usus, hepar, dan limPa

g.

h.

ll. Berdasarkan jenis organ atau jaringan tubuh yang terlibat:

Kelainan hematologi '. disseminated intravascular coagulation/DlC (hanya terjadi pada CAPS) Lain-lain : mikrotrombi,mikroinfark

Beberapa gambaran klinis yang dapat ditemukanpada

pemeriksaan fisik pasien sindroma antifosfolipid antibodi:

Kelainan kulit

Manifestasi kelainan kulit dapat merupakan gejala klinis pertama dari APS. Secara histopatologi, gambaran yang umum ditemukan adalah trombosis vascular yang bersifat non inflamasi. Secara klinis, pasien-pasien tersebut memiliki kelainan kulit seperti

livedo retikularis, necrotizing vaskulitis, livedoid vaskulitis, ulserasi dan nekrosis kulit; makula eritematosus, purpura, ekimosis, nodul kulit yang terasa nyeri, dan subungual splinter hemorrhages' Anetoderma, discoid lupus erythematosus, cutaneous T-cell lymphoma, dan penyakit-penyakit yang serupa dengan sindroma Degos dan Sneddon's juga pernah dilaporkan meskipun jarang ditemukan. Pasien dengan

livedo retikularis dan APS sering disertai kejadian trombosis pada jantung dan serebral, epilepsi, dan mi-

graine headaches.

2. Kelainanparu Gambaran utama dari kelainan paru yang terkait dengan APS adalah PE. Trombosis in situ juga pemah dilaporkan

pada suatu kejadian tromboembolisme' aPL berhubungan dengan hipertensi pulmonal, dan pada suatu penelitian terhadap 38 pasien dengan hipertensi pulmonal prekapiler, ditemukan 30% memiliki aPL' Vaskulopati pulmonal refrakter noninflamasi ditandai dengan adanya trombosis mikrovaskulet dapat berdiri sendiri atau terkait dengan CAPS. Subungual splinter haemorrhage

3. KelainanGastrointestinal Trombosis pada vena hepatica sebagai manifestasi klinis sindroma antifosfolipid antibodi akibat dari sindroma Budd-Chiari. Trombosis mesenterika dan vena

porta pada sindroma antifosfolipid antibodi telah banyak dilaporkan. Manifestasi klinis lain dari trombosis pada pembuluh darah besar dan kecil pada hati meliputi

infark hati, pancreatitis, nekrosis esophagus' iskemia dan infark usus dan ulserasi kolon, kolesistitis akalkulus

Vaskulitis perifer

dengan nekrosis kandung empedu, dan ulserasi pada giant gastric.

2616

REI,JMANOI.OGI

4. Manifestasi pada ginjal Manifestasi utama sindroma antifosfolipid antibodi pada ginjal terkait dengan adanya trombosis mikroangiopati,

hipo-protrombinemia didapat. Pemanjangan masa prothrombin dan aktivasi dari masa parsial thromboplastin dapat berkaitan dengan keberadaan lupus antikoagulan dan tidak selalu terkait dengan beratnya defisiensi protrombin.

dikenal dengan nama aPL-associated nephropathy. Komplikasi lain dapat berupa trombosis vena renalis, infark ginjal, stenosis arteri renalis, dan trombosis vaskuler pada allograft.

Keadaan-keadaan lain yang berhubungan

5. Kelainan retina

dengan antibodi antifosfolipid

Trombosis vena dan arteri pada pembuluh dara retina sudah banyak dikenal sebagai manifestasi dari sindroma

antifosfolipid antibodi. Gambaran yang paling sering diduga karena suatu aPL adalah sumbatan difus pada arteriretita, vena atau keduanya, dan neovaskulerisasi pada saat yang bersamaan. Manifestasi kelainan pada mata lainnya adalah berupa neuropati optik dan sumbatan arteri silioretina.

6.

Manifestasi klinis yang lain Beragam gejala klinis lain yang telah dilaporkan terkait dengan sindroma antifosfolipid antibodi telah banyak dilaporkan. Jarang ditemukan namun cukup penting adalah perdarahan adrenal, nekrosis sumsum tulang (terutama pada CAPS), dan kehilangan pendengaran tiba-tiba.

7.

Kelainan hematologi Trombositopenia (hombosit <1 00,000) didapatkan pada 20% - 40%pasien sindroma antifosfolipid antibodi dan umumnya bersifat ringan. Trombositopenia berat sering ditemukan pada kasus CAPS dan disertai adanya disse

m in at e

d

int r av

a s cu I

ar

an

Iico

a gu I a t i o

n

atau TTp.

Hubungan antara aPL dengan purpura trombositopeni autoimun telah dikenal sejak tahun 1985 yang dilaporkan

oleh Harris dan kawan-kawan dan baru-baru ini dilaporkan pada 38%o pasien sindroma antifosfolipid antibodi. Pada follow-up ditemukan trombosis pada 60% pasien aPL dan hanya 2.3o/o pada pasien tanpa apl-. Untuk membuktikan bahwa trombositopenia yang terjadi pada pasien benar-benar terkait dengan apl-, pasien-pasien yang diduga memiliki aPL-associated thrombocytopenia apabila mereka memiliki aPL yang memenuhi criteria laboratorium dengan trombositopenia (hombosit <100,000) yang ditemukan sedikitnya dalam 2 kali pemeriksaan, dalam jangka waktu l2 minggu dan dibuktikan tidak memiliki TTP, disseminated intravascul ar co a gu I a/ion, p seudotrombositopen ia, atau h ep arin- induc ed thro mb o cytop eni a.

8.

Perdarahan Pada pasien dengan sindroma antifosfolipid antibodi jarang tefadi perdarahan yang hebat. perdarahan dapat diakibatkan oleh komplikasi koagulopati disseminated intravascular coagulation, yang mungkin terjadi pada

:

Nekrosis ayaskular. Kejadian nekrosis avaskuler meningkat pada pasien dengan aPlpositif, biasanya terjadi pada pasien yang ketergantungan terhadap kortikosteroid :73%o pasien SLE dengan nekrosis avaskuler ditemukan memiliki aPL. Pada penelitian terbaru, didapatkan kejadian asimptomatik nekosis avaskuler melalui MRI pada 20% pasien sindroma antifosfolipid primer.

Sindroma antifosfolipid antibodi akibat induksi obat. Sejumlah obat-obatan telah terbukti dapat mencetuskan penyakit aPL. Diantaratya adalah chlorpromazine, phenytoin, hy dralazite, procainamide, fansidar, quinidine, interferon, dan cocaine. Terutama aPL dengan tipe IgM, ditemukan pada kadar rendah, dan tidak berkaitan dengan peningkatan insidensi kejadian trombosis.

Infeksi dengan sindroma antifosfolipid antibodi. Beberapa agent infeksius dapat mencetuskan terjadinya aPL. Antibodi-antibodi yang terinduksi oleh infeksi ini dikenali

sebagai anionic phospholipid epitopes yang secara langsung bereaksi melalui kofaktor b2-GP L Autoantibodi yang lebih sering ditemui adalah IgM dibandingkan IgG aCL. Gambaran klinis khas sindroma antifosfolipid antibodi

jarang ditemukan pada aPL yang disebabkan infeksi. Beberapa infeksi, telah dibuktikan terkait dengan pembentukan aPL dan a2-GPI danberhubungan dengan kejadian trombosis : . Bakteri : septikemi, leptospirosis, sifilis, Lyme disease (Boneliosis), tuberkulosis, lepra,endokarditis infektif,

demam reumatik post infeksi streptokokus, infeksi

.

klebsiela. Virus :parvovirus B19, HfV, HTLV-I, hepatitis virusA,B

.

Epstein-Barr, adenovirus, Rubella [56]. Parasit : malaria, pneumocystic carinii, leishmaniasis.

dan C, mumps, cytomegalovirus, varicella-zoster,

Infeksi berperan sebagai faktor pencetus pada lebih kurang 40% kasus-kasus CAPS. Keganasan dengan sindroma antifosfolipid antibodi. Telah diketahui bahwa keganasan merupakan faktor risiko besar untuk terjadinya trombosis vena. Variasi jenis keganasan baik berbentuk solid atau keganasan hematologi telah

dilaporkan berkaitan dengan aPL. Hubungafl antara

pasien dengan CAPS. Kasus-kasus yang disertai perdarahan yang hebat pada sindroma antifosfolipid

keganasan dengan kejadian aPL, dan trombosis masih sulit dimengerti. Antibodi antifosfolipid ditemukan pada kanker

antibodi merupakan tanda dari beratnya penyakit, akibat

paru, kolon, serviks,prostat, ginjal, ovarium, papdara,

26t7

SINDROMA AIYTIF1OSF1OLIPID AT{TIBODI

hrlang, limfoma Hodgkin dan non Hodgkin, mielofibrosis, polisitemia vera, leukemia mieloid dan limfositik.

Keadaan-keadaan Lain Antibodi antifosfolipid juga ditemukan pada sickle cell anemia, anemia pernisiosa, diabetes mellitus, inflammatory bowel disease, terapi pengganti ginjal dialysis dan sindroma Klinefelter.

bermakna untuk pasien dengan aPL, penting juga

Pemeriksaan Penunjang

. . .

IgG IgM dan IgAantibodi antikardiolipin IgG IgM danlgAanti p2-Glikoproteinl

mengenali pasien dengan faktor risiko lain untuk kejadian trombosis arteri dan untuk melakukan intervensi dalam mengurangi faktor-faktor risiko tersebut sebaik-baiknya' Pada setiap faktor risiko untuk trombosis vena atau arteri,

Test lupus antikoagulan

risiko meningkat dalam merubah seorang pasien dari

Diagnosis Banding

.

. . . '

adanya riwayat trombosis sebelumnya, pemberian antikoagulan sebagai terapi pada individu dengan aPL asimptomatik tidak mempunyai landasan ilmiah. Berbeda dengan pasien aPL asimptomatik dan pasien sindroma antifosfolipid antibodi dengan bukti adanya kejadian trombosis pada vena besar ataupun kecil, atau pada abortus, penting sekali dikenali secara individual yang tanpa gejala klinis, karena memiliki risiko yang besar dan memerlukan monitoring yang ketat terhadap kejadian trombosis. Trombosis arteri merupakan risiko yang

Keguguran, kelahiran premature karena sebab lain (kelainan hormonal, kelainan kromosom atau kelainan anatomi uterus dan jalan lahir)

Sumbatanvenakarena sebab lain (kelainankoagulasi, kanker, penyakit mieloproliferatif, sindroma nefrotik) Sumbatan arterial karena sebab lain (aterosklerosis, emboli karena fibrilasi atrial, miksoma, endokarditis)

keadaan aPL asimptomatik menjadi sindroma antifosfolipid antibodi primer dengan kejadian trombosis.

Terapi untuk Trombosis pada Sindroma Antifosfolipid

Antibodi adalah : . heparin dan warfarin. Pada umumnya warfarin

Trombotiktrombositopenipurpura Sindromahemolitikuremik

. Penatalaksanaan Ditemukannya faktor risiko kejadian trombosis, tanpa

saja

sudah memadai untuk terapi trombosis vena.'Namun,

penambahan aspirin atau dipiridamol pada terapi warfarin dapat mencegah trombosis arteri berulang. Antiplatelet: aspirin,dipiridamol,klopidogrel. Klopidogrel diduga mempunyai peranan dalam terapi dan profi laksis primer dan sekunder APS, terutama pada

Bogon pemeriksqan loborolorium unluk mendeteksi Sindrornq ontilostolipid qntibodi Penyokityg lerksil

Gejolo ygled
APS

Me

APS

Memoniong Negulil

Fosilif

No

if

pot,"'l *

B€nsr

Menelopnyu lgM dlnr 6 minggu, lgG dlm l2 minggu, l.A dlm 6 minggu Gambar 4. Diagnosis laboratorium untuk sindroma antifosfolipid antibodi. Bila hasil test negatif, namun secara klinis terdapat kecurigaan, dapat dilakukan test terhadap subgroup antibodi antifosfolipid.

2618

.

REUM/r$OLOGI

penderita dengan riwayat alergi terhadap aspirin.

Hidroksiklorokuin Data penelitian mengenai pemberian hidroksiklorokuin

dalam pencegahan tromboemboli pada sindroma antifosfolipid antibody ini masih tebatas.

Hidroksiklorokuin lebih sering digunakan pada penderita tanpa tromboemboli arterial.

Rekomendasi Regimen Antitrombotik pada Trombosis yan g Disertai Anti bodi Antifosfol i pid l. Sindroma tipe I a. Heparin unfractionated/low molecular weight heparin jangka pendek diikuti pemberian jangka

2.

panjang heparin subkutan b. Klopidogrel jangka panjang Sindromatipe II

a.

b.

Heparian unfractionated/low molecular weight heparin jangka pendek diikuti pemberian jangka panjang heparin subkutan Ktopidogrel jangka panjang. : klopidogrel dengan heparin sub kutan jangka panjang

5.

.

.

tidakhamil Kombinasi aspirin dan hidroksiklorokuin (s 6,5 mg/kg/hari)

Catastrophic APS pemberikan anticoagulation, immune globulin intravena, dan plasma exchange.

Rekomendasi terapi pada CAPS : . Terapi factor pencetus (misalnya infeksi) . Heparin, diikuti warfarin (target INR 2-3) . Metilprednisolon I gram IV,/hari selama 3 hari, diikuti steroid parenteral atau oral ekivalen dengan prednisone

' .

Sindroma tipe IV a. Terapi tergantung jenis trombosis Sindroma tipe V

:

Aspirin 81 mglhari pada penderita asimptomatik yang

Pada pasien dengan CAPS, terapi agresif diberikan berupa

Retinal : klopidogrel, bila gagal, ditambahkan heparin sub kutan jangka panjang.

4.

direkomendasikan adalah

.

3. Sindroma tipe III a. Serebrovaskuler b.

dengan aPL tanpa riwayat trombosis. Insidensi terjadinya trombosis pada keadaan ini berkisar antara 70-7 5%o pada titer antibody yang sangat tinggi. Terpai profilaksis yang

1-2 mg,4
(4}}mgkghari selama 5 hari) bila didapatkan adanya mikroangiopati

Plasma exchange dan/atau fVIG

(trombositopenia, anemi hemolitik mikroangiopati) Siklofosfamid (diberikan pada sindroma antifosfolipid yang berhubungan dengan lupus eritematosus sistemik dengan komplikasi yang mengancam jiwa.

Terapi eksperimental (masih dalam penelitian)

:

fibrinolitik, prostasiklin, ancrod, dehbrotide, antisitokin, immunoadsorptioin, anti sel B antibodi (rituximab)

a. Aspirin 81 mg/hari

sebelum konsepsi, diikuti heparin 5000 unit setiap 12 jam segera setelah konsepsi

6.

Sindroma tipe

VI

a. Tidak ada indikasi yang jelas untuk pemberian

terapi

antitrombotik

Catatan : terapi antitrombotik tidak boleh dihentikan sebelum hasil pemeriksaan ulang antibodi antikardiolipin menjadi negatif dalam waktu 4-6 bulan.

Kejadian Trombosis Pertama Direkomendasikan pemberian antikoagulan warfarin dengan target INR antara 2-3 pada penderita dengan trombosis vena dalam atau emboli paru yang pertama kali terjadi. Warfarin diberikan selama minimal

6

bulan.

Kejadian Trombosis Berulang Direkomendasikan pemberian warfarin seumur hidup dengan target INR 2-3. Bila terjadi trombosis berulang

selama terapi warfarin dengan target

INR 2-3,

direkomendasikan untuk menaikkan target INR menjadi 3,1- 4 dan latau dengan penambahan aspirin dosis rendah.

Terapi Profilaksis

:

Terapi profilaksis diberikan pada penderita asimptomatik

RINGKASAN Sindroma antifosfolipid antibodi adalah suatu penyakit dengan karakteristik manifestasi klinis yang beragam. Gejala klinisnya meliputi banyak sistim organ atau jaringan tubuh yang terkena akibat dari trombosis pada pembuluh darah besar dan kecil. Spektrum klinisnya sangat luas pada seorang penderita dengan aPL, dari yang tanpa gejala klinis

hingga sangat berat dan mengancam jiwa seseorang pada CAPS. Pasien-pasien dapat memberikan gambaran klinis sindroma antifosfolipid antibodi namun tidak memenuhi kriteria International untuk suatu diagnosis pasti untuk sindroma antifosfolipid antibodi. Pasien dengan SNAPS memperlihatkan trombosis idiopatik yang khas, namun tidak selalu ditemukan aPL pada awal pemeriksaan. Seorang pasien didiagnosis pasti sindroma antifosfolipid antibodi memperlihatkan adanya trombosis baik pada vena

maupun arteri, baik dengan atau tarrpa penyakit lupus eritematosus sisternik. Sindroma antifosfolipid antibodi mikroangiop ati dapat terj adi dengan kerusakan j aringan atau organ yang terlokalisir dan dapat berkembang menjadi suatu" thrombotic storm" pada CAPS. Penatalaks an aan atau terapi sindroma antifosfolipid yang umumnya dilakukan adalah pemberian antikoagulan untuk trombosis atau untuk pencegahan pada kehamilan.

2619

SINDROMA AT{fi FOSFOLIPID ANTIBODI

Tidak ditemukan data-data yatg menganjurkan pemberian antikoagulan untuk profilaksis terapi pada penderita dengan aPl-positive tanpa ge;ala klinis, namun

penelitian besar terhadap kasus ini masih terus berlangsung. Rekomendasi terkini untuk kasus tersebut adalah pemberian aspirin dosis kecil ( 81 mg/hari) hingga ditemukan data-data penunjang lain. Hindari faktor risiko trombosis yang bersifat reversible (misalnya merokok atau

pemakaian oral kontrasepsi), dan pencegahan pada periode dengan risiko tinggi seperti menghadapi operasi kondisi imobilisasi merupakan hal yang penting. Kelompokpenderita aPL yang ditandai dengan adartya aPL dan komplikasi kehamilan saja; tidak secara rutin

atau pada

mendapatkan terapi profilaksis setelah persalinan. pasien

yang mendapatkan terapi aspirin dosis rendah terus menerus ditemukan angka kejadian trombosis yang lebih rendah 107o. Berdasarkan data tersebut, rekomendasi terbaru terhadap penderita dengan komplikasi kehamilan akibat sindroma antifosfolipid antibodi, pemberian aspirin dosis rendah sangat dianjurkan.

Hughes GR, Khamashta MA. Seronegative antiphospholipid syndrome. Ann Rheum Dis, 2003;62(12):1127 Petri M. Epidemiology of the antiphospholipid antibody syndrome' J Autoimmun, 2000; 1 5(2): 145-5 1. Levine SR, Salowich-Palm L, Sawaya KL, et a1. IgG anticardiolipin antibody titer >40 GPL, dan the risk of subsequent thromboocclusive events dan death. A prospective cohort study Stroke r997 ;28(9):1 660-5 Khamashta M, Cuadrado M, Mujic F, et al. The management of trombosis in the antiphospholipid-antibody syndrome' N Engl J Med 1995:332:993-1 Miret C, Cervera R, Reverter JC, et a1. Antiphospholipid syndrome without antiphospholipid antibodies at the time of the thrombotic event: transient "seronegative" antiphospholipid syndrome? Clin Exp Rheumatol 1997;15:541-4. Parkpian V, Verasertniyom O, Vanichapuntu M, et al. Specificity dan sensitivity of antibeta(2)-glycoprotein I as compared with .

anticardiolipin antibody dan lupus anticoagulant in Thai systemic lupus erythematosus patients with clinical features of antiphospholipid syndrome. Clin Rheumatol Mat 2, 2O01 ' Koenig M, Roy M, Baccot S, et al. Thrombotic microangiopathy with liver, gut dan bone infarction (catastrophic antiphospholipid syndrome) associated with HELLP syndrome. Clin Rheumatol

2005;2:166

8.

Asherson R, Cervera R. Antiphospholipid antibodies dan inflections'

REFERENSI

G Harris EN,GharaviA. The anticardiolipin syndrome' J Rheumatol 1986;13:486-9. Levine JS, Branch DW, Rauch J. The antiphospholipid syndrome N Engl J Med, 2002;346(10):752 63WilsonW Gharavi A, Koike T, et al. International consensus statement on preliminary classification kriteria for definite antiphospholipid syndrome: report of an international workshop Arthritis Rheum 1999;42:1309 11. Miyakis S. lnternational consensus statement on an update of the classification kriteria for definite antiphospholipid syndrome (APS) J Thromb Haemost, 2006;4:295-306 Asherson R, Khamashta M, Ordi-Rios J, et al. The "primary" antiphospholipid syndrome: major clinical dan serological features. Medicine (Baltimore) 1 9 89 ;68 :3 66-T 4 Vianna JL, Khamashta M, Ordi J, et al. Comparison of the primary

Hughes

dan secondary antiphospholipid syndrome: a European

multicenter study. Am J Med 1994;96:3-9. Alarcon-segovia D, Deleze M, O CV, et al. Antiphospholipid

antibodies dan the antiphospholipid syndrome in systemic lupus erythematosus: a prospective analysis of 500 consecutive patients. Medicine (Baltimore) 1989;68:353-65. Merkel PA, Chang Y, Pierangeli SS, et al. The prevalence dan clinical associations of anticardiolipin antibodies in a large inception cohort of patients with connective tissue diseases'

Am J Med 1996;101(6):s76-83. Cervera R, Piette JC, Font J, et al. Antiphospholipid syndrome:

clinical dan immunologic manifestations dan patterns of disease expression in a cohort

of

1,000 patients.

Artkitis Meum,

2002;46:1019-27 . Asherson RA. New subsets of the antiphospholipid syndrome in 2006: "PRE-APS" (probable APS) dan microangiopathic antiphospholipid syndromes ("MAPS"). Autoimmun Rev, 2006;6(2):7 6-80.

Schofield Y. Systemic antiphospholipid syndrome. Lupus 2003;12:497

8.

Ann Rheum Dis 2003;62:388-93. Zuckerman E, Toubi E, Golan T, et a1. Increased throm6oembolic incidence in anti-cardiolipin-positive patients with malignancy Br J Cancer 1995;72:447-51.

Piette JC, Cervera R, Levy RA, et al. The catastrophic antiphospholipid syndrome-Asherson's syndroine' Ann Med Inteme (Paris) 2003;154:195 6.

Asherson RA. Catastrophic antiphospholipid syndrome: international consensus statement on classification kriteria dan treatment guidelines Lupus 2003;12:530-4. Erkan D, Cervera R, Asherson RA Catastrophic antiphospholipid syndrome Arthritis Rheum 2003;48(12):3320 1. Kirchens C. Thrombotic storm: when trombosis begets trombosis

Am J Med 1998:104: 381

5.

Sanna G, Bertolaccini ML, Hughes GR. Hughes syndrome, the antiphospholipid syndrome: a new chapter in neurology' Ann N Y Acad Sci 2005;1051:465 86 Carp HJA. Antiphospholipid syndrome in pregnancy' Curr Opin Obstet Gynecol 2004;1 6 :129-3 5 Gibson G, SuW, Pittelkow M. Antiphospholipid syndrome dan the skin. J Am Acad Dermatol 1997.36:9'70-82. Toubi E, Krause I, Praser A, et al. Livedo reticularis as a marker for predicting multisystem trombosis in antiphospholipid syndrome' Clin Exp Rheumatol 2005;23:499-504. Galli M, Finazzi G, Barbui T. Thrombocyopenia in the antiphospholipid syndrome: pathophysiology, clinical relevance dan treatment Ann Med Inteme (Paris) 1996;147(Suppl 1): 24-7. Atsumi T, Furukawa S, Amengual O, et al Antiphospholipid antibody associated thrombocytopenia. Lupus 2005 ;14:499-504'

William F. Baker, WF, Bick RL. The clinical spectrum of antiphospholipid syndrome, Hematol oncol clin N Am 22 (2008):33-52.

William

F. Baker, WF,

Bick RL. Controversies and Unresolved Issuesin

Antiphospholipid Syndrome Pathogenesis and Management' Hematol oncol clin N Am 22 (2008): 155-174. Hoppensteadt DA,Fabbrini N, Messmore HL' Laboratory Evaluation of the Antiphospholipid Syndrome' Hematol oncol clin N Am 22 (2008): t9-32

404 SKLEROSIS SISTEMIK Bambang Setiyohadi

DEFINISI DAN EPIDEMIOLOGI

Beberapa bahan kimia seperti vinilklorida, epoksi-resin dan

Sklerosis sistemik (skleroderma) adalah penyakitjaringan

pentazosin dan L-triptofan, juga dtketahui berhubungan dengan timbulnya sklerosis sistemik. Pemajanan terhadap vinil klorida diketahui berhubungan dengan timbulnya

trikloroetilen serta obat-obatan seperti bleomisin,

ikat yang tidak diketahui penyebabnya yang ditandai oleh fibrosis kulit dan organ viseral serta kelainan mikrovaskular. Kasus skleroderma pertama kali dilaporkan oleh Carlo Curzio pada tahun 1753 di Napoli yang menyerang seorang wanita yang berumur 17 tahun. Hubungan skeleroderma dengan fenomena Raynaud, pertamakali dilaporkan oleh Maurice Raynaud pada tahun I 865. Kemudian pada tahun-

tahun berikutnya diketahui bahwa penyakit ini juga menyerang organ viseral. Pada tahun 1945, Goetz mengusulkan istllah progresive systemic sclerosis yang menggambarkan lesi yang luas, baik di kulit maupun di

organ viseral. Pada tahun 1964, Winterbauer

mendeskripsikan salah satu varian skleroderma yang hanya terbatas pada ekstremitas distal dan muka yang disebut CREST syndrome (calcinosis, Raynaudb phenom-

enon, esophageal dysmotility, sclerodactily,

teleangiectasis). Prevalensi penyakit ini relatif rendah karena banyak kasus yang tidak dilaporkan, apalagi kasus yang tidak disertai kelainan kulit. Penelitian pada masyarakat umum di Carolina Selatan mendapatkan prevalensi sebesar 19-75 kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan wanita dan laki-laki 1,9-4 : L Padapenelitian di Tennessee, temyata jumlah pasien skleroderma pada wanita usia reproduksi

skleroderma yang disertai fenomena Raynaud, akroosteolisis dan fibrosis pam. Sedangkan pemakaian bleomisin pada kanker testis, terutama bila dikombinasi

dengan sisplatinum, ternyata berhubungan dengan timbulnya skleroderma, fenomena Raynaud dan fibrosis paru.

GAMBARAN PATOLOGI

Patologi Kulit Fibrosis pada kulit dan organ lainnya, termasuk pembuluh darah, merupakan gambaran patologis yang paling sering ditemukan pada sklerosis sistemik. Peningkatan matriks ekstraselular pada dermis, terutama kologen tipe I dan III, yang disertai penipisan epidermis dan hilangnyarete pegs merupakan gambaranpatologis yang khas pada sklerosis sistemik. Hal ini menyebabkan penegangan kulit yang khas pada sklerodema. Pada stadium awal, tampak infiltrasi sel radang mononuklear di dalam dermis, terutama limfosit T dan sel mast. Sel-sel ini banyak ditemukan mengelilingi pembuluh darah dermis. Pada stadium akhir (fase atrofik),

kulit relatif aselular.

(20 -44 tahx) 15 kali jumlah pasien laki-taki pada usia yang sama, sedangkan pada wanita usia 45 tahun atau lebih, frekuensinya hanya 1,8 kali laki-laki pada usia yang sama. Hubungan penyakit ini dengan ras tidakjelas, walaupun

Lesi vaskular pada kulit menunjukkan gambaran yang sama dengan lesi pada organ lainnya. Tunika intima arteri

dan arteriola tampak berproliferasi sehingga lumennya menjadi sempit. Dengan teknik nailfold capilaroscopy,

skleroderma pada kulit berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu, beberapa faktor lingkungan mungkin berhubungan dengan timbulnya

akan tampak kerusakan dan hilangnya kapiler yang makin lama makin banyak. Pada pembuluh darah besar, akan tampak hiperplasi tunika intima, sehingga lumennya menyempit dan akhirnya berobliterasi.

skleroderma, misalnya debu silika dan implantasi silikon.

2620

2621

SKLEROSIS SISTEMIK

Patologi Paru-paru ditemukan 2 gambarat patologik,

Pada paru-paru, dapat yaitu fibrosis paru dan kelainan vaskular. Walaupun kedua keadaan ini sering bersamaan, tetapi pada wanita dengan

hemolisis mikroangiopatik akibat kerusakan fisis eritrosit yang beredar pada gangguan sirkulasi renal yang berat.

Patologi Sistem Muskuloskeletal

skleroderma yang terbatas sering hanya didapatkan kelainan pembuluh darah paru, yaitu penebalan tunika media, sehingga terjadi penyempitan lumen dan timbul hipertensi pulmonal yang dapat berakhir sebagai gagal jantung kanan. Stadium awal fibrosis paru pada sklerosis sistemik merupakan reaksi radang akut yang ditandai oleh peningkatan makrofag alveolar dan sel radang polimorfonuklear. Pada penelitian in vitro, ternyata

Pada otot rangka, akan tampak jaringan fibrosis

makrofag alveolar pasien sklerosis sistemik memproduksi

sehingga gerak tendon terbatas dan akhimya dapat timbul kontraktur fleksi, terutama pada jari-jari.

fibronektin dalam jumlah yang banyak yang berperan dalam

pertumbuhan fibroblas. Pada stadium lanjut, tampak deposisi kolagen dan komponen jaringan ikat lainnya di dalam ruang interstitial alveolar sehingga pada akhimya

akan tampak jaringan fibrosa yang lebih banyak dibandingkan ruang udara alveolar. Akibatnya proses difusi di dalam paru akan terhambat.

Patologi Jantung Pada jantung, sklerosis sistemik dapat menyerang perikardium dan miokardium. Kelainan pada perikardium ditandai oleh fibrosis dan penebalan perikardium parietal dan viseral yang akhirnya dapat berkembang menjadi perikarditis konstriktif. Pada miokardium, tampak proliferasi intima dan penyempitan pembuluh darah koroner. Di sekeliling pembuluh darah koroner, ditemukan banyak

perivasikular yang menyebabkan penurunan kekuatan otot dan peningkatatritganenzim otot dalam serum. Selain itu dapat juga terjadi kelainan seperti tampak pada poli dan

dermatomiositis, yaitu infi ltrasi limfositik perivaskular, nekrosis, degenerasi dan regenerasi jaringan otot. Secara

klinis akan tampak kelemahan otot proksimai

dan peningkatan enzim otot serum yang bermakna' Pada tendon akan tampak deposisi fibrin dalam samng tendon,

Jenis Sitokin

Sumber

Fibronektin

Fibroblas, sel endotel, makrofag, hepatosit

tL-1

Makrofag, sel endotel, limfosit, fibroblas, sel epitel, osteofit, osteoblas, keratinosit Sel T

tL-2

PDGF TGF-B

jaringan fibrosa. Akhimya dapat timbul vasospasme dan infarkmiokard.

Peranannya pada Patogenesis Kemoatraktan monosit dan fibroblas, mitogen fibroblas Mitogen fibrcjblas, merangsang sintesis kolagen

Trombosit, fibroblas, makrofag Megakariosit, makrofag, sel epidermal, fibroblas dan sel T

Patologi Saluran Cerna Pada saluran cerna, lesi terbanyak terdapat pada esofagus,

walaupun gaster, usus halus proksimal dan kolon juga dapat terserang. Secara histologis, tampak gambaran fibrosis pada tunika propria dan submukosa, serta peningkatan sel radang pada tunika muskularis. Akibat fibrosis, peristaltis usus akan berkurang. Selain itu atrofi

Merangsang sisntesis kolagen, merangsang sintesis fibronektin, menghambat pertumbuhan sel sel endotel, mitogen fibroblas indirek, kemoatraktan fibroblas dan monosit merangsang sekresi tL-1.

CTAP

lapisan otot dan berkurangnya peristaltis akan menimbulkan divertikel di kolon dengan mulut yang lebar'

TNF

Pada esofagus dapat timbul Barret's esophagus

Endotelin

(gastritis esofagus distal). Walaupun demikian, insiden,

IFN-y

CTAP l: limfosit CTAP lll: trombosit CTAP V: sel mesenkimal Makrofag, sel T, sel B, sel NK Sel endotel Sel T, sel NK

adenokarsinoma esofagus pada keadaan ini sangat rendah'

Patologi Ginjal Pada

Mengaktifkan sel NK menjadi sel LAK Mitogen fibroblas

Mitogen fibroblas Meningkatkan sintesis glikosaminoglikan Merusak endotel Vasokonstriktor Aktivator makrofag diferensial sel T menjadi sel T sistolik, pertumbuhan sel B

ginjal akan tampak lesi arteriol yang berupa proliferasi

intima, penipisan tunika media dan reduplikasi lamina elastika. Membran basal glomeruli mengalami duplikasi, tetapi tidak ada tanda-tanda glomerulonefritis. Gambaran

sklerotik pada glomeruli merupakan tanda khas infark korleks ginjal dan stadium akhir skleroderma. Pada sklerosis sistemik yang diserlai kelainan ginjal, sering didapatkan

GAMBARAN IMUNOPATOLOGIS

Kelainan lmunitas Humoral

.

Kelainan serologis nonspesifik. Beberapa kelainan serologis yang nonspesifik adalah ditemukannya

2622

REUMA:IOLOGI

hipergamaglobulinemia poliklonal, krioglobulunemia, faktor reumatoid dan uji VDRL yang positifpalsu.

.

Antibodi antinuklear (Anti nuclear antibody = ANA). pada 95yo pasien sklerosis sistemik, didapatkan antibodi anti-nuklear (antinuclear antibodies, ANA). ANA spesifik terhadap DNA topoisomerase I (anti topoisomerase I, anti Scl-70) didapatkan 20-300 , dan separuhnya terdapat pada pasien sklerosis sistemik difus. Enzim DNA topoisomerase

I

sangat penting perannya pada proses

transforming growth factor-B (TGF-B), platelet derived growth factor (PDGF), tumor necrosis factor (TNF), IL-1B, berbagai protease dan mediator lain yang penting pada patogenesis sklerosis sistemik. Sel lain yang banyak ditemukan di dalam dermis pasien sklerosis sistemik adalah sel mast. Sel ini berperan dalam memproduksi berbagai mediator seperti triptase yang dapat

merusak sel endotel, serta histamin yang dapat

pembukaan gulungan DNA untuk replikasi dan transkripsi RNA. ANA spesifik yang lain adalah anti

merangsang proliferasi dan sintesis matriks fibroblas dan menyebabkan retraksi sel endotel.

DN A-histone-complex yang banyak ditemukan pada pasien sklerosis sistemik dengan miopati inflamasi; anti

Berbagai sitokin meningkat kadarnya pada sklerosis sistemik, seperti fibronektin, IL-l,IL-2, PDGF, TF-B, connective tissue activating peptides (CTAP), endotelin

PM-Scl yang banyak ditemukan pada sistemik sklerosis dengan miopati inflamasi dan kelainan ginjal; anti RNA polimerase I, II dan III yang banyak ditemukan pada sklerosis sistemik dengan kelainan ginjal; anti Ul -RNp

yang berhubungan dengan artritis dan hipertensi pulmonal danANA spesifik lainnya.

.

Fagosit mononuklear mempunyai peran yang penting pada patogenesis sklerosis sistemik, terutama makrofag alveolar. Sel-sel ini memproduksi berbagai sitokin seperti

Autoantibodi lain - Antibodi antisentromer. Antibodi antisentromer terdapat pada 30% sklerosis sistemik yang terbatas darr CREST syndrome. Ada 3 antigen sentromer yang spesifik pada sklerosis sistemik, yaitu CENpB (80 kDa protein) dan CENP-C (120 kDa protein). Adanya autoantibodi terhadap antigen sentromer menunjukkan tingginya pemecahan kromosom.

-

Antibodi antimitokondrial. Bar.yak ditemukan

-

pada CREST syndrome, merupakan tanda khas adanya sirosis bilier primer. Antibodi anti-kolagen I,Iil,IV dan ZL Antibodi anti kolagen tipe IV berhubungan dengan beratnya

-

kelainan paru pada sklerosis sistemik.

Antineutrophilic cytoplasmic anti bodles (ANCA). Antibodi ini berhubungan dengan gagal ginjal dan

FAKTORGENETIK Faktor keturunan yang berperan pada sklerosis sistemik adalah jenis kelamin. Didapatkan rasio jenis kelamin wanita

dengan laki-laki berkisar dari 2:l sampai 20:1. Walaupun demikian, peran hormon seks pada patogenesis penyakit ini tidak diketahui. Hasil penelitian mengenai hubungan antara sklerosis sistemik dengan antigen MHC (major histocompatibility complex) menunjukkan perbedaan yang bermakna arrtara satu peneliti dengan peneliti dari negara lain. Penelitian di Inggris menunjukkan hubungannya dengan HLA-A, B8,

DR, dengan DR, dan dengan DR*r2, sedangkan penelitian di Amerika Serikat tidak menunjukkan hubungannya dengan HLA-DR5. Penelitian di Jepang menunjukkan hubungannya dengan HLABws2, DR, dan D\. Gen lain yang dilaporkan juga berhubungan dengan sklerosis sistemik adalah alel Co-null (CoAQo dan C* BQo). AQo, dikatakan banyak terdapat pada sklerosis sistemik yang rnengidap gen HLA-DR,. Faktor genetik lain yang tampak pada pasien sklerosis Co

perdarahan paru.

Kelainan Imunitas Selular Secara umum didapatkan

dan interferon gama (INF-y).

limfopenia dengan rasio sel T dan

sel B yang normal, tetapi didapatkan peningkatan rasio sel T-penolong (T,,*) terhadap sel T-penekan (Tr*). Selain itu juga terdapat penurunan kadar sel NK (natural kilter) yang pada permukaantyaterdapat antigen Tr*. Sel-sel inflamasi mononuklear banyak terkumpul pada lapisan dermis pasien

sklerosis sistemik dan pada umumnya merupakan sel T: penolong yang teraktivasi. Sel T berperan memproduksi interleukin-2 (IL-2) yangdapat mengubah sel NK menjadi sel LAK (lympho cyte- activated kill er) yang temyata sangat penting pada kerusakan endotelial. Selain itu sel juga berperan pada graft versus host disease (GYHD) pada pasien yang menjalani transplantasi sumsum tulang. Kelainan ini ditandai oleh adanya fenomena Raynaud, sklerosis dermal (terutama pada jari) dan kelainan vaskular.

sistemik adalah instabilitas kromosom, yaitu terjadi peningkatan pemecahan kromosom.

Beberapa penelitian menunjukkan frekuensi autoantibodi pada berbagai grup etnik, ternyata berbeda. Antibodi anti sentromer, banyak terdapatpadaorang kulit putih di Amerika dan tidak pernah didapatkan pada orang kulit hitam. Antibodi anti Ul-RNP, anti RNApolimerase I,[,III dan anti U3-RNP banyak didapatkan pada orang Jepang, orang kulit putih dan kulit hitam.

PATOGENESIS Secara pasti, patogenesis sklerosis sistemik tidak diketahui.

Diduga, sesuafu, faktor pencefus yang sampai sekarang

belum diketahui, mengaktifkan sistem imun dan

2623

SKLEROSIS SISTEMIK

menimbulkankerusakan sel endotel. Kerusakan sel endotel

akan mengaktifkan trombosit, sehingga trombosit mengeluarkanbertagai mediator, seperti PDGF, TGF-B dan CTAP-III, yang akan menyebabkan proliferasi fibroblas dan sintesis matriks oleh fibroblas. Aktivasi sistem imun juga akan berakhir pada proliferasi fibroblas dan sintesis matriks.

FENOMENA RAYNAUD DAN KELAINAN VASKULAR

Fenomena Raynaud adalah perubahan warna yang episodik (palor, sianosis, eritema) yang terjadi sebagai respons terhadap lingkungan yang dingin atau stres emosional. Walaupun perubahan yang spesifik umumnya terjadi padajari tangan, tetapi dapatjuga mengenai ibujari kaki, daun telinga, hidung dan lidah. Pada fase palor dan sianosis, pasien akan merasa nyeri dan kaku, sedang pada fase hiperemis akan merasa seperli terbakar. Fenomena Raynaud dapat dijumpar pada berbagai penyakit kolagen, yairu 95%o pada sklerosis sistemik, 9 1o% pada mixed connective tissue diseases (MCTD) dan 40To pada lupus eritematosus sistemik. Selain itu fenomena Raynaud juga dapat dijumpai pada berbagai trauma akibat pekerjaan (vibrasi, mikrotrauma, vinil klonda), efek samping obat (penghambat reseptor beta), kelainan onkologik dan

hematologik (disglobulinemia), kelainan mieloproliferatif, sindrom paraneoplastik) dan hipotiroidisme. Prevalensi fenomen Raynaud pada populasi umum tidak diketahui secara pasti, diperkirakan sekitar 10-20%. Fenomena Raynaud pada penyakit kolagen, terutama pada sklerosis sistemik umumnya berlangsung lama sebelum seluruh gejala penyakit kolagen tersebut timbul, sehingga kadangkadang sulit membedakannya dengan fenomena Raynaud primer yang tak diketahui penyebabnya.

Berbagai faktor turut berperan pada patogenesis fenomena Raynaud pada sklerosis sistemik. Sel endotel yang

rusak akan mengaktifkan trombosit. Trombosit yang diaktilkan akan menghasilkan berbagai vasokonstriktor, seperti 5-hidroksitriptamin (5-HT), tromboksan-A, (Tx-Ar) dan ADP. Untuk mengatasi hal ini, sel endotel yang masih utuh akan menghasilkan vasodilator seperti prostasiklin, monoamine-oxidase (MAO ) darr endothelium-dependent relaxationJaclor (EDRF). Tetapi sel endotel yang rusak tak dapat bereaksi terhadap vasodilator tersebut. Selain itu sel

endotel yang rusak juga menghasilkan vasokonstriktor

endotolin-1. Akibatnya akan ter.jadi vasokonstriksi. Penyempitan lumen akan makin diperberat oleh adanya hiperplasi intimal. Selain itu pada sklerosis sistemik juga terj adi deformabilitas eritrosit, sehingga viskositas darah akan makinberat. Beratnya fenomena Raynaud pada sklerosis sistemik

Aktivasi trombosit dan pelepasan PDGF, TGF-B dan CTAP-Ill

Gambar 1: Skema hipotesis patogenesis sklerosis sistemik

2624

REUIUATOI.OGI

ditandai oleh timbulnya iskemia jari yang akan diikuti oleh ulserasi dan gangren.

bagian proksimal tubuh. Bersamaan dengan kelainan tersebut, kulit akan tampak mengkilap dan terjadi hipo dan

Gambaran fenomena Raynaud juga terjadi pada berbagai arteri kecil dan arteriola pada organ viseral, sehingga timbul berbagai kelainan pada organ tersebut. Kerusakan vaskular pada sklerosis sistemik akan

hiperpigmentasi. Pada sklerosis sistemik yang difus, penebalan kulit akan menyebar ke seluruh tubuh, terutama pada dinding dada dan abdomen, sedangkan pada kelainan yang terbatas penebalan kulit hanya akan didapatkan padajari ataujari dan muka. Pada sebagian kecil pasien (2 o/o), dapat ditemukan tanpa kelainan kulit (sklerosis sistemik sine skleroderma). Pada fase awal indurasi, secara histologik akan tampak peningkatan serat kolagen pada dermis, hiperplasi dan

menyebabkan peningkatan kadar berbagai petanda seperti

faktor von willebrand, trombomodulin, ICAM-l (intercellularadhesion molecule-l) serum dan ELAM-l (endhotelial leucocyte adhesion molecule-l) serum. Peningkatan kadar faktor von willebrand berhubungan dengan progresivitas fenomen Raynaud, keterlibatan banyak organ dan tingginya angka moftalitas.

Pada sklerosis sistemik juga didapatkan gangguan fibrinolisis, karena kerusakan sel endotel meyebabkan penunrnan sisntesis aktivator plasminogen dan berbagai faktor pro dan antikoagulan. Secara non invasif, mikroangiopati pada sklerosis sistemik dapat diperiksa dengan kapilaroskopi lipat kuku.

hialinisasi subintimal arteriola, dan infiltrasi limfosit, terutama sel T. Kulit yang menebal makin lama makin menebal. Tapi kadang-kadang dapat terjadi pelunakan yang biasanya dimulai dari bagian tubuh yang sentral. Jadi kulit yang mengeras terakhir akan membaik lebih dulu. Beberapa tahun kemudian akan tampak binti-bintik teleagiektasis, terutama pada muka, jari, lidah dan bibir.

Teleangiektasis, terutama terjadi pada subtipe yang KELAINAN KULIT Pada tahap awal akan tampak edema padatangan dan jari tangan yang tidak disertai rasa nyeri. Kadang-kadang dapat

terbatas (CREST syndrome),tetapi dapat juga terjadi pada subtipe yang difus. Pada subtipe yang terbatas juga dapat timbul kalsinosis subkutan. Kalsinosis subkutan dapat hanya berupa titik kecil, tapi dapat juga berupa massa yang

disertai timbulnya sindrom terowongan karpal (carpal

besar. Pada stadium akhir, akan timbul artrofi dan penipisan

tunnel syndrome) aktbatkompresi ner-l,us medianus. Edema

kulit, terutama pada bagian ekstensor sendi

ini berhubungan dengan disposisi glikosaminoglikan di dalam dermis atau efek hidrostatik akibat kerusakan

kontraktur, sehingga dapat ter.ladi ulserasi akibat tarikan mekanik pada bagian itu.

yang

vaskular. Beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian, edema akan diikuti dengan indurasi, sehingga kulit menjadi tebal dan keras. Penebalan kulit akan mengenai jari tangan dan

bagian yang lebih proksimal, yaitu dorsum manus, lengan atas, muka dan akhimya ke seluruh tubuh. Kelainan ini patognomonik untuk sklerosis sistemik karena hampir tak pernah ditemukan pada penyakit lain. Umumnya kelainan

pada bagian distal tubuh lebih berat daripada

Fenomen

Sklerosis

Raynaudprimer Sistemik Perempuan : laki-laki Umur mulai timbul Frekuensi serangan perhari Faktor pencetus Proliferasi intimal Antibodi antinuklear Antibodi antisentromer Antibodi anti-Scl-70 Kapilaroskopi abnormal Aktivasi trombosit rn vlvo

20:1

4:1

Pubertas

> 24 tahun

KELAINAN SISTEMIK Berbagai kelainan sistemik dapat timbul pada sklerosis sistemik yang pada umumnya terjadi akibat kelainan vaskular pada organ yang bersangkutan.

Kelainan Paru Pada paru dapat timbul fibrosis paru dan atau kelainan vaskular paru. Fibrosis paru, umumnya terjadi pada kedua basal paru yang dapat dilihatjelas pada gambaran radiologi dada. Keadaan ini akan menyebabkan penurunan kapasitas difusi karbonmonoksida dan pada akhirnya akan terjadi penurunan kapasitas difusi vital (penyakit paru restrikti!.

Pada bilasan akan ditemukan limfosit dan makrofag. Kelainan pam umumnya lebih berat pada pasien dengan

> 10 x

5x

antibodi antitopoisomerase-

dingin, emosi negatif negatif negatif negatif negatif

dingin

dan lebih ringan pada pasien dengan antibodi

negatif

positif 90-95% 50-605 20-30o/"

> 955 > 75o/o

1

dan anti U3-RNP yang positif

antisentrome yang positif.

Hipertensi pulmonal dapat terjadi pada sebagian kecil pasien, terutama pada subtipe terbatas dengan antibodi antisentromer yang positif. Untuk mencegah perburukan fungsi, deteksi dini

2625

SKLEROSIS SISTEMIK

kelainan pada sklerosis sistemik harus dilakukan.

peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba, insufisiensi

Umumnya kelainan paru tidak memberikan gejala yang spesifik, kecuali setelah ada kelainan hemodinamik atau penurunan kapasitas vital yang berat. Untuk itu dianjurkan pemeriksaan uji fungsi paru secara berkala (3-6 bulan sekali)

renal yang progresif dan hemolisis mikroangiopatik.

dan bila dicurigai terdapat penurunan fungsi paru. dilakukan tomografi dengan komputer (CT-scan) dan bilasan bronkoalveolar.

Kelainan ini umumnya terjadi pada subtipe yang terbatas. Krisis renal merupakan penyebab kematian utama pada sklerosis sistemik. Penyebab utama kelainan ginjal adalah kelainan vaskular, terutama pada arleri arkuata dan interlobular. Pada dinding pembuluh darah tersebut terjadi hiperplasia mukoid subintimal yang akan berkembang menj adi nekrosis fibrinoid.

Kelainan Gastrointestina! Kelainan pada sistem gastrointestinal dapat mengenai

Kelainan Muskuloskeletal

mulut, esofagus bagian distal dan saluran cerna yang lebih

Pada persendiaan dapat

bawah. Xerostomia ditemukan pada2}-3}Yosklerosis sistemik dan hal ini berhubungan dengan sklerosis atau infiltrasi limfosit pada kelenjar liur. Separuh dari pasien xerostomia memiliki antibodi terhadap presipitin Sjogren, yaitu anti SS-A (Ro) dan anti SS-B(La). Pada esofagus distal akan terjadi dismotilitas motorik sehingga timbul disfagia dan refluks gastroesofageal. Peristaltik esofagus akan menurun dan pada pemeriksaan fluoroskopi akan tampak hipomotalitas. Pada esofagus distal akan terjadi metaplasia mukosa (metaplasia Barret) yang merupakan predisposisi timbulnya adenokarsinoma esofagus, tetapi keganasan inijarang terjadi pada sklerosis sistemik.

timbul poliartralgia, terutama pada subtipe yang difus. Secara radiologis akan tampak gambaran afiropati erosif. Pada falang distal, distal radius dan ulna, ramus mandibula dan permukaan superior iga posterior dapat terjadi osteolisis akibat hipovaskularisasi, sehingga terjadi resorbsi tulang pada tempat tersebut. Pada otot, dapat terjadi atrofi akibat keterbatasan penggunaan sendi. Miopati yang lain juga dapat terjadi yang ditandai oleh kelemahan otot, terutama ototproksimal dan peningkatan kadar enzim otot serum (kreatin-kinase dan aldolase). Secara histologis, akan tampak serat miofibril yang mengalami fibrosis.

DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI

Pada usus kecil akan terjadi hipomotalitas dan berkurangnya lapisan otot. Atropi pada lapisan mukosa dan otot usus kecil, akan menyebabkan udara masuk ke

Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang. Secara klinis

dinding usus sehingga menimbulkan pneumatosis

agak sulit menegakkan diagnosis sklerosis sistemik sebelum

intestinalis yang akan tampak pada gambaran radiologis. Pada kolonjuga dapat terjadi atrofi lapisan otot sehingga mengakibatkan timbulnya divertikel yang bermulut lebar yang khas untuk sklerosis sistemik. Hipomotolitas kolon

timbul kelainan kulit yang khas. Tetapi kemungkinan

akan menyebabkan konstipasi dan pada beberapa keadaan

harus dilakukan karena memiliki spesifrsitas yang baik pada sklerosis sistemik. Evaluasi terhadap berbagai organ yang

dapat terjadi atrofi otot sfingter ani yang mengakibatkan inkontinensia alvi dan prolaps rekti.

sklerosis sistemik harus dipikirkan bila ditemukan gambaran

fenomen Raynaud pada wanita umur 20-50 tahun. Pemeriksaan autoantibodi antitopo-l dan antisentromer

Kelainan Jantung Kelainan miokardial jarang didapatkan pada sklerosis sistemik, tetapi bila didapatkan akan meningkatkan angka mortalitas. Umumnya akan terjadi fibrosis pada sistem

konduksi jantung, sehingga mengakibatkan timbulnya

Sklerosis Sistemik Terbatas

Sklerosis Sistemik Difus

Fenomen Raynaud berlangsung dalam jangka waktu lama

dalam jangka waktu

aritmia dan kematian jantung mendadak. Berbeda dengan

organ lain, kelainan pada pembuluh koroner jarang didapatkan pada sklerosis sistemik. Kadang kadang dapat timbul penkarditis yang ditandai oleh penebalan perikardium

parietal dan viseral yang berakhir dengan perikarditis konstriktif. Selain itu, dapat juga terjadi gangguan fungsi ventrikel kanan sebagai akibat hipertensi pulmonal.

Kelainan Ginjal Pada ginjal, sklerosis sistemik akan menyebabkan krisis renal skleroderma akibat hiperreninemia yang ditandai oleh

Pembengkakan jari, intermiten, dalam jangka waktu yang lama Progresivitas lambat Dapat disertai artralgia ringan, jarang mengenai tendon Problem utama: ulkus jari, fibrosis esofagus usus halus dan paru '105 disertai hipertensi pulmonal dan fatal Antisentromer pada 50-90% kasus; antitopi-1 pada 10-15% kasus.

Fenomen Raynaud berlangsung yang singkat; kelainan kulit timbul sebelum terjadi fenomen Raynaud Pembengkakan tangan dan kaki

Progresivitas cepat Disertai artralgia/ artritis, sindrom terowongan karpal Semua organ viseral dapat terkena Jarang disertai hipertensi pulmonal Antisentromer pada 5% kasus; anti topi-1 pada 20-30o/o kasus

2626

REI,JMATIOI.OGI

mungkin terkena juga harus dilakukan. Bila keadaan meragukan dapat dilakukan biopsi kulit.

klinis dan atau laboratorik sesuai dengan sklerosis sistemik.

Pada tahun 1980, American Rheumatism Association

(ARA) mengajukan kriteria pendahuluan untuk klasifikasi sklerosis sistemik progresif. Kriteria ini terdiri atas:

Kriteria Mayor Skleroderma proksimal: penebalan, penegangan dan kulit yang simetrik pada kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau pengerasan

metatarsofalangeal. Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks dan abdomen)

Kriteria Minor

. .

Sklerodaktil: perubahan kulit seperti tersebut di atas, tetapi hanya terbatas pada jari

jari

secara lokal tanpa disefiai kelainan sistemik. Keadaan ini disebut skleroderma lokal dan harus dibedakan dari sklerosis sistemik terbatas. Termasuk dalam kelompok ini adalah:

Morfea. Morfea adalah perubahan skleroderma setempat yang dapat ditemukan pada bagian tubuh mana saja. Fenomena Raynaud sangat jarang didapatkan.

Skleroderma linier. Skleroderma linier umunya didapatkan pada anak-anak, ditandai oleh perubahan skleroderma pada kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disrtai atrofi otot dan tulang di bawahnya.

atau hilangnya substansi jari. jari atau

Skleroderma en coup de sabre. Merupakan varian skleroderma linier, di mana garis yang sklerotik terdapat

hilangnya substansi jaringan jari terjadi akibat

pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah frontoparietal yang mengakibatkan deformitas muka dan kelainan

Pencengkungan

Daerah yang mencekung pada ujung

.

Skleroderma Lokal Ada beberapa bentuk skleroderma yang mengenai kulit

iskemia.

Fibrosis basal dikedua paru. Gambaran linier atau lineonodular yang retikular terutama di bagian basal kedua paru tampak pada gambaran foto dada standar. Gambaran paru mungkin menimbulkan bercak difus atau seperti sarang lebah. Kelainan ini bukan merupakan kelainan primer panr.

Diagnosis sklerosis sistemik ditegakkan bila didapatkan 1 kriteria mayor atat2 atau lebih kriteria minor.

tulang.

PENATALAKSANAAN

Penyuluhan dan Dukungan Psikososial Penyrluhan dan dukungan psikolologis memegang peran yang sangat penting dalam penatalaksanaan pasien sklerosis sistemik, karena perjalanan penyakit ini lama dan progresif.

KLASIFIKAS! Secara

klinik, sklerosis sistemik dibagi dalam 5 kelompok,

yaitu: Sklerosis sistemik difus, di mana penebalan kulit terdapat di ekstremitas distal, proksimal, muka dan seluruh batang tubuh. Sklerosis sistemik terbatas, penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut, tetapi dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah CREST syndrorze (C:kalsinosis subkutan; R:fenomen Raynaud; E:dismotilitas esofagus; S:sklerosdaktili ; T:teleangiektasis) Sklerosis sistemik sine skleroderma, secara klinis tidak didapatkan kelainan kulit, walaupun terdapat kelainan organ dan gambaran serologis yang khas untuk sklerosis sistemik.

Sklerosis sistemik pada overlap syndrome, artritis reumatoid atau penyakit otot inflamasi.

Penyakit jaringan ikat yang tidak terdiferensial, yaitu bila didapatkan fenomen Raynaud dengan gambaran

Penanganan Fenomena Raynaud dan Kelainan Kulit Fenomena Raynaud merupakan gejala yang dominan pada sklerosis sistemik. Menghindari merokok dan udara dingin, serta menjaga tubuh tetap dalam keadaan hangat, biasanya

cukup efektif mengatasi fenomen Raynaud yang ringan dan sedang. Pada keadaan yang berat, misalnya bila disertai ulkus pada ujung jari atau mengganggu aktivitas

sehari-hari, dapat dicoba penggunaan vasodilator, misalnya nifedipin, prazosin atau nitrogliserin topikal. Penggunaan nifedipin lepas lambat menunjukkan hasil yang baik dengan efek hipotensifyang tidak terlalu besar. Selain itu, nifedipin juga dapat memperbaiki pertrrsi miokard pada sklerosis sistemik. Obat lain yang dapat dicoba untuk mengatasi fenomena Raynaud adalah iloprost, suatu analaog prostasiklin. Obat ini diberikan perdrip dengan dosis 3 nglkbBB/menit, 5-8 jam,lhari selama 3 hari berturuthuut. Selain itu untuk mengatasi fenomen Raynaud, obat inijuga dapat digunakan untuk mengobati ulkus padajari. Perawatan kulit sangat penting diperhatikan, apalagi bila sudah timbul ulkus. Pemberian antibiotik dapat

2627

SKLEROSIS SISTEMIK

dipertimbangkan bila ada infeksi sekunder. Bila luka cukup dalam, mungkin dibutuhkan perawatan secara bedah, nekrotomi dan pemberian antibiotik parenteral.

harus dipuasakan untuk mengistirahatkan usus dan dilakukan dekompresi dengan pipa nasogastrik. Tindakan bedah harus dihindari karena akan mencetuskan ileus dan memperlama penyembuhan.

Pemberian Obat Remitif Berbagai obat golongan remitif yang dapat diberikan pada pasien sklerosis sistemik adalah D-penisilamin, kolkisin, obat-obat imunosupresif dan sebagainya, tetapi hasilnya masih belum menggembirakan.

D-penisilamin, menunjukkan hasil yang cukup baik untuk mengatasi kelainan kulit pada sklerosis sistemik, walaupun dibutuhkan pengobatan dalam jangka waktu yang cukup lama. Secara in vitro, interferon gama dapat menghambat proliferasi fibroblast dan produksi kolagen. Pada beberapa kasus, obat ini dapat mengurangi kekakuan kulit, tetapi tidak efektif terhadap fenomena Raynaud. Obat lain yang dapat mempengaruhi transporl prokolagen dan sekresi prokolagen oleh fibroblas adalah kolkisin. Tetapi masih

harus diteliti efektivitasnya pada penggunaan jangka panjang. Demikian juga penggunaan ketotifen, suatu stabilisator sel mast; N-Asetil-sistein, suatu perangsang pemecahan kolagen, fotoferesis dan globulin antitimosit masih perlu diteliti efektivitasnya.

Penanganan Kelainan Muskuloskeletal Artralgial artritis dan tenosinovitis, biasanya dapat diatasi dengan memberikan anti inflamasi nonsteroid. Bila nyeri tetap timbul, dapat diperlimbangkan pemberian injeksi steroid lokal atau steroid sistemik dosis kecil dalam jangka

Penanganan Kelainan Paru Pnemonitis interstitial merupakan keadaan yang harus segera diatasi. Pemberian kortikosteroid atau siklofo sfamid memberikan hasil yang cukup memuaskan. Hipertensi pulmonal tanpa kelainan interstitial paru mempunyai prognosis yang buruk, karena tidak ada satupun obat yang

dapat mengatasi keadaan ini.

Penanganan Kelainan Ginjal Krisis renal dengan hipertensi berat merupakan komplikasi yang serius dengan angka kematian yang cukup tinggi.

Dengan adatya obat inhibitor enzim pengkonversi angiotensin, angka kematian dapat diturunkan secara drastis. Obat ini tetap dapat diberikan walaupun fungsi ginjal menurun dengan drastis. Jika diperlukan dapat dilakukan dialisis. Pada kelainan ginjal pemberian steroid dan plasmaferesis tidak ada gunanya.

PROGNOSIS Angka harapan hidup 5 tahun pasien sklerosis sistemik adalah sekitar 680/o. Harapat hidup akan makin pendek dengan makin luasnya kelainan kulit dan banyaknya

agresif harus dilakukan untuk mencegah dan mengatasi kontraktur.

keterlibatan organ viseral. Pada sklerosis sistemik difus, kematian biasanya terjadi karena kelainan paru, jantung atau ginjal. Sedangkan pada sklerosis sistemik terbatas, kematian terjadi karena hipertensi pulmonal dan

Penanganan Kelainan Gastrointestinal

malabsorbsi. Pasien sklerosis sistemik mempunyai risiko yang tinggi

waktu yang singkat. Selain itu, fisioterapi yang

Dismotilitas esofagus, akan menimbulkan keluhan heartbut'n dat disfagia. Pasien dianjurkan untuk meninggikan

untuk mendapatkan keganasan, terutama karsinoma payudara, paru dan limfoma nonHodgkin. Hal ini turut

kepalanya pada waktu berbaring, makan pada posisi tegak dengan porsi yang kecil dan sering. Biasanya pemberian antasid, antagonis-H2 dan obat sitoprotektif, cukup efektif untuk mengatasi keluhan nyeri yang ringan dan sedang. Pada keadaan yang berat, dapat dianjurkan pemberian omeprazol. Obat prokinetik, dapat diberikan pada keadaan disfagia. Bila terdapat striktur esofagus, harus dilakukan dilatasi secara berkala. Keterlibatan usus halus, akan menyebabkan gangguan pasase makanan dan meningkatkan pertumbuhan bakteri. Pada keadaan yang terakhir, dianjurkan untuk memberikan

meningkatkan angka kematian pasien sklerosis sistemik. Satu hal yang unik adalah bahwa risiko timbulnya

antibiotik berspektrum luas selama 2 minggu. Untuk mengatasi hipomotilitas usus dapat dicoba pemberian prokinetik. Bila terdapat konstipasi, harus diberikan pelunak tinja dan diet tinggi serat. Bila hipomotilitas usus sangat berat sehingga timbul distensi abdomen, pasien

adenokarsinoma esofagus sangat rendah, walaupun terdapat metaplasi mukosa esofagus distal (metaplasia Barret). Penetian Altman dkk, mendapatkan beberapa prediktor yang memperburuk prognosis skelrosis sistemik adalah:

. . . .

. .

usia lanjut (> 64 tahun) penurunan tungsi ginjal (BUN< 16 mg/dl); anemia (IIb <11g/dl)

penurunan kapasits difusi CO, pada paru (<50% prediksi) penumnan kadar protein serum total (6mg/dl) penumnan cadangan paru (kapasitas vital paksa <80% pada

IIb >l4gldl

padaHb

atau kapasitas vital paksa <650%


2628

REI,JMAIOI.OGI

REFERENSI

Koopman WJ (eds). Primer on the Rheumatic Diseases. 10 th ed. Asrthritis Foundation, Atlanta, Gerogagia 1993:127-30.

Altman RD. Medsger TA, Bloch DA et al. Predictors of survival in systemic sclerosis (scleroderma). Arthritis Rheum

Reimer G Autoantibodies against nuclear, nucleolar and mithocondrial

t991;34(4):403-r3 Albar Z. Sklerosis sistemik. In: Soeparman (ed). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi kedua. Balai Penerbit FKUI, Jakarta,

990; 1 6( 1 ): 1 69-84. Seibold JR. Systemic sclerosis: clinical features, in: Klippel JH, Dieppe P (eds). Rheumatology. 1st. Mosby-Year Book Europe Limited,

.

1987 :7 47 -52.

Hoogen FHJ, Putte

LBA. Treatment of systemic sclerosis Curr Op

Rheumatol 1994;6(6);637 -41. Kahaleh MB. Raynaud's phenomenon and vascular scleroderma. Curr Op Rheumatol 1994;6(6);621-7. LeRoy EC, Silver RM. Systemic sclerosis and related syndrome: epidemiology, pathology and phatogenesis. In: Schumacher HR,

Klippel JH, Koopman WJ (eds). Primer on the Rheumatic Diseases. 10 th ed. Asrthritis Foundation, Atlanta, Gerogagia 1993:118-20. Medsger TA, Steen V Systemic sclerosis and related syndromes:

clinical features and treatnent, In: Schumacher HR, Klippel JH,

antigens

in systemic sclerosis. Rheum Dis Clin A

Am

1

London 1994:8.1-14. Silman AJ, Newman J. Genetic and enviromental factors in scleroderma. Curr Op Rheumatol 1994;6(6):607-11. Smith EA, LeRoy EC. Systemic sclerosis: etiology and phatogenesis. In; Klippel JH, Dieppe P (eds). Rheumatology. lst. Mosby-Year Book Europe Limited, London 1994:9.1-10. Steen VD. Systemic sclerosis: management. In; Klippel JH, Dieppe P (eds). Rheumatology. 1st. Mosby-Year Book Europe Limited, London 1994:10 1-8. White B. Immunologic aspect of scleroderma. Curr Op Rheumatol 1994;6(6);612-5 Wigley FM Clinical aspects of systemic and localized scleroderma. Curr Op Rheumatol 1994;6(6);628-36. .

405 MIOLOGI Bambang Setiyohadi

OTOT SKELET Otot skelet merupakan organ kontraktil yang berfungsi untuk pergerakan.

S

ebagian besar otot skelet berhubungan

dengan tulang melalui tendon. Otot skelet terdiri dari sel-sel otot yang berbentuk serabut (/iber) dengan struktur tertentu. Kumpulan serabut otot disebut fasikula (/ascicle), dan setiap serabut di dalam fasikula dipersarafi oleh neuron motor yar,g berbeda. Secara fungsional serabut otot dikelompokkan kedalamunit motor yangterdiri dari

lower motor neuron yang berasal dai kornu anterior medula spinalis dan serabut otot yang dipersarafinya. Semua serabut otot dalam unit motor adalah dari jenis yang sama.

Berdasarkan metabolisme dan responsnya terhadap rangsangan, serabut otot dapat dibedakan atas 3 jenis,

yaitu: Serabut otot tipe 1, disebut juga slow ttvitch oxydative fibers (SO);memiliki respons terhadap rangsang listrik lebih

Iambat, intensitas kontraksi moderat dan tahan-lelah terhadap rangsangan berulang. Serabut tipe I ini memiliki sejumlah besar mitokondria dan banyak mengandung lemak

Serabut tipe 2b, disebut juga/ast twitch glycolyticfibers (FG); mempunyai respons terhadap rangsang listrik lebih cepat dengan intensitas kontraksi yang kuat, tetapi cepat lelah. Dalam serabut ini banyak terdapat miofosforilase dan mioadenilat deaminase serta glikogen.

Serabut tipe 2a, disebut |uga fast twitch oxydativeglycolyticfibers (FOG), merupakan jenis antara serabut tipe 1 dan tipe 2a. Karakteristik setiap serabut otot biasanya terjadi dalam masa pertumbuhan dan selanjutnya dipelihara melalui

interaksi altara neuron motor dengan otot yang

dipersarafinya. Distribusi dan spesifisitas serabut otot dapat dipengaruhi oleh reinervasi, latihan fisik dan proses penyakit. Setiap serabut otot terdiri dari sel multinuklear yang dikelilingi oleh membran plasma yang disebut sarkolema. Serabut otot mengandung protein kontraktil yang disebut miofilamen yang terdiri dari aktin, miosin, troponin dan tropomiosin. Miofilamen terendam dalam sitoplasma yang disebut sarkoplasma, terdapat di antara serabut otot dan dikelilingi oleh retikulum sarkoplasmik. Komunikasi antara sarkolema dan retikulum sarkoplasmik dijalankan melalui suatu lubang dan saluran yang disebut

sistem t-tubule. Pada kontraksi otot, terjadi pemendekan miofilamen yang terdapat di antara serabut otot. Kontraksi timbul akibat rangsang listrik, kimiawi maupun fisik yang mengawali timbulnya transmisi aksi potensial di sepanjang sarkolema melalui sistem t-tubule ke retikulum endoplasmik

sehingga kalsium dilepaskan ke dalam sarkoplasma.

Apabila konsentrasi kalsium dalam sarkoplasma meningkat, aktin akan dilepaskan dari hambatan sehingga terjadi ikatan silang aktin-miosin yang mengakibatkan pemendekan miofilamen. Pemendekan berlangsung terus sampai kalsium dipompakan kembali secara aktif ke

retikulum sarkoplasmik, memutuskan ikatan silang aktin-miosin dan terjadilah relaksasi. Baik kontraksi maupun relaksasi otot, merupakan proses aktif yang membutuhkan kadar elektrolit dan adenosin

trifosfat (ATP) yang normal. Natrium (Na), kalium (K), kalsium (Ca) dan magnesium(Mg) sangat berperan pada fungsi AIPase agar dapat bekerja efektif bagi kontraksi dan relaksasi serabut otot. Na agar K berperan menjaga polaritas sarkolema, sedangkan AIPase yang berfungsi mengatur ikatan silang aktin-miosin sangat tergantung pada Mg. ATPase yang tergantung Ca berfrrngsi memompa Ca dari sarkoplasma ke retikulum sarkoplasmik sehingga memungkinkan terjadinya relaksasi otot. Fosfor (P) juga

629

2630

REUMIffOI.OGI

merupakan ion yang penting karena bagi kontraksi otot karena berperan dalam pembentukan energi yang terikat

Pemeriksaan Tambahan Kadar SGOT, SGPT, kreatin fosfokinase (CPK),

dalamAIP.

aldolase akan meningkat; demikian juga laju endap darah (LED) dan C-reactive protein (CRP). Di dalam urin juga

POLtMTOSITIS DAN DERMATOMIOSITIS (pM/DM)

kreatin. Beberapa autoantibodi memiliki spesifisitas dan hubungan yang tinggi dengan miositis (Tabel I dan2)

dan

akan didapatkan peningkatan kadar mioglobulin dan

Polimiositis (PM) adalah peradangan difus nonsupuratif otot skelet yang menyebabkan kelemahan simetrik disertai

atrofi otot, terutama mengenai otot-otot proksimal gelang bahu, panggul, leher dan faring. Bila miositis ini diserlai kelainan kulit yang khas, maka disebut dermatomiositis @M). Penyakit ini relatifjarang ditemukan dengan insiden tahunan 2-10 kasus/l juta penduduk, terbanyak pada usia 40-50 tahun dengan frekuensi wanita 2-3 kali dibandingkan laki-laki.

Gambaran Klinik

Autoantibodi

Antigen

Anti-Jo-'l HistidiltRNA-sintetase Anti-PL-7 Treonil{RNA-sinetase Anti-EJ Glisil-tRNA-sintetase

Anti-PL-12 Alanil-tRNA-sintetase

Anti-OJ Anti-KS |.ti-P_Rl Anti-Mi-2

mengangkat kepala, berjalan lurus dan sebagainya. Kesulitan menelan menyebabkan ancaman aspirasi yang dapat mengancam jiwa. Pada kasus berat semua otot skelet dapat terkena, sehingga pasien terpaksa tinggal di tempat tidur karena tak dapat bergerak. Nyeri otot

hanya ditemukan pada sebagian kecil

kasus.

Otot dapat membengkak, keras dan kaku. Sehubungan dengan itu perlu dilakukan penilaian kekuatan otot-otot untuk diagnosis dan penatalaksanaan selanjutnya. Refleks tendon pada umumnya menurun. Gejala sistemik dapat berupa badan lemah, demam, malaise, anoreksia dan berat badan menurun. Pada kulit akan tampakruam heliotrop,yaiitruam ungu kemerahan agak bersisik yang dapat ditemukan di daerah periorbital, malar, dahi dan lipatan nasolabial. Selain itu juga dapat ditemukan papul Gottron, yaifi papul-papul ungu kemerahan pada interfalang jari-jari. Di daerah dada

Autoantibodi

Miositis (pM>DM) dengan artritis, demam, pneumonitis intersisial, fenomena Raynaud, mechanic,s hands, respons buruk terhadap terapi.

lsoleusil{RNA-sintetase Asparaginil-tRNA-sintetase Signal recognition Protein

particb helikase

Manifestasi klinik yang utama adalah kelemahan otot yang dapat mengenai sebagian atau semua otot skelet; timbul akut atau subakut. Paling sering mengenai otot proksimal

gelang bahu dan gelang panggul; kadang-kadang dapat juga mengenai otot lain, sehingga menimbulkan kesulitan

Gambaran klinik

Antisintetase Aminoasil{RNA-sintetase

Antigen

N4iositis,kardiomiopat, resisten terhadap terapi DM, respons terapi baik

Gambaran klinik

Anti-PM-Scl

Tak diketahui

Miositis, Skleroderma,

Anti-Ku

DNA-binding proteins

Artritis Overlap miositis-

Anti-KJ

Unidentified tran slation factor

Anti-Fer

Elongation factor 1,

Anti-N,4J

Anti-MAS

Tak diketahui tRNA"u' antigen related

Anti-U1RNP

U1 small nuclear RNP

Anti-snRNP's

U2-U6 small nuclear

Anti-Ro/SSA

RNP'S Protein RNA

skleroderma-SLE Pl\,4, pneumonitis interstitial, fenomena Raynaud Miositis DM Juvenil Miositis, hepatitis, rabdomiolisis alkoholik MCTD (Mixed Conective Ilssue Disease) Overlap Pl\r-Skleroderma Miositis dengan sindrom Sjogren atau SLE

Pada elektromiografi didapatkan fibrilasi spontan dan

potensial polifasik serta berjangka pendek yang

dan leher dapat ditemukan ruam kemerahan yang berkonfluens yang disebut V-sign rash; sedatgkan di daerah bahu dan proksimal lengan dapat ditemukan

menunjukkan adany a aktifasi insersional. Pada pemeriksaan radiologik didapatk an kals ffikas i subkutan, terutama pada DM juvenil yang dapat sangat

ruam kemerahan yang disebut Shawl-sign raslr. pada kuku

ekstensif.

dapat ditemukan eritema periungual, pertumbuhan kutikular dan dilatasi lengkung kapiler. Kadang-kadang j

uga dapat ditemukan fen

om en

a Ray n aud.

Pada sendi dapat ditemukan sinovitis subakut yang mungkin menyerupai gambaran artritis reumatoid.

Pada paru dapat ditemukan fibrosis paru dan pneumonia interstitialis, sedangkan pada saluran cema

dapat ditemukan disfagia dan enterovaskulitis, terutama pada anak-anak.

Pada pemeriksaan histopatologik akan tampak gambaran nekrosis fokal serabut otot dengan garis-garis serat lintang otot menghilang disertai inti sarkolemayalg

lebih gelap. Jaringan nekrosis diinfiltrasi dan mungkin difagositosis oleh sel-sel radang akut dan kronik. Juga tampak infiltrasi sel-sel radang ke daerah perivaskular; kadang-kadang tampak gambaran vaskulitis. Sel-se1 limfosit tampak menginfiltrasi secara difus ke daerah-daerah

di antara serabut-serabut otot.

2631

MIOI]OGI

Diagnosis dan Klasifikasi Diagnosis PM/DM pada hakekatnya merupakan diagnosis klinis, yang didasarkan adanya kelemahan otot skelet proksimal yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium yang sesuai (lihat Tabel 3). Lesi kulit yang klasik pada DM merupakan gejala klinik yang spesihk. Biopsi yang diambil dari otot yang terkena secara klinik, penting untuk memastikan diagnosis.

melakukan latihan aktif, baik latihan isometrik maupun isotonik. Peran fisioterapis sangat penting, tidak hanya untuk membantu melakukan tes kekuatan otot, tetapi juga dalam membuat perencanaan program latihan untuk penguatan otot. Latihan-latihan ini sangat penting untuk mencegah atrofi otot dan kontraktur.

Penatalaksanaan Farmakologik Kofiikosteroid merupakan obat lini pertama untuk PM/ DM dengan dosis 60 mgAari sampai 2 mg,4
. .

. . .

Kelemahan simetrik otot gelang bahu dan panggul dan otot fleksor anterior leher yang progresif berminggu-minggu sampai berbulan-bulan dengan atau tanpa disfagia atau keterlibatan otot pernafasan, Gambaran histologik otot skeletal menunjukkan tanda{anda dan 2, fagositosis, nekrosis pada serabut otot tipe regenerasi dengan basofilia, inti sarkolema yang besar dengan anak inti yang prominen, atrofi perifasikular, ukuran serabut otot yang bervariasi dan eksudat inflamatorik'

1

Peningkatan kadar enzim otot skelet dalam serum (CK, Aldolase, SGOT, SGPT dan LDH) Gambaran elektromiografik menunjukkan triad unit motor yang pendek, kecil dan polifasik; fibrilasi, gelombang positif dan iritabilitas insersional; dan bizare high-frequency discharges,

Gambaran dermatologik yang spesifik yang meliputi

diskolorisasi heliotrop pada kelopak mata disertai edema periorbital; dermatitis eritematoskuamosa pada dorsum manus, terutama pada derah MCP dan PIP (Goftron's sign); dan keterlibatan lutut, siku, maleolus medial, muka leher dan badan bagian atas

Bohan dan Peter membagi PM/DM kedalam 5 kelompof,

yaitu : . Polimiosistisidiopatik . Dermatomiositisidopatik . DM atau PM yang berhubungan dengan keganasan . DM Juvenil . PM/DM yang berhubungan dengan penyakit kolagen vaskulaf lainnya Terdapat hubungan yang bermakna ar.tata PM/DM dengan keganasan, yaitu sekitar I 0% pada pasien PM dewasa

dan l5o/o pada pasien DM dewasa; yang biasanya timbul dalam l-2 tahun pertama. Berbagai keganasan yang sering dilaporkan berhubungan dengan PMDM adalah keganasan paru, lambung, ovarium, pa)'udara, pankreas dan limfoma Hodgkin. Oleh sebab itu, pada setiap pasien PM,DM harus dievaluasi terhadap kemungkinan hubungannya dengan keganasan, yaitu dengan melakukan pemeriksaan klinis yang teliti, darah samar dalam feses, foto paru-paru, mamografi dan tes laboratorium, termasuk petanda kanker.

Penatalaksanaan Non-farmakologik Pada fase akut, pasien dianjurkan untuk istirahat tirah baring. Gerakan pasif harus dilakukan selama masa akut untuk mencegah kontraktur. Kontraktur sering terjadi pada DM juvenil. Setelah fase akut teratasi, pasien harus

pengobatan atau bertahap dalam waktu 3-6 bulan. Evaluasi

kekuatan otot dan kadar CPK harus dilakukan setiap 3 minggu sekali. Pada minggu ke-6, keputusan dosis steroid harus ditentukan. Bila keadaan pasien membaik, maka dosis awal steroid dipertahankan sampai kekuatan otot dan kadar

CPK kembali normal. Dosis tersebut masih harus dipertahankan sampai 4-8 minggu kemudian, baru diturunkan secara perlahan, yaitu l0 mg/hari setiap bulan' Setelah dosis prednison mencapai 10 mg,4rari selama I bulan, dosis diturunkan lagi menjadi 5 mg/hari dan dipertahankan sampai I tahun. Bila selama penumnan

dosis steroid tinmbul kekambuhan, maka dosis steroid dinaikkan lagi ke dosis sebelumnya. Bila pada minggu ke-6 setelah steroid diberikan tidak menunjukkan perbaikan yang diharapkan, maka dapat ditambahkan azatioprin dengan dosis 2-3 mg,&gBB, dimulai dengan dosis 50 mg, I kali,Arari. Bila setelah 3 minggu tidak ada perbaikan, dosis azatioprin dinaikkan menjadi 1 00 mg/ hari dan dapat dinaikkan lagi sampai tercapai dosis maks imal 1 5 0 m g,&rari. S elama p emb eian azatiopin, harus hati-hati terhadap kemungkinan efek samping penekanan sumsum tulang dan gangguan fungsi hati. Metotreksat juga dapat diberikan pada PM/DM baik pada dewasa maupun anak-anak, dengan dosis awal 7,5 mg/minggu dan dapat dinaikkan sampai 15 mg/minggu bila setelah 4-6 minggu tidak didapatkan perbaikan yang diharapkan. Siklofosfamid dan sklosporin-A j arang diberikan pada PM,DM walaupun mungkin dapat memberikan efek yang baik. Siklosporin-A memberikan hasil yang baik pada miositis dengan anti-Jo-1 positif dan polimiositis refrakter. Dosis siklosporin-A untuk miositis adalah 2,5-5 mg,&gBB/ hari. Selama pemberian siklosporin-A, tekanan darah dan fungsi ginjal harus dimonitor secara ketat. Bila tekanan darah dan kadar kreatinin meningkat 20% sejak awal pemberian, maka dosis siklosporin-A harus diturunkan. Lesi kulit pada DM memberikan respons yang baik dengan pemberian hidroksiklorokuin 200 mg,/hari' Terapi

ini juga efektif untuk mengatasi DM yang berhubungan dengan keganasan. Walaupun demikian, hidroksiklorokuin

tidak berefek terhadap miositisnya.

Prognosis Harapan hidup 5 tahun pasien PM/DM cukup baik' dapat

2632

RELJM/TfiOLOGI

mencapai 85%; sedangkan pada pasien PM/DM yang

simetris. Tungkai lebih sering terserang dibandingkan

berhubungan debngan keganasan sangat tergantung pada prognosis keganasannya. Harapan hidup 5 tahun pasien

lengan, terutama otot-otot paha anterior dengan atrofi otot yang prominen.

yang memiliki antibodi anti-Mi-2 positif lebih baik lagi, dapat mencap ai 9 0o . Pro gnosi s terburuk didapatkan pada pasien yang memiliki antibodi anti-SI{P, dimana harapan hidup 5 tahunnya hanya 30oh.

perifer dengan kehilangan refleks tendon dalam. Gambaran EMG juga menunjukkan gambaran miopati dan neuropati.

MloslTIs BADAN |NKLUS! (rirCrUSrON BODY MYOS'I'S, IBM)

jantung dan sendijarang ditemukanpadapasien IBM. ANA di dalam serum dapat positii tetapi autoantibodi yang spesifik terhadap miositis tidak pernah didapatkan. Biopsi otot menunjukkan gambaran fokus sel-sel radang kronik tanpa atrofi perifasikular. Inhltrat inflamasi terutama terdiri dari sel T CD 8*. Gambaran histopatlogik yang khas adalah

Miositis Badan Inklusi (IBM) adalah radang otot idopatik

Beberapa pasien menunjukkan gambaran neuropati

Keterlibatan organ ekstramuskular seperti paru,

yang terutama menyerang lakiJaki kulit putih yang berumur di atas 50 tahun. Mula timbulnya lebih lambat dan dapat

apabila ditemukan red-rimmed vacuoles yang berisi

menyerang baik otot proksimal maupun otot distal. Kelemahan otot biasanya bilateral, tapi seringkali tidak

IBM menunjukkan respons terapi yang buruk, baik terhadap kortikosteroid maupun imunosupresif.

B-amiloid.

Penyakit akan progresif secara lambat sehingga pasien membutuhkan perawatan pendukung.

Demografik

Laki-laki > Perempuan Umur > 50 tahun

Keterlibatan otot

Proksimal dan distal Asimetris Neuropati

Perempuan > Laki-laki Semua umur, terutama 40-50 tahun Proksimal Simetris Paru, jantung, sendi

Kadang-kadang positif Tidak ada

Seringkali positif Ada

Miopatik dan Neuropatik Infiltrat sel T CD 8. Red-rimmed vacuoles yang berisi p-amiloid Buruk

Miopatik

Keterlibatan organ ekstramuskular ANA Antibodi spesifik miositis EIVG

Biopsi otot

Respons terapi imunosupresif

lnfiltrat sel T CD 8.

Seringkali baik

DERMATOMIOSITIS JUVENIL Gambaran DM juvenil menunjukkan pola yang khas walaupun kadang-kadang gambarannya mirip PM pada

dewasa. Perbedaan yang menyolok adalah adafiya vaskulitis, kalsinosis ektopik, lipodistrofi dan kelemahan otot yang dominan. Kelainan kulit dan kelemahan otot selalu ditemukan pada DM juvenil walaupun beratringannya dan progresifitasnya dapat bervariasi antara satu pasien dengan pasien lainnya. Pada beberapa kasus, remisi sempurna dapat tercapai walaupun tanpa terapi, tetapi pasien dengan vaskulitis menunjukkan prognosis

yang buruk. Enterovaskulitis seringkali berakibat Kriteria patologik Mikroskop elektron Filamen mikrotubular didalam inklusi Mikroskop cahaya . Lined vacuoles . lnklusi intranuklear atau intrasitoplasmik atau keduanya

Kriteria klinik

. . . . .

Kelemahan otot proksimal (insidious) Kelemahan otot distal EMG menunjukkan gambaran miopati umum Peningkatan kadar enzim otot (CPK, atau aldolase atau keduanya) Respons buruk kortikosteroid dosis tinggi (prednison 40-60 mg/hari selama 3-4 bulan) terhadap kelemahan otot

Definite IBM = kriteria patologik mikroskop elektron 1 dan kriteria klinik 1 plus satu kriteria klinik lain; Probable IBM = kriteria patologik mikroskop cahaya 1 dan kriteria klinik '1 plus 3 kriteria klinik lain; Possible IBM = kriteria patologik mikroskop cahaya 2 plus 3 kriteria klinik apapun.

perdarahan atau perforasi usus. Klasifikasi ektopik seringkali terjadi di subkutan atau di otot. Gambaran histopatologik DM juvenil tidak berbeda dengan yang ditemukan pada dewasa, walaupun atrofi perifasikuler lebih prevalen. Selain itu juga didapatkan hiperplasia endotelial dengan deposisi IgG, IgM dan komplemen yang prominen di dalam dinding pembuluh darah.

MIOPATI METABOLIK

Miopati metabolik merupakan sekelompok kelainan yang heterogen akibat metabolisme energi di otot yang abnormal sehingga menyebabkan disfungsi otot skeletal. Kelainan ini dapat bersifat primer bila disebabkan oleh defek biokimia yang mengganggu kemampuan otot ontuk mempertahankan kadarAlP; dan sekunder bila disebabkan oleh kelainan endokrin, misalnya kelainan tiroid, adrenal atau gangguan elektrolit.

2633

MIOIOGI

Gangguan Metabolisme Glikogen Defisiensi miofosforilase (McArdle

e),merupakan satu dari sembilan gangguan metabolisme glikogen yang b dis eas

berhubungan dengan gangguan sintesis glikogen, glikogenolisis atau glikolisis. Kelainan ini seringkali disebut glycogen storage dis eas e yangakan menyebabkan deposisi

dan akumulasi glikogen

di otot skeletal' Glikogen

merupakan cadangan karbohidrat yang terbesar didalam tubuh dan merupakan sumber AIP terbesar untuk aktivitas fisik yang singkat dengan intensitas yang tinggi atau dalam keadaan anaerob. Glikogen akan diubah menjadi glukosa6-fosfat melalui glikogenolisis yang diawali oleh enzim miofosforilase. Kemudian glukosa dan glukosa-6-fosfat akan dimetabolisme melalui serangkaian reaksi jalan glikolisis menjadi piruvat. Dalam keadaan aerob, piruvat akan masuk kedalam siklus Krebs dan dimetabolisme menjadi air dan COr. Padakeadaan aerob, 1 molekul glukosa akan menghasilkan 38 molekul AIP. Pada keadan anerob,

piruvat tidak memasuki sklus Krebs dan dimetabolisme menjadi laktat dan hanya dihasilkan 2 molekul

AlP dari

setiap molekul glukosa. Glikogenolisis aerob dapat menghasilkan energi untuk kegiatan otot selama 90 menit, sementara glikogenolisis anaerob hanya dapat memberikan energi untuk kegiatan otot selama beberapa menit saja.

Manifestasi ktinik yang khas dari glycogen storage disease adalah intoleransi terhadap latihan yang akan

menyebabkan timbulnya nyeri, fatigue, kekakuan, kelemahan dan kejang otot. Biasanya pasien menunjukkan

tanpa gejala pada waktu istirahat dan dapat berfungsi normal pada aktivitas tingkat rendah. Gejala akan muncul bila pasien melalrukan kegiatan yang cepat dan memiliki intensitas yang tinggi. Bila muncul gejala, pasien harus beristirahat dan biasanya kegiatan dapat dilakukan lagi setelah istirahat. Walaupun gejala muncul sejak masa anak-

. . . .

Ambil darah vena tanpa pembendungan

(tourniquet) untuk memeriksa kadar laktat dan amonia dasar, Pasang tensimeter pada lengan atas dan pompa balonnya sampai 20-30 mmHg di atas tekanan sistolik' Penderita harus melakukan latihan tangan dengan cara mengepalkan tangan berulang kali sampai lelah atau

minimum 2 menit dalam keadaan balon tensimeter terpasang dan bertekanan, Tekanan balon tensimeter dilepas, dan 2 menit kemudian diambil lagi darah untuk pemeriksaan laktat dan amonia.

Dalam keadaan normal, baik kadar lakiat maupun amonia setelah latihan tangan. Positif 3

akan meningkat

palsu

biasanya Hasil

mencukupi.

n oleh

latihan yang tidak harus dikonfirmasi dengan

pemeriksaan enzim otot

melalui pelepasan sitokrom-c dan homeostasis ion Ca. Mitokondria memiliki 2 membran, y aitu membr an luar dan membran dalam. Ruang di antara membran luar dan membran dalam disebut ruang antar membran. Membran bagian dalam berlipat-lipat mengelilingi ruang matriks yang disebut krista. Adanya krista membuat permukaannya menjadi luas dan meningkatkan kemampuannya dalam

memproduksi ATP. Membran luar mitokondria mengandung sejumlah protein yang disebut porin yang berperan membentuk pori-pori kecil yang memungkinkan molekul-molekul berukuran f, 5kDa lolos dan masuk ke dalam ruang antar membran. Sebaliknya membran dalam bersifat impermeabel, sehingga molekul-molekul tersebut

tidak dapat masuk ke dalam matriks mitokondria. Kandungan protein membran dalam mitokondria sangat tinggi, sekitar 2l%o total protein mitokondria, sedangkan kandungan rotein membran luar hanya 60/o. Berdasarkan fungsinya, protein membran dalam mitokondria dalapat dibagi dalam 3 kelompok, yaifi enzim dan futmponen rantai

anak, biasanya rabdomiolisis dan mioglobulinuria akibat latihan yang diikuti gagal ginjal baru muncul setelah remaja

pernafasan, pengemban spesifik yang mengatur

atau dewasa. Kadang-kadang pasien menunjukkan

melalui membran dalam; dan ATP sintase yang berperan pada produksi ATP di dalam matriks mitokondria. Rantai respirasi terdiri dari 4 kompleks multipeptida dan 2 pengangkut elektron yang bebas bergerak ,yaifi ubikuinon (Koenzim Q, Co) dan sitokrom c. Keempat kompleks

kelemahan otot proksimal disertai peningkatan CPK dan gambaran EMG miopatik, sehingga sulit dibedakan dengan

polimiositis. Diagnosis glycogen storage disease ditegakkan bila didapatkan gejala klinik yang khas dan biopsi otot. Selain itu juga dapat dilakukanforearm ischemic exercise test (Tabel6)

Miopati Mitokondria Mitokondria merupakan organel penghasil energi secara biokimiawi dalam bentuk ATP melalui/o sforilasi oksidatif yang sangat efisien, dimanapada orang dewasa, dihasilkan 1

kgATP/kgBB/hari. Didalam mitokondria terjadi perubahan

asam piruvat menjadi asetil-KoA, daur asam sitrat,

rantai pernafasan, penghancuran asam lemak melalui oksidasi-p, dan sebagian daur urea. Selain itu, mitokondria

juga berperan pada apoptosis sel yang bersangkutan

transport metabolit keluar masuk matriks mitokondria

enzim rantai pernafasan adalah Komplehs I (NADH-ubikuinon oksidoreduktase) ; Kompleks II (suksinat-ubikuinon reduktase); Kompleks III (ubikuinol-sitokrom c oksidoreduktase); dan Kompleks

IV (sitokrom oksidase). Kompleks enzim rantai pernafasan bersama dengan pengangkut elektron dan AIP sintase bersama-sama menyusun s is tem fo sforil as i oks idatif. Bahan makanan (karbohidrat, lemak, protein) akan diuraikan melalui asetil-KoA untuk menghasilkan molekul berenergi tinggi NADH dan suksinat. Keduanya akan mengalami serangkaian reaksi oksidasi dan melepaskan energi yang akan dimanfaatkan oleh AIP sintase utntuk membentuk 1 molekul AIP dari 1 molekul ADP dan fosfat

2634

REI.JMAIOI.OGI

inorganik. Oksidasi tiap molekul NADH akan menghasil 3 molekul AIP, sedangkan oksidasi tiap molekul suksinat hanya akan menghasilkan 2 molekulAIP

Kelainan pada mitokondria akan mempengaruhi biosintesis enzim yang dibutuhkan untuk fosforilasi oksidatif sehingga cadangan AIP menurun, peningkatan radikal bebas dan induksi apoptosis. Sebagian besar

sindrom klinik akibat kelainan mitokondria akan menyebabkan miopati, kardiomiopati dan ensefalopati karenajaringan-jaringan tersebut membutuhkanAfP yang tinggi Defisiensi karnitin palmitiltransferase. Kelainan ini menyebabkan gangguan tamsport dan metabolisme asam lemak sebagai sumber energi di mitokondri a.Enzim karnitin palmitiltranferase (CPT) sangat penting peranannya pada transport asam lemak rantai panjang kedalam mitokondria. Defisiensi CPT merupakan kelainan autosom resesif yang

dapat menyebabkan mialgia dan mioglobulinuria yang biasanya berhubungan dengan aktivitas fisik yang berat, tetapi dapatjuga timbul akibat puasa, infeksi atau paparan

Otot-otot bulbar, respirasi dan esofagus sering terserang sehingga menyebabkan disfagia, disfonia bahkan aspirasi. Pada oftalmopati Grave juga didapatkan miopati okuler

yang progresif. Tirotoksikosis juga seringkali

menimbulkan paralisis periodik seperti pada keadaat hipokalemia.Keadaan ini berhubungan dengan perubahan elektrolit didalam serum maupun urin sebagai respons terhadap glukosa, insulin, potasium dan istirahat pasca latihan.

Miopati Steroid Keadaan yang berhubungan dengan kelebihan glukokorlikoid dapat terjadi baik akibat Sindrom Cushing atau pemberian

glukokortikoid kronik dari luar. Pemberian

steroid dosis tinggi > 30 mg/hari sering berhubungan dengan kelemahan otot proksimal bahkan miopati quad-

riplegia akut. Miopati lebih sering terjadi pada penggunaan glukokortikoid yang mengandung fluor, seperti deksametason, betametason dan triamsinolon. Penghentian steroid, biasanya akan memperbaiki

dingin. Kadar CPK serum, EMG dan biopsi otot

miopatinya, tetapi pada keadaan miopati quadriplegia akut,

biasanya normal, kecuali pada episoda rabdomiolisis. Diagnosis ditegakkan dengan memeriksa aktivitas enzim CPT di otot.

perbaikan akan memakan waktu lebih lama dan membufuhkan perawatan pendukung.

Defisiensi karnitin. Kamitin merupakan pembawa asam

MiopatiAkibat Obat Penurun Lipid

lemak rantai panjang ke dalam mitokondria dimana oksidasi beta berlangsung. Defisiensi kamitin menyebabkan deposisi

Semua kelas obat penurun lipid, baik fibrat, statin maupun

lemak di dalam otot skelet. Defisiensi kamitin primer dapat dibagi atas tipe sistemik dan tipe otot. Pasien dengan defisiensi kamitin otot akan menunjukkan gejala kelemahan

otot pada masa anak akhir, remaja atau dewasa awal.

niasin, seringkali berhubungan dengan toksisitas pada otot. Mialgia, malaise dan kekakuan otot merupakan keluhan yang sering ditemukan. Nyeri otot sering didapatkan setelah latihan. Nekrosis otot sampai

Kelemahan otot terutama menyerang otot proksimal diikuti otot fasial dan faringeal. Defisiensi kar:nitin otot seringkali juga diikuti peningkatan CPK dan EMG miopatik sehingga sulit dibedakan dengan polimiositis. Defisiensi karnitin

rabdomiolisis dan mioglobulinuria sering didapatkan pada keadaan yang berat. Kombinasi statin dengan fibrat dan siklosporin yang menyebabkan reaksi toksik yang lebih berat dibandingkan dengan pemakaian tunggal. Pada keadaan miopati steroid, kadar CPK akan meningkat, EMG

didapat sering didapatkan pada kehamilan, gagal ginjal

menunjukkan gambaran miopati dan pada biopsi otot

terminal dengan hemodialisis lama, sirosis hati tahap akhir, miksedema, insufisiensi adrenal dan terapi valproat atau

didapatkan gambaran nekrosis otot. Keadaan ini menunjukkan bahwa obat harus dihentikan; dan

pivampisilin.

penghentian obat akan memperbaiki miopatinya.

Miopati pada Penyakit Tiroid

Paralisis Periodik

Hormon tiroid berperan mengatur metabolisme berbagai zat, seperti karbohidrat, lipid dan sintesis protein serta enzim. Hormon tiroid juga merangsang kalorigenesis

Paralisis periodik merupakan kelainan yang dapat bersifat bawaan (primer) atau didapat (sekunder akibat penyakit lain). Bentuk yang primer diturunkan secara dominan-

didalam otot, meningkatkan penggunaan vitamin oleh otot dan meningkatkan sensitifitas otot terhadap katekolamin.

Hipotiroidisme.

Pasien

hipotroidisme seringkali mengeluh

kram, nyeri otot, kaku otot bahkan kelemahan otot proksimal. Kadang-kadang didapatkan peningkatan kadar CPKserum.

Hipertiroidisme. Pasien tirotoksikosis seringkali menunjukkan atrofi dan kelemahan otot proksimal.

autosom, tetapi 30oh kasus dapat timbul sporadis. Pada bentuk yang primer, apakah berhubungan dengan hipo atau hiperkalemia, maka kadar K selama serangan selalu normal, sedangkan pada bentuk yang sekunder kadar K dapat tinggi atau rendah. Gambaran klinikumum paralisis periodik pada berbagai tipe adalah sebagai berikut :

.

Seranganparalisis dapatberakhir dari kurang satujam sampai dapat berlangsung dalam beberapa hari,

2635

MIOI.OGI

. .

Kelemahan otot dapat terlokalisir atau umum,

Refleks tendon dalam menurun dan hilang selama serangan, Serabut otot resisten terhadap stimulasi elektrik selama serangan, Serangan dimulai dari otot proksimal dan berkembang

. .

ke otot distal;, Istirahat langsung setelah latihan dapat mencetuskan serangan pada otot yang dilatih, Paparan dingin juga dapat mencetuskan serangan

. . . .

paralisis, Pemulihan sempuma dapat te{ adr pada serangan pertam4 Pada kelainan primer, dapat terjadi kelemahan otot yang perrnanen.

Paralisis periodik primer akibat hipokalemi. Dapat timbul pada dekade pertama atau kedua, meningkat serangannya selama masa dewasa awal dan berkurang atau berhenti pada dekade keempat dan kelima kehidupan. Laki-laki lebih sering terserang daripada wanita. Serangan timbul setelah diet

tinggi karbohidrat atau natrium atau setelah istirahat langsung pasca latihan. Oleh sebab itu dianjurkan menurunkan derajat latihan secara bertahap. Diagnosis ditegakkan bila didapatkan hipokalemia dan dapat disingkirkan berbagai penyebab sekunder. Penatalaksanaan. Pemberian KCI oral 0,2-0,4 mMoL/kgBB harus diberikan setiap 30 menit. Selama pemberian KCl,

kekuatan otot dan EKG harus dimonitor terus. Hindari pemberian KCI bersama glukosa atau NaCl karena akan memperburuk hipokalemi. Bila diperlukan KCI intravena, larutkan KCI dalam manitol. Pasien juga harus diberikan diet rendah karbohidrat dan rendah Natrium serta menghindari latihan dan kegiatan fisik yang berlebihan. Untuk mecegah serangan berikutnya, dapat diberikan

asetazolamid 125-1000 mg/hari dalam dosis terbagi sehingga terjadi asidosis metabolik yang akan mencegah inaktifasi sodium channel. Bila setelah pemberian asetazolamid serangan masih timbul, maka harus ditambahkan KCI peroral. Pada paralisis periodik akibat tirotoksikosis, asetazolamid ternyata tidak efektif mencegah serangan. Pada keadaan ini harus diberikan terapi antitiroid, suplementasi KCI dan diet rendah karbohidrat dan rendah Natrium.

ekskresinya dalam jumlah kecil akibat nekrosis otot tidak akan merubah wama urin. Oleh sebab ifu perubahan warna urin akibat mioglobin menunjukkan destmksi otot yang masif dan akut (rabdomiolisis) dan dapat menyebabkan kerusakan ginjal. Pigmen tersebut harus dibedakan dari

hemoglobin dan pofirin. Bila tidak ada hemoglobulinemia dan hematuria,makates benzidin yang positif dalam urin sangat kuat menunjukkan adany a mioglobinuria. Secara klinik, mioglobinuria akan disertai gejala nyeri otot, pembengkakan dan kelemahan otot. Selain itu fosfat, K, kreatin dan enzim otot akan dilepaskan kedalam sirkulasi. Didalam urin akan didapatkan proteinuria dan hematuria.

Fungsi ginjal akan memburuk yar,g akan' diikuti oleh hiperfosfatemia, hipokalsiuria, tetani dan hiperkalemia yang berat. Serangan akut dapat diatasi dengan istirahat, hidrasi dan diuretik, alkalinisasi urin dengan bikarbonat dan terapi terhadap insufi siensi ginj al.

DISTROFIOTOT Distrofi otot adalah miopati bawaan dengan etiologi yang tidak diketahui dan berhubungan dengan kelemahan otot yang progresif, destruksi dan regenerasi serabut otot dimana serabut otot diganti dengan jaringan ikat dan jaringan lemak. Klasifikasi Distrofr Otot ditunjukkanpada TabelT.

Distrofi Duchene. Merupakan kelainan yang bersifat terangkai-X, sehingga terjadi defrsiendi distrofin, yaitu protein membran miosit. Secara klinik akan terjadi inabilitas berjalan pada umur 11 tahun dengan hipertrofi otot betis. Enzim CK akan meningkat dengan gambaran EMG miopatik dan histopatologi otot menunjukkan perlemakan otot dan inflamasi. Kematian dapat te{adi pada umur 20 tahun akibat gagal nafas.

Distrofi Becker. Juga bersifat terangkai-X,

dengan

gambaran klinik seperti distroh Duchene, tetapi lebih ringan,

Distrofi otot yang bersifat terangkai-X resesif Distrofi Duchene Distrofi Becker

Distrofi Emery-Dreifuss dengan kontraktur sendi

dan

paralisis atrial

Distrofi Otot yang bersifat autosom-resesif

MIOGLOBINURIA Mioglobulinuria adalah keadaan klinik yang ditandai oleh

warna urin yang kecoklatan oleh mioglobin dan metmioglobin. Keadaan ini berhubungan dengan kelainan metabolik, infeksi, iskemik atau traumak dan kelainan sekunder akibat miopati lain. Mioglobin merupakan protein dengan BM 17.000 yang biasanya terdapat didalam

I gram/kg. Ambang ekskresi daripada hemoglobin, dan ginjal lebih rendah mioglobin di otot dengan konsentrasi

Distrofi otot pada anak-anak resesif-autos om (l i mb-g i rdle) Distrofi otot skapulohumeral (limb-girdle) Distrofi otot distal resesif-autosom Distrofi otot kongenital Autosomal-recesslve ngtld-sp ine synd rome (?)

Distrofi otot yang bersifat autosom'dominan Distrofi fasioskapulohumeral Distrofi skapuloperoneal domian-autosom Distrofi okulofaringeal Distrofi miotonik Distrofi distal domian-autosom

2636

dan pasien masih dapat berjalan sampai umur 16 tahun, dan kematian terjadi setelah umur 40 tahun.

REI.JM'ffOT.OGI

Distro{i Otot Okulofaringeal. Bersifat autosomal-dominan dan timbul pada dekade kelima sampai keenam dengan gambaran ptosis dan disfagia yang progresif. Kematian biasanya disebabkan starvasi yang berat dan pneumonia

aspirasi. Kelainan

ini harus dibedakan dengan miopati

mitokondral. Gambaran histopatologik menunjukkan filamen fubular intranuklear dengat rimmed vacuolar pada

anterior. Otot tidak mengalami hipertrofi dan jarang didapatkan kontrakh.u sendi. Kelainan ini jarang melibatkan

serabut otot, sedangkan pada miopati mitokondrial didapatkan ragged red fibers.

organ sistemik walaupun sering disertai ketulian saraf dan Coats disease (telengiektasis, eksudasi dan ablasio retina).

Penatalaksanaan

Enzim CPK dapat meningkat sampai 5 kali lipat dan pada biopsi otot didapatkan gambaran inflamasi.

Tidak ada terapi khusus untuk semua jenis distrofia otot. Untuk mencegah kontraktur, dapat dilakukan terapi fisik.

Limb-girclle dystrophy. Merupakan kelainan autosom-

Kadang-kadang dibutuhkan ortosis dan koreksi ortopaedik. Bila terdapat gangguan konduksi jantung, kadang-kadang dibutuhkan alat pacu jantung. Miotoni

dominan yang ditandai oleh kelemahan otot proksimal ekstremitas atas dan bawah yang dimulai pada dekade kedua sampai dekade keempat. Kadang-kadang timbul insufi siensi respiratorik akibat kelemahan otot diafragma dan dapat juga menyebabkan kardiomiopati. Kelainan ini Jarang menyerang otot muka dan sulit dibedakan dari polimiositis.

Distrofia miotonika. Merupakan kelainan yang bersifat

pada distrofia miotonika jarang menimbulkan masalah

klini!

bila diperlukan dapat diberikan fenitoin 0,3-0,6 gram/ hari atau kuinin 0,3- 1 ,5 gramhari.

MIASTENIAGRAVIS

autosomal-dominan yang ditandai oleh kelemahan otot wajah, ptosis, kelemahan otot ekstremitas distal dan

Miastenia gravis adalah kelainan neuromuskular yang

gambaran sistemik yang meliputi botak, katarak, keterlibatan kardiorespiratori dan gastrointestinal, katarak subkapsular,

antibodi terhadap reseptor asetilkolin (AChR) sehingga jumlah AChR di neuromuscular junction berkurang.

atrofi testis dan disfungsi ovarium, gangguan mental dan kelainan tengkorak yang meliputi hiperostosis kranii, sela tursika yang kecil, sinus paranasal yang besar dan prognatisme. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kelambatan relaksasi otot dan kekakuan otot (miotonia). Bila beqabat tangan, maka seringkali timbul ketidakmampuan relaksasi genggaman tangan dan bila otot tenar dipukul dengan palu refleks, maka akantimbul kontraksi miotonik ibujari tangan. Secara histopatologik akan tampak serabut otot yang besar dengan inti di tengah disertai massa sarkoplasmik, ringed myofibers, dan atrofi serabut otot tipe l. Nekrosis serabut otot jarang ditemukan sehingga secara laboratorik juga didapatkan CPKyang normal atau hanya sedikitmeningkat.

Distrofia distal. Ada 2 tipe, yaitu tipe autosomal-domian

ditandai oleh kelemahan otot dan cepat Jelah akib at adanya

Patofisiologi Dalam keadaan normal, di neuromuscular junction, asetilkolin (ACh) disintesis di terminal saraf motorik dan disimpan didalam vesikel-vesikel. Ketika potensial aksi merambat sepanjang saraf motorik dan mencapai terminal saraf tersebut, Ach dari 150-200 vesikel dilepaskan dan melekat pada AChR yang banyak terdapat pada postsynaptic folds membuka berbagai saluran di AChR sehingga

memungkinkan masuknya berbagai kation terutama Na sehingga menimbulkan depolarisasi end plate serabut otot dan yang pada akhirnya menimbulkan kontraksi otot. Proses ini secara cepat berakhir dengan cara hidrolisis

ACh oleh asetilkolinesterase (AChE) yang banyak

dan tipe autos omal-resesif, P ada tipe autosomal-dominan, serangan akan timbul pada dekade keempat sampai keenam dengan kelemahan dan atri pada extensor lengan bawah dan

terdapat pada synaptic folds.

otot infinsik tangan yang kemudian berkembang ke otot tungkai anterior dan otot-otot kecil pada kaki. pada tipe

transmisi neuromuskular menjadi tidak efisien sehingga kontraksi otot melemah.

autosomal-resesif serangan dimulai pada fase anak-anak dan

menyerang otot-otot tungkai sebelum akhirnya juga menyerang otot-otot lengan. Peningkatan CpK hanya didapatkan pada tipe autosomal resesif, sedangkan pada tipe autosomal dominan, CPKbiasanyanormal atau sedikit meningkat. Pemeriksaan EMG menunjukkan gambaran

miopatik, sedangkan gambaran histopatologik tidak menunjukan distlofi yang spesifik.

Pada keadaan miastenia gravis, jumlahAChR menurun dan postsynaptic folds menjadi lebih rata sehingga

Kelainan neuromuskular pada miastenia gravis disebabkan oleh proses autoimun akibat adanya antibodi spesifik terhadap AChR, sehingga jumlah AChR menjadi

turun. Etiopatogenesis proses autoimun pada miastenia gravis, tidak sepenuhnya diketahui, walaupun demikian diduga kelenjar timus turut berperan pada patogenesis miastenia gravis. Sekitar 75oh pasien miastenia gravis menunjukkan timus yang abnormal, 65oh pasien

2637

MPI.GI

menunjukkan hiperplasi timus dan

100/o

berhubungan

yang positif. Antibodi terhadap musc (MuSK) didapatkan pada

dengan timoma.

40olo

pasien den

negatif.

Gambaran Klinik Insiden miastenia gravis mencapai 1 dari 7500 penduduk, menyerang semua kelompok umur, terutama wanita pada dekade kedua dan ketiga atau laki-laki pada dekade kelima dan keenam. Secara keseluruhan wanita lebih banyak diserang daripada laki-laki dengan rasio 3:2. Gambaran klinik yang khas adalah kelemahan otot dan

cepat lelah terutama akibat kegiatan

fisik atau latihan

berulang yang akan membaik dengan istirahat atau tidur' Distribusi kelemahan otot bervariasi. Kelemahan otot okuler terutama pa$ebra dan otot ekstraokuler akan diserang pada awal timbulnya penyakit yang menyebabkan ptosis dan diplopia. Keterlibatan otot muka akan mempersulit pasien bila akan tersenyum atau mengunyah makanan dan bila berbicara terdengar sengau akibat kelemahan otot palatum' Selain itu juga pasien akan kesulitan menelan makanan

sehingga berisiko timbulnya regurgitasi dan aspirasi' Kelemahan otot ekstremitas terutama menyerang otot proksimal dan bersifat asimetri. Bila menyerang otot pernafasan, maka pasien akan membufuhkan alat bantu

Diagno Eaton,

uti sindrommiasteniklambert-

roidisme, botulisme, diplopia external ophthalmopleprogressdive akibat tekanan N II, gla (miopati mitokondrial).

Penatalaksanaan Pemberian antikolinesterase, pitidostigmin bromida (mestinon) 60 mg, 3-5 kali per-hari akan membantu pasien untuk mengunyah, menelan dan beberapa aktivitas seharihari. Pada malam hari, dapat diberikan mestinon long-acting l8O mg.Efek samping muskarinik meliputi diare, kejang otot abdominal, salivasi dan nausea, dapat diatasi dengan atropin 0,4-0,6 mg per-oral diberikan 2-3 kali per-hari' Plasmaferesis dan imunoglobulin intravena (IVIg 400

berikan unutk

mg/kgBB/ha mimperbaiki keadaan kri

eratif atauPada

stenik adalah

eksaserbasi kelemahan otot yang diikuti gagal nafas yang n intensif' mengancam nyawa dan Setain ltulug a

daPat

d, dimulai

nafas yang akan memperburuk keadaan pasien.

Diagnosis Diagnosis Miastenia Gravis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang khas, tes antikolinesterase, EMCI serologi untuk antibodi AChR dan CT-scan atau MRI toraks untuk melihat adanya timoma' Tes antikolinesterase. Unhrk tes ini digunakan edrofonium (tensilon), suatu antikolinesterase kerja pendek, YanB diberikan intravena dalam beberapa detik dan efeknya akan

berakhir dalam beberapa menit. Mula-mula edrofonium diberikan dalam dosis 2 mg intravena selama 15 deti( bila dalam waktu 30 detik tidak terdapat respons, dapat ditambahkan 8-9 mg. Respons yang diharapkan meliputi derajat ptosis, derajat gerak mata dan kekuatan mengggenggam. Efek samping kolinergik yang dapat muncul antara lain fasikulasi,/ushing, lakimasi, kejang otot perut, nausea, vomitus dan diare. Edrofonium harus diberikan secara berhati-hati pada pasien dengan kelainan

jantung karena dapat menyebabkan bradikardi, blok atrioventrikular, bahkan sampai henti jantung' Untuk

siklosporin, mofetil mikofenolat dan siklofosfamid, dapat diberikan bersama glukokortikoid. Timektomi dapat dilakukan dan menghasilkan remisi jangka panjang terutama pada pasien dewasa'

SINDROM MIASTENIK LAMBERT.EATON Merupakan kelainan autoimun didapat akibat adanya autoantibodi yang menyebabkan defisiensi volategesensitive calcium channels pada terminal neuron motor ghambat pengeluaran kalsium ke

ktu saraf tersebut mengalami di atas 40 tahut,TUoh perempuan, berhubungan dengan

depolansasi. Pada pasien yang berusia

tat
3O%o

mengatasi toksisitas edrofonium, dapat digunakan atropin'

keganasan, biasanya karsinoma sel kec

Elektromiografi. Akan tampak gambaran frekuensi yang rendah (2-4 Hz); stimulasi berulang akan menghasilkan

berhubungan dengan autoimturitas, HLA-B8 dan DRw3 dan

penurunan amplitudo dai. evoked motor responses'

demikian, 30oZ kasus bersifat

aut

il t.t.*ut an otot Proksimal

demikian, hasil postif tidak berkorelasi dengan derajat

extremitas dan otot-otot tubuh, terutama otot ekstremitas bawah. Refleks tendon hipoaktif atau negatif' Pada 50o/o

penyakit. Pada umumnya 80o% pasien memrnjukkan hasil positif, sedangkan pasien dengan kelainan mata hanya 50Yo

disfungsi ereksi, penurunan produksi keringat atau

Antibodi AChR. Hasil positif bersifat diagnostik; walaupun

kasus didapatkan gejala otonom meliputi mulut kering'

2638

REUMA*IOLOGI

perubahan refleks pupil.

EMG menunjukkan frekuensi yang rendah; stimulasi berulang pada 2 Hz menghasilkan penurunan amplitudo yang lebihrendah, tetapi stimulasi 10 Hz akanmenghasilkan

amplitudo yang normal. Antikolinesterase hanya sedikit memberikan respons terapi. Pada kasus non-neoplastik, dapat dicoba pemberian prednison dosis rendah atau azatioprin 2 mg/kgBB/hari.

Diagnosis dapat ditegakkan secara klinis, radiologik,

MRI atau biopsi, Setelah diagnosis ditegakkan, tindakan bedah eksploratif harus dilakukan untuk melihat luasnya

kerusakan, membuang jaringan nekrotik, mengurangi tekanan pada daerah yang terinfeksi dan untuk mendapatkan spesimen untuk kulfur dan pewamaan Gram. Pemberian antibiotika yang adekuat secara empirik harus segera dilakukan sambil menunggu hasil kultur dan tes

resistensi.

MIOSITIS INFEKTIF

Miositis infektif dapat disebabkan oleh infeksi virus (influenza, dengue, coxsackie B) atau invasi parasit

REFERENSI

(trikinelosis, sistoserkosis, toksoplasmosis). Gambaran

Brown RH, Mendell JR. Muscular Dystrophy and other Muscle Diseases. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL et al (eds).

klinik yang utama adalah nyeri otot yang hebat, bahkan sampai rabdomiolisis akut, terutama akibat infeksi klostridial dan streptokokal.

Di

daerah tropik, S. Aureus sering menyebabkan piomiositis dengan porte d'entree yatTg tidak jelas; terutama pada pasien dengan gizi buruk. Biasanya infeksi bersifat lokal, tetapi bila kuman menghasilkan toksin dapat menyebabkan sindom syok toksin. Beberapa spesies kostridial (C. perfringens, C. Septicum, C. Hystoliticum), bakteri-bakteri anerob atau

infeksi bakteri campuran, seringkali menyebabkan mionekrosis. Kelainan ini seringkali berhubungan dengan trauma; walaupun demikian, dapat juga timbul spontan, terutama pada pasien dengan neutropenia dan keganasan. Pada50%o kasus, mionekrosis disertai dengan necrolizing

fasciilis.

Harrison's Principles of Intemal Medicine, vol

II, 16s ed. McGraw Hill Medical Publishing Division, New York 2OO5: 252j-39. Dalakas MJ. Polymyositis, Dermatomyositis, and Inciusion Body Myositis. In : Kasper DL, Fauci AS, Longo DL et al (eds). Harrison's Principles of Intemal Medicine, vol II, l6s ed. McGraw Hill Medical Publishing Division, New York 2005: 2540-44.

Drachman DB. Myasthenia Gravis and other Diseases of the Neuromuscular junction. In : Kasper DL, Fauci AS, Longo DL et a1 (eds).

Harrison's Principles of Intemal Medicine, vol II, 16,h Hill Medical Publishing Division, New york 2005:

ed. McGraw

2518-24. Marzuki S, Artika I M, Sudoyo H et al. Eijkman'Lecture Serries I: Mitochondrial Medcine. Lembaga Eijkman, Jakarta 2003: I

-90.

Wortmann RL. Inflammatory Diseases of Muscle and other Myopathies. In: Harris ED, Budd RC, Genovese MC et al (eds) Kelley's Textbook of Rheumatology,2d ed.7,h ed. Elsevier Saunders, Philadelphia 2005:1309-35

406 INFEKSI TULANG DAN SENDI 'Bambang Setiyohadi, A. Sanusi Tambunan

ARTRITIS BAKTERIALIS

Artritis septik akut yang disebabkan infeksi

non-

micobakterial merupakan masalah serius, yang dihadapi

baik di negara berkembang maupun dinegara maju. Beberapa rute bakteri untuk mencapai sendi antara lain secara hematogen, penyebaran langsung dari

osteomielitis,

penyebaran dari jaringan sekitar sendi yang mengalami infeksi akibat tindakan prosedur diagnostik maupun terapeutik seperti arlrosintesis ataupun astroskopi dan luka tembus. Pasien dengan artritis septik akut ditandai nyeri sendi

hebat, bengkak sendi, kaku dan gangguan fungsi, di samping itu ditemukan berbagai gejala sistemik yang lain seperti demam dan kelemahan umum.

Sendi lutut sering dikenai dan biasanya bersifat indolent monoartritis. Beberapa faktor risiko antara lain. 1) Protesis pada sendi lutut dan sendi panggul disertai infeksi kulit. 2)Infeksi kulit tanpa protesis. 3)Protesis panggul dan lulut tanpa infeksi lutut tanpa infeksi kulit. 4) umur lebih dari 80 tahun. 5) Diabetes melitus 6)Artritis Reumatoid yang mendapat pengobatan immunosupresif' 7)Tindakan bedah persendian. Di Filipina dilaporkan bahwa

pasien pasien Lupus Eritematosus Sistemik (LES) merupakan faktor risiko urutan kelima untuk terjadinya artritis septik. Bakteri yang masuk langsung kedalam rongga sendi, akanberkembang di dalam cairan sendi, dan sebagian akan mati akibat difagositosis oleh synovial lining cells dat sebagian membentuk abses di dalam membran sinovial' Bila bakteri mencapai sinovium melalui aliran darah, maka

kuman akan berkembang biak dan membentuk abses subsinovial yang akhirnya pecah dan bakteri masuk ke dalam rongga sendi. Staphylococus aureus merupakan bakteri yang sering menyebabkan artritis bakterialis dan osteomielitis pada

manusia. Diduga, kemampuan Staphylococus aureus untuk menginfeksi sendi berhubungan dengan interaksi attara bakteri tersebut dengan komponen matriks ekstraselular.

Produk-produk bakteri seperti end.otoksin

(lipopolisakarida) bakteri gram negatif, fragmen dinding sel bakteri gram positif dan kompleks imun, akan merangsang sel-sel sinovial untuk melepaskan TNF - alfa dan IL-l beta yang akan mencetuskan infiltrasi dan aktifasi sel-sel PMN. Bakteri akan difagositosis oleh vacuolated synovial lining ells dan sel-sel PMN. Sel-sel fagositik tersebut, memiliki sistem bakterisidal, kemampuannya mematikan bakteri tergantung pada virulensi bakteri yang

menginfeksi. Komponen bakteri yang membentuk kompleks antigen-antibodi, akan mengaktifkan komplemen

melalui jalur klasik, sedangkan toksin bakteri akan mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif' Fagositosis bakteri yang mati oleh sel-sel PMN, juga dapat menyebabkan autolisis sel, PMN akan melepaskan enzim lisozomal ke dalam sendi yang menyebabkan kerusakan sinovial, ligamen dan rawan sedi. Selain itu, sel PMN dapat merangsang metabolisme asam arakidonat dan melepaskan kolagenase, enzim-enzim proteolitik dan IL-l sehingga reaksi inflamasi bertambah hebat.

Gambaran Klinis dan Diagnosis Artritis bakterial ditandai oleh nyeri dan pembengkakan sendi yang akut, biasanya monoartikular, terutama mengenai sendi lutut dan hampir selalu ada penyakit mendasarinya. Pada umumnya pasien akan mengalami demam, tetapi jarang disertai menggigil. Analisis kultur cairan sendi, merupakan prosedur

diagnostik yang penting untuk mendiagnosis artritis bakterial. Agar kultur cairan sendi dapat memberikan hasil

yang adekuat, cairan sendi harus segera dikirim ke laboratorium mikrobiologi. Bila diduga ada infeksi

639

2640

Nei,sseria atau Haemophillus, spesimen harus ditanam pada agar coklat dan inkubasi di dalam lingkungan CO" 5-10%. Pewarnaan Gram cairan sendi dapat dilakukan

setelah cairan sendi disentrifugasi atau dilakukan sitosentrifugasi. Pada bakteri Gram-negatif, kadang-kadang

erlu dilakukan pewarnaa n a c r i d i n e - o r an g e . Walaupun tidak bersifat diagnostik, kecurigaan infeksi sendi dapat juga dilihat dari hitung leukosit cairan sendi, yaitu bila didapatkan leukosit lebih dari 50.000/ml dengan jumlah PMN lebih dari80%o. Berbagai pemeriksaan kimia cairan sendi, seperti glukosa, LDH, tidak banyak mendukung diagnosis infeksi sendi. p

Pada keadaan yang berat, harus dilakukan

kultur darah. Selain itu juga harus dilakukan kultur dari fokal infeksi, seperti kulit, urin dan lain sebagainya. Perubahan radiologis biasanya terjadi beberapa minggu setelah infeksi. Pemeriksaan radiologis pada stadium awal dapat dilakukan sebagai data dasar untuk menilai berbagai perubahan radiologis pada stadium berikutnya. Pada minggu-minggu pertama, dapat terlihat ostoeoporosis periartikular, penyempitan celah sendi dan

REI.JMITIOI.GI

antistafilokokal dan aminoglikosida atau sefalosporin generasi ketiga. Pada pasien usia lanjut juga harus diberikan antibiotik yang berspektrum luas dengan memperhatikan fungsi berbagai alat tubuhnya, misalnya

fungsi ginjal. Golongan quinolon, cukup efektif terhadap bakteri gram-negatifl tetapi sering cepat terjadi

resistensi. Umumnya konsentrasi antibiotik di dalam cairan sendi yang terinfeksi cukup tinggi. Setelah ada hasil kultur cairan sendi, maka antibiotik diganti dengan yang telah sesuai dengan dosis yang adekuat.

Joint drainage harus dilakukan dengan baik, baik dengan aspirasi jarum, artroskopi atau artrotomi.

Tindakan bedah harus dipertimbangkan pada keadaan sebagai berikut: - Infeksi koksae pada anak-anak - Sendi-sendi yang sulit dilakukan joint drainage

-

secara adekuat baik secara aspirasi jarum maupun karena letak anatomiknya. Bersamaan dengan osteomielitis

Infeksi berkembang kejaringan lunak sekitarnya.

erosi.

Scintigrafi, dapat mendeteksi adanya inflamasi pada jam-jam pertama, tetapi tidak dapat membedakan apakah inflamasi tersebut berasal dari infeksi atau bukan. Magnetic Resonance Imaging merupakan prosedur penentuan yang dapat digunakan untuk diagnostik dini, yang akan menampakkan gambaran pembengkakan dan pendesakan jaringan lunak sendi.

Penatalaksanaan

.

Pada dugaan terhadap kemungkinan arhitis bakterial,

.

aspirasi cairan sendi harus segera dilakukan untuk analisis, pewamaan Gram dan kulfur cairan sendi Bila cairan sendi bersifat purulen dan atau ditemukan

bakteri pada pewarnaan Gram, segera diberikan antibiotik belspektrum luas. Karena pada umumnya disebabkan oleh S. Aureus, maka pilihan utama antibiotika adalah penisilin G, kloksasilin, klindamisin

Gambar 1. Perjalanaan infeksi tulang berdasarkan aliran darah dan kematangan tulang

atau

ARTRITTS GONOROTKA (DTSSE COCCAL INVENTION = DGI)

sulbaktam. Bila alergi terhadap penisilin, dapat diberikan

DGI merupakan infeksi sendi terbanyak pada beberapa

netilmisin yang diberikan secara parenteral. pilihan antibiotik yang lain adalah kombinasi ampisilin dan

vankomisin atau klindamisin. Bila pada pewarnaan didapatkan kokus Gram positif, pilihan antibiotik adalah

yankomisin. Bila didapatkan basil Gram negatif,

terutama pada pasien dengan daya tahan tubuh yang menurun, harus diberikan golongan aminoglikosida atau penisilin anti pseudomonas atau sefalosporin generasi ketiga. Bila didapatkan bakteri Gram negatifpada orang muda sehat, maka pilihan antibiotik adalah penisilin atau seftriakson. Pada neonatus dan anak di bawah 2tahw, antibiotik harus dipilih yang dapat mematikan _FL

inJluenzae, S. aureus dan Streptokokus grup B.

Antibiotik yang dapat diberikan adalah penisilin

UTTVA

TED oONO-

daerah urban. Umumnya pasien artritis DGI berusia muda, sehat dan kehidupan seksualnya aktif. Secara klinis dapat

timbul dalam bentuk monoartritis, poliartritis atau tenosinovitis. Selain itu juga dapat disertai berbagai kelainan kulit seperti ptekie, papula, pustula, bula hemoragik atau lesi nektrotik.

Kultur darah dan cairan sendi biasanya negatif, karena

gonokok sangat sensitif terhadap kekeringan. Hanya kurang dari

50o/o ditemukan kultur yang positif. Spesimen harus diambil bedside dari semua orifises dan lesi pada kdlit selain dari cairan sendi dan darah, langsung ditanam

pada media coklat atau media Thayer

- Martin. Masa

2641

INFEKSI TUI.AIYG DAI\ SENDI

inkubasi dari kontak seksual sampai timbul DGI berkisar antara I hari sampai 2 bulan. Hanya 25% pasien DGI mempunyai keluhan genitourinari a dan 25"/o mempunyai riwayat pernah menderita gonore. DGI jarang berulang, bila hal ini timbul, maka harus dipikirkan kemungkinan defisiensi komplemen terutama Cr-Cr. Wanita yang terinfeksi sekitar masa menstruasi atau pada waktu hamil memiliki risiko untukberkembang menjadi DGI.

Artritis Gonoroika (DlG)

Artritis Bakterial nongonokokal

.

Selain menyerang usia muda dan sehat yang

kehidupan

.

seksualnya

aktif atau pasien dengan

daya tahan . . . . . .

tubuh menurun Tidak didahului oleh penyakit sendi atau inteksi intraartikular Secara klinis akan ditandai oleh poliartritis, poliartralgia, dermatitis dan tenosinovitis Kultur cairan sendi positif pada < 25% kasus Kultur darah jarang positif Terapi antibiotik memberikan penyembuhan yang cepat Prognosis baik > 95%

. .

Biasanya terjadi Pada anak' orang tua atau Pasien denga daya tahan tubuh menurun

Didahului penYakit sendi tertentu, inteksi intra artikular atau protesis sendi Biasanya monoartritis

Kultur mikroorganisme, bila positif sangat menunlang diagnosis, tetapi karena hany a I 0 -25o/o yang positif, maka diagnosis biasanya ditegakkan secara klinis dan terapi diberikan tanpa menunggu hasil kultur.

Penatalaksanaan Terapi antibiotik sangat efektif untuk DGI biasanya dipilih penisilin atau sefalosporin. Dalamwaktu 24-48 jam,demam akan turun secara drastis dan kelainan sendi dan kulit akan hilang dalam beberapa hari. Walaupun demikian, pasien dengan efusi purulen yang banyak terjadi pada kasus yang resisten terhadap penisilin. Dalam keadaan ini, harus dipilih

sefalosporin generasi ketiga, misalnya seftriakson, pengobatan secara parenteral selama 7-10 hari dan dilanjutkan dengan terapi otal flucloxacilin atatt cephalospurir selama 6 minggu.

OSTEOMIELITIS Osteomielitis adalah infeksi pada tulang yang biasanya menyerang metafisis tulang panjang dan banyak terdapat

. .

Kultur cairan sendi positif pada > 95% kasus Kultur darah 40-507o Positif

'

Memerlukan terapi antibiotik jangka Panjang dan joint drainage

.

Pognosis buruk Pada 3050% kasus

pada anak-anak. Bakteri mencapai tulang dapat secara langsung (perkontinuitatum) atau dari aliran darah

(hematogen). Streptococos dan stapilococus aureus terutama menyerang anak dan dewasa.t Pada saat ini, yang menjadi problem adalah infeksi yang berasal dari prostesis sendi. Secara klinis dapat dibagi atas osteomielitis akut, serta osteomielitis subakut dan kronik. Osteomielitis akut biasanya menyerang anak-anak sampai usia pubertas.

OSTEOMIELITIS PELVIK

Gejala Klinis dan Diagnosis Poliartralgia yang berpindah-pindah selain artritis pada sendi yang terinfeksi merupakan tanda awal sebagian besar

pasien DGI dan seringkali timbul 3 - 5 hari sebelum diagnosis klinis ditegakkan. Gejala klinis lainnya adalah demam, menggigil, tenosinovitis dan kelainan kulit. Tenosinovitis umumnya didapatkan pada dorsum manus, pergelangan tangan, pergelangan kaki atau lutut. Kelainan kulit seperti yang disebutkan diatas biasanya terjadi pada

ekstremitas atau batang tubuh, tetapi membutuhkan pemeriksaan yang teliti untuk mendapatkannya, karena sering asimtomatik. Kadang-kadang lesi kulit baru timbul setelah terapi antibiotik, tetapi biasanya segera menghilang beberapa hari setelah pengobatan. Pada biopsi kulit, jarang

ditemukan N. gonorrhoeae.

Efusi purulen pada sendi hanya didapatkan pada 25-50% kasus. Hitung leukosit cairan sendi berkisar antara 35.000-70.000/ml cairan sendi. Kasus dengan tenosinovitis dan dermatitis, biasanya memiliki hitung leukosit cairan sendi yang rendah.

Osteomielitis pelvik, merupakan bentuk osteomielitis akut yang menyerang simfisis pubis, sendi sakroiliak, os ilium dan asetabulum ; biasanya disebabkan S, aureus. Pada wanita dengan infeksi obstetrik atau ginekologik, infeksi dapat berasal dari penyebaran infeksi tersebut dan sering disebabkan oleh bakteri Gram-negatif atau bakteri anaerob'

Biasanya bersifat subakut dan sulit dideteksi, sehingga

diagnosis sering terlambat ditegakkan. Walaupun demikian, prognosisnya baik dan jarang menimbulkan sekuele.

SPONDILITIS Infeksi pada korpus vertebra disebut spondilitis. Korpus vertebra merupakan tempat yang sering terkena

osteomielitis hematogenik pada orang dewasa. Infeksi ini dapat menyebar melalui ligamen yang berdekatan sehingga sering mengenai 2 korpus vertebra yag berdekatan' Diskus intervebral tidak memiliki vaskularisasi tapi dapat terinfeksi

2642

REI.JMAIOI.OGI

secara langsung dari abses vetebra. Infeksi dapat

Secara klinis tampak keadaan pasien sangat berat disertai artritis septik dan renjatan, terutama bila

menyebar ke sentral ke dalam kanalis spinalis. Selain itu dapatjuga menyebar ke jaringan lunak paraspinal. pada daerah servikal, osteomielitis dapat menyebabkan abses retrofaringeal atau mediastinitis; pada daerah torakal dapat

penyebabnya adalah S.areus. Pada umumnya didapatkan leukositosis dan peningkatan LED. Infeksi dini dapat dicegah dengan pemberian antiobiotik perioperatif yang adekuat. Selain itu, pada masa pasca bedah, semua infeksi terutama dari gigi, saluran napas dan saluran kemih kelamin harus diatasi secara adekuat.

menyebabkan mediastinitis, empiema atau perikarditis, dan pada daerah lumbal dapat menyebabkan peritonitis dan abses subfrenik atau sepanjang fascia otot iliopsoas.

OSTEOITIS

Osteoitis adalah infeksi pada tulang pipih dan tulang pendek, biasanya terjadi pada kaki tetapi kadang-kadang

juga dapat timbul pada tangan. Infeksi ini biasanya didahului oleh infeksi pada kulit atau jaringan lunak dan biasanya pasien memiliki penyakit dasar seperti diabetes melitus atau arterosklerosis. Gejala klinisnya lebih ringan, demam pun tidak ada dan nyeri serta pembengkakan tidak seberat osteomielitis. Kadang-kadang timbul fistel dan abrasi sehingga infeksi dapat menyebar ke jaringan sekitamya.

Problem diagnostik yang utama adalah membedakan amtara artritis septik dengan kelonggaran prostesis yang aseptik. Pada kedua keadaan tersebut dapat terjadi tanpa demam maupun leukositosis, tetapipada infeksi hampir selalu terdapat peningkatan LED. Kuman yang sering

diisolasi dari dari infeksi sendi prostetik adalah stafifilokokus, streptokokts, E.coli dan bakteri anaerob. Penatalaksanaan yang penting adalah pemberian

antibiotik yang adekuat dan debridement. BlIa prostesis longgar, maka harus dilakukan revisi. Jika infeksi tidak dapat diatasi dan sisa tulang setelah debridement sangat sedikit,, prostesis harus dilepas dan terhadap sendi dilakuk$n arlrodesis.

Penatalaksanaan Begitu diagnosis ditegakkan, antibiotik berspektrum luas dengan dosis yang adekuat harus segara diberikan. pada osteomielitis akut, pemberian antibiotik selama 7 -10 hari biasanya sudah menampakkan hasil yang baik, tetapi pada osteomielitis kronik, kadang-kadang pemberian antibiotik

harus diteruskan sampai 6 bulan, apalagi bila kuman penyebabnya adalah stafilokokus. prognosis sangat tergantung dari kecepatan dan dosis antibotik yang diberikan. Selain pemberian antibiotlk, drainage d,an

Prosedur

Pilihan Antibiotik dan Dosisnya

A. Prosedur pada gigi, mulut

Amoksilin: 3 gram per oral , 1 jam sebelum tindakan selanjutnya 1,5 gram, 6 jam setelah pemberian yang pertama Ampisilin: 2 gram + gentamisin 80 mg (1,6 mg/kgBB) diberikan secara parenteral 30 menit sebelum prosedur dilakukan prosedur, selanjutnya amoksilin 1,5 gram per oral 6 jam setelah pemberian yang peftama

B

Prosedur pada saluran cerna

debridement juga harus dilakukan, apalagi bila sudah

timbul

abses.

INFEKSI PADA SEND! PROSTETIK Infeksi merupakan komplikasi yang paling menyebabkan kematian pada operasi prostesis sendi, karena hal ini dapat menyebabkan kelonggaran prostesis dan sepsis. Risiko tinggi infeksi pada sendi prostetik adalah pasien artritis

reumatoid, sendi yang pernah dioperasi atau revisi artroplasti atau sendi dengan riwayat infeksi sebelumnya.

Risiko lain adalah penggunaan kortikosteroid, operasi yang memakan waktu lama dan adanya infeksi di tempat lain. Penggantian sendi harus ditunda sampai infeksi dapat diatasi. Dua pertiga infeksi sendi prostetik terjadi pada tahun

pertama dan harnpir selalu disebabkan oleh inokulasi bakteri intra operatif atau bakteriemia pasca bedah.

Bakteriemia pasca bedah yang awal, biasanya berhubungan dengan infeksi kulit, pneumonia, infeksi gigi atau saluran kemih kelamin.

Untuk mencegah infeksi pada sendi prostetik, harus dilakukan berb agai hal hal berikut: . Cari dan eradikasi fokus infeksi pada gigi, saluran kemih kelamin, dan kulit sebelum operasi.

.

Hentikan pemberian obat-obat kortikosteroid dan

. . .

Pemberianantibiotikpre-operatif Atasi setiap infeksi setelah dilakukan prostesis sendi. Gunakan antibiotik pada setiap tindakan yang potensial

lmunosupresan.

mencetuskan bakteriemia.

ARTRITIS TUBERKULOSIS

Tuberkulosis merupakan penyakit yang sudah lama dikenal, tetapi sampai saat ini masih belum dapat diberantas. Frekuensi tuberkulosis tulang dan sendi selama 3 dekade terakhir menurun bersamaan dengan menurunnya

frekuensi tuberkulosis paru. Artritis tuberkulosa

2643

INFEKSI TUIJ\IYG DAN SENDI

merupakan penyakit yarrg jarang ditemukan, yaitu kira-

kira hanya l-2o/o dari seluruh kasus tuberkulosis ekstrapulmoner hampir separoh pasien mengidap tuberkulosis pulmoner aktif maupun nonaktif. Umumnya tulang dan sendi yang terkena adalah sendi penopang berat badan, terutama korpus vertebra, disusul sendi

pinggul (koksae), sendi lutut kadang-kadang terjadi serangan pada tangan

(dakilitis tuberkulosis

:

spina ventosa).

Gejala Klinis Perjalanan klinis artritis tuberkulosis berlangsung lambat,

kronik dan biasanya hanya mengenai 1 sendi. Keluhan biasanya ringan dan makin lama makin berat disertai perasaan lelah pada sore dan malam hari, subfebris, penurunan berat badan. Keluhan yang lebih berat seperli panas tinggi, malaise, keringat malam, anoreksia biasanya bersamaan dengan tuberkulosis milier.

Pada sendi, mula-mula jarang timbul gambaran yang khas seperti pada artritis yang lainnya. Tanda awal berupa bengkak, nyeri dan keterbatasan lingkup gerak sendi. Kulit di atas daerah yang terkena teraba panas, kadang-kadang malah dingin, berwarna merah kebiruan. Bisa terjadi sendi berada dalam kedudukan fleksi berkelanjutan dan mungkin

disertai tenosinovitis. Pada anak-anak dapat ditemukan spasme otot pada malam hari (night start). Mungkin disertai demam, tapi biasanya ringan. Pada kasus yang berat, kelemahan otot bisa terjadi sedemikian cepatnya menyerupai lumpuh. Bila pinggul yang terkena, maka terjadi kelemahan tungkai dengan rasa tidak enak. Dalam keadaan yang lanjut dan berat, pasien sukar menggerakkan dan mengangkat tungkai pada sendi pinggul yang terkena, disertai rasa sakit yang sangat mengganggu di sekitar paha dan daerah

pinggul tersebut. Tuberkulosis verlebra (penyakit Pott) biasanya terjadi di daerah torakolumbal. Penyakit Pott merupakan 50o% dari seluruh kasus tuberkulosis tulang dan sendi. Pada mulanya

proses terjadi dibagian depan diskus intervertebra, menyebabkan penyempitan ruang diskus, memberi keluhan

nyeri punggung yang menahun, kemudian disertai munculnya kifosis runcing akibat hancurnya korpus vertebra yang terkena yang disebut gibbus. Gangguan neurologis terjadi karena terkenanya spinal cord atau adanya meningitis.

Patologi Tuberkulosis yang menyerang sistem muskoloskoletal, terutama bersarang di sendi, walaupun fulang, sinovium, bursa atau tendon mungkin juga terkena. Prosesnya diawali dengan infeksi fokal berupa osteopenia atau erosi artikular yang berlangsung berbulan-bulan. Pada sendi penopang berat badan, terutama lutut dan pinggul, erosi subkondral terjadi mendahului kerusakan rawan sendi. Setelah itu, terjadi sekuestrasi tulang yang

menyebabkan penyempitan rongga sendi. Jadi perubahan rongga sendi yang nyata, baru timbul setelah proses infeksi berlangsung lama. Osteomielitis pada tulang panjang dapat merupakan

komplikasi sinovitis tuberkulosa dan selanjutnya osteomielitis tuberkulos4 ini j arang menyebabkan artritis septik.

Pada anak-anak tulang pendek seperti tulang-tulang jari tangan dan kakijuga bisa terkena dan disebut daktilitis

tuberkulosa, ini jarang terjadi pada orang dewasa. Tenosinovitis tuberkulosis biasanya menyerang bursa

ulnar dan radial dan membentuk ganglion palmar. Terkenanya tendon-tendon ekstensor tangan, tendon fleksor jari tangan atau kaki merupakan kejadian yang jarang terjadi. Kedua lokasi yang terakhir biasanya merupakan tuberkulosis sekunder dari tempat lain. Bila tendon fleksor tangan terkena, akan timbul sindrom terowongan karpal.

Reaksi terjadinya granuloma pada diafisis akan menyebabkan destruksi medula, pencairan lesi dan lamelasi periosteal. Lesi tunggal yang mencair pada tulang panj ang perlu dibedakan dari tumor primer osteoblastoma. Adanya granuloma pada sinovium tidak selalu ada hubungannya dengan nekrosis kaseosa tuberkulosis. Jadi bila ditemukan granuloma, perlu dipikirkan kemungkinan tuberkulosis dan perlu dilakukan biopsi untuk membedaknnya dengan granuloma karena jamur. Kadang-kadang pada biopsi dan

kultur dapat ditemukan mikobakterium dan jamur, walaupun gambaran inflamasinya tidak spesifik. Tetapi dengan tidak adanya granuloma belum berarti kemmgkinan tuberkulosis atau jamur sudah dapat disingkirkan.

Sendi yang terkena biasanya memberikan gambaran proliferasi dan efusi sinovium, mengakibatkan keterbatasan lingkup gerak sendi yang progresif, otot di sekitarnya menjadi spastik dan sering terjadi kelemahan otot yang

cepat yang menyerupai kelumpuhan (progressive wasting). Selain terjadi pannus sinovial mungkin juga terbentuk beras ("rice bodies") yarg terdapat di tepi granuloma sinovial. Rice bodies ini pertamakali dilaporkan oleh Reise pada

fibrin ekstravaskular dan benda amorf seperti

tahun 1895, pada kasus artritis tuberkulosa yang juga dapat ditemukan pada arhitis reumatoid dan artritis kronik lainnya.

Tuberkulosis pada vertebrata, pertama kali dilaporkan oleh Pott pada tahun 1779,berupa kerusakan tulang di bagian depan metafisis. Abses perkijuan bisa meluas sampai ke kanalis spinalis, mengakibatkan iritasi meningeal sumsum tulang belakang atau penekanan serabut sarafdi leher, mediastinum bagian belakang atau abses iliopsoas.

Selain itu juga dapat mengenai satu atau kedua sendi sakroiliaka. Infeksi bermula pada korpus vertebra dengan vertebra dengan terbentuknya ruangan yang berisi bahan perkijuan, dikelilingi jaringan fibrosis dan tulang yang atrofi; proses ini bisa menyerang lebih dari satu korpus verlebra . Kemudian proses berlanjut membentuk abses

2644

REI.JM'$OLCrcI

Nama Obat

Dosis AnaUHari

Rifampisin

Dosis

Dosis Maksimum/Hari Efek Samping

Dewasa/Hari

10-20 mg/kg p.o

10 mg/kg BB p.o

(lNH)

10-20 mg/kg p.o

5 mg/kg BB p o

300 -400 mg

Pirazinamid

15-30 mg/kg p.o

15-30 mg/kg p.o

2gr

Streptomisin

20-40 mg/kg lM

15 mg/kg BB lM (> 60 th:10 mg/kg) 15-25 mg/kg p.o

lsoniazid

Etambutol

15-25 mg/kg p.o

dingin di daerah anterior ligamentum komunis dan dapat meluas, ke korpus vertebra yang lain. Lesi pada tulang lainnya cenderung berlangsung tanpa gejala sampai akhirnya terjdi kerusakan tulang di sekitar lesi dengan terbentuknya abses dipermukaan sendi yang letaknya dekat dengan lesi tersebut. Destruksi igajuga dapat terjadi akibat adatya abses di bagian depan paravertebra. Refration tulang terjadi akibat perkapuran serta pembentukan tulang baru yang kemudian mengalami campuran proses litik-sklerotik. Gambaran semacam ini

sangat sulit dibedakan dengan keganasan atau jamur secara radiologi, karena itu perlu dibuktikan seara histopatologik. Pada pemeriksaan radiologis tahap awal terlihat gambaran seperti osteoporosis dan suramnya gambaran tulang. Selanjutnya terjadi erosi yang memperlihatkan

gambaran berupa permukaan sendi yang compangcamping. Sering pula.terlihat lesi kistik pada metafisis, lempeng epifisis dan diafisi. Pada trokanter mayor yang terkena akan tampak gambaran khas berupa luasnya bagian

yang erosi dan bayangan iregular lembar di bagian luas akibat kalsifikasi perkijuan pada bursa subgluteal. Kadangkadang lesi tulang tidak khas dan sukar dibedakan dengan kerusakan akibat sebab yang lain. Pada pemeriksaan radiologis tulang punggung, terlihat gambaran berupa destruksi tulang disertai pembentukan tulang baru dibagian yang telah sembuh. Ada perbedaan yang jelas antara kelainan ini dengan gambaran suatu metastis, infeksi diskus intervertebral yang destruktif serta menyebar ke korpus vertebra didekatnya. Hampir separuh kasus artritis tuberkulosa mempunyai gambaran radiologis paru yang normal. Pemeriksaan laboratorium cairan sinovial bervariasi. Secara makroskopik, cairan sinovial tampak berawan dan

berwarna kekuningan. Kadar glukosa cairan sinovial cenderung menurun, 50% sampai mencapai nilai 50 mg/dl dengan perbedaan konsentrasi di darah dan cairan sinovial mencapai 40 mgldl laju endap darah meningkat. Jumlah leukosit berkisar antara 1 000- I 00. 000/ml dengan r ata-r ata .

600 mg

1gr

Hepatitis, febris, diskolorisasi jingga pada ufln Hepatitis, neuropati perifer Hepatotoksisitas, hiperurisemia, artralgia, skin rash. Ototoksisitas nefrotoksik

(>60 th: 750 mg lM)

2,5 gr

Neuritis optik, skrn rash

10.000-20.000/ml, terutama terdiri dari sel PMN walaupun proporsinya jarang melebihi 85% seperti yang biasa terjadi pada adristi piogenik.

Radiologi Pada tahap awal terlihat gambaran seperti osteoporosis dan suramnya gambaran tulang. Selanjutnya terjadi erosi yang memperlihatkan gambaran berupa permukaan sendi yang compang camping. Sering pula terlihat lesi kistik pada metafisis, lempeng epifisis dan diafisis. Pada trokanter mayor yang terkena akan tampak gambaran khas berupa luasnya bagian yang erosi dan bayangan iregular lebar di

bagian luas akibat kalsifikasi perkijuan pada bursa subgluteal. Kadang kadang lesi tulang tidak khas dan sukar dibedakan dengan kerusakan akibat sebab yang lain. Pada pemeriksaan radiologis tulang punggung, terlihat gambaran berupa destruksi tulang disertai pembenhrkan tulang baru dibagian yang telah sembuh. Ada perbedaan yang jelas antara kelainan ini dengan dengan gambaran

suatu metastasis, infeksi diskus itervertebral yang destruktif serta menyebar ke korpus vertebra didekatnya. Hampir separuh kasus artritis tuberkulosa mempunyai gambaran radiologis paru yang normal.

Laboratorium Pemeriksaan cairan sinovial cukup bervariasi. Secara makroskopik, cairan sinovial tampak berawan dan

berwarna kekuningan. Kadar glukosa cairan sinovial cenderung menurun, 50% sampai mencapai nilai 50 mg/dl dengan perbedaan konsentrasi di darah dan cairan sinovial

mencapai 40 mg/dl. Jumlah leukosit berkisar antara 1.000 - 100.000/ml dengan ruta-rata 10.000-20.000/m1, terutama terdiri dari sel PMN walaupun proporsinya jarang melebihi 85% seperti yang biasa te{adi pada artritis piogenik.

Diagnosis Diagnosis artritis tuberkulosis tidak mungkin ditegakkan

berdasarkan gambaran

klinis saja. Mikobakterium

2645

INFEIGI TUI.ANG DAIY SENDI

nonspesifik dan jamur juga dapat memberi gambaran klinis

spirochaeta, microaerophilic bacterium yarrg tumbuh

yarrg sama. Kadang-kadang artritis reumatoid

baik pada suhu 33'C pada medium barbour-stoenner-kelly. Selain dari lesi di di kulit yang berupa eritema migrans. kultur spirokaeta sangat sulit diperoleh dari spesimen lain. Saatinr B.burgdorferi dlbagi dalam 3 spesies, yaitu grup I (B.burgdoferi), grup 2 (B. g ar inii) dan grup 3 (VS46 I ). S aat

monoartikular atau oligoartikular atau arkitis bakterial juga dapat memberikan gambaran artritis granulomatosis.

Diagnosis artritis tuberkulosis ditegakkan bila ditemukan basil tahan asam (BTA) pada cairan atau biopsi sinovial dan kulturnya. Kultur cairan sinovial positif pada 80% kasus. Adanya granuloma dan atau BTApada cairan sinovial dapat ditemukan pada lebih dari 90olo kasus. Kultur mikobakterium dan biopsi sinovial juga memberikan angka

yang sama.

Uji mantoux dengan intermediate strength purffied protein derivative (PPD), tidak mempunyai arti banyak dalam menentukan diagnosis, tetapi hasil uji negatifdapat menyingkirkan diagnosis.

Penatalaksanaan Penatalaksanaan artritis tuberkulosa dapat dilakukan secara konservatif atau operatif. Tujuan dasar penatalaksanaan adalah: . Kemoterapi untuk memberantas infeksi . Memberikan istirahat pada sendi yang terkena sejak permulaan dengan memberikan bidai atau lainnya. . Operasi, bila ada abses dan infeksi menetap, misalnya sinovektomi. . Fiksasi sendi (artrodesis) atau artroplasti bila kerusakan

sendi sudah parah.

Pada era sebelum kemoterapi, penanggulangan tuberkulosis tulang dan sendi terutama dengan melakukan imobilisaasi serta istirahat di tempat tidur selama kira-kira I 3 bulan. Bila penyakit memburuk, dilalarkan tindakan aktif berupa insisi, drainase, eksisi, penyedotan cairan sendi atau

amputasi. Sejak keberhasilan pemakaian obat-obat antituberkulosis tulang dan sendi, tindakan operatif hanya

dikerjakan secara selektif untuk drainase abses dan membersihkan perkijuan di tulang punggung.

Pemakaian kombinasi streptomisin, isoniazid dan paraamino salicylic acid (PAS) cukup memberi hasil yang baik. Selain itu kombinasi rifampisin dan isonoazidtemyata juga efektif. Kemoterapi sebaiknya diberikan selama l2-18 bulan. Bila diagnosis dapat ditegakkan sedini mungkin, maka kemoterapi tanpa istirahat baring memberikan hasil yang cukup baik. Tindakan operatif bila memang diperlukan sebaiknya didahului dengan pemberian kemoterapi sehingga tidak terjadi bakteremia atau pembentukan fokus infeksi baru pasca bedah.

PENYAKITLYME Penyakit lyme merupakan penyakit multisistem yang kompleks yang disebabkan oleh sejenis spirokaeta yaitu borrela bugdorferi. Kuman ini merupakan tick-borne

ini yang diisolasi dari orang Amerika adalah grup

1,

sedangkan dari orang Eropa didapatkan ketiga grup tersebut. Spirokaeta penyebab penyakit Lyme, disebarkan oleh sejenis kutu/ caplak yang merupakan bagian dari kompleks trxodes ricinus ,yaitu Ldammirzl di Amerika Timur Laut dan Amerika Barat Tengah, I.pacfficus di Amerika Barat, I.ricinus di Eropa, dan Lpersulcatus di Asia.

Manifestasi Klinis Infeksi awal: stadium I @ritema migrans terlokalisasi). Setelah masa inkubasi selama 3-32 hari, timbul eritema migrans pada tempat gigitan caplak yang dimulai sebagai makula ataupapula merah, yangberkembang menjadi besar berupa lesi anular (dapat mencapai diameter 15 cm), batas tepinya merah terang, bagian tengah bersih dan berindurasi. Walaupun tidak diobati, lesi ini akan menghilang sendiri selama 3-4 minggu.

Infeksi awal: stadium 2 (disseminated infection). Dalam waktu beberapa hari sampai beberapa minggu, spirokaeta menyebar yang akan ditandai oleh kelainan pada kulit, sistem sarafdan muskuloskeletal. Lesi kulit anular sekunder dapat muncul pada setengah pasien hampir sama dengan lesi awal tetapi lebih kecil dan tidak berpindah. Selain itu pasien akan merasakan nyeri kepala yang hebat dan kekakuan leher yang akan berakhir hanya dalam waktu beberapa jam. Nyeri muskuloskeletal bersifat umum dan berpindah-pindah dari sendi, bursa, tendon, otot dan tulang yang akan berakhir dalam waktu beberapa j am atau beberapa hari. Pasien juga merasakan kelemahan umun. Setelah beberapa minggu, sekitar 2002 pasien mengalami kelainan neurologik. Walaupun kelainan neurologis dapat bervariasi, tetapi yang spesifik berupa triad meningitis, kelainan saraf

kranial dan neuropati perifer. Cairan serebrospinal menunjukkan gambaran pleositosis limfositik kira-kira I 00 sel/ml yang selalu diikuti peningkatan kadar protein, tetapi

kadar glukosa normal. Kelumpuhan n.fasialis baik unilateral maupun bilateral merupakan neuropati kranial yang sering terjadi. Neuropati perifer, biasanya berupa radikuloneuropati sensorik, motorik atau campuran yang asimetri yang mengenai tubuh dan anggota tubuh. Kelainan neurologis ini berakhir dalam beberapa bulan tetapi dapat berulang dan menjadi kronik. Dalam beberapa minggu setelah mulai timbul, akan timbul kelainan kardiak yang biasanya berupa blok atrioventrikular, mioperikarditis akut, disfungsi ventrikel kiri yang ringan dan kadang-kadang kardiomegali dan perikarditis yang fatal. Kelainan kardiak

2646

ini berlangsung singkat (3 hari sampai 6 minggu); blok jantung komplit jarang menetap lebih dari I minggu dan pemasangan pacu jantung permanen tidak pernah diperlukan.

Infeksi lanjut: stadium 3 (infeksi persisten). Rata-rata 6 bulan setelah mulai timbul, 60% pasien mengalami oligoartritis yang asimetrik, terutama pada sendi-sendi besar, misalnya sendi lutut. Kadang-kadang juga diikuti serangan pada struktur periarlikuler termasuk entesopati. Walaupun polanya bervariasi, episode artritis akan memanjang pada tahun kedua dan ketiga penyakit. Pada l0%o kasus, artritis menjadi kronik, yaitu serangan inflamasi yang terus menerus selama I tahun atau lebih. Artritis kronik

ini biasanya hanya mengenai 1 atau kedua lutut

dapat menimbulkan erosi pada rawan sendi dan tulang. Walaupun

didapatkan nyeri sendi, pembengkakan sendi jarang didapatkan dalam jangka wakfu yang lama. Pada beberapa kasus dapat ditemukan osteomielitis, panikulitis, atau

miositis. Beberapa bulan atau tahun kemudian, timbul

REUMANOI-OGI

imun akan ditekan. Dalam beberapa minggu tampak hipereaktivitas sel B dengan peningkatan jumlah total dan kadar IgM serum, kriopresipitat, circulating immune complex, dan kadang dapat ditemukan faktor reumatoid kadar rendah antibodi antinuklear (ANA) dan antibodi antikardiolipin. Beberapa bulan kemudian, respons imun selular dan humoral yang spesifik mulai

berkembang untuk menghadapi antigen spirokaeta. Bersamaan dengan itu, beberapa sendi menjadi meradang dan sel mononuklear reaktif meningkat jumlahnya di dalam

cairan sendi.

Artritis Lyme kronik, berhubungan dengan peningkatan frekuensi alel HLA-D\ dan alel HLA-D\. Pada sendi akan nampak gambaran hipertrofi vilous, hiperplasi sel sinovial, mikro vaskularisasi yang prominen, deposisi fibrin, infilhasi

limfo-plasmaselular dan kadang-kadang folikel pseudolimfoid. Pada beberapa pasien, dengan menggunakan teknik imunohistologik, spirokaeta dapat

terlihat di sekitar pembuluh darah. Cairan sendi

kelainan neurologis, yang tersering adalah ensefalopati yang terutama mengenai ingatan,mood dangangguan tidur.

Sistem

Pada pemeriksaan cairan serebrospinal dapat ditemukan

peningkatan kadar protein dan antibodi terhadap spirokaeta. Sebagian besar pasien juga mengalami polineuropati aksonal yang mengakibatkan parestesia distal atau nyeri spinal atau nyeri radikular. Gambaran elektromiografi menunjukkan kelaianan segmen saraf proksimal dan distal yang ekstensif. Leukoensefalitis, merupakan manifestasi neurologis yang berat dan jarang

yang mengakibatkan paraparesis spastik, disfungsi kandung kemih tipe upper motor neuron dan lesi periventrikular massa putih. Manifestasi kulit yang lanjut berupa akrodermatitis kronik atrohkan biasanya timbul pada daerah akral berupa eritema, edema dan indurasi; secara bertahap eritema akan menghilang dan digantikan oleh kulit yang atrofik. Gambaran akhir kelainan kulit akan timbul beberapa bulan atau tahun yang berupa kulit yang berkerut menyerupai kertas rokok. Di bawah lesi kulit mungkin didapatkan subluksasi sendi kecil tangan, periostitits atau erosi rawan sendi dan tulang.

INFEKSI KONGENITAL Transmisi transplasental dari B. bur gdorferi dilaporkan pada 2 bayi yang ibunya menderita penyakit Lyme dan keduanya meninggal pada minggu pertama kehidupannya. Walaupun demikian, bukti-bukti selanjutnya tidak pernah diternukan adany a infeksi transplasental tersebut.

Patogenesis

lnfeksi awal (lokal atau diseminata) * Dewasa

*

Anak (8 tahun atau kurang)

hematogen ke organ-organ lainnya. Pada awalnya, respons

Doksisiklin 2x100 mg/hari, per oral, selama 10 - 30 hari Tetrasiklin 4 x 250 mg/hari, per oral selama 10 - 30 hari Amoksisillin 4 x 500 mg/hari, per oral, selama 10 - 30 hari Amoksisillin 20 mg/kg/hari, dalam

3 dosis, per oral, selama 10 -

30

hari

Adritis (intermiten atau kronik)

Bila alergi penisilin, dapat diberikan eritromisin 30 mg/kg/hari dalam 3 dosis, per oral, selama 10 - 30 hari Doksisiklin 2 x 100 mg/hari selama 30 hari

Amoksisillin probenesid

4 x 500m9/hari + 4 x 500 mg/hari,

peroral, selama 30 hari lV, sekali sehari, Seftriakson 2 selama 14 hari Penisillin 20 juta U/hari, dibagi dalam 6 dosis, selama 14 hari Seftriakson 2 gr l.V sekali sehari, selama 14 - 30 hari Sefotaksim 3x2grlhari lV, selama 14 - 30 hari Penisilin G 20 juta U/hari, dibagi dalam 6 dosis, selama 14 - 30 hari

$

Kelainan Neurologis (awal atau lanjut)

Bila alergi penisilin

'Awal

* Awal atau lanjut * Kelumpuhan fasial

Kelainan jantung

Setelah masuk kedalam kulit, B.burgdorferi akanmenyebar

membentuk eritema migrans dan menyebar secara

Regimen

Akrodermatitis

Doksisiklin 2 x 200 mg/hari, per oral, selama 30 hari Vankomisin 2 x 1 gr/hari selama 14 - 30 hari Regimen oral Regiman oral seperti pada infeksi Regimen lV seperti pada kelaianan neurologik Regimen oral selama 1 bulan

2647

INFEKSI TUI.A.NG DAI\ SENDI

menunjukkan jumlah leukosit 500- I 1 0.000/ml, sebagian besar merupakan sel PMN.

Gambaran Laboratorium Pemeriksaan serologis hanya bersifat membantu diagnosis.

Pada awal minggu-minggu pertama, beberapa pasien

menunjukkan tes yang positif terhadap antibodi B.burgdorferi. Sebagaimana tes serologis yang lain, kadangkadang didapatkan hasil positif palsu atau negatif palsu. Untuk memastikan hasil serologis positif palsu, dapat dilakukan pemeriksaan western blot.

Penatalaksanaan

lebih berat lagi necrotizing vasculitis. Artralgia dapat merupakanmanifestasi awal infeksi HIV dan dapattimbul pada berbagai stadium infeksi HIV. Biasanya merupakan nyeri yang sedang, intermiten dan oligoartikular, terutama mengenai sendi-sendi besar seperti lutut, bahu dan siku. Pada l0o/o kasus, nyeri sendi dapat berkembang sangat

hebat dan tidak dapat diatasi dengan pengobatan konvensional dan disebut painful articular syndrome. Kadang-kadang karena nyeri yang sangat hebat, pasien harus dirawat untuk pemberian narkotik intravena. Sindrom reiter, merupakan salah satu kelainan reumatik

yang berhubungan dengan infeksi HIY timbul dalam waktu lebih dari 2 tahun dan sebagian besar merupakan sindrom reiter inkomplit. Gejala artikular yang sering adalah

B.burgdorferi menunjukkan sensitivitas yang tinggi

oligoartritis pada sendi besar (tersering adalah lutut),

terhadap tetrasiklin, ampisilin dan sefalosporin generasi

diberikan pada penyakit Lyme.

entesopati dan manifestasi ekstraartikular lainnya seperti balanitis sisrsinata, keratoderma blenoragika, stomatitis, uveitis atau uretritis. Gejala klinis dan radiologis kelainan sendi sakroiliaka dapat ditemukan dan hubungan dengan

KELAINAN REUMATIK PADA SINDROM IMUNODEFISIENSIAKUSISITA

HL A-827 tamp ak p ada 2/3 ka sus. Psoriasis dan arhitis psoriatik banyak didapatkan pada pasien yang terinfeksi HIV. Berbagai bentuk psoriasi dapat ditemukan pada pasien yang terinfeksi HIV, seperli pso-

ketiga. Di bawah ini berbagai antibiotik yang dapat

Infeksi human immunodeficiency virus (HIV) merupakan kelainan defisiensi imun yang didapat yang sangat penting. Pada stadium awal, infeksi HIV memberikan gejala yang minimal, bahkan kadang-kadang tanpa gejala. Dengan berkembangnya penyakit, berbagai gejala konstitusional akan berkembang seperti demam, penurunan berat badan, anoreksia, limfadenopati, berkembangnya berbagai infeksi oportunistik (terutama pneumocystic pneumonia darr candida) dan sarkoma kaposi. Pada stadium lanjut akan timbul gangguan fungsi imun selular yang ditandai oleh

limfopenia, terbatasnya jumlah sel T, penekanan proliferasi

limfosit dan inversi rasio sel T-penolong menjadi sel T-supressor/ sitotoksik. Keadaan ini disebut acquired immuno deficiency syndrome (AIDS).

HIV merupakan retrovirus RNA yang termasuk famili retroviridae. Peran HIV pada timbulnya kelainan reumatik tidak sepenuhnya diketahui, danjarang ditemukan di dalam cairan sendi atau membran sinovial. Adanya peningkatan produksi sitokin pro-inflamasi seperti IL-1, TNF dan IFN-y baik pada model binatang percobaan dan infeksi retrovirus pada manusia mendukung kemungkinan efek

tidak langsung infeksi retrovirus dengan manifestasi reumatik. Selain itu faktor perhrmbuhan yang dirangsang HIV ternyata berperan pada patogenesis sarkoma kaposi dan berbagai komplikasi reumatikAIDS. Berbagai infeksi oportunistik pada infeksi HIV, temyata berperan sebagai pencetus artritis reaktif.

Manifestasi Reumatik Berbagai spektrum kelainan reumatik dapat terjadi pada infeksi HIV, mulai dari artralgia sampai artritis rektif dan

riasis vulgaris, gutata, sebosporiasis, pustular dan eritroderma eksfoliatif. Perubahan kuku juga sering didapatkan dan sering kulit dibedakan dengan infeksijamur atau paronikia piogenik. Psoriasis atau artritis psoriatik dapat mendahului gejala klinis AIDS. Hubungan antara infeksi HIV dengan spondiloartropati yang tidak terklasifikasijuga senng didapatkan. Pada pasien ini tidak didapatkan gambaran klinis yang lengkap yang mengarah kepada sindrom reiter, artritis psoriatik atau spondilitis ankilosa. Pada setengan pasien tampak perkembangan ke arah Hl\-associated arthritis yang biasanya bersifat mono atau poliartritis asimetrik yang mengenai sendi besar penopang berat badan, seperti lutut dan pergelangan kaki. Pada

sebagian pasien tampak gambaran seperti artritis reumatoid, tetapi tanpa erosi dan faktor reumatoid negatif.

Pasien HlY-associated arthritls biasanya tidak menunjukkan manifestasi ekstraartikular seperti pada sindrom reiter, artritis psoriatik dan spondiloartropati. Tes

HLA-B27 biasanya negatif dan tes terhadap HLA-DR bersifat tidak spesifik.

Berbagai kelainan otot seperti mialgia atrofi otot, dermatomiositis dan polimiositis dapat timbul pada pasien yang terinfeksi HIV. Gambaran klinisnya tidak berbeda dengan yang idiopatik, diserlai peningkatan enzim otot dan kelainan elektromiografik dan histologik yang sesuai. Berbagai kelainan otot lain yang sering timbul adalah miopati akibat zidorudin, piomiositis dan miositis osifikan. Miopati akibat zidovudin (AZT) ditandai oleh kelemahan otot proksimal yang segera menghilang setelah pemberian zir,udin dihentikan.

2648

REI.JMAIIOI.OGI

Kelaianan reumatik lain yang sering timbul pada infeksi

dan anti La(SS-B) danpredominan lfunfosit CD8*.

ekstensor tungkai bawah dan menghilang dalam waktu 6-8 minggu. Kelainan ini dapat berlangsung akut, kronik atau berpindah-pindah, dan bersifat self limited. Kelainan lain yang sering menyertainya adalah demam, poliartralgia, sinovitis pada pergelangan kaki dan limfadenopati hilus. Triad yang terdiri dari EN, poliartralgia-artritis dan limfadenopati hilus disebut sindrom Lofgren. Separuh dari pasien berhubungan dengan sarkoidosis dan separuh lagi

Selain itu berbagai bentuk vaskulitis juga dapat

berhubungan dengan infeksi. Artralgia dapat terus

HIV adalah sjdgren's like syndrome, detgan gambaran xeroftalmia, xero stomia dan pembe saran kelenj ar parotis, tetapi berbeda dengan bentuk yang idiopatik, kelainan ini

banyak terdapat pada laki-laki dan ditandai oleh pembesaran kelenjaran parotis yang prominen, pembesaran massa di leher, tanpa disertai artritis dan jarang didapatkan

altiRo(SS-A)

ditemukan pada pasien yang terinfeksi

HIY

termasuk

poliarthritis nodosa-like syndrome. Arkitis septik relatif jarang didapatkan pada pasien yang terinfeksi HIV, kecuali pada pasien hemofilia dan penyalahgunaan obat. Kadang-kadan g dapat ditemukan osteomielitis, baik bersamaan dengan artritis septik maupun secara tersendiri.

Penatalaksanaan Umumnya sebagian besar pasien memberikan respons

menetap walaupun erupsi kulit sudah menghilang. Secara histologik akan tampak gambaraninflamasi dan penebalan septa di dalam jaringan lemak. Laju endap darah hampir selalu meningkat. Untuk menegakkan diagnosis, harus dilakukan biopsi

kulit (full thickness skin biopsy). Pemeriksaan lain tergantung pada kasus perkasus, seperti hitung leukosit, hitung jenis, titer ASTO, foto dada, kultur faring dan tes kulit untuk tuberkulosis, koksidioidomikosis, blastomikosis dan histoplasmosis.

yang baik dengan analgetik atau obat inflamasi nonsteroid.

Pemberian sulfasalazin sangat efektif untuk mengatasi sindrom reiter dan artritis psoriatik. Pada sindrom reiter dan artritis psoriatik yang refrakter, dapat dicoba pemberian imunosupresan, tetapi harus sangat hati-hati, karena akan

memperburuk status imunodefisiensinya dan perkembangan sarkoma kaposi serta mencetuskan gejala klinis AIDS yang lengkap. Steroid topikal sangat efektif diberikan pada uveitis.

Injeksi steroid lokal dapat diberikan pada sendi yang meradang. Pada polimiositis, dapat diberikan prednison 30-60 mg,rhari dikombinasi dengan metotreksat dan atau

AZT.

Psoriasis dan artritis psoriatik juga dapat diatasi dengan pemb eriar, AZT dan kotrimoksazol. Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah terapi fisik dan rehabilitasi okupasi.

ERTTEMANODOSUM (EN) Eritema nodosum (EN) adalah erupsi nodular pada kulit yang timbul kulit dan ditandai oleh warna kemerahan dan membenjol sebagai akibat inflamasi lemak subkutan. EN pertamakali dideskripsikan oleh Robert Willan pada tahun 1798, dan pada awal abad 20 diketahui hubungan antara EN dengan berbagai infeksi, terutama tuberkulosis dan faringitis streptokokal. Kelainan ini sering ditemukan pada wanita2,5-4kali daripada lakilaki, dan terutama menyerang usia muda (2 5 -40 tahun). S elain itu EN juga berhubungan dengan faktor genetik tertentu yaitu HLA-BS.

Gambaran Klinis dan Diagnosis Secara klinik, EN tampak sebagai nodul kutaneus berdiameter 1-10 cm, timbul terutama pada bagian

Etiologi dan Patogenesis Berbagai keadaaan yang berhubungan dengan timbulnya EN adalah infeksi, obat-obatan, sarkoidosis, keganasan dan spondiloartropati. Infeksi yang berhubungan dengan EN antara lain adalah infeksi tuberkulosis, lepra, faringitis, streptokokus, gonore, limfogranuloma venereum, sivilis, jamur, berbagai jenis virus dan lain sebagainya.Obatobatan yang dilaporkan berhubungan dengan EN adalah

sulfonamid, penisilin, kontrasepsi oral, garam emas, prazosin, aspirin dan sebagainya. Pada pasien sarkoidosis, EN merupakan manifestasi kuiit, dan sebagian besar akan menunjukkan gambaranlimfadenopati hilus yang tampak pada radiografi torak. Keganasan yang sering berhuungan dengan EN adalah limfoma Hodgkin dan non Hodgkin. EN jarang timbul sebagai fenomen paraneoplastik.

EN merupakan komplikasi spondiloartropati yang jarang tetapi sering didapatkan pada beberapa kelainan jaraingan ikat seperti penyakit Behcet dan inflamasi usus kronik. Patogenesis EN tidak diketahui secarapasti, diduga berhubungan dengan circulating immune complex. EN merupakan bentuk cell mediated hypersensitivity dan merupakan hasil interaksi yang berlebihan antara antigen dan mekanisme imun selular. Bukti adanya mekanisme cel/ mediated hypersensitivity adalah adanya hasil tes kulit yang positifterhadap bakteri yang merupakan antigen dari EN, misalnya tes mantoux yang positif kuat pada tuberkulosis dan tes Frei pada limfogranuloma venereum. Penatalaksanaan EN merupakal acute self limiting diseases. Pengobatan yang terpenting adalah mengatasi penyakit dasamya. Tirah baring, obat anti inflamasi nonsteroid, kalium iodida dan

kadang-kadang glukokortikoid oral, dapat membantu mengatasi EN dan nyeri yang ditimbulkannya.

2649

INFEKSII TUIJ\IYG DAN SENDI

Lesi kulit akan menghilang dalam 6-8 minggu, tetapi arhalgia akan bertahan lebih lama dan dapat mencapai lebih dari 6 bulan. Dalam hal ini, obat anti inflamasi nonsteroid sangat bermanfaat mengatasi nyeri sendinya.

REFERENSI Louis JS, Bocanegra T. Mycobacterial, Brucella, Fungal and Parasitic Arthritis. In: Hochbers M, Silman AJ, Smolen J (eds) Rheumatology. Mosby Year Book Europe Limited 2003: 1077 -90

Lidgren L. Septic Arthritis and Osteomyelitis. In: Hochbers M, Silman AJ, Smolen J (eds) Rheumatology. Mosby Year Book Europe Limited 2003:1055-66.

Ho G, Naides SJ, Sigal LH,Ytterberg SR, Gibotrsky A, Zabriskie JB. Infection Arthritis. In : Klippel JH(ed). Primer on the Rheumatic Diseases. 12ft Ed. Arthritis Foundation, Atlanta, Georgia 2001:259-84 Mahowald ML. Gonococcal Arthritis. In : Hochbers M, Silman AJ, Smolen J (eds) Rheumatology. Mosby Year Book Europe Limited 2003:1067 -7 6 Sandra T. Osteoarticuler Tuberculosis. Abstract 9m APPLAR 2000 Bejing. China.

Torralba TP. Teresa SG and Navara S et al. Infection arthritis. In:.Howe H.S (ed) Text book of clinical Rheumatology. ILAR Singapore, Tan Tok Seng hospital Dept. of Rheumatology & immunology

;

1997 '. 2I0

-

222

Vassilopoulos D, Calabrese L. Rheumatic Aspects of HIV infection and other Immunodeficiens stases. In : Hochbers M, Silman AJ, Smolen J (eds) Rheumatology. Mosby Year Book Europe Lim-

ited 2003:1i15-29.

407 OSTEOPOROSIS Bambang Setiyohadi

Osteoporosis adalah penyakit tulang sistemik yang

FAKTOR RISIKO OSTEOPOROSIS

ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi

Osteoporosis merupakan penyakit dengan etiologi

rapuh dan mudah patah. Pada tahun 2001, National Institute of Health (NIH) mengajukan definisi baru osteoporosis sebagai penyakit tulang sistemik yang

multifaktorial. Umur dan densitas tulang merupakan faktor risiko osteoporosis yang berhubungan erat dengan risiko terj adinya fraktur osteoporotik. Fraktur osteoporotik akan meningkat dengan meningkatnya umur. Insidens fraktur pergelangan tangan meningkat secara bermakna setelah umur 50-an, fraktur vertebra setelah umur 60-an dan fraktur panggul setelah umur 70-an. Pada perempuan, risiko fraktur 2 kali dibandingkan laki-laki pada umur yang sama dan lokasi fraktur tertentu. Karena harapan hidup perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, maka prevalensi fraktur osteoporotik pada perempuan akan menjadi jauh lebih tinggi daripada laki-1aki. Densitas massa tulang juga berhubungan dengan rsiko fraktur. Setiap penurunan densitas massa tulang 1 SD berhubungan dengan peningkatn risiko fraktur 1,5-3,0. Walaupun demiakian, pengukuran densitas tulang tanpa memperhatikan umur pasien juga tidak ada manfaatrya. Seorang wanita yang berumur 80 tahun dengan T-score-1 akan memiliki risiko fraktur lebih tinggi dibandingkan dengan wanita berumur 50 tahun dengan T-score yang sama. Tetapi terapi yang diberikan pada wanita yang berumur 50 tahun akan lebih bermanfaat dibandingkan terapi pada wanitayangberusia 80 tahun, karena harapan hidup wanita yarg berumur 50 tahun lebih besar dibandingkan wanita yang berumur 80 tahun. Selain itu kegiatan pasien juga harus diperhatikan. Wanita umur 80 tahun yang masih aktif dalam berbagai kegiatan akan lebih diprioritaskan untuk diterapi dari pada wanita yang berumur sama, tetapi aktifitas fisiknya sudah minimal. Perbedaan ras dan geografik juga berghubungan dengan risiko osteoporosis. Fraktur panggul lebih tuinggi

ditandai oleh compromised bone strength sehinggatulang mudah patah.

Dengan meningkatnya usia harapan hidup, maka berbagai penyakit degeneratif dan metabolik, termasuk osteoporosis akan menjadi problem muskuloskeletal yang memerlukan perhatian khusus, terutama di negaranegara berkembang, termasuk Indonesia. Pada

survey kependudukan tahun 1990, ternyata jumlah penduduk yang berusia 55 tahun atau leblhmencapai9,2o/o,

meningkat 50% dibandingkan survey tahun 1971. Dengan demikian, kasus osteoporosis dengan berbagai akibatnya, terutama fraktur diperkirakan juga akan meningkat. Penelitian Roeshadi di Jawa Timur, mendapatkan bahwa

puncak massa tulang dicapai pada usia 30-34 tahun dan rata-rata kehilangan massa tulang pasca menopause

adalah l,4o/oltahw. Penelitian yang dilakukan di klinik Reumatologi RSCM mendapatkan faktor risiko osteoporosis yang meliputi umur, lamanya menopause

dan kadar estrogen yang rendah, sedangkan faktor proteksinya adalah kadar estrogen yang tinggi, riwayat berat badan lebih/obesitas dan latihan yang teratur.

Berbagai problem yang cukup prinsipil masih harus dihadapi oleh Indonesia dalam penatalaksanaan osteoporosis yang optimal, seperti tidak meratanya alat pemeriksaan densitas massa tulang (DEXA), mahalnya

pemeriksaan biokimia tulang dan belum adanya pengobatan standard untuk osteoporosis di Indonesia.

2650

2651

OSTEOFOROSIS

insidensnya pada orang kulit putih dan lebih rendah pada orang kulit hitam di Amerika Serikat dan di Afrika Selatan; demikian juga pada orang Jepang baik yang tinggal di Jepang maupun yang tinggal di Amerika Serikat.

Umur Setiap peningkatan umur 1 dekade berhubungan dengan peningkatan risiko 1,4-1 ,8

menyadarinya. Penelitian meta-analisis yang berbasios populasi secara kohort mendapatkan berbagai faktor risiko fraktur osteoporotik yang tidak tergantung pada BMD, yaitu indeks massa tubuh yang rendah, riwayat fraktur, riwayat fraktur panggul dalam keluarga, perokok, peminum alkohol yang berat dan artritis reumatoid. Glukokortikoid merupakan penyebab osteopo-

rosis sekunder dan fraktur osteoporotik

yang terbanyak.Glukokortikoid akan menyebabkan gangguan absorbsi kalsium di usus dan peningkatan ekskresi kalsium

Genetik Etnis (Kaukasus/Oriental > orang hitam/Polinesia Gender (Perempuan > Laki-laki Riwayat keluarga

lewat ginjal sehingga akan menyebabkan hipokalsemia,

hiperparatiroidisme sekunder dan peningkatan kerja osteoklas. Selain itu glukokortikoid uga akan menekan

produksi gonadotropin, sehingga produksi estrogen menurun dan akhirnya osteoklas juga akan meningkat kerjanya. Terhadap osteoblas, glukokortikoid akan

Lingkungan Makanan, defisiensi kalsium Aktifitas fisik dan pembebanan mekanik Obat-obatan, misalnya kortikosteroid, anti konvulsan, heparin, Merokok Alkohol Jatuh (trauma)

menghambat kerjanya, sehingga formasi tulang menurun.

Dengan adanya penin gkatan resorpsi tulang oleh osteoklas dan penurunan formasi fulang oleh osteoblas, maka akan terjadi osteoporosis yang progresif. Berdasarkan meta-analisis didapatkan bahwa risiko fraktur panggul pada pengguna steroid meningkat 2,1-4,4 kali. Oleh sebab itu

Hormon endogen dan penyakit kronik Defisiensi estrogen Defisiensi androgen Gastrektomi, sirosis, tirotoksikosis, hiperkortisolisme

terapi osteoporosis pada pengguna steroid dapat dimulai bila T-score mencapai -1 dan BMD serial harus dilakukan tiap 6 bulan, bukan tiap 1-2 tahun seperli pada osteoporo-

Sifat fisik tulang Densitas massa tulang Ukuran dan geometri tulang Mikroarsitektur tulang Komoosisi tulano

sls pnmer.

Riwayat fraktur merupakan faktor risiko timbulnya fraktur osteoporotik dikemudian hari dengan risiko 2kall Risiko ini terutama tampak pada fraktur vertebra. Penderita dengan 2 fraktur vertebra atau lebih akan memiliki risiko untuk fraktur vertebra berikuhrya sampai 12 kali lipat pada

tingkatBMD manapun. Indeks massa tubuh yang rendah juga merupakan

Faktor risiko klinis Sampai saat ini, telah diketahui berbagai faktor risiko fraktur

osteoporotik selain umur dan densitas massa tulang. Beberapa faktor risiko bervariasi tergantung pada umur. Misalnya risiko terjatuh pada gangguan penglihatan, imobilisasi dabn penggunaan sedatif akan menjadi risiko fraktur yang tinggi pada orang tua dibandingkan pada orang muda. Asupan kalsium yang rendah merupakan salah satu faktor risiko terjadinya fraktur panggul, walaupun demikian, banyak dokter dan pasien tidak

lndikator risiko

Tanpa

faktor risiko untuk terjadinya osteoporotik fraktur. Risiko ini tampak rryata pada orang dengan indeks massa tubuh

< 20 kglm2. Risiko fraktur pada orang kurus tidak tergantung pada BMD.

Fraktur osteoporotik merupakan risiko yang penting terhadap kejadian fraktur pada masa yang akan datang,

yaitu 2 kali dibandingkan orang yang tidak pernah mengalami fraktur. Risiko ini tampak nyata pada fraktur vertebra dan tidak tergan tung pada nilai BMD. Demikian

BMD

Dengan

95% Ct lndeks massa tubuh (20 vs 25 kg/m^2) (30 vs 25 kg/m') Riwayat fraktur setelah 50 tahun Riwayat parental dg fraktur panggul Merokok Pengguna kortikosteroid Pengguna alkohol > 2 uniUhari Artritis reumatoid

1,95 0,83 1,85 2,27 1,84 2,31

1,68 '1,95

1,71-2,22 0,69-0,99 1,58-2,17 1,47-3,49 1,52-2,22 1,67-3,20

1,19-2,36 1 .11-3,42

BMD 95% Ct

1,42 1,00 1,62 2,28 1,60 2,25 1,70 1.73

1,23-1 ,65 0,82-1,21 1,30-2,01 1,48-3,51 1,27-2,02 1

,60-3,1 5

1,20-2,42

0,94-3,20

26s2

REUMATIOI.OGI

juga riwayat fraktur osteoporotik dalam keluarga,

Estrogen vang terutama dihasilkan oleh ovarium adalah

merupakan faktor risiko fraktur yang juga independen terhadap nilai BMD, terutama riwayat fraktur panggul

estradiol. Estron juga diohasilkan oleh tubuh manusia, tetapi terutama berasal dari luar ovarium, yaitu dari konversi androstenedion pada jaringan perifer. Estriol

dalam keluarga.

Peminum alkohol lebih dari 2 unit/hari juga merupakan

merupakan estrogen yang terutama didaopatkan didalam

faktor risiko terjadinya fraktur osteoporotik dan bersifat

urin, berasal dari hidroksilasi-16 estron dan estradiol.

dose-dependerl. Demikian juga merokok yang merupakan

Estrogen berperan pada perhrmbuhan tanda seks sekunder wanita dan menyebabkan perhrmbuhan uterus, penebalan mukosa vagina, penipisan mukus serviks dan pertumbuhan saluran-saluran pada payudara. Selain itu estrogen juga mempengaruhi prohl lipid dan endotel pembuluh darah, hati, tulang, susunan saraf pusat, sistem imun, sistem kardiovaskular dan sistem gastrointestinal. Saat ini terlah ditemukan 2 macam reseptor estrogen (ER), yaitu reseptor estrogen-d, (ERu) darr reseptor estrogen-p (ERp. ERa dikode oleh gen yang terletak di kromosom 6 dan terdiri dari 595 asam amino, sedangkan ERb, dikode oleh gen yang terletak di kromosom 14 dan terdiri dari 530 asam amino. Sampai saat ini, fungsi ERB belum diketahui secara pasti. Selain itu, distribusi kedua reseptor ini bervariasi pada berbagaijaringan, misalnya di otak, ovarium, uterus dan prostat. Reseptor estrogen juga diekspresikan oleh berbagai sel tulang, termasuk osteoblas, osteosit, osteoklas dan kondrosit (lihat Tabel 2). Ekspresi ERo dan ERB meningkat bersamaan dengan diferensiasi dan maturasi osteoblas. Laki-laki dengan osteoporosis idiopatik mengekspresikan mRNA ERo yang rendah pada osteoblas maupun osteosit. Delesi ERcrpada tikus jantan

faktor risiko fraktur osteoporotik yang independen terhadap nilai BMD.

Beberapa penyakit kronik berhubungan dengan densitas tulang yang rendah, apalagi bila harus diterapi

dengan glukokortikoid jangka panjang. Pada artritis reumatoid, risiko fraktur osteoporotik tidak tergantung pada penggunaan glukokortikoid maupun nilai BMD.

OSTEOPOROSIS TIPE I DAN

II

Osteoporosis dlbagi 2 kelompok, yaitu osteoporosis primer (involusional) dan osteoporosis sekunder. Osteoporosis

primer adalah osteoporosis yang tidak diketahui penyebabnya, sedangkan osteoporosis sekunder adalah osteoporosis yang diketahui penyebabnya. Pada tahun 1940-ary Albright mengemukanan pentingnya estrogen pada patogenesis osteoporosis. Kemudian pada tahun 1983, Riggs dan Melton, membagi osteoporosis primer atas osteoporosis tipe I dan tipe II. Osteoporosis tipe I, disebut

juga osteoporosis pasca menopause, disebabkan oleh defisiensi estrogen akibat menopause. Osteoporosis tipe II, disebut juga osteoporosis senilis, disebabkan oleh

gangguan absorpsi kalsium

di usus

sehingga

menyebabkan hiperparatiroidisme sekunder yang mengakibatkan timbulnya osteoporosis. Belakangan konsep itu berubah, karena ternyata peran estrogen juga menonjol pada osteoporosis tipe II. Selain itu pemberian kalsium dan vitamin D pada osteoporosis tipe II juga tidak memberikan hasil yang adekuat. Akhimya pada tahun 1990an, Riggs dan Melton memperbaiki hipotesisnya dan

mengemukakan bahwa estrogen menjadi faktor yang sangat berperan pada timbulnya osteoporosis primel baik pasca menopause maupun senilis.

Peran estrogen pada tulang Struktur estrogen vetebrata terdiri dari I 8 karbon dengan 4 cincin. Estrogen manusia dapat dibagi 3 kelompok, yaitu

estron (El), lTftestradiol (82),estriol (83). Selain itujuga terdapat jenis-jenis estrogen lain, seperti estrogen dari

tumbuh-tumbuhan (fitoestrogerz), estrogen sintetik (misalnya etinilestradiol, dietilstilbestrol, klomifen sitrat), xenobiotik (DDT, bifenol dll). Saat ini terdapat struktur lain yang dikenal sebagai anti-estrogen, tetapi pada organ non-reproduktif bersifat estrogenik; struktur

ini disebut selective estrogen receptor (SERMs).

modulators

dan betina menyebabkan penurunan densitas tulang, sedangkan perusakan gen ERB pada wanita teriyata meningkatan bone mineral content (BMC) tulang kortikal walaupun pada tikus tidak memberikan perubahan pada tulang kortikal maupun trabekular. Delesai gen ERo, dan ERB juga menurunkan kadar IGF-

1

serum.

Estrogen merupakan regulator pertumbuhan dan homeostasis tulang yang penting. Estrogen memiliki efek langsung dan tak langsung pada tulang. Efek tak langsung

meliputi estrogen terhadap tulang berhubungan dengan homeostasis kalsium yang meliputi regulasi absorpsi kalsium di usus, modulasi 1,25(OH)2D, ekslaesi Ca di ginjal dan sekresi hormon paratiroid (PTH). Terhadap sel-sel tulang, estrogen memiliki beberapa efek, seperti tertera pada Tabel 3. Efek-efek ini akan meningkatkan formasi tulang dan menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas.

Terjatuh Penurunan respons protektif Kelainan neuromuskular Gangguan penglihatan Gangguan keseimbangan Gangguan penyediaan energi Malabsorpsi Peningkatan fragilitas tulang Densitas massa tulang rendah H ioeroaratiroidisme

2653

osTEoFoRosllt

Patogenesis Osteoporosis Tipe

I

Setelah menopause, maka resorpsi tulang akan meningkat,

terutama pada dekade awal setelah menopause, sehingga

insidens fraktur, terutama fraktur vertebra dan radius distal meningkat. Penurunan densitas tulang terutama pada tulang trabekular, karena memiliki permukaan yang luas dan hal ini dapat dicegah dengan terapi sulih estrogen. Petanda

resorpsi tulang dan formasi tulang, keduanya meningkat

menunjukkan adanya peningkatan bone turnover. Estrogen juga berperan menurunkan produksi berbagai sitokin oleh bone marrow stromal cellsl dart sel-sel mononukleaq seperti IL-1, IL-6 dan TNF-a yang berperan

meningkatkan kerja osteoklas. Dengan demikian penurunan kadar estrogen akibat menopause akan meningkatkan produksi berbagai sitokin tersebut sehingga aktifitas osteoklas meningkat. Selain peningkatan aktifitas osteoklas, menopause juga menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan ekskresi kalsium di ginjal. Selain itu, menopause juga

meningkatkan konsentrasi 1,25(OH)rD didalam plasma. Tetapi pemberian estrogen transdermal tidak akan meningkatkan sintesis protein tersebut, karena estrogen transdermal tidak diangkut melewati hati. Walaupun demikian, estrogen transdermal tetap dapat meningkatkan

absorpsi kalsium di usus secara langsung tanpa dipengaruhi vitamin D.

Untuk mengatasi keseimbangan negatif kalsium akibat menopause, maka kadar PTH akan meningkat pada wanita menopause, sehingga osteoporosis akan semakin berat. Pada menopause, kadangkala didapatkan peningkatan

kadar kalsium serum, dan hal ini disebabkan oleh menurunnya volume plasma, meningkatnya kadar albumin dan bikarbonat, sehingga meningkatkan kadar kalsium yang terikat albumin danjuga kadar kalsium dalam bentuk garam kompleks. Peningkatan bikarbonat pada menopause terjadi akibat penumnan rangsang respirasi, sehingga terjadi relatif asidosis respiratorik. Walaupun terjadi peningkatan kadar kalsium yang terikat albumin

menurunkan sintesis berbagai protein yang membawa

dan kalsium dalam garam kompleks, kadar ion kalsium tetap

1,25(OH),D, sehingga pemberian estrogen akan

sama dengan keadaan premenopausal.

Tipe

Tipe ll

I

>70

Umur (tahun)

50-75

Perempuan : laki-laki Tipe kerusakan tulang Bone turnover Lokasi fraktur terbanyak Fungsi paratiroid Efek estrogen Etiologi utama

6:1

2'.1

Terutama trabekular

Trabekular dan kortikal

Tinggi

Rendah

Vertebra, radius distal

Vertebra, kolum femoris Meningkat Terutama ekstraskeletal Penuaan, defisien

Menurun

Teruiama skeletal Defisiensi estrogen

estrogen

sintesis DNA, t alkali fosfatase, J kolagen tipe l, mineralisasi tulang, t sintesis IGF-1 1 sintesis TGF-B, sintesis BMP-6, J sintesis TNF-o., t sintesis OPG J aksi PTH,

t

,

f

tekspresi ERcr, J aoootosis osteoblas

Reseptor estrogen

Osteoblas Osteosit Bone marrow stromal cells Osteoklas Kondrosit

ERo dan ERp ERo dan ERp ERcr dan ERp ERq, dan ERp (?) ERcr, dan ER0

Osteoklas

Osteosit

Osteoblas

t

Sel tulang

t

osis osteosit, ekspresi ERo,

t

c-fos, c1un, TGF-p, J rnnP, cathepsin B, D t apoptosis osteoklas, J formasi osteoklas

t

pertumbuhan endo kondral selama pubedas, mempercepat penutupan lempeng epifisis

2654

REI,'MAIIOI.OGI

Patogenesis Osteoporosis Tipe ll

seringkali didapatkan pada orang tua, tetapi hal ini lebih

Selama hidupnya seorang wanita akan kehilangan tulang

menunjukkan peningkatat turnoyer tulang dan bukan

spinalnya sebesar 42o/o dan kehilangan tulang femurrya sebesar 58o/o. Pada dekade ke delapan dan sembilan kehidupannya, terjadi ketidakseimbangan remodeling

peningkatan formasi tulang.

penurunan fungsi osteoblas pada orang tua, diduga

tulang, dimana resorpsi tulang meningkat, sedangkan formasi tulang tidak berubah atau menurun. Hal ini akan menyebabkan kehilangan massa tulang, perubahan mikroarsitektur tulang dan peningkatan risiko fraktur.

karena penumnan kadar estrogen dan IGF-1. Defisiensi kalsium dan vitamin D juga sering didapatkan pada orang tua. Hal ini disebabkan oleh asupan kalsium dan vitamin D yang kurang, anoreksia, malabsorpsi dan

Peningkatan resorpsi tulang merupakan risiko fraktur yang

paparan sinar matahari yang rendah. Akibat defisiensi kalsium, akan timbul hiperparatiroidisme sekunder yang

independen terhadap BMD. Peningkatan osteokalsin

Sampai saat ini belum diketahui secara pasti pebnyebab

Bone marrow stromal cell +sel

mononuklear

ldiferensiasi dan muturasi osteoklas

Gambar 1. Patogenesis osteoporosis pasca menopause

Definisi vitamin D,

Iaktifitas'1 -didroksilase, resistensi thd vit D

'treabsorpsi Ca di ginjal

0 sekresi GH

dan IGF-1

lrisiko terjatuh (kekuatan otot, 0aktifitas otot,medikasi

gangguan keseimbangan, gangguan penglihatan, dan lain -lain

Gambar 2. Patogenesis Osteoporosis tipe

2655

OSTEOFOROSIS

persisten sehingga akan semakin meningkatkan resorpsi tulang dan kehilangan massa tulang, terutama pada orang-orang yang tinggal di daerah 4 musim.

Aspek nutrisi yang lain adalah defisiensi protein yangFaktor lain yang juga ikut berperan terhadap kehilangan massa tulang pada orang tua adalah faktor genetik dan lingkungan (merokok, alkohol, obat-obatan, imobilisasi lama). Defisiensi estrogen, ternyata juga merupakan masalah yang penting sebagai salah satu penyebab osteoporosis pada orang tua, baik pada laki-laki maupun perempuan. Demikian juga kadar terstosteron pada laki-laki. Defisiensi estrogen pada laki-laki juga berperan pada kehilangan massa tulang. Penurunan kadar estradiol dibawah 40 pMoU L pada laki-laki akan menyebabkan osteoporosis. Karena laki-laki tidak pernah mengalami menopause (penurunan kadar estrogen yang mendadak), maka kehilangan massa tulang yang besar seperti pada wanita tidak pernah terjadi. Falahati-Nini dkk menyatakan bahwa estrogen pada laki-

laki berfungsi mengatur resorpsi tulang, sedangkan estrogen dan progesteron mengatur formasi tulang. Kehilangan massa tulang trabekular pada laki-laki berlangsung linier, sehingga terjadi penipisan trabekula, tanpa disertai putusnya trabekula seperti pada wanita. Penipisan trabekula pada laki-laki terjadi karena penurunan formasi tulang, sedangkan putusnya trabekula pada wanita disebabkan karena peningkatan resorpsi yang berlebihan akibat penurunan kadar estrogen yang drastis pada waktu menopause. Dengan bertambahnya umur, remodeling endokortikal dan intrakortikal akan meningkat, sehingga kehilangan

tulang terutama terjadi pada tulang kortikal dan meningkatkan risiko fraktor tulang kortikal, misalnya pada femur proksimal. Total permukaan tulang untuk remodel-

diperlukan anamnesis, pemeriksaan fi sik, laboratorium, pemeriksaan radiologi dan kalau perlu biopsi tulang.

Anamnesis Anamnesis memegang peranan yang penting pada evaluasi penderita osteoporosis. Kadang-kadang, keluhan

utama dapat langsung mengarah kepada diagnosis. misalnya fraktur kolum femoris pada osteoporosis. bowing leg pada riket, atau kesemutan dan rasa kebal di sekitar mulut dan ujung jari pada hipokalsemia. Pada anakanak, gangguan perfumbuhan atau tubuh pendek, nyeri

tulang, kelemahan otot, waddling gait, kalsifikasi ekstraskeletal, kesemuanya mengarah kepada penyakit tulang metabolik. Faktor lain yang harus ditanyakan juga adalah fraktur pada trauma minimal, imobolisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua, kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, latihan yang teratur yang bersifat weight-beari ng. Obat-obatan yang diminum dalam jangka panjang juga harus diperhatikan, seperti kortikosteroid, hormon tiroid,

anti konvulsan, heparin, antasid yang mengandung alumunium, sodium-fluorida dan bifosfonat etidrbnat. Alkohol dan merokok juga merupakan faktor risiko osteoporosis. Penyakit-penyakit lain yang harus ditanyakan yang juga berhubungan dengan osteoporosis adalah penyakit ginjal, saluran cerna, hati, endokrin dan insufisiensi pankreas. Riwayat haid, umur menarke dan menopause, penggunaan obat-obat kontraseptif juga harus diperhatikan. Riwayat keluarga dengan osteoporosis juga harus diperhatikan, karena ada beberapa penyakit tulang metabolik yang bersifat herediter.

ing tidak berubah dengan bertambahnya umur, hanya

Pemeriksaan Fisik

berpindah dari tulang trabekular ke tulang kortikal. Pada laki-laki tua, peningkatan resorpsi endokortikal tulang panjang akan diikuti peningkatan formasi periosteal, sehingga diameter tulang panjang akan meningkat dan menurunkan risiko fraktur pada laki-laki tua. Risiko fraktur yang juga harus diperhatikan adalah risiko terjatuh yang lebih tinggi pada orang tua dibandingkan orang yang lebih muda. Hal ini berhubungan dengan penunman kekuatan otot, gangguan keseimbangan dan

Tinggi badan dan berat badan harus diukur pada setiap penderita osteoporosis. Demikian jloga gaya berjalan penderita, deformitas tulang, leg-length inequality, ty ei

stabilitas postural, gangguan penglihatan, lantai yang licin atau tidak rata dan lain sebagainya. Pada umumnya, risiko terjatuh pada orang tua tidak disebabkan oleh penyebab

tunggal.

PENDEKATAN KLINIS OSTEOPOROSIS

Untuk menegakkan diagnosis osteoporosis, diperlukan pendekatan yang sistematis, terutama untukmenyingkirkan osteoporosis sekunder. Sebagaimana penyakit lain,

spinal dan janngan parut pada leher (bekas operasi tiroid ?).

Sklera yang biru biasanya terdapat pada penderita osteogenesis imperfekta. Penderita ini biasanya juga akan

mengalami ketulian, hiperlaksitas ligamen dan hipermobilitas sendi dan kelainan gigr. Cafd-au-lail spots biasanya didapatkan pada sindrom McCune-Albright. Pada anak-anak dengan vitamin D-dependent rickets tipe 11, sering didapatkan alopesia, baik total atau hanya berambut jarang. Pada rikets, beberapa penemuan fisik sering dapat mengarahkan ke diagnosis, seperti perawakan pendek, nyeri tulang, kraniotabes, parietal pipih, penonjolan sendi kostokondral (rashitic rosary), bowing deformiQ tulangtulang panjang dan kelainan gigi. Hipokalsemia ditandai oleh iritasi muskuloskeletal, yang berupa tetani. Biasanya akan didapatkan aduksi jempol tangan, fleksi sendi MCP dan ekstensi sendi-sendi

2656

REI.JMANOIOGI

IP. Pada keadaan yang iaten, akan didapatkan tanda Chovstek dan Trosseau. Pada penderita hipoparatiroidisme

idiopatik, pemeriksa

harus mencari tanda-tanda sindrom kegagalan poliglandular, seperti kandidiasis mukokutaneus kronik, penyakit Adison, alopesia, kegagalan ovarium prematur, diabetes melitus, tiroiditis otoimun dan anemia pernisiosa. Pada penderita hiperparatiroidisme primer, dapat ditemukan

band keratoplasQ akibat deposisi kalsium fosfat pada tepi limbikkomea. Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal atau gibbus (Dowager's hump) dan

penurunan tinggi badan. Selain itu juga didapatkan protuberansia abdomen, spasme otot paravertebral dan kulit yang tipis (tanda McConkey).

PEMERIKSAAN BIOKIMIA TU LANG

tulang terdiri dari Bone-specific alkaline phosphatase (BSAP), osteokalsin OC), Carboxy-terminal propeptide of type I collagen (PICP) dan amino-terminal propeptide of type I collagen (PINP). Sedangkan petanda resorpsi terdiri dari hidroksiprolin urin,free and total pyridinolines (Pyd) urin,free and total deoxypyridinolines (Dpd) urin,

N-telopeptide of collagen cross-links (NTx) urin, C-telopeptide of collagen cross-links (CTx) urin, cross-linked Ctelopeptide of type I collagen (ICTP) serum dan tartrate-resistant acid phosphatase (TRAP) serum.

Protein yang diproduksi oleh osteoblas, terutama adalah kolagen tipe I, walaupun demikian, osteoblas juga menghasilkan protein nonkolagen, seperti BSAP dan OC.

BSAP berperan pada proses mineralisasi tulang, pada keadaan hipofosfatasia (def,rsiensi fo sfatase alkali), maka akan terjadi gangguan mineralisasi tulang dan gigi. Peran B SAP secara pasti sebenarnya belum j elas, diduga berperan

pada peningkatan kadar fosfat anorganik lokal, merusak Pemeriksaan biokimia tulang terdiri dari kalsium total dalam

inhibitor perfumbuhan kristal mineral, transport fosfat,

serum, ion kalsium, kadar fosfor didalam serum, kalsium urin, fosfat urin, osteokalsin serum, piridinolin urin dan bila perlu hormon paratiroid dan vitamin D. Kalsiurn serum terdiri dari 3 fraksi, yaitu kalsium yang terikat pada albumin (40%), kalsium ion (48%) dan kalsium kompleks (12%). Kalsium yang terikat pada albumin tidak

atau berperan sebagai protein pengikat Ca atau Ca*-adenosine triphosphatase (ATPase). Fosfatase alkali (AP) yang beredar didalam darah, terutama berasal dari tulang dan hati, dan sebagian kecil berasal dari banyakjaringan, termasuk usus, limpa, ginjal, plasenta dan beberapa jenis tumor.

di glomerulus. Keadaan-keadaan yang

Osteokalsin juga merupakan petanda aktifitas

mempengaruhi kadar albumin serum, seperti sirosis hepatik dan sindrom nefrotik akan mempengaruhi kadar kalsium total serum. Ikatan kalsium pada albumin sangat baik terj adi pada pH 7-8. Peningkatan dan penumnan pH 0,1 secara akut akanmenaikkan atau menurunkan ikatan kalsiumpada albumin sekitar 0,12 mgldl. Pada penderita hipokalsemia dengan asidosis metabolik yang berat, misalnya pada penderita gagal ginjal, koreksi asidemia yang cepat dengan natrium bikarbonat akan dapat menyebabkan tetani karena kadar ion kalsium akan turun secara drastis. Ion kalsium merupakan fraksi kalsium plasma yang penting pada proses-proses fisiologik, seperti kontraksi otot, pembekuan darah, konduksi saraf, sekresi hormon PTH dan mineralisasi tulang. Pengukuran kadar ion kalsiumjauh lebih bermakna daripada pengukuran kadar kalsium total. Ekskresi kalsium urin24 jam juga harus diperhatikan walaupun tidak secara langsung menunjukkan kelainan metabolisme tulang. Pada orang dewasa dengan asupan kalsium 600-800 mg/hari, akan mengekskresikan kalsium 1 00-2 5 0 mgl 24 jam. Bila ekskresi kalsium kurang dari I 00

osteoblas dan fosmasi tulang. Walaupun demikian, karena

dapat dif,rltrasi

OC banyak teruikat di matriks tulang dan akan turut dilepaskan pada proses resorpsi tulang, maka kadamya didalam serum tidak hanya menunjukkan aktifitas formasi, tetapi juga resorpsi tulang. Fungsi OC juga belum jelas,

tetapi kadarnya didalam matriks akan meningkat bersamaan dengan peningkatan hidroksiapatit selama pertumbuhan tulang. PICP dan PINP merupakan petanda yang ideal dari formasi tulang, karena sebagaian besar protein yang dihasilkan oleh osteoblas adalah kolagen tipe I, walaupun demikian kolagen ini juga dihasilkan oleh kulit, sehingga penggunaannya di klinik tidak sebaik BSAP dan OC, karena pemeriksaan yang ada saat ini tidak dapat membedakan PICP dan PNP yang berasal dari tulang atau

mgl24 jam, harus dipikirkan kemungkinan adanya malabsorbsi atau hiperparatiroidisme akibat retensi

jaringan lunak. Berbeda dengan formasi tulang, produk degradasi kolagen sangat baik digunakan untuk petanda resorpsi tulang. Pada tulang yang diresorpsi, produk degradasi kolagen akan dilepaskan kedalam darah dan diekskresi lewat ginjal. Kolagen pada matriks tulang merupakan kumpulan fibril yang disatukan oleh covalent ceross-link.

kalsium oleh ginjal. Peningkatan ekskesi kalsium urin yang disertai a-qidosis hiperkloremik menunjukkan adanya asidosis tLrbuiar renal (RTA). Untuk menentlkan turnover itlang, dapat diperiksa petanda biokimkia tulang. Petanda biokimia tulang terdiri dari petan la formasi dan resorpsi tulang. Petanda formasi

(piridinolin, Pyd) dan lisil-piridinolin (deoksipiridinolin, Dpd). Pyd lebih banyak ditemukan didalam tulang dibandingkan Dpd, tetapi Pyd juga ditemukan didalam kolagen tipe II rawan sendi dan jaringan ikat lainnya, sehingga Dpd lebih spesifik untuk tulang daripada Pyd.

Cross-link ini terdiri dari hidroksilisil-piridinolin

2657

OSTEOFOROSIS

CrossJinkPyd dan Dpd terj adipada2lokasi intermolekuler pada molekul kolagen, yaitu dekat residu 930, dimata 2

PEMERIKSAAN RADIOLOGIK

aminotelopeptida berikatan membentuk struktur tripel heliks (//-lelopeptide of collagen cross-link, NTx) dan pada residu 87, dimana 2 karboksitelopeptida berikatan membentuk struktur tripel heliks (C-telopeptide of co I I agen cro s s - link, CTx). Setelah resorpsi tulang oleh osteoklas, berbagai produk degradasi kolagen termasuk Pyd dan Dpd akan dilepaskan kedalam sirkulasi, dimetabolisme di hati dan diekskresi lewat ginjal. Urin menganilng 40oh Pyd dan Dpd bebas dan 60%o Pyd dan Dpd yang terikat protein.

Pemeriksaan radiologik untuk menilai densitas massa tulang sangat tidak sensitif. Seringkali penurunan densitas massa tulang spinal lebih dari 50oh belum memberikan gambaran radiologik yang spesifik. Selain itu, tehnik dan

Pengukuran kedua bentuk Pyd dan Dpd (bebas dan terikat protein) merupakan baku emas, tetapi memerlukan wakfu yang lama dan sangat mahal, sehingga saat ini banyak digunakan pengukuran Pyd dan Dpd bebas saja. Selain itu, didalam urin juga dapat diperiksa NTx dan CTx.

Petanda resorpsi tulang yang dapat diperiksa dari

serum adalah Cross-linked C-telopeptide

of type I

collagen (ICTP) dan tartrate-resistant acid phosphatase (TRAP). ICTP tidak banyak digunakan karena hasilnya sebagai petanda resorpsi tulang tidak menggembirakan.

TRAP juga tidak banyak digunakan karena tidak spesifikuntuk osteoklas dan relatif tidak stabil didalam serum yang beku.

Beberapa hal yang harus dipertimbangkan pada pemeriksaan petanda biokimia tulang adalah : 1. Karena petanda biokimia tulang hanya dapat diukur dari urin, maka harus diperhatikan kadar kreatinin di dalam darah dan urin karena akan mempengaruhi hasil pemeriksaan. 2. Pada umumnya petanda formasi dan resorpsi tulang memiliki ritme sirkadian, sehingga sebaiknya diambil sampel urir;' 24 jam atau bila tidak mungkin dapat digunakan urin pagi yang kedua, karena kadar teertinggi petanda biokimia tulang didalam urin adalah antara j am 4.00-8.00 pagi. Kadar OC dan PICP juga mencapai kadar tertinggi didalam serum antara j am 04. 00-08. 00. 3. Petanda biokimia tulang sangat dipengaruhi oleh umur, karena pada usia muda juga terjadi peningkatan bone turnover.

4. Terdapat

perbedaan hasil pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya pada penyakit Paget, BSAP

lebihtinggi peningkatannya dibandingkan OC, terapi bisfosfonat akan menurunkan kadar Pyd dan Dpd yang terikat protein tanpa perubahan ekskresi Pyd dan Dpd bebas, sedangkan terapi estrogen akan menurunkan ekskresi Pyd dan Dpd urin, baik yang bebas maupun yang terikat protein. Manfaat pemeriksaan petanda biokimia tulang : 1. Prediksi kehilangan massa tulang, 2. Prediksi risiko fraktur, 3. Seleksi pasien yang membutuhkan anti resorptif 4. Evaluasi efektifitas terapi

tingginya kilovoltage juga mempengaruhi hasil pemeriksaan radiologik tulang.

Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan korteks dan daerah trabekuler yang lebih

lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-tulang vertebra yang memb erikan gambar art p i c tur e -fr am e v ert e b r a. Pada tulang-tulang vertebra, pemeriksaan radiologik sangat baik untuk mencari adanya fraktur kompresi, fraktur baji atau fraktur bikonkaf. Pada anak-anak, fraktur kompresi dapat timbul spontan dan berhubungan dengan os-

teoporosis yang berat, misalnya pada osteogenesis imperfekta, rikets, artritis reumatoidjuvenil, penyakit Crohn atau penggunaan steroidjangka panjang. Bowing deformity pada tulang-tulang panjang, sering didapatkan pada anak-anak dengan osteogenesis imperfekta, rikets dan

displasia fibrosa.

Resorpsi subperiosteal merupakan gambaran + l0o/o

patognomonik hiperparatiroidsme, terlihat pada

kasus, terutama pada daerah radial falang medial jari II dan

III. Kelainan ini akan tampak dengan baik bila menggunakan film mamograh. Selain itu dapatjuga terlihat

lesi fokal atau multipel yang juga spesifik untuk hiperparatiroidisme yang disebut brown tumor (osteoklastoma) yang berisi sel-sel raksasa yang sangat responsif terhadap PTH. Kelainan ini akan hilang dengan pembuangan adenoma paratiroid.

Vertebra Gambaran osteoporosis pada foto polos akan menjadi lebih radiolusen tetapi baru terdeteksi setelah terjadi penurunan massa tulang sekitar 3\%o.Yariabilitas faktor teknis dalam pengambilan foto polos, dan variasijenis serta ketebalan

jaringan lunak yang tumpang tindih dengan vertebra akan mempengamhi gambaran radiologisnya dalam menilai densitas tulang. Selain itu adanya kompresi vertebra, akan meningkatkan densitas tulang karena terjadi perpadatan trabekula dan pembentukan kalus. Tetapi ada pendapat lain yang menyatakan bahwa angka 30o/o itu karena berdasarkan misinterpretasi pada penelitian in vitro yang telah dilakukan 40 tahun yang lalu. Lachman dan Whelan menunjukkan bahwa hal tersebut benar untuk daerah kortikal sedangkan pada tulang-tulang yang mempunyai kadar trabekula tinggi osteoporosis dapat dilihat secara radiogram bila terjadi defisit mineral tulang sebesar 8-14%. Terdapat 6 kriteria yang dianjurkan dalam menentukan osteoporosis vertebra : 1. Kriteria yang paling subyektifadalah peningkatan daya

tembus sinar pada korpus vertebra atau penurunan

2658

REUMATOI-OGI

densitas tulang.

osteopeni dengan pengukuran densitas mineral tulang

Hilangnya trabekula horisontal disertai semakin

DXA pada verlebra dan femur.

jelasnya trabekula vertikal. Resorpsi, penipisan dan

menghilang terutama pada trabekula horisontal dibandingkan trabekula yang vertikal sehingga menghasilkan gambaran densitas striata vertikal. Adanya diskrepansi resorpsi trabekula dapat berkaitan dengan efek dari kompresi, yang selanjutnya terjadi tulang subkondral yang tipis dan tegas.

KiteiaBone Atrophy

Class (Silver Science Group, 1990)

merupakan salah satu metode yang dapat digunakan dalam menilai osteoporosis berdasarkan perubahan trabekulasi. Kriteria Bone Atrophy C/ass membagi tingkatan perubahan trabekulasi menjadi 4 tingkatan,

Grade - Grade

0 : 1 :

-)

0 I II III

Normal Trabekula longitudinal lebih jelas Trabekula longitudinal menjadi kasar Trabekula longitudinal menjadi tidak jelas

Pengurangan ketebalan korteks bagian anterior korpus

vertebra. Pemeriksaan ini sangat sulit karena tebal korteks yang sangat kecil sehingga menimbulkan kesalahan dalam pengukuran selain sulit menentukan

kehilangan densitas minimal,

plates mulai memperlihatkan

end efek

stensil.

-Grade2 :

garis striata vertikal lebih jelas; end plates lebih tipis

- Grade

- Grade

3 : 4 :

kehilangan densitas tulang lebih berat end plates menjadi kurang terlihat

dari grade

2,

korpus vertebra ghost like, densitas tidak lebih besar dari jaringan lunak dan tak ada bentuk trabekula yang terlihat.

yartu: Klas Klas Klas Klas

densitas tulang normal

Beat dkkmencoba membuat kriteria penilaian spesifik perubahan yang terjadi pada vertebra yang dapat dilihat pada foto lateral yaitu : 1. Derajat ketegasan (prominen) endplates dibanding korpus vertebra lumbal- 1 vertebra dibanding jaringan lunak yang berdekatan.

2. Densitas korpus J.

Derajatbikonkaf

tepi korteks.

4.

Jumlah trabekula

Perubahan end plates, baik secara absolut maupun relatif dengan membandingkan antara korpus vefiebra dengan end plates. Penurunan kandungan kalsium dalam vertebra menghasilkan end plates akan semakin jelas terlihat. lndikator perubahan end plates ini merupakan indikator yang paling sensitif dalam menentukan osteoporosis. Abnormalitas bentuk korpus vertebrae dapat berupa bentuk baji (diameter verlebra anterior kurang atau lebih

5.

Ketegasan trabekula Perkiraan keadaan osteopenia vefiebra lumbal- I

6.

l. Perkiraan

keadaan osteopeni seluruh vertebra

lumbal.

rendah dari bagian posterior), bikonka! fraktur kompresi

1. A.Hm<85%

(bila tinggi kedua tepi verlebra berkurang). Menurut penelitian Oda dkk bahwa bentuk baji dari vertebra merupakan deformitas tulang yang paling sering terjadi, kemudian diikuti bikonkal flatlfraktur ver-

b. Ha<85% a

2. A. Hm<7lo/o

tebra. Terdapat beberapa cara dalam menilai

b

bikonkavitas vertebra, salah satu diantaranya Spine score yang digunakan Barnet dan Nordin dengan membandingkan persentase antara tinggi vertikal korpus vertebra lumbal 3 bagian tengah (melalui pusat vertebra) dengan tinggi vertikal bagian anterior pada foto lateral vertebra lumbal. Apabila spine score < 80 menunjukkan osteoporosis. Salah satu usaha untuk menentukan tingkat atau derajat skala osteopeniapada

tulang vertebra yaitu menggunakan metode Saville dengan penilaian terhadap densitas, end plates dan trabekula vertikal. Skor osteopenia semikuantitatif Saville sederhana dan mudah diaplikasikan tetapi membutuhkan interpretasi yang masih subyektif. Terdapat korelasi yang kasar/luas antara nilai skor

Ha<7Oo/o

3. Hp,Hm,Ha <85%

<70% Gambar 3. Radiomorfometri vertebra

Setelah dibandingkan dengan pengukuran densitas mineral tulang melalui metode Q-CT pada vertebra pada batas ambang fraktur yaitu 110 mg/cm3 (kehilangan massa tulang sekitar 40% dibandingkan nilai maksimal pada usia 35 sebesar 175 mg/cm3) temyata diperoleh data bahwa kriteria radiologis yaitu keadaan osteopenia

2659

OSTEOFOROSIS

kearah atas dan berakhir pada permukaan superior

pada vertebra lumbal-l mempunyai korelasi yang pal-

ing tinggi, diikuti dengan densitas korpus vertebra aringan lunak yang berdekatan. dibandingkan jumlah Ketiga kriteria radiologis trabekula. Kemudian pada densitas mineral tulang tersebut temyata bermakna dengan j

trokhanter mayor.

4. Principal tensile group, kelompok

diatas 110 Mg/CM3. Sehingga disimpulkan kriteria radiologis pada foto polos vertebra lumbaTlatetaldapat memperkirakan densitas tulang pada penderita non os-

Metode terakhir dalam diagnosis osteoporosis dengan rnenemukan fraktur spontan atau setelah trauma ringan

Secondary tensile group, kelompok trabekula yang berjalan mulai dari korteks lateral dibawah kelompok principal tensilekearuh superior dan medial menyilang leher femur. Pada daerah leher femur terdapat area segitiga disebut Segitiga Ward yang sangat sedikit mengandung trabekula dan dikelilingi oleh kelompok princip al compres s ive, s econdary c ompres sive dan

pada foto vertebra.

tensile.

Kondisi foto dan posisi kemiringan vertebra lumbar

Singh dkk telahmencoba menghubungkan bentuk dari

teoporosis (di atas ambang fraktur) serta dapat memperkirakan kuantitas tulang vertebra (kehilangan mineral tulan g di b aw ah 40%o).

6.

trabekula yang

berjalan kurvalinier dari korteks lateral tepat dibawah trokhanter mayor menyilang leher femur kearah bagian inferior kaput femoris, merupakan trabekulatensile yang paling tebal.

sangat mempengaruhi penilaian densitas tulang. Perbedaan

kontras antara korpus vertebra dengan jaringan lunak sekitamya akan memberikan perbedaan dalam penilainan

trabekula. Hal ini juga dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk diantaranya ukuran kolimasi sumber sinar, kilovoltage sinar-X, energi total sinar-X, jumlah sinar

hambur, efisiensi Potter-Buclcy grid, lipe

film yang

digunakan dan proses fotografik. Keadaan inspirasi dapat memberikan keadaan lebih porotik pada vertebra torakal. Yuan X, Takahashi dkk meneliti korelasi foto polos

vertebra lumbal lateral dari L2 sampai L4, ternyata visualisasi radiografik L3 lebih baik dibandingkan L2 maupun L4 sehingga sangat membantu dalam mendeteksi

atrofi tulang secara radiografik.

5.

kelompok-kelompok trabekula tersebut dengan berat ringannya osteoporosis dibandingkan dengan biopsi tulang dan didapatkan hasil yang sangat bermakna. Dengan resorpsi trabekula dini diperhatikan atenuasi dari sruktur trabekula prinsipal compressive dan principal tensile. Trabekula di proksimal femur dapat dilihat dengan baik bila dibuat rontgenogram pada daerah hip (leher.femur) dengan menggunakat exposure yang adekuat agar dapat melihat detil makroskopis arsitektur susunan trabekulanya. Pada perj alanan

o

steoporo sis terj adi penipisan trabekula

dan beberapa diresorpsi sempurna, sehingga trabekula yang tebal akan lebih nyatapada foto polos. Bila proses osteoporosis terus berlanjut, maka trabekula yang tebal akan teresorpsi juga. lndeks Singh terbagi dalam 6 grade yaitu

Femur Proksimal

trabekula terlihat, segitiga Ward kurang jelas dan didalamnya tampak

Telah lama diketahui bahwabagianujung proksimal tulang

femur terdiri dari trabekula tulang yang tersusun dalam2 lengkung yang saling menyilang. Dan telah dibuktikan melalui analisa matematika bahwa susunan trabekula ini berkaitan dengan weight bearing dimana tekanan yang diterima kaput femoris diteruskan ke shaft tulang femur melalui susunan trabekula ini. Pada tahun 1970 Singh dan kawan-kawan telah berhasil

menetapkan bentuk trabekula pada ujung atas femur sebagai sebuah indeks osteoporosis. Terdapat 5 kelompok anatomi trabekula sebagai berikut : l. Princip al compr es s iv e group, berupa deretan trabekula yang berjalan dari medial kortek leher femur ke arah bagian atas kaput femoris, merupakan trabekula yang paling tebal dan dense. 2. Secondary compressive group, trabektiayang berjalan

3.

sedikit melengkung dari medial leher femur dibawah dari kelompok principal compressive ke arah trokhanter mayor. Trabekulanya tipis dan agak renggang. Greater trochanter group, mefl)pakan trabekula tipis danberbatas kurang tegas dari kelompok tensileyang berjalan dari lateral dibawah trokhanter mayor menuju

:

. 1. Grade 6, semua struktur kelompok

struktur trabekula tipis yang tidak lengkap yang

2.

menandakan tulang normal. Grade 5, tampak atenuasi struktur kelomp ok principal

compressive dan principal tensile karena resorpsi trabekula yang tipis. Secondary compressive kurang jelas. Segitiga Ward tampakkosong dan lebih prominen. Stadium ini menunjukkan stadium dini osteoporosis. 3. Grade 4, trabekula tensile tampak lebih berkurang, terjadi resorpsi dimulai bagian medial, sehingga principal ten-

sile bagian lateral masih dapat diikuti garisnya, sementara secondary tensile telah menghilang. Sehingga segitiga Ward batas lateralnya terbuka' Stadium ini menunjukkan transisi antara tulang normal dengan osteoporosis.

4.

Grade 3, tampak principal tensile terputus di area yang

berseberangan dengan trokhanter mayor sehingga trabekula tensile hanya terlihat di bagian atas leher femur. Stadium ini menunjukkan keadaan definite osteoporosis.

5.

Grade 2,hatya tampak principal compressive yang prominen sedangkan kelompok trabekula lain tidak /

2660

REUMATOI.OGI

kurang jelas karena sebagian besar telah teresorpsi.

Keadaan

6.

ini menunjukkan moderatly

advanced

Metakarpal Resorpsi pada korteks fulang dapat tampak

di 3 tempat

osteoporosis.

spesifik yaitu permukaan endosteal, intrakortikal dan

Grade I, principal compressive tidak menonjol dan berkurang jumlahnya, keadaan ini menunjukkan

periosteal. Pada pemeriksaan foto tangan yang perlu diperhatikan adalah metakarpal ke 2 pada tangan kanan. Dilakukan

keadaan osteoporosis berat. Pengukuran indeks Singh dapat dilakukan pada salah satu sisi tubuh, karena telah dibuktikan tidak ada perbedaan bermakna pada kedua sisi tersebut. Pada penelitian indeks Singh, pengukuran dilakukan oleh 3 orang observer dan dibandingkan hasilnya serta diulang pembacaan fotonya masing-masing dalam 3 bulan. Temyata didapatkan hasil tidak berbeda bermakna. Ketebalan kortek leher femur diukur melalui trokhanter minor bagian atas dan peneliti lain menyatakan sebagai

ketebalan dari calcar femorale. lndeks kortek leher femur adalah rasio antara ketebalan korlek leher femur dibagi diameter terpendek leher femur. Pada penelitian Gutteridge (trnpublished) menunjukkan bahwa indeks kortek femur berkorelasi dengan pengukuran DXA femur pada wanita pasca menopause yang mempunyai fraktur vertebra.

pengukuran tebal kortek yaitu selisih antara diameter tulang dengan tebal medulla, serta rasio tebal korteks dengan diameter tulang. Didapatkan hasil hubungan vang

bermakna antara rasio tebal kortek dan diameter tulang terhadap hasil biopsi. Atau dilakukan perhitungan dengan rumus:

- MW2 cA/lA- TW2TW' CA/TA

=

perbandingan daerah korteks (CA) dengan daerah keseluruhan (TA)

TW = tebalkeseluruhan MW =

tebalmedula

Nilai rata-rata dewasa muda 0,72-0,85. Angka ini akan

menurun sesuai bertambahnya umur, dan bila nilai perbandingan kurang dari 0,72 menunjukkan adanya osteoporosis korleks.

Skintigrafi Tulang Skintigrafi tulang dengan menggunakan Technetium-99m yang dilabel pada metilen difosfonat atau hidroksimetilen difosfonat, sangat baik untuk menilai metastasis pada tulang, tumor primer pada tulang, osteomielitis dan nekrosis aseptik. Diagnosis skintigrafi tulang ditegakkan dengan menc ari uptake yang meningkat, baik secara umum maupun secara lokal. Pada penyakit Paget, skintigrafi tulang sangat sensitif untuk mencari daerah pagetik.

PEMERIKSAAN DENSITAS MASSA TULANG

Gambar 4. lndeks Singh

(DENSTTOMETRT)

Densitas massa tulang berhubungan dengan kekuatan tulang dan risiko fraktur. Berbagai penelitian menunjukkan peningkatan risiko fraktur pada densitas massa tulang yang menumn secara progresif dan terus menerus. Densitometri tulang merupakan pemeriksaan yang akurat dan presis untuk menilai densitas massa tulang, sehingga dapat digunakan untuk menilai faktor prognosis, prediksi fraktur dan bahkan diagnosis osteoporosis. Berbagai metode yang dapat digunakan untuk menilai

T

mrfl _i

Combined Cortrcai Fhi(:knEss

Codifal

Cortical

Ind6x Area

(CC-i-i T-M {-f-Ml/f

0 788

' tTr-M i

densitas massa tulang adalah single-photon absorptiometry (SPA) dan single-energy X-ray absorptiomelry (SPX) lengan bawah dan lltmit; dual-

photon absorptiomelri (DPA) dal dual-energy X-ray Gambar 5. RadiomorJometri metakarpal

absorptiometry @PX) lumbal dan proksirnal femur; dan q uantitative computed tomo graphy (QCT).

266t

OSTEOFOROSIS

Single- Photon Ahsorptiometry $PA) Pada SPA digunakan unsur radioisotop I yang mempunyai energi photon rendah sekitar 28 keV guna menghasilkan berkas radiasi kolimasi tinggi. Intensitas berkas radiasi

yang diabsorpsi ditangkap oleh scintillation counter. Dengan menggunakan skening rektilinier densitas tulang itu diukur. Dosis absorpsi yang diperoleh sekitar 5 mrad (50 pcy). lntensitas berkas radiasi dibandingkan dengan

intensitas berkas radiasi pada phantom yang telah diketahui densitasnya sehingga densitas mineral tulang dapat ditentukan. Karena SPAmenggunakan berkas radiasi energi tunggal

dari photon energi rendah, dimana berkas kolimasi yang dipancarkan akan menembus komponen jaringan funak dan tulang maka biasanya metoda ini digunakan hanya pada bagian tulang yanq mempunyai jaringan lunak yang tidak tebal seperti distal radius dan kalkaneus. Kelemahan lainnya yaitu berupa sumber radioisotop yang harus diganti tiap 6 bulan dan dapat juga terjadi reposilioning error. Nilai koehsien akurasi sebesar 4-6oh sedatgkan nilai koefisien presisi sebesar 1-20%. D u a l -P h oto n A b so rpti o m etry @ PA) Metode ini mempunyai cara yang sama dengan SPA' Perbedaannya berupa sumber energi yang mempunyai photon dengan 2 tirgkat energi yang berbeda guna mengatasi tulang dan jaringan lunak yang cukup tebal sehingga dapat dipakai untuk evaluasi bagian-bagian tubuh dan tulang yan mempunyai struktur geometri

komplek seperti pada daerah leher femur dan vertebra Sumber energi yang paling sering digunakan adalah Gd153 yang mempunyai 2 tingkat energi 44keY dan 100 keV, dosis yang diabsorpsi sekitar l5 mrad (150 pGy), waktu paruhnya 240 hari dan dapat digunakan untuk selama 1 3 - 1 5 bulan. I 3,3 " Tingkat akurasi metode ini sekitar 94 - 98%

phantom berisi CaPO4.Nilai koefisien akurasi sebesar 5-15% dan nilai koefisien presisi sebesar 2-4olo.

Dual Energy X-Ray Absorptiometry @XA) DXA merupakan metoda yang paling sering digunakan dalam diagnosis osteoporosis karena mempunyai tingkat akurasi dan presisi yang tinggi. Prinsip kerjanya sangat mirip dengan DPA, tetapi sumber energinya berbeda yaitu sinar-X yang dihasilkan dari tabung sinar-X. Alat tersebut dapat menghasilkan 2 tingkat energi antara 70 kVp dan 140 kVp dalam2 sistem yaitu yang dapat berganti dengan

cepat satu sama lain atau dengan menggunakan filter (K-edge filter) pada energi x ray yar'g konstan' Energi efektifyang dihasilkan 45 dan 100 keV. Hasil pengukuran dengan DXA berupa: 1. Densitas mineral tulang pada areayalg dinilai satuan bentuk gram per CM2

2. Kandungan mineral tulang dalam satuan gram. 3. Perbandingan hasil densitas mineral tulang dengan nilai normal rata-ratadensitas tulang pada orang seusia dan dewasa muda yang dinyatakan dalam persentase.

4. Perbandingan

hasil densitas mineral tulang dengan nilai

normal rata-rata densitas tulang pada orang seusia dan dewasa muda yang dinyatakan dalam skore standar deviasi (Z-score atau T-score). Densitas mineral tulang yang rendah merupakan faktor

risiko utama yang dapat dicegah dan prediktor utama terjadinya fraktur. Secara umum setiap terjadi penurunan densitas tulang sebesar 1 standar deviasi di bawah ratarata densitas mineral tulang orang dewasa muda akan meningkatkan terjadinya fraktur sebanyak 2-3 kali. Pemeriksaan densitometri untuk mengetahui densitas tulang pada osteoporotik dipakai standar WHO sebagai

berikut:

ataukoefisien akurasi 5 -10% dankoefisienpresisi 2 -4%. Normal

ntitative Computer Tomography (OCT) Merupakan densitometri yang paling ideal karena Qu a

Osteopenia Osteoporosis Osteooorosis berat

>-1 < -,1 < -2,5 (tanpa fraktur) < -2,5 (denqan fraktur)

mengukur densitas tulang secara volumetrik (g/CM3).

Terdapat beberapa kelebihan QCT dibandingkan pemeriksaan BMD lain yaitu kemampuannya yang dapat menilai hanya daerah trabekula saja, dan tidak terpengaruh oleh adanya artefak kalsifikasi ekstra dan intraosseous seperti kalsihkasi aorta dan osteofit sefia ukuran-ukuran tinggi, berat badan pasien. Sedangkan kekurangannya

berupa dosis radiasi yatg dihasilkan lebih tinggi dibandingkan DXA sekitar 60 pSv atau sekitar > 200 kaii dibandingkan DXA. Pada tulang vertebrae Ll-4 dengan potongan bidatgmidline akan tampak perbedaan atenuasi antara kortek dan trabekula, sehingga dipilih daerah trabekula dibawah kortek. Densitas volumetriknya (g/CM3 ) dihitung dengan cara membadingkannya dengan densitas

Pada vertebra nilai densitas mineral tulang biasanya yang dilihat adalah nilai rata-rata densitas tuJarrgL2-L4 dan pada sendi panggul yang dihitung adalah kolumna femoris, segitiga Ward dan trokhanter mayor. DXA juga dapat dilakukan pada tulang kalkaneus dan dikatakan dapat

dipergunakan untuk memprediksi resiko fraktur tulang vertebra pada wanita dengan osteoporosis bila QCT tidak bisa dilakukan, karena terbukti penurunan T -score nya lebih besar dibandingkan DXA di tempat lain' Fukunaga dkk metyatakan bahwa densitas pada tulang metakarpal-2,radius dan lumbal tetap konstan pada tmtr 25-44 tahun sedangkan leher femur konstan pada

2662

REUMI$OI.OGI

lll.rur 25-44 tahun, kemudian densitas semua tulang akan menurun setelah menopause antara umur 45-55 tahun. Setelah umur 70 tahun densitas tulang pada lumbar menurun lebih lambat dibandingkanradius karena adanya proses degeneratif. Radius merupakan tempat yang paling baik digunakan untuk menilai densitas tulang pada usia lanjut karena proses terjadinya degeneratif yang sedikit dibanding tempat larn sertahasil presisinyayang tinggi.

Nilai koefisien akurasi DXA sebesar 4-lO,'/o dan koefisien presisi 1-3%. Nilai koefesien presisi untuk vertebra 0,26-2,6yo sedangkan untuk femur 0,7 - 2,1%o. Faktor yang dapat mempengaruhi kesalahan dalam perhitungan yaitu faktor tulang (osteofit, kompresi vertebra, kalsifikasi aorta dll) dan non tulang (barium

alkohol. 14.

Insulin dependent diabetes melitus.

Bagian-bagian tulang yang diukur (Region of lnterest, ROI): Tulang belakang (11-La) Panggul Femoral neck Total femoral neck Trokanter Lengan bawah (33% radius), bila : Tulang belakang dan/atau panggul tak dapat diukur Hiperparatiroidisme Sangat obes Dari ketiga lokasi tersebut, maka nilai T-score yang terendah yang digunakan untuk diagnosis osteoporosis

-

-

intraluminal, prothese, obat-obatan yang mengandung kalsium, pergerakan pasien dll). Indikasi densitometri tulang

l.

:

Wanita premenopause dengan risiko tinggi, misalnya

hipomenore atau amenore, menopause akibat pembedahan atau anoreksia nervosa. Dengan fujuan untuk evaluasi pengobatan. Laki-laki dengan satu atau lebih faktorresiko, misalnya

hipogonadisme (testosteron rendah), pengguna alkohol, osteoporosis pada radiografi atau fraktur karena trauma ringan. J. lmobilisasi lama (lebih dari I bulan). 4.

5. 6.

9.

Masukan kalsium yang rendah lebih dari l0 tahun. Misalnya hiperkalsiuria dengan atav tarrpa batu ginjal (4mglkglhr), malabsorpsi atau hemigastrektomi ( 1 0 tahun setelah operasi). Artritis reumatoid alau- anlqtlosing spondylitis selama lebih dari 5 tahun terus-menerus. Awal pengobatan kortikosteroid atau methotrexat dan setiap 1-2 tahun pengobatan. Menggunakan terapi antikonr,ulsan dengan dilantin atau fenobarbital selama lebih dari 5 tahun. Kreatinin klirens <50 milmenit atau penyakit tubular grrjul. Osteomalasia dengan kalsium serum yang rendah,

fosfor serum rendah dan atau alkali fosfatase meningkat. 10. Hiperparatiroidisme dengan kalsium serum tinggi, fosfor serum rendah dan atau hormon paratiroid meningkat (terutama untuk kasus ringan atau non-bedah untuk melihat efektifitas terapi). 11. Penggunaan terapi pengganti tiroid lebih dari I 0 tahun. 12.

Evaluasi terapi osteoporosis, yaitu estroger- atav estrogen/progesteron, pengganti testosteron, kalsitonin, vitamin D dan kalsium, difosfonat, fluorida serta anabolik steroid.

13.

Wanita postmenopause dengan

2

atau lebih faktor

resiko. Misalnya dengan riwayat keluarga osteoporosis, masukan kalsium rendah, fraktur pada orang dewasa

dengan trauma minimal, osteopeni pada radiografi konvensional, konhaindikasi atau intoleran terhadap terapi estrogen, umur lebih dari 65 tahun, pengguna

BMD pasien T-score '1

BMD rata-rata orang dewasa muda

SD BMD rala-rala orangdewasa muda

BMD pasien Z-score

-

- BMD rata-rata

orang seusia pasien

1 SD BMD rata-rata orang seusia pasien

Nilai Z-score tidak digunakan untuk diagnosis.Z-score yang

rendah (< -2,0) mencurigakan kearah kemungkinan osteoporosis sekunder, walaupun tidak ada data pendukung. Selain itu setiap penderita harus dianggap menderita osteoporosis sekunder sampai terbukti tidak ada penyebab osteoporosis sekunder

SONODENSlTOMETRI Salah satu metode yang lebih murah dalam menilai densitas tulang perifer dengan menggunakan gelombang suara dan

tanpa adanya resiko radiasi. Dilakukan pengukuran densitas tulang berdasarkan dari kecepatan gelombang suara, atenuasi ultrasound broadband dan kekakuan (stffiess). Parameter-parameter diatas diketahui berkurang

pada penderita osteoporosis dan yang lebih penting parameter sonografi dapat merupakan prediktor resiko

fraktur vertebra. Daya elastis tulang telah terbukti berkaitan dengan kecepatan gelombang suara dan kekuatan tulang berkaitan dengan atenuasi ultrasound broadband. Merupakan salah satu metode yang cukup menjanjikan dan sedang banyak diteliti. Keuntungan metode ini tidak adanya radiasi, mobile, ukuran kecil, pengukuranny a cepat

dan relatif murah. Jenis tokasi tulang yang diperiksa merupakan daerah yang mengandung sedikit jaringan lunak seperti kalkaneus dan patela. Belum adanya kesepakatan penilaian status densitas tulang, korelasi yang rendah artara alat yang satu dengan yang lain,

dan masih terbatasnya penelitian yang telah

2663

OSTEOFOROSIS

dilaporkan sehingga membuat metode ini belum luas

secepat pada wanita, karena laki-laki tidak pernah

digunakan.

mengalami menopause. Selain itu, pada laki-laki kehilangan massa tulang lebih bersifat penipisan, sedangkan pada wanita lebih diakibatkan oleh kehilangan elemen trabekula

Goldstein dan Nachtigall telah membandingkan hasil densitometri dari Quantitative Ultrasound (QUS) pada kalkaneus dengan DXA pada leher femur ternyata

ultrasonografi Sahara dapat digunakan untuk mengidentifikasi pasien yang mempunyai faktor risiko osteoporosls.

M AG N ETt C

RESONAA/CE

TMA

G,NG

(

M

Rl)

MRI mepunyai kemampuan yang cukup menjanjikan dalam menganalisa struktur trabekula dan sekitarnya. Metode ini mempunyai kqlebihan berupa tidak adanya radiasi. Metode ini sedang banyak diteliti. Elemen mineral tulang dapat dinilai melalui gambaran

karakteristik T2 decay berupa inhomogenitas yang disebabkan oleh pengaruh perbedaan sumsum tulangnya.

Aplikasi MRI dalam menilai tulang trabekula melalui 2 langkah

yaitu pertamaT2 sumsum tulang dapat digunakan

untuk menilai densitas serta kualitas jaringan tulang trabekula dan yang kedua untuk menilai arsitektur trabekula. Pengaruh perbedaan medan magnet antara trabekula tulang

dan sumsum tulang akan menghasilkan inhomogenitas spatial dalam medan magnet.

dari tulang yang bersangkutan. Selama pertumbuhan, lakiJaki juga lebih besar daripada wanita. Laki-laki juga memiliki tulang trabekular yang lebih tebal

massa tulang pada

korteksnya daripada wanita. Pada laki-laki, ukuran kolum femoris akan makin besar dengan bertambahnya umur, sedangkan pada wanita tidak. Hal ini akan menyebabkan osteoporosis pada laki-laki lebih relatif lebih ringan dan risiko fraktur relatif lebih kecil daripada wanita. Fraktur verlebra pada laki-lakijuga lebihjarang, kirakira hanya 50o/o pada wanita. Pada umumnya fraktur

vettebra terjadi pada torakal bawah dan terutama merupakan fraktur baji.

Etiologi Osteoporosis pada Laki-laki

1. Genetik Laki-laki yang orang tuanya menderita osteoporosis, ternyata memiliki densitas massa tulang yang lebih rendah dibandingkan lakiJaki pada umunnya. Selain itu laki-laki yang ibunya menderita fraktur panggul, ternyata memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita fraktur verlebra.

Sampai saat

ini, tidak didapatkan gen spesifik

yang

mengatur massa tulang dan risiko fraktur pada laki-laki.

BIOPSI TULANG DAN HISTOMORFOMETRI

2. Hipogonadisme Hipogonadisme merupakan salah satu penyebab

Biopsi tulang dan histomorfometri merupakan pemeriksaan

osteoporosis dan gagalnya pencapaian puncak massa tulang pada laki-laki. Dalam hal ini, terapi pengganti testosteron memiliki efek yang baik untuk meningkatkan massa tulang pada laki-laki dengan hipogonadisme.

yang sangat penting untuk menilai kelainan metabolisme tulang. Biopsi biasanya dilakukan didaerah transiliakal, yaifi2 cm posterior SIAS dan sedikit inferior krista iliakal. Alat yang digunakan adalah jarum Bordier-Meunier. Indikasi biopsi tulang meliputi berbagai kelainan metabolik fulang seperti osteoporosis pasca menopause, osteodistrofi renal, osteomalasia, rikets, hiperparatiroidsme

primer, penyakit tulang akibat kelainan gastrointestinal kronik atau pasca operasi gastrointestinal.

Berbagai penyebab hipogonadisme pada laki-laki harus dicari pada laki-laki dengan osteoporosis, misalnya sindrom Klinefelter, hipogonadisme akibat hipogonadotropin, hiperprolak-tinemia, orkitis akibat parotitis, kastrasi dsb. Seringkali pemeriksaan hipogonadisme pada laki-laki tidak mudah dideteksi, karena ukuran testes

yang tetap normal, libido yang tetap normal, kadar

testosteron yang tetap normal walaupun kadar OSTEOPOROSIS PADA LAKI.LAKI O

steoporosis pada laki-laki, seringkali kurang diperhatikan

luteinizxing hormon meningkat. 3. lnvolusi

wanita. Dengan bertambahnya umur, insidens fraktur pada panggul makin meningkat, tetapi peningkatan insidens frakturpada laki-laki lebih lambat 5-10 tahun dibandingkan wanita. Pada laki-laki, dengan bertambahnya umur, maka tulang

Dengan bertambahnya umur, terjadi penurunan massa dan densitas tulang pada laki-laki, kira-kira 3-4Yo per-dekade setelah umur 40 tahun, Setelah umur 50 tahun, kehilangan massa tulang lebih besar lagi, walaupun demikian tetap lebih rendah dibandingkan wanita. Resorpsi endosteal pada laki-laki, tampaknya dapat dikompensasi dengan formasi periosteal, sehingga risiko fraktur dan penurunan densitas tulang tidak sehebat pada wanita. Pada tulang trabekular, penurunan densitas massa tulang pada kedfua

kortikal akan makin menipis, tetapi penipisan ini tidak

jenis kelamin tampaknya sama, tetapi korteks tulang

dibandingkan dengan osteoporosis pada wanita. Pada dewasa muda, insidens fraktur ternyata lebih tinggi pada laki-laki daripada wanita; hal ini dihubungkan dengan insidens trauma yang lebih tinggi pada laki-laki daripada

2664

REtJM/TfiOLOGI

trabekular pada laki-laki lebih tebal dibandingkan pada wanita, sehingga risiko frakturjuga lebih rendah.

4. Penyakit dan obat-obatan

dapat menyebabkan osteoporosis. Dari berbagai penelitian, diketahui bahwa penggunaan prednison lebih dai 7,5 mglhari akan menyebabkan osteoporosis pada banyak penderita.

Berbagai penyakit,obat-obatan dan gaya hidup dapat menyebabkan osteoporosis sekunder pada laki-laki, misalnya glukokortikoid, merokok, alkohol, insufisien ginjal, kelainan gastrointestinal dan hati, hiperparatiroidisme, hiperkalsiuria, antikonvulsan tirotoksikosis,

Secara histomorfometri, glukokorlikoid akan mengakibat-

imobilisasi lama, artritis reumatoid dsb.

kan penurunan tebal dinding tulang trabekular, penumnan

Efek Glukokortikoid pada Tulang 1. Histomorfometri

mineralisasi, peningkatan berbagai parameter resorpsi

tulang, supresi pengerahan osteoblas dan penekanan

5. ldiopatik Sekitar 300% osteoporosis pada laki-laki ternyata tidak diketahui secarajelas penyebabnya. Diagnosis osteoporosis idiopatik ditegakkan setelah semua penyebab yang lain dapat disingkirkan. Saat ini diduga terdapat hubungan antara osteoporosis idiopatik dengan rendahnya kadar IGF-I atau IGF -I binding protein 3 (IGFBP-3).

fungsi osteoblas.

2. Efek pada Osteoblas dan Formasi Tulang Penggunaan glukokortikoid dosis tinggi dan terus menerus

akan mengganggu sintesis osteoblas dan kolagen. Replekasi sel akan mulai dihambat setelah 48 jam paparan

dengan glukokortikoid. Selain

itu juga terjadi

penghambatan sintesis osteokalsin oleh osteoblas.

OSTEOPOROSIS AKIBAT GLUKOKORT! KOID

Glukokortikoid sangat banyak digunakan untuk mengatasi berbagai penyakit, terutama penyakit otoimun. Glukokortikoid merupakan penyebab osteoporosis sekunder dan fraktur osteoporotik yang terbanyak.Glukokortikoid akan menyebabkan gangguan absorbsi kalsium di usus dan peningkatan ekskresi kalsium

lewat ginjal sehingga akan menyebabkan hipokalsemia, hiperparatiroidisme sekunder dan peningkatan kerja osteoklas. Selain itu glukokortikoid uga akan menekan produksi gonadotropin. sehingga produksi estrogen menurun dan akhirnya osteoklas juga akan meningkat kerjanya. Terhadap osteoblas, glukokortikoid akan menghambat kerj anya, sehingga formasi fulang menurun.

Dengan adanya penin gkatan resorpsi tulang oleh osteoklas dan penurunan formasi tulang oleh osteoblas, maka akan terjadi osteoporosis yang progresif. Berdasarkan meta-analisis didapatkan bahwa risiko fraktur panggul pada

pengguna steroid meningkat 2,7-4,4 kali. Oleh sebab itu terapi osteoporosis pada pengguna steroid dapat dimulai bila T-score mencapail dan BMD serial harus dilakukan

3. Efek pada Resorpsi Tulang In vitro, glukokortikoid menghambat diferensiasi osteoklas

dan resorpsi tulang pada kultur organ. Efek peningkatan resorpsi tulang pada pemberian glukokortikoid in vivo, berhubungan dengan hiperparatiroidisme sekunder akibat penghambatan absorpsi kalsium di usus oleh glukokorlikoid.

4. Efek pada Hoimon Seks Glukokortikoid menghambat sekresi gonadotropin oleh

hipofisis, estrogen oleh ovarium dan testosteron oleh testes. Hal ini akan memperberat kehilangan massa tulang pada pemberian steroid.

5. Absorpsi Kalsium di Ginjal

di Usus dan Ekskresi Kalsium

Penggunaan glukokortikoid dosis farmakologik akan mengganggu transport aktif transelular kalsium. Mekanisme yang pasti tidak diketahui dan tidak

pada

berhubungan dengan vitamin D. Gangguan absorpsi kalsium di usus dan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal

Efek glukokortikoid pada tulang trabekularjauh lebih

menurun secara bermakna pada pengguna glukokortikoid. Ekskresi kalsium urin dan kadar hormon paratiroid (PTH)

tiap 6 bulan, bukan tiap 1-2 tahun seperti osteoporosis primer.

besar daripada efeknya pada tulang kortikal, dan

akan meningkat dalam 5 hari setelah seseorang

kehilangan massa tulang yang tercepat sampai terjadi

menggunakan glukokortikoid. Gangguan transport ini akan makin memburuk pada asupan Natrium yang tinggi dan akan menurun dengan pembatasan asupan Natrium dan pemberian diuretik tiazid.

fraktur pada umumnya terjadi pada vertebra, iga dan ujung tulang panjang. Kehilangan massa tulang tercepat terjadi pada tahun pertama penggunaan steroid yang dapat mencapai2}o/o dalam I tahun. Insidens yang pasti fraktur akibat osteoporosis pada pengguna steroid tidak diketahui secara pasti. Selain itu, penggunaan steroid dosis rendah termasuk inhalasi juga

6.

Efek pada Metabolisme Hormon Paratiroid dan

Vitamin

D

Kadar PTH dan 7,25 dihidroksivitamin D (1,25(OH),D)

266s

OSTEOPOROSIS

berhubungan dengan perubahan reseptor kalsium sel yang mengubah transport kalsium. Glukokortrkoid meningkatkan

teratur untuk memelihara kekuatan, kelenturan dan koordinasi sistem neuromuskular serta kebugaran, sehingga dapat mencegah risiko terjatuh. Berbagai latihan yarg dapat dilakukan meliputi berjalan 30-60

sensitifitas osteoblas terhadap PTH, meningkatkan penghambatan aktifitas fosfatase alkali oleh PTH dan

menit/hari, bersepeda maupun berenang. 2. Jagaasupan kalsium 1000-1500 mgAari, baik melalui

didalam serum meningkat pada pengguna glukokofiikoid,

walaupun kadar kalsium serum tinggi. Hal ini diduga

menghambat sintesis kolagen. Efek 1,25(OH),D juga dihambat oleh glukokortikoid, walaupun kadar 1,25(OH),D meningkat didalam darah. Hal ini diduga akibat perubahan respons membran sel dan perubahan reseptor. Ekspresi osteokalsin oleh osteoklas

yang dirangsang oleh 1,25(OH),D, juga dihambat oleh glukokofiikoid.

1

([-

I

) dan

lL-6 mempunyai efek peningkatan

resprsi tulang dan menghambat formasi tulang. Glukokortikoid akan menghambat produksi IL-1 dan IL-6 oleh limfosit-T. Pada penderita Artritis Reumatoid, pemberian glukokortikoid akan menurunkan aktifitas peradangan sehingga penurunan massa tulang juga dihambat. Walaupun demikian, para ahli masih berbeda pendapat, apakah hal ini merupakan efek glukokofiikoid pada tulang atau ada faktor-faktor lainnya. 8.

5. 6.

7. Efek pada Sitokin Interleukin-

3. 4.

Osteonekrosis

Osteonekrosis (nekrosis aseptik, nekrosis avaskular), merupakan efek lain glukokorlikoid pada tulang. Bagian tulang yang sering terserang adalah kaput femoris, kaput humeri dan distal femur. Mekanismenya belum jelas, diduga akibat emboli lemak dan peningkatan tekanan intraoseus.

makanan sehari-hari maupun suplementasi, Hindan merokok dan minum alkohol, Diagnosis dini dan terapi yang tepat terhadap defisiensi testosteron pada laki-laki dan menopause awal pada wanita. Kenali berbagai penyakit dan obat-obatan yang dapat menimbulkan osteoporosis. Hindari mengangkat barang-barang yang berat pada penderita yang sudah pasti osteoporosis

7. Hindari berbagai hal yang dapat menyebabkan penderita terjatuh, misalnya lantai yang licin, obat-obat

sedatif dan obat anti hipertensi yang dapat menyebabkan hipotensi ortistatik,

pada orangatau pada matahari oralgyatg kurang terpajan sinar Bila SLE. misalnya penderita dengan fotosensitifitas, 25(OH)D makakadat D, diduga ada defisiensi vitamin serum harus diperiksa. Bila 25(OH)D serum menurun, maka suplementasi vitamin D 400 IU/hari atau 800 IU/ hari pada orang tua harus diberikan. Pada penderita dengan gagal ginjal, suplementasi 1,25(OH),D harus

8. Hindari defisiensi vitamin D, terutama

diperlimbangkan.

9. Hindari

peningkatan ekskresi kalsium lewat ginjal

dengan membatasi asupanNatrium sampai 3 gram/hari

untuk meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal. Bila ekskresi kalsium urin > 300 mg/hari, berikan

diuretiktiazid dosis rendah (HCT 25 mglhari). 10. Pada penderita yang memerlukan

glukokortikoid dosis

PENATALAKSANAAN

tinggi dan jangka panjang, usahakan pemberian glukokortikoid pada dosis serendah mungkin dan

Secara teoritis, osteoporosis dapat diobati dengan cara menghambat kerja osteoklas (anti resorptifl.l datlatao

sesingkat mungkin,

meningkatkan kerja osteoblas (stimulator tulang).

11. Pada

penderitaArtritis Reumatoid dan artritis inflamasi

pada

lainnya, sangat penting mengatasi aktifitas

umumnya bersifat anti resorptif. Yang termasuk golongan

penyakitnya, karena hal ini akan mengurangi nyeri dan

obat anti resorptif adalah estrogen, anti estrogen, bisfosfonat dan kalsitonin. Sedangkan yang termasuk stimulator tulang adalah Na-fluorida, PTH dan lain

inflamatifyang aktif.

Walaupun demikian, saat

ini obat yang beredar

penurunan densitas massa tulang akibat artrituis

sebagainya. Kalsium dan vitamin D tidak mempunyai efek

Latihan dan Program Rehabilitasi

anti resorptif maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk optimalisasi mineralisasi osteoid setelah proses

Latihan dan program rehabilitasi sangat penting bagi dengan latihan Yang bih lincah, tangkas dan

formasi oleh osteoblas. Kekurangan kalsium akan

menyebabkan peningkatan produksi PTH (hiperparatiroidisme sekunder) yang dapat menyebabkan pengobatan osteoporosis menj adi tidak efektif.

Edukasi dan Pencegahan

l.

Anjurkan penderita untuk melakukan aktivitas fisik yang

mudah terjatuh. Selain erburukan osteoporosis karena terdapat rangsangan biofi sikoelektrokemikal yang akan meningkatkan remodeling tulang. Pada penderita yalg belum mengalami osteoporosis' maka sifat latihan adalah pembebanan terhadap tulang, sedangkan pada penderiota yang sudah osteoporosis,

2666

REI,IMANOI-OGI

tumour n e cr o s is fac t or a (TNF a), interleukin- 1 ([dan interleukin-6 (IL-6). Sedangkan faktor lokal yang

maka latihan dimulai dengan latihantanpabeban, kemudian ditingkatkan secara bertahap sehingga mencapai latihan

CSF ),

beban yang adekuat. Selain latihan, bila dibutuhkan maka dapat diberikan alat bantu (ortosis), misalnya korset lumbal untuk penderita yang mengalami fraktur korpus vertebra, tongkat atau alat

meninghkatkan kerja osteoblas adalah IL-4, dan transforming growth factor p (TGFp.

l)

Secara pasti, tidak diketahui bagaimana mekanisme anti

bantu berjalan lainnya, terutama pada orang tua yang terganggu keseimbangannya. Hal lain yang juga harus diperhatikan adalah mencegah risiko terjatuh, misalnya menghindari lantai atau alas kaki yang licin; pemakaian tongkat atau rel pegangan tarrgat,

resorptif estrogen terhadap tulang, walaupun demikian diduga ada 2 mekanisme yaitu mekanisme langsung dan tidak langsung. Reseptor estrogen ditemukan baik pada osteoblas normal maupun pada populasi osteoblast-like osteosar-

terutama di kamar mandi atau kakus, perbaikan penglihatan,

coma cell. Reseptor pada sel-sel tersebut relatif dalam konsentrasi yang rendah bila dibandingkan dengan

misalnya memperbaiki penerangan, menggunakan kaca mata dan lain sebagainya. Pada umulnnya fraktur pada penderita osteoporosis disebabkan oleh terjatuh dan risiko terjatuh yang paling sering justru terjadi didalam rumah, oleh sebab itu tindakan pencegahan harus diperhatikan dengan baik, dabn keluarga juga harus dilibatkan dengan tindakan-tindakan pencegahan ini.

resptor pada sel target estrogen yang lain. Pada penelitian in vitro, ternyata l Tpestradiol akan meningkatkan mRNA pada sel osteoblas yang bertanggungjawab pada sintesis

rattai al prokolagen tipe I. Selain itu lTpestradiol juga akan meningkatkan nRNA insulinJike growth factor-1 (IGF-l) dan PTH yang dirangsang oleh aktifitas adenilat siklase.

Kelompok Bahan

Bahan Makanan

Makanan Susu dan produknya

Mg Ca/100

gr bahan

Susu sapi Susu kambing Susu manusia Keju

116

129 33 90-1 1 80

Yoghurt Teri kering

Sayuran

Kacang-kacangan dan hasil olahannya

150

1200

769

Rebon Teri segar Sarden kalengan (dg tulang) Daun pepaya Bayam Sawi Brokoli Kacang

353 267 220 110 347

panJang

250

500 354

Susu kedelai (250 ml) Tempe Tahu Serealia

129 124

213

Jali Havermut

53

:

Wolf AD, Dixon AJ. Osteoporosis: A Clinical Guide,2nd ed, Martin Dunitz, London 1998; Daftar Komposisi Bahan Makanan, Direktorat Gizi Departemen Sumber

Kesehatan Rl, Penerbit Bhratara, Jakarta 1996.

Estrogen Proses resorpsi oleh osteojklas dan formasi oleh osteoblas

dipengaruhi olerh banyak faktor, seperti faktor humeral (sitokin, prostaglandin, faktor pertumbuhan dll), dan faktor sistemik (kalsitonin, estrogen, kortikosteroid, tiroksin dll). Sitokin yang meningkatkan kerja osgteoklas adalah gr anu

I

o cy t e-m a

cropha

g

e

c o I ony - s t

imul ating fact or s

(GM-CSF), macrophage colony-stimulating factors (M-

IL-l dan TNF merupakan sitokin yang akan meningkatkan stimulasi osteoblas untuk perhrmbuhan dan pematangan osteoklas dari prekursornya di sumsum tulang. Selain itu, kedua sitokin tersebut juga akan meningkatkan pelepasan mediator-mediator lain yang juga berperan untuk pematangan osteoklas, seperti IL-6, M-CSF dan GM-CSF. Pada penelitian, dapat dibuktikan bahwa estradiol dapat menghambat pelepasan TNF oleh monosit dan wanita yang telah mengalami ooforektomi menunjukkan peningkatan konsentrasi IL-1 sampai IL-6. Selain itu estrogen juga akan menghambat produksi IL-6 baik oleh osteoklas maupun sumsum tulang. Pada penelitian biopsi tulang, didapatkan bahwa kadar mRNA

IL-la, Il-lfl TNFadan IL-6 pada wanita yang menggunakan HRT ternyata lebih rendah yang mengkoding

dibandi4gkan pada spesimen tanpa HRT. Penelitian lain menunjukkan bahwa konsentrasi estrogen yang normal akan menekan pelepasan IL-1 oleh monosit darah perifer. Faktor lokal lain adalah prostaglandin, terutama PGE, yangpada kadar rendah akan merangsang formasi tulang sedangkan pada kadar tinggi akan merangsang resorpsi

tulang melalui osteoblas. Efek estrogen terhadap prostaglandin tidak diketahui secara jelas, tetapi pada kultur jaringan tulang yang diambil dari tikus yang diooforektom i, terny ata estro gen dapat menghamb at pelepasan prostaglandin. Efek HRT terhadap produksi kalsitonin in vivo masih

kontroversial, sementara pada penelitian in vitro didapatkan bahwa 17b-estradiol ternyata dapat merangsang sel C-tiroid untuk meningkatkan produksi kalsitonin. Absorpsi estrogen sangat baik melalui kulit, mukosa (misalnya vagina) dan saluran cema. Pemberian estradiol transdermal akan mencapai kadar yang adekuat didalam darah pada dosis l/20 dosis oral. Estrogen oral akan mengalami metabolisme terutama di hati. Estrogen yang

2667

OSTEOFOROSIS

beredar didalam tubuh sebagian besar akanteikat dengan

sex hormone-binding globulin (SHBG) dan albumin, hanya sebagian kecil yang tidak terikat, tapi justru fraksi inilah yang aktif. Estrogen akan diekskresi lewat saluran empedu, kemudian direabsorpsi kembali di usus halus (sirkulasi enterohepatik). Pada fase ini, estrogen akan

dimetabolisme menjadi bentuk yang tidak aktif dan diekskresikan lewat ginjal. Merokok ternyata dapat menurunkan aktifitas estrogen secara bermakna. Efek

diferensiasi osteoklas dan kehilangan massa tulang. Pada penelitian terhadap 251wanita pasca menopause, ternyata raloksifen dapat menurunkan kadar kolesterol 5 - l0%o twrya merangsang endometrium dan menurunkan petanda resorpsi dan formasi tulang sama dengan estrogen. Gejala klasik anti estrogen, seperti hot Jlushes, didapatkan pada 12-20% wanita yang mendapatkan raloksifen, sementara mastalgia lebih banyak didapatkan pada wanita yang

samping estrogen meliputi nyeri payudara (mastalgia),

mendapat estrogen. Aksi raloksifen diperantarai oleh ikatan raloksifen pada

retensi cairan, peningkatan berat badan, tromboembolisme dan pada pemakaian jangka panjang dapat meningkatkan risiko kanker payrdara. Beberapa preparat estrogen yang dapat dipakai dengan

reseptor estrogen, tetapi mengakibatkan ekspresi gen yang diatur estrogen yang berbeda padajaringan yang berbeda. Dosis yang direkomendasikan untuk mencegah osteoporosis adalah 60 mglhari.

dosis untuk anti resorptifnya adalah estrogen terkonyugasi 0 ,625 mghai,l Tpestradiol otaT l-2 mglhai, l7B-estradiol transdermal 50 mg/hari, 17B-estradiol

Pemberian raloksifen peroral akan diabsorpsi dengan baik dan mengalami metabolisme di hati. Raloksifen akan menyebabkan kecacatan janin, sehingga tidak boleh diberikan apada wanita yang hamil atau berencana untuk

perkutan 1 ,5 mg,/hari dan l Tftestradiol subkutan 25-50 mg swetiap 6 bulan. Kontraindikasi absolut penggunaan estrogen adalah

kanker payudaran kanker endometrium, hiperplasi endometrium, kehamilan, perdaran uterus disfungsional, hipertensi yang sulit dikontrol, penyakit tromboembolik,

karsinoma ovarium dan penyakit hati yang berat. Sedangkan kontraindikasi relatif termasuk infark miokard,

stroke, hiperlipidemia familial, riwayat kanker paytdara

dalam keluarga, obesitas, perokok, endometriosis, melanoma malignum, migrain berat, diabetes melitus yang

tidak terkontrol dan penyakit ginjal.

Kombinasi estrogen dan progesteron akan memrunkan risiko kanker endometrium dan harus diberikan pada setiap wanita yang mendapatkan HRT, kecuali yang telah menjalani histerektomi. Kombinasi ini dapat diberikan secara kontinyus maupun siklik. Pemberian konyinyus akan menghindari perdarahan bulanan.

Tibolon merupakan steroid sintetik yang dapat mengkontrol gejala sindrom defisiensi estrogen, termasuk osteoporosis, tetapi tidak menyebabkan perdarahan uterus.

hamil.

Bisfosfonat Bisfosfonat merupakan obat yang digunakan untuk pengobatan osteoporosis, baik sebagai pengobatan alternatif setelah terapi pengganti hormonal pada osteoporosis pada wanita, maupun untuk pengobatan

osteoporosis pada laki-laki dan osteoporosis akibat steroid.

Bisfosfonat merupakan analog pirofosfat yang terdiri dari 2 asam fosfonat yang diikat satu sama lain oleh atom karbon.

oH Rl

tlt ltl OH R2

oH

O= P-C-P=O OH

Gambar 6.Struktur umur bisfosfonat, R, dan R, dapat dimodiflkasi untuk mengubah potensi dan profil efek samping

Raloksifen Raloksifen merupakan anti estrogen yang mempunyai efek

seperti estrogen di tulang dan lipid, tetapi tidak menyebabkan perangsangan endometrium dan payudara'

Golongan preparat ini disebut |uga selective estrogen receptor modulators (SERM). Obat ini dibuat untuk pengobatan osteoporosis dan FDA juga telah menyetujui penggunaannya untuk pencegahan osteoporosis. Dibandingkan dengan 1 Tpestradiol, raloksifen memiliki

efek konservasi tulang yang sama pada tikus yang diovariektomi yang diperiksa dengan alat DXA. Mekanisme kerja raloksifen terhadap tulang, sama dengan estrogen, tidak sepenuhnya diketahui dengan pasti, tetapi didugamelibatkan TGFB. yang dihasilkan oleh osteoblas dan osteoklas dan berfungsi menghambat

Bisfosfonat dapat mengurangi resorpsi tulang oleh osteoklas dengan cara berikatan pada permukaan tulang dan menghambat kerja osteoklas dengan cara mengurangi produksi proton dan enzim lisosomal dibawah osteoklas. Selain itu, beberapa bisfosfonat juga dapat mempengaruhi

aktifasi prekursor osteoklas, diferensiasi prekursor osteoklas menjadi osteoklas yang matang, kemotaksis, perlekatan osteoklas pada permukaan tulang dan apoptosis osteoklas. Bisfosfonat juga memiliki efek tak langsung terhadap

osteoklas dengan cata merangsang osteoblas menghasilkan substansi yang dapat menghambat osteoklas dan menurunkan kadar stimulator osteoklas.

2668

REI.JMAIIOI.OGI

Beberapa penelitian juga mendapatkan bahwa bisfosfonat

Gangguan gastrointestinal atas juga sering didapatkan

dapat meningkatkan jumlah dan diferensiasi osteoblas. Dengan mengurangi aktifitas osteoklas, maka pemberian bisfosfonat akan memberikan keseimbangan yang positif pada unit remodeling tulang. Pemberian bisfosfonat oral akan diabsorpsi di usus halus dan absorpsinya sangat buruk, kurang dari 5%o dari

dapat mengiritasi esofagus dan menyebabkan esofagitis erosif. Oleh sebab itu alendronat harus diminum dengan afu yang cukup banyak dan tidak boleh diberikan pada penderita dengan gangguan esofagus, misalnya striktura

dosis yang diminum. Jumlah yang diabsorpsi juga tergantung pada dosis yang diminum. Absorpsi jugaakan terhambat bila bisfosfonat diberikan bersama-sama dengan kalsium, kation divalen lainnya dan berbagai minuman lain kecuali air. Bisfosfonat harus diminum

penderita-penderita yang tidak dapat tegak. Reaksi fase akut, berupa demam dan limfopenia, sering terjadi pada pemberian pamidronat parenteral, tetapi efek ini akan berkurang pada pemberian berulang. Reaksi idiosinkrasi berupa gagal ginjal akut, bronkokonstriksi,

dengan air, idealnya pada pagi hari pada waktu bangun tidur dalam keadaan perut kosong. Setelah itu penderita tidak diperkenankan makan apapun, minimal selama 30 menit ta haru tegak,

tidak diberi

sus un dapat 2 jams karena absorpsinya tidak terlalu dipengaruhi oleh makanan. Sekitar 20-50% bisfosfonat yang diabsorpsi, akan melekat pada permukaan tulang setelah 12-24 jam. S etelah berikatan dengan tulang dan beraksi terhadap osteoklas,

bisfosfonat akan tetap berada didalam tulang selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, tetapi tidak aktif Iagi.

Bisfosfonat yang tidak melekat pada tulang, tidak akan

pada pemberian aminobisfosfonat, yaitu alendronat, karena

esofagus, akalasia, dismotilitas esofagus, dan juga pada

ketulian pada penderita otosklerosis, komplikasi pada mata,

peritonitis aseptik dan ruam pada kulit, dapattefiadipada pemberian bisfosfonat. Sej auh ini, risedronat, ibandronat dan zoledronat diketahui tidak bersifat toksik.

Beberapa Preparat Bisfosfonat

1. Etidronat Untuk terapi osteoporosis, etidronat dapat diberikan dengan dosis 400 mglhari selama 2 minggu, dilanjutkan dengan suplementasi kalsium 500 mg/hari selama 76hari. Siklus ini diulang tiap 3 bulan. Pemberian secara siklik bertujuan untuk mengatasi gangguan mineralisasi akibat pemberian etidronat jangka panjang terus menerus.

mengalami metabolisme didalam tubuh dan akan

2. Klodronat

diekskresikan dalam bentuk utuh melalui ginjal, sehingga pemberiannya pada penderita gagal ginjal harus berhati-

Untuk osteoporosis, klodronat dapat diberikan dengan

hati.

dosis 400 mg/hari selama I bulan dilanjutkan dengan suplementasi kalsium selama 2 bulan. Siklus ini dapat diulang setiap 3 bulan. Sama halnya dengan etidronat, pemberian klodronat jangka panjang terus menerus juga akan mengganggu mineralisasi tulang. Untuk mengatasi

Efek Samping Etidronat yang diberikan terus menerus oada dosis untuk penyakit Paget, terenyata dapat mengganggu mineralisasi

penyakit Paget dan hiperkalsemia akibat keganasan,

tulang, dengan akibat akumulasi osteoid yang tidak

klodronat dapat diberikan dengan dosis 1500 mg secara

mengalami mineralisasi yang akan memberikan gambaran klinik dan histologik seperti osteomalasia, iatu nyeri tulang yang difus fanrisiko fraktur. Pemberian etidronat intermiten akan menghilangkan efek terhadap gangguan mineralisasi tulang. Nausea dan vomitus juga sering didapat pada penderita

drip intravena selama

3.

yang mendapat etidronat dosis untuk penyakit paget,

Generasi I Alkil pendek atau samping halida Generasi ll Grup aminoterminal Generasi lll Rantai samping siklik

jam atau 300 mg,&rari perdrip selama

Pamidronat

Pamidronat biasanya diberikan melalui infus intravena. Untuk penyakit Paget, diberikan dengan dosis 60-90 mgl kali selama 4-6 jam drip intravena, sedangkan untuk

tetapi jarang didapatkan pada dosis untuk osteoporosis.

Modifikasi kimia

4

5 hari berturut-turut.

Contoh

Rr

Etidronat Klodronat Tiludronat Pamidronat Alendronat Risedronat lbandronat Zoledronat

OH

R2

Potensi anti.resorptif relatif

CHg

ct

CI

H

CH2-S-fenil.Dl

OH OH OH

CHz-CHzNHz

CHz-S-Piridin

OH

CHTCHTN(CH3)(pentil)

OH

CH2-imidazol

1

10 10 100

(cHr)3NH,

1

00-1 000

000-1 0.000 1 000-1 0.000 > 10 000 1

2669

OSTEOFOROSIS

hiperkalsemia akibat keganasan dapat diberikan sampai 90 mg/kali selama 6 jam drip intravena.

4. Alendronat Alendronat merupakan aminobisfosfonat yang sangat poten. Untuk terapi osteoporosis, dapat diberikan dengan dosis 10 mg/hari setiap hari secara kontinyu, karena tidak mengganggu mineralisasi tulang. Untuk penyakit Paget, diberikan dosis 40 mg,/hari selama 6 bulan. Saat ini telah dikembangkan pemberian alendronat 70 mg seminggu

sekali. Dosis

ini dikembangkan untuk meningkatkan

kepatuhan pasien. Efek samping gastrointestinal pada dosis ini ternyata tidak berbeda bermakna dengan efek samping pemberian setiap hari.

preparat kalsium 1000-1500 mg/hari. Pada penelitian pemberian etidronat pada penderita yar'g mendapatkan glukokortikoidjangka panjang yang diberikan dalam 100 hari setelah pemberian glukokortikoid, ternyata kelompok

yang mendapat etidronat selama

I tahun, tidak

menunjukkan perubahan BMD baik pada lumbal maupun trokanter, dibandingkan dengan plasebo. Pamidronat merupakan bisfosfonat generasi kedua yang pemberiannya adalah intravena. Bisfosfonat ini biasanya digunakan didalam klinik untuk mengobati Penyakit Paget atau Hiperkalsemia akibat keganasan dengan dosis 60 mg/kali per-drip sebulan sekali' Pada

pasien-pasien penyakit reumatik inflamatif yang mendapatkan prednison dosis tinggi, pemberian pamidronat 30 mglkali setiap 3 bulan selama 1 tahun ternyata memberikan perbedaan BMD pada daerah lumbalo

5. Risedronat Risedronat juga merupakan bisfosfonat generasi ketiga yang poten. Untuk mengatasi penyakit Paget, diperlukan dosis 30 mglTtari selama 2 bulan, sedangkan untuk terapi osteoporosis diperlukan dosis 5 mglhari secara

kontinyu. Berbagai penelitian membuktikan bahwa risedronat merupakan obat yang efektif untuk mengatasi osteoporosis dan mengurangi risiko fraktur pada wanita dengan osteoporosis pasca menopause dan

wanita dengan menopause artifisial akibat pengobatan karsinoma payudara. Sama halnya dengan alendronat, untuk pengobatan osteoporosis, saat ini tengah diteliti pemberian risedronat 35 mg seminggu

datdaerah trokanter 7,S%leblhb aik dibandingkan yang mendapatkan suplementasi kalsium saja. Alendronat 5 mg/hari dan risedronat 5 mg,&rari, juga ternyata dapat melindungi tulang penderita-penderita yang mendapatkan steroid dosis tinggi dan jangka panjang' Dalam waktu I tahun, alendronat akan meningkatkan BMD 8,9%o

0,802, sedangkan kelompok yang tidak mendapat alendronat, turun BMD-nya sampai 4,loh dalam waktu I tahun. Pemberian risedronat 5 mg/hari sejak awal pemberian steroid, juga memberikan perbedaan BMD yang bermakna samp ai 3,8o/olebih baik dibandingkan kelompok yang tidak mendapat risedronat.

sekali.

Bisfosfonat untuk Pengobatan Osteoporosis Akibat Steroid

6. Asam Zoledronat

Pada penelitian selama 2 tahun terhadap 49 pasien yang

Asam zoledronat merupakan bisfosfonat terkuat yang saat ini ada. Sediaan yangada adalah sediaan intravena yang harus diberikan perdrip selama l5 menit untuk dosis 5 mg. Untuk pengobatan osteoporosis, cukup diberikan dosis

mendapat glukokortikoid jangka panjang, ternyata pemberian etidronat siklikal meningkatkan BMD lumbal secara bermakna dibandingkan kontrol. Walaupun demikian, BMD pada pinggul dan petanda biokimia tulang

5 mg setahun sekali, sedangkan untuk pengobatan hiperkalsemia akibat keganasan dapat diberikan 4 mg per-drip setiap 3-4 minggu sekali tergantung

ternyata tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna' Alendronat 10 mg/hari ternyata juga memberikan hasil

responsnya.

yang baik untuk Dalam waktu 48

Penggunaan Bisfosfonat untuk Pencegahan Osteoporosis Akibat Steroid

alendronat. Risedronat2,5 mg'4rari dan 5 mg'rhari dalampengobatan

orosis akibat steroid' MD Pada lumbal dan leher femur meningkat pada kelompok alendronat dan berbeda bermakana dibandingkan yang tidak mendapat

Bisfosfonat yang banyak diteliti untuk pencegahan dan

osteoporosis akibat steroid, juga secara bermakna

pengobatan osteoporosis akibat steroid adalah etidronat, pamidronat, alendronat dan risedronat. Etidronat adalah bisfosfonat generasi pertama yang pertama kali digunakan untuk pengobatan osteoporosis'

meningkatkan BMD lumbal, leher femur dan trokanter dibandingkan kelompok yang tidak mendapat risedronat'

Obat ini mempunyai kelemahan dapat mengganggu mineralisasi tulang sehingga tidak dapat diberikan secara kontinyus. Biasanya diberikan dengan dosis 400 mglhati

pengobatan selama 12 bulan.

selama 2 minggu, diselingi dengan waktu tanpa obat selama l0 minggu. Pada waktu tanpa obat tersebut, dapat diberikan

Selain itu, risedronat 5 mg/hari juga lebih efektif dibandingkan dengan risedronat 2,5 mglhari dalam Dari berbagai penelitian dan meta-analisis terhadap

penelitian dengan bisfosfonat, ternyata bisfosfonat mempunyai efek yang baik untuk pengobatan osteoporosis akibat steroid, terutama untuk meningkatkan BMD

2670

pada daerah lumbal. Selain itu penggunaan bisfosfonat

untuk terapi juga memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan untuk pencegahan.

Bisfosfonat pada Penyakit Tulang lainnya Selain untuk osteoporosis, bisfosfonat juga dapat digunakan untuk Penyakit Tulang lainnya, seperti penyakit Paget, Osteolisis akibat keganasan, Hiperkalsemia nonskeletal, Kalsifikasi ektopik dan Osteogenesis Imperfekta.

Penyakit Paget merupakan gangguan remodeling tulang fokal yang ditandai oleh resorpsi tulang yang eksesif dilanjutkan dengan formasi tulang yang eksesif. Aktivitas

penyakit ini ditandai oleh peningkatan kadar fosfatase alkali didalam darah. Bisfosfonat yang dapat digunakan pada kelainan ini adalah etidronat 400 mglhari peroral selama 6 bulan, klodronat 1600 mg,/hari peroral, selama 6 bulan atau diberikan perdrip 300 mg/hari, 5 hari berturutturut atau 1500 mg dosis tunggal, pamidronat 30 mg,&ari

perdrip, 3 hari berturut-turut atau 60-90 mg perdrip dosis

tlnggal, alendronat 40 mg/hari peroral selama 6 bulan dan risedronat 30 mg4rari peroral selama 2 bulan. Keberhasilan terapi ditandai dengan penurunan kadar fosfatase alkali didalamserum.

Pada keganasan, sering terjadi hiperkalsemia.

REUMA*IOLOGI

turnover, meningkatkan densitas massa tulang, meningkatkan ketebalan korteks tulang, menurunkan korteks yang porotik dan menurunkan kejadian fraktur.

Kalsitonin Kalsitonin (CT) adalah suatu peptida yang terdiri dari 32 asam amino, yang dihasilkan oleh sel C kelenjar tiroid dan berfungsi menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas. Aksi biologik ini digunakan didalam klinrk untuk mengatasi

peningkatan resorpsi tulang, misalnya pada penderita osteoporosis, penyakit Paget dan hiperkalsemia akibat keganasan.

Sekresi CT, secara akut diatur oleh kadar kalsium didalam darah dan secara kronik dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin. Kadar CT pada bayi, akan tinggi, sedangkan pada orang tua, rendah kadamya. Pada wanita, kadar CT ternyatajuga lebih rendah daripada laki-laki. Saat ini, telah diketahui struktur kalsitonin dari l0 spesies yang berbeda, yang secara umum terdiri dari glisin pada rersidu 28, amida prolin pada termninal karboksi dan kesamaan pada 5 dari 9 asam amino pada terminal amino.

Sel C kelenjar tiroid merupakan sumber primer kalsitonin pada mamalia, sedangkan pada hewan submamalia, dihasilkan oleh kelenjar ultimobrankial. Selain

Hiperkalsemia akibat keganasan tidak selalu disertai metastasis, karena hiperkalsemia dapat disebabkan oleh

itu gen kalsitonin juga menghasilkan calcitonin gene related producl (CGRP) yang merupakan peptida yang

peningkatan kadar PTHrP yang dihasilkan oleh tumor yang bersangkutan. Terapi definitifkeadaan ini adalah dengan pengangkatan tumor yang menjadi sumber pTHrp. Selain

terdiri dari 37 asam amino yang memiliki aktifitas biologik berbeda dengan kalsitonin, yaitu sebagai vasodilator dan

itu hiperkalsemia harus diatasi dengan hidrasi yang adekuat dan pemberian diuretik furosemid. Bila hal ini tidak

memberikan hasil yang adekuat, dapat diberikan bisfosfonat, yaitu etidronat, klodronat atau pamidronat dengan dosis sama dengan dosis untuk penyakit paget.

Kalsifikasi ektopik juga dapat diterapi dengan bisfosfonat. Kalsif,rkasi ini biasanya terjadi pada jaringan lunak dan dapat tef adi pada sklerodema, polimiositis dan lain sebagainya. Mekanisme kalsifikasi ini tidak jelas, diduga karena produksi berlebih protein morfogenetik tulang. Bisfosfonat yang dapat digunakan untuk kelainan ini hanya etidronat dengan dosis 20 mg/kgBB peroral, maksimal selama 4 bulan. Etidronat dapat menghambat mineralisasi normal maupun ektopik dengan cara mengikat permukaan mineral. Urolitiasis juga dapat dihambat dengan

etidronat, tetapi dibutuhkan dosis yang tinggi yang akan menghambat mineralisasi tulang, sehingga tidak dianjurkan penggunaan etidronat pada urolitiasis. Osteogenesis imperfekta adalah kelainan jaringan ikat

herediter yang disebabkan oleh gangguan kualitatif dan kuantitatif kolagen tipe I sehingga tulang menjadi osteopenia dan mudah fraktur. Bisfosfonat yang nampaknya dapat digunakan untuk kelainan ini adalah pamidronat dengan dosis 6,8 mglkgBB diberikan per-drip,

2 kali setahun. Pamidronat akan menurunkan bone

neurotransmiter dan tidak bereaksi dengan reseptor kalsitonin. Jaringan lain yang juga menghasilkan kalsitonin adalah sel-sel hipofisis dan sel-sel neuroendokrin yang tersebar diberbagai jaringan, tetapi kalsitonin nontiroidal

ini tidak mempunyai peran yang penting pada kadar kalsitonin di perifer. Kalsitonin merupakan petanda tumor yang penting pada karsinoma tiroid meduler. Efek biologik utama kalsitonin adalah sebagai penghambat osteoklas. Dalam beberapa menit setelah pemberian, efek tersebut sudah mulai bekerja sehingga aktifitas resorpsi tulang terhenti. Selain itu, kalsitonin juga mempunyai efek menghambat osteosit dan merangsang osteoblas, tetapi efek ini masih kontroversial. Efek lain yang penting adalah analgesik yang

kuat.

Banyak

hipotesis yang menerangkan mekanisme efek analgesik

kalsitonin, misalnya peningkatan kadar p-endorfin, penghambatan sintesis PGE, perubahan fluks kalsiumpada membran neuronal, terutarna di otak, mempengaruhi sistem

katekolaminergik, efek anti depresan maupun efek lokal sendiri. Kalsitonin juga akan meningkatakan ekskresi kalsium dan fosfat di ginjal, sehingga akan menimbulkan hipokalsem,ia dan hipofosfatemia. Efek lain adalah efek anti inflamasi, merangsang penyembuhan luka dan fraktur, dan mengganggu toleransi glukosa. Konsentrasi kalsium plasma merupakan regulator sekresi kalsitonin yang penting. Bila kadar kalsium plasma

2671

OIITEOFOROIIIs

meningkat, maka sekresi kalsitonin juga akan meningkat, sebaliknya bila kadar kalsium plasma menurun, sekresi kalsitonin juga akan menurun. Walaupun demikian, bila hiperkalsemia dan hipokalsemia berlangsung lama maka efeknya terhadap sekresi kalsitonin nampaknya tidak adekuat, mungkin terjadi kelelahan pada sel C tiroid untuk

terbukti efektif untuk pengobatan osteoporosis pada berbagai penelitian multisenter. Fragmen yang tidak mengandung asam amino l-32, tertyata kehilangan

mrerespons rangsangan tersebut.

trabekular, tetapi tidak ada perbaikan pada keseimbangan kalsium dan densitas tulang kortikal.Kombinasi PTH dosis

Beberapa peptida gastrointestinal, terutama dati kelompok gastrin-kolesistokinin merupakan sekretagogs kalsitonin yang poten bila diberikan secara parenteral pada dosis supraf,rsiologik.

Kalsitonin, merupakan obat yarg

telah

direkomendasikan oleh FDA untuk pengobatan penyakit-

penyakit yang miningkatakan resorpsi tulang dan hiperkalsemia yang diakibatkannya, seperti Penyakit Paget,

Osteoporosis dan hiperkalsemia pada keganasan. Pemberiannya secara intranasal, nampaknya akan mempermudah penggunaan daripada preparat injeksi yang

pertama

kali diproduksi.Dosis yang dianjurkan untuk

pemberian intra nasal adalah 200 U perhari. Kadar puncak didalam plasma akan tercapai dalam waktu 20-30 menit, dan akan dimetabolisme dengan cepat di ginjal. Pada sekitar separuh pasien yang mendapatkan kalsitonin lebih

dari 6 bulan, ternyata terbentuk antibodi yang akan mengurangi efektifitas kalsitonin.

Strontium Ranelat Strontium ranelat merupakan obat osteoporosis yang memiliki efek ganda, yaitu meningkatkan kerja osteoblas dan menghambat kerja osteoklas. Akibatnya tulang endosteal terbentuk dan volume trabelar meningkat. Mekanisme kerja strontium ranelat belum jelas benar, diduga efeknya berhubungan dengan perangsangan Calsium sensing receptor (CaSR) pada permukaan selsel tulang. Dosis strontium ranelat adalah 2 gramlhari yang dilarutkan didalam air dan diberikan pada malam hari sebelum tidur atau 2 jam sebelum makanan dan 2 jam setelah makan. Sama dengan obat osteoporosis yang lain,

pemberian strontium ranelat harus dikombinasi dengan

Ca dan vitamin D, tetapi pemberiannya tidak boleh bersamaan dengan pemberian strontium ranelat. Efek samping strontium ranelat adalah dispepsia. Pada bebverapa kasus juga dilaporkan tromboemboli vena dan reaksi obat yang disertai eosinofilia dan gejala sistemik lainnya.

Hormon Paratiroid Hormon Paratiroid berfungsi untuk mempertahankan kadar

kalsium didalam cairan ekstraseluler dengan cara merangsang sintesis 1,25(OH)rD di ginjal, sehingga absorpsi kalsium di usus meningkat. Selain itu juga merangsang formasi tulang. Fragmen aminoterminal I -34 (hPTHt I -341) dari 84 asam amino polipeptida ini merupakan komponen yang aktif yang telah dapat disintesis dan

efektifitasnya terhadap tulang. Penelitian pada I 6 penderita osteoporosis yang diberikan 50-100 mg sehari subkutan

ternyata menunjukkan peningkatan densitas tulang rendah (25-40 mg) dengan antiresorptif lain (HRT, bisfosfonat atau kalsitonin) ternyata memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan pemberian antiresorptif saja' Selain itu kombinasi ini juga akan menghindari kehilangan massa tulang kortikal yang berlebihan akibat terapi PTH'

Reseptor PTH, ternyata tidak didapatkan pada permukaan osteoklas, tetapi ditemukan dalam jumlahyang sangat banyak pada sel preosteoblastik, sehingga diduga, peningkatan rersorpsi osteoklas bersifat sejkunder melalui berbagai faktor lokal. Penelitian in vitro mendapatkan bahwa pemberian PTH terus menerus akan menghambat

sintesis kolagen oleh osteoblas, tetapi pemberian intermiten akan meningkatkan efek osteoanabolik melalui faktor lokal insulin-like growth factor 1 (IGF- 1 ). IGF juga mampu menghambat apoptosis osteoblas, sehingga PTH dapat meningkatkan jumlah osteoblas yang aktif melalui peningkatan produksinya dan menghambat kematiannya' Potensi anabolik PTH dapat terlihat pada pdenderita gagal grnjal dengan hiperparatiroidisme sekunder, dimana terlihat peningkatan massa tulang pada daerah end plate korpus vertebra yang merupakan tanda khas radiologik osteodistrofi rcnal (sandwich vertebra). Walaupun efek anabolik PTH hanya terdapat pada tulang trabekular, sedangkan pada tulang kortikal justru rnenurunkan massa tulang , tetapi pada penelitian dengan tikus, tidak pernah ditemukan tanda-tanda kehilangan massa tulang kortikal selama pengobatan. Pada penderita

dengan hiperparatiroisme primer, PTH endogen yang kontinyus ternyata akan menyebabkan osteoporosis tulang kortikal yang berat. Penelitian terhadap penggunaan PTH untuk terapi osteoporosis, berkembang sangat lambat sejak 20 tahun yang lalu; hal ini disebabkan oleh :

I. 2. 3. 4. 5.

Kesulitan memproduksi frakmen aktif PTH yang mumi dalam jumlah yang cukuP, Efekyangtidak baik terhadap tulang kortikal, Pemberian harus secara parenteral setiap hari, Tingginya ikatan hPTH dengan protein didalam tubuh manusia, sehingga akan mengurangi efek terapetiknya, Harga yang mahal dibandingkan obat yang lain'

Pada binatang percobaan (tiku$, PTH meningkatkan risiko timbulnya osteosarkoma, oleh sebab itu PTH tidak boleh diberikan pada pasien-pasien yang berisiko tinggi terhadaop osteosarkoma, misalnya menderita penyakit Paget, osteomalasia, metastasis tulang dan pasien-pasien yang pernah menjalani radioterapi skeletal.

2672

Natrium fluorida Natrium fluorida merupakan stimulator tulang yang sampai sekarang belum disetujui oleh FDA, tetapi tetap digunakan di beberapa negara. Saat ini tersedia 2 preparat, yaitu natrium fluorida (It{aF) dalam bentuk tablet salut yang bersifat lepas lambat, dan tablet monofluorofosfat (MFp). Dua ratus mg disodium MFP setara dengan 36 mg NaF atat16,4 mg ion fluorida. Walaupun dosis optimal masigh diperdebatkan, penelitian pada umumnya menunjukkan hasil yang baik pada dosis ion fluorida 20-30 mg perhari. Sebagai perbandingan, dosis fluorida yang dibutuhkan untuk mencegah karies dentis adalah 2-4 mgperhari. Fluorida merupakan mitogenik terhadap osteoblas yang aksinya membutuhkan keters ediaan faktor pertumbuhan. Berbeda dengan efek anti resorptifyang sangat lambat, pemberian fluorida akan meningkatkan massa tulang spinal secara dramatik dan linier rata-ratagoZltahun selama 4 tahun. Walaupun demikian, ternyata pemberian fluorida akan menyebabkan penurunan densitas pada tulang kortikal sehingga meningkatkan risiko fraktur tulang perifer. Risiko ini dapat dikurangi dengan pemberian fluorida secara siklik (ada massa bebas fluorida) atau dengan mengkombinasikannya dengan kalsium dan vitamin D.

Fluorida akan cepat diabsorpsi pada pemberian peroral dan akan mencapai kadar puncak dalam waktu 30 menit. Absorpsi akan lebih baik bila diberikan dalam keadaan perut kosong; adanya makanan didalam lambung akan memrrunkan absorpsi sampai 30-50%. Ginjal akan mengekskresikan fluorida sekitar 50Yo dan sisanya akan disimpan di tulang. Ekskresi fluorida akan menurun bila CCT menurun sampai 40-50 mVmenit. Berdasarkan data yang terbatas, efek terapertik fluorida akan tercapai bila kadar fluorida didalam serum mencapai 0,1 -0,25 mg/l (5- 1 0 mmolfl).

REUMITTq.OGI

diproduksi oleh osteoblas dan berperan pada proses pematangan osteoklas. Dengan terikatnya RANKL, maka receptor aclivator of nuclear factor kappa B (RANK)

pada permukaan prekursor osteoklas tidak akan terangsang, sehingga maturasi dan diferensiasi osteoklas

tidak akan terjadi dan resorpsi tulang juga tidak akan tery'adi.

Vitamin

D

Vitamin D berperan untuk meningkatkan absorpsi kalsium di usus. Lebih dari 90% vitamin D disintesis didalam tubuh dari prekursornya dibawah kulit oleh paparal sinar ultraviolet. Pada orang tua, kemampuan untuk aktifasi vitamin D dibawah kulit berkurang, sehingga pada orang tua sering te{adi defisiensi vitamin D. Kadar vitamin D di dalam darah diukur dengan cara mengukurkadar25-OH vitamin D. Pada penelitian didapatkan suplementasi 500 IU kalsiferol dan 500 mg kalsium peroral selama 18 bulan ternyata mempu menurunkan fraktur non-spinal sampai 50% (Dawson-Hughjes, 1997). Yitamin D diindikasikan pada orang-orang tua yang tinggal di Panti Werda yang kurang terpapar sinar matahari , tetapi tidak diindikasikan pada populasi Asia yang banyak terpapar sinar matahari.

Kalsitriol kalsitriol tidak diindikasikan sebagai pilihan pertama pengobatan osteoporosis pasca menopause. Kalsitriol Saat ini

diindikasikan bila terdapat hipokalsemia yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pemberian kalsium peroral. Kalsitriol juga diindikasikan untuk mencegah hiperparatiroidisme sekunder, baik akibat hipokalsemia maupun akibat gagal ginjal terminal. Dosis kalsitriol untuk pengobatan osteoporosis adalah 0,25 1t g, 1 -2 kali per-hari.

Dosis NaF dibawah 30-40 mglhari ternyata tidak memberikan efek terapetik yangtyata,tetapi dosis diatas 75-80 mg/hari ak;n menyebabkan kelainan tulang. Fluorida akan mengganggu mineralisasi tulang dengan mengganti gugus hidroksil pada hidroksiapatit menjadi fluoroapatit yang lebih tidak stabil tetapi resisten terhadap resorpsi. Walaupun demikian tulang yang mengandung fluoroapatit akan menunjukkan gambaran histologik yang abnormal, mineralisasi yang rendah dan kurang kuat dibandingkan tulang yang normal. Efek samping lain selain peningkatan risiko fraktur perifer adalah iritasi lambung dan artralgia yang mungkin berhubungan dengan mikrofraktur atau remodeling tulang yang terlalu cepat. Untuk mengatasi iritasi lambung, dapat digunakan tablet salut NaF atau preparat MFp.

Denosumab Denosumab merupakan antibodi monoklonal (IgGr) manusia yang akan berikatan dengan receptor activalor of nuclear factor kappa B ligand (RANKL) yang

Kalsium Asupan kalsium pada pendyuduk Asia pada umumnya

lebih rendah dari kebutuhan kalsium

yar.g

direkomendasikan oleh Institute of Medicine, National Academy of Science (1997), yaitu sebesar 1200 mg. Kalsium sebagai monoterapi, ternyata tidak mencukup untuk mencegah fraktur pada penderita osteoporosis. Preparat kalsium yang terbaik adalah kalsium karbonat, karena mengandung kalsium elemen 400 1t! grartdisusul Kalsium fosfat yang mengabndung kalsium elemen 230 ltglgram, kalsium sitrat yang mengandung kalsium elemen 211 ltgl gram, kalsium laktat yang mengandung kalsium elemen 130 lt"glgram dan kalsium glukonat yang mengandung kalsium elemen 90 pglgram.

Fitoestrogen Fitoestrogen adalah fitokimia yang memiliki aktifitas estrogenik. Ada banyak senyawa fitoestrogen, tetapi yang telah diteliti adalah isoflavon dan lignans. Isoflavon yang

2673

osrEoPoRosrlt

berefek estrogenik antara lain genistein, daidzein dan gliklosidanya yang banyak ditemukan pada golongan

diperlukan tindakan bedah, sebaiknya segera dilakukan,

kacang-kacangan (Le gumino sae) seperti s oy bean dan r ed clover. Sampai saat ini belum ada bukti dari cilincal trial bahwa fitoestrogen dapat mencegah maupun mengobati osteoporosis (Alekel, 2000; Potter I 998).

komplikasi fraktur yang lebih lanjut

sehingga dapat dihindari imobilisasi lama dan Tujuan terapi bedah adalah untuk mendapatkan fiksasi

yang stabil, sehingga mobilisasi penderita dapat dilakukan sedini mungkin

Pembedahan Pembedahan pada penderita osteoporosis dilakukan bila terjadi fraktur, terutama fraktur panggul. Beberapa prinsip

4

yang harus diperhatikan pada terapi bedah penderita osteoporosis adalah : l. Penderita osteoporosis usia lanjut dengan fraktur, bila

Kelompok

Bisfosfonat

Kemasan

Nama generik Alendronal

Tablet, 35 mg, 5 mg Tablet 70 mg, 10 mg

Risedronat

Asupan kalsium tetap harus diperhatikan pada penderita yang menjalani tindakan bedah, sehingga mineralisasi kalus menjadi sempurna Walaupun telah dilakukan tindakan bedah, pengobatan medikamentosa osteoporo sis dengan bisfosfonat, atau raloksifen, atau terapi pengganti hormonal, maupun kalsitonin, tetap harus diberikan.

Osteoporosis : 35 mg, seminggu sekali atau 5 mg/hari Osteoporosis : 70 mg, seminggu sekali atau 10 mg/hari Osteoporosis : 150 mg sebulan sekali Osteoporosis : 5 mg per-drip selama 15 menit, diberikan setahun sekali Hiperkalsemia akibat keganasan : 4 mg per-drip dalam 15 menit, dapat diulang dalam waktu 7 hari. Metastasis tulang : 4 mg per-drip dalam 15 menit, tiap 3-

lbandronat

Tablet, 150 mg

Zoledronat

Vial,4 mg, 5mg

Pamidronat

Vial 15 mg/10 ml, 30 mg/

4 minggu sekali

Hiperkalsemia akibat keganasan, osteolisis akibat

10 m|,60 mg/Sml

keganasan: 60-90 mg, per-drip selama 4 jam.

Klodronat

Vial 300 mg/S ml

Hiperkalsemia akibat keganasan, osteolisis akibat keganasan: 300 mg/hari per-drip selama 2 jam, 5 hari

Raloksifen

Tab, 60 mg

Osteoporosis

:

60 mg/hari, setiap hari

Kalsitonin

Kalsitonin

Amp 50 mg/ml, 100 mg/ml Nasal spray 200 lU/dosis

Osteoporosis

:

200 lU/hari Nasal spray

Hormon seks

Estrogen terko-nyugasi alamiah

Tab, 0,3 mg, 0,625

Sindrom defisiensi estrogen :0,3 1,25 mg/hari Osteoporosis : 0,625 - 1,25 mg/hari dikombinasi dengan

Medroksiprogesteron asetat (MPA)

Tab,2,5 mg, 10 mg

2,5

Testosteron undecanoate

Tablet 40 mg

Hipogonadisme, osteoporosis akibat defisiensi androgen: 120-160 mg/hari selama 2-3 minggu,

Kombinasi testosteron propionat, tes{osteron fenilpro-pionat, testosteron dekanoat

Vial, 250 mg/ml

berturut-turut

Selectiveestro-gen

receptor modulators (SERMS)

1,25 mg

mg,

-

MPA2,5-5mg/hari.

-

5 mg/hari sebagai kombinasi dengan estrogen

dilanjutkan dosis pemeliharaan 40-120 mg/hari

Hipogonadisme, osteoporosis

akibat defi-

siensi

androgen : 1 ml lM, 3-4 minggu sekali

'. 2

gramlhari, dilarutkan dalam air,

Osteoporosis

ranelat

Bubuk, 2 gram/bungkus

Vitamin

Kalsitriol

Softcap, 0,25 pg

Osteoporosis, osteodistrofi renal, hiperparatitoidisme, refractory rickets : 0,25 lLg, 1 - 2 kali perhari

Alfakalsidol

Kapsul, 0,25 pg, 1,0 pg

Kalsium karbonat

Bubuk Tablet, 500 mg

Hipokalsemia, osteodistrofi renal : 1,0 pg/hari Suplementasi kalsium : 500 mg, 2-3 kali per-hari Suplementasi kalsium, 1 tablet, 2-3 kali/hari

Strontium

Kalsium

D

Kalsium hidrogen-fosfat

diminum pada malam hari, atau 2 jam sebelum makan

alau2jam setelah makan

2674

REI,JMIIilOI.OGI

Pada fraktur korpus vertebra, dapat dilakukan

pengobatan dan dinilai peningkatan densitasnya. Bila dalam waktu I tahun tidak te{adi peningkatan maupun pemtrunan

densitas massa tulang, maka pengobatan sudah dianggap berhasil, karena resorpsi tulang sudah dapat ditekan. Selain mengulang pemeriksaan densitas massa tulang,

maka pemeriksaan petanda biokimia tulang juga dapat digunakan untuk evaluasi pengobatan. penggunaan

Evaluasi Hasil Pengobatan Evaluasi hasil pengobatan dapat dilakukan dengan mengulang pemeriksaan densitometri setelah l-2 tahtn

Presentasi

klinik Fraktur karena trauma minimal

petanda biokimia tulang, dapat menilai hasil terapi lebih cepat yaitu dalam waktu 3-4 bulan setelah pengobatan.

Yang dinilai adalah pemrrunan kadar berbagai petanda resorpsi dan formasi tulang.

Pendekatan dioagnostik Diagnosis osteoporosis tegak

Penatalaksanaan Edukasi dan pencegahan Latihan dan rehabilitasi Terapi farmakologik

Dugaan fraktur

vertrbra (nyeri punggung/ping-gang, hiperkifosis, tinggi badan turun,) Pasien usia > 60 tahun

Radiografi spinal untuk memastikan adanya fraktur vertebra

Densitometri

tulang

T-score <-2,5

Pembedahan atas indikasi Edukasi dan pencegahan Latihan dan rehabilitasi Terapi farmakologik Pembedahan atas indikasi Edukasi dan pencegahan Latihan dan rehabilitasi Terapi farmakologik

Faktor risiko

osteoporo-sis

atau fraktur lainnya Wanita pascamenopause

Densitometri

tulang

T-score >-1, <-2,s

Pembedahan atas indikasi Edukasi dan pencegahan

T-score >-1

Latihan dan rehabilitasi Edukasi dan pencegahan

T-score <-2,5

Latihan dan rehabilitasi Edukasi dan pencegahan

:

Latihan dan rehabilitasi

-

Berat badan kurang Asupan kalsium rendah

-

Risiko terjatuh

Terapi farmakologik Pembedahan atas indikasi T-score >-'1, <-2,5

Aktifitas fisik kurang

Riwayat

osteoporosis atau fraktur osteoporotik dalam keluarga

T-score >-1

Edukasi dan pencegahan Latihan dan rehabilitasi

Edukasi dan pencegahan Latihan dan rehabilitasi

Pengguna glukokorti-koid

jangka -panjang

Densitometri

T-score <-1

Edukasi dan pencegahan Latihan dan rehabilitasi Terapi farmakologik

T-score >-1

Pembedahan atas indikasi Edukasi dan pencegahan Latihan dan rehabilitasi

2675

osTEoFoRosrli

Asupan kalsium yang adekuat Pada laki-laki muda dan anak laki-lakr pre-adolesen : 1000 mg/hari

Pada lakilaki > 60 tahun dan anak laki-laki adolesen : '1500 mg/hari

Asupan vitamin D yang adekuat, terutama pada penderita yang tinggal di negara 4 musim Latihan fisik yang teratur, terutama yang bersifat pembebanan dan isometrik Hindari merokok dan minum alkohol Kenali defisiensi testosteron sedini mungkin dan berikan terapi yang adekuat Kenali faktor risiko osteoporosis dan lakukan tindakan pencegahan Kenali faktor risiko terjatuh dan lakukan tindakan pencegahan Berikan terapi yang adekuat Risedronat dan Alendronat merupakan terapi pilihan hipogonadisme, dapat dipertimbangkan pemberian testosteron

Bila ada

Pengobatan osteoporosis akibat steroid dimulai bila didapatkan : Fraktur vertebral/non-vertebral non-traumatik dan/atau Pada pemeriksaan BMD didapatkan T-score<-1 Penatalaksanaan umum Gunakan steroid dengan dosis efektif serendah mungkin dan sesingkat mungkin Latihan yang bersifat pembebanan dan isometrik Memelihara status gizi sebaik mungkin

Menghindari hiperparatiroidisme sekunder Restriksi Na sampai 3 gr/hari untuk mencegah hiperkalsiuria dan meningkatkan absorpsi kalsium; bila perlu tambahkan tiazid Menjaga asupan kalsium 1200-1500 mg/hari Menjaga asupan vitamin D, terutama di negara 4 musim

Evaluasi densitas massa tulang dengan alat DEXA

6

bulan

sekali Mulai pengobatan bila T-score < -1 Pengobatan osteoporosis

Bisfosfonat, yaitu risedronat atau alendronat merupakan obat oilihan

REFERENSI Isbagio H. Beberapa Aspek Perkembangan Terbaru di bidang Reumatologi. Dalam: Sudoyo AW, Markum HMS et al (eds). Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 1998. Bagian Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM 1998:137-54. Favus J Murray et al (eds) Primer on The Metabolic Bone Disease and Disorders of Mineral Metabolism. 6th ed. American Societry

for Bone and Mineral Research, Washington DC, 2008 Seeman E. Bone Quality. Advances in Osteoporotic Fracture Management 2002;2(I):2-8 Watts NB. Bone Quality: Getting Closer to a Definition J Bone Miner Res 2002;17 (7):1148-50. Seeman E. Pathogenesis of bone fragility in women and men Lancet 2002;359: I 84 1 -50 Kanis JA. Assessment of Fracture Risk. Who Should be Screened ? In: Farus MJ et a1 (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed. American Society

for Bone and Mineral Research, Washington DC,200f:316-23. Kanis JA, Borgstrom F, De Laet C et al. Assessment of fiacture risk. Osteoporosis Int 2005(16):581-9. Marcus R. Feldman D, Nelson DA (eds). Osteoporosis. 3rd ed. Vol 2. Elsevier Academic Press, London, 2008 Riggs B, Khosla S, Melton J. A Unitary model for involutional osteoporosis: Estrogen deficiency causes both type I and type II osteoporosis in postmenopausal women and contributes to bone loss in aging men. J Bone Miner Res 1998;13:763-73. Frost HM. On the Estrogen-Bone Relationshp and Postmenopausal Bone Loss: A New Model. J Bone Miner Res 1999;14(9):1473-7. Bonnick SL. Bone Densitometry in Clinical Practice: Application and Interpretation, lst ed. Humana Press, Totowa, New Jersey, 1998. Meunier PJ. Osteoporosis: Diagnosis and Management.

lst

ed. Mosby,

London,1998. Wolf AD, Dixon AJ. Osteoporosis: A Clinical Guide. 2nd ed. Martin Dunitz, London 1998. Daftar Komposisi Bahan Makanan, Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI, Penerbit Bhratara, lakarta 1996. Hauselmann HJ. Osteoporosis in men. Rheumatology in Europe 1 995 ;24(supp1 2):7 3 -6. Sambrook PN. Glucocorlicoid Induced-Osteoporosis. Dalam : Favus MJ (ed). Primer on the metabolic bone diseases and disorders of mineral metabolism. 6th ed. American Society of Bone and

Mineral Research, Washington DC 2008:296-301 of Rheumatology Ad Hoc Committe on

American College

Glucocorticoid-Induced Osteoporosis. Recommendatiom lor the Prevention and Treatment of Glucocorticoid-Induced Osteoporosis: 2001 Update. Arthritis Rheum 2001;44(7):1496-1503. Lem WJ, Jacob JWG, Bijlsma JWJ. Corticosteroid indiced osteoporosis. Rheumatology in Europe 1995;24(suppl):76-9. Spencer CP, Stevenson JC. Oestrogen and anti oestrogen for the prevention and treatment of osteoporosis. In :Meunier PJ (ed). Osteoporosis: Diagnosis and Management. Mosby. St Louis.

1998:111-22. Wolf AD, Dixon ASJ. The menopause and hormonal replacement therapy. In: Wolf AD, Dixon ASJ (eds) Osteoporosis: A Clinical guide. 2nd ed. Martin Dunitz, London 7998: 195-214. Watts NB. Pharmacology of agents to treat osteoporosis In: Favus MJ (ed). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th ed. Lippincott William & Wilkins. Philadelphia 1999:27 8-83. Russel RGG, Rogers MJ, Frith JC et al. The Pharmacology of Bisphosphonates and New Insights into Their Mechanisms of Action. J Bone Miner Res 1999;l4(suppl 2):53-65. Grauer A, Bone H, McCloskey EV et al. Discussion:Newer Bisphosphonates in the treatment of Paget's disease of Bone: Where We are and Where we want to go. J Bone Miner Res 1 999; 14(suppi 2):7 4-8. Harris ST, Watts NB, Genant HK. Effects of Risedronate treatment

on Vertebral and Nonvertebral fractures in women with postmenopausal osteoporosis: A Randomized controlled trial. Vertebral effrcacy with risedronate therapy (VERI) Study group. JAMA 1 999;2 8 2(t 4):13 44- 52. Mortensen L, Charles P, Bekker PJ et al. Risedronate increases bone

mass in an eariy postmenopausal population: Two years of treatment plus one yer of follow up. J Clin Endocrinol Metab

r998;83(2):396-402. Delmas PD, Balena R, Confravreux E et al. Bisphosphonate Risedronate prevents bone loss in women with artificial menopause due

to chemotherapy of breast cancer: A double

2676

blind, placebo- controlled study. J Clin Oncol 1997;15(3):955-62. Reid IR, Brown JP, Burckhardt P et al. Intravenous zoledronic acid

in

Postmenopausal women with low bone mineral density. N Eng J Med 2002;346(9):653-61. Fleisch, Herbert. Bisphosphonates in Bone Disease: From the

Laboratory to tho Patient. Academic Press, SanDiego.

Ringe JD. Stimulators of bone formation for the treatment of osteoporosis. In: Meunier PJ (ed). Osteoporosis: Diagnosis and Management. Mosby. St Louis. 1998:131-48. Harris Sl Wasnich R, Weiss ES. The effect of Risedronate Plus Estrogen Compared with Estrogen Alone in Postmenopausal Women. J Bone Minet Res 1999:5410.

REI.JMIII(M)GI

408 OSTEOMALASIA Nyoman Keftia

PENDAHULUAN Pertumbuhan tulang normal dan proses mineralisasi membutuhkan vitamin D, kalsium dan fosfor yang adekuat. Defisiensi yang lama dari berbagai hal di atas mengakibatkan akumulasi matriks tulang yang tidak dimineralisasikan. Penurunan mineralisasi pada pasien

muda menyebabkan riketsia karena kerusakan dari pertumbuhan lempeng epifise. Kekuatan tulang menumn,

yang menyebabkan deformitas struktural pada tulang penyangga berat badan. Pada orang tua dimana epifise telah menutup dan hanya tulang yang terkena, gangguan mineralisasi ini disebut osteomalasia. Osteoid secara normal termineralisasi dalam 5-10 hari, namun padapasien dengan osteomalasia interval bisa terjadi selama 3 bulan.

Penyebab riketsia/osteomalasia meliputi kurangnya suplemen vitamin D atau fosfor, penggunaan susu formula yang mengandung kurang dari 20 mg kalsium/dl, nutrisi total parenteral dengan larutan tanpa kalsium dan vitamin D yang adekuat, dan diet tinggi phytate yar,g mengikat kalsium dalam usus. Hipovitaminosis D disebabkan oleh defisiensi diet kronik; penurunan sintesis disebabkan oleh paparan sinar matahari yang kurang; menurunnya absorpsi vitamin D karena penyakit bilier,

kostokondral menonjol, suatu deformitas yang disebut dengan rachitic rosaty. Tulang-tulang panjang menjadi bengkok terutama di kaki serta kifosis di punggung dapat menyebabka n gay a berj alan yang b ergoy ang- goy art'gl waddling gait, bahkart bisa terjadi fraktur . TEngkorak menunjukkan kepala frontal dan mendatarnya tulang parietal. Radiograh pasien dengan riketsia menunjukkan demineralisasi umum dengan penipisan permukaan kortikal dari tulang-tulang panjang; pelebaran, penegangan dan melengkungnya ujung distal tulang dan hilangnya zorra kalsifrkasi kartilago sementara

Manifestasi klinis dari osteomalasia menyerupai gangguan reumatik, meliputi nyeri tulang, mudah lelah, kelemahan proksimal dan pelunakan periartikuler. Simptom ini membaik dengan terapi untuk mengoreksi gangguan

mineralisasi. Beberapa pasien dengan osteomalasia menunjukkan garis radiolusen kortikal tipis (sfress fracture) yang tegak lurus dengan tulang dan seringkali

simetris . Pasien lain memiliki fraktur lama pada kosta yang multipel dengan pembentukan kalus yang buruk.

Gambaran laboratorium dari osteomalasia akibat defisiensi vitamin D adalah kadar kalsium serum rendah atau normal, hipofosfatemia, meningkatny a kadat alkalin fosfatase, kadar osteokalsin serum normal, meningkatnya kadar hormon paratiroid serum (ika hipokalsemia ada) dan

pankreatitis, penyakit mukosa usus kecil proksimal, gastrektomi atau resin pengikat asam empedu;

rendahnya kad ar 1,25 dihidroksi vitamin D ( 1,2 5 -(OH), D) di dalam serum. Pada osteomalasia akibat defisiensi kalsium ekskresi kalsium urin menurun, kadar hormon paratiroid meningkat, kadar 1,25 (OH), D normal dan kadar fosfor

meningkatnya ekskresi vitamin D pada pasien dengan sindrom nefrotik dan meningkatnya katabolisme vitamin D akibat penggunaan obat seperti fenitoin, barbiturat dan rifampisin.

serum bisa rendah atau normal. Osteomalasia akibat hip ofos fatemia biasanya terj adi akibat hiperfo sfaturia,

dimana didapatkan kadar osteokalsin, hormon paratiroid dan 25 hidroksi vitamin D (25-OH vitamin D) adalah normal; kadar alkalin fosfatase biasanya meningkat, kadar fosfor serum dan 1,25 (OH), vitamin D adalah rendah dan ekskresi fosfor urin sangat tinggi. Pasien dengan asidosis

GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS Pasien dengan riketsia mengalami hipotonia, kelemahan otot dan pada kasus berat bisa terjadi tetani. Sambungan

2677

2678

tubular renal tipe II memiliki ganguan reabsorpsi bikarbonat

dan bermanifestasi asidosis hipokalemia hiperkloremia dengan hipofosfatemia yang disebabkan oleh bertambahnya fosfaturia. Rendahnya kadar 1,25 (OH), vitamin D pada beberapa pasien menj adi konsekuensi dari abnormalitas metabolisme tubular proksimal. Pasien dengan asidosis tubular renal dan sindrom Fanconi juga mengekskresikan banyak kalsium, magnesium, kalium, asam urat, glukosa, asam amino dan sitrat. Osteomalasia akibat penggunaan aluminium pada pasien dengan gagal ginjal kronik saat ini sudah jarang terjadi karena pembatasan penggunaan pengikat fosfat yang mengandung aluminium untuk mengendalikan hiperfosfatemia dan perbaikan metode untuk mempersiapkan larutan dialisat.

REUMAiNd.OGI

pasien dengan gagal ginjal membutuhkan terapi 1,25 (OH), vitamin D. Pada pasien dengan malabsorbsi lemak, dosis

yang diperlukan lebih tinggi dan dosis ini harus disesuaikan dengan respons terapi yang dinilai dari hasil pemeriksaan kimiawi serum. Diperlukan terapi selama beberapa bulan dalam penanganan pasien dengan defisiensi vitamin D. Suplementasi kalsium harus diberikan. Pasien harus di monitor hati-hati untuk toksisitas terapi akibat pembeir 1,25 (OH)2 vitamin D, yang secara umum bermanifestasi sebagai hiperkalsemia atau hiperkalsiuria. Pada pasien dengan asidosis tubular renal, perbaikan

kadar bikarbonat serum menjadi normal dengan menggunakan suplemen natrium bikarbonat dapat mencegah resorpsi tulang dan hiperkalsiuria. Pasien dengan

osteomalasia yang disebabkan oleh hiperfosfaturia pada

sindrom Fanconi membutuhkan suplemen fosfat oral, PENCEGAHAN DAN TERAPI Bayi membutuhkan400 IUvitaminD per oral perhariuntuk mencegah riketsia. Satu liter susu formula bayi standar mengandung 400 IU vitamin D.8 Air susu ibu (ASI)

merupakan sumber vitamin D dan kalsium yang baik, namun bisa tidak adekuat untuk mencegah osteoporosis dan hiperparatiroid sekunder terutama jika produksi ASI tidak cukup atau bayi menetek dengan jumlah yang tidak cukup.e Dinyatakan bahwa kadar 2l-OHvitamin D untuk kesehatan tulang adalah minimal 80 nmolil. Diet dengan kandungan vitamin D 5 ug per hari (200IU) tidak adekuat

untuk mencegah osteoporosis dan hiperparatiroid sekunder.

Vitamin D dapatjuga disintesis di kulit, namun sejumlah

faktor membatasi produksi vitamin D kutaneus seperti peningkatan pigmentasi di kulit dan tabir surya. Akibat proses menua maka terjadi penurunan kapasitas produksi vitamin D di kulit. Pada lansia paparan sinar matahari ke

tangan, lengan bawah dan wajah selama 5-30 menit satu

hingga tiga kali seminggu direkomendasikan untuk memenuhi kebutuhan vitamin D tubuh.

Pasien dengan riketsia nutrisional yang disebabkan oleh defisiensi vitamin D bisa diterapi dengan 600.000 ru vitamin D2 intramuskuler dan kalsium atau 2000-5000 IU ergokalsiferol per hari selama 6-12 minggu, diikuti dengan pemeliharaan dosis vitamin D. Perbaikan dalam kalsium, fosfor, alkalin fosfatase dan 25 OH vitamin D serum dalam 4-l hari membedakan riketsia nutrisional dari penyakit tulang metabolik genetik. Orang dewasa dengan kadar

vitamin D suboptimal dapat diterapi dengan 50.000 ru ergokalsiferol sekali seminggu, dengan kadar dimonitor dalam interval 2-3 bulan.

Ergokalsiferol (vitamin D2) kurang aktif dibandingkan

vitamin D3 (kolekalsiferol) dalam meningkatkan kadar 25-OH vitamin D. Orang dengan penyakit hepar semestinya terapi dengan 25 OH vitamin D, sedangkan

secara umum l-4 gperhari diberikan dalam 4-6 dosis. Pada kondisi ini terapi dengan 1,25 (OH), vitamin D dengan dosis 0,5- 1,5 ug per hari juga tampak bermanfaat. Suplementasi

kalsium dibutuhkan untuk menghindari hipokalsemia simptomatik namun tidak diberikan bersamaan dengan suplemen fosfor. Jika penyakit tulang membaik, vitamin D dapat dihentikan.

REFERENSI Basha B, Rao D, Han Z, Parfrtt A.M., 2000 Osteomalacia due to vitamin D depletion: a neglected consequence of intestinal malabsorption. Am J Med ;108:296-300. Chesney R.W., 1999 Fanconi syndrome and renal tubular acidosis. h: Favus M, ed,. Primer on lhe metabolic bone diseases and disorders of mineral melabolism,4'h ed. Chicago: Lippincott

Williams & Wilkins p. 340-3. Elder G., 2002 Patophysiology and recent advanced in the management of renal osteodystrophy. J Bone Miner Res ; 17:2094-105

.

Heaney R.P, Davies K.M, Chen T.C, 2003 Human serum 25-hydroxycholecalciferol response to extended oral dosing with cholecalciferol. Am J Clin Nutr ; 77:204-70. Holick M.F., i999 Vitamin D rz Shils M, Olson J. Shike M, Ross A, eds. Modern nutrition in health and disease, 9th ed. Baltimore: Williams & Wilkins, p.329-45. Liberman U.A, Marx S., 1999 Vitamin D-dependent rickets. In: Favus M, ed. Primer on the metabolic bone diseases and disorders of mineral melabolism,4'h ed. Chicago: Lippincott Williams & Wilkins. p:323-8. Karaaslan Y, Haznedaroglu S, Ozturk M., 2000 Osteomalacia associated with carbamazepine / valproate. Ann Pharmacother :34:264-5.

Klein G.L., 1999 Metabolic bone

disease of total parenteral nutrition. In:Favus MJ, ed. Primer on the melabolic bone disease and disorders of mineral melabolism,4 th ed. Chicago:

Lippincott Wi1[iams & Wilkins. p. 319-23. Mittal S.K, Dash S.C, Tiwari S.C, 1999 Bone histology in patients with nephritic syndrome and normal renal function. Kidney Int ; 5

5: 1912 - 19.

Ozuah P., 2000 Planning the treatment of a patient who has

qITEOMAIAIIIA

rickets. Pediatr Rev ;21(8):,286. Reginato A, Falasca G, Pappu R, 1999 Musculoskeletal manifestations of osteomalacia: report of 26 cases and literature review. Arthritis Rheum; 28(5):287 -304

Standing Committee on the Scientific Evaluation of Dietary Reference Intakes., 7997 Dietary reference intake: calcium, p hosphorus, magnesium, vitamin D and Jluoride. Washington, DC: National Academy Press. Shah B.R, Finberg L., 1994 Single day therapy for nutritional vitamin D-deficiency rickets: a preferred method. J Pediatr ;125:487 -92.

L, 1998 Evidence that vitamin D3 increases serum 25-hydroxyvitamin D more efficiently than does vitamin D2. Am J Clin Nutr;68:854-8. Vieth R., 1999 Vitamin D supplementation, 2S-hydroxyvitamin D concentrations and safety. Am J Clin Nutr ;69:842-56, Trang H, Cole D, Rubin

2679

409 PENYAKIT PAGET Nyoman Ketia

Serikat menunjukkan bahwa prevalensi penyakit

PENDAHULUAN

Paget menurut dalam20 tahun. Estimasi untuk prevalensi

Penyakit Paget merupakan gangguan di mana terdapat peningkatan yang berlebihan dari turnover tulang pada

penyakit Paget pada pasien lebih dari 55 tahun

bagian yang terlokalisir dari skeleton. Kondisi ini

umur menetap. Berdasarkan studi ini, peneliti

menyebabkan struktur tulang menjadi abnormal yang semakin lama semakin meluas sehingga mengakibatkan deformitas, peningkatan risiko fraktur dan nyeri. Perubahan pada bentuk tulang mengakibatkan perubahan mekanik dan juga menyebabkan peningkatan tekanan yang bisa

mengestimasikan bahwa I 18.000 wanita dan 144.000 pria

menurun hingga 2%o, r,amun insidensi meningkat sesuai

di Enggris dan Wales mengalami penyakit Paget.

GAMBARAN KLINIS

menimbulkan nyeri pada sendi dan sindrom kompresi saraf. Kompresi saraf yang terpenting adalah keterlibatan basis

Meskipun secara umum dapat diterima bahwa kebanyakan pasien dengan penyakit Paget adalah asimtomatis, tidak ada bukti nyata dari prevalensi simptom pada pasien dengan penyakit Paget yang dideteksi secara radiologis. Secara umum dapat diterima bahwa sekitar 5%o pasien mengalami simptom, namun estimasinya bervariasi. Sulit untuk menilai gejala klinis dari penyakit Paget pada populasiumum.

kranii yang menyebabkan ketulian. Tulang dengan penyakit Paget menunjukkan peningkatan aktivitas metabolik dan aliran darah yang berperan terhadap terjadinya rasa nyeri dan dapat juga meningkatkan kemungkinan komplikasi neurologis sebagai bagian dari vascular sleal syndrome.

EPIDEMIOLOGI DIAGNOSIS Penyakit Paget sering terjadi pada populasi keturunan Eropa bagian utara. Studi radiologis di United Kingdom yang dilakukan di tahun 1970 menyatakan bahwa

Klinis Penyakit Paget bisa muncul dengan tanda dan simptom yang jelas atau merupakan temuan insidental selama pemeriksaan kondisi lain. Gambaran klinis tipikal terlihat

prevalensi pada waktu itu sebesar 5,4o% populasi setelah berumur 55 tahun. Ada peningkatan tergantung umur dimana prevalensi pada pasien lebih dari 85 tahun adalah hampir lima kali di atas mereka yang berumur kurang dari

dalam Thbel 1.

60 tahun. Survei yang sama dilakukan pada waktu yang sama di Amerika Serikat menunjukkan bahwa prevalensinya lebih rendah yaitu 2,3o/o dari populasi

. .

attara umur 65 dan 74 tahun. Survei ini juga

. .

menun-iukkan ketergantungan umur yang nyata. Studi

Iebih baru yang dilakukan dengan menggunakan

.

metodologi yang sama dan di kota yang sama diAmerika

2680

Nyeri: nyeri tulang, nyeri sendi

Deformitas: Tulang panjang membengkok, deformitas tengkoraU kranium Fraktur: komplit, fraktur fisura

Neurologis: Ketulian, palsy serabut saraf lainnya, kompresi korda spinalis

Transformasineoplastik

kranial

2681

PENYAKITPAGET

Radiologis

dan derajat elevasi alkaline fosfatase pada penyakit Paget

Diagnosis penyakit Paget terutama adalah secara radiologis. Sejumlah gambaran radiologis berbeda

yang tidak diterapi. Meskipun penyakit Paget terutama merupakan akibat gangguan resorpsi tulang osteoklastik, marker dari resorpsi tulang yang diperiksa kurang kuat

digambarkan oleh banyak peneliti. Meskipun sejumlah besar diagnosis diferensial harus dipertimbangkan, diagnosis radiologis biasanya bukan masalah. Jika dalam

foto polos tampak samar-samar, maka Computered

dengan sensitivitas yang agak rendah. Beberapa pedoman yang bisa dipergunakan adalah : . Alkaline fosfatase spesifik tulang kadarnya rendah

dibandingkan alkaline fosfatase total dan tidak menunjukkan benefit utama dibandingkan alkali

Tomography (CT) scan bisa membantu, terutama jika teknik

resolusi tinggi digunakan untuk menunjukkan struktur

fosfatase total yang ada. Direkomendasikan bahwa aktivitas alkaline fosfatase total plasma bisa digunakan

skeletal internal.

Foto polos kurang sensitif dibandingkan skintigrafi pada diagnosis penyakit Paget. Tidak ada manfaat yang didapatkan dari survei skeletal dari foto polos untuk menilai

luasnya keterlibatan skeletal sedangkan isotop scanning

.

bisa jadi lebih sensitif dan menggunakan sedikit radiasi. Foto polos berharga dalam mendiagnosis komplikasi sekunder penyakit Paget seperti artritis atau fraktur. Ada beberapa hal yang bisa direkomendasikan mengenai foto polos: . Diagnosis penyakit Paget dapat ditegakkan dengan foto polos dari minimal satu area tulang pada semua pasien

.

dengan kondisi ini. Survei tulang menyeluruh tidak tepat untuk menegakkan

.

luasnya keterlibatan skeletal. Area yang nyeri pada penyakit Paget harus diperiksa

dengan foto polos untuk menentukan apakah ada penyebab yang mendasarinya.

.

sebagai marker standar dari turnover lulang pada pasien dengan penyakit Paget.

Pada pasien dengan penyakit Paget, namun tanpa peningkatan aktivitas alkaline fosfatase total dalam plasma, maka direkomendasikan penggunaan alkaline fosfatase spesifik tulang sebagai marker dari lurnover tulang. Pada pasien dengan penyakit hepar, direkomendasikan penggunaan alkaline fosfatase spesifik tulang untuk memonitor aktivitas penyakit Paget.

Histologis Biopsi tulang jarang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis penyakit Paget. Kadang, pemeriksaan ini bermanfaat dalam membedakan metastase osteoblastik atau osteosarkoma.

Isotope bone scanning dengan menggunakan 99mklabel ed bisphosphonat e tr ac er leblh sensitif dibandingkan foto polos dalam mengidentifikasi lesi pagetik. Satu studi

menunjukkan bahwa isotope scanning seperti

ini

PENANGANAN

akan

mendeteksi hingga 50% lebih lesi dibandingkan yang terlihat

Simptomatik

pada foto polos. Teknik ini juga menguntungkan untuk bisa memvisualisasikan seluruh tulang dan menilai luasnya

Simptom utama penyakit Paget adalah nyeri. Dalam beberapa kasus nyeri ini tampaknya meningkat

penyakit. Seperti diketahui bahwa distribusi penyakit berguna dalam merencanakan terapi (khususnya untuk menentukan apakah basis kranii terlibat) maka

juga disebabkan oleh kompresi saraf sebagai akibat dari

berhubungan dengan penin gkatan turnover f.lJang, namun

isotope scintigraphy harus dipertimbangkan pada semua

deformitas tulang atau artritis yang sudah ada. Pada semua pasien perlu dilakukan penilaian klinis yang hati-hati untuk

pasien untuk menilai luas dan aktivitas penyakit.

menentukan berbagai kemungkinan penyebab nyeri,

Direkomendasikan bahwa meskipun isotope scintigraphy bukan merupakan metode pilihan untuk mendiagnosis

Paget adalah akibat dari peningkatan tumover tulang yang

penyakit Paget, semua pasien dengan penyakit Paget harus menjalani scintigraphy untuk menilai luasnya keterlibatan skeletal.

sehingga terapi yang tepat bisa diberikan. Nyeri tulang merespons baik terhadap pemberian inhibitor osteoklas, dimana nyeri ini meningkat untuk kompresi saraf namun tidak demiki at pada osteoartritis. Penyebab-penyebab

nyeri ini harus diterapi dengan obat standar, seperti

Biokimiawi Penyakit Paget berkaitan dengan peningkatan turnover tulang. Marker turnover t.tlang pada umumnya meningkat pada penyakit aktif. Aktivitas alkaline fosfatase plasma meningkat pada 85o/o pasien dengan penyakit Paget yang

tidak diterapi. Pada banyak pasien dengan aktivitas alkaline fosfatase 'normal' penyakit ini monostotik atau terbatas pada sedikit tulang. Ada hubungan kuat antara luasnya aktivitas penyakit yang diukur dengan skintigrafi

analgesik sederhana, NSAID atau opioid analgesik secara

sendiri-sendiri atau dalam kombinasi. Banyak pasien

mendapatkan manfaat dari penambahan terapi antidepresan trisiklik dosis rendah sebagai regimen analgesik. Metode fisik pengendalian nyeri bisa juga membantu. Ini meliputi akupunktuq stimulasi saraf listrik transkutaneus, fi sioterapi dan hidroterapi. Banyak pasien

juga mendapat manfaat dari cara lain seperti pemakaian alat bantu tongkat berjalan dan juga sepatu khusus.

2682

Penggantian sendi harus dipertimbangkan pada pasien dengan osteoartritis lanjut yang simptomnya menetap walau sudah diterapi. Pembedahan juga diperlukan untuk sindrom kompresi sarafyang tidak respons dengan terapi medis.

Spesifik Terapi spesifik untuk penyakit Paget bertujuan untuk /zi rnover abnormal tulang. Karena defek primer tampakya pada osteoklas, kebanyakan terapi berlujuan

menurunkan

menurunkan resorpsi tulang osteoklas. Terapi berbeda telah digunakan selama bertahun-tahun. Dengan ditemukannya bisfosfonat maka peluang pengobatan penyakit Paget secara labih baik mulai terbuka. Penggunaan obat-obatan ini mungkin dibatasi hanya di pusat spesialis saja. Perbandingan efektivitas terapi antar satu regimen dengan regimen lainnya sulit diketahui sebab kurangnya penelitian

mengenai respons terapi. Yang banyak adalah laporanlaporan awal yang menggambarkan respons mengenai turunnya persentase aktivitas alkaline fosfatase. Selain bisfosfonat maka ada beberapa jenis terapi lain yang bisa diberikan yang akan dibahas di bawah ini.

a.

Bisfosfonat

Bisfosfonat awalnya dikembangkan penggunaannya dalam

industri deterjen dimana agen ini bisa mencegah pembentukan skala air jeruk dalam pipa. Namun dalam sistem biologis struktur kimianya menyebabkan ikatan dengan permukaan hydroxyapatite kristal dalam tulang, khususnya di daerah yang mengalami resorpsi osteoklastik aktif. Bisfosfonat bekerja dengan dua mekanisme dasar ttama y ang b erb e da yaitu : b i s fo s fo r,at y ang meng andung nitrogen seperti pamidronat, alendronat dan risedronat menghambat enzim dari jalur mevalonat. Inhibisi jalur ini oleh bisfosfonat menghambat fungsi resorptif dan memicu apoptosis. Bisfosfonat yang tidak mengandung nitrogen seperti etidronat, klodronat dan tiludronat mengganggu

jalur metabolik selular dan juga memicu kematian sel

REI.,IMII|IOI.OGI

fosfatase antara40o/o dar70o/o dan reduksi yang sama pada ekskresi hydroxyproline urin. Meskipun kendali biokimia lebih baik dengan dosis etidronatyang lebih tinggi, dosisdosis ini berkaitan dengan efek samping yang lebih banyak

termasuk peningkatan efek samping gastrointestinal. Penggunaan dosis rendah etidronat berhubungan dengan rendahnya angka efek samping gastrointestinal mendekati kondisi yang sama dengan populasi umum. Meskipun regimen dosis rendah memberi manfaat klinis, namun dosis ini berhubungan dengan angka kegagalanterapi biokimia yang lebih tinggi dibandingkan regimen dosis tinggi. Terapi dengan etidronat dosis rendah juga brhubungan dengan reistensi jangka panjang terhadap terapi.

Untuk menghindari defek mineralisasi, kini direkomendasikan bahwa etidronat dapat diberikan dalam dosis 400 mglhai selama tidak lebih dari 6 bulan. Setelah

periode 6 bulan bebas terapi maka terapi ulang bisa diberikan kembali.

Pamidronat. Pamidronat secara original diberikan per oral dalam manajemen penyakit Paget. Namun tingginya insidensi efek samping saluran cerna mengakibatkan penggunaannya lebih banyak sebagai infus intravena. Berbagai regimen terapi berbeda telah diteliti, namun kini protokol yang direkomendasikan untuk diberikan tiga infus 60 mg dengan interval 2 minggu atau 6 infus dari 30 mg dengan interval waktu yang sama. Terapi ini menyebabkan reduksi antara 50oh dan 80% dalam aktivitas alkaline fosfatase plasma, perbaikan rasa nyeri dan perbaikan dalam

radiologis dan tampilan skintigrafi. Meskipun pamidronat secara umum dapat ditoleransi dengan baik, obat ini berhubungan dengan kejadian reaksi febris setelah terapi intravena. Tampaknya paling sering terjadi setelah infus pertama. Beberapa pasien mengalami peningkatan nyeri tulang setelah infus pamidronat.

Tiludronat.Tiludronat adalah bisfosfonat yang mengandung sulfur yang tersedia untuk manajemen penyakit Paget selama bertahun-tahun. Secara normal agen ini diberikan selama 3 bulan 400 mg sebagai dosis oral

dengan apoptosis. Semua bisfosfonat hanya sedikit diabsorpsi di traktus gastrointestinal. Agen ini akan berkombinasi dengan kalsium yang ada dalam lambung sehingga absorpsinya terhambat. Jika bisfosfonat diberikan per oral maka perlu diperhatikan agar ager. ini tidak diberikan bersamaan dengan makan atau minum yang mengandung kalsium. Setiap bisfosfonat yang tersedia di pasaran memiliki instruksi berbeda dalam penggunaan yang membutuhkan

tunggal per hari. Studi-studi awal dengan tiludronate menunjukkan 600/o reduksi dalam turnover tulang. Selanjutnya studi doubl e-b I ind c ontro l/ed menunjukkan

kepatuhan.

dengan baik namun kadang menyebabkan diare.

Etidronat.Etidronat adalah bisfosfonat pertama yang digunakan dalam manajemen penyakit Paget. Ketika

Risedronat. Risedronat adalah bisfosfonat yang

diberikan per oral dalam dosis antara 5 dar20 mg,&g per hari, ada perbaikaa dalam marker biokimia penyakit Paget, seperti ditunjukkan oleh penurunan aktivitas alkaline

bahwa marker tumover tulang lebih baik disupresi dengan tiludronat dibandingkan plasebo atau etidronat. Studi-studi

ini

menyatakan bahwa terapi tiludronat berhubungan dengan penurunan sebesar 40-72% aktivitas alkaline fosfatase. Juga ada perbaikan dalam simptom nyeri pagetik

tulang pasien. Tiludronat biasanya dapat ditoleransi

mengandung nitrogen dimana atom nitrogen merupakan bagian dari cincin piridinil. Studi binatang menunjukkan

bahwa risedronat memiliki 1000 kali kemampuan dibandingkan dengan etidronat untuk menghambat

2683

PEIYYAKITPAGET

resorpsi tulang. Dalam manajemen penyakit Paget, agen

ini

diberikan sebagai dosis tunggal 30 mg per hari selama 2 bulan. Studi uncontrolled awal dari 162 pasien dengan penyakit Paget menunjukkan bahwa dosis risedronate berhubungan dengan penurunan aktivitas alkaline sebesar fosfatase 60-1 0o/o dan memperbaiki nyeri tulang dalam banyak pasien. Hasil ini tergantung pada dosis risedronate yang diberikan. Perbandingan doubl ebl ind randomized, dari risedronat

dengan etidronat menunjukkan bahwa kadar alkaline fosfatase menjadi normal pada hampir 75oh pasien yang mendapatkan risedronat, sedangkan hanya sekitar safu dari 7 pasien yang mendapatkan etidronate mencapai aktivitas alkaline fosfatase normal.

Klodronat. Klodronat adalah generasi pertama bisfosfonat yang diijinkan di United Kingdom untuk penggunaan hiperkalsemia maligna. Sekitar 10 kali potensinya dibandingkan dengan etidronat dalam menghambat resorpsi tulang namun obat ini mampu menghindari risiko inhibisi mineralisasi. Pada penyakit Paget, jika diberikan per oral atau intra vena, agen ini mampu menurunkan turnover tllang dan memperbaiki simptom pagetik

Alendronat. Alendronat adalah generasi ketiga dari bisfosfonat. Untuk penyakit Paget dosis biasa adalah 40 mg,4rari selama 6 bulan. Pada penyakit Paget, jika diberikan dengan infus atau per oral, alendronate berkaitan dengan

penunrnan turnover tulang secara bermakna, yang diikuti dengan perbaikan nyeri tulang. Alendronat lebih poten dalam mensupresi aktivitas penyakit Paget dibandingkan dengan etidronat. Pemeriksaan radiografi menunjukkan

bahwa terapi alendronat mengakibatkan penghentian progresi radiologis dari penyakit Paget.

bermakna antara berbagaijenis bisfosfonat dalam respons terhadap nyeri tulang.

Yang bisa direkomendasikan dalam penggunaan bisfosfonat untuk terapi penyakit Paget adalah. . Terapi primer untuk penyakit Paget adalah inhibisi turnov er tulang dengan menggunakan bisfosfonat. . Karena bisfosfonat oral lain memiliki aktivitas lebih besar dan lebih sedikit efek samping, maka etidronat tidak direkomendasikan dalam manaj emen penyakit Paget.

b. Kalsitonin Kalsitonin adalah peptida 32-asam amino yang disekresikan

oleh sel C tiroid. Aksi fisiologis utama tampaknya mensupresi konsentrasi kalsium plasma dengan kombinasi menurunkan resorpsi tulang dan meningkatkan hilangnya kalsium urin. Kemaknaan fisiologis pada mamalia yang hidup di darat tidak jelas, meskipun efek ini jelas pada ikan. Kalsitonin menghambat resorpsi tulang dengan aksi langsung terhadap osteoklas, yang dimediasi oleh reseptor kalsitonin yang ditemukan dalam sel-sel tersebut. Sebelum adanya bisfosfonat, kalsitonin adalah terapi pilihan untuk manaj emen penyakit Paget. Studi-studi menunjukkan

bahwa agen ini mampu menghambat aktivitas tulang pagetik. Sebagai polipeptida, kalsitonin dengan cepat dirusak dalam saluran gastrointestinal dan perlu diberikan secara

parenteral (intravena). Awalnya dilakukan pemberian dengan menggunakan injeksi subkutan dan intramuskuler namun kedua rute pemberian ini berhubungan dengan efek

samping bermakna meliputi flushing, nausea dan vomiAktivitasnya lebih lemah, durasi aksi yang lebih pendek

tus.

dan efek samping yang lebih banyak dibandingkan

Ibandronat. Ibandronat adalah bisfosfonat baru yang poten. Studi awal menunjukkan bahwa injeksi tunggal 2 mg ibandronate mampu mensupresi aktivitas penyakit Paget.

dengan bisfosfonat menyebabkan kalsitonin tidak direkomendasikan sebagai lini pertama manajemen penyakit Paget. Agen ini memegang peran pada pasien jika bisfosfonat tidak dapat ditoleransi atau terbukti tidak

Pada pasien dimana dosis ini tidak cukup menekan aktivitas

efektif.

penyakit, aplikasi dosis yang lebih tinggi bisa jadi lebih efektif.

Olpadronat. Olpadronat secara kimiawi sama dengan pamidronat dengan atom nitrogen yang dikonversikan ryrenjadi amino tersier dengan penambahan kelompok dua metil. Studi awal di Eropa dan Amerika Selatan menyatakan

bahwa senyawa ini menguntungkan pada manajemen penyakit Paget, namun studi skala besar masih menunggu hasil.

Zoledronat.Zoledronat adalah bisfosfonat baru yang poten yang sedang dikembangkan. Studi awal menyatakan bahwa agen ini adalah agen poten untuk terapi penyakit Paget. Beberapa studi mendapatkan bahwa etidronat kurang

efektif dibandingkan dengan bisfosfonat lainnya dalam mensupresi marker biokimia dari aktivitas penyakit Paget. Tidak ada studi yang mampu menunjukkan perbedaan

c. Plikamisin Plikamisin (dahulunya mitramisin) adalah antibiotika sitotoksika yang mampu menghambat aktivitas osteoklas. Meskipun bahan ini mampu menurunkan turnover filang dan nyeri tulang pada pasien dengan penyakit Paget, efek ini dibatasi oleh toksisitas sistemik yang berat, terutama toksisitas terhadap sumsum tulang dan hepar. Obat ini tidak direkomendasikan penggunaannya di luar pusat spesialis dan diberikan hanya dengan indikasi yang tepat dan tanpa adanya kontraindikasi.

d. Agen Lain Berbagai agen lain kadang digunakan untuk manajemen penyakit Paget. Agen ini meliputi galium nitrat, glukagon, kortikosteroid dan berbagai agen sitotoksik. Di antara

2684

REI.JMAIOI.OGI

semua obat ini tidak ada yang bisa direkomendasikan dalam manajemen rutin penyakit Paget.

Pembedahan Dalam manajemen penyakit Paget, pembedahan secara umum dibatasi untuk manajemen fraktur, deformitas atau artritis. Meskipun dinyatakan bahwa karena tulang pagetik lebih vaskular maka ada peningkatan risiko perdarahan selama pembedahan, namun ini tidak dilaporkan oleh banyak peneliti. Tampaknya beralasan untuk memberikan terapi antipagetik sebelum pembedahan, hal ini untuk meyakinkan bahwa terapi penyakit dasar tidak bisa menggantikan perlunya pembedahan. Pembedahan kadang

dilakukan untuk memperbaiki kondisi fraktur, deformitas dan artritis.

REFERENSI Altman, R,D., Bloch, C.A., Hochberg, M.C., and Murphy, WA. Prevalence of pelvic Paget's disease of bone in the United States.

J Bone Miner Res

I 5 :46

1

-465:2000

L.,

Guanabens, N., Peris, P., Monegal. A , Bedini, J L , Deulofleu, R., et al . Discriminative value of biochemical mark-

Alyarez,

ers of bone tumover in assessing the activity ol Paget's disease. J Bone Miner Res 10:458-465:1995 Altman, R.D. Long-term lollow up of therapy with intermittent etidronate disodium in Paset's disease ofbone Am.l Med 79:587590:1 985.

M and Lindsay, R. Mithramycin in Paget's disease. Lancet i'.1177 -1 118: 1973 Brown, J.P., Hosking, D.J , Ste-Marie,L , Johnston, C.C.Jr. Ryan,W.G., et al. Risedronate, a highly eflective, short-term oral treatment for Paget's disease: A dose-response sfidy. Calci/'

Aitken, J.

Tissue

Int

64:93 -99 :1999.

W , Maricic, M.J., et al. Single infusion ofzoledronate in Paget's disease of bone: A placebo-controlled, dose -ranging study Bone 24 (Suppl 5): 81S-85S: 1999. Canfield, R., Rosner, W., Skinner, J., McWhorter, J , Resnick, L., Feldman, F., et al. Diphosphonate therapy ol Paget;s disease of bone. -/. Clin Endocrinol Metab 44:96-106:1977. Buckler, H., Fraser, w., Hosking, D , /Ryan, Singer,

F

Cantril,J.A., Buckler, H.M., and Anderson, D C. Low

dose

intravenous 3-amino-1-hydroxypropylidene-1,1-bisphoshonate (APD) for the featment fo Paget's disease of bone. Ann Rheum

Dls 45:1012-1018: 1986 Barker, D. J., Clough, P W., Guyer, P.B., and Gardner, M.J. Paget's disease of bone in 14 British town..Br Med J. l:1181-1183 1977. Bell, N. H., Avery S., and Johnston, c. C. Jr. Effects of calcitonin if Paget's disease and polyostotic fibrous dysplasia. J Clin Endocrinol Metab 31:283-290: 1970. Bidner, S. and Finnegan, M. Femoral fractures in Paget's disease. J Orthop Trauma 3:317-322: 1989. Cooper, C., Schafheutle, K., Dennison, E., Kellingray,S., Guyer, P, and Barker, D. The epidemiology of Paget's disease in Britain: Is the prevalence decreasing? J Bone Miner Res 14:192-197'.1999.

Delmas, P.D and Meunier, P.J.Drug therapy: The management of Paget's disease disease of bone. N Engl J Med 336:558-566: 1997

.

L, Duckworth, T., Kanis, JA., Preston, C, Beard, D.J., Smith. T W., et a1 Biochemical and clinical responses to dichloromethylene diphosphonate (C12MDP) In Paget's disease of bone Arthritis Rheum 23:1185-1 192:1980. Eastell, R.Biochemical markers of bone tumover in Paget's disease of bone. Bone 24(slpp1.5): 49S-50S:1999. Douglas, D

Grauer, a., Heichel, S., Knaus, J., dosch,E., and,Ztegler, R. Ibandronate treatment in Paget's disease of bone Bone 24(suppl 5): 87-89:

t999 Gonzales, D C., and Mautalen, C.A.. Short{erm therapy with oral olpadronate in active Paget's disease of bone -/ Bone Miner Res

l4:2042-2047

Gennari, C

,

:

1999.

, Chierichetti, S M., and Piolini, M. of synthetic salmon and human calcitonin (letter).

Passeri, M

Side-eflfects

Lancer l:5q4-5q5: 1981. Hamdy, R. Paget's disease oJ bone asse,gsment and Management. London:Praeger: 198 l. Kanis, J.A. Palhophysiology ond Treatment of Paget's disease of bone 2'd Ed.London: Martin Dunitz: 10:1998 Khairi, M R , Robb, J A , Wellman, H.N., and Johnston, C.C. Jr. Radiographs and scans in diagnosing symptomatic lesion of Paget's disease ol bone (osteitis deformans) Geriatrics 29:4954: 1914. Kanis, J.A. Pathophysiology and Treatment of paget's diseose o.f bone. 2'd ed London: Martin Dunitz:l 10-138:1998 Kanis, J.A. Palhophysiology and Treatmenl of Pagetb disease of bone. 2"d ed.London: Martin Dunitz:139-158:1998. Kanis, J A Pathophysiology and Treatment oJ paget's disease of bone. 2"d ed.London: Martin Dunitz:99:1998 Ludkowski, P, and Wilson-Macdonald, J. Total arthroplasty in Paget's disease of the hip. Clln Orthop Rel Res 255:160-167: 1990 Louette, L., Lammens, J., and Fabry G The Illizarov exlemal fixator lor treatment of defomities in Paget's disease. C/iu Orthop Rel Res 323:298-303:1996. Miller, P.D., Brown, J P, Siris, E.S., Hoseyni, M S , Axelrod, D.W., and Bekker, P.J.A. A randomized, double-blinde comparison of risedronate and etidronate in the treatment of Paget's disease of bone Paget's Risedronate/Etidronate Study Group. lnl -/

Med 106:513-520: 1999. Miller, PD., Brown, J.P., Siris, E.S., Hoseyni, M.S., Axelrod, D.W., and Bekker, P.J.A A randomized, double-blinde comparison ol risedronate and etidronate in the treatment of Paget's disease of bone. Paget's Risedronate/Etidronate Study Grotp. Am J

Med 106:513-520: 1999 O'Doherty, D P., Bickerstaff, DR., McCloskey, E.V, Hamdy, N.A., Beneton, M.N., Harris., et al. Treatment of Paget's disease of bone with aminohydroxybutylidene bisphosphonate. J Bone

Miner Res 5:483-491: 1990. Reginster, J.Y, Colson, F., Morlock,

G, Combe, B., Ethgen, D., and Geusens, P. Evaluation of the efficacy and safety of oral tiludronate in Paget's disease of bone. A double-blind, multipledosage, placebo-controlled sttdy. Arthritis Rheum 3 5 :967 -97 4: 1992. Selby, PL., David, W.J., Ralston., Stone, M.D., Guidelines on the Management of Paget's Diseases of Bone. Bone: 3l: 10-19: 2002. Sochart, D.H., and Porter, M.L. Chamley low-friction arthroplasty for Paget's disease of the hip. J Arthroplasty 15:210-219: 2000. Wellman, H.N., Schauwecker, D., Robb, J A., Khairi, M.R., and Johnston, C.C Skeletal scintimaging and radiography in the diagnosis and management of Paget's disease. C/ln Orthop Rel Res l2'7:55-62: 1977.

4to HIPERI(ALSEMIA DAN HIPOKALSEMIA Bambang Setiyohadi

Konsentrasi kalsium serum, dalam keadaan normal berkisar antara 8,5-10,5mgldl(2,1-2,5 mMol). Sekitar 50% kalsium

serum berada dalam keadaan terikat dengan protein. terutama albumin, dan sebagian kecil berada dalam bentuk garam kompleks. Sisanya, menrpakan ion kalsium yang bebas yang metupakan bentuk kalsium yang aktif untuk metabolisme. Kadar kalsium total sentm, sangat dipengaruhi oleh kadar albumin serum. Pada keadaan hipoalbuminemia,

berlebihan. Resorpsi tulang oleh osteoklas dipengaruhi oleh berbagai faktor, misalnya Hormon Paratiroid (PTH), PTH-related protein (PTHTP) dan 1,25-dihidroksi vitamin D [1,25(OHrD]. Beberapa sitokin juga dapat meningkatkan resorpsi tulang oleh osteoklas, seperli IL- 1u, IL-1P, TNF, limfotoksin dam TGF-cr. Peningkatan absorpsi kalsium di saluran cema sebagai penyebab hiperkalsemia biasanya lebih jarang; penyebabnya adalah peningkatan kadar vitamin D serum, baik akibat intoksikasi maupun pada

kadar kalsium serum total juga akan turun, sehingga diperlukan perhitungan koreksi pada keadaan hipoalbuminemia untuk memperkirakan kadar kalsium total yang sesungguhnya. Cara yang sedarhana adalah dengan menambahkan 0,8 mgldl kadar kalsium untuk setiap 1 g/dl albumin bila konsentrasi albumin serum < 4 mgldl. Misalnya didapatkan kadar kalsium total 10,5 mg/dl pada albumin serum 2 g/dl, maka kadar kalsium serum setelah koreksi adalah 10,5 + (2x0,8) : 12,1 mgldl. Perubahan pH darah juga akan mempengaruhi kadar kalsium, tetapi bukan kalsium total, melainkan kadar ion

limfoma.

kalsium. Dalam keadaan asidosis kadar ion kalsium akan meningkat, karena banyak kalsium yang dilepas oleh albumin pengikatnya, sebaliknya pada keadaan alkalosis kadar ion kalsium akan menurun.

Gambaran klinik hiperkalsemia biasanya tergantung pada penyakit primernya. Biasanya gambaran klinik yang nyata timbul bila kadar kalsium serum mencap ai 14 mgldl.

Kadar kalsium didalam serum dipengaruhi oleh keseimbangan antara pergeseran kalsium ke cairan ekstraselular dari saluran cema, tulang dan ginjal; serta

Pada umumnya, hiperkalsemia akan selalu diikuti dengan hiperkalsiuria. Walaupun demikian, beberapa keadaan yang menyebabkan gangguan ekskresi kalsium lewat urin juga dapat menyebabkan hiperkalsemia, atan memperberat hiperkalsemia yang sudah ada. Beberapa faktor yang mengganggu reabsorpsi kalsium di tubulus distal ginjal antara lain adalah PTH, PTHTP, ADH dan dehidrasi.

Gambaran Klinik

Gangguan gastrointestinal, seperti mual dan muntah merupakan gejala yang sering didapatkan. Pada hiperkalsemia akibat hiperparatiroidisme primer, kadangkadang didapatkan ulkus peptikum dan pankreatitis.

pergeseran kalsium keluar dari cairan ekstraselular kedalam tulang dan keluar melalui urin.

Kadang-kadang juga didapatkan poliuria akibat gangguan

mengkonsentrasikan urin di tubulus distal. Sehingga rehidrasi yang adekuat sangat perlu untuk mencegah dehidrasi yang berat.

HIPERKALSEMIA Hiperkalsemia terjadi bila pemasukan kalsium kedalam darah lebih besar daripada pengeluararlr,ya. Penyebab

Hiperkalsemia akan meningkatkan repolarisasi j antung sehingga akan memperpendek interval QT. Pada pasien yang mendapat terapi digitalis, keadaan hiperkalsemia

hiperkalsemia yang tersering adalah resorpsi tulang

harus dicegah karena akan meningkatkan sensitifitas

osteoklastik dan penyerapan kalsium di saluran cema yang

terhadap obat tersebut.

268s

2686

REIJMATOI.OGI

Penatalaksanaan Umum Penatalaksanaan hiperkalsemia tergantung pada kadar

48-72 jam kemudian. Plikamisin sangat toksik terhadap sumsum tulang, hepar dan ginjal sehingga saat ini

kalsium darah dan ada tidaknya gejala klinik akibat

penggunanya telah digartikan oleh bisfosfonat yang lebih aman

hiperkalsemia.Pada kadar kalsium < 12 mgldl, biasanya tidak diperlukan tindakan terapetik, kecuali bila ada gejala klinik hiperkalsemia. Pada kadar kalsium I 2 - 1 4 m gl dl, terapi

Kalsitonin merupakan hormon polipeptida yang dihasilkan oleh sel parafolikular C kelenjar tiroid dan mempunyai efek menghambat kerja osteoklas dan

agresif harus diberikan bila terdapat gejala klinik

meningkatkan ekskresi kalsium oleh ginjal. Obat ini bekerja sangat cepat dan dapat menurunkan kadar kalsium dalam waktu 2-6 jam setelah pemberian. Dosisnyaadalah4-8llJl kgBB yang diberikan secara intra-muskular atau subkutan setiap 6-8 jam. Sayangnya efek hipokalsemiknya tidak dapat dijaga terus walaupun pemberiannya dilanjutkan. Biasanya kadar kalsium akan turun 2 mg/dl dan akan naik lagi setelah

hiperkalsemia. Pada kadar > l4m/dl,terapi harus diberikan walaupun tidak ada gejala klinik. Selain itu upaya mengatasi penyakit primernya juga harus diperhatikan Hidrasi dengan NaCl 0,9% per-infus3-4liter dalam24 jam merupakan tindakan pertama yang harus dilakukan pada keadaan hiperkalsemia. Tindakan ini kadang-kadang dapat menurunkan kadar kalsium serum sampai I -3 mg/dl. Hidrasi dengan NaCl 0,9% akan meningkatkan ekskresi kalsium dengan jalan meningkatkan filtrasi glomerulus dan menurunkan reabsorbsi kalsium di tubulu proksimal dan distal. Setelah hidrasi tercapai, tetapi kadar kalsium serum masih tinggi, dapat diberikan dosis kecll loop diuretics, misalnya furosemid 20-40 mg atau asam etakrinat. Diuretik tidak boleh diberikan sebelum keadaan hidrasi tercapai,

karena akan memperberat dehidrasi dan hiperkalsemia.

24 jam walaupun pemberian kalsitonin dilanjutkan. Kombinasi kalsitonin dengan bisfosfonat akan memberikan efek yang lebih cepat dan lebih besar dibandingkan dengan pemakaiannya secara funggal. Pada hiperkalsemia akibat intoksikasi vitamin D atau akibat penyakit-penyakit granulomatosa dan keganasan hematologik (limfoma dan mieloma multipel), glukokortikoid dapat dipertimbangkan pemberiannya. Biasanya diberikan hidrokortison intravena 200-300 mg/hari selama 3-5 hari.

Loop diuretic.r akan bekerja dengan cara menghambat reabsorpsi kalsium dan natrium di ansa Henle. Diuretik tiazid merupakan kontra-indikasi dalam penatalaksanaan hiperkalsemia karena akan menurunkan ekskresi kalsium lewat ginjal. Pada keadaan hiperkalsemia yang berat, kadang-kadang

diperlukan tindakan dialisis dengan menggunakan cairan dialisat yanbg rendak kalsium atau bebas kalsium. Setelah keadaan klinik memungkinkan, pasien harus dimotivasi untuk mobilisasi segera untuk mencegah keseimbangan kalsium yang negatif. Beberapa obat juga dapat diberikan pada penatalaksanaan hiperkalsemia, tetapi hidrasi harus diberikan

terlebih dahulu sebelum memikirkan penggunaan obatobatan.

Pamidronat merupakan salah satu bisfosfonat yang dapat diberikan unhrk mengatasi hiperkalsemia karena obat ini akan menghambat resorpsi tulang oleh osteoklas. Obat

ini dapat diberikan

secara per-infus dengan dosis 60-90

mg dalam waktu 4-6 jam. Efek samping obat ini adalah demam, mialgia dan kadang-kadang hipertensi. Selain itu obat ini juga dapat mengakibatkan hipokalsemia, sehingga selama pemberian harus diawasi dengan ketat.

Plikamisin (dahulu disebut mitramisin), merupakan sitotoksik yang dapat menghambat sintesis RNA didalam osteoklas sehingga akan menghambat resorpsi tulang. Dosis obat ini adalah l5-25 mglkgBB, diberikan per-infus dalam waktu 4-6 jam. Efek hipokalsemia akan mulai terlihat setelah 12 jam pemberian dan mencapai puncaknya dalam wakts 48-72 jam. Pada umumnya dosis tunggal plikamisin sudah mencukupi untuk mencapai keadaan normokalsemia,

tetapi bila diperlukan, pemberian dapat diulang setelah

HI

PERPARATIROI DISM E PRIMER

Hiperparatiroidisme primer merupakan salah satu dari 2 penyebab tersering hiperkalsemia; penyebab yang lain adalah keganasan. Kelainan ini dapat terjadi pada semua usia tetapi yang tersering adalah pada dekade ke-6 dan wamta lebih sering 3 kali dibandingkan lakiJaki. Insidensnya mencapai 1:500-1000. Bila timbul pada anak-anak harus

dipikirkan kemungkinan endokrinopati genetik seperti neoplasia endokrin multipel tipe I dan II. Hiperparatiroidisme primer, terj adi akibat peningkatan sekresi hormon paratiroid (PTH) yang tersering disebabkan oleh adenoma kelenjar paratiroid yang biasanya bersifat jinak dan soliter, oleh sebab itu, dari 4 kelenjar paratiroid, biasanya hanya I kelenjar yang terserang. Penyebab lain

yang jarang adalah hiperplasi pada keempat kelenjar paratiroid dan yang sangatjarang adalah karsinoma pada kelenjar paratiroid.

Gambaran KIinik dan Laboratorik Pada umumnya, hipereparatiroidisme primer bersifat asimtomatik. Gambaran klinik yang tersering akan tampak pada tulang dan ginjal. Peningkatan produksi PTH akan menimbulkan keadaan di tulang yang disebut osteitis fibrosa cystica yang ditandai oleh resorpsi subperiosteal pada falang distal, a salt and pepper appearance pada tulang kepala, kista tulang dan tumor coklat pada tulangtulang panjang. Kelainan-kelainan pada tulang ini dapat dilihat dengan membuat foto radiografi konvensional.

2687

HIPERKALSEMIA DAI{ HIPOI(ALSEMIA

Pada ginjal, hiperparatiroidisme primer akan ditandai

oleh nefrolitiasis, nefrokalsinosis, hiperkalsiuria dan penurunan klirens kreatinin.

Kelainan lain yang dapat timbul pada hiperparatiroidisme primer adalah miopati, ulkus peptikum dan pankreatitis keratopati pita, gout dan pseudogout dan kalsifikasi koroner dan ventrikel serta katup jantung. Secara laboratorik akan didapat gambaran hiperkalsemia dengan kadar PTH yang tidak tertekan, dapat normal tinggi atau meningkat. Ekskresi kalsium urin akan menurun sedangkan ekskresi fosfat urin akan meningkat.

Kadar 25(OH)D biasanya rendah sedangkan kadar 1,25(OH),D biasanya meningkat, tetapi peningkatan ini

Cushing akibat sekresi hormon pertumbuhan dan ACTH yang berlebihan. Tumnor pankreas pada MEN I umumnya dalam bentuk islet cell tumours yar.g sering meningkatkan sekresi gastrin sehingga menimbulkan sindrom ZollingerEllison dan kadang-kadang juga menyebabkan hipersekresi insulin sehingga menimbulkan hipoglikemia puasa. MEN IlA, pertama kali ditemukan oleh Sipple pada tahut 1961, bersifat otosomal dominan dan ditandai oleh karsinoma

tiroid meduler (MTC), faeokromositoma bilateral dan hiperplasia paratiroid. MTC merupakan kelainan yang dominan pada MEN IIA dan sering mengakibatkan kematian

akibat metastasisnya. Sedangkan hiperparatiroidisme merupakan kelainan yang jarang terdapat pada MEN IIA.

tidak mempunyai nilai diagnostik yang penting.

Penatalaksanaan Hiperparatiroidisme primer akan sembuh bila kelenjar paratiroid yang abnormal dibuang. Walaupun demikian, keputusan tindakan bedah tidak mudah karena sebagian besar bersifat asimtomatik.

Indikasi pembedahan pada hiperparatiroidisme primer adalah

. . . . . .

Sindrom tumor rahang-hiperparatiroidisme merupakan

kelainan yang pertama kali ditemukan oleh Jackson pada tahun 1958, diturunkan secara otosomal dominan dan saat ini sudah diketahui bahwa kelainannya terletak pada kromosom lq2l-q3. Penyakit ini ditandai dengan hiperkalsemia yang berat sejak anak-anak dengan adenoma soliter paratiroid yang besar. Kelainan tulang pada sindrom

ini

sangat eksklusif hanya menyerang maksila dan

mandibula.

:

Kadar kalsium serum > I mg/dl di atas batas normal tertinggi, Didapatkan komplikasi hiperparatiroidisme primer, seperti nefrolitiasis, osteotis fibrosa cystica, Episode akut hiperparatiroidisme primer dengan hiperkalsemia yang mengancam j iwa. Hiperkalsiuria yang nyata (> 400 mglhari) Densitometri tulang pada radius distal yang menurun dengan nilai skor T < -2, Umur di bawah 50 tahun. Bila pasien tidak dapat dilakukan tindakan pembedahan,

maka beberapa tindakan medik dapat dilakukan. seperti

hidrasi yang adekuat, asupan kalsium yang cukup, pemberian preparat fosfat, terapi estrogen pada wanita pasca menopause, bisfosfonat dan mungkin dimasa yang akan datang dapat diberikan obat-obat kalsimimetik. Pemberian kalsium pada pasien hiperparatiroidisme

primer harus mencukupi, tidak boleh terlalu tinggi maupoun terlalu rendah. Asupan kalsium yang terlalu rendah akan merangsang sekresi PTH lebih lanjut.

Sindrom Hiperparatiroid Familial Sekitar I 0% kasus hiperparatiroid primer, disebabkan oleh kelainan genetik, seperi Neoplasia Endokrin Multipel (MEN.)

tipe I (sindrom Wermer), MEN tipe IIA (Sindrom Sipple) dan Sindrom Rahang-Hiperparatiroidisme. MEN I pertama kali ditemukan oleh Wermer pada tahun 1954, diturunkan secara otosomal dominan dan ditandai oleh tumor paratiroid, hipofisis anterior dan pankreas. Tumor hipofisis yang tersering adalah prolaktinoma dan kadang-kadang menyebabkan akromegali dan Sindrom

Familial Hypocalciuric Hypercalcemra (FHH) FHH merupakan kelainan otosomal dominan yang ditandai oleh hiperkalsemia dan hipokalsiuria relatif. Kelainan ini bersifat asimtomatik. Secara biokimia, kelainan ini ditandai oleh peningkatan kadar kalsium serum, ekskresi kalsium urin yang normal dan kadar PTH dan 1,25(OH)rD yang

juganormal. P aratiroidektomi, biasany a hany a memb erikan efek normokalsemik yang sementara, walaupun demikian, tetap diindikasikan pada keadaan: . Hiperparatiroidisme primer pada neonatus akibat dosis

. .

ganda gen FHH,

Orang dewasa dengan pankreatitis berulang Anak-anak atau orang dewasa dengan hiperkalsemia menetap> 14mgldl.

HIPERPARATIROIDISME SEKUNDER DAN TERSIER Secara fisiologik, hormon PTH berfungsi memobilisasi kalsium dan fosfat dari tulang, meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus distal ginjal, menurunkan reabsorpsi fosfat dan meningkatkan produksi 1,25(OH)rD di tubulus proksimal ginjal. Sebaliknya kadar kalsium, fosfat dan

1,25(OH)rD akan mengatur sekresi PTH baik secara langsung maupun tidak langsung. Kalsium mengatur sekresi PTH melalui aktifasi reseptor kalsium (CaR) pada permukaan paratiroid yang menghasilkan peningkatan sekresi PTH pada keadaan hipokalsemia dan penurunan produksi dan sekresi PTH pada peningkatan kalsium intraselular. Perubahan kadar kalsium serum juga dapat

2688

REUIVIAIIOI.OGI

mengatur sintesis PTH pada tingkat selular yaitu pada transkripsi pre-pro-PTH dan secara langsung mengatur proliferasi sel kelenj ar paratiroid. Berbeda dengan kalsium, walaupun 1,25(OH)rD dapat meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat di usus, tetapi tidak dapat secara langsung mengatur produksi PTH. Secara tidak langsung, 1,25(OH)rD dapat menekan transkripsi gen PTH dan perhrmbuhan sel melalui reseptor

Karena PTHrP juga dapat berikatan dengan reseptor PTH, maka aksi biologiknya juga sama dengan PTH, yaitu akan

vitaminD(\rDR). Hiperparatiroidisme sekunder, merupakan kelainan yang didapat yang timbul akibat hipokalsemia yang lama yang dapat terjadi pada gagal ginjal terminal, defisiensi vitamin D maupun keadaan resisten terhadap vitamin D. Keadaan ini ditandai oleh peningkatankadar PTH yang tinggi sekali dengan kadar kalsium semm yang

itu, ada beberapa perbedaan aksi biologik PTHrP

normal atau rendah. Keadaan hipokalsemia yang lama akan menyebabkan perubahan pada kelenjar paratiroid menjadi otonom dan berkembang menjadi keadaan seperlri hiperparatiroidisme primer; keadaan ini disebut hiperparatiroidisme tersier. Hiperparatiroidisme tersier harus dibedakan dengan

menyebabkan hiperkalsemia, hipofosfatemia dan peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas. Walaupun demikian, ada reseptor PTH yang tidak dapat diikat oleh PTHTP, yaitu reseptor PTH-2. Demikian juga, ada pula reseptor PTHrP yang tidak dapat berikatan dengan PTH yaitu reseptor PTHrP yang terdapat di otak dan kulit. Selain dibandingkan dengan PTH, yaitu PTH akan meningkatkan reabsorpsi kalsium di tubulus ginjal, sedangkan PTHrP tidak, sehingga akan teg'adi hiperkalsiuria. Selain itu, PTIITP juga tidak meningkatkan produksi 1,25(OH),D dan absorpsi

kalsium di ginjal. Di tulang, PTH akan meningkatkan aktivitas osteoblas dan osteoklas, sedangkan PTHrP hanya meningkatkan aktivitas osteoklas, sehingga resorpsi

tulang tidak diimbangi oleh formasi yang adekuat. Beberapa tumor yang secara spesifik menghasilkan

PTHrP adalah karsinoma sel skuamosa, ginjal dan

tidak memberikan respons yang baik oleh regulator

payudara. Pada hiperkalsemia akibat keganasan, akan didapatkan peningkatan kadar PTHrP dan hiperkalsemia, sedangkan kadar PTH akan ditekan. Pada hiperparatiroidisme, kadar PTH akan meningkat, sedangkan PTHrP tetap normal. Oleh sebab itu, kadarPTHIP dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan terapi dan pembedahan keganasan yang bersangkutan. Dalam keadaan normal, PTHrP yang beredar didalam tubuh sangat rendah, dan nampaknya tidak berperan pada

fi

siologik. Perubahan-perubahan pada tinbgkat jaringan, selular dan molekuler diduga berperan pada keadaan ini,

metabolisme kalsium. Walaupun demikian, PTHrP diduga berperan pada proses fisiologik lokal dari sel-sel dan

seperti peningkatan jumlah sel paratiroid, perubahan

jaringan penghasilnya, misalnya jaringan fetal, rawan sendi, jantung, ginjal, folikel rambut, plasenta dan epitel

hiperparatiroidfisme sekunder yang refrakter. Pada hiperparatiroidisme sekunder yang refrakter, sekresi PTH tetap tak dapat ditekan walaupun kelainan metaboliknya sudah diperbaiki. Baik pada hiperparatiroidisme tersier maupun hiperparatiroidisme sekunder yang refrakter, kelenjar paratiroid berada dalam keadaan hiperfungsi yang

mekanisme pada reseptor kalsium di kelenjar paratiroid dan perubahan fungsi VDR. Selain itu, hiperfosfatemi dan

resistensi organ target terhadap PTH juga dapat menyebabkan hiperparatiroidisme persisten walaupun telah diberikan terapi kalsium dan vitamin D.

H

IPERKALSEMIA PADA KEGANASAN

Hiperkalsemia Humoral pada Keganasan (Humoral Hypercalcemia of Malignancy, Hhm)

permukaan. Pada payudara normal, PTHrP berperan pada

morfogenesis paludara. Penatalaksanaan terhadap HHM secara umum meliputi Mengurangi massa fumor,

. . .

:

Mengurangi resorpsi tulang oleh osteoklas Meningkatkan klirens kalsium di ginjal

iperkalsemia dan Destruksi Tulang pada Keganasan Pada HHM, hiperkalsemia tidak diikuti dengan destruksi H

Istilah HHM digunakan untuk mendeskripsikan sindrom klinik yang ditandai oleh hiperkalsemia yangdisebabkan oleh sekresi faktor kalsemik oleh sel kanker. Saat ini istilah HHM dibatasi untuk hiperkalsemia akibat peningkatan produksi Parathyroid Hormon related Protein (PTHTP). P ar athyro i d- horm o ne -r el at e d p r ot ein (PTHTP) pertama kali diketahui sebagai penyebab hiperkalsemia pada keganasan. Protein ini memiliki 8 dari 13 asam amino

tulang. Bila selain hiperkalsemia juga didapatkan destruksi tulang, maka harus dipikirkan 3 kemungkinan, yaitu :

pertama yang sama dengan PTH, sehingga dapat

Tulang merupakan tempat ketiga tersering dari metastasis keganasan setelah hepar dan paru. Tulang yang paling

mengaktifkan reseptor PTH. Dibandingkan dengan PTH yang hanya memiliki 84 asam amino, PTHrP yang terdiri dari 3 isoform, memiliki jumlah asam amino yang lebih banyak, masing-masing 139, 141 dan 174 asam amino.

.

. .

Produksi berbagai sitokin yang meningkatkan ker.1a osteoklas, misalnya pada mieloma multipel, Peningkatan produksi 1,25(OH)rD, misalnya pada beberapatipe limfoma, Metastasis sel tumor ke tulang, biasanya pada fumorfumor padat.

sering dihinggapi metastasis adalah vertebra, femur proksimal, pelvis, iga, sterrlum dan humerus proksimal. Keganasan yang sering metastasis ke tulang adalah

2689

HIPERKALSEMIA DAN HIPOKALSEMIA

keganasan pada paru, payudara dan prostat. Ada

2 lipe

akan mengaktifkan osteoklas pada permukaan endosteal

yaitu tipe osteoklastik

yang berdekatan. Selain itu lingkungan mikro di tulang juga

(menghasilkan osteolisis) dan tipe osteoblastik. Metastasis tulang osteolitik merupakan metastasis tulang yang paling sering ditemukan. Kelainan ini akan

terjadi lingkaran setan yang terus menerus. IL-6 yang

metastasis pada tulang,

mengakibatkan nyeri tulang, fraktur patologis, kompresi saraf bila menimbulkan obstruksi pada lubang tempat

keluarnya saraf, destruksi tulang, hiperkalsemia dan hiperkalsiuria. Bila suatu keganasan sudah betmetastasis ke fulang, maka terapi kuratif hampir tak ada gunanya, kecuali terapi paliatif. Sel tumor bermetastasis ke tulang setelah terlepas dari tumor primernya. Pelepasan ini dipengaruhi oleh produksi enzimproteolitik oleh sel kanker yang bersangkutan sehingga sel-sel tersebut terlepas satu sama lain. Sel kanker yang terlepas akan masuk ke sirkulasi dan menyebar ke organ vaskular termasuk sumsum tulang. Di dalam sumsum tulang, sel kanker akan bermigrasi ke

permukaan endosteal. Migrasi sel kanker dari sistem sirkulasi ke endosteal melalui beberapa tahap, yaitu (l) perlekatan sel kanker pada membran basalis; (2) produksi enzim proteolitik oleh sel kanker yang akan merobek membran basalis sehingga sel kanker dapat masuk ke stroma

tulang; (3) produksi mediator yang akan mengaktifkan osteoklas pada permukaan tulang. Kanker pal.udara yang bermetastasis ke tulang akan menghasilkan PTHrP yang

akan merangsang produksi RANKL dan menghambat produksi OPG oleh osteoblas sehingga terjadi maturasi osteoklas dan mengaktifkan resorpsi tulang. Tulang yang diresorpsi akan menghasilkan TGF-b yang kemudian akan merangsang sel kanker untuk menghasilkan PTHrP kembali, sehingga terjadi lingkaran setan yang terus menerus.

Melastasis tulang osteoblastik akan menghasilkan pertumbuhan tulang baru di tempat metastasis sehingga area tersebut tampak lebih padat dibandingkan dengan

sekitarnya. Secara laboratorium, metastasis tipe osteoblastik akan menimbulkan peningkatan kadar alkali

fosfatase (hiperfosfatasia) dan kadng-kadang diikuti hipokalsemia.

Karsinoma prostat akan bermetastasis ke tulang dengan tipe osteoblastik, dan akan menimbulkan peningkatan kadar alkali fosfatase (hiperfosfatasia) sedangkan karsinoma payudara akan menghasilkan metastasis tulang tipe osteolitik dan osteoblastik. Tumor karsinoid ganas yang berasal dari jaringan embrionik foregut dan hindgut akan menghasilkan metastasis tulang

tipe osteoblastik, demikian pula penyakit Hodgkin, sedangkan sebagian besar limfoma malignum akan menghasilkan metastasis osteolitik.

Destruksi Tulang pada Mieloma Multipel. Terjadi akibat peningkatan aktivitas osteoklas. Sel mieloma didalam sumsum tulang akan menghasilkan berbagai sitokin, seperti

limfotoksin, IL-l,PTI\P, Hepatocyte Growth Factor (HGF) dan Mctcrophage InJlammatory Protein- l a (MIP- 1 a), yang

akan meningkatkan pertumbuhan sel mieloma, sehingga dihasilkan oleh osteoklas dan osteoblas bersifat mitogenik dan menurunkan apoptosis sel mieloma. Selain itu, IGF-1 yang dihasilkan oleh sel stromal sumsum tulang juga akan mencegah kematian sel mieloma. Walaupun terj adi destruksi tulang, lebih dari separuh pasien mieloma multipel tidak mengalami hiperkalsemia. Pada umunya hiperkalsemia pada

multipel mieloma disebabkan oleh gangguan fungsi ginjal sehingga ekskresi kalsium lewat urin menurun. Selain itu, kadar alkali fosfatase pada mieloma multipel juga seringkali

tidak meningkat, karena aktivitas osteoblas juga tidak meningkat. Oleh sebab itu, pada keadaan ini, seingkali bone c anning juga memberikan hasil negatif.

s

HIPERKALSEMIA DAN HIPERKALSIURIA PADA IMOBILISASI Hiperkalsiuria adalah adanya peningkatan ekskresi kalsium urin 24 jam > 300 mg pada laki-laki dan > 250 mg pada wanita.

Hiperkalsemia pada imobilisasi (Hypercalcemia of Immobilization :HCI) pertama kali diperkenalkan oleh Albright pada tahun

1

941 .

sindrom ini meliputi peningkatan

kadar kalsium serum, hiperkalsiuria, peningkatan ekskresi hidroksi prolin urin, osteopeni, nefrolitiasis dan

gagal ginjal. Paling sering terjadi pada trauma tulang punggung, polimielitis, strok atau pada pasien yang mengalami imobilisasi karena dipasang traksi dan lain-lain.

Dari suatu studi yang dilakukan Sato, diketahui bahwa

terdapat hubungan yang erat antara insidensi fraktur pangkal paha (hip fractur) dengat pasca strok. Tetutama pada wanita usia lanjut yang mengalami jatuh. Insidensi fraktur pangkal paha ini sekitar 4- 1 5%o dat79%oteqadi pada sisi yang mengalami kelumpuhan (hemiplegia). Penurunan massa tulang rata-rata terjadi 11,3 minggu pasca strok.

Pada 484 minggu pasca strok, sisi hemiplegi akan kehilangan massa tulang

2 1o%

sedangkan sisi normal 4,5o%.

Hasil pemeriksaan densitometri massa tulang memperlihatkan bahwa densitas massa tulang sisi yang tidak mengalami kelumpuhan pada pasien pasca strok menanglami penurunan dibanding orang normal. Pada leher

femur terdapat perbedaan densitas massa tulang sisi hemiplegi dengan nonhemiplegiyaifi 6,3o/o pada wanita pasca strok mempunyai korelasi dengan luasnya lesi pada otak (hemisferkorteks serebn). Kadar 25(OH)D padapasien pasca strok juga mengalami penurunan. Hal ini disebabkan

masukan yang kurang dan pasien tidak terpapar dengan sinar ultraviolet (pada perawatan di rumah, 75o/o pasien tidak terpapar dengan matahari sedangkan yang dirawat di rumah sakit 100%).

2690

RELJM/{1I)LGI

Kadar 25(OH)D merupakan pemeriksaan yang sensitif

untuk menentukan indeks kandungan vitamin D aktif. Kadar normal 25(OH)D didalam serum > 20ng. Defisiensi 25(OH)D bila kadarnya < 1Ong dan insufisiensi bila I 0-20ng. Pada pasien pasca stroke dengan hemiplegi dalam studi ini ditemukan : . Enam puluh empat persen pasien rawat jalan dan 82o/o pasien rawat inap mengalami defisiensi vitamin D . Tiga puluh satu persen pasien rawat jalan dan 16%o rawat inap mengalami insufisiensi vitamin D

Di

Amerika, Inggris dan Jepang, pasien usia lanjut

dengan penyakit kronik yang jarang keluar rumah temyata mengalami defi siensi vitamin D.

Pada beberapa kasus ditemukan peningkatan kadar hormon paratiroid karena kompensasi terjadinya defisiensi

2s(olDD. Sorva dan kawan-kawan melakukan penelitian pada pasien usia lanjut yang mengalami imobilisasi. Studi tersebut mendapatkan bahwa peningkatan resorpsi tulang tidak disebabkan oleh hiperparatiroidisme sekunder tetapi terjadi peningkatan resorpsi primer. Pemberian vitamin D tidak memperlihatkan efek yang diharapkan. Mobilisasi segera ternyata dapat mengurangi efek dari imobilisasi ini.

Patogenesis Hiperkalsiuria pada lmobilisasi Mekanisme pasti hiperkalsemia dan hiperkalsiuria pada imobilisasi masih belum jelas. Tetapi peningkatan proses resorpsi massa tulang melalui aktivasi osteoklas atau penurunan proses formasi massa fulang. Secara histologi pada biopsi tulang panggul ditemukan peningkatanjumlah osteoklas dan mencapai puncaknya l6 minggu setelah imobilisasi. Hal ini juga bersamaan dengan peningkatan sekresi hidroksiprolin urin. Formasi tulang menurun dengan bukti pengurangan osteosit dan mineralisasi tulang. Imobilisasi menginduksi hiperkalsemi a seperti high bone turn over pada anak dan orang tua. Hal ini dapat diketahui dengan mengukur ion kalsium dan kalsium nonionik. Peningkatan kalsium serum ini mempunyai korelasi yang erat dengan indeks Barthel. Secara meyakinkan ditemukan peningkatan kons entrasi pyrinoline

crosslinked carboxyterminal telopeptide (ICTP). ICTP adalah suatu kolagen tipe I dan merupakan petanda

aktivasi resorpsi tulang oleh osteoklas. Adanya ini akan menghambat sekresi hormon

hiperkalsemia

paratiroid. Jadi akan ditemukan kadar hormon paratiroid rendah atau normal. terjadijuga defisiensi atau insufisiensi vitamin D karena intake yang buruk, kurang mendapat sinar matahari atau karena keduanya. Aktivitas dan imobilisasi mempunyai pengaruh pada

tulang. Menurut hukum Wolfe's formasi dan resorpsi tulang dipengaruhi secara langsung ol.eh stres lokal pada tulang. Stres (tekanan) terutama pada tulang penyangga tubuh dan regangan kontraksi otot. Terdapat 4 model yang sering dipakai untuk melihat pengaruh imobilisasi pada

tulang yaitu istirahat total, lingkungan bebas gaya gravitasi (ruang angkasa), paralisis, imobilisasi sebagian seperti pada traksi. Semua keadaan ini terbukti meningkatkan kehilangan massa tulang. Pada percobaan binatang, kehilangan massa tulang mulai terjadi sekitar 30

jam setelah imobilisasi. Penurunan massa tulang ini bervariasi yaitu mulai hari ketiga sampai hari ke 10 setelah

imobilisasi. Tulang penyangga tubuh paling sering mengalami kehilangan massa tulang. Dalam beberapa minggu akan terjadi kehilangan kalsium total tubuh 4%. Pada minggu 30 -36 imobilisasi, vertebra akan kehilangan massa tulang sekitar 7o/o dan kalkaneus sekitar 45%. Kecepatan kehilangan massa tulang paling tinggi terjadi pada minggu ke l6 imobilisasi. Massa tulang akan kembali normal melalui mobilisasi secara cepat dan adekuat tetapi

25

struktur tulang yatg ada tidak sebaik sebelum masa imobilisasi. Respons tulang terhadap adanya tekanan / stres secara in atas tipe mekanik, yaitu : . Tekanan kompresi akan meningkatkan massa tulang dan regangan akan meningkatkan resorpsi tulang. Jadi osteosit dan osteoblas mempunyai kemampuan untuk memberikan sinyal dalam formasi dan resorbsi tulang.

vivo dibedakan

. Di samping itu terdapat perubahan

growth factor

(IGF,TGFB, BMPs, FGF, PDGF) yang tersimpan dalam

tulang. Potensial elektrik endogen akan menurun karena beban mekanik yang berkurang selama imobilisasi. Hal ini akan mengurangi growth factor. Kekurangan growth factor ini akan mempengaruhi aktivitas osteoblas. Osteoblas akan melepaskan IL-l dan TNFcr sehingga memacu aktivasi

osteoklas. Damien dan kawan-kawan melakukan studi terhadap tikus yang dilakukan imobilisasi pada kedua tungkai depan. Dari hasil pemeriksaan histomorfometri didapatkan korelasi peningkatan IL-l dan TNFcr oleh osteoblas dengan reseptor estrogen. Diduga imobilisasi memberikan efek yang sama dengan defisiensi estrogen. Diduga sinyal elektrik endogen ini memiliki carakerja seperti estrogen dan memacu aktivitas-aktivitas formasi tulang. Kehilangan beban mekanik ini menyebabkan elektrik endogen akan menurun. Osteoblas melepaskan mediator inflamasi memberikan sinyal ke osteoklas untuk memacu resorpsi tulang. Peningkatan resorpsi menyebabkan hiperkalsemia.

Hiperkalsemia akan menimbulkan efek umpan balik terhadap hormon paratiroid sehingga kadar hormon paratiroid berkurang. Kadar hormon paratiroid yang rendah

mengakibatkan reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal menumn sehingga terjadi hiperkalsiuria. Di samping itu hormon kalsitonin akan meningkat untuk menghambat resorpsi tulang yang berlebihan oleh osteoklas. Kalsitonin

sendiri diperkirakan mempunyai efek menghambat timbulnya reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal. Hal ini semuanya akan menimbulkan suatu keseimbangan negatif

2691

HIPERKALSEMIA DAN HIPIOI(ALSEMIA

dari nitrogen dengan manifestasi peningkatan ekskresi kalsium urin dan feses. Osteoporosis dapat terjadi setelah imobilisasi yang lama seperti strok atau koma. Pada strok lebih banyak mengenai bagian tubuh yang lumpuh. Pada eksperimen binatang, tungkai yang di imobilisasi dengan cara menggunakan glps akan menimbulkan osteoporosis lokal.

Sebaliknya, aktivitas lokal akan menambah massa tulang seperti hipertrofi metatarsal pada penari balet atau peningkatan massa tulang tangan yang dominan pada

HIPOKALSEMIA Hipokalsemia adalah penumnan kadar kalsium semm yatg dapat terjadi pada beberapa keadaan, seperti

hipoparatiroidisme, defisiensi vitamin D, gangguan metabolisme vitamin D, hipomagnesemia dan gagal ginjal

akut atau kronik. Dengan melihat kadar hormon PTH, hipokalsemia dapat dikelompokkan kedalam 2bagiary y aint

hipokalsemia dengan kadar PTH yang rendah

petenis. Dengan latihan yang teratur ternyata

(hipoparatiroidisme) dan hipokalsemia dengan kadar PTH yang meningkat (hiperparatiroidisme sekunder).

meningkatkan massa tulang. Dari kedua hal ini terlihat bahwa stres (tekanan) yang diterima oleh tulang-tulang penyangga tubuh mempunyai peranan dalam resorpsi maupun formasi tulang. Lebih lanjut, hilangnya massa tulang karena imobilisasi dapat dikembalikan melalui remobilisasi dengan latihan yang progresif. Hiperkalsemia jarang terjadi dan biasanya normal kecuali pada imobilisasi berat seperti paraplegi. Hal akan menurunkan reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal sehingga menimbulkan hiperkalsiuria. Hiperkalisuria pada imobilisasi

Secara klinik, gejala utama hipokalsemia adalah peningkatan iritabilitas neuromuskuler yang dapat kesemutan pada uj ung-uj ung j ari dan sekitar mulut. Dalam keadaan lanjut akan didapatkan tanda Chvostek dan Trousseau. Tanda Chvostek adalah twitching pada daerah sekitar mulut bila dilakukan ketokan pada nen'us fasialis di anterior telinga. Tanda Trousseau adalah spasme karpal yang terjadi bila dilakukan bendungan lengan dengan menggunakan manset tensimeter pada tekanan 20 mmHg di atas tekanan sistolik selama 3 menit. Spasme karpal yang klasik akan berupa fleksi pergelangan tangan, ekstensi

merupakan faktor predisposisi pembentukan batu

interlalang dan aduksi jari-jari.

ginjal. Gallacher SJ dkk yang mendapatkan hiperkalsemia pada

Gejala hipokalsemia yang lain adalah kejang otot yang mengenai pinggang, tungkai dan kaki. Pada keadaan yang berat dapat timbul spasme karpopedal spontan (tetani), laringospasme atau bronkospasme, sampai kejang-kejang

pasien yang mengalami imobilisasi dengan sepsis mengajukan postulat bahwa sitokin seperti IL- 1 dan TNFo memberikan kontribusi pada hiperkalsemia pada imobilisasi

ini. Interleukin

I

dan TNFu merupakan sitokin yang

menstimulasi resorpsi fulang. David dan kawan-kawan mendapatkat92o% pasien usia

umum.

Hipokalsemia berat dapat memperpanjang interval QT pada EKG yang reversibel setelah hipokalsemia dikoreksi.

lanjut dengan ventilator di ruang perawatan intensif mengalami peningkatan kadar N telopeptida urin. Sebanyak 42%o kasus tersebut disertai oleh peningkatan

hormon paratiroid dengan defisiensi vitamin D, 9oh mengalami penurunan kadar hormon paratiroid yang berhubungan dengan imobilisasi serta 49o/o didapatkan hormon paratiroid normai dan berhubungan defisiensi vitamin D dan imobilisasi. Kecepatan resorpsi akan menurun secara bertahap sampai tercapainya suatu keseimbangan setelah

Electrochemical response

l-2 tahun.

Pada saat ini biasanya terdapat kehilangan trabekular tulang> 40o/o. Kehilangan massa tulang sangat cepat pada tulang penyangga tubuh serta trabekular tulang. Secara radiologi akan terlihat pada bulan ke 2 atat 3. lebih cepat

pada usia muda atau imobilisasi yang menyeluruh. Bila dilakukan mobilisasi akan memperbaiki massa

tulang walaupun proses ini berjalan lambat dan inkomplit.

Gambar 1.Efek mechanical strain terhadap.formasi dan resorpsi tulang

Penatalaksanaan Hipokalsemia Akut

Pertumbuhan dan remodeling tulang bergantung pada

Penatalaksaan hipokalsemia akut ditentukan oleh derajat

faktor pertumbuhan lokal dan sistemik, tersedianya material serta beban mekanis pada tulang. Densitas dan kekuatan pada tulang berhubungan dengan tekanan/stres lokal yang dikontrol melalui faktor

dan kecepatan timbulnya hipokalsemia. Hipokalsemia ringan (Ca serum 7,5-8,5 mg/dl) yang asimtomatik, cukup diterapi dengankalsium oral500-1000 mg tiap 6jam disertai pengawasan yang ketat. Bila terdapat tetani atau kadar kalsium semm < 7 ,5 mgldl, diperlukan pemberian kalsium

pertumbuhan lokal.

2692

REI.JMAIOI.OGI

intravena. Pemberian kalsium glukonat (90 mg kalsium elementaVl0ml ampul) lebih disukai daripada kalsium sitrat (272 mg kalsium elementaVl 0 ml ampul) karena tidak iritatif. Mula-mula, dapat diberikan 1-2 ampul kalsium glukonat dalam 50-100 ml dekstrosa 5o/o dan diberikan per-infus 5-10 menit. Dosis ini dapat diulang bila masih didapatkan gejala hipokalsemia. Hipokalsemia yang berat dan persisten dapat diberikan kalsium per-drip dalam jangka waktu yang lebih lama, misalnya 15 mg/kgBB kalsium elemental diinfus selama 4-6 jam. Secara praktis dapat dilakukan dengan

melarutkan 10 ampul kalsium glukonat dalam I liter dekstrosa 5o/o dar' diinfus dengan kecepatan 50 ml/jam (45 mg kalsium elemental/jam). Larutan yang lebih pekat dari 200 mg kalsium elementaVl00 ml dekstrosa 5olo harus dihindari karena akan bersifat iritatif terhadap vena maupun

jaringan disekitarnya bila terjadi ekstravasasi. Pada hiperkalsemia berat dan persisten, juga harus dipikirkan kemungkinan pemberian kombinasi kalsium oral l-2 gramlhari dan 1,25(OH)2D 0,5-1,0 mgrlhari. Pada keadaan hipomagnesemia, maka terapi terhadap

maka dapat ditambahkan diuretik tiazid. Bila kadar kalsium serum sudah normal, sedangkan kadar fosfat serum tetap

di atas 6 mgldl, maka perlu diberikan antasid yang tidak

diabsorpsi untuk mengurangi hiperfosfatemia dan mencegah kalsifikasi metastatik.

PSEU DOHIPOPARATIROIDISM E

Pseudohipoparatiroidisme (PHP) adalah keadaan klinik yang secara biokimia ditandai oleh gambaran hipoparatiroidisme, yaitu hipokalsemia dan hiperfosfatemia, tetapi sekresi PTH meningkat danjaringan target tidak berespons terhadap aktivitas biologis PTH. Seringkali PHP disertai dengan kelainan perkembangan yang disebut Albrightb hereditaty osteodystrophy (AHO) yang terdiri dari tubuh pendek, muka bundar, obesitas, brakidaktili dan osifikasi subkutan. Untuk membedakan dengan hipoparatiroidisme, dapat dilakukan tes Ellswor1h-Howard (lihat di atas).

hipomagnesemia juga harus dilakukan selain terapi terhadap hipokalsemianya.

HIPOPARATIROIDISME Hipoparatiroidisme adalah produksi hormon PTH yang tidak mencukupi untuk mempertahankan kadar kalsium ekstraselular dalam batas normal. Secara umum, penyebab hipoparatiroidisme dapat dibagi dalam 4 kelompok, yaitu: . Kelenjar paratiroid yang tidak berkembang, . Destruksikelenjarparatiroid, . Penurunan fungsi kelenjar paratiroid, . Aksi PTH yang terganggu. Secara

klinis, hipoparatiroidisme akan menunjukkan

ala hipokals emi a p ada berb agai tin gkatan tergantung pada derajat hipoparatiroidismenya dan gej ala- gej

hipokalsemianya. Secara biokimia, akan tampak gambaran hipokalsemia, hiperfosfatemia, PTH yang rendah atau tidak terdeteksi, dan kadar 1,25(OH)rD yang rendah. Untuk membedakan dengan PTH yang resisten, dapat dilakukan tes EllsworthHoward, yaitu dengan pemberian PTH bioaktif dan akan tampak peningkatan ekskresi cAMP urin dan fosfat urin. Pada gambaran radiologik dan CT-scan kepala, akan tampak kalsihkasi basal ganglia. Penatalaksanaan hipoparatiroidisme bertujuan untuk memperbaiki kadar kalsium dan fosfat serum senonnal mungkin. Dalam hal ini dapat diberikan preparatkalsium dan vitamin D. Pada umumnya kebutuhan kalsium elemental adalah 1 g/hari. Dengan membaiknya kadar kalsium plasma, maka hiperkalsiuria akan bertambah karena efek PTH di ginjal tidak ada. Bila hiperkalsiuria tetap terjadi dan kadar kalsium plasma tidak dapat mencapai kadar 8 mg/dl,

HIPOMAGNESEMIA Hipomagnesemia ternyata ditemukan lebih banyak dari dugaan sebelumnya. Umumnya hipomagnesemia terjadi akibat pembuangan yang berlebihan baik lewat saluran cerna maupun ginjal. Pembuangan Mg lewat saluran cema,

biasanya disebabkan oleh vomitus, diare, sindrom malabsorpsi dan reseksi usus. Sedangkan ekskresi Mg lewat urin tergantung dari reabsorpsi di tubulus yang bersifat proporsional dengan Natrium dan Kalsium. Pembuangan Mg yang berlebihan lewat urin akan dipengaruhi oleh terapi cairan terutama NaCl 0,9%, kelebihan cairan dalam tubuh dan hiperaldosteronisme primer. Hiperkalsemia dan hiperkalsiuria juga akan

di ginjal sehingga akan meningkatkan ekskresi Mg dan hipomagnesemia. Penyebab lain ekskresi Mg yang berlebihan adalah diuresisosmotik, misalnya akibat steroid dan juga diabetes melitus. menghambat reabsorpsi Mg

Secara klinis, hipomagnesemia ditandai oleh hipereksitabilitas neuromuskuler, termasuk tetani dan dapat ditandai oleh tanda Chvostek dan Trousseau. Pada EKG akan didapatkan perpanjangan interval PR dan QT

danAritmia. Secara laboratoris, akan didapatkan hipokalemia karena hipomagnesemia akan menyebabkan kehilangan

Kintrasel dan gangguan konservasi K oleh ginjal. Hipokalsemia juga merupakan gejala utama hipomagnesemia. Dalam keadaan normal perubahan kadar Mg yang akut akan mempengaruhi sekresi PTH sama dengan perubahan kadar kalsium. Penurunan kadar Mg yang akut akan merangsang sekresi PTH, sebaliknya hipermagnesemia akan menghambat sekresi PTH. Walaupun demikian, hipomagnesemia kronik akan

2693

HIPERKALSEMIA DAN HIFOI(ALSEMIA

mengganggu sekresi PTH dan hal inilah nampaknyayang menjadi penyebab hipokalsemia pada hipomagnesemia.

beberapa cm pada tempat masuknya arteri nutrisia ke dalam tulang yang merupakan s/res s fracture akibat pulsasi arteri.

Selain itu, hipokalsemia akibat hipomagnesemia juga menunjukkan resistensi pada ginjal dan tulang terhadap

Gambaran laboratorium bervariasi tergantung pada penyebabnya. Pada umumnya didapatkan kadar kalsium yang rendah atau normal rendah, kadar fosfat inorganik yang rendah dan 25(OH)D yangjuga rendah.

pemberian PTH eksogen, kalsium dan vitamin D. Resistensi

terhadap vitamin D, kemungkinan disebabkan oleh gangguan metabolisme vitamin D karenakadar 1,25(OH)2D rendah. Resistensi ini akan menghilang setelah diberikan terapi Mg beberapa hari. Pengobatan hipomagnesemia yang simtomatik dapat

diberikan injeksi 2 g MgSOo.lH2O (16,7 mEq) 50% intra-muskuler tiap

8

jam atau drip intravena 48 mEql24

jam, karena injeksi intramuskuler sangat nyeri. Terapi harus

dilanjutkan sampai gejala klinik, hipokalemia dan hipokalsemia teratasi. Kadar Mg serum yang normal tidak menunjukkan defrsit Mg total dalam tubuh sudah teratasi, karena Mg ekstraselular hanya loh dari total Mg tubuh,

dan sebagian besar berada intraselular. Pada pasien hipomagnesemia yang disertai kejang, harus diberikan injeksi 8-16 mEq Mg intravena dalam 5-10 menit, dilanjutkan drip Mg 48 m8f,24 jam. Pemberian Mg harus berhati-hati pada pasien gangguan fungsi ginjal, bila perlu dosisnya diturunkan. Pada pasien dengan kehilangan Mg yang kronik, dapat diberikan Mg elemental 300-600 mg dalam dosis terbagi untuk mencegah efek katartik Mg.

Defisiensi vitamin D. Merupakan penyebab osteomalasia

yang tersering. Ada 3 penyebab tersering defisiensi vitamin D, yaitu paparan sinar matahari yang rendah, asupan

vitamin D yang rendah (nutrisional) dan malabsorpsi. Malabsorpsi dapat terjadi akibat sindrom malabsorpsi di usus atau kelainan yang mengakibatkan steatorea, seperti obstruksi bilier dan insufisiensi pankreas.

Vitamin D-D ependent Rickers (\{DDR) tlpe I. Disebutjuga eudo-vitamin D deficiency, merupakan penyakit herediter yang bersifat resesifautosomal, yang ditandai oleh kadar

ps

1,25(OH)rD yang rendah akibat gangguan aktivitas 25(OH)D-1 o-hidroksilase di ginjal, sehingga kadar 25(OH)D didalam serum dapat normal atau tinggi sedangkan kadar 1,25(OH)rD didalam serum sangat rendah. Penyakit ini sangat jarang, biasanya menyerang anak di bawah 2tahLn, terutama pada 6 bulan pertama kehidupan dan dapat diatasi dengan memberikan vitamin D dosis tinggi atau kalsitriol

dosis fisiologik.

Vitamin D-Dependent Rickets (VDDR) type II. Disebut RIKETS DAN OSTEOMALASIA Osteomalasia adalah kelainan pada mineralisasi dan pertumbuhan tulang akibat aktivitas vitamin D yang inadekuat, baik akibat defisiensi, maupun resistensi. Bila timbul pada anak-anak seb ehtm epiphyseal plate menthtp disebut rikets. Gejala klinik yang paling sering terlihat adalah nyeri tulang yang difus terutama di daerah panggul sehingga menyebabkan pasien pincang (antalgic gail). Selain itu juga akan timbul kelemahan otot proksimal. Kedua keadaan ini (nyeri tulang dan kelemahan otot), pada keadaan yang berat akan menimbulkan disabilitas, sehingga pasien hanya

dapat berbaring atau duduk di kursi roda. Terapi yang adekuat, seperti pemberian vitamin D atau fosfat atau koreksi asidosis akan memperbaiki kedua keadaan itu. Tulang yang terserang osteomalasia, akan mudah fraktur akibat trauma yang minimal. Pada anak-anak yang menderita rikets, akan didapatkan kelemahan otot, tetani, kaki yang bengkok (bowing legs)' sendi kostokondral yang prominen yang disebut rachitic

rosary. Pada kepala akan didapatkan kalvarium yang melunak yang disebut kraniotabes, dan keterlambatan pertumbuhan gigi yang pennanen. Gambaran radiologik osteomalasia seringkali tidak spesifik dan sulit dibedakan dengan gambaran radiologik osteoporosis. Gambaran yang agak spesifik adalah ditemukannya pseudofraktur atau Looser's zones, yailt gambaran garis radiolusen dari beberapa mm sampai

luga hereditary 1,25(OH) rD resistent rickets, merupakan kelainan yang jarang yang juga menyerang anak-anak yang diakibatkan oleh abnormalitas jumlah, afinitas dan fungsi reseptor 1 ,25(OH)rD intraselular, sehingga kadar 1,25(OFI)rD didalam serum tinggi, tetapi tidak berfungsi.

Defisiensi kalsium. Dapat terjadi akibat asupan yang kurang atau ekskresi yang berlebihan lewat urin atau feses. Ekskresi lewat urin yang berlebih dapat diakibatkan oleh kebocoran di ginj al atau akibat penggunaan glukokortikoid

atau hiperkalsiuria idiopatik. Terapi pilihan adalah dengan pemberian kalsium karbonat, karena selain harganya murah, juga kandungan kalsium elementalnya cukup tinggi.

Defisiensi fosfat. Dapat disebabkan oleh asupan fosfat yang rendah, gangguan absorpsi fosfat di usus atau peningkatan klirens fosfat di ginjal. Hipofosfatemia akan mengakibatkan peningkatan aktivitas 25(OH)D-1uhidroksilase di ginjal, sehingga kadar 1,25(OH)rD

meningkat. Akibatnya akan terjadi hiperkalsemia, hiperkalsiuria dan peningkatan resorpsi tulang oleh osteoklas.

X-linked Hlpophosphalemra (vitamin D-resistent rickets, VDRR). Disebabkan oleh defek pada transport fosfat di tubulus ginjal sehingga terjadi pembuangan fosfat yang berlebihan dan hipofosfatemia. Kelainan ini juga akan

mengakibatkan gangguan metabolisme vitamin D, sehingga produksi 1,25(OH)rD menurun. Kelainan ini

2694

umumnya ditemukan pada anak-anak, tetapi kadangkadang ditemukan secara sporadik pada orang dewasa.

Ilipofosfatasia. Merupakan kelainan yang diturunkan secara resesifautosomal dan ditandai oleh rendahnya kadar alkali fosfatase di serum dan jaringan. Mekanisme osteomalasia pada kelainan ini tidak jelas; diduga akibat kegagalan hidrolisa pirofosfat yang merupakan inhibitor mineralisasi, sehingga terjadi defek mineralisasi tulang.

De Toni-Debrti-Fanconi Syndrome. Ditandai oleh fosfaturia, aminoasciduria, glikosuria, bikarbonaturia dan kadang-kadang asidosis dan hiperkalsiuria. Kelainan tulang biasanya berhubungan dengan asidosis, hipofosfatemia dan metabolisme vitamin D yang abnormal. Sindrom Nefrotik. Diakibatkan oleh pembuangan vitamin D yang berlebihan lewat urin. Didalam darah, vitamin D terikat pada cx-globulin yang disebut vitamin D-binding protein (DBP). Pada sindrom nefrotik, DBP ikut terbuang lewat urin sehingga vitamin D yang terikat DBP ikut terbuang. Walaupun demikian, kadar vitamin D bebas didalam serum tetap dalam batas normal, sehingga pengukuran kadar vitamin D total dapat menyesatkan.

Penyakit hati kronik. Hati berperan pada hidroksilasi vitamin D pada posisi 25, walaupun demikian, penumnan kadar 25(OH)D terutama disebabkan oleh penurunan sintesis DBP oleh hati, nutrisi yang buruk dan malabsorpsi.

Hipoparatiroidisme. PTH berperan sebagai stimulator produksi 1,25(OH)2D, sehingga hipoparatiroidisme akan mengakibatkan pemrrunan produksi 1,25(OH)rD.

Anti konvulsan.

REUMIIilOI.OGI

I,25(OH)rD dan reabsorpsi fosfat di ginjal sehingga timbul sfaturia dan hipofosfatemia.

fo

Etidronat. Merupakan bisfosfonat generasi I yang dapat menghambat kristalisasi kalsium fosfat, terutama pada dosis 5- 10 mg/kgBB. Efek ini tidak didapatkan pada bisfosfonat lain.

Flourida. Garam ini dapat merangsang formasi tulang, tetapi dapat mengganggu mineralisasi tulang dengan mekanisme yang tidak diketahui.

REFERENSI Abdulmutalib. Osteolisis pada keganasan. . Dalam: Markum HMS, Hardjodisastro D (eds). Perkembangan Mutakhir Ilmu Penyaskit Dalam. Bagian Ilmu Penyakit Dalam 1996:109-20. Bikle DD. Osteomalacia and Rickets. In: Andreoli TE, Mandell GL, Muray JF et al (eds) Cecil Textbook of Medicine Vol 2. 19th

ed Philadelphia: WB

Saunders

Co; 1988.p.1406-12

Bilezikian JP. Primary Hyperparathyroidism. In: Favus MJ et al (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders

of

Mineral Metabolism. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams

& Wilkins; 1999.p

187-92.

Indridason OS, Quarles

LD

Tertiary Hyperparathyroidism and

Refractory Secondary Hyperparathyroidism . In: Favus MJ et al (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders

of Mineral Metabolism. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;1999:798-202. Goltzman D, Cole DEC. Hypoparathyroidism. . In: Far.us MJ et al (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th ed Philadelphia,: Lippincott Williams

& Wilkins:

1999.p.226-30.

Penggunaan fenitoin atau fenobarbital jangka panjang akan merangsang enzim sitokrom P450 di

Klein GL. Nutritional Rickets and Osteomalasia. In: Favus MJ et al

hepar sehingga mengganggu metabolisme vitamin D.

Mineral Metabolism. 4th ed Philadelphia: Lippincoft Williams

Akibatnya kadar 25(OH)D didalam serum turun, tetapi kadar 1,25(OH)rD tetap dalam batas normal. Selain itu, fenitoin

juga dapat menurunkan absorpsi kalsium di usus dan meningkatkan resorpsi tulang oleh osteoklas. Walaupun demikian, penggunaan anti konvulsan jarang menimbulkan gejala klinik osteomalasia, kecuali bila disertai faktor predisposisi lain, seperti nutrisi yang buruk atau paparan sinar matahari yang kurang.

(eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders

of

& Wilkins; 1999.p.315-9 Krane SM. Hyperostosis, Neoplasms and other disorders of bone and cartilage. In: Isselbacher KJ, Adams RD, Braunwald E, et al (eds). Harrison's Principles of Internal Medicine. 9th ed. New York: Mc Graw-Hill Book Co; 1980:1863-9. Pettifor JM. Nutritional and Drug-induced Rickets and Osteomalacia. In : Farus MJ (ed). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 5th ed. Washington: ASBMR; 2003.p.399-406 Roberts MM, Stewart AF. Humoral Hypercalcemia of Malignancy. In: Far,us MJ et al (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th ed. Philadelphia: .

Intoksikasi alumunium. Terjadi akibat asupan kalsium yang berlebih, misalnya penggunaan pengikat fosfat yang

mengandung Alumunium, atau anatasida yang mengandung alumunium atau penggunaan cairan dialisat yang mengandung alumrurium pada pasien gagal ginjal yang

menjalani hemodialisis. Alumunium akan menghambat aktivitas PTH dan I a,-hidroksilase, menghambat aktivitas osteoblas dan mengganggu mineralisasi tulang.

Tumor-induced hypophosphatemic osteomalacia. Diakibatkan oleh produksi faktor humoral oleh tumor (biasanya mesenkimal) yang akan menekan produksi

Lippincott Williams & Wilkins; 1999.p.2083-7. Shane E. Hypercalcemia: Pathogenesis, Clinical Manifestation, Differensial Diagnosis and Management. In: Favus MJ et al (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism. 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams

& Wilkins;1999.p. 1 83-7. Shane E. Hypocalcemia: Pathogenesis, Differensial Diagnosis and Management. In: Favus MJ et al (eds). Primer on the Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism.

4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; t999.p.223-6.

4tt NYERI TULANG Bambang Setiyohadi

Ada 5 keadaan yang dapat menyebabkan nyeri tulang, yaitu:

1.

Osteoporosis,

2. Osteomalasia dan rikets, 3. Osteodistrofi renal 4. Osteonekrosis 5. Metastasis keganasan pada tulang. Pada bab ini hanya akan dibicarakan osteodistrofi renal dan osteonekrosis, karena masalah yang lain telah dibicarakan pada bab terdahulu.

OSTEODISTROFI RENAL

Osteodistrofi renal merupakan komplikasi gangguan fungsi ginjal. Pada gagal ginjal tahap akhir, umumnya sudah terdapat kelainan histologik tulang. Hampir semua pasien yang menjalani dialisis, mengidap osteodistrofi renal yang

secara klinis terlihat sebagai gangguan metabolisme kalsium, fosfor, PTH, dan vitamin D. Akibat penumnan fungsi ginjal, akan terjadi retensi fosfat sehingga kadar fosfat serum meningkat dan kadar kalsium serum menurun. Peningkatan kadar fosfat serum akan menurunkan kadar 1,25 dihidroksivitamin D, sehingga kadarkalsium akanmakin menurun karena absorbsi kalsium menurun. Kadar kalsium dan 1,25 dihidroksivitamin D yang menumn akan merangsang produksi PTH dan proliferasi sel-sel kelenjar paratiroid, sehingga terjadi mobilisasi kalsium dari tulang ke dalam darah. Pada pasien gagal ginjal, terjadi resistensi tulang terhadap PTH, akibatnya hiperparatiroidisme akan semakin berat. Osteodistrofi renal, merupakan kelainan tulang dan sendi dengan spektrum yang luas yang terjadi pada pasien gagal ginjal. Kelainan ini ditandai oleh nyeri tulang, kelemahan otot, deformitas skeletal, retardasi perlumbuhan

dan kalsifikasi ekstraskeletal. Ada 4 tipe osteodistrofi

renal, yaitu tipe high-bone turnover, low boneturnover,tipe campuran dan amiloidosis. Osteodistroji renal tipe high bone-turnoYer. Kelainan ini berhubungan dengan retensi fosfat, hipokalsemia, gangguan produksi 1,25(OH)2D di ginjal, resistensi skeletal terhadap efek kalsemik PTH dan penurunan ekspresi VDR dan CaSR di kelenjar paratiroid, sehingga terjadi hiperparatiroidisme sekunder dan hiperplasi kelenjar paratiroid yang progresif. Peningkatan produksi PTH pada tipe ini dapat sangat tinggi, yaitu 20-30 kali nilai normal, sehingga lebih tinggi daripada keadaan hiperparatiroidisme primer. Secara histologik akan tampak gambaran khas osteitis fibrosa, yaitu jaringan fibrosa yang berdekatan dengan trabekula tulang. Aktivitas osteoklas dan osteoblas

meningkat yang ditandai oleh banyaknya osteoklas dan osteroblas, lakuna Howship, dan tulang kanselous yang ditutupi oleh osteoid yang baru terbentuk. Secara radiologik, akan tampak erosi subperiosteal pada tulang-tulang panjang, terutama pada tepi falang digital, ujung klavikula, antara iskium dan pubis, sendi sakroiliakal dan sambungan metafisis dan diafisis pada tulang panjang.

Pada ruas tulang vertebra, akan tampak gambaran osteosklerosis, sedangkan pada tulang kepala akan tampak gambaran salt and pepper. Osleo distroti renal tlrpe low bone-turnov er, Ada 2 subtipe, yaitu tipe tulang adinamik dan tipe osteomalasia. Tulang adinamik ditandai oleh formasi dan turnovei tulang yang di bawah normal. Keadaan ini dapat ditemukan pada40oh pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisis rutin atau ' 50% pasien yang menjalani dialisis peritoneal. Kadar PTH hanya meningkat sedikit atau bahkan dalam batas normal. Pada tipe osteomalasia, akan tampak defek pada mineralisasi

tulang. Intoksikasi alumunium, merupakan penyebab tersering adinamik tulang dan osteomalasia pada pasien gagal ginjal. Tetapi kelainan ini sekarang sudah jatang

2695

2696

RELJMA*II)LOGI

didapatkan, karena Alumunium sudah tidak digunakan lagi sebagai pengikat fosfat. Penyebab lain tipe osteodistrofi ini adalah diabetes melitus, glukokortikoid, osteoporosis

senilis, suplementasi kalsium dan vitamin D yang berlebihan. Baik kalsium maupun vitamin D akan menekan kadar PTH didalam serum. Selain itu,

kalsitrol

juga akan menekan aktivitas osteoblas bila digunakan pada pasien yang menjalani hemodialisis secara teratur.

OsteodistroJi renal tipe campuran. Gambaran campuran osteitis fibrosa dan osteomalasia juga dapat ditemukan pada

sebagian kecil pasien gagal ginjal kronik. Kelainan ini ditandai oleh hiperparatiroidisme sekunder dengan defek pada mineralisasi tulang. Secara biokimia akan didapatkan hipokalsemi a danl atal hipofo s fatemia dan defi siens i vitamin D. Keadaan ini dapat ditemukan pada pasien osteitis fibrosa dengan intoksikasi alumunium yang awal, atau pada pasien intoksikasi alumunium yang mulai menunjukkan respons terhadap terapi deferoksamin dengan peningkatan formasi tulang.

Pemberian kalsitriol dapat dimulai dengan dosis harian yang

rendah dan dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kliniknya, biasanya digunakan dosis 0,25- I ,5 mg/ hari. Pada pasien hemodialisis, kalsitriol dapat diberikan intravena bersamaan dengan waktu dialisisnya. Padapasien

dengan dialisis peritoneal, kalsitriol juga dapat diberikan intermiten 2-3kali per-minggu dengan dosis per-kali yang lebih besar daripada dosis harian, misalnya 0,5-4,0 mg,&ali, 3 kali per-minggu atau 2,0-5,0 mglkali, 2 kali per-minggu.

Bila timbul hiperkalsemia setelah beberapa bulan penggunaan kalsitriol dengan kadar PTH dan fosfatase alkali kembali normal dari kadar yang tinggi sebelumnya,

maka hal ini menunjukkan bahwa osteitis fibrosa sudah teratasi. Tetapi bila hiperkalsemia te4adi pada mingguminggu awal pemberian kalsitriol, maka hal ini menunjukkan

adanya osteodistrofi renal dengan low bone turnover (misalnya karena intoksikasi alumunium) atau adanya hiperparatiroidisme sekunder yang berat. Dalam hal ini, bila

intoksikasi alumunium dapat disingkirkan, maka diindikasikan untuk melakukan paratiroidektomi. Indikasi

Amiloidosis pada gagal ginjal. Dapat ditemukan pada

spesifik paeratiroidektomi adalah (1) hiperkalsemia

pasien gagal grnjal kronik yang telah meqjalani hemodialisis lebih dari 7-10 tahun. Keadaan ini disebabkan oleh deposisi

persisten, dengan kadar kalsium di atas 11-12 mgldl; (2)

serat amiloid yang terdiri dari pr-mikroglobulin Padapasien akan didapatkan kistitulang multipel,

(prp. fraitur

pruritus yang tidak dapat diatasi dengan dialisis yang intensif atau pengobatan medik lainnya; (3) kalsifikasi

sehingga menimbulkan gej ala muskuloskeletal. Secara

ekstrasekeletal yang pro gresif atau hiperfo sfatemia yang persisten walaupun telah diberikan diet rendah fosfat yang ketat dan bahan pengikat fosfat; (4) nyeri tulang yang berat atau fraktur patologis; (5) timbulnya kalsifilaksis. Dalam hal ini, penyebab hiperkalsemiayang lain, seperli intoksikasi vitamin D atau sarkoidosis harus disingkirkan.

radiologis, kista multipel akan ditemukan pada ujung-ujung tulang panjang, terutama pada kaput humeral dan kaput femoris.

OSTEONEKROSIS

patologik, artritis sckapulohumeral yang erosif, sindrom terowongan karpal dan spondiloartropati. Secara histologik, serat amiloid BrM mirip dengan amiloid AA, tetapi serat amiloid BrM banyak didapatkan di daerah osteoarlikular,

Penatalaksanaan. Tujuan pengobatan Osteodistrofi renal adalah ( 1 ) mempertahankan kadar kalsium dan fosfat dalam batas normal; (2) mencegah kalsifikasi ekstraskeletal; (3)

mencegah bahan-bahan toksik seperti alumunium dan kelebihan besi; (4) mempertimbangkan penggunaan steroid vitamin D dan pengikat fosfat; (5) secara selektif menggunakan chelating agent seperti deferoksamin untuk mengatasi intoksikasi alumunium. Sumber utama penyebab osteodistrofi renal adalah retensi fosfat, oleh sebab itu diet

rendah fosfat dan penggunaan bahan pengikat fosfat sangat penting sekali pada penatalaksanaan gagal ginjal kronik. Pengikat fosfat yang baik adatah kalsium karbonat dan kalsium asetat yang harus dimakan bersamaan dengan waktu makan agar efek pengikatan fosfatnya maksimal.

Kalsium sitrat juga dapat digunakan, tetapi sitrat akan meningkatkan absorpsi alumunium, sehingga penggunaannya tidak dianjurkan. Penggunaan sterol vitamin D, seperti kalsitriol, kalsifediol, 1G-OH-D dan dihidrotakisterol sangat efektif untuk mengatasi hiperparatiroidisme sekunder, bila hipokalsemia tidak dapat diatasi walaupun kadar fosfat sudah dalam batas normal.

Disebutjuga ischemic bone necrosis, avascular necrosis atau aseptic necrosis. Kelainan ini dapat terjadi akibat beberapa keadaan klinis, misalnya akibat penyakit tertentu (seperti penyakit Gaucher), akibat pengobatan (misalnya glukokortikoid), keadaan fi siologik atau patologik tertentu (kehamilan, tromboemboli) atau tidak diketahui (idiopatik). Pada umumnya osteonekrosis menyerang ujung-ujung tulang panjang, misalnya kaput femoris atau kaput humer;

tetapi dapat juga menyerang tulang lainnya. Kematian tulang terjadi akibat putusnya vaskularisasi arteri ke tulang, baik karena oklusi, vaskulitis, emboli lemak,

perdarahan, kelainan jaringan tulang, maupun akibat penekanan sinusoid, misalnya pada proses infiltratif (seperti pada penyakit Gaucher) atau peningkatan adiposit di dalam sumsum tulang karena efek toksik terhadap liposit (misalnya akibat glukokortikoid atau alkohol). Akibat osteonekrosis akan terjadi peningkatan tekanan intraoseus (IOP) yang akhirnya akan menjadi lingkaran setan, karena iskemia dan kerusakan sel akan bertambah berat.

2697

ITYERITUI,.ANG

Gejala utama osteonekrosis adalah nyeri tulang pada areayalg terserang. Keadaan ini harus dicurigai pada pasien yang menggunakan steroid dosis tinggi ataujangka panjang yang mengeluh nyeri tulang. Pada stadium awal, osteonekrosis tidak menunjukkan gambaran radiologik yang bermakna dan diperlukan pemeriksaan MRI untuk

femoris. Akibatnya osteoblas, osteosit dan sel sumsum

tulang mati; kalsifikasi endokondral terhenti, tetapi pertumbuhan rawan sendi tetap baik karena mendapat

osteosklerosis, rusaknya kaput femoris sampai kolaps kaput femoris.

nutrisi dari cairan sinovial. Proses revaskularisasi ke area yang nekrosis kemudian akan terjadi, dimulai dari daerah perifer ke sentral, dan tulang baru akan tumbuh pada permukaan korteks subkondral atau daerah trabekular di sentral area yang nekrosis diikuti dengan pembersihan tulang yang nekrosis. Proses resorpsi tulang akan lebih

MenurutArlet dan Ficat, osteonekrosis dapat dibagi dalam

aktif dibandingkan dengan proses formasi tulang, sehingga tulang subkondral menjadi lemah. Bila tulang trabekular

mendeteksinya. Pada stadium lanjut akan tampak gambaran

5 stadium,

yaitu

Stadium 0

Stadiuml

:

manifestasi klinik dan radiologik tidak ada, tetapi gambaran MRI jelas manifestasi klinik ada, radiologik tid ak ada,

MRIjelas Stadiumtr

gambaran osteopenia dan osteosklerosis pada radiologik.

StadiumItr

StadiumIV

kolaps tulang awal yang ditandai oleh crescent sign, yaitu tulang Subkortikal yang translusen dikelilingi oleh area tulang yangmati kolaps tulang lanjut, yaituli attening kaput femoris

Pada stadium 0, I, II, penatalaksanaan dapat dilakukan

secara konservatif atau dilakukan dekompresi untuk mengurangi tekanan intra-osseus. Penatalaksanaan konservatif meliputi penggunaan analgesik, terapi fisik untuk menguatkan otot dan mencegah kontraktur dan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi. Bila nyeri tetap berlanjut atau pada stadium III dan IV, perlu dilakukan tindakan artroplasti. Pada osteonekrosis yang menyerang sendi yang bukan penopang berat badan, tidak diperlukan intervensi bedah, karena nyerinya ringan dan gangguan fungsionalnya tidak berat.

Legg-Calvd-Perthes Disease (LCPD). Merupakan osteonekrosis idiopatik pada epifisis kaput femoris anakanak umur 2-12 tahuln, yang tidak diketahui penyebabnya, tetapi didapatkan terputusnya aliran darah ke epifisis kaput

mengalami kolaps, maka episoda nekrosis yang kedua akan timbul kembali. Nyeri tulang biasanya timbul bila ada frakhr.

Biasanya anak-anak dengan LCPD akan pincang bila berjalan disertai nyeri pada daerah lutut atau bagian anterior tungkai atas dengan keterbatasan gerak pada koksa

yang disertai abduksi dan endorotasi. Prognosis LCPD tergantung pada beratnya penyakit, deformitas kaput femoris dan proses penyembuhannya. Dalam jangka panjang, seringkali LCPD berkembang menjadi osteoartritis

sekunder. Pada anak perempuan, prognosis LCPD akan lebih buruk dibandingkan anak laki-laki, karena anak

perempuan lebih cepat matang secara seksual dibandingkan laki-laki sehingga lempeng pertumbuhan lebih cepat menutup dan tidak memberikan kesempatan bagi kaput femoris untuk melakukan modeling.

REFERENSI Alarcon GS. Osteonecrosis. In: Klippel JH, editor. Primer on the rheumatic diseases. 12'h edition. Atlanta:Arthritis Foundation; 2001 .p.503 -6. WG Coburn JW, Slatopolsky E, et al. Renal osteodystrophy in adults and children. In : Favus MJ editor.Primer on the

Goodman

metabolic bone diseases and disorders of mineral metabolism' 5th edition. Washington:ASBMR;2003 p 430-48' Krane SM, Holick MF. Metabolic bone disease. In: Isselbacher KJ, Adams RD. Braunwald E, et al,edition. Harrison's principles of intemal medicine. 9th edition. New York :Mc Graw-Hill Book; 1

980.p.1 849-60.

412 REUMATIK EKSTRA ARTIKULAR Blondina Marpaung

PENDAHULUAN Reumatik ekstra artikular (REA) adalah sekelompok penyakit dengan manifestasi klinik umumnyaberupa nyeri dan kekakuan padajaringan lunak, otot, atau tulang, tanpa hubungan yangjelas dengan sendi bersangkutan ataupun penyakit sistemik, serta tidak semuanya dapat dibuktikan apa penyebabnya.

Walaupun penyebab penyakit

ini belum

semuanya

diketahui dengan pasti, namun terdapat dugaan kuat adanya faktor pencetus yang dapat menimbulkan penyakit ini, seperti beban kerja yang berlebihan, trauma, kelainan postural, usia yang lanjut, degenerasi jaringan ikat, dan juga beban stres psikologis seperti ketegangan jiwa, depresi berat ataupun frustrasi. Reumatik ekstra artikular dapat diklasifrkasikan dalam 5 kategori yaitu: . Tendonitis dan bursitis seperti epikondilitis lateral (tennis elbow) dan bursitis trokanter . Gangguan struktural seperti sindrom nyeri akibat kaki datar dan sindrom hipermobiliti. . Neurovascular entrapment seperti sindrom carpal tunnel dan sindrom thoracic outlet, . Sindrom miofasial regional dengan trigger point yang hampir sama dengan fibromialgia tetapi distribusi nyeri

.

bersifat lokal, seperti pada sindrom sendi temporomandibular.

sebagian kecil saja yang memberikan keluhan yang berat sehingga memerlukan pengobatan khusus. Beberapa peneliti membuktikan bahwa penyakit ini

lebih banyak dijumpai pada perempuan daripada pria dengan perbandingan 2:1. Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa penyakit ini juga cukup banyak dijumpai. AR Nasution dkk di Jakarta ( I 983) mendapatkan dari 4902 kasus penyakit reumatik yang berobat di

25o/o

RS Cipto Mangunkusumo. Di Medan, RS Dr. Pirngadi (1983) OK Moehad Sjah mendapatkan 10oh dari kasus penyakit reumatik yang berobat adalah REA. Indrawan Mardik dkk di Semarang (1983) mendapatkan 4l% dai67 pasien reumatik yang diselidiki termasuk reumatik ekstra arlikular, sedangkan Soenarto dkk di Semarang (1981) mendapatkan I kasus REA dari 65 kasus penyakit reumatik menahun yang diselidikinya.

FAKTORPENYEBAB Ada 3 penyebab utama nyeri dan inflamasi pada REA yaitu:

Mekanikal Nyeri dapat terjadi oleh karena trauma, baik akut maupun

kronik, Inflamasi yang selanjutnya terjadi

akan

menyebabkan pergerakan abnormal sekunder dan penambahan peregangan. Mekanisme ini yang terjadi pada beberapa entesopati dan bentuk-bentuk tenosinovitis atau

Sindrom nyeri generalisata seperti fibromiatgia dan sindrom multipel bursitis-tendonitis, kejadiannya lebih sering, bersifat kronik dan sulit untuk diterapi.

bursitis tertentu. Di mana strukturnya menjadi teriritasi secara mekanis

lnflamasi

EPIDEMIOLOGI

Inflamasi dapat terjadi akibat salah satu penyakit reumatik klasik. Nyeri osteoartritis sering berasal dari struktur

Penyakit REA ini dapat dijumpaipada setiap golongan umur dalam derajat yang berbeda-beda, namun hanya

periartikular.

2698

2699

REUM/'ITIK EKSTRA ARTIKULAR

Deposisi kristal kalsium sering dijumpai pada jaringan periartikular dan berperan penting dalam menginduksi

Rotator cuff tendinitis (impingement syndrome)- Rotator culf tendiniti.s adalah penyebab nyeri bahu yang paling sering dijumpai yang menyebabkan peradangan tendon

reaksi infl amasi intermiten.

pada subskapularis, supraspinatus, infraspinafu s dan teres

DeposisiKristal

mayor yang disebabkan oleh deposit mikrokristal, penggunaan berlebihan, penekanan tendon atau penyakit

DESKRIPSI REU MATIK EKSTRA ARTIKU LAR Beberapa REA yang penting dan sering dijumpai pada umumnya diklasifikasikan dalam 4 bentuk di bawah ini.

Periartritis Kalsifik Karakteristik periartritis kalsifik adalah dijumpainya deposisi agregat kristal yang mengandung kalsium di sekitar sendi. Biasanya mengandung hidroksiapatit, meskipun kadang dijumpai kristal kalsium pirofosfat dihidrat. Tempat yang biasanya dijumpai adalah pada

degeneratifpada usia tua. Dicurigai adanya penyakit ini bila terdapat nyeri waktu abduksi aktif terutama pada sudut 600 -1200' nyeri hebat pada otot deltoid lateral dan nyeri biasanya dijumpai pada malam hari. Pada kasus yang iebih berat, nyeri dimulai pada awal abduksi dan dilanjutkan sepanjatgrange ofmotion (PIOM). Spesifik dari pergerakan bahu ini adalah nyeri hebat terutama bila gerakan abduksi dikombinasi dengan rotasi. Progresivitas penyakit ini bisa ditemukan dalam keadaan akut maupun kronis. Pengobatan

dengan: istirahat, obat oral anti inflamasi nonsteroid

(NSAID), fisioterapi (pemanasan, ultrasound) maupun kortikosteroid.

tendon supraspinatus dekat sendi bahu; sendi interfalang

inj eksi lokal

distal dan sendi panggul apakah pada tendon rektus

Frouzen shoulder syndrome. Pada penyakit ini terdapat keterbatasan gerak artikulus glenohumeral dan pada akhirnya sendi tersebut sukar digerakkan karena nyeri.

femoris ataupun trokanter mayor femoris

Entesopati Karakteristik entesopati adalah tenderness dan inflamasi terlokalisasi pada insersi ligamen atau tendon. Dapat ter;'adi oleh karena peregangan traumatik atau akibat inflamasi reumatik yang mendasarinya. Contoh yang paling sering

adalah 'tenis elbow ' atau epikondilitis lateral dan tendinitis achilles. Beberapa contoh lain adalah epikondilitis medial (epitrokleitis atau sering juga disebut

golfers elbow), periartritis panggul, tendinitis pes anserlnus.

Nyeri dirasakan pada bagian atas humerus dan menjalar ke lengan atas bagian ventral, skapula, lengan bawah, serta dirasakan terutama jika lengan atas digerakkan dan biasanya kambuh pada malam hari. Pasien datang dengan keluhan nyeri dan ngilu pada bahu serta getakan sendi yang terbatas

terutama dengan gerak abduksi dan elevasi. Terjadi obliterasi kapsul sendi sefta fibrosis j aringan peri-kapsular atau periartritis sendi bahu. Biasanya menyerang individu di usia di atas 40 tahun, perempuan lebih sering terkena dibanding laki-laki dan sering sebagai problem sekunder

atau bersamaan dengan penyakit bahu tipe lain, DM, osteoartritis. Penyebabnya bermacam-macam, tetapt yang

Tenosinovitis Tenosinovitis berbeda dengan entesopati. Pada entesopati insersi tendon dan ligamen teriritasi, sementara pada

tenosinovitis sarung tendon sinovial mengalami inflamasi.Oleh karena itu tenosinovitis merupakan bagian dari sinovitis umum dan sering dijumpai pada penyakit reumatik.contoh tenosikonitis de quervein

Bursitis Bursa sinovial dapat mengalami inflamasi dan nyeri pada suatu penyakit inflamasi sinovial sistemik seperti pada artritis reumatoid. Dapat menjadi rusak oleh karena trauma pada penonjolan tulang seperti pada lutut atau olekranon siku.

Di bawah ini dideskripsikan beberapa penyakit reumatik ekstra artikular berdasarkan lokasi bagian tubuh yang dikenai.

Bahu Berbagai kelainan reumatisme ekstra artikuler di bahu antara lain:

sering adalah fraktur lengan dan bahu serta kontusio jaringan. Diagnosis ditegakkan dengan gejala klinis, tes rotasi dan pemeriksaan afirografi akan terlihat kapsulitis. Pengobatan tergantung pada berat ringannya penyakit, antara lain dengan: OANS, injeksi lokal kortikosteroid dan silokain, fisioterapi dengan (pemanasan, ultr as ound, dan short wave diatermi), manipulasi sendi dengan anestesi umum dan blok pada ganglion stellate. Tendinitis B isipital. Manifestasi klinis yang dijumpai yaitu nyeri yang sifatnya lebih difus terdapat di daerah anterior bahu. Nyeri biasanya kronis dan berkaitan dengan penekanan tendon bisep oleh akromion. Palpasi di daerah bisipital akan didapatkan lokasi tenderness dan ditemukan tingkatan derajat tenderness pada palpasi banding di sisi kontralateral. Nyeri direproduksi tendon bisipital pada

posisi supinasi lengan bawah yang melawan tahanan (Yergasons sign), fleksi bahu melawan tahanan (speedb test) atau dengan ekstensi bahu. kndinitis bisipital dan rotator cuff tendonills bisa terjadi pada waktu yang bersamaan. Pengobatan antara lain dengan; istirahat, fisioterapi dengan (remanasan, ultras ound), latihan pasif

2700

diikuti

REUIVIATOI.OGI

dengan jarak gerakan aktif, OAINS, injeksi lokal

korlikosteroid dosis kecil disekitar samng tendon.

Thoracic Outlet syndrome. Thoracic outlet syndrome adalah sekumpulan gejala yang diakibatkan adanya kompresi di jaringan neurovaskular pada pleksus brakial dan arteri/vena subklavikula. Jaringan neurovaskular tersebut berada di pinggir bawah tulang iga pertama, di depan otot anterior sklaneus dan di belakang otot medius sklaneus. Gambaran klinis tergantung pada bagian mana yang tertekan, apakah pembuluh saraf, pembuluh darah atau kedua-duanya. Gejala neurologis adalah yang paling tersering ditemukan berupa nyeri, parestesia, dan hilang rasa di mana disebarkan dari leher dan bahu ke daerah lengan dan tangan terutama j arike 4 dan 5. Tanda awal atau

sudah terjadinya perburukan gejala didapati sewaktu aktivitas terutama dengan abduksi bahu. Kelemahan dan atropi dari otot intrinsik sering terlambat ditemukan. Gejala vaskular yang muncul adalah gangguan membedakan warna, demam, nyeri aktivitas, danRaynaud's phenomenon. Insidens laki-laki lebih sering terkena dibanding perempuan.

Diagnosis sulit ditegakkan, maka itu diperlukan beberapa pemeriksaan antara lain dengatAdson test didapatidenyut nadi melemah sewakfu menarik napas dalam dan dengan manuyer hiperabduksi di mana lengan diletakkan di atas

kepala, ditemukan penurunan denyut nadi yang

politisi). Terjadi pada usia antara 20-50 tahun dan lebih dominan dijumpai pada laki-laki, serta menyerang lengan yang dominan tetapi kadang-kadang dapat bilateral. Gejala klinis ditandai dengan nyeri lokal di sekitar epikondilus lateral humeri atau epikondilus medialis, tidak drjumpai hambatan pada pergerakan sendi. Kekuatan menggenggam

berkurang dan terjadi parestesia karena mekanisme persarafan di nervus radialis terganggu. Nyeri bertambah berat sewaktu dilakukan gerakan menggenggam dan lengan

bawah diekstensikan dengan posisi pergelangat tangan

dalam keadaan pronasi. Nyeri akan berkurang bila difleksikan lengan dan telapak tangan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, tes ekstensi dan menggenggam. Pengobatan dengan menghindari faktor pencetus atau penggunaan berlebihan pada otot lengan bawah, kompres dengan air dingin, imobilisasi dengan bidai mulai pergelangan tangan sampai siku, pemberian analgesik topikal maupun sistemik, OAINS, injeksi lokal kortikosteroid

di daerah epikondilus lateralis dengan anastesi lokal, fisioterapi dengan diatermi gelombang pendek, program

rehabilitasi dengan latihan khusus meregang dan menguatkan otot ekstensor lengan atas, tindakan tenotomi.

Bursitis olekranon . Pada bursitis olekranon, bursa yang menyelubungi prosesus olekranon membesar dan tender. Inflamasi dapat terjadi akibat pukulan langsung atau iritasi

diindikasikan adanya kompresi arteri. pemeriksaan seperti ini bisa dijumpai positip pada individu normal. Managemen terapi adalah secara konservatif; difokuskan dengan menjaga postur tubuh dengan baik, relaksasi otot sklaneus dan pektoralis, mobilisasi skapula dan pasang korset di daerah otot bahu, injeksi anestesi lokal bila dijumpai trigger point pada otot sklaneus antikus.

berulang yang disebabkan seringnya bersandar pada siku. Juga dapat terjadi sekunder akibat kondisi lain seperli artritis pirai atau artritis reumatoid, atau akibat infeksibrTaadaport d'entree bakteri.

Robekan Rotator Cuff, Robekan sporrtan rotator culfpada orang muda jarang drjumpai bila tidak didapati penyakit

berulang dan pemberian antibiotik.

yang mendasarinya, dan biasanya dihubungkan dengan trauma (terjatuh). Mengetahui adanyarobekan yang kecil atau parsial (menyingkirkan inflamasi) sulit. Pengobatan sama dengan rotator cuff tendinitis.

Jari dan Tangan

Harus dilakukan aspirasi bursa dan setelah infeksi disingkirkan harus dilakukan injeksi kortikosteroid ke dalam sakus. Bursitis septik perlu dilakukan aspirasi

Stenosing Tenosinovitis/Trigger finger

(jari pelatuk).

Stenosing tenosynovitis atau jari pelatuk adalah merupakan

inflamasi samng pembungkus tendon fleksor jari tangan.

Akibatnya beberapa jari-jari tatgan tidak dapat Siku Epikondilitis Lateral (Tennis Elbow) dan Epikondilitis Medial (Golfer's Elbow). Keadaan ini ditandai dengan ciri khas nyeri lokal subakut atau kronik padabagian medial atau lateral sendi siku (regio epikondilus). Timbul akibat gerakan fleksi dan ekstensi pergelangan tatgal berulang serta rotasi dan supinasi lengan bawah. Karena gerakan

tadi terjadi secara simultan dan berulang, maka timbul

inflamasi dan degenerasi didaerah otot ekstensor dan fleksor khususnya tendon ekstensor dan fleksor carpi radialis brevis. tendinitis lateral umumnya timbul pada mereka yang menggunakan lengannya secara berlebihan, misalnya mengangkat beban berat, gemar berkebun, pemain tenis atau golf, tukang cat, tukang las,tukang ka1u, dokter

gigi, terlalu sering berjabatan tangan (para pejabat

atau

diekstensikan karena sudah terkunci oleh proses metaplasia kartilago membentuk nodul yang terperangkap pada daerah hbrotik samng tendon sendi metakarpofalangeal. Gambaran klinis sangat bervariasi tergantung kepada tendon mana yang terlibat. Dijumpai adanya nyeri lokal pada jari yang terkena, gerakan makin lama makin kaku sampai suatu saat jari tak dapat diluruskan kembali yang terasa terutama pada malam hari serta kadang-kadang dapat

muncul bengkak. Tenosynovitis bisa salah interpretasi sebagai artritis di daerah pergelangan tangan. Penyakit ini dapat timbul akibat penggunaan tangan berlebihan atau berulang, episode trauma pada telapak tarrgar-, terkait dengan osteoartritis atau rematoid atritis di tangan dan mnngkin disebabkan penyakilpenyakit idiopatik. J ai yang sering terkena adalah jari manis dan ibu jari dan bila terjadi

2701

REUMATIK EKSTRA ARTIKULAR

pada ibu

jari disebut trigger thumb (ibu jari pelatuk). Bila

terkena pada > 3 jari tar.gar,, mungkin dapat dipertimbangkan kaitannya dengan diabetes dan hipotiroid. Pengobatan adalah dengan mencegah

penggunaan tangan yang berlebihan, imobilisasi jari tangan dengan pembidaian dalam posisi ekstensi selama 10 hari,

fisioterapi dengan ultrasound, OAINS, injeksi infiltrasi kortikosteroid di sarung tendon, operasi dengan insisi transversal bila sangat perlu Tenosinovitis De Quervain. Adalah peradangan pada sarung tendon pergelangan tangan yang melibatkan abduktor polisis longus dan ekstensor polisis brevis yang menimbulkan nyeri lokal pada bagian radial pergelangan tangan. Keadaan ini sering kali diakibatkan oleh aktivitas berulang atau penggunaan berlebihan dati ibu jari dan pergelangan tangan atau muncul setelah kehamilan. Sering terjadi pada ibu-ibu yang mengangkat bayinya dan pada orang yang menggunakan tangan dengan aktivitas yang berulang seperti menyulam, menjahit, berkebun dan pekerjaan tangan lainnya yang menggunakan jarum atau rajutan, mengupas buah-buahan. Gejala klinis yang muncul adalah nyeri pada punggung pergelangan tangan, menjalar ke ibu jari dan lengan atas sisi radial. Pada pemeriksaan dapat dijumpai pembengkakan tendon di daerah prosesus stiloideus radii, panas dan merah. Sedangkan keluhan yang sering dikemukakan pasien adalah benda yang dipegang

sensasi geli makin menjadi pada saat mengefuk, memeras, menggerakkan pergelangan tangan. Nyeri bertambah hebat pada malam hari sehingga terbangun dari tidur (nocturnal pain). Kadang kala pergelangan tangan terasa diikat ketat

dan kaku gerak. Selanjutnya kekuatan tangan menuflln,' kaku dan terjadi atropi tenar. Pekerjaan yang berisiko menyebabkan sindrom carpal tunnel yaitttpenjahit, peke{a gannen, juru tulis, juru ketik, penyortir surat, tukang cuci pakaian, operator komputer. Beberapa pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosis penyakit irii adalah tes provokasi (phalen /esl positip) yaitu nyeri bertambah dengan ekstensi maksimal atau fleksi maksimal pergelangan tangan selama 60 detik. Tinnel\ sign yaifi perkusi ringan pada n.medianus pergelangan tangan timbul rasa nyeri yang menjalar ke lengan dan jari I, II, [I. Tes tomiket positifyaitu

pemasangan tensimeter pada lengan atas dan dipertahankan selama 60 detik di atas tekanan sistolik kemudian dilepaskan, mengakibatkan rasa seperti ditusuk-

tusuk jarum pada pergelangan tangan. Pemeriksaan elektromiografi juga dapat menunjukkan gangguan n.medianus. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis, tinnel b sign, phalen b /esl, tes tomiket dan elektromiografi' sangan bidai pada

injeksi lokal kortik area

carpal tunnel, bila terapi konservatif gagalmaka

dilakukan pembedahan.

terlepas sendiri dari genggaman tangannya. Diagnosis disangkakan dengan menggunakan tes Finkeilstein yaitu

nyeri bertambah dengan aduksi ibu jari deviasi ulnar.

Pengobatan dengan imobilisasi dengan pembidaian, injeksi

lokal kortikosteroid pada sarung tendon, OAINS, insisi sarung tendonbilaterapi konservatif sslama 4 minggu gagal.

Sindrom carpal tunnel. Sindrom carpal tunnel adalah penyebab parestesia dan mati rasa yang paling sering mengenai jari tangan pertama (ibujari), jari kedua, jari ketiga dan jari keempat yang disebabkan oleh kompresi nenT rs

medianus melalui terowongan (tunnel) karpal oseosa fibrosa. Pada pergelangaltalrga\ nerl'us medianus dan tendon fleksor berjalan melewati suatu terowongan yang berdinding kaku di mana di bagian dorsal dan sekitarnya dibatasi oleh tulang karpal dan di bagian volar dibatasi oleh ligamen karpalia transversal. Pada keadaan dimana te{adi penebalan ligamen karpalia transversal, adanya nodul seperti pada rematoid artritis adanya retensi cairan pada perempuan hamil dapat menyebabkan kompresi nervus medianus. Penyakit ini sering dihubungkan dengan kehamilan, ederna, trauma, osteoartritis, inflamasi artritis,

gangguan infiltratif (amiloidosis), hipotiroid, DM, akromegali, penggunaan kortikosteroid dan estrogen. Gejala klinis yang ditimbulkan diawali dengan gangguan sensasi rasa seperti parestesia, mati rasa, sensasi rasa geli

dan jari tengah (persarafan pada jari-jari tersebut, dapat nyeri Timbul n.medianus). tangan. Mati rasa dan telapak dan pada tangan terjadi

pada ibu

jari, telunjuk

Panggul Bursitis Trokanterik. Bursitis adalah peradangan bursa yang terjadi pada tempat perlekatan tendon atau otot dengan tulang oleh sebab yang belum diketahui dengan jelas. Gejala utama bursitis yaitu nyeri, pembengkakan lokal, panas dan merah. Meskipun sering, bursitis trokanterik kerap kali tidak terdiagnosis. Penyakit tersebut dominan muncul pada usia pertengahan hingga usia tua dan sedikit lebih sering didapati pada perempuan dibanding laki-laki. Gejala utamanya adalah nyeri di daerah trokanter mayor, nyeri tekan di atas daerah panggul lateral dan dapat menjalar kebawah, ke kaki atau lutut. Rasa nyeri terutama

dirasakan pada malam hari dan bertambah nyeri kalau dibengkokkan, rotasi internal atau kalau mendapat penekanan. Nyeri secara intensif dirasakan sewaktu berjalan,

gerakan yang bervariasi dan berbaring pada sisi yang

terkena. Serangan bisa akut tetapi lebih sering secara bertahap, dengan gejala-gejala yang timbul didapati berbulan-bulan. Pada kasus kronis, pasien bisa mengemukakan perasaan nyeri pada lokasi tersebut dan klinisi sering kali gagal mengetahui penyakit tersebut sehingga terlambat untuk dikoreksi. Adakalanya, nyeri bisa menyerupai radikulopati, menyebar di daerah bagian lateral paha. Cara terbaik mendiagnosis bursitis trokanterik adalah

dengan mempalpasi area trokanterik dan dijumpainya tenderness point.Nyerr spesifik didapat dengan tekanan yang dalam di area trokanterik. Perburukan nyeri bisa

2702

dijumpai dengan gerakan rotasi eksterna dan abduksi melawan tahanan. Patogenesis yang berperan adalah foauma lokal dan degenerasi, pada beberapa kasus bisa dijumpai dengan kalsifikasi. Keadaan yang dapat memberi kontribusi terhadap kejadian bursitis trokanterik yaitu adanya penyakit

penyefta pada lokasi tersebut seperti OA panggul atau lumbar spin dan skoliosis. Pengobatan dengan injeksi lokal kortikosteroid, NSAID, menurunkan berat badan, memperkuat dan meregang otot gluteus medius dan iliotibial.

Bursitis illiopsoas (Illiopectinial). Bursa illiopsoas

REI,JMIIiIOI.OGI

Kistapopliteal kerapkali timbul sekunder dari penyakit RA, OA dan gangguan intemal lutut. Klinis yang muncul berupa pembengkakan yang difus dari betis, nyeri, kadang-kadang timbul eritema dan edema dikaki. Konfirmasi dengan ar-

throgram lutut bisa mengetahui adanya kista dan kemungkinan diseksi atau ruptur. (Jltrasound dipakai membantu menegakkan diagnosa dan memonitor perkembangan penyakit. Jika diperlukan, venogram bisa menyingkirkan kemungkinan adanya tromboflebitis. Terapi dengan injeksi lokal kortikosteroid di daerah sendi lutut biasanya cepat mendapat perbaikan dan jika kista timbul akibat OA atau gangguan internal lutut dapat dilakukan

berbatasan; di belakang dengan otot illiopsoas, di anterior dengan sendi panggul, di lateral dengan pembuluh femoral. Prevalensinya dijumpai I 5% dari seluruh gangguan regional

pembedahan dengan memperbaiki lesi sendi guna

panggul. Nyeri dijumpaipada sendi paha dan anterior paha apabila bursa sudah terlibat dan dapat menjalar sepanjang

B

tungkai dan lutut. Nyeri bertambah berat dalam keadaan hiperekstensi pasif dan panggul dan kadang-kadang pada keadaan fleksi terutama dengan adanya tahanan. Guna mengurangi nyerinya, pasien memilih posisi fleksi dan rotasi

ekstemal panggul. Diagnosis dikonfirmasi dengan adanya riwayat trauma atau inflamasi artritis, gejala klinis, foto polos dan injeksi zat kontras ke daerah bursa atau dengan MRI. Secara umum bursitis illiopsoas respons terhadap terapi

konservatif termasuk dengan inj eksi korlikosteroid, eksisi dari bursa dapat dilakukan bila terjadi rekurensi penyakit.

ursiti s is c hi al (I s c h io g I ute al). adalah peradangan burs a yang disebabkan oleh trauma atau duduk yang berlama-

B

lama pada kursi yang keras (weaver's bottom). Gejala klinis yang utama yaitu adanya nyeri pada bokong (pantat) dan

nyeri sering bertambah berat dalam keadaan duduk atau tidur telentang dan dapat menjalar ke belakang paha. Tbndetuess point dapat dijumpai di daerah tuberositas iskial. Terapi dengan memakai bantal sebagai alas untuk duduk dan injeksi kortikosteroid biasanya dapat membantu.

mencegah rekurensi kista.

ursitis unserlna Bursitis anserina sering disalahtafsirkan sebagai OA lutut pada orang dewasa. Tampak dominan

pada perempuan bertubuh gemuk, dijumpai pada usia pertengahan hingga usia tua dan sering didapati bersamaan

dengan OA lutut. Klinis yang muncul yaitu rasa nyeri, tendentess, kadang-kadang membengkak dan terasa panas di bagian medial inferior dan distal garis sendi lutut. Nyeri

bertambah berat bila naik tangga. Cedera (trauma), penggunaan berlebihan dan infl amasi merupakan penyebab dari kasus ini. Cedera bursa anserina terjadi karena tekanan 3-5 cm ke arah distal pada medial artikular line dansemal
parah bila lutut difleksikan. Terapi dengan istirahat,

peregangan otot adduktor dan kuadrisep, injeksi kortikosteroid di daerah bursa. B wsitis

prepatelar (Housemaid's knee). Manifestasi klinis

berupa bengkak superfisial pada tempurung lutut diakibatkan oleh trauma yang berulang-ulang. Keluhan yang khas pada lutut yaitu rasa nyeri sewaktu berlutut, terasa kaku, bengkak dan memerah pada bagian anterior lutut Qtatella). Penyebab yang paling sering karena lutut sering bertumpu pada lantai. Terapi dengan melindungi lutut

Lutut

dari trauma.

Beberapa struktur jaringan lunak di sekitar sendi lutut berpotensi menimbulkan nyeri. Tendonitis dan bursitis seringkali berkaitan dengan OA lutut atau penyakit artritis lainnya seperti RA. Contoh-contoh kasus misalnya kista

Tendinitis palellar. Tendinitis patellar atau Jumper's knee dijumpai predominan pada atlit yang harus berlari, melompat dan menendang berulang. Nyeri dan tenderness dijumpai di daerah tendonpatella. Pengobatan mencakup istirahat, OAINS, es, knee bracing dan stretching dan penguatan

popliteal atau Baker, bursitis anserina dan bursitis prepatellar atau "housemaidb knee." Kadang-kadang, penting untuk menyingkirkan adanya infeksi terutama bila tanda-tanda inflamasi jelas terlihat (misalnya rasa hangat

kuadriseps dan otot harmstring. Injeksi kortikosteroid biasanya dikontraindikasikan oleh karena risiko ruptur. Diperlukan tindakan bedah pada beberapa kasus.

dan kemerahan). Kista popliteal (Kista Baker). Penyakit ini harus diwaspadai

Kaki dan Pergelangan

kemungkinan suatu diseksi atau ruptur. Terlihat adanya

Tendonitis achilles. Biasanya akibat trauma, aktivitas

pembengkakan lutut yang ringan mungkin merupakan tanda awal penyakit, berlanjut dengan distensi kista dan rasa tidak

berlebihan pada atlit, penekanan sepatu yang terlalu sempit, dorsofl eksi tiba-tiba dan infl amas i (anlqtlosing spondyli-

nyaman di lutut terutama dalam keadaan fleksi dan ekstensi penuh. Kista terlihat jelas sewaktu pasien berdiri dan diperiksa dari belakang. Dijumpai adanya penimbunan cairan atau efusi sinovial di antara sendi lutut dan bursa.

tis, Reiter's syndrome, gout, RA). Pada pemeriksaan tendon achilles, tampak pembengkakan, nyeri tekan dan nyeri pada gerakan dorsofleksi serta teraba krepitasi tepat di atas kalkaneus. Nyeri terasa pada pergerakan aktifdan

2703

REUMATIK EKSTRA ARTIKULAR

pasif. Terapi dengan istirahat, OAINS, koreksi keadaan danukuran sepatu, meninggikan tungkaibawah waktu tidur, fisioterapi, inj eksi kortikosteroid dapat mernperburuk keadaan berupa ruptur tendon.

Fssiitis Plantaris. Merupakan salah bentuk entesopati, di mana terjadi inflamasi tempat insersi fasia plantaris pada kalkaneus. Sering terjadi pada usia 40 sampai 60 tahun dengan karaktenstik nyeri p ada areaplarfiar tumit. Serangan biasanya bertahap atau diikuti beberapa trauma atau

penggunaan berlebihan pada aktivitas atletik, berjalan terlalu lama dan memakai sepatu yang tidak sesuai. Nyeri karakteristik terjadi pada pagi hari dan bertambah berat waktu berjalan beberapa langkah. Setelah pemulihan awal, nyeri bisa memburuk di lain hari kemudian, khususnya setelah berdiri atau berjalan lama. Palpasi yang tipikal dirasakan di anteromed ial pada tuberkel kalkaneus medial dari fascia plantaris. Secara umum pemeriksaan radiologis tidak menunjukkan kelainan. Terapi dengan mengurangi stres aktivitas, OAINS, memakai pembalut tumit, injeksi lokal kortikosteroid dan tindakan operasi.

Gangguan Dinding Dada Anterior Nyeri dinding dada akibat gangguan muskuloskeletal sering sekali dijumpai. Nyeri juga dapat berupa nyeri menjalar ke dada sebagai akibat penyakit pada tulang servikal atau torakal. Ada 2 keadaan yang termasuk ke dalamnya yait:u Tietze's Syndrome dan kostokondritis.

Karakteristik keduanya adalah tenderness dari tulang rawan kosta. Keduanya dibedakan dengan adanya pembengkakan lokal pada sindrom Tietze tetapi tidak pada

kostokondritis. Biasanya penyakit dapat menyembuh sendiri. Pengobatan terdiri dari menenangkan hati, terapi panas, peregangan otot dinding dada atau injeksi lokal lidokain atau kortikosteroid ataupun keduanya.

PENATALAKSANAAN UMUM

Terapi Obat Obat oral yang diberikan antara lain OAINS dan analgetik. OAINS mengurangi inflamasi dan nyeri. Sebagai tambahan untuk mengatasi nyeri dapat ditambahkan analgesik seperti

asetaminofen. Penatalaksanaan komprehensif harus

Fibrositis

dilakukan tidak hanya dengan pemberian obat oral tetapi

Fibrositis adalah peradangan pada jaringan ikat terutama

juga harus dievaluasi aspek penyebabnya dan dilakukan

pada batang tubuh dan anggota gerak, sehingga

modihkasi aktivitas.

memberikan gejala kekakuan dan perasaan nyeri pada otot dan insersi tendon, tetapi tanpa ditemukan tanda objektif lokal yang lain. Rasa kekakuan temtamaterjadipadapagi hari, yang berlangsung selama kira-kira 30 menit yang diikuti kelemahan umum, bangun pagi yang kurang terasa

segar dan badan terasa capek. Patogenesis fibrositis dihubungkan dengan timbulnya edema pada serat otot dan spasme otot akibat proses hipertonik otot. Penyakit ini lebih banyak drjumpai pada usia tua, di mana perempuan dua kali lebih sering dari pada pria. Fibrositis di negara Barat dijump ai pada 23%o pasien kelainan muskuloskletal, sedangkan di Asia 2l-31%. Terdapat tempat-tempat predileksi terjadinya gejala klinik fibrositis, di antaranya jaringan ikat subkutan, tempat insersi otot, aponeurosis otot fascia, ligamen dan tendon terutama pada daerah trapeziusbagian tengah, iga kedua pada pertemuan antara bagian rawan dengan ttrJang, epicondylus lateralis l-2 cm distal, origo m. supraspinatus dekatpertengahan skapula, daerah vertebra servikalis bawah, daerah vertebra lumbalis (L4-S 1), bagian atas lateral m. gluteus medius, Untuk menegakkan diagnosis fibrositis, selain tempat

predileksi tersebut di atas juga dipakai kiteria: nyeri dan kekakuan lebih dari 3 bulan, nyeri tekan lokal, tender point, titik nyeri pada tempat yang berbeda, perheriksaan

laboratorium dan radiologis normal, kepribadian perfeksionis. Pengobatan dapat berupa pemberian OAINS, diazepam, pemanasan, massage, ralgsangan listrik, latihan fisik, sikap tubuh yang benar sewaktu duduk dan berdiri, psikoterapi dan darmawisata/berlibur.

lnjeksi lntra Lesi Injeksi kortikosteroid, lidokain lokal biasanya bermanfaat untuk REA. Prinsip dasar injeksi intralesi mencakup teknik aseptik, penggunaan jarum ukuran kecil (25 gauge). Penggunaan kortikosteroid yang lebih larut dalam air akan

mengurangi kemungkinan kelemahan tendon yang diinduksi oleh kortikosteroid atau kemerahan pasca injeksi.

Terapi Fisik Tujuan terapi ini adalah meningkatkan fleksibilitas dengan peregangan, meningkatkan kekuatan otot dengan latihan resistif. Modalitas panas dan dingin akan menghilangkan nyeri dan merelaksasi otot. Tetapi matfaat jatgkapanjang masih dipertanyakan.

REFERENSI Adnan M. Reumatik non artikuler. Simposium RNA. Semarang. Oktober 1987;8-14 Badsha H. Soft tissue rheumatism and joint injection techniques for family physicians. The Singapore Family Physician. 2002;28(2):

t9-27. Biundo JJ. Regional rheumatic pain syndromes ln: Klippel JH. Editor. Primer on the rheumatic diseases. 11'h Ed. Atlanta: Arthritis Foundation; 1997. p.136-48. Celiker R. Nonarticular rheumatism physiopathology and rehabilitation. Hacettepe University, Faculty of Medicine, Departmenl of Physical Medicine and Rehabilitation

2704

REI,IMIIilOI.OGI

Clauw DJ. Fibromyalgia. In: Ruddy S, Harris ED, Sledge CB. Editors.

Kelley's textbook of rheumatology. Saunders Company; 2001. p. 417-27.

Effendi Z, Isbagio H, Setiyohadi B. Sindrom fibromialgia. Dalam: Noer S, Waspadji S, Rahman AM, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 1, Edisi ke 3. Jakarta: Balai penerbit FK UI; 1996

h.

9'7 -107

.

Freundlich B, Leventhal L. Diffuse pain sy,ndromes. In: Klippel JH. Editor. Primer on the rheumatic diseases. llh Ed. Atlanta: Arthritis Foundation; 1997. p.123-6. Jhon J, Peter E. Disorders of the joints. In: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, et al, editors. Harrison's principles of internal medicine. 14th Ed. New York: Mc Graw Hill; 1998. p.1928-35 Katz JN, Simmons BP. Carpal tunnel syndrome. N Engl J Med.

2002;23:

eds. eMedicine. Last updated November 17,2004. Available from

6th Ed. Philadelphia: WB

1807-12.

Muller D. Non articular rheumatism /regional pain syndrome. In: Wolf RE, Talaver F, Diamond H, Mechaber AJ, Weinstein A

cited on April 200s Nasution AR, Harry Isbagio. Penyakit reumatik di Indonesia Buku

Naskah Lengkap Kongres Nasional

I Ikatan

Reumatologi

Indonesia. Ikatan Reumatologi Indonesia. Semarang, 1983 Price GE. Rheumatology 6 - Localized rheumatism. In: Esdaile JM (ed). Clinical Basics. Canadian Medical Association Joumal.2000; 163

(2): 116-83 Padang C, Nasution AR. Inflamasi ekstra-artikuler. Maj. Kedok Indon. 1992; 4 OK Moehad Sjah. Reumatik ekstra artikuler. Dalam: Setiyohado B, Kasjmir YI, Mahfudzoh S, editor. Naskah lengkap Temu Ilmiah Reumatologi 2000. 62-9 (42): 199-203 Vischer TL. Non articular rheumatism. In: Dieppe PA, Bacon PA, Bamji AN, Watt I eds. Atlas of clinical rheumatology. New York: Gower Medical Publishing; 1986. p 20.02-14

413 GANGGUAN MU SKULOSKELETAL AKIBAT KERIA Zuljasri Albar

PENDAHULUAN Dalam melaksanakan pekerjaannya, seseorang dapat saja terkena gangguan atau cedera. Kebanyakan cedera akibat

per tahun. Insidens ini sangat meningkat dibandingkan dengan insiden pada dekade yang lalu. Beberapa hal yang mungkin menyebabkannya ialah perkembangan teknologi ditempat kerja, perbaikan ketepatan diagnosis

kerja biasanya mengenai sistem muskuloskeletal.

dan pelaporan kasus, bertambahnya kesadaran pekerja akan hak-haknya dan tuntutan terhadap pekerja untuk melakukan lebih banyak tugas dengan lebih cepat dalam waktu yang lebih singkat.

bermakna dalam timbulnya gangguan tersebut.

Faktor-faktor yang berperan dalam timbulnya MSD dapat dibagi dalam 2 golongan besar : . Faktorfisik/biomekanika

: Gangguan muskuloskeletal (Musculoskeletal disorders (work-related) MSD) dianggap berkaitan dengan kerja jika lingkungan dan pelaksanaan kerja berperan secara Dengan demikian, jelas bahwa gangguan muskuloskeletal yang berkaitan dengan kerja dapat dibedakan dari penyakit

akibat kerja (Occupational disease), dimana penyakit akibat kerja mempunyai hubungan sebab-akibat langsung altara suatu bahanlbahaya dengan suatu penyakit yang spesifik (misalnya asbestos dengan

..

Faktorkimia,/biokimiawi

Dari ke dua faktor ini, yang lebih sering berperan ialah

faktor fisik. Untuk selanjutnya pembicaraan dititik-

asbestosis, silika dengan silikosis), sedangkan gangguan

beratkan pada gangguan muskuloskeletal akibat faktor

muskuloskeletal yang berkaitan dengan kerja tidak.

hsik.

Sebelum mengatakan bahwa kelainan yang ditemukan

benar-benar disebabkan oleh pekerjaan, sangat penting untuk menentukan apakah pada saat yang sama pasien juga mempunyai kegiatan lain yang mungkin merupakan predisposisi terhadap keluhan yang diderita sekarang. Di samping itu, penilaian bentuk pekerj aatyang

dilengkapi dengan kunjungan ketempat kerja memungkinkan pemeriksa menentukan hubungan kausal antara pekerjaan dengan cedera muskuloskeletal dengan lebih tepat.

EPIDEMIOLOGI Di Amerika Serikat, trauma kumulatif ( Car mul ativ e tr aum a disorders) merupakan penyebab lebih dari 50% penyakit akibat kerja dengan insidens 21 kasus per 100.000 pekerja

S ebelum membicarakan MSD lebih lanjut, ada beberapa istilah yang perlu kita pahami lebih dahulu, yaitu faktor rislkolOdds ratio (Ok), ergonomi dancumulative trauma disorders (CTD).

Faktor Risiko dan Odds Ratio Epidemiologi adalah pengetahuan tentang distribusi dan faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan pada populasi tertentu serta penerapan pengetahuan tersebut

untuk mengontrol masalah. Dari epidemiologi kita mengenal antaralainistllah Odds ratio (OR), yaitu rasio arfiara kasus dengan bukan-kasus yang terpajan terhadap suatu faktor risiko. Sebagai contoh, suatu OR sebesar 3.0 pada suatu penyakit terhadap faktor pajanan tertentu mempunyai arti bahwa faktor tersebut menyebabkan

peningkatan risiko terkena penyakit tersebut sebesar tiga kali.

2706

RELIvIA*IIOL.oGI

Faktor risiko yang berperan pada MSD . Jenis Industri

:

Angka MSD paling tinggi ditemukan pada industri pengepakan daging, selanjutnya perusahaan peraj utan

pakaian dalam, kendaraan bermotor dan pengolah

.

makananternak. Jenis Pekerjaan Tukang batu, tukang ka1u, tukang sulam dsb.

Fisik Beberapa keadaan seperti repetisi, beban dinamis/statis,

sikap/posisi tubuh, kurang istirahat dan sebagainya berperan sebagai faktor risiko timbulnya MSD pada leher, bahu, siku, pergelan gan tangan,sindrom terowongan

karpal, sindroma fibrasi lengan-tangan, nyeri pinggang sebagaimana telah diteliti dalam banyak penelitian.

Faktor risiko yang lebih spesifik, dilihat dari segi perorangan, fisik dan psikososial.

Psikososial Bagi kebanyakan dokter, istilah faktor psikososial sebenarnya tidak mempunyai batasan yang jelas.

Perorangan

Akibatnya banyak kebingungan dan kesalah-pahaman kalau membicarakan faktor ini. Ada 3 mekanisme yang

.

Kelainan pada ekstremitas atas

-

:

Umur. Jenis kelamin

:

banyak penelitian yang menunjukkan

bahwa prevalensi MSD pada wanita lebih tinggi daripada pria.

-

Berat badan : berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh dan obesitas telah dilaporkan

diduga berperan dalam hubungan antara faktor psikososial dengan MSD. Salah satu di antaratyaialahbahwa tuntutan psikososial mungkin melebihi mekanisme penyesuaian diri pasien, sehingga menimbulkan respons stres. Respons stres ini akan meningkatkan tegangan otot atau beban otot dalam keadaan statis.

meru-pakan faktor risiko potensial terhadap

.

timbulnya sindrom terowongan karpal. Nyeri pinggang : - Umur : Nyeri pinggang bukan merupakan masalah kesehatan yang terbatas pada pekerja usia lanjut

-

saja. Statistik menunjukkan angka tertinggi p adapia ialah pada usi a 20 -24 tahun, pada wanita usia 3 0-3 4 tahun. Dilain pihak, osteoporosis yang merupakan penyebab spesihk nyeri pinggang jelas berkaitan dengan bertambahnya usia. Jenis kelamin : Ternyata prevalensi nyeri pinggang pada pria sama dengan wanita. Tingkat sosial-ekonomi : Nyeri pinggang lebih sering pada pasien dengan tingkat sosial-ekonomi yang rendah, mungkin karena pekerjaan yang memerlukan kegiatan fisik yang berat lebih sering dilakukan oleh

pekerja yang tingkat sosial ekonominya lebih rendah.

-

Tinggi dan berat badan : Berat badan, indeks massa

tubuh dan obesitas merupakan faktor risiko

-

-

-' -

terhadap timbulnya nyeri pinggang.

Riwayat kesehatan : riwayat sakit pinggang atau

Ergonomi Ergonomi ialah studi tentang tingkah laku dan aktivitas manusia yang bekerja dengan menggunakan mesin atau peralatan mekanik dan listrik. Dengan perkataan lain, ergonomi ialah studi mengenai hubungan antara manusia dengan mesin, berdasarkan data yang diperoleh dari bidang

engineering, biomekanika, fisiologi, antropologi dan psikologi. Tugas ahli ergonomi ialah merencanakan atau memperbaiki tempat ke{a, perlengkapan dan prosedur kerja para pekerja guna menjamin keamanan, kesehatan dan

keberhasilan perorangan maupun organisasi secara efisien. Cu mu lative Trau ma Disorders (CTD) : Gangguan muskuloskeletal akibat kerja lebih sering

mengenai ekstremitas atas, punggung dan leher. Biasanya timbul akibat aktivitas yang berulang-ulang dalam jangka waktu lama. Istilah repetitive stress injury dan cumulative trauma disorders digunakan untuk melukiskan suatu spektrum kelainan yang luas, banyak di antaranya mirip dengan chronic overuse syndrome pada atlet. Otot yang aktifmelakukankegiatan berulang-ulang dan otot lain yang harus tetap berkontraksi dalam jangka waktu lama untuk

ischialgia merupakan salah satu faktor prediktif yang dapat diandalkan untuk terjadinya nyeri pinggang yang berkaitan dengan kerja.

mempertahankan ekstremitas yang tidak ditopang oleh

Merokok : postulasi yang diajukan ialah bahwa

peralatan kerja sangat rentan terhadap kelelahan otot dan

nikotin mengurangi aliran darah kejaringan yang vulnerable. Di samping itu batuk akibat merokok

robekan mikroskopis,

mengakibatkan strain mekanik. Kebugaran tubuh dan latihan : masih terdapat pro dan kontra dalam hal ini. Kekuatan : Sebagian peneliti berpendapat bahwa berkurangnya kekuatan otot fleksor dan ekstensor

tubuh merupakan akibat nyeri pinggang, bukan merupakan penyebab.

yalg selanjutnya diikuti

oleh

inflamasi, edema dan gangguan fungsi.

KELUHAN DAN GEJALA Contoh bentuk kegiatan atau situasi tempat kerja yang dapat menyebabkan gangguan muskuloskeletal dapat dilihat di bawah ini :

2707

GANGGUAN MUSKULOSKELETAL AKIBITT KERJA

Stres Fisik Akibat Tempat Kerja atau Peralatan yang Buruk Untuk mengatasinya diperlukan data antropometri. Tindakan yangdapat dilakukan misalnya : . Perbaikan disain dan tempat ke{a untuk menghindarkan gerakan pinggang yang berlebihan, menghindarkan posisi yang statis baik posisi tubuh maupun posisi ekstremitas dalam memegang. Kontraksi otot yang berlangsung lama serta pemakaian yang berulang-ulang

sering mencetuskan kelelahan otot yang berkaitan

dengan menurunnya kekuatan, kordinasi dan kemampuan mempertahankan aktivitas. Ini telah terbukti pada situasi kerja dimana lengan dipertahankan pada posisi yangjauh dari tubuh tanpa penopang. Keadaan ini misalnya ditemukan pada pekerja pabrik perakitan mobil, montir dan tukang listrik yang sering mengerjakan sesuatu lebih tinggi daripada kepala mereka sambil memegang peralatan yang berat. Contoh lain, peke{a yang selalu dalam sikap tubuh yang statis dan harus mempertahankan lengan dalam posisi abduksi atau ekstensi dalam jangka waktu lama atau harus mempertahankan posisi leher yang diulur kedepan

ada tidaknya beban. Dapat terjadi penekanan saraf ditempat-tempat terlentu. Pada ekstremitas atas misalnya penekanan n.medianus pada pergelangan tangan (sindrom

terowongan karpal) dan n.ulnaris pada siku (sindrom terowongan siku). Cedera langsung terhadap sarafini dapat juga terjadi akibat tekanan dari luar yang berulang-ulang. Beberapa contoh CTD : . Sindrom Terowongan Karpal Salah satu cedera muskuloskeletal akibat kerja yang sering ditemukan ialah sindroma terowongan karpal. Pasien mengeluh adanya rasa tingling pada jati 1,2 dan 3 yang dapat membangunkan merekamalam hari. Mereka juga merasakan gangguan memegang dan spasme pada ke tigajari tersebut. Pada pemeriksaan didapatkan uji Tinel dan uji Phalen positip, atrofi otot thenar, parestesi sepanjang daerah yang dipersarafi n.medianus. Jika

pemasangan bidai malam hari, pemberikan obat antiinflamasi nonsteroid dan suntikan steroid lokal tidak dapat menghilangkan nyeri dan terdapat pula kelainan elektromiografi , perlu dipertimbangkan release

terowongan karpal dengan operasi atau melalui

akan menderita sindrom neck torsion. Sindrom ini ditandai oleh nyeri sepanjang segmen paravertebra tulang serfikal yang memanjang ke otot trapezius' Pada

pemeriksaan didapatkan spasme otot trapezius bilateral, nyeri raba daerah yang terkena, berkurangnya gerakan leher dan nyeri pada gerakan maksimum.

.

Perbaikan disain perlengkapan, misalnya mesin.

Kelelahan dan NyeriAkibat Tempat Duduk yang Kurang Baik. Dapat timbul keluhan berupa nyeri gluteus, nyeri pinggang

dan nyeri punggung. Trau ma Ku m u latif (C u m u I ative trau m a d i so rders) : Merupakan penyebab terpenting. P ada cumulative trauma disorders (CTD) terdapat faktor risiko berupa : . Aktivitas yang berulang-ulang, misalnya mengetik. . Beban yang berat. . Posisi sendi yang tidak wajar. . Tekanan langsung.

. .

Getaran.

Aktivitas statis atau posisi terpaksa yang lama,misalnya mengelas.

Insiden keluhan dan cedera muskuloskeletal meningkat jika terdapat} atau lebih faktor risiko.

secara bermakna

Cumulative trauma disorders mencakup spektrum

kelainan yang luas. Terdapat perbedaan faktor predisposisi, gejala klinis serta pengobatan dan hasil pengobatan pada masing-masing gangguan. Cedera saraf perifer akibat sikap tubuh yang abnormal pada berbagai situasi dan lingkungan kerja sering ditemukan. Mungkin terjadi hipertrofi atau hipotrofi otot bergantung kepada

. . .. . .

endoskopi. Harus diingat bahwa 25o/o pasiet sindrom terowongan karpal juga mempunyai keluhan cedera jaringan lunak lain seperti tendinitis pada berbagai tempat atau malah penekanan saraf perifer lain. Epikondilitis. Ganglioma.

Neuritis jari-jari.

Tenosinovitis ekstensor/fleksor jari tangan (Trigger finger).

Tenosinovitis De Quervain. Yang khas, tendinitis berkaitan dengan rasa tidak enak setempat yang bertambah bila dilakukan peregangan

pasif unit tendo-otot yang bersangkutan. Sering terdapat kelemahan yang pain-induced, krepitasi sepanjang tendo dan pembengkakan didaerah subkutan.

. Di samping

itu terdapat kelainan yang batasannya kurangjelas seperti keluhan punggung atau paraspinal yang difus, rasa tebal dan letih atau lemah' Sebagian besar pasien mempunyai beberapa faktor risiko. Sikap abnormal tubuh yang berlangsung lama mengakibatkan

ketidak seimbangan otot dan meningginya tekanan pada saraf perifer yang dapat mencetuskan kompresi saraf multilevel dengan keluhannya. Diperlukan pemeriksaan yang lebih luas terhadap pasien dan tempat kerjanya karena sangat mungkin banyak faktor yang berperan. Evaluasi sikap dan posisi tubuh pasien dalam bekerja sering memperlihatkan kekurangan dalam hal tempat duduk dan penempatan peralatan kerja. Di samping itu, dengan mengamati pasien ditempat kerja dapat diketahui

otot mana yang memegang peranan utama dalam melaksanakan pekerjaan dan otot mana yang merupakan penunjang kegiatan.

2708

REI,JMIIiIOI.OGI

Cumulatiye trauma

dis

orders menimbulkan kerugian

PENATALAKSANAAN

besar akibat hilangnya produktifitas dan biaya kompensasi

yang harus dibayarkan perusahaan. Meskipun demikian, CTD umumnya dapat dicegahmelalui penilaian lingkungan kerja yang tepat oleh ahli ergonomi.

Akibat Kegiatan Fisik yang Dasarnya adalah Mengangkat, Mendorong dan Menarik Beberapa petunjuk untuk mencegah cedera akibat mengangkat:

. .

.

Beban yang diangkat tidak melebihi 50% batas kekuatan perorangan (Personal strength limit).

Menghindarkan gerakan berputar sambil membawa beban; jika memang perlu berputar, putarlah panggul. Dekatkan beban kearah tubuh jika mengangkat dsb.

Beberapa petunjuk untuk mencegah cedera akibat mendorong atau menarik: . Pastikan daerah dihadapan beban rata dan tidak ada yang menghalangi. . Beban sebaiknya didorong, bukan ditarik. Keuntungan lain ialah pandangan kearah gerakan dengan sendirinya

.

lebihbaik. Gunakan sepafu yang kuat mencekam.

Secara umum, pengobatan CTD dilakukan dengan mengistirahatkan bagian yang terkena dengan alat bantu seperti pemasangan bidai-malam, neck braces dan korset lumbal. Penanganan fase akut dapat berupa kompres es, obat antiinflamasi nonsteroid, suntikan steroid lokal dan perujukan ke ahli fisioterapi yang dapat memberi petunjuk

latihan peregangan dan penguatan yang tepat serta membimbing pasien melaksanakan program aerobik progresif untuk meningkatkan kebugaran tubuh secara menyeluruh. Tindakan pembedahan hanya dipertimbangkan jika semua tindakan konservatif gagal setelah dilaksanakan dengan sebaik-baiknya selama paling sedikit 3 bulan. Pengobatan CTD tidak terbatas pada tindakan medik terhadap keluhan saja, melainkan juga mencakup saran

perbaikan/perubahan pada tempat kerja untuk menghindarkan atau mengurangi cedera lebih lanjut, baik terhadap pasien maupun teman sekerjanya. Ergonomi, suafu cabang ilmu yang merencanakan kenyamanan sefta produktifitas maksimal dengan cedera minimal ditempat kerja telah berkembang menjadi bagian sangat penting dalam penanganan cedera ditempat kerja. Untuk mencegah berulangnya cedera, penilaian faktor

Gangguan Akibat Proses atau Bahan Kimia atau

Lain-lain Bahan kimia dapat mempengaruhi metabolisme tulang secara langsung, misalnya Cadmium menyebabkan

osteoporosis, pseudofraktur. Fluor mengakibatkan

risiko ditempat kerja memungkinkan diajukannya saran perubahan seperti menggunakat alat yang berbeda, mengurangi waktu beke4a ditempat dengan risiko tinggi dengan melakukan rotasi kerja atau menggunakan alat pelindung seperti bantalan dan bidai.

timbulnya daerah hipo- dan hipermineralisasi, eksostosis

pada tulang. Vinil klorida dapat menyebabkan akroosteolisis. Pembenhrkan gelembung nitrogen dalam

jaringan pada penyakit Caisson dapat menyebabkan gangguan aliran darah sehingga terjadi kelainan tulang

dan sendi.

Di

samping

itu dapat juga

mengganggu

koagulasi darah sehingga terjadi infark hipoksik pada sendi.

REFERENSI Rock MD : Sports and occupational injuries. Dalam Klippel lH (Ed.) Primer on the Rheumatic Diseases. Arthritis Foundation, , Atlanta, GA, 1ln ed., 1997, p 149-54. Hales TR, Bernard BP : Epidemiology of work-related musculoskeletal disorders. Dalam Orthopedic Clinics of North America.

27:4; 679-703, Oct 1996. Gassett RS, Heame

P!

Keelan

B : Ergonomics

and body mechanics

in the work place. Dalam Orthopedic Clinics of North America. 27 :4:861-877, Oct 1996. Ratti N, Pilling K : Occupational Medicine & Rheumatic diseases Back pain in the workplace. Brit J Rheumatol 16:260-264; 199'7.

414 FIBROMIALGIA DAN NYERI MIOFASIAL O.K. Moehad Sjah

PENDAHULUAN

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Sindrom fibromialgia adalah suatu bentuk reumatisme

Sampai suut i.ri etiologi dan patogenesis fibromialgia belum

nonartikular yang karakteristik dengan nyeri muskul oskletal kronik yang menyebar luas disertai rasa kelelahan dan ditandai dengan tender point pada penekanan pada otot,

gambaran histologis belum diketahui.8'l1 Penelitian selama

ligamen dan insersi tendon. Sir Wiliam Gowers 1904, pertama kali menggunakan istilah f,rbromiositis, kini istilah

tersebut ternyata kurang tepat. Berbagai nama lain kemudian berkembang dan dikenal sebagai sinonim dari

fibromialgia : soft tissue rheumalism, tendomiopati' miogelosis, neuroasthenia, muscular rheumatism' myalgic encephalomyelitis, dll.

Tahun 1977, oleh Smythe dan Moldofsky

memperkenalkan untuk pertama kali istilah f,rbromialgia sebagai suatu sindrom klinis dari gejala penyebaran nyeri

dan beberapa tanda tender point, disertai dengan gambaran karakteristik yang lain yaitu gangguan tidur,

diketahui secara pasti. Kelainan laboratorium dan 1

0 tahun

terakhir ini difokuskan pada faktor psikologi, faktor

yang menyebabkan gangguan tidur, nocciception, dan faktor neuroendokrin.

Benneth (2002) menyatakan bahwa sindrom fibromialgia s emata-mata adalah kelainan psikosomatik dan didapatkan sering bersamaan dengan kondisi ko-morbid yang lain seperti irritable bowel syndrome, hiporertsi postural, sakit kepala, migren, dysmenorchoe dan gangguan

tidur. Il Gangguan neuroendokrin yang berhubungan dengan

hipotalamus, kelenjar hipopisis anterior, dan kelenjar adrenal dikatakan mempunyai peran sebagai etiologi f,rbromialgia.

puncak insiden antara umur 20 tahun-60 tahun, terutama pada perempuan (lebih dari 75 % dibandingkan pria). Angka prevalensi pada perempuan3,40/o dan pria 0,5%. DiAmerika dilaporkan insiden sekitar 3-50%, Denmark

Faktor eksogen yang diduga sebagai penyebab antara lain: trauma, infeksi virus, bakteri atau parasit. Faktor genetik juga diduga mempunyai peran, di mana pasien fibromialgia sering bersamaan dengan penyakit autoimmun seperti: AR, SLE dan Sindrom Sjogren. Namun sampai saat ini etiologi dan patogenesis fibromialgia belum diketahui secara pasti. Kebanyakan

0,66o/o,Ftnlandia0,7Soh,Swedial,0o/o,Iermanl,9o/o,Afika Selatan 3,2o/o,Kanada3,3oh, Norwegia 10,5% dan New

yaitu:

kekakuan dan stres emosional. Insiden lrbromiatgia di seluruh dunia antara0,5o/o-12%o

dari seluruh populasi, mengenai seluruh usia dengan

Zealandl,loh. Dari seluruh penyakit muskuloskletal, Tai melaporkan bahwa insiden diAsia2l-39%, sedang di negarabarat23o/o.

Fibromialgia bukan merupakan suatu bentuk artritis karena tidak menyebabkan kelainan sendi, tetapi dapat muncul bersamaan dengan jenis artritis seperti artritis reumatoid, LES ataupun penyakit jaringan ikat lain. Pada pasien penyakit autoimun didapatkan sebanyak 20-25% diserlai dengan fibromialgia.

sasaran penelitian dipusatkan pada tiga keadaan

. . .

Gangguan tidur Perubahan otot dan Parameterpsikologi.

Gangguan Tidur Pasien fibromialgia sembilan puluh persen mengalami gangguan tidur. Diduga growth hormon dan prolaktin memegang peranan. Defisiensi growth hormon pada orang dewas a dapat dihubungkan dengan fibromialgia

2710

REI,JII,IATOI.OGI

ini. Sekitar 80% produksi gr owth hormon dikeluarkan pada tidur pada stage IY (non random eye movement sleep atal: restorative sleep). Stage IY didapatkan pada saat tidur yang paling dalam dan hal ini berhubungan dengan intensitas dan tidur yang cukup. Growth hormon juga

KLASIFIKASI

saat

menyebabkan hati membentuk suatu protein yang disebut somatomedin atau insulin like growth factor yang paling banyak dikeluarkan pada saat tidur yang dalam(stage IV). Bemeth dkk , (1992) mendapatkan kadar somatomedin yang rendah pada pasien fibromialgia dibandingkan group kontrol. Prolaktin juga dikeluarkan pada saat tidur panjang dalam dan diduga dapat meningkatkan efisiensi tidur. Kadar prolaktin drjumpai rendah pada pasien fibromialgia.

Serotonin dan triptopan juga pegang peranan. Triptopan adalah prekursor dari serotonin, suatu neurotransmiter yang juga berperan dalam regulasi tidur, dan jika kadar serotonin rendah dapat menimbulkan insomnia.

Perubahan Otot Growth hormon juga suatu peptida anabolik yang menstimulasi peningkatan sintesis DNA, RNA dan protein yang berperan pada pertumbuhan semua jaringan fubuh dan pada orang dewasa memegang peran penting pada homeostasis otot dalam hal memelihara otot yang normal dan perbaikannya akibat dari pemakaian sehari-hari dan kerusakan otot.

Pada fibriomialgia didapatkan kontraksi isokinetik dan isometrik otot berkurang serta penurunan kapasitas

aerobik otot dan aliran darah otot juga berkurang. Juga dijumpai penurunan kadar ATP dan ADP dan

Fibromialgia Primer Gambaran karakterstik fibromialgia tanpa diketahui penyebabnya atau penyakit yang melatarbelakangi.

Fibromialgia Sekunder Gambaran karakteristik fibromialgia yang diketahui penyebabnya atau penyakit yang melatarbelakanginya dan dapat merupakan manifestasi penyakit lain yang erat hubungannya dengan fibromialgia, dan ditandai dengan hilangnya keluhan hbromialgia setelah penyakit primemya teratasi.

Fibromialgia ReEional atau Terlokalisasi Nyeri miofasial terlokalisir yang disertai dengan trigger point,biasanya sekunder terhadap strain otot (pekerjaan berulang) sangat mirip dengan sindrom miofasial lokal, regional atau spesifik dan tidak memenuhi syarat kriteria untuk fi bromial gia primer/sekunder.

Fibromialgia Usia Lanjut Sama dengan fibromialgia primer atau sekunder, perlu

perhatian khusus terhadap kemungkinan adatya polimialgia reumatika, penyakit degeneratif atau neurologik, osteoporosis, penyakit Parkinson, sindrom otak organik atau sindrom kelelahan pasca penyakit virus.

Fibromialgia Juvenile Sama dengan fibromialgia primer pada pasien usia muda.

peningkatan AMP.

GAMBARAN KLINIS Faktor Psikologi

Faktor psikologi juga memegang peranan penting yang dapat menimbulkan spasme otot sehingga muncul simptom fisik seperti nyeri otot, kaku dan pembengkakan jaringan lunakyang tak dapat diterangkan. Riwayat depresi pada keluarga lebih sering dijumpai pada pasien fibromialgia dibandingkan dengan artritis reumatoid.

Sindrom hbromialgia menampilkan

.

.

Selain hal-hal tersebut di atas maka diketahui pula

bahwa kadar serotonin yang rendah pada pasien fibromialgia berkorelasi dengan jumlah tender point dan kadar triptopan yang rendah menyebabkan serotoninjuga menurun dan mengakibatkan rasa nyeri persisten yang difus pada pasien fibromialgia.

Substansi P yaitu suatu neurotransmitter yang berperan pada nyeri kronik juga meningkat pada fibromialgia 3 kali dari nilai normal dan hal ini berhubungan dengan nyeri di otot dan nyeri tekan. Peningkatan inijuga mengakibatkan peningkatan transmisi rasa nyeri dan direspons sebagai hiperalgesia.

4

jenis gambaran klinis

yang saling berkaitan, yaitu:

.

Gambaranutama, berupakeluhan nyeri muskulosekletal generalisata kronis yang meluas dan nyeri tekan yang terlokalisir pada otot dan insersi otot dengan tendon. Keluhan ini ditemukan pada97%o pasien. Garnbaran karakteristilq berupa keluhan

kelelalnt (fatique),

kaku pada pagi hari (morning stffiess), dan tidw tidak nyenyak atau terganggu (non refresshed or disturbed sleep),yang ditemukan pada lebih dari 75% kasus. Gambaran umum, bukan merupakan keluhan penting, ditemukan pada 25%o pasien. Keluhan tersebut antara lain: irritable bowel syndrome, fenomena Raynaud,

nyeri kepala, rasa bengkak, parastesia, psikologik

.

abnormal dan disabilitas fungsi. Koeksistensi dengan beberapa gangguan reumatik yang

gejalanya saling tumpang tindih dengan sindrom fibromialgia seperti artritis, nyeri pinggang bawah, nyeri tengkuk dan tendonitis.

27tt

FIBROMIALGIA DAN NYERI MIOFASIAL

Ada tiga gejala utama yang dikenal dengan triad fibromialgia, yaitu;

Nyeri Muskuloskletal Lokasi nyeri yang sering dijumpai adalah pada aksial, yaitu di sekeliling bahu, leher dan belakang bawah (low back). Paling menonjol pada servikal dan lumbal. Sebagian pasien

mengeluh nyeri objektif tidak ditemukan kelemahan otot.

otot dan rasa lemah, walaupun secara

Kekakuan (sfiffness) Merupakan gejala umum paling sering dijumpai, seperti pada pasien reumatik lainnya. Rasa kaku terutama pada pagi hari dan membaik setelah bergerak, walaupun pada beberapa pasien dapat berlangsung sampai 3 hari.

Kelelahan (fatique) ini erat kaitannya dengan gangguan tidur. Gangguan tidur berupa sering terbangun malam akan menyebabkan pasien merasa tidak segar pada waktu bangun tidur sehingga pasien merasa sangat lelah. Keluhan

Keluhan gangguan tidur ini dialami oleh lebih dari dua per tiga pasien. Gangguan tidur juga temyata berpengaruh secara signifikan terhadap intensitas nyeri, kelelahan sepanjang hari dan kaku pagi hari. Dalam riwayat penyakit dapat ditemukan keluhan yang bertambah berat bila kena air dingin, suara keras, kerja berat, stres mental dan kecemasan. Sebaliknya keluhan berkurang dengan udara hangat, mandi air panas, liburan, aktivitas ringan, peregangan dan pemijatan. Riwayat pengobatan menunjukkan pasien mengalami

dibandingkan dengan orang normal. Tender point tidak hanya dijumpai pada pasien sindrom fibromialgia, akan tetapi juga dapat ditemukan pada regional pain syndrome, yang mirip dengan fibromialgia tetapi tanpa disertai dengan kekakuan umum dan kelelahan. Sindrom tersebut dikenal detgan sindrom

miofasial (myofacial pain syndrome). Untuk membedakan kedua titik tersebut, maka titik pada sindrom

miofasial disebut dengan trigger point. Istilah ini digunakan oleh karena penekanan pada titik tersebut akan menimbulkan nyeri yang disebarkan ke daerah sekitarrrya, sedangkan tender point hanya menimbulkan nyeri lokal saja. Pemeriksaan laboratorium biasanya memberikan hasil yang normal. Pemeriksaan psikologik menunjukkan keluhan ini memburuk bila ada stress. Ada yang beranggapan fibromialgia sebenarnya merupakan depresi terselubung atau gangguan ansietas yang somatisasi menonjol dan hipokondria. Pasien f,rbromialgia yang jelas menunjukkan depresi, ansietas dan hipokondria umumnya sukar untuk disembuhkan. Hipotesis menyatakan adaty a lingkaran

setan antara kejang otot, gangguan tidur, psikologik abnormal.

DIAGNOSIS Diagnosis sindrom fibromialgia ditegakkan berdasarkan Kriteria klasilrkasi American College of Rheumatology (ACR) tahun 1990.

kegagalan dengan aspirin dan obat anti inflamasi nonsteroid. Biasanya pasien akan memberikan daftar panjang obat yang pernah diminumnya.

Riwayat nyeri yang menyebar luas. Dikatakan

Riwayat penyakit yang lebih lengkap biasanya menunjukkan adanya berbagai kondisi yang erat hubungannya dengan faktor stres, misalnya irritable bowel syndrome, irritable bladder, tension headache,

menyebar luas apabila ditemui semua yang tertera berikut ini: Nyeri pada sisi kiri tubuh, Nyeri pada sisi kanan tubuh Nyeri di atas pinggang . Nyeri di bawah pinggang. Nyeri aksial skeletal (vertebra servikalis atau torak depan atau vertebra torakalis atau low back) Nyeri dengan palpasi jari pada sedikitnya 11 dari 18 tender point : Oksiput:bilateral pada insersi otot suboccipital Servikalis bawah: bilateral, aspek anterior dari celah intertransverse pada C5-C7 Trapezius:bilateral,bagian tengah batas atas Supraspinatus:bilateral diatas tulang skapula didekat garis medial. lga ke ll:bilateral, sedikit ke lateral dari persendian kos{okondral ke ll Epikondilus lateralis:bilateral,2cm distal epicondilus Gluteus: bilateral,kwadran atas lateral pada lipatan otot anterior. Trokanter mayor:bilateral ,pada posterior tonjolan trokanter mayor. Lutut: bilateral,pada bantalan lemak medial proksimal garis sendi lutut

migren dan dismenorrhoe. Suatu keadaan yang khas pada pemeriksaan fisik pasien sindrom fibromialgia adalah tidak ditemukannya

kelainan atau gejala objektif yang setara dengan keluhannya. Satu-satunya penemuan abnormal adalah adanya beberapa titik nyeri (tender point). Pasien biasanya sadar akan adanya titik nyeri ini dan merasa gembira bila dokter dapat menemukannya. Bila pemeriksa tidak

mengenal lokasi titik-titik ini, biasanya hasil pemeriksaannya normal dan pasien merasa kecewa. Tender point dapat dirasakan dengan penekanan menggunakan ibu jari tangan yang setara dengan beban 4kg.

Penelitian dengan menggunakan dolorimeter menunjukkan bahwa pada lokasi tender point pasien fibromialgia didapatkan ambang nyeri yang lebih rendah

-

-

-

nyeri

2712

REUMAIIOI.OGI

Palpasi harus dilakukan dengan tekanan yang sedang.Tender point dikatakan positif apablla ada nyeri pada palpasi. Nyeri tender point tidak sama dengan sakit.

Untuk tujuan klasifikasi, pasien disebut fibromialgia apabila memenuhi kedua kriteria tersebut. Penyebaran nyeri yang luas (difus) harus ada paling tidak selama 3 bulan

.

Adanya kelainan klinis kedua tidak menyingkirkan diagnosis fibromialgia. Direkomendasikan untuk menggunakan kriteria ini dalam menegakkan diagnosis secara klinis oleh karena bisa dilakukan di mana saja, sederhana dan ekonomis. Kriteria ini mempunyai sensitifitas 88% dan spesifisitas 81%. Di samping itu,beberapa penulis menegaskan pentingnya control points dalammenegakan diagnosis. Control points ini tidak nyeri apabila dilakukan palpasi pada lokasi tersebut. Ini penting untuk membedakannya dengan reaksi konversi dari reumatism psikogenik yang merasa nyeri pada semua tempat.

Untuk membantu menegakkan diagnosis perlu diketahui faktor-faktor yang bisa memperberat atau memperingan keluhan. Faktor-faktor yang memperberat adalah: cuaca dingin atau lembab, tidur yang tidak nyaman, kelelahan fisik atau mental, aktivitas fisikyang berlebihan,

inaktivitas fisik dan stres/ansietas. Sedangkan faktor-faktor yang memperingan adalah: cuaca hangat dan kering, mandi air panas, tidur nyenyak dan aktivitas sedang yaitu latihan peregangan dan

pr.1at.

Pemeriksaan laboratorium dan radiologis biasanya memberikan hasil yang normal. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menyingkirkan gangguan atau kelainan lain.

DIAGNOSIS BANDING Fibromialgia dapat sebagai penyakit yang berdiri sendiri atau muncul bersama penyakit lain seperti LES, RA, sklerosis multipel atau kelainan autoimun lain. Diagnosis banding fibromialgia antara lain:

. . . . . . . . . .

Sindrom nyen miofasial

Aftritis reumatoid Polimialgia reumatika/giant cell arteritis Polimiositis/dermatomiositis.

Miopati karena kelainan endokrin hipotiroid, hipertioid, hipoparatiroid, hiperparatiroid,insufi siensi adrenal)

Miopati metabolik (glycogen storage disease,lipid myopathies)

Neurosis (depresi, ansietas) Karsinoma metastase. Sindrom/atique kronis. Parkinsonisme (fase diskinetik)

Gambar 1. Lokasi tender points pada sindrom fibromialgia

Ada 4 kontrol points pada sindrom fibromialgia, yaitu: . Titik tengah dari dahi. . Aspek volar dari pertengahan lengan atas

. .

Kuku ibu jari. Otot-otot dari tungkai atas sisi anterior

Gambaran SindromFibromialgia SindromMiofasial Regional / lokal Biasanya tidak ada /

Nyeri Kelelahan

Menyeluruh / difus Sangat nyata / sering

Kekakuan

Generalisata / sering

Regional / Jarang

Tender points: Tersebar luas / Difus Latihan umum Obat gangguan tidur

Trigger point:

Jarang

pagi hari Palpasi Terapi

Prognosis Ernpal Control pointsi 1. Titik tengah dahi

Penyakit cenderung kronik dengan beberapa disabilitas fungsional

Regional / Lokal Menghindari faktor

pemberat Latihan peregangan Diharapkan resolusi sempurna, walaupun sering kambuh

2. Sisi volar pertengahan lengan atas

3.Kuku ibu jari 4.Otot-otot dari tungkai atas sisi anterior

Gambar 2. Lokasi control points pada sindrom fibromialgia

PENGELOLAAN Pendekatan awal penatalaksanaan memprioritaskan pendidikan dan keyakinan pasien. Pasien harus diberitahu bahwa hbromialgia bukanlah gangguan psikiatri dan gejala yang dijumpai pada penyakit ini adalah sering juga ditemui pada masyarakat umum dan penting menjelaskan bahwa

27t3

FIBROMIALGIA DAN NYERI MIOFASIAL

penyakit ini tidak mengancam kehidupan, bukan penyakit degeneratif atau bentuk penyakit yang buruk.

Obat-obatan yang dapat diberikan:

.

Trisiklikantidepressant: 5-50 mg,4rari, Nortriptilin@amelor) l0-50 mg/ hari, Sinequan (Doksepin) 2,5-7 5 mglhari. Selektif serotonin re uptake inhibitors (SSRI): Trazodon (Desirel) 25-50 mg/hari, Fluoksetin (Prozak) | -20 mglltut,Paroksetin (Paksil) 5-20 mgAari. Musclerelaksan: Siklobenzaprin(Tlekseril) 10-30 mg/hari.

Amifiptilin

.

TUJUAN PENGELOLAAN Adalah untuk mengurangi rasa nyeri, memperbaiki kualitas tidur, dan meningkatkan aktivitas fisik untuk mendapatkan kesehatan dan fungsi otot yang baik.

PENATALAKSANAAN SECARA UMUM TERBAGI

. . . .

Untuk mendapatkan hasil yang baik pengobatan farmakologi harus dikombinasikan dengan nonfarmakologi.

Pengobatan Secara Farmakologi Pioro Boiset, Esdaile dan Fitzcharles (1996) mendapatkan 91% pasien Fibromialgia melakukan terapi komplementari (rehabilitasi) atau medis altematif selama 1 tahun.

Pengobatan nonfarmakologi antara lain:

.

Latihan olahraga: peregangan, penguatan, aerobik.

Latihan olahraga merupakan pengobatan nonfarmakologi yang paling penting. Latihan olahraga yang teratur dimulai dengan peregangan dan diikuti aerobik dapat meningkatkan nilai ambang rasa nyeri. meningkatkan oksigen ke otot, memperbaiki kondisi secaraumum.

Pemanasan: dapat meningkatkan sirkulasi dan

.

mengurangl nyerl. Terapi perubahan tingkah laku (kognitif); berfikir dan tingkah laku yang positif.

. . . . . . .

Pendidikan: penyuluhan mengenai penyakit dan pengobatannya, perbaikan tidur termasuk tidur teratur, lingkungan bersih dan tidak ribut, menjauhi alkohol, rokok dan kopi menjelang tidur. Transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS): dapat meningkatkan opioid endogen. Diet: rendah lemak dan tinggi serat Suplement diet: Koenzim 10, Magnesium,VitB12. Relaksasi, meditasi

Akupunrur. akupressure. pemijatan Distraction, misalnya nonton film yang ltat(funny movie) Relaksasi, misalnya mendengarkan musik yang lembut.

PENGOBATAN SECARA FARMAKOLOGI Tidak ada obat khusus untuk pengobatan fibromialgia,

pengobatan simtomatis dengan obat-obatan akan menghasilkan perbaikan sebanyak

Analgesik sederhana

.

lebih 4 grarn/hari)

Analgesik sentral golongan Opioid: Kodein, metadon, Tramadol Topikal krim: Capsaicin 0,25%

PROGNOSIS Pasien usia muda dengan gejala ringan cenderung prognosisnya lebih baik, walaupun pasien memberikan respons terhadap pengobatan kadang-kadang masih juga ada keluhan yang ringan tetapi nyeri tersebut dapat

ditoleransi Penyembuhan akan sulit pada pasien yang mempunyai stres emosional berupa ansietas dan depresi, oleh karena itu perlu penatalaksanaan secara multidisipliner.

REFERENSI

.

.

Alprazolam (X anax) 0,25 -1,25 I hart. OAINS (Ibuprofen, selekoksib), Asetaminofen (tidak boleh

ATAS:

Pengobatan secara farmakologi dan nonfarmakologi.

Berlzodiazepir: Klonazepam (Klonopin) 0,50-1 mg/trari,

3

0-50%.

Affleck G, Urrows S, Tennen H, Higgins B Abeles M. Sequential daily relations of sleep, pain intensity, and attention to pain among women with fibromyalgia. Pain .1996; 68: 363-8. Bennett RM. Fibrositis. In: Kelley WN, Harris ED, Ruddy S, Sledge

CB eds. Text book of rheumatology.

Philadelphia:WB

Saunders; 1 989 p.541 -53

Bennet, R. Scientific basis for understanding pain in fibromyalgia. April 12, 2003. from http:/www.myalgia.com Scientifi c%20basis.htm Benneth RM, Clark SR, Campbell SM, Burckhardt CS . Low levels

somatomedin

of

C in patients with the fibromyalgia

syndrome.Arthritis and Rheumatism, 1992;35: 1113-6.

Clarke AK. Fibromyalgia.

In: Clarke AK. Rehabilitation

in

rheumatology. Singapore:Toppan Printing;1987.p.81-6. Chichasova N, Igolkina E, Nasonov E, Folomeev MY, Repas Ch. A

long-term treatment of fibromyalgia with tramadol (preeliminary report). IX Symposium Eular, Madrid 1996: 126 (Abstract). Drewes AM. Pain and sleep disturbances with special reference to Fibromyalgia and rheumatoid arthritis. Rheumatology 1999;

38:1035-44.

Freundlich B,Leventhal L.The

fibromyalgiasyndrome.

In:schumacher HR,Klippel JH, Koopmaan W J,eds. Primer on the rheumatic disease. Atlanta:Arthritis Foundation; 1993:24'7 -9 For EA, Sexton H. Weather and the pain in fibromyalgia:are they

2714

REUMI(IOIOGI

related ? J Ann Rheum. Dis. 2002;61: 242-50. Fibromyalgia. http://www.fmsni.freeserve co.uk Fibromyalgia. http://www.muhealth.org/-vocrehab/fibro/index.htm

Griep EN. Fibromyalgia: neuroendocrine perspective and pathophisiology. Proceeding of XIX ILAR Congress of Rheumatology. Singapore: 1 997.p. 1 36-8.

Griffiths ID. Fibromyalgia. Lectures in rheumatology. International teaching course

in

Penang

Rheumatology. Penang,

Practical Printers, 1990: 105-8. LH. Pathogenesis of fibromyalgia. In: Toorralba T.! Amarte CM, Navarra ST (Eds). Proceeding of the 5 th Asean Congress of Rheumatology. 3rd Aplar Symposium on the Theraphy of Rheumatic Disease. Mat1la.1998: 44-45.

Gerber

in females without psychiatric disorder Br J Rheumatol. 37:1279-86

1998;

Klemp P, Williams S.M, Stansfield S.A. Fibromyalgia in Maori and European New Zealanders. APLAR Rheumato1.2002; (No.1):

l-5. Lash .A A, Jones LE, Mc Coy D. Fibromyalgia: evolving concepts and management in primary care setting. In: Journal Medsurg Nursing Pro Quest Medical Library. 2003; vol 12: 145-90. Mc Cain GA. Nonmedicinal featments in primary frbromyalgia. In; Benneth RM, Goldenberg DL.Rheum dis clin North Am. Philadelphia: WB Saunders; 1 989.p.73-90. Non.Articular Rheumatism, In: Adreoli T.E, Bennet J.C, Carpenter

C, Plum F,eds. Cecil essentials of medicine. 4 th

ed.

Geel SE. The Fibromyalgia syndrome: Musculoskletal pathofisiology. Seminars in Arthritis and Rheumatism 1994; 23: 347-53.

Philadelphia: W.B. Sounders;1997.p.634-6. O.K Moehad Sjah. Fibromialgia and sindrom miofasial. ASEAN

Goldenberg DL. Treatment of fibromialgia . In: Benneth RM, Goldengberg DL, Rheum Dis Clin Norlh Am. Phitadelphia: WB.

Meeting on Gout and Hyperuricemia, Ikatan Reumatologi

Saunders; 1 989.p.6I

-7 2.

Gilliland BG. Miscellaneus arthlitis and extraarticular rheumatism. In: Fauci AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Kasper DL, et al eds. Harrisons principles of internal medicine. 15 th ed. New York:Mc Graw Hill;2001.p.2520-52 Hench PK. Evaluation and differential diagnosis of fibromyalgia.In : Benneth RM, Goldenbrg DL. Rheum Dis Clin of North Am. 15. Philadelphia: B Saunders 1989.p.19-30. Hannonen P, Malminiemi K, Yli-Kerttula U, Isomeri R, Roponen P. A Randomized, double-blind, placebo-controlled study of moclobemide and amitriptyline in the treatment of fibromyalgia

Indonesia, Jakarta, 2003. Schochat T, Croft P, Raspe H. The epidemiology

Workshop

of Fibromyalgia.

of the standing committee on

epidemiology

European league against rheumatism (EULAR), Bad Sackingen,

19-21 November 1992. Br J Rheumatol 1994; 33: 783-6. Wolfe F.Fibromyalgia:the clinical syndrome. In : Benneth RM, Goldenberg DL. Rheum Dis Clin North Am.Philadelphia: WB Saunders;1989 p 1-18. Zainal E, Harry I, Bambang S. Sindrom frbromialgia. In: Syaifullah Noer et al,eds. Jakarta:Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai

Penerbit FKUI; 1 996.p. 108-

I2

4t5 NYERI SPINAL Yoga

Nyeri merupakan salah satu gejala yang membawa pasien dengan kelainan muskuloskeletal mencari pertolongan. Nyeri ini lebih bersifat subyektif, sehingga menyulitkan

I. Kasjmir

radiks saraf dalam foramen intervertebral atau spondilosis yang dikaitkan dengan proses degeneratif yang berasal dari penyakit pada diskus.

untuk membuat suatu batasan. Namun demikian karakteristik nyeri seringkali membantu dalam hal mencari penyebab nyeri.

Nyeri spinal timbul akibat berbagai keadaan yang mengenai tulang belakang serta berbagai jaringan di sekitarnya yang berkaitan langsung atau bahkan nyeri pada daerah spinal yang merupakan nyeri alih dari tempat lain atau organ lain yangjauh dari vertebra. Di bawah ini dibahas nyeri servikal dan nyeri pinggang

bawah yang merupakan bagian dari nyeri spinal yang banyak ditemukan di masyarakat.

Anatomi Banyak jaringan yang merupakan sumber nyeri pada daerah servikal. Umumnya rasa nyeri berasal dari jaringan

lunak atau ligamen, radiks saraf, faset artikular, kapsul, otot serta dura. Nyeri dapat diakibatkan oleh iritasi, trauma,

inflamasi, atau infeksi. Pada gambar 1, dapat dilihat berbagai jaringan di daerah servikal yang dapat merupakan

sumber nyeri.

Di samping itu perlu diperhatikan adanya nyeri alih dari berbagai jaringan atau organ lain yang merupakan gambaran distribusi dermatomal yang dipersarafi oleh saraf servikal. Pemahaman anatomi berbagai jaringan di servikal ini

NYERISERVIKAL

sangat membantu dalam menetapkan penyebab nyeri servikal.

Walaupun insidensi nyeri servikal tidak sebanyak keluhan nyeri pinggang bawah, namun penelusuran terhadap nyeri tersebut seringkali menyulitkan para klinisi. Pada umumnya

sebelum timbul nyeri servikal pasien mengeluh kaku servikal. Keluhan ini mulai menyerang pasien berusia 25-29 tahun dengan presentasi sebesar 25-30%o. Pada mereka yang berusia di atas 45 tahun, prevalensinya meningkat sampai 50%. Penyebab terbanyak nyeri servikal adalah artritis dan trauma, walaupun lebih tepat dikatakan adalah berbagai faktor mekanik yang mengganggu pergerakan. Gangguan pergerakan ini baik pada diskus, ligamen atau sendi dapat memberikan sensasi nyeri, rasa tidak enak di servikal bahkan disabilitas. Terdapat beberapa istilah yang digunakan pada nyeri servikal ini dan berkaitan dengan proses penyebab yang

mendasarinya. Di antaranya sindrom servikal (cervical syndrome) dimana nyeri servikal disebabkan oleh iritasi

Gambar 1, Anatomi vertebra servikal dan lokasi jaringan sumber nyen

Evaluasi Klinis Nyeri Servikal Pada umumnya tipe nyeri sewikal, lokasi, frekuensi dan

lamanya nyeri servikal berkaitan erat dengan pergerakan atau posisi. Seringkali tempat yang ditunjukkan pasien adalah menrpakan sumber nyeri atau cerminan nyeri alih. Anamnesis yang cermat untuk mengetahui mekanisme

2715

2716

RELJMA-IOLOGI

timbulnya nyeri servikal dapat diperoleh dengan menanyakan pergerakan mana yang menimbulkan atau menambah rasa nyeri serta yang menghilangkan atau mengurangi rasa nyeri pada servikal. Banyak keadaan atau posisi servikal yang berkaitan

Trauma fisis lmobiltas I

dengan pekerjaan atau kebiasaan seseorang akan menimbulkan nyeri servikal tanpa disadari oleh yang bersangkutan. Jenis pekerjaan sebaiknya ditanyakan

l

karena banyak posisi servikal tertentu padajenis pekerjaan tertentu yang dapat memicu nyeri servikal ini.

Di samping itu faktor emosi dapat mendasari adanya perubahan postur tubuh maupun vertebra servikal serta mengakibatkan pula nyeri servikal. Tekanan yang berlebihan atau berkepanjangan akan menimbulkan iskemia dan menyebabkan tension myositis, kontraktur miostatik sebagai akibat proses adaptasi, yang menimbulkan rasa nyeri bila dilakukan tarikan, iritasi regangan miofasial pada periosteum tempat insersi otot, serta kompresi diskusi yang menetap.

Pada sindrom servikal, perlu dibedakan beberapa penyakit atau keadaan yang dapat menyebabkan nyeri pada servikal, yaitu gangguan lokal pada servikal, lesi yang menyebabkan nyeri servikal dan bahu, nyeri servikal yang

disertai penjalaran akibat lesi tertentu dan sebagainya. Pada Tabel l, diperlihatkan berbagai penyebab yang dapat menimbulkan nyeri servikal.

Hambatan pemanjangan otot, restriksi gerakan sendi, keterbatasan fungsi tendon, pemendekan fascia I

v Disabilitas fungsional klinis

Gambar 2. Mekanisme timbulnya nyeri leher serta disabilitas servikal

Parestesia baik pada daerah muka. servikal atau sampai

ujung jari menunjukkan adatya gangguan pada radiks saraf servikal. Keluhan ini dapat timbul unilateral maupun Gangguan lokal pada leher Osteoartritis Artritis Reumatoid Artritis Reumatoid Juvenilis Tendinitis Stern okleid

om

astoid

eu

s

Strain Servikal Posterior Akut lnfeksi Farings Limfadenitis Servikal Osteomielitis Meningitis Spondilitis Ankilosa Penyakit Paget Tortikolis Keganasan (primer/ metastasis) Neuralgia Oksipital DISH (Dlrfuse ldiophatic Ske

I

et a I Hyperosf osls)

Demam Reumatik Gout

Lesi yang mengakibatkan nyeri leher/ bahu Gangguan postural Artritis Reumatoid Sindrom Fibrositis Trauma M

uskuloliga mentu m

Osteoartritis Spondilosis Servikalis Osteoartritis ntervertebra Thoracic outlet syndrome Trauma pada saraf I

I

bilateral, seringkali berkaitan dengan pergerakn servikal. Tekanan pada radiks saraf atau arterei vertebral, disfungsi autonom, spasme otot oksipital serta osteoartritis akan memberikan keluhan sakit kepala. Nyeri bersifat tumpul dan diperberat pula oleh gerakan servikal, batuk atau tarikan otot. Beberapa gejala lain yang perlu diperhatikan adalaha keluhan pseudoangina pektoris, kekaburan pandangan, tinifus, disfagia, sesak napas, palpitasi sefia nausea. Hal ini tergantung dari jenis kelaianan pada tulang servikal tersebut.

Lesi yang mengakibatkan nyeri leher disertai penjalaran nyeri

Untuk memudahkan penelususan penyebab nyeri servikal ini dapat diperhatikan pembagian seperti berikut:

Spondilosis servikalis Artritis Reumatoid Osteoartritis Tumor medula spinalis Sindrom neurovaskular servikal

Nyeri servikal spesifik. Sifat nyeri biasanya terus menerus dan berlangsung lama yang disebabkan oleh penyakit tertentu seperti berbagai jenis artritis (osteoartritis, gout, artritis reumatoid, spondiloartropati serone gatif), infeksi keganasan, diabetes dan sebagainya.

Nyeri pada servikal perlu dispesifikasi secara cerrnat seperti mula timbul (onset) nyeri, distribusi, kekerapan, apakah nyeri menetap atau hilang timbul, lama nyeri, kualitas nyeri, kaitan dengan gejala neurologis, lokasi nyeri dan sebagainya. Pada Gambar 2. di bawah ini diperlihatkan algoritma mekanisme penyebab disabilitas dan nyeri servikal.

Nyeri servikal non-spesifik. Durasi nyeri biasanya lebih pendek dan intermiten. Nyeri lebih banyak diakibatkan oleh proses gangguan biomekanik (spondilosis). Kelainan

ini berkaitan dengan ruda paksa, postur salah dan penggunaan berlebih. Nyeri servikal golongan ini dibagi lagi menjadi tiga,yaitu: nyen diskogenik, nyeri mielogenik dan nyeri neurogenik.

2717

NTERI SPIRAL

Nyeri diskogenik biasanya terasa tumpul atau linu dan dalam. Nyeri alih dirasakan didaerah skapula medial, bahu atas/ belakang, dan bagian posterior lengan bawah sampai siku. Nyeri befiambah dengan fleksi servikal ke depan.

Nyeri mielogenik memberikan sensasi seperti bergelombang dan merujuk ke bawah spinal sampai ke ekstremitas.

Nyeri Neurogenik terasa lebih tajam, seperti tersengat atau terbakar. Penjalaran nyeri ke arah lengan dalam daerah

dermatom radiks saraf.

Pemeriksaan Fisis Memperhatikan postur tubuh pasien saat dilakukan anamnesis merupakan pemeriksaan fisis awal yang dapat

Gambar 3. Distribusi dermatom persarafan servikal

membantu diagnosis. Biasanya postur tubuh tersebut mencerminkan keadaan sebenarnya keluhan nyeri servikal pasien, mengingat adanya faktor emosi yang tinggi dapat

mengubah postur pasien saat pemeriksaan fisis sesungguhnya dilakukan. Pemeriksaan lingkup sendi(range of motion) dilakukan baik secara aktif maupun pasif pada arah fleksi anterior atau ekstensi. Pada tindakan pemeriksaan pasif, perhatikan keterbatasan yang merupakan cerminan gangguan j aringan lunak, ligamen, kapsul atau otot yang berada di sekitar diskus serta sendi posterior. Fleksi lateral dan rotasi terjadi secara bersamaan. Bila terjadi keterbatasan gerak ke arah lateral ini biasanya akan dikompensasi oleh gerak bahu yang mengikuti arah fleksi lateral tersebut.

Adanya keterlibatan neurologis perlu ditetapkan seperti sensasi kesemutan pada tangan yang menunjukkan adatya iritasi radis servikal C6, Cl , C8 dan refleks serta kekuatan otot. Biasanya gangguan neurologis yang terjadi

bersifat lower motor neuron. Gambar 3 menunjukkan distribusi dermatom yang dipersarafi oleh saraf servikal.

Penetapan diagnostik nyeri servikal dapat lebih dipermudah apabila dilakukan serangkaian pemeriksaan khusus terhadap verlebra servikalis, yaitu: 1. tes kompresi kepala; 2. tes distraksi kepala; 3. tindakan valsava; 4. tes disfagia; 5. tes oftalmologik; 6. tes adson; 7. tes kelemahan dan atrofi otot; 8. tes penekanan bahu; 9. pemeriksaan

sangat menenfukan penanganan yang akurat. Pemeriksaan dari sisi lateral dapat melihat dislokasi dengan mudah. Hasil

ini diperkuat oleh posisi oblik untuk melihat foramen interverterbral yang menyempit. Untuk melihat adatya kemungkinan kecurigaan dislokasi perlu dibuat posisi yang tepat dan sesedikit mungkin melakukan manipulasi pada

servikal. Apabila dislokasi terjadi ke arah anterior lebih dari setengah tebal korpus, maka perlu diketahui apakah

telah terjadi kerusakan pada ligamen longitudinal, interspinosus dan faset. Subluksasi dapat dilihat dengan menggunakan posisi fleksi dan ekstensi penuh. Mengingat keterbatasan gambaran diagnostik hanya dengan satu posisi foto polos verlebra servikalis ini, maka dianjurkan pemeriksaan dari sudut antero-posterior, foto antlanto-aksial dengan mulut terbuka, posisi lateral dan

oblik. Akibat keadaan ini seringkali didapatkan ketidakcocokan hubungan antara gambaran foto polos servikal dengan manifestasi klinisnya. Mielografi. Tindakan ini tidak memberikan hasil yang begitu baik, karena sempitnya kanalis spinalis. Dengan mielografi ini dapat dilihat kanal dura, ekstensi ke arah posterior dari diskus, penonjolan tulang ke dalam kanalis spinalis.

Sedangkan diskografi yaitu dengan menyuntikan zat kontras ke dalam diskus hanya memberikan

refleks, serta 10. pemeriksaan terhadap daerah sekitar servikal.

gambaran tentang diskus itu sendiri sebagai lokasi sumber

Tes distraksi kepala akan menghilangkan nyeri yang diakibatkan oleh kompresi terhadap radiks saraf. Hal ini akan dapat diperlihatkan apabila kecurigaan iritasi radiks saraf lebih memberikan gejala dengan tes kompresi kepala, walaupun penyebab lain belum dapat disingkirkan.

nyeri.

Pencitraan resonansi magnetik (magnetic resonance imaging). Teknik ini banyak digunakan untuk melihat

Pemeriksaan Radiologis

adanya kelainan kongenital, siringomielia, neoplasma medula spinalis, sklerosis multipel dan degenerasi diskus awal. Di samping itu bermanfaat pula dalam pemeriksaan terhadap kelainan ekstramedular dan trauma.

Foto polos. Evaluasi klinis lebih menentukan diagnosis

Elektrodiagnostik. Beberapa pemeriksaan ini membantu

penyebab nyeri servikal, sedangkan gambaran radiologis dapat memberikan bantuan data serta harus berhati-hati

gambaran klinis. Di antaranya pemeriksaan elektromiografi

dalam mengambil kesimpulan. Fraktur atau dislokasi vefiebra servikalis harus diketahui secara pasti, karena

(EMG), kecepatan hantar saraf (nerve conduction v e Io c

ity I

NCY)

Dengan teknik

dan s om at o s en s o ry

ev oke

d r e sp ons e (SER).

ini dapat diperlihatkan

adanya polineu-

2718

ropati difus, neuropati karena jepitan saraf fokal, radikulopati, miopati atau gangguan pada sambungan neuromuskular.

Penatalaksanaan Dalam menghadapi pasien dengan nyeri servikal, perlu diperhatikan selain penyebabnya adalah berat ringannya

RELJTvIA*IOI.OGI

berupa atrofi otot serta kontraktur. Jangka waktu I -2 minggu

ini biasanya cukup untuk mengatasi nyeri pada nyeri servikal non spesifik. Apabila disertai dengan iritasi radiks saraf, adakalanya diperlukan waktu sampai 2-3 bulan. Operasi. Tindakan ini lebih banyak ditujukan pada keadaan yang disebabkan oleh kompresi terhadap radiks sarafatau

pada penyakit medula spinalis yang berkembang lambat serta melibatkan tungkai sertai lengan. Pada

gejala, ada tidaknya keterlibatan neurologis, serla beratnya gambaran radiologis.

penanggulangan kompresi tentunya harus dibuktikan

Pengobatan pada Fase Akut Nyeri

dengan adanya keterlibatan neurologis serta tidak memberikan respons dengan terapi medikamentosa

Obat penghilang nyeri atau relaksan otot dapat diberikan

biasa.

pada fase akut. Obat-obatan ini biasanya diberikan selama

Pencegahan nyeri servikal. Seluruh pasien nyeri servikal

7-10 hari. Jenis obat-obatan yang banyak digunakan biasanya golongan salisilat atau anti inflamasi nonsteroid. Bila keadaan nyeri dirasakan begitu berat, kadang-kadang

diperlukan analgetik golongan narkotik seperti kodein, meperidin, bahkan morfin. Ansiolitik dapat diberikanpada mereka yang mengalami ketegangan mental. Pada kondisi tertentu seperti nyeri yang diakibatkan oleh tarikan otot,

tindakan latihan ringan yang diberikan lebih awal dapat

mempercepat proses perbaikan. Kepala sebaiknya

sebaiknya diberitahukan mengenai masalah yang dihadapinya serta memberikan gambaran pengobatan maupun instruksi yang harus dilakukan seperti posisi saat duduk, mengendarai kendaraan dan posisi servikal yang berkaitan dengan berbagai pekerjaan atau aktivitas seharihari.

Anjuran pertama yang diberikan apabila timbul kembali

nyeri servikal adalah menghindari semua kegiatatyatg

tidak mengakibatkan gerakan ke arah lateral. Istirahat

dapat menimbulkan rasa nyeri. Di samping itu penguatan otot-otot servikal harus dilakukan selama minimal 3 bulan secara intensif tiap hari dan dilanjutkan secara intermiten untuk seumur hidup.

memang diperlukan pada fase akut nyeri, terutama pada spondilisis servikalis/ kelompok nyeri servikal non spesif,rk.

Latihan penguatan otot-otot servikal adalah sebagai

diletakkan pada bantal servikal sedemikian rupa yaitu sedikit dalam posisi fleksi sehingga terasa nyaman oleh pasien dan

Tindakan Pengobatan Lanjutan Traksi. Tindakan ini dilakukan apabila istirahat tidak dapat menghilangkan nyeri atau pada pasien dengan gejalayang

berikut;

1.

Dengan kedua tapak tangan di belakang kepala, lakukan

dorongan ke depan dan otot-otot servikal berusaha mempertahankan kedudukan kepala agar tidak terjadi fleksi, selama I menit.

berat dan mencerminkan adanyakompresi radiks saraf Traksi

dapat dilakukan secara terus menerus atau intermiten.

Latihan. Berbagai modalitas dapat diberikan pada penanganan nyeri pada servikal ini. Latihan ini dimulai pada akhir minggu pertama. Latihan mobilisasi servikal ke arah

anterior, latihan mengangkat bahu atau penguatan otot banyak membantu proses penyembuhan nyeri. Hindari gerakan ekstensi maupun fleksi. Pengurangan nyeri yang diakibatkan oleh spasme otot dapat ditanggulangi dengan melakukan pijatan,

Cervical Collar. Pemakaian cervical collar lebih ditujukan untuk proses imobilisai serta mengurangi kompresi pada radiks saraf, walaupun belum terdapat satu jenis collar

2. Dengan kedua tapak tangan di dahi, lakukan hal yang sama dengan cara I , yaitu tangan mendorong kepala ke belakang sementara itu otot-otot servikal berusaha mempertahankan kepala agar tidak mengalami ekstensi. Lakukan tindakan ini selama I menit.

yang benar-benar dapat mencegah mobilisasi servikal. Salah satu jenis collar yang banyak digunakan ad alah SO MI brace

(sternal occipital mandibular immobillizer). Collar digunakan selama satu minggu secara terus menerus siang maupun malam dan penggunaannya diubah pada minggu kedua secara intermiten atau bila mengendarai kendaraan.

Harus diingat bahwa tujuan imobilisasi ini bersifat sementara dan harus dihindari akibatnya yaitu di antaranya

tangan

/

,// L--/ W

otot

I\TYERI

3.

2719

SPIRAL

Pada posisi tangan kanan di pelipis kanan, lakukan dorongan ke arah kiri dan otot-otot servikal melawan

gaya dorongan tersebut selama

I

menit, agar tidak

terjadi fleksi lateral. Hal yang sama diket'akan pada sisi kiri.

Radikulopati Kelainan ini banyak dijumpai akibat adanya proses degeneratif seperti osteoartritis atau berbagai keadaan yang mengakibatkan terjadinya kompresi radiks saraf.

Sindrom Skapulokostal Iritasi radiks saraf diskogenik servikal dapat memberikan sensasi nyeri pada daerah interskapula. Biasanya nyeri ditimbulkan akibat postur tertentu yang berkaitan dengan pekerj aan atau tekanan emosional. Tidak dijump ai adatya manifestasi neurologis. Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian obat anti radang nonsteroid atau steroid, injeksi anestetik lokal dan latihan postur. 4

Pada posisi satu tangan kanan

di dahi dan tangan kiri

di belakang kepala, dilakukan putaran kepala ke arah kanan, sedangkan otot-otot servikal mempertahankan posisi kepala tetap menghadap ke depan. Lakukan hal yang sama untuk gerakan ke arahkiri.

Fibromiositis Penyakit ini ditandai oleh nyeri otot, spasme, kekakuan dan nodul. Banyak istilah yang dipakai untuk penyakit ini seperti fibrositis, myofas c iitis, interstitial myofas ciitis, tension miositis, dan psychogenic rheumatism. Kelainan ini berkaitan dengan adanya ruda paksa atau sekunder akibat denervasi terhadap otot yang berkaitan.

Kelainan Metabolik Beberapa kelainan metabolik seperti gangguan metabolisme kalsium pada osteoporosis, deposisi kristal asam urat pada gout, deposit kalsium yang dijumpai pada kalsifikasi ligamen flalum, sindrom arteri vertebralyang diakibatkan oleh aterosklerosis di samping akibat lain

seperti osteoartritis, trauma atau artritis reumatoid, merupakan beberapa keadaan yang perlu diperhatikan sebagai penyebab nyeri servikal pada sindrom servikal.

DIAGNOSIS BANDING Banyak penyakit atau kondisi patologis yang terdapat di luar vertebra servikalis memberikan manifestasi nyeri pada servikal. Di bawah ini dijelaskan berbagai penyakit serta proses patologik yang menimbulkan rasa nyeri.

Neck Sprain/ Stain Kelainan ini pada umumnya didasari oleh adanya ruda paksa pada jaringan sekitar servikal. Kadangkala terdapat

juga faktor psikofi siologis

Keganasan Fibrous displasia yang didasari kelainan genetik, metastasis atau tumor primer pada vertebra servikal merupakan penyebab lain, walaupun jarang, yang perlu

dipertimbangkan sebagai penyebab nyeri servikal di samping adanya gejala lain proses patologik tersebut.

lnfeksi atau lnflamasi Proses infeksi seperti osteomielitis pada vertebra servikai, dislokasi C I -C2 atau C I -Oksipitoe akibat proses inflamasi

maupun infeksi merupakan kondisi lain penyebab servikal.

Anterior Scalene Syndrome Biasanya nyeri tumpul dan dalam dirasakan oleh pasien terutama pada daerah tangan atau jari-jari, disertai perasaan mati rasa. Pemeriksaan yang paling baik dilakukan untuk menentukan adanya kelainan ini adalah dengan tes Adson. Pada kelainan ini yang disebabkan oleh adanya iritasi radiks

saraf, maka perbaikan fleksibilitas serta postur sangat diperlukan. Tindakan ini ditujukan untuk mengurangi lordosis servikal yang berlebihan dan membuka foramen posterior.

Lain-lain Thoracic outlet syndrome yarrg akan diakibatkan oieh kelainan vaskular atau neurogeq double crush syndrome pada radikulopati servikal maupun penjepitan radiks perifer,

sindrom esofagus yang berkaitan dengan osteoartritis, ruda paksa maupun artritis reumatoid serta gangguan mental dapat memberikan manifestasi nyeri servikal, yang menyulitkan penetapan diagnosis penyebab nyeri servikal

tersebut.

2720

REUITIAIIOI-OGI

NYERIPINGGANG

Nyeri pinggang bawah atau low back pain merupakan salah satu keluhan yang paling banyak d4umpai pada pasien reumatik . Keluhan ini yang berkisar antara 65-80

persen dari populasi merupakan sepertiga keluhan reumatik. Di Poliklinik Divisi Reumatologi, Departemen Ilmu Penyakrt Dalam, FKUV RSLPN Cipto Mangunkusumo, dalam kurun waktu 1 991 - I 994, nyeri pinggang merupakan

keluhan yang menempati urutan ketiga

di

bawah

osteoartritis dan reumatism ekstraartikuler. Unfuk daerah rural sekalipun keluhan pada pinggang menempati urutan

kedua setelah nyeri pada sendi perifer. Masalah ini mengakibatkan disabilitas pada mereka yang berusia muda, serta berdampak lain yang merugikan seperti banyaknya

cuti sakit, hilangnya jam kerja serta besarnya biaya pemeliharaan kesehatan yang harus dikeluarkan. Penyebab keluhan nyeri pinggang ini sangat beragam dan memerlukan suatu pendekatan yang sistematik dalam upaya mencari penyebab utamanya. Faktor risiko potensial untuk terjadinya nyeri pinggang bawah adalah merokok,

umumnya mengenai dermatom tertenfu, bersifat tumpul dan terasa lebih dalam. Nyeri alih yang berasal dari spinal lebih dirasakan di daerah sakroiliak, gluteus atau tungkai atas sebelah belakang dan daerah nyeri alih tersebut berasal dari jaringan mesodermal yang sama dalam perkemb angan embrioniknya. Nyeri radikularberkaitan dengan erat dengan distribusi radiks saraf spinal (spinal nerye root), dan keluhan ini lebih berat dirasakan pada posisi yang mengakibatkan tarikan seperti membungkuk; serta berkurang dengan istirahat. Salah satu penyebab yang perlu diperhatikan adalah tumor pada korda spinalis yang ditandai oleh tidak berkurangnya nyeri dengan istirahat atau lebih memburuk terutama pada malam hari. Karakteristik lain yang dapat ditemukan adalah perubahan neurologis seperti parestesia dan baal serta dapat disertai oleh kelemahan motorik.

Diperlukan suatu analis hubungan attara faktor

penatalaksanaan keluhan nyeri pinggang tersebut

mekanik dengan nyeri pinggang bawah. Faktor mekanik ini mencerminkan patofisiologi sumber nyeri. Nyeri pinggang bawah akibat herniasi diskus cenderung memburuk pada posisi postural yang lama. Pola nyeri lain yang diakibatkan oleh stenosis spinal degeneratif adalah nyeri yang bersifat klaudikasio neurogenik yang dirasakan pada pinggang atau tungkai saat berjalan atau posisi

memerlukan seni tersendiri.

tegak.

multiparitas, mengendarai kendaraan bermotor dan mengangkat beban berulang-ulang. Demikian pula dalam

Anatomi Tidak semua bagian segmen vertebra lumbalis dapat merupakan jaringan penyebab sumber nyeri pinggang. Di samping itu kinetika pergerakan segmen vertebra lumbalis tersebut perlu diperhatikan dengan seksama agar dapat dicegah gerakan yang menimbulkan atau mengurangi nyeri. Sumber nyeri dapat berasal dari persoalan kulit, otot, tulang

belakang, organ visera, ataupun kebiasaan (habit) seseorang dalam posisi tertentu serla aktiviatas rutin dalam peker.laan. Pada gambar di bawah ini dapat dilihat lokasi

jaringan sebagai sumber nyeri pinggang bawah.

Evaluasi Klinis pada Pasien Nyeri Pinggang Nyeri pinggang bawah merupakan keluhan yang berkaitan erat dengan usia. Biasanya nyeri ini mulai dirasakanpada mereka pada usia dekade ke dua dan insiden tinggi dijumpai pada dekade ke lima. Keluhan nyeri ini juga berkaitan erat dengan aktivitas mengangkat beban berat, sehingga riwayat pekerjaan sangat diperlukan dalam penelusuran penyebab serta penanggulangan keluhan ini. Keluhan nyeri dapat beragam dan diklasifikasikan sebagai nyeri yang bersifat lokal, radikular, menjalar (reffered pan) atau spasmodik. Nyeri lokal berasal dari proses patologik yang merangsang ujung saraf sensorik, umumnya menetap, namun dapat pula intermiten, nyeri dapat dipengaruhi perubahan posisi, bersifat nyeri tajam atau tumpul. Biasanya dapat dijumpai spasme paraverlebral.

Nyeri alih atau menjalar dari pelvis atau visera

Pemahaman terhadap ragam jaringan yang dapat merupakan sumber nyeri pinggang bawah akan mempermudah pendekatan penanggulangan nyeri. Antara lain perlu diketahui bahwa ligamen longitudinal posterior

atau anterior, anulus fibrosus, ligamen interspinosum,

ligamen flavum, foramen intervertebral dalam dimana berjalan radiks saraf, dapat merupakan sumber nyeri yang memerlukan pendekatan diagnosis maupun penanganan yang seksama. Pada Tabel 2 diperlihatkan karakteristik dari nyeri pinggang bawah dikaitkan dengan berbagai sumber nyeri.

Beberapa penyakit lain perlu diperhatikan dalam menegakkan diagnosis penyebab nyeri pinggang bawah ini, yaitu: stenosis spinal dan jepitan radiks saraf lumbal, penyakit inflamasi sistemik pada pinggang bawah, infeksi, spondilosis, spondilolistesis, serta sumber nyeri pinggang lain yang bukan berasal dari vertebra lumbalis.

Lig longitudinale anterior

Anulus flbrosus

Korpus vertebra Radiks

sa€f

Lig flavum

Gambar 8. Anatomi vertebra lumbalis dan lokasijaringan sumber nyen

2721

NYERI SPIRAL

Distribusi

Sumber Nyeri

Sifat Nyeri

Faktor yang Memperberat

Perubahan Neurologis

Pergerakan

Tidak ada

Nyeri Diskus

Sklerotomal

Tajam Tumpul Dalam, aching

Nyeri Radiks Saraf

Radikular

Parestesia

Nyeri Spinal

Sklerotomal Lokal

Peningkatan tekanan intra diskus seperti Tidak ada membungkuk duduk, manuver valsava Ada Regangan akar

saraf

Baal

Multiple lumbar spinal sfenosls Nyeri alih visera

Radikular Sklerotomal Dermatomal

Pola klaudikasio spinal Dalam, aching

Ekstensi

lumbal

Ada

Berjalan

Berkaitan dengan organ yang

terkena

Tidak ada

Pada stenosis spinalis perlu diperhatikan apakah kelainan tersebut memang idiopatik/ kongenital

Kemampuan membungkuk dapat diukur secara kasar dengan perkiraan fleksi atau jarak ujung jari ke lantai.

atau sekunder akibat proses degeneratif, spondilosis atau spondilolistesis, iatrogenik pasca laminektomi/

Lateral banding yang asimetrik

kemonukleolisis, atau akibat ruda paksa, penyakit paget dan fluorosis. Pada Tabel 3 diperlihatkan berbagai penyebab nyeri pinggang bawah ditinjau dari segi reumatologi. Mengingat banyaknya tumpang tindih dengan manifestasi dari berbagai disiplin ilmu lainnya seperti neurologi, bedah orlopedi dan sebaginya, maka diperlukan suatu pendekatart yarg seyogyanya dilakukan secara holistik.

Hiperekstensi untuk menyingkirkan nyeri akibat inflamasi facet j oints. Tulang belakang dipalpasi untuk menentukan

Pemeriksaan Fisis pada Nyeri Pinggang Bawah Pasien diperiksa dalam keadaan tidak berpakaian. Dilakukan pemeriksaan terhadap tulang belakang saat

menunjukkan kemungkinan adanya jepitan pada radiks saraf.

adanya nyeri tekan, step

off dari spondilolistesis,

detek spina bifida. Perkusi dilakukan untuk menimbulkan

nyeri lokal atau nyeri skiatik dan pada

daerah

kostovertebra untuk menyingkirkan nyeri yang berasal dari grnjal.

Pemeriksaan terhadap kelainan neurologis diperlukan bila didapatkan adanya keluhan yang mencerminkan iritasi radiks saraf lumbal. Pada herniasi diskus biasanya yang banyak terlibat adalah L5-S1 dan L4-L5. Pada Tabel4 di bawah ini tercantum pemeriksaan lokasi nyeri berdasarkan adanya keterlibatan radiks sarafpada herniasi diskus.

pasien berdiri untuk melihat lordosis lumbal, kiposis torakal,

kiposis dan tilt dari skoliosis skiatik, fleksi ekstremitas bawah untuk mengurangi nyeri akibat tekanan pada radiks saraf, spasme muskular darr skin nevi pada daerah tulang

belakang. Cara berjalan dan pergerakkan diperiksa termasuk toe and heel gait, untuk menentukan adakah

saraf

Nyeri dan

Kelemahanotot

disestesia

dan

L4

Tungkai atas

Ouadriceps

Radiks

kelemahan muskular. L5

Daerah pinggang bawah

-

-

osteoartritls osteoporosis spondilitis ankilosa ketegangan (starain) lumbosakral spondilolistesis hernia nukleus pulposus fibrositis skoliosis sikap tubuh (postur) yang

jelek bursitis tumor (primer/ metastasis) infeksi vertebra nyeri alih (referred pain)

Daerah punggung atas

-

ibu jari

fibrositis

polimialgiareumatika metastasis mieloma multiple skoliosis fraktur vertebra

Daerah sakroiliaka

-

-

(posterolateral) Tungkai bawah (anteromedial) Tungkai atas (posterior) Tungkai bawah (anterolateral) Kaki sisi medial dan

ketegangan sakroiliaka osteitis kondensa ileum spondilitis ankilosa artritis psoriatika sindrom reiter lipomata sakral nyeri alih epifistis vertebra

S2-S4

atrofi

Tibialis

anterior

Gastrosoleus

Gluteus

maksimus

Hamstring

(posterior) (posterior) Kaki (plantar)

Tidak ada Ankle jerk

Atrofi kompartemen anterior tungkai bawah

(posterior) Tungkai bawah (posterior) Kaki (posterolateral) Jari sisi lateral Gluteus dan

Tungkai bawah

Knee jerk

Extensor hallucis longus

Tungkai atas

peflneum Tungkai atas

Penurunan relaks

Gastrosoleus

Foot intrinsic dan fleksor longus, sfinkter anal dan kandung kemih

Ankle ierk

Ankle ierk

Absent plantar responses

2722

REI,JMIIilOT.OGI

Dalam posisi terlentang dilakukan pemeriksaan panjang

Mielografi. Tindakan ini ditujukan apabila terdapat

tungkai, melihat adanya atrofi otot. Ketidaksamaan panjang tungkai dapat merupakan salah satu sebab

kemungkinan tindak lanjut operatifsaja karena banyak efek samping akibat pemberian kontras seperti sakit kepala, demam, mual, meningismus, nyeri punggung, gangguan

timbulnya nyeri pinggang dan keadaan ini dapat diatasi dengan meninggikan alas sepatu. Laseque atau straight legraising (SLR) dilakukan dalam keadaan lutut ekstensi sampai pasien merasa nyeri dan otothamstringmeregang.

miksi, parestesia, ileus dan araknoiditis akut maupun kronik. Akibat teknik tindakan dapat timbul hematom epidural, retensi kontras, emboli paru, pembentukan

Apabila nyeri terjadi pada daerah pinggang dan bersifat

kista epidermoid. Keuntungan teknik ini adalah mudah

radikular, hal ini menunjukkan adanya hemiasi diskus. Tes ini bernilai diagnostik apabila radiks yang terkena lebih distal yaitu setinggi L5 dan Sl. Untuk mengenali kelainan radiks yang lebih tinggi dari L5 dilakukan tes Ely. Pasien dalam posisi telungkup, lutut difleksikan dan dilakukan hiperekstensi panggul. Iritasi setinggi L3

mengetahui lokasi sumbatan serta jepitan pada radiks.

dan

L4 akan membatasi gerak hiperekstensi tersebut.

Sendi sakroiliaka diperiksa dengan tes fabere atau Patrick. Dilakukan fleksi, abduksi, rotasi eksternal dan ekstensi panggul.

Evaluasi psikologis diperlukan bilamana dijumpai

Sidik tulang (bone scan). Pemeriksaan dengan cara ini dapat dipakai untuk mendeteksi adanya proses infeksi, keganasan, dan ankilosing spondilitis awal. Di samping itu defek pada bagian intrartikular yang tidak tampak dengan foto polos dapat diperlihatkan oleh teknik pemeriksaan ini.

Computed tomography. Teknik

ini banyak digunakan

sebagai alternatif tindakan mielografi, namun tidak sebagai

dalam upaya pengobatan. Salah satu cara penialaian

tindakan penapisan (screening). Hrniasi diskus dapat dideteksi lebih dari 95%. Mengingat mahalnya tindakan tersebut, maka teknik ini dipakai apabila dicurigai adanya

emosional pasien dilakukan dengan MMPI(The Minnesota

kelainan anatomik.

kelainan pada faktor kepribadian dan menyangkut kesulitan

Multiphasic Personality Inventory). Dengan metoda ini mudah diketahui besamya skala histeria maupun hipokondria

pada pasien. Memang sangat sulit menentukan apakah gangguan psikologis atau emosional terjadi akibat proses nyeri itu sendiri atau sebaliknya.

Pencitraan resonansi magnetik (magnetik resonance imaging). Dengan teknik ini dapat diperlihatkan kelainan pada jaringan lunak. Korpus verteba, diskus serta kanalis

spinalis dengan mudah dapat dilihat tanpa menggunakan

kontras. Sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi ditunjukkan dalam mendeteksi osteomielitis.

Pemeriksaan Laboratorium Tidak dijumpai satu pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan sebagai penyaring penyebab keluhan nyeri pinggang bawah. Tes laboratorium hanya dipakai sebagai

data tambahan terhadap berbagai penyakit kausal yang memang memiliki karakteristik nilai laboratorik tertentu.

Penatalaksanaan Penanggulangan nyeri pinggang bawah berhrjuan untuk mengatasi rasa nyeri, mengembalikan fungsi pergerakan

dan mobilitas, mengurangi residual impairment, pencegahan kekambuhan serta pencegahan timbulnya

nyeri kronik. Perlu diperhatikan walaupun yang Pemeriksaan Radiologis tr'oto polos. Standard pemeriksaan untuk nyeri pinggang bawah adalah foto posisi anteroposterior, lateral dan coned down lateral view.Datatambahan dapat diperoleh melalui

terbaik adalah memberikan pengobatan sesuai dengan penyebab nyeri, tetapi sangat sulit menentukannya pada fase akut nyeri atau bahkan pada nyeri kronik sekalipun.

posisi foto oblik. Dengan diskus awal tampak apabila terdapat pengurangan tinggi celah diskus di sisi anterior

Penanggulangan nyeri akut. Nyeri dapat diatasi dengan pemberian obat-obatan, istirahat dan modalitas. Penjelasan

dan pergesaran intervertebra anteroposterior pada posisi lateral fleksi dan ekstensi. Keadaan lebih tanjut akan tampak berupa kolaps celah diskus, sklerosis serta pembentukan osteofit. Akan tetapi kelainan lain seperti adanya osteofit yang dijumpai pada osteoartritis lumbal dapatpula dijumpai pada beberapa penyakit tulang belakang seperti sindrom reiter, spondilitis ankilosa atau arhitis psoriatik serta adanya kelainan pada diskus tidak mencerminkan sebagai stimber nyeri pinggang bawah. Kelainan seperti skoliosis, lordosis

singkat penatalaksanaan perlu diberikan dan hindari penggunaan istilah yang tidak banyak dimengerti oleh awam atau dapat menimbulkan rasa takut seperti kata

lumbal yang meningkat mempengaruhi keluhan nyeri tersebut di samping diskepansi panjang tungkai yang lebih

dai4,5cm.

nyeri skiatik, artritis, spasme, penyakit diskogenik

dan

sebagainya.

Pemberian obat anti radang nonsteroid (OAINS) diperlukan untuk jangka waktu pendek disertai dengan penjelasan kemungkinan efek samping dan interaksi obat. Tidak dianjurkan penggunaan muscle relaxant karena memiliki efek depresan. Pada tahap awal, apabila didapati pasien dengan depresi premorbid atau timbul depresi akibat rasa nyeri, pemberian anti depresan dianjurkan.

2723

NYERI SPIRAL

Istirahat secara umum atau lokal banyak memberikan manfaat. Tirah baring pada alas yang keras dimaksudkan untuk mencegah melengkungnya tulang punggung. Pada episode akut ini diperlukan 3-5 hari tirah baring, kecuali pada keadaan skoliosis disertai nyeri radikular hebat atau herniasi diskus akutyang memerlukan istirahat lebih lama Iagi sampai 5 minggu. Posisi tidur disesuaikan terhadap rasa nyaman yang dirasakan pasien. Beberapa pasien merasa lebih enak pada posisi terlentang dengan ekstensi penuh, beberapa dengan posisi semi Fowler atau bahkan

dalam curled up fetal position. Istirahat pada nyeri

pinggang bawah ini tidak hanya diartikan tidur, tetapi perlu dijelaskan lebih rinci pada pasien antara lain posisi istirahat tidak dengan duduk tegak lurus, mengubah posisi tidur miring ke arah berlawanan dikerjakan dengan

panggul dan lutut dalam fleksi, pinggang harus dalam posisi sedikit fleksi pada keseluruhan pergerakan tersebut, tidak membuat lordosis berlebihan selama berdiri dan menjaga berat tubuh berada di tengah kedua kaki.

Latihan mulai diberikan pada hari ketiga, keempat, dengan memberikan fleksi ringan . Dilanjutkan dengan

pemberian modalitas lainnya. Modalitas yang diberikan sangat beragam. Bila disertai stattr protective

mereka yang baru sembuh dari fase akut nyeri atau

bilamana kekerapan kambuh yang tinggi. Tujuan penggunaan korset adalah mengurangi spasme yang dilakukan sebagai tindakan bidai pada tulang belakang, memperbaiki posfur dan mengurangi gerakan vertebra lumbal.

DIAGNOSIS BANDING

Penyakit inflamasi sistemik pada tulang belakang. Penyakit inflamasi sistemik seperti artritis reumatoid seringkali menyebabkan kelainan pada vertebra lumbalis. Selain itu proses inflamasi lain akibat spondiloartropati seperti spondilitis ankilosa, dan spondilosis hiperostotik memberikan keluhan nyeri pinggang bawah pula.

Infeksi. Osteomielitis piogenik dengan penyebaran hematogen kuman golongan stafilokok atau basil gram negatif, seringkali memiliki predileksi pada kolumna vertebralis. Di samping itu nyeri dapat berasal dari infeksi pada celah diskus. Keadaan ini lebih

sering setelah tindakan eksisi pada diskus dan lebih merupakan infeksi iatrogenik. Infeksi lain yang

spasm pemberian kompres es atau semprotan etil klorida, fluorimetan dapat membantu mengatasi nyeri. Latihan dengan memberikan tarikan (strelching) dapat dilakukan melalui beberapa cara antara lain dengan latihan posisi knee chest dan fleksi lateral. Traksi dianjurkan bila terdapat herniasi diskus lumbal. Tarikan ini lebih ditujukan untuk mengurangi lordosis dan menjauhkar facet joint serta membuka

memberikan gambaran nyeri pinggang bawah di antaranya adalah blastomikosis, kriptokokosis, aktinomikosis, koksidioidomikosis, tuberkulosis, spondilitis sifilitik dan kista hidatid.

foramen.

menyebabkan fraktur pada bagian posterior vertebra seperti

Nyeri tidak selalu dapat diatasi dengan cara-cara di

Spondilolisis/spondilolistesis. Spondilolistesis dapat disebabkan oleh proses degeneratif pada diskus dan biasanya disertai dengan stenosis spinalis lokal atau akibat ruda paksa. Kebanyakan akibat ruda paksa ini

atas. Terkadang diperlukan tindakan injeksi anestetik atau anti inflamasi steroid pada tempat-tempat tertentu seperti

pedikel atau faset. Suatu proses patologik lain yang mengakibatkan spondilolistesisi dapat ditemukan pada dengan penyakit tulang atau mengenai tulang

injeksi pada faset, sekitar radiks saraf, epidural, intradural.

belakang seperti osteopetrosi, artrogriposis, penyakit

Keterampilan sangat menentukan dalam tindakan

paget, sifilis, artropati neurogenik, spondilitis

penyuntikan tersebut, karena sangat bergantung dari

tuberkulosa, giant cell tumor atau metastasis tumor.

lokasi jaringan sebagai sumber nyeri. Pencegahan Kekambuhan

Setelah fase akut teratasi diperlukan tindak ianjut berupa perbaikan fleksibilitas dan kekuatan otot, perbaikan postur tubuh, kebiasaan kerja dan aktivitas sehari-hari (activities of daily living IADL), perubahan serta modifikasi aspek

psikososial.

.

Pelatihan peregangan (low back slretching exercise). Tarikan dimulai dengan latihan dalamcurled upJetal position, kemudian dilanjutkan dengan latihan fleksi

lateral, gravitonic stretch exercise, latihan yoga, pelvic tilting exercise, erect flat back exercise, hamstring stretching exercise, heel cord stretching darr

.

exercise

for stretching

Spondilolistesis yang diakibatkan proses-proses patologik

tersebut biasanya mengenai segmen proksimal dari

hip flexor.

Korset/ bracing. Penggunaan korset diberikan pada

tulang vertebra lumbalis.

Sebab lain nyeri pinggang bawah. Sebagaimana telah disebutkan dalam pendahuluan maupun pemeriksaan fi sis, berbagai penyakit lain yang tidak bersangkutan dengan tulang belakang dapat memberikan sensasi nyeri pada daerah tersebut. Memang sangat jarang keluhan penyakit

non tulang belakang ini yang hanya memberikan gambaran rasa nyeri pada pinggang bawah semata, tetapi biasanya disertai gejala lain sesuai dengan penyakit yang mendasarinya. Organ visera intra-abdomi-

nal, retroperitoneal maupun pelvis memberikan sensai nyeri alih dermatomal, tidak memburuk dengan

aktivitas dan nyeri tidak berkurang dengan istirahat.

2724

REUMANOI.OGI

Beberapa penyakit di antaranya adalah ulkus peptik, g astritis, fumor pada duodenum, gaster atau pankreas, dan pendarahan retroperitoneal. Pada wanita, tumor pada

uterus aatau vesika urinaria memberikan rasa nyeri pinggang namun lebih ke arah sakral. Demikian pula nyeri akibat haid dan malposisi uterus.

REFERENSI Adnan M. Low Back Pain Dipandang dari Segi Reumatologis Dalam

Lumbantobing SM, Tjokronegoro A. Judana A, eds. Nyeri Pinggang Bawah (Low Back Pain) Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. I 983:5 1-65. Cailliet R. Low Back Pain. Philadelphia: EA Davis Company 1987. Caitliet R. Neck and Arm Pa.in. Philadelphia: EA Davis Company. 1978. Frymoyer JW, Booth RE, Rothmman RH. Osteoarthritis syndromes of the lumbar spine. In: Moskowitz RW, Howell DS, Mankin HJ

Eds. Osteoarthritis, Diagnosis and Medical/

Surgical

Management. Philadelphia: WB Saunders Co. 1992: 683-136. Hardin JG, Halla JT. Cervical spine syndrome In: McCarty DJ. Koopman WJ. Eds. Arthritis and Allied Condition. l2ed. Philadelphia: Lea & Febiger, 1993: 1563-71. Hoppenfeld S. Physical Examination of The Spine and Extremities. Norwalk Connecticut: Appleton Century Croft. 1976; 105-131, 237 -63.

Hart FD, Clarke AK. Clinical Problems in Rheumatology. Singapore: Kin Keong Printing Co 1993:1-5,51-60 Hicks JE, Gerber LH. Rehabilitation in the management of patients with osteoarlhritis. In: Moskowitz RW Howell DS, Mankin HJ. Eds Osteoarthritis, Diagnosis and Medical/ Surgical Management. Philadelphia: WB Saunders Co. 1992: 440-41. Levine DB, Leipzig JM. The painful back. In: McCar[, DJ, Koopman WJ. Eds. Arthritis and Allied Condition. 12ed Philadhelphia: Lea & Febiger, 1993: 1583-1600. Misbach J. Aspek Neurologi pada Nyeri Pinggang Bawah. Dalam: Kumpulan Makalah Simposium Terobosan Baru di Bidang Rheumatology, Jakarta: Indonesian Rheumatic Centre, Ikatan Reumatologi Indonesia, WHO-COPCORD. 1995 Nasution AR. Peranan dan Perkembangan Reumatologi Dalam Penanggulangan Penyakit Muskuloskeletal di Indonesia. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia 1995:4-5. Nakano KK. Neck pain: In Kelley, Harris, Ruddy, Sledge, eds Textbook of Rheumatology, 4th ed. Philadelphia: WB Saunders Co. 1993:26-748.

Phull PS. Management of chervical spine In Delisa JA ed. Rehabilitation of Medicine, Principles and Practice. Philadelphia: JB Lippincott 1998: 749-64. Padang C. Low back pain Dalam. Kumpulan naskah WHO-COPCORD-IRA,

Post Graduate Corrse, Jakarta 1994:13 -20

Schumacher HR, Klippel JH, Koopman WJ. Primer on the Rheumatic Diseases, 9ed. Atlanta GA.: Arthritis Foundation 1993:269-12.

4t6 PENYAKIT JARINGAN IKAT HEREDITER Faridin

PENDAHULUAN

Penyakit jaringan ikat herediter merupakan suatu konsekuensi akibat gangguan struktur atau kuantitas matriks ekstraselular, termasuk jaringan kolagen spesifft, fibrilin-fibrilin, dan matriks ekstraselular nonkolagen serta proteoglikan. Komposisi molekul dan organisasi jaringan ikat disebut sebagai matriks ekstraselular yang luar biasa kompleks. Masih banyak hal yang belum diketahui tentang

jumlah, struktur, lokasi gen yang mengontrol sintesis dan metabolisme jaringan ikat ini. Gen yang terususun lebih dari 195 protein, termasuk gen yang mengatur metabolisme dan perkembangan skeletal telah diketahui. Mutasi dari gen ini merupakan penyebab berbagai variasi kelainan dari penyakitjaringan ikat. Kelainanjaringan ikat herediter akan mengikuti hukum Mendel, namun memperlihatkan variasi heterogenitas dalam anggota keluarga. Penyakit jaringan ikat herediter pertama kali ditemukan oleh McKusick pada tahun 1955, mencakup pada Osteodistrofi Imperfecta (OI), sindrom Marfan (SMF), sindrom Ehlers-Danlos (SED), pseudosantoma elastikum. Karakteristik fenotip dari kelainanjaringan ikat herediter kadang tidak jelas, masih memerlukan pemahaman genetik dan biokimia. Lebih dari 200 kelainan termasuk kelainan jaringan ikat herediter.

Berikut ini akan dij elaskan beberapa penyakilpenyakit jaringan ikat herediter yang sering ditemukan.

SINDROM MARFAN

diteliti, kelainan dasar terdapat pada fibrillin-1. Protein merupakan unsur utama mikrofrbrill ekstraselular, terletak pada lokus 15q21 . Mikrofibril ditemukan di seluruh tubuh, mempunyai ukuran 10-14 nm, membentuk ikatan dengan tropoelastin berupa ikatan serat elastis. Fibrilin merupakan molekul yang memiliki fungsi penting pada beberapa

organ yang mengandung serat elastis, seperti pada pembuluh darah arteri, ligamen-ligamen, dan pada parenkim paru.

Sindrom Marfan merupakan kelainan jaringan ikat herediter yang diturunkan secara autosomal dominan, dilaporkan mempunyai insidens l/10.000 sampai 20.000 kasus.

Manifestasi skeletal dari SMF berupa postur tubuh sangat jangkung, proporsi segmen atas tubuh (lengan)

lebih pendek dibanding segmen bawah dari tubuh (tungkai) disebut sebagai dolikostenomelia, ditemukan juga pemanj angan jari-j ari tangan (araknodaktili). Kelainan dinding dada depan berupa pektus ekskavatum, karinatum atau dinding dada depan yang asimetris. Kelainan kolumna vertebralis dalam hal ini hilangnya kifosis torakal yang mengakibatkan bentuk dada lebih melurus, dan skoliosis.

Kontraktur sendi appendikuler, protrusio asetabulum, hiperekstensi dari sendi lutut (genu rekurvatum), dan pes planum. Semua pasien SMF ditemukan gangguan penglihatan karena miopia, diperkirakan setengahnya disertai dengan subluksasio lentis (ektopia lentis). Dilatasi aorta asenden secara gradual, berhubungan dengan pecahnya serat elastis, regurgitasi aortayang merupakan penyebab utama kematian.

Penatalaksanaan Sindrom Marfan adalah dengan patiatif dan preventif. Kelainan kolumna vertebralis dapat dikoreksi dengan bracing,khususnya pada anak-anak dan dewasa muda. Bila kelengkungan vertebra sudah melebihi 40-45 derujat perlu stabilisasi dengan tindakan bedah'

Sindrom Marfan (SMF) ditemukan kelainan pada beberapa organ dan jaringan, khususnya kelainan skeletal, mata,

kardiovaskular, paru-paru dan susunan saraf pusat. Diagnosis didasarkan atas gejala klinis, bentuk herediter autosom dominan. Pada beberapa kasus SMF yang telah

2725

2726

Ukuran aorta ascenden diperiksa dengan ekokardiografi, bila diameter aorta lebih dari dua kali ukuran normal (sekitar 55 mm pada orang dewasa) harus dilakukan tindakan bedah. Untuk mengurangi ketegangan dinding aorta dapat diberikan beta adrenergik. Perempuan yang menderita SMF mempunyai risiko terjadinya luptur aorta

RELJMA*IOLOGI

gen proko lag err- I atau u-2.

Diagnosis sindrom Sticler dipikirkan bilabayi baru lahir dengan banyak kelainan kongenital, seperti pembesaran

pergelangan tafigat, atau pergelangan kaki dan lutut. Sedangkan pada dewasa muda bila terdapat penyakit panggul degeneratif.

pada masa kehamilan. Perempuan dengan diameter pangkal

aorta lebih dart 40 mm, merupakan kontra indikasi untuk hamil.

Kelainan dinding dada berupa pektus ekskavatus dan karinatus, atas indikasi kosmetik dapat dilakukan koreksi

dengan tindakan bedah. Kadang-kadang tindakan dini diperlukan jika ada gangguan respirasi yang membahayakan.

HOMOSISTINURIA

Homosistinuria dihubungkan dengan kelainan metabolisme metionin sejak lahir, hal ini diakibatkan oleh defisiensi ensim sistationin beta-sintase. Gejala klinis mirip dengan SMF, seperti ektopia ientis, postur tubuh yang tinggi, araknodaktili, dan kelainan

skeletal dan dinding dada, yang berbeda dengan homosistinuria adalah ditemukan osteoporosis generalisata, retardasi mental, trombosis arteri dan vena.

Dikenal tiga tanda kardinal dari gambaran klinis homosistinuria adalah retardasi mental, kelainan jaringan ikat dan trombosis. Patogenesis dari manifestasi klinis di atas tidak diketahui. Pasien dengan homosistinuria, sekitar 50%o akan berespons dengan pemberian vitamin 86 (piridoksin) dosis besar (dosis lebih dari 50 mg perhari), untuk menurunkan plasma metionin plasma dan homosistinuria. Vitamin 86

merupakan ko-faktor untuk sintesis beta sistationin. Adanya retardasi mental dan ektopia lentis yang terjadi lebih dahulu, tidak dapat dikoreksi dengan pemberian vitamin 86, sangat diperlukan diagnosis dini sehingga terapi dapat diberikan lebih dini pula. Diagnosis dini dapat dilakukan dengan memeriksa kadar metionin darah saat lahir. Pada pasien yang tidak berespons baik dengan vitamin B6 (piridoksin-nonresponsders), terapi bisa dilakukan dengan diet rendah metionin dan terapi oral betain, terapi ini biasanya berhasil.

SINDROM STICLER Sindrom Sticler merupakan kelainan autosom dominan berut, yang ditandai dengan miopia progresif, degenerasi vitreal, perlengketan retina, kehilangan pendengararryang

bersifat sensori-neural, hipoplasia mandibula, hiper dan hipomotilitas sendi, displasia epifiseal tulang panjang, dislokasi dan degenerasi sendi. Keadaan ini disebutjuga artro-oftalmopati. Sindrom Sticler disebabkan oleh mutasi

SlNDROM EHLERS.DANLOS Sindrom Ehlers-Danlos (SED) merupakan suatu kelompok kelainan dengan variasi fenotip yang luas karena luasnya variasi genetik yang terjadi. Tanda-tanda kardinal SED berhubungan dengan kelainan sendi dan kulit, berupa hiperekstensibilitas kulit, peningkatan mobilitas sendi, kulit mudah memar, dan fragilitas jaringan abnormal. Terdapat 6 tipe SED, yang didasarkan pada gambaran fenotip dan karakteristik hereditel dengan gejala-gejala klinis masingmasing tipe akan drjelaskan di bawah ini:

Sindrom ehlers-danlos tipe klasik. Tipe ini sebelumnya dikenal pula sebagai SED tipe I dan II. Ditandai dengan hiperekstensibilitas sendi dan kulit, kulit mudah memar dan sangat rapuh, luka yang sukar menyembuh sekalipun hanya karena trauma ingan, penutupan sutura yang terlambat. Dislokasi sendi panggul saat baru lahir, pada usia tua sering

terjadi dislokasi sendi, efusi sendi, dan spondilolistesis, skoliosis kadang-kadang berat. Sindrom Ehlers-Danlos tipe klasik ini diturunkan secara autosomal dominan dengan variasi yang luas. Penanganan difokuskan pada pencegahan trauma dan perawatan luka.

Sindrom ehlers-danlos tipe hipermobilitas. Dahulu dikenal dengan SED tipe IV. SED tipe ini, keterlibatan kulit jarang ditemukanjika dibandingkan dengan tipe klasik. Umumnya ditemukan kelainan sendi, berupa hiperekstensi bentuk sedang hingga bentuk ekstrim. Bila seseorang didapatkan keluhan kelemahan sendi tanpa disertai ketidakstabilan sendi, dapat dikategorikan ke dalam tipe ini.

Sindrom ehlers-danlos tipe vaskular. Tipe ini sangat berbahaya, oleh karena mudah terjadi ruptur arteri dan usus yang dapat menyebabkan kematian. Pasien SED tipe vaskular ditemukan defisiensi kolagen tipe III, akibat rnutasi yang terjadi pada gen COL3A1. SED tipe vaskular sebelumnya dikenal sebagai tipe SEDJ\'. Kulit sangat tipis, translusen, hiperekstensibilitas dan ditemukan kelemahan sendi terbatas pada sendi-sendi jari tangan. Diturunkan secara autosomal dominan, dapat terjadi secara sporadik dalamkeluarga.

Sindrom ehlers-danlos tipe kifoskoliosis. Sebelumnya dikenal sebagai SED tipe V, disebut tipe kifoskoliosis karena melibatkan sendi-sendi vertebra, berupa kifosis dan skoliosis yang berlebihan. Kelainan lain yang dapat ditemukan adalah bola mata yang rapuh, kulit dan ketidakstabilan sendi. Diturunkan secara autosomal resesif.

2727

PEiIYAKIT JARINGAN IKAI HEREDITER

Sindrom ehlers-danlos tipe artrokalasia. Disebut artrokalasia karena proses pembentukan

sendi semasa j

anin

COLIA1 dan COLIA2, merupakan pemeriksaan yang sangat sensitif. Pemeriksaan ini penting dilakukan jika

tidak terjadi secara sempurna. Sehingga pada SED tipe ini biasanya ditandai tidak adanya persendian, dislokasi sendi kongenital, postur tubuh yang pendek, keterlibatan kulit juga dapat ditemukan. Sebelunya dikenal sebagai SED tipe

gambaran klinis dan radiologis tidak dapat menyingkirkan

VIIAdanVIIB

penelitian sebagai pengobatan osteoporosis cukup aman

Sindrom ehlers-danlos tipe dermatosparaksis. SED tipe ini ditemukan kelainan pada kulit, fasia otot serla kelainan

meresorbsi fulang. Pamidronat diberikan secara intravenous akan meningkatkan densitas massa tulang dan dapat

sendi. Sebelumnya dikenal sebagai SED tipe

VIIC'

SED tipe

derrnatosparaksis diturunkan secara autosomal resesif, karena defisiensi N-propeptidase yang memecah prokolagen tipe L

kausa lainnya. Penatalaksanaan difokuskan pada kelainan tulang yang

terjadi, seperti osteoporosis. Bifosfonat pada beberapa

dan efektif, bekerja menghambat osteoklas yang mengurangi kejadian fraktur pada anak dengan OI' Penelitian yang dilakukan oleh Astrom E,dkk. pada 30 anak (umur 3 - I 6 tahun) menderita OI berat diberikan pamidronat intravena selama 4-6 bulan. Setelah 5 tahun dilakukan

pemeriksaan dengan dual-energy r-ray absorptiometry

SINDROM OSTEOGENESIS IMPERFEKTA

(DEXA).Densitas massa tulang vertebra lumbal meningkat, dan kejadian fraktur menurun, namun tidak bermakna

Gambaran klinis yang sering ditemukan pada osteogen-

penurunan nyeri. Pemeriksaan regular setelah usia dewasa

esis imperfekta (OI) adalah pada tulang, mata. gigi, gangguan pendengaran dan sistem kardiovaskular. Gambaran klinis pada tulang berupa tulang yang sangat

secara statistik. Beberapa anak dilaporkan terjadi

untuk mengevaluasi pendengaran pasien OI sangat dianjurkan.

rapuh, dapat terjadi fraktur intra-uterina didasarkan diagnostik radiologi antenatal, fraktur tulang iga multipel. Gambaran klinis pada mata adalah skleraberwamabiru, atau kebiru-biruan (sering ditemukan pada OI tipe I, II dan lll.). dan kornea mata tipis. Gangguan pendengaran dapat terdeteksi pada dekade

dua atau ketiga dari kehidupan. Gangguan pendengaran pada OI akibat dari otosklerosis yang terjadi sebelum usia dewasa. Penyebab lain adalah akibat menipisnya membran

timpani, dan tulang-tulang pendengaran tidak saling berhubungan (disconnected). Manifestasi klinis pada gigi dari pasien OI adalah gigi tampak berwarna biru atau kecoklatan baik pada gigi susu maupun pada gigi permanen. Hal ini sangat mudah diketahui hanya dengan observasi langsung dalam rongga mulut. Kelainan akibat pada proses pertumbuhan gigi semasa

janin.

Prolapsus katup mitral ditemukan sekitar l5o/o pada pasien OI, dilatasi aorta kadang ditemukan, namun jarang bila dibandingkan dengan MYP (mitral value prolaps). Diagnosis banding OI seperti: osteoporosis juvenile idiopatik, osteoporosis juvenile yang disertai dengan

gangguan pada mata dan retardasi mental, sindrom Hadju-Cheney, piknodisostosis (sindrom dwarfisme, tulang rapuh, ramus mandibula tidak terbentuk, fontanela yang menetap. akroosteolisis), dan hipofosfatasia.

PENATALAKSANAAN Pemeriksaan biomolekuler sangat penting untuk identifrkasi adanya mutasi gen. Biopsi kulit untuk melihat perubahan

kolagen tipe-I, pemeriksaan DNA untuk melihat mutasi

PSEU DOSANTOMA ELASTIKU M

Keterlibatan organ skeletal dan sendi pada pseudosantoma elastikum (PXE) tidak jelas, tetapi serat elastis seluruh fubuh akan mengalami kalsifikasi. PXE diturunkan secara resesif autosomal dan dominan autosoma. Diagnosis didasarkan atas pemeriksaan secara histologi

ditemukannya serabut-serabut elastik yang mengalami kalsifi kasi. Kelainan-kelainan dapat ditemuk an pada mata, pembuluh darah dan kulit. Sklerosis arteriolar secara

histologipatologis mirip dengan arterioloklerosis Mockenberg, hilangnya pulsasi arleri-arteri perifer secara

perlahan-lahan, infark miokard, dan perdarahan gastrointestinal, komplikasi ini umumnya akan menyebabkan kematian. Pada mata, kejadian yang sama

akan ditemukan, seperti pecahnya membran Bruch's, perdarahan retina akan menyebabkan kebutaan yang progresif.

FIBRODISPLASIA OSSIFTCAN PROGRESIF Fibrodisplasia ossifican progresif (FOP) merupakan osifikasi progresif pada ligamentum, tendon, dan aponeurosis otot, terjadi sejak awal kehidupan dan akan berlanjut sepanjang hidup. Penyebab FOP tidak diketahui dengan pasti, beberapa kasus diturunkan secara dominan autosomal. Gambaran klinis mirip dengan tanda-tanda inflamasi, dapat ditemukan nodul di dinding dada bagian belakang, leher, atau kepala. Panas yang bersifat lokal, leukositosis dan peningkatan laju endap darah, sehingga kadang didiagnosis dengan demam reumatik. Petunjuk

2728

yang dapat mengarahkan diagnosis FOP adalah bentuk kaki pendek dan besar kadang disertai jempol kaki yang pendek. FOP merupakan penyebab hallux valgus kongenital. Harapan hidup pasien FOP akan menurun akibat gangguan pernapasan yang disebabkan oleh pengembangan paru-paru mengalami restriksi progresif.

REFERENSI Astrom E, Soderhall S. Beneficial effect of long term intra-venous bisphosphonate treatment of osteogenesis imperfecta. Arch Dis Chi1d. 2002;86 : 356-364 Dolan AL, Arden NK, Grahame R, et a1 : Assessment of bone in

REI,'MITTOI.OGI

Ehlers- Danlos syndrome by ultrasound and densitometry. Ann Rheum Dis. 1998;57 : 1167-1175 Gott VL, Greene PS, Alejo DE, et al : Replacement of the aortic root in patients with Marfan's syndrome. N Engl J Med 1999;340

:

1307-13 13

Marini JC : Do bisphosphonates make children's bones brittle or better? N Engl J Med. 2003;349 : 423-426 Pyeritz RE.Heritable disorders of connective tissue. In: Primer on The Rheumatic Disease, 12'h ed, Edit by Klippel JH. Atlanta: Arthritis foundation; 200 1.p. 483 -92 Sbapiro JR.Heritable disorders

of structural proteins. In: Kelley

Textbook of Rheumatology, 6'h Ed, Edit by Ruddy S, Harris ED, Sledge CB. Philadelphia:W.B.Saunders; 2001.p.1433-61

Stewart DR, Pyeritz RE.Heritable and developmental disorders of connective tissue and bone. In: Arthritis and allied conditions

15th ed edit by William J. Koopman, Larry WMoreland. Philadelphia:Lippincot William & Wilkins; 2005.p 1991-2035

4t7 DISPLASIA TULANG DAN SENDI Nyoman Keftia

Displasia tulang dan sendi merupakan kelompok dari

hanya sedikit dipahami, berbagai tipe dari gangguan pada

berbagai kondisi dimana perkembangan dan fungsi tulang

protein-protein

dan sendi terganggu. Kondisi-kondisi

ini melibatkan

kondrodisplasia, osteokondrosis, osteodisplasia seperti sindroma osteogenesis imperfekta dan beberapa kondisi Iain yang jarang terjadi atau hanya sedikit reievansinya dengan reumatologi

KONDRODISPLASIA Kata kondrodisplasia secara literatur berarti abnormalnya pertumbuhan kartilago yang diturunkan secara genetik yang akan menyebabkan gangguan fungsinya sebagai template untuk pertumbuhan tulang. Gambaran klinis

secara khusus didominasi dengan berbagai derajat dwarfisme (kerdil) dan adanya deformitas tulang dan sendi.

Karena gen yang mengandung mutasi kondrodisplasia seringkali tidak spesifik terhadap pertumbuhan tulang, maka manifestasi klinis seringkali tidak hanya pada kartilago artikuler namun meluas ke kartilago-karlilago di jaringan lainnya.

Patogenesis Kebanyakan tulang berkembang dan tumbuh melalui proses osifikasi endokondral, dimana kartilago berperan sebagai template untuk pembentukan tulang. Pada postembrionik pertumbuhan tulang dan osifikasi terjadi

pada lempeng pertumbuhan dekat ujung tulang. Kondrodisplasia merupakan akibat dari terjadinya mutasi pada gen yang mengkode struktur protein dari matriks kartilago dan protein yang meregulasi fungsi lempeng pertumbuhan, termasuk faktor pertumbuhan, reseptor dan faktor transkripsi. Protein-protein ini berperan terhadap berbagai aspek berbeda dari osifikasi endokondral yang dibutuhkan untuk peftumbuhan tulang normal. Meskipun

ini akan mempengaruhi pertumbuhan

tulang dan menunjukkan manifestasi klinis lainnya.

Klasifikasi Lebih dari 100 bentuk klinis dari kondrodisplasia kini telah diketahui. Berdasarkan perbedaanny a pada presenta si klinis, gambaran karakteristik dari radiografi tulang, histologi lempeng pertumbuhan dan pola keturunan, gangguan-gangguan ini dikelompokkan menjadi beberapa kelas sesuai dengan gen yang mengalami mutasi.Skema klasifikasi terbaru terutama berdasarkan pada genetika molekuler, namun dasar genetika dari berbagai gangguan banyak yang belum diketahui dan sebagai konsekuensinya klasifikasi terus berkembang. Berikut akan dipaparkan berbagai j enis kondrodisplasia.'

Akondroplasia. Kelas dari gangguan autosom dominan ini melibatkan displasia tanatoforik yakni kondrodisplasia tersering yang bersifat letal pada periode perinatal; akondroplasi a yaflg merupakan kondrodisplasia non-letal

terbanyak dan hipokondroplasia. Meskipun ketiganya berbeda dalam keparahannya, gambarannya secara kualitatif tidak berbeda. Mutasi heterozigot dari gen yang mengkode reseptor faktor perlumbuhan dari fibroblast telah teridentifikasi pada ketiga kondisi ini.

.

Akondroplasia Akondroplasia mempunyai prototipe dwarfisme dengan tungkai pendek, sudah dapat diketahui pada saat lahir dengan trunkus panjang dan sempit, tungkai pendek (khususnya bagian proksimal) serta kepala besar dengan bagian dahi prominen (menonjol) dan hipoplasia dari

wajah bagian tengah. Kebanyakan sendi dapat mencapai hiperekstensi khususnya lutut, namun mobilitas sikunya terbatas. Problem paling serius berhubungan dengan kanalis spinalis yang sempit,

2730

REUMAIOI.OGI

khususnya pada tingkat foramen magnum. Anomali ini

bisa menimbulkan hipotonia, keterlambatan

perhrmbuhan, kuadriparesis, apnea bahkan kematian bayi mendadak. Problem masa kanak-kanak yang sering adalah infeksi telinga tengah, padatnya gigi-geligi dan pembengkokan kaki. Harapan hidup adalah normal j ika tanpa problem neurologis yang mengancam pada masa bayi . Pada saat remaja. pria bisa mencapai tinggi 132 cm dan wanita 124 cm. Nyeri sendi saat berdiri sering terjadi, mungkin disebabkan tidak lurusnya tulang yang menopang berat badan dan obesitas yang juga sering terjadi. Stenosis pada spina lumbalis bisa menyebabkan parestesia, klaudikasio, mati rasa pada kaki serta disfungsi miksi dan defikasi. Wanita hamil dengan

akondroplasia perlu dimonitor ketat dan sebaiknya

melahirkan dengan bedah sesar. prevalensi

akondroplasia heterozigot pada komunitas kerdil cukup tinggi, jika orang dengan kondisi ini saling menikah maka keturunan mereka memiliki risiko 25o/o terkena

.

akondroplasia

Hipokondroplasia

Hipokondroplasia biasanya tanda-tandanya tidak diketahui hingga pertengahan sampai akhir masa kanak-

kanak. Orang dengan hipokondroplasia tampaknya memiliki akondroplasia 'rrngan' dengan tungkai pendek (kebanyakan segmen proksimal), dan kepala normal atau sedikit membesar. Riwayat alamiah biasanya tidakjelas,

selain dari tubuhnya yang pendek. Insidensi yang pasti dari hipokondroplasia tidak diketahui, sebab seringkali tidak terdeteksi

Displasia Spondiloepifiseal Kondisi ini merupakan kelas yang luas dari kelainan autosom dominan dengan gambaran klinis yang merefleksikan berbagai derajat disfungsi dari kolagen tipe II yang merupakan stmktur utama dari protein kartilago. pada bentuk yang parah, berbagai tipe dari kartilago danjaringan

lainnya yang mengandung kolagen tipe II terlibat, namun pada bentuk yang lebih ringan hanya karlilago artikuler yang terlibat. Beberapa contoh dari kelas ini adalah:

.

Displasia spondiloepifiseal kongenital. Bentuk dari displasia ini adalah prototipe dari dwarfisme tubuh pendek. Neonatus dengan displasia spondiloepif,rseal kongenital memiliki leher pendek, hrbuh berbentuk tong

pendek, seringkali dengan celah palatum serta kaki bengkok. Tungkai proksimal adalah pende( namun tangan, kaki, kepala dan wajah tampak berukuran normal. Skoliosis seringkali terjadi pada masa kanakkanak dan bisa menyebabkan gangguan respirasi. Hipoplasia odontoid merupakan predisposisi menjadi

instabilitas servikomedular dan kompresi korda spinalis, namun kematian mendadak jarang terjadi.

Osteoartritis, khususnya sendi panggul dan lutut secara

tipikal tampak pada dekade ketiga. Miopia berat

.

sering terjadi dan lepasnya retina / ablasio sering terjadi dengan bertambahnya umur anak. Rentang tinggi badannya setelah dewasa adalah antarag5 hingga l2g cm.

Displasia Kniest. Saat lahir, bayi dengan displasia Kniest memiliki tubuh dan tungkai pendek, wajah datar dan mata yang menonjol. Jai-jarinyapanjang, kaki bengkok serta sering didapat celah palatum. Aspek yang paling mengganggu adalah pembesaran sendi progresif selama

masa kanak-kanak yang berhubungan dengan kontraktur dengan nyeri hebat dan bahkan osteoartritis. Hilangnya pendengaran (ketulian) juga sering terjadi, demikian juga miopia berat yang sering berkomplikasi

.

dengan lepasnya retina I ablasio. Sindrom Stickler. Gambaran klinis dari sindroma Stickler didominasi dengan masalah okuler. Myopia berat biasanya didapat pada saat lahir, demikian juga adanya celah palatum danrahatgyang kecil. Lepasnya retina / ablasio terjadi selama masa kanak-kanak, seperti juga

degenerasi koroidoretina dan vitrous. Hilangnya pendengaran sensorineural seringkali terjadi selama masa remaja. Osteoartritis sering terjadi pada dekade kedua dan ketiga. Tubuh pendek bukanlah gambaran dari sindrom Stickler, beberapa pasien menunjukkan habitus tipe Marfan dan kelemahan sendi. Displasia spondiloepifisial onset lambat. Beberapa mutasi kolagen tipe II bermanifestasi terutama sebagai osteoartritis

prekok dari sendi penyangga berat badan. Radiografi biasanya menunjukkan perubahan seperli apa yangterlihat pada displasia spondiloepifisial, namun beberapa pasien bertubuh normal dan tidak mengalami abnormalitas lainnya. Kata familial osteoarthritis atau dominant autosom ost eo arthritis seringkali digunakan untuk menggambarkan sindroma ini.

Displasia epifiseal multipel dan pseudoakondroplasia. Kedua kelainan ini diklasifikasikan bersama karena mutasi pada gen cartilage oligomeric matrix protein (COMP) yang sama-sama ditemukan pada kedua gangguan ini. Tipe Fairbank dari displasia epifiseal multipel biasanya terdiagnosis pada masa kanak-kanak karena tungkai agak pendek, cara berjalan bergoyang-goyang dan nyeri sendi. Radiografi memrnjukkan keterlibatan epifi seal generalisata.

Tipe Ribbing dari displasia epifiseal multipel bisa tidak terdeteksi hingga masa remaja. Karena keterlibatannya khusus terbatas pada femur proksimal., tipe Ribbing dari displasia epifiseal multipel seringkali dibingungkan dengan penyakit Legg-Calve-Perthes bilateral. Kedua tipe dari displasia epifiseal multiple ini seringkali berhubungan dengan tubuh agak pendek dan osteoartritis dari sendi penyangga berat badan. Pseudoakondroplasia mempunyai

ciri khas yaitu

tampak pada tahun kedua atau ketiga kehidupan, dimana

terjadi perlambatan dramatis dari pertumbuhan tulang bersamaan dengan gay a berjalan bergoyang-goyang dan

2731

DISPI.ASTIA TUI.ANG DAN SENDI

kelemahan sendi generalisata. Kepala dan wajah tampak

kardiorespirasi. Hipoplasia odontoid sering terjadi.

normal, namun tangan pendek dan besar dan deviasi ulnar sering terjadi. Perlambatan pertumbuhan akan memburuk sepanjang umur. Komplikasi utama paling banyak mengenai sendi lutut, dimana terjadi berbagai deformitas lutut. Osteoartritis sendi panggul dan lutut

Kebanyakan sendi menjadi besar yang menyebabkan terbatasnya mobilitas. Kontraktur sering terjadi pada

sering terjadi.

.

panggul dan lutut.

Kondrodisplasi puntata. Kelainan ini dibedakan menjadi dua jenis yaitu:

Kondrodisplasia risomelik yang tarnpak pada saat lahir dengan ditandai pemendekan yang berat dan simetris dari tungkai, kontraktur pada banyak sendi, katarak, rash ikhtyosiformis, kebotakan, mikrosefali dan muka

Displasia diastrofik. Displasia diastrofik biasanya tampak saat lahir. Bayi mempunyai ekstremitas yang sangat pendek

dengan tangan khas

dimanajari-jaityapendek dan salah

letak proksimal ibu jari (ibu jari seperti berboncengan). Terdapat fusi tulang dari sendi metakarpopalangeal yang menghasilkan simfalangisme dan deviasi ulnar dari tangan. Celah palatum dan kaki bengkok sering tefadi. Telinga luar sering mengalami inflamasi segera setelah kelahiran dengan penyembuhan yang menyisakan jaringan fibrosis ringan (deformitas cauliflower). Skoliosis dan kontraktur sendi multipel biasanya mulai pada masa kanak-kanak dan berkembang progresif dan berat. Tinggi badan saat dewasa bervariasi dari 105-130 cm.

Kondrodisplasia metafiseal. Kondisi ini merupakan kelompok gangguan heterogen yang melibatkan metafisis. Ada tiga tipe dari kelainan ini yaitu tipe Jansen, tipe Schmid dan tipe McKusick. Pada tipe Jansen tungkai tampak sangat pendek, dahi menonjol dan rahang yang kecil sudah tampak saat lahir. Beberapa bayi mengalami kaki bengkok dan hiperkalsemia.

Sendi membesar dan kaku semasih masa kanak-kanak.

Kontraktur fleksi pada pinggul dan lutut sering mengakibatkan postur sangat bungkuk. Pada tipe Schmid gangguan biasanya muncul pada umur 2-3 tahun karena pemendekan tungkai ringan, kaki yang tampak bengkok, gaya berjalan bergoyang-goyang dan seringkali nyeri pinggul. Setelah dewasa tampak tubuhnya agakpendek dan tidak memiliki banyak masalah yang menimpa sendinya.

Tipe McKusick juga disebut hipoplasia rambut kartilago. Kelainan ini bermanifestasi sebagai keterlambatan pertumbuhan pada umur 2-3 tahun. Ditandai

dengan tungkai yang pendek dan bengkok, tangannya juga pendek dan agak besar dengan jari-jari pendek dan kadang terpotong serta bisa didapat pelebaran ruang interkosta bagian bawah. Kelemahan ligamentum tampak nyata, rambut cenderung pirang dan tipis dengan kulit berpigmen terang. Beberapa pasien mempunyai masalah defisiensi imun, anemia, penyakit Hirschsprung dan malabsorpsi. Orang dewasa menunjukkan dwarfisme nyata serta mempunyai predisposisi terhadap infeksi tertentu, keganasan kulit dan jaringan limfoid.

Displasia metatrofik. Bayi baru lahir dengan displasia metatrofik memiliki tungkai pendek namun tubuh panjang dan sempit. Kifoskoliosis yang bermula pada akhir masa bayi atau awal kanak-kanak, bisa menyebabkan masalah

.

yang datar dengan hipoplasia dari ujung hidung. Bayi yang menderita kelainan ini gagal tumbuh dengan baik dan biasanya meninggal pada tahun pertama. Kondrodisplasia terkait kromosom X Kelainan ini bisa terkait kromosom X secara dominan maupun resesif. Bentuk resesif dari kelainan ini adalah simetris dan berat sedangkan bentuk dominan relatif ringan dengan distribusi asimetris. Beberapa derajat kontraktur, katarak, rash kulit dan kebotakan ditemukan padakelainan ini. Kondisi asimetris bisa semakinburuk

dan skoliosis bisa terjadi sepanjang waktu, namun orang dengan kelainan ini memiliki harapan hidup yang normal.

Brahyolmia. Ada tiga tipe brahyolmia yang diketahui, memiliki gambaran klinis yang mirip. Tampak dari awal hingga pertengahan masa kanak-kanak mempunyai tubuh agak pendek, terutama melibatkan bagian trunkus. Nyeri punggung dan panggul khususnya terjadi selama masa remaja dan berlanjut hingga masa dewasa. Kekakuan punggung sering terjadi dan beberapa pasien mengalami semuanya

skoliosis.

Diagnosis Beberapa kondisi akondroplasia dapat terdiagnosis dengan cara sederhana dengan pemeriksaan hsik pasien, namun diagnosis biasanya dibuat berdasarkan data-data

kombinasi unik dari klinis, radiografis dan gambaran genetik. Karena gambaran klinis terus berubah perlahan sepanjang waktu maka riwayat alamiah harus dicatat ketika mengevaluasi pasien. Informasi paling berguna biasanya datang dari radiografi skeletal. Seperti gambaran klinis, karakteristik radiografis berubah menurut umur' Film yang diambil sebelum pubertas biasanya lebih informatif karena penanda radiografi dari beberapa gangguan menghilang

setelah penutupan epifisis dan kenyataannya seringkaii

sulit membuat diagnosis khusus dari radiografi postpubertas. Karena banyak pasien merupakan kasus pertama dan satu-satunya dalam keluarga, maka silsilah keluarga hanya sedikit membantu karena pola keturunan tidak dapat ditentukan. Namun demikian, riwayat keluarga seringkali memberikan kunci penting ke arah diagnosis. Padazamandahulu tes laboratorium tidak berguna dalam

mendiagnosis kondrodisplasia, namun karena proses

2732

REI,JMAIOI.OGI

mutasi telah diketahui dengan baik, maka tes genetik

osteoartritis dari sendi penyangga berat badan,

membantu untuk gangguan yang disebabkan oleh mutasi

berdempetnya gigi geligi, kesulitan melahirkan, obesitas

berulang dalam populasi. Meskipun evaluasi histotogis dari spesimen lempeng perlumbuhan sering menunjukkan perubahan yang khas, biopsi jarang dilakukan karena diagnosis biasanya dapat dibuat dengan cara lain.

OSTEOKONDROSIS

J

UVENI L

Osteokondrosis juvenil merupakan kelompok gangguan heterogen dimana terjadi artropati noninflamasi akibat dari

gangguan regional dari pertumbuhan skeletal. Anak-anak

dan problem psikologis berkaitan dengan tubuh yang pendek. Rekomendasi umum dapat dibuat untuk mengatasi

berbagai masalah yaitu menghindari jenis olahraga dan

aktivitas yang bisa menyebabkan trauma dan beban mekanik sendi. Penggantian sendi seringkali diperlukan untuk osteoartritis progresif. Kendali diet harus dimulai pada masa kanak untuk mencegah obesitas pada saat dewasa. Perawatan gigi harus dimulai pada awal masa kanak-kanak dalam hal penatalaksanaan kepadatan dan salah arah (m i s a I i gnm en t). Kar ena tulang p elvis try a y alg

terbatasnya gerakan dari sendi yang terkena (seperti pada penyakit Legg-Calve-Perthes dan penyakit Scheuermann)

kecil, wanita hamil dengan kondrodisplasia harus diberrkan tatalaksana yang tepat, bahkan kadang harus diberikan tatalaksana bedah sesar. Inteligensi biasanya normal pada orang dengan kondrodisplasia nonletal, namun karena

atau dengan nyeri lokal dan kadang nyeri tekan dan pembengkakan (seperti pada penyakit Freiberg, penyakit

pasien mudah dikenali sebagai 'berbeda' dari temantemannya, mereka dan keluarganya sering merasa lebih

Osgood-Schlatter dan osteokondritis disekan). Pertumbuhan tulang menjadi tidak normal dan menghasilkan deformitas seperti tibia yang bengkok

puas

pada penyakit Blount.

REFERENSI

Patogenesis dan Diagnosis

Horlon WA Bone and Joint Dysplasias in Klippel, J H., Crofford,L.J, Stone,J.H., Weyand,C.M , Primer on the Rheumatic Diseases, 2001, 12 ed, pp 218-225. Arthritis Foundation, Georgia Horton WA, Hecht JT. Chondrodysplasias:part I General concepts,

bisa merasakan nyeri ringan yang menyebabkan

jika mendapat dukungan sosial.

, Patogenesis diduga melibatkan nekrosis iskemik dari pusat osifikasi endokondral primer maupun sekunder. Beberapa

kasus bisa berhubungan dengan beban mekanik dan

trauma. Kebanyakan gangguan-gangguan ini terjadi secara sporadis namun bentuk familial pemah dilaporkan. Diagnosis osteokondrosis juvenil biasanya dapat

ditegakkan secara radiografis. Magnetic Resonance Imaging (MRI) bisa berguna untuk menentukan lesi.

Penanganan Tidak ada terapi definitif untuk mengatasi defek pertumbuhan tulang akibat displasia sendi dan tulang.

Konsekuensinya, penanganan diarahkan untuk pencegahan dan koreksi deformitas skeletal serta mencegah komplilasi nonskeletal. Manajemen dipandu

dengan pemahaman tentang riwayat alamiah dari gangguan-gangguan ini, sehingga problem khusus yang berhubungan dengan gangguan ini dapat diantisipasi dan

diterapi lebih awal. Problem yang sering pada kondrodisplasia melibatkan gangguan respirasi,

diagnostic and managemen considerations. Steinmann B (eds). Connectiye Tissue and

ln: Royce P, lts Heritable

Disorders. New York:Wiley-Liss (In Press) 2001

Morris N, Keene DR, Horton WA Morphology of connective tissue: carlilage. In: Royce P, Steinmann: B (eds). Connective Tissue and lts Heritable Disorders. New York: Wiley-Liss, (InPress) 2001. Horton WA. Molecular genetic basis olthe human chondrodysplasias. Endocrinology Merab Clin North Am :1996:25:683-697. Rinoin DL, Lachman RS. Genetic disorders of the osseous skeleton

In:BeightonP(ed). McKusick's Heritable Disorders of Connective lissue,5th ed. St Louis: Mosby, 1993.p 557-690

Rinoin DL, Francomano CA, Giedion A, et al. International nomenclature and classification of the osteochondrodysplasias. Am J Med Genet 1998:79:376-382. Sharrard WJW. Abnormalities of the epiphyses and limb inequality.

In: Paediatric Orthopaedics and Fracture,3'd ed.Oxford: Blackwell Scientific Publications, 1993:pp 7 19-814. Tachdjian MO. Osteochondroses and related disorders. In. Pediatric Orthopedics,2"d ed. Piladelphia: WB Saunders, 1,990.p 9321062.

4t8 NEOPLASMA TULANG DAN SENDI Edward Stefanus Tehupeiory

PENDAHULUAN Tumor primer atau kelainan-kelainan yang menyerupai

Itmor (tumor-like disorders) dari sendi atau lebih khusus pada sinovium adalah sangat jarang, namun harus dipertimbangkan kemungkinan adanya tumor (diagnosis

deferensial) bila ditemukan penyakit sendi yang monoartikuler. Beberapa neoplasma berasal dari sendi itu sendiri, atau sebagai hasil penetrasi dan metastasis dari tempat lain. Keganasan dapat bermetastasis ke tulang ataupun sendi. Neoplasma sendi dibagi atas neoplasma sendi primer dan neoplasma sendi sekunder. Klarifikasi tumor tulang berdasarkan perkembangan tulang dan formasinya terbagi atas tipe yang spesifik yaitu

yang oseous dan nonoseous. Neoplasma primer pada sendi jarang dan yang bersifat ganas lebih jarang lagi. Neoplasma pada sendi dapat berasal dari sendi itu sendiri atau berupa metastasis dari

tempat lain. Terdapat dua jenis kelainan yaitu pigmented villonoduler synovitis dar' synovial chondromatosls yang merupakan kelainan proliferatif yang paling sering timbul dari dalam sendi. Lesi-lesi primer yang

lain seperti lipoma arborescens, hemangioma sinovia, kondroma intrakapsuler dan kondrosarkoma sinovia' Sarkoma sinovia dan sel tumor giant adalah neoplasma yang biasa meluas kedalam sendi. Keganasan yang bermetastasis ke sendi. Berdasarkan hal tersebut di atas bahasan berikutnya hanya dibahas neoplasma sendi.

Klasifrkasi neoplasma sendi berdasarkan kausa adalah primer dan sekunder.

synovitis G\rNS). Kelainan ini terjadi dalam 3 bentuk: (l) Giant cell tumor dari selaput tendon (localized giant cell tumor). (2) Nodul intra artikuler yang soliter (lokal PVNS) dan (3) Lesi villous difus pigmen mengenai jaringan sinovia (dffise tenosynovial giant cell tumor). Hanya bentuk (2) dan (3) yang dibahas pada tulisan ini.

Bentuk giant cell tumor lokal merupakan bentuk terbanyak pada sendi tangan dan kaki, tetapi juga pada intra dan ekstraartikuler sekeliling sendi-sendi besar. Tumor ini tumbuhnya pelan dalam masa multi noduler yang berlokasi pada sendi-sendi tangan dan terbanyak pada perempuan dengan umur 30 dan 50 tahun. Bentuknya khas dengan ukuran kurang dari 5 Cm. Pada potongan tumor terlihat berwarna kuning (mengandung kolesterol) dan cokelat (hemosiderin). Pada pemeriksaan mikroskopis

menunjukkan suatubentuk selular dan multinoduler dengan lapisan kapsul yang tipis.

Bentuk yang kedua Dffise tenosynovial giant cell tumor secara morfologis hampir menyerupai Giant cell

tumor dan selaput tendon (tendon sheath), namun dari presentasi klinik dan pertumbuhannya sangat berbeda dengan kedua bentuk local dan yang difus.'Bentuk ini terdapat sekeliling sendi-sendi besar yang berturut-turut adalah sendi lutut, pinggul, ankle, siktt dan sendi bahu. Gejala berupa nyeri sendi, bengkak dan disfungsi sendi.

Efusi sendi yang berisi darah sering ditemukan. Didapatkan pada umur dewasa muda, dengan umur kurang dari 40 tahun. Tumor ini ditemukan intra artikular yang meluas sepanj ang permukaan sinovia, y ang dap at meluas ke lapisanbursa periartikuler dan jaringan sekitamya. Sama dengan bentuk lokal, wama dapat bervariasi tergantung

pada kandungan NEOPLASMA SENDI PRIMER Suatu kelainan proliferatifyang tidak diketahui kausanya dan mempengaruhi sinovia adalah pigmentid vill onodul er

lipid dan hemosiderin. Kandungan

hemosiderin lebih sering dibandingkan dengan bentuk tumor lokal. Mikroskopis sama dengan bentuk lokal, tetapi lebih banyak memberi gambaran mitosis' Gambaran klinik dari

2733

2734

REI.'ilIATOI.OGI

bentuk tumor difus ini lebih agresif dan menunjukkan lebih banyak bersifat lokal.

mempunyai sifat oleh replacement jaringan adipose pada orang dewasa pada stroma sel sinovia. Pemeriksaan

mikroskopis terdapat pergantian difus dari jaringan lunak subsinovia dengan jaringan adipose yang dewasa.

NEOPLASMA SENDI SEKUNDER

Hubungannya dengan

lesi sendi

degeneratif,

menunjukkan bahwa kelainan ini merupakan kelainan

Sarkoma Sinovia

yang reaktif.

Bentuk ini jarang terdapat sel-sel sinovia yang ganas. Sendi yang paling sering terkena adalah sendi ekstremitas bawah dengan insiden tertinggi adalah pada umur I 5 dan 40 tahun.

Giant CellTumor Bentuk tumor ini merupakan tumor jinak (lihat bahasan di depan). Klasifikasi lain tumor sendi adalah tumor benigna dan fumor ganas.

Fibroma of Tendon Sheafh Fibroma dari selaput tendon adalah suatu tumor multinoduler myofibroblastik yang primer pada tangan yang sama dengan bentuk lokal dari tenosinovitis noduler.Kelainan ini lebih banyak pada lelaki. Hasil sitogenetik menunjukkan suatu kesamaan yang bukan suatu kariotipe seperli pada giant cell tumor yang lokal.

Kondroma

TUMOR BENIGNA

Kondroma yang terdiri dari 2 jenis neoplasma kartilago yang benigna dan terdapat disekitar sendi, yaitu: kondroma

Hemangioma Sendi Tumor inijarang, secara eksklusifkhusus pada anak dan dewasa muda. Penampilan tumor ini berupa sakit sendi

jaringan lunak dan kondroma intrakapsuler ekstra sinovia

atau hemartrosis yang rekuren.

temporomandibuler. Berbatas tegas, nodullobuler dan berbeda tegas dengan kartilago dan beberapa bentuk

Identifikasi tumor ini biasa

gagal dengan pemeriksaan radiografis. Dengan pemeriksaan MRI memberi hasil yang cukup baik. Tumor

ini

ada 3 jenis: hemangioma kapiler, hemangioma

kavernosa atau varises, dan hemangioma arteri venosus. Ketiga bentuk ini dibedakan berdasarkan ukuran dan tebal pembuluh darah. Kelainan-kelainan ini adalah benigna dan diobati dengan cara eksisi. Patogenesis dari lesi-lesi ini tidak diketahui secara pasti, namun diduga adalah hamartoma, neoplasma asli atau lesi reaktif karena trauma sekunder.

Lipoma Arborescens Lipoma arborescens adalah lesi yang jarang. Kelainan ini

mengalami osif,ftasi. Jenis yang kedua, intra kapsuler ekstra sinovial kondroma berbeda dalam hal lokasi yaitu di dalam kapsul sendi. Beberapa laporan kasus didapat bahwajenis kondroma ini terdapat utamanya pada lutut, kemudian pada sendi elbow, dan panggul.

Miksoma Insiden miksoma sukar ditentukan. Suatu penelitian dari 65 kasus ternyata miksoma tidak jarang ditemukan. Beberapa kasus dilaporkan sebagai kista meniskus atau parameniskus. Tumor sering ditemukan pada pria dekade ke-3 dan ke-5 dan biasanya pada lutut danjuga dapat pada

Tumor of Osseous Origin Osseous

Caftilaginous Osteochondroma solitary and multiple Chondroma Chondromyxoid fibroma Chondroblastoma, benign and malignant Chondrosarcoma, primary or secondary

Osteomas and ossifying fibromas of skull and jaws Osteoidosteoma Osteogenic sarcoma, sclerosing and osteolytic Parosteal osteoma and myositis ossificans

Marrow and Haversian Sysferns Ewing's sarcoma Primary reticulum sarcoma Multiple myeloma Chloroma and leukimia of bone Reticuloendotheliosis Xanthomas and granulomas of bone *Flilzr rlin A^ri Oal

(dikutip dari 4). Jenis kondroma jaringan lunak terdapat utama pada tangan dan kaki, pada sendi

-

)

Tumor of Nonosseous Origin Metastatic Deposirs

ResorPtive Bone cyst Diffuse osteitis fibrosa (parathyroidism)

Fibrous dysplasia, polyostotic or monostotic Giant cell tumor

etc.

By lnclusion or Direct lnvasion Chordoma Angioma, angiosarcoma Fibroma and fibrosarcoma, fascial or nerye

Metastatic lymphomas and sarcomas

sheath

Carcinoma of prostate, breast, Kidneys,

Myosarcoma Liposarcoma

2735

NEOPI.ASTMA TULAI\G DAN SENDI

sendi-sendi besar yang lainnya. Gejala klinik adalah sekat pada sendi dan masa yang cepat tumbuhnya. Mikroskopis

tumor ini sama dengan miksoma pada jaringan lunak

Agiosarkoma Agiosarkoma adalah tumor maligna dan endotelium. Dengan demikian tumor ini dapat terjadi pada organ-

lainnya. Patogenesis dan miksoma belum diketahui secara pasti. Penelitian Sciot R. dkk. dengan analisis sitogenetik dilaporkan 2 bentuk klonal.

organ dengan jaringan lunak. Agiosarkoma pada sendi sangat jarang, tetapi tumor ini dapat timbul dalam tulang

Sinovial Kondromatosis Pada jenis tumor ini sinovium ditabur dengan nodul kartilago dan biasanya rongga sendi mengandung beberapa chondroid loose bodies. Jenis tumor ini lebih

Tumor Metastatik Metastatis kedalam sinovium sangat latang. Pada

sering pada pria dan paling sering pada sendi lutut. Didapat klinik berupa sakit sendi; bengkak

yang meliputi sendi.

penelitian akhir didapat 28 kasus; namun distribusi tipe tumor sangat luas. Kanker paru adalah jenis kanker yang paling sering metastasis ke sendi.

pada dekade ke-7. Gejala

dan disfungsi. REFERENSI

TUMORGANAS (MALTGNA)

Kondrosarkoma ini mengenai sendi melalui 2 cara: (l) Kondrosarkoma dari tulang dapat mengenai beberapa kasus yang invasi pada sendi. (2) Kondrosarkoma timbul dalam sendi itu sendiri. Banyak laporan mengenai jenis tumor ini. Salah satu seri dari 53 kasus sinovia kondromatosis diketahui sebanyak 3 jenis transformasi maligna. Penelitian lain didapat kasus dimana mioid kondrosarkoma terjadi secara Jenis tumor

primer dalam sinovium.

Clear Cell Sarkoma Dari nama jenis fumor ini merupakan neoplasma yang sangat yang sangat ganas yang terdiri dari sel epiteloid denga sitoplasma yang jelas dengan pewarnaan. Karena secara ultrastruktural, iminofenotipe dan hestogenetik menyerupai melanoma maligna konvensional, maka dikenal sebagai melanoma maligna jaringan lunak. Jenis tumor ini

biasanya ditemukan pada kelompok umur muda dan terbanyak pada dekade ke-4. Pada penelitian Lucas

dkk. Didapat lebih banyak pada perempuan dan paling sering pada sendi kaki dan tangan. Prognosis tergantung pada ukuran, tingkat sekrosis dan nilai mito-

sis. Pengobatan berdasarkan pada pendekatan multimodalitas dengan pembedahan yang merupakan tindakan pertama. Pada beberapa kasus yangjarangdapat

timbul remisi sempurna dengan pengobatan 3 jenis kemoterapi.

Limfoma Limfoma biasanya meliputi tulang dan sumsum tulang dan dapat bermetastasis kerongga sendi. Pada satu penelitian pada kaput femoris didapat 3o/o detgan small B- cell lymphoma. Kelainan primer pada sinovia sangat jarang. Secara umum kelainan berupa proses proliferatif dan bukan inflamasi.

Copeland M.M., Geshickter CF Tumors of the bone, joint and soft parts of the extremitas christopher's textbook of surgery 7n Ed. W.B. Saunders and Co Philadelphia - London 1968 :

1t48-76

FR Lyon R., Loverna C. Synovial tumor Rheumatology Eds Klippel JH. Dieppe P t al Mosby London 1991 :39.3 -39'7 Chung EB, Enzinger FM Chondroma of soft parts Cancer 19'78:41:1414-24. Devancy K, Vinh TN. Sweet DE. Synovial hemangioma: a report of 20cases with differential diagnostic consideration. Hum pathol 1993 : 24 :137-45. Da1 Cin P et al. Translocation 2 : 11 in a fibroma of tendon sheath. Histopathology. 1998 : 32 : 433-5.

Convery

Davis RI et al. Primary synovial chondromatosis a clinicopathologic review and assesment of malignant potential. Hum pathol 1

99 8:2 9:6 83 - 8.

Fujimoto M et al. Complete remission of metastatic clear cellsarcoma with DAV chemotheraphy. Clin Exp Dermatol 2O03

: 28 :22-4

Gupta De et a[. Angiosarcoma of pelvis presenting clinically as tubercolosis of hip. J Indian Med. Assoc 1976 '. 67 '. 42-3. Hallel T, Lew S, Bansal M. Villous lipomatous proleleration of the synovial membrane (lipoma arborescens). J Bone joint surg Am 1988: 70 (2) :264-10

Klippel JH. Neoplasma of the joint primer on the rheumatic diseases 12th Ed. 47

3

Arthritis foundation. Atlanta Georgia 2001

:

-6.

Kendblom LG, Angervall L. Myxoid chondrosarcoma of the synovial tissue : a clinicophatologic histochemical and ultrastruktural analysis cancer 1983 : 52 : 1886-95. Lucan DR Nascimento AG et al. Clear cell sarcoma of 20th tissue mayo clinic experience with 35 cases. Am J Surg Pathol 1992:

t6 : ll97-204.

Meis JM, Enzinger FM. Juxta- artikuler myxoma " a clinical and p6thologih study of 65 cases. Hum pathol 1992 : 23 : 639-46. Murphy F, Dahlin D. et al. Articular synovial chondromatosis. J Bone joint surg Am 1962 : 44 : 77-86. Rao AS, Vigorita VJ. Pigmented Villo noduler synovitas (Giant cell tumor of the tendon sheath and synovial membrane) a review of eighty one cases. J Bone Joint Surg Am 1934 ; 66 : 76-94. Sreyaskumar R. et a1. Soft tissue and bone sarcoma and bone metastases. Harrison's principle of Int Med vol -1 Eds Braunwald et a1. 15th Ed Mc. Graw Hill and Co 625-32,2001. Satti MB. Tendon sheath tumors : a pathological study of the relation ship between giant cell tumor and fibroma of tendon sheath. Histopathology 1992 ;20 :213-20.

2736

Sciot R., et al. Clonal chromosomal changes in juxta - articular myxoma. Virchow arch 199 :434 : 177-80. Sugihara S. et al. Histopathology of retrieved allografis of the fumoral head. J Bone Joint Surg 1999 : 8 :336-45. Winokur TS. Siegal GP Tumor like lesions and neoplasma of joint and related structure. Arthritis and allied conditions. A textbook of rheumatology 15th Edition Eds. Koopman WJ, Moreland LW. Vol - 2. Lippencott Williams and Wilkins Philadelphia 2.005 : 2117-28. Yoanes M. et al. Monoarthritis secondary to joint metastasis. Two cases report and litterature review. Joint Bone Spine 2002 : 495-8. Zvaifler NJ. Cancer and miscellaneous arthropathy rheumatology. Klipped JH. Dieppe PA. Mosby London 1994 : 38.1 -38.5.

REI.'MIIilOI.OGI

419 OBAT ANTI INFLAMASI NONSTEROID Najirman

PENDAHULUAN

Obat anti inflamasi non steroid (OAINS) merupakan sekelompok obat yang heterogen, akan tetapi mempunyai

banyak persamaan, baik efek terapeutik maupun efek samping. Kelompok obat ini pertama kali dilaporkan oleh Edmund Stone pada pertengahan abad ke 1 8 yang berkasiat

untuk mengobatan demam. Pada tahun 1829 Zat aklif tersebut berhasil diisolasi oleh Leroux dan kemudian dikenal dengan nama salisin. Hidrolisis salisin akan menghasilkan glukosa dan salisilat alkohol yang selanjutnya dikonversi menjadi asam salisilat. Sodium salisilat perlama kali digunakan untuk pengobatan demam reumatik dan gout tahun 1 875. Setelah terbukti mempunyai

khasiat sebagai anti inflamasi, maka tahun 1899 obat tersebut pertama kali diperkenalkan pada dunia kesehatan dan dikenal dengan nama aspirin, berasal darikata Spraea, nama tumbuhan asal asam salisilat diekstraksi. Obat anti inflamasi nonsteroid merupakan kelompok obat yang paling sering diresepkan di seluruh dunia dan merupakan salah satu kelompok obat yang paling sering digunakan di bidang reumatologi. DiAmerika serikat saja

diperkirakan sekitar 60-70 juta OAINS diresepkan setiap tahun dan lebih dari 30 miliar tablet terjual setiap

prostaglandin, bradikinin, leukotrien, interleukin, histamin, serotonin, tumor nekrosis faktor alfa dan lain-lain. Obat anti inflamasi non steroid bekerja terutama dengan cara menghambat pembentukan prostaglandin dan leukotrien,

sehingga dapat mencegah/ mengurangi terjadinya inflamasi. Di samping itu ada juga OAINS yang bekerja menghambat bradikinin. Prostaglandin mempunyai fungsi utama mengatur proses fisiologis serta sebagai mediator nyeri dan inflamasi. Prostaglandin G2 (PGG2) merupakan yang pertama dibentuk dari asam arakidonat dan sangat tidak stabil.

Selanjutnya PGG2

ini

akan direduksi oleh enzim

siklooksigenase (COX) menjadi prostaglan dinH2 (PGH2), dan pada akhirnya akan dikonversi lagi menjadi prostaglandin D2 (PGD2), prostaglandir,l2 (PGI2), prostaglandin E2 (PGE2),prostaglandin F2 (PGF2) dan tromboksan,A'2 (TxA2) oleh enzim isomerase. Jenis prostaglandin yang akan terbentuk tergantung pada jenis jaringan, karena setiap jaringan mempunyai enzim isomerase yang berbeda. Misalnya pada platelet akan membentuk tromboksat 42,

sedangkan PGI2 dibentuk oleh sel endotel pembuluh darah.

tahunnya.

Efek terapeutik dan efek samping yang timbul akibat penggunaan OAINS berkaitan dengan aktivitas obat tersebut yang menghambat aktivitas enzim (COX), dalam sintesis prostaglandin. Seperti tampak pada Gambar 1. Enzim siklooksigenase bekerja merubah asam arakidonat

MEKANISME KERJA

menjadi prostaglandin (PG), di samping itu jugaadaenzim lipoksigenase yang juga merubah asam arakidonat menjadi

Sebagian besar penyakit di bidang reumatologi ditandai dengan adarya inflamasi sebagai respons tubuh terhadap adarrya kerusakan jaringan dan inflamasi tersebut akan menimbulkan rasa nyeri. Nyeri juga merupakan keluhan

leukotrien (LT). Asam arakidonat sendiri berasal dari membran fosfolipid yang dihidrolisis oleh etzim fosfolipase A2.

yang paling sering dijumpai dan yang mendorong

Penelitian berikutnya menemukan bahwa ternyata siklooksigenase mempunyai 2 bentuk isoenzim yang

seorang pasien untuk berobat pada dokter. Pada proses inflamasi dilepaskan sejumlah mediator inflamasi seperli

dikenal dengan istilah COX-l dan COX-2 dengan struktur dan fungsi yang berbeda. Penemuan ini sangat penting

2737

2738

REI'MAIIOI.OGI

Asam Arakidon:

cox-2

COX-1

(Constitutive

(lnducible)

\c)_.--

C)

OAINS

ntegritas gastrointestine Agregasi trombosit Fungsi ginlal I

I

llr rLnLniiLni

Tempat inflamasi - l\4arofag

- Sinoviosit - Sel endotel Fungsi ginjal

Gambar l.Jalur pembentukan prostaglandin dan tromboksan oleh enzim siklooksigenase dan pembentukan leukotrien oleh enzim 5-lipoksigenase

untuk menjelaskan cara kerja OAINS serta pengembangan obat baru dengan toksisitas lebih rendah. Enzim COX-I

merupakan bentuk konstitutif dan terutama banyak diekspresikan pada sebagian besar jaringan, platelet, ginjal dan mukosa lambung, bertanggung jawab untuk proteksi mukosa lambung, regulasi aliran darah di ginjal serta agregasi trombosit. Sementara enzim COX-2 terutama diekspresikan pada jaringan yang mengalami inflamasi dan berperan terhadap rangsangan yang terjadi akibat proses inflamasi seperti oleh sitokin proinflamasi,

faktor pertumbuhan dan lipopolisakarida bakteri. Di samping itu COX-2 juga diekspresikan pada sel endotel dan otot polos pembuluh darah, sel podosit intraglomerular, pada ovarium dan uterus serta pada tulang, yang mengatur peran fisiologis organ tersebut. Enzim COX-I dar COX-2 juga dijumpai pada jaringan sinovium pasien reumatoid artritis dan osteoartritis. Dengan demikian COX-l dan COX-2 mempunyai fungsi yang saling tumpang tindih dan berperan penting dalam menjaga homeostasis tubuh 6'TEnzim COX-1 dikode oleh gen yang terletak pada kromosom 9, sebaliknya gen yang

mengkode enzim COX-2 teletak pada kromosom

1.

Enzim COX-l aktivitasnya relatif konstan dalam menjaga fungsi homeostasis tubuh, sebaliknya enzim COX-2 aktivitasnya dapat meningkat menjadi 10-80 kali lipat selama proses inflamasi dan proses patologis lainnya. Perbedaan lainnya adalah, enzim COX-1 banyak terdapat pada retikulum endoplasma, sedangkan enzim COX-2 sebanyak 80-90% terdapat pada membran nukleus.

Dengan ditemukannya isozim COX dan perannya dalam mengkatalisis pembentukan berbagai prostaglandin, maka dikembangkanlah penelitian untuk menemukan obat yang selektif bekerja menghambat COX-2, dan

hanya sedikit mempengaruhi kerja enzim COX-1. Diharapkan obat baru tersebut mempunyai efek samping yang lebih ringan, tanpa mempengaruhi fungsi

konstitutifnya. Dengan demikian ada obat yang bekerja menghambat kedua enzim tersebut (nonselektif) terhadap COX dan ada yang hanya selektif terhadap

cox-2. Untuk menentukan apakah suatu OAINS bersifat non selektif ataukah selektif terhadap C0X-2, parameter yang

Ovarium dan uterus Pembentukan tulang

Gambar 2. lsoenzim siklooksigenase dan perannya

dinilai adalah kemampuan obat tersebut menghambat kerl'a kedua isoenzim siklooksigenase tersebut. Dari penelitian didapatkan bahwa selektivitas suatu OAINS terhadap COX didefinisikan sebagai konsentrasi obat tersebut yang diperlukan untuk menghamb at 50oh aktivitas COX (IC50). Rasio IC50 COX-2 frC5A COX- 1 bila lebih kecil dari 1, maka dikatakan obat tersebut bersifat selektif terhadap COX-2. Bila rasio COX-2ICOX- 1 nilainya lebih besar dari 1, maka obat tersebut lebih banyak kerj anya menghambat COX-

1

,

dan bila rasionya sama dengan 1, maka obat tersebut bersifat non selektif. Sebagai contoh, bila rasio COX}21 COX- I adalah 0,01 arlinya konsentrasi obat tersebut untuk menghambat aktivitas COX-1 adalah 100 kali dibanding dengan konsentrasinya untuk menghambat aktivitas COX2. Atal dengan kata lain obat tersebut sangat selektif terhadap C0X-2. Idealnya suatu OAINS pada dosis terapeutik mampu menghambat aktivitas COX-2 secara komplit tanpa mempengaruhi aktivitas COX-I. Dengan demikian OAINS tersebut mempunyai efek samping yangminimal, sedangkan efek anti inflamasi, analgetik dan antipiretiknya dapat diperoleh secara optimal.

Nama Obat Asetosal Diklofenak Flurbiprofen lbuprofen lndometasin Ketoprofen

Meklofenamat Mefenamic acid Naproksen Niflurnic acid Piroksikam

Sulindak Tenoksikam Tolfenamic acid Nabumeton Etodolak Meloksikam Nimesulid Celecoxib Rofecoxib

RasiolCso COX-2/lCso COX-'l 5,251163 0,06/7,59 1,24t12,7 0,8/53

5,2t60 4,6 6,5/6,6 20 0,59/59 60

7,7t300 36,6/100 1,34 16,6 0,28t1,46 0,8 0,01/0,8 0,01/0,9 0,0027 0,001

2739

OBAT ANTI INFLAI\IASI NONSTEROID

proses pembentukan prostaglandin, OAINS juga mempunyai mekanisme kerja lain sebagai obat anti inflamasi yakni: . Menghambat pelepasan lisosom . Menghambat aktivasi komplemen . Sebagai antagonis pembentukan/aktivasi kinin . Menghambat kerja enzim lipooksogenase . Menghambat pembentukan radikal bebas . Memicu agregasi dan adesi neutrofil . Meningkatkan fungsi limfosit . Berperan pada aktivitas membran sel . Menghambat pembentukan nitrik oksida dengan cara menghambat NF-kB, sehingga nitric oxide synthetase

Di samping bekerja menghambat

tidak terbentuk.

FARMAKOKINETIK Semua OAINS akan diserap secara komplit setelah pemberian secara oral. Kecepatan absorpsi berbedaantara satu orang denganyang lain, tergantung padaadahidaknya kelainan pada saluran cerna serta pengaruh makanan. Bentuk sediaan juga turut mempengaruhi absorpsi, seperti bentuk "enteric coated' akan memperlambat absorpsi,

akan tetapi juga mempengaruhi obat tersebut secara langsung terhadap mukosa lambung Sebagian besar OAINS adalah bersifat asam lemah dan lebih dari 95%o akanterikat dengan protein serum terutama albumin. Pada keadaan di mana terdapat hipoalbuminemia, seperti pada pasien penyakit kronis, penyakit hati kronis dan usia lanjut, maka perlu ada penyesuaian dosis unfuk

mencegah efek samping yang terjadi. Sebab pada

KLASIFIKASI Obat anti inflamasi nonsteroid dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai cara, seperti berdasarkan nrmus

kimia, waktu paruh dalam plasma dan aktivitasnya dalam menghambat kerja enzim COX. Berdasarkan waktu paruhnya, OAINS dapat dibedakan atas OAINS dengan masa kerj a pendek dan OAN S mas a kerj a panj ang Di samping itu berdasarkan kemampuannya menghambat enzim COX, Kelompok studi internasional tentang COX-2 mengklasifikasikan OAINS kedalam 4

kategori yakni: Spesifik terhadap COX-1, nonspesifik, preferensial terhadap COX-2 dan spesifik terhadap COX-2. Berdasarkan rumus kimianya klasifrkasi OAINS dapat dilihat pada Gambar 3.

hipoalbuminemia akan meningkatkan kadar obat bebas dalam plasma, sehingga toksisitasnya juga akan meningkat.

Hati merupakan tempat utama OAINS mengalami metabolisme dan diekskresikan melalui urin. Di samping itu ada beberapa OAINS yang mengalami siklus enterohepatik, seperti indometasin, piroksikam dan sulindak,

mengakibatkan waktu paruh yang lebih panjang' Diklofenak, flurbiprofen, selekoksib dan rofekoksib dimetabolisme di hati, sehingga harus berhati-hati penggunaannya pada pasien penyakit hati. Sebagian besar OAINS dan selekoksib mengalami metabolisme dengan melibatkan isoenzim P450 CYP2C9, tetapi tidak dengan

rofekosib.

Waktu paruh

=I'/rlJam)

Dosis

Masa kerja obat

Nama OAINS

Masa kerja pendek

Diklofenac Etodolac Fenoprofen Flurbiprofen lbuprofen lndomethacin Ketoprofen Ketorolac Meclofenamate

1,2-2 I,J 2,3

Tolmetin Celecoxib

1-1,5

Valdecoxib Salisilat Diflunisal

8-1

Nabumetone Naproxen

24 12-15 49-60

500-1000 mg, 2 x/hari 250-500 mg, 2 x/hari

29-140

100-400 mg, 1 x/hari 10-20 mg, 1 x/hari '150-200 mg, 2 x/hari

Masa kerja panjang

Oxaprozin Phenylbutazone Piroxicam

3-4 2-2,5

2-13 1-4 4-6 2-3

50-100 mg, 2rJhari 200-300 mg, 2 x/hari 300-600 mg, 3-4 x/hari 50-100 mg, 2-3 x lhari 300-800 mg, 3-4 >
11 1

2-3 7-15

30-86

Sulindac Tenidap

16-18 12-48

Meloxicam Rofecoxib

1

5-30 17

10-20 mg, l-zxlhati 2,4-6 glhari, dosis terbagi 4-5x 0,5-1,5 g/hari, dosis terbagi 2 x

600-1200m9,1xlhari

120 mg, 1 x/hari 7,5-15 mg, 1x/hari 12,5-25 mg, 1 x/hari

2740

REI.JMAIOI,.OGI

Aspirin Diflunisal

Benorylate Trisalicylate salsalate Sodium Salicylate

Etodolac lndomenthcine Sulindac

Carprofen

Tolmetin Tenidap

Ketoprofen Oxaprozin

Zomepirac Clopirac

Fenibufen Flurpirofen

Suprofen

Tiaprofenic acid

Keterolac

lbuprofen naproxen Fenoprofen

Tromenthamine

lndoprofen Benoxaprofen Pirprofen

Oxyphenbutazone Phenilbutazone Azapropazone Feprazone

Coxib - celecoxib - Rofecoxib - Valdecoxib - Etoricoxib - parecoxib -Lumiracoxib

Gambar 3. Klasifikasi OAINS menurut rumus kimianya

FARMAKODINAMIK Efek Antiinflamasi Efek antiinflamasi OAINS terkait dengankemampuan obat

ini dalam menghambat sintesa prostaglandin, karena prostaglandin baik langsung ataupun tidak langsung bertindak sebagai mediator inflamasi. Dengan demikian OAINS sering digunakan sebagai obat lini pertama untuk mengatasi proses infl amasi.

Efek Analagesik Obat anti inflamasi nonsteroid menghambat nyeri baik di perifer ataupun di sentral. Obat ini efektif mencegah ketiga jenis nyeri yakni nyeri fisiologis, nyeri inflamasi dan nyeri

neuropatik.

Efek Antipiretik

Prostaglandin E2 merupakan mediator terjadinya peningkatan suhu tubuh. Selama demam terjadi peningkatan kadar PGE2 di hipotalamus dan ventrikel ke

III.

Peningkatat

PGE

2 dihipotalamus mengakibatkan

dilepaskannya siklik adenosin monofosfat yang bertindak sebagai neurotransmiter pada pusat pengaturan suhu tubuh tersebut, sehingga suhu tubuh meningkat dan pasien mengalami demam

Efek Antiplatelet Obat anti inflamasi nonsteroid akan menurunkan agregasi trombosit yang diinduksi oleh adenosin difosfat, kolagen

atau epinefrin. Selain dari aspirin, semua OAINS menghambat agregasi trombosit secara reversible dan tergantung pada konsentrasi obat tersebut pada trombosit, Aspirin menghambat agregasi trombosit ber sifat irreversible dan dengan dosis 80 mg, lama hambatan ini dapat mencapai 4-6 hari sampai sumsum tulang membentuk trombosit yang baru. Golongan OAINS yang baru, telutama yang COX-2 spesifik inhibitor hanya sedikit menghambat agregasi trombosit.

Efek Lain Pada akhir-akhir ini juga diteliti manfaat OAINS pada penyakit Alzhaimer dan pada tumor kolorektal, telutama

2741

OBAT ANTI INFLAMASI NONSTEROID

OAINS yang menghambat COX-2 secara spesifik, karena ternyata pada kedua penyakit tersebut terjadi

mukosa, mengafur aliran darah, sekresi mukus, bikarbonat,

peningkatan ekspresi COX-2. Sehingga dengan demikian

kerusakan

diharapkan OAINS tersebut data memperbaikan

kontraksi uterus pada saat melahirkan, sehingga pemberian OANS pada perempuan yang akan melahirkan mungkin akan mengganggu proses persalinannya.

Untukmengurangi efek samping OAINS pada saluran cerna dapat dilakukan beberapa hal seperti meminum OAINS bersamaan derrgarr proton pump inhibitor (PPI), misoprostol (analaog prostaglandin), histamin-2 reseptor antagonis (H2 reseptor antagonis), dan memilih OAINS spesifik inhibitor COX-2.

Efek samping.

Ginjal

kedua penyakit tersebut. Penelitian lain juga membuktikan

peran prostaglandin waktu terjadinya ovulasi dan

Efek samping OAINS selalu dikaitkan dengan kerja obat

tersebut menghambat COX-1. Efek samping yang sering terjadi melibatkan saluran cerna, ginjal, hati, paru, sistem reproduksi, susunan saraf pusat dan hematologi.

proliferasi epitel, serta resistensi mukosa terhadap

Sebanyak 5% pasien yang mendapat OAINS akan mengalami komplikasi pada ginlal. Manifestasi klinis yang sering adalah edemaperifer, penurunan fungsi ginjal secara

akut hiperkalemia, nefritis interstisialis dan nekrosis papila renalis.Sebagian besar dari efek samping pada ginjal

tersebut bersifat reversibel. Edema perifer terjadi dise-babkan oleh peningkatan reabsorpsi natrium dan air

pada tubulus koligen akibat penurunan PGE2 yang

SALURAN CERNA

Sekitar 10-20% pasien yang mendapat OAINS akan mengalami dispepsia. Dalam 6 bulan pertama pengobatan, sebanyak 5-15% pasien

artritis reumatoid

akan

menghentikan pengobatan akibat timbulnya dispesia. Faktor risiko terjadinya kelainan saluran cerna pada penggunaan OAINS adalah usia lanjut, riwayat ulkus sebelumnya, dosis OAINS yang tinggi, penggunaan steroid atau anti koagulan yang bersamaan dengan OAINS,

adanyaHelikobakter pilori, penyakit sistemik yang berat, merokok dan alkoholisme. Terjadinya efek samping OAINS terhadap saluran cema

dapat disebabkan oleh efek toksik langsung OAINS

terhadap mukosa lambung sehingga mukosa menjadi rusak. Sedangkan efek sistemik disebabkan kemampuan OAINS menghambat kerja COX-1 yang mengkatalis pembentukan prostaglandin. Prostaglandin pada mukosa saluran cerna berfungsi menjaga integritas

,-

Systemic effect

\ i

berfungsi mengatur aliran darah pada bagian medula dan tubulus koligen Pada individu yang sehat OAINS tidak akan mempengaruhi fungsi ginjal. Gangguan fungsi ginjal terjadi bila pada pasien dehidrasi, sudah ada gangguan fungsi sebelumnya, pasien diabetes dan sirosis hepatis atau pasien usia lanjut. Gagal ginjal akut biasanya terjadi bila OAINS diberikan dengan dosis besar.

Pemberian OAINS juga dapat menyebabkan terjadi hiperkalemia. Hal ini terjadi karena terhambatnya prostaglandin yang berfungsi merangsang pelepasan renin dari

ginjal. Konsentrasi renin yang rendah mengakibatkan produksi aldosteron juga berkurang dan pada gilirannya terj adilah pengurangan ekskresi kalium. Hiperkalemia pada

pemberian OAINS ini dapat juga terjadi bila pada waktu yang bersamaan juga diberikan obat anti hiperlensi hemat kalium dan ACE inhibitor.

Komplikasi lain yang dapat terjadi tetapi jarang ditemukan adalah nefritis interstitial, sindrom nefrotik dan nekrosis papila renalis. Nefritis interstitial dan sindrom nefrotik dapat terjadi setelah 8-18 bulan penggunaan OAINS dan belum jelas patofisiologi yang mendasarinya. Nekrosis papila renalis terjadi akibat defisiensi PG yang bersifat vasodilator, sehingga mengakibatkan timbulnya iskemik dan nekrosis pada papila ginjal.

Hati

Decrease in gastric mucosal prostaglandins

Gambar 4. Mekanisme terjadinya kelainan mukosa saluran cerna akibat OAINS

Kelainan hati akibat pemberian OAINS mulai dari yang ringan sampai berat seperti hepatitis fulminant, walaupun ini jarang terjadi. adanya gangguan fungsi hati dapat diketahui dengan peningkatan enzim transaminase. Insiden gangguan fungsi hati yang berat akibat OAINS ditemukan sebanyak2,2 dari 100.000 pasien yang dirawat'

Sulindak merupakan OAINS yang paling sering

mengakibat gangguan fungsi hati.

2742

REI.,,MIIiIOI.OGI

Paru

Kulit

Pasien asma dapat mengalami serangan bila mengkonsumsi OAINS, sebab OAINS menghambat jalur siklooksigenase dari asam arakidonat. Akibat terhambat pembentukan pG,

Walaupun jarang ditemukan, OAINS dapat menimbulkan kelainan pada kulit seperti eritema multi forme, sindrom Stevens Johnson dan toksik epidermal nekrolisis. Obat

maka jalur lipooksigenase lebih aktif, sehingga akan terbentuk leukotrien yang juga lebih banyak. Salah satu leukotrien, yakni LIC4 dan LTD4 bersifat bronkokonstriktor sehingga dapat mencetuskan serangan asma.

yang sering menimbulkan efek samping

ini

adalah

piroksikam, zomepirak, sulindak, sodium meklofenamat dan

benoksaprofen

Efek Samping Lain

Jantung Obat anti inflamasi nonsteroid dapat mengakibatkan

Penggunaan OAINS pada kehamilan trimester

timbulnya hipertensi infark miokard dan gagal jantung. Hal ini disebabkan berkurangnya pembentuk prostasiklin oleh sel endotel, peningkatan trombositosis dan risiko untuk kejadian gagal jantung, terutama pada usia lanjut.

prematur dan menimbulkan hipertensi pulmoner pada bayi,

Nama obat Diklofenac Etodolac Fenoprofen Flurbiprofen lbuprofen lndomethacin Ketoprofen Ketorolac Meclofenamate Tolmetin Celecoxib

Valdecoxib Salisilat

Warfarin Sulfonylurea Beta blocker Hydralazine Prazosin ACEinhibitor Diu16tics

Phanytoin

Nama obat

Metabolisme

Hati Hati Hati, siklus enterohepatik Hati Hati Hati, siklus enterohepatik Hati Hati Hati Hati Hati Hati Hati dan ginjal

Diflunisal Nabumetone Naproxen Oxaprozin Phenylbutazone Piroxicam Sulindac

Hati Hati Hati dan ginjal Hati Hati Hati, siklus enterohepatik Hati Hati Hati Hati

Non selektif OAINS Non s6lektif OAINS Phenylbutazone OAINS lainnya

OAINS OAINS OAINS Sebagian besar OAINS Aspirin lndomethacin Sallicylates OAINS lainnya Piroxicam Sebagian besar Sebagian besar

lycosides Sebagian besar

exate . valproate Antacids Cimetidine

besar OAINS Probenecid Naproxen Chlestyramine Aspirin Caffein Aspirin dan lainnya Sebagian

lvletoclopramide

dapat

sedangkan pada ibu dapat terjadi kesulitan waktu persalinan dan perdarahan, karena hipotonia uteri. Pada sistem hematopoeitik OAINS dikaitkan dengan

Metabolisme

Phenylbutazone COX-1 spesifik Phenylbutazone Salisilat dosis tinggi Non selektif OAINS

III

mengakibatkan penutupan duktus arteriosus secara

Tenidap Meloxicam Rofecoxib

lnhibisi metabolisme warfarin, peningkatan efek antikoagulan Peningkatan risiko perdarahan karena inhibisi fungsi platelet, kerusakan mukosa lambung lnhibisi metabilisme sulfonil urea, meningkatkan risiko hipoglikemia Berpotensi menimbulkan hipoglikemia Mengakibatkan hipotensi, tetapi tidak bersifat kronotropik/ inotropik negatif Kehilangan efek hipotensi

Kehilangan sifat natriuretik, diuretik, efek hipotensi dari furosemide lnhibisi metabolisme, meningkatkan toksisitas Menggeser phenytoin dari protein plasma, menurunkan konsentrasi bentuk aktif n konsentrasi lithjum da gkatkan konsentrasi dig gkatkan konsentrasi am gkatkan konsentrasi me bolisme valproate,

meni

te dalam plasma

Aluminium dalam antacid mengurangi absorpsi indomethacin Sodium bikarbonat meningkatkan absorpsi indomethacin Meningkatkan waktu paruh dan konsentrasi piroxicam dalam plasma Mengurangi metabolisme dan klikrens OAINS diginjal Mengurangi absorpsj naproxen l\,4eningkatkan absorpsr asprrrn

lvleningkatkan absorpsi aspirin pada penderita migrrains

2743

OBAT ANTI INFLAMASI NONSTEROID

kejadian anemia aplastik, agranulositosis

dan

trombositopenia. Sedangkan pada sistem sarafpusat dapat

timbul keadaan seperti dizzines, depresi, bingung, halusinasi dan meningitis aseptik akut, walaupun jarang dilaporkan.

Pelletier MJ, Lajeunesse D, Reboul P, Pelletier JP. Therapeutic role

of dual inhibitors of 5-LOX and COX, selective

and

non-selective non-steroidal anti-inflammatory drugs. Ann

Interaksi Obat Obat antiinflamasi nonsteroid dimetabolisme dihati dan ginjal serta mengalami siklus entero-hepatik. Interaksi

OAINS dengan obat lain akan mempengaruhi farmakokinetik dan farmakodinamik obat tersebut.

Rheum Dis 2003;62:501-9 Robert JL II, Morrow JD. Analgesic-antipyretic and anti-inflammatory agents and drugs employed in the treatment of gout. In : Wonsiewicz MJ, Morriss JM (Eds) Goodman and Gilman's The Pharmacological basis of therapeutics, 10th. Mc Graw-Hill Medical Publishing Division, New York, 2001: 687-'127. Sabagun ES, Weisman MH. Nonsteroidal Anti-inflammatoey Drugs. In: Ruddy S, Harris ED, Sledge (Eds).Kelley's Textbook of Rheumatology 6'h edition. WB Sounders Company, Philadel-

phta 2001,:799-822 Sundy JS. Non Steroidal Antiinflammatory Drugs.

REFERENSI Collier DH. Nonsteridal Antiinflammatory Drugs. In : West

S

(editors). Rheumatology Secrets 2'h edition. Hanley & Belfus Inc, Philadelphia 2O02561 -51 De Broe ME, Elseviers MM. Analgesic Nephropathy NEJM

1998;338:452 Furst DE, Hillson

Osiri M, Moreland LW. Specific Cyclooxygenase 2 Inhibitors: A New Choice of Non Steroidal Anti-Inflammatory Drug Therapy. Arthritis Care and Research 1999;12(5):351-9

j. Aspirin

and Other Nonsteroidal Antiinflamma-

tory Drugs. In : Koopman WJ (Ed). Arthritis and Allied Conditions 14th edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia 2001: 665-703

Lelo A. Pertimbangan baru dalam pemilihan

selektivitas

penghambatan C0X-2 sebagai anti nyeri dan anti inflamasi.

Dalam : Setiyohadi B, Kasjmir Reumatologi 2002:78-8 1

YI (Editor) Temu Ilmiah

In :Koopman,

Moreland LW (Eds). Arthritis and Allied Conditions 15'h edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia 2005: 679-98 Simon LS. NSAIDs: Overview of adverse effects. http://www. UpTo

Date 2005 Wolfe MM, Lichtenstein DR, Sing G Gastrointestinal toxicity of nonsteroidal antiinflammatory drugs. NEMJ 1999;17: 1

888-99.

Wilder RL. Nonsteroidal antiinflammatory drugs. In : Klippel JH (Eds). Primer on The Rheumatic Diseases, 12th edition. Arthritis Foundation. Atlanta 2001: 583-91

420 OPIOID, ANTI DEPRESAN DAN ANTI KONVULSAN PADA TERAPI NYERI RiardiPramudiyo

oPlolD

pada tingkatan korda spinalis. Pada sistem limbik, opioid akan merubah respons emosional terhadap nyeri sehingga

Sudah puluhan tahun opioid dipakai dalam penanganan nyeri baik sebagai obat tunggal maupun sebagai bagian

hal ini akan membuat lebih tahan terhadap nyeri. Berdasarkan atas hal-hal tersebut di atas opioid dipakai untuk mengatasi nyeri (Miyoshi & Leckband,200l).

dari terapi multimodal dan memberikan hasil yang cukup

baik. Bonica (2001) pada buku teksnya Bonica's management of Pain edist sebelumnya menyatakan bahwa opioid telah banyak dipakai dalam penanganan nyeri akan tetapi tidak memberikan hasil yang memuaskan, hal ini disebabkan oleh karena para dokter kurang terlatih dan

Pengaruh lain opioid (Miyoshi & Leckband,20O1l. Supresi batuk. Opioidjuga akan mengakibatkan depresi refleks batuk dengan cara langsung menekan pusat batuk pada medulla. Tidak ada hubungan antara aktivitas supresi batuk dengan efek depresi pemapasan. Jadi supresi batuk oleh opioid tidak mengganggu ventilasi. Opioid dari jenis ini yang banyak dipakai adalah kodein. Pada beberapa pasien supresi refleks batuk akan memperburuk keadaan, hal ini disebabkan oleh karena berkurangnya proses pembersihan dan sekresi sputum. Semua jenis opioid

kurang memahami pemakaian obat tersebut sehingga akibatnya banyak dokter kurang memahami baik tentang dosis maupun lama kerja obat tersebut serla rasa takut

akan terjadinya adiksi, ketergantungan dan depresi pernapasan. Mekanisme kerja dan pengaruh opiat. Opioid mempunyai efek farmakologi pada hampir setiap organ dalam tubuh. Beberapa efeknya menguntungkan dan yang lain merugikan tubuh. Obat ini dapat mempengaruhi berbagai macam organ tubuh penting antara lain: susunan sarafpusat, saluran cema, sistem kardiovaskular, paru-paru, genitourinaria.

sebaiknya tidak dipakai pada kasus yang sedang mengalami serangan asma, oleh karena penglepasan histamin, depresi pernapasan dan sekresi sputum yang pekat dapat menyebabkan katastrofik (Miyoshi & Leckband,2001).

Tempat dan mekanisme kerja. Bekerjanya opioid

Mual dan muntah. Mual dan muntah merupakan efek samping yang sangat tidak disukai pada pengobatan dengan opioid. Opioid akan merangsang langsung

tergantung dari besarnya dosis (dose dependent) dan pada

umumnya dapat mengendalikan setiap intensitas nyeri dengan cara meningkatkan dosis sampai pada dosis induksi

zona kemoreseptor yang menyebabkan muntah-muntah. Efek ini akan berlambah berat dengan adarrya rangsangan vestibuler, oleh karena itu pada pasien-pasien yang

anestesi. Kekurangan opioid terletak pada efek samping

obat yang ikut bertambah dengan bertambahnya dosis. Opioid sistemik akan menyebabkan analgesik pada beberapa tingkatan (level) dari susunan saraf pusat (SSP). Pada tingkat korda spinalis, opioid akan

berobatjalan akan mendapatkan efek samping ini lebih berat dari pada pasien-pasien yang tiduran. Sebagai antagonis

mual dan muntah dapat dipakai obat-obatat yang mempunyai efek memblok dopamin secara kuat, misalnya klorpromasin dan domperidon (Miyoshi &

menghambat transmisi input nosisepsi dari perifer ke SSP. Pada ganglia basalis, opioid akan mengaktifkan sistem inhibisi desending yang memodulasi input nosisepsi perifer

Leckband,2O01).

2744

OPIOID, ANTI DEPRESAI\ DAN ANTI KOT{VULSAI\ PADA TERAPI NYERI

Sedasi. Sedasi yang berlebihan, rasa kantuk, rasa bingung, pusing dan sempoyongan dapat terjadi selama beberapa hari dan pada umumnya akan berakhir dalam waktu 3-5 hari. Bila sedasi dan rasa kantuk menetap, dapat diatasi dengan cara menurunkan dosis opioid, tetapi frekuensi pemberiannya ditingkatkan untuk tetap mendapatkan efek analgesik, atau dengan cara menambahkan amfetamin untuk waktu yang singkat. Pemberian obat-obatan psikotropik dapat mengakibatkan terjadinya gangguan kognitif dan psikomotor. Pasien yang memakai opioid dengan dosis tetap dalam jangka waktu lama, misalnya pada nyeri kanker

2745

dosis tinggi. Pemberian histamin-blocking agent hanya mampu mempengaruhi secara parsial, sedang pemberian nalokson dapat mengatasi hipotensi ini secara sempurna. Di samping itu histamin juga dapat menyebabkan dilatasi

pembuluh darah perifer (kulit) yang mengakibatkan timbulnya gejala fl us h ing dan berkeringat terutam a pada muka dan tubuh. Morfin mempunyai efek vasodilatasi baik pada arteriol maupun vena perifer, jadi pemberian morfin pada pasien dengan hipovolemi dapat mengakibatkan terj adinya syok hipovolemi. Pemberian morfin pada pasien korpulmonal kronis harus sangat hati-hati, karena pernah

atau terapi pada heroin-abuse tidak menunjukkan

dilaporkan terjadinya kematian mendadak sesudah

gangguan tersebut; hal ini menunjukkan telah terjadinya toleransi atau menjadi kebiasaan(fia bituation).

pemberian morfin. Hipotensi oleh karena opioid dapat diatasi dengan pemberian cairan intravena dan bila diperlukan dapat diberikan padrenergik agonis.

Kekakuan atau rigiditas. Opioid dosis tinggi yang diberikan secara intravena dengan cepat dapat mengakibatkan terjadinya rigiditas otot termasuk otot-otot pernapasan sehingga tidak dapat bemapas. Opioid yang dapat memberikan efek tersebut adalah opioid yang sangat mudah larut dalam lemak (misalnya: alfentamil, remifentamil) di mana terjadi keseimbangan dengan cepat kadar dalam darah dan otak sesudah pemberian bolus intravena dengan cepat.

Konvulsi. Beberapa opioid dapat menyebabkan konlulsi. Untungnya dosis opioid yang dapat mengakibatkan konr,ulsi jauh lebih tinggi dari pada dosis untuk analgetik.

Pruritus. Pruritus akibat pemberian opioid paling sering

Sistem pernapasan. Pemakaian morfin atau meperidin dosis tinggi akan mengakibatkan terjadinya konstriksi bronkus,

walaupun demikian pada dosis analgetik hal ini jarang terjadi. Pemberian opioid pada saat serangan asma tidak dibenarkan sebab opioid akan menyebabkan hal-hal sebagai berikut: depresi pada pusat pernapasan, pengeluaran histamin, sekresi sputum lebih kental dan penurunan refleks batuk. Hal-hal tersebut akan memperburuk keadaan klinik pasien. Edema pulmonal pada umumnya terjadi pada pemberian opioid dosis tinggi pada penambahan dosis dengan cepat dan hal ini sering terjadi pada penanganan nyeri kanker.

Pengaruh Opioid pada Organ Tubuh (Miyoshi &

Traktus gastrointestinat. Opioid mempunyai efek depresi pada motilitas gastrointestinal. Peristaltik longitudinal dihambat dan tonus sphinctermeningkat, akibatnya adalah kontipasi. Hal ini merupakan efek samping yang menlulitkan di samping rasa mual.

Leckband,2001

Lambung. Opioid sedikit menurunkan sekresi asam

terjadi pada pemberian intraspinal dan terjadi hanya pada muka dan badan.

)

Opioid yang berbeda-beda dapat mempengaruhi berbagai sistem organ tubuh dengan caru yarrg sama akan tetapi intensitasnya berbeda. Berbagai opioid yang poten dan diberikan dengan dosis ekuianalgesik (dosis yang dapat memberikan efek analgesik yang sama) akan menghasilkan efek yang sama, walaupun demikian ada sebagian pasien menunjukkan kepekaan terhadap opioid yang berbeda.

Jadi setiap pasien yang mendapat terapi dengan opioid harus dimonitor secara ketat akan efek samping yang mungkin terjadi dan bila terjadi efek samping yang berat, dapat dicoba dengan mengganti opioid jenis lain dengan dosis ekuianalgesik. Sistem kardiovaskular. Opioid dosis terapi pada umumnya

tidak akan berpengaruh terhadap miokard pasien sehat. Pada pasien penyakit jantung koroner, pemberian morfin dosis terapi akan mengakibatkan terjadinya penurunan: kunsumsi oksigen, kerja jantung, tekanan ventrikel kiri dan tekanan diastolik.

lambung, meningkatkan tonus antral dan menurunkan gerak lambung sehingga waktu pengosongan lambung lebih lama (sampai 12 jam) dengan konsekuensi absorpsi obat-obatan peroral akanmenurun. Usus Halus. Peristaltik dan pencemaan makanan di usus halus menurun juga sekresi empedu dan pankreas tetapi tonus otot polos meningkat. Absorpsi air dalam usus halus

meningkat sehingga viskositas makanan yang telah berbentuk cair akan meningkat sehingga makanan tersebut akan tinggal lebih lama dalam usus halus.

Usus Besar. Peristaltik pada kolon sangat menurun dan makanan akantinggal lebih lamapadakolon, feses menjadi keras dan terjadi konstipasi. Kebanyakan pasien yang mendapatkan opioid kronis akan mengalami konstipasi oleh karena itu dianjurkan sejak diberikannya terapi opioid sudah disertai dengan perawatan usus, misalnya dianjurkan cukup minum dan diberi pelunak feses.

Hipotensi yang timbul oleh karena penglepasan

Traktus Biliaris. Terjadi kontraksi atau spasme sfinkter

histamin dapat menjadi masalah pada pemberian morfin

Oddi yang akan berakhir antara 2- 12 j am sesudah pemberian

2746

REUMANOI.OGI

opioid dosis terapi sehingga tekanan pada traktus biliaris meningkat dan mengakibatkan epigastrik-distres yang

besar untuk memakai obat, dan pemakaian obat untuk tujuan lain dan bukan untuk menghilangkan rasa nyeri

dapat diatasi dengan pemberian nalokson dosis rendah, nitrogliserin atau amilnitrat (relaksan otot polos).

walaupun akibatnya merugikan atau keasyikar. yang diperoleh dari pemakaian obat. Pasien yang mengalami adiksi mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh kembali sesudah pemberian obat dihentikan. Ketakutan untuk terjadinya adiksi, merupakan faktor utama dalam

Saluran kemih. Terjadi kenaikantonus pada otot detrusitor dari vesika urinaria yang mengakibatkan te{adinya keluhan urgency. Peningkatan tonus pada sfinkter visicae akan mengakibatkan sulit buang air kecil bahkan kadang-kadang perlu tindakan kateterisasi dan hal ini sering terjadipada prra.

Uterus. Opioid dosis terapi akan menurunkan kontraksi uterus dan dapat memperlambat persalinan. Dosis tinggi sebaiknya tidak diberikan pada ibu hamil atau pada persalinan oleh karena di samping berpengaruh pada ibunya opioid dapat menembus plasenta dan masuk dalam SSP

janin dimana janin sensitif terhadap efek depresi pernapasan.

Sistem Imun. Pemberian opioid dapat mengakibatkan depresi imunitas. Morfin dapat merubah maturitas sejumlah sel imunokompeten yang terlibat dalam respons imun selular

dan humoral. Telah terbukti bahwa adiksi opioid meningkatkan kejadian limadenopati, komplikasi infeksi dan kanker.

Toleransi dan Dependensi (Ketergantungan) Toleransi. Toleransi adalah respons farmakologi normal terhadap terapi opioid jangka lama. Definisinya adalah penurunan respons terhadap obat sesudah pemberian berulang kali, atau kebutuhan dosis yang lebih tinggi untuk mempertahankan efek tetap sama. Toleransi dapat terjadi oleh karena faktor farmakokinetik, seperti: perubahan dalam

distribusi obat atau perubahan dalam kecepatan metabolisme obat; atau oleh karena faktor farmakodinamik,

seperti: berubahnya densitas reseptor opioid atau berubahnya jumlah relatif reseptor opioid atau terjadinya

desensitasi reseptor opioid. Dari hasil-hasil penelitian diduga bahwa reseptor delta dan kappa mempunyai peran spesifik dalam terjadinya toleransi dan reseptor NMDA

dan reseptor NO diperlukan untuk induksi dan pemeliharaan toleransi. Tanda-tanda adanya toleransi dini adalah: pasien mengeluh menurunnya efek analgesik dan

efeknya cepat hilang. Bila hal

ini terjadi dapat diatasi

dengan cara menambah dosis atau frekuensi pemberiannya

atau keduanya, atau mengganti dengan opioid jenis lain.

Dependensi atau ketergantungan. Dependensi adalah kemampuan untuk terjadinya sindrom abstinence sesudah penghentian obat yang mendadak, pengurangan dosis atau pemberian obat antagonisnya. Tanda-tanda sindrom abstinence adalah menguap, lakrimasi, sering bersin, agitasi, tremor, insomnia, panas badan dan takikardia. Hal ini dapat dicegah dengan cara: bila menurunkan dosis harus secara pelan-pelan l5-20oh setiap hari atat

25 -40o/o.

Adiksi atau ketagihan. Adiksi adalah pola perilaku pemakai obat yang ditandai dengan dorongan yang sangat

mengatasi nyeri oleh karena pemberian dosis yang terlalu

rendah, meskipun demikian adiksi opioid jarang terjadi pada pasien-pasien yang mendapatkan opioid untuk keperluan medis (Miyoshi & Leckband,2O0 1 ).

ANTIDEPRESAN

.

pasa saat ini dipakai juga untuk mengobatan nyeri. Anti depresan yang paling banyak dipakai adalah kelompok anti depresan trisiklik (TCA) dan dari banyak obat yang termasuk dalam kelompok ini hanya amitriptilin

Anti depresan

sajalah yang banyak dipakai dan mempunyai hasil, bahkan sampai saat ini masih merupakan terapi lirripertama (first

line therapy) untuk pengobatan nyeri khususnya nyeri pada neuropati diabetik. (Dallocchio dkk,2000; Baron R,2004) Mekanisme kerja utama anti depresan trisiklik terutama pada kemampuannya unfuk menghambat ambilan

kembali serotonin (serotonin reuptake) dan norepinefrin ke pre sinaps. Telah dibuktikan pula bahwa antidepresan trisiklik mempunyai efek blokade pada u-adrenergik, kanal natrium, dan antagonis NMDA. (Meliala dan Piruon,2004) Menurut Baron R (2004), mekanisme kerja kelompok antidepresan trisiklik adalah menghambat ambilan kembali transmiter monoaminergik. Hal ini akan mempunyai pengaruh potensiasi dengan aminergik pada jalw painmodulating susunan saraf pusat dan memblok kanal sodiumvoltage-dependent (efek anestesi lokal) dan respons adrenergik. Dari golongan TCA, aminiptilin-lah y ang pada saat ini banyak dipakai secara luas untukpengobatan nyeri kronik. Dosis rata-rata yang dipakai untuk mengurangi rasa nyeri antara 75-150 mglhari dan dosis ini biasanya lebih rendah dari pada dosis yang diperlukan untuk mencapai efek antidepresan. Amitriptilin dan golongan TCA lainnya mempunyai efek samping yang signifikan. Efek samping sebagai akibat dari blokade reseptor o,-adrenergik adalah

:

hipotensi ortostatik; dan sebagai akibat bloking reseptor histamin adalah sedasi. Efek samping lain yang dapat timbul adalah : retensi urin, hilangnya daya ingat dan

abnormalitas konduksi jantung (oleh karena efek antikolinergik). Khususnya bagi pasien lansia, pemakaian obat ini sebaiknya dimulai dengan dosis rendah (10 mg) dan secara pelan-pelan dosis dinaikkan. (Baron R,2004) Desiprarnin dan nortriptilin, keduanya bekerja dengan cara memblok ambilan kembali norepinefrin dan efektif untuk pengobatan nyeri pasca herpes dan neuropati diabetik. Obat ini mempunyai efek antikolinergik dan sedasi yang lebih ringan.(Baron R,2004)

2747

OPIOID, ANTI DEPRESAN DAN AIYTI KONVULSAN PADA TERAPI I\IYERI

baik. Pada pasien dengan neuropati diabetik perifer, paroksetin dan citalopram memberikan efek sebagai

dan juga untuk berbagai nyeri neuropatik lain. Dosis dimulai dengan 300 mg pada saat mau tidur malam hari, dapat dinaikkan 300-600 mg per hari sampai mencapai dosis antara 1200-2400 mg per hari. Metabolisme obat ini melalui proses reduksi dan terjadi secara cepat, tidak

penghilang rasa nyeri lebih baik dari pada plasebo, sedang

mempengaruhi sistem sitokrom P450 dan tidak mempunyai

fluoksetin memberikan efek sama dengan plasebo.

metabolit epoksid, sehingga efek samping obat lebih

Penelitian tentang bupropion lepas lambat pada pasien

sedikit. Penelitian Tomic dkk (2004) dapat membuktikan bahwa

SSRI (selective serotonin receptor inhibitor) mempunyai efek samping yang lebih ringan dari pada kelompok TCA dan pada umumnya dapat ditoleransi lebih

sindrom neuropati perifer dan sentral menunjukkan pengurangan rasa nyeri yang bermakna dibandingkan dengan plasebo, sedang penelitian dengan venlafaksin (memblok ambilan serotonin dan juga norepinefrin) dan imipramin hidroklorid pada pasien neuropati disertai nyeri, kedua obat tersebut menunjukkan pengurangan rasa nyeri yang bermakna dibanding dengan plasebo.(Baron R,2004)

ANTI KONVULSAN

Anti konvulsan adalah satu kelompok obat yang mempunyai kemampuan untuk menekan kepekaan abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf pusat yang menjadi dasar bangkitan epilepsi. Epilepsi dan nyeri neuropatik sama-sama timbul karena adanya aktivitas abnormal sistem saraf. Epilepsi dipicu oleh hipereksitabilitas sistem saraf pusat yang mengakibatkan bangkitan spontan yang paroksismal, dan hal ini sama dengan kejadian nyeri spontan pada yang paroksismal pada nyeri neuropatik. (Chong dan Smith,2000) Mekanisme

kerja anti konvulsan dalam nyeri neuropati meliputi: menghambat kanal natrium, menghambat kanal kalsium dan bekerja pada sistem GABA. (Meliala dan Pinzon,2004)

Karbamasepin dan Okskarbasepin Karbamasepin merupakan pilihan pertama untuk nyeri neuralgia trigeminal. Mekanisme kerja utamanya adalah dengan card memblok voltage-sensilive sodium chanel (VSCC). Efek ini mampu mengurangi cetusan dengan frekuensi tinggi pada neuron. Efek lain dari karbamasepin adalah memblok kanal kalsium (tipe L), memblok reseptor NMDA. meningkatkan serotonin dan memblok reseptor asetilkolin. (Chong dan Smith,2000) Dosis karbamasepin dimulai dengan 200 mg dan dosis efektifrrya berkisar antara

karbamasepin dan okskarbasepin mempunyai potensi

untuk pengobatan nyeri inflamasi, berdasarkan atas kemampuan kedua obat tersebut sebagai agonis reseptor adenosin A, Adenosin ini diproduksi pada saat terjadi inflamasi dan akan mengaktivasi ujung saraf aferen. Rangsangan pada reseptor adenosinA, akan menimbulkan efek anti nosiseptif, sedang rangsangan pada reseptor adenosin Aro, Ar" dan A, akan mengaktifkan sistem nosiseptif. Efek antinosiseptif baik dari karbamasepin

maupun okskarbasepin akan berkurang apabila pemberiannya bersamaan dengan kopi, karena kopi merupakan antagonis reseptor A, (Tomic dkk,2004) Penelitian lain menunjukkan bahwa okskarbasepin mempunyai efek menghambat penglepasan substasi-P, meningkatkan ambang nosisepsi, dan mencegah hiperalgesia. (Kiguchi dkk, 2004)

Gabapentin Gabapentin [-(aminometil)sikloheksan asam asetat] adalah obat antikonvulsan baru. Obat ini pertama kali dikembangkan sebagai senyawa yang menyerupai asam gama aminobutirat (GABA) dan diindikasikan untuk serangan parsial. Dalam tubuh obat ini tidak mengalami metabolisme dan dikeluarkan melalui urin secara utuh, sehingga pada kerusakan ginjal akan mempengaruhi ekskresinya. Gabapentin dapat terdialisis, oleh karenanya pasien gagal ginjal yang mengalami hemodialisis dan memerlukan gabapentin hendaknya mendapatkan dosis pemeliharaan setiap kali selesai hemodialisis. Mekanisme gabapentin pada nyeri neuropatik belum sepenuhnya difahami, penelitian terdahulu menunjukkan bahwa gabapentin hanya mempunyai efek anti alodini sentral,

akan tetapi baru-baru

ini telah dibuktikan

bahwa

gabapentin dapat menghambat penglepasan ektopik dari

200- I 000 mg per hari. Walaupun karbamasepin memberikan

saraf perifer yang mengalami kerusakan. Gabapentin

hasil yang cukup baik, penggunaannya dibatasi oleh efek

mempunyai efek alodini melalui mekanisme sebagai berikut: a) Pengaruh pada SSP (pada tingkat medula spinalis dan otak) karena peningkatan hambatan padajalur-jalur yang

sampingnya yang kadang-kadang mengharuskan penghentian pemberian obat tersebut.

Okskarbasepin merupakan obat antiepilepsi baru dengan mekanisme kerj a: 1) memblok kanal natrium yang

mengakibatkan stabilisasi, menghambat cetusan listrik berulang, dan menghambat penjalaran impuls; 2) memodulasi kanal kalsium (tipe L); dan 3) menghambat aksi glutamat pasca s i n ap s (B eydoun A dan Kutluay, 2002)

Obat ini temyata efektif untuk terapi neuralgia trigeminal

diperantarai GABA, sehingga mengurangi input eksitatoris; b) bersifat antagonis terhadap reseptorreseptor N-metil-D-aspartat (NMDA); c) antagonis terhadap kanal kalsium di SSP dan inhibisi sarafperifer. Sifat antagonis terhadap reseptor NMDA dan blokade kanal kalsium adalah teori yang paling dianut. (Fong dkk,

2003) Menurut penelitian dari Dallacchio C dkk (2000)

2748

REI,JMATIOIOGI

dengan subyek 25 orang, membandingkan gabapentin dengan TCA (amitriptilin) pada pasien nyeri neuropati diabetik danlemyata gabapentin memberikan hasil yang baik dan mungkin dikemudian hari dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama, dan hal ini didukung oleh kenyataan dimana obat ini dapat ditoleransi dengan baik, prohl yang aman dan tidak ada interaksi dengan obat lain. Di samping itu gabapentin mempunyai kemampuan untuk masuk kedalam sel dan berinteraksi dengan reseptor o,16 yang mempakan subunit dari kanal kalsium. Gabapentin dapat merubah aktivitas glutamik acid dekarboksilase,

protein rendah, sehingga dapat dikatakan tidak mempunyai interaksi dengan obat lain. Pemberian gabapentin dengan simetidin akan menurunkan laju filtrasi glomeruler dari gabapentin dan mampu mengurangi clearence gabapentin

sehingga mampu meningkatkan GABA (inhibisi).

Baron R. Neuropathic Pain

Berdasarkan mekanisme kerja seperti di atas, gabapentin dapat digunakan pada nyeri neuropatik maupun inflamasi.

Oleh karena marnpu mengantagonis induksi nyeri di pusat.(Dallocchio dkk,2000) Gabapentin telah diuji coba untuk mengatasi berbagai macam nyeri, antara lain : nyeri pasca herpes, nyeri neuropati perifer pada diabetes, sindrom nyeri neuropati campuran, nyeri phantom, sindrom

Guillian-Barre, nyeri akut dan kronik pada gangguan sumsum tulang belakang menunjukkan pengurangan nyeri yang signifikan dibandingkan dengan plasebo. Beberapa pasien menunjukkan perbaikan dalam tidur, mood dan kualitas hidupnya. Efek samping gabapentin: somnolen,

pusing, edema perifer ringan. Pada manula dapat mengakibatkan kehilangan keseimbangan sehingga jalannya sempoyongan dan gangguan daya ingat. Penyesuaian dosis perlu dilakukan pada pasien dengan insufisiensi ginjal. Efek samping terjadi terutama pada

waktu peningkatan dosis untuk mencapai dosis terapeutik.(Baron R,2004) Interaksi obat. Gabapentin tidak menghambat enzim mikosomal hati dan ikatannya dengan

sebesar 12o/o. Bila pemberian gabapentin bersamaan dengan antasida akan mengurangi bioaviabilitasnya sebesar 20o%.(Fong dkk, 2003)

REFERENSI

-

From Mecamisms to Symptoms to

Trealment : An Update. Int J Pain Med Pall Care 2004;3(3):78-90.

Beydoun A, Kutluay E. Oxcarbacepine. Expert Opinion in Pharma-

cology, 2002,3(

1

): 59-7 1.

Chong MS dan Smith TE. Anticonvulsants for the Management of Pain Pain Review 2000;7:129-49. Dallocchio C, Buffa C, Mazzarello P, Chiroli S. Gabapentin vs. Amitriptyline in Painful Diabetic Neuropathy : An Open-Label Pilot Study. J Pain Syndrome Manage 2000;20:280-5. Fong GCY, Cheung BMY, Rukmana CR Gabapentin. Medical Progress, 2003, p:41 -48,2003. Kiguchi S, Imamura T, Ichikawa K, Kojima M Oxcarbazepin Antinociception in Animals with Inflamatory Pain or Pianful

Diabetic Neuropathy. Clin Exp Pharmacol Physiol, 2004,31(2):57 -64.

Meliala L dan Pinzon

R

Patofisiologi dan Penatalaksanaan Nyeri : Meliala L, Rusdi I, Gofir A, Pinzon R Eds. Kumpulan lvfakalah Welcoming Symposium : Towards Mecanism-Based Pain Treatment. Jogjakarta, 2004:83-9 Miyoshi HR, Lecband SG Systemic Opioid Analgesics In : Loeser JD, Butler SH, Chapman CR, Turk DC Eds. Bonica's Management of Pain 3th Ed. Part III. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia USA, 2001:1682-709. Pasca Herpes. Dalam

421 PERAN KORTIKOSTEROID DI BIDANG REUMATOLOGI A.M.C. Karema-Kaparang, Candra Wibowo

PENDAHULUAN

menjadi permasalahan dan kontroversi, sebab efek samping yang timbul dapat mendatangkan akibat fatal; sebaliknya

Sampai saat ini kortikosteroid masih merupakan salah satu pengelolaan penyakit di bidang reumatologi; namun cara

pemakaian secara lokal lebih dipilih dan dianjurkan walaupun memerlukan persyaratan tertentu. Meskipun demikian, sebaiknya dilakukan evaluasi rutin terhadap

kerja, dosis, lama darr cara pemberiannya masih kontroversi. Di samping itu, efek samping lokal maupun

semua pasien yang menerima pengobatan kortikosteroid lokal, karena efek samping yang timbul baik lokal maupun

sistemik yang timbul cukup membahayakan kehidupan dan kualitas hidup pasien, terutama pada penggunaanjangka panjang, baik dengan dosis rendah apalagi tinggi. Adanya kenyataan tersebut telah mengubah cara pandang para

sistemik masih mungkin terjadi.

obat yang penting dan sering digunakan dalam

ahli mengenai pemakaian kortikosteroid di bidang reumatologi. Pemakaian kortikosteroid pada penyakit-penyakit inflamasi dan autoimun meningkat setelah ditemukannya

efek anti inflamasi sekitar tahun 1950-an. Namun, bersamaan dengan peningkatan pemakaian steroid

REGULASI FISIOLOGIS KORTIKOSTEROID PADA PROSES INFLAMASI Hormon kortikosteroid mempunyai peran yang sangat penting dalam pemeliharaan homeostasis tubuh baik dalam keadaan basal maupun stres. Hormon ini disekresi oleh korteks adrenal akibat rangsangan dari aksis hipotalamus-

dijumpai pula peningkatan kejadian efek samping yang

pituitari (AHP). Pada keadaan normal, sekresi

membahayakan pasien-pasien. Atas dasar itu, pada tahun I 960-an dianjurkan pembatasan pemakaian kortikosteroid;

kortikosteroid mengikuti irama sirkadian; namun pada keadaan stres terjadi peningkatan rangsangan AHP, sehingga produksi dan sekresi hormon kortikosteroid

dan apabila memang diperlukan sebaiknya digunakan dosis seminimal mungkin, kecuali dalam keadaan yang

jiwa di mana dosis besar dibutuhkan untuk menyelamatkannya. Pada pertengahan tahun 1990-an mengancam

muncul pandangan baru, yaitu pemberian steroid dengan dosis tinggi sesingkat mungkin dan kemudian segera dilakukan tapering off sampai tercapai dosis pemeliharaan terkecil yang masih berefek, karena cara ini memberikan hasil terapi yang lebih baik dengan efek samping lebih sedikit serta tidak membahayakan. Dalam bidang reumatologi, pemakaian korlikosteroid dibagi menjadi dua, yaitu secara lokal (topikal, intra artikular/ intralesi) dan sistemik (oral, parenteral). Penggunaan

kortikosteroid secara sistemik sampai sekarang masih

meningkat secara nyata. Pada proses inflamasi, sel mast, eosinofil, basofil, bahkan sel-sel struktural (epitel, endotel, fibroblas, miosit), dan terutama sel mononuklear, makrofag dan monosit mampu mengaktivasi dan mensekresikan sitokin-sitokin pro/inflamasi seperti TNF u, IL- 1 B dan IL-6. Sitokin-sitokin ini merupakan sitokin awal yang mampu mengaktifkan kaskade respons inflamasi lokal maupun sistemik secara resiprokal. Pada keadaan fisiologis, sitokin-sitokin ini merangsang hipotalamus untuk meningkatkan sekresi kortikotrofin releasing hormone (CRH) serta arginin vasopresin; dan merangsang kelenjar pituitari untuk

mensekresi adrenocorticotrophic hormone (ACTH),

2749

2750

REI.'MATIIIOGI

prolaktin serta migration inhibitoty factor (MIF); selain itu merangsang kelenjar adrenal meningkatkan sekresi kortisol. Korlisol menekan proses inflamasi melalui down regulation pelepasan TNF o,, IL-1p dan IL-6; sebaliknya prolaktin dan MIF memiliki efek berlawanan dengan kortisol menjaga keseimbangan respons imun dan inflamasi. Di sini AHP memproduksi hormon korlikosteroid dengan mekanisme reaksi umpan balik; sehingga setelah kadar kortikosteroid yang diinginkan tercapai, maka terjadi supresi produksi sitokin-sitokin pro/infl amasi.

Pada tingkat molekuler, TNF a, IL-1p dan IL-6 mengawali sejumlah keja dian s ignalling intraselular yang meliputi aktivasi transk:ripsi activator protein- I (AP- 1) dan

nuclear factor-kB (NF-rB) melalui disosiasi yang tergantung pada proses fosforilasi dan atau degradasi inhibitor-lB (I-rB) oleh enzimkinase spesifik (I-rB kinase 1 dan2). Peristiwa

ini akan meningkatkan produksi sitokin

pro/inflamasi. Faktor-faktor transkripsi inilah yang merupakan sasaran dari kerja kortisol dan obat-obat kortiko steroid lainnya. Nu c I e ar.fac t or- rB b erperan datram patogenesis inflamasi penyakit sendi; di samping itu TNF cr, IL- 1 p dan IL-6 juga mampu mengaktivasi jalur lz itogen-

activated protein kinase (MAPK) p38 yang dapat memperpanjang masa dan proses inflamasi.

Sitokin sebagai Regulator Fisiologis Kortikosteroid Selain sitokin-sitokin TNF cr, IL- 1 p dan IL-6 yang diketahui

berperan dalam regulasi fi siologis kortikosteroid melalui AHP secara reaksi umpan balik; MIF yang disekresi oleh kelenjar pituitari bersamaan dengan sekresi ACTH secara

sirkadian, dan juga disekresi oleh makrofag secara lokal

sebagai respons terhadap inflamasi atau saat kadar kortikosteroid rendah, juga ikut mengatur fisiologis kortikosteroid dalam tubuh. Efek MIF sendiri sebenarnya berupa down regulalion imunosupresi kortikosteroid, meskipun mekanismenya secara tepat belum diketahui. MIF mampu meningkatkan fosfolipase A2 dan proliferasi sel, mengatur sekresi IL-2 serta proliferasi sel T.

BIOAVAI LIBILITAS DAN BIOAKTIVITAS KORTIKO. STEROID Cara pemberian kortikosteroid penting dalam menentukan

bioavailabilitas maupun bioaktivitas. Contohnya, pemberian oral pada pasien dengan malabsorbsi atau gangguan saluran cerna akan memberikan kegagalan respons terapi; meskipun kortikosteroid dapat melalui membran sel secara baik namun kadar terapetik serum tidak

terpenuhi akibat gangguan absorbsi. Bioaktivitas kortikosteroid diatur di dalam jaringantarget dan sel oleh etzim 1 I - p-hydroxys t ero id dehydro genas e (11 -BHD). Pada manusia l1-BHD terdiri dari 2 iso-enzim tipe 1 dan tipe 2. Tipe I mengubah kortison menjadi kortisol serta

memperkuat aktivitas biologis kortikosteroid; sedangkan tipe 2 menginaktivasi kortisol dengan mengubahnya dalam bentuk kortison yang tidak aktif secara biologis.

AKTIVITAS BIOLOGIS KORTIKOSTEROI D SECARA BIOMOLEKULER Efek mekanisme kerja kortikosteroid dapat dibagi menjadi 2; yaitu pengaruh pada lingkungan di luar gen dan lingkungan gen. Pengaruh kortikosteroid pada lingkungan

di luar gen terjadi dengan cepat, baik secara spesifik maupun nonspesifik. Namun, mekanismenya belum diketahui secara pasti pada saat ini. Kemungkinan berhubungan dengan perubahan fungsi membran sel yang terdiri dari lapisan lipid dan atau diperantarai oleh ikatan steroid pada reseptor membran. Efek kortikosteroid pada lingkungan di luar gen berupa analgesia dan hambatan ekspresi molekul adhesi. Efek korlikosteroid pada lingkungan gen diperantarai

melalui kortikosteroid reseptor (CR) yang mempunyai fungsi penting dalam transaktivasi ikatan DNA. Gen CR terletak dalam kromosom 5 (5q3 l), serta terdiri dari CR cr dan CR B. Korlikosteroid berpengaruh dalam up regulallom produksi I-rB yang akan berikatan dengan NF-rB dan menutupi sekuens lokalisasi inti sel; kemudian masuk ke dalam sitoplasma dan menghambat translokasi inti sel. Di dalam sitoplasma, NF-rB menetap sebagai heterodimer subunit p50 dan p65 yang terikat I-kB. Aktivasi sel menyebabkan fosforilasi dan degradasi I-xB. Akhimya NFkB dilepas dalam bentuk aktif yang dapat melakukan translokasi ke inti sel untuk memulai transkripsi sejumlah gen target yang mensintesis sitokin-sitokin pro/inflamasi. Kompleks kortikosteroid dengan reseptornya (CS/CR) juga mempengamhi ikatan NF-KB pada DNA site yang pada akhimya menghambat translokasi NF-KB dari sitoplasma ke inti sel, sehingga rangsangan produksi dan sekresi sitokin-sitokin pro/infl amasi tidak terj adi. Kortikosteroid pada tingkat molekular menghambat interaksi AP-l dengan NF-KB melalui proses deasetilasi dari inti histon. Asetilasi histon menyebabkan struktur kromatin DNA kuat dan tak tergoyahkan, serta meningkatkan kemampuan polimerase RNA dalam melakukan transkripsi gen. Atas pengaruh kortikosteroid, CR a bertindak sebagai penghambat langsung aktivitas NF-rB yang dibangkitkan oleh histon asetilasi (HAIs); di samping itu juga mengerahkan histon deasetilasi (HDACs) dalam jumlah banyak ke kompleks NF-KB/IIAT, sehingga transkripsi gen untuk memproduksi sitokin pro/inflamasi tidak terjadi. Kortikosteroid juga memicu proses apoptosis limfosit dan timosit, tetapi efek penghambatan terhadap ekspresi dan sekresi sitokin hanya sekunder dan tidak kuat. Selain itu, kortikosteroid mampu memicu produksi mitogen-

2751

PERAN KORTIKOSTEROID DI BIDANG REUMANOLOGI

-/ (MKP-1) yang

ankilosing disertai artritis perifer, beberapa penyakit

menginaktivasi secara kuat fosforilase mitogen-activated

otoimun yang melibatkan sendi, osteoartritis, artritis gout, bahkan inflamasi sendi akibat trauma. Beberapa keadaan yang merupakan kontra indikasi pemberian korlikosteroid lokal meliputi: terdapatnya infeksi

qctivated kinase phosphatase

kinase p38 (MAPK), sehingga menyebabkan destabilisasi mRNA proiinflamasi. Efek kortikosteroid terakhir adalah memicu produksi lipokortin, sebuah protein anti inflamasi yang diproduksi oleh sel-sel mononuklear darah tepi akibat pengaruh steroid.

PENGGU NAAN KORTIKOSTEROID LOKAL

lokal (artritis septik, abses, gangren, osteomielitis), hipersensitivitas terhadap bahan yang disuntikan, diatesis hemoragi, sendi yang tidak stabil, fraktur intra artikular, sendi yang sulit dicapai pada penyuntikan, osteoporosis juksta artikular yang berat, suntikan terdahulu tidak memberikan hasil yang baik, tidak ada indikasi yang tepat,

Penggunaan korlikosteroid secara lokal ditujukan untuk menghilangkan gejala inflamasi dan rasa nyeri pada tempat

tersebut; dengan tanpa atau sedikit efek samping sistemiknya. Pemberian dapat dilakukan secara topikal oles, intra artikular maupun ke dalam jaringan lunak (intra lesi)

tergantung indikasi dan jenis penyakitnya. Pada berbagai penelitian yang dilakukan mendukung bahwa pemberian kortikosteroid intra artikular/intra lesi memberikan angka kesembuhan yang tinggi dengan efek samping sistemik minimal dibandingkan dengan pemberian kortikosteroid sistemik. Bahkan hilangnya tanda-tanda inflamasi sendi diikuti dengan perbaikan gejala sistemik

dan kualitas hidup yang nyata. Meskipun demikian, pemberian kortikosteroid lokal tidak dianjurkan sebagai

satu-satunya bentuk pengobatan, sekalipun untuk pengobatan lokal; apalagi banyak penyakit sistemik (terutama penyakit inflamasi kronik dan otoimun) yang memberikan salah satu manifestasi klinisnya artritis. Bahkan pemberian kortikosteroid lokal tidak dianjurkan jika patogenesis penyakit yang mendasarinya belum dicari. Demikian pula pada suntikan intra artikularlintra lesi yang

gagal memberikan perbaikan klinis, sebaiknya tidak dilakukan tindakan ulangan kecuali akibat kegagalan teknis.

lndikasi dan Kontra lndikasi Penggunaan Kortikosteroid Lokal Indikasi pemberian kortikosteroid intra artikuler/intra lesi adalah hanya satu/beberapa sendi perifer saja yang mengalami inflamasi atau mengalami inflamasi yang lebih berat dibandingkan sendi lain yang terserang; kontra indikasi pemberian kortikosteroid sistemik; sebagai tambahan terapi sistemik untuk penyakit sendi yang resisten; membantu mobilisasi, mencegah deformitas sendi;

untuk gangguan non artikular (entesopati, bursitis, sinovitis, tenosinovitis, tendinitis, nerve entrapment syndrome); dan terutama untuk mendapatkan efek analgesla secara cepat. Suntikan kortikosteroid intra arlikular sering dilakukan untuk menghilangkan rasa sakit secara cepat. Hampir

semua kasus penyakit sendi

di bidang reumatologi

memberikan hasil terapi kortikosteroid intra artikular/intra

lesi yang menggembirakan; seperti artritis reumatoid,

artropati psoriatik, sinovitis enteropatik, spondilitis

lesi ireversibel yang tidak memberikan

respons

pengobatan, faktor psikologis pasien yang merasakan baik jika disuntik lokal, pasien yang takut disuntik lokal. Suntikan intra artikuler pada kasus afiritis gout dan

osteoartritis masih terdapat kontroversi beberapa ahli; tetapi pada dasamya pemberian intra artikuler dianjurkan jika terdapat sinovitis yang refrakter pada artritis gout atau keluhan rasa sangat nyeri pada sendi yang mengganggu

aktivitas harian maupun kualitas hidup pasien osteoartritis. Pemberian kortikosteroid intra arlikuler pada artritis gout sangat efektif, tetapi harus dipastikan tidak terdapat infeksi persendian karena gejala artritis gout mirip dengan artritis septik. Penelitian Gray dkk dan Alloway dkk mendapatkan manfaat pemberian kortikosteroid intra

artikular pada pasien-pasien gout dengan dosis disesuaikan besar kecilnya sendi. Tentang osteoartritis, Neustadt dkk pada

tahw 1992

menemukan kejadian Charcot-like arthropathy pada pasien-pasien osteoartritis yang diberi suntikan intra artikular kortikosteroid berulang kali. Namun, pada akhir penelitian Saxne dkk menyimpulkan bahwa kortikosteroid intra artikuler dapat mengurangi produksi mediator dan sitokin pro/inflamasi serta enzim protease lainnya yang berpengaruh pada degradasi kartilago; di samping itu efek anti inflamasi steroid mampu menurunkan permeabilitas vaskular sinovial dan mencegah berulangnya edema maupun efusi ruang sendi. Penelitian klinis teracak yang dilakukan Dieppe dkk rnenyimpulkan steroid intra artikuler lebih efektif dibandingkan plasebo dalam menghilangkan nyeri osteoartritis lutut dengan atau tanpa efusi ruang sendi. Demikian pula Ravaud dkk dalam penelitian klinis teracak menemukan hilangnya nyeri sendi dan perbaikan firngsi sendi secara bermakna pada kelompok yang dikelola dengan korlikosteroid intra artikuler selama 1-4 minggu dibandingkan plasebo; namun setelah minggu ke-12

sampai 24 tidak didapatkan perbedaan bermakna. Tampaknya manfaat kortikosteroid intra artikular pada osteoartritis bersifat jangka pendek terutama yang berhubungan dengan proses inflamasi.

Komplikasi Suntikan Lokal Kortikosteroid Suntikan kortiko steroid lokal sebaiknya dilakukan dengan

hati-hati dan oleh ter,aga medis yang terlatih/

2752

REUMANOI.OGI

erpengalam an, kar ena berisiko terj adi komplikas i lokal yang mengakibatkan kecacatan sendi dan menurunkan kualitas hidup pasien. Tindakan aseptik dan antiseptik b

harus diutamakan dalam melakukan suntikan lokal. Aspirasi cairan sendi sebaiknya dilakukan untuk memastikan jarum

masuk ke dalam ruang sendi sebelum dilakukan penyuntikan. Setelah dilakukan suntikan, sendi diatur dalam posisi netral dan relaksasi sekitar 1 5-30 menit, sambil

digerakkan dalam lingkup gerak sendi yang fisiologis; sedangkan bagi sendi yang memikul berat badan sebaiknya dihindari w eigh-b earing selama 24-48 jam. P ada pasien diabetes, pemakai antikoagulan atau pasien ulkus

peptikum sebaiknya ditunda sampai keadaan stabil/ terkontrol. Namun jika harus dilakukan, sebaiknya dilindungi dengan tindakan serta obat-obatan yang mampu mengendalikan kadar gula, perdarahan maupun ulkus peptikum. B eberapa komplikasi y ang dapat terj adi pada tindakan suntikan korlikosteroid lokal adalah: infeksi lokal (angka kej adian 1 dibanding I 000.

1

6.

000), perdarahan, kerusakan

rawan sendi fiika interval suntikan kurang dari 6 minggu atau lebih dari 8 kali per tahun), nekrosis aseptik berupa infark tulang subkondral akibat artropati steroid, atrofi kulit/

jaringan subkutan dan saraf, sinovitis kristal (akibat larutan mikrokristal steroid yang kemudian hilang dalam waktu 4-24 jamdengan istirahat, kompres dingin atau analgetrka), ruptur tendorVligamen, supresi korleks adrenal (arang dan bersifat sementara).

PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID SISTEMIK Pada kasus-kasus yang melibatkan sistem imun dalam proses inflamasinya (penyakit inflamasi kronik, penyakit otoimun), maka perlu dipikirkan penggunaan kortikosteroid secara sistemik dengan pemakaian jangka panjang yang aman dan nyaman bagi pasien. Pemberian kortikosteroid eksogen secara sistemik untuk tujuan menekan proses inflamasi, terryata memberi efek supresi padaAHP. Supresi

otoimun lainnya membutuhkan pengobatan kortikosteroid secara sistemik dan cukup lama; baik sebagai terapi utama

maupun sebagai bridging therapy. Cara dan Dosis Pemberian Kortikosteroid Sistemik

Cara dan dosis pemberian kortikosteroid sistemik bermacam-macam tergantung pada penyakitnya. Namun yang dianjurkan saat ini adalah pemberian sesingkat dan seminimal mungkinjika harus diberikan dalamjangka lama. Demikian pula pemberian alternating day therapy dan pulse steroid therapy sebenarnya ditujukan selain untuk

mencapai keberhasilan terapi juga meminimalkan efek samping kortikosteroid. Kortikosteroid dosis rendah (<0,5 mg/kg BB/hari atau

5-15 mg/hari prednison/prednisolon) diberikan untuk mengatasi gejala klinis demam (sepsis), dermatitis,

arteritis. efusi pleura dan sebagai dosis terapi pemeliharaan. Sebaiknya dosis inisial dipertahankan minimal selama 4-6 minggu sebelum dilakukan tappering off. Dosis tinggi steroid ( 1-2 mg,4
ditujukan untuk mengatasi kegawatdaruratan yang mengancam kehidupan pasien; seperti lupus serebral, lupus nefritis, serositis berat, anemia hemolitik akut, trombositopenia berat, atau penyakit-penyakit otoimun stadium berat. Jika tidak didapatkan perbaikan klinis dalam waktu 48 jam, maka dosis steroid sebaiknya dinaikkan 25-100% dari dosis awal tergantung keadaan klinis sampai semua gejala akut teratasi. Dosis inisial ini sebaiknya diberikan dalam dosis terbagi 3-4 kali sehari, serta

dipertahankan minimal 6-8 minggu sebelum dilakukan tapering off. Pulse steroid therapy biasanya diberikan pada kegawatdaruratan yang mengancam kehidupan, krisis lupus, kasus berat dengan manifestasi akut atau tidak responsif terhadap pengobatan steroid dosis tinggi. Pzlse

steroid therapy merupakan pemberian kortikosteroid intravena dengan dosis sangat tinggi (10-30 mg/kg BB/ kali atau 1 gram metilprednisolon) dalam 0,5-4 jam sekali

AHP sudah dapat diamati setelah

5-l hari pemberian korlikosteroid; dan pengaruh supresi AHP dapat menetap selama 6-12 bulan setelah korlikosteroid dihentikan. Efek ini lebih nyata tampak pada pemberian dosis besar dan

sehari selama 1-3 hari atau 3-5 hari berturut-turut. Tapering off merupakan salah satu cara menurunkan dosis kortikosteroid secara bertahap sampai pada dosis minimal yang masih efektif. Tujuannya adalah mencegah

jangka waktu yang lama. Salah satu upaya untuk mengurangi pengaruh kortikosteroid terhadap supresi AHP adalah pemberian dosis tunggal pagi hari sesuai

withdrawal phenomenone dan krisis adrenal akibat

dengan irama sirkadiannya. Hasil penelitianArvrdson dkk

prednisolon diturunkan 5-10% setiap minggu jika tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis mencapai 30 mg/

mengusulkan pemberian glukokortikoid dosis kecil menjelang pagi, karena mereka menemukan efektivitas IL-6 dengan glukokortikoid pada pukul 2 dini hari. Pada penyakit arlritis reumatoid, lupus eritematosus

penekanan

sistemik, beberapa penyakit yang masuk dalam spondiloartropati seronegatif, sindrom antibodi antifosfolipid, poliartritis nodosa, vaskulitis, sklerosis sistemik, polimiositis/dermatomiositis serta penyakit

penghentian steroid secara mendadak. Setelah dosis inisial

dipertahankan selama 6-8 minggu, dosis prednison/

hari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5 mg setiap minggu; dan setelah dosisnya mencapai 10-15 mglhari, maka penurunan dosis dilakukan I mg setiap minggu. Apabila dijumpai eksaserbasi akut, harus kembali pada dosis efektif sebelumnya selama beberapa mhggn (2-4

minggu) dan kemudian dicoba diturunkan kembali. Jika dengan dosis inisial selama 4-6 minggu tidak diperoleh

2753

PERAN KORTIKOSTEROID DI BIDANG REUMATOLOGI

perbaikan klinis yang nyata, sebaiknya dipertimbangkan untuk pemberian imunosupresan lainnya. Apabila berhasil mencapai dosis minimal yang efektif sebaiknya diberikan sekali sehari pada pagi hari.

Alternating doy therapy adalah pemberian korlikosteroid selang sehari setelah dosis minimal yang efektif tercapai; namun sering menimbulkan eksaserbasi akut.

Bridging therapy merupakan cara pemberian korlikosteroid yang bersifat sementara dan berlujuan untuk memperantarai pengobatan kausal yang lebih rasional. Pada umumnya diberikan pada keadaan akut, seperli pada artritis reumatoid. Dosis yang digunakan pada bridging

therapy biasanya dosis rendah (5-7,5 mg prednison/ prednisolon) dan diberikan sekali sehari pada pagi hari. Terapi ini sebaiknya dihentikan secara befiahap segera

setelah obat-obatan golongan disease modifying

anti rheumatoid drugs (DMARD) menunjukkan khasiatnya.

27

0:286-90

M. Gene regulation by steroid hormones. Cell 1999; 56:335-9. Cush JJ, Kavanaugh AF, Olsen NJ, Stein CM, Kazi S, Saag KG Rheumatology diagnosis and therapeutics. Pennsylvania Lippincott Williams & Wilkins. 1999. Chikanza IC, Grossman AS. Reciprocal interactions between the neuroendocrine and immune systems. Rheum Dis Clin North Am 2000; 26: 6e3-712. Chikanza IC, Kozaci DL. Corticosteroid resistance in rheumatoid

Beato

arthritis: molecular and cellular perspective. Rheum 2004; 43: t331 -45. Calandra T, Bucala R. Macrophage inhibitory factor: a glucocorticoid counter-regulator within the immune system. Crit Rev Immunol 1997 ; l7 : 77 -88. Dixon ASJ, Graber J. Local injection therapy in rheumatic diseases Switzerland EULAR Publishers Basle 1983 Dieppe PA, Sathapatayavongs B, Jones HE, Bacon PA, Ring EF. Intra-articular steroids in osteoarthritis. Rheumatol Rehabil 1990l. 19: 212-7. Eskandari F, Sternber EM. Neural-immune interactions in health and disease. Ann Rheum Sci 2002; 966:20-7. Emmerson BT. The Management of gout. N Engl J Med 1996; 334:

445-5t.

Komplikasi Penggunaan Kortikosteroid Sistemik Penggunaan kortikosteroid sistemik lebih sering memberikan komplikasi, apalagi jika diberikan dalam dosis

besar dan waktu yang lama. Komplikasi yang sering dijumpai adalah: sindrom Cushing, edema, hirsutisme, moon face, striae, penambahan berat badan, osteoporosis, gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak, psikosis, ginekomastia, atrofi testis, alopesia, supresi AHP, rentan terhadap infeksi, hipertensi, toleransi glukosa terganggu, dan gangguan keseimbangan elektrolit.

PENUTUP Penggunaan kortikosteroid di bidang reumatologi masih diperlukan sampai saat ini, dan tampaknya akan terus

digunakan mengingat perannya sebagai anti inflamasi

Gold R, Buttgereit F, Toyka KV. Mechanism of action of glucocorticosteroid hormones: possible implications lor therapy

of neuroimmunological disorders J Neuroimmunol 2001; 2: 1 171-8. Gray RG, Tenenbaum J, Gottlieb NL. Local corticosteroid injection treatment in rheumatic disorders. Semin Arthritis Rheum 1988; l0: 231-54.

Hart FD. Systemic corticosteroids and corticotrophin. In: Drug Treatment of the Rheumatic Disease. 4'h ed Singapore PG Publishing. 1998.p.92- 103. Kassel O, Sancono A, Kratzschmar J, Kreft B, Stassen M, Cato AC Glucocorticoids inhibit MAP kinase via increased expression and decreased degradation of MKP-1. Endocrinol Metab J 200't;20: 7208-16. M, Mahtani KR, Finch A, Brewer G, Saklatvala J, Clark AR. Regulation of cyclo-oxygenase 2 mRNA stability by mitogen activated protein kinase p38. Mol Cell Biol 2000;20: 4265-74. Ono K, Han J. The p38 signal transduction pathway: activation and function. Cell Signal 2000; 12: 1-1,3. Lasa M, Abraham SM, Boucheron C, Saklatvala J, Clark AR. Lassa

yang poten dalam sistem imun tubuh kita. Hal yang perlu

Dexamethasone causes sustained expression

diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid adalah indikasi, kontra indikasi, cara dan dosis serta risiko komplikasi yang sering dr.lumpai baik pada pemakaian

activated protein kinase (MAPK) phosphatase 1

secara lokal maupun sistemik. Bagai pedang bermata dua,

bila digunakan secara tepat akan bermanfaat; sebaliknya

jika digunakan secara membabi buta akan mendatangkan bahaya yangfatal.

REFERENSI Alloway JA, Moriarty MJ, Hoogland YT, Nashel DJ Comparison ol triamcinolone acetonide with indomethacin in the treatment ofacute gout arthritis. J Rheumatol 1998;20: 111-3. Auphan N, Didonato JA, Rosette C, Helmberg A, Karin M. Immunosuppression by glucocorticosteroids: inhibition of NFkB activity through induction of I-kB synthesis. Science 1995;

phosphatase-mediated inhibition

of

mitogenand

of MAPK p38. Mo1 Cell Biol

2002;22: 7802-ll. Moll JMH. Rheumatology in clinical practice. OxfordBlackwell Scientific Publications. 1997 Neustadt DH. Intraarticular steroid therapy. In: Moskowitz RW, Howell DS, Goldberg VM, Mankin HJ (Eds) Osteoarthritis. Diagnosis and Medical/Surgical Management. 2"d ed Philadelphia WB Saunders Company. 1991 p.439-92. Ravaud P, Moulinier L, Giraudeau B, Ayral X, Guerin C, Noel E, et al. Effects ofjoint lavage and steroid injection in patients with osteoarthritis of the knee. Results of a multicenter, randomised, controlled trial. Arthritis Rheum 1999; 42: 4'75-82. Stein CM, Pincus T. Glucocorticoids. In: Kelly WN, Harris ED, Ruddy S, Sledge CB (Eds). Textbook of rheumatology. 5'h ed. Philadelphia WB Saunders Company. 1997.p.781 -804. Scheinman RI, Cogswell PC, Lofquist AK, Baldwin AS. Role of transcriptional activation of I-kB in the mediation ol immunosuppression by glucocorticoids. Science 1996; 270: 283-6.

2754

RET,JMIINOI.OGI

Sandeep TC, Walker BR. Pathophysiology

of modulation of local glucocorticoid levels by I 1 beta-hydroxysteroid dehydrogenases. Endocrinol Metab 2001; 12:446-53. Saxne T, Heinegard D, Wolheim FA. Therapeutic effects on cartilage metabolism in arthritis as measured by release of proteoglycan structures into the synovial fluid. Ann Rheum Dis. 1996; 45:497-7. Wilder RL. Corticosteroid. In: Klippel JH Ed. Primer on rheumatic diseases. llh ed. Atlanta Arhritis Foundation. 1997. Waldman SD. Pain management injection techniques. Phyiladelphia WB Saunders Company. 2000. 28. Zarro VJ. Steroid pulse therapy. Ann Rheum Dis .1986; 33: 21'7

-9.

422 DISEASE MODIFYING ANTI RHEUMATIC

DRUGS (DMARD) Hermansyah

PENDAHULUAN

untuk dapat mengontrol progresivitas penyakitnya.

Obat-obat yang mempengaruhi proses perjalanan artritis

Pertimbangan DMARD mana yang akan dipilih diserahkan pada dokter yang menangani pasien, sebab mekahisme kerja obat itu dipengaruhi oleh individual itu sendiri, yang

reumatoid (AR) disebut sebagai "Slow Acting Anti Rheumatic Drugs" (SAARD) atau yang dikenal juga Disease Modifiing Anti Rheumatic Drugs (DMARD) yang menghambat progresivitas penyakit. Obat golongan ini

akan memperlihatkan efeknya setelah 4-6 bulan pengobatan, dan tidak mempunyai efek langsung menghilangkan sakit dan inflamasi, oleh karena itu sambil menunggu kerja obat ini biasanya diberikan obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS). Dahulu pengobatan AR menggunakan sistem piramid, di mana pengobatan dimulai dengan analgesik dan

OAINS disertai penyuluhan dan fisioterapi. Bila hasil yang diperoleh tidak memuaskan, baru ditambahkan DMARD satu-persatu sesuai dengan kebutuhan. Bila timbul deformitas yang berat, dapat dipertimbangkan

tindakan operatif. Ternyata cara lama itu tidak memberikan hasil yang memuaskan, bahkan sering didapatkan destruksi sendi yang berat, sementara pasien

terus tersiksa oleh rasa nyeri dan inflamasi yang berkepanjangan.

penting evaluasi tentang efektivitas obat

dan

toksis itasnya

GARA PENGGUNAAN DMARD PADA PASIEN AR Pada dasarnya tedapat dua cara pendekatan pemberian DMARD pada pengobatan pasien AR. Cara perlama adalah pemberian DMARD tunggal yang dimulai dari saat yang sangat dini. Pendekatan

ini didasarkan pada pemikiran

bahwa detruksi sendi pada AR terjadi pada masa dini

penyakit. Cara pendekatan lain adalah dengan menggunakan dua atau lebih DMARD secara simultan atau

siklik seperti penggunaan obat-obatan imunosupresif pada pengobatan penyakit keganasan. secara

Kecenderungan untuk menggunakan kombinasi DMARD dalam pengobatanAR timbul karena terapi DMARD secara sekwensial pada jangka panjang tidak berhasil mencegah terjadinya kerusakan sendi yang progresif.

Penggunaan DMARD yang menggunakan pola

Beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam

piramid telah banyak ditinggalkan. Saat ini lebih banyak digunakan metode step down bridge detgan menggunakan kombinasi beberapa jenis DMARD yang dimulai pada saat yang dini untuk kemudian dihentikan secara bertahap pada saat aktivitas AR telah dapat terkontrol. Hal ini didasarkan

penggunaan DMARD pada AR, yaitu: . DMARD harus dimulai sedini mungkin sebelum terjadi

pada pendapat bahwa penatalaksanaan yang efektifhanya dapat dicapai bila pengobatan dapat diberikan pada masa

dini penyakit. Umumnya pada pasien yang diagnosisnya telah dapat ditegakkan dengan pasti, DMARD dapat dimulai diberikan

.

destruksi sendi. Gunakan DMARD secara tunggal atau kombinasi secara telus-menerus selama penyakit masih aktif.

. Monitor disabilitas dan berbagai parameter

hasil pengobatan secara berkala dan teratur untuk

. 2755

mengetahui progresifitas penyakit secara baik.

Tentukan respons pengobatan yang akan dicapai, sehingga bila diperlukan perubahan terapi dapat

2756

.

REI,JMATIOI.OGI

dilakukan untuk semua DMARD. Kontrol tambahan untuk fungsi hati, kreatinin serum dan protein urin diperlukan untuk beberapa DMARD. Lihat Tabel I

direncanakan dengan baik.

Gunakan analgesik dan OAINS sebagai terapi tambahan untuk mengatasi nyeri dan inflamasi.

. Pilihan

obat dan dosis untuk pengobatan AR

dan 2.

hendaknya didasarkan pada faktor-faktor prognostik yang dinilai pada kunjungan awal. Pasien dengan

prognostik yang baik biasanya dapat diobati dengan satu DMARD saja, seperti metotreksat,

DMARD YANG LAZIM DIGUNAKAN UNTUK

sulfasalazin, atau leflunamid. Pada pasien dengan prognosis yang kurang baik atau kalau hasil satu macam DMARD belum menghasilkan perubahan yang memuaskan setelah digunakan dalam dosis yang adekuat selama 3 sampai 6 bulan, DMARD

hidroksikloroquin (HCE) dan sulfasalazin (SAS)

PENGOBATANAR

DMARD yang relatif baru seperti metotreksat (MTX), mempunyai rasio efikasi/toksisitas yang lebih baik daripada

dalam bentuk kombinasi dengan DMARD yang

DMARD yang terdahulu seperti garam emas (MUC), D-penisilamin (DP), dan azatioprin (AZA). Dalam sepuluh tahun terakhir, telah dikembangkan DMARD

lain.

baruyang lebih efektif termasuk siklosporinA, leflunomid,

tersebut harus segera diganti atau tetap digunakan

etanersep dan infliksimab. Obat tersebut telah diteliti sebagai obat tunggal maupun sebagai kombinasi

Pada umumnya angka kejadian efek samping monoterapi maupun terapi kombinasi hampir sama, karena itu kontrol darah tepi lengkap yang teratur perlu

Agen antimalaria

dengan metotreksat.

Saat

Pemeriksaan penglihatan secara teratur

(pemeriksaan funduskopi,

evaluasi

lapangan penglihatan, atau penggunaan AMSLER) Sulfasalazin

CBC dan LFT setiap 2 minggu untuk 3 bulan pertama, kemudian setiap 1 bulan

D-Penicillamin

CBC dan urinalisa setiap 2 minggu pada

dosis awal atau perubahan

dosis,

selanjutnya 1-3 bulan Senyawa emas lnjeksi

Oral

Metotreksat Siklofosfamid Azatioprin

CBC dan urinalisis sebelum

setiap

suntikan awal,kemudian sebelum setiap

injeksi kedua atau ketiga. Urinalisis dipantau oleh pasien CBC dan urinalisis setiap 2-4 minggu CNC dan LFTs setiap minggu, kemudian 1-3 minggu CBC dan urinalisis setiap bulan setelah uji minggu awal

KLOROKUIN

2

CBC setiap 1- 2 minggu, lalu

-3

Hidroksiklorokuin dan klorokuin telah dipergunakan untuk pengobatan AR sejak tahun 1950. obat ini terikat

bulan:

kuat pada DNA, menghambat fungsi limfosit, menstabilkan

LFTs setiap 1-3 bulan Klorambucil

membran lisosom, menurunkan kemotaksis, fagositosis, dan produksi superoksid oleh leukosit polimorfonuklir, menekan produksi dan pelepasan interleukin I (IL 1), klorokuin mempunyai waktu paruh yang panjang, stea$t state dalamdarah tercapai dalam waktu 3 sampai 4 bulan, inilah yang menyebabkan efeknya lambat. Padapenelitian

CBC setiap bulan awalnya, kemudian setiap 3 minggu

Cyclosporin

ini, DMARD yang banyak digunakan di

Indonesia adalah, klorokuin/sulfasalazin dan metotreksat, baik sebagai DMARD tunggal, maupun dalam kombinasi. Dahulu banyak digunakan D-penisilamin, tetapi saat ini jarang digunakan karena efek terapeutiknya baru timbul setelah pemakaian beberapa bulan. Walaupun demikian, pemakaian D-penisilamin sebagai salah satu kombinasi DMARD masih digunakan pada beberapa kasus. Garam emas hampir tidak pernah digunakan, karena obat ini tidak tersedia di Indonesia.

CBC, kreatinin serum, tekanan darah setiap bulan, kemudian setiap 2-4 minggu pada dosis maintenance.

CBC = complete blood count; LFT = liver funcfrbn tesf

Mukokutaneus Hematologi Gastrointestinal Hidroksiklorokuin Sulfasalazine D-penicillamin Emas oral Emas parenteral Azatioprin Metotreksat Siklofosfamid Klorambucil Siklosporin

+

+

++

++

+++

++ ++

++ ++

+

+

+++

+++

++ ++

+

++

+

+++

+++ +++

++

+

+++

+

Hepatik

Ginjal

++ + + +

++ +

++

++ ++

+ +

++

2757

DISMSE MODIFYING ANTI RITEUMATIC DRUGS (DMARD)

konsentrasi klorokuin dalam plasma harus dicapai 700-2 100

uglml agar obat ini mempunyai efek, sebagian besar pasien AR dengan pengobatan hidroksiklorokuin tidak mencapai konsentrasi ini. Atas dasar pemikiran inilah kita beranggapan bahwa obat klorokuin relatif kurang efektif. Di pihak lain peningkatan dosis akan meningkatan efek samping.

Sebagian pasien akan menghentikan penggunaan klorokuin pada suatu saat karena merasa bahwa obat ini kurang bermanfaat bagi penyakitnya. Toksisitas klorokuin sebenarnya tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Klorokuin dapat digunakan dengan aman jika dilakukan pemantauan yang baik selama penggunaannya dalam jangka waktu yang panjang. Efek sampin gpadamata, sebenamya hanya terjadi pada sebagian kecil pasien saja. Toksisitas klorokuin pada retina hanya bergantung pada dosis harian saja dan

dalam bentuk kombinasi dengan DMARD lainnya.

Kurang lebrh 20% pasien AR menghentikan pengobatan obat ini karena mengalami nausea, muntah atau dispepsia. Gangguan susunan saraf pusat seperti pusing atau iritabilitas dapat pula dijumpai. Neutropenia, agranulositosis dan pansitomia yang reversibel telah pernah dilaporkan terjadi pada pasien yang mendapatkan SAS. Ruam kulit terjadi kurang lebih pada 7''/o sampai 5%o

dari pasien yang menggunakan SAS. Penurunan jumlah sel spermatozoa yar'g reversibel jLrga pernah dilaporkan, test fungsi hati harus dilakukan setiap minggu pada tiga bulan pertama, kemudian setiap bulan setelah rfu.

D.PENISILAMIN

bukan dosis kumulatifnya. Dosis anti malaria yang dianjurkan untuk pengobatanAR adalah klorokuin fosfat 250 mglhai atau hidroksiklorokuin 400 mgl hari. Pada dosis ini jarang sekali terjadi komplikasi penurunan ketajaman penglihatan. Efek samping lain yang mungkin dijumpai

pada penggunaan anti malaria adalah dermatitis makulopapular, nausea, diare dan anemia hemolitik. Walaupun sangatjarang dapat pula terjadi diskrasia darah atau neuromiopati pada beberapa pasien.

D-penisilamin (DP) mulai meluas penggunaannya sejak tahun tujuh puluhan. Walaupun demikian, karena obat ini bekerja sangat lambat, saat ini DP kurang disukai lagi untuk digunakan dalam pengobatan AR. Umumnya diperlukan pengobatan kurang lebih satu tahun untuk dapat mencapai

keadaan remisi yang adekuat, dan rentang waktu ini dianggap terlalu lama bagi sebagian besar pasien AR. Dalam pengobatan AR, DP (Kuprimin 250 mg atau Troiovol 300 mg) digunakan dalam dosis I x 250 sampai

300 mg/hari kemudiarr dosis ditingkatkan setiap dua SULFASALAZIN Sulfasalazin (SAS) pertama kali ditemukan tahun 1930, yang diindikasikan sebagai antibiotik terhadap bakteri, kemudian dipergunakan untuk penyakit radang saluran cema (IBD -- InJlamatory Bowel Disease). Dalam dekade terakhir obat ini diketahui dapat dipergunakan untuk anti inflamasi baik

seropositif maupun sero negatif. Sulfasalazin sedikit diabsorbsi dalam usus, dirobah oleh bakteri usus menjadi 5 aminofetil salisilik acid (5-ASA) dan sulfapiridin. 5-ASA diekskresikan dalam feses, sedangkan sulfapiridin diserap

dan dimetabolisme dalam hati, komponen aktif dari Sulfasalazin pada AR adalah sulfapiridin. Sulfasalazin menghambat angiogenesis sinovium, menekan limfosit

sampai 4 minggu sebesar 250 sampai 300 mg/hari untuk mencapai dosis total 4 x 250 sampai 300 mgihari. Efek samping DP antar lain adalah ruam kulit urtikaria atan morbiliformis akibat reaksi alergi, stomatitis dan pemfigus. DP juga dapat menyebabkan trombositopenia, leukopenia dan agranulositosis. Pada ginjal DP dapat menyebabkan timbulnya proteinuria ring arr y ar'g r ev ers ibl e sampai pada suatu sindrom nefrotik. Efek samping lain yang j uga dapat

timbul adalah "lupus like syndrome", polimiositis, neuritis, miastenia gravis, gangguan mengecap, nauseo, muntah, kolestasis intra hepatik dan alopesia.

GARAM EMAS

dan fungsi polimorfonuklir. Dari penelitian klinik sulfasalazin dapat menekan erosi sendi dibandingkan dengan plasebo. Sulfasalazin mempunyai efektifitas hampir sama dengan preparat emas dan d-penisilamin. Untuk pengobatan AR. sulfasalazin dalam bentuk enterik coated tablet digunakan mulai dari dosis 1 x 500

mgihari, untuk kemudian ditingkatkan 500 mg setiap minggu sampai mencapai dosis 4 x 500 mg atau 2 x 1000 mg. Setelah remisi tercapai dengan dosis 2 g/hari, dosis diturunkan kembali sehingga mencapai 1 g/hari untuk digunakan dalam jangka panjang sampai remisi sernpurna terjadi. Jika sulfasalazin tidak menunjukkan khasiat yang dikehendaki dalam 3 bulan, obat ini dapat dihentikan dan

digantikan dengan DMARD lain atau tetap digunakan

Auro sodium Tiomalat (AST) intramuskular telah dianggap sebagai suattt "gold standard' bagi DMARD sejak 20 tahun terakhir ini. Khasiat obat ini tidak diragukan lagi, walaupun penggunaan obat ini seringkali menyertal
2758

REI,MAII)I.OGI

Efek sampingAST antara lain adalahpruritus, stomatis, proteinuria, trombositopenia dan aplasia sumsum fulang. Efek samping AST agaknya terjadi lebih sering pada pengemban HLA-DR3A. Jika timbul efek samping yang

ringan, dosis AST dapat dikurangi atau dihentikan sementara. Jika gejala efek samping tersebut menghilang, AST kemudian dapat diberikan lagi dalam dosis yang iebih rendah. Auranofin tablet 3 mg adalah preparat garam emas oral telah dikenal sejak awal decade yang lalu dan dianggap

sebagai DMARD yang berlainan sifatnya dari AST. Walaupun obat ini terbukti berkhasiat dalam pengobatan

AR, lebih mudah digunakan serta tidak memerlukan pemantauan yang ketat sepertiAST, banyakpara ahli yang berpendapat bahwa khasiat auranofin tidaklah lebih baik

dibandingkan dengan AST.

Auranofin sangat berguna bagi pasien AR yang menunjukkan efek samping terhadap AST. Auranofin diberikan dalam dosis 2 x 3 mg sehari. Efek samping proteinuria dan trombositopenia lebih jarang dijumpai dibandingkan dari penggunaan AST. Pada awal penggunaan auranofin, banyak pendeirta yang mengalami

diare, yang dapat diatasi dengan menurunkan dosis

albumin, dan terakumulasi dalam hati sebagai poliglutamat. Metoheksat dieliminasi dari tubuhmelalui ginjal dan sistem bilier. Kerjanya menekan proliferasi limfosit dan produksi faktor rematoid Gf'), meningkatkan kemotaksis PMN, dan mempengaruhi produksi sitokin. Pemberian MTX umumnya dimulai dalam dosis 7,5 mg (5 mg untuk orang tua) setiap minggu. Walaupun dosis efektif MTX sangat bervariasi, sebagian besar pasien sudah akan merasakan manfaatnya dalam 2 sampai 4 bulan setelah pengobatan. Jika tidak terjadi kemajuan dalam 3-4 bulan maka dosis MTX harus segera ditingkatkan.

Efek samping MTX dalam dosis rendah seperti yang digunakan dalam pengobatan AR umumnya jarang dijumpai akan tetapi juga dapattimbul berupa kerentanan terhadap infeksi, nausea, vomitus, diare, stomatitis, intoleransi gastrointestinal, gangguan fungsi hati, alopesia, aspermia atau leukopenia. Efek samping ini biasanya dapat diatasi dengan mengurangi dosis atau menghentikan pemberian MTX. Kelainan hati dapat dicegah dengan tidak menggunakan MTX pada pasien AR yang obese, diabetik, peminum alkohol atau pasien

pemeliharaan yang digunakan.

AZATIOPRIN Azatioprin merupakan analog purin, yang mempengaruhi

sintesis DNA, obat ini dikonversikan dalam bentuk metabolik aktif dalam sel eritrosit dan hati. Waktu paruh plasma adalah 60 menit setelah pemberian peroral dan diekskresikan melalui ginjal. Azatioprin menghambat proliferasi limfosit dengan cara non spesifik, juga berpengaruhi terhadap sel T dan sel B, sel monosit, makrofag, dan aktivitas sel natural killer (NK). Dosis harian azotioprin 1-2,5 mglkgBB. Dosis awal 25 mg dinaikkan sampai 50 mg2 x sehari dosis maksimum2,5

mg/ kgBB. Efek samping mual,

Penggunaan pada AR dengan dosis 5-25 mglminggu, waktu absorbsi rata-rata hamp ir 7 ,2 jam. Komponen utama hasil metabolismenya dalam sirkulasi darah terikat dengan

yang sebelumnya telah memiliki kelainan hati. Pada pasien AR yang menunjukkan respons yang baik terhadap MTX, pemberian asam folinat dapat mengurangi beratnya efek samping yang terjadi. Peningkatan enzim hati dapat terjadi secara transien, tetapi tidak berhubungan dengan timbulnya fibrosis hati, reaksi hipersensitivitas, berupa ruam kulit telah dilaporkan, insiden pneumonitis tidak diketahui, tetapi tidak lebih dari 5o/o kasus, yang paling sering mungkin terjadi dengan pemberian MTX adalah fibrosis dan sirosis hepatis.

SIKLOSPORIN.A

neutropenia,

trombositopeni. Pemeriksaan rutin darah dan tes fungsi

hati sekali sebulan.

Siklosporin-A (CS-A), adalah suatu undekapeptida siklik yang di isolasi dari jamurtolipokladium inflatum Gams pada

tahw 1972. dalam dosis rendah, CS-A telah terbukti khasiatnya sebagai DMARD dalam mengobati pasienAR.

METOTREKSAT Metotreksat (MTX) adalah suatu sitostatika golongan antagonis asam folat yang banyak digunakan sejak 15

ini sangat mudah digunakan dan rentang waktu yang dibutuhkan untuk dapat mulai bekerja relatiflebih pendek (3-4 bulan)jika dibandingkan dengan tahun yang lalu. Obat

DMARD yang lain. Dalam pengobatan penyakit keganasan, MTX bekerja dengan menghambat sintesis timidin sehingga menyebabkan hambatan pada sintesis DNA dan poliferasi selular. Apakah mekanisme ini juga bekerja dalam penggunaannya sebagai DMARD belum diketahui dengan pasti.

Pengobatan dengan CS-A terbukti dapat menghambat progresivitas erosi dan kerusakan sendi. Kendala utama penggunaan obat ini adalah sifat nefrotoksik yang sangat bergantung pada dosis yang digunakan. Gangguan fungsi ginjal ini dapat menyebabkan teqadinya peningkatan kadar kreatinin serum atau hipertensi. Efek samping lain CS-A

adalah gangguan fungsi hati, hipertrofi gingival, hipertrikosis, rasa terbakar pada ekstermitas dan perasaan le1ah.

Dosis awal CS-A umumnya diberikan dalam dosis 2,5-3,5 mglKgBB/hari yang dibagi dalam2 dosis. Setelah 4 sampai 8 hari dosis dapat ditingkatkan 0,5-1,0 mglKgBB/ hari setiap I sampai 2 bulan sehinggamencapai 5 mg/IQBB/

2759

DISEASE MODIFTING AAITI RI]EUMATIC DRUCS (DMARD)

hari. Jika dosis maksimal yang dapat ditolerir tercapai dan

pasien telah berada dalam keadaan stabil sekurangkurangnya 3 bulan, dosis CS-A harus dikurangi setiap 1 bdan sebesar 0, 5 mg/KgBB/hari. Jika tidak dr; umpai respons klinis setelah penggunaan CS-A dalam dosis maksimal yang dapat ditolerir selama 3 bulan, CS-A harus dihentikan. Penggunaan CS-A merupakan kontra indikasi atal- 2

pada keadaan: . Terdapatnya ata:;' adarya riwayat penyakit keganasan . Hiperlensi yang tidak terkontrol . Penggunaan CS-A harus dilakukan secara berhati-hati pada: - Usia di atas 65 tahun

. . .

-

Hipertensiterkontrol Infeksi aktif Kondisipremalignan: leukoplakia, mielodisplasia Kehamilan dan menyusui

Penggunaan obat-obatan lain seperti: anti epilepsi,

ketokonazol, flukonazol, trimetoprim, eritromisin, verapamil, diltiazem, OAINS, dan agen alkilasi seperti siklofosfamid. Dalam usaha untuk mengurangi efek yang tidak diinginkan

penggunaan CS-A sebaiknya dilakukan dengan pemantauan yang ketat. Sebelum pengobatan dimulai sebaiknya dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan sebagai berikut: . Pemeriksaan tekanan darah sekurang-kurangnya 3 kali.

. .

.

Pemeriksaan bilirubin dan enzim hati

Pemeriksaan kadar kalium, magnesium dan asam urat darah Pemeriksaan protein urin

Gangguan fungsi ginjal akibat CS-A dapat dihindari dengan melalarkan: Eksklusi pasien dengan faktor risiko potensial Membatasi dosis maksimal sampai 5 mg/KgBB/hari Pemantauan fungsi ginjal yang sering dan teliti

. . .

LEFLUNOMID Leflunomid, suatu derivat isoksazol, merupakan salah satu obat paling baru yang dipergunakan untukAR. Leflunomid (LFM) telah disetujui untuk digunakan sebagai DMARD oleh FDA sej ak bulan Oktober 1 99 8. uj i klinis yang dilakukan membuktikan bahwa LFM memiliki khasiat yang setara dengan MTX dan merupakan suatu altematif yang baik bagi pasien AR yang gagal diobati dengan MTX atau intoleran terhadap MTX. Sebagaimana dengan DMARD lainnya, mekanisme kerja LFM belum sepenuhnya diketahui. Diduga efek terapeutik LFM padaARberhubungan dengan kemampuan LFM menghambat aktivitas enzim dehidrorotat dehidrogenase. Progresivitas erosi sendi nyata lebih lambat 2 0 mg/hari leflunomid daripada

pada pasien yang menerima

metotreks at a tau

srrJrf azalazin.

Leflunomid efektif dan aman untuk mengurangi kerusakan/erosi sendi dan tanda klinis AR. Efeknya sebanding dengan metotreksat dan sulfasalazin dalam 4 parameter klinis, akan tetapi berlangsung lebih cepat. Di samping itu dalam jangka yang lebih pendek, leflunomid

menghambat progresivitas penyakit berdasarkan pemeriksaan radiografi dan lebih baik memperbaiki kemampuan fungsional. Leflunomid juga relatif ditoleransi

dengan baik. Gangguan faal hati yang berlangsung sebentar. Berbeda dengan DMARD yang lain, tak ada toksisitas hematologik, pulmonal dan ginjal.

KombinasiDMARD S

ej

ak tahun I 9 90 telah dianj urkan perubahan terapi

dengan menggunakan terapi kombinasi,

AR

di mana

penggunaan kombinasi DMARD dianjurkan diberikan sejak

awal penyakit dan tidak menunggu respons terhadap OANS. Akan tetapi karena mekanisme kerja DMARD yang jelas belum banyak diketahui pada waktu itu, kombinasi yang dianjurkan hanya berdasarkan pengalaman saja. Tujuan utamanya ialah meningkatkan efikasi, diharapkan obat bekerja secara sinergis tanpa meningkatkan toksisitas. Hal ini dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dengan menggabungkan obat-obat yang mekanisme kerja dan efek

sampingnya berbeda. Dengan ditemukanny a matfaat metotreksat dan lebih dipahaminya mekanisme kerja DMARD yang lain, terapi

kombinasi semakin menarik dan memberikan tingkat keberhasilan terapi yang lebih baik. Terapi kombinasi sering dipergunakan apabila penggunaan DMARD secara tunggal gagal. Gabungan MTX, SAS dan klorokuin memperlihatkan

hasil yang baik. Akhir-akhir ini gabungan siklosporin dan

MTX atau MTX dan SAS, lebih baik hasilnya dibandingkan daripada MTX tunggal.

REFERENSI American College of Rheumatology Ad Hoc Committee on Clinical Guidelines. Guidelines for the Management of Rheumatoid Arthritis. Arthritis Rheum. 1996 : 9 : 713-22 Avina, Zubieta JA, et al. long term effectiveness of anti malarial drugs. In rheumatic disease. Ann Rheum Dis. 1998; 5T : 582-87. Borigini MJ, Pualus HE. Rheumatoid arthritis. In: Weisman MH, Weinblatt ME, Louise JS eds. Treatment of rheumatic diseases. 2"d ed. Philadelphia:W. B. Saunders; 2001,p.217-35. Brooks P. Management of rheumatoid arthritis. Medicine Interna-

tiona1.2002.p.50-3. Brooks P. disease modifying anti Rheumatic drugs. In: Klippel JH ed. Primer on the rheumatic diseases. 11rh ed. Atlanta:Arthritis Foundation; 1997 .p.432-6. Chatham WW. Gold and d-Penicillamine. In Koopman JW (ed). Arthritis and allied conditionts. 14'h ed. Lippincott WW. Philadelphia, 2001; T 17 -33. Cush JJ., Tugwell P., Weinblatt M, et a1 US consensus guidelines for use of cyclosporine A. in rheumatoid arthritis. J. Rheumatol, 1999; 26: 1 l 76-86. Daud R Combination of sulfasalazine and chloroquine in the

2760

REI,'MANOI.OGI

treatment of patients with rheumatoid arthritis. A Randomized controlled triat. M. Sc. Thesis, Mc Master University, Hamilton, Ontario, Canada, tr992. Felson D! Anderson JJ, Meenan RF. The comparative efficacy and toxicity of second-line drugs in rheumatoid arthritis. Results of two metaanalyses. Arthritis Rheum 1990; 33: 1449-61. Fox RI., kang HI. Mechanism of action of hydroxychloroquine as an anti rheumatic drugs. Semin. Afihritis Rheum, 1993; 23 : 82-91. Fermocioli GF., Baibak LW., Ferraris M. Effects of cyclospirine on joint darnage in rheumatoid afihritis. Clin Exp Rheumatol. 1997;

15:583-9. Jones SK. Ocular toxicity and hydroxychloroquine guidelines for screening. Br J. Dermatol, 1999: 140 : 3-'7. Jackson CG, Elegg DO. Sulfasalazine and minocycline. In Koopman

JW (ed). Arthritis and allied conditionts.

14th.

WW; 2001; 1 : 769-82. Gornisiewicz M, Moreland L. Rheumatoid arthritis. In: Robin L ed.Clinical care in rheumatic diseases. 2"d ed.Atlanta: American ed.Philadelphia:Lippnicott

College of Rheumatology; 2001.p.89-96. Kremer JM. Methotraxate and leflunomide. Biochemical basis for cotnbination therapy in the rheumatoid arthritis. Semin Arthritis Rheum. 1993,29 : 14-25. L.S, Sirnon and D. Yocum. New and drug therapies for rheumatoid arthritis. B J Rheumatol. 2000 ; 39 (supp) : 36-42. Leipold G, et al. Azathioprine induced severe pancytopenia due to a

homozygous two-point mutation of

thiopurine

in patient with juvenile. HLA 827. spondylarthritis. Arthritis Meum, 1997; 40 : 1896-98

methyltransperase gene Associatcd

Mc Casly DJ Personal Experience in the treatment of seropositive rheumatoid arthtritis with drugs use in combination. Semin Arthritis Rheum. 1993, 23 : 42-9. Motonen T, et al. comparison of combination therapy with single drug therapy in early rheumatoid arthtiris a ramdomized trial. Lancet. 1999, 353 ; 568-1573.

O'Dell J , Left R., et al. Methotrexate (M) Hydroxychloroquine (H), Sulfasalazine (S) versus M-H or M-S for rheumatoid arlhritis; results a double blind study. Athritis Rheurr. 1999; 42:

s

117.

O'Del1 J. Combination DMARD therapy for rheurr,atoid arthritis, apparent universal acceptance. Arlhritis Rheum. 1997; 40-550 O'Dell JR., Haire CE., et al Treatment of rheumatoid afihritis with metotreksate alone, sulfasalazine and hydroxychloroquine or combination at a1l three medications N Engl J Med. 1996; 334

:1287-91. Pincus T, O'Del1 J.R., Kremer J.M. Combination therapy with multiple disease modifying anti rheumatic drugs in rheumatoid arthritis. Ann Intern N4ed. 1999; 131;768-74. Paseo G., Priolo F., Marubini F. Slow progression joint damage in early rheumatoid arthritis treatment with cyclosporine A. Arthritis Rheum. 1996: 39 : 1006-105 Rau R, et al. Longterm treatment of destructive rheumatoid arthritis with methotrexate. J Rheumatol, 1997;24 : 1881-9. Rich 8., Moreland LW., Alarcon GS. Paucity of radiographic progression in rheumatoid arthritis treated with methotrexate as the first disease-modifuing anti rheumatic drug. J Rheumatol. 1999;26 :256-61. Smolen JS and Emery P. Efficacy and safety of leflunomide in active rheumatoid arthritis. B j Rheumatol 2000; 39, 48-56. Weinblatt ME. Treatment of rheumatoid arthritis. In: Koopman JW ed. Arthritis and allied conditions. 14'hed. Philadelphia: Lippincott WW;200 I p.1245-60. Wolfe F, Sharp JT. Radiographic outcome at recent-onset Rheumatoid arthritis A l9-year study of radiographic progression. Ar-

thritis Rheum, 1998;

41,

:

1571-82.

Weinblatt ME., Kremer JM., Coblin JS, et al. Pharmacokineties safety and efficacy of combination treatment with methotrexate and leflunomide in patients with active rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum. 1999: 42 : 1322-8.

423 AGEN BIOLOGIK DALAM TERAPI PENYAKIT REUMATIK B.P. Putra Suryana

interaksi sel-sel atau sel-matriks ekstraselular, menghambat ON dan oksigen reaktif, atau komplemen (Tabel l). Agen

Penemuan agen biologik telah memberikan kemajuan yang

luar biasa dalam terapi penyakit reumatik, seperti pada

biologik yang juga sedang dikembangkan mempunyai target terhadap matrix metalloproteirase (MMP) atau

artritis reumatoid (AR) dan spondilitis ankilosa (SA)' Terapi inhibitor TNF-cr dan interleukin-1 ([-l) menjadi terapi pertama pada AR yang berdasarkan penemuan konseptual sampai pada aplikasi klinis. Terapi tersebut tidak hanya telah terbukti memperbaiki gejala klinis penyakit, tapi juga memperlambat kerusakan sendi pada AR. Pengetahuan tersebut juga telah membuka peluang terapi pada penyakit reumatik lainnya yaitu lupus eritematosus sistemik (LES) dan vaskulitis. Agen biologik dibuat dengan tujuan untuk memblok komponen autoimun yang berperan dalam patogenesis suatu penyakit. Agen biologik diberi nama berdasarkan komponen autoimun atau proses inflamasi yang menjadi targetrrya. Sitokin merupakan target agen biologik yang

molekul signal intraselular.

ANTAGONIS TUMOR NEKROSIS FAKTOR TNF-u pada awalnya disintesis dan diekspresikan sebagai molekul transmembran, kemudian bagian ekstraselulamya mengalami pemecahan oleh TNF-cr converting enzyme (TACE) melepaskan molekul terlarut sebagai TNF-cr terlarut

(soluble TNF-u) dalam sirkulasi. TNF-u terlarut yang berikatan dengan reseptor yang dikenalnya akan memicu perubahan konformasional dan dimerisasi pada reseptor tersebut. Reseptor TNF ada 2 yaitu reseptor TNF tipe I (TNF-RI) dan tipe II (TNF-RII). Aktivitas biologis TNF-u terlarut terutama melalui TNF-RI, sedangkan TNF-cx pada sel melalui TNF-RII. Soluble TNF receptors (sTNFRs) hanya sebagian kecil dari total reseptor TNF, dan mungkin berperan sebagai antagonis endogen terhadap TNF-o dalam sirkulasi. Ligan alami untuk reseptor TNF adalah TNF-cr dan /y mph o t o x i n - a (Bazzoni,l99 6) Upaya untuk memblok TNF paling banyak dilakukan melalui berbagai penelitian yang meliputi penemuan obat biologik berbasis protein yaitu antibodi monoklonal yang menyerang TNF maupun reseptor terlarut TNF (sTNFR) rekombinan. Molekul tersebut akan berikatan dengan TNF-cx terlarut sehingga mencegah sitokin berikatan dengan reseptor TNF pada sel, yang dapat mengaktifkan jalur inflamasi. sTNFR rekombinan dibuat dari gabungan protein ligan-binding portion dari reseptor TNF manusia dengan immunoglobulin-like molecule manusia. Semua

paling banyak diteliti dan telah diaplikasikan secara klinis, seperti anti-TNF dan anti-Il. Teknologi canggih seperti

teknik rekombinan DNA dan penciptaan molekul kecil nonimunogenik seperti antibodi monoklonal (monoclonal antibodies : MoAbs), reseptor terlarut (soluble receptor), dan pengikat sitokin, memungkinkan para peneliti membuat

'alat' untuk memblok target tertentu (Shanahan,2005).

TARGET TERAPI AGEN BIOLOGIK Target terapi agen biologik tidak hanya sitokin, tetapijuga

berbagai komponen lainnya yang berperan dalam patogenesis penyakit reumatik. Saat ini anti sitokin masih menjadi agen biologik yang paling banyak diteliti dan dikembangkan, sefta telah diaplikasikan secara klinis. Agen biologik lainnya masih dalam penelitian, seperti agen biologik yang bekerja pada sel-sel imun (limfosit T dan B),

6

2762

REI,JM/{IOLOGI

Mekanisme kerja Anti-sitokin

Target terapi TNF-o (elanercept, infliximab, adalimumabl lL-1 (anakinra) dan tL-18 tL-6

tL-17 lL-12, lL-15 dan lL-7 MMIF VIP PIF Sign

Anti limfosit T

a Ii

ng ntraseluler i

CD4, CD5bdan CD7 Reseptor lL-2 CD28 , 87 -1 , 87 -2 dan CTLA4 CD40 dan ligan CD40 CD'1'la/CD18

Anti limfosit B

CD20 (rituxinab)

Anti kemokin yang berperan pada interaksi sel dengan sel atau sel dengan matriks ekstraseluler Mengaktifkan apoptosis

tL-8

CCRl RANTES lntegrin CD44 Reseptor Fas Reseptor TRAIL Metalloproteinase

I\,4enghambat

kerusakan jaringan ak bat inflamasi

Oksida nitrit Spesies oksigen reaktif

Menghambat komplemen C3 convertase

Menghambat reseptor Fc Menghambat osleoklas MMIF,macrophage

FcyRlll FcyRl RANKL

Uji klinis

Extracellular domain of human P 75 TNF Rll receptor

AR, spondilitis ankilosa, artritis psoriatik, vaskulitis AR (binatang coba) AR (binatang coba) Lupus (brnatang coba) AR (ex vivo model) AR (binatang coba) AR (binatang coba) Sinovitis (binatang coba) Sinovitis (binatang coba) Artritis (binatang coba) AR AR (binatang coba) AR, LES (binatang coba), Psoriasis

Fc region of human lgG

Gambar 1. Struktur molekular etanercept (Dikutip dari Shanahan and St Clair,2002)

LES

AR, LES (binatang coba), Psoriasis AR, LES, ITP, vaskultis, limfoma AR, artritrs psoriatik Sel-sel sinovium Sinovitis (binatang coba) AR (binatang coba) AR AR (binatang coba) LES (binatang coba) AR dan OA (binatang coba) Artr tis (binatang coba) AR (binatang coba) Lupus like disease (binatang coba) Artritis dan sindroma antifosfolipid (binatang coba) LES (binatang coba) AR (binatang coba) AR (binatang coba)

migration inhibitory factor , VlP,vasoactive intestinal peptide

(nama dagang : Remicade), merupakan anti-TNF MoAbs gabungan (ch im er i c) manusia/tikus. Infl iksimab tersusun oleh region konstan dari IgG16 dengan region Fv murine

anti-human TNF-x antibody (Gambar 2). Antibodi tersebut mempunyai afinitas tinggi terhadap TNF-u manusia alami maupun rekombinan, dan dapat menetralisir sitotoksisitas TNF in vitro.Wakfi paruhnya 8,0-9,5 hari,

diberikan secara intravena dengan interval 8 minggu setelah pemberian 3 dosis aw al

( Io

ad i n g dose) (E1liott,

19

93 ).

,

MNTEs,regulated upon activation normal T cell expressed and secreted TRAIL,INF-reiated apoptosis-inducing ilgand ; RANKL,receptor activator of ,

nuclear faclor KB /lgand ; AR,artritis reumatoid ; LES,lupus eritematosus sistemik; fi P,id iopath ic trombhocytopenic pu tpu ra

Fc region human lgG

komponennya berasal dari protein manusia, tapi hubungan

attara kedua region tersebut menunjukkan urutan asam-amino yang tidak alami sehingga berpotensi memicu respons antibodi (Haque and Bathon,2005). Etanercept (nama dagang : Enbrel) adalah sTNFR rekombinan yang telah mendap at ljin Food and Drug Administration (FDA) untuk dipakai dalam klinis. Etanercept adalahkonstruksi dimer dari dua sTNF-RII berikatan dengan bagian Fc IgGl manusia (Gambar 1), mempunyai afinitas yang lebih kuat terhadap TNF-o (50- 1000 kali) dan masa paruh lebih lama. Pada AR, waktu paruh dalam serurq sekitar 102 jam, diberikan secara subkutan (Mohler, I 993).

Antibodi monoklonal terhadap TNF (Anti-TNF MoAbs) yang telah dipakai secara klinis adalah infliksimab

Gambar 2. Struktur molekular infliximab. (Dikutip dari Shanahan and St.Clair,2002)

Adalimumab (nama dagang: Humira) juga merupakan

antibodi terhadap TNF-c,, berbeda dengan infliksimab karena seluruh komponennya berasal dari manusia. Adalimumab juga mempunyai afinitas yang tinggi terhadap

TNF-o dengan masa paruh yang sama dengan IgGl manusia yaitu sekitar 2 minggu, diberikan dengan injeksi subkutan (van de Putte,l998).

Inhibisi TACE dapat menghambat pembentukan TNF-o terlarut dan reseptor TNF-o terlarut, juga menjadi

2763

AGEN BIOLOGIK DALAM TERAPI PEITYAKIT REUMATOI.OGI

hanya memerhtkan lo/o-2o/o okupansi IL- 1 RI (Arend, 1 993), sedangkan IL-IRII tidak dapat menimbulkan signal dan

strategi untuk melawan TNF yang masih dalam penelitian (Haque and Bathon,2005). Efek samping yang paling sering dilaporkan pada terapi antagonis TNF adalah reaksi pada tempat injeksi dan tempat infus seperti eritema dan indurasi, yang biasanya

tampaknya berperan sebagai decoy receplor untuk (Collota, 1 993). Bentuk reseptor terlarut dari IL- 1RI dan secara alami, mungkin berperan sebagai antagonis endogen terhadap IL-1p (Symons,199 1). Upaya memblok IL-l dilakukan dengan cara rekayasa

IL-

1

IL-lRII juga diproduksi

bersifat ringan. Efek samping yang paling mendapat

perhatian adalah peningkatan risiko infeksi dan keganasan. Infeksi oportunistik seperti tuberkulosis, histoplasmosis, aspergilosis, koksidioidomikosis, listerosis, pneumonia Pneumocystis carinii, infeksi kriptokokkus, kandidiasis, infeksi cytomegalovirus dar. atipikal mikobakteria telah dilaporkan. Pengaruh anti sitokin terhadap timbulnya keganasan masih belum diketahui dengan jelas. Efeknya pada perburukan fungsi jantung pada pasien penyakit jantung kongestif dan timbulnya penyakit demielinisasi otoimun pada sistem saraf pusat juga menjadi perhatian para ahli. Masalah lainnya adalah, terbentuknya antibodi terhadap ketiga jenis antagonis TNF tela\ dilaporkan, yang mungkin dapat mempengaruhi efektifitasnya (Haque and Bathon,2005).

genetika untuk menciptakan bentuk rekombinan dari IL-1Ra danreseptor IL-1 terlarut. Anakinra (tama dagang: Kineret) adalah rekombinan IL-Ra manusia (rIL- l Ra) yang telah dipakai pada terapi pasien AR dewasa. Anakinra berikatan dengan IL-lRI dengan afinitas yang ekuir,alen dengan lL- I p, sehingga mampu mencegah lL- 1 B berikatan dengan IL-lRI pada sel. Waktu paruhnya singkat sekitar 4-6 jam, sehingga harus diberikan tiap hari melalui injeksi

subkutan. Data in

vitro metutjukkan bahwa IL-lRa

diperlukan 10 sampai 100 kali lebih banyak terhadap lL- i untuk dapat menghambat 50% akitivitas biologis IL-1 (Arend,1990). Sehingga diperlukan sangat banyak IL- lRa terhadap IL- I untuk dapat memblok inflamasi akibat IL- 1 , karena aktivasi sel hanya rnemerlukan l%-2% okupasi dari

IL-1RI. Hal tersebut mungkin menjelaskan efektifitas anakinra yang relatif lebih lemah (Haque and Agen biologik Etanercept (monoterapi atau kombinasi dengan MTX)

lnfliximab

Dewasa : 25 mg injeksi subkutan, dua kali seminggu Anak-anak : 0,4 mg/kg (maksimal 25 mg) injeksi subkutan, dua kali seminggu 3 mg/kg intravena pada minggu 0,2 dan 6 selanjutnya tiap 8 minggu (dosis dapat

AR aktif sedangberat (dewasa dan anak-anak), artritis psoriatik. spondilitis ankilosa AR aktif sedangberat (dewasa), spondilitis ankilosa

(kombinasi dengan MTX)

Bathon,2005). Snategi lain untuk memblok IL- I masih dalam tahap penelitian, seperti menciptakan rekombinan sIL- lRI (Drevlow,1996) dan antibodi monoklonal terhaciap IL-1u dan IL-l p (van den Berg,1994).lL-l trap }uga masih dalam

Dosis dan cara pemberian

lndikasi

penelitian klinis, terbentuk oleh 2 molekul identik berikatan kovalen melalui ikatan disLrlfida. Tiap molekul memptrnyai

2 sekuen reseptor ekstraselular dengan afinitas kuat terhadap lL- I digabungkan dengan porsi Fc IgG I mantrsirt.

In vitro, ahnitas lL-l trap lebih kuat dibandingkan dengan sIL- I RII dan sIL- 1 Rl, dan mempunyli masrr parr-rh saurptri 67 jam (Economides.2003 ).

dinaikkan sampai 10 Adalimumab (monoterapi atau kombinasi dengan MTX) Anakinra (monoterapi atau kombinasi dengan MTX)

mg/kg) 40 mg injeksi subkutan, tiap 2 mrnggu

AR aktif sedangberat (dewasa)

Antogonis

ptrcla berbagai Bathon.2005).

100 mg/hari injeksi bkutan

AR aktif sedangberat (dewasa)

IL-l

tidrrk mcningkatkan risiko inteksi

maupun keganasan. Belttm pernah clilaporkarr ltiatlra int'eksi tubcrkr-rlosi s marlp rln int-e ks i tr portuni s tik I ir innl a

su

t4i klinis antltgonis lL-l lHlque lncl

AR,artritis reumatoid : MTX, metotreksat

ANTI-CD2O

ANTAGONIS INTERLEU KIN

('I)It) rJ.rtrrtr p jr.]rrri,r p;nnlik,rrttt scl 1,','/i.rrrr-lirL'L'tttLlIkcr) \ rtlg I.r!llfrlt l'J.irr:cl lirlrtitsir tl rttLt.l'l sltrtlplli \ Illlg lllattll"

-1

-l rrri'liprrti l() prr,.ltrk t.tl \.ttt{ L'itk:tLt.ltt .r:rI. tilu.rl:rrlr:r lt tti. ll -1fi. lt LR.t.l.rrr ll -1S II'Lt'L J.trt tl lfi,rJ.rl.rtr :tgattts tittt.t,lir| r.i.pI\)t II -L 1ll LR), \'rltS \trsrrrta:ls scL.,r.l.tr rtr.,lcktt[ ['r.'kutiol (1.r.) Il - Itr. J'ttt prr, II lfl) It It. ttt.tttrt r.ttt{ Jt.ikti:L[.'ttt ttlitttLttt'trlk.ttl Srrpirtitrrrli I[

cti'L pL,'Lrrt'l.trtt.t:i 1\'sapt\rt II

,1.tt L

ll L il

I r.lrr-l Illarllftlll\.tt

tl -lii licrrpt,rr Il I .rJrr I (ll I [i.[) Jrrn rrpc It t ll - t lill)

L

ti.r .l.i.rl.itr Jlltr!aliti

.tt'ttttl.ts

\.1111.I \1a11l.lIl

r.titLt tcscpt,,r II

-l titri ll - I

Iicsp,rtti lrirrlrrqis olclt

I

t'ir.rrrJ.r tir sc',.Lrt ti.1.i[. .lirirlLrk.ttt p'tdx scl .rr.'rll. sel pre-B r.L .lcrl.irLriL .l:ltt :cl lrl'tsrtl't Pctitrt scl lillitbsit B p.r.1.r p,rrot'iiLo1orL \li 1..'LLrrn dikctrlhui dcngrrn pilsti. [r.'lr.' .1p.1 ttlik.ttt t : t t1.' r,rnS LLipr'r kir'.rklr rr lthla h berpetan J.r 1.rrrr pi' rtttr irtt uk.ttt rttrr o rt rtt ilrotl i t'lr kto r reurnatoid. Ir.':arlt,rsi .tttti-!irt rtlilrrlLli irit.'L-.lksi llttr'lstttlg sel-sel, dan r11r.rr1.l.

1

[]r..hrkii sirokin Ii.

i

1

I

\

rrks rrurrt. .iri.t

I

]:t't. II -(, Lirrn ll-- l()) 1Panaf i.2005). rtlt tttrrtttrklorlrt I ll tltibtrcli IgG I 6 anti-

r rurg l.cr.tsrtl .lrtti t',trtttitsirt. Agen biologik ini cnng Iirrttirsit I3 nrr'liprrti Iirlilbsir B iuratur. matru dan

t'l)lt) 11r.n\

r

2764

REIJMIIfl)I.oGI

sel B memori yang mengekspresikan antigen permukaan

CD20,sehingga jumlah limfosit B berkurang. Rituksimab tidak menyerang sel plasma sehingga kadar imunoglobulin

pada pasien yang mendapat terapi rituksimab tidak berubah. Ablasi limfosit B terjadi melalui kombinasi sitotoksisitas yang diperantarai antibodi dan sitotoksisitas

yang diperantarai komplemen, juga melalui aktivasi apoptosis akibat terjadinya cross-linking FcP. (Reff et

menunjukkan peningkatan jumlah sel limfosit B kembali diserlai peningkatan titer faktor reumatoid (242 Shanahan).

Terapi rituksimab pada pasien AR aktif yang telah mendapat

MTX tapi memberikan respons tidak adekuat

menunjukkan perbaikan klinis yang bermakna dan berlangsung lama. Kombinasi dengan MTX memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan siklofosfamid @anayi,2005).

al,l994) (Shan et a1,2000).

Spondilitis Ankilosa TERAPI AGEN BIOLOGIK PADA PENYAKIT REUMATIK

Artritis Reumatoid Efektivitas antagonis TNF pada AR yang refrakter telah

banyak dilaporkan melalui

uji klinis, baik sebagai

monoterapi ataupun kombinasi dengan metotreksat (MTX). Etanercept adalah satu-satunya antagonis TNF yang dipakai sebagai monoterapi pada AR dini, sedangkan penelitian tentang infl iksimab dan adalimumab dikombinasi dengan MTX padaAR dini sedang berlangsung. Uji klinis

mengenai perbandingan efektifitas dan keamanan antagonis TNF terhadap dis

e-modifying antirheumatic drug (DMARD) non-biologik telah dilakukan pada etanercept (90). Antagonis TNF sebagai monoterapi pada AR dibandingkan plasebo menunjukkan respons klinis (kriteria respons American College of Rheumatology,ACR) eas

lebih baik dalam waktu yang singkat (beberapa hari sampai

minggu). Penghentian terapi menyebabkan penyakit menjadi aktif kembali, menunjukkan inhibisi TNF sangat efektif menekan proses inflamasi tapi tidak bersifat kuratif. Antagonis TNF dikombinasi dengan metotreksat (MTX)

juga menunjukkan respons klinis yang lebih baik dibandingkan dengan MTX saja. Selain menekan inflamasi, antagonis TNF juga terbukti menghambat kerusakan sendi setara dengan MTX. Pasien AR yang telah mendapat MTX tapi tetap mengalami kerusakan sendi, penambahan antagonis TNF mampu menekan progresifisitas kerusakan sendi tersebut secara bermakna. Ketiga jenis antagonis TNF telah dibuktikan kemampuan dalam menekan inflamasi dan menghambat kerusakan sendi

padaAR (Haque and Bathon, 2005).

Antagonis

IL-l

(anakinra) pada AR menunjukkan

respons yang lebih lemah dibandingkan dengan antagonis

Antagonis TNF juga digunakan untuk terapi spondilitis ankilosa (SA), berdasarkan fakta bahwa TNF-cr banyak diekspresikan pada sendi sakro-iliaka pasien SA. Infliksimab dan etanercepr dilaporkan memberikan perbaikan klinis dan gambaran radiologis yang bermakna pada pasien SA. Pasien SA yang mendapat etanercept selama 3 bulan menunjukkan

respons klinis dan perbaikan mobilitas spinal yang lebih baik dibandingkan dengan plasebo. Terapi infliksimab selama 12 minggu pada pasien SA juga menunjukkan perbaikan

klinis yang bermakna dibandingkan dengan plasebo (Gorman,2002), di samping juga memperbaiki status fi.mgsional dan kualitas hidupnya (Braun,2003). Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) pada tulang belakang juga menunjukkan perbaikan pada pasien SA yang mendapat terapi infl iksimab @raun,2002).

Lupus Eritematosus Sistemik Anti CD20 (rituksimab) digunakan untuk terapi

lupus eritematosus sistemik (LES), tapi belum ada laporan resmi tentang hasil dan efeknya pada pasien denganjumlah yang cukup banyak. Pada beberapa kasus LES aktifdan refrakter,

terapi rituksimab 500 mg dua kali dalam 2 minggu dikombinasi dengan siklofosfamid dan steroid dosis tinggi menunjukkan perbaikan pada kadar C3, laju endap darah, hemoglobin dan skor British Isles Assessment Group (BILAG). Kondisi tersebut bertahan beberapa bulan (Leandro,2002). Monoterapi rituksimab dicoba pada 16 orang pasien LES aktif non-organ-threatening, tapi tidak memberikan efek pada dosis rendah dan dosis sedang. Hanya 10 orang pasien mencapai pengurangan jumlah sel B yang diharapkan menunjukkan perbaikan nilai skor Systemic Loupes Activity Measure (SLAM), hanya 1 pasien menunjukkan penurunan kadar anti-dsDNA (Arolik,2002).

TNF dalam hal menekan gejala klinis maupun progresifisitas kerusakan sendi. Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh waktu paruhnya yang singkat (Haque

Penyakit Reumatik Lainnya Agen biologik juga dicoba pada beberapa penyakit

and B athon,2 00 5). E t an e rc ep t pada AR juvenil aktif yang

reumatik lainnya seperti artritis psoriatik dan vaskulitis.

tidak memberikan respons terhadap MTX dan obat anti inflamasi menunjukkan perbaikan klinis dibandingkan

Sebuah penelitian pada 60 pasien arhitis psoriatik diberikan terapi etanercept 25 mg subkutan dua kali seminggu selama

dengan plasebo (Criscione et a1,2002).

3 bulan atau mendapat plasebo, menunjukkan respons klinis dan kesembuhan lesi psoriasis yang lebih baik pada kelompok yang mendapat etanercept (Mease,2000). E t aner c ep t menunj ukkan d i s e a s e - m o dify ing effe c t y ang

Rituksimab dengan berbagai kombinasi dengan siklofosfamid dan glukokortikoid menunjukkan induksi perbaikan aktivitas penyakit dan bertahan lama pada pasien AR yang refrakter. Beberapa pasien yang rekuren

dapat menghambat kerusakan sendi (Ory2002). Etanercept

2765

AGEN BIOLOGIK DALAM TERAPI PET.TYAKIT REUMAIOI.OGI

decoy target for IL-1 that is regulated by

juga dilaporkan memberikan respons klinis yang baik pada beberapa kasus granulomatosis Wagener (Stone,200 I ) dan penyakit Behcet (Sfikakis,2002).

RINGKASAN

Agen biologik adalah molekul yang dibuat dengan teknologi rekombinan DNA, yang dapat berupa antibodi monoklonal, reseptor terlarut atau pengikat sitokin. Agen biologik mempunyai target kerja pada komponen tertentu dalam patogenesis inflamasi dan penyakit. Target kerja agen biologik dapat pada sitokin, sel limfosit T dan B, komplemen, serta proses inflamasi atau apoptosis. Agen biologik yang telah banyak diteliti dan dikembangkan adalah anti-TNFu (etanercept, infliksimab dan

adalimumab),

anti-Il-1 (anakinra) dan anti-CD20

modifying anti-rheumatic drug konvensional tidak memberikan respons klinis yang memuaskaan. Anti-TNFo, dan anti-Il-l telah digunakan untuk terapi AR aktif yang refrakter terhadap dis eas e modifying anti-rheumatic drug konvensional. Agen biologik sebagai monoterapi maupun kombinasi pada terapi AR menunjukkan respons klinis yang baik dan mampu menghambat kerusakan sendi.

Etanercept juga diindikasikan untuk terapi AR juvenil,

spondilitis ankilosa dan artritis psoriatik, sedangkan rituksimab masih dalam tahap penelitianuntukpasien LES. Efek samping terapi agen biologik adalah peningkatan risiko infeksi oporhrnistik termasuk tuberkulosis.

REFERENSI Anolik J, Campbell D, Felgar R, et al. B lymphocyte depletion in the treatment of systemic lupus erythematosus: a phase I/II trial of rituximab in SLE Arthritis Rheum 2002;46(supp1 9):289. Arend WP. Interleukins and arthritis-IL- 1 antagonism in inflammatory arthritis. Lancet 1993;341:155-6. Arend WP, Welgus HG, Thompson RC, et a1. Biological properties I

receptor antagonist. J Clin Invest 1990;85:1694-'7. Braun J, Brandt J, Listing J, et al. Treatment of active ankylosing spondylitis with infliximab: a randomised controlied multicentre fiial. Lancet 2002'359:1187 -93. Braun J, Baraliakos X, Golder W, et al. Magnetic resonance imaging examination of the spine in patients with ankylosing spondylitis,

before and after successful therapy with infliximabevaluation of a new scoring system. Arhritis Rheum 2003;48:1126-36. Bazzoni F, Beutler B. The tumor necrosis factor ligand and receptor families. N Engl J Med 1996;334:1117-25. Criscione LG St.Clair EW. Tumor necrosis factor-cx, antagonist for the treatment of rheumatic diseases. Curr Opin Rheumatol 2002;14:204-1,1.

Colotta F, Re F, Muzio M, et al. Interleukin-l type

II

receptor:

Science

Drevlow BE, Lovis R, Haag MA, et al. Recombinant human interleukin-1 receptor type I in the treatment ofpatients with active rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1996;39:257-65. Elliott MJ, Maini RN, Feldmann M, et a1. Treatment of rheumatoid arthritis with chimeric monoclonal antibodies to tumor necrosis factor alpha. Arlhritis Rheum 1993;36:1681-90. Economides AN, Carpenter LR, Rudge JS, et al. Cytokine traps: multi-component, high-affinity blocker of cytokine action. Nat Med 2003;9:47 -52. Gorman JD, Sack KE, Davis JC. Treatment of ankylosing spondylitis

by inhibition of tumor necrosis factor alpha. N Engl J Med 2002;346:1349-56. U and Bathon JM. Cytokine inhibitors: tumor necrosis factor

Haque

and interleukin-1. In : Koopman WJ, Moreland LW (eds). Arthritis and allied conditions. A textbook of rheumatology,l5Lh ed, vol.1. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2005

:839-53.

G et al. An open study of B lymphocyte depletion in systemic lupus erythematosus. Arthritis Rheum 2002;46:267 3-77. Mease PJ, Goffe BS, Metz J, et a1. Etanercept in the treatment of psoriatic arthritis and psoriasis: a randomised trial. Lancet

Leandro MJ, Edwards JC, Cambridge

(rituksimab). Indikasi terapi agen biologik pada penyakit reumatik adalah apabila terapi anti-inflamasi dan disease

of recombinant human monocyte-derived interleukin

IL-4

1993;261:472-5.

a

2000;356:385-90. Mohler KM, Torrance DS, Smith CA, et al. Soluble tumor necrosis factor (TNF) receptors are effective therapeutic agents in lethal endotoxinemia and function simultaneously as both TNF carriers and TNF antagonists. J Immunol 1993;151:1548-61. Ory P, Sharp JT, Salonen D, et a1. Etanercept (Enbrel) inhibits radiographic progression in patients with psoriatic arthritis. Arthritis Rheum 2002;46(suppl 9): 196. Reff ME, Camer K, Chambers KS, et al. Depletion of B ce11s ir vryo by a chimeric mouse human monoclonal antibody to CD20. Blood 1994;83:435-45. Shanahan J, Moreland LW. Investigational biologic therapies for the treatment of rheumatic diseases. In : Koopman WJ, Moreland LW (eds) Arthritis and allied conditions. A textbook

of rheumatology,l5'h ed, vo1.1. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2005 :859-76. Shanahan JC and St.Clair EW. Short analytical review. Tumor necrosis factor-g blockade: a novel therapy for rheumatic disease. Clinical Immunolo gy 2002;103:23 I -42. Shan D, Ledbetter JA, Press OW. Signaling events involved in anti-CD20-induced apoptosis of malignant B cells- Cancer Immunol Immunot her 2000;48:673-83. Sfikakis PP. Behcet disease: a new target for anti-tumor necrosis factor treatment. Ann Rheum Dis 2002;61(suppl 2):52-3. Stone JH, Uhllelder ML, Hellmann DB, et al. Etanercept combined with conventional treatment in Wegener's granulomatosis: a six-month open-label trial to evaluate safety. Arthritis Rheum 2001;44:1149-54. Symons JA, Eastgate JA, Duff GW. Purification and characterization of a novel soluble receptor for interleukin l. J Exp Med l99l;17 4:1251-4. Panayi GS. B cell-directed therapy in rheumatoid arthritis-clinical experience. J Rheum 2005;32 (suppl 73):19-24. van de Putte LBA, van Riel PLCM, den Broeder A, et al. A single dose placebo controlled phase I study of the fully human anti-TNF antibody D2E7 irt patients with rheumatoid arthritis. Arthritis Rheum 1998;41 (suppl):57. vandenBerg WB, Joosten LAB, Helsen M, et al. Amelioration of established murine collagen-induced arthritis with anti-Il--l treatmeil. Clin Exp Immunol 1994;95:237'43-

Related Documents

Papdi Rheumatologi
February 2021 11
Papdi Nutrisi
February 2021 1
Papdi 2019
February 2021 11
Papdi 122-145 Geriatri
February 2021 1

More Documents from "Edward Arthur Iskandar"