Para Penanti

  • Uploaded by: Yopi Juliantara
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Para Penanti as PDF for free.

More details

  • Words: 43,178
  • Pages: 214
Loading documents preview...
Para

Penanti Kumpulan [ mirip ] Cerpen

PARA PENANTI KUMPULAN [MIRIP] CERPEN

Diterbitkan oleh: Mentiko Publisher, Juni 2009 Komplek Taman Setia Budi Indah Blok N 47 http://www.mentiko.com email : [email protected]

Penyunting dan editor naskah: Aulia Andri, M.Si. Design cover : Ferry Alhabib Tata letak : Lasak Communication

ISBN: 978-602-95059-01 ------------------------------------------------------------------Buku ini diterbitkan atas partisipasi para mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unimed yang mengikuti mata kuliah Penyuntingan Naskah. Hak cipta masing-masing cerpen dalam buku ini menjadi hak milik pribadi. Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin dari penerbit.

-------------------------------------------------------------------

Daftar Isi : Daftar Isi Kata Pengantar

Geletar Nasib Dini Hari ~ 7 Sedalam Cinta Ayah ~ 15 Duka Malam Lebaran ~ 28 Episode Kehidupan ~ 32 Para Penanti ~ 37 Dia Bukan Dirinya ~ 44 Antara Saya Dan Lelaki Itu ~ 51 Catatan-Catatan Situ ~ 61 Sara, Kau Dimana? ~ 65 Sampah* ~ 70 Amuk Gelombang ~ 78 Badai Di Pinggir Jalan Bulan Di Tepi Jurang ~ 83 Salahkah Aku Bila Selingkuh? ~ 88 Seonggok Kejujuran ~ 94 Biarkan Itu Putih ~ 102 Sebuah Keputusan ~ 110 Pak Tua Itu Ayahku ~ 116 Ketika Pahit Menjadi Senyuman ~ 120 Barisan Haporik Yang Menjengkelkan ~ 127 Si Kolerik Ambisius ~ 134 Kupu-Kupu Keadilan ~ 141 Senja Di Atas Kebun ~ 146 Nuri Telah Mati ~ 151 Ketika Takdir Harus Berkata ~ 155 Hopeless ~ 159 Rumah Kardus ~ 165 Deritaku Hidupku ~ 171

Ini Aku, Bukan Dia Atau Mereka ~ 191 Deadline Cerpen *Hari Senin Pukul Tiga ~ 195

Biodata Penulis Nama-nama Mahasiswa Yang Berpartisipasi

Kata Pengantar Buku Kumpulan [Mirip] Cerpen berjudul Para Penanti ini merupakan sekumpulan tulisan para mahasiswa di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Universitas Negeri Medan (Unimed). Buku ini sebenarnya merupakan “buku kelas” usai mempelajari mata kuliah Menyunting Naskah. Buku ini juga sangat jauh dari sempurna. Para mahasiswa yang menulis buku ini tentunya masih harus banyak belajar. Buku ini tak akan terbit tanpa bantuan banyak pihak. Kawan-kawan mahasiswa yang mengambil mata kuliah Menyunting Naskah harus tek-tek-an untuk menerbitkan buku ini. Niat membuat buku yang dilandasi munculnya semangat baca-tulis yang tinggi menjadikan buku ini menarik dari sisi penggarapannya. Soal isinya, tentu seperti yang disebut diatas, masih perlu mendapat banyak perbaikan. Sebagai pengantar, para penulis dan penyunting buku ini ingin mengucapkan terimakasih kepada Dekan FBS Unimed, Bapak Chairil Anshari serta jajarannya. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Ibunda Rosmawaty serta Ketua Prodi Dik dan Non Dik Bahasa dan Sastra Indonesia, Ibu Mursini dan Pak Basyaruddin. Dukungan dan partisipasi mereka sangat besar untuk menerbitkan buku ini. Akhir kata, kami ingin mempersembahkan buku ini bagi kemajuan sastra Indonesia. Selamat membaca.



GELETAR NASIB DINI HARI Laila Siregar

Keadilan. Kata yang sering dikambinghitamkan oleh orangorang individualis dan materialis. Sebuah kata yang diagungagungkan di mana-mana. Sebuah kata yang banyak membuat hati orang terluka dan tersakiti. Namun keadilan juga bermakna indah jika diletakkan pada tempatnya. Tapi masih adakah orang-orang yang adil di dunia ini, di tengah arus globalisasi yang kian dahsyat? Entahlah aku tak tahu. Aku sendiri saja heran begitu banyak di luar sana orang yang memperjuangkan keadilan tapi malah mereka yang merampas hak orang lain. Aku heran begitu banyak orang yang mengumbar janji tapi malah dia yang mengingkarinya. Aku heran begitu banyak orang yang ingin mensejahterakan rakyat tapi dia malah mensejahterakan dirinya sendiri. Aku juga heran terhadap orang-orang yang memperebutkan kursi jabatan tapi setelah mereka mendapatkannya mereka malah basen dari kursinya. Bahkan tertidur di tengah-tengah rapat Padahal tunjangan kesejahteraan mereka sangat banyak. Puluhan juta rupiah setiap bulannya masuk ke kantong-kantong mereka. Apakah ini tujuan awal mereka? Wajar saja kalau begitu banyak orang yang kurang akalnya dan bunuh diri gara-gara tidak mendapatkan kursi. Huh... aku sudah bosan dengan cara berpikir mereka yang kotor dan haus akan keduniaan. Tanpa mereka pikirkan penderitaan rakyat. Mereka juga tidak berpikir bagaimana nasibku dan nasibnasib kaum yang lebih menderita lagi. Mungkin mereka akan mengeluh. Mungkin juga mereka akan mengkambinghitamkan kami jika terjadi sesuatu. Yah...itulah yang sering kami alami.



*** Hujan masih mengguyur kampungku sejak tadi malam. Hawa dingin masuk melalui sela-sela gubuk reotku. Rembesanrembesan air hujan masuk melalui atap gubukku yang bocor. Tapi kami tak perlu khawatir ‘tuk menampungnya. Toh... gubukku berlantaikan tanah. Terkadang jika hujan lebih deras lagi dapat membuat gubuk kami seperti kolam mini. Lucu sekali.

Allahu Akbar...Allahu Akbar...

Azan shubuh menggema di seantero kampung. Menembus bilik demi bilik rumah-rumah penduduk. Menyapa orang-orang yang masih terlelap dalam buaian malam. Namun tampaknya sebagian mereka masih terus melanjutkan tidurnya tanpa mereka pikirkan makna di balik ibadah itu. Azan terus menggema. Samarsamar terdengar olehku suara langkah kaki ayahku. Suara yang khas yang telah kukenal belasan tahun. Walaupun jalannya tak normal lagi dan sudah termakan usia namun tak surut niatnya dalam menjalankan pengabdian pada-Nya. Dalam hitungan menit tubuh kurus itu sudah menghilang di balik hujan. Waktu terus berlalu. Hujan sudah mereda. Namun masih terlihat sisa-sisa air hujan menempel di dedaunan. Pagi menyapa penduduk bumi dengan senyumnya yang merekah. Burungburung kembali menyanyikan senandungnya seperti para biduan. Di luar sana sudah tampak tanda-tanda kehidupan. Hari ini tidak seperti hari-hari biasanya bagiku. Ini adalah hari yang istimewa. Hari pertama akau masuk SMA. Hari pertama aku mengenakan seragam putih abu-abu serta jilbab putih yang senantiasa menutupi auratku. Kembali kutatap wajahku di cermin yang kian kusam. Kutatap diriku lekat-lekat. Sungguh beruntung aku. Tidak semua orang yang senasib denganku mendapatkan pendidikan yang memadai dan kasih sayang dari orang yang bukan orang tuamu. 

Sedang orang tua kandungku? Entahlah. Aku tak tahu mereka di mana. Mereka mencampakkanku. Mereka tak menginginkan kehadiranku. Mungkin bagi mereka aku adalah aib. Tapi seenaknya saja mereka membuangku. Meletakkanku di depan ruimah orang lain. Tapi syukurlah si pemilik rumah bersedia membesarkannku layaknya anak kandungnya sendiri. Merekalah yang merawatku sejak aku bayi lebih tepatnya sejak aku dibuang.. Bagi mereka aku adalah rezeki yang telah mereka harapkan sejak belasan tahun. Makanya tak heran meraka tampak bukan seperti orang tuaku tapi nenek dan kakekku. Bagiku merekalah orang tuaku. Sungguh ku tak mengenal orang tua lain selain mereka. Kembali kulemparkansenyumku pada cermin yang kian kusam. Di luar tampak ibuku yang sedang menyiapkan sarapan sambil terbatuk-batuk. Kasihan Ibu. Ibu sering sakit-sakitan sekarang. Wajahnya kian menua oleh penyakit yang telah lama di deritanya. Ibu juga tidak bisa membantu ayah mencari nafkah gara-gara penyakitnya itu. Sebelumnya Ibu adalah seorang pembantu rumah tangga. Sekarang hanya ayahlah tulang punggung keluarga kami. Terkadang ada rasa sesak di dada melihat penderitaan orang tuaku. Ibu yang sakit-sakitan dan ayah yang sudah tua harus tetap menjadi tukang penjahit sepatu di emperan jalan. Seharusnya mereka sudah pensiun. Seharusnya aku turut membantu meringankan penderitaan mereka Namun setiap kali kuutarakan niatku meraka selalu tidak mengizinkanku. Mereka hanya ingin melihatku lebih fokus pada sekolah. Namun rasa sesak itu tetap melanda ruang hatiku jia melihat kondisi mereka. Hingga suatu saat....

“Ayah, Ibu, boleh Tiara membantu mencari uang?”

Keduanya saling pandang.

“Tidak perlu Tiara. Ayah saja yang bekerja. Ayah masih 

sanggup kok. Kau belajar saja yang tekun. Kau harus berhasil. Jangan seperti kami yang buta ilmu.”

“Benar kata Ayahmu. Kau harus lebih baik dari kami.”

“ Tapi Bu… Tiara tulus dan sungguh-sungguh ungin membantu Ayah. Tiara janji tidak akan menggangu pelajaran dan lebih giat lagi belajar.” Keduanya kembali saling pandang. Mata mereka bertemu dan seakan berbicara. Kemudian menatapku. Sepi. Sayupsayup terdengar suara atap gubukku yang terdengar nyaring oleh hembusan angin malam. Sedang di atas sana tampak sang rembulan dengan malu-malu melamparkan pendar cahayanya pada penduduk bumi. Aku masih terpaku menanti jawaban mereka. Berharap mendapatkan kesempatan dari mereka. Ayah melemparkan pandangannya ke luar. Sorot matanya jauh memandang. Tapi pikirannya jauh mengembara yang entah sudah sampai dimana rimbanya. Sedang ibuku diam membisu sambil sesekali menatapku. Aku tahu keduanya sedang berpikir keras. Tampaknya mereka sulit meluluskan niatku dan membiarkanku ikut menangggung beban hidup. Wajar saja saat itu usiaku baru 14 tahun. Tapi aku juga heran mengapa di luar sana banyak orang tua yang menjadikan anaknya tumbal hanya untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah. Mereka jadikan buah hatinya sebagai media untuk mengharapkan belas kasihan dari orang lain. Sungguh berbeda dengan kedua orang tuaku. Akhirnya Ayah membuka suara. “Tiara, kami bangga padamu. Kau anak yang mandiri dan tekun. Sebenarnya kami tidak ingin memasukkanmu dalam menanggung beban keluarga. Kau masih terlalu belia untuk itu. Tapi… jika kamu memang sungguh-sungguh buktikanlah kesungguhanmu itu. Tapi ada syaratnya.” 10



“Apa itu Yah? Tiara akan berusaha menyanggupinya.”

“Jangan sampai gara-gara kesibukanmu kau melalaikan ibadah dan sekolahmu. Pekerjaan yang akan kau lakukan nanti harus sesuai denganmu dan hasil yang kau peroleh simpanlah untukmu. Bagaimana sanggup?” Sebenarnya uang yang akan ku peroleh nanti akan kuberikan pada Ibu. Untuk biaya pengobatannya. Kasihan Ibu. Tapi taka apa. Akan kutabung untuk masa depanku kelak dan jika suatu saat nanti mereka membutuhkannya maka tak kan sayang kuberikan simpananku pada mereka. Walaupun kemungkinan itu sangat kecil. Karena kutahu Ayah adalah sosok yang tegas dan memegang prinsip dan Ibu bukanlah sosok yang suka memintaminta dan mengeluh.

“Bagaimana Tiara kau sanggup?” “Ya Yah Tiara sanggup.”

Maka sejak saat itu setelah pulang sekolah, aku berjualan minuman ringan di persimpangan lampu merah. Awalnya aku malu bila bertemu dengan teman-teman sekolahku. Mereka sering mengejekku. Namun kubuang jauh-jauh semua rasa gengsi itu. Demi Orang tuaku. Demi masa depanku. Sesekali sambil berjualan kubuka buku pelajaranku. Kuulangi semampuku. Sesekali kuajak si bola raksasa itu bercerita. Dialah yang selalu setia menemaniku. Sehingga aku sudah terbiasa bermain-main dengan sinarnya. “Tiara cepat sarapan nanti kau terlambat. Ini hari pertamamu masuk sekolah kan?” Aku tersentak. Suara Ayah mengagetkanku dari lamunanku.

“Ya Yah Tiara sudah siap.” 11

Segera ku menuju ruang makan yang sekaligus juga ruang tamu. Dengan lahapnya kusantap masakan Ibuku. Pagi itu si bola raksasa sangat berseri. Sinarnya yang kemerah-merahan menambah pesona keanggunannya. *** Malam semakin pekat. Penguasa malam telah membentangkan jubah hitamnya. Bintang-bintang saling bermain bak bocah-bocah cilik. Sedangkan sang ratu dengan keanggunannya melemparkan pendar cahayanya pada penduduk bumi. Angin malam bertiup sepoi-sepoi. Malam itu tidak seperti malam-malam sebelumnya. Malam ini kampungku cukup ramai. Sedari tadi banyak orang berlalu lalang. Mereka tampaknya gusar dan marah. Kecewa bercampur takut. Bukan hanya para tetua saja bahkan remaja seperti aku pun ikut ambil bagian. Meraka membentuk kelompok. Berdiskusi satu sama lain tentang nasib mereka. Tidak terkecuali kedua orang tuaku yang sudah renta. Sedangkan aku masih terpaku dan khusuk mengerjakan tugas sekolahku di ruang tamu. Aku harus serius belajar. Itu tekadku. Tak lama Ayah dan Ibu pulang. Wajah meraka cemas tapi mengandung amarah. Mereka saling pandang. Kemudian membisu. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi di luar sana sehingga membuat orang tuaku menjadi murung. Ayah menutup pintu rapat-rapat. Menguncinya. Tidak seperti biasanya ayah mengunci pintu. Terlalu cepat dari biasanya. Sedang Ibu langsung masuk ke kamar. Kemudian Ayah duduk didekatku. Menatapku dengan pandangan kosong. Tapi angannya jauh mengembara. Aku tak tahu apa yang sedang dipikurkan lelaki usia 60 tahunan ini. Aku yakin Beliau sedang berada dalam masalah yang rumit. Tak lama Beliau tersenyum padaku. Senyum khas ayahku. Senyum yang selalu membuatku termotivasi. Ah... betapa berharganya senyummu bagiku Ayah.

12

Bagiku ayah adalah sosok inspirasiku. Walaupun tak banyak yang diajarkannya padaku dan Beliau adalah seorang yang buta ilmu namun perjuangan hidup yang tak kenal putus asa dan prinsip hidupnya membuatku banyak belajar darinya. Serta senyum itu, senyum yang selalu hadir dalam suka dan duka. Seperti saat ini. Ah... Ayah terlalu banyak jasamu padaku. Sesaat tangan kasarnya menyentuh ubun-ubun kepalaku. Sentuhan kasih sayang. Tampaknya malam semakin meredup. Seperti kertas yang terbakar. Di atas sang ratu menyembunyikan sebagian wajahnya. *** Waktu terus berjalan. Meninggalkan sisa-sisa yang kian menipis. Bumi berputar menurut porosnya menjalankan satu amanah besar dari Tuannya. Seperti juga aku yang saat ini sedang menjalankan satu amanah besar di sekolah. Setelah pelajaran usai, aku langsung bergegas pulang. Entah mengapa peraasaanku sedari tadi tidak tenang. Pikiranku terus tertuju kepada kedua orang tuaku. Seperti ada sesuatu yang sedang terjadi pada mereka. Belum sampai aku memasuki kampung. Aku sudah dikejutkan dengan kerusuhan di depan kampungku. Kulihat warga kampung marah-marah, banyak orang-orang dari kota. Mereka seperti para pejabat dan penjahat. Kulihat juga ada alat-alat berat. Aku bingung apa yang sedang terjadi. Namun kudengar-dengar kampung kami akan digusur. Aku tersentak. Bagaimana mungkin kampung kami akan digusur? Para bejabat itu berdalih kalau tanah yang kami diami selama ini adalah milik seorang penguasaha ternama padahal kami punya bukti-bukti dan surat tanah yang sah. Kata mereka keterangan kami tidak berlaku. Pengusaha itu katanya memiliki surat-surat yang lebih dipercaya lagi. Aku benar-benar tidak percaya. Namun kuacuhkan itu semua. Aku langsung menuju gubukku. Mencari orang tuaku. Sesampainya didepan gubukku kulihat orang tuaku sedang beradu mulut dengan orang-orang kota itu.

13

Kudekati keduanya. Ibu mendekapku. Seperti takut kehilanganku. Warga-warga kampung yang lain pun ikut membantu Ayah. Tapi orang-orang kota itu tidak bergeming. Ayah juga tetap mempertahankan haknya walaupun hanya sebuah gubuk reot. Tapi itulah harta kami. Mungkin bagi orang-orang kota itu gubuk kami tak ada harganya tapi bagi keluargaku gubuk kami sangat berarti. Kemana lagi kami harus tinggal. Aku heran mengapa semuanya jadi seperti ini. Dimana letak keadilan yang digembor-gemborkan para pengumbar janji? Suasana semakin memanas sepanas cahayanya pada sing ini. Tampaknya sahabatku itu dapat merasakan apa yang sedang kami rasakan hari ini. Aparat kepolisian bertindak cepat dan mengamankan warga kampung. Tak lama... dengan kejamnya alatlalat berat itu langsung meluluhlantakkan kampung kami. Wargawarga menjerit histeris. Tidak terima dengan apa yang mereka lakukan. Namun jeritan mereka sia-sia sudah. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Tak lama kampung kami sudah rata dengan tanah. Aku bingung harus melapor pada siapa untuk membela hakku. Di sampingku berjejer warga kampung yang hanya bisa menatap puing-puing rumahnya dengan lelehan air mata. Bulan seperti tak bercahaya bagiku. Hitam dan kelam. Matahariku telah redup. Reranting hidupku telah patah. Jatuh berserakan meningggalkan sisa-sisa yang kian kering. Aku baru teringat. Aku lupa mengambil buku pr matematikaku tadi. Ya Tuhan bagaimana akau harus mengerjakannya nanti? Titipapan, 17 April 2009

14

SEDALAM CINTA AYAH Putri Yanti

Aku melihat ayah berada di sebuah puncak gunung tinggi. Dia melambai-lambaikan tangannya padaku sambil menangis. Aku tak tahu sedang berada di tempat apa. Aku merasakan panas yang teramat. Sebuah tempat yang tak pernah kulihat sebelumnya. Aku menangis memanggil-manggil namanya, namun ayah hanya diam. Dan tiba-tiba kak Ida datang memanggilku, aku tidak menghiraukannya. Aku masih menangis meminta ayah kembali. Tapi ayah seolah tak mendengar permintaanku. Lalu ia pergi menghilang...

***

“Nisa! Bangun, bangunlah... sebentar lagi sholat jenazahnya akan segera dimulai. Kamu gak ikut sholat?” Terdengar suara sengau membangunkan aku. Suara wanita itu seperti suara kakakku. Kucoba perlahan untuk membuka mataku yang terasa amat berat. Ketika aku terbangun dari ketidaksadaranku, kulihat sekilas wajah sendu duduk di sampingku. Kepalaku terasa amat nyeri. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Aku merasa ingin muntah, badanku seolah tak punya tenaga untuk mengingat apa yang terjadi. Kak Ida menatapku dengan mata berkaca sambil mengelus-elus kepalaku. “Kamu gak ikut sholat Nis?” tanyanya dengan nada sedih. “Sholat?” tanyaku bingung. Aku berusaha untuk mengingat apa yang telah terjadi.

15

“Ya sudah! Kakak rasa kamu memang belum sehat benar. Istirahatlah dulu, tenangkan pikiranmu dan berdoalah kepada Allah agar ayah diterima disisiNya. Kakak yakin walaupun kamu tidak ikut dalam barisan sholat jenazah, tetapi doamu akan mengiringi kepergian ayah. Tidurlah…, kakak keluar dulu ya.” kata kak Ida sembari mengambil mukenanya, lalu ia beranjak keluar kamar. Mendengar ucapan kak Ida, aku baru sadar bahwa ayah... ayah... telah meninggal! Aku menangis sejadinya mengingat kejadian semalam saat ayah tahu bahwa aku telah melakukan perbuatan nista. Aku telah mencoreng nama baik keluarga. Perbuatan yang akhirnya menuai bencana dan akan menyisakan penderitaan yang tiada habisnya.

***

Tujuh bulan yang lalu… Temanku Aci mengenalkanku pada seorang pria tampan dan sederhana. Tak pernah kubayangkan bahwa kehadirannya dihidiupku adalah awal dari penderitaanku. Entah mengapa saat pertama kali aku melihatnya jantungku berdebar kencang dan perasaanku bergejolak. Tatapan matanya yang tajam sungguh telah merobek hatiku. “Mau berkenalan denganku gadis manis?” tanya pemuda itu dengan senyum manisnya. Dia mengulurkan tangannya, tanpa ragu akupun menyambutnya. Saat tangannya menyentuh jariku, kurasakan kehangatan yang berbeda. Saat itu aku benar-benar terpesona olehnya. Aci yang dari tadi berdiri disampingku, bingung melihat tingkah kami berdua. Lama kami saling menatap dan akhirnya 16

tersadar saat Aci menggoda kami dengan pura-pura batuk. Aku malu tersipu. “Namanya siapa?” tanya pemuda itu. “Oh ya! namaku Nisa” jawabku “Aku Jefri, kalian mau berangkat kuliah?” “Iya” jawabku yang tak tahu harus berbuat apa di depan pemuda tampan ini. “Kenapa Jef? Ada niat mau mengantarkan kami berdua ?” kata Aci menggoda. “Ya, kalau diizinkan” jawab Jefri sedikit malu. “Oh, gak usah Jef, kita naik angkot aja. Ya udah kami berangkat dulu ya” kataku sambil menarik tangan Aci berlalu dari Jefri. Aci bingung, melihat sikapku karena menolak ajakan Jefri. Kujelaskan saja padanya, kalau tidak baik menerima ajakan laki-laki yang baru dikenal. Walaupun sebenarnya dalam hati, aku ingin sekali diantar Jefri. Di perjalanan menuju kampus, aku masih saja teringat wajahnya. Rasanya aku mulai jatuh hati padanya. Aku ingin tahu lebih banyak tentang Jefri, tapi aku malu menanyakan hal itu pada Aci.

***

Dua minggu sejak aku berkenalan dengan Jefri, entah mengapa aku selalu teringat wajahnya. Ada keinginan untuk bertemu lagi dengannya. Tapi aku tidak tahu kapan. Tiba-tiba saja lamunanku terusik oleh dering handphoneku. Tulisan ‘satu pesan diterima’ tampak di layar handphoneku. Kulihat nomor yang tak kukenal menuliskan pesan, “Hai gadis manis. Apa kabar ?”

17

Pesan singkat itu membuatku penasaran. Aku tak tahu siapa pengirimnya, lalu aku mencoba membalas pesan itu, dengan harapan dia akan memberi tahu siapa dirinya. “ini siapa?” Pesan singkat itu segera kukirimkan. Tidak lama kemudian balasannya pun datang, karena penasaran aku segera membacanya “Jefri ! masih ingat khan? Besok Nisa ada acara gak, aku mau ketemu” Aku terkejut, namun hatiku senang saat tahu yang mengirim pesan itu adalah Jefri. Baru saja aku memikirkan dia, tiba-tiba saja dia hadir melalui pesan singkat. Tanpa pikir panjang lagi segera kubalas pesannya. “aku mau, besok jam sepuluh di taman kota” Tai..., aku takut pada ayah. Kalau aku beritahu aku akan pergi dengan laki-laki, ayah pasti tidak mengijinkan karena ayah tidak mau kalau aku pacaran sebelum selesai kuliah. Ah ! aku tidak mau pusing memikirkannya. Bohong sekali-kali pada ayah aku rasa bukan suatu dosa besar. Toh selama ini aku sudah menjadi anak yang baik di rumah.

***

“Mau kemana Nisa? Bukannya hari ini kamu tidak kuliah?” tanya ayah mengagetkan. Aku baru saja akan pergi ke luar rumah dan kini aku bingung harus jawab apa. “Nisa mau pergi ke rumah Aci yah. Hari ini Aci ulang tahun.” jawabku. “Tapi hari ini ayah, Ida, dan anak-anaknya akan pergi ziarah ke 18

makam ibu. Kamu tidak mau ikut?” tawar ayah padaku. “Mmm…, gimana ya? Nisa sudah janji pada Aci, Nisa kepingin sih, tapi…” “Ya sudah kalau kamu sudah janji pada Aci. Pergilah, tapi ingat jangan terlalu lama pulangnya” kata ayah mengijinkanku pergi. “Iya ayah” jawabku. Setelah mencium tangan ayah lalu aku beranjak pergi. Ada rasa menyesal karena telah berbohong pada ayah, tapi wajah Jefri yang tampan menghapus semuanya. Pertemuanku dengan Jefri amat berkesan, dia benar-benar telah mengambil hatiku. Dari pertemuan kedua ini hubungan kami terus berlanjut. Jefri sering sekali mengajakku bertemu, terkadang dia menyempatkan waktu untuk menjemputku di kampus. Hingga akhirnya di tempat yang indah Jefri menyatakan perasaannya padaku. Ia mencintaiku sejak pertama kali bertemu. Aku pun merasakan hal yang sama dan kami sepakat untuk menjalin hubungan lebih dari teman. Hari-hariku pun semakin indah. Walaupun sebenarmya aku tahu kalau ayah tidak akan setuju dengan hubungan kami. Dan aku akan berusaha membuat ayah setuju. Tidak terasa hubunganku sudah berjalan selama tiga bulan dan sampai saat ini ayah belum juga tahu kalau aku sudah punya pacar. Jefri juga tahu tentang masalah ini, namun kami tetap yakin, suatu saat ayah akan memberi restunya kepada kami berdua. Aku baru pulang menjelang malam. Hari ini Jefri mengajakku ke rumahnya. Keadaan rumah tampak sepi, lampu ruang tamu redup. Dan aku yakin kalau ayah pasti sudah tidur. Aku menelusup masuk ke dalam rumah, tapi tiba-tiba saja lampu ruang tamu menyala dan kulihat ayah sudah berada di depan kamarnya. Aku terkejut dan bingung, “Dari mana Nisa?” tanya ayah 19

“Eh ayah… Nisa dari rumah Aci, ada tugas kuliah” jawabku gugup. “Dari rumah Aci? Mengapa sampai semalam ini kamu baru pulang? Dan ayah heran, kenapa kamu sering sekali ke rumah Aci, sedangkan Aci sendiri tidak pernah datang kerumahmu?” tanya ayah yang tampaknya mulai curiga padaku. Aku semakin gugup sampai tak tahu alasan apalagi untuk menghindari kemarahan ayah. “Tadi siang Aci kesini mencarimu dan katanya selama ini dia tidak pernah bertemu denganmu, baik itu di rumah atau di kampus, karena dia sedang cuti kuliah. Jadi kamu kemana saja selama ini? Kamu sudah berbohong!” Bagai disambar petir aku mendengar penjelasan ayah. Ia sudah mengetahui semua kebohonganku. Aku hanya diam tertunduk malu. “Atau mungkin kamu sudah punya pacar di luar sana? Sampaisampai kamu sanggup berbohong pada ayah. Jawab Nisa!” “Benar ayah… Nisa memang sudah punya pacar, dan hubungan kami sudah berjalan selama tiga bulan. Dan Nisa… “ belum sempat kuselesaikan kalimatku, tiba-tiba saja tamparan keras mendarat di pipiku. Aku tidak menyangka kalau ayah akan semarah ini padaku. “Keterlaluan kamu Nisa! Selama tiga bulan ini kamu sudah membohongi ayah. Kenapa kamu tidak menuruti perintah ayah, kalau ayah katakan kamu tidak boleh pacaran sebelum selesai kuliah, lakukan itu! Jangan sampai kamu melanggarnya!” “Tapi ayah, Nisa sudah dewasa. Di usia Nisa saat ini, sangat normal jika Nisa mulai merasakan ketertarikan pada lelaki” kataku membela diri. “Tapi tidak dengan pacaran! Banyak cara untuk sekedar mengagumi 20

seseorang”. Kata-kata ayah tadi membuat hatiku sakit. Tidak ada niatku untuk menjadi anak durhaka. Tapi rasa cintaku pada Jefri terlalu besar dan apa itu salah. “Ida! Kesini kamu” ayah memanggil kak Ida. Aku tidak tahu mengapa ayah memanggilnya. Apakah ia akan memarahiku juga. Kulihat kak Ida keluar dari kamarnya. Wajahnya cemas, ia berdiri di sampingku sambil merangkulku. Sepertinya ia merasakan kesedihan yang aku rasakan. “Bawa dia ke kamar, nasehati dia. Bahwa apa yang dilakukannya itu adalah benar-benar suatu kesalahan besar. Dan beritahu juga padanya bahwa kesalahanmu yang dulu jangan sampai ia lakukan lagi. Kecuali jika dia mau ayahnya mati!” perintah ayah pada kak Ida. Dengan segera kak Ida membawaku ke kamar, ia merangkulku dan mengusap air mataku. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Air mukanya jelas menyiratkan rasa sakit yang mendalam. Mungkinkah kak Ida tersinggung dengan perkataan ayah tadi. Sebenarnya kejadian malam ini bukanlah hal yang pertama dilakukan ayah. Hal serupa juga pernah terjadi kepada kak Ida. Saat itu kak Ida dengan terang-terangan membawa pacarnya ke rumah. Ayah tidak setuju kak Ida berpacaran, karena waktu itu kak Ida masih sekolah. Wajar rasanya kalau ayah sangat marah dengan perbuatannya, karena dia belum tamat sekolah. Tapi kak Ida bersikeras untuk tetap pacaran dengan kekasihnya sampai akhirnya dia memutuskan untuk pergi dari rumah dan menikah dengan lelaki pilihannya. Saat itu ibu masih ada, dan dialah orang yang paling merasa sakit atas kepergian kak Ida. Hingga akhirnya ibu sakit-sakitan dan kemudian ia pun meninggal dunia. 21

Setelah tiga tahun sejak kematian ibu, kak Ida kembali bersama dua orang anaknya tanpa didampingi oleh suaminya. Ia bercerai karena keadaan ekonomi suaminya yang sulit. Awalnya ayah tidak menerima kehadiran kak Ida, namun karena kondisi kak Ida yang memprihatinkan, ayah pun membuka hatinya. Dan hal itulah yang ditakutkan ayah. Ia takut kalau aku kan mengalami hal serupa. Untuk itu ayah melarang keras aku berpacaran sampai aku menyelesaikan kuliahku. Dan kini aku tak tahu harus berbuat apa. Aku bingung, apakah aku harus memutuskan hubunganku dengan Jefri, padahal aku amat mencintainya. Tapi di sisi lain aku juga kasihan pada ayah. Entahlah biar Tuhan yang memutuskan segalanya.

***

Sebulan ini aku tidak bertemu dengan Jefri. Aku menghindarinya, takut kalau kejadian malam itu akan terulang kembali. Tapi sebenarnya aku sangat merindukannya. Bayangannya selalu hadir di setiap mimpiku. Lama aku merenungi nasibku, tibatiba aku mendengar suara ketukan pintu jendela. Lalu karena rasa penasaran aku mencoba melihat keluar, dan aku terkejut ketika kulihat Jefri ada di luar jendela. Tanpa ragu ia masuk ke kamar lewat jendela. Hatiku sebenarnya bahagia melihat kedatangan Jefri. Rasanya aku tidak ingin berpisah lagi dengannya. Kulampiaskan rasa rinduku yang selama ini terpendam.

“Jefri aku takut pada ayah!”

“Tenang Nisa, aku akan melakukan apa saja untuk mendapatkan restu ayahmu. Kamu tidak usah bersedih, kita akan cari jalan keluarnya bersama.” “Lalu bagaimana kita harus bertemu?” tanyaku manja. “Untuk saat ini biarlah kita sembunyi-sembunyi dulu, dalam 22

waktu dekat aku akan menemui ayahmu.” Mendengar penjelasan Jefri hatiku menjadi tenang. Akhirnya kami dapat merasakan lagi indahnya gejolak asmara yang sempat kami tinggalkan. Kami bersatu dalam ikatan cinta, dan aku merasakan rasa yang tak pernah kualami sebelumnya. Pertemuan diam-diam ini rutin kami lakukan. Ada saja akal Jefri untuk masuk ke dalam rumah. Ia sempat menyamar sebagai tukang ledeng, kebetulan waktu itu saluran air di rumah kami sedang rusak. Dan ayah tidak pernah curiga. Maafkan Nisa ayah... Nisa tidak dapat melupakan Jefri. Dia adalah cinta sejati Nisa.

***

Siang ini, rasanya matahari terlalu terik menyinarkan panas cahayanya. Badanku terasa lemas, tidak bertenaga. Ubun-ubunku terasa nyeri sekali dan perutku juga mual. Kuputuskan untuk segera pulang ke rumah. Tapi kepalaku semakin nyeri, tubuhku seperti remuk. Rasa mual dalam perutku semakin terasa. Saat tiba di rumah langsung saja aku berlari ke kamar mandi. Kukeluarkan semua makanan yang ku makan tadi pagi. Namun, rasa mual itu belum juga hilang, malahan kepalaku semakin bertambah pusing. Mendengar suaraku kak Ida langsung menghampiri ke kamar mandi. Tak ada kata yang terucap darinya. Dia hanya berdiri heran sambil mengamatiku di depan pintu kamar mandi. Wajahnya tiba-tiba saja menjadi cemas. “Kepalaku pusing kak, punya obat gak?” tanyaku sekedar memberitahu kondisiku saat ini. “Sebelumnya, apa kau pernah bertemu dengan kekasihmu setelah peristiwa itu Nisa?” tanya kak Ida. Aku heran mengapa ia bertanya seperti itu. Apa dia tahu kalau aku masih bertemu Jefri secara diam-diam. Aku diam tidak 23

menjawabnya, kupikir itu bukanlah hal yang harus kuungkap sekarang. “Sudah berapa lama kau terlambat datang bulan?” tanya kak Ida. Akupun menjadi bertambah bingung. “Kenapa kak Ida bertanya seperti itu?” “Jawab Nisa! Sudah berapa lama kamu terlambat?” kata kak Ida membentakku. “Sudah tiga bulan kak…! Tiba-tiba saja kak Ida pergi, tidak lama kemudian ia kembali dengan membawa sebuah benda aneh lalu memberikannya padaku. “Cepat gunakan alat itu Nisa!, Alat itu akan mengungkapkan semua kebingunganmu” perintah kak Ida. “Tapi kak…” tak sempat kuselesaikan kalimatku, kak Ida menyuruhku melakukan perintahnya. Aku lantas bergegas masuk ke kamar mandi. Dengan gugup kuteteskan air seniku pada alat itu. Dan kini aku tahu jawabannya. Kalau aku memang sedang hamil. Melihat kenyataan ini aku menjerit histeris seakan tak percaya dengan semua yang terjadi. Kak Ida langsung masuk ke kamar mandi. Ia merampas alat itu dari tanganku. Kulihat wajahnya semakin merah, lalu dia menamparku dengan keras. “Kau telah menghancurkan semuanya Nisa! Harapan ayah, masa depanmu dan masa depan kita semua. Kau langgar perintahnya dan sekarang kau sakiti hatinya! Kau tahu apa akibat dari semua ini? Kita bisa kehilangan ayah” “Maafkan Nisa kak…” pintaku memohon. “Cepat kau cari kekasihmu sekarang! Bawa ia ke mari dan 24

suruh ia bertanggung jawab!” Mendengar itu, aku baru sadar bahwa orang yang harus bertanggung jawab saat ini adalah Jefri. Lalu aku berlari ke luar, kutinggalkan saja kak Ida yang berada di hadapanku. Ketika sampai di teras rumah, kulihat ayah baru saja pulang dari kantornya. Aku tak kuasa melihat kehadirannya. Air mataku semakin deras mengalir.

“Ada apa Nisa? Kenapa kamu menangis?”

Tanya ayah cemas. Tanpa menghiraukan pertanyaannya, aku terus saja berlari menemui Jefri untuk minta pertanggungjawaban. Ayah memanggilku, namun aku tak memperdulikannya. Aku terus berlari tanpa memikirkan bagaimana jika ayah mengetahuinya. Pikiranku kacau! Rasa sedih, cemas, bingung, dan takut bercampur padu mengalahkan rasa sakit di pipiku. Telah lama aku berjalan, akhirnya sampai juga di rumah Jefri. Tetapi keadaan rumahnya aneh, ada banyak polisi mengelilingi rumahnya, dan begitu ramai orang di hadapanku. Aku tak tahu apa yang terjadi, aku mencoba masuk dalam keramaian. Saat aku berada tepat di depan rumahnya, kulihat Jefri keluar di dampingi polisi. Tangannya di borgol dan wajahnya tertunduk malu. Segera saja kuhampiri dia. Jefri menatapku sekilas dengan mata berkacakaca dan dengan suara lirih dia mengucapkan sepatah kata tanpa pesan

“Maafkan aku Nisa…”

Dunia rasanya seperti mau runtuh, saat melihat kenyataan ini. Aku berdiri lemah, kakiku terasa lemas dan tak berdaya. Semuanya terlihat tidak jelas, aku ingin jatuh. Namun aku berusaha untuk bertahan. Aku berjalan pelan mengikuti Jefri, namun polisi melarangku ikut. Dari penjelasan polisi, aku baru tahu kalau Jefri adalah seorang pengedar narkoba. Akupun semakin tiada berdaya 25

mengahadapi ini semua. Setelah mobil polisi itu pergi membawa Jefri, aku putuskan untuk pergi dari tempat itu. Aku tak tahu kemana harus melangkah, aku takut untuk pulang ke rumah. Kini aku hanya bisa pasrah pada nasibku, biarlah takdir yang menentukan arah langkahku. Kucoba untuk mengingat apa yang telah kulakukan bersama Jefri. Aku tak tahu mengapa aku bisa melakukan hal itu. Keindahan cinta yang dulu kurasa, kini berubah menjadi sengsara. Jefri bahkan tak tahu bahwa aku sedang hamil. Dan ayah juga tak pernah mengenal pria yang telah menghamiliku. Sampai hari semakin gelap, aku tak tahu harus kemana lagi. Kata-kata ayah kembali terngiang di telingaku. Seandainya aku bisa memutar kembali waktu, tak akan pernah kulakukan hal ini. Kulihat jam tanganku pukul sembilan malam, tak terasa hari sudah semakin larut. Tiba-tiba handphoneku bergetar, kucoba untuk mengangkat dengan harapan itu dari ayah menyuruhku untuk pulang ke rumah. Terdengar suara kak Ida seperti sedang menangis. “Nisa…. Pulanglah segera, karena ayah…..” “Kenapa ayah kak?” tanyaku cemas. “Pulanglah cepat! kami menunggumu di rumah” kata kak Ida menutup pembicaraan. Perasaanku mulai tak enak, aku takut terjadi apa-apa pada ayah. Cepat-cepat aku pulang ke rumah. Kujauhkan pikian-pikiran yang tidak baik tentang keadaan ayah. Aku berdoa agar ayah tidak mengalami sesuatu yang buruk. Sampai di rumah, kulihat orang sudah ramai memenuhi halaman. Terdengar suara orang mengaji. Jantungku berdebar, mataku terjebak pada sebuah bendera merah yang tertancap di halaman rumahku. Kucoba untuk berjalan pelan masuk ke rumah. 26

Kak Ida menghampiriku dan memelukku erat. Aku melihat ayah di pembaringannya. Kak Ida mencoba menyabarkan aku. Kemudian aku tidak tahu apa yang terjadi, mataku menangkap kilatan cahaya putih. Lalu tiba-tiba semuanya gelap.

27

DUKA MALAM LEBARAN Muhammad Pical Nasution

Anak bangsa menangis. Ya, mereka terluka. Terluka karena sembilu yang ditancapkan tuannya tepat di pelipis mata. Anak bangsa buta dan hanya bisa meraba. Tak ada yang bisa mereka buat, sedang perut terus mengeluh akibat tak diisi seharian penuh. Kalau kau berjalan di sepanjang torotoar, akan terlihat olehmu lantunan lagu dengan gitar berdawai dan kayu yang disisinya terdapat tutup-tutup botol. Tangan menjulur panjang, meminta belas kasihan. Mengharap recehan untuk permasalahan sejengkal. Bila hari telah menua dan senja tiba, mereka bergeser dari bundaran kota menuju mesjid-mesjid terdekat. Tapi tidak untuk menunaikan kewajiban seperti yang dilakukan kebanyakan orang sehabis bekerja seharian, mereka duduk di pinggiran parkir mobil. Serupa dengan kegiatan di bundaran kota, meminta dan terus meminta buat sarapan esok pagi. Adzan menggema menuntun burung-burung malam pulang ke pelataran rumahnya. Langit meneteskan air mata, bumi meremas jemarinya menahan perih, dan iblis lari ketakutan. Di antara gelegar itu, puluhan kepala manusia tertunduk. Ada yang memuja penciptanya, sedang sisanya memikirkan apa yang harus dilakukan hari esok. Sembahyang magrib usai, tuan-tuan direktur turun dari tangga mesjid disambut dengan kerumunan bocah-bocah lusuh dan orang tua mereka yang kian bertambah usianya, sembari menggendong bayi sebagai umpan belas kasihan. Terucap beberapa kata yang tersusun rapi dari mulut seorang bocah,

28

“Pak, saya belum makan seharian, kasihanilah.” Lalu si tuan yang berbusana rapi, berkaus kaki rapi, dan bersepatu hitam merk Crocodile berkata, “Mencari uang itu tidak mudah, saya harus berfikir dan menghabiskan energi yang besar untuk mendapatkannya.” Si bocah tak menggelengkan kepala. Entah karena ia benci atau ia tak mengerti ucapan si bapak. Kata-kata itu terlalu ilmiah untuk seorang anak yang bersekolah pun tidak, berkaus kaki pun tidak. Jangankan bersepatu, bersendal saja sudah syukur. Tapi ia tetap memburu bapak itu seperti anak itik mengikuti induknya mencari makan. Si bapak menutup mobil, dan akhirnya mobil itu melaju kencang. Anak bangsa menangis, sebab tak ada jatah makan hari ini. Seminggu lagi lebaran tiba, tak ada dalam pikiran mereka untuk membeli baju baru di Matahari, sendal baru di Toko Bata, sarung tenun untuk sholat, membuat opor ayam. Bantar hanya membuat ketupat, Itu pun jika terbeli, sebab jika menjelang puasa dan lebaran harga barang melambung tinggi. Kebanyakan orang bersuka ria menyambut kedatangan bulan kemenangan. Tak jauh dari tempat bocah-bocah lusuh itu mangkal, berbaris rapi mobil-mobil mewah yang parkir di depan sebuah toko pakaian anak. Pintu mobil itu terbuka, kemudian jejak lelaki kecil berwajah riang itu berhasil mencuri perhatian anak bangsa yang dirampas haknya. Anak bangsa yang termarjinalkan oleh tangan-tangan kemunafikan. Dua minggu yang ditunggu telah tiba, orang-orang berlalu lalang di sepanjang jalan menuju mesjid untuk sembahyang hari raya. Dengan tampilan yang sangat berbeda, baju baru, sendal baru yang di beli di toko, orang-orang girang menyambut 29

hari kemenangan. Semua serba baru, opor ayam dan ketupat santan menanti, minuman khas lebaran tersaji. Salam tanda maaf bertaburan, caci-maki dihembusakan angin fajar ke laut pembuangan. Bocah lusuh bundaran kota tak terlihat di mesjid tempat ia biasa mangkal. Tak ada yang tahu ia kemana. Mungkin saja ia terhimpit oleh kerumunan baju baru manusia-manusia yang sedang merayakan kemenangan, dan mungkin juga ia tak berada di mesjid itu. Hari begitu teriknya, mesjid sudah kosong, kecuali sang nazir yang masih menyusun rapi perlengkapan sholat, Setelah itu ia pulang dan bocah lusuh datang ke mesjid dengan maksud meminta jajanan lebaran, atau sering disebut kebanyakan orang tunjangan hari raya. Alangkah sedihnya bocah itu, karena tak ia sadari semua orang sudah pulang kerumahnya masing-masing. Menikmati opor ayam yang gurih, ketupat santan lezat, dan saling memaafkan sanak saudara. Ia duduk terjungkal, menghentakkan sebelah tangannya ke tanah yang legam sebagai tanda penyeselan yang mendalam karena ia terlambat. Lebaran kali ini bocah lusuh tak berpenghasilan, karena embun fajar menyelimuti telinganya dan akhirnya kotek ayam tak terdengar olehnya. Matahari sudah ada tepat di atas ubun-ubun. malam sebelum lebaran hujan turun dengan derasnya. Bocah lusuh menggigil kedinginan di tengah bundaran kota. Malam itu ramai sekali, ya ramai sekali. Banyak orang baru selesai belanja barangbarang untuk persiapan menyambut lebaran. Di lampu merah, si bocah berdiri seperti biasa menunggu saweran. Sementara hujan belum juga reda. Di balik bundaran kota ia berteduh, sedang tubuhnya kuyup menggigil. Malam semakin sunyi. Malam semakin hening. Pelalulalang kota redup dan meninggalkan seonggok tubuh lusuh milik 30

bocah yang kuyup menggigil. Ia mondar-mandir seperti orang kebingungan. Sambil ia kepalkan kedua tangannya, ia hembusakan nafas demi nafas di kepalan itu. Lelah akhirnya membawa seonggok tubuh itu ke pembaringan. Ia tertidur pulas sampai sinar pagi tiba. Ia tetap tidur dengan pulasnya dan tak menyadari orang-orang berlalu-lalang melayangkan salam tanda maaf, dan meletakkan kepala di sajadah baru. Ia juga tak menyadari kepulangan mereka untuk menyantap opor ayam, ketupat santan, dan rendang yang menggugah selera. Alangkah sedihnya bocah itu, karena tak ia sadari semua orang merayakan hari kemenangan dengan taburan uang. Menikmati opor ayam yang gurih, ketupat santan lezat, dan saling memaafkan sanak saudara. Ia kembali duduk terjungkal dan menghentakkan sebelah tangannya ke tanah yang legam sebagai tanda penyeselan yang mendalam karena ia terlambat. Lebaran kali ini bocah lusuh tak berpenghasilan. Bocah lusuh pulang dengan panas yang menguliti kulit hitamnya. Bocah lusuh pulang dengan tubuh yang masih menggigil sisa tadi malam. Ia tak membawa apa-apa. Ibu dan adiknya sudah menanti kepulangannya dengan harapan ia mendapatkan uang untuk membeli opor ayam dan ketupat santan.

31

EPISODE KEHIDUPAN Lia Winni Novelia

Ical terpana menyaksikan keindahan alam saat senja menjelang. Tak lepas matanya menatap cakrawala yang kemerahan di ufuk barat. Saat seperti inilah yang membuat Ical teringat pada ayahnya. Dulu ketika ayahnya masih hidup mereka baru pulang menangkap ikan saat langit memerah seperti ini. Ical akan berlari pulang ke rumah memamerkan hasil tangkapannya pada ibunya. Ibu dan adik-adiknya pun akan menyambutnya dengan suka cita. Begitu setiap harinya sampai ayahnya mendadak sakit keras. Tiga hari lamanya Ical menyaksikan ayahnya menahan sakit yang teramat sangat, hingga kemudian menghembuskan nafasnya yang terakhir. Semenjak kejadian itu Ical ingin sekali menjadi dokter. Ketidakberdayaan mengatasi penyakit ayahnya, semakin membuat Ical menguatkan keinginannya itu. Namun, keinginannya itu harus ia kubur rapat-rapat dalam hati. Jangankan kuliah di kedokteran, melanjutkan ke SMP saja tidak mampu. Ibunya selalu mendorongnya untuk melanjutkan sekolah. Tapi, Ical tahu diri. Ia adalah satu-satunya tumpuan keluarga setelah ayahnya meninggal. Masih ada tiga adiknya lagi yang perlu makan dan sekolah. Ical tak tega melihat ibunya banting tulang sendirian untuk menghidupi keluarga mereka. Apalagi pekerjaan ibu Ical hanyalah berjualan kue, tentu saja tidak akan mencukupi kebutuhan mereka. Ical pun sangat senang bisa membantu ibunya untuk mencari tambahan uang, Ical mencari ikan dan sesekali ia membantu ibunya mengantarkan kue-kue ke warung-warung. Itupun belum mampu meringankan beban keluarga mereka. 32



“Andai saja………” pelan suara Ical

Tak lama kemudian terdengarlah.. Allahu Akbar….Allahu Akbar. Ical tersentak dari lamunannya, kemudian bergegas mengambil air wudhu karena shalat magrib harus segera ia tunaikan. Jam tua di rumah Ical berdentang sepuluh kali, Ical membantu ibunya membungkus kue. Adiknya dan tidur semua, suasana hening. Hanya terdengar suara jangkrik dan plastik kue yang dikibar-kibarkan. “ Bu, saya mau bekerja di kapal saja. Sepertinya penghasilannya lumayan. Tadi, waktu sahalat isya Yudi menawarkan pekerjaan itu ke saya. Katanya ada lowongan kosong di kapal Setia Jaya,” suara Ical memecah keheningan yang sempat tercipta. Ibunya terkejut “Bekerja di kapal itu resikonya besar, Cal. Kamu di sini saja membantu ibu. Selama ini hasilnya cukup untuk kita hidup”, sepertinya ibunya tidak rela Ical bekerja di kapal. “Bu, usaha seperti ini hanya cukup untuk makan, sementara adik-adik perlu sekolah ” saya tidak ingin mereka buta huruf. Cukuplah saya saja yang lulusan SD, tetapi mereka harus bisa samapai SMA atau kalau bisa lebih….,” Suara Ical tercekat di tenggorokannya. Hatinya perih. Ibunya terdiam mendengar kata-kata Ical. Wanita itu sadar bahwa usaha seperti ini memang tidak cukup untuk membiayai sekolah adik-adiknya Ical. Apalagi sekarang saat pasang naik, ikan akan sulit didapat. Dan itu akan berpengaruh pada hasil penjualan kue mereka, karena masyarakat di sini pada umumnya nelayan. Tetapi ia tidak rela anaknya bekerja di kapal, ia takut terjadi sesuatu pada Ical. 33

“Soal resiko, semua pekerjaan beresiko, bu. Tinggal bagaimana orangnya saja. Saya janji untuk berhati-hati ibu tidak usah khawatir.” Ical menggenggam tangan ibunya berusaha meyakinkan.

Bagaimana, bu?

Iya bertanya lagi. Ibu menatap Ical, ada kekhawatiran di matanya. Tapi kemauan putra sulungnya itu tidak mungkin dibantah. Percuma saja, sebab jika Ical punya mau sulut diurungkan. ” Terserah kamu cal, ibu tidak bisa menghalangi.” Kali ini suara ibu terdengar pasrah. Ical merasa lega, walau hatinya terenyuh juga melihat kekhawatiran ibunya. Tapi harus ia lakukan demi ibu dan adik-adiknya.

***

Tiga bulan sudah Ical berkutat dengan pekerjaan barunya. Berat memang, Namun wajah ibu dan adik-adiknya kembali menguatkannya untuk tetap bertahan. Malam ini Ical merasakan lelah yang teramat sangat, setelah tadi siang ia dan teman-temannya bekarja memuat barang dalam jumlah yang besar ke kapal. Walaupun lelah, Ical tetap memaksa dirinya untuk menununaikan sahalat isya.

Pesan ibu kembali terngiang-ngiang di telinganya.

“Ingat cal, jangan lupa shalat. Hanya Dia saja yang dapat melindungimu. Ibu hanya bisa berdoa”. Ucap ibunya dengan berurai air mata saat keberangkatannya. Setelah shalat, Ical merebahkan tubuhnya perlahan di atas tumpukan barang-barang. Seharusnya malam ini ia kebagian tugas 34

berjaga, tapi matanya tidak bisa kompromi sedikit pun. Perlahan tapi pasti, kelopaknya menutup, hingga ambang kesadarannya lenyap berganti mimpi. Mimpi Ical sangat indah. Ia berada dilautan luas, menjaring ikan banyak sekali. Ical girang bukan kepalang. Tiba-tiba ikanikan itu berubah menjadi gepokan uang. Sekejap kemudian, Ical bertemu ibu dan dan adik-adiknya di sebuah taman. Mereka kemudian bergembira, bersenda gurau dan tertawa. Di sekeliling, ada banyak bunga, ada semilir mewangi. Di antara rerumputan hijau, ada air sungai mengalir jernih, bergemerincik bagai alunan nyanyian merdu. Ada awan-awan dan kerlap-kerlip di langit biru muda. Ibu mengusap kepala Ical lembut, “ kamu adalah pahlawan keluarga anakku, kami sangat menyayangimu”. “Tak ada upaya selain dari Allah saja, ibu” senyum ikal mengembang. “Kakak hebat ! kita kaya raya sekarang!” adiknya berseruseru riang. “Kalian mesti terus sekolah supaya pintar , biar kakak yang cari uang. Masa kecil bukan buat susah payah, yang penting belajar ”. Kata Ical sambil menciumi pipi adiknya mereka satu persatu. Terasa lembut dan hangat, sehangat semangat kanakkanak mengahadapi dunia yang ceria dan penug warna. Ah, jalan mereka masih panjang, sudah sepantasnya aku membukakan pintu dan memuluskan langkah mereka menuju masa depan batin Ical. “Kak Ical jangan pernah pergi, ya…” manja.

Rengek mereka

Tentu saja tidak, Sayang, kata Ical dalam hati. Tapi entah mengapa, kata-kata itu tak kuasa terucap dari mulutnya. 35

Ahh, dalam mimpi itu Ical sangat bahagia, teramat sangat hingga ahirnya kebahagian itu berubah jadi terasa aneh. Aneh sekali….tak bisa telukiskan seakan-akan, ada sesuatu. Jaring..., tali.., Ah. Tali...! Ical mendadak terbangun. Alam bawah sadarnya memberi tahu bahwa kapal akan segera merapat. Suaranya terdengar sayupsayup. Terkatuk-katuk Ical melapas tali kapal dan mengikatnya. Seorang lelaki turun. Kapal hendak bergerak pergi lagi. Cepat-cepat Ical melapas tali kapal. Ical bermaksud melompat kebagian belakang kapal. Tapi sayang, entah karena mengantuk atau kelelahan. Ical tak mampu melompatinya, tubuhnya tercebur ke sungai. Kepalanya terbentur ke bebatuan. Ical mulai kehilangan kesadaran sementara tangannya menggapai-gapai permukaan, namun tidak ada yang melihat dan mendengarkannya, karena kapal semakin jauh meninggalkan dirinya yang semakin lemah dan tidak berdaya. Tangan remaja yang berusia tujuh belas tahun itu pun tak terlihat lagi ditelan kegelapan malam. Sementara itu itu di rumah, Ibu Ical sedang menasehati anak-anaknya. “Kalian harus sekolah yang rajin. Kakak kalian banting tulang supaya bisa menyekolahkan kalian semua”. malam-malam begini, entah tidur dimana dia….”. Mata Ibu Ical menerawang jauh. Ada kegalauan luar biasa saat ia melontarkan nasehat itu.

36

PARA PENANTI Dani Sukma Agus Setiawan

Menanti. Sendiri. Sunyi. Sepi pun berserak. Kesendirian pun memuncak. Rindu pun bergolak. Marah, marah, dan marah, tetapi pada siapa?

***

Sekiranya penantian ini bukan pengharapan, maka aku tak akan pernah menanti. Mungkin, sudah sejak kemarin, bahkan kemarin lalu aku akan berpaling, tetapi tersadarku. Ya, tersadar akulah yang memilih jalan ini. Memilih suratan nasibku sendiri, memilih untuk tetap menanti suamiku kembali. Ini semua kulakukan bukan saja demi aku, tetapi juga demi anak-anakku. Sekiranya penantian ini bukan kewajiban, maka aku tak akan pernah menanti. Mungkin hari ini, esok atau lusa, aku pasti mengingkarinya, tetapi terpikirku. Ya, terpikir akulah yang menyurati takdirku sendiri. Akulah yang mengabarkan pada ilahi; Sebagai istri sudah tugaskulah mengabdi pada seorang suami. Ini semua kulakukan bukan saja demi rumah tanggaku, tetapi juga demi syahadat yang meluncur saat ijab kabulku sewaktu dulu.

***

Menanti. Aku masih saja menanti. Sendiri. Aku masih tetap sendiri. Sunyi. Aku tetap saja terbalut sunyi. Sepi masih berserak. Kesendirian masih tetap memuncak. Marah, marah, dan kian marah, tetapi harus bagaimana?

*** 37

Kadang terpikir olehku, lari dari kenyataan, mengejar pertemuan untuk menepis penantian. Bukan hanya sekali, bahkan terlalu sering aku berpikir; Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin selama kita mau memungkinkan yang tidak mungkin menjadi mungkin. Tetapi, kembali tersadarku. Tersadar aku, jangankan untuk berlari, sekedar melangkah saja aku tak berani. Sebenarnya ketakutanku beralasan. Aku takut meninggalkan anak-anakku demi mengejar ambisi; Merengkuh dekap hangat pelukan seorang suami. Orang pikir aku bodoh dan mau dibodoh-bodohi. Bodoh karena masih tetap setia menanti dan mau dibodoh-bodohi penantian itu sendiri. Mereka bilang, bagaimana tidak bodoh, karena sudah bertahun suamiku tidak kembali, tetapi aku masih tetap setia menanti. Padahal sudah jelas-jelas penantian itu membodoh-bodohiku sendiri, membodohi kesepianku dengan sebuah harapan, seratus angan, dan sejuta impian. Tetapi biarlah. Orang bilang aku bodoh, aku bilang biarin. Orang bilang aku naif, aku bilang biarin. Orang bilang aku aneh, aku bilang biarin . Biarin sajalah, karena nyatanya aku pintar. Setidaknya aku pintar merajut sejuta impian menjadi seratus angan hingga menjadi sebuah harapan; Penantianku berakhir dengan kebahagiaan.

***

Menanti. Selalu saja menanti. Sendiri. Entah sampai kapan kusendiri. Sunyi. Masih tetapku menghamba sunyi. Sepi masih berserak. Kesendirian terasa jauh kian memuncak. Marah, marah dan semakin marah, tetapi untuk apa?

***

Demi kebahagiaan. Atas nama kesetiaan. Ya, inilah adanya, dan aku sama sekali tidak mengada-ada, karena memang beginilah . Terinspirasi dari puisi “Biarin”, karya Yudhistira

38

keadaannya. Keadaanlah yang mengharuskan aku menanti. Keadaan pula yang membuatku bertahan hingga saat ini, dan keadaan inilah yang memberiku kekuatan untuk menata penantian demi penantian; Demi kebahagiaan dengan mengatasnamakan kesetiaan. Aku yakin, dengan segenap-genapnya keyakinan. Kesetiaanku tidak akan sia-sia, sebab lelakiku; Suami sekaligus ayah bagi anak-anakku, pasti akan kembali. Terserah orang mau berpikir aku ini bagaimana. Terserah orang mau berkata penantianku ini untuk apa. Terserah orang mau mengira tanggung jawab suamiku itu di mana. Toh, pikiran, perkataan, dan perkiraan mereka tak akan pernah mengapa. Karena, mereka itu memang bukan siapa-siapa. Aku memang patut dikasihani. Tetapi, aku tidak butuh belas kasihan, sama sekali tidak! Bagiku, menangis untuk sekedar dikasihani bukanlah sebuah pilihan, bahkan bisa dikatakan perbuatan yang teramat sangat memalukan. Karena, itu aku tak akan pernah menangis. Walaupun kerinduanku pada suamiku, seperti air mata yang merindukan tangis, tetapi sekali lagi kukatakan; Aku tak akan pernah menangis. Dan aku akan selalu tegar, semangatku harus tetap berkobar, gairah hidup dan kehidupanku harus tetap tebakar. Karena, jika sampai aku rapuh, maka segala asa yang kusemai akan ikut luruh, terjatuh, maka aku tak akan mampu menjadi ibu yang terbaik bagi anak-anakku. Sepeninggal ayahnya, mereka butuh panutan, dan untuk itulah aku ada. Untuk sementara, aku akan berusaha menjadi ayah sekaligus ibu bagi mereka, sampai tiba saatnya nanti, lelakiku; Suami sekaligus ayah bagi anak-anakku kembali di sisiku, mengubah penantian menjadi pertemuan, saat itulah kami akan larut dalam kebahagiaan.

***

Menanti. Aku masih saja menanti. Tetapi penantianku bukan lagi sekedar penantian, karena telah dikaburkan keyakinan. 39

Sendiri. Aku memang masih sendiri. Tetapi kesendirianku bukan lagi kesendirian, karena telah dibarengi kemandirian. Sunyi. Aku memang didera sunyi. Tetapi sunyiku tak bisa lagi dikatakan sunyi, karena di balik kesunyianku terdengarnya riuhnya senmangat untuk menjadi panutan. Sepi memang berserak, dan tetap akan kubiarkan berserak, agar dapat kujadikan bercak agar kesetiaanku tidak pernah terkoyak.

***

Suamiku, di manapun dirimu berada, yakin dan percaya, di sini aku akan tetap menjandakan diri demi menantimu kembali menjadi lelakiku; Suami sekaligus ayah bagi anak-anakku. Karena, aku mencintaimu bukan hanya untuk hari kemarin, hari ini atau hari-hari yang akan datang, tetapi aku mencintaimu sebelum harihari dilahirkan dan sebelum waktu belajar merangkak merangkak di atas jaman. Anak-anakku, di manapun ayahmu berada, yatim-kan dirimu untuk sementara, dan ingatlah, jangan pernah menganak sungaikan mata air airmata, kecuali untuk bermunajat pada-Nya, karena Allah tak akan memberi cobaan di luar kuasa hamba-hambaNya.

***

Anak-anakku, tetaplah menatap masa depan. Jangan takut menghadapi hidup dan kehidupan, yakinilah peradaban tak sepenuhnya dibangun di atas kebiadaban, sejujurnya kita hidup miskin bukan semata-mata karena ayahmu, tetapi juga karena bangsa kita telah di nina bobokan dengan pengangguran, dengan kemiskinan, dengan minimnya lapangan pekerjaan, hingga ayahmu harus merantau ke ranah seberang untuk mencari penghidupan. Biarkan saja untuk saat ini kita mengkristalkan air mata hingga . Kalimat “Menjandakan Diri”saya petik dari buah pemikiran Drs. Antilan Purba, M.Pd.

40

ayahmu tiba, agar kemilaunya dapat mencercahkan semburat kebangkitan. Ya anakku, orang boleh bilang kita tak punya masa depan, tetapi buktikanlah kemiskinan bukanlah penghalang untuk meraih masa depan. Dan ingat pesan ibu, jangan pernah belajar dari kegagalan, karena gagal bukan untuk dipelajari tetapi untuk dihindari. Yang terbaik belajarlah dari mencontoh keberhasilan, karena itu akan memberikan semangat hidup yang lebih bagimu. Anak-anakku, kita harus belajar memaknai hidup. Bukan dengan sekedar aritmatika yang sederhana, karena hidup tak sesederhana yang kita pikirkan, tetapi juga tak sesulit yang kita bayangkan. Belajarlah memaknai hidup dengan jarimatika, karena hidup serupa lima jari kita sendiri. Kelingkingmu adalah binar asa yang mewujud dalam gita cita-cita, jari manismu serupa dengan mimpimimpi yang mesti tertunda dan masih membayang di pelupuk mata, jari tengahmu adalah keniscayaan untuk menggapai mimpimimpimu dengan terpaan dan tempaan ujian yang sesungguhnya, jari telunjukmu adalah penuntunmu untuk mengisyaratkan keniscayaan yakinmu akan segenap makrifat-Nya, dan ibu jarimu adalah penantian yang telah menemu keberhasilannya.

***

Menanti. Aku masih saja menanti. Tetapi penantianku bukan lagi sekedar penantian, sama sekali bukan! karena berkat penantian ini aku hidup dengan keyakinan yang maha yakin, dengan sabar yang kian mengakar. Sendiri. Aku memang masih sendiri. Tetapi kesendirianku bukan lagi kesendirian, sama sekali bukan! Karena berkat kesendirian ini aku merasakan nikmatnya kemandirian, sebuah kebangkitan untuk berdiri sendiri dengan memapah anakanakku menjalani terjalnya perjalanan kehidupan. Sunyi. Aku memang didera sunyi. Tetapi sunyiku tak bisa lagi dikatakan sunyi, sama sekali tidak! Karena di balik kesunyianku terdengarnya gelegar semangat untuk selalu dan akan selalu menjadi panutan bagi anakanakku.. Sepi memang berserak, dan tetap akan kubiarkan berserak, 41

agar dapat kujadikan bercak agar kesetiaanku tidak pernah terkoyak, walau uji nasib seakan tak pemah terselesaikan, namun aku akan mencoba dan akan terus mencoba menyelesaikan setiap ujian dengan rumus kesetiaan di relung hati yang paling dalam.

***

Hidupku telah kuzakatkan pada risalah keyakinan, telah kuinfakkan di atas sajadah kesetiaan, telah kusedekahkan untuk penantian. Ya, penantian yang hingga kini masih mengeja dzikirdzikir kerinduanku, kerinduan anak-anakku, pada imam kami. Ya, pada lelakiku; Suami sekaligus ayah bagi anak-anakku. Tak ada lagi kemungkinan pada penantian ini, karena kemungkinan hanya menahbiskan penderitaan, hanya menajwidkan penyesalan. Jangan berpikir aku tak pernah memikirkan segala kemungkinan yang bisa saja terjadi dalam penantian ini, karena telah berpuluh, beratus, bahkan beribu kali aku memikirkan apa yang seharusnya aku pikirkan, tetapi sekali lagi pikiranku hanya dibayangi penantian itu sendiri. Maka dari itu, aku telah mengambil jalan pintas, untuk menjadikan penantian ini sebagai jalan penghidupan, kelak jika lelakiku; Suami sekaligus ayah bagi anak-anakku telah kembali maka jalan penghidupan ini akan kami susuri jauh semakin jauh, agar jejak-jejak pertemuan di antara kami mengalahkan jumlah jejak penantian yang sempat kujalani. Aku tak pernah meragu, jika penantian ini akan bermuara pada pertemuaan, suatu ketika nantinya. Tetapi, untuk saat ini, aku mesti menjalani kehidupan dengan ringkih kaki penantian. Suka atau tidak, aku harus menyukainya. Karena rasa suka tidak harus diawali rasa cinta, sebab aku menyukai perjalanan yang kujalani saat ini karena awalnya aku membencinya. Ya, semula aku membenci penantian, tetapi pada akhirnya aku mulai mencintai penantian ini, bahkan teramat mencintainya. Karena penantian telah mengajarkan makna cinta. Benar adanya, cinta tak harus dikatakan tetapi mesti dibuktikan, dan lelakiku; Suami sekaligus ayah bagi anak-anakku, 42

bertahun ini tak pernah lagi mengatakan cinta pada kami, tetapi dia telah membuktikan cintanya dengan berjuang untuk mencari penghidupan bagi kami. Jika memang cinta yang memisahkan kami, maka cinta pulalah yang akan menyatukan kami, karena itulah aku tak lagi menyesali kehidupan ini, tak lagi menyesali penantian ini, karena penantian ini aku menemukan cinta yang maha cinta, karena penantian ini aku menemukan perasaan lain yang mungkin, tak pernah terpikirkan. Ya, perasaan “Cinta itu sejati”, karena setelah penantian ini mejamah setiap sendi hari-hariku, baru aku mengerti kesejatian cinta bukanlah bersumber dari apa yang kita pikirkan tetapi bersumber dari apa yang kita rasakan dan kita dapatkan dari pembuktian. Dan, lelakiku; Suami sekaligus ayah bagi anakanakku, telah menanamkan perasaan itu sebelum dan sesudah dia pergi meninggalkanku, sebelum dia pegi telah dibuktikan persaan cintanya dengan meneteskan benih-benih kerahimku dan mewujud dalam anak-anak kami, buah cinta kami, dan setelah dia pergi, masih tetap kurasakan cintanya lewat penantian ini. Penantian yang membuktikan bahwa kepergiannya adalah pembuktian atas segala perasaan cintanya pada kami, karena dia pergi demi penghidupan kami. Sungguh aku bangga memiliki suami yang mampu mengajarkan makna lain dari penantian.

***

Menanti. Sendiri. Sunyi. Sepi pun berserak. Kesendirian pun memuncak. Rindu pun bergolak. Marah, marah, dan marah, tetapi untuk apa lagi?

Serambi KOMPAK, 05 Juni 2009 Kepada para penanti....

43

DIA BUKAN DIRINYA Tri Andini Ayuningtyas

Cukup lelah aku menangis hari itu, tak sanggup ku menatap tubuhnya terbujur kaku, dingin dan bisu. Ardi Prasetyo, sosok idola di sekolahku, telah meninggal karena kecelakaan. Aku benar-benar tak kuasa menahan pilu, terlalu cepat dia meninggalkanku.

“Sabar ya die”, Rhein coba menenangkanku.

Diah Handina, itu nama panjangku, tetapi teman-teman lebih sering memanggilku dengan singkat, ‘Die’. Ardi pacarku. Kami berpacaran sejak masuk SMA kelas 1, dan saat ini kami tinggal menunggu pengumuman kelulusan. “Die, kita pulang ya…” “Kau harus istirahat, tubuhmu sudah cukup lelah “, Rhein kembali merangkul pundakku. Rhein Puspita, teman karibku sejak taman kanak-kanak, dia cukup mengerti siapa aku. “Sebenarnya aku masih ingin berlama-lama di sini, menemani Ardi Rhein “, Jawabku tanpa memandang mata Rhein. “Die, sudahlah, ikhlaskan kepergian Ardi… Jangan bersedih terus, biarkan Ardi tenang di sana, ayolah Die, hari semakin gelap “, Rhein mencoba membantuku untuk berdiri. Aku hanya bisa menangis tunduk memandangi gundukan tanah kuburnya.

***

“Die…kita lulus. Yeee…akhirnya aku bisa jadi anak kuliahan 44

die…” Rhein berteriak kegirangan saat mengetahui kami lulus ujian nasional. “Tenang Rhein Puspita, tingkahmu seperti anak kecil, mana pantas anak kecil kuliah” Aku coba meledek Rhein yang selalu tak bisa mengontrol tingkahnya didepan umum. “Ahhh…biarin,, aku nggak peduli, seluruh dunia wajib merayakan kelulusan kita” Hahahaha… Rhein tertawa lepas, aku pun ikut tertawa, dan tawa kami memecah suasana basi sekolah. Tiba-tiba…!

“Die..”

suara lembut memanggilku, aku tersentak, tiba-tiba aku teringat ardi. Aku berbalik badan dan …! Oouu… “Selamat ya, Ardi lulus terbaik, sayang dia tidak sempat merasakan kebahagiaan itu” Dia mengulurkan tangan hendak berjabat denganku, Dimas Nugraha, pria yang sama-sama tampan seperti Ardi, Suaranya pun hampir sama, sempat aku berfikir menggantikan sosok Ardi dengannya, tapi buatku Ardi tak tergantikan. Salah satu idola juga, tetapi pamornya terkalahkan oleh Ardi, karena Dimas cenderung lebih suka sendiri dan pendiam. “Eehmm…ku rasa tak perlu kau memberikan selamat itu, Ardi takkan mendengarnya!” “Eh, ada angin apa kau mau berbicara denganku? Bukannya kau selalu berbicara hanya dengan penjaga sekolah saja? 45

Aku mengalihkan pembicaraan dengan mulai meledeknya sambil tersenyum. “Ahh, tidak juga. Nggak lucu juga kan aku udah tiga tahun disini cuma pernah bicara dengan pak kusman, penjaga sekolah kita. Sebenarnya sudah lama aku ingin berbincang denganmu, tetapi aku sungkan dengan Ardi”, dia tersenyum malu. “Mmmm…kabarnya kau lulus bebas testing kan, dimana?” “Ia, Alhamdulillah..aku lulus di UI, jurusan Psikologi’, bagaimana denganmu Die?” Lama kami berbincang, sampai kamipun pulang bareng, tetap besama Rhein, asisten pribadiku.

***

Satu Tahun berlalu, aku meneruskan kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta, aku tidak lagi satu kampus dengan Rhein, dia memilih ke Jakarta untuk meneruskan kuliah. Dimas, malaikat cute kepunyaan Rhein juga di Jakarta, ada kemungkinan Rhein sengaja mengikutinya, karena diam-diam Rhein mengagumi sosok Dimas. Sejak kepergian Ardi, aku tidak berani menjalin hubungan special dengan laki-laki lain, aku takut ditinggal lagi, dan sosok Ardi masih belum tergantikan. Sejak awal kuliah, aku bertemu dengan teman baru, Rhirie namanya, sosoknya cukup bisa menggantikan Rhein yang selalu membuatku merasa tak sendiri, tetapi ada perasaan aneh yang kurasakan dengan Rhirie, aku berusaha menepisnya, namun semakin hari kami semakin dekat, dan rasa itu semakin besar. Tingkah laku, gaya abicara, sifatnya, dan semua-semuanya persis dengan Ardi. Sampai aku sempat berfikir kalau dia adalah Ardi dan aku ingin kembali memilikinya, tapi ini gila !

46

“Die..!” “Ayo cepat makannya, 20 menit lagi kita ada kuliah, Professor itu terkenal cukup kiler lho, ayo cepat Die!” Rhirie memanggilku dengan keadaan mulutnya penuh dengan makannya, persis seperti Ardi. Oh Ardi, benarkah itu kamu ? “Rhie, ada yang ingin aku katakana kepadamu,,” “Ya sudah, katakan saja, kita tidak punya banyak waktu,” “Aku serius Rhie?!” Nada suaraku meninggi, aku kesal Rhie sibuk dengan makan siangnya. “Aku juga serius Die, katakan saja, kan bisa kau bicara sambil makan,” Ahh..payah ! Aku meninggalkan Rhie dan makan siangku, aku pergi menuju kelas. Rhirie masih sibuk dengan makan siangnya. Sampai di kelas, dia memarahiku, karena aku pergi begitu saja, tanpa membayar makanan yang kai pesan, padahal aku sudah janji kalau aku yang traktir. Hehehe...Rhie, aku menyangimu, sama seperti aku menyayangi Ardi, tahu kah kau tentang itu?

***

“Die, aku akan pindah kuliah, aku harus ikut ayahku ke Jepang, jadi temani aku ke Biro Rektor ya untuk mengurus administrasinya.” “Kau serius Rhie,” aku benar-benar kaget, rasanya seperti nafasku berhenti. Aku harus mengatakan apa yang kurasakan sebelum Rhie pergi, tapi tidak mungkin kami menjalani hubungan itu, Rhie juga perempuan.

“Oia, kemarin kau mau bilang apa? Ayo katakan sekarang, 47

sebelum aku pergi lho, ha..ha” “Rhie…!” “Hmmm…” “Rhie…!” Suaraku semakin keras, “Ia, ada apa Die, nggak usah teriak begitu, aku dengar kok,” “Rhie, aku mau ngomong serius, bisa kau hentikan mobilnya sekarang!” “Huuhh…ia, aku berhenti, mau ngomong apa?” Rhie memandangku, sesaat mata kami bertemu. “Hei…katanya mau ngomong, kok malah melamun sih ?” Rhie mengguncang tubuhku, aku tak bisa berkata saat memandangi dalam wajah rhie, yang semua kelakuannya mengingatkanku kepada Ardi. “Aku menyayangimu Rhie” Aku memeluk tubuhnya erat, erat sekali, sama seperti aku memeluk tubuh Ardi sesaat sebelum dia pergi. “Hahahaha….” “Aku tahu Die, aku juga menyayangimu sebagai sahabat terbaikku sejak kuliah, tetapi aku harus pergi, aku juga sebenarnya tidak ingin pergi, tetapi ayahku memintaku untuk ikut dengannya, dia tidak mau aku tingal sendiri di sini.” Aku menangis… “Bukan itu Rhie, sayangku lebih dari sahabat, “ “Aku menyayangimu seperti aku menyayangi Ardi, kau ingatkan, kekasihku yang telah meninggal, kelakuan dan tingkah lakumu selalu memaksaku untuk mengingatkanku dengan Ardi, aku mau kau tetap disini rhie, menggantikan Ardi…” tangisku semakin menjadi. “Die, kau gila ya….!” “Kita ini perempuan, kau terlalu memikirkan Ardi, sampaisampai kau menganggapku sama seperti dia.” “Ya..aku gila, karena kau hadir dengan keadaanmu yang sama seperti Ardi, mengapa aku harus mengenalmu Rhie, aku 48

benar-benar menyayangimu….” “kau Ardi kan ?” “Kau Ardi kan Rhie?” Tangisku memecah. Rhie bingung, dengan ragu dia memelukku. Pelukan itu, sama hangatnya dengan pelukan Ardi. ohh... Ardi. Tahukah kau aku tersiksa sejak kau tinggalkan, Aku benarbenar merasakan Rhie adalah Ardi. Rhie coba menenangkanku.. “Hei, dengar…!” “Aku bukan Ardi, aku Rhie, aku juga menyayangimu, tapi tidak bisa lebih dari seorang sahabat, berfikirlah rasional, Ardi tidak mungkin hidup kembali, kau terlalu memikirkannya” “Kita tetap sahabat Die. Lusa aku pergi, jaga dirimu baikbaik ya, lupakan aku sebagai sosok Ardi, dan ingat aku hanya seorang Rhie, Rhirie Puspita, ya…!”

***

Gila….! Ini benar-benar gila, rasa sedihku sama seperti saat aku mendengar kematian Ardi, mengapa aku menjadi seperti ini? Benarkah aku menyayangi Rhie sebagai Ardi, atau Rhie yang asli, sebagai sahabatku?

Ardi…..aku hampir gila memikirkan ini!



***

Krringgg…krringgg….

”Halo..” 49

“Halo die, ne aku rhie,” “Kau baik-baik saja kan, ?“ “Aku sudah dibandara, 20 menit lagi pesawat ku take off, maaf aku sengaja tak memberitahukan pada mu pukul berapa aku pergi, aku tak ingin melihat kau sedih, Die, lupakan aku sebagai Ardi ya, karena aku bukan dia, aku Rhie sahabatmu, nanti setelah aku sampai aku akan mengabarimu lagi, jaga dirimu ya. Die, aku menyayangimu sebagai sahabat terbaikku…” Tit…tit….tit… Teleponnya terputus sebelum aku sempat mengatakan apapun kepadanya, aku menelpon kembali, “Ya…ada apa die, ada yang ingin kau sampaikan?” “Hati-hati ya Rhie, aku juga menyayangimu, sebagai sahabat terbaikku,” “Ya, pasti..” “aku akan merindukanmu Rhie…” “aku juga die, tapi kau harus merindukan aku sebagai Rhie ya, bukan sebagai Ardi” Kututup teleponku. Kutatap tajam dan dalam wajah ku di depan cermin, Inikah Die yang dulu?

***

Penghujung Mei, 2009 Ayuningtyas

50

ANTARA SAYA DAN LELAKI ITU Aulia Andri

Saya benar-benar marah sekarang! Saya tak dapat menahan emosi yang datang bergulung-gulung seperti ombak yang menerpa dada saya. Saya benci lelaki ini. Lelaki pengecut. Saya memang unik. Saya tergantung begitu saja di luar tubuh lelaki ini. Saya dulunya berpikir bahwa saya tak punya kemauan sendiri. Tetapi semakin dewasa, saya kemudian menyadari bahwa saya mempunyai kemauan sendiri. Dan jelas, itu otoritas saya. Tak seorang pun termasuk lelaki ini yang bisa mengutak-atiknya. Saya sudah sering membicarakan kemarahan saya pada lelaki ini. Sudah sering pula saya memberi peringatan padanya. Saya tidak suka diperlakukan seperti ini. Namun, dia tetap saja tak mau mendengar kata saya. Dia acuhkan semua permintaan saya. Keterlaluan sekali dia. Kalau sekarang saya menceritakan ini pada Saudara dan Saudari, itu karena saya sudah tidak tahan lagi dengan perangainya. Sebenarnya saya tak enak hati jika menceritakan persoalan kami ini pada Saudara-Saudari. Ini kan urusan kami berdua: antara saya dan dia. Dan saya yakin, dia juga tidak akan senang jika mengetahui saya menceritakan masalah ini pada Saudara-Saudari. Pasti nanti dia akan menuduh bahwa Saudara-Saudari sebagai pihak ketiga. Saudara-Saudari pasti dituduh telah mencampuri urusan orang lain. Melakukan perbuatan tidak menyenangkan. Saudara-Saudari akan dituntutnya di muka pengadilan. Mengerikan sekali. Tapi jangan takut. Saya akan menyembunyikan cerita ini hanya untuk Saudara-Saudari. Tetapi tolonglah saya juga, jangan 51

ceritakan urusan ini pada orang lain lagi. Itu pun kalau SaudaraSaudari menyadari akibat yang telah saya tuliskan di atas. Kalau pun nanti ketahuan bahwa saya membeberkan urusan kami pada Saudara-Saudari, saya akan berusaha menyangkalnya. Saya akan melindungi Saudara-Saudari. Percayalah.Yakinlah. Urusan kami ini memang pelik. Rumit. Sebenarnya dia yang mengawali keretakan hubungan kami. Dasar lelaki tidak tahu diri. Saya sudah merelakan diri saya untuknya sepanjang hidup. Mengabdikan raga saya kepadanya. Mendampinginya kemanapun dia pergi. Tapi ya itu, dasar lelaki hidung belang. Dia telah mengkhianati saya. Betapa sakitnya hati ini, dinistakan sepanjang hidup saya. Saya benar-benar menderita dibuatnya. Saya sebenarnya telah mencoba untuk membicarakan masalah kami. Saya ajak dia bicara baik-baik. Saya ajak dia berdiskusi untuk mencari pemecah ketegangan hubungan kami. Hasilnya, dia memang tak mau mendengar saya. Dia menganggap enteng diri saya. Dia tidak menghargai saya. “Sudahlah, kamu tak usah ikut campur urusan saya. Aku mau pergi dan tidur dengan perempuan manapun, kamu tak berhak melarangku,” begitu katanya ketika saya mempersoalkan tabiatnya. “Tapi saya juga punya perasaan. Kamu tak bisa berbuat begitu. Kamu harusnya memikirkan perasaan saya,” saya mencoba membantahnya. Lalu dia menjawab, “Heh....kamu itu jangan banyak bicara. Aku yang berhak mengatur hidupku dan hidupmu.” “Saya tak membantah bahwa saya adalah milikmu. Tapi tolong hargai saya. Sudah saya katakan tadi, saya juga punya perasaan. Jadi, tolong jaga perasaan saya ini,” saya membalas dan 52

hampir saja menangis. Dia malah tertawa. Keras sekali. Hingga saya malu dengan tawanya ini. Semua orang melihat kami ketika itu. Itu karena suara tawanya yang bisa mengalahkan dentum house music yang mengurung kami. Kami memang sedang berada di sebuah ruangan yang hingar bingar. Dia kemudian menenggak anggur merah dari gelas tinggi yang dipesannya. Saya diam saja. Sambil tergeletak dalam malu. Saudara-Saudari, dunia memang sudah gila. Malam ini, kami membicarakan persoalan yang pelik ini di sebuah pesta telanjang. Dia yang memaksa saya ikut. Mulanya dia cuma mengatakan temantemannya akan mengadakan sebuah pesta yang heboh. Saya tak paham maksudnya. Ketika sampai ke tempat remang-remang ini, barulah saya tahu apa yang dimaksudnya heboh itu. Disini semua orang tanpa busana. Dia bugil. Saya apalagi. Tak bisa terkatakan malunya saya. Mulanya saya sudah mengatakan tak mau. Tapi dia memaksa. Dia kemudian melorotkan semua yang membalut tubuh saya. Jadi sejak itu semua orang bisa melihat saya dengan jelas. Ih.... mengerikan sekali. Saya benar-benar tersiksa, Saudara-Saudari. Tolonglah, saya benar-benar sudah muak dengan dia. Lelaki yang memiliki saya. Lalu kami melanjutkan percakapan kami yang terputus karena tawanya tadi. Disela-sela itu di depan kami berseliweran lelaki dan perempuan tanpa busana. “Kamu senang dengan pesta ini?” dia bertanya. Sambil menatap saya. “Apa sih enaknya pesta ini?” saya balik bertanya. “Saya sudah bosan dengan gaya hidup kayak kamu ini,” sambung saya. “Bosan. Hahahahah.....kamu boleh saja bosan. Tapi apa daya kamu?” “Oh ya! Kamu menganggap saya tak punya daya?” 53

“Ya! Kamu memang makhluk yang lemah.” “Apa maksudmu lemah?” “Kamu kan gak mungkin hidup tanpa aku.” “Itu kan katamu!” “Lihat saja.” “Mungkin kamu yang tidak bisa hidup tanpa saya.” “Mana mungkin.” “Mungkin saja.” “Nggak mungkin!” “Mungkin!” “Lantas, kalau aku tak bisa hidup tanpa kamu, maunya apa?” “Entahlah.” “Kamu mau meninggalkan aku?” “Itu baru tidak mungkin.” “Nah, berarti kamu kan yang tidak bisa hidup tanpa saya.” Dia tertawa lagi. Kali ini mungkin terbahak. Atau keduanya. Tertawa sambil terbahak-bahak. “Kamu akan tahu nanti. Saya akan melakukan pembalasan.” “Kamu mengancam ya?” “Tidak.” “Lho, itu tadi, kamu mengancam saya.” “Kamu yang merendahkan saya.” “Siapa yang bilang?” “Ucapanmu tadi yang mengatakannya.” “Jangan begitu. Aku tidak bermaksud seperti itu lho.” “Kamu memang gombal.” “Siapa yang gombal?” “Kamu.” “Aku?” “Ya.” “Memangnya kenapa kalau aku gombal?” 54

“Aku tidak suka.” “Kenapa?” “Karena kau melakukan itu pada semua perempuan.” “Mereka yang mau itu.” “Mereka terpaksa menerimanya, tahu kamu!” Aku menekan suara pada suku kata terakhir. “Ah, sudahlah. Kita kan saling membutuhkan. Aku akui itu. Lupakan saja perkataanku tadi.” “Mana bisa.” “Kok begitu.” “Ya, saya bilang mana bisa. Kamu sudah menyakiti saya.” “Aku kok nggak merasa menyakiti kamu?” “Huh....” “Lalu.” “Lihat saja, nanti saya akan melakukan pembalasan.” “Hah.....pembalasan. Kamu ingin mendendam padaku. Keterlaluan kamu!” Lelaki itu hampir saja membanting gelas tinggi yang berisi anggur merah yang menggantung di jarinya. Matanya mendelik. Mulutnya hendak mengucapkan banyak lagi kata. Tapi tak ada yang keluar.

“Kamu yang keterlaluan!”

Saya seperti mendapatkan peluang untuk menyudutkannya.

“Apa kamu bilang?”

Lelaki itu mendelik. Biji matanya seolah mau melompat keluar. Mungkin kalau saja tak dibungkus kelopak yang dalam hingga menjadikan sosok matanya sendu dan indah, biji itu akan terlepas. Dia lalu melanjutkan, “Kamu yang tak tahu diuntung. Sudah aku beri kamu makan. Sudah aku beri kamu pakaian. Sudah aku jaga kamu. Tapi kamu tak mau menurut kataku. Dasar.” 55

“Siapa yang tak tahu diuntung? Kamu yang tak tahu diri. Seenaknya saja kamu pakai saya. Tak peduli siang atau malam. Saya selalu setia melayani kamu. Dimana pun kamu mau, saya selama ini tidak pernah protes. Dengan perempuan manapun saya tidak pernah protes. Dengan gaya apapun, saya tak pernah protes. Mau masuk dari depan atau dari belakang, saya tidak pernah protes. Jadi siapa yang tak tahu diuntung, kamu atau saya?” Berondongan kata-kata itu mengalir. Saya hampir-hampir menangis. Saya tak mampu lagi berkata-kata. Semua tumpahkan kekesalan saya pada dia dengan menangis. Saya lihat dia terdiam. Tampaknya dia seperti merenungi semua perkataan saya. Wajahnya tampak sedikit berubah ketika menatap saya. Saya biarkan saja dia begitu. Maksudnya agar dia sadar. Tapi perempuan itu memang bangsat. Ia muncul ketika kami sedang melakukan pembicaraan yang maha serius ini. Dengan senyum nakal. Dengan tubuh molek dan kulit putih mulus. Dengan kerlingan mata yang menggoda semua lelaki, termasuk dia. “Kok dari tadi duduk sendiri?” perempuan itu berkata. Ia kemudian meletakkan pantatnya di kursi sebelah dia. Tubuhnya tak dibalut busana. Alat-alat tubuhnya yang merangsang itu berjuntaijuntai. Dia menatap wanita ini dengan pandangan yang sudah sangat berbeda ketika menatap saya tadi. Perempuan ini memang perempuan bangsat. Mungkin ia bangsanya pelacur. Mana ada sih perempuan yang mau bugil di tempat seramai ini kalau bukan pelacur. Dasar pelacur! Ia juga tidak menganggap saya ada. Ia tadi bertanya bahwa lelaki ini cuma sendirian. Jadi saya ini dianggapnya apa? Saya benar-benar ditiadakan. Keberadaan saya dialpakan. Mereka kemudian terlihat berbicara sambil tertawa-tawa. Seperti 56

tadi, tawa lelaki ini memang besar. Semua orang selalu menatap ke arah kami saat dia tertawa. Sedang perempuan itu, tawanya kayak kuntilanak. Cekikikan hingga bahunya terangkat-angkat. Hingga buah dadanya terayun-ayun. Jadi mereka tertawa-tawa. Kadang mereka juga berciuman. Lama sekali. Saya cuma berusaha tidak menatap mereka. Saya memang telah ditiadakan. Jadi lebih baik saya membuang muka. Mereka masih tertawa-tawa dengan lebih mesra. Saya jelas tak enak dengan suasana ini. Lalu setelah malam semakin larut. Dan hawa dingin di dalam ruangan ini makin dingin. Mereka memutuskan untuk tidur. Tentunya tidurnya bersama. Kalau tidur seorang-seorang, tak perlulah bertemu disini. Saya diajak lelaki itu. Kami berada dalam sebuah ruangan 3X3 meter. Disini lebih hangat ketimbang diluar sana. Perempuan itu merebahkan tubuhnya di ranjang yang ada di tengah ruangan. Terlentang. Pasrah. Dia sudah tak sabar. Diterkamnya perempuan itu dengan kebuasan birahi. Mereka kembali tertawa. Lelaki itu tertawa kencang-kencang. Perempuan itu tertawa cekikikan. Persis mak Lampir. Mereka bergulingan. Kadang lelaki itu di atas. Kadang di bawah. Kadang mereka juga terjatuh dari ranjang. Kemudian bergulingan lagi di atas karpet. Berdekapan dengan bibir saling terpagut. Ketawa lagi. Merintih-rintih lagi. Mengerang-ngerang lagi. “Kamu memang lelaki perkasa. Kami mampu merangsang saya dengan kesempurnaan birahi,” perempuan itu berbisik di telinga dia. Sambil terengah-engah karena terangsang. “Kamu juga menggairahkan. Akan kumakan kamu malam ini. Akan kulumat seluruh tubuhmu malam ini,” lelaki itu berteriak 57

seperti membaca puisi. Saya diam saja memperhatikan mereka. Sebenarnya saya bisa saja mulai beraksi. Tapi itu tak saya lakukan. Saya hanya diam. Tanpa ekspresi. Saya tahu apa yang akan saya lakukan malam ini. Saya sudah menyusun rencana ketika dia mengajak saya masuk ke ruangan ini. Sebenarnya saya sudah tahu apa yang diinginkannya. Saya sudah bisa menebak debar jantungnya yang berdetak kencang. Saya dapat merasakan sorot matanya yang merah dengan nafsu birahi. Saya sudah tahu ketika pori-porinya semakin melebar. Saya sudah sadar ketika lidahnya melet-melet di bibir. Saudara-Saudari saya memang terpaksa menuruti kemauannya selama ini. Saya ikuti semua keinginannya selama ini. Saya tak menolak dia mau dengan perempuan macam apapun. Mau dengan gaya apapun. Saya tak bermaksud membela diri ataupun munafik bahwa saya menikmati petualangannya selama ini. Terus terang saya menikmati perempuan-perempuan yang disajikannya pada saya. “Hei kawan, apalagi yang kamu tunggu. Laksanakan tugasmu. Aku membutuhkan kamu malam ini, kawan. Lihat saja, perempuan itu sedang menunggu kamu dan aku. Ayolah kawan,” lelaki itu berkata padaku. Dengan kata-kata membujuk. Aku diam saja. Tak kugubris bujukannya. “Ehmmm....kenapa sih. Kok kamu cuma berdiri saja disitu. Ayo dong, aku sudah tidak tahan,” perempuan itu merayu dia. “Ayolah kawan. Bangunlah. Jangan buat aku malu malam ini. Kita kan sahabat. Jangan kecewakan ia malam ini,” lelaki itu terus membujukku.

58



“Saya tidak mau. Saya sudah bosan,” saya menjawabnya.

Lelaki itu terkejut. Dia pasti tak menyangka saya sanggup melawannya. Dan dia hampir saja marah. Tapi bara di dadanya tak mau menjadi api karena ada api birahi yang telah lebih dulu menguasai disana. “Kawan, aku sudah cukup sabar mendengar semua ocehanmu malam ini. Jangan sampai aku kehilangan sabar.” “Silahkan. Saya tidak akan menurutimu malam ini. Silahkan.” Saya menantangnya tanpa menunjukkan perlawanan. “Ah, kamu memang bodoh. Lihat, perempuan itu sudah menyerah untuk kita. Apalagi yang kamu tunggu. Bangunlah!”

Saya tak bergeming.



“Kamu mau melawanku ya?”

Saya terdiam. Mulai terasa ada rasa jeri dan takut. Dia kelihatan mulai marah. Warna merah di matanya tadi yang saya lihat disaput kabut birahi, kini berganti dengan merah api amarah. “Kalau kamu melawanku! Terpaksa aku akan menghukummu,” suaranya menggelegar seperti halilintar. “Sudah saya bilang tadi, silahkan saja. Saya tidak takut.” “Bangsat! Kupotong kamu. Kupotong kamu. Akan kuiris kamu sampai berdarah-darah.” Saya bergidik. Dia pasti sungguh-sungguh. Dia pasti tidak main-main.

Lelaki itu kemudian menyambar pisau yang tergeletak di 59

meja di dalam ruangan ini. Pisau itu biasanya untuk memotong buah apel. “Apakah kamu masih keras kepala?” Dia meletakkan pisau itu dekat dengan leher saya. Gayanya benar-benar mengancam saya. Setelah itu ternyata dia benar-benar mengiris saya. Jadi bukan langsung memotongnya. Begitu cairan merah muncrat membasahi karpet yang juga berwarna merah, perempuan yang tergeletak di ranjang itu menjerit histeris. Wajahnya ditutup rapat-rapat untuk menahan pandangan matanya yang tak tahan menyaksikan saya diiris. Sungguh kejam lelaki ini. Dia tega berbuat seperti ini pada saya. Tapi sudahlah saya juga sudah muak bersamanya. Saudara-Saudari, untuk pertama kali sepanjang hidup lelaki itu, saya menolak keinginannya malam ini. Saya telah tunjukkan bahwa saya punya otoritas sendiri. Saya telah buktikan bahwa saya bisa menolak penistaan yang dilakukannya malam ini. Saya tak ingin lagi ada perzinahan. Cukuplah yang kemarin-kemarin itu. Saya tak mau lagi mulai malam ini. Telah saya katakan diatas. Saya ini memang unik. Saya tergantung begitu saja, di luar tubuh semua lelaki. Dan kalau saya sedang marah seperti ini, saya akan enggan berdiri tegak bak tiang bendera. Saya akan cuek bebek. Saudara-Saudari, pasti mahfum, kemarahan saya kali ini telah menimbulkan kepanikan yang luar biasa dari lelaki itu: sang pemilik saya. Karena saya adalah Mr Happy.

Pancoran, Agustus 2004

60

CATATAN-CATATAN SITU

“ Kepada korban Situ Gintung ‘kesabaran akan membawa kebahagiaan’ ”

Y. Artika Purba

Mataku hilang. Jari-jariku pun berhamburan, seperti puntung-puntung rokok yang bertebaran di jalan-jalan. Banyak luka memar di sekujur tubuh. Lukanya menusuk-nusuk pembuluh darah dan merobek-robek pori-pori sampai ke saraf-saraf otak. Tak bisa dikatakan bagaimana prosesnya dan bagaimana kejadiannya. Tiba-tiba semuanya jadi gelap. Semuanya bersetubuh dengan air bercampur lumpur. Semuanya tertimpa-timpa papan dan besi. Semuanya hilang dan kehilangan. Seperti biasa, selesai makan malam bersama keluarga. Istriku selalu saja memintaku memanjakannya. Kami duduk di beranda rumah. Ia mulai bercerita tentang putra pertama kami yang makin lucu. Tetes-tetes hening terasa kian berirama saat ia tertawa. Aku menjadi orang yang paling bahagia di atas dunia. Tapi, kebahagiaan yang sebentar datang itu terperosok ke dalam kesendirian yang gelap menjadi seonggok bangkai camar yang membeku di dasar lautan terpekat. Hempasan ketakutan itu berkalikali muncul saat tangisan hujan menderu dalam teropong angin laut meneriakkan panggilan-panggilan pada nyanyian angkasa yang bergema histeris. Masih kuingat saat halilintar itu menjerit-jerit di telingaku. Airair langit mulai jatuh berkejar-kejaran di tanah merah ini. Gemuruh demi gemuruh mendobrak jantung sampai memandikanku dengan air asin yang bernama peluh. Saat itu, aku terbangun. Kulihat anak dan istriku tertidur pulas di sampingku. Ada rasa takut kehilangan menyergapku, membawaku masuk ke dalam sel tak berongga. Aku sesak.

61



“Tolong…tolong!” Aku tersekat.

Hujan lebat itu terus saja mengguyur atap-atap rumah kami, memandikannya terus-menerus tanpa henti. Tiba-tiba terselip kekhawatiran tentang Situ. Waduk di atas permukaan perumahan kami.

***

Memang, beberapa hari ini, warga melihat banyak rembesan air yang yang keluar dari pori-pori tanggul. Struktur tanah pun jadi gambut. Baru saja kemarin aku melihat langsung ke sana. Namun, entah mengapa rembesan-rembesan itu perlahanlahan berubah jadi titik-titik air mata istri dan anakku. Cepat-cepat kuurung kekhawatiran itu. “Itu hanya perasaanku saja. Lagi pula, mana mungkin waduk itu jebol. Wong wes puluhan tahun koq.” Pikirku Situ, lengkapnya Waduk Situ Gintung memang sudah dibuat sejak zaman penjajahan Belanda. Tanggul pada waduk itu difungsikan untuk menahan air yang meluap sampai 2 meter tingginya. Tetapi selama ini, keadaan waduk baik-baik saja. Warga kelurahan Cirendeu di dekat waduk itu juga aman-aman saja, karena memang belum pernah terjadi kebocoran tanggul. Selain difungsikan sebagai penahan air, waduk Situ juga dijadikan obyek wisata. Banyak remaja-remaja yang datang ke Situ menikmati keindahan danaunya. Tapi, isu-isu dari warga setempat mengatakan banyak remaja melakukan tindakan amoral di sana. Tapi, aku pura-pura tidak tahu saja. Aku dan keluargaku memang bukan orang asli Situ. Kami pendatang. Baru satu tahun lebih kami memutuskan untuk tinggal di sana. Bisa dikatakan aku dan istriku adalah pengantin baru 62

yang sedang menikmati keindahan berumah tangga. Aku sangat bahagia mempunyai istri yang cantik dan sangat baik. Kebahagiaan itu tambah terasa ketika istriku berhasil memberiku seorang putra. Ya, aku sangat bangga karena putraku sangat mirip denganku “Ah, kesempurnaan apalagi yang aku harapkan dari seorang istri yang cantik dan putra yang lucu.” Aku sangat menikmati hari-hariku bersama keluargaku, dari memandikan Muhsin putra kecilku, menyuapinya, menimangnya hingga ia bisa berlabuh dalam kepulasan. Tapi, entah mengapa malam ini, pekik tangis menguncinya, menyuruhnya mengunyahngunyah keterpisahan. Berkali-kali ia terjaga. Berkali-kali pula kucoba menimangnya di atas hembusan angin berharap membawanya ke dermaga yang pernah kami cipta bersama. Tapi, sebelum kami sampai ke dermaga itu, gemuruh demi gemuruh mengajak air mata mengoyak jantung kami. Teriakan Muhsin semakin menjadi-jadi. Ada ketakutan mengerayangi seluruh pembuluh nadiku, karena aku merasa bahwa bumi sedang sakit jantung, sesekali penyakitnya akan kambuh, maka tamatlah kehidupan. Belum sempat aku berpikir. Bah itu merobohkan dindingdinding rumah kami. Tingginya hampir 5 meter. Ada longsor. Ya, waduk Situ jebol. Aku dan istriku terseret air bercampur lumpur. Kami terpisah dalam benteng hidup dan kematian. Bayanganku gelap. Aku lumpuh. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Paragraf-paragraf doa pun tidak sempat aku lantunkan. Aku hilang. Tiba-tiba, ah istriku... Muhsin! Di manakah mereka? Apakah ada ruang lain? Apakah mereka di sana? Tiba-tiba ada godam raksasa menimpa kepalaku. Aku tersungkur jatuh menimpa bebatuan sungai. Sepertinya, ada yang aneh di tubuhkku. Rongga tenggorokanku seakan tersekat. Kesadaran memanggilku. Sekarang aku tahu. Mataku hilang. Jarijariku pun berhamburan, seperti puntung-puntung rokok yang 63

bertebaran di jalan-jalan. Banyak luka memar di sekujur tubuh. Lukanya menusuk-nusuk pembuluh darah dan merobek-robek pori-pori sampai ke saraf-saraf otak. Tak bisa dikatakan bagaimana prosesnya dan bagaimana kejadiannya. Tiba-tiba semuanya jadi gelap. Semuanya bersetubuh dengan air bercampur lumpur. Semuanya tertimpa-timpa papan dan besi. Semuanya hilang dan kehilangan. Saat itu, kumasuki ladang lapar dan dahaga. Tetapi, azan bekumandang memanjakan subuh. Kulihat, ada mesjid di situ. Aku sempatkan sholat. Rupanya, istriku sudah duduk di sisiku sedang menggendong Muhsin sambil membawakan sesaji surga untuk menepis dahaga dan rasa laparku. Ia membawakan jari-jari dan mataku. Memasangnya satu per satu. Setelah itu ia menyuruhku pulang.

64

SARA, KAU DIMANA? Widya Syahputri Butarbutar

Aaakh…! Terdengar jeritan dari rumah Sara yang telah dibakar warga kampung. Makian yang terlontar dari mulut warga semakin memanaskan suasana siang itu. Seorang lelaki tua terlihat berusaha menyelamatkan diri dari rumah naas itu. Namun malang, sebuah broti ambruk dan menimpa kepalanya. Seketika ia pun rubuh dan semuanya menjadi gelap. Semenjak itu Sara menghilang entah kemana.

Sara..! Sara..! Dimana kau?



***

Hmm..minggu yang cerah. Hari ini aku bangun lebih pagi karena telah berjanji pada Sara untuk lari pagi ke taman. Sara, gadis berkulit putih dan bermata sipit, pindahan dari kota Pekanbaru. Sehari-hari sepulang sekolah ia membantu ayahnya berjualan di pasar. Gadis manis yang ramah pada siapapun dan tak pernah memilih dan membeda-bedakan teman. Sara adalah satu-satunya orang yang mau bersahabat denganku. Selama ini aku selalu dijauhi karena kondisi fisikku yang kurang sempurna. Kaki kiriku mengalami gangguan sejak kecil sehingga aku berjalan pincang. Namun hal itu tidak menjadikan Sara menjauhiku. Bahkan dia selalu ceria jika bertemu denganku, begitu juga pagi ini.

“Hai cengeng!” Begitu dia selalu menyapaku. “Hai juga Amoy! Jawabku nakal sambil menggodanya.

65

Sara hanya memanyunkan mulutnya. Dia paling tidak suka dipanggil Amoy, karena menurutnya nama itu menjadi satu hal yang menunjukkan perbedaan diantara mereka. Ya, Sara memang keturunan Tionghoa namun ia sudah lahir di Indonesia, dan ia merasa ia adalah orang Indonesia seutuhnya. Jadi ia tidak suka jika dipanggil Amoy. “Jangan manyun gitu dong!” kataku sambil tertawa. “Jangan panggil nama itu lagi! katanya. “Iya, maaf! “Jadi gak nih lari paginya? Kok jadi ngobrol sih?” Sara mulai kesal. “Iya..iya..ni da siap kok. Berangkaaat…!! Aku menarik tangannya. Kami mulai menyusuri jalan-jalan desa kami yang masih lengang. Kegiatan pagi belum begitu ramai. Hanya beberapa ibuibu yang mulai membersihkan halaman rumahnya. “Selamat pagi, Bu Sarni! Waah, pagi-pagi sudah mulai beres-beres nih?” sapa Sara ramah. “Pagi neng Sara! Iya nih mumpung anak-anak belum pada bangun, jadi bisa menyelesaikan pekerjaan rumah. Mari, mampir neng! “Makasih, Bu! Sara mau lari pagi dulu sama Tya. “Oh ya sudah. Hati-hati ya neng! “Iya, Bu. Marii..! Kami melanjutkan lari pagi sampai ke taman. Di taman orang-orang sudah ramai dengan kegiatan masing-masing. Kami pun mulai mengitari taman sambil bersenda gurau tanpa peduli orang-orang sekitar sering memandang kearah kakiku sambil tersenyum mengejek. Aku mulai menunduk. Sara juga memperhatikan hal itu, namun ia langsung menguatkan aku. Aku pun kembali mendongakkan kepala dan merasa sok kuat. 66

Setelah lebih setengah jam berlari aku mulai kelelahan. Sara mengajak beristirahat, kemudian ia membelikan aku minuman. Di samping kami juga duduk seorang kakek tua yang sedang membaca koran lokal. Dan berita utama hari ini adalah tentang pembakaran rumah-rumah warga keturunan Tionghoa di sejumlah daerah di Indonesia. Sara yang tadinya ceria tiba-tiba muram. “Sara, kamu gak papa?” tanyaku. “Gak papa Tya, aku Cuma merasa takut kalau berita di koran itu terjadi di desa kita. Aku sudah capek harus berpindahpindah terus hanya karena hal yang sama. “Maksudmu?’ “Kenapa orang-orang tidak pernah menganggap kami saudara? Apa karena kami keturunan Tionghoa? Kami sudah lahir di Indonesia Tya, bahkan kakek nenek kami pun sudah lahir di sini.” Sara mulai menangis. “Tenanglah, Sara! Itu tidak akan terjadi di desa kita. Itu hanyalah perbuatan segelintir orang yang belum paham indahnya kedamaian, nikmatnya persaudaraan. Toh di sini masih banyak orang-orang yang mementingkan persaudaran Sara”. “Tapi mana buktinya? Ketika seseorang mulai merusak rumah-rumah kami maka semua warga akan ikut merusakinya. Mana orang-orang Indonesia yang katanya tidak membeda-bedakan SARA dalam kehidupannya. Mana Tya?” emosi Sara kembali naik. Aku tak bisa menjawab pertanyaan Sara. Aku hanya diam, membiarkan Sara menurunkan emosinya sendiri. Setelah beberapa saat terdiam, tiba-tiba Sara berbicara. “Maafkan aku, Tya. Aku tidak bisa menahan emosiku jika membicarakan hal ini. Aku hanya tidak terima dengan perlakuan orang-orang pada kami. Aku cuma ingin orang-orang memandang kami tidak sebagi musuh. Kami juga orang Indonesia Tya, hanya saja kami keturunan Tionghoa. Tapi kami juga butuh kedamaian.” “Aku mengerti Sara. Mungkin juga orangtuamu sengaja 67

memberimu nama Sara agar orang-orang selalu ingat bahwa kita orang Indonesia tidak pernah membeda-bedakan SARA. “Entahlah Tya. Saat ini aku hanya ingin kejadian tiga tahun lalu tidak terjadi lagi. Kejadian dimana aku harus kehilangan ibuku karena terjebak di dalam rumah yang dibakar oleh warga kampung. Saat itu aku baru saja pulang sekolah. Aku tidak bisa berbuat apaapa. Aku hanya bisa menangis karena saat itu tubuhku langsung diseret pamanku agar aku tidak menjadi luapan emosi warga. “Ayahmu?” “Saat itu ayahku masih bekerja hingga ia tidak menjadi korban. Ayah langsung menyusul ke temapat dimana aku dititipkan pamanku. Setelah keadaan mulai aman aku dan ayahku kembali melihat rumah kami. Ternyata rumah itu sudah habis terbakar. Tak ada lagi yang tersisa. Ayahku mengajakku pindah. Itulah alasan mengapa aku bisa sampai ke desa ini. Aah, sudahlah aku tak mau mengingat kehadian itu lagi.” “Maaf karena membuatmu sedih.” “Tidak apa-apa Tya. Sudahlah, ayuk kita pulang.” Hari sudah mulai terang. Setelah menceritakan kejadian tersebut Sara lebih banyak diam. Aku pun tak berani mengajaknya bicara. Ketika sampai di ujung jalan rumah kami, terlihat Bu Sarni berlari-lari memanggil Sara. “Sara..! Sara..! “Ada apa, Bu?” “Cepat kau pulang, rumahmu sedang diserang warga kampung. “Apa? tapi ayah tidak apa-apa kan, Bu?” “Ibu juga tidak tahu nak. Tadi Ibu lihat warga sudah mulai melempari rumah kamu. Cepatlah kau lihat. Ibu takut terjadi apaapa pada ayahmu.” Sara langsung berlari menuju rumahnya. Namun terlambat,, rumahnya telah dibakar oleh warga kampung. Sara 68

berteriak histeris. Ia merusaha menerobos rumahnya, namun aku menahannya. Sara hanya bisa menangis dan berteriak memanggil ayahnya. Kejadian tiga tahun yang lalu pun terulang kembali di tempat yang berbeda. Tiba-tiba, aakh...! Terdengar jeritan dari rumah Sara yang telah dibakar warga kampung. Makian yang terlontar dari mulut warga semakin memanaskan suasana siang itu. Seorang lelaki tua terlihat berusaha menyelamatkan diri dari rumah naas itu. Namun malang, sebuah broti ambruk dan menimpa kepalanya. Seketika ia pun rubuh dan semuanya menjadi gelap. Semenjak itu Sara menghilang entah kemana.

Sara..! Sara..! Dimana kau?

69

SAMPAH

Enna Amalia Nurani Ritonga

“Tut.. tut.. butut…” Seperti itulah setiap hari bapak setengah baya itu berteriak, berlalu dari depan rumahku. Ah, itu jika matahari mulai pas bertengger di atas kepala. Sedangkan sewaktu matahari mulai beranjak dari peraduannya maka saat itu pulalah ayahku akan melakukan hal yang sama dengan bapak tadi. Mengayuh sepeda dari gang ke gang, mengaharap dengan sangat kepada setiap penghuni rumah untuk mengeluarkan sampah dari rumahnya. Ya... kamu benar, ayahku seorang tukang sampah. Sedangkan emak? Aku rasa emak punya pekerjaan yang tidak jauh beda dengan ayah. Tiap pagi emak pasti ada di pajak sore sebelum simpang Tuasan itu, sesaat setelah ayam mensyukuri nikmat pagi, emak membawa ember sampahnya. Dan tahukah kamu apa yang emak lakukan di sana? Betul! Emak akan tersenyum menyambut ibu-ibu atau anak kos yang mengantar sampah tepat di depan tempat jual buah dan sayur, tepatnya di seberang jalan. Kepergian mereka akan membuat emak dengan tidak segan mengotak-atik sampah tersebut, memisahkan plastik-plastik dari yang lainnya. Plastik itulah yang kemudian akan dibawa emak ke rumah. Oh ya, kembali ke ayahku. Jika keranjang sampah ayah sudah penuh maka dengan senang hati ayah akan mengantar sampah tersebut ke pajak bengkok meskipun air sebiji jagung berlarian dari sekujur tubuhnya. Setelah itu, ayah akan pulang ke rumah.

70

Pekerjaan kami selanjutnya membersihkan plastik-plastik hasil kerja keras emak atau plastik-plastik yang tekadang dibawa ayah dari pajak sore. Setelah itu kami akan menjemurnya di belakang pekarang rumah reot kami. Maka jangan heran dengan kondisiku. Inilah aku. Inilah ayahku. Inilah emakku. Inilah rumahku. Semua tidak terlepas dari sampah.

***

Jam segini ini ayah tidak kunjung pulang. Ibu juga seperti itu. Aku hanya diam di rumah sampah kami seraya memandangi plastik-plastik sampah yang sudah siap dijual. Kata ayah plastik itu nanti akan di daur ulang menjadi plastik yang baru. Aku tidak tahu menahu mengenai hal itu. Yang aku tahu dari keseharianku hanyalah bagaimana biar kami mendapatkan uang dari plastikplastik tersebut untuk biaya hidup kami. Aku juga pernah mendengar bahwa kata orang sampahsampah jika dibakar, asapnya lama kelamaan akan menggumpal di awan dan akan mengakibatkan pemanasan global. Orang sekolah keguruan di sekitar Tuasan itu bilang global warming. Dan juga mereka bilang itulah salah satu penyebab mengapa setiap harinya akhir-akhir ini panas. Bahkan panas sekali. Dan yang lebih parah, malam hari tidur serasa di neraka, panasnya minta ampun. Oh ya, aku hampir lupa mengenalkan diri. Namaku Ihsan. Ayah bilang artinya baik. Ah, semoga saja aku benar-benar orang baik. “Nama itu do’a”, kata ayah dulu. Jadi, agar aku selalu didoakan baik oleh orang lain makanya ayah memberiku nama Ihsan.

“Lho koq termenung?”, tiba-tiba emak mengejutkanku.



Aku berbalik. Tersenyum sesaat lalu membantu emak 71

membawa ember sampah ke dapur. “Ayahmu belum pulang ya?” “Belum Mak”, jawabku sekenanya. “Ada apa ya? Koq lama? Gak biasanya ayah seperti ini” ujar emak sambil mengikutiku. “Entahlah Mak”, balasku. Tidak lama setelah aku membersihkan plastik dan emak mengumpulkan plastik yang sudah kering, ayah pun datang dengan kereta dan keranjang sampahnya. “Koq lama Yah”, sambutku dengan pertanyaan. “Tadi kami disuruh membersihkan seluruh daerah pajak bengkok. Katanya mau ada lomba kota terbersih”, jawab ayah seraya beranjak ke dapur. Ayah mengintip tudung nasi. Kosong. Maklum kami belum jual plastik dari kemarin, jadi belum bisa beli beras. “Lomba kota terbersih Yah?”, tanyaku mengalihkan perhatian ayah dari tudung nasi. “Iya, dulu pernah kota Medan menjadi kota terbersih. Sekarang ada lomba lagi. Jadi petinggi-petinggi pemerintahan itu meminta agar sampah yang ada di situ dibersihkan. Mungkin itulah yang ingin diraih kembali oleh pemerintah”, papar ayah panjang lebar. “Oo...”, mulutku bulat.

***

Aku harus lebih awal bangun dari sebelumnya karena pagi ini aku harus menemani emak ke pajak sore. Emak gak kuat lagi sendirian. Akhir-akhir ini emak sering sakit. Sepulang dari situ aku akan membersihkan plastik sampah lalu menjemurnya. Setelah itu aku akan meraih plastik besar yang biasa aku gunakan untuk 72

menampung botol-botol aqua di sekolah keguruan yang aku bilang tadi. Setelah itu pula aku akan pulang ke gubukku di pasar III kota Medan ini, tuk mengumpulkan plastik-plastik yang sudah kering lalu menjualnya. Pekerjaan itu memang biasa bagiku, tapi mungkin tidak biasa bagi anak seusiaku. Oh ya, umurku 9 tahun. Aku tidak pernah mengecap yang namanya sekolah, meskipun ayah bilang bahwa ayah mendengar di dekat warung pasar disebutkan akan ada sekolah gratis yang diberitahukan dari TV. Tapi emak selalu diam jika ayah berkata seperti itu. Sekolah memang gratis, mungkin! Tapi bagaimana dengan seragamku? Tasku? Sepatuku? Untuk makan saja susah, gimana mau beli sepatu, tas,dan baju seragam?

“Huh ...”, aku menghembuskan nafas kuat-kuat.



Aku memasuki gubuk kami setelah pulang menjual plastik.



“Uhuk ... uhuk ... uhuk ...”

Suara batuk emak terdengat ketika aku berjalan ke dapur. Sudah lebih sebulan emak batuk-batuk. Akhir-akhir ini sepertinya tambah parah. Sering aku lihat emak memegang dadanya ketika batuk berkepanjangan.

“Ah … kasihan emak”, lirihku dalam hati.



***

Hari ini lebih dari setahun emak ditemani batuk itu. Ke mana emak pergi maka ke situ pulalah batuk akan menemani. Batuk itu memang sudah terlalu setia menurutku. Aku sudah beberapa kali ingin mencoba mencari obat buat emak. Tapi lagi-lagi aku berhadapan dengan uang. Setahun lebih aku mencoba menabung di rumah dan aku sebut itu celengan. Aku mengumpulkan tiap 73

lempeng yang diberikan sehabis aku menjual botol-botol aqua bekas yang aku pungut. Aku mengumpulkan, mengumpulkan, dan terus mengumpulkannya. Ah ...aku hanya bisa berharap moga Tuhan berkenan menambahi celenganku. Dan hari ini aku mencoba melangkahkan kaki ke apotek tuasan yang aku anggap lebih hebat dari warung yang menjual obat.

“Biar emak cepat sembuh”, batinku berharap.

Aku sudah tidak tahan melihat emak batuk-batuk. Bahkan tengah malam pun batuk emak menembus kesunyian, mengganggu orang yang tidur, membuat tidak tenang orang yang sedang berdua dengan Tuhannya. Aku membawa sejumlah uang dari celengan kaleng yang aku bongkar tadi. Hari ini aku akan mencoba menjadi pahlawan buat emakku. Mencoba membalas jasa emak yang dulu telah mengandung dan melahirkanku. “Ada obat batuk Bu?” tanyaku agak menekan suara. “Ada!” jawab ibu setengah baya agak ketus.. “Tapi emakku sudah lama gak sembuh batuknya Bu. Sudah lebih dari setahun”, paparku lugu. “Lebih setahun? Koq lama kali? Gak diobati?”, tanyanya bertubi-tubi. “Iya. Kami gak ada uang Bu... “, jawabku, tanpa terasa ada yang dingin di pipiku. Dia melihat aku dari atas ke bawah. Mungkin dia ingin memastikan perkataanku. “Hm... sebaiknya kamu bawa ke klinik saja. Mungkin di sana bisa lebih baik diobati. Karena sakit emakmu sudah parah menurut saya”, ucapnya sambil berlalu.

74

Aku pun akhirnya membalikkan tubuhku. Aku masih ingat tatapan matanya tadi. Mungkin obatnya terlalu mahal. Uang celenganku gak cukup. Sehingga ia dengan lembut mengusirku. Atau mungkin dia benar, sakit emakku sudah parah, dan aku harus ke klinik. Tapi, apa uangku cukup? Ke apotek yang aku anggap hebat saja sudah seperti ini. Konon lagi ke klinik?

“Ah ... tidak! Aku harus tetap mencoba”, ujarku semangat.

Aku melewati jalan dengan dua kakiku di tengah panas dan debu di bulan Mei ini. Kembali suara batuk emak terngiang di telingaku. “Aku harus bisa membawa obat untuk emak!” lirihku sambil mengepalkan tangan dan gigi menyatu.

***

Satu jam lamanya kami menunggu. Tak jua ada panggilan untuk kami atas nama emakku. Kami tetap berdiam diri. Sesekali batuk emak membuat riuh ruang tunggu. Tapi, aku heran, kenapa sejak tadi kami tidak dipanggil? Padahal ibu-ibu yang tadi duduk disamping emak baru datang langsung dipanggil. Apa karena kami miskin ya? Apa karena baju kami kumal seperti sampah? Atau memang seperti ini suasana sewaktu berobat di klinik? Karena seumur hidup aku baru pertama sekali ke klinik. Atau mungkin ibu itu sibuk dengan urusannya dan mesti cepat pulang. Tapi, kami juga harus cepat pulang, karena aku harus membersihkan plastikplastik sampah, menjemur, dan menjual yang kemarin. Belum lagi harus membantu emak di dapur. “Ah... sudahlah! Mending kutunggu saja. Emak juga gak kelihatan marah koq kami lama menunggu, meski dalam hati emak aku tidak tahu bagaimana”, batinku menghibur diri.

75

“Ada yang bisa dibantu?” tanya wanita berseragam putih itu. Setelah kami masuk ruangannya. Emak kemudian memaparkan sakit yang ia derita. Sebenarnya emak gak mau aku ajak. Tapi karena ‘dipaksa’ ayah, emak akhirnya mau juga. Dengan bermodalkan celenganku dan gaji ayah yang tak seberapa kami melangkah ke klinik ini. “Ibu mengidap penyakit Stapilococus Aeropus”, ucap dokter setelah emak selesai memaparkan semuanya. Aku menatap wajah emak. Emak hanya diam. “Penyakit tersebut akibat ibu membiarkan batuk bersarang di tubuh. Karena tidak diobati, virus-virus yang bersarang dalam tenggorokan, yang tidak bisa lepas keluar akhirnya menyebar ke seluruh tubuh. Virus tersebut membuat tulang ibu rapuh. Andai ibu tidak membiarkannya, mungkin tidak akan separah ini.” papar dokter. “Ini resepnya. Silakan ibu beli ke apotek terdekat, di ujung gang ini”, tambah dokter tersebut. “Oh ya, ibu juga tidak boleh terlalu banyak bekerja keras, sebaiknya ibu diam saja di rumah. Tidak boleh banyak berpikir, dan makan teratur”, paparnya tuk kesekian kalinya. Aku hanya diam. Emak mengambil resep lalu mengucapkan terimakasih. Kami pun berlalu setelah Emak menunjukkan kartu miskin kami.

Di tengah jalan menuju apotek, aku berujar dalam hati.

“Oh … Tuhan, begitu parahkah penyakit emakku? Sampaisampai emak mengidap penyakit yang aku anggap penyakit orang kaya. Bagaimana emak tidak memikirkan kehidupan kami? Bagaimana mungkin kami akan membeli obat mahal yang tertera di kertas itu sedangkan makan teratur saja kami susah? Bagaimana mungkin emak tidak boleh bekerja keras dan harus berdiam diri di 76

rumah? Dimanakah letak kekuasaan-Mu Tuhan?”, tanyaku retoris. “Tuhan… aku sadar kalau aku hanyalah manusia lemah pembuat skenario ulung dari sebuah episode kehidupan. Aku sadar sutradara yang berhak menentukan lakon yang akan dimainkan dalam sandiwara dunia adalah Engkau. Aku sadar kalau aku hanyalah sebutir debu di padang pasir. Aku sadar kalau aku hanyalah sebutir partikel diantara partikel lainnya yang akan hancur lebur lalu digantikan oleh partikel yang baru. Aku sadar Tuhan… kalau aku hanyalah plankton yang hidup di bawah air diantara ribuan plankton lainnya lalu membusuk, mati, dan digantikan partikel lainnya. Aku juga sadar wahai Tuhan Yang Maha Agung kalau aku hanyalah serpihan tulang yang berserakan yang tersusun menjadi suatu rangka. Aku tidak punya kekuatan apa pun untuk menentang atas apa yang Engkau tetapkan kepadaku. Aku ridho Tuhan…. Hamba yakin Dikau pasti memberikan yang terbaik buat hamba-Mu”, aku masih ingat kata-kata yang kudengar di kos yang aku lewati kemarin. Kata-kata yang sangat tepat untuk kondisiku saat ini.

Salsabila,24 Mei 2009 *Cerpen ini mendapat juara I Lomba Cipta Cerpen yang diadakan oleh Kreatif tahun 2009

77

AMUK GELOMBANG Irma Yanti Nasution

Sudah lima tahun, belum juga aku bisa melupakanmu. Belum bisa melupakan kenangn kita. Aku benci Gempa dan air bah itu.

***

Saat itu suamiku, Mas Bayu dimutasikan ke kantor lamanya, tepat dua bulan pernikahan kami. Dimutasi ke daerah yang penduduknya ramah, sangat tenang, hanya suara debur ombak yang memecah kesunyian.

***

Minggu, Fajar hari itu, berubah tegang. Kegaduhan di mana-mana. Bumi seperti diskotik membuat setiap pelangganya menari-nari, terlempar ke sana-ke mari. “Kok goyang rumah kita, Mas?” Tanyaku pada suamiku setelah selesai shalat subuh. “Gempa ini, Dik?” Mas Bayu langsung mengajak ke luar. Tetangga sekitar rumahku pun ku lihat sudah duduk di tanah, berdiam diri menunggu guncangan gempa berhenti. Guncangan yang membuat perasaanku berkecamuk dan gelisah.

“Wih pante surut, gule-gule mugerepel. Hore…panen gule.”

78

Teriak seorang penduduk dari arah pantai setelah gempa berhenti berguncang. Penduduk mengatakan air pantai menyusut dan ikan-ikan banyak yang terdampar. Aku dan suamiku langsung ke pantai. Letaknya tak jauh dari rumah dinas kami. Ternyata benar apa yang dikatakan oleh penduduk. Saat kami ke pantai, ikan-ikan di sana banyak terdampar, air pantai menyusut. Raut wajah nelayan pantai cerah seketika, mereka beranggapan bahwa ini rezeki buat mereka karena tak bersusah payah ke laut. Cukup dengan mengutip ikan yang menggelepar di bibir pantai itu. Tentunya aku dan Mas Bayu tidak ikut-ikutan mengutip ikan seperti mereka. Kami anggap itu memang rezeki buat mereka. “Ya..Allah,” ucap suamiku yang memandang ke arah laut. Aku pun memandangi apa yang dilihatnya. “Lailahaillallah..” “Ayo, Dek! Kita lari dari sini!” Mas Bayu menarik tanganku dan menjauhi pantai. Aku menyaksikannya, aku mendengar suara itu. Dari kejauhan gelombang itu seolah ingin menghajar kami. “Musangka! banjir enggeh,” ucap seluruh penduduk yang tadinya hendak mengutip ikan yang terdampar. Gelombang yang mendekat itu, menyurutkan niat penduduk mengutip ikan. Nelayan yang ada di bibir pantai pontangpanting berlarian sambil membawa keranjang ikan. Meski sekuat tenaga lari, tetap tak berguna. Gelombang itu lebih dulu mendekap dan menenggelamkan tubuh mereka. Gelombang itu menghajar daratan. Masyaallah! Kami seolah di kejar oleh segerombolan pembunuh. Mas Bayu membawaku ke kantor dinasnya. Tempat yang lumayan tinggi, berharap air tak sampai ke tempat itu. Ternyata saat kami tiba, sudah banyak orang berlindung di- sana. Semua 79

anak-anak menjerit ketakutan sambil mendekap tubuh ibunya. “Kite gere pas selamae isien,” ucap seorang ibu sambil menitihkan air mata di susul oleh jerit tangis anaknya. Ibu itu mengatakan kalau kami tidak bisa selamanya berlindung di bangunan kantor itu. Mas Bayu terus memelukku erat. Air berkejar-kejaran menuju kantor dan akhirnya menghantam bangunan itu juga. Semua ruangan penuh air tak terkecuali lantai dua yang diharapkan bisa sebagai tempat berlindung. Kami terkepung. Mas Bayu terpaksa menjebol asbes kantor yang berlapis kaca supaya kami bisa ke luar dan berlindung diatapnya. Ya Allah, suamiku terluka. Asbes kaca itu mengenai tangannya. Aku takut. Tapi sepertinya ia tak mengkhawatirkannya. Dia tetap melindungiku dari kepungan air. Air pun terlampau tinggi. Atap tak lagi jadi perlindungan kami. Tubuh kami terbawa arus sampai pada pohon kelapa. Seorang kakek tua yang membawa kami ke- pohon itu dan sekejap setelah menyelamatkan kami, kakek tua itu, raib. Dalam kebingungan, aku masih sempat berfikir kalau kakek tua itu seorang malaikat yang menyamar. Dari pucuk pohon itulah kami lihat semuanya seperti lautan. Orang-orang hanyut dan sebagian lagi tak bernyawa. Kami tetap berlindung di pucuk pohon sampai air mulai surut. Air menyusut, kami sambangi rumah penduduk yang tak lagi berpenghuni. Kebetulan teman satu kantor Mas Bayu juga menghampiri tempat itu. Wajah mereka pucat. Kemungkinan gambaran wajah mereka saat itu, mirip dengan keadaan kami. Letih, takut seolah hari itu kiamat. Aku melihat Mas Bayu berkeringat. Goresan dari lukanya tadi, melebar. Ia tampak gelisah. Ia bilang ingin buang air besar. 80

Aku mencoba menyuruhnya tahan, karena keadaan saat itu tidak memungkinkan. Seluruh air mati. “Mas nggak tahan lagi, Dek. Mas mau beol.” “Tahan, Mas. Di sini nggak ada air atau pakai kain aja bersihkannya, Mas?” “Nggak apa-apa, Dek.” Ku robek langsung separuh rok yang ku pakai buat pengganti air untuk Mas Bayu beol. Mas Bayu duduk setelah buang air besar. Apakah mungkin itu pertanda. Wajahnya lebih pucat. Ku hapus keringat di dahinya. Ia pegang erat tanganku. Mas Bayu tertidur. Ku panggil namanya, tapi ia tak menyahut. Aku menjerit, hingga temannya menghampiriku sambil memperhatikan keadaan Mas Bayu. “Sabar! Bayu udah nggak ada lagi,” Ucap seorang temannya. Aku hanya diam. Mana ku percaya kalau Mas Bayuku sudah meninggal. Kedua temannya menyuruhku sadar dan segera menguburkan Mas Bayu bersama dengan jenazah yang lainnya. Aku memohon pada penggali itu agar menempatkan kuburan Mas Bayu sendiri tapi Ia menolak karena masih banyak mayat yang belum dikuburkan.

Selasa, Dua hari aku berdiam diri di rumah itu. Hanya diam, meneteskan air mata dan sesekali melihat kuburan masal dengan Mas Bayu di dalamnya. Setelah beberapa hari dengan keadaan yang tak jelas, akhirnya teman-teman Mas Bayu mendapat tumpangan pesawat kecil meski dengan bayaran tinggi. Mereka bersikeras ke luar dari tempat itu, sambil mengajakku.

Allah masih memperkenankanku hidup. Bersama teman 81

Mas Bayu, aku tiba di kota kelahiranku. Mereka mengantar ke rumah orang tua suamiku. Aku tergolek saja di sana. Keluarga iba melihatku. Entah sadar atau tidak, aku menceritakan kejadian buruk yang menimpa kami. Mereka menangis. Gelombang itu memisahkan aku dari Mas Bayu. Tak ada kenangan yang bisa ku simpan. Tak ada titipannya pula di rahim ini. Ku panggil namanya. Ku tutup mataku lalu ku lihat wajahnya tersenyum.

Medan, Mei 2009

Catatan: ----------------------------------------------------------------------Wih pante surut gule-gule mugerepe: ikan Hore…panen gule Musangka! banjir enggeh Laillahaillalah Kite gere pas selamae isien Beol

: Air pantai surut : Ikan menggelepar : Hore…panen ikan : Lari! Banjir dating : Tiada Tuhan selain Allah : Kita nggak bisa selamanya di sini : Buang Air Besar

82

BADAI DI PINGGIR JALAN BULAN DI TEPI JURANG Rudi Hartono Saragih

Malam jatuh. Bulan membulat sempurna, sedang lipatanlipatan awan yang semula terperangkap gelap mulai berbalut bias purnama. Kupandangi perjalanan malam, sejujurnya bukan hanya jejak-jejak hening yang kudapati. Tetapi juga lamunan yang teramat panjang. Siluet-siluet penghidupan membentang dalam pikiranku. Betapa tidak, saat ini berpuluh pengalaman hidup sedang bergumul dalam otakku. Ya, sudah sejak kemarin bahkan kemarin lalu pengembaraan hidup dan kehidupan mengajakku menyusuri belantara suka dan duka. Aku pernah menyibak kebahagiaan. Dulu, bahkan dulu sekali, aku sempat mencecap manisnya menjadi putra sulung. Saat ayahku masih mampu mencari nafkah, segala kebutuhanku terpenuhi. Sebelum ayah mengalami kecelakaan mobil yang membuatnya lumpuh, sedang ibu jauh lebih mengenaskan, aku hanya bisa melihat jasadnya berlumuran darah. Semenjak itu, aku baru mengerti bahwa menjadi putra sulung merupakan tanggung jawab yang teramat besar. Sejujurnya, jika harus berkata jujur, tak ada lagi yang dapat kubanggakan dalam keluargaku selain harga diri. Ya, harta benda kami telah terkuras untuk biaya perobatan ayah, itupun belum cukup. Pada akhirnya yang tersisa hanyalah sepetak rumah yang menampung empat kepala. Namun, walau tinggal sepetak rumah, aku tak akan menjualnya demi cita-citaku. Ya, aku memang masih sekolah, aku bermimpi menjadi sarjana. Bahkan aku juga bermimpi mengantarkan ke dua adikku meraih mimpinya. Sebab bagi tekadku miskin bukanlah halangan, ketidakmauan dan ketidakberanian menakklukkan dunia itulah miskin yang sebenarnya. Selama ini, untuk menjaga sejengkal perut kami agar tidak 83

keroncongan, aku dan kedua adikku berkerja. Ya, sebenarnya aku tak tega melihat Lince dan Atma memeras keringat demi mengais rupiah, aku tak tega melihat keduanya beriringan mengumpulkan botol-botol bekas, tetapi jika mengandalkan recehan yang kudapatkan dari mengamen, maka sudah pasti tak akan cukup. Beruntung, untuk biaya sekolah aku mendapatkan beasiswa dari pemerintah. Sedang Lince memperoleh dana santunan dari pihak sekolah.

***

Malam semakin jatuh. Bulan membulat, namun terlihat pucat di mataku. Kulihat ayah tidur dipeluk Atma. Ah, si bungsu yang malang. Tak seharusnya kau cecap air mata kesedihan, tetapi inilah adanya. Di usia enam tahun kau harus memikul tanggung jawab keluarga. Pada cekung matanya, kulihat palung penghidupan mendalami bola matanya. Mata yang indah. Di mata adikku bukan hanya kudapati tatap mata kekanak-kanakan, tetapi juga tajamnya kedewasaan mendalami mata air airmata kehidupan. Kualihkan pandanganku pada sosok Lince, kali ini aku tersenyum, ada satu warisan ibu yang melekat dalam dirinya. Rambut ikalnya. Aku ingat betul, geraian rambut ibu serupa mayang. Hitam dan lembut. Ah, sedang apa ibu kini di surga? “Ibu, sudahkah ibu tertidur malam ini di surga? Apakah Tuhan mendongeng cerita untuk ibu sebelum ibu tidur seperti yang ibu lakukan pada kami?” Perlahan airmataku membulir. Pecah dan melandai di pipi. Pada akhirnya aku coba beranjak dari jendela setelah menutupnya, kurebahkan tubuhku di atas tikar. Sebab ranjang kami hanya mampu menampung tiga orang saja.

***

84

Minggu pagi merupakan hari yang kunantikan, sebab aku bisa seharian mencurahkan pikiran memenuhi kantong plastikku dengan recehan. Namun, sebelum aku berangkat tiba-tiba ayah memanggilku. Suaranya parau, wajahnya pucat. “Kau tahu mengapa ayah menamaimu Badai?” Aku menggeleng. “Ayah ingin kau mampu memporak-porandakan kelemahanmu menjadi pusaran semangat bagi keluarga kita” Aku hanya menunduk. Diam. “Apa kau mengerti apa yang ayah maksudkan?” Aku semakin menunduk. Diam. “Bicaralah” “Ya Ayah. Badai mengerti, karena itulah Badai diam. Sebab untuk mewujudkan harapan ayah maka Badai harus berbuat, bukan hanya berkata” “Ayah bangga padamu” Entahlah, aku sendiri belum yakin dengan perkataanku, tetapi demi menumbuhkan semangat ayah maka aku harus mengatakannya. “Adikmu mana?” “Lagi ke warung yah” “Ngutang lagi?” Aku hanya mampu mengangguk. “Maafkan Ayah, tak seharusnya kalian mengalami semua ini” Aku tak mampu membalas ucapan ayah, yang dapat kulakukan hanya menggenggam jemari ayah. Keharuan menyeruak dalam dadaku. Beruntung tak lama berselang Lince dan Atma datang. Pagi ini kami berhutang dua mug beras, dan dua ikat sayur bayam untuk sarapan.

***

85

Di persimpangan jalan aku berpisah dengan ke dua adikku. Mengais nasib. Di lampu merah kumainkan alat musikku, yang terbuat dari tutup-tutup botol bekas yang dipipihkan. Dengan semangat kusenandungkan lagu kebangsaan anak jalanan.

Ngamen di pinggir jalan Konser lewat nyanyian Sekedar untuk cari makan tuan Dan sisanya buat bayar sekolahan

Daripada maling ayam Dipukuli, tiga bulan tahanan Lebih baik aku mengamen tuan Dalam hati aku tersenyum, saat sorot mataku menangkap beberapa lembar uang ribuan masuk keplastik yang kusodorkan. Saat matahari tepat mengarah ke ubun-ubun, kujumpai adikadikku di tempat yang telah kami janjikan. Di perempatan jalan, kulihat adikku melambaikan tangannya. “Bagaimana hasil kalian hari ini?” “Lumayan bang, baru saja kami jual rongsokan yang kami dapat, dihargai tiga ribu enam ratus rupiah” Aku tersenyum miris. “Kalau abang?” Kuambil kantong plastikku, kukeluarkan recehan yang kudapat. Lumayan, aku dapat empat ribu tujuh ratus rupiah. Segera saja kuserahkan uang itu pada adikku. “Nah, pulanglah, siapkan makan ayah. Nanti abang menyusul”

***

Kuiringi langkah adikku dengan ekor mataku yang menatapnya tanpa henti, sampai menghilang ditikungan jalan. 86

Kini, aku harus melanjutkan menggurat nasibku. Aku harus mendapatkan tambahan uang. Sebab aku ingin membeli buku tulis baru. Ya, bukuku habis, aku tak mungkin memintanya dari ayah. Maka aku harus mencari sendiri, mungkin sepenggal hari ini aku bisa mendapatkan uang untuk membelinya. Aku lanjutkan nada-nada sumbangku di lampu merah, sepertinya Tuhan memberi jalan padaku. Saat kusenandungkan alunan lagu didekat mobil sedan, tiba-tiba pintu terkuak. Mataku seakan terlontar saat kulihat selembar uang limapuluh ribuan masuk dalam kantong plastikku. Ah, Tuhan telah menurunkan malaikat bagiku. Dengan uang ini aku bisa membeli buku dan mencicil hutang di warung. Dengan penuh semangat aku menyelesaikan bait laguku, sampai-sampai aku tak sadar lampu hijau telah menyala. Buru-buru aku melangkah ketepi jalan, namun tiba-tiba datang sepeda motor menghantam tubuhku. Aku terkapar, kupeluk erat-erat kantong plastikku, sebab dikantong plastikku telah tersimpan mimpiku membeli buku. Namun, aku tak tahan lagi saat semua menjadi gelap, yang kuingat bukan lagi buku, bukan pula hutang yang akan kucicil tetapi aku ingat adikku, almarhumah ibuku dan sepotong pesan ayah yang masih terngiang di telingaku. “Ayah ingin kau mampu memporak-porandakan kelemahanmu menjadi pusaran semangat bagi keluarga kita”

Serambi KOMPAK, 05 Juni 2009

87

SALAHKAH AKU BILA SELINGKUH? Zasi Madana

Awalnya aku menghiraukan pembicaraan mereka, tapi lama-lama ntah kenapa aku jadi merenungkannya. Kata-kata itu selalu hadir, bergaung, seolah memekakkan telingaku. “Jangan sampek kita punya pacar apalagi suami orang Mandailing. Karena orang itu rata-rata peliiit…” Kata pelit diucapkan dengan penekanan yang fasih. Seakan mereka telah memegang fakta dan data yang tidak bisa dipungkiri lagi. Tapi, aku tetap tidak mempercayainya. Hanya karena aliran suku, semuanya diklaim mempunyai sifat yang sama. Buktinya nenekku, bersuku Jawa. Ketika aku masih kecil dulu tak pernah diberinya THR (Tunjangan Hari Raya). Dan kini alasannya karena aku sudah besar. “Iki gae adekmu wae yoo…, kowe ora usah intok, kan wes gedhi.” Ada lagi Oomku, bersuku Madura, hanya karena tidak sengaja aku minum memakai mug lucu kesayangannya, dia mengomel berderet-deret. “Duh, waduh…. Kamu ini gak tau ya…! Mug itu di si kasi dari luar negeri. Rang sekarang kamu ci cuci sampek ga tiga kali. Setelah itu kamu lap elap sampek bersih. Paham sampeyan!”

Huhh, sebell…!

88

najis.

Apa dia pikir bibirku yang menempel di bibir mug itu serasa

Ada lagi sepupuku yang bersuku Sunda. Cuma gara-gara aku ikut juga nonton tv saat semuanya sedang ngumpul diruang tamu, dia bilang begini, “Ih si teteh mah ngapain ningaliken bae tv neneng!” Ya ampuun… mentang-mentang TV-nya baru beli, jadi lebay gitu tingkahnya. Dalam pengalaman lain, ada juga tetanggaku orang Aceh Gayo. Mula peristiwanya ada jamur merang yang tumbuh di samping rumah kami yang bersebelahan. Ibuku mengetahuinya lebih dulu, tetapi lebih baik diambil besok saja agar tambah besar. Tapi keesokan paginya tuh jamur sudah ludes tanpa sisa. Tanpa merasa serakah dan bersalah dengan entengnya pada siangnya tetanggaku itu berkata pada ibuku, “soboh ne anakku ara nengon jamur, i samping ni umah. Renye ku keni we munuwet jamure. Renye bapae niro i sop. Langlangen ike we ara teles mien si lebih dele ku osan ku ko boh.” *) ibuku hanya tersenyum kecil menanggapinya. Versi lain ada lagi adik perempuan ayahku yang menikah dengan orang Minang. Suatu ketika mereka datang kerumahku dengan membawa buah pir berjumlah empat buah. Tahulah mereka bahwa kami sekeluarga hanya empat orang. Alasannya plastik buahnya dijalan bolong. “Ini kami ada saketek oleh-oleh. Tapi tadi rupanya plastiknya cabiak. Jadi buahnyo yang tersiso cuman segini sajo.” Tidak lama mereka sampai ibuku langsung menyuruh makan. Dan mereka makan dengan lahapnya bukan main. Hampir 89

semua lauk di sapu bersih. Mangkok sayurnya pun hanya tinggal kuahnya saja. Dan yang terakhir, terkait pengalamanku akan hal ini adalah tentang guru kesenianku yang bersuku Melayu. Disuruhnya kami membuat kain jendela yang ukurannya sudah ditentukan. Pada hari pengumpulan, kulihat hasil punya teman-temanku bagus-bagus. Ada yang pakai renda. Ada lagi yang sudah memasukkan kawatnya dengan tujuan agar tinggal memasangnya saja. Lambat laun terbongkar juga, ternyata kain jendela kami itu tidak dipergunakan untuk kepentingan sekolah. Ketika kami sedang membeli alat tulis di koperasi yang bersebelahan dengan kantor guru, terdengar percakapan beliau dengan guru geografi yang kebetulan bersuku Melayu juga. “Iko ado kain jendela yang sudakh jadi hasil punyo budakbudak. Bisa tidak iko saya lotakkan di toko ibu?” “Oh, bisa… kebotulan ini kan sudakh mulay dokek rayo. Mudakh-mudakhan banyak owang yang nak carik. Kalau rapi tu hasil penjualannyo untuk saya tiga puluh persen yo bu..” Kami tidak keberatan kain jendela itu mau diapakan, bahkan dijual sekalipun. Yang membuat hati kami mengumpat panjang lebar, karena nilai kesenian kami di rapor paling tinggi 7, dan ratarata hanya mendapat 6,5. padahal terdengar kabar bahwa semua kain jendelanya terjual habis bahkan ada yang memesan lagi. Dan ini yang paling penting kawan. Belum pernah ku jumpai seseorang bersuku Mandailing yang memiliki sifat dan watak seperti itu. Rata-rata semuanya baiiik. Apa katamu kawan? Ya benar sekali! Semua sifat bukan turunan dari integral suku. Tetapi tergantung orangnya masingmasing dan bagaimana pembawaan dirinya dalam menyikapi 90

setiap hal. Ya kan! (jawab dunk…!) Satu contoh kuceritakan padamu tentang teman sebangku ku ini. Dialah Lamria. Didikan orang tua bersuku Mandailing. “Nda, tu dia ho non marmayam? nekkon tu kantin le… oban panganon do au on. Eh,, pambayaran hepeng kasmu madung hu bayari. Nakkenan manyogot i pas di pangido ia. At tong mabia anak jari mi na hona piso natu ari. Adong hu oban ubat betadin dohot plesterna don.” **) Kau dengar itu kawan?! Begitu fair, cair, and sobat banget kan...diriku sudah kenal dengan keluarga bahkan tetanggatetangganya. Semuanya berjalan hangat dan nyaman aja gitu.. Dengan basic inilah aku berani menerima seseorang sebagai the first love ku orang bermarga bersuku Mandailing. Tidak peduli dengan istilah “manipol.” Hubungan kami berjalan baik sampai tiga tahun. Mulai retaknya gara-gara secara tak sengaja aku mendengar pembicaraan mereka, tetapi aku menghiraukannya. Tapi lama-lama ntah kenapa aku jadi merenungkannya. Kata-kata itu selalu hadir, bergeming, seolah memekakkan telingaku. “Sayang….., makasih ya.. pulsanya dah nyampek…” “Baik banget ya si Rio.. perhatian gitu dengan dirimu” “Oh, ya harus lah. Aku kan pacarnya. Kalau dia benar-benar sayang sama ku, tentunya dia bersedia dunk ngisiin pulsaku. Toh habisnya ke dia juga kan.” Di dalam hati tatkala sendiri, aku membenarkan cuplikan dialog yang kudengar kemarin. Sejauh ini aku tak pernah minta diisikan pulsa. Karena aku orangnya gengsi dan terlalu jaga image. Kalau mau makan atau nonton, melihat situasi keuangan yang tidak begitu buruk aku bersikeras untuk bayar sendiri. Atau kami sering ganti-gantian. Tetapi bila aku sedang bokek, aku menolak 91

bila diajak kemana-mana. Tapi soal pulsa, rasanya memang tak berlebih bila aku minta diisikan. Tapi bagaimana cara menyusun kalimatnya? Aku anti bila harus memohon, meminta, mengiba, atau semacamnyalah. Tiba-tiba terbesit ide, kalau aku tidak menghubungi dia beberapa saat, dengan alasan tidak ada pulsa. Ingin melihat apakah hatinya tergerak untuk peduli. Owh,, ternyata aku salah. Dia cuek dan malah menyarankan untuk meminjam hape ortu atau adikku saja. Sungguh ide yang cemerlang!! Kemudian kuputar haluan. Lama aku berdiam diri mencari ide agar ia jadi pemurah kepadaku dalam urusan pulsa. Tibatiba diatas kepalaku ada gambar lampu menyala tanda ide itu muncul, seperti dalam komedi Abdel dan Temon Bukan Superstar. Aku menulis ini, ya tentang ini. Judulnya “Salahkah Aku Bila Selingkuh?” Pendeknya, ceritanya mengisahkan tentang hubungan pasangan teenager yang kemunikasi mereka hampa karena cowoknya tidak tergerak hatinya untuk agak dermawan memberinya pulsa agar komunikasi mereka tetap lancar, harmonis, dan adem ayem. Lama-lama cewek tadi bosan pacarnya tidak berubah-berubah. Tidak akan langsung jadi jamila “jatuh miskin lagi” cuma gara-gara pengeluaran bertambah untuk memberi pulsa kepada belahan jiwa sendiri. Akhirnya dengan sangat disayangkan mereka break sementara karena hal sepele tersebut. Dan cewek itu selingkuh mencari pasangan baru yang tidak peliit. Suatu ketika tulisanku itu secara tidak sengaja, sebenarnya sengaja tetapi aku pura-pura tidak tahu. Dia membacanya dan merasa bahwa tokoh aku dalam cerita itu adalah aku sendiri. Dan tokoh antagonisnya adalah dia. Kemudian dia sadar, dan berubah untuk mentransfer pulsanya kepadaku. Tetapi.... bukannya aku tidak menyukuri nikmat. Aku bersyukur atas perubahan yang terjadi pada 92

dirinya. Alhamdulillah.... bulan ini aku mendapat tambahan pulsa 10 ribu. Merasa tuntutan dari hapeku tidak cukup dengan tambahan sekian, aku menulis lagi dengan judul, “Salahkah Aku Bila Menerima Tawaran Tunangannya?” Dan tahukah engkau, apa yang terjadi pada dirinya kawan? Ada peningkatan! Yaitu 50 ribu/bulan. Aku rasa cukup. Tetapi beberapa hari setelah itu, dia malah minta di transfer ulang 30 ribu dengan alasan ada urusan yang mendadak genting. Kemudian aku menulis lagi. Judulnya, ”Salahkah Aku Bila Menikah dengan Bukan Pacarku?” Dan kali ini denoumentnya kawan! Dia memberi 100 ribu/bulan. Tetapi meminta keterangan apakah kisah dalam cerita itu benar? dengan kata lain sesuai dengan kenyataan! Benarkah aku akan selingkuh?, benarkah aku akan ditunangkan?, benarkan aku akan menikah dengan laki-laki lain?.......... Walau sudah aku jelaskan bahwa semua alur dan tokoh dalam cerita itu hanya rekayasa dan hayalan belaka, dia tetap tidak percaya dan memvonis aku layaknya tersangka yang telah membuat kesalahan besar. Capek dengan semua tudingannya, akhirnya aku benar-benar selingkuh! Dan kini aku merasa have fun dengan selingkuhanku itu. Ternyata, tak selamanya selingkuh itu salah!.

------------------------------------

*) anakku tadi pagi ada melihat jamur di samping rumah. kemudian saya suruh dia mengambilnya. lalu bapaknya minta di bikin sop. kapan-kapan kalau dia ada melihatnya lagi yang lebih banyak, saya kasih ke kamu ya. **) Nda, nanti keluar main mau kemana? tidak usah ke kantin ya… aku bawa bekal lebih. oh, iya uang kasmu hari ini sudah aku bayarkan sekalian nda. tadi pagi-pagi sekali ditagih. terus bagaimana kelingkingmu yang terkena pisau kemarin. aku ada bawa betadine beserta plesternya juga nih.

93

SEONGGOK

KEJUJURAN

Rahmatun Sya’diah

“Pulanglah Bang, Inah rindu. Tidakkah kau lihat atap rumah kita yang tidak sanggup lagi menahan tetesan air hujan, dinding rumah kian lapuk karena lembab, sementara urat kakiku yang membiru menjalar memagari betis yang dahulu setiap malam kau ciumi.” Berulang kali sudah aku menggerutu. Sambil mengipasngipaskan sobekan kertas karton di atas perutku yang terbuka. “Biar semakin besar,” gumamku. Ketika kulihat ia dalam-dalam, tersentuh juga hatiku. Ada aura yang menggerogoti naluriku. Kuelus dengan lembut, seperti terasa olehku kaki dan tangannya bermain dengan lincah, dalam rahim penuh luka. Di rumah inilah aku biasa menggerutu. Rumah aku dan Amin, suamiku. Berjarak dua meter dari bibir pantai. Di sebelah kanan, terdapat parit yang sudah lama tersumbat. Maklumlah, parit dijadikan tempat pembuangan sampah oleh penduduk setempat. Tidak ada yang protes akan hal itu. Bau amis yang menyengat hidung, hilang dimakan angin dan debu yang beterbangan. Semua terasa sama. Tidak ada yang luar biasa. Di sebelah kiri, terdapat bak besar yang diselimuti dinding seng tempat hara alias barang bekas. Aku tidak tahu mengapa orang-orang disekelilingku menyebutnya hara. Mungkin karena hara berarti kara atau barang sejenis plastik yang dapat didaur ulang. Dan yang pastinya, bisa mendapatkan sejumlah uang dari hasil penjualan. Di gubuk reot inilah aku hanyut dalam dosa. Perbuatan yang kata kebanyakan orang bukanlah dosa. Tapi bagiku sama saja. Dosa kecil bila terus menerus ditimbun, akan menjadi gunung.

94

Begitu juga dosa besar. Bila terus-menerus ditindih, maka gunung dosa akan memuntahkan laharnya, hingga membakar raga yang nestapa. Aku penat. Rasa hormat kepada suami ditelan kepanikan pikiran. Teriakan perut, menutup kejernihan pikiran. Kemegahan hati direnggut oleh tuntutan ekonomi. Kelembutan lisan ditutup oleh emosi diri. Ya, Tuhan, aku durhaka kepada suamiku.

***

“Tak lama lagi bayi akan lahir, Bang. Kenapa Abang hanya diam. Tampaknya Abang acuh saja!” “Aku berpikir, Inah. “ Dengan sabar suamiku menjawab omelanku. “Kalau berpikir, kenapa sampai saat ini Abang belum mendapatkan uang. Aku lapar Bang, aku lapar! Abang harus ingat, segenggam nasi yang biasa kau berikan tidak bisa membuat aku kenyang. Sebab aku makan untuk dua orang. Anak kita, anak kita Bang!” Suamiku Amin diam. Sepertinya ia tahu mengapa aku berubah. Matanya yang tajam menatap pasti ke arah perutku. Seperti ada sungai di sekeliling bola matanya. Tapi sungai itu tidak meluap. Ia hanya mengalun dalam pandangan kepastian. Pangling aku saat itu. Hilang kontrol emosiku. Semenjak mengandung, aku jadi lebih sensitif dan cepat marah. “Besok kan ku cari. ” Sambung suamiku. “Aku tak percaya lagi dengan semua ucapanmu. Dari minggu yang lalu, kau hanya bisa katakan besok, besok dan besok! Tapi mana hasilnya?” “Kau tahu kan Inah, aku baru di PHK.” “Itu karena kau terlalu bodoh! Seharusnya kau tak perlu melaporkan kejadian itu kepada Pak Halim, majikanmu. Alangkah 95

baiknya kalau kau ikut menimbun minyak bersama mereka. Sutan, Hardi dan karyawan-karyawan lain. Hasilnya kita pergunakan untuk membeli peralatan bayi.” “Inah, berani kau berkata seperti itu kepada suamimu. Demi Allah Inah, aku sangat menyayangimu dan anak kita. Biar legam kulit ini Inah, biar habis peluh ini, bahkan sampai berakhir nyawa ini, aku tidak akan pernah menafkahi kalian dengan uang yang haram. Aku hanya ingin anak kita besar dengan keluhuran budi. Karena seumur hidup, aku tidak akan pernah menaruh bangkai ke dalam darah dagingku sendiri!” Gubuk kembali sepi. Masing-masing kami hanya bisa menahan emosi di dalam hati.

***

Sampai aku di negeri ini Inah, kutinggalkan engkau sementara. Kulirik Bandung sebagai tempat persinggahanku. Waktu itu, Sutan ketahuan menimbun minyak di Pancuran Bambu Sibolga. Tapi, alangkah pandai ia bersembunyi. Hingga baunya tiada tercium oleh aparat. Ia menjanjikan aku pekerjaan di sebuah perusahaan elektronika. Aku tidak tahu pekerjaan yang bagaimana yang akan kukerjakan. Berat langkahku meninggalkanmu Inah. Meskipun hanya tiga bulan. Aku seperti terhempas dalam ketidakberdayaan, ketika kulangkahkan kaki tanpa sepengetahuanmu. Kau tahu Inah, Bandung kota yang indah. Kata orang, kota ini diberi julukan kota kembang. Ingin rasanya kupetik bunga mawar dan kusisipkan di celah daun telingamu yang mungil. Namun, saat kupejamkan mata, saat kuteguhkan ingin, tak mampu aku menggapai tanganmu. Inah, suasana di pinggir kota tak jauh beda dengan Sibolga. Di sepanjang trotoar, ramai orang berjualan pisang, es, roti dan bermacam-macam buah dan makanan. Toko-toko bunga berbaris 96

rapi seperti angkatan laut yang pernah kita lihat di Pelabuhan Sambas. Ah, Inah, baru seminggu aku di sini, sudah seperti setahun rasanya. Dan semenjak itu pergolakan hidupku dimulai, wahai Inah. Sutan menipuku. Aku yang sebelumnya merasa bangga akan diterima di sebuah perusahaan sebagai asisten menejer informatika merasa yakin, karena keahlianku di bidang komputer, membuat ruhku terasa tertarik. Kalau tidak karena ayah dan ibuku yang tidak merestui kita Inah, tentu gelar sarjanaku akan bermanfaat. Dan kita tidak seperti ini. Berlinang air mataku ketika ingat akan dirimu. Makan apa kau di sana Inah? Jangan sekali-kali kau lalap sisa nasi bungkus yang kau dapat di pinggir pelabuhan yang berasal dari lemparan penumpang melewati kaca kaca jendela KM. Kambuna. Aku akan berusaha sekuat tenaga. Meskipun di sini aku hanya bisa menjadi kuli bangunan. Aku akan pulang membawa hasil jerih payahku. Keringatku. Uang yang aku dapat nati, halal untuk kita cicipi. Kita akan sambut kelahiran buah cinta kita.

***

Kini aku berada pada ranjang bisu. Sprei putih dan aroma obat menyengat. Bius yang digantung lesu menghisap darah makhluk yang terkulai lemas. Aku seperti berada dalam alam hitam. Sesak dan menyeramkan. Tapi aku menemukan cahaya putih jernih. Cahaya itu menghampiri tubuhku yang kaku. Aku terbangun. Sunyi. Mata terasa berat. Tapi aku mencoba melihat. Termos merah dan sebungkus roti bantal. Ada piring besar yang terbuat dari plastik. Piring itu berisi bubur nasi yang memuakkan. Aroma sup, gulai ayam dan rebusan bayam, melengkapi hidangan hospital. Aku sangat lapar. Tapi. Au, sakit. Kepalaku berdarah. 97

Tiba-tiba ada sesosok tubuh menuju ranjang tempat aku berbaring lesu. Aku seperti mengenali dia. Rambut keriting, kulit hitam dan badannya yang kekar. Di sebelah kiri atas lengannya terdapat tato berbetuk kepiting. Dia Sutan, ya benar, dia iblis yang telah menipuku. Menghadirkan kesulitan yang amat pahit dalam hidupku. Tapi mengapa ia berani mendekatiku? Ia ingin membunuhku? Ah!

“Min, sudah baik kah engkau?” Aku tidak menyahut.

“Min, aku menemukanmu dalam keadaan pingsan. Kepalamu terluka. Aku yang membawamu kemari. Saat itu aku tak sengaja melewati tempat di mana kau bekerja. Kutemukan kau dikerumuni kuli-kuli lain. Mereka mengatakan bahwa tiang mesin pencampur semen dan pasir yang terletak di lantai lima patah. Saat itu kau sedang mengusung kerikil dengan beko. Musibah menimpamu, Min. Tapi kau tidak usah khawatir Sebagai permohonan maafku padamu, tak usah kau pikirkan biaya pengobatanmu. Biar aku yang menanggung semua.” “Untuk apa kau melakukan itu. Kau hendak menipuku lagi, bahkan mencoba berpura-pura baik padaku! Benar kan? Tidak usah kau bersilat lidah dihadapanku, menawarkan berbagai jasa padaku! Aku masih punya tenaga Sutan! Aku masih punya harga diri. Meski kau sirami aku dengan sejuta kebaikanmu, aku tidak peduli. Selagi aku punya raga, tak perlu aku mengemis padamu! Berjalanlah terus dengan perangai busukmu!” “Aku mohon, percayalah padaku Min. Aku sudah bertaubat. Dan aku ingin menebus dosaku padamu. Dosa besar kepada Sang Pencipta, bisa terhapuskan. Tapi dosa kecil kepada sesama manusia tidak akan hilang jika kau tidak memaafkanku.” Dia bersujud dihadapanku. Aku tak tahu harus berbuat apa. Darahku berdesir menyaksikan ketulusan hatinya. Akhirnya, kupalingkan hati. Aku mulai ambil suara.

98

“Bagaimana kabar Inah istriku?” “Dia baik-baik saja. Seinggu yang lalu aku sempat pulang ke Sibolga. Dan aku mendapat kabar bahwa dalam waktu dekat ini, anakmu akan lahir.” Aku terpukul mendengarnya. Meraung melolong bagai tertusuk panah berbisa. Urat syarafku menegang. Aku merintih kesakitan. Kupaksakan bibir pucat pasi berbicara. “San, di sini aku sempat menabung. Uang sudah terkumpul Rp 1.800.000. Kau pulanglah ke Sibolga. Berikan uang ini untuk biaya persalinan istriku.”

***

Hari itu, Sibolga seperti dibakar si raja siang. Begitupulalah hati Inah yang haus akan penantian. Pengharapan menyatu menjadi abu. Kekuatan entah berada di mana. Suami tak kunjung jua menampakkan diri. Sementara Sutan bersenang-senang dalam kedukaan dan kemalangan nasib. Dihabiskannya harta satu-satunya milik keluarga kecil itu. Digunakannya pula dalam perjudian. Inah pendarahan. Dukun beranak yang ada di desa itu pindah rumah. Tiada yang bisa Inah lakukan dalam kesendirian. Rumah sakit menolak persalinan tanpa uang muka. Hanya keinginan kuat dan tekad yang besar memapah Inah dari keputusasaan. Ia yakin, Tuhan maha penyayang. Ada rasa syukur yang mendalam ketika tetangga datang membantu kelahiran. Waktu berlalu. Tiba-tiba teriak lembut terdengar. Tangisan bayi menjalar dari pojok ke segenap atap di sekitar pelabuhan. Tangisnya mengepal seribu tantangan kepada hidup yang akan ditempuhnya. Namun penderitaan tak kunjung berakhir. Terdengar olehnya, suaminya ditimpa musibah. Sutanlah biang kerok 99

semuanya. Inah dibawa ke Bandung oleh kuli-kuli lain setelah seminggu persalinan. Merekalah yang mengetahui kebenaran beritanya. Ada bara api yang menyala di tubuhnya. Ingin ia mengadu pada aparat negara. Tapi ia tak punya apa-apa. Sampai hembusan akhir nafas suaminya, ia masih bersyukur, karena Tuhan masih memberi waktu pada jamahan terakhir lembut jemari suaminya. “Inah, istriku. Besarkanlah anak kita dalam ruang kebenaran, kenyangi perutnya dengan uang yang halal. Tanamkan lisannya dengan kejujuran. Didiklah ia dengan penuh kasih sayang. Sabar dan tegarlah dalam menghadapi kehidupan”.

***



Bila kau kedinginan, suamiku. Akan kuambilkan selimut doa untukmu. Akan kututupi hingga sampai lehermu.



Jika kau sampai di pintu liang, suamiku. Maka katakanlah kepada malaikat, penjaga pusaran kematian, bahwa istriku selalu menantiku menyiramiku dengan lafaz alquran mengalirkan sungai di kediamanku.

Aku meratap di gundukan kubur. Menatap dinding yang kasar. Memisahkan duniaku dan suamiku. Kuciumi ubun-ubun anakku dalam balutan kain gendongan. Menahan sesak di dada. Menepis penyesalan yang larut. Sembari kutabur dengan lafaz shalawat. Kutanami dengan tangkai kejujuran. Yang berawal dari wasiat akhirmu, suamiku. Apakah sebenarnya bumi ini, yang membuka rahangnya lebar-lebar untuk menelan tubuh-tubuh kita dan menyiapkan sebuah tempat peristirahatan abadi untuk kerakusan? Siapakah sebenarnya 100

manusia ini, yang mengisi dirinya dengan kemurahan hati dan sangat mengharapkan ciuman dari bibir kehidupan. Sementara kematian bersemayam di wajahnya? (Kahlil Gibran)

101

BIARKAN ITU PUTIH Lenni R. Sihombing

Dia masih terus memandangi sampul buku itu, buku harian yang ditinggalkan untuknya. Dia terus mengamatinya seumpama melihat lukisan danau dalam sobekan kertas kecil, yang membutuhkan penglihatan menemukan apa yang tersembunyi disana. Namun yang tertempel disana adalah foto dia dan Hendra. Sudah berulang-ulang dilihatnya dan ukuran besar foto itupun ada terletak dimeja rias bersama rangkaian bunga indah berwarna. Tiba-tiba di atas buku itu terlihat ada tetesan air yang sangat bening, air bening itu menetes dari luapan hati yang tak terbendung lagi sebagai ungkapan penyesalan untuk semua kesalahan-kesalahan yang pernah dibuatnya. Setetes namun sangat bening. Perlahan tangan kanannya bergeser mendekati tetesan itu, kemudian mengusapnya dengan klembutan. Mungkin itu penyelasan yang tak dapat lagi diungkapkan dengan kata-kata, walau dulu semuanya terjadi dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya.

“Dian… makan malam sudah dimeja” “Nanti Dian makan ma...!”

Jawabnya kepada ibunya yang tiba-tiba perenungannya dikeheningan malam itu.

mengganggu

Dia mulai membuka buku itu, membca biodata pemiliknya kemudian melanjutkan hingga beberapa halaman dan berhenti di lembaran yang bertuliskan Januari 2000 yang menunjukkan bahwa 102

itu ditulis pada bulan Januari.

“Akhir januari 2000” Perempuan itu meminta satu batu bata kepadaku, katanya sebagai ungkapan persahabatan. Aku tidak tau mengapa bata yang dimintanya benda yang tidak memiliki untuk ungkapan persahabatan. Aneh memang, biasanya seorang perempuan meminta setangkai bunga bukan bata yang digunakan untuk membangun rumah. Namun aku tetap memberikannya tanpa bertanya apa artinya yang pasti dia senang walau aku bingung. Dian tiba-tiba tersenyum membaca tulisan itu, senyum yang ditemani tetesan bening yang jatuh dari matanya. Mungkin dia mengingat waktu itu di hari ulang tahunnya ia menerima satu kado yang berbentuk kotak yang dibungkus dengan kertas warna bergambar bunga dan tanda tanya yang ditulis dengan sepidol merah. Dia mengusap air matanya dan melanjutkan membaca tulisan itu. “Aku melihat senyum di wajahnya ketika ia memberikan batu bata itu aku tidak tahu apakah itu ucapan terima kasih atau mungkin ungkapan rasa lucu untuk kepolosanku memberi bata itu. Walaupun demikian aku membalasnya dengan senyum, dengan segudang pertanyaan di hatiku untuk semua itu.” Kembali ada terjatuh tetesan bening dikertas itu, hingga ada beberapa kata yang ditulis dengan pena berwarna biru itu luntur. Perempuan itupun kembali mengusapnya dengan tangannya yang lembut hingga warna luntur itu sedikit menyebar di lembaran kertas. Dia membalikkan halaman melanjutkannya hingga beberapa halaman kemudian. Dia membaca tanggal penulisannya.

103

“14 Februari 2000” Dia mencoba mengingat sesuatu dihari itu meletakkan buku di atas kedua pahanya dan kedua tanggannya meremasremas kepalanya yang ditumbuhi rambut panjang lurus berwarna hitam. Dia kembali mengangkat buku dan mendekatkannya kepenglihatan, kemudian membacanya kembali. Hari ini, dimana semua orang merayakannya dengan orang-orang yang dicintainya. Tetapi aku tidak dapat bersama dengan dia, walau demikian akau berusaha menghubunginya dan mengucapkan selamat hari kasih sayang. Kembali perempuan itu mengajukan permintaan aneh padaku, dia meminta aku untuk menghadiahkan rambut gondrongku.apakah aku harus memberikanya atau tidak, sementara ibuku telah berulang-ulang memintaku memotong rambut tidak kuturuti. Ya...walau demikian, atas nama cinta besok aku potong rambut.” Dia kembali meremas-remas kepalanya, namun sekarang dia berdiri dan menghadap ke arah cermin di meja riasnya menatapi wajah ayu itu. Semua permintaanku diturutinya, mungkin benar. Semua itu atas nama cinta. Tetapi… kenapa aku tidak pernah bersyukur untuk semua itu, mengapa aku hanya menuntut hal-hal yang aneh bagi dia.” Kemudian dia kembali duduk di atas ranjang, mengambil buku yang di letakkannya di sana dan melanjutkan membaca.

“April 2000” Aku adalah pemenangnya aku peraih anugerah maha dewi yang bermahkotakan mutiara jiwa. Aku telah memilikinya akulah pemenang dalam memperebutkan sang dewi itu.”

Dia berulang-ulang membaca tulisan itu, mencoba 104

memahami arti kata mutiara jiwa yang tertulis disana. Dia terus membacanya, merenungkannya tanpa merenungkan putaran jam yang akan mengganti hari. “Mutiara jiwa? apakah mahkota yang kukenakan waktu itu, bukankah yang hanya jepit rambut yang menahannya agar tidak tergurai.” Dian bertanya-tanya dalam hati seakan tidak mengerti arti ungkapan itu. “Bukan, bukan aku yang bermahkotakan mutiara jiwa, namun dialah yang berbola matakan surya, menatapku dan menerobos ruangan gelap di hatiku.” Dian mulai ikut berkata-kata dengan perumpaman, mengikuti kata yang tertulis dalam buku. Dian terus membaca satu persatu yang tertulis dalam lembaran buku, hingga habis sampai lembaran penutup catatan kisah hidup lelaki itu selama tahun 2000. Dian masih terlihat murung, tidak punya gairah untuk melakukan apapun, selain merenung dan mengurung diri didalam kamarnya, mungkin dia merasa tidak ada lagi yang menemaninya disaat suka dan duka. Sudah berjam-jam dia memandangi bunga di taman rumah, ibunya mungkin dapat mengerti dengan semua kesedihan menyelimuti hati anak gadisnya itu. “Dian, apakah kamu tidak kuliah? Sudah tiga hari kamu dirumah terus padahal dulu kamu paling tidak betah di rumah.” “Dulu dian menghabiskan waktu bersama Hendra, sekarang dia sudah tidak ada lagi, yang tinggal hanya kenangan dari semua yang sudah berlalu.” “Tidak boleh begitu dian kamu harus berjuang menjalani hidup ini, mama ngerti kok dengan kesedihanmu, tetapi hidupmu harus di perjuangkan.” Sambil membelai rambut anak perempuannya yang selalu dimanja. “Dian sebentar lagi kamu akan sidang bulan depan kan…. kamu harus banyak belajar.” “Dulu mas Hendra pernah bilang, kita akan sama 105

mengenakan jubah dan toga, tapi sekarang mas Hendra…!” Dian menangis dipelukan ibunya mencoba menemukan kekuatan lewat belaian kasih sayang ibunya untuk semua kesedihanya. “Sudah….sudah…!, tidak boleh begitu Dian kamu harus bias menerima semua yang telah terjadi.” “Dian gak sanggup ma, Dian merasa semua impian tidak perlu dikejar lagi. Mungkin lebih baik Dian merenung di rumah mengingat semua kesalahan yang Dian perbuat sama mas Hen. Dian ingat waktu itu Dian menuduh mas Hen telah menduakan Dian, padahal mas Hen meminta putus bukan karena itu. Mas Hen meminta agar semuanya kami akhiri karena dia…dia..” Dian menangis sambil memeluk ibunya. “Tidak boleh begitu dian semuanya sudah rencana yang di atas kita hanya menerimakan dan tidak boleh merasa bersalah untuk tidak berbuat yang baik, mungkin itu pelajaran bagimu yang terlalu cepat berburuk sangka kepada orang lain.”

Air mata Dian luber. Tangisnya pecah.



“Sudahlah, cukup sudah tangismu, mau minum?”

Tanpa menunggu jawaban anaknnya, perempuan itu menuju ke ruang dapur. Sepeninggal ibunya. Dian mengusap air mata, sambil melihat gerbang rumah yang berada tepat didepannya. Dia melihat Yuni membuka gerbang rumah dan matanya mengikuti langkah kaki teman perempuannya itu. “Dian kok gak masuk, hari ini kan seminar!” “Lagi malas nih lagian apalagi yang harus kucari dikampus toh dia gak ada lagi” “Tidak boleh gitu Dian kita tidak boleh pasrah sampai di sini, lebih baik kita teruskan perjuangan hidup ini. Kamu masih ingat kata-kata itu kan, waktu kita mementaskannya di teater kampus.” 106

“Tetapi ini kan bukan panggung sandiwara itu. Ini hidup yang tidak pernah ada isyarat hidup yang tidak pernah ada akhirnya.” “Sebenarnya isyarat itu ada, hanya saja terkadang buta untuk membacanya,atau mungkin kita tidak pernah ingin mengerti arti semua itu.” “Ehh.. nak Yuni kapan datangnya” Tanya ibunya yang tibatiba muncul dari pintu dapur membawa segelas teh untuk Dian. “Barusan Tante, belum lagi 5 menit” “Sebentar ya, Ibu ambilkan minum dulu” “Tidak usah Tan, Yuni cuma bentar lagian Yuni ada kerjaan dirumah.” Yuni menolak tawaran Ibu Dian dengan ramah. “Ya sudah kalau gitu Ibu ke dalam dulu ya” kata Ibu meninggalkan mereka. Yuni membuka tas dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya. “Dian masih ada satu lagi” Yuni memberikan satu buku harian yang masih terlihat baru mungkin buku itu belum ditulisi oleh pemiliknya. “Apa lagi ini Yun bukankah kemarin…?” “Ini ditemukan Edy di kamar Hendra dan isinyapun masih sedikit bahkan masih banyak lembaran kosong yang tidak tertulis sama sekali” Dian meraba sampul buku itu, memberikan kelembutan lewat tangannya, kemudian memeluk buku itu disusul dengan tetesan air mata yang mengalir dipipinya. “Dian aku kemari hanya ingin memberikannya, semoga bukan menjadi kesedihan yang mendalam untukmu. Kau harus ingat satu hal bahwa kita hidup untuk berjuang.” Kemudian Yuni pun pergi meniggalkan tempat itu, tempat Dian mengkarantinakan diri selama beberapa hari ini. Kembali, di 107

ruang perenungan, malam ketika jarum jam menunjukkan pukul 08.30, Dian mulai membuka buku harian yang diberikan padanya..

“ Januari 2003” Aku tidak tahu apakah nanti akan penuh dengan tulisanku, yang pasti aku hanya berharap bila nanti ada lembaran kosong disini itu bukanlah lembaran untuk kalian tulis, biarkan itu tetap seperti itu. Agar kalian tahu masih banyak yang belum kuperbuat, terlebihlebih kepadamu. Perempuan yang meminta satu bata kepadaku, bila dulu aku meminta kepadamu untuk meninggalkan aku, bukanlah karena orang lain yang telah menggantikanmu, tetapi sesuatu akan terjadi yang mengharuskanmu mengiklaskanku. Aku berharap kamu bertanya kenapa semua itu aku lakukan, kenapa hubungan kita lebih baik kita akhiri sampai di sini. Kenapa aku memintamu pergi meninggalkanku dan mencari laki-laki lain, mungkin sampai buku ini sampai padamupun kau tidak akan bertanya hal itu. Kau hanya beranggapan aku telah menghianatimu, kau hanya menangis dan berkata aku tidak setia pada janji yang sebenarnya tidak. Aku mencarimu untuk megatakan yang sebenarnya padamu sesuatu yang kuketahui beberapa bulan yang lalu namun kau selalu menghindar dan bersembunyi hingga aku tidak dapat menemukanmu. Ibuku merahasiakan semuanya. Aku tidak menderita migren tetapi ada suatu penyakit yang mengharuskan aku meninggalkan dunia ini. Aku sedih mendengarnya dan aku yakin kau juga demikian. Aku menangis bukan karena kematianku yang sudah dapat ditebak-tebak dokter tetapi karena harus berpisah denganmu. Setelah ini lembaran selanjutnya bukanlah untuk tempatmu menuliskan jawaban ataupun kembali bertanya tentang semua itu. 108

Itu adalah lembaran baru yang tidak perlu diisi dengan khayalan, tentang altar gereja pemberkatan kudus, dan kehidupan kekal. Melangkahlah walau aku tidak bersamamu lagi karena aku tetap ada didekatmu. Bukan keinginanku pergi meninggalkanmu, Dialah yang menjemputku dan mengambilku darimu aku yakin akan ada lelaki yang akan menggantikanku membawamu kesana. Tunggulah dia akan datang dan berjanji setia dalam pemberkatan kudus itu seperti aku dulu berjanji padamu disana. Cinta kita telah sempurna, walau tidak abadi karena kita dipisahkan oleh kematian. Kemudian Dian menutup buku itu, dia tidak tahu ada tulisan setelah itu, yang ada hanyalah lembaran kosong yang tidak dapat dilanjutkannya dia hanya mengangisinya, membiarkan yang tinggal itu tetap putih. Dia hanya mengingat kejadian yang berlalu. Ketika pantai menjadi tempat terakhir untuk kebersamaan mereka waktu itu dengan semua tuduhan-tuduhan yang tidak benar dari mulut Dian kepada Hendra.

109

SEBUAH KEPUTUSAN Irfan Baihaki

Malam kembali cerah, namun tetap sepi. Rembulan merah meradang karena semenjak matahari tenggelam, ia hilang ditelan kerumunan awan hitam yang melintas di bawah sinarnya. Aku baru saja selesai mengajar les dan muridku baru saja dijemput orang tuanya, ketika Ayah tiba-tiba mengajakku berbicara. Entah apa yang merasuk pikiran Ayah, namun dari gurat wajah yang ia perlihatkan, sepertinya sesuatu yang sangat penting tengah berkecamuk dalam pikirannya. Ia belum memulai berbicara dan aku masih menunggu dengan gelisah. Ayah mulai menghisap rokok filter kesayangannya, kemudian ia nampak tenggelam menikmati isapan demi isapan asap yang sangat kubenci, namun aku sendiri tak kuasa melarang ayah untuk tidak merokok. Pada tiupan asap kelima, ia baru angkat bicara.

“kau jadi ingin melanjutkan kuliahmu?” tanya Ayah padaku. Dari suaranya yang tampak berat, aku yakin masih banyak persoalan yang mengganjal pikirannya. “ia Ayah, aku sangat ingin melanjutkan kuliah demi…. ” Belum selesai bicara Ayah langsung memotong. “Ah sudah tak usah kau lanjutkan, aku sudah tahu dan sering mendengarmu bicara mengenai itu. Tapi bukankah kuliah D II tidak cukup bagimu? Adik-adikmu kan juga ingin kuliah. Asmi baru selesai sekolahnya dan kau juga tahu biaya masuk kuliah itu tidak murah.”Aku diam membungkam dan pandangku kualihkan pada lantai marmer putih diantara kakiku. 110

Aku tahu biaya kuliah tidak murah, tapi keinginanku melanjutkan kuliah juga demi menaikkan kesejahteraan guru TK sepertiku. Ya, sejak pemerintah menggulirkan program sertifikasi bagi guru berijazah S1, teman-teman seprofesi denganku berlomba melanjutkan kuliahnya yang biasanya hanya berijazah DII seperti diriku. Gaji standar guru TK sangat tidak memungkinkan untuk dijadikan sandaran hidup dalam sebulan, bahkan sangat jauh dari UMR kota Medan tempat aku tinggal. Oleh karena itu aku membuka les privat di rumah untuk membantu keluarga sekaligus menabung demi melanjutkan kuliah yang telah lama kuangankan. Malam bertambah sepi dan rembulan mulai merah merona seolah tersenyum telah melihat dunia dengan leluasa. “Tidak bisakah kau tunda dulu keinginanmu May? Tidak bisakah kau bantu Ayah dulu tahun ini demi adikmu?” Ayah kembali bertanya setelah aku hanya berdiam memandangi lantai marmer putih yang masih tampak kilat. Mendengar Ayah bertanya seperti itu, hatiku mulai bergemuruh dan dadaku sesak seakan-akan ditindih beban puluhan kilo. Wajahku mulai merah padam menahan bulirbulir air mata yang hendak memaksa luluh dari sudut mataku. Aku masih diam saja tak hendak menjawab. “May, menurut Ayah kau seperti ini saja dulu, tidak usah memikirkan program sertifikasi seperti yang kau beri tahu padaku. Mungkin tahun depan baru kau bisa kuliah.” Ayah melanjutkan katakatanya tapi kali ini aku tidak diam. “Ayah tidak usah berbohong sama May. May tahu tahun depan akan lebih sulit keadaannya daripada sekarang. Yuli tahun depan juga tamat dari SMUnya dan Riki berencana wisuda tahun depan.” Ayah menghela nafas panjang mendengar kata-kataku, mungkin ia setuju denganku, tahun depan akan menjadi tahun yang lebih sulit bagi keluarga ini. Ayah hanya seorang pegawai 111

di kantor pemerintahan tanpa pekerjaan sampingan. Ibu juga tak bekerja, setelah aku tamat dan bekerja, Ayah banyak berharap padaku untuk membantu membiayai adik-adikku sekolah. Dan kami kembali terdiam tenggelam mengarungi pikiranpikiran yang sangat sulit kupecahkan. Ah, rasanya waktu sangat lama berlalu dan Ayah sepertinya belum ingin berhenti diskusi denganku. “May, Ayah tahu keinginanmu sangat kuat, tapi pikirkanlah keadaan keluarga kita juga. Jujur Ayah saat ini tidak akan sanggup membiayai pendidikan kalian semua. Kau sendiri tahu, selama ini Ayah meminta bantuanmu untuk kepentingan pendidikan adikadikmu.” Aku tetap saja diam dan kali ini Ayah melanjutkan katakatanya. “May, kau sudah cukup dewasa untuk berpikir. Kau bisa saja kuliah tapi kau harus….” Ayah seperti tak ingin melanjutkan kata-katanya, tapi aku penasaran hingga kudesak Ayah bicara. Ayah tak ingin langsung mengungkapkan kegalauannya. Ia kembali mengisap kepulan demi kepulan asap rokok dari mulut dan hidungnya. Dan aku semakin penasaran dengan apa yang ingin ia ungkapkan. Tiba-tiba ia memandangku lekat, Ayah memperhatikan ekspresi wajahku yang gelisah. “ Sebenarnya sudah lama ingin Ayah sampaikan sesuatu padamu. Tapi Ayah memutuskan berbicara sekarang. Kau tentu kenal dengan Ibu Wakil Kepala Dinas tempat Ayah bekerja? Apa menurutmu Ibu itu sangat baik pada keluarga kita?” Sungguh pertanyaan yang tidak perlu dijawab dan aku semakin penasaran. “Ya Ayah, aku tahu Ibu itu sangat baik. Tapi apa kaitannya dengan masalah ini?” tanyaku sedikit geregetan. “Kau tahu Ibu itu sangat baik dan Ayah berpikir untuk 112

menyetujui keinginannya yang sangat menggebu. Ya, setelah ia mengenal cukup lama keluarga kita dan lebih khususnya ia memperhatikan perkembanganmu, ia mengharapkan suatu saat kau bisa jadi menantunya dan menikah dengan anak laki-lakinya.” Sampai di situ aku sudah cukup terkejut dengan apa yang diujarkan Ayah barusan. “May, setelah Ayah pikirkan jika itu kau terima, alangkah baiknya nanti hidupmu. Kau mungkin bisa melanjutkan kuliahmu dan membantu adik-adikmu tanpa beban yang sangat berat yang harus kau pikul sendiri. Setelah Ayah ungkapkan mimpi-mimpimu, tampaknya keluarga Ibu itu sangat ingin mewujudkannya.” Aku tak bisa berkata-kata. Langsung melintas bayangan kekasih yang sangat kucintai dan aku tahu ia juga sangat mencintaiku. Sudah lima tahun kami menjalin asmara tanpa cela dan tekad kami sudah bulat untuk melanjutkannya ke jenjang pernikahan setelah ia diwisuda dan bekerja. Kami sudah berjanji untuk tetap menjaga cinta sampai kapanpun, dan kami telah menggoreskan mimpi kami dalam album kehidupan sampai lima tahun terakhir yang sangat berat kami lalui. Ayah tak suka kami berhubungan, entah apa alasannya ia tak pernah ungkapkan. Namun Ardi, nama pacarku, sudah berjanji setelah ia wisuda ia akan menemui Ayahku untuk menyatakan keseriusannya. Dan selama ini kami telah mencoba, namun Ayah selalu seperti tak ingin hubungan kami ada, jadilah kami pasangan backstreet seperti yang orang bilang untuk menyebutkan hubungan kami. Ah, aku sendiri tak peduli dengan sebutan itu, yang penting aku bisa merasakan cinta dari orang yang sangat sabar dan tegar menghadapi kehidupan. Aku sangat mencintainya dan takkan mungkin aku menghianatinya dengan alasan apapun. Ayah tampak mengerti dengan galau yang kurasakan, kemudian ia berujar.

113

“Ayah tahu kalian masih berhubungan satu sama lain dan Ayah tahu kalian masih sangat mencintai. Dengarkan Ayah, Ayah sama sekali tidak akan memaksa dirimu. Ayah hanya berpikir apa yang terbaik bagimu dan keluarga kita. Selama ini Ayah melarang kalian berhubungan karena niat Ayah menjodohkanmu dengan Anak Ibu itu. Selain itu kalian sebaya, dan Ardi belum lagi wisuda. Sampai kapan kau harus menunggunya? Baiklah, Ayah tidak meminta jawabanmu sekarang. Tapi pikirkanlah kata-kata Ayah barusan. Sebaiknya kau pergi tidur.” Tanpa menunggu lama aku langsung menghambur dari hadapan Ayah. Aku ingin menangis, aku ingin mendengar suara Ardi malam ini. Dingin malam telah menghambur ke dalam kamarku, dan dari balik tirai jendela aku melihat rembulan pucat diselingi awan hitam halus. Ada mendung di dalam hati yang ingin kuselami malam ini, dan aku tak ingin tidur malam ini. Aku bicara dengan Ardi lewat HP, aku ingin mengungkapkan semua yang mengganjal yang telah menyiksaku dengan air mata malam ini. Ah, Ardi tetap seperti Ardi yang kucintai, sabar dan lembut berwibawa suaranya selalu menyejukkan lewat speaker HPku. Fajar telah menyadarkan kalau aku belum tidur malam ini. Ayam sudah mulai bercengkerama dengan lautan suara mengaji dari mesjid-mesjid. Tadi aku telah berbicara dengan Ardi. Katakatanya terakhir membuat aku bertekad memutuskan yang terbaik bagi diriku. “ jujur, aku takkan pernah sanggup melihat wanita terbaik sepertimu bersanding dengan orang lain. Sama sekali aku tak sanggup, dan aku takkan memberi jawaban pertanyaanmu. Kau tahu sendiri jawaban dihati kecilmu. Aku tak punya alasan untuk memberi keputusan tapi aku berhak mempengaruhi, seperti Ayahmu mempengaruhimu. Aku sangat mencintaimu dengan tulus dan aku sangat ingin menjadi pria tempat kau berlindung, aku ingin engkau damai bersamaku. Jalan yang kita lalui bukanlah ringan, oleh karena 114

itu pertimbangkan yang terbaik bagi masa depanmu. Kau tahu aku tak pernah main-main selama ini, dan kau telah merasakannnya sendiri. Berdoalah pada-Nya, minta petunjuk jalan yang akan kau tempuh. Aku sangat menyayangimu May.” Diakhir kata-katanya, aku tahu Ardi juga sangat berusaha menyembunyikan air matanya dariku. Azan bersahut-sahutan dari semua menara mesjid yang ada di segala penjuru kota ini, kota kelahiranku. Dan subuh ini aku telah memantapkan hati atas segala keputusan yang akan kutempuh nantinya. Keputusan yang akan membawa kebahagiaan lahir dan bathin sampai aku mati. Kuambil air wudhu, kemudian aku shalat subuh. Aku bermunajat pada-Nya dengan air mata memohon kekuatan menjalani kehidupan setelah keputusan ini. Aku akan tetap melanjutkan kuliah tetapi aku tak akan menikah dengan pria pilihan Ayah. Aku juga tetap akan membantu adik-adikku. Aku tetap menjaga cintaku dengan Ardi. Mungkin dengan cara menambah jumlah siswa les privat aku akan mampu berjalan di atas kaki sendiri, walau aku tak lagi punya waktu untuk bercengkerama dengan asmara sampai Ardi melamarku setelah ia wisuda dan menemukan pekerjaan yang ia impikan.

Medan, 04 Juni 2009

115

PAK TUA ITU AYAHKU Rosnilam Siregar

Tubuhnya menciut diselimuti udara yang dingin pagi itu. Digosok-gosokkan semua jarinya dan dirapatkannya mantelnya yang sudah tidak layak pakai. Tadi malam hujan cukup deras, makanya udara pagi ini cukup dingin. Dilihatnya beberapa orang berjalan tergesa-gesa, berusaha mengusir hawa dingin ditubuhnya. Seorang ibu melilitkan syal berwarna merah dileher anaknya. “Aku tak pernah merasakan kasih sayang seorang ibu.” Terlintas perasaan iri dipikirannya. “Hei jangan melamun! Pikirkan akan kemana kita hari ini.” Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Ridho dari lamunannya. Dengan berat diangkatnya juga badannya dan berjalan dengan sangat lemah mengikuti langkah pria yang membentaknya. Kata orang, dia bekas konglomerat, tak ada yang tahu siapa nama aslinya. Hanya saja, orang-orang memanggilnya dengan sebutan Pak Tua. “Pak, memangnya kita mau kemana sekarang?” suaranya terdengar sangat parau, seperti habis dicekik, dia sendiri hampir tak mengenali suaranya sendiri. Dia masih menunggu jawabannya Pak Tua tadi, tapi yang didengarnya hanya helaan nafas panjang.

“Aku tak tahu” jawab si Pak Tua.

Ridho menatap punggung Pak Tua itu dari belakang. Ridho merasa bahwa Pak Tua itu adalah orang tua yang kesepian. Dibalik asap rokoknya Ridho menemukan sebuah tatapan kosong dan 116

ekspresi wajah yang penuh kesedihan. Walau begitu, Ridho tak pernah berani bertanya masa lalunya sebab Ridho pun punya masa lalu yang tak bisa dijelaskannya. “Akhir-akhir ini, kita harus selalu bangun lebih pagi,” kata Pak Tua itu, sekarang ini jika mereka tidak rajin maka mereka akan digantikan oleh pendatang baru. Mereka harus rela berpanaspanasan dipersimpangan lampu merah dengan memainkan alat seadanya dan mengandalkan suara mereka yang tidak terlalu bagus. Kemudian mereka mendatangi dari satu mobil ke mobil yang lain, maupun angkutan umum demi mengharapkan belas kasihan orang dalam bentuk uang receh walaupun kadang-kadang ada yang memberi uang kertas yang hanya bernilai seribu rupiah. Kerja seperti ini mereka lakukan tiap hari hanya untuk mendapatkan pengganjal perut, sesuap nasi. Jika beruntung mereka mendapat lebih dari sepuluh ribu rupiah sehari. “Hei sudah berapa kali aku bilang jangan melamun!, lihat lampu merah itu sudah menyala dan mobil-mobil itu berhenti.” Suaranya sangat mengejutkan Ridho dan membuatnya cepatcepat bergerak mendatangi satu per satu antrian mobil yang sedang berhenti di lampu merah salah satu persimpangan jalan kota Medan. Mereka mulai memainkan alat musik yang seadanya, menyanyikan sebuah lagu yang sedang laris terdengar saat itu. Tak banyak yang mereka dapat dari mobil yang mereka datangi, hanya seribu rupiah. Begitulah rutinitas mereka setiap hari, bangun pagipagi bekerja, saat malam tiba mereka kembali ke tempat Pak Tua untuk beristirahat melepaskan kelelahan pada siang hari di bawah terik matahari yang rasanya berada hanya sejengkal dari atas kepala kita. Sungguh hari-hari yang berat untuk dilalui Ridho dan Pak Tua itu.

“Kau tau, Aku tak suka melihatmu melamun terus-terusan 117

begitu. Wajahmu saat melamun, selalu mengingatkan aku pada anakku, aku sangat merindukannya,” si Pak Tua itu berbicara pada Ridho dengan penuh kesedihan, sedangkan matanya menatap kemana-mana tapi dengan tatapan yang kosong. Sambil bercerita mereka sambil makan juga. “Bapak juga melamun karena wajah bapak saat melamun sangat mirip dengan wajah ayahku” kata Ridho pada Pak Tua. Apa yang dikatakan Ridho ternyata membuat Pak Tua itu terkejut mendengar ucapannya barusan. Padahal ia hanya sekedar ingin menghibur Pak Tua itu. “Nama anakku sama dengan namamu, Ridho. Ia seumur denganmu. Tapi mungkin sekarang ia sudah hidup enak, ia anak yang baik dan pintar, tapi sayang ibunya gila.” “Maksud bapak, ibunya kurang waras? Kenapa bapak tidak hidup bersama anak dan istri bapak sekarang?” “Istri bapak seseorang yang gila harta bukan karena pikirannya yang tidak waras. Hanya gara-gara harta ia lupa segalanya dan meninggalkan bapak begitu saja karena tidak punya banyak uang. Sudahlah malam sudah larut, ayo kita tidur.” Ia mengakhiri ceritanya dengan desahan nafas panjang. Semua kata-katanya tadi tidak dimengerti oleh Ridho. Ia sendiri merasa anak yang terbuang. Ibunya mengantarkannya ke panti asuhan, ia tidak suka tempat itu makanya ia berada di tempat itu sekarang. Akhirnya ia tertidur setelah lelah memikirkan ucapan Pak Tua itu. Aneh hari itu tak ada suara Pak Tua yang membangunkannya. Ia berusaha mencari dimana Pak Tua itu. Tapi yang ditemukannya banyak orang berkerumun. “Adik kenal dengan bapak ini?” petugas polisi bertanya padanya. 118

“Ya memangnya kenapa dengannya?” “Ia ditemukan meninggal semalam. Mungkin adik tahu penyebabnya?” Disampingnya berlutut seorang wanita muda yang cantik. Ternyata Ridho mengenali wanita itu yang ternyata adalah ibu kandunganya. Ia pun memanggil ibunya dengan suara yang pelan. Wanita itu melihat Ridho yang ternyata adalah anak yang selama ini dicarinya. Ia mengatakan kepada Ridho bahwa yang terbaring tak berdaya itu ayah kandungnya yang selama ini sangat merindukan anaknya yang tak lain Ridho sendiri. Sepertinya nasib belum berpihak pada mereka?

119

KETIKA PAHIT MENJADI SENYUMAN Masta Fransiska Siadari

Rian adalah anak pertama dari lima bersaudara dengan kehidupan keluarga yang sederhana tanpa mengenal kemewahan. Kehidupan yang sederhana itu membuatnya cukup mandiri dalam menghadapi kenyataan. Tuhan menganugrahkan kepadanya perwatakan yang cukup baik dan tubuh yang sempurna untuk melakukan segala sesuatu diinginkannya. Sejak kecil Rian sudah mempunyai impian menjadi seorang dokter yang bisa mengobati orang lain. Tapi keadaan ekonomi yang bertentangan dengan keinginannya membuat Rian bertekat harus mendapatkan pekerjaan untuk biaya kuliahnya dan membantu pengeluaran keluarganya. Dia sempat berkomitmen dalam hati untuk memberikan kebahagian untuk keluarganya apabila dia berhasil kelak. Tak ada harta atau uang yang dimiliki karena bangkrut dan membayar biaya rumah sakit sang ayah. Ayahnya dulu seorang pengusaha yang sukses tapi karena persaingan usaha bangkrut dan menyebabkan ayahnya itu sakit-sakitan terbaring lemah di tikar pandan bilik kamar. Sementara ibunya kini hanya menjual sayur di pasar yang tidak bisa di patok keuntungannya. Duduk di bangku perguruan tinggi adalah impian Rian. Otaknya yang dapat diandalkan sudah dari dulu membuat dia dapat bertahan di bangnya sekolah sampai kelas tiga SMA melalui beasiswa yang dapat menutupi biaya sekolahya. Ia adalah anak dari lima bersaudara yang sangat beruntung karena adik-adiknya hanya bisa duduk di rumah dan membantu orang tuanya. Kedua orangtuanya sangat bangga melihat anak sulungnya itu dan berharap kelak dapat membantu ke empat orang adiknya agar tidak seperti mereka yang meralat. 120

“Nak, kamu sudah tahu ayah dan ibu tidak bisa lagi menyekolahkanmu. Urungkanlah niatmu untuk melanjut karena biaya kuliah itu tidak kecil,” kata ayahnya pada Rian. “Tidak ayah, Rian ingin melanjut seperti teman-temannya yang lain. Ayah dan ibu jangan memikirkannya, Rian pasti bisa kuliah,” jawabnya agak kecewa. Mendengar hal itu ibunya yang duduk sambil menyuapi adiknya, Rara, meneteskan air matanya yang membuat Rian inyat meneteskan air mata. Melihat semangat anak sulungnya itu, ibunya pun mendunyang penuh keputusan yang sebenarnya sulit diputuskan. Pengumuman kelulusan tingkat SMA pun tiba. Dan saat itu pula dia mulai cemas memikirkan masa depannya yang menyongsong sejalan perputaran waktu yang menuntutnya memilih langkah yang harus dipijaknya. Betapa bergumul dia saat melihat namanya berada di peringkat dua NEM tertinggi di sekolah. “Selamat Rian, NEM yang bagus sekali,” tiba-tiba terdengar suara dari belakangnya. Rupanya itu guru Matematikanya. “Terimakasih, Bu” “Bagaimana rencana kamu ke depan, apakah kamu akan kuliah?” tanya perempuan setengah baya itu. “Belum tahu,Bu. Saya harus meminta izin dari ayah dan ibu dulu karena biya yang saya butuhkan sangat besar. Sementara ayah masih sakit,” “Jangan patah semangat. Kamu adalah anak yang pintar dan Ibu percaya kamu bisa kuliah dengan otak yang kamu miliki. Kalau kamu dapat beasiswa dari kampus, itu bisa menutupi uang kuliah kamu dan keperluan kamu yang lain,” “Terimakasih, Bu. Saya juga ingin sekali duduk di bangku kuliah,” Kemudian gurunya meninggalkannya sendiri di depan 121

papan pengumuman dan kini dipikirannya telah ada suatu harapan baru baginya. “Beasiswa, ya beasiswa bisa menolongnya,” cetusnya dalam hati. Setelah itu dia pulang dan berbicara dengan kedua orangtuanya kalau tekatnya sudah bulat. Melihat watak anak sulungnya yang sangat optimis itu, kedua orangtua Rian pun menyetujui niat mulia anaknya itu. Tapi Rian sungguh tidak pernah bermimpi dan menduga akhirya dia bisa merasakan pendidikan di perguruan tinggi di fakultas yang diimpikannya selama ini. Pendapatan orangtua Rian yang pas-pasan dulu sempat membuat. Dari perjuangannya melawan kerasnya persaingan, akhirnya mendapatkan buah yang manis dan indah. Indeks prestasi Rian yang cukup memuaskan membuat Rian mendapat beasiswa dan yakin dia bisa bertahan dengan dorongan ayah dan ibunya. Kini Rian bisa belajar di ruangan yang cara belajarnya berbeda jauh dengan cara belajar di sekolah. Rian juga bisa membedah hewan-hewan di laboratorium jurusan dari universitas negeri ternama di kota besar itu. Dan beberapa kali Rian sudah pernah melanyakan praktik ke rumah sakit dengan mahasiswa lainnya. Sebentar lagi Rian akan menjadi seorang dokter yang bisa secara intensif memberikan perawatan kepada ayahnya yang kini terbaring lemah. Rian juga bisa membantu ekonomi keluarga yang sangat pas-pasan setelah ayahnya jatuh sakit. Rian harus bisa membiayai uang sekolah adik-adiknya sampai mereka duduk di perguruan tinggi agar tidak putus kuliahnya seperti Rian. Sudah 6 semester Rian belajar di fakultas kedokteran itu dengan memegang satu harapan dan satu janji kepada ayah, yaitu orangtua dan adikadiknya.

122

Namun rencana Tuhan atas dirinya bukanlah menjadi seorang dokter. Ia mengubah jalan hidupnya setelah ayah harus meninggalkan mereka selama-lamanya karena penyakit yang dideritanya tidak bisa ditahannya lagi. Harapannya hancur sudah ketika melihat ayahnya itu memejamkan mata dan mengucapkan satu kata yang cukup besar maknanya. “Jaga ibu dan adik-adikmu, ya Rian! Ayah ingin tidur.” Katanya. Betapa hancur perasaannya ketika itu. Belum sempat Rian berkata-kata karena rasa sedihnya melihat kondisi ayahnya yang sangat memperihatinkan, laki-laki itu telah memejamkan matanya dan tak ingin membukanya lagi. Detak jantungnya berhenti seketika, tubuhnya tak bergerak, dan hanya ada satu tetes air mata yang keluar dari ekor matanya. Seketika ibu tak tahan melihat ini semua. Jiwanya tergoncang hebat dan tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Orang yang selama ini mendampinginya dan bahkan telah dikenalnya sejak SMP kini harus pergi dari sisinya untuk selama-lamanya. Betapa hancur hatinya menghadapi kenyataan yang menimpa keluarganya saat ini. Rian harus berhenti kuliah dan mencari pekerjaan membantu ibu mengumpulkan uang untuk biaya sekolah adik-adiknya. Kalau Rian melanjutkan kuliah, pasti ibu akan kesulitan mencari uang untuk kuliahnya. Maka ia putuskan mengakhiri kuliahnya meskipun Rian tidak ingin kuliahnya harus putus. Rian hanya ingin adik-adiknya mendapatkan pendidikan yang baik. Kadang-kadang Rian telah membunuh harapan ayah yang menginginkan Rian menjadi seorang dokter yang berjalan dengan jas putihnya dan membawa tas yang berisi obat-obatan. Tapi, Rian yakin bahwa ayah akan bangga padanya karena Rian bertekad adiknyalah yang menggantikan keberhasilannya nantinya.

Kini Rian adalah tulang punggung yang harus bisa seperti 123

ayahnya yang semasa hidup bisa menjadi tulang punggung yang sempurna, bertanggungjawab, dan sosok yang patut dibanggakan. Berhari-hari Rian mencari pekerjaan lewat internet dan surat kabar. Rian menemukannya! “Dibutuhkan seorang CS di sebuah hotel terkenal, hubungi alamat di bawah ini” kata-kata itu dibacanya dengan seksama. Dengan cepat Rian pergi ke perusahaan itu dengan membawa ijazah SMA dan akhirnya usaha Rian mendapatkan hasil. Rian diterima bekerja di hotel berbintang yang cukup terkenal itu sebagai Cleaning Service. Walaupun pekerjaan itu tergolong pekerjaan yang kasar tapi Rian yakin pekerjaan itu bisa menolongnya. Rian tidak mempermasalahkan pekerjaan yang nyamiliki itu karena dia yakin ini adalah jalan yang diberikan Tuhan kepadanya dan keluarganya. Hari-hari dihabiskan untuk membersihkan tiap bilik ruangan agar tetap bersih dan kelihatan segar. Kebiasaannya sejak dulu, Rian selalu menyanyikan lagu yang sering nyanyanyikan bersama ayah, ibu dan adik-adiknya ketika bernyampul di teras rumah. Sebuah lagu rohani tentang sebuah pengharapan hidup. Kata ayah suara Rian cukup indah. Walau letih, mulutnya tetap bernyanyi apalagi ketika Rian merindukan ayahnya yang kini duduk tenang bersama Tuhan di surga. Kadang-kadang Rian meneteskan air mata saat Rian menyanyikan lagu itu. Hingga pada suatu hari seorang wanita yang masih muda tidak sengaja mendengar suara jemprengnya yang ketika itu berada di salah satu toilet umum hotel. Rupanya dia adalah seorang produser rekaman rohani.

“Suara yang indah!” katanya.



Rian sangat terkejut mendengar suara di belakangnya. 124

Mendengar suara itu Rian berbalik untuk mencari sumber suara itu. “Terimakasih, ada yang bisa saya Bantu? Kamar kecilnya kurang bersih ya,Bu?” celotehnya. “Saya Kristina, panggil saja Tina.” katanya sambil mengulurkan tangannya. “Rian,Bu!” kata Rian agak bingung karena tidak percaya seorang yang berwajah ramah dan berpakaian mewah itu menjabat tangannya tanpa perasaan jijik sedikit pun. “Saya sedang mencari orang untuk menyanyikan lagu-lagu rohani ciptaan perusahaan kami dan kamu sepertinya orang yang tepat,” katanya. “Saya, bu?” tanya Rian tak percaya. “Ini kartu nama saya. Tolong pertimbangkan tawaran saya ini. Kamu akan menjadi orang terkenal apabila kamu menyetujuinya,” katanya. Kemudian wanita itu berlalu meninggalkannya sendiri di toilet. Dia melihat kartu nama itu dari perusahaan rekaman yang terkenal di kota itu. Selama berhari-hari Rian mempertimbangkan tawaran itu. Ketika Rian minta saran ibu, ibu sangat mendukungnya selama itu tidak merusak kepercayaan keluarga yang diberikan kepada Rian. Rian pun sangat senang dan keesokan harinya mendatangi perusahaan itu. Rian menandatangani kontrak kerja yang diberikan Bu Kristina kepada Rian dan beberapa surat lainnya. Kini albumnya pun keluar dengan pemasaran yang cunyap luas. Upah dari kerja Rian pun semakin lama semakin besar di sana. Mungkin Tuhan merencanakan hal indah melalui suaranya ini. Bertahun-tahun Rian menjalani hidup sebagai penyanyi rohani dan dari hasil keringatnya itu Rian telah membeli sebuah rumah di kawasan perumahan elit untuk tempat tinggal yang 125

baru. Mereka pindah dari tempat tinggal yang lama dan memulai hidup baru disana. Kini Rian dan keluarga Rian bisa tersenyum manis karena kesusahan yang dulu kami rasakan berangsur-angsur menjadi awal dari kebahagiaan. Adik-adiknya kini bisa merasakan pendidikan yang layak tanpa ada rasa Rian karena tidak membauyar uang sekolah lagi. Ibunya juga merasa sedikit lega karena beban berat dipundaknya bernyarang sudah. Rian juga sering menghibur dirinya dengan berkata kepada dirinya: “Ayah, aku tidak bisa merawatmu dengan tanganku sendiri, tapi aku akan menjaga mereka dengan segenap jiwaku. Aku bisa menjadi sepertimu, ayah yang kubanggakan dan kuingat sebagai ayah.Biarkan Rian berjuang untuk satu nama, yaitu keluarga.”

126

BARISAN HAPORIK YANG MENJENGKELKAN Hotmauli Saragih

Haporik... haporik... keluh Rina pada lekukan tubuhnya yang menjengkelkan. Saban hari lekukan itu terus mewarnai hidup Rina dan Ibunya. Tak peduli pagi, siang ataupun sore. Tak peduli Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu dan kembali ke hari Senin. Membosankan, tapi cuma itulah yang dapat dilakukan oleh burung-burung itu agar dapat memperoleh sebiji padi demi kelangsungan hidupnya di muka bumi ini. Musim panen telah tiba. Padi-padi telah menguning. Menguning di antara rerumputan dan dedaunan pelepah hijau kelapa. Tak pernah terpikirkan oleh Rina akan peristiwa ini. Rina dan orang-orang di sekitarnya terkesima memandang barisan burung-burung itu yang begitu teratur.

***

Dahulu sebelum ibu Rina membeli ladang itu, ladang tersebut tak pernah ditanami, banyak orang mengatakan bahwa di ladang itu banyak roh-roh nenek moyang bergelantungan di pohon-pohon kelapa. Pasalnya ladang itu dulunya milik Opung Samosir yang mati akibat terjatuh dari pohon kelapa. Kematiannya begitu aneh hanya jatuh dari pohon kelapa yang tidak seberapa susah; tidak terlalu tinggi untuk di panjat. Sehingga banyak orang yang menyimpulkan bahwa ladang itu sangat angker. Tempat makhluk halus tinggal dan bermain-main. Lihat saja keadaan ladang tersebut, rumput liar dimana-mana, ular dan binatang melata lainnya banyak bergerayangan di antara semak belukar. Suasana Seram dan menakutkan bagi orang yang lewat dari ladangan itu. Melihat kondisi itu, anak Opung Samosir, Pak Samosir, berniat untuk menjual ladang itu. Sejak kematian Opung Samosir, Pak Samosir sudah malas mengurus ladang itu, “Tak bermanfaat” timpal dirinya 127

ketika melihat ladangan itu. Teman-teman seprofesinya ia tanyai, tetangganya ia rayui agar mau membeli ladangnya itu, tapi tak ada juga yang berniat untuk membeli ladangnya Entah kenapa, Ibu Rina berniat untuk membeli ladang tersebut. Ibu tersebut salah satu keturunan Rajasonang, sebab dia Boru Harianja . Awalnya pak Samosir gundah akan niat Ibu Harianja untuk membeli ladangnya. Karena Pak Samosir mengetahui kondisi atau keadaan keluarga Ibu Rina yang tidak mampu. Rumahnya hanya berlantaikan tanah tanpa polesan cat, berdindingkan papan yang sesekali diselingi kardus untuk menutupi ruangan yang bolongbolong, berperabotan biasa saja tanpa ada barang yang istimewah di rumah tersebut, bercahayakan rembulan dan semprong pada malam harinya. Serta beratapkan seng bekas dari kutipan sisa-sisa berendeng rumah yang ketika itu sedang mengganti seng lama dengan seng baru. “Mustahil baginya untuk untuk membeli ladangku itu” timpal Pak Samosir dalam hatinya. Semangat dan keteguhanlah modal utama ibu Harianja untuk membeli ladang itu. Ibu Harianja memelas belas kasihan pada Pak Samosir dan keluarganya agar mau menjual ladang itu untuknya. Melihat keinginan ibu Rina yang begitu keras dan di tambah lagi ladang itu belum jua laku pada orang, maka Pak Samosir menyetujui keinginan Ibu Harianja. Tawar menawar pun berlangsung. Tersentak Pak Samosir kaget mendengar penawaran yang diucapkan Ibu Harianja. Pemikiran Pak Samosir memang benar bahwa ibu itu tidak mempunyai uang untuk membeli ladangnya tersebut. Niat dan Impian Pak Samosir pupus seketika ketika mengetahui ibu itu tidak punya uang. Ibu Harianja berencana untuk membeli ladang itu ketika dia punya uang cukup nantinya dan dia berharap agar ladang itu tidak dijual pada siapa-siapa lagi kecuali pada dia seorang. Pak Samosir semakin bingung. 1. Dalam adat Batak Toba, Harianja dan Samosir merupakan salah satu marga kumpulan Sirajasonang sehingga begitu kentallah hubungan di antara mereka berdua.

128

Pak Samosir kasihan dengan kondisi Ibu Harianja yang hanya bekerja sebagai tukang cuci kain di rumah tetangga dekatnya. Ia tidak memiliki pekerjaan yang layak dan menetap sebab ia hanya berijazahkan SD saja. Tiap kali ada tawaran untuk mencuci kain tetangganya maka dia akan dipanggil. Ibu Harianja hanaya memperoleh upah setiap kali selesai mencuci kain, upah tersebut dia gunakan untuk mencukupi kebutuhan sekolah anakanaknya dan juga untuk kebutuhan sehari-hari mereka di rumah. Ibu Harianja merupakan tulang punggung keluarga. Dia memegang dua karakter tokoh kehidupan yakni sebagai ibu dan sekaligus ayah bagi anak-anaknya, bersebab suaminya telah di panggil Tuhan empat tahun yang lalu ketika Rina masih berumur lima tahun. Ia meninggalkan Rina dan dua orang adik Rina yang masih kecil serta ibunya, karena diserang penyakit lever; penyakit yang telah menghantuinya selama bertahun-tahun lamanya. Walaupun ayah Rina telah meninggal, Ibu Harianja tidak ada keinginan sedikit pun untuk mencari ayah baru bagi anak-anaknya, dia memegang teguh prinsip orang Batak bahwa “ Anakho ki do hamorahon diahu ”. Segala macam usaha dia lakoni agar dapat memenuhi kebutuhan mereka serta dapat mewujudkan impiannya untuk membeli ladang Pak Samosir. Sedikit demi sedikit upah mencuci kain dia kumpulkan dan di tambah lagi tabungannya sehingga membuat uangnya lumayan banyak. Namun belum cukup banyak untuk membeli ladang Pak Samosir secara kontan. Pagi yang indah memberikan semangat baru untuk ibu Rina. Ia dipanggil untuk mencucikan kain keluarga Pak Samosir, karena istrinya sedang sakit. Setelah pekerjaan mencuci kain itu selesai, dia pun menanyai tentang ladang milik Pak Samosir itu. “Ito, aku mau nanya, apa ladang ito itu sudah laku?” Tanya ibu Rina “Belum juga bah…sudah lama aku tunggu-tunggu, tapi . Anaknya adalah segalanya bagi dirinya.

129

tak ada juga orang yang mau membeli ladang ku itu.” tutur Pak Samosir. Ibu itu merasa senang sebab ladang itu belum juga laku pada orang lain dan ada secercah harapan buatnya untuk mendapatkan ladang itu. “Ito bagaimana kalau ladang itu aku saja yang beli. Tapi aku bayar setengah dulu uangnya, “ pinta Ibu Rina. “Tak maulah aku. Karena aku mau uang kontan,” jawab pak Samosir “Aku janji ito, setelah aku panen akan aku lunasi setengahnya lagi” rayu Ibu Rina. Pak samosir terdiam sejenak sambil berpikir. “Baiklah kalau begitu. Tapi ada syaratnya. Hasil panen mu itu nanti harus kau berikan seperempatnya buatku, bagaimana?” cetus Pak Samosir. Ibu itu terdiam sesaat mengkaji dengan jelas syarat yang di ucapakan pak Samosir itu. Tak ada jawaban sedikit pun. Dalam benaknya hanya ada ribuan kata “tidak” diselingi satu demi satu kata “ya”. Ibu itu meminta waktu untuk berpikir mengenai syarat itu dan ia pun segera berlalu dari hadapan Pak Samosir. Pertanyaan itu terus membayangi pikiran ibu Rina dan sesekali ia lampiaskan lewat hentakan kursi yang reok yang sedang ia duduki. Keesokan harinya, ia menemui Pak Samosir, segenggam uang dan keyakinan serta tekad yang kuat menemani langkahnya yang terkadang terseok-seok. Akhirnya dia sampai juga di rumah Pak Samosir. Secepat kilat ia menyerahkan uang itu dan menyetuju segala persyaratan yang telah di cetuskan oleh Pak Samosir semalam. Dengan langkah yang lepas ia berlalu dari hadapan Pak 130

Samosir. Seminggu setelah Ibu Rina menyerahkan uang itu dia pun langsung mengurus ladang itu. Banyak beban dan masalah telah dia lalui mulai dari niat membeli ladang itu, sampai persyaratan yang diajukan Pak Samosir dan juga sekaligus dalam mengolah ladang itu sehingga menghasilkan padi yang kian menguning hingga sampai saat ini. Kring… Kring… kring…… teriak Rina sambil menggetarkan kaleng rongsokan di tangannya. Maklumlah saat itu adalah musim panen. Banyak haporik beterbangan di angkasa. Lamunan Rina berakhir, seketika itu haporik mau menghampiri padi miliki keluarga Rina, dan pada saat itu juga Rina langsung mencabik tumpukan tanah di sekitarnya, dikepalnya dan langsung dilemparkanya pada rombongan haporik itu. ternyata sasarannya nyasar tidak mengenai rombongan haporik itu.

“Oh …, busyet…. Gumamnya kesal”

Kembali dia cabik tumpukan tanah di sekitarnya. Dia kepal dan dikeker lebih terarah lagi. Dan seketika itu ia lemparkan kearah haporik itu.

“Plak, kena” “Mati kau keparat!” timpal Rina ketika melihat kondisi burung itu. Segerombolan haporik terbang mengudara mengelilingi ladang lain yang tak berpenghuni. Pun sekejap gerombolan burung-burung itu kembali mengelilingi ladang milik keluarga Rina. Sekembali lalu burung-burung itu, kaleng-kaleng pun digetarkannya layaknya penunggang kuda yang sedang berpacu. Seraya penambahan cacian sekedarnya. Haporik berkelit. Haporit . Sejenis burung pemakan padi-padian

131

itu kembali berputar mengelilingi ladang lain dan sekejap pun haporik itu kembali lagi, tak sempat Rina biarkan haporik itu menungkik hinggapi padinya. Padi yang selama ini diperjuangkan oleh ibunya, padi yang akan menafkahi keluarganya, dan padi yang akan diserahkan seperempat bagian dari ladang itu pada Pak Samosir untuk melunasi utang Ibunya. “Tak kan kubiarkan haporik ini menghabiskan padiku” timpal Rina dalam hatinya. Seharian Rina dan ibunya mengusir haporik. Tenaga dan pikiran mereka telah terkuras karena mengusir haporik. Sangat melelahkan, harus bangun pagi-pagi buta, terbangun dari mimpi yang menjadi tumpuan kebahagiaan sesaat Rina, sebab kenyataan tak menerimanya lagi. Kadang kala ketika Rina sedang belajar, pikirannya sering kali tertuju pada ibunya. “Bagaimana ibuku ya?” apa dia kerepotan menjaga padi itu?” Apa ibu sudah makan pagi?” tanyanya dalam hati. Beberapa hari ini ibunya sering lupa makan. Ia lebih memfokuskan pikiranya pada serbuan haporik sehingga sesekali wajah ibunya pucat dan perangainya lemas saat beraktivitas. Kadangkala ia sering menangis, tak tahan melihat ulah haporik yang bergerombolan menyusup dan menikmati biji-biji padi tanpa berucap terima kasih, pergi begitu saja. Buktinya selesai ia menikmati padi itu, ia terbang tanpa memikirkan hentakan sayapnya telah memporak-porandakan padi yang ada di sekitarnya. Mati dan terjatuh di balutan tanah. Selesai pulang sekolah Rina bekali diri untuk tenaganya sampai menjelang sore hari nantinya. Sepotong ikan asin, tempe dan daun singkong dengan sepiring nasi serta pencuci mulut, sebuah pisang. Tak menjadi masalah baginya. Hari ini merupakan penentuan kuantitas padi Rina. Besok adalah masa tuai, masa dimana petani akan menikmati hasil panennya. Apabila hari ini padinya habis dimakan haporit, sia-sialah usaha ibu Rina selama ini. 132

Hanya kekosongan belaka yang akan mereka didapat.. Tak terasa, sang mentari berlahan hilang masuk keperaduannya. Hanya ada kegelapan dan rembulan menemani langkah mereka berdua menuju rumah. Cucuran keringat menyertai Rina dan ibunya. Perang telah usai. Esok Padi akan dituai. Mencabik potongan-potongan padi. Menghantamkannya pada bilah-bilah kayu dan menjemurnya seharian serta menggilingkannya ke pabrik ternama yang ada di kampung. “Boru , tolong ya belikan lagi goni bolang ke pasar” suruh ibu dengan senyum. Janji adalah hidup. Itu adalah perkataan ibu yang sampai kini terngiang ditelingaku. “apabila janji tidak ditepati, tandanya hidup tidak berarti lagi”. Ibu menepati janjinya pada Pak Samosir. Sisa uang dan persyaratan itu telah ia bayar. Ladang sudah menjadi milik keluarga kami. Masa suram sudah terlewati. Tak ada benci apalagi caci. Ibu telah mewujudkan mimpinya untuk memiliki ladang. Malam membelam, sepi telah menghampiri kampung dimana Ibu Harianja tinggal, sementara Rina, Ibunya dan juga kedua adiknya, sedang duduk di beranda depan rumah mereka sambil bercerita tentang kehidupan yang telah mereka lalui Dan untuk sementara waktu hidup mereka tidak akan di ganggu oleh barisan-barisan haporik yang menjengkelkan itu.

. Panggilan kepada anak perempuan pada adat batak toba

133

SI KOLERIK AMBISIUS Beslina Afriani Siagian

Aku adalah seorang koleris yang tak teruntuhkan. Aku adalah hati yang selalu terjaga dan terbebani tanggung jawab kepada orang-orang terkasih. Aku adalah prinsip yang tak tergoyahkan layaknya batu di tepi laut yang tak pernah pecah meski dihempas sang badai. Aku adalah dunia indah penuh kesuksesan tanpa rayuan. Aku, hatiku, prinsipku, dan duniaku adalah hartaku. Maka, ketika ada seseorang yang telah jatuh bangun mengejarku dalam rentetan waktu, aku malah tak bergeming dan hanya memandang dengan tatapan kosong. Menawarkan diri menjadi penjaga hati pun tak pernah kugubris. Tatapanku selalu jauh ke depan menerawang tantangan dan rintangan masa depan menuju puncak. Maka terbentuklah aku menjadi ‘Kolerik Ambisius’. Ketika aku sedang asyik meraup indahnya dunia ambisi, aku malah diintai oleh sepasang mata Adam yang selalu saja mencoba mencuri hartaku. Aku terus saja menjaganya erat. Memeluknya, merengkuhnya, dan bergumul menyangkal diri menjaga keselamatan hartaku. Aku takut si Adam tersebut merebut hartaku hingga aku terpedaya dan jatuh dalam rengkuhannya. Aku mau jadi aku. Aku tak ingin menjadi si Adam. Oleh karena itu, aku harus bertanggung jawab. ‘Aku harus menjaga hartaku’, pikirku dalam hati. Pagi itu, seperti biasa, pesan singkat darinya selalu berkejarkejaran dengan suara kokokan ayam. Aku terbangun dan mencoba menyadarkan diri. Mendelik ke jendela dan menghirup udara pagi seraya berucap: “Thank’s God”.

Lalu dengan langkah gontai, kubuka Si Mobile Phone yang 134

kubiarkan menjomblo selama semalaman. Di dalamnya terlihat pesan singkat dari ‘Tangkal’ (nama yang sengaja kubuat agar aku ingat bahwa dia adalah orang yang mau mencuri hatiku dan aku harus berani menangkalnya). Pesan itu berisi: “Hari ini aku telah mendahului suara kokokan ayam. Aku menang! Semoga aku juga bisa memenangkan hatimu. Selamat pagi Putri manis... Cepat bangun! Ini sudah pagi. Selamat beraktivitas ya!” Demikian isi pesannya. Dan seperti biasa, aku hanya mengernyitkan kening membaca pesan darinya seraya berkata: “Menjijikkkan”. Kejadian seperti ini selalu saja menghiasi hari baruku setiap pagi. Bahkan terkadang aku merasa “De Jafu” bila harus mengalami kejadian itu. Rasanya dunia ini mau kiamat bila harus membaca pesanpesan gila darinya. Aku dan hartaku terlalu asyik meniti kesuksesan sehingga kami tidak mau diganggu oleh tawaran Si Tangkal. Meski tak terlewatkan waktu 1 jam tanpa sapaan darinya, tapi tak sedikit pun aku mau memberinya kesempatan. Aku dan hartaku terlalu keras untuk dilunakkan. Namun, aku bingung dengan sikap Si Tangkal yang begitu sabar. Begitu banyak pasokan kesabaran yang dia simpan sehingga dia begitu tekun menghadapiku. Bahkan meski telah tiga tahun melabuhkan hati padaku dan tidak kuhargai, tak pernah sedikit pun dia menjauhkan pandangannya dariku. Setia sekali. Berbagai cara telah dia lakukan untuk mendapatkan hatiku yang terjaga. Tak berhasil. Telah semua jalan dilalui untuk dapat mencuri prinsipku, tapi gagal juga. Bahkan duniaku juga belum bisa dia dapatkan. Dan aku bersyukur karena hartaku masih utuh. Esoknya hari telah berganti. Hari kemarin telah berlalu meninggalkanku. Kehidupan baru telah menyambutku. Tapi ada yang berbeda dari hari-hari sebelumnya. Aromanya lain. Tapi cukup lama berseteru dengan otak yang bermutu “Celeron”, aku tetap saja tak dapat mengingat hal-hal yang tidak kudapati hari ini. Semuanya 135

galau. Berpikir lagi, tetapi tak mampu. Akhirnya kuputuskan untuk mandi sembari mengingat keanehan hari ini. Namun, baru saja masuk ke dalam ruangan kamar mandi, barulah aku teringat akan keanehan itu. Kupandangi tong sampah yang duduk manis di kamar mandiku. Di dalamnya ada sekuntum bunga yang dibungkus dalam plastik yang indah berkilauan. Aku membuangnya ke tong sampah karena aku tidak menyukai orang yang memberikan bunga itu. Lama kutatap bunga itu, bunga cantik pemberian Si Tangkal. Dan ternyata keanehan yang terjadi disebabkan Si Tangkal. Pagi ini, tidak ada sapaan darinya. Si ayam telah mendahului sapaannya. Aku masih ingat hari kemarin, dengan matanya yang sayu, dia memohon agar aku menerima bunga darinya sambil mengatakan: “Kau akan menambah hidupku satu hari, apabila kau menerima bunga ini” “Aku tak bisa menambah hidupmu”, ujarku. “Tidak. Aku yakin kau pasti bisa”, jawabnya sambil memegang lenganku. “Aku mohon”, katanya sambil menjatuhkan tubuhnya lalu berlutut memohon kepadaku. Lalu dengan tangan kiriku, aku melepaskan tangannya dari lengan kananku. “Berhentilah menggangguku. Bila dengan menggangguku, hidupmu akan bertambah, sebaliknya, bila kau terus menggangguku, hidupku akan berkurang. Jadi, bila setiap hari, hidupku juga berkurang satu hari, lama-kelamaan aku akan mati. Aku tidak akan ada lagi di dunia ini. Dan kau akan menyesal seumur hidup. Jadi, tolong hentikan segala tingkah konyolmu. Aku muak”, ujarku dengan lantang. Jantungku berdegup kencang mengatakan hal itu. Sebenarnya semuanya tidak separah apa yang kukatakan. Itu hanya 136

ku-hiperbola-kan saja. Tapi aku harus mengatakannya karena aku ingin melepaskan diri darinya. Lagi-lagi aku tidak mau kalau dia mencuri hartaku. Saat itu, ketika mendengar perkataanku, dia sama sekali tak bergeming. Dia hanya mengeluarkan air mata. “Tak biasanya”, pikirku. Meski aku selalu kasar kepadanya, dia tidak pernah menjatuhkan air matanya. Tapi hari itu berbeda. Lama aku bergumul dan mengingat kembali kejadian kemarin. Dan sekarang aku hanya bisa memandang bunga yang diberikannya. Barulah aku ingat bahwa keanehan hari ini adalah nihilnya sapaan darinya. Bahkan meski sudah jam 7 pagi begini, Mobile Phone milikku tidak berbunyi sama sekali. Ada yang hilang dariku. Lalu aku mandi dan mencoba memikirkan hal lain untuk menggeser pikiranku darinya. Setelah selesai mandi, aku teringat akan air matanya lalu secara spontan aku langsung mengambil bunga itu dari tong sampah dan menempatkannya di atas meja kamarku. Setelah mempersiapkan diri untuk menerjang hari baru, aku bergegas pergi ke kampus. Tidak seperti biasanya. Hatiku tidak enak. Anganku melambung jauh mencari sesuatu yang hilang. Namun tak teraih. Semuanya galau. Sesampainya di kampus, aku memulai hariku dengan memunculkan ilmu-ilmu yang kudapat setelah bertapa dan stay up selama semalaman. Aku belajar, berdiskusi, mengerjakan tugas, dan menggumuli semua ilmu layaknya melahap makanan. Namun, tak bermakna. Akhirnya, aku meninggalkan semua aktivitas itu. Aku ingin mencari ketenangan, dan tempat basecamp yang paling nyaman bagiku saat itu adalah kantin yang terletak jauh dari hiruk pikuk para intelek yang mungkin akan membuatku urat intelekku turut tuing-tuing. Lalu aku pergi menuju kantin yang kumaksud. Sesampainya di sana, aku memesan makanan.

137

“Mbak, aku pesan nasi seafood plus ikan gurami satu porsi dan minuman dingin satu botol”, ujarku sambil menunjuk menu makanan yang disediakan dalam secarik kertas. “Baik, Mbak. Silahkan menunggu”, jawab sang waiter yang berparas cantik itu. Sembari menunggu hidangan makanan, aku mengambil koran yang sengaja disediakan di dalam ruangan itu. Betapa terkejutnya aku ketika melihat berita utama dari koran tersebut yang memuat gambar Si Tangkal. Di dalam koran tersebut dikatakan bahwa seorang pria ditemukan mati mengenaskan di lantai bawah sebuah pusat perbelanjaan. Modus kematiannya adalah karena tekanan berat yang dirasakan sekian lama. Hal itu didapat dari bukti TKP. Satu-satunya yang dapat menuntun polisi menyelidiki kasus tersebut adalah selembar surat yang ditemukan di dalam genggaman korban. Bunyi surat tersebut demikian : Oretan ini kutujukan untuk seseorang yang sangat kukasihi, yang telah membuatku tegar, meski hanya sementara waktu.Aku tau kau tidak akan pernah mencintaiku karena kau terlalu tinggi untuk diraih. Kau terlalu teguh untuk digoyahkan. Kau dengan’ harta’ yang selalu kau agungkan itu tidak akan pernah kudapatkan. Padahal alasanku untuk tetap bertahan hidup adalah kau dan hatimu. Satu tahun yang lalu setelah aku mengejarmu, dokter telah memvonis umurku dengan alasan ‘leukimia’. Namun, aku tidak goyah. Setiap kali berkejar-kejaran dengan kokokan ayam untuk membangunkanmu, aku merasa ada kekuatan baru untuk memulai hidupku. Setiap kali, aku berlutut untuk memohon cinta darimu, ada gelombang-gelombang besar yang menghempaskank. Meski selalu kau acuhkan, tetapi aku selalu gembira. Bahkan aku selalu merasa mendapat cadangan nafas. Itu alasannya aku selalu mengejarmu. Karena aku merasa ada hidupku di dalammu. Namun, setelah tiga tahun mengejarmu, bahkan sampai air mataku menetes, kau tidak memberiku hidup sepenuhnya. Kau 138

terlalu tamak untuk menyimpan hidup seseorang. Oleh karena itu, sebelum Tuhan mencabut nyawaku, sebelum darah yang keluar dari mataku, dan sebelum kau menyesal, aku ingin pergi lebih awal dari kehidupanmu. Sekarang aku telah pergi. Terima kasih atas 3 tahun kehidupan yang telah kau berikan. Jagalah ‘harta’ yang selalu kau rengkuh itu. Bila aku tidak mendapatkannya, orang lain pun tidak akan bisa mendapatkannya. Demikianlah isi surat yang dimuat dalam koran hari itu. Sontak aku berlari mendatangi tempat kejadian dan meninggalkan kantin. Setelah berperang melawan kemacetan, aku sampai di tempat kejadian. Aku langsung menemui polisi yang bertugas menangani kasus itu. Dari keterangan polisi penyidik, diidentifikasi bahwa kasus itu adalah murni kasus bunuh diri. Bahkan ditemukan juga bahwa korban adalah penderita leukimia stadium tinggi. Selain itu, penderita juga pengguna narkoba. Dan hal yang paling mengejutkanku, korban yang selama ini kusebut Si Tangkal adalah orang yang sedang tertekan batinnya. Itu artinya, sebelum bunuh diri, dia sedang mengalami depresi berat. “Apa itu gara-gara aku?”, desahku. “Apa yang barusan Anda katakan?”, kata polisi yang dari tadi memperhatikanku. “Tidak, Pak”, tukasku. “Ada hubungan apa dengan korban?”, tanya beliau. Aku Menggeleng-gelengkan kepala sembari berlari jauh dari tempat itu. Aku ingin meninggalkan semua kegilaan itu. Aku tidak menyangka semua ini akan terjadi. Semua masalah itu bergelayut dalam pikiranku. Otakku sungguh sangat sulit mencernanya. Apakah aku, hatiku, prinsipku dan ‘Kolerik Ambisiusku” telah membuatku menghilangkan nyawa seseorang? Tiga tahun aku 139

diberi waktu untuk memberinya semangat, tapi aku tidak pernah mempergunakannya dengan baik. Sejahat itukah aku? Untuk menginternalisasi semua yang terjadi, aku butuh waktu seminggu mengurung diri untuk hidup baru. Kekolerikanku dan hartaku telah membunuhnya. Berakhirlah Si Tangkal. Berakhirlah sapaan paginya. Berakhirlah bunga-bunga pemberiannya. Dan aku sedang dalam proses membunuh ‘Kolerik Ambisius’ yang selama ini membuntutiku. Aku, prinsipku, hatiku dan duniaku telah kutinggalkan untuk merubah diri ke arah yang lebih baik. Sejak kejadian itu, aku ingin menjadi orang yang ‘let it flow’.

Maafkan aku Tangkal...

Aku akan menjaga hati yang telah kau perjuangkan selama tiga tahun. Benar katamu, bila kau tidak mendapatkannya, orang lain pun tidak akan memilikinya. Akan kupersembahkan ini semua untukmu. Bahkan aku berjanji untuk membagikan kasih yang telah engkau berikan kepada pengidap ‘leukimia’, pengguna narkoba dan pengidap kelainan jiwa yang kutemui. Aku akan mengabdi kepada orang-orang yang pernah merasakan hal yang sama dengan yang kau rasakan. Tenanglah di sana. Hatiku akan selalu terjaga untukmu.

***

140

KUPU-KUPU KEADILAN Dahriansyah Situmeang

“Kami tidak mau digusur, ini adalah tanah kami. Tempat kami mengais rejeki mempertahankan hidup kami dan keluarga kami. Seenaknya saja kalian mau menggusur tempat ini. Kami mempunyai hak di sini, kami mempunyai surat atas tempat ini. Setiap hari kami membayar retribusi tempat kami berjualan. Sudah dua puluh tahun kami berjualan di sini. Tanpa ada pemberitahuan, kalian dengan arogannya mau menggusur kami. Kami tidak terima. Sampai kapan pun kami tidak mau digusur. Kami menolak penggusuran. Katakan pada penguasa kalian, dimana janjinya sewaktu sebelum jadi penguasa.” Kata-kata Bu Nursam sontak membakar jiwa seluruh pedagang lain yang mempertahankan haknya. Tidak ada pilihan lain memang. Ketidakadilan harus dilawan, sekali melangkah ke depan pantang untuk berhenti. Aku, Bu Nursam dan pedagang lain harus menghadapi kenyataan ini, yaitu penggusuran. Kata-kata yang cukup membuat telingaku muak mau muntah mendengarnya. Hari ini ketakutanku akhirnya datang juga, tempat kami berjualan akan digusur. Tidak ada ganti rugi, relokasi tempat, itulah kabar dari pemerintah. Kabar yang membuat ku tertawa geli sekaligus melolong merintih mendengarnya. Rasanya seperti orang gila aku melihat semua kenyataan ini. Kabar yang mengatakan bahwa tempat kami merusak keindahan kota, sehingga harus digusur dan dijadikan rumah mewah. Dan dengan seluruh propaganda dan alasan sampah mereka. Kami menjadi korban dari hasrat serakah mereka, rakyat kecil seperti kami yang dijadikan sapi perah. Sungguh ironi melihat kenyataan di negeri ini. Di mana kaum kapitalis dapat dengan

141

mudah mendapatkan keinginannya. Tentu saja mereka sudah bekerja sama membuat rencana busuk dan kotor terhadap kami. Kami sebagai rakyat hanya dianggap sampah busuk yang harus dibuang jauh-jauh oleh penguasa. Dengan alat seadanya, kami berhadapan dengan aparat. Kami pun memanfaatkan alat seadanya sebagai bentuk perlawanan. Gayung, ember, sapu, batu, kayu tak luput dari tangan kami. Aku sendiri memegang sendok goreng, yang diberikan Bu Nursam, sambil menatap sendok goreng, aku tertawa dan menangis. Dua perasaan ini kalau bercampur sangat aneh rasanya. Pembaca harus merasakannya. Sebagai seorang perempuan baru kali ini aku berhadapan dengan aparat. Ada rasa ciut, gemetar, benci bercampur sedih menggelayut di benak dan otakku. Alat yang kami punya sangat kontras sekali dengan tameng dari aparat itu. Buldozer, traktor, pentungan, eskavator dan berbagai alat berat lainnya. Itulah yang harus kami hadapi. Namun kami tidak takut lagi dengan semua itu. Mungkin karena kami mempertahankan hak kami, yang seharusnya menjadi miliki kami, keadilan yang harus kami tuntut dan dapatkan. Kami seakan berubah menjadi petarung-petarung sejati menghadapi mereka. Kami tidak akan membiarkan taring-taring tajam mereka menusuk dada kami dengan mudah. Melukai tubuh kami dengan alat kotor dan hina dari mereka. Sampai titik nadir kami akan mempertahankan hak kami. “Mari kawan-kawan, hadapi apa pun yang terjadi. Ingat yang kita perjuangkan adalah hak kita. Ketika jalan perdamaian tidak lagi menjadi jembatan kita. Jalan kekerasaan mungkin sudah jadi pilihan paling baik kita. Tolak penggusuran, kesewenangwenangan, ketidakadilan, keserakahan pihak penguasa.” Orasi Bu Nursam semakin meyakinkan kami untuk berjuang.

‘Keadaan pasti kacau, Chaos tak terelakkan lagi’. Batinku 142

sembari bergerak maju. Kata-kata yang kudapatkan dari Bu Nursam. Seorang aktivis rakyat, yang tak kenal lelah memperjuangkan keadilan. Sekalipun suaminya tewas dengan misterius setelah melakukan demonstrasi menuntut keadilan di negeri ini. ‘Akankah nasib Bu Nursam akan berulang lagi seperti suaminya yang telah dulu meninggalkan dia?’. Pikiran itu tiba-tiba muncul. Entah dari mana. Tapi yang pasti saat ini kami akan menghadapi musuh kami. Orasi-orasi dari Bu Nursam makin melengking menembus hari yang panas. Membuat kawan-kawan semakin kuat menghadapi apapun yang terjadi. Pihak aparat tinggal menunggu komando. Seperti seorang pembunuh menunggu perintah. Siap menerkam kami dengan kuku-kuku hitamnya. Himbauan dari aparat lewat megaphone kepada kami untuk segera menyingkir seakan dianggap mesin rusak oleh kami. Bahkan kami membalas himbauan tersebut dengan sorak perlawanan dan orasi. Barisan kami semakin rapat dan solid, membendung segala kemungkinan pergerakan mereka. Kata-kata cemoohan, makian, cacian spontan keluar dari mulut kami, seakan mengisyaratkan kepada mereka bahwa kami sudap siap menghadapi mereka. Suasana yang panas ditambah lagi dengan hari yang terik memaksa kami harus menahan diri. Kami tidak ingin berbuat konyol dan sia-sia. Kami seakan menunggu reaksi dari mereka. Merasa tidak diindahkan perintahnya, aparat dengan perlahan mulai maju setelah dapat komandu untuk melakukan penggusuran secara paksa. ”Sepertinya tidak ada pilihan lain, maju ke depan atau mati secara hina.” Semangat terakhir Bu Nursam kepada kami. Tak perlu menunggu komando kami maju dengan modal kepasrahan semoga keadilan memihak kami. Pembubaran paksa pun akhirnya tak bisa dielakkan lagi. Bentrokan tak bisa dihindari. Pemukulan secara membabi buta melengkapi bentrokan antara rakyat dengan aparat. Segala alat berhamburan ke udara. Kontak 143

fisik jelas sudah jadi pilihan pas untuk saat itu. Aku sendiri mundur kebelakang dengan beberapa wanita lain. Deru mesin bergerak menghancurkan bangunan tempat kami berjualan. Darah berhamburan di mana-mana. Kayu dan batu melayang-layang di udara mencari sasaran masing-masing. Kaca-kaca alat berat pecah berkeping-keping. Keadaan tambah kacau, banyak yang terluka dan terkapar tak berdaya. Tanpa ada rasa kasihan aparat terus memukul kami dengan alat mereka. Aku tak terlepas dari pemukulan, bibrku pecah, kepala ku bocor terkena pentungan aparat. Begitu juga dengan kawan-kawan yang lain. Perlawanan kami tak membuahkan hasil, yang ada hanya membuahkan darah di mana-mana. Dalam keadaan tak berdaya aku melihat alat berat meratakan tempat kami. Tangis rintih tak terbendung lagi dari pelupuk mataku. Lolong jerit keluar spontan dari mulutku mengutuk perbuatan jahannam dari penguasa. Dalam kekalutanku aku masih sempat mencari-cari Bu Nursam. “Bu Nursam di mana?” tanya ku pada kawan ku yang sama seperti ku terkapar tak berdaya. “Tidak tahu, tapi tadi samar-samar kulihat dia dibawa ke pinggir oleh dua orang berbaju seba hitam.” Ia menjawab dengan suara parau. Darahku terkesiap mendengar jawabannya. Aku mencaricari segala sudut tempat ini. Berharap melihat Bu Nursam, Samarsamar kulihat siluet Bu Nursam. Aku pastikan lagi dengan mata dan otakku. Benar itu Bu Nursam, dengan muka berlumuran darah. Kulihat dia diangkut ke mobil seba hitam. Aku berusaha memanggilmanggil Bu Nursam. Tapi tak di dengar. Aku makin merintih melihat kepergian Bu Nursam. Yang entah di bawa kemana, dan akankah aku akan bertemu dengan dia lagi. Astaghfirullah. Masih adakah keadilan di negeri ini? Coba cawab pertanyaan ku ini. Wahai kawan-kawan.

144

Pikiranku kalut tak bisa berfikir, sementara darah terus bercucuran dari pelipis mataku. Dan aku terkapar tak sadarkan diri.

Untuk korban penggusuran di Surabaya

145

SENJA DI ATAS KEBUN Siti Aisyah

Lantunan adzan subuh yang berkumandang di berbagai kampung menggema menelusuri pohon karet yang mengelilingi sebuah gubuk yang letaknya kira-kira satu kilometer dari perkampungan. Seiring dengan kokok ayam yang saling bersahutsahutan membuat Marni terjaga dari tidurnya. Dengan mengusap kedua matanya ia melirik ke samping, terlihat kedua saudaranya masih lelap dalam tidurnya. Sejenak Marni termenung, sesekali ia memandangi sekeliling kamar. Tiba-tiba pandangannya tertuju pada satu arah, di situ terpampang sebuah foto yang tidak terurus di dalam foto itu terlihat seorang wanita cantik dengan toganya. Wanita itu adalah kakaknya. Hmm…! “Kapan ya aku bisa seperti kakak, memakai toga yang begitu indah itu.” Dalam hati Marni menghayal dan membayang-bayangkan bagaimana kalau suatu saat ia memakai toga itu. Tidak lama kemudian ia bergumam dalam hati. ”Ah, rasanya tidak mungkin”. Kalau kami semua bersikeras akan melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi seperti kakakku, lantas bagaimana dengan orang tuaku? Aku sudah tidak sanggup lagi melihat kedua orang tuaku bersusah payah bekerja membanting tulang di bawah teriknya matahari demi untuk mencukupi kebutuhan anak-anak yang mereka sayangi.

Penderitaan keluargaku memang berat, agar kami semua 146

bisa bersekolah kami harus ikut membantu orang tua. Kami yang memang dari dulunya tinggal dikebun terkadang merasa terasing dari kawan-kawan yang lain, untuk mengatasi rasa keterasingan itu, dan pada akhirnya orang tuaku berencana untuk membeli rumah panggung diperkampungan. Di tengah kesibukannya mencari nafkah buat kami ternyata Ayah dan Ibuku masih bisa menabung sedikit demi sedikit dari hasil penjualan sayur-sayuran. Dan setelah beberapa tahun menetap tinggal dikebun akhirnya impian kami untuk tinggal di tengah keramaian tewujud juga. Dahulunya, pukul 06.00 pagi kami sudah harus berangkat kesekolah agar tidak terlambat masuk kelas, meskipun berangkat lebih pagi itu tidak menjadi penghalang lancarnya sekolah kami, karena ketepatan setiap pagi Ibu juga ke pasar membawa sayursayuran yang sudah kami petik kemarin sore. Semua itu kami jalani dengan ikhlas karena semua itu adalah untuk kami juga. Satu hal yang membuat kami tetap semangat membantu orang tua adalah mereka selalu bersikap adil terhadap kami dalam arti tidak pernah pilih kasih. Dan selalu memberi semangat kepada kami agar sungguh-sungguh dalam belajar. Salah seorang di antara kakakku memang sudah ada yang diwisuda tetapi itupun hanya sampai jenjang D3 bukan berarti orang tuaku bisa langsung goyang kaki di rumah karena sejak diwisuda sampai empat tahun berjalan kakakku masih saja bekerja sebagai pegawai honor dengan gaji yang pas-pasan dan itu tidak mungkin cukup untuk kebutuhan keluarga kami malahan kurang. Beberapa saat kemudian…

“Marni…!” “Tiba-tiba terdengar belakang.” “iya Bu.” sahutku.

suara

147

Ibu

memanggilku

dari

Sesegera mungkin aku melompat dari tempat tidur untuk menemui Ibu.

“kamu baru bangun? Kamu lupa lagikan? Tanya Ibu.” “Mmm…maaf Bu.”

Sebenarnya aku sudah bangun dari tadi. Tapi aku betulbetul lupa, kemarin Ibu memang sudah mengingatkan kami semua agar bangun lebih awal, karena hari ini adalah hari minggu, jadi kami harus betul-betul giat membantu Ayah dan Ibu. Ini memang sudah kebiasaan kami. Dan ternyata bukan hanya aku yang lupa tetapi dua orang saudara laki-lakiku juga lupa kalau hari ini adalah hari minggu. Keduanya masih tengah asik mendengkur. “Bang lokot, bang usin….! Bangun!!ini hari minggu, tugas kita banyak,“ ujarku. Dengan wajah sempoyong kedua abangkupun bergegas bangun dan berjalan menuju sumur. Setelah makan kami semua siap-siap berangkat ke kebun, karena sayur-sayuran harus disiram sebelum matahari naik. Karena sekarang adalah musim panas jadi tanaman di kebun harus di siram dan diberi pupuk yang cukup agar ia tetap subur. “Kebun bukan lagi satu tempat yang asing bagi kami,” karena selama ini kami dibesarkan di kebun, kami tidak pernah malu melakukan semua itu. Kedua orang tuaku memang petani yang handal tetapi mereka tidak pernah menginginkan agar kami mengikuti jejak mereka. Jenjang pendidikan kedua orang tuaku memang hanya sampai tamat SD tetapi pemikiran mereka sangat berbeda dengan latar belakang pendidikan mereka, Ayah dan Ibuku selalu mengimpikan agar anak mereka menjadi orang-orang yang berhasil dalam segala hal terutama dalam hal pendidikan. 148

Yang menentukan keberhasilan seseorang itu adalah yang Maha Kuasa, orang tua hanya bisa berdoa dan berusaha dan ternyata kedua saudara laki-lakiku memilih mundur di tengah jalan. Setelah menamatkan SLTP mereka memilih untuk merantau. Semua ini mereka lakukan karena rasa sayang yang begitu besar kepada keluarga. Mereka ingin meringankan beban orang tua. Dalam hati mereka sudah bertekad untuk membiayai sekolahku dan adikku yang paling bungsu sampai ke jenjang yang lebih tinggi. Dan ternyata semua itu bukan hanya tekad atau janji saja. Sekarang keluargaku memang sudah jauh lebih mapan. Ayah dan Ibuku sudah tidak bekerja di kebun lagi, hal itu disebabkan karena keduanya sudah lumayan tua. Dan kami rasa sudah saatnya buat mereka untuk beristirahat menikmati hasil jerih payah yang selama ini mereka lakukan. Demikian juga dengan kami, tak satu orangpun di antara kami yang menetap dikampung. setiap pulang ke kampung aku selalu merasa ada yang aneh dari orang tuaku, terkadang aku melihat kesedihan dimata mereka, semakin lama aku semakin heran dengan sikap mereka, aku mencoba mengajak Ayah dan Ibu untuk menonton sambil bercerita tentang pekerjaan kakakku, tentang sekolah adikku dan tentang kerinduan kami semua akan kembali ke kampung. “Yah, Bu….sebenarnya ada masalah apa?” “Tidak ada masalah apa-apa.” Ibu menjawab dengan suara yang agak gemetar. “Ayah dan Ibu tidak usah berbohong, aku melihat dari wajah Ayah dan Ibu sepertinya ada sesuatu yang terpendam.” “Kami rindu akan suasana kebun yang dulu, kami rindu akan canda tawa kalian semua.” Jawab ayah. “Kami juga merasakan hal yang sama, kami juga selalu merindukan ayah dan ibu tapi kami tidak mungkin menetap dikampung.” Ayah dan Ibu juga tahu bagaimana sulitnya hidup 149

dikampung, dan kalau kami menetap dikampung bagaimana dengan usaha kami dikota? “Ya, Ayah dan Ibu mengerti.” Kami hanya ingin merasakan suasana yang dulu lagi walaupun cuma sekali, Dua bulan selanjutnya, tanpa ada memberitahun kepada Ayah dan Ibu, kami semua pulang ke kampung mengunjungi Ayah dan Ibu. dan keesokan harinya kami berangkat ke kebun,, kami sekeluarga menghabiskan waktu satu harian di kebun sambil mengingat masa kecil kami dahulu bersama kedua orang tua. Hari yang begitu indah kami lalui hingga senja di atas kebun mencibir kepada kami seakan iri melihat keakraban keluarga kami.

150

NURI TELAH MATI Aidil Fitri

Sungguh, kini ia diam membatu. Tubuh litak, kurus. Muka berair berakar. Tentu terawang matanya kosong. Seperti tenggelam ke lembah nestapa dalam. Seluruhnya mungkin ia rasa asing. Seluruhnya seperti kehilangan makna. Dia, kini, dianggap seekor anjing kudisan yang tak salah bila dibunuh. Ia sudah hancur. Hingga luluh. Apalagi, kini sebuah bangku tua, jadi kawan yang baik. Begitu setia, ketika malam-malam dia mulai bercerita tentang ceracau yang antah. Memanggil-manggil nama Nuri, dengan nada yang datar hingga pekik. Atau sekedar tertawa sambil menangis yang tak butuh ekspresi yang benar atau baik. Ia, tak perlu lagi mandi, minum, tidur seperti orang kebanyakan. Cara yang tak benar tentu tidak berlaku bagi orang gila! Tapi, dimana Nuri, ia tak mungkin tiba-tiba buta, tiba tiba tuli, lumpuh atau mati. O, jangan tanya kata cinta atau rindu, tentu hanya jadi cakap jorok bagi seorang lelaki yang akal sehatnya sudah terlanjur masuk ke jurang. Nuri, telah mati. Tapi telah pula hidup lagi lewat tubuh seorang janda muda yang sintal. Ia telah kubur segala hal tentang suaminya yang gila itu di tempat yang paling jauh, gelap dan terpencil dalam lubuk hatinya. Otaknya telah dicuci, digerus hingga benar-benar bersih putih dari kisahnya yang lampau. Jangan pula kita bertanya pada laki-laki itu tentang Nuri, hanya akan disambung diam hingga ceracau yang kacau. ***

Setelah ijab terlontar, mereka berdua memutuskan untuk 151

menetap di sebuah rumah sederhana. Sebuah rumah yang baik ayah atau ibu keduanya tak akan dapat menemukan. Dengan bantuan seorang teman, tentu. Tekad telah kuat. Perselisihan tidak bisa dilanjutkan dengan perpisahan, begitu kira-kira. Menyala hingga beberapa bulan istrinya mengandung fatimah, anak pertama mereka. Tapi tentu, setelah semua reda mereka mulai perbaikan. Sampai akhirnya diterima pelan-pelan. Tapi rupanya disini dimulai pertikaian itu. Mula-mula hanya permintaan agar keduanya tinggal dirumah ibu Nur. Sampai akhirnya percekcokan yang berkepanjangan. Ibu Nur, terlampau ikut campur kehidupan mereka. Sementara orang tua suaminya, kepalang tak berada, tak mungkin untuk ditumpangi. Disinilah dimulai. Ibu Nur, semakin benci dengan menantunya yang tak kunjung kerja. Konon lagi, berkepanjangan. Ia seringkali menyalahkan Nur, tentang pilihannya itu. Hanya menambah beban. Sementara dulu, seorang duda kaya yang kepalang cinta pada Nur, telah mengajukan lamaran kepada ibunya. Tapi Nur menolak. Alasannya tentu laki-laki yang waktu itu masih bergelar calon suami Nur. Akhirnya, tak ada kelanjutan, ibu Nur waktu itu berkeras, tapi Nur nekat kawin lari. Dan kini, rupanya, masih juga serial drama itu berlangsung. Kepulangan Nur, diterima karena ada usaha untuk membuat Nur, membenci suaminya. Perlahan, Nur terpengaruh, ya, cinta sering luntur oleh uang. Tapi, pernah sebenarnya, mereka membuat usaha warung kopi kecil-kecilan, tepat di persimpangan memasuki gang sempit rumah Nur. Tapi, apa kata. Tak mampu bertahan lebih dari tiga bulan. Kurang modal dan banyaknya pelanggan yang memilih 152

hutang, membuat mereka gulung tikar. Pernah pula beberapa usaha lain, seperti menjadi pencari botot, tapi juga kandas. Akhirnya Nur dan suaminya sering bertengkar, saling maki. Suami Nur, tentu takkan menang. Nur bukan hanya dibantu ibunya. Tetapi sanak saudara yang telah dibayar oleh duda jahanam itu untuk memisahkan mereka. Sampai pada suatu hari. Terjadi pertengkaran besarbesaran. Laki-laki itu, suami Nur, dihadang semua saudara Nur, diminta meninggalkan Nur. Atau darah mungkin mengalir. Laki-laki itu, dengan mata yang kalah dan kecintaan yang lembam biram, mundur teratur. Nur tak menoleh, dan anak mereka menangis.Tapi esoknya, ia datangi lagi rumah Nur. Tapi, betapa jatuh hancurnya batinnya. Nur telah pergi. Tak ada yang hendak memberi tahu. Sebuah kabar yang ada hanyalah Nur, diboyong ke tanah jawa. Dan disana ia menikah dengan duda itu. Batinnya benar-benar terpukul. Betapa tidak. Ia masih mempunyai segudang semangat dan segunung harapan untuk membawa Nur dan anaknya memiliki hidup yang sederhana bahagia. Ia terdiam, lama. Hingga akhirnya, hampa yang cipta Mengalahkan akal sehatnya. Ia gila. *** Ia, masih diam. Ceracau pelan terkadang. Sungguh entah berapa puluh tahun ia mendekap bahu. Menimang bayangbayang. Tak ada lagi yang peduli. Keluarga. Hmm, mari kita anggap saja telah mati. Setidaknya khusus untuknya. Malam ini, kumandang azan seperti beku. Terkungkung di gang yang terasa agak jalang ini. Dari jauh, entah siapa. Kali 153

ini ada seseorang paruh baya. Datang dengan langkah lengang. Menghampiri laki-laki itu. Senyumnya lebar dan lega. Ia menghampiri lelaki gila itu dengan penuh syahdu. Ternyata seorang wanita. Dalam samara ia membelai wajah lelaki itu. Lelaki gila itu, tiba-tiba terhenyak. Begitu tersentak. Air matanya berlinang, genang dan begitu ngilu. Tangannya balik membelai. Mereka beradu tangis. Laki-laki itu, mata yang dulu kopong tak bernyawa, tiba tiba memerah dan binar. Satu kata terbata keluar dari mulutnya.

“Nur!” perlahan namun begitu pilu.

Perempuan itu, tersenyum. Menghapus air mata. Dan dengan tenang menjawab.

“Benar! Tapi Nur telah mati, ayah!”



Medan, 2009

154

KETIKA TAKDIR HARUS BERKATA Salimah Tanjung

Aku pasti kembali…! Suara HP terdengar dari kantong celana seorang mahasiswi di sebuah perguruan tinggi di Medan. Sebut saja namanya Serly. Dia adalah anak biologi stambuk 2005 di Unimed. Lagu The Pasto itu mengalun begitu lama dikantong celananya. Dina tiba-tiba mengejutkan lamunannya dari belakang. “Kenapa gak diangkat, Ser? Dari siapa rupanya?” “Dari bang Sani?” “Angkat aja. Sini biar aku angkat.” (Mengulurkan tangannya kehadapan Serly) “Gak usah biarkan aja dulu”. Suara HP itu pun berhenti berdering. Tidak beberapa lama terdengar suara getaran yang sangat kuat dari dalam tas. “Serly, HPmu bunyi itu?” Kata Merry yang duduk di sampingnya. “Iya, biarkan aja. Pasti dari abang tu.” (Mengambil HP dari dalam tas dan melihatnya). “Angkat aja Ser, mana tahu ada yang penting. Sebelum bapak itu datang”. Serly pun keluar dari ruangan yang penuh dengan suara bising seperti kapal pecah. Bermacam suara ada disitu mulai dari suara canda, musik, hingga sampai suara teriakan. Serly keluar sambil membawa HP di tangannya.

“Ya, hallo. Ada apa?” (Ketus) “Hallo, lagi ngapain dan di mana, dek?” 155



“Kenapa rupanya nanyak-nanyak?” “Masih marah ya, dek? Bisa gak nanti kita jumpa?”

Ucapan itu seakan-akan mengempaskan jasad Serly dari dalam tubuhnya dan membawanya ke sebuah gurun pasir yang sangat gersang tanpa penghuni. Dia seakan tidak percaya terhadap yang baru didengarnya tadi. Setelah 5 bulan sehabis wisuda mereka tidak berjumpa. “Halo….!” “Iya”. (Terkejut) “Gimana dek. Bisa kita jumpa nanti?” “Ah….serius nich bang. Abang ada di Medan?” “Iya, Bisa kita jumpa nanti jam pukul 11.00 WIB di tempat biasa”. “Belum tahu bang. Kapan sampai bang? Kenapa gak bilangbilang? Untung Serly gak ada penyakit jantung kalau gak….? Bisa pingsan di sini.” “Tadi pagi jam 8 abang sampai. Tadi malam kan udah abang telepon Cuma gak Serly angkat. Gimana jadinya Ser?” “Ya udah bang. Kita jumpa di tempat biasa jam 11 karena dosennya pun kayaknya gak datang, udah 30 Menit”. Serly masuk ke dalam kelas dengan muka yang berseri dan senyuman yang melebar. “Ci…..i…..le…..! yang baru dapat telepon itu?” (Mega Meledek). “Aduh, woi. Gimana nich? Abang itu datang. Dia ngajak jumpa hari ini?” “Gimana, gimana. Ya, jumpa dong Ser. Abang itu udah datang jauh-jauh dari Aceh. Masa gak jumpa.” Kata Mega. “Iya, jam berapa rupanya jumpanya, Ser?”Tanya Mega. “Jam 11. Bapak itu datang gak ya?” “Enggak, tadi udah di telepon sama Dedi. Katanya bapak itu lagi keluar kota. Jadi, gak datang. Bay the way, awet kali ya hubungan kalian, ya Ser. Jadi ri nich. Udah berapa tahun, Ser? 156

Tanya Merry. “Udah jalan 2 tahun.” “Gimana Ser, udah lampu hijau dari ortu? Atau masih backstreet seperti semalam”. Tanya Dina. “Gimana ya, aku bilang ya. Pusing aku kalau harus mikiri itu. Yang penting aku jalani aja dulu seperti air yang mengalir”. (Sambil melihat jam di HP). “Ya, betul…betul”. Kata Dina yang mendengarinya dari belakang. “Udah ya teman-teman. Aku pergi dulu”. “Ya, semoga sukses ya”. Teriak geng macan (manis cantik) yang terdiri dari Serly, Merry, Dina dan Mega. Serly keluar dari ruangan tersebut dan meninggalkan teman-temannya yang masih asik dengan obrolannya. Dia langsung menaiki angkot yang yang menuju Ramayana karena jam sudah menunjukkan pukul 10.50. Serly lalu mengkabari abang Sani, bahwasannya dia sekarang udah keluar dan lagi diangkot. Sesampainya di Ramayana, Serly duduk dipelataran teras Ramayana. Tiba-tiba dari hadapannya datang seorang pria yang tidak asing baginya. Dia berjalan kearah Serly dan duduk di sampingnya. Obrolan singkat pun terjadi di sana. “Hey dek, gimana kabarnya?” “Kabar Serly baik.” “Masuk apa tadi, dek?” “Gak masuk. Tadi mau praktek bang, Cuma gak jadi karena dosennya lagi keluar kota. Sama siapa datang ke Medan, bang?” “Sama Andre. Dia mau jumpai saudaranya di sini.” “Jadi, ceritanya abang nginap di tempat saudara Andre?” “Iya. Yuk, kita makan dulu dek. Gak enak bicara di sini banyak orang.” Serly dan Sani pun beranjak pergi dari tempat tersebut dan mencari tempat makan di sebuah warung di seberang jalan. Di 157

tempat makan tersebut, mereka banyak cerita tentang kehidupan, pengalaman,dan masa depan mereka. Sehabis makan, mereka berencana untuk nonton bioskop di Thamrin. Sewaktu menunggu angkot, tiba-tiba Sani melihat teman sewaktu kuliah di Unimed. Dia memanggil dari seberang jalan tapi Bayu gak melihat dan mendengar.

“Tubruk…!” (Mobil kijang biru menabrak pemuda itu) “Ti…dak…!”(Terkejut).

Serly menghampiri Sani yang telah tergetak tak berdaya di jalan beraspal tersebut. Darah telah mengalir deras dari sekujur kepala dan badannya. Orang-orang datang menghampirinya termasuk Bayu, anak fakultas teknik tersebut. Serly tidak bisa berkata apa-apa, hanya air mata yang mengalir bercucuran begitu saja. Tidak beberapa lama motor Ambulance pun datang dan membawa Sani, Serly, dan Bayu. Di perjalanan menuju rumah sakit Prigadi, Sani mengambil sebuah cincin dari dalam sakunya dan memasangnya ke jari manis gadis itu sebagai ucapan selamat ulang tahun. Tanpa berkata apa-apa, dia mencium tangan gadis itu dan menghembuskan napas terakhir.

158

HOPELESS Merri C. Zalukhu

Aku berjalan lesu menyusuri lorong sekolah dengan pandangan yang kosong. Tak tahu apa yang sedang kulakukan di sini. Yang kutahu aku berjalan ke mana kakiku melangkah. Hanya seorang diri di lorong itu. Seorang lelaki yang lemah dengan kacamata bulat sehingga terlihat culun, ya itulah aku. Aku adalah anak yang tak diinginkan lahir ke dunia ini. Ayah tiriku seorang pengusaha dan ibuku adalah seorang pekerja kantoran. Terlihat bahagia memang. Mungkin orang akan menganggap aku adalah anak yang beruntung. Tapi sayang, semua jauh dari yang mereka pikirkan. Kedua orangtuaku sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Mereka tak pernah memperhatikanku. Seolah aku tak pernah ada bagi mereka. Pahit memang.

Hhhhh... Aku mendesah panjang.

Langkahku tiba-tiba terhenti. Mataku menangkap sesuatu. Sebuah ruangan yang tak asing lagi bagiku. Ruangan yang kusam termakan waktu. Ya, itu adalah kelasku sendiri. Kelas yang di dalamnya terdapat orang-orang yang tak mengerti aku. Semakin dalam aku memandangi ruangan itu, kejadian-kejadian itu kembali terlintas di benakku. “Jangan...jangan...! Tolong, kasihani aku!” “Ssst! Jangan gerak! Nanti hasilnya jadi tidak bagus.” Mereka memaksaku dengan kasar. Sungguh mereka bukanlah sahabat yang dulunya kupikir demikian. Aku berang, ingin aku memberontak melawan mereka. Namun aku tak bisa. Semuanya 159

hanya tersimpan di dalam hati saja. “Nah...model rambut seperti ini yang cocok bagimu.” “Ha...Ha...Ha...” Tawa mereka memenuhi ruangan. Rambutku kini dipotong tak karuan. Keterlaluan mereka. Tidak adakah kebahagiaan untukku, tidak dapatkah aku memimpikan sahabat-sahabat yang menerimaku apa adanya. Aku menangis namun tak bersuara, batinku yang menangis. Lalu kakiku melangkah lagi, berjalan dan berjalan hingga sampai pada sebuah belokan. Kakiku terhenti lagi. Mataku menatap sesuatu lekat-lekat. Tempat ini, ya tempat ini juga meninggalkan kenangan pahit. Ruangan yang di atas pintunya terdapat tulisan “WC”. Aku ingat bagaimana mereka melakukan hal itu padaku. Awalnya, mereka bersikap baik dengan turut mengajakku menonton latihan bola basket di lapangan sekolah. Hatiku sepertinya mulai mempercayai mereka. Tetapi, penilaianku salah. Mereka lalu membawaku ke tempat itu. Mengguyurku sampai aku basah kuyup, lalu mereka merencanakan sesuatu, mereka berbisik. ‘Oh, Tuhan, apalagi yang hendak mereka lakukan padaku?’ Ketakutan menyelimuti pikiranku. Tiba-tiba mereka berlari keluar dan mengunciku. Aku berteriak, memohon pada mereka agar melepaskanku. Sayang, mereka tak memedulikanku. Aku sendiri, sendiri dalam sepi, sampai aku merasa seorang diri di dunia ini. Aku berteriak minta tolong berharap ada seseorang yang akan mendengarku. Aku merendahkan diriku menjadi ‘pria yang malang’. Letih setelah aku bergulat dengan kesedihan dan keadaanku saat ini. Krek..Krek.. Tok...Tok...Tok.. “Ada orang?” Krek..Krek.. 160

Berkali-kali suara itu berusaha membangunkanku. Tubuhku yang lemah berusaha menangkap asal suara itu. Ya, ada seseorang di luar sana. ‘Aku harus bangkit. Jika tidak aku akan terkurung di tempat yang bau ini.’ Aku berusaha meraih pintu itu. “Tolong aku..! Tolong aku...! teriakku. Tenagaku semakin habis, habis dan aku pun tak dapat menopang tubuhku. Aku pingsan. Keesokan harinya, aku menyadari tubuhku terbaring di kamarku sendiri. Entah bagaimana aku bisa berada di sana. Terakhir, aku mengetahui bahwa ada seseorang yang mengantarku sampai ke sini. Tapi, siapa? Kata bibi dia seorang gadis. Aku tersentak. ‘Seorang gadis?’ batinku. Dia masih menjadi tanda tanya bagiku. Sampai saat ini. Hanya hal itu yang membuatku merasa nyaman walaupun masih misteri bagiku. Aku kembali berjalan menyusuri lorong itu. Kulihat jam dinding di sebuah kelas. Pukul 4 sore. Hanya sepi yang menemaniku. Aku terus melangkah seolah mencari suatu tempat yang tepat. Tapi, untuk apa, aku pun kurang yakin. Aku hampir sampai ke sebuah gudang yang biasa digunakan untuk menyimpan barang-barang bekas sekolah. Sesampainya di sana, aku terdiam. Memaku. Aku tak tahu akan melakukan apa. Aku merasa ada sesuatu yang mendorongku melakukan hal yang sebenarnya tak ingin kulakukan. Aku merogoh tas yang sejak tadi kusandang. Aku mencari-carinya namun tak kunjung kutemukan. Aku memandang sekelilingku. Mencari sesuatu dan akhirnya kutemukan juga. Aku mengambilnya. Aku juga mengambil sebuah benda yang memiliki empat penyangga. Semuanya telah tersedia. ‘Apa yang akan kau lakukan? Tidakkah ini merupakan hal yang bodoh?’ Terdengar suara yang datang entah darimana. Aku 161

bingung. “Lantas, untuk apa lagi aku hidup. Tak ada satu pun alasan yang membuatku dapat bertahan hidup. Tidak keluargaku, tidak juga orang-orang yang kuanggap sebagai sahabatku sendiri. Tak ada alasan.” Aku berteriak. ‘Kau keliru. Masih ada. Ada.’ Suara itu lagi. “Siapa?? Siapa??” aku tersungkur. Tiba-tiba kekuatan lain mengarahkanku bangkit dan berdiri di atas penyangga berkaki empat itu. Aku ambil sebuah benda yang terurai panjang, kulempar ke sebuah besi yang melintang di plafon gudang. “Maafkan aku ayah, ibu! Aku memang anak tak berguna. Aku hanya akan menyusahkan kalian dan semuanya. Aku bukanlah seorang pria yang layak di mata kalian, bahkan bagi mereka yang kuanggap sahabat-sahabatku. Mereka tidak mengasihiku. Mungkin karena aku berbeda dari mereka, hanya akan jadi bahan tertawaan dan olok-olok mereka. Huh...

Aku masukkan leherku ke lingkaran tali itu. Dan... Brakk.....

Pandanganku semakin lama semakin tak jelas dan kurasakan sesak yang semakin menjadi-jadi. Mataku mulai berkunang-kunang. Nanar. Perlahan gelap dan.....

“Neno...Neno...!”

Aku mendengar suara. Suara seorang wanita. Berkali-kali. Aku mencoba untuk mencari asal suara itu. Ya, kulihat dia berdiri sambil mengulurkan tangannya. Sepertinya dia ingin membawaku 162

ke suatu tempat. Kuraih uluran tangannya.

Aku terbangun.

Mulai tercium bau obat-obatan. Lama aku baru menyadari diriku sedang terbaring di rumah sakit. Kuperhatikan sekelilingku.

“Hmmh...aku masih hidup” Aku menyadari sesuatu. “Tapi, mengapa?” gumamku



Seorang wanita datang dan menyapaku.

“Wah, sudah siuman rupanya. Untung ada dia. Kalau tidak, mungkin nyawa kamu tak tertolong ” Dahiku mengerut. “Dia siapa, suster?” Tanyaku. “Jadi kamu tidak mengenalnya? Gadis itu mungkin sebaya denganmu. Ia masih memakai seragam. Ia datang bersama seorang bapak paruh baya. Oh, ya dia mungkin sebentar lagi akan datang.” Ia pergi meninggalkanku Tak berapa lama, datang seorang gadis yang samar kulihat. Aku menatapnya. ‘Sepertinya aku pernah bertemu dengannya. Tapi dimana? Oh, ya di sekolah. Tapi siapa dia. Mengapa dia menemukanku dan membawaku kemari?’ batinku bersuara. Dengan lemah lembut ia menegurku. “Jangan pernah kauulangi perbuatanmu itu. Ia masih memberimu kesempatan. Ia sangat mengasihimu!” Aku terdiam mendengar perkataannya. Sejenak aku menyadari siapakah ‘Dia’ yang bersuara itu..

“Terima kasih buat semuanya.”



Tiba-tiba ayah dan ibuku tergoppoh-gopoh mendapatkanku. 163

Rupanya, mereka baru mengetahui keadaanku. Mereka memelukku. Pelukan hangat yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Aku tersenyum.

164

RUMAH KARDUS Dwi Puspa Sari

Penyesalanku adalah terlalu mentiko sebab selama ini tak mau mengenal Tuhan. Sudahlah miskin sok paten pula. Kurasa ini teguran Tuhan, aku beroleh suami yang tak tampan, tak kaya, tak pula baik dan tak juga penyayang dan yang parahnya tak bertanggung jawab selaku kepala rumah tanggga. Ahh, Komplitlah sudah penderitaanku. Anehnya, entah kemana mataku sewaktu menerima ungkapan cinta dan ajakan untuk menikah dengannya. Kurasa tertutup kabut rayuan gombal lelaki sialan itu. Saat-saat sangat terjepit dan terdesaklah orang-orang kemudian mengingat Tuhan-Nya dan aku menyesali itu. Kalau saja sejak dulu kudekat dengan-Nya mungkin tak begini jadinya. Bau subuh belum tercium. Gelap malam masih sangat lekat dan dingin adalah selimut yang senantiasa setia pada malam. Aku masih terjaga. Kubasuh wajahku dengan air wudhu. Saat ini tidak ada yang lain yang bisa membuatku merasa aman kecuali pertemuanku dengan Tuhanku. Keadaan jiwa dan pikiranku sedang sangat kacau. Aku kritis seperti sedang berada di ICU yan pengap. Saat-saat seperti ini, aku butuh meditasi dari Tuhanku. Lamat-lamat kuhaturkan serdadu dzikir menghantarkan seuntai doa dan sekuncup kegundahan dan kerinduanku padaNya. Kupilih kata-kataku, aku tak mau Tuhanku murka padaku atas keputusanku untuk bercerai dengan Mas Dirman. Aku yakin Tuhanku pasti sangat mengerti keadaanku selama ini. Penderitaan dan kepedihan yang telah kupendam selama bertahun-tahun membuatku kehabisan akal. Seketika, mataku panas dan magma pijar itu pun mengember. Sesenggukan kucurahkan semua isi 165

hatiku pada-Nya. Tak ada dusta. Aku hanya mengatakan apa adanya. Aku hanya mau berkata-kata, mengeluarkan segala unekenekku. Menangis membuatku merasa lega dan yang terpenting aku tak lagi merasa sesak sebab aku telah berbagi kepada yang paling memahamiku, yup, penciptaku. Kubulatkan tekadku. Tekad untuk benar-benar bercerai. Sudah kupastikan, tak secuil pun rasa cinta dan kasih sayangku tersisa untuk lelaki seperti Dirman. Semuanya sudah ludes terkikis oleh tingkahnya yang senantiasa memuakkan. Tak tahu pun aku di mana letak kelaki-lakiannya sebab ia sama sakali tak bertanggungjawab selaku kepala rumah tangga. Ahh, gusti Allah pasti sudah mengetahui semuanya tanpa aku bercerita apapun. Bukankah Dia Maha tahu segala sesuatu yang ada di muka bumi ini. Akan tetapi pengakuan dan pengaduanku setidaknya menjadi kesahihan bagi diriku sendiri bahwa aku pernah mengajukan permohonan pada-Nya. Aku yakin Tuhan melihat dan mendengarku. Tanpa materai pun aku percaya penuh pada-Nya. Dalam kesyahduan, kepasrahkan segenap jiwa dan ragaku padaNya meski mungkin ini sudak agak terlambat. Kelegaan memang

***

Hari itu, masih pagi-pagi sekali.

“Mas, aku sudah memutuskan agar kita bercerai saja”, cetusku. Sedikitpun ia tidak terkejut pada pendengarannya. Ia malah tak acuh, ekspresinya seperti tak terjadi apa-apa. lagi.

“Hey, kau dengar tidak, aku bicara padamu,” tambahku “Kenapa? Kau merasa bosan denganku atau ada laki-laki 166

kaya yan bodoh yang akan melamarmu?” Jawab lelaki itu seenak perutnya. “Ya, sebagian jawabanmu memang benar, aku memang sudah muak dengan ulah dan tingkahmu. Kau sendiri yang menyebabkannya begitu.” Kuhentikan sejenak kata-kataku dan suasana pun berubah menjadi beku. Kulihat wajah lelaki itu pasi. Entah apa yang ada dipikirannya. “Benar, kau ingin bercerai dariku, Marni. Takkah kau begitu mencintaiku? Takkah kau berjanji sehidup semati denganku. Takkah kau tahu Marni, betapa aku sangat menyayangimu dan keluarga ini?” Ujarnya penuh iba. Tahi kucing pikirku, omong kosong apalagi yang diucapkannya dan sejak kapan dia berubah jadi sok romantis begitu. Yang aku tahu, dia hanya lelaki brengsek yang tak punya hati. “Kau bilang kau menyayangi keluarga ini? Dengan mabukmabukan setiap hari, dengan menjadi penganggguran, dengan selalu bersikap kasar padaku dan anak-anak, dengan keluyuran setiap hari, kau masih berani bilang kau menyayangi keluarga ini?” tegasku. “Kau tak mengerti keadaanku, Marni,” belanya. “Sudahlah, aku tak punya alasan untuk mempertahankan rumah tangga ini. Aku sudah memikirkannya matang –matang dan anak-anak ikut aku. Jadi, kau tak perlu repot memukuli dan membentak mereka setiap hari,” ucapku. “Apa kau tak punya alasan sedikit pun untuk tak cerai dariku? Apa aku lupa masa-masa indah kita?” jelasnya. “ Omong kosong dengan masa-masa indah. Ketidasadaranmu adalah salah satu dari sejuta alasanku tak ingin lagi hidup denganmu. Aku tahu cinta bukan segala-galanya tapi tanpa cinta betapa tak 167

berharganya hidup, termasuk hubungan kita ini. Kupikir aku sudah cukup jelas, aku mau kita bercerai, titik,” jawabku “Hahaha” seketika ia tertawa lepas dan aku semakin tidak mengerti apa yang sedang dipikirkannya. “Kau pikir aku serius mengatakan semua itu, Marni. Aku hanya mengetesmu saja Marni, lupakan kau bercanda berlebihan. Enak saja kau bilang bercerai dariku. Kau pikir kau bisa begitu saja lepas dariku,” Ketusnya. Ah, lelaki ini memang aneh. Sama sekali tak berguna otak yang sudah dibagikan Tuhan padanya. “Kau lelaki brengsek, tak ada alasanku untuk bertahan,”tegasku. Prangg Seketika ia menjadi bringas, api kemarahan besar pun tersulut. Ia berjalan ke dapur dan membanting segala pecah belah yang ia temui. Kedua putriku terbangun dan mereka hanya diam terpojok. Tak berani berbuat apa-apa. Suasana semakin kacau ketika ia merusak segala perabot yang ada di depannya. Seketika itu juga lelaki itu pergi dan entah kemana ia pergi sebab hingga kini, tiga bulan setelah peristiwa pertengkaran dan pengajuan ceraiku itu dia tak pernah kembali. Entah bumi telah menelannya, entah juga angin telah menghempaskannya ke dasar laut, aku tak tahu. Kuhela nafas mengingat pertengkaran itu. Pertengkaran yang kesekian puluh kali dan mungkin itu yang terakhir. Kini hidupku dan kedua putriku jauh lebih baik, jauh dari kehingarbingaran lelaki pemabuk itu. Meski aku hanya seorang supir truk, hidupku lebih mulia. Setidaknya aku tak meminta-minta alias mengemis. Kujalani hidupku seperti yang kupikir benar. Banyak orang merasa aneh dengan pekerjaanku, supir truk, tapi apa boleh buat. Di kota sekeras Jakarta, tidak melacurkan diri saja sudah syukur. Meski 168

tak secantik Desy Ratna Sari, artis top itu, sebenarnya wajahku cakup lumayan. Mau apa lagi, ijazah Diploma sudah tak laku lagi sekarang. Bagiku manusia tak harus kehilangan hakikat meski terjepit pada situasi yang sangat sulit. Kutanamkan kemandirian pada kedua putriku. Aku tak mau mereka bernasib sama denganku. Sebenarnya, semua ini kesalahanku tak mendengarkan nasihat Ayahku. Larangannya agar aku tak menikah dengan Dirman ternyata benar. Tapi nasi sudah jadi bubur, aku harus tangung sendiri keputusanku. Tak boleh menyesal, merengek apalagi mengadu sebab itu akan menjadi olok-olokan di keluargaku. Salahku sendiri tak mendengar ucapan orangtua. Kawin lari istilah orang-orang, Kutinggalakan Sumatera dan merantau ke Jakarta mengadu nasib berdua, dengan lelaki yang kupikir bisa dipercaya waktu itu. Yah, kukubur khayalanku tentang impian kebahagian bersama Mas Dirman dan aku tetap tak berani pulang ke rumah sebab sebenarnya pernikahanku tak pernah direstui oleh orangtuaku. Ah, sudah subuh rupanya, air mataku sudah beremberember. Mengapa baru sekarang aku mengadu pada Tuhanku. Kemana saja aku selama ini. Kerinduanku pada kesyahduan membuatku menangisi hidupku. Memang semua ini kesalahanku sebab tak pernah dekat dengan Tuhanku. Baru kali ini aku merasa sangat dekat dengan-Nya. Ampuni aku Tuhan. *** Aku seorang perempuan, bersama langit hatiku berpadu, bersama angin jiwaku luruh. Kobaran api yang tengah melanda rumahtanggaku memang tak perlu dipadamkan sebab seyogyanya sejak dulu aku membakarnya. Agar tak terluka lebih lama dan lebih dalam. Aku seorang perempuan yang kata orang pantang meminta cerai terlebih dahulu pada suaminya. Sungguh tak adil. Tak tahukah mereka rumah tanggaku hanya terbuat dari rangkaian 169

kardus-kardus yang mudah hancur jika terkena air, mudah terbakar jika terkena api. Harusnya rumahku berdinding tembok dan tahan gempa, agar tak mudah hancur dan terbakar. Bukan tidak sudah mati-matian aku mempertahankannya agar tak hancur dan terbakar tapi apalah daya. Aku hanya seorang perempuan biasa, bukan terbuat dari baja. Mana tahan aku hidup bersama dengan lelaki seperti dia. Lelaki brengsek yang sudah menghancurkan semua impian rumah tanggaku.

170

DERITAKU HIDUPKU Rida Wati Purba

Kering sudah air mata yang menetes di pipiku. Dihempas angin yang menyayat kalbu. Menghancurkan sukma dan jiwa ragaku. Kini, keindahan jauh di mata. Derita memenuhiku. Kemanakah harus ku hempaskan? semuanya terasa berat, menyelimuti pikiranku. Keindahan hidup yang pernah singgah di hati telah habis terkikis waktu. Aku harus berjuang melawan perihnya hidup. Terkadang, aku merasa jenuh dengan semua ini. Hatiku mengerutu. Ingin rasanya aku berseru mengapa? Andai saja waktu dapat ku putar pasti semua ini tidak akan terjadi. Tapi bagaimana mungkin? Hanya satu keyakinanku aku pasti bisa melewati semua ini. Tapi kapan? Kuhela nafas panjang lalu menghembuskannya. Kesejukan kurasakan tapi terasa tak ada guna. Sirna sudah harapanku. Harapan yang selama ini kurajut bersama mimpi-mimpiku. Berawal dari satu kejadian yang mengejutkanku. Aku dan Rio berjanji akan membina rumah tangga. Dan kedua orang tua kami juga sudah setuju. Hingga pada tanggal yang sudah ditetapkan Rio bersama rombongan keluarganya pun datang kerumah untuk melamarku kepada kedua orang tuaku. Tapi tiba-tiba satu kejadian tragis merenggutnya dariku. Mobil pribadi yang dikemudinya tibatiba saja lepas kendali hingga akhirnya masuk ke dalam jurang. Mereka semua mengalami luka yang cukup parah namun karna Rio yang menyetir dialah yang mengalami luka yang paling parah hingga merennggut nyawanya. Aku seolah-olah tidak percaya dengan semua ini. Kejadian itu mengubah pola hidupku. “Dasar pembawa sial kamu” Itulah kata-kata yang paling menyakitkan bagiku karena seluruh keluarga Rio menganggap bahwa akulah dalang dari semua ini. “kalau saja 171

kami tidak datang kerumahmu pasti anakku Rio tidak akan pergi secepat ini” kata ibunya. “Bu aku juga tidak ingin kejadian ini terjadi pada Rio karena aku sangat mencintainya bu”. “pergi dari sini dan jangan pernah ganggu keluargaku lagi!” Kejadian itulah yang menjadi awal kehancuran hidupku. Rasa-rasanya aku tak memiliki gairah hidup lagi. Semuanya telah sirna. Untuk apa semua ini? Hidup hanyalah kemunafikan yang bersembunyi ditengah-tengah keramaian. Semuanya pana. Palsu! Tak ada kejujuran yang ada hanyalah kebohongan. Keegoisan telah menyelimuti diriku. Aku masih ingat, dulu aku masih mau meluangkan waktuku untuk melihat orang-orang disekitarku. Tapi kini! Aku bagaikan manusia yang tak tahu hormat. Berbuat sesukaku meskipun hatiku meronta. Aku tak sanggup lagi. Kapan semua ini akan berakhir? Hari-hari yang kulalui tak ada ubahnya. Gelap, hampa, sunyi adalah keseharianku. Kegelisahan menyelimuti serta membesuh jiwa ragaku. Bayang-bayang dirinya selalu hadir menghinggapi pikiranku. Adakah kau rasakan apa yang kurasakan ini? Rasa-rasanya aku tak sanggup menghadapi ini semua. Keindahan jajuh di mata, duka membelenggu. Hati hancur menyelimuti hari-hariku. Kepala tertunduk tak mau tegak seakan-akan aku tak sanggup lagi untuk mengangkat kepalaku. Bahkan yang lebih parahnya lagi kedua kaki dan tanganku gemetaran tak menentu. “Adakah kau rasakan apa yang ku derita ini?” ku lontarkan semua keluh kesahku pada Hadi sahabat kecilku. Ia hanya diam lalu perlahan menghela nafas panjang. “Sudahlah! Untuk apa kau tangisi lagi. Semuanya sudah berakhir. Kau masih muda, jadi jangan sia-siakan masa mudamu”. Suara lembut Hadi telah menyentuh hatiku “Tapi tetap saja aku tak sanggup di!” tatap matanya tertuju tepat padaku. Aku berusaha menghindari tatapan itu. Hadi 172

adalah teman terbaikku. Ia selalu hadir saat susah maupun senang meskipun kadang-kadang suka buat aku marah.

“Maafkan aku” “Maaf, untuk apa?”



Ia menangis sambil mencurahkan semua penyelesaian dihatinya.



“ Maafkan aku, aku bukan teman terbaik buat mu” “ Mengapa kamu berkata demikian?”

Hadi terus saja menangis. Memang dia memiliki pribadi yang tak jauh beda dari wanita. Hal inilah yang membuat aku tertarik padanya. Ia penyayang, suka menolong dan baik hati.

“Aku tidak tahu kalau semua ini akan terjadi”

Ia curahkan semuanya padaku. Ketulusan hati Hadi telah membangunkanku dari duka-dukaku. “Makasih ya Di. Ternyata masih ada yang mau peduli padaku.” “Kamu tau di sampai saat ini aku masih belum bisa melupakan ini semua” Mataku terasa berat. Ingin rasanya aku menangis tapi air mataku telah kering dikikis dukaku. Saat itu suasana berubah menjadi hening. Seperti biasa Hadi menatapku. Tatapan mata itu tidak berubah. Aku masih ingat dua tahun yang lalu tatapan itu juga dilontarkan Rio padaku. Jantungku berdetak kencang sekali. Ternyata, perasaanku belum berubah padanya. Tiba-tiba Hadi mengejutkanku “Semua manusia pasti menghadapi derita dalam hidup. Tapi, kamu harus tahu semua itu hanyalah bunga-bunga kehidupan. Jika kita mampu bertahan sebesar apapun tantangan hidup ini pasti dapat terlewati”. Sejenak aku terdiam mendengar perkataan Hadi. 173

Sederhana tapi melegakan bagaikan angin yang menyejukkan hati. “Kamu harus tahu hidup ini terus berjalan. Meskipun badai datang silih berganti tapi, yakinilah semua ini hanyalah permainan hidup yang berusaha menggoyahkan kehidupanmu”. Perlahan ku angkat wajahku. Lagi-lagi aku tersipu mendengar ujaran itu. Kali ini aku benar-benar merasakan kedamaian di dalam hidupku. Terasa indah. Ia tersipu melihat seyumku. “senyummu belum berubah” ternyata kami sama-sama memperhatikan tingkah laku masingmasing. Hadi memang sahabat sejatiku. “Kenapa kamu tersenyum?” “Ah tidak, aku hanya tersanjung mendengar perkataanmu” “ Masak sich kamu tersanjung. Sungguh?” “ Memang inilah hidup. Penuh dengan liku-liku” aku tersadar dari kebodohanku. Kebodohan yang selama ini memenuhi pikiranku. Ku hela nafas panjang lalu terseyum. “ Nah, gitu donk. Masak dari tadi cemberut”. Aku semakin tersipu pada Hadi. “Mulai dari sekarang kamu harus hadapi hidup dengan sukacita dari pada-Nya. Jika kita bersama-Nya semuanya dapat kita lalui. Kesedihan dihapuskan keceriaan diberikan-Nya”. Aku terdiam mendengar perkataan itu selama ini aku telah diperbudak kebodohan dari diriku sendiri. Aku memang bodoh. Terlarut dalam kesedihan yang tak kunjung putus. Kuserukan dalam hati, aku harus berubah. Biarlah semuanya terjadi. Ku letakkan semua pengharapanku pada-Nya. “Ya …. Hanya Dia.” Aku harus menerima semua ini kematian bukanlah akhir dari segala-galanya. Biarlah ia beristirahat di sana. Ku ingin merajut hidupku kembali yang telah lama terpuruk bersama dukaku.

Kembali ku rajut mimpi-mimpi yang sudah ku timbun 174

dalam-dalam di hatiku. Dukaku adalah hidupku. Inilah yang ku petik dari semua ini. Duka adalah bagian hidup. Setiap orang pasti mengalami hal yang sama meskipun dalam wujud atau bentuk yang berbeda-beda. Hidup terus berjalan jangan biarkan duka menggerogoti hidupmu. Sebesar apapun duka yang kita hadapi yakinilah semuanya akan indah pada waktunya.

175

KOSONG EMPAT Wahidah Nasution

Ribuan butir debu serasa memasuki bola mataku yang terasa sudah semakin perih. “ Baru jam tujuh begini debu jalanan sudah banyak ayah, lihat… kacanya sudah tak bening lagi, tuh… tulisan kosong empatnya tak terlihat lagi padahal baru tadi dibersihkan umak, dasar kota Medan kota menang debu-debuan” seru Rasyid anak sulungku yang sudah rapi dengan seragam putih merahnya duduk di sampingku sambil mencoba meraih kaca depan mobil. “Iya, nanti ayah bersihkan lagi, sudah Sid.. duduklah dengan tenang amang, nanti bajumu kusut lagi.” Ujarku lirih. Namun Rasyid terus bersikeras membersihkan debu yang menurutnya berada di dalam mobil itu, dia memang anakku yang paling tidak sabar melihat sesuatu yang tak beres, hm.. maklumlah aku sudah mengajari anak pertamaku itu untuk bersikap tanggungjawab, namun tidak untuk memberishkan debu di kaca mobil dari dalam, ku rasa ia terlalu rajin untuk itu. “Ayah…itu kan seperti mobil yang pernah kita tumpangi dulu waktu ke rumah ompung? kapan kita ke Sidimpuan lagi ? Tanya Rasyid bersemangat. Aku menatap dari kaca spion, terlihat olehku mobil L 300 putih di belakang, ya itu adalah taksi yang pernah kami tumpangi dua tahun yang lalu ketika aku membawa Rahmi istriku pulang kampung dan saat itu Rasyid masih kelas satu SD, tapi aku kagum ia masih mengingat penuh kejadian di sana.

176

“Oh..hmm, tunggu lah mang… do’akan lah ayah dapat penumpang yang banyak tiap hari biar kita punya ongkos lagi naik mobil itu ke Sidimpuan” jawabku penuh teliti agar Rasyid segera menghentikan keinginannya itu. “Ah.. itu-itu aja pun yang ayah bilang, sepertinya hanya kita lah satu-satunya orang Medan yang tidak pulang-pulang kampung, semua orang pasti pulang kalau lebaran, tapi kita ?...” “ Tuh… sekolahmu sudah sampai, cepatlah mang… nanti telat lagi, ayah tak mau bayar uang iuran telatmu lagi” gumamku seolah-olah ingin segera pergi dari hadapan anak polos itu dan mengubur impiannya untuk pulang ke Sidimpuan. ”Aah… cemana nya ayah ni ? pura-pura tak dengarnya dia yang Rasyid bilang tu” Rasyid keluar dari mobil dengan muka cemberut. Seorang wanita muda dengan seragam PNS nya menyetop mobilku. “Akh, lumayan dapat seribu fikirku dalam hati, ketika ingat bahwa wanita ini pernah menumpangi angkotku sampai kantor Gubernur Lama di jalan Pancing. Jam tujuh begini masih sedikit mahasiswa harian yang akan menumpangi angkot untuk ke kampus, dan aku menyadari pagi ini memang berangkat begitu cepat gara-gara harus mengantar Rasyid, tapi aku tidak ingin merasa terpaksa mengantar anak yang baik itu, dia telah memberiku sejuta semangat untuk menginjak pedal gas ini selama seharian penuh. “ Belok pak ?” Tanya seorang mahasiswa berbadan besar setelah melambaikan tangannya di depanku, dia sangat mirip denganku. Aku tahu, pasti maksudnya belok ke jalan FBS.. “Ah, dasar anak yang pemalas, badan besar begitu malah minta belok, 177

palingan jam segini dia hanya akan mengisi daftar hadir di mata kuliah billyardnya. Aku tahu itu, tabiat mahasiswa yang sering turun di depan tempat yang sebenarnya aku tak tahu apa keuntungannya itu. Tapi jika ia minta belok karena memang benar-benar ingin kuliah dengan cepat tak masalah, aku telah mengenalnya, ia sering menaiki angkotku. “ Nggak” jawabku singkat, dia merengus dan mencibir, aku tak peduli, menurutku ia harus jadi lelaki yang tangguh untuk bisa mengitari jalan simpang yang tak panjang itu. Namun setelah aku melakukan hal itu tiba-tiba aku merasa sangat menyesal, kenapa tidak belok saja? Kan lumayan kalau anak itu naik? Dapat seribu lagi, terserah dia mau turun di billyard atau kuburan sekalian toh dia yang merasakan, aku kan cuma butuh uangnya, gumamku dalam hati. Siang pun tiba, puluhan mata menanti penuh harap, aku tahu dirikulah salah satu yang ditunggu anak-anak itu, alhamdulillah mobilku penuh... Semoga anak-anak ini tujuannya dekat biar segera berganti dengan mahasiswa yang juga jam pulang di tengah hari ini, gumamku. Seorang anak turun, aku segera memiringkan badanku ke kiri untuk menerima ongkosnya, “Belakang ya pak” serunya lirih. Kuteruskan perjalanan kosong empatku penuh emosi, ketika di ujung simpang Unimed kudapati anak yang turun terakhir hanya membayar ongkos untuk dirinya sendiri, tanpa merasa bersalah ia meninggalkan angkotku. “Lha… lantas yang nitip di belakang, belakang dan belakang itu siapa?” hatiku terenyuh, aku sedang lapar dan kepanasan, tingkah anak-anak itu membuatku semakin haus. Ya ampun aku sering mengalami hal seperti ini, tapi kenapa tadi aku tidak sadar? Aku begitu yakin mereka jujur, pantas saja dari tadi kuperhatikan mereka hanya tertawa-tawa lebar sambil mengintipku.

*** 178

“Kau tak perlu setoran, itu mobilmu sendiri, apa kau lupa ? kalau cape bisa istirahat, aku pun tak memaksa kau untuk pergi terlalu cepat, sebenarnya mudah saja kalau kau mau, dasar kadangkadang kamu saja yang pemalas.” Istriku Rahmi menceramahiku dengan penuh kesal ketika kuceritakan kalau penghasilan sehari ini sangat minim. “Aku tahu kau kecewa karena tak bisa beli lauk yang enak hari ini, padahal hari ini ulang tahunmu kan?”. Aku mencoba menggapai tangan Rahmi dan mencium keningnya. “Selamat ulang tahun ‘naduma’” ujarku seraya mencium kening boru Siregar yang cerewet itu penuh haru. “Bang, sebenarnya aku frustasi dengan keadaan kita, mobil angkot itu milik kita sendiri, anak cuma satu, kontrakan pun lumayan murah, tapi kenapa ya aku merasa kita sangat tidak pantas hidup begini? Kau ingat bang waktu kuliah dulu kau begitu pintar, banyak yang menyukaimu dan merasa bahwa kau adalah lelaki yang cerah masa depannya, bukan maksudku menyakiti hatimu bang…tapi aku kesal pada Tuhan, kenapa begini? Bahkan pulang kampung pun tak bisa, aku sudah rindu kampung kita bang. ” Ya Allah anggiku, kenapa bisa seperti itu jalan fikiranmu? Sampai membenci keputusan dan takdir Tuhan? Aku pun tak menyangka, dulu kau begitu aktif di organisasi, aku membayangkan kau bakal jadi wanita karir yang sejati dan akan diterima bekerja dimana saja, maaf anggi, bukan maksudku melukaimu, tapi aku tidak benci pada keputusan Tuhan ini, coba kita renungkan hidup kita dahulu, apa yang salah? Apa mungkin ini hukuman dan teguran buat kita?”.

***

Debu di jalanan semakin banyak, layar kehidupan memang tak selalu berkembang disetiap nasib manusia, terkadang aku, terkadang dia, terkadang mereka yang merasakannya, dan saat ini kurasakan hidupku sedang tidak mujur. Setiap hari kulalui dengan penuh keyakinan bahwa uang masukan akan lumayan 179

dan mencukupi, tapi selalu saja tiap hari itu kudapati perasaan yang kurang dan selalu kurang, apa karena angkotku yang sudah tua dan butut sehingga orang enggan untuk menumpanginya, karena dianggap jalannya seperti bebek, yang lamban dan penuh dengan suara berisik perkakas mobil yang sudah mulai lepas dari sanggahannya. Hariku selalu diiringi lauk telur, tempe dan sedikit ikan teri, benar kata istriku aku juga tidak menyangka hal ini terjadi, dulu sewaktu kuliah aku begitu cerdas, selalu terpilih jadi komisaris dan ketua dalam setiap kegiatan, IP ku pun tak mengecewakan, walaupun ku tahu bahwa IP bukan segalanya, buktinya ketika aku melamar kerja di sebuah perusahaan yang cukup terkenal, mereka tak menanyakan IPK ku, bahkan mereka malah menyuruhku untuk menjelaskan tentang produk mereka itupun setelah aku diberi brosur untuk dipelajari, namun saat itu aku... “Ya... aku tahu, sikap angkuhku lah yang membuat ini semua, kuliahku di Universitas Negeri Medan salah satu perguruan tinggi pencetak guru di Sumatera Utara, kampungku Padangsidimpuan cukup jauh dari kota ini, butuh biaya dan waktu yang banyak untuk menggapainya. Tapi itulah aku dulu dengan serba kegengsianku yang tinggi, aku tidak ingin kuliah di kota ku karena takut dibilang ayam jantan kandang, tidak seperti temanku yang lain, jauh-jauh belajar ke kota ini memang untuk mendapat mutu pendidikan yang lebih baik. Tapi walaupun begitu aku heran kenapa aku lebih unggul dari mereka semua, yang niatnya tulus murni belajar ke kota ini. Itulah aku dengan sikap angkuhku, padahal itu mungkin jalan dari Tuhan agar aku tahu bahwa Ia selalu memberikan yang terbaik untuk hamba Nya. Angkuhku tak hanya sebatas itu, setelah tamat aku alergi mendengar seorang lelaki harus menjadi guru, aku selalu membayangkan pak Syua’ib guru matematikaku sewaktu SMA yang sering dipanggil siswa dengan Syuaibah, karena gayanya 180

yang kemayu dalam mengajar, jika aku menjadi guru apakah aku harus seperti itu? Tidak...sewaktu praktek di lapangan aku tidak seperti itu, aku bisa menjadi bunglon saat aku terpaksa. Yah... aku tau sikap angkuh dan rasa terpaksalah yang membuat aku begini, bahkan saat lulus meraih gelar sarjana aku tidak mau mendengar kata sekolah, aku ingin dunia bisnis, apalagi aku dulu mengecap jurusan pendidikan ekonomi’ dan sekali lagi karena keangkuhanku aku ditolak melamar di PT. Surya Mas ketika aku mencibir saat sang manager menerima lamaranku dan menempatkanku di tahap awal sebagai salesman, hari kedua aku diterima aku tak mau menginjakkan kaki di tempat itu, mencari lowongan lain lebih bagus itulah dalam benakku, namun saat ini tak satupun lowongan yang kuimpikan itu bisa kuraih, yah lowongan di pangkalan kosong empatlah yang pertama kali kudapatkan, itupun karena keangkuhanku untuk memiliki mobil sendiri, tidak ingin terganggu oleh setoran. Lagi-lagi dengan angkuhku aku meminjam uang pada tulang di kampong dengan alasan untuk modal usaha. Maka kubelilah angkot Pak Mustamal yang sudah reot ini dengan harga yang sangat murah. Ternyata karena keangkuhan itulah aku juga tidak bisa menjalani karirku di kosong empat ini dengan baik, aku tidak mau bergabung dengan teman-teman di pangkalan, dengan alasan aku tidak suka minum tuak, padahal aku merasa jadi orang yang bodoh di antara mereka yang membicarakan penghasilan setiap hari. Aku bangga jadi sopir angkot, tapi tidak dengan sopir angkot sepertiku yang tiap hari selau kekurangan uang, entah kemana kubelanjakan uang itu.

“Oih... dangol nai inang”

Aku tak sanggup dengan semua ini, tiga bulan uang sekolah rasyid menunggak, tiga kali empat puluh ribu...oh seratus dua puluh ribu. Rahmi ulang tahun tak satupun kado kuberikan, padahal setelah 10 tahun pernikahan aku selalu memberikan kado untuknya. 181

“Hey… Darman! keluar kau uang kontrakanmu sudah enam bulan ito, mau lari lagi kau? Cepatlah keluar, ku cekik nanti lehermu itu ! “. Seseorang dengan nada bataknya yang kental memanggil namaku, segera kubuka pintu dengan tergesa-gesa. Ah.. Kak Simatupang pemilik kontrakanku datang membawa pisau yang cukup membuat darahku mendidih. “Sabar kak, kubayar itu…tenang aja kakak” gumamku dengan refleks meniru gaya bataknya. “Heeeh…kau ledekin aku ya? Udah ngutang, ngejek lagi, kubunuh kau!”. Pisau tajam itu siap menghujam di perutku, tapi Rahmi datang dan mendorongku, rasanya seperi adegan film India saat sang pria menyelamatkan pasangannya dari musuh, tapi ini beda, Rahmi tertusuk di bagian perut, darahnya berceceran dan sangat banyak mengenai wajahku, terasa dingin dan nafasku sesak, aku terkejut sambil mengusap wajahku yang basah kuyup, air mataku mengalir, aku berteriak keras, Rahmi telah tiada, nafasnya terhenti saat itu. “Rahmi… anggikku, jangan mati dek… teriakku. Air mataku mengalir sederas-derasnya, dan wajahku masih basah. Tiba-tiba badanku terguncang, Kak Simatupang mencoba menarik badanku, kutangkis lengannya dan kutinju wajahnya. “ Aih… heh, kurang ajar kau Darman”, Kak Simatupang bersuara, tapi aku kaget, suaranya berubah jadi suara seorang lelaki yang sepertinya aku kenal dengannya. Aku mencoba menantang matanya, tapi mataku masih basah dan lengket. “ Bangun kau ‘sampuraga…’ woiiii banguuun!”. Kudengar suara itu semakin jelas, suara Togar. Ya ampun, aku membuka mata kulihat Togar, Oby dan Lukman teman kosku.

182

“ Man, kau mimpi apa? Cinta kali kau sama si rahmi sampaisampai teriak begitu, aku pun kau tinju, lihat ini mukaku, kau tak sadar nanti malam malam Minggu? Kau fakir aku bangga datang ke rumah Intan dengan muka begini?” Togar menegurku dengan kasar, anak Tarutung itu kelihatannya sangat kesakitan “Maaf gar, aku mim…” “ Kami fikir kau mati suri, dari tadi dibanguni tak bisa-bisa, tapi tadi air matamu keluar, yah kami fikir mimpimu sedang bertemu dengan Rambo, kau merengek-rengek minta kekuatannya.” Ledek Oby. “ Maaf aku mim…” “ Sekali lagi kau tinju mukaku, kuperkosa si Rahmi.” Potong Togar lagi. “Oih…Oih…dengarkan dulu aku, badanku lemas, batinku tersiksa, aku mimpi dan mimpinya sangat menyiksaku, baru kali itu kurasakan hidup yang betul-betul hidup. Aku mimpi jadi sopir angkot, aku melihat semua sikap burukku di mimpi itu, aku takut… aku betul-betul harus tahu tujuan hidupku. “ “ Lalu, kenapa ada Rahmi? Kau mimpi dia jadi istrimu, ceritakanlah…enak gak? Aduh kau betul-betul jodoh lah dengan dia ya…, sudah kau apakan dia di mimpimu?” Lukman menyita waktuku untuk berbicara. “ Sialan kamu, makanya dengarkan mimpiku”. Tukasku kesal. “Ah..h tak usah, tak banyak waktu lagi, nanti tak ada lagi angkot, ayo cepat dah hamper jam 8, aku tak mau bagianku diambil orang, terlambat dikit yang ada Cuma kosong empat, aku gak mau ‘lambat’ sebelum masuk aku mau main billiard dulu, pekik Oby. Aku tersentak, kosong empat ? billiard? Oh...nafasku sesak. “Jangan… jangan gitu, kasian bapak angkot itu, kalau memang kosong empat yang lewat naiki saja, toh jurusannya juga kampus kita kan? Tak apa-apa coba kalian bayangkan jika sopir itu kalian sendiri, angkotnya dihindari orang karena…” 183

“ Huh…iya..iya..kalau begitu cepat au mandi, ingat kita masih ada taruhan di billiard” potong Lukman. “ Jangan-jangan, jangan ke billiyard, kalian harus masuk kuliah tepat waktu”, aku bergumam dengan terbata-bata dan lidahku kaku. “ Wey… malaikat mana yang merasukimu Darman ? kurasa barusan tadi malam kau begitu angkuh mengatakan kita main billiard saja dulu sebelum masuk, kalau masalah tugas itu gampang, lulus tak lulus orang-orang setampan kita tak bakal jadi guru’ bukan begitu man ?” sindir Oby. “Aku tak mau lagi dibunuh ma Kak Simatupang, aku tak mau anakku merengek pulang kampung dan aku tak ada duit untuk itu, aku tak mau Rahmi merasa” “Ya… ampun, amang oi amang, udah rittik nya anak ini, “ Togar bergidik dan menuju ke pintu meninggalkanku. “ Siapa pula Kak Simatupang itu bro?” Tanya Lukman. “ Udahlah Lukman, nanti siang kita bawa dia ke RSJ Mahoni” ejek Oby. “ Kurang ajar kalian!” teriakku geram. “ Anakku begitu baik, dan selalu memberiku semangat, dan kalian tidak tahu itu, kalian tidak tahu…” senyumku lirih. “Ya Allah… ampuni lah dosa sahabatku ini,” bisik Lukman sambil menatapku aneh.

***

Pagi itu pun berlalu dengan aneh, aku tetap tersenyum tanpa harus mengikuti langkah mereka, aku harus tahu tujuanku, aku harus tahu misi dan visiku ke kota ini, Padangsidimpuan, tentunya “I miss you” kata orang-orang bule. Mimpi yang aneh, kurasa itu adalah ilham yang sangat membimbing diriku. Tapi ada satu lagi yang kusyukuri dalam mimpi itu, meski dadaku sesak dan nafasku terenyuh, namun aku sudah merasakan bagaimana hangatnya mencium kening Rahmi, dan berjanji akan memberinya kado di setiap ulang tahunnya, tidak dengan tempe, telur ataupun 184

teri yang begitu akrab dengan lambungku “dalam mimpiku.”

***

Ket : (Bahasa Batak) Amang

= Sebutan untuk ayah atau anak lelaki

Anggikku = Adikku Rittik

= Gila

185

Gadis Sawah Ramalni Sijabat

Pagi itu hujan rintik-rintik membasahi bumi tanah karo, udara sangat dingin sehingga orang-orang enggan untuk keluar rumah. Aku menggulung diri dalam selimut untuk menghangatkan tubuhku, tapi sura ibu membangunkan aku dari tidurku. “Ani, cepat bangun dan pergi ke sawah, kalau kamu bermalas-malasan maka bisa-bisa kita tidak panen tahun ini”, gumam ibuku. Dengan bersungut-sungut dan langkah yang berat aku bangun dari tidurku dan bergegas untuk pergi ke sawah. Aku pergi menembus rintik di pagi hari dan tangisan hati seorang anak petani yang tak berkesudahan. Mengapa aku dilahirkan di kalangn petani kalangan bawah, bahkan kami tidak punya lahan sendiri lahan yang kami tanami sekarang adalah lahan garapan yang kami sewa. Gedebruk… aku terjatuh karena jalanan begitu licin dan hal itu membuyarkan hayalanku, aku bangun dan menghapus air hujan yang sudah penuh di wajahku, dalam hati aku menangis, nasib… Nasib, sampai kapan aku harus seperti ini. Tapi aku tidak boleh melawan kehendak ibu ku karena seperti namaku “Ani” yang artinya murah hati dan mau memberi jadi aku harus tabah menghadapi segala cobaan. Tidak terasa aku sudah sampai di sawah, di sana terlihat pemandangan yang luar biasa indahnya, bulir-bulir padi yang sudah menguning sangat indah terkena air hujan dan di terpa air hujan.

186

Wayah he… He… He... suara nyaringku mengagetkan burung-burung yang sedang asyik memanguti padi ku segera menjauh terbang menjauhi sawahku. Aku duduk di atas surau untuk menghalau burung-burung yang datang yang hendak memakan padiku. Tanpa terasa ternyata matahari sudah mulai meninggi, itu tandanya perjuanagnaku pagi ini telah selesai dan aku harus segera pulang kalau tidak aku akan terlambat untuk ke sekolah.

***

Aku mencium aroma ikan asin yang baru selesai dibakar oleh ibuku yang membuat aku semakin tidak bisa menahan rasa laparku. “ Cepat makannya ani nanti kamu terlambat!” “ Iya ibu… “aku segera menjejalkan nasi ke mulutku sambil meminum air agar nasi yang aku makan bisa langsung di telan. Cepat-cepat aku mengambil handuk dan pergi berlari ke sungai. Teman-temanku sudah siap mandi dan mereka mau pulang ke rumah masing-masing. Aku cepat-cepat mandi dan langsung mengisi ember dan mengangkatnya ke atas kepalaku untuk di bawa ke rumah. Jalan yang licin menyulitkan ku untuk berjalan cepat untuk sampai di rumah, sambil berjalan aku berhayal berubah menjadi seorang bidadari hingga aku lupa beban berat yang menimpa kepalaku. “ Ani…. Cepat… jika kamu jalan seperti pengantin kapan kamu akan samapai di rumah?”

Jeritan ibu ku membuyarkan lamunanku, ku percepat 187

langkahku untuk lebih cepat samapai di rumah. Kuletakkan ember yang berisi air di dapar dan segera bergegas pergi ke sekolah.

“ Ibu aku pergi dulu…” “ Ia hati-hati di jalan ya…”

Aku berlari kecil ke sekolah.



***

Tok… tok… tok… “Selamat pagi bu..” “Selamat pagi…” “Kenapa kamu terlambat Ani?”

Aku tunduk dan tidak berani menatap wajah ibu guruku, karena aku tidak mungkin mengulang alasan yang sudah berulang kali akun ucapkan. “Kenapa ani? Apa kamu bangun kesiangan lagi?” “Iya bu” gumamku dengan raut takut dan wajah yang terbata-bata. “Sekarang kamu pulang saja dan tidurlah sepuasmu di rumah agar besok kamu tidak bangun kesiangan lagi” “Tapi bu…” “Tidak ada tapi-tapian!” Dengan langkah gontai aku pulang… Tapi aku tidak berani untuk pulang ke rumah karena aku takut jika aku pulang ke rumag ayah pasti di rumah dan dia pasti akan mengadu pada ibu kalau aku tidak masuk sekolah.

188

Akhirnya aku putuskan untuk istirahat di sawah saja karena aku yakin orang-orang tidak akan ada di sawah pada jam-jam siang seperti ini. Ternyata dugaanku benar, di sawah sangat sepi tidak ada orang hanya suara burung yang terdengar sekali-kali. Udara yang segar membuat aku mengantuk dan akhirnya tertidur. Aku bermimpi bertemu dengan seorang pangeran tampan yang datang berkuda putih dan ingin melamarku.. Tapi…. Nyit… cubitan ibu di pahaku membuat aku bangun dari mimpiku. Ibu? “Ani apa yang kamu lakukan siang begini di sawah??? Bukannya kamu harusnya ada di sekolah?” “Aku di suruh pulang ibu…” Kenapa? Apa tugas kamu tidak siap? Atau ibu belum membayar uang sekolah kamu? “Tidak bu…” “Tapi kenapa?” “Aku di pulangkan karena terlalu sering terlambat ke sekolah.” Ibu tertunduk dan merasa bersalah karena aku terlambat ke sekolah gara-gara setiap pagi aku harus membantu ibu ke sawah menghalau burung. “Ani ibu minta maaf, ibu tahu kamu tidak seharusnya mengalami hal ini.” “Sudahlah ibu aku tidak apa-apa kok.” “Jangankan di pulangkan jika aku harus berhenti sekolah pun aku rela asal bisa membantu ibu.” 189

“T idak anakku kamu tidak boleh berhenti sekolah. Besok ibu akan bicara dengan gurumu dan menjelaskan semuanya.” “Tidak ibu, aku bisa menyelesaikannya sendiri.” “Baiklah ibu percaya padamu pasti kamu bisa menyelesaikan masalah ini.”

***

Hari-hari aku lalui dengan tangisan nasib yang tidak berkesudahan. Ibu ingin kami menjadi sarjana, tapi bagaimana mungkin? Untuk makan sehari-hari saja kami sudah kesulitan. Tapi aku tidak mau mematahkan semangat ibu ku biarlah dia tetap dalam mimpinya seperti air mengalir meskipun itu tetap hanya menjadi mimpi. Burung-burung saja tidak pernah menanam padi tapi mereka tidak pernah mati kelaparan, mereka masih bias terus bernyanyi mengapa aku tidak bias seperti mereka? Mengapa aku hanya bias menangisi nasib tanpa pernah aku bersyukur? Mulai sekarang aku akan selalu tersenyum dan menjalani hari-hariku karena kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok, semua indah pada waktunya.

190

INI AKU, BUKAN DIA ATAU MEREKA Jumariah

Desahan nafasku tertahan antara kenikmatan dan kehinaan. Mungkin terdengar sampai keluar, namun aku tak perduli. Kenikmatan terpancar dari perpaduan antara cinta dan dosa. Bergumul dalam kesenangan sementara. Aku bukan pelacur yang menjual diriku. Tapi, aku lebih mengatakan ”atas nama cinta”. Toh dia kekasihku, aku tidak perduli dengan apa yang telah terjadi, aku telah menyerahkan diriku untuknya. ”Yang penting dia bertanggung jawab, dan kalau bisa jangan sampai hamil”, pikirku Berulang kali, bertahun-tahun, sampai tak terhitung berapa banyak dosa yang telah kami kumpulkan, tapi tak ada perasaan bersalah sedikitpun terbersit dalam hati, kebohongan-demi kebohongan menjadi pelindung diri dari semua kebenaran yang merongrong sehingga hampir terbuka aib diri. Pernah suatu hari ada yang bertanya kepadaku ”Kapan rencananya?” “Rencana apa maksudnya, aku tak mengerti, pernikahan?” Ah, tak terpikir olehku tentang hal itu, jalani saja dulu yang ada, resminya urusan belakangan. Aku masih ingin bersenangsenang, terbebas dari segala aturan, satu dua tahun lagi mungkin. Tapi aku harus pintar bermain dan melakoni semuanya agar busukku tak tercium, tidak seperti temanku.

”Aduh, gimana,le?aku sudah telat satu bulan.” ”Ya ampun, apa yang kamu lakukan?” Perkataan munafik 191

keluar dari mulutku, terpikir olehku kenapa ada orang bodoh yang meratapi nasibnya. Sudah berani memutuskan harus berani bertanggung jawab. Makanya, pandailah dalam berbuat. ”Contoh aku” aku sangat lihai. Naluriku tersentak. Terkadang aku sangat bingung dengan hidup ini, bukankah ada hukuman bagi orang berdosa dari Tuhan? Tapi mengapa aku tidak, padahal dosaku sudah setinggi gunung mungkin. Apa Tuhan terlalu sayang kepadaku? Atau Dia terlalu sibuk mengurusi umat yang lain sehingga tidak peduli kepadaku, mungkin juga! ”Apa yang dilakukan manusia di bumi akan mendapatkan balasan di akhirat walaupun sebesar biji zarrah”. Selalu terngiang olehku ucapan seorang ustadz pada pengajian waktu itu. Belum saatnya balasan Tuhan untukku, tidak di bumi tapi diakhirat, aku yakin balasan yang kuterima akan sangat besar sesuai dengan kelakuanku. Aku memang munafik harus menutupi keburukanku dengan kebaikan, aku ikut pengajian tapi juga melakukan perzinahan ”sempurna” hidup yang kujalani. Inilah jalan takdirku. Eh, tunggu, bukankah takdir bukan Tuhan yang menentukan tapi kita yang membuat takdir kita sendiri. Aku membuat takdirku menjadi seorang munafik. Tapi hanya sedikit penyesalan yang pernah keluar dari hatiku, karena sudah ditutupi oleh setan-setan yang bergelantung senang disana. Aku seperti terdakwa tak bersalah padahal ada hakim ulung di depanku. Ah, aku pusing memikirkan hidup.

”Jangan terlalu bebas dalam bergaul”

Aku terkejut tiba-tiba ayahku berkata demikian, aku berpikir apa mungkin dia sudah tau apa yang kulakukan selama ini. Mana mungkin, kalau dia sudah tau pasti aku sudah dilempar keluar 192

dari rumah. Keyakinanku sangat kuat bahwa tidak ada seorang pun yang tau kecuali aku, dia dan Tuhan. Oh.... Aku tau, ayahku sering memperhatikan kelakuanku, maksudnya sangat baik ingin mengingatkan aku, agar aku tidak terjerumus. Tapi maaf ayah, aku sudah terlanjur menjalani duniaku. Keterkejutanku terus bertambah ketika hendusan seorang teman mencium perbuatanku, dia hanya menebak awalnya, tapi aku tidak bisa megelak dari tatapan matanya yang menyelidik. Dia berusaha mencari jawaban dari mataku. Aku terpaksa jujur padanya, tapi dengan pengharapan agar dia tidak menceritakan ke orang lain. Dia bisa mengerti ternyata.

”Aku juga begitu, bukan kamu saja”

Astaga, begitu ringan kata-kata itu keluar dari mulutnya, ternyata banyak pengikut dibelakangku, entah mengapa aku sangat senang mendengarnya. Bukan aku saja pengikut setan yang ingkar dari Tuhan. Aku bertanya kepadanya mengapa dia seperti itu juga, jawabannya hanya satu ”Atas nama cinta” katanya. Pikiran kami sama mengagungkan cinta dengan menyerahkan segalanya kepada sang pacar, bukan suami. Tapi aku bingung, ada apa dengan cinta, mengapa orang mengatasnamakan perbuatan kotor atas namanya. Termasuk aku, apakah benar cinta itu sudah tercemar dari kesuciannya? Atau kami si pelaku cinta yang mencemarinya. Kepalaku jadi berputar-putar memikirkannya.

*** Aku semakin semangat dan tak berdosa menjalani hidupku, bagai di atas angin tak ada yang membebaniku. Kebebasanku menjalani hidup membuat aku tak lagi berpikir untuk membatasi diri atas perbuatanku. kekasihku tersayang puas atas kesediaanku 193

memperlakukannya sebagai raja atas diriku. Entah kapan aku berhenti dari dosa ini. Ingin rasanya suatu saat menikmati hubungan dalam kehalalan status. Hanya dengan kekasihku yang ini, aku yakin nanti pasti terjadi. Terakhir kali aku berlomba meraih kenikmatan dengan kekasih hati dengan berjanji dalam hati ini takkan terjadi lagi.

Tapi…



”Selamat malam, maaf bisa tunjukkan surat nikahnya?”

194

Deadline Cerpen *Hari Senin Pukul Tiga Rahma Yanti

Sabtu, 23 Mei 2009, seperti biasa aku bersiap-siap pergi ke kampus. Seharusnya weekend bareng teman-teman, tapi nggak bisa karena hari Sabtu aku memang punya dua mata kuliah melengkapi tiga mata kuliah lainnya pada semester ini. Pukul 10 pagi aku sudah mulai bersiap-siap dengan menyiapkan baju yang akan aku kenakan yang sengaja aku sesuaikan warnanya dengan jilbab dan semua aksesoris yang aku pakai. Itu memang hobiku aku suka sekali memadu padankan semua yang aku pakai agar terlihat serasi dan sedap di pandang. “He...he.... walaupun tidak semua orang sama seleranya dengan diriku.” Kemudian aku menyetrika jilbab yang telah aku tentukan untuk di pakai karena semua jilbab yang ada di lemariku memang belum di setrika hanya di lipat saja setelah di angkat dari jemuran. Aku kerepotan jika harus memakai jilbab yang ada bekas lipatan setrikaannya, oleh sebab itu aku menyetrika jilbab sebelum mengenakannya agar bisa langsung di pakai tanpa harus dilipat sebelumnya. Pukul 11.30 WIB aku telah siap berangkat, kunaiki becak dayung dari gang rumahku menuju jalan besar, ini salah satu penderitaanku selama berada di kota Medan ini. Rumah yang aku tempati jauh masuk gang dari jalan raya tempat biasa aku menunggu angkot menuju kampus. Yach...tapi mau gimana lagi sudah diamanahkan sama orang tua harus tinggal disitu ya sudahlah aku terima saja. Turun dari becak seketika angkot 121 rahayu yang berwarna merah itu menghampiri, segera kuacungkan telunjuk 195

pertanda aku akan menaiki angkot tersebut. Hari begitu terik, membuat tubuh dibanjiri keringat yang sungguh mengganggu. Aku mengeluh.

“Oh panasnya…,”

Segera ku ambil kipas dari tas, kukipasi seluruh bagian tubuh. Tiba-tiba angkot berhenti, sepertinya ada yang akan naik lagi. Benar saja dua anak kira –kira berusia 12-an tahun. Mereka naik melewatiku karena aku duduk tepat disamping pintu masuk.

“Uh..” desauku dalam hati.

Bau, sungguh menyengat dari tubuh mereka membuatku tambah gerah. Dengan lunglai kedua anak itu mengambil posisi paling sudut di dalam angkot itu, sudut tepat berhadapan denganku. Dengan saling menyandar mereka duduk sangat tidak berdaya. Semula aku tak peduli dengan keberadaan mereka, tapi dengan keadaan mereka yang sangat memprihatinkan hatiku tergerak untuk mengamati mereka. Yang duduk paling ujung bertubuh sangat kurus, rambut ikal pendek dengan mata yang sangat sayu seolah begitu berat beban masalah yang ditanggungnya dalam hidup ini. Satunya lagi tak jauh berbeda berkulit putih tetapi terlihat sangat kumuh karena mungkin jarang mandi, terlihat dari rambut panjangnya yang sebahu yang terlihat sangat kering karena mungkin sudah lama tak di beri shampo. Jika dilihat dari fisiknya mereka tidaklah jelek, jika terurus dengan baik pasti mereka terlihat lebih baik. Tetapi sayang mereka sungguh tidak layak dikatakan dalam keadaan baik-baik saja karena mereka terlihat sangat kumal. Dari sorot mata mereka berdua aku coba menilik kehidupan mereka. Tatapan yang kosong seperti orang yang terkantuk-kantuk. Mereka tampak seperti tidak ada 196

yang mengurusi. Entah dimana orang tua, entah dimana sanak saudara. Mereka seolah sebatang kara, walaupun mereka berdua tampak aura kesepian dari cara tarikan nafas mereka. Tak mampu aku membayangkan seperti apa mereka hidup, dimana rumah mereka, dimana keluarga mereka. Mereka hampa sekali. Aku terus memperhatikan mereka, tubuh kurus kering hampir seperti orang yang busung lapar. Tak mampu kubayangkan berapa hari sekali mereka makan. Aku tak yakin mereka dapat makan sekali sehari karena dari pengalamanku makan sekali sehari saja susah membuat membuat tubuhku terlihat kurus. Konon lagi badan sekurus itu. Lemah tak berdaya. Mengamati mereka seolah ada yang ingin aku lakukan tetapi pada saat itu aku tidak tahu harus berbuat apa. Tibalah aku di kampus tercinta Unimed, kutelusuri jalan menuju Fakultas Bahasa dan Seni dan lebih tepatnya lagi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia gedung C lantai 2. Tak seberapa jauh dari pemberhentian angkot tadi. Jam 12 teng, aku dan temanteman yang lain telah siap di kelas menunggu kehadiran pak Aulia Andri dosen mata kuliah Penyuntingan Naskah. Tak lama kami menunggu, datanglah beliau. Dibukanyalah kuliah hari itu dengan menyapa kami semua. “Assalamualaikum, Selamat siang teman-teman” begitulah kira-kira katanya. Dosen yang satu ini memang agak berbeda dengan dosen yang lainnya selain dia masih muda dia juga tampak lebih bersahabat dengan mahasiswa-mahasiswinya. Sehingga kami juga lebih nyaman dan terbuka dalam mengungkapkan pendapat dan aspirasi kami kepada beliau. Dia pun mulai menjelaskan materi kuliah hari ini, yaitu tentang “menulis” bahwa kita harus mempunyai perencanaan dalam menulis seperti harus punya ide atau gagasan, kemudian kita dapat memulai dengan menulis kasar (drafting) dan yang terakhir 197

kita dapat melakukan revisi, penyuntingan atau pengeditan. Aku mencoba mamperhatikan semua penjelasannya namun tak dapat kupungkiri tak dapat 100% atau bahkan 50% kuserap apa yang ia katakan karena pikiranku yang sedang bercampur aduk. Banyak hal yang sedang aku pikirkan dan yang paling menjadi prioritas adalah masalah proposal penelitianku, mengingat ini adalah semester terakhirku dan orang tua yang telah bertanya- tanya kapan tamat kuliah tidak salah kalau tugas akhir ini sangat membebaniku. Selain aku yang kurang paham akan metodologi penelitian dan langkah-langkah apa yang harus aku lakukan untuk membuat proposal penelitian, prosedur administratif di jurusan juga sedikit membingungkan. Sehingga butuh tenaga dan pikiran yang lebih banyak dalam pengerjaan proposal ini. Hal ini yang membuat aku kurang konsentrasi belajar tidak hanya di mata kuliah ini tetapi juga dimata kuliah lainnya. Tersentak aku tiba-tiba dari lamunanku ketika pak Aulia menunjukku, sambil berkata, “Ada salah satu teman facebook saya di kelas ini, kamu Rahma?” tanyanya padaku. “Oh iya..pak” jawabku agak gelagapan. Rupa-rupanya beliau sedang menjelaskan bagaimana kita menulis di era informasi seperti sekarang ini. Dan kebetulan aku satu-satunya mahasiswi di kelas ini yang menjadi temannya di salah satu jejaring sosial, facebook, yang dapat dijadikan sebagai wadah menuangkan ide ataupun gagasan dalam bentuk tulisan. “Kita dapat memuat tulisan-tulisan kita di blog atau yang lagi ngetrend saat ini adalah facebook” Begitulah kira-kira penjelasannya hingga perkuliahan ia memberikan tugas kepada kami. 198

di

akhir

“Kalian saya tugaskan membuat cerpen dengan tema terserah masing-masing, minimal 3 lembar di ketik 1 ½ spasi dan dikumpul dalam bentuk softcofy..” “Waduh buat cerpen..susah kali kurasa.” Komentar seorang teman. “Iya, jarang buat makanya agak payah juga kurasa.” Aku menimpali. Tiba-tiba terbesit dibenakku dua anak yang kutemui di angkot tadi. “Kenapa aku tidak buat cerpen tentang anak gelandangan saja” Gumamku sendiri. “Ya aku akan membuat cerpen tentang anak gelandangan”. Kumantapkan sekali lagi didalam hati. Beberapa hari berlalu, hingga suatu siang di hari senin aku beserta kelompokku mendapat giliran menempelkan karyakarya mading ”Ekspresi Ekstensi”. Dari mata kuliah Pengelolaan Majalah Dinding, dosen Pak Antilan Purba, salah satu dosen sastra yang disegani di jurusan karena karya- karya dan bukubuku yang telah ditulisnya. Berkebetulan siang itu Pak Antilan duduk di salah satu kursi di dekat mading kami. Sambil membaca Koran diperhatikannyalah kami menempelkan karya-karya pada mading tersebut. Sambil berceletuk ria siaplah pekerjaan tempel menempel itu. Aku beserta teman-temanku tidak langsung pergi, kusempatkan untuk mengobrol bersama Pak Antilan. Dari obrolanobrolan tentang berita yang dibaca bapak itu dari Koran tiba-tiba aku berinisiatif menanyakan tentang tugas membuat cerpenku kepada bapak itu. Ku mulai pertanyaanku,

“Pak menulis itu bakat??” “Nggak.” Jawabnya lantang. “Menulis itu latihan,” “Pak saya akan menulis 199

cerpen

tentang

anak

gelandangan” “Cobalah lah dulu kamu ceritakan awalnya!” Beliau menyuruhku menceritakan awal dari cerpenku. “Seperti biasa, setiap hari sabtu aku kuliah. Aku naik angkot 121 dan bla..bla..bla…”. kuceritakan bagaimana mula-mula aku menulis cerpenku. Tiba-tiba…. “Nggak eeenaaaaaaaaak……….” Salah satu temanku meneriakkan kata itu tepat di mukaku, pak Antilan tertawa lepas pertanda menyetujui perkataan temanku itu. Aku pun tertunduk malu. “ Dalam menulis cobalah lebih merasakan dan….”. Banyak lagi nasehat pak Antilan mengenai menulis yang akhirnya aku coba pelajari. Beberapa hari kemudian tepatnya jumat pagi aku menerima informasi dari temanku bahwa cerpen yang harusnya di kumpulkan Sabtu 30 Mei 2009 ditunda pengumpulannya pada Sabtu depan 06 Juni 2009. Pengumuman tersebut ada di papan pengumuman dekat tangga jurusan. Cepat-cepat kulihat pengumuman tersebut. “Yang mengikuti mata kuliah penyuntingan naskah agar mengumpulkan cerpen pada tanggal 6 Mei 2009.” Dto Aulia Andri Ku tarik nafasku dalam-dalam. Karena belum ku sentuh lagi draft cerpen yang telah kubuat Sabtu malam lalu karena aku sibuk menyiapkan berkas-berkas untuk mendaftar seminar proposal penelitian. Jadi masih ada waktu kira-kira satu minggu lagi untuk menyiapkan cerpen tentang anak gelandangan itu pikirku. Sabtu, 30 mei 2009, pagi pukul 08.30 aku telah sampai di Auditorium Unimed untuk mengikuti seminar “Motivasi Guru dan Calon Guru dalam Rangka Peningkatan Kualitas Belajar Siswa”. Dari seminar ini aku mendapatkan motivasi dan semangat untuk 200

menjadi seorang guru. Bukti aku telah mengikuti seminar ini adalah sebuah sertifikat. Dan percaya atau tidak this is my first certificate tentang pendidikan setelah hampir 4 tahun kuliah di Universitas Negeri Medan ini.

“Oh… parahnya diriku….”

Jam menunjukan pukul 11.50 ku buat pesan singkat kepada temanku yang berbunyi,

“Ze, Pak Aulia masuk?”

Agak lama dari pesan ku terkirim kira-kira pukul 12.05 terasa getaran dari dalam tas tanda ada pesan masuk di handphone ku. Segera kurogoh tasku dan mendapati satu pesan masuk

“Yan Pak Aulia dah masuk ni..”

Cepat-cepat ku ajak teman-teman ku untuk beranjak dari tempat itu, dengan terburu-buru kami segera menuju jurusan tepatnya lantai 2 ruang paling ujung. Ku ketuk pintu dan pak Aulia pun menoleh dan menganggukan kepala tanda aku beserta temantemanku boleh masuk ke ruangan.

Segera ku ambil bangku di sebelah Zeze dan bertanya. “Kumpul tugasnya??” “Ya, kumpullah tugasmu!” Perintahnya. “Belum siap” kataku. “Bapak itu marah lho”. Katanya lagi menimpali “O…iya? Acem dunk??” Desakku.

Ku coba untuk melihat wajah dosenku yang satu ini. Benar saja wajahnya agak sedikit masam pertanda dia kecewa karena hanya ada lima orang saja yang mengumpulkan tugas tersebut.

201

Mulailah dia berbicara “Pengumuman itu bukan untuk kalian, itu untuk kelas yang satu lagi, lagian saya rasa instruksi yang saya berikan minggu lalu sudahlah cukup jelas. Mengapa kalian berasumsi cerpen kalian juga dikumpulkan minggu depan.?? Untuk apa kalian menundanunda pekerjaan. Target saya tugas kalian ini akan selesai saya rampungkan minggu ini dan tugas mereka untuk minggu berikutnya. Jadi dapat terjadwal dengan baik perencanaan saya. Nah kalau begini jadi kacau semua kan??” nada bicaranya mulai meninggi. Kali ini tampak kurang bersahabat tidak seperti sebelum-sebelumya. “Wah.. bapak ini tegas juga ya?” Pekikku dalam hati. Aku mulai ketakutan aku merasa bersalah. Karena telah mengabaikan tugas ini. Dan aku sudah pasrah kalau-kalau tidak ada lagi excuse dari bapak ini. Tapi untunglah dia masih berbaik hati. “Okelah, terpaksa ada excuse untuk kalian. Cerpen ini dikumpulkan paling lambat hari Senin pukul tiga. Temui saya di bagian humas Biro Rektor. Siapa yang dapat mengumpulkan tugas ini?”tanyanya. Kemudian dia melirik ke arahku, “Kamu Rahma?” “Oh iya pak. Saya akan kumpulkan dan antarkan pada bapak senin pukul 3 sore.” Kataku agak tergagap. “Baiklah, masih ada yang bertanya? Kalau tidak saya tutup kuliah hari ini. Assalamualaikum, selamat siang” Dia pun berlalu pergi dari kelas. Tibalah jantungku berdegup kencang, “Bagaimana ini??” apa aku bisa menyelasaikan cerpen dalam dua hari saja?”

Bergegas aku pulang kerumah tetapi aku harus mengambil 202

sertifikat seminar terlebih dahulu. Ku telusuri jalan-jalan Aksara menuju Suka Rame baru jalan Bakti jalan besar di depan gang rumah ku kembali dengan angkot 121 rahayu yang warna merah itu. Sudah tidak sabar lagi rasanya ku buka laptopku agar dengan segera dapat kukerjakan cerpen itu. Karena masih banyak lagi tugas-tugas lain yang menunggu, kliping dan desain mading senin jam 12, konsep pementasan karya sastra kamis jan 4 sore, proposal sastra bandingan jumat jam 10 pagi, dan kamus untuk mata kuliah leksikografi jumat jam 4 sore. Belum lagi persiapan seminar proposal penelitian yang mungkin akan dilaksanakan dalam waktu dekat. Turun dari angkot terasa perutku mulai mengisap.

“Oh…. ya tuhan aku belum makan dari tadi pagi”

Singgahlah aku ke warung minang serba lima ribu yang berada di seberang jalan.

“Ayam pop bang!” Pintaku pada abang warung tersebut. “Berapa bungkus dek?” “Satu aja bang.”

Kubawa kantong plastik berisi sebungkus nasi padang itu di sebelah kiri tanganku. Kemudian aku menyebrang lagi, dan kulirik beberapa becak yang sedang nagkring di simpang gang itu. Kupilih yang paling dekat denganku karena tak sempat lagi rasanya mencari-cari tukang becak langgananku. Kunaiki becak itu dengan berharap secepatnya sampai ke rumah. Sampai di rumah kuletakkan tas di atas meja belajarku, dan ku langsung ke belakang meletakkan makan siangku di atas meja makan. Setelah ganti baju ku segerakan makan agak terburu-buru tapi tetap kunikmati. Selesai makan rasanya agak kekenyangan dan agak “eneg” karena aku sudah sedikit bosan dengan nasi warung ini. Ku dudukkan badanku sebentar sambil mengambil jeruk kiriman orang tua dari Takengon kampungku, di dalam kulkas. Kunikmati 203

setiap ruas jeruk yang sedikit menyegarkan mulut.

“Astagfirullahaladzim….” Ucapku tiba-tiba.

Aku belum shalat dzuhur.. ku bangkit dari kursi dan segera wudhu dan kemudian shalat dzuhur. Setelah shalat aku berencana akan menyelasaikan cerpenku, nyatanya aku harus mencuci piring yang telah 2 hari tak ku cuci terlebih dahulu sehingga tertunda lagi cerpen yang harus kukerjakan. Setelah mencuci piring rasanya tubuhku sedikit lelah kurebahkan badanku di atas tempat tidur dan aku pun terlelap sampai akhirnya tersadar ketika mendengar adzan ashar. Aku tersentak “cerpen…” cetus ku agak keras. Baru dengan kesadaran penuh ku kembali wudhu dan melaksanakan shalat ashar baru setelahnya ku buka laptopku dan kubuka file cerpen. Di ruang kamar yang cuma 3 x 3 ku coba untuk berkonsentrasi penuh. Kubaca lagi draf yang telah kutulis dan mencoba berselanjar di dunia imajinasi dengan modal fakta anak gelandangan yang pernah aku temui. Kususun lagi kerangka-kerangka cerpen yang telah aku rencanakan. Ku mulai dengan membuat skema yang telah di ajarkan Pak Aulia dengan menggunakan teori Mindel, yaitu cara untuk merangkai cerita berdasarkan karakteristik seseorang dengan hal-hal yang dekat dengan ciri-ciri orang tersebut. Beginilah kirakira skema yang aku buat. Kurus → putih → ikal → tidak → rapi → kotor → jarang mandi → bau → keringatan → lelah → masalah → hidup →tidak bahagia → miskin → kumuh → kolom jembatan → gelandangan. Dengan skema itu kumulai membuat cerita tentang anak gelandangan dan kehidupannya, yang pertamanya di mulai dari bertemu dengan tokoh yang bernama Timay seorang perempuan berjiwa sosial tinggi yang sangat konsen terhadap masalah anak jalanan sampai ia mendirikan foundation untuk anak jalanan 204

dengan segala konflik yang ia hadapi. Dan tidak ketinggalan juga kisah cintanya dengan sorang pria pemerhati kehidupan gelandangan juga yang bernama Yusuf yang berakhir bahagia dan sangat mengharukan. Telah kutumpahkan semua kemampuan menulisku pada cerpen tersebut. Aku minta pendapat dari teman satu rumahku dan merevisi bagian-bagian yang kurang sesuai. Dan akhirnya tercapailah Deadline Cerpen *Hari Senin Pukul Tiga tersebut.

“Uuuh……leganya….”

205

Para Penulis : Laila Siregar

Mahasiswi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2005. Pernah meraih Juara II lomba Cipta Cerpen UKMI AR-RAHMAN Unimed. Aktif di Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK). Putri Yanti Mahasiswi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2006. Aktif di Teater LKK Unimed. Telah mengikuti beberapa pementasan Teater di Sumatera Utara. Muhammad Pical Nasution Pernah menjadi juara II Lomba cipta Cerpen yang diadakan Balai bahasa Medan dengan karyanya “Monolog Orang Gila”. Aktif di berbagai organisasi diantaranya SEMAF FBS (2008) serta komunitas penulis “BERCAK ‘Berkarya Cara Kita’ ” Lia Winni Novelia Sedang menyelesaikan Program Strata 1 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unimed. Dani Sukma Agus Setiawan Lahir 01 Januari 1986 di Desa Ujung Batu III, kecamatan Sosa Kabupaten Tapanuli Selatan (Sekarang Padang Lawas) dari pasangan Sutrisno-Sujiati, berkecimpung dalam ranah kepenulisan sejak berlabuh di Unit Kegiatan Mahasiswa Pers Mahasiswa Kreatif Unimed, selain melayari dunia Pers Kampus, juga aktif di berbagai organisasi, antara lain tercatat sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unimed (Periode20072009), Wakil Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia se-Sumatera Utara (2008-2009). Atas dorongan nurani kreativitas, mendirikan Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) sekaligus menjabat sebagai ketua untuk periode (2009-

2010). Beberapa prestasi yang pernah diraih antara lain: Juara 1 Lomba Pidato Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unimed (2006); Juara Harapan 1 Lomba Parodi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unimed (2007); Juara 2 Lomba Cipta Cerpen AMUK Teater LKK Unimed se-SUMUT (2007); Juara 1 Lomba Cipta Puisi Majalah Asy Syifa Unimed (2008); Juara 2 Lomba Menulis Opini Majalah Asy Syifa Unimed (2008); Juara 2 Lomba Cipta Baca Puisi Ajang Aktivitas Anak Kampus (AJAK) (2008); Juara 3 Lomba Cipta Puisi AMUK Teater LKK Unimed se-SUMUT (2009); Juara 1 Lomba Cipta Puisi Global Competition and Arts BEM FKIP UMSU (2009); Beberapa karyanya sempat ternoktah di Majalah Kreatif Unimed, Harian Analisa, dan Majalah Pendistra Tri Andini Ayuningtyas Lahir di Perbaungan, 25 Nopember 1988. Saat ini tercatatat sebagai mahasiswi Jurusan Pend Bahasa dan Sastra Indonesia. Penulis yang satu ini memiliki hobi mendengarkan musik. La-Tahzan adalah salah satu buku favoritnya. Alamat surat elektronik: eufonik_ [email protected] Aulia Andri Dosen di Universiatas Negeri Medan, Fakultas Bahasa dan Seni, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Yuni Hartika Purba Mahasiswi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2005. Beberapa karyanya dimuat di harian Analisa dan Medan Bisnis. Saat ini bergiat di Teater Generasi Medan dan anggota Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK). Widya Syahputri Butarbutar Lahir di Pematangsiantar, 28 Oktober 1987. Tinggal di Jl. HM. Yamin Gang Habir no. 1. Mahasiswi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2006. Aktif di Teater LKK Unimed. Telah mengikuti beberapa pementasan Teater di Sumatera Utara.

Enna Amalia Nurani Ritonga Lahir di kota Tua tepatnya 5 Juli 1987. Kuliah di jurusan Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia Unimed, stambuk 2006. Alamat: Jalan Tuasan Gang Aman No. 9. Prestasi yang pernah di capai antara lain: Juara I LKTM AR-RAHMAN (2009), Juara I Lomba cipta cerpen UKM KREATIF Unimed (2009), Juara III lomba cipta cerpen AMUK Teater LKK Unimed (2008 dan 2009) Juara III Lomba cipta Majalah Asy Syifa (2007). Surat elektronik: [email protected] Irma Yanti Nasution Mahasiswi Jurusan Pend. Bahasa Indonesia, Universitas Negeri Medan. Lahir di Delitua, 3 Oktober 1987. Sekarang tinggal di Jl. Benteng Hilir Gg. Seroja No. 24 Tembung. Karyanya , puisi dan cerpen, sering dimuat di Harian Analisa dan Medan Bisnis. Surat Elektronik: [email protected] Rudi Hartono Saragih Lahir di Sipolin, 26 Desember 1986. Mendapat penghargaan dari Menteri Pemuda dan Olah Raga dalam menulis karya tulis ilmiah tentang kepemimpinan pemuda (2007); Aktif Mengikuti Program Kreatifitas Mahasiswa (2006-2009), Karya Tulis Ilmiahnya “Setiap Sekolah Membentuk Komunitas Siswa Penulis” telah mengikuti seleksi karya tulis tingkat nasional; Juara II menulis Artikel (Acara bulan bahasa Unimed 2008); terpilih menjadi mahasiswa berprestasi tingkat Universitas Negeri Medan (2009); terpilih mengikuti pelatihan jurnalistik tingkat nasional di IAIN Raden Fatah Palembang (2008). Aktif di organisasi seperti LitBang Pers Mahasiswa Kreatif Unimed; Sekretaris SEMAF FBS Unimed (2008); Wakil Ketua Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK). Surat elektronik: rudsar68@ gmail.com Zasi Madana Mahasiswi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2006. Aktif di HMJ Basastrasia Unimed (2007). Suka menulis dan menjadi

penikmat karya sastra. Rahmatun sya’diah Mahasiswa pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2005. Pernah meraih Juara I lomba Baca puisi AMUK Teater LKK Unimed (2009). Saat ini bergiat di Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK). Lenni R. Sihombing Sedang menyelesaikan Program Strata 1 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unimed. Irfan Baihaki Mahasiswa pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2005. Memiliki kemauan dan kemampuan dalam menulis. Saat ini tinggal di Medan. Rosnilam Siregar Lahir di Langga Payung, 24 Mei 1986. Sedang menyelesaikan Program Strata 1 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unimed. Masta Fransiska Siadari Lumbanjulu, 24 Oktober 1988. Bergiat menikmati karya sastra dan mengikuti kompetisi penulisan. Tercatat sebagai mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unimed angkatan 2006. Hotmauli Saragih Sedang menyelesaikan Program Strata 1 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unimed. Beslina Afriani Siagian Mahasiswi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2006. Aktif di Kegiatan Mahasiswa Bidang Kerohanian. Telah Mengikuti

berbagai kompetisi Menulis. Proposal Pengabdian Masyarakatnya telah didanai oleh Dirjen Dikti. (2008) Dahriansyah Situmeang Mahasiswa pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2005. Berasal dari daerah Sibolga dan sekarang tinggal di Medan. Aktif di Komunitas penulis “BERCAK ‘Berkarya Cara Kita’ ”. Motto Hidupnya; diam itu emas. Siti Aisyah Mahasiswi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2006. Aktif di Teater LKK Unimed. Telah mengikuti beberapa pementasan Teater di Sumatera Utara. Lahir di Pasaman, 15 Februari 1988 Sumatera Barat. Sekarang menetap di Jl. HM. Yamin Gang Habir no. 1. Aidi Fitri Mahasiswi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2005. Aktif di Teater LKK Unimed. Telah mengikuti beberapa pementasan Teater di Sumatera Utara. Salimah Tanjung Mahasiswi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2005. Meraih peringkat Harapan I pada Pameran Majalah Dinding di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unimed. Merri C. Zalukhu Mahasiswi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2005. Aktif di berbagai oraganisasi antara lain HMJ Bahasa dan Sastra Indonesia Unimed, Unit Kegiatan Mahasiswa Kristen Protestan. Dwi Puspa Sari Lahir di Pematang Siantar 18 Mei 1987. Kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unimed angkatan 2005. Juara I Lomba baca puisi Se-SMA Kota Pematang Siantar, Juara II Lomba Sari Tilawah

Se-SMA Pematang Siantar, juara II Lomba Visualisasi Puisi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unimed. Rida Wati Purba Sedang menyelesaikan Program Strata 1 Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FBS Unimed angkatan 2005. Wahidah Nasution Lahir di Medan 8 Juli 1987. Kini sedang menjalani Program S1-nya di Universitas Negeri Medan. Dia aktif di Unit Kegiatan Mahasiswa Teater LKK Unimed. Membaca cerpen merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari seorang Wahidah, tidak banyak pengalaman yang bisa dibagi kepada orang-orang, tapi Wahidah berharap cerpen ini bisa menjadi wawasan dan hiburan bagi semua pembaca. Bisa add Wahidah di FS: [email protected] Ramalni Sijabat Mahasiswi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2005. Jumariah Mahasiswi 2006.

pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan

Rahma Yanti Lahir di Takengon, 29 September 1987. Sedang menyelesaikan studinya di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Medan. Mahasiswi yang satu ini paling suka mengotak-atik Blog.

Kelas Reguler EIRENE SIAGIAN, ERNI YUSNITA, IRMAYUNI, MEY RINI SINAMBELA, NAOMI SIREGAR, RIZKA MAYA SARI, RONITA BR SEMBIRING, RUSDAH SIANIPAR, SRI ANIDA, SRI HANDAYANI, SRI WAHYUNI TANJUNG, TANMIRA LESTARI NASUTION, TRISNAWATI HUTAGALUNG, VLORIDA BR TARIGAN, SENI E SINAGA, HAGAI ORIZA ISAURA N, ENDANG LISTARIANI, YUNI HARTIKA PURBA, YENNI ERIA BR PURBA, GOLDA MAIR, RAHMATUN SYA’DIAH, TITIN S.S, BOB EDWARD J SITORUS, DEVI VERA NAINGGOLAN, LENARUT H SILITONGA, KRESI HUTAURUK, SYAFRIDA NUR, MOPPO P.B, CHARINA S SIMAMORA, IRMA YANTI NASUTION, WAHIDAH NASUTION, MAIRA HEMMY, RUDI HARTONO SARAGIH, DEWI SHANTY SIMANJUNTAK, LISDAWANI, AINUL HUSNA, JUGIA M SIRINGORINGO, AMANDA REYNA, BESLINA AFRIANI S, WINA WULANDARI, JUMARIAH, SALMAH NAELOFARIA, ENNA AMALIA NURANI RITONGA, ACHMAD YUHDI, SISKA NATALYA SIMARMATA, FEBRIKA ANA SARI SITOMPUL, RANI, SYARI YUNI YANDA SITOMPUL, NUR MEDAWATI, DANI SUKMA AGUS SETIAWAN, ELLY DAYANI, FITRIANI SIREGAR, MARIA SINAGA, NURAIDANI SIREGAR, NUR HAYATI, RANI JAYANTI, RESKI HANDAYANI RANGKUTI, EVI RAHAYU, VENI ASMARANI, MUHAMMAD PICAL NASUTION, TRISNA SARI, ELFRIATI SIREGAR, DEDEK NOVITA SARI, ROMIAN SIBARANI, SARMA PANGGABEAN, AIDI FITRI, RIWATI SIGALINGGING, TRIWAHYUNI TAMPUBOLON, RADIUS SIBURIAN, DAHRIANSYAH SITUMEANG, ROLENTA NABABAN, NOFRIDA S, DWI PUSPA SARI, ERNIE B NABABAN, DINAMAYANTI M S, LINA M SIMBOLON, SANTI CHRISTINA M, ROMINDO SIMANJUNTAK, SRI KURNIA DEWI, MASRIANA TAMBUNAN, SIANDO SIHOMBING, DESY UTAMI PUTRI, DEWI MARPAUNG, LAILA SIREGAR, MERRY C ZALUKHU, MONITA SIANIPAR, IDA TARULI SILABAN, WAHYU LINDYA PUTRI D, BENI ELEN TUMANGGOR, JESSY E PAKPAHAN, WILFRIDA HASIBUAN, RIA RAMIYATI BR BARUS, ERNA SUSANTI LUMBANTOBING, LINI AFRIANI SINAGA, SISKA SRI ENDANG PURBA, ERITA LUSIANA, ARTHA FRIDA SIMAMORA, VERONIPHA SIALLAGAN, MERY LUMBANTORUAN

212

Kelas Ekstensi RIDAWATI PURBA, MARNI S PURBA, SUKAH HATI BR KAROSEKALI, SULASTRI PUTRI HANDAYANI, SONDANG H, VICTORIA E, SAREPTA, SRI DEVI S, ELENA SITUMORANG, SEPTI NURIANTI GINTING, RINI AFRIANI, UMI SALAMAH, EKA PRATIWI, BASIRUN, LILI A BR TARIGAN, FRISKA SILABAN, ELIZABET CALARA P, LIZA WARDHANI, EKA JULIANA TOBING, RAMALNI SIJABAT, SURYANA, JUNITA PERWATI, HOTMAULI SARAGIH, SITI AISYAH, LIA WINNI NOVELIA, HERLINA, MASTA FRANSISKA SIADARI, WIDYA SYAHPUTRI BUTARBUTAR, PUTRI YANTI, ROSINTHA, NURMA M SIREGAR, TRI ANDINI, DEPI MARASTUTI, NAHFAZUL FAUZIAH, EVI DIBBA BR GINTING, IKAPINENGSIAH, BERNADES, MUHAMMAD IRFAN, PANOGUAN HUTAGAOL, ILYANI, RIANA WINDA WATI T, BETARIA TINAMBUNAN, SALIMAH TANJUNG, SUSANTI, AFRIANTI, INALI PANJAITAN, RAHMA YANTI, DEDY FRANATA, SUTI AMINAH S, ELFRIDA SITUMORANG, HESTY H NAINGGOLAN, RIAMAULI SIBURIAN, RIZKY ANDAYANI, BINA F SILABAN, WILDAN MAHMUDA, ZAINAL ABIDIN, RUSTINAH, NOVA MARIA NAIBAHO, SURYA NENGSI P, ELI ERLIANA, ROSNILAM SIREGAR, RAIJON S, NENGSIH YUSNIDAR, EFRINA Y NASUTION, SUAIDAH, SELISTIANI, KRISTINA SIAGIAN, BOWO ZAMATI BULOLO, MARLINA SINAGA, NADRA AMALIA, ALIYAH LUBIS, ZASI MADANA, JULI YANTI, YUSMINAINI, RITA SILVIA HARLENA DAULAY, AINA MAULINA AZMI, JUNI ONTIYUSKARA, MUNAWARAH, TIKA LESTARI SIMANJUNTAK, LENNI ROSJURITA SIHOMBING, CHRISTIAN NATALIUS BUKIT, II YUSMIYANTI

213

Related Documents

Para Penanti
February 2021 2
Para Caminos 2.docx
January 2021 3
Guia Para Estilista.pdf
January 2021 1
Salsas Para Untar
January 2021 1
Guia Para Presentar Paa
January 2021 1
Bender Para Adultos
January 2021 1

More Documents from "Lia Gerez"

Para Penanti
February 2021 2