Pengertian Trombositopenia Pada Anak

  • Uploaded by: Dhyla Margaretha Artz
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pengertian Trombositopenia Pada Anak as PDF for free.

More details

  • Words: 6,515
  • Pages: 19
Loading documents preview...
2.1 Anatomi Fisiologi Tombosit Trombosit adalah fragmen-fragmen sel tak berinti yang diproduksi dari megakariosit oleh sumsum tulang. Ketika megakariosit tersebut matur, sejumlah besar trombosit dilepaskan ke dalam sirkulasi. Setelah dilepaskan, usia trombosit itu sendiri berkisar antara 7 sampai dengan 10 hari, setelah itu mereka dihapus dari peredaran oleh sistem monosit dan makrofag.

Gambar 1. Hematopoesis Trombosit yang beredar melakukan banyak fungsi hemostasis penting. Ketika ada pembuluh darah kecil terbelah, trombosit berakumulasi pada lokasi cedera dan membentuk sumbatan hemostatik. Adhesi platelet diawali oleh kontak dengan komponen ekstravaskular seperti kolagen, dan difasilitasi dengan adanya faktor Von Willebrand. Sekresi mediator-mediator hemostasis seperti tromboksan, adenosine 5 difosfat, serotonin, dan histamine menyebabkan terjadinya agregasi yang kuat melalui ikatan fibrinogen dan peningkatan vasokonstriksi lokal. Trombosit juga berperan dalam penghancuran kembali bekuan darah. Risiko perdarahan meningkat dengan rendahnya jumlah trombosit. Rentang hitung jumlah trombosit normal berkisar antara 150 - 450 x 10 3/µL. Risiko perdarahan tidak akan meningkat sampai penurunan jumlah trombosit yang signifikan hingga dibawah 100 x 103/µL (Gambar 1). Jumlah trombosit lebih besar dari 50 x 10 3/µL cukup untuk kelangsungan hemostasis dalam sebagian besar situasi, dan pasien dengan trombositopenia ringan kemungkinan besar tidak akan diketahui kecuali jika hitung trombosit dilakukan atas alasan yang lain. Pasien dengan trombositopenia sedang, dengan jumlah trombosit antara 30 sampai 50 x 10 3/µL jarang mengalami gejala (seperti mudah lecet atau berdarah), bahkan dengan trauma yang signifikan. Pasien yang secara persisten hitung trombositnya antara 10 - 30 x 10 3/µL kadangkala juga tanpa gejala dengan aktivitas keseharian yang normal namun memiliki risiko perdarahan berlebihan pada trauma yang signifikan. Perdarahan spontan tidak akan terjadi kecuali hitung trombositnya kurang dari 10 x 103/µL. Pasien seperti ini biasanya mengalami ptekie dan memar, namun bahkan kadangkala juga asimptomatik. Pada sebagian besar kasus, terlihat bahwa jumlah trombosit harus kurang dari 5 x

103/µL untuk menyebabkan perdarahan kritis spontan (seperti perdarahan intracranial tanpa disebabkan trauma). 1 Trombosit muda memiliki ukuran yang lebih besar dan lebih aktif secara hemostasis. Maka dari itu, pasien dengan trombositopenia destruktif dengan produksi normal tidak akan mengalami perdarahan hebat karena banyaknya trombosit muda, jika dibandingkan dengan pasien yang memiliki gangguan fungsi trombosit yang mengakibatkan trombosit tua lebih banyak di sirkulasi. 1 2.2 Definisi Trombositopenia didefinisikan sebagai jumlah trombosit pada darah yang kurang dari 150 x 103/µL atau 150 x 109/L, dan merupakan penyebab utama dalam gangguan hemostasis primer yang dapat menyebabkan perdarahan signifikan pada anak-anak. Jika jumlah trombosit berkurang manifestasi klinisnya ditandai dengan timbulnya ptekie, purpura, perdarahan pada mukosa, biasanya sering pada mukosa hidung dan mulut. 2 2.4 Epidemiologi ITP adalah penyebab paling banyak trombositopenia imun pada anak-anak, dengan tingkat insidens kasus simptomatik antara 3 sampai 8 per 100.000 anak tiap tahun. Pasien pediatrik yang mengalami ITP biasanya berumur 2 sampai 10 tahun, dengan insidens tertinggi antara usia 2 sampai 5 tahun. Tidak terdapat bias gender yang signifikan terhadap insidens ITP pada anak-anak. Merupakan penyebab tersering trombositopenia tanpa anemia atau neutropenia. 1 ITP diperkirakan merupakan salah satu penyebab kelainan perdarahan didapat yang banyak ditemukan, insiden penyakit simtomatik berkisar 3 sampai 8 per 100.000 anak pertahun. 80-90% anak dengan ITP menderita episode perdarahan akut yang akan sembuh dalam 6 bulan. Pada ITP akut tidak ada perbedaan insiden laki-laki maupun perempuan dan akan mencapai puncak pada usia 2-5 tahun. ITP kronis terjadi pada anak usia > 7 tahun, sering terjadi pada anak perempuan. ITP rekuren didefinisikan sebagai adanya episode trombositopenia > 3 bulan dan terjadi pada 1-4 % dengan ITP. 3 Dari semua kasus yang didiagnosa secara klinis sebagai Demam Berdarah Dengue / Dengue Shock Syndrome, trombositopenia (<100.000/ml) ditemukan pada 34% kasus saat pertama kali datang dan 49% dalam masa rawatan. Pada kasus yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan serologi, didapatkan prevalensi trombositopenia (<100.000/ml) adalah 58% saat pertama kali datang dan 83% selama rawatan. Trombositopenia ditemukan pada 47% dari kasus DBD dan 74% dari kasus DSS. Sebagian besar kasus memberikan gambaran trombositopenia antara hari ketiga dan ketujuh penyakit, baik pada DBD maupun pada kondisi DSS. 6 Data di Amerika Serikat menunjukkan kejadian sepsis pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif anak (pediatrics intensive care unit/PICU) mencapai lebih dari 42 000 kasus dengan angka kematian sebesar 10,3%.12 Menurut perkiraan terakhir, lebih dari 18 juta kasus sepsis terjadi di seluruh dunia per tahun, dan setidaknya 1/3 dari kasus ini meningkat untuk sepsis berat atau syok septik. Sepsis mempengaruhi lebih dari 35% dari pasien ICU, dan sekitar 2/3 dari pasien memiliki sepsis berat atau syok septik. Sepsis adalah salah satu yang paling lazim penyebab

morbiditas dan mortalitas di ICU. Kematian untuk shock septik dapat melebihi 50%. Insidens DIC pada sepsis berat berkisar antara 14% hingga 32% dan berhubungan dengan meningkatnya mortalitas pada sepsis . 12 2.5 Etiologi Trombositopenia dapat disebabkan karena : 1. Produksi trombosit yang berkurang  Pansitopenia Pansitopenia bisa disebabkan karena keganasan (leukemia) , infiltrasi pada sumsum tulang (neuroblastoma), kegagalan pada sumsum tulang (anemia aplastik), infeksi virus (HIV) 

, obat-obatan yang toksik, dan radiasi. Trombopoesis yang tidak efektif  Dapat ditemukan pada kelainan kongenital yang jarang,yaitu thrombocytopenia – absent radius (TAR) syndrom , Wiskott Aldrich syndrom, trombosistopenia amegakariosit 

kongenital, penyakit platelet raksasa (Bernand-soulier Syndrom) Infeksi virus, contohnya EBV, CMV, parvovirus

2. Peningkatan konsumsi trombosit  Imun  Idiopathic thrombocytopenic purpura (ITP)  Penyakit autoimun dan kolagen-vaskuler (SLE)  Disebabkan virus HIV  Trombositpenia diinduksi obat,contohnya heparin  Nonimun  Disseminated intravascular coagulation (DIC)  Hemolytic – Uremic syndrom (HUS)  Sepsis  Thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP) 3. Destruksi trombosit Keadaan ini dapat ditemukan pada hipersplenisme, yaitu aktivitas lien yang berlebihan dapat disebabkan karean infeksi, inflamasi, kongesti, kelainan sel darah merah. 4. Dilusi dari trombosit. Hemodilusi menyebabkan konsentrasi relatif trombosit pada darah berkurang 1 2.6 Patogenesa dan Patofisiologi 2.6.1 Immune Trombositopeni Purpura (ITP) Kerusakan trombosit pada ITP melibatkan autoantibodi terhadap glikoprotein yang terdapat pada membrane trombosit. Penghancuran terjadi terhadap trombosit yang diselimuti antibody (antibody coated platelets) tersebut dilakukan oleh makrofag yang terdapat pada limpa dan organ retikuloendotelial lainnya.3 Megakariosit dalam sumsum tulang bisa normal atau meningkat pada ITP. Sedangkan kadar trombopoietin dalam plasma, yang merupakan progenitor proliferasi dan maturasi dari trombosit mengalami penurunan yang berarti, terutama pada ITP kronis. 3

Adanya perbedaan secara klinis maupun epidemiologis antara ITP akut dan kronis menimbulkan dugaan adanya perbedaan mekanisme patofisiologi terjadinya trombositopenia diantara keduanya. Pada ITP akut, telah dipercaya bahwa penghancuran trombosit meningkat karena adanya antibody yang dibentuk saat terjadi respons imun terhadap infeksi bakteri/virus atau pada imunisasi, yang bereaksi silang dengan antigen dari trombosit. Mediator-mediator lain yang meningkat selama terjadinya respons imun terhadap infeksi, dapat berperan dalam terjadinya penekanan terhadap produksi trombosit. Sedangkan pada ITP kronis mungkin telah terjadi gangguan pada regulasi system imun seperti pada penyakit autoimun lainnya, yang berakibat terbentuknya antibody spesifik terhadap trombosit. 3

Saat ini telah diidentifikasi beberapa jenis glikoprotein (GP) permukaan trombosit pada ITP, diantaranya GP IIb-Iia, GP Ib, dan GP V. Namun bagaimana antibody antitrombosit meningkat pada PTI, perbedaan secara pasti patofisiologi PTI akut, serta komponen yang terlibat dalam regulasinya masih belum diketahui. 3 2.6.2 Demam Berdarah dengue (DBD) Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar kasus DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai terendah pada masa syok. Jumlah trombosit secara cepat meningkat pada masa konvalesen dan nilai normal biasanya tercapai 710hari sejak permulaan sakit. Trombositopenia dihubungkan dengan meningkatnya megakariosit muda dalam sumsum tulang, dan pendeknya masa hidup trombosit diduga akibat meningkatnya destruksi trombosit. Dugaan mekanisme lain trombositopenia adalah depresi fungsi megakariosit. Penyelidikan dengan radioisotop membuktikan bahwa penghancuran trombosit dalam sistem retikuloendotelial, limpa dan hati. Penyebab peningkatan destruksi trombosit sampai saat ini belum diketahui, tapi beberapa faktor dapat menjadi penyebab, yaitu virus dengue, komponen aktif sistem komplemen, kerusakan sel endotel, aktivasi sistem pembekuan darah secara bersamaan atau secara terpisah. Lebih lanjut, fungsi trombosit pada DBD terbukti menurun. Hal ini mungkin disebabkan ditemukannya komplek imun dalam darah. Trombositopenia dan gangguan fungsi trombosit dianggap sebagai penyebab utama terjadinya perdarahan pada DBD. 5

2.6.3 Trombositopenia pada Sepsis

Kelainan pembekuan dan trombositopenia umum terjadi pada sepsis berat, dan dapat berupa perubahan kecil dalam jumlah trombosit dan perubahan dalam tes koagulasi hingga full-blown disseminated intravascular koagulasi (DIC) dan trombosis mikrovaskular yang luas. Tingkat keparahan hemostatik tampaknya berkorelasi dengan tingkat keparahan penyakit, sehingga, jumlah trombosit yang rendah adalah prediksi akan hasil yang buruk. 8 Dalam studi oleh A. Yaguchi et al, mikroorganisme yang paling umum terisolasi adalah Escherichia coli (n = 12), Staphylococcus aureus (n = 11), Klebsiella spp. (n = 6), dan Pseudomonas aeruginosa (n = 6). Kelompok kontrol yang sehat termasuk 11 pria dan empat wanita dengan usia ratarata 37 ± 8 tahun dan jumlah trombosit yang normal (180 000-400 000 mm 3). Secara keseluruhan, studi ini menunjukkan bahwa pada sepsis, fungsi sekretori platelet tetap tetapi kandungan alpha-granula berubah. Perubahan ini tampak lebih berhubungan dengan tingkat keparahan sepsis daripada koagulasi atau generasi trombin. Karena trombosit tidak memiliki inti, pengamatan ini menunjukkan bahwa perubahan dalam konten granula dapat terjadi pada tingkat megakariosit, mungkin sebagai hasil respon inflamasi. Dengan demikian, sebelum platelet konsumsi terkait trombin, trombosit menunjukkan penurunan aggregasi, ekspresi adhesi molekul, dan meningkatkan pelepasan VEGF, menunjukkan sepsis, bahkan jika tidak berkomplikasi, menginduksi redistribusi platelet fungsi dari hemostasis terhadap fungsi lainnya, termasuk penyembuhan vaskular. Sebagai kesimpulan, ditemukan bahwa sepsis menyebabkan banyak perubahan pada fungsi platelet, yang terjadi bahkan apabila jumlah trombosit normal, dan berbeda dengan abnormalitas koagulasi lainnya. 8 Gangguan koagulasi pada sepsis terjadi melalui tiga mekanisme 1.

Pembentukan trombin yang diperantarai TF (Tranfer factor) diekspresikan pada permukaan sel endotel, monosit, dan platelet ketika sel-sel ini distimulasi oleh toksin, sitokin atau mediator lain. Adanya endotoksin menyebabkan peningkatan beberapa sitokin proinflamasi seperti tumor necrosis factor (TNF)-D dan interleukin (IL)-6. Sitokin IL-6 merupakan sitokin proinflamasi yang paling berhubungan dengan klinis sepsis dan komplikasi. Pembentukan trombin yang diperantarai oleh TF merupakan tahap penting dari patogenesis sepsis. Secara fisiologis pembentukan ini segera dihambat oleh antitrombin, namun dengan pembentukan trombin yang sangat cepat jalur inhibisi ini bisa fatigue sehingga terjadi trombonemia. 9 Setelah trombin terbentuk maka fibrinogen dipolimerasi sehingga terbentuk bekuan fibrin dan terdeposisi di mikrosirkulasi. Deposisi fibrin ini dapat menyebabkan disfungsi organ. 10

2.

Gangguan mekanisme antikoagulan. Terdapat tiga mekanisme antikoagulan yang terganggu pada sepsis : 

Sistem antitrombin Secara teori antitrombin memiliki peran penting dalam kekacauan koagulasi pada sepsis, dibuktikan dengan jumlah antitrombin rendah pada sepsis.

11

Jumlah antitrombin

berkurang disebabkan karena antitrombin digunakan untuk menghambat formasi trombin

didegradasi oleh trombin, didegradasi oleh elastase yanng dilepaskan sel neutrofil serta gangguan sintesis antitrombin akibat gagal hati pada sepsis trombin terbentuk fibrinogen. 

Sistem protein C Protein C disintesis di hati dan diaktivasi menjadi activated protein C (APC) yang berfungsi dalam menghambat FVIII dan FV. Pada sepsis, terjadi depresi sistem protein C yang disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan, gangguan hati, perembesan vascular dan aktivasi TNF-A.



Tissue factor pathway inhibitor (TFPI) Tissue factor pathway inhibitor disekresi oleh sel endotel dan berfungsi untuk menghambat aktivasi FX oleh kompleks TF-FVI Ia. Penurunan TFPI dapat dijumpai pada sepsis.



Penghentian sistem fibrinolisis Pada kondisi bakteremia dan endotoksemia dijumpai peningkatan aktivitas fibrinolisi yang mungkin disebabkan oleh pelepasan plasminogen aktivator oleh sel endotel. Keadaan tersebut diikuti dengan supresi aktivitas fibrinolisis secara cepat oleh PAI-1. Jumlah PAI-1 yang tinggi dipertahankan sehingga menghentikan kemampuan fibrinolisis yang mengakibatkan penumpukan bekuan fibrin pada mikrosirkulasi. Pada sepsis terjadi trombositopenia pada pasien berat. Faktor utama yang menyebabkan penurunan jumlah trombosit pada sepsis adalah produksi yang terganggu, peningkatan pemakaian maupun destruksi atau sekuestrasi trombosit di limpa 11

2.7 Manifestasi Klinis Anak-anak dengan trombositopenia dapat menimbulkan gejala atau tidak. Pada pasien yang tidak menunjukkan gejala, trombositpeni sering dideteksi secara tidak sengaja pada pemeriksan hitung jenis. Pada pasien yang menunjukkan gejala biasanya muncul dengan keluhan perdarahan mukosa atau perdarahan kutaneus. Perdarahan kutaneus muncul berupa ptekie atau perdarahan kutaneus biasanya muncul sebagai petechie atau ekimosis superfisial. Pasien yang memiliki thrombositopenia juga mungkin memiliki perdarahan persisten dari luka yang dangkal. Petechiae, lesi diskret berukuran sebesar ujung jarum, merah, datar, disebabkan oleh ekstravasasi sel darah merah dari kapiler kulit, dicirikan dengan menurunnya jumlah platelet atau fungsi platelet. Petechiae tidak nyeri dan tidak hilang dengan penekanan. Petechie tidak memberikan gejala dan tidak teraba dan harus dibedakan dari telangiektasis kecil dan vaskulitis purpura (teraba). Purpura menggambarkan perubahan warna keunguan pada kulit akibat adanya petechiae konfluen. Ekimosis adalah daerah perdarahan dalam kulit yang tidak nyeri yang biasanya kecil, multipel, dan dangkal, dan dapat berkembang tanpa trauma yang terlihat. Ekimosis memiliki berbagai warna tergantung kepada darah yang tereksavasasi (merah atau ungu)

dan kerusakan heme yang sedang berlangsung dalam darah yang tereksavasasi oleh makrofag kulit (hijau, kuning, atau coklat) Pola perdarahan ini berbeda dari pasien yang memiliki gangguan faktor koagulasi, seperti hemofilia. Pasien dengan trombositopenia cenderung mengalami sedikit perdarahan dalam otot atau sendi, banyak perdarahan setelah luka kecil, sedikit perdarahan tertunda, dan sedikit perdarahan pascaoperasi. Selain itu, pasien yang mengalami gangguan faktor koagulasi cenderung tidak memiliki petechiae. Meskipun jarang, perdarahan sistem saraf pusat adalah penyebab kematian paling umum akibat trombositopenia. Ketika perdarahan tersebut terjadi, sering didahului oleh riwayat trauma kepala. 1 Pasien dengan Purpura Trombositopenik Imun (PTI) biasanya merupakan anak sehat yang tiba-tiba mengalami perdarahan baik pada kulit, purpura atau perdarahan pada mukosa hidung (epistaksis). Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti adanya perdarahan trombosit (platet-type bleeding), yaitu ptekie, pupura, perdarahan konjungtiva, atau perdarahn mukokutaneus lainya. Perlu dipikirkan penyakit lain, jika ditemukan adanya pembesaran hati dan atau limpa, meskipun ujung limpa sedikit teraba pada lebih kurang 10% anak dengan PTI. 3 Pada ITP akut, pada pemeriksaan fisik akan didapatkan manifestasi perdarahan berupa ptekie dan memar yang terjadi secara tiba-tiba. Limfadenopati ringan atau splenomegali mungkin disertai infeksi virus. Sedangkan pada ITP kronik biasanya memiliki penyakit yang mendasari. Beberapa anak dengan ITP kronik memiliki kelainan imunologik seperti Evans syndrom atau autoimmune lymphoroliferative syndrom (ALPS). 1 Pada Disseminated Intravaskuler Coagulati (DIC) gejala klinis yang bervariasi dapat timbul, naman pada dasarnya terjadi proses perdarahan dan trombosisnpada waktu yang bersamaan. Manifetasi perdarahan yang sering muncul adalah ptekie, ekimosis, hematom di kulit, hematuria, melena, epistaksis dan perdarahan gusi, serta kesadaran menurun akibat perdarahan otak. Sedangkan gejala trombisis yang terjadi dapat berupa gagal ginjal akut, gagal nafas dan iskemia serta kesadaran menurun akibat trombosis pada otak. 6 Pada sepsis, gangguan koagulasi terjadi akibat pembentukan trombin oleh tissue factor, gangguan mekanisme antikoagulan dan penghentian sistem fibrinolisis. Pengetahuan tersebut sangat berguna untuk mengembangkan terapi dan intervensi terhadap pasien dengan sepsis yang disertai gangguan koagulasi berat. Gangguan koagulasi pada sepsis dapat bervariasi dari aktivasi koagulasi yang hanya terdeteksi oleh marker sensitif hingga disseminated intravascular coagulation (DIC). 12 2.8.1 Diagnosis ITP Biasanya pasien ITP merupakan anak yang sehat yang tiba-tiba mengalami perdarahan baik pada kulit, petekie, purpura atau perdarahan pada mukosa hidung (epistaksis). 3 Lama terjadinya perdarahan ITP dapat membantu membedakan antara ITP akut dan kronis. Tidak didapatkannya gejala sistemik dapat membantu menyingkirkan kemungkinan suatu bentuk

sekunder dan diagnosis lainnya. Perlu juga dicari riwayat tentang penggunaan obat atau bahan yang lain yang dapat menyebabkan trombositopenia. Riwayat keluarga umumnya tidak didapatkan. 3 Pada pemeriksaan fisik biasanya hanya didapatkan bukti adanya perdarahan tipe trombosit (platelet type bleeding), yaitu petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, atau perdarahan mukokutaneus lainnya. Perlu dipikirkan kemungkinan suatu penyakit lain, jika ditemukan adanya pembesaran hati dan atau limpa, meskipun ujung limpa sedikit teraba pada lebih kurang 10% anak dengan ITP. 3 Selain, trombositopenia, pemeriksaan darah tepi lainnya pada anak dengan ITP umumnya normal sesuai dengan umurnya. Pada lebih kurang 15% pasien didapatkan anemia ringan karena perdarahan yang dialaminya. Pemeriksaan hapusan darah tepi diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan pseudotrombositopenia, sindroma trombosit raksasa yang diturunkan (inherited giant platelet syndrome) dan kelainan hematologi lainnya. Trombosit yang imatur (megatrombosit) ditemukan pada sebagian besar pasien. Pada pemeriksaan dengan flow cytometry terlihat trombosit pada ITP lebih aktif secara metabolic, yang menjelaskan mengapa dengan jumlah trombosit yang sama, perdarahan lebih jarang didapatkan pada ITP disbanding pada kegagalan sumsum tulang. Pemeriksaan laboratorium sebaiknya dibatasi terutama pada saat terjadinya perdarahan dan jika secara klinis ditemukan kelainan yang khas. 3 Perlu tidaknya pemeriksaan aspirasi sumsum tulang secara rutin dilakukan pada anak dengan dugaan ITP masih menimbulkan perbedaan pendapat di antara para ahli. Umumnya pemeriksaan ini dilakukan pada kasus yang meragukan. Namun, tidak pada kasus-kasus dengan manifestasi klinis yang khas. Beberapa ahli berpendapat bahwa leukemia tidak pernah nampak dengan trombositopenia saja, tapi tidak semua rumah sakit berpengalaman dalam pemeriksaan hapusan darah pada anak. Pemeriksaan sumsum tulang dianjurkan pada kasus-kasus yang tidak khas, misalnya pada : 1. Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik yang tidak umum, misalnya panas, penurunan berat badan, kelemahan, nyeri tulang, pembesaran hati dan atau limpa. 2. Kelainan eritrosit dan leukosit pada pemeriksaan darah tepi. 3. Kasus yang akan diterapi dengan steroid, baik sebagai pengobatan awal atau yang gagal diterapi dengan immunoglobulin intravena. Pada audit yang dilakukan di negara maju,disepakati bahwa pemeriksaan aspirasi sumsum tulang sebaiknya dilakukan sebelum pengobatan steroid diberikan. Terdapat pula kesepakatan yang didukung oleh hasil beberapa penelitian retrospektif, bahwa pemeriksaan sumsum tulang tidak diperlukan pada pasien yang hanya diobservasi atau dengan terapi immunoglobulin intravena. 3 Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan pada pasien ITP adalah mengukur antibody yang berhubungan dengan trombosit (platelet-associated antibody) dengan menggunakan direct assay. Namun pemeriksaan ini juga belum dapat membedakn ITP primer dengan sekunder. Atau anak yang akan sembuh dengan sendirinya dengan yang akan mengalami perjalanan menjadi kronis. 3

Diagnosis ITP ditegakkan dengan menyingkirkan kemungkinan penyebab trombositopenia yang lain. Bentuk sekunder kelainan ini didapatkan bersamaan dengan Eritematosus Lupus Sistemik (ELS), sindroma antifosfolipid, leukemia atau limfoma, defisiensi IgA, hipogamaglobulinemia, infeksi HIV atau hepatitis C dan pengobatan dengan heparin atau quinidin. 3 Pada anak yang berumur kurang dari 3 bulan, kemungkinan suatu trombositopenia congenital perlu disingkirkan. Pada sindrom Bernard-Soulier perdarahan sering lebih hebat fari jumlah trombosit yang diduga (contohnya, perdarahan yang nyata pada jumlah trombosit 30.000/mm 3). Pada sindrom Wiskott-Aldrich didapatkan trombosit yang lebih kecil dari normal, sedangkan pada ITP biasanya lebih besar dari bentuk trombosit normal. Kelainan congenital lain yang dapat menyebabkan perdarahan pada bayi dan terdiagnosa sebagai ITP adalah penyakit von Willebrand’s tipe IIb, yang disebabkan faktor von Willebrand abnormal agregasi trombosit dan trombositopenia. 3 Anak yang lebih tua dan mereka yang mengalami perjalanan menjadi kronis, perlu dipikirkan adanya kelainan autoimun yang lebih luas, serta perlu dicari adanya tanda-tanda dan atau gejala-gejala dari ELS atau sindrom antifosfolipid. 3 Pada anak yang menderita varisela yang disertai trombositopenia perlu dilakukan pemeriksaan yang lebih teliti, sebab meskipun jarang namun dapat mengancam jiwa berhubungan dengan kekurangan protein S yang didapat dan thrombosis mikrovaskuler. 3 2.8.2 Diagnosis Demam Berdarah dengue (DBD) Patokan diagnosis DBD (WHO, 1975) berdasarkan gejala klinis dan laboratorium. Klinis Demam tinggi mendadak dan terus-menerus selama 2-7 hari. 1. Manifestasi perdarahan, minimal uji tourniquet positif dan salah satu bentuk perdarahan lain (petekie, purpura, ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi), hematemesis dan atau melena 2. Pembesaran hati 3. Syok yang ditandai oleh nadi lemah dan cepat disertai tekanan nadi menurun (≤ 20 mmHg), tekanan darah menurun (tekanan sistolik ≤ 80 mmHg) sisertai kulit yang teraba dingin dan lembab terutama pada ujung hidung, jari dan kaki, pasien menjadi gelisah dan timbul sianosis di sekitar mulut Laboratorium Trombositopenia (≤ 100.000/ul) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dari peningkatan nilai hematokrit ≥ 20% dibandingkan dengan nilai hematokrit pada masa sebelum sakit atau masa konvalesen. Ditemukannya dua atau tiga patokan klinis pertama disertai trombositopenia dan hemokonsentrasi sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DBD. Dengan patokan ini 87% kasus tersangka DBD dapat didiagnosis dengan tepat, yang dibuktikan oleh pemeriksaan serologis dan dapat dihindari diagnosis berlebihan.

WHO (1975) membagi derajat penyakit DBD dalam 4 derajat 1. Derajat I

: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan

adalah uji tourniquet positif 2. Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain 3. Derajat III : Ditemukannya tanda kegagalan sirkulasi yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan nadi menurun (≤ 20mmHg) atau hipotensi disertai kulit dingin, lembab dan pasien menjadi gelisah 4. Derajat IV : Syok berat, nadi tidak teraba dan tekanan darah tidak dapat diukur 2.8.3

Diagnosis Sepsis

Kriteria Diagnostik untuk Sepsis:  Variabel Umum Demam (suhu inti> 38,3 ° C) Hipotermia (suhu inti 90 min-1 atau> 2 SD di atas nilai normal untuk usia  Tachypnea Perubahan status mental Edema signifikan atau balance cairan positif (> 20 ml / kg selama 24hrs) Hiperglikemia (glukosa plasma> 120 mg / dl atau 7,7 mmol / l) dengan tidak adanya diabetes  Variabel inflamasi Leukositosis (WBC count> 12.000 / mm3) Leukopenia (WBC count <4.000 / mm3) Hitung WBC normal dengan>10% bentuk immatur Plasma C-reactive protein> 2 SD di atas nilai normal Plasma procalcitonin> 2 SD di atas nilai normal  Variabel Hemodinamik Arteri hipotensi (SBP <90 mm Hg, MAP <70, atau penurunan SBP > 40 mm Hg pada orang





dewasa atau <2 SD di bawah normal untuk usia) SvO2> 70% Cardiac index> 3,5 l/min-1/M-23 Variabel Disfungsi Organ Arteri hipoksemia (PaO2/FIO2 <300) Akut oliguria (urin <0,5 ml/kg-1/hr-1 atau 45 mmol / l untuk minimal 2 jam) Kreatinin meningkat> 0,5 mg / dl Kelainan Koagulasi (INR> 1,5 atau aPTT> 60 detik) Ileus (bising usus tidak ada) Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000 / mm3) Hiperbilirubinemia (plasma bilirubin total> 4 mg / dl atau 70 mmol / l) Variabel Perfusi jaringan Hiperlaktatemia (> 1 mmol / l) Penurunan isi ulang kapiler atau bintik-bintik

Modified from Levy et al. 2001 International Sepsis Definitions Conference. SD - standard deviation; WBC, white blood cell; SBP, systolic blood pressure MAP, mean arterial blood pressure; SvO2, mixed venous oxygen saturation; INR, international normalized ratio; aPTT, activated partial thromboplastin time. 13

Jika ditemukan pasien dengan trombositopenia dan memenuhi kriteria sepsis diatas maka diagnosis trombositopenia karena sepsis dapat ditegakkan.

13

Menurut Bick untuk membuat diagnosis DIC diperlukan criteria klinik dan laboratorik. Kriteria klinik adalah adanya perdarahan atau thrombosis atau keduanya yang menyertai suatu penyakit dasar. Secara laboratorik ditemukan bukti adanya aktivasi koagulasi, aktivasi fibrinolisis, konsumsi inhibitor dan bukti kegagalan fungsi organ. Bukti adanya aktivasi sistem fibrinolisis adalah peningkatan D dimer, FDP dan plasmin-antiplasmin (PAP) complex. Bukti konsumsi inhibitor adalah penurunan antitrombin, protein C, protein S, antiplasmin dan peningkatan TAT dan PAP. Bukti adanaya kegagalan fungsi organ adalah LDH, kreatinin, penurunan pH dan tekanan parsial O 2. International Society on Thrombosis and Hemostasis telah membuat algoritma untuk membuat diagnosis DIC sebagai berikut. 1. Buat penilaian risiko. Apakah terdapat kelainan dasar yang sering dihubungkan dengan DIC. 2. Lakukan tes laboratorium : hitung trombosit, PT, fibrinogen dan D-dimer. 3. Lakukan scoring terhadap hasil tes laboratorium :  Hitung trombosit : > 100.000 = 0, < 100.000 = 1, < 50.000 = 2  D-dimer : tak meningkat = 0, meningkat sedang = 2, meningkat tinggi = 3  Pemanjangan PT : < 3 detik = 0, 3-6 detik = 1, > 6 detik = 2  Kadar fibrinogen : > 100 mg/dl = 0, < 100 mg/dl = 1 4. Hitung skor. 5. Jika ≥ 5 : sesuai dengan overt DIC, ulangi scoring tiap hari. Jika ≤ 5 : suggestive untuk non-overt DIC, ulangi 1-2 hari kemudian.

2.9 Pemeriksaan Penunjang 2.9.1 Temuan Laboratorium 2.9.1.1 Darah Kelainan trombosit dari segi ukuran dan morfologi pada umumnya sering ditemukan. Biasanya didapatkan platelet abnormal dari segi ukuran ( diameter 3-4 mikron). Trombosit kecil yang abnormal dan fragmen – fragmen trombosit ("mikropartikel") juga ditemukan dan temuan tersebut setara dengan microspherocytes dan schistocytes . meskipun fragmen megakariosit mungkin terlihat pada apusan darah rutin, studi kuantitatif mengungkapkan jumlah abnormal fragmen ini . 1 Perkiraan volume trombosit rata-rata (Mean Platelet Volume- MPV) dan tingkat heterogenitas ukuran trombosit (distribusi trombosit) dengan cara penghitungan partikel secara otomatis mungkin, jika ada, memberikan informasi yang berguna dalam mengevaluasi pasien dengan ITP . Adanya sejumlah megathrombocyte menghasilkan

nilai MVP yang tinggi dan menyebabkan distribusi

trombosit juga meningkat. Hal ini dapat mengakibatkan abnormal anisositosis trombosit. Teori yang

tepat yang mendasari megathrombocytosis sebenarnya masih belum pasti, tapi hal ini mungkin karena produktifitas yang meningkat sebagai respon terhadap penghancuran trombosit. 1 Kondisi anemia sebanding dengan tingkat kehilangan darah dan biasanya normositiik. Jika perdarahan yang terjadi berat dan lama,anemia zat besi bisa terjadi. Perdarahan hebat yang baru terjadi bisa menyebabkan retikulositosis dan makrositosis relative. Antibodi antiplatelet pada pasien dengan ITP biasanya tidak bereaksi silang dengan eritrosit meskipun hanya berupa fragmen eritrosit. Pada pasien juga bisa ditemukan uji Coomb positif dan anemia hemolitik autoimun. Kombinasi keduanya dikenal sebagai sindrom Evans. 1 jumlah total leukosit dan hitung jenis biasanya normal, kecuali untuk perubahan-perubahan akibat perdarahan akut seperti neutrofilia ringan sampai sedang dengan peningkatan bentuk imatur. Eusinophilia juga bisa ditemukan terutama pada anak-anak, tetapi temuan ini tidak terlalu berarti. 1 uji hemostasis dan pembekuan darah menunjukkan perubahan pada keadaan trombositopenia, contohnya pemanjangan bleeding time. hasil uji pembekuan darah, termasuk protrombin time, parsial tromboplastin time, biasanya normal pada pasien dengan trombositopenia ringan. Sedikit peningkatan dari FDP (fibrinogen degradation product) dapat ditemukan dalam plasma beberapa pasien dengan ITP . konsentrasi thrombopoietin tidak meningkat secara signifikan pada pasien ITP, berbeda dengan pasien dengan trombositopenia akibat penurunan produksi. 1 2.9.1.2 sumsum tulang perubahan dalam sumsum tulang biasanya terbatas pada megakariosit meskipun hiperplasia normoblastic dapat berkembang sebagai akibat dari kehilangan darah. leukosit biasanya normal namun kadang- kadang dapat ditemukan eosinophilia. Megakariocyte, ukrannya biasanya meningkat, tapi jumlahnya bisa normal atau meningkat. Abnormalitas morfologi sel ini muncul pada sebagian pasien ITP. pemeriksaan sumsum tulang kadang- kadang membantu terutama dalam membedakan ITP dengan kondisi lainnya yang meragukan. Perubahan – perubahan diatas bisa ditemukan pada hampir semua kasus trombositopenia yang disebabkan oleh penghancuran platelet besar-besaran sehingga perubahan tersebut

tidak khas dalam menegakkan diagnosis ITP. Perbedaan antara

megakariocyte yang ditemukan pada ITP akut dan kronis tidak jelas dan pemeriksaan sumsum tulang tidak sangat membantu dalam menentukan prognosis. 1 2.9.1.3 antiplatelet antibodi trombositopenia autoimun adalah diagnosis eksklusi dan bergantung pada gambaran klinis. Beberapa jenis tes antibodi antiplatelet telah dikembangkan dan dilaporkan selama bertahun-tahun. Pemeriksaan ini mengukur berbagai jenis Ig termasuk antibodi antiplatelet serum, Ig permukaan terkait-platelet atau Ig trombosit total dan sekarang tidak bisa dijadikan patokan. Pada penelitian terbaru pada uji antibodi antiplatelet, antibodi monoklonal untuk glicoprotein membran spesifik platelet yang terlibat dalam ITP digunakan dalam uji penangkapa antigen (juga disebut glycoprotein immobilization assays). studi terbaru telah melaporkan bahwa spesifisitasnya 78 sampai 93%. Namun sensitivitas nya (49 sampai 66%) sehingga tidak cukup

untuk menyingkirkan ITP jika tes ini

negative. Pada masa yang akan dating mungkin akan digunakan pemeriksaan flow cytometry dalam diagnosis dan tindak lanjut dari trombositopenia autoimun. 1 2.9 TATALAKSANA 2.9.1

Immune Thrombocytopenia Purpura (ITP) Terdapat perbedaan signifikan pada manajemen ITP pada anak yang dipublikasi pada

guideline dari Negara-negara maju. Berdasarkan American Society of Hematology, tatalaksana terbaik adalah observasi, kecuali jika jumlah platelet

20.000/mm3 dengan perdarahan mukosa signidikan

10.000/mm3 dengan purpura minor. Tatalaksana yang digunakan pada ITP akut diantaranya

atau

adalah Intravenous Immunoglobulin (IVIg), kortikosteroid, dan anti-D immunoglobulin (anti-D Ig). Peranan obat-obatan tersebut masih kontroversi. Obat-obatan diatas hanya meningkatkan jumlah platelet namun tidak mempengaruhi perjalanan klinis penyakit 14 Manajemen awal ITP 1. Menentukan status penyakit pasien  Tentukan jenis perdarahan yang dialami pasien  Tentukan waktu perdarahan, lokasi, dan tingkat keparahan dari perdarahan  Tentukan apakah pasien memiliki faktor-faktor resiko perdarahan seperti penggunaan   

antithrombotic agents atau pekerjaan dengan risiko tinggi Apakah pasien akan menjalani prosedur bedah? Apakah pasien ini akan lebih merespon terapi yang direkomendasikan? Apakah perdarahan yang dialami pasien mengganggu aktivitas sehari-hari atau menimbulkan ansietas.

2.

Pertimbangan umum dalam terapi awal  Mayoritas pasien tanpa perdarahan atau perdarahan ringan (ditentukan sebagai perdarahan dengan manifestasi pada kulit saja, seperti ptekie dan memar) dapat diobservasi saja  

berapapun jumlah trombositnya Terapi lini pertama berupa observasi, kortikosteroid, IVIg, atau anti-D immunoglobulin Anti-D harus digunakan secara hati-hati berdasarkan peringatan dari FDA baru-baru ini akan hemolisis. Maka dari itu tidak dianjurkan diberikan pada pasien dengan perdarahan yang

3.

menyebabkan penurunan hemoglobin, atau pasien dengan hemolysis autoimun. Pertimbangan khusus terapi pada anak  Single-dose IVIg (0.8-1.0 g/kg) atau kortikosteroid short course digunakan sebagai terapi lini 





pertama IVIg sebaiknya digunakan dibandingkan dengan kortikosteroid jika dibutuhkan peningkatan jumlah platelet Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan kortikosteroid jangka panjang dibandingkan dengan jangka pendek. Anti-D dapat dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama pada anak dengan Rh+ yang belum displenectomy dengan mempertimbangkan risiko-risiko di atas. 15

Terapi Khusus 1. Splenectomy: Direkomendasi pada anak-anak dengan perdarahan signifikan dan persisten dan respons yang kurang terhadap terapi kortikosteroid, IVIf, dan anti-D dan/atau membutuhkan peningkatan kualitas hidup. Rituximab: Dapat dipertimbangkan pada anak-anak dengan ITP yang memiliki perdarahan

2.

signifikan dan/atau membutuhkan peningkatan kualitas hidup. Juga dipertimbangkan sebagai alternatif splenectomy pada anak-anak dengan ITP kronik atau yang gagal splenectomy. Agonis Reseptor Trombopoietin: Masih dipelajari pada berbagai studi namun belum ada

3.

petunjuk penggunaan pada anak yang telah dipublikasi Deksametason dosis tinggi: Dapat dipertimbangkan pada anak-anak atau remaja dengan ITP

4.

dengan perdarahan massif dan/atau membutuhkan peningkatan kualitas hidup. Dapat dipertimbangkan sebagai alternative splenectomy pada anak dengan ITP kronik atau pada 5.

pasien yang gagal splenectomy Immunosupresi: Beberapa agen telah dilaporkan, namun data tentang agen yang spesifik masih kurang untuk rekomendasi. 15

4. Pertimbangan Khusus pada ITP Sekunder 1. ITP Sekunder (HIV-associated) Tatalaksana penyakit dasar HIV dengan antiviral therapy sebelum tatalaksana lainnya pada -

-

pasien dengan perdarahan signifikan IVIg, kortikosteroid, atau anti-D dapat digunakan pada pasien yang membutuhkan terapi lanjutan Splenectomi dapat dipertimbangkan pada pasien yang gagal diterapi dengan obat-obatan

awal 2. ITP Sekunder (HCV-associated) Terapi antiviral dapat dipertimbangkan jika tidak ada kontraindikasi, namun jumlah platelet harus dimonitor secara ketat pada situasi yang beresiko terjadi trombositopenia akibat interferon Jika dibutuhkan terapi, tatalaksana awal harus dengan IVIg 3. ITP Sekunder (H.pylori-associated) Test rutin terhadap Helicobacter Pylori tidak dianjurkan pada anak dengan ITP yang tidak -

teratasi namun asimptomatik Terapi dilanjutkan dengan eradikasi H.Pylori jika ditemukan infeksi 4. MMR-Related ITP Anak-anak dengan riwayat ITP namun belum diimunisasi dapat menerima vaksinasi MMR -

-

pertama Pada anak dengan ITP yang berhubungan/tidak dengan vaksinasi yang telah menerima dosis pertama vaksinasi MMR, titer vaksin dapat diterima. Jika anak menunjukkan imunitas lengkap, tidak perlu diberikan vaksin MMR lanjutan. Jika anak tidak memiliki imunitas yang adekuat, anak dapat diimunisasi ulang pada usia yang dianjurkan. 15

Agent Rituximab Anti-D Immunoglobulin

Agent-agent Terapi dan Dosis Terapi ITP Dosis 375 mg/m2/minggu dibagi 4 dosis 50-75 µg/kg, diulang dalam interval 3 minggu sesuai jumlah

Siklofosfamid Colchicine Deksametason Danazol IVIG

trombosit 150 mg/hari hingga 8 minggu 200 mg/hari hingga 4 minggu 40 mg/kg/hari selama 4 hari, diulang dalam interval 4 hari 400 mg 2 kali sehari selama 1 bulan/lebih 1 g/kg dalam dosis terbagi, diulang dalam interval 2-4 minggu

Prednison Vincristine Vinblastin

pada dosis 400 mg/kg 1 mg/kg/hari selama 14 hari 2 mg pada interval 5-7 hari dalam 2 dosis atau lebih 7,5 mg pada interval 5-7 hari dalam 3 dosis atau lebih

Tabel.1: Pilihan terapi farmakologik ITP. 16 Beberapa perubahan tatalaksana farmakologik awal pada ITP 1. Kortikosteroid Terdapat sedikit perubahan dibandingkan guideline ASH 1996. Telah dilakukan suatu randomized trial sejak guideline sebelumnya dikeluarkan yang membandingkan observasi saja dengan pemberian prednisone 2 mg/kg/hari selama 2 minggu yang kemudian di tapering-off selama 21 hari pada pasien dengan jumlah platelet antara 10 - 29 x 10 9/L tanpa tanda perdarahan mukosa. Dengan target jumlah platelet 30 x 10 9/L. Tidak terdapat perbedaan statistik signifikan antara pemberian prednisone dengan observasi dalam mencapai target (secara berurutan 2 hari vs 4 hari). Selain itu tidak terdapat perdarahan baru yang membutuhkan perawatan tambahan pada kedua grup. Tidak ada bukti yang memadai untuk menentukan apakah penggunaan kortikosteroid pada populasi dengan risiko perdarahan tinggi berguna atau tidak. Walaupun demikian, anak dengan jumlah platelet kurang dari 10 x 109/L atau dengan perdarahan mukosa masih dipertimbangkan untuk diberikan terapi kortikosteroid rutin oleh dokter. Jika kortikosteroid dipilih sebagai tatalaksana awal, tidak terdapat bukti ataupun support terhadap dosis atau pemilihan yang mana lebih baik dibandingkan yang lain. Pemberian kortikosteroid jangka panjang pada anak dengan ITP akut harus dihindari karena efek sampingnya. 17 2. IVIg Terdapat sedikit perubahan dibandingkan guideline ASH 1996. Sebuah meta-analisis yang membandingkan tatalaksana dengan IVIg (pada dosis 0.8 sampai 1.0 g/kg) dan kortikosteroid dilaporkan mengumpulkan data dari 6 trial. Hasil akhir yang diharapkan adalah jumlah platelet > 20 x 109 dalam 48 jam. Hasilnya menunjukkan bahwa anak yang menerima kortikosteroid 26% lebih kurang mendapatkan hasil. 17 3.

Anti-D Immunoglobulin Terdapat perubahan signifikan dibandingkan guideline ASH 1996, dengan data-data terbaru

termasuk kemungkinan risiko hemolysis. Sejak 1996 telah dilakukan 3 randomized trial yang

membandingkan terapi antara anti-D dalam berbagai dosis dengan IVIg. Dengan hasil yang menunjukkan bahwa terapi anti-D lebih baik pada dosis 75 µg/kg dibandingkan dengan 50 µg/kg, namun hasil perbandingan antara anti-D dengan IVIg pada 3 studi tersebut kontradiktif, dengan salah satu hasil mengatakan pemberian IVIg lebih baik dan studi lain mengatakan Anti-D dosis yang lebih tinggi lebih baik. Data dari Tarantino et al menunjukkan bahwa Anti-D pada dosis 50 µg/kg sama efektifnya dengan pemberian IVIg, dan Anti-D pada dosis 75 µg/kg lebih efektif namun dengan efek samping yang lebih besar. Anti-D hanya disarankan pada pasien dengan Rhesus positif, yang test antiglobulin direct-nya negative, dan tidak menjalani splenectomy. Dan risiko intravascular hemolysis harus diperhatikan dan dipertimbangkan dibandingkan dengan manfaatnya. 2.9.2

17

Demam Berdarah Dangue (DBD)

Transfusi Trombosit -

-

Tergantung kepada: o

Keadaan pasien

o

Status plasma phase coagulation

o

Jumlah trombosit

o

Penyebab trombositopenia

o

Kapasitas fungsional dari trombosit

Jika jumlah trombosit < 10.000-20.000/mm3 → risiko perdarahan spontan meningkat : dipertimbangkan untuk dilakukan transfusi trombosit.

-

Jika terdapat disfungsi trombosit atau pemberian terapi yang dapat menghambat sistem prokoagulan, transfusi trombosit pada kasus dengan jumlah trombosit yang lebih tinggi mungkin saja dibutuhkan.

-

Trombosit yang ditransfusikan akan berada sementara di paru-paru dan limpa sebelum mencapai puncaknya (45-60menit).

-

Sejumlah trombosit tersebut tidak pernah beredar dalam sirkulasi, namun akan tetap berada di dalam limpa → mengurangi pemulihan.

-

Dalam rangka penghentian perdarahan : o

Pemulihan trombosit 

Dinilai dengan cara menghitung jumlah maksimal trombosit yang beredar disirkulasi sebagai respon atas transfusi (satu jam setelah transfusi )



Tidak adanya faktor imun atau non imun yang drastic yang menyebabkan penurunan pemulihan trombosit, diharapkan terjadi kenaikan trombosit sebesar 7000/μL pada tiap unit donor



Pada anak-anak yang lebih besar atau dewasa → 40,000-70,000/ μL peningkatan pada setiap unit donor aferesis



bayi dan anak yang lebih kecil → 10ml/kg akan meningkatkan hitungan trombosit paling sedikit 50,000/ μL

o

Survival of transfused platelets: 

Tranfusi trombosit memiliki waktu paruh hidup 3-5 hari.



Kerusakan imun atau nonimun → waktu paruh hidup akan memendek beberapa hari bahkan beberapa jam→ jumlah tranfusi trombosit mempengaruhi hemostasis.

-

Masalah pada trombosit akan membuat waktu tranfusi trombosit menjadilebih lama → pemulihan yang buruk atau tidak ada respon terhadap tranfusi trombosit ( 1 hour) o

Kebanyakan (70-90%) mengahsilkan perkembangan dari aloloantibodi langsung directed against HLA ag pada trombosit Pencegahan : deplesi komponen leukosit (<5.000 leukosit per unit tiap kantuong sel darah merah per apheesis atau 6-10 unit konsentrasi)

o

Pada alloimmuni trombosit : mencegah HLA A- & HLA B- bertemu dengan trombosit yang di tranfusi. 18

2.9.3 Sepsis dan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) Gangguan koagulasi pada sepsis akan dapat diatasi jika penyebab sepsis diatasi. Pada gangguan koagulasi yang berat sampai tahap DIC pengobatan yang diberikan dapat berupa, 

Terapi pengganti Tujuan dari pemberian terapi pengganti adalah untuk menggantikan defisiensi akibat penggunaan konsentrat trombosit faktor koagulasi dan inhibitor, untuk mencegah perdarahan. Pemberian konsentrat trombosit dan faktor koagulasi tidak hanya didasari dengan hasil laboratorium namun kecenderungan pasien mengalami perdarahan. 18



Antikoagulan Penghentian koagulasi pada pasien DIC memberi manfaat secara teori. Keamanan heparin pada pasien DIC yang cenderung mengalami perdarahan menjadi perdebatan, walaupun pemberian heparin tidak terbukti meningkatkan insidens komplikasi perdarahan. Pemberian heparin mungkin dapat berguna pada pasien DIC akut dan

tromboembolisme

predominan seperti dengan purpura fulminans. Penelitian agen antikoagulan baru dengan aktivitas penghambat trombin secara langsung yaitu rekombinan hirudin pada kelinci dalam mengobati DIC menunjukkan pengurangan konsumsi trombosit, fibrinogen, antitrombin dan protein C serta menurunkan mortalitas. Penggunaan rekombinan tersebut pada manusia masih memerlukan penelitian lanjutan. 20



Pengembalian jalur antikoagulan Antitrombin merupakan penghambat utama trombin, penggunaan pada DIC cukup rasional. Penurunan jumlah antitrombin berhubungan dengan prognosis yanng buruk pada pasien sepsis. Sistem protein C ikut terganggu pada DIC, dan APC tampak memiliki peran dalam patogenesis sepsis yang berhubungan dengan disfungsi organ. Penghambat mekanisme pembentukan trombin lainnya adalah TFPI. 20



Agen lain Rekombinan FVIIa mungkin dapat digunakan pada pasien dengan perdarahan berat yang tidak respon terhadap terapi lain. Namun penelitian retrospektif terhadap penggunaan rekombinan pada pasien anak sepsis dan DIC menunjukkan tidak ada manfaat yang bermakna. Agen fibrinolitik seperti asam traneksamat tidak boleh diberikan kecuali sebelumnya telah diberi infus heparin. 20 Indikasi heparin pada DIC: i. ii. iii. iv.

Bila penyakit dasar tidak diketahui Mekanisme pencetus dari penyakit dasarnya tidak dapat segera dihilangkan Situasi klinik atau hasil pemeriksaan laboratorium memburuk Pengobatan penyakit dasar DIC belum ada yang adekuat (seperti pada keganasan), tetapi pengobatan langsung terhadap DIC dapat merubah kondisi klinik menjadi lebih baik. 21 Regimen heparin yang dianjurkan Rickard (1979): a. Infus kontinu IV: Dosis awal: 5000 unit Infus: 30.000 unit/24 jam Pengobatan berhasil dicapai pada 60% penderita Dibutuhkan penyesuaian pada 40% penderita Pemantauan APTT pada jam ke 6 dan jam ke 24 b. Injeksi IV intermitten: Dosis: 5000-10.000 unit tiap 4-5 jam. 21

Daftar Pustaka 1. Consolini. Deborah M. Thrombocytopenia in Infants and Children. Pediatric in Review. American Academy of Pediatrics; 2011. H. 135-151 2. Buchanan. George R. Thrombocytopenia During Childhood: What the Pediatrician Need to Know. Pediatric in Review. American Academy of Pediatrics; 2005. H. 401-409 3. Permono. H. Bambang dkk. Buku Ajar Hematologi-Onkologi Anak. Cetakan Kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2006 4. Setiaty. Tatty E, Wagenaar. Jiri. F. P, et al. Changing Epidemiology of Dengue Hemorrhagic Fever in Indonesia. Dengue Bulletin. Vol. 30; 2006 5. Sumarmo S. Poorwo, Soedarmo dkk. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi Kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008 6. Chaerulfatah. Alex, Setiabudi. Djatnika et al. Thrombocytopenia and Platelet Transfusions in Dengue Haemorrhagic Fever and Dengue Shock Syndrome. Dengue Bulletin. Vol. 27; 2003

7. Napitupulu. Herald A. Laporan Kasus: Sepsis. Anastesia and Critical Care. Vol 28 No. 3; 2010. H. 50-58 8. Yaguchi A, Lobo FLM, Vincent J-L, Pradier O. Platelet function in sepsis. J Thromb Haemost 2004; 2: 2096–2102 9. Knoebl P. Blood Coagulation Disorders in Septic Patients. Wien Med Wochenschr 2010; 160:129-38 10. Saba HI, Morelli GA. The Pathogenesis and Management of Disseminated Intravascular Coagulation. Clin Adv Hematol Oncol 2006; 4:919-26 11. Levi M, De Jonge E, Poll T. Rationale for restoration of physiological anticoagulant pathways in patients with sepsis an disseminated intravascular coagulation. Crit Care Med 2001; 29 Suppl 7:90-4 12. Watson RS, Carcillo JA, Linde-Zwirble WT, Clermont G, Lidicker J, Angus DC. The Epidemiology of Severe Sepsis in Children in the United States. Am J Respir Crit Care Med. 2003;1;167(5):695-701. 13. Antonacci Carvalho, Paulo R, Trotta, Eliana de A. Advances in Sepsis Diagnosis and Treatment. Journal de Pediatria. Sociedade Brasileira de Pediatria; 2003 14. Rehman. A. Immune Thrombocytopenia in Children with Reference to Low-Income Countries. Eastern Meditterranean Health Journal, Vol. 15, No. 3; 2009. H. 729-737 15. 2011 Clinical Practice Guideline on the Evaluation and Management of Immune Thrombocytopenia. American Society of Hematology; 2011. H.1-8 16. Greer. John P et al. Wintrobe’s Clinical Hematology, Vol. 2, Twelfth Edition. Lippincott Williams & Wilkins; 2009 17. Neunert. Cindy, Lim. Wendy et al. The American Society of Hematology 2011 Evidence Based-Practice Guideline for Immune Thrombocytopenia. Bloodjournal.hematology.org; 2011. H. 4190-4207 18. Hay, Jr. William W, Hayward. Anthony R et al. Lange Current Pediatric Diagnosis and Treatment. Sixteenth edition; 2002. H. 888 19. Levi M. Disseminated intravascular coagulation in cancer patients. Best Pract Res Clin Haematol 2009; 22:129-36. 20. Robert. Satran, Yaniv. Almog. The Coagulopathy of Sepsis: Pathophysiology and Management Medical Intensive Care Unit, Soroka University Hospital and Faculty of Health Sciences, Ben-Gurion University of the Negev,Beer Sheva, Israel 21. Setiabudy. Rahajuningsih D. Hemostasis dan Trombosis. Edisi Keempat. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009.

Related Documents


More Documents from "Onny Wulandari"