Permasalahan Omnibus Law

  • Uploaded by: AndiAlfajri
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Permasalahan Omnibus Law as PDF for free.

More details

  • Words: 1,296
  • Pages: 4
Loading documents preview...
Permasalahan Omnibus Law Penetapan regulasi Omnibus Law menciptakan kekhawatiran masyarakat. Baru genap setahun Indonesia dipermasalahkan dengan revisi UU KPK dan KUHP yang merugikan negara, sudah terbit lagi permasalahan baru. Pasalnya RUU Omnibus Law merugikan buruh dan lingkungan hidup. Rancangan Undang-Undang Omnibus Law menjadi masalah, oleh karena adanya hierarki hukum yang tidak melalui prosedur dan timbulnya multi-tafsir baik karena pemilihan nama produk hukum dan isi tertulis dari Rancangan Undang-Undang tersebut. Dalam merancang hukum memerlukan proses yang evolutif dengan adanya ketelitian serta memikirkan konsekuensi hukum tersebut saat ini dan di masa depan. Niat awal dari RUU Omnibus Law adalah untuk menciptakan dunia kerja lebih meningkat. Namun, bila RUU tersebut diputuskan dengan ketergesaan dan berakibat kekeliruan karena kewenangan penuh kebijakan di sektor industri diserahkan pada para pengusaha. Hal ini bisa menjadi suatu pertaruhan bagi para pekerja, terutama di sektor informal. Data Badan Pusat Statistik pada tahun 2020 menunjukkan ada 74,04 juta orang (56,50 persen) di sektor informal (BPS, 2020). Artinya, kewenangan yang tadinya ada di pihak pemerintah beralih ke para pengusaha, akibatnya jaminan kerja pada para pekerja menjadi amat beresiko. Pada UU No. 13 tentang Ketenagakerjaan, pola hubungan kerja diatur dalam bentuk kerjasama antara pemerintah, pemilik perusahaan, serikat buruh dan pekerja. Bila ada kasuskasus, misalnya pemutusan hubungan kerja, pemilik perusahan tidak bisa serta merta mengelurkan putusan untuk menindak pekerja dengan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). PHK mesti dijalankan dalam prosedur kebijakan dengan melibatkan empat elemen di atas dengan prosedur hukum yang diputuskan melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Tetapi, dalam RUU Ombibus Law, pemutusan hubungan kerja diserahkan dalam pola hubungan hanya antara pengusaha dan pekerja (buruh). Tidak hanya itu, pada pasal 77 A (RUU Omnibus Law) tertulis sebagai berikut, (1) Pengusaha dapat memberlakukan waktu kerja yang melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) untuk jenis pekerjaan atau sektor usaha tertentu (2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan skema periode kerja (Rancangan Undang- Undang Cipta Kerja Tahun 2020, 2020). Dari pasal-pasal di atas, bisa disimpulkan bahwa RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja berubah menjadi pasal-pasal kesembarangan bagi para pekerja. Hal ini dikarenakan pengusaha bisa jadi melihat para pekerja seperti mesin-mesin tanpa memperhatikan kelayakan hidup pekerja dan perikemanusiaan. Skema kerja ditentukan dalam keinginan pengusaha yang bisa menambah jam kerja untuk meningkatkan produksi dan distribusi yang berdampak pada pola kerja buruh. Hal ini diperparah dalam Pasal 92 dan 92A, skema pengupahan ditentukan oleh para pengusaha dan tentu ini adalah bentuk penyerahan nasib dan hidup para pekerja dari pemerintah kepada

pemilik modal. Dengan demikian, kita bisa melihat konsekuensi, pemerintah sebagai regulator menjadi semacam “lepas tangan” dengan menyerahkan hidup para pekerja kepada keputusan pengusaha terutama dalam mengurus skema kerja para buruh. Bukannya mengatasi buruknya kualitas investasi, RUU Omnibus Law justru berpotensi besar merampas kesejahteraan buruh, kaum yang seharusnya diuntungkan oleh terciptanya lapangan pekerjaan hasil dari datangnya investasi. Pada Pasal 81 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 66 UU Ketenagakerjaan. Pasal 66 ayat 2 yang baru mengatur bahwa perlindungan, upah, syarat kerja, hingga perselisihan pekerja outsourcing menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya, bukan pengusaha yang memanfaatkan jasanya. Kondisi ini dikhawatirkan akan mempermudah pengusaha untuk lepas tangan terhadap kesejahteraan pekerja alih daya. Pasal 88C RUU Omnibus Law menambahkan pasal 88C yang menghapuskan upah minimum Kota/Kabupaten (UMK) sebagai dasar upah minimum pekerja. Hal ini dapat menyebabkan pengenaan upah minimum yang dipukul rata di semua kota dan kabupaten, terlepas dari perbedaan biaya hidup setiap daerah. Pasal 88D Dalam RUU Cipta Kerja, tingkat inflasi tidak lagi menjadi pertimbangan dalam menetapkan upah minimum. “Penghapusan inflasi dan biaya hidup sebagai kriteria penetapan upah minimum akan melemahkan standar upah minimum di provinsi dengan pertumbuhan ekonomi mendekati nol atau negatif, seperti Papua,” kata Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia. “Ketentuan ini otomatis akan menurunkan tingkat upah minimum. Konsekuensinya, banyak pekerja yang tidak lagi cukup untuk menutupi biaya hidup harian mereka. Hak mereka atas standar hidup yang layak akan terdampak. Situasi ini bertentangan dengan standar HAM internasional.” Pasal 91 Pasal 91 dari UU Ketenagakerjaan dihapus. Pasal ini memuat tentang kewajiban pengusaha untuk membayar upah pekerja dengan gaji yang sesuai dengan standar upah minimum dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 93 Ayat 2 RUU Omnibus Law juga mengubah ketentuan cuti yang tertuang dalam pasal 93 ayat 2 UU Ketenagakerjaan. RUU ini menghapus cuti khusus atau izin tak masuk saat haid hari pertama bagi perempuan (a). RUU ini juga menghapus izin atau cuti khusus untuk keperluan menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan/keguguran kandungan, hingga bila ada anggota keluarga dalam satu rumah yang meninggal dunia (huruf b). Ketentuan cuti khusus atau izin lain yang dihapus adalah menjalankan kewajiban terhadap negara (huruf c); menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya (huruf d); melaksanakan tugas berserikat sesuai persetujuan pengusaha (huruf g); dan melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan (huruf h). Terdapat juga pasal bermasalah tentang pers di RUU Omnibus Law yaitu pasal 11 dan pasal 18. Menurut Ketua AJI Bengkulu, Harry Siswoyo mengatakan bahwa RUU Cipta Kerja berpotensi mengancam nilai-nilai kebebasan pers bagi jurnalis, karena akan terjadi perubahan isi dari Pasal 11 UU Pers. "Sebelumnya berbunyi penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal berubah menjadi pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di

bidang penanaman modal," kata dia. Pengubahan pasal ini, menurut Harry, berpotensi membuat pemerintah kembali mengatur pers seperti sebelum UU Pers pada tahun 1999 dirancang oleh insan pers dan kemudian menjadi pedoman seluruh pekerja pers hingga saat ini. Lalu, ditemukan juga permasalahan dalam lingkungan hidup. Omnibus Law mengesampingkan isu lingkungan. Hal ini terdapat dalam pasal 26 ayat 2 UU No. 32/2009 yang berbunyi, “Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.” Padahal, sebelumnya, UU No. 32/2009 menetapkan bahwa pembuatan dokumen Amdal harus melibatkan masyarakat terdampak, pemerhati lingkungan hidup, dan pihak yang terpengaruh oleh keputusan dalam proses Amdal. Sehingga, perubahan ketentuan itu berpotensi melemahkan partisipasi publik yang lebih luas. Terakhir, terdapat pula pasal yang bermasalah dalam lingkup pendidikan. Pasal 51 ayat (1) yang berbunyi “Pengelolaan satuan pendidikan formal dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat”. Pasal 62 ayat (1) “Syarat untuk memperoleh Perizinan Berusaha meliputi isi pendidikan, jumlah dan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta manajemen dan proses pendidikan.” Pasal 71 Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000. Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia Hidayat Nur Wahid (HNW) mengatakan Ketentuan tersebut pada intinya menyebutkan bahwa penyelenggara satuan pendidikan formal dan nonformal, termasuk pendidikan keagamaan seperti Pesantren, yang didirikan oleh masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan. Pesantren juga wajib memenuhi perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Apabila, satuan pendidikan tersebut didirikan tanpa Perizinan Berusaha, maka penyelenggara dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar. Ia menilai ketentuan umum ini sangat berbahaya dan perlu menjadi perhatian bersama. Apalagi, khusus untuk Pesantren sudah ada UU tersendiri, yakni UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren yang sama sekali tidak mencantumkan sanksi pidana, melainkan pembinaan dan sanksi administratif. “Jadi RUU Ciptaker ini tak sesuai dengan ketentuan dalam UU Pesantren,” ujarnya. Kritik dan saran yang dilontarkan masyarakat tidak digubris oleh pemerintah dan DPR. Meskipun sejumlah demonstrasi di beberapa area di Indonesia telah dilakukan, Omnibus Law tetap disahkan dalam Sidang Paripurna DPR Senin, 5 Oktober 2020. DPR, yang seharusnya mewakilkan suara rakyat, malah memutarbalikkan tujuannya, yaitu membuat rakyat sengsara. Sekeras apapun protes dan usaha buruh menolak omnibus law, jika pemerintah dan DPR sudah satu suara, omnibus law, dengan segala polemiknya, tetap akan berlaku. Sama seperti UU KPK.

Sumber: https://tirto.id/buruh-diabaikan-pertanda-omnibus-law-adalah-agenda-elite-belaka-f5zE https://tirto.id/omnibus-law-cipta-kerja-merugikan-buruh-memanjakan-oligarki-f6aF https://tirto.id/daftar-pasal-bermasalah-dan-kontroversi-omnibus-law-ruu-cipta-kerja-f5AU Gultom, Andri Fransiskus, Marsianus Reresi. Mei 2020. KRITIK WARGA PADA RUU OMNIBUS LAW DALAM PARADIGMA CRITICAL LEGAL STUDIES. Universitas Kanjuruhan Malang, Sekolah Tinggi Pendidikan Agama Katolik St. Yohanes Penginjil Ambon

Related Documents


More Documents from "Caca Chika"

Permasalahan Omnibus Law
February 2021 1