Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer Di Indonesia-2012.pdf

  • Uploaded by: semprool adem
  • 0
  • 0
  • March 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer Di Indonesia-2012.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 92,093
  • Pages: 451
Loading documents preview...
Editor : Muchit A. Karim

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta 2012

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia Editor : Muchit A. Karim

Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta 2012

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) problematika hukum kewarisan islam kontemporer di indonesia/ Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Ed. I. Cet. 1. ---Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2012 xxiv + 430 hlm; 14,8 x 21 cm ISBN 978-602-8739-07-8 Hak Cipta pada Penerbit .................................................................................................................................................................... Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa seizin sah dari penerbit .................................................................................................................................................................... Cetakan Pertama, Oktober 2012 .................................................................................................................................................................... PROBLEMATIKA HUKUM KEWARISAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA .................................................................................................................................................................... Editor : Muchit A. Karim Tata Letak : Sugeng Design Cover Firdaus .................................................................................................................................................................... Foto Ilustrasi Cover : Tangan orangtua dan anak dengan latar ornamen Timur Tengah Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta Telp/Fax. (021) 3920425, 3920421 Email: [email protected]

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Puji dan syukur kita sampaikan kehadirat Allah SWT., Tuhan Yang Maha Esa, atas terwujudnya “Penerbitan Naskah Buku Kehidupan Keagamaan”. Penerbitan buku Tahun 2012 ini, sebagian besar merupakan hasil kegiatan penelitian dan pengembangan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2011. Kami menghaturkan ucapan terima kasih kepada para pakar dalam menulis prolog, juga kepada para peneliti sebagai editor buku ini yang secara tekun telah menyelaraskan laporan hasil penelitian menjadi buku, yang akhirnya dapat hadir di hadapan pembaca yang budiman. Pada tahun 2012 ini ditetapkan 9 (sembilan) naskah buku yang diterbitkan, buku-buku tersebut adalah sebagai berikut: 1.

Respon Masyarakat terhadap Aliran dan Paham Keagamaan Kontemporer di Indonesia.

2.

Dinamika Perkembangan Sistem Kepercayaan Lokal di Indonesia.

iii

Kata Pengantar

3.

Modul Keluarga Sakinah Berperspektif Kesetaraan Bagi Penghulu, Konsultan BP4 dan Penyuluh.

4.

Problematika Hukum Kewarisan di Indonesia

5.

Gerakan Dakwah Islam dalam Perspektif Kerukunan Umat Beragama

6.

Hubungan Umat Beragama: Perselisihan Rumah Ibadat.

7.

Republik Bhinneka Tunggal Ika: Mengurai Isu-isu Konflik, Multikulturalisme, Agama dan Sosial Budaya.

8.

Peningkatan Integritas Birokrasi : Arah Baru Disiplin Pegawai.

9.

Menjaga Aswaja dan Kerukunan Umat.

Studi Kasus Penutupan/

Untuk itu, kami menyampaikan terima kasih setinggitingginya kepada para peneliti serta kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini. Semoga penerbitan karya-karya hasil penelitian yang lebih banyak menyampaikan data dan fakta ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta sebagai bahan formulasi kebijakan kepada masyarakat secara luas tentang pelbagai perkembangan dan dinamika sosial keagamaan yang terjadi di Indonesia. Penerbitan buku-buku ini dilakukan secara simultan dan berkelanjutan setiap tahun oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat untuk memberikan cakrawala dan wawasan kita sebagai bangsa yang amat kaya dan beragam dalam kehidupan keagamaan. Apabila penerbitan ini masih memiliki beberapa kekurangan, baik substansi maupun teknis, kami mohon maaf atas

iv

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

berbagai kekurangan tersebut. Akhirnya, ucapan terimakasih kami haturkan kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberikan arahan demi tercapainya tujuan dan sasaran penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini.

Jakarta, Oktober 2012 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Prof. Dr. Phil. H.M. Nur Kholis Setiawan NIP. 19691110 199403 1 005

v

Kata Pengantar

vi

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya, sehingga kita masih diberi kekuatan untuk bisa mengabdi kepada bangsa dan negara yang kita cintai. Mengawali sambutan ini, saya ingin mengucapkan selamat atas terbitnya buku "Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia" yang pada mulanya adalah naskah workshop urgensitas legislasi undang-undang mengenai kewarisan dan problematikanya. Buku ini dirasa sungguh penting di tengah upaya Kementerian Agama untuk senantiasa meningkatkan kualitas pelayanan kehidupan beragama umat Islam, dimana salah satunya kebutuhan terhadap pengaturan kewarisan dalam bentuk legislasi Undang-Undang Kewarisan. Berkaitan dengan upaya legislasi hukum Islam di Indonesia, memang masih menyimpan beberapa permasalahan, diantaranya kontroversi termasuk dari kalangan umat Islam sendiri yang mengasumsikan bahwa legislasi hukum Islam adalah penghidupan kembali Piagam Jakarta. Kekhawatiran semacam itu merupakan warisan dan mentalitas Snouck Hurgronje yang ingin merusak atau menjauhkan masyarakat Islam dari ajaran agamanya yang semula sudah menerima secara menyeluruh (receipt in complete). Hingga masa-masa Orde Baru sampai Era Reformasi mentalitas tersebut

vii

Sambutan

masih tumbuh subur di sebagian besar wilayah Indonesia, termasuk mereka yang muslim sekalipun. Di sisi lain, terdapat perkembangan yang cukup menggembirakan, karena proses legislasi termasuk di dalamnya adalah hukum Islam mendapat dukungan justru dari para akademisi dan hakim. Alasan yang dikemukakan diantaranya adalah nilai dari materi hukum Islam sudah semestinya ditempatkan sebagai sumber hukum. Di samping itu, banyak pula produk hukum Islam masuk dan diakui sebagai hukum positif. Karena itulah, legislasi hukum materiil tentang Hukum Kewarisan Islam menjadi signifikan. Perlu juga digarisbawahi bahwa upaya legislasi Hukum Kewarisan Islam adalah gagasan mulia, namun membutuhkan perjuangan yang tidak kenal lelah untuk meyakinkan para politisi di lembaga legislatif. Untuk itu, diperlukan upaya maksimal dari Dirjen Bimas Islam terutama Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah serta berbagai instansi terkait dalam merealisir upaya tersebut. Akhirnya saya ucapkan terima kasih kepada Puslitbang Kehidupan Keagamaan atas diterbitkannya buku ini, dan semoga banyak mendatangkan manfaat. Jakarta, Oktober 2012 Pgs. Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI

Prof. Dr. H. Machasin, MA NIP. 19561013 198103 1 003

viii

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Prolog Dr. H. Andi Syamsu Alam, SH,MH Ketua Muda Urusan Lingkungan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI \ Puji syukur kehadirat Allah SWT, bahwa saat ini akan lahir buku “Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia”. Buku ini sangat dinantikan kehadirannya, terutama oleh warga Peradilan Agama yang benar-benar menghadapi problem dalam menerapkan hukum kewarisan di Indonesia. Betapa tidak, sebab dewasa ini kebanyakan umat Islam membawa sengketanya ke Pengadilan Negeri ketimbang ke Pengadilan Agama. Hal ini terungkap, antara lain: 1. Pernyataan Ketua Pengadilan Tinggi Mataram (waktu itu) didepan forum pertemuan para Ketua Pengadilan Tingkat Banding 4 (empat) lingkungan di Mahkamah Agung, bahwa sekarang harus dipertimbangkan kembali, sebab masyarakat lebih cenderung membawa sengketanya ke Pengadilan Negeri dari pada ke Pengadilan Agama. 2. Seorang dosen yang mewakili Fakultas Hukum Universitas Airlangga pada seminar KHI di Surabaya menyatakan bahwa hasil penelitian Universitas Airlangga menunjukan bahwa perkara kewarisan jauh lebih banyak yang ke Pengadilan Negeri dari pada ke Pengadilan Agama.

ix

Prolog

3. Perkara kasasi di Mahkamah Agung yang berasal dari Pengadilan Negeri lebih banyak dengan menggunakan alasan PMH (perbuatan melawan hukum). Hal ini merupakan kenyataan yang tidak terbantahkan, padahal Undang-undang No.3 Tahun 2006 yang telah dirubah dengan Undang-undang No.50 Tahun 2009 secara tegas menyatakan bahwa sengketa kewarisan di kalangan orang-orang Islam menjadi kewenangan mutlak peradilan agama. Kecendrungan orang Islam membawa perkaranya ke Pengadilan Negeri mungkin menjadi salah satu penyebab disamping perkembangan zaman, sehingga hakim mulai melakukan inovasi terhadap hukum kewarisan Islam. Hakim Agung Tim E yang menangani perkara-perkara kewarisan di kalangan Umat Islam di Mahkamah Agung dan Pengadilan Agama, telah melakukan inovasi, seperti: •

Memberikan bahagian dari harta warisan kepada anak tiri kalau tidak ada lagi ahli waris lainnya dan anak itu dipelihara sejak kecil, dengan menggunakan lembaga wasiat wajibah.



Memberikan bahagian dari harta warisan kepada anak non muslim sedangkan pewaris beragama Islam dengan alasan wasiat wajibah.



Tidak membatalkan putusan tentang pusako tinggi di Padang dengan alasan hukum adat yang sudah melembaga.



Pengadilan Agama menerapkan tradisi masyarakat Sulsel yang membagi harta warisan menyisihkan rumah sebagai bagian mutlak anak perempuan, terutama anak perempuan bungsu melalui pembagian waris tanpa sengketa atau P3HP.

x

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia



Pengadilan Agama di Sulawesi Selatan menerapkan kebiasaan yang melembaga yang disebut “ampikale” dan diterima oleh pencari keadilan, bahkan tidak banding dan kasasi.



Sudah ada Pengadilan Agama yang membagi warisan sama bagian anak laki-laki dan anak perempuan dengan berbagai pertimbangan.



Hakim Agung Tim E pernah menjatuhkan putusan anak perempuan menghijab saudara pewaris.



Sudah banyak sekali putusan tentang ahli waris pengganti.



Demikian pula putusan wasiat wajibah untuk anak angkat. Dan siapa yang menanggung nafkah anak angkat paska perceraian.



Buku II tentang Pedoman Teknis telah memberi petunjuk tentang pembagian harta bersama secara serial, karena isteri lebih dari seorang.



Sedang ditunggu putusan tentang nafkah dan kewarisan anak hasil zina sebagai akibat putusan Mahkamah Konstitusi yang sangat terkenal.



Mafqud, menurut hasil diskusi Hakim Agung Tim E, ditetapkan 2 tahun kecuali kasus-kasus tertentu seperti kasus Adam Air, tsunami dan lain-lain.

Hal-hal ini bisa melahirkan putusan yang berbeda-beda, tergantung pandangan hukum seorang Hakim. Mengapa, sebab persoalan-persoalan ini tidak diatur secara khusus. Karena itu lahirnya buku ini sangat urgen untuk mendorong lahirnya Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Waris. Syukur-syukur kalau kelak dapat menjadi hukum waris nasional seperti Undang-undang Perkawinan.

xi

Prolog

Buku ini sangat baik dianjurkan untuk dibaca oleh segenap warga peradilan agama. Hal ini dengan mudah dapat dilakukan melalui kerjasama Puslitbang Kehidupan Keagamaan dengan pihak Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama atau yang sering disingkat Ditjen Badilag MARI. Wassalam.

xii

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Prakata Editor

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis dalam pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal yang terdiri dari tiga materi hukum. Ketiga materi hukum tersebut yaitu: a) hukum perkawinan sebanyak 170 pasal; b) hukum kewarisan (wasiat, hibah) sebanyak 44 pasal; c) hukum perwakafan sebanyak 14 pasal. Kemudian ditambah dengan satu pasal ketentuan penutup. Pada awalnya KHI akan diperjuangkan menjadi UndangUndang Hukum Materil Peradilan Agama. Akan tetapi karena kondisi politik belum memungkinkan, akhirnya KHI disahkan dengan Inpres No 1 Tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991. Melalui Inpres ini, Presiden menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI tersebut untuk dipergunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat luas yang membutuhkan. Kemudian Menteri Agama melalui Keputusan Menteri No 154 Tahun 1991 menetapkan pelaksanaan Inpres No 1 Tahun 1991 dan menunjuk Dirjen Kelembagaan Agama Islam dan Urusan Haji untuk mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri tersebut dalam bidang tugasnya masing-masing. Kedua lembaga tersebut kemudian melakukan sosialisasi secara inetens terhadap KHI tersebut. Begitu pula Badan Pembinaan Peradilan Agama, bahkan sampai kini lembaga tersebut menjadikan KHI sebagai sumber referensi dalam menangani perkara-perkara yang ada.

xiii

Prakata Editor

Sejak tahun 1998 tepatnya pasca reformasi, sistem kenegaraan dan kepemerintahan mengalami dinamika yang signifikan. Keinginan agar KHI menjadi Undang-Undang mulai terbuka lebar, apalagi sejak lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 mengenai Perubahan UU No 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Berdasarkan UU ini, Peradilan Agama-lah yang berhak menyelesaikan perkara umat Islam seperti hukum penyelesaian perkawinan, perwakafan, hibah dan wasiat. Begitu pula penyelesaian persoalan shadaqah, infaq, zakat dan ekonomi syari’ah. Hal ini berarti penyelesaian perkara warisan umat Islam tidak diperbolehkan ditangani Pengadilan Umum. Akan tetapi sampai saat ini tingkat pengetahuan ulama dan masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam masih sangat rendah. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama yang diselenggarakan pada tahun 2009. Penelitian tersebut berjudul: “Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Fiqih Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa tingkat pengetahuan ulama dan tokoh masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam masih rendah. Pandangan mereka dapat dikategorikan kepada: a) ulama yang belum mengetahui Kompilasi Hukum Islam; b) ulama yang mengetahui Kompilasi Hukum Islam secara mendalam; c) ulama dan hakim yang mengetahui Kompilasi Hukum Islam secara mendalam karena sering menyelesaikan persoalan masalah kewarisan. Hal tersebut berdampak pada perbedaan respon terhadap keberadaan hukum kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam. Perbedaan terjadi pada isi materi Kompilasi Hukum Islam terkait kewarisan sesuai dengan fiqih Islam seperti konsep harta bersama

xiv

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

(gono gini), ahli waris pengganti dan wasiat wajibah untuk anak dan bapak angkat. Selanjutnya, mereka menyatakan bahwa Kompilasi Hukum Islam sebagian besar materinya bersumber dari kitab-kitab fiqih Islam dan sebenarnya tidak perlu mempertentangkan Kompilasi Hukum Islam dengan fiqih Islam karena Kompilasi Hukum Islam juga merupakan produk fiqih khas Indonesia. Walau demikian pada kenyataannya para hakim dalam menyelesaikan persoalan warisan, selain berpedoman kepada Kompilasi Hukum Islam mereka umumnya masih menrujuk ke literatur fiqih klasik serta menggali praktek hukum di masyarakat (hukum adat). Atas dasar hasil seminar tersebut usulan Undang-Undang Materil melibatkan unsur ulama kontra.

penelitian dimaksud, muncul dalam yakni perlunya dilakukan penyusunan Peradilan bidang Kewarisan dengan dan masyarakat yang masih pro dan

Menindaklanjuti usulan tersebut Puslitbang Kehidupan Keagamaan pada tahun 2011 menyelenggarakan Workshop bertema: “Urgensitas Legislasi Hukum Kewarisan Islam dan Problematikanya”. Kegiatan tersebut bertujuan untuk menggali gagasan dan pemikiran para pakar dari berbagai perguruan tinggi menyangkut pengembangan hukum kewarisan Islam di Indonesia. Juga merumuskan draf naskah akademik rancangan UndangUndang Hukum Materil Peradilan Agama bidang Kewarisan, menggali pandangan, saran dan pendapat para pemangku kebijakan (stake holder) terhadap poin-poin penting menyangkut kebijakan dan materi naskah akamdemik bidang kewarisan. Juga melakukan sosialisasi uji sahih rumusan draf naskah akademik RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Kewarisan.

xv

Prakata Editor

Pada penyelenggaraan Workshop tersebut mengundang 18 orang pemakalah dan 6 orang pembahas dari kalangan akademisi dan praktisi hukum kewarisan di seluruh Indonesia. Dari para pembahasan makalah tersebut diharapkan berkembangnya ide-ide pemikiran dan gagasan cemerlang untuk merumuskan dan menyusun draf naskah akademik hukum materil Peradilan Agama bidang Kewarisan sebagai landasan bagi terwujudnya UndangUndang tentang Kewarisan Islam. Sebab, sebagaimana dikemukakan di atas bahwa upaya legislasi hukum Kewarisan Islam dapat meningkatkan Kompilasi Hukum Islam menjadi Undang-Undang yang merupakan keniscayaan untuk menjamin kepastian hukum bagi masyarakat. Para peserta workshop juga memiliki pandangan yang sama bahwa dalam menyusun draf RUU Hukum Kewarisan Islam perlu dipersiapkan penyempurnaan Kompilasi Hukum Islam sebagai bahan utama dalam upaya legislasi menjadi UU Hukum Kewarisan Islam di Indonesia dengan naskah akademik yang komprehensif, moderat dan adil, namun memiliki kepastian hukum. Atas dasar pemikiran di atas, selanjutnya Tim Perumus menyusun draf naskah akadmik RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Kewarisan yang pada akhirnya dilakukan sosialisasi dan uji kesahihan naskah akademik tersebut pada tanggal 3-4 Desember 2011 dengan menghadirkan para stake holder untuk menyampaikan pandangan, saran dan masukan konstruktif terhadap draf naskah akademik tersebut. Berdasarkan masukan itu, kemudian dilakukan penyempurnaan sehingga terwujudlah draf final naskah akademik Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Kewarisan. Akan tetapi, draf naskah akadmik hukum materil ini tidak akan memiliki makna apabila pemerintah tidak

xvi

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

berinisiatif menindaklanjuti dengan menyusun rancangan Undang-Undang Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Kewarisan tersebut dan berupaya meyakinkan para politisi di lembaga legislatif untuk membahas dan mengesahkan menjadi Undang-Undang. Karena harus disadari bahwa gagasa ini merupakan gagasan mulia, namun membutuhkan energi yang tinggi dan perjuangan yang tidak kenal lelah.

Jakarta, Oktober 2012 Editor

Muchit A. Karim

xvii

Prakata Editor

xviii

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan ..

iii

Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat ...............................

vii

Prolog ........................................................................................................

ix

Prakata Editor..........................................................................................

xiii

Daftar Isi ....................................................................................................

xix

BAB I

Pendahuluan .................................................................

1

BAB II

Legislasi, Signifikansi dan Paradigma Baru Hukum Waris di Indonesia ........................................

7



Legislasi Hukum Kewarisan: Suatu Keniscayaan, oleh Ahmad Rofiq ...................

9

Signifikansi Penyusunan RUU Hukum Kewarisan di Indonesia (Filosofis, Yuridis, Sosiologis dan Historis) oleh Zaenuddin Ali .............................................................................

19

Paradigma Baru Hukum Waris Islam Indonesia, oleh Edi Riadi ..................................

59

Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia dalam Perspektif Fiqh, Kompilasi Hukum Islam dan Praktik di Pengadilan Agama serta Masyarakat ...........................................

83



 BAB III

 

Azas-azas Hukum Kewarisan Islam, oleh Jaih Mubarok .......................................................

85

Hukum Kewarisan Islam di Indonesia dan Pembagian Harta Waris.....................................

111

xix

Daftar Isi

Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, oleh Ratu Haika .............................................

111

Halangan Menerima Warisan, oleh Moh. Adib .......................................................

149



Harta Bersama, oleh Sukris Sarmadi ......

173



Menuju Kesetaraan dalam Aturan Kewarisan Islam Indonesia: Kedudukan Anak Perempuan VS Saudara Kandung, oleh Euis Nurlailawati ....................................................

211

Ahli Waris Pengganti dalam Sistem Hukum di Indonesia (Suatu Analisis Filsafat), oleh Syahrizal Abbas .................

231

Wasiat Wajibah untuk Anak Angkat, Anak diluar Perkawinan Sah, dan Anak dari Orang Tua Beda Agama, oleh Moh. Muhibbin .............................................

263

Kedudukan Waris Anak di Luar Nikah, oleh Sulhani Hermawan ............................

289

Wasiat Pembagian Harta Waris sebelum Pewaris Meninggal Dunia dan Praktik Hibah Dihitung sebagai Bagian Waris, oleh Zaenul Mahmudi ....

315

Gharrawain dan Musyarakah, oleh Humaidi Hamid..............................................

349

Kewarisan Khuntsa (kelamin ganda), Mafqud (orang hilang), anak dalam kandungan, oleh Sri Hidayati ..................

373

• •





• •

• •

xx

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

BAB IV

BAB V

Hukum Kewarisan tentang Hak-Hak Kebendaan yang diatur Undang-Undang ..........  Keterkaitan Hukum Waris dengan HakHak Kebendaan yang Diatur dalam Berbagai Peraturan Perundangundangan, Oleh Yeni Salma Barlinti ............ Penutup ..........................................................................  Kesimpulan ...........................................................  Saran .......................................................................

407

409 421 423 425

xxi

Daftar Isi

xxii

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN

1

Bab I

2

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal, terdiri dari tiga materi hukum, yaitu hukum perkawinan 170 pasal, hukum kewarisan termasuk wasiat dan hibah 44 pasal, dan hukum perwakafan 14 pasal ditambah satu pasal ketentuan penutup. Kebutuhan adanya kompilasi hukum Islam sebagai hukum materiil di Peradilan Agama telah berlangsung sejak lama. Namun, cita-cita tersebut mulai mendapatkan respon serius sejak keluarnya SKB Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama pada tanggal 25 Maret 1985 yang berisi tentang Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pembangunan Hukum Islam melalui yurisprudensi. Atas dasar SKB tersebut dilakukan berbagai kegiatan dalam rangka penyusun kompilasi hukum Islam. Kegiatan tersebut antara lain penelitian melalui kitab kuning oleh beberapa perguruan tinggi agama Islam se-Indonesia, penelitian yurisprudensi putusan Peradilan agama dan Pengadilan Tinggi Agama, wawancara dengan para alim ulama se-Indonesia, studi banding ke beberapa Negara di Timur Tengah, dan diakhiri dengan lokakarya tingkat nasional pada tanggal 2-5 Februari 1988 yang diikuti oleh para ulama, ahli hukum, kaum cendekiawan, dan para tokoh masyarakat. Melalui lokakarya inilah kemudian melahirkan draf kompilasi hukum Islam. Pada awalnya KHI akan diperjuangkan menjadi UndangUndang Hukum materiil di Peradilan Agama. Akan tetapi karena kondisi politik yang belum memungkinkan akhirnya KHI disahkan dengan inpres Nomor 1 Tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991. Melalui Inpres ini presiden mengintruksikan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI tersebut untuk dipergunakan

3

Bab I

oleh instansi pemerintahan dan masyarakat luas yang membutuhkan. Kemudian Menteri Agama melalui keputusan Nomor 154 tahun 1991 menetapkan tentang pelaksanaan inpres Nomor 1 Tahun 1991 dan menunjuk Dirjen Kelembagaan Agama Islam dan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji untuk mengkordinasikan pelaksanaan keputusan Menteri ini dalam bidang tugasnya masing-masing. Sejak saat itu, sosialisasi intens dilakukan kedua lembaga tersebut. Di samping itu Badan Pembinaan Peradilan Agama pun ikut mensosialisasikan bahkan menjadikan KHI sebagai sumber rujukan dalam menangani perkara-perkara yang sesuai dengan tugas dan fungsinya. Seiring dengan laju reformasi hukum di Indonesia pasca reformasi sistem kenegaraan dan kepemerintahan sejak tahun 1998, peluang dan kesempatan mewujudkan cita-cita menjadikan KHI sebagai UU mulai terbuka lebar. Sejak lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Berdasarkan UU ini, bagi orang-orang yang beragama Islam sudah tidak ada lagi pilihan hukum dalam menyelesaian persoalan-persoalan perkawinan, perwakafan, hibah, wasiat dan kewarisan. Ditambah lagi sadaqah, infak, zakat dan ekonomi syariah. Implikasinya persoalan warisan, umat Islam tidak lagi diperbolehkan menyelesaikan perkaranya di Pengadilan Umum. Sebagai upaya penguatan institusi Peradilan Agama, sebelum tahun 2006 Badan Pembinaan Peradilan Agama Kementerian Agama telah menyiapkan Rancangan UndangUndang (RUU) Terapan Peradilan Agama khususnya di bidang perkawinan. RUU ini telah masuk dalam daftar Rancangan Undang-undang Program Legislasi Nasional 2005 -2009 dengan nomor urut 124. Hingga kini belum disiapkan secara matang RUU

4

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

yang akan dijadikan sebagai Hukum Materiil Peradilan Agama di Peradilan Agama. Memang saat ini, untuk sementara waktu dasar hukum materiil bidang kewarisan masih merujuk Kompilasi Hukum Islam buku III tentang Kewarisan. Akan tetapi, selain status Kompilasi Hukum Islam yang hanya merupakan instruksi Presiden masih menjadi persoalan dalam kerangka hirarki perundang-undangan di Indonesia, juga substansi hukum kewarisan yang ada dalam kompilasi masih banyak yang perlu dilakukan perbaikan dan pengembangan seiring dengan berbagai temuan dan perkembangan baru dalam praktik di pengadilan pada khususnya dan di masyarakat pada umumnya yang meniscayakan adanya adaptasi di sana sini. Terkait dengan upaya perbaikan dan pengembangan subtasi hukum waris yang ada di Kompilasi Hukum Islam, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama pada tahun 2009 telah melakukan penelitian tentang Respon Ulama dan Hakim Agama terhadap Fiqh Waris dalam kompilasi Hukum Islam di lima wilayah Indonesia yang dijadikan sampel, yaitu Yogyakarta, Medan, Banjarmasin, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo. Fokus penelitian meliputi respon ulama dan hakim agama tentang: Harta Bersama, Ahli Waris Pengganti, Anak Perempuan Menghijab Saudara Pewaris, Wasiat Wajibah Untuk Anak Angkat, Waris Beda Agama, Halangan Menerima Warisan Karena Perencanaan Pembunuhan dan Fitnah, 1/3 Bagian Untuk Ayah Bila Pewaris Tidak Punya Anak, Porsi Perbandingan Bagian Anak LakiLaki dan Perempuan, Wasiat Pembagian Warisan Sebelum Pewaris Meninggal, Praktik Hibah Dihitung Sebagai Bagian Waris, Praktik Penyelesaian Warisan Yang Unik di beberapa wilayah penelitian,

5

Bab I

pembagian warisan berupa tanah kurang dari 2 hektar, dan Kewarisan Anak Hasil Perzinaan. Hasil penelitian ini kemudian diseminarkan pada bulan Oktober 2009 dengan menghadirkan para narasumber dan peserta yang kompeten di bidang hukum waris Islam. Pada tahun 2012, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama melakukan kajian untuk mempertajam berbagai persoalan yang telah dihasilkan dalam kegiatan penelitian dan seminar sebelumnya hingga dirumuskannya naskah akademik yang komprehensif untuk back up paper draf RUU kewarisan yang akan dijadikan Hukum Materiil Peradilan Agama di Pengadilan Agama. Dalam buku ini, dihimpun gagasan dan fikiran para pakar dan cendekia dari akademisi, peneliti, ulama/kyai, praktisi hukum sampai pada pengamat hukum, terutama yang concern dengan masalah kewarisan Islam di Indonesia. Diantara mereka yakni para dosen perguruan tinggi Islam Negeri, dosen Universitas Negeri dan Himpunan Ilmuwan dan Sarjana Syari’ah Indonesia (HISSI).Dari mereka diharapkan pandangan, saran, dan pendapat. Selain itu juga untuk mencari solusi atas berbagai problematika substantif materi kewarisan dalam perspektif fiqh, perundang-undangan, dan praktik kewarisan di Pengadilan dan Masyarakat serta memperbaiki Draf Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Materiil Peradilan Agama Bidang Kewarisan. Keterlibatan para stake holder (penentu kebijakan) dari unsur terkait sangat memberikan andil bagi penyusunan buku ini, diantaranya Direktorat Jenderal Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syari’ah, Biro Hukum dan KLN, serta Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Agama.

6

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

BAB II LEGISLASI SIGNIFIKANSI DAN PARADIGMA BARU HUKUM WARIS DI INDONESIA

7

Bab II

8

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

LEGISLASI HUKUM KEWARISAN: SUATU KENISCAYAAN Ahmad Rofiq

Latar Belakang Sejak awal, dipilihnya nomenklatur “Hukum Terapan Peradilan Agama”, saya sudah tidak setuju, meskipun saya sangat mendukung substansinya. Karena term “hukum terapan” membawa implikasi peran strategis hakim, di dalam “berijtihad” dan menjawab atau memutuskan hukum, sudah “dipasung” oleh nomenklatur tersebut. Dalam perkembangannya, RUU Hukum Terapan PA tersebut, tidak lahir sempurna, tetapi lahir dalam bentuk yang belum/tidak sesuai dengan harapan, yakni lahirnya UU Nomor: 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Karena dengan lahirnya UU Wakaf, menjadikan gagasan untuk melembagakan atau legislasi Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjadi Undang-undang menjadi “serpihan-serpihan” yang memerlukan energi tambahan untuk “memperjuangkan” kelahiran UU yang lengkap, baik Hukum Perkawinan Islam, Pe(Ke)warisan Islam, dan Perwakafan. Dalam soal legislasi hukum Islam di negeri ini, memang “menyimpan” banyak keanehan, karena selalu saja muncul kontroversi termasuk dari kalangan Muslim sendiri, yang beranggapan, bahwa dengan legislasi hukum Islam, “diidentikkan” dengan menghidupkan Piagam Jakarta. Banyak faktor yang mempengaruhi di sini. Pertama, kekhawatiran lahirnya kembali Piagam Jakarta adalah salah satu alasan. Kedua, boleh jadi kekhawatiran tersebut, merupakan

9

Bab II

“warisan” dari mentalitas Snouck Hurgronje yang ingin “merusak” atau menjauhkan masyarakat Islam dari ajaran agamanya, yang semula sudah diterima secara menyeluruh (receptie in complexu). Hingga masa-masa Orde Baru sampai dengan era reformasi, “mentalitas” tersebut, masih “subur” tumbuh di sebagian besar warga Indonesia yang muslim sekalipun. Namun di sisi lain, ada perkembangan yang relatif cukup menggembirakan, karena proses legislasi termasuk di dalamnya yang substansinya adalah hukum Islam, mendapat dukungan justru dari perkembangan kesadaran akademik para akademisi dan teoritisi hukum, karena menempatkan bahwa nilai dan materi hukum Islam sudah selayaknya ditempatkan sebagai sumber hukum, dan setelah melalui proses legislasi yang terbuka, fair, dan obyektif, banyak produk hukum Islam, masuk dan diakui sebagai hukum positif. Karena itulah, legislasi hukum materiil tentang Hukum Kewarisan Islam, yang cakupan berlakunya memang khusus untuk orang yang beragama Islam, demi upaya mewujudkan tertib hukum yang berkeadilan, merupakan suatu keniscayaan adanya. Sama halnya dengan pewarisan halalah, juga merupakan persoalan krusial, karena bagian istri yang tidak mempunyai anak hanya memperoleh ¼ bagian, sedangkan saudara mendapat ¾ bagian. Pembagian semacam itu tidak adil, sehingga istri sebaiknya memperoleh ½ bagian dari harta waris Menurut Prof. Dr. H.M. Atho Mudzhar, Kompilasi Hukum Islam sebenarnya bukan undang-undang, tetapi hanyalah Inpres yang bisa dijadikan landasan hukum bagi hakim Agama dalam memutuskan perkara di Pengadilan Agama. Sudah banyak keputusan-keputusan hakim yang ditetapkan berdasarkan pada Kompilasi Hukum Islam sehingga keputusan tersebut menjadi

10

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

yurisprudensi. Keputusan-keputusan hakim itu mestinya perlu dicermati kembali karena banyak menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat pencari keadilan. Seperti suami/istri yang telah memperoleh bagian dari harta bersama masih pula memperoleh bagian harta waris dari tirkah. Sistem kekerabatan patrilineal, bilateral atau matrilineal masih menjadi acuan dalam pembagian waris. Mengapa azas keadilan berimbang yang dipergunakan dalam pembagian waris, bagaimana masalah aul, apakah sudah menggunakan azas keadilan berimbang? Ini menjadi pertanyaan. Problematika Legislasi Problematika yang muncul dalam legislasi – termasuk Hukum Kewarisan Islam – ini juga, masih soal “mentalitas” Snouck Hurgronje-nian seperti disebut di atas. Sementara itu, ada kalangan yang menilai legislasi hukum Islam, berarti menambah daftar “Fiqh Madzhab Negara”, yang justru dianggap mendistorsi keberadaan hukum Islam sebagai hukum yang universal dan dilaksanakan oleh pemeluknya dengan sukarela, karena telah mengejawantah ke dalam nilai yang hidup dalam masyarakat. Karena “formalisasi” hukum Islam ke dalam Undang-undang dan/atau perundang-undangan, maka terjadi “proses pendangkalan” umat Islam terhadap referensi keagamannya. Dan ironisnya, justru yang lantang dan vokal berpendapat demikian, adalah kaum Muslimin itu sendiri. Soal hukum waris adalah soal “sensitive”, setidaknya ini bisa dirunut dari masa-masa sebelum kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Staatblad 1937 Nomor 610 Pemerintah Kolonial Belanda sudah mengambil kompetensi Pengadilan Agama Jawa dan Madura dalam perkara kewarisan Islam, yang semula menjadi kompetensi absolute, menjadi hanya kewenangan fatwa waris. Implikasinya, karena hanya fatwa, maka pihak yang berperkara, tidak harus mengikuti secara sukarela isi fatwa tersebut.

11

Bab II

Langkah berikutnya, sebagaimana diatur dalam pasal 63 UU Nomor: 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah excecutoir verklaring atau fiat eksekusi setiap keputusan Pengadilan Agama oleh Pengadilan Negeri, yang meskipun bersifat administrative, ternyata dalam prakteknya sering menilmbulkan masalah, akibat dari “over-acting” pegawai atau pejabat di PN. Padahal UU Perkawinan ini lahir empat tahun setelah UU Nomor: 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman yang pasal 10 sudah menegaskan bahwa kedudukan Peradilan Umum, Agama, Militer, dan Tata Usaha Negara adalah sama atau sederajat. Tetapi kenapa masih ada pengukuhan atau fiat eksekusi? Tahun 1989 dengan lahirnya UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sesungguhnya harus diakui merupakan “angin segar” bagi insan Peradilan Agama, karena di dalamnya diatur tentang jurusita, yang memiliki tugas untuk melakukan eksekusi terhadap putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Akan tetapi anehnya, di dalamnya ternyata dimasukkan dalam penjelasan umum angka 2, adanya hak opsi bagi pihak yang berperkara. Orang Islam dapat mengajukan perkara penyelesaian hukum kewarisan Islam yang dihadapinya ke pengadilan negeri. Ini berdampak, kepada makin longgarnya umat Islam dalam komitmen dan loyalitasnya menjalankan hukum agamanya, karena dipengaruhi atau “disuruh” untuk “nyebrang” atau “hijrah” mengikuti hukum perdata barat yang menjadi hukum materiil Pengadilan Negeri. Konon, Mahkamah Agung sudah pernah mengeluarkan edaran, agar Pengadilan Negeri tidak menerima perkara waris yang diajukan oleh orang yang beragama Islam, karena menurut asas personalitas keislaman, orang Islam dalam berperkara, mestinya diajukan ke Pengadilan Agama. Hasil penelitian Afdlol – waktu itu mahasiswa PDIH UNDIP, kebetulan saya ikut menjadi

12

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

salah satu penguji – di empat kabupaten dan satu kota di Jawa Timur, ditemukan data bahwa umat Islam di Jawa Timur lebih cenderung memilih mengajukan perkara pembagian warisan ke Pengadilan Negeri. Ironis? Kelahiran Undang-undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, juga menyisakan masalah, terkait dengan apabila terjadi sengketa antara nasabah dengan pihak bank, karena di dalamnya selain ditangani oleh Bazarnas dan Pengadilan Agama, namun masih muncul lagi Pengadilan Negeri. Bahkan Mahkamah Agung memberikan contoh ketika ada perkara sengketa perbankan syariah dengan nasabahnya, pada tingkat pertama dan banding dilaksanakan oleh Pengadilan Agama, ketika sampai tingkat kasasi dialihkan kepada Peradilan Niaga. Namun demikian, apapun yang ditulis oleh Prof Zaenuddin Ali, prinsip bisa diterima, namun dengan beberapa penambahan. Baik alasan filosofis, historis, yuridis, maupun sosiologis. Demikian juga yang ditulis para narasumber, perlu diformulasi dengan reasoning akademik dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, yang merupakan warga terbesar bangsa ini. Penyempurnaan Materi: Beberapa Catatan Di bawah ini akan dikemukakan beberapa catatan yang penulis rasakan urgent dan mendasar dalam rangka penyempurnaan naskah akademik yang akan menjadi dasar, kerangka pemikiran, dan dasar-dasar dalam menyusun draft RUU Hukum Kewarisan Islam di Indonesia: 1.

Hal sangat mendasar, adalah soal paradigma dan substansi hukum apa yang hendak dilakukan dalam mengkonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Perdebatan yang muncul, berangkat dari pluralisme hukum dalam masyarakat, termasuk khazanah keragaman madzhab fiqh atau hukum

13

Bab II

yang ada, juga harus dikawal dengan paradigma dan nilainilai yang jelas, hendak dibawa ke mana masyarakat subyek hukum akan diarahkan. Di tengah berkembangnya kecenderungan gerakan transnasional yang lebih mengarah ke “wahabisme” di satu sisi, dan makin menyeruaknya faham indifidualis-liberalis, maka paradigma konstruksitifisme perlu dikedepankan. Apakah akan dikawal dalam perspektif pemikiran fiqh Ulama Sunny, atau harus campur-campur model takhayyur, talfiq, atau eklektik, yang jelas menurut hemat saya, ikhtiar untuk mendekatkan umat Islam kepada agama dan fiqh yang selama ini sudah dianutnya, merupakan asas yang harus dikedepankan. 2.

Asas kewarisan dalam Islam adalah individual dan ijbari. Sementara usulan Prof Jaih Mubarak tentang asas musahamah, menurut hemat saya tidak cukup memenuhi syarat dianggap sebagai asas. Namun demikian apabila ternyata dalam kasus terjadi harta warisan yang ditinggalkan pewaris, ternyata apabila langsung dibagi, justru akan “merusak” nilai ekonomi harta tersebut. Dalam praktik adat, ada harta yang disebut dengan harta pusaka, atau harta yang dimiliki secara kolektif.

3.

Soal komposisi pembagian warisan 2:1 antara laki-laki dan perempuan, hemat saya sebagai ketentuan bagian warisan dalam Al-Qur’an yang perlu dipertahankan. Secara rasional, tanggung jawab laki-laki lebih besar di dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan yang normal. Kecuali apabila secara kasuistik, seorang laki-laki tidak dapat menjalankan fungsi utamanya sebagai laki-laki yang menjadi penanggung jawab ekonomi keluarganya. Gagasan komposisi 1:1 yang mengemuka dalam masyarakat, sebagai implikasi makin

14

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

maraknya faham individualisme, namun gagasan ini kurang atau tidak mendapat tempat, karena dapat dimaknai sebagai terjadinya “degradasi” komitmen orang Islam terhadap agamanya. 4.

Secara umum, apa yang sudah dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai bahan awal – yang oleh para pihak disebut memang belum sempurna – untuk melangkah kepada legislasi, sudah lumayan. Sebagai “rancangan” naskah akademik, apa yang disampaikan para penulis bisa diterima dengan tambahan, karena persoalan utamanya menurut hemat saya, adalah persoalan “politis”. Semaksimal apapun naskah akademik disiapkan, apabila political-will para anggota Legislatif tidak ada atau rendah, maka proses legislasi itu akan mengalami banyak hambatan. Sudah banyak contoh, draft RUU sudah disiapkan dan disosialisasikan sedemikian rupa, bahkan mungkin menghabiskan biaya sosialisasi yang cukup besar, tetapi mentah lagi dan mentah lagi. Karena itu, dibutuhkan “perjuangan” dalam jalur dan versi yang lain, agar soal hukum kewarisan Islam yang notabene menurut Prof Zaenudin Ali, adalah pengejawantahan dari pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa, mendapatkan legalitas yuridis formal dan memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.

5. Soal Mawani’ al-Irts Tentang penghalang mewarisi (mawani’ al-irts), soal ikhtilaf al-din (perbedaan agama) harus tetap dipertahankan. Karena perbedaan agama adalah bentuk pemutusan hubungan keagamaan (shilah al-syari’ah). Bahwa di dalamnya nantinya akan ditempuh kompromi atau pendekatan kemanusiaan, karena di antara ahli waris ada yang berbeda

15

Bab II

agama, sementara secara faktual, hubungan kekerabatan itu dibuktikan dengan hubungan saling menyayangi tetap berjalan baik, dapat ditempuh misalnya dengan melalui wasiyat wajibah. Sementara soal beda Negara sejalan dengan berkembangnya information technology (IT), maka sepanjang tidak ada halangan beda agama, tidak perlu dipermasalahkan. Artinya, beda Negara tidak menjadi penghalang saling mewarisi. 6. ‘Ashabah (bagian sisa) Dalam fiqh Sunny, dikenal adanya bagian ashabah, baik ashabah bi al-nafs, bi al-ghair, atau ma’a al-ghair. Dasar hukum tentang bagian ashabah ini, adalah riwayat Muttafaq ‘alaih, yang diyakini oleh Ulama Sunny cukup kuat dan menjadi dasar hukum yang kuat. Memang di dalamnya diperlukan pemikiran ijtihadi, yang terkait dengan keberadaan walad (anak), apakah sama kedudukannya anak, apakah laki-laki saja atau juga anak perempuan yang termasuk walad? Bagaimana apabila ahli waris terdiri dari anak perempuan dan saudarasaudara sekandung atau seayah? Rasulullah saw memberikan bagian saudara perempuan setengah dan anak perempuan setengah. Sementara saudara-saudara jelas terhalang oleh anak laki-laki. Demikian juga soal anak dari anak atau cucu. Jika cucu dihubungkan dengan orang tuanya yang menghubungkannya kepada pewaris adalah perempuan, yang memunculkan istilah dzawi al-arham, atau sering disebut dengan ghairu warits, dalam fiqh Sunny. Kompilasi Hukum Islam telah mengakomodasi konsep wasiyat wajibah dari Fiqh Mesir dengan penyesuaian, dan ahli waris pengganti dari Hazairin untuk mengatasi ahli waris dzawi al-arham tersebut.

16

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

7. Gharrawin Sebagaimana telah dikemukakan dalam makalah Sukris Sarmadi dan Ratu, bagian Bapak 1/3 dalam kasus Gharrawain ketika bersama Suami dan Ibu, atau bagian yang lebih besar ½ ketika bersama Istri dan Ibu, perlu dijelaskan, supaya tidak “mengganggu” pemahaman masyarakat. Karena Bapak, selain sebagai penerima ashabah binafsih, juga sebagai ashhab al-furudl, yang menerima bagian 1/6 ketika pewaris meninggalkan anak atau cucu laki-laki garis laki-laki. Bahkan Bapak juga selain menerima 1/6 juga tambah ashabah, apabila pewaris mempunyai anak perempuan saja. 8. Harta Bersama Memang dalam hal ini, diperlukan penjelasan akademik, mengapa harta bersama sebelum diwaris separohnya menjadi hak yang masih hidup. Masalah ini, akan lebih mencolok lagi “ketidakadilan”-nya, manakala pewaris tidak mempunyai anak, dan harta warisan akan diterima oleh ahli waris samping atau saudara-saudara yang selain sebagai ashabah jika laki-laki, juga bisamenjadi muashshib ketika bersama saudaranya yang perempuan. Kesimpulan Mengakhiri pembahasan ini, dari uraian yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, upaya legislasi hukum kewarisan Islam meningkatkan KHI menjadi UndangUndang merupakan suatu keniscayaan. Meskipun harus disadari, bahwa gagasan ini merupakan gagasan mulia, namun membutuhkan energi tinggi dan perjuangan yang tidak kenal lelah, untuk meyakinkan para “politisi” di lembaga legislative.

17

Bab II

Sisa-sisa Hurgronje-nian tampaknya di negeri ini masih sangat kuat, dan sering mengusung wacana, bahwa legislasi hukum Islam sama halnya menghidupkan Piagam Jakarta. 2. Untuk kepentingan legislasi hukum waris Islam di Indonesia, perlu disepakati terlebih dahulu paradigma apa dan bagaimana, yang hendak ditawarkan atau digunakan untuk meng-engine dan mengcreate masyarakat. Dalam perspektif historis, pada awalnya masyarakat Islam di Indonesia telah menerima secara menyeluruh, karena ini adalah indikator keberagamaan masyarakat. 3. Di dalam menyusun draft RUU Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, perlu dipersiapkan penyempurnaan KHI sebagai bahan utama di dalam upaya legislasi menjadi UU Hukum Kewarisan Islam di Indonesia dengan naskah akademik yang komprehensif, moderat, dan adil, namun memiliki kepastian hukum. Terutama soal materi-materi sebagaimana yang sudah dikemukakan di atas. Penutup Demikian sedikit kontribusi pemikiran yang saya bisa kemukakan sebagai pembahasan namun materi yang dikirim via email, hanya tiga makalah. Semoga sumbangsih pemikiran ini, dapat dijadikan bahan pertimbangan di dalam menyiapkan draft dan naskah akademik Hukum Waris Islam di Indonesia.

18

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

SIGNIFIKANSI PENYUSUNAN RUU HUKUM KEWARISAN DI INDONESIA (FILOSOFIS, YURIDIS, SOSIOLOGIS DAN HISTORIS) Zainudin Ali

Latar Belakang Penyusunan Rancangan Undang-undang hukum materil peradilan agama bidang hukum kewarisan yang kemudian disahkan menjadi peraturan perundang-undangan merupakan suatu langkah maju untuk memenuhi kebutuhan ummat Islam di Indonesia. Namun penyusunan rancangan Undang-undang dimaksud harus memperhatikan nilai-nilai hukum kewarisan yang hidup dan berkembang pada setiap suku bangsa yang beragama Islam di Indonesia dari masa ke masa. Peraturan perundang-undangan yang berkenaan hukum kewarisan Islam dapat dianggap baik bila memenuhi unsur hukum di dalam teori-teori ilmu hukum mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah. Hal itu, diungkapkan sebagai berikut. a. Kaidah hukum berlaku secara filosofis, yaitu sesuai dengan cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi b. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang lebih tinggi tingkatannya atau terbentuk atas dasar yang telah ditetapkan c. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut ada pengakuan dari masyarakat dan/atau kaidah dimaksud dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga masyarakat (teori kekuasaan);

19

Bab II

d. Kaidah hukum berlaku secara historis, yaitu sesuai dengan sejarah hukum kewaarisan Islam dalam konteks keindonesiaan.1 Kalau dikaji secara mendalam agar hukum itu berfungsi maka setiap kaidah hukum harus memenuhi ke empat unsur kaidah di atas, sebab: (1) apabila hanya berlaku secara filosofis, maka kemungkinannya kaidah itu hanya merupakan hukum yang dicitacitakan (ius constituendum); (2) bila kaidah hukum hanya berlaku secara yuridis, maka ada kemungkinan kaidah itu merupakan kaidah mati; (3) Kalau hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori kekuasaan, maka kaidah itu menjadi aturan pemaksa; dan (4) apabila hanya berlaku secara historis, maka kemungkinan kaidah itu tidak sesuai dengan legal cultuure ke Indonesiaan. Selain itu, penulis mengemukakan karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus penyelesaian pembagian harta warisan di Kabupaten Donggala.2 Hal dimaksud, sebagai bahan masukan dalam penyusunan Rancangan Undang-undang bidang hukum kewarisan. Permasalahan 1. Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indo-nesia secara Filosofis? 2. Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara yuridis? 1

Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Cetakan ke-6, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal.

75 2 Hasil Penelitian Penulis berkenaan penyusunan Disertasi yang berjudul Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Donggala tahun 1995

20

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

3. Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indo-nesia secara sosiologis 4. Bagaimana Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara historis 5. Bagaimana karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Membicarakan siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Filosofis, maka tidak ada salahnya membicarakan lebih dahulu ummat Islam. Ummat Islam dimaksud, merupakan salah satu kelompok masyarakat yang mendapat legalitas pengayoman secara hukum ketatanegaraan di Indonesia. Karena itu, ummat Islam tidak dapat dicerai pisahkan dengan hukum Islam yang sesuai keyakinannya. Namun demikian, hukum Islam di Indonesia bila dilihat dari aspek perumusan Dasar negara yang dilakukan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia), yaitu para pemimpin Islam berusaha memulihkan dan mendudukkan hukum Islam dalam negara Indonesia merdeka itu. Dalam tahap awal, usaha para pemimpin dimaksud tidak sia-sia, yaitu lahirnya Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945 yang telah disepakati oleh pendiri negara bahwa negara berdasar kepada ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun, adanya desakan dari kalangan pihak Kristen, tujuh kata tersebut dikeluarkan dari Pembukaan UUD 1945, kemudian diganti dengan kata “Yang Maha Esa” Penggantian kata dimaksud, menurut Hazairin seperti yang dikutip oleh muridnya (H. Mohammad Daud Ali)

21

Bab II

mengandung norma dan garis hukum yang diatur dalam Pasal 29 batang tubuh UUD 1945 ayat (1) negara Republik Indonesia berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal itu hanya dapat ditafsirkan antara lain, sebagai berikut. a. Dalam negara republik Indonesia tidak boleh terjadi atau berlaku sesuatu yang bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum Islam bagi ummat Islam, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Nasrani, atau yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama Hindu-Bali bagi orang-orang Hindu-Bali, atau yang bertentangan dengan kesusilaan agama Budha bagi orang Budha. Hal itu berarti di dalam wilyah negara Rapublik Indonesia ini tidak boleh berlaku atau diberlakukan hukum yang bertentangan dengan norma-norma (hukum) agama dan kesusilaan bangsa Indonesia; b. Negara Republik Indonesia wajib menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam, Syari’at Nasrani bagi orang Nasrani, dan syari’at Hindu-Bali bagi orang Hindu-Bali. Sekedar menjalankan syari’at tersebut memerlukan perantaraan kekuasaan negara. Makna dari penafsiran kedua ini adalah: Negara Republik Indonesia wajib menjalankan dalam pengertian menyediakan fasilitas agar hukum yang berasal dari agama yang dianut oleh bangsa Indonesia dapat terlaksana sepanjang pelaksanaan hukum agama itu memerlukan bantuan alat kekuasaan atau penyelenggara negara. Artinya, penyelenggara negara berkewajiban menjalankan syari’at yang dipeluk oleh bangsa Indonesia untuk kepentingan pemeluk agama bersangkutan. Syari’at yang berasal dari agama Islam misalnya, yang disebut syari’at Islam, tidak hanya memuat hukum-hukum shalat, zakat, puasa, dan haji, melainkan juga mengandung hukum-hukum dunia baik keperdataan maupun kepidanaan yang memerlukan

22

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

kekuasaan negara untuk menjalankannya secara sempurna. Yang dimaksud adalah misalnya, hukum harta kekayaan, hukum wakaf, penyelenggaraan ibadah haji, penyelenggaraan hukum perkawinan dan kewarisan, penyelenggaraan hukum pidana (Islam) seperti zina, pencurian, pembunuhan yang memerlukan kekuasaan kehakiman atau peradilan khusus (Peradilan Agama) untuk menjalankannya, yang hanya dapat diadakan oleh negara dalam pelaksanaan kewajibannya menjalankan syari’at yang berasal dari agama Islam untuk kepentingan ummat Islam yang menjadi warga negara Republik Indonesia. c. Syari’at yang tidak memerlukan bantuan kekuasaan negara untuk menjalankannya, dan karena itu dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan, menjadi kewajiban pribadi terhadap Allah bagi setiap orang itu menjalankannya sendiri menurut agamanya masing-masing. Ini berarti hukum yang berasal dari suatu agama yang diakui di negara Republik Indonesia yang dapat dijalankan sendiri oleh masing-masing pemeluk agama bersangkutan (misalnya hukum-hukum yang berkenaan dengan ibadah, yaitu hukum yang pada umumnya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan) biarkan pemeluk agama itu sendiri melaksanakannya menurut kepercayaan agamanya masing-masing.3 Perkataan kepercayaan dan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 yang terletak dalam Bab Agama itu perlu dikemukakan hal-hal berikut ini:

3 H. Mohammad Daud Ali, . Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1991), hal. 8

23

Bab II

a.

DR. Muhammad Hatta (alm) ketika menjelaskan arti perkataan “kepercayaan” yang termuat dalam ayat (2) Pasal 29 UUD 1945, menyatakan pada tahun 1974 bahwa arti perkataan kepercayaan dalam pasal tersebut adalah kepercayaan agama. Kuncinya adalah perkataan itu yang terdapat di ujung ayat 2 Pasal 29 dimaksud. Kata “itu” menunjuk pada kata agama yang terletak di depan kata kepercayaan tersebut. Penjelasan ini sangat logis karena kata-kata agama dan kepercayaan ini digandengkan dalam satu kalimat dan diletakkan di bawah Bab agama.4 Keterangan Bung Hatta di atas, sesuai benar dengan keterangan H. Agus Salim, yang menyatakan pada tahun 1953 bahwa pada waktu dirumuskan Undang-undang Dasar 1945 itu, tidak ada seorang pun di antara kami yang ragu-ragu bahwa dasar ketuhanan Yang Maha Esa itu adalah aqidah, kepercayaan agama . . . ; (b) Ketika memberi penjelasan mengenai ayat (1) Pasal 29 UUD 1945, dalam rangka kembali ke UUD 1945 tahun 1959 dahulu, pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa ayat (1) Pasal 29 UUD 1945 itu merupakan dasar dari kehidupan hukum bidang keagamaan; (c) Pada tahun 1970, perkataan Ketuhanan Yang Maha Esa yang tercantum dalam Pasal 29 UUD 1945 itu dijadikan landasan dan sumber hukum dalam mewujudkan keadilan dalam Negara Republik Indonesia. Menurut Pasal 4 Undangundang No. 4 tahun 1970 peradilan di Indonesia harus dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5

24

4

H. Mohammad Daud Ali, Ibid, hal 9.

5

H. Mohammad Daud Ali, Ibid., hal 10.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Berdasarkan uraian dan penjelsan di atas, maka dapat diasumsikan bahwa hukum Islam dan kekuatan hukumnya secara ketatanegaraan di Negara Republik Indonesia adalah Pancasila dan UUD 1945, yang kemudian dijabarkan melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat. Undang-undang No. 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Undang-undang No. 50 tahun 2009 tentang perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama. Undang-undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. Demikian juga beberapa instruksi Pemerintah yang berkaitan dengan hukum Islam Selain itu, juga munculnya Kompilasi Hukum Islam yang menjadi Pedoman bagi para hakim di Peradilan khusus (Peradilan Agama) di Indonesia. Hal dimaksud merupakan pancaran dari norma-norma hukum yang tertuang dalam Pasal 29 UUD 1945. Karena itu, keberlakuan dan kekuatan hukum Islam secara ketata negaraan di negara Republik Indonesia adalah Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945. 3. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Sosiologis Dalam teori keberlakuan hukum Islam dan hukum adat di Indonesia dikenal teori receptio a contrario. Teori receptio a contrario dimaksud, dipelopori oleh Hazairin (1905-1975) dan dikembangkan secara sistematis dan diperaktekkan oleh murid-muridnya (Sajuti Talib, H Mohammad Daud Ali, Bismar Siregar, H.M. Tahir Azhary, dan sebagainya). Menurut mereka hukum adat dapat menjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat muslim kalau hukum adat itu tidak bertentangan

25

Bab II

dengan hukum Islam.6 Hal dimaksud, diungkapkan 2 (dua) buah contoh kasus dan 2 (dua) buah contoh ungkapan yang menunjukkan bahwa hukum adat dengan hukum Islam tidak dapat dicerai pisahkan. Contoh dan ungkapan dimaksud sebagai berikut. a. Suku Kaili di Sulawesi Tengah sebelum beragama Islam, bila mereka membagi harta warisan maka ia menggunakan simbol anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama di panas. Panasnya anak laki-laki di sawah dan panasnya anak perempuan di dapur sehingga bagian warisan anak laki-laki sama dengan bagian warisaan anak perempuan. Namun sesudah mereka memeluk agama Islam maka hukum adat kewarisan itu digantikan posisinya oleh hukum Islam berdasarkan ungkapan langgai molemba mobine manggala (anak laki-laki memikul dan anak perempuan menggendong). Hal itu berarti bagian harta warisan anak laki-laki sama dengan bagian warisan dua orang anak perempuan. b. Suku Bugis di Sulawesi Selatan: bila mereka melakukan pembagian harta warisan kepada ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan maka pembagiannya dilakukan berdasarkan pembagian yang sama jumlahnya, yaitu bagian harta warisan seorang anak laki-laki sama dengan bagian harta warisan seorang anak perempuan (sama wae asanna manae atau 1:1). Namun, setelah mereka memeluk agama Islam, maka pembagian harta warisan dimaksud, berubah untuk mengikuti hukum kewarisan Islam, yaitu bagian seorang anak laki-laki sama dengan bahagian dua

6 Zainuddin Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Cetakan ke 3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 83

26

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

orang anak perempuan (2:1). Pembagian harta warisan dimaksud, tertuang dalam ungkapan suku Bugis “majjujung makkunraie mallempa oroane”. c. Suku Minang di Sumatra Barat membuat pepatah: “Adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah”. Artinya: hukum adat bersumber dari hukum Islam, hukum Islam bersumber dari Alqur’an. d. Suku Aceh di Sumatera Utara membuat pepatah: “Adek dan syara’ sanda menyanda, syara mengato adek memakai”. Artinya: hubungan hukum adat dengan hukum Islam erat sekali, saling topang menopang, hukum Islam menentukan, hukum adat melaksanakan.7 Berdasarkan dua buah contoh dan dua buah ungkapan tersebut, dapat diketahui dan dipahami bahwa sistem hukum Islam di negara republik Indonesia berlaku, sehingga dapat dikatakan bahwa sistem hukum Indonesia menganut sistem hukum majemuk. Namun demikian, sistem-sistem hukum dimaksud merupakan suatu mata rantai yang tak dapat dipisahkan dalam proses pembentukan hukum nasional yang berasaskan pancasila. Pancasila sebagai asas yang menjadi pedoman dan bintang pemandu terhadap norma-norma hukum lainnya termasuk Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang, dan peraturan-peraturan lainnya di satu pihak dan pihak lainnya sebagai dasar negara republik Indonesia. Selain itu, menunjukkan bahwa Sistem Hukum Indonesia adalah sistem hukum yang menjadikan Pancasila sebagai recht idee di satu pihak dan recht staat dipihak lainnya atau 7 Zainudin Ali, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Donggala, (Palu: Yayasan Masyaraakat Indonesia Baru, 1998), hal. ii

27

Bab II

sistem hukum yang menjadikan pancasila sebagai bintang pemandu di satu pihak dan pihak lainnya menjadikan sebagai dasar hukum negara. Selain itu tampak pula bahwa Pembukaan UUD 1945 dengan peraturan perundangundangan lainnya tidak dapat dicerai pisahkan, melainkan merupakan suatu kesatuan yang tak terpisahkan. 4. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Historis Dalam teori keberlakuan hukum Islam dan hukum adat di Indonesia dikenal teori receptio in complexu. Teori receptio in complexu dimaksud, dipelopori oleh L.W.C. Van den Berg (1845-1927). Van den Berg mengemukakan bahwa orang Islam Indonesia telah menerima (meresepsi) hukum Islam secara menyeluruh. Sebagai bukti teori dimaksud, diuraikan sebagai berikut. a. Statuta Batavia (Saat ini disebut Jakarta) 1642 menyebutkan bahwa: sengketa warisan antara orang pribumi yang beragama Islam harus diselesaikan dengan mempergunakan hukum Islam, yakni hukum yang dipakai oleh rakyat sehari-hari. Untuk keperluan ini, D.W. Freijer menyusun Compendium, yaitu buku yang memuat hukum perkawinan dan hukum kewarisan Islam. Buku dimaksud direvisi dan disempurnakan oleh para penghulu, kemudian diberlakukan di daerah Jajahan VOC. Buku ini terkenal dengan sebutan Compendium Freijer.8 b. Penggunaan Kitab Mugharrar dan Pepakem Cirebon serta peraturan yang dibuat oleh B.J.D. Cloowijk untuk diperlakukan di Wilayah Kerajaan Bone dan Gowa, 8

28

H. Mohammad Daud Ali, Op. Cit., hal 71

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Sulawesi Selatan. Karena itu, selama VOC berkuasa dua abad (602-1800) kedudukan hukum Islam tetap seperti semula, berlaku dan berkembang di kalangan ummat Islam Indonesia. Kenyataan ini, dimungkinkan karena jasa dari para penyiar agama Islam yang hidup pada abad itu. Demikian juga jasa Naruddin al-Raniri yang menulis buku Sirat al-Mustaqim (jalan lurus) pada tahun 1628 M. Kitab dimaksud merupakan kitab pertama yang disebarluaskan ke seluruh Wilayah Indonesia untuk menjadi pegangan ummat Islam. Kitab ini dianalisis oleh Syekh Arsyad alBanjari kemudian diberikan komentar dalam suatu kitab yang diberi judul Sabil al-Mukhtadin (jalan orang yang diberi petunjuk). Buku ini dijadikan pegangan dalam menyelesaikan sengketa antar ummat Islam di daerah Kesultanan Banjar. Demikian juga di daerah Kesultanan Palembang dan Banten diterbitkan beberapa kitab hukum Islam yang dijadikan pegangan dalam masalah hukum keluarga dan warisan. Juga diikuti oleh Kerajaan-kerajaan Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Ngampel. c. Pada tanggal 25 Mei 1760 VOC mengeluarkan peraturan yang senada dimaksud, yang kemudian diberi nama Resolutie der Indische Regeerling. Salomon Keyzer (18231868) dan Cristian van den Berg (1845-1927) menyatakan hukum mengikuti agama yang dianut seseorang. 5. Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala Ada dua permasalahan pokok yang dijadikan kajian utama pada penyusunan pokok bahasan makalah ini, yaitu (1) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam di luar dan di dalam Pengadilan Agama, dan (2) bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum

29

Bab II

kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam pelaksanannya di luar dan di dalam Pengadilan Agama. Sehubungan dengan masalah pokok di atas, serangkaian masalah di bawah ini menjadi obyek kajian dalam penelitian ini, yaitu (1) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui musyawarah ahli waris; (2) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui musyawarah Dewan Adat; (3) bagaimana masyarakat muslim di Kabupaten Donggala melaksanakan hukum kewarisan Islam melalui Pengadilan Agama; (4) bagaimana asas-asas hukum kewarisan Islam; (5) bagaimana unsur-unsur hukum kewarisaan Islam; (6) bagaimana perbandingan kedudukan ahli waris pengganti di Kabupaten Donggala dengan kedudukan ahli waris pengganti di negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim seperti di Mesir, Suriah, Marokko, Tunisia, dan Pakistan menurut hukum kewarisan Islam; (7) bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam pelaksanaan hukum kewarisan melalui musyawarah ahli waris; (8) bagaimana hubungan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala dalam pelaksanaan hukum kewarisan melalui Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri di Kabupaten Donggala; (9) faktor-faktor apa yang menyebabkan masyarakat muslim di Kabupaten Donggala untuk melaksa-nakan hukum kewarisan Islam. a. Kerangka Dalil dan Kerangka Teoretis 1)

Kerangka Dalil a)

Ayat-ayat Qur`an yang mengatur Kewarisan Islam, di antaranya: (1) Qur`an Surah IV: 11

30

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Qur`an Surah IV: 11 mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam, di antaranya, yaitu: (1) Allah mengatur tentang perbandingan perolehan antara seorang anak laki-laki dengan seorang anak perempuan, yaitu: 2:1; (2) mengatur tentang perolehan dua orang anak perempuan atau lebih dari dua orang, mereka mendapat duapertiga dari harta peninggalan; (3) mengatur tentang perolehan seorang anak perempuan, yaitu seperdua dari harta peninggalan; (4) mengatur perolehan ibu bapak, yang masing-masing seper enam dari harta peninggalan kalau si pewaris mempunyai anak; (5) mengatur tentang besarnya perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai anak dan saudara, maka perolehan ibu sepertiga dari harta peninggalan; (6) mengatur tentang besarnya perolehan ibu bila pewaris diwarisi oleh ibu bapaknya, kalau pewaris tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara, maka perolehan ibu seperenam dari harta peninggalan; (7) pelaksanaan pembagian harta warisan termaksud dalam garis hukum nomor 1 sampai 6 itu sesudah dibayarkan wasiat dan hutang pewaris.9 (2) Qur`an Surah IV: 12. Qur`an Surah IV: 12 mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam, di antaranya, yaitu (1) Duda karena kematian istri mendapat pembagian seperdua dari harta peninggalan istrinya kalau si istri tidak meninggalkan anak; (2) duda karena kematian istri mendapat pembagian seperempat dari harta peninggalan 9

Lihat, Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1981), h. 21. Hazairin, op. cit.,h. 7. H.M. Tahir Azhary, Bunga Rampai Hukum Islam. (Jakarta: Ind-Hild-Co, 1992),h. 7. Abdurrahman I Doi, Shari`ah: The Islamic Law, (London: Delux Press, 1984), h.275. David Steven Powers, The Formation of The Islamic Law of Inheritance, (America: International Microfilms University Press, 1986), h. 75-88. Husnain Muhammad Makhluf, Almawaris fi As-Syari`at al-Islamiyah, (Qahirah: Matabi` al-Ahram at-Tijariyah, 1971), h. 43-45. Muhammad Mustafa Salabi, Ahkam al-Mawaris Bainal Fiqhi wa al-Qanun, (Beirut: Dar anNadafat at-Tarbiyah, 1978), h. 120-128. Muhammad Kamal Hamidi, Al-Mawaris wa al-Hibah wa al-Wasiyyat, (Iskandariyah: Dar al-Matbu`ah al-Jami`ah, tanpa tahun), h. 37-41.

31

Bab II

istrinya kalau si istri meninggalkan anak; (3) janda karena kematian suami mendapat pembagian seperempat dari harta suaminya kalau si suami meninggalkan anak; (5) pelaksanaan pembagian termaksud dalam garis hukum nomor 1 sampai 4 di atas itu sesudah dibayarkan wasiat dan hutang pewaris (6) jika ada seorang laki-laki atau perempuan diwarisi secara punah (kalalah) sedangkan baginya ada seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan, maka masing-masing dari mereka itu memperoleh 1/6; (7) jika ada seorang laki-laki atau seorang perempuan diwarisi secara punah (kalalah) sedangkan baginya ada saudara-saudara yang jumlahnya lebih dari dua orang, maka mereka bersekutu atau berbagi sama rata atas 1/3 dari harta peninggalan; (8) pelaksanaan pembagian harta warisan termaksud dalam garis hukum nomor 6 dan 7 di atas itu sesudah dibayarkan wasiat dan hutang-hutang pewaris; (9) pembagian wasiat dan pembayaran hutang pewaris tidak boleh mendatangkan kemudaratan kepada ahli waris.10 (3) Qur`an Surah IV; 176. Qur`an surah IV: 176 mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam, yaitu (1) mereka minta fatwa kepada engkau Muhammad (mengenai kalalah), katakanlah bahwa Allah memberi fatwa kepada kamu mengenai arti kalalah itu, yakni jika seseorang meninggal dunia yang tidak ada baginya anak atau mawali anaknya; (2) kalau orang yang meninggal kalalah itu mempunyai seorang saudara perempuan, maka bagi saudara 10 Lihat, Sajuti Thalib op. cit., h. 24. Hazairin, opcit.,h. 8. H.M. Tahir Azhary Loc. cit. Husnaian Muhammad Makhluf, op. cit., h.57-58. David Stephen Powers, op. cit., h. 46,47,98, dan 105. Robert Roberts, The Social Lawas of the Qoran, (Delhi: Kalam Mahal Darya Ganj, 1977), 64. A. Yusuf Ali, The Holy Qur`an: Tex, Translation and Commentary, (Myland: Amana Corp Brentwood, 1983), h. 182. Abdur-Rahman Doi, op. cit., h. 296-298. Ahmad Kamil KHudary, Al-Mawaris al Islamiyah, (Qahirah: al-Majlis a`la lissyu`uni Islamiyah, 1966), h.36. Muhammad Mustafa Salabi, loc. cit Muhammad Kamal Hamidi, op. cit., h. 37-46.

32

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

perempuan itu mendapat pembagian 1/2 dari harta peninggalan saudaranya; (3) kalau orang yang meninggal kalalah itu ada saudara perempuan dua orang atau lebih, maka pembagian harta warisan bagi mereka 2/3 dari harta peninggala; (4) kalau orang yang meninggal kalalah itu ada saudara-saudara yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua orang saudara perempuan; (5) Allah menerangkan ketentuan tersebut kepada kamu agar kamu tidak keliru mengenai pengertian kalalah dan pembagian harta warisan apabila terjadi pewarisan dalam hal kalalah dan Allah itu mengetahui segala sesuatunya.10 (4) Qur`an Surah IV: 33. Qur`an surah IV: 33 mengandung empat garis hukum, yaitu (1) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan ibu bapaknya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); (2) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan aqrabunnya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); (3) bagi setiap orang, Allah telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari (untuk mewarisi) harta peninggalan tolan seperjanjiannya (yang tadinya akan mewarisi harta peninggalan itu); (4) atas alasan termaksud dalam garis hukum nomor 1, 2, dan 3 di atas, maka berikanlah kepada mereka (mawali) itu bagiannya masingmasing.11 10 Lihat, Sajuti Thalib, op. cit., h. 29. Hazairin, op. cit., h. 9. H.M.Tahir Azhary, op. cit., h.8. David Stephen Powers, op. cit., h.98, 104, 106, dan 107. Husnain Muhammad Makhluf, op. cit., h.79-83. Muhammad Mustafa Salabi, loc. cit. Muhammad Kamal Hamidi, op. cit., h. 59 - 60. 11 Lihat, Sajuti Thalib, op. cit., h. 27. Hazairin, op. cit., h. 8. H.M. Tahir Azhary, loc. cit. Muhammad Mustafa Salabi, op. cit., h. 142-157. Bandingkan dengan uraian H.Moh. Djafar, op. cit., h. 144. Menurut H. Moh. Djafar, Kompilasi Hukum Islam mengenai ahli waris

33

Bab II

b) Hadits Rasulullah yang berhubungan Kewarisan Islam, di antaranya:

dengan

Hukum

(1) Hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Abu Daud Dawud dan at-Tirmizi. Janda Sa`ad bin Ruba`i datang kepada Rasulullah membawa kedua orang anak perempuannya dari Sa`ad lalu ia berkata: "Ya Rasulullah, mereka ini adalah dua orang anak perempuan Sa`ad bin Ruba`i yang telah gugur dalam peperangan di Uhud bersama Anda. Paman mereka mengambil harta peninggalan ayah mereka dan tidak memberikan apa-apa untuk mereka sedang keduanya tidak mungkin kawin tanpa harta". Nabi bersabda: "Allah akan menetapkan hukum mengenai peristiwa itu. Sesudah itu turunlah ayat tentang hukum kewarisan. Kemudian Nabi memanggil si paman anak Sa`ad dan bersabda: Berikan 2/3 pembagian harta warisan untuk kedua orang anak perempuan Sa`ad, 1/8 untuk ibu mereka, dan sisanya adalah untukmu (saudara Sa`ad).12 (2) Hadits Rasulullah dari Usamah bin Zaid yang Diriwa-yatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmizi dan Ibn Majah. Seorang muslim tidak menerima warisan dari yang bukan muslim dan yang bukan muslim tidak menerima warisan dari seorang muslim.13

pengganti di Indonesia merupakan hasil ijtihad kollektif ala ahlis-Sunnah wal-jamaah. Pendapat yang demikian menurut analisis penulis mempunyai unsur kebenaran. Namun perlu diungkapkan di sini bahwa ide itu lahir dari Hazairin atau orang pertama menggunakan istilah mawali di Indonesia. Ijtihad Hazairin akan diuraikan oleh penulis pada kerangka teoretis yang bersumber dari ijtihad. 12

Lihat, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, jilid 2, (Qahirah: Mustafa al-Babi alHalabi, 1952), h. 109. Attirmizi, al-Jami`us-Sahih, (Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1938), h. 414. Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, (Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, tanpa tahun), h. 909. 13 Lihat, Bukhari, Sahih Bukhari, Jilid 8, (Qahirah: Dar al-Matba`us-Sya`bi, tanpa tahun), h. 178. Sajuti Thalib, op. cit., h.35. Syarifuddin, Ahkam al-Miras wal-Wasiyyat, (Qahirah: Dar al-Fikr al-Hadits lit-tab`i wannasyar, 1962), h. 9.

34

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

(3) Hadits Rasulullah dari Abu Hurairah yang Diriwayatkan oleh ibn Majah dan at-Tirmizi. Seorang yang membunuh tidak berhak menerima warisan dari orang yang dibunuhnya.14 c) Ketentuan Hukum kewarisan Islam yang bersumber dari Ijtihad, yaitu: 1) Kewarisan Cucu Kewarisan cucu15 secara tegas tidak dijumpai di dalam Qur`an dan Hadits, sehingga ulama mujtahid (termasuk Hazarin) menetapkan ketentuan warisannya berdasarkan perluasan pengertian kata walad (anak) yang terdapat di dalam Qur`an surah IV: 11, yaitu bukan saja berarti anak yang langsung dilahirkan, melainkan pengertian walad (anak) itu, juga termasuk keturunannya ke bawah (cucu).16 2) Ketentuan Kewarisan Anak Saudara. Ketentuan kewarisan anak saudara si pewaris (kemanakan si pewaris) secara tegas tidak ditemukan di dalam Qur`an dan Hadits, sehingga ulama mujtahid menetapkan ketentuan warisan-nya berdasarkan perluasan pengertian kata akhun (saudara) yang terdapat di dalam Qur`an surah IV: 176, yaitu bukan saja berarti saudara kandung atau se ayah, melainkan pengertian akhun (saudara) itu, juga termasuk keturunannya. 14 Lihat Ibn Majah, op. cit., h. 913. At-Tirmizi, op. cit., h.425. Syari-fuddin, Ibid., h. 8. Husnain Muhammad Makhluf, op. cit., h. 34. Hazairin, op. cit., h. 9. 15 Hukum adat di Indonesia mengakui cucu sebagai ahli waris bila ayah atau ibunya lebih dahulu meninggal dari pewarisnya. Lihat, B.ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh Soebakti Poes-ponoto, (Jakarta: Pradnja Paramita, 1953), h. 210. 16

Lihat Hazairin, op. cit., h. 28.

35

Bab II

3) Ketentuan Kewarisan Paman. Ketentuan kewarisan paman si pewaris, yakni saudara orangtua si meninggal, secara tegas tidak terdapat di dalam Qur`an dan Hadits, sehingga ulama mujtahid menetapkan ketentuan warisannya berdasarkan perluasan pengertian kata kakek dan nenek yang terdapat di dalam hadits Rasulullah dari Qabisah bin Syu`aib yang diriwayat kan oleh Abu Dawud, Ibn Majah, dan at-Tirmizi. Perluasan kata kakek dan nenek itu dapat diartikan dengan memasukkan keturunannya ke bawah yakni paman.17 2) Kerangka Teoretis Dalam pengkajian pelaksanaan hukum Islam, termasuk hukum kewarisan Islam di Indonesia, terjadi perdebatan sengit antara para ahli hukum mengenai status hukum Islam dan hukum adat. Karena itu, timbul 3 (tiga) teori mengenai hubungan hukum Islam dengan hukum adat, yaitu: (1) teori receptio in complexu,18 (2) teori receptie,19 dan teori receptio a contrario.20 Teori yang tersebut terakhir ini dijadikan salah satu

17 Lihat, Abu Dawud, op. cit., h. 100. At-Tirmiziy, op. cit., h. 320. Ibn Majah, op. cit., h.910. Hazairin, Ibid., h. 102. 18

Teori receptio in complexu dipelopori oleh L.W.C. Van den Berg (1845-1927). Van den Berg mengemukakan bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya sebagai satu kesatuan. Lihat, H. Mohammad Daud Ali, op. cit., h. 16. 19 Teori receptie dipelopori oleh Cristian Snouck Hurgronje (1857-1936) dan dikembangkan secara sistematis dan ilmiah oleh C. van Vollenhoven dan B. ter Haar Bzn serta dilaksanakan dalam praktek oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka hukum Islam bukanlah hukum, melainkan hukum Islam baru menjadi hukum kalau telah diterima oleh hukum adat. Lihat, Ibid., h. 17. 20 Teori receptio a contrario dipelopori oleh Hazairin (1905-1975) dan dikembangkan secara sistematis dan dipraktekkan oleh murid-muridnya. Menurut mereka hukum adat dapat menjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat muslim kalau hukum

36

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

kerangka teoretis dalam penulisan disertasi ini berdasarkan pertimbangan bahwa berlakunya hukum kewarisan Islam di Indonesia bukan melalui teori receptio in complexu dan teori receptie melainkan hukum kewarisan Islam berlaku di Indonesia karena kedudukan hukum Islam itu sendiri. Selain teori receptio a contrario yang disebutkan di atas, juga digunakan rumusan-rumusan garis hukum di dalam perundang-undangan dan Kompilasi Hukum Islam yang dijadikan kerangka teoretis.21 b. Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala21a 1) Pendahuluan Bila hukum kewarisan Islam dalam pelaksanaan di Kabupaten Donggala diuraikan, maka perlu diungkapkan: (1) bentuk pelaksanaan hukum kewarisan di luar Pengadilan Agama, yaitu: (1.1) musyawarah ahli waris, (1.2) musyawarah Dewan Adat, dan (1.3) Pengadilan Negeri, (2) bentuk pelaksanaan hukum kewarisan di Pengadilan Agama. Dalam bab ini juga akan diuraikan persesuaian hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat dan perbedaan hukum kewarisan Islam dengan hukum kewarisan adat di Kabupaten Donggala.

adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam. Lihat, Hazairin, op. cit., h. 4. Bandingkan dengan uraian Sajuti Thalib, op. cit., h. 1 dan 2. 21 Pasal 29 UUD 1945 menjamin untuk pelaksanaan hukum kewarisan Islam di Indonesia. Demikian juga Pasal 49 ayat (1) Undang-undang nomor 7 tahun 1989 dan Instruksi Presiden RI tanggal 10 Juni 1991 mengatur pelaksanaan hukum kewarisan Islam bagi masyarakat muslim di Indonesia. 21a Hasil Penelitian penulis pada tahun 1995 berkenaan Penyusunan Disertasi yang berjudul Pelaksanaan Hukum Kewarisan nIslam di Kabupaten Donggala

37

Bab II

2) Pelaksanaan Hukum Kewarisan di Luar Pengadilan Agama Kalau diperhatikan pembagian harta warisan yang dilakukan oleh masyarakat muslim di Kabupaten Donggala di luar Pengadilan Agama Kabupaten Donggala, maka tampak 3 (tiga) bentuk pelaksanaan yaitu, (1) pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris, (2) pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat, dan (3) pembagian harta warisan melalui Pengadilan Negeri di Kabupaten Donggala. Ketiga bentuk pembagian harta warisan tersebut diuraikan masing-masing contohnya sebagai berikut. a) Pembagian Harta Warisan Melalui Musyawarah Ahli Waris Pembagian harta warisan yang dilakukan melalui musyawarah ahli waris terjadi dalam bentuk sistem kemufakatan kekeluargaan yang dilakukan oleh para ahli waris berdasarkan hak pemilikan individu terhadap harta warisan mereka, baik di wilayah penduduk perkotaan (Palu), pegunungan dan daratan (Biromaru dan Dolo) maupun wilayah penduduk pesisir pantai (Banawa dan Tawaeli). Kemufakatan tersebut terjadi karena adanya ahli waris yang dituakan atau adanya kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Sebagai contoh dapat dikemukakan beberapa bukti pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris di Kabupaten Donggala tahun 1990 sampai tahun 1993 sebagai berikut. (1) Ahkam22 meninggal tahun 1990 di Tawaeli. Ia meninggalkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri 22 Ahkam adalah nama samaran yang digunakan oleh penulis untuk kepentingan ilmiah dalam penulisan buku ini. Nama sebenarnya ada dalam buku catatan penulis. Selain itu, digunakan nama samaran dalam penampilan contoh-contoh penyelesaian kasus kewarisan di Kabupaten Donggala kecuali penyelesaian kasus melalui Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala. Penggunaan nama samaran itu, berpedoman

38

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

atas 2 (dua) orang anak laki-laki dan seorang anak perempuan. Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat tinggal, 2 (dua) areal kebun kelapa, tanah perumahan seluas 946 M2, dan sebuah perhiasan kalung emas. Harta warisan dibagi oleh ahli waris melalui musyawarah berdasarkan status hak pemilikan individu terhadap harta warisan mereka.23 Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris berdasarkan hukum Islam karena ada di antara ahli waris yang mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan dan disetujui oleh ahli waris lainnya, yaitu anak perempuan mendapat sebuah rumah tempat tinggal dan sebuah perhiasan kalung emas, 2 (dua) orang anak laki-laki mendapat bagian masing-masing satu areal kebun kelapa dan tanah perumahan 473 M2. Musyawarah pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris Ahkam tersebut, dapat terlaksana karena adanya kerukunan di antara para ahli waris dan adanya ahli waris yang dituakan oleh ahli waris lainnya3

pada huruf awal nama seseorang, misalnya seseorang bernama Ahamad diganti dengan nama Ahkam. Hal itu, dilakukan atas saran-saran dari para ahli waris yang diwawancarai. 23

Abdul Hamid, wawancara, 21 Maret 1994 di Palu.

3

Abdul Hamid, wawancara, 21 Maret 1994 di Palu. Abdul Hamid sebagai salah seorang ahli waris (Ahkam) mengemukakan bahwa pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris mengenai status hak pemilikan individu terhadap harta peninggalan pewarisnya adalah mencerminkan hukum kewarisan Islam yang menjadi hukum adat kewarisan di Kabupaten Donggala. Sejalan dengan hal itu, Drs. Amrin Yodo (sekertaris merangkap anggota Dewan Adat di kelurahan Besusu kecamatan Palu Timur) mengemukakan bahwa "ungkapan istilah langgai molemba mobine manggala dijadikan rech ide atau cita hukum dalam pembagian harta warisan melalui musyawarah, baik musyawarah ahli waris maupun musyawarah Dewan Adat, kecuali bila ada kesepakatan lain yang diinginkan oleh ahli waris. Sebagai contoh dapat dikemukakan misalnya, ahli waris perempuan diberikan lebih banyak atau disamakan dengan bagian anak laki-laki atas persetujuan ahli waris laki-laki berdasarkan pertimbangan bahwa kehidupannya sudah mapan bila dibandingkan dengan kehidupan saudara perempuannya. Drs. Amrin Yodo, wawancara, 27 Maret 1994 di Palu.

39

Bab II

(2) Gesaratu meninggal tahun 1990 di Palu. Ia mening galkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 3 (tiga) orang anak laki-laki dan 3 (tiga) orang anak perempuan. Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat tinggal, 6 (enam) ekor kambing, dan tanah perumahan seluas 700 M2. Harta warisan dibagi oleh ahli waris melalui musyawarah berdasarkan status hak pemilikan individu terhadap harta warisan mereka24 Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris berda-sarkan hukum Islam, yaitu 3 orang anak laki-laki mendapat bagian masing-masing tanah perumahan seluas 200 M2, seorang anak perempuan mendapat bagian tanah perumahan seluas 100 M2, dan dua orang anak perempuan mendapat sebuah rumah tempat tinggal. Menurut Khaerul Tahwila, "musyawarah pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris Gesaratu dapat terlaksana melalui musyawarah karena orangtua mereka sudah membudayakan kerukunan keluarga dalam kehidupan rumah tangga dan menjadikan hukum Islam sebagai pedoman dalam kehidupan rumah tangganya"25. Dari hasil penelitian ditemukan 35 (tiga puluh lima) buah kasus pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris yang telah diuraikan tampak 4 (empat bentuk asas-asas hukum kewarisan Islam, yaitu: (1) asas hukum kewarisan Islam, (2) asas hukum kewarisan adat yang berjiwa Islami, (3) asas hukum kewarisan adat lama, dan (4) asas hukum kewarisan Islam di satu pihak dan di pihak 24 25

Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya), wawancara, 24 April 1994 di Tawaeli

Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya, wawancara, 24 April 1994 di Tawaeli. Hasil musyawarah pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris Gesaratu sesuai hukum Islam, yaitu 2: 1.

40

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

lain asas hukum kewarisan adat suku Kaili yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Ke empat bentuk asas-asas hukum kewarisan tersebut akan diuraikan penyebabnya sebagai berikut. (a) Asas hukum kewarisan Islam tampak dalam pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris karena ada di antara ahli waris yang dituakan oleh ahli waris lainnya mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan dalam pembagian harta warisan dan/atau hukum kewarisan Islam itu sudah menjadi budaya hukum secara turuntemurun dalam keluarga pewaris. Selain itu, terjadi kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Misalnya, pada kasus nomor 1, 2, 3, 4, 5, 7, 10, 11, 13, 14, 16, 17, 19, 21, 22, 23, 31, 32, 33, dan 34. (b) Asas hukum kewarisan adat yang berjiwa Islami tampak dalam pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris bila ada di antara ahli waris yang dituakan oleh ahli waris lainnya mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan dalam pembagian harta warisan tetapi harta warisan mereka relatip sedikit, baik harta warisan yang terdiri atas kebun kelapa, kebun kapok, tanah sawah, maupun harta warisan yang sifatnya usaha. Selain itu, terjadi kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Misalnya, pada kasus nomor 6, 8, 9, 12, 18, 20, 25, 27, dan 28. (c) Asas hukum kewarisan adat lama tampak dalam pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris bila ada di antara ahli waris yang menginginkan tidak dibedakan bagian harta warisan anak perempuan

41

Bab II

dengan bagian harta warisan anak laki-laki sebagai akibat kurang mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam. Sementara anak laki-laki tidak menghendaki terjadinya silang sengketa dalam pembagian harta warisan, sehingga merelakan sebagian haknya untuk dimiliki oleh saudara perempuannya. Selain itu, terjadi kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Misalnya, pada kasus nomor 15, 24, 26, dan 35. (d) Asas hukum kewarisan Islam dan asas hukum kewarisan adat suku Kaili tampak dalam pembagian harta warisan bila ada di antara ahli waris yang dituakan mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan dalam pembagian harta warisan. Di samping itu, terjadi kerukunan keluarga di antara para ahli waris. Selain itu, mereka mempunyai harta warisan yang sifatnya tidak terbagi kepada ahli waris melainkan hanya dapat dimanfaatkan oleh semua ahli waris dan seluruh kerabat keluarga pewaris. Misalnya, pada kasus nomor 29 dan 30. b) Pembagian Harta Warisan Melalui Musyawarah Dewan Adat Kalau masyarakat muslim yang mendiami kabupaten Donggala membagi harta warisannya melalui musyawarah Dewan Adat26 berarti para ahli waris gagal (tidak berhasil) membagi harta warisannya melalui musyawarah di antara 26 Musyawarah Dewan Adat adalah musyawarah penyelesaian suatu permasalahan yang dilakukan oleh mereka yang terdiri atas pemuka adat dan pemuka agama di satu pihak dan di lain pihak ada pemuka agama (baca: Islam) yang berfungsi ganda, yaitu sebagai pemuka agama dan pemuka adat di suatu Desa, Khaerul Tahwila, wawancara, tanggal 28 Juli 1994 di desa Baiya kecamatan Tawaeli.

42

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

mereka. Kegagalan itu ada yang disebabkan oleh kesalah pahaman mengenai harta yang diperoleh salah seorang ahli waris ketika orangtua mereka masih hidup, dan ada yang disebabkan oleh seorang ahli waris menginginkan pembagiannya lebih banyak dari ahli waris lainnya.27 Pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat tersebut, ditemukan oleh penulis 16 buah pembagian harta warisan dan dua kasus diuraikan sebagai berikut. (1) Abbas meninggal tahun 1990 di Tawaeli. Ia meninggalkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 2 (dua) orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki. Harta warisan itu terdiri atas Rp.1.000.000. Harta warisan tersebut dimusyawa-rahkan oleh ahli waris berkenaan dengan status pembagiannya. Namun, musyawarah itu tidak berhasil sehingga diajukan pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat di Desa Baiya28 Musyawarah tersebut dilakukan oleh ahli waris bersama Dewan Adat berdasarkan kerelaan para ahli waris (as-sulhu, yaitu seorang anak laki-laki mendapat bagian Rp. 400.000 dan 2 orang anak perempuan mendapat bagian masing-masing Rp. 300.000). Kesepakatan itu disetujui oleh para ahli waris. Pilihan hukum tersebut dilakukan oleh ketua Dewan Adat karena anak perempuan menghendaki bagian warisannya tidak dibedakan dengan 27 Abd. Hamid mengemukakan bahwa "munculnya masalah kewarisan adalah adanya ahli waris di satu pihak berpendapat bahwa pemberian orangtua kepada anaknya selagi orangtua masih hidup termasuk diperhitungkan sebagai pembagian harta warisan bila terjadi pembagian harta warisan dikemudian hari, di lain pihak ada ahli waris berpendapat bahwa harta yang diperoleh seorang anak dari orang-tuanya selagi orang-tua masih hidup hanyalah pemberian bentuk hibah, sehingga ia menuntut hak yang sama dengan ahli waris lainnya. Anggota Dewan Adat Kelurahan Balaroa, wawancara, 27 Juli 1994 di Palu. 28

Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya), wawancara, 26 Juli 1994 di Tawaeli.

43

Bab II

bagian anak laki-laki. Namun, sesudah tokoh agama memberikan nasehat mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan maka anak perempuan tersebut rela bila bagian warisannya kurang dari saudara laki-lakinya, sedang pihak anak laki-laki tidak menghendaki terjadinya silang sengketa di antara mereka sehingga rela menerima sesuai kehendak saudara perempuannya.29 Pembagian harta warisan yang dilakukan oleh ahli waris Abbas melalui musyawarah Dewan Adat bila dilakukan berdasarkan hukum kewarisan adat lama maka dua orang anak perempuan mendapat bagian Rp 666.600 lebih dan seorang anak laki-laki mendapat bagian Rp 333.300 lebih. Bila dilakukan pembagian harta warisan berdasarkan hukum Islam, maka dua orang anak perempuan mendapat bagian Rp 500.000 dan seorang anak laki-laki mendapat bagian Rp 500.000. Namun, kedua sistem hukum itu tidak diterapkan karena mereka menghendaki kerelaan menerima warisan yang telah disebutkan. (2) Daeng Siata meninggal tahun 1990 di Balaroa. Ia meninggalkan harta warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 4 (empat) orang anak laki-laki dan 2 (dua) orang anak perempuan. Harta itu terdiri atas sebuah rumah tempat tinggal, kebun kelapa seluas 925 M2, perhiasan emas 29 Khaerul Tahwila (Kepala Desa Baiya), wawancara, 26 Juli 1994 di Tawaeli. Kepala Desa Baiya mengemukakan bahwa "musyawarah Dewan Adat adalah musyawarah yang menghasilkan perdamaian di antara mereka yang bersengketa". Hasil musyawarah Dewan Adat mencerminkan hukum kewarisan adat lama yang hampir tidak membedakan bagian warisan anak laki-laki dengan anak perempuan. Hal itu dilakukan oleh Dewan Adat karena pihak perempuan tidak mengetahui pentingnya hukum kewarisan Islam sebagai bagian dari ajaran agama Islam.

44

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

berupa kalung, dan tanah perumahan seluas 1.312,50 M2. Harta warisan tersebut dikuasai sebagian oleh anak yang kedua laki-laki, sehingga ahli waris lainnya menuntut haknya melalui Dewan Adat di Kelurahan Balaroa.30. Musyawarah tersebut, Dewan Adat menerapkan hukum Islam, yaitu anak terakhir laki-laki mendapat bagian kebun kelapa, anak kedua laki-laki mendapat tanah perumahan, anak pertama perempuan mendapat sebuah rumah tempat tinggal, dan anak ketiga perempuan mendapat tanah perumahan bersama perhiasan emas. Bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan. Pilihan hukum tersebut dilakukan oleh ketua Dewan Adat atas persetujuan ahli waris ketika tokoh agama sudah menyampaikan nasehat kepada ahli waris mengenai keadilan yang dikandung oleh hukum kewarisan Islam dan pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan.31 Pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat yang telah diuraikan 16 (enam belas) buah kasus, tampak 15 (lima belas) buah kasus mencerminkan asas hukum kewarisan Islam, yaitu kasus nomor 2 sampai 16. Hal itu menunjukkan peranan ketua dan anggota Dewan Adat dalam menerapkan hukum kewarisan Islam amat besar. Peranan ketua dan anggota Dewan Adat itu tampak karena ada di antara ketua dan anggota Dewan Adat yang berasal dari tokoh agama Islam yang 30

Abd. Hamid (ketua Dewan Adat di kelurahan Balaroa, wawancara, 27 Juli 1994

di Palu. 31

Abd. Hamid (Ketua Dewan Adat Kelurahan Balaroa), wawancara, 27 Juli 1994 di Palu. Ketua adat mengemukakan bahwa ketua dan anggota Dewan Adat merupakan parner kerja kepala Desa atau kepala kelurahan disetiap tempat pelaksanaan pemerintahan.

45

Bab II

menyampaikan kepada ahli waris mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam dilakukan dalam pembagian harta warisan, sehingga ahli waris menyadari selaku orang yang beragama Islam untuk melakukannya. Karena itu, tokoh agama Islam berfungsi ganda dalam masyarakat muslim di Kabupaten Donggala, yaitu di satu pihak sebagai anggota Dewan Adat dan di pihak lain sebagai tokoh agama Islam yang menyadarkan ahli waris untuk melakukan pembagian harta warisan berdasarkn hukum Islam. Selain mencerminkan hukum kewarisan Islam pada pembagian harta warisan melalui musyawarah Dewan Adat tersebut, ditemukan kasus nomor 1 yang tidak mencerminkan asas hukum kewarisan adat lama dan tidak mencerminkan asas hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam alQur`an surah IV: 11, 12, dan 176 tetapi dapat digolongkan tidak bertentangan hukum kewarisan Islam karena masing-masing ahli waris rela menerima bagian warisan yang disepakati melalui musyawarah Dewan Adat. Kerelaan kedua pihak tersebut, disebut as-sulhu. c) Pembagian Harta Warisan Melalui Pengadilan Negeri di Kab. Donggala. Kalau diperhatikan masyarakat muslim di Kabupaten Donggala tahun 1989 sampai tahun 1993 dalam memperoleh hak warisan melalui Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala, maka ditemukan 21 buah putusan pengadilan dan dikemukakan dua buah kasus sebagai berikut. (1) Amrin v. Ladju cs, 15/Pdt.G/1990/Pn. Palu, 18 Juni 1990. Amrin dalam perkara ini sebagai ahli waris yang tidak ikut menyetujui penjualan harta warisan yang dilakukan oleh Ladju cs (saudara-saudaranya) sehingga ia menggugat Ladju cs ke Pengadilan Negeri Kabupaten

46

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Donggala untuk memperoleh hak warisannya. Gugatan tersebut menyatakan bahwa Lawasi meninggal tahun 1987 di Tawaeli meninggalkan warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 5 orang anak laki-laki bersama 5 (lima) orang anak perempuan dan berupa harta yang terdiri atas sebuah kebun kelapa 100 pohon. Harta tersebut dijual oleh anak laki-laki yang pertama dan disetujui oleh 8 orang saudaranya. Pada gugatan tersebut, penggugat mengemukakan bahwa harta warisan yang menjadi obyek sengketa adalah harta peninggalan Lawasi (ayah penggugat dan tergugat) yang belum terbagi kepada ahli warisnya, sehingga perbuatan hukum yang dilakukan oleh tergugat cs bertentangan dengan hukum kewarisan adat yang berlaku dalam masyarakat di Kabupaten Donggala karena tanpa sepengetahuan penggugat sebagai ahli waris. Karena itu, penggugat memohon sita jaminan pada harta yang menjadi obyek sengketa kepada ketua Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala. Berdasarkan gugatan penggugat, maka tergugat mengemukakan jawaban bawa ia tidak memberitahukan kepada penggugat karena tidak ada di Palu, melainkan ia berada di Jakarta. Selain itu, tergugat mengemukakan bahwa akan memberikan harta peninggalan lainnya bila tergugat menuntut hak warisannya. Berdasarkan gugatan ini, hakim memeriksa perkara tersebut dalam 12 kali sidang. Pada sidang-sidang tersebut, hakim selalu berusaha mendamaikan kedua pihak dan akhirnya berhasil. Pada sidang yang ke-12 pihak penggugat mencabut gugatannya dengan dalil pihak tergugat menginginkan pembagian harta warisan melalui musyawarah ahli waris.

47

Bab II

Mereka melakukan musyawarah yang menghasilkan kesepakatan berdasarkan hukum kewarisan adat lama, yaitu setiap ahli waris mendapat bagian masing-masing Rp 50.000. Hasil kesepakatan itu disahkan oleh hakim melalui putusan Akta Perdamaian.32 Putusan pengadilan tersebut mencerminkan hukum kewarisan adat lama yakni bagian anak laki-laki sama nilainya dengan bagian anak perempuan. Hal itu terjadi karena adanya pengaruh ekonomi. Selain itu ketidaktahuan ahli waris mengenai pentingnya hukum kewarisan Islam untuk dilaksanakan. Namun putusan itu tidak bertentangan dengan hukum adat Kaili yang berlaku dewasa ini karena adanya asas musyawarah yang mengihlaskan pembagian yang disepakati kedua pihak. (2) Moh. Kasim Dg. Matjora cs v. Baiduri, 21/Pdt.G/ 1992/Pn. Palu, 6 Juli 1992. Moh. Kasim Dg. Matjora dalam perkara ini adalah ahli waris Sunga, sedang Baiduri adalah saudara pewaris yang menguasai harta peninggalan Sunga, sehingga Moh. Kasim menggugat Baiduri berdasarkan hukum kewarisan adat ke Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala untuk memperoleh hak warisannya. Pada gugatan itu dinyatakan bahwa Sunga meninggal dunia di Palu; meninggalkan warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 5 (lima) orang anak laki-laki bersama 2 (dua) orang anak perempuan dan harta terdiri atas tanah kebun seluas 2.345 M2. Harta warisan itu dikuasai oleh saudara pewaris (Baiduri) dan sudah dijual sebagian dengan harga Rp.510.000.-

32

Juni 1990.

48

Pengadilan Negeri Palu, Putusan Perdata nomor 15/Pdt.G/1990/Pn. Palu, 18

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pada gugatan tersebut, penggugat menyatakan bahwa tergugat tidak berhak menjual harta peninggalan Sunga tanpa sepengetahuan ahli warisnya (para penggugat). Karena itu, perbuatan hukum yang dilakukan oleh tergugat bertentangan dengan hukum kewarisan adat yang berlaku di Kabupaten Donggala. Berdasarkan gugatan penggugat, pihak tergugat mengemukakan bahwa harta yang menjadi obek sengketa adalah harta peninggalan ayahnya yang belum dibagi waris kepada ahli warisnya sehingga ia berhak menguasainya. Berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban tergugat, hakim memeriksa alasan-alasan, saksisaksi dan bukti-bukti penggugat dan tergugat dalam 7 kali sidang dan ternyata tergugat tidak mempunyai alat bukti. Pada sidang-sidang tersebut, hakim selalu berusaha mendamaikan ke dua pihak dan dibantu oleh pihak keluarga Baiduri sehingga mereka mau berdamai. Pada sidang terakhir penggugat mencabut gugatannya dengan dalil pihak tergugat ingin melakukan musyawarah di antara mereka. Karena itu, saudara pewaris (Baiduri) mengembalikan tanah kebun dan harga tanah kepada Moh. Kasim cs. Hasil perdamaian itu disahkan oleh hakim melalui putusan Akta 33 Perdamaian. Hasil kesepakatan tersebut, mencerminkan hukum kewarisan adat suku Kaili di satu pihak, yakni tergugat tidak berhak mewarisi harta peninggalan Sunga karena pewaris meninggalkan anak sehingga ia mengembalikan 33 Pengadilan Negeri Palu, Putusan Perdata nomor 21 tanggal 6 Juli 1992 mencerminkan hukum kewarisan Islam karena tidak memberikan warisan kepada saudara pewaris.

49

Bab II

kepada ahli warisnya dan di pihak lain mencerminkan hukum kewarisan Islam karena saudara pewaris mengembalikan harta warisan kepada ahli waris Sunga (penggugat) sebagai orang yang berhak mewaris. Dari 21 (dua puluh satu) buah kasus pembagian harta warisan melalui Pengadilan Negeri Kabupaten Donggala yang telah telah diuraikan, ditemukan pencerminan hukum adat Kaili yang sesuai hukum Islam sebanyak 7 (tujuh) buah kasus, yaitu kasus nomor 7, 8, 11, 13, 17, 19, dan 21. Demikian juga putusan pengadilan yang mencerminkan hukum kewarisan adat yang berasaskan musyawarah mufakat antara penggugat dan tergugat dapat dianggap tidak bertentangan hukum Islam, yaitu kasus nomor 1, 2, 3, 4, dan 5. Selain mencerminkan hukum kewarisan adat dan Islam yang telah diuraikan ditemukan juga asas-asas hukum kewarisan adat lama satu kasus, yaitu kasus nomor 11. Sebaliknya, ditemukan juga putusan pengadilan yang tidak mencerminkan asas-asas hukum, baik asas hukum adat maupun asas hukum Islam, melainkan hal itu hanya berpedoman kepada formalitas beracara di pengadilan, yaitu kasus nomor 6, 9, 10, 12, 14, 15, 18, dan 20. d) Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Pengadilan Agama Kabupaten Donggala Putusan Pembagian harta warisan yang dilakukan oleh Pengadilan Agama Kabupaten Donggala tahun 1990 sampai dengan tahun 1993 ditemukan 6 (enam) buah kasus pembagian harta warisan dan dua kasus diantaranya dikemukakan sebagai berikut.

50

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

(1) H. Baharuddin dan Rabiah bin H. Baele v. Hj. Hajare binti H. Baele cs, 169/Pdt.G/1990/PA. Palu, 23 September 1990. H. Baharuddin dan Rabiah H. Baele dalam perkara ini adalah ahli waris anak laki-laki dan perempuan, sedang Hj. Hadjare cs adalah ahli waris anak perempuan bersama janda istri ke dua dan anaknya sebagai penguasa harta peninggalan H. Baele yang belum terbagi kepada ahli warisnya. Karena itu, H. Baharuddin dan Rabiah menggugat Hj. Hajare cs berdasarkan hukum Islam ke Pengadilan Agama Kabupaten Donggala untuk memperolah hak warisannya dengan cara menjual rumah. Pada gugatan tersebut, dinyatakan bahwa H. Baele meninggal tahun 1988 di Palu. Ia meninggalkan warisan kepada ahli waris yang terdiri atas 3 orang anak perempuan bersama 2 orang anak laki-laki dari istri pertama, seorang anak perempuan bersama seorang anak laki-laki dari istri kedua, janda istri kedua; harta yang ditinggalkannya terdiri atas dua buah rumah tempat tinggal. Harta berupa sebuah rumah tempat tinggal dikuasai oleh istri kedua dan sebuah rumah lainnya dikuasai oleh anak kedua sampai anak kelima dari istri pertama. Pihak tergugat mengemukakan bahwa harta yang dikuasinya adalah harta peninggalan pewarisnya dan ia adalah termasuk ahli waris sehingga ia berhak menempati rumah yang menjadi obyek sengketa warisan.34 Berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban tergugat serta keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti, ternyata bahwa penggugat dan tergugat belum 34 Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan 169/Pdt.G/1990/PA. Palu, 23 September 1990.

nomor

51

Bab II

memperoleh hak warisan. Karena itu, hakim memutuskan bahwa gugatan penggugat diterima sebagian, yaitu 5 (lima) orang anak dari istri pertama mendapat sebuah rumah tempat tinggal di Palu, sedangkan istri kedua bersama dua orang anaknya mendapat sebuah rumah tempat tinggal di Tawaili.35 Putusan pengadilan tersebut tidak mencerminkan hukum kewarisan Islam, melainkan hanya mencerminkan hukum kewarisan adat suku Kaili, yaitu pembagian harta warisan secara kollektip kepada ahli waris, sehingga memungkinkan muncul masalah baru kepada yang berhak menerima warisan kollektip. (2) Yandi v. ahli waris lainny, 122/Pdt.G/ 1991/PA. Palu, 23 Juli 1991. Yandi dalam perkara ini adalah ahli waris anak laki-laki menggugat ahli waris perempuan sebagai penguasa harta peninggalan ayahnya ke Pengadilan Agama Kabupaten Donggala untuk memperoleh hak warisannya sesuai hukum Islam. Pada gugatan tersebut, dinyatakan bahwa Yabakita meninggal tahun 1952 di Tatanga. Ahli waris yang ditinggalkan terdiri atas 2 (dua) orang anak laki-laki, 3 (tiga) orang anak laki-laki bersama seorang anak perempuan melalui anak perempuan pertama yang lebih dahulu meninggal dari pewarisnya, 2 (dua) orang anak laki-laki bersama 2 (dua) orang anak perempuan melalui anak laki-laki kedua yang lebih dahulu meninggal dari pewarisnya, 2 (dua) orang anak

35 Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor 169/Pdt.G/1990/PA. Palu, 23 September 1990 tampak tidak membedakan bagian seorang anak laki-laki dengan bagian seorang anak perempuan, dan janda istri kedua. Selain itu, tidak membedakan harta perkawinan istri pertama dengan istri kedua. Namun, kedua pihak menerima putusan itu.

52

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

perempuan bersama seorang anak laki-laki melalui anak laki-laki ketiga yang meninggal lebih dahulu dari 36 pewarisnya. Harta warisan yang ditinggalkannya terdiri atas kebun kelapa 764 pohon, tanah perumahan 1200 meter. Harta tanah perumahan itu belum terbagi kepada ahli warisnya dan dikuasai oleh anak laki-laki dan perempuan melalui anak pertama perempuan yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya berdasarkan wasiat pewaris. Karena itu, penggugat menuntut warisannya berdasarkan hukum Islam. Pihak penggugat mengemukakan bahwa harta yang dikuasainya adalah pemberian pewaris melalui surat wasiat.37 Berdasarkan gugatan penggugat dan jawaban tergugat serta keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti dalam persidangan, terungkap bahwa wasiat pewaris tidak disetujui oleh ahli waris lainnya. Karena itu, hakim membatalkan wasiat pewaris dan harta peninggalan dibagi kepada ahli warisnya sesuai dengan ketentuan hukum kewarisan Islam, yaitu anak laki-laki dan perempuan yang meninggal lebih dahulu dari pewarisnya digantikan kedudukannya oleh anaknya atau keturunannya. Selain itu, bagian warisan seorang anak

36 Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor 122/Pdt.G/1991/PA. Palu, 23 Juli 1991. 37

Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor 122/Pdt.G/1991/PA.Palu, 23 Juli 1991 mempunyai pertimbangan hukum bahwa wasiat kepada ahli waris tertentu yang tidak disetujui oleh ahli waris lainnya adalah batal demi hukum atau dibatalkan oleh hakim.

53

Bab II

laki-laki sama dengan bagian warisan dua orang anak perempuan38 Putusan Pengadilan tersebut mencerminkan asas hukum kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Qur`an surah IV: 11, 12, dan 33, yaitu ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari orangtuanya digantikan oleh turunannya. Kesimpulan

1. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara Filosofis berdasarkan Sila Pertama Pancasila

2. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara yuridis berdasarkan Pasal 29 UUD 1945

3. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara sosiologis diterima oleh masyarakat muslim yang mendiami negara republik Indonesia berdasarkan fakta hukum melalui putusan Pengadilan Agama

4. Siginifikansi Penyusunan RUU Hukum Materil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan Islam di Indonesia secara historis berdasarkan teori recepcie in complexu dan teori receptio a contrario

5. Karakteristik penyelesaian pembagian harta warisan di Indonesia: Studi Kasus di Kabupaten Donggala melalui 4 38

Pengadilan Agama Palu, Putusan pembagian harta warisan nomor 122/Pdt.G/1991/PA. Palu, 23 Agustus 1991. Pertimbangan hukum putusan itu adalah Pasal 184, dan 185 Kompilasi hukum Islam, dan Pasal 49 ayat (3) Undang-undang nomor 7 Tahun 1989.

54

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

(empat) bentuk, yaitu Melalui musyawarah ahli waris, melalui musyawarah dewan adat, melalui Pengadilan Agama, dan Melalui Pengadilan Umum (Negeri). Ke empat bentuk penyelesaian pembagian harta warisan dimaksud, mencerminkan asas-asas hukum kewarisan Islam, hukum kewarisan adat yang menjiwai hukum kewarisan Islam, dan asas hukum kewarisan adat lama sebagai akibat ketidak tahuan filosofi hukum kewarisan Islam. Daftar Pustaka Abdrrahman, H., Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 1992 Abdurrahman I Doi, Shari`ah: The Islamic Law, London: Delux Press, 1984 Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, jilid 2, Qahirah: Mustafa al-Babi alHalabi, 1952 Ahmad Kamil KHudary, Al-Mawaris al Islamiyah, Qahirah: al-Majlis a`la lissyu`uni Islamiyah, 1966 Ali, Mohammad Daud. Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta: Yayasan Risalah, 1985. ---------. Asas-Asas Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 1991 Ali, Zainuddif, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam di Kabupaten Donggala, Palu: Yayasan Masyaraakat Indonesia Baru, 1998 ---------. Sosiologi Hukum, Cetakan ke-6, Jakarta: Sinar Grafika, 2010 ---------. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Cetakan ke 3, Jakarta: Sinar Grafika, 2010 Attirmizi, al-Jami`us-Sahih, Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1938

55

Bab II

Azdiy Abu Dawud Sulaiman Ibn al-Asy`as as-Sajistan al. Sunan Abu Dawud. Jilid 2. Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1952. Azhar Basyir, Ahmad. Hukum Adat Bagi Ummat Islam. Jogyakarta: Nurcahaya, 1983. Azhary, H.M. Tahir.. Bunga Rampai Hukum Islam. Jakarta: Ind-HildCo, 1992. B.ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, diterjemahkan oleh Soebakti Poesponoto, Jakarta: Pradnja Paramita, 1953 Bukhari, Muhammad bin Ismail al. Sahih al-Bukhari. Jilid 8, Qahirah: Dar as-Sya`bi, tanpa tahun. David Steven Powers, The Formation of The Islamic Law of Inheritance, America: International Microfilms University Press, 1986 Djafar, H. Moh. "Polemik Antara Prof. Dr. Hazairin dan Para Pengritiknya Mengenai Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur`an dan Hadith: Suatu Studi Perbandingan". Disertasi Doktor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1993. Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur`an dan Hadith. Jakarta: Tintamas, 1990. Husnain Muhammad Makhluf, Almawaris fi As-Syari`at al-Islamiyah, Qahirah: Matabi` al-Ahram at-Tijariyah, 1971 Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, Qahirah: Mustafa al-Babi alHalabi, tanpa tahun Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Jilid 2, Qahirah: Mustafa al-Babi al-Halabi, tanpa tahun Muhammad Mustafa Salabi, Ahkam al-Mawaris Bainal Fiqhi wa alQanun, Beirut: Dar an-Nadafat at-Tarbiyah, 1978

56

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Muhammad Kamal Hamidi, Al-Mawaris wa al-Hibah wa alWasiyyat, Iskandariyah: Dar al-Matbu`ah al-Jami`ah, tanpa tahun Robert Roberts, The Social Lawas of the Qoran, Delhi: Kalam Mahal Darya Ganj, 1977 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1981 Syarifuddin, Ahkam al-Miras wal-Wasiyyat, (Qahirah: Dar al-Fikr alHadits lit-tab`i wannasyar, 1962 Yusuf Ali, The Holy Qur`an: Tex, Translation and Commentary, Myland: Amana Corp Brentwood, 1983

57

Bab II

58

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

PARADIGMA BARU HUKUM WARIS ISLAM DI INDONESIA Edi Riadi

Latar Belakang Hukum Waris Islam yang dibangun sejak abad ke tujuh masehi sampai saat ini, dalam tataran teoritis, tidak mengalami perubahan dan senantiasa akan tetap dipertahankan seperti itu karena hukum waris Islam dianggap hukum Tuhan yang berlaku sepanjang masa dan tidak menerima perubahan. Para fuqaha (ahli di bidang hukum Islam) berpendapat hukum waris Islam dan begitu juga bidang hukum Islam lainnya dianggap merupakan perintah Allah swt. yang harus dilaksanakan apa adanya tanpa reserve sehingga hukum tersebut diistilahkan dengan hukum ta’abbudi (wajib diikuti sebagai ibadah/kepatuhan kepada Allah swt.), bukan hukum ta’aqulli yaitu hukum yang dapat dilakukan perubahan sesuai dengan perkembangan sosial dan budaya masyarakatnya. Persepsi para fuqaha mengenai hukum Islam, khususnya hukum waris Islam, seperti itu berdampak stagnasi hukum Islam itu sendiri, sehingga tertinggal dari sistem hukum lain yang senantiasa mengalami perubahan. Sistem hukum waris Islam, pada zamannya, dapat dikatakan sebagai hukum waris yang sangat modern dibanding dengan sistem hukum waris lain. Ambil contoh sebagai perbandingan, di beberapa negara bagian Amerika pada abad ke 19 jika seorang meninggal dunia harta warisan khususnya yang berbentuk properti diwariskan kepada anak laki-laki sulung.11 11 Lawrence M. Friedman, A History of American Law, New York, Simon and Schuster, 2005, H.29.

59

Bab II

Pewarisan seperti demikian sudah lama dihapus oleh Islam sejak saat penyebaran Islam di Madinah lima belas abad lalu dengan menerapkan hukum waris yang berbasiskan keadilan tanpa membedakan antara laki-laki dan perempuan serta tanpa membedakan dewasa atau belum dewasa. Walaupun porsi perempuan hanya mendapat setengah bagian dari porsi laki-laki, namun demikian porsi waris perempuan tersebut merupakan terobosan paling kotroversial pada zaman itu, karena pada saat itu wanita tidak memiliki hak untuk mewaris bahkan wanita dijadikan objek warisan seperti benda.12 Hukum waris Islam yang lima belas abad lalu merupakan hukum paling modern, pada masa kini menjadi hukum yang kehilangan ruh kemodernan dan ruh keadilannya ditengah perkembangan sosio-kultural masyarakat kini. Problem beda agama dan anak angkat yang menjadi penghalang pewarisan, bagian wanita separuh dari laki-laki dalam hukum waris Islam mendapat kritikan tajam dari kalangan ahli hukum modern. Lebih dari itu lembaga dzawil arham13 yang dibangun para fuqaha merupakan problem hukum waris Islam lainnya yang sangat kontroversial dan bias gender. Lembaga dzawil arham sebagai model hukum waris Islam yang dibangun atas landasan pola berfikir masyarakat Arab yang patrilineal sangat tidak relevan dengan rasa keadilan masyarakat modern. Sistem hukum waris Islam yang dibangun fuqaha lima belas abad yang lalu, pada masa 12 Muhammad Ahmad Ismail al-Muqarrim, al-Mar’ah Baina Takrim al-Islami wa Ihanati al-Jahiliyyati, Kairo, Dar Ibnu al-Jauzi, 2005, h.57. 13 Dzawil arham kerabat yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris akan tetapi tidak termasuk ahli waris seperti cucu dari anak perempuan, perempuan keturunan dari saudara sekandung dan seayah, keturunan dari saudara seibu, bibi dar pihak ayah, paman dan bibi dari pihak ibu, perempuan keturunan dari paman pihak ayah, kakek dari pihak ibu. Lihat A. Hussain, The Islamic Law of Succession, Riyad, Darussalam, 2005, h. 164,181, 211, 218, 228,285; Lihat pula Syihabuddin Ahmad bin Hajar al-Haitami, Tuhfah alMuhtaj bi Syarhi al-Muhtaj, Kairo, Dar al-Fikr, tth. H. 393.

60

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

sekarang sudah tidak berpihak pada keadilan, pluralisme, dan kesetaraan gender sehingga sulit diterima oleh masyarakat modern yang menjunjung tinggi kesetaraan gender dan pluralisme.14 Upaya pembaharuan hukum Islam banyak dilontarkan para pemikir Muslim. Contoh sangat kontroversial diprakarsai Abdullah Ahmed an-Naim dengan teori nasikh mansukh ayat-ayat madaniyah yang dianggapnya bersifat sektoral dan temporal oleh ayat-ayat makiyyah yang menurutnya bersifat universal,15 Syahrur dengan teori limit memaknai al-Qur’an surah al-Nisa IV:11,12, 176 yang mengatur porsi waris anak wanita , saudara wanita, dan istri mendapat separuh dari anak laki-laki, saudara laki dan suami merupakan batas minimal sehingga porsi anak wanita, saudara wanita, dan istri dapat berubah menjadi sama yang dengan porsi anak laki-laki, saudara laki-laki, dan suami.16 Pembaruan pemikiran hukum Islam yang dimunculkan oleh Abdullah Ahmed an-Naim dan pemikir Islam lainnya sulit diterima oleh fuqaha yang memahami hukum sebagai ketentuan ta’abbudi. Di Indonesia, Hazairin sebagai pembaru hukum waris Islam pertama melontarkan teori “Waris Bilateral” selanjutnya diikuti oleh Munawir Sadzali dengan gagasan reaktualisasi hukum Islam. Hazairin berpendapat ayat-ayat al-Qur’an yang mengatur tentang hukum waris mencita-citakan bentuk masyarakat

14

Lihat Robert Spencer, Islam Unveiled, San Francisco, Encounter Books, 2002,

h.73-92. 15 Abdullah Ahmed an-Naim, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Right and International Law, (Dekontruksi Syari’ah: Wacana Kebebasaan Sipil, Hak Asasi Manusia dan Hubungan International, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani, Yogyakarta, LKiS, 1994, h.110. 16 Muhammad Shahrur, Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqhi al-Islami, (terj. Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin), Yogyakarta, Elsaq press, 2004, h.317-424.

61

Bab II

bilateral.17 Sehingga dengan landasan berfikir semacam itu, Hazairin memahami Hadits tentang kewarisan bukan merupakan produk hukum yang berlaku umum dan abadi bagi semua ummat Islam, akan tetapi harus dipahami sebagai produk peradilan yang berlaku parsial dan temporal dalam menyelesaikan kasusperkasus.18 Sedangkan Munawir Sadzali melontarkan kritikan porsi waris wanita setengah bagian dari laki-laki dengan memandang hukum Islam secara kontekstual.19 Menurut Munawir Sazali hukum Islam tidak sepenuhnya ta’abbudi melainkan mengadung sifat ta’aquli, sehingga hukum Islam lentur untuk menerima perubahanperubahan sesuai perkembangan zaman dan budaya masyarakat. 1. Hukum ideal dan realistis. Hukum ideal adalah hukum yang dicita-citakan. Sedangkan hukum realistis adalah hukum yang dihasilkan dengan cara mensinergikan hukum ideal dan hukum berlaku ditengah masyarakat. Hukum ideal bermuatan rasa keadilan universal, sedangkan hukum realistis bermuatan keadilan lokal dan temporal. Hukum ideal tidak mungkin diberlakukan ditengah masyarakat tertentu dalam kurun waktu tertentu tanpa mempertimbangkan kesadaran hukum masyarakat tersebut pada masanya. Oleh karena itu proses sinergi hukum ideal dengan hukum yang berlaku dalam masyarakat menjadi hukum realistis merupakan suatu keniscayaan agar hukum tersebut bermuatan rasa keadilan masyarakat. Karakteristik hukum realistis hanya berlaku dalam masyarakat pada masa tertentu, dan belum tentu dapat diberlakukan dalam masyarakat lainnya dalam kurun waktu 17

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith, Jakarta, Tintamas, 1981, h.13. 18 19

Ibid, h. 94.

Munawir Sjadzali, Dari Lembah kemiskinan, dalam Muhammad Wahyuni Navis (ed.), Kontektualisasi Ajaran Islam, Jakarta, Paramadina, 1995, h.87-96.

62

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

yang sama atau kurun waktu berbeda karena rasa keadilan masyarakatnya berbeda. Hukum waris fikih adalah hukum realistis untuk masyarakat Arab pada masa itu oleh karenanya mungkin banyak kaidah hukum waris ala fikih yang sudah tidak relevan untuk masyarakat Indonesia pada masaa kini. Dalam hal inilah diperlukan tajdid hukum yang berkesinambungan paralel dengan tuntutan keadilan lokal sebagai akibat perubahan sosio-kultural masyarakat. Al-Qur’an surah al-Nisa IV:7 diturunkan untuk merubah realitas sosio-kultural masyarakat Arab pada masa itu yang membedakan wanita dari laki-laki. Masyarakat Arab menempatkan laki-laki sebagai subjek hukum sedangkan wanita sebagai objek hukum. Bahkan wanita pada masa itu dapat diwarisi karena dianggap sebagai objek hukum. Al-Qur’an surah al-Nisa IV:7 tersebut merupakan kaidah yang berfungsi sebagai tool of social engineering mendudukkan wanita dan laki-laki setara didepan hukum, keduanya menjadi subjek hukum, oleh karenanya ayat tersebut merupakan hukum ideal, dimana laki-laki dan perempuan sama-sama dapat mewaris baik dalam keluarga inti maupun dalam keluarga besar. Ayat tersebut bermuatan keadilan universal, sehingga bersifat qath’i yang tidak akan mengalami perubahan. Adapun Al-Qur’an surah al-Nisa 11, 12 dan 176 dan Hadits Nabi Muhammad mengenai kewarisan merespon kultur masyarakat yang mengkondisikan laki-laki berperan penuh dalam hampir semua wilayah kehidupan, karena pada umumnya semua wilayah kehidupan saat itu bergantung pada kekuatan fisik yang dimiliki laki-laki. Ayat 11, 12, dan 176 dan Hadits Nabi Muhammad tentang kewarisan yang mempertimbangkan peran besar laki-laki dan peran domestik kaum wanita dalam kontek sosio kultural masyarakat Arab pada masanya merupakan hukum realistik, sehingga pada umumnya dalam tiga ayat dan Hadits Nabi

63

Bab II

Muhammad tentang kewarisan membedakan kedudukan dan hak laki-laki dari wanita dalam hukum kewarisan. Oleh karena itu ketiga ayat dan Hadits Nabi Muhammad tentang kewarisan tersebut bermuatan keadilan lokal dan temporal sehingga bersifat dzonni. Pemahaman qath’i dan dzanni dalam ayat dan Hadits hukum tidak mesti dilihat dari sisi linguistik maupun periwayatan melainkan dapat dilihat dari sisi muatan keadilannya. Ayat dan hadits yang bermuatan keadilan universal merupakan dalil qath’i, sedangkan ayat Al-Qur’an dan Hadits yang bermuatan keadilan lokal dan temporal merupakan dalil dzanni. 2. Dialektik tafsir tekstual dan kontekstual. Pada masa awal Islam, tingkat moderasi tafsir terhadap teks Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad sangat tinggi. Para sahabat berkreasi memahami teks Al-Qur’an dan Hadits sesuai tingkat keluasan dan kedalaman pengetahuannya. Zaid bin Tsabit yang dijuluki oleh Nabi Muhammad sebagai sahabat yang afqahu shahabah fiilmi al-irst merupakan orang yang luas pengetahuannya dibidang hukum kewarisan masyarakat Arab, sehingga ia lebih mampu memahami teks Al-Qur’an dan Hadits tentang kewarisan yang bersinergi dengan hukum yang berlaku pada masyarakat Arab saat itu. Sedangkan Ibnu Abbas hanya memiliki kemampuan memahami teks al-Qur’an dan Hadits tentang kewarisan tanpa memiliki kemampuan mensinergikan dengan hukum adat masyarakat Arab. Tafsir Zaid bin Tsabit tentang waris merupakan mainstream sehingga banyak diikuti para fuqaha, karena pendapat Zaid bin Tsabit sangat dirasakan sesuai dengan keadilan masyarakat setempat saat itu. Aliran Ibnu Abbas banyak ditinggalkan para fuqaha karena tidak bermuatan keadilan lokal, sehingga tafsir Ibnu Abbas tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat Arab pada masanya. Akan tetapi tafsir Ibnu Abbas lebih dirasa bermuatan keadilan pada masa kini. Tafsir Ibnu

64

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Abbas mengenai kata walad dalam Al-Qur’an surah Al-nisa IV:176 mencakup anak laki-laki dan wanita selaras dengan pergeseran keluarga moderen yang meninggalkan keluarga besar menjadi keluarga inti, dimana saudara sebagai keluarga besar baru dapat mewaris jika pewaris tidak meninggalkan keturunan. Demikian halnya tafsiran Ibnu Abbas terhadap Al-Qur’an surah al-Nisa IV:11 dalam kalimat ‘fain lam yakun lahu waladun wawaritsahu abawahu fali ummihi altsuluts’ bahwa ibu mendapat dari sepertiga besar mengindikasikan ibu setara dengan ayah, karena ibu dalam kasus tertentu bisa memperoleh waris melebihi porsi ayah. Tafsir Ibnu Abbas ini menghilangkan asas 2 : 1 antara porsi laki-laki dengan porrsi perempuan. Tafsir Zaid bin Tsabit merupakan tafsir kontekstual pada masa itu, sehingga menciptakan hukum progresif yang membentuk hukum realistis dan diterima masyarakat Arab, sedangkan tafsir ibnu Abbas merupakan tafsir tekstual pada masa itu bermuatan hukum ideal dan tidak realistis, sehingga membentuk hukum yang tidak bermuatan keadilan lokal dan temporal pada masanya, yang berakibat tereliminasi karena tidak populer ditengah masyarakat Arab saat itu. Namun demikian tafsir Ibnu Abbas mendekati hukum ideal sehingga relevan untuk diterapkan pada masa kini. 3. Perkembangan hukum waris di Indonesia. Reaktualilasi hukum waris Islam yang dilontarkan oleh Hazairin dan Munawir Sadzali baru diterima dan diterapkan oleh para hakim Pengadilan Agama setelah hukum waris, perkawinan, dan wakaf dikodifikasikan dalam bentuk Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI khususnya mengenai bab kewarisan merupakan hukum yang realistis, karena banyak menyerap hukum adat yang berlaku di Indonesia sehingga bermuatan rasa keadilan masyarakat.

65

Bab II

Pokok-pokok hukum waris KHI: Pertama, mengedepankan sistem keluarga inti dimana keluarga menyamping tidak dapat mewaris selama masih ada anak pewaris; ke dua, mendudukkan wanita setara dengan laki-laki, sehingga KHI tidak mengenal lembaga dzawil arham; dan ke tiga, menghormati anak angkat menjadi bagian keluarga yang harus mendapat wasiat wajibah walaupun bukan sebagai ahli waris. Namun demikian KHI masih menyisakan bias gender dalam pasal-pasal mengenai porsi anak perempuan dan saudara perempuan, istri dimana mereka hanya mendapat ½ (satu perdua) dari anak laki-laki, saudara laki-laki dan suami. Penerapan Hukum kewarisan KHI dalam praktek peradilan Agama, masih menyisakan multitafsir, sebagian hakim peradilan Agama masih memaknai rumusan kewarisan KHI dengan sistem waris mazhab empat, sebagian lainnya memaknai dengan teori waris bilateral Hazairin. Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi melakukan pembinaan hukum lewat yurisprudensi. Dalam bidang hukum waris Islam, Mahkamah Agung sudah banyak melakukan perubahan-perubahan kearah hukum waris bilateral yang dilandasi filosofi keadilan, kesetaraan gender, dan pluralisme. Yurisprudensi Mahkamah Agung lebih progresif dibanding KHI, karena putusannya mengenai kewarisan bukan saja melihat dari sisi kesetaraan gender bahkan juga melihat sisi pluralisme yang tidak dimiliki KHI. Beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung yang progresif antara lain: 1. Mengedepankan keluarga inti dengan menetapkan keluarga horizontal dan diagonal terhijab oleh anak perempuan. 2. Mengedepankan kesetaraan gender dengan menghapuskan lembaga dzawil arham melalui ahli waris pengganti.

66

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

3. Menyerap rasa keadilan masyarakat dengan menetapkan anak angkat wajib menerima wasiat wajibah. 4. Menghargai pluralisme, dengan mewajibkan keluarga hubungan darah atau perkawinan yang beragama selain Islam untuk mendapat wasiat wajibah. Persoalannya, apakah yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama hukum Islam. Untuk mengukur Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut apakah bertententangan degan AlQur’an atau Hadits dapat dilakukan analisa dengan pendekatan teori hukum ideal dan hukum realistis diatas. Dalam hal ini Mahkamah Agung cenderung melakukan tafsir ulang terhadap ayat Al-Qur’an yang bermuatan hukum ideal dengan mensinergikan kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Pendekatan lainnya penciptaan kaidah ushul:

 Norma hukum dipahami dari kondisi umum masyarakat yang melatar belakangi turunnya nash bukan dipahami dari sisi teks dan kasus parsial yang melatar belakangi turunnya nash) disamping kaidah ushul yang baku yakni:

 Norma hukum dipahami dari teks nash bukan dari peristiwa parsial yang melatar belakangi turunnya nash) dan kaidah:

 Norma hukum dipahami dari latar belakang partial yang mempengaruhi turunnya nash bukan dipahami dari teks nash).

67

Bab II

Kaidah pertama dalam hukum modern dinamakan penafsiran hermeneutik , kaidah ke dua dikenal dengan penafsiran gramatik, dan kaidah ketiga dikenal dengan penafsiran historis. Hukum waris Islam realistis Pembangunan hukum waris Islam Indonesia kedepan diharapkan dapat merespons rasa keadilan masyarakat. Akan tetapi perumusan hukum waris Islam yang berbasis kesadaran hukum masyarakat Indonesia yang majemuk tidak mudah diwujudkan. BPHN sebagai pusat pembinaan dan pengembangan hukum nasional sudah beberapa dasawarsa berupaya melakukan pembaharuan hukum nasional, khususnya dibidang hukum waris sampai saat ini belum terwujud. Kesulitan tersebut karena sangat beragamnya hukum adat yang memiliki rasa keadilan lokal. Demikian halnya pembangunan hukum Islam yang berwawasan ke Indonesiaan akan mengalami hal yang sama. Namun demikian pembangunan hukum Islam ini dapat dilakukan dengan dua pendekatan, pendekatan melalui hukum abstrak dan hukum konkrit. Pendekatan hukum abstrak melalui legislasi yang dirumuskan dengan merespon nilai-nilai ideal. Nilai-nilai ideal ini dapat digali dari Konvensi HAM. Sedangkan pendekatan hukum konkrit melalui putusan pengadilan yang lebih merespon rasa keadilan lokal. Oleh karenanya dalam merumuskan hukum abstrak harus memberikan ruang bagi hakim untuk memutus kasus sesuai dengan rasa keadilan lokal. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kajian hukum waris Islam tidak terikat dengan fikih normatif melainkan diperlukan telaah teks Al-Qur’an dan Hadits jauh kebelakang yakni pada masa Nabi Muhammad dan para sahabat Nabi Muhammad, karena pada masa itu banyak hasil pemikiran sahabat yang sangat relevan untuk diterapkan pada masa kini, walaupun pemikiran

68

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

tersebut pada masa lampau merupakan pendapat minoritas yang tereliminasi yang dalam konteks fikih biasa disebut qila bukan kategori qalu. Sebagai gambaran beberapa contoh dibawah ini merupakan pendekatan-pendekatan telaah historis terhadap hukum kewarisan Islam. 1. Al-Qur’an surah Al-nisa IV:176 mengenai waris kalalah, sebagian besar sahabat Nabi Muhammad bependapat waris kalalah adalah jika pewaris tidak meninggalkan anak dan bapak karena ayat tersebut dilatar belakangi peristiwa sahabat Nabi Muhammad yang bernama Jabir bin Abdullah bin Amr ketika sakit keras, bertanya kepada Nabi Muhammad tentang pembagian harta kekayaannya sedangkan ia tidak mempunyai keturunan dan ayahnya sudah meninggal dunia, maka saat itu turun al-Qur’an surah Al-nisa IV:176. Sedangkan kelompok kecil sahabat yakni Ibnu Abbas dan Umar bi Khattab berpendapat bahwa kalalah adalah dimana orang yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak maka ahli warisnya saudara, mungkin bersama ayah jika ayah masih ada atau hanya saudara jika ayah sudah tidak ada. Pendapat Ibnu Abbas dan Umar bin Khatthab, pada saat itu, merupakan wacana yang asing bagi sahabat Nabi Muhammad lainnya, sehingga dianggap pendapat yang lemah dan tidak diikuti kebanyakan sahabat Nabi Muhammad saat itu sehingga tidak berkembang dalam mazhab fiqih populer. Untuk saat ini, pendapat itu lebih tepat diterapkan karena lebih sesuai dengan hukum adat yang pada umumnya berlaku di Indonesia maupun KUH Perdata dimana saudara dapat mewaris bersama ayah.20

20 Lihat Pasal 854 dan 855 KUHPerdata, Ichtiar Baru, 2006, vol.1, h. 571-570; Wirjono Prodjodikoro, Usaha Memperbaiki Hukum Warisan di Indonesia, dalam Wirjono

69

Bab II

2. Al-Qur’an surah al-Ahzab 33:4 melarang anak angkat diposisikan sebagai anak kandung sendiri. Ayat Al-Qur’an tersebut bukan berarti Islam melarang seorang muslim untuk mengangkat anak, melainkan melarang mengangkat anak yang berakibat memutuskan kekerabatan anak tersebut dengan orang tua aslinya dan memposisikan anak tersebut sepenuhnya secara hukum sama dengan anak sendiri, akibat hukumnya anak tersebut tidak boleh menikah dengan anak asli bapak angkatnya. Nabi Muhammad sendiri mengangkat Zaid sebagai anak angkat tanpa mendudukkan sebagai anak kandung, akan tetapi pengangkatan anak tersebut murni untuk kepentingan kehidupan Zaid. Anak angkat, dalam hukum Islam, tidak termasuk ahli waris namun berhak mendapat bagian dari harta warisan ayah angkatnya berdasarkan Al-Qur’an Surah al-Baqarah II:180. Sebagian ulama ahli di bidang tafsir berpendapat pengertian kaum kerabat dalam ayat tersebut tidak terbatas bagi orang yang memiliki hubungan darah atau perkawinan, sehingga wasiat dapat dilakukan untuk kepentingan orang lain yang memiliki hubungan khusus dengan pewaris atau orang-orang papa yang membutuhkan bantuan dapat menerima wasiat.21 Dalam Al-Qur’an surah al-nisa IV:11,12, 176 hutang pewaris kepada pihak debitur dan wasiat harus dilaksanakan lebih dahulu sebelum pembagian harta warisan, hal ini menunjukkan bahwa kedudukan lembaga wasiat sangat diutamakan dan

Prodjodikoro, Bunga Rampai Hukum, Jakarta, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1974, h.95; Lihat pula Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat, Jakarta, Haji Masagung, 1988, h.186-189; Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita, 1989, h.98100 21 Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami al-Ahkam al-Qur’an, Kairo, Dar al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1967, Juz 2, h.264; Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Beirut, Dar al-Ma’rifah, tth., vol.2, h.137.

70

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dilindungi keberadaannya untuk dilaksanakan disamping hak ahli waris.22 KHI.Ps.209 mengatur tentang wasiat wajibah, yaitu wasiat yang ditetapkan oleh hakim jika seorang meninggal dunia dan meninggalkan anak angkat yang tidak diberi wasiat. Pasal ini diterapkan oleh Mahkamah Agung dalam berbagai putusannya yang sudah menjadi Yurisprudensi.23 Berbeda dengan hukum adat, Mahkamah Agung dan KHI tidak memposisikan anak angkat sebagai ahli waris, sebagaimana sebagian hukum adat yang berlaku di Indonesia, akan tetapi anak angkat diberi porsi maksimal 1/3 harta warisan sebagai wasiat wajibah dan tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang memiliki hubungan darah dengan pewaris.24 3. Hukum waris Islam konvensional menetapkan perbedaan agama pewaris dengan kerabat yang memiliki hubungan darah sebagai faktor penghalang untuk mewaris. Ketentuan ini tidak diatur dalam Al-Qur’an melainkan dalam Hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Usamah bin Zaid. Bunyi haditsnya ada dua macam: Pertama,



22 Lihat al-Qur’an surah al-Nisa 4:11 dan 12; Lihat pula Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami al-Ahkam al-Qur’an, Kairo, Dar al-Kutub al‘Arabiyyah, 1967, Juz 5, h.73-74; Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Beirut, Dar alMa’rifah, tth., vol.4, h.421. 23

Lihat Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 214 K/AG/1997 tanggal 31-8-1999; Nomor 121 K/AG/2003 tanggal 27-9-2006; Nomor 370 K/AG/2000 tanggal 14-6-2006; Nomor 368 K/AG/1999 tanggal 17-4-2002. 24

Contoh, jika Pewaris meninggalkan satu orang anak kandung dan seorang atau dua orang anak angkat maka anak kandung mendapat 2/3, satu/dua orang anak angkat 1/3. Jika Pewaris meninggalkan tiga orang anak kandung dan satu/dua orang anak angkat maka tiga orang anak kandung mendapat ¾ satu orang/dua orang anak angkat mendapat ¼.

71

Bab II

Seorang muslim tidak boleh mewaris harta warisan pewaris yang beragama selain Islam dan orang yang beragama selain Islam tidak boleh mewaris harta warisan pewaris muslim).25 Kedua, hadits berbunyi:



Seorang muslim tidak boleh mewaris harta warisan pewaris yang beragama selain Islam – tanpa kalimat sebaliknya).26 Dilihat dari segi sanad (rangkaian orang yang meriwayatkan hadits dari Nabi Muhammad kepada sahabat berlanjut kepada generasi berikutnya sampai kepada ulama yang membukukan hadits) hadits tersebut shahih (memenuhi standar untuk dijadikan sumber hukum) akan tetapi dari segi matan (substansinya) hadits tersebut diragukan ke-shahihan-nya. Pertama, karena matan hadits tersebut khususnya bentuk yang kedua menurut satu riwayat dalam Shahih Bukhari dan Sunan Ibnu Majah adalah pendapat Umar bin Khatthab bukan pendapat Nabi Muhammad sendiri.27 Kedua, daya mengikatnya hadits tersebut diragukan karena Nabi Muhammad, menurut riwayat Muadz bin Jabal, pernah memutus kasus sengketa harta warisan dari pewaris bukan muslim dimana ahli warisnya terdiri dari orang muslim dan orang yang memeluk agama selain Islam, harta warisan dibagikan kepada keluarga yang beragama selain Islam dan kepada keluarga yang beragama Islam.

25 Lihat Muslim, Shahih Muslim, Beirut, Dar al-Arqam, 1999, h.777; Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, Riyad, Maktabah al-Ma’arif, 1993, h.475; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, 2000, h.464; Abu daud, Sunan Abu Daud, beirut, Dar al-Arqam, 1999, h.677; Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Libanon, Bait al-Afkar, 2004, h.1033; Imam Hakim, Al-Mustadrak ‘Ala Shahihain, Beirut, Dar al-Ihya al-Turats al-‘Arabi, 2002, h.1523; 26 Lihat Bukhari, Shahih Bukhari, Beirut, Dar al-Ma’arif, 2004, h.1588; Imam Malik, Muwattha, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, h.328. 27

2000:464.

72

Lihat Bukhari, Shahih Bukhari, 2004:438; Ibnu majah, Sunan Ibnu majah,

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Keputusan Nabi Muhammad tersebut diikuti oleh Muadz bin Jabal dan Yahya bin Ya’mar.28 Jika Hadits tersebut mengikat tidak mungkin Nabi Muhammad memutus kasus yang bertentangan dengan ketetapannya sendiri dimana orang Muslim tidak boleh mewaris harta warisan pewaris yang beragama selain Islam. Berbeda dengan Nabi Muhammad dan Muadz bin jabal, Umar bin Khatthab berpegang teguh pada prinsip dimana orang Muslim tidak boleh mewaris harta warisan pewaris kafir, Beliau dalam kapasitas sebagai qadhi (hakim) pernah menolak tuntutan seorang muslim terhadap harta warisan pewaris yang kafir dan harta warisan diberikan kepada ahli waris yang kafir.29 KHI, Pasal 171 huruf (b) dan (c), mengatur tentang syarat pewaris dan ahli waris harus beragama Islam, dengan demikian beda agama merupakan penghalang bagi seseorang untuk mewaris. Dalam hal wasiat, Pasal 171 huruf (f) KHI menyebutkan: “wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia”. Pasal tersebut tidak mensyaratkan penerima wasiat harus orang yang beragama Islam, sehingga sah-sah saja orang yang tidak beragama Islam menerima wasiat dari seorang yang beragama Islam. Akan tetapi pasal-pasal lainnya tentang wasiat tidak pula terdapat pasal yang mengatur kewajiban seorang untuk berwasiat kepada keturunannya atau kerabat yang mempunyai hubungan darah yang tidak beragama Islam. Mahkamah Agung dalam beberapa putusannya menetapkan anak pewaris yang tidak beragama Islam mendapat wasiat wajibah (wasiat 28 Lihat Abu Daud, Sunan Abu Daud, 1999:677 dan 678; Mustadrak ‘Ala Shahihain, 2002:1523. 29

Imam Hakim, al-

Imam Malik, Al-Muwattha, 2003:328.

73

Bab II

yang ditetapkan oleh pengadilan) maksimal 1/3 bagian dari harta warisan, sebagaimana wasiat wajibah untuk anak angkat ketika ayah angkat pada saat hidupnya tidak memberikaan wasiat untuk anak angkatnya. Atas dasar lemahnya kedudukan Hadits tentang beda agama sebagai penghalang untuk mewaris, dan teori ushul fiqih ke tiga di atas bahwa Hadits tidak dapat diberlakukan secara umum akan tetapi merupakan hukum yang mengikat kasus tertentu.

 Maka putusan Mahkamah Agung memberikan wasiat wajibah kepada anak atau kerabat pewaris yang menganut agama selain Islam tidak bertentangan dengan hukum Islam. 4. Mahkamah Agung, dalam Yurisprudensinya, berpendapat anak perempuan mewarisi seluruh harta warisan, sehingga ahli waris ‘ashabah (ahli waris garis laki-laki yang mewarisi sisa harta waris setelah dikurangi bagian ahli waris yang ditentukan bagiannya) tidak mendapat warisan.30 Hukum waris Islam konvensional menetapkan jika pewaris meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris satu orang anak perempuan dan saudara laki-laki atau paman dari pihak ayah, anak wanita hanya mendapat ½ bagian sisanya diberikan kepada saudara atau paman sebagai ‘ashabah. Jika anak wanita tersebut dua orang atau lebih mereka mendapat 2/3 berbagi sama, sisanya 1/3 bagian untuk saudara atau paman sebagai ‘ashabah.31 Ketentuan tersebut merupakan pemahaman para

30 Lihat Putusan Mahkamah Agung RI nomor 122 K/AG/1995 tanggal 30-4-1996; Nomor 218 K/AG/1993 tanggal 26-7-1996. 31

74

Al-Sayyid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah, Beirut, Dar al-Fikri, 1977, vol.3, h.437.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

sahabat Nabi Muhammad atas Hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah Ibnu Abbas yang berbunyi:

  Bagikan harta warisan kepada ahli waris yang sudah ditentukan bagiannya sisanya diserahkan kepada laki-laki yang kekerabatannya lebih utama dengan pewaris).32 Kedudukan ahli waris saudara tercantum dalam Al-Qur’an surah al-Nisa 11, 12, dan 176. Dalam Al-Qur’an surah al-Nisa 11 dikatakan jika pewaris meninggalkan saudara berbilang maka ibu pewaris hanya mendapat 1/6 bagian, dalam ayat ini ahli waris saudara dalam keadaan tidak bergabung dengan ahli waris anak. Sedangkan dalam Al-Qur’an surah al-Nisa 12 dan 176 isinya, jika pewaris tidak meninggalkan (walad terj.Ind. nya anak) maka saudara mewarisi harta warisan pewaris. Kata (walad) dalam literatur Arab meliputi anak perempuan dan anak laki-laki. Oleh karena itu berdasarkan teks ayat 12 dan 176 saudara pewaris hanya dapat mewaris jika pewaris tidak meninggalkan anak baik laki-laki maupun perempuan. Pemahaman ini dikembangkan oleh Abdullah Ibnu Abbas seorang sahabat Nabi Muhammad, sedangkan sahabat Nabi Muhammad lainnya yaitu Mu’adz bin Jabal berpendapat kata (walad) tersebut maksudnya anak laki-laki sehingga jika pewaris hanya meninggalkan anak perempuan maka saudara memperoleh sisa bagian harta warisan setelah diambil bagian 32

Lihat Bukhari, Shahih Bukari, 2004:1644; Muslim, Shahih Muslim, 1999:777; Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, 1993:473; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, 2000:466; Abu Daud, Sunan Abu Daud, 199:675; Hakim, Al-Mustadrak ‘Ala Shahihain, 2002:1518; Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, 2004:1033.

75

Bab II

anak perempuan.33 Pendapat Abdullah Ibnu Abbas merupakan pendapat kelompok kecil sahabat Nabi Muhammad sehingga tidak berkembang, sedangkan pendapat Mu’adz bin Jabal diikuti kelompok besar sahabat sehingga dijadikan rujukan oleh kalangan fuqaha. Untuk masyarakat Indonesia, yang pada umumnya tidak membedakan anak perempuan dan laki-laki, penerapan pendapat Abdullah Ibnu Abbas lebih memenuhi rasa keadilan masyarakat daripada pendapat Muadz bin Jabal. Oleh karenanya putusan Yurisprudensi yang menetapkan anak perempuan mewarisi seluruh harta warisan, sehingga ahli waris ‘ashabah (ahli waris garis laki-laki yang mewarisi sisa harta waris setelah dikurangi bagian ahli waris yang ditentukan bagiannya) tidak mendapat warisan34 sangat memenuhi rasa keadilan masyarakat. Yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut menerapkan kaidah ushul fikih:

 Dalam memahami al-Qur’an surah al-Niasa IV:176 dan menerapkan kaidah ushul fikih :

 Dalam memahami hadits Abdullah Ibnu Abbas.

33 Imam Hakim, al-Mustadrak ‘ala Shahihain, 2002:1517-1518; Shahih Ibnu Hibban, 2004:1033; Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, 1993:472;

Ibnu Hibban,

34 Lihat Putusan Mahkamah Agung RI nomor 122 K/AG/1995 tanggal 30-4-1996; Nomor 218 K/AG/1993 tanggal 26-7-1996.

76

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

5. Fiqih madzhab empat menganut lembaga dzawil arham. Lembaga dzawil aarham tersebut dipahami dari Hadits yang diriwayatkan Abdullah Ibnu Abbas yang berbunyi: 

 Pembagian harta warisan lebih dahulu diberikan kepada ahli waris yang sudah ditentukan bagiannya, sisanya bagikan kepada laki-laki yang lebih utama hubungan kerabatnya dengan pewaris, yakni ‘ashabah). Pemahaman Hadits tersebut menimbulkan waris ‘ashabah binafsih bagi laki-laki, karena kultur masyarakat Arab sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah masyarakat patrilineal yang mengutamakan laki-laki karena fungsi dalam rumah tangga dan diluar rumah tangga sangat besar dibanding dengan wanita. Tafsir hadits tersebut realistik dan adil pada masyarakat Arab pada saat itu, tetapi belum tentu relevan bagi masyarakat Indonesia masa kini. Hukum adat masyarakat Indonesia lebih mengutamakan cucu perempuan dari anak laki-laki dibandingkan saudara laki-laki. Oleh karena itu, Yurisprudensi Mahkamah Agung menghapus lembaga dzawil arham melalui pemahaman ahli waris pengganti yang di atur dalam pasal 185 KHI. Mahkamah Agung memperluas makna ahli waris pengganti dalam pasal tersebut bukan hanya terbatas pada keturunan anak, sehingga secara tidak langsung Mahkamah Agung telah menghapuskan lembaga dzawil arham.35 Kasus-kasus ahli waris pengganti yang masuk ke Mahkamah Agung terbatas hanya kasus-kasus keturunan dari anak dan keturunan dari saudara akan tetapi 35 Lihat putusan Mahkamah Agung Nomor 14 K/AG/1995; Nomor 243 K/AG/2005; Nomor 245 K/AG/2005; Nomor 242 K/AG/2006; Nomor 467 K/AG/2007

77

Bab II

perluasan pengertian ahli waris pengganti dirumuskan oleh Mahkamah Agung dalam Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama dimana ahli waris pengganti meliputi keturunan paman, keturunan kakek, keturunan nenek baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu.36 Di Indonesia, lembaga ahli waris pengganti dalam hukum waris Islam pertama kali dimunculkan oleh Hazairin dengan memahami Al-Qur’an surah al-nisa 4:33.37 Di Mesir tidak dikenal ahli waris pengganti akan tetapi keturunan derajat pertama dari anak yang lebih dahulu meninggal dunia dari pewaris memperoleh wasiat wajibah maksimal 1/3 bagian atau sama dengan bagian orang tuanya yang telah meninggal dunia lebih dahulu.38 Mesir menghapus dzawil arham hanya sebatas cucu perempuan dari anak perempuan, demikian halnya aliran syiah di Iran mengenal lembaga ahli waris pengganti dari anak yang lebih dahulu meninggal dunia, akan tetapi terdapat sedikit perbedaan dengan Mesir. Ahli waris pengganti dalam mazhab Syi’ah bukan mendapat wasiat wajibah melainkan sebagai ahli waris mendapat bagian orang tuanya yang lebih dahulu meninggal dunia. Dengan tanpa perlu melalui lembaga ahli waris pengganti, AlQur’an sebetulnya tidak mengenal dzawil arham yang tidak sejalan dengan arus kesetaraan gender. Al-Qur’an surah al-Nisa IV:7 sangat jelas merupakan ayat yang sangat mendasar 36 Lihat Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan Agama, Mahkamah Agung RI, 2008, h.173.

78

37

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an Dan Hadith, 1981:27.

38

Muhammad Abu Zahra, Fatawa, Damsyiq, Dar al-Qalam, 2006, h.641.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dimana Al-Qur’an memperkenalkan sistem hukum kewarisan bilateral, akan tetapi oleh karena yang memahami Al-Qur’an surah al-Nisa IV:7 adalah para sahabat Nabi Muhammad yang pola berpikirnya sudah dipengaruhi oleh budaya Arab yang patrilineal sehingga mereka menghasilkan tafsir Al-Qur’an yang bernuansa patrilineal. Substansi Al-Qur’an surah al-Nisa 4:7 mengandung empat kaidah hukum pokok: Pertama,



Anak laki-laki dapat mewaris dari kedua orang tuanya, pengertian sebaliknya kedua orang tuanya dapat mewaris dari anaknya); Ke dua,



Keluarga laki-laki dapat mewaris dari kerabatnya); Ke tiga;



Anak wanita dapat mewaris dari kedua orang tuanya, pengertian sebaliknya kedua orang tua dapat mewaris dari anak perempuannya); Ke empat,



Kerabat wanita dapat mewaris dari kerabatnya). Kaidah hukum pokok pertama menurunkan empat kaidah hukum cabang: 1. Anak laki-laki mewaris dari ayahnya; 2. Anak laki-laki dapat mewaris dari ibunya; 3. Ayah dapat mewaris dari anak laki-lakinya; 4. Ibu dapat mewaris dari anak laki-lakinya. Kaidah hukum pokok ke dua menurunkan kaidah hukum cabang: 1.Cucu laki-laki (baik dari anak laki maupun dari anak

79

Bab II

perempuan) dapat mewaris dari kakek dan neneknya (baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu); 2. Kakek (baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah) dapat mewaris dari cucunya (baik cucu perempuan maupun dari cucu laki-laki); 3. Saudara lakilaki (baik sekandung, seayah maupun seibu) dapat mewaris dari saudara laki-laki atau perempuan (baik sekandung, seayah maupun seibu); 6. Paman (dari pihak ayah maupun dari pihak ibu) dapat mewaris dari keponakannya; 7. Keponakan laki-laki dapat mewaris dari paman dan bibinya; 8. Saudara sepupu laki-laki dapat mewaris dari saudara sepupu laki-laki dan saudara sepupu perempuan; Dalam kaidah hukum ketiga menurunkan empat kaidah hukum cabang: 1. Anak perempuan dapat mewaris dari ayahnya; 2. Anak perempuan dapat mewaris dari ibunya; 3. Ayah dapat mewaris dari anak perempuannya; 4. Ibu dapat mewaris dari anak perempuannya. Kaidah hukum pokok ke empat menurunkan kaidah hukum cabang: 1. Cucu perempuan (baik dari anak laki-laki maupun dari anak perempuan) dapat mewaris dari kakek dan neneknya (baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu); 2. Nenek (baik dari pihak ibu maupun dari pihak ayah) dapat mewaris dari cucunya (baik cucu perempuan maupun dari cucu laki-laki); 3. Saudara perempuan (baik sekandung, seayah maupun seibu) dapat mewaris dari saudara laki-laki atau perempuan (baik sekandung, seayah maupun seibu); 6. Bibi (baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu) dapat mewaris dari keponakannya; 7. Keponakan perempuan dapat mewaris dari paman dan bibinya; 8. Saudara sepupu perempuan dapat mewaris dari saudara sepupu laki-laki dan saudara sepupu perempuan;

80

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Al-Qur’an surah al-nisa IV:7 ini harus dipahami berlaku umum sesuai kaidah ushul fiqih

 Kandungan hukum ayat tersebut harus dipahami dari susunan kalimatnya bukan dilihat dari latar belakang peristiwa hukum itu muncul karena kaidah hukum tersebut kaidah hukum ideal. Sedangkan hadits-hadits Nabi Muhammad yang tidak sejalan dengan substansi yang terkandung dalam Al-Qur’an surah al-Nisa IV:7 harus dipahami sebagai hukum realistik yang berlaku lokal dan temporal sesuai kaidah ushul fiqh:

 Kandungan hukum dalam putusan Nabi Muhammad harus dipahami sesuai latar belakang yang partial yang mempengaruhi terbentuknya putusan bukan dipahami dari rangkaian rumusan kalimatnya, sehingga tidak berlaku umum). Dari uraian tersebut Mahkamah Agung bukan saja sudah membuat terobosan menghapus lembaga dzawil arham yang tidak berpihak pada arus kesetaraan gender bahkan terobosan tersebut tidak bertentangan dengan substansi hukum Islam. Penutup Bagaimanapun juga ditengah hiruk pikuknya suara negatif terhadap Mahkamah Agung, sebagai lembaga peradilan tertinggi Mahkamah Agung telah berbuat banyak dalam melakukan pembaruan hukum khususnya dibidang waris Islam yang selama ini sulit untuk dilakukan oleh lembaga Legislatif dalam rangka pembaruan hukum nasional karena menyangkut sensitif keagamaan dan kesukuan. Akan tetapi Mahkamah Agung mampu meretas sensitifitas keagamaan dan kesukuan tanpa hambatan dan diterima secara diam-diam oleh masyarakat tanpa gejolak.

81

Bab II

Sulit dibayangkan kalau upaya pembaharuan dibidang hukum waris Islam dilakukan lewat legislasi badan Legislatif, kemungkinan bisa terulang bagaimana terjadinya konflik horizontal masyarakat seperti pada saat pembahasan RUU perkawinan di awal tahun tujuh puluhan. Upaya Mahkamah Agung tersebut patut mendapat support dalam rangka pembangunan hukum nasional yang modern yang mengedepankan keadilan, kesetaraan, dan pluralisme yang semuanya merupakan substansi ajaran Islam sebagai hukum ideal.

82

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

BAB III HUKUM KEWARISAN ISLAM KONTEMPORER DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF FIQH, KOMPILASI HUKUM ISLAM, DAN PRAKTIK DI PENGADILAN AGAMA SERTA MASYARAKAT

83

Bab III

84

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

ASAS-ASAS HUKUM KEWARISAN ISLAM Jaih Mubarok

Latar Belakang Asas merupakan unsur fundamental hukum yang pada umumnya mendasari dan mencakup substansi hukum dan teknik-teknik menjalankan/ mengoperasikannya. Oleh karena itu, asas secara umum bersifat penyimpul (mirip dengan makna kaidah) dari rincian hukum yang ada, dan adakalanya berifat antisipatifprediktif guna menyelesaikan masalah yang belum atau tidak diatur dalam hukum yang bersangkutan. Tulisan ini disusun dalam kerangka menjelaskan asas-asas hukum waris Islam yang telah dijelaskan oleh pakarnya, serta tawaran yang mudah-mudahan layak untuk dipertimbangkan oleh para penyusun naskah akademis hukum (baca: RUU) kewarisan Islam. Teori-Teori Pilihan Hukum Noel J. Coulson dengan menyusun teori pilihan hukum; yaitu enam pasangan pilihan hukum yang dimaksud adalah: 1) pilihan antara wahyu dan akal (al-wahyu wa al-‘aqlu, revelation and reason); 2) pilihan antara kesatuan dan keragamaan (al-ittifaq wa al-ikhtilaf, unity and diversity); 3) pilihan antara otoritas keilmuan dan liberal (authoritarianism and liberalism); 4) pilihan *) Dosen UIN Sunan Gunung Djati

antara kebenaran ideal dengan kebenaran nyata (idealism and realism); 5) pilihan antara hukum dan moralitas (law and morality); dan 6) pilihan antara stabilitas dan perubahan (stability and change).

85

Bab III

Sedangkan Muhammad ‘Imarah menjelaskan empat pilihan dalam tathbiqh hukum Islam: 1) pilihan antara kesempurnaan agama dan pembaharuan (iktimâl al-dîn wa tajdîduhu); 2) pilihan antara nashsh dan ijtihad (al-nashsh wa alijtihâd); 3) pilihan antara hukum agama dan hukum negara (al-dîn wa al-dawlah); dan 4) pilihan antara musyawarah dan syari‘ah (alsyûrâ al-basyariyyah wa al-syarî‘ah al-ilâhiyyah).39 Pertama, Coulson menjelaskan bahwa hukum Islam memiliki dua sisi. Di satu sisi, ulama menjelaskan bahwa hukum Islam adalah divine law (hukum yang diwahyukan Allah); sedangkan di sisi yang lain, ulama juga menjelaskan bahwa hukum Islam adalah hasil pemikiran mujtahid (human reasoning of jurists).40 Dua sisi ini saling tarik-menarik (dalam perspektif ketegangan) dan saling melengkapi (dalam perspektif harmoni). Kedua, pilihan antara Kesatuan dan Keragaman; terdapat terminologi dalam Hukum Islam yang menjadi pasangan untuk melihat kesatuan dan keragaman. Al-ittifâq digunakan untuk menggambarkan proses ijtihad yang menghasilkan pendapat yang sama (seragam); terminologi lain yang lebih popular adalah ijmâ‘; dan terminologi al-ikhtilâf digunakan untuk memperlihatkan pendapat yang ragam. Ketiga, pilihan antara Autoritarianisme dan Liberalisme; pembahasan mengenai posisi ulama dalam hubungannya dengan Allah dan kitab suci layak untuk diperhatikan. Syihab al-Din Abu al‘Abbas Ahmad Ibn Idris al-Qurafi (w. 684 H.) dalam kitab Syarh Tanqîh al-Fushûl fî Ikhtishâr al-Mahshûl fî al-Ushûl, menjelaskan tiga istilah yang berkenaan dengan ijtihad, yaitu al-wadh‘, al39 40

Muhammad ‘Imarah, Ma‘alim al-Manhaj al-Islami (Kairo: Dar al-Syuruq. 1991).

Noel J. Coulson, Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence (Chicago & London: The University of Chicago Press. 1969), hlm. 3.

86

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

isti‘mâl, dan al-haml.41 Terminologi al-ijtihâd (Mujtahid), al-ittibâ‘ (Muttabi‘), dan al-taqlîd (Muqallid) relevan dengan teori pilihan ini. Keempat, pilihan antara Idealisme dan Realisme; kebenaran dalam ilmu filsafat ada dua: 1) kebenaran ideal (gagasan), dan 2) kebenaran real (nyata, apa adanya). Metode untuk mencapai kebenaran ideal adalah rasio (al-‘aql) dan metode untuk mencapai kebenaran real adalah empiris (positivistik). M. Atho Mudzhar secara implisit menjelaskan bahwa pilihan terhadap fikih termasuk domain pilihan idealisme; sedangkan pilihan terhadap fatwa, qanun, dan qadha merupakan domain realisme. Kelima, pilihan antara Hukum dan Moralitas; di antara filosof membagi etika menjadi tiga: 1) etika deskriptif (descriptive ethic), yaitu penyeledikan tingkah-laku manusia secara individu atau pribadi-pribadi (personal morality), kelompok (social morality), dan di dalamnya dikaji mengenai motif perbuatan dan perbuatan yang terbuka; 2) etika normatif (normative ethic), penyelidikan tingkah-laku manusia secara individu atau pribadi (personal morality) dan kelompok (social morality) yang penyelidikannya dilakukan atas dasar prinsip-prinsip yang harus dipakai dalam kehidupan. Etika deskriptif adalah penyelidikan yang dilakukan untuk menggambarkan tingkah laku manusia; sedangkan etika normatif adalah penyelidikan yang sudah membandingkan antara nilai yang dianut dengan perilaku para penagnutnya; dan 3) etika kritis (metaethics), yaitu penyelidikan yang diarahkan uktuk menganalisis istilah-istilah yang digunakan dalam etika.42 Pilihan ini menggambarkan ketidaklinearan antara HUKUM dan moralitas; kadang-kadang suatu perbuatan dinilai

41 Syihab al-Din Abu al-‘Abbas Ibn Idris al-Qurafi, Syarh Tanqîh al-Fushûl fî Ikhtishâr al-Mahshûl fî al-Ushûl (Kairo: Maktabah al-Kuliyyah al-Azhariyyah. 1973), hlm. 20. 42

Ibid., hlm. 141-142.

87

Bab III

benar secara HUKUM, tapi tidak/kurang relevan dengan moral yang dianut suatu masyarakat yang bersangkutan. Keenam, pilihan antara Tradisionalisme dan Modernisme; pilihan antara tradisionalisme (stability) dan modernisme (change; modify) adalah pilihan yang sejak abad IV H. hingga sekarang terus berlanjut. Istilah “Kaum Muda” dan “Kaum Tua”43 di Indonesia merupakan kenyataan sejarah dari pilihan antara statis dan dinamis.44 Ketujuh, pilihan antara kesempurnaan agama dan pembaharuan (iktimâl al-dîn wa tajdîduhu). Kesempurnaan agama Islam terletak pada nilai universal yang dikandungnya. Di samping itu, kesempurnaan agama juga terletak pada kandungannya yang mendorong umat Islam untuk menggunakan kemampuan intelektualnya melakukan ijtihad. Oleh karena itu, kesempurnaan agama tidak dipahami bahwa agama telah mengatur segalanya (termasuk aturan-aturan teknis); akan tetapi, kesempurnaannya terletak pada nilai universal yang dikandungnya dan peluang mujtahid untuk berijtihad atas dasar perintah agama. Dengan kerangka yang demikian, wajarlah bila ‘Imarah menegaskan bahwa salafiah dan mujaddid bersifat saling melengkapi. Pilihan antara kesempurnaan agama dan pembaharuan juga pada dasarnya sepadan dengan pilihan antara nashsh dan ijtihad dan pilihan antara musyawarah dan syari‘ah. Kedelapan, pilihan antara Hukum Agama dan Hukum Negara; Salah satu topik penting dalam hal terjadi ikhtilaf antara gagasan fukaha dalam kitab fikih dengan peraturan perundangundangan di sebuah Negara, adalah pilihan dalam taat hukum: 43 Tradisionalisme biasanya disebut aliran jumud (stability) dan modernisme disebut aliran rasional dan suka berubah (change). Lihat Coulson, Conflicts and, hlm. 96. 44 Howard Federspiel, Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX (Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. 1996), hlm. 60-61.

88

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

apakah akan taat kepada hukum yang dibentuk oleh negara ataukah akan taat kepada aturan-aturan (fikih) yang disusun oleh ulama yang otoritatif. Dalam kajian perbandingan antara fikih dan peraturan perundang-undangan, terdapat “kaidah” yang menyatakan bahwa suatu perbuatan HUKUM dinilai sah secara agama (shahha dîn[an]) dan tidak sah dari segi hukum negara (wa lâ yashihhu qadhâ’[an]). Pernyataan ini menunjukan bahwa ketaatan masyarakat dalam menjalanakan hukum masih ganda dan kaidah yang menyatakan bahwa keputusan (hukum) yang dibuat oleh pemimpin dapat menyelesaikan perbedaan pendapat (hukm al-hâkim yarfa‘u al-khilâf) belum sepenuhnya bisa diterima oleh masyarakat Muslim di berbagai negara. Teori-teori Persaingan Hukum Waris dan Hukum Adat Diskursus mengenai persaingan hukum Islam dan “hukum Barat” guna menjadi hukum nasional diperkaya dengan teori-teori aplikasi hukum yang saling mendukung atau saling bertentangan. Di antara nya adalah: Pertama, teori Autoritas Hukum; H.A.R. Gibb mengemukakan bahwa umat Islam yang telah menerima Islam sebagai agamanya, telah menerima otoritas hukum Islam atas dirinya;45 umat Islam yang telah menyatakan diri memeluk agama Islam berarti telah siap menjalankan ajaran Islam, termasuk hukum-hukum yang dikandungnya. Kedua, teori Receptie in Complexu; teori yang dikemukakan oleh Gibb mendapat dukungan dari Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927) dengan teori receptie in complexu. Menurut teori ini, bagi orang Islam berlaku penuh 45 H. Ichtijanto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia” dalam Tjun Sumardjan (ed.), Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. 1991), hlm. 114-115.

89

Bab III

hukum Islam sebab dia telah memeluk agama Islam walaupun dalam pelaksanaannya terdapat penyimpangan-penyimpangan.46 Ketiga, teori Resepsi; teori ini merupakan penetangan terhadap teori Autoritas Hukum dari Gibb dan teori Receptie in Complexu dari van den Berg. Adalah Christian Snouck Hurgronye (1857-1936), C. van Vollenhoven, dan Ter Haar. Menurut teori ini, bagi rakyat pribumi pada dasarnya berlaku hukum adat; hukum Islam berlaku kalau norma hukum Islam itu telah diterima oleh masyarakat sebagai hukum adat.47 Keempat, teori Resepsi Exit dari Hazairin; menurut teori ini, teori resepsi telah patah dan keluar dari Indonesia sejak diberlakukannya UUD 45;48 karena UUD 45 dan Pancasila memberikan tempat yang luas bagi berlakunya hukum agama (termasuk agama Islam). Oleh karena itu, Hazairin berpendapat bahwa teori resepsi yang dikemukan oleh Christian Snouck Hurgronye dan didukung oleh C. van Vollenhoven dan Ter Haar, adalah teori Iblis. Kelima, teori Receptio a Contrario dari Sayuthi Thalib; dalam teori ini ditegaskan bahwa bagi umat Islam, yang berlaku adalah hukum Islam; hukum adat baru berlaku apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam.49 Teori resepsi a contrario yang dikemukakan Sayuti Thalib yang menyatakan bahwa: a) bagi orang Islam berlaku hukum Islam; b) hal tersebut sesuai dengan keyakinan dan cita-cita hukum, cita-cita batin dan moralnya; dan c)

46

Ibid., h. 120.

47

E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Buku “Ichtiar.” 1959), hlm. 46.

90

48

Sumarjan (ed.), Hukum Islam, hlm. 128.

49

Ibid., h. 132.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

hukum adat berlaku bagi umat Islam apabila tidak bertentangan dengan hukum Islam.50 Keenam, teori Penegakan Hukum. Menurut teori ini, hukum dapat tegak di masyarakat bergantung pada tiga hal: 1) materi hukum, 2) penegak hukum, dan 3) kesadaran hukum masyarakat. Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah menegaskan bahwa kesadaran hukum merupakan suatu proses psikis yang terdapat dalam diri setiap manusia yang memiliki dua kemungkinan: timbul dan tenggelam. Sejumlah pakar hukum menganggap bahwa kepatuhan hukum terutama disebabkan: 1) rasa takut pada sanksi yang negatif, 2) pemeliharaan hubungan baik dengan teman-teman dan pemimpin, 3) kepentingannya terlindungi, dan/atau 4) cocok (sesuai) dengan nilai-nilai dan keyakinan yang dianutnya. Pakar sosiologi hukum menetapkan bahwa dalam kesadaran hukum terdapat empat indikator: 1) pengetahuan hukum; 2) pemahaman hukum; 3) penilaian dan sikap terhadap hukum; dan 4) ketaatan hukum. Soekanto menyebutkan bahwa kesadaran hukum sebenarnya menyangkut faktor-faktor apakah suatu hukum diketahui, diakui, dihargai, dan ditaati oleh warga negara. Survei Literatur Sejumlah tulisan mengenai asas hukum waris dalam Islam telah dipublikasikan, baik yang analisisnya cenderung bersifat normatif-rasional maupun analisis yang cenderung bersifat sosiologis-aplikatif yang cenderung berakar pada nilai budaya tertentu. Dalam website pribadi, Riana Kesuma Ayu menjelaskan mengenai sistem hukum waris adat. Ayu menjelaskan bahwa di antara asas hukum waris adat adalah: 1) asas ketuhanan dan 50 Ichtijanto SA, "Pengembangan Teori,” dalam Sumarjan (ed.), Hukum Islam, hlm. 102-114,117,122, dan 130-132.

91

Bab III

pengendalian diri, 2) asas kesamaan dan kebersamaan hak, 3) asas kerukunan dan kekeluargaan, 4) asas musyawarah dan mufakat, dan 5) asas keadilan.51 Dalam Tesis yang berjudul “Hukum Islam Dipandang dari Perspektif Hukum Berkeadilan Gender (Studi di Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak)” yang ditulis oleh Mintarno dalam rangka menyelesaikan studinya di Program Magister Kenotariatan, Universitas Diponegoro Semarang (2006), dijelaskan bahwa di antara asas HUKUM waris Islam adalah: 1) asas ijbari, 2) asas bilateral, 3) asas individual, dan 4) asas keadilan.52 H. Hatpiadi, Wakil Ketua Pengadilan Agama Samarinda, yang mempublikasikan artikelnya yang berjudul “Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut KUH Perdata, Hukum Islam dan Hukum Adat.” H. Hatpiadi menjelaskan bahwa asas-asas hukum kewarisan: Pertama, asas kematian. Asas ini diatur berdasarkan pada Pasal 830 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Hukum Adat, dan Hukum Islam. H. Hatpiadi mengutip pendapat Muslimin Simar (hakim dan ketua Pengadilan Agama Watampone yang menjelaskan bahwa asas kematian merupakan asas yang paling utama dan dasar di dalam proses beralihnya harta seseorang sebagai harta warisan, dan berlaku untuk semua sistem kewarisan. Kedua, asas hubungan darah dan hubungan perkawinan. Asas ini terdapat dalam pasal 832 ayat (1) dan Pasal 852 a KUH Perdata. Asas hubungan darah merupakan salah satu asas yang esensial dalam setiap sistem hukum kewarisan, karena faktor 51 Riana Kesuma Ayu, “Sistem Hukum Waris Adat,” dalam websiteayu.com, diakses tahun 2011. 52 Mintarno, “Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif Hukum Berkeadilan Gender (Studi Di Kecamatan MranggenKabupaten Demak),” Tesis Magister, Program Pascasarjana, Magister Kenotariatan (Semarang: Universitas Diponegoro. 2006).

92

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

hubungan darah dan hubungan perkawinan menentukan kedekatan seseorang dengan pewaris, dan menentukan tentang berhak atau tidaknya bagi seseorang menjadi ahli waris. Ketiga, asas perderajatan; dalam KUH Perdata asas ini didasarkan pada prinsip de naaste in het bloed erf hetgoed, oleh karena itu, yang berhak menjadi ahli waris hanyalah keluarga yang lebih dekat dengan pewaris, sekaligus menentukan pula bahwa keluarga yang lebih dekat derajatnya dari pewaris akan menutup hak mewarisnya bagi keluarga yang lebih jauh derajatnya. KUH Perdata mengenal adanya kelompok keutamaan ahli waris sebagaimana yang terdapat dalam sistem hukum kewarisan Islam dan hukum adat. Dalam Hukum Kewarisan menurut Hukum Adat, anak, Bapak/ibu berkedudukan sebagai ahli waris yang lebih dekat dari pewaris melebihi dari paman/bibi, kakek/nenek, saudarasaudara pewaris, juga dalam hukum kewarisan Islam, bahwa penentuan kelompok keutamaan sangat jelas, misalnya “anak lebih utama dari cucu, ayah lebih utama (lebih dekat) kepada anak dari pada saudara: ayah lebih utama kepada anak dari pada kakek. Bahkan kelompok keutamaan dalam hukum kewarisan Islam menentukan juga kuatnya hubungan kekerabatan, misalnya saudara kandung lebih utama dari pada saudara se ayah atau se ibu, sebab saudara kandung mempunyai dua garis penghubung (dari ayah dan dari ibu), sedangkan saudara sebapak atau saudara seibu hanya dihubungkan oleh satu garis penghubung yaitu dari ayah atau dari ibu”. Ketiga sistem Hukum Kewarisan sama-sama menempatkan anak, suami/istri, dan orang tua (Bapak/ibu) sebagai ahli waris yang memiliki derajat keutamaan pertama, yaitu anak sebagai ahli waris derajat keutamaan pertama dalam garis ke bawah, sedang orang tua (Bapak/ibu) sebagai ahli waris dalam derajat keutamaan pertama dalam garis ke atas, melibihi derajat ahli waris lainnya seperti nenek, paman/bibi dan saudara. Di dalam

93

Bab III

Hukum Kewarisan Islam dan hukum kewarisan adat tidak demikian halnya, karena anak-anak pewaris dapat berbagi waris dengan Bapak/ibu pewaris, meskipun kedua sistem hukum kewarisan tersebut mengenal juga golongan ahli waris yang dapat menutup (menghijab) ahli waris tertentu. Keempat, asas pergantian tempat (Plaatsvervulling). Mengingat asas ini merupakan penerobosan asas ketentuan yang mengatakan bahwa “yang berhak menerima warisan haruslah ahli waris yang masih hidup pada waktu si pewaris meninggal dunia” (Pasal 836 KUH Perdata), juga asas ini seolah-olah menyalahi ketentuan bahwa “keluarga yang derajatnya lebih dekat akan menutup keluarga yang derajatnya lebih jauh”, padahal sesungguhnya asas ini, malahan menjadi solusi atas kedua ketentuan di atas, sebab bila kedua ketentuan di atas dijalankan secara ketat, maka dipastikan menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpatutan terhadap cucu yang orang tuanya lebih dahulu meninggal dunia daripada pewaris, sehingga si cucu tidak menerima harta warisan yang seharusnya orang tuanya terima sebagai ahli waris, hanya karena orang tuanya meninggal dunia lebih dahulu. Mengenai asas pengertian tempat dalam hukum kewarisan Islam, menurut sebagian pendapat, seperti pendapat Wirjono Prodjodikoro dan pendapat dari pakar hukum Islam, antara lain menurut Mahmud Yunus menyebutkan bahwa pergantian dalam hukum Islam tidak dikenal. Berbeda dengan pendapat Hazairin yang mengatakan bahwa hukum kewarisan Islam mengenal asas pergantian tempat yang disebut dengan mawaly. Menurut Hazairin bahwa ahli waris pengganti (mawaly) didasarkan pada al-Qur'an pada Surah an-Nisa’ (IV) ayat 33, yang artinya: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu-bapak dan karib kerabat, Kami (Allah) jadikan pewaris-pewarisnya”. Pendapat Hazairin di atas, kemudian diikuti oleh Sajuti Thalib. Tampaknya juga asas pergantian tempat ini

94

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

menjadi salah satu asas penting dalam Hukum Kewarisan menurut Kompolasi Hukum Islam sebagaimana yang terdapat ketentuannya dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam. Pasal 185 (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173 (2). Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Kelima, asas individual; asas ini menentukan tampilnya ahli waris untuk mewarisi secara individuindividu (perseorangan) bukan kelompok ahli waris dan bukan kelompok clan, suku atau keluarga. Asas ini mengandung pengertian bahwa harta warisan dapat dibagi-bagikan pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara perseorangan, sehingga dalam pelaksanaan seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai dan setiap ahli waris berhak menurut kadar begiannya tanpa harus terikat dengan ahli waris lainnya. Konsekwensi dari ketentuan ini adalah, harta warisan yang sudah dibagi-bagikan atau dialihkan kepada ahli waris secara perseorangan itu menjadi hak miliknya, karena itu, asas ini sejalan dengan ketentuan pada Pasal 584 KUH Perdata bahwa salah satu cara memperoleh hak milik adalah melalui pewaris. Asas individual sangat popular pula dalam sistem hukum kewarisan Islam dan sistem hukum kewarisan adat. Asas individual dalam hukum kewarisan Islam berarti, “Setiap ahli waris secara individu berhak atas bagian yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris lainnya”. Akan tetapi dalam hukum kewarisan adat, selain dikenal sistem pewaris individual, juga dikenal adanya sistem kolektif, dan mayorat namun dari ketiga macam sistem pewaris tersebut, maka sistem individual yang lebih umum berlaku dalam masyarakat, terutama dalam masyarakat adat parental yang tersebar hampir diseluruh daerah di Indonesia. Keenam, asas bilateral; yaitu seseorang tidak hanya mewarisi dari garis Bapak saja, akan tetapi juga mewaris menurut garis ibu,

95

Bab III

demikian juga dari saudara laki-laki maupun saudara perempuan. Asas ini memberi hak dan kedudukan yang sama antara anak lakilaki dan perempuan dalam hal mewaris, bahkan dengan asas bilateral ini menetapkan juga suami istri untuk saling mewaris. Ketujuh, asas segala hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahli waris; yaitu segala hak dan kewajiban pewaris dalam asas ini adalah hak dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan. Wirjono Prodjodikoro menjelaskan bahwa BW mengenal tiga macam sikap dari ahli waris terhadap harta warisan, dan dapat memilih salah satu dari tiga sikap itu, yaitu: 1) menerima seluruhnya menurut hakikat yang tersebut dalam BW (hak dan kewajiban); 2) menerima dengan syarat, yaitu hutang-hutangnya; dan 3) menolak menerima harta warisan”. Menurut H. Muhammad Daud Ali, “dalam diri seseorang harus senantiasa terdapat keseimbangan antara hak dan kewajiban yang harus ditunaikan”.Berdasarkan dengan berbagai penjelasan dan ketentuan yang telah dikemukakan tampak bahwa penjelasan dan ketentuan tersebut cenderung mendukung ke arah penerapan asas segala hak dan kewajiban pewaris beralih kepada ahil waris, namun sifatnya terbatas, artinya harta peninggalan pewaris yang bersifat aktiva secara otomatis berpindah dari pewaris kepada ahli waris, akan tetapi bagi warisan yang berupa pasiva (utang-utang, kewajiban-kewajiban) maka harus disesuaikan dengan hak-hak yang diperoleh ahli waris agar melahirkan prinsip keadilan yang seimbang. Seimbang dengan hak yang sepantasnya diterima dari barang aktiva dengan kewajiban yang dipikulnya, berupa utang. Akan tetapi kalau ada ahli waris yang bersedia membayarkan utang-utang pewaris melalui harta pribadi ahli waris, maka itu tidak dilarang, bahkan merupakan perbuatan terpuji, dan cermin dari akhlak yang baik.53 53 H. Hatpiadi, “Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat,” dalam www.badilag.net/ diakses tanggal

96

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

H. Chatib Rasyid, Ketua Pengadilan Agama Yogyakarta, menulis “Azas-Azas Hukum Waris dalam Islam,” yang substansinya menjelaskan bahwa asas-asas hukum waris Islam adalah: Pertama, asas Integrity/Ketulusan; yaitu ketulusan hati, kejujuran, keutuhan. Dalam asas ini terkandung pengertian bahwa pelaksanaan hukum kewarisan Islam diperlukan ketulusan hati untuk mentaatinya karena terikat dengan aturan yang diyakini kebenarannya. Kedua, asas ta'abbudi/penghambaan diri; yaitu pelaksanaan pembagian waris secara Islam merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT; ketiga, asas huquq al-maliyah/hak-hak kebendaan; yaitu bahwa hanya hak dan kewajiban terhadap kebendaan yang dapat diwariskan kepada ahli waris, sedangkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hakhak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan, keahlian dalam suatu ilmu dan yang semacamnya tidak dapat diwariskan. Kewajiban ahli waris terhadap Muwaris diatur dalam pasal 175 Kompilasi Hukum Islam, yaitu: 1) mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai, 2) menyelesaikan hutang-hutang Muwaris, termasuk kewajiban menagih piutang, 3) menyelesaikan wasiat Muwaris, dan 4) membagi harta warisan di antara ahli waris yang berhak. Keempat, asas hukukun thabi’iyah/hak-hak dasar; yaitu hak-hak dasar ahli waris sebagai manusia; meskipun ahli waris merupakan seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian sedangkan ia masih hidup ketika Muwaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka dipandang cakap untuk mewarisi. Sebab-sebab mewaris adalah: 1) 13 Pebruari 2011.

97

Bab III

hubungan keluarga, 2) perkawinan, 3) wala, dan 4) seagama. Hubungan keluarga adalah hubungan antar orang yang mempunyai hubungan darah (genetik) baik dalam garis keturunan lurus ke bawah (anak cucu dan seterusnya) maupun ke samping(saudara). Di samping itu, dalam hukum Islam dikenal penghalang untuk menerima warisan, yaitu: 1) murtad, 2) membunuh, dan 3) hamba sahaya. Dalam pasal 173 Kompilasi Hukurn Islam dijelaskan juga penghalang-penghalang menerima warisan, yaitu: 1) dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada muwaris; 2) dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Kelima, asas ijbari/keharusan/kewajiban; yaitu terjadinya peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia (muwaris) kepada ahli warisnya sesuai dengan ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan kepada kehendak seseorang baik pewaris maupun ahli waris. Asas ijbari juga berarti: 1) peralihan harta yang pasti terjadi setelah “Muwaris” meninggal dunia, 2) jumlah harta sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris, 3) orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah ditentukan dengan pasti, yakni mereka yang mempunyai hubungan darah dan perkawinan. Keenam, asas bilateral; yaitu bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak, yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat keturunan perempuan; ketujuh, asas individual/perorangan; yaitu harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagi-bagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing.

98

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kedelapan, asas keadilan yang berimbang; yaitu harus ada keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya kehidupan yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat bagian yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab dalam kehidupan keluarga, mencukupi keperluan hidup anak dan istrinya sesuai (QS.2:233) dengan kemampuannya. Tanggung jawab merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, terlepas dari persoalan apakah istrinya mampu atau tidak, anak-anaknya memerlukan bantuan atau tidak. Kesembilan, asas kematian; yaitu kewarisan baru muncul bila “Muwaris’ meninggal dunia. Dengan demikian, kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia, artinya harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain (melalui pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup, dan segala bentuk peralihan harta-harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain, baik langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam. Kesepuluh, asas membagi habis harta warisan; yaitu semua harta peninggalan dibagi habis sesuai dengan kadar bagian masing-masing ahli waris sehingga tidak tersisa lagi, dengan cara: 1) menentukan siapa yang menjadi ahli waris dengan bagiannya masing-masing, 2) membersihkan/ memurnikan harta warisan seperti hutang dan Wasiat, sampai dengan melaksanakan

99

Bab III

pembagian hingga tuntas, sehingga dikenalkan konsep Aul dan Radd.54 Asas Kewarisan Islam Muslimin Simar menjelaskan bahwa asas kematian merupakan asas yang paling utama dan dasar di dalam proses beralihnya harta mayit sebagai harta warisan (mauruts), di samping itu, Haptiadi juga memperkenalkan asas hubungan darah dan hubungan perkawinan, serta asas perderajatan dan asas pergantian tempat (Plaatsvervulling). Pada dasarnya, asas kematian, asas hubungan darah, dan asas hubungan perkawinan menjelaskan mengenai sebab-sebab mewarisi; yaitu sebab-sebab mewarisi adalah karena wafatnya muwaris, dan ahli waris yang menerima tirkah karena hubungan darah atau karena hubungan perkawinan (suami-istri). Tiga asas ini (kematian, hubungan darah, dan hubungan perkawinan) tidak terlalu banyak dipersoalkan oleh ulama. Akan tetapi, asas pergantian tempat (Plaatsvervulling) yang merupakan pengaruh dari Hukum perdata Eropa yang telah diakomodir dalam Kompilasi Hukum Islam, sering juga mendapat penolakan kyai-kyai di pesantren, termasuk di antaranya dosen Perguruan Tinggi Islam. Azas Ijbari Asas ijbari diperkenalkan oleh ulama guna menjelaskan proses intiqal al-milkiyah dari milik fardiyah (Muwarits) menjadi milik ahli waris (terjadi syirkah-amlak dalam hal ahli warisnya lebih dari dua orang). Secara etimologis, ijbari berasal dari kata jabar yang di antara artinya adalah terpaksa/paksaan; sedangkan arti terminologinya adalah perpindahan pemilikan harta dari Muwaris 54 H. Chatib Rasyid, Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam,” www.badilag.net/ diakses tanggal 13 Pebruari 2011.

100

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

kepada ahli waris karena ketentuan yang terdapat dalam Qur’ansunah. Dengan demikian, dalam proses perpindahan kepemilikan harta tersebut tidak terdapat unsure paksaan terhadap Muwaris, bahkan tidak ada larangan secara eksplisit dalam Qur’an-sunah bagi ahli waris untuk menolak menerima harta warisan yang bernilai positif (bukan dalam bentuk hutang). Sedangkan apabila ahli waris menerima warisan berupa utang, maka secara hukum yang bersangkutan berkewajiban secara agama untuk membayarnya sesuai dengan kemampuannya. Asas ijbari juga berarti peralihan harta yang pasti terjadi setelah “Muwaris” meninggal dunia, jumlah harta sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris, orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah ditentukan dengan pasti, yaitu orang-orang yang mempunyai hubungan darah atau perkawinan. Dengan demikian, asas ijbari juga dapat dimasukkan sebagai asas yang menjelaskan sebab-sebab mewarisi. Arti etimologi ijbari dengan arti terminologinya tidak terlalu relevan. Asas huququn thabi’iyah/hak-hak dasar menilai ahli waris dari segi kemanusiaannya; meskipun ahli waris merupakan seorang bayi yang baru lahir atau seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian tetapi masih hidup ketika Muwaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum bercerai walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka dipandang cakap untuk mewarisi. Dalam fikih mawaris dikenal konsep hijab-mahjub sesama ahli waris karena asas penderajatan (ketentuan hukum mengenai ahli waris dekat dan ahli waris jauh) dan dikenal juga sebab-sebab yang dapat membuat seseorang terhalang untuk menerima harta warisan (mawani‘ al-irtsi), di antaranya adalah murtad, membunuh, dan hamba sahaya. Mengenai sebab-sebab mewarisi, isu yang relatif krusial adalah isu perbedaan agama antara Muwaris dengan

101

Bab III

ahli waris serta isu riddah. Pada umumnya, para terpelajar yang terpengaruh dengan doktrin Universal Declaration of Human Right (UDHR), terutama tentang ajaran menganai kebebasan beragama, menganggap bahwa ridah dan perbedaan agama sebagai penghalang untuk mewarisi merupakan ketentuan yang dinilai diskriminatif. Asas huquq al-maliyah/hak-hak kebendaan merupakan penjelasan mengenai batasan-batasan mengenai harta yang dapat diwariskan. Oleh karena itu, hak-hak kebendaan menjelaskan mengenai obyek yang dapat dan tidak dapat diwariskan; yaitu hak dan kewajiban dalam hukum kekeluargaan atau hak-hak dan kewajiban yang bersifat pribadi tidak dapat diwariskan. Di samping itu, asas ini secara implisit mengenai proses-proses sebelum pembagian maurus, antara lain melunasi hutang-hutang muwaris kepada pihak lain sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris dan melaksanakan wasiat Muwaris jika ada. Asas membagi habis harta warisan adalah asas yang mendasari aturan bahwa semua harta peninggalan dibagi habis sesuai dengan kadar bagian masing-masing ahli waris sehingga tidak tersisa lagi, dengan cara menentukan siapa yang menjadi ahli waris dengan bagiannya masing-masing, membersihkan/ memurnikan harta warisan seperti hutang dan wasiat, sampai dengan melaksanakan pembagian hingga tuntas, sehingga dikenalkan konsep Aul dan Radd. Asas Ta‘abudi Versus Asas Ta‘aquli Prinsip penerapan hukum Islam yang berupa pilihan antara wahyu dan akal (al-wahyu wa al-‘aqlu, revelation and reason) dari Coluson, teori pilihan antara kesempurnaan agama dan pembaharuan (iktimâl al-dîn wa tajdîduhu) dari Imarah, dan teori Autoritas Hukum dari Gibb yang didukung oleh Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927) dengan teori receptie in

102

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

complex, pada dasarnya berhubungan dengan asas ketuhanan yang dikemukakan oleh Riana Kesuma Ayu dalam konteks hukum Adat di Indonesia, dan juga relevan dengan asas ta'abbudi/penghambaan diri, yaitu pelaksanaan pembagian waris secara Islam diyakini sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT. Asas ketuhanan mengandung ajaran bahwa melaksanakan pembagian waris merupakan bagian dari menjalankan (baca: taat pada) ajaran agama Islam yang termasuk ibadah. Pada umumnya, asas ini memberikan ruang yang sangat luas dalam menerima teks Qur’an, sunah, dan pendapat ulama apa adanya; teks-teks suci yang terdapat dalam Qur’an-sunnah dipahami, diterima, dan dijalankan apa adanya; penafsiran terhadap Qur’an-sunah ditolelir dalam keadaan khusus atau tertentu. Asas ilahiyah (ta‘abudi) memberikan ruang yang terbatas pada ijtihad karena para pembesar dan penganut madzhab/aliran berpikir ini berpendapat bahwa pemahaman dan pengamalan ajaran agama yang lebih dekat dengan makna teks secara tekstual dianggap lebih shahih dan selamat, dari pada memahami dan menjalankan ajaran agama berdasarkan nalar (ta’wil) yang jauh dari makna tekstualnya. Asas ketuhanan/Ilahiyah dengan asas basyariyah/nalar harus diadopsi dan dipadankan secara seimbang. Metode yang paling sederhana, asas ketuhanan diterapkan terhadap obyek hukum yang sudah ditetapkan ketentuannya dalam Qur’an-sunah; sedangkan asas basyariyah/nalar diterapkan terhadap obyek/hal yang tidak ditentukan oleh Allah dan Rasul dalam Qur’an-sunah. Akan tetapi, pandangan ini biasanya dianggap pandangan sempit karena membatasi porsi ijtihad yang tidak sesuai dengan semangat nalar Islami seperti ditawarkan oleh al-Jabiri dalam kitab Bunyan al-‘Aql al-‘Arabi, termasuk para pengarusutamaan jender yang menuntut pembagian sama antara laki-laki dan perempuan

103

Bab III

karena ketentuan waris dalam Qur’an-sunah dianggap bias jender, tidak adil, kuno, dan tidak sesuai dengan spirit tahrir al-mar’ah. H. Chatib Rasyid menambahkan bahwa asas ketuhanan dan asas ta’abudi diperlukan karena ketulusan hati, kejujuran, keutuhan dalam memahami dan menjalankan ajaran Islam (baca: waris) selaras dengan asas integrity/ketulusan. Asas Tandhidh, Asas Tertib Administratif, dan Asas KegunaanMusahamah Pada kesempatan ini diajukan tiga asas yang berkaitan dengan cara pembagian harta warisan, yaitu asas Tandhidh, asas Tertib Administratif, dan asas Kegunaan/Musahamah yang dirinci pada bagian berikut. Pertama, dalam literatur fikih yang terbit pada tahun 2000-an dikenalkan terminologi yang relatif baru dalam mu’amalah, yaitu tandhidh; terminologi ini digunakan dalam bab mudharabah (bagian dari syirkah) dalam membagi keuntungan antara shahib al-mal/pemilik dana dengan mudharib/pengelola. Muhammad Abd al-Mun‘im Abu Zaid menjelaskan bahwa tandhidh adalah asas dalam pembagian keuntungan (tandhidh asas li qismat al-ribhi); pakar hukum ekonomi Islam menjelaskan bahwa tandhidh adalah kaidah pembagian keuntungan yang menyatakan bahwa pembagian keuntungan dalam usaha dengan akad mudharabah tidak boleh dilakukan sebelum dilakukan tandhidh terhadap modal usaha mudharabah; yaitu melakukan tahwil (penaksiran) terhadap barang dengan harga/nilai tertentu (tahwiluhu min ‘urudh ila nuqud).55

55 Muhammad Abd al-Mun‘im Abu Zaid, Nahw Tathwir Nizham al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyyah (Kairo: al-Ma‘had al-‘Alami li al-Fikrr al-Islami. 2000), hlm. 159. Penjelasan yang sama juga dapat dilihat dalam Ali Jum`ah Muhammad dkk, Mausu‘ah Fatawa al-Mu‘amalat al-Maliyyah li al-Masharif wa al-Mu’assasat al-Maliyah al-Islamiyah (Kairo: Dar al-Salam. 2009), vol. II, hlm. 158.

104

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Asas tandhidh kelihatannnya layak untuk dipertimbangkan dalam pembagian harta warisan, terutama terhadap mauruts/tirkah yang ragam dari segi bentuk dan nilai. Misalnya Tuan Ahmad meninggal dunia dengan harta peninggalan berupa sebuah bangunan ruko di Mangga Dua Jakarta, satu bangunan ruko di Jambu Dua Bogor, tanah sawah seluas 10 hektar di Jonggol, tiga buah mobil dengan merk Jaguar, Alpard, dan Avanza, dan tanah seluas 10 hektar di Pamengpeuk Garut. Maka ahli waris Tuan Ahmad atau juru taksir yang ditunjuk harus menaksir terlebih dahulu seluruh harta warisan ke dalam bentuk rupiah (nuqud), pembagian harta warisan dilakukan setelah dilakukan penaksiran sehingga sangat mungkin luas tanah atau bangunan yang diterima oleh ahli waris berbeda-beda tapi relatif sama dari segi nilai/harga setelah dilakukan perhitungan porsi/kadar bagian masing-masing ahli waris sesuai dengan derajat yang dimilikinya. Hal itu dilakukan karena harga ruko di Mangga Dua dan di Jambu Dua berbeda, harga tanah di Jonggol berbeda dengan harga tanah di pameungpeuk, dan harga mobil yang diwariskan juga berbeda-beda karena perbedaan merk. Asas tandhidh diduga kuat telah dipraktikkan di masyarakat meskipun cara penaksirannya dilakukan bukan oleh ahlinya (misal pihak aprassial); sehingga ada yang memperoleh harta warisan hanya 200 meter persegi karena terletak di pinggir jalan utama, sementara saudaranya yang lain menerima harta warisan berupa tanah yang luasnya mencapai 1000 meter persegi tapi tidak di pinggir jalan utama, karena perbedaan harga tanah yang disebabkan oleh letak tanah tersebut. Kedua, asas Tertib Administratif; yaitu pembagian harta warisan merupakan perbuatan HUKUM Islam yang seharusnya memiliki akta otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang

105

Bab III

agar keluarga yang bersangkutan terhindar dari perselisihan yang terutama biasanya terjadi di kemudian hari (sunda: ngagugat). Apabila ahli waris berselisih dalam pembagian warisan, maka mereka dapat mengajukan penyelesaiannya ke pengadilan (Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri); terhadap pembagian warisan yang diputus/ditetapkan dengan putusan pengadilan dengan sendirinya memiliki alat bukti berupa putusan pengadilan. Sedangkan bagi ahli waris yang membagi harta warisan secara baik-baik (tidak berselisih) kadang-kadang tidak memiliki alat bukti otentik mengenai pembagian harta warisan yang dilakukan. Oleh karena itu, layak kiranya dipikirkan untuk membentuk institusi yang berwenang untuk membuat akta otentik mengenai pembagian harta warisan agar keluarga yang bersangkutan terhindar dari perselisihan yang terjadi di kemudian hari. Ketiga, asas Kegunaan/Musahamah; dalam Kompilasi Hukum Islam, pasal 189 (1) dijelaskan bahwa harta warisan yang berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari dua hektar, supaya dipertahankan keutuhannya sebagaimana semula, dan dimanpaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan. Ketentuan ini dalam pandangan Oyo Sunaryo Mukhlas disebut sebagai asas pemeliharaan keutuhan dan kesatuan lahan.56 Harta warisan yang pengelolaannya memerlukan keahlian khusus, sebaiknya pembagiannya dilakukan secara musahamah; yaitu harta peninggalan tersebut secara operasional tetap dipelihara dan dikelola secara bisnis guna mendapatkan

56 Oyo Sunaryo Mukhlas, “Hukum Kewarisan Islam: Formulasi Baru Waris Islam dalam Tata Hukum Indonesia,” dalam al-Tadbir, vol. 1, nomor: 3, Pebruari 2000, hlm. 115.

106

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

keuntungan yang dibagi bersama sesama ahli waris sesuai kesepakatan. Apabila di antara ahli waris memiliki keahlian yang kurang lebih sama, maka pemeliharaan dan pengelolaan harta peninggalan dapat dilakukan secara bergiliran. Umpama: Tuan Tarfin meninggalkan harta warisan bertipa rumah makan yang luasnya 10 meter persegi (4 m x 2.5 m) di Cikapundung Elektronik Center Bandung. Ia meninggalkan 2 orang anak laki-laki dan anak perempuan serta istrinya sebagai ahli waris, maka dengan bimbingan ibunya, dua anak tersebut sebagai ahli waris diberi hak untuk memelihara dan mengoperasikan rumah makan tersebut pada jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Dengan cara demikian, keuntungan yang diterima keluarga masih bisa diperoleh dalam jangka yang lebih lama bila dibandingkan dengan cara penjualan rumah makan tersebut. Penutup Asas hukum yang menjadi landasan perbuatan hukum itu sendiri termasuk wilayah ijtihadi. Oleh karena itu, asas suatu hukum dapat ditelusuri dan digali secara akademik yang pada level peraturan perundang-undangan, penetapan sesuatu sebagai asas hukum memerlukan proses ijma‘ jama‘i yang sekarang ini diartikan sebagai proses kesepakatan antara ahli hukum Islam dengan pihak eksekutif dan legislatif sebuah negara. Asas Tandhidh, asas Tertib Administratif, dan asas Kegunaan/ Musahamah, merupakan tawaran yang diharapkan dapat memperkaya wacana yang bila dipandang layak oleh pihakpihak pemangku yang terlibat, “disahkan” sebagai asas dalam pembagian harta warisan. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

107

Bab III

Daftar Pustaka Ali Jum`ah Muhammad dkk. 2009. Mausu‘ah Fatawa al-Mu‘amalat al-Maliyyah li al-Masharif wa al-Mu’assasat al-Maliyah alIslamiyah. Kairo: Dar al-Salam. E. Utrecht. 1959. Pengantar dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Balai Buku “Ichtiar.” H. Hatpiadi. 2011. “Beberapa Asas Hukum Kewarisan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat,” dalam www.badilag.net/. H. Chatib Rasyid. 2011. Asas-Azas Hukum Waris dalam Islam,” www.badilag.net/. Howard Federspiel. 1996. Persatuan Islam: Pembaharuan Islam Indonesia Abad XX. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. Mintarno. 2006. “Hukum Waris Islam Dipandang dari Persepektif Hukum Berkeadilan Gender (Studi Di Kecamatan Mranggen Kabupaten Demak),” Tesis Magister, Program Pascasarjana, Magister Kenotariatan. Semarang: Universitas Diponegoro. Muhammad ‘Imarah. 1991. Ma‘alim al-Manhaj al-Islami. Kairo: Dar al-Syuruq. Muhammad Abd al-Mun‘im Abu Zaid. 2000. Nahw Tathwir Nizham al-Mudharabah fi al-Masharif al-Islamiyyah. Kairo: al-Ma‘had al-‘Alami li al-Fikrr al-Islami. Noel J. Coulson. 1969. Conflicts and Tensions in Islamic Jurisprudence. Chicago & London: The University of Chicago Press. Riana Kesuma Ayu. 2011. “Sistem Hukum Waris Adat,” dalam websiteayu.

108

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Syihab al-Din Abu al-‘Abbas Ibn Idris al-Qurafi. 1973. Syarh Tanqîh al-Fushûl fî Ikhtishâr al-Mahshûl fî al-Ushûl. Kairo: Maktabah al-Kuliyyah al-Azhariyyah. Tjun

Sumardjan (ed.). 1991. Hukum Islam di Indonesia: Perkembangan dan Pembentukan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

109

Bab III

110

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA DAN PEMBAGIAN HARTA WARIS HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA Ratu Haika

Latar Belakang Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk seluruh umat Islam di dunia ini. Sungguhpun demikian, corak suatu negara Islam dan kehidupan di negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan di daerah itu. Hal ini disebabkan karena: Pertama: meskipun pada dasarnya Islam telah mengatur dasar hukum kewarisan secara terperinci dalam al Qur'an, jika terdapat suatu kemungkinan kemuskilan pengertian telah dijelaskan oleh Nabi. Namun demikian, dalam hal pelaksanaan praktis terdapat masalah yang secara jelas tidak terdapat dalam al Qur'an dan belum sempat dijelaskan oleh Nabi, sehingga hukum menjadi terbuka. Sebab kedua, ialah bahwa ilmu hukum, termasuk hukum Islam, dimana hukum waris ada di dalamnya, adalah tergolong ilmu sosial dan bukan ilmu eksakta. Oleh karena itu, hukum waris tempat kemungkinan terjadinya perbedaan-perbedaan pendapat diantara para ahli hukum itu sendiri, terutama mengenai ayatayat yang memungkinkan adanya penafsiran lebih dari satu.57 57 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Menurut KUH Perdata Dan Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), h. 6

111

Bab III

Khusus hukum kewarisan Islam di Indonesia, ada beberapa perbedaan di kalangan para fuqaha yang pada garis besarnya terbagi menjadi dua golongan, yaitu: pertama, yang lazim disebut dengan madzhab Sunni (Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) yang cenderung patrilineal dan kedua, ajaran Hazairin yang cenderung Bilateral. Dalam aturan kewarisan Sunny, ahli waris dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: dzawi al furudh, `ashahah, dan dzawi al arham. Dalam dinamika hukum Islam di Indonesia selanjutnya, muncul pemikiran yang agak berbeda dengan pemikiran di atas, seperti dikemukakan oleh Hazairin. Pembagian ahli waris menurut Hazairin adalah: dzawi as siham, dzawi al qarabah dan mawali.58 Dalam perkembangan hukum Islam selanjutnya lahirlah KHI, setelah eksistensi Peradilan Agama diakui dengan hadirnya UU no. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. KHI adalah kitab yang merupakan himpunan atau rangkaian kitab Fiqh, serta bahan-bahan lainnya yang merupakan hukum materil PA dalam menyelesaikan masalah perkawinan, kewarisan dan wakaf. Mengenai KHI ini, Prof Dr. Busthanul Arifin mengatakan bahwa KHI Bukan hanya sekedar reaktualisasi hukum Islam, tapi juga sudah mencerminkan reformasi hukum Islam.59 Di samping itu perlu juga diperhatikan apa yang dikatakan oleh M. Yahya Harahap bahwa KHI baru merupakan langkah awal. KHI belum final dan belum sempurna.60 Selain status KHI yang hanya sebagai inpres, dimana dalam hirarki perundang-undangan di Indonesia masih dipersoalkan juga substansi hukum kewarisan dalam KHI masih banyak yang perlu dilakukan perbaikan dan 58 Lihat buku-buku beliau: Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur'an dan Hadits (a) (Jakarta: Tintamas,1982) ; Hendak Kemana Hukum Islam, (b) (Jakarta: Tintamas,1976); Hukum keluarga Nasional (c) (Jakarta: Tintamas, l974). 59 Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani, 1982) h.76 60

112

Yahya Harahap, Op. Cit., h.61

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

pengembangan seiring dengan berbagai temuan dan perkembangan baru dalam praktek di Pangadilan pada khususnya dan masyarakat pada umumnya. Karena dalam buku II KHI ini, banyak hal yang diatur, maka dalam tulisan ini hanya dibatasi pada masalah rukun dan syarat pewarisan, kelompok ahli waris dan bagiannya masing-masing. Kewarisan Islam Perspektif Fiqh Waris dalam bahasa Arab berasal dari akar kata waratsa, yaritsu wa miratsan,61 secara bahasa berarti pindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain. Sesuatu itu lebih umum dari harta, meliputi ilmu, kemulian dan sebagainya. Dalam al Qur’an ditemukan beberapa lafadz waratsa yang antara lain diterjemahkan dengan menggantikan kedudukan (Qs. An Naml: 16), menganugrahkan (Qs. Az Zumar: 74), menerima warisan (Qs. Maryam: 6) Sedang menurut istilah, kewarisan adalah pemindahan pemilikan harta dari penguasaan orang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik berupa uang, barang-barang kebutuhan hidup atau hak-hak syar 'iyyah.62 Unsur-Unsur dan Syarat-Syarat Pewarisan Peralihan harta kekayaan seseorang kepada ahli warisnya dengan nama peawarisan dapat terjadi jika terdapat tiga unsur pewarisan yang memenuhi syarat sebagai berikut: Matinya pewaris Dalam kewarisan Islam, kematian pewaris menyebabkan peralihan harta kekayaan pewaris kepada ahli warisnya dengan sendirinya, dalam artian peralihan berlaku secara ijbari.63 61 M. Ali Ash Shabuni, A1 Mawaris fi syariat al Islamiyyah `ala Dhau'i Kitabi wa as Sunah, (Arab Saudi: Dar al Qalam, 1979), h. 30 62 63

Ibid Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewrisan Islam Dalam Lingkungan

113

Bab III

Kematian pewaris merupakan faktor utama adanya pewarisan, karena itu kematian harus diketahui secara jelas dan dapat dibuktikan secara hukum. Dalam hal ini para Ulama membagi kematian pewaris menjadi tiga macam, yaitu: mati hakiki, mati hukmi dan mati takdiri.64 Hidupnya ahli waris saat kematian pewaris Para ahli waris yang benar-benar hidup di saat kematian pewaris, berhak mewarisi harta peninggalan. Untuk unsur dan syarat kedua ini ada beberapa masalah antara lain, waris bagi orang mafqud dan waris anak dalam kandungan. Pewaris meninggalkan tirkah Hal ini jika pewaris tidak meninggalkan tirkah,65 maka tidak akan terjadi pewarisan. Menurut Ash Shabuni tirkah sama artinya dengan mauruts, yaitu sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, baik berupa uang, atau hak-hak materi lainnya.66 Dalam pengertian yang cukup populer di kalangan Jumhur Ulama, tirkah mempunyai arti yang lebih luas daripada mauruts. Tirkah yaitu apa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia, yang mencakup harta benda maupun hak-hak keuangan, termasuk hutang pewaris dan juga peninggalan yang digunakan untuk biaya, pengurusan mayat dan pelaksanaan wasiat. Sedangkan mauruts hanya terbatas pada sisa harta yang setelah dikeluarkan untuk biaya pengurusan mayat, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat.67

Minangkanbau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), h. 18

114

64

Sayyid Sabiq, Fiqh as Sunnah, Jilid III ( Semarang: Toha Putra: 1980), h. 426

65

Tirkah secara lughawi berarti harts peninggalan.

66

Ash Shabuni, Op. Cit., h. 37

67

M, Abu Zahrah, Al Tirkh wa a l Mirats, (Cairo'. Dar Al Filer, 1975), h. 150

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Tidak ada penghalang Meskipun telah terpenuhi ketiga unsur dan syarat pewarisan di atas, jika masih ada penghalang mewarisi maka pewarisan tidak akan terjadi. Adapun penghalang-penghalang pewarisan itu adalah perbudakan, pembunuhan dan berlainan agama Ahli Waris dan Bagiannya Dalam uraian kelompok ahli waris dan bagiannya ini akan disusun berdasarkan uraian ahli waris menurut sebab-sebab mereka mendapatkan warisan. Sebab-sebab kewarisan dalam Islam ada tiga,68 yaitu: Ahli waris sababiyah (karena perkawinan) Salah satu sebab kewarisan adalah karena perkawinan. Ahli waris karena perkawinan ialah suami dan atau istri. a. Bagian istri Istri dalam menerima warisan dari suaminya mempunyai dua fard, yaitu: seperempat bila si suami (pewaris) tidak mempunyai fa r ' u w ar it s (anak laki-laki atau perempuan) dan cucu-cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak laki-laki. Seperdelapan bila sipewaris mempunyai far’u warits. Adapun dasar hukumnya adalah QS. An-Nisa: 12 b. Bagian Suami Dalam menerima warisan dari istrinya, suami mempunyai dua fard, yaitu: pertama, seperdua (½) bila si istri (pewaris) tidak mempunyai far'u waris. Kedua, seperempat (¼) bila pewaris 68 Husnain Muhammad Mahluf, A1 Mawaris fi Syari'at al Islamiyyah, (Cairo: Mathbah al Madam, 1976), h. 33

115

Bab III

meninggalkan far'u warits. Adapun dasar hukumnya adalah QS. An-Nisa: 12 Ahli Waris Nasabiyah Dalam aturan kewarisan sunni, ahli waris nasabiyah dibagi menjadi tiga golongan yaitu : dzawi al fiurudh, `ashahah dan dzawi al arham69 dzawi al furudh adalah ahli waris yang bagiannya dalam warisan telah ditentukan secara pasti, misalnya seperdua, sepertiga, seperenam dan sebagainya. 'Ashabah adalah ahli waris yang mempunyai bagian terbuka dalam warisan. Sedang dzawi al arham adalah orang-orang yang baru berhak menerima warisan kalau golongan pertama dan kedua tidak ada. Ini terjadi ikhtilaf diantara para ulama fiqh. Batas antara dzawi al.furudh dan 'ashabah tidak dapat ditarik secara tegas, karena ada beberapa ahli waris yang dalam suatu keadaan bertindak sebagai dzawi al-furudh tetapi dalam keadaan lain beralih menjadi 'ashabah. Karenanya kedua bidang ini akan lebih jelas dan mudah difahami jika dibahas secara bersamaan. Berbeda dengan pemikiran di atas, madzhab Ja’fariah tidak menerima penggolongan seperti di atas. Madzhab Ja'fariah mengelompokkan ahli waris berdasarkan dua tinjauan, yaitu berdasarkan hubungan darah dan kepastian saham.70 Ahli waris berdasarkan hubungan darah terdiri atas tiga kelompok keutamaan, yaitu : 1) kelompok keutamaan pertama terdiri dari keturunan dan orang tua

69 Al yasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbadingan Terhadap Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Madzhab (Jakarta : INIS, 1998), h. 1 70

116

Abu Zahrah, al Mirats 'Inda Ja fariah, (Kairo:Dar al Fikr,tt), h.10

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

2) kelompok keutamaan kedua terdari dari kakek dan saudara (keturunan) 3) kelompok keutamaan ketiga terdiri dari leluhur di atas kakek dan kerabat garis sisi yang bukan saudara. Dalam hal ini selama kelompok keutamaan yang lebih tinggi masih ada, maka kelompok yang lebih rendah tidak berhak mewarisi. Adapun ahli waris berdasarkan kepastian saham dibedakan menjadi dua, yaitu: dzawi as siham, orang yang mendapat bagian pasti dan dzawi al qarabah, orang yang mendapat sisa setelah dikeluarkan saham golongan dzawi as siham. Dilihat dari pengelmpokan ahli waris berdasarkan kepastian saham ini, tampaknya mempunyai kesamaan dengan istilah dzawi al furudh dan `ashabah dalam kewarisan Sunni. Perbedaannya terletak aturan tentang hijab menghijab, karena di sini tidak membedakan antara ahli waris laki-laki dan perempuan, demikian pula keturunannya tidak membedakan dari jalur anak laki-laki atau perempuan. Namun walaupun demikian tetap memegang perbandingan 2:1 antara laki-laki dan perempuan. Selain itu dalam kewarisan madzhah Ja’fariah juga mengenal kewarisan ahli waris karena penggantian. Beralih ke Indonesia, menurut Hazairin ahli waris dibagi menjadi tiga71, yaitu dzawi al faraidh, dzawi al qarabahal, dan mawali (ahli waris pengganti). Dari pengelompokan ahli waris ini tampaknya antara Hazairin dan madzhah Ja’fariah banyak persamaan disamping juga ada perbedaan. Persamaannya adalah keduanya tidak mengakuai adanya `ashabah dan memperkenalkan istilah dzawi al qarahah. Selain itu keduanya juga 71 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an Dan Hadith (Jakarta: Tintatnas,1982), h.18

117

Bab III

mengakui adanya ahli waris karena penggantian, walaupun ada perbedaan dalam pelaksanaannya. Untuk selanjutnya dalam menguraikan ahli waris nasabiyah dan bagiannya akan disusun berdasarkan hubungan ahli waris dengan si pewaris dalam kekerabatan yaitu : Anak dan Keturunannya 1. Anak perempuan (keturunan perempuan derajat pertama) Dalam mewarisi harta peninggalan orang tuanya anak perempuan mempunyai tiga macam fardh, yaitu : seperdua bila hanya satu orang dan mendapat dua pertiga bila dua orang atau lebih, menjadi 'ashabah bila didampingi oleh kerabat laki-laki yang sederajat. Dasar hukumnya adalah Qs. An Nisa: 11 2. Anak laki-laki Anak laki-laki adalah termasuk ahli waris `ashabah. Adapun cara-cara dan ketentuan dalam kewarisannya adalah sebagai berikut : a) Mendapat seluruh harta warisan, bila ahli waris hanya seorang atau beberapa orang anak laki-laki. b) Mendapat seluruh sisa dari harta warisan, bila pewaris meninggalkan ahli waris dzawi al furudh dan anak laki-laki. c) Apabila diantara ahli waris itu ada anak perempuan dan dzawi al furudh maka setelah diambil bagian dzawi al furudh, dibagi antara anak laki-laki dan perempuan dengan perbandingan 2: 1. 3. Cucu perempuan (keturunan perempuan derajat kedua dan seterusnya) Para ulama Sunni sepakat bahwa keturunan yang berhak mewarisi hanyalah keturunan yang melalui garis laki-

118

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

laki. Mereka sama sekali tidak mempertimbangkan kemungkinan bahwa keturunan melalui garis perempuan mempunyai hak yang sama, seperti yang diberikan kepada garis laki-laki. Bagian untuk cucu perempuan ini adalah : pertama sama seperti anak perempuan, yaitu setengah bila sendiri, sepertiga bila dua orang atau lebih sekiranya keturunan derajat yang lebih tinggi sudah tidak ada. Kedua, memperoleh seperenam jika ia bersama anak perempuan tunggal. Ketiga, menjadi 'ashabah, bila mewaris bersama keturunan laki-laki yang sederajat atau yang lebih rendah dan terhijab dua orang anak perempuan dan far’u warits laki-laki yang lebih tinggi derajatnya. Berbeda dengan ulama sunni, madzhab Ja'fariah berpendapat bahwa kerabat dari keturunan laki-laki mempunyai kedudukan yang sama dengan kerabat dari keturunan perempuan, termasuk keturunan dari anak laki-laki dan perempuan.72 Jadi mereka tidak membedakan antara keturunan dari anak laki-laki dan perempuan. Anak derajat dua dan seterusnya selalu menjadi ahli waris pengganti terhadap orang tua mereka. Namun cucu-cucu ini baru bisa mewaris bila anak (derajat pertama) baik laki-laki maupun perempuan telah tidak ada semua. 4. Cucu laki-laki (keturunan laki-laki derajat kedua dan seterusnya) Cucu laki-laki ini termasuk 'ashabah, bila tidak ada anak laki-laki atau orang laki-laki yang lebih tinggi derajatnya. Jadi menurut kewarisan Sunni la terhijab oleh anak laki-laki. Dan menurut madzhab Ja'fariah la juga terhijab oleh anak perempuan. Sedang menurut Hazairin yang mengakuai adanya ahli waris 72

Abu Zahrah, Op. cit, h.97

119

Bab III

pengganti berpendapat bahwa cucu baik laki-laki atau perempuan hanya terhijab oleh orang tua mereka, sedang anak pewaris yang lain tidak menjadikan mereka terhijab73 a. Orang tua dan keturunan ke atas 1) Ibu Dalam mewarisi harta dari anak, ibu mempunyai bagian : a)

Mendapat seperenam jika ada anak (keturunan) atau dua orang saudara atau lebih, Qs. An Nisa:11

b)

Mendapat sepertiga bila tidak terdapat anak (keturunan) atau dua orang saudara atau lebih juga tidak ada suami atau istri pewaris, Qs. An Nisa: 11

c)

Sepertiga sisa harta warisan bila bersama salah seorang istri atau suami pewaris.

2) Ayah Dalam kewarisan sunni, ayah mewarisi harta peniggalan anaknya mendapat bagian :

73

120

a)

Seperenam, jika pewaris (keturunan) laki-laki.

b)

Seperenam dan sebagai `ashabah bila ia bersama anak (keturunan) perempuan.

c)

Sebagai 'ashabah jika tidak ada far'u warits.

Hazairin, Op. cit., h.27

mempunyai

anak

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Dalam hal ini baik Hazairin maupun madzhab Ja'fariah berpendapat bahwa ayah hanya menjadi 'ashahah atau dzawi al qarabah bila pewaris tidak mempunyai anak atau keturunan sama sekali. Jadi menurut mereka bagian ayah adalah: a. b.

seperenam bila ada anak (keturunan) pewaris menjadi 'ashabah bila tidak ada anak

3) Nenek Yang dimaksud nenek dalam kewarisan sunni adalah nenek shahihat. Nenek shahihat ialah nenek (keturunan ke atas) yang dipertalikan pada si mati (pewaris) tanpa memasukkan kakek ghairushahih, 74 yaitu pertaliannya dengan si pewaris tanpa diselingi oleh kakek sama sekali. Adapun bagian nenek adalah seperenam, jika tidak ada ibu dan terhijab dengan adanya ibu. 4) Kakek Kakek dalam kewarisan sunni maksudnya adalah kakek shahih, yaitu kakek yang hubungan nasabnya dengan si pewaris tanpa diselingi oleh ibu75 Seperti bapaknya bapak (abu al ab), bapak dari bapaknya bapak (abu ab al ab) sampai seterusnya. Adapun bagian kakek adalah sebagai berikut : a) Mendapat seperenam jika ada anak (keturunan) lakilaki pewaris. b) Seperenam dan sebagai `ashahah jika bersama anak (keturunan) perempuan. 74

Husnain M. Makhluf, Op. Cit, h. 93

75

Ibid, h.80

121

Bab III

c) Sebagai 'ashabah jika tidak ada far'u warits. d) Mempunyai saudara76

kedudukan

khusus

jika

bersama

e) Terhijab oleh ayah Dari keterangan di atas tampak bahwa kakek menduduki kedudukan ayah bila ayah telah tidak ada. Dalam kedudukan kakek dan nenek ini, madzhab Ja’fariah tidak membedakan kakek dan nenek tersebut, baik dari jalur ayah maupun ibu. Kakek dan nenek dari garis ayah akan mengambil saham ayah. Demikian pula kakek dan nenek dari ibu akan mengambil saham ibu. Namun tetap memperhatiakan derajat yang dekat menghijab derajat yang jauh dan laki-laki mendapat dua kali perempuan. Saudara dan ahli waris penerusnya 1. Saudara perempuan kandung dan seayah Bagian saudara perempuan kandung dan seayah adalah sebagai berikut : a) Mendapat seperdua bila hanya seorang b) Mendapat dua pertiga jika terdiri dari dua orang atau lebih c) Menjadi 'ashabah bila bersama saudara laki-lakinya atau bersama dengan anak perempuan. d) Terhijab oleh anak (keturunan) laki-laki dan ayah Hubungan saudara kandung dan seayah ini seperti kedudukan anak dan cucu, jadi selama ada saudara kandung, saudara seayah terhijab.

76

122

Lihat Al-Yasa Abu Bakar, Op.cit, h. 161-170, Fathurralmian, Op.Cit, h. 272-279

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

2. Saudara seibu (laki-laki atau perempuan) Saudara seibu akan mengambil seperenam kalau hanya satu orang. Bila mereka terdiri atas dua orang atau lebih maka bagiannya adalah 1/3. mereka akan berbagi rata walaupun antara laki-laki dan perempuan. Adapun dasar yang dipakai adalah QS. An-Nisa : 12 3. Saudara laki-laki kandung dan seayah Hubungan saudara laki-laki kandung dan seayah seperti hubungan anak dengan cucu, jadi selama masih ada saudara laki-laki kandung, saudara seayah menjadi terhijab. Saudara laki-laki menjadi 'ashabah jika tidak ada keturunan laki-laki atau ayah atau kakek, berdasarkan An-Nisa: 176. Karena itu menarik saudaranya yang perempuan menjadi 'ashabah bil ghair. Namun ketika mewarisi bersama dengan anak perempuan terjadi perbedaan pendapat, apakah akan menarik saudaranya yang perempuan menjadi 'ashabah bil ghair atau tidak. Jumhur ulama menganggap saudara lakilaki itu menarik saudara perempuannya dengan alasan semua dzawi al furudh yang ada dalam Al-Qur'an dan sederajat dengan 'ashabah bi an-nafsi akan ditarik menjadi 'ashabah bil ghair. Ibnu Abbas yang kemudian diikuti Oleh Ibnu H a z m , menganggap saudara tersebut tidak akan menarik saudara perempuannya menjadi 'ashabah. Menurutnya, ketentuan yang dianut jumhur hanya berlaku terhadap saudarasaudara yang mewarisi berdasarkan Al-Qur'an, yaitu ketika tidak ada keturunan perempuan.77

77

Al-Yasa Abu Bakar, Op.Cit. h. 157

123

Bab III

4. Ahli waris penerus saudara Para ulama sepakat bahwa lafadz al akh yang terdapat dalam Al-Qur'an tidak mencakup kepada keturunannya. Namun apabila saudara telah tidak ada, hak mewarisi tersebut beralih pada keturunan mereka berdasarkan hadits Ibnu Abbas.78 Keturunan perempuan dari saudara laki-laki tidak termasuk dzawi al furudh dan karenanya tidak dapat ditarik menjadi 'ashabah bi al ghair. Begitu pula keturunan saudara seibu tidak lagi diperhitungkan, sama seperti keturunan anak perempuan, karena hubungan mereka melalui garis perempuan. Selanjutnya apabila keturunan saudara laki-laki kandung tidak ada, maka hak saudara tersebut dialihkan kepada saudara laki-laki seayah dan keturunannya. Jadi ahli waris penerus dari saudara adalah : a) Keturunan laki-laki garis laki-laki dari saudara laki-laki kandung atau seayah. b) Saudara laki-laki (kandung atau seayah) dari ayah dan keturunan laki-laki garis laki-laki. Dzawi al arham Makna secara lughah dzawi al arham diambil dari pengertian lafadz arham dalam QS. Al-Anfal : 75 Dari ayat ini arti arham ialah mencakup keluarga secara umum baik ia termasuk ahli waris dzawi al- furudh atau 'ashabah atau golongan lainnya79 Namun secara istilah ulama fiqh mendefinisikannya sebagai anggota kerabat yang tidak menjadi dzawi al furudh dan 'ashabah. Adapun yang termasuk dzawi al arham adalah :

124

78

An-Nawawi, Shahih Muslim bi syarh an-Nawawi (Beirut : Dar al Fikr), h.52

79

Hassanain M. Makhluf, Op.cit, h. 131

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

1. Semua kerabat (laki-laki dan perempuan) yang dalam tali perhubungannya dengan pewaris ada orang perempuan, seperti cucu melalui anak perempuan. Namun ada pengecualian yaitu saudara seibu dan nenek yang digolongkan sebagai ahli waris dzawi al furudh. 2. Semua kerabat perempuan yang tidak tertarik menjadi `ashabah bi a1 ghair oleh ahli waris laki-laki yang sederajat dengan dia. Mengenai kewarisan dzawi al arham ini terdapat dua pendapat, yaitu pendapat pertama, mengatakan bahwa dzawi al arham tidak berhak mendapat warisan sama sekali. Jika tidak ada ahli waris lain kecuali dzawi al arham maka harta warisan diserahkan pada bait al mal. Konsepsi ini merupakan pendapat Imam Syafi'i dan Imam Malik yang bersandar pada pendapat Zaid bin Tsabit dan Ibn Abbas. Adapun pendapat kedua mengatakan bahwa dzawi al arham dapat mewaris bila pewaris tidak meninggalkan ahli waris dzawi al furudh dan `ashabah. Pendapat ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal. Pendapat kedua Imam tersebut disandarkan pada pendapat Ali bin Abi Thalib, Umar bin Khathtab dan Ibnu Mas'ud,80 dan pendapat ini adalah pendapat Jumhur. Kewarisan Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pengertian hukum kewarisan dalam KHI disebutkan pada pasal 171 ayat (a) yang berbunyi : "Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta

80

M. Ali Ash. Shabuni, op. cit, h. 178

125

Bab III

peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing." Dari definisi di atas, maka hukum kewarisan menurut KHI mencakup ketentuan-ketentuan sebagai berikut : a. Ketentuan yang mengatur siapa pewaris b. Ketentuan yang mengatur siapa ahli waris c. Ketentuan yang mengatur tentang harta peninggalan d. Ketentuan yang mengatur tentang akibat peralihan harta peninggalan dari pewaris kepada ahli waris e. Ketentuan yang mengatur tentang bagian masing-masing. Unsur dan Syarat Pewarisan Dari definisi hukum kewarisan di atas tampak unsur-unsur pewarisan, yaitu: a. Pewaris Tentang pewaris tercantum dalam pasal 171 ayat (b): "Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meniggalkan ahli waris dan harta peninggalan." Dari redaksi di atas tampak bahwa untuk terjadinya pewarisan disyaratkan untuk pewaris adalah telah meninggal dunia, baik secara hakiki ataupun hukum. Selain disyaratkan telah meninggal dunia, pewaris juga disyaratkan beragama Islam dan mempunyai ahli waris dan harta peninggalan. Syaratsyarat ini sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam fiqh mawaris.

126

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

b. Ahli Waris Pengertian ahli waris dalam KHI disebutkan dalam pasal 171 ayat ( c ): "Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris" Dari penjelasan tentang ahli waris menurut KHI ini, dapat disimpulakan bahwa syarat-syarat sebagai ahli waris adalah: 1) Mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan 2) Beragama Islam. Tentang beragama Islam bagi ahli waris ini lebih lanjut diatur dalam pasal 172 KHI: "Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari kartu identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya." 3) Tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Adapun tentang hidupnya ahli waris di saat meninggalnya pewaris, seperti disyaratkan oleh para fuqaha tidak tampak dalam ketentuan ini, dan menurut penulis hal ini perlu ditegaskan. Dari pasal 171 ayat ( c ) ini, pertama, menurut penulis perlu adanya penyempurnaan redaksi, karena jika diperhatikan redaksi tersebut seakan-akan yang meninggal itu adalah ahli waris, padahal yang dimaksud tentunya bukan demikian. Kedua, dari pengertian ahli waris di atas tidak disebutkan apakah ahli waris tersebut disyaratkan hidup atau tidak seperti telah diutarakan oleh para ulama fiqh mawaris

127

Bab III

bahwa salah satu syarat terjadinya pewarisan adalah hidupnya ahli waris saat kematian pewaris, baik secara hakiki maupun hukum. Menurut penulis untuk penyempurnaan redaksi tersebut adalah: "Ahli waris adalah orang yang masih hidup atau dinyatakan masih hidup oleh putusan pengadilan pada saat meninggalnya pewaris mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris." 4) Adanya Harta Peninggalan (Tirkah). KHI yang merupakan intisari dari berbagai pendapat para ulama, memberi kesimpulan terhadap definisi tirkah, yaitu seperti dalam pasal 171 ayat (d) : "Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya." Sedangkan tentang harta waris dijelaskan pada pasal 171 ayat (e) ; "Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat." Dari pengertian di atas, dikatakan, bahwa secara umum harta peninggalan seseorang yang telah meninggal dunia adalah berupa: 1. Harta kekayaan yang berwujud dan dapat dinilai dengan uang, termasuk piutang yang akan ditagih. 2. Harta kekayaan yang berupa hutang-hutang dan harus dibayar pada saat seseorang meninggal dunia

128

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

3. Harta kekayaan yang masih bercampur dengan harta bawaan masing-masing. 4. Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh suami atau istri, misal harta pusaka dari suku mereka yang dibawa sebagai modal pertama dalam perkawinan yang harus kembali pada asalnya, yaitu suku tersebut.81 Jadi yang menjadi harta warisan ialah harta yang merupakan peninggalan pewaris yang dapat dibagi secara induvidual kepada ahli waris, yaitu harta peninggalan keseluruhan setelah dikurangi dengan harta bawaan suami atau istri, harta bawaan dari klan dikurangi lagi dengan biaya untuk keperluan pewaris selama sakit, biaya pengurusan jenazah, pembayaran hutang si mati dan wasiat. Dari pengertian ini tampaknya KHI membedakan antara pengertian tirkah dan maurus . Halangan Menjadi Ahli Waris Salah satu syarat terjadinya pewarisan adalah tidak adanya halangan pewarisan. Terhalangnya seseorang menjadi ahli waris dalam KHI disebutkan pada pasal 173, yang berbunyi sebagai berikut: "Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai ketetapan hukum yang tetap, dihukum karena: a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.

81 M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Dengan Kewarisan KUH Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h. 102-103

129

Bab III

b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat". Jika dibandingkan terhalangnya seseorang menjadi ahli waris menurut KHI dengan mawani' al irs dalam fiqh mawaris tampak bahwa yang terkandung dalam pasal 173 ini hanya pembunuhan. Adapun perbudakan dan berlainan agama tidak ada. Untuk perbudakan mungkin dapat diterima, karena di Indonesia tidak ada perbudakan. Adapun tentang berbeda agama walaupun tidak dicantumkan dalam pasal 173 yang mengatur tentang halangan seseorang menjadi ahli waris, namun sebenarnya KHI juga mengakui bahwa perbedaan agama menjadi penghalang pewarisan juga. Hal ini seperti diatur dalam pasal 171 ayat (b) dan ayat (c) tentang pewaris dan ahli waris yang harus beragama Islam. Jadi dalam halangan mewarisi ini sebaiknya ditambah dengan berbeda agama. Kelompok Ahli Waris Dan Bagiannya Dalam KHI pengelompokan ahli waris diatur pada pasal 174, selengkapnya pasal tersebut berbunyi: 1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari : a. Menurut hubungan darah: Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek. Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dan nenek. b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda.

130

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda. Pengelompokan ahli waris seperti di atas, merupakan pengelompokan berdasarkan sebab-sebab terjadinya pewarisan, yaitu karena hubungan darah (nasabiyah), dan karena perkawinan (sababiyah). Jika dibandingkan dengan pengelompokan ahli waris menurut fiqh mawaris, tampaknya KHI tidak mencantumkan ahli waris karena hubungan wala atau perbudakan, ini karena di Indonesia tidak mengenal perbudakan. Ahli waris sababiyah (karena perkawinan) Sebagaimana disebutkan dalam pasal 174 bahwa salah satu sebab pewarisan adalah karena perkawinan. Mereka yang termasuk dalam kelompok ini adalah suami atau istri (duda atau janda). Adapun mengenai bagiannya diatur dalam pasal 179 dan pasal 180. a. Bagian Suami Mengenai bagian suami ini, diatur dalam pasal 179, yang berbunyi sebagai berikut : "Duda mendapat separoh bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian". b. Bagian Istri Bagian istri ini diatur dalam pasal 180 KHI, yang berbunyi : "Janda mendapat seperempat bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapatkan seperempat bagian".

131

Bab III

Ahli waris nasabiyah (karena hubungan darah) Masih merujuk pada pasal 174 tentang pengelompokan ahli waris, disebutkan juga bahwa bentuk pengelompokan yang lain selain karena perkawinan adalah karena hubungan darah. Adapun bagian mereka masing-masing diatur dalam pasal-pasal : 176, 177, 178, 181, dan 182 Anak dan Penerusnya a) Anak Perempuan Dalam mewarisi harta peninggalan orang tuanya anak perempuan menurut KHI (pasal 176) sebagaimana juga dalam hukum kewarisan dalam fiqh mawaris mempunyai tiga macam bagian, yaitu: 1) Seperdua bila hanya sendirian 2) Dua pertiga bila dua orang atau lebih 3) Menjadi 'ashabah atau mendapat bagian 1:2 bila bersama dengan anak laki-laki. Dari pasal 176 ini, nampaknya KHI tetap berpegang teguh pada norma QS. An-Nisa : 11 yang juga dijadikan dasar oleh para ulama dalam fiqh mawaris dalam menetapkan bagian bagi anak, yaitu bahwa bagian anak perempuan adalah 1/2 dari bagian laki-laki. Dalam hal ini KHl tidak menerima usulan l:l untuk bagian anak lakilaki dan perempuan sebagaimana yang pernah dilontarkan oleh Munawir Sadzali yang pada saat pembentukan KHI berkedudukan sebagai Menteri Agama RI. Untuk sekedar alternatif atas kemantapan surat an-Nisa : 11 dalam pasal 183 membuka kemungkinan untuk menyimpang melalui jalur perdamaian.82 . 82

132

Pasal 183 berbunyi : " Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

b) Anak Laki-laki Sebagaimana fiqh mawaris, tampaknya KHI juga menempatkan anak laki-laki sebagai 'ashabah. Walaupun tidak dinyatakan secara jelas dalam bentuk redaksi bahwa anak laki-laki adalah 'ashabah, namun dari pasal-pasalnya KHI tidak menentukan bagian tertentu bagi anak laki-laki. Selain seperti pasal 176 KHI, yaitu bahwa apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki, maka bagian anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan. c) Cucu Mengenai bagian cucu ini KHI tidak jelas mengaturnya. Jika dilihat dari segi pengelompokan ahli waris seperti termuat dalam pasal 174, maka cucu ini tidak disebutkan di dalamnya. Dalam pasal 174 ini hanya disebutkan anak, baik laki-laki atau perempuan. Mungkin bisa dipertanyakan apakah anak yang dimaksud disini, termasuk keturunannya (cucu dan terus kebawah) atau hanya terbatas pada anak saja. Adapun mengenai bagian cucu yang orang tuanya telah meninggal dunia mendahului pewaris, maka hal ini diatur dalam pasal 185 yang biasa dikenal dengan ahli waris pengganti. Orang Tua dan Ahli Waris Penerusnya a) Ibu Ketentuan besarnya bagian untuk ibu terdapat pada pasal 178, yang berbunyi:

dalam pembagian warisan, setelah masingmasing menyadari bagiannya„

133

Bab III

(1)

Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua saudara atau lebih. Bila tidak ada anak atau dua saudara atau lebih, maka ia mendapat sepertiga bagian.

(2)

Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersama-sama dengan ayah.

Berdasarkan pasal 178 ayat (1) KHI diatas bahwa ibu mendapat bagian sepertiga dengan dua sebab, yaitu : 1. Karena tidak ada anak 2. Karena tidak berkumpul dua orang saudara atau lebih. Sebab pertama menimbulkan dua kemungkinan, pertama apakah anak yang dimaksud hanya terbatas pada anak baik laki-laki atau perempuan. Kedua apakah termasuk juga keturunan dari anak tersebut baik melalui jalur laki-laki atau perempuan. Kemungkinan kedua ini bisa diterima karena KHI mengakui adanya waris pengganti, sebagaimana terdapat dalam pasal 185 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut : "Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka tersebut dalam pasal 173". b) Ayah Besarnya bagian ayah dalam KHI diatur pada pasal 177, yang berbunyi sebagai berikut : "Ayah mendapat sepertiga bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian". Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 2 tahun 1994 dijelaskan bahwa maksud dari pasal 177 Kompilasi Hukum Islam adalah : "Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian".

134

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Menurut pasal 177 KHI ditambah dengan keterangan dari Surat Edaran Mahkamah Agung di atas besarnya bagian yang mungkin diterima oleh ayah dapat dirinci sebagai berikut : (a) Mendapat sepertiga bagian, bila ahli waris terdiri dari ayah, ibu dan duda. (b) Mendapat seperenam bagian, bila ahli waris terdiri dari ayah, ibu, duda dan anak Dalam kompilasi hukum Islam seperti diterangkan di atas, ditetapkan bahwa bagian ayah apabila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu adalah sepertiga bagian. Hal ini nampaknya tidak jelas dasar hukumnya. Ketentuan ini bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Q.S. An-Nisa: 11 dan kesepakatan para ulama yang menentukan bagian ayah dengan cara ‘ashabah bila si pewaris tidak meninggalkan anak. Ketentuan yang terdapat dalam penggalan ayat tersebut bukan ketentuan untuk ayah, tetapi ketentuan untuk ibu. Dalam hal ini ayah tidak ditentukan bagiannya, ini artinya dalam keadaan tidak ada anak, ayah tidak termasuk dzawi al furudh, melainkan ‘ashabah, yang bagiannya seperti dijelaskan oleh Rasulullah SAW dari Ibnu Abbas:

  Rasulullah SAW bersabda: “Berikan bagian faraidh kepada yang berhak, adapun sisanya untuk laki-laki yang paling dekat dengan pewaris” (HR. Muslim)

135

Bab III

Jika kita bandingkan dengan pendapat ulama jumhur dalam fiqh mawaris maka kedudukan ayah mempunyai tiga kemungkinan, ia mungkin sebagai dzawi al f'urudh atau sebagai dzawi al furudh ditambah mendapat sisa bagian setelah diambil dzawi al furudh lain, atau ia menjadi `ashabah. Hal ini berbeda dengan pendapat madzhab ja'fariah, dimana ayah tetap sebagai dzawi as siham (dzawi al furudh) ketika bersamasama anak perempuan, karena dalam madzhab ini tidak mengenal kelompok ahli waris `ashabah, tetapi dzawi al qarabah. Dimana ayah hanya akan menjadi dzawi al qarabah jika tidak ada keturunan baik laki-laki maupun perempuan. Dari penjelasan di atas, mengenai bagian ayah, KHI perlu ada penyempurnaan. Dari beberapa pendapat ulama di atas yang mana yang dipilih, apakah pendapat jumhur atau madzhab Ja’ fariah. c) Kakek dan Nenek Seperti bagian cucu, bagian kakek dan nenekpun dalam KHI tidak diatur lebih lanjut. Kakek dan nenek hanya disebutkan dalam pasal yang mengatur pengelompokan ahli waris yaitu pasal 174. Menurut penulis hal ini terjadi karena kedudukan kakek dan nenek berada di bawah derajat ayah dan ibu, dimana mereka mewaris apabila ayah dan ibu tidak ada. Jadi dalam hal ini nampaknya menurut para penyusun KHI bagian untuk ayah dan ibu telah mewakili untuk bagian kakek dan nenek.

136

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Saudara dan Ahli Waris Penerusnya a) Saudara Seibu Mengenai kewarisan saudara seibu ini diatur dalam pasal 181 Kompilasi Hukum Islam, yang selengkapnya berbunyi : "Bila seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat 1/3 bagian". Dari redaksi pasal 181 di atas dapat diambil kesimpulan bahwa : 1)

Saudara seibu hanya bisa mendapat warisan dari pewaris bila pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah. Jadi mereka terhijab oleh anak dan ayah.

2)

Bagian saudara seibu ini adalah : seperenam bila sendirian dan mendapat sepertiga bila terdiri dari dua orang atau lebih.

3)

Disini kedudukan mereka walaupun laki-laki hanyalah sebagai dzawi al furudh.

b) Saudara kandung dan seayah Bagian untuk saudara kandung dan seayah ini diatur dalam pasal 182 KHI, yang selengkapnya berbunyi : "Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka la mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua

137

Bab III

pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersamasama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan". Dari redaksi pasal 181 KHI tersebut dapat diketahui ketentuan tentang bagian saudara kandung dan seayah adalah sebagai berikut : 1)

Mereka hanya dapat bagian bila tidak ada anak dan ayah

2)

Saudara perempuan mendapat setengah bila sendiri, dua pertiga bila terdiri dari dua orang atau lebih dan menjadi 'ashabah bi al ghair bila bersama saudara laki laki sekandung atau seayah. Saudara laki-laki kandung atau seayah adalah `ashabah.

Dari kedua pasal di atas (pasal 181 dan pasal 182) nampaknya rumusan KHI mempedomani Qs, an Nisa ayat 12 dan ayat 176 sebagaimana penafsiran para ulama dalam fiqh mawaris. Tentang pengertian kalalah dalam ayat tersebut di atas, KHI mengambil pengertian yang dipakai oleh jumhur ulama yaitu seorang yang meninggal dunia tanpa meninggalkan ahli waris anak dan ayah. Hal ini berbeda dengan pengertian yang dipakai oleh Hazairin yaitu orang yang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak. Jadi menurut Hazairin ayah tidak menghijab saudara. Dari kedua pasal tersebut di atas, juga dapat diketahui bahwa KHI sama halnya dengan kesepakatan para ulama membeda-bedakan saudara kepada yang kandung, seayah dan seibu. Hal ini juga berbeda dengan Hazairin yang menyamakan pengertian saudara untuk semua.

138

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Adapun yang menarik dikaji dari kedua pasal di atas adalah pengertian tentang "anak". Apakah pengertian "anak" yang diambil dari kata "walad" dari Qs. An Nisa : 176 tersebut ? apakah walad terbatas hanya anak laki-laki saja atau mengandung arti umum mencakup anak laki-laki dan anak perempuan. c) Ahli Waris Penerus Saudara Tentang ahli waris penerus saudara inipun tidak diatur secara jelas dalam KHI. Praktek Hukum Waris Islam di Pengadilan a. Ahli Waris Non Muslim Sebagaimana telah diterangkan di atas, baik dalam kewarisan perspektif fiqh atau kewarisan dalam KHI bahwa non muslim adalah salah satu penghalang dalam mewarisi. Walaupun dalam KHI tidak menyebutkannya sebagai penghalang mewarisi tetapi disebutkan bahwa salah satu syarat ahli waris dan pewaris adalah muslim, ini artinya apabila seorang tidak muslim ia tidak bisa menjadi ahli waris dari seorang muslim. Salah satu kasus yang diputuskan MA tentang ahli waris non muslim ini adalah putusan No. 368 K/Ag/199583, dimana MA memberikan hak waris dari pewaris muslim (kedua orang tua kandung) kepada salah seorang ahli waris (anak) yang beragama bukan Islam atau non muslim atau kafir, dengan bagian sama dengan bagian anak perempuan lainnya, dengan cara wasiat wajibah.

83 Dede Ibin, “Wasiat Wajibah Bagi Ahli Waris Non Muslim” dalam jurnal Mimbar Hukum (Jakarta: Al Hikmah, 2004) No. 63, hal. 100

139

Bab III

Dari putusan MA tersebut tampaknya dalam putusannya MA merujuk pada pendapat Ibnu Hazm. Menurut Ibnu Hazm bahwa yang berhak menerima wasiat wajibah adalah kerabat yang tidak menerima warisan, baik karena perbudakan atau berbeda agama. Dalam putusan ini wasiat wajibah diberikan kepada ahli waris yang terhalang mewarisi karena berbeda agama. Contoh lain adalah putusan Mahkamah Agung Nomor 51 K/AG/199984. Dalam putusan inipun tampaknya MA menerapkan hukum dengan memberikan wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim. Dari kedua contoh di atas, Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi peradilan di Indonesia memberikan putusan yang berbeda dengan tingkat Pertama (PA) dan PTA. Pada kasus I di tingkat pertama dinyatakan bahwa ahli waris non muslim tidak mendapat warisan dari pewarisnya (muslim) karena terhalang oleh agamanya yang berbeda dengan agama pewaris, ini sesuai dengan KHI, yang menjadi hukum positif di PA. Pada tingkat PTA diputuskan bahwa ahli waris non muslim mendapatkan harta peninggalan pewaris dengan cara wasiat wajibah, dengan bagian ¾ dari bagian anak perempuan, putusan ini diambil berdasarkan Qs. Al Baqarah: 180. Pada tingkat kasasi, MA membenarkan pertimbangan hukum dari hakim PTA, Cuma diperbaiki dalam bagian ahli waris non muslim yaitu sama dengan bagian anak perempuan lainnya. Pada kasus kedua Mahkamah Agung memiliki pertimbangan tersendiri yang berbeda dengan pertimbangan hakim di tingkat pertama (Pengadilan Agama) dan banding (Pengadilan Timggi Agama). Pada pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding tidak mengakui adanya wasiat wajibah bagi ahli 84

140

Ibid. h. 102

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

waris non muslim. Hal ini karena peraturan di Indonesia khususnya KHI, tidak ada pasal yang mengatur ketentuan tentang wasiat wajibah bagi ahli waris non muslim. Dalam Kompilasi Hukum Islam wasiat wajibah hanya diperuntukkan bagi orang tua angkat atau anak angkat. b. Anak bersama saudara Berkenaan dengan kedudukan saudara apabila bersama anak, dalam perjalanan pelaksanaan KHI, pernah terjadi pemahaman yang berbeda antara Pengadilan Tinggi Agama Mataram dengan Mahkamah Agung, dalam memahami kata 'walad' sebagaimana disebut dalam QS. An-Nisa : 176 . Pengadilan Tinggi Agama Mataram mengartikan kata "Walad" dengan arti anak laki-laki, sebagaimana pemahaman jumhur ulama. Sedang Mahkamah Agung mengartikan walad dengan arti umum, mencakup anak laki-laki dan perempuan, sebagaimana pernahaman Ibnu Abbas85. Konsekuensi dari pernahaman itu, dalam kasus ahli waris terdiri dari anak perempuan (bint) bersama saudara laki-laki (akh syaqiq), menurut putusan Pengadilan Tinggi Agama Mataram No. 19/Pdt. G/1993/PTA. MTR tanggal 15 September 1993 bahwa anak perempuan mendapat setengah sebagai dzawi al furudh dan saudara laki-laki mendapat setengah sebagai 'ashabah. Sedang menurut Mahkamah Agung dalam putusannya No. 86 K/AG/1994 tanggal 27 Juli 1994, saudara tersebut tidak mendapat bagian, karena terhalang oleh anak perempuan.86 85 Lihat Alyasa Abu Bakar, Ahli Waris Sepertalian Darah, Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazirin Dan Penalaran F'iqh Madzhab (Jakarta: INIS,1988), h.84-91, 9397,119-120, h.132 86 Kasus pewarisan yang diselesaikan adalah, ahli waris terdiri dari : seorang anak perempuan, bersama seorang saudara laki-laki kandung. Gugatan diajukan pada Pengadilan Agama Mataram. PA Mataram menolak gugatan tersebut dengan

141

Bab III

Pelaksanaan Pembagian Waris di Masyarakat Dalam masyarakat Indonesia dikenal 3 sistem kekerabatan yang juga mempengaruhi dalam pembagian warisan, yaitu: 1. Patrilineal, anak laki-laki tertentu saja yang mewarisi seluruh harta peninggalan, ini seperti terdapat di daerah Batak. Di sini anak perempuan yang telah kawin, maka telah lepas dari ikatan kekeluargaan dengan orang tuanya dan masuk dalam lingkungan suaminya dan itu bukan ahli waris. Dalam prakteknya ia diberi hibah oleh orang tuanya sebelum mereka meninggal dunia.87 2. Matrilineal, seperti di Minangkabau, anak merupakan bagian dari ibunya. Jika seorang laki-laki meninggal dunia, maka anak lakilaki tidak mendapat warisan dari ayahnya. Karena pengaruh sosial dan budaya, maka bergeserlah keadaan itu setelah melalui putusan No. 85/Pdt. G/1992/V/PA. MTR, tanggal 5 November 1992. Penolakan PA Mataram tersebut disebabkan karena objek gugatan tidak jelas begitu pula identitas para penggugat tidak jelas, tanpa menyinggung siapa yang berhak menjadi ahli waris. Dalam tingkat banding, Pengadilan Tinggi Agama Mataram dalam putusannya No. 191Pdt. G/1993/PTA. MTR tanggal 15 September 1993 menetapkan ahli waris yang berhak menerima warisan adalah : anak perempuan mendapat setengah dan saudara laki-laki kandung menjadi ashabah menerima setengah (sisanya). Dengan demikian berarti PTA Mataram mengartikan anak dalam pasal 182 adalah terbatas kepada pengertian anak lakilaki sebagaimana pemahaman jumhur ulama. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung dengan putusannya No. 86/AG/1994 tanggal 27 Juli 1994, membatalkan putusan PTA Mataram. Menurut MA, yang berhak menerima warisan hanya anak perempuan, saudara kandung terhijab tidak mendapat bagian. Dalam pertimbangannya MA mengartikan walad dengan arti umum. _yang meliputi anak laki-laki dan perempuan. Pendapat MA ini didasarkan pada pendapat lbnu Abbas. MA berpendapat selama masih ada anak. baik anak laki-laki maupun anak perempuan maka hak waris orang-orang yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris kecuali orang tua, suami dan istri tertutup (terhijab). Lihat Departement Agama RI, Tinjauan Fiqh Islam Terhadap Putusan Badan Peradilan Agama dalam Perkara Kewarisan (Jakarta: Depag. RL. 1999/2000) h. 238-253 87 B. Ter Har, Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, ter. K. Ng. Soebakti Poesponoto (Jakarta: Pradnyaparamitha, 1980) h. 231

142

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

waktu yang panjang. Pergeseran itu mula-mula melalui lembaga hibah dengan ijin, lalu dengan memberi tahu, kemudian cukup dengan pesan dari ayah dan tahap terakhir tanpa pesan, maka hak penuh anak-anak atas harta hasil pencaharian ayahnya.88 3. Parental atau bilateral, ini berlaku bagi masyarakat Jawa, Sunda, dan Kalimantan. Disini baik anak laki-laki atau perempun mempunyai hak untuk mendapat harta peninggalan orang tuanya.89 Berdasarkan sebuah penelitian Pembagian warisan di kalangan ulama Banjar,90dari 41 kasus ditemukan 4 cara dalam pembagian warisan, yaitu : 1. Dengan cara hibah Adapun alasan mengggunakan cara ini adalah agar sepeninggal pewaris, anak-anak dan ahli waris lainnya tetap hidup dalam persaudaraan. Orang tua tidak menginginkan anak-anaknya terpecah belah hanya karena persoalan harta warisan. 2. Dengan cara musyawarah Alasan digunakan cara musyawarah ini adalah untuk kemasalahatan dan keutuhan sebuah keluarga, dan dianggap lebih bijaksana karena berdasarkan musyawarah mufakat harta warisan diberikan kepada ahli waris yang lebih memerlukan.

88 Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewrisan Islam Dalam Lingkungan Minangkanbau, (Jakarta: Gunung Agung, 1984), h.193 89

Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramitah, 1984), h.

83 90 Ahmad Haries, Pelaksanaan Pembagian Waris Di Kalangan Ulama Banjar, (Bandung: Alfabeta, 2009), h. 75-96

143

Bab III

Hal ini dalam KHI diatur dalam pasal 193 : “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya” 3. Berdasarkan faraidh Alasan yang menggunakan cara ini, adalah bahwa ketentuan hukum waris Islam seperti yang telah tertera dalam al Qur’an harus lebih diutamakan. 4. Pembagian harta perpantangan. Yaitu pabila seorang suami/istri meninggal dunia, maka harta itu terlebih dahulu di bagi dua satu untuk pasangan yang masih hidup, dan yang dibagi sebagai waris hanyalah harta bagian yang telah meninggal. Tentang ini dalam KHI disebutkan dalam pasal 96 ayat 1: “Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama, separoh sisanya baru dibagi dengan sistem pembagian warisan” Penutup Dari paparan di atas tentang unsur dan syarat-syarat kewarisan, kelompok ahli waris dan bagian masing-masing, baik dari persfektif Fiqh, KHI atau praktek di Pengadilan dan masyarakat dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Unsur dan syarat-syarat kewarisan Tentang syarat ahli waris disamping beragama Islam perlu ditambahkan masih hidup baik secara hakiki atau hukum ketika meninggalnya pewaris. Selain itu perlu ada perbaikan redaksi tentang pengertian ahli waris, yaitu: "Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan

144

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris". Rekomendasinya yakni bagi ahli waris dan pewaris perlu dipertegas lagi dalam halangan pewarisan, jadi halangan pewarisan di samping pembunuhan perlu ditambah dengan non-muslim. 2. Kelompok ahli waris dan bagiannya Mengenai kelompok ahli waris di samping dibagi berdasarkan sebab mewarisi juga perlu dikelompokkan berdasarkan cara mereka mendapatkannya, apakah menggunakan pengelompokan seperti madzhab sunni yang terbagi atas dzawil furudh, ashabah dan dzawil arham atau menurut madzhab Ja’fariah yang ada kemiripan dengan yang dikenalkan oleh Hazairin, yaitu dzawi al faraidh (dzawi as siham), dzawi al qarabah dan al mawali. Dalam hal ini menurut penulis pendapat yang kedua bisa dipertimbangkan karena tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, dan jalur dari laki-laki atau perempuan. Adapun tentang bagian anak laki-laki dan perempuan 2:1 perlu dipertahankan karena hal ini sesuai dengan al Qur’an, adapun untuk mengakomodir budaya atau kemungkinan untuk memberi bagian yang sama atau lebih kepada anak perempuan sudah pas dengan jalan perdamaian seperti diatur dalam KHI pasal 193. Selanjutnya adalah tentang pengertian walad (anak), di sini perlu dijelaskan apakah dalam penjelasan, pengertian mana yang akan dipakai apakah hanya anak laki-laki atau juga termasuk anak perempuan. Menurut hemat penulis pengertian anak ditetapkan adalah anak baik laki-laki atau perempuan.

145

Bab III

Terakhir adalah tentang bagian bapak apabila tidak ada anak dikembalikan saja bagiannya adalah sebagai ashabah, karena kalau seperti dalam KHI mendapat 1/3 tidak ada dasar hukumnya. Daftar Pustaka Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: Akedemi Pressindo, 1992 Abu Bakar, Alyasa, Ahli Waris Sepertalian Darah: Kajian Perbandingan Terhadap Penalaran Hazairin Dan Fiqh Madzhab, Jakarta : INIS, 1998 Abu Zahrah, Muhammad, Ahkam at Tarikah wa al Mawaris, Kairo: Dar al Fikr al Arabi, tt. --------------, AlMirats `Inda Ja fari’ah, Cairo: Dar al Fikr, tt Al Khudari, Ahmad Kamil, Al Mawaris al Islamiyyah, Mesir: al Majlis al a'la li al Su'im al Islamiyyah, 1996 A. Rasyid, Raihan, " Pengganti Ahli Waris Dan Wasiat wajibah" dalam Mimbar Hukum, No. 23, Jakarta: Al Hikmah dan Binperta Depag, 1995 Arifin, Busthanul, Pelembagaan Hukum Islam Di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan Dan Prospeknya, Jakarta: Gema Insani, 1982 Ash Shabuni, M. Ali, A1 Mawaris Fi Syari'at al Islamiyyah Ala Dhau'I al Kitabi wa as Sunnah, Arab Saudi: Dar al Qalam, 1979 Aulawi, A. Wasit, " Sejarah Perkembangan Hukum Islam" dalam Amrullah, et. al. Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem hukum Nasional, Mengenang 65 Tahun Prof. DR H. Busthanul Arifin, SH, Jakarta: Gema Insani Press

146

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Departemen Agama RI, Al Qur'an Dan Terjemahannya, Jakarta: Depag, 1991 ---------, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 1991 ----------, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 1991 Dirjen Binbaga Islam, Tinjauan Figh Islam Terhadap Putusan Badan Peradilan Agama Dalam Perkara Kewarisan,Jakarta: Depag, 1999/2000 Fathurrahman, Hukum Waris, Bandung : Al Ma'arif , 1975 Harahap, M. Yahaya, " Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam, Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam" dalam Mimbar Hukum: Aktualisasi Hukum Islam, No. 5, Jakarta: al Hikmah dan Binperta Depag. RI, 1992 Hazairin, Hukum Keluarga Nasional, Jakarta: Tintamas, 1974 ----------, Hendak Kemana Hukum Islam, Jakarta: Tintamas, 1976 ----------, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith, Jakarta: Tintamas, 1982. Ibn Hazm, A1 Muhalla, Kairo: Maktabah Alif, 1978 Syarifuddin, Amir, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Minangkabau, Jakarta: Gunung Agung, 1984. M. Mahluf, Husnain, Al Mawaris .f Syari'ah al Islamiyyah, Cairo: Mathbah al Madaniy, 1976 Musa, Muhammad Yusuf, at Tirkah wa al Mirats fi al Islam, Kairo: Dar a; Ma'rifah, 1960

147

Bab III

Ramulyo, M. Idris, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Menurut KUH Perdata Dan Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1994 Rusyd, Ibn, Bidayat al Mujtahid wa Nihayat al Muqtashid, Juz II, Beirut: Dar al Fikr, tt Sabiq, Sayid, Fiqh as Sunnah, Jilid Ill, Beirut : Dar al Kutub al Arabiyah, 1971

148

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

HALANGAN MENERIMA WARISAN Muhammad Adib

Latar Belakang Halangan menerima warisan (mawani‘ al-irts) adalah salah satu sub bahasan yang penting dalam wacana hukum waris Islam. Ia bertali-temali erat dengan sub-sub bahasan lain yang merupakan tahapan-tahapan seleksi penerima harta warisan sebelum penghitungan dan pembagian dilakukan. Tahapantahapan seleksi tersebut meliputi: 1. Seleksi tahap I, yakni seleksi berdasarkan hubungan kekeluargaan yang bertumpu kepada dua garis hubungan, yaitu: a) hubungan darah (al-nasab) dan b) hubungan pernikahan yang sah (al-zawaj al-shahih). Pada tahap ini, keluarga yang tidak lolos seleksi, semisal saudara ipar dan menantu, tereliminasi dengan sendirinya. 2. Seleksi Tahap II, yakni sekelsi berdasarkan kelayakan kerpibadian calon penerima harta warisan. Tumpuannya adalah: a) status sosial, b) hubungan baik dan c) kesamaan agama. Pada tahap ini, calon penerima harta warisan yang tidak lolos sekeksi, semisal menghilangkan nyawa atau berbeda agama dengan orang yang akan mewariskan harta kepadanya (muwarrits) menjadi tereliminasi dengan sendirinya. Selain penting, sub bahasan tentang halangan menerima harta warisan, utamanya dalam hal kesamaan agama, juga terhitung sensitif. Sebab ia tidak hanya terkait dengan masalah kepentingan individu mendapatkan harta warisan yang sudah

149

Bab III

menjadi haknya, melainkan juga berjalin berkelindan dengan pola relasi antar agama. Itulah sebabnya, mengkaji masalah halangan menerima warisan harus dilakukan secara komprehensif dan bijak. Komprehensif, dalam arti menjangkau kajian tekstual dan kontekstual secara tuntas. Bijak, dalam arti mengakomodir kemajemukan realitas sosial keagamaan di Indonesia yang selalu saja rentan terhadap konflik horisontal bernuansa isu SARA. Halangan Menerima Warisan Berbicara tentang halangan menerima warisan tentu tidak lepas dari empat perspektif, yaitu: fiqih, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (KHI), praktik di pengadilan, dan masyarakat. Empat perspektif tersebut selanjutnya perlu ditelaah berdasarkan perspektif yang lebih mendasar, yakni perspektif metodologis atau wacana ushul fiqih. Dalam perspektif fiqih, utamanya hukum waris Islam (‘ilm al-fara’idh), ada tiga hal yang menjadi penghalang bagi seorang ahli waris untuk menerima harta warisan (mawani‘ al-irts), yaitu: a. Perbudakan (al-riqq) Para ulama bersepakat bahwa budak tidak dapat menerima harta warisan serta tidak dapat mewariskan hartanya. Sebab, dalam statusnya sebagai budak, dia sama sekali tidak memiliki kecakapan untuk memiliki dan mengelola harta benda. Bahkan, lebih dari itu, dia sebagai harta dan hak milik tuannya yang bisa diwariskan. Kalaupun budak tersebut memiliki harta kekayaan, maka harta tersebut secara otomatis sepenuhnya menjadi hak milik tuannya.91 91 Wahbah al-Zuhaylī, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, ctk. II (Beirut: Dār al-Fikr, 1985), VIII: 258.

150

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Perbicangan para ulama sebenarnya tidak terhenti pada titik kesepakatan itu saja terkait dengan perbudakan sebagai salah satu penghalang menerima warisan. Dalam hal budak muba‘adh dan budak mukatab misalnya, pendapat mereka cukup beragam sesuai dengan pijakan argumentasi masing-masing. Namun, oleh karena secara de jure sudah dihapus sejak lama, maka perbudakan sebagai penghalang menerima warisan sudah tidak relevan lagi untuk diperbincangkan. b. Pembunuhan (al-qatl) Secara umum para ulama bersepakat bahwa ahli waris yang membunuh orang yang akan mewariskan harta kepadanya (muwarrits), terutama yang disengaja atau direncanakan (‘amdan) baik secara langsung ataupun tidak, diberi sanksi tegas tidak dapat menerima harta warisan. Selain berpijak kepada hadits di bawah ini:

 Seorang pembunuh (orang yang mewariskan harta kepadanya) tidak berhak menerima harta warisan apapun. (H.R. al-Nasa’i). Kesepakatan ulama tersebut juga berpijak kepada argumentasi bahwa sang ahli waris telah menempuh cara kekerasan yang keji terhadap orang yang akan mewariskan harta kepadanya. Akibatnya, dia patut diberi sanksi kehilangan hak untuk mendapatkan harta tersebut.92 Di luar kesepakatan tersebut, para ulama berbeda pendapat tentang jenis-jenis pembunuhan selain yang disengaja atau direncanakan sebagai penghalang sang pelaku untuk 92

Ibid., hlm. 260.

151

Bab III

mendapatkan harta warisan. Perbedaan pendapat tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan tolok ukur yang dipakai: 1) Tolok ukur adanya sanksi qishash atau tebusan (kaffarah); dipakai oleh Hanafiyyah dan Hanabilah. Berdasarkan tolok ukur tersebut, hanya pembunuhan yang dijatuhi sanksi qishash atau kaffarah saja yang dianggap sebagai penghalang menerima warisan, yakni pembunuhan yang dilakukan secara disengaja atau direncanakan, pembunuhan semi disengaja dan pembunuhan karena sematamata kekeliruan. Sementara pembunuhan yang tidak terkena sanksi qishash ataupun kaffarah, yaitu pembunuhan karena ada alasan yang bisa diterima secara syar‘i, tidak dianggap sebagai penghalang hak menerima warisan. Sebut saja, misalnya, pembunuhan oleh algojo hukuman mati atau karena mempertahankan nyawa. Pelaku pembunuhan tersebut terakhir tetap bisa menerima warisan.93 2) Tolok ukur motivasi keji (al-‘udwan) sang pelaku; dipakai oleh Malikiyyah. Berpijak kepada tolok ukur tersebut, pembunuhan yang bisa menjadi penghalang menerima warisan adalah pembunuhan yang dilakukan atas dasar motivasi untuk menyakiti ataupun menghilangkan nyawa korban. Motivasi seperti ini hanya terdapat pada tindakan pembunuhan secara disengaja atau direncanakan (al-qatl al-‘amd), baik secara langsung ataupun tidak langsung. Termasuk dalam jenis ini adalah persaksian palsu yang menyebabkan korban disanksi hukuman mati.94

152

93

Ibid., hlm. 261.

94

Ibid., hlm. 262.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

3) Tolok ukur efek tindakan, yakni hilangnya nyawa orang lain; dipakai oleh Syafi‘iyyah. Mengacu kepada tolok ukur tersebut, semua tindakan yang bisa menyebabkan hilangnya nyawa orang lain, baik secara disengaja ataupun tidak, baik yang dilakukan karena ada alasan syar‘i ataupun tidak, tetap dianggap sebagai penghalang hak menerima warisan.95 Perbedaan agama (ikhtilaf al-din) Sebagian besar para ulama ahli hukum Islam berpandangan bahwa perbedaan agama menjadi halangan bagi seorang ahli waris untuk bisa menerima harta warisan, baik sebagai muslim maupun non muslim. Ahli waris muslim tidak bisa menerima warisan dari orang non muslim. Begitu pula sebaliknya, ahli waris non muslim tidak bisa menerima warisan dari orang muslim. Pandangan ini berpijak kepada hadits berikut ini:

 Orang muslim tidak bisa menerima warisan dari orang non muslim. Begitu juga sebaliknya, orang non muslim tidak bisa menerima warisan dari orang muslim. (H.R. al-Bukhari dan Muslim).96 Pandangan ini, secara turun-temurun, memang menjadi pandangan mainstream dalam wacana hukum waris Islam. Pada setiap literatur dan materi hukum waris Islam yang diajarkan baik di lembaga pendidikan formal maupun non formal, pandangan inilah yang menjadi menu dan acuan utama.

95

Ibid.

96

Ibid., hlm. 263.

153

Bab III

Namun, sebagaimana telah disebutkan pada bagian pendahuluan di atas, masalah perbedaan agama sebagai salah satu halangan menerima warisan terhitung sensitif. Ia tidak hanya berkait dengan benturan antara kepentingan mendapatkan harta warisan di satu sisi, tetapi juga dengan pola relasi antar umat beragama yang sarat ketegangan di sisi yang lain. Benturan yang sensitif terhadap ternyata sudah dirasakan oleh para ahli hukum Islam pada masa awal. Terbukti, tokoh-tokoh Sahabat sekaliber Mu‘adz ibn Jabal dan Mu‘awiyah ibn Abi Sufyan pernah menghadapi kasus pelik terkait sengketa harta warisan. Diceritakan, suatu saat, Mu‘adz kedatangan dua orang tamu bersaudara yang bersilang-sengketa memperebutkan harta warisan. Keduanya berlainan agama; muslim dan yahudi, sementara ayah mereka yang baru saja meninggal kebetulan beragama yahudi. Pasca kematian sang ayah, anak yang beragama yahudi mengklaim semua harta warisan, dengan alasan saudaranya yang muslim berbeda agama dengan sang ayah. Tentu saja, anak yang muslim merasa berkeberatan dan menuntut bagian harta warisan. Menghadapi kasus tersebut, Mu‘adz dan Mu‘awiyah ternyata menyampaikan fatwa yang berbeda dengan landasan tekstual (baca: hadits) yang berlaku ketika itu. Dia memutuskan bahwa anak yang muslim sama dengan yang beragama yahudi, yaitu sama-sama berhak menerima harta warisan. Argumentasi tekstualnya adalah hadits berikut ini.

 Islam akan selalu bertambah dan tidak akan pernah berkurang. (H.R. Abu Dawud, dinilai shahih oleh al-Hakim).

154

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Uniknya, meskipun berpijak kepada landasan tekstual yang cukup membuat kita mengernyitkan dahi, fatwa Mu‘adz dan putusan Mu‘awiyah tersebut ternyata diamini oleh sejumlah tokoh kalangan Tabi‘in, seperti Masruq, Sa‘id ibn al-Musayyab, Ibrahim alNakha‘i dan ‘Abd Allah ibn Ma‘qil. Bahkan, tokoh tersebut terakhir secara terang-terangan menyatakan kekagumannya terhadap fatwa dan putusan yang dianggapnya brilian itu.

             Belum pernah dijumpai putusan yang secerdas dan sebrilian putusan Mu‘awiyah. Orang Islam bisa menerima warisan Ahl al-Kitab, sementara mereka tidak bisa menerima warisan dari orang Islam. Sama dengan pernikahan; orang Islam bisa menikahi perempuan kalangan mereka, tetapi mereka tidak bisa menikai perempuan muslimah.97 Terlepas dari kontroversi seputar validitas transmisi (sanad)-nya, riwayat di atas menyiratkan dua hal penting, yaitu: 1) Sengketa harta warisan, terlebih-lebih yang diwarnai oleh nuansa ketegangan antar agama, adalah kasus sensitif yang memerlukan penalaran yang komprehensif dan bijak. Di satu sisi, berpijak hanya kepada acuan tekstual an sich hanya akan berpotensi memperparah ketegangan. Sementara di sisi lain, mengenyampingkan sama sekali pijakan tekstual tentu bukan cara yang tepat, karena akan mendapatkan penolakan di manamana.

97 Al-Hāfizh Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Fath al-Bārī Syarh Shahīh al-Bukhārī (Ttp.: Dār alRayyān li al-Turāts, 1986), XII: 52.

155

Bab III

2) Inovasi hukum yang mengakomodir kebutuhan dan kondisi aktual telah dilakukan semenjak masa awal Islam. Dalam ruang lingkup hukum waris Islam, inovasi masalah warisa beda agama, sebagaimana diceritakan oleh riwayat Mu‘adz dan Mu‘awiyah di atas, hanyalah satu contoh saja dari sekian banyak inovasi hukum waris yang dilakukan pada masa Sahabat. Sebut saja, misalnya, masalah ‘awl, radd, gharrawayn dan musyarakah. Masalah-masalah kewarisan tersebut sarat dengan inovasi, karena setelah jika diamati dengan cermat dan kritis, semuanya telah mengubah (sedikit-sedikit) bagian semua ahli waris dari apa yang tertuang secara definitif dalam teks alQur’an. Menariknya, semua inovasi tersebut ternyata tidaklah selalu bergulir dengan mulus. Perlawanan dari sejumlah Sahabat lain, utamanya yang berhaluan skriptualis, terhitung cukup keras dan sengit. Sebagai contoh, pada kasus masalah musyarakah, ‘Umar ibn al-Khaththab, sang tokoh penggagas yang saat itu sedang menjabat sebagai Khalifah, ditentang habis-habisan oleh ‘Abd Allah ibn ‘Abbas dan Ubay ibn Ka‘b. Alasan mereka, gagasan ‘Umar tersebut berlawanan dengan ketentuan tekstual al-Qur’an.98 Perspektif KHI Ketentuan tentang halangan mendapatkan warisan pada KHI ternyata cukup tersebar di beberapa pasal sebagai berikut: a. Pasal 171 item b dan c: (b) Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan 98 Muhammad Muhy al-Dīn ‘Abd al-Hamīd, Ahkām al-Mawārīts fī al-Syarī‘ah alIslāmiyyah ‘alā Madzāhib al-A’imma al-Arba‘a, ctk. I (ttp.: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1984), hlm. 170; Ibn Qudāmah ‘Abd Allāh ibn Qudāmah, al-Mughnī fī Syarh Mukhtashar al-Kharaqī (Kairo: Dār al-Manār, 1987), VI: 181-182; Ibn Rusyd Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubī, Bidāyah alMujtahid wa Nihāyah al-Muqtashid (Semarang: Toha Putera, t.t.), II: 257.

156

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. (c) Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. b. Pasal 172: Ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya c. Pasal 173 item a dan b: Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena: 1)

dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris;

2)

dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.

Apabila dicermati menurut pijakannya, ketentuan KHI tentang halangan menerima waris bisa diklasifikasi menjadi tiga bagian, yaitu: a. Bagian yang diadaptasi dari literatur-literatur fiqih Islam. Termasuk dalam bagian ini adalah: 1) Harus beragama Islam (Pasal 171 dan 172).

157

Bab III

2) Membunuh (Pasal 173 item a). b. Bagian yang sepertinya diadopsi dari BW Pasal 838 item 1 dan 2. Termasuk dalam bagian ini adalah: 1) Mencoba membunuh (Pasal 173 item a). 2) Memfitnah pewaris bahwa dia pernah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi (Pasal 173 item b). Perhatikan ketentuan BW Pasal 838 item 1 dan 2 di bawah ini: Orang yang dianggap tidak pantas untuk menjadi ahli waris, dan dengan demikian tidak mungkin mendapat warisan, ialah: 1) dia yang telah dijatuhi hukuman karena membunuh atau mencoba membunuh orang yang meninggal itu; 2) dia yang dengan putusan Hakim pernah dipersalahkan karena dengan fitnah telah mengajukan tuduhan terhadap pewaris, bahwa pewaris pernah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat lagi;99 Namun, meskipun sepertinya merupakan adaptasi dari BW, dua ketentuan tersebut tidak tercerabut dari ketentuanketentuan dalam hukum Islam waris Islam. Halangan karena memfitnah pewaris, misalnya, senada dengan pendapat ulama Malikiyyah bahwa memberikan kesaksian palsu (syahadah alzur) yang menyebabkan pewaris dihukum mati adalah bentuk lain dari pembunuhan disengaja sebagai penghalang menerima warisan.100 99 R. Subekti dan R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Pradaya Paramitha, 1982), hlm. 209. 100

158

Al-Zuhaylī, al-Fiqh., hlm. 262.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

c. Bagian yang merupakan inovasi ketentuan tentang halangan menerima warisan, yaitu halangan menerima waris karena menganiaya berat terhadap pewaris (Pasal 173 item a). Klasifikasi di atas menyiratkan sebuah kenyataan menarik, yaitu bahwa ketentuan KHI tentang halangan menerima warisan (Pasal 171, 172 dan 173) merupakan bentuk kompromistik dari hukum waris Islam di satu sisi dan BW di sisi yang lain. Bentuk kompromistik seperti itu tentu memerlukan kajian yang komprehensif, agar memiliki pijakan metodologis yang bisa dipertanggungjawabkan. Seperti ditegaskan oleh Busthanul Arifin, salah seorang tokoh perumus KHI, Pasal 173 KHI adalah serapan dari materi hukum BW yang tumbuh dari norma dan etika agama Kristen. Meski demikian, perlu ditelusuri secara lebih jelas apakah penyerapan aturan kewarisan BW tersebut bertentangan dengan hukum Islam ataukah tidak.101 Praktik di Pengadilan Dua putusan Mahkamah Agung (MA), yakni Nomor: 368 K/AG/1995 tanggal 16 Juli 1998 dan Nomor: 51 K/AG/1999 tanggal 29 September 1999, adalah yang paling banyak disorot oleh publik. Penyebabnya adalah karena melalui dua putusan tersebut, MA memutuskan memberikan bagian warisan, tepatnya dengan wasiat wajibah, kepada ahli waris non muslim. Bedanya, jika, pada putusan pertama, ahli waris non muslim tidak dinyatakan sebagai ahli waris, maka, pada putusan kedua, ahli waris non muslim dinyatakan sebagai ahli waris serta mendapatkan bagian yang sama dengan ahli waris muslim.102 101

Dikutip dari: http://peunebah.blogspot.com (Akses tanggal 09 Juli 2011).

102

Moh. Muhibuddin, “Pembaharuan Hukum Waris Islam oleh Hakim di Indonesia”, http://www.pa-natuna.net (Akses tanggal 09 Juli 2011).

159

Bab III

Di satu sisi, dua putusan tersebut memang bisa dijadikan sebagai contoh upaya inovasi yurisprudensial yang dilakukan oleh hakim atau lembaga peradilan. Selain karena hakim memiliki kewenangan untuk mengeluarkan putusan yang menyimpang dari ketentuan hukum tertulis yang telah ada yang dianggap kontradiktif dengan cita rasa—disebut dengan “contra legem”, putusan MA di atas tentu didasari oleh banyak pertimbangan lain, semisal menjaga keutuhan keluarga, mengakomodir realitas sosial masyarakat Indonesia yang plural dan memenuhi rasa keadilan. Putusan tersebut tentu memberikan warna baru dalam wacana hukum waris Islam.103 Namun, di sisi lain, putusan MA tersebut masih menyisakan beragam persoalan, baik yang terkait dengan pijakan metodologis (ushul fiqih) maupun pijakan yuridis. Secara metodologis, masih terjadi kesimpang-siuran di kalangan pemerhati hukum Islam tentang ijtihad, fatwa ataupun putusan pengadilan yang berlawanan dengan teks al-Qur’an dan hadits. Sementara secara yuridis, putusan tersebut tidak memiliki acuan yang baku, karena berlawanan dengan ketentuan dalam KHI yang tidak memberikan harta bagi ahli waris non muslim dan tidak mengakui ahli waris non muslim sebagai ahli waris dari pewaris muslim. Pengambilan putusan seperti itu kurang sejalan dengan prinsip kepastian hukum, terutama yang terkait dengan sumber hukum. Fakta di Masyarakat Secara umum, ketentuan halangan menerima warisan, sebagaimana diatur dalam hukum waris Islam dan KHI, masih dianggap sebagai ketentuan terbaik dan final di kalangan masyarakat, utamanya yang berbasis keagamaan kuat. Terbukti, 103

160

Ibid.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), hingga saat ini, tetap memakainya sebagai salah satu dasar hukum. Hal yang sama juga dijumpai pada komunitas pesantren, terutama dengan formulasi kurikulum dan kerangka pemikiran yang berbasis kitab kuning yang masih tetap dipertahankan hingga saat ini. Terbukti, hingga saat ini, belum dijumpai hasil bahtsul masa’il dari komunitas pesantren yang menghasilkan produk hukum yang berbeda. Hanya di kalangan masyarakat yang hukum adatnya relatif kuat, atau mungkin yang beragam pemeluk agamanya, saja yang sedikit memiliki perbedaan. Sebut saja, misalnya, masyarakat desa Sumbersari Kecamatan Moyudan Kabupaten Sleman Provinsi D.I. Yogyakarta104 yang sudah tidak asing dengan pewarisan lintas agama. Refleksi Dari uraian panjang-lebar tentang halangan menerima warisan di atas, bisa dipahami bahwa hukum waris Islam berada di antara dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi, ia terikat dengan seperangkat teks al-Qur’an dan hadits yang memuat ragam ketentuan teknis kewarisan yang sudah dianggap baku. Piranti metodologis (ushul fiqih) yang ada selama ini dibangun dalam suatu konstruksi teoretik yang menguatkan teks-teks tersebut. Namun, di sisi lain, hukum waris Islam berhadapan langsung dengan realitas sosial yang dinamis serta berkembang sedemikian rupa, sehingga menuntut berbagai inovasi dan adaptasi yang acapkali berlawanan dengan muatan ajaran teks.

104 Haris Bahalwan, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembagian Warisan Beda Agama di Desa Sumbersari Kecamatan Moyudan Kabupaten Sleman, skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, http://digilib.uin-suka.ac.id (akses tanggal 09 Juli 2011).

161

Bab III

Itulah sebabnya, pada bagian refleksi kali ini, perlu diangkat kembali dua hal yang sangat penting dalam kaitannya dengan dua sisi berseberangan yang dihadapi oleh hukum waris Islam di atas. Dua hal tersebut adalah: 1) tinjauan historis hukum waris Islam, utamanya yang terkait dengan semangat inovatif yang termuat di dalamnya, dan 2) pijakan metodologis (ushul fiqih) yang bisa menopang semangat inovasi tersebut. Tinjauan Historis Sepanjang sejarah perjalanannya, mulai dari masa awal Islam hingga saat ini, hukum waris Islam sebenarnya berjalin berkelindan dengan inovasi hukum. Bahkan, lebih dari itu, keberadaan hukum waris Islam sendiri sebenarnya merupakan inovasi luar biasa yang merombak sistem pewarisan harta era PraIslam. Diakui atau tidak, berbagai upaya inovasi tersebut menyiratkan watak fleksibel hukum waris Islam dalam konteks perubahan dan perkembangan sosial masyarakat. Tidak berlebihan kiranya jika dinyatakan bahwa hukum waris merupakan salah satu contoh terbaik dari evoluasi hukum Islam. Sebagaimana diketahui, hukum waris Islam hadir di tengah-tengah sebuah sistem sosial kesukuan (tribal society system) bangsa Arab pra-Islam yang memiliki dua karakteristik yang khas, yaitu: 1) Struktur sosialnya bersifat patrilineal (mujtama‘ abawi), di mana eksistensi kaum perempuan melebur ke dalam garis laki-laki.105 Hal ini tercermin dari sebuah syair Arab pra-Islam berikut ini:

105 Halimah Barakat, “The Arab Family and Challenge of Social Transformation”, dalam Elizabeth Warnock Fernea (ed.), Women and Family in the Middle East (Texas: University of Texas Press, 1995), hlm. 28.

162

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

o Keturunan kita adalah anak-anak laki-laki kita beserta keterunan mereka, dan juga anak-anak perempuan kita. Sementara keturunan anak-anak perempuan kita tidak termasuk keturunan kita, melainkan keturunan laki-laki “nun jauh di sana”.106 2) Sistem sosialnya bersifat patriarkal. Segalanya berpusat kepada eksistensi dan peran laki-laki, baik dalam ranah publik ranah domestik. Sebab hanya laki-lakilah yang saat itu mampu memberikan kontribusi sosial bagi keberlanjutan kehidupan suku.107 Implikasinya mudah ditebak. Sistem pembagian harta warisan menjadi diskriminatif. Hanya kaum laki-laki dewasa saja yang bisa mewarisi harta kekayaan, baik melalui jalur hubungan keluarga (nasab), pengangkatan anak (tabanni) maupun perjanjian (half wa ‘ahd).108 Sementara kaum perempuan, anakanak, orang-orang jompo dan orang-orang cacat sama sekali tidak memilliki hak apa-apa. Prinsip yang dipegang teguh adalah “senioritas” (the principle of seniority) dan “keikutsertaan dalam aktivitas militer” (the principle of comradship in arms).109

106 Muhammad Rasyīd Ridhā, Tafsīr al-Qur’ān al-Hakīm, ctk. II (Beirut: Dār alMa‘rifah, 1973), IV: 405. 107

Hammūdah ‘Abd al-‘Athī, The Family Structure in Islam (Indiana: Islamic Book Service, 1977), hlm. 8-9 108 Rasyīd Ridhā, Tafsīr., hlm. 402; M. Musthafa Khan, Islamic Law of Inheritance: A New Approach (New Delhi: Kitab Bhavan, 1989), hlm. 8. 109 ‘Abd al-‘Athī, The Family., hlm. 250-251. Prinsip ini tercermin dalam penyataan orang-orang Arab pra-Islam bahwa “Kami tidak akan merwariskan harta kami kepada orang yang tidak bisa menunggang kuda, menghunus pedang, menggunakan anak panah, mengusir musuh dan menjaga keselamatan suku”. Lihat: Abū Ja‘far Muhammad ibn Jarīr alThabarī, Jāmi‘ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān, ctk. II (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1972), IV: 176 dan 185.

163

Bab III

Saat itulah, hukum waris Islam hadir sebagai “sistem tandingan” yang mengusung misi emansipasipatoris untuk merombak secara radikal namun bertahap (tadrijiyyan) sistem waris Arab pra-Islam, dengan tahapan-tahapan sebagai berikut: 1) Penyadaran persuasif tentang kesetaraan derajat manusia di hadapan Allah swt.110 Hal ini tercermin dari ayat-ayat periode Mekkah yang memang memuat prinsip-prinsip umum agama.111 2) Pasca peristiwa hijrah dari Mekkah ke Madinah, hubungan persaudaraan yang tulus (wilayah) antara Sahabat Muhajirin dan Sahabat Anshar dijadikan standar baru dalam pewarisan; menggeser prinsip partisipasi militer, sehingga memberi peluang bagi setiap orang, terlepas dari status sosial dan kelaminnya, untuk mewariskan ataupun mewarisi harta.112 3) Setelah ikatan persaudaraan seiman semakin kuat, standar untuk bisa mewariskan dan mewarisi harta dipersempit hanya di antara orang-orang yang memiliki hubungan darah (ulu alarham).113 Pewarisan melalui jalur pengangkatan anak (tabanni) dilarang keras,114 sementara pewarisan melalui jalur perjanjian masih dipertahankan,115 karena janji memang harus ditepati. 4) Penyadaran persuasif tentang hak-hak kaum perempuan. Selain mengecam keras kebiasaan memperlakukan kaum perempuan 110 Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in A World Civilization (The Classical Age of Islam), ctk. I (Chicago: Chicago University Press, 1974), I: 163. 111 Misalnya: QS. al-A‘rāf (7):85; al-Isrā’ (17):23 dan 33, al-Kahf (18):110; al-Syu‘arā’ (26):130; al-Hujurāt (49):13; al-Dzāriyāt (51):56. 112

Muhammad al-Khudarī Bek, Tārīkh al-Tasyrī‘ al-Islāmī (Surabaya: Al-Hidāyah,

t.t.), hlm. 91.

164

113

QS. al-Ahzāb (33):6.

114

QS. al-Ahzāb (33):4.

115

QS. al-Nisā’ (4):33.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

sebagai barang warisan,116 al-Qur’an juga menjamin hak-hak wajar mereka untuk mendapatkan bagian harta warisan117 namun prosentase bagian warisan (nashib) masih belum dijelaskan secara terperinci. 5) Setelah prinsip persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, utamanya dalam hal pembagian harta warisan, telah tertanam kuat dalam kesadaran sosial masyarakat, barulah al-Qur’an memberikan ketentuan operasional tentang prosentase pembagian warisan.118 Inovasi hukum waris Islam terus berlangsung hingga masa Sahabat. Masalah ‘awl, radd, gharrawayn dan musyarakah, misalnya, yang digagas dan digulirkan oleh tokoh-tokoh sekaliber ‘Umar ibn al-Khaththab dan ‘Ali ibn Abi Thalib, misalnya, atau masalah waris beda agama yang difatwakan oleh Mu‘adz ibn Jabal dan dilegislasi oleh Mu‘awiyah ibn Abi Sufyan, sebagai contoh lain, adalah sekian ragam pemikiran kewarisan yang sarat dengan inovasi. Disebut inovatif, karena setelah jika diamati dengan cermat dan kritis, semuanya telah mengubah (sedikit-sedikit) bagian semua ahli waris dari apa yang tertuang secara definitif dalam teks al-Qur’an. Namun, berbagai upaya inovasi seperti yang sudah dicontohkan oleh Sahabat, lambat-laun namun pasti, menghilang dari wacana pemikiran hukum Islam, seiring dengan stagnasi pemikiran (baca: taqlid) yang melanda umat Islam secara keseluruhan. Ketentuan hukum waris menjelma menjadi “teks suci” yang bersifat final, taken for granted dan haram hukumnya jika diubah. 116

QS. al-Nisā’ (4):19 dan 22.

117

QS. al-Nisā’ (4):7.

118

QS. al-Nisā’ (4):11-14 dan 176.

165

Bab III

Pijakan Metodologis Selama ini, setiap inovasi dan pembaruan hukum Islam, khususnya yang berkaitan dengan waris, selalu berbenturan dengan sebuah konstruksi pemikiran yang, menurut hemat penulis, terkristalisasi menjadi prinsip kemutlakan otoritas ujaran verbal teks al-Qur’an dan hadits. Prinsip tersebut tercermin dari beberapa teori ushul fiqih berikut: a. Teori mufassar atau nash. Menurut para ulama ushul fiqih, hal-hal rinci dalam teks al-Qur’an dan hadits, semisal angka-angka 1/2 (nishf), 1/3 (tsuluts), 1/6 (sudus) dan 1/8 (tsumun) dalam bidang waris, dinilai bersifat definitif (qath‘i) serta tidak memiliki makna apapun lagi selain jumlah matematis yang dikandungnya. Halhal rinci tersebut disebut dengan “mufassar” menurut ulama Hanafiyyah atau “nash” menurut ulama Mutakallimun. Hal-hal rinci yang bersifat definitif tersebut menutup peluang bagi upaya ta’wil (penafsiran metaforis) ataupun takhshish serta hanya menerima naskh. Oleh karena itu, ia harus diterapkan apa adanya.119 b. Teori mashalahah gharibah. Sebagai konsekuensi dari teori mufassar di atas, maka pertimbangan kemaslahatan apapun, sekuat apapun ia, bila bertentangan dengan ujaran nash yang kandungan maknanya berstatus qath‘i al-dalalah, sama sekali tidak memiliki nilai hukum. Dalam arti, ia tidak bisa dijadikan sebagai acuan dalam

119 Muhammad Adīb Shālih, Tafsīr al-Nushūsh fī al-Fiqh al-Islāmī: Dirāsah Muqāranah li Manāhij al-‘Ulamā’ fī Istinbāth al-Ahkām min Nushūsh al-Kitāb wa al-Sunnah, ctk. III (Beirut: Al-Maktab al-Islāmī, 1984), I:169.

166

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

penalaran hukum. Dalam ushul al-fiqh, kemaslahatan seperti ini diistilahkan sebagai mashlahah gharibah atau munasib mulgha (kemaslahatan yang “asing” serta tidak memiliki nilai hukum).120 c. Teori hadits ahad. Mayoritas ulama, seperti dikutip oleh al-Nawawi, menyatakan bahwa menerapkan hadits ahad (inklusif di dalamnya hadits tentang waris beda agama di atas, pen.), sepanjang garis transmisinya valid (shahih), adalah wajib hukumnya, terlepas dari apakah muatan maknanya yang bersifat definitif (qath‘i) masih spekulatif (zhanni). Keniscayaan menerapkan hadits had bukan dipengaruhi oleh muatan maknanya, melainkan karena diperintahkan oleh Allah swt. dan Rasul-Nya.121 Terkait dengan semangat inovasi hukum tentang halangan menerima warisan (mawani‘ al-irts), di saat dihadapkan dengan prinsip kemutlakan otoritas ujaran verbal teks al-Qur’an dan hadits, perlu diingat dua hal berikut: a. Tidak dijumpai satu ayat pun dalam al-Qur’an yang menyatakan secara eksplisit tentang halangan menerima waris. Di antara sekian ayat waris dalam al-Qur’an, utamanya surat al-Nisa’, sama sekali tidak dijumpai pernyataan tentang halangan menerima warisan. Ayat al-Qur’an yang biasanya dijadikan sebagai pijakan bagi halangan menerima waris, utamanya dalam kasus perbedaan agama, adalah ayat berikut:

 120

Adīb Shālih, Tafsīr al-Nushūsh., I: 169.

121

Muhy al-Dīn al-Nawawī al-Dimasyqī, Syarh Shahīh Muslim, ctk. I (Mesir: alMathba‘ah al-Mishriyyah bi al-Azhar, 1929), I: 131.

167

Bab III

... dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.122 Namun, ayat di atas sebenarnya tidak berbicara tentang halangan menerima waris, melainkan tentang orang-orang munafiq yang oportunis bermuka dua, sehingga tidak tepat jika dijadikan sebagai landasan tekstual bagi perbedaan agama sebagai halangan menerima warisan. b. Pijakan tekstual ketentuan halangan menerima waris adalah hadits Rasulullah saw., sebagaimana telah disebutkan pada bagian lain dari makalah ini, yaitu:

 Orang muslim tidak bisa menerima warisan dari orang non muslim. Begitu juga sebaliknya, orang non muslim tidak bisa menerima warisan dari orang muslim. (H.R. al-Bukhari dan Muslim). Di satu sisi, hadits tersebut memang dinilai valid (shahih), sehingga dinilai memenuhi syarat untuk digunakan sebagai sumber hukum. Faktanya, hadits itulah terlepas dari definitif atau spekulatif muatan maknanya yang dipakai sebagai pijakan utama bagi ketentuan perbedaan agama sebagai salah satu penghalang menerima warisan. Pada kenyataannya, otoritas hadits tersebut memang begitu kuat pengaruhnya terhadap ketentuan hukum waris Islam tentang penghalang menerima warisan. Buktinya, seperti tercermin dari Fatwa MUI pada tahun 2005, pemberian harta

122

168

QS. Al-Nisā’ (4): 141.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

kepada orang yang berbeda agama melalui jalur waris berkebalikan hukumnya dengan pemberian harta melalui jalur hibah, wasiat dan hadiah.123 Oleh karena itu, perbincangan tentang pijakan metodologis inovasi hukum waris Islam, utamanya yang berkenaan dengan halangan menerima warisan, bisa didekati dengan beberapa perspektif alternatif berikut: a. Muhammad Mushthafa Syalabi mengkritik keras prinsip “ta‘abbud” (ketundukan mutlak kepada ujaran verbal teks) pada ranah pranata sosial (‘adat, mu‘amalat). Menurutnya, prinsip tersebut merupakan persepsi yang rancu, karena bertentangan dengan prinsip umum bahwa hukum Islam, utamanya yang berada pada ranah pranata sosial, bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan kehidupan manusia. Jadi terdapat konteks historis dan tujuan yang bisa dinalar.124 Sebagai tindak lanjut dari kritik kerasnya itu, Syalabi kemudian mengklasifikasi hukum Islam, baik yang berasal dari ujaran teks maupun dari ijtihad ulama, berdasarkan ‘illah yang dikandungnya. Salah satu yang penting di antaranya adalah kelompok kedua, yaitu hukum yang lahir pada zaman Nabi saw. yang dilatarbelakangi oleh ‘illah tertentu, tetapi pada era berikutnya, kondisi sosial sudah berubah, sehingga ‘illah tersebut sudah tidak relevan lagi. Atas dasar itu, para ulama masa itu kemudian melakukan 123 Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor: 5/MUNAS VII/MUI/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama, http://www.mui.or.id (akses tanggal 09 Juli 2011). 124 Muhammad Mushthafā Syalabī, Ta‘līl al-Ahkām:‘Ardh wa Tahlīl li Tharīqah alTa‘līl wa Tathawwurihā fī ‘Ushūr al-Ijtihād wa al-Taqlīd, ctk. II (Beirut: Dār al-Nahdhah al‘Arabiyyah, 1981), hlm. 299.

169

Bab III

inovasi, sesuai dengan tingkat perubahan sosial tadi. Contohnya adalah penghapusan zakat bagi kaum mu’allaf dan sistem pembagian harta rampasan perang (ghannimah).125 b. Menghadapi situasi dilematis antara ujaran verbal teks hadits pada bidang pranata sosial di satu sisi dan realitas sosial yang kompleks di sisi lain, ‘Ali Hasb Allah mengemukakan sebuah pernyataan yang menarik:

          Di saat terjadi kontradiksi antara kepentingan umum (mashlahah) dan ujaran verbal teks, maka mashlahah yang diunggulkan manakala bersifat pasti dan primer (dharr). Namun, jika mashlahah tersebut bersifat tersier (tahsi}n), maka ujaran verbal tekslah yang diunggulkan. Sementara itu, mashlahah yang bersifat sekunder (hj) lebih tepat jika dipersamakan dengan mashlahah yang primer. Penutup Demikianlah makalah yang serba terbatas ini penulis susun dan sampaikan. Segala kekurangan dan kesalahan yang sudah pasti bisa dijumpai di dalamnya mudah-mudahan dipermaklumi dan dikritik secara konstruktif. Bagaimanapun, segala keterbatan yang dimiliki oleh penulis tidak bisa ditutup-tutupi lagi.

125

170

Syalabī, Ta‘līl al-Ahkām., hlm. 34-42.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Daftar Pustaka Al-Qur’ān al-Karīm. ‘Abd al-‘Athī, Hammūdah, The Family Structure in Islam (Indiana: Islamic Book Service, 1977). Adīb Shālih, Muhammad, Tafsīr al-Nushūsh fī al-Fiqh al-Islāmī: Dirāsah Muqāranah li Manāhij al-‘Ulamā’ fī Istinbāth alAhkām min Nushūsh al-Kitāb wa al-Sunnah, ctk. III (Beirut: Al-Maktab al-Islāmī, 1984). Barakat, Halimah, “The Arab Family and Challenge of Social Transformation”, dalam Elizabeth Warnock Fernea (ed.), Women and Family in the Middle East (Texas: University of Texas Press, 1995). Haris Bahalwan, Tinjauan Hukum Islam terhadap Pembagian Warisan Beda Agama di Desa Sumbersari Kecamatan Moyudan Kabupaten Sleman, skripsi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, http://digilib.uin-suka.ac.id (akses tanggal 09 Juli 2011). Http://peunebah.blogspot.com (Akses tanggal 09 Juli 2011). Ibn Hajar al-‘Asqalānī, Al-Hāfizh, Fath al-Bārī Syarh Shahīh alBukhārī (Ttp.: Dār al-Rayyān li al-Turāts, 1986). Ibn Jarīr al-Thabarī, Abū Ja‘far Muhammad, Jāmi‘ al-Bayān fī Tafsīr al-Qur’ān, ctk. II (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1972). Ibn Qudāmah, ‘Abd Allāh ibn Qudāmah, al-Mughnī fī Syarh Mukhtashar al-Kharaqī (Kairo: Dār al-Manār, 1987); Ibn Rusyd, Muhammad ibn Ahmad al-Qurthubī, Bidāyah alMujtahid wa Nihāyah al-Muqtashid (Semarang: Toha Putera, t.t.).

171

Bab III

Khudarī Bek, al-, Marshall G. S., Tārīkh al-Tasyrī‘ al-Islāmī (Surabaya: Al-Hidāyah, t.t.). Majelis Ulama Indonesia (MUI), Keputusan Fatwa Nomor: 5/MUNAS VII/MUI/9/2005 tentang Kewarisan Beda Agama, http://www.mui.or.id (akses tanggal 09 Juli 2011). Muhammad Muhy al-Dīn ‘Abd al-Hamīd, Ahkām al-Mawārīts fī alSyarī‘ah al-Islāmiyyah ‘alā Madzāhib al-A’imma al-Arba‘a, ctk. I (ttp.: Dār al-Kitāb al-‘Arabī, 1984) Muhibuddin, Moh., “Pembaharuan Hukum Waris Islam oleh Hakim di Indonesia”, http://www.pa-natuna.net (Akses tanggal 09 Juli 2011). Musthafa Khan, M., Islamic Law of Inheritance: A New Approach (New Delhi: Kitab Bhavan, 1989). Nawawī al-Dimasyqī, al-, Muhy al-Dīn, Syarh Shahīh Muslim, ctk. I (Mesir: al-Mathba‘ah al-Mishriyyah bi al-Azhar, 1929), I: 131. Rasyīd Ridhā, Muhammad, Tafsīr al-Qur’ān al-Hakīm, ctk. II (Beirut: Dār al-Ma‘rifah, 1973). Subekti, R., dan R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: Pradaya Paramitha, 1982) Syalabī, Muhammad Mushthafā, Ta‘līl al-Ahkām:‘Ardh wa Tahlīl li Tharīqah al-Ta‘līl wa Tathawwurihā fī ‘Ushūr al-Ijtihād wa alTaqlīd, ctk. II (Beirut: Dār al-Nahdhah al-‘Arabiyyah, 1981), hlm. 299. Zuhaylī, al-, Wahbah, al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuh, ctk. II (Beirut: Dār al-Fikr, 1985).

172

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

HARTA BERSAMA H.A. Sukris Sarmadi

Latar Belakang Indonesia adalah Negara hukum yang sangat majemuk akan segala budaya. Dalam perkembangan hukum yang terjadi di Indonesia, hukum Islam termasuk menjadi sumber hukum di Indonesia.126 Terutama di bidang hukum keperdataan.127 Dalam realitasnya, umat Islam di Indonesia merupakan jumlah mayoritas di negeri ini. Harapan umat Islam pada umumnya menjadikan hukum Islam sebagai hukum positif bagi umat Islam Indonesia. Hal ini didasarkan pada cara berpikir pandangan hidup dan karakter suatu bangsa tercermin dalam kebudayaan dan hukumnya.128 Kenyataan ini sesuai dengan sejarah panjang Islam di Indonesia hingga interaksinya dengan hukum barat yang dibawa oleh kolonial Belanda yang mengakui akan berlakunya hukum Islam dalam lapangan keperdataan tertentu. Kondisi sekarang umat Islam di Indonesia telah dapat melaksanakan hukum Islam di dasarkan pada berbagai legalisasi perundang-undangan seperti Undang-Undang N0. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama kemudian disempurnakan dengan Undang-Undang N0. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. 126 Suparman Usman, 2001. Hukum Islam; Asas-Asas Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Gaya Media Pratama, hlm. 122 127 Zainuddin Ali menterjemahkan keperdataan dengan fiqh al muamalat, hal ini dikarenakan dalam fiqh bagian muamalat dalam arti luas mencakup hukum keperdataan. lih. Zainuddin Ali, 2008. Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta : Sinar Grafika, hlm. 68 128 R. Subekti, 1993. Perbandingan Hukum Perdata, cet. XII, Jakarta : Pradnya Paramita, hlm. 3

173

Bab III

Disempurnakan lagi dengan lahirnya Undang-Undang No. 50 tahun 2009. Bidang keperdataan lainnya adalah pemberlakuan Undang-Undang N0. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf .129 Tidak hanya pada keperdataan umum saja namun berlanjut pada masalah ibadah seperti Undang-Undang N0. 13 Tahun 2008 tentang Haji hingga di bidang ekonomi yaitu pemberlakuan Undang-Undang No. 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah dan UndangUndang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 130 Pemberlakuan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 dikarenakan prinsip atau asas hukum perbankan syariah berbeda dengan perbankan konvensional.131 Lapangan hukum materil keperdataan sebenarnya telah diberlakukan Kompilasi Hukum Islam sebagai dokumen Yustisia yang dibentuk berdasarkan Inpres No. 1 tahun 1991.132 KHI sebagai dokumen Yustisia berarti dijadikan pedoman bagi Hakim di lingkungan Badan Peradilan Agama sebagai hukum terapan dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Pada saat ini, seluruh hakim lingkungan Peradilan Agama telah menjadikan KHI sebagai rujukan yustisia sekalipun di temukan di beberapa daerah ada pendapat hakim yang berbeda terhadapnya menyangkut beberapa persoalan kewarisan dan perkawinan. Ini

129

Sebagai penyempurnaan dari PP No. 28 thn. 1977 tentang Perwakaan Tanah.

Vide, Muchsin, 2008. Konstribusi Hukum Islam Terhadap perkembangan Hukum Nasional, dalam http://www.badilag.net/index.php?option=com_content&task. 130 Sebelum diberlakukan UU No. 19 tahun 2008 telah berlaku PP RI N0. 39 Tahun 2005 tentang Penjaminan Simpanan Nasabah Bank Berdasarkan Prinsip Syariah, Peraturan BI N0. 6/24/PBI/2004 tentang Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah. 131 Hirsanuddin, 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Cet. I, Yogyakarta : Genta Press, hlm. 70. 132 Direktorat Badan Peradilan Agama, 1991/1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, hlm. 1-9.

174

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

bukan berarti KHI tidak laik untuk dijadikan bahan rujukan Nasional KHI memang belum sempurna karena masih menyisakan persoalan-persoalan hukum, untuk itu perlu disempurnakan. Hal ini cukup dirasakan oleh A. Hamid S. Atamimi sehingga beliau mengatakan, marilah kita terima KHI secara realistik sebagaimana apa adanya. Ia banyak mengandung kelemahan. Karenanya ia perlu disempurnakan.133 Di antara persoalan tersebut adalah menyangkut persoalan harta benda dan kewarisan. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa bidang hukum waris dianggap sebagai salah satu bidang hukum yang berada di luar bidang-bidang yang bersifat netral seperti hukum perseroan, hukum kontrak (perikatan) dan hukum lalu lintas (darat, air dan udara).134 Bidang waris termasuk bidang hukum yang mengandung terlalu banyak halangan, adanya komplikasikomplikasi kultural, keagamaan dan sosiologi.135 Adalah wajar jika Kompilasi Hukum Islam sendiri diakui sangat besar manfaatnya sebagai dokumen materil hukum Islam yang dulunya hanya berdasar kitab-kitab fiqh klasik. Dengan Kompilasi Hukum Islam telah memberikan start awal pengkodifikasian hukum Islam sehingga memudahkan penerapan hukum Islam bidang keperdataan khusus. Jika ia dapat dijadikan suatu UU, tentu akan lebih baik sembari memperbaiki bagian yang hingga sekarang masih menyisakan persoalan. Atas kenyataan ini, UU materil hukum Islam sangat penting di buat karena betapa

133

A. Hamid S. Atamimi, 1992. Compendium Freijer Upaya Mempositipkan Hukum Islam, Varia Peradilan Majalan Hukum tahun N0. hlm 137-138, 144. 134 Mochtar Kusumaatmadja, 1976, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung : Bina Cipta, hlm. 14 135

Ibid, h. 12

175

Bab III

besar keperluan terhadapnya untuk menciptakan kepastian hukum bagi pencari keadilan. Mahfud MD mengatakan bahwa dengan menerima berlakunya hukum nasional yang inklusif, umat Islam dapat melaksanakan ajaran Islam tanpa halangan apapun, bahkan dapat membuat fiqh sendiri yang khas Indonesia. Ada kaidah ushul fiqh yang biasa dipakai dalam penerimaan atas hukum inklusif itu, yakni ``maa laa yudraku kulluhu laa yutraku kulluhu``. Jika tidak dapat mengambil seluruhnya, jangan tinggalkan seluruhnya. Jika sudah memperjuangkan secara demokratis untuk memberlakukan hukum Islam sebagai hukum formal nasional tetapi gagal, berjuanglah melalui sisa peluang yang tersedia, yakni melaksanakan hukum Islam secara inklusif sebagai produk demokrasi.136 Progresif Harta Bersama; Objek Baru Dalam Faraid al Islam Istilah harta bersama perkawinan tidak pernah dibahas dalam kitab fiqh tradisional terlebih lagi mengenai pembagian dari harta bersama apabila salah satu pihak meninggal dunia sehingga menjadi bagian dari ijtihad masa kini di dunia Islam khususnya di Indonesia. Sejauh ini persoalan harta bersama (syirkah) dalam pengertian umum (muamalah), fiqh Islam membahasnya secara khusus. Beberapa macam syirkah telah diperkenalkan dalam hukum materil klasik seperti syirkah al Muwafadah.137 Syirkatu Al Abdan, Syirkatu Al Inan,138 Syirkatu Al Irts, Syirkatu al Ghonimah,

136 Mahfud MD, 2008, Jawapos, Kamis, 04 September 2008, lihat juga dalam http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.OpiniLengkap&id=32& HPSESSID=b5db3s6145 ib2jte672lpja9s0 137 Abdurrahman al Jaziri, 1990., Al Fiqh alaa Madzaahib al arba`ah, J. III, BairutLibanon, 1990, h. 67 138

176

Ibid, h. 76

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Syirkatu al Amlak.139 Sebagian berpendapat bahwa harta bersama masuk dalam pengertian syirkah al amlaak yang dimaknakan dengan kepemilikan bersama atas suatu benda (syarikah al-’ain), seperti kepemilikan bersama atas harta yang diwarisi oleh dua orang, atau harta yang dibeli oleh dua orang, atau harta yang dihibahkan orang lain kepada dua orang itu, dan yang semacamnya.140Tetapi pendapat ini sangat berbeda dengan illat maksud dari istilah harta bersama karena perkawinan dalam KHI. Sebab dalam KHI, harta bersama perkawinan terjadi secara otomatis karena sebab perkawinan. Sementara illat Syirkah al Muwafadah Syirkatu Al Abdan, Syirkatu Al Inan, Syirkatu Al Irts, Syirkatu al Ghonimah, Syirkatu al Amlak terjadi sebab lain seperti karena perjanjian, pemberian dan milik pribadi. Harta bersama didefinisikan dalam KHI tersebut dalam Pasal 1 huruf f bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Pengertiannya berarti secara otomatis setiap peroleh suami atau istri selama dalam perkawinan menjadi otomatis bermakna harta bersama kecuali karena perolehan hibah, wasiat dan warisan (vide Pasal 1 huruf f dan Pasal 86, 87 KHI).141 Dalam konteks ini KHI meneguhkan apa yang ada dalam Pasal 35 ayat (1) UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mendefinisikan bahwa Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Dengan demikian, Pasal 88 s.d

139 140

Ibid, h. 69 Taqiyuddin An-Nabhani, (t.t) An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam., Dar al Fikr,

Cairo, h. 150 141 A. Sukris Sarmadi, 2008., Format Hukum Perkawinan Dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia, Pustaka Prisma, Cet.II, 2008 Yogyakarta, h. 118

177

Bab III

Pasal 97 KHI merupakan lex special dari Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan. Harta bersama pada Pasal 85 s.d Pasal 97 KHI mengklasifikasikannya dalam harta kekayaan perkawinan dan kemungkinan adanya harta lain selama perkawinan. Setidaknya ada dua bagian pokok hukum harta kekayaan dalam perkawinan, sebagai berikut : 1. harta bawaan; harta milik sendiri, perolehan sebelum perkawinan (Pasal 87, 88 KHI), karena suatu pemberian, hibah, wasiat, warisan sebelum dan sesudah perkawinan (Pasal 85, 86 KHI) 2. harta bersama perkawinan karena terjadi perkawinan dan karena perjanjian (Pasal 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97 KHI). Dari dua pokok harta tersebut, keduanya memungkinkan menjadi objek harta warisan dikemudian hari. Ada kesepakatan yang umum di kalangan ulama tentang kausalitas sebab-sebab kewarisan yakni karena hubungan perkawinan, kekerabatan dan perwalian. Hubungan perkawinan (Ashab al-Furudh al-Sababiah) dimaksud adalah dapat saling waris-mewarisi antara suami istri yang masih dalam ikatan perkawinan,142 yakni kematian salah satu pihak. Perceraian antara mereka sewaktu mereka hidup mengakibatkan tidak terjadinya kewarisan.143

142

A. Sukris Sarmadi, 1997., Transendensi Hukum Waris Islam Tranformatif, Rajawali Pers, Jakarta, h. 27 143 Perceraian di sini dalam arti talak bain, sedangkan perempuan yang masih dalam iddah talak raj’iyah masih berhak memperoleh kewarisan jika suaminya meninggal pada masa itu. Selanjutnya, dalam fiqh klasik perceraian (talak bain) berakibat bagi istri tidak lagi akan mendapatkan harta kecuali jika ia memiliki anak, maka biaya hadhanah tetp menjadi tanggung jawab suami. Baik dalam UU No. 1/1974 maupun pada Komilasi Hukum Islam, perceraian berakibat adanya pembagian harta bersama. Sebuah perkawinan dianggap telah membentuk terjadinya harta bersama walaupun hanya suami saja yang

178

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Sementara itu, akibat kematian salah satu pihak dari suami istri berakibat adanya harta yang diwarisi oleh yang masih hidup terhadap yang telah meninggal dunia, baik terhadap sisa harta bersama maupun harta bawaan orang yang lebih dulu meninggal dunia. Di sinilah konteks persoalan tentang harta waris (alMauruts) adalah sejumlah harta milik orang yang meninggal dunia (pewaris) setelah diambil sebagaian harta tersebut untuk biayabiaya perawatan jika ia menderita sakit sebelum meninggalnya, penyelenggaraan jenazah, penunaian wasiat harta jika ia berwasiat, dan pelunasan segala utang-utangnya jika ia berutang kepada orang lain sejumlah harta.144 Berdasar demikian, apa yang disebut dalam kitab-kitab klasik terhadap persoalan objek harta kewarisan harta waris (alMauruts) hanya berkaitan dengan apa yang dimiliki oleh orang yang meninggal dunia. Bila ia adalah suami atau istri, maka apa saja yang dimiliki mereka setelah dikurangi dengan kewajiban mereka yaitu wasiat, hutang dan tahjiz. Maka jika suatu hukum hasil ijtihad menyatakan adanya harta bersama perkawinan maka harus dikurangi pula dengan harta bersama. Karena separoh harta bersama menjadi milik suami atau istri yang masih hidup dan merupakan paroan yang bukan kewarisan. Konteks bahasa lain bisa dinyatakan bahwa objek harta warisan telah memprogresif mengikuti akibat suatu ijtihadi adanya harta bersama perkawinan. Suami atau istri yang masih hidup beroleh dua hak, pertama separoh dari harta bersama. Kedua adalah separohnya dari harta bersama menjadi harta warisan di

bekerja, pembagian sejumlah sama rata, dengan kata lain bila suami meninggal, istri berhak separoh harta tersebut lihat KHI.Pasal .96 Bab XIII. 144

A. Sukris Sarmadi, Op. Cit. h. 33

179

Bab III

tambah harta bawaan pewaris suami atau istri berbagi (fard) bersama ahli waris lain. Di sini ada pemaknaan baru tentang objek harta waris (al-Mauruts). Ada hak baru dalam lingkaran kewarisan terhadap pewaris, harta waris dan ahli waris yang oleh ulama faradiyun dianggap sebagai lingkaran kesatuan yang tak dapat dipisahkan dan menjadi asas yang fundamental (rukun) terjadinya kewarisan.145 Harta Bersama : Menilai dan menformat KHI Butir Pasal yang ada dalam KHI tentang harta bersama (Pasal 85 s.d. Pasal 97) berjumlah 13 Pasal. Sebenarnya butir Pasal terlalu banyak dan masih menyisakan ruang kosong pengertian tentang harta bersama yang memungkinkan terjadinya ketidakpastian hukum terlebih dikaitkan dengan persoalan menjadi objek kewarisan. Bagian ini dapat diketengahkan, sebagai berikut : Pasal 1 huruf f Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Seharusnya disinggung soal harta bawaan sehingga berbunyi : Harta kekayaan dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami atau istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung bukan karena harta bawaan yang selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. 145

Para ulama menegaskan sebagai rukun terjadinya suatu kewarisan yakni adanya pewaris, harta waris dan ahli waris. Tidak ada salah satunya mengakibatkan tidak berlakunya suatu kewarisan. Sayid Sabiq, 1983. Fiqh al Sunnah, Bairut-Libanon : Daar al Fikri, h. 426

180

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pasal 85 : Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri. 146

Pasal 86 : (1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta istri karena perkawinan, (2) Harta istri tetap menjadi hak istri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasai penuh olehnya. Pasal 87 : (1) Harta bawaan dari masing-masing suami dan istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.147 (2) Suami dan istri mempunyai hak penuh untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sadaqoh atau lainnya. Pasal 88 : Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. 146 Pasal 119 Burgelijk Wetboek (BW) mengatur masalah harta bersama perkawinan.bahwa mulai sejak terjadinya ikatan perkawinan, harta kekayaan yang dimiliki suami secara otomatis disatukan dengan yang dimiliki istri. Pasal 128 BW menetapkan bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu. 147 Pasal 139-154 BW mengisaratkan bila pasangan suami istri sepakat untuk tidak menyatukan harta kekayaan mereka, mereka dapat membuat perjanjian di depan notaris sebelum perkawinan.

181

Bab III

Pasal 89 : Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri. Pasal 90 : Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suaminya yang ada padanya. Semua Pasal tersebut di atas sebenarnya telah dapat relevan dengan penalaran keislaman modern selama ini, baik sebagian adopsi fiqh klasik maupun ijtihadi terhadapnya. Harta kekayaan sebagaimana disebutkan sebelumnya dalam pasal 1 huruf (f) dalam perkawinan dianggap akan menjadi harta bersama (syirkah) walaupun tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami istri (vide, psl.85 KHI). Apa yang dimaksud dengan harta masing-masing tersebut adalah harta bawaan dari masing-masing mereka, baik sebagai hadiah dari orang lain atas dirinya atau warisan dari orang tuanya atau dari pihak jurusan di mana ia berhak memperoleh warisan atau pemberian lainnya (vide, psl 87 ayat 1). Mengenai harta bawaan dan harta pemberian seseorang karena sebab tertentu ditegaskan dalam al Qur’an, sebagai berikut :

         “Untuk laki-laki ada bagian perolehan harta dari peninggalan (pemberian) ibu bapak dan karib kerabat yang dekat (kepadanya) sebagaimana halnya bagi wanita ada bagian perolehan harta dari peninggalan (pemberian) ibu

182

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

bapak dan karib kerabat yang dekat, baik sedikit ataupun banyak sebagai bagian yang telah ditetapkan kepadanya. (Q.S(4) An Nisaa:7). Ayat tersebut di atas bukan hanya memberi konsep sebab terjadinya pemilikan harta bagi seseorang berupa harta warisan ataupun harta pusaka yang ditinggalkan orang tua mereka tetapi juga sebab lain seperti karena pemberian dari orang tua mereka atau kerabat dekat yakni keluarganya sendiri. Bagi hukum Islam, bagian harta tersebut tidak dapat diganggu gugat dan tetap akan menjadi haknya untuk memiliki dan memfungsikannya. Oleh karenanya hukum Islam melarang kepada pihak manapun untuk mempergunakan, atau menjual atau mengambilnya untuk kepentingannya sendiri terhadap harta tersebut, termasuk terhadap istrinya sendiri atau terhadap suaminya sendiri sebagaimana juga sesuai dengan pasal 92 yang menyatakan bahwa suami istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Dengan kata lain harta bersama saja tidak dibenarkan untuk di jual atau dipindahkan, terlebih lagi harta pribadi masing-masing dari suami atau istri.

          “Janganlah sebagian dari kamu memakan harta orang lain (mengambilnya) dengan cara yang batil (dilarang agamamu) dan janganlah kamu bawa kepada hakim untuk memperoleh legalisasi mengambil harta tersebut dengan cara dosa (memutar balikkan bukti) sedangkan kamu menyadarinya. (Q.S(2) Al Baqarah:188).

183

Bab III

Berdasar demikian, suami dan istri mempunyai hak penuh untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sadaqah atau perbuatan lainnya (lihat psl 87 ayat 2). Apa yang dimaksud dengan melakukan perbuatan hukum atas harta miliknya tersebut adalah memfungsikan dan atau menjual atau memindahkan harta tersebut dari haknya kepada orang lain. Kehidupan keluarga, terkadang terjadi kesamaran dalam membedakan antara harta pribadi dengan harta bersama. Dalam hukum materil Islam, harta kekayaan pribadi suami istri dapat menjadi harta bersama jika pihak-pihak yang bersangkutan menghendakinya (lih. Psl.47 s/d 50). Nabi saw mengatakan :

                      Bahwasanya Allah berfirman,``Sesungguhnya Aku (ALLAH) yang ketiga dari orang yang bersyarikat (mencampur harta dengan perjanjian) selama salah satu pihak tidak berkhianat kepada yang lainnya. Apabila salah satu pihak ada yang mengkhianatinya dari kawannya maka Aku keluar daripadanya. (H.R. Abu Daud dan dikuatkan dengan hadits lain oleh Hakim dengan menshohihkannya).

184

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Adanya persetujuan kedua belah pihak, harta tersebut menjadi harta bersama yang mungkin berupa benda berujud meliputi benda tak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga, mungkin pula harta bersama tersebut berupa benda tak berujud yang dapat meliputi berupa hak dan kewajiban. Apa yang dimaksud dengan berupa hak dan kewajiban adalah hak untuk memfungsikan benda atau menguasai sesuatu dan ikut pula bertanggung jawab untuk memlihara dan atau mengembangkannya. Dengan demikian, suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri sebagaimana halnya istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suaminya yang ada padanya (vied, psl.89 dan 90). Bertanggung jawab berarti memelihara atau menjaganya dan atau melindunginya serta jika memungkinkan untuk mengembangkannya. Kebanyakan masyarakat memahami butir Pasal harta bersama dalam KHI secara runtut justru menjadikan mereka tidak memahami harta bersama dan harta bawaan. Ini terjadi karena terlalu banyak butir Pasal hanya untuk menjelaskan pengertian harta bersama dan harta bawaan serta kedudukan harta tersebut masing-masingnya.148 Enam butir Pasal di atas dapat diringkas yaitu dari Pasal 85, 86, 87, 88, 89 dan Pasal 90 dapat dijadikan tiga Pasal yang ringkas tetapi mengandung kepastian pengertian hukum, kejelasan tentang harta bersama dan harta bawaan, misalnya, sebagai berikut:

148

Penulis selama lebih dari 13 Tahun menjadi Advokat resmi dan secara khusus menjadi konsultan persoalan harta bersama serta kewarisan, hingga sekarang sebagai Ketua LKBHI Fak. Syariah IAIN Antasari sering menyodorkan butir-butir Pasal tersebut kepada masyarakat yang berkonsultasi dan selalu mereka semakin menjadi tidak mengerti.

185

Bab III

Pasal 85 Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri yang diperolehnya karena harta bawaan. Pasal 86 (1) Harta bawaan diperoleh sebelum dan sesudah perkawinannya karena pemberian, hadiah, sadaqoh, hibah, wasiat dan warisan atau lainnya adalah bukan harta bersama. (2) Suami dan istri mempunyai hak penuh untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bawaan mereka masingmasing, menguasai dan memeliharanya. (3) Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri sedang Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suaminya yang ada padanya. (4) Harta bawaan dapat menjadi harta bersama bila adanya perjanjian untuk menjadi harta bersama. Pasal 87 Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Pasal 88, 89, 90, 91 diganti (lih. Bagian penutup) Pasal 88 s.d 90 dapat di isi dengan materi baru tambahan, sebagai berikut

186

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

a. Dalam banyak kasus, pengadilan agama sering lambat untuk melakukan penyitaan terhadap suatu barang harta bersama atau suatu rekening bank yang di dalamnya berisi uang tabungan. Akibatnya pihak wanita sering dirugikan ketika penyitaan baru kemudian di jalankan, uang rekening di bank telah dihabiskan oleh suami melewati ATM dan transfer. b. Kasus kedua menyangkut persoalan pembuktian bagi wanita sering kali tidak memiliki bukti asli, sebagian terkadang hanya memiliki copy atau copy dari copy mengakibatkan tidak diterima suatu gugatan. c. Kasus royalti dan hak tentang gaji d. Kasus pengalihan harta bawaan kepada harta lain saat telah terjadi perkawinan e. Kasus percampuran harta bawaan kepada harta bersama tanpa dapat dibuktikan Selanjutnya butir Pasal 91 s.d Pasal 97 cukup jelas dan tegas mengandung kepastian pemahaman dan hukum kecuali Pasal 94 ada tambahan seperti sebagai berikut : Pasal 91 (1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berujud atau tidak berujud, (2) Harta bersama yang berujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga, (3) Harta bersama yang tidak berujud dapat berupa hak maupun kewajiban, (4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

187

Bab III

Pasal 92 Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Pasal 93 : (1) Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri dibebankan kepada hartanya masing-masing, (2) Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta bersama, (3) Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami, (4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta istri. Pasal 94 harusnya ada tambahan pasal sehingga berbunyi: (1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri, (2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut pada ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat dan menghitung secara proporsional serta mempertimbangkan jangka waktu perkawinan berlangsung (3) Harta yang berupa suatu hak tertentu, royalti, gajih, perolehan saham yang terus menerus diperolehnya, di perhitungkan pula berdasar ayat (2) di atas.

188

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

(4) Royalti dari hasil kekayaan seseorang menjadi haknya berdasarkan hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Dalam hal hak itu diperoleh dalam perkawinan yang sedang berlangsung, hak atas royalti menjadi pendapatan yang diperoleh dalam perkawinan dan karena itu menjadi harta bersama; Sebuah kasus dimana seorang PNS setelah perkawinan 30 tahun, istri pertamanya meninggal dunia. Kemudian PNS tersebut kawin dengan wanita baru. 5 Tahun kemudian, PNS tersebut meninggal dunia. Istri kedua menuntut gaji dan taspen yang dihitung telah bekerja selama 35 tahun sementara anak-anak PNS meyakini gaji dan taspen mengandung hak ibu (istri pertama) selama 30 tahun. Maka pembagiannya dapat menggunakan hitungan proporsional dengan indek persentasi tahun berdasar Pasal 94 ayat (2) dan ayat (3) serta ayat (4). Pasal 95 : (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan pasal 136 ayat (2), suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta berama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya, (2) Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama. Pasal 96 (1) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama.

189

Bab III

(2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Pasal 97 Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.149 Terhadap pasal 93 KHI dalam hal ini sangatlah selektif dalam mengatur persoalan harta, baik dalam arti harta kekayaan pribadi maupun harta bersama, khususnya ketika terkait dengan masalah hutang. Bagi setiap istri atau suami yang berutang dibebankan pada harta masing-masing mereka, kecuali hutang tersebut didasarkan karena kepentingan keluarga (suami istri) maka akan dibebankan kepada harta bersama (vide, psl. 93 ayat 1 dan 2). Dan jikapun dalam pembayarannya juga tidak mencukupi maka pembayaran harta diambil dari harta suami dan jika juga tidak mencukupi maka akan diambil dari harta suami dan jika juga tidak mencukupi maka akan diambil dari harta istri (lih. Psl.93 ayat 3 dan 4). Ada dua alasan penting mengapa hutang harus dibayarkan bahkan diambil dari harta bersama hingga harta masing-masing suami istri jika juga belum dalam dilunasi dengan melewati proses harta suami kemudian harta istri, sebagai berikut : 1. Membayar hutang dalam hukum materil Islam adalah wajib. Pelunasannya harus diupayakan secara maksimal. Nabi saw mengatakan : 149 Pasal 128 BW menetapkan bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu.

190

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

                  “Akan diampuni orang yang mati syahid semua dari dosanya kecuali hutangnya. (H.R. Muslim).

  Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Sesungguhnya Rasulullah s.a.w pernah bersabda: Penangguhan membayar hutang oleh orang kaya adalah perbuatan zalim. (H.R. Bukhari). 2. Proses secara bertahap menunjukkan komitmen kehidupan keluarga yang selalu harus saling membantu lahir batin yang terkadang diperlukan pengorbanan harta. Harta suami didahulukan karena dialah sebagai punggung perekonomian keluarga. Apa yang dikemukakan dalam pasal 93 tersebut merupakan jalan terakhir jika pada waktu itu keharusan untuk melunasinya telah sampai pada batas waktu yang diperjanjikan kepada orang lain sedang orang dimaksud telah sangat memerlukannya.

191

Bab III

Dalam pasal 94 disebutkan bahwa harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang masing-masing terpisah dan berdiri sendiri sedang perhitungannya dimulai saat berlangsungnya akad nikah. Dalam hal pelunasan segala hutang, jika demi alasan keluarga maka penentuan untuk mengambil harta bersama dimaksud pasal 93 ayat (2, 3, 4) adalah dari hal mana suami dimaksud memfungsikannya, apakah untuk istri yang pertama atau kedua, ketiga atau keempat. Dan jika kepentingan dimaksud untuk kesemua istri, maka pengambilannya secara berimbang. Terhadap pasal 95 yang menyebut kemungkinan terjadinya sita jaminan seperti bolehnya seorang istri mengajukan kepada Pengadilan Agama agar menyita harta bersama perkawinannya karena suaminya menjadi seorang penjudi atau pemadat, boros yang berakibat dapat menghabiskan harta bersama dalam perekonomian keluarga bagi hukum Islam merupakan cara terbaik pemeliharaan harta. Selanjutnya selama dalam sita jaminan tersebut, istri dapat mengambil harta bersama, mengambil sebagiannya untuk dijual demi kepentingan keluarga oleh hukum Islam dibenarkan sebagaimana KHI dalam pasal 95 ayat (2) menyebutkannya, dan cara pengambilan dimaksud adalah dengan izin Pengadilan Agama. Sebagai dasar terhadap persoalan pasal ini, sebuah hadits menyebutkan :

    192

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

           Dari Aisyah bahwa Hindun binti Utbah pernah bertanya, ”Wahai Rasullah, sesunggunya Abu Sufyan (suaminya) adalah orang yang sangat kikir. Ia tidak memberikan nafkah kepadaku dan anakku sehingga terpaksa aku mengambil (harta belanja) darinya tanpa sepengetahuannya. Mendengar demikian , Rasul Saw mengatakan, “Ambillah apa yang mencukupi bagimu dan anakmu dengan cara yang baik” (H.R. Bukhari dan Muslim). Adalah sangat jelas bagi istri untuk mengambil harta suaminya demi kewajiban nafkah yang seharusnya telah diberikannya sebagaimana hadits di atas dan jika suaminya tidak memberikan nafkah keluarga, istri dapat mengambilnya dari harta bersama, menjual barang tertentu dari harta bersama demi kepentingan keluarga. Termasuk terhadap istri yang suaminya ghaib/hilang (Mafqud) hingga sampai ada kepastian dari putusan Pengadilan Agama (vide psl. 96 ayat 2). Khusus terhadap pasal 96 ayat (1) yang menyebutkan bahwa apabila terjadi cerai mati maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. Apa yang diatur dalam ketentuan pasal tersebut adalah konsekuensi logis dari pengaturan adanya harta bersama berarti masing-masing pihak memiliki haknya untuk memfungsikan, memindahkan harta tersebut. Mempergunakan, memindahkan atau menjualnya tidak boleh dilakukan salah. Dengan konteks demikian , kematian salah satu pihak berarti terbukanya jalan pemisahan harta kedua belah pihak. Dengan matinya salah satu pihak berakibat pembagian harta tersebut dimana salah satu pihak yang hidup akan

193

Bab III

memperoleh separuh dari harta bersama. Sedang separohnya lagi untuk ahli waris pihak yang meninggal dunia. Dalam Fiqh Islam klasik tidak dibahas prihal harta bersama, terlebih lagi mengenai pembagian dari harta bersama apabila salah satu pihak meninggal dunia. Hanya untuk persoalan harta bersama (syirkah) dalam pengertian umum (muamalah) dalam fiqh Islam telah dibahas secara khusus. Beberapa macam syirkah telah diperkenalkan dalam hukum materil klasik seperti syirkah al muwafadah.150 Syirkatu Al Abdan, Syirkatu Al Inan,151 Syirkatu Al Irts, Syirkatu al Ghonimah.152 Sedang terhadap masalah harta bersama perkawinan dianggap akan sulit terjadi karena dalam realitas suamilah yang mencari nafkah sedang istri atau anak hanya memperoleh nafkah untuk keperluan hidup mereka bersama. Sejauh itu pula dalam tradisi masyarakat tidak pernah terjadi persoalan dalam masalah harta keluarga, kepemilikan terhadapnya hanya ada pada suami sehingga seperti seorang istri tidak merasa sedikitpun ada harta miliknya. Dengan demikian diperlukan adanya pengaturan hukum mengenai harta bersama dalam perkawinan. Terhadap harta bawaan istri tetap menjadi harta miliknya tanpa dapat diambil oleh suaminya, demikian pula sebaliknya bagi suami tidak dapat memindah alihkan harta milik istrinya. Berkenaan dengan pasal 96 ayat (1) inilah dipahami bahwa terjadi pemisahan harta bersama disebabkan terjadinya cerai mati salah satu pihak, begitu pula terhadap cerai lainnya seperti cerai karena putusan Pengadilan Agama dan akibat talak lain. Pemisahan dimaksud berlaku sepanjang tidak ditentukan lain

194

150

Al Jaziri, J. III. Lok Cit, h. 67

151

Ibid, h. 76

152

Ibid, h. 69

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dalam perjanjian perkawinan (lih. Psl. 97). Dalam hal kejadian khusus seperti hilangnya suami dalam tempo waktu tertentu dan belum juga kembali maka bagi istri tidak diperkenankan secara langsung dapat mengambil separoh haknya dari harta bersama. Pemisahan harta dimaksud harus telah ditangguhkan sampai adanya kepastian meninggalnya baik secara hakiki maupun hukmi dengan putusan Pengadilan Agama. Jadi perkara dimaksud harus telah diadukan kepada Pengadilan Agama dengan permohonan pembagian harta bersama sekaligus permohonan penetapan meninggalnya suami. Hal tersebut apabila dimungkinkan untuk melakukannya kecuali jika pihak istri berkeinginan untuk menunggu khabar pasti terhadapnya dengan konsekuensi ia sudah harus dapat untuk tidak mengambil hak parohannya dari harta bersama. Apa yang dimaksud dengan meninggalnya seseorang yang sebelumnya dikhabarkan hilang (mafqud) secara hakiki adalah meninggalnya dapat dibuktikan dengan jelas, dan secara langsung istri dapat melihat mayat suaminya dan atau orang banyak telah dapat menyaksikan kematiannya. Sedangkan mati secara hukmi adalah kematian berdasarkan putusan Pengadilan Agama setelah memeriksa perkara pengajuan permohonan penetapan mati atau tidaknya suaminya oleh istrinya kepada Pengadilan Agama setempat yang mewilayahi tempat tinggal pasangan suami istri tersebut. Bagaimana hukum formil yang berlaku di Pengadilan Agama? dalam pemeriksaan dimaksud yang paling pokok upaya hukum terhadapnya adalah memeriksa bukti dan atau mendengarkan/meneliti kesaksian orang terhadap kepergian orang mafqud dimaksud. Hukum materil Islam sebagaimana yang berkembang dalam mazhab Syafi’iyah dan Hanafiyah menyatakan keharusan seorang hakim Agama untuk memeriksa usia/umur ketika ia meninggalkan tempat kediaman-

195

Bab III

nya hingga perkara dimaksud diajukan kepadanya. Penelitian hakim dapat membandingkan kepada kawan-kawannya dari orang mafqud tersebut, apakah umur sebaya dengannya telah banyak meninggal dunia atau belum. Dalam madzhab Hambali harus diselidiki oleh hakim apakah kepergiannya untuk menghadapi resiko besar dimana kemungkinan untuk mati lebih cenderung terjadi atau sebaliknya atau terhadap pekerjaan yang mempunyai resiko kematian sangat tinggi. Memperhatikan pendapat yang berkembang, hal yang paling esensial bagi hukum materil Islam adalah mampunyai seorang hakim Agama untuk membuktikan mati atau tidaknya orang yang mafqud tersebut sedang acara pembuktiannya diserahkan kepada apa yang lazim dilakukan dan diatur atau diterima di Pengadilan, sepanjang tidak menyalahi aturan yang umum diyakini nilai-nilai logika. Bahwa keputusan tersebut adalah logis secara hukum. Dengan demikian akan jelaslah satu putusan yang dikeluarkan Pengadilan Agama mungkin memutuskan kematiannya secara hukmi atau menetapkannya orang yang bersangkutan masih hidup (vide, psl. 96 ayat 2).153 Persoalan Kerumitan Harta Bersama dan Solusi Atas Realitas Pengadilan Agama Serta Keberagamaan Masyarakat Muslim Pengadilan Agama termasuk Pengadilan yang paling sibuk di Indonesia. Misalnya tahun 2009, ada 257,798 perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama berbanding dengan yang diajukan ke Pengadilan Negeri hanya 202, 754 perkara. Artinya Pengadilan Agama lebih banyak 27% dari perkara yang ada di Pengadilan 153 Masalah mafqud merupakan masalah hukum yang pernah terjadi pada masa Rasulullah saw. Dalam riwayat Siwar Ibn Mas’ab dari Muhammad Ibn Syurabi al Hamdany dari Mughirah Ibn Syu’bah Nabi saw mengatakan :

“Istri orang yang mafqud adalah istrinya sampai ada berita kepastiannya (H.R. Daraquthni)

196

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Negeri. Belum lagi bila dibandingkan sangat luasnya yurisdiksi Pengadilan Negeri yang menangani perkara perdata dan pidana dibanding kecilnya yurisdiksi Pengadilan Agama154 yang hanya menangani soal perdata tertentu saja. Atas kenyataan ini, UU materil hukum Islam sangat penting di buat karena betapa besar keperluan terhadapnya untuk menciptakan kepastian hukum bagi pencari keadilan. Formalitas hukum tertulis modern di dunia termasuk di Indonesia memiliki dua mata sisi. Bagian sisi yang pertama merupakan manfaat terbesar darinya adalah adanya perlindungan dan kepastian hukum terhadapnya. Mata sisi yang kedua adalah bisa dijadikan pembunuh terhadap kebenaran substansif. Bagian menurut hemat penulis masih kurang diperbincangkan dalam studi ilmiah namun amat terasa bagi pencari keadilan di lapangan bidang litigasi (Pengadilan). Menurut Satjipto Raharjo, hukum modern tidak selamanya dapat diterapkan pada berbagai situasi dan negara di dunia. Hal tersebut dikarenakan dan disadari bila hukum itu bukan hanya bangunan peraturan biasa. Hukum adalah juga bangunan ide, kultur dan cita-cita. Keterpurukan hukum di Indonesia lebih dikarenakan penyingkatan hukum sebagau rule of law tanpa melihat sebagai rule of morality. Akibatnya hukum hanya dilihat sebagai peraturan prosedur yang lekat dengan kekuasaan. Padahal di balik hukum juga sarat dengan nilai, gagasan sehingga ia menjadi partikular.155 Hukum modern disadari tidak mungkin dihapuskan namun ia perlu diberikan ruh kehidupan kultur Indonesia agar ia

154 Cate Sumner & Tim Lindsey, Reformasi Peradilan Pasca-Orde Baru, Pengadilan Agama di Indonesia dan Keadilan Bagi Masyarakat Miskin, Lowy Institute : ISIF, hlm. 2 155 Satjipto Rahardjo, 2008. Membongkar Hukum Progresif, Cet. III, Jakarta : Buku Kompas, hlm. 253-254

197

Bab III

menjadi hukum yang indonesia. Hukum yang sepadu hati nurani masyarakat dan keagamaan mereka. Selain persoalan warisan yang di dalamnya banyak mengandung perbedaan dengan fiqh klasik, persoalan harta bersama juga sangat sering diperselisihkan saat terjadi perceraian di depan Pengadilan Agama. Demikian pula saat berbagi warisan menyangkut ketidakjelasan harta bersama untuk menjadi objek harta warisan (al mauruts). sebelum adanya Rakernas Mahkamah Agung RI Tahun 2007 Bidang Peradilan Agama, perkara perceraian dapat disatukan pengajuannya dengan harta bersama dalam satu gugatan. Namun belakangan karena persoalan harta bersama sering berlarut-larut penyelesaiannya karena masuk bidang yang sangat rumit sehingga perceraian sering tertunda penyelesaiannya maka MA dalam Rakernasnya mensarankan beberapa persoalan hubungannya dengan harta bersama, sebagai berikut : 1. Untuk menghindari berlarut-larutnya proses penyelesaian perkara perceraian, agar perkara perceraian tidak selalu diakumulasikan dengan harta bersama sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 86 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dan ditambah dengan UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Pada harta bersama tersebut dapat diletakkan sita; 2. Penghitungan harta bersama seorang suami yang beristri lebih dari seorang sesuai dengan ketentuan pasal 94 ayat (2) KHI, dilakukan secara proporsional dengan mempertimbangkan jangka waktu perkawinan berlangsung; 3. Royalti dari hasil kekayaan seseorang menjadi haknya berdasarkan hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Dalam hal hak itu diperoleh dalam perkawinan yang sedang berlangsung, hak atas royalti menjadi pendapatan yang diperoleh dalam perkawinan dan karena itu menjadi harta bersama;

198

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

4. Pengelolaan/penguasaan harta bawaan yang menghasilkan tambahan atau kerugian dalam perkawinan dikategorikan menjadi harta bersama; 5. Dengan memperhatikan ketentuan hukum Islam, pembayaran bagian dari gaji suami untuk istri yang dicerai sebagaimana dimaksud dalam PP 10 Tahun 1983 jo PP 45 Tahun 1990 dapat dikompensasikan dengan lembaga mut’ah dalam perceraian Islam; Kerumitan pembagian harta bersama terletak pada tiga bagian persoalan. 1. Pertama persoalan materi KHI yang masih belum lengkap. Terhadap KHI, Bagian ini dapat diselesaikan dengan cara, sebagai berikut : a. Memperjelas butir Pasal tentang harta bersama agar mengandung batir pasal yang efisien, mudah dipahami, jelas dan berkekuatan melindungi dan kepastian hukum. Hal ini dapat dilihat Pasal 85, 86, 87, 88, 89 dan Pasal 90 dapat dijadikan tiga Pasal yang ringkas tetapi mengandung kepastian pengertian hukum, kejelasan tentang harta bersama dan harta bawaan. b. Melengkapi butir Pasal tentang harta bersama seperti maksud petunjuk Rakernas MA yaitu terhadap ketentuan Pasal 94 ayat (2) KHI, dilakukan secara proporsional dengan mempertimbangkan jangka waktu perkawinan berlangsung; c. Menambah butir Pasal tentang harta bersama terhadap kasus baru.

199

Bab III

2. Di muka sidang Pengadilan Agama, kebanyakan pihak suami enggan mengakui sebagai harta bersama. Bagian ini meliputi beberapa titik persoalan, sebagai berikut : a. Enggannya suami dikarenakan masih banyaknya pendapat guru agama di daerah yang menyatakan tidak adanya harta bersama dengan mendasarkan pada fiqh klasik. Penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat tahun 2010 di Indonesia menunjukkan tingkat pengetahuan ulama, tokoh masyarakat terhadap Kompilasi Hukum Islam sangat rendah dengan kategori tiga kelompok yaitu kelompok ulama yang tidak mengetahui Kompilasi Hukum Islam, kedua kelompok ulama yang mengetahui tetapi tidak memperdalam Kompilasi Hukum Islam dan kelompok ketiga yaitu yang mengetahui dan memperdalam Kompilasi Hukum Islam. Ini menunjukkan Kompilasi Hukum Islam belum benar-benar menjadi fiqh khas Indonesia karena umumnya belum diketahui maupun dipelajari.156 b. Harta kekayaan cenderung diminati dan dipertahankan oleh pihak yang berkepentingan dan yang menguasai. Dan yang biasanya menguasai adalah suami sehingga ia menyembunyikannya, tak mengakuinya dan sulitnya kaum wanita menunjukkan bukti-bukti yang kuat terhadap harta bersama. Dan ini didukung dengan hukum formal di Indonesia bahwa suatu tuduhan harus dapat membuktikan. Karena di bidang keperdataan maka hakim biasanya meminta bukti berupa surat-surat resmi permbuktian. 156 Muchit A. Karim (ed), 2010. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta : Kementerian Agama RI, hlm. ii

200

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

3. Rumitnya persoalan hukum di Indonesia menyangkut persoalan kepemilikan harta. Bagian ini dapat ditinjau dari dua segi yaitu, sebagai berikut : Pertama, hukum acara sebagai legalitas formal di Pengadilan Agama yang masih mengadopsi hukum peninggalan kolonial seperti HIR, Rbg sekalipun telah memberlakukan hukum acara tersendiri tentang Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989 dan UU No.3 Tahun 2006). Sangat banyak sekali persoalan dan tuntutan harta bersama tidak dapat diterima oleh Pengadilan Agama hanya karena kesalahan prosedur beracara di muka sidang, pihak Tergugat tidak mendaftarkan hartanya secara resmi, persoalan yang berkait dengan keagrariaan, pertanahan, fidusia, pertanggungan, perbankan, perikatan, kebebasan berkontrak, dll. Kedua adalah kemampuan para hakim agama dalam menyelesaikan persoalan harta bersama. Baik segi pemahaman tentang harta bersama maupun hubungannya dengan kewarisan ketika terjadi kematian suami atau istri serta kemampuan penyelesaiannya. Penelitian terakhir di Indonesia tentang Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia yang dilakukan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI tahun 2010 terhadap daerah yang dijadikan sampling penelitian seperti Gorontalo, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Yogyakarta, Sumatera Barat dan Sumatera Utara terhadap ulama dan hakim agama tentang isi Kompilasi Hukum Islam perbandingan dengan fiqh Islam menyangkut faraid. Seperti ahli waris pengganti, harta bersama, wasiat wajibah. Kelompok pertama menerima Kompilasi Hukum Islam selama memiliki rujukan dengan al Qur`an dan al Sunnah. Kelompok kedua menerima jika memiliki rujukan dengan

201

Bab III

kitab-kitab fiqh Islam dengan menolak konsep ahli waris pengganti, wasiat-wasiat wajibah untuk anak dan bapak angkat, kewarisan kolektif tanah yang kurang dari 2 hektar. 157 Kelompok ketiga ialah yang menerima sepenuhnya Kompilasi Hukum Islam tanpa mempertentangkan dengan fiqh klasik dan memasukkannya sebagai fiqh khas hasil ijtihad ulama Indonesia. Penutup Baik hukum materil tertulis ataupun prosedur hukum formil belum tentu dapat mengantarkan penyelenggaraan hukum secara baik kepada tujuannya. Bahkan ia dapat saja mendorong ditempuhnya tindakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum. Oleh karenanya, hukum harus pula dipahami substansinya agar wilayah kemanusiaan tidak terganggu. Ukuran substansi hukum tidak hanya pada maksud pembuat undang-undang tetapi juga lebih luas memasuki keadilan yang pro-rakyat, masuk pada ranah keadilan yang dibutuhkan oleh pencari keadilan. Persoalan substansi hukum kadang sangat sulit dipahami. Menganalisis hukum sebagai satu sistem, ada tiga aspek yang dikaji yaitu struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substansi) dan budaya hukum (legal cultur). Friedman mengatakan, suatu sistem hukum dalam operasi aktualnya merupakan sebuah organisme kompleks di mana struktur, substansi dan kultur berinteraksi.158 Satu sama lain menjadi terhubung dan tak dapat dipisahkan. Struktur hukum adalah menyangkut kedudukan dari peradilan, yudikatif, eksekutif. Ia menjadi penting dalam pelaksanaan dan penegakan hukum. Hal 157 158

Ibid. hlm. iii

Lawrence M Friedman, 1975. The Legal Sistem, A Social Science Perspective, New York : Russelll Sage Foundation. h. 17

202

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

yang penting adalah substansi hukum yaitu berupa norma, peraturan-peraturan maupun Undang-Undang. Sedangkan kultur hukum adalah elemen sikap dan nilai sosial. Suatu sistem hukum adalah kesatuan dari peraturan-peraturan primer dan peraturanperaturan skunder. Peraturan primer adalah norma-norma prilaku. Peraturan skunder adalah norma-norma mengenai bagaimana memutuskan, apakah semua itu valid dan bagaimana memberlakukannya.159 Di bawah ini beberapa solusi agar butir Pasal KHI menjadi mudah, efisien, jelas, melengkapi dan tidak multi tafsir, sebagai berikut : Pasal 1 huruf f harusnya berbunyi : Harta kekayaan dalam perkawinan adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung bukan karena harta bawaan yang selanjutnya disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Pasal 85 harusnya berbunyi : Adanya harta bersama dalam perkawinan tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau istri yang diperolehnya karena harta bawaan. Pasal 86 harusnya berbunyi : (1) Harta bawaan diperoleh sebelum dan sesudah perkawinannya karena pemberian, hadiah, sadaqoh, hibah, wasiat dan warisan atau lainnya adalah bukan harta bersama. (2) Suami dan istri mempunyai hak penuh untuk melakukan perbuatan hukum atas harta bawaan mereka masing-masing, menguasai dan memeliharanya.

159

Ibid, h. 16

203

Bab III

(3) Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta istri maupun hartanya sendiri sedang Istri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suaminya yang ada padanya. (4) Harta bawaan dapat menjadi harta bersama bila adanya perjanjian untuk menjadi harta bersama. Pasal 87 harusnya berbunyi : bagian dari gaji suami untuk istri yang dicerai dapat dikompensasikan dengan lembaga mut’ah dalam perceraian Islam; Pasal 88 harusnya berbunyi : Pengelolaan atau penguasaan harta bawaan yang menghasilkan tambahan atau kerugian dalam perkawinan dikategorikan menjadi harta bersama; Kasus misalnya suami bermodal atas modal harta bawaan karena warisan. Kemudian usahanya berkembang maka tambahan hasil perkembangan tersebut menjadi harta bersama sedang harta bawaannya tetap seperti semula Pasal 89 harusnya berbunyi : Pengalihan harta bawaan suami atau istri kepada harta yang lain hendaknya bersifat yang berwujud dan tidak tercampur dengan harta bersama. Pasal ini untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya kekaburan kepemilikan harta seperti yang sering terjadi di masyarakat. Kasus seorang istri telah memiliki sebidang tanah/rumah sebelum perkawinan. Saat perkawinan telah berlangsung, istri menjual tanah/rumah tersebut yang uangnya untuk memperbaiki rumah milik harta bersama suami istri. Dalam sengketa perceraian suami tak mengakui terjadi demikian berakibat istri kesulitan membuktikan.

204

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pasal 90 harusnya berbunyi : Apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang harta bersama maka penyelesaian itu diajukan kepada Pengadilan Agama. Selanjutnya butir Pasal 91 s.d Pasal 97 cukup jelas dan tegas mengandung kepastian pemahaman dan hukum, hanya sedikit tambahan melengkapi yaitu Pasal 94 ayat (2) , (3) dan (4) sebagai berikut : Pasal 91 : (1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berujud atau tidak berujud, (2) harta bersama yang berujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga, (3) harta bersama yang tidak berujud dapat berupa hak maupun kewajiban, (4) harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya. Pasal 92 : Suami atau istri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Pasal 93 : (1) Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau istri dibebankan kepada hartanya masing-masing, (2) Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga dibebankan kepada harta bersama, (3) Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami,

205

Bab III

(4) Bila harta suami tidak ada atau tidak mencukupi dibebankan kepada harta istri. Pasal 94 dengan tambahan butir pasal (2), (3) dan (4) : (1) Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri, (2) Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai istri lebih dari seorang sebagaimana tersebut pada ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat dan menghitung secara proporsional serta mempertimbangkan jangka waktu perkawinan berlangsung (3) Harta yang berupa suatu hak tertentu, royalti, gajih, perolehan saham yang terus menerus diperolehnya, di perhitungkan pula berdasar ayat (2) di atas. (4) Royalti dari hasil kekayaan seseorang menjadi haknya berdasarkan hak atas kekayaan intelektual (HAKI). Dalam hal hak itu diperoleh dalam perkawinan yang sedang berlangsung, hak atas rolayti menjadi pendapatan yang diperoleh dalam perkawinan dan karena itu menjadi harta bersama; Kasus, seorang PNS setelah perkawinan 30 tahun, istri pertamanya meninggal dunia. Kemudian PNS tersebut kawin dengan wanita baru. 5 Tahun kemudian, PNS tersebut meninggal dunia. Istri kedua menuntut gajih dan taspen yang dihitung telah bekerja selama 35 tahun sementara anak-anak PNS meyakini gajih dan taspen mengandung hak ibu (istri pertama) selama 30 tahun. Maka pembagiannya dapat menggunakan hitungan proporsional dengan indek persentasi tahun berdasar Pasal 94 ayat (2) dan ayat (3).

206

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pasal 95 : (1) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dan pasal 136 ayat (2), suami atau istri dapat meminta Pengadilan Agama untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta berama seperti judi, mabuk, boros dan sebagainya, (2) Selama masa sita dapat dilakukan penjualan atas harta bersama untuk kepentingan keluarga dengan izin Pengadilan Agama. Pasal 96 : (1) Apabila terjadi cerai mati, maka separoh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama. (2) Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau istri yang istri atau suaminya hilang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama. Pasal 97 : Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.160 Berdasar demikian, Harta bersama yang tersebut dalam KHI sudah cukup lengkap hanya diperlukan sedikit penyempurnaan, dan lebih bagus lagi adanya tambahan yang melengkapi persoalan baru pada zaman ini. 160 Pasal 128 BW menetapkan bahwa kekayaan-bersama mereka dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dari pihak mana asal barang-barang itu.

207

Bab III

Daftar Pustaka Abdurrahman al Jaziri, 1990., Al Fiqh alaa Madzaahib al arba`ah, J. III, Bairut-Libanon, 1990. Atamimi, A. Hamid S., 1992. Compendium Freijer Upaya Mempositipkan Hukum Islam, Varia Peradilan Majalan Hukum tahun x Ali, Zainuddin, , 2008. Hukum Ekonomi Syariah, Jakarta : Sinar Grafika Al Nabhani, Taqiyuddin, (t.t) An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam., Dar al Fikr, Cairo Al Fatni, Abdul Malik, 1949. Khulashah al Faraaid, Mesir : Mustafa al Baby al Halaby Direktorat Badan Peradilan Agama, 1991/1992. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Friedman, Lawrence M., 1975. The Legal Sistem, A Social Science Perspective, New York : Russelll Sage Foundation Hirsanuddin, 2008. Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Cet. I, Yogyakarta : Genta Press Karim, Muchit A. (ed), 2010. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia, Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta : Kementerian Agama RI Kusumaatmadja, Mochtar., 1976, Hukum, Masyarakat Pembinaan Hukum Nasional, Bandung : Bina Cipta

dan

Rahardjo, Satjipto., 2008. Membongkar Hukum Progresif, Cet. III, Jakarta : Buku Kompas Sabiq, Sayid, 1983. Fiqh al Sunnah, Bairut-Libanon : Daar al Fikri,

208

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Sarmadi, A. Sukris., 2008., Format Hukum Perkawinan Dalam Hukum Perdata Islam di Indonesia, Pustaka Prisma, Cet.II, 2008 Yogyakarta ------------------------, 1997., Transendensi Hukum Waris Islam Tranformatif, Rajawali Pers, Jakarta, Subekti, R., 1993. Perbandingan Hukum Perdata, cet. XII, Jakarta : Pradnya Paramita Sumner, Cate & Tim Lindsey, Reformasi Peradilan Pasca-Orde Baru, Pengadilan Agama di Indonesia dan Keadilan Bagi Masyarakat Miskin, Lowy Institute : ISIF Usman, Suparman, 2001. Hukum Islam; Asas-Asas Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Gaya Media Pratama Media Elektronik dan Internet Muchsin, 2008. Konstribusi Hukum Islam Terhadap perkembangan Hukum Nasional, dalam http://www.badilag.net/index. php?option=com_content&task Mahfud MD, 2008, Jawapos, Kamis, 04 September 2008, lihat juga dalam http://www.mahfudmd.com/index.php?page=web.OpiniL engkap&id=32& HPSESS ID =b5db3s6145 ib2jte672lpja9s0

209

Bab III

210

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

MENUJU KESETARAAN DALAM ATURAN KEWARISAN ISLAM INDONESIA: KEDUDUKAN ANAK PEREMPUAN VS SAUDARA KANDUNG Euis Nurlaelawati

Latar Belakang Hukum keluarga merupakan satu-satunya area hukum yang dipertahankan penerapannya dalam sebuah masayarakat Muslim sejak Islam datang dan dipeluk oleh masyarakat tersebut. Terdapat beberapa alasan kenapa, berbeda dengan area hukum yang lain, hukum keluarga Islam terus diterapkan dan tidak tergantikan oleh sistem hukum lain. Penerapan hukum keluarga Islam sering dianggap sebagai identitas kemusliman seseorang atau masyarakat tertentu. Namun, meskipun masalah keluarga merupakan masalah pribadi, pada perkembangan selanjutnya masalah keluarga membutuhkan intervensi pemerintah dalam penyelesaiannya. Sejalan dengan upaya intervensi pemerintah, usaha pembaharuan kemudian muncul terhadap aturan-aturan hukum keluarga yang selama itu diadopsi dari pandangan-pandangan para ‘ulama yang terdapat dalam buku-buku fiqh klasik. Usaha tersebut dianggap penting untuk dilakukan demi mempertahankan kelangsungan pemberlakuan hukum keluarga Islam di satu sisi, dan mengakomodir kepentingan dan tuntutan jaman dan pihak-pihak tertentu yang selama itu dianggap selalu ditempatkan pada posisi bawah atau marginal, seperti pihak perempuan dan anak-anak, di sisi lain.

211

Bab III

Hukum kewarisan Islam tidak terkecuali dalam hal ini. Beberapa negara melakukan pembaharuan terhadap aturanaturan kewarisan Islam. Wasiat wajiba, misalnya, merupakan salah satu konsep yang dijadikan oleh banyak negara Muslim sebagai solusi atas masalah cucu yatim yang menurut kewarisan Islam terhijab oleh anak (laki-laki) mayat. Yang menarik adalah bahwa konsep ini di Indonesia digunakan sebagai solusi bagi masalah adopsi, yang dengan konsep tersebut pihak-pihak yang terlibat dalam adopsi dapat memperoleh bagian dari harta peninggalan masing-masing dari mereka. Hal menarik lainnya adalah masalah cucu yang juga mendapat perhatian ‘ulama Indonesia diselesaikan lewat konsep ahli waris pengganti. Pemabaharuan dalam hukum kewarisan Islam dapat dilihat juga dalam beberapa aturan yang lain. Aturan tentang bagian saudara dan anak perempuan adalah salah satu aturan lain yang menerima pembaharuan. Aturan yang sudah dibuat ini nampak membingungkan dan menyebabkan penafsiaran yang berbeda-beda, dan menimbulkan debat di kalangan para ‘ulama dan juga para penegak hukum di Indonesia. Makalah ini mengupas tentang usaha pembaharuan dalam bidang kewarisan yang dilakukan oleh Indonesia seperti terlihat dalam Kompilasi Hukum Islam, terutama terkait dengan bagian anak perempuan ketika bertemu saudara pewaris. Perdebatan dan alasan-alasan perdebatan akan dikaji dalam makalah ini. Praktek dan pandangan para hakim serta para ‘ulama tentang aturan tersebut akan didiskusiskan juga dalam makalah ini. Aturan Kewarisan Anak dan Saudara: Antara Fiqh dan KHI Pembaharuan terhadap hukum keluarga Islam dibarengi dengan adanya upaya pemerintah dalam negara-negara tertentu

212

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

untuk mengatur dan menertibkan aturan-aturan terkait dengan masalah keluarga. Trend pembaharuan ini diawali oleh Turki dengan dibuatnya sebuah qanun yang susuai dengan spirit pembaharuan hukum di Turki. Upaya ini kemudian diikuti oleh beberapa negara Muslim lainnya seperti Tunissia, Maroko, Mesir dan lainnya. Di Asia Tenggara sendiri, upaya ini diawali oleh pemerintah Malaysia dan kemudian Indonesia.161 Upaya pembaharuan ini dibarengi dengan apa yang disebut dengan kodifikasi hukum. Mengapa upaya kodifikasi hukum ini dilakukan? Ada beberapa tujuan yang terdapat dalam upaya kodifikasi ini. Tujuan-tujuan tersebut mencakup; 1. Untuk membuat unifikasi hukum, sehingga kepastian hukum bisa tercapai, 2. Untuk memecahkan permasalahan kontemporer yang disebabkan oleh adanya perubahan kondisi jaman/ memnuhi tuntutan jaman, dan, 3. Untuk memenuhi, secara spesifik, tuntutan kaum wanita terkait dengan status hukum mereka.162 Berkenaan dengan upaya pembaharuan lewat kodifikasi ini, apa yang dikemuakan oleh Weber terkait dengan teori hukum (Legal Theory) sangat relevan. Weber mengungkapkan bahwa tradisi hukum lama adalah ‘Qadi Justice, di mana para qadli secara serampangan merujuk kepada beberapa aturan hukum yang beragam sesuai dengan kesadaran subjektif mereka. Namun 161 Lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity: The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practices of Indonesian Religious Courts, Amsterdam: Amsterdam University Press, 2009, 19. 162 Lihat Khairuddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap Perundang-Undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan Malaysia, Jakarta: INIS, 2002, 5.

213

Bab III

kemudian terjadi perubahan besar di mana system hukum bergeser dari system qadi justice kepada system yang lebih sistematis. Weber mngungkapkan bahwa, “a radical change occurred during the Enlightenment era, which stimulated a transfer from the patrimonial tradition of law to a systematic, rational, and abstract legal code”.163 Jika dilihat dari karaker tradisi hukum lama dan baru, kita bisa mengatakan bahwa hukum lama bersifat terbuka (open), sementara tradisi hukum baru bersifat tertutup (close). Dengan demikian, jika tradisi hukum lama lebih mengedepankan interpretasi hukum secara pribadi (personal interpretation), tradisi hukum lama membiasakan diberlakukannya interpretasi hukum secara berjamaah (collective interpretation). Maka, dengan demikian, sifat- legislasi hukum modern/ reformasi hukum adalah adanya upaya penyeragaman hukum (unification), dan penulisan hukum melalui sebuah aturan tertulis (undang-undang) (codification), dan penulisan hukum secara sistematis dan lugas dengan bahasa nasional negara masing-masing (systematically written). Sifat lain adalah menimbulkan suatu kepastian dalam transaksi hukum (the certainty within legal transaction). Dan jika kita telusuri dengan seksama unsur-unsur yang tercipta dari upaya kodifikasi hukum yang dilakukan oleh beberapa negara Muslim di dunia ini, maka kita akan menemukan beberapa kesimpulan. Kesimpulan yang terkemukakan adalah: (1) bahwa kodifikasi tersebut dipicu oleh tuntutan atau alasan yang krusial, yaitu untuk memenuhi tantangan dan tuntutan legislasi modern, (2) bahwa dalam upaya ini, negara-negara tersebut menggunakan metode-metode yang beragam, yang kesemuanya

163 Lihat Bryan S. Turner, Weber and Islam: A Critical Study, London: Routledge and Kegan Paul, 1874, 108-109.

214

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

bermuara pada tercapainya sebuah kemaslahatan umat dan terealisasinya politik hukum, yaitu; tatbiq, takhayyur and tajdid, (3) bahwa kodifikasi menyebabkan tergantikannya aturan-aturan hukum terkait beberapa masalah keluarga yang tertera dalam fiqh klasik dengan aturan-aturan baru yang sesuai dengan kondisi local masing-masing negara. Pemerintah Indonesia, seperti telah dikemukakan di atas, tidak terkecuali, melakukan pembaharuan dan melegalisasi hukum Islam sebagai hukum nasional yang harus diterapkan oleh masyarakat Muslim Indonesia. Upaya pembaharuan yang paling siginifikan, meski wadah hukumnya masih terus diperdebatkan adalah dikeluarkannya Kompilasi Hukum Islam. Melalui kompilasi, beberapa aturan perkawinan, kewarisan dan perwakafan Islam diperbaharui, sambil beberapa aturan lainnya dipertahankan. Mengenai kewarisan, Kompilasi secara umum mengambil doktrin fikih tradisional dan merujuk pada nash-nash al-Qur’an yang cocok, misalnya memberikan anak laki-laki bagian waris yang sama besarnya dengan dua anak perempuan, dan mempertahankan aturan ‘ashabah—bahwa saudara laki-laki yang terdekat mendapatkan sisa. Namun, dipengaruhi adat dan normanorma setempat, kompilsi menerapkan aturan-aturan lain, seperti sistem ahli waris pengganti dan wasiat wajib yang tidak ditemukan di mana pun dalam kitab-kitab fikih. Sistem ahli waris pengganti digunakan untuk memecahkan masalah cucu-cucu yatim, yang orangtuanya telah mendahului wafat kakek mereka atau orangtua dari ayah atau ibu mereka sendiri. Menurut sistem waris Islam klasik, cucu-cucu yatim dinafikan atau terhijab dalam harta waris kakek-kakek mereka. Semua mazhab sepakat bahwa seorang cucu yatim tidak memiliki hak terhadap bagian dari kakek atau neneknya jika ada anak (laki-laki) dari si mayat (kakek) yang masih hidup. Mengikuti

215

Bab III

aturan ini, sebagian negara Muslim mengatur bahwa para ahli waris yang meninggal lebih dulu dan ahli waris atau keturunan mereka tidak menerima bagian waris selagi ada anak laki-laki yang masih hidup. Namun, kemudian aturan ini diyakini menimbulkan masalah bagi umat Islam.164 Apa yang dikemukakan oleh Lucy Carroll dapat menjelaskan apa yang dilakukan oleh beberapa negara tersebut. Lucy Carrol menyatakan: Dalam sebuah masyarakat kesukuan di mana anak laki-laki yang masih hidup mengambil tanggung jawab terhadap anak-anak dari saudara laki-lakinya yang meninggal dalam kelompok keluarga besar, aturan-aturan tradisional suksesi atau kewarisan bisa menimbulkan kesulitan. Tetapi dalam sebuah masyarakat di mana keluarga inti lebih umum, maka penafikan sepenuhnya satu garis keturunan pihak yang meninggal tampak tidak adil dan tidak sah.165 Beberapa ‘ulama di beberapa negara menganggap bahwa tidaklah adil untuk menafikan cucu yatim dari hak mereka terhadap harta waris dari kakek mereka hanya karena orangtua mereka meninggal lebih dulu dari kakek mereka. Oleh karena itu beberapa negara berusaha memecahkan ketaksetaraan itu. Dua pemecahan teridentifikasi dan diterapkan, yakni: wasiat wajib dan sistem ahli waris melalui hak atau pergantiaan ahli waris (ahli waris pengganti). Konsep yang pertama digunakan oleh negara-negara Timur Tengah; sedang yang terakhir oleh Pakistan.166 164

Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenity, 97.

165

Lucy Carroll, “Orphaned Grandchildren in Islamic Law of Succession”, Islamic Law and Society, 5 (1998), 410. 166 Rubya Mehdi merekam bahwa pemecahan Pakistan, yakni waris dengan hak, dipandang lebih radikal. Para ulama tradisional menentang sistem itu atas dasar bahwa sistem itu membinasakan semangat dan struktur hukum waris Islam. Namun, mereka sepakat dengan pendapat bahwa masalah cucu yatim harus dipecahkan, dan berpendapat bahwa wasiat wajib memiliki dasar hukum yang lebih absah dalam kitab suci. Lihat Rubya Mehdi, The Islamization of the Law in Pakistan, 190.

216

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kompilasi jelas telah menerapkan dan mengadopsi kedua aturan itu, dengan beberapa penyesuaian dengan sistem masyarakat setempat. Terkait dengan konsep yang pertama, pasal 185 Kompilasi menyatakan bahwa kedudukan waris dari ahli waris yang lebih dulu meninggal bisa digantikan oleh para ahli warisnya.167 Pilihan ini selaras dengan praktik hukum yang berlaku sejak lama dengan memberikan hak waris kepada cucu yatim, yang dikenal dengan sistem plaatsvervulling. Praktik ini bahkan telah menjadi sebuah hukum yang mapan di Medan. Pengadilan Umum Banding Medan, misalnya, pernah menetapkan dalam sebuah keputusan bahwa ketika seorang anak dari pewaris itu meninggal, sebelum pewaris wafat, dan yang pertama meninggalkan seorang atau beberapa orang anak, maka anak-anak dari anak atau cucu dari orang yang wafat itu memiliki hak terhadap harta waris orang yang wafat atas nama ayah mereka.168 Ini berarti bahwa sistem pergantian ahli waris tidak sepenuhnya baru di Indonesia. Meskipun sistem ini menjadi masalah yang meluas di banyak negara Muslim, aturan ahli waris pengganti yang ditetapkan dalam kompilasi memiliki landasan lokal dalam praktik hukum di antara masyarakat Indonesia. Aturan lain yang nampak diperbaharui dalam kompilasi adalah aturan terkait dengan bagian saudara yang menurut fiqh hanya dapat bagian jika pewaris tidak meninggalkan anak. Dalam pandangan para ‘ulama anak yang dimaksud dalam al-Qur’an 167 Lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenity, 97. Lihat juga Kompilasi, Pasal 185 (1). 168 Keputusan tersebut terekam sebagai keputusan Pengadilan Umum Banding No. 195/1950. Keputusan yang sama juga dikeluarkan di masa-masa awal oleh Raad van Justitie Batavia pada 12 Desember 1932. Hal ini direkam dalam “Indisch Tijdschrift van het Recht,” 150 (1932): 239. Lebih rinci mengenai hal ini, lihat A.B. Loebis, Pengadilan Negeri Jakarta in Action: Jurisprudensi Hukum Adat Warisan, (n.p, n.d) 63. Untuk informasi detail tentang ini, lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity, 98.

217

Bab III

adalah anak laki-laki. Efek dari pandangan ini adalah bahwa saudara dapat memperoleh harta waris jika pewaris tidak meninggalkan anak, yaitu anak laki-laki. Pemahaman lainnya adalah bahwa jika pewaris meninggalkan anak atau hanya anak perempuan, saudara dapat memperoleh kewarisan. Jika pewaris meninggalkan anak laki-laki, saudara tertutup dan tidak berhak atas harta waris. Kesimpulannya adalah jika anak laki-laki mempunyai kedudukan menghijab saudara, anak perempuan tidak, dan anak perempuan akibatnya harus berbagi harta warisan dengan saudara, jika mereka bertemu dalam sebuah kondisi waris mewaris. Para ‘ulama Indonesia rupanya melihat aturan dalam fiqh ini agak bias jender. Lewat sebuah pasalnya, para penyusun kompilasi mengatur bahwa bagian saudara ditentukan oleh keberadaan anak. Seperti dalam al-Qur’an, kompilasi menyatakan bahwa saudara hanya akan memperoleh harta waris jika pewaris tidak meninggalkan anak. Bedanya, jika anak yang disebutkan dalam al-Qur’an dijelaskan lagi oleh pandangan para ‘ulama terutama sunni, yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan walad adalah anak laki-laki, kompilasi tidak menjelaskan siapa anak yang dimaksud. Apakah anak laki-laki saja atau anak laki-laki dan juga anak perempuan. Beberapa kalangan penyusun menjelaskan bahwa anak yang dimaksud adalah anak baik laki-laki mapun perempuan. Artinya adalah bahwa kompilasi melakukan terobosan dan perubahan terhdap aturan yang dibuat oleh para ‘ulama klasik. Dikehendaki bahwa seorang perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan anak laki-laki dalam hal hijab menghijab terutama ketika mereka berada bersama dengan saudara. Penyetaraan kedudukan laki-laki dan permepuan ini memang slalu

218

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

diupayakan untuk memperlihatkan bahwa Indonesia memberikan perhatian terhadap kedudukan hukum perempuan di Indonesia. Terkait dengan pembaharuan ini, kita teringat dengan apa yang dikemukakan oleh Anderson tentang metode-metode pembaharuan. Anderson mengemukakan bahwa terdapat dua metode pembaharuan yang secara umum diterapkan oleh negaranegara Muslim, yaitu intra dan extra doctrinal. Intra doctrinal adalah metode pembaharuan yang diterapkan di mana para pembaharu melakukan penafsiran terhadap hukum dan tidak beranjak jauh dari teks hukum yang ada. Sementara extra doctrinal adalah sebuah metode yang menyiratkan bahwa pembaharu melakukan penafsiran terhadap teks dan beranjak jauh dari maksud atau menyimpang dari teks yang ada. Dengan melihat kedua metode tersebut, dalam melakukan pembaharuan terkait dengan aturan kewarisan tentang bagian saudara dan anak perempuan sangat jelas bahwa kompilasi menerapkan metode extra doctrinal, di mana penyusun kompilasi melakukan interpretasi terhadap teks Qur’an dan menentukan aturan yang berbeda dari apa yang sudah diatur dalam fiqh. Putusan Hakim Agama Bagaimana pandangan dan praktek para hakim terkait dengan aturan-aturan yang telah diterapkan dalam kompilasi? Untuk melihat ini, beberapa putusan harus ditinjau dan dievaluasi. Dalam kebanyakan kasus, para hakim di pengadilan agama mengikuti ketentuan-ketentuan dalam Kompilasi dalam menentukan kasus-kasus hukum yang diajukan kepada mereka. Hal ini tampak pada keputusan-keputusan pengadilan agama di Jakarta Selatan (No. 19/pdt.p/1997/PAJS), yang menolak permohonan penetapan perkawinan (itsbât al-nikâh) atas dasar kenyataan

219

Bab III

bahwa permohonan itu diminta hanya oleh satu pihak, sedangkan pihak lainnya (suami) menolah bahwa pernah terjadi perkawinan. Kompilasi mendesak bahwa penetapan perkawinan harus diminta dan disetujui oleh pasangan demi kesejahteraan mereka. Begitu juga, para hakim pengadilan Tasikmalaya, melalui keputusan No. 11/pdt.p/2001/PA.Tsm, mengizinkan seseorang untuk melakukan perkawinan poligami hanya setelah pemohon (suami) bisa membuktikan adanya salah satu alasan yang tertuang dalam Kompilasi, yakni bahwa istrinya menderita penyakit yang tak tersembuhkan, dan setelah dia membuat bukti kemampuannya untuk menafkahi istri-istrinya ditambah persetujuan istri pertamanya. Dalam kasus-kasus terdahulu, para hakim pengadilan agama Nganjuk, Jawa Timur, menolak memberi izin keinginan suami untuk mendapatkan istri kedua. Hal ini karena diketahui bahwa istri pertama, meski tidak memiliki anak ketika permohonan itu diajukan, salah satu alasan permohonannya untuk berpoligami, terbukti secara medis bisa melahirkan anak. Pengakuan suami bahwa dia telah berhubungan seksual dengan calon istri kedua, yang kemudian juga diajukan sebagai alasan permohonan, meyakinkan para hakim untuk menolak permintaan itu. Mereka beralasan bahwa seorang laki-laki tidak bisa kawin lagi untuk memenuhi hasrat seksualnya yang tinggi karena ini tidak disebutkan dalam Kompilasi.169 Namun demikian, ini tidak berarti bahwa semua ketentuan dalam Kompilasi dibarengi dengan persetujuan para hakim. Sebagian keputusan sebenarnya menunjukkan bahwa dalam sejumlah kasus mereka menyimpang dari Kompilasi dan malah mengacu pada kitab-kitab 169

220

Lihat Keputusan No. 341/1976.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

fikih. Mereka secara jelas tidak khawatir bahwa keputusankeputusan mereka akan dijatuhkan oleh pengadilan yang lebih tinggi.170 Ada alasan-alasan pokok di balik keputusan mereka untuk meninggalkan Kompilasi. Selain niat mereka mempertahankan kepentingan umum di mana banyak hakim berpendapat bahwa penyimpangan dari aturan-aturan yang ditetapkan dalam Kompilasi kadang diperlukan untuk menciptakan kemaslahatan umum atau untuk menjamin kepuasan keadilan pihak-pihak atau salah satu pihak yang terlibat dalam satu kasus, kenyataan bahwa mereka tidak sependapat dengan aturan-aturan yang ada dalam kompilasi merupakan salah satu alasan mengapa mereka, dalam kasus-kasus tertentu, tidak sepenuhnya memenuhi sejumlah aturan dalam Kompilasi. Khusus terkait aturan kewarisan, terdapat beberapa contoh putusan yang menarik untuk dicermati dan didiskusikan. Contoh pertama yang menunjukan kecenderungan seperti dimaksud di atas dapat dilihat dari aturan waris dari mayit yang meninggalkan seorang anak perempuan dan jaminan (saudara laki-laki) dan saudara perempuan, sebagaimana digambarkan secara sangat baik oleh dua kasus berikut ini. Yang pertama diidentifikasi sebagai No. 830/G/1991/PA.Pkl, dan kemudian No. 69/G/1992/PTA.Smrg, dan No.184/K/AG/1995/MA, dan yang kedua diidentifikasi sebagai No. 85/pdt.6/1992/V/PA.Mtr, dan kemudian

170 Lihat Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenitity, 142-144. Untuk pandangan yang sama, lihat S. Pompe and J.M. Otto, “Some Comments on Recent Developments in the Indonesian Marriage Law with Particular Respect to the Rights of Women”, Verfassung und Rech Ubersee, 4 (1990), 415, dan bandingkan dengan Cammack yang melaporkan bahwa sejak diterapkan UU Perkawinan beberapa hakim tampaknya menyadari keputusan mereka dijatuhkan oleh Mahkamah Agung pada kasasi dan itu merupakan alasan mereka condong kepada UU Perkawinan. Mark Cammack, “Islamic Law in Indonesia’s New Order”, International and Comparative Law Quarterly, 38 (1989), 53.

221

Bab III

No.19/Pdt.G/1993/PTA.Mtr, dan kemudian No. 86/K/AG/1994/ MA.171 Kasus yang pertama melibatkan seorang anak perempuan dan beberapa saudara perempuan, semuanya adalah sesama ahli waris dengan anak perempuan itu oleh pengadilan agama tingkat pertama Pekalongan dan pengadilan banding Semarang. Kasus yang kedua, yang menarik perhatian besar dari para analis hukum dan sarjana, melibatkan seorang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan.172 Tidak diketahui apakah para penggugat memahami apa kata Kompilasi tentang kasus mereka. Namun para ahli waris saudara laki-laki dari mayit dalam kasus kedua sampai ke pengadilan agama tingkat pertama. Mereka mengklaim bagian harta atas dasar bahwa, sebagai saudara laki-laki dari mayit (orang yang meninggal), keturunan mereka berhak mendapat bagian bersama saudara perempuannya mayit—meskipun saudara perempuan itu masih hidup, saudara laki-laki telah meninggal ketika kasus itu diperiksa di pengadilan, tetapi, tentu saja, masih hidup ketika saudara laki-lakinya (praepositus) meninggal. Pengadilan menyimpulkan bahwa kasus itu terlalu banyak masalah, karena harta yang diperselisihkan tidak ditetapkan secara jelas dan, karena permohonan itu dianggap tidak memenuhi syarat prosedural. Oleh karena itu mereka menolak kasus itu.173 Tidak puas dengan keputusan itu, penggugat dan tergugat membawa kasus itu ke pengadilan agama banding. Pengadilan 171 Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Idenitity, 151-152. Teks kasus itu dan keputusan-keputusannya bisa dilihat pula dalam Mimbar Hukum 30:7 (1997), 122-151. 172 Selain Euis Nurlaelawati, lihat juga Cammack, “Inching towards Equality”, 1415, dan Bowen, Islam, Law and Equality in Indonesia, 197-198. 173

Euis Nurlaelawari, Modernization, Tradition and Identity, 152. Jadi pengadilan tidak memutuskan kasus mengikuti doktrin tradisional dan tidak memberi saudara laki-laki bagian bersama dengan anak perempuan dari mayit sebagaimana dipahami Cammack. Lihat Cammack, “Inching toward Equality,” 15.

222

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

setuju agar saudara laki-laki diberi bagian. Dalam menetapkan bahwa saudara laki-laki, dalam kasus kedua, sebagaimana saudara perempuan dalam kasus pertama, harus berbagi dengan saudara perempuan, jelas bahwa pengadilan banding Mataram dan pengadilan rendah Semarang mengadopsi penafsiran hukum dari ayat al-Qur’an terkait, yang menyatakan bahwa saudara kandung, saudara perempuan dan saudara laki-laki, diberi hak waris jika mayit tidak meninggalkan anak atau walad (QS. Al-Nisa’ [4]: 176). Mayoritas ulama Sunni memahami dari ayat ini bahwa, ketika mayit meninggalkan seorang anak atau walad, maka saudara kandung tidak mendapatkan bagian dan bahwa, untuk menyatukan praktik Nabi yang pernah memberi saudara perempuan bagian yang sama dengan anak perempuan, mereka menafsirkan kata walad dalam ayat ini merujuk pada anak laki-laki saja,174 yang berarti bahwa ketika ada anak perempuan, maka saudara kandung bisa diberi bagian. Atas dasar penafsiran Sunni tradisional inilah kata walad merujuk pada laki-laki saja, sehingga pengadilan agama tersebut memberikan bagian kepada saudara laki-laki. Dalam kedua kasus itu, saudara perempuan memohon kepada Mahkamah Agung, dan para hakim di Mahkamah Agung membalikkan keputusan dari kedua pengadilan banding itu. Mereka sepakat bahwa anak-anak perempuan menghalangi saudara laki-laki (dalam kasus kedua) dan saudara perempuan (dalam kasus pertama) dari bagian. Mereka menyatakan bahwa selagi mayit meninggalkan anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka hak waris dari hubungan darah dengan mayit itu, 174

Noel J. Coulson, History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1971), 66. Harus dicatat di sini bahwa penafsiran Sunni terhadap kata walad sebagai merujuk hanya pada laki-laki hanya terjadi dalam ayat ini, karena mereka menafsirkan kata walad yang muncul dalam ayat-ayat yang lain mencakup laki-laki dan perempuan.

223

Bab III

kecuali orangtua dan pasangan (istri atau suami) (bukan hubungan darah), terhalangi. Menariknya, dalam hal ini mereka merujuk pada pandangan Ibnu Abbas, salah seorang Sahabat Nabi. Ibnu Abbas menafsirkan kata walad dalam ayat tersebut di atas sebagai anak laki-laki dan anak perempuan. Hal ini menuai kritik dari sejumlah sarjana dan hakim karena mereka menganggap para hakim Mahkamah Agung ini, sebagaimana akan dibahas di bawah, menyalahpahami Ibnu Abbas dan tidak, sebagaimana tentunya kedua pengadilan banding, menyebut Kompilasi sebagai dasar mereka sama sekali. Lalu apa kata Kompilasi mengenai hal ini? Mengapa mereka tidak merujuknya? Kompilasi, Pasal 181 dan 182, sebagaimana telah dijelaskan di atas, menyatakan bahwa hak waris dari saudara kandung hanya bisa diberikan jika tidak ada anak. Kata anak ini adalah terjemahan sebenarnya dari walad.175 Jadi, Kompilasi menetapkan menurut kata al-Qur’an. Pada dasarnya, kata anak mengacu pada anak laki-laki dan anak perempuan. Namun, tampaknya penggunaan kata ini masih membingungkan bagi sebagian hakim yang mempertanyakan apakah kata ini, seperti kata walad dalam al-Qur’an, mengacu hanya kepada laki-laki sebagaimana dalam penafsiran Sunni, atau kepada laki-laki dan perempuan sebagaimana dalam penafsiran Ibnu Abbas. Perdebatan tersebut muncul dan dilakukan karena Kompilasi bersifat mendua. Seperti kata walad dalam al-Qur’an ditafsirkan secara berbeda dalam konteks ini, masih menggunakan terjemahannya yang umum. Yang menjadi pertanyaan mengapa Kompilasi (Pasal 182) tidak menggunakan kata-kata yang jelas dan tertentu anak perempuan dan anak laki-laki sekaligus ketika 175 Maksud saya, kata walad sebagaimana umunya ditafsirkan dalam al-Qur’an sebagai anak laki-laki dan perempuan dan bukan diterjemahkan dalam kamus Arab yang merujuk hanya pada anak laki-laki.

224

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

memaksudkan bahwa keduanya mendahulukan saudara kandung, dan menggunakan kata anak laki-laki saja ketika tujuannya adalah untuk menyatakan bahwa anak laki-laki saja menghalangi saudara kandung dari waris. Persoalan ini telah memicu perdebatan sengit di antara para hakim dan ahli dalam hukum Islam. Perdebatan ini bisa diikuti dalam terbitan mingguan Direktorat Kehakiman Agama Departemen Agama, Mimbar Hukum. Dari sini bisa dipahami bahwa kedudukan doktrin Sunni klasik di kalangan umat Islam Indonesia, khususnya para ahli hukum Islam dan hakim, tetap mengakar kuat sehingga banyak dari mereka berani melawan Kompilasi dan bahkan melawan keputusan Mahkamah Agung. Meskipun keputusan Mahkamah Agung mendapatkan dukungan dari sejumlah hakim,176 perlawanan terhadapnya tidak bisa diabaikan. Dalam salah satu terbitannya, majalah Mimbar Agama memuat artikel Baidlawi dan Rahmat Syafe’i, yang menyuguhkan penafsiran kata walad yang diberikan oleh para ahli hukum awal, termasuk penafsiran Ibnu Abbas. Mereka mengaitkannya dengan perdebatan yang dicuatkan oleh praktik peradilan, khususnya dalam kaitannya dengan kasus yang kedua. Bermaksud melawan pandangan Mahkamah Agung, dalam artikel mereka Baidlawi dan Rahmat Syafe’i menulis bahwa benar Ibnu Abbas menafsirkan kata walad mengacu pada anak laki-laki dan anak perempuan. Namun salah jika dipahami bahwa Ibnu Abbas memasukkan anak perempuan dalam kata walad dengan maksud untuk menafikan saudara laki-laki. Oleh karena itu Mahkamah Agung keliru jika mengambil pandangan Ibnu Abbas sebagai dasar hukum bagi keputusannya. Ibnu Abbas, lanjut mereka, memaknai bahwa hanya

176 Lihat, misalnya, Alizar Jas, “Pengertian Kata Walad dalam Surah al-Nisa Ayat 176”, Mimbar Hukum, 40 (1998).

225

Bab III

saudara perempuan dan bukan saudara laki-laki yang didahului oleh anak perempuan. Dengan kata lain, mereka ingin menegaskan tanpa rancu bahwa Ibnu Abbas berpendapat bahwa ketika mayit meninggalkan anak laki-laki dan anak perempuan, atau hanya anak lakilaki, maka hak saudara sekandung, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan, digantikan. Namun jika mayit itu meninggalkan hanya anak perempuan saja, maka hanya hak saudara perempuan saja dan bukan hak saudara laki-laki yang digantikan. Dengan demikian hanya jika anak perempuan itu dilawankan dengan saudara perempuan itulah anak perempuan dipandang sebagai walad. Menjelaskan hal ini, kedua penulis itu ingin mengatakan bahwa jika mayit meninggalkan anak perempuan saja seperti dalam kasus (kedua) yang telah dibahas, maka hak saurada laki-laki terhadap bagian itu memiliki dasar yang jelas dalam pandangan para fukaha Sunni maupun Ibnu Abbas. Mereka berpendapat, Mahkamah Agung keliru ketika mengutip dan merujuk pada pandangan Ibnu Abbas untuk mendukung keputusannya memberikan bagian penuh kepada anak perempuan dan pada saat yang sama menafikan saudara laki-laki dari bagian waris, karena Ibnu Abbas sendiri tidak memaksudkannya demikian.177 177 Lihat Baidlawi, “Ketentuan Hak Waris Saudara dalam Konteks Hukum Islam”, dan Rahmat Syafe’i, “Kajian Terhadap Putusan Mahkamah Agung tentang Kewarisan Saudara dengan Anak Perempuan”, Mimbar Hukum, 44 (1999). Para penulis juga menambahkan bahwa tidak ada yang menafsirkan kata walad dalam ayat 176 sebagai hanya mencakup laki-laki saja. Mereka berpendapat bahwa kata walad dalam ayat 176 merujuk sepenuhnya pada laki-laki dan perempuan, tetapi ayat itu tidak ditafsirkan dengan cara yang menyimpang (mukhâlafah) yakni, ayat itu tidak ditafsirkan untuk mengatur bahwa jika ada anak, maka saudara sekandung sepenuhnya dinafikan. Dengan kata lain, ayat ini hanya memaparkan hak waris saudara sekandung ketika mayit tidak meninggalkan anak (kalâlah). Jika mayit meninggalkan anak, maka hak waris saudara sekandung diatur dalam sabda nabi yang menyatakan, “… berilah bagian tertentu kepada para ahli waris

226

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pemahaman mereka disimpulkan pada kenyataan bahwa mengenai masalah ini Ibnu Abbas memberikan perhatian hanya terhadap kasus di mana saudara perempuan (bibi) dan anak perempuan terlibat dan tidak membahas satu kasus di mana anak perempuan ditinggalkan bersama saudara laki-laki (pamannya). Dalam Tafsir Ibnu Katsir, pandangan Ibnu Abbas tentang masalah ini diuraikan sebagai berikut: Ibnu Jarir dan rekanrekannya meriwayatkan bahwa Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair mengatakan bahwa jika mayit meninggalkan seorang anak perempuan dan seorang adik perempuan, maka adik perempuan tidak mendapatkan bagian (untuk kutipan Arabnya lihat Apendiks no. 18).178 Dengan memahami pendapat Ibnu Abbas semacam ini, mereka juga menunjukkan bahwa keputusan Mahkamah Agung bahwa anak perempuan bisa menafikan saudara sekandung adalah tepat dan memiliki dasar hukum, yakni pandangan Ibnu Abbas, hanya dalam kasus Pekalongan di mana anak perempuan berseteru dengan saudara perempuan.179 Atas dasar kedua kasus itu bisa ditarik beberapa kesimpulan. Pertama, benar, seperti kata Cammack, bahwa Mahkamah Agung barangkali ingin memberi arah kepada perkembangan tertentu dan sisanya adalah hak waris dari saudara sekandung (diriwayatkan dari Ibnu Abbas) (untuk kutipan Arabnya lihat Apendiks no. 19), dan yang menyatakan “… untuk anak perempuan adalah setengah dan untuk anak perempuannya anak laki-laki adalah bagian yang membuat dua pertiga bagian dan sisanya untuk saudara perempuan (diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud). Untuk pembahasan tentang hal ini, bandingkan Bowen, Islam, Law and Equality in Indonesia, 197. 178

Lihat Ibnu Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr (Beirut: Dâr al-Fikr, 1986).

179

Meskipun para penulis itu juga menyatakan bahwa memberikan bagian penuh kepada anak perempuan adalah juga penyelewengan, karena tidak ada teks yang mengatakan demikian. Mereka menyatakan bahwa jika ada saudara perempuan tetapi dinafikan, maka anak perempuan tidak diberi bagian penuh tetapi hanya separuh. Ibid.

227

Bab III

masa depan doktrin waris Islam dan berusaha konsisten dengan premis yang dikembangkan bahwa sanak keluarga laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.180 Para hakim Mahkamah Agung tidak merujuk pada Kompilasi atau pada teori-teori yang diajukan oleh sejumlah pakar hukum Indonesia, misalnya teori bilateral Hazairin, tetapi pada pandangan Ibnu Abbas. Hal ini membuktikan kurang yakinnya terhadap Kompilasi dan kecenderungannya terhadap doktrin hukum dari kitab fikih, seperti yang digunakan dalam pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding. Kedua, meskipun Kementerian Agama tidak memiliki wewenang untuk menilai produk hukum pengadilan agama, ia merasa perlu menganalisis dan mempelajari keputusan-keputusan yang dikeluarkan pada seluruh tingkat pengadilan agama, termasuk Mahkamah Agung. Harus dicatat di sini, apa yang dipraktikkan Mahkamah Agung menyiratkan perkembangan model peradilan ketika tuntutan dibuat. Sedangkan apa yang dilakukan Kementerian Agama, seperti tercermin dalam Mimbar Hukum, merupakan refleksi hukum yang mempertegas bahwa ada pendapat lain tentang satu kasus yang juga layak atau sesungguhnya bahkan lebih layak diterapkan. Selain itu, para sarjana Muslim Indonesia juga masih berpendapat bahwa, karena mereka sering selalu menemukan bahwa tidak ada dua kasus yang sama persis, seiring dengan kenyataan bahwa orang tidak ada yang sama betul, para hakim bisa secara sah mencapai keputusan yang berbeda selagi proses penalarannya tetap konsisten.

180

228

Lihat Cammack, “Inching toward Equality”, 15.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Penutup Dari diskusi di atas, diperoleh beberapa kesimpulan. Pertama, pembaharuan hukum merupakan hal yang tidak bisa dihindari dan memiliki dasar atau rasional dalam Islam. Namun, upaya pembaharuan tentunya tidak bisa secara mudah diterima oleh seluruh kalangan yang menganggap bahwa aturan yang sudha mapanlah yang benar dan sesuai untuk diterpakan. Kedua, upaya pembaharuan harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan jelas, sehingga tidak menimbulkan intrepretasi yang beragam. Interpretasi terhadap hukum tentunya bisa diterima dengan alasan adanya kemaslahatan di dalamnya, dan bukan karena ketidakjelasan aturan. Ketiga, kecenderungan dan kefanatikan terhadap sebuah aturan telah menyebabkan banyak kelompok tidak merasa percaya diri untuk menerapkan aturan yang baru yang sudah disepakati pemeberlakuannya. Untuk itu, dasar hukum bagi pembaharuan harus kuat dan ditetapkan setelah mengakomodir banyak pandangan hukum.

229

Bab III

230

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

AHLI WARIS PENGGANTI DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA (SUATU ANALISIS FILSAFAT) Syahrizal Abbas

Latar Belakang Realitas hukum di Indonesia, termasuk hukum waris berada dalam kutub “pluralisme hukum”.181 Pluralisme hukum tidak dimaknai dalam arti sempit, di mana sistem hukum yang satu berbeda dan saling berhadapan dengan sistem hukum yang lain.182 Pluralisme hukum adalah suatu realitas hukum, di mana suatu sistem hukum dengan kerangka filsafatnya, menawarkan pola tersendiri kepada masyarakat. Masyarakat dapat menilai dan mempertimbangkan kerangka filsafat suatu sistem hukum yang cocok dan memenuhi rasa keadilan. Hukum pada dasarnya adalah sarana dan perangkat untuk menemukan dan memberikan rasa keadilan kepada masyarakat.183 Hukum waris di Indonesia bergumul dalam realitas pluralisme hukum. Hukum waris Islam, hukum waris BW, hukum waris adat, dan praktik hukum kewarisan di lingkungan pengadilan membentuk warna tersendiri.184 Secara normatif, sub-sistem hukum ini saling pengaruh mempengaruhi terhadap praktik 181 Ihromi, Pluralisme Sistem Hukum, Jakarta : UI Press, 1987, hlm. 16; Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia, Pradnya Paramita, 1972, hlm. 23. 182

Lili Rasyidi, Hukum sebagai Suatu Sistem, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1988,

183

Hans Kelsen, Law and Justice, Oxford : Oxford University Press, 1990, hlm. 211.

hlm. 123. 184

Hukum Islam, Hukum Perdata Barat (BW) dan Hukum Adat adalah suatu sistem hukum, sedangkan hukum kewarisan Islam, hukum kewarisan BW dan hukum kewarisan adat adalah suatu sub-sistem hukum.

231

Bab III

kewarisan di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Ketiga subsistem hukum kewarisan telah bekerja dan memberikan tawarantawaran etis terhadap sejumlah problema hukum kewarisan mulai dari konsep waris, alasan mewarisi, ahli waris, bagian-bagian ahli waris, dan cara pembagian serta pola penyelesaian sengketa waris. Ketiga sub-sistem hukum kewarisan di atas memiliki hubungan dengan kerangka filsafat dari sistem hukum Islam, sistem hukum Barat dan sistem hukum Adat.185 Pada satu sisi, ketiga sistem hukum ini memiliki landasan filsafat yang berbeda satu sama lain, namun pada sisi lain, ketiga sistem hukum ini juga memiliki kesamaan-kesamaan. Studi mendalam terhadap landasan filsafat ketiga sistem hukum ini sangat diperlukan, sehingga mampu menghadirkan kerangka yang tepat bagi pembentukan hukum kewarisan nasional. Studi fisafat terhadap hukum Islam, hukum BW dan hukum adat ditujukan untuk menemukan nilainilai etis universal yang dibawa oleh ketiga sistem hukum ini dalam masalah kewarisan. Pendekatan filsafati dan sociological jurisprudence di anggap mampu ‘mempertemukan’ ketiga sistem hukum ini dalam satu ikatan ‘benang merah’ yaitu keadilan universal.186 Harus diakui bahwa filsafat dan struktur ketiga sistem hukum tersebut memang berbeda. Perbedaan ini sangat wajar terjadi, karena filsafat dan struktur dari hukum Islam, hukum adat, dan hukum Barat dibangun dari realitas dan filsafat masyarakat yang berbeda satu sama lain. Filsafat dan struktur hukum ini menjadi bagian substantif dari hukum kewarisan Islam, hukum kewarisan adat dan hukum kewarisan Barat. Hukum kewarisan 185 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 14. 186

232

Edgar Bodenheimer, Jurisprudence, Cambridge University, 1996, hlm. 437.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Islam dibangun atas landasan doktrin ajaran al-Qur’an dan Sunnah.187 Ajaran hukum kewarisan Islam memiliki landasan normatif dalam sejumlah ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW.188 Meskipun demikian, harus pula dicermati sejarah lahirnya ajaran hukum kewarisan yang tidak pernah lepas dari struktur masyarakat Arab, tradisi dan kebiasaan masyarakat Arab ketika itu. Struktur masyarakat Arab yang bersuku-suku (qaba-il) ikut mewarnai kontruksi hukum kewarisan Islam. Masyarakat Arab dikenal sabagai masyarakat yang menempatkan suku sebagai institusi penting sebagai pelindung dan lambang kehormatan.189 Suku adalah perekat antar individu yang amat sulit dipisahkan, bahkan anggota suku rela berkorban nyawa untuk membela kepentingan sukunya. Keterikatan individu terhadap suku, didasarkan pada garis keturunan dan hubungan darah. Bagi masyarakat Arab, garis keturunan dan hubungan darah merupakan kehormatan yang selalu dijaga dan dilindungi. 190 Oleh karenanya, keberadaan laki-laki menjadi amat penting dalam kehidupan suku-suku Arab. Laki-laki adalah orang yang mampu melindungi dan menjaga kehormatan sukunya. Laki-laki adalah orang yang paling dihormati, karena ia menjadi lambang pemersatu dan pelindung suku.191 Tradisi kesukuan ini sedikit banyak mempengaruhi dan membawa warna tersendiri bagi doktrin kewarisan Islam dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Realitas sosial masyarakat Arab adalah berpindah-pindah dan hidup komunal dalam kesukuan. Komunalitas kesukuan 187

Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Beirut ; Dar al-Fikr, 2006, hlm. 594.

188

Di antara ayat al-Qur’an yang menjadi fondasi dasar hukum kewarisan Islam adalah surah an-Nisa’ ayat 11. 189

Phillip K. Hitti, The History of Arab, McMillan, 1979, hlm. 131.

190

Syed Mahmuddunnasir, Sejarah Peradaban Islam, Malaysia : IIT, 1995, hlm. 56.

191

Phillip K. Hitti, op.cit., hlm. 351.

233

Bab III

menjadi salah satu pertimbangan dalam proses dan pembangian harta warisan, bila salah satu dari anggota suku meninggal dunia. Tradisi ini juga membawa pengaruh bagi kontsruksi hukum kewarisan Islam, terutama dalam pertimbangan hubungan kebersamaan dan kekeluargaan. Suku bertanggung jawab terhadap setiap aggoata suku yang meninggal dunia dan kepala suku memberikan proteksi dan jaminan kehidupan bagi ahli waris yang ditinggalkan. Harta menjadi bagian penting untuk melindungi anggota suku.192 Dengan demikian nilai filsafat kebersamaan dan tolong menolong dalam tradisi kesukuan Arab tercermin dalam hukum kewarisan Islam. Dalam tradisi masyarakat Arab, keberadaan laki-laki sebagai pewaris menjadi amat penting, karena ia sebagai tulang punggung suku (qabilah). Bila salah seorang dari anggota suku meninggal dunia, maka pemimpin suku akan berperan dan bertanggung jawab menjamin harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris. Pengambil-alihan tanggung jawab kepala suku terhadap ahli yang ditinggalkan oleh pewaris, menggambarkan peran penting dan dominasi kepala suku dalam pengaturan harta warisan dan jaminan perlindungan terhadap anggota suku.193 Muhammad Hamidullah, menyebutkan bahwa dalam tradisi kewarisan masyarakat Arab, mengalihkan harta dari seorang pewaris kepada ahli waris sangat ditentukan oleh tradisi kesukuan termasuk memberikan harta kepada anak yang orang tuanya terlebih dahulu meninggal dunia.194 Hamidullah menyebutkan hal ini hanya berlaku kepada cuku laki-laki dari anak laki-laki, dan tidak

hlm. 164.

234

192

Oemar Abdul Aziz, The History of Islamic Law, Malaysia :UM, 2001, hlm. 13.

193

I b i d. Hlm. 14.

194

Muhammad Hamidullah, Islamologi, Montreal : McGill University Press, 1975,

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

berlaku kepada cucu laki-laki dari anak perempuan. 195 Logika ini sangat dipahami, karena dalam tradisi masyarakat Arab, dominasi dan pengaruh laki-laki dalam penentuan kewarisan sangat dominan. Al-Qur’an sebagai ajaran etis memberikan perimbangan terhadap dominasi ini, walaupun tidak mengikis habis dominasi laki-laki terhadap proses pewarisan. Filsafat kebersamaan dan tanggung jawab yang tergambar dalam tradisi masyarakat Arab, diakomodir oleh al-Qur’an dengan sejumlah penyesuaian, sehingga filsafat yang mendasari kewarisan Islam adalah filsafat tanggung jawab (responsiblity), kebersamaan, kemaslahatan, pengakuan hak individual, jaminan keberlangsungan hidup, dan menghindarkan konflik antar sesama ahli waris.196 Dalam kewarisan Islam, harta yang ditinggalkan oleh seorang pewaris memiliki hubungan erat dengan orang yang menjadi ahli waris. Hubungan ini terwujud dalam bentuk penentuan ahli waris dan pendistribusian harta warisan. Pendistribusian harta warisan kepada ahli waris dimaksudkan dalam rangka perwujudan tanggung jawab bagi keberlangsungan hidup ahli waris. Kematian pewaris tidak boleh menyebabkan hilangnya jaminan dan keselamatan hidup ahli waris. 197 Filsafat tanggung jawab ini bukan hanya berada pada satu orang tetapi juga dari seluruh anggota keluarga. Oleh karenanya, bila seseorang meninggal dunia, maka tanggung jawab terhadap keberlangsungan hidup keluarga dapat dijalankan dengan 195

I b i d., hlm. 170.

196

Muhammad Ali as-Shabuni, Hukum Waris dalam Syari’at Islam, (Terj), Diponegoro : Bandung, 1988, hlm. 17. 197 I b i d., hlm. 18. ; Mohammed Majmuri, Family Law, Canada : Concordia University Press, 2008, hlm. 234.

235

Bab III

penerapan hukum kewarisan Islam. Filsafat kebersamaan, dimaknai dengan ketentuan kewarisan yang ada dalam al-Qur’an memberikan penegasan agar nilai kebersamaan harus tetap dipertahanakan, walaupun salah seorang dari anggota keluarga meninggal dunia.198 Distribusi harta warisan harus menjamin terwujudnya kebersamaan. Pembagian dan pendistribusian harta warisan berdasarkan hukum Islam tidak boleh menghilangkan ikatan kekeluargaan dan semangat kebersamaan. Penerapan hukum kewarisan Islam bersifat alternatif,199 yang mana kebersamaan dan kesepakatan yang terjadi di kalangan ahli waris sangat menentukan pemberlakuan tidaknya hukum kewarisan Islam. Hukum kewarisan Islam memberikan kebebasan kepada ahli waris untuk menggunakan atau memilih jalan lain yang terbaik dalam penyelesaian pembagian dan pendistribusian harta warisan kepada ahli waris. Kemaslahatan, kedamaian dan keadilan jauh lebih penting dan diutamakan dalam pendistribusian dan pembagian harta warisan. Bila seluruh ahli waris yang berhak bersepakat untuk tidak membagikan harta warisan berdasarkan ketentuan furudh almuqaddarah, dan itu dianggap lebih mengandung maslahat, penuh nilai keadilan dan kebersamaan, maka hal itu jauh lebih baik dan lebih mulia.200 Dengan demikian penerapan hukum kewarisan Islam yang bersifat rigid dan memaksa, bila adanya sengketa di antara ahli waris atau adanya kehendak yang ingin membagikan harta pusaka berdasarkan ketentuan furudh al198

Sayyid Sabiq, op.cit. hlm. 598;

199

Hamid Khan, Islamic Law of Inheritance, Oxford-Pakistan : Oxford University Press, 2007, hlm. 18. 200

hlm. 45.

236

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Waris Islam, Yogyakarta : Fak. Ekonomi UII, 1990,

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

muqaddarah. Penerapan ketentuan hukum kewarisan Islam yang bersifat rigid dan memaksa dilaksanakan melalui proses pengadilan. Filsafat pengakuan hak individual dalam hukum kewarisan Islam, ditujukan untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum mengenai hak milik terhadap harta yang diperoleh melalui pewarisan. Hak milik ini melekat dan tidak dapat dihapuskan oleh siapapun, kecuali terdapat alasan syara’ yang sah seperti pembunuhan terhadp pewaris. 201 Filsafat keberlangsungan hidup juga mendasari hukum kewarisan dalam Islam. Distribusi harta kekayaan dalam hukum kewarisan Islam ditujukan untuk memastikan keberlangsungan hidup (continuitas) ahli waris. Hal ini amat penting ditekankan oleh Islam, karena keberlangsungan hidup dan tanggung jawab orang-orang yang ditinggalkan pewaris harus mendapat perlindungan dan jaminan hidup. Hukum kewarisan Islam, sangat menghindari terjadinya ketidakpastian hidup baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan dan lain-lain, setelah meninggal dunianya pewaris.202 Landasan filsafat ini amat penting dipahami dalam menganalisis problema penggatian tempat ahli waris dalam hukum kewarisan Islam. Konstruksi filfasat hukum kewarisan Barat, tentu agak berbeda dengan hukum kewarisan Islam. Hal ini didasarkan pada kehidupan masyarakat Barat yang menganut paham individual-

201 Wahbah az-Zuhaily, Al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, Dar al-Fir al-Araby, Bairut, 2000, hlm. 478. 202 Hisyam Hoballah, Understanding Islamic Law ; From Classical and Contemporary, Oxfor UK : Altamira Press, 2006, hlm. 56.

237

Bab III

istik.203 Dalam masyarakat Barat, setiap individu memiliki kebebasan dan kemerdekaan, sehingga setiap hak milik bersifat “mutlak-indivual’. Keberadaan hak milik yang dimiliki seseorang semata-mata ditujukan pada kepentingan individual dan tidak ada ruang bagi kepentingan sosial.204 Dalam pandangan masyarakat Barat, pemanfaatn hak milik individual hanyalah semata-mata untuk kepentingan individu, dan sangat terbatas hak milik seseorang memiki ruang kepentingan dan tanggung jawab sosial (sosial space and responsibility).205 Hak milik individual dalam pandangan filsafat masyarakat Barat memiliki makna ; (1) hak milik yang diperoleh seseorang adalah mutlak untuk kepentingan dirinya dan tidak ada sedikitpun hak orang orang lain dari harta yang menjadi milik individu tersebut, termasuk dalam hal harta warisan; (2) hak milik individu adalah hak mutlak setiap pribadi, dan ia memiliki kebebasan untuk menggunakan harta milik yang berasal dari harta warisan, untuk dipergunakan sesuai dengan kehendak dan keinginannya, apakah untuk kepentingan dirinya ataukah kepentingan sosial. Dengan demikian, tanggung jawab sosial dari harta yang dimiliki seseorang sangat tergantung pada kehendak dan keinginan orang tersebut. Hukum tidak memberikan ruang social responsibility pada harta seseoarang yang berupa hak milik individual, dan fislafat inilah yang mendasari hukum kewarisan Barat. 206

203

Prances Burton, Family Law, UK : Cavendishpublishing, 2003, hlm. 14.

204

William P. Staatskey, Family Law, USA : Thomson Delma Learning, 2003, hlm.

205

I b i d., hlm. 124.

206

Prances Burton, op.cit., hlm. 16.

123.

238

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Filsafat masyarakat Barat yang lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah rasionalitas independensi hak milik. Konsep rasionalitas independen bermakna bahwa seseorang memiliki hak milik melalui proses alamiah atau secara hukum, tidak dapat dihalangi oleh pandangan dan kehendak sosial dan/atau struktur sosial masyarakat tertentu. Masyarakat Barat memahami bahwa hak milik seseorang harus diberikan atau diperjuangkan bila secara alamiah dan hukum ia mendapatkan hak miliki, karena hak miliki adalah salah satu hak asasi yang melekat pada individu yang harus diberikan dalam kondisi apapun. Oleh karenanya, dalam hukum kewarisan di Barat, seorang cucu yang ayahnya meninggal dunia terlebih dahulu, berhak mendapat harta warisan dari kakeknya, karena cucu memiliki hak secara hukum menempati posisi ayahnya untuk mendapatka harta warisan dari kakek.207 Tidak ada alasan bagi masyarakat Barat, tidak memberikan hak kepada cucu yang ayah atau ibunya meninggal dunia terlebih dahulu, karena itu sangat tidak rasional dan menutup hak miliki indivual sang cucu. Dalam tradisi dan hukum kewarisan Barat dikenal adanya istilah penggantian tempat ahli waris (plaatsvervullling). 208 Dalam masyarakat Adat di Indonesia, filsafat yang mendasari hukum kewarisannya adalah filafat komunalitas dan

207 David S. Power, Islamic Family Law, Norwell : Kluwer Academic Publisher Group, 1990, hlm. 271. 208 Pergantia tempat ahli waris (plaatspervulling) adalah penempatan cucu menduduki posisi ayah yang telah terlebih dahulu meninggal dunia, untuk mendapatkan harta warisan dari kakek. Perluasan makna terhadap plaatsvervulling juga diberikan oleh Hilyatus Sa’adah, dengan keturunan ahli waris yang sudah meninggal dunia pada saat terbukanya warisan/menggantikan tempat orang tuanya sebagai ahli waris. Hilyatus Sa’adah, Penggantian Tempat Ahli Waris (Plaatsvervulling) pada Masyarakat Pesantren, Tesis S2, Semarang :UNDIP, 210, hlm. i.

239

Bab III

tanggung jawab bersama.209 Masyarakat adat memiliki falsafat hidup bersama dan nilai-nilai komunalitas dan nilai kebersamaan menjadi nilai esensial dari kehidupan masyarakat adat. Dalam kehidupan masyarakat adat, peran tokoh-tokoh adat dan nilainilai luhur yang dianut menjadi pertimbangan peting dalam hukum kewarisan adat. Hukum kewarisan pada suatu komunitas masyarakat adat, berbeda dengan hukum kewarisan masyarakat adat yang lain. Hukum dan praktik kewarisan suatu masyarakat adat sangat tergantung pada sistem kekerabatan yang dianut. Dalam masyarakat yang menganut kekerabatan patrilineal, maka dominasi peran tanggung jawab pihak laki-laki lebih dominan dibandingkan dengan perempuan dalam proses kewarisan, sedangkan dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal, maka dominasi dan tanggung jawab pihak perempuan teras lebih dominan dalam menjaga keutuhan keluarga dan tanggung jawab terhadap ahli waris yang ditinggal oleh pewaris.210 Sedangkan masyarakat yang menganut sistem kekerabatan bilateral atau parental, maka peran dan dominasi pihak laki-laki dan perempuan dalam proses kewarisan memiliki kesetaraan dan keseimbangan. 211 Oleh karenanya tanggung jawab keluarga serta ahli waris yang ditinggalkan pewaris berada pada pundak kedua belah pihak. Filsafat tanggung jawab bersama dalam menjaga keutuhan keluarga yang dianut oleh masyarakat adat telah 209

Ter Haar Bzn, Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita,

210

Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta : Bina Aksara, hlm.

211

Hazairin, Hukum Kewarisa Bilateral, Jakarta : Tinta Mas, 1961, hlm. 26.

hlm. 25. 18.

240

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

mendasari mereka, untuk menggunakan isntitusi pergantian ahli waris dalam proses kewarisan.212 Dalam masyarakat adat, seorang cucu akan mendapatkan hak waris dari kakeknya yang orang tuanya telah meninggal terlebih dahulu. Pemberian hak kepada cucu ini didasarkan pada pertimbangan bahwa keberadaan cucu merupakan tanggung jawab bersama dari keluarga. Pola pikir dan kerangka filsafat yang dianut hukum kewarisan Islam, hukum kewarisan adat, hukum hukum kewarisan Barat dapat menjadi ladasan untuk melihat dan menganlisis lebih jauh kerangka filsafat yang digunakan oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang memberikan jalan keluar terhadap persoalan praktik pergantian tempat ahli waris. Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah menawarkan suatu terobosan hukum baru yang memadukan prinsip hukum kewarisan Islam dan kewarisan adat, dengan melahirkan sejumlah pasal-pasal pergantian tempat ahli waris. Pasal 185 KHI adalah pergumulan nilai-nilai normatif hukum kewarian Islam dengan praktik masyarakat adat. Dalam penerapannya pasal-pasal ini masih memunculkan problematika, sehingga beberapa substansi pasal ini memerlukan kajian dan reinterpretasi ulang. Kajian ini amat perlu dilakukan, guna menempatkan lembaga (institusi) pergantian tempat ahli waris, sebagai instiusi kewarisan yang mampu mewujudkan keadilan, sosial empati, tanggung jawab bersama dan tidak ada pihak yang terdhalimi, dengan tetap memegang teguh nilai-nilai al-Qur’an dan al-Hadits. Realitas hukum yang terjadi selama ini mengharuskan kajian komprehensif dan integral, terhadap lembaga pergantian

212

Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung : Alumni, 1993, hlm. 45.

241

Bab III

tempat ahli waris, karena secara konseptual lembaga tidak dikenal dalam konstruksi fiqh al-waris (al-faraidh), namun secara subtansial, sebagian besar masyarakat mempraktikan konsep pergantian tempat ahli waris. Realitas dan praktik hukum masyarakat ini tidak dapat dibiarkan, karena praktik seperti itu tidak dapat menjamin seorang cucu mendapat hak warisnya dari kakek, dengan lasan ayahnya telah terlebih dahulu meninggal dunia. Pasal-pasal pergantian tempat ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) harus mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat, dengan tidak melanggar prinsip dan nilai etis dari hukum kewarisa Islam. Di sinilah urgensitas tulisan ini. Analisis Fiqh Al-Qur’an dan Sunnah adalah dalil dan sekaligus sebagai sumber bagi fiqh. 213 Al-Qur’an dan Sunnah adalah landasan utama perumusan hukum kewarisan Islam. Hukum kewarisan adalah hukum yang berkaitan dengan pengalihan harta dari si mayit kepada orang yang ditinggalkannya berdasarkan ketentuan hukum syara’.214 Subtansi hukum kewarisan meliputi pewaris, ahli waris, harta warisan, dan bagian serta mekanisme distribusi harta warisan kepada ahli waris yang berhak berdasarkan ketentuan alQur’an dan al-Hadits. Sebagian fuqaha’ terutama dari kalangan Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah memahami hukum kewarisan Islam sebagai hukum yang sudah final, rigid dan pasti, sehingga tidak mungkin diberikan tafsiran atau makna lain, selain yang tersebut 213

Ali Hasaballah, Ushul at-Tasyri’ al-Islamy, Cairo : Dar ibn ‘Ashashah, 1995, hlm.

214

Muhammad Yusuf Musa, Ahkam at-Tirkah fil Islam, Cairo : Dar al-Ma’arif, 1978,

78. hlm.12.

242

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

secara eksplisit dalam teks al-Qur’an dan al-Hadits.215 Pandangan para fuqaha’ ini telah melahirkan postulat bahwa hukum kewarisan Islam bersifat qathi’iy. Pandangan ini telah mewarnai sebagian besar pemikiran masyarakat muslim, sehingga tidak menerima adanya lembaga pergantian tempat ahli waris dalam hukum kewarisan Islam. Buku-buku fiqh klasik, tidak memberikan ruang untuk konsep ini, sehingga tidak pernah ditemukan adanya pengakuan terhadap lembaga pergantian tempat ahli waris, denga alasan tidak ada teks al-Qur’an dan al-Hadits mengenai hal ini. Ketentuan mengenai siapa ahli waris dan bagian dari masingmasing dari harta warisan telah ditetapkan secara pasti oleh alQur’an dan al-Hadits. Ketentuan siapa-siapa ahli waris dan furudh al-muqaddarah ini, tidak mungkin dilakukan perubahan dan interpretasi lain, karena ketentuan ini bersifat qathi’iy. Konstruksi fiqh waris yang tekstual ini ternyata berbanding terbalik dengan realitas hukum sehari-hari yang dipraktikan oleh masyarakat muslim, terutama masyarakat yang sangat kental dengan hukum adat. Bila diteliti lebih jauh, banyak masalah kewarisan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang memerlukan tafsiran baru dan ijtihad, sehingga hukum kewarisan Islam mampu memenuhi kebutuhan hukum masyarakat. Kehadiran para pemikir muslim seperti Ibn Katsir, Imam Thabary, Imam Qurtuby, Abduh, Imam Maraghi, Ali AsShabuni, Sayyid Sabiq, Yusuf Musa, Fazlurrahma, Yusuf Qaradhawy dan berbagai pemikir lain telah memberikan nuansa baru terhadap pemikiran hukum kewarisan Islam. 216 Para pemikir ini memberikan tafsiran baru terhadap beberapa ketentuan dalam hukum kewarisan termasuk di 215

Muhammad Ali as-Shabuni, op.cit., hlm. 15.

216

Hisyam Hoballah, Understanding Islamic Law ; op.cit., hlm. 186.

243

Bab III

antaranya mengenai ‘pergantian tempat ahli waris’. Para pemikiran kontemporer cenderung memberikan hak waris kepada cucu walaupun ayahnya telah terlebih dahulu meninggal dunia. Persoalan pergantian tempat ahli waris adalah persoalan ijtihadiyah, dan ternyata dalam fiqh kewarisan yang dibangun oleh ulama klasik menyimpan problema yang harus diselesaikan dalam konteks kekinian. Landasan utama hukum kewarisan adalah ayat al-Qur’an terutama surah an-Nisa’ ayat 11 (yushikumullahu fi awladikum lizzakari mitslu al-unsayaini). Imam al-Qurtuby menjadikan ayat ini sebagai salah satu ayat al-Qur’an yang memberikan indikasi bahwa cucu mendapatkan harta warisan dari kakek, walaupun ayahnya telah meninggal dunia terlebih dahulu. Imam Qurtuby memaknai kata “awlad” yang terdapat dalam surah an-Nisa’ ayat 11 bukan hanya untuk anak laki-laki (awladun adalah jamak dari kata waladun), akan tetapi juga kepada makna 217 keturunan ke bawah. Lebih jauh Imam al-Qurtuby memaknai kata “awlad” bukan hanya anak laki-laki, tetapi juga termasuk anak perempuan. Makna ini tersurat dari kandungan surah an-Nisa’ ayat 11 yang artinya ; “Allah mewajibkan kamu tentang “awlad” (anakanak kamu), buat seorang anak laki-laki (adalah) seperti bahagian dua anak perempua”.218 Pandangan Imam Qurtuby ini bersumber/berasal dari tafsir Ibn Abbas terhadap makna awlad di dalam surah an-Nisa’ ayat 11.219 Al-Maraghi, Sayyid Sabiq dan Yusuf Qaradhawy juga tidak menolak lembaga pergantian tempat ahli waris, karena mereka juga cenderung memberikan tafsir terhadap makna “awlad” dengan makna keturunan sampai ke bawah, yang mencakup tidak hanya keturunan dari garis laki-laki, tetapi juga keturunan dari

244

217

Imam Qurtuby, Tafsir al-Qurtuby, Beirut : Dar al-Fikr al-‘Araby, 2006, hlm. 412.

218

I b i d., hlm. 421-422.

219

I b i d.,

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

garis anak perempuan. 220 Para ahli fiqh ini memandang persoalan pergantian tempat ahli waris sebagai suatu ijtihad, yang menempatkan cucu pada posisi ayahnya yang meninggal dunia terlebih dahulu dari kakeknya, dan ia berhak mendapatkan harta warisan dari kakeknya dan bagian harta warisan untuknya sesuai dengan hak pada posisi ayahnya. Riset para ulama Azhar ini, menemukan bahwa cucu walaupun orang tuanya terlebih dahulu meninggal dunia, namun peluang cucu untuk mendapatkan harta warisaan dari kakeknya tetap terbuka, apalagi cucunya tersebut berada dalam keadaan miskin, sehingga ia mesti mendapatkan bagian harta warisan dari kakeknya pada porsi dan psoisi ayahnya yang terlebih dahulu meninggal dunia. Ini adalah salah satu bentuk keadilan dalam hukum kewarisan Islam. 221 Di Indonesia, pemikiran tentang adanya lembaga pergantian tempat ahli waris dalam hukum kewarisan Islam diperbincangkan oleh Hazairin. Hazairin menyatakan bahwa dalam hukum kewarisan Islam sebenarnya ada ruang bagi lembaga pergantian tempat ahli waris. Hazairin merujuk Surah anNisa’ ayat 33 sebagai landasan adanya institusi pergantian tempat ahli waris dalam hukum Islam. Dalam Surah an-Nisa’ ayat 33 disebutkan: “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, kami jadikan pewarispewarisnya (ahli waris). Dan (jika ada) orang-orang yang kamu sumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu”. Secara bebas Hazairin menerangkan bahwa teks ayat 33 surah an-Nisa’ mengandung makna bahwa Allah mengadakan 220 Imam Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Cairo ; Maktabah al-Islamiyah, 1982, hlm. 367; Sayyid Sabiq, op.cit., hlm. 599; Yusuf al-Qaradhawy, Kumpulan Ijtihad Kontemporer, Jakarta : Firdaus, 1990, hlm. 213. 221

Yusuf al-Qaradhawy, I b i d., 214.

245

Bab III

mawali untuk si fulan dari harta peninggalan orang tua dan keluarga dekat serta pihak allazina ‘aqadat aymanukum, dan berikanlah kepada mawali itu (hak yang menjadi) bagiannya. Fulan dianggap sebagai ahli waris, karena diiringkan dengan kata walidain dan aqrabun yang menjadi pewaris. Apabila yang menjadi pewaris adalah orang tua (ayah-ibu), maka ahli waris adalah anak dan atau mawali anak. Jika anak itu masih hidup, tentu merekalah yang secara serta merta mengambil warisan berdasarkan ayat 11 surah an-Nisa’. Sebaliknya jika anaknya tidak ada lagi maka cucu merupakan mawali dari kakek, sehingga ia dapat menempatkan posisi ayah untuk menerima harta warisan dari kakeknya yang meninggal dunia.222 Pandangan Hazairin ini ditolak sebagian basar masyarakat muslim di Indonesia, karena ayat 33 surah an-Nisa’ bukan memberikan jalan untuk pergantian tempat ahli waris. Sebagian Ulama di Aceh misalnya, masih tetap memahami bahwa surah anNisa’ ayat 11 adalah pintu yang menutup adanya pergantian tempat ahli waris. Kata awlad dipahami dengan makna hanya anak laki-laki dan keturunannya yang masih hidup, sehingga harta itu hanya diberikan kepada ahli waris yang secara fisik masih hidup dan ada pada saat pewaris meninggal dunia.223 Pemahaman ini yang melahirkan konsekuensi bahwa tidak ada pergantian tempat ahli waris. Ayat-al-Qur’an dan al-Hadits tidak satu pun yang memberikan penjelasan kongkrit tentang ada tidaknya konsep pergantian tempat ahli waris dalam hukum kewarisan Islam. Mengingat hukum kewarisan Islam dinyatakan sebagai hukum rigid, ketat dan tidak dapat diinterpreasikan, maka tidak adanya hak bagi cucu yang orang tuanya meninggal dunia terlebih dahulu. Seorang cucu tidak dapat menempat posisi ayah atau

246

222

Hazairin, Hukum Kewarisa Bilateral...,op.cit., hlm. 28.

223

Muhammad Amin al Asyi, Khulashah Ilmu Faraidh, (Naskah Klasik), hlm. 67.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

ibunya yang meninggal dunia terlebih dahulu dari kakeknya, untuk memperoleh harta warisan dari kakeknya. Oleh karena itu, para fuqaha ini menolak adanya pergantian tempat ahli waris bagi cucu, karena ketentuan al-Qur’an dan al-Hadits sudah sangat jelas dan kongkrit mengenai siapa-siapa ahli waris, ketentuan bagian warisan, dan cara pembagiannya. Bila ditelusuri secara seksama kitab-kitab fiqh mawaris (faraidh) terutama dari kitab-kitab fiqh klasik, hampir tidak ditemukan ketentuan ahli waris pengganti, kecuali hanya dalam menentukan besarnya bagian ahli waris dzawil arham bagi mazhab ahl tanzil, bila tidak dijumpai ahli waris dari golongan zawil furudh dan ahli waris ashabah. Oleh karenanya dalam kitabkitab fiqh tidak akan ditemukan makna ahli waris pengganti. Istilah penggantian tempat ahli waris hanya dikenal dalam hukum Belanda dengan istilah plaatsvervulling., Makna pergantian tempat dalam hukum waris yaitu meninggal dunianya seseorang dengan meninggalkan cucu yang orang tuanya telah meinggal dunia terlebih dahulu. Cucu ini menggantikan posisi orang tua yang telah meninggal dunia terlebih dahulu untuk mendapatkan warisan dari kakek atau neneknya. Besar bagian yang diterima oleh seorang cucu adalah sejumlah bagian yang seharusnya diterima oleh orang tuanya sekiranya mereka masih hidup. Bila ditelusuri lebih jauh istilah dan praktek pergantian tempat ahli waris juga dikenal dalam hukum adat, walaupun praktek ini tidak sama dengan peluang yang ada dalam hukum kewarisan Islam. Karena dalam praktek hukum adat hak bagi pengganti tidak persis sama dengan orang yang diganti, dan sangat tergatung kepada realitas dan kemampuan ekonomi yang dimiliki oleh cucu, dan jumlah besaran dari harta peninggalan. Ketidaksamaan bagian dapat dilihat dari subtansi pembahasan

247

Bab III

kitab Khulasah Ilmu Faraidh karya Amin al-Asyi dan Kitab Nihayat al-Muhtaj karya Ar-Ramli. Dalam kaitan pergantian tempat ahli waris patut dianalisis pandangan Ar-Ramli, salah seorang ulama Syafi’iyah, yang menyatakan bahwa cucu laki-laki dapat menggantikan ayahnya yang telah meninggal dunia terlebih dahulu, sedangkan cucu dari anak perempuan tidak mungkin menggantikan posisi ayahnya. Cucu dari anak laki-laki baru dapat menggantikan orang tuanya, apabila pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki yang masih hidup. Namun demikian, jika anak laki-laki masih ada, maka cucu tersebut tidak mendapatkan apa-apa.224 Pandangan Ar-Ramli ternyata kemudian dielaborasi lebih jauh oleh ulama Azhar yang memberikan peluang kepada cucu untuk menempati posisi ayahnya, guna mendapatkan harta warisan dari kakeknya yang meninggal dunia. Realitas ini yang menggugah para pengkaji hukum kewarisan guna menemukan nilai-nilai keadilan melalui adanya institusi pergantian tempat ahli waris. Analisis KHI Pada dasarnya, berbagai kitab fiqh waris klasik tidak membahas secara eksplisit konsep pergantian ahli waris sebagaimana dalam konsep hukum perdata Barat (BW) atau hukum adat, namun fiqh telah mengenal ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris yang digantikan kedudukannya oleh anak dan keturunannya. Namun istilah yang digunakan bukan ahli waris pengganti, akan tetapi istilah “tanzil”. Meskipun istilah yang digunakan dalam fiqh adalah istilah tanzil, namun pada hakikatnya tetap mengandung makna ahli waris pengganti, namun tidak sempurna, karena yang dianggap berhak dan mempunyai kedudukan sebagai ahli waris pengganti 224224

248

Ar-Ramly,Nihayat al-Muhtaj, Cairo : Dar al-Fikr al-‘Araby, t.t., hlm. 362.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

hanyalah keturunan dari anak laki-laki, yang meninggal lebih dahulu dari pewaris. Dengan kata lain hanya cucu laki-laki dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki (ibnu-ibni dan bintu ibni) yang dapat menerima warisan dari kakeknya, dan itu pun bagian yang telah ditentukan secara pasti, baik ashabul furudh maupun ashabah. Konsep tanzil ini dapat dilihat pada contoh bintu ibn (anak perempuan dari anak laki-laki), jika menerima harta warisan bersama dengan seorang anak perempuan, maka ia mendapat 1/6 bagian, sedangkan cucu laki-laki maupun cucu perempuan dari keturunan anak perempuan tidak dapat menerima bagian warisan dari kakek/neneknya karena ia termasuk dalam golongan dzawil arham. Alur pikir seperti ini yang menyebabkan Kompilasi Hukum Islam mengakomodir adanya institusi pergantian tempat ahli waris dengan beberapa perubahan dan pembaruan. Pembaruan hukum kewarisan Islam di Indonesia melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah berupa pemberian hak seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam yang lengkapnya adalah : a.

Ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu daripada si pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.

b.

Bagian ahli waris tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.225

Ketentuan Pasal 185 KHI, dipertegas lagi dalam Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama tentang asas ahli waris langsung dan asas ahli waris pengganti adalah : 225

Kompilasi Hukum Islam, Yayasan Al-Hikmah dan Ditbinbapera, 1998, hlm. 65.

249

Bab III

a.

Ahli waris langsung (eigen hoofed) adalah ahli waris yang disebut dalam Pasal 174 KHI.

b.

Ahli waris pengganti (plaatsvervulling) adalah ahli waris yang diatur berdasarkan Pasal 185 KHI, yaitu ahli waris pengganti/keturunan dari ahli waris yang disebutkan dalam Pasal 147 KHI. Di antara keturunan dari anak lakilaki/perempuan, keturunan dari paman, keturunan dari kakek dan nenek, yaitu bibi dan keturunannya. (Paman walaupun keturunan dari kakek dan nenek bukan ahli waris pengganti, karena paman sebagai ahli waris langsung yang disebut dalam Pasal 174 KHI).

Dengan demikian, Pasal 185 KHI menegaskan adanya pergantian tempat ahli waris, dalam makna keturunan yang dapat menggantikan posisi yang meninggal terlebih dahulu adalah anaknya. Pasal 185 juga menegaskan bahwa ahli waris yang dapat menduduki posisi pengganti adalah ahli waris yang berdasarkan hukum atau putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap tidak dipersalahkan telah membunuh, atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; tidak dipersalahkan secara menfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. Ketentuan Pasal 185 ayat (1) KHI dapat dipahami bahwa yang dapat menjadi ahli waris pengganti adalah keturunan dari anak laki-laki dan keturunan anak perempuan. Hal ini bermakna bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki dan cucu perempuan dari anak laki-laki dapat menjadi ahli waris pengganti, demikian pula cucu laki-laki dari anak perempuan dan cucu perempuan dari anak perempuan dapat menjadi ahli waris pengganti. Ketentuan ini sangat berbeda dengan konsepsi fiqh waris yang tidak membenarkan keturunan anak perempuan menjadi ahli waris

250

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

pengganti (baca konsep tanzil), bahkan keturunan anak laki-laki (cucu) tidak mendapat harta warisan, jika dalam ahli waris tersebut terdapat anak laki-laki. Dengan demikian, cucu dari keturunan anak laki-laki yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris menjadi terhijab. Persoalannya adalah apa yang menjadi landasan pikiran para perumus KHI terutama Pasal 185. Yahya Harahap menjelaskan barangkali dasar pemikiran yang dijadikan pertimbangan bagi perumus KHI dalam merumuskan Pasal 185 adalah bertitik tolak pada alasan sosial ekonomi. 226 Pada satu sisi, pasal ini mengaitkan dengan alasan monopolistik atas harta warisan serta alasan kepatutan dan alasan kemanusiaan pada sisi lain. Bukankah pada umumnya, anak yatim yang ditinggalkan oleh ayah atau ibunya jauh lebih lemah dan lebih sengsara dibandingkan dengan saudara ayah atau saudara ibunya. Pada saat kakek atau nenek meninggal dunia, saudara ayah atau saudara ibu lebih mapan ekonominya, sedangkan mereka sebagai anak yatim, hidup terlantar. Pantaskah dan manusiawikah, menyingkirkan mereka untuk mewarisi harta kakek/nenek sebagai pengganti ayah atau ibunya. Bukankah dalam hal seperti ini saudara-saudara mendiang ayah/ibunya memonopoli harta warisan kakek/nenek, meskipun keadaan sosial ekonomi mereka sudah mapan.227 Pasal 185 ayat (2) menyatakan bahwa ; bagian ahli waris tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Ketentuan pasal ini menyimpan sejumlah problematika porsi ahli waris pengganti. Hal ini dapat dilihat dari contoh berikut :

226 M. Yahya Harahap, “Kedudukan Wanita dalam Hukum Kewarisan”, Majalah Mimbar Hukum No. 10, Tahun 1996, hlm. 24. 227

I b i d.

251

Bab III

Kasus Pertama Ahli waris terdiri dari ayah, anak laki-laki, cucu dari anak laki-laki dan seorang anak perempuan, serta saudara laki-laki kandung, dan harta warisan Rp. 180 juta. • Ayah • Anak laki-laki • Cucu dari anak laki-laki • Anak perempuan • Saudara laki-laki kandung Pembagiannya : Asal masalah • Ayah • Anak laki-laki • Cucu dari anak laki-laki • Anak perempuam

: 1/6 : asabah : asabah : asabah bil ghairi : mahjub karena ada anak. :6 : 1/6 x 180 juta = Rp. 30 juta : 2/6 x 180 juta = Rp. 60 juta : 2/6 x 180 juta = Rp. 60 juta : 1/6 x 180 juta = Rp. 30 juta + : 18 jumlah = Rp.180 juta

Dari contoh ini, bila diterapkan secara tekstual plaatsvervulling, maka ahli waris pengganti adalah termasuk golongan asabah dan dalam suatu kewarisan, bisa jadi bagian ahli waris pengganti (cucu) ternyata lebih besar dari bagian yang diperoleh anak perempuan pewaris yang masih hidup akan mendapat separoh dari cucu. Kalau ahli waris yang diganti itu anak perempuan, maka ia akan mendapat bagian seperti anak perempuan. Hal ini tentu tidak adil dan harus dicari jalan yang terbaik. Kasus Kedua Ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki, dan seorang cucu perempuan dari anak perempuan dengan harta warisan 7 milyar, dengan

252

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

menerapkan cucu perempuan dari anak laki-laki mendapat 1/6 karena ada nash, dan cucu perempuan sama dengan anak perempuan, karena ia adalah ahli waris pengganti, maka pembagiannya adalah : • Seorang anak perempuan

: 2/6

• Cucu pr dari anak laki-laki

: 1/6 sesuai dengan hadits takmil

Cucu pr dari anak pr

: 2/6 karena posisi sebagai ahli waris Pengganti.

Pembagiannya : Asal masalah

:6

• Anak pr

: 2/6 ; 3/7 x 7 M

= Rp. 3 M

• Cucu pr dari anak laki-laki

: 1/6 ; 1/7 x 7 M

= Rp. 1M

• Cucu pr dari

: 2/6 ; 3/7 x 7 M

= Rp. 3 M +

: 7 (aul)

= Rp.7 milyar

anak pr Dari contoh kasus ini terlihat posisi cucu perempuan dari anak laki-laki rugi dan dirasa kurang adil, karena hanya mendapatkan 1/6 bagian, hal ini terjadi berdasarkan nash hadits. Sedangkan cucu perempuan dari anak perempuan aman dengan mendapatkan sama bagian dengan anak perempuan, karena tidak ada nash yang menetapkan bagian tertentu, padahal dalam pembagian faraidh, posisi cucu perempuan dari anak perempuan termasuk ke dalam golongan dzawil arham. Kasus Ketiga Kasus ahli waris terdiri atas seorang anak perempuan, seorang cucu perempuan dari anak laki-laki dan seorang cucu perempuan dari anak perempuan. Harta warisannya 5 milyar,

253

Bab III

dengan menerapkan cucu perempuan mendapat 1/6, bagiannya sesuai dengan nash hadits, maka pembangiannya sebagai berikut : • Seorang anak perempuan : 1/2 • Cucu pr dari anak laki-laki : 1/6 • Cucu pr dari anak pr : 1/6 Pembagiannya: Asal masalah :6 • Anak pr : 2/6 ; 3/5 x 5 milyar • Cucu pr dari : 1/6 ; 1/5 x 5 milyar anak laki-laki • Cucu pr dari : 1/6 ; 1/5 x 5 milyar anak pr: 7 (rad) jumlah

= Rp. 3 milyar = Rp. 1 milyar = Rp. 1 milyar + = Rp. 7 milyar

Dari contoh ini terlihat adanya perimbangan antara cucu sama-sama mendapat 1/6 bagian dengan tanpa mengurangi maksud Pasal 185 KHI yang tidak boleh melebihi ahli waris yang sederajat. Contoh ini barangkali yang mendekati keadilan di antara sesama ahli waris pengganti. Contoh-contoh di atas digunkaan untuk menguji ketentuan Pasal 185 KHI dalam terapan di Pengadilan Agama. Oleh karena itu, seorang hakim harus mampu melakukan terobosan baru dalam menerapkan ketentuan Pasal 185 KHI, sehingga nilai keadilan dan kesetaraan akan terwujud. Alur pikiran KHI, terutama dalam pergantian tempat ahli waris adalah ; harta benda dalam keluarga memang disediakan sebagai dasar material keluarga dan keturunannya yang masih hidup, dan anak-anak orang yang meninggal dunia tersebut, dapat menggantikan kedudukan bapaknya sebagai ahli waris terhadap harta benda kakeknya. 228 228

43.

254

Soepomo, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta : Pradnya Paramita, 1982, hlm.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Analisis Praktik Pengadilan Pergantian tempat ahli waris (plaatsvervulling) di Indonesia berakar pada hukum adat, dan kemudian diperkuat lagi oleh hukum perdata Belanda (BW) dan di praktikan pada sejumlah pengadilan Hindia Belanda. Realitas ini memperkuat secara formal dan non formal adanya lembaga pergantian tempat ahli waris. Pergantian tempat ahli waris bermula dari adat-istiadat dan tradisi rakyat ugeran, yang merupakan kebudayaan asli masyarakat Indonesia. Lembaga ini menjadi dasar hukum bagi penyelesaian sengketa kewarisan. Penerapan ahli waris pengganti hanya dapat dilaksanakan dalam garis keturunan ke bawah, dan tertutup untuk garis keturunan keatas. Pada zaman Hindia Belanda, institusi pergantian tempat ahli waris yang dikenal dengan istilah plaatsvervulling, didasarkan pada Yurisprudensi Raad van Justitie (RvJ) Putusan Kamar III/Adat Kamar Raad van Justitie Betawi, tanggal 16 Desember 1939 dalam Indisch Tijdcgrift van Het Recht 140 halaman 239 yang berbunyi : Apabila seseorang anak lebih dahulu meninggal dunia sipeninggal warisan, dan anak tersebut meninggalkan anak-anak, maka cucucucu dari peninggal warisan ini menggantikan orang tuannya, mereka bersama-sama berhak atas bagian dari harta peninggalan kakek-nenek mereka. Pada zaman kemerdekaan, praktik pergantian tempat ahli waris tetap dipertahankan pada lembaga peradilan di Indonesia. Hal ini terbukti dari adanya Yurisprudensi Mahkamah Agung RI tentang lembaga pergantian tempat ahli waris berupa Putusan Mahkamah Agung RI No. Reg. 391/K/Sip/1958 dan Putusan Mahkamah Agung RI No. Reg. 141/K/Sip/1959. Dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. Reg. 391/K/Sip/1958 dinyatakan bahwa ; menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, hak

255

Bab III

menggantikan seseorang ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu daripada pewarisnya, ada pada keturunan garis menurun. Sedangkan dalam Putusan Mahkamah Agung RI No. Reg. 141/K/Sip/1959 diputuskan ; penggantian waris dalam garis ke atas pun mungkin pula berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan yang hidup di kalangan masyarakat yang bersangkutan. Dari beberapa putusan Mahkamah Agung mengenai pergantian tempat ahli waris dapat dtemukan paling tidak dua hal. Pertama, yurisprudensi Mahkamah Agung hanya berlaku di lingkup peradilan umum, karena substansi pergantian ahli waris masih mengacu pada hukum adat. Mahkamah Agung, hanya memperkuat hukum yang hidup (living law) terutama mengenai ahli waris pengganti. Kedua, pergantian tempat ahli waris, bukan hanya berlaku bagi keturunan di bawah baik dari garis keturunan laki-laki maupun perempuan, tetapi juga berlaku untuk garis ke atas berdasarkan rasa keadilan dan kepatutan. Mahkamah Agung tidak merinci tingkat keadilan dan kepatutan, penggunaan ahli waris pengganti dari garis lurus ke atas, sehingga Mahkamah Agung terkesan membiarkan masyarakat untuk menentukan sendiri. Yurisprudensi Mahkamah Agung mengenai penentuan ahli waris pengganti dari garis ke atas sejalan dengan teori air mengalir (kran) yang dikemukakan oleh Djojodigoeno. Dia menyatakan bahwa air akan mengalir ke bawah bila kran dibuka, dan akan mencari tempat ke atas bila krannya ditutup. 229 Teori ini juga sejalan dengan teori hukum adat yang berlaku di kalangan masyarakat Jawa.

229 Djojodigoeno dan Tirtawinata, Het Adatprivaatrecht van Middle Jawa, (terj), 1942, t.tp. hlm. 12.

256

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Di lingkungan Peradilan Agama, penerapan ketentuan hukum pergantian ahli baru dimulai dilaksanakan sejak lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) tahun 1991. Sebelumnya, lingkungan Peradilan Agama tidak mengenal adanya pergantian tempat ahli waris, karena hukum materil yang dipergunakan pada Pengadilan Agama adalah kitab-kitab fiqh yang tidak memberikan ruang bagi penerapan konsep pergantian ahli waris. Pada sisi lain, keberanian hakim juga cuku terbatas untuk keluar kitab-kitab fiqh standar yang menjadi hukum materiil pada Pengadilan Agama, dan sangat terbatas kemampuan untuk menggali hukum-hukum yang hidup di dalam masyarakat (living law). Kompilasi Hukum Islam membawa perubahan yang agak fundamnetal terutama dalam hal pergantian tempat ahli waris, namun di dalam praktek pada Pangadilan Agama masih banyak ditemukan kendala-kendala penafsiran Pasal 185 KHI, sebagaimana disebutkan dalam contoh-contoh penyelesaian perkara pergantian tempat ahli waris pada sub bab analisis KHI dalam tulisan ini. Contoh kendala penerapan Pasal 185 KHI di lingkungan Peradilan Agama terlihat dari putusan Pengadilan Agama di Selong Kab. Lombok Timur No. 111/Pdt/G/1997/PA.SEL, tanggal 26 Agustus 1997 M, bertepatan denga 22 Rabiul Akhir 1418 H. Putusan tingkat pertama ini menerapkan ketentuan Pasal 158 KHI yang menetapkan ahli waris pengganti yang terdiri atas ; cucu perempuan dari anak perempuan (1/18 bagian) dan cucu laki-laki dari anak perempuan (2/18 bagian). Putusan PA Selong ini dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama (PTA) Mataram dengan nomor putusan No. 04/Pdt-G/1998/PTA.MTR, tanggal 28 Maret 1998 bertepatan dengan tangga 29 Dzul Qaidah 1418 H. PTA Mataram beralasan bahwa ahli waris pengganti yang ditetapkan oleh PA Selong termasuk dalam kategori zhawil arham, sehingga ia

257

Bab III

tidak berhak mendapatkan harta warisan melalui pengganti.

ahli waris

Keputusan PTA Mataram akhirnya juga dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI No. 354.K/AG/1998, tanggal 28 Oktober 1999. Mahkamah Agung dalam amar putusan putusannya menyatakan bahwa putusan judex factie PTA telah salah menerapkan hukum, sehingga harus dibatalkan dan mengadili sendiri perkara tersebut. Mahkamah Agung menetapkan ahli waris pengganti sebagaimana putusan PA Selong. Kaidah hukum yang dapat dipetik dari putusan MA adalah ; (1) khusus harta warisan yang terjadi pada tahun 1988, dapat diterapkan KHI, karena gugatan perdata masalah harta warisan tersebut diajukan ke Pangadilan Agama pada tahun 1997, setelah berlakunya KHI; (2) menurut KHI Pasal 185, ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris dapat digantikan oleh anaknya yang disebut ahli waris pengganti, yang bagiannya dari harta warisan tersebut tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat yang diganti dalam perkara ini. Gambaran di atas menunjukan bahwa penerapan Pasal 158 KHI, ternyata tidak mudah dan memerlukan keseriusan para hakim untuk melaksanakan ijtihadnya, sehingga putusan yang diberikan benar-benar terwujud rasa keadilan di tengah-tengah masyarakat. Hal yang sama juga hampir dapat dipastikan terjadi pada lingkungan peradilan agama di seluruh Indonesia. Analisis Praktik Masyarakat Di Indonesia, khususnya di Aceh, masalah pergantian tempat ahli waris sampai hari ini masih terjadi perdebabatan secara konseptual. Hal ini didasarkan pada realitas kehidupan

258

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

masyarakat Aceh yang kental dengan hukum Islam.230 Hukum adat di Aceh merupakan penjelmaan substantif dari hukum Islam, sehingga praktik-praktik adat di Aceh tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip hukum Islam. Secara konseptual, sebagian ulama di Aceh menolak konsep pergantian tempat ahli waris sebagaimana tertuang dalam KHI, dengan alasan pergantian tempat ahli waris tidak ditemukan ketentuannya secara tegas dalam ayat-ayat alQur’an dan hadits Nabi SAW. 231 Meskipun demikian, ulama Aceh tidak pernah menutup pintu terhadap adanya penafsiran dan pembaruan terhadap hukum Islam. Ulama Aceh menerima tafsir terhadap ketentuan-ketentuan waris dalam rangka perwujudan nilai keadilan, kebersamaan, tanggung jawab dan menjunjung tinggi hak-hak anak yatim. Atas dasar inilah masyarakat Aceh “mempraktikan” substansi pergantian tempat ahli waris dalam kehidupan masyarakat Aceh, walaupun secara konseptual tidak menyebutkan secara eksplisit pergantian tempat ahli waris. Dalam praktik kehidupan masyarakat Aceh, banyak ditemukan ahli waris yang memberikan sedikit atau sebagaian harta untuk anak yatim yang ditinggalkan orang tuanya. Dalam hukum adat Aceh dikenal konsep patah titi atau putoh tutu dalam hukum kewarisan.232 Konsep ini bermakna bahwa seseorang cucu yang ayahnya terlebih dahulu meninggal dunia, maka ia tidak mendapatkan harta warisan dari kakeknya bila kakek meninggal dunia, karena jembatannya sudah putus yaitu ayah. Dalam hukum adat di Aceh disebutkan bahwa jika seorang anak meninggal dunia, putuslah hubungan kewarisan 230

Syahrizal Abbas, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, Lhokseumawe : Nadiya Foundation, 2003, hlm. 78. 231 A. Halim Tosa, Praktek Hukum Kewarisan dalam Masyarakat Gayo, Banda Aceh : Puslit IAIN Ar-Raniry, 1996, hlm 25. 232

Mohammad Said, Adat Aceh, Banda Aceh : P &K, 1980, hlm. 19,

259

Bab III

yang dimiliki oleh orang tua si anak yang sudah meninggal tadi dengan keberadaan cucu (dalam hal ini keberadaan hubungan kewarisan kakek dan cucu). Hak waris seorag cucu ini akan terhijab oleh keberadaan saudara laki-laki dan perempuan si anak yang meninggal dunia. Pandangan ini dikenal dengan patah titih atau putoh tutu. 233 Dalam konsep ini, sang ayah berlaku sebagai titi atau jembatan penghubung antara kakek dan cucu. Ketika sang ayah meninggal, maka terputuslah hubungan (khususnya hubungan penyebab) kewarisan antara kakek dan cucu. Meskipun demikian, Islam memandang kemuliaan dan keadilan bagi cucu atau anak yatim yang ditinggalkan orang tuannya tadi, antara lain dengan memberikan atau menyisihkan sedikit bagian dari harta warisan tersebut kepada sang anak yatim. Selain itu dalam aturan adat Aceh, sang ulama yang menjadi saksi dalam pembagian harta warisan tersebut, akan mendapat sedikit bagian yang dikenal dengan istilah hak reheung (hak menanti dan menyaksikan).234 Pemberian yang diberikan kepada anak yatim tersebut (cucu) dan ulama ini tersebut, bukanlah disebut warisan, akan tetapi hibah. Umumnya, jumlah yang diberikan kepada cucu atau ulama tidak melebihi dari sepertiga (1/3) harta warisan dan umumnya telah mendapat persetujuan dari ahli waris lain yang berhak. Praktik hukum kewarisan adat Aceh, jelas terlihat pandangan ganda dalam persolan pergantian tempat ahli waris ini. Pada satu sisi para ulama Aceh menolak konsep pergantian tempat ahli dengan memberlakukan konsep patah titi, namun pada sisi lain praktik masyarakat cenderung memberikan sebagian harta yang berasal dari harta warisan si kakek kepada sang cucu

260

233

I b i d.

234

Syahrizal Abbas, op.cit., hlm. 119.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

yang bapaknya (orang tuanya) terlebih dahulu meninggal dunia. Pandangan ganda ini memerlukan “penjernihan”, sehingga cucu dapat memperoleh hak warisan dari kakek, dan adanya jaminan dan perlindungan hukum terhadap cucu yang yatim tersebut. Realitas hukum ini, perlu dipertegas agar tidak terjadi “penyembunyian hukum”, dan pemberian hak kewarisan kepada orang lain yang secara ‘substantif’ tidak memiliki hubungan hukum untuk mendapatkan harta warisan. Akibat dari dominasi pandangan ulama yang menganut paham patah titi atau putoh tutu, maka sedikit sekali sengketa kewarisan terkait pergantian tempat ahli waris yang diselesaikan lewat jalur formal Mahkamah Syar’iyah atau Pengadila Agama. Praktik patah titi atau putoh tutu masih dipraktikan oleh masyarakat Aceh. Penyelesaian kasus ini jarang ditempuh melalui jalur formal ke Pengadilan, tetapi penyelesaiannya dilakukan melalui adat dan agama dengan mengumpulkan orang tua kampung, ulama dan kaum kerabat. Dengan demikian nampak sedikit sekali kasus pergantian ahli waris yang diajukan ke Mahkamah Syar’iyah. Dalam kenyataannya tidak sedikit anak yatim yang diasuh oleh kakek atau nenek, karena orang tua mereka meninggal akibat musibah gempa dan tsunami yang melanda Aceh tahun 2004 yang lalu. Penyelesaian sengketa kewarisan melalui jalur adat dan agama, memang jauh lebih baik, namun harus ada kepastian bahwa cucu mendapat jaminan dan perlindungan serta hak yang pasti dari hukum, dari harta warisan kakeknya. Oleh karena itu, ketentuan mengenai pergantian tempat ahli waris harus mendapat pengakuan dalam hukum tertulis yang lebih mengikat dan menjadi hukum materil pada Pengadilan Agama. Penjelasan, diskusi dan sosialisasi terhadap konsep pergantian tempat ahli waris harus terus menerus dilakukan kepada masyarakat agar

261

Bab III

menumbuhkan kesadaran bahwa hukum kewarisan Islam membawa keadilan, jaminan, dan perlindungan serta pemastian keberlangsugan hidup generasi mendatang. Penutup Pergantian tempat ahli waris merupakan salah satu bentuk pembaruan hukum Islam, melalui jalur KHI. Konstruksi pergantian tempat ahli waris masih banyak menyisakan problematika, baik secara konseptual maupun praktik masyarakat dan penerapannya di lingkungan Peradilan Agama. Oleh karenanya, kajian secara terus menerus, baik secara teoritis konseptual maupun realitas aktual harus dilakukan, sehingga akan ditemukan jalan terbaik (maslahat) bagi penyelesaian perkara kewarisan. Patut juga dilakukan upaya serius berupa sosialisasi lembaga pergantian tempat ahli waris kepada masyarakat, sehingga masyarakat tidak lagi melakukan “penyembunyian hukum”, yang tidak mengakui adanya institusi pergantian tempat ahli waris, akan tetapi dalam praktiknya menjalankan lembaga pergantian tempat ahli waris. Wallahu a’lam....Amin..

262

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

WASIAT WAJIBAH UNTUK ANAK ANGKAT, ANAK DILUAR PERKAWINAN SAH, DAN ANAK DARI ORANG TUA BEDA AGAMA Moh. Muhibbin

Latar Belakang Allah telah menetapkan aturan main (rule of game) bagi kehidupan manusia di atas dunia ini. Aturan itu dituangkan dalam bentuk titah atau kehendak Allah tentang perbuatan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh manusia. Aturan Allah tentang tingkah laku manusia secara sederhana adalah syari'ah atau hukum syara' yang sekarang ini disebut hukum Islam (Islamic Law). Hukum Islam melingkupi seluruh segi kehidupan manusia di dunia, baik untuk mewujudkan kebahagiaan di atas dunia maupun di akhirat kelak. Diantara hukum tersebut ada yang tidak mengandung sanksi, yaitu tuntutan untuk patuh dan ada juga yang mengandung sanksi yang dapat dirasakan didunia layaknya sanksi hukum pada umumnya. Ada pula sanksi yang tidak dirasakan di dunia namun ditimpakan di akhirat kelak dalam bentuk dosa dan balasan atas dosa tersebut. Segi kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari kodrat kejadiannya sebagai manusia. Pada diri manusia sebagai makhluk hidup, terdapat dua naluri yang juga terdapat pada makhluk hidup lainnya, yaitu naluri untuk mempertahankan hidup dan naluri untuk melanjutkan hidup. Untuk terpenuhinya dua naluri tersebut, Allah menciptakan dalam setiap diri manusia dua nafsu, yaitu nafsu makan dan nafsu syahwat. Nafsu makan berpotensi untuk memenuhi naluri mempertahankan hidup, karena itu ia

263

Bab III

memerlukan sesuatu yang dapat dimakannya. Dari sinilah muncul kecenderungan manusia untuk mendapatkan dan memiliki harta. Nafsu syahwat berpotensi untuk memenuhi naluri melanjutkan kehidupan, sehingga manusia memerlukan lawan jenisnya guna menyalurkan nafsu syahwatnya. Sebagai makhluk yang berakal, manusia memerlukan sesuatu untuk mempertahankan dan meningkatkan daya akalnya. Sebagai makhluk beragama manusia membutuhkan sesuatu untuk mempertahankan dan menyempurnakan agamanya235 Dengan demikian terdapat lima hal yang merupakan syarat bagi kehidupan menusia, yaitu: agama, akal, jiwa, harta dan keturunan. Kelima hal ini disebut dengan dlaruriyat al-khamsah (lima kebutuhan dasar) pada diri manusia.236 Nafsu yang ada dalam diri manusia merupakan sunnatullah, namun nafsu itu sendiri cenderung kearah keburukan. Nafsu yang tidak dikontrol dan dikendalikan dapat menimbulkan pertumpahan darah di muka bumi ini. Untuk itulah tujuan dari berbagai aturan yang ditetapkan oleh Allah yang bernama hukum adalah untuk kebahagiaan dan kemaslahatan hidup manusia. Segi kehidupan yang diatur oleh Allah tersebut dapat dikelompokkan kepada dua kelompok. Pertama, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan lahir manusia dengan Allah Penciptanya. Aturan tentang hal ini disebut dengan hukum ibadah. Tujuannya untuk menjaga hubungan Allah dengan hamba-Nya, yang disebut dengan hablun min Allah.

92

264

235

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2004, hal. 2

236

Wahbah Al Zuhayli, Al Wajiiz Fii Ushuul Al Fiqh, Damaskus: Darul Fikr, 2002, hal.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kedua, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan antara manusia satu dengan manusia lainnya dan alam sekitarnya. Aturan tentang hal ini disebut dengan "hukum muamalat". Di antara aturan yang mengatur hubungan sesama manusia yang ditetapkan Allah adalah aturan tentang wasiat yang aplikasinya dipakai untuk menyebutkan sesuatu hak yang ketetapannya disandarkan atas waktu setelah kematian seseorang. Wasiat merupakan salah satu cara dalam peralihan harta dari satu orang ke orang lain. Sistem wasiat ini berjalan sejak zaman dulu, bukan hanya agama Islam saja yang mengatur, tapi setiap komunitas memiliki pemahaman berbeda-beda tentang wasiat. Sistem-sistem wasiat tersebut memiliki perbedaan dalam pelaksanaannya. Semuanya memiliki ketentuan masing-masing bagaimana sah-nya pelaksanaan wasiat tersebut. Begitupula di Indonesia, mempunyai aturan sendiri tentang wasiat. Di antaranya diatur dalam BW untuk non muslim atau masyarakat adat, sedangkan untuk umat Islam diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Harta dan pemilikan yang timbul dari wasiat memerlukan pengaturan tentang: Pengertian wasiat, siapa yang berhak menerimanya, berapa jumlahnya, bagaimana cara mendapatkannya dan bagaimana perbandingan wasiat dalam Fiqh Islam, KHI dan praktik di Pengadilan Agama dan Masyarakat. Pembahasan ini berupaya untuk memahami wasiat wajibah bagi umat Islam di Indonesia. Bagaimana pun juga, Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum Islam yang berlaku di Indonesia. KHI sebenarnya hasil ijtihad dari kitab-kitab Fiqh klasik yang kemudian dikontekstualisasikan dengan keadaan di Indonesia. Kontekstualisasi ini dilakukan karena pijakan hukum yang disusun ulama dahulu itu ada dalam ruang, waktu dan tempat mereka yang sampai saat ini dijadikan rujukan oleh para hakim di lingkungan peradilan agama.

265

Bab III

Pengertian Wasiat Secara etimologi, kata wasiat berasal dari bahasa Arab (washiyyatu), yang mempunyai beberapa arti yaitu “menjadikan, menaruh kasih sayang, menyuruh dan menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya”. Secara terminologi wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang atau manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat meninggal. Secara garis besar wasiat merupakan penghibaan harta dari seseorang kepada orang lain, atau kepada beberapa orang sesudah meninggalnya orang tersebut. Para ahli hukum Islam mengemukakan bahwa wasiat adalah pemilikan yang didasarkan pada orang yang menyatakan wasiat meninggal dunia dengan jalan kebaikan tanpa menuntut imbalan atau tabarru'. Sayyid Sabiq mengemukakan bahwa pengertian ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh para ahli hukum Islam dikalangan madzhab Hanafi yang mengatakan wasiat adalah tindakan seseorang yang memberikan haknya kepada orang lain untuk memiliki sesuatu baik merupakan kebendaan maupun manfaat secara suka rela tanpa imbalan yang pelaksanaannya ditangguhkan sampai terjadi kematian orang yang menyatakan wasiat tersebut. Menurut Hasbi Ash-Shiddiqy, wasiat diartikan sebagai suatu tasharruf (pelepasan) terhadap harta peninggalan yang dilaksanakan sesudah meninggal dunia yang berwasiat. Menurut asal hukumnya, wasiat merupakan suatu perbuatan yang dilakukan dengan kemauan hati dalam keadaan apapun. Karenanya, tidak ada dalam syari’at Islam suatu wasiat yang wajib dilakukan dengan jalan putusan hakim. 237

237

266

Hasbi AshShiddiqy, Fiqh Mawaris, Jakarta, Pustaka Rizki Putra, 2001, hal :273.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pendapat lain mengatakan wasiat adalah pesan terakhir dari seseorang yang mendekati kematiannya, dapat berupa pesan tentang apa yang harus dilaksanakan para penerima wasiat terhadap harta peninggalannya atau pesan lain diluar harta peninggalan.238 Dalam Kompilasi Hukum Islam pengertian wasiat dijelaskan pada Bab II tentang Hukum Kewarisan. Pasal 171 huruf f menyebutkan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia (pasal 171 huruf f). Istilah wasiat wajibah tidak dikemukakan dalam kitab-kitab klasik, sehingga sewaktu istilah ini muncul diartikaan dengan wasiat yang hukumnya wajib dilaksanakan. Istilah wasiat wajibah merupakan istilah tersendiri yang pengertiannya hukum wasiat yang wajib. Maka perlu dijelaskan pengertian wasiat wajibah Wasiat wajibah Ia merupakan kebijakan yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat penegak hukum untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal dunia, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu. 239 Suatu wasiat, disebut wasiat wajibah karena dua hal yaitu: Pertama, hilangnya unsur ihtiyar bagi si pemberi wasiat dan muncullah unsur kewajiban melalui sebuah perundangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan si penerima wasiat. Kedua, ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta warisan dalam hal penerimaan laki- laki (dua) kali lipat bagian perempuan.

238 Anwar Sitompul, Fara’id, Hukum Waris Dalam Islam dan Maslah Masalahnya, Surabaya: Al ihlas. 1984, hal. 60 239

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hal. 63

267

Bab III

Makna wasiat wajibah, seseorang dianggap menurut hukum telah menerima wasiat meskipun tidak ada wasiat secara nyata, anggapan hukuman itu lahir dari asas apabila dalam suatu hal hukum telah menetapkan wajib berwasiat maka ada atau tidak ada wasiat dibuat, wasiat dianggap ada dengan sendirinya.240 Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’.241 Suparman dalam bukunya Fiqh Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), mendefenisikan wasiat wajibah sebagai wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak bergantung kepada kemauan atau kehendak si yang meninggal dunia.242 Wasit Aulawi menjelaskan bahwa salah satu wujud pelaksanaan tersebut ialah berupa cucu yang kedua orang tuanya telah meninggal dunia. Dalam hal ini wasiat adalah pemberian sejumlah harta sebesar yang diterima oleh ayah atau ibunya jika mereka masih hidup dengan jumlah maksimal 1/3 harta warisan, sedangkan pelaksanaan tersebut harus di penuhi beberapa persyaratan yaitu, cucu tersebut belum pernah menerima wasiat atau hibah dan wasiat wajibah ini dilaksanakan sebelum pelaksanaan wasiat ikhtiyariah, mendahului pembagian harta warisan kepada ahli waris lain.243 240 Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999, hal.71 241 Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2000, Jilid 6, hal.1930 ] 242 Suparman, et.all,. Fiqih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), Jakarta: Gaya Media Pratama,1997, hal. 163] 243 A, Wasit Alawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam Dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996, hal. 65

268

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Dasar Hukum Wasiat Dasar hukum wasiat dalam hukum kewarisan Islam, adalah Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 180.             

Artinya; “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (QS. AlBaqarah: 180). Ma'ruf ialah adil dan baik dan wasiat itu tidak melebihi sepertiga dari seluruh harta orang yang akan meninggal. Kata wasiat dalam Al-Baqarah ayat 180 tersebut di atas merupakan ayat yang paling lengkap berkaitan dengan wasiat, AlBaqarah ayat 180 tidak menjelaskan tentang kesaksian pada waktu berwasiat, padahal jika tidak di lakukan di depan saksi akan menimbulkan masalah di kemudian hari, untuk itu dalam AlMaidah ayat 106 mengatur tentang persaksian, baik saksi itu beragama Islam ataupun nonmuslim, Dalam surat Al-Maidah ayat 106 disebutkan:            

            

              

269

Bab III

Artinya; “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang Dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu raguragu: "(Demi Allah) Kami tidak akan membeli dengan sumpah ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun Dia karib kerabat, dan tidak (pula) Kami Menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya Kami kalau demikian tentulah Termasuk orangorang yang berdosa". Dalam diskursus, pengalihan harta melalui wasiat merupakan kehendak Allah untuk mewujudkan kemaslahatan hidup bagi manusia baik terhadap individu maupun komunitas, maka diaturlah wasiat yang isinya memberikan legalisasi terhadap pemilikan atau pemberian manfaat terhadap harta benda yang dikaitkan dengan waktu setelah kematian seseorang serta dilakukan secara sukarela kepada orang lain supaya dapat ikut memanfaatkan harta kekayaan itu. Para Ulama’ berbeda pandangan terhadap makna surat AlBaqarah ayat 180. Perbedaan ini terletak pada penilain apakah ayat tersebut muhkamat atau mutasyabihat, dengan adanya perbedaan ini akan berdampak pada kandungan atau isi ayat tersebut. Pendapat ibnu Abbas, Al- Hasan Al- Basri Taus Masruq Al- Dahhaq, mereka berpendapat bahwa wasiat kepada kedua orang tua dan para kerabat yang memperoleh harta warisan telah dihapus, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan harta warisan tetap memikul wasiat yang wajib. Hal ini karena ayat tersebut mencakup keduanya, kemudian mereka yang mendapatkan warisan

270

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

terhapus. Sedangkan mereka yang tidak mendapatkan warisan masih berlaku, dalam hal ini Ibnu jarir At-Tabari dalam tafsirnya memilih pendapat ini. Akan tetapi ulama’ mutakhhirin menyebutnya dengan istilah tahsis bukan nasakh. Al-Qurtuby dalam tafsirnya menjelaskan pendapat ulama’ tentang makna Al- Baqarah: 180. Dalam hal ini ada ulama’ yang menjelaskan sebagai ayat yang muhkamat. Secara interpretatif menunjukkan umum, akan tetapi maknanya khusus, yakni orang tua yang tidak memperoleh warisan dan kerabat yang termasuk ahli waris. Sedangkan ulama’ lain berpendapat bahwa ayat tersebut terhapus dengan ayat muwaris atau faraid dan diperkuat dengan hadits yang artinya: Allah telah memberikan orang yang punya hak akan haknya, maka tidak boleh wasiat kepada ahli waris” Sementara itu ulama’ lain berpendapat bahwa wasiat kepada kedua orang tua dihapus dengan bagian tertentu yang pada wasiat masih tetap berlaku bagi kerabat yang tidak dapat warisan. Sebenarnya apabila diperhatikan ayat tersebut (Al Baqarah 180), maka tidak ada hal yang meniadakan antara ayat tentang wasiat dan ayat tentang waris, artinya, ayat waris untuk kerabat yang mendapat warisan, sedangkan ayat wasiat untuk kerabat yang tidak dapat warisan karena ada penghalang seperti kafir dan budak, terhijab atau tertutup ahli wari yang lebih dekat dan tergolong dawi al- arham. Kadar Wasiat Para ’Ulama’ sepakat bahwa orang yang meninggalkan ahli waris tidak boleh memberikan wasiat lebih dari 1/3 (sepertiga) hartanya. 244 Hal ini sesuai dengan Hadits 244

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid , Jakarta: Pustaka Imami, 1990, hal.452.

271

Bab III

Hadits Nabi saw., yang berbunyi:

          () Artinya: “Diriwayatkan dari Sa’ad bin Abi Waqash RA, Rasulullah pernah menjenguk saya waktu haji wada’ karena sakit keras yang saya alami sampai hampir saja saya meninggal. Lalau saya berkata kepada beliau, Wahai Rasulullah saya sedang sakit keras sebagai mana engkau sendiri melihatnya sedangkan saya mempunyai banyak harta dan tidak ada yang mewarisi saya, kecuali anak perempuan satu-satunya. Bolehkah saya menyedekahkan sebanyak 2/3 dari harta saya? Beliau menjawab “Tidak” saya mengatakan lagi bolehkah saya menyedekahkan separoh harta saya? Beliau menjawab “Tidak” sepertiga saja yang boleh kamu sedekahkan, sedangkan sepertiga itu sudah banyak. Sesungguhnya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya adalah lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan miskin, menengadahkan tangan meminta-minta pda orang banyak. Apapun yang kamu nafkahkan karena ridla Allah, kamu mendapat pahala karenanya, bahkan termasuk satu suap untuk istrimu”.(HR. Muslim)

272

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Abu Daud Ibnu Hazm dan ulama salaf berpendapat bahwa wasiat hukumnya fardhu 'ain. Mereka beralasan bahwa Surat AlBaqarah ayat 180 dan Surat An-Nisa ayat 11-12 mengandung pengertian bahwa “Allah mewajibkan hamba-Nya untuk mewariskan sebagian hartanya kepada ahli waris dan mewajibkan wasiat didahulukan pelaksanaanya daripada pelunasan utang. Adapun maksud kepada orang tua dan kerabat dipahami karena mereka itu tidak menerima warisan”. Berdasarkan hadits tersebut dapat dipahami bahwa, untuk melindungi ahli waris, supaya mereka tidak dalam keadaan miskin setelah ditinggalkan pewaris, harta yang boleh diwasiatkan (jumlah maksimal) tidak boleh melebihi dari sepertiga dari seluruh harta yang ditinggalkan. Hal ini dalam hukum kewarisan Islam adalah untuk melindungi ahliwaris.245 Wasiat Wajibah Dalam Fiqh Islam, KHI, Praktik di Pengadilan dan Masyarakat Pada dasarnya memberikan wasiat itu merupakan tindakan ikhtiyariyah, yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri dalam keadaan bagaimanapun. Dengan demikian, pada dasarnya seseorang itu bebas apakah membuat atau tidak membuat wasiat. Hal ini didasarkan pada pendapat para Jumhurul Ulama’ (madzhab empat) yang mengatakan bahwa, wasiat kepada kerabat itu disunnahkan. Akan tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa kebebasan untuk membuat wasiat atau tidak itu hanya berlaku untuk orang-orang yang bukan kerabat dekat. Mereka berpendapat bahwa untuk kerabat dekat yang tidak mendapatkan warisan, seseorang wajib membuat wasiat. Hal ini didasarkan pada Al-Qur’an surat Al 245 Rahmad Budiono, 1999:24, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti

273

Bab III

Baqarah ayat 180. Sedangkan yang berpendapat seperti ini misalnya ibnu Hazm Adh-Dhahiri, At-Thobari dan Abu Bakar bin Abdil Aziz dari ulama' madzhab Hambali berpendapat bahwa wasiat itu adalah kewajiban agama dan pembayaran kewajiban bagi kedua orang tua dan para kerabat yang tidak dapat karena terhalang dari mewarisi.246 Di dalam kitab, Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, karangan Wahbah Al Zuhaiyliy Juz.VIII, h.122 mengatakan bahwa, "…Telah dijelaskan bahwa wasiat kepada kerabat itu adalah disunnatkan menurut jumhur ulama'. Di antara mereka itu adalah para imam madzhab empat. Wasiat itu tidak wajib bagi seseorang kecuali sebab hak dari Allah atau bagi para para hamba Allah. Sebagian ahli fiqh, seperti Ibnu Hazm Adh-Dhahiri dan At-Thobari dan Abu Bakar bin Abdil Aziz dari ulama' madzhab Hambali berpendapat bahwa wasiat itu adalah kewajiban agama dan pembayaran kewajiban bagi kedua orang tua dan para kerabat yang tidak dapat karena terhalang dari mewarisi …sampai ucapan pengarang: "Undang-undang Mesir dan Suriah telah mengambil pendapat yang kedua Berdasarkan nash tersebut di atas, maka Ibnu Hazm memandang hukum wasiat adalah wajib atas setiap orang yang meninggalkan harta. Ibnu Hazm berpendapat demikian, karena ia mengacu pada nash secara tekstual (zhahir), yang menyatakan kewajiban berwasiat. Karena kewajiban wasiat tersebut berlaku bagi setiap orang yang meninggalkan harta, maka apabila seseorang meninggal dunia dan orang tersebut tidak berwasiat, hartanya haruslah disedekahkan sebagian untuk memenuhi kewajiban wasiat tersebut.

246 Wahbah Al Zuhaiyliy, Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, Juz.VIII, Bairut: Daar Al Fikr.h,1989, hal.122

274

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Karena yang berhak menetapkan urusan-urusan kaum muslimin adalah penguasa, dan urusan wasiat termasuk salah satu urusan pada diri setiap muslim, maka dalam hal ini penguasa haruslah bertindak untuk memberikan sebagian harta peninggalan sebagaimana tersebut diatas guna memenuhi kewajiban wasiat. Berdasarkan pemikiran Ibnu Hazm tersebut, maka muncullah istilah wasiat wajibah. Wasiat wajibah adalah wasiat yang dianggap ada walaupun yang sesungguhnya tidak ada karena demi kemaslahatan. Wasiat wajibah ini bersifat Ijtihadiyyah, karena tidak ada nash yang shorih, sehingga yang berkenaan dengan rukun dan syarat sah dan batalnya wasiat wajibah merupakan lapangan kajian hukum yang bersifat ijtihadiyyah. Di dalam ketentuan wajibnya wasiat wajibah ini tidak membutuhkan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam wasiat biasa, karena wasiat wajibah ini tidak membutuhkan ijab kabul. Wasiat wajibah dalam hal ini seperti warisan dan dijalankan sebagaimana pembagian waris. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, hal. 123 mengatakan,…Dan karena wasiat ini tidak memenuhi ketentuan-ketentuan wasiat yang dilakukan secara sukarela karena ketiadaan ijab dari orang yang memberi wasiat dan tidak ada qabul dari orang yang menerima wasiat, maka wasiat wajibah ini menyerupai pembagian warisan; sehingga diperlakukan seperti perlakuan warisan, yaitu bagi laki-laki mendapat bagian dua kali dari bagian perempuan dan ahliwaris yang asal menutupi cabangnya. Dan setiap cabang mengambil bagian dari asalnya saja. Al Jashshash dalam bukunya “Ahkamul Qur’an” menegaskan bahwa Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 180 tersebut jelas menunjuk pada wajibnya berwasiat untuk keluarga yang tidak mendapatkan warisan.

275

Bab III

Para ulama’ berbeda pendapat dalam menentukan apakah kewajiban berwasiat tersebut masih berlaku atau tidak. Perbedaan pendapat ini dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan pendapat pula, yakni apakah ayat Al Qur’an tersebut dimansukh oleh ayatayat Al Qur’an dalam bidang kewarisan atau tidak. Jumhur ulama berpendapat bahwa kewajiban berwasiat untuk ibu, bapak, dan keluarga dekat sudah mansukh, baik yang menerima warisan maupun yang tidak. Mereka juga berpendapat bahwa Hadits Rasulullah yang artinya “Tidak ada wasiat untuk para ahli waris” merupakan peneguhan dari pemikiran mereka.247 Karena tak ada pertentangan antara ayat-ayat yang mewajibkan wasiat dengan ayat-ayat dalam bidang kewarisan, maka ayat-ayat yang mewajibkan wasiat tidak mansukh oleh ayat-ayat kewarisan. Ini pendapat para ulama yang tetap mewajibkan wasiat untuk kerabat dekat yang tidak mendapatkan warisan. Dalam kaitan ini, Ibnu Hazm berpendapat bahwa “apabila tidak diadakan wasiat untuk kerabat dekat yang tidak mendapatkan warisan, maka hakim harus bertindak sebagai pewaris, yakni memberikan sebagian warisan kepada kerabat yang tidak mendapat warisan sebagai suatu wasiat wajib untuk mereka”. Berdasarkan keadaan di atas, untuk cucu yang tidak mendapatkan warisan baik ia merupakan anak dari anak perem-puan, atau anak dari anak lakilaki, karena ada anak laki-laki yang masih hidup, maka wajiblah dibuatkan wasiat. Contohnya, seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang anak laki-laki dan seorang cucu laki-laki dari anak laki-laki, bapak cucu tersebut telah meninggal dunia lebih dulu daripada kakeknya. Dalam keadaan seperti ini, cucu laki-laki tersebut tidak memperoleh warisan karena terhijab oleh anak laki-laki. 247 ImamTaqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad Al Husaini, tth, Kifayatul Ahyar,Bandung, Syirkatul Ma’arif. 35,

276

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Untuk menguasai keadaan seperti ini diberilah cucu tersebut berdasarkan wasiat wajib. Besarnya bagian cucu maksimal hanya sepertiga warisan, sebab besarnya wasiat wajibah tidak boleh melebihi sepertiga warisan. Jadi, bagian cucu tidak sebesar bagian yang seharusnya diterima oleh orang tuanya andaikata ia masih hidup. Ini merupakan perbedaan yang cukup prinsip antara wasiat wajibah dengan penggantian tempat. Akan tetapi, “wasiat wajibah tetapi merupakan obat kekecewaan karena keadaan yang tak adil tersebut”. 248 Pendapat Ibnu Hazm dan beberapa ulama mengenai wasiat wajibah seperti tersebut diatas, diikuti oleh Undang-Undang Wasiat Mesir, Nomor 71 Tahun 1946. Dalam Undang-undang tersebut ditegaskan bahwa besarnya wasiat wajibah adalah sebesar yang seharusnya diterima oleh orang tua seandainya ia masih hidup dengan ketentuan tidak boleh melebihi sepertiga warisan. Disamping itu, harus dipenuhi pula dua syarat, yaitu : 1.

Cucu itu bukan termasuk orang yang berhak menerima warisan.

2.

Si mati tidak memberikan kepadanya dengan jalan lain sebesar yang telah ditentukan padanya, sepeti hibah umpamanya. 249

Undang-undang di atas sama sekali tidak menyinggung soal kemenakan. Hal ini jelas merupakan petunjuk bahwa Undangundang tersebut berusaha mengatasi persoalan yang dirasakan sangat mendesak, ilustrasi kebenaran pernyataan ini dapat digambarkan dengan sebuah contoh, seseorang mempunyai dua orang cucu laki-laki. Yang seorang berasal dari anak laki-laki, yang 248 Rahmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hal. 26 249

Hasbi Ash-Shiddiqy,Op. Cit., Hal. 277.

277

Bab III

lainnya berasal dari anak perempuan. Kedua orang tua cucu tersebut sudah meninggal dunia, satu-satunya ahli waris adalah cucu laki-laki dari anak laki-laki. Sedangkan cucu laki-laki dari anak perempuan terhijab. Mengatasi persoalan seperti ini para fuqaha berpikir untuk memecahkan masalah tersebut. Sebab, baik Al Qur’an maupun As Sunnah tidak mengaturnya secara rinci bagian seorang cucu. Pusat perhatian wasiat wajibah ini terfokus pada masalah cucu, ijtihad yang muncul adalah seperti wasiat wajibah tersebut. Dalam perkembangan pemikiran hukum kewarisan Islam, para pemikir ahli hukum Islam (fuqaha’) tidak hanya melihat pada cucu saja, tetapi dengan memperluas cakrawala analisisnya, yakni dengan mengemukakan bahwa hukum kewarisan Islam mengenai penggantian tempat. Ahli pemikir hukum Islam yang disebut terakhir ini, misalnya Profesor Hazairin. Namun demikian, walaupun dalam lingkup yang sangat terbatas, wasiat wajibah mempunyai kemiripan dengan penggantian tempat. Kemiripan tersebut terletak pada ada orang meninggal lebih dulu daripada orang yang meninggalkan harta kekayaan. Meskipun pada suatu saat antara penggantian tempat dan wasiat wajibah menunjukkan kesamaan, akan tetapi banyak sekali perbedaan antara keduanya. Perbedaan itu mucul karena dasar pokok pikiran yang tidak sama antara keduanya. Wasiat wajibah merupakan pranata untuk mengatasi satu jenis persoalan, sedangkan penggantian tempat merupakan pranata untuk mengatasi persoalan yang bersifat menyeluruh. Yang dimaksud dengan menyeluruh di sini adalah menyeluruh persoalan kematian lebih dulu daripada pewaris, baik dalam garis lurus ke bawah, garis lurus ke atas maupun garis ke samping.250 250

278

Rahmad Budiono, Op. cit., hal. 28.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pada Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, masalah wasiat wajibah tercantum dalam salah satu pasal pada Bab II yang mengatur tentang warisan. Hal tersebut termuat pada pasal 209 Kompilasi Hukum Islam. Oleh karenanya perlu dikaji bagimanakah konsep wasiat wajibah menurut pemikiran Ibnu Hazm dan Kompilasi Hukurn Islam. Adakah persamaan dan perbedaan wasiat wajibah menurut Ibnu Hazm dan Kompilasi hukum Islam?. Hal inilah yang perlu dikaji lebih lanjut. Salah satu hukum materiil peradilan agama di Indonesia yang dijadikan rujukan oleh para hakim adalah kompilasi hukum Islam walaupun berlakunya hanya melalui intruksi Presiden Republik Indonesia nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991. Salah satu materi KHI adalah pemberian wasiat wajibah kepada anak angkat dan orang tua angkat yang disebutkan dalam pasal 209 KHI. Hal ini merupakan terobosan baru dalam hukum Islam yang tidak di temukan dalam kitab-kitab klasik bahkan Undangundang Mesir, Syiria, Maroko dan Tunisiapun tidak menyatakan wasiat wajibah kepada anak angkat dan orang tua angkat. Pasal 209 KHI tersebut menyebutkan: ayat 1

:

Harta peninggalan anak angkat di bagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.

Ayat 2

:

Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

279

Bab III

Berdasar pada firman Allah surat Al-Baqarah ayat 180 ini memunculkan perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai hukum wasiat tersebut. Sebagian ulama (Ulama Hanabilah) berpendapat bahwa pada dasarnya hukum wasiat itu wajib, yaitu untuk memberi bagian kepada orang tua atau kerabat yang tidak menerima bagian warisan karena terhijab (mahjub), atau tidak dapat menjadi ahli waris karena terhalang (mamnu'). Beberapa Negara Islam telah memberlakukan wasiat wajibah untuk memberi bagian kepada cucu yang orang tuanya meninggal sebelum atau bersama-sama dengan kakek atau neneknya. Sementara itu, dalam Kompilasi Hukum Islam wasiat wajibah tersebut dipergunakan untuk memberi bagian kepada anak angkat atau orang tua angkat, lain dari pada itu, dengan mempertimbangkan keadaan masyarakat Indonesia yang majemuk baik ditinjau dari agama, ras, suku dan bahasa, maka wasiat wajibah juga diperuntukan bagi ahli waris non muslim dengan pertimbangan rasa keadilan dan kemanusiaan. Pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris yang kehilangan haknya karena perbedaan agama ini terjadi di di Pengadilan Agama Yogyakarta. Dalam kasus tersebut Pengadilan Agama telah memberikan keputusan tentang wasiat wajibah bagi kerabat yang tidak mewaris karena terhalang (beda agama). Hal yang menjadi pertimbangan hakim adalah pengunaan qiyas (analogi) dengan ide hukumnya atau kausa yang melatarbelakanginya adalah diperluasnya penafsiran pemberian wasiat wajibah bagi kerabat yang tidak mewaris yaitu anak angkat atau orang tua angkat diperluas kepada kerabat non muslim. Hal yang sama juga terjadi pada putusan Mahkamah Agung yang memberikan hak wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim yang terhalang mewarisi.

280

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Dalam perspektif Hukum Islam terwujudnya wasiat wajibah adalah sejalan dengan pandangan Islam sebagai Agama yang bertujuan untuk merealisasikan suatu perwujudan dari prinsip keadilan serta kasih sayang yang terdapat dalam ajaran Islam itu sendiri seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan banyak hadits. Perasaan kasih yang terjalin dalam satu keluarga dapat diwujudkan dengan pemberian bagian melalui wasiat sebagai bentuk kasih sayang antar umat manusia kepada manusia lainnya. Semuanya dimaksudkan untuk kebaikan, menghindari konflik di dunia yang berdampak besar bagi terciptanya kerukunan dan ketentraman keluarga. Sudah menjadi kesepakatan sebagian ulama (ijma’) bahwa perbedaan agama (muslim dan non Muslim) merupakan salah satu faktor penghalang untuk dapat mewarisi. Begitu juga hubungan nasab merupakan salah satu sebab untuk dapat mewarisi. Berlainan agama adalah adanya perbedaan agama yang menjadi kepercayaan antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan. Hal tersebut dapat dilihat dalam satu kitab fiqh yang artinya: “Telah sepakat para ulama (fuqoha) bahwa ada tiga hal yang dapat menghalangi untuk mewarisi, yaitu: perbudakan, pembunuhan, dan perbedaan agama.” Dan dalam hadits Nabi SAW. yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim dari Usamah Ibn Zaid yang artinya sebagai berikut: “Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafirpun tidak dapat mewarisi harta orang muslim”. Para ahli hukum Islam (jumhur ’ulama’) sepakat bahwa orang non islam (kafir) tidak dapat mewarisi hartanya orang islam lantaran status orang non islam (kafir) lebih rendah. Demikian juga orang murtad (orang yang meninggalkan/ keluar dari agama islam) mempunyai kedudukan yang sama, yaitu tidak mewarisi harta peninggalan keluarganya. Orang yang

281

Bab III

murtad tersebut berarti telah melakukan tindak kejahatan terbesar dan telah memutuskan shilah syari’ah. Oleh karena itu para fuqaha telah sepakat bahwa orang murtad tidak berhak menerima harta warisan dari kerabatnya.251 Di samping itu ada sebagian ulama lain yang juga sependapat seperti Ibn Hazm, At-Thabari dan Muhammmad Rasyid Ridla bahwa ahli waris non-Muslim akan mendapatkan harta warisan pewaris Muslim dengan melalui wasiat wajibah, diantara ketiga ulama tersebut yang lebih lengkap dan jelas uraiannya adalah ulama Ibn Hazm sebagaimana tersebut dalam Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu Juz VIII hal. 122 sebagaimana alasan hukum yang disampaikan di atas. Pendapat Ibn Hazm yang lainnya, yang artinya sebagai berikut: “Diwajibkan atas setiap muslim untuk berwasiat bagi kerabatnya yang tidak mewarisi disebabkan adanya perbudakan, adanya kekufuran (non-Muslim), karena terhijab atau karena tidak mendapat warisan (karena bukan ahli waris), maka hendaknya ia berwasiat untuk mereka serelanya (dalam hal ini tidak ada batasan tertentu). Apabila ia tidak berwasiat (bagi mereka), maka tidak boleh tidak ahli waris atau wali yang mengurus wasiat untuk memberikan wasiat tersebut kepada mereka (kerabat) menurut kepatutan.” Dari uraian Ibn Hazm tersebut tampak jelas bahwa kedua orang tua yang tidak mewarisi, yang salah satunya disebabkan tidak beragama Islam (non-Muslim), wajib diberi wasiat wajibah. Apabila seorang Muslim sewaktu hidupnya tidak berwasiat, maka ahli waris atau wali yang mengurus wasiat harus melaksakan wasiat tersebut. Dengan demikian kewajiban berwasiat tidak hanya bersifat tidak hanya sebagai tanggung jawab seseorang dalam melaksanakan perintah agama (berwasiat) akan tetapi juga 251

282

Ibnu Rusyd, Op. cit. hal. 497.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dapat dipaksakan apabila ia lalai melaksanakannya karena sudah menyangkut kepentingan masyarakat. Kewajiban berwasiat bagi setiap muslim, sebagaimana diungkapkan Ibnu Hazm, didasarkan kepada dalil Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 180. Pemahaman Ibnu Hazm terhadap ayat-ayat kewajiban di atas tentu saja agak berbeda dengan Jumhur Ulama yang memahaminya bahwa ayat kewajiban berwasiat di atas telah dimasuki oleh ayat kewarisan, yang telah menentukan bagian warisan untuk kedua orang tua dan golongan kerabat lainnya. Pemahaman Jumhur Ulama tersebut diperkuat dengan hadits shahih yang melarang untuk berwasiat kepada ahli waris, yang ungkapannya sebagai berikut :“Allah telah memberikan kepada setiap yang berhak akan hak (warisnya), maka tidak boleh berwasiat kepada ahli waris”. (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah). Dengan demikian, menurut Jumhur Ulama lafadz “kutiba” dalam ayat kewajiban berwasiat tidak menunjukkan kepada wajib lagi, tetapi beralih menjadi sunat, yang itupun bukan berwasiat untuk ahli waris sebagaimaan hadits di atas. Selain itu, wasiat yang berkaitan dengan hak Allah dan hak hamba seperti zakat kafarat dan utang yang belum dibayar tetap wajib hukumnya. Sedangkan menurut Ibnu Hazm ayat kewajiban berwasiat tetap berlaku (muhkam) yang dikhususkan bagi orang tua dan kerabat yang tidak mewarisi karena berbagai hal di antaranya adanya perbedaan agama (non-Muslim). Sekalipun antara jumhur Ulama dan Ibnu Hazm ada perbedaan pendapat dalam menetapkan hukum berwasiat, tetapi ulama dari kalangan Syafi’iyah, Hanafiyah dan Hanabilah telah membolehkan berwasiat untuk mereka yang tidak beragama Islam (non-Muslim) dengan syarat yang diberikan wasiat tidak memerangi umat Islam, jika tidak demikian, maka wasiatnya batal, tidak sah.

283

Bab III

Perbedaan agama sebagai penghalang untuk dapat mewarisi sebagaimana dikemukakan para ulama di atas, nampaknya masih tetap mewarnai hukum kewarisan Islam dewasa ini. Undang-Undang kewarisan Mesir dan Syiria, Maroko dan Tunisia menyatakan secara tegas bahwa antara Muslim dan nonMuslim tidak dapat saling mewarisi. Adanya hak wasiat wajibah bagi ahli waris non muslim, sebagai mana dalam putusan Mahkamah Agung, dapat dikatakan sebagai upaya rechtvinding bagi kewarisan Islam di Indonesia, mungkin juga di dunia Islam, sebab di Negara-negara muslim sendiri seperti Mesir, Syiria, Tunisia dan Maroko, wasiat wajibah hanya diberikan kepada cucu yang orang tuanya meninggal terlebih dahulu, bukan ahli waris non-Muslim. Hakim yang memutus perkara ini, melakukan penemuan hukum (rechtvinding) dengan mengunakan metode Juridis Sosiologis dengan mengambil pendapat Hazairin, sedang Hazairin sendiri mengadop pendapatnya dari Ibnu Hazm dengan mendasarkan pemikiran bahwa Islam adalah agama yang rahmatan lil ‘alamin, menjunjung tinggi asas keadilan berimbang, asas kepastian (kemutlakan), asas individual dan asas bilateral. Sekalipun putusan Mahkamah Agung yang memberikan hak wasiat wajibah kepada ahli waris non muslim hanya sebagai madzab minoritas (Zhahiri) dalam khazanah pemikiran hukum Islam, namun patut kita hargai sebagai hasil penemuan hukum dalam upaya mengaktualisasikan hukum Islam di tengah-tengah masyarakat Indonesia yang pluralistik baik di bidang sosial, budaya, hukum maupun agama agar hukum Islam tidak kehilangan jati dirinya sebagi rahmatal lil’alamin. Adapun pembaharuan hukum yang dilakukan Mahkamah Agung, dalam kitannya dengan memberikan hak wasiat wajibah kepada ahli waris non-Muslim,

284

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

adalah pembaharuan yang sifatnya terbatas, yaitu dengan tetap memposisikan ahliwaris non-Muslim sebagai orang yang terhalang untuk mewarisi pewaris muslim sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan para ulama (ijma). Tetapi di sisi lain, nampaknya bagi Mahkamah Agung membiarkan ahli waris non-Muslim tidak mendapatkan sesuatu apapun dari harta warisan pewaris Muslim kurang relevan dengan nilai-nilai dan norma hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia, sehingga jalan keluarnya dengan memberikan hak wasiat wajibah, yang pada dasarnya memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan yang berkedudukan sebagai ahli waris khususnya dalam penerimaan bagian warisan. Hak wasiat wajibah bagiannya relatif hanya dibatasi dengan batasan maksimal 1/3. Dalam kontek ke-Indonesiaan wasiat wajibah bagi ahli waris non-Muslim di pihak lain berkaitan dengan nilai dan masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang telah mengadakan kontrak sosial untuk hidup rukun, damai, saling hormat menghormati dan tidak saling merendahkan martabat kemanusiaan atas dasar apapun juga, baik karena perbedaan suku, budaya maupun agama. Kontrak sosial tersebut telah dituangkan dalam konstitusi negara, yaitu Pancasila dan UUD 1945. UUD 1945 sebagai penjabaran dari Pancasila, yang belakangan ini telah mengalami perubahan (amandemen), dalam bagian pasal-pasalnya banyak menguraikan tentang perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM), yang tidak hanya sebagai cerminan dari keinginan masyarakat Indonesia, tetapi juga sudah menjadi keinginan masyarakat global (dunia).

285

Bab III

Penutup Wasiat wajibah merupakan tindakan ikhtiyariyyah yang dilakukan penguasa atau hakim atau lemabaga yang mempunyai hak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’. Terhadap kerabat yang tidak menerima harta waris karena terhalang syara’, maka mereka diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan pewaris. Pemberian wasiat wajibah kepada ahli waris yang kehilangan haknya karena halangan syara’, seperti anak angkat, perbedaan agama dan anak zina tidak diketemukan sebuah rujukan yang soreh dalam Al Qur’an dan hadits, tetapi menjadi bagian dari maslah ijtihadiyyah. Dalam perspektif Hukum Islam terwujudnya wasiat wajibah adalah sejalan dengan pandangan Islam sebagai Agama yang bertujuan untuk merealisasikan suatu perwujudan dari prinsip keadilan serta kasih sayang yang terdapat dalam ajaran Islam itu sendiri seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan banyak hadits. Perasaan kasih sayang yang terjalin dalam satu keluarga dapat diwujudkan dengan pemberian bagian melalui wasiat sebagai bentuk kasih sayang antar umat manusia kepada manusia lainnya. Semuanya dimaksudkan untuk kebaikan, menghindari konflik di dunia yang berdampak besar bagi terciptanya kerukunan dan ketentraman keluarga.

286

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Daftar Pustaka Ali Ash-Shobuni, Fiqh Mawaris, Bairut: Daar Al Fikr, 1990 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2004 Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve, 2000, Jilid 6. Anwar Sitompul, Fara’id, Hukum Waris Dalam Islam dan Maslah Masalahnya, Surabaya: Al ihlas. 1984. A, Wasit Alawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam Dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Hasbi AshShiddiqy, Fiqh Mawaris, Jakarta, Pustaka Rizki Putra, 2001. Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Jakarta: Bulan Bintang, 1979. Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid , Surabaya: Pustaka Imami, 1990 ImamTaqiyuddin Abi Bakar Bin Muhammad Al Husaini, tth, Kifayatul Ahyar,Bandung, Syirkatul Ma’arif, 1993 Rahmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Citra Aditya Bakti,1999 Sayid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Beirut: Darul Fikry, 1983 Suparman, et.all,. Fiqih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam), Jakarta: Gaya Media Pratama,1997 Wahbah Al Zuhayli, Al Wajiiz Fii Ushuul Al Fiqh, Damaskus: Darul Fikr, 2002 ________ , Fiqh Al Islam Wa Adillatuhu, Juz.VIII, Bairut: Daar Al Fikr.h,1989

287

Bab III

288

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

KEDUDUKAN WARIS ANAK DI LUAR NIKAH Sulhani Hermawan

Latar Belakang Kewarisan secara bahasa merupakan perpindahan sesuatu dari seseorang kepada seseorang lainnya. Sedangkan secara terminologi syar’i, kewarisan adalah perpindahan kepemilikan dari seseorang yang meninggal (mayit) kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang dimiliki tersebut berupa harta, atau hakhak kebendaan dan non-kebendaan lainnya.252 Secara garis besar, kewarisan dilakukan karena beberapa sebab yaitu hubungan kekerabatan nasab, hubungan pernikahan yang sah, dan hubungan kekerabatan hukmiyah (pembebasan budak).253 Mendiskusikan kedudukan waris anak di luar nikah tentu dimulai dengan pembahasan tentang anak di luar nikah terlebih dahulu, dan kemudian membicarakan status kewarisan yang dimilikinya. Fiqh Islam dengan beberapa variannya dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah memunculkan ketentuan tentang anak di luar nikah. Demikian pula, dalam praktiknya, pengadilan dan masyarakat memiliki ketentuan tertentu untuk menyebut anak di luar nikah. Setelah pembahasan ketentuan yang jelas dari Fiqh, KHI, praktik di pengadilan dan masyarakat tentang anak di luar nikah, baru kemudian dibicarakan ketentuan masing-masing tentang kewarisan anak di luar nikah.

252 Muhammad ‘Ali ash-Shabuniy, al-Mawaris fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah fi dhau’ al-KItab wa as-Sunnah, cet. III (Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1985), hlm. 31-32. 253

Ibid., hlm. 6.

289

Bab III

Anak di Luar Nikah dalam Perspektif Fiqh Hubungan anak dengan orang tua selain dibangun oleh hubungan darah juga dikuatkan oleh adanya pengakuan syara’. Adanya kesatuan hubungan darah menunjukan bahwa hubungan anak dengan orang tuanya merupakan hubungan yang sejati untuk mengungkap silsilah nasab dan keturunan dalam keluarga. Dan penguatan dari pengakuan syara’ menunjukkan bahwa hubungan anak dengan orang tuanya tidak sekedar menghubungkan nama seseorang anak dengan nama bapaknya secara biologis, tetapi jauh dari itu adalah merupakan dasar bagi hak dan kewajiban yang akan dipikulkan kepada masing masing pihak, sebagai konsekuensinya.254 Sehubungan dengan itu Islam memiliki ketentuan khusus untuk menetapkan sahnya nasab atau keturunan seseorang dengan orang lain, yaitu dapat berdasarkan adanya perkawinan maupun adanya pengakuan nasab (istilhaq/iqraru bin nasab). Nasab seseorang berdasarkan perkawinan adalah menetapkan adanya hubungan nasab seseorang dengan orang lain hanya dengan syarat adanya perkawinan yang sah saja dan tidak tergantung kepada bukti lainnya. 255 Dalam Fiqh ditentukan bahwa anak yang dilahirkan ibunya dari jalan yang tidak syar’i atau buah hasil hubungan yang

254 Akhmad Junaedi, “Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan (Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun Xxv No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam http://pakotabumi.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=74:kajian-tentangpengakuan-anak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-wahyudi-dimajalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-9295&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib, hlm. 3-4. 255

290

Ibid.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

diharamkan maka disebut dengan anak zina.256 Semua ulama dari empat madzhab Fiqh (Madzhab Hanafiyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki (ayah biologisnya), dalam arti dia itu tidak memiliki bapak, meskipun si laki-laki yang menzinahinya dan yang menaburkan benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Di dalam hal ini, sama saja baik si wanita yang dizinai itu bersuami atau pun tidak bersuami.257 Anak zina tidak dapat dinasabkan kepada ayah (biologisnya), tetapi dinasabkan kepada ibunya.258 Ketentuan tentang status anak sah didasarkan kepada perkawinan yang sah tersebut didasarkan oleh para ulama Fiqh pada sebuah hadits yang berbunyi: 259



256 Wahbah al-Zuhayliy, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), juz X, hlm. 532. 257 Lihat Al Mabsuth juz XVII hlm. 154, Asy-Syarh al-Kabir juz III, hlm. 412, AlKharsyi juz VI, hlm. 101, Al-Qawanin hal: 338, dan Ar-Raudlah 6/44 yang dikutip dari Taisiril Fiqh juz II, hlm. 828 dalam http://tsaqofah.wordpress.com/2006/11/24/status-anak-hasilhubungan-di-luar-nikah/ diakses pada 1 Juli 2011, pkl. 15.52. 258 Abu Bakar bin Muhammad Zain al-Abidin Syatha (Sayyid Bakri Syatha), I’anah ath-Thalibin, Syarh Fath al-Mu’in, (Free software Maktaba Shameela), juz II, hlm. 128. 259 Hadits ini diriwayatkan oleh banyak rawi dan dimuat di dalam beberapa kitab Hadits, antara lain Riwayat ‘Aisyah di dalam Al-Bukhari, Shahih Bukhari, (Mausu’ah Hadits anNabawi asy-Syarif, edisi II, Free Program oleh Islamspirit.com), No. Hadits 1948, 2105, 2289, 2396, 2594, 4052, 6368, 6384, 6431 dan 6760. As-sayid al-Imam Muhammad bin Isma’il alKahlani tsumma ash-Shan’ani mengutip Ibn ‘Abd al-Barr bahwa hadits ini diriwayatkan oleh sekitar 20 orang sahabat, lihat As-sayid al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Kahlani tsumma ash-Shan’ani, Subul as-Salam, Syarh Bulugh al-Maram (Semarang: Maktabah Toha Putera, t.th), juz. III, hlm. 210.

291

Bab III

Hadits tersebut menjadi dalil atas ditetapkannya nasab seorang anak kepada ayahnya didasarkan kepada hubungan pernikahan yang sah, dan di luar itu disebut dengan anak hasil zina yang pelakunya bisa mendapatkan sanksi rajam dengan batu.260 Dalam literatur-literatur fikih terdapat keterangan yang menjelaskan agar pengakuan (istilhaq) seseorang dianggap sah dan bisa menjadikan adanya hubungan nasab dengan orang yang diakuinya itu harus dipenuhi empat syarat, yaitu:261 a. Bahwa anak yang diakui itu tidak diketahui orang tuanya, sehingga ada kemungkinan untuk menetapkan bahwa anak itu adalah anak dari bapak yang mengakuinya. Maka pengakuan terhadap anak yang sudah diketahui secara pasti orang tuanya tidak diperbolehkan. b. Dari segi umur pengakuan anak tersebut masuk akal, sehingga apabila anak yang diakui ternyata lebih tua atau sebaya ataupun lebih muda sedikit dari ayah yang mengakui, maka pengakuan anak tersebut tidak dapat diterima atau ditolak. c. Dari segi obyek pengakuan, jumhur ulama berpendapat pengakuan anak tersebut tidak didasarkan atas keterangan bahwa anak yang diakuinya itu adalah hasil hubungan di luar nikah/zina dengan ibu dari anak itu. Di antara dalil hukumnya adalah 260 As-sayid al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Kahlani tsumma ash-Shan’ani, Subul as-Salam…, juz. III, hlm. 213. 261 Akhmad Junaedi, “Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan (Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XXV No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam http://pakotabumi.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=74:kajian-tentangpengakuan-anak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-wahyudi-dimajalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-9295&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib, hlm. 3-4

292

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

                                                                                                                   262               Jadi hubungan nasab tidak diakui berdasarkan zina sesuai dengan hadits “Dan bagi orang yang berzina itu batu “ ( ) sebagaimana telah disebutkan di atas. Di samping itu asSayid Sabiq menegaskan bahwa jumhur ulama seperti Malik, al-Tsawriy, al-Lays dan asy-Syafi’i berpendapat bahwa anak zina hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan tidak mempunyai hubungan keperdataan dengan ayahnya baik dalam hukum perkawinan maupun hukum kewarisan. Berbeda dengan pendapat jumhur ulama, Ibnu Taimiyah tetap mengakui adanya hubungan nasab antara anak zina dengan ayahnya, alasannya sanksi zina ditimpakan kepada pelaku perbuatan zina baik di dunia maupun diakhirat, bukan kepada anak yang dilahirkan. d. Pengakuan anak tersebut dibenarkan oleh anak yang diakuinya dengan syarat kalau anak tersebut sudah dewasa, sebab dengan persetujuan anak yang sudah dewasa pengakuan itu dianggap benar. Namun jika anak yang diakui belum dewasa (belum baligh), maka hubungan nasab cukup didasarkan pada pengakuan ayahnya saja. As-Sayid Sabiq menyatakan bahwa apabila seseorang perempuan menikah dan enam bulan sesudah pernikahan tersebut melahirkan anak, maka anak tersebut dianggap sebagai 262

Al-Qur’an surat an-Nahl/16 ayat 72.

293

Bab III

anak yang sah. Mengutip Malik, diriwayatkan bahwa Ustman bin Affan didatangi oleh seorang perempuan yang telah melahirkan anak setelah enam bulan dari pernikahannya. Utsman bin affan kemudian memerintahkan agar perempuan tersebut dirajam. Akan tetapi, ‘Ali bin Abi Thalib menolak adanya hukum rajam terhadap perempuan tersebut dengan argumentasi bahwa anak tersebut masih berada di dalam pernikahan yang sah, dan kehamilan bisa terjadi hanya dalam waktu enam bulan saja. Ali bin Abi Thalib berargumen dengan dalil ayat al-Qur’an tentang masa kehamilan dan persusuan sebanyak 30 bulan dan tentang masa persusuan yang sempurna sebanyak 2 tahun (24 bulan), sehingga kehamilan terhitung 6 bulan.263 Surat al-Ahqaf ayat 15: 264                       Surat al-Baqarah ayat 233:                                                             265        1. Anak di Luar Nikah dalam Perspektif KHI dan Praktik Pengadilan Definisi anak yang sah dalam perspektif KHI diatur di dalam Bab XIV tentang Pemeliharaan Anak. Pasal 99 KHI mengatur bahwa anak yang sah menurut hukum adalah anak yang dilahirkan 263 As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah (Semarang: Maktabah Toha Putera, t.th.), majlad II, hlm. 357-358.

294

264

Al-Qur’an surat al-Ahqaf/46 ayat 15

265

Al-Qur’an surat al-Baqarah/2 ayat 233

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dalam atau akibat perkawinan yang sah. Termasuk dihitung sebagi anak yang sah ketika pembuahan dilakukan oleh suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh suami istri tersebut.266 Oleh karenanya, anak yang tidak sah atau anak di luar nikah adalah anak yang lahir di luar atau bukan akibat perkawinan yang sah. Pasal 100 KHI mengatur bahwa anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam pasal 101 KHI diatur bahwa seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedangkan istri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan lisan. Sementara itu dalam pasal 102 diatur bahwa suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari istrinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.267 Dalam Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn. tanggal 27 Juli 2006 tentang pengakuan anak di luar perkawinan, di dalam salah satu pertimbangan hukumnya menjelaskan: “Dalam penalaran hukum, majelis hakim berpendapat bahwa tidak ada ketentuan yang jelas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur kasus tersebut. Dalam KHI hanya ada Pasal 53 yang mengatur pernikahan wanita hamil. Menurut Majelis hakim, Pasal 53 KHI didasarkan pada AlQur’an, Surah An-nur, ayat 3. Filsafat hukum Islam dari ayat 266 KHI pasal 99, lihat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (digandakan oleh Humaniora Utama Press, Bandung) dari sumber Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1991/1992, hlm. 46-47. 267

Kompilasi Hukum Islam…, hlm. 47.

295

Bab III

tersebut adalah dalam rangka perlindungan dan kemaslahatan anak yang telah terjadi proses pembuahannya di luar nikah sehingga ada teori hukum: "hukum mengikuti kepentingan publik (kemaslahatan) yang kuat (al-hukmu yattabi'u al-mashlahah ar rajihah)." Selain itu, fakta-fakta dalam proses persidangan telah memenuhi Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 23 tahun 2002) dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama. Oleh karena itu permohonan dapat dikabulkan dan Majelis hakim memutuskan anak yang namanya Fulan diakui sebagai anak sah Pemohon dan Termohon berdasarkan pengakuan Pemohon.”268 Akhmad Junaedi menanggapi keputusan PA Sleman Nomor: 408/Pdt.G/2006/PA.Smn. tanggal 27 Juli 2006 tentang pengakuan anak di luar perkawinan dengan menyatakan bahwa pendapat Pengadilan Agama Sleman tersebut tidak sejalan dengan pendapat Jumhur Ulama, Undang Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tetapi sejalan dengan pendapat Ibnu Taimiyah dan Burgelijk Wetboek (BW). Kekeliruan majelis hakim PA Sleman berawal dari dalam penalaran hukum terhadap kasus yang dihadapi dengan menyimpulkan “Tidak ada ketentuan yang jelas dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur kasus tersebut. Dalam KHI hanya ada Pasal 53 yang mengatur pernikahan wanita hamil.” 269

268 Akhmad Junaedi, “Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan (Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun XXV No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam http://pakotabumi.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=74:kajian-tentangpengakuan-anak-di-luar-perkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isna-wahyudi-dimajalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no-296-juli-2010-hlm-9295&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib, hlm. 1. 269

296

Ibid, hlm. 6-7.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Dalam hal mengatur kedudukan hukum anak tidak sah atau anak di luar perkawinan baik Undang Undang Perkawinan maupun KHI sepintas terkesan bias diskriminasi, seperti tanggapan yang pernah disampaikan oleh Busthanul Arifin, “Bahwa ketentuan ini menimbulkan kesan, seakan akan kedudukan ibu yang melahirkan anak di luar nikah tidak seimbang dengan kedudukan bapak yang menghamilinya. Bahkan kalau ditinjau dari segi anak menimbulkan kesan tidak adil dan tidak manusiawi. Akan tetapi sekiranya anak yang tidak sah (yang lahir di luar nikah) diberi juga status hukum terhadap bapak alaminya, maka seluruh lembaga perkawinan yang begitu luhur akan berantakan sama sekali.”270 Akhmad Junaedi menegaskan bahwa menurut BW (Burgelijk Wetboek) anak di luar perkawinan (natuurlijk kind) adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan sah dan tidak termasuk anak zina dan anak sumbang. Menurut sistem yang dianut BW pasal 272 “adanya keturunan di luar perkawinan saja belum terjadi suatu hubungan nasab antara anak dengan orang tuanya, baik dengan bapak maupun ibunya”. Barulah dengan adanya pengakuan (erkening) lahir suatu pertalian kekeluargaan dengan akibat-akibatnya (terutama hak mewaris) antara anak dengan orang tua yang mengakuinya. Hal ini sejalan dengan pasal 280 BW yang menyatakan dengan pengakuan anak di luar perkawinan, maka lahirlah hubungan perdata antara anak dengan ayah-ibunya. Pengakuan anak menurut BW tidak dapat dilakukan secara diam diam, tetapi harus dilakukan di muka pegawai Catatan Sipil dengan pencatatan dalam akte kelahiran anak tersebut, atau dalam akte perkawinan kedua orang tuanya atau dalam akta 270

Ibid, hlm. 5-6.

297

Bab III

tersendiri dari Catatan Sipil maupun akte yang dibuat Notaris. Pengakuan anak yang tidak diikuti dengan perkawinan sah orang tuanya mengakibatkan hubungan kekeluargaan antara anak dengan keluarga dari ayah dan ibunya belum terwujud, sebab hubungan tersebut didasarkan pada pengesahan anak (wettiging) yakni perkawinan sah orang tuanya. Apabila ayah ibunya sudah kawin secara sah namun belum melakukan pengakuan anak yang lahir sebelum perkawinan, maka pengesahan anaknya dilakukan dengan surat pengesahan (brieven van wettiging) oleh Kepala Negara. 271 Terkait dengan pembuktian asal-usul anak dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya atau penetapan Pengadilan Agama berdasarkan bukti-bukti yang sah sebagaimana diatur di dalam pasal 103 KHI, anak yang lahir di dalam perkawinan di bawah tangan (tidak dicatatkan dalam administrasi pencatatan perkawinan), dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (pasal 42 dan pasal 43 UU Perkawinan, pasal 100 KHI). Di dalam akte kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.272

Anak di Luar Nikah Menurut Praktik di Masyarakat Dalam hukum adat di Indonesia ditentukan bahwa anak yang sah adalah anak kandung yang lahir dari perkawinan orang 271 272

Ibid, hlm. 6.

Lihat http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm, diakses tanggal 23 juni 2011, pkl 21.09 wib, hlm. 1-3.

298

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

tuanya yang sah menurut ajaran agama. Hukum adat juga menentukan bahwa seorang anak yang dilahirkan oleh ibunya yang mempunyai suami, maka anak itu adalah anak suaminya.273 Di dalam hukum adat tidak menjadi masalah berapa lama seorang anak dilahirkan sesudah akad perkawinan.274 Dalam hukum adat, proses terjadinya anak luar nikah dapat dikategorikan menjadi beberapa kategori. Pertama, anak dari hubungan ibu sebelum terjadinya perkawinan, kedua, anak dari kandungan ibu setelah lama bercerai dari suaminya, ketiga, anak dari kandungan ibu karena berbuat zina dengan orang lain yang bukan suaminya, keempat, anak dari kandungan ibu yang tidak diketahui siapa ayahnya, kelima, anak dari kandungan ibu tanpa melakukan perkawinan yang sah.275 Sikap hukum adat di Indonesia terhadap anak luar nikah berbeda-beda. Di Minahasa, Ambon dan Mentawai, anak yang lahir di luar perkawinan, beribu kepada perempuan yang melahirkannya, dan dianggap sebagai hal yang biasa dan tidak cacat. Sementara, di beberapa tempat lainnya, ibu yang melahirkan tanpa perkawinan dan anak yang dilahirkannya, secara magis religious, dianggap membawa petaka, sial dan celaka. Oleh karenanya, ibu dan anak tersebut harus diasingkan dari

273 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 68, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat di Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali”, Tesis Magister pada Program Studi Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang tahun 2006, hlm. 17-18. 274

Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat …,

hlm. 16. 275 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat …, hlm. 100, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 20-23.

299

Bab III

masyarakat, atau harus dibunuh atau diserahkan kepada kepala adat atau raja sebagai budak.276 Di beberapa daerah, ada lembaga yang bisa memaksa lakilaki yang ditunjuk si perempuan sebagai orang yang menurunkan anak di dalam kandungannya. Di Sumatera Selatan pemaksanya bernama Rapat Marga, di Bali bernama Hakim, di Jawa bernama Kepala Desa. Hal ini dilakukan agar anak yang berada di dalam kandungan lahir dalam perkawinan yang sah.277 Di desa-desa di Jawa, nikah paksaan tersebut disebut dengan nikah tambelan, berfungsi mengesahkan anak, tetapi masyarakat tetap memandangnya sebagai anak haram jadah, sebagaimana di desa Agung Muyo, kecamatan Juwana Kabupaten Pati.278 Di Bali, anak yang dilahirkan di luar nikah adalah anak yang sah, jika dibangkitkan di masa pertunangan. Di Minahasa, anak yang lahir di luar pernikahan, berbapak pada laki-laki biologis yang menurunkannya, dengan penguat berupa hadiah adat yang bernama lilikur. Di beberapa tempat lainnya, anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah, menurut hukum adat di masyarakat, dianggap tidak berbapak dan nasabnya dihubungkan dengan ibu yang melahirkannya.279

276 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hlm. 31, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 14-15. 277

Ibid.

278

Soerojo Wignjodipuro, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hlm. 127, dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 24. 279 Bushar Muhammad, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), hlm. 31, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat …, hlm, hlm. 15-16.

300

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kewarisan Anak di Luar Nikah Ketentuan mengenai anak sah dan anak di luar nikah yang ada di dalam Fiqh, KHI, praktik pengadilan dan pasyarakat memiliki implikasi dan konsekuensi lanjutan dalam bidang kewarisan. Penetapan hak dan hukum waris mewarisi yang terkait dengan orang tua dan anak selalu berhubungan erat dengan status sah dan tidaknya anak dalam ketentuan masing-masing. 1. Kewarisan Anak di Luar Nikah Menurut Fiqh Anak di luar nikah, di dalam fiqh disebut sebagai walad az-zina. Hasanayn Muhammad Makluf membuat terminologi anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari hubungan suami istri yang tidak sah. Hubungan suami istri yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/wathi’) antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan. Selain itu, hubungan suami istri yang tidak sah tersebut, dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang telah menikah ataupun belum menikah.280 Wahbah az-Zuhaili mencatat, bahwa menurut ulama Malikiyah, zina adalah salah satu penghalang kewarisan di dalam ketentuan Fiqh Islam. Oleh karenanya, seorang walad az-zina tidak bisa saling waris mewarisi dengan ayahnya, meskipun ayah tersebut mengakuinya sebagai anak

280 Hasanayn Muhammad Makluf, Al-Mawaris fi asy-Syari’at al-Islamiyyah, (t.tp: Matba’ al-Madaniy, 1996), yang dikutip oleh Chatib Rasyid, “Menempatkan Anak Yang Lahir Di Luar Nikah Secara Hukum Islam”, makalah Diskusi/Muzakarah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan tanggal 27 Agustus 2005 M/1426 H dan diperbaiki di Yogyakarta, 2 Maret 2009, dalam situs http://belibis-a17.com/2009/03/29/1012/ diakses pada 1 Juni 2011, pkl 15.35, hlm. 4.

301

Bab III

biologisnya.281 Anak zina memiliki posisi yang sama dengan anak mula’anah,282 hanya bisa menerima dan memberi warisan dari garis ibunya saja, karena hubungan nasabnya hanya tersambung dengan garis ibunya.283 Anak zina bisa menerima dan meninggalkan warisan dari ibunya, dan tidak bisa menerima dari jalur ayahnya, karena dia dianggap tidak memiliki ayah dan keluarga/kerabat dari jalur ayah284. Dalam ketentuan Umar bin Khattab, ashabah anak zina (sama dengan anak mula’anah) hanya bisa didapatkan dari jalur ibunya. Apabila anak zina berada dalam posisi ahli waris yang memiliki bagian (dzu fardl), maka bagian hartanya dikembalikan kepada ahli waris lainnya (radd). Namun apabila anak zina, tidak dalam posisi menerima bagian warisan tertentu (ashabah), maka bagian ashabahnya dikaitkan dengan ashabah ibunya.285 Ketersambungan hubungan dan posisi kewarisan anak zina kepada jalur ibunya dan tidak kepada ayah dan jalur ayahnya merupakan sebuah ijma’ dan disepakati oleh ulama

281 Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (free program Mahtabah Syamilah 15 gb), juz X, hlm. 383. 282 Anak mula’anah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang ibu yang diingkari oleh suaminya dengan dikuatkan dengan sumpah li’an, maka nasab dengan ayahnya terputus, dan semua konsekuensi perdatanya hanya dihubungkan dengan garis ibunya, lihat As-Sayid Sabiq, Fiqh as-Sunnah …, majlad II, hlm. 276-277 dan dan an-Nawawiy, AlMajmu’ Syarh al-Muhadzdzab(free program Mahtabah Syamilah 15 gb), Bab Mirats al‘Ashabah, juz XVI, hlm. 10. 283

Al-Bahr ar-Ra’iq (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Kitab al-Fara’id, juz

VIII, hlm. 574. 284 Fatawa al-Baghdadi (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Bab Nasab alWalad, juz II hlm. 852. 285 Syarh az-Zarkasyi (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Bab Masa’ilun Syatta fi al-Fara’id, Juz II, hlm. 278

302

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Fiqh madzhab empat serta Syiah Imamiyah.286 Hal ini didasarkan kepada hadits sebagai berikut: 287



 288



Senada dengan riwayat hadits tersebut, diriwayatkan juga dari Ali bin Abi Thalib dan Ibnu ‘Abbas bahwa anak zina tidak diperkenankan memperoleh kewarisan menurut Islam dengan pernyataan sebagai berikut: 289



Dengan demikian menjadi sebuah ijma’ dan kesepakatan di kalangan ulama fiqh Islam bahwa posisi kewarisan anak di luar nikah (anak zina dan anak mula’anah) hanya bisa dihubungkan kepada ibunya dan keluarga ibunya.290 2. Kewarisan Anak di Luar Nikah Menurut KHI Seiring dengan ketentuan Fiqh dan sebagai konsekuensi lanjutan dari pasal 100 KHI tentang anak di luar 286

Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh …, juz X, hlm. 532.

287

Diriwayatkan oleh at-Turmudzi dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, di salah satu sanadnya terdapat nama Abu Muhammad Isa bin Musa al-Qursyi adDimasyqi yang dinilai tidak masyhur, lihat Nail al-Authar, juz VI, hlm. 66 yang dikutip Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh …, juz X, hlm. 533. 288

Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, lihat lihat Nail al-Authar, juz VI, hlm. 66 yang dikutip Wahbah az-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh …, juz X, hlm. 533. 289 Nailul Authar (free program Maktabah Syamilah 15 gb), Bab Miratsul Ibn alMula’anah wa az-Zaniyah min Huma, juz VI, hlm.127. 290

Ibid.

303

Bab III

perkawinan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya, yang sejalan dengan ketentuan pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974, maka anak yang lahir di luar nikah hanya bisa memiliki hubungan dan posisi kewarisan dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam pasal 186 KHI ditentukan, Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewaris dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya.291 Chatib Rasyid menegaskan bahwa yang termasuk anak yang lahir di luar pernikahan adalah292: a. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang tidak mempunyai ikatan perkawinan yang sah dengan pria yang menghamilinya. b. Anak yang dilahirkan oleh wanita akibat korban perkosaan oleh satu orang pria atau lebih. c. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang dili’an (diingkari) oleh suaminya. d. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat salah orang (salah sangka), disangka suami ternyata bukan. e. Anak yang dilahirkan oleh wanita yang kehamilannya akibat pernikahan yang diharamkan seperti menikah dengan saudara kandung atau saudara sepersusuan. Anak yang lahir di luar nikah tersebut secara hukum tidak mempunyai hubungan hukum saling mewarisi dengan 291 292

Pasal 186 KHI, lihat Kompilasi Hukum Islam di Indonesia…, hlm. 77.

Chatib Rasyid, “Menempatkan Anak Yang Lahir Di Luar Nikah Secara Hukum Islam… dalam situs http://belibis-a17.com/2009/03/29/1012/ diakses pada 1 Juni 2011, pkl 15.35, hlm. 5.

304

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

ayah/bapak alami (genetiknya), ataupun suami ibunya. Dengan demikian, secara tegas, KHI mengatur bahwa anak di luar pernikahan yang sah dengan bukti-bukti perkawinan yang sah secara hukum, hanya bisa memperoleh bagian warisan dari ibunya dan keluarga ibunya dan hanya bisa meninggalkan warisan kepada ibunya atau keluarganya dalam jalur ibu. 3. Kewarisan Anak di Luar Nikah dalam Praktik di Pengadilan Putusan pengadilan oleh majelis hakim tentang sengketa atau penetapan waris selalu didasarkan kepada peraturan perundangan yang berlaku. Pengadilan Agama, dengan landasan hukum Islam, khususnya berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, tidak bisa memutuskan kewarisan anak di luar nikah dari jalur ayahnya, baik ayah biologis maupun suami ibunya. Namun demikian, ada beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung terkait dengan perkaraperkara sengketa waris dengan pertimbangan hukum tertentu, tidak memberikan warisan kepada anak di luar nikah dan dengan pertimabngan tertentu pula, ada yang memberikan warisan kepada anak di luar nikah. Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (RI) tanggal 18 Maret 1976 No. 889 K/SIP/1974 menegaskan bahwa adanya perkawinan dibuktikan dengan adanya akte perkawinan. Maka bahwa anak-anak yang lahir dalam hidup bersama yang bukan dianggap sebagai ikatan perkawinan secara hukum, adalah anak alam (natuurlijk kind) dan bukan anak yang sah.293 Berdasarkan pertimbangan hukum adat, 293 Putusan Mahkamah Agung tgl. 18 - 3 - 1976 No. 889 K/Sip/1974. dalam Perkara: Muchtar d/h Lo Mjuk Sen melawan Na Teng Lian, Na Teng Hin Na Teng Nie dan kawan-kawan, dengan Susunan Majelis : 1. D.H. Lumbanradja SH.; 2. R. Saldiman Wirjatmo SH.; 3. Indroharto SH. Yang dikutip dalam http://www.kennywiston.com/hukumsipil.htm, diakses tgl 23 Juni 2011, pkl 20.47 WIB.

305

Bab III

Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 24 Mei 1958 No. 82/K/SIP/1957 menyatakan bahwa anak luar kawin tidak berhak mewarisi barang-barang pusaka, barang ini kembali kepada waris keturunan darah yang sah.294 Kemudian Putusan Mahkamah Agung RI tanggal 18 Maret 1959 menyatakan bahwa, “menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak luar kawin hanya diperkenankan mewaris harta gono-gini dari keluarga bapak biologisnya, sedangkan harta pusaka (barang asal), anak luar kawin tidak berhak mewarisinya”.295 Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 179/K/SIP/1960 tanggal 23 Oktober 1961 menyatakan: “Berdasarkan rasa kemanusiaan dan keadilan umum juga, atas hakikat persamaan hak antara anak sah dan anak luar kawin, dalam beberapa keputusan mengambil sikap dan menganggap sebagi hukum yang hidup di Indonesia, bahwa anak-anak luar kawin adan anak-anak sah dari seorang peninggal harta (pewaris), bersama-sama berhak atas harta warisan, dengan kata lain bagian seorang anak-anak sah adalah sama dengan bagian seorang anak-anak luar kawin”.296

294 Hal ini menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Purworejo tanggal 6 Oktober 1937 yang mengatakan bahwa “anak luar kawin menurut hukum adat tetap berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh keluarga ibunya sendiri. Tetapi hak waris anak luar kawin terbatas pada harta warisan keluarga bapak bioologisnya yang berasal dari harta pencaharian bukan harta pusaka”, lihat oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 52-53. 295 Wahyu Afandi, Aneka Putusan Pengadilan (Bandung: Alumni, 1984), hlm. 289, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 53. 296 Soleman Biasane Taneko, Dasar-Dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 97, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 62.

306

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 415/K/SIP/1970 tanggal 30 Juni 1971 menyatakan: “Hukum adat di daerah Padang Sidempuan, Sumatera Utara, tentang kedudukan anak (anak sah dan anak luar kawin) terhadap warisan orang tua. DI daerah Tapanuli pemberian dan penyerahan kepada seorang anak luar kawin merupakan “serah lepas” dengan maksud memperlunak hukum adat setempat yang pada mulanya tidak mengakui hak mewaris bagi anak luar kawin. Jadi saat ini, hukum adat di Tapanuli telah berkembang ke arah pemberian hak yang sama kepada anak anak sah dan anak anak luar kawin.”297 Kemudian Yurisprudensi Mahkamah Agung 1037/K/SIP/1971 tanggal 31 Juli 1973 menyatakan:

RI

No.

“Hukum adat di Pematang Siantar, Sumatera Utara, tentang kedudukan anak anak luar kawin terhadap warisan orang tuanya, dalam hal ini pewaris yang telah meninggal dengan meninggalkan seorang anak luar kawin, maka anak anak luar kawin inilah yang merupakan satu-satunya ahli warisnya dan yang berhak atas harta yang ditinggalkannya.”298 Berdasarkan beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI tersebut, anak luar nikah, dengan beberapa pertimbangan hukum tertentu, memiliki peluang untuk memperoleh harta warisan dari ayah dan ibu biologisnya dalam Praktik di Pengadilan, terutama Pengadilan Negeri. 4. Kewarisan Anak di Luar Nikah dalam Praktik di Masyarakat Pada masyarakat di Indonesia yang masih menerapkan hukum adatnya, kewarisan adalah penerusan harta kekayaan 297

Ibid., hlm. 62-63.

298

Ibid., hlm. 63.

307

Bab III

dari suatau generasi kepada keturunannya.299 Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan yang bertalian dengan proses penerusan/pengoperan dan peralihan/perpindahan garta kekayaan yang bersifat materiil dan non-materiil dari generasi ke generasi.300 Pada umumnya, menurut hukum adat, anak yang lahir dari perkawinan ayah dan ibunya yang tidak sah, maka tidak berhak sebagai ahli waris dari orang tuanya. Anak yang tidak sah hanya mewaris dari ibu atau kerabat ibunya.301 Selain beberapa praktik pemberian kewarisan di masyarakat yang telah dikutip oleh beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung RI, yaitu di Pematang Siantar dan Padang Sidempuan, Sumatera Utara dan Jawa Tengah, yang telah diterangkan sebelumnya, di Indonesia ada beberapa kelompok masyarakat yang mayoritas Muslim menerapkan ketentuan tentang posisi waris anak luar nikah dengan bahkan memberikannya, meski dengan ketentuan adat yang khusus. Namun demikian, anak luar kawin, secara adat tidak layak menjadi ahli waris apabila membunuh pewaris, atau mencegah paksa pewaris untuk membuat wasiat, atau

299 Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 7 yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 27. 300 Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Azas (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1981), hlm. 151, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 27. 301 Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat (Jakarta: Pradnya Paramita, 1987), hlm. 79, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 30-31.

308

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

melenyapkan atau memalsu surat wasiat pewaris, atau melanggar ketentuan adat yang berlaku bagi pewaris.302 Sri Wahyuni, dalam penelitiannya pada masyarakat desa Winong kecamatan Boyolali, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah yang memiliki penduduk 2243 orang beragama Islam, 20 orang beragama Kristen dan 27 orang beragama Katolik303 serta berpenduduk 1098 anak sah dan 1192 anak luar nikah304 menemukan beberapa hasil riset tentang pemberian warisan kepada anak luar nikah dengan ketentuan dan prosedur tertentu. Pertama, kedudukan anak luar kawin yang berkelakuan baik terhadap keluarga bapak biologisnya, akan mendapat warisan dari keluarga bapak biologisnya. Jika bapak biologisnya mempunyai anak sah dan anak luar kawin, maka anak luar kawin itu dapat mewaris dari bapak biologisnya dengan bagian yang tidak sebanyak seperti yang didapatkan oleh anak sah. Kedua, penyelesaian sengketa warisan dengan melibatkan anak luar kawin, terlebih dahulu dilakukan dengan cara musyawarah di antara anggota keluarga, dengan dipimpin oleh anak sah yang sulung atau anak laki-laki yang dituakan, atau kalau tidak ada anak sah, maka dipimpin oleh saudara atau kerabat dari pihak ayah. Kalau musyawarah keluarga tidak bisa menyelesaikannya, maka sengketa akan

302 Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 141, yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 31-32. 303 Monografi Desa Winong kecamatan Boyolalli Kabupaten Boyolali Jawa Tengah bulan Juni tahun 2006 yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat …, hlm. 44. 304 Data Potensi Desa Winong kecamatan Boyolalli Kabupaten Boyolali Jawa Tengah bulan Maret tahun 2006 yang dikutip oleh Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat…, hlm. 41.

309

Bab III

diselesaikan dalam musyawarah adat yang dipimpin oleh Kepala Desa atau yang dituakan oleh masyarakat desa Winong. Melihat adanya kenyataan tentang pemberian waris kepada anak luar nikah di beberapa masyarakat di Indonesia, bahkan masyarakat yang mayoritas beragama Islam, berdasarkan hukum adatnya, menjadi sebuah catatan penting, bahwa pada kasus tertentu, masyarakat bisa tidak menerapkan hukum Islam (yang termuat di dalam fiqh) dan ketentuan KHI yang melarang pewarisan anak di luar nikah dari jalur ayahnya. Hukum adat di beberapa tempat, memberikan peluang kepada anak luar nikah untuk bisa menerima warisan dari ayah (biologisnya).

Kesimpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: 1. Anak yang tidak sah, baik anak zina maupun anak mula’anah menurut fiqh adalah anak yang lahir akibat pernikahan yang tidak sah atau tidak diakui oleh suami ibunya yang dikuatkan dengan sumpah li’an. Mayoritas ulama fiqh menetapkan bahwa anak di luar nikah yang sah tidak diperbolehkan menerima atau meninggalkan warisan dari jalur ayah, baik ayah biologisnya maupun suami ibunya, serta hanya saling mewarisi dengan ibunya atau kerabat ibunya 2. Anak yang tidak sah, atau anak di luar nikah yang sah menurut KHI adalah anak yang lahir di luar atau bukan akibat pernikahan yang sah. Pembuktian asal-usul anak yang sah dilakukan dengan alat bukti resmi yang disahkan oleh hukum Negara, baik berupa sertifikat atau alat bukti lainnya atau penetapan Pengadilan Agama dengan bukti-bukti yang sah

310

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dan meyakinkan. Anak yang tidak sah atau anak di luar nikah yang sah, tidak berhak saling mewaris dengan ayah biologisnya atau suami ibunya dan hanya berhak saling mewaris dengan ibunya atau kerabat/keluarga ibunya. 3. Anak di luar nikah atau tidak sah dalam praktik di pengadilan adalah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah menurut hukum positif dan tidak bisa dibuktikan secara hukum. Dengan pertimbangan hukum positif pula, anak di luar nikah tidak bisa saling mewaris dengan ayah biologisnya atau suami ibunya dan hanya bisa saling mewaris dengan ibunya atau keluarga ibunya. Namun demikian, dalam kasus tertentu, berdasarkan pertimbangan hukum adat tertentu, pengadilan bisa menetapkan pemberian warisan kepada anak luar nikah oleh ayah biologisnya. 4. Anak di luar nikah atau tidak sah dalam praktik di masyarakat adalah anak yang lahir di luar pernikahan yang sah menurut hukum agama, hukum negara dan atau hukum adat yang berlaku setempat. Secara umum, anak di luar nikah menurut masyarakat hanya bisa saling mewarisi dengan ibunya atau kerabat ibunya. Namun, dengan pertimbangan lokal, berdasarkan musyawarah keluarga atau musyawarah adat, anak di luar nikah bisa saling mewaris dengan ayah biologisnya. Daftar Pustaka Al-Qur’an al-Karim al-Bukhari, Shahih Bukhari, Mausu’ah Hadits an-Nabawi asy-Syarif, edisi II, Free Program oleh islamspirit.com. al-Bahr ar-Ra’iq, Free software Maktaba Shameela 15 Gb. Fatawa al-Baghdadi, Free software Maktaba Shameela 15 Gb.

311

Bab III

Nailul Authar, Free software Maktaba Shameela 15 Gb. an-Nawawiy, Al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Free software Maktaba Shameela 15 Gb. Syarh az-Zarkasyi, Free software Maktaba Shameela 15 Gb. Syatha, Abu Bakar bin Muhammad Zain al-Abidin (Sayyid Bakri Syatha), I’anah ath-Thalibin, Syarh Fath al-Mu’in, Free software Maktaba Shameela 15 Gb. az-Zuhaily, Wahbah, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Free software Maktaba Shameela 15 Gb. Afandi, Wahyu, Aneka Putusan Pengadilan, Bandung: Alumni, 1984. ash-Shabuniy, Muhammad ‘Ali, al-Mawaris fi asy-Syari’ah alIslamiyyah fi Dhau’ al-Kitab wa as-Sunnah, cet. III, Beirut: ‘Alam al-Kutub, 1985. ash-Shan’ani, as-sayid al-Imam Muhammad bin Isma’il al-Kahlani tsumma, Subul as-Salam, Syarh Bulugh alMaram,Semarang: Maktabah Toha Putera, t.th. az-Zuhayliy, Wahbah, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuh, Beirut: Dar alFikr, 1984. Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (digandakan oleh Humaniora Utama Press, Bandung) dari sumber Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, 1991/1992. Makluf, Hasanayn Muhammad, Al-Mawaris fi asy-Syari’at alIslamiyyah, t.tp: Matba’ al-Madaniy, 1996.

312

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Muhammad, Bushar, Asas-Asas Hukum Adat Suatu Pengantar, Jakarta: Pradnya Paramita, 1997. Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 1991 Sabiq, as-Sayid, Fiqh as-Sunnah, Semarang: Maktabah Toha Putera, t.th.. Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Jakarta: Pradnya Paramita, 1987. Soleman Biasane Taneko, Dasar-Dasar Hukum Adat dan Ilmu Hukum Adat, Bandung: Alumni, 1981). Sri Wahyuni, “Kedudukan Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris Adat di Kecamatan Boyolali Kabupaten Boyolali”, Tesis Magister pada Program Studi Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang tahun 2006. Sudiyat, Imam, Hukum Adat Sketsa Azas, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1981. Wignjodipuro, Soerojo, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: Gunung Agung, 1983. Data Potensi Desa Winong kecamatan Boyolalli Kabupaten Boyolali Jawa Tengah bulan Maret tahun 2006. Monografi Desa Winong kecamatan Boyolalli Kabupaten Boyolali Jawa Tengah bulan Juni tahun 2006. http://tsaqofah.wordpress.com/2006/11/24/status-anak-hasilhubungan-di-luar-nikah/ diakses pada 1 Juli 2011, pkl. 15.52. http://www.kennywiston.com/hukumsipil.htm, diakses tgl 23 Juni 2011, pkl 20.47 WIB.

313

Bab III

http://www.lbh-apik.or.id/fact51-bwh%20tangan.htm, tanggal 23 juni 2011, pkl 21.09 wib.

diakses

Junaedi, Akhmad, “Kajian Tentang Pengakuan Anak Di Luar Perkawinan (Tanggapan Atas Tulisan Muhamad Isna Wahyudi Di Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun Xxv No. 296, Juli 2010, Hlm. 92-95), yang dimuat di dalam http://pakotabumi.go.id/index.php?option=com_content&view=ar ticle&id =74:kajian-tentang-pengakuan-anak-di-luarperkawinan-tanggapan-atas-tulisan-muhamad-isnawahyudi-di-majalah-hukum-varia-peradilan-tahun-xxv-no296-juli-2010-hlm-92-95&catid=10:artikel&Itemid=110, diakses pada 23 Juni 2011, pkl 20.56 wib. Rasyid, Chatib, “Menempatkan Anak Yang Lahir Di Luar Nikah Secara Hukum Islam”, makalah Diskusi/Muzakarah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Medan tanggal 27 Agustus 2005 M/1426 H dan diperbaiki di Yogyakarta, 2 Maret 2009, dalam situs http://belibis-a17.com/2009/03/29/1012/ diakses pada 1 Juni 2011, pkl 15.35.

314

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

WASIAT PEMBAGIAN HARTA WARIS SEBELUM PEWARIS MENINGGAL DUNIA DAN PRAKTIK HIBAH DIHITUNG SEBAGAI BAGIAN WARIS Zaenul Mahmudi

Latar Belakang Diskursus mengenai kewarisan merupakan wacana yang senantiasa menarik dan menantang untuk dibicarakan, di samping karena variasi sistem kewarisan yang relatif banyak, juga karena prinsip keadilan menjadi “taruhan” dan pertentangan dalam pembagiannya. Indonesia memiliki sistem kekeluargaan (family kinship) yang terdiri dari: patrilineal, matrilineal, dan bilateral di mana sistem kekeluargaan ini akan melahirkan berbagai macam sistem kewarisan yang mengikut kepada sistem kekeluargaan yang dianutnya. Agama yang diakui di Indonesia juga menelorkan berbagai sistem kewarisan, sementara Islam sendiri juga memiliki sistem kewarisan yang berfariatif, sistem kewarisan Sunni, Syi’ah, dan Kompilasi Hukum Islam, termasuk beberapa ketentuan kewarisan Islam yang mengalami perubahan dan pergeseran melalui keputusan Mahkamah Agung yang disebut yurisprudensi. Di samping itu, juga ada perbedaan mengenai hukum materiil kewarisan yang diterapkan antar Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Tingkat variasi yang tinggi dalam sistem kewarisan yang diberlakukan oleh masyarakat Indonesia ini, di samping memberikan banyak alternatif bagi mereka dalam memilih sistem kewarisan yang digunakan untuk memecahkan permasalahan kewarisan, juga berimplikasi kepada keraguan dan kebingungan

315

Bab III

mengenai sistem kewarisan apa yang akan digunakan memecahkan permasalahannya. Mengingat tingkat pengetahuan masyarakat Indonesia mengenai sistem kewarisan yang ada yang masih relatif rendah membuat mereka merasa khawatir apabila sistem kewarisan yang diterapkan tidak memenuhi rasa keadilan yang dipersepsikannya dalam pembagian warisan. Memperhatikan kondisi tersebut, maka banyak orang tua yang memiliki inisiatif untuk melakukan pembagian terlebih dahulu terhadap harta kekayaan yang dimilikinya untuk anak-anak mereka, baik melalui institusi hibah maupun wasiat. Pembagian ini dilakukan dengan alasan: a) untuk menghindari perpecahan di antara keluarganya berkenaan dengan pembagian harta warisan, b) untuk memberikan rasa keadilan sebagaimana yang dipersepsikannya dalam pembagian harta kekayaan. Pengaturan harta dalam pembagian harta melalui wasiat dan hibah ini dilakukan terhadap keseluruhan atau sebagian besar harta kekayaan, sehingga dengan adanya pembagian harta diawal, sisa harta yang akan dibagi berdasarkan sistem kewarisan yang berlaku di masyarakat tinggal sedikit saja. Mengingat permasalahan wasiat dan hibah ini sering dilakukan oleh masyarakat dalam pembagian harta yang akan menjadi harta warisan sepeninggal pemilikinya, maka perlu dikaji permasalahan wasiat dan hibah dalam kaitannya dengan kewarisan dalam perspektif fiqh, praktik masyarakat dan peradilan serta Kompilasi Hukum Islam. Pengertian Hibah Secara literal, hibbah merupakan kata benda (mashdar) dari kata kerja wa-ha-ba yang berarti pemberian yang tidak ada gantinya.305 Hibbah menurut istilah adalah akad yang berimplikasi 305

316

Ibn Mandhûr, Lisân al-‘Arab (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.), 4929.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

kepada kepemilikan tanpa ada ganti pada waktu masih hidup yang bersifat sukarela (tathawwu‘).306 Kata Hibbah ini meliputi hadiyyah, shadaqah, dan pemberian (‘athiyyah) mengingat makna dari istilah-istilah tersebut relatif berdekatan satu sama lainnya. Suatu pemberian yang diberikan kepada orang yang memerlukan dan diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah disebut dengan shadaqah, apabila pemberian itu diantarkan kepada orang yang diberi sebagai suatu penghormatan atau kasih sayang disebut hadiyyah, apabila tidak maka disebut dengan hibbah. Sedangkan ‘athiyyah adalah merupakan hibbah yang pemberian hartanya dilakukan ketika pemilik harta tersebut dalam kondisi sakit keras.307 Sedangkan menurut yang dikemukakan dalam “Mawsû‘ah al-Fiqhiyyah” istilah yang menjadi payung adalah ‘athiyyah, dalam artian bahwa ‘athiyyah meliputi hibbah, shadaqah, dan hadiyyah.308 Dasar Hukum Dasar dari pemberian (hibbah) ini adalah firman Allah:

   Artinya: “… dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan

306

Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, Vol. 5 ( Damaskus: Dâr al-Fikr,

307

Ibid, 5.

1985), 5. 308

Wuzârah al-Auqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, al-Mausû‘ah al-Fiqhiyyah, Vol. 42 (Kuwait: Wuzârah al-Auqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, 2004), 120

317

Bab III

pertolongan), orang-orang yang meminta-minta, (memerdekakan) hamba sahaya. (QS. Al-Baqarah: 177)

dan

Hibbah juga didasarkan kepada hadits Rasulullah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah sebagai berikut: 309



“Dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: “Saling memberilah hadiah (hibbah) kalian, niscaya kalian akan saling mencintai”. Dan sabda Rasulullah: 310



“Orang yang menarik kembali hibbah yang telah diberikan adalah seperti anjing yang menelan kembali muntahan yang telah dikeluarkannya” Selain itu, para ulama juga telah sepakat mengenai dianjurkannya memberikan hibbah sebagai suatu pengejawantahan dari perintah Allah untuk senantiasa tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan (al-Mâ’idah: 2),311 karena hibbah ini memiliki implikasi yang bagus dalam pergaulan antara sesama Muslim di mana bisa menebarkan rasa kasih sayang dan cinta kasih di antara mereka, di samping hikmah-hikmah lain yang timbul dari pemberian hibbah ini.

309 Abû Bakar ibn ‘Ali al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ, Vol. 6, (Beirut: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah, 2002), 280. 310 Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Vol. 6, (Riyâdl: Dâr al-Thaibah, 2005), 444. 311

…Vol. 42, 121

318

Lihat Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh…, 7. Dan

Wuzârah al-Auqâf, al-Mausû‘ah

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pengertian Wasiat Kata washiyyah, secara literal merupakan bentuk kata benda (mashdar) dari kata washa yang kemudian mendapatkan tambahan alif di depannya menjadi ausha atau di-tadl‘if-kan menjadi washsha yang berarti ‘ahida atau mempercayakan, memberikan perintah atau arahan, mendelegasikan, atau memberikan kekuasaan. Bentuk mashdar dari ausha ini selain washiyyah adalah washâh, washâyah, dan wishâyah.312 Washiyyah juga bisa berarti apa yang diwasiatkan dan disebut wasiat karena berkaitan erat dengan permasalahan kematian.313 Sedangkan secara terminologis, washiyyah adalah akad kepemilikan yang implementasinya disandarkan kepada setelah kematian secara suka rela, baik terhadap harta benda atau manfaat.314 Implementasi washiyyah yang dilakukan setelah pewasiat (al-mûshi) meninggal dunia ini merupakan poin pembeda dengan bentuk-bentuk karitas yang lain, seperti hibbah, ‘athiyyah, shadaqah, dan hadiyyah. Para ulama ada yang mendefinisikan secara lebih luas, yaitu segala perbuatan yang diwasiatkan pewasiat yang diimplementasikan setelah si pewaris meninggal dunia, seperti wasiat kepada seseorang untuk menikahkan puterinya, wasiat mengenai bagaimana dia dimandikan, atau wasiat kepada seseorang untuk menjadi imam shalat dan lain sebagainya.315 Washiyyah juga bisa berkenaan dengan pembebasan dari 312

Ibn Mandhûr, Lisân al-‘Arab (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.), 4853.

313

Ibid, 4854.

314

Lihat Wuzârah al-Auqâf, al-Mausû‘ah…, Vol. 43, 221. Dan Wahbah al-Zuhailî, alFiqh… Vol., 8. 315

Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh…, Vol. 8, 9.

319

Bab III

kepemilikan harta, seperti wasiat mengenai pembebasan hutang, pembebasan dari penanggung jawab terhadap harta benda, demikian juga wasiat bisa berkenaan dengan hak untuk melakukan sesuatu, seperti wasiat untuk segera melunasi hutang dan menjual harta kekayaan kepada seorang tertentu.316 Dasar Hukum Washiyyah ini didasarkan kepada ketentuan al-Qur’an, hadits, ijma’, dan rasionalitas. Menurut al-Qur’an, washiyyah merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh orang yang merasa ajalnya sudah dekat, sebagaimana firman Allah:

            Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Baqarah; 180).

Washiyyah juga didasarkan kepada hadits Rasulullah saw.

    

316

320

Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh…. , Vol. 8, 9-10.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

           317 “Ali ibn Muhammad menceritakan  kepada kami, Waki’ menceritakan kepada kami dari Thalhah ibn Umar dari Atha’ dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda: “Sesungghnya Allah memerintahkan kamu untuk bersedekah pada waktu kematianmu sepertiga hartamu sebagai tambahan kebaikan bagi amal perbuatanmu”. Sedangkan berdasarkan ijmak, para ulama sepakat atas kebolehan melakukan wasiat. Dan secara logika, wasiat penting dilakukan oleh setiap orang untuk memperbanyak kebaikan dan perbuatan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah.318 A. Hibah dan Wasiat Perspektif Fiqh 1. Hibah Perspektif Fiqh Hibbah sebagaimana bentuk-bentuk karitas yang lain merupakan perbuatah kebaikan yang ditujukan untuk menguatkan kasih sayang dan rasa cinta kasih antara sesama manusia, selain untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT. Dalam melakukan hibbah, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu: rukun hibbah dan syarat-syaratnya, hukum hibbah dan hibbah kepada anak. a. Rukun Hibbah dan syarat-syaratnya Para ulama sepakat bahwa rukun hibah terdiri dari tiga unsur, yaitu: 1) dua orang yang melakukan akad hibah, yaitu orang yang menghibbahkan (al-wâhib) dan orang yang menerima hibah 317 Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwînî al-Syahîr bi Ibn Mâjah, Sunan Ibn Mâjah (Riyâdl: Maktabah al-Ma‘ârif, 1417H.), 460. 318

Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh …., Vol. 8, 11.

321

Bab III

(al-muhûb lah), 2) benda yang dihibahkan (al-mauhûb,), dan 3) shîghat yang terdiri dari îjâb dan qabûl. 1) Syarat bagi Orang yang bertransaksi (al-wâhib dan al-mauhûb lah) Berkenaan dengan dua orang yang melakukan akad (alwâhib dan al-mauhûb), para ulama mempersyaratkan bahwa keduanya harus berakal, baligh, dan bijaksana (rasyîd). Dengan demikian akad hibah tidak boleh dilakukan oleh orang gila, anakanak, orang bodoh dan orang yang berada di bawah pengampuan. Sedangkan orang yang sedang sakit, maka apabila dia sakit keras (maradl al-maut), maka hibah yang dilakukan disamakan dengan hukum wasiat, yaitu tidak boleh melebihi sepertiga harta, kecuali atas persetujuan ahli waris.319 Sedangkan hibah yang dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kewenangan menghibahkan harta (fudlûliî), menurut mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali hibah tersebut adalah batal, sementara menurut Mazhab Hanafi dan pendapat kedua mazhab Syafi’i, hibah tersebut sah, namun tergantung kepada izin pemilik barang tersebut. Apabila pemiliknya menyetujuinya, maka hibah tersebut sah, namun apabila tidak menyetujuinya, maka hibah tersebut batal.320 Sedangkan mengenai hibah yang dilakukan oleh orang yang dalam kondisi mabuk, maka perlu diperhatikan penyebab

319 Mengenai orang yang dalam kondisi maradl al-maut ini, mazhab Hanbali menganalogikannya dengan orang yang berada di medan pertempuran, seseorang yang sedang berjuang melawan ombak besar, orang yang berada di daerah yang sedang dilanda penyakit mematikan (al-tha‘ûn), perempuan hamil yang sedang proses melahirkan dan orang yang sedang menghadapi hukuman mati (qishâsh).Lihat Wuzârah al-Auqâf wa alSyu’ûn al-Islâmiyyah, al-Mausû‘ah al-Fiqhiyyah, Vol. 42 (Kuwait: Wuzârah al-Auqâf wa alSyu’ûn al-Islâmiyyah, 2004), 121-123. 320

322

Wuzârah al-Auqâf, al-Mausû‘ah …, Vol. 42, 123.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

orang tersebut mabuk. Apabila dia mabuk karena sesuatu yang diperbolehkan atau halal, seperti karena obat bius atau tumbuhtumbuhan yang membuatnya mabuk, maka segala tindakan yang dilakukan adalah tidak sah, termasuk hibah yang dilakukannya. Namun apabila dia mabuk karena sesuatu yang diharamkan seperti meminum khamr atas kehendaknya sendiri, maka ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Menurut mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali perbuatan yang dilakukan dan pengakuannya adalah sah, termasuk hibah yang dilakukan. Pendapat ini didasarkan kepada firman Allah:

  43 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…”321 Ayat ini menunjukkan bahwa perkataan yang diucapkan oleh orang yang sedang mabuk adalah tidak menimbulkan keraguan di dalamnya sebagaimana perkataan yang diucapkan oleh orang yang sadar. Oleh karena itu, mengingat bahwa orang yang mabuk juga terkena khithâb syar‘î, maka sifat mabuk tersebut tidak menghilangkan kompetensinya sebagai mukallaf, sehingga segala tindakannya adalah sah, demikian juga perkataannya. Sesuatu yang hilang dari orang yang mabuk adalah kehendaknya, namun perkataannya tetap dianggap sah.322

321

Departemen Agama RI, al-Qur’an…., 85.

322

Wuzârah al-Auqâf, al-Mausû‘ah al-Fiqhiyyah, Vol. 42, 124

323

Bab III

Menurut mazhab Maliki, orang yang mabuk karena sesuatu yang diharamkan, maka dia bisa melakukan tindakan pidana, membebaskan budak, dan menjatuhkan talak dan tindakan tersebut sah, namun dalam masalah pengakuan, transaksi jualbeli, sewa-menyewa, hibah, shadaqah dan wakaf dari orang tersebut tidak sah dan tidak dapat diterima. Sedangkan menurut pendapat kedua dari mazhab Syafi’i dan Hanbali, transaksi dan pengakuan yang dilakukan oleh orang yang dalam kondisi mabuk adalah tidak sah. Mereka beralasan bahwa orang yang mabuk tidak memiliki kehendak, kondisinya adalah seperti orang yang dipaksa (mukrah). Di sisi lain, berakal adalah syarat adanya taklîf, mengingat orang yang mabuk sama dengan orang yang tidak berakal, maka perbuatan yang dilakukan adalah tidak sah.323 Sedangkan syarat yang harus dimiliki oleh penerima hibah (al-mauhûb lah), para ulama fikih mepersyaratkan bahwa penerima hibah harus orang yang memiliki kompetensi untuk memiliki (ahl li al-milk). Apabila penerima barang tersebut baligh dan berakal, maka dia sendiri bisa menerima hibah tersebut, namun apabila dia tidak memiliki kompetensi, maka hibah tersebut tetap sah, namun harus ada penanggung jawab terhadap harta hibah tersebut, seperti wali anak atau orang tersebut.324 2) Ketentuan bagi barang yang dihibahkan (al-mauhûb) Ketentuan terhadap barang yang boleh dihibahkan adalah mengikuti kaidah “mâ shahha bai‘uhu shahhat hibbatuhu” “sesuatu yang boleh diperjual-belikan, maka boleh dihibahkan”. Syarat yang

324

323

Ibid, 124-125

324

Ibid, 125

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

harus dipenuhi bagi sesuatu yang dihibahkan adalah sebagai berikut: a) sesuatu tersebut ada, b) sesuatu tersebut dimiliki oleh pemberi hibah (wâhib) sendiri, c) berupa sesuatu yang memiliki nilai (mutaqawwim), d) sesuatu yang terkontrol secara pribadi (mahûz) (bukan milik publik), e) sesuatu yang bisa diserahterimakan.325 3) Ketentuan mengenai sîghat hibah Ada perbedaan di kalangan ulama mengenai sîghat hibbah, apakah terdiri dari îjâb dan qabûl ataukah hanya cukup îjâb. Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa sîghat hibah terdiri dari satu paket îjâb dan qabûl, namun menurut mazhab Hanafi sîghat hibah cukup îjâb. Jumhur ulama beralasan bahwa akad hibah merupakan akad syari‘î yang tidak sah atau tidak berimplikasi kepada pemindahan hak milik, apabila îjâb tidak disertai dengan qabûl, sebagaimana akad jual beli, sementara mazhab Hanafi beralasan bahwa makna hibbah secara bahasa adalah hanya ungkapan îjâb dari pemilik barang.326 b. Ketentuan Hibah Pada prinsipnya hibah memindahkan hak kepemilikan terhadap sesuatu yang dihibahkan kepada orang yang menerima hibah tanpa adanya penggantian (‘iwadl), namun tidak demikian menurut mazhab Hanafi yang berpendapat bahwa perpindahan kepemilikan tersebut tidak secara otomatis, karena orang yang menghibahkan (wâhib) boleh menarik kembali atau membatalkan hibah yang telah dilakukan.327 Pendapat ini didasarkan kepada hadits Rasulullah:

325

Ibid, 125-126

326

Ibid, 134

327

Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh …, Vol. 5, 26

325

Bab III

             328

“Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda: orang yang menghibahkan sesuatu memiliki hak penuh terhadap sesuatu tersebut selama belum diserahkan penggantinya” Hadits ini, selain menunjukkan bahwa pemilik benda memiliki hak penuh terhadap benda yang dihibahkan ketika belum ada penggantinya, juga menunjukkan bahwa hibah bisa dilakukan dengan meminta ganti. Namun ketika ganti tersebut telah diberikan, maka penghibah tidak boleh menarik benda yang dihibahkan dan penerima hibah berhak menolak apabila benda yang dihibahkan tersebut akan ditarik kembali. Benda tersebut boleh ditarik kembali asalkan dilakukan suka sama suka atau melalui keputusan hakim.329 Ketidakbolehan menarik benda yang dihibahkan tersebut didasarkan kepada hadits Rasulullah: 330



“Orang yang menarik kembali hibbah yang telah diberikan adalah seperti anjing yang menelan kembali muntahan yang telah dikeluarkannya” c. Hibah orang tua kepada anaknya Para ulama sepakat bahwa hibah kepada anak dianjurkan untuk tidak berat sebelah antara anak yang satu dengan anak 328

Ali ibn ‘Umar al-Dâruquthnî, Sunan al-Dâruqutnî Vol. 3, (Beirut: Mu’assasah alRisâlah, 2004), 461. 329 330

Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh …, Vol. 5, 26

Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Vol. 6, (Riyâdl: Dâr al-Thaibah, 2005), 444.

326

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

lainnya, namun para ulama berbeda pendapat mengenai maksud tidak berat sebelah atau menyamakan antara anak-anaknya. Menurut Abu Yusuf dari mazhab Hanafi, mazhab Maliki dan Syafi’i, yang dimaksud tidak berat sebelah adalah mempersamakan bagian antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam pemberian hibah sebagaimana sabda Rasulullah:

 

331

“Dari Ibn ‘Abbas berkata: Rasulullah saw. pernah bersabda: samakanlah pemberian di antara anak-anak kalian, jika lebih mengutamakan seseorang, niscaya saya akan melebihkan perempuan” Dan hadits Rasulullah:

                            332  331 Abû Bakar ibn ‘Ali al-Baihaqî, al-Sunan al-Kubrâ, Vol. 6, (Beirut: Dâr al-Kutub al‘Ilmiyyah, 2002), 294. 332 Abû al-Husain Muslim ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim (Riyâdl: Dâr Thaibah, 2006), 763.

327

Bab III

“Dari Nu’man ibn Basyir berkata: Ayah saya menyedekahkan sebagian hartanya kepadaku, kemudian ibuku ‘Amrah binti Rawahah berkata: Saya tidak rela sebelum kamu meminta kesaksian dari Rasulullah saw., kemudian ayahku berangkat menghadap Nabi saw. untuk meminta kesaksian mengenai sedekah untukku, kemudian Rasulullah saw. berkata kepada ayahku: Apakah engkau melakukan hal ini kepada anakmu semuanya?, ayahku menjawab: Tidak, kemudian Rasulullah bersabda: Takutlah kamu kepada Allah, dan berbuat adillah kepada anak-anakmu, kemudian ayahku pulang dan membatalkan sedekah tersebut.” Sementara menurut mazhab Hanbali dan Muhammad alSyaibani dari mazhab Hanafi yang dimaksud dengan adil dalam memberikan hibah kepada anak-anaknya adalah sesuai dengan ketentuan umum yang terdapat dalam pembagian warisan sebagai ketentuan Allah, yaitu memberikan hibah kepada anak laki-laki dua kali lipat bagian hibah untuk anak perempuan. Menurut mereka, ketentuan Allah inilah yang perlu diikuti dalam pembagian hibah kepada anak-anaknya.333 Sedangkan mengenai bagiamana hukumnya menyamakan pembagian hibah kepada anak laki-laki dan anak perempuan? Jumhur ulama berpendapat bahwa mempersamakan bagian hibah tersebut tidak wajib, tetapi hanya merupakan anjuran. Namun menurut sementara ulama, seperti Ahamad ibn Hanbal, al-Tsauri, Thawus, Ishaq, dan lain-lain berpendapat bahwa pemberian hibah kepada anak-anak harus jumlahnya sama antara anak laki-laki dan anak perempuan. Mereka berpendapat, apabila hibah tersebut tidak mempersamakan di antara mereka, maka hibah tersebut tidak sah. Pendapat ini didasarkan kepada hadits di atas yang menggunakan kalimat: “” dan “”, karena 333

328

Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh …, Vol. 5, 24-25

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

yang dimaksud dengan adil adalah mempersamakan bagian hibah di antara anak-anak mereka baik laki-laki maupun perempuan.334 d. Menarik Hibah Menarik hibah atau membatalkan hibah yang telah diberikan kepada penerima hibah (al-mauhûb lah) merupakan sesuatu yang tidak etis untuk dilakukan. Namun ada perbedaan ulama mengenai masalah ini: Pendapat pertama, tidak boleh menarik hibah terhadap barang yang telah diserah terimakan, kecuali hibah orang tua kepada anaknya, sebagaimana pendapat mazhab Maliki dan Hanbali. Orang tua di sini tidak hanya ayah, tetapi juga ibu, sebagaimana mazhab Maliki. Pendapat ini didasarkan kepada hadits Rasulullah:

 

335

“Dari Thawus bahwa Nabi saw. pernah bersabda: Tidak boleh bagi orang yang telah memberikan hibah menarik kembali apa yang telah dihibahkan, kecuali hibah yang diberikan orang tua kepada anaknya” Sedangkan pendapat kedua mengatakan bahwa menarik hibah adalah diperbolehkan selama ada alasan yang bisa dibenarkan. Pendapat ini didukung oleh mazhab Hanafi dengan mendasarkan pendapatnya kepada hadits:

  336

334

Ibid), 25

335

al-Baihaqî, al-Sunan …, Vol. 6, 298

336

al-Dâruquthnî, Sunan… Vol. 3, 461.

329

Bab III

“Orang yang telah menghibahkan sesuatu memiliki hak penuh terhadap sesuatu tersebut selama belum diserahkan penggantinya” Kedua pendapat tersebut bisa dikompromikan, karena konteks pendapat pertama adalah berbeda dengan konteks pendapat kedua. Jadi menarik hibah terhadap barang yang telah diserahterimakan dan/atau telah diberikan penggantinya, ketika si wâhib meminta penggantian, maka menarik kembali hibah tersebut adalah boleh. Sementara apabila si wâhib meminta penggantian atas hibah yang diberikan dan si mauhûb lah belum memberikannya, maka hibah tersebut bisa dibatalkan atau ditarik kembali. 2. Wasiat Perspektif Fiqh Wasiat merupakan institusi pengalihan harta yang biasa dipraktikkan oleh bangsa-bangsa sebelum Islam. Menurut hukum Romawi, seorang pemilik harta memiliki kebebasan untuk mewasiatkan hartanya tanpa ada batasnya, bahkan dengan tidak memberikan sama sekali kepada anak-anaknya. Demikian juga kondisi bangsa Arab sebelum Islam, mereka akan bangga dan berlomba-lomba memberikan wasiat kepada orang lain dan mengabaikan wasiat kepada para kerabatnya.337 Kondisi ini sangat merugikan anak-anak mereka dan kerabatnya yang lebih berhak untuk menerima harta milik orang tua atau kerabatnya. Ketika Islam datang, tradisi pengalihan harta melalui institusi wasiat ini diluruskan dengan lebih mengutamakan pemberian wasiat kepada kedua orang tua dan para kerabatnya, sebagaimana dikemukakan dalam firman Allah:

337

330

Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh …, Vol. 8, 7

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

                180 “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.338 Dengan adanya firman Allah ini, maka seorang pemilik harta dibatasi untuk lebih mengutamakan pemberian wasiat kepada orang tua dan kerabatnya. Dia boleh memberikan wasiat kepada orang lain apabila, orang tua dan kerabatnya telah lebih dahulu diberi wasiat. Pengalihan harta melalui institusi wasiat ini merupakan keniscayaan yang harus dilakukan sesorang yang memiliki harta, sementara dia merasa ajalnya telah dekat, sementara di sisi lain Allah belum menurunkan ayat-ayat al-Qur’an yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai warisan. Wasiat ini berfungsi sebagai petunjuk bagi para kerabat yang ditinggalkannya dalam melakukan pembagian terhadap harta yang ditinggalkannya. Namun ketika ayat mengenai ketentuan warisan telah turun, maka wilayah keberlakukan wasiat tersebut dibatasi dalam dua hal.339 Pertama, wasiat tidak boleh lagi diberikan kepada para ahli waris, sebagaimana sabda Rasulullah ketika menyampaikan khutbah pada waktu haji wada’: 338

Departemen Agama RI, al-Qur’an …, 27.

339

Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh…, Vol. 8, 7-8.

331

Bab III

           340 “Dari Syurahbîl ibn Muslim, saya mendengan Abû Umâmah berkata: saya pernah mendengar Rasulullah bersabda: Sesungguhnya Allah telah memberikan hak kepada setiap orang yang memiliki hak, maka dari itu tidak ada wasiat untuk ahli waris.” Ketentuan ini diberlakukan untuk menghindari penumpukan harta kepada orang tertentu saja (kai lâ yakûna dûlatan baina alaghniyâ’) di mana apabila institusi waris dan wasiat sebagaimana tetap diberlakukan secara bersamaan, maka orang tua; ayah dan ibu akan memperoleh bagian dari dua jalur, yaitu wasiat dan warisan. Penumpukan harta inilah yang tidak dikehendaki Islam dalam permasalahan pembagian harta. Kedua, adalah ketentuan mengenai pembatasan jumlah wasiat yang diperbolehkan kepada orang selain ahli waris yang mendapatkan bagian warisan, sebagaimana sabda Rasulullah kepada Sa’d ibn Abi Waqâsh ketika berada di Mekkah saat menunaikan haji Wada’:

   340 Abû Dâwud Sulaimân al-Sijistânî al-Azdî, Sunan Abî Dâwud, Vol. 3 (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1997), 196.

332

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

             341 “Dari Sa’d ibn Abî Waqâsh ra. berkata: Nabi saw. pernah menjenguk saya ketika saya tinggal di Mekkah. Dia mengungkapkan ketidaksukaannya apabila meninggal dunia di wilayah di mana dia berhijrah seraya berkata: Semoga Engkau dirahmati oleh Allah, wahai Ibn ‘Afrâ’ (Sa’d ibn Abî Waqâsh). Kemudian saya bertanya kepada Rasulullah: Bolehkah saya mewasiatkan semua harta saya? Rasulullah menjawab: Jangan. Saya bertanya lagi: Bagaiamana apabila separuhnya? Dia menjawab: Jangan. Saya bertanya kembali: bagiamana apabila sepertiganya? Dia menjawab: Sepertiga! Sepertiga itu banyak. Sesungguhnya apabila engkau meninggalkan para ahli warismu dalam kondisi kaya adalah lebih baik daripada engkau meninggalkan mereka dalam kondisi papa yang meminta-minta di hadapan orang-orang”. Berdasarkan kedua hadits di atas, maka institusi wasiat yang telah ada sebelum ketentuan-ketentuan al-Qur’an yang mengatur pembagian warisan (surat al-Nisâ’ ayat: 7-13 dan 176) tidak dihapus secara total, namun ada pembatasan pemberlakuan wasiat tersebut, yaitu: tidak boleh wasiat kepada ahli waris dan wasiat kepada orang lain hanya diperbolehkan maksimal sepertiga harta. Ketentuan ini diberlakukan dalam rangka lebih mengutamakan kepentingan anak-anak terlebih dahulu daripada

341 Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ismâ‘îl al-Bukhârî, al-Jâmi‘ al-Shahîh, Vol. 2 (Cairo: al-Mathba‘ah al-Salafiyyah, 1403H.), 287 dan lihat juga Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath alBârî …,Vol. 6, 674.

333

Bab III

kepentingan orang lain, sebagaimana yang diungkapkan dalam hadits di atas dan diperkuat firman Allah:

         9 “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”.342 David S. Power melakukan periodesasi mengenai institusi pengalihan harta warisan menjadi tiga fase, yaitu: a. Periode Mekkah (610-622M.), pada periode ini pengalihan harta antar generasi dilakukan dengan menggunakan institusi wasiat, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para sahabat seperti Bâdil ibn Maryam, seorang pedagang Quraisy dari Bani Sahm yang merasa akan meninggal ketika melakukan perjalanan dagang di Syiria yang kemudian berwasiat kepada dua orang mitra bisnisnya untuk menyerahkan hartanya kepada keluarganya di Mekkah. Demikian juga yang dilakukan oleh Aus ibn Tsâbit al-Anshârî sebelum terbunuh ketika Perang Uhud di mana dia sempat berwasiat kepada dua orang sepupunya (anak laki-laki dari paman) untuk menyerahkan harta kepada keluarganya, namun kedua orang sepupu tersebut menolak untuk menyerahkan kepada istrinya, Ummu Kuhha’ dan anak-anak perempuannya.343 342 343

Departemen Agama RI, al-Qur’an…., 78

David S. Powers, Studies in Qur’an and Hadith: The Formation of the Islamic Law of Inheritance (London: University of California Press, 1986), 10-11.

334

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

b. Periode Madinah Awal (622-630M.), pada periode ini institusi yang digunakan untuk mengalihkan harta antargenerasi menggunakan institusi waris. Periode ini berkaitan erat dengan periode sebelumnya, khususnya mengenai perlakukan dua orang sepupu suami Ummu Kuhha, Aus ibn Tsâbit, yang tidak memberikan harta peninggalan suaminya kepada dirinya dan anak-anak perempuannya. Permasalahan ini diadukan oleh Ummu Kuhha kepada Rasulullah saw. dan kemudian turun ayat waris yang pertama:

                7 “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan”344 Kemudian ayat ini diikuti dengan ayat-ayat yang mengatur dan menentukan bagian warisan masing-masing ahli waris sebagaimana yang tercantum dalam surat al-Nisâ’ ayat 1112.345 c. Periode Setelah Fath Mekkah (630-632M). Pada periode ini tidak ada ketentuan pengalihan harta yang baru, namun periode ini mengatur keberlakukan dua institusi pengalihan harta; wasiat dan waris, yaitu pembatasan subyek yang boleh 344

Departemen Agama RI, al-Qur’an …, 78

345

David S. Powers, Studies…, 12

335

Bab III

menerima wasiat dan pembatasan kuantitas wasiat yang hanya dibatasi maksimal sepertiga harta.346 B. Hibah dan Wasiat Perspektif Praktik Masyarakat Masyarakat Indonesia memiliki tatacara sendiri dalam pembagian harta peninggalan orang tua yang sesuai dengan budaya mereka yang sudah hidup bertahun-tahun. Budaya tersebut mengakar kuat dalam kesadaran individual dan kolektif mereka dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang mereka hadapi, termasuk di dalamnya persoalan pengalihan harta antargenerasi. Pada praktiknya, pengalihan harta tersebut, masyarakat melakukannya dengan berbagai cara, seperti melalui institusi hibah, wasiat, maupun waris. Hibah dan wasiat dipraktikkan masyarakat dalam melakukan pembagian harta kekayaan, memiliki berbagai tujuan: a) menghindari kekhawatiran terjadinya percekcokan keluarga apabila pembagian harta dilakukan berdasarkan ketentuan farâidl, b) untuk mengedepankan keadilan dalam pembagian harta, minimal keadilan menurut persepsi orang yang membagi. Praktik pembagian harta dengan menggunakan institusi hibah dan wasiat jamak terjadi di masyarakat. Ketika penulis yang juga dosen Fiqh Mawaris mempertanyakan kepada mahasiswa yang mengambil matakuliah tersebut, kurang lebih 80% mahasiswa mengatakan bahwa praktik pembagian harta tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan farâidl, melainkan menggunakan hibah atau wasiat, khususnya wasiat pembagian harta warisan. Pada praktiknya, pemberian hibah dan wasiat juga bermacam-macam. Ada yang membagi berdasarkan tingkat perekonomian “ahli waris”, ada yang membagi dengan melebihkan bagian untuk anak laki-laki daripada anak perempuan, 346

336

Ibid, 13-14.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

namun tidak persis dua berbanding satu, dan ada juga yang menghibahkan hampir semua hartanya secara sama antara lakilaki dan perempuan dan menyisakan sedikit harta warisan yang akan dibagi secara farâidl, ada yang memberikan hibah lebih banyak kepada anak perempuan dengan harapan ketika pembagian warisan secara farâidl nanti bagian anak laki-laki dan anak perempuan sama atau tidak berbeda jauh. Kondisi ini juga didukung oleh hasil penelitian disertasi di Universitah Padjadjaran Bandung yang dilakukan oleh Otje Salman pada tahun 1992 dengan judul “Pelaksanaan Hukum Waris di Daerah Cirebon Dilihat dari Hukum Waris Adat dan Hukum Waris Islam”.347 Responden yang diteliti dalam penelitian ini, dari sisi agama: 98,62% beragama Islam, sementara sisanya beragama non-Islam.348 Dari total responden, mereka yang melakukan pembagian warisan secara farâidl murni hanya berjumlah 26,5% sementara yang lain menggunakan hukum adat, hukum barat, atau percampuran antara berbagai hukum tersebut.349 Sementara mengenai kapan pelaksanaan pembagian harta tersebut: 45,45% dilakukan ketika “pewaris” masih hidup dan 54,55% ketika “pewaris telah meninggal”.350 Pembagian harta ketika pemilik harta masih hidup yang jumlahnya 45,45% tersebut berarti pembagian hartanya dilakukan dengan cara hibah, sedangkan pembagian harta ketika pemilik telah meninggal yang jumlahnya 54,55% berarti pembagiannya dilakukan dengan cara wasiat atau waris.

347 Otje Salman, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris (Bandung: Penerbit Alumni, 1993) 348

Ibid, 92

349

Ibid, 100

350

Ibid, 99

337

Bab III

Dari penelitian tersebut, Otje Salman berkesimpulan bahwa ketaatan masyarakat Cirebon dalam melaksanakan hukum waris Islam adalah lemah, mereka lebih memilih penyelesaian dengan menggunakan hukum barat daripada hukum Islam (farâidl), sementara itu pelaksanaan pembagian harta melalui intitusi waris lebih rendah daripada institusi hibah dan wasiat. Kondisi rendahnya kesadaran hukum terhadap pelaksanaan pembagian warisan secara Islam (farâidl) ini timbul karena dua kemungkinan, yaitu: a) rendahnya sosialisasi kepada masyarakat mengenai hukum waris Islam dan b) rendahnya pemahaman masyarakat terhadap hukum waris Islam. Rendahnya tingkat ketaatan masyarakat dalam menerapkan ketentuan yang terdapat dalam farâidl ini, di samping yang disimpulkan oleh Otje Salman tersebut, menurut Hazairin disebabkan oleh perbedaan kultur dan sistem kekeluargaan antara tempat diformulasikannya ketentuan waris Islam dengan Indonesia. Hukum waris Islam didasarkan kepada kebudayaan Arab yang bersendikan sistem kekeluargaan Patrilineal,351 sementara sistem kekeluargaan yang dikehendaki dalam al-Qur’an adalah sistem kekeluargaan parental atau bilateral. Tidak ada sinkronisasi antara sistem kekeluargaan dan sistem kewarisan yang diformulasikan dalam sistem kewarisan Islam (farâidl) yang mengadopsi sistem kewarisan mazhab Sunni. Oleh karena itu, terjadi banyak konflik dalam penerapan hukum waris Islam di Indonesia, bahkan dalam keluarga yang menganut sistem kekeluargaan Patrilineal sekalipun. Konflik-konflik inilah yang barangkali memicu kepada rendahnya ketaatan masyarakat dalam menerapkan hukum waris 351 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith (Jakarta: Tintamas, 1976), 2

338

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Islam karena apabila hukum waris Islam (farâidl) tersebut diterapkan secara tekstual, maka akan menodai rasa keadilan yang hidup di masyarakat. Oleh karena itu, banyak masyarakat beralih kepada institusi hibah dan wasiat dalam melakukan pembagian harta “warisan” sebagai jalan keluar dalam pembagian harta yang memenuhi rasa keadilan keluarga dan masyarakat tersebut. Pertanyaan kemudian, apakah pembagian harta “warisan” dengan menggunakan institusi hibah dan wasiat itu bertentangan atau setidak-tidaknya memiliki anggapan bahwa tidak mengakui prinsip keadilan yang terdapat dalam hukum waris Islam (farâidl)?. Menurut Muhammad Syahrûr ayat yang berbicara mengenai wasiat sebanyak sepuluh kali, sementara ayat yang berbicara mengenai warisan tiga kali. Bahkan dalam ayat waris diawali dengan kata wasiat () dan dikahiri dengan kalimat wasiat juga ().352 Kondisi ini menunjukkan bahwa wasiat memiliki signifikansi yang besar dalam pembagian harta “warisan”. Namun realitasnya, masyarakat Muslim sekarang ini: 1. Memberikan prioritas secara mutlak kepada waris dan ketentuan-ketentuannya, bukan wasiat dan ketentuanketentuannya. 2. Menekankan kepada penghapusan ayat wasiat khususnya terhadap firman Allah: “al-washiyyatu li al-wâlidain wa alaqrabîn” dengan hadits ahad dan munqathi‘ yang diriwayatkan oleh ahl al-maghâzî “lâ washiyyata li wârits”. 3. Mencampur aduk pemahaman terhadap kata al-hadl dan alnashîb yang berimplikasi kepada pencampuran antara ayat 352 Muhammad Syahrûr, Nahwa Ushûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmî: Fiqh al-Mar’ah (al-Washiyyah, al-Irts, al-Qiwâmah, al-Ta’adudiyyah, al-Libâs) (Damaskus: al-Ahâlî, 2000), 222.

339

Bab III

waris dan ayat wasiat. Firman Allah: (      ) dianggap sebagai ayat waris, padahal ayat tersebut adalah ayat wasiat, karena nashîb adalah bagian manusia dalam wasiat, sementara hadl adalah apa yang diterimanya dalam waris. 4. Tidak membedakan antara keadilan umum yang terdapat dalam ayat waris dan keadilan khusus dalam ayat wasiat, di mana yang umum tidak boleh menutupi yang khusus.353 Syahrûr merasa tidak sependapat terhadap pendapat mayoritas ulama yang menomor duakan posisi wasiat setelah waris mengingat banyaknya penggunaan kata wasiat daripada waris dalam al-Qur’an. Artinya wasiat harus lebih diutamakan daripada waris, karena wasiat berisi keadilan khusus dalam pembagian harta “warisan” yang harus diprioritaskan daripada keadilan umum yang terdapat dalam ayat waris. Ketentuan wasiat inilah yang lebih bisa merealisasikan keadilan dalam pembagian “warisan” di masyarakat atau keluarga tertentu, mengingat setiap keluarga atau masyarakat memiliki relasi dan tanggung jawab dalam keluarga yang berbeda antara keluarga atau masyarakat satu dengan yang lain. Oleh karena itu, perilaku masyarakat atau keluarga untuk melakukan pembagian “warisan” dengan menggunakan institusi hibah atau wasiat merupakan didorong oleh motif alamiah dalam rangka menegakkan keadilan dalam pembagian harta “warisan” yang disesuaikan dengan relasi dan tunggung jawab masingmasing individu dalam keluarga dan masyarakat yang tentunya

353

340

Ibid, 222-223.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

memiliki perbedaan antara keluarga atau masyarakat satu dengan yang lainnya. C. Hibah dan Wasiat Perspektif Putusan Pengadilan dan KHI 1. Hibah dan Wasiat Perspektif KHI Hukum materiil yang digunakan Pengadilan dalam memutuskan perkara yang menjadi kompetensi absolutnya adalah Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI yang diberlakukan berdasarkan Intruksi Presiden No. 1 tahun 1991 ini kedudukannya sangat lemah dalam tata hukum Indonesia karena tidak termasuk sebagai sumber hukum dan tidak ada dalam urutan perundang-undangan di Indonesia. Faktor-faktor yang memperkuat pemberlakuan KHI di Indonesia adalah: a) KHI merupakan kesepakatan ulama nusantara yang disimpulkan dari 38 buku fikih.354 Dan b) Keputusan Menteri Agama RI No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 yang memerintahkan kepada suluruh instansi Departemen Agama dan instansi pemerintah terkait untuk menyebarluaskan KHI dan menerapkannya. Ketentuan wasiat diatur dalam KHI dalam Buku II, Hukum Kewarisan Bab V Wasiat pasal 194-209. Dalam ketentuan wasiat ini telah diatur beberapa rukun wasiat yang terdiri dari shîghat (îjâb dan qabûl), pewasiat (mûshin), penerima wasiat (mûsha lah), dan barang yang diwasiatkan (mûsha bih),355 bagaimana melakukan wasiat, serta syarat-syarat yang harus dipenuhi terhadap masingmasing rukun wasiat tersebut. Ketentuan-ketentuan ini tersebar dalam berbagai pasal dan disesuaikan dengan kaidah-kaidah hukum yang kredibel dalam rangka menjaga validitas wasiat. 354 Lihat Ahmad Imam Mawardi, “Socio-Political Background of the Enacment of Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, Tesis, McGill University, Montreal, 1998, 16 355

Wuzârah al-Auqâf, al-Mausû‘ah…, Vol. 43, 226

341

Bab III

Dalam makalah ini, penulis akan mengkritisi pasal-pasal yang terdapat dalam KHI yang mengatur masalah wasiat. a. Tentang cara berwasiat yang dalam pasal 195 (1) , pasal 196 dan pasal 199 di mana dalam ketiga pasal tersebut diatur mengenai cara berwasiat dan pencabutan wasiat yang hanya dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau notaries. Ketentuan ini menurut penulis tidak mengakomodir mereka yang tidak bisa bicara dan tidak bisa menulis sekaligus. Oleh karena itu, perlu diatur mengenai cara berwasiat bagi mereka yang memiliki kelemahan tersebut. b. Tentang wasiat kepada ahli waris hanya berlaku apabila disetujui oleh semua ahli waris yang diatur dalam pasal 195 (3). Dalam masalah ini, menurut penulis ada beberapa permasalahan, yaitu: a) pewaris sebagai pemilik harta seharusnya memiliki kekuasaan penuh terhadap harta yang dimilikinya, b) meminta persetujuan kepada semua ahli waris merupakan sesuatu yang tidak mudah, khususnya dalam keluarga yang tingkat ketaatan terhadap orang tua rendah, dan c) keadilan dalam pembagian wasiat tidak ditentukan dengan persamaan kuantitas, tetapi lebih ditentukan dengan jasa, relasi, dan tanggung jawab yang dipikul seseorang. Mereka yang memiliki jasa, relasi, dan tanggung jawab yang lebih besar dalam keluarga, layak mendapatkan bagian yang lebih banyak daripada yang lain dan hal ini hanya bisa dilakukan melalui hibah atau wasiat. Oleh karena itu, penulis mengusulkan untuk memilah-milah mengenai harta yang diwasiatkan, apabila harta tersebut merupakan harta pusaka, maka ketentuan pembagiannya berdasarkan hukum waris Islam, namun apabila harta tersebut merupakan hasil usahanya, maka pemilik harta tersebut memiliki kebebasan

342

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

penuh dalam men-tasharruf-kan hartanya, meskipun tanpa persetujuan ahli waris. c. Tentang wasiat pembagian harta kepada ahli waris. Wasiat seperti ini sering dilakukan oleh masyarakat, sehingga perlu ada pengaturan mengenai kebolehannya. Penulis mengusulkan untuk memberikan kebolehan terhadap wasiat seperti ini dengan syarat sebagian besar ahli waris setuju dengan wasiat orang tuanya, khususnya wasiat terhadap harta yang merupakan hasil usahanya. Sedangkan ketentuan hibah diatur dalam buku II dan bab V Wasiat pasal 210-214. Dalam pasal-pasal tersebut telah diatur mengenai rukun hibah, yaitu pemberi hibah (wâhib), barang yang dihibahkan (mauhûb), dan penerima hibah (mauhûb lah), namun pembahasannya terlalu singkat. Ada beberapa hal yang diusulkan penulis mengenai ketentuan hibah ini: a. Tata cara hibah hendaknya disamakan dengan tata cara melakukan wasiat dengan mengakomodir orang-orang yang tidak bisa menulis dan tidak bisa berbicara. b. Hibah kepada anak harus adil, artinya tidak membedakan kuantitas barang yang dihibahkan antara anak laki-laki dan anak perempuan. c. Mengenai hibah yang dilakukan ketika sakit keras (pasal 213) diperlakukan sebagai wasiat, artinya tidak perlu meminta persetujuan ahli waris, kecuali hibah kepada orang lain yang melebihi sepertiga. 2. Hibah dan Wasiat Perspektif Praktik Peradilan Agama Praktik peradilan agama dalam hal ini adalah bagaimana hakim memutuskan perkara-perkara yang merupakan kompetensinya, khususnya perkara hibah dan wasiat. Dalam

343

Bab III

memutuskan perkara hibah dan wasiat, hakim berpedoman kepada hukum materiil peradilan agama, KHI dan apabila tidak ada dengan menggali hukum yang hidup di masyarakat (living law) mengenai perkara hibah dan wasiat. Berdasarkan data jenis perkara yang masuk pada tahun 2009 di Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, termasuk Mahkamah Syar’iyyah dan Mahkamah Syar’iyyah Propinsi yang dikeluarkan oleh Dirjen Badilag Mahkamah Agung RI menyebutkan bahwa dari total jumlah perkara yang masuk, 257,798 perkara, jumlah perkara wasiat ada 4 perkara (0,002%) dan jumlah perkara hibah 45 perkara (0,017%).356 Meskipun jumlah perkara tersebut relatif sedikit dibandingkan dengan perkara perceraian, bukan berarti masyarakat tidak mempraktikkan wasiat dan hibah dalam pembagian harta “warisan”, hanya saja praktik wasiat dan hibah yang mereka lakukan tidak sampai menimbulkan sengketa di antara mereka yang perlu mengajukan gugatan di Pengadilan Agama. Berdasarkan pengamatan Satria Efendi terhadap perkaraperkara wasiat dan hibah yang masuk di Pengadilan Agama dalam bukunya “Problematika Hukum Keluarga Kontemporer”357, berdasarkan analisisnya banyak para hakim pengadilan Agama yang tidak memahami sepenuhnya perkara hibah dan wasiat dari sisi fiqihnya, sehingga berimplikasi kepada tidak terpenuhinya rasa keadilan yang diharapkan oleh para penggugat atau para tergugat sebagai pencari keadilan. Di samping itu, hukum materiil yang digunakan juga ada yang mencampuradukkan antara BW dan Hukum Islam, dan bahkan lebih cenderung kepada BW.

356 357

http://www.badilag.net/index.php/statistik-perkara

Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah (Jakarta: Prenada Media, 2004)

344

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Di samping itu, menurut Satria ada kecenderungan hakim dalam memutus perkara hanya berpedoman kepada teks-teks hukum yang terdapat dalam pasal-pasal peraturan yang dijadikan sumber hukum meteriil. Mereka kurang memperhatikan prinsipprinsip keadilan yang menjadi tujuan dalam proses beracara dan penegakan hukum di pengadilan agama. Oleh karena itu, hakim perlu lebih fokus kepada penegakan keadilan daripada hanya fokus dan rigid kepada teks hukum karena teks hukum adalah media untuk mencapai tujuan, yaitu menegakkan keadilan. D. Penutup Permasalahan pembagian harta “warisan” dengan menggunakan institusi hibah dan wasiat sudah jamak terjadi di masyarakat. Praktik pembagian ini tidak perlu dicegah, tetapi perlu diatur sebaik mungkin agar praktik seperti itu tidak menimbulkan efek-efek negatif dalam pelaksanaannya, sehingga pengaturannya perlu disesuaikan dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan dalam hukum Islam. Dalam masalah pembagian harta “warisan” hal-hal yang perlu diperhatikan adalah: a) kebebasan pembuat wasiat dan pemberi hibah dalam mendistribusikan harta yang dimilikinya, b) harta “warisan” tersebut harus diperuntukkan untuk sebesar-besar kemakmuran anak-anaknya, c) wasiat dan hibah merupakan keadilan khusus yang harus didahulukan daripada keadilan umum yang terdapat dalam hukum kewarisan (lex spesialis derogate lex generalis), d) perlu ada pemilahan antara harta pusakan yang diwariskan secara turun-temurun dengan harta hasil usaha, di mana untuk harta pusaka para ahli waris yang berhak, sementara harta hasil usaha, pemilik harta yang berkuasa penuh.

345

Bab III

Daftar Pustaka Abû Dâwud Sulaimân al-Sijistânî al-Azdî, Sunan Abî Dâwud, Vol. 3 (Beirut: Dâr Ibn Hazm, 1997) al-Baihaqî, Abû Bakar ibn ‘Ali, al-Sunan al-Kubrâ, Vol. 6, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2002) al-Bukhârî, Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Ismâ‘îl, al-Jâmi‘ alShahîh, Vol. 2 (Cairo: al-Mathba‘ah al-Salafiyyah, 1403H.) al-Dâruquthnî, Ali ibn ‘Umar, Sunan al-Dâruqutnî Vol. 3, (Beirut: Mu’assasah al-Risâlah, 2004) Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya (Bandung: CV. Penerbit Jumanatul Ali Art, 2007) Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith (Jakarta: Tintamas, 1976) Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî bi Syarh Shahîh al-Bukhârî, Vol. 6, (Riyâdl: Dâr al-Thaibah, 2005) Ibn Mâjah, Abû ‘Abdullâh Muhammad ibn Yazîd al-Qazwînî alSyahîr, Sunan Ibn Mâjah (Riyâdl: Maktabah al-Ma‘ârif, 1417H.) Mandhûr, Ibn, Lisân al-‘Arab (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.) Mawardi, Ahmad Imam, “Socio-Political Background of the Enacment of Kompilasi Hukum Islam di Indonesia”, Tesis, McGill University, Montreal, 1998 Muslim, Abû al-Husain ibn al-Hajjâj al-Qusyairî al-Naisâbûrî, Shahîh Muslim (Riyâdl: Dâr Thaibah, 2006) Powers, David S., Studies in Qur’an and Hadith: The Formation of the Islamic Law of Inheritance (London: University of California Press, 1986)

346

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Salman, Otje, Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris (Bandung: Penerbit Alumni, 1993) Syahrûr, Muhammad, Nahwa Ushûl Jadîdah li al-Fiqh al-Islâmî: Fiqh al-Mar’ah (al-Washiyyah, al-Irts, al-Qiwâmah, alTa’adudiyyah, al-Libâs) (Damaskus: al-Ahâlî, 2000) Wuzârah al-Auqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, al-Mausû‘ah alFiqhiyyah, (Kuwait: Wuzârah al-Auqâf wa al-Syu’ûn alIslâmiyyah, 2004) www.badilag.net/index.php/statistik-perkara al-Zuhailî, Wahbah, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, ( Damaskus: Dâr al-Fikr, 1985) Zein, Satria Effendi M., Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah (Jakarta: Prenada Media, 2004)

347

Bab III

348

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

GHARRAWAIN DAN MUSYARAKAH Humaidi Hamid

Latar Belakang Topik gharrawain dan musyarrakah yang diberikan kepada penulis merupakan dua topik di antara beberapa topik yang disumbangkan oleh Khalifah Umar bin Khattab dalam bidang fiqh mawaris. Kedua topik ini merupakan bentuk-bentuk ijtihad yang ditawarkan oleh umar yang menyimpang dari dzahir nash al-Qur'an sebagaimana dipegangi jumhur ulama. Kedua topik ini nantinya akan menunjukkan kepada kita bagaimana aya-ayat al-Qur'an yang tergolong mufassar (rinci), seharusnya tidak menerima ijtihad, dalam penerapannya ternyata menerima ijtihad. Kedua masalah waris ini sudah sangat terkenal dan dipandang memenuhi rasa keadilan oleh mayoritas ulama. Masalah Gharrawain Masalah gharrawain adalah dua macam kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari (1) suami, ibu, dan bapak dan (2) istri, ibu, dan bapak. Kedua kasus ini disebut gharrawain, bentuk tatsniyah (ganda) dari kata gharra’ (cemerlang) karena dua masalah ini sangat populer bagaikan bintang yang cemerlang.358 Sebagian fuqaha berpendapat bahwa gharrawain berasal dari mashdar garrar (tipuan). Karena dalam masalah tersebut terjadi penipuan kepada ibu. Sekalipun ibu disebut mendapatkan sepertiga, sebenarnya ibu hanya diberi bagian seperenam atau seperempat.

358  Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, cet IV (Damaskus: Dar alFikkr, 2004), X: 7788.

349

Bab III

Penyebutan sepertiga hanya sebagai penghormatan terhadap Al-Qur'an yang menyebutkan demikian. Kedua masalah ini sering juga disebut ‘umariyatain, karena yang mula-mula memutuskan cara penyelesaian kedua kasus ini adalah Khalifah Umar bin Khattab dan diterima oleh mayoritas sahabat dan diikuti oleh jumhur ulama. 359 Kasus pertama terjadi jika ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, dan ayah. Berdasarkan petunjuk Al-Qur'ah Surah An-Nisa': 1112 yang sudah jelas, suami menerima 1/2 karena pewaris tidak meninggalkan anak. Ibu menerima 1/3 karena pewaris tidak meninggalkan anak atau saudara-saudara. Dalam kasus ini ayah sebagai ashabah karena pewaris tidak meninggalkan anak. Kasus ini dapat diilustrasikan sebagai berikut: •

Suami

: 1/2 x 6 = 3 ---3/6



Ibu

: 1/3 x 6 = 2 ---2/6



Ayah

:A

= 1 ---1/6

Cara penyelesaian seperti di atas berdasarkan petunjuk AlQur'an dan sunnah dan tidak ada masalah dalam penyelesaiannya. Akan tetapi saat dilakukan perbandingan antara bagian yang diterima ayah dan ibu, dirasakan adanya kejanggalan, yaitu ibu menerima bagian dua kali lipat dari bagian yang diterima ayah. Padahal ketika ahli warisnya hanya terdiri dari ibu dan ayah, ibu mendapatkan 1/3 dan ayah sebagai ashabah mendapatkan sisanya, yaitu 2/3, bagian ayah dua kali bagian ibu. Untuk mengatasi masalah ini, Umar memahami bagian ibu yang 1/3 bukan dari dari keseluruhan harta, tetapi dari sisa harta setelah diberikan kepada suami. Penyelesaian Umar ini dapat diilustrasikan sebagai berikut:

359

350

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, cet. X (Bandung: Al-Ma'arif, t.t.), 238.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

• Suami

: 1/2

x6

= 3---3/6

• Ibu : 1/3

x (6-3)

= 1---1/6

• Ayah

:A

= 2---2/6

Hasil akhirnya sama dengan saat ahli waris hanya terdiri dari ayah dan ibu, yakni bagian ayah dua kali bagian ibu. Hanya saja bagian ibu berubah dari 1/3 menjadi 1/6. Alasan yang dikemukan untuk mentakwil 1/3 bagian ibu menjadi 1/3 sisa adalah untuk menghindari lebih besarnya hak ibu ketimbang hak ayah. Ibnu Qudamah menyatakan tidak diperbolehkannya hak ibu melebihi hak ayah. Di samping itu mereka memperkuat alasan ini dengan pernyataan Ibnu Mas'ud yang diriwayatkan oleh Sofyan ats-Tsauri: "Allah tidak memperlihatkan kepada saya kelebihan ibu daripada ayah.”360 Kasus kedua terdiri dari istri, ibu, dan ayah. Berdasarkan petunjuk Al-Qur'an dan sunnah, maka istri menerima 1/4 karena pewaris tidak meninggalkan anak. Ibu menerima 1/3 karena pewaris tidak meninggalkan anak atau saudara-saudara. Dalam kasus ini ayah sebagai ashabah karena pewaris tidak meninggalkan anak. Kasus ini dapat diilustrasikan sebagai berikut: •

Istri

: 1/4 x 12

= 3 ---3/12



Ibu

: 1/3 x 12

= 4 ---4/12



Ayah

:A

= 5 ---5/12

Kasus kedua, ini sebenarnya berbeda dengan kasus pertama sebab bagian ayah sebagai ashabah 5/12 lebih besar dari bagian ibu 4/12. Sungguhpun demikian, hal ini masih dianggap ganjil oleh beberapa sahabat karena seharusnya bagian ibu setengah dari bagian ayah sebagaimana ketika hanya mereka 360

Ali ibnu Hazm az-Zahiri, al-Muhalla, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.t.), IX: 260.

351

Bab III

berdua yang mewarisi. Karenanya Umar juga menyelesaikan kasus ini sebagaimana kasus pertama, ibu diberi bagian 1/3 sisa harta warisan setelah diberikan kepada istri. Penyelesaian Umar yang kedua ini dapat diilustrasikan sebagai berikut: •

Istri

: 1/4 x 12

= 3 ---3/12



Ibu

: 1/3 x (12-3)

= 3 ---3/12



Ayah

:A

= 6 ---6/12

Hasil akhirnya sama dengan saat ahli waris hanya terdiri dari ayah dan ibu, yakni bagian ayah dua kali bagian ibu. Hanya saja bagian ibu berubah dari 1/3 menjadi 3/12 atau 1/4. Penyelasaian dua kasus yang dikemukakan oleh Umar ini didukung oleh para sahabat seperti Zaid bin Tsabit, Usman bin Affan, Ibnu Mas'ud, dan juga menurut suatu riwayat juga didukung oleh Ali bin Abu Thalib. Jumhur ulama, antara lain mazhab Hanafi,361 mazhab Maliki,362 mazhab Syafi’i363 dan mazhab Hanbali364 juga mengikutinya. Jumhur ulama mentakwil lafal AlQur'an:

 Dalam arti ibu mendapatkan 1/3 harta warisan yang berhak diwarisi oleh kedua orang tua pewaris, bukan 1/3 semua harta.  361

 Muhammad as-Sarakhsi, al-Mabsuth, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1406 H), XXIX:

362

Ahmad ad-Dardiri, asy-Syarh al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.), IV: 461.

363

Muhyiddin, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), XVI: 72

364

Abdullah ibnu Qudamah, al-Mughni ((Beirut: Dar al-Fikr, 1405), VI: 171-2.

144.

352

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Sebab kalau dimaknai 1/3 harta, kalimat:

 Menjadi tidak berguna. Dengan demikian, perbandingan bagian yang diterima ayah dan ibu konsisten, 2 : 1, sesuai dengan prinsip:

 . Bagian laki-laki sama dengan dua orang perempuan.365 Ibnu Abbas merupakan salah seorang sahabat yang tidak menyetujui dua keputusan Umar tersebut. Menurutnya, ibu dalam dua kasus tetap mendapatkan 1/3 dari keseluruhan harta warisan. Argumentasi yang beliau kemukakan sebagai berikut: 1. Kalimat  di-athaf-kan kepada  sebagaimana   juga diathafkan kepadanya, sehingga berarti . Dengan demikian kalimat  berarti . 2. Seluruh macam bagian yang disebutkan di dalam al-Qur'an itu semuanya disandarkan pada pokok harta peninggalan yang siap dibagi. Misalnya bagian 1/2 artinya 1/2 harta peninggalan, bagian 1/4 artinya 1/4 harta peninggalan dan seterusnya setelah dilakasanakan wasiat dan dilunansi hutang si mayit. Karena bagian ibu 1/3 sisa peninggalan tidak ditunjuk oleh nash, maka harus diartikan dengan 1/3 seluruh harta peninggalan yang siap dibagi.

365

Wahbah, al-Fiqh al-Islami, X: 7788.

353

Bab III

3. Ibu itu ahli waris dzawil furudl sedangkan ayah ahli waris ashabah (dalam masalah tersebut. Maka sesuai petunjuk Nabi Muhammad SAW:

 Berikanlah bagian-bagian itu kepada yang berhak. Sisanya untuk laki-laki yang paling utama. (al-Bukhari:6351366; Muslim: 1615367) Hendaknya ibu diberi bagiannya secara sempurna, kemudian sisanya, sedikit atau banyak, diberikan kepada ayah.368 Ibnu Abbas tidak sendirian di kalangan sahabat. Ali bin Abi Thalib menurut riwayat yang shahih yang diterima oleh Ibnu Hazm, juga sependapat dengan Ibnu Abbas. Riwayat yang menyatakan Ali setuju dengan pendapat Umar, menurut Ibnu Hazm tidak shahih. Di kalangan ulama mazhab sunni yang mendukung pendapat Ibnu Abbas adalah Mazhab az-Zahiri. Mazhab az-Zahiri beralasan karena Allah telah menetapkan bagian ibu 1/3 dan tidak menurunkannya menjadi 1/6 kecuali kalau bersama dengan anak atau saudara-saudara si mayit. Karena itu tidak boleh merubah ketentuan tersebut kecuali ada sunnah yang diyakini kevalidannya, padahal tidak ada sunnah maupun ijmak yang merubahnya. Bagi az-Zahiri, ketika ibu bersama ayah dan suami/istri, ia berhak mendapatkan 1/3 harta warisan, bukan 1/3 harta sisa suami/istri.  Muhammad ibn Isma'il al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, cet III, (Beirut: Dar ibn Katsir al-Yamamah, 1987), VI: 2476. 366

367 Muslim ibn al-Hajjaj an-Nisaburi, Shahih Muslim, (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al‘Arabi, t.t.), III: 1233. 368

354

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, cet. X (Bandung: Al-Ma'arif, t.t.), 240.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Muhammad ibn Sirin berpendapat bahwa ketika ahli waris terdiri dari suami, ibu, dan ayah, maka bagian suami 1/2, ibu 1/3 sisa suami, dan sisanya untuk ayah. Sedangkan ketika ahli warisnya terdiri dari istri, ibu, dan ayah maka bagian istri 1/4, ibu 1/3 seluruh harta warisan, dan ayah sisanya. Pada kasus pertama Ibnu Sirin mengikuti pendapat Jumhur karena dia tidak rela kalau ibu mendapatkan bagian yang lebih besar daripada bagian ayah. Pada kasus kedua, Ibnu Sirin berbeda dengan Jumhur, sama dengan Ibnu Abbas karena bagian ibu lebih rendah dari bagian dari suami, maka tak perlu mentakwil ayat. Baginya bagian ibu tidak harus setengah bagian ayah, yang penting tidak melebihi bagian ayah. Menurut Ibnu Hazm, pendapat Ibnu Sirin yang pertama salah, sedangkan pendapat yang kedua benar. Sebab Ibnu Sirin membedakan dua kasus padahal ayat yang menetapkannhya satu. Ibnu Hazm menolak argumen yang berdasarkan pernyataan Ibnu Mas'ud: "Allah tidak memperlihatkan kepada saya kelebihan ibu daripada ayah." Pertama pernyataan Ibnu Mas'ud bukan sunnah sehingga bukan hujjah. Di sisi lain terdapat sunnah yang shahih menunjukkan keutamaan ibu daripada ayah. Hadits tersebut yaitu tentang seseorang yang bertanya kepada Nabi SAW: Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak mendapatkan kebaikan pengkhidmatan (shuhbah)nya? Rasulullah menjawab sampai 3x: "ibumu." Pada kali keempat beliau baru menjawab: "ayahmu." Hadits ini menunjukkan keutamaan ibu dari ayah. Di sisi lain Allah telah menyamakan bagian ibu dengan bagian ayah ketika si pewaris meninggalkan anak sehinngga bagian ibu dan ayah masing-masing 1/6. Ibnu Hazm juga mengkritik argumen bahwa bagian laki-laki harus lebih besar dari bagian perempuan. Sebab yang berpendapat demikian tidak konsisten. Misalnya ketika ibu mewarisi bersama dengan kakek

355

Bab III

dan suami, mereka menetapkan bagian ibu 1/3 harta warisan, suami 1/2, dan kakek sisanya, yakni 1/6. Ketika ahli waris terdiri dari suami, ibu, 2 saudara kandung, dan 1 saudari seibu mereka menetapkan bagian saudari seibu 1/6 dan dua saudara kandung mendapatkan 1/6 yang berarti masingmasing mendapatkan bagian 1/12. Ketika ahli waris terdiri dari suami, 1 saudari kandung, dan 1 saudara seayah, mereka menetapkan suami mendapatkan 1/2, 1 saudari kandung mendapatkan 1/2, dan 1 saudara seayah tidak mendapatkan apaapa. Tetapi ketika posisi saudara seayah diduduki saudari seayah, maka saudari seayah diberi 1/6 sehingga kasusnya di'aul-kan. Ibnu Hazm heran, mereka tidak mengingkari keutamaan perempuan terhadap laki-laki dalam kasus-kasus tersebut kemudian menolak keutamaan ibu terhadap ayah dalam kasus yang telah ditetapkan Allah.369 Menurut Amir Syarifuddin, penetapan bagian ibu 1/3 sisa ketika bersama-sama dengan ayah dan suami/istri menunjukkan adanya pengaruh adat Jahiliyah dalam diri sebagian besar mujtahid yang disebutkan di atas. Ibnu Abbas yang diikuti oleh ulama Zahiri yang bersikukuh untuk memahami ayat-ayat AlQur'an menurut zahirnya tidak menghiraukan pengaruh adat lama yang mungkin masih ada. Menurut Amir Syarifuddin, kedua kasus sebenarnya bukan masalah dalam arti sebenarnya. Yang terjadi sebenarnya benturan antara tuntutan menjalankan ketentuan AlQur'an menurut zahirnya dengan prinsip yang diwarnai adat jahiliyah dalam menempatkan hak perempuan. Ibnu Abbas mengambil yang pertama dan Jumhur ulama mengambil yang kedua.370

3.

356

369

Ibnu Hazm, al-Muhalla, IX: 260-262.

370

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media, 2004), 112-

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pendapat senada dinyatakan oleh Sajuti Thalib. Menurutnya pemberian bagian 1/3 sisa kepada ibu merupakan pembagian warisan patrinial. Menurut kewarisan bilateral, bagian 1/3 untuk ibu dalam Q.S. An-Nisa' : 12 adalah 1/3 harta peninggalan. Hal ini didasarkan atas alasan dengan menggunakan ilmu statistik. •

Q.S. An-Nisa' : 11 menetapkan bagian: 2/3, 1/2, 1/6, 1/3, dan 1/6.



Q.S. An-Nisa' : 12 menetapkan bagian: 1/2, 1/4, 1/4, 1/8, 1/6, dan 1/3.



Q.S. An-Nisa' : 176 menetapkan bagian: 1/2 dan 1/3.

Di sana terlihat 13 angka pecahan penunjuk perolehan masing-masing ahli waris, 12 di antaranya disepakati angka perolehan itu diambil dari harta peninggalan. Jadi, 2/3 HP, 1/2 HP, 1/6 HP, dan seterusnya. Dengan demikian, tentunya 1/3 pada Q.S. An-Nisa' : 12 juga berarti 1/3 HP. Jika Allah menghendaki lain tentunya akan dirumuskan lain pengecualian itu. Maha benar Allah dengan segala firman-Nya.371 Penulis sendiri setuju dengan pendapat Ibnu Abbas. Penulis memiki alasan lain, disamping penulis setuju dengan alasan yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas dan para pendudukungnya. Ibu adalah ahli waris dzawil furudh saja. Ibu tidak berubah menjadi ashabah bil gair ketika bersama dengan ayah. Kalaupun ibu mendapatkan setengah dari bagian ayah ketika hanya mereka yang menjadi ahli waris, yakni ibu 1/3 dan ayah sisanya 2/3, bukan karena perbandingan bagian laki-laki dan bagian perempuan 2:1, tapi karena kebetulan. Ibu mendapatkan 371

 Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam Indonesia,cet. iv (Jakarta: Sinar Grafika,

2004), 138.

357

Bab III

1/3 sebagai dzawil furudl, dan ayah sebagai ashabah, kebetulan sisanya 2/3. Seandainya prinsip 2:1 antara laki-laki dan perepuan berlaku bagi ayah dan ibu, seharusnya berlaku pada semua kondisi. Kenyataannya ketika ahli warisnya terdiri dari ibu, ayah, dan anak prinsip 2:1 tidak berlaku terhadap ayah dan ibu. Prinsip 2:1 ditetapkan Al-Qur'an hanya kepada anak laki-laki bersama dengan anak perempuan dan saudara bersama dengan saudari. Oleh Jumhur ulama ditafsirkan saudara kandung bersama dengan saudari kandung atau saudara seayah bersama dengan saudari seayah. Prinsip 2:1 berlaku konsisten terhadap anak laki-laki bersama dengan anak perempuan, baik mereka sendiri ahli warisnya atau bersama dengan ahli waris lain. Hal yang sama juga berlaku terhadap saudara bersama dengan saudari selama mereka tidak mahjub. Jika prinsip 2:1 ini diberlakukan secara konsisten pada ayah dan ibu ketika bersama dengan suami/istri berarti telah menempatkan ibu sebagai ashabah bil gair ketika bersama dengan ayah. Ini menurut penulis menempatkan ibu bukan pada tempatnya. Pendapat Umar yang diikuti jumhur ulama ini sampai kini masih pendapat mayoritas. Pendapat jumhur ini pula yang akhirnya diadopsi ke dalam Qanun Al-Mawaris (Kitab UndangUndang Hukum Waris) Nomor 77 Tahun 1943 di Mesir pada Pasal 14, serta UU Kewarisan Suriah pasal 14,372 dan juga ke dalam Buku Kedua dari Kompilasi Hukum Islam di Indonesia pada Pasal 178 ayat (2). Pasal 14 Kitab Undang-Undang Hukum Waris Mesir menetapkan: .....Hanya saja bila ia (ibu) berkumpul dengan salah

372

358

Wahbah, al-Fiqh al-Islami , X: 7789.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

seorang suami istri dan ayah saja, baginya sepertiga sisa setelah fardh suami (istri).... Pasal 178 (2) KHI menetapkan: Ibu mendapatkan sepertiga bagian sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bila bersamasama dengan ayah. Penulis juga menemukan putusan Pengadilan Tinggi Agama Palembang Nomor 03/Pdt,G/2008/PTA.Plg yang mengikuti pendapat Umar. Dalam pertimbangannya majelis hakim menyatakan, bahwa dikalangan Faradhiyun atau Fuqaha Sunni yang disepakati oleh Imam empat, kelompok Sunni menetapkan hak bagian ibu adalah  dari sisa bukan  dari saham bila ibu bersama dengan suami atau istri beserta bapak, masalah ini disebut Gharrawain atau Al- Umariyatain, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 174 ayat (2) Kompilasi Hukum islam, sebab secara teoritis dalam kasus diatas bila ibu diberi hak bagian  saham/ fard, maka bagian ayah sebagai Ashobah bagiannya sangat kecil hampir sama dengan bagian ibu atau lebih kecil. Padahal seharusnya (yang adil) bagian ayah lebih besar dari bagian ibu, sesuai prioritas keadilan bagi kedudukan ayah yang dianggap lebih tinggi dari ibu. Kemudian dalam salah satu keputusannya majelis hakim menetapkan hak bagian ahli waris setelah dikeluarkan untruk anak angkat dengan Wasiat wajibah sebagai berikut: Janda mendapat ¼ = 3/12 ; ibu mendapatkan sepertiga sisa  x ¾ = 3/12; Ayah mendapat ushubah 6/12. Penyelesain Umar dalam kasus garrawain ini juga banyak diajarkan di masyarakat. Buku-buku fiqh mawaris yang diajarkan di Indonesia umumnya mendukung pendapat Umar yang diikuti jumhur ulama dalam kasus garrawain. Sungguhpun demikian, penulis menyarankan untuk memilih pendapat Ibnu Abbas dalam masalah ini. Sebab pendapat Ibnu Abbas lebih sesuai dengan zahir ayat dan masyarakat bilateral yang mayoritas di Indonesia.

359

Bab III

Penyelesaian Umar cocok untuk masyarakat patrilinial seperti di Timur Tengah. Masalah Musyarrakah Menurut ketentuan, ahli waris ashabah tidak diberi warisan sebelum ahli waris dzawil furudl mendapatkan bagiannya masingmasing, berdasarkan hadits tentang ashabah di atas. Akan tetapi terkadang saudara kandung sebagai ashabah digabung dengan saudara/i seibu sebagai dzawil furudl dalam kasus tertentu. Masalah seperti ini disebut masalah musayarrakah. Masalah musyarrakah terjadi ketika saudara kandung yang diposisikan sebagai ashabah tidak mendapatkan warisan karena harta warisan telah habis dibagikan kepada semua ahli waris dzawil furudl, di antaranya terdapat saudara/i seibu. Musyarrakah tidak akan terjadi jika masih ada sisa harta yang dapat diberikan pada ashabah. Masalah musyarrakah dapat terjadi jika ahli warisnya terdiri dari suami yang mendapatkan ½ ketika pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu, pemilik bagian 1/6 yaitu ibu atau nenek, dua saudara/i seibu atau lebih yang mendapatkan 1/3, dan saudara kandung saja atau bersama saudari kandung kandung. Jika sandara/i seibu hanya seorang tidak terjadi musyarrakah karena masih tersisa 1/6 harta warisan. Jika saudari kandung sendirian atau lebih tanpa saudara kandung maka akan mendapatkan bagian tertentu yaitu ½ atau 2/3 sehingga masalahnya akan di’aul-kan. Demikan pula jika kedudukan suami digantikan istri tidak akan terjadi musyarrakah karena masih ada ¼ sisa harta.373

373  Muhammad Mustafa Syalabi, Ahkam al-Mawaris bain al-Fiqh wa al-Qanun, (Beirut: Dar an-Nahdlah al-Arabiyyah, 1978), h. 168.

360

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Masalah ini dapat diilustarasikan misalnya ahli waris terdiri dari suami, ibu (atau nenek), 2 saudara seibu, dan 2 saudara kandung. Sesuai ketentuan, suami mendapatkan 1/2 karena pewaris tidak meninggalkan anak, ibu mendapatkan 1/6 karena bersama beberapa saudara, 2 saudara seibu mendapatkan 1/3 karena lebih dari satu, 2 saudara kandung sebagai ashabah. Penyelesaiannya sebagai berikut: •

Suami

: 1/2 x 6

=3



Ibu

: 1/6 x 6

=1



2 sdr seibu

: 1/3 x 6

=2



2 sdr kandung

:A

=0

Dari segi pembagian warisan sebenarnya tidak ada masalah. Masalahnya di sini terdapat keganjilan. Keganjilannya, 2 saudara seibu yang diikat dengan pewaris hanya melalui satu jalur ibu mendapatkan warisan sementara saudara kandung yang diikat dengan dua jalur, yakni jalur ayah dan ibu, tidak mendapatkan warisan. Kasus seperti ini nampaknya tidak terjadi pada masa Nabi SAW dan Khalifah Abu Bakar, baru terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Umar bin Khattab mendapatkan laporan kasus ini dua kali. Pada kasus pertama Umar menyelesaikan apa adanya seperti ilustrasi di atas. Kemudian masalah itu diajukan kepadanya sekali lagi. Di antara mereka ada yang pintar berdebat dan berkata: "Amirul Mukminin, anggaplah ayah kami itu keledai (himar), bukankah kami dengan saudara seibu berasal dari satu ibu?" Argumen ini diterima oleh Umar kemudian beliau memutuskan agas semua saudara/i bersekutu mendapatkan 1/3 itu, bagi rata tanpa mempertimbangkan jenis kelamin. Keputusan Umar ini

361

Bab III

didukung oleh Zaid bin Tsabit dan sekelompok sahabat. Pendapat ini diiikuti oleh Mazhab Malikiyah dan Syafi'iyah.374 Kasus ini dinamakan musyarrakah karena saudara kandung dipersekutukan dengan saudara-saudara seibu dalam mendapatkan 1/3 warisan. Kasus ini juga diberi nama musytarakah dalam arti 1/3 yang dipersekutukan. Kasus ini juga diberi nama hajariyah karena sebagian saudara kandung mengatakan: "Anggaplah ayah kami hajar (batu)"; dan himariyah karena sebagian saudara mengatakan: "Anggaplah ayah kami himar (keledai)." Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab dan Abu Musa di kalangan sahabat yang kemudian diikuti Mazhab Hanafi, Mazhab Hanbali, tidak menggunakan teori musyarrakah. Mereka memberi suami 1/2, ibu 1/6, saudara-saudara seibu 1/3, dan 2 saudara kandung tidak diberi warisan karena harta warisan telah habis diberikan kepada dzawil furudl. Jika saudara kandung diikutkah dengan saudara seibu berarti manafikan kekerabatannya malalui jalur ayah. Penafian kekerabatan melalui jalur syariah tidak sesuai dengan realitas syar’i. Perubahan saudara kandung dari ashabah menjadi dzawil furudl berarti perubahan dari status yang kuat ke status yang lemah. Ini tidak baik secara syar’i. Karena itu maka saudara seayah tidak digabung ketika tidak mendapatkan sisa sedangkan saudara seibu mendapatkan bagian padahal saudara sebapak lebih kuat dari saudara seibu. Saudara kandung juga demikian.375 Mereka berhujjah dengan ayat 2 ayat kalalah:376

374

Ibid. h. 169;

Muhammad Abu Zahrah, Ahkam at-Tirkat wa al-Mawaris (Kairo: Dar al-Fikr alArabi, 1963), h. 119. 375

376  Kalalah adalah pewaris yang mewariskan harta kepada garis menyamping, bukan pada orang tua atau anak keturunannya atau ahli yang mewarisi harta dari garis menyamping, bukan dari orang tua atau anak keturunannya. Dia, menurut tafsir Abu Bakar

362

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

   “……Jika seorang mati, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaaan “kalalah”, dan ia mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan, maka bagi masing-masing dari keduanya 1/6. Jika mereka lebih dari seorang, maka mereka berserikat mendapat 1/3……”. Saudara yang dimaksudkan dalam ayat ini, menurut kesepakatan ulama klasik adalah saudara/i seibu.377

    “ Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudara perempuannya itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak . Tetapi jika saudara perempuan itu dua yang diikuti sahabat-sahabat dan para ulama mazhab, adalah orang yang tidak punya anak dan ayah. Lihat Muhammad ibn Jarir ath-Thabari, Tafsir att-Thabari, (Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H), IV: 283; Isma’il ibn Katsir ad-Dimasyqi, Tafsir Ibn Katsir, (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H), I: 461. 377 Tafsir ini berdasarkan qira’ah syadzdzah Sa’ad ibn Waqash dan juga tafsir Abu Bakar. Lihat Tafsir Ibn Katsir, ibid.

363

Bab III

orang, maka keduanya dua pertiga harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan, maka untuk yang laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan..........”. Saudara yang dimaksudkan dalam ayat ini menurut kesepakatan ulama klasik adalah saudara kandung atau sebapak.378 Saudara kandung/sebapak berdasarkan ayat ini berkedudukan sebagai ashabah. Jika mereka digabung dengan saudara seibu mendapatkan 1/3 maka kedudukannya akan berubah menjadi dwawil furudl dan bertentangan dengan dzahir ayat. Seandainya kedudukan saudara kandung diisi oleh saudara-saudara seayah, ulama klasik mengatakan bahwa mereka sebagai ashabah tidak mendapatkan apa-apa karena telah habis diberikan kepada dzawil furudl dan tidak ada alasan untuk digabungkan dengan saudara seibu karena mereka berasal dari ibu yang berbeda. Menurut Muhammad Abu Zahrah, pendapat Umar dan lain-lain lebih kuat dalilnya dan menyerupai dalil istihsan. Sedangkan pendapat Ali dan kawan-kawan menyerupai qiyas. Karena menurut qiyas zhahir anak-anak bapak tidak mendapatkan apa-apa. Ini merupakan kesimpulan yang tidak baik dalam pandangan manusia, juga dalam logika syar’i. Karena itu diamalkan qiyas khafi, yaitu sifat yang dimiliki bersama oleh saudara kandung dan saudara seibu dan mereka mewarisi sebagai saudara seibu. Tak seorang pun dapat menyangkal bahwa saudara kandung memiliki sifat sebagai saudara seibu.379

364

378

Ibid.

379

Ibid

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Penyelesaian senada dalam kasus musyarrakah dinyatakan oleh Hazairin dengan alasan berbeda. Pertama, menurut Hazairin, saudara dapat mewarisi jika dalam keadaan kalalah, yaitu pewaris tidak meninggalkan anak baik laki-laki maupun perempuan yang diperluas pada tidak meninggalkan cucu laki-laki atau perempuan dari garis laki-laki maupun perempuan dengan kata lain pewaris tidak meninggalkan keturunan sama sekali. Kedua, Hazairin tidak membeda-bedakan saudara-saudara yang dimaksud dalam Q.S. An-Nisa’ ayat 12 dan ayat 176. Menurut Hazairin, arti akhun, ukhtun, dan ikhwatun adalah sama mencakup semua saudara, kandung, seayah, dan seibu karena Al-Qur’an memang tidak membeda-bedakan saudara berdasarkan pertalian ayah atau ibu.380 Perbedaan bagian yang berhak diterima saudara pada kedua ayat karena sebab lain. Q.S. An-Nisa’ ayat 176 menurut Hazairin mengatur kewarisan seseorang yang meninggal tidak berketurunan, meninggalkan saudara, ayahnya telah meninggal terlebih dahulu, ibu mungkin masih hidup atau telah meninggal juga.381 Dalam hal ini maka bagian saudara/i:

380  Sajuti Thalib, pendukung Hazairin, menyatakan bahwa paham Sunni yang memahami ayat 12 berlaku untuk saudara/I seibu dan ayat 176 berlaku untuk saudara/I sekandung dan seayah sebagai paham yang ganjil. Sebab ayat 11 dan 12 turun pada tahun IV H, sedangkan ayat 176 sebagai ayat terakhir tentang waris turun pada tahun V H, bahkan ada yang mengatakan turun pada tahun V H. Menurutnya tidak wajar pengaturan hak kewarisan saudara/I seibu setahun (bahkan ada yang mengatakan dua tahun) lebih dahulu dari pengaturan hak kewarisan saudara kandung dan saudara seayah. Padahal masyarakat Arab saat itu patrilinial, banyak poligami, sehingga saudara yang banyak tentunya saudara sekandung atau seayah. Saudara seibu tentu jarang. Menurutnya iman sulit untuk menerima kalau Allah yang maha bijaksana mengatur yang hampir tidak ada, saudara seibu, jauh lebih dahulu dari hal yang umumnya terdapat dalam masyarakat, yaitu saudara kandung dan saudara seayah. 380Lihat Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan, 146. 381  Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur'an dan Hadith, cet VI (Jakarta: Tintamas Indonesia, 1982), h. 55-6.

365

Bab III

a. Seorang saudara perempuan warisan.

mendapatkan ½ dari harta

b. Seorang atau lebih saudara laki-laki mewarisi harta saudaranya yang meninggal (seluruh atau sisa dzawul fara’idl), sebagai dzawul-qarabah.382 c. Dua orang saudara perempuan atau lebih mewarisi 2/3 harta warisan. d. Jika saudara terdiri dari laki-laki dan perempuan maka pembagiannya seorang saudara laki-laki mendapatkan bagian dua kali bagian saudara perempuan.383 Q.S. An-Nisa’ ayat 12 menurut Hazairin antara lain mengatur kewarisan seseorang yang meninggal tidak berketurunan, tetapi meninggalkan saudara bersama ayah (jadi mungkin ibu masih hidup atau sudah meninggl juga). Maka saudara kedudukannya sebagai dzawul faraidl, ayah sebagai dzawul-qarabah.384 Dalam hal ini bagian saudara sebagai berikut: a. Seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan masing-masing mendapatkan 1/6 harta warisan. b. Beberapa saudara, laki-laki semua, perempuan semua, atau campuran laki-laki dan perempuan, semuanya berbagi sama rata terhadap 1/3 harta warisan.385

382 Dzawul-qarabahdalam istilah Hazairin adalah orang yang menerima sisa harta dalam keadaan tertentu. Lihat Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 178.

366

383

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral, h. 8-9.

384

Ibid. 56

385

Ibid. 7.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kasus musyarrakah di atas, jika mengacu pada teori Hazairin di atas, bukan masalah. Penyelesaian kasus tersebut menurut teori Hazairin, suami mendapatkan ½ karena pewaris tidak meninggalkan keturunan, ibu mendapatkan 1/6 karena terdapat saudara, dan 4 saudara sebagai dzawul-qarabah. •

Suami

: 1/2 x 6 = 3 x 4 = 12



Ibu

: 1/6 x 6 = 1 x 4 = 4



4 sdr

: dz-q

= 2 x 4 = 8 + 6

24

Jadi suami mendapatkan 3/6 atau 12/24, ibu mendapatkan 1/6 atau 4/24, dan masing-masing saudara kandung/seibu mendapatkan 2/24. Penyelesaian kasus musyarrakah akan sama dengan teori Hazairin jika semua saudara berjenis kelamin laki-laki. Jika saudara seibu semuanya atau salah satunya perempuan atau saudara-saudara kandung terdiri dari laki-laki dan perempuan, hasilnya akan berbeda. Menurut pendapat Umar dengan teori musyarrakah, bagian laki-laki dan perempuan sama. Sedangkan menurut Hazairin, jika saudara-saudara terdiri dari laki-laki dan perempuan, jika pewaris tidak meninggalkan keturunan dan ayah telah meninggal terlebih dahulu, maka pembagiannya 2:1. Jika kedudukan saudara kandung diganti oleh saudara seayah, menurut ulama klasik tidak terjadi musyarrakah. Saudarasaudara seayah sebagai ashabah tidak mendapatkan apa-apa sedangkan saudara-saudara seibu mendapatkan warisan sebagai dzawil furudl. Menurut teori Hazairin, saudara-saudara seayah tetap mendapatkan warisan sebagai dzawil qarabah bersama-sama dengan saudara-saudara seibu. Dalam hal ini teori Hazairin lebih memenuhi rasa keadilan.

367

Bab III

Teori musyarrakah Umar diadopsi dalam Undang-undang Kewarisan di Mesir dan Suriah.386 Kitab Undang-Undang Hukum Waris Mesir Nomor 77 Tahun 1943 mencantumkan teori musyarrakah dalam Pasal 10, yaitu: Bagi anak-anak ibu fardhnya seperenam untuk seorang diri dan sepertiga untuk dua orang atau lebih. Kelaki-lakian dan keperempuanan mereka dalam pembagian adalah sama. Dalam keadaan yang kedua (mendapat sepertiga), bila fardh-fardh dari ashhabul-furudh telah menghabiskan harta peninggalan, anakanak ibu berserikat dengan saudara kandung dan saudara-saudara kandung dengan menyendiri atau beserta seorang saudari kandung atau lebih, dan sepertiga tersebut dibagi antar mereka menurut ketentuan yang telah lalu. KHI mengatur bagian yang berhak diterima saudara dalam dua pasal. Pasal 181 mengatur bagian yang berhak diterima saudara/i seibu. Saudara/i seibu berhak mendapatkan warisan jika pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah, yaitu seperenam jika sendirian, sepertiga jika berdua atau lebih, laki-laki atau perempuan sama saja bagi rata. Pasal 182 mengatur bagian yang berhak diterima saudara/i kandung atau seayah. Saudara kandung atau seayah berhak mendapatkan warisan jika pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah, ½ jika sendirian dan 2/3 jika berdua atau lebih. Jika saudari tersebut bersama dengan saudara kandung atau seayah, maka bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Dari dua pasal di atas dapat dipahami bahwa KHI belum mengatur kasus musyarrakah, beda dengan Kitab Undang386

368

Wahbah, al-Fiqh al-Islam , X: 7772.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Undang Hukum Waris Mesir yang mengaturnya dalam pasal tersendiri. A. Sukris Mawardi memahami penyelesaian kasus musyarakah KHI dengan dua kemungkinan yakni menerima konsep musyarrakah atau percampuran antara mereka dalam segala jurusan tetapi membedakan antara laki-laki dan perempuan 2:1 di samping berlakunyua fard yang semestinya bagi masingmasing mereka tanpa selalu harus berbagi sama. 387 Dengan kata lain ika terjadi kasus musyarrakah penyelesaian kasusnya diserahkan kepada hakim atau masyarakat yang akan menyelesaikan apakah akan mengikuti teori musyarrakah Umar yang didukung oleh Zaid bin Tsabit dan sekelompok sahabat yang kemudian diiikuti oleh Mazhab Malikiyah dan Syafi'iyah atau mengikuti Ali, Ibnu Mas'ud, Ibnu 'Abbas, Ubay bin Ka'ab dan Abu Musa di kalangan sahabat yang kemudian diikuti Mazhab Hanafi, Mazhab Hanbali, yang tidak menggunakan teori musyarrakah. Penulis belum menemukan data lapangan apakah kasus musyarrakah ini pernah terjadi di pengadilan atau masyarakat, dan seandainya terjadi bagaimana pemecahannya, penulis lebih belum menemukan data. Akan tetapi mengingat Muslim Indonesia umumnya bermazhab syafi’i, kemungkinan teori musyarrakah diikuti jika kasusnya terjadi, baik di pengadilan atau di masyarakat. Pendapat Hazairin yang tidak membeda-bedakan saudara apakah kandung, seayah, atau seibu, tapi hanya membedakan apakah saudara bersama dengan ayah atau tidak seperti dijelaskan di atas, layak dipertimbangkan dalam perumusan RUU Kewarisan Islam Indonesia. Sebagaimana dikemukakan oleh Amir Syarifuddin, sekalipun pendapat Hazairin tampak ganjil dalam 387  A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), h. 213.

369

Bab III

pandangan ulama terdahulu, tetap layak diperhatikan. Apalagi kasus ini bersifat ijtihadi (boleh di-ijtihad-kan) dan masih berada dalam tataran wacana.388 Jika teori Hazairin yang diikuti, maka kasus musyarrakah tidak lagi menjadi masalah khusus, tapi merupakan kasus biasa yang bisa dipecahkan secara menyeluruh tanpa melanggar makna teks. Jika mengikuti pendapat Umar, penyelesaian kasus sesuai dengan rasa keadilan, tetapi masih dianggap melanggar dzahir teks sebagaimana faham ulama klasik dan juga parsial. Penutup Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalama masalah gharrawain, peneliti memandang bahwa pendapat Ibnu Abbas yang memberi ibu 1/3 harta warisan ketika ahli waris terdiri dari ibu, ayah, dan suami/istri lebih sesuai dengan dzahir teks dan lebih sesuai pula dengan kultur masyarakat Indonesia yang mayoritas bilateral atau parental. Karena itu pendapat ini layak dimasukkan dalam RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Kewarisan.389 Sedangkan dalam kasus musyarrakah, penulis memandang bahwa teori yang dikemukakan oleh Umar bin Khattab lebih sesuai dengan nilai-nilai keadilan dan kultur masyarakat Indonesia. Lebih dari itu teori Hazairin yang tidak membeda-bedakan saudara kandung, seayah, dan seibu juga layak dipertimbangkan. Karena konsep tersebut sangat sesuai dengan kultur mayoritas masyarakat Indonesia.

370

388

Amir. Hukum Kewarisan, 61.

389



Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Daftar Pustaka Amir Syarifuddin. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Prenada Media, 2004. Anshori, Abdul Ghofur. Filsafat Hukum Kewarisan Islam: Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin. Yogyakarta: UII Press, 2005. Bukhari, Muhammad ibn Isma'il . Shahih al-Bukhari, cet III. Beirut: Dar ibn Katsir al-Yamamah, 1987. Dardiri,Ahmad . asy-Syarh al-Kabir. Beirut: Dar al-Fikr, t.t.. Dimasyqi, Isma’il ibn Katsir. Tafsir Ibn Katsir. Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Bimbingn Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama. Kompilasi Hukum Islam. 2002. Fatchur Rahman. Ilmu Waris. cet. X. Bandung: Al-Ma'arif, t.t. Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur'an dan Hadith. cet VI. Jakarta: Tintamas Indonesia, 1982. Muhammad Abu Zahrah. Ahkam at-Tirkat wa al-Mawaris. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1963. Muhyiddin. al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.1 Qudamah, Abdullah ibnu. al-Mughni. Beirut: Dar alFikr, 1405. Nisaburi, Muslim ibn al-Hajjaj . Shahih Muslim. Beirut: Dar Ihya’ atTurats al-‘Arabi, t.t. Sarakhsi, Muhammad. al-Mabsuth. Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1406 H. Sarmadi, A. Sukris. Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997.

371

Bab III

Syalabi,Muhammad Mustafa. Ahkam al-Mawaris bain al-Fiqh wa alQanun. Beirut: Dar an-Nahdlah al-Arabiyyah, 1978. Thabari, Muhammad ibn Jarir. Tafsir att-Thabari. Beirut: Dar al-Fikr, 1405 H. Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam Indonesia. cet. Iv. Jakarta: Sinar Grafika, 2004. Zahiri, Ali ibnu Hazm . al-Muhalla. Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, t.t. Zuhaili , Wahbah. al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. cet IV. Damaskus: Dar al-Fikkr, 2004.

372

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

KEWARISAN KHUNTSA (KELAMIN GANDA), MAFQUD (ORANG HILANG), ANAK DALAM KANDUNGAN Sri Hidayati

Latar Belakang Aturan tentang kewarisan telah ditetapkan Allah melalui firmanNya yang terdapat dalam al-Qur’an. Pada dasarnya ketentuan Allah yang berkaitan dengan kewarisan tersebut jelas maksud dan arahnya. Berbagai hal yang masih memerlukan penjelasan, baik yang bersifat menegaskan maupun yang bersifat merinci, disampaikan Rasulullah saw melalui haditsnya. Walaupun demikian, penerapannya masih menimbulkan wacana pemikiran dan pembahasan dikalangan para pakar hukum Islam yang kemudian dirumuskan dalam bentuk ajaran yang bersifat normative. Aturan tersebut kemudian ditulis dan diabadikan dalam bentuk kitab fikih serta menjadi pedoman bagi umat muslim dalam menyelesaikan permasalahannya yang berkenaan dengan warisan. Di Indonesia, aturan Allah tentang kewarisan telah menjadi hukum positif yang dipergunakan di Pengadilan Agama dalam memutuskan kasus pembagian maupun persengketaan berkenaan dengan harta waris tersebut yang dituangkan dalam Buku II Kompilasi Hukum Islam. Hanya saja materi hukum kewarisan yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam tersebut masih perlu dilengkapi, diperbaiki, dan dikembangkan seiring dengan temuan dan perkembangan baru dalam praktek di pengadilan pada khususnya dan di masyarakat pada umumnya.

373

Bab III

Masalah kewarisan khuntsa (kelamin ganda), mafqud (orang hilang), anak dalam kandungan merupakan sebagian dari banyak permasalahan lain yang belum diatur dalam KHI. Dalam kitab-kitab fikih ketiga masalah tersebut termasuk dalam bahasan miratsut taqdiri, artinya waris mewaris atau pusaka mempusakai dengan cara/jalan perkiraan. Untuk itu makalah ini berupaya membahasnya dari perspektif fiqh, praktik di pengadilan dan di masyarakat sebagai bahan masukan bagi penyempurnaan Kompilasi Hukum Islam tersebut. Kewarisan Khuntsa Pada prinsipnya Allah SWT menciptakan manusia hanya dari dua jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan.390 Kedua alat kelamin tersebut mempunyai urgensia yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya untuk menentukan seseorang kepada jenis lakilaki atau perempuan. Tidak ada alat kelamin yang lain yang dapat digunakan untuk menentukan suatu makhluk kepada jenis ketiga. Dalam hal-hal tertentu hukum membedakan ketentuan antara laki-laki dan perempuan, antara lain dalam hal pusaka mempusakai dimana Allah SWT telah menjelaskan pusaka laki-laki dan perempuan sejelas-jelasnya dalam ayat mawarist, tetapi tidak menjelaskan pusaka khuntsa. Istilah khuntsa berasal dari bahasa Arab khanatsa yang berarti lunak atau melunak.391 Dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah “banci”, “wadam” (wanita-adam) atau “waria” (wanita-pria). Menurut Ensiklopedi Hukum Islam, khuntsa adalah seseorang yang diragukan jenis kelaminnya apakah laki-laki atau perempuan karena memiliki alat kelamin secara bersamaan 390 391

QS. 4:1 dan QS.49:13

Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al Munawwir, 1984), hal 382.

374

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

ataupun tidak memiliki alat kelamin sama sekali, baik alat kelamin laki-laki atau perempuan.392 Sehubungan dengan tidak dijelaskannya pusaka khuntsa dalam al-Qur’an, para pakar hukum Islam berusaha dan berijtihad untuk menghindari kevacuman hukum dalam penyelesaian pusaka khuntsa ini. Perspektif Fiqh Masalah khuntsa ini banyak dibicarakan dalam kitab-kitab fikih, karena meskipun khunsa mempunyai dua alat kelamin, namun hukum yang diberlakukan padanya hanya satu, yaitu lakilaki atau perempuan. Untuk itu, harus dipastikan kedudukan jenis kelamin seorang khuntsa. Jenis Kelamin Khuntsa Dalam menetapkan seorang khuntsa itu sebagai laki-laki atau perempuan, ulama klasik menempuh dengan dua cara:393 Pertama, yaitu dengan cara meneliti tempat keluarnya air kencing; Cara ini merupakan cara yang disepakati para ulama dalam menetapkan tanda untuk membedakan jenis kelamin khuntsa tersebut.394 Apabila khuntsa kencing melalui zakar maka ia dianggap sebagai laki-laki dan karenanya dapat mewarisi sebagaimana orang laki-laki. Dan apabila khuntsa kencing melalui farj maka ia dianggap sebagai perempuan dan karenanya ia dapat mewarisi sebagaimana orang perempuan. Riwayat seperti ini juga

392 Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van hoeve, 1996), hal. 934 393

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif), cet. Ke-4, hal. 482

394

Ibid, hal. 140

375

Bab III

didapat dari Ali, Mu’awiyah, Sa’id bin al-Musayyab, Jabir bin Zaid, ahli Kufah dan lainnya.395 Dasar yang digunakan untuk menetapkan laki-laki atau perempuan seorang khuntsa melalui cara pertama ialah sabda Rasulullah yang diriwayatkan Ibnu Abbas ketika Rasul pernah ditanya tentang kewarisan seorang anak yang mempunyai qubul dan zakar. Ketika itu beliau sedang menimang anak khuntsa Anshar. Sabdanya: ”Berikanlah warisan anak khuntsa ini (seperti bagian anak laki-laki atau perempuan) berdasarkan awal pertama keluar kencingnya.” Alasan menetapkan cara kencing ini sebagai tanda yang ditetapkan oleh Nabi SAW untuk mengetahui jenis kelamin karena hal tersebut merupakan tanda umum yang dapat ditemukan pada anak kecil dan orang dewasa. Sedangkan tanda lainnya seperti tumbuh kumis dan janggut pada laki-laki dan tumbuh payudara pada perempuan baru akan diketahui setelah dewasa. Selanjutnya, apabila khuntsa kencing melalui kedua alat kelamin tersebut, maka harus diteliti dari alat kelamin mana yang lebih dulu keluar air seninya. Pendapat ini diriwayatkan dari Said ibn Musayyab dan diikuti oleh Ahmad dan jumhur ulama. Apabila keluarnya secara bersamaan maka tanda selanjutnya adalah dari alat kelamin mana air seni tersebut keluar paling banyak. Pendapat ini diriwayatkan dari al-Awzai, dua sahabat Abu Hanifah.396 Dalam hal ini Abu Hanifah tidak sependapat karena banyaknya air seni yang keluar dari salah satu kelamin bisa 395

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal.

396

Ibid

140

376

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

disebabkan luasnya jalan keluar dan hal itu tidak menunjukkan keasliannya.397 Sedangkan dari Syafi’i tidak dikenal ada pendapat tentang ini.398 Kedua, dengan cara melihat tanda-tanda kedewasaannya.399 Apabila dengan melihat alat kelamin yang dipergunakan dalam membuang air kecil tidak berhasil, maka dapat ditempuh dengan melihat ciri-ciri atau tanda-tanda kedewasaan bagi si khuntsa. Ciri-ciri spesifik bagi laki-laki antara lain: tumbuh kumis dan janggut, suaranya berubah menjadi besar, keluarnya sperma lewat zakar, timbul jakun di lehernya, dan ada kecenderungan mendekati perempuan. Sedangkan ciri-ciri spesifik bagi perempuan antara lain: membesarnya payudara, keluar haid dari farjnya, dan ada kecenderungan mendekati laki-laki. Khuntsa yang dapat ditentukan statusnya berdasarkan tanda-tanda atau cara-cara tersebut diatas dinamakan Khuntsa ghair musykil. Sedangkan khuntsa yang sulit ditetapkan jenisnya baik dengan cara meneliti alat kelamin yang dipergunakan kencing, ciri-ciri khusus, keterangan dokter, maupun pengakuan sendiri, dinamakan Khuntsa musykil. Kesulitan dalam menentukan jenisnya berakibat pada kesulitan dalam menetapkan pembagian warisannya. Bagian Pusaka Khuntsa Dalam menghitung kadar bagian khuntsa musykil para ulama sepakat, yaitu dengan memperkirakan dan menghitungnya sebagai laki-laki dan sebagai perempuan. Tetapi kemudian mereka 397

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, terjemah dari Ahkam al-Mawaris fi al-Fiqh al-Islamiy, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), hal. 393 398

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan, hal. 140

399

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif), cet. Ke-4, hal. 482-484

377

Bab III

berbeda pendapat dalam menetapkan pembagian warisan khuntsa musykil setelah diketahui hasil dari penghitungan kedua perkiraan tersebut. Pendapat-pendapat tersebut secara garis besar terbagi tiga.400 Pertama, Memberikan bagian terkecil dan terburuk dari dua perkiraan bagian laki-laki dan bagian perempuan kepada khuntsa musykil, dan memberikan bagian yang terbesar dan terbaik dari dua perkiraan kepada ahli waris yang lain. Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Imam Muhammad dan Imam Abu Yusuf dalam salah satu pendapatnya. 401 Contoh: bapak yang mewarisi bersama anak khuntsa. Perkiraan khuntsa laki-laki Ahli waris

Bagian penerimaannya

bapak

1/6 x 6

=1

khuntsa (laki-laki)

’Ashabah

=5

Perkiraan khuntsa perempuan Ahli waris

Bagian penerimaannya

Bapak 1/6 + sisa

1/6 x 6

=1+2=3

Khuntsa (prp)

1/2 x 6

=3

Jika khuntsa diperkirakan laki-laki maka akan memperoleh saham 5, dan jika khuntsa diperkirakan perempuan maka akan memperoleh saham 3. Berdasarkan pendapat ini, maka khuntsa 400 al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ‘ala alMazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 240 401

378

Ibid, hal. 486; Komite Fakultas Syariah, Hukum Waris, hal. 395

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

diberikan saham terkecil, yaitu 3 saham (sebagai perempuan), sedangkan ahli waris yang lain yaitu bapak diberikan bagian yang terbesar, yaitu 3 saham. Pembagian seperti ini didasarkan pada suatu ketentuan bahwa untuk memiliki harta benda itu tidak dibenarkan selama tidak ada sebab-sebab yang meyakinkan. Dalam masalah ini terdapat keraguan antara bagian yang terkecil dengan bagian yang terbesar. Untuk memperoleh keyakinan dan menghilangkan keraguan, maka ditetapkan bagian yang terkecil.402 Ketentuan tersebut bagi khuntsa musykil. Jika khuntsa masih diharapkan menjadi jelas statusnya, maka didalam menunggu status khuntsa apakah laki-laki atau perempuan setelah menginjak usia dewasa, menurut ulama Hanafiyah ada dua pendapat: a) menetapkan bahwa pembagian seluruh harta peninggalan hendaknya ditahan dulu sampai status khuntsa jelas; b) menetapkan bahwa setiap ahli waris, termasuk khuntsa diberikan bagian yang meyakinkan, kemudian sisanya yang masih diragukan ditahan sampai status khuntsa jelas. Penerimaan seluruh ahli waris disempurnakan dengan menambah bagian mereka yang kurang sesuai dengan yang seharusnya mereka terima. Namun apabila waktu tunggu telah berlalu dan persoalan khuntsa yang diharapkan jelas tidak menjadi jelas, maka ia ditetapkan sebagai khuntsa musykil dan pembagian warisannya seperti ketentuan semula.403 Kedua, Memberikan bagian yang terkecil dan meyakinkan dari dua perkiraan kepada khuntsa dan para ahli waris yang lain, kemudian sisanya ditahan sampai persoalan status khuntsa jelas

402

Fatchur Rahman, Ilmu waris, hal. 487

403

Muhammad Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, hal. 353

379

Bab III

atau sampai ada perdamaian bersama antara para ahli waris untuk saling hibah-menghibahkan sisa yang diragukan itu.404 Pendapat ini dikemukakan oleh ulama-ulama Syafi’iyah, Imam Abu Dawud, Imam Abu Tsaur, dan Imam Ibnu Jarir. Jika bagian khuntsa tersebut pasang surut atau berlebih-kurang sekiranya diperkirakan laki-laki dan perempuan, atau khuntsa hanya mewarisi menurut salah satu perkiraan saja, sedangkan menurut perkiraan yang lain ia tidak mendapat warisan, maka bagi khuntsa dan ahli waris yang lain diberikan bagian yang telah meyakinkan, yaitu bagian yang terkecil dari dua perkiraan atau tidak menerima sama sekali. Menurut ketentuan ini, setelah semua ahli waris termasuk khuntsa menerima bagian yang terkecil atau bagian yang telah meyakinkan, maka sisanya ditahan dulu sampai status khuntsa jelas. Tetapi jika status khuntsa tidak menjadi jelas, maka para ahli waris harus mengadakan perundingan untuk saling hibah menghibahkan terhadap sisa harta yang ditawaqqufkan tersebut. Sebab jika tidak ada perundingan untuk saling hibah menghibahkan, sisa yang ditawaqqufkan tersebut tidak dapat dimiliki mereka. Perundingan saling hibah menghibahkan ini adalah sah walaupun menurut syarat-syarat hibah itu harus diketahui secara yakin sesuatu yang dihibahkan, berdasarkan sesuatu keadaan darurat. Contoh: Perkiraan khuntsa laki-laki Ahli waris bapak anak khuntsa (laki-laki)

404

380

Bagian penerimaannya 1/6 x 6 =1 ’Ashabah = 5

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 488

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Perkiraan khuntsa perempuan Ahli waris

Bagian penerimaannya

Bapak 1/6 + sisa

1/6 x 6

=1+2=3

Anak khuntsa (perempuan)

1/2 x 6

=3

Berdasarkan pendapat ini maka pembagiannya sebagai berikut: Bapak

= 1 saham

Anak khuntsa

= 3 saham

Sisa

= 2 saham disimpan sampai status khunsa jelas. Atau dibagi berdasarkan kesepakatan.

Ulama-ulama Hanabilah dalam hal khuntsa masih dapat diharapkan menjadi jelas statusnya mengikuti pendapat ulamaulama Syafi’iyah, yaitu sisa yang masih diragukan ditahan terlebih dahulu. Tetapi dalam hal status khuntsa tidak dapat diharapkan menjadi jelas, mereka sependapat dengan ulama Malikiyah pada point c) dibawah ini. Ketiga, memberi separoh dari dua perkiraan laki-laki dan perempuan kepada khuntsa dan ahli waris yang lain. Pendapat ini dikemukakan oleh ulama-ulama Malikiyah, ylama Hanabilah dalam satu pendapatnya disaat si khuntsa tidak dapat diharapkan menjadi jelas persoalannya,405 ulama Syi’ah Zaidiyah, dan Syi’ah Imamiyah dalam salah satu pendapatnya yang masyhur.

405

Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al Mirats, hal. 352

381

Bab III

Pembagian ahli waris: Bapak

=1+3 =2 2

Anak khuntsa

= 5 +3 = 4 2

Alasan yang dikemukakan ulama-ulama tersebut sebagaimana diriwayatkan as-Sya’by yang mengutip dari riwayat Ibnu Abbas r.a yang mengatakan bahwa bagian khuntsa itu ialah separoh dari dua bagian laki-laki dan perempuan, dikarenakan statusnya masih diperselisihkan oleh para ahli waris.406 Fatwa Ibnu Abbas ini menurut Ibnu Qudamah tidak ada seorang sahabatpun yang mengingkarinya. 407 Tidak dapat ditarjihkan kepada salah satu jenis kelamin karena adanya kemungkinan yang sama untuk ditetapkan sebagai laki-laki atau perempuan, untuk itu harus dipersamakan ketentuan hukumnya bagi keduanya. Jumlah Ahli Waris Khuntsa Musykil Para faradhiyun menetapkan bahwa para ahli waris khuntsa musykil hanya berjumlah tujuh (7) orang yang tercakup dalam empat jihat sebagai berikut:408 a. Jihat bunuwwah (jalur anak), yaitu anak dan cucu; b. Jihat ukhuwwah (jalur saudara), yaitu saudara dan anak saudara (keponakan);

382

406

Hasanain Muhammad makhluf, al-Mawaris fi al-Syari’at al-Islamiyyah, hal. 196

407

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 490

408

Fatchur Rahman, Ilmu Waris, hal. 484

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

c. Jihat ’umumah (jalur paman), yaitu paman dan anak paman (saudara sepupu); d. Jihat wala’ (perwalian budak), yaitu tuan yang memerdekakan budaknya (maulal mu’tiq). Praktek di masyarakat Di masyarakat Indonesia dikenal dengan istilah “banci”, “wadam” (wanita-adam) atau “waria” (wanita-pria). Istilah-istilah tersebut berbeda pengertian dengan khuntsa yang dimaksud dalam kitab-kitab fikih. Banci adalah tidak berjenis laki-laki dan juga tidak berjenis perempuan; 2 n laki-laki yang bertingkah laku dan berpakaian sebagai perempuan; wadam; waria.409 Pada hakikatnya, masalah kebingungan jenis kelamin atau yang lazim disebut juga sebagai gejala transseksualisme ataupun transgender merupakan suatu gejala ketidakpuasan seseorang karena merasa tidak adanya kecocokan antara bentuk fisik dan kelamin dengan kejiwaan ataupun adanya ketidakpuasan dengan alat kelamin yang dimilikinya. Ekspresinya bisa dalam bentuk dandanan, make up, gaya dan tingkah laku, bahkan sampai kepada operasi penggantian kelamin (Sex Reassignment Surgery).410 Tanda-tanda transseksual yang bisa dilacak melalui DSM, antara lain: perasaan tidak nyaman dan tidak puas dengan salah satu anatomi seksnya; berharap dapat berganti kelamin dan hidup dengan jenis kelamin lain; mengalami guncangan yang terus menerus untuk sekurangnya selama dua tahun dan bukan hanya ketika datang stress; adanya penampilan fisik interseks atau 409

Kamus Besar Bahasa Indonesia

410

http://www.generasimuslim.com/fiqih-kontemporer/351-fenomenatransgender-dan-hukum-operasi-kelamin, makalah Dr. Setiawan Budi Utomo(Dakwatuna).

383

Bab III

genetik yang tidak normal; dan dapat ditemukannya kelainan mental semisal schizophrenia yaitu menurut J.P. Chaplin dalam Dictionary of Psychology (1981) semacam reaksi psikotis dicirikan di antaranya dengan gejala pengurungan diri, gangguan pada kehidupan emosional dan afektif serta tingkah laku negativisme.411 Transeksual dapat diakibatkan faktor bawaan (hormon dan gen) dan faktor lingkungan. Faktor lingkungan di antaranya pendidikan yang salah pada masa kecil dengan membiarkan anak laki-laki berkembang dalam tingkah laku perempuan, pada masa pubertas dengan homoseksual yang kecewa dan trauma, trauma pergaulan seks dengan pacar, suami atau istri. Perlu dibedakan penyebab transseksual kejiwaan dan bawaan. Pada kasus transseksual karena keseimbangan hormon yang menyimpang (bawaan), menyeimbangkan kondisi hormonal guna mendekatkan kecenderungan biologis jenis kelamin bisa dilakukan. Mereka yang sebenarnya normal karena tidak memiliki kelainan genetikal maupun hormonal dan memiliki kecenderungan berpenampilan lawan jenis hanya untuk memperturutkan dorongan kejiwaan dan nafsu adalah sesuatu yang menyimpang dan tidak dibenarkan menurut syariat Islam.412 Adapun hukum operasi kelamin dalam syariat Islam harus diperinci persoalan dan latar belakangnya. Dalam dunia kedokteran modern dikenal tiga bentuk operasi kelamin yaitu: (1) Operasi penggantian jenis kelamin, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki kelamin normal; (2) Operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki cacat kelamin, seperti zakar (penis) atau vagina yang tidak berlubang atau tidak sempurna.; (3)

384

411

Ibid

412

Ibid

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Operasi pembuangan salah satu dari kelamin ganda, yang dilakukan terhadap orang yang sejak lahir memiliki dua organ/jenis kelamin (penis dan vagina).413 Pertama: Masalah seseorang yang lahir dalam kondisi normal dan sempurna organ kelaminnya yaitu penis (dzakar) bagi laki-laki dan vagina (farj) bagi perempuan yang dilengkapi dengan rahim dan ovarium tidak dibolehkan dan diharamkan oleh syariat Islam untuk melakukan operasi kelamin. Ketetapan haram ini sesuai dengan keputusan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Musyawarah Nasional II tahun 1980 tentang Operasi Perubahan/ Penyempurnaan kelamin. Menurut fatwa MUI ini sekalipun diubah jenis kelamin yang semula normal kedudukan hukum jenis kelaminnya sama dengan jenis kelamin semula sebelum diubah. Kedua: Operasi kelamin yang bersifat tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan bukan penggantian jenis kelamin menurut para ulama diperbolehkan secara hukum syariat. Jika kelamin seseorang tidak memiliki lubang yang berfungsi untuk mengeluarkan air seni dan mani baik penis maupun vagina, maka operasi untuk memperbaiki atau menyempurnakannya dibolehkan bahkan dianjurkan sehingga menjadi kelamin yang normal karena kelainan seperti ini merupakan suatu penyakit yang harus diobati. Apabila seseorang mempunyai alat kelamin ganda, yaitu mempunyai penis dan juga vagina, maka untuk memperjelas dan memfungsikan secara optimal dan definitif salah satu alat kelaminnya, ia boleh melakukan operasi untuk ‘mematikan’ dan menghilangkan salah satu alat kelaminnya. Misalnya, jika seseorang memiliki penis dan vagina, sedangkan pada bagian 413

Ibid

385

Bab III

dalam tubuh dan kelaminnya memiliki rahim dan ovarium yang menjadi ciri khas dan spesifikasi utama jenis kelamin wanita, maka ia boleh mengoperasi penisnya untuk memfungsikan vaginanya dan dengan demikian mempertegas identitasnya sebagai wanita. Hal ini dianjurkan syariat karena keberadaan penis (dzakar) yang berbeda dengan keadaan bagian dalamnya bisa mengganggu dan merugikan dirinya sendiri baik dari segi hukum agama karena hak dan kewajibannya sulit ditentukan apakah dikategorikan perempuan atau laki-laki maupun dari segi kehidupan sosialnya.414 Dibolehkannya operasi perbaikan atau penyempurnaan kelamin, sesuai dengan keadaan anatomi bagian dalam kelamin orang yang mempunyai kelainan kelamin atau kelamin ganda, juga merupakan keputusan Nahdhatul Ulama PW Jawa Timur pada seminar “Tinjauan Syariat Islam tentang Operasi Ganti Kelamin” pada tanggal 26-28 Desember 1989 di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo Jawa Timur. Adapun konsekuensi hukum penggantian kelamin adalah sebagai berikut:415 Apabila penggantian kelamin dilakukan oleh seseorang dengan tujuan tabdil dan taghyir (mengubah-ubah ciptaan Allah), maka identitasnya sama dengan sebelum operasi dan tidak berubah dari segi hukum. Menurut Mahmud Syaltut, dari segi waris seorang wanita yang melakukan operasi penggantian kelamin menjadi pria tidak akan menerima bagian warisan pria (dua kali bagian wanita) demikian juga sebaliknya.

386

414

Ibid

415

Ibid

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Sementara operasi kelamin yang dilakukan pada seorang yang mengalami kelainan kelamin (misalnya berkelamin ganda) dengan tujuan tashih atau takmil (perbaikan atau penyempurnaan) dan sesuai dengan hukum akan membuat identitas dan status hukum orang tersebut menjadi jelas. Menurut Wahbah Az-Zuhaili dalam Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu bahwa jika selama ini penentuan hukum waris bagi orang yang berkelamin ganda (khuntsa) didasarkan atas indikasi atau kecenderungan sifat dan tingkah lakunya, maka setelah perbaikan kelamin menjadi pria atau wanita, hak waris dan status hukumnya menjadi lebih tegas. Dan menurutnya perbaikan dan penyempurnaan alat kelamin bagi khuntsa musykil sangat dianjurkan demi kejelasan status hukumnya. Kewarisan Mafqud Mafqud (orang hilang) beberapa kasus disebabkan berbagai hal, diantaranya musibah bencana alam, penculikan, kerusuhan atau sebagai TKI illegal di negeri orang atau sebab lainnya akhir-akhir ini menjadi sorotan media cetak maupun elektronik. Keberadaan orang hilang tersebut banyak yang tidak terungkap di masyarakat, apakah ia masih hidup atau sudah wafat. Penentuan status orang hilang apakah ia masih hidup atau telah wafat amatlah penting, karena menyangkut beberapa hak dan kewajiban orang yang hilang tersebut serta hak dan kewajiban keluarganya sendiri. Pembahasan orang hilang (mafqud) dalam kewarisan ini menyangkut dua hal, yaitu dalam posisinya sebagai pewaris dan kaitannya dengan peralihan hartanya kepada ahli waris, serta posisinya sebagai ahli waris dan kaitannya dengan peralihan harta pewaris kepadanya.

387

Bab III

Kata mafqud dalam bahasa Arab berasal dari kata dasar “faqada” yang berarti hilang.416 Menurut para Faradhiyun mafqud itu diartikan dengan orang yang sudah lama pergi meninggalkan tempat tinggalnya, tidak diketahui domisilinya, dan tidak diketahui tentang hidup dan matinya.417 Selain itu, ada yang mengartikan mafqud sebagai orang yang tidak ada kabarnya, dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau sudah meninggal.418 Perspektif Fiqh Dalam menetapkan status mafqud apakah ia masih hidup atau tidak, para ulama fikih cenderung memandangnya dari segi positif, yaitu dengan menganggap orang yang hilang itu masih hidup, sampai dapat dibuktikan dengan bukti-bukti bahwa ia telah wafat. Sikap yang diambil ulama fikih ini berdasarkan kaidah istishab yaitu menetapkan hukum yang berlaku sejak semula, sampai ada dalil yang menunjukan hukum lain. Namun demikian, para ulama berbeda pendapat dalam menentukan batas waktu berapa lama mafqud dianggap masih hidup, baik posisinya sebagai pewaris maupun sebagai ahli waris. Mafqud sebagai Pewaris Dalam posisinya sebagai pewaris, ulama sepakat bahwa mafqud tetap dianggap masih hidup selama masa hilangnya dan karena itu harta miliknya tidak dapat dibagikan kepada ahli waris

416 Mabadlul Masalik, Pengantar Ilmu Faroidh, terjemahan Iddatul Faridh, diterjemahkan oleh Dimayati Romli, Muhammad Ma’shum Zaini Al Hasyimy,(Pasuruan: GBI, 1994), hal. 146 417 418

Fachtur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al Maarif, 1981), hal. 504.

al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ‘ala alMazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 244

388

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

serta istrinya juga tetap berstatus sebagai istri.419 Mereka mengemukakan dua alasan sebagai berikut:420 a. Salah satu syarat mewarisi adalah adanya kematian pewaris, baik mati hakiki maupun mati hukmi (mati berdasarkan vonis hakim). Sementara status kematian mafqud masih diragukan. b. Membagi-bagikan harta milik mafqud kepada ahli warisnya hanya berdasarkan hilangnya padahal ada kemungkinan ia masih hidup merupakan hal yang merugikannya. Berdasarkan kaidah “istishhabul hal” (hukum sesuatu berdasarkan keadaan semula), maksudnya mafqud pada saat kepergiannya dalam keadaan hidup. Keadaan inilah yang dijadikan dasar menentukan hukum hidupnya, selama tidak ada petunjuk yang mengarah pada kematiannya. Oleh sebab itu ia masih mempunyai hak milik penuh terhadap harta bendanya. Mengenai kapan hakim dapat memutuskan atau memberi vonis tentang kematian mafqud, terdapat beberapa pendapat. Jumhur ulama berpendapat bahwa untuk dapat menyatakan kematian mafqud, harus ditunggu sampai batas waktu tertentu yang ia tidak mungkin hidup lebih dari masa itu. Kepastian waktunya diserahkan kepada ijtihad hakim. Pendapat ini diikuti oleh Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Abu Yusuf.421 Alasan mereka adalah status asalnya adalah hidup dan kepastian kematiannya sangat tergantung pada realitas dan berita tentang hal tersebut tidak ada. Pendapat lain yakni beberapa ulama memberi batas waktu tertentu. Abdul Malik bin Majisyun menetapkan batas waktu 419

Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, hal. 133

420

Fatchur Rahman, hal. 504-505

421

Amir Syarifuddin, hal. 133

389

Bab III

sampai mafqud mencapai umur 90 tahun dihitung dari tahun kelahirannya. Sebab menurut kebiasaan, seseorang itu tidak akan mencapai umur 90 tahun.422 Ibnu ‘Abdul Hakam menetapkan supaya mafqud ditunggu sampai berusia genap 70 tahun. Beliau menyatakan alasan tersebut berdasarkan Hadits Rasul SAW yang berbunyi “Umur-umur umatku itu antara 70 dan 60 tahun”.423 Hasan bin Ziyad berpendapat harus ditunggu secara sempurna 120 tahun. Pembatasan ini rupanya hanya sekedar perkiraan dan tidak mempunyai dasar hukum yang kuat.424 Imam Malik dalam salah satu pendapatnya menetapkan waktu yang membolehkan hakim memberikan vonis kematian mafqud ialah empat (4) tahun sejak kepergiannya. Pendapat ini beliau istimbatkan dari perkataan Sayyidina Umar ra. yang mengatakan:425 “Setiap perempuan yang ditinggal pergi suaminya yang ia tiada mengetahui dimana suaminya, maka ia diminta menunggu 4 (empat) tahun. Kemudian setelah itu ia ber’iddah 4 bulan 10 hari dan kemudian ia menjadi halal.” (Riwayat Bukhari dan Syafi’i). Imam Ahmad bin Hambali berpendapat bahwa di dalam menetapkan status hukum bagi si mafqud, hakim harus melihat “situasi” hilangnya si mafqud tersebut. Menurut beliau situasi hilangnya si mafqud itu dapat dibedakan atas: a. Situasi kepergiannya atau hilangnya itu memungkinkan membawa malapetaka. Misalnya dalam situasi naik kapal tenggelam yang kapalnya pecah dan sebagian penumpangnya telah tenggelam atau dalam situasi peperangan, maka setelah 422

390

Amir Syarifuddin, hal. 132; Fathur Rahman, hal. 508

423

Ibid

424

Amir Syarifuddi, hal. 133 dikutip dari Ibnu Qudamah, hal. 386.

425

Fathur Rahman, hal. 507

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

diadakan penyelidikkan oleh hakim secermat-cermatnya, hakim dapat menetapkan kematiannya setelah lewat empat tahun lamanya. b. Situasi kepergiannya itu menurut kebiasaan tidak sampai membawa malapetaka. Misalnya pergi untuk menurut ilmu, ibadah haji, dan sebagainya, tetapi kemudian ia tidak kembali dan tidak diketahui kabar beritanya lagi dan dimana domisilinya, maka dalam hal seperti itu diserahkan kepada hakim untuk menetapkan status bagi si mafqud menurut ijtihad-nya. Mafqud sebagai ahli waris Apabila dalam hal posisi mafqud sebagai pewaris jumhur ulama sepakat ia dianggap masih hidup sampai batas waktu yang telah disebutkan di atas, maka para ulama berbeda pendapat dalam hal posisi mafqud sebagai ahli waris. Mayoritas ulama, termasuk ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa orang hilang yang posisinya sebagai ahli waris juga dinyatakan hidup dan haknya atas harta warisan sesuai dengan ketentuan yang berlaku disisihkan dan ditangguhkan sampai ada kepastian tentang kematiannya. Sedangkan ahli waris yang lain menerima haknya secara penuh dengan memperhitungkan mafqud dalam status hidup.426 Sebagian besar ulama Hanafiyah dan beberapa pengikut Syafi’iyah berpendapat bahwa harta warisan dibagikan kepada ahli waris yang ada karena mereka adalah ahli waris yang sudah pasti adanya. Sedangkan orang hilang itu diragukan status hidupnya dan karenanya ia tidak mewaris.427 426

Amir Syarifuddin, hal. 134

427

Ibid

391

Bab III

Ahmad dan kebanyakan fuqaha berpendapat bahwa orang hilang itu ditangguhkan haknya sampai ada berita kematiannya, sedangkan ahli waris yang lain diberikan haknya yang sudah meyakinkan. Cara penentuan mengenai bagian yang meyakinkannya itu yaitu dengan cara memperhitungkan dua perkirakan antara mafqud mati dan hidup. Contoh: Suami mewarisi bersama anak laki-laki maufqud dan anak perempuan. Harta peninggalan Rp. 300 juta. Perkiraan mafqud hidup Ahli waris

Penerimaan/saham masing-masing ahli waris

suami

1/4 x 4 = 1/4 saham x Rp 300 juta = Rp. 75 juta

Anak mafqud

laki-laki ’ashabah = 2/4 saham x Rp 300 juta = Rp. 150 juta

Anak perempuan

’ashabah = 1/4 saham x Rp 300 juta = Rp. 75 juta

Perkiraan mafqud mati Ahli waris

Penerimaan/saham masing-masing ahli waris

suami

1/4 x 4 = 1/3 saham x Rp. 300 juta = Rp 100 juta

Anak perempuan

½ x 4 = 2/3 saham x Rp. 300 juta = Rp. 200 juta Jumlah saham 3 (diradkan untuk suami dan anak perempuan)

392

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Ahli waris yang ada diberikan haknya yang meyakinkan, yaitu : Suami = Rp. 75 juta, dan anak perempuan = Rp. 75 juta. Sedangkan bagian mafqud = Rp. 150 juta ditangguhkan. Selanjutnya adalah menunggu berita tentang keadaan mafqud tersebut. Ada tiga kemungkinan yang terjadi, yaitu428 : a.

Mafqud kembali dalam keadaan hidup. Bagi yang berpendapat mafqud tidak diperhitungkan sebagai ahli waris dan harta sudah dibagikan kepada ahli waris yang ada, maka penyelesaiannya adalah para ahli waris yang telah menerima harus mengembalikan apa yang menjadi hak mafqud seberapapun yang tersisa. Kekurangan tidak menjadi hutang karena mereka mengambil secara hukum. Bagi yang berpendapat mafqud masih dinyatakan hidup dan haknya harus disisihkan, tidak ada masalah karena haknya memang sudah disediakan untuk mafqud. Bagi yang berpendapat ahli waris yang ada diberikan bagikan yang terkecil (meyakinkan), jika mafqud kembali dan hidup, maka mafqud diberikan haknya yang disisihkan, sedangkan ahli waris lain yang baru menerima sebagian disempurnakan haknya.

b.

Ada berita yang meyakinkan tentang kematian mafqud yang ternyata mendahului kematian pewaris, maka dengan demikian mafqud bukan ahli waris. Untuk itu harta yang ditangguhkan dibagikan kembali kepada ahli waris sesuai bagian yang seharusnya mereka terima.

c.

Ada berita kematian yang menyatakan bahwa mafqud mati setelah kematian pewaris, maka mafqud termasuk ahli waris.

Apabila batas waktu menunggu sebagaimana yang diperdebatkan sudah berlalu dan mafqud belum kembali dan 428

Ibid, hal. 135

393

Bab III

tidak ada juga berita tentang kematiannya tersebut, maka para ulama berbeda kembali tentang untuk siapa harta yang ditangguhkan tersebut. Menurut pendapat Abu Yusuf, harta yang ditangguhkan dikembalikan kepada ahli waris yang telah ada dan bukan kepada ahli waris si mafqud. Sementara itu al-Khabari meriwayatkan dari al-Lu’lui yang mengatakan bahwa harta yang ditangguhkan untuk mafqud diserahkan untuk ahli waris si mafqud. Inilah pendapat yang sahih menurutnya.429 Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa mafqud dalam posisi sebagai pewaris ditetapkan masih hidup dan oleh karena itu hartanya tidak boleh dibagikan kepada ahli warisnya. Sementara bila mafqud dalam posisi sebagai ahli waris para ulama berbeda pendapat antara yang menganggap mafqud masih hidup dan yang menganggap mafqud telah mati. Perbedaan pendapat tersebut menurut Amir Syarifuddin adalah berawal dari perbedaan pendapat mengenai istishab sifat (istishabu al-haal), yaitu memberlakukan berlanjutnya suatu sifat yang sebelumnya telah ada.430 Jumhur ulama berpendapat bahwa istishabu al-haal dapat digunakan untuk mengukuhkan hak yang ada padanya dan untuk mendapatkan hak baru. Sedangkan kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa istishabu al-haal itu hanya dapat mengukuhkan hak yang ada padanya dan tidak dapat digunakan untuk mendapat hak yang baru. Memposisikan mafqud masih hidup ketika ia sebagai pewaris berarti mempertahankan/mengukuhkan hak yang ada padanya. Dalam hal ini kedua golongan tersebut sepakat. Adapun

394

429

Amir Syarifuddin, hal 136-137 mengutip dari Ibnu Qudamah hal. 390.

430

Ibid, hal. 137

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

dalam hal mafqud sebagai ahli waris, jumhur memposisikannya masih hidup, dan Hanafiyah memposisikannya sudah mati. Mafqud dalam praktek di Pengadilan Mengenai masalah kewarisan orang hilang dalam praktek di pengadilan, setelah ditelusuri melalui internet, pemakah menemukan skripsi yang ditulis oleh Jauhar Faradis, mahasiswa UIN Yogyakarta tentang Hak Waris Orang Hilang (Studi Putusan Pengadilan Agama Sleman No: 20/Pdt.P/2003/Pa.Smn).431 Dalam abstraksinya disebutkan bahwa penyelesaian perkara hak waris mafqud, dilakukan dengan tahapan berikut; Pertama, hakim menilai benar tidaknya fakta yang diajukan oleh Pemohon (mengkonstatir). Kedua, hakim menciptakan hukum baru sesuai dengan kebutuhan masyarakat karena belum ada kepastian hukumnya (mengkualifisir), dan Ketiga, hakim menetapkan si mafqud tersebut dalam keadaan meninggal dunia secara hukmi dan hak warisnya dibagikan kepada ahli warisnya (mengkonstituir). Dengan berdasarkan pada aspek maslahah, maka apa yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama Sleman sudah sesuai dengan apa yang ada dalam ketentuan hukum Islam, karena tujuan dari penetapan hak waris mafqud tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan hukum bagi masyarakat pencari keadilan.432 Sayangnya dalam abstraksi tersebut tidak dicantumkan berapa lama mafqud hilang sehingga hakim menetapkan kematian si mafqud, sehingga tidak dapat dianalisa apakah hakim 431 Pemakalah tidak berhasil membaca keseluruhan isi skripsi dan mendapatkan putusan PA Sleman tersebut. 432 Skripsi/Undergraduate Theses from digilib-uinsuka / 2008-07-08 11:48:31By : JAUHAR FARADIS NIM. 04350063, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga YogyakartaCreated : 2008-07-08.

395

Bab III

dalam menetapkan tersebut mengikuti pendapat salah satu ulama fikih atau murni berijtihad berdasarkan aspek maslahah. Kewarisan anak dalam kandungan Para ulama telah sepakat dalam menetapkan syarat-syarat seorang ahli waris yang berhak mendapatkan warisan adalah yang pada saat kematian pewaris jelas nyata ada dan hidupnya. Para ulama juga sepakat bahwa janin yang masih dalam kandungan ibunya termasuk ahli waris yang berhak diperhitungkan sebagai ahli waris dengan syarat sudah berwujud di dalam rahim ibunya pada saat pewaris meninggal, dan hidup pada saat dilahirkan.433 Ditetapkannya janin/bayi dalam kandungan sebagai orang yang berhak menjadi ahli waris karena janin/bayi termasuk dalam kategori ahliyatul wujub, yaitu orang yang pantas menerima hak, tapi belum mampu melakukan kewajiban. Dalam pembahasan kitab-kitab fikih, permasalahan mengenai kewarisan anak dalam kandungan ini terletak pada ketidak pastian yang terdapat pada dirinya. Sedangkan warisan diselesaikan secara hukum bila kepastian tersebut sudah ada. Ketidak pastian itu terletak pada : apakah janin tersebut lahir dalam keadaan hidup atau mati. Jika lahir dalam keadaan mati jelas ia bukan ahli waris. Jika ia lahir dalam keadaan hidup, apakah ia berhak mewarisi atau tidak. Selanjutnya yang lahir hidup itu apakah laki-laki atau perempuan, satu orang atau berbilang. Ketidak pastian itu bukan saja untuk bayi yang masih dalam kandungan, tetapi juga berlaku bagi ahli waris yang telah ada, apakah ia terhijab oleh yang akan lahir itu atau tidak, dan beberapa ketidak pastian lainnya. 433 al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ‘ala alMazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 230

396

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Di zaman modern sekarang ini melalui ilmu pengetahuan dan kedokteran yang canggih permasalahan-permasalahan tersebut dapat terjawab dengan mudah, kecuali mengenai hidup atau matinya bayi pada saat dilahirkan. Selain itu, apabila seluruh ahli waris bisa bersabar sampai lahirnya bayi permasalahan ini tidak akan terjadi. Permasalahan ini terjadi apabila salah seorang menuntut segera pembagian harta warisan. Perspektif fikih Dalam hal menetapkan apakah bayi pada waktu lahir dalam keadaan hidup menjadi perbincangan di kalangan ulama. Perbincangan itu berkisar pada apa yang menjadi tanda atau ukuran untuk menyatakan bahwa bayi itu hidup. Apakah dilihat setelah bayi lahir secara sempurna atau setelah diketahui tandanya saja meskipun belum lahir secara sempurna.434 Berkenaan dengan hal tersebut, terdapat sebuah hadits Rasulullah yang diriwayatkan dari Abu Hurairah ra: “Bila telah berteriak anak yang dilahirkan, maka ia berhak mewarisi.” Berdasarkan zahir hadits tersebut, sebagian ulama yang terdiri dari Ibnu Abbas, Sa’id bin Musayyab, ‘Atha’, Syuraih alHasan dan Ibnu Sirrin dari kalangan sahabat, kemudian diikuti oleh Al-Nakha’I, Malik dan Ahmad dalam riwayat yang masyhur berpendapat bahwa bukti atau tanda lahir bayi hidup adalah istihlal atau teriakan. Selain dari teriakan tidak dapat dijadikan tanda bahwa bayi lahir dalam keadaan hidup.435

434

Amir Syarifuddin, Hukum waris, hal. 126

435

Amir Syarifuddin, hal. 126

397

Bab III

Golongan kedua yang terdiri dari al-Tsauri, al-Auza’I, Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, al-Syafi’I, Ahmad dalam riwayat yang lain dan Daud berpendapat bahwa tanda kehidupan pada bayi yang baru lahir selain dengan teriakan juga dengan cara lain seperti gerakan tubuh, menyusu dan petunjuk lain yang meyakinkan.436 Dalam menetapkan waktu terjadinya istihlal atau teriakan terdapat juga perbedaan pendapat. Imam al-Syafi’I berpendapat bahwa istihlal atau teriakan dilihat pada waktu bayi telah lahir secara sempurna. Dengan demikian jika bayi berteriak pada saat bayi tersebut baru keluar separoh dari perut ibunya dan kemudian meninggal, maka ia tidak berhak mewarisi. Alasannya ialah bahwa kata-kata “maulud” dalam hadits tersebut dalam arti lahir secara keseluruhan. Berbeda dengan pendapat Syafi’I tersebut, menurut Abu Hanifah seandainya sebagian besar tubuh bayi sudah keluar dan berteriak, maka ia sudah berhak mewarisi meskipun meninggal setelah bayi keluar dengan sempurna. Perbedaan antara pendapat Syafi’i dan Abu Hanifah ini berdampak kepada kepastian timbulnya hak secara hukum. Dampak-dampak tersebut antara lain: a. Kemungkinan terhijab hirman atau tidaknya ahli waris yang lain. Seperti saudara seibu dari pewaris, sedangkan yang hamil adalah istri pewaris. Menurut pendapat Syafi’I, saudara seibu tersebut berhak mewarisi, karena bayi yang meninggal setelah keluar secara sempurna walaupun berteriak. Sementara menurut pendapat Abu Hanifah, saudara seibu tersebut terhijab hirman. 436

398

Ibid, hal 126-127

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

b. Kemungkinan terhijab nuqshannya ahli waris yang lain. Seperti ibu dari pewaris, sedangkan yang hamil istri pewaris. Menurut pendapat Syafi’I, bagian ibu tidak terhijab hirman (menerima 1/3). Sementara menurut Abu Hanifah ibu terhijab hirman (menerima 1/6). Diantara ahli waris ada yang kepastian haknya ditentukan oleh jenis kelamin bayi yang akan lahir. Seperti saudara sekandung atau seayah dari pewaris dan yang hamil adalah istri pewaris. Saudara sekandung atau seayah akan menjadi ahli waris jika yang lahir adalah perempuan. Ketidak pastian mereka yang kedudukannya sudah jelas sebagai ahli waris dapat dikelompokkan kepada tiga kemungkinan: Pertama, pasti kedudukannya sebagai ahli waris dan pasti pula haknya yang akan diterima. Contoh, ibu dalam kasus yang hamil adalah istri pewaris yang telah punya anak. Dalam hal ini apapun bentuk yang lahir, mati atau hidup, ibu tetap mendapat warisan dan hak ibu tetap 1/6. Kedua, pasti kedudukannya sebagai ahli waris namun tidak pasti hak yang akan diterimanya. Contoh, ibu pewaris yang sedang hamil dan sebelumnya telah mempunyai seorang anak. Apapun keadaan bayi yang akan lahir pasti ibu akan menerima hak waris. Ketidakpastiannya terletak apakah ia akan menerima 1/6 atau 1/3. Kalau bayi lahir dalam keadaan mati maka ibu mendapat 1/3 karena pewaris tidak adala anak dan saudara hanya seorang. Kalau seandainya bayi lahir dalam keadaan hidup, apakah laki-laki atau perempuan, hak ibu menjadi berkurang yaitu 1/6 karena saudara pewaris menjadi dua orang dengan kelahiran itu. Ketiga, belum tentu kedudukannya sebagai ahli waris dan otomatis haknya pun menjadi tidak pasti. Contoh, saudara dalam

399

Bab III

kasus ahli waris adalah istri pewaris yang sedang hamil. Seandainya bayi yang lahir itu laki-laki maka saudara tidak berhak menjadi ahli waris karena terhijab oleh anak laki-laki. Tetapi seandainya bayi yang lahir tersebut dalam keadaan mati atau hidup tetapi berjenis kelamin perempuan, maka saudara berhak mewarisi karena anak perempuan tidak menghijab saudara. Dalam ketidak pastian tersebut, dapatkah harta warisan dibagikan kepada ahli waris yang telah jelas ada tersebut? Cara yang paling aman dan tidak menimbulkan masalah adalah bila masing-masing ahli waris yang ada itu bersabar menunggu sampai janin tersebut dilahirkan untuk mencari kepastian. Namun kalau ada yang tidak sabar dan menuntut haknya sebelum ada kepastian, solusinya adalah dengan menerapkan cara-cara sebagai berikut:437 a. Bila ahli waris adalah orang-orang yang sudah pasti menjadi ahli waris dan haknya tidak akan berubah seperti dalam kelompok pertama, maka hak warisannya dapat diberikan secara penuh. Karena apapun yang terjadi haknya tidak akan berubah. b. Bila ahli waris adalah orang-orang yang akan terhijab hirman oleh bayi yang akan lahir, maka haknya tidak dapat diberikan. c. Bila ahli waris adalah orang-orang yang dengan furudh tertentu ada kemungkinan berkurang haknya oleh bayi yang akan lahir, maka haknya dapat diberikan lebih dahulu dalam furudh yang terkecil dari kemungkinan furudh yang dimiliki. Dengan demikian para ulama sepakat bahwa bagian yang disisihkan untuk anak dalam kandungan adalah bagian yang terbesar diantara dua perkiraan laki-laki dan perempuan. 437

400

Amir Syarifuddin, Hukum Waris, hal. 130-131.

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Selanjutnya mereka berbeda pendapat tentang berapa orangkah yang dijadikan pedoman untuk diperkirakan, apaka seorang, dua orang atau empat orang laki-laki dan perempuan? a. Menurut Abu Hanifah, bagian yang ditahan untuk bayi dalam kandungan tersebut adalah sebesar bagian yang terbanyak dari dua perkiraan 4 orang anak laki-laki dan 4 orang anak perempuan.438 b. Menurut Imam Malik dan Syafi’I, bagian yang ditahan untuk bayi dalam kandungan adalah sebesar bagian yang terbanyak dari dua perkiraan 1 orang anak laki-laki dan 1 orang anak perempuan. Karena menurut kebiasaan seorang melahirkan satu anak.439 c. Menurut Imam Ahmad, Muhammad bin al-Hasan dan Lu’luy, bagian yang ditahan untuknya adalah sebesar bagian yang terbanyak dari dua perkiraan 2 orang anak laki-laki dan 2 orang anak perempuan.440 Praktek di pengadilan dan di masyarakat Permasalahan pembagian warisan anak dalam kandungan yang terjadi di pengadilan maupun di masyarakat sepanjang pemakalah ketahui belum pernah terjadi. Apalagi menurut kebiasaan yang ada proses pembagian warisan baru dilaksanakan setelah bertahun-tahun atau berbulan-bulan sejak kematian pewaris. Sehingga kalaupun terdapat ahli waris yang masih di dalam kandungan ibunya pada saat pewaris meninggal, pada saat pembagian warisan anak dalam kandungan tersebut sudah lahir.

438 al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ‘ala alMazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal 230 439

Ibid.

440

Fathur Rahman, hal. 212

401

Bab III

Sehingga proses pembagian warisan tidak terdapat masalah sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab-kitab fikih. Penutup Berdasarkan uraian-uraian tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut: A. Masalah kewarisan khuntsa: 1. Khunsa adalah orang yang mempunyai kelamin ganda atau yang tidak mempunyai kelamin sama sekali. Dalam menentukan status jenis kelaminnya ditentukan berdasarkan fungsi alat kelamin yang dominan. 2. Penghitungan kewarisan khuntsa dengan cara memperkirakan kuntsa sebagai laki-laki dan khuntsa sebagai perempuan. 3. Dalam praktek yang terjadi di masyarakat banyak yang mengubah kelamin dari laki-laki ke perempuan dan dari perempuan ke laki-laki. Hukumnya adalah dilarang karena berbeda dengan pengertian khuntsa yang dimaksud dalam syariat Islam. Untuk kewarisannya berdasarkan jenis kelamin asli sebelum terjadinya perubahan kelamin. B. Kewarisan Mafqud 1. Yang dimaksud mafqud adalah orang hilang yang tidak diketahui keberadaannya, hidup dan matinya. 2. Harta peninggalan mafqud tidak boleh dibagikan kepada ahli warisnya sampai ada kepastian tentang kematian mafqud. 3. Hakim dapat menentukan atau memvonis mati mafqud berdasarkan ijtihadnya setelah mencari bukti-bukti kuat.

402

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

4. Penyelesaian kewarisan mafqud dengan dua perkiraan, yaitu perkiraan mafqud hidup, dan perkiraan mafqud mati. Bagian yang meyakinkan atau terkecil dari dua perkiraan diberikan kepada ahli waris yang hadir. Sedangkan sisanya di simpan sampai mafqud kembali atau ada vonis hakim yang menetapkan kematiannya. 5. Perkara mafqud yang pernah diputuskan di Pengadilan Agama Sleman memutuskan mafqud meninggal demi kemaslahatan ahli waris yang ada. C. Kewarisan anak dalam kandungan 1. Anak atau janin yang masih berada dalam kandungan ibunya sudah terhitung sebagai ahli waris. 2. Penghitungan warisan anak dalam kandungan dengan cara menghitung dua perkiraan, perkiraan bayi lahir laki-laki dan perkiraan bayi lahir perempuan. Bagian yang terkecil dari dua perkiraan diberikan kepada ahli waris yang sudah ada, dan bagian yang terbesar disisihkan untuk bayi. 3. Pembagian harta warisan yang melibatkan anak dalam kandungan sebaiknya menunggu hingga bayi dalam kandungan lahir. Masalah-masalah kewarisan khuntsa (kelamin ganda), mafqud (orang hilang) dan anak dalam kandungan merupakan masalah-masalah ijtihadiyah yang tergolong masalah taqdiri (perkiraan).

403

Bab III

Daftar Pustaka Al-Qur’an dan Terjemah Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia, (Yogyakarta: Pondok Pesantren Al Munawwir, 1984) Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van hoeve, 1996), Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Al-Ma’arif), cet. Ke-4 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Mesir, Hukum Waris, terjemah dari Ahkam al-Mawaris fi al-Fiqh al-Islamiy, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004) al-Qadhi al-Mustasyar al-Syaikh Husain Yusuf Ghazali, al-Mawarist ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Dar al-Fikri, 2003), hal. 240 Yusuf Musa, Al-Tirkah wa al-Mirats fi al-Islam, (Cairo: Dar al-Ma’rifah, 1960) Hasanain Muhammad makhluf, al-Mawaris fi al-Syari’at alIslamiyyah, (Mathba’ah al-Madany, 1976) Kamus Besar Bahasa Indonesia http://www.generasimuslim.com/fiqih-kontemporer/351fenomena-transgender-dan-hukum-operasi-kelamin, makalah Dr. Setiawan Budi Utomo(Dakwatuna). Mabadlul Masalik, Pengantar Ilmu Faroidh, terjemahan Iddatul Faridh, diterjemahkan oleh Dimayati Romli, Muhammad Ma’shum Zaini Al Hasyimy,(Pasuruan: GBI, 1994)

404

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Skripsi/Undergraduate Theses from digilib-uinsuka / 2008-07-08 11:48:31By : JAUHAR FARADIS NIM. 04350063, Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga YogyakartaCreated : 2008-07-08.

405

Bab III

406

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

BAB IV HUKUM KEWARISAN TENTANG HAK-HAK KEBENDAAAN YANG DIATUR UNDANG-UNDANG

407

Bab IV

408

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

KETERKAITAN HUKUM WARIS DENGAN HAK-HAK KEBENDAAN YANG DIATUR DALAM BERBAGAI PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Yeni Salma Barlinti

Latar Belakang Pembahasan kewarisan dalam Islam di saat ini tidak tuntas jika berhenti pada bahasan bagian-bagian warisan untuk ahli waris. Perkembangan muamalah dalam masyarakat semakin besar dan cukup rumit, mengingat semakin luas dan beragamnya kegiatan ekonomi yang dilakukan. Sebagai contoh, jual beli tidak hanya terhadap objek jual beli berupa benda berwujud, tetapi juga benda tidak berwujud seperti saham. Bentuk muamalah lainnya yang beraneka ragam, perlu mendapat perhatian khusus untuk dikaji lebih lanjut dan lebih dalam terkait dengan hukum kewarisan, dengan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Pengkajian ini mengenai kebendaan yang timbul dari kegiatan muamalah dikaitkan dengan hukum kewarisan yaitu dalam penentuan benda-benda yang menjadi harta warisan atau tidak untuk kemudian dibagikan kepada para ahli waris. Tulisan ini mengkaji kebendaan dan hak atas kebendaan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia untuk kemudian dihubungkan dengan kewarisan, khususnya harta warisan. Kajian ini diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran untuk penyusunan Naskah Akademik RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Hukum Kewarisan.

409

Bab IV

Pengertian Kebendaan Dalam Pasal 499 KUHPerdata, disebutkan definisi kebendaan adalah “tiap-tiap barang dan tiap-tiap hak yang dapat dikuasai oleh hak milik”. Definisi ini memberi pemahaman bahwa konsep kebendaan adalah tidak hanya benda itu sendiri, tetapi juga hak. Dengan berdasar para ketentuan tersebut Abdulkadir Muhammad mengemukakan bahwa: Benda adalah objek milik. Hak juga dapat menjadi objek milik. Oleh sebab itu, benda dan hak adalah objek milik. Secara yuridis (menurut konsep hukum) yang dimaksud dengan benda adalah segala sesuatu yang menjadi objek milik. Semua benda dalam arti hukum dapat diperdagangkan, dapat dialihkan kepada pihak lain, dan dapat diwariskan.441 Amwal adalah benda yang dapat dimiliki, dikuasai, diusahakan, dan dialihkan, baik benda berwujud maupun tidak berwujud, baik benda yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, baik benda yang bergerak maupun yang tidak bergerak, dan hak yang mempunyai nilai ekonomis (Pasal 1 angka 9 KHES) Klasifikasi Jenis Benda KUHPerdata membagi benda dalam bentuk: 1.

Benda berwujud dan tidak berwujud (Pasal 503 KUHPer)

2.

Benda bergerak dan tidak bergerak (Pasal 504 KUHPer)

441 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, cet. Revisi, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 128.

410

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

KHES membagi benda dalam bentuk: 1.

Benda berwujud dan tidak berwujud. Benda berwujud adalah segala sesuatu yang dapat diindera (Pasal 1 angka 10 KHES). Benda tidak berwujud adalah segala sesuatu yang tidak dapat diindera (Pasal 1 angka 11 KHES).

2.

Benda bergerak dan tidak bergerak. Benda bergerak adalah segala sesuatu yang dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain (Pasal 1 angka 12 KHES). Benda tidak bergerak adalah segala sesuatu yang tidak dapat dipindahkan dari suatu tempat ke tempat lain yang menurut sifatnya ditentukan oleh undang-undang (Pasal 1 angka 13 KHES).

3.

Benda terdaftar dan tidak terdaftar. Benda terdaftar adalah segala sesuatu yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan warkat yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang (Pasal 1 angka 14 KHES). Benda tidak terdaftar adalah segala sesuau yang kepemilikannya ditentukan berdasarkan alat bukti pertukaran atau pengalihan di antara pihak-pihak (pasal 1 angka 15 KHES).

Hak Kebendaan Hak kebendaan adalah “hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun”.442 Hak Kebendaan Atas Tanah Dalam kaitannya dengan agraria, Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 16 ayat (1) mengatur hak-hak atas tanah adalah sebagai berikut.

442

Abdulkadir Muhammad, hlm. 136.

411

Bab IV

a. Hak milik b. Hak guna usaha c. Hak guna bangunan d. Hak pakai e. Hak sewa f. Hak membuka tanah g. Hak memungut hasil hutan h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan undang-undang serta hakhak yang sifatnya sementasi sebagai yang disebutkan dalam Pasal 53. Pengertian dan ketentuan dari masing-masing hak sebagaimana dipaparkan berikut. Hak Milik Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah (Pasal 20 UU PA). Ketentuan hak milik atas tanah adalah hanya dapat dimiliki oleh WNI. Menjadi permasalahan apabila ahli waris dari pewaris adalah WNA. Hal ini menjadi tidak terlindungi. Hak milik menjadi hapus (Pasal 27 UUPA) apabila tanahnya jatuh kepada Negara karena pencabutan hak untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, dengan mendapatkan ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang telah diatur. (Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 18 UUPA); karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya; karena diterlantarkan; karena pengalihan hak kepada WNA; dan tanahnya musnah.

412

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Hak Guna Usaha Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan (Pasal 28 jo Pasal 29 UUPA). HGU diberikan atas tanah yang luasnya paling sedikit 5 ha. HGU dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 tahun (Pasal 29 ayat (3) UUPA). Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun (Pasal 35). HGB dapat terjadi karena perjanjian yang berbentukan otentik antara pemilik tanah yang bersangkutan dengan pihak yang akan memperoleh HGB itu, yang bermaksud menimbulkan hak tersebut (Pasal 37). Hak Pakai Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan UU ini (Pasal 41). Hak pakai ini dapat diberikan selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang tertentu; atau dengan Cuma-Cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun.

413

Bab IV

Hak Sewa Hak sewa untuk bangunan dapat dimiliki oleh seseorang yang mempunyai hak sewa atas tanah apabila ia berhak mempergunakan tanah-milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa (Pasal 44 ayat (1)). Pembayaran uang sewa dapat dilakukan dengan cara satu kali atau pada tiap-tiap waktu tertentu; sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan (Pasal 44 ayat (2)). Hak Membuka Tanah dan Hak Memungut Hasil Hutan Hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan adalah hak-hak adat yang menyangkut tanah. Hak Lain Bersifat Sementara Hak-hak lain yang sifatnya sementara adalah hak gadai, hak usaha-bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian. Terkait dengan kewarisan, menurut penulis, hak-hak kebendaan yang dapat diwariskan dapat terbagi sebagai berikut. Hak Penuh dan Tidak Penuh Hak penuh adalah hak ini adalah absolute milik dari pewaris dan dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Sedangkan hak tidak penuh adalah hak pewaris hanya untuk jangka waktu tertentu. Jika tiba pada akhir masa haknya, maka hak tersebut berakhir. Hak ini dapat diperpanjang dengan cara mendaftarkan kembali. Tetapi dapat beralih menjadi hak Negara apabila tidak didaftarkan kembali.

414

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Hak Kekayaan Intelektual Bentuk Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) yang diatur di Indonesia adalah: a. Hak Cipta b. Merek c. Paten d. Desain Industri e. Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu f.

Rahasia Dagang

g. Varietas Tanaman Regulasi tentang Kewarisan Beberapa peraturan perundang-undangan, khususnya dalam bentuk UU ada beberapa pasal dalam UU yang mengatur tentang kewarisan. Perundang-undangan dimaksud seperti: 1. UU No. 19 Th. 2002 Tentang Hak Cipta; dalam pasal: 3, 4, 19, 20, 24, 58 dan 55. 2. UU No. 14 Th. 2001 Tentang Paten, dalam pasal: 40, 66, 67 dan Pasal 86 3. UU No. 15 Th. 2001 Tentang Merek; dalam Pasal 40 4. UU No. 30 Th. 2000 Tentang Rahasia Dagang; dalam pasal 5. 5. UU No. 31 Th. 2000 Tentang Desain Industri; dalam pasal 9, 22 dan 31. 6. UU No. 32 Th. 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu; dalam Pasal 8, 18 dan 23.

415

Bab IV

7. UU No. 29 Th. 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman; dalam pasal asal 12, 22, 40 dan pasal 54. 8. UU No. 41 Th. 2004 Tentang Wakaf; dalam pasal Pasal 6, 25, 27, 67, dan pasal 40. 9. UU No. 40 Th. 2007 Tentang Perseroan Terbatas; dalam pasal 56 dan 57. 10. UU No. 4 Th. 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah; seperti dalam pasal 16. 11. UU No. 21 Th. 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang; dalam pasal 48, 49 dan pasal 50. 12. UU No. 31 Th. 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; dalam pasal 34 dan pasal 33. 13. UU No. 15 Th. 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Th. 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Menjadi UU jo. Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Th. 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme; dalam pasal Pasal 36, 40 dan 41. Mengenai ketentuan-ketentuan yang terkait dengan kewarisan, juga dapat dilihat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, sebagai peraturan yang mengatur kegiatan ekonomi syariah berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Ketentuan-ketentuan dalam KHES merupakan ketentuan terkait dengan perikatan sebagai kegiatan muamalah yang didasarkan pada Hukum Islam. Didalamnya juga diatur mengenai keterkaitannya dengan kewarisan, yaitu pada saat salah satu pihak yang melakukan perikatan meninggal dunia. Hak apa saja yang

416

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

diperoleh para ahli waris dan apa saja yang tidak dapat diwariskan. Berikut isi ketentuan KHES berdasarkan buku Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang diterbitkan oleh MARI tahun 2010 sebagai Edisi Revisi. Pasal dan kandungannya dapat dilihat dalam tabel berikut ini. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Pasal 88, 109, 110, 115 202, 203 dan 204 263 dan 264 273 289 dan 294 351 dan 358 372 390, 392, 393 dan 394 425, 428 dan 429 Pasal 517 536 639, 640, 641, 643 dan 659

Tentang Bai’ (jual beli) Bai’ Wafa Syirkah Milk Muzara’ah Khiyar Syarth Khiyar Ghabn dan Taghrib Kafalah Hawalah Rahn Wadi’ah Wakalah Shulh Dana Pensiun Syariah

Kewarisan dalam Kaitannya Dengan Wakaf UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf menentukan bahwa wakaf dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu. Adanya kebolehan untuk melakukan wakaf dalam jangka waktu tertentu, dapat menimbulkan permasalahan terkait dengan kewarisan. Permasalahan tersebut adalah jika mauquf ‘alaih dari wakaf tersebut meninggal dunia (dalam hal wakaf ahli atau wakaf untuk kerabat tertentu). Apakah dalam jangka waktu keberlakuan wakaf tersebut beralih kepada ahli waris atau wakaf tersebut berakhir.

417

Bab IV

Begitu pula untuk wakaf khairi (wakaf umum), permasalahan dapat muncul di saat mauquf ‘alaih meninggal dunia, di saat wakif tidak menyebutkan secara khusus mengenai hal tersebut. G. Kebendaan Kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam Ketentuan dalam Pasal 189 KHI berisi bahwa (1) Bila warisan yang akan dibagi berupa lahan pertanian yang luasnya kurang dari 2 hektar, supaya dipertahankan kesatuannya sebagaimana semula, dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama para ahli waris yang bersangkutan. (2) Bila ketentuan tersebut pada ayat (1) pasal ini tidak dimungkinkan karena di antara para ahli waris yang bersangkutan ada yang memerlukan uang, maka lahan tersebut dapat dimiliki oleh seorang atau lebih ahli waris yang dengan cara membayar harganya kepada ahli waris yang berhak sesuai dengan bagiannya masing-masing. Ketentuan Pasal 189 KHI tentang tanah pertanian yang luasnya kurang dari 2 ha adalah terkait dengan ketentuan UU No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Dalam Pasal 8nya ditentukan bahwa Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah-pertanian minimum 2 hektar. Tujuan penetapan luas minimum adalah supaya tiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk dapat mencapai taraf penghidupan yang layak. Untuk hal tersebut, UU ini berupaya untuk mencegah dilakukannya pemecahanpemecahan pemilikan tanah yang bertentangan dengan tujuan tersebut. Dalam Pasal 9 ayat (1) UU ini ditentukan bahwa:

418

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali pembagian warisan, dilarang apabila pemindahan hak itu mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari dua hektar. Larangan termaksud tidak berlaku kalau si penjual hanya memiliki bidang tanah yang luasnya kurang dari dua hektar dan tanah itu dijual sekaligus. Hal-hal Lain yang Terkait dengan Kewarisan Terkait dengan kebendaan, saat ini perlu mendapat perhatian atas hak kebendaan yang muncul kemudian, yaitu hakhak yang bendanya diperoleh di kemudian hari. Penulis pernah memberikan pendapat kepada sebuah Perusahaan Asuransi di Jakarta yang mempertanyakan mengenai penerima santunan atas keluarga (ayah, ibu, dan anak) meninggal semua dalam suatu kecelakaan. Dalam hal ini, penulis berpendapat bahwa santunan tersebut merupakan bagian dari harta warisan yang menjadi hak para ahli waris. Begitu pula terhadap restitusi yang diterima oleh ahli waris dari korban suatu tindak pidana. Dalam hal ini, menjadi suatu permasalahan baru terhadap bentuk harta warisan yang muncul kemudian. Santunan asuransi jiwa ataupun santunan dari pihak manapun (perusahaan tempat pewaris bekerja misalnya) dan restitusi, uang yang diperoleh hanya satu kali. Sehingga uang ini dapat lebih mudah untuk dibagikan kepada ahli waris apabila santunan ini dinilai sebagai harta warisan. Berkenaan dengan harta yang muncul kemudian, perlu suatu kajian terhadap HaKI atas seseorang yang meninggal dunia. Utamanya adalah bagaimana penentuan hak waris para ahli waris terhadap HaKI. HaKI dapat

419

Bab IV

diperoleh secara terus menerus sepanjang terus didaftarkan, diproduksi, dijual, dan terdapat harta yang dihasilkannya. Penutup Dalam beberapa peraturan perundang-undangan telah mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kewarisan. Dari peraturan-peraturan tersebut telah menimbulkan hak-hak kebendaan yang tidak hanya berupa hak-hak kebendaan yang ada pada saat seseorang (pewaris) meninggal dunia, tetapi juga berupa hak-hak kebendaan yang muncul kemudian, seperti hak atas kekayaan intelektual, restitusi, santunan, asuransi (jiwa). Perlu ditentukan (1) apakah hak-hak kebendaan yang muncul kemudian merupakan harta warisan atau tidak? (2) Bagaimana dengan hakhak kebendaan yang dapat berlangsung terus menerus muncul di kemudian hari tanpa batas? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu diketahui jawabannya karena akan berpengaruh terhadap pembagian harta warisan bagi ahli waris. Ketentuan-ketentuan ini perlu diperhatikan dan dikaji dalam penyusunan NA RUU Hukum Materiil PA Bidang Kewarisan. Ketentuan yang diatur dalam KHES juga penting untuk dikaji mengingat terdapat ketentuan-ketentuan mengenai kewarisan terkait dengan perikatan yang dilakukan oleh Pewaris semasa hidupnya. Hak-hak kewarisan tidak hanya mengenai piutang yang ada pada pihak lain, tetapi juga hak untuk melakukan sesuatu ataupun batasan akad yang tidak bisa diwariskan terhadap ahli waris. Selain itu, terhadap peraturan-peraturan yang tidak sesuai dengan hukum kewarisan Islam harus diperbaiki untuk tidak menimbulkan permasalahan hukum dan menghilangkan hak-hak waris seseorang.

420

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

BAB V PENUTUP

421

Bab V

422

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Setelah dilakukan kajian, penelusuran dari berbagai sumber pemaparan makalah dan diskusi dalam workshop disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

Kesimpulan 1. Dilihat dari perspektif sosiologis, filosofis, yuridis, maupun historis, maka dalam rangka mewujudkan kepastian hukum, upaya legislasi hukum kewarisan Islam meningkatkan KHI menjadi Undang-Undang merupakan suatu keniscayaan. Meskipun harus disadari bahwa gagasan ini merupakan pemikiran mulia, namun membutuhkan energi tinggi dan perjuangan yang tidak mengenal lelah, untuk meyakinkan para “politisi” di lembaga legislatif. Karena sisa-sisa Hurgronje nian tampaknya di negeri ini masih sangat kuat, dan sering mengusung wacana, bahwa legislasi hukum Islam sama halnya dengan menghidupkan Piagam Jakarta. 2. Untuk kepentingan legislasi hukum waris Islam di Indonesia perlu disepakati terlebih dahulu paradigma apa dan bagaimana yang hendak ditawarkan atau digunakan untuk meng”engine” dan meng”create” masyarakat. Dalam perspektif historis pada awalnya masyarakat Islam Indonesia telah menerima secara menyeluruh, karena ini adalah indikator keberagamaan masyarakat. 3. Di dalam menyusun draft RUU Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, perlu dipersiapkan penyempurnaan KHI sebagai bahan utama di dalam upaya legislasi menjadi UU Hukum Kewarisan Islam di Indonesia dengan naskah akademik yang komprehensif, moderat, dan adil, namun memiliki kepastian hukum terutama soal materi-materi sebagaimana yang disepakati di atas.

423

Bab V

4. Undang-Undang hukum material Peradilan Agama dibutuhkan untuk menunjang tugas dan fungsi Peradilan Agama sebagai diamanatkan oleh UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pendidikan Agama juga UU No. 50 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No. 3 Tahun 2006 tentang Pendidikan Agama. 5. Keberadaan hukum material Peradilan Agama sangat erat hubungannya serta merupakan konskwensi logis dari keberadaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan begitu materi dan isi kandungannya diharapkan dapat mendukung efektifitas pelaksanaan UU Perkawinan. 6. Secara formal peraturan yang bisa menjadi pegangan dan rujukan hakim agama dalam menyelesaikan perkara di Pengadilan Agama terutama penyelesaian perkara kewarisan adalah Kompilasi Hukum Islam yang hanya berbentuk Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991. Padahal Inpres jika dilihat dari segi kekuatan hukumnya tidak lagi bisa diposisikan dan diakui sebagai salah satu bentuk perundang-undangan. (UU No. 10 Tahun 2004 yang telah dirubah dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Kondisi seperti inilah yang kemudian semakin memperkuat eksistensi Kompilasi Hukum Islam. 7. Secara umum muatan materi Kompilasi Hukum Islam bidang kewarisan masih relevan untuk mengatur dan menyelesaikan perkara kewarisan di Indonesia, oleh karena itu muatan materi KHI bidang kewarisan tersebut harus tetap dipertahankan. Adapun hal-hal yang belum diatur perlu dimasukkan dalam RUU, umpamanya ketentuan mengenai ahli waris ‘ashobah, soal musyarokah, hak waris anak dalam kandungan, mafqud (orang hilang) uhuntsa (kelamin ganda), anak zina dan li’an, dua orang atau lebih bersama-sama meninggal. Selain itu

424

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

perlu ada pengembangan dan penyempurnaan muatan materi KHI misalnya masalah ahli waris pengganti, wasiat wajibah yang dulu hanya untuk anak angkat dan orang tua angkat diperluas peruntukannya bagi ahli waris yang terhalang menerima warisan dari pihak ayah biologis, non muslim, murtad, anak li’an, dan anak hasil perkosaan terhadap laki-laki pemerkosa ibunya dan lain-lain.

Saran 1. Untuk menindaklanjuti hasil penyusunan makalah akademik ini Direktorat Urusan Agama dan Pembinaan Syariah Kementerian Agama diharapkan melakukan upaya penyusunan rancangan undang-undang hukum material Peradilan Agama bidang kewarisan. Untuk mengawal jalannya rancangan undang-undang tersebut menjadi undang-undang diperlukan dukungan Biro Hukum dan Kerjasama Luar Negeri guna memperoleh agenda pembahasan di lembaga legislatif. 2. Bagi kalangan akademisi diharapkan melakukan kajian lebih intens melalui penelitian terhadap beberapa persoalan substantif hukum waris Islam di Indonesia, terutama terhadap hal-hal yang masih banyak mengundang polemik atau perbedaan seperti konsep ahli waris pengganti, wasiat wajibah, ahli waris beda agama, hak waris anak diluar perkawinan yang sah, harta bersama.

425

Editor : Muchit A. Karim

Problematika Hukum Kewarisan Islam Kontemporer di Indonesia

Kementerian Agama RI Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Jakarta 2012

Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan sekumpulan materi hukum Islam yang ditulis dalam pasal demi pasal, berjumlah 229 pasal yang terdiri dari tiga materi hukum. Ketiga materi hukum tersebut yaitu: a) hukum perkawinan sebanyak 170 pasal; b) hukum kewarisan (wasiat, hibah) sebanyak 44 pasal; c) hukum perwakafan sebanyak 14 pasal. Kemudian ditambah dengan satu pasal ketentuan penutup. Pada awalnya KHI akan diperjuangkan menjadi UndangUndang Hukum Materiil Peradilan Agama. Akan tetapi karena kondisi politik belum memungkinkan, akhirnya KHI disahkan dengan Inpres No 1 Tahun 1991 pada tanggal 10 Juni 1991. Melalui Inpres ini, Presiden menginstruksikan kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan KHI tersebut untuk dipergunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat luas yang membutuhkan. Kemudian Menteri Agama melalui Keputusan Menteri No 154 Tahun 1991 menetapkan pelaksanaan Inpres No 1 Tahun 1991 dan menunjuk Dirjen Kelembagaan Agama Islam dan Urusan Haji untuk mengkoordinasikan pelaksanaan Keputusan Menteri tersebut dalam bidang tugasnya masing-masing. Kedua lembaga tersebut kemudian melakukan sosialisasi secara inetens terhadap KHI tersebut. Begitu pula Badan Pembinaan Peradilan Agama, bahkan sampai kini lembaga tersebut menjadikan KHI sebagai sumber referensi dalam menangani perkara-perkara yang ada.

ISBN

978-602-8739-07-8

Related Documents


More Documents from "Khairul Alonx"