Pengaruh Perceraian Terhadap Kependudukan Di Indonesia Menurut Pandangan Islam

  • Uploaded by: anxxxana
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pengaruh Perceraian Terhadap Kependudukan Di Indonesia Menurut Pandangan Islam as PDF for free.

More details

  • Words: 9,778
  • Pages: 40
Loading documents preview...
MAKALAH AGAMA ISLAM II PENGARUH PERCERAIAN TERHADAP KEPENDUDUKAN DI INDONESIA MENURUT PANDANGAN ISLAM

Disusun Oleh : Kelompok 6 IKM-C 2015 Ariska Midya Fahmita

101511133006

Nur Eka Vutrianingsih

101511133024

Syahrial Setia Perdana

101511133036

Putri Yuliasari

101511133054

Melisa Ambarwati

101511133081

Anis Zaiti Mubarokah

101511133102

Rizqy Kartika Sari

101511133126

Iftitah Shofiyati

101511133160

M. Bagus Fachrudin

101511133187

Fenti Nur Aini Amallia

101511133190

Ulfia Muntaati

101511133214

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2017

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..........................................................................................1 1.2 Rumuasan Masalah ...................................................................................2 1.3 Tujuan Penulisan .......................................................................................2 1.4 Manfaat Penulisan .....................................................................................2 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Penduduk .....................................................................................3 2.2 Data Kasus Perceraian di Indonesia ..........................................................3 2.3 Thalak ........................................................................................................4 2.3.1 Definisi Thalak ...............................................................................4 2.3.2 Hukum Thalak ................................................................................5 2.3.3 Rukun Thalak .................................................................................6 2.3.4 Macam-macam Thalak ...................................................................7 2.4 Khulu’ .....................................................................................................13 2.4.1 Definisi Khulu’ .............................................................................13 2.4.2 Syarat-syarat Khulu’ .....................................................................14 2.5 Iddah ........................................................................................................15 2.5.1 Definisi Iddah ...............................................................................15 2.5.2 Macam-macam Iddah ...................................................................17 BAB 3 PEMBAHASAN 3.1 Hubungan Perceraian dan Dampaknya dalam Kependudukan ...............21 3.2 Perceraian dalam Islam ...........................................................................22 3.3 Solusi Islam dalam Mencegah Perceraian...............................................30 BAB 4 PENUTUP 4.1 Kesimpulan .............................................................................................36 4.2 Saran ........................................................................................................37 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................38

ii

BAB 1 PEDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Konsep penduduk menurut Badan Pusat Statistik adalah penduduk merupakan semua orang yang berdomisili di wilayah geografis Republik Indonesia selama 6 bulan atau lebih dan atau mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan tetapi bertujuan menetap. Penduduk adalah orang atau sekelompok orang yang tinggal di suatu tempat. Kependudukan merupakan suatu hal yang berkaitan dengan jumlah, ciri utama, pertumbuhan, persebaran, morbilitas, kualitas, kondisi kesejahteraan yang menyangkut politik, ekonomi, sosial budaya, agama serta lingkungan hidup penduduk. Tingginya tingkat kriminalitas, angka putus sekolah, kemiskinan yang melanda dimana-mana seringkali dihubungkan dengan ledakan jumlah penduduk. Pertambahan penduduk yang seperti deret ukur berbanding terbalik dengan tersedianya sumber daya yang jauh lebih kecil. Maka ketika ledakan penduduk tersebut tidak diantisipasi dengan bijak, permasalahan ketersediaan akses pendidikan dan lapangan kerja menjadi potensi gejolak sosial pada masa mendatang. Selain permasalahan kemiskinan, yang tidak kalah penting adalah permasalah penduduk mengenai perceraian yang dapat mengganggu hubungan antar umat yang akan menimbulkan dampak lainnya. Pada dasarnya perkawinan itu dilakukan untuk selamanya sampai matinya salah seorang suami-istri. Namun dalam keadaan tertentu terdapat hal-hal yang menghendaki putusnya perkawinan. Dalam islam, perceraian merupakan sesuatu yang tidak disukai oleh islam tetapi dibolehkan dengan alasan dan sebab-sebab tertentu. Perceraian boleh dilakukan dengan cara thalak, fasakh dan khuluk atau tebus thalak. Oleh sebab itu, perlu diketahui dampak yang diakibatkan dari permasalahan perceraian dikalangan masyarakat. Sehingga ditemukannya solusi secara islam yang dapat dilakukan untuk mencegah dampak dari perceraian di masyarakat.

1

1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan penduduk? 2. Bagaimana data kasus perceraian di Indonesia? 3. Apa yang dimaksud dengan Thalak? 4. Apa yang dimaksud dengan khulu’? 5. Apa yang dimaksud dengan iddah? 6. Bagaimana hubungan perceraian dan dampaknya dalam kependudukan? 7. Bagaimana pandangan perceraian dalam islam? 8. Bagaimana solusi islam untuk mencegah perceraian?

1.3 Tujuan Penulisan 1. Menjelaskan maksud dari penduduk. 2. Mengetahui data kasus perceraian di Indonesia. 3. Menjelaskan maksud dari thalak. 4. Menjelaskan maksud dari khulu’. 5. Menjelaskan maksud dari iddah. 6. Menjelaskan hubungan perceraian dan dampaknya dalam kependudukan. 7. Menjelaskan pandangan perceraian dalam islam. 8. Menjelaskan solusi islam untuk mencegah perceraian.

1.4 Manfaat Penulisan 1. Dapat menjelaskan maksud dari penduduk. 2. Dapat mengetahui data kasus perceraian di Indonesia. 3. Dapat menjelaskan maksud dari thalak. 4. Dapat menjelaskan maksud dari khulu’. 5. Dapat menjelaskan maksud dari iddah. 6. Dapat

menjelaskan

hubungan

perceraian

dan

dampaknya

dalam

kependudukan. 7. Dapat menjelaskan pandangan perceraian dalam islam. 8. Dapat menjelaskan solusi islam untuk mencegah perceraian.

2

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Penduduk Penduduk merupakan semua orang yang berdomosili di wilayah geografis Republik Indonesia selama 6 bulan atau lebih dan mereka yang berdomisili kurang dari 6 bulan dengan tujuan untuk menetap (BPS, 2014 : 102). Menurut UUD 1945 Pasal 26 ayat (2), penduduk adalah warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Sementara yang bukan penduduk adalah orang-orang asing yang tinggal dalam negara bersifat sementara sesuai dengan visa. Dapat disimpulkan bahwa penduduk adalah orang-orang yang berada di dalam suatu wilayah geografi yang terikat oleh aturan-aturan yang berlaku dan saling berinteraksi satu sama lain secara terus menerus.

2.2 Data Kasus Perceraian di Indonesia

Gambaran Angka Perceraian di Indonesia Sumber : Kompas.com - 30/06/2015, 15:15 WIB. Diakses tanggal 24 Agustus 2017

Kasus perceraian di Indonesia nampaknya telah menjadi tren tersendiri bagi warga di Indonesia. Tren tersebut mengkhawatirkan pemerintah, lantaran mengindikasikan

rapuhnya

institusi

perkawinan

saat

ini.

Dampak

sampingannya, yang langsung terasa, adalah gangguan psikologis bagi anak.Selain itu, data tersebut menunjukkan sepertiga penggugat berusia di

3

bawah 35 tahun. Maraknya pernikahan muda selama satu dekade terakhir ternyata berbanding lurus dengan tingginya perceraian. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) tiga tahun lalu sudah mengingatkan, angka perceraian di Indonesia menjadi yang tertinggi di Asia Pasifik. Namun laju keputusan suami-istri membubarkan biduk rumah tangga tak kunjung surut. Tahun 2013 lalu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sudah mengabarkan soal angka perceraian di Indonesia yang menduduki peringkat tertinggi di Asia Pasifik. Dan angka perceraian tersebut tak kunjung menurun di tahun-tahun berikutnya. 2.3 Thalak 2.3.1 Definisi Thalak Thalak berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kta thalaqayuthliqu-thalaqan yang semakna dengan kata thaliq yang bermakna al irsal atau tarku yang berarti melepaskan atau meninggalkan. Sedangkan menurut istilah thalak berarti pemutusan tali perkawinan. Berikut pengertian Thalak menurut imam 4 mazhab: a. Mazhab Hanafi dan Hambali mengatakan bahwa thalak adalah pelepasan ikatan perkawinan secara langsung untuk masa yang akan datang dengan lafal khusus. b. Mazhab Syafi’i, thalak adalah pelepasan akad nikah dengan lafal thalak atau yang semakna dengan itu. c. Mazhab maliki mengatakan bahwa thalak adalah suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya kehalalan hubungan suami istri. Dari penjelasan diatas, maka thalak adalah melepaskan atau memutuskan ikatan pernikahan dengan lafal khusus (thalak) atau semakna dengan begitu sehingga mengharuskan keduanya hidup secara terpisah.

4

2.3.2 Hukum Thalak Thalak

dalam

Islam

diperbolehkan

dengan

alasan

untuk

menghindari bahaya yang mengancam salah satu pihak, baik pihak istri maupun suami. Alloh SWT berfirman: “Thalak (yang dapat dirujuk) adalah dua kali. Setelah itu boleh rujuk kembali dengan cara ma’ruf (baik) atau mencerikan dengan cara yang baik.”(Al-Baqarah:229) Adapun hukum Thalak bisa wajib, haram, mubah, dan juga sunnah. a. Thalak wajib adalah thalak yang dilakukan untuk menyelesaikan konflik antara suami-istri, jika masing-masing melihat bahwa thalak adalah satu-satunya jalan untuk mengakhiri perselisihan. Demikian mennurut ulama penganut mazhab hanbali.. Alloh AWT berfirman: “Kepada orang-orang yang mengila’ istrinya diberi tangguh selama empat bulan. Kemudian jika mereka kembali (kepada istri) maka sungguh Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan apabila mereka berazam (berketetapan hati) untuk thalak, maka sungguh Alloh Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. AlBaqarah: 226-227) b. Thalak yang diharamkan adalah thalak yang dilakukan bukan karena adanya tuntutan yang dibenarkan dan dapat memmbawa mudharat untuk diri sang suami maupun istri. c. Thalak yang mubah adalah thalak yang dilakukan karena adanya hal yang menuntut ke arah tersebut, baik dan buruknya perangai istri, pergaulannya yang krang baik atau hal buruk lainnya. d. Thalak yang disunnahkan adalah thalak yang dilakukn terhadap seorang istri yang telah berbuat dzalim kepada hak-hak Alloh yang harus diembannya, seperti shalat, puasa, dan kewajiban lainnya setelah berbagai upaya telah dilakukan suami untuk menyadarkan istrinya, tetapi si istri tidak menghendaki perubahan. Selain keempat hukum di atas terdapat thalak yang dimakhruhkan yaitu thalak yang dilakukan suami tanpa adanya alasan. Dari Tsaubah, ia menceritakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

5

“Siapapun wanita yang meminta cerai tanpa adanya alasan yang membolehkan, maka haram baginya bau surga.” (HR. Ahmad, bu Dawud, Ibnu Majjah dan At Tirmidzi, di mana beliau menghasankannya) Dari Ibu Umar, ia berkata bahwa Nabi SAW bersabda: “Perkara halal yang sangat dibenci Alloh adalah thalak.” (HR. Abu Dawud, Ibnu Majjah dan al hakim, di mana beliau menshahihkannya) 2.3.3 Rukun Thalak Rukun thalak ialah unsur pokok yang harus ada dalam thalak dan terwujudnya thalak tergantung lengkapnya unsur dalam thalak. (Rahman Ghazaly, 2003) Rukun thalak ada empat, sebagai berikut: a. Suami. Suami adalah yang memiliki hak thalak dan yang berhak menjatuhkannya, selain suami tidak berhak menjatuhkannya. thalak bersifat menghilangkan ikatan perkawinan maka thalak tidak mungkin terwujud kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah.untuk sahnya thalak,

suami yang menjatuhkan thalak

disyaratkan: 1) Berakal, suami yang gila tidak sah menjatuhkan thalak, yang dimaksud dengan gila dalam hal ini ialah hilang akal atau rusak akal karena sakit, termasuk kedalamnya (sakit pitam), hilang akal karena sakit panas atau sakit ingatan karena rusak syaraf otaknya. 2) Baligh, tidak dipandang jatuh thalak yang dinyatakan oleh yang belum dewasa. 3) Atas kemauan sendiri, yang dimaksud atas kemauan sendiri disini ialah adanya kehendak pada diri suami untuk menjatuhkan thalak itu dan dijatuhkan atas pilihan sendiri bukan dipaksa orang lain b. Istri. Masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan thalak terhadap istri sendiri. tidak dipandang jatuh jika thalak yang dijatuhkan

6

terhadap istri orang lain. Untuk sahnya thalak, bagi istri yang dithalak disyaratkan sebagai berikut: 1) Istri itu masih tetap berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Istri yang menjalani masa iddah thalak raj’i dari suaminya oleh hukum Islam dipandang masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami. Karenanya bila masa ‘iddah itu suami menjatuhkan thalak lagi dipandang jatuh thalaknya sehingga menambah jumlah thalak yang dijatuhkan dan mengurangi hak thalak yang dimiliki suami. 2) Kedudukan istri yang dithalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan yang sah. c. Sighat Thalak. Sighat thalak ialah kata-kata yang di ucapkan oleh suami terhadap istrinya yang menunjukkan thalak, baik itu ṣarih (jelas) maupun kinayah (sindiran), baik berupa ucapan/lisan, tulisan, isyarat bagi suami tuna wicara ataupun dengan suruhan orang lain. d. Sengaja Artinya bahwa dengan ucapan thalak itu memang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya untuk thalak, bukan untuk maksud lain. Agar menjadi sah, thalak harus memenuhi syarat-syarat tertentu, baik yang berhubungan dengan muṭalliq (suami yang menthalak), muṭallaqah istri yang dithalak yang diucapkan. (Yusuf Qaradhawi) 2.3.4 Macam-macam Thalak a. Thalak Sunni Thalak sunni yaitu thalak yang dijatuhkan sesuai dengan tuntunan sunnah. (ABD. Rahman Ghazaly) Dikatakan thalak sunni jika memenuhi empat syarat: 1) Istri yang dithalak sudah pernah digauli. Bila thalak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli, tidak termasuk thalak sunni. 2) Istri dapat segera melakukan iddah suci setelah dithalak yaitu dalam keadaan suci dari haid. Menurut ulama’ Syafi’iyah,

7

perhitungan iddah bagi wanita berhaid ialah tiga kali suci, bukan tiga kali haid. 3) Suami tidak pernah menggauli istri selama masa suci dimana thalak itu dijatuhkan. Thalak yang dijatuhkan oleh suami ketika istri dalam keadaan suci dari haid tetapi pernah digauli, tidak termasuk thalak sunni. 4) Menthalak istri harus secara bertahap (dimulai dengan thalak satu, dua dan tiga) dan diselingi rujuk. (Ensiklopedi Hukum Islam) Allah berfirman : “Thalak yang dapat dirujuk dua kali. Setelah itu, boleh rujuk kembali dengan cara yang baik atau menceraikan dengan cara yang baik.” ( Al-Baqarah:229) “ wahai Nabi, jika kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat menghadapi iddahnya yang wajar.” (Ath-Thalaq:1) b. Thalak Bid’i (Bid’ah) Thalak bid’i yaitu thalak yang dijatuhkan tidak sesuai atau bertentangan dengan tuntunan sunnah, tidak memenuhi syarat-syarat thalak sunni (Rahman Ghazaly). Mengenai thalak bid’i ini ada beberapa macam keadaan yang mana seluruh ulama’ telah sepakat menyatakan bahwa thalak semacam ini hukumnya haram. Jumhur ulama’ berpendapat bahwa thalak ini tidak berlaku. (Syaikh Kamil Muhammad) Thalak bid’i ini jelas bertentangan dengan syari’at yang bentuknya ada beberapa macam yaitu: 1) Apabila seorang suami menceraikan istrinya ketika sedang dalam keadaan haid atau nifas. 2) Ketika dalam keadaan suci sedang ia telah menyetubuhinya pada masa suci tersebut, padahal kehamilannya belum jelas. 3) Seorang suami menthalak tiga istrinya dengan satu kalimat dengan tiga kalimat dalam satu waktu (menthalak tiga

8

sekaligus). Seperti dengan mengatakan “ia telah aku thalak, lalu aku thalak dan selanjutnya aku thalak”. c. Thalak La Sunni Wala Bid’i Thalak la sunni wala bid’i yaitu thalak yang tidak termasuk kategori thalak sunni dan tidak pula termasuk thalak bid’i yaitu: (Rahman Ghazaly) 1) Thalak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah digauli. 2) Thalak yang dijatuhkan terhadap istri yang belum pernah haid atau istri yang telah lepas haid. 3) Thalak yang dijatuhkan terhadap istri yang sedang hamil. d. Thalak ṣariḥ Thalak ṣariḥ yaitu thalak dimana suami tidak lagi membutuhkan adanya niat, akan tetapi cukup dengan mengucapkan kata thalak secara ṣariḥ (tegas). Seperti dengan mengucapkan “aku cerai” atau “kamu telah aku cerai”. Imam Syafi’i mengatakan bahwa kata-kata yang dipergunakan untuk thalak ṣariḥ ada tiga yaitu thalak, firaq dan saraḥ, ketiga ayat itu disebutkan dalam al-qur’an dan hadits. Apabila suami menjatuhkan thalak terhadap istrinya dengan thalak ṣariḥ maka menjadi jatuhlah thalak itu dengan sendirinya sepanjang ucapannya itu dinyatakan dalam keadaan sadar dan atas kemauannya sendiri. e. Thalak Kinayah Thalak kinayah yaitu lafadh yang maknanya bisa diartikan thalak atau selainnya. Misalnya perkataan suami “saya melepas kamu” atau “kamu saya lepas” atau “saya meninggalkan kamu” atau “kamu saya tinggalkan” atau “kamu pulang saja kerumah orang tuamu” (menurut sebagian ulama’). Apabila lafadh-lafadh ini keluar dari mulut seorang suami disertai niat thalak maka jatuhlah thalak bagi sang istri. Namun jika tidak disertai dengan niat maka tidak jatuh thalak. f. Thalak Raj’i Thalak raj’i yaitu thalak satu atau dua yang dijatuhkan suami pada istri yang telah digauli tanpa ganti rugi. Dalam keadaan ini suami

9

berhak rujuk dengan istrinya tanpa akad dan mahar baru selama rujuk itu dilakukan dalam masa iddah. Sebagiamana disebutkan dalam firman Allah : “Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) tersebut menghendaki islah.” ( Al-Baqarah: 228) g. Thalak Ba’in Thalak ba’in yaitu thalak yang dijatuhkan suami pada istrinya dimana suami berhak kembali pada istrinya melalui akad dan mahar baru. Ulama’ fikih membagi thalak ba’in menjadi thalak ba’in kubra dan thalak ba’in sughra. Thalak ba’in sughra adalah thalak raj’i yang telah habis masa iddahnya dan thalak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang belum pernah dicampuri dan thalak dengan tebusan (khuluk). Dalam thalak seperti ini suami tidak boleh kembali begitu saja kepada istrinya akan tetapi harus dengan akad nikah dan mahar baru. h. Thalak Dengan Ucapan Thalak dengan ucapan yaitu thalak yang disampaikan oleh suami dengan ucapan dihadapan istrinya dan istri mendengar secara langsung ucapan suaminya itu. (Rahman Ghazaly) i. Thalak Dengan Tulisan Thalak dengan tulisan yaitu thalak yang disampaikan oleh suami secara tertulis lalu disampaikan kepada istrinya kemudian istri membacanya dan memahami isi dan maksudnya. Thalak yang dinyatakan secara tertulis dapat dipandang jatuh (sah) meski yang bersangkutan dapat mengucapkannya. Sebagaimana thalak dengan ucapan ada thalak ṣariḥ dan thalak kinayah, maka thalak dengan tulisanpun demikian pula. Thalak ṣariḥ jatuh dengan semata-mata pernyataan thalak sedangkan thalak kinayah bergantung pada niat suami.

10

j. Thalak dengan isyarat Thalak dengan isyarat yaitu thalak yang dilakukan dalam bentuk isyarat oleh suami yang tuna wicara. Isyarat bagi suami yang tuna wicara (bisu) dapat dipandang sebagai alat komunikasi untuk memberikan pengertian dan menyampaikan maksud dan isi hati. Oleh karena itu baginya isyarat sama dengan ucapan bagi yang dapat berbicara dalam menjatuhkan thalak sepanjang isyarat itu jelas dan meyakinkan bermaksud thalak atau mengakhiri perkawinan dan isyarat itulah satu-satunya jalan untuk menyampaikan maksud yang terkandung dalam hatinya. k. Thalak dengan utusan Thalak dengan utusan yaitu thalak yang disampaikan oleh suami kepada istrinya melalui perantaraan orang lain sebagai utusan untuk menyampaikan maksud suami itu kepada istrinya yang tidak berada dihadapan suami bahwa suami menthalak istrinya. Dalam hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil suami untuk menjatuhkan thalak suami dan melaksanakan thalak itu. l. Thalak Munjaz dan Mu’allaq Thalak Munjaz adalah thalak yang diberlakukan terhadap istri tanpa adanya penagguhan. Misalnya seorang suami mengatakan kepada istrinya “kamu telah dicerai” maka istri telah dithalak dengan apa yang diucapkan oleh suaminya. Sedangkan thalak mu’allaq yaitu thalak yang digantungkan oleh suami dengan suatu perbuatan yang akan dilakukan oleh istrinya pada masa mendatang. Seperti suami mengatakan kepada istrinya “jika kamu berangkat kerja berarti kamu telah

dithalak”

maka

thalak

tersebut

berlaku

sah

dengan

keberangkatan istrinya untuk kerja. (Syaikh Kamil Muhammad) m. Thalak Takhyir dan Tamlik Thalak Takhyir adalah dua pilihan yang diajukan oleh suami kepada istrinya yaitu melanjutkan rumah tangga atau bercerai, jika si istri memilih bercerai maka berarti ia telah dithalak. Sedangkan thalak tamlik adalah thalak dimana seorang suami mengatakan kepada

11

istrinya “aku serahkan urusanmu kepadamu” atau “urusanmu berada ditanganmu sendiri”. Jika dengan ucapan itu si istri mengatakan “berarti aku telah dithalak” maka berarti ia telah dithalak satu raj’i. imam malik dan sebagian ulama’ lainnya berpendapat bahwa apabila istri yang telah diserahi tersebut menjawab “aku memilih thalak tiga” maka ia telah dithalak ba’in oleh suaminya, dengan thalak tiga ini maka si suami tidak boleh rujuk kepadanya kecuali setelah mantan istrinya itu dinikahi oleh laki-laki lain. n. Khulu‘ (thalak tebus) Khulu‘ menurut bahasa diambil dari “khla’ats thauba” yang artinya melepaskan pakaian karena perempuan adalah pakaian bagi laki-laki secara majas. Secara syar’i artinya adalah seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan bayaran sebagai ganti dari pihak istri yang disebabkan karena buruknya pergaulan antara keduanya, baik karena akhlaq atau adanya cacat pada jasmani, sedangkan sang istri takut pada dirinya sendiri tidak mampu melaksanakan kewajibannya mentaati suaminya. o. Dhihar Dhihar adalah perkataan seorang suami kepada istrinya yang menyerupakan istrinya dengan ibunya, sehingga istrinya itu haram atasnya, seperti ungkapan “engkau tampak seperti punggug ibuku”. Apabila seorang laki-laki mengatakan demikian dan tidak diteruskan pada thalak maka ia wajib membayar kafarat dan haram bercampur dengan istrinya sebelum membayar kafarat itu. p. Ila’ Menurut bahasa, ila’ adalah sumpah. Sedangkan menurut syara’, ila’ adalah bersumpah tidak akan menggauli istri secara mutlak atau selama lebih dari empat bulan. q. Li’an Li’an ialah ucapan tertentu yang digunakan untuk menuduh istri yang telah melakukan perbuatan yang mengotori dirinya (berzina) alasan suami untuk menolak anak. Suami melakukan li’an apabila ia

12

telah menuduh istrinya berzina. Tuduhan berat ini pembuktiannya harus dilakukan dengan mengemukakan empat orang saksi laki-laki. Orang

yang

menuduh

orang

lain

berzina

dan

ia

dapat

membuktikannya akan dihukum pukul dengan 80 kali. Hukuman ini berlaku pula terhadap suami yang menuduh istrinya berzina. r. Fasakh Fasakh artinya rusak atau putus. Maksud fasakh ialah perceraian dengan merusak atau merombak hubungan nikah antara suami istri. Perombakan ini dilakukan oleh hakim dengan syarat-syarat dan sebabsebab yang tertentu tanpa ucapan thalak. Perceraian dengan fasakh tidak dapat diruju’. Kalau suami hendak kembali kepada istrinya maka harus dengan akad baru. Perceraian dengan fasakh dilakukan dengan berulang-ulang lebih dari tiga kali, boleh kembali lagi dengan akad nikah yang baru. 2.4 Khulu’ 2.4.1 Definisi Khulu’ Kata khulu‘

berasal dari kata “‫” خلع‬, kata ‫ خلع‬apabila ditinjau

dari segi bahasa ber-arti ‫ النزع‬yakni “mencabut”, karena suami isteri merupakan pakaian bagi yang lainnya. Rahmat Hakim menegaskan bahwa khulu‘ yang dibenarkan hukum Islam tersebut berasal dari rangkaian kata “

” artinya

“meninggalkan pakaian”. Sebab di dalam Al-Quran memberikan nama bagi suami, isteri sebagai pakaian bagi lawannya, artinya suami sebagai pakaian isteri, sebalik-nya isteri sebagai pakaian suami. Khulu‘ dinamakan juga “tebusan” , oleh karena itu isteri menebus dirinya dari suami-nya dengan mengembalikan apa yang pernah diterimanya. Menurut ahli fiqh sebagaimana diung-kapkan oleh Sayyid Sabiq, khulu‘ adalah isteri memisahkan diri dari suaminya dengan ganti rugi kepadanya.

Adapun

makna

khulu‘

me-nurut

istilah,

Al-Jaziry

13

menyatakan bahwa ke empat madzhab mempunyai rumusan defi-nisi masing-masing sebagai berikut: Ulama Hanâfiyah menyatakan bahwa khulu‘ adalah:

Khulu‘ adalah hilangnya pemilikan terhadap pernikahan yang telah disepakati dengan penerimaan seorang perempuan terhadap la-fazh khulu‘ atau kata lain yang semakna. Ulama Mâlikiyah menuturkan bahwa khulu‘ ialah:

Khulu‘ menurut syara’ adalah thalaq dengan tebusan. Ulama Syafî’iyah berpendirian bahwa khulu‘ adalah:

Khulu‘ menurut syara’ ialah lafazh yang me-nunjukkan adanya perceraian antara suami isteri dengan suatu tebusan yang memenuhi syarat yang telah ditentukan. 2.4.2 Syarat-syarat Khulu’ a. Syarat bagi isteri yang mengajukan khulu‘ Para ulama madzhab sepakat bagi isteri yang mengajukan khulu‘ kepada suaminya, harus memenuhi syarat-syarat tertentu, sebagaimana yang diungkapkan oleh Muham-mad Jawwâd Mugniyyah sebagai berikut: 1) Baligh; 2) Berakal sehat; 3) Tidak sâfih (idiot), kecuali ada izin dari walinya. b. Syarat bagi suami yang melakukan khulu‘ 1) Baligh; 2) Berakal;

14

3) Tidak safih (idiot). Kemudian syarat bagi pasangan suami is-teri untuk bisa melakukan khulu‘ menurut Syaikh Hasan Ayub yaitu: 1.) Seorang isteri boleh meminta kepada suaminya untuk melakukan khulu‘ jika tampak adanya bahaya yang mengan-cam dan ia merasa takut tidak akan menegakan hukum Allah; 2.) Khulu‘ itu hendaknya dilakukan sampai selesai tanpa dibarengi dengan tindak-an penganiayaan yang dilakukan oleh suami. Jika pihak suami yang me-lakukan penganiayaan, maka ia tidak boleh mengambil sesuatu pun dari isterinya; 3.) Khulu‘ itu berasal dari pihak isteri dan bukan dari pihak suami.

2.5 Iddah 2.5.1 Definisi Iddah Masa ‘iddah adalah istilah yang diambil dari bahasa Arab dari kata (‫ )ال ِعدَّة‬yang bermakna perhitungan (‫صاء‬ َ ْ‫)اإلح‬ ِ . Dinamakan demikian karena seorang menghitung masa suci atau bulan secara umum dalam menentukan selesainya masa iddah. Menurut istilah para ulama, masa ‘iddah ialah sebutan atau nama suatu masa di mana seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan. Ada yang menyatakan, masa ‘iddah adalah istilah untuk masa tunggu seorang wanita untuk memastikan bahwa dia tidak hamil atau karena ta’abbud atau untuk menghilangkan rasa sedih atas sang suami. Para ulama memberikan keterangan tentang hikmah pensyariatan masa ‘iddah, diantaranya: 1. Untuk memastikan apakah wanita tersebut sedang hamil atau tidak. 2. Syariat Islam telah mensyariatkan masa ‘iddah untuk menghindari ketidakjelasan garis keturunan yang muncul jika seorang wanita ditekan untuk segera menikah.

15

3. Masa ‘iddah disyari’atkan untuk menunjukkan betapa agung dan mulianya sebuah akad pernikahan. 4. Masa ‘iddah disyari’atkan agar kaum pria dan wanita berpikir ulang jika hendak memutuskan tali kekeluargaan, terutama dalam kasus perceraian. 5. Masa ‘iddah disyari’atkan untuk menjaga hak janin berupa nafkah dan lainnya apabila wanita yang dicerai sedang hamil. Masa iddah sebenarnya sudah dikenal dimasa jahiliyah. Ketika Islam datang, masalah ini tetap diakui dan dipertahankan. Oleh karena itu para Ulama sepakat bahwa ‘iddah itu wajib, berdasarkan al-Qur`ân dan Sunnah. Dalil dari Al-Qur`ân yaitu :

َ ‫صنَُ َو ْال ُم‬ ُُ‫طلَّقَات‬ َُّ ‫قُ ُروءُ ث َ ََلث َ ُةَ ِبأ َ ْنفُ ِس ِه‬ ْ َّ‫ن َيت َ َرب‬ Artinya : “Wanita-wanita yang dithalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ “. [Al-Baqarah/2:228] Masa iddah diwajibkan pada semua wanita yang berpisah dari suaminya dengan sebab thalak, khulu’ (gugat cerai), faskh (penggagalan akad pernikahan) atau ditinggal mati, dengan syarat sang suami telah melakukan hubungan suami istri dengannya atau telah diberikan kesempatan dan kemampuan yang cukup untuk melakukannya. Berdasarkan ini, berarti wanita yang dicerai atau ditinggal mati oleh suaminya sebelum digauli atau belum ada kesempatan untuk itu, maka dia tidak memiliki masa iddah. Allâh SWT berfirman :

َ ‫ن‬ ‫ت نَ َك ْحت ُ ُُم إِذَا آ َمنُوا الَّذِينَُ ُأ َيُّ َها يَا‬ ُِ ‫ن ث ُ َُّم ْال ُمؤْ ِمنَا‬ َُّ ‫طلَّ ْقت ُ ُمو ُه‬ ُْ ‫ل ِم‬ ُِ ‫ن َق ْب‬ ُْ َ ‫ن أ‬ َُّ ‫سو ُه‬ ُّ ‫فَ َما تَ َم‬ ُ‫ن لَ ُك ْم‬ َُّ ‫علَ ْي ِه‬ ُْ ‫تَ ْعتَدُّونَ َها ِعدَّةُ ِم‬ َ ‫ن‬ “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuanperempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka ‘iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya.” [al-Ahzâb/33:49]

16

2.5.2 Macam-macam Iddah a.

Wanita Yang Ditinggal Mati oleh Suaminya Wanita yang ditinggal mati oleh suaminya memiliki dua keadaan : 1) Wanita yang ditinggal mati suaminya ketika sedang hamil. Wanita ini maka masa menunggunya (‘iddah) berakhir setelah ia melahirkan bayinya, berdasarkan firman Allah SWT :

َ ُ ‫ل َوأ‬ ُُ‫وَلت‬ ُِ ‫ن ْاْلَحْ َما‬ َُّ ‫ن أ َ َجلُ ُه‬ ُْ َ ‫ض ْعنَُ أ‬ َُّ ‫َح ْملَ ُه‬ َ َ‫ن ي‬ “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah

sampai

mereka

melahirkan

kandungannya.

[Ath-

Thalaq/65:4].” Keumuman ayat ini di kuatkan dengan hadits al-Miswar bin Makhramah Radhiyallahu anhu yang berbunyi :

ُ‫س َب ْيعَ ُةَ أ َ َّن‬ ُْ ‫س‬ ُْ ‫ي فَ َجا َء‬ َُّ ‫صلَّى النَّ ِب‬ َُّ ‫علَ ْي ُِه‬ ُ َ‫ت ْاْل َ ْسلَ ِميَّ ُة‬ َ ‫سلَّ َُم‬ َ ‫ت ِبلَ َيالُ زَ ْو ِج َها َوفَا ُِة بَ ْع ُدَ نُ ِف‬ َ ‫َو‬ َ ُ‫ّللا‬ ُ‫ن فَا ْست َأْذَنَتْ ُه‬ ُْ َ ‫ح أ‬ َُ ‫ت لَ َها فَأَذِنَُ ت َ ْن ِك‬ ُْ ‫فَنَ َك َح‬ “Subai’ah al-Aslamiyah Radhiyallahu anhuma melahirkan dan bernifas setelah kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas meminta idzin kepada beliau untuk menikah (lagi). Kemudian beliau mengizinkannya, lalu ia segera menikah (lagi).” [al-Bukhâri no. 5320 dan Muslim no.1485]. 2) Wanita tersebut tidak hamil. Jika tidak hamil, maka masa ‘iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

َُ‫صنَُ أ َ ْز َوا ًجا َو َيذَ ُرونَُ ِم ْن ُك ُْم يُتَ َوفَّ ْونَُ َوالَّذِين‬ َُّ ‫ع ْش ًرا أ َ ْش ُهرُ أ َ ْر َب َع ُةَ ِبأ َ ْنفُ ِس ِه‬ ْ َّ‫ن َيت َ َرب‬ َ ‫َو‬ ُۖ ‫ن َبلَ ْغنَُ فَإِذَا‬ َُّ ‫َل أ َ َجلَ ُه‬ ُ َ َ‫ح ف‬ َُ ‫علَ ْي ُك ُْم ُجنَا‬ َُّ ‫وف أَ ْنفُ ِس ِه‬ ُِ ‫ّللاُ ُۖ ِب ْال َم ْع ُر‬ َُّ ‫َو‬ َ ‫ن ِفي فَ َع ْلنَُ ِفي َما‬ ‫َخ ِبيرُ ت َ ْع َملُونَُ ِب َما‬ “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan

isteri-isteri

(hendaklah

Para

isteri

itu)

17

menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allâh mengetahui apa yang kamu perbuat.” [Al-Baqarah/2: 234] b.

Wanita Yang Diceraikan Wanita yang dicerai juga ada dua macam yaitu wanita yang dicerai

dengan thalak raj’i (thalak yang bisa ruju’) dan wanita yang dithalak dengan thalak bâ’in (thalak tiga). 1) Wanita yang dicerai dengan thalak raj’i terbagi menjadi beberapa: a) Wanita yang masih haidh Masa ‘iddah wanita jenis ini adalah tiga kali haidh, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

َ ‫صنَُ َو ْال ُم‬ ُُ‫طلَّقَات‬ َُّ ‫قُ ُروءُ ث َ ََلث َ ُةَ بِأ َ ْنفُ ِس ِه‬ ْ َّ‫ن يَت ََرب‬ “Wanita-wanita yang dithalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’ “[Al-Baqarah/2: 228] b) Wanita yang tidak haidh, baik karena belum pernah haidh atau sudah manopause . Bagi wanita yang seperti ini masa ‘iddahnya adalah tiga bulan, seperti dijelaskan Allah dalam firman-Nya:

َّ ‫يض ِمنَُ يَئِسْنَُ َو‬ َّ ‫يَ ِحضْنَُ لَ ُْم َو‬ ‫الَلئِي‬ ُ ِ ‫ن ْال َم ِح‬ ُْ ‫سائِ ُك ُْم ِم‬ ُِ ِ‫ارت َ ْبت ُ ُْم إ‬ َُّ ‫الَلئِي أ َ ْش ُهرُ ث َ ََلث َ ُةُ فَ ِعدَّت ُ ُه‬ ْ ‫ن‬ َ ِ‫ن ن‬ “Dan

perempuan-perempuan

yang

tidak

haid

lagi

(monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. “[at-Thalaq/65:4] c) Wanita Hamil. Wanita yang hamil bila dicerai memiliki masa iddah yang berakhir dengan melahirkan, berdasarkan firman Allâh Azza wa Jalla :

18

َ ُ ‫ل َوأ‬ ُُ‫وَلت‬ ُِ ‫ن ْاْلَحْ َما‬ َُّ ‫ن أ َ َجلُ ُه‬ ُْ َ ‫ض ْعنَُ أ‬ َُّ ‫َح ْملَ ُه‬ َ َ‫ن ي‬ “Dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya.” [athThalaq/65:4] d) Wanita yang terkena darah istihadhah. Wanita yang terkena darah istihadhah memiliki masa iddah sama dengan wanita haidh. Kemudian bila ia memiliki kebiasaan haidh yang teratur maka wajib baginya untuk memperhatikan kebiasannya dalam hadih dan suci. Apabila telah berlalu tiga kali haidh maka selesailah iddahnya. 2) Wanita yang dithalak tiga (thalak baa’in). Wanita yang telah di thalak tiga hanya menunggu sekali haidh saja untuk memastikan dia tidak sedang hamil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan, “Wanita yang dicerai dengan tiga kali thalak, masa iddahnya sekali haidh. Dengan haidh sekali berarti sudah terbukti bahwa rahim kosong dari janin dan setelah itu ia boleh menikah lagi dengan lelaki lain c.

Wanita Yang Melakukan Gugat Cerai (Khulu’). Wanita yang berpisah dengan sebab gugat cerai, masa ‘iddahnya sekali haidh, sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa hadits dibawah ini:

ْ ‫ن‬ ُ‫ع ْن‬ ُِ ‫عبَّاسُ اب‬ َُّ َ ‫ت ْام َرأ َُة َ أ‬ ُِ ِ‫ْن ثَاب‬ ُِ ‫ت قَيْسُ ب‬ ُْ َ‫اختَلَع‬ ُْ ‫علَى زَ ْو ِج َها ِم‬ ُ ِ‫صلَّى النَّب‬ َُّ َ ‫ْن‬ َ ‫ن‬ َ ‫ع ْه ُِد‬ َ ِ‫ي‬ َ ُ‫ّللا‬ ُ‫علَ ْي ِه‬ ُُّ ِ‫صلَّى النَّب‬ َُّ ‫علَ ْي ُِه‬ ُْ َ ‫ضةُ ت َ ْعت َ ُدَّ أ‬ َ ‫سلَّ َُم‬ َ ‫سلَّ َُم‬ َ ‫بِ َح ْي‬ َ ‫ي فَأ َ َم َرهَا َو‬ َ ‫ن َو‬ َ ُ‫ّللا‬ “Dari Ibnu Abbâs Radhiyallahu anhu bahwa istri Tsabit bin Qais menggugat cerai dari suaminya pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk menunggu sekali haidh.” [HR Abu Dâud dan at-Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan Abu Dâud no.1 950].

19

Juga hadits yang berbunyi :

ْ ‫علَى‬ ُ‫ع ْن‬ ُِ ‫ْن ُمعَ ِو ُِذ بِ ْن‬ ُِ ‫ع ْف َرا َءُأ َنَّ َها ب‬ ُْ َ‫اختَلَع‬ ُ ِ‫صلَّى النَّب‬ َُّ ‫علَ ْي ُِه‬ ُّ ‫ت‬ َ ِ‫الربَيِ ُع‬ َ ‫ت‬ َ ‫ع ْه ُِد‬ َ ِ‫ي‬ َ ‫سلَّ َُم‬ َ ‫َو‬ َ ُ‫ّللا‬ ‫ي فَأ َ َم َرهَا‬ ُُّ ِ‫صلَّى النَّب‬ َُّ ‫علَ ْي ُِه‬ ُْ ‫ن أ ُ ِم َر‬ ُْ َ ‫ضةُ ت َ ْعت َ ُدَّ أ‬ َ ‫سلَّ َُم‬ َ ‫بِ َح ْي‬ َ ‫ت أ َ ُْو َو‬ َ ُ‫ّللا‬ “Dari ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’ bahwa beliau mengajukan gugat cerai di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

lalu

Rasûlullâh

Shallallahu

‘alaihi

wa

sallam

memerintahkannya untuk menunggu iddahnya satu kali haidh.” [HR at-Tirmidzi dan dishahihkan al-Albâni dalm Shahîh Sunan at-Tirmidzi no. 945].

20

BAB 3 PEMBAHASAN

3.1 Hubungan Perceraian dan Dampaknya dalam Kependudukan Ada 3 sumber pokok terkait masalah kependudukan, yaitu sensus penduduk, survei sampel penduduk dan sistem registrasi. Subsistem registrasi dibagi menjadi 3 yaitu, registrasi vital yang meliputi pencatatan peristiwa penting yang berkaitan dengan kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas), perkawinan, dan perceraian; registrasi penduduk; dan statistic migrasi internasional (Lucas et al,1982). Adapun dalam melihat hubungan serta dampak perceraian terhadap kependudukan dibagi menjadi 2 perhitungan, sebagai berikut : a.

Angka perceraian kasar 1) Definisi Angka perkawinan kasar menunjukkan persentase penduduk yang berstatus cerai terhadap jumlah penduduk keseluruhan pada pertengahan tahun untuk suatu tahun tertentu. 2) Kegunaan Perceraian mempunyai implikasi demografis sekaligus sosiologis. Implikasi demografi adalah mengurangi fertilitas sedangkan implikasi sosiologis lebih kepada status cerai terhadap perempuan dan anak-anak mereka. 3) Cara menghitung Angka perceraian kasar dihitung dengan membagi kasus perceraian yang terjadi dalam suatu kurun waktu tertentu dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun di suatu wilayah tertentu. Rumus : c = x 1.000 dimana: c : angka perceraian kasar C: jumlah perceraian yang terjadi selama satu tahun

21

P: jumlah penduduk pada pertengahan tahun b.

Angka perceraian umum 1) Definisi: Angka perceraian umum menunjukkan proporsi penduduk yang berstatus cerai terhadap jumlah penduduk usia 15 tahun keatas pada pertengahan tahun untuk suatu tahun tertentu. 2) Kegunaan: Angka perceraian umum digunakan untuk memperhitungkan proporsi penduduk cerai. Namun disini pembaginya adalah penduduk 15 tahun keatas dimana penduduk bersangkutan lebih berisiko cerai. Penduduk berumur kurang dari 15 tahun tidak diikutsertakan sebagai pembagi karena umumnya mereka tidak berisiko cerai, sehingga angka perceraian umum menunjukkan informasi yang lebih baik karena memperhitungkan umur dan factor risiko. 3) Cara menghitung: Untuk memperoleh angka perceraian yang lebih spesifik bisa dihitung

dengan

angka

perceraian

umum,

yang

sudah

memperhatikan penduduk yang terkena risiko perceraian yaitu penduduk yang berusia 15 tahun keatas atau biasa disebut divorseable . Rumus: =

x 1.000

Dimana: angka perceraian umum C

: perceraian yang terjadi dalam satu tahun : jumlah penduduk 15 tahun keatas pada pertengahan tahun

3.2 Perceraian dalam Islam Perceraian dalam istilah ahli fiqh disebut “thalak” atau “furqah”. Thalak diambil dari kata (itlaq), artinya melepaskan atau meninggalkan dan dalam

22

istilah syara', thalak adalah melepaskan ikatan perkawinan atau rusaknya hubungan perkawinan. Sedangkan “furqah” artinya bercerai, yaitu lawan dari berkumpul. Kemudian kedua kata itu dipakai oleh para ahli fiqh sebagai satu istilah, yang berarti perceraian antara suami dan istri. Dalam bahasa hukum syari’ah, perceraian berarti perpisahan yang diinginkan oleh suami sebagai haknya. Ia bebas melaksanakan haknya. Ia boleh, bilamana disukainya, melepaskan hak-hak perkawinannya yang diperbolehnya sebagai ganti maskawinnya. Tetapi, syari’at tidak menyukai perceraian. Dalam kata-kata Nabi Muhammad S.A.W. ”Kawin dan jangan bercerai, karena Allah tidak menyukai laki-laki dan wanita yang tujuannya hanya untuk memuaskan nafsu seksnya”. Walau suami bebas melaksanakan haknya

untuk

bercerai,

ia

telah

diberi

kendali-kendali

yang

memperbolehkannya menggunakan hak ini sebagai tindakan terakhir. Perintah Al-Qur’an adalah bahwa seseorang harus berusaha sedapat mungkin untuk bersatu dengan istrinya walaupun ia tidak menyukainya. Thalak dalam syari’at islam termasuk suatu pekerjaan yang dicela, sebagaimana sabda Nabi yang berbunyi “Perkara halal yang dibenci Allah adalah thalak.” (HR Abu Daud). Maka, thalak tidak boleh dilakukan sewaktuwaktu atau saat tidak dalam keadaan mendesak. Syari’at islam juga memberi kesempatan melalui masa iddah agar dapat rujuk kembali dan tidak bercerai karena masalah sepele dan dalam keadaan emosi yang tidak stabil sehingga langsung menjatuhkan thalak. Seharusnya thalak dilakukan apabila istri dalam keadaan suci dari haid dan belum dijima’. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah yang berbunyi:

َ ُ‫ُو أ َ ْح صُ واُالْ ِع د َّ ة‬ َ ‫ي ُ إ ِ ذ َ اُ طَ ل َّ قْ ت ُمُ ُالن ِ س َ ا َء ُ ف َ طَ ل ِ ق ُ و ه ُ َّن ُ ل ِ ِع د َّت ِ ِه َّن‬ ُّ ِ ‫ي َ اُأ َي ُّ َه اُال ن َّ ب‬ “Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, maka hendaknya kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).” (Q.S. At-Thalaq : 1) Meskipun islam menyariatkan perceraian tetapi bukan berarti islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu perkawinan dan perceraian tidak boleh dilaksanakan setiap saat yang dikehendaki. Perceraian merupakan jalan terakhir yang ditempuh suami-istri apabila cara-cara lain yang telah

23

diusahakan sebelumnya tidak dapat mengembalikan keutuhan rumah tangganya. Alloh SWT telah menetapkan syariat tentanng pernikahan, begitu pula perceraian (thalak) adalah bagian dari syariat Islam. Adapun dasar pensyariatan thalak adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Ijma’ sahabat. Di dalm Al qur’an Alloh SWT berfirman:

ُ ‫الط َّ ََل‬ ُ‫ق ُ َم َّر ت َا ِن ُ ُ ف َ إ ِ ْم سَ اك ُ ب ِ َم عْ ُر وف ُأ َ ْو ُ ت َسْ ِر يح ُ ب ِ إ ِ ْح سَ ان‬ “Thalak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS, AlBaqarah [2]:229) Sementara itu, di dalam As-Sunnah, telah diriwayatkan dari Umar ibn AlKhaththab RA: “Bahwa Nabi SAW pernah menceraikan Hafshah, kemudian merujuknya kembali.” (HR. Al-Hakim dan Ibnu Majjah) Juga telah diriwayatkan dari ‘Abdullah ibn ‘Umar, ia berkata: “Aku memiliki seorang istri yang aku cintai, tetapi ayahku tidak menyukainya. Lalu ayahku menyuruhku untuk menceraikannya tetapi aku menolaknya. Lalu ayahku menyampaikan hal itu kepada Nabi SAW, Beliau an bersabda:”Hai ‘Abdullah ibn ‘Umar, ceraikanlah isterimu!” (HR. At-Tirmidzi dan al-Hakim) Begitu pula para sahabat Nabi juga telah berijtima’ atas disyariatkannya thalak (perceraian). Kebolehan thalak tidak memiliki ‘illat syar’iyyah apapun, maksudnya nash-nash yang menyatakan kebolehan thalak, baik nash-nash alQur’an maupun hadist Nabi SAW tidak mengandung ‘illat (sebab disyari’atkannya hukum) apa pun. Sehingga thalak adalah suatu perkara yang dihalalkan oleh syariat bukan karena sebab lain, misalkan merugikan atau menyengsarakan. Penjatuhan thalak sesuai dengan syariat ada tiga kali thalak, thalak setelah thalak. Pertama, jika suami menthalak isrinya satu kali (yang pertama), maka jatuhlah thalak satu. Suami boleh merujuknya selama masa iddahnya tanpa harus melakukan akad baru. Kedua, jika suami menthalak istrinya untuk yang kedua kalinya, jatuhlak thalak dua. Maka suami boleh merujuk istrinya selama masa iddah tanpa melakukan akad baru. Jika dalam kedua thalak tersebut si

24

itri telah selesai masa iddahnya dan suami tidak merujuknya, maka kedua thalak tersebut menjadi thalak ba’in sughra. Yaitu ketika suami meminta rujuk kepada istrinya, maka harus melalui akad nikah dan mahar baru. Ketiga, jika seorang suami menthalak istrinya untuk ketiga kalinya, maka jatuhlah thalak tiga yang disebut dengan thalak ba’in kubra. Seorang suami yang telah menthalak tiga istrinya dia tidak bisa merujuk kembali mantan istrinya dengan akad nikah. Akan tetapi bisa merujuk mantan istri tersebut dinikahi oleh lakilaki lain dan telah berhubungan suami istri dengannya serta telah berakhir massa iddahnya setelah cerai dari suami keduanya itu. Sekalipun demikian, tidak boleh seorang suami yang telah menthalak tiga istrinya dan di kemudian hari menyesali perceraian tersebut lantas menyewa seorang laki-laki untuk menikahi mantan istrinya dan kemudian setelah berhubungan suami istri sang istri tersebut akan diminta untuk bercerai agar mantan suaminya bisa kembali lagi kepadanya. Alloh SWT berfirman:

ُ ‫الط َّ ََل‬ ُ ‫ُو ََل ُ ي َ ِح ُّل‬ َ ُ ‫ق ُ َم َّر ت َا ِن ُ ُ ف َ إ ِ ْم س َ اك ُ ب ِ َم ع ْ ُر وف ُأ َ ْو ُ ت َس ِْر يح ُ ب ِ إ ِ ْح سَ ان‬ ُ ْ ‫ل َ ك ُ ْم ُأ َ ْن ُ ت َأ‬ ُ َ ‫ح د ُو د‬ ُ ُ‫خ ذ ُواُ ِم َّم اُآ ت َي ْ ت ُ ُم و ه ُ َّن ُ ش َ ي ْ ئ ًاُ إ ِ ََّل ُأ َ ْن ُ ي َ َخ ا ف َ اُأ َ ََّل ُ ي ُ ق ِ ي َم ا‬ ْ َ ‫ح ُ عَ ل َ ي ْ ِه َم اُ ف ِ ي َم اُا ف ْ ت َد‬ ُ‫ت‬ ِ ‫ّللاَّ ِ ُ ُ ف َ إ ِ ْن‬ ُ ُ ‫ح د ُو د َ ُّللاَّ ِ ُ ف َ ََل‬ ُ ُ‫ُخ ف ْ ت ُ ْم ُأ َ ََّل ُ ي ُ قِ ي َمُا‬ َ ‫ج ن َا‬ ُ ُ‫ك ُ ه ُ م‬ َ ِ ‫ح د ُو د َ ُّللاَّ ِ ُ ف َ أ ُو َٰل َ ئ‬ َ ْ ‫ب ِ ِه ُ ُ ت ِ ل‬ ُ َُّ ‫ُۚو َم ْن ُ ي َ ت َع َ د‬ ُ ُ‫ك‬ َ ُ ‫ح د ُو د ُُّللاَّ ِ ُ ف َ ََل ُ ت َعْ ت َد ُو هَا‬ َُ‫الظ َّ ا ل ِ ُم و ن‬

ُ ‫ف َ إ ِ ْن ُ طَ ل َّ ق َ َه اُ ف َ ََل ُ ت َ ِح ُّل ُ ل َ ه ُُ ِم ْن ُ ب َ عْ د ُُ َح ت َّ َٰى ُ ت َنْ ِك َح ُزَ ْو ًج اُ غَ ي َْر ه ُُ ُ ف َ إ ِ ْن‬ َُ ‫ح ُ عَ ل َ يْ ِه َم اُأ َ ْن ُ ي َ ت َ َر ا َج ع َ اُ إ ِ ْن ُ ظَ ن َّ اُأ َ ْن ُ ي ُقِ ي َم اُ ُح د ُو د‬ َ ‫طَ ل َّ ق َ َه اُ ف َ ََل ُ ُج ن َا‬ َّ ‫ك ُ ُح د ُو د‬ َّ َُ‫ُُّللا ِ ُ ي ُب َ ي ِ ن ُ َه اُ لِ ق َ ْو م ُ ي َ عْ ل َ ُم و ن‬ َ ْ‫ُو ت ِ ل‬ َ ُ ِ ‫ّللا‬ “Thalak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik tidak halal bagi kamu untuk mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Alloh. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (ssuami-istri) tidak

25

dapat menjalankan hukum-hukum Alloh, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Alloh, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa yang melanggar hukum-hukum Alloh, mereka itulah orang-orang yang zalim. Kemudian jika si suami menthalaknnya (sesudah thalak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi bagiya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jka suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri)ss untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Alloh. Itulah hukum-hukum Alloh, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.” (QA. Al-Baqarah [2]:229-230) Hak thalak berada pada suami, bukan seorang istri. Adapun tentang hak menjatuhkan thalak ada pada suami itu karena Alloh SWT memanng telah menetapkan thalak ada di tangan suami. Syara’ tidak menyatakan adanya ‘illat apapun atas hal ini, sehingga thalak tidak boleh dikaitkan dengan ‘illat apapun. Sekalipun hak thalak berada pada seorang suami, tidak berarti bahwa istri tidak boleh menceraikan dirinya sendiri dan melangsungkan perpisahan antara dirinya dengan suaminya. Hal tersebut diperbolehkan dalam kondisi tertentu sebagaimana yang telah dinyatakan oleh syari’ah. Syara’ membolehkan seorang istri untuk memfasakh (membatalkan/memutus) perkawinan dengan suaminya dalam beberapa kondisi berikut: a. Jika suami menyerahkan masalah thalak kepada istri. Sebagaimana pendapat

Ibnu

Mas’ud

yang

mengatakan:

“Barang

siapa

menyerahkan urusan thalak istrinya kepada orang lain, dan ia menyatakannya, maka hal itu diperbolehkan.” Pada kondisi seperti ini, seorang istri berhak menceraikan dirinya sendiri sesuai dengan kewenanggan yang telah diberikan oleh suaminya. Maka istri mengatakan, “Aku telah menceraikan diriku sendiri dari suamiku, si Fulan. Akan tetapi istri tidak boleh mengatakan, ”Aku telah menceraikan kamu” atau “engkau aku ceraikan”. Hal itu karena thalak tersebut terjadi atas istri, bukan atas suami, sehingga meskipun

26

thalak tersebut berasal dari istri. Suami boleh memberikan thalak berada di tangan istri karena Rasululloh SAW pernah memberikan pilihan (khiyar) kepada istrinya (untuk bercerai atau tidak). b. Jika istri mengetahui suaminya cacat sehingga tidak dapat melakukan senggama, seperti impoten atau telah dikebiri. Jika hakim telah membuktikan adanya cacat tersebut, hakim memberikan tangguh kepada suami selama satu tahun. Apabila dalan tenggang waktu suami tersebut tidak dapat menggauli istrinya, maka hakim akan memenuhi tuntutan sang istri dan memfasakh pernikahannya. Diriwayatkan bahwa Ibn Mundzir telah menikah dengan seorang wanita, sedang ia sendiri telah dikebiri. Umar kemudian bertanya kepadanya,”Apakah engkau sudah memberi tahu istrimu?” ia menjawab, “Belum.” Kemudian Umar berkata:”Beritahu dulu istrimu, kemudian biarkan ia memilih (antara bercerai atau tidak).” c. Jika bagi sang istri, baik sebelum atau sesudah tejai persetubuhan mengetahui bahwa suaminya mengidap penyakit yang dapat membahayakannya ketika mereka tinggal bersama, seperti: penyakit lepra, kusta, sipilis, TBC, HIV, atau penyakit lainnya. Tuntutan tersebut dapat dikabulkan hakim apabila terbukti suami menderita penyakit tersebut dan tidak ada peluang untuk sembuh. d. Jika suami gila setelah akad nikah, maka istri berhak menuntut pemisahan dari suaminya kepada hakim. Kemudian hakim akan memberikan rentan waktu satu tahun bagi suaminya. Apabila gilanya tidak sembuh, maka hakim akan memfasakh pernikahannya. e. Jika sang suami melakukan suatu perjalanan dan menghilang serta tidak ada kabar selama 4 tahun, maka si isteri dapat menikah dengan laki-laki lain (bercerai dengan suami yang lama). f. Jika suami tidak memberi nafkah pada istrinya padahal dia mampu untuk menafkahinnya sehingga istrinya harus mengalami kesulitan untuk mendapatkannya, maka ia berhak untuk menuntut perceraian. Rasululloh SAW bersabda:

27

“Istrimu

termasuk

orang

yang

menjadi

tanggunganmu.

Ia

mengatakan, “Berilah aku makan. Jika tidak, ceraikan aku.” (HR. Ad-Daruquthni dan Ahmad) g. Jika diantara suami-istri terjadi pertentangan dan persengketaan, maka istri

berhak

menuntut

perpisahan

dengan

suaminya.

Namun

sebelumnya seorang hakim wajib menentukan hakam (juru damai) dari keluarga masing-masing kedua belah pihak (keluarga pihak suami dan keluarga pihak istri). Jika tetap tidak mendapatkan perdamaian maka

majlis

keluarga

memisahkan

keduanya

sesuai

dengan

pandangannya berdasarkan fakta yang tampak setelah diteliti. Alloh SWT berfirman:

ُ ‫ُو َح ك َ ًم اُ ِم ْن‬ َ ‫ُخُ ف ْ ت ُ ْم ُ ِش ق َ ا‬ ِ ‫َو إ ِ ْن‬ َ ِ‫ق ُ ب َ ي ْ ن ِ ِه َم اُ ف َ ا بْ ع َ ث ُواُ َح ك َ ًم اُ ِم ْن ُأ َهْ لِ ه‬ ‫ق ُّللاَّ ُُ ب َ ي ْ ن َ هُ َم ا‬ ْ ِ ‫أ َهْ ل ِ َه اُ إ ِ ْن ُ ي ُِر ي د َ اُ إ‬ ِ ِ ‫ص ََل ًح اُ ي َُو ف‬ “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua hakam tersebut bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Alloh memberi taufik kepada suamiistri tersebut. (QS. An-Nisa [4]:35) Melihat beberapa fakta kondisi di atas, asy-Syari’ (Sang Pembuat Hukum) memandang

bahwa

seorangn

istri

adalah

Ketidakbahagiaan dan kebencian yang ada

sahabat

bagi

suaminya.

dalam pernikahan pasti akan

membawa kesengsaraan bagi keduanya, suami dan istri. Jika kebahagiaan itu sulit terwujud dikarenakan ketidakcocokan karakter di antara keduanya, maka suami-istri diberikan kesempatan agar masing-masing berusaha mewujudkan ketentraman hidup suami-istri bersama orangn lain. Namun, Islam tidak menjadikan sebab perceraian semata karena adaya kemarahan dan kebencian. Islam memerintahkan suami-istri untuk bergaul dengan cara yang baik serta mendorong mereka untuk bersabar memendam kebencian dan saling menerima kekurangan. Karena boleh jadi apa yang dibenci itu adalah kebaikan. Alloh SWT berfirman: “Dan bergaulah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai 28

sesuatu, padahal Alloh menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa [4]:19) Islam juga memerintahkan kepada para suami untuk menggunakan berbagai cara untuk mengurangi sikap keras kepala istrinya karena pembangkangan mereka. Hal ini diatur dalam al Quran.

َ ُ ‫ي َ اُأ َي ُّ َه اُال َّ ِذ ي َن ُآ َم ن‬ ُ ‫ُو ََل‬ َ ُ‫واَُل ُ ي َ ِح ُّل ُ ل َ ك ُ ْم ُأ َ ْن ُ ت َ ِر ث ُواُالن ِ سَ ا َء ُ ك َ ْر ه ً ا‬ َّ ِ ‫ض ُ َم اُآ ت َي ْ ت ُ ُم و ه ُ َّن ُ إ‬ ُ ‫اح شَة‬ ِ َ ‫َُل ُأ َ ْن ُ ي َ أ ْت ِ ي َن ُ ب ِ ف‬ ِ ْ ‫ت َعْ ضُ ل ُ و ه ُ َّن ُ ل ِ ت َذ ْ ه َ ب ُواُ ب ِ ب َ ع‬ ُ ‫ف ُ ُۚ ف َ إ ِ ْن ُ ك َ ِر هْ ت ُ ُم و ه ُ َّن ُ ف َ ع َ س َ َٰى ُأ َ ْن‬ ِ ‫ش ُر و ه ُ َّن ُ ب ِ الْ َم عْ ُر و‬ ِ ‫ُۚو عَ ا‬ َ ُ ‫ُم ب َ ي ِ ن َة‬ ‫اُو ي َ ْج ع َ َل ُّللاَّ ُُ ف ِ ي هِ ُ َخ يْ ًر اُ ك َ ث ِ ي ًر ا‬ َ ً ‫ت َكْ َر ه ُ واُ ش َ ي ْ ئ‬ “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.” (QS. An-Nisa[4]:34) Demikianlah Islam memerintah kepada para suami untuk menasehati istri dengan cara yang makruf. Namun, apabila jalan telah dilakukan dan tetap belum bisa menyelesaikan persoalan yang terjadi antara suami-istri, maka Islam memerintahkan untu menyelesaikan masalah tersebut melalui hakam, yaitu wakil dari masing-masing keluarga. Jika kedua hakam itu tidak mampu mendamaikan suami-istri yang sedang berselisih, maka tidak ada ruang lagi untuk mempertahankan rumah tangganya selain dengan perpisahan antara keduanya sehingga suami-istri itu mendapatkan ketenangan. Alloh SWT berfirman:

‫س ع ً اُ َح ِك ي ًم ا‬ ِ ‫ُو ا‬ َ ُ َّ‫ُۚو كَ ا َن ُّللا‬ َ ُ ِ‫َو إ ِ ْن ُ ي َ ت َف َ َّر ق َ اُ ي ُغ ْ ِن ُّللاَّ ُُ ك ُ اَل ُ ِم ْن ُ س َ ع َ ت ِ ه‬ “Jika keduanya bercerai, maka Alloh akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Alloh Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa [4]:130) Islam

memberikan

kesempatan

kepada

suami-istri

untuk

saling

mengevaluasi diri melalui kesendiriannya dan untuk kembali kepada ketakwaan kepada Alloh SWT yang tertancap di dalam dadanya. Sebab, Islam menetapkan masa iddah setelah terjadinnya perceraian selama tiga kali haid atau setelah melahirkan. Selama masa iddah tersebut, suami tetap

29

berkewajiban memberi nafkah dan tempat tinggal pada istri yang telah diceraikan. Ketika keduanya menyadari kesalahan masing-masing dan berupaya untuk kembali menjalin ikatan pernikahan untuk yang kedua kalinya dengan harapan mendapatkan ketenangan, ketentraman, kebahagiaan, dan kedamaian yang belum mereka raih dalam pernikahan sebelumnya, Islam membolehkan seorang suami untuk rujuk kepada istrinya setelah thalak satu dan dua selama masa iddahnya belum berakhir. Akan tetapi, jika masa iddah ini tidak berpengaruh apa-apa karena mengakarnya kebencian atau persoalan, maka perpisahan atau perceraian merupakan keputusan yang final. Demikianlah syari’at Islam mengatur mekanisme perceraian. Di dalam pensyariatan thalak yangn dijelaskan di atas, telah nampak jelas adanya hikmah dan pandangan yanng detile terhadap kehidupan pergaulan pria dan wanita. Semua itu demi menjamin kehidupan yang penuh kedamaian dan ketentraman bagi mereka. Oleh karenya, Alloh menetapkan syariah tentang thalak dan menggambarkan betapa Islam memuliakan suatu ikatan pernikahan.

3.3 Solusi Islam dalam Mencegah Perceraian Menjalin sebuah rumah tangga yang harmonis bukanlah sebuah hal yang mudah. Banyak masalah rumit yang akan terjadi dan ujung fatal dari masalah tersebut adalah perceraian, Anda mungkin sudah sering melihat kasus perceraian di lingkungan Anda. Sebaiknya, masalah perceraian tidak dianggap remeh, karena dampak dari perceraian bukan hanya melibatkan Anda dan pesangan Anda, tetapi juga anak-anak dan keluarga masing-masing pihak. Konsekuensi dari sebuah pernikahan adalah mewujudkan rumah tangga dan damai, indah, tenang, harmonis, dan menghindari hal-hal yang merujuk pada perceraian. Nah, berikut ada beberapa cara untuk mencegah sekaligus menghindari terjadinya perceraian dalam rumah tangga : 1. Cukupi kebutuhan lahir Kebutuhan lahir bisa meliputi finansial, pangan, rumah, perabotan, dan beberapa kebutuhan sekunder lainnya. Semua kebutuhan

30

lahir akan bisa didapatkan jika ekonomi rumah tangga dalam keadaan yang cukup. Pastikan Anda mempunyai pekerjaan yang layak sebelum menikah dan bisa mencukupi kebutuhan lahir rumah tangga, khususnya bagi seorang suami. 2. Cukupi kebutuhan batin Salah satu penyebab terjadinya perceraian adalah karena kebutuhan batin tidak tercukupi. Anda mungkin lebih sering mendengar kebutuhan batin dengan sebutan sex. Ini penting karena salah satu tujuan utama pernikahan adalah untuk memenuhi hasrat sex secara halal. 3. Pastikan komunikasi aktif Komunikasi adalah hal yang sangat pokok dalam sebuah rumah tangga. Komunikasi pasif antara suami istri bisa menimbulkan berbagai masalah yang menyebabkan terjadinya perceraian. Pastikan Anda lebih mengenal pasangan Anda untuk menumbuhkan komunikasi aktif. 4. Bersikaplah terbuka Bersikap terbuka bisa berarti Anda mendiskusikan setiap masalah rumah tangga kepada pasangan Anda. Apapun masalah yang datang dalam rumah tangga adalah tanggung jawab kedua pasangan, jadi jangan menyimpan dan memendam masalah itu sendiri. Selain itu, masing-masing psangan harus mengetahui semua hal tentang rumah tangga, misalkan penghasilan uang, pengeluaran uang, dan hal-hal lainnya. 5. Hindari deskriminasi Pastikan Anda tidak mempermasalahkan perbedaan status keluarga dengan pasangan Anda. Kaya, miskin, bentuk rupa dan fisik adalah sama, hanya hati yang membedakan Anda dengan pasangan Anda dihadapan Tuhan. Anda masih membutuhkan pasangan Anda dalam kehidupan rumah tangga tanpa harus mengungkit masalah status keluarga. 6. Hindari fanatik tentang perbedaan ide

31

Setiap manusia mempunyai ide, pendapat, prinsip, keyakinan, dan pemikiran yang berbeda dengan lainnya. Jika terjadi perbedaan ide dan pemikiran, maka jadikan perbedaan itu untuk memahami kondisi satu dengan lainnya dan mencari solusi. Anda tidak perlu fanatik dan mempermasalahkan perbedaan ide karena hal ini dapat menyebabkan masalah lebih besar dan berujung pada perceraian. 7. Berikan perhatian untuk pasangan Anda Seperti ketika berpacaran, tetaplah memberikan perhatian kepada pasangan Anda. Anda tidak boleh membiarkan cinta dan kasih sayang kepada pasangan Anda layu termakan oleh waktu begitu saja. Saya bisa mengatakan seperti ini karena secara umum cinta dan kasih sayang kepada pasangan akan menurun sepanjang berjalannya waktu. 8. Luangkan waktu untuk keluarga Salah satu perhatian yang harus Anda berikan kepada pasangan Anda adalah dengan meluangkan waktu untuk keluarga. Jangan biarkan kesibukan bekerja menjadi jurang yang memisahkan. Tentu saja Anda berpikir bahwa tertawa bersama dengan pasangan Anda akan lebih menyenangkan daripada menguras tenaga dan pikiran siang malam hanya untuk mencari uang. 9. Hindari pertengkaran Awal mula dari sebuah perceraian adalah karena sebuah pertengkaran. Tentu, pertengkaran adalah hal yang pasti terjadi dalam rumah tangga. Tetapi, Anda harus bersikap bijaksana dalm masalah ini, pastikan Anda mengalah dan tidak membiarkan pertengkaran menjadi masalah baru yang lebih besar. 10. Positif thinking dan hindari curiga berlebihan Sebaiknya, Anda juga jangan mencurigai pasangan Anda secara berlebihan, berpikirlah positif tentangnya. Mencurigai itu boleh selama Anda tidak berlebihan, karena curiga berlebihan berlebihan akan memancing pertengkaran.

32

11. Saling intropeksi diri Tidak ada manusia yang luput dari kesalahan, apalagi dalam interaksi berumah tangga. Hal yang terbaik adalah mengoreksi diri, saling meminta maaf, dan memaafkan. Jika kedua pasangan bisa saling intropeksi diri, maka akan sangat mudah bagi keduanya untuk melupakan kesalahan yang telah dilakukan. 12. Hindari intimidasi dan tindak kekerasan Tindak kekerasan dan intimidasi (perkataan kotor) yang Anda lontarkan kepada pasangan Anda akan membuatnya terluka dalam dan membekas. Hal ini tentunya akan membuat pasangan Anda merasa tidak betah di rumah. Pastikan Anda bersikap lemah lembut dan tidak membiarkan emosi Anda meluap. 13. Putuskan hubungan dengan pihak ketiga Mencintai orang lain selain pasangan Anda apalagi sampai melakukan

perselingkuhan

berarti

Anda

telah

menghianati

konsekuensi pernikahan, tidak ada seorang pun yang rela jika dihianati. Hal yang terbaik bagi keutuhan rumah tangga Anda adalah memutuskan hubungan dengan pihak ketiga. Dalam Fikih Islam, rujuk artinya kembali. Menurut syara’, rujuk adalah kembalinya seorang suami kepada mantan istrinya dengan perkawinan dalam masa iddah sesudah ditalak raj’iy. Dalam pengertian yang lain rujuk ialah mengembalikan istri yang telah ditalak pada pernikahan asal sebelum di ceraikan. Firman Allah: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suamisuaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S. Al-Baqarah: 228)

33

Bila seorang suami telah menceraikan istrinya, maka ia boleh bahkan dianjurkan untuk rujuk kembali dengan syarat bila keduanya betul-betul hendak berbaikan kembali (islah). Dengan arti bahwa keduanya benar-benar sama-sama saling mengerti dan penuh rasa tanggung jawab antara satu dengan lainnya. Akan tetapi bila suami mempergunakan kesempatan rujuk itu bukan untuk berbuat islah, bahkan bertujuan untuk menganiaya tanpa memberi nafkah, atau semata-mata untuk menahan istri agar jangan menikah dengan orang lain, maka suami tersebut tidak berhak untuk merujuk istrinya itu, malah haram hukumnya. Syarat-syarat rujuk yang harus dipenuhi antara lain : a. Saksi untuk rujuk Fuqaha berbeda pendapat tentang adanya saksi dalam rujuk, apakah menjadi syarat sahnya rujuk atau tidak. Imam Malik berpendapat bahwa saksi dalam rujuk adalah disunahkan sedangkan Imam Syafi’i mewajibkan. b. Rujuk dengan kata-kata atau pergaulan istri Terdapat perbedaan pendapat pula dalam hal ini, sebagai berikut: a. Menurut pendapat Imam Malik mengatakan bahwa rujuk dengan pergaulan, istri hanya dianggap sah apabila diniatkan untuk merujuk. Karena bagi golongan ini, perbuatan disamakan dengan kata-kata dan niat. b. Menurut pendapat Imam Abu Hanifah, yang mempersoalkan rujuk dengan pergaulan, jika ia bermaksud merujuk dan ini tanpa niat. c. Menurut pendapat Imam Syafi’i, bahwa rujuk itu disamakan dengan perkawinan dan Allah SWT memerintahkan untuk diadakan persaksian, sedang persaksian hanya terdapat dalam kata-kata. c. d.

Kedua belah pihak yakin dapat hidup bersama kembali dengan baik Istri telah dicampuri. Jika istri yang dicerai belumpernah dicampuri, maka tidak sah rujuk, tetapi harus dengan perkawinan baru lagi

34

e.

Istri baru dicerai dua kali. Jika istri telah ditalak tiga maka tidak sah rujuk lagi, melainkan harus telah menikah dengan orang lain kemudian bercerai, barulah boleh rujuk kembali dengan akad yang baru. ”Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) Mengetahui.” (Q.S. Al-Baqarah : 230)

f.

Istri yang dicerai dalam masa iddah raj’iy. Jika bercerainya dari istri karena fasakh atau khulu’ atau talak ba’in atau istri yang dicerai belum pernah dicampuri, maka rujuknya tidak sah.

35

BAB 4 PENUTUP

4.1 Kesimpulan Penduduk adalah orang-orang yang berada di dalam suatu wilayah geografi yang terikat oleh aturan-aturan yang berlaku dan saling berinteraksi satu sama lain secara terus menerus. Tahun 2013 lalu, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sudah mengabarkan soal angka perceraian di Indonesia yang menduduki peringkat tertinggi di Asia Pasifik. Thalak adalah melepaskan atau memutuskan ikatan pernikahan dengan lafal khusus (thalak) atau semakna dengan begitu sehingga mengharuskan keduanya hidup secara terpisah. Thalak dalam Islam diperbolehkan dengan alasan untuk menghindari bahaya yang mengancam salah satu pihak, baik pihak istri maupun suami. Allah SWT berfirman dalam Qs. Al-Baqarah ayat 229. Rukun talak ialah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya talak tergantung lengkapnya unsur dalam thalak. Rukun thalak ada empat yaitu suami, istri, sighat thalak, dan sengaja. Khulu‘ menurut syara’ ialah lafazh yang menunjukkan adanya perceraian antara suami isteri dengan suatu tebusan yang memenuhi syarat yang telah ditentukan. Menurut istilah para ulama, masa ‘iddah ialah sebutan atau nama suatu masa di mana seorang wanita menanti atau menangguhkan perkawinan setelah ia ditinggalkan mati oleh suaminya atau setelah diceraikan baik dengan menunggu kelahiran bayinya, atau berakhirnya beberapa quru’, atau berakhirnya beberapa bulan yang sudah ditentukan. Demikianlah Islam memerintah kepada para suami untuk menasehati istri dengan cara yang makruf. Namun, apabila jalan telah dilakukan dan tetap belum bisa menyelesaikan persoalan yang terjadi antara suami-istri, maka Islam memerintahkan untu menyelesaikan masalah tersebut melalui hakam, yaitu wakil dari masing-masing keluarga. Jika kedua hakam itu tidak mampu mendamaikan suami-istri yang sedang berselisih, maka tidak ada ruang lagi untuk mempertahankan rumah tangganya selain dengan perpisahan antara keduanya sehingga suami-istri itu mendapatkan ketenangan. Menjalin sebuah rumah tangga yang harmonis bukanlah sebuah hal yang

36

mudah. Banyak masalah rumit yang akan terjadi dan ujung fatal dari masalah tersebut adalah perceraian, Anda mungkin sudah sering melihat kasus perceraian di lingkungan Anda. Sebaiknya, masalah perceraian tidak dianggap remeh, karena dampak dari perceraian bukan hanya melibatkan Anda dan pesangan Anda, tetapi juga anak-anak dan keluarga masing-masing pihak.

4.2 Saran Islam

memberikan

kesempatan

kepada

suami-istri

untuk

saling

mengevaluasi diri melalui kesendiriannya dan untuk kembali kepada ketakwaan kepada Alloh SWT yang tertancap di dalam dadanya. Ketika keduanya menyadari kesalahan masing-masing dan berupaya untuk kembali menjalin ikatan pernikahan untuk yang kedua kalinya dengan harapan mendapatkan ketenangan, ketentraman, kebahagiaan, dan kedamaian yang belum mereka raih dalam pernikahan sebelumnya, Islam membolehkan seorang suami untuk rujuk kepada istrinya setelah talak satu dan dua selama masa iddahnya belum berakhir. Akan tetapi, jika masa iddah ini tidak berpengaruh apa-apa karena mengakarnya kebencian atau persoalan, maka perpisahan atau perceraian merupakan keputusan yang final.

37

DAFTAR PUSTAKA

ABD. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat. (Cet. II; Jakarta: Kencana, 2003), 193195,199, 201-205 Caswito. 2009. Tinjauan Hukum Islam terhadap Perceraian di kalangan Masyarakat Nelayan (Studi Kasus di Desa Pengaradan Kabupaten Brebes). Yogyakarta. digilib.uin-suka.ac.id. Diakses pada tanggal 24 Agustus 2017 pukul 16.00 Hoyir, Ahmad, 2003, “Pendapat Imam Mâlik Bin Anas Tentang Khulu‘ Dan Relevansinya Dengan Hukum Perkawinan Di Indonesia”, Asy-Syari‘ah Vol. 16, No. 2, Agustus 2014 dalam http://journal.uinsgd.ac.id/index.php/asysyariah/article/view/635/607 diakses pada 24 Agustus 2017 Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini. Terjemahan Kifayatul Akhyar, 1997, Surabaya : Bina Ilmu, 155 Kompas.com - 30/06/2015, 15:15 WIB. Diakses tanggal 24 Agustus 2017 pukul 20.30 WIB. Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta Matheer, Muksin. 2015. 1001 Tanya Jawab dalam Islam. Penerbit HB Moh. Rifa’i, Fiqih Islam Lengkap. (Semarang: PT karya toha putra 1978), 496498 Op Cit. Yusuf Qaradhawi, Fikih wanita. 55-56 Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita Edisi lengkap. (Cet. 1; Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 1998), 439,-441 Tp, Ensiklopedi Hukum Islam. ( Cet. VI; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), 1783, 1784 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 26 ayat (2) Wirosuarjo, Kartomo. 2004. Dasar Dasar Deografi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia

38

Related Documents


More Documents from "asepsetia"