Ragam Kiasan Dalam Al-qur'an.pdf

  • Uploaded by: Anwar
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ragam Kiasan Dalam Al-qur'an.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 72,696
  • Pages: 311
Loading documents preview...
a

ak

st

u

P

h

ia

Sy

RAGAM KIASAN DALAM AL-QURAN Judul asli: al-Amtsâl fi al-Qur`ân (Perumpamaan dalam Al-Quran) Penulis: Syekh Ja’far Subhani Penerjemah: Muhammad Ilyas Penyunting: Rudy M. Bismillâhir rahmânir rahîm Sebelum memasuki inti pembahasan, perlu disajikan beberapa mukadimah berikut ini: -1Matsal dalam Bahasa Kata matsal ( ‫ ) ﻣﺜﻞ‬atau “perumpamaan” dalam kamus bahasa Arab, Lisân al‘Arab dan al-Qâmus al-Muhith, mempunyai bermacam-macam makna, antara lain: nazhîr (“sifat”; “seperti”), atau ‘ibrah (“peringatan”; “pelajaran”). Makna kata matsal ( ‫ ) ﻣﺜﻞ‬yang lain adalah “yang menjadi contoh bagi yang lain”; atau “yang ditiru”. Selain beberapa makna ini, kata matsal juga mempunyai makna yang lain.1 P0F

Fairuz Abadi mengatakan: “Kata mitsl ( ‫ ) ﻣﺜﻞ‬berarti syibh atau “serupa”. Bentuk jamak mitsl adalah amtsâl. Kata matsal berarti hujjah atau “bukti”; “alasan”; “sifat”. Sedangkan kata mitsâl ( ‫ ) ﻣﺜﺎﻝ‬berarti miqdâr atau “ukuran”; yang juga berarti qishâsh atau “pembalasan yang sepadan”, selain arti-arti yang lain.” 2 P1F

Penulis kitab Mu’jam al-Maqâyis menyatakan bahwa makna-makna yang disebutkan di atas merupakan gambaran luar saja. Banyaknya makna kata tersebut muncul karena terjadi pencampur-adukan pemahaman. Sebuah kata atau lafaz semestinya hanya memiliki satu atau dua makna saja. Apabila lebih dari itu, maka

1 2

Lisan al-‘Arab, 13/22, Matsal Al-Qamus al-Muhith, 4/49, Matsal

makna yang dikemukakan hanyalah merupakan gambaran dari pemahaman kata dimaksud. Lebih lanjut ia mengatakan: Kata mitsl dan mitsal menunjuk pada satu makna, yaitu: sesuatu yang menjadi contoh bagi yang lain. Ibn Faris berkata: ‘Mitsl menunjukkan bahwa sesuatu seperti sesuatu yang lain: ‘yang ini adalah seperti yang itu!’, atau ‘yang ini serupa dengan yang itu’. Kata mitsl dan mitsâl memiliki satu makna. Sedangkan kata matsîl ( ‫ ) ﻣﺜﻴﻞ‬adalah seperti kata syabîh atau “yang serupa”. Orang Arab misalnya mengatakan: amtsala as-sulthânu fulânan, maksudnya: sang sultan melakukan sesuatu serupa dengan yang telah dilakukan si fulan. Atau, sang sultan menjatuhkan hukuman kepada si fulan setimpal dengan perbuatannya. Kata mitsl juga mempunyai arti yang sama seperti pada kata matsal, yaitu syibh dan syabah, yang berarti “serupa”. Dan matsal atau perumpamaan yang dibuat ialah diambil dari makna keserupaan itu, karena matsal menyebutkan “hal yang memperlihatkan sesuatu yang bermakna seperti dia”. Kalimat matstsala bihi (‫ﻣﺜﻞ ﺑﻪ‬:) atau “ia membuat contoh”, misalnya, juga muncul dari maksud keserupaan. Makna di dalam kalimat itu ialah izdâ nukkala bihi, yaitu: “ia menjadikan yang seperti itu sebagai contoh, atau perumpamaan, atau penyerupaan, bagi siapa saja yang melakukan tindakan atau yang menginginkan demikian”. Kata matsulât ( ‫ﻣﺜﻼﺕ‬: ), jamak dari kata mutsul ( ‫ﻣﺜﻞ‬: ), juga bermakna serupa atau keserupaan. Seperti terdapat dalam ayat al-Quran: ‫ﻭﻗﺪ ﺧﻠﺖ ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻬﻢ ﺍﻟﻤﺜﻼﺕ‬ “dan telah terjadi bermacam-macam contoh siksa sebelum mereka. 3 P2F

3

QS. ar-Ra’d: 6

Matsulât adalah ‘uqûbât, artinya, bermacam-macam contoh siksaan yang dijelaskan, dan diharapkan dapat mencegah manusia dari perilaku yang menyebabkan ia disiksa. Kata matsulât memiliki bentuk tunggal mutsul. 4 Selain itu, kata mitsl mempunyai kemungkinan makna-makna yang lain, yaitu washf atau “penyifatan” dan shifah atau “sifat”. Kata ini digunakan baik dalam haqîqah (makna hakiki) maupun dalam majâz (makna kiasan). Ibn Manzhur menisbatkan penggunaan makna ini seperti yang dipakai oleh Yunus bin Habib anNajwa (wafat 182 H), Muhammad bin Salam al-Jamhi (wafat 232 H) dan Abu Manshur ats-Tsa’âlibi (wafat 429 H). Az-Zarkasyi (wafat 794 H) berkata: Menurut ahli bahasa, secara lahir, kata mistl berarti “sifat”. Tetapi, nukilan dari Abu Ali al-Farisi (wafat 377 H) yang menyebut kata mitsl bermakna “sifat” itu, tampaknya tidak umum dalam istilah bahasa Arab. Kata mistl di sini lebih tepat atau lebih dekat maksudnya dengan makna tamtsil (penggambaran, memberi contoh)” 5. Apa yang disampaikan penulis Lisân al-‘Arab menunjukkan tentang adanya pilihan mayoritas ahli bahasa ketika menyatakan: Umar bin Abi Khalifah berkata: ‘Aku mendengar Muqâtil, penulis at-Tafsir, menanyakan kepada Abu ‘Amr bin al‘Alâ` tentang firman Allah:

“matsalu al-jannah (perumpamaan surga)”. Muqâtil

bertanya: “Apakah matsal surga?” Abu ‘Amr menjawab: “(yang) Di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya 6.” P5F

P

Muqâtil bertanya lagi: “Lalu apa mastal-nya?”. Abu ‘Amr diam (tak menjawab). Lalu Muqâtil berkata: “Mengenainya aku tanyakan kepada Yunus. Lalu ia (Yunus) menjawab: matsaluhâ adalah shifatuhâ, atau sifat surga.

4

Mu’jam Maqâyis al-Lughah, 5/296 Al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran, 1/490 6 QS. Muhammad: 15 5

Muhammad bin Salam berkata: Contoh untuk matsal itu ialah firman Allah SWT: dzâlika matsaluhum fi at-taurah wa matsaluhum fi al-injil, artinya, demikianlah sifat mereka dalam Taurat dan (begitulah) sifat mereka dalam Injil 7. Matsaluhum artinya “sifat” mereka. Abu Manshur berkata: “Contoh yang demikian diriwayatkan dari Ibn Abbas. Adapun jawaban Abu ‘Amr terhadap pertanyaan Muqâtil: Apa matsal (perumpamaan) surga? Abu ‘Amr berkata; “Di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya”, kemudian Muqâtil bertanya lagi: Apa matsalnya?. Abu ‘Amr diam. Sesungguhnya Abu ‘Amr telah menjawabnya dengan jawaban yang memuaskan. Ketika ia melihat Muqâtil tetap pada pendiriannya, Abu ‘Amr diam saja. Dengan demikian, ayat yang berbunyi “matsalu al-jannah” adalah sebuah interpretasi bagi ayat: “Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungaisungai” 8. Ayat ini tampaknya hendak menyifati atau menggambarkan tentang surga. Maka ia pun berkata: “matsalu l-jannati l-lati wa shifatuhâ (matsal surga dan sifatnya). Yang demikian itu adalah seperti ayat: “dzâlika matsaluhum fi t-taurâti wa matsaluhum fi l-injiil”, artinya, “demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil”; yakni, demikianlah sifat Muhammad saw dan para sahabatnya di dalam Taurat. Selain itu, aku mengetahui bahwa sifat mereka di dalam Injil seperti sebuah tanaman. 9 Selanjutnya, perbedaan antara kata mumâtsalah dan musâwâh. Musâwâh digunakan untuk mengaitkan dua hal yang berlainan tapi sama dalam golongan, karena ‘saling sama’ (tasâwi) berarti saling cukup (takâfu`) dalam ukuran tidak lebih

7

QS. al-Fath: 29 QS. al-Hajj: 14 9 Lisan al-‘Arab, materi Matsal. 8

dan tidak kurang. Sedangkan kata mumâtsalah hanya digunakan untuk dua hal yang sama atau bersamaan 10. Kata lain – dalam bahasa Arab – yang memiliki perbedaan adalah kata mumâtsalah dan musyâbahah. Kata mumâtsalah diterapkan untuk dua hal yang bersamaan dalam esensi dan realitas (hakikat), sedangkan kata musyâbahah umumnya digunakan untuk dua hal yang berlainan esensi tapi sama dalam sifat khususnya. Kita dapat mengetahui bahwa kata yang bermakna serupa dapat diterapkan pada eksperimen yang dilakukan atas dua obyek, yang sama persis dan tidak berlainan dalam hakikat, seperti semua logam memuai ketika terkena api (baca: dipanaskan). Hal itu berbeda dengan makna kata istiqrâ (penelitian secara cermat), yang penerapannya untuk perkara-perkara yang beragam, seperti pada kalimat: “setiap binatang, rahang bawahnya bergerak ketika mengunyah”. Dalam hal ini, kata istiqrâ diterapkan pada golongan yang berlainan, seperti pada kambing, sapi, dan unta. Selain itu, muncul pertanyaan yang secara berulang-ulang diungkapkan oleh para penulis kamus Arab tentang kata matsal dan mistl, dua kata yang sama seperti kata syabah dan syibh. Sementara itu, mereka melihat bahwa al-Quran menafikan mistl (kesamaan, keserupaan) bagi Allah, seperti dalam ayat: “laisa ka mitslihi syai” (“tiada yang serupa dengan Dia”)11. Dan pada saat yang sama ditetapkan matsal (sifat, hujjah) bagi-Nya, yaitu ayat lain: “lil ladzina lâ yu`minuuna bi l-âkhirati matsalu ssuu`i wa li l-lâhi l-matsalu l-a’lâ wa huwa l-‘aziizu l-hakiim” (“orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat mempunyai sifat yang buruk, dan Allah mempunyai sifat Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”)12.

10

Lisan al-‘Arab, ibid. QS. asy-Syura: 11 12 QS. an-Nahl: 60 11

Jawaban untuk pertanyaan tersebut ialah, tidak ada pertentangan antara penafian mitsl (keserupaan) bagi Allah dan penetapan matsal (penetapan sifat) bagiNya. Mitsl adalah ibarat wujud individu terhadap Wajibul Wujud (Allah) yang menyamai-Nya dalam “ada” tapi berbeda dengan-Nya dalam kekhususan. Maka keserupaan (mitsl) dalam kekhususan di sini menjadi perkara mustahil yang kemustahilannya berlaku terus-menerus dan tetap pada posisinya. Adapun matsal adalah sifat terpuji yang dengannya Allah SWT dikenal, seperti asmâ`ul husnâ atau sifat-sifat-Nya Yang Maha Tinggi. Dengan demikian, matsal dalam ayat di atas dan ayat-ayat serupa bermakna sesuatu yang disifati, atau sesuatu dilukiskan dengan sifat, keadaan, dan kekhususan. Kutipan ayat ke-60 surat an-Nahl di atas menegaskan bahwa tiadanya keimanan pada akhirat menjadi sumber sifat-sifat buruk dan segala keburukan. Sebaliknya, mengimani akhirat adalah sumber segala kebaikan, kebajikan, dan keberkahan. Dengan kalimat lain, setiap sifat buruk yang menghampiri manusia (sesungguhnya) datang dari tiadanya keimanan pada akhirat. Sebaliknya, setiap sifat baik yang dimiliki manusia berasal dari keimanan pada akhirat. Karena itu, jelaslah maksud dari firman Allah SWT: “Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat mempunyai sifat yang buruk”. Dalam ayat ini tampak adanya kelaziman (mulâzamah) bagi orang-orang yang beriman pada akhirat, yakni bagi mereka adalah matsal (sifat) yang baik. Adapun kalimat “Dan Allah mempunyai sifat yang Maha tinggi”, bermakna Dia suci dari penyifatan segala sesuatu yang buruk dan tercela, seperti sifat zhulm (aniaya). Allah SWT berfirman: “Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang pun” 13. Selain keagungan dan ketinggian, Dia disifati dengan sifat-sifat yang terpuji.

13

QS. al-Kahfi: 49

Jadi, setiap sifat yang dibenci tabiat dan ditolak akal pasti bukan milik-Nya. Dia adalah yang kuasa dan tidak memiliki kelemahan, Dia hidup dan tidak mati, Dia memiliki seluruh sifat terpuji, berbeda dengan seluruh tabiat dan sifat lemah. Banyak ayat lain mengisyaratkan hal ini, di antaranya: “dan Dia mempunyai sifat yang maha tinggi di langit dan di bumi” 14; atau ayat, “Dia mempunyai namanama yang baik” 15. Di sini kata amtsâl (bentuk jamak dari matsal atau mitsl) ada yang bersifat rendah (dâniyah) dan tinggi (‘âliyah). Dan sesungguhnya yang tetap bagi Allah adalah sifat-sifat yang tinggi (‘âli) bahkan yang tertinggi (a’lâ)16. Dengan demikian, apabila digunakan kata amtsâl, bentuk jamak dari mistl, maka sesungguhnya Maha Suci Allah dari mistl dan amtsâl (keserupaan). Tetapi apabila bentuk jamak dari matsal bermakna washf (sifat) yang terpuji bagi-Nya, maka bagi-Nya-lah amtsâl atau sifat yang maha tinggi dan Asmâ`ul Husnâ, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. -2Matsal dalam Istilah Matsal adalah termasuk di antara kata-kata bijak atau bagian dari kata-kata yang mengandung hikmah. Hikmah atau kebijaksanaan dalam kata atau kalimat muncul dalam sebuah kejadian karena kesesuaian dan keserupaan suatu peristiwa. Selanjutnya, orang-orang atau masyarakat tertentu menggunakan kembali kata atau kalimat itu dalam kejadian-kejadian serupa yang menimpanya kemudian tanpa mengubah

makna,

baik

dalam

penggambarannya .

14

QS. ar-Rum: 27 QS. Thaha: 8 16 Lihat, Tafsir al-Mizan: 12/249 15

ringkasan,

keganjilan,

kesamaran,

ataupun

Kata yang mengandung hikmah (kalimah hakîmah) ada dua macam: Pertama, kalimah sâ`irah atau kata yang beredar dan umum dikenal di tengah masyarakat dan berlaku dalam bahasa komunikasi mereka. Kata atau kalimat hikmah seperti ini disebut matsal. Kedua, ialah kata hikmah yang bermakna khusus dan tidak berlaku secara umum (kalimah ghairu sâ`irah)17 di tengah masyarakat. Selain itu, perumpamaan yang beredar (matsal sâ`irah) juga memiliki sifat dapat menjelaskan (qaid taudhihi), bukan bersifat memisahkan (qaid ihtirâzi). Hal ini tampak dari ungkapan Abu Hilal al-‘Askari (wafat ± 400 H.) ketika mengatakan: “Setiap hikmah yang beredar (hikmah sâ`irah) merupakan matsal. Tak jarang, muncul pembicara di kalangan masyarakat yang mengeluarkan ungkapan hikmah. Si pembicara bisa saja mengeluarkan kata-kata hikmah atau bijak tetapi ia belum atau tidak disepakati keberlakuannya secara umum, sehingga ungkapan tersebut tidak dapat disebut sebagai matsal.” 18 Oleh karena itu, seringkali kepopuleran dari penggunaan ucapan orang-orang di lingkungan masyarakat tertentu dapat digunakan sebagai pembeda antara hikmah dan matsal. Perkataan yang benar namun tidak populer yang muncul dari suatu pengalaman tertentu dinamakan hikmah. Sedangkan ucapan bijak yang sering digunakan orang-orang dan umum digunakaan dalam kesempatan yang berbeda-beda disebut matsal. Berkenaan dengan ini, seorang penyair mengatakan: Kau cuma perumpamaan yang beredar yang dimengerti si bodoh dan si pintar

17

Istilah ini tambahan dari penerjemah, diambil dari mafhum mukhâlafahnya atau antonimnya. 18 Jamharatu Amtsâl al-‘Arab: 1/5

Penyebutan sesuatu dengan menggunakan kata “mitsâl” maksudnya ialah untuk kesesuaian dan kemiripan antara dua hal –dalam bentuk perumpamaan–yang memiliki keserupaan. Ibn as-Sakit (wafat tahun 244 H) berkata: “Matsal (perumpamaan) adalah sebuah kata atau kalimat tertentu yang berbeda dengan kata atau kalimat lain yang diumpamakan. Makna matsal selaras dengan arti kata atau kalimatnya. Sebuah matsal merupakan perumpamaan dengan keserupaan lain yang sesuai untuknya” 19. Adanya bentuk keserupaan dan kesesuaian itulah yang menjadi sebab bagi pengungkapan hikmah tertentu yang ditujukan pada satu perkara dengan mengikutkan perkara yang lain. Jika bentuk serupa muncul dalam hal yang khusus maka matsal menjadi sebuah tanda bagi kesesuaian yang menyeluruh di antara tanda-tanda yang berlainan. Al-Mubarrad berkata: Hakikat matsal ialah sesuatu yang diciptakan, seperti ilmu bagi penyerupaan dengan keadaan yang pertama. Misalnya dalam kata-kata Ka’ab bin Zuhair: “Janji muslihat memuat satu matsal. Dan janjinya cuma omong kosong”. Artinya, janji dalam tipu daya adalah pengetahuan tentang segala sesuatu untuk janji-janji yang tidak dibenarkan 20. Oleh karena itulah, perumpamaan yang beredar (matsal sâ`ir) dikenal. Seperti kalimat: “Di musim panas kosonglah air susu”, yang berarti pengetahuan bagi setiap orang yang menyia-nyiakan dan membuang-buang kesempatan. Atau seperti sabda Nabi Muhammad saw: “Tidak tanduk menanduk di dalamnya dua kambing betina”, yang berarti pengetahuan untuk setiap perkara yang tidak perlu diperhatikan 21. Atau, seperti ungkapan pemuka syuhada, Imam Husien bin Ali bin Abi Thalib as: “Andai ia

19

Majmâ’u al-Amtsâl: 1/6 Ibid.. 21 Ibid, 2/225 20

tinggalkan burung-burung itu dalam semalam, pasti ia tertidur”. Imam membuat perumpamaan ketika menjawab pertanyaan adiknya, Zainab as, yang artinya: Pengetahuan bagi seseorang tidak ditinggalkan dalam satu keadaan; atau Orang yang dibawa karena sesuatu yang dibenci tanpa diinginkannya. Selain contoh ini, masih banyak matsal lain yang beredar. -3Manfaat-manfaat Amtsâl Sâ`irah Berikut ini adalah nama para sastrawan yang menyebutkan manfaat matsal sâirah: 1- Ibn Muqanni’ (wafat tahun 143 H) berkata: “Bila pembicaraan (kalam) menjadi sebuah matsal, maka ia menjadi yang paling jelas bagi lisan, paling elok untuk pendengaran, dan paling luas diketahui oleh bangsa-bangsa baru”. 2- Ibrahim an-Nizham (wafat tahun 231 H) berkata: “Dalam matsal terhimpun empat hal yang tidak dimiliki oleh kalam lain: “Pertama, keringkasan kata atau kalimat. Kedua, ketepatan makna. Ketiga, kebagusan penyerupaan. Dan keempat, keindahan kiasan. Dengan empat hal itulah sebuah ungkapan dapat disebut telah mencapai puncak kefasihan”. Selain manfaat yang disebutkan oleh dua sastrawan di atas, disebutkan pula bahwa hikmah-hikmah yang dibenarkan akal dinamakan amtsâl, karena gambarangambarannya menancap kokoh dalam akal. Kata amtsâl, yang berakar dari kata mutsul, berarti kekokohan 22. Ibn Qayim al-Jauziyah (wafat tahun 751 H) menukil kalam nizham, dengan bentuk yang sempurna, sambil berkata: “Allah dan Rasul-Nya telah memberikan misal-misal (amtsâl) bagi manusia untuk dapat mendekatkan dan menyampaikan

22

Majma’ul Amtsal: 1/6

maksud serta memahamkan makna dalam pikiran si pendengar. Sebab, seringkali, dengan menghadirkan sesuatu yang serupa tersebut dapat lebih mendekatkan sampainya maksud, dalam hubungan, pemahaman, penguasaan, dan penghadirannya. Hal ini tak bisa dipungkiri karena ‘diri’ senang dengan keserupaan dan kemiripan, dan sebaliknya, tidak senang dengan keasingan, kesendirian dan tiadanya kemiripan.” Di dalam amtsâl terdapat kesenangan ‘diri’ itu, karena di dalam perumpamaan terdapat kemudahan dan kelebih-jelasan penggambaran tentang suatu kebenaran untuk bisa diterima. Selain itu, dengan sifatnya yang kokoh, sebuah amtsâl dapat memberikan ungkapan tentang sebuah perkara yang tidak dapat ditolak dan diingkari oleh siapapun. Setiap kali amtsâl dimunculkan akan selalu memberi makna yang lebih terang bagi pemerhatinya. Amtsâl, dapat dikatakan pula, sebagai bukti-bukti makna yang dimaksudkan tentang perkara tertentu. Ia juga merupakan keistimewaan dan buah akal 23. 3-Abdul Qahir al-Jurjani (wafat tahun 371 H) berkata: “Ketahuilah, tamtsil yang disepakati oleh para pemikir ialah apabila ia datang membawa makna-makna, atau makna-makna itu ditampilkan secara lugas dengan perumpamaan yang ditunjukkan, dan memberi gambaran asli dengan kemasan yang indah, menghimpun sesuatu dengan bijak, dengan meninggikan takarannya, dapat mengobarkan semangat, berkekuatan

ganda

dalam

menggugah

jiwa,

mengajak

kalbu

kepadanya,

membangkitkan hati dengan kecintaan yang meluap dan menyala, serta memaksa watak untuk memberikan cinta dan kasih sayang. Oleh karena itu, apabila tamtsil itu berupa celaan maka sentuhannya lebih menyakitkan, kekerasannya lebih membakar, mengena dengan lebih dahsyat, dan membedakan secara lebih tajam. Apabila berupa hujjah, argumentasinya lebih terang,

23

A’lâmu al-Muqi’in: 1/291

kekuatannya lebih mengalahkan, dan penjelasannya lebih cemerlang. Apabila berupa kebanggaan maka posisinya lebih menguntungkan, kemuliaannya paling mujur, dan lisannya paling sengit. Apabila berupa alasan, ia paling dekat diterima, paling memikat hati, lebih dapat menghilangkan dendam dan kedengkian, lebih meluluhkan kekerasan murka, lebih melegakan dalam janji dan sumpah, dan lebih mengarahkan pada sebaik-baiknya rujuk. Dan apabila berupa nasihat maka ia lebih menyejukkan dada, lebih mengajak berpikir, lebih menyentuh dalam peringatan dan pencegahan, lebih layak untuk memperjelas pengamanan dan menyingkap tujuan, lebih menyembuhkan penyakit dan melegakan puncak kehausan 24.” 4-Abu Sa’ud (wafat tahun 982 H) berkata: Tamtsil adalah menzhahirkan makna sesuatu yang dimaksud dengan menunjukkan perkara lain yang masyhur, menghiasi rasio dengan kepekaan jiwa, dan melukis celah-celah makna dengan bentuk yang disenangi guna menepis keragu-raguan, serta menjauhkan pertentangan dengan akal dalam menjangkau hakikat yang tersembunyi, dan untuk memahami kedalaman yang agung. Oleh karena itu, amtsâl merebak di dalam kitab-kitab ilahiyah dan sabdasabda nabawiyah, juga meluas dalam ibarat-ibarat para sastrawan dan isyarat-isyarat para filosof. Tamtsil merupakan mediator paling halus untuk mengalahkan keraguan pikiran dan menghindarkan pikiran dari pelanggaran aturan logika serta menjadi sarana paling kuat untuk memahamkan orang bodoh dan menghanguskan gambaran orang bengal yang angkuh. Tamtsil dapat mengangkat hijab dari wajah rasionalitas yang tersembunyi, memunculkannya ke hadapan pelupuk kepekaan jiwa yang terang,

24

Asrâr al-Balâghah: 101-102

menampakkannya pada orang yang mengingkari bentuk-bentuk yang dikenal, dan memperlihatkan kebenaran pada orang liar dalam bentuk yang digemarinya. 25 As-Suyuthi, dalam al-Mazhar-nya, dengan menukil dari Abu Ubaid, menyatakan: “Amtsâl adalah hikmah bagi bangsa Arab di masa jahiliyah dan Islam, dan dengan itu masyarakat Arab menjauhi ucapannya (yang biasa) sehingga mereka sampai pada ungkapan-ungkapan kiasan untuk menyampaikan keperluan-keperluan mereka.” 26 Namun demikian, amtsâl bukan hanya menjadi ciri khas bangsa Arab saja. Setiap kaum juga memiliki amtsâl dan aturan bahasa tertentu yang dengannya mereka dapat mendekatkan dan memahamkan maksud dan tujuannya kepada setiap lawan bicara. Tidak mustahil pula apabila suatu matsal tertentu ternyata menyebar di antara kaum-kaum yang beragam kemudian dan menjadi sebuah matsal yang berlaku nasional atau bahkan internasional. Ath-Thabari meriwayatkan dari Muhallab bin Abu Shafrah: “Muhallab memanggil anak-anaknya untuk berkumpul. Ia meminta dengan sungguh-sungguh (sembari menggenggam panah-panah) sehingga suasana menjadi serius dan tegang, sehingga setiap yang hadir seolah merasa sesak nafas. Muhallab bertanya: “Apakah kalian melihat orang-orang yang memecahkan sesuatu secara bersama-sama?” “Tidak”, kata mereka. Ia berkata: “Apakah kalian melihat orang-orang yang memecah sesuatu (itu) secara bercerai-berai (sendiri-sendiri)? Mereka berkata: “Ya”. “Begitulah jama’ah”, kata Muhallab.

25 26

Hamisy tafsir al-Fakhru ar-Razi: 1/156 Al-Mazhar: 1/288

Muhallab bukanlah orang pertama yang mengungkapkan matsal ini melalui ucapannya, karena sudah ada orang lain yang mendahuluinya. Abu Hilal al-Askari dalam Jamharah-nya meriwayatkan dari Qais bin Ashim at-Tamimi (wafat tahun 20 H) tentang sebuah matsal yang juga dituangkan dalam syair berikut ini: Bila damai antara dua, akan lama hidupmu meski panjang atau pendek umurku Sampai lunak hati dan watak kerasmu yang pemberani atau yang tidak di antaramu Gelas berhimpun, apa yang dimau ialah pecah di tangan si kepala batu Mulialah kaum yang tak pecah meski pisah Mudah pecah hanya bagi yang suka pecah Tentang pribadi Abdul Malik bin Marwan, al-Mas’udi menukilkan: “Al-Walid adalah orang yang sangat menyayangi saudara-saudaranya, dan memperhatikan semua wasiat Abdul Malik kepadanya. Ia sering membacakan bait-bait syair yang ditulis Abdul Malik dalam wasiatnya; antara lain: Buanglah kedengkian di antara kamu baik dalam hadir maupun tidak hadir Gelas berhimpun, apa yang dimau ialah pecah di tangan si kepala batu Mulialah kaum yang tak pecah meski pisah Mudah pecah hanya bagi yang suka pecah Kitab-kitab Amtsâl Arab

Banyak sekali kitab amtsâl bahasa Arab yang dapat ditemui saat ini, dari yang klasik sampai yang kontemporer. Kitab terlengkap tentang amtsâl ditulis oleh Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim an-Naisaburi al-Maidani (wafat tahun 518 H) dengan judul Majma’ al-Amtsâl, yang memuat enam ribu lima ratus (matsal) [Majma’ alAmtsâl: 1/5]. -4Perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Qur`ân Tidak

sedikit

dari

ayat

al-Quran

memuat

amtsâl

(perumpamaan-

perumpamaan). Allah SWT membuat perumpamaan bagi umat manusia agar mereka berpikir dan menjadikannya pelajaran. Allah berfirman: “Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihat ia tunduk runtuh terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaanperumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir” [al-Hasyr: 21]. Juga disebutkan bahwa ar-Ruh al-Amin (malaikat Jibril) turun dengan amtsâl, dan merupakan sosok matsal tatkala turun ke dalam kalbu pemuka para rasul (Muhammad saw). Itulah pelajaran dari ayat-ayat al-Quran. Matsal merupakan ungkapan yang dilontarkan untuk suatu kejadian karena kesesuaian maksud yang menuntut sebuah pengungkapan untuk tujuan tertentu. Selanjutnya, perkataan atau kalimat yang diungkapkan tersebut bisa berlaku di sepanjang zaman dalam konteks kejadian-kejadian serupa yang dialami masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia. Matsal dalam makna seperti ini tidak dapat dijumpai dalam al-Quran. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa tegaknya amtsâl adalah karena ia beredar pada lisan-lisan (baca: ucapan-ucapan) dan berlaku di antara bangsa-bangsa. Kekhususan inilah yang tidak dimiliki ayat-ayat al-Quran. Sebab, bagaimana mungkin

terjadi pertautan, di satu sisi telah beredar perumpamaan atau matsal dalam budaya lisan bangsa-bangsa Arab sedemikian rupa, sementara di sisi lain Nabi Muhammad saw belum menerima ayat-ayat al-Quran (wahyu) yang disampaikannya kepada umat, tapi kemudian Tuhan memberi nama ayat-ayatnya dengan matsal. Artinya, tidak ada tempat untuk makna matsal yang lain ketika mengikuti perumpamaan ayat-ayat alQuran selain bahwa ia merupakan tamtsîl qiyâsi, sebagaimana disebutkan para ahli balâghah dalam Ilmu Bayan, dan ia tegak dengan tasybîh, isti’ârah, kinâyah dan majâz. Dalam kitabnya, Talkhish al-Miftah, al-Qazwini mengistilahkan matsal dengan kiasan yang tersusun (al-majâz al-murakkab). Al-Qazwini berkata: “Sesungguhnya matsal adalah kata-kata tersusun yang dipakai untuk sesuatu yang diserupakan dengan maknanya yang asli, yakni kata atau kalimat perumpamaan secara dilebihkan (mubâlaghah) dalam penyerupaan. Sebagai contoh adalah perumpamaan dalam surat Yazid bin Walid kepada Marwan bin Muhammad ketika Marwan terlambat membai’atnya; “Amma ba’du, aku melihatmu mendahulukan seorang lakilaki dan mengakhirkan yang lain. Bila suratku ini sampai kepadamu maka berpeganglah pada yang manapun yang kau mau dari keduanya! Wassalam.” [alIdhâh: 304, at-Talkhish: 322]. Dengan demikian, tamtsil tidak mempunyai kedudukan apabila untuk makna yang dimaksud digunakan kata-kata yang khusus. Seandainya Yazid mengatakan: “(Tentang) keterlambatanmu dari bai’atku itu telah sampai kepadaku, maka jika sudah sampai suratku ini kepadamu, berbai’atlah, atau tidak!” Kata-kata yang disampaikan ini sama sekali tidak memiliki makna tamtsil, atau kalimat ini bukan (berbentuk) tamtsil.

Umumnya, amtsâl di dalam al-Quran termasuk dalam salah satu bentuk tamtsîl, tapi bukan mitsâl (permisalan) secara terminologis. Selain

itu,

perbedaan

antara tasybih, isti’ârah, kinâyah dan majâz (istilah-istilah dalam Ilmu Bayan) itu merupakan perkara yang jelas dan tidak memerlukan uraian lebih panjang. Hal itu dijelaskan oleh para ahli balâghah di dalam Ilmu Bayan, yang kemudian dilontarkan pula oleh ulama ushul tatkala mereka menguraikan tentang lafaz. Untuk itu, keterangan berikut ini mencoba menghantar para pembaca kepada kitab-kitab yang menerangkan tentangnya. Sebagian dari mereka menyatakan bahwa tamtsîl merupakan salah satu dari makna matsal. Al-Alusi berkata: Matsal diambil dari kata mutsûl, yang berarti kedudukan, seperti dikatakan dalam hadis: “Barangsiapa yang cinta kedudukan di mata manusia, maka bersiap-siaplah tempat tinggalnya di neraka”. Selanjutnya, tamtsil diistilahkan sebagai ungkapan fasih yang indah dan tersebar yang mencakup penyerupaan (tasybiih) tetapi tidak sama; atau perumpamaan (isti’ârah) yang memikat secara proporsional; atau hikmah dan nasihat yang bermanfaat; atau kiasan (kinâyah) yang indah mengagumkan; atau syair dari ungkapan-ungkapan ringkas yang bermakna luas. [Ruh al-Ma’ani: 1/163]. Sekiranya kita tidak menggunakan kata “yang tersebar” (syâyi’), maka sesuailah ibarat kata perumpamaan (matsal) ini dengan tamtsil qiyâsi (proporsi silogis). Keistimewaan bentuk perumpamaan al-Quran (shîghah matsal Qur`âni) ialah bahwa bentuk dan isinya tidak menukil dari peristiwa atau kejadian fiktif yang diulang-ulang. Matsal Qur`âni diciptakan tanpa meniru, dan ia belum pernah ada sebelumnya. Ia (perumpamaan al-Quran) bersifat artistik, unik, dan kontemporer,

sehingga ia memiliki bentuk tersendiri dalam pengungkapan, penyusunan dan pengisyaratan. Perumpamaan dalam al-Quran bukanlah perumpamaan terminologis, dan bukan pula bagian yang bertolok ukur hanya pada kata dan arti kata semata. Perumpamaan dalam al-Quran adalah jenis perumpamaan lain, yang al-Quran sendiri menyebutnya dengan “matsal”, jauh sebelum masyarakat mengetahui ilmu sastra matsal dan sebelum disebut sebagai jenis sastra tak beraturan, bahkan sebelum para sastrawan matsal mendefinisikannya, [ash-Shuratu al-Fanniyah fi al-Matsal alQurani: 72, menukil dari kitab al-Matsal karya Munir al-Qadhi]. -5Pembagian Tamtsîl Sebagaimana disebutkan sebelumnya, tamtsil adalah memberikan kedudukan sesuatu bagi sesuatu yang lain, melalui jalan penyerupaan (tasybih) atau pengkiasan (isti’ârah) atau majâz, atau lainnya. Tamtsil terbagi dalam beberapa macam: 1- Penggambaran simbolik (at-tamtsil ar-ramzi): ialah bentuk simbol dan penggambaran dengan menukil bahasa burung, tumbuhan, dan pepohonan, menjadi kiasan yang memberi makna-makna mendalam. Jenis tamtsil ini diungkapkan dalam kitab Kalilah wa al-Dimnah karya Ibn al-Muqaffa’. Metode ini digunakan oleh penyair arif al-‘Aththar an-Naisyaburi dalam kitab karangannya, Mantiqu ath-Thair. Kitab Kalilah wa al-Dimnah beredar di masa sebelum Islam. Sejarawan menceritakan, seorang tabib bangsa Persia menemukan kitab Kalilah wa al-Dimnah yang berbahasa Sansekerta di India, lalu diterjemahkan ke dalam bahasa Pahlevi. Selanjutnya kitab itu sampai ke tangan Abdullah bin al-Muqaffa’ (106-143 H), yang lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab. Selanjutnya, kitab itu dinukil oleh Nashrullah bin Muhammad bin Abdul Hamid, penulis terkenal abad ke-6, dan

diterjemahkan ke dalam bahasa Parsi. Kitab itu populer dalam kajian-kajian ilmiah masa kini. Pada abad ke-9, kitab ini dinukil dalam bahasa Parsi oleh Husein bin Wa’izh al-Kasyifi. Selain itu, kitab terjemahan dari Ibn al-Muqaffa’ itu, diubah ke dalam puisi oleh Rudaki, seorang penyair, dengan menggunakan bahasa Parsi. Dalam buku-buku sejarah disebutkan, sebagian dari permisalan atau perumpamaan dalam kitab Kalilah wa Dimnah telah tersebar ke tengah-tengah bangsa Arab dan populer dalam bahasa di masa Risalah atau setelahnya. Diriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib as mengomentari sesuatu dengan perumpamaan “Sesungguhnya aku dimakan pada hari sapi putih dimakan”. Perumpamaan seperti ini juga terdapat dalam kitab Kalilah wa Dimnah tersebut. Di dalam kitab itu terdapat semacam upaya yang hendak menyimpulkan bahwa seluruh kisah Quraniyah termasuk ke dalam perumpamaan jenis simbolik, yakni simbol bagi hakikat-hakikat keluhuran tanpa harus memiliki realitas di balik pikiran. Dengan cara demikian, mereka menafsirkan kisah Adam dengan setan sebagai keberhasilan setan atas Adam as. Seperti juga kisah bersaudara putra Adam, Habil dan Qabil, tatkala Qabil membunuh saudaranya itu. Atau seperti percakapan semut dengan Sulaiman, dan kisah-kisah lainnya. Upaya semacam ini berlawanan dengan penjelasan al-Quran. Sebab, al-Quran menyebut kisah-kisah yang menceritakan tentang hakikat-hakikat kegaiban itu tidak diketahui oleh Nabi Muhammad saw (sebelumnya), dan oleh orang lain. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum beriman” [Yusuf: 111].

Ayat ini menjelaskan bahwa kisah-kisahnya bukan sebagai perkara yang dibuat-buat, dan ayat-ayat lainnya pun menunjukkan bahwa seluruh ayat al-Quran adalah haq, tanpa sedikitpun disertai kebatilan. 2-At-Tamtsil al-Qashashi (penggambaran novelistik); ialah menjelaskan keadaan umat-umat terdahulu, yang bertujuan mengambil pelajaran (‘ibrah) karena kesamaan keadaan atau kejadiannya. Allah SWT berfirman: “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); “Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)” [at-Tahrim: 10]. Kisah-kisah tentang keadaan umat-umat masa lampau yang diceritakan kembali oleh al-Quran merupakan penyerupaan (tasybiih) yang jelas dan tersembunyi. Tujuannya ialah untuk mengambil hikmah dan pelajaran. 3-At-Tamtsil ath-Thabi’i (penggambaran alami); ialah penyerupaan yang tak tersentuh dengan yang tersentuh, yang tak terlihat dengan yang terlihat. Syarat tamtsil seperti ini ialah, yang diserupakan (al-musyabbah bihi) merupakan perkara natural (takwiniyah). Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah tanam-tanaman bumi dengan subur karena air itu, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanamtanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin.

Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir.” [Yunus: 24]. Selanjutnya dikatakan bahwa al-Amtsâl al-Qur`âniyah beredar sebagai tamtsil qashashi dan tamtsil tabi’i. Sedangkan Amtsâl al-Qur`âniyah dalam bentuk tamtsil ar-ramzi hanya dinyatakan oleh para ahli ta’wil. -6Al-Amtsâl Al-Qur`âniyah di dalam Hadis Al-Amtsâl al-Qur`âniyah merupakan nasihat dan pelajaran atau hikmah. Para Imam Ahlulbait as –dalam hadis-hadis– menganjurkan kepada manusia agar merenungi perumpamaan-perumpamaan dalam al-Quran. Di antara anjuran mereka adalah sebagai berikut: 1- Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata: “Telah kalian analisa dan renungi perkara-perkara, telah dinasihati kalian dengan orang-orang sebelum kalian, telah dibuatkan perumpamaan-perumpamaan bagi kalian, dan telah diseru kalian pada perkara yang terang. Maka tidak tuli dari hal demikian melainkan yang tuli, dan tidak buta dari hal demikian melainkan yang buta. Orang yang tidak diberi Allah kemanfaatan dari cobaan dan pengalaman, tidak dapat memperoleh manfaat dari dakwah” (Nahjul Balaghah: 176). 2- Imam Ali as juga berkata: “Kitab Tuhan kalian (al-Quran) ada pada kalian, yang menjelaskan halal dan haram, fardu-fardu dan keutamaan-keutamaan, keringanan-keringanan dan keharusan-keharusan, yang khusus dan yang umum, ‘ibrah-‘ibrah dan perumpamaan-perumpamaan.” (Nahjul Balaghah: 176). 3- Ia juga berkata: “Al-Quran turun memuat seperempat-seperempat. Seperempat tentang kami (Ahlulbait), seperempat tentang musuh-musuh kami, seperempat tentang sunnah-sunnah dan perumpamaan-perumpamaan, dan seperempat

lagi tentang kewajiban-kewajiban dan hukum-hukum” (Bihar al-Anwar: 24/305, hadis 1, bab Ta`wil mâ Nazala fiihim). 4- Imam ja’far ash-Shadiq as meriwayatkan dari datuknya, bahwa Imam Ali bin Abi Thalib as bertanya kepada seorang hakim: ‘Tahukan Anda tentang perkara nasikh dari mansukh?’ ‘Tidak’, jawabnya. ‘Mengertikah Anda akan maksud Allah tentang perumpamaan-perumpamaan al-Quran?’ tanya Imam lagi. ‘Tidak’, jawab si hakim sekali lagi. Kemudian Imam Ali as berkata: ‘Jika begitu Anda binasa dan membinasakan. Seorang mufti (hakim) membutuhkan pengetahuan tentang makna ayat-ayat al-Quran, hakikat-hakikat sunnah, rahasia-rahasia isyarat, etika, ijma’ dan ikhtilaf. Selain itu, seorang hakim harus memahami ushul yang telah disepakati atasnya dan apa-apa yang telah diperselisihkan. Ia juga harus berperilaku baik, beramal saleh, memahami hikmah, bertakwa; dan dengan semua itu ia dapat dianggap sebagai telah mampu.’ (Bihar al-Anwar: 2/121, bab an-Nahi ‘ani l-Qaul bi Ghairi l‘ilmi, kitab al-Ilmi). 5- Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib as berkata: “Mereka yang diberi nama dengan sebagus-bagus perumpamaan oleh al-Quran ialah Itrah Nabi Muhammad saw. Ini air tawar yang segar, maka minumlah kalian! Itu air garam yang amat asin maka jauhilah!” (Bihar al-Anwar 92/116, bab 12, kitabu al-Quran). 6- Imam Ali Zain al-Abidin as (as-Sajjad) dalam untaian doanya, Khatmu alQuran, berkata: “Ya Allah, Engkau telah membantuku dalam mengkhatamkan kitabMu (al-Quran) yang Engkau turunkan sebagai cahaya, dan Engkau jadikan al-Quran sebagai pembenar semua kitab yang telah Engkau turunkan… Ya Allah, jadikanlah alQuran penghibur bagi kami di kegelapan malam, melindungi kami dari rayuan setan dan bisikan was-was, menahan langkah kaki kami kepada perbuatan maksiat, menghalangi anggota-anggota tubuh kami dari berbuat dosa, dan memaparkan

renungan pertimbangan ketika kelalaian sirna dari kami. Sehingga dengan al-Quran yang meresap ke dalam hati, kami memahami keajaiban-keajaibannya, kandungan dan perumpamaannya, yang karena beratnya kandungan-kandungan itu gunung-gunung yang kokoh pun mengaku lemah untuk memikul al-Quran” (ash-Shahifah asSajjadiyah). 7- Imam as-Sajjad as juga berkata: “Hai hamba-hamba Allah, bertakwalah kepada Allah! Ketahuilah bahwa Allah Azza wa Jalla tidak pernah menyukai keindahan dunia yang cepat berlalunya itu diperuntukkan bagi para auliyâ`-Nya, dan tidak pernah menganjurkan mereka menyukai dunia, atau menyukai keindahannya yang segera sirna. Sesungguhnya Allah SWT menciptakan dunia dan penghuninya untuk menguji mereka di dalamnya, manakah dari mereka yang lebih baik amalnya untuk akhirat. Demi Allah, Dia telah membuat perumpamaan-perumpamaan di dalam al-Quran bagi kalian dan menurunkan ayat-ayat-Nya bagi kaum yang berakal, dan tiada kekuatan melainkan dengan (kekuatan) Allah” (al-Kafi: 8/75). 8- Imam Muhammad al-Baqir as berkata kepada saudaranya Zaid bin Ali: “Tahukah kamu wahai saudaraku, tentang sesuatu yang telah kamu nisbahkan dirimu kepadanya; lalu kamu harus datang dengan membawa saksi Kitabullah, atau hujjah dari Rasulullah, atau kamu yang membuat perumpamaan dengannya. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, membuat perumpamaan-perumpamaan, dan menetapkan sunnah-sunnah.” (Bihar alAnwar: 46/204, bab 11). 9- Al-Kulaini meriwayatkan dari Ishaq bin Jarir, yang berkata: “Aku diminta oleh seorang perempuan untuk memohonkan izin agar ia dapat bertemu dengan Abu Abdillah (Imam Ja’far ash-Shadiq) as. Lalu ia diizinkan bertemu. Ia pun masuk bersama seorang temannya, dan berkata: “Wahai Aba Abdillah, apakah maksud

firman Allah Azza wa Jalla: zaituunatin lâ syarqiyatin wa lâ gharbiyatin 27 ?”. Imam Shadiq as menjawab: “Hai perempuan, sesungguhnya Allah tidak pernah membuat perumpamaan untuk pohon, tetapi Dia membuat perumpamaan untuk anak keturunan Adam” (al-Kafi: 5/551, hadis 2, bab as-Suhq min Kitab an-Nikah). 10- Daud bin Katsir meriwayatkan dari Abu Abdillah as, yang berkata kepadanya: “Hai Daud, sesungguhnya Allah menciptakan kami (ahlulbait), lalu memuliakan tabiat dan kebajikan kami, dan menjadikan kami kepercayaan dan pengawal-Nya, serta sebagai juru bicara-Nya atas apa yang ada di langit dan di bumi. Dia menetapkan kami mempunyai para penentang dan musuh-musuh, lalu menamakan kami dalam kitab-Nya, dan memberi julukan kepada kami dari namanama kami dengan asmâ` yang terindah dan yang paling disukai-Nya. Dan menyebut para penentang dan musuh-musuh kami dengan julukan dari nama-nama mereka di dalam kitab-Nya, dan membuat perumpamaan-perumpamaan dengan nama-nama yang paling Dia benci di dalam kitab-Nya..” (al-Bihar: 24/303, hadis 14). ***** Telah terhimpun perumpamaan-perumpamaan (al-amtsâl) al-Qur`âniyah atas kepedulian para ulama, cendikiawan, dan mereka memberikan keterangan tentang pentingnya al-amtsâl dan kedudukannya di dalam al-Quran: 1- Hamzah bin al-Hasan al-Ishbahani (wafat tahun 351 H) menerangkan: “Alamtsâl yang diciptakan bangsa Arab, dan an-nazhâ`ir (penyerupaan-penyerupaan) yang dihadirkan ulama, memiliki kedudukan yang kuat. Ia bukan merupakan rahasia dalam menampakkan rahasia-rahasia mendalam dan mengangkat tirai-tirai hakikat, yang dengannya tergantikan khayalan (menjadi) bentuk kenyataan, keraguan (menjadi) bentuk keyakinan, dan yang ghaib seolah hadir. Dan dalam membuat 27

Baca: pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah berat(nya). [QS. an-Nur: 35]

perumpamaan (dharbu al-amtsâl), musuh yang besar permusuhannya menjadi luluh, yang mogok keras dan yang angkuh menjadi tunduk. Dharbu al-amtsâl memberikan kesan pada kalbu yang tidak tertembus oleh penyifatan akan sesuatu pada dirinya. Karena itu Allah SWT memperbanyak perumpamaan-perumpamaan di dalam kitabNya. Dan di dalam salah satu surat dalam Injil terdapat surat bernamakan surat alAmtsâl, dan itu tersebar dalam ucapan Nabi Muhammad saw, ucapan anbiya dan para filosof”

(ad-Durratu

al-Fakhirah

fi al-Amtsal as-Sa’irah: 1/59-60).

Yang

menakjubkan adalah, nash ini diuraikan secara utuh dalam kitab al-Kasyaf, tentang tafsir ayat-6 surat al-Baqarah. (Lihat, al-Kasyaf: 1/149). 2- Abul Hasan al-Mawardi (wafat tahun 450 H): “Salah satu ilmu teragung alQuran adalah ilmu amtsâl-nya, tetapi orang-orang tidak mengetahui karena mereka sibuk dengan perumpamaannya dan melalaikan obyek-obyek perumpamaan (mumatstsalât). Padahal perumpamaan tanpa yang diumpamakan (mumatstsal) seperti kuda tanpa kekang atau seperti onta tanpa kendali.” (al-Itqan fi Ulum al-Quran: 2/1041). 3- Az-Zamakhsyari (wafat tahun 538 H) tentang tafsir ayat 17 surat al-Baqarah yang berbunyi “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api”, menyatakan bahwa bangsa Arab membuat al-amtsâl dan ulama menghadirkan peribahasa dan penyerupaan-penyerupaan. Dan selanjutnya ialah seperti keterangan yang telah dinukil dari al-Ishbahani di atas. (al-Kasysyaf: 1/72). 4- Ar-Razi (wafat tahun 606 H) berkata: “Maksud dari dharbu al-amtsal adalah memberi kesan mendalam pada hati tanpa menyifatinya dengan suatu perkara. Ini disebabkan oleh tujuan perumpamaan (matsal) sendiri, yakni memberikan penyerupaan yang samar dengan yang jelas dan yang ghaib dengan yang hadir. Sehingga menguatkan pemahaman atas hakikat sesuatu, dan indera menjadi sesuai

dengan akal. Yang demikian itu merupakan puncak kejelasan. Bukankah ketika seseorang melihat suatu anjuran (kebenaran atau kebaikan), apabila anjuran itu hampa dari perumpamaan maka keberadaannya dalam hati tidak akan kokoh. Seperti keimanan, yang akan kokoh tertanam dalam hati jika diumpamakan atau diserupakan dengan cahaya. Atau anjuran untuk menjauhi kufur yang dilakukan hanya dengan sebutan semata, maka keburukan kufur tidak menetap di dalam akal. Lain halnya apabila kufur di-matsal-kan dengan kegelapan, maka kesannya akan menetap dalam akal. Atau, misal yang lain, jika mengungkap kelemahan sesuatu disertai dengan membuat perumpamaannya seperti rajutan (rumah) laba-laba, maka yang demikian itu lebih menyentuh dalam menerangkan bentuk atau keadaan amalan seseorang ketimbang semata-mata mengungkap kelemahan perbuatan yang dimaksud. Oleh karena itu, Allah SWT memperbanyak perumpamaan-perumpamaan di dalam kitabNya (al-Quran) dan semua kitab-kitab-Nya. Allah SWT berfirman: “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” [al-Ankabut: 43]. (lihat: Mafatihu al-Ghaib: 2/72-73). 5- Syeikh ‘Izzuddin Abdus Salam (wafat tahu 660 H) berkata: “Sesungguhnya Allah membuat al-amtsâl dalam al-Quran, sebagai pengingat dan pemberi nasihat. Perumpamaan yang dibuat di dalam al-Quran itu meliputi, di antaranya, perbedaan dalam pahala, menggugurkan amal, atau atas pujian dan celaan, dan yang semacamnya. Hal tersebut berarti menunjukkan suatu perumpamaan atas hukumhukum. (al-Itqan fi Ulum al-Quran: 2/1041). 6- Az-Zarkasyi (wafat tahun 794 H): “Di dalam dharbul amtsal – antara lain – menjelaskan maksud tertentu yang bukan merupakan rahasia, yang bertujuan untuk memperserupakan yang samar dengan yang jelas, yang hadir dengan yang ghaib.

Contohnya, perkara iman. Jika iman diumpamakan dengan cahaya maka maksudnya menjadi kuat mempengaruhi hati. Begitu pula dengan anjuran untuk menjauhkan diri dari kekufuran. Bila kekufuran diumpamakan dengan kegelapan, maka menguatlah keburukan kufur dalam diri seseorang. Sungguh, Allah SWT telah memperbanyak perumpamaan-perumpamaan di dalam al-Quran dan di dalam kitab-kitab-Nya yang lain” (al-Burhan fi Ulum al-Quran: 1/388). Namun demikian, apa yang dikatakan az-Zamakhsyari, ar-Razi, dan azZakarsyi adalah tentang al-amtsâl yang bukan ad-dharb. Artinya, mereka berpendapat bahwa al-amtsâl adalah satu hal dan dharbul amtsâl merupakan hal lain. Sebab, memunculkan khayalan dalam bentuk realitas, dan keraguan di panggung keyakinan bukanlah perkara penting dalam dharbul amtsal, tetapi ia menjadi milik al-amtsâl. Hal tersebut menunjukkan bahwa makna-makna universal sebenarnya tampil dalam pikiran secara global dan samar, sehingga sulit menembus dan mengambilnya serta mengeluarkan rahasianya. Dan al-matsal (kata tunggal dari al-amtsâl) ialah yang merinci keglobalan dan menjelaskan kesamarannya. Al-matsal adalah neraca, standar, lentera, dan pelita kefasihan. (Lihat Tafsir al-Manar: 1/237). -7Kitab-kitab Al-Amtsâl Al-Qur’âniyah Begitu pentingnya masalah ini, sehingga tidak sedikit dari ulama, baik klasik maupun kontemporer, telah membuat karya-karya dan buku tentang al-Amtsâl alQur`âniyah. Di antaranya kami sebutkan sebagai berikut: 1- Amtsâl al-Quran, karya al-Junaid bin Muhammad al-Qawariri (wafat 298 H). 2- Amtsâl al-Quran, karya Ibrahim bin Muhammad bin Arafah bin Mughirah, dikenal dengan nama Nafthawaih (wafat 323 H).

3- Ad-Durrah al-Fakhirah fi al-Amtsal as-Sairah, karya Hamzah bin al-Hasan al-Ishbahani (wafat 351 H). 4- Amtsâl al-Quran, karya Abu Ali Muhammad bin Ahmad bin Junaid alIskafi (wafat 381 H). 5- Amtsâl al-Quran, karya Syeikh Abu Abdurrahman Muhammad bin Husein as-Salmi an-Naisaburi (wafat 412 H). 6- Al-Amtsâl al-Quraniyah, karya Abul Hasan bin Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi asy-Syafi’I (wafat 450 H). 7- Amtsâl al-Quran, karya Syeikh Syamsuddin Muhammad bin Abu Bakar bin Qayim al-Jauziyah (wafat 754 H). Karya ini telah dicetak beberapa waktu yang lalu. 8- Al-Amtsâl al-Quraniyah, karya Abdurrahman Hasan Hanbakah al-Maidani. 9- Amtsâl al-Quran, karya Maula Ahmad bin Abdullah al-Kuzkinani atTabrizi (wafat 1327 H). Karya ini tercetak di atas batu di Tabriz tahun 1324 H. 10- Amtsâl al-Quran, karya Mahmud bin asy-Syarif. 11- Al-Amtsâl fi al-Quran al-Karim, karya Dr. Muhammad Jabir al-Fayadhi. 12- Ash-Shuratu al-Fanniyah fi al-Matsal al-Qurani, karya Dr. Muhammad Husein Ali ash-Shaghir. 13- Amtsâl al-Quran (dalam bahasa Parsi), karya Ali Ashghar Hikmat. 14- Tafsir Amtsâl al-Quran (dalam bahasa Parsi), karya Dr. Ismail Isma’ili. -8Pembagian Al-Amtsâl Al-Quran: Yang Jelas dan Yang Samar Badruddin az-Zarkasyi menyebutkan bahwa al-Amtsâl terbagi menjadi dua bagian: pertama, yang tampak (zhâhir); ialah yang menyebutkan kata matsal secara terang dalam ucapan atau kalimatnya. Kedua, yang tersembunyi (kâmin); ialah yang

tidak disebutkan kata matsal di dalam ucapan atau kalimatnya, tetapi ucapan atau kalimat itu memiliki hukum al-amtsal (al-Burhan fi Ulum al-Quran: 1/571). As-Suyuthi mengutip beberapa nash dan mencoba menginterpretasikan almatsal al-kâmin, dan berkata: “Ini bukan nash az-Zarkasyi. Adapun contoh-contoh yang pertama (yakni al-matsal azh-zhâhirah) antara lain ialah firman Allah SWT: “perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api..” [al-Baqarah: 1720]. Dalam ayat ini Allah membuat dua perumpamaan bagi kaum munafik; yakni yang pertama mengumpamakan dengan api, dan yang kedua mengumpamakan dengan hujan. Kemudian ia berkata: Adapun perumpamaan yang tersembunyi (al-kâminah), maka al-Mawardi berkata: “Aku mendengar Abu Ishaq Ibrahim bin Mudharib bin Ibrahim berkata: ‘Aku mendengar ayahku berkata: ‘Aku berkata kepada al-Husein bin Fadl; Anda melontarkan perumpamaan-perumpamaan Arab dan ‘Ajam dari al-Quran, apakah Anda menemukan di dalam Kitabullah kalimat “khairul umuur awsathuhâ” (“sebaik-baik perkara adalah tengah-tengahnya”)?” Ia (al-Husein bin Fadhl) berkata: “Ya, dalam empat tempat: Firman Allah: “yang tidak tua dan yang tidak muda” [al-Baqarah: 68]. “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula kikir), dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara demikian” [al-Furqan: 67]. “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya” [al-Isra: 29]. Dan “Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan jangalah pula merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara kedua itu” [al-Isra: 110]”.

Aku (ayah Abu Ishaq) bertanya: “Apakah Anda menemukan dalam Kitabullah kalimat “man jahila syai`an ‘âdâhu” (“orang yang tidak tahu sesuatu maka ia menjauhinya?”) Ia menjawab: Ya, di dua tempat, yaitu: “Yang sebenarnya, mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna” [Yunus: 39]. Dan “Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya, maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama” [al-Ahqaf: 11]. Dan, soal atau tanya jawab itu sebagai berikut: S: Apakah Anda menemukan dalam Kitabullah: ihdzar syarra man ahsanta ilahi (waspadalah akan keburukan orang yang telah kamu berbaik kepadanya)?” J: “Ya; “dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka” [at-Taubah: 73]. S: Apakah Anda menemukan dalam kitab Allah: laisa l-khabaru ka l-‘iyân (bukanlah khabar itu yang sudah jelas-jelas)?” J: Dalam al-Quran disebutkan: “Allah berfirman: “Apakah kamu belum percaya? Ibrahim menjawab: “Saya telah percaya, akan tetapi agar bertambah tetap hati saya” [al-Baqarah: 26]. S: Apakah Anda menemukan fi l-harakât al-barakât (dalam gerakan-gerakan terdapat keberkahan-keberkahan)?” J: Dalam firman-Nya: “Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak” [anNisa: 100]. S: Apa Anda menemukan: kamâ tadiinu tudânu (sebagaimana kamu taat, maka kamu pun diganjar)?

J: Dalam firman-Nya: “Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahan itu” [an-Nisa: 123]. S: Apakah Anda menemukan di dalam al-Quran perkataan mereka; hiina taqlii tadri (akan kau ketahui ketika kau menggoreng)?”. J: “Dan mereka kelak akan mengetahui di saat mereka melihat azab, siapa yang paling sesat jalannya” [al-Furqan: 42]. S: Apakah Anda menemukan kalimat lâ yuldaghu l-mu`min min juhrin marratain (orang mukmin tidak dipatuk dalam satu sarang sebanyak dua kali)?”. J: “Bagaimana aku mempercayakannya (Bunyamin) kepadamu, kecuali seperti aku telah mempercayakan saudaranya (Yusuf) kepada kamu dahulu” [Yusuf: 64]. S: Apakah Anda menemukan juga: man a’âna zhâliman sullitha ‘alaihi (barangsiapa yang membantu orang zalim maka ia telah dikuasainya) J: “Telah ditetapkan terhadap setan itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengan dia, tentu dia (setan) akan menyesatkannya, dan membawanya ke azab neraka” [alHajj: 4]. S: Bagaimana dengan perkataan mereka: lâ talidu l-hayyah illa l-hayyah (ular tidak melahirkan kecuali ular). J: Firman Allah: “dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir” [Nuh: 27]. S: Apakah Anda menemukan: li l-hiithân âdzân (dinding-dinding itu punya telinga)?. J: “dan di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka” [at-Taubah: 47]. S: Bagaimana dengan kalimat: al-jâhil marzuuq wa l-âlim mahruum (orang bodoh diberi rezki dan orang alim tertahan rezkinya.).

J: “Barangsiapa yang berada di dalam kesesatan, maka biarlah Tuhan Yang Maha pemurah memperpanjang tempo baginya” [Maryam: 75]. S: Apakah Anda menemukan dalam al-Quran kalimat: al-halâl lâ ya`tiika illâ quutan wa l-harâm lâ ya`tiik illâ jazâfan (yang halal tidak datang kepadamu kecuali makanan pokok, dan yang haram tidak datang kepadamu kecuali barang yang tanpa ditakar)?” J: “di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka” [al-A’raf: 163]” (al-Itqan fi Ulum al-Quran: 2/10451046). Kita dapat menyimpulan dari perumpamaan-perumpamaan di atas: “Bahwa jika Anda benar-benar memperhatikan apa yang disebutkan al-Mawardi di atas, yakni perumpamaan (matsal) Qur’âni dengan ta’bir makna perumpamaan tersembunyi (matsal kâmin), menunjukkan bahwa al-Mawardi tidak pernah menukil matsal kâmin dari al-Husein bin Fadhl. Sebab, al-Mawardi tidak menamakan yang demikian itu sebagai matsal kâmin, tetapi ia mendatangkan sebuah riwayat untuk membandingkan (muqâranah) antara sesuatu dengan sesuatu yang lain yang mungkin dipandang sebagai perumpamaan dari ungkapan bangsa Arab dan ‘Ajam. Setelah melakukan itu ia meletakkan katalog pilihan yang diambilnya dari ayat-ayat al-Quran yang mengalahkan ungkapan orang-orang Arab dan ‘Ajam sebagai bukti bahwa amtsal Qurani jauh lebih tinggi di atas amtsâl mereka. Jadi, penamaan yang dipilih as-Suyuthi adalah mengikuti az-Zarkasyi, yang dengan nama itu ia mencocokkan contoh-contoh tersebut. Menurut as-Suyuthi semua itu termasuk amtsâl kâminah. Tetapi, yang jelas bahwa ibarat-ibarat Quraniyah tersebut bukan termasuk dalam bab al-amtsâl. Soal pencakupan ibarat atas makna yang ada di dalam matsal, tidaklah cukup untuk memutlakkan sebutan al-matsal atas

ibarat tersebut, sehingga bentuk yang diriwayatkan itu adalah rukun yang asas dalam matsal. Oleh karena itu, yang dapat dilihat ialah bahwa pengistilahan ulama atas penamaan ibarat Quraniyah di sini (-yaitu- amtsâl kâminah), adalah pengupayaan yang tidak bersandar pada dalil, baik secara nash maupun secara historis. (Lihat, ashShuratu al-Fanniyah fi al-Matsal al-Qurani: 118, nukilan dari kitab al-Amtsal fi anNatsri al-‘Arabi al-Qadim). Interpretasi Lain bagi Al-Matsal al-Kâmin Mungkin saja, perumpamaan yang tersembunyi (al-matsal al-kâmin) ditafsirkan dengan bentuk proporsional (at-tamtsilât) tanpa bersambung dengan kata at-tasybiih atau penyerupaan (yakni kata matsal dan huruf kâf). Namun kenyataannya, hal itu merupakan tamtsil yang sangat indah dalam hakikat (secara aqliyah), meskipun ia kurang indah apabila ditangkap secara emosional. Dalam hal ini, beberapa ayat alQuran dapat dipetik untuk dijadikan contoh: 1- “Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan(-Nya) itu yang baik, ataukah orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama dia ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim” [at-Taubah: 109]. Sesungguhnya Allah SWT menyerupakan bangunan yang didirikan orang zalim atau munafik seperti bangunan di tepi jurang. Sebagai orang yang membangun di tepi jurang, maka bangunannya berbahaya, labil, dan sangat mudah runtuh. Artinya, bangunan mereka akan runtuh dan segera jatuh di neraka jahannam. Ayat ini menunjukkan bahwa tidak sama antara amal orang bertakwa dengan amal orang munafik. Amal orang mukmin yang bertakwa itu kokoh dan tangguh, pondasinya

ditanam di atas landasan yang benar dan kuat, sedangkan amal orang yang munafik tidak kokoh dan segera runtuh (Majma’ al-Bayan: 3/73). 2- “Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum. Demikianlah Kami memberi pembalasan kepada orang-orang yang berbuat kejahatan” [al-A’raf: 40]. Dahulu Arab menyerupakan sesuatu yang jauh dijangkau, dengan perkataan: “Aku tidak berbuat demikian sampai gagak beruban, sampai batu hitam memutih”. Atau dengan pepatah-pepatah lain. Seorang penyair berkata: Jika gagak beruban kudatangi istriku. Dan apabila batu hitam telah menjadi seperti air susu. Dalam surat al-A’raf ayat-40 di atas Allah SWT menyerupakan kemustahilan orang kafir masuk ke surga dengan ungkapan: “orang-orang kafir akan masuk surga apabila sudah tiba waktunya unta masuk ke dalam lubang jarum”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa mereka tidak akan pernah masuk surga selama-lamanya. 3- “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur” [al-A’raf: 58]. Ayat ini memberikan perumpamaan untuk orang mukmin dan orang kafir. Semua tanah adalah satu jenis, ada yang baik, lembut, dan subur, yang lunak oleh hujan, tanah yang cocok untuk tumbuhan dan banyak hasilnya. Tetapi, ada pula yang tandus, tidak menumbuhkan tanaman apapun, dan kalau menumbuhkan pun tidak memberikan manfaat yang berarti bagi manusia.

Demikian juga dengan kalbu atau hati manusia, yang secara fisik terdiri dari darah dan daging. Di antara hati manusia itu ada yang lunak (baca: mudah) menerima nasihat, tapi ada pula yang kering dan keras serta tidak mau menerima nasihat. Maka, hendaklah bersyukur kepada Allah orang-orang yang lunak hatinya, yang selalu mengingat-Nya (Majma’ al-Bayan: 2/ 432). Potongan

ayat

selanjutnya

berbunyi;

“kadzâlika

nusharrifu

l-âyât”

(“Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran Kami”). Maknanya, pengetahuan yang disampaikan melalui tamtsil memiliki kedudukan penting, sebagaimana juga terdapat pada ayat selanjutnya. 4- Allah SWT berfirman: “Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; di dalam kebun itu dia mempunyai segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sementara dia mempunyai keturunan yang masih kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu agar kamu memikirkannya” [al-Baqarah: 266]. Al-Bukhari meriwayatkan dari Ibn Abbas: Suatu hari Umar bin Khatthab berkata kepada para sahabat Nabi as: “Tentang siapa ayat ini turun; “Apakah ada salah seorang di antaramu yang menginginkan kebun kurma dan anggur..”? “Allah Maha Mengetahui”, jawab mereka. Umar marah lalu berkata: “Katakanlah, kami tahu atau tidak tahu!”. Lalu Ibn Abbas berkata: “Dari ayat itu aku memiliki sesuatu”. “Wahai anak saudaraku, katakanlah! Janganlah menutup diri”, kata Umar. Ibn Abbas berkata: “Aku membuat matsal dalam amal”. “Amal apakah itu?”, tanya Umar.

Ibn Abbas berkata: “Seorang lelaki kaya mempunyai sebuah amal ketaatan kepada Allah, kemudian Allah mengutus setan kepadanya, kemudian ia berbuat maksiat sehingga menenggelamkan amal-amal(baik)nya” [Shahih al-Bukhari: atTafsir; Tafsir surat al-Baqarah, bab Qauluhu: Ayawaddu ahadukum.., No. 4273]. Kesimpulan pembahasan ini adalah: Perumpamaan atau penyerupaan di dalam al-Quran memiliki beberapa ciri, antara lain: pertama, bergandengan dengan kata matsal. Kedua, bergandengan dengan matsal yang disertai kata dharbu, yang Allah SWT memilih dharb menjadi bagian yang besar dalam amtsâl al-Quran. Ketiga, diiringi dengan huruf yang bermakna penyerupaan (kâf at-tasybiih). Keempat, dengan menyebutkan materi matsal tanpa bergandengan dengan salah satu dari keduanya (dharb atau matsal), seperti pada ayat: “wa l-baladu th-thayyibu yakhruju nabâtuhu bi idznihi rabbihi, wa l-ladzii khabutsa lâ yakhruju illâ nakidan” (“dan tanah yang baik yang tanamannya subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur yang tanamannya hanya tumbuh merana”. [al-A’raf: 58]. -9Maksud Dharbul Matsal Al-Quran menggunakan dua kata, al-matsal dan al-mitsl, dalam beberapa ayatnya, yang jumlah penggunaannya hampir delapan puluh kali. Kata al-mitsl digunakan satu kali lebih banyak dari kata al-matsal. Kata al-amtsâl merupakan bentuk jamak bagi keduanya. Tetapi kedua kata atau lafaz ini berbeda maksud sesuai dengan ada tidaknya pasangan katanya (qariinah). Kalimat dalam surat al-A’raf ayat194: “inna l-ladziina tad’uuna min duuni llâhi ‘ibâdun amtsâlukum” (“sesungguhnya berhala-berhala yang kamu seru selain Allah itu adalah makhluk yang lemah yang serupa juga dengan kamu”) menunjukkan bahwa kata amtsâl pada ayat tersebut merupakan bentuk jamak dari al-mits. Buktinya adalah, Allah menilai tuhan-tuhan

kaum musyrik seperti diri mereka dalam kebutuhan dan kemungkinan (imkân), yakni, tuhan-tuhan buatan itu adalah makhluk atau keberadaan yang membutuhkan sebab. Dalam al-Hasyr ayat-21 disebutkan: “tilka l-amtsâlu nadhribuhâ li n-nâsi la’allahum yatafakkaruun” (“dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir”. Dalam ayat ini, kata al-amtsâl dan adh-dharb diletakkan bergandengan. Hal ini merupakan bukti atas bentuk jamak matsal. Yang penting dalam masalah ini adalah mempelajari makna adh-dharb dan semacamnya, mengingat tak sedikit kata al-matsal yang bergandengan kata adh-dharb. Misalnya dalam surat Ibrahim ayat-24: “dharaba-llâh matsalan” (“Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik”) dan “wa laqad dharabnâ li n-nâsi fi hâdza lqur`âni min kulli matsalin la’allahum yatafakkarun” (“Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Quran ini setiap macam perumpamaan supaya mereka dapat pelajaran.” [az-Zumar: 27]. Dalam hal ini para mufasir berbeda pendapat ketika menafsirkan kata adhdharb. Setelah mereka bersepakat bahwa adh-dharb dalam bahasa bermakna penjatuhan sesuatu atas sesuatu, yaitu menjatuhkan dengan tangan atau dengan tongkat atau dengan alat pemukul lainnya. Seperti terdapat dalam ayat: “ani dhrib bi ‘ashâka l-hajar” (“pukullah batu itu dengan tongkatmu!”). [al-A’raf: 160]. Dalam hal ini, mereka menyebutkan beberapa segi: 1- Bahwa adh-dharb dalam masalah ini bermakna al-matsal, dan yang dimaksud adalah at-tamtsil. Pengertian ini yang dipilih oleh Ibn Manzhur, dengan dalil ayat: “wa dhrib lahum mastalan ashhâba l-qaryati idz jâ`ahâ l-mursalun” [Yasin: 13], yakni: “matstsil lahum matsalan hâla ashhâbi l-qaryah…” (“buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu keadaan penduduk suatu negeri”), dan itu adalah

keadaan ashhâbul qaryah. Dan ayat: “yadhribu llâhu l-haqqa wa l-bâthil” [ar-Ra’d: 17], adalah: yamtsilu llâhu l-haqqa wa l-bâthil. 2- Bahwa adh-dharb bermakna sifat dan penjelasan. Sebagaimana diriwayatkannya dari Muqatil bin Sulaiman yang menafsirkan ayat: “wa dharaba llâhu matsalan ‘abdan mamluukan lâ yaqdiru ‘alâ syai`in” [an-Nahl: 75]. 3- Bahwa adh-dharb bermakna kepercayaan dan pengukuhan. Inilah pilihan tafsir dari Syeikh ath-Thusi (wafat 460 H) dalam at-Tibyan fi Tafsir al-Quran: 7/302; az-Zamakhsyari dalam al-Kasyaf: 2/553, dan al-Alusi (wafat 1270 H) dalam ar-Ruuhu al-Ma’ani: 1.207. Mereka menafsirkan ayat-73 surat al-Hajj: “yâ ayyuha n-nâsu dhuriba matsalun fa stami’uu lah” dengan makna tersebut. 4- Bahwa adh-dharb dalam kedudukan ini termasuk dalam perkara “bepergian dan menempuh perjalanan” (adh-dharb fi l-ardh wa qath’u l-masiir). Dharbul matsal adalah menjadikan matsal menempuh perjalanan ke negeri-negeri, seperti dalam dharaba fi l-ardh. Dan kata dhârib dinamakan juga mudhârib (yang berspekulasi) (lihat, al-Hukum wa al-Amtsal: 79). Jadi jika adh-dharb bermakna menempuh dan melintasi benua, maka dharbul matsal adalah menjadikan perumpamaan sesuatu yang berlaku di antara kaum-kaum dan bangsa-bangsa. Perumpamaan itu berjalan dan terus berjalan hingga menembus kalbu-kalbu. Pada kedudukan ini Ibn Qayim mengungkapkan beberapa kemungkinan, antara lain: Allah SWT membuat untuk hamba-Nya perumpamaan-perumpamaan, Rasulullah saw membuat perumpamaan-perumpamaan bagi umatnya, dan orangorang bijak, ulama dan pendidik pun membuat perumpamaan-perumpamaan. Lalu, apa makna dharbul matsal?

- Dharbul matsal berasal dari kalimat: dharaba fi l-ardh (berjalan melintasi negeri-negeri). Maka makna dharbul matsal adalah menjadikan matsal tersebar, tersiar dan berjalan melintasi negeri-negeri. Ini yang dipilih oleh Abu Hilal dalam mukadimah kitabnya. (lihat: Jamharatu al-Amtsal). - Dharbul matsal bisa bermakna menegakkan matsal bagi masyarakat dengan cara memasyhurkannya, yakni dengan menggunakannya sebagai argumentasi dalam benak dan pikiran, sebagaimana mata-mata mereka menjadi dalil atas sesuatu yang ditegakkan. Dalam konteks ini, dharbul matsal berasal dari perkataan mereka: dharabtu l-khibâ` (telah kudirikan atau kupasang kemah). Dalam surat ar-Ra’d ayat-17: “kadâlika yadhribu llâhu l-haqqa wa l-bâthil”, yakni Allah SWT yanshibu (memasang) petunjuk kebenaran dan kebatilan serta menjelaskan tanda-tanda keduanya, agar para mukallaf mengenal kebenaran berikut tanda-tandanya sehingga mereka menujunya; dan agar mereka mengetahui pula kebatilan dengan tanda-tandanya sehingga menjauhinya. Sebagaimana yang dikatakan asy-Syarif ar-Radhi (358-406 H) dalam kitabnya Talkhish al-Bayan fi Majâzâti alQuran: “Terkadang dharbul matsal dimaknai sebagai membuat perumpamaan (matsal), yang berasal dari kalimat; dharbul laban (membuat susu) dan dharbul khatam (membuat cincin). Atau dimaknai dengan, “menetapkan sesuatu atas sesuatu”. (lihat, Talkhish al-Bayan fi Majâzâti al-Quran: 107) - Dharbul matsal berasal dari dharbu ad-darâhim (mencetak dirham-dirham); yakni menempelkan huruf-huruf atau gambar atas dirham untuk dicetak dengannya. Maksudnya, matsal dimaknai dengan kesesuaian atas suatu keadaan, yakni matsal hadir untuk menjelaskan suatu sifat tertentu yang bersesuaian. Ringkasnya; dharbul matsal diangkat dari beberapa kemungkinan, yaitu: (1) Bermakna sâra (berjalan); dari dharaba fi l-ardh; atau (2) Bermakna nashaba (menegakkan); dari dharabahu li n-

nâs; atau (3) Bermakna shana’a (membuat); atau (4) Bermakna menetapkan sesuatu atas sesuatu. (al-Amtsal fi al-Quran al-Karim: 20-21) Dengan demikian terungkap tafsir ayat: “..Dan orang-orang yang zalim itu berkata: “Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang lelaki yang kena sihir”. Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu)” [al-Furqan: 8-9]. Ayat ini menjelaskan sikap orang-orang musyrik yang menyifati atau menyamakan Nabi Muhammad saw dengan seorang laki-laki yang tersihir. Tapi Allah SWT menegaskan dalam firman-Nya: Perhatikanlah wahai Nabi, “kaifa dharabuu laka l-amtsâl”; yakni bagaimana mereka menyifatimu sebagai orang yang tersihir. Padahal siirah-mu bersaksi atas kebalikan dari penyifatan kaum musyrikin itu. Ayatayat yang dilantunkan Nabi saw adalah firman Allah SWT, yang tidak ada hubungannya dengan sihir, dan apa yang mereka lihat dari al-Quran sungguh menarik akal dan memikat segenap hati. Hal itu disebabkan oleh kemanisan, keindahan dan kemukjizatan al-Quran yang luar biasa. Lalu bagian manakah yang disebut sihir? Dengan demikian, makna yang sesuai untuk penafsiran ayat 8-9 surat alFurqan di atas ialah, kata adh-dharb ditafsirkan sebagai sifat. Dan telah dikatakan sebelumnya bahwa sifat merupakan salah satu dari makna adh-dharb, seperti dinyatakan oleh Ibn Manzhur: “lihatlah, bagaimana mereka menyifatimu dengan tersihir?” Sedangkan untuk kata adh-dharb yang ditafsirkan sebagai tamtsil atau perumpamaan (bukan sifat) dengan mengatakan: “lihatlah bagaimana mereka memperumpamakan bagimu suatu misal atau tamtsil”, maka hal ini sama sekali tidak sempurna. Sebab menyifati Nabi Muhammad saw dengan tersihir, bukanlah matsal

sâ`ir (perumpamaan yang berlaku/beredar), juga bukan merupakan tamtsil qiyâsi (proporsi silogisme). Tafsir yang serupa ialah adh-dharb dengan qath’u l-ardh (melintasi bumi atau dunia). Kaum musyrikin tidak menyifati Nabi saw dengan itu untuk memasyhurkan beliau, sehingga mereka mengatakan sairan fi l-ardh (berjalan atau melintasi negerinegeri). -10Al-Amtsâl Al-Qur’âniyah dan Kesesuaiannya dengan Kondisi Setiap pembicara, tidak diragukan lagi, dipengaruhi oleh lingkungan (situasi dan kondisi) yang melingkupi hidupnya. Karena itu, setiap pembicaraan kemudian dengan mudah dapat dibedakan, mana yang dari kota dan mana yang dari desa, atau dari pedalaman. Hal ini terjadi karena lingkungan termasuk salah satu dari tiga hal yang membentuk pribadi manusia. (dua hal yang lain adalah keluarga dan pendidikan, penj.) Dari sisi ini seorang muhaqqiq yang ahli dalam sejarah dapat membedakan antara syi’ir jahiliyah dengan syi’ir pada masa Islam, syi’ir pada masa Umayah dengan syi’ir di masa Abbasiyah. Hal ini sebagai sebuah kesimpulan dari pemantulan keadaan atas jejak sastra. Tetapi al-Quran, yang merupakan firman Allah SWT, bersih dari ketidaksempurnaan ini. Sebab, Allah SWT adalah Pencipta segala sesuatu. Dia Maha Suci dari pengaruh selain-Nya. Di samping itu, al-Amtsâl al-Qur’aniyah turun sebagai hidayah bagi manusia, dan karena itu mesti diperhatikan tujuan diturunkannya. Kita mendapati “tanda” Mekah pada ungkapan al-Amtsâl al-Makkiyah dan “tanda” Madinah pada uraian alAmtsâl al-Madaniyah. Al-Amtsal al-Makkiyah menjadi semacam balai pusat penanganan penyakit yang melanda masyarakat Mekah. Di masa itu, misalnya, Nabi Muhammad saw

memberikan argumentasi kepada kaum musyrikin, menilai bodoh pikiran-pikiran mereka, mengajak mereka untuk beriman kepada Tuhan Yang Esa dan hari akhir, dan menyuruh mereka meninggalkan berhala-berhala. Dalam besar dan luasnya cakupan pergulatan ini, al-Quran datang dengan bahasa perumpamaan yang memukau dengan memperserupakan tuhan-tuhan buatan yang mereka pegang rumbai-rumbainya itu dengan sarang laba-laba, yang tidak lebih kuat dari hembusan angin, dan tidak lebih kokoh dari tetesan rintik hujan. Allah SWT berfirman: “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau saja mereka mengetahui” [Al-Ankabut: 41]. Tuhan-tuhan yang mereka jadikan sebagai benteng-benteng penjaga, diserupakan dengan garis-garis (benang) laba-laba. Dengan itulah Allah SWT merendahkan dan menghina musyrikin. Sebagaimana dalam ayat lain, mereka diserupakan dengan lalat; “Hai manusia, telah dibuat perumpamaan-perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pula) yang disembah” [al-Hajj: 73]. Konon kaum Quraisy menyembah 360 tuhan. Mereka memolesi tuhan-tuhan itu dengan minyak za’faron sampai kering, lalu datanglah lalat-lalat merampas (baca: menghisap) minyak itu, dan tuhan-tuhan mereka itu tidak mampu membela diri. Allah SWT berfirman: “dha’ufa th-thâbi wa l-mathluub” (“begitu lemahnya si

pencari/penyeru dan yang dicari/diseru”). Yakni, si pencari adalah lalat dan yang diseru adalah tuhan berhala. Mastal

dalam

ayat

ini

sangat

memukul

kaum

musyrikin,

yang

mengumpamakan tuhan-tuhan mereka dengan serangga yang rendah. Dan perumpamaan ini beredar di tengah umat manusia sejak al-Quran melontarkannya empat belas abad silam. Matsal Qurani kerapkali ditujukan kepada para pembesar, pejuang, dan tokoh-tokoh cendekiawan, dan selalu unggul mengatasi orang-orang yang tertipu oleh kebanggaan, kebatilan, dan jebakan atas nama penemuan-penemuan seputar keluar-biasaan pengetahuan. Segolongan orang menyalin hasil temuan mereka, bergabung untuk membunuh lalat, atau membebaskan dan melindungi sesuatu yang diserang oleh rombongan serangga kecil ini. Mereka mematikan serangga kecil itu dengan hawa yang disemprotkan dari pemusnah serangga. Namun, lalat-lalat tetap saja mampu menyangkal penemuan pemusnah kehidupan serangga tersebut, dan dengan sentuhan lembutnya justru terus saja membawa kuman penyakit yang mematikan kepada mereka. (ash-Shuratu al-Fanniyah fi al-matsal al-Qurani: 99, menukil dari kitab al-Quran wa Qadhaya al-Insan karya Bintu asy-Syathi`). Demikianlah ayat Kitab Suci memberi perumpamaan tentang lemahnya penyembahan orang-orang musyrik dan kafir (kaum penolak kebenaran) kepada patung-patung berhala. Sedangkan mengenai orang-orang yang condong memilih dunia dan berpaling dari akhirat, al-Quran membawakan sebuah perumpamaan yang menunjukkan bahwa dunia hanyalah seperti bayangan, yang akan hilang dan cepat berlalu. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya karena air itu tanam-tanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna

keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya itu) laksana tanaman yang sudah disabit, seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda (Kami) kepada orang-orang yang berpikir” [Yunus: 24]. Ayat yang mengutarakan al-amtsâl untuk tauhid dan cara pandang manusia terhadap pilihan hidupnya ini (dunia atau akhirat) banyak turun di Mekah. Tanda “Madinah” tampak pada al-amtsâl yang turun di Madinah. Amtsâl ini ditujukan untuk menangani penyakit-penyakit yang melanda masyarakat Madinah dan sekitarnya waktu itu; yaitu penyakit-penyakit moral yang memunculkan kesyirikan, keberhalaan, dan pengingkaran terhadap kehidupan ukhrawi. Karena itu, wahyu yang turun di Madinah memusatkan pada penanganan jenis penyakit-penyakit tersebut dengan tamtsil-tamtsil yang akan diisyaratkan selanjutnya. Ketika berhijrah, Rasulullah saw dan para sahabat setianya diganggu oleh sepak terjang kaum munafik yang terus menyimpan kekufuran dalam tampilan keislaman dengan tujuan merusak pemerintahan Islam yang baru dibangun. Dalam masa penuh ujian bagi golongan mukminin itu tampak bahwa al-amtsal al-Madaniyah dalam banyak ayat menyerang kaum munafik dan menjelaskan aksi-aksi mereka terhadap Islam dan muslimin. Di antaranya; Allah SWT membuat perumpamaan bagi mereka dengan api dan hujan: “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api. Maka setelah api itu menerangi sekelilingnya, Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka itu, dan membiarkan dalam kegelapan (sehingga mereka) tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat

dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan jari-jemarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir” [al-Baqarah: 17-19]. Ketika itu, di dalam masyarakat Madinah terdapat tiga kelompok bangsa Yahudi, yaitu bani Qainuqa’, bani Nadhir, dan bani Quraidhah. Mereka memiliki watak membuat makar dan tipu muslihat. Sebenarnya, mereka sudah membaca tandatanda kerasulan Muhammad saw dalam kitab Taurat, tapi mereka mengabaikan ayatayat Taurat tersebut dan hanya memandangnya sebagai bacaan yang tidak enak dibaca dan ditulis. Sifat kaum Yahudi ini digambarkan di dalam al-Quran melalui penyerupaan mereka dengan keledai yang membawa kitab-kitab berharga tanpa mengambil manfaat sedikitpun darinya. Allah SWT berfirman: “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, tapi kemudian mereka tidak memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Sangat buruk sifat kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim”. [al-Jum’ah: 5] Di sisi lain, kaum muslimin yang hidup bersama Nabi Muhammad saw memang tidak sepi dari berbagai ujian. Karena itu, mereka selalu membutuhkan hidayah ilahiyah yang dapat memperbaiki akhlak mereka. Sebagian dari mereka yang menginfakkan harta karena riyâ` dan tidak mengharap keridhaan Allah, atau berinfak dengan rasa pamrih dan menyakiti hati si penerima, diberi teguran keras melalui perumpamaan khusus. Sebuah perumpamaan yang menjelaskan sikap penginfak di jalan Allah dan penginfak yang berpamrih, riya’, dan menyakiti si penerima tampak dalam ayat berikut ini: “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir (tumbuh lagi) seratus biji. Allah

melipat gandakan (pahala) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas (karunianya) lagi Maha mengetahui”. [al-Baqarah: 261]. Sedangkan ayat selanjutnya menjelaskan: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” [al-Baqarah: 264]. Inilah gambaran sekilas tentang al-Amtsâl al-Quraniyah yang turun sebelum dan sesudah Hijrah. Selanjutnya akan dibasah al-amtsal dalam tafsir satu persatu ayat. -11Mengingkari Al-Amtsâl Al-Qur`âniyah Sebagian ayat al-Quran mengungkapkan adanya kelompok yang mengingkari perumpamaan al-Quran. Hal itu disebabkan oleh fakta penyingkapan al-Quran atas niat (busuk) kaum musyrik dan munafik dan mengungkapkan realitas keyakinan mereka serta menilai bodoh cara berpikir mereka. Pengetahuan yang disampaikan alQuran itulah yang membuat para pengingkar kebenaran gelisah dan terguncang. Yang demikian itu, secara mengesankan diajarkan oleh Allah SWT melalui perumpamaan binatang seperti lalat, laba-laba, dan nyamuk, atau anjing dan keledai. Allah SWT berfirman: “Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu biarkan dia menjulurkan lidahnya (juga)” [al-A’raf: 176].

“Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab tebal” [al-Jum’ah: 5]. Allah SWT memperlihatkan pengingkaran mereka dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman, maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang kafir mengatakan apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik” [al-Baqarah: 26]. Az-Zamakhsyari berkata: “Tamtsil dibuat untuk menyingkap makna-makna dan menguraikan yang samar menjadi tampak. Jika yang diperumpamakan besar, maka begitu pula dengan yang dituju oleh perumpamaan itu. Demikian juga jika perumpamaannya kecil atau rendah, ia pun berlaku demikian.” (al-Itqan fi ‘Ulumi alQuran: 2/1042). Barangkali karena kesamaran makna ayat itu masih terjadi sampai masa kini, sebagian masyarakat mengingkari perumpamaan dengan jenis serangga dan perkaraperkara yang rendah dan hina lainnya. Mereka lalai bahwa ‘ibrah yang terkandung di dalam al-amtsal bukanlah pada perantara-perantaranya, tapi pada hakikat dan tujuannya. Tidak ada orang yang mengetahui rahasia kemukjizatan susunan kerangka tubuh nyamuk sebagai sebuah perumpamaan, dan tidak pula mengetahui pembuatan, perencanaan dan persiapan di dalam susunan kerangka tersebut. Mungkin saja, dalam ketidak-tampakan pandangan mata, terdapat rahasia tertentu yang tidak dimiliki oleh kebanyakan kerangka binatang lain yang secara fisik lebih besar. Yang pasti, pembuat

semua itu adalah Allah SWT, dan cukuplah demikian. “Allah, adalah Tuhan (bagi) yang kecil dan yang besar, Pencipta nyamuk dan gajah. Mukjizat pada nyamuk substansinya sama dengan mukjizat pada gajah. Nyamuk adalah mukjizat kehidupan, memiliki rahasia yang tertutup yang tidak diketahui kecuali oleh Allah SWT. ‘Ibrah di dalam perumpamaan ayat bukan dilihat dari ukuran fisik (besar dan kecilnya) contoh perumpamaannya, tetapi ia semata-mata alat dan perantara untuk penerangan dan pencerahan. Tiada dalam pembuatan perumpamaan itu sesuatu yang tercela, dan tiada tempat rasa malu untuk menyebutkannya. Allah –Yang begitu agung hikmahNya– hendak menguji kalbu dan jiwa manusia”. (Fi Zhilalu al-Quran: 1/57). -12Perumpamaan-Perumpamaan Al-Quran Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa perumpamaan yang beredar (matsal sâ`ir) bukanlah tamtsil yang ada dalam al-Quran. Ketika al-Quran menyebutkan: “Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir” [al-Hasyr: 21], ia menghendaki tamtsil, bukan matsal sâ`ir. Dan tamtsil ini adalah sebuah metode Ulumul Quran dan merupakan bab besar tentang pengetahuan-pengetahuan. Tidak sedikit para peneliti dan ulama menuliskan penjelasan rumus-rumusnya dalam kitab-kitab dan makalah-makalah. Sebagiannya telah disebutkan dalam deretan daftar khusus, meskipun mungkin masih lebih banyak lagi dari apa dapat disebutkan itu. Untuk dapat memahami ayat-ayat yang akan diuraikan dalam pembahasan buku ini, akan disampaikan perumpamaan al-Quran (tamtsil Quraniyah) menurut urutan surat-surat yang memuatnya. Adalah DR Muhammad Husein Ali ash-Shaghir yang menghimpun ayat-ayat perumpamaan itu dalam bukunya, ash-Shuratu al-

Fanniyah fi al-Matsal al-Qurani, meskipun ia melewati beberapa ayat karena dianggap bukan bagian dari tamtsil. Marilah kita perhatikan ayat-ayat al-Quran sebagai berikut: 1- “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (kejalan yang benar)” [al-Baqarah: 17-18]. 2- “Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai guruh dan kilat serta gelap gulita; mereka menyumbat telinga dengan jari-jemarinya karena suara petir itu; sebab mereka takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. (padahal) Kalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu” [al-Baqarah: 19-20]. 3- “Sesungguhnya Allah tidak segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka. Tetapi mereka yang kafir mengatakan, apakah maksud Allah menjadikan itu untuk perumpamaan? Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak yang diberi petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, memutuskan apa-apa yang diperintahkan Allah untuk menghubungkannya, dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orangorang yang merugi” [al-Baqarah: 26-27].

4- “Dan perumpamaan (orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti pengembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti” [alBaqarah: 171]. 5- “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacammacam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: ‘Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat!’”. [alBaqarah: 214]. 6- “Atau apakah( kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata: Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh?” Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapakah lamanya kamu tinggal di sini?” Ia menjawab: “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari”. Allah berfirman: “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang): Kami akan menjadikan kamu sebagai tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami menutupnya dengan daging.” Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) dia pun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”[al-Baqarah: 259]. 7- “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan di jalan Allah) adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir,

pada tiap-tiap bulir (tumbuh lagi) seratus biji. Allah melipatgandakan (karunia) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [al-Baqarah: 261]. 8- “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekah dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan (dia) tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpaman orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”[alBaqarah: 264]. 9- “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa, seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang di siram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan lebat tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu perbuat.” [al- Baqarah: 265]. 10- “Apakah ada salah seorang di antara kamu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; di dalam kebun itu dia memiliki segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakar. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya.” [al-Baqarah: 266]. 11- “Sesungguhnya misal (penciptaan) ‘Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia.” [al-Imran: 59].

12- “Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” [al-Imran: 117]. 13- “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat, adalah serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari kegelapan itu? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan” [al-An’am: 122]. 14- “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur” [al-A’Raf: 58]. 15- “Dan beritakanlah kepada mereka tentang orang yang telah Kami berikan ayatayat Kami (pengetahuan tetang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayatayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing. Jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu biarkan dia menjulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayatayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir.

Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim.” [al-A’Raf: 175-177]. 16- “Sesungguhnya perumpaman kehidupan dunia itu adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuhlah dengan suburnya tanam-tanaman bumi karena air, yang di antaranya ada yang di makan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah azab Kami kepadanya di saat malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanamannya) laksana tanaman yang sudah disabit, yang seakan-akan belum pernah tumbuh sebelumnya. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan (Kami) kepada orang-orang yang berpikir”[Yunus: 24]. 17- “Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran (dari pada perbandingan itu)?” [Hud: 24]. 18- “Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) do’a yang benar. Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, (keadaan mereka) seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya air sampai ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan do’a (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka” [arRa’d: 14]. 19- “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembahlembah menurut ukurannya, maka arus itu membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alatalat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat

perumpamaan (bagi) yang benar dan batil. Buih itu akan hilang sebagai sesuatu yang tidak berharga; sedangkan yang memberi manfaat kepada manusia, ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” [ar-Ra’d: 17]. 20- “Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa ialah (seperti taman) yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; pohonnya tak henti-henti berbuah berikut naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orangorang bertakwa; sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir adalah neraka.” [ar-Ra’d: 35]. 21- “Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh.” [Ibrahim: 18]. 22- “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada tiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” [Ibrahim: 24-25]. 23- “Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; dia tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun” [Ibrahim: 26]. 24- “Dan kamu telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri, telah nyata bagimu bagaimana Kami berbuat terhadap mereka, dan telah Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan” [Ibrahim: 45].

25- “Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang maha tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [an-Nahl: 60]. 26- “Allah membuat perumpamaan melalui seorang hamba sahaya yang dimiliki, yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun, dan seseorang yang Kami beri rezki yang baik, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan terangterangan. Adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” [an-Nahl: 75]. 27- “Dan Allah membuat (pula) perumpamaan dengan dua orang laki-laki; yang seorang bisu, tidak dapat berbuat apa-apa dan menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan kebajikan apapun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan yang selalu berada di atas jalan yang lurus?” [an-Nahl: 76]. 28- “Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benang yang sudah dipintalnya dengan kuat hingga menjadi cerai berai kembali. Kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu.” [anNahl: 91-92]. 29- “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman dan tenteram, rezki yang melimpah-ruah datang kepada penghuninya dari segenap tempat, tetapi mereka mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat” [an-Nahl: 112].

30- “Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki. Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur yang dikelilingi dengan pohon-pohon kurma, dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua kebun itu menghasilkan buah, dan kebun itu tidak pernah kurang buahnya sedikitpun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dan dia mempunyai kekayaan besar. Maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika sedang bercakap-cakap: “Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikutku lebih kuat”. Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak percaya hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebunkebunku ini”. Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? Tetapi aku percaya bahwa: Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan apapun dengan Tuhanku. Dan mengapa kamu tidak mengatakan – ketika kamu memasuki kebunmu itu – masya Allah, tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah? Jika kamu anggap aku lebih sedikit daripada kamu dalam hal harta dan pengikut, maka mudahmudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit kepada kebun-kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin; atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, sehingga kamu sekali-kali tidak dapat menemukannya lagi”. Dan harta kekayaan orang yang ingkar pun dibinasakan, lalu ia membolakbalikkan kedua tangannya (menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: “Aduhai

kiranya dulu aku tidak mempersekutukan Tuhan dengan seorangpun”. Dan tidak ada bagi dia segolonganpun yang akan menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya. Di sana pertolongan itu hanya dari Allah yang Haq. Dia adalah sebaik-baik Pemberi pahala dan sebaik-baik Pemberi balasan.” [al-Kahfi: 3243]. 31- “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), bahwa kehidupan dunia adalah laksana air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi suburlah tumbuh-tumbuhan di muka bumi ini karenanya, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering karena diterbangkan angin. Dan adalah Allah Maha kuasa atas segala sesuatu” [al-Kahfi: 45]. 32- “Hai manusia, telah dibuat perumpamaan-perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekalikali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” [al-Hajj: 73]. 33- “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu berada di dalam kaca, dan kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuat perumpamaan-

perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” [an-Nur: 35]. 34- “Dan untuk orang-orang yang kafir, amal-amal mereka seperti fatamorgana di atas tanah datar yang disangka air oleh orang-orang yang haus dahaga. Bila air itu didatangi, dia tidak mendapati sesuatu apapun. Dan dia mendapati (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup, dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” [an-Nur: 39]. 35- “Atau seperti gelap gulita di laut dalam, yang diliputi ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; kegelap-gulitaan yang bertumpuk-tumpuk. Apabila dia mengeluarkan tangannya, dia tidak dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tidak diberi cahaya (petunjuk) Allah, dia tidak akan mempunyai cahaya sedikitpun.” [an-Nur: 40]. 36- “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba, jika mereka mengetahui.” [al-Ankabut: 41]. 37- “Dan Dia-lah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu lebih mudah bagi-Nya. Dan bagi-Nya sifat yang Mahatinggi di langit dan di bumi; dan Dia adalah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [ar-Rum: 27]. 38- Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada di antara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezki yang telah Kami berikan kepadamu, maka kamu pun sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezki itu, dan kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri. Demikianlah Kami jelaskan ayatayat bagi kaum yang berakal.” [ar-Rum: 28].

39- “Dan tidak sama (antara) dua laut; yang satu tawar, segar, dan sedap diminum dengan air lain, yang asin lagi pahit. Dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan dapat mengeluarkan perhiasan yang kamu bisa memakainya, dan pada masing-masingnya kamu melihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur.” [Fathir: 12]. 40- “Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Dan tidak sama gelap gulita dengan cahaya. Dan tidak sama yang teduh dengan yang panas terik. Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tidak akan sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar.” [Fathir: 19-22]. 41- “Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka; (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga. Ketiga utusan itu berkata: “Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu”. Mereka menjawab: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka”. Para utusan itu berkata: “Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus kepada kamu, dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami”. Utusan-utusan itu berkata: “kemalanganmu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika

kamu diberi peringatan (maka kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas”. Dan datanglah dari ujung kota seorang laki-laki, yang sambil bergegas mengatakan: “Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu, ikutilah orang yang tidak pernah meminta balasan kepadamu; dan mereka adalah orangorang yang mendapat petunjuk. Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya lah kamu (semua) akan dikembalikan? Mengapa aku menyembah tuhan-tuhan selain-Nya yang jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudaratan terhadapku niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak dapat menyelamatkanku? Kalau begitu, sesungguhnya aku pasti berada dalam kesesatan yang nyata. Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; maka dengarkanlah (pengakuan keimanan)ku. Dikatakan (kepadanya): “Masuklah ke surga” Ia berkata: “Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan”. Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal) suatu pasukanpun dari langit, dan Kami tidak layak menurunkannya. Tidak ada siksaan atas mereka melainkan satu teriakan saja; maka tiba-tiba mereka semuanya mati. Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tiada datang seorang rasulpun kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya.” [Yasin: 13-30]. 42- “Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata. Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; dia berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh”. Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang telah menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang seluruh makhluk.” [Yasin: 77-79].

43- “Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang berada dalam perselisihan, dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja). Adakah kedua budak itu sama keadaannya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui.” [az-Zumar: 29] 44- “Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang dijadikan permisalan bagi Allah Yang Maha pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menderita menahan sedih.…” [az-Zukhruf: 17-18] 45- “Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami pun menghukum mereka. Lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut), dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang datang kemudian.” [azZukhruf: 55-56] 46- “Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan, tiba-tiba kaummu (Qurays) bersorak karenanya. Dan mereka berkata: “Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)? Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya (nikmat/kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani Israil.” [az-Zukhruf: 57-59] 48- “Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa, yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tidak pernah berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tak pernah berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi para peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring, dan di dalamnya mereka memperoleh segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka itu, apakah sama dengan orang yang kekal dalam

neraka dan diberi minuman dengan air yang mendidih yang memotong-motong ususnya”. [Muhammad: 15] 51- “(Mereka adalah) seperti orang-orang yang belum lama sebelum mereka telah merasakan akibat buruk dari perbuatan mereka, dan bagi mereka azab yang pedih. ” [al-Hasyr: 15] 52- “Bujukan orang-orang munafik itu adalah seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia: “kafirlah kamu”, maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam”. [al-Hasyr: 16] 53- “Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah, disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir”. [l-Hasyr: 21]. 54- “Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan Taurat kepadanya, kemudian mereka tidak memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim” [al-Jum’ah: 5] 55- “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka sedikitpun (keluar) dari (siksa) Allah; dan dikatakan kepada keduanya: “Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)” [at-Tahrim: 10]. 56- “Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman; ia berkata: Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam

surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim. Dan (ingatlah) Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya, dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat”. [at-Tahrim: 11-12] 57- “Dan tidak Kami jadikan penjaga neraka itu melainkan dari malaikat; dan tidaklah Kami jadikan bilangan mereka itu melainkan untuk menjadi cobaan bagi orang-orang kafir, agar orang-orang yang diberi al-Kitab menjadi yakin, dan supaya orang-orang yang beriman bertambah imannya, dan supaya orang-orang yang diberi al-Kitab dan orang-orang mukmin itu tidak ragu, dan supaya orang-orang yang di dalam hatinya ada penyakit dan orang-orang kafir (mengatakan): “Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan ini sebagai suatu perumpamaan?” Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri. Dan itu tidak lain hanyalah peringatan bagi manusia” [al-Mudatstsir: 31]. Itulah ayat-ayat yang diambil oleh Dr. M. Husein Ali Shaghir. Meskipun demikian, ayat-ayat yang dikumpulkannya itu belum mencakup keseluruhan, karena masih ada ayat-ayat lain yang memuat tamtsil. Meskipun di dalam ayat-ayat lain itu tidak terdapat kata matsal atau huruf tasybih, tetapi ayat-ayat itu membuat tamtsil dan memenuhi rukun-rukunnya. Seperti ayat: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila.” [al-Baqarah: 275]. Dalam ayat ini, pemakan riba diserupakan dengan orang yang dirasuki sakit gila, sehingga ia menjadi orang yang

linglung, tidak punya akal, dan kehilangan kesadaran dirinya. Dan masih ada ayatayat yang lain. Sebagian ulama mengatakan bahwa kita dapat mengambil banyak hal bermanfaat dari dharbul al-Amtsâl di dalam al-Quran, antara lain: peringatan, nasihat, anjuran dan pencegahan, pertimbangan, penetapan, pendekatan makna bagi akal, dan penggambaran dalam bentuk inderawi. Al-amtsal merupakan pengambaran maknamakna dalam bentuk yang lebih visual (baca: tampak mata), karena al-amstal mengukuhkan sebuah tanda di dalam pikiran untuk membantu pemikiran atau pandangan melalui reaksi panca indera. Tujuan pengungkapan seruan melalui perumpamaan adalah penyerupaan (tasybih) yang samar dengan yang terang, yang gaib dengan yang hadir. Perumpamaan al-Quran mencakup penjelasan tentang perbedaan ganjaran dan balasan, pujian dan celaan, pahala dan siksaan, meninggikan dan merendahkan perkara, dan membenarkan dan membatilkan perkara. [Riyadhu as-Salikin: 5/461]. Berikut ini adalah ayat-ayat al-Quran yang secara jelas memuat (kata) matsal. Kata yang terletak sebelum tanda kurung dalam ayat-ayat di bawah ini adalah arti dari matsal atau amtsâl. 1-“Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang kepada manusia dalam al-Quran ini tiap-tiap macam perumpamaan (al-matsal)” [al-Isra: 89]. 2- “Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang bagi manusia dalam al-Quran ini bermacam-macam perumpamaan (al-matsal)” [al-Kahfi: 54]. 3- “Dan Allah mempunyai sifat (al-matsal) yang Mahatinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [an-Nahl: 60] 4- “Dan bagi-Nya-lah sifat (al-matsal) yang maha tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [ar-Rum: 27].

5- “Dan sesungguhnya telah Kami buat dalam al-Quran ini segala macam perumpamaan (al-matsal) untuk manusia” [ar-Rum: 58]. 6- “Dan sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Quran ini setiap macam perumpamaan (al-matsal) supaya mereka dapat pelajaran” [az-Zumar: 27]. 7- “Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (al-amtsâl)” [ar-Ra’d: 17]. 8- “Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (al-amtsâl) itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat” [Ibrahim: 25]. 9- “Dan telah nyata bagimu bagaimana Kami telah berbuat terhadap mereka dan telah Kami berikan kepada kamu beberapa perumpamaan (al-amtsâl).

surat dan ayat berapa :[Comment [

10- “Dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan (al-amtsâl) bagi manusia, dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [an-Nur: 35]. 11- “Dan perumpamaan-perumpamaan (al-amtsâl) ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” [Al-Ankabut: 43]. 12- “Dan perumpamaan-perumpamaan (al-amtsâl) itu dibuat untuk manusia supaya mereka berpikir” [al-Hasyr: 21]. 13- “Demikianlah Allah membuat untuk manusia perbandingan-perbandingan (alamtsâl)”. 14- “Dan sesungguhnya Kami telah menurunkan kapada kamu ayat-ayat yang memberi penerangan, dan contoh-contoh (matsal) dari orang-orang yang terdahulu sebelum kamu dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa” [an-Nur: 34]. 15- “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil (matsal), melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya” [al-Furqan: 33].

surat dan ayat berapa :[Comment [

Perumpamaan dalam al-Quran (al-amtsal) itu mencakup ayat-ayat yang memuat lafaz matsal dan yang menggunakan huruf kâf at-tasybih, sebagaimana telah disinggung sebelumnya. -13Ayat-Ayat yang Berlaku sebagai Matsal Al-Quran secara keseluruhan berisi hikmah dan nasihat, berita dan ‘ibrah. Banyak muhaqqiq berupaya menguak hikmah-hikmah yang terkandung di dalam ayatayat al-Quran, berupa perumpamaan yang beredar (amtsâl sâ’irah) pada kurun waktu tertentu, untuk diedarkan melalui budaya lisan dalam kehidupan dan perbuatan keseharian mereka. Telah dibicarakan sebelumnya bahwa ayat-ayat ini tidak turun dalam bentuk matsal, sebab matsal merupakan kalam yang beredar melalui lisan atau pengucapan sampai menjadi amtsâl sâ`irah. Yang jelas, bahwa hikmah-hikmah yang terkandung di dalam al-Quran turun dan menyebar dengan hikmah-hikmah tinggi tanpa ada yang menyamainya. Jadi, ketika hikmah-hikmahnya turun, belum ada penyifatan (atau penamaan) matsal pada saat itu. Baru setelah beberapa waktu kemudian, penyifatan matsal disandangkan atas hikmah-hikmah tersebut di sepanjang zaman, dan menyebar melalui perantaraan lisan-lisan. Ja’far bin Syamsul Khilafah 28 (wafat tahun 622 H) telah menghimpun satu bab tentang kata-kata al-Quran yang berlaku sebagai matsal, dan dinukil oleh as-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan, sambil menyatakan: “Ini adalah macam al-badi’29 yang diistilahkan dengan irsâlu l-matsal (penyampaian perumpamaan). Berikut ini adalah ayat-ayat yang dimaksud:

28

Ia adalah Abul Fadhl Ja’far bin Muhammad Syamsul Khilafah al-Afdhali al-Bashri, lahir tahun 543 H. Diterangkannya oleh Ibn Khalkan dalam kitab Wafayat al-A’yan, penulis kitab al-Adab, sebuah kitab ringkas tentang hikmah-hikmah dan amtsâl dari prosa dan sya’ir, yang dicetak di Mesir tahun 1349 H. 29 Ilmu Badi (dalam sastra Arab).

1- “Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu” [al-Baqarah: 216]. 2- “Berapa banyak terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak” [al-Baqarah: 249]. 3- “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” [alBaqarah: 286]. 4- “Kamu sekali-kali tidak sampai pada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian hartamu yang kamu cintai” [Al Imran: 92]. 5- “Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan” [al-Maidah: 99]. 6- “Katakanlah: “Tidak sama yang buruk dengan yang baik” [al-Maidah: 100]. 7- “Untuk tiap-tiap berita (yang di bawa oleh para rasul) ada (waktu) terjadinya” [alAn’am: 67]. 8- “Kalau kiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar” [al-Anfal: 23]. 9- “Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik” [at-Taubah: 91]. 10- “Apakah sekarang (baru kamu percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu” [Yunus: 91]. 11- “Bukankah subuh itu sudah dekat” [Hud: 81]. 12- “Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku)” [Yusuf: 41]. 13- “Sekarang jelaslah kebenaran itu” [Yusuf: 51]. 14- “Katakanlah tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing” [alIsra: 84].

15- “Demikian itu adalah disebabkan perbuatan yang dikerjakan oleh kedua tangan kamu dahulu” [al-Hajj: 10]. 16- “Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah” [alHajj: 73]. 17- “Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka” [ar-Rum: 32]. 18- “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut” [ar-Rum: 41]. 19- “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang berterima kasih” [as-Saba’: 13]. 20- “Dan dihalangi antara mereka dengan apa yang mereka ingini” [as-Saba’: 54]. 21- “Dan tidak ada yang dapat memberi keterangan kepadamu sebagaimana yang diberikan oleh Yang Maha Mengetahui” [Fathir: 14]. 22- “Rencana

yang

jahat itu

tidak akan

menimpa

selain

orang

yang

merencanakannya sendiri” [Fathir: 43]. 23- “Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami, dan dia lupa pada kejadiannya” [Yasin: 78]. 24- “Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja” [ash-Shaffat: 61]. 25- “Dan amat sedikitlah mereka ini” [Shad: 24]. 26- “Tidak ada yang akan menyatakan terjadinya hari itu selain Allah” [an-Najm: 58]. 27- “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” [ar-Rahman: 60]. 28- “Maka ambillah (kejadian itu) sebagai suatu pelajaran, hai orang-orang yang memiliki pandangan” [al-Hasyr: 2]. 29- “Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah-belah” [al-Hasyr: 14].

30- “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya” [alMudatstsir: 38]. Inilah yang dinukil oleh as-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan, dari kitab alAadâb, karya Ja’far bin Syamsul Khilafah. Kitab al-Aadâb menyebutkan tidak lebih dari 69 ayat, dan ayat-ayat ini telah menjadi amtsâl sâ`irah (perumpamaan yang beredar) di zamannya” (Al-Itqan: 2/46). Syihabuddin Muhammad bin Ahmad Abul Fath al-Absyihi al-Mahalli (790850 H) dalam kitabnya, al-Mustathraf fi Fanni Mustazhraf, menyebutkan hikmahhikmah dalam al-Quran yang berlaku sebagai al-amtsal lebih banyak daripada yang dinukil oleh as-Suyuthi dalam al-Itqan yang diambilnya dari al-Aadâb. Syihabuddin berkata: “Al-amtsal memiliki kandungan paling tinggi daripada pembicaraan lain, yang dengannya orang-orang pandai sampai (kepada maksud), dan rangkaian tulisannya (terasa) lezat dalam menyampaikan kandungannya. Sungguh, alQuran telah berbicara, dan ia adalah kitab yang paling tinggi –jauh sekali– daripada kitab-kitab lain yang diturunkan. Dan sabda Rasulullah saw tidak pernah lepas darinya, sementara beliau adalah orang dari Arab yang paling fasih lisannya dan paling sempurna penjelasannya. Beliau banyak sekali menggunakan matsal dalam ungkapan dan pembicaraan, dan semua pembesar lemah (kalah) menghadapi beliau dalam balaghah. Beberapa matsal al-Quran itu ialah: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” [al-Baqarah: 286], “Sekarang jelaslah kebenaran itu” [Yusuf: 51], “Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku)” [Yusuf: 41], dan ayat-ayat lainnya yang telah disebutkan” (Lihat, al-Mustathraf fi Fanni Mustazhraf: 1/27).

Kemudian, sebagian penulis kitab tentang amtsal al-Quran mengikuti keduanya (Ja’far bin Syamasul Khilafah dan Syihabuddin) ketika mengutip hikmahhikmah yang telah menjadi matsal di tengah khalayak, yang jumlahnya melebihi 245 ayat. (lihat, Amtsal al-Quran karya Ali Ashghar Hikmat). Doktor Muhammad Husein ash-Shaghir menyebutkan hal semacam ini dalam bagian akhir kitabnya, yaitu sampai pada 495 ayat (Lihat, ash-Shuratu al-Fanniyah fi al-Matsal al-Qurani: 387-402). Namun demikian, yang dilewatkan oleh mereka adalah pemusatan atas anggapan bahwa ayat-ayat yang dinukil tersebut bukan matsal pada saat wahyu tersebut diturunkan, tetapi ia merupakan hikmah. Ayat-ayat itu menjadi matsal ketika sudah beredar pada zaman sesudahnya. Akhirnya, perlu juga ditambahkan ayat-ayat lain selain yang telah disebut di atas, yaitu ayat-ayat yang lebih banyak beredar melalui lisan-lisan di sebagian besar negeri-negeri Islam. Di bawah ini hanya disebutkan sebagian darinya, dan barangkali pula di antaranya terdapat dalam kitab al-Aadâb. Ayat-ayat yang dimaksud adalah: 1- “Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan” [al-A’raf: 31]. 2- “Inilah perpisahan antara aku dan kamu” [al-Kahfi: 78]. 3- “Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis)” [an-Nur: 35]. 4- “Dan tidak lain kewajiban rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang” [an-Nur: 54]. 5- “Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup” [ar-Rum: 19] 6- “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui” [az-Zumar: 9]. 7- “Tangan Allah di atas tangan-tangan mereka” [al-Fath: 10]. 8- “Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)” [ar-Rahman: 60].

9- “Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan” [ash-Shaff: 2]. 10- “Untukmulah agamamu, dan untukkulah agamaku” (al-Kafirun: 6]. Itulah sepuluh ayat yang telah menjadi perumpamaan yang beredar (matsal sâ`irah) di tengah mayoritas kaum muslimin. Baha`uddin al-‘Amili (tahun 953-1030), salah seorang muhaqqiq, menulis satu pasal berjudul “Fi mâ Warada min Kitabillah Ta’ala Munasiban li Kalamil ‘Arab”. Dalam tulisan al-‘Amili itu ditunjukkan perbandingan-perbandingan dalam kalam Arab dengan hikmah dalam al-Quran. Ia menyebutkan ayat-ayat yang dimaksud dan amtsal berikut: 1- Orang Arab mengatakan tentang jelasnya suatu perkara dengan kalimat: qad wadhaha sh-shubhu ladzâ ‘ainain (“sungguh subuh telah terang di kedua mata”). Ayat al-Quran menyatakan: aal-âna hashhasha l-haqq (“Sekarang jelaslah kebenaran itu”) [Yusuf: 51]. 2- Mereka mengungkapkan tentang ketinggalan suatu perkara, dengan perkataan: sabaqa s-saifu l-‘adla (“pedang telah mendahului keadilan”). Ayat al-Quran mengatakan: qudhiya l-amru l-ladzi fiihi tastafiyân (“Telah diputuskan perkara yang kamu berdua menanyakannya (kepadaku)”) [Yusuf: 41]. 3- Tentang memperbaiki perbuatan buruk, mereka mengatakan: ‘âda ghaitsun ‘alâ mâ afsadahu (“hujan kembali (membawa manfaat) pada apa yang telah merusak”). AlQuran menyebutkan: makâna s-saiyi`ati l-hasanata (“Kami ganti kesusahan itu dengan kebaikan”) [Al-A’raf: 95]. 4- Tentang berbuat buruk bagi orang yang tidak menerima perbuatan baik, mereka mengungkapkan: a‘thi akhâka tsamratan fa in abâ fa jamratan (“berilah saudaramu buah-buahan, bila menolak berilah ia kerikil). Ayat al-Quran mengatakan: wa man ya’syu ‘an dzikri r-rahmâni nuqaiyidh lahu syathânan fa huwa lahu qariin

(“Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha pemurah (al-Quran), maka adakan baginya setan (yang menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya”) [Az-Zukhruf: 36]. 5- Untuk faedah balasan, mereka mengatakan: al-qatlu anfâ li l-qatl (“pembunuhan (balas) itu meniadakan pembunuhan”). Ayat menyatakan: wa lakum fi l-qishâshi hayâtun yâ uli l-albâb (“dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa”).

surat adan ayat berapa :[Comment [

6- Untuk wilayah suluh, disebutkan: li kulli maqâm maqâl (“setiap kedudukan mempunyai perkataan”). Al-Quran menyebutkan: li kulli naba`in mustaqar (“Untuk tiap-tiap berita (yang di bawa oleh Para rasul) ada (waktu) terjadinya”) [al-An’am: 67]” (dalam Asrar al-Balaghah: 616-617). Baha’uddin al-‘Amili juga mengangkat topik ini dalam kitabnya yang lain, alMikhlât, dengan menukil sebagian dari amtsal Arab yang diambil oleh orang-orang Arab dari al-Quran. Maka jelaslah, bahwa al-Quran menjadi sumber pokok bagi amtsal ini. Baha’uddin berkata: 1- Ucapan mereka, mâ tazra’ tahshud (“apa yang kamu tanam akan kamu peroleh”); dalam al-Quran dinyatakan: man ya’mal yujza bihi (artinya: [an-Nisa: 132].

ini bukan an Nisa ay132 :[Comment [

2- Mereka mengucapkan: li l-hiithâni âdzânun (“dinding-dinding punya telinga”)30, dan Kitabullah mengungkapkan: wa fiikum sammâ’uuna lahum (“sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka...” [atTaubah: 47]. 3- Kata mereka, ihdzar syarra man ahsanta ilahi, dan ayat al-Quran menyebut: wa mâ naqamuu illâ an aghnâhumu llâhu wa rasuuluhu min fadhlih (“..dan mereka tidak

30

Sebagai peringatan agar hati-hati dalam bicara.

nya arti bahasa Indonesia :[Comment [ ?a

mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka....” [at-Taubah: 74]. 4- Mereka menyebut, Lâ talidu l-haiyatu illâ haiyyatan; al-Quran menyatakan: wa lâ yaliduu illâ fâjiran kuffâran (“...dan mereka tidak akan melahirkan selain anak yang berbuat maksiat lagi sangat kafir.” [Nuh: 27]” (dalam al-Mikhlât: 307). Beberapa kalimat yang disebutkan Syeikh Bahauddin al-‘Amili tersebut disebutkan sebelumnya dalam pembicaraan ulama lain, antara lain dalam kitab alAmtsal al-Kâminah. Dan mungkin saja, apa yang dikatakan oleh Ibn Syamsul Khilafah, as-Suyuthi, dan al-Bahauddin al-‘Amili di atas hanyalah bagian yang sederhana dari hikmah-hikmah yang berlaku dan digunakan di tengah masyarakat, dan menjadi contoh bagi amtsal lain yang ada di baliknya. Bagaimana tidak, sementara Rasulullah saw sendiri bersabda: “Tak terukur keajaiban-keajaiban al-Quran dan tak terkira pula keutamaan-keutamaannya” (al-Kafi: 2/599, kitab “Fadhlu al-Quran”, hadist 2). -14Peribahasa atau Perumpamaan an-Nabawiyah Jika makna perumpamaan atau peribahasa (matsal) ialah menampakkan makna yang dimaksud di panggung perkara yang disaksikan, melukiskan hal yang rasional dengan lukisan inderawi, dan menurunkan hakikat yang sulit dijangkau pemahaman menjadi sederhana dicerna pikiran, maka matsal sesungguhnya adalah sebuah alat tabligh dan ta’lim. Oleh karena itu, peribahasa dalam al-Quran, sabda Rasulullah saw, riwayat para Imam Ahlulbait as, isyarat ulama, dan ibarat dari para sastrawan dan isyarat para bijak pun tersiar luas. Para ahli hadits mengumpulkan peribahasa (amtsal) yang disampaikan Nabi Muhammad saw dalam sabda-sabdanya. Seorang muhaqqiq kontemporer, Syeikh

arti bahasa Indonesianya :[Comment [ ?a

Muhammad al-Gharwi –semoga Allah menjaganya– dalam mukadimah kitabnya, alAmtsal an-Nabawiyah, menulis kurang lebih sepuluh kitab yang memuat al-amtsal an-nabawiyah. Ia telah menukil ibarat dari Abdul Majid Mahmud, penulis kitab Amtsâl al-Hadits, berikut ini: “Amtsâl (perumpamaan-perumpamaan) hadis tidak mendapatkan perhatian seperti terhadap amtsâl al-Quran dan amtsal Arab umumnya. Saya tidak melihat seorangpun dari para penulis Kutubus Sittah (enam kitab-kitab standar hadis) yang menulis secara terpisah atau satu bab saja dalam kitabnya, kecuali Imam Turmudzi. Ia khususkan amtsal al-hadist di satu tempat dalam kitab Jami’-nya dengan judul: “Abwâb al-Amtsal ‘an Rasulillah saw” (Bab-bab peribahasan dari Rasulullah saw)’. Di bawah judul ini, ia hanya menyebutkan empat belas hadis. Oleh karena itu, Ibn ‘Arabi mengatakan: “Aku tidak melihat seorangpun dari para ahli hadis yang menyusun satu bab tersendiri selain Abu ‘Isa (at-Turmudzi). Sungguh dia telah membuka satu pintu dan telah membangun satu istana. Walaupun ia (atTurmudzi) hanya menulis sedikit, tapi kami merasa cukup puas dan berterima kasih kepadanya” 31. Syeikh al-Gharwi mengumpulkan al-amtsal an-nabawiyah secara tidak beraturan dalam dua juz disertai penafsirannya. Tetapi ia menulisnya secara tertib menurut huruf-huruf hijâ`iyah, lalu tulisan itu diberi nama al-Amtsal an-Nabawiyah dan dicetak di Beirut. Selain itu, kami bawakan contoh-contoh al-amtsal an-nabawiyah yang dikumpulkan oleh as-Suyuthi dalam kitabnya, al-Jami’ ash-Shaghir, untuk melengkapi buku ini: 1- Perumpamaan iman seperti baju, terkadang dipakai dan terkadang dilepas.

31

Amtsal al-Hadits: 8

2- Perumpamaan orang kikir dan orang bersedekah, ialah ibarat dua orang lakilaki yang menutupi bagian dadanya sampai dua tulang selangkangannya dengan jubah besi. Yang bersedekah berarti, jubahnya melebar dan meliputi kulitnya hingga menutupi ujung jari dan menghapus sidik jarinya. Sedangkan yang kikir, jubahnya menutupi bagian badannya dengan sempit, lalu dia berusaha memperlebarnya, tetapi tidak juga melebar”. 3- Perumpamaan rumah yang di dalamnya dibaca dan yang tidak dibaca dzikirullah, adalah seperti orang hidup dan orang mati. 4- Perumpamaan teman yang saleh dan teman yang buruk, ialah seperti pemilik misik dan ubupan tukang besi; tidak menghilang apa yang berasal dari si pemilik misik, baik anda membelinya atau hanya mendapatkan baunya. Sedangkan ubupan tukang besi, akan membakar rumah atau pakaian, atau ikut menerima bau yang tak sedap darinya. 5- Perumpamaan teman yang saleh seperti tukang parfum, walaupun tidak memberikan parfumnya, dia tetap terkena aromanya. 6- Perumpamaan râfilah (perempuan yang melepaskan ujung kainnya ke bawah dan berjalan tidak biasa) dalam berhias untuk selain keluarganya (suaminya) demi mendapat perhatian lain adalah seperti kegelapan di hari kiamat, yang tidak ada cahaya sedikitpun baginya. 7- Perumpamaan salat lima waktu ibarat sebuah sungai yang mengalirkan air segar pada pintu seseorang. Setiap hari lima kali orang itu mandi dengan air mengalir tersebut, sehingga tidak ada kotoran yang tersisa. 8- Perumpamaan orang berilmu yang mengajarkan kebaikan kepada orang lain dan melupakan (kebaikan) dirinya, laksana lampu menerangi orang-orang sementara dirinya sendiri terbakar.

9- Perumpamaan hati seperti bulu yang terombang-ambing oleh angin di sahara. 10- Perumpamaan orang merdeka di saat mati, seperti orang yang memberi hadiah bila sudah kenyang. 11-

Perumpamaan

orang

yang

belajar

ilmu

kemudian

ia

tidak

menyampaikannya, seperti menyimpan harta lalu tidak menginfakkannya. 12- Perumpamaan orang yang belajar ilmu di masa kecil seperti mengukir di atas batu, dan perumpamaan orang yang belajar di masa dewasa seperti menulis di atas air. 13- Perumpamaan orang yang duduk mendengarkan hikmah dan tidak membicarakan tentang sahabatnya kecuali keburukan yang dia dengar, adalah seperti orang yang datang kepada si pengembala lalu berkata: “hai pengembala, potongkan seekor kambingmu untukku”. Lalu si pengembala berkata: “Silahkan ambil seekor kambing dengan menarik pangkal telinganya”. Maka ia langsung pergi sambil memegang telinga anjingnya. 14- Perumpamaan orang yang berbicara di hari Jum’at sementara imam sedang berkhotbah, seperti keledai memikul kitab-kitab tebal, dan yang akan dikatakan kepadanya: “Diamlah, tiada Jum’at bagimu!”. 15- Perumpamaan orang mengajarkan kebaikan kepada orang-orang dan ia melupakan dirinya, adalah seperti sumbu lampu yang menerangi orang-orang sementara ia membakar dirinya. 16- Perumpamaan orang yang membantu kaumnya atas selain kebenaran, seperti unta berpakaian sambil menarik ekornya. 17- Perumpamaan orang-orang yang berperang dari umatku dan mendapat upah, lalu menjadi kuat dengannya terhadap musuh, seperti ibu Musa, yang menyusui anaknya dan mendapat upah.

18- Perumpamaan orang mukmin seperti tukang parfum, jika duduk bersamanya ia memberikan manfaat, jika berjalan bersamanya ia memberikan manfaat, dan jika menyertainya, ia pun memberikan manfaat. 19- Perumpamaan orang mukmin ialah seperti pohon kurma, apapun yang diambil darinya akan memberikan manfaat. 20- Perumpamaan orang-orang mukmin ialah, jika ia berjumpa dengan orang mukmin (lainnya) ia mengucapkan salam, mereka seperti bangunan yang saling menopang satu dengan yang lain. 21- Perumpamaan orang mukmin seperti lebah (madu), tidak makan kecuali yang baik dan tidak mengeluarkan kecuali yang baik. 22- Perumpamaan orang mukmin seperti bulir, terkadang menunduk dan terkadang tegak. 23- Perumpamaan orang mukmin seperti bulir, sesekali berdiri dan sesekali menunduk. Dan perumpamaan orang kafir seperti padi, selalu tegak lurus hingga jatuh dan tidak merasakannya. 24- Perumpamaan orang mukmin seperti kulit, kadang memerah dan kadang menguning. Sedang orang kafir seperti padi. 25- Perumpamaan orang mukmin seperti kulit tanaman, apabila angin menerpanya ia merasa cukup dan apabila reda ia tetap stabil. Begitulah orang mukmin! Ia dibolak-balikkan dengan cobaan. Sedangkan perumpamaan orang ahli maksiat ialah seperti padi yang pekak sampai Allah SWT membinasakannya dengan kehendak-Nya 26- Perumpamaan orang mukmin yang membaca al-Quran seperti limau yang berbau sedap dan rasanya lezat, dan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca al-Quran seperti kurma yang tidak berbau dan rasanya manis. Perumpamaan

orang munafik yang membaca al-Quran seperti kemangi, berbau harum dan rasanya pahit, dan perumpamaan orang munafik yang tidak membaca al-Quran seperti jenis labu, tak berbau dan rasanya pahit. 27- Perumpamaan orang mukmin seperti lebah, ia hanya memakan makanan yang baik dan hanya mengeluarkan yang baik. Perumpamaan orang mukmin seperti batang emas, apabila ditiupkan hawa kepadanya maka akan memerah, dan jika ditimbang ia tidak berkurang”. 28- Perumpamaan orang mukmin itu seperti rumah yang rusak luarnya, tapi bila dimasuki, ia menenteramkan. Dan perumpamaan orang ahli maksiat seperti kuburan yang megah, menarik dilihat tapi dalamnya penuh kebusukan” 29- Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta dan kasih satu dengan yang lain, seperti satu badan; jika satu anggota dari badan mengeluh maka terundang seluruh anggota badan dengan bangun malam dan kesakitan. 30- Perumpamaan mujahid di jalan Allah, seperti orang puasa yang suka bangun malam dengan istiqamah, tidak lesu karena puasa dan sedekah sampai ia dipanggil kembali (pulang). Dan Allah SWT telah menjamin mujahid di jalan-Nya ketika Allah memanggilnya, yaitu dengan surga atau dikembalikan (ke rumahnya) dalam selamat dengan membawa pahala atau harta rampasan. 31- Perumpamaan perempuan salehah di antara kaum perempuan, seperti gagak bergelang yang salah satu kakinya putih. 32- Perumpamaan orang munafik seperti domba mengembara di antara dua kambing, kadang mengikuti yang ini dan kadang mengikuti yang itu, tidak tahu yang mana yang harus diikutinya.

33- Perumpamaan anak Adam ialah di sisinya ada sembilan puluh sembilan angan-angan, apabila angan-angannya itu menyalahinya niscaya ia menjadi pikun sampai mati. 34- Perumpamaan sahabatku seperti garam di makanan, tidak baik makanan kecuali dengan garam. 35- Perumpamaan umatku laksana hujan, tidak diketahui apakah di awalnya baik atau di akhirnya. 36- Perumpamaan Ahlulbaitku seperti kapal Nuh, siapa yang menaikinya selamat dan siapa yang berpaling darinya tenggelam. 37- Perumpamaan Bilal adalah seperti lebah, siang dia makan yang manis dan yang pahit kemudian sore harinya menjadi manis seluruhnya. 38- Perumpamaan Bal’am bin Ba’aura` di Bani Israil seperti Umayah bin Abi ash-Shalt di umat ini. 39- Perumpamaan Mina seperti rahim dalam sempitnya, apabila telah hamil maka Allah meluaskannya. 40- Perumpamaan dunia ini seperti baju yang robek di awal sampai akhirnya, sehingga dia terus bergantung pada jahitan di akhirnya, dan jahitan akhir itu hampir putus. 41- Perumpamaanku dan perumpamaan kalian adalah seperti dua kuda pacu; Perumpamaanku dan perumpamaan kalian seperti seorang lelaki yang diutus ke garis depan, ketika ia merasa menang ia lambai-lambaikan kain bajunya: “Kalian menang, kalian menang!”; Akulah itu! Akulah itu!” 42- Perumpamaanku dan perumpamaan kalian seperti seorang laki-laki yang menyalakan api, lalu kawanan laron dan belalang menghampiri api maka si laki-laki

melindungi mereka yang menghampiri itu dari api; Aku bertindak menahan kalian dari api, tetapi kalian berpaling dari tanganku. -15Peribahasa Al-‘Alawiyah (Imam Ali as) Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib as adalah mata air kefasihan dan balâghah. Dari Imam Ali as tersingkap rahasia bahasa dan komunikasi serta terpetik kaidah-kaidah sastra. Para orator meniru perumpamaan-perumpamaan yang disampaikannya; para penyuluh yang bijak meminjam ungkapan dan perkataannya. Perkataan Imam Ali as merupakan tetesan dari ilmu Ilahiah yang di dalamnya selalu mengikuti jejak ucapan Rasulullah saw. Banyak ahli kefasihan dan balaghah menghimpun keutamaan kalamnya, dari untaian-untaian kalimatnya baik yang ringkas maupun panjang, yang mencapai hingga 12 ribu lebih. Abdul Wahid al-Amadi telah mengumpulkan untaian kalam fasih yang berhikmah itu dalam kitabnya, Ghurar alHikam wa Durar al-Kalim, yang cukup memuaskan para pencari kebenaran. Sedangkan tamtsil dalam untaian lisan dan tulisan para imam Ahlulbait (Dua Belas Imam) banyak sekali riwayatnya. Itulah yang berusaha dikumpulkan dengan sungguh-sungguh oleh muhaqqiq al-Gharwi, lalu disusun menjadi semacam ensiklopedia. Semoga Allah tidak menyia-nyiakan usaha dan upaya yang indah itu. -16Peribahasa Luqman Al-Hakim Berbagai pandangan muncul mengomentari kepribadian Luqman al-Hakim. Ibn Umar meriwayatkan: “Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Luqman bukan seorang nabi. Tapi dia adalah hamba yang banyak tafakur dan memiliki keyakinan

yang kuat dan bagus. Ia mencintai Allah dan Allah mencintainya serta memberinya karunia hikmah” 32. Ucapannya telah sampai pada tingkatan hikmah yang oleh Allah dimuat dalam al-Quran. Allah SWT menurunkan satu surat yang diberi nama seperti namanya, Luqman. Tidak sedikit ulama yang mengumpulkan hikmahnya yang beredar dalam kitab-kitab. Aminul Islam, ath-Thabrasi, menukil sebagian hikmah Luqman al-Hakim dalam tafsirnya. Imam ash-Shadiq as menyifati Luqman al-Hakim seperti ini: “Demi Allah, Luqman tidak dikaruniai hikmah karena kedudukan, harta dan penampilan fisiknya. Luqman adalah seorang laki-laki sejati, yang kokoh dalam urusan Allah, bertakwa kepada Allah dalam diam dan tenang, berpandangan dalam, berpikir luas dan berpandangan tajam; tidak pernah sekalipun tidur siang; tidak pernah menyianyiakan sesuatu; tak seorangpun melihatnya buang air kecil dan besar bahkan mandinya, karena kuatnya penghijaban dan penjagaannya dalam setiap urusan; dia tak pernah tertawa oleh sesuatu, tak pernah marah karena takut dosa dalam agamanya, tak pernah mencandai seorang pun; tak pernah merasa senang dengan pemberian duniawi, tidak pernah merasa sedih karena (kehilangan) sesuatu; tak pernah melewati (tanpa peduli) antara dua orang yang saling membunuh dan berkelahi, melainkan ia damaikan antara keduanya, dan tidak akan berlalu dari keduanya sebelum keduanya lerai; tak pernah ia mendengar satu perkataan yang dianggapnya benar dari seseorang sebelum dia bertanya dahulu apa penjelasannya dan dari siapa dia mengutip; Ia sering duduk bersama fuqaha dan ulama, mendatangi para hakim, raja dan penguasa; ia merasa kasihan terhadap para hakim karena kesulitan yang mereka hadapi; ia mengasihi para raja dan penguasa yang mengagungkan Allah dan berlaku adil karena-

32

Majma’ al-Bayan: 4/315

Nya. Ia belajar mengalahkan dirinya, memerangi hawa nafsunya dan waspada dari penguasa. Ia obati dirinya dengan tafakur dan mengambil ‘ibrah. Ia telusuri sesuatu yang memberinya manfaat dan memikirkan sesuatu yang dapat membantunya. Karena semua ini, ia dikaruniai hikmah dan hujjah” 33. Surat al-Baqarah Tamtsîl 1 ‫ﻭ ﺇﺫﺍ ﻟﻘﻮﺍ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﺁﻣﻨّﺎ ﻭ ﺇﺫﺍ ﺧﻠﻮﺍ ﺃﻟﻰ ﺷﻴﺎﻁﻴﻨﻬﻢ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﺇﻧّﺎ ﻣﻌﻜﻢ ﺇﻧﻤﺎ ﻧﺤﻦ ﻣﺴﺘﻬﺰﺋﻮﻥ* ﷲ ﻳﺴﺘﻬﺰﺉ ﺑﻬﻢ ﻭ‬ ‫ﻳﻤﺪّﻫﻢ ﻓﻲ ﻁﻐﻴﺎﻧﻬﻢ ﻳﻌﻤﻬﻮﻥ* ﺃﻭﻟﺌﻚ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺍﺷﺘﺮﻭﺍ ﺍﻟﻀﻼﻟﺔ ﺑﺎﻟﻬﺪﻯ ﻓﻤﺎ ﺭﺑﺤﺖ ﺗﺠﺎﺭﺗﻬﻢ ﻭ ﻣﺎ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻣﻬﺘﺪﻳﻦ* ﻣﺜﻠﻬﻢ‬ ‫ﻛﻤﺜﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﺍﺳﺘﻮﻗﺪ ﻧﺎﺭﺍ ﻓﻠ ّﻤﺎ ﺃﺿﺎءﺕ ﻣﺎ ﺣﻮﻟﻪ ﺫﻫﺐ ﷲ ﺑﻨﻮﺭﻫﻢ ﻭ ﺗﺮﻛﻬﻢ ﻓﻲ ﻅﻠﻤﺎﺕ ﻻ ﻳﺒﺼﺮﻭﻥ* ﺻ ّﻢ ﺑﻜﻢ ﻋﻤﻲ‬ *‫ﻓﻬﻢ ﻻ ﻳﺮﺟﻌﻮﻥ‬ “Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolokolok”. Allah akan (membalas) olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka. Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mereka mendapat petunjuk. Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (kejalan yang benar)” 34. P3F

P

Tafsir Ayat:

33 34

Majma’ al-Bayan: 4/317-318 QS. al-Baqarah: 14-18

Kata al-waqud 35 bermakna al-hathab (kayu bakar), atau berarti istauqada nâran atau auqada nâran (menyalakan api), sebagaimana kata istaujaba yang berarti aujaba (menjawab). Allah SWT memulai firman-Nya dalam surat al-Baqarah dengan menjelaskan keadaan tiga golongan, yaitu kaum mukmin, yang digambarkan dalam dua ayat; kaum kafir, yang disebutkan dalam satu ayat; dan kaum munafik, yang keadaan dan tandatanda mereka diungkapkan dalam dua belas ayat. Pembagian seperti ini menjelaskan bahwa kemunafikan (nifâq) adalah sesuatu yang berbahaya. Orang-orang munafik menyembunyikan satu kepentingan besar terhadap masyarakat Islam. Allah mengungkapkan dua sifat buruk mereka guna menyadarkan manusia akan niat, tabiat, dan kekufuran yang mereka sembunyikan. Pada kutipan ayat di atas dijelaskan tentang posisi kaum munafik sebagai golongan yang menyembunyikan kekufuran dan menampakkan keimanan: “Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: “Kami telah beriman”. Dan bila mereka kembali kepada setan-setan, mereka mengatakan: “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok”. Karena niat, sikap dan perbuatan mereka itu, Allah SWT memberi balasan untuk mereka: “Allah akan membalas olok-olokan mereka dan membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan mereka”. Selain itu, kaum munafik digambarkan dengan: “Mereka itulah yang membeli kesesatan dengan petunjuk, maka tidaklah beruntung perniagaannya dan tidaklah mereka mendapat petunjuk”. Artinya, mereka memilih meninggalkan petunjuk demi jalan kesesatan. Mereka menukar keimanan dengan kekufuran. Maka, mereka tidak

35

al-waqud merupakan akar kata dari kata istauqada, artinya menyalakan (dalam ilmu sharaf berwazan istaf’ala), -penerj.

akan beruntung dalam perniagaan dan pertukaran. Sifat dan keadaan mereka itu digambarkan melalui tamtsil berikut ini. Seorang sedang tersesat di padang pasir yang gersang di tengah kegelapan malam gulita. Ia ingin memotong jalan yang ditempuhnya tanpa perhitungan dan mengabaikan petunjuk. Dalam keadaan seperti ini, yang dapat ia lakukan ialah menyalakan api agar bisa berjalan di bawah sinarnya dan menghindari jurang-jurang berbahaya. Sayangnya, setelah menyalakan api, seketika datang angin kencang memadamkan api yang telah dinyalakan itu. Maka buyarlah harapannya, dan ia kembali pada keadaan semula (kebingungan). Begitulah keadaan yang dialami orang munafik. Keadaan itu seperti keadaan orang yang pada awalnya beriman, tersinari cahaya keimanan dan berjalan di bawah sinarannya. Tapi, mereka menukar keimanan dengan kekufuran. Maka, mereka pun diliputi kegelapan, kekufuran, dan tidak mendapatkan jalan petunjuk lagi. Penjelasan ini berdasarkan perkataan bahwa, kaum munafik sebelumnya telah beriman, kemudian mereka berpindah pada kekufuran. Sedangkan penjelasan yang berdasarkan pada perkataan bahwa mereka sudah tidak beriman sejak awal, ialah bahwa api yang telah mereka nyalakan itu kembali pada dalil cahaya fitrah yang selalu menuntun manusia ke jalan kebenaran. Namun kemudian mereka memadamkannya dengan kekufuran atau pengingkaran terhadap ayat-ayat Allah SWT. Alhasil, keadaan orang-orang munafik ketika mereka menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran adalah seperti keadaan orang yang tersesat di jalan, di tengah kegelapan, dan di tempat yang penuh marabahaya. Lalu ia menyalakan api untuk menerangi jalan. Tapi tiba-tiba datang angin topan memadamkannya, dan ia berada dalam kesendirian di kegelapan yang tiada petunjuk jalan.

Tamtsil yang digambarkan al-Quran ini menerangkan tentang keadaan kaum munafik di masa dakwah Rasulullah saw. Menurut tamtsil ini, orang-orang munafik itu sebenarnya pernah mendapat petunjuk. Namun, cahaya petunjuk itu dipadamkan atas izin Allah SWT. Maka, mereka pun menjadi tuli, bisu, dan buta, serta tidak memperoleh petunjuk. Api untuk menerangi jalan adalah ibarat untuk cahaya al-Quran dan sunnah Rasulullah saw. Ketika Rasulullah saw hadir di tengah-tengah mereka dengan memberi penjelasan dan hujjah melalui setiap keterangan saat membacakan ayat alQuran, sesungguhnya merupakan kehormatan bagi masyarakat di sana. Kondisi mereka ini diibaratkan seperti orang yang menyalakan api untuk menerangi jalan. Di saat api menyala, mereka seperti memperoleh penerangan jalan dan ajaran kebenaran. Tetapi sayangnya, mereka kemudian bertindak sewenang-wenang, ingkar, dan munafik terhadap kebenaran. Mereka keluar dari jatidiri seorang manusia yang layak mendapatkan petunjuk. Lalu, Allah menimpakan ammârah (hal mengajak pada kejahatan), dan mereka pun memilih hawa nafsu yang nista sebagai jalan. Maka, jadilah gelap kesesatan meliputi mereka sebagai akibat dari sikap dan perilaku buruk. Itulah yang mendasari penjelasan atas ayat: “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, maka setelah api itu menerangi sekelilingnya...”. Sampai di sini perumpamaan kalimat (ayat) ini sempurna. Kalimat selanjutnya menyebutkan hal yang diperumpamakan; “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan dalam kegelapan, (mereka) tidak dapat melihat...”. Jika ditanyakan: Lalu apa jawaban bagi huruf syarat lammâ (“ketika”) dalam “falammâ adhâ`at” (“maka setelah api itu menerangi”)? Jawabannya: dihapus (mahdzuf) untuk meringkas, yang berarti khamadat (“lalu padam”).

Jika ditanyakan: Berkaitan dengan apakah ayat “dzahaballahu bi nurihim” (“Allah hilangkan cahaya mereka”)? Jawabnya: Itu sebagai pembicaraan awal (kalâm musta`nif), yang kembali pada penjelasan keadaan yang diperumpamakan, yang kirakira berkata demikian: “Api itu padam setelah menerangi sekelilingnya. Mereka tetap dalam keadaan asing di kegelapan, kebingungan karena cahaya padam, dan mengalami kegagalan setelah kerja keras (menyalakan api)”. Seperti itulah keadaan kaum munafik; mereka menyalakan api untuk mendapatkan penerangan, tapi “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam kegelapan, tidak dapat melihat”. Ringkasnya, kalimat-kalimat yang kami sebutkan di atas merupakan pemahaman atas ayat secara ringkas tanpa menyulitkan (al-îjâz bilâ ta’qîd), yang termasuk bagian dari ilmu Bâlaghah 36. Kalimat “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, bermakna: itulah akibat dari kemunafikan dan perbuatan melampaui batas. Orang-orang munafik itu menghancurkan sendiri potensinya dalam memperoleh cahaya kebenaran (hidayah). Dan kalimat, “dan membiarkan dalam kegelapan, (mereka) tidak dapat melihat”, yakni mereka tetap dalam hawa nafsu dan perilaku yang buruk. Keadaan mereka kacau-balau dalam gelap kesesatan, tidak dapat melihat petunjuk dan jalan kebenaran. Dengan uraian di atas, tampak jelas bahwa tamtsil dalam ayat al-Quran memuat makna-makna yang dalam dan sarat dengan ibarat-ibarat ringkas. Jika alQuran memilih ciri khas penjelasan makna-makna tersebut di luar jalur perumpamaan (tamtsil), akan mengharuskannya menjelaskan dengan pembicaraan seperti di atas. Itulah salah satu manfaat perumpamaan, yakni ia memuat makna yang sarat dengan ibarat-ibarat ringkas.

36

Lihat, Al-Kasyaf: 1/153

Selain itu, orang-orang munafik digambarkan sebagai orang yang telah menyia-nyiakan pendengaran, lisan-lisan, dan penglihatan mereka, sehingga mereka menjadi tuli, bisu, dan buta: “Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (kejalan yang benar)”. Yang dimaksud ta’thîl (penyia-nyiaan) dalam ayat ini ialah, mereka tidak memanfaatkan (atau menyalahgunakan) sarana-sarana inderawi sebagai alat bantu yang dapat mengantarkan pada pengetahuan akan hakikat. Akibatnya, mereka tidak dapat mendengar ayat-ayat Allah dan tidak dapat melihat bukti-bukti tentang kenabian yang begitu terang benderang di hadapannya, dan justru berada dalam keraguan 37. Sampai di sini, sempurnalah penguraian keadaan kaum munafik melalui (ibarat) keadaan orang menyalakan api untuk mendapatkan penerangan yang segala usahanya itu mengalami kegagalan. Selain itu, ayat di atas juga memberi isyarat bahwa pada mulanya kaum munafik itu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, tapi kemudian sifat kemunafikan mencengkeram mereka dan mereka pun menjadi kelompok yang melampaui batas. Ayat menyebutkan: “Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka telah beriman, (tapi) kemudian menjadi kafir, lalu hati mereka dikunci mati, karena itulah mereka (menjadi) tidak dapat mengerti”. 38 Isyarat bahwa Islam merupakan cahaya yang menerangi hati dan jiwa, tertuang dalam ayat: “Maka apakah orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang

37 38

Majma’ al-Bayan: 1/54. Alâ` ar-Rahmân: 1/73 QS. al-Munafiqun: 3

telah membatu hatinya untuk mengingat Allah. Mereka itu berada dalam kesesatan yang nyata” 39. Sedangkan kegelapan yang meliputi mereka setelah kemunafikan dan menjadikan mereka tuli, bisu, dan buta, ialah gelap kesesatan yang di dalamnya tidak terlihat jalan hidayah dan petunjuk, terungkap dalam ayat: “Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah thâghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni nereka; mereka kekal di dalamnya” 40. Oleh karena itu, pendapat yang menyebutkan bahwa “kegelapan” (yang memadamkan cahaya) dalam ayat ini sebagai kegelapan alam kubur, atau kehidupan barzakh, dan alam setelahnya berupa hisab dan balasan, tampaknya kurang tepat. Meskipun memang benar bahwa di sana ada kegelapan ukhrawi bagi orang-orang munafik, tetapi kegelapan yang dimaksud dalam ayat ini adalah bagian dari akibatakibat kegelapan duniawi. Dengan demikian, pandangan penulis Tafsir al-Manâr yang memaknai “kegelapan” (zhulmah) sebagai kegelapan alam kubur dan Barzakh dengan dalil ayat: “Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman: “Pandanglah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahayamu”. Dikatakan: “Kembalilah kamu ke belakang dan carilah sendiri cahaya (unukmu)...” 41 adalah tidak tepat. Sebab, ayat ini berbicara tentang keadaan orang-orang munafik di tengah lingkungan keimanan dan cahaya kenabian, yang kemudian diselimuti kegelapan dan kesesatan karena sifat munafik, dan bukan berbicara soal keadaan setelah kematian.

39

QS. az-Zumar: 22 QS. al-Baqarah: 257 41 QS. al-Hadid: 13 40

Soal-Jawab Tuntutan kefasihan (balâghah) biasanya dengan menghadirkan bentuk jamak untuk memelihara kesesuaian antara penyerupa atau yang diserupakan (musyabbah) dengan yang dijadikan penyerupa (musyabbah bihi). Sedangkan Allah SWT menyampaikan kalamnya dalam bentuk tunggal bagi yang dijadikan penyerupa: “seperti orang yang menyalakan api”, dan bentuk jamak bagi yang diserupakan: “perumpamaan mereka”, “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”. Lantas, apa maksudnya? Penulis al-Manâr menjawab: “Orang Arab menggunakan kata “al-ladzi” dalam bentuk jamak seperti kata “mâ” dan “man”. Dalam al-Quran antara lain dikatakan: “wa khudhtum ka al-ladzi khâdhu” (“dan kalian mempercakapkan sebagaimana mereka mempercakapkannya”)42. Jika berlaku bentuk tunggal bagi kata “al-ladzi”, hal itu disebabkan oleh bentuk jamak yang ia miliki, dan kata-nya tetap terpelihara dalam kata “istauqada” dalam ayat. Dan ayat: “dzahaba Allahu bi nurihim”, merupakan maknanya (bagi lafaz “al-ladzî”). Kefasihan yang ada di dalam ayat ialah, memperhatikan pengucapan lafaz, dan sekaligus maknanya. Sementara keberagaman dalam mengembalikan kata ganti-kata ganti (dhamâ`ir) merupakan contoh yang dipakai oleh para sastrawan” 43. Seiring penjelasan di atas, terdapat dugaan lain, yaitu: apa yang disampaikan berdasarkan ayat: “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan dalam kegelapan, tidak dapat melihat”, ialah dalam penyempurnaan perumpamaan dan pemilahan bagi yang dijadikan penyerupa. Tetapi, perbedaannya, perumpamaan itu sudah sempurna pada ayat: “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka”, dengan menghapus jawaban bagi lammâ (huruf syarat) karena 42 43

QS. at-Taubah: 69 Tafsir al-Manar: 1/169

kedudukannya sudah dimaklumi melalui kalimat: “memadamkan apinya”, sehingga ia berada dalam kegelapan dengan rasa takut dan bingung. Selain itu, seandainya ayat “Allah hilangkan cahaya (yang menyinari) mereka” merupakan satu dari bagian musyabbih bihi dan kembali pada “orang yang telah menyalakan api”, maka kalimat “tuli, bisu dan buta” seharusnya juga demikian, sebab ia termasuk dalam salah satu dari sifat “si penyala api”. Padahal, tidak diragukan lagi bahwa itu merupakan sifat orang munafik. Dan seandainya mau menghilangkan musyabbah dan musyabbah bihi dengan ibarat yang terpisah, maka dapat dikatakan bahwa yang diserupakan ialah orang yang menyalakan api untuk sekitarnya, lalu (api itu) padam, dan yang dijadikan penyerupa ialah orang-orang munafik yang telah mendapatkan sinar dengan cahaya Islam, kemudian Allah menghilangkan cahaya mereka dan membiarkan mereka dalam kegelapan, sehingga mereka tidak dapat melihat; mereka tuli, bisu, buta, dan mereka tidak akan kembali. Adapun sisi bentuk tunggalnya ialah: apabila terdapat penyerupaan (tasybih) di antara semua yang ada, maka ia harus sesuai. Karena tiap-tiap sesuatu berbeda satu dengan yang lain. Oleh karena itu, penyerupaan hanya berlaku di antara sesuatu apabila kesesuaian bentuk jamak dan tunggalnya terjaga. Seperti pada ayat-ayat: “mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar” 44, dan: “seakan-akan mereka tunggul-tunggul pohon kurma yang telah kosong (lapuk)” 45. Jika penyerupaan di antara perbuatan-perbuatan itu, tidak harus menjadi ‘kesesuaian’ bagi kesatuan perbuatan dari segi hakikat dan kekhususan; seperti dalam satu perumpamaan: mâ âf’âlukum ka fi’li al-kalbi: atau “Perbuatan-perbuatan kalian tiada lain melainkan seperti perbuatan anjing”.

44 45

QS. al-Munafiqun: 4 QS. al-Hâqqah: 7

Barangkali dapat pula dikatakan bahwa kata sambung al-ladzi mempunyai arti jamak; sebagaimana dalam ayat: “Dan orang yang (al-ladzi’) membawa kebenaran dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa” 46. 47 Tamtsîl 2 ‫ﺃﻭ ﻛﺼﻴّﺐ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻤﺎء ﻓﻴﻪ ﻅﻠﻤﺎﺕ ﻭ ﺭﻋﺪ ﻭ ﺑﺮﻕ ﻳﺠﻌﻠﻮﻥ ﺃﺻﺎﺑﻌﻬﻢ ﻓﻲ ﺁﺫﺍﻧﻬﻢ ﻣﻦ ﺍﻟﺼﻮﺍﻋﻖ ﺣﺬﺭ ﺍﻟﻤﻮﺕ ﻭ ﷲ‬ ‫ﻣﺤﻴﻂ ﺑﺎﻟﻜﺎﻓﺮﻳﻦ* ﻳﻜﺎﺩ ﻳﺨﻄﻒ ﺃﺑﺼﺎﺭﻫﻢ ﻛﻠّﻤﺎ ﺃﺿﺎء ﻟﻬﻢ ﻣﺸﻮﺍ ﻓﻴﻪ ﻭ ﺇﺫﺍ ﺃﻅﻠﻢ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻗﺎﻣﻮﺍ ﻭ ﻟﻮ ﺷﺎء ﷲ ﻟﺬﻫﺐ‬ *‫ﺑﺴﻤﻌﻬﻢ ﻭ ﺃﺑﺼﺎﺭﻫﻢ ﺇﻥ ﷲ ﻋﻠﻰ ﻛ ّﻞ ﺷﻲء ﻗﺪﻳﺮ‬ “Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinga dengan jari-jemarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir. Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti. Jika Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu” 48. P47F

P

Tafsir Ayat Kata shayyib berarti hujan, atau semua yang turun dari atas ke bawah. Dikatakan: shâba-yashûbu merupakan sambungan (‘ataf) dari ayat (sebelumnya) “ka matsali lladzi stauqada nâran” (“perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api”). Matsal kedua ini juga merupakan matsal bagi kaum munafik. Menurut kaidah, kalimat “wa ka shayyibin” menempati kalimat “au ka shayyibin”, sebab huruf ‘au’ (“atau”) kadang-kadang juga digunakan dalam makna ‘wa’ (“dan”). Seperti pada

46

QS. az-Zumar At-Tibyan fi Tafsir al-Quran: 1/86 48 QS. al-Baqarah: 19-20 47

az-Zumar ayat brapa? :[Comment [

kalimat penyair yang berkata: nâla al-khilâfata au kânat lahu qadran; kamâ atâ rabbahu musâ ‘alâ qadrin (Khilafah telah diraihnya dan itu baginya satu kemampuan; Sebagaimana Tuhan mendatangi Musa sesuai dengan kemampuannya). Barangkali, penggunaan huruf “au” adalah untuk pilihan, yakni bahwa kaum munafik itu diumpamakan sebagai si penyala api atau orang yang ditimpa hujan. Kata ra’d (guruh) berarti suara yang terdengar dari balik kumpulan gumpalangumpalan awan. Kata barq (kilat) ialah sinar berkilau karena pertemuan gumpalan awan. Guruh dan kilat itu terjadi akibat muatan-muatan tertentu yang bersinggungan dalam awan. Kata shâi’qah (petir) berarti api besar yang terkadang turun di tengah hujan dan kilat. Penyebabnya adalah pembongkaran muatan-muatan listrik yang ada di awan dengan kekuatan daya tarik tertentu yang menariknya ke permukaan bumi. Kata ihâthah bisy sya`i 49 berarti mengelilingi sesuatu dari segala sisi. Kata khathaf (menyambar) ialah merampas dan mengambil dengan cepat. Kata ini – bukan kata khatfah (sekali renggut) – juga bermakna nuhbah (perampasan). Sedangkan potongan ayat yang berbunyi “wa idzâ azhlama” (bila gelap menimpa), bermakna “bila kamu takut sinar kilat”. Demikianlah penjelasan melalui penafsiran terhadap kosa kata (mufradât) ayat. Dengan itu, selanjutnya dapat dilihat penjelasan hakikat tamtsil dalam ayat yang mengungkapkan kondisi kaum munafik. Yakni, keadaan yang diserupakan (musyabbah) diketahui melalui keadaan yang dijadikan penyerupa (musyabbah bihi). Jadi, dalam hal ini, yang penting adalah mencari tahu musyabbih bihi.

49

Kalimat ini menjadi bentuk umum yang diambil dari ayat di atas ‘muhithun bil kâfirin’ yang artinya: Dia meliputi orang-orang yang kafir. Penerj.

Ayat di atas menetapkan bahwa perumpamaannya bermula dari: “Atau50 seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit” dan berakhir sampai kalimat: “bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti”. Sedangkan ayat: “Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir” adalah susunan kontradiksi (jumlah muta’arridhah), yang ditampilkan di tengah tamstil, dan setelah selesai kalimat tamtsil itu, kalimat penutupnya berbunyi: “Jika Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”. Kalimat penutup ini kembali pada yang diserupakan, yakni keadaan kaum munafik. Ini adalah sesuatu yang kembali pada kosa kata ayat dan bentuk keselarasannya, dan yang penting ialah bagaimana ayat ini menggambarkan kesaksian yang mengerikan itu. Contoh: suatu kaum berjalan di padang sahara di tengah langit terbuka yang diliputi kegelapan yang pekat. Tiba-tiba turun hujan yang sangat lebat menimpa mereka. Ada guruh-guruh yang menggelegar dan kilat berkilauan yang hampir menyambar penglihatan mereka lantaran begitu dahsyatnya dengan disertai petir yang amat mengerikan. Mereka dikuasai rasa takut, ngeri dan terkejut, yang memaksa mereka menutupi telinga dengan jari-jemari karena takut mati. Mereka tidak mau mendengar suara yang mengerikan itu. Di saat itu, mereka berhenti dalam kebingungan, tidak tahu harus melihat ke arah mana. Tiba-tiba kilauan cahaya kilat menerangi jalan, mereka pun dapat berjalan dengan tenang. Tapi ketika cahaya kilat itu tertutupi, mereka kembali lagi diliputi kegelapan yang menyebabkan langkah mereka terhenti. Ringkasan dari kesaksian seperti ini ialah, bahwa ketakutan, kengerian, dan kebingungan telah menguasai benak kaum munafik, yang tidak tahu harus berbuat

50

Pada pembahasan sebelumnya kata “au” bisa bermakna ‘dan’.

apa. Begitulah keadaan yang dialami kaum munafik. Sebagai pendekatan, dapatlah disimak penjelasan di bawah ini: Penjelasan pertama: penyesuaian yang terpisah (tathbiq mufarraq) bagi setiap kata dalam musyabbah bihi, yaitu hujan lebat, kegelapan, petir, dan kilat- bagi musyabbah. Mengenai hal ini para mufasir menyebutkan beberapa segi, yang paling utama adalah segi ketiga, yang diangkat oleh at-Thabarsi. Ia berkata: Itu adalah sebuah matsal bagi Islam, karena di dalamnya ada kehidupan, sebagaimana di dalam hujan ada kehidupan. Dan keserupaan “kegelapan” dengan “menyimpan kekufuran” di balik keislaman mereka. “Guruh” dengan ajaran Islam berupa “kewajiban jihad dan takut perang serta ancaman akhirat yang mereka takuti” disebabkan keraguan mereka terhadap agama (Islam). “Kilat” dengan “penyelamatan darah, para perempuan, dan harta warisan mereka” dengan cara menampakkan keislamannya. Dan “petir” dengan “hentakan atau lecutan hukuman”, sebagaimana di dalam Islam terdapat hukum-hukum yang harus dilaksanakan, baik dalam waktu cepat maupun lambat. Penafsiran seperti ini dikuatkan dengan riwayat dari Imam Hasan bin Ali as, yang pernah berkata: “Perumpamaan keislaman orang munafik, seperti hujan lebat. Inilah sifatnya” 51. Selain itu, ada juga penafsiran yang berbeda, seperti yang dipetik oleh muhaqqiq Muhammad Jawad al-Balaghi (wafat 1352 H). Al-Balaghi berkata: Bagi masyarakat dan tatanan sosial, Islam seperti hujan. Hujan memberikan air yang dapat menghidupkan dan menyuburkan tanah. Dan aturan atau penataan terhadap aliran air hujan (dengan irigasi) akan memberikan hasil tanaman yang sangat berguna bagi masyarakat. Di dalam Islam ada seperangkat ajaran dan aturan bagi kehidupan dan kebahagiaan mereka di dunia dan di akhirat, karena dengan ajaran dan aturan itu

51

Majma’ al-Bayan: 1/57

timbul keindahan bumi dengan keadilan, kedamaian, ketentraman dan hubungan sosial yang baik. Namun penentangan terhadap kebenaran (Islam) dan ahli kebenaran, menjadikan Islam seperti hujan lebat, yang memuat kegelapan yang hebat, seperti timbulnya peperangan dan permusuhan dari kaum musyrikin. Gemuruh hujan adalah peperangan, pembunuhan, dan ancaman-ancaman yang menggelisahkan bagi kaum yang tidak sabar terhadap kaum yang berjiwa lapang dan terang yang memurahkan diri mereka di jalan Allah dalam mencapai kebahagiaan. Bagi mereka yang berjiwa lapang, kilat-kilat seperti pertanda kemenangan, harapan selamat, memperoleh hasil yang menguntungkan, penjagaan dan pemberian (dari Allah) dengan mulia. Ketika mendengar petir-petir peperangan, kaum musyrikin dikuasai oleh rasa takut dan kengerian akan pembunuhan. Dalam hal ini kondisi mereka serupa dengan ‘mereka menyumbat telinganya dengan anak jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati...’. Mereka takut, seakan-akan hati mereka hendak lepas karena ngeri mendengar suara petir. Pikiran mereka dungu, tak tahu harus ke mana melarikan diri dari kematian. Rasa takut memberikan kengerian kepada mereka, dan Allah menguasai orang-orang kafir 52. Pejelasan kedua: penyesuaian yang tersusun (tathbiq murakkab), ialah bahwa tujuan di balik tamtsil ini ada tiga perkara yang kembali kepada penjelasan keadaan kaum munafik. Sebelum mengangkat pembahasan tentangnya, perlu disebutkan terlebih dahulu perkataan az-Zamakhsyari, yang mengatakan: “Yang benar, yang dijelaskan secara tidak tertulis oleh ulama bahwa dua tamtsil itu merupakan keseluruhan dari gabungan tamtsil-tamtsil yang tersusun berurutan, bukan yang terpisah”

52

Al-kasysyaf: 1/162-163

Tiga perkara yang menerangkan keadaan kaum munafik yang dimaksud adalah: Pertama: Rasa takut yang mendominasi (ihâthah) kaum munafik terjadi setelah tersebarnya Islam ke berbagai penjuru jazirah Arab. Kekuatan Islam semakin bertambah yang antara lain disebabkan oleh banyaknya kabilah-kabilah Arab yang datang memeluk Islam mendatangkan rasa takut dalam hati kaum musyrikin menggelisahkan jiwa mereka. Orang-orang musyrik terguncang menyaksikan perkembangan Islam yang datang seperti menghimpit, seolah mereka ditimpa hujan lebat dari langit membuat suasana jadi gelap diiringi kilat dan petir. Dalam firmanNya: “Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap gulita, guruh dan kilat”. Kedua: di zaman Nabi Muhammad

saw, ketika Nabi saw memberitakan

kepada masyarakat tentang masa depan yang gelap bagi orang-orang kafir dan mereka yang menolak Islam dan iman, terutama setelah kematian, maka berita itu seperti petir yang menyambar kepala mereka. Mereka lari mencari persembunyian tatkala mendengar ayat-ayat Allah dan merasa takut pada “petir” argumentasi dan buktibukti-Nya yang berkilauan. Ketika orang-orang mukmin mengambil manfaat dari cahaya kilat firman Tuhan, orang-orang kafir dan musyrik malah menjauhinya. Menjauh dari kebenaran seperti ini adalah puncak kepandiran. Sebab, menyumbat telinga bukanlah merupakan perisai dari sambaran petir dan datangnya maut. Allah SWT mengisyaratkan tentang hal ini: “Mereka menyumbat telinga dengan jarijemarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan Allah meliputi orang-orang yang kafir”. Ketiga: Di masa permulaan perkembangan Islam itu, Nabi Muhammad saw mengajak umat manusia kepada agama yang suci. Nabi saw melantunkan ayat-ayat yang jelas dan membawakan hujjah-hujjah yang tak terbantahkan kepada mereka,

sehingga, saat itu teranglah kebenaran bagi mereka. Boleh jadi mereka telah berniat mengikuti langkah Nabi saw dan berjalan di belakang pemikiran-pemikiran beliau, tetapi keadaan ini tidak berlangsung lama. Mereka cepat kembali mengikuti jejak bapak-bapak mereka secara buta dan memilih tunduk pada kegelapan hawa nafsu dan ketidakjelasan (syubhât). Dalam hal ini Allah berfirman: “Hampir-hampir kilat itu menyambar penglihatan mereka. Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah sinar itu, dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti”. Sampai di sini selesailah tathbiq murakkab. Al-Quran melanjutkan tamtsil-nya dengan menyatakan: “Jikalau Allah menghendaki, niscaya Dia melenyapkan pendengaran dan penglihatan mereka. Sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu”. Yakni bahwa Allah SWT mampu menjadikan mereka tuli dan buta, sehingga nasihat tidak akan mempan bagi mereka dan hidayah tidak akan masuk kepada mereka. Hilangnya pendengaran dan penglihatan mereka tidak lain adalah akibat perbuatan buruk mereka sendiri, yang mengakibatkan pintu taufik di hadapan mereka tertutup. Maka mereka menjadi tuli, bisu dan buta. Selanjutnya ayat-ayat al-Quran menguraikan keadaan memprihatinkan yang menguasai jiwa orang-orang munafik di tempat hijrah Nabi saw (Madinah). Mereka gelisah, berjaga-jaga dan takut terhadap turunnya ayat yang dapat menyingkap niatniat jahat mereka. Allah SWT berfirman: “Orang-orang yang munafik itu takut akan diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: teruskanlah ejek-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)! Sesungguhnya Allah akan menampakkan apa yang kalian takuti itu” 53.

53

QS. at-Taubah: 64

Di sisi lain, mereka menyaksikan perkembangan kekuaasan dan bertambahnya kekuatan Islam dalam bentuk kemampuan melenyapkan mereka dari muka bumi, Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah itu, dari menyakitimu, niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi mereka), kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar, dan dalam keadaan terlaknat. Dimana saja mereka dijumpai, mereka ditangkap dan dibunuh dengan sehebathebatnya” 54. Inilah sebagian yang dapat dikatakan tentang tamtsil yang di dalamnya terdapat uraian mengenai orang-orang munafik. Sungguhpun begitu, menyesuaikan tamtsil atas orang-orang munafik di masa kini adalah menjadi tugas terpenting bagi para mufasir dalam mempelajari keadaan kaum munafik kontemporer. Yaitu, bahwa hakikat kemunafikan adalah satu, ialah kembali pada menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran; ia bertujuan mencelakakan Islam dan kaum muslimin. Mereka selalu berada dalam ketakutan dan kekhawatiran, dan pada saat yang sama mereka tuli, bisu, dan buta dan mereka tidak akan kembali. Tamtsîl 3 ّ ‫ﺍﻟﺤﻖ ﻣﻦ ﺭﺑﻬﻢ ﻭ‬ ‫ ﺇﻥ ﷲ ﻻ ﻳﺴﺘﺤﻲ ﺃﻥ ﻳﻀﺮﺏ ﻣﺜﻼً ﻣﺎ ﺑﻌﻮﺿﺔ ﻓﻤﺎ ﻓﻮﻗﻬﺎ ﻓﺄﻣﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ ﻓﻴﻌﻠﻤﻮﻥ ﺃﻧﻪ‬:‫ﻗﺎﻝ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ‬ ‫ﺃﻣﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻛﻔﺮﻭﺍ ﻓﻴﻘﻮﻟﻮﻥ ﻣﺎﺫﺍ ﺃﺭﺍﺝ ﷲ ﺑﻬﺬﺍ ﻣﺜﻼً ﻳﻀﻞ ﺑﻪ ﻛﺜﻴﺮﺍ ﻭ ﻳﻬﺪﻱ ﺑﻪ ﻛﺜﻴﺮﺍ ﻭﻣﺎ ﻳﻀﻞ ﺑﻪ ﺇﻻ ﺍﻟﻔﺎﺳﻘﻴﻦ* ﺍﻟﺬﻳﻦ‬ *‫ﻳﻨﻘﻀﻮﻥ ﻋﻬﺪ ﷲ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﻣﻴﺜﺎﻗﻪ ﻭ ﻳﻘﻄﻌﻮﻥ ﻣﺎ ﺃﻣﺮ ﷲ ﺑﻪ ﺃﻥ ﻳﻮﺻﻞ ﻭ ﻳﻔﺴﺪﻭﻥ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ ﺍﻭﻟﺌﻚ ﻫﻢ ﺍﻟﺨﺎﺳﺮﻭﻥ‬ Firman Allah: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu. Adapun orang-orang yang beriman maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka, tetapi mereka yang 54

QS. al-Ahzab: 60-61

kafir mengatakan apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan? Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang fasik, (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian

itu

teguh,

dan

memutuskan

apa

yang

diperintahkan

untuk

menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orangorang yang rugi” [al-Baqarah: 26-27]. Tafsir Ayat Kata al-hayâ` (akar kata istihyâ` dalam ayat) berarti perubahan dan kelemahan yang menyertai manusia karena takut dicela. Dikatakan: Fulan yastahyi an yaf’la kadzâ, yang

artinya: fulan malu atau enggan berbuat demikian. Maksudnya, ia

menahan diri dari melakukan sesuatu. Jadi, al-hayâ, atau malu, merupakan suatu reaksi. Maka, bagaimana mungkin kata tersebut dinisbatkan kepada Allah SWT padahal mustahil bagi-Nya untuk mengikuti perubahan, takut, dan cela? Jawab: Penisbatan kata atau sifat al-hayâ`, seperti penisbatan sifat al-ghadhab (murka) dan ar-ridhâ kepada Allah, bahwa semua sifat itu dinisbatkan kepada Allah terlepas dari dampak-dampak materi, dan diambil dari akibat-akibat. Mereka mengatakan: khudzuu l-ghâyât watrukuu l-mabâdi`, artinya, raihlah tujuan dan tinggalkan prinsip. Jadi sifat al-hayâ` (malu) menahan manusia dari melontarkan perkataan yang disembunyikannya. Dan Allah SWT menafikan penahanan seperti (manusia) itu. Artinya, tidak ada sesuatupun yang mencegah-Nya dari menampakkan sesuatu yang benar (kebenaran). Allah berfirman: “dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang

demikian itu akan mengganggu Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar” (al-Ahzab: 53). Adapun membuat perumpamaan (dharbul matsal) –pada ayat– sebagaimana telah dibicarakan sebelumnya ialah, bahwa penggunaan kalimat dharbul matsal di dalam

tamtsil

dengan

berbagai

permisalan

mempunyai

beberapa

bentuk

pertimbangan, antara lain: Dharbul matsal disebutkan di dalam pembicaraan ialah karena ada satu hal yang bersesuaian, sehingga tampaklah kebagusan dan kejelekan, kebenaran dan kekeliruan, di mana sebelumnya tidak tampak. (Istilah) ini diambil dari kalimat dharbu adh-dharâhim (mencetak dirham-dirham), yaitu istilah dengan ciri tertentu yang dapat menimbulkan dampak. Dengan kata lain, dharbul matsal mengetuk gendang telinga si pendengar hingga meresap ke dalam hati si pendengar. Tapi ia tidak terkesan menghina dan menjelekkan pribadi siapa pun selain menyerupakan si pendengar dengan sesuatu yang berlaku pada umumnya. Apabila kalimat dalam dharbul masal itu mengandung argumentasi nyata maka siapa pun yang dituju perumpamaan itu merasa terhina dan tidak senang (Tafsir al-Maraghi: 1/70). Al-ba’udhah (nyamuk) –pada ayat– adalah binatang kecil berbelalai yang bentuk belalainya mirip belalai gajah, berongga, dan dapat menghisap serta menyerap darah. Allah SWT memberi nyamuk kekuatan menyerap dan membuang, serta telinga dan sayap, yang sempurna sesuai dengan kondisi kehidupannya. Nyamuk sangat sensitif, mampu melarikan diri dengan kemahiran yang menakjubkan ketika datang bahaya mengancamnya. Bentuk tubuhnya yang kecil dan ringan menjadi kelebihan baginya, selain merupakan pertahanan juga dapat membuat kewalahan binatangbinatang besar dengan manuver-manuvernya. Para pakar biologi belakangan berhasil

menyingkapkan bahwa nyamuk mampu menyadap gerak mangsanya hingga jarak sejauh enam puluh lima kilometer. Tentang kebenarannya, Imam Ali bin Abi Thalib as berkata: “Bagaimana mungkin? Sekalipun semua hewan bumi, burung atau hewan buas, ternak yang dikandang atau yang merumput di padang, dari berbagai asal dan jenis, orang bodoh dan manusia arif –bergabung bersama– berusaha

untuk menciptakan (sekalipun

hanya) seekor nyamuk, mereka tidak akan mampu membuatnya dan tidak pernah mengetahui bagaimana cara penciptaannya. Pikiran mereka justru bingung sekaligus takjub. Kekuatan mereka terlampau kurang, percobaan mereka gagal, dan akhirnya kembali dengan letih dan kecewa. Mereka mendapati bahwa sesungguhnya mereka dikalahkan, dan mengakui ketidakmampuan mengadakan atau menciptakannya. Mereka menyadari pula bahwa mereka terlalu lemah (sekalipun) hanya untuk menghancurkannya” (Nahjul Balaghah: 186). Tentang penciptaan binatang kecil ini, Imam Ja’far Shadiq as mengatakan: “Sesungguhnya Allah membuat perumpamaan dengan nyamuk yang bertubuh kecil. Allah menciptakan segenap apa yang ada padanya juga seperti yang Dia ciptakan pada gajah yang bertubuh besar, dan (dengan) tambahan dua anggota (tubuh) yang lain. Allah berkehendak memperingatkan kepada orang-orang mukmin atas kelembutan dan keunikan ciptaan-Nya” (Majmâ’ al-Bayan: 1/67). Sampai di sini uraian penafsiran dari sisi kosakata ayat selesai. Adapun tafsir ayat secara keseluruhan, para mufasir memilih cara penukilan sebab turun (asbabun nuzul) ayat dengan dua segi atau cara pandang: Pertama; ketika Allah SWT membuat dua perumpamaan bagi kaum munafik sebelum ayat ini, yaitu pada ayat: “Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api” dan “Atau seperti (orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari

langit”. Orang-orang munafik berkata: Allah Maha Tinggi dan Maha Agung dari membuat

perumpamaan-perumpamaan

seperti

ini.

Kemudian,

Allah

SWT

menurunkan ayat (al-Baqarah: 26-27) ini. Kedua; bahwa ketika Allah SWT membuat perumpamaan dengan lalat dan laba-laba, kaum musyrikin berkomentar mengenai perumpamaan yang dibuat itu dengan mencela penyebutannya. Lalu, Allah SWT menurunkan ayat ini (Majmâ’ alBayan: 1/67). Pada segi yang pertama di atas mengandung kelemahan. Orang-orang munafik tidak memungkiri dharbul matsal, tapi mereka mengingkari dua perumpamaan yang dibawa oleh ayat tersebut, yaitu mengumpamakan (baca: menyerupakan) keadaan mereka dengan dua matsal tadi. Padahal, tamtsil dengan nyamuk bukanlah sebuah jawaban untuk membalas pengingkaran mereka. Karena mereka telah mengingkari dua matsal yang datang membawa kebenaran itu. Maka tiadanya istihyâ (segan atau malu) Allah mentamtsilkan nyamuk sama sekali bukanlah untuk membalas penentangan mereka. Dan segi kedua, (ayat) dharbul matsal dengan lalat dan laba-laba termasuk dalam ayat-ayat Makkiyah. Yakni, ayat pertama (lalat) ada di dalam surat al-Hajj dan ayat kedua (laba-laba) ada di dalam surat al-‘Ankabut yang keduanya turun di Mekah. Sementara ayat ini (tentang nyamuk) turun di Madinah. Maka bagaimana mungkin ayat yang turun di Madinah (tempat hijrah Nabi saw) menjadi jawaban atas penolakan kaum musyrikin di Mekah (tanah air beliau)?. Alhasil, ayat di atas menjelaskan bahwa tolok ukur kebenaran tamtsil bukanlah pada berat atau besarnya sesuatu yang diumpamakan dengannya. Jadi bukanlah tamstil dengan nyamuk itu menjadi aib, dan bukan pula tamtsil dengan onta dan gajah itu sempurna. Sesungguhnya yang bisa disebut kesempurnaan dalam perkara ini ialah

bila suatu matsal mampu menjadi penjelas bagi hakikat yang sebenarnya, yang dilupakan oleh orang yang diajak bicara (mukhathab), tanpa membedakan komponen yang dibuat perumpamaan (penyerupaan), baik perumpamaan kecil atau besar. Dengan ibarat lain; ketika target perumpamaan adalah kesan dan pengaruh pada diri pihak yang dituju, maka kalimat yang digunakan menuntut perumpamaanperumpamaan dari sesuatu yang mengena, seperti mengambil perumpamaan nyamuk yang mempunyai sifat rendah yang – sifat rendahnya itu – cenderung dijauhi dalam kebiasaan masyarakat. Jadi, tolok ukurnya adalah kegunaan matsal untuk merealisasi apa yang diinginkan si pembicara (mutakallim), tanpa perlu membedakan antara kecil dan besarnya unsur perumpamaan yang dibawanya. Sebagaimana firman Allah SWT: Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk”, bahkan yang lebih kecil lagi, seperti kuman-kuman yang tak dapat dilihat kecuali dengan menggunakan mikroskop. Persis seperti kalau kita mengatakan: “Fulan tidak peduli berbakhil dengan setengah dirham fa mâ fauqahâ (baca: atau bahkan lebih sedikit lagi dari itu)”. Seandainya maksud fa mâ fauqahâ adalah “banyaknya”, maka kata yang selayaknya digunakan adalah fadhlan ‘an atau (apalagi) satu dan dua dirham. Pendapat sebagian orientalis yang menyatakan, “yang seharusnya dikatakan ialah fa mâ duunahu (bahkan yang di bawahnya) adalah tidak sempurna. Mengapa? Sebab, untuk membedakan antara kalimat fa mâ fauqahâ dan kalimat fadhlan ialah, kalimat pertama yang di situ terdapat pasangan kata (qarinah) posisi, bermakna fa mâ fauqahâ di dalam kecil dan kerendahan, bukan bermakna fadhlan (apalagi). Barangkali, tafsiran ayatnya mengatakan: Allah tidak malu membuat perumpamaan berupa nyamuk fa mâ fauqahâ di dalam besar(nya). Akan tetapi, pendapat yang pertama (yakni fa mâ fauqahâ di dalam kecilnya) lebih sesuai bagi

maksud mutakallim. Sebagaimana dikatakan: “Lantaran kau berbuat kejahatan untuk satu dinar, bal fauqahu (bahkan di atasnya), yakni setengah dinar. Dan yang dimaksud fauqiyah (sifat di atas) itu adalah fauqiyah di dalam kerendahan. Az-Zamakhsyari melontarkan pertanyaan pada dirinya sendiri: “Bagaimana Allah membuat perumpamaan pada “sesuatu di bawah nyamuk”, sedangkan nyamuk adalah binatang terkecil? Ia menjawab: Bahwa sayap nyamuk lebih rendah dan lebih kecil kedudukannya, dan Rasulullah saw telah membuat perumpamaan bagi dunia. Dalam ciptaan Allah terdapat binatang yang lebih kecil dari nyamuk dan bahkan lebih kecil lagi dari sayapnya. Mungkin Anda telah melihat secara tekun dan jeli keberadaan kitab-kitab kuno yang tulisannya nyaris tidak terang lagi bagi penglihatan mata kita yang tajam, kecuali dengan cara digerak-gerakkan. Karena Bila didiamkan, tulisannya akan tertutupi. Kemudian bila (tulisannya) ditampakkan dengan tangan, maka akan menyimpang dan miring. Mahasuci Dia yang mengetahui gambar itu dan anggota-anggotanya yang lahir maupun yang batin berikut kedetailan bentuknya. Dia melihat penglihatannya dan mengetahui kedalamannya, bahkan barangkali yang paling kecil dan super kecil dalam ciptaan-Nya; Maha suci (Allah) Yang menciptakan semuanya (makhluk) berpasangan dari apa yang ditumbuhkan tanah dan dari diri-diri mereka serta dari apa yang tidak mereka ketahui. (al-Kasysyaf: 205-206). Al-Baidhawi berkata: “Ketika ada ayat-ayat yang sebelumnya memuat bermacam-macam tamtsil maka setelah itu dilanjutkan dengan menjelaskan keindahannya. Kebenaran apa yang dimiliki dan syarat apa yang ada di dalamnya ialah

sebuah

kenyataan

yang

diambil

dari

al-mumatstsal

lahu

(yang

diperumpamakan), di sisi mana tamtsil tersebut berkaitan dengannya dalam kebesaran dan kerendahan, kehinaan dan kemuliaannya, tanpa menyangkut al-mumatstsal (yang diumpamakan). Artinya, tamtsil dibuat untuk menyingkap makna al-mumatstsal lahu,

mengangkat tirai yang menutupinya dan menampakkan sesuatu dalam bentuk yang bisa diinderai, guna membantu akal memahami keadaan sesungguhnya dan mempertemukan dengan dirinya. Makna itu sendiri dijangkau oleh akal disertai perbedaan dan perselisihan pemahaman. Sebab, hal itu sudah merupakan tabiat manusia yang condong pada indera dan senang pada persamaan. Oleh karena itu alamtsal populer di dalam kitab-kitab Ilahiyah dan tersebar dalam ibarat-ibarat para sastrawan dan dalam isyarat-isyarat para filosof. Maka diperumpamakanlah orang hina dengan yang hina, sebagaimana orang besar dengan yang besar. Meskipun almumatstsal (yang diumpamakan) lebih besar (agung) dari semua yang besar. Sebagaimana perumpamaan di dalam Injil; mengumpamakan dada dengan pohon kurma, mengumpamakan hati yang keras dengan kerikil dan mengumpamakan bergaul dengan orang-orang dungu dengan memuliakan tabuhan. Dalam perbincangan bahasa Arab misalnya dikenal perkataan: lebih mendengar dari kutu binatang, lebih gegabah dari kupu-kupu dan lebih mulia dari otak nyamuk (al-Baidhawi: 1/43). Barangkali ada pendapat yang mengatakan bahwa tamtsil dengan sesuatu yang rendah dan hina tidak sesuai dengan kalam para sastrawan. Sehingga, al-Quran yang mencantumkan semut, lalat, laba-laba, dan lebah di dalamnya, tidak bisa disebut fasih, apalagi berkedudukan sebagai mukjizat. Shadru Muta’allihin asy-Syirazi (Mulla Shadra), wafat 1050 H, menjawab: “Sesungguhnya kehinaan seperti itu tidak bertentangan dengan tamtsil, jika syarat dalam perumpamaan itu sesuai dengan mumatstsal lahu, yakni dari arah mana tamtsil itu mengundangnya dengan sesuatu, seperti kebesaran dan kerendahan, kemuliaan dan kehinaan, dan bukan atas dasar kesesuaian dengan sesuatu yang menjadi obyek tamtsil dan yang dibuat permisalan. Karena tujuan asli dari tamtsil adalah menjelaskan makna rasional dan menghapus kesamaran ketika muncul dalam bentuk

yang bisa diinderai, dengan maksud membantu akal untuk memahaminya. Sebab, sebagaimana maklum, akal manusia selama berhubungan dengan kekuatan inderawi, tidak dapat menjangkau kedalaman makna tanpa adanya waham dan persamaannya, yang salah satu tabiatnya ialah seperti setan-setan yang bermain dalam takhayul tanpa ketetapan dalam sebuah gambaran. Oleh karena itu, al-amtsâl beredar di dalam kitab-kitab samawi, tersebar dalam ibarat orang-orang fasih Arab dan Ajam, dan termaktub dalam isyarat dan kaidah-kaidah para filosof, tertuang dalam suhuf-suhuf dan lembaran-lembaran tulisan mereka. Semuanya dirangkai dalam ungkapan yang menyempurnakan terawang imajinasi dan penglihatan indera. Di dalam tamtsil ada berlipat-lipat sentuhan yang membangkitkan potensi jiwa, pada awalnya memperumpamakan rasional dengan imajinasi, lalu memperumpamakan imajinasi dengan bentuk gambar yang terinderai, yang terukur dan berbentuk. (Tafsir al-Quran al-Karim: 2/192-193). Penafsiran terhadap ayat al-Quran menyatakan, Allah SWT menyebutkan posisi manusia yang terbagi dua di hadapan al-amtsal: 1- Kaum mukmin. Mereka adalah orang-orang yang posisinya tergambar seperti dalam firman Allah SWT: “Adapun orang-orang yang beriman maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka”. 2- Kaum kafir. Mereka adalah orang-orang yang kedudukannya tampak seperti dalam firman Allah SWT: “tetapi mereka yang kafir mengatakan apakah maksud Allah menjadikan ini untuk perumpamaan?”. Dalam ayat ini tampak bahwa ucapan mereka, “mâ arâda llâh” (“apa maksud Allah”) adalah bermaksud mengejek seruan Rasulullah

saw

yang

menyatakan

bahwa

matsal

(perumpamaan)

yang

disampaikannya adalah wahyu dari Allah SWT. Atau, lebih gamblangnya, orangorang kafir dan munafik itu sebenarnya mengingkari wahyu Ilahi.

Oleh karena itu, kita dapat melihat bahwa keberadaan sesuatu bisa menjadi sebab datangnya hidayah bagi satu golongan tapi juga dapat menimbulkan kesesatan bagi golongan yang lain. Semua itu tidak lain karena adanya perbedaan penerimaan pada tiap orang. Bagi orang yang siap menerima kebenaran dan hakikat, maka ayatayat Ilahiyah menjadi sebab hidayah. Sedangkan bagi yang menentang, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang tuli dari mendengar kalimat al-haq, mereka mengingkari ayat-ayat, dan menjadi kufur. Ayat al-Quran yang berbunyi, “Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak yang diberi-Nya petunjuk. Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik”, ialah kalam Allah SWT yang tidak ada kaitannya dengan perkataan kaum yang ingkar. Kalam-Nya tetap sempurna, dan ayat: “bi hâdaâ matsalan” (dengan perumpamaan ini), berarti amtsal itu berkesan bagi satu kaum, namun tidak pada kaum yang lain. Kemudian Allah SWT menjelaskan penyebab kesesatan orang-orang yang tidak beriman dalam kalimat; “Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah”. Al-fisq –dalam etimologi– adalah isi buah kurma, dan dalam terminologi ialah orang yang keluar dari ketaatan Allah, baik itu seorang muslim biasa atau kafir yang fasik. Para mufasir merinci makna kalimat akhir ayat; “Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak yang diberi-Nya petunjuk”, dengan tafsiran bahwa bagian ayat tersebut ingin mengisyaratkan pada konsep keterpaksaan (jabr). Meskipun tidak sedikit pula dari mereka yang mencoba menafsirkan ayat ini dengan bentuk lain, yaitu yang selaras dengan konsep ikhtiar. Namun demikian, ke mana maksud ayat ini tertuju ialah menjelaskan bahwa nasihat-nasihat sejuk dan untaian-untaian hikmah sesungguhnya

mempunyai pengaruh yang efektif; hati manusia dapat menerima kesan positif dan akal menolak kesan negatif. Inilah barangkali tafsiran ayat yang di atas!. Selain itu, dapat diduga pula bahwa ayat di atas tidak berada dalam posisi menjelaskan dharbul matsal dengan nyamuk seperti dharbul matsal dengan laba-laba dan lalat. Tetapi ayat itu keluar dari ruang dhabul matsal dalam makna terminologisnya. Ayat di atas sebenarnya hendak menjelaskan qudrat Ilahiah, tentang sifat-sifat kamal (keindahan) dan jalal (Keagungan)-Nya. Juga ingin menjelaskan bahwa Allah tidak malu berargumentasi atas qudrat-Nya, keagungan dan keindahanNya dengan menciptakan makhluk-makhluk-Nya, baik yang besar dan agung seperti langit dan bumi, maupun yang kecil dan rendah seperti nyamuk dan lalat. Jadi makna dharbul matsal di sini adalah mengagungkan Allah SWT dengan sifat-sifat agung dan sempurna. Sebagian mufasir berusaha menunjukkan bahwa Allah SWT berargumentasi atas jalal dan kamal-Nya dengan menciptakan langit dan bumi: “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa. Dialah Yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui” [al-Baqarah: 21-22]. Atas konsep di atas terlintas dua hal: Pertama, apabila maksud dari dharbul matsal adalah penyifatan Allah dengan qudrat yang agung, maka yang lazim setelah ayat 21-22 al-Baqarah ini ialah ayat di atas (al-Baqarah 26-27). Sementara pemisah antara keduanya, yakni tiga ayat (ayat

23-25 al-Baqarah) terfokus pada mukjizat al-Quran dan tantangannya, dan berpaling pada taman surga dan buah-buahannya, sebagaimana kita bisa merujuk al-Quran. Kedua, al-Quran pada sebagiannya menafsirkan sebagian yang lain. Dalam ayat di atas Allah SWT berfirman: “Adapun orang-orang yang beriman maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka”. Setelah menggambarkan al-haqq dan al-bâthil dengan matsal yang indah (yang nanti akan di bahas pada tamtsil ke 21), Allah SWT berfirman: “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya.., -sampai pada ayat- Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan”. Dan: “Adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu adalah benar sama dengan orang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran, (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian” [ar-Ra’d: 17-20]. Kita dapat mengatakan bahwa ayat-ayat dalam surat al-Baqarah dan ar-Ra’d bagaikan satu batang emas, yang saling menafsirkan satu sama lain. Dalam surat alBaqarah disebutkan dharbul matsal dengan nyamuk, sebagaimana termuat dalam surat ar-Ra’d sebuah matsal mengenai al-haqq dan al-bâthil. Dalam surat al-Baqarah, Allah SWT berfirman: “Adapun orang-orang yang beriman maka mereka yakin bahwa perumpamaan itu benar dari Tuhan mereka”. Dan di dalam surat ar-Ra’d, Allah berfirman: “Adakah orang yang mengetahui bahwa apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu itu adalah benar sama dengan orang buta? Hanyalah orang-orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran”. Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah berbunyi: “Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik”, ditafsirkan dengan ayat: “(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh”.

Dalam surat ar-Ra’d, ulil albâb (baca: orang-orang yang berakal) ditafsirkan dengan: “(yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian”. Dengan membandingkan ayat-ayat ini maka terungkap bahwa maksud dari dharbul matsal adalah makna yang sudah dikenal. Yakni, tamtsil dengan nyamuk ialah untuk menghinakan sesembahan-sesembahan orang-orang musyrik atau yang semacamnya. Barangkali riwayat yang telah kami nukil dari Imam Ja’far ash-Shadiq as di muka dapat menguatkan maksud dari kesimpulan penjelasan ini. Maka renungilah! Tamtsîl 4 ّ ‫ﺛﻢ ﻗﺴﺖ ﻗﻠﻮﺑﻜﻢ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ ﻓﻬﻲ ﻛﺎﻟﺤﺠﺎﺭﺓ ﺃﻭ ﺃﺷﺪ ّ ﻗﺴﻮﺓ ﻭ ﺇ ّﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﺤﺠﺎﺭﺓ ﻟﻤﺎ ﻳﺘﻔﺠﺮ ﻣﻨﻪ ﺍﻷﻧﻬﺎﺭ ﻭ‬ ‫ﺇﻥ ﻣﻨﻬﺎ ﻟﻤﺎ‬ ّ ‫ﻳ‬ ّ ‫ﺸﻘّﻖ ﻓﻴﺨﺮﺝ ﻣﻨﻪ ﺍﻟﻤﺎء ﻭ‬ *‫ﺇﻥ ﻣﻨﻬﺎ ﻟﻤﺎ ﻳﻬﺒﻂ ﻣﻦ ﺧﺸﻴﺔ ﷲ ﻭ ﻣﺎ ﷲ ﺑﻐﺎﻓﻞ ﻋ ّﻤﺎ ﺗﻌﻤﻠﻮﻥ‬ “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan” [alBaqarah: 74]. Tafsir Ayat Ayat ini turun setelah kisah sapi yang disembelih Bani Israil. Masyarakat Bani Israil membantah nabinya, Musa as, dengan maksud hendak berlepas diri dari perintah “menyembelih

sapi”.

Tetapi

pada

akhirnya

mereka

dapat

melaksanakan

penyembelihan dan hampir saja mereka tidak melakukannya. Penyembelihan sapi yang diperintahkan Nabi Musa as adalah upaya untuk menentukan secara tegas identitas seorang pembunuh licik, yang melontarkan tuduhan

pembunuhan kepada seseorang dari Bani Israil. Keluarga dari Bani Israil mengelak dan membela diri dari tuduhan tersebut. Kemudian mereka datang kepada Nabi Musa as meminta jalan keluar menyelesaikan masalah tersebut. Dan Allah SWT berkehendak menampakkan hakikat perkara tersebut melalui hal yang menakjubkan. Nabi Musa as berkata kepada mereka; “Sesungguhnya Allah SWT memerintahkan agar kalian menyembelih sapi”. Ketika mereka telah menyembelihnya –setelah melewati perdebatan panjang– lalu Nabi Musa as menyuruh mereka (atas perintah Allah SWT) agar memukul (mayat) yang terbunuh dengan sebagian anggota sapi, sehingga mayat itu hidup (kembali) dan menunjuk siapa pembunuhnya. Allah SWT berfirman: “Lalu Kami berfirman: “Pukullah mayat itu dengan sebagian anggota sapi betina itu?”. Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan padamu tanda-tanda kekuasaanNya agar kamu mengerti” [al-Baqarah: 73]. Dengan melihat mukjizat agung Nabi Musa as itu, sempurnalah hujjah kepada masyarakat. Mukjizat itu bertujuan untuk menambah keimanan dan ketaatan mereka kepada Nabi Musa as. Tetapi sayangnya, hati mereka keras (qasâwat), sebagaimana terungkap dalam ayat, “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi”. Di satu sisi, masyarakat mengenal batu sebagai benda yang keras, dan Allah SWT menyerupakan hati mereka dengan batu; yaitu hati mereka “seperti batu, bahkan lebih keras lagi”. Huruf “aw” dalam ayat ini mengganti posisi huruf “bal” (bahkan). Kemudian, kalbu-kalbu (al-qulûb); bisa bermakna jiwa-jiwa yang berpikir (annufus an-nâthiqah). Maka, dalam konteks seperti ini, hubungan kerasnya hati pada ruh adalah hubungan atau nisbah yang bersifat hakiki. Atau, maksud dari al-quluub

adalah anggota (tubuh) yang terletak di dada sisi kiri, yang berperan sebagai pembersih darah dan mengirimkan darah ke segenap anggota tubuh. Jika maksudnya seperti penjelasan yang kedua ini maka hubungannya menjadi bersifat majazi. Dan sebenarnya, kekerasan atau keras (qasâwat) tersebut dinisbatkan pada bagian anggota tubuh ini, karena anggota ini (hati atau quluub) adalah bagian dari fenomena kehidupan insaniyah, dan merupakan anggota pertama yang tergerak oleh perkaraperkara psikologis, seperti senang, marah, sedih, dan takut. Maka tidak ada pertentangan di dalam kandungan maksud ayat. Sebab, keberadaan pencapai (mudrik) adalah jiwa yang berpikir, meskipun kaitan pencapaian (idrâk) pada hati adalah benar. Allah SWT menerangkan, hati para pengingkar kebenaran itu lebih keras dari batu, dan menjelaskan penyebab kekerasan itu dengan tiga perkara: (1)- “Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya”. (2)“Dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya”. (3)- “Dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah”. Yang pertama; sungai-sungai yang memancar dari batu-batuan, seperti mata air yang mengalir dari gunung yang berbatu. Yang kedua; seperti mata air yang muncul ketika terjadi gempa yang menimbulkan pecahan tanah dan batu, lalu memancar air dari celah batu itu, yang melancarkan aliran sungai-sungai. Dan ketiga; seperti runtuhan batu dari bukit tinggi ke lembah yang menurun, karena takut kepada Allah SWT. Tidak menutup kemungkinan juga bahwa runtuhan batu itu (hubûth) terjadi karena sebab natural, seperti karena adanya sambaran petir yang menimpa bebatuan, dan ada pula karena sebab spiritual, yakni ketika wahyu Ilahiah mengungkap tentangnya. Atau, batu itu runtuh karena takut kepada Allah SWT. Dengan kata lain,

meskipun batu itu keras, tetapi ia bisa tergerak karena faktor-faktor di atas. Sementara hati Bani Israil, tetap keras dan tidak bereaksi mendengar dan melihat wahyu serta hujjah Ilahiah yang dibawa oleh Rasul-Nya. Jadilah jiwa mereka tidak merasa takut dan tunduk terhadap perintah dan larangan-Nya. Hal yang mengherankan ialah karena Bani Israil melihat dengan mata kepala mereka sendiri kelunakan batu-batu tatkala Nabi Musa as mencari air untuk kaumnya, lalu Nabi Musa as diperintah Allah SWT memukul batu itu dengan tongkatnya. Ketika batu dipukul, memancarlah air darinya menjadi dua belas mata air –sesuai bilangan al-Asbâth (Imam Dua Belas as). Ayat ini secara lahiriah menjelaskan kondisi batu yang bisa runtuh karena takut kepada Allah SWT. Inilah hakikat ilmiah yang hendak diungkap oleh wahyu Ilahi, meskipun orang-orang tidak dapat menjangkaunya melalui panca indera. Mulla Shadra mengatakan: Alam ciptaan dengan segenap bagiannya bertasbih dan memuji Allah SWT karena mereka berperasaan. Setiap wujud dari segala yang ada di alam semesta ini memiliki perasaan dan pencapaian sendiri sesuai potensi yang dimilikinya. Dengan perasaan itu, segala maujud bertasbih kepada penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Suci dari segala aib dan kekurangan. Mulla Shadra melanjutkan: Ilmu, perasaan, dan pengetahuan, semuanya ada pada tingkatan-tingkatan wujud. Pertama bermula dari Wajibul Wujud (Allah) sampai pada tetumbuhan dan benda-benda mati. Setiap maujud menunjukkan dirinya dengan tingkatan wujud dan mendapat bagian berupa sifat-sifat umum seperti ilmu, perasaan, hidup, dan lain sebagainya. Dan setiap maujud tidak pernah lepas dari kondisi demikian. Tujuan dari rangkaian keterkaitan wujud ini ialah bahwa sifat-sifat itu kadang-kadang tak tampak pada diri kita karena wujud kita sedang lemah dan surut.

Hal itu menunjukkan tentang posisi sesungguhnya dari setiap maujud ciptaan, yakni semakin ia menjauh dari (tingkat) materi dan mendekati pada tajarrud (lepas dari materi), atau menjadi mujarrad secara aktual, maka semakin besar, kuat, dan jelaslah sifat-sifat tersebut baginya. Tapi sebaliknya, maujud yang semakin dekat dengan materi dan hanyut di dalamnya, maka sifat-sifat miliknya itu semakin lemah dan surut sehingga menghilang sekali waktu. Seolah-olah lenyap dan kosong dari pengetahuan, perasaan, dan pencapaian. Meskipun sebenarnya bukanlah demikian – sebagaimana yang kita duga–, sebab maujud tersebut tetap memiliki pengetahuan dan perasaan, hanya saja ia berada dalam keadaan lemah dan surut. Dalam kondisi seperti ini ia tidak mungkin mencapai kekuatan dan ketinggian dengan cepat dan mudah. (alAsfar: 1/118, dan 6/ 139, 140). Tidak hanya ayat di atas yang mengungkapkan tentang masalah ini. Tidak sedikit ayat lain yang menguatkan keberadaan perasaan dalam setiap maujud alam ciptaan, mulai dari atom-atom atau ion-ion hingga ke galaksi-galaksi. Allah SWT berfirman: “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada satupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah maha penyantun lagi maha pengampun” [al-Isra: 44]. Telah dipaparkan pada bagian pertama buku ini mengenai penisbatan perasaan pada seluruh bagian alam. Oleh karena itu, di sini penjelasannya hanya singkat saja. Bagi yang menginginkan pembahasan secara lebih rinci, hendaknya merujuk pada tempat atau bagian tersendiri. Tamtsîl 5 ‫ﻭ ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻛﻔﺮﻭﺍ ﻛﻤﺜﻞ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﻨﻌﻖ ﺑﻤﺎ ﻻ ﻳﺴﻤﻊ ﺇﻻ ﺩﻋﺎ ًء ﻭ ﻧﺪﺍ ًء ﺻ ّﻢ ﺑﻜﻢ ﻋﻤﻲ ﻻ ﻳﻌﻘﻠﻮﻥ‬

Artinya: “Dan perumpamaan (orang-orang yang menyeru) orang-orang kafir adalah seperti pengembala yang memanggil binatang yang tidak mendengar selain panggilan dan seruan saja. Mereka tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti” [al-Baqarah: 171]. Tafsir Ayat An-na’iiq; ialah suara bentakan pengembala kepada kambingnya. Dikatakan na’iqa-yan’iqu-na’iiq ar-rrâ’i li ghanamihi (atau: pengembala berteriak kepada kambingnya dengan membentak). An-nidâ`; asal kata nâdâ-yunâdii-munâdâh, berarti memanggil. Kata ini lebih khusus dari kata ad-du’â` (doa). Di dalam kata an-nidâ` ada pengerasan suara (jahr) dan semacamnya, yang berbeda dengan kata ad-du’â`. Penafsiran ulama terhadap ayat di atas ada beberapa macam: Pertama, ayat tersebut ingin menyerupakan orang-orang kafir dengan seorang pengembala yang membentak kambing gembalanya. Penyerupaan ini tidaklah benar kecuali jika si pengembala itu tuli. Maka maknanya menjadi: sesungguhnya orang-orang kafir yang tak mempedulikan dakwah Ilahiyah adalah seperti orang tuli yang berteriak membentak dengan suara lantang yang dirinya tidak mendengar dan tidak dapat membedakan makna-makna teriakannya sendiri secara rasional, kecuali hanya suatu panggilan atau seruan keras yang tak bermakna. Titik penyerupaannya ialah si pengembala itu tuli, sebagaimana orang-orang kafir itu tuli, bisu dan buta, tidak menggunakan akal sehat. Dalam makna ini, maka yang diserupakan adalah orang-orang kafir yang tidak mengerti seruan Nabi Muhammad saw, kecuali hanya sebagai suara dan seruan yang tidak bermakna. Dan yang dijadikan serupa adalah seorang pengembala yang berteriak membentak

kambing gembalaannya, tapi ia tidak mendengar dari suara bentakan itu kecuali panggilan dan seruan tanpa makna apa-apa. Meskipun penafsiran pertama ini tampaknya sesuai dengan bunyi lahir ayat, tetapi dari sisi makna masih kurang tepat. Karena seandainya tujuannya adalah bahwa orang-orang kafir itu tuli, bisu dan buta, serta tidak berpikir, maka cukuplah penyerupaan mereka dengan binatang yang keadaannya juga demikian. Lalu apa bentuk bagi penyerupaan mereka dengan manusia berakal yang hilang pendengaran dan tidak mendengar suara bentakannya sendiri kecuali sekadar suara dan seruan? Kedua, bahwa yang diserupakan adalah Nabi Muhammad saw, dan yang dijadikan serupa adalah pengembala kambing. Maknanya: perumpamaan yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw dalam menyeru orang-orang kafir adalah seumpama dengan pengembala yang berteriak memanggil binatang-binatang ternak yang tidak mendengar maksud panggilan itu kecuali hanya suara teriakan atau seruan belaka. Lalu binatang itu terhalau hanya dengan bentakan suara yang didengarnya tanpa memikirkan seruan tersebut. Dengan ungkapan lain, orang-orang kafir itu menulikan diri tidak mendengar ucapan yang bermanfaat bagi mereka, membisukan diri tidak berbicara sesuatu yang manfaat, dan membutakan diri tidak mau melihat hujjah di depan mata. Jadilah, mereka tidak mengerti apapun. Seruan dan sentuhan yang menjadikan berpikir pun terkunci oleh mereka. Dengan demikian yang tampak dalam pembicaraan ini mengandung satu perhatian yang mendalam, yaitu perumpamaan dengan menyerupakan orang yang memanggil dengan sesuatu yang dia sendiri tidak mendengar kecuali sekadar seruan semata. Seperti orang yang menyeru kepada hidayah, tapi bukan seperti kaum kafir yang diseru kepada hidayah. Dari perumpamaan itu disimpulkan ada tiga sifat dari mereka yang tidak mau mendengar, seperti disampaikan pada kalimat berikutnya pada

ayat, yaitu; tuli, bisu dan buta, maka (oleh sebab itu) mereka tidak mengerti. Bilamana

orang-orang

kafir

bersifat

demikian,

maka

jelas

mengharuskan

perumpamaan itu ditujukan pada orang-orang kafir, bukan kepada Rasulullah (saw). Sehingga bunyi tamtsilnya adalah penyerupaan dengan hati! (al-Mizan: 420) Penulis tafsir al-Manar menafsirkan ayat ini dengan bentuk yang pertama di atas, bahwa: matsalu l-ladziina kafaruu (perumpamaan orang-orang yang kafir), yakni sifat mereka dalam mengikuti (taklid buta kepada) ayah-ayah dan pemimpinpemimpin mereka, ialah seperti orang yang tidak mendengar kecuali panggilan dan seruan saja. Yakni seperti sifat pengembala binatang ternaknya yang mendengar, membentak dan menjerit, menggiring mereka menuju padang gembala, memanggil menuju air dan melindungi mereka dari kepanasan. Ternak itu mengindahkan seruan dan tergerak oleh hentakan suara teriakan yang dilakukan secara berulang-ulang. Keadaan mereka (orang-orang kafir) diserupakan dengan keadaan pengembala yang memanggil, dan kambing yang menyambut. Ia menghalau dan kambing pun terhalau. Kambing itu tidak mengerti apapun yang dikatakan pengembalanya, tidak tahu arti apa-apa. Ia hanya mendengar suara-suara yang datang, sebagian mengikuti yang lalu diikuti sebagian yang lain secara kebiasaan, tanpa mengerti sebab datang dan perginya suara teriakan itu (Tafsir al-Manar: 2/93-94). Dengan demikian, boleh dikatakan bahwa ayat tersebut bermaksud mencela orang-orang kafir. Mereka tidak berpegang pada keimanan dan tidak melaksanakan perintah serta larangan Tuhan. Oleh karena itu, ayat tersebut menjadi semacam ujian bagi mereka. Sebab, seandainya mereka seperti binatang-binatang ternak yang mendengar, mereka menjawab panggilan Nabi (saw) seperti ternak menyambut panggilan pengembala, dan tergerak dengan halauan seperti terhalaunya ternak oleh halauan si pengembala. Demikian ini berbeda dengan apa yang dimaksud, karena

yang dimaksud adalah bahwa mereka dengan bukti firman Allah: “tuli, bisu dan buta”, tidak mendengar perkataan Nabi saw, tidak memahami kebenaran dan tidak melihat ayat-ayat Allah, mereka berada di satu lembah dan Nabi (saw) di lembah yang lain.

Adakah “binatang-binatang ternak” yang berada di bawah kendali pengembala

dapat mendengar sehingga bisa berhenti karena larangannya? Tamtsîl 6 ‫ﺍﻟﻀﺮﺍء ﻭ ﺯﻟﺰﻟﻮﺍ ﺣﺘﻰ ﻳﻘﻮﻝ‬ ‫ﺃﻡ ﺣﺴﺒﺘﻢ ﺃﻥ ﺗﺪﺧﻠﻮﺍ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﻭ ﻟ ّﻤﺎ ﻳﺄﺗﻴﻜﻢ ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺧﻠﻮﺍ ﻣﻦ ﻗﺒﻠﻜﻢ ﻣﺴّﺘﻬﻢ ﺍﻟﺒﺄﺳﺎء ﻭ‬ ّ ّ ‫ﺍﻟﺮﺳﻮﻝ ﻭ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ ﻣﻌﻪ ﻣﺘﻰ ﻧﺼﺮ ﷲ ﺃﻻ‬ ‫ﺇﻥ ﻧﺼﺮ ﷲ ﻗﺮﻳﺐ‬ Artinya: “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. [al-Baqarah: 214] Ayat ini turun tatkala kaum muslimin berada dalam keadaan terkepung dan mulai dihinggapi rasa takut yang mencekam di perang al-Ahzab. Lalu turunlah ayat ini untuk meneguhkan hati mereka dan menjanjikan kemenangan kepada mereka. Diriwayatkan pula; Abdullah bin Ubay berkata kepada kaum muslimin ketika mereka gagal dalam perang Uhud: “Sampai kapan kalian mengalami peperangan. Seandainya Muhammad seorang nabi, kalian tidak akan menghadapi tawanan dan pembunuhan”. Lalu turunlah ayat ini. Tafsir Ayat Lafadz “am” –pada ayat– adalah kata pemutus dari kalimat sebelumnya dan mengandung makna istifhâm (pertanyaan) yang maknanya; “...bal a hasibtum an tadkhulu l-jannata...” (baca: apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga)

Al-ba`sâ`, adalah malapetaka yang menimpa manusia dilihat dari sebelah luar dirinya, seperti kerugian harta benda, kedudukan, dan keluarga. Ad-dharrâ`, ialah bencana yang menimpa diri manusia, seperti luka dan pembunuhan. Disebutkan bahwa: al-ba`sâ` adalah antonim an-na’mâ`, dan adhdharrâ` adalah antonim as-sarrâ. Al-zalzalah adalah gerakan yang keras, al-zilzâl adalah karena kerasnya gerak, yang memiliki bentuk jamak zalâzil, dan berakar dari kata zalla as-sya`i ‘an makânihi (baca: sesuatu yang menyimpang dari tempatnya). Digandakan katanya dengan penggandaan makna, seperti kata sharâ dan sharshara, shalâ dan shalshala. Jika guncangnya sedikit, maka maknanya adalah berulang-ulang menggerakkan dari tempatnya. Selain itu, ada ayat-ayat lain yang mempunyai kedekatan arti, di antaranya firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”[al-Baqarah: 177]. “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (rasul-rasul) kepada umat-umat yang sebelum kamu, kemudian Kami siksa mereka dengan (menimpakan) kesengsaraan dan kemelaratan, supaya mereka bermohon (kepada Allah) dengan tunduk merendahkan diri” [al-An’am: 42]. “Kami tidaklah mengutus seorang nabi pun kepada sebuah negeri, (lalu penduduknya mendustakan nabi itu), melainkan Kami timpakan kepada penduduknya kesempitan dan penderitaan supaya mereka tunduk sambil merendahkan diri” [alA’raf: 94]. Ayat-ayat tersebut menunjukkan pemberian cobaan dan ujian secara terusmenerus bagi seluruh umat, khususnya umat Islam. Perlu diingat pula bahwa motif dari ujian bagi umat manusia –salah satunya– adalah untuk penggalian ilmu dan kecakapan yang teruji. Dalam ujian itu Allah SWT

bermaksud mengeluarkan atau mewujudkan kesempurnaan yang masih berupa potensi (bil-quwah) menjadi kesempurnaan aktual (fi’liyah). Satu contoh paripurna adalah pada Nabi Ibrahim as, yang selalu merasa senang memberi yang dapat memfanakan dirinya karena Allah. Nabi Ibrahim as selalu memberikan apa yang dimilikinya di jalan Allah, namun pemberian itu belum tampak manfaat langsungnya secara faktual. Ketika beliau masuk dalam arena ujian, maka tampak dan terasakanlah sifat rahman (pemberi) itu secara aktual dan faktual setelah sebelumnya berupa bil quwah. Sebagai tambahan dan penguat penjelasan dari petikan ayat-ayat di atas, perlu disimak khotbah Imam Ali bin Abi Thalib as sebagai berikut: “Janganlah seorang di antara kalian mengatakan, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari fitnah”, karena tiada seorangpun yang tidak terkena fitnah; tetapi barangsiapa yang memohon perlindungan, hendaklah ia memohon perlindungan (kepada Allah) dari fitnah-fitnah yang menyesatkan. Karena Allah SWT berfirman: “Dan ketahuilah bahwa harta bendamu dan anak-anakmu merupakan fitnah”, yang maknanya ialah bahwa Allah SWT menguji manusia dengan harta benda dan anakanak supaya menjadi jelas orang yang tidak senang pada rezki (yang diberikan)-Nya dengan orang yang ridha atas bagian (yang diberikan)-Nya, meskipun Allah SWT Maha Mengetahui tentang diri mereka. Namun, Allah menyuruh manusia untuk melakukan hal itu untuk menampakkan perbuatan-perbuatan yang layak diberi pahala dan siksaan” (Nahjul Balaghah: hikmah 93). Demikianlah penjelasan makna kosa kata ayat dan sebab turun ayat, selain keterangan dari ayat-ayat lain yang memperjelas tentang bagaimana kedudukan seluruh umat. Jika telah memahami penjelasan tersebut, kita kembali pada tafsir ayat.

Allah SWT mengatakan, bahwa cobaan dengan al-ba`sâ` dan adh-dharrâ` adalah sunnatullah yang berlaku pada seluruh umat, dan tidak dikhususkan hanya pada umat Islam saja. Jadi penyaringan dan pemisahan orang mukmin yang sabar dengan yang tidak sabar adalah tergantung pada bagaimana menghadapi cobaan itu. Tidak akan pernah mengkristal keimanan seorang muslim melainkan apabila ia telah menempuh perjalanan hidup yang penuh ujian hingga mampu menyelesaikan ujian dengan baik dan menjadi orang suci. Dan tidak akan kokoh keimanan dalam hatinya kecuali dengan melalui keteguhan dan ketetapan menghadapi begitu sarat dan ganasnya badai-badai fitnah. Seolah-olah, ayat ini menjadi penghibur Nabi saw dan para sahabatnya dari apa yang mereka alami, berupa gangguan kaum musyrikin dan semacamnya. Jika menyimak berita-berita umat terdahulu maka akan lebih memudahkan pembicaraan dan penjelasan kepada umat. Dan bahwa cobaan tidak dikhususkan kepada mereka, tetapi juga meliputi umat-umat lain selain mereka. Oleh karena itu dikatakan; “am hasibtum”; atau “apakah kalian pikir dan sangka wahai orang-orang yang beriman, bahwa kalian akan masuk surga”. “Padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu (juga mengalaminya) sebelum kamu?”; yakni, sedangkan kalian belum diuji dengan cobaan seperti cobaan dan ujian yang telah dialami umat-umat terdahulu. Maka hendaklah kalian tabah dan sabar sebagaimana umat-umat itu juga telah tabah dan sabar. Dengan demikian, salah satu makna matsal adalah sifat pada manusia. Firman Allah SWT yang berbunyi: “padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan” adalah, belum datang kepada kalian sifat orang-orang yang telah berlalu sebelum kalian. Maka, mereka tidak akan masuk ke pagar iman yang

sempurna kecuali mereka mempunyai sifat seperti sifat orang-orang yang telah menghadapi musibah-musibah dan fitnah-fitnah itu dengan sabar, tabah dan tegar. Orang-orang mukmin terdahulu telah berhasil melewati berbagai kesusahan dan goncangan-goncangan hidup. Kedudukan orang-orang mukmin itu disebutkan: “dan (mereka) digoncangkan (hatinya) dengan goncangan yang hebat” [al-Ahzab: 11]. Dalam menunaikan ujian itu mereka menghabiskan segala daya upaya, dengan terus mengharapkan turunnya rahmat melalui doa para rasul (salam atas mereka) dan orang saleh dari kaum mukminin. Sebagaimana firman Allah SWT: “sehingga berkatalah Rasul dan orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?”. Seluruh kandungan kalimat ini tiada lain merupakan permohonan untuk kemenangan yang telah Allah janjikan bagi para rasul-Nya dan orang-orang beriman yang memohon kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya: “Dan sesungguhnya telah tetap janji Kami kepada hamba-hamba Kami yang menjadi rasul, (yaitu) sesungguhnya mereka itulah yang pasti mendapat pertolongan” [ash-Shaffat: 171-172], dan: “Allah telah menetapkan: “Aku dan rasul-rasul-Ku pasti menang” [alMujadalah: 21]. Az-Zamakhsyari menyatakan: “Maknanya adalah mencari dan berharap dengan kesabaran selama berada dalam masa sulit hingga mencapai puncak kesulitan dan panjangnya masalah dalam kesukaran. Apabila sudah tak tersisa lagi kesabaran bagi para rasul hingga mereka menjerit, maka puncak kesulitan itu adalah keadaan ketika tiada hasrat lagi di baliknya. Lalu kepada mereka dikatakan; “Tidakkah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. Yakni, inilah jawaban bagi mereka atas ketabahan dan permohonan mereka akan pertolongan segera. (al-Kasyaf: 1/270, tentang tafsir ayat ini).

Di dalam ayat, bacaan yang dikenal adalah rafa’; “hattâ yaquulu r-rasuul”, bukan yaquula. Sehingga jumlah kalimat menjadi sebuah hikayat tentang keadaan umat-umat dahulu. Dan selain rafa’, juga bisa dibaca nashab; “yaquula”, maka jumlah kalimat menempati tujuan bagi sebelumnya, yaitu; masstahumu l-ba`sâ`u wa dh-dharrâ`u dan zulziluu. Dan barangkali bacaan pertama, yaitu rafa’, adalah yang afdhal, karena jauhnya jumlah kalimat sebagai tujuan bagi massu l-ba`sâ`, adhdharrâ` dan zulziluu. Sebagaimana

jelas

dinyatakan

sebelumnya

bahwa

matsal

bermakna

perumpamaan (tamtsil) dan penyerupaan (tasybih), maka penyerupaan keadaan umat Islam dengan umat-umat terdahulu ialah keadaan malapetaka, kesengsaraan, dan serta digoncangkan. Dan jika telah dekat penghabisan daya dan upaya serta ketegaran mereka di dalam pertempuran dan peperangan, Rasulullah saw dan orang-orang mukmin yang bersama beliau berdoa memohon kemenangan, kejayaan dan keberhasilan bagi mereka. Selain itu, sebagian mufasir menetapkan tiga ayat yang termasuk al-amtsal alQuraniyah dalam kitab-kitab karangan mereka, yaitu 55: 1- “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah) karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan: “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan”. Orang itu berkata: “Saya dapat menghidupkan dan mematikan”. Ibrahim berkata: “Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah matahari itu dari barat:. Lalu heran terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-rang yang zalim” [al-Baqarah: 258]. 55

DR Muhammad Husein Ali ash-Shaghir: ash-Shuratu al-Fanniyah fi al-Matsal al-Qurani:

144, dan DR Ismail Ismaili: Tafsir Amtsal al-Quran.

2- “Atau apakah (kamu tidak memperhatikan) orang yang melalui suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya? Dia berkata: “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah roboh?”. Maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali. Allah bertanya: “Berapa lama engkau tinggal di sini?”. Ia menjawab: “Saya telah tinggal di sini sehari atau setengah hari”. Allah berfirman: “Sebenarnya kamu telah tinggal di sini selama seratus tahun; lihatlah kepada makanan dan minumanmu yang belum berubah; dan lihatlah kepada keledai kamu (yang telah menjadi tulang belulang); Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia; dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu. Kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami menutupnya dengan daging”. Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah telah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata: “Saya yakin bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu” [al-Baqarah: 259]. 3-“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati”. Allah berfirman: “Apakah kamu belum percaya?”. Ibrahim menjawab: “Saya telah percaya, tetapi agar bertambah tetap hati saya”. Allah berfirman: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu jinakkanlah burung-burung itu untukmu, kemudian letakkanlah tiap-tiap seekor daripadanya pada tiap-tiap bukit (itu). Setelah itu panggillah dia, niscaya dia akan datang kepada kamu segera”. Dan ketahuilah bahwa Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana” [al-Baqarah: 260]. Tidak samar lagi bahwa terdapat kelemahan dalam pandangan terhadap ayatayat ini: Sebagaimana diketahui, yang dimaksud tamtsil ialah penyerupaan (tasybih) yang di dalamnya –biasanya– menggambarkan yang tidak terinderakan (ghairul

mahsuus) dengan yang terinderakan (al-mahsuus) dan mendekatkan makna ke dalam pikiran lawan bicara. Pada ayat pertama di atas, penyerupaan (tasybih) yang diangkat oleh pendebat (munâzhir) Nabi Ibrahim as, bukanlah penyerupaan yang benar. Sebab, ketika Ibrahim as menyifati Tuhan bahwa Dia menghidupkan dan mematikan, yang dimaksud adalah “Siapakah yang memberikan kehidupan bagi janin, dan mencabut nyawanya ketika menjadi tua”. Sedangkan ungkapan pendebatnya ditafsirkan dalam bentuk umum melalui kalimat: “aku juga menghidupkan dan mematikan”. Kata “menghidupkan” baginya ialah dengan membebaskan orang yang ditetapkan dibunuh olehnya, atau membunuh orang yang ingin hidup. Karena itu, terdapat perbedaan yang amat jauh antara menghidupkan dan mematikan dalam ucapan Ibrahim as dengan ucapan munâzhir. Sehingga kita dapat mengatakan bahwa tidak ada penyerupaan apapun kecuali permainan kata (mughâlathah) yang jelas. Kita juga mengetahui bahwa di dalam tamtsil disyaratkan adanya perbedaan antara al-musyabbah (yang diserupakan) dan al-musyabbah bihi (yang dijadikan perserupaan) secara spesies. Seperti taysbih seorang laki pemberani dengan singa. Pada ayat kedua di atas, tidak ada penyerupaan di dalamnya. Ayat suci tersebut justru mengadakan contoh bagi ‘yang diserupakan’. Seorang lelaki ketika melewati suatu desa yang tiang-tiangnya telah runtuh, menyaksikan penduduknya binasa, dan melihat tulang belulang di tanah sudah rusak. Ia berkata: Bagaimana Allah menghidupkan tulang belulang setelah kematian ini? Lalu Allah mematikan orang itu selama seratus tahun, kemudian menghidupkannya kembali, sebagaimana makna lahir ayat. Atas uraian itu kemudian (Allah) mengadakan sebuah contoh (mitsl) bagi yang diserupakan dengan satu spesies, yang perbedaannya hanyalah terletak pada sifat (ash-shinf). Sementara yang kita ketahui bahwa keharusan dalam tamtsil ialah adanya perbedaan dan kontradiksi spesies (tabâyun nau’i) antara al-musyabbah dan al-musyabbah bihi.

Pada ayat ketiga, maknanya adalah bahwa Ibrahim as seorang yang mengimani kekuasaan-Nya atas menghidupkan orang-orang mati. Tetapi ia meminta ‘menghidupkan’ supaya melihatnya sendiri dengan matanya. Karena melihat secara nyata memiliki dampak besar dalam memantapkan dan mengukuhkan makrifat di dalam hati. Ingin melihat ialah agar hatinya menjadi mantap dan keyakinan bertambah. Lalu Allah SWT mengatakan kepadanya: “(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu jinakkanlah burung-burung itu untukmu,”, yakni “...kemudian letakkanlah tiap-tiap seekor daripadanya pada tiap-tiap bukit (itu).” Kalimat ini merupakan bukti bahwa Tuhan telah memerintahkan kepada Ibrahim as untuk menyembelih dan memotong burung-burung itu. Dan kalimat selanjutnya berbunyi, “Sesudah itu panggillah dia, niscaya dia akan datang kepada kamu segera”. Dan, tidak disebutkan di dalam ayat bagaimana sikap Nabi Ibrahim as setelah itu. Jadi, demikianlah pengertian ayat tersebut. Dan ayat-ayat ini bukanlah sebuah perumpamaan (matsal), sebab tidak memenuhi syarat-syarat matsal. Tamtsîl 7 ‫ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﻨﻔﻘﻮﻥ ﺃﻣﻮﺍﻟﻬﻢ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﷲ ﻛﻤﺜﻞ ﺣﺒﺔ ﺃﻧﺒﺘﺖ ﺳﺒﻊ ﺳﻨﺎﺑﻞ ﻓﻲ ﻛﻞ ﺳﻨﺒﻠﺔ ﻣﺎﺋﺔ ﺣﺒﺔ ﻭ ﷲ ﻳﻀﺎﻋﻒ ﻟﻤﻦ‬ ‫ﻳﺸﺎء ﻭ ﷲ ﻭﺍﺳﻊ ﻋﻠﻴﻢ* ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﻨﻔﻘﻮﻥ ﺃﻣﻮﺍﻟﻬﻢ ﻓﻲ ﺳﺒﻴﻞ ﷲ ﺛﻢ ﻻ ﻳﺘﺒﻌﻮﻥ ﻣﺎ ﺃﻧﻔﻘﻮﺍ ﻣﻨّﺎ ﻭ ﻻ ﺃﺫﻯ ﻟﻬﻢ ﺃﺟﺮﻫﻢ ﻋﻨﺪ‬ *‫ﻲ ﺣﻠﻴﻢ‬ ّ ‫ﺭﺑّﻬﻢ ﻭ ﻻ ﺧﻮﻑ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻭ ﻻ ﻫﻢ ﻳﺤﺰﻧﻮﻥ* ﻗﻮﻝ ﻣﻌﺮﻭﻑ ﻭ ﻣﻐﻔﺮﺓ ﺧﻴﺮ ﻣﻦ ﺻﺪﻗﺔ ﻳﺘﺒﻌﻬﺎ ﺃﺫﻯ ﻭ ﷲ ﻏﻨ‬ Artinya: “Perumpamaan (yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkannya di jalan Allah adalah serupa dengan butir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir tumbuh seratus biji. Allah melipatgandakan (keuntungan) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha luas (karuniaNya) lagi Maha mengetahui. Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebutnya dan dengan

tidak menyakiti (perasaan si penerima), (maka) mereka memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik dari sedekah yang diiringi dengan sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima). Allah Mahakaya lagi Mahapenyantun” [al-Baqarah: 261-263]. Tafsir Ayat Dalam banyak ayat al-Quran, dijelaskan mengenai janji yang berlipat ganda dari Allah SWT kepada hambaNya. Seperti dalam surat al-Baqarah ayat 245 berikut ini: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memlipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak, dan Allah yang menyempitkan dan melapangkan (rezki), dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”. Sebagai pendekatan terhadap pembahasan ini dibawakan tamtsil sebagai berikut: Perumpamaan berinfak di jalan Allah ialah seperti menanam sebutir benih yang menumbuhkan batang yang bercabang tujuh, setiap cabang keluar butir berisi seratus butir, sehingga satu butir menjadi tujuh ratus butir. Jadi, satu butir kebaikan yang ditanam itu dilipatgandakan oleh Allah SWT. Tamtsil yang menyebut bilangan tujuh ini amat menyentuh batin. Ia mengisyaratkan tentang amal-amal saleh yang dikaruniai Allah SWT sangat banyak seperti hasil yang diperoleh orang yang menanam biji-bijian di tanah subur. Pada lahiriyah ayat, yang diserupakan adalah penginfak, sedangkan yang dijadikan serupa adalah butir yang berkembang menjadi tujuh ratus butir. Namun demikian, penurunan ayat di atas pada realitasnya ialah salah satu dari dua hal berikut: 1- Penyerupaan (tasybih) penginfak dengan penanam butir. 2- Penyerupaan infak dengan butir yang ditanam.

Tamtsil yang dibawa al-Quran bukanlah perkara pahaman dan perumpamaan imajiner, tetapi ia merupakan perkara nyata yang mungkin terjadi. Bahkan, bisa jadi, satu butir itu tumbuh menjadi lebih dari jumlah bilangan yang disebutkan. Beberapa petani menerangkan bahwa mereka memanen satu batang padi yang memiliki banyak bulir berisi sekian ratus butir. Dengan demikian, kita meyakini sesungguhnya bahwa Allah SWT adalah yang menyempitkan rizki (qâbidh) dan yang melapangkan rizki (basith). Kemudian Allah SWT mengharuskan penginfak di jalan-Nya agar ridha dan lapang dada atau memberi maaf, tanpa menyertakan yang diinfakkan itu dengan menyebut-nyebut kembali sambil menyakiti perasaan si penerima. Kata al-mann dalam ayat berarti si pemberi yang mengungkit-ungkit pemberian kepada orang yang diberi, dengan mengatakan: ‘bukankah aku telah memberimu’, atau ‘bukankah aku telah berbuat baik padamu’. Yang demikian ini disebut ‘mengungkit-ungkit atau memperpanjang masalah’ (istithâlah). Adapun kata al-adzâ berarti menyakiti perasaan yang menerima. Mereka –para penginfak yang disebut dalam ayat– yang tidak menyertakan infak mereka dengan al-mann dan al-adzâ, akan “memperoleh pahala di sisi Tuhan mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. Lalu Allah SWT mengajarkan kepada orang-orang yang tak punya agar berperilaku baik kepada kaum fakir yang meminta kepada mereka, yaitu dengan bersikap: (1)- Mengeluarkan perkataan yang baik (qaul ma’ruf), memperlembut perkataan dalam menanggapi para peminta, menyatakan uzur atas ketak-sanggupan memberi, dan mendoakan mereka. (2)- Memberikan maaf (maghfirah) atas desakan para peminta dan mencemaskan mereka dalam meminta. Dengan mengamalkan dua

perilaku tersebut, akan “lebih baik dari sedekah yang diiringi sesuatu yang menyakitkan (perasaan si penerima)”. Sesungguhnyalah, atas segala keadaan, yang maha kaya adalah Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: “Allah Maha Kaya”, yang dengan keluasan karunia-Nya mencukupi kebutuhan si peminta. Tetapi sebagai maslahat dan kebaikan manusia di dunia dan akhirat, Allah SWT seakan meminjam tangan manusia yang lain dalam bentuk sedekah dan pemberian. Dan “Allah Maha Penyantun”, maka hendaklah kalian wahai hamba-hamba Allah, santun dan pemaaf atas desakan si peminta. Tamtsîl 8 ّ ‫ﺑﺎﻟﻤﻦ ﻭ ﺍﻷﺫﻯ ﻛﺎﻟﺬﻱ ﻳﻨﻔﻖ ﻣﺎﻟﻪ ﺭﺋﺎء ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭ ﻻ ﻳﺆﻣﻦ ﺑﺎ� ﻭ ﺍﻟﻴﻮﻡ ﺍﻵﺧﺮ‬ ‫ﻳﺎ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ ﻻ ﺗﺒﻄﻠﻮﺍ ﺻﺪﻗﺎﺗﻜﻢ‬ ‫ﻓﻤﺜﻠﻪ ﻛﻤﺜﻞ ﺻﻔﻮﺍﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﺗﺮﺍﺏ ﻓﺄﺻﺎﺑﻪ ﻭﺍﺑﻞ ﻓﺘﺮﻛﻪ ﺻﻠﺪﺍ ً ﻻ ﻳﻘﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﺷﻲء ﻣ ّﻤﺎ ﻛﺴﺒﻮﺍ ﻭ ﷲ ﻻ ﻳﻬﺪﻱ ﺍﻟﻘﻮﻡ‬ *‫ﺍﻟﻜﺎﻓﺮﻳﻦ‬ Artinya: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia serta tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir” [al-Baqarah: 264]. Tafsir Ayat Ar-ri`â (riya) berasal dari kata ar-ru`yah (melihat). Orang yang berbuat sesuatu dengan tujuan agar orang lain melihatnya disebut murâ`i. Lafaz ash-shafwân mempunyai bentuk kesatuan shafwânah, seperti lafaz sa’dân-sa’dânah dan marjân-marjânah, yang bermakna batu licin.

Al-wâbil berarti hujan yang amat lebat. Ash-shald artinya batu licin atau keras, dan dari tanah yang tidak menumbuhkan sesutupun karena begitu kerasnya. Telah disebutkan dalam tamtsil ke-7, bahwa melembutkan perkataan dalam membalas perilaku para peminta dan menyatakan uzur kepadanya serta memberi maaf atas desakan dan perbuatan mencemaskan darinya, adalah lebih utama ketimbang infak seseorang yang disertai menyakiti perasaan si penerima. Mengapa demikian? Allah SWT menjelaskan dalam tamtsil ini, bahwa almann dan al-adzâ membatalkan infak tersebut. Sebab, syarat diterimanya pahala atas infak adalah dengan meninggalkan al-mann (mengungkit-ungkit pemberian) dan aladzâ (menyakiti perasaan si penerima). Apabila seseorang mengiringi amal-infaknya dengan salah satu dari dua hal tersebut, maka pemberian atau infaknya tidak memenuhi syarat untuk memperoleh hak pahala. Dengan ini, ayat di atas tidak menunjukkan apapun atas batalnya kebaikan oleh keburukan. Karena makna habth (batal) adalah pembatalan pahala yang tertulis oleh perbuatan buruk. Ayat ini tidak menunjukkan hal itu sebagaimana berlaku kemungkinan pahala atas infak –di awal pembahasan– dengan syarat bahwa infak yang dikeluarkan tersebut tidak disertai al-mann dan al-adzâ pada masa berikutnya. Tapi jika seseorang menyertakan amal dengan salah satu dari keduanya, berarti ia tidak melakukan kewajiban atau anjuran dalam bentuk yang diinginkan. Maka, tidak ada pahala yang tertulis, atau pahala yang hendak diberikan itu dihapus oleh al-mann dan al-adzâ. Penggunaan kata ibthâl (membatalkan) dalam ayat, menunjukkan adanya sesuatu yang diperlukan (muqtadhâ) bagi terwujudnya pahala, yaitu infak. Meskipun

hal demikian bukan berarti pengharusan pewujudan pahala dan ketentuanketentuannya atas Allah bagi hamba yang berinfak. Sedangkan habth, yang bermakna keburukan menghapus kebaikan-kebaikan serta pahala-pahala secara mutlak, padahal itu mengarah pada kezaliman, adalah batil secara aqli dan syar’i. Secara aqli; ketika ditetapkan oleh akal bahwa hal itu mengarah pada kezaliman, maka bagi orang yang berbuat buruk dan berbuat taat, jika perbuatan buruknya lebih banyak, berdasarkan pandangan ihbâth (pembatalan pahala), akan menjadi orang yang tidak pernah berbuat baik. Sebaliknya, jika perbuatan baiknya lebih banyak, maka ia menjadi orang yang tidak pernah berbuat buruk. Dan jika sama, tidak ada yang lebih banyak antara perbuatan baik dan buruknya, maka ia menjadi orang yang berbuat baik dan berbuat buruk (atau tidak pernah berbuat baik dan tidak pernah berbuat buruk, penerj.) (Kasyfu al-Murâd: Maqshad ke-6, masalah ke-7). Sedangkan penjelasan secara syar’i, ialah keterangan dalam al-Quran yang menyebutkan: “Barangsiapa yang berbuat kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang berbuat kejahatan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya juga.” [al-Zalzalah: 7-8]. Dalam hal ini Muhaqqiq ath-Thusi mengisyaratkan pada dua segi, dengan mengatakan: “Al-ihbât adalah batil, karena mengarah pada kezaliman. Juga karena keterangan dari firman Allah SWT: “Barangsiapa yang berbuat kebaikan seberat dzarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya”. (Kasyful Murad: Maqshad ke-6, masalah ke-7). Sementara itu bagi hamba, sebagai orang yang tidak memiliki sesuatupun melainkan Allah SWT telah memberi dan mencukupinya; dia –sebenarnya– berinfak dari perbendaharaan Allah SWT. Karena dia dan sesuatu yang ada di tangannya pada

hakikatnya adalah milik Allah. Dengan kata lain, dia adalah seorang hamba yang tidak memiliki apapun kecuali Allah yang membuatnya memiliki sesuatu. Maka, tuntutan dari kaidah tersebut ialah agar ia berinfak karena Allah dan di jalan Allah, dan tidak mengiringi amalnya dengan al-mann dan al-adzâ. Artinya, hakikat penghambaan (‘ubudiyah) adalah bergerak dan diam karena Allah SWT. Bagi seorang ‘abid adalah tidak mungkin ia membiarkan diri menyertakan amalnya dengan almann dan al-adzâ. Oleh karena itu Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)”. Allah SWT menyerupakan pelaku-pelaku al-mann dan al-adzâ dengan orang yang riya (murâ`i), yang tidak menghendaki amalnya demi keridhaan Allah, dan tidak pula berniat karena-Nya. Pelaku al-mann dan al-adzâ pada awalnya beramal demi keridhaan Allah, lalu ia serta-merta menyebut-nyebut pemberiannya dan menyakiti perasaan si penerima. Perbuatan tersebut membatalkan dalam arti sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya (yakni membatalkan amal, bukan pahala, penerj.). Sedangkan murâ`i berarti beramal dengan tidak berniat karena Allah SWT, sehingga amalnya batal sama sekali. Karena itu benarlah penyerupaan keduanya (pelaku al-mann dan aladzâ) dengan murâ`i, seperti penyerupaan yang lemah dengan yang kuat. Sedangkan penjelasan hakikat tamtsil ayat di atas adalah sebagai berikut: Pertama, contoh dengan sebuah tanah bebatuan yang keras dan licin yang di atasnya diberi tanah secukupnya. Sebut saja, pada awalnya tanah itu adalah tanah yang bermanfaat dan cocok untuk tanam-tanaman. Kemudian tanah itu ditimpa hujan lebat yang menghanyutkan tanah di permukaan batu itu, hingga menjadi bersih tidak bertanah dan licin. Maka tempat itu tidak bisa ditanami apapun. Allah SWT

berfirman: “seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatupun dari apa yang mereka usahakan”. Jadi amal pelaku riya (murâ`i) memiliki lahir yang indah dan batin yang mati. Manusia yang tidak mengetahui hakikat niat si‘âmil (orang beramal) tentu mengira bahwa amal itu akan menghasilkan sesuatu. Seperti seseorang melihat batu licin yang diatasnya tanah cukup, ia berkhayal bahwa tanah itu cocok untuk ditanami tanaman. Namun ketika hujan lebat menimpanya dan melenyapkan tanah di permukaan batu itu, menjadi teranglah bahwa batu licin itu tidak cocok lagi untuk ditanami. Demikian halnya dengan amal si murâ`i, ketika tersingkap (di hadapannya) kenyataankenyataan dan terangkat tirai-tirai penutup maka menjadi terang bahwa amal (yang diperbuatnya itu) lenyap dan mandul, tidak menghasilkan apa-apa. Selain itu, para pelaku al-mann dan pelaku al-adzâ setelah berinfak lebih mirip dengan amal si murâ`i. Tamtsîl 9 ‫ﻭ ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﻨﻔﻘﻮﻥ ﺃﻣﻮﺍﻟﻬﻢ ﺍﺑﺘﻐﺎء ﻣﺮﺿﺎﺓ ﷲ ﻭ ﺗﺜﺒﻴﺘﺎ ﻣﻦ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ ﻛﻤﺜﻞ ﺟﻨﺔ ﺑﺮﺑﻮﺓ ﺃﺻﺎﺑﻬﺎ ﻭﺍﺑﻞ ﻓﺂﺗﺖ ﺃﻛﻠﻬﺎ ﺿﻌﻔﻴﻦ‬ *‫ﻓﺈﻥ ﻟﻢ ﻳﺼﺒﻬﺎ ﻭﺍﺑﻞ ﻓﻄﻞ ﻭ ﷲ ﺑﻤﻞ ﺗﻌﻤﻠﻮﻥ ﺑﺼﻴﺮ‬ Artinya: “Dan perumpamaan orang-orang yang membelanjakan hartanya karena mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa mereka, ialah seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai). Dan Allah maha melihat apa yang kamu perbuat” [alBaqarah: 265]. Tafsir Ayat Ar-rabwah; ialah dataran tinggi.

Ath-thall: ialah hujan ringan (gerimis), dikatakan; athallati s-samâ` (langit menurunkan hujan gerimis). Raudhatun thallatun nadiyah (taman yang elok dan basah). Dalam tamtsil yang lalu Allah SWT telah menyerupakan amal pelaku al-mann dan al-adzâ setelah berinfak dan pelaku amal yang riya dengan tanah keras yang di atasnya terdapat tanah lembut dan subur. Lalu tanah lembut subur itu ditimpa hujan lebat yang menghanyutkannya, hingga tidak tampak lagi kecuali tinggal permukaan batu karena teksturnya yang keras. Kebalikan dari tamtsil dalam ayat ini, dengan menyerupakan amal penginfak yang mencari keridhaan Allah SWT dengan taman yang hijau dan matang. Taman yang berada di atas dataran tinggi yang subur, menyambut angin sepoi berseri dan hujan yang sarat manfaat. Ini merupakan kaitan antara yang dijadikan penyerupa dengan kebun di dataran tinggi, mengingat dampak matahari dan hawa yang sempurna. Jadilah pemandangan yang paling indah dan buahnya paling bersih. Adapun tempat-tempat dataran rendah (atau tanah miring), pada ghalibnya tidak terkena matahari kecuali hanya sedikit sehingga tidak sebagus seperti kebun yang pertama. Ar-Razi mengatakan: “makna ar-rabwah adalah tanah yang rata-rata bagus, yang semakin baik dengan turunnya hujan, sebagaimana firman Allah: “ialah seperti sebuah kebun yang terletak di dataran tinggi yang disiram oleh hujan lebat, maka kebun itu menghasilkan buahnya dua kali lipat. Jika hujan tidak menyiraminya, maka hujan gerimis (pun memadai)”. Proposisi ini diperkuat dengan pendapat bahwa matsal ini merupakan kebalikan dari penjelasan tentang batu keras yang licin (shafwân) yang tidak efektif ditanami dengan adanya hujan. Yang dimaksud adalah, jenis tanah bagus itu jika ditimpa atau disiram oleh hujan lebat, akan menghasilkan buahnya dua kali lipat. Buah seperti yang dihasilkan

kebun-kebun subur sebagaimana biasanya. Dan jika hujan tidak menyiraminya, maka hujan gerimis pun cukup memberikan zat-zat yang menghasilkan buah yang bisa diharapkan dari kebun itu. Jadi orang-orang yang menafkahkan harta mereka di jalan Allah menyerupai kebun tersebut, yang berpenghasilan melimpah, bermanfaat, dan memuaskan. Selanjutnya, ayat yang berbunyi: “karena mereka mencari keridhaan Allah dan untuk keteguhan jiwa”, menjelaskan tentang motivasi infak. Pertama, karena mencari keridhaan Allah. Kedua, untuk menguatkan ruh keimanan dalam hati. Mungkin rahasia di balik kata “min” pada kalimat ‘min anfusihim’ yang berkedudukan sebagai maf’uul (atau obyek dalam nahwu) untuk kalimat ‘tatsbiitan’ (yang menjadi predikat), adalah untuk menjelaskan bahwa munfiq (yang berinfak) menginfakkan hartanya berangkat dari dirinya sendiri yang ia latih dalam rangka ketaatan. Ia mendermakan harta yang banyak karena Allah. Ia tetapkan niat dalam infaknya, meneguhkan dirinya atas ketaatan kepada Allah SWT dan mencari keridhaan-Nya di masa depan. Tamtsîl 10 ‫ﺃﻳﻮﺩّ ﺃﺣﺪﻛﻢ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﻟﻪ ﺟﻨّﺔ ﻣﻦ ﻧﺨﻴﻞ ﻭ ﺃﻋﻨﺎﺏ ﺗﺠﺮﻱ ﻣﻦ ﺗﺤﺘﻬﺎ ﺍﻷﻧﻬﺎﺭ ﻟﻪ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺍﻟﺜﻤﺮﺍﺕ ﻭ ﺃﺻﺎﺑﻪ ﺍﻟﻜﺒﺮ ﻭ‬ *‫ﺫﺭﻳﺔ ﺿﻌﻔﺎء ﻓﺄﺻﺎﺑﻬﺎ ﺇﻋﺼﺎﺭ ﻓﻴﻪ ﻧﺎﺭ ﻓﺎﺣﺘﺮﻗﺖ ﻛﺬﻟﻚ ﻳﺒﻴّﻦ ﷲ ﻟﻜﻢ ﺍﻵﻳﺎﺕ ﻟﻌﻠّﻠﻜﻢ ﺗﺘﻔ ّﻜﺮﻭﻥ‬ ّ ‫ﻟﻪ‬ Artinya: “Apakah ada salah seorang di antara kamu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah. Demikianlah Allah menerangkan ayatayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya” [al-Baqarah: 266] Tafsir Ayat

Wadda syai` berarti mencintai sesuatu. Al-jannah berarti pohon-pohon berjumlah banyak yang mengumpul rapat membentuk lingkungan seperti kebun. Dinamakan demikian karena pohon-pohon itu menutupi tanah (tajunnu l-ardh) dan menjaganya dari terik matahari dan yang semacamnya. An-nakhiil merupakan bentuk jamak dari kata nakhl (pohon kurma) Al-a’nâb adalah bentuk jamak dari kata ‘inab, yang berarti buah anggur. Dan al-Quran menyebut buah anggur dengan buahnya, dan pohon kurma dengan pohonnya bukan dengan buahnya. Al-i’shâr; adalah angin topan yang berputar di tanah kemudian menjulur ke langit berbentuk seperti tiang dengan membawa debu-debu dan material lainnya. Kata ini memiliki bentuk jamak al’âshiir. Kata ini digunakan khusus dengan mengandung makna “api” di dalamnya. Kalimat dalam ayat yang berbunyi: “i’shârun fiihi nâr”, (angin keras yang mengandung api), mengandung beberapa pengertian: 1- Angin yang menyerap panas yang melewati sesuatu yang terbakar, lalu membawa api itu ke tempat-tempat yang jauh. 2- Angin badai diiringi petir yang menimpa tanah dan mengubah tanah itu menjadi abu. 3- Angin dingin yang menusuk, yang apabila menimpa sesuatu ia akan merusaknya meskipun dengan mengeringkan bagian basahnya. Pengertian yang diambil, dalam konteks ini, ialah pada yang pertama dan kedua, tanpa mengikutkan yang ketiga. Sebab, jika kemungkinan pengertian ketiga diikutkan, maka ayat tersebut akan berbunyi; kamatsali riihin sharr (seperti angin yang amat dingin). Tentang sedekah dan nafkah (yang dikeluarkan) oleh orang-orang kafir, Allah SWT berfirman: “Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan ini, adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang

sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak menganiaya mereka, tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” [Al Imran: 117]. Apabila kata ash-sharr ditafsirkan sebagai “angin yang panas yang mematikan” (lihat, Majma’ al-Bayan: 1/491), maka dua ayat ini, yaitu al-Baqarah ayat 266 dan Al Imran ayat 117, mempunyai makna yang sama, dengan makna ayat di atas adalah turunnya bala pada kebun-kebun sehingga berakibat pada kehancurannya secara cepat. Di tengah ayat tersebut disebutkan: “sebuah kebun kurma dan anggur”; yang tampak pada kebun itu adalah dikelilingi oleh pohon kurma dan buah anggur. Dan dinyatakan pula: “dalam kebun itu (ada) segala macam buah-buahan”. Karenanya, bagaimana mungkin dua kalimat itu dapat berkumpul? Yang tampak adalah, pohon-pohon kurma dan buah-buah anggur ketika keduanya merupakan pohon yang terbaik dan terbanyak manfaatnya, tanaman itu disebutkan secara khusus yang berarti kebun tersebut terdiri dari tanaman kurma dan anggur. Yakni, meskipun kebun itu berisi semua pohon, namun keduanya (kurma dan anggur) mendominasi tanaman yang lain. Sampai di sini selesailah tafsiran atas kosa kata ayat. Adapun tamtsil-nya, terdiri dari yang diserupakan dan yang dijadikan penyerupa. Yang diserupakan adalah adalah orang yang beramal saleh tapi ditopang dengan keburukan. Sebagaimana riwayat dari Ibn Abbas yang menyebutkan pengertian ayat tersebut: orang yang berinfak lalu mengiringi amalnya dengan almann dan al-adzâ. Sedangkan Az-Zamakhsyari mengatakan: “Ayat ini adalah perumpamaan bagi orang kaya yang melakukan kebaikan-kebaikan, kemudian Allah mengutus setan

kepadanya lalu ia terjerembab mengikuti hasutan setan untuk berbuat maksiat, sehingga hancur tenggelamlah semua amal-amalnya” (Al-Kasysyaf: 1/299). Adapun yang dijadikan penyerupa adalah seorang laki-laki yang lanjut usia. Ia mempunyai anak yang masih kecil-kecil yang tidak bisa berbuat apa-apa. Ia mempunyai kebun yang dikelilingi pohon kurma dan buah anggur, di bawahnya mengalir sungai-sungai dan kebun itu mempunyai segala macam buah-buahan. Si laki-laki tua itu menggantungkan harapan-harapan besar dan tinggi atas keberadaan kebun itu, tapi secara tiba-tiba datang angin badai panas berhembus lalu membakar kebun itu dan membinasakannya tanpa tersisa. Lalu, bagaimanakah keadaan orang itu? Ia dalam kesedihan, frustasi, kekecewaan mendalam dan kesialan, setelah mendapati harapan-harapannya hancur lebur. Maka, orang yang berinfak di jalan Allah, yang membekali dirinya dengan pahala dan ganjaran akhirat dapat menggantungkan harapan-harapannya dengan janji Allah SWT. Namun, jika ia mengiringi amalnya itu dengan kemaksiatan, maka amalamal baiknya itu tergulung angin badai yang membakar, yang membinasakan semua gantungan dan harapan. Tamtsîl 11 ‫ﺍﻟﻤﺲ ﺫﻟﻚ ﺑﺄﻧّﻬﻢ ﻗﺎﻟﻮﺍ ﺇﻧﻤﺎ ﺍﻟﺒﻴﻊ‬ ‫ﺍﻟﺮﺑﻮﺍ ﻻ ﻳﻘﻮﻣﻮﻥ ﺇﻻّ ﻛﻤﺎ ﻳﻘﻮﻡ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺘﺨﺒّﻄﻪ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻣﻦ‬ ّ ‫ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺄﻛﻠﻮﻥ‬:‫ﻗﺎﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬ ّ ‫ﺣﺮﻡ ﺍﻟﺮﺑﻮﺍ ﻓﻤﻦ ﺟﺎءﻩ ﻣﻮﻋﻈﺔ ﻣﻦ ﺭﺑّﻪ ﻓﺎﻧﺘﻬﻰ ﻓﻠﻪ ﻣﺎ ﺳﻠﻒ ﻭ ﺃﻣﺮﻩ ﺇﻟﻰ ﷲ ﻭ ﻣﻦ ﻋﺎﺩ‬ ّ ‫ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺮﺑﻮﺍ ﻭ ﺃﺣ ّﻞ ﷲ ﺍﻟﺒﻴﻊ ﻭ‬ ‫*ﻓﺄﻭﻟﺌﻚ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻫﻢ ﻓﻴﻬﺎ ﺧﺎﻟﺪﻭﻥ‬ Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan demikian itu disebabkan oleh perkataan mereka, sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhan itu, lalu

berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. (sedangkan) orang-orang yang mengulangi (terus mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, (dan) mereka kekal di dalamnya” [al-Baqarah: 275] Tafsir Ayat Ar-ribâ; ialah tambahan, seperti dikatakan: rabâ (yarbuu) sy-syai`u (yakni, sesuatu yang bertambah). Riba adalah tambahan dalam modal, yakni: ketika si fulan meminjamkan (nilai) sepuluh kepada seseorang dalam jangka waktu tertentu, lalu pada akhir waktu itu si fulan mengambil lebih dari yang dipinjamkan, maka apabila tambahan (lebihan) itu menjadi syarat dalam perjanjian, itu adalah riba. At-takhabbuth; dan khabth adalah satu makna, yaitu berjalan secara tidak stabil. Dikatakan “khabatha l-bashiiru” (tidak terarah jalannya) untuk orang yang bertindak dalam satu perkara tanpa mendapatkan petunjuk. Ia berjalan dalam kegelapan, yakni langkahnya tak terarah dan tak beraturan. Jadi, yang dimaksudkan oleh kalimat dalam ayat; “yatakhabbatu sy-syaithânu” (kemasukan setan), yakni karena setan memukulinya dengan keras, kemudian membantingnya. As-salaf; ialah yang lampau. Dikatakan salafa-yaslufu-suluufan (dalam ilmu sharaf, artinya: yang mendahului). Kata ini juga bermakna: umat-umat dahulu. Adapun kalimat “mina l-mass” (karena tekanan) dalam ayat, zharaf (‫)ﻣﻦ‬ berkaitan dengan kalimat yaquum, artinya: mereka tidak berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang terbanting karena tekanan. Hasil makna ayat ini ialah pemakan riba tidak berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang dipukuli setan lalu dibanting. Sebagaimana orang yang tidak stabil berdiri, maka begitulah pemakan riba.

Penyerupaan ini terjadi pada berdirinya pemakan riba dan orang terbanting karena kemasukan setan. Dari sini muncul dua pertanyaan: Pertama, apa maksud dari pemakan riba tidak berdiri kecuali berdirinya orang terbanting? Kedua, apa maksud dari kejadian pembantingan oleh tekanan setan? Untuk menjawab yang pertama, para mufasir mempunyai pandangan yang berbeda: (1)- Mayoritas dari mereka berpendapat bahwa mereka berdiri pada hari kiamat seperti orang-orang yang kerasukan. Para pemakan riba seolah dibangkitkan dalam keadaan gila, dan gila itu sebagai tanda khusus bagi pemakan riba sehingga diketahui bahwa ia adalah pemakan riba. Dengan demikian, ayatnya bermakna: mereka berdiri dalam kegilaan seperti orang yang ditekan oleh setan. (2)- Ketika dibangkitkan dari kubur-kubur, mereka keluar dengan cepat; “mereka keluar dari kuburan” [al-Qamar: 7] kecuali pemakan riba. Pada hari kiamat, pemakan riba berdiri lalu jatuh lagi, karena Allah menimpakan sesuatu dalam perutnya sehingga memberatkannya untuk berdiri kokoh. Mereka berdiri lalu jatuh, dan hendak buru-buru berdiri tegap tapi tidak pernah bisa. Pandangan ini dikuatkan oleh riwayat dari Nabi Muhammad saw, yang mengatakan: “Di waktu Isrâ`ku ke langit, aku melihat sekumpulan laki-laki yang perut-perut mereka seperti rumah, terlihat dari luar perut mereka di dalamnya terdapat ular-ular. Aku bertanya: “Siapa mereka hai Jibril?” Jibril menjawab: “Mereka adalah pemakan riba.” 3- Yang dimaksud al-mass bukanlah gila, meskipun kata ini juga bisa digunakan pada makna (gila) ini. Kata al-mass di sini berarti orang yang mengikuti setan dan menyambut seruannya. Seperti juga kata al-hâl (keadaan) dalam ayat: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-

kesalahannya” [al-A’raf: 201]. Yang demikian itu ialah karena setan selalu mengajak pada pencarian kesenangan, nafsu syahwat, dan kesibukan dengan selain Allah. Inilah yang dimaksud massu sy-syaithân. Orang yang seperti ini selalu dirasuki setan dalam urusan dunia. Kadang-kadang setan mendorongnya untuk mengikuti hawa nafsu, dan terkadang fitrah mengajak (kembali) pada agama dan ketakwaan, sehingga keadaannya terguncang dan dilanda kegelisahan. Tak diragukan lagi bahwa si pemakan riba akan menjadi orang yang berlebihan dalam cinta dunia dan ia akan hancur karenanya. Akibatnya, kehidupan materinya menjadi kehidupan yang tak beraturan dan labil. Selain pandangan-pandangan di atas, ada juga pandangan yang disampaikan oleh Sayyid Husain Thabathaba`i, antara lain: Bahwa manusia yang tertekan atau gila, yang telah rusak kekuatan pembedanya (akalnya) tidak dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang bermanfaat dan yang merugikan, antara kebaikan dan kejahatan. Demikian pula dengan keadaan periba dalam penerimaannya untuk riba. Orang yang diseru fitrahnya supaya ber-mu’amalah dengan menukarkan harta yang dimilikinya dengan rasa cukup mengambil harta sesuai yang dibutuhkan. Bagi mereka yang memberi pinjaman harta dan menerima pengembalian senilai pemberian plus tambahan (bunga), maka hal itu sama dengan menghancurkan kecenderungan fitrah dan asas mata pencaharian. Oleh sebab itu, pemakan riba terseret pada penggelapan harta dari tangan penghutang dan harta-harta pun tertimbun di tangan pemakan riba. Harta seperti ini selalu berkembang dan bertambah, dan ia tidak berkembang kecuali karena tambahan dari harta pinjaman itu. Di satu sisi ada harta yang berkurang dan terpisah, dan di sisi lain ada harta yang bertambah dan terkumpul. Di pihak peminjam riba, jelas akan memaksanya pada keadaan yang tertekan seiring dengan bertambahnya pengeluaran, lewatnya waktu, sampai batas yang (boleh

jadi) tak terselesaikan seiring bertambahnya kebutuhan. Semakin banyak pengeluaran, riba berkembang dan meningkat, maka kebutuhan semakin bertambah tanpa dapat menutupi dan memperbaiki kekurangan. Dalam keadaan demikian, hancurlah kehidupan si peminjam. Jadi riba pada hakikatnya bertentangan dengan kestabilan sosial dan akan merusak sistem yang berlaku di atas jalan lurus manusiawi yang ditunjukkan oleh fitrah ilahiyiah. Inilah al-khabth (kelabilan) yang menimpa para periba, seperti keadaan orang gila. Riba mendorongnya untuk merusak asas mu’amalah dan penukaran (barang atau uang), sehingga ia tidak dapat membedakan antara penjuaalan atau jual-beli (al-bai’) (penjualan) dan riba. Ketika ia diseru agar meninggalkan riba dan mengambil jual beli, ia menjawab: bahwa al-bai’ seperti riba, tidak menambah keisitimewaan atas riba, sehingga membuatnya mengambil riba dan meninggalkan jual beli. Karena itu, Allah SWT berargumen atas labilnya para periba, dengan mengungkapkan perkataan mereka; “sesungguhnya jual-beli itu sama dengan riba” (Al-Mizan: 2/411). Dari kalimat itu timbul pertanyaan: Mengapa dikatakan bahwa jual-beli seperti riba, bahkan mereka mengatakan: “riba sama dengan jual-beli”. Dan pembicaraannya adalah mengenai riba, bukan jual-beli sehingga mereka harus menyerupakan riba dengan jual-beli, bukan sebaliknya? Jawab: Mereka menyamakan jual-beli dengan riba ialah sebagai mubalaghah (hal yang dilebihkan), yakni mereka meletakkan riba sebagai bentuk asal dan jual-beli sebagai cabangnya, sehingga mengatakan jual-beli seperti riba. Ini adalah perkara pertama. Perkara kedua ialah, menjadi gila karena setan telah merasukinya. Yang tampak pada ayat, bahwa kegilaan merupakan akibat bertindak gila si orang gila.

Padahal ilmu pengetahuan (science) belakangan ini telah mengungkap sebab kegilaan, yaitu karena terjadinya kerusakan pada saraf-saraf penjangkauan. Kalau begitu, bagaimana bisa berkumpul antara makna ayat dengan apa yang disingkap oleh ilmu pengetahuan. Ini termasuk silang pandangan dalil naql dan ‘aql. Sebagian mufasir menjawab seperti ini: Tasybih (penyerupaan) adalah termasuk yang berlaku di tengah masyarakat yang memiliki keyakinan-keyakinan yang tidak benar, di mana mereka yakin atas tindakan gila terhadap orang-orang gila. Dalam hal ini tentu tidak masalah, karena sekedar penyerupaan yang kosong dari penilaian, sampai menjadi sesuatu yang salah dan tidak sesuai dengan realitas. Hakikat makna ayat ialah, keadaan para pemakan riba itu seperti keadaan orang gila yang dirasuki setan. Sedangkan menjadi gila dengan bersandar pada kemasukan setan adalah hal yang tidak mungkin. Sebab Allah SWT Maha Adil dari menguasakan setan terhadap akal hamba-Nya, atau terhadap hamba-Nya yang beriman (Al-Mizan: 2/413, Tafsir al-Manar: 3/95). Sayyid Thaba’thaba’i menjawab permasalahan di atas sebagai berikut: Allah SWT Maha Agung dari sandaran pada firman-Nya yang batil, dan penyimpangan perkataan dengan bentuk sandaran apapun, kecuali penjelasan kebatilannya itu dibawakan bersama pada si pembicara. Dan tentang sifat wahyu, Allah SWT berfirman: “Dan sesungguhnya al-Quran itu adalah kitab yang mulia, yang tidak datang kepadanya kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji” [Fushshilat: 41-42]. Allah juga mengaskan: “Sesungguhnya al-Quran itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang haq dan yang batil, dan sekali-kali dia bukanlah senda gurau” [ath-Thariq: 13-14].

Adapun menyandarkan gila pada tindakan setan dan hilangnya akal itu bertentangan dengan keadilan-Nya. Bertentangan karena penyandaran hilangnya akal mereka ialah pada faktor-faktor alami, dan bahwa menghilangnya akal tersebut pada akhirnya bersandar kepada Allah SWT disebabkan faktor-faktor tersebut” (Al-Mizan: 2/412). Dari keterangan tersebut ada ungkapan lain dari Sayyid Thaba`thaba`i yang mudah-mudahan bisa mengangkat kekaburan pengertian: “Bahwa menyandarkan gila pada setan adalah lemah dan tanpa alasan, tetapi gila karena faktor-faktor alami seperti karena kerusakan saraf otak adalah faktor-faktor yang lebih mendekati ketimbang karena setan. Sebagaimana macam-macam karomah yang menyandarkan pada malaikat dengan merasuknya faktor-faktor alami ke dalam diri seseorang. Hal serupa terungkap dalam ayat tentang kisah Nabi Ayub as sebagai berikut: “Sesungguhnya aku diganggu setan dengan kepayahan dan siksaan” [Shad: 41]; dan: “sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau Tuhan Yang Maha penyayang di antara semua penyayang”. Kata adh-dhurr dalam ayat ini adalah penyakit dan memiliki faktor-faktor alami yang tampak di badan. Kemudian dikaitkanlah suatu penyakit yang disandarkan pada sebab-sebab alami itu kepada setan” (Al-Mizan: 2/413). Surat Al Imran Tamtsîl 12 *‫ﺇﻥ ﻣﺜﻞ ﻋﻴﺴﻰ ﻋﻨﺪ ﷲ ﻛﻤﺜﻞ ﺁﺩﻡ ﺧﻠﻘﻪ ﻣﻦ ﺗﺮﺍﺏ ﺛ ّﻢ ﻗﺎﻝ ﻟﻪ ﻛﻦ ﻓﻴﻜﻮﻥ* ﺍﻟﺤﻖ ﻣﻦ ﺭﺑّﻚ ﻓﻼ ﺗﻜﻦ ﻣﻦ ﺍﻟﻤﻤﺘﺮﻳﻦ‬ Artinya: “Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: “Jadilah” (seorang manusia), maka jadilah dia. (Apa yang telah Kami

ceritakan itu), itulah yang benar, yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang yang ragu-ragu” [Al Imran: 59-60]. Tafsir Ayat Allah SWT menyebutkan bentuk kelahiran al-Masih dari ibunya, Maryam si perawan. Allah memulai penjelasan-Nya dengan berfirman: “Ketika Malaikat berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putra yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) dari padaNya, namanya al-Masih..”, dan mengakhirinya dengan firman-Nya: “Maryam berkata: Ya Tuhanku, betapa mungkin aku mempunyai anak, padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-lakipun”. Allah berfirman (dengan perantara Jibril): “Demikianlah Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Apabila Allah berkehendak menetapkan sesuatu, maka Allah hanya cukup berkata kepadanya: Jadilah, lalu jadilah ia” [Al Imran: 45-47]. Dengan demikian, tetaplah bahwa al-Masih adalah makhluk Allah SWT, yang dilahirkan dari ibunya yang perawan dan tidak tersentuh oleh seorang laki-laki pun. Dia (Isa) as adalah satu ayat (tanda kebesaran) dari ayat-ayat Allah SWT. Sementara kaum Nasrani menuhankan al-Masih dan menetapkannya sebagai salah satu trinitas ketuhanan; Tuhan, Putra dan Ruh Qudus. Kaum Nasrani meyakini bahwa dia adalah anak Tuhan, karena dia putra Maryam tanpa ayah. Ketika kaum Nasrani berhujjah di hadapan Nabi Muhammad saw, ayat di atas turun kepada beliau sebagai jawaban atas kesalahan argumentasi mereka. Rasulullah saw menyampaikan wahyu bahwa bentuk penciptaan al-Masih itu menyerupai bentuk penciptaan Adam. Di mana Adam (as) diciptakan dari tanah tanpa ayah dan ibu. Jika ini adalah perkara yang mumkin (tidak mustahil bagi Allah), maka perkara kelahiran al-Masih dari seorang ibu tanpa ayah adalah serupa. Maka ini adalah perkara yang

lebih mudah kemungkinannya (bil imkân) dari yang sebelumnya (yakni penciptaan Adam as). Dengan ibarat lain; bahwa al-Masih seperti Adam pada satu segi (yakni tanpa ayah), dan cukuplah dalam persamaan itu sebagai sifat. Dan pada hakikatnya ini termasuk dari tasybiih al-ghariib bil aghrâb (penyerupaan yang langka dengan yang lebih langka), agar ‘lebih meyakinkan’ bagi pendebat dan ‘lebih memastikan’ bagi hal yang meragukan (syubhat). Salah satu pertanyaan yang mengejutkan ialah seputar firman Allah SWT: “kemudian Allah berfirman kepadanya: kun fa yakuun (jadilah, maka jadilah dia)”, yang lebih sesuai seharusnya mengatakan; kun fa kân ( jadilah, maka telah jadi). Lalu kenapa Allah berfirman: fa yakuun, sementara perintah pernyataan-Nya (amr bit tahaqquq) adalah perkara yang menetapi pernyaatan sesuatu secara otomatis? Jawab: Allah meletakkan mudhâri’ (fi’il yang mengandung masa sekarang dan akan datang) di tempat mâdhi (fi’il mengandung masa lampau), dan itu dibolehkan. Hal penting di dalamnya adalah soal penggambaran keadaan lampau; bahwa penjadian Adam adalah perkara yang terjadi secara bertahap, bukan secara langsung. Boleh

dikatakan

juga

bahwa

firman-Nya;

kun

(jadilah),

walaupun

menunjukkan atas tiadanya tahapan, tetapi itu (berlaku) bagi Allah SWT. Adapun bagi (tingkatan) makhluk maka hal itu terjadi atas dua bagian; yakni bagian yang tidak bertahap seperti jiwa dan akal universal, dan bagian yang menjadi perkara yang bertahap sebagai hasil bagi sebab-sebab yang bertahap. Jika memperhatikan sesuatu pada Allah SWT (sebagai wajibul-wujud), tidak ada tahapan dan tidak pula ada senggangan. Sebab dalam tingkatan rubuubi (ketuhanan) tiada masa dan gerakan. Karena itu Allah berfirman: “Dan perintah Kami hanyalah satu perkataan seperti kejapan mata” [al-Qamar: 50]. Sedangkan jika memperhatikan sesuatu bagi wujud

mumkin (makhluk, sebagai mumkinulwujud) dan sebab-sebabnya, maka realitas perkaranya adalah bertahap. Dan jumlah kalimat; ‘fa yakuun’, menunjukkan keadaan lampau (Al-Mizan: 3 3/212, Al-Manar: 3/319). Sementara itu al-Balaghi, salah seorang muhaqqiq, menyebutkan segi lain dalam menafsirkan ayat tersebut. Kalimat “fa yakuun” dalam ayat ini, kata al-Balaghi, adalah pencabangan atas kalimat “yaquulu”. Ia bukanlah balasan (jazâ`) bagi kalimat “kun” (fi’il amr). Karena kejadian (kaun) setelah huruf “fâ” adalah kejadian yang diperintah melalui “kun”, bukan balasan bagi “kun” yang diurutkan atasnya, serta disangka bahwa kejadian itu sebagai balasan bagi esensi permintaan “jadilah!”. Sebab, jika benar demikian maka kalimat “yakuunu” –pada akhir ayat– harus nashab (yakni dibaca “yakuuna”), sedangkan (kalimat “yakuunu”) adalah rafa’ (yakni dibaca “yakuunu”). (Âlâ`u ar-Rahmân: 1/120). Atas segala kemungkinan, al-Quran berargumen atas batilnya ketuhanan alMasih melalui berbagai segi, di antaranya ialah pentasybihan kelahiran al-Masih dengan Adam. Dan tamtsil di atas hendak menjelaskan perkara ini juga. Selain itu, sebenarnya ayat di atas mengarah pada dua dalil yang tiap satu dari keduanya menetapkan penafian ketuhanan terhadap al-Masih: 1-Bahwa Isa adalah makhluk Allah, meskipun kelahirannya tak berayah. Dan makhluk seperti itu adalah hamba, bukan Tuhan. 2-Bahwa kejadian Isa as tidak lebih di atas kejadian Adam as. Jika ini menunjukkan asal penciptaannya untuk disebut tuhan dengan satu segi, maka penciptaan Adam menunjukkan demikian pula, bahkan lebih pantas. Sementara mereka jelas-jelas tidak pernah menyebut tuhan pada Adam as. Karena itu, seharusnyalah mereka juga tidak mengatakan demikian pada Isa as, karena adanya kemiripian.

Yang terang dari ayat di atas bahwa penciptaan Isa as adalah seperti penciptaan Adam as yang terjadi secara natural, meskipun tidak biasa bagi sunnatullah yang berlaku dalam keturunan umumnya; bahwa untuk lahir seorang anak biasanya memerlukan seorang ayah (al-Mizan: 3/212). Tamtsîl 13 ‫ﺇﻥ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻛﻔﺮﻭﺍ ﻟﻦ ﺗﻐﻨﻲ ﻋﻨﻬﻢ ﺃﻣﻮﺍﻟﻬﻢ ﻭ ﻻ ﺃﻭﻻﺩﻫﻢ ﻣﻦ ﷲ ﺷﻴﺌﺎ ً ﻭ ﺃﻭﻟﺌﻚ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﻫﻢ ﻓﻴﻬﺎ ﺧﺎﻟﺪﻭﻥ* ﻣﺜﻞ‬ ‫ﺻﺮ ﺃﺻﺎﺏ ﺣﺮﺙ ﻗﻮﻡ ﻅﻠﻤﻮﺍ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ ﻓﺄﻫﻠﻜﺘﻪ ﻭ ﻣﺎ ﻅﻠﻤﻬﻢ ﷲ ﻭ ﻟﻜﻦ‬ ّ ‫ﻣﺎﻳﻨﻔﻘﻮﻥ ﻓﻲ ﻫﺬﻩ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻛﻤﺜﻞ ﺭﻳﺢ ﻓﻴﻬﺎ‬ *‫ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ ﻳﻈﻠﻤﻮﻥ‬ Artinya: “Sesungguhnya orang-orang kafir baik harta mereka maupun anak-anak mereka sekali-kali tidak dapat menolak azab Allah dari mereka sedikitpun. Dan mereka adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Perumpamaan harta yang mereka nafkahkan di dalam kehidupan dunia ini, adalah seperti perumpamaan angin yang mengandung hawa yang sangat dingin, yang menimpa tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri, lalu angin itu merusaknya. Allah tidak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri” (Al Imran 116117). Tafsir Ayat As-shirr atau angin dingin, seperti sharshar, angin kencang atau amat dingin. Ath-Thabrasi menukil dari az-Zujaj yang berkata: “Shirr adalah hembusan angin pada api yang sedang melahap sesuatu”. Dia menambahkan: “boleh juga dikatakan bahwa shirr adalah angin yang amat dingin”. Dari segala kemungkinan itu, makna yang dapat digunakan untuk shirr ialah angin beracun yang merusak tanaman. Dan makna dari ayat; “tanaman kaum yang menganiaya diri sendiri”, ialah orang-orang yang bercocok tanam di tempat yang salah dan bukan pada waktu yang tepat. Kemudian angin kencang menerpa tanaman

itu, lalu lenyaplah tanaman itu tanpa bekas. Sebagaimana kita tahu bahwa waktu atau cuaca dan tempat atau kondisi tanah sangat menentukan pertumbuhan tanaman. Sedangkan angin sepoi-sepoi yang berhembus membalut tanaman yang ditanam pada waktu yang tepat dan tanah yang subur, menjadi faktor positif dalam pertumbuhan dan kesehatan tanaman. Itulah al-musyabbah bihi (yang dijadikan penyerupa). Maka orang kafir ketika menafkahkan hartanya di dunia dengan tujuan atau kepentingan materi (kedudukan, harta dan semacamnya), maka ia tak ubahnya seperti orang yang menanam bukan pada tempat dan waktu yang semestinya. Karena itu, ia tidak pernah memperoleh manfaat apa-apa dari infaknya. Kekufuran dan kecenderungan hawa nafsu dapat merusak setiap infaknya. Oleh sebab itu, Allah SWT memperingatkan anak Adam sebagai berikut: “Sesungguhnya orang-orang kafir baik harta mereka maupun anakanak mereka sekali-kali tidak dapat menolak azab Allah dari mereka sedikitpun”. Tamtsîl 14 ‫ﺃ ﻭ ﻣﻦ ﻛﺎﻥ ﻣﻴﺘﺎ ً ﻓﺄﺣﻴﻴﻨﺎﻩ ﻭ ﺟﻌﻠﻨﺎﻩ ﻧﻮﺭﺍ ﻳﻤﺸﻲ ﺑﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻛﻤﻦ ﻣﺜﻠﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻈﻠﻤﺎﺕ ﻟﻴﺲ ﺑﺨﺎﺭﺝ ﻣﻨﻬﺎ ﻛﺬﻟﻚ ﺯﻳّﻦ‬ *‫ﻟﻠﻜﺎﻓﺮﻳﻦ ﻣﺎ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻌﻤﻠﻮﻥ‬ Artinya: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya? Demikianlah Kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan” [al-An’am: 122]. Tafsir Ayat Ayat ini turun berkenaan dengan Hamzah bin Abdul Muthalib dan Abu Jahal bin Hisyam. Ketika itu, Abu Jahal menyakiti Rasulullah saw, dan tindakan keterlaluan

Abu Jahal itu sampai kepada Hamzah. Hamzah (waktu itu) berada di pihak agama kaumnya. Mendengar berita itu, Hamzah marah lalu bergegas mendatangi Abu Jahal dengan membawa busur. Hamzah memukul Abu Jahal, dan Hamzah kemudian termasuk orang beriman. Demikian riwayat dari Ibn Abbas. Dalam riwayat lain dikatakan: Ayat ini turun berkenaan dengan ‘Ammar bin Yasir –ketika telah beriman– dan

Abu Jahal. Ini diriwayatkan dari Abu Ja’far.

Meskipun demikian, yang jelas bahwa ayat ini umumnya berkenaan dengan posisi setiap orang mukmin dan orang kafir. Dan bersamaan dengan itu pula tidak menutup kemungkinan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan dua pribadi tertentu. Dalam ayat ini terdapat beberapa tamtsil dan tasybih, yang ditetapkan termasuk dalam tasybih murakkab (penyerupaan yang tersusun). Selanjutnya akan kami sebutkan secara berurut sebagai berikut: 1- Kalimat awal ayat menyatakan: “Dan apakah orang yang sudah mati kemudian Kami hidupkan”; orang kafir diserupakan dengan orang mati atau al-mait (yâ` tanpa tasydid) yang merupakan peringanan dari al-maiyit (yâ` bertasydid), dan orang mukmin dengan orang hidup. Ayat ini bukanlah satu-satunya yang mengungkapkan penyerupaan tersebut. Ada juga ayat lain yang memperserupakan orang mukmin dengan orang hidup dan orang kafir dengan orang mati, Allah SWT berfirman: “Maka sesungguhnya kamu tidak akan sanggup menjadikan orang-orang yang mati itu dapat mendengar” [arRum: 52], “Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya)” [Yasin: 70] dan “dan tidak sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati” [Fathir: 22]. 2- Kalimat kedua ayat berbunyi: “dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat

manusia”; Allah menyerupakan al-Quran dengan nuur (cahaya), dan dengan cahaya al-Quran itu orang mukmin dapat menelusuri jalan kebahagiaan. Allah SWT mengingatkan: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu bukti kebenaran dari Tuhan, (Muhammad dengan mukjizatnya) dan telah Kami turunkan kepadamu cahaya yang terang benderang (al-Quran)” [an-Nisa: 174]. Dan Allah SWT berfirman: “Sebelumnya kamu tidak mengetahui apakah al-Kitab (al-Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Quran itu cahaya” [asy-Syura: 52]. Benarlah, al-Quran itu menerangi jalan orang-orang mukmin. 3- Dan

kalimat berikutnya menyatakan: “serupa dengan orang yang

keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya”. Maka, kata azh-zhulmah (kegelapan) –dalam ayat– bisa bermakna kufr (kekafiran) atau jahl (kebodohan). Bila maknanya kekafiran, ini didukung oleh ayat; “Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman)” [Al-Baqarah: 257]. Selain itu, Allah SWT juga menyerupakan orang kafir dengan orang yang tinggal di kegelapan-kegelapan dan tidak mendapat petunjuk, sebagaimana firmanNya: “ka man matsaluhu fi zh-zhulumât” (“serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita”). Dan tidak mengatakan; ka man huwa fi zh-zhulumât (orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita). Dalam ayat di atas disertakan lafaz “matsal” di tengahnya, yakni: “ka man matsaluhu fi zh-zhulumât”. Barangkali bentuk perumpamaan ini untuk menjelaskan bahwa orang yang dimaksud telah sampai pada puncak kekafiran dan kebingungan. Demikianlah tafsir ayat secara rinci (tafshil).

Sedangkan kesimpulan ayatnya adalah: perumpamaan bagi orang yang diberi petunjuk oleh Allah SWT setelah berada dalam kesesatan, berarti ia diberi taufik untuk yakin sehingga dapat membedakan antara yang membenarkan dan yang membatilkan, memilah antara yang mendapat petunjuk dengan yang sesat. Perumpamaannya adalah seperti orang yang tadinya mati lalu dihidupkan oleh Allah SWT dan diberi cahaya yang menerangi jalannya sehingga dapat berjalan di tengah masyarakat, dan dapat membedakan sebagian dari sebagian yang lain. Itulah perumpamaan orang mukmin. Maka tidak benar mengkiaskan orang mukmin seperti orang yang masih ada kekufuran padanya atau kekufuran tidak keluar darinya, yang berjalan –tanpa petunjuk– dalam gelap gulita, yang kebingungan tidak mendapat petunjuk ke jalan yang benar. Pada hakikatnya ayat di atas mencakup dua bagian: 1- Penyerupaan (tasybiih) orang mukmin dengan orang mati yang dihidupkan oleh cahaya (petunjuk) yang kemudian menyertai (memandu)nya. 2- Penyerupaan orang kafir dengan orang mati yang kehilangan cahaya, yang masih dalam gelap gulita. Dan fokusnya, bahwa orang mukmin termasuk dalam penyerupaan yang pertama, bukan yang kedua. Surat al-A’raf Tamtsîl 15 ‫ﻭ ﻫﻮ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺮﺑﻞ ﺍﻟﺮﻳﺎﺡ ﺑﺸﺮﺍ ﺑﻴﻦ ﻳﺪﻱ ﺭﺣﻤﺘﻪ ﺣﺘﻰ ﺇﺫﺍ ﺃﻗﻠّﺖ ﺳﺤﺎﺑﺎ ً ﺛﻘﺎﻻً ﺳﻘﻨﺎﻩ ﻟﺒﻠﺪ ﻣﻴّﺖ ﻓﺄﻧﺰﻟﻨﺎ ﺑﻪ ﺍﻟﻤﺎء ﻓﺄﺧﺮﺟﻨﺎ‬ ‫ﺑﻪ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺍﻟﺜﻤﺮﺍﺕ ﻛﺬﻟﻚ ﻧﺨﺮﺝ ﺍﻟﻤﻮﺗﻰ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﺬﻛًﺮﻭﻥ* ﻭ ﺍﻟﺒﻠﺪ ﺍﻟﻄﻴًﺐ ﻳﺨﺮﺝ ﻧﺒﺎﺗﻪ ﺑﺈﺫﻥ ﺭﺑّﻪ ﻭ ﺍﻟﺬﻱ ﺧﺒﺚ ﻻ‬ (58-57 ‫ﻳﺨﺮﺝ ﺇﻻ ﻧﻜﺪﺍ ً ﻛﺬﻟﻚ ﻧﺼ ّﺮﻑ ﺍﻵﻳﺎﺕ ﻟﻘﻮﻡ ﻳﺸﻜﺮﻭﻥ* )ﺍﻷﻋﺮﺍﻑ‬ Artinya: “Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan yang mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan

hujan di daerah itu, maka dengan sebab hujan itu Kami keluarkan pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. Dan (pada) tanah yang baik, tanamantanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan (pada) tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tandatanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur” [al-A’raf: 57-58]. Tafsir Ayat Aqall, berasal dari kata al-iqlâl, berarti membawa sesuatu dengan amat mudah. An-Nakid; ialah kesulitan yang menghalangi dari pemberian kebaikan. Jika seseorang bakhil ketika dimintai sesuatu, ia dikatakan nakid. Al-naladu ath-thayib berarti bumi yang bagus tanahnya. Pada tanah seperti itu tumbuh tanaman yang bersih tanpa usaha keras penanamnya. Semua itu terjadi karena izin Allah SWT. Al-balad al-khabits adalah tanah berair (yang lembab dan asin), tanah yang buruk, tidak produktif kecuali amat sedikit. Tanah seperti ini tidak memberi (hasil) kecuali sangat sedikit, dan itupun dengan kesulitan-kesulitan. Dan ungkapan tashriifu al-âyât berarti mengulang-ulang tanda-tanda (kebesaran-Nya). Pada ayat pertama Allah SWT menyebutkan bahwa Dia mengirim angin sebagai pembawa berita gembira sebagai rahmat-Nya. Jika angin itu membawa mendung tebal berisi air, lalu menuangkan air (menurunkan hujan) ke negeri yang tandus, maka hiduplah bumi (negeri) itu dan mengeluarkan hasil-hasilnya. Pada ayat kedua Allah SWT sekali lagi menjelaskan bahwa hujan yang turun menyirami lahan-lahan tanah adalah bagian dari sesuatu yang sangat diperlukan untuk keluarnya tumbuh-tumbuhan. Selain itu, ada syarat lain (yang harus dipenuhi) yakni

kondisi tanah yang harus subur jika digunakan untuk bercocok-tanam, bukan tanah yang jelek. Inilah keadaan yang dijadikan penyerupa. Adapun yang diserupakan, bahwa Allah menyerupakan orang mukmin dengan tanah yang baik, lembut oleh bilasan air hujan dan menghasilkan tanaman bagus dan tumbuh secara sangat produktif. Sebagaimana hati orang kafir diperumpamakan dengan tanah yang berair (lumpur) tidak menumbuhkan tanaman apapun. Jadi, hati orang mukmin seperti tanah yang bagus, sedangkan hati orang kafir seperti tanah yang jelek. Tamtsîl 16 ‫ﻭ ﺍﺗﻞ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻧﺒﺄ ﺍﻟﺬﻱ ﺁﺗﻴﻨﺎﻩ ﺁﻳﺎﺗﻨﺎ ﻓﺎﻧﺴﻠﺦ ﻣﻨﻬﺎ ﻓﺄﺗﺒﻌﻪ ﺍﻟﺸﻴﻄﺎﻥ ﻓﻜﺎﻥ ﻣﻦ ﺍﻟﻐﺎﻭﻳﻦ* ﻭ ﻟﻮ ﺷﺌﻨﺎ ﻟﺮﻓﻌﻨﺎﻩ ﺑﻬﺎ ﻭ ﻟﻜﻨﻪ ﺃﺧﻠﺪ‬ ‫ﺇﻟﻰ ﺍﻷﺭﺽ ﻭ ﺍﺗﺒﻊ ﻫﻮﺍﻩ ﻓﻤﺜﻠﻪ ﻛﻤﺜﻞ ﺍﻟﻜﻠﺐ ﺇﻥ ﺗﻌﻤﻞ ﻋﻠﻴﻪ ﻳﻠﻬﺚ ﺃﻭ ﺗﺘﺮﻛﻪ ﻳﻠﻬﺚ ﺫﻟﻚ ﻣﺜﻞ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻛﺬّﺑﻮﺍ ﺑﺂﻳﺎﺗﻨﺎ‬ *‫ﻓﺎﺻﺺ ﺍﻟﻘﺼﺺ ﻟﻌﻠﻬﻢ ﻳﺘﻔ ّﻜﺮﻭﻥ* ﺳﺎء ﻣﺜﻼً ﺍﻟﻘﻮﻡ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻛﺬّﺑﻮﺍ ﺑﺂﻳﺎﺗﻨﺎ ﻭ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﻈﻠﻤﻮﻥ‬ Artinya: “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia julurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakan (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat zalim” [al-A’raf: 175-177]. Tafsir Ayat

Kata an-naba` berarti berita tentang perkara yang besar. Kata an-nubuwah (kenabian) berasal dari akar kata an-naba’ ini. Istilah akhlada ilâ l-ardhi bermakna menetap atau condong ke dunia. Kata as-salakh berarti mencabut, dan kalimat dalam ayat “akhlada ilâ l-arhdi” (dia cenderung kepada dunia) bermaknya melekat dengan dunia. Dan al-lahts berarti (seperti anjing) menjulurkan lidahnya karena haus. Dan al-luhâts berarti panas kehausan. Demikianlah tafsir dari kosa kata yang menjadi perhatian dalam ayat. Kandungan ayatnya ialah: Ayat ini merupakan tamtsil yang mengandung musyabbah (yang diserupakan) dan musyabbah bihi (yang dijadikan penyerupa). Para mufasir memberikan berbagai pandangan tentang yang diserupakan. Mayoritas dari mereka mengatakan bahwa yang diserupakan itu adalah Bal’am bin Ba’aurâ`, konon seorang alim dari Bani Israil yang berasal dari bangsa al-Kan’âniyun. Ia dianugerahi ilmu pengetahuan

dari

sebagian

Kitabullah,

tetapi

dia

menolak

petunjuk

dan

mengesampingkan Kitabullah di belakang punggungnya. Maka setan pun mengikuti dan menjadi kawan baginya, sehingga masuklah ia ke dalam golongan orang-orang sesat lagi kafir. Pendalaman ayat ini menerangkan tentang sampainya seorang lelaki berkedudukan tinggi dalam ilmu dan dirâyah (pengetahuan), yang terjatuh ke dalam jurang yang dalam. Hal yang menunjukkan hal tersebut –dalam ayat– sebagai berikut: 1- Kata an-naba`; mengambarkan bahwa hal itu merupakan berita besar, bukan kabar yang sepele. 2- Ayat; “orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab)”; menceritakan tentang penguasaan orang itu dalam rumus, dalil dan penjelasan-penjelasan , serta mengetahui kitab-kitab samawi.

3- Potongan ayat selanjutnya; “kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu” menunjukkan bahwa ayat-ayat dan ilmu pengetahuan ilahiyah telah meliputinya seperti kulit menyelimuti (sekujur) badan, tetapi ia keluar darinya. Penafsiran seperti ini didukung oleh keterangan ayat lain yang menggambar takwa dengan pakaian, antara lain ayat: “dan pakaian takwa itulah yang paling baik” [al-A’raf: 26]. 4- Potongan ayat berikutnya lagi: “lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda)”, menunjukkan bahwa setan (telah) putus asa menyeret orang itu pada kekafiran dan memutuskan hubungan dengannya. Namun ketika dia melepaskan diri dari pada ayatayat Ilahi, maka setan pun (kembali) mengejarnya, mengikuti dan mewas-wasinya setiap hari hingga berhasil membelenggu dan menyeretnya ke dalam golongan orangorang yang sesat. Begitulah tafsiran terhadap ayat pertama. Ayat kedua memuat hakikat qur`âniyah yang menegaskan bahwa Allah SWT Mahakuasa mengangkat derajat, mensucikan dan mendekatkan seorang hamba kepada-Nya. Tetapi Allah tidak menghendaki, karena kehendak (masyi`ah)-Nya berlawanan dengan hidayah untuk orang yang mengikuti hawa nafsunya dan berpaling dari-Nya. Bagaimana mungkin kehendak Allah SWT berhubungan dengan hidayah orang yang berpaling dari-Nya dan mendustakan ayat-ayat-Nya? Oleh sebab itu Allah SWT berfirman: “Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu”, ‘tetapi Kami tidak menghendaki’, dan demikian itu bukan berarti kebakhilan dari-Nya, Sang Maha Pemurah. Tetapi karena tiadanya wadah (ardhiyah) yang patut pada orang tersebut, karena dia telah cenderung kepada dunia dan melekatkan diri dengannya. Ini seolah menjadi kiasan atas kecenderungan kepada bersenang-senang dengan kenikmatan-

kenikmatan duniawi. Bagi yang memilih terikat kesenangan duniawi itu, bagaimana bisa mereka diliputi oleh inâyah Ilahi. Selanjutnya, Allah SWT mengisyaratkan pada sisi lain tentang tiadanya hubungan kehendak-Nya dengan hidayah ini; yaitu, bahwa manusia yang tersesat itu telah menjadikan kekafiran sebagai perangai dan tabiat baginya. Suatu tingkatan atau keadaan di mana ruh, jiwa, dan fitrahnya telah bercampur penolakan terhadap ayatayat Allah SWT. Sehingga ia mendustakan dan membelakangi ayat-ayat yang sampai kepadanya. Oleh karena itu, nasihat dan siraman kebaikan dari orang yang menasihati tidak berpengaruh lagi baginya. Untuk pendekatan perkara ini, kami bawakan sebuah tamtsil dalam tamtsil: “Maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya dijulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkan dia menjulurkan lidahnya (juga)”. Perumpamaan ini digunakan karena penjuluran lidah (lahts) adalah dampak alami bagi perangai anjing, maka tidak mungkin ia melepaskan diri dari perangai itu. Itulah yang dijadikan serupa yang menjelaskan bahwa hidayah dan kesesatan (dhalâl) itu ada di tangan Allah SWT. Dan kehendak-Nya berhubungan dengan hidayah manusia dengan syarat di dalamnya terpenuhi wadah atau lahan (ardhiyah) yang subur yang bisa menerima hubungan kehendak Allah SWT dengannya. Jadi orang yang cenderung pada dunia dan melekatkan diri dengannya, yakni cenderung pada materi dan material, maka hidayah Ilahi tidak akan mendekatinya. Bahkan dia pun berpredikat sesat yaitu kesesatan secara ikhtiyari atau kesesatan yang dipilihnya secara sadar, bukan karena keterpaksaan. Begitulah keadaan yang dijadikan penyerupa, dan kita telah mengetahui sebelumnya bahwa tamtsil bisa mengandung tamtsil yang lain.

Sedangkan untuk yang diserupakan, para mufasir mengajukan berbagai pandangan. Di antara yang dimaksud itu adalah seorang penyair, Umayah bin Abu ash-Shalt ats-Tsaqafi. Alkisah, bahwa Umayah telah membaca kitab-kitab dan mengetahui bahwa Allah SWT mengutus rasul-rasul, dia berharap bahwa waktu itu dialah yang diangkat menjadi seorang rasul. Namun ketika Allah mengutus Muhammad (sebagai Rasul-Nya), dia merasa iri, dengki, dan hasut kepada Nabi Muhammad. Suatu ketika, Umayah melewati peperangan Badar, lalu ia menanyakan tentang keadaan pengikut Muhammad saw. Dikatakan; “Mereka membunuh dalam perang mereka bersama Nabi”. Umayah berkata: “Kalau memang ia (Muhammad) seorang nabi, maka tentulah para kerabatnya tidak membunuhnya”. Umayah pergi ke Thaif dan mati di sana. Lalu saudarinya, al-Fâri’ah, datang kepada Rasulullah saw yang lalu menanyakan tentang kematian Umayah kepadanya. Lalu al-Fâri’ah menyebutkan keadaan saudaranya (Umayah) menjelang kematiannya yang melantunkan sya’ir: Segenap hidup meski lama waktunya Cuma sekali hidup lalu mati Sekiranya dulu sebelum kini telah jelas bagiku Di puncak pegunungan, aku gembalakan kambing hutan Hari perhitungan adalah hari besar Maka cepat berubanlah yang muda karena hari yang berat (itu) Kemudian Rasulullah saw berkata kepada perempuan itu: “Bacakanlah sedikit syair dari saudaramu itu”. Maka ia membaca: Segala puji, nikmat dan karunia bagi-Mu, Tuhan kami Tiada yang lebih tinggi dan lebih mulia dari-Mu

Engkau Raja Penguasa ‘arasy langit Di hadapan ‘izzah-Nya tunduk dan sujudlah seluruh wajah Lalu perempuan itu melantunkan syair Umayah: Kepada Pemilik ‘arasy lah kalian kan menghadap Dia mengetahui yang terang dan yang tersembunyi Di hari Rahmân akan datang sedang Dia Maha penyayang Dia pasti tepati janji-Nya Tuhanku, bila Engkau maafkan daku, ku yakin Engkau melindungiku Dan bila Engkau siksa aku, maka Engkau takkan menyiksa manusia Lalu Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya saudaramu beriman lahirnya, tapi kafir hatinya”. Maka turunlah ayat ini. (Majma’ al-Bayan: 2/499-500). Pandangan lain menyatakan bahwa orang (dalam ayat) itu adalah Abu ‘Amir bin an-Nu’man bin Shaifi, seorang rahib yang disebut fasik oleh Nabi. Ia adalah rahib di masa jahiliyah dan mengubah gaya pakaiannya, lalu datang ke Madinah. Ia berkata kepada Nabi saw: “Apa ini yang Anda datang dengannya?”. “Aku datang dengan agama yang lurus, agama Ibrahim”, jawab Nabi. Ia berkata: “Akulah di atas agama ini”. “Anda tidak di atasnya, tetapi Anda telah memasukkan ke dalamnya sesuatu yang bukan darinya”, kata Nabi. Abu ‘Amir berkata: “Semoga Allah mematikan si pendusta dari kami dengan terusir dalam kesendirian”. Kemudian Abu ‘Amir pergi menemui penduduk Syam dan mengirim (surat) kepada kaum munafik agar mereka menyiapkan senjata. Lalu Kaisar datang dengan tentaranya untuk mengusir Nabi saw dari Madinah. Dan Abu ‘amir mati di syam dalam keadaan terusir kesendirian.

Yang tampak bahwa yang diserupakan bukanlah khusus pada dua orang lakilaki ini (Umayah si penyair dan Abu ‘Amir si rahib), tetapi sebagaimana yang disabdakan Imam Baqir as: “Aslinya berkenaan dengan Bal’am, kemudian Allah menjadikan ia sebagai perumpamaan bagi setiap orang dari ‘ahli Kiblat’ 56 yang memilih mengikuti hawa nafsunya ketimbang berjalan di bawah naungan hidayah Allah” (Majma’ al-Bayan: 2/500). Di dalam ayat terdapat sebuah petunjuk yang jelas bahwa ‘ibrah dalam mengetahui akibat manusia adalah ke-ukhrawiyah-an hidupnya. Boleh jadi manusia, menjadi seorang mukmin di masa mudanya dan murtad dari agama (Islam) di masa tuanya. Maka kesalehan manusia dan keberhasilannya di masa awal dewasa, bukanlah dalil atas kesalehan dan keberhasilan di akhir usianya. Oleh karena itu, yang dapat dimengerti bahwa tuntutan ridha al-Quran dari kaum Muhajirin dan Anshar ialah dalam firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap mereka orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)” [al-Fath: 18]. Tambahan pula, seperti yang telah kami sebutkan bahwa Allah SWT menentukan zharaf atau syarat ridha dengan firman-Nya: “ketika mereka berjanji setia kepadamu”, dan itu bukan menjadi dalil atas ridha-Nya untuk sepanjang hidup mereka. Kalaupun satu dalil menunjukkan ketergelinciran salah seorang dari mereka, maka dalil kedua yang diambil (ini) telah menjamak di antara dua dalil. Dan sungguh jelas firman Allah SWT: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan 56

Ialah Bani Israil. Penj

orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah, dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selamalamanya. Itulah kemenangan yang besar” [at-Taubah: 100]. Bahwa ayat ke 100 surat at-Taubah ini menunjukkan pencakupan ridha Allah bagi mereka, dan ayat ini dipilih selama tidak ada dalil pasti yang menunjukkan atas kebalikannya. Seandainya terbukti dengan dalil mutawâtir atau dengan khabar yang ditengahi dengan qarinah (pasangan kalimat) tentang murtadnya seorang dari mereka, atau karena perbuatan dosa besar atau kecil yang dilakukannya, maka dalil kedua (ini) yang diambil. Dan di antara dua dalil itu tidak saling bertentangan, dan bukan maqam sahabat dan tabi’in lebih tinggi dari maqam apa yang terkait dalam ayat itu. Maksud penjelasan ini ialah menerangkan tentang keberadaan seseorang yang dikaruniai ayatayat oleh Allah dan ia menjadi ulama ruhani (pada mulanya), tetapi (kemudian) mengikuti hawa nafsunya lalu dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat kebenaran itu. Barangkali, yang dapat kita perhatikan ialah persoalan ijmak beberapa mufasir melalui ayat-ayat ini atas keadilan (‘adâlah) semua sahabat Nabi, yang seakan-akan melupakan makna keseluruhan ayat dan tidak menyelami apa yang dilakukan beberapa sahabat berupa kesalahan dan kemaksiatan. Padahal, Allah SWT maha mengetahui. Tamtsîl 17 ّ ‫ﻟﻴﺤﻠﻔﻦ ﺇﻥ‬ ‫ﻭ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺍﺗﺨﺬﻭﺍ ﻣﺴﺠﺪﺍ ﺿﺮﺍﺭ ﻭ ﻛﻔﺮﺍ ﺗﻔﺮﻳﻘﺎ ﺑﻴﻦ ﺍﻟﻤﺆﻣﻨﻴﻦ ﻭ ﺇﺭﺻﺎﺩﺍ ﻟﻤﻦ ﺣﺎﺭﺏ ﷲ ﻭ ﺭﺳﻮﻟﻪ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﻭ‬ ّ ‫ﺃﺭﺩﻧﺎ ﺇﻻ ﺍﻟﺤﺴﻨﻰ ﻭ ﷲ ﻳﺸﻬﺪ ﺇﻧﻬﻢ ﻟﻜﺎﺫﺑﻮﻥ* ﻻ ﺗﻘﻢ ﻓﻴﻪ ﺃﺑﺪﺍ ﻟﻜﺴﺠﺪ ﺃﺳّﺲ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺘﻘﻮﻯ ﻣﻦ ّﺃﻭﻝ ﻳﻮﻡ‬ ‫ﺃﺣﻖ ﺃﻥ ﺗﻘﻮﻡ ﻓﻴﻪ‬ ّ ‫ﺍﻟﻤﻄ ّﻬﺮﻳﻦ* ﺃ ﻓﻤﻦ ﺃﺳّﺲ ﺑﻨﻴﺎﻧﻪ ﻋﻠﻰ ﺗﻘﻮﻯ ﻣﻦ ﷲ ﻭ ﺭﺿﻮﺍﻥ ﺧﻴﺮ ﺃﻡ ﻣﻦ‬ ّ‫ﺭﺟﺎﻝ ﻳﺤﺒّﻮﻥ ﺃﻥ ﻳﺘﻄ ّﻬﺮﻭﺍ ﻭ ﷲ ﻳﺤﺐ‬ *‫ﺃﺳّﺲ ﺑﻨﻴﺎﻧﻪ ﻋﻠﻰ ﺷﻔﺎ ﺟﺮﻑ ﻫﺎﺭ ﻓﺎﻧﻬﺎﺭ ﺑﻪ ﻓﻲ ﻧﺎﺭ ﺟﻬﻨّﻢ ﻭ ﷲ ﻻ ﻳﻬﺪﻱ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﺍﻟﻈﺎﻟﻤﻴﻦ‬

Artinya: “Dan di antara orang-orang munafik itu ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mukmin) dan karena kekafiran(nya), dan untuk memecah belah antara orang-orang mukmin serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan Rasul-Nya sejak dahulu. Mereka sesungguhnya bersumpah: “kami tidak menghendaki selain kebaikan”. Dan Allah menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu bersembahyang dalam masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih. Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan (Nya) itu yang baik, ataukah orangorang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka Jahannam? Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang zalim” [at-Taubah: 107-109]. Tafsir Ayat Adh-dhirâr berarti mengadakan madharat atas penentangan. Sedangkan alirshâd artinya persiapan. Al-bunyân (bangunan), berasal dari kata banâ (membangun). Dan at-taqwâ berarti bagian dari taat, dengan takwa terjaga dari hukuman. Huruf wau pada kata taqwâ sebagai ganti dari huruf yâ`, karena ia dari kata waqayat. Kata syafâ (contoh), dalam syafâ l-bi`ri artinya ‘tepi sumur’. Dan matsal yang dibuat untuk menggambarkan dekatnya dengan kehancuran. Dan kata juruf (contoh), dalam jurfu al-wâdi artinya samping lembah yang asalnya berlubang oleh air, hanyut oleh banjir hingga menjadi lemah.

Ar-Raghib menerangkan makan kata itu begini: “Digunakan untuk tempat yang dimakan banjir dan menghanyutkannya, yakni lenyap oleh banjir. Hâra al-binâ` wa tahawar adalah bangunan runtuh. Para mufasir menyebutkan bahwa Bani ‘Amr bin ‘Auf mendirikan masjid Quba. Mereka mengundang Rasulullah saw agar datang kepada mereka. Lalu beliau datang dan melakukan salat di dalam masjid itu. Sekelompok orang munafik dari Bani Ghanam bin ‘Auf yang hasud kepada Bani ‘Amr mengatakan: “Kami membangun sebuah masjid dan salat di dalamnya dan tidak hadir pada jemaah Muhammad”. Mereka ada 12 (atau) dikatakan 15 orang laki-laki: Tsa’labah bin Hathib, Mu’tab bin Qusyair dan Nabtal bin al-Harts. Mereka mendirikan sebuah masjid di samping masjid Quba, setelah rampung mereka datang kepada Rasulullah saw yang sedang bersiap-siap ke Tabuk. Mereka berkata: “Ya Rasulullah, kami telah membangun masjid bagi yang berkepentingan, membutuhkan, yang bermalam lepas dan bermalam dingin. Kami ingin Anda datang kepada kami dan Anda salat di dalamnya untuk kami dan berdoa dengan keberkahan”. Rasulullah saw bersabda: “Aku sudah hendak pergi safar, kalau kami kembali, kami akan datang kepada kalian insya Allah, kami akan salat untuk kalian di dalamnya”. Ketika Rasulullah saw pergi menuju Tabuk, turunlah ayat ini berkenaan dengan kedudukan masjid tersebut. Ayat di atas mengisyaratkan pada perbedaan yang terang antara orang yang membangun bangunan di atas dasar yang kokoh dengan orang yang membangun di atas tepi jurang yang runtuh. Pembangun (atau bangunan) pertama itulah yang langgeng di sepanjang zaman dan terpelihara dengan sepenuhnya di tengah peristiwa-

peristiwa yang membinasakan. Sebaliknya, yang kedua, akan hancur karena runtuh tidak kuat menahan hantaman angin. Dengan demikian, orang mukmin yang mengikat imannya di atas pondasi yang kuat dan kokoh, maka itulah al-haqq, berupa ketakwaan dan keridhaan kepada Allah SWT. Sedangkan orang munafik, ia membangun imannya di atas pondasi yang amat lemah, dan amat lembek bangunannya, maka itulah al-bathil. Dengan kata lain, iman dan agama seorang mukmin merupakan ekstensi dari firman Allah SWT: “Maka apakah orang-orang yang mendirikan masjidnya di atas dasar takwa kepada Allah dan keridhaan (Nya)”. Sedangkan iman dan agama orang munafik digambarkan seperti: “orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh”, maka sangat mungkin bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka jahannam. Surat Yunus Tamtsîl 18 ‫ﺇﻧﻤﺎ ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻛﻤﺎء ﺃﻧﺰﻟﻨﺎﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻤﺎء ﻓﺎﺧﺘﻠﻂ ﺑﻪ ﻧﺒﺎﺕ ﺍﻷﺭﺽ ﻣ ّﻤﺎ ﻳﺄﻛﻞ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻭ ﺍﻷﻧﻌﺎﻡ ﺣﺘّﻰ ﺇﺫﺍ ﺃﺧﺬﺕ‬ ّ ‫ﺍﻷﺽ ﺯﺧﺮﻓﻬﺎ‬ ّ ‫ﻭﺍﺯﻳّﻨﺖ ﻭ‬ ‫ﻅﻦ ﺃﻫﻠﻬﺎ ﺃﻧّﻬﻢ ﻗﺎﺩﺭﻭﻥ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺃﺗﺎﻫﺎ ﺃﻣﺮﻧﺎ ﻟﻴﻼ ﺃﻭ ﻧﻬﺎﺭﺍ ﻓﺠﻌﻠﻨﺎﻫﺎ ﺣﺼﻴﺪﺍ ﻛﺄﻥ ﻟﻢ ﺗﻐﻦ‬ *‫ﺼﻞ ﺍﻵﻳﺎﺕ ﻟﻘﻮﻡ ﻳﺘﻔ ّﻜﺮﻭﻥ* ﻭ ﷲ ﻳﺪﻋﻮ ﺇﻟﻰ ﺩﺍﺭ ﺍﻟﺴﻼﻡ ﻭ ﻳﻬﺪﻱ ﻣﻦ ﻳﺸﺎء ﺇﻟﻰ ﺻﺮﺍﻁ ﻣﺴﺘﻘﻴﻢ‬ ّ ‫ﺑﺎﻷﻣﺲ ﻛﺬﻟﻚ ﻧﻔ‬ Artinya: “Sesungguhnya perumpamaan kehidupan duniawi itu, adalah seperti air (hujan) yang Kami turunkan dari langit, lalu tumbuh suburlah karena air itu tanamtanaman bumi, di antaranya ada yang dimakan manusia dan binatang ternak. Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya, tiba-tiba datanglah kepadanya azab Kami di waktu malam atau siang, lalu Kami jadikan (tanaman-tanamannya) laksana tanaman yang sudah disabit. Seakan-akan belum pernah tumbuh kemarin. Demikianlah Kami menjelaskan tanda-tanda kekuasaan

(Kami) kepada orang-orang yang berpikir. Allah menyeru (manusia) ke Darussalam (surga), dan menunjuki orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus (Islam)” [Yunus: 24-25]. Tafsir Ayat Firman Allah: fakhtalatha bihi nabâtu l-ardhi, kalau kita katakan huruf bâ` dalam ayat ini untuk penyertaan (mushâhabah), maka maknanya menjadi “bersama air itu tumbuhlah tanaman-tanaman bumi”. Karena hujan menyerap di sela-sela tumbuh-tumbuhan. Dan jika huruf bâ untuk penyebaban (sababiyah) maka maknanya adalah “disebabkan air itu bercampurlah tanaman satu dengan yang lain”, di mana air menjadi sebab bagi perkembangan tumbuhan dan kecenderungan tanaman satu dengan yang lain. Izzayanat (memakai perhiasan) berasal dari kata tazayyanat, di mana huruf “tâ`” di-idghom-kan dengan “zai” dan “zai” di-sukun-kan, dan diletakkan pada ta` (yang sukun) sebelumnya alif washal. Kalimat dalam ayat yang berbunyi; “bumi itu telah sempurna keindahannya, dan memakai (pula) perhiasannya”, adalah ungkapan indah di mana bumi berlaku menampilkan keindahannya, seumpama pengantin ketika memakai baju-baju mewah dari berbagai warna, ia mengenakannya dan berhias dengan aneka warna yang indah (untuk dilihat orang lain). Sedangkan ayat: “mereka pasti menguasainya” ialah, mereka mampu mengambil hasil dan manfaat sesuai dengan aturan yang berlaku di bumi. Dan potongan ayat berikutnya: “atâha amrunâ” (tiba-tiba datanglah ‘perkara’ Kami kepadanya) adalah kiasan dari turunnya hama-hama (bala) atas kebun-kebun dan ladang-ladang yang berisi tanaman-tanaman mereka – ‘hashiidan’– laksana tanamantanaman yang sudah disabit.

Lalu, kalimat “ka an lam taghna”, menduduki kalimat ka an lam yanbut zar’uhâ, artinya seakan-akan tidak pernah tumbuh tanamannya. Dan kalimat “darussalam” menunjukkan tentang salah sifat surga, sebab penghuni surga selamat dari segala hal yang tak disukai. Sedangkan lawan dari “darussalam” adalah dârul balâ` (neraka). Demikianlah tafsir terhadap kosa kata dalam ayat di atas. Selanjutnya, kita mengandaikan seperti ini: Ada sebidang tanah yang subur dan bagus serta cocok untuk ditanami berbagai jenis tumbuhan. Si pemilik tanah ingin memetik hasil dari semua tanaman yang ditanamnya, dan tanaman itu terus dipeliharanya dan memperoleh siraman hujan yang cukup. Tak lama kemudian sebidang tanah dengan tanaman-tanaman itu menjadi sebuah taman yang lebat penuh dengan pepohonan dan aneka tumbuhan lainnya. Tampak areal tanah itu seolah menjadi pengantin yang memakai perhiasan dan menampilkan keindahannya pada yang lain. Melihat itu, para pemilik merasa bangga dengannya (sombong). Mereka mengira bahwa karena usahanyalah tanah-tanah menjadi berkilauan, dan dengan kehendaknya pula lahan-lahan bumi berhias. Mereka menganggap diri mereka sebagai ahli dalam urusan itu yang tiada siapa dan apapun yang menandinginya. Lalu mereka tetapkan harapan-harapan panjang pada lahan-lahannya. Akan tetapi, dalam kebesaran harapan-harapan itu tiba-tiba datanglah perkara Allah SWT di malam atau siang hari yang menjadikan kebun, sawah, dan lahan-lahan mereka melemah dan kering, seolaholah di sana belum pernah ada satu kebun dan tamanpun. Demikianlah

keadaan

yang

dijadikan

penyerupa.

Allah

SWT

memperumpamakan dunia dengan perumpamaan seperti itu. Sesungguhnya manusia kerap

kali

tertipu

oleh

dunia,

dan

berlebihan

dalam

mengharap

dan

mengangankannya, padahal dunia amat cepat hilang dan lenyap, dan dunia tidak memiliki ketetapan dan kekekalan. Muayiduddin al-Isfahani mengatakan: Kau berharap kekal dunia yang tiada ketetapan Pernahkah kau dengar bayangan yang tak pindah Allah SWT menyebut kekayaan di bumi sebagai kesenangan kehidupan dunia, dan membedakan dengan (kesenangan) kehidupan akhirat yang Dia namakan dengan darussalam dalam firman-Nya; “Allah menyeru (manusia) ke darussalam (surga)”. Selain itu, yang tampak dari ungkapan ath-Thabrasi bahwa tamtsil ini termasuk proporsi tunggal (tamtsil mufrad). Ath-Thabrasi menyebutkan beberapa pandangan sebagai berikut: 1-Bahwa Allah SWT memperserupakan kehidupan dunia dengan air, karena air dapat diambil manfaatnya kemudian berhenti. 2-Bahwa Allah SWT memperserupakan kehidupan dunia dengan tumbuhtumbuhan yang sifatnya menipu, yang berakhir pada kelenyapan. (dari al-Juba`i dan Abu Muslim). 3-Bahwa Allah SWT memperserupakan kehidupan dunia dengan kehidupan yang ditetapkan sesuai dengan sifat-sifat yang dimilikinya. (Majma’ al-Bayan: 3/102). Yang benar ialah, bahwa tamtsil ini termasuk kategori perumpamaan proporsional (isti’ârah tamtsiliyah), di mana dunia diibaratkan dengan tiadanya ketetapan dan ketenangan, sebagaimana yang ada dalam matsal di atas. Dan yang patut menjadi tempat sandaran keinginan adalah darussalam yang memiliki sifat keselamatan atau kesejahteraan (salam)secara mutlak, yang di dalamnya tidak mengandung kejelekan dan keburukan.

Allah SWT mengaitkan darussalam dalam ayat di atas dengan ungkapan: ‘inda rabbihim (di sisi Tuhan mereka), sebagai petunjuk atas dekatnya kehadirannya dan tiadanya kelalaian dari Allah SWT di sana. Matsal ini dekat dengan ayat 45 surat al-Kahfi yang berbunyi: “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), (bahwa) kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuhtumbuhan di muka bumi ini, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”. Begitu pula dalam surat al-Hadid ayat 20: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu, serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering, dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya, dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. Surat Hud Tamtsîl 19 ‫ﺇﻥ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮﺍ ﻭ ﻋﻤﻠﻮﺍ ﺍﻟﺼﺎﻟﺤﺎﺕ ﻭ ﺃﺧﺒﺘﻮﺍ ﺇﻟﻰ ﺭﺑّﻬﻢ ﺃﻭﻟﺌﻚ ﺃﺻﺤﺎﺏ ﺍﻟﺠﻨّﺔ ﻫﻢ ﻓﻴﻬﺎ ﺧﺎﻟﺪﻭﻥ* ﻣﺜﻞ ﺍﻟﻔﺮﻳﻘﻴﻦ‬ *‫ﻛﺎﻷﻋﻤﻰ ﻭ ﺍﻷﺻ ّﻢ ﻭ ﺍﻟﺒﺼﻴﺮ ﻭ ﺍﻟﺴﻤﻴﻊ ﻫﻞ ﻳﺴﺘﻮﻳﺎﻥ ﻣﺜﻼ ﺃﻓﻼ ﺗﺬ ّﻛﺮﻭﻥ‬ Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal saleh dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka, mereka itu adalah penghunipenghuni surga; mereka kekal di dalamnya. Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama

keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran (dari pada perbandingan itu)?” Tafsir Ayat Allah SWT menggambarkan orang kafir seperti orang buta dan tuli, dan menyebutkan orang mukmin seperti yang dapat melihat dan mendengar, lalu menafikan kesamaan antara keduanya –sebagaimana jelas dipahami. Tamtsil dalam ayat menyajikan sifat yang diberikan oleh Allah terhadap dua golongan yang memiliki sifat-sifat khas. Tentang orang-orang kafir dikatakan: “Mereka selalu tidak dapat mendengar (kebenaran) dan mereka selalu tidak dapat melihat(nya)” [Hud: 20]. Maknanya: mereka memiliki telinga dan mata, tetapi mereka tidak menggunakannya untuk mendengar dan melihat ayat-ayat Ilahi dan hakikat-hakikat. Penafian dengan sebutan “tidak mendengar” adalah kiasan dari “tidak menggunakan pendengaran”, sebagaimana sebutan “tidak melihat” adalah kiasan untuk “tidak menggunakan penglihatan”. Selanjutnya Allah SWT menyifati orang mukmin dengan tiga sifat, yaitu: (1) beriman kepada Allah; (2) beramal saleh; dan (3) tunduk kepada Allah, ketika mengatakan: “dan merendahkan diri kepada Tuhan mereka”. Jadi, orang mukmin yang saleh adalah buah dari pohon keimanan, sebagaimana tunduk dan pasrah (tasliim) serta yakin akan janji Allah juga termasuk buah dari keimanan. Orang mukmin selalu mau mendengar dan melihat ayat-ayat-Nya di jalan pengukuhan iman di dalam hati dan perolehan buahnya dengan amal. Kemudian Allah SWT memperumpamakan orang kafir dan orang mukmin dengan tamtsil berikut: “Perbandingan kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat

dan dapat mendengar. Adakah kedua golongan itu sama keadaan dan sifatnya? Maka tidakkah kamu mengambil pelajaran (dari pada perbandingan itu)?”. Artinya, perumpamaan golongan mukmin seperti orang yang melihat dan mendengar, dan perumpamaan golongan kafir seperti orang yang buta dan tuli. Karena orang beriman memanfaatkan panca inderanya dalam mengenal Sang pemberi nikmat, sifat-Nya dan af’âl-Nya. Sedangkan orang-orang kafir hanya menyianyiakannya, sehingga jadilah mereka sebagai orang-orang yang tidak melihat dan tidak mendengar. Di tengah peletakan antara yang buta dan yang tuli sebagaimana di tengah peletakan antara yang melihat dan yang mendengar, adalah untuk memberikan banyaknya penyerupaan yang berarti: Keadaan orang kafir seperti keadaan orang buta dan orang tuli. Sedangkan keadaan orang mukmin seperti orang yang melihat dan mendengar. Kesimpulannya adalah: tidak sama orang yang dapat melihat dan dapat mendengar dengan orang yang buta dan tuli. Maka, orang mukmin dan kafir juga tidak sama. Surat ar-Ra’d Tamtsîl 20 ‫ﻟﻪ ﺩﻋﻮﺓ ﺍﻟﺤﻖ ﻭ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻳﺪﻋﻮﻥ ﻣﻦ ﺩﻭﻧﻪ ﻻ ﻳﺴﺘﺠﻴﺒﻮﻥ ﻟﻬﻢ ﺑﺸﻲء ﺇﻻ ﻛﺒﺎﺳﻂ ﻛﻔﻴﻪ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻤﺎء ﻟﻴﺒﻠﻎ ﻓﺎﻩ ﻭ ﻣﺎ ﻫﻮ ﺑﺒﺎﻟﻐﻪ‬ *‫ﻭ ﺩﻋﺎء ﺍﻟﻜﺎﻓﺮﻳﻦ ﺇﻻ ﻓﻲ ﺿﻼﻝ‬ Artinya: “Hanya bagi Allah-lah (hak mengabulkan) do’a yang benar. Dan berhalaberhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka, melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya air sampai ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya. Dan do’a (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka” [arRa’d: 14].

Tafsir Ayat Kalimat “lahu da’watu l-haqq” (bagi-Nyalah –hak menerima– seruan yang benar), dhorf “lâm” didahulukan untuk memberikan makna hashr (hanya), yang dikuatkan oleh kalimat berikutnya yang menafikan seruan dari selain yang benar. Sebagaimana penyandaran (idhâfah) kata ad-da’wah pada kata al-haqq merupakan idhâfah yang disifati (mausuuf) pada sifatnya; yakni ad-da’watu l-haqqu lahu (seruan/doa yang benar bagi-Nya). Karena seruan atau doa (ad-da’wah) itu adalah pengarahan (atau pencarian) perhatian Yang diseru (al-mad’uu) pada yang menyeru (ad-dâ’ii). Sedangkan pengabulan (al-ijâbah) adalah menghadapnya (iqbâl) al-mad’uu pada ad-dâ’ii. Kedua hal ini khusus bagi Allah Yang Maha Agung namaNya. Adapun selain-Nya, tidak dapat memberi madharrat dan manfaat, tidak dapat memberi hidup dan mati, dan tidak punya hari kiamat, maka bagaimana mungkin ia menjawab doa si penyeru. Kesimpulannya adalah, seruan yang benar yang dapat menghasilkan pengabulan hanyalah seruan yang ditujukan kepada Allah SWT, Yang Mahahidup, Mahaberkehendak yang tidak dipaksa, Maha Kuasa atas segala sesuatu dan Maha Kaya. Dengan demikian, seruan atau doa itu ada dua macam: (1) seruan yang benar (da’wah haqqah), dan (2) seruan yang batil (da’wah bâthilah). Seruan yang benar adalah bagi Allah. Dan seruan selain kepada-Nya adalah seruan yang batil. Sebab selain-Nya tidak mendengar dan tidak berkehendak, tidak melihat dan tidak kuasa. Indikasi pada seruan yang batil ini terlihat dalam ayat: “Dan berhala-berhala yang mereka sembah selain Allah tidak dapat memperkenankan sesuatupun bagi mereka”. Jadi, telah diketahui bersama tentang wajah tiadanya pengabulan (istijabah) itu.

Allah SWT mengecualikan satu gambaran dari tiadanya pengabulan, dengan pengecualian konseptual (istitsnâ` shuri) dalam ayat: “melainkan seperti orang yang membukakan kedua telapak tangannya ke dalam air supaya air sampai ke mulutnya, padahal air itu tidak dapat sampai ke mulutnya”. Jadi, menyeru patung-patung berhala dan meminta hajat kepada mereka, itu lebih mirip dengan keadaan orang dahaga yang jauh dari air, seperti yang orang duduk di atas bibir sumur lalu ia membuka kedua telapak tangannya ke dalam sumur supaya air sampai ke mulutnya, sementara jarak antara ia dan air itu jauh sekali. Ath-Thabrasi berkata: “Ini adalah matsal yang dibuat Allah bagi setiap orang yang menyembah dan berdoa kepada selain-Nya, yang berharap dapat memberi manfaat kepadanya. Perumpamaannya seperti orang yang membuka kedua telapak tangannya ke air dari jarak yang jauh, untuk diminumnya dan melepaskan dahaganya. Dan air tersebut tidak sampai ke mulutnya lantaran jauhnya jarak antara keduanya. Demikian halnya orang-orang musyrik yang menyembah berhala-berhala, yang tidak memberi manfaat kepada mereka dan tidak dapat mengabulkan doa mereka” (Majma’ al-Bayan: 3/287). Mungkin saja ayat di atas ditafsirkan dengan bentuk lain. Misalnya seperti ini: “Berhala itu tidak mengabulkan sebagaimana pengabulan air bagi orang dahaga yang membuka kedua telapak tangan kepadanya, yang berharap agar air itu bergerak ke mulut orang yang meminta atau mendekatkan mulut ke air. Padahal air adalah benda mati yang tidak merasakan pembukaan kedua telapak tangan orang itu, kehausan dan kebutuhannya, dan air itu pun tidak mampu mengabulkan doa dan menyampaikan mulutnya. Demikian pula halnya dengan apa yang mereka seru adalah benda mati yang tidak merasakan doa mereka, tidak mampu mengabulkan apapun dan tidak pula memberi manfaat” (al-Kasysyaf: 2/ 162).

Yang tampak lebih jelas dan kuat adalah tafsir yang pertama. Sebab tuhantuhan, baik benda mati yang tidak berperasa, atau malaikat, atau jin, arwah, yang meskipun berperasa, mereka tidak memiliki kekuatan apapun untuk mengabulkan. Pandangan dari tafsir untuk ayat ini tertuju khusus pada tuhan-tuhan yang merupakan benda mati, bukan selainnya. Pada kalimat selanjutnya: “Dan do’a (ibadat) orang-orang kafir itu, hanyalah sia-sia belaka (dhalâl)”, menunjukkan bahwa dhalâl berarti keluar dari jalan dan/atau perjalanan yang tidak menyampaikan seseorang pada tujuan. Doa kepada selain-Nya adalah keluar dari jalan yang mengantar kepada tujuan. Sebab, tujuan dari berdoa adalah penghadapan (tawajjuh) dan kemudian pengabulan (ijabah). Jadi tuhan-tuhan palsu itu sama saja, mereka itu hampa dari penghadapan dan juga tidak mampu mengabulkan. Maka, kesia-siaan (dhalâl) manakah yang lebih jelas dari ini. Tamtsîl 21 ‫ﺃﻧﺰﻝ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻤﺎء ﻣﺎء ﻓﺴﺎﻟﺖ ﺃﻭﺩﻳﺔ ﺑﻘﺪﺭﻫﺎ ﻓﺎﺣﺘﻤﻞ ﺍﻟﺴﻴﻞ ﺯﺑﺪﺍ ﺭﺍﺑﻴﺎ ً ﻭ ﻣﻤﺎ ﻳﻮﻗﺪﻭﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﻨﺎﺭ ﺍﺑﺘﻐﺎء ﺣﻠﻴﺔ ﺃﻭ‬ ‫ﻣﺘﺎﻉ ﺯﺑﺪ ﻣﺜﻠﻪ ﻛﺬﻟﻚ ﻳﻀﺮﺏ ﷲ ﺍﻟﺤﻖ ﻭ ﺍﻟﺒﺎﻁﻞ ﻓﺄﻣﺎ ﺍﻟﺰﺑﺪ ﻓﻴﺬﻫﺐ ﺟﻔﺎ ًء ﻭ ﺃﻣﺎ ﻣﺎ ﻳﻨﻔﻊ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻴﻤﻜﺚ ﻓﻲ ﺍﻷﺭﺽ‬ *‫ﻛﺬﻟﻚ ﻳﻀﺮﺏ ﷲ ﺍﻷﻣﺜﺎﻝ‬ Artinya: “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah menurut ukurannya, dan arusnya membawa buih yang mengembang. Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu. Demikianlah Allah membuat perumpamaan (bagi) yang benar dan yang bathil. Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaanperumpamaan” [ar-Ra’d: 17]. Tafsir Ayat

Al-wâdi adalah kaki bukit besar, yang merendah yang menghimpun dan menyimpan air hujan di dalamnya. Barangkali, kata al-wâdi berasal dari kata ad-diyah (diyat), karena diyat adalah pengumpulan harta dalam jumlah besar yang ditunaikan karena pembunuhan. Al-qadar berarti bersambungnya sesuatu dengan yang lain tanpa penambahan dan pengurangan. Jika keduanya sama maka itulah al-qadar, dan qadr dan qadar adalah dua kata seperti syibr dan syabar. Al-ihtimâl berarti mengangkat sesuatu di atas punggung dengan kekuatan si pembawa. Dan az-zabad berarti kotoran yang meluap, di antaranya kotoran buih dan kotoran banjir. Al-jufâ` seperti dalam kalimat ajfa`ata l-qidra bi zabadihâ, artinya melemparkan buihnya. Al-iiqâd sama dengan menaruh kayu bakar dalam api. Almatâ’ adalah sesuatu yang disenangi. Al-haqq –dalam etimologi– berarti perkara yang tetap, yang berlawanan kata dengan al-bathil. Mafhum al-haqq sangat luas meliputi segala maujud dan ajaran yang tetap dan tidak berubah, termasuk kaidah-kaidah matematika, arsitek dan banyak lagi di antara pengetahuan-pengetahuan tabiat. Jika suatu ketetapan sudah sampai pada tingkatan tinggi maka itulah al-haqq yang tiada cacat baginya. Dan al-makts berarti keberadaan di tempat sepanjang zaman. Jika arti kata-kata di atas telah dimengerti, maka ketahuilah bahwa ayat ini memperumpamakan haq dan batil dalam sebuah perumpamaan yang mengandung beberapa tamtsil berikut: Pertama, bahwa air bah yang turun deras dari ketinggian bukit atau gunung, yang mengalir di lembah-lembah itu juga membawa buih yang mengembang ikut

bersamanya. Al-haqq seperti air banjir, dan al-bathil seperti buih atau kotoran (zabad) yang meluap di atasnya. Kedua, bahwa barang tambang atau logam yang dicairkan dengan api yang menyala dalam wadah atau tungku itu mencair dan luapan di atasnya ada berupa kotoran. Tujuan mencairkan adalah untuk memisahkan logam yang bernilai dari kotoran dan buihnya. Artinya, al-haqq seperti logam mulis, emas, perak dan tambangtambang berharga lainnya. Sedangkan al-bâthil seperti kotoran dan buihnya yang kotor. Ketiga, bahwa yang memiliki kelanggengan, keabadian, ketetapan dan bermanfaat bagi manusia – seperti air dan sesuatu yang diambil untuk perhiasan dan kesenangan – menyerupai al-haqq. Dan sesuatu yang bukan demikian, seperti buih banjir dan kotoran periuk yang hilang dibuang, menyerupai al-bâthil. Penjelasan detailnya diuraikan melalui keterangan berikut: “Allah telah menurunkan air (hujan) dari langit, maka mengalirlah air di lembah-lembah”, yang terjadi di lahan atau daerah hujan yang berlainan pada yang luas maupun sempit, pada yang besar maupun yang kecil; “menurut ukurannya”, yakni semua teraliri dan mengambil atau menyerap dengan kemampuan masing-masing. Jadi limpahan karunia Allah SWT bersifat umum tanpa dibatasi apapun. Pembatasan terletak pada yang menerima, masing-masing mengambil menurut potensinya sendiri. Potensi tumbuhtumbuhan berbeda dengan potensi binatang dan manusia. Tiap maujud dilimpahi sesuai dengan potensinya. Sebagaimana banjir yang mengalir deras dari ketinggian bukit adalah mutlak tanpa memilih, namun setiap lekukan lereng dan lembah mengambil air menurut potensi dan muatannya. “Maka arus itu membawa buih yang mengembang”, yakni yang mengapung di atas air. Begitulah keterangan untuk tamtsil pertama.

Kata zabad pengertiannya tidak terbatas hanya pada “banjir yang menghanyutkan” saja, tetapi juga berarti “buih yang mengapung di atas permukaan berbagai logam dan tambang yang dicairkan”, tempat dicelupkan antara lain permata untuk perhiasan dan kesenangan. Begitu yang dapat diambil dari kalimat: “Dan dari apa (logam) yang mereka lebur dalam api untuk membuat perhiasan atau alat-alat, ada (pula) buihnya seperti buih arus itu”. Demikian keterangan untuk tamtsil kedua, sebagaimana firman Allah SWT, “Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan”, yakni demikianlah alhaqq dan al-bâthil disifati untuk dapat diambil (dipilih) jalannya di antara manusia. Selanjutnya, ayat memberi isyarat pada tamtsil ketiga, bahwa di antara tandatanda al-haqq ialah kelanggengan dan manfaatnya bagi manusia. Namun sebaliknya, “Adapun buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya”, yakni buih air bah dan buih sesuatu yang mereka nyalakan, akan lenyap dalam waktu sekejap. Seakan-akan tidak pernah disebut-sebut sebelumnya, hilang sia-sia, batil, dan musnah. “Adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi”, yakni air yang bersih atau tambang yang murni, yang dimanfaatkan oleh manusia akan tetap berada di bumi. Kemudian Allah menutup ayat ini dengan kalimat; “Demikianlah Allah membuat perumpamaan-perumpamaan”. Sebagaimana telah disinggung dalam mukadimah tentang makna dharbu l-matsal (membuat perumpamaan, peribahasa), dan telah disebutkan bahwa yang dimaksud dharbu l-matsal adalah menggambarkan dan menjelaskan keadaan yang diserupakan). Demikianlah mengenai tafsir makna lahiriyah ayat. Dan ayat ini termasuk salah satu permulaan ayat-ayat Qur`âniyah yang membahas tentang karakter al-haqq

dan al-bathil, tentang geraknya, bentuk kemunculannya, dan dampak-dampak yang akan berlaku atasnya. Tak salah apabila kita merujuk pada ayat: 1- Bahwa keimanan dan kekufuran adalah salah satu mishdaq paling jelas bagi kebenaran dan kebatilan. Di bawah naungan iman kepada Allah SWT terdapat kehidupan bagi masyarakat, keadilan dan solidaritas kemanusiaan. Jadi suatu umat yang tidak memiliki keimanan akan terjerambab dalam kezaliman, keegoisan dan terlepas dari ikatan kemanusian yang akan segera menerbangkan masyarakat ke udara dan kemudian lenyap. 2- Bahwa buih sangat mirip dengan hijab yang menutupi wajah al-haqq dalam waktu sekejap. Ketika lenyap dengan cepat, muncul wajah hakikat, ialah air dan logamlogam yang bermanfaat. Demikianlah karakter al-bâthil. Kebatilan bisa menutupi wajah kebenaran melalui propaganda-propaganda yang menjenuhkan, namun kemunculannya tidak akan lama dan akan segera hilang bagai buih yang cepat menghilang. Allah SWT berfirman: “Dan katakanlah: ‘Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap’. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap” [al-Isra: 81]. Dan firman-Nya: “Dan Allah menghapuskan yang batil dan membenarkan yang haq dengan kalinat-kalimat-Nya” [asy-Syura: 24]. 3- Bahwa air dan logam-logam adalah sumber keberkahan dan kebaikan bagi manusia, sedangkan buih adalah kotoran yang tidak bermanfaat. Demikian pula yang benar dan yang batil. Yang benar itu seperti keimanan dan keadilan, yang bermanfaat bagi manusia. Sedangkan yang batil itu seperti kufur dan kezaliman, yang tidak bermanfaat. 4- Bahwa air adalah karunia material yang Allah limpahkan dari langit ke atas lembah-lembah dan padang sahara. Masing-masing mendapatkan bagiannya sesuai

ukuran luasnya. Lembah besar menampung air banyak, lembah kecil menampung air lebih sedikit. Demikian pula keadaan dalam ruh dan jiwa. Setiap jiwa memperoleh bagian dari pengetahuan-pengetahuan ilahiyah sesuai potensinya. Ada jiwa yang seperti ‘Arsy ar-Rahman, dan ada jiwa yang sempit penampungannya. Allah SWT berfirman: “Padahal Dia sesungguhnya telah menciptakan kamu dalam beberapa tingkatan kejadian” [Nuh: 14]. Rasulullah saw bersabda: “Manusia-manusia adalah tambang-tambang seperti tambang-tambang emas dan perak” (Bihar al-Anwar: 4/405). Imam Ali bin Abi Thalib as berkata kepada Kumail: “Sesungguhnya kalbu-kalbu ini adalah wadahwadah, dan kalbu yang terbaik adalah yang lebih luas (muatannya)” (Nahjul Balaghah, al-Hikam No. 127). Jadi pengetahuan-pengetahuan ilahiyah seperti bah yang deras, dan kalbu-kalbu seperti lembah-lembah dengan berbagai macam bentuk dan ukurannya). Barangkali pula, kalimat “bi qadrihâ” –pada bagian ayat– adalah indikasi pada maksud lainnya, yaitu bahwa air yang deras adalah air kehidupan yang menumbuhkan tanaman-tanaman yang berbuah di tanah-tanah yang subur, bukan di tanah-tanah tandus yang tidak tumbuh padanya melainkan duri-duri. 5- Bahwa air berada di dalam perut bumi, menyerap dan menetap di sana sepanjang kurun waktu yang lama, sehingga manusia dapat mengambil manfaat darinya dengan mengeluarkannya. Begitu pula dengan al-haqq, ia tetap dan tidak lenyap. Al-haq bersifat langgeng, tidak musnah, yang berlawanan dengan al-bâthil. Jadi yang benar berwilayah sedangkan yang batil berdebu dan beterbangan tak menentu dan lalu lenyap. 6- Kebatilan tampak dalam berbagai macam bentuk, sebagaimana buih yang mengapung di atas air dan di atas cairan-cairan tambang pada sisi-sisi yang berlainan.

Tetapi kebenaran adalah satu dan berwajah satu. Adapun yang batil beraneka ragam wajah.. 7- Kebatilan bergantung pada keberadaan haq. Ibarat tanpa keberadaan air, maka tiadalah buih. Maka pandangan-pandangan dan kepercayaan-kepercayaan yang batil terbangun bahan-bahannya menumpang pada keyakinan-keyakinan yang haq. Kebatilan muncul melalui perwujudan tahrif (perubahan) dalam rukun-rukun dan peniruan-peniruannya terhadap kebenaran. Seandainya kebenaran tidak memiliki wilayah, maka kebatilan tidak memiliki perjalanan sama sekali. Allah SWT berfirman: “maka arus itu membawa buih yang mengembang”. 8- Penyerupaan al-haqq dengan air dan al-bâthil dengan buih adalah sebuah petunjuk yang halus, bahwa al-bâthil seperti buih, sebagaimana ia berjalan di air deras yang bergelombang dan mengalir tidak tenang. Begitulah kebatilan, ia muncul dalam kondisi-kondisi yang terombang-ambing tak beraturan dan tiada ketetapan. 9- Gerak al-bâthil meski sementara waktu, ia berada dalam sepanjang gerak al-haqq dan menembus dalam hati. Al-bâthil menunggangi gelombang al-haqq untuk sampai tujuan-tujuannya. Ia laksana buih menaiki gelombang air untuk mempertahankan keberadaannya. 10- Kebatilan di samping tidak memiliki tempat dalam hakikat, bilamana terlepas dari hakikat, ia tidak akan berdaya untuk tampil diri meskipun dalam sekilas waktu. Kebatilan mencari jati diri dengan berbaur dengan al-haqq sehingga ia bisa muncul di tengah masyarakat. Buih terbentuk dari bagian-bagian yang berair, dan karena itu jika terlepas sebagian darinya, niscaya ia binasa. Begitu pula kebathilan dalam pandangan dan keyakinan. Imam Ali bin Abi Thalib as berkata: “Apabila kebatilan murni dan tidak bercampur dengan haq, (maka) ia tidak sembunyi dari orang-orang yang mencarinya.

Dan apabila yang haq murni dan tidak bercampur dengan yang batil, orang-orang yang menaruh kebencian kepadanya akan dibungkamkan. Namun, yang kerap terjadi ialah sesuatu yang diambil dari sana, dan keduanya bercampur. Pada tahap ini iblis menaklukkan teman-temannya, dan yang melepaskan diri hanyalah mereka yang sebelumnya telah diberi kebajikan oleh Allah SWT” (Nahjul Balaghah: 49). *** Sebagian kitab-kitab tentang amtsâl al-Quran, memasukkan ayat berikut ini dalam al-amtsâl: ‫ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺠﻨﺔ ﺍﻟﺘﻲ ﻭﻋﺪ ﺍﻟﻤﺘﻘﻮﻥ ﺗﺠﺮﻱ ﻣﻦ ﺗﺤﺘﻬﺎ ﺍﻷﻧﻬﺎﺭ ﺃﻛﻠﻬﺎ ﺩﺍﺋﻢ ﻭ ﻅﻠّﻬﺎ ﺗﻠﻚ ﻋﻘﺒﻰ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺍﺗﻘﻮﺍ ﻭ ﻋﻘﺒﻰ ﺍﻟﻜﺎﻓﺮﻳﻦ‬ *‫ﺍﻟﻨﺎﺭ‬ Artinya: “Perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa ialah (seperti taman) yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; tak henti-henti berbuah sedang naungannya (demikian pula). Itulah tempat kesudahan bagi orangorang yang bertakwa; sedang tempat kesudahan bagi orang-orang kafir ialah neraka” [ar-Ra’d: 35]. Namun demikian, yang tampak dalam ayat ini bukanlah dalam kategori tamtsil, karena ia merupakan cabang adanya musyabbah (yang diserupakan) dan musyabbah bihi (yang dijadikan penyerupa). Sementara ayat ini dalam menerangkan balasan orang-orang yang takwa dan orang-orang kafir, dengan mengatakan: Balasan orang-orang yang takwa adalah bahwa mereka menempati surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai, tak henti-henti berbuah dan naungannya demikian juga (menaungi) . Hal ini berbeda (keadaanya) dengan orang-orang kafir, yakni balasan mereka adalah siksaan neraka. Dan di sini tidak ada empat perkara, tetapi hanya dua perkara.

Karena itu, matsal dalam ayat ini bermakna sifat, yakni beginilah keadaan surga dan sifatnya yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa. Memang, ath-Thabarsi pernah menyebutkan satu noktah menunjukkan bahwa barangkali ayat ini merupakan sebuah matsal, karena itu perhatikanlah! (Majma’ alBayan: 3/296). Surat Ibrahim Tamtsîl 22 ‫ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻛﻔﺮﻭﺍ ﺑﺮﺑّﻬﻢ ﺃﻋﻤﺎﻟﻬﻢ ﻛﺮﻣﺎﺩ ﺍﺷﺘﺪ ّﺕ ﺑﻪ ﺍﻟﺮﻳﺢ ﻓﻲ ﻳﻮﻡ ﻋﺎﺻﻒ ﻻ ﻳﻘﺪﺭﻭﻥ ﻣﻤﺎ ﻛﺴﺒﻮﺍ ﻋﻠﻰ ﺷﻲء ﺫﻟﻚ ﻫﻮ‬ *‫ﺍﻟﻀﻼﻝ ﺍﻟﺒﻌﻴﺪ‬ Artinya: “Orang-orang yang kafir kepada Tuhannya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu (atau debu) yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia). Yang demikian itu adalah kesesatan yang jauh” [Ibrahim: 18]. Tafsir Ayat Al-‘ashf adalah angin kencang, dan “yaumun ‘ashif” ialah hari ketika banyak angin ribut. Penggunaan kata al-‘ashf digunakan untuk memberi sifat pada hari, yang dengan begitu – dalam bahasa – berarti mubâlaghah. Seolah kedudukan hembusan angin kencang itu membuat hari berangin kencang, sebagaimana dikatakan; lailun ghâimun wa yaumun mâthirun (malam mendung dan hari hujan). Sesungguhnya Allah SWT memperserupakan amal orang-orang kafir yang siasia itu dengan abu dalam tiupan angin kencang. Sebagaimana halnya tiada seorang pun yang mampu mengumpulkan abu yang berterbangan dihempas angin kencang, maka begitu pula dengan upaya-upaya orang-orang kafir. Mereka tidak kuasa dari apa

yang telah mereka peroleh, sehingga amal-amal mereka tidak membawa manfaat apapun. Dalam ayat lain Allah SWT berfirman: “Dan Kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan” [al-Furqan: 23]. Yang dimaksud amal-amal mereka adalah bentuk amal saleh dalam pandangan umum, seperti melakukan silaturahim, membebaskan budak, menebus tawanan dan menolong orang-orang teraniaya (dan lain-lain). Ini terjadi sebagai konsekuensi dari amal-amal mereka yang dibangun di atas pondasi selain keimanan kepada Allah SWT. Tanpa beriman kepada Allah SWT maka mereka tidak mendapatkan hak apaapa atas amal-amal mereka. Sedangkan untuk perbuatan-perbuatan berupa maksiat adalah keluar dari konteks dan kandungan ayat, mengingat begitu jelasnya maksud kandungannya. Dan ayat di atas merupakan dalil atas orang kafir yang tidak mendapatkan pahala atas amal-amal salehnya pada hari kiamat, disebabkan amal yang bukan karena Allah SWT. Tentu saja, seandainya mereka melakukan amal-amal itu demi mengharap ridha dan keridhaan-Nya, maka mereka pasti dibalas dengan kebaikan pula dan akan menjadi perantara untuk meringankan penderitaan dari azab Allah SWT. Tamtsîl 23 ‫ﺃﻟﻢ ﺗﺮﻯ ﻛﻴﻒ ﺿﺮﺏ ﷲ ﻣﺜﻼ ﻛﻠﻤﺔ ﻁﻴﺒﺔ ﺃﺻﻠﻬﺎ ﺛﺎﺑﺖ ﻭ ﻓﺮﻋﻬﺎ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﺎء* ﺗﺆﺗﻲ ﺃﻛﻠﻬﺎ ﻛﻞ ﺣﻴﻦ ﺑﺈﺫﻥ ﺭﺑﻬﺎ ﻭ‬ *‫ﻳﻀﺮﺏ ﷲ ﺍﻷﻣﺜﺎﻝ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻟﻌﻠﻬﻢ ﻳﺘﺬﻛﺮﻭﻥ‬ Artinya: “Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada tiap musim dengan seizin

Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat” [Ibrahim: 24-25]. Tafsir Ayat Allah SWT memperumpamakan al-haqq dan al-bâthil, atau kufur dan iman dengan tamtsil-tamtsil yang bermacam-macam. Dalam ayat ini terdapat tamtsil yang memperumpamakan iman seperti pohon yang memiliki sifat-sifat berikut ini: 1- “Thayyibah”; pohon yang suci dan bersih, yang berbeda dengan pohon khabiitsah. Pohon ada dua macam: pertama, pohon yang berbuah pilihan, seperti buah tin, kurma, zaitun dan lain-lain. Kedua, pohon berbuah buruk, seperti jenis labu (yang pahit rasanya). 2- “Ashluhâ tsâbit”; pohon yang mempunyai akar-akar kuat menancap di dalam perut bumi, tak tergoyahkan oleh angin topan, dan tidak pula goyah oleh ombak-ombak besar. 3- “Far’hâ fi s-samâ`”; pohon yang memiliki dahan dan ranting yang menjulang ke langit yang menyerap cahaya, udara, dan air. Juga memiliki akar-akar yang kokoh bertahan dan menyerap air dan makanan dari tanah. Banyaknya cabangcabang atau ranting-ranting ini tidak mengganggu satu sama lain, sebagaimana ia juga tidak tercemari oleh apa yang ada di permukaan bumi. 4- “Tu’thii ukulahâ kulla hiin” (Pohon itu memberikan buahnya pada tiap musim); “pada setiap musim dan masa” bukan berarti setiap hari dan setiap bulan ia berbuah. Sampai dikatakan bahwa bukanlah sesederhana yang dibayangkan sebagai jenis pohon berbuah. Dengan ibarat lain; bahwa pohon semacam ini tidak berkurang dengan memberikan (buahnya). Tetapi selalu berbuah dalam setiap saat yang Allah tentukan

waktunya dan buah-buahnya untuk berbuah. Begitulah keadaan yang dijadikan penyerupa. Sementara tentang keadaan yang diserupakan, muncul berbagai pendapat dan ungkapan tetapi kurang dikuatkan oleh dalil. Yang tampak adalah bahwa yang diserupakan adalah keyakinan akan al-haqq yang kokoh; yaitu Tauhid, Keadilan (al‘adl), dan konsekuensi dari keduanya yang disebut dengan al-ma’âd (hari kebangkitan). Inilah aqidah yang kokoh lagi thayyibah, yang bersih dari setiap kesyirikan dan kesesatan. Yakni aqidah yang mempunyai buah-buah (hasil) pada dua kehidupan (dunia dan akhirat). Yang menunjukkan atas hal demikian ialah firman Allah SWT pada ayat setelahnya; “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat..” [Ibrahim: 27]. Pernyataan yang teguh bermakna aqidah yang lurus, yang mengejawantahkan kalimat tauhid sebenarnya dan syahadat (kesaksian) akan al-ma’âd dan lainnya. Allamah Sayyid Husain Thabathaba`i mengatakan: “Pernyataan keesaan (Allah) dan konsisten atasnya, adalah kebenaran pernyataan yang memiliki akar yang kuat terpelihara dari segala perubahan, kemusnahan dan kebatilan. Yakni, Allah Yang Agung nama-Nya dan wilayah hakikat-hakikat. Dan, (pernyataan yang haq itu) memiliki cabang-cabang yang tumbuh tanpa rintangan yang menghalangi, berupa keyakinan-keyakinan yang haq, akhlak yang mulia, dan amal-amal saleh, yang dengannya orang mukmin menghidupkan kehidupan thayyibah dan membangun alam insani dengan sebenarbenarnya. Cabang-cabang itu selaras dengan perjalanan sistem penciptaan yang mengantarkan pada keberadaan manusia yang tampak dengan keyakinan yang haq dan amal salehnya. (al-Mizan: 12/52).

Kemudian Allah SWT menutup ayat ini dengan menegaskan: “Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat”, yakni agar mereka kembali pada fitrah mereka. Sehingga mereka dapat meyakinkan bahwa kebahagiaan itu tergantung pada keyakinan yang benar yang memberi buah sehat bagi manusia di dua kehidupan (dunia dan akhirat). Dengan demikian, dapat dimaklumi dari apa yang dikatakan oleh sebagian mufasir, bahwa yang dimaksud kalimat tauhid oleh mereka tidak bertentangan dengan apa yang telah kami katakan. Karena yang dimaksud di sini adalah tamtstsul (pengamalan) kalimat tauhid, bukan sekedar ucapan lisan saja. Sebab Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: ‘Tuhan kami ialah Allah’, kemudian mereka tetap istiqamah, maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.” [al-Ahqaf: 13]. Maksud firman ini adalah pada perwujudannya (tahaqquq); bahwa pernyataan “rabbunâ Allâh” bukanlah sekadar pengucapan lisan semata. Dan Allah SWT telah memberikan indikasi pada aqidah yang benar, seperti dalam firman-Nya: “Siapa saja yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya. Kepada-Nya naik perkataan-perkataan yang baik, dan amal yang saleh dinaikkan-Nya. Dan orang-orang yang merencanakan kejahatan, bagi mereka azab yang keras, dan rencana jahat mereka akan hancur.” [Faathir: 10]. Ibarat dari kalimat “al-kalimu th-thayyib” adalah aqidah, dan amal saleh mengangkat aqidah tersebut. Dan telah dimaklumi bahwa segenap aqidah yang benar pastilah memiliki akar-akar kuat dalam hati. Ia juga memiliki cabang-cabang dan ranting-ranting dalam kehidupan. Cabang-cabang itu mempunyai daun dan buah-buahan, maka keyakinan kepada al-Wâjib (Allah) Yang Mahaadil lagi Mahabijaksana yang membangkitkan

manusia setelah kematian pastilah akan melahirkan ketetapan dalam hidup serta menjauhkan dari kezaliman, kesia-siaan dan kebinasaan. Dan selanjutnya, pondasi keyakinan ini memiliki cabang, yaitu keyakinan-keyakinan lainnya yang lurus. Sampai di sini, selesailah uraian mastal pertama bagi orang mukmin dan orang kafir, atau bagi keimanan dan kekufuran. Dalam ibarat lain, dikatakan pula bahwa tokoh-tokoh mulia dari orang-orang mukmin adalah perwujudan konkret dari kalimatullah yang thayyibah. Kehidupan mereka adalah akar keberkahan, seruan mereka mengundang gerakan. Karya, tulisan, ungkapan, murid-murid dan sejarah mereka, bahkan kuburan mereka, semuanya mengilhamkan, menghidupkan dan membimbing masyarakat (ke jalan yang benar). Cuma saja, dalam permasalahan ini, konotasi ayat kurang mendukung, mengingat Allah SWT menafsirkan “al-kalimah ath-thayyibah” (kalimat yang baik) sebagaimana telah diketahui, dengan firman-Nya: “Allah meneguhkan (iman) orangorang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat...”. Yang dimaksud dengan “al-qaul ats-tsâbit’” (perkataan yang tetap) –pada ayat ini– adalah “al-kalimah ath-thayyibah”. Sedangkan kalbu orang mukmin adalah al-ardhu at-thayyibah (tanah yang baik), tempat akar-akar pohon tersebut melekat kuat di dalamnya. Tamtsîl 24 ‫ﻭ ﻣﺜﻞ ﻛﻠﻤﺔ ﺧﺒﻴﺜﺔ ﻛﺸﺠﺮﺓ ﺧﺒﻴﺜﺔ ﺍﺟﺘﺜّﺖ ﻣﻦ ﻓﻮﻕ ﺍﻷﺭﺽ ﻣﺎ ﻟﻬﺎ ﻣﻦ ﻗﺮﺍﺭ‬ Artinya: “Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi; tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun” [Ibrahim: 26]. Tafsir Ayat

Allah SWT memperumpamakan aqidah yang lurus dengan matsal yang telah lalu, dan memperumpamakan aqidah yang batil dengan kontradiksi matsal sebelumnya (tamtsil ke 23). Penjelasannya adalah sebagai berikut: Kekufuran laksana pohon yang mempunyai sifat-sifat berikut: 1- “Khabiitsah”; lawan dari thayibah. Khabiitsah adalah tidak baik buahnya, atau pohon yang berbuah pahit rasanya. 2- “Ijtatstsat min fauqi l-ardh” (“yang telah dicabut akar-akarnya dari permukaan bumi”) berlawanan dengan – bagian ayat 24– “ashluhâ tsabitun” (yang teguh akarnya). Kata “ijtitsâts” bermakna melepaskan sesuatu dari akarnya, yakni mengambil, mencabut ,dan melepaskan akar-akarnya dari tanah. 3- “Mâ lahâ min qarâr” (“tidak dapat tetap (tegak) sedikitpun”); yakni pohon itu tidak mempunyai ketetapan, sehingga sangat mudah dirobohkan dan diterbangkan angin. Pohon itu juga tidak memiliki cabang-cabang dan ranting-ranting atau buahbuahan. Itulah keadaan yang dijadikan penyerupa. Adapun yang diserupakan ialah berupa aqidah yang sesat dan kufur, yang tidak bersandar pada argumentasi dan dalil, yang selalu diguncang kekaburan dan keraguan. Maka sesuailah awal ayat ke-27 surat Ibrahim berikut ini dengan tamtsil pertama (tamtsil ke-23); “Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat..”. Sedangkan akhir ayat ke-27 surat Ibrahim yang berbunyi; “Dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan berbuat apa yang Dia kehendaki” sesuai dengan tamtsil kedua ini (tamtsil ke-24). Yakni, Allah SWT menyesatkan Ahlulkitab karena berpaling dari hidayah-Nya. Hal itu disebabkan oleh sikap dan perbuatan

mereka sendiri yang membatasi diri untuk tidak memanfaatkan petunjuk umum yang diberikan kepada setiap manusia, yakni petunjuk “fitrah” dan “seruan para nabi”. Dan pada akhir ayat 27 ini, “yaf’alu man yasyâ`” (“berbuat apa yang Dia kehendaki”) bermakna bahwa kehendak Allah SWT berhubungan dengan menetapkan dan menolong orang-orang mukmin, dan menyesatkan dan menghinakan orang-orang yang zalim sesuai yang mereka lakukan. Dan kehendak Allah tidak pernah hampa kecuali muncul dari hikmah yang tinggi. Tamtsîl 25 ‫ﻭ ﺃﻧﺬﺭ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻳﻮﻡ ﺗﺄﺗﻴﻬﻢ ﺍﻟﻌﺬﺍﺏ ﻓﻴﻘﻮﻝ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻅﻠﻤﻮﺍ ﺭﺑﻨﺎ ﺃ ّﺧﺮﻧﺎ ﺇﻟﻰ ﺃﺟﻞ ﻗﺮﻳﺐ ﻧﺠﺐ ﺩﻋﻮﺗﻚ ﻭ ﻧﺘﺒﻊ ﺍﻟﺮﺳﻞ ﺃﻭ ﻟﻢ‬ ‫ﺗﻜﻮﻧﻮﺍ ﺃﻗﺴﻤﺘﻢ ﻣﻦ ﻗﺒﻞ ﻣﺎ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ ﺯﻭﺍﻝ* ﻭ ﺳﻜﻨﺘﻢ ﻓﻲ ﻣﺴﺎﻛﻦ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻅﻠﻤﻮﺍ ﺃﻧﻔﺴﻬﻢ ﻭ ﺗﺒﻴّﻦ ﻟﻜﻢ ﻛﻴﻒ ﻓﻌﻠﻨﺎ ﺑﻬﻢ ﻭ‬ *‫ﺿﺮﺑﻨﺎ ﻟﻜﻢ ﺍﻷﻣﺜﺎﻝ* ﻭ ﻗﺪ ﻣﻜﺮﻭﺍ ﻣﻜﺮﻫﻢ ﻭ ﻋﻨﺪ ﷲ ﻣﻜﺮﻫﻢ ﻭ ﺇﻥ ﻛﺎﻥ ﻣﻜﺮﻫﻢ ﻟﺘﺰﻭﻝ ﻣﻨﻪ ﺍﻟﺠﺒﺎﻝ‬ Artinya: “Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang yang zalim: “Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami (kembalikanlah kami ke dunia) walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul”. (Kepada mereka dikatakan): “Bukankah kamu telah bersumpah dahulu (di dunia) bahwa, sekali-kali kamu tidak akan binasa?, dan kamu telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri, dan telah nyata bagimu bagaimana Kami berbuat terhadap mereka, dan Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan”. Dan sesungguhnya mereka telah berbuat makar yang besar, padahal di sisi Allah-lah (balasan) makar mereka itu. Dan sesungguhnya makar mereka itu (amat besar) sehingga gunung-gunung dapat lenyap karenanya” [Ibrahim: 44-46]. Tafsir Ayat

Sesungguhnya

ayat

memperumpamakan

keadaan

kaum

yang

telah

menyaksikan bagaimana turunnya bagian dari azab dan bala. Mereka mengaku menyesal atas perbuatan-perbuatan yang dibenci dan memohon penangguhan, sehingga mereka dapat memperbaiki apa-apa yang telah mereka sia-siakan, berupa keimanan dan amal saleh. Allah SWT berfirman: “Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka”, yakni menyaksikan turunnya azab di dunia dengan bukti permohonan tangguh mereka, seperti dalam kalimat: “maka berkatalah orang-orang yang zalim: “Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami (kembalikanlah kami ke dunia) walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul”. Namun Allah menolak seruan mereka, karena permohonan itu bukanlah permohonan yang tulus. mereka dikembalikan kepada-Nya dengan melihat azab. Lalu Allah SWT menyeru mereka: “(Kepada mereka dikatakan): “Bukankah kamu telah bersumpah dahulu (di dunia) bahwa, sekali-kali kamu tidak akan binasa?”. Dengan demikian, makna ayat menjadi: Kalian telah bersumpah sebelum azab turun, bahwa kalian tidak akan binasa dalam kesenangan sampai diazab. Dan kalian menyangka bahwa kalian –dengan memiliki daya dan upaya– adalah umat yang kekal lagi menguasai kendali semua urusan, lalu

kenapa (sekarang) memohon

penangguhan? Juga dikatakan kepada mereka, dengan bentuk jawaban yang lain; “dan kamu telah berdiam di tempat-tempat kediaman orang-orang yang menganiaya diri mereka sendiri, dan telah nyata bagimu bagaimana Kami telah berbuat terhadap mereka dan telah Kami berikan kepadamu beberapa perumpamaan”. Yakni kalian telah mendiami tempat-tempat orang-orang yang mendustakan para rasul, di mana Allah membinasakan mereka. Dan kalian mengetahui apa yang telah turun kepada

mereka berupa bala, kehancuran dan azab seperti kaum ‘Ad dan Tsamud. Dan Kami (Allah) telah membuat perumpamaan-perumpamaan untuk kalian, dan telah pula memberitahu kalian tentang keadaan orang-orang terdahulu agar kalian dapat merenunginya. Namun kalian tidak mau dinasihati. Dari keterangan di atas, maka al-musyabbah bihi adalah keadaan umat-umat yang binasa disebabkan perbuatan-perbuatan mereka yang lalim. Sedangkan almusyabbah adalah umat-umat setelah mereka, yang telah menyaksikan azab dan memohon penangguhan untuk tidak dimatikan, sambil menyesal. Padahal, pada saat itu sudah bukan saatnya untuk lari melepaskan diri. Surat an-Nahl Tamtsîl 26 ّ ‫ﻟﺘﺴﺄﻟﻦ ﻋ ّﻤﺎ ﻛﻨﺘﻢ ﺗﻘﺘﺮﻭﻥ* ﻭ ﻳﺠﻌﻠﻮﻥ � ﺍﻟﺒﻨﺎﺕ ﺳﺒﺤﺎﻧﻪ ﻭ ﻟﻬﻢ ﻣﺎ‬ �‫ﻭ ﻳﺠﻌﻠﻮﻥ ﻟﻤﺎ ﻻ ﻳﻌﻠﻤﻮﻥ ﻧﺼﻴﺒﺎ ً ﻣﻤﺎ ﺭﺯﻗﻨﺎﻫﻢ ﺗﺎ‬ ‫ﻳﺸﺘﻬﻮﻥ* ﻭ ﺇﺫﺍ ﺑﺸّﺮ ﺃﺣﺪﻫﻢ ﺑﺎﻷﻧﺜﻰ ﻅﻞ ﻭﺟﻬﻪ ﻣﺴﻮﺩ ّﺍ ﻭ ﻫﻮ ﻛﻈﻴﻢ* ﻳﺘﻮﺍﺭﻯ ﻣﻦ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﻣﻦ ﺳﻮء ﻣﺎ ﺑﺸّﺮ ﺑﻪ ﺃ ﻳﻤﺴﻜﻪ‬ ‫ﻋﻠﻰ ﻫﻮﻥ ﺃﻡ ﻳﺪﺳّﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺘﺮﺍﺏ ﺃﻻ ﺳﺎء ﻣﺎ ﻳﺤﻜﻤﻮﻥ* ﻟﻠﺬﻳﻦ ﻻ ﻳﺆﻣﻨﻮﻥ ﺑﺎﻵﺧﺮﺓ ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺴﻮء ﻭ � ﺍﻟﻤﺜﻞ ﺍﻷﻋﻠﻰ ﻭ ﻫﻮ‬ *‫ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﺍﻟﺤﻜﻴﻢ‬ Artinya: “Dan mereka sediakan untuk berhala-berhala yang mereka tiada mengetahui (kekuasaannya), satu bahagian dari rezki yang telah Kami berikan kepada mereka. Demi Allah, sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang telah kamu adaadakan. Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan). Maha suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak laki-laki). Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah

akhirat, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu. Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang maha tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” [an-Nahl: 56-60] Tafsir Ayat Sesungguhnya Allah SWT adalah Maha Wajib lagi Maha Kaya dari segala sesuatu. Allah berfirman: “Hai orang-orang, kalian adalah fakir kepada Allah, dan Allahlah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji” [Fathir: 15]. Allah tidak menyifati diriNya dengan sesuatu yang berbau kefakiran dan kebutuhan. Tetapi kaum musyrikin yang tidak mengenal Allah telah menyifati-Nya dengan sifat-sifat yang berkesan kefakiran dan kebutuhan. Allah SWT menceritakan tentang ini di dalam beberapa ayat, antara lain; “Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bahagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata: ‘Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami’. Maka sajian-sajian yang diperuntukkan bagi berhala-berhala mereka tidak sampai kepada Allah; dan sajian-sajian yang diperuntukkan bagi Allah, maka sajian itu sampai kepada berhala-berhala mereka. Amat buruklah ketetapan mereka itu” [al-An’am: 136]. Orang-orang kafir itu salah dalam dua perkara: 1- Tanah rendah antara dua anak bukit adalah bagian milik Allah, yang berisikan tanaman dan ternak. Orang-orang ingkar menganggap seolah Allah fakir, lalu mereka menyisihkan bagian untuk-Nya dari tanaman yang mereka tanam dan ternak yang mereka pelihara. 2- Ketidak-adilan dalam membagi dan menentukan. Mereka memberikan apa yang sesungguhnya milik Allah kepada sekutu-sekutu (berhala-berhala) dan tidak

sebaliknya. Ini tiada lain melainkan kebodohan mereka akan kedudukan Allah SWT, asma, dan sifat-Nya. Secara detail telah diisyaratkan surat al-An’am dalam bentuk yang ringkas: “Dan mereka sediakan untuk berhala-berhala yang mereka tiada mengetahui (kekuasaannya), satu bahagian dari rezki yang telah kami berikan kepada mereka. Demi Allah, sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang telah kamu adaadakan...”. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa mereka membenci anak perempuan dan menentapkannya bagi Allah, dan mereka menyenangi anak laki-laki dan menetapkannya untuk diri mereka. Hal ini disebutkan dalam ayat: “Dan mereka menetapkan bagi Allah anak-anak perempuan. Maha suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak laki-laki)”. Dan yang dimaksud makna al-maushul (sebagai kata sambung dalam nahwu) dalam potongan ayat “mâ yasytahuun” (“apa yang mereka sukai”), ialah anak laki-laki. Dengan demikian makna ayat: “Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk”, adalah kaum musyrikin yang mengingkari hari akhirat, menyifati Allah dengan sifat-sifat yang buruk yang dicela dan dihinakan oleh akal (sehat). Persis seperti bentuk penyifatan mereka terhadap Allah dengan kefakiran, butuh, kekurangan, dan imkân (mungkin). Padahal Allah SWT adalah Maha Kaya Mutlak, Dia Maha Tinggi dari disifati dengan sifat-sifat buruk. Sebaliknya, seorang muwahhid (yang bertauhid kepada Allah) menyifati-Nya dengan kesempurnaan (sifat al-Kamâl), antara lain: hidup, ilmu, qudrat, mulia, agung dan perkasa. Dan Allah SWT dalam pandangan orang-orang mukmin adalah: “Dialah Allah Yang tiada tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha suci. Yang Maha sejahtera,

Yang Maha mengaruniakan keamanan, Yang Maha memelihara, Yang maha perkasa, Yang Maha kuasa, yang memiliki segala keagungan, Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dialah Allah Yang menciptakan, Yang mengadakan, Yang membentuk rupa, Yang mempunyai al-asmâ`ul-husnâ” [al-Hasyr: 23-24], “Dan bagiNyalah sifat yang Maha tinggi di langit dan di bumi” [ar-Rum: 27] dan “Dia mempunyai al-asmâ`ul-husnâ” [Thaha: 8]. Dari penjelasan di atas, muncul jawab soal yang telah dilontarkan ath-Thabarsi dalam kitab tafsir Majma’ al-Bayân. Pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin bergabung antara ayat; “Dan bagi-Nyalah sifat (al-matsal) yang Maha tinggi” dengan ayat; “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu (al-amtsâl) bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” [an-Nahl: 74]? Jawabannya: Yang dimaksud dharbu l-amtsâl (membuat perumpamaanperumpamaan) di sini adalah menyifati-Nya dengan sesuatu yang menunjukkan kefakiran dan butuh, atau menyerupakan-Nya dengan perkara-perkara material. Dan telah disebutkan di atas bahwa kaum musyrikin telah menetapkan bagi Allah bagian tanaman dan ternak, sebagaimana mereka juga menetapkan malaikat sebagai anakanak perempuan bagi-Nya; “Dan mereka menjadikan malaikat-kalaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha pemurah, sebagai orang-orang perempuan” [az-Zukhruf: 19], dan; “Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin” [ash-Shaffat: 158], serta sifat-sifat lain. Maha Suci Allah dari semua itu. Tamstil semacam ini adalah perkara terlarang, dan inilah yang dimaksud dalam kalimat ayat: “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu (al-amtsâl)” Adapun penyifatan bagi Allah SWT dengan sesuatu yang patut seperti keagungan, kebesaran, ilmu, qudrat dan lain sebagainya, al-Quran telah menjawab atas itu dan tidak ada larangan di dalamnya. Dengan bukti bahwa setelah melarang

perumpamaan penyerupaan terhadap-Nya, melontarkan dua perumpamaan bagi diriNya, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam tamtsil berikutnya. Dalam jawaban disebutkan bahwa kata al-amtsâl pada ayat di atas adalah bentuk jamak dari kata al-mitsl, yang bermakna an-nidd (sepadan). Jadi ukuran (wazân) ayat; lâ tadhribuu lllâha l-amtsâl seperti wazân ayat; lâ taj’aluu li llâhi andâdan (maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah) dalam alBaqarah ayat-22. Tetapi, ini makna yang jauh. Sebab kata al-matsal digunakan bersama kata adh-dharb (menjadi kalimat dharbu l-matsl. Penerj.), bukan al-mitsl yang bermakna sepadan, yang kata adh-dharb tidak pernah terlihat bersamanya. Dan apa yang telah dijelaskan dalam keterangan buku ini tidak jauh dengan ungkapan Syeikh ath-Thabarsi ketika mengatakan: Bahwa yang dimaksud al-amtsâl adalah al-asybâh (keserupaan-keserupaan), yakni; janganlah memperserupakan Allah dengan sesuatu. Dan yang dimaksud dengan “al-matsalu l-a’lâ” ialah “al-wasfu la’lâ” (sifat yang tinggi), yang mana Dia Maha dahulu, Maha kuasa, Maha mengetahui lagi Maha hidup, tiada serupa sesuatupun dengan-Nya. Dikatakan bahwa, yang dimaksud “al-matsalu l-a’lâ” adalah “al-matsalu lmadhrub bi l-haqq” (perumpamaan yang dibuat dengan kebenaran), dan kalimat dari bagian ayat: “lâ tadhribu llâha bi l-amtsâl” ialah perumpamaan-perumpamaan yang dibuat dengan kebatilan (Majma’ al-Bayan: 3/367). Di akhir pembahasan ini, disinggung pula satu hal, bahwa firman Allah SWT: “Orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, mempunyai sifat yang buruk; dan Allah mempunyai sifat yang Maha Tinggi; dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” yang dimasukkan dalam kategori al-am’tsâl alqur`âniyah belum diterima kebenarannya. Sebab, ayat ini menjelaskan penafian

penyifatan-Nya dengan sifat-sifat yang cela dan buruk, dan menetapkan penyifatan dengan sifat-sifat yang agung. Karena itu, manakah tamtsil(nya)? Tetapi dikatakan, bahwa penyerupaan diangkat dari kumpulan sifat yang dilontarkan oleh kaum musyrikin. Di mana mereka menyerupakan Allah dengan manusia yang amat butuh pada tanaman dan ternak, punya anak perempuan dan berhubungan dengan jin dan sifat-sifat buruk lainnya. Karena itu ayat ini tidak tergolong tamtsil yang diistilahkan. Atau, dapat dikatakan, pada hakikatnya adalah menolak tamtsil, atau mengarahkan orang mukmin pada penyifatan-Nya dengan Asmâ`u l-husnâ dan ash-shifâtu l-‘ulyâ (sifat-sifat agung). Tamtsîl 27 ‫ﻭ ﻳﻌﺒﺪﻭﻥ ﻣﻦ ﺩﻭﻥ ﷲ ﻣﺎ ﻻ ﻳﻤﻠﻚ ﻟﻬﻢ ﺭﺯﻗﺎ ً ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕ ﻭ ﺍﻷﺭﺽ ﺷﻴﺌﺎ ﻭ ﻻ ﻳﺴﺘﻄﻴﻌﻮﻥ* ﻓﻼ ﺗﻀﺮﺑﻮﺍ ﷲ ﺍﻷﻣﺜﺎﻝ‬ ‫ﺇﻥ ﷲ ﻳﻌﻠﻢ ﻭ ﺃﻧﺘﻢ ﻻ ﺗﻌﻠﻤﻮﻥ* ﺿﺮﺏ ﷲ ﻣﺜﻼً ﻋﺒﺪﺍ ً ﻣﻤﻠﻮﻛﺎ ً ﻻ ﻳﻘﺪﺭ ﻋﻠﻰ ﺷﻲء ﻭ ﻣﻦ ﺭﺯﻗﻨﺎ ﻣﻨّﺎ ﺣﺴﻨﺎ ﻓﻬﻮ ﻳﻨﻔﻖ ﻣﻨﻪ‬ *‫ﺳﺮﺍ ً ﻭ ﺟﻬﺮﺍ ً ﻫﻞ ﻳﺴﺘﻮﻭﻥ ﺍﻟﺤﻤﺪ � ﺑﻞ ﺃﻛﺜﺮﻫﻢ ﻻ ﻳﻌﻠﻤﻮﻥ‬ ّ Artinya: “Dan mereka menyembah selain Allah, sesuatu yang tidak dapat memberikan rezki kepada mereka sedikitpun dari langit dan bumi, dan tidak berkuasa (sedikit juapun). Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah. Sesungguhnya Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari kamu, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui” [an-Nahl: 73-75]. Tafsir Ayat Allah SWT mengungkap keburukan perbuatan kaum musyrikin, yaitu menyembah selain Allah Yang Maha Esa. Sembahan-sembahan mereka tidak

memberi rezki, manfaat dan madharrat kepada mereka. Bagaimana mereka menyembahnya sedangkan (berhala-berhala) itu tak ubahnya benda mati yang tidak dapat diharapkan kebaikan dan keburukan darinya; sungguh, betapa bodohnya mereka. Sesungguhnya, setiap ibadah hanyalah hak Tuhan, Sang pemberi rezki dan penjawab doa!? Allah SWT juga memperumpamakan sembahan-sembahan orang-orang musyrik dan al-Haqq yang patut disembah dengan tamtsil berikut ini: Misalkan, yang termiliki (mamluuk) yang tidak kuasa atas segala sesuatu dan tidak memiliki sesuatu bahkan dirinya adalah seutuhnya sebagai manifestasi kefakiran dan kebutuhan. Sedangkan pemilik (mâlik) ialah memiliki rezki dan kuasa atas menggunakan seluruh miliknya, sehingga ia (si pemilik) dapat memanfaatkan dan memberikan miliknya sekehendaknya. Nah, apakah dua karakter ini sama? Tentu saja, tidak! Dengan misal itu, tuhan-tuhan palsu mereka diumpamakan seperti seorang budak sahaya yang dimiliki, bukan pemilik apapun. Dan mengumpamakan Allah seperti pemilik kekayaan (kenikmatan), yang kuasa mendermakan dan menggunakan kekayaan itu sekehendaknya. Yang demikian ini ialah karena sifat al-wujud al-imkâni (yakni selain Allah) adalah kefakiran dan kebutuhan seutuhnya, yang tidak memiliki sesuatu dan tidak kuasa atas sesuatu pun. Sedangkan Allah SWT, Dialah Yang Terpuji dengan segala puji, dan Pemberi Nikmat kepada segala sesuatu. Dialah al-Mâlik, Sang Pemilik ciptaan, rezki, rahmat, ampunan, ihsân dan kenikmatan. Bagi-Nya segala pujian yang indah. Dialah Tuhan Yang Memelihara (ar-Rabb). Yang selain-Nya adalah hamba yang dipelihara (almarbuub). Lalu, dari keduanya, manakah yang patut disembah dan ditunduki?

Allah SWT membatasi pujian hanya untuk-Nya; segala puji bagi Allah, yakni bukan bagi selain-Nya. Jadi, pujian hanyalah milik Allah SWT. Bersamaan dengan itu kita dapat dibenarkan memuji kepada yang lain atas perbuatan-perbuatan ikhtiyâri yang terpuji. Kita memuji si pemberi atas pemberian-Nya, memuji si pengajar karena pengajarannya, memuji si ayah atas didikan dan bimbingan terhadap anak-anaknya. Bentuk keseluruhan pujian mereka itu adalah pujian majazi. Sebab, apapun upaya si pemberi atau si pengajar atau si ayah tidak pernah sebagai pemilik pujian. Sesungguhnya pujian hanyalah milik Allah SWT, Yang Maha Kuasa atas perbuatanperbuatan terpuji mereka. Maka pujian atas mereka kembali ke pujian-Nya. Karena itulah benar ketika kita mengatakan, bahwa pujian hanyalah kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Sehingga benarlah firman Allah dalam ayat di atas: “Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”, yakni syukur bagi Allah atas segala nikmat-Nya. Ath-Thabarsi berkata: “Di dalamnya terdapat indikasi bahwa dari-Nya lah segala kenikmatan (Majmâ’ al-Bayan: 3/375). Tamtsîl 28 ‫ﺿﺮﺏ ﷲ ﻣﺜﻼ ﺭﺟﻠﻴﻦ ﺃﺣﺪﻫﻤﺎ ﺃﺑﻜﻢ ﻻ ﻳﻘﺪﺭﻭﻥ ﻋﻠﻰ ﺷﻲء ﻭ ﻫﻮ ﻛﻞ ﻋﻠﻰ ﻣﻮﻻﻩ ﺃﻳﻨﻤﺎ ﻳﻮﺟﻬﻪ ﻻ ﻳﺄﺗﻲ ﺑﺨﻴﺮ ﻫﻞ‬ *‫ﻳﺴﺘﻮﻱ ﻫﻮ ﻭ ﻣﻦ ﻳﺄﻣﺮ ﺑﺎﻟﻌﺪﻝ ﻭ ﻫﻮ ﻋﻠﻰ ﺻﺮﺍﻁ ﻣﺴﺘﻘﻴﻢ‬ Artinya: “Dan Allah membuat (pula) perumpamaan: dua orang lelaki yang seorang bisu, tidak dapat berbuat sesuatupun dan dia menjadi beban atas penanggungnya, ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun. Samakah orang itu dengan orang yang menyuruh berbuat keadilan, dan dia berada pula di atas jalan yang lurus?” [an-Nahl: 76]. Tafsir Ayat Tamtsil yang lalu menjelaskan kedudukan tuhan-tuhan palsu berkaitan dengan ibadah dan ketundukan, dan kedudukan Allah SWT atas segala sesuatu. Pada tamtsil

ayat ini menjelaskan tentang tindakan penyembah patung-patung berhala dan tindakan orang-orang mukmin dan mereka yang tulus. Tindakan golongan pertama (kaum musyrik) diserupakan dengan hamba sahaya yang bisu, yang tidak kuasa atas sesuatupun. Dan tindakan golongan kedua (kaum mukmin) dan orang merdeka yang menyerukan keadilan dan berada di atas jalan yang lurus. Rincian sifat-sifat seorang hamba sahaya itu sebagai berikut ini: 1- Bisu, tidak bisa bicara dan sudah tentu tidak bisa mendengar, sebagaimana kelaziman antara bisu dan tidak mendengar; bahkan bisu adalah akibat tuli. Bilamana alat pendengaran tidak berfungsi maka alat bicara juga tidak berfungsi. Jika seseorang hilang pendengaran maka ia tidak mampu belajar bahasa. 2- Lemah, tidak kuasa atas sesuatupun. Dengan adanya sifat ini, boleh dikatakan, dia juga tidak dapat melihat. Sebab, kalau dia melihat maka tidak dapat disebut tidak kuasa atas sesuatupun. 3- Kalimat “kallun ‘alâ maulâhu” (beban atas penanggungnya), bermakna begitu berat dan susah atas si tuan yang mengatur urusannya. 4- Kalimat “ainmâ yuwajjihuhu lâ ya`ti bi khairin” (ke mana saja dia disuruh oleh penanggungnya itu, dia tidak dapat mendatangkan suatu kebajikanpun), karena tiadanya kemampuan untuk membawa kebaikan. Maka ia tidak memberi manfaat kepada tuannya, seandainya dia diutus pada sebuah perkara, ia tidak bisa kembali dengan kebaikan. Dan berikut ini dua sifat bagi orang yang merdeka: (1)- Menyeru keadilan. Dan (2)- berada di atas jalan yang lurus. Yang pertama, ia (insan merdeka) mengungkapkan hakikat dirinya sebagai yang dapat berbicara, berkeinginan kuat, dan pejuang gigih yang ingin memperbaiki masyarakat. Ini semua merupakan kumpulan sifat-sifat mulia. Maka, ia tidak bisu,

tidak pengecut, tidak lemah, dan tidak mudah putus asa untuk memperbaiki umat dan masyarakat. Jika ia menyeru keadilan, ia memahami keadilan (pengamal keadilan), sehingga ia menjadi seorang yang stabil dalam hidupnya, ibadah dan pergaulannya, dan menjadikan keadilan sebagai rumus kehidupan. Yang kedua, ia berada di atas jalan yang lurus, yakni berperilaku hidup dengan laku saleh dan meniti di atas agama yang lurus. Matsal ini menjelaskan tentang sikap orang mukmin dan sikap orang kafir terhadap hidayah Ilahiyah. Allah SWT memberi isyarat pada inti tamtsil ini dalam ayat lain: “maka apakah orang-orang yang menunjuki kepada kebenaran itu lebih berhak diikuti atau orang-orang yang tidak dapat memberi petunjuk kecuali (bila) diberi petunjuk? Mengapa kamu (berbuat demikian)? Bagaimanakah kamu mengambil keputusan” [Yunus: 35]. Tafsir ini berdasar pada suatu pandangan bahwa perumpamaan ini hendak menjelaskan sikap orang mukmin dan sikap orang kafir, sementara di dalamnya terdapat kemungkinan lain; bahwa tamtsil ini adalah penekanan terhadap tamtsil yang lalu, yang menjelaskan kedudukan tuhan-tuhan palsu dan kedudukan Tuhan yang sesungguhnya. Tamtsîl 29 ‫ﻭ ﺃﻭﻓﻮﺍ ﺑﻌﻬﺪ ﷲ ﺃﺫﺍ ﻋﺎﻫﺪﺗﻢ ﻭ ﻻ ﺗﻨﻘﻀﻮﺍ ﺍﻷﻳﻤﺎﻥ ﺑﻌﺪ ﺗﻮﻛﻴﺪﻫﺎ ﻭ ﻗﺪ ﺟﻌﻠﺘﻢ ﷲ ﻋﻠﻴﻜﻢ ﻛﻔﻴﻼ ﺇﻥ ﷲ ﻳﻌﻠﻢ ﻣﺎ ﺗﻔﻌﻠﻮﻥ* ﻭ‬ ‫ﻻ ﺗﻜﻮﻧﻮﺍ ﻛﺎﻟﺘﻲ ﻧﻘﻀﺖ ﻏﺰﻟﻬﺎ ﻣﻦ ﺑﻌﺪ ﻗﻮﺓ ﺃﻧﻜﺎﺛﺎ ﺗﺘﺨﺬﻭﻥ ﺃﻳﻤﺎﻧﻜﻢ ﺩﺧﻼ ﺑﻴﻨﻜﻢ ﺃﻥ ﺗﻜﻮﻥ ﺃﻣﺔ ﻫﻲ ﺃﺭﺑﻰ ﻣﻦ ﺃﻣﺔ ﺇﻧﻤﺎ‬ ّ *‫ﻟﻴﺒﻴﻨﻦ ﻟﻜﻢ ﻳﻮﻡ ﺍﻟﻘﻴﺎﻣﺔ ﻣﺎ ﻛﻨﺘﻢ ﻓﻴﻪ ﺗﺨﺘﻠﻔﻮﻥ‬ ‫ﻳﺒﻠﻮﻛﻢ ﷲ ﺑﻪ ﻭ‬ Artinya: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannnya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. Dan janganlah kamu

seperti seorang perempuan yang menguraikan benang yang sudah dipintalnya dengan kuat, menjadi cerai berai kembali, kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu” [an-Nahl: 91-92]. Tafsir Ayat At-taukiid ialah at-tasydiid atau penekanan. Dikatakan “aukadahâ ‘aqduka {perjanjianmu menguatkannya (syaddahu)} ialah bahasa penduduk Hijaz. Al-Inkâts adalah al-inqâdh atau pembatalan-pembatalan, penggagalan-penggagalan; dan tiap sesuatu yang menggagalkan setelah pembukaan. Atau mengurai (kembali) tali atau benang. Ad-dakhl berarti yang dimasukkan dalam sesuatu untuk kerusakan. Mungkin kata ad-dakhl digunakan untuk penipuan. Sebenarnya kata ini digunakan untuk pembatalan perjanjian, karena ia berarti masuk ke dalam untuk meninggalkan kelanggengan. Menurut Abu Ubaidah, tiap perkara yang tidak pernah benar itulah addakhl. Dan setiap sesuatu yang dimasuki aib, disebut madkhuul (yang dirasuki). Demikian tafsir kata dan kalimat dalam ayat. Adapun mengenai turunnya ayat, dinukil dari al-Kalbi bahwa: seorang perempuan pandir dari Quraisy memintal benang bersama beberapa tetangga perempuannya hingga tengah hari. Kemudian ia menyuruh teman-temannya untuk membatalkan pemintalan mereka, dan begitulah kebiasaan yang dilakukannya. Namanya Raithah binti ‘Amr bin Ka’b bin Sa’d bin Tamim bin Murrah, dan ia dijuluki Farqâ` Makkah (al-Mizan: 12/335).

Sesungguhnya keharusan melaksanakan perjanjian adalah termasuk perkara fithriyah yang atasnya manusia diciptakan. Karena itu, kita bisa melihat seorang ayah yang menjanjikan sesuatu kepada anaknya lalu ia tidak menepatinya, maka si anak (bisa-bisa) akan menentang ayahnya. Ini menyingkapkan bahwa kewajiban melaksanakan akad dan perjanjian merupakan perkara fitrah yang atasnya manusia diciptakan. Oleh karena itu, kewajiban melaksanakannya menjadi salah satu perbuatan bijak dan berakhlak, yang disepakati oleh semua yang berakal. Tidak sedikit ayat yang mendukung kewajiban melaksanakan perjanjian, khususnya jika perjanjian itu dilakukan kepada Allah. Allah SWT berfirman: “Dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya” [alIsra: 34]. Juga, “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janji-janjinya” [al-Mu`minun: 8]. Dan, “Dan penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu” [al-Baqarah: 40]. Sedangkan perintah dan larangan melaksanakan sesuatu, Allah SWT menyatakannya sebagai berikut: 1- Allah berfirman: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji”. Perintah menepati perjanjian dengan Allah, yakni perjanjian-perjanjian yang diputuskan oleh manusia bersama Allah. Misalnya, perjanjian yang disepakati bersama Nabi saw dan para Imam as. Semua itu adalah perjanjian-perjanjian ilahiyah dan bai’at di jalan ketaatan kepada Allah SWT. 2- Allah juga berfirman: “dan janganlah kamu membatalkan sumpahsumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannnya”. Kata aimân (sumpah-sumpah) – dalam ayat ini– adalah bentuk jamak dari kata yamiin.

Ada perbedaan di dalam ayat yang sedang kita bahas ini. Yang tampak pada ayat pertama ialah pengkhususan perjanjian yang dipastikannya (yakni ‘uhuud) bersama Allah, seperti dikatakan: “Telah kubuat perjanjian dengan Allah supaya aku melaksanakannya dengan sungguh-sungguh”. Atau, “telah kubuat perjanjian dengan Allah agar aku tidak melakukannya”. Sedangkan yang tampak pada ayat kedua, bahwa yang dimaksud sumpah ialah yang dilakukan dalam bermu’amalah dengan hamba-hamba Allah. Dengan memperhatikan dua kalimat ayat di atas dapat dimaklumi bahwa Allah SWT menekankan pengamalan semua perjanjian yang ditetapkan atas nama Allah SWT, baik kepada Allah maupun kepada makhluk-Nya (manusia). Kemudian Allah mengaitkan sumpah-sumpah (al-aimân) dengan mengatakan: “ba’da taukiidihâ” (setelah mengokohkan sumpah-sumpah). Ini disebabkan keberadaan sumpah-sumpah itu ada dua macam: Pertama, bersumpah dengan tanpa niat sungguh-sungguh dalam hati dan penekanan, seperti biasanya sumpah seseorang dengan mengatakan; tallâhi, wallâhi. Kedua, adalah sumpah yang ditegaskan. Yakni penekanan sumpah dengan niat sungguh-sungguh dan berjanji atas sumpah itu. Dalam surat al-Maidah ayat-89 ditegaskan: “Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpahsumpah yang kamu sengaja”. Lalu Allah SWT menerangkan sebab pengharaman membatalkan perjanjian, dalam firman-Nya: “sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”. Maksudnya, kalian telah menetapkan Allah sebagai penanggung penepatan janji,

maka bagi siapa saja yang bersumpah dengan atau atas nama Allah, maka seolah dia membebaskan Allah atas tanggungan menepati janji. Orang yang bersumpah ketika mengatakan: “Demi Allah, sungguh aku akan melakukan demikian atau akan meninggalkan demikian”, maka ia telah menegaskan apa yang telah ia sumpahkan semacam penegasan kepada Allah, bahwa ia telah menjadikan (dirinya) sebagai penjaminan atasnya dalam menepati sumpah yang telah ia ikatkan. Jika sumpah itu dilanggar dan tidak ditepati, maka si penanggung janji harus menunaikan perjanjiannya. Dan setiap pelanggaran sumpah itu berarti penghinaan dan peremehan di hadapan kemuliaan. Di dalam ayat, Allah SWT melukiskan perbuatan melanggar janji itu seperti seorang perempuan yang mengurai benang setelah ia memintalnya dengan kuat, lalu benang cerai berai. Seperti yang disebutkan: “....dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali”, mengisyaratkan pada seorang perempuan yang telah diceritakan di atas dan menerangkan apa yang diperbuatnya, yaitu ketika wol dan benang telah dipintal lalu ia uraikan (kembali) apa yang telah ia pintal itu. Sedangkan ungkapan hamqâ` (orang-orang pandir) menunjukkan keadaan orang yang telah memastikan perjanjian dengan Allah atas nama-Nya, lalu ia melanggarnya. Maka perbuatan itu seperti perbuatan perempuan tersebut, bahkan lebih buruk lagi ketika menunjukkan atas jatuhnya kepribadian dan martabatnya. Allah SWT juga menjelaskan batasan bagi pelanggaran sumpah. Allah menyatakan: pertama, si pelanggar mengambil sumpah sebagai alat untuk muslihatnya. Dan kedua, di balik pelanggaran janji dan sumpahnya ia menginginkan manfaat lebih besar buat dirinya dan demi kepentingannya atas perjanjian itu. Allah SWT berfirman: “kamu menjadikan sumpah (perjanjian)mu sebagai alat penipu di

antaramu, disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain”. Kata arbâ –dalam ayat ini– berasal dari kata ribâ yang berarti tambah. Jadi, si pelanggar mengambil sumpahnya untuk suatu muslihat. Ia mengambil keuntungan tertentu dengan jalan melanggar perjanjian dan dengan tidak melaksanakan apa yang telah dijanjikan. Sebenarnya, si pelanggar (janji atau sumpah) telah melalaikan ujian Allah, sebagaimana firman-Nya; Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepadamu apa yang dahulu kamu perselisihkan itu”. Artinya: demikian itu adalah ujian ilahi yang Allah ujikan kepada kalian. Dan sungguh Dia akan menjelaskan pada hari kiamat kepada kalian apa yang telah kalian perselisihkan. Ketika itu, kalian akan mengetahui hakikat atau kebenaran yang kalian perbuat di hari itu, yaitu tamak atas dunia dan menempuh jalan kebatilan untuk menjauhi dan membantah kebenaran. Lalu, menjadi jelas bagi kalian pada hari itu, siapa yang sesat dan siapa yang mendapat petunjuk (al-Mizan: 12/336). Tamtsîl 30 ‫ﻭ ﺿﺮﺏ ﺍﻟﻞ ﻣﺜﻼ ﻗﺮﻳﺔ ﻛﺎﻧﺖ ﺁﻣﻨﺔ ﻣﻄﻤﺌﻨﺔ ﻳﺄﺗﻴﻬﺎ ﺭﺯﻗﻬﺎ ﺭﻏﺪﺍ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻣﻜﺎﻥ ﻓﻜﻔﺮﺕ ﺑﺄﻧﻌﻢ ﷲ ﻓﺄﺫﺍﻗﻬﺎ ﷲ ﻟﺒﺎﺱ‬ ‫ﺍﻟﺠﻮﻉ ﻭ ﺍﻟﺨﻮﻑ ﺑﻤﺎ ﻛﺎﻧﻮﺍ ﻳﺼﻨﻌﻮﻥ* ﻭ ﻟﻘﺪ ﺟﺎءﻫﻢ ﺭﺳﻮﻝ ﻣﻨﻬﻢ ﻓﻜﺬﺑﻮﻩ ﻓﺄﺧﺬﻫﻢ ﺍﻟﻌﺬﺍﺏ ﻭ ﻫﻢ ﻅﺎﻟﻤﻮﻥ‬ Artinya: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri, tetapi mereka mendustakannya; karena itu mereka

dimusnahkan oleh azab, dan mereka adalah orang-orang yang zalim” [an-Nahl: 112113]. Tafsir Ayat Kata raghad, yang dikatakan dalam ‘aisy raghad dan raghiid bermakna hidup yang baik dan lapang. Kalimat dalam ayat, “...wa kulâ minhâ raghadan...” berarti “...dan makanlah makan-makanannya yang banyak lagi baik...” [al-Baqarah: 35]. Allah SWT menerangkan sebuah negeri yang maju dengan tiga sifat: 1- Âminah; yakni negeri yang aman. Negeri yang memberikan rasa aman bagi penghuninya, tidak meresahkan mereka dan tidak mengajak mereka membunuh nyawa, menculik anak-anak dan merampas harta. Juga, negeri yang aman dari bencana-bencana alam (karena ulah manusia, peny.), seperti banjir, longsor, dan lainlain. 2- Muthmainnah; yakni negeri yang nyaman dan tenteram bagi penghuninya. Mereka tidak perlu berpindah dari negerinya karena rasa takut dan kesulitan. Sebenarnya, masalah migrasi merupakan akibat tiadanya ketetapan. Orang meninggalkan kampungnya, menempuh sahara, mengarungi samudera dan memikul beban yang berat adalah karena tiadanya kepercayaan akan hidup yang baik dan lapang di negerinya, dan ketenangan merupakan salah satu jaminan ketetapan dan rasa aman. 3- “Rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat”. Kata ganti (dhamir) ya`tiihâ pada kalimat kembali pada negeri –dalam ayat– bermakna “kehadiran apa-apa yang berada di sekitar negeri”. Dalil atas makna ini adalah kisah tentang putra Ya’qub; “Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ, dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orangorang yang benar ” [Yusuf: 82]. Dan yang dimaksud negeri di sini adalah Mesir, negeri yang besar dan maju waktu itu.

Jadi, negeri (qaryah) dalam ayat di atas ialah yang ketika itu hadir apa-apa yang berada di sekitarnya distrik-distrik, seperti berbagai komoditas yang ditanam dan dipanen, yang datang ke negeri itu untuk diniagakan. Itu berarti, tiga sifat tersebut mencerminkan kenikmatan-kenikmatan materi yang melimpah, yang dikaruniakan Allah bagi negeri itu. Kemudian Allah SWT mengisyaratkan pada kenikmatan lain atas negeri itu berupa kenikmatan spiritual. Yaitu dengan kehadiran seorang rasul pada mereka; sebagaimana diisyaratkan dalam ayat kedua; “Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka seorang rasul dari mereka sendiri”. Tetapi, di hadapan kenikmatan-kenikmatan lahir dan batin ini, mereka mengganti ‘syukur’ dengan ‘kufur’ kepada Allah. Kenikmatan batin atau nikmat spiritual yang mereka dustakan, adalah seorang rasul –sebagaimana ketegasan ayat kedua. Sedangkan kenikmatan lahir atau material tidak tampak dibicarakan dalam ayat. Dan banyak riwayat yang mengungkapkan bentuk pengkufuran nikmat tersebut. Al-‘Ayyasyi meriwayatkan dari Hafsh bin Salim; bahwa Imam Shadiq as berkata: “Ada satu kaum di Bani Israil; didatangkan kepada mereka makanan sampai mereka menjadikan darinya (makanan itu) patung-patung di kota-kota yang berada di negeri mereka. Mereka benar-benar menikmatinya. Lalu Allah membiarkan keadaan itu hingga mereka merasa perlu pada patung-patung itu. mereka pun menjualnya dan memakannya, inilah firman Allah: “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rezkinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduk)nya mengingkari nikmat-nikmat Allah; karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat” (Tafsir Nur atsTsaqalain: 3/91, hadis 247).

Allah SWT memberi hukuman kepada orang-orang yang mengingkari nikmatnikmat material dan spiritual; seperti diisyaratkan-Nya dalam dua ayat ini. Pertama: “Karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan, disebabkan apa yang selalu mereka perbuat”. Dan kedua: “Karena itu mereka dimusnahkan azab dan mereka adalah orang-orang yang zalim”. Pada ayat pertama, mereka dibalas dengan rasa lapar dan ketakutan karena tidak mensyukuri nikmat. Di sini muncul sebuah pertanyaan yang kerap diajukan sejak dahulu; yaitu, pada ayat pertama Allah SWT menggabung antara kata dzauq (rasa) dan libâs (pakaian): “karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan”. Padahal penggunaan yang cocok bagi kata dzauq adalah kata tha’m dengan mengatakan; fa adzâqahâ llâh tha’ma l-juu’ (maka Allah membuatnya merasakan rasa kelaparan). Sementara itu, kata libâs digunakan dalam kalimat; fa kasâhumu llâh libâs l-juu’ (maka Allah memakaikan mereka pakaian kelaparan). Lalu, mengapa berpindah dari dua kalimat ayat tersebut ke ayat ketiga, yang tiada hubungannya –menurut kaca mata lahir– yaitu menggabungkan dua kata tersebut (dzauq dan libâs)? Jawabannya adalah, untuk membuat arah yang jelas dari dua kata tersebut. Penggunaan kata libâs adalah untuk menjelaskan cakupan rasa lapar dan takut bagi segenap sisi-sisi kehidupan mereka. Seolah lapar dan takut menguasai mereka dari segala sisi seperti pakaian yang meliputi atau menutupi tubuh. Karena itu ada ayat menyatakan: “libâsa l-juu’i wa l-khauf” (“pakaian kelaparan dan ketakutan”), bukan mengatakan: “al-juu’ wa l-khauf”, dikarenakan hilang maknanya ketika lepas dari kata libâs. Sedangkan penggunaan kata dzauq ialah untuk menjelaskan keadaan rasa lapar yang sangat. Manusia sangat dekat dengan perasaan terhadap makanan. Dan kata

dzauq (merasa) lapar digunakan ketika seseorang telah sampai pada kelaparan dan kehausan serta ketakutan yang dirasakannya dari dalam dirinya. Oleh karena itu dikatakan: “fa adzâqahâ llâh libâs l-juu’ wa l-khauf” (“maka Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan”). Demikianlah tafsiran untuk ayat di atas. Adapun makna “negeri” dengan tiga sifat tersebut, kita telah mengetahui kekhususannya melalui riwayat dan hadis. Mungkin saja, yang dimaksud negari adalah penduduk Mekah, karena waktu itu mereka berada dalam keadaan aman, tenteram dan penuh kemewahan. Kemudian Allah memberi nikmat kepada mereka dengan nikmat yang agung, yaitu Muhammad saw. Lalu mereka tidak mengimaninya dan (bahkan) menyakitinya. Maka, kemudian mereka akan ditimpa bala. Para mufasir berkata: Allah memberi azab kepada mereka dengan kelaparan (al-juu’) selama tujuh tahun, sampai mereka memakan bangkai dan tulang. Sedangkan ketakutan (al-khauf), ialah ketika Nabi Muhammad saw mengutus pasukan perang kepada mereka, tiba-tiba mereka dalam ketakutan. Kemungkinan-kemungkinan ini didukung oleh ayat tentang tanah Mekkah, yang berbunyi: “Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam daerah haram yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari segala macam (tumbuahn-tumbuhan)” [al-Qashash: 57]. Surat al-Isra Tamtsîl 31 ‫ ﻭﻻ ﺗﺠﻌﻞ ﻳﺪﻙ ﻣﻐﻠﻮﻟﺔ ﺇﻟﻰ ﻋﻨﻘﻚ ﻭﻻ ﺗﺒﺴﻄﻬﺎ ﻛ ّﻞ ﺍﻟﺒﺴﻂ ﻓﺘﻘﻌﺪ ﻣﻠﻮﻣﺎ ً ﻣﺤﺴﻮﺭﺍً* ﺇﻥ ﺭﺑّﻚ ﻳﺒﺴﻂ ﺍﻟﺮﺯﻕ‬:‫ﻗﺎﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬ ً ‫ﻟﻤﻦ ﻳﺸﺎء ﻭﻳﻘﺪﺭ ﺇﻧّﻪ ﻛﺎﻥ ﺑﻌﺒﺎﺩﻩ ﺧﺒﻴﺮﺍ ً ﺑﺼﻴﺮﺍ‬ Artinya: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan

menyesal. Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya” [al-Isra: 29-30]. Tafsir Ayat Al-ghull artinya belenggu (di tangan atau di leher). Kata jamaknya adalah aghlâl. Dan makna ayat “maghluulatan ilâ ‘unuqika” ialah (lehermu) terikat olehnya. Al-hasrah adalah sedih karena kehilangan sesuatu dan menyesal atasnya. Menjadi “mahsuuran” (“menyesal”) adalah ‘athaf tafsir bagi kata “maluuman” (“tercela”). Akan tetapi kata hasrah, dalam bahasa, berarti menyingkap (perkara) yang tertutup atau tidak jelas oleh sesuatu. Karena itu kata hasrah bermakna yang terbuka. Ayat ini memuat tamtsil bagi pelitnya orang kikir dan royalnya orang boros, dan ada kesederhanaan yang letaknya di antara pemborosan dan terlampau hemat. Pelitnya orang bakhil serupa dengan orang yang tangannya terbelenggu pada lehernya, tidak kuasa memberi dan menyumbang. Ini adalah sebuah penyerupaan untuk puncak mubâlaghah dalam pelarangan akan pemborosan dan pengetatan (harta). Demikian pula dengan pengeluaran orang boros (musrif) atas segala miliknya yang serupa dengan orang yang mengobral tangannya sampai tak tersisa sesuatu sedikitpun di tangannya. Inilah kiasan bagi pemborosan. Kemudian yang ketiga, berupa kandungan lain dalam ayat meskipun tidak eksplisit termaktub; yakni penghematan di dalam pengeluaran. Hal ini diisyaratkan dalam ayat lain; “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara demikian” [al-Furqan: 67]. Di dalam sebab turunnya (sabab nuzul) ayat terdapat penjelasan tentang makna. Ath-Thabari meriwayatkan; tentang seorang perempuan yang mengirim

anaknya kepada Rasulullah saw. Ia mengatakan: “Katakan kepadanya bahwa ibuku meminta sebuah baju besi kepada Anda! Jika dia mengatakan: ‘(Tunggulah) sampai datang sesuatu kepada kami’, maka katakan kepadanya: ‘Bahwa dia (ibuku) meminta pakaian kemeja Anda’. Lalu datanglah ia (anak itu) dan mengatakan apa yang telah dikatakan (ibunya) kepada Rasulullah saw. Maka Rasul pun melepaskan kemeja beliau lalu memberikan kepadanya. Dan turunlah ayat di atas. Sebagaimana pernah diriwayatkan bahwa Rasulullah saw tinggal di suatu rumah yang tidak ada satu pakaianpun yang dapat beliau pakai, dan beliau tidak dapat keluar rumah untuk salat, hingga orang-orang kafir pun mencela beliau. Dan mereka berkata: “Muhammad (kini) sibuk dengan tidur dan lalai dari salat. ‫ﺇﻥ ﺭﺑّﻚ ﻳﺒﺴﻂ ﺍﻟﺮﺯﻕ ﻟﻤﻦ‬ ‫( ﻳﺸﺎء ﻭﻳﻘﺪﺭ‬Sesungguhnya Tuhanmu melapangkan rezki kepada siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya); yakni sesekali memperluas dan sesekali mempersempit, menurut maslahatnya bersama keluasan khazanah kekayaan-Nya (Majmâ’ al-Bayan: 3/412). Al-Kulaini meriwayatkan dari Abdul Malik bin ‘Amr al-Ahul, bahwa Abu Abdillah (Imam Ja’far ash-Shadiq as) melantunkan ayat ini: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara demikian”. Abu Abdillah mengambil kerikil dan menggenggamnya dengan erat di tangan sambil berkata: “Inilah kekikiran (iqtâr) yang disebut Allah dalam kitab-Nya. Kemudian beliau menggenggam segenggam pasir yang lain, lalu melepaskan telapak tangannya selebar-lebarnya. Dan berkata: “Inilah pemborosan (isrâf). Kemudian beliau menggenggam segenggam lagi dan melepaskan sebagiannya, seraya berkata: inilah qawâm (tengah-tengah)” (al-Burhan fi Tafsir al-Quran: 3/173).

Demikianlah keterangan masalah ini dengan merujuk pada penafsiran ayat. Dastur Ilahi diambil melalui sunnatullah di alam ciptaan, sedangkan sunnatullah berlaku atas adanya saling hubungan antara anggota atau bagian alam. Dan setiap komponen di alam ini mengeluarkan apa yang lebih dari yang dibutuhkan kepada anggota alam lain yang membutuhkannya. Matahari mengirim 450 juta ton dari jisimnya dalam bentuk sinar panas (yang mengandung ultra violet) ke sekitar penjuru tata surya, dan bumi memperoleh darinya saham yang terbatas sehingga sinar dan panasnya berubah menjadi materi-materi makanan yang diserap oleh tumbuhtumbuhan, binatang dan seluruh isi bumi. Dengan itu, pepohonan dan bunga-bunga dapat tumbuh dengan baik. Sesungguhnya lebah menyerap sari-sari bunga, mengambil manfaat darinya menurut kadar kebutuhannya, dan mengeluarkan yang selebihnya berupa madu. Demikianlah, semua itu menunjukkan adanya hubungan saling membantu, atau menyumbangkan, sisa yang lebih dari kebutuhannya. Ini merupakan sunnatullah yang dengannya tegaklah kehidupan insani. Islam menentukan infak dan menghinakan ifrâth dan tafrith (berlebih-lebihan dan melampaui batas), melarang kekikiran sebagaimana (pula) melarang pemborosan dalam pengeluaran. Sunnah seperti ini tampaknya tidak hanya dalam urusan pengeluaran kekayaan, tetapi juga dalam urusan kehidupan manusia lainnya. Allah SWT mengabarkan

bagaimana

Luqman

al-Hakim

menasihati

putranya:

“Dan

sederhanakanlah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruknya suara ialah suara keledai” [Luqman: 19]. Bahkan, sifat dan sikap sederhana merupakan fitrah yang tampak dalam perasaan manusia. Rasulullah saw menegaskan bahwa alamat lahiriyah orang mukmin

adalah cinta (kepada) Ali bin Abi Thalib as (lihat, Hilyatu al-Auliya: 1/86). Dan Imam Ali bin Abi Thalib as berkata: “Hancurlah karenaku dua (orang): Pertama, pecinta yang ‘gila’ dan kedua, pembenci yang anti” (Bihar al-Anwar: 34/307). Makna-makna mendalam yang disebutkan dalam ayat dan riwayat di atas menunjukkan dengan jelas bahwa dalam ajaran Islam, kesederhanaan dalam hidup merupakan pondasi yang utama. Itulah sebabnya mengapa umat Islam juga disebut dengan al-ummat al-wasath, dalam firman Allah: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia” [al-Baqarah: 143]. Berikut ini ungkapan Imam Ali as tentang i’tidâl (kesederhaan, tengahtengah): “Imam datang mengunjungi seorang sahabatnya (ke rumahnya), al-‘Alâ` bin Ziyad al-Haritsi. Ketika melihat besar rumah bin Ziyad beliau berkata: “Apa yang telah engkau perbuat dengan rumah ini di dunia, padahal engkau lebih memerlukannya di akhirat? Apabila hendak membawanya ke akhirat, maka kamu dapat menerima (menyambut) tamu sebaik-baiknya, menyambung tali persaudaraan, dan menjalankan semua kewajiban sesuai nilai besarnya. Dengan jalan itu kamu dapat membawanya ke akhirat”. Al-‘Alâ` berkata: “Wahai Amirul mukminin, saya mengadu kepada Anda tentang saudaraku ‘Ashim bin Ziyad”. “Ada apa dengannya?”, tanya Imam. “Ia memakai baju kasar dan menjauhi dunia” jawabnya. Imam berkata: “Hadapkan dia kepadaku”. Ketika ia (‘Ashim) datang, Imam berkata: “Hai musuh dirimu sendiri, Iblis telah menyesatkanmu! Apakah kamu tidak merasa kasihan kepada istri dan anakmu? Apakah kamu percaya bahwa apabila kamu mengenakan pakaian yang dihalalkan

Allah bagimu maka Dia lalu membencimu? Kamu terlalu tidak penting bagi Allah untuk hal itu”. Ia berkata: “Wahai Amirul mukminin, Anda pun mengenakan pakaian kasar dan makan makanan kasar dan kering!”. Imam berkata: “Celakalah engkau, aku tidak sepertimu! Sesungguhnya Allah SWT telah mewajibkan pada setiap pemimpin yang sesungguhnya agar mereka memelihara dan mengukur dirinya pada rakyat yang rendah, sehingga orang miskin tidak menangis karena kemiskinannya” (Nahjul Balaghah: 209). Surat al-Kahfi Tamtsîl 32 *ً‫ ﻭ ﺍﺿﺮﺏ ﻟﻬﻢ ﻣﺜﻼ ﺭﺟﻠﻴﻦ ﺟﻌﻠﻨﺎ ﻷﺣﺪﻫﻤﺎ ﺟﻨﺘﻴﻦ ﻣﻦ ﺃﻋﻨﺎﺏ ﻭ ﺣﻔﻔﻨﺎﻫﻤﺎ ﺑﻨﺨﻞ ﻭ ﺟﻌﻠﻨﺎ ﺑﻴﻨﻬﻤﺎ ﺯﺭﻋﺎ‬:‫ﻗﺎﻝ ﺗﻌﺎﻟﻰ‬ ‫ﻛﻠﺘﺎ ﺍﻟﺠﻨﺘﻴﻦ ﺁﺗﺖ ﺃﻛﻠﻬﺎ ﻭ ﻟﻢ ﺗﻈﻠﻢ ﻣﻨﻪ ﺷﻴﺌﺎ ً ﻭ ﻓﺠّﺮﻧﺎ ﺧﻼﻟﻬﻤﺎ ﻧﻬﺮﺍً* ﻭ ﻛﺎﻥ ﻟﻪ ﺛﻤﺮ ﻓﻘﺎﻝ ﻟﺼﺎﺣﺒﻪ ﻭ ﻫﻮ ﻳﺤﺎﻭﺭﻩ ﺃﻧﺎ‬ ّ ‫ﺃﻛﺜﺮ ﻣﻨﻚ ﻣﺎﻻً ﻭ‬ ّ ّ ‫ﺃﻅﻦ ﺍﻟﺴّﺎﻋﺔ‬ ‫ﺃﻅﻦ ﺃﻥ ﺗﺒﻴﺪﻫﺎ ﻫﺬﻩ ﺃﺑﺪﺍً* ﻭ ﻣﺎ‬ ‫ﺃﻋﺰ ﻧﻔﺮﺍً* ﻭ ﺩﺧﻞ ﺟﻨﺘﻪ ﻭﻫﻮ ﻅﺎﻟﻢ ﻟﻨﻔﺴﻌﻪ ﻗﺎﻝ ﻣﺎ‬ ّ ‫ﻷﺟﺪﻥ ﺧﻴﺮﺍ ً ﻣﻨﻬﺎ ﻣﻨﻘﻠﺒﺎً* ﻗﺎﻝ ﻟﻪ ﺻﺎﺣﺒﻪ ﻭ ﻫﻮ ﻳﺤﺎﻭﺭﻩ ﺃﻛﻔﺮﺕ ﺑﺎﻟﺬﻱ ﺧﻠﻘﻚ ﻣﻦ ﺗﺮﺍﺏ‬ ‫ﻗﺎﺋﻤﺔ ﻭ ﻟﺌﻦ ﺭﺩﺩﺕ ﺇﻟﻰ ﺭﺑّﻲ‬ ‫ﻗﻮﺓ ﺇﻻ ﺑﺎ� ﺇﻥ‬ ّ ‫ﺳﻮﺍﻙ ﺭﺟﻼً* ﻟﻜﻨﺎ ﻫﻮ ﷲ ﺭﺑّﻲ ﻭ ﻻ ﺃﺷﺮﻙ ﺑﺮﺑّﻲ ﺃﺣﺪﺍً* ﻭ ﻟﻮﻻ ﺇﺫ ﺩﺧﻠﺖ ﺟﻨﺘﻚ ﻗﻠﺖ ﻣﺎ ﺷﺎء ﺍﻟﻞ ﻻ‬ ّ ‫ﺛﻢ‬ ‫ﺗﺮﻥ ﺃﻧﺎ ﺃﻗ ّﻞ ﻣﻨﻚ ﻣﺎﻻ ﻭ ﻭﻟﺪﺍً* ﻓﻌﺴﻰ ﺭﺑّﻲ ﺃﻥ ﻳﺆﺗﻴﻦ ﺧﻴﺮﺍ ﻣﻦ ﺟﻨﺘﻚ ﻭ ﻳﺮﺳﻞ ﻋﻠﻴﻬﺎ ﺣﺴﺒﺎﻧﺎ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻤﺎء ﻓﺘﺼﺒﺢ‬ ‫ﺻﻌﻴﺪﺍ ﺯﻟﻘﺎً* ﺃﻭ ﻳﺼﺒﺢ ﻣﺎﺅﻫﺎ ﻏﻮﺭﺍ ﻓﻠﻦ ﺗﺴﺘﻄﻴﻊ ﻟﻪ ﻁﻠﺒﺎً* ﻭ ﺃﺣﻴﻂ ﺑﺜﻤﺮﻩ ﻓﺄﺻﺒﺢ ﻳﻘﻠّﺐ ﻛﻔﻴﻪ ﻋﻠﻰ ﻣﺎ ﺃﻧﻔﻖ ﻓﻴﻬﺎ ﻭ‬ ‫ﻫﻲ ﺧﺎﻭﻳﺔ ﻋﻠﻰ ﻋﺮﻭﺷﻬﺎ ﻭﻳﻘﻮﻝ ﻳﺎ ﻟﻴﺘﻨﻲ ﻟﻢ ﺃﺷﺮﻙ ﺑﺮﺑّﻲ ﺃﺣﺪﺍً* ﻭ ﻟﻢ ﺗﻜﻦ ﻟﻪ ﻓﺌﺔ ﻳﻨﺼﺮﻭﻧﻪ ﻣﻦ ﺩﻭﻥ ﷲ ﻭ ﻣﺎ ﻛﺎﻥ‬ ً ‫*ﻣﻨﺘﺼﺮﺍ‬ Artinya: “Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur yang Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma, dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buah, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikitpun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dan dia mempunyai kekayaan besar. Maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika sedang bertemu: “Hartaku lebih banyak daripada hartamu,

dan pengikut-pengikutku lebih kuat”. Dan dia memasuki kebunnya sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri; ia berkata: “Aku kira kebun ini tidak akan binasa selamalamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku, pasti aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik daripada kebun-kebun ini”. Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna? Tetapi aku percaya bahwa Dialah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku. Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu (dengan berkata) masya Allah tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah? Jika kamu anggap aku lebih kurang daripada kamu dalam hal harta dan anak, maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit kepada kebun-kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin; atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi”. Dan, harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu (selama ini), sedang pohon-pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: “Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku”. Dan tidak ada bagi dia segolonganpun yang akan menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya” [al-Kahfi: 32-43]. Tafsir Ayat Kata al-haff; dalam haffa l-qaumu bi sy-syai` (kaum mengelilingi sesuatu) dan hafâfu sy-syai` (sisi sesuatu) berarti (pada) dua sisinya, seolah keduanya mengelilingi

sesuatu. Maka ayat; “wa hafafnâhumâ”, bermakna “Kami jadikan pohon kurma mengelilingi keduanya”, dan dalam ayat; “mâ azhunnu an tabiidahâ”; kata bâda (yabiidu-bayâdan) sy-syai` berarti terpisah-pisah di padang sahara. Kata husbânan, makna asli kata husbân, artinya: panah yang dilemparkan. Husbân adalah sesuatu yang diperhitungkan (atau siksaan), atau dibalas sesuai dengannya. Api dan angin menjadi salah satu siksaan itu. Dalam hadis tentang angin Nabi Muhammad saw bersabda: “Ya Allah, janganlah Engkau jadikan angin sebagai suatu azab dan siksaan (husbânan)”. Kata Ash-sha’iid, dipakai untuk arti permukaan tanah. Kata zalaqan berarti licin, lahan yang tidak ada tumbuhan di situ. Kata ini bersinonim dengan kata shald (yang licin) seperti dalam ayat: “fa tarakahu shaldan” (“lalu menjadilah ia bersedih (tidak bertanah)” [al-Baqarah: 264]. Demikianlah uraian dengan merujuk pada kosa kata ayat. Adapun penjelasan tafsir ayatnya adalah: Ayat ini merupakan sebuah tamtsil bagi orang mukmin dan orang kafir yang mengingkari kehidupan akhirat. Yang mukmin bersandar pada keluasan rahmat-Nya, dan yang kafir berpegang pada dunia dan merasa nyaman dengannya. Tamtsil berikut akan lebih memperjelasnya: Sebagian orang kafir membanggakan harta dan para pendukungnya atas kaum fakir dan miskin dari muslimin. Allah SWT membuat perumpamaan, untuk menjelaskan apa yang mereka banggakan itu, bahwa kekayaan sementara waktu tiada berharga, dan itu akan lenyap dengan sia-sia. Yang harus dibanggakan ialah penyerahan diri manusia dan ketaatannya kepada Allah SWT. Hakikat tamtsil tersebut, bahwa dua orang lelaki bersaudara, yang ayah mereka meninggal dunia dan meninggalkan harta yang melimpah. Lalu salah satu dari mereka berdua mengambil hak (waris) dari ayahnya, ia seorang mukmin yang

mendekatkan diri kepada Allah dengan berbuat ihsân dan shadaqah. Sementara orang kedua yang juga mengambil haknya, dengan warisan itu hidup dalam limpahan harta di antara dua taman. Lalu saudara yang kaya itu membanggakan diri terhadap saudaranya yang fakir dengan mengatakan: “Hartaku lebih banyak daripada hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat”. Dia memiliki dua kebun anggur dan pohon kurma yang mengelilingi kedua kebun itu, dan di antara dua kebun itu terdapat banyak tanaman. Hasratnya terpaut dengan dua kebun yang menghasilkan buahbuahan yang bagus dan tidak berkurang sedikitpun itu. Di celah-celah kebun terdapat sungai yang airnya meluap, dan pemilik dua kebun itu merasa senang dan bangga akan banyaknya air dan dukungan. Setiap kali memasuki kebunnya, ia berkata: “Aku tidak pernah percaya bahwa kebunku dan buah-buahan ini akan binasa –milikku ini akan kekal selamanya.” Dan ia mendustakan hari kiamat dengan mengatakan: “Tidak pernah kukira kiamat akan datang”. Seandainya benar apa yang dikatakan oleh orang-orang yang bertauhid tentang adanya kiamat, maka ketika aku dibangkitkan pada hari itu pun niscaya Tuhanku akan memberiku taman yang lebih baik dari taman (dunia) ini, dengan kesaksian bahwa aku memberi taman di dunia ini di hadapan kalian. Dan ini adalah bukti atas kemuliaanku atasnya.” Inilah ucapan yang dilontarkannya dan dia berjalan di kebun dan tamannya dengan sombong. Di saat itu saudaranya (yang mukmin) menuturkan kata hikmah dan memberi nasihat yang baik, dengan perkataan: “Bagaimana kamu kafir kepada Allah SWT padahal kamu dulu adalah tanah lalu menjadi nuthfah kemudian menjadi seorang laki-laki yang tegap. Lalu siapakah yang memindahkanmu dari satu keadaan ke keadaan yang lain, dan menjadikanmu berpostur tegap dan kokoh ini?”

Sesungguhnya, saudara yang kafir itu tidak secara langsung mengingkari Sang Khalik dalam ungkapannya. Ia mengingkari al-Ma’âd (hari kebangkitan). Dan dengan menolak hari kebangkitan ia pun harus mengingkari Tuhan. Kata si mukmin: “Jika kamu membanggakan harta, maka aku membanggakan bahwa aku adalah seorang hamba Allah, aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku.” Dan dia (si mukmin) mengingatkan saudaranya akan akibat buruk yang akan menimpanya dengan ucapan: “Mengapa kamu ketika memasuki kebunmu tidak mengucapkan mâsyâ Allah? Bahwasannya dua kebun itu adalah salah satu nikmat Allah SWT, walaupun kamu berupaya keras dalam membangunnya, maka sesungguhnya itu semua adalah karena kekuasaan Allah SWT, Yang Maha Kuasa dan Bijaksana. Kemudian ia mengisyaratkan kepada dirinya sendiri; “meskipun harta dan anakku lebih sedikit darimu, tetapi aku berharap Tuhanku memberiku pahala yang lebih baik di akhirat ketimbang kebun duniamu ini.” Aku pun berharap Allah mengirim azab dari langit menimpa kebunmu, sehingga menjadilah (kebunmu itu) tanah yang tandus tidak tumbuh sesuatupun. Atau menjadikan airnya lenyap ke bawah tanah, lahanmu kering tidak dapat menghasilkan air. Si mukmin mengungkapkan cela saudaranya yang kafir, memperingatkan akan akibat kekufuran dan kesesatan yang terus menerus, dan menyampaikan kepadanya masa datang yang gelap. Maka ketika datang azab sebagai akibat kesombongannya, di saat itu si kafir tergugah dari kelelapannya. Ia menyesal dan bersedih hati setelah mengeluarkan harta untuk membangun dua tamannya, menyesali diri karena telah mempersekutukan Allah SWT; “Aduhai kiranya dulu aku tidak mempersekutukan Tuhanku”. Akan tetapi penyesalan seperti itu tiada berguna, karena tidak menjadi penghalang dari azab Allah, dan tidak ada seorangpun yang menjadi penolongnya.

Inilah kesimpulan tamtsil, dan Allah SWT menjelaskannya secara ringkas dalam ayat: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalanamalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” (al-Kahfi 46). Para mufasir meriwayatkan bahwa Allah SWT mengisyaratkan untuk tamtsil ini dalam surat ash-Shaffat; “Berkatalah salah seorang di antara mereka: “Sesungguhnya aku dahulu (di dunia) mempunyai seorang teman, yang berkata: “Apakah kamu sungguh-sungguh termasuk orang-orang yang membenarkan (hari berbangkit)? Apakah bila kita telah mati dan kita telah menjadi tanah dan tulang belulang, lalu sesungguhnya kita benar-benar (akan dibangkitkan) untuk diberi pembalasan?” Berkata pulalah ia: “Maukah kamu menngunjungi (temanku itu)?” Maka ia mengunjunginya, lalu ia melihat temannya itu di tengah-tengah neraka menyala-nyala” (ayat 51-55). Sampai di sini, jelaslah perngertian dan maksud tamtsil. Kita juga dapat mendalami tafsiran kalimat dan kosa kata ayat seperti diuraikan di atas, yang cukup jelas dan tampaknya tidak memerlukan pada tafsir ayat lagi. Namun, di bawah ini akan diuraikan secara ringkas: “Wa dhrib lahum” artinya “dan berikanlah kepada orang-orang kafir dengan orang-orang mukmin. Yaitu “mastalan rajulaini ja’alnâ li ahadihima” atau “sebuah perumpamaan dua orang laki, (yang) Kami jadikan bagi seorang di antara keduanya yakni yang kafir”: “jannatain” (“dua kebun”). Kebun itu adalah “min a’nâbin wa hafaffnâhuma” (“kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohonpohon kurma”). Lalu, “wa ja’alnâ bainahumâ zar’â” (“dan Kami buatkan di antara kedua kebun itu tanaman yang dapat dikonsumsi”). Dan “kiltâ l-jannataini âtat ukulahâ” (“kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya”), yang “lam tazhlim minhu

syai`an” (“tiada berkurang sedikitpun darinya”) “wa fajjarnâ khilâlahumâ” (“dan Kami alirkan di celah-celah kedua kebun itu sebuah sungai yang mengalir di antara keduannya”). “Wa kâna lahu” (“dan dengan dua kebun itu dia mempunyai”), “tsamarun fa qâla lishhibihi” (“kekayaan besar, maka ia berkata kepada kawannya yang mukmin”), “wa huwa yuhâwiruhi” (“ketika ia bercakap-cakap sambil membangga-banggakan diri di hadapan temannya”), ia berkata: “anâ aktsaru minka mâlan wa a’azzu nafaran” (hartaku lebih banyak dari hartamu dan orang-orang dekatku lebih kuat”). “Wa dakhala jannatahu” (“dan dia memasuki kebunnya dengan kawannya itu sambil mengelilingi kebun dan memperlihatkan buah-buahannya), “wa huwa zhâlimun li nafsihi” (“sedang dia zalim terhadap dirinya sendiri karena kekufuran”). “Qâla mâ azhunnu an tabiida” (“ia berkata: ‘Aku kira kebun ini tidak akan binasa’”). “...hâdzihi abadan wa mâ azhunnu s-sâ’ata qâ`imatun wa lain rudidtu ilâ rabbii”) (“.....selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepada Tuhanku (di akhirat atas dalihmu”), maka “la ajidanna khairan minhâ muqalaban” (“pastilah aku akan mendapat tempat kembali yang lebih baik dari kebun itu”). “Qâla lahu shâhibuhu wa huwa yuhâwiruhu” (“Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia bercakapcakap (yakni berdebat) dengannya”). “A kafarta bi l-ladzii khalaqaka min turâbin” (“apakah kamu kafir kepada Tuhan yang menciptakanmu dari tanah (sebab Adam diciptakan darinya)); “tsumma min nuthfatin tsumma sawwâka” (“kemudian dari setetes air mani, lalu Dia (meluruskan dan) menjadikanmu”), “rajulan” (seorang lakilaki). Adapun aku, kukatakan; “lâkinnâ huwa llahu rabbi lâ usyriku bi rabbii ahadan wa laulâ izd dakhalta jannataka qulta” (“tetapi aku (percaya bahwa) Dia lah Allah, Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku. Dan mengapa ketika memasuki kebunmu kamu tidak mengatakan begini ketika

mengaguminya”: “Mâ syâ`a llâh lâ quwwata illâ bi llâh” (“masya Allah! tidak ada kekuatan kecuali dengan (pertolongan) Allah”). Dan “in tarani ana aqalla minka mâlan wa waladan fa ‘âsâ rabbii an yu`tiyani khairan min jannatika wa yursila ‘alaihâ husbânan” (“jika kamu anggap aku lebih kurang daripada kamu dalam hal harta dan anak maka mudah-mudahan Tuhanku, akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) kepadamu”), “mina s-samâ`i fa tushbiha sha’iidan zalaqan” (“dari langit kepada kebunmu, hingga (kebun itu) menjadi tanah yang licin; tanah yang tidak lagi memiliki tumbuh-tumbuhan, yang tidak dapat dipijaki kaki, “au yushbiha mâ`uhâ ghauran” (atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, kering”). “Fa lan tastathii’a lahu thalaban” (maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi, siasat untuk mendapatkan air. “Wa uhiitha bi tsamarihi” (“Dan harta kekayaannya pun dibinasakan, hancur bersamaan dengan kebunnya hancur”). “Fa asshbaha yuqallibu kaffaihi” (“lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal); menyesali diri dan bersedih hati”), “‘alâ mâ anfaqa fiihâ” (“terhadap apa yang ia telah belanjakan untuk itu; dalam pembangunan kebunnya”), “wa hiya khâwiyatun” (“sedang pohon anggur itu roboh”), “‘alâ ‘uruusyihâ” (“bersama para-paranya dan tiang-tiang untuk pohon anggur, ketika bangunan kebun itu runtuh lalu –pada gilirannya– pohon anggurnya pun runtuh”). “Wa yaquulu yâ laitanii” (“Dan dia berkata: ‘Aduhai kiranya dulu aku....; seolah ia mengingat nasihat saudaranya”). “Lam usyrika bi rabbii ahadan wa lam takun lahu fi`atun” (“tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku. Dan tidak ada bagi dia segolong pun”), “yansuruunahu min duuni llâh” (“yang akan menolongnya selain Allah; di saat kebun hancur.”), “mâ kâna muntashiran” (“dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya; ketika kebun itu

binasa dengan sendirinya”), “hunâlika” (“di sana, yakni hari kiamat”). “Al-wilâyatu”; (“kerajaan, milik”). “Li llâhi l-haqq” (“hanya dari Allah Yang haq”). (as-Suyuthi: Tafsir al-Jalâlain, tafsir Surat al-Kahfi). Tamtsîl 33 ‫ﻭ ﺍﺿﺮﺏ ﻟﻬﻢ ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺤﻴﺎﺓ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻛﻤﺎء ﺃﻧﺰﻟﻨﺎﻩ ﻣﻦ ﺍﻟﺴﻤﺎء ﻓﺎﺧﺘﻠﻂ ﺑﻪ ﻧﺒﺎﺕ ﺍﻷﺭﺽ ﻓﺄﺻﺒﺢ ﻫﺸﻴﻤﺎ ﺗﺬﺭﻭﻩ ﺍﻟﺮﻳﺎﺡ ﻭ ﻛﺎﻥ‬ ‫ﷲ ﻋﻠﻰ ﻛﻞ ﺷﺊ ﻣﻘﺘﺪﺭﺍ‬ Artinya: “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), bahwa kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi ini, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah Maha kuasa atas segala sesuatu” [al-Kahfi: 45]. Tafsir Ayat Al-hasyiim berarti sesuatu yang memecah pada keringnya tetumbuhan. Adzdzurr dan at-tazdriyah ialah angin yang menerbangkan segala sesuatu yang ringan ke setiap arah. Tamtsil

yang

lalu

membicarakan

tentang

tiadanya

kesinambungan

kenikmatan-kenikmatan dunia yang biasanya menjadi sandaran orang kafir. Sebagai penekanan atas pandangan tersebut, al-Quran menampilkan tamtsil lain yang di dalamnya menggambarkan keadaan kehidupan duniawi yang tidak memiliki ketetapan melalui tamtsil indah yang memuat turunnya rintik hujan di tanah-tanah yang subur yang berpotensi menumbuhkan biji-bijian yang tertanam di dalamnya. Biji-bijian mula-mula bergerak dengan membelah tanah, tumbuh, dan dengan menyerap matahari biji-bijian itu sampai pada bentuk seikat bunga yang indah. Manusia kadangkala mengkhayalkan kelanggengannya. Padahal, ketika tibatiba angin kencang atau topan datang menerjangnya, jadilah bunga-bunga itu patah,

layu lalu mengering seperti rumput kering, dan rusaklah semuanya seakan-akan tak pernah ada sebelumnya. Lalu hembusan angin menebarkan abunya ke segenap sisi. Kehidupan dan kematian semacam ini berulang-ulang sepanjang tahun, dan manusia menyaksikan dengan mata kepalanya tanpa mempedulikan isyaratnya. Untuk inilah tamtsil dibuat. Allah SWT berfirman: “Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), bahwa kehidupan dunia adalah sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi ini” dalam bentuk berselubung satu sama lain, keadaannya mencengangkan manusia. Tumbuhan itu terus berubah dalam keadaan sedemikian sampai kita temukan hikmahnya. Inilah yang diungkap al-Quran dengan kalimat; “fa ashbaha hasyiiman” (“kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering”) yakni, banyak tumbuhan yang hancur diterpa angin, lalu berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Begitulah ibarat perubahan dunia, seperti perubahan tumbuh-tumbuhan ini; “Dan adalah Allah Maha kuasa atas segala sesuatu”. Kemudian Allah SWT memperserupakan harta dan anak seperti bunga atau kembang yang tumbuh mekar pada tanaman-tanaman. Bentuk keserupaannya adalah bahwa tanpa diduga bunga itu dapat lenyap dengan cepat. Begitu pula harta dan anakanak. Ya, sesungguhnya itu semua hanyalah perhiasan bagi kehidupan di dunia, dan jika hakikatnya adalah sementara waktu dan segera lenyap, maka apa sangkaan kita terhadap perhiasan tersebut? Tidak akan ditetapkan kekekalan bagi sesuatu yang kembali pada dunia. Artinya, tidak benarlah secara akal, jika kita bersandar pada sesuatu yang segera hilang. Ayat al-Quran mengungkapkan: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia”.

Sebaik-baik kekal adalah bagi amal saleh yang memiliki akibat-akibat yang bersinar di kehidupan ukhrawi. Firman Allah menegaskan: “Dan amal-amal saleh yang kekal itu lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu dan lebih baik kesudahannya” (Maryam 76). Selanjtunya, Allah SWT menekankan atas kelenyapan dan ketidak-abadian dunia dengan membuat perumpamaan-perumpamaan. Dan ruh atau isi kandungan tamtsil ini telah disebutkan sebelumnya dalam surat Yunus (lihat: tamtsil ke 14 (surat Yunus ayat-25). Begitu pula seperti kandungan yang disebutkan dalam tamtsil surat al-Hadid ayat-20. Perlu Diperhatikan Barangkali ayat berikut ini juga termasuk dari amtsâl al-Quran; ً‫ﻭ ﻟﻘﺪ ﺻﺮﻓﻨﺎ ﻓﻲ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﻘﺮﺁﻥ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻣﻦ ﻛﻞ ﻣﺜﻞ ﻭ ﻛﺎﻥ ﺍﻹﻧﺴﺎﻥ ﺃﻛﺜﺮ ﺷﻲء ﺟﺪﻻ‬ Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulang bagi manusia dalam alQuran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah” [al-Kahfi: 54]. Tetapi, sebetulnya, ayat ini bukanlah tamtsil yang mandiri. Ayat di atas lebih menekankan penyebutan contoh-contoh amtsâl, khususnya dalam hal-hal yang kembali pada kehidupan masa lampau yang ternyata mengandung banyak i’brah. Dalam kalimat “wa laqad sharrafnâ” (“telah Kami jelaskan di dalam al-Quran ini kepada manusia dengan segala perumpamaan”), kandungan makna tabyiin (pengungkapan yang menjelaskan) dengan kata tashrif (dalam ayat) adalah sebagai isyarat pada bentuk perumpamaan yang bermacam-macam. Yakni agar manusia berpikir dari sisi-sisi yang berlainan. Kalimat terakhir ayat, “Dan manusia adalah makhluk yang paling banyak membantah”; menunjukkan bahwa kebanyakan manusia

lebih memilih perselisihan dan perdebatan tanpa bertujuan mengambil hidayah dari apa yang dilihat atau dirasakannya guna menuju hakikat. Surat al-Hajj Tamtsîl 34 ‫ﻳﺎ ﺃﻳﻬﺎ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﺿﺮﺏ ﻣﺜﻞ ﻓﺎﺳﺘﻤﻌﻮﺍ ﻟﻪ ﺇﻥ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺗﺪﻋﻮﻥ ﻣﻦ ﺩﻭﻥ ﷲ ﻟﻦ ﻳﺨﻠﻘﻮﺍ ﺫﺑﺎﺑﺎ ً ﻭ ﻟﻮ ﺍﺟﺘﻤﻌﻮﺍ ﻟﻪ ﻭ ﺇﻥ ﻳﺴﻠﺒﻬﻢ‬ *‫ﻱ ﻋﺰﻳﺰ‬ ّ ‫ﺍﻟﺬﺑﺎﺏ ﺷﻴﺌﺎ ﻻ ﻳﺴﺘﻨﻘﺬﻭﻩ ﻣﻨﻪ ﺿﻌﻒ ﺍﻟﻄﺎﻟﺐ ﻭ ﺍﻟﻤﻄﻠﻮﺏ* ﻣﺎ ﻗﺪﺭﻭﺍ ﷲ ﺣﻖ ﻗﺪﺭﻩ ﺇﻥ ﷲ ﻟﻘﻮ‬ Artinya:

“Hai

manusia,

telah

dibuat

perumpamaan-perumpamaan,

maka

dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya. Dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah. Mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesunggunya Allah benar-benar Maha kuat lagi Maha perkasa” [al-Hajj: 73-74]. Tafsir Ayat Pada masa Jahiliyah, bangsa Arab dapat dikatakan sudah bertauhid dalam khâliqiyah (Allah adalah Sang Maha Pencipta). Mereka mengungkapkan keyakinan mereka itu dengan mengatakan bahwa tiada pencipta di alam semesta ini melainkan Allah. Dan Allah SWT mengabarkan tentang hal itu dalam al-Quran, antara lain; “dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka: ‘Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?’, niscaya mereka akan menjawab: Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui” [az-Zukhruf: 9]. Tetapi, mereka syirik dalam tauhid ar-rububiyah (pemeliharaan). Mereka menyatakan bahwa Allah SWT menciptakan langit dan bumi, dan (lalu) menyerahkan (urusan) pemeliharaan ciptaannya kepada tuhan-tuhan yang mereka sebut-sebut itu.

Hal ini terungkap melalui sebutan kaum musyrikin tentang kata al-arbâb (tuhantuhan) yang mereka cantumkan dalam semua perjanjian, yaitu atas (nama) tuhantuhan yang mereka panggil. Allah SWT berfirman: “manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa” [Yusuf: 39]. Meskipun ayat ini menjelaskan tentang keyakinan kaum musyrikin di masa Nabi Yusuf as, namun keadaan serupa juga terjadi pada kaum musyrik di Mekah pada masa Nabi Muhammad saw. Ayat ini turun sebagai bukti yang mengungkap cela dan merendahkan aqidah mereka yang batil. Ada juga ayat-ayat al-Quran lain yang menyingkap kesyirikan mereka dalam tauhid rububiyah, antara lain: “Mereka mengambil sembahan-sembahan selain Allah agar mereka mendapat pertolongan” [Yasin: 74], yakni, mereka menyembah tuhan-tuhan mereka supaya mereka menang di medan-medan peperangan. Dan, “.....Dan mereka telah mengambil sembahan-sembahan selain Allah, agar sembahan-sembahan itu menjadi pelindung mereka” [Maryam: 81]. Motif dari ketundukan di hadapan tuhan palsu itu adalah memohon kekuatan dalam menghadapi berbagai masalah dari tuhan-tuhan itu. Di dalam beberapa ayat lain juga ditunjukkan bahwa orang-orang musyrik di masa Rasulullah saw tidak bertauhid dalam al-rububiyah, dan demikian pula halnya dalam al-khâliqiyah. Tidak sedikit ayat yang menjelaskan tentang keadaan patung-patung berhala yang tidak mampu mengangkat madharat dan tidak mempunyai manfaat apapun. Dan mereka tidak memberi kemenangan dalam perang, tidak pula kekuatan dalam hidup. Keterangan itu menunjukkan bahwa kaum musyrik meyakini bahwa tuhan-tuhan mereka memiliki kekuatan dan kekuasaan yang dapat melepaskan madharat dan memberi manfaat bagi mereka.

Berikut ini ibarat lain tentang sangkaan terhadap pemeliharaan (tadbiir) tuhantuhan itu untuk kehidupan manusia, Allah SWT berfirman: “Katakanlah: ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan

untuk

menghilangkan

bahaya

daripadamu

dan

tidak

pula

memindahkannya” [al-Isra: 56]. Juga: “Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah” [Yunus: 106]. Serta ayat: “Jika kamu menyeru mereka, mereka tiada mendengar seruanmu..” [Fathir: 14]. Dan ayat-ayat lain yang membatilkan tadbiir tuhan-tuhan palsu kaum musyrik. Dengan memahami penjelasan di atas, maka ketahuilah bahwa dalam maqâm ini Allah SWT membuat perumpamaan-perumpamaan yang membatilkan rububiyah patung-patung berhala, dengan penjelasan yang begitu kontras berikut ini: Orang-orang musyrik itu menganggap bahwa lalat adalah binatang terlemah. Tetapi, ternyata tuhan-tuhan mereka tidak mampu menciptakan lalat. Bahkan, apabila lalat-lalat merampas sesuatu dari mereka, mereka tidak dapat merebutnya kembali. Diriwayatkan, dahulu bangsa Arab selalu memolesi badan patung-patung berhala mereka dengan za’faron dan memolesi bagian kepalanya dengan madu, sementara mereka menutup pintu-pintu di hadapan patung-patung itu. Lalu beberapa ekor lalat masuk dari lubang dan celah-celah yang luput dari tutup mereka dan kemudian memakannya. Dalam al-Quran diungkapkan: “Hai manusia, telah dibuat perumpamaan-perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya

segala

yang

kamu

seru

selain

Allah.......”;

yakni

mereka

menyembahnya. Dan kata “ad-du’â” (“menyeru”) –pada ayat di atas– bermakna “‘ibâdah”, sebagaimana disebutkan dalam ayat: “Dan Tuhanmu berfirman:

“Berdoalah kepada-Ku, niscaya Kuperkenankan untukmu. Sesungguhnya orangorang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina” [Ghafir: 60]. Maka, kata du’â` (menyeru) kepada Allah SWT adalah beribadah kepada-Nya, sebagaimana ‘menyeru’ kepada tuhan-tuhan palsu –sebagai tuhan-tuhan orang musyrik– juga adalah ibâdah atau menyembah kepada mereka. Lanjutan kalimat dalam ungkapan al-Quran di atas berbunyi: “...... Sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalatpun, walaupun mereka bersatu untuk menciptakannya” –meskipun lalat itu begitu kecil dan lemah– “dan jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu”. Dalam riwayat di atas, dapat diketahui bahwa lalat-lalat itu boleh jadi memakan madu yang ada di kepala-kepala patung berhala. Kalimat “dha’ufa ath-thâlib wa l-mathluub” (“lemahlah yang menyembah dan lemah pula yang disembah”) dalam ayat ini memiliki beberapa kemungkinan penjelasan sebagai berikut: Pertama, bahwa yang dimaksud “ath-thâlib wa l-mathlub” adalah penyembah dan yang disembah. “Ath-thâlib” atau “manusia” itu lemah, sebagaimana penjelasan dalam ayat lain: “Dan manusia dijadikan bersifat lemah” [an-Nisa: 28]. Sedangkan “al-mathlub” atau “patung” (seperti ath-thâlib), karena ia benda mati yang tidak kuasa atas sesuatupun. Kedua, bahwa yang dimaksud ath-thâlib adalah lalat yang mencari sesuatu yang dioleskan pada patung. Dan al-mathlub adalah patung yang menuntut bebas dari sesuatu yang merampas darinya. Dan ketiga, yang dimaksud ath-thâlib adalah tuhantuhan yang mereka tuntut untuk penciptaan lalat, namun tidak mampu menyelamatkan

sesuatu yang terampas dari mereka. Dan al-mathlub adalah lalat yang dituntut untuk membebaskan mereka dari serangannya. Tujuan tamtsil ini adalah menjelaskan kelemahan tuhan-tuhan itu dan untuk merendahkannya pada kedudukan paling rendah dari binatang dalam perasaan dan kemampuan. Kemudian Allah SWT kembali menjelaskan faktor penolakan kaum musyrik dan kafir dari menyembah Allah itu sebagai berikut; “mereka tidak mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. Artinya, sebenarnya mereka tidak menempatkan Allah pada posisi yang seharusnya dan mereka tidak memperlakukan-Nya sebagaimana mestinya. Karena itu, mereka lalu berpaling dari menyembah Sang Khalik, dan berpihak serta menyembah pada makhluk yang tiada memberi manfaat dan madharat secuilpun. Sekiranya mereka mengenal Allah SWT dan asmâul husnâ serta sifat-sifat agung-Nya, niscaya mereka mengakui bahwa tiada pencipta dan tiada tuhan (pemelihara) selain Dia. Atas dasar itulah keyakinan bahwa tiada yang disembah melainkan Dia. Sayangnya, mereka justru tidak memandang Allah SWT sebagaimana mestinya. Mereka memilih menyekutukan-Nya dengan makhluk yang terlemah dan terhina. Padahal yang sesungguhnya, “Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa”, yang berbeda dengan tuhantuhan mereka yang lemah dan hina dina. Surat an-Nur Tamtsîl 35 ‫ﺩﺭﻱ ﻳﻮﻗﺪ‬ ّ ‫ﷲ ﻧﻮﺭ ﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕ ﻭ ﺍﻷﺭﺽ ﻣﺜﻞ ﻧﻮﺭﻩ ﻛﻤﺸﻜﻮﺓ ﻓﻴﻬﺎ ﻣﺼﺒﺎﺡ ﺍﻟﻤﺼﺒﺎﺡ ﻓﻲ ﺯﺟﺎﺟﺔ ﺍﻟﺰﺟﺎﺟﺔ ﻛﺄﻧﻬﺎ ﻛﻮﻛﺐ‬ ‫ﻣﻦ ﺷﺠﺮﺓ ﻣﺒﺎﺭﻛﺔ ﺯﻳﺘﻮﻧﺔ ﻻ ﺷﺮﻗﻴﺔ ﻭ ﻻ ﻏﺮﻳﺒﺔ ﻳﻜﺎﺩ ﺯﻳﺘﻬﺎ ﻭ ﻟﻮ ﺗﻤﺴﺴﻪ ﻧﺎﺭ ﻧﻮﺭ ﻋﻠﻰ ﻧﻮﺭ ﻳﻬﺪﻱ ﷲ ﻟﻨﻮﺭﻩ ﻣﻦ‬ ‫ﻳﺸﺎء ﻭ ﻳﻀﺮﺏ ﷲ ﺍﻷﻣﺜﺎﻝ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻭ ﷲ ﺑﻜﻞ ﺷﻲء ﻋﻠﻴﻢ‬

Artinya: “Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. Perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang banyak berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. Cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki, dan Allah membuatkan perumpamaanperumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. Tafsir Ayat Al-misykât adalah sebuah lubang yang tak tembus. Dalam tradisi masyarakat tertentu lubang ini dibuat pada dinding rumah tempat sebagian perabotan diletakkan, antara lain pelita. Dari lubang itu pemilik rumah bisa mengawasi halamannya dan ia dapat menutupi lubang itu dengan kaca untuk menjaga pelita dari angin sekaligus untuk menerangi halaman dan kamar. Penjaga pelita (semacam semprong) dibuat dalam bentuk kerucut terbuat dari kaca yang diletakkan melingkupi pelita agar terjaga dari angin dan di atasnya diberi sebuah lubang tempat keluarnya asap. Al-mishbâh adalah pelita atau lampu (minyak). Al-mishbâh merupakan alat yang terdiri dari empat bahan: 1) wadah minyak; 2) sumbu lampu yang menyala dengan minyak; 3) kaca yang mengitari nyala sumbu; dan 4) alat pengapit sumbu. Jenis minyak yang paling bagus untuk nyala api diambil dari pohon zaitun yang ditanam di tempat di mana cahaya matahari dapat menyinari pohon itu dari segala sisi, sehingga (minyak dari pohon ini) menjadi minyak paling jernih dan cepat menyala. Ini berbeda dengan kondisi pohon yang ditanam di sebelah timur atau di

sebelah barat, sebab posisi seperti ini tidak menerima sinar matahari melainkan hanya pada waktu tertentu saja. Allamah Sayyid Husain Thabathaba`i berkata: “Yang dimaksud dengan pohon yang tumbuh tidak di timur dan tidak di barat ialah bahwa pohon itu tidak tumbuh di sebelah timur dan tidak pula di sebelah barat, sehingga sinar matahari hanya mengenainya pada salah satu sisi (dari dua sisi) siang, dan sisi lain cuma memperoleh bayangan. Keadaan seperti itu menjadikan pohon tidak memberikan buah yang matang benar, minyak yang diambil tidak jernih dan tidak memberikan penerangan” (al-Mizan: 15/124). Demikian penjelasan ayat dari sisi kosa-katanya. Dengan demikian, almusyabbah adalah “misykât” yang terdiri dari; api atau lampu di bagian dalamnya dan kaca yang mengelilingi api atau lampu di sebelah luarnya. Al-musyabbah bihi adalah cahaya yang bersinar dari kaca yang menjaga pelita, menyala dari minyak terpilih yang jernih yang ditaruh pada wadah misykât. Cahaya pelita ditampung oleh misykât dan dipantulkannya, sehingga semakin bersinar. Adapun kalimat dalam ayat yang berbunyi “nuur ‘alâ nuur”, atau cahaya yang berlapis-lapis yang tersusun dari inti hingga bagian sinar terluar, dalam struktur kalimat ayat ini ialah sinar atau cahaya dari kaca yang berasal dari cahaya lampu. Allamah Thaba`thaba`i berkata: Misykât diangkat sebagai perumpamaan ialah untuk menunjukkan adanya perhimpunan cahaya di pusat inti api misykât dan pemantulannya ke seluruh ruangan rumah. Dan pengibaratan minyak dari pohon zaitun yang “lâ syarqiyah wa lâ gharbiyah”, untuk menunjukkan atas nyala cahaya dari minyak jernih dan bagus yang mengesankan dilihat dari kejernihan dan kecemerlangan cahayanya yang bersinar.

Kecemerlangan cahaya yang menyinari setiap sesuatu itu disebabkan oleh keberadaan minyaknya yang hampir menyinari walau tidak tersentuh api. Sedangkan pengungkapan cahaya di atas cahaya ialah untuk menunjukkan berlipatnya cahaya, yaitu kenyataan adanya cahaya kaca sebagai hasil dari cahaya lampu”. (al-Mizan: 15/125). Demikianlah keadaan yang dijadikan penyerupa, hal mana pembicaraan sebenarnya mengenai yang diserupakan dan setiap kelompok matsal tersebut sesuai dengan apa yang diinginkan. Berikut ini ada beberapa perkataan (qaul) atau penjelasan sebagai tambahan keterangan: Qaul pertama, al-musyabbah bihi adalah hidayah Allah. Ketika telah sampai dalam kemunculan dan kejelasan(nya) pada puncak tujuan dan telah menjadi seperti misykât yang berkaca bening dan di dalam kaca terdapat pelita yang menyala dengan minyak yang paling jernih. Sedangkan tiadanya keserupaan misykât dengan sinar matahari yang memiliki sinar sangat dominan pada bumi, namun yang dimaksud dalam konteks perumpamaan ini ialah sifat cahaya yang sempurna di tengah kegelapan. Sebab, yang umum dalam imajinasi makhluk hidup (khususnya manusia) adalah keraguan (syubhât) dan kekaburan yang bagaikan kegelapan, dan hidayah Allah SWT di tengah kondisi demikian seperti sinar yang sempurna yang terang dan menerangi di tengah kegelapan. Qaul kedua, “an-nuur” yang dimaksud adalah al-Quran. Allah SWT berfirman: “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan” [al-Maidah: 15]. Qaul ketiga, yang dimaksud adalah Rasulullah saw. Sebab, beliau adalah seorang mursyid. Allah SWT berfirman tentang beliau: “....dan untuk menjadi cahaya

yang menerangi” [al-Ahzab: 46]. Dan barangkali marja’ (sumber) dua qaul yang akhir ini (kedua dan ketiga) adalah qaul yang pertama, karena al-Quran dan Rasulullah saw termasuk bentuk hidayah Allah SWT. Qaul keempat, yang dimaksud adalah ma’rifat agama di dalam kalbu orangorang mukmin. Di dalam al-Quran, Allah SWT menyifati keimanan (al-iimân) adalah cahaya dan kekafiran (al-kufr) adalah kegelapan, yakni: “....Maka apakah orangorang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya).......?” [azZumar: 22]. Dalam surat Ibrahim ayat 1 dinyatakan: “supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang”. Dan kesimpulannya, bahwa keimanan seorang mukmin ialah yang telah mencapai batas cahaya pelita yang jernih dari syubhât dan terpisah dari kegelapan kesesatan. Dengan demikian, tamtsil dalam bentuk tunggal (mufrad), adalah penyerupaan hidayah dengan sesuatu yang mendekatinya, yakni cahaya pelita. Dan ia tidak harus menjadi pembeda semua perkara yang dimiliki musyabbah bihi itu ada di dalam musyabbah. Hal ini berbeda dengan qaul berikut ini. Qaul kelima, bahwa yang dimaksud adalah kekuatan-kekuatan yang menjangkau dengan lima tingkatannya, yaitu kekuatan indera, kekuatan khayâliyah (imajinasi), kekuatan aqliyah (rasional), kekuatan fikriyah (berpikir), dan kekuatan qudsiyah (kesucian). Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh dalam ayat suci al-Quran: “Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Quran) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah al-kitab (al-Quran) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan al-Quran itu cahaya, yang

Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami” [asy-Syura: 52]. Dengan mengetahui kekuatan-kekuatan tersebut maka semua itu dapat disebut cahaya-cahaya, hal mana dengan kekuatan itu menjadi tampak bermacam-macam karakter maujud. Lima tingkatan tersebut barangkali menyerupai lima perkara yang disebutkan dalam ayat, yaitu: al-misykât, az-zujâjah, al-mishbâh, asy-syajarah dan azzait. Atas penjelasan ini maka tamtsil dalam bentuk tersusun (murakkab) ialah seperti qaul berikut ini: Qaul keenam, bahwa diri insani menerima makrifat dan pengetahuan nonmateri. Pada tahap pertama ia bersih dari segala pengetahuan, ini dinamakan akal hayulâni, yaitu al-misykât. Pada tahap kedua, ia memperoleh pengetahuanpengetahuan aksiomatis, yang dengan menyusun pengetahuan ini dapat sampai pada pengetahuan-pengetahuan teoritis. Lalu, jika perpindahan (dari pengetahuan aksiomatis ke teoritis) memungkinkan padanya, bentuk perpindahan yang lemah maka itulah asy-syajarah (pohon), tapi bila lebih kuat maka itulah az-zait (minyak), bila lebih besar kekuatannya maka itu adalah az-zujâjah (kaca) yang laksana bintang kejora, dan apabila berada dalam puncak tertinggi maka itulah an-nafsu al-qudsiyah atau diri yang suci yang khusus bagi para nabi; itulah makna kalimat “yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api”. Pada tahap ketiga, ia memperoleh pengetahuan teoritis (nazhariyât) dari pengetahuan aksiomatis. Pada tahap ini, tidak akan muncul secara aktual (bil fi’l), kecuali ketika pemilik tahap ini menginginkan kehadirannya sesuai kemampuan, dan inilah yang dinamakan akal bil fi’l, yaitu pelita.

Pada tahap keempat, pengetahuan-pengetahuan (nazhari) tersebut muncul secara aktual. Inilah yang dinamakan akal mutafâdan (yang diperoleh). Dan begitulah “nuur ‘alâ nuur” (cahaya di atas cahaya). Sebab, al-hikmah adalah tabiat (malakah) cahaya dan munculnya sesuatu di atas cahaya sebagai suatu tabiat adalah cahaya lain. Pengetahuan-pengetahuan ini muncul dalam ruh-ruh manusia, yang kemunculan itu sebenarnya berasal dari subtansi ruhani, yang dinamakan akal yang efektif. Qaul ketujuh, Allah SWT menyerupakan dada dengan misykât, hati dengan zujâjah dan makrifat dengan mishbâh. Dan mishbâh (pelita) ini akan menyala dari syajarah mubârakah (pohon yang banyak berkah), yakni dari ilham-ilham malakuti. Dia menyerupakan malaikat dengan syajarah mubârakah dikarenakan banyaknya manfaat mereka. Tetapi Allah menyifati syajarah ini tidak di sebelah timur sesuatu dan tidak juga di sebelah baratnya, karena ia adalah ruhaniyah. Allah menyifati mereka (malaikat) dengan firman-Nya; “yang minyaknya saja hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api” dikarenakan melimpahnya ilmu pengetahuan mereka akan rahasia-rahasia malakut Allah SWT. Qaul kedelapan, bahwa yang dimaksud “matsalu nuurihi” (perumpamaan cahaya-Nya) ialah perumpamaan cahaya keimanan di hati Muhammad saw seperti misykât (lampu minyak) yang di dalamnya sebuah pelita. Al-misykât seperti sulbi Abdullah (ayahanda Nabi), zujâjah (kaca) adalah jasad Muhammad saw dan almishbâh seperti keimanan dalam hati Muhammad saw atau seperti kenabian di dalam hati beliau. Qaul kesembilan, bahwa al-misykât seperti Ibrahim as, az-zujâjah seperti Ismail as, al-mishbah seperti jasad Muhammad saw dan asy-syajarah seperti kenabian dan risalah.

Qaul kesepuluh, bahwa kalimat “matsalu nuurihi”(perumpamaan cahaya-Nya) adalah kembali pada orang mukmin. (Lihat, Tafsir al-Fakhru ar-Razi: 23/231-235). Sesungguhnya, al-musyabbah adalah cahaya Allah yang menyinari kalbu orang-orang mukmin. Sedangkan al-musyabbah bihi adalah cahaya yang memancar dari kaca. Sementara kalimat “yahdi llâhu li nuurihi man yasyâ`” (“Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki”) adalah suatu keadaan permulaan yang didominasi secara khusus oleh orang-orang mukmin dengan cahaya keimanan dan makrifat yang tidak dimiliki oleh selain mereka. Hal ini telah dimaklumi sebelumnya bahwa yang dimaksud dalam kalimat “man yasyâ`” adalah orang-orang yang disebut oleh Allah setelah ayat; “laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingat Allah” [an-Nur: 37]. Jadi yang dimaksud dengan “man yasyâ`” ialah orang-orang mukmin dengan sifat keimanan sempurna. Artinya, bahwa Allah SWT menunjuki orang-orang yang melebur dengan kesempurnaan keimanan ke dalam cahaya-Nya, dan ini tidak berlaku bagi orang-orang yang melebur dengan kekufuran (al-Mizan: 18/125-126). Kalimat akhir dalam ayat yang kita bahas di atas: “..... dan Allah membuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia...” mengisyaratkan bahwa perumpamaan yang dibuat setelah itu adalah sebuah tingkatan ilmu. Sebenarnya, dipilihnya “perumpamaan” adalah karena ia merupakan jalan termudah untuk menjelaskan hakikat dan rahasia kepada manusia. Di dalamnya berlaku baik bagi orang alim maupun orang awam, sehingga seluruh manusia dapat menerima maksud perumpamaan itu. Allah SWT berfirman: “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” [al-Ankabut: 43]. Tamtsîl 36

‫ﻭﺍﻟﺬﻳﻦ ﻛﻔﺮﻭﺍ ﺃﻋﻤﺎﻟﻬﻢ ﻛﺴﺮﺍﺏ ﺑﻘﻴﻌﺔ ﻳﺤﺴﺒﻪ ﺍﻟﻈﻤﺂﻥ ﻣﺎ ًء ﺣﺘﻰ ﺇﺫﺍ ﺟﺎءﻩ ﻟﻢ ﻳﺠﺪﻩ ﺷﻴﺌﺎ ً ﻭ ﻭﺟﺪ ﷲ ﻋﻨﺪﻩ ﻓﻮﻓّﺎﻩ ﺣﺴﺎﺑﻪ‬ *‫ﻭﷲ ﺳﺮﻳﻊ ﺍﻟﺤﺴﺎﺏ‬ Artinya: “Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di atas tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatangi air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitunganNya” [an-Nur: 39]. Tafsir Ayat Kata as-sarâb atau fatamorgana ialah sesuatu yang terlihat di tengah padang sahara akibat sinar kuat matahari di siang hari, yang membentuk semacam aliran air di atas permukaan tanah. Dari kejauhan tampaklah ia seperti air yang mengalir. Sedangkan kata al-qii’ah yang bermakna al-qâ’ (lembah) atau bentuk jamaknya qâ’, ialah tanah yang terbentang datar. Dan kata azh-zham`ân berarti orang-orang yang dahaga. Dalam ayat ini Allah SWT menyerupakan amal-amal orang kafir dengan fatamorgana, sebagaimana pada tamtsil yang akan datang. Dan barangkali, yang diserupakan pada yang pertama adalah kebaikan-kebaikan mereka, dan pada yang kedua adalah keburukan-keburukan perbuatan mereka. Tamtsil yang diuraikan dalam ayat ini adalah sebagai berikut: Kalimat “wa l-ladziina kafaruu a’mâluhum”; yakni apa yang mereka perbuat berupa ketaatan-ketaatan, berkurban dan bacaan-bacaan untuk mendekatkan diri pada tuhan-tuhan mereka, perumpamaannya adalah “laksana fatamorgana di atas tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga”.

Orang-orang yang dahaga disifati dengan beberapa sifat: Pertama, menduga fatamorgana adalah air; “laksana fatamorgana di atas tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga”. Kedua, ketika orang dahaga itu sampai di fatamorgana ia tidak mendapati sesuatu yang bermanfaat; “tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun”. Yang terjadi pada orang-orang dahaga itu ialah fatamorgana itu terlihat seperti air setiap kali mereka memandangnya. Keadaan yang dimaksud di sini adalah datangnya si pemandang fatmorgana, dan tidak didatangi fatamorgana itu kecuali agar orang-orang dahaga dapat meminum air dan melepaskan dahaganya. Ketiga, ketika mendekati fatamorgana, ternyata tidak ada air sedikitpun. Yang diperoleh hanyalah ketetapan Allah SWT di hadapannya; “dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisinya..”. Inilah berita kepada dan tentang “orang-orang dahaga” (azh-zham`ân), namun yang dimaksud dalam konteks kalimat ini adalah “orang-orang kafir”, dan maknanya adalah mereka mendapati ketetapan dan balasan Allah SWT. Hal tersebut rapat sekali ketika ia memasuki kematian dan kedekatannya kepada akhirat. Orang-orang kafir berpikir bahwa setiap yang ia sajikan, berupa kurbankurban dan bacaan-bacaan, akan memberikan manfaat baginya ketika mati dan setelah kematiannya, dan tuhan-tuhan mereka akan memberikan syafaat. Namun yang tampak oleh mereka itu adalah lain dari yang sebenarnya, dan bahwa ketentuan sesungguhnya adalah ketentuan Allah SWT, bukan ketentuan selain-Nya. Nyatalah, bahwa mereka tidak memperoleh keuntungan dari ketuhanan tuhan-tuhan mereka. Seketika itu, mereka mendapati balasan atas perbuatan-perbuatan mereka; “lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup”. Dan Allah SWT menyifati diri-Nya dengan berfirman: “dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya”.

Dengan demikian menjadi jelas bahwa ayat ini menerangkan tentang keadaan orang-orang dahaga yang sebenarnya (hakiki). Kalimat: “dia tidak mendapatinya sesuatu apapun”, dan kalimat: “dan didapatinya..” adalah pada azh-zham`ân namun bermakna majâzi. Hasil dari perumpamaan yang dibuat ini adalah bahwa ketaatan, ibadah dan taqarrub semua makhluk adalah karena Allah SWT. Oleh karena itu, bagi siapa saja yang melaksanakannya kepada Allah dan karena Allah, maka ia telah menanam benih dalam tanah yang subur yang dengan demikian kelak akan bermanfaat “ketika” menemui-Nya. Adapun orang yang menyembah selain-Nya, yang mempersembahkan taqarrub kepadanya dengan berharap manfaat, maka harapannya tak beda dengan harapan orang-orang kehausan terhadap fatamorgana yang mengira bahwa fatamorgana adalah air, sehingga ia mendatanginya. Namun, bukan mendapatkan apa yang diharapkan, justru ia kekecewaan yang diperolehnya. Demikianlah persamaan antara orang haus dengan orang kafir, yakni yang menyerupakan dan yang diserupakan. Tetapi yang diserupakan, yakni orang kafir yang menyerupai orang dahaga adalah khusus pada beberapa perkara lain: Pertama, pada kedatangannya ke tempat yang diinginkan dengan amal perbuatannya. Ia mendapati Allah, tiada lain sebagai sesuatu yang majazi. Kedua, bahwa Allah membalas perbuatan-perbuatannya. Ketiga, lalu Allah memberikan perhitungannya kepadanya. Dengan keterangan yang telah disebutkan di atas, maka yang dimaksud dengan kata yang tampak, azh-zham`ân, adalah azh-zham`ân yang sebenarnya (hakiki). Dan yang dimaksud tiga dhair dalam kalimat wajada, waffâhu dan hisâbuhu adalah azh-zham`ân yang majazi, yakni orang kafir yang kecewa.

Tamtsîl 37 ‫ﻲ ﻳﻐﺸﺎﻩ ﻣﻮﺝ ﻣﻦ ﻓﻮﻗﻪ ﺳﺤﺎﺏ ﻅﻠﻤﺎﺕ ﺑﻌﻀﻬﺎ ﻓﻮﻕ ﺑﻌﺾ ﺇﺫﺍ ﺃﺧﺮﺝ ﻳﺪﻩ ﻟﻢ ﻳﻜﺪﻩ ﻳﺮﺍﻩ ﻭ ﻣﻦ‬ ّ ‫ﺃﻭ ﻛﻈﻠﻤﺎﺕ ﻓﻲ ﺑﺤﺮ ﻟ ّﺠ‬ *‫ﻟﻢ ﻳﺠﻌﻞ ﷲ ﻟﻪ ﻧﻮﺭﺍ ﻓﻤﺎ ﻟﻪ ﻣﻦ ﻧﻮﺭ‬ Artinya: “Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, dia tidak dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tidak diberi cahaya (petunjuk) Allah (maka) tiadalah ia mempunyai cahaya sedikitpun” [an-Nur: 40]. Tafsir Ayat Kata al-lujjiy dinisbatkan pada kata al-lujjah, yang dalam bahasa diartikan sebagai laut yang luas dan dalam. Tapi kata ini biasanya digunakan pada makna ombak lautan yang bergerak berbolak-balik. Keadaan laut, semakin dalam dan luas maka ia semakin besar ombaknya. Maksud kalimat “bahrin lujjiyin” dalam ayat di atas adalah laut yang berbenturan. Kata as-sahâb berarti al-qhuyuum (awan yang mengandung hujan), berbeda dengan kata al-ghaim (awan) yang memiliki makna lebih umum. Penggunaan kata assahâb dalam ayat adalah untuk menjadi sebab bagi bertambahnya kegelapan. Pada ayat sebelumnya Allah SWT menyerupakan amal-amal orang-orang kafir dengan fatamorgana yang disangka air oleh orang-orang dahaga, untuk menunjukkan bahwa amal-amal itu tidak memberikan keuntungan apa-apa bagi mereka. Dalam ayat ini Allah menyerupakan amal-amal mereka dengan kegelapan dan kekosongan dari cahaya kebenaran di laut yang amat dalam, di atasnya awan berhujan yang gelap dan di atas airnya ada ombak di atas ombak. Orang yang berada di laut seperti ini diliputi oleh kegelapan yang dahsyat. Ia tidak melihat sesuatu pun di

hadapannya, sehingga kalapun mengeluarkan tangannya ia tidak dapat melihatnya meskipun teramat dekat. Begitulah yang dijadikan penyerupa. Sedangkan yang diserupakan ialah bahwa amal-amal yang dilakukan oleh orang kafir adalah batil sepenuhnya, yang tiada di dalamnya kebenaran sedikitpun, seperti laut yang dalam nan luas yang diliputi gelapnya kegelapan yang tiada cahaya setitikpun. Ayat di atas juga memberi isyarat melalui tiga kegelapan: Pertama, kegelapan laut yang terhalang dari cahay; kedua, kegelapan ombak yang berbenturan; ketiga, awan hitam yang berhujan. Bertumpuk-tumpuknya tiga kegelapan ini menghijab semua cahaya untuk menembusnya. Beginilah keadaan yang dialami orang-orang kafir atas amal-amalnya. Dan tiga isyarat kegelapan di atas mungkin juga dapat dijelaskan dari sudut pandang lain sebagai berikut: Pertama: gelapnya keyakinan, gelapnya perkataan dan gelapnya perbuatan. Kedua:

kegelapan

hati,

gelapnya

penglihatan dan gelapnya pendengaran. Dan ketiga: gelapnya kebodohan, gelapnya kebodohan dengan kebodohan, dan gelapnya konsepsi kebodohan akan pengetahuan. (lihat: Tafsir al-Fakhru ar-Razi: 24/8-9). Barangkali kegelapan-kegelapan yang bertumpuk-tumpuk ini mengisyaratkan pada perkara lain, yaitu ketetapan bagi orang kafir yang berlipat-lipat atas kekufurannya dan keburukan amal perbuatannya. Karena itu Allah SWT menyifati orang kafir dengan; “(dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun”. Perlu Diperhatikan Mengenai amtsâl al-Quran, sebagian para penulis menyebut ayat berikut ini termasuk salah satu dari al-amtsâl al-Quran:

“Dan mereka berkata: ‘Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasarpasar? Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan peringatan bersama-sama dengan dia?, atau (mengapa tidak) diturunkan kepadanya perbendaharaan, atau (mengapa tidak) ada kebun baginya, yang dia dapat makan dari (hasil)nya?’. Dan orang-orang yang zalim itu berkata: ‘Kamu sekalian tidak lain hanyalah mengikuti seorang yang kena sihir’. Perhatikanlah, bagaimana mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu)”. [al-Furqan: 7-9]. Memang, di dalam ayat ini terdapat kata “al-amtsâl”, namun ia bukan termasuk tamtsil. Sesungguhnya ayat ini memberitahukan tentang apa yang dikatakan orang-orang kafir ketika menyifati Nabi Muhammad saw, bahwa dia makan makanan dan berjalan di pasar, sehingga – menurut orang-orang kafir itu – dia tidak patut membawa risalah. Mereka lalu mencela Nabi Muhammad saw dengan kata-kata tak berdasar semacam: “kami terima kalau dia seorang rasul, tetapi kenapa tidak turun kepadanya seorang malaikat lalu dia menjadi seorang pemberi peringatan bersamanya, agar peringatannya itu bersambung dengan yang ghaib melalui malaikat?” Kemudian orang-orang kafir juga mencela dengan perkataan: “mengapa tidak turun kepadanya harta dari langit, sehingga dia dapat menggunakannya dalam kebutuhan-kebutuhan materialnya? Atau mengapa tidak ada baginya surga yang dapat ia makan darinya?” Lalu pada bagian akhir ayat, mereka menyifati Nabi saw sebagai orang yang tersihir. Tetapi Allah SWT menolak perkataan mereka dan mengungkapkan aib mereka yang telah keliru menyifati Nabi Muhammad saw: “Perhatikanlah, bagaimana,

mereka membuat perbandingan-perbandingan tentang kamu, lalu sesatlah mereka, mereka tidak sanggup (mendapatkan) jalan (untuk menentang kerasulanmu)”. Yakni lihatlah bagaimana mereka menyifati Muhammad saw yang: 1) makan dan berjalan di pasar; 2) tiadanya malaikat yang menyertai; 3) miskin; dan 4) tersihir, sambil mengkhayal bahwa dia (Muhammad saw) adalah seorang rasul yang didatangi malaikat wahyu dengan risalah dan al-kitab. Di sini tidak ada musyabbah, tidak ada musyabbah bihi, dan tidak ada pula tamtsil untuk menjelaskan sikap Nabi Muhammad saw. Dan untuk itu telah kami jelaskan di dalam mukadimah bahwa bentuk seperti ini bukanlah merupakan amtsâl al-Quran. Surat al-Ankabut Tamtsîl 38 ّ ‫ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺍﺗﺨﺬﻭﺍ ﻣﻦ ﺩﻭﻥ ﷲ ﺃﻭﻟﻴﺎء ﻛﻤﺜﻞ ﺍﻟﻌﻨﻜﺒﻮﺕ ﺍﺗﺨﺬﻭﺍ ﺑﻴﺘﺎ ً ﻭ‬ ‫ﺇﻥ ﺃﻫﻮﻥ ﺍﻟﺒﻴﻮﺕ ﻟﺒﻴﺖ ﺍﻟﻌﻨﻜﺒﻮﺕ ﻟﻮ ﻛﺎﻧﻮﺍ‬ ّ *‫ﻳﻌﻠﻤﻮﻥ‬ ‫ﺇﻥ ﷲ ﻳﻌﻠﻢ ﻣﺎ ﻳﺪﻋﻮﻥ ﻣﻦ ﺩﻭﻧﻪ ﻣﻦ ﺷﻲء ﻭﻫﻮ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﺍﻟﺤﻜﻴﻢ* ﻭ ﺗﻠﻚ ﺍﻷﻣﺜﺎﻝ ﻧﻀﺮﺑﻬﺎ ﻟﻠﻨﺎﺱ ﻭ ﻣﺎ ﻳﻌﻘﻠﻬﺎ‬ *‫ﺇﻻ ﺍﻟﻌﺎﻟﻤﻮﻥ‬ Artinya: “Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang mereka seru selain Allah dan Dia Maha perkasa lagi Maha bijaksana. Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang yang berilmu” [al-Ankabut: 41-43]. Tafsir Ayat Di satu tempat, Allah SWT membuat perumpamaan untuk tuhan-tuhan kaum musyrikin dengan lalat, di tempat lain dengan rumah laba-laba. Untuk perumpamaan yang pertama telah dibahas sebelumnya. Sedangkan yang kedua ialah mengenai

penyerupaan tuhan-tuhan kaum musyrikin dan sesembahan-sesembahan buatan mereka dengan rumah yang paling lemah, yakni rumah laba-laba. Dalam penjelasan yang lalu dikatakan bahwa penyerupaan (tasybih) memberi kesan mendalam pada jiwa manusia, seperti pengaruh dalil dan argumentasi. Seperti tentang ghibah, yang disebutkan: “Janganlah mengumpat! Sesungguhnya mengumpat itu mendatangkan azab dan meninggalkan siksaan”. Atau mengumpamakan perbuatan ghibah dengan: “bahwa perumpamaan orang yang mengumpat itu seperti orang yang memakan daging mayit, karena kamu telah mencaci orang ini dalam keadaan tidak hadir, dan tidak mengetahui dan mendengar apa-apa yang kamu katakan sampai ia membalas(mu). Celaanmu kepadanya seperti perbuatan orang yang makan daging mayit yang tidak mengetahui apa yang diperbuatnya (si pemakan) dan tidak dapat menghindar.” Selain itu, tujuan dari penyerupaan tuhan-tuhan bikinan dengan singa dan serangga-serangga tanah seperti nyamuk, lalat dan laba-laba, adalah untuk merendahkan kedudukannya dan menghinakannya. Sesungguhnya, laba-laba adalah sejenis serangga yang dikenal. Dalam Biologi dikatakan, bentuk fisik laba-laba jantan lebih kecil dari yang betina. Laba-laba termasuk hewan pemakan serangga yang terperangkap di sarang atau jala yang dibuatnya membentang pada dinding-dinding rumah atau pohon-pohon. Sarangnya terbuat dari bahan yang disaring dari bagian di dalam perutnya, mengandung cairan lengket yang dikeluarkan dari lubang kecil tubuhnya. Bahan itu berubah sifat setelah terkena udara dan berubah menjadi semacam benang dalam bentuk pintalan dengan ketelitian tinggi. Mangsa akan terjerat di sarang itu sampai laba-laba dapat menyerangnya dan meletupkan racun yang menghentikan gerakan-gerakan mangsa, sehingga mangsa tidak dapat menghindar darinya.

Meskipun demikian, kenyataan lain menunjukkan bahwa rumah rajutan labalaba itu adalah rumah yang paling lemah, bahkan tidak layak untuk sebutan rumah, yang terdiri dari tembok besar, atap tinggi, pintu dan jendela. Rumah laba-laba bukan hanya tidak mempunyai kelengkapan seperti itu, bahkan rumah laba-laba akan lenyap hanya dengan sedikit terpaan angin dalam siklus fenomena alami. Sebuah hembusan angin ringan yang menerpanya sudah dapat mengoyak rajutan atau sarang laba-laba itu. Bisa juga, dengan setetes air yang jatuh tepat kepadanya jala-jala itu akan koyak. Jala-jala atau sarang itu juga mudah terbakar bila dekat api, dan mudah tercabik bila terkena terbaran debu. Inilah keadaan yang dijadikan penyerupa (yakni sarang laba-laba). Dan alQuran memperumpamakan keadaan tuhan-tuhan buatan orang-orang kafir itu dengan perumpamaan yang memukau ini; bahwa tuhan-tuhan itu tidak bermanfaat, tidak menciptakan, tidak memberi rezki, dan tidak mampu mengabulkan permintaan apa pun. Bahkan keadaan tuhan-tuhan palsu dan dusta itu lebih buruk dari rumahrumah laba-laba. Laba-laba merajut rumahnya untuk dapat memangsa serangga dan tanpa melakukan itu ia akan mati kelaparan. Sedangkan patung-patung berhala tidak memberikan sesuatupun pada orang kafir. Dengan demikian, dapatlah dipahami kebesaran tamtsil ini dalam firman-Nya: “Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba...”. Selanjutnya, yakni ayat “kalau mereka mengetahui”, bukanlah sebagai syarat terhadap ayat; “Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah labalaba...”. Sebab, sudah jelas sekali tentang rumah laba-laba sebagai puncak kelemahan (sebagai rumah). Kalimat ayat ini merupakan penyempurna bagi kalimat; “ittakhadzuu” (“mereka telah menjadikan”). Yakni, kalau mereka mengetahui bahwa

menyembah tuhan-tuhan itu seperti laba-laba yang menjadikan (membuat) sebuah rumah yang lemah, maka dengan begitu barangkali mereka dapat berpaling dari (menyembah)nya. Kemudian Allah SWT mengikutkan perumpamaan dengan ayat berikutnya: “Sesungguhnya Allah mngetahui apa saja yang mereka seru selain Allah dan Dia Maha perkasa lagi Maha bijaksana”. Yang tampak dalam kalimat ini, bahwa huruf “mâ” dalam ayat “mâ tad’uuna” adalah maushuulah (bermakna “yang”), yakni bahwa Allah SWT mengetahui apa yang disembah orang-orang kafir dan apa yang mereka jadikan pelindung-pelindung selain-Nya. Tetapi pengetahuan mereka itu (atau seandainya pun mereka tahu keadaan ini) tidak berpengaruh karena Dia Maha perkasa yang tidak terkalahkan, dan Dia Maha Bijaksana dalam segala perbuatan-Nya. Kemudian ayat di atas diakhiri dengan kalimat: “Dan perumpamaanperumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang yang berilmu”. Yakni, disebutkan al-amtsal tersebut, dan tidak dipahami melainkan oleh orang-orang yang berilmu. Surat ar-Rum Tamtsîl 39 ‫ﻭ ﻟﻪ ﻣﻦ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕ ﻭ ﺍﻷﺭﺽ ﻛ ّﻞ ﻟﻪ ﻗﺎﻧﺘﻮﻥ* ﻭ ﻫﻮ ﺍﻟﺬﻱ ﻳﺒﺪﺅ ﺍﻟﺨﻠﻖ ﺛﻢ ﻳﻌﻴﺪﻩ ﻭ ﻫﻮ ﺃﻫﻮﻥ ﻋﻠﻴﻪ ﻭ ﻟﻪ ﺍﻟﻤﺜﻞ‬ ‫ﺍﻷﻋﻠﻰ ﻓﻲ ﺍﻟﺴﻤﻮﺍﺕ ﻭ ﺍﻷﺭﺽ ﻭ ﻫﻮ ﺍﻟﻌﺰﻳﺰ ﺍﻟﺤﻜﻴﻢ* ﺿﺮﺏ ﻟﻜﻢ ﻣﺜﻼً ﻣﻦ ﺃﻧﻔﺴﻜﻢ ﻫﻞ ﻟﻜﻢ ﻣﻦ ﻣﺎ ﻣﻠﻜﺖ ﺃﻳﻤﺎﻧﻜﻢ ﻣﻦ‬ *‫ﺼﻞ ﺍﻵﻳﺎﺕ ﻟﻘﻮﻡ ﻳﻌﻘﻠﻮﻥ‬ ّ ‫ﺷﺮﻛﺎء ﻓﻲ ﻣﺎ ﺭﺯﻗﻨﺎﻛﻢ ﻓﺄﻧﺘﻢ ﻓﻴﻪ ﺳﻮﺍء ﺗﺨﺎﻓﻮﻧﻬﻢ ﻛﺨﻴﻔﺘﻜﻢ ﺃﻧﻔﺴﻜﻢ ﻛﺬﻟﻚ ﻧﻔ‬ Artinya: “Dan kepunyaan-Nya lah siapa saja yang ada di langit dan di bumi. Semuanya hanya tunduk kepada-Nya. Dan Dia adalah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya. Dan bagi-Nya lah sifat Yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha

Bijaksana. Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada di antara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezki yang telah Kami berikan kepadamu; maka kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezki itu, kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri. Demikianlah kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal” [ar-Rum: 26-28]. Tafsir Ayat Kata al-qânit berarti yang tunduk, yang taat. Dalam Kalimat “kullun lahu qânituun”; kata “qânituun” bermakna tunduk dan taat kepada-Nya dalam hidup, mati dan kebangkitan. Artinya, semua yang ada di alam ciptaan tunduk kepada Allah SWT. Sesungguhnya ayat di atas memuat sebuah dalil atas adanya hari kebangkitan (al-ma’âd) dan sebuah tamtsil atas kebatilan syirik dalam ibadah. Adapun muatan dalil dalam kalimat: “Dan kepunyaan-Nya lah siapa saja yang ada di langit dan di bumi. Semuanya hanya tunduk kepada-Nya”; huruf “lâm” dalam kata “lahu” adalah untuk kepemilikan (milkiyah), yakni kepemilikan secara penciptaan atau alami (takwini), sebagaimana ketundukan mereka pun secara takwini. Makna ayatnya adalah bahwa tali kendali di alam ciptaan ini berada di tangan Allah, dan semuanya pasrah kepada kehendak-Nya, baik orang-orang saleh maupun orang-orang thâlih (yang keji). Demikian itu karena Allah SWT adalah Pencipta yang mengurus alam ini sesuai kehendak-Nya. Dan hamba yang dipelihara (al-marbuub) berpasrah diri kepada Tuhan yang memeliharanya (ar-Rabb). Setelah itu Allah menyinggung masalah hari kebangkitan (al-ma’âd), dengan berfirman: “Dan Dia lah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya”.

Hasil argumentasinya, bahwa Allah maha kuasa menciptakan dari ketiadaan – sebagaimana yang dinyatakan dalam ayat– dan

Dia maha kuasa untuk

mengembalikannya (setelah manusia dimatikan oleh-Nya). Hal demikian bukan berarti pengembalian dari ketiadaan, tetapi pengembalian bagi bentuk bagian-bagian yang saling berkaitan dan menyusun kembali yang terpisah. Artinya, mencipta sesuatu dari yang sebelumnya tiada lebih unggul daripada mencipta dari sesuatu yang pernah ada sebelumnya. Sifat keunggulan ini menurut pandangan dan pemikiran kita, atau perkaraperkara yang bersifat mungkin bagi kehendak-Nya tidak memiliki perbedaan. Imam Ali bin Abil Thalib as berkata: “Dan tiada yang besar dan yang halus, yang berat dan yang ringan, yang kuat dan yang lemah dalam ciptaan-Nya melainkan sama saja (bagi-Nya)” (Nahjul Balaghah, khutbah 185). Untuk menjelaskan makna ini, Allah SWT berfirman: “Dan bagi-Nya lah sifat Yang Maha Tinggi di langit dan di bumi; dan Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. Kata al-matsal –dalam ayat ini– bermakna sifat, dan yang dimaksud almatsal al-a’lâ adalah sifat yang paling tinggi dan paling sempurna. Dialah Allah SWT yang adalah ilmu seluruhnya, qudrah seluruhnya dan hidup seluruhnya. Tiada batas bagi sifat-sifat-Nya. Demikianlah yang diargumentasikan al-Quran (yakni perkara pertama) mengenai adanya kebangkitan (al-ma’âd). Selanjutnya tentang perkara kedua, yaitu pencelaan terhadap syirik dalam ibadah, melalui tamtsil berikut. Allah SWT memberikan perumpamaan dalam bentuk pertanyaan yang bersifat pengingkaran (istifhâm inkâri), dan kesimpulannya, seperti ini: Apakah kalian rela pada diri kalian sendiri bahwa budak-budak kalian itu menjadi serikat bagi kalian (turut campur) dalam harta yang telah diberikan kepada kalian? Atau dalam arti kalian

takut menggunakan harta milik kalian itu tanpa seizin budak-budak itu dan kalian ridha kepada mereka, sebagaimana kalian takut kepada para serikat yang merdeka. Jawabnya, tentu saja tidak! Tidaklah mungkin menjadi demikian selamanya. Sebab, tidak mungkin yang termiliki atau budak menjadi serikat bagi tuannya di dalam harta (milik tuannya). Maka, kalau demikian faktanya: (lalu) bagaimana kalian membolehkan hal itu terhadap Allah, dan menjadikan sebagian dari hamba-hambaNya seperti malaikat dan jin menjadi sekutu bagi-Nya, baik dalam mencipta, memelihara, dan dalam ibadah. Alhasil, dalam perumpamaan ini hamba yang dimiliki secara peletakan tidak benar memiliki hak tuannya dan berserikat dengannya dalam harta. Demikian pula dengan hamba yang dimiliki secara penciptaan, tidak mungkin memiliki derajat Pencipta dan Pemelihara, sehingga ia bisa bersekutu dengan-Nya dalam perbuatan. Seolah ia menjadi Pencipta (Khâliq) dan Pemelihara (Mudabbir), atau memiliki sifat tertentu seolah ia menjadi yang disembah. Jadi, sesuatu yang tidak kalian ridhai untuk diri kalian sendiri, bagaimana mungkin kalian meridhainya untuk Allah SWT, sementara Dia adalah Tuhan semesta alam. Matsal atau perumpamaan demikian ini diisyaratkan dalam ayat: “Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri”; yakni Allah SWT membuat bagi kalian perumpamaan yang diambil diri kalian, dan diangkat dari keadaan-keadaan kalian, seperti: “Apakah ada di antara hamba-sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu, sekutu bagimu dalam (memiliki) rezki yang telah Kami berikan kepadamu”. Kalimat “hal lakum” (apakah bagi kalian) merupakan permulaan pada perumpamaan yang dibuat, dan pertanyaan itu adalah untuk pengingkaran. Huruf “mâ” dalam ayat “mimmâ malakat” adalah mengisyaratkan pada suatu golongan (an-nau’), yakni salah satu golongan yang dimiliki oleh tangan kanan kalian berupa budak sahaya.

Kalimat dalam ayat: “sekutu bagimu dalam (memiliki) rezki yang telah Kami berikan kepadamu; maka kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezki itu” adalah penjelas bagi persekutuan yang dimaksud. Kata “syurakâ`” pada ayat ialah sebagai mubtada`, dan kata setelahnya, “zharaf”, sebagai khabar-nya. Yakni sekutu di dalam apa yang telah Kami berikan, dalam arti bahwa kalian adalah sama. Atas itu orang yang ada di dalam syurakâ` adalah sebagai tambahan. Sedangkan kalimat: “kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri” adalah keterangan (bayân) bagi persekutuan, yakni budak sahaya menjadi seperti para sekutu yang merdeka. Sebagaimana seorang sekutu takut kepada para sekutu (lain)nya yang merdeka, demikian pula ia takut kepada hambanya yang diketahui bahwa ia adalah sekutu seperti semua sekutu lainnya. Kemudian ayat tersebut diakhiri dengan kalimat: “Demikianlah kami jelaskan ayat-ayat ini bagi kaum yang berakal”. Atas penjelasan demikian maka al-musyabbah adalah memposisikan makhluk pada derajat khalik. Sedangkan al-musyabbah bihi adalah menempatkan yang termiliki sebagai sekutu bagi si pemilik. Surat Fathir Tamtsîl 40 ً‫ﻭ ﻣﺎ ﻳﺴﺘﻮﻱ ﺍﻟﺒﺤﺮﺍﻥ ﻫﺬﺍ ﻋﺬﺏ ﻓﺮﺍﺕ ﺳﺎﺋﻎ ﻭ ﻫﺬﺍ ﻣﻠﺢ ﺃﺟﺎﺝ ﻭ ﻣﻦ ﻛﻞ ﺗﺄﻛﻞ ﻟﺤﻤﺎ ﻁﺮﻳّﺎ ً ﻭ ﺗﺴﺘﺨﺮﺟﻮﻥ ﺣﻠﻴﺔ‬ *‫ﺗﻠﺒﺴﻮﻧﻬﺎ ﻭ ﺗﺮﻯ ﺍﻟﻔﻠﻚ ﻓﻴﻪ ﻣﻮﺍﺧﺮ ﻟﺘﺒﺘﻐﻮﺍ ﻣﻦ ﻓﻀﻠﻪ ﻭ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﺸﻜﺮﻭﻥ‬ Artinya: “Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, sedap diminum dan yang lain asin lagi pahit. Dari masing-masing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar dan dapat mengeluarkan perhiasan yang dapat kamu memakainya, dan pada masing-masingnya kamu lihat kapal-kapal berlayar membelah laut agar kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur” [Fathir: 12] Tafsir Ayat

Kata al-furât berarti air tawar, yang digunakan untuk kata tunggal dan jamak. Dalam kalimat: “wa asqainâkum mâ`an furâtan” (“dan Kami beri minum kamu dengan air yang tawar”), kata “tawar” menjadi syarat yang bersifat menjelaskan (qaid taudhihi). Kata al-ujâj berarti sangat asin dan amat panas, sebagaimana perkataan orangorang, ajiiju n-nâr yang berarti kerasnya panas api. Sedangkan kata mawâkhir, dari kata makhr, terdapat dalam kalimat “makharati s-safiinatu makhran (kapal itu berjalan membelah air, kapal itu membelah air dengan halauan di hadapannya. Ayat di atas membuat perumpamaan tentang hak (atau akibat) kekufuran dan keimanan, atau tentang keadaan orang kafir dan orang mukmin. Mereka tidak sama dalam hal kebaikan dan manfaat, seperti dijelaskan dalam ayat: “Dan tiada sama (antara) dua laut; yang ini tawar, segar, dan sedap diminum, dan yang lain asin lagi pahit”. Orang kafir berada dalam keadaan paling buruk ketimbang air laut yang amat asin, dan laut asin ini berbagi dengan laut yang tawar dalam dua hal: Pertama, keluar dari keduanya daging segar yang dimakan manusia, sebagaimana ayat: “Dari masingmasing laut itu kamu dapat memakan daging yang segar”. Dan kedua, keluar dari keduanya suatu karunia (permata) yang muncul dari laut dengan cara menyelam, yang dengan itu manusia memakainya atau menjadikannya perhiasan. Sampai di sini selesailah tamtsil ayat. Kemudian Allah SWT menjelaskan nikmat-nikmat-Nya: “...dan pada masingmasingnya kamu lihat kapal-kapal berlayar membelah laut supaya kamu kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur”. Sedangkan untuk dalil bahwa bagian ayat ini bukan termasuk dari matsal adalah berubahnya isi perkataan. Matsal ini dimulai dalam bentuk lampau; “wa mâ yastawi l-bahrân” (“dan tiada sama (antara) dua laut”). Namun kalimat berikutnya dalam bentuk lawan bicara

(mukhâthab), “wa tarâ l-fulka” (“kamu lihat kapal-kapal”). Dan inilah dalil bahwa bagian ini bukan termasuk bagian dari matsal atau perumpamaan. Bersandar pada kandungan maksud ayat di atas terdapat penjelasan yang berhubungan, seperti dalam surat an-Nahl: “Dan Dialah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur” [an-Nahl: 14]. Dengan keterangan demikian tampak bahwa muatan ayat tersebut seperti muatan pada ayat; “Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi. Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungaisungai dari padanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air dari padanya dan di antaranya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah. Dan sekali-kali Dia tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan” [al-Baqarah: 74] Sebagaimana batu itu lebih lunak dari hati mereka, maka begitu pula dengan garam yang amat asin masih lebih afdhal dari orang kafir, mengingat garam itu bermanfaat. Tamtsîl 41 “Wa mâ yastawi l-a’mâ wa l-bashir. Wa lâ zh-zhulumât wa lâ n-nur. Wa lâ zh-zhillu wa lâ l-harur. Wa mâ yastawi l-ahyâ`u wa lâ l-amwâtu inna l-llâha yusmi’u man yasyâ`u wa mâ anta bi musmi’in man fi l-qubur” Artinya: “Dan tidaklah sama orang yang buta dengan orang yang melihat. Dan tidak (pula) sama gelap gulita dengan cahaya. Dan tidak (pula) sama yang teduh dengan yang panas. Dan tidak (pula) sama orang-orang yang hidup dan orang-orang

yang mati. Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan kamu sekali-kali tiada sanggup menjadikan orang yang di dalam kubur dapat mendengar”. [Fathir: 19-22] Tafsir Ayat Kata al-harur yang berarti kerasnya panas matahari, mempunyai makna lain yaitu samum atau angin panas, sebagaimana yang dikatakan ar-Raghib. Inilah tamtsil bagi orang kafir dan orang mukmin. Orang kafir menyerupakan sifatsifatnya seperti berikut ini: 1- Al-a’mâ (yang buta). 2- Azh-zhulumât (gelap gulita). 3Al-harur (yang sangat panas). 4- Al-amwât (orang-orang yang mati). Sedangkan orang mukmin menyerupakan kebalikan dari sifat-sifat tersebut, yaitu: 1- Al-bashir (yang melihat). 2- An-nur (cahaya). 3- Azh-zhill (yang teduh). 4-Alahyâ (orang-orang yang hidup). Karena orang kafir tidak memiliki keimanan kepada Allah, sifat-Nya dan perbuatan-Nya maka ia buta, penglihatannya diliputi kegelap-gulitaan dan tidak dapat melihat sesuatupun di balik dunia, dan dikelilingi api (neraka). Keadaan seperti ini juga dijelaskan dalam ayat lain, seperti: “Dan sesungguhnya Jahannam itu benarbenar meliputi orang-orang kafir” [at-Taubah: 49]. Yang tampak pada ayat, bahwa api meliputi mereka di dunia ini meskipun mereka tidak merasakannya, sebagaimana orang mati tidak mendengar seruan para nabi. Berbeda dengan orang mukmin; yang melihat sesuatu dengan cahaya Allah, dan jalannya diliputi cahaya yang bersinar. Orang mukmin melihat pada keabadian hidup setelah kematian. Ia berada di bawah naungan rahmat-Nya yang teduh dan selalu mendengarkan seruan para nabi dan mengimaninya.

Pendek kata, bahwa orang-orang kafir menjadi petarung dan penentang (kebenaran), sedangkan orang-orang mukmin adalah mereka yang berkesadaran dan merenungkan ayat-ayat Tuhan. Surat Yasin Tamtsîl 42 “Wa dhrib lahum matsalan ashhâbu l-qaryati idz jâ`a hâ l-mursalun* idz arsalnâ ilahimu tsnaini fa kadzdzabu humâ fa’azzaznâ bi tsâlitsin fa qâlu innâ ilaikum mursalun* qâlu mâ antum illâ basyarun mitslunâ wa mâ anzalnâ r-rahmânu min syai`in in antum illâ takdzibun* qâlu rabbunâ ya’lamu innâ ilaikum lamur salun* wa mâ ‘alainâ illâ l-balâghu l-mubin* qâlu innâ tathayyarnâ bikum lain lam tantahu lanarjumannakum wa layamassannkum minnâ ‘adzâbun alim* qâlu thâirukum ma’akum ain dzukkirtum bal antum qaumun musrifun* wa jâ`a min aqshâ l-madinati rajulun yas’â qâla yâ qaumi ttabi’u l-mursalin* ittabi’u man lâ yas`alukum ajran wa hum muhtadun* wa mâ liya lâ a’budu l-ladzi fatharani wa ilaihi turja’un* a attakhidzu min dunihi âlihatan in yuridni r-rahmânu bi dhurrin lâ tughni ‘anni syafâ’atuhum syai`an wa lâyunqidzun* inni idzan lafi dhalâlin mubin* inni âmantu bi rabbikum fa sma’un* qila dkhuli l-jannata qâla yâ laitani qaumi ya’lamun* bi mâ ghafara li rabbi wa ja’alani mina lmukramin* wa mâ anzalnâ ‘alâ qaumihi min ba’dihi min jundin mina s-samâ`I wa mâ kunnâ munzalin* in kânat illâ shaihatan wâhidatan fa idzâ hum khâmidun* yâ hasratan ‘alâ l-‘ibâdi mâ ya`tihim min rasulin illâ kânu bihi yastahzi`un*” Artinya: “Dan buatlah bagi mereka suatu perumpamaan, yaitu penduduk suatu negeri ketika utusan-utusan datang kepada mereka; (yaitu) ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan, lalu mereka mendustakan keduanya; kemudian Kami kuatkan dengan (utusan) yang ketiga, maka ketiga utusan itu berkata:

‘Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang diutus kepadamu’. Mereka menjawab: ‘Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami dan Allah Yang Maha Pemurah tidak menurunkan sesuatupun, kamu tidak lain hanyalah pendusta belaka’. Mereka berkata: ‘Tuhan kami mengetahui bahwa sesungguhnya kami adalah orang yang diutus kepada kamu. dan kewajiban kami tidak lain hanyalah menyampaikan (perintah Allah) dengan jelas. Mereka menjawab: ‘Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu dan kamu pasti akan mendapat siksa yang pedih dari kami’. Utusan-utusan itu berkata: ‘kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri. Apakah jika kamu diberi peringatan (kamu bernasib malang)? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas’. Dan datanglah dari ujung kota, seorang laki-laki dengan bergegas-gegas ia berkata: ‘Hai kaumku, ikutilah utusan-utusan itu, ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku dan yang hanya kepada-Nya kamu (semua) akan dikembalikan? Mengapa aku menyembah tuhan-tuhan selain-Nya jika (Allah) Yang Maha Pemurah menghendaki kemudaratan terhadapku, niscaya syafaat mereka tidak memberi manfaat sedikitpun bagi diriku dan mereka tidak (pula) dapat menyelamatkanku? Sesungguhnya aku kalau begitu pasti berada dalam kesesatan yang nyata. Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu; ‘maka dengarkanlah (pengakuan keimanan)ku. Dikatakan (kepadanya): ‘Masuklah ke surga’, Ia berkata: ‘Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku dan menjadikan aku termasuk orang-orang yang dimuliakan’. Dan Kami tidak menurunkan kepada kaumnya sesudah dia (meninggal) suatu pasukanpun dari langit dan tidak layak Kami menurunkannya. Tidak ada siksaan atas mereka

melainkan satu teriakan saja; maka tiba-tiba mereka semuanya mati. Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tiada datang seorang rasulpun kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya” [Yasin: 13-30] Tafsir Ayat Kata at-ta’ziz berarti kemenangan disertai pemuliaan, sebagaimana Allah SWT mengabarkan tentang sifat Nabi Muhammad saw; “Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya....” [al-A’raf: 157]. Kata thayyara berarti fulan meramalkan tidak baik. Makna asalnya adalah optimis akan datangnya keburukan. Kemudian –kata ini– digunakan pada setiap ungkapan meramalkan hal yang tidak baik. Jadi, kalimat ayat: “innâ tathayyarnâ bikum”, bermakna “tasyâamnâ”, yakni kami meramalkan datangnya keburukan (terjemahan ayatnya: “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu”). Dengan demikian, makna ayat tersebut berbunyi: “innamâ thâ`irukum ma’akum” atau “kemalangan kamu adalah karena kamu sendiri”, yaitu sesungguhnya yang harus kalian malangkan adalah nasib kalian. Maksudnya adalah keadaan kalian yang berpaling dari kebenaran (Tauhid), dan pilihan kalian menetap atas kebatilan. Kata ar-rajm berarti melempar dengan batu. Dan kata ash-shaihah artinya mengangkat suara (teriakan). Perumpamaan ini bersifat pemberitaan (tamtsil ikhbâri). Ia memberitakan keadaan kaum tempat para rasul diutus Allah untuk menyeru mereka. Lalu mereka mendustakan para rasul-Nya sambil mendebat dengan dalil-dalil yang amat lemah. Kemudian seorang laki-laki datang kepada mereka dari ujung kota, yang menyeru kepada mereka agar mengikuti para rasul itu dengan hujjah bahwa risalah utusan Allah adalah risalah yang haq. Tetapi kaum itu menyia-nyiakannya dan bahkan

membunuhnya. Pada saat itu suara keras (teriakan) melingkupi para pendusta dan sekejap kemudian membinasakan mereka seketika. Begitulah kisah garis besarnya. Adapun cerita detailnya adalah sebagai berikut: Para mufasir menyebutkan bahwa al-Masih (Nabi Isa as) mengutus dari alHawariyun dua orang utusan bernama Syam’un dan Yohanna ke wilayah Anthakiyah. Mereka berdua menyeru penduduk Anthakiyah pada keesaan Tuhan dan mencela keberhalaan, sementara kaum dan raja mereka hanyut dalam keberhalaan. Mereka berdua memanggil penduduk dan menjelaskan kedudukannya sebagai utusan. Namun mereka berdua didustakan dan dipukuli oleh sebagian penduduk. Lalu Allah menguatkan kedua utusan itu dengan utusan ketiga. Para mufasir berselisih mengenai nama utusan yang ketiga, dan bagi kami tidak (terlalu) penting menentukan siapa namanya. Beberapa mufasir mengatakan utusan yang ketiga itu bernama Bulis. Ketika itu, kaum Anthakiyah mengambil sikap menantang, menentang, dan congkak, sambil berhujjah dengan dalil-dalil yang lemah. Dalil yang mereka lontarkan antara lain: a.) Bahwa kalian (hai para rasul) adalah manusia biasa seperti kami dan tiada keistimewaan kalian atas kami. Dan risalah Tuhan yang kalian serukan itu adalah dakwahan dusta. Para rasul menjawab dan berusaha meyakinkan penduduk, bahwa Allah SWT mengetahui keberadaan mereka yang diutus kepada seluruh penduduk. Dan rasul hanyalah menyampaikan sebagaimana haknya sebagai rasul Tuhan. b.) Bahwa kami bernasib malang karena kalian. Berhujjah seperti ini adalah hujjah orang lemah yang tidak mampu berdalil dengan sesuatupun, sehingga bersandar pada tuduhan kepada para rasul dengan ramalan nasib buruk yang akan dialaminya.

c.) Bahwa ancaman rajam bagi para utusan itu jika mereka tetap terus menyampaikan risalah dan mengajak penduduk pada tauhid dan melarang menyembah berhala. Para rasul itu menjawab dengan dua jawaban: Pertama; “bernasib malang adalah karena kalian sendiri. Yakni, sebagai akibat dari amal perbuatan dan sikap kalian menjauh dari kebenaran, dan memilih menetap dengan kebatilan yang menjerumuskan kalian pada celaka dan petaka. Kedua, sesungguhnya kalian adalah kaum yang melampaui batas. Para rasul berhujjah menggunakan dalil yang terang dan membantah alasanalasan lemah para penentang dengan jawaban-jawaban di atas. Di tengah keadaan seperti itu datanglah seorang laki-laki dari ujung kota yang akan menolong dan menguatkan perkataan dua utusan dan dakwah mereka dengan berhujjah bahwa mereka adalah utusan yang benar. Hal demikian karena beberapa perkara sebagai berikut (seperti diucapkan utusan ketiga): Pertama, dakwah mereka bukanlah untuk mencari harta, kedudukan dan jabatan. Ini adalah bukti keikhlasan mereka dalam berdakwah, dan mereka sungguh telah menanggung beban perjalanan yang jauh dan tidak meminta sesuatu sedikitpun. Kedua, sesungguhnya yang patut disembah adalah yang mencipta dan memelihara alam (ciptaan-Nya). Di tangan-Nya ditentukan nasib makhluk di dunia dan akhirat, Dia-lah Allah SWT yang memberiku manfaat. Maka bagaimana mungkin aku tinggalkan menyembah Sang Khalik yang di tangan-Nya segala sesuatu, dan berpaling pada menyembah makhluk (tuhan palsu) yang tidak mampu melindungiku dari marabahaya dan syafa’atnya tidak memberiku manfaat? Seandainya aku berpegang pada tuhan selain-Nya niscaya aku dalam kesesatan yang nyata.

Ketika telah sempurna hujjah terhadap kaum penentang dan mengokohkan para rasul sebelumnya serta menjelaskan burhân keharusan mereka untuk taat, maka ia memberitahu kepada seluruh penduduk; “Sesungguhnya aku telah beriman kepada Tuhanmu, maka dengarkanlah (pengakuan keimanan)ku”. Dari hubungan pasangan kata dan kalimat dalam ayat tampak bahwa kaum pembangkang itu menyerang dan membunuh utusan tersebut. Allah SWT membalas amalnya dan memasukkannya ke surga. Ia berbahagia dan senang andai kata kaumnya mengetahui nasib baiknya di sisi Allah SWT. Ketika telah jelas penentangan penduduk yang diseru, yang membunuh orang yang menyampaikan hujjah kuat kepada mereka, maka turunlah azab Allah. Para penentang itu dikalahkan oleh satu teriakan yang mematikan dan mereka menjadi seperti benda mati. Ketika manusia memilih kesesatan di atas petunjuk, dan mengambil kebatilan di atas kebenaran, maka tepatlah firman Allah SWT: “Alangkah besarnya penyesalan terhadap hamba-hamba itu, tiada datang seorang rasulpun kepada mereka melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya”. Inilah hakikat kisah itu, yang terungkapkan setelah pendalaman ayat-ayat di atas. Sebagian mufasir berlebihan dalam mengutip kisah-kisah dengan mengambil cerita dari kepercayaan Ahlulkitab yang telah menyebarkan cerita-cerita yang tidak ada sumbernya di tengah kaum muslimin, sehingga apa yang dibawa ahlulkitab itu tidak dapat dijadikan sandaran. Dari Ayat-ayat di atas terdapat beberapa poin yang layak untuk ditelaah: Pertama, sebagian mufasir menyebutkan bahwa dua utusan bukanlah dua utusan dari Allah secara langsung. Akan tetapi mereka berdua diutus oleh al-Masih, seperti juga utusan yang ketiga. Ketika al-Masih mengutus atas perintah Allah, maka

tindakan al-Masih dinisbatkan kepada Allah SWT; “ketika Kami mengutus kepada mereka dua orang utusan”. Kedua, kita memahami bahwa kaum bersikap membantah dan menentang. Mereka mengatakan: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami”, dan dari kalimat itu kemungkinan muncul beberapa segi: 1) kalian hai para rasul adalah manusia, sedangkan manusia bukanlah seorang rasul dari Allah. Karenanya tidaklah diterima risalah-risalah mereka sebab para pembawanya adalah manusia; 2) penolakan dakwah risalah ialah karena tiadanya keistimewaan yang lebih pada diri para rasul itu –yang mereka lihat– sehingga harus mengutamakan para rasul itu dari umat. Demikian yang tampak dari kata “mitslunâ” (“seperti kami”). Atau paling tidak, seandainya para rasul itu dibekali sesuatu yang lain, barangkali tidak benar juga menjadikan persamaan antarmereka untuk beralasan kepada Tuhan. 3) kisah itu menerangkan bahwa logika kekuatan adalah logika perlawanan. Ketika kaum itu lemah dalam membalas burhân (para rasul), mereka lantas bersandar pada logika kekuatan dengan membunuh para penyeru dan penegak kebenaran; “sesungguhnya jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami akan merajam kamu”. 4) meramalkan nasib buruk adalah senjata (alasan) para penentang dan penantang. Senjata itu di tangan para pembangkang kebenaran, yang meramalkan nasib buruk mereka lantaran seorang hamba (penyembah Allah) dan yang lainnya. 5) yang tampak di permulaan ayat bahwa para rasul itu diutus ke suatu wilayah atau desa. Dan kalimat seperti itu biasanya digunakan pada lingkup masyarakat yang besar atau kecil, tetapi kalimat: “Dan datanglah dari ujung kota seorang laki-laki...” menunjukkan bahwa wilayah itu adalah sebuah kota dan masyarakat besar atau kecil.

6) Allah menyifati seseorang yang datang kemudian dan bangkit mendukung sikap para rasul, sebagai orang yang datang dari ujung kota. Hal ini menekankan bahwa tidak ada hubungan antara ia dengan para rasul. Karena itu kata yang terungkap; “aqshâ l-madinah” (ujung kota) kepada si pelaku yang seorang laki-laki, dalam kalimat “Dan datanglah dari ujung kota seorang laki-laki..”. 7) Ungkapan dalam ayat: “Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku...” merupakan bukti bahwa ibadah adalah ketundukan yang lahir dari keyakinan akan Dzat yang disembah yang mencipta dan memelihara (alam semesta), sebagai sifat-sifat yang dekat dalam penglihatan hamba. Artinya, dengan keimanan dan ketauhidanlah ia menyembah Allah SWT; “Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku....” Dan dengan itu pula ia membatasi ibadahnya (hanya) kepada Allah SWT dan menolak menyembah selain-Nya, karena yang selainNya adalah lemah dan tidak memiliki syafaat apapun. 8) Pasangan-pasangan kata –dalam ayat– membuktikan bahwa orang yang bangkit berdakwah di jalan para rasul itu terbunuh dalam dakwahnya, dan Allah membalasnya dengan surga. Yang dimaksud surga –dalam ayat itu– adalah kebahagiaan di alam barzakh, bukan surga abadi di mana manusia tidak akan memasukinya sebelum tiba hari kiamat. 9) Dalam pesan yang disampaikan oleh orang laki-laki yang terbunuh itu; “Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui, apa yang menyebabkan Tuhanku memberi ampun kepadaku” terkandung sebuah dalil atas adanya hubungan antara kehidupan barzakh dan materi (dunia). Ia berharap agar kaumnya mengetahui apa yang Allah berikan kepadanya berupa kenikmatan setelah kematian. Allah SWT berfirman: “Dikatakan (kepadanya): “Masuklah ke surga” Ia berkata: “Alangkah baiknya sekiranya kaumku mengetahui”.

Tamtsîl 43 “A wa lam yara l-insânu annâ khalaqnâhu min nuthfatin fa idzâ huwa khashimun mubin* wa dharaba lanâ matslan wa nasiya khalqahu wa qâla man yuhyi l-‘izhâma wa hiya ramim* qul yuhyihâ l-ladzi ansya`ahâ awwala marratin wa huwa bi kulli khalqin ‘alim*” Artinya: “Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata! Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh”. Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk” [Yasin: 77-79]. Tafsir Ayat Para mufasir meriwayatkan: Ubay bin Khalaf atau al-‘Ash bin Wail menemui Rasulullah saw dengan membawa tulang yang remuk dan rusak sambil berkata: “Hai Muhammad! Apakah kamu punya dalil bahwa Allah akan membangkitkan ini?”. Rasulullah saw menjawab: “Ya!”. Lalu turunlah ayat di atas: “Dan apakah manusia tidak memperhatikan..”. Orang-orang kafir membuat perumpamaan dengan ucapan: ‘Bagaimana Allah menghidupkan tulang-belulang yang hancur lebur?’ Dan Allah SWT membuat perumpamaan lain dengan kalimat: ‘bahwa yang menghidupkannya adalah yang menciptakannya pertama kali. Yang mampu menciptakannya pertama kali akan mampu mengembalikannya, dan mengembalikan itu lebih mudah dari menciptakan dan mengawalinya. Ungkapan “lebih mudah” hanyalah dilihat dari kaca mata manusia. Sedangkan bagi Allah Azza wa Jalla segala sesuatu adalah sama di hadapanNya.

Allah SWT berfirman: “Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami”, yakni orang kafir itu membuat perumpamaan dalam mengingkari pembangkitan tulang belulang yang hancur lebur. Ia seolah terheran-heran dengan mengatakan, apakah mungkin Allah menghidupkan kembali tulang belulang yang sudah hancur luluh itu, dan ia telah lupa pada kejadiannya sendiri: “Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang, yang telah hancur luluh”. Tapi Allah SWT membalasnya dengan ungkapan yang begitu indah dan kuat: “Katakanlah: “Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya pertama kali. Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk” Tuhan mengetahui, menciptakan, dan membangkitkannya. Perumpamaan ini telah diungkapkan sebelumnya dengan kalimat yang lain: “Dan Dia lah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian mengembalikan (menghidupkan)nya kembali, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagi-Nya” [ar-Rum: 27]. Surat az-Zumar Tamtsîl 44 “Wa laqad dharabnâ fi hâdza l-qur`âni min kulli matsalin la’alahum yatadzkkarun* qur`ânan ‘arabiyya ghaira dzi ‘iwajin la’allahum yattaqun* dharaba l-llâhu matsalan rajulan fihi syurakâ`u mutasyâkisun wa rajulan salaman li rajulin hal yastawiyâni matsalan al-hamdu li l-llâhi bal aktsarahum lâ ya’lamun*” Artinya: “Sesungguhnya telah Kami buatkan bagi manusia dalam al-Quran ini setiap macam perumpamaan supaya mereka mendapat pelajaran. (Yakni) al-Quran dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (di dalamnya) supaya mereka bertakwa. Allah membuat perumpamaan (yaitu) seorang laki-laki (budak) yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat yang sedang berselisih dan seorang budak yang menjadi milik penuh dari seorang laki-laki (saja); Adakah kedua budak

itu sama keadaannya? Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”. [Az-Zumar: 27-29] Tafsir Ayat Kata

asy-syakis

berarti

yang

jelek

akhlaknya.

Kalimat:

syurakâ`u

mutasyâkisun, berarti orang-orang yang berserikat yang berselisih karena buruknya akhlak mereka. Sedangkan kata salaman artinya (budak itu) murni hanya dimiliki seorang saja dan ia hanya mengabdi kepada (tuan)nya. Ayat di atas memisalkan keadaan orang kafir dan orang mukmin. Jadi, ada yang diserupakan dan ada yang diserupai. Yang diserupakan adalah seorang budak yang mempunyai beberapa orang berserikat yang berakhlak buruk dan saling bertengkar. Yang satu memerintahkannya dan yang lain melarangnya. Setiap dari mereka menginginkan budak itu hanya berkhidmat padanya. Sebaliknya adalah keberadaan seorang budak bagi seorang lakilaki. Si budak patuh dan mengabdi hanya padanya, dan si budak tidak menyekutukan (orang laki-laki itu) dengan orang lain. Maka jelaslah, keadaan dua orang yang termiliki itu tidak sama. Sedangkan yang diserupai ialah keadaan orang kafir. Keadaannya seperti budak yang dimiliki oleh orang-orang yang berserikat yang sedang berselisih. Ia menyembah

tuhan-tuhan

dengan

bermacam-macam

perintah,

larangan,

dan

pengabdiannya. Adalah mustahil baginya untuk menggabungkan pandangan dan keinginan yang bermacam-macam itu. Hal ini berbeda dengan kondisi orang mukmin, yang hanya mengerjakan perintah Sang Khalik saja, Sang Maha Bijaksana, Maha Kuasa, dan Maha pemurah. Meskipun perumpamaan ini merupakan perumpamaan yang jelas, sederhana, dan mudah dipahami oleh semua lapisan manusia, tetapi di dalamnya terdapat rahasia

(makna batin) yang tidak diketahui melainkan hanya oleh mereka yang ber-tadabbur tentang al-Quran. Allah SWT memberi argumentasi atas Tauhid seperti ini: “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah dua-duanya telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai ‘Arsy dari pada apa yang mereka sifatkan.” [al-Anbiya: 22]. Juga dengan ungkapan pertanyaan: “Manakah yang baik, tuhan-tuhan yang bermacam-macam itu ataukah Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa?” [Yusuf: 39]. Surat az-Zukhruf Tamtsîl 45 “wa kam arsalnâ min nabiyyin fi l-awwalin* wa mâ ya`tihim min nabiyyin illâ kânu bihi yastahzi`un* fa ahlaknâ asyadda minhum bathsyan wa madhâ matsalu lawwalin.” Artinya: “Berapa banyaknya nabi-nabi yang telah Kami utus kepada umatumat yang terdahulu. Dan tiada seorang nabipun yang datang kepada kecuali mereka selalu memperolok-olokkannya. Maka telah Kami binasakan orang-orang yang memiliki kekuatan lebih besar dari mereka itu (musyikin Mekkah) dan telah terdahulu (tersebut dalam Al-Quran ) perumpamaan umat-umat masa dahulu”. [Az-Zukhruf: 68] Tafsir Ayat Kata al-bathsy ialah sesuatu telah berkuasa, yang dan barangkali bermakna kekuatan dan pertahanan. Dalam ayat ini disebutkan tentang umat-umat dahulu yang telah diutus para rasul Allah kepada mereka. Tetapi dengan kejahilan dan kebodohan mereka yang berlebihan, mereka meningkari dan mencemooh para utusan Allah tersebut. Maka, akibat perbuatan itu, Allah membinasakan mereka dengan bermacammacam azab meskipun mereka mempunyai kekuatan dan keberanian.

Inilah keadaan yang dipersamakan, yaitu umat-umat dahulu. Sedangkan yang diserupai, ialah kaum musyrikin di masa risalah Muhammad saw diturunkan. Mereka, kaum kafir dan musyrik Mekah memperolok-olok Nabi Muhammad saw. Maka Allah SWT mengancam mereka dengan sesuatu yang pernah dialami umat-umat dahulu, yang hancur binasa meskipun mempunyai kekuatan jauh lebih besar ketimbang yang (kekuatan) dimiliki orang-orang Quraisy dan para pengikut mereka. Maka hendaklah mereka mempertimbangkan keadaan mereka. Allah SWT berfirman: “Berapa banyaknya nabi-nabi yang telah Kami utus kepada umat-umat yang terdahulu. Dan tiada seorang nabipun datang kepada mereka selalu memperolok-olokkannya”. Begitulah yang terjadi pada umat-umat dahulu dalam sejarah, dan Allah, Yang Maha Bijaksana, tidak berpaling dari mereka. Allah SWT memberikan hukuman kepada mereka; “Maka telah Kami binasakan orang-orang yang lebih besar kekuatannya dari mereka itu (musyikin Mekkah) dan telah terdahulu (tersebut dalam Al-Quran) perumpamaan umat-umat masa dahulu”. Allah mengabarkan keadaan kaum penentang risalah yang sangat mengherankan itu sehingga layak untuk diperumpamakan dengan umat-umat terdahulu. Dengan kata lain, orang-orang kafir Mekah telah melangkah dalam pendustaan dan kekufuran, seperti langkah orang-orang zalim sebelum mereka. Oleh karena itu, Allah SWT memperingatkan agar mereka waspada terhadap turunnya bencana seperti telah dialami umat-umat sebelumnya. Perumpamaan serupa disebutkan dalam surat al-Furqan ayat-39: “Dan Kami jadikan masing-masing mereka tamtsil ibarat”. Perlu Diperhatikan Barangkali ayat berikut ini dianggap sebagai matsal al-Quran: “Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang

dijadikan misal bagi Allah Yang Maha Pemurah; jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat sangat (dalam) menahan sedih”. [az-Zukhruf: 17]. Orang-orang musyrik di zaman Jahiliyah menduga bahwa malaikat adalah para perempuan dan sebagai putri-putri Tuhan, seperti disebutkan dalam ayat berikutnya (ayat-19); “Dan mereka menjadikan malaikat-malaikat hamba Allah Yang Maha pemurah itu sebagai orang-orang perempuan”. Atas pernyataan mereka itu Allah SWT menjelaskan: “Apakah mereka menyaksikan penciptaan malaikatmalaikat itu? Kelak akan dituliskan persaksian mereka dan mereka akan dimintai pertanggung-jawaban”. Begitu pula dengan firman-Nya: “Dan mereka menetapkan bagi Allah anakanak perempuan. Maha suci Allah, sedang untuk mereka sendiri (mereka tetapkan) apa yang mereka sukai (yaitu anak-anak laki-laki)” [an-Nahl: 57]. Ayat-ayat ini mengungkap pandangan kaum musyrikin yang menganggap malaikat sebagai anakanak perempuan Allah Yang Maha Suci. Di samping itu, dalam ayat ke-17 Surat az-Zukhruf di atas juga menceritakan tentang ciri khas kaum musyrikin, bahwa jika mereka dikaruniai anak-anak perempuan, muka-muka mereka menjadi suram karena diliputi kemarahan dan menahan kepedihan. Allah SWT berfirman: “Padahal apabila salah seorang di antara mereka diberi kabar gembira dengan apa yang mereka jadikan misal pada Allah Yang Maha pemurah.......”, karena mereka menyatakan bahwa Allah memiliki malaikat sebagai anak-anak perempuan-Nya. “.......jadilah mukanya hitam pekat sedang dia amat menahan sedih”. Ayat ini termasuk perumpamaan bersifat pemberitahuan (matsal ikhbâri) dan bukan bersifat pengarangan (matsal insyâ`i). Sesungguhnya ayat ini bermakna sifat, yakni mereka telah menyifati Allah bahwa Dia mempunyai anak-anak perempuan.

Dan mereka adalah para pembohong dalam sifat tersebut. Oleh sebab itu, maka tidak benar bila ayat ini termasuk dalam ayat-ayat perumpamaan (matsal). Tamtsîl 46 “Fa stakhaffa qaumahu fa athâ’ahu innahum kânu qauman fâsiqin* fa lamma âsafunâ ntaqamnâ minhum fa aghraqnâhum ajma’in* fa ja’alnâhum salafan wa matsalan li lâkhirin* Artinya: “Maka Fir’aun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka, lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut), dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian”. [az-Zukhruf: 54-56]. Tafsir Ayat Kata âsafunâ diambil dari kata asafa - asafan (amat sedih), suasana ketika kemarahan bertambah. Ar-Raghib mengatakan: al-âsif ialah sedih sekaligus marah. Juga dikatakan kata ini maknanya sedih saja atau marah saja. Pada ayat ini al-âsif bermakna marah. Sedangkan as-salaf artinya yang dahulu. Dengan demikian Allah SWT memberitahukan tentang murka-Nya terhadap Fir’aun dan pengikutnya; “fa lammâ âsafunâ”, artinya “Maka tatkala mereka membuat Kami murka”. Murka itu terjadi disebabkan oleh perbuatan mereka yang berlebihan dalam kemaksiatan (melampaui batas), sehingga mereka dibalas dengan azab; sebagaimana firman Allah SWT: intaqamnâ minhum (Kami menghukum mereka). Kemudian Dia menjelaskan bentuk murka-Nya; “fa aghraqnâhum ajma’in” (“Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut)”). Maka tiada seorangpun dari mereka yang selamat; “fa ja’alnâhum salafan wa matsalan li lâkhirin” (“dan Kami

jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian”); yakni Kami jadikan mereka sebuah ‘ibrah dan peringatan bagi orang yang datang kemudian supaya dapat mengambil pelajaran dari kaum terdahulu. Jadi yang dipersamakan adalah kaum Fir’aun dan kebinasaan mereka, sedangkan yang diserupai adalah orang-orang musyrik dan kafir Mekah. Maka, hendaklah mereka menjadikan keadaan kaum dahulu sebagai contoh (gambaran) lampau bagi nasib mereka. Tamtsîl 47 “Wa lammaa dhuriba bnu maryam matsalan idzaa qaumuka minhu yashudduun* wa qaalu aalihatunaa khairun am huwa maa dahrabuuhu laka illaa jadalan bal hum qaumun khashimuun* in huwa illaa ‘abdun an’amnaa ‘alaihi wa ja’alnaahu matsalan libanii israa`iil* wa lau nasyaa`u laja’alnaa minkum malaa`ikatan fii l-ardhi yakhlufuun* wa innahu la’ilmun li ssaa’ati fa laa tamtarunna bihaa wa ttabi’uuni haadzaa shiraathun mustaqiim* Artinya: “Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba kaummu (Quraiys) bersorak karenanya. Dan mereka berkata: “Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)? Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar. Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya (nikmat (kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan Allah) untuk Bani Israil. Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami jadikan sebagai gantimu di muka bumi malaikat-malaikat yang turun temurun. Dan sesungguhnya Isa itu benar-benar memberikan pengetahuan tentang hari kiamat. Karena itu janganlah kamu ragu-ragu tentang kiamat itu dan ikutilah Aku, inilah jalan yang lurus”. [az-Zukhruf: 57-61]

Tafsir Ayat Kata ash-shad bermakna berpaling dari sesuatu, dan kalimat “yashudduuna ‘anka shuduudan” berarti “menghalangi dengan sekuat-kuatnya darimu”. Tetapi yang dimaksud dalam ayat di atas adalah “teriakan seorang pembantah ketika merasakan kemenangan”. Dan kata tamtarunna dari kata miryah (atau muryah), yakni ragu-ragu akan suatu perkara. Para mufasir menyebutkan sebab turun ayat di atas, bahwa Rasulullah saw ketika melantunkan ayat 98-100 surat al-Anbiya yang artinya: “Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan Jahannam, kamu pasti masuk ke dalamnya. Andai kata berhala-berhala itu tuhan, tentulah mereka tidak masuk neraka. Dan semuanya akan kekal di dalamnya. Mereka merintih di dalam api dan di dalamnya tidak bisa mendengar”, kaum Quraisy menjadi marah besar. Abdullah bin az-Zibi’ra, seorang pemuka Quraisy berkata: “Hai Muhammad, apakah itu khusus bagi kami dan tuhan-tuhan kami, atau bagi semua umat?” Rasulullah saw menjawab: “Itu adalah bagi kalian dan tuhan-tuhan kalian serta untuk semua umat”. Ibn az-Zibi’ra berkata lagi: “Demi Tuhan Ka’bah, aku memusuhi engkau! Bukankah engkau menyatakan bahwa Isa putra maryam adalah seorang nabi dan engkau memuji Isa dan ibunya. Sementara engkau tahu bahwa kaum Nashrani tetap menyembah mereka berdua, menyembah ‘Uzair, dan juga menyembah malaikatmalaikat, meskipun mereka berada di neraka. Kami sungguh rela, diri kami dan tuhantuhan kami tinggal bersama mereka (kaum Nashrani). Lalu mereka gembira dan tertawa.” (al-Kasysyâf: 3/100, lihat juga, Sirah Ibn Hisyam: 1/385). Pada kegembiraan dan teriakan mereka, Allah SWT mengisyaratkan dengan firman-Nya: “idzaa qaumuka minhu yashudduun” (“tiba-tiba kaummu (Quraiys)

bersorak karenanya”). Ketika mereka menyatakan bahwa mereka mendapati perisai untuk menolak Nabi Muhammad saw dan membatilkan dakwah beliau, maka turunlah ayat di atas sebagai jawaban atas bantahan mereka yang lemah itu. Allah SWT berfirman: “Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan”, yakni ketika kaum musyrikin menyodorkan putra Maryam (Isa as) sebagai sebuah perumpamaan dan kesamaan bagi tuhan-tuhan mereka; “tiba-tiba kaummu (Quraiys) bersorak karenanya”. Artinya, tamtsil menunjukkan bahwa kaum pengingkar merasa gembira sekali dan tertawa ketika mereka berusaha membuat Nabi Muhammad saw diam atas bantahan mereka. Mereka mendebat Nabi saw dengan mengatakan: “Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau dia (Isa)?”. Maksud pertanyaan mereka bahwa tuhan-tuhan kami menurutmu tidak lebih baik dari Isa, dan apabila Isa merupakan umpan neraka maka tuhan-tuhan kami adalah hina dan lemah. Karena itu lalu diketahui, bahwa kaum musyrikin adalah orang-orang yang membuat perumpamaan di mana mereka menjadikan al-Masih sebagai perumpamaan dan penyerupaan dengan tuhan-tuhan mereka. Dan mereka rela bila tuhan-tuhan mereka (harus) berada di neraka. Apabila al-Masih juga demikian keadaannya maka bertambahlah kegembiraan kaum musyrikin. Mereka menyangka telah berlindung pada sandaran kuat di hadapan logika Nabi saw. Allah SWT mengisyaratkan dalam ayat-ayat sebelumnya pada kisah di atas secara global, dan menjawab argumentasi Ibn az-Zibi’ra; Pertama, sebenarnya mereka hanya ingin mendebat dan membantah dengan tamtsil ini dan tidak bertujuan mencari kebenaran. Itu dikarenakan watak mereka yang suka menantang dan menentang. Allah SWT berfirman: “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja”.

Kedua, mereka berpegang pada perumpamaan ini untuk membantah, padahal mereka mengetahui kebatilan argumen mereka; karena tidak semua yang disembah adalah umpan Jahannam. Akan tetapi yang disembah seperti Fir’aun yang mengajak orang-orang untuk menyembahnya, bukan seperti al-Masih yang adalah seorang hamba Allah yang menentang kesyirikan. Jadi argumentasi mereka bersandar pada membantah dan mengingkari kebenaran. Inilah yang dimaksud dalam ayat; “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja”. Karena itu, Allah memulai penjelasannya tentang sikap al-Masih, ibadah dan ketakwaannya kepada Allah, dan bahwa ia adalah salah satu ayat Allah SWT: “Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya (nikmat (kenabian) dan Kami jadikan dia sebuah matsal untuk Bani Israil”; yakni sebagai ayat (tanda bukti kekuasaan) Allah untuk Bani Israil. Maka kelahirannya adalah mukjizat, perkataannya di masa bayi adalah mukjizat kedua dan ia mampu menghidupkan orang mati sebagai mukjizat ketiga. Ia sama sekali tidak pernah menyeru siapa pun agar menyembah dirinya. Kemudian, untuk mengangkat kekaburan bahwa Allah butuh pada ibadah manusia, Dia berfirman: “Dan kalau Kami kehendaki benar-benar Kami jadikan sebagai gantimu di muka bumi malaikat-malaikat yang turun temurun”; yang mereka itu taat dan selalu menyembah Allah. Jadi tidaklah Allah menekankan ibadah dan ketauhidan manusia itu kecuali untuk kebahagiaan mereka, dan bukanlah manusia beribadah (kepada-Nya) untuk memenuhi kebutuhan Allah. Jika manusia tidak beribadah kepada-Nya, maka dengan kekuasaan-Nya yang luas Dia kuasa menciptakan malaikat-malaikat yang tunduk pada perintah-Nya (apabila Dia menghendakinya).

Kemudian Allah mengisyaratkan pada kekhususan al-Masih, yaitu bahwa turunnya Isa al-Masih as dari langit pada akhir zaman sebagai sebuah ayat (tanda) dekatnya as-sâ’ah (hari kiamat). Sampai di sini selesailah penafsiran atas ayat. Sedangkan perumpamaannya telah dijelaskan sebelumnya tatkala mereka menyamakan tuhan-tuhan mereka dengan al-Masih, dan mereka rela jika tuhan-tuhan itu bersama al-Masih berada di satu tempat walaupun tempat itu adalah neraka. Yang cocok sebagai perumpamaan ialah pada ayat; “Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan”, dan Anda mengetahui bahwa yang membuat perumpamaan dalam ayat adalah Ibn az-Zibi’ra. Adapun firman Allah; “dan Kami jadikan dia sebuah matsal untuk Bani Israil”, kata matsal pada ayat ini bermakna ayat (tanda kekuasaan Allah). Perlu Diperhatikan Barangkali ayat berikut ini terhitung sebagai matsal qur`âni; “Dan orangorang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amal-amal yang saleh serta beriman (pula) kepada apa yang di turunkan kepada Muhammad dan itulah yang hak dari Tuhan mereka, Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka. Yang demikian adalah karena sesungguhnya orangorang kafir mengikuti yang batil dan orang-orang yang beriman mengikuti yang hak dari Tuhan mereka. Demikian Allah membuat untuk manusia perbandinganperbandingan bagi mereka.” [Muhammad: 2-3]. Yang tampak bahwa matsal pada ayat ini bermakna sifat, bukan bermakna tamtsil yang diistilahkan (yakni menyerupakan sesuatu dengan sesuatu). Ini diketahui melalui penafsiran ayat. Tafsir Ayat Kata baal berarti haal atau (keadaan) yang diperhatikan. Karena itu dalam ungkapan disebutkan: mâ balaitu bi kadzâ bâlatan, artinya tidak aku perhatikan

(keadaan) itu. Kalimat dalam ayat: “kaffara ‘anhum sayyi`âtihim wa ashlaha bâlahum” yang artinya “Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan memperbaiki keadaan mereka”, dan ayat lain: “fa mâ bâlu l-qutuunn l-uulâ” yang berarti: “Maka bagaimanakah keadaan umat-umat yang dahulu..?” [Thaha: 51]; adalah keterangan tentang keadaan dan kabar mereka. Dan kata al-bâl diibaratkan sebagai keadaan yang terpusat pada manusia, maka dikatakan; khathara kadza bi bâli yang artinya terlintas demikian ini dalam benakku. (Mufradât ar-Raghib; 67, materi “Bâl”). Ayat ke 2-3 dalam Surat Muhammad ini, dengan melihat pada ayat sebelumnya, menjelaskan tentang keadaan orang-orang kafir Quraisy dan orang-orang musyrik Mekah yang menyulutkan sumbu peperangan; “Orang-orang kafir dan menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah..”; yakni mereka merintangi setiap anggota masyarakat dari mendapatkan petunjuk dan hidayah Islam. Karena itu, Allah merusak amal-amal mereka. Maksudnya, menjadikan amal-amal mereka sia-sia, bagaikan debu berterbangan. Maka ketidak-bergunaan amal-amal sedekah dan pemberian mereka itu mengisyaratkan bahwa malapetaka (yang dialami) kaum Quraisy yang telah mengorbankan onta pada hari Badr itu bukan terjadi sekali saja, tapi sudah mereka rasakan sebelumnya. Kebalikan dengan keadaan mereka adalah kaum mukmin, sebagimana firman Allah SWT: “Dan orang-orang yang beriman (kepada Allah) dan mengerjakan amalamal saleh serta beriman (pula) kepada apa yang di turunkan kepada Muhammad dan itulah yang hak dari Tuhan mereka.....”. Di satu sisi, Allah SWT melenyapkan amal-amal kaum kafir dan menjadikan sedekah-sedekah mereka sia-sia. Tapi di sisi lain, Dia menjadikan amal-amal saleh

orang-orang mukmin

sebagai

penghapus

keburukan-keburukan

mereka dan

menjadikan amal itu perbaikan bagi keadaan mereka. Jadi, perbedaan yang jauh antara keadaan orang kafir dan yang berpaling dari jalan Allah, yang amalnya disia-siakan, dengan orang mukmin billâh dan mengimani apa yang telah diturunkan kepada Muhammad saw, yang keburukannya dihapus dan diperbaiki amal-amalnya. Dengan kontradiksi tersebut, maka dapat dimaklumi kedudukan orang kafir dan orang mukmin, sebagaimana juga dimaklumi akibat-akibat dari amal perbuatan mereka. Argumentasinya adalah bahwa orang-orang kafir telah mengikuti jejak kebatilan, sehingga lenyaplah amal perbuatan mereka. Sedangkan orang-orang mukmin mengikuti kebenaran, sehingga amal perbuatan mereka membawa manfaat. Allah SWT menegaskan: “Yang demikian adalah karena sesungguhnya orang-orang kafir mengikuti yang batil dan sesungguhnya orang-orang yang beriman mengikuti yang hak dari tuhan mereka”. Dan pada akhir ayat kedua di atas Allah berfirman: “Demikian Allah membuat untuk manusia perbandingan-perbandingan bagi mereka...”, yakni demikianlah Allah menjelaskan keadaan orang mukmin dan orang kafir serta akibat-akibat dari amal perbuatan dua golongan ini. Atas dasar itulah, ayat di atas tidak dapat dimasukkan dalam kelompok tamtsil al-Quran. Tetapi ayat itu bermakna sifat, yakni: demikian itu Allah menyifati (menerangkan) kepada umat manusia perihal keadaan orang kafir dan orang mukmin berikut akibat dari (kekufuran atau keimanan) mereka. Jadi, tidak ada penyerupaan dalam ayat dimaksud. Tapi, tiga ayat ini terkonotasi untuk menjelaskan hakikat. Ayat pertama, mengisyaratkan pada orang kafir dan akibat dari amal perbuatannya. Ayat kedua, mengisyaratkan pada orang mukmin dan dampak dari amal perbuatannya. Dan

ayat ketiga, bahwa orang kafir menyerap air yang keruh ketika mengikuti kebatilan, sedang orang mukmin meminum air tawar (yang jernih dan segar), maka ia mengikuti kebenaran. Surat Muhammad Tamtsîl 48 “Matsalu l-jannati llatii wu’ida l-muttaquun fiihaa anhaarun min mâ`in ghairi aasinin wa anhaarun min labanin lam yataghayyar tah’muhu min khamrin ladzdzatin li sysyaaribin wa anhaarun min ‘asalin mushfan wa lahum fiihaa min kulli ts-tsamaraati wa maghfiratun min rabbihim kaman huwa khaalidun fi n-naari wa suquu maa`an hamiiman fa qaththa’a am’aa`ahum.” Artinya: “perumpamaan surga yang dijanjikan kepada orang-orang yang bertakwa yang di dalamnya ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya, sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya, sungai-sungai dari khamar yang lezat rasanya bagi para peminumnya dan sungai-sungai dari madu yang disaring; dan mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan dan ampunan dari Tuhan mereka, sama dengan orang yang kekal dalam neraka, dan diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya”. [Muhammad: 15] Tafsir Ayat Kata âsin dalam ungkapan asina l-mâ`a berarti air telah berubah (rasa, bau dan warnanya), dan pada kalimat mâ`u ghairu âsin artinya air yang tidak bau. Kata al-hamiim ialah air yang sangat panas. “Matsalu l-jannah” menunjukkan sifat dan keadaan surga, yang dalam ilmu nahwu berperan sebagai mubtadâ`. Sementara mahdzuf (terhapus) sebagai khabarnya, yang artinya: “surga yang di dalamnya (mengalir) sungai-sungai”. Jika kami

ingin menjadikan ayat ini termasuk dalam ayat-ayat tamtsil, maka ia harusl menggambarkan tentang yang diserupakan (musyabbah), yakni surga yang dijanjikan; dan yang diserupai (musyabbah bihi), yakni surga dunia dengan ciri-ciri khususnya. Sementara yang tampak ialah bahwa ayat ini terbentuk untuk menjelaskan keadaan surga, sifat-sifat dan tanda-tandanya, yang dapat dipilah sebagai berikut: 1- Di dalamnya ada empat sungai, yaitu: 1) “ada sungai-sungai dari air yang tiada berubah rasa dan baunya” dan warnanya, karena kekekalannya yang panjang. 2) “sungai-sungai dari air susu yang tiada berubah rasanya”; yakni tidak akan rusak dengan berlalunya zaman. 3) “sungai-sungai dari khamar yang terasa lezat bagi para peminumnya”, (kata khamar yang lezat bagi para peminumnya ialah untuk membedakan dari khamar dunia. Dalam ayat lain Allah SWT menyebut khamar surga sebagai berikut; “Diedarkan kepada mereka gelas yang berisi khamar dari sungai yang mengalir. (Warnanya) putih bersih, sedap rasanya bagi orang-orang yang minum. Tidak ada dalam khamar itu alkohol dan mereka tiada mabuk karenanya” [ash-Shaffat: 45-47]. Jadi kalimat: “lezat terasa bagi para peminumnya”; bermakna di dalamnya tiada khamar dunia yang berasa pahit dan tidak disukai. Dan kalimat: “tiada dalam khamar itu alkohol”, yakni minuman itu tidak merampas kesadaran dan menghilangkan akal; dan “mereka tiada mabuk karenanya”. Oleh karena itu, khamar akhirat jauh berbeda dengan khamar dunia. 4) “Sungai-sungai dari madu yang disaring”, yang steril dan asli. Empat sungai tersebut mempunyai manfaat dan tujuan masing-masing, yaitu; Pertama, air untuk diminum sepuasnya. Kedua, untuk dikonsumsi. Ketiga, untuk membangkitkan semangat dan ruh. Dan keempat, untuk mewujudkan kekuatan.

2- Di dalamnya terdapat buah-buahan, sebagaimana dikabarkan melalui firman-Nya: “mereka memperoleh di dalamnya segala macam buah-buahan”, yang mudah diambil oleh tangan-tangan para penghuninya, yang belum pernah tergambar oleh mata, belum terdengar telinga dan belum terlintas dalam benak manusia sebelumnya. 3- Di dalamnya terdapat kenikmatan-kenikmatan spiritual; sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran: “ampunan dari Tuhan mereka”. Setelah penjelasan tentang sifat surga dan keadaan orang-orang yang bertakwa di dalamnya, pada bagian akhir ayat di atas dijelaskan tentang keadaan penghuni neraka (al-Jahim); “....sama dengan orang yang kekal dalam neraka...”. Inilah sifat ahli neraka. Mereka meminum air yang amat panas, dan meminumnya bukan atas kemauan diri mereka sendiri melainkan dituangkan kepada mereka; “diberi minuman dengan air yang mendidih sehingga memotong-motong ususnya”. Jadi, sekiranya kami mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan penyerupaan surga akhirat dengan surga dunia yang di dalamnya demikian dan demikian, itu termasuk tamtsil. Tapi jika bukan, maka ayat di atas dibentuk untuk menjelaskan sifat surga akhirat; bahwa di dalamnya terdapat sungai-sungai, buah-buahan dan ampunan. Dan yang tampak sebenarnya adalah keterangan yang kedua, yakni tentang sifat surga, bukan tamtsil. Sedangkan keterangan pertama tidak terhitung amtsal qur`âniyah. Demikianlah, karena kami mengutipnya mengikuti (ayat-ayat tamtsil) lainnya. Surat al-Fath Tamtsîl 49 “Huwa l-ladzii arsala rasuulahu bi l-hudaa wa diini l-haqqi li yuzhhirahu ‘alaa d-diini kullihi wa kafaa bi l-laahi syahiidan* muhammadun rasuulu llaahi wa l-ladziina

ma’ahu asyiddaa`u ‘ala l-kuffaari ruhamaa`u bainahum taraahum rukka’an sujjadan yabtaghuuna fadhlan mina llaahi wa ridhwaanan siimaahum fi wujuhihim min atsari s-sujuud dzaalika matsaluhum fi t-tauraati wa matsaluhum fi l-injiili ka zar’in ahkraja syath`ahu fa aazarahu fa staghlazha fa stawaa ‘alaa suuqihi yu’jibu z-zurraa’a li yaghiizha bihimu l-kuffaara wa’ada llaahu l-ladziina aamanuu wa ‘amiluu shshaalihaati minhum maghfiratan wa ajran ‘azhiima*” Artinya: “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka: kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tandatanda mereka tampak pada muka mereka bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin): Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar” [al-Fath: 28-29]. Tafsir Ayat Kata siimaa` berarti tanda. Kalimat dalam ayat “siimaahum fi wujuhihim” (“tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka”), bermakna tanda keimanan mereka terlihat pada wajah mereka.

Istilah syath`u z-zar’ bermakna tunas tanaman, yakni yang keluar darinya sesuatu dan bercabang di dua sisinya. Kata isythâ` adalah bentuk jamak kata syath`, yang diibaratkan dengan bunga-bunga. Kata azr berarti kekuatan yang besar. Istilah âzarahu bermakna membantu dan menguatkannya. Kata ghilzhah (tebal, kasar) adalah lawan dari kata riqqah (tipis, halus). Kata suuq disebut sebagai bentuk jamak dari sâq ( tonggak). Dalam dua ayat ini, al-Quran berbicara tentang Nabi Muhammad saw dan para sahabat beliau: Ayat di atas menerangkan bahwa: “Dia-lah yang mengutus Rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang haq agar dimenangkan-Nya terhadap semua agama”, kata ganti (dhamir) dari kata “li yuzhhirahu” kembali kepada agama yang haq, bukan kepada Rasulullah saw. Sebab maksud kata ini adalah keunggulah (dhuhur) suatu agama atas agama yang lain, bukan keunggulan seseorang atas agama. Dhuhur yang dimaksud adalah kemenangan dalam pembuktian (argumentasi) dan penyebaran. Dan Allah SWT memberikan karunia dengan mewujudkan hal itu dan kelak wilayah penyebaran Islam akan meluas, sehingga Islam tetap kokoh di segala penjuru. Khususnya ketika bangkitnya Imam Mahdi (as) yang dinanti-nanti. Allah SWT berfirman: “Muhammad adalah utusan Allah”, yakni Rasulullah saw yang akan memenangkan agama Islam atas semua agama. Pada ayat (kedua) ini Allah menyebut nama-Nya secara jelas (rasulullâh), sedangkan pada ayat pertama tidak (secara jelas) atau ijmâl; arsala rasuulahu. Demikian penjelasan sifat-sifat Nabi Muhammad saw ada tanda-tandanya. Adapun sifat-sifat para sahabat, telah disebutkan tentang mereka di dalam Taurat dan Injil. Taurat menyebutkan sifat-sifat mereka sebagai berikut:

1- “Dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir”; orang-orang kafir yang tidak mengerti kecuali logika pemaksaan dengan kekuatan. Karena itu para sahabat menjadi keras terhadap mereka. 2-

“Tetapi

berkasih

sayang

sesama

mereka”;

Rasulullah

saw

bersabda:

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam mencintai dan mengasihi satu sama lain laksana satu badan, jika mengeluh satu anggota darinya maka seluruhnya saling mengundang tidak tidur dan sakit” (Musnad Ahmad bin Hambal: 4; 268, 270, dan 274). 3- “Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud”, sifat ini meleburkan keadaan lahir mereka dan bahwa mereka sangat tekun dalam beribadah. Karena itu ayat menyebutkan: “kamu lihat mereka ruku’ dan sujud”, yakni, kamu melihat mereka dalam beribadah, yang merupakan tanda sikap pasrah dan patuh kepada perintah Allah SWT. Di samping itu, mereka tidak menginginkan upah dalam ibadah, tetapi mengharap karunia Allah, yaitu; “mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya”. Mungkin saja, pasangan kata (qaid) pada bagian akhir kalimat mengisyaratkan bahwa tujuan bagi amal perbuatan mereka adalah mencari ridha Allah. Tanda-tanda mereka yang lain adalah, terdapat bekas sujud di dahi-dahi mereka, yaitu; “tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka bekas sujud”. Jadi mereka dikenali sebagai orang yang banyak ibadah dari wajah-wajah mereka, karena mereka banyak ruku’ dan sujud kepada Allah SWT. Inilah sifat-sifat mereka yang disebutkan di dalam Injil. Sesungguhnya para sahabat Nabi Muhammad saw senantiasa bertambah konsisten dalam potensi dan kekuatan, yang dengan itu mampu menjengkelkan orangorang kafir. Mereka bagaikan tanaman yang kuat, besar dan tegak di atas akar dan batangnya, yang menyenangkan hati para penanamnya dengan perkembangan yang

baik. Mereka senantiasa aktif dan tekun, di satu sisi mereka menyembah Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya tanpa riyâ` dan sum’ah (pencarian reputasi). Dan di sisi lain mereka berjihad di jalan Allah dengan berharap tersebarnya Islam, dengan meninggikan panji Tauhid di segenap penjuru dunia. Sikap mereka menjengkelkan orang-orang kafir dan menyenangkan orangorang mukmin; “sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir”. Jadi, masyarakat Islami ialah yang dengan keimanan, amal, jihad, dan gerak yang sungguh-sungguh menuju kesempurnaan itu melahirkan kekaguman kawan dan kejengkelan lawan. Tak hanya itu, Allah SWT pun menjanjikan ampunan dan pahala besar bagi sekelompok khusus dari sahabat Rasulullah saw, mengingat orang-orang munafik juga menyelinap di tengah barisan para sahabat secara umum. Maka, tidak benar jika dikatakan bahwa Allah SWT menjanjikan ampunan bagi setiap atau semua sahabat Nabi saw sementara hatinya kosong dari keimanan; (di mana sahabat di sini didefinisikan sebagai orang yang telah melihat dan hidup bersama Nabi saw). Oleh sebab itu, Allah SWT berfirman: “Allah menjanjikan kepada orangorang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh di antara mereka ampunan dan pahala yang besar...” Kata “minhum” pada ayat ini menerangkan tentang ampunan yang tidak meliputi semua sahabat, tetapi dikhususkan pada kelompok tertentu yang memang sungguh-sungguh dalam keimanan dan amal salehnya. Apabila dikatakan bahwa kata “min” –pada ayat di atas– merupakan kata bersifat penjelasan (bayâniyah) dan bukan menunjukkan sebagian (tabi’dhiyah),

maka argumennya tidak sempurna. Sebab, yang termasuk kata bayâniyah tidak masuk ke dalam kata ganti (dhamir). Argumen ini didukung oleh kabar yang jelas dalam alQuran: “wa min ahli l-madiinati maraduu ‘alaa n-nifaaq laa ta’lamuhum nahnu na’lamuhum” (“dan di antara penduduk Madinah, mereka keterlaluan dalam kemunafikan. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami-lah yang mengetahui mereka”. [at-Taubat: 101]. Yang mudah dipahami ialah bahwa tidak mungkin ampunan dan pahala yang besar dapat dikatakan meliputi seluruh sahabat Nabi (saw) tanpa kecuali, sementara pada diri mereka terdapat bermacam-macam karakter, sifat dan amalan. Mereka itu antara lain; pertama, ada orang munafik yang diketahui, sebagaimana firman Allah SWT: “Apabila orang-orang munafik datang kepadamu..” [al-Munafiqun: 1]. Kedua, orang munafik lain yang tidak beliau ketahui; “dan di antara penduduk Madinah, mereka keterlaluan dalam kemunafikan. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kami lah yang mengetahui mereka” [at-Taubah: 101]. Ketiga, Allah menyifati mereka sebagai orang yang hatinya berpenyakit; “Dan ingatlah ketika orang-orang yang munafik dalam hatinya berkata: “Allah dan rasulNya tidak menjanjikan kepada kami melainkan tipu daya” [al-Ahzab: 12]. Keempat, istilah sammâ’uun berarti orang-orang yang suka mendengarkan suara apa saja setiap kali berbunyi. Dan mereka itu seperti bulu dalam hembusan angin, yang kadangkala condong pada muslimin dan kadang-kadang condong pada orang-orang kafir. Allah SWT menyifati mereka seperti ini: “Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas-gegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antaramu; sedang di antara kamu ada

orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim” [at-Taubah: 47]. Kelima, mencampurkan amal saleh dengan keburukan, yakni: “Dan (ada pula) orang-orang lain yang mengakui dosa-dosa mereka, mencampur-baurkan pekerjaan yang baik dengan pekerjaan lain yang buruk” [at-Taubah: 102]. Keenam, mereka dalam kemurtadan, seperti dalam ayat: “sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan Jahiliyah. Mereka berkata: “Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini?. Katakanlah: ‘Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah’. Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa-apa yang tidak mereka terangkan kepadamu.” [Al Imran: 154]. Ketujuh, al-Quran menyebut tentang orang fasik, yaitu: “hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. [al-Hujurat: 6]. Dalam konteks asbabun nuzul ayat ini, orang yang dimaksud adalah al-Walid bin ‘Uqbah, seorang sahabat yang disebut fasik. Selain itu, Allah SWT juga menegaskan posisi orang fasik di hadapan-Nya; “Sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang fasik” [at-Taubah: 96]. Kedelapan, al-Quran menyebut mereka muslim, bukan mukmin, dan menegaskan perihal tiadanya iman dalam hati mereka, seperti ini: “Orang-orang badui itu berkata: ‘Kami telah beriman!’. Katakanlah (kepada mereka): ‘Kamu belum beriman, tetapi katakanlah ‘kami telah tunduk’, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu....” [al-Hujurat: 14].

Kesembilan, mereka mengaku Islam hanya untuk memperoleh sedekah (zakat). Mereka disebut dengan orang yang terbujuk hatinya; “Sesungguhnya zakatzakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang terbujuk hatinya..” [at-Taubah: 60]. Kesepuluh, mereka yang lari dari pasukan musuh sebagaimana larinya kambing menjauhi srigala. Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya” [al-Anfal: 15-16]. Fakta sejarah menyebutkan, tidak sedikit jumlah sahabat yang lari dari medanmedan peperangan. Tentang perang Uhud, Allah SWT berfirman: “Ketika kamu lari dan tidak menoleh kepada seorangpun, sedang rasul yang berada di antara kawankawanmu yang lain memanggil kamu” [Al-Imran: 153]. Kata “farrâr” (“yang lari dari perang”) tidak hanya terjadi pada perang Uhud, tapi juga disebutkan terjadi di perang Hunain, seperti diungkapkan al-Quran: “Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai orang-orang mukmin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu di waktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlahmu, maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari ke belakang dengan cerai-berai” [at-Taubah: 25]. Begitulah sekelumit gambaran tentang macam-macam sifat para sahabat Nabi saw yang dijelaskan al-Quran. Jika demikian, mungkinkah Allah SWT, Yang Maha

Bijaksana, menjanjikan ampunan bagi seluruh sahabat yang bermacam-macam sifat itu tanpa terkecuali? Belum lagi penjelasan ayat-ayat al-Quran yang lain tentang amal perbuatan mereka. Tentu saja, di antara mereka tidak sedikit orang-orang yang ikhlas. Allah SWT menunjukkan dengan tegas tentang kedudukan mereka di dalam al-Quran dengan keterangan yang tak dapat dipungkiri. Kesimpulannya, bahwa Allah SWT menjanjikan ampunan bagi kelompok tertentu dari mereka, tapi bukan untuk seluruh mereka. Sebagaimana sifat adil mereka pun demikian, yakni, tidak semua sahabat itu adil. Surat al-Hadid Tamtsîl 50 “I’lamuu annamaa l-hayaatu d-dunyaa la’bun wa lahwun wa ziinatun wa tafaakhurun bainakum wa takaatsurun fi l-amwaali wa l-aulaadi kamatsali ghaitsin a’jaba lkuffaara nabaatuhu tsumma yahiiju fa taraahu mushfarran tsumma yakuunu huthaaman wa fi l-aakhirati ‘adzaabun syadiidun wa maghfiratun mina llaahi wa ridhwaanun wa maa l-hayaatu d-dunyaa illaa mataa’u l-ghuruur Artinya: “Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya, dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu” (al-Hadid 20) Tafsir Ayat

Kata al-kuffâr; jamak dari al-kâfir, berarti menutupi. Makna yang dimaksud dalam konteks ayat ini ialah az-zâri’ (yang menanam). Seorang disebut al-kâfir billâh (yang tidak beriman kepada Allah) ialah karena ia menutupi kebenaran. Penggunaan kata az-zâri’ bermakna ia menutupi cintanya di bawah tanah. Kata ini terdapat dalam ayat “ka zar’in” (“seperti tanaman”) dan “yu’jib z-zurrâ’a” (“yang menyenangkan hati para penanamnya”). Kata haij; seperti dikatakan dalam hâja (-yahiiju) al-baqalu berarti sayur itu layu. Kalimat “tsumma yahiiju” dalam ayat ini berarti “kemudian menjadi kering”, dan kalimat “fa tarâhu mushfarran” artinya “kamu melihatnya menguning”. Kata al-huthâm bermakna pecahnya sesuatu atau hancur. Dalam ayat lain dikatakan “la yahthimannakum sulaimânu wa junuuduhu”, artinya “agar kamu tidak diinjak oleh Sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari” [anNaml: 18]. Alhasil, dua ayat di atas memuat dua perkara; Pertama: penggambaran kehidupan dunia dan beberapa macam tingkatan yang akan dilalui manusia; 1) permainan; 2) hiburan; 3) perhiasan; 4) bermegah-megah; 5) berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak. Kedua: penyerupaan awal-akhir dunia dengan tanaman yang menyenangkan hati para penanamnya atas berkembang dan kehijauannya, yang dengan cepat berubah menjadi rumput kering yang dihamburkan angin. Yang dapat diambil dari tamtsil ini, bahwa: kehidupan dunia ialah kesenangan yang menipu. Dunia hanyalah sebuah perantara bagi tipuan dan kesenangan. Para penghuni dunia seringkali tertipu, sebab mereka membayangkan dunia juga sebagai akhir dan tujuan kehidupan. Berbeda dengan sebagian orang mukmin, yang menganggap dunia hanya sebagai sebuah jembatan untuk menuju kehidupan yang

lain. Karena itulah mereka tidak tertipu oleh dunia. Mereka bahkan mengambil (atau mengumpulkan) bekal dari dunia untuk kehidupan ukhrawi-nya. Inilah gambaran global dalam memahami ayat di atas. Sedangkan untuk tamtsil yang ada pada bagian kedua, kita kembali melihat pada penafsiran dari setiap dua perkara tersebut. Perkara pertama: Kehidupan manusia mulai dari lahir hingga akhir hayatnya terbentuk dari lima tingkatan: pertama; ialah la’ibun (permainan). Bermain adalah tempat yang diatur untuk obyek fantasi (khayal) seperti permainan anak-anak. Tingkatan ini menyertai kehidupan manusia sejak kanak-kanak dan masa belianya. Permainan itu beraneka ragam bentuk sesuai tingkat usia. Dan permainan merupakan perkara yang sensitif bagi anak-anak kecil. Kedua; lahwun (hiburan). Hiburan adalah sesuatu yang menyibukkan (atau melalaikan) manusia. Tingkatan ini berawal ketika manusia menginjak usai baligh dan mulai tumbuh dewasa, yang dalam dirinya terdapat kecenderungan pada tempattempat hiburan dan hal-hal yang melalaikan. Ketiga: Hubbuz ziinah (senang pada perhiasan). Perhiasan seperti pakaian mahal, kendaraan mewah, rumah megah, dan kecenderungan pada segala keindahan dan kemewahan yang lain. Keempat: tafâkhur (bermegah-megah). Ketika manusia mempunyai sarana perhiasan dan kekayaan, ia menjadikannya untuk membangga-bangga diri. Dan kelima: Takâtsur (bersaing atau berbangga-banggaan) tentang banyaknya harta dan anak. Pada tingkatan ini, manusia sampai pada usia memikirkan tentang banyak harta dan banyak anak, sampai pada usia tua (beruban). Pembagian tingkatan kehidupan yang dilalui manusia menjadi lima itu bukan berarti bahwa semua manusia harus melewati semua tingkatan itu tanpa terkecuali.

Maksudnya adalah bahwa manusia secara garis besar akan mengalami lima tingkatan tersebut. Namun demikian, untuk sebagian manusia, bisa saja kepribadian mereka dari awal sampai akhir hayatnya terbatas pada dua tingkatan yang pertama (yakni tingkatan pertama dan kedua). Mereka, misalnya, menganggap bermain dan hiburan adalah hal yang terpenting dalam kehidupan mereka. Sebagaimana ada sebagian lain yang terbatas pada tingkat ketiga dan keempat saja. Mereka senang mengenakan pakaian-pakaian mahal dan berbangga-bangga atas kekayaan yang dimilikinya. Di riwayatkan dari Syeikh al-Baha`i bahwa lima perkara yang disebut dalam ayat tersebut merupakan tahapan menurut tingkatan usia manusia dan tingkat-tingkat kehidupannya. Manusia pertama menyukai bermain; ia sebagai anak kecil atau ketika berusia hendak memasuki baligh. Selanjutnya, ketika sudah baligh dan tumbuh remaja ia menyenangi hiburan dan tempat-tempat hiburan. Lalu, ketika dewasa, ia sibuk dengan perhiasan berupa pakaian mahal, kendaraan mewah dan rumah yang megah, atau menyenangi keindahan dan kemewahan. Kemudian, ketika menginjak usia 30-50an, ia berbangga-bangga dengan kekayaan dan keturunan. Setelah itu menginjak masa tua (beruban), ia berusaha memperbanyak harta dan anak. (al-Mizan: 9/164). Perkara kedua; ialah tamtsil yang menggambarkan keadaan dunia yang menyerupai tanah subur yang ditimpa hujan lebat. Lalu tanamannya tumbuh, mekar dan berkembang, yang keadaannya memuaskan hati para penanamnya. Tetapi kesegaran dan perkembangannya ternyata berubah sangat cepat; karena tanamantanaman itu menjadi kuning dan mengering, yang di setiap sisinya mudah dihamburkan angin. Tanaman-tanaman yang rusak itu pun tak lagi berbentuk

sebagaimana sebelumnya. Pada saat itu tampaklah hakikat di hadapan manusia, bahwa ia tertipu oleh kesegaran taman-taman yang dipeliharanya selama ini. Demikianlah keadaan dunia! Manusia tertipu olehnya karena ia merasa akan hidup kekal di dalamnya. Padahal kehidupan dunia berlalu sangat cepat, wajah hakikat pun tersingkap dalam waktu yang tak lama. Pendeknya, ayat di atas bertujuan mencela (keterikatan pada) dunia dan memuliakan (kecenderungan pada) akhirat. Surat al-Hasyr Tamtsîl 51 “Lâ yuqâtilunakum jami’an illâ fi quran muhashshanatin au min warâ`i judurin ba`suhum bainahum syadidun tahsabuhum jami’an wa qulubuhum syattâ dzâlika bi annahum qaumun lâ ya’qilun. Ka matali l-ladzina min qablihim qariban dzâqu wabâla amrihim wa lahum ‘adzâbun alim.” Artinya; “Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. Permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. Kamu kira mereka iu bersatu sementara hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti. (Mereka adalah) seperti orang-orang yang belum lama sebelum mereka telah merasai akibat buruk dari perbuatan mereka, dan bagi mereka azab yang pedih ”. al-Hasyr 14-15) Tafsir Ayat Kata al-hishn (benteng) berbentuk jamak hushun. Kalimat “al-qurâ almuhashshanah” (kampung-kampung yang berbenteng) maksudnya “yang diliputi oleh benteng-benteng yang kuat yang menghalangi masuknya musuh-musuh”. Kata al-ba`s dan al-ba`sâ` berarti bencana. Kata al-wabâl artinya adalah perkara yang ditakuti bahayanya.

Ayat ini menerangkan tentang keadaan Bani an-Nadhir, kaum Yahudi yang telah diusir Rasulullah (saw), dan mereka berkomplot untuk membunuh beliau. Bentuk komplotan mereka disebutkan dalam buku-buku sejarah. Nabi Muhammad saw memerintahkan kepada Bani Nadhir agar berpindah dan meninggalkan harta benda mereka. Namun mereka tidak mematuhi perintah tersebut. Sementara itu, kaum munafik yang mendukung bani Nadhir tidak berpindah dan membantu mengobarkan semangat peperangan di tengah mereka guna melawan kaum muslimin. Kemudian Bani an-Nadhir tinggal beberapa hari di dalam benteng-benteng mereka dan sengaja tidak keluar sambil mengharap datangnya bala bantuan yang dapat memperkokoh kekuatan mereka. Ayat ini menguraikan keadaan mereka secara mendalam dan mengabarkan bahwa “Mereka tidak akan memerangi kalian” wahai orang-orang mukmin! “Kecuali (mereka berada) dalam kampung-kampung yang berbenteng”; yakni mereka tidak akan menampakkan diri dalam memerangi kalian (mukminin) karena takut kepada kalian. Mereka akan memerangi kalian dengan memakai baju besi di benteng-benteng mereka, atau di balik tembok pertahanan mereka. Yakni, mereka akan menyerang kalian (mukminin) dari balik tembok dengan anak panah dan batu. Ungkapan dalam ayat: “Ba`suhum bainahum syadidun”; kata al-ba`s berarti permusuhan; yakni permusuhan antara sesama mereka sebenarnya sangat hebat. Sesungguhnya mereka tidak sehati. Karena itu ayat berikutnya mengatakan; “wa qulubuhum syattâ” (“sedang hati mereka berpecah belah”). Hal yang demikian itu disebabkan oleh ketidak-mengertian mereka; “dzâlika bi annahum qaumun lâ ya’qilun” (“yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti”).

Kemudian mereka diumpamakan dengan: Sesungguhnya perumpamaan bagi mereka ialah tipuan mereka akan jumlah, potensi, dan kekuatan mereka. Kalimat “ka matsali l-ladzina min qablihim” [“(Mereka adalah) seperti orang-orang yang belum lama sebelum mereka”]; yaitu mereka adalah orang-orang musyrik Quraisy yang telah berperang di Badr enam bulan sebelum pengusiran Bani an-Nadhir. Kemungkinan lain yang dimaksud dengan mereka di sini adalah kabilah Bani Qainuqâ’ yang diusir oleh Rasulullah saw sepulang dari perang Badr, karena mereka telah melanggar perjanjian. Mereka adalah orang-orang yang “dzâqu wabâla amrihim” (telah merasai akibat buruk dari perbuatan mereka); yakni akibat kekufuran mereka; dan balasan yang sesuai bagi mereka ialah azab yang pedih. Tamtsîl 52 “Kamatsali sy-syaithâni izd qâla li l-insâni kfur fa lammâ kafara qâla inni bari`un minka inni akhâfu llâha rabba l-‘âlamin Artinya: “(Bujukan orang-orang munafik itu adalah) seperti (bujukan) setan ketika dia berkata kepada manusia: “kafirlah kamu”, maka tatkala manusia itu telah kafir ia berkata: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam”).” [al-Hasyr: 16] Tafsir Ayat Ayat ini juga menceritakan tentang keadaan Bani an-Nadhir yang bersekongkol melawan Nabi Muhammad saw karena Nabi saw memerintahkan mereka agar keluar dari Madinah. Tetapi kaum munafik menjanjikan pertolongan kepada mereka dengan mengatakan; “Jika kalian diusir maka kamipun akan keluar bersama kalian; dan kami selama-lamanya tidak akan patuh kepada siapapun untuk

(menyusahkan) kalian, dan jika kalian memerangi (yang mengusir kalian) pasti kami akan membantu kalian..” [al-Hasyr: 11]. Tetapi janji itu adalah bohong, dan Allah SWT menegaskan: “..Dan Allah menyaksikan, bahwa sesungguhnya mereka benar-benar pendusta. Sesungguhnya jika mereka diusir, orang-orang munafik itu tidak akan keluar bersama mereka, dan sesungguhnya jika mereka berperang, niscaya orang-orang munafik itu tidak akan menolong mereka; sesungguhnya jika orang-orang munafik (hendak) menolong niscaya akan berpaling lari ke belakang, kemudian mereka tiada akan mendapat pertolongan (lagi)” [al-Hasyr: 12]. Sungguh pengalaman telah membenarkan berita itu. Maka Rasulullah saw mengusir mereka (Bani an-Nadhir) dengan kuat dan keras. Dan ternyata tidak ada pertolongan, bantuan, dan dukungan apapun dari kaum munafik. Janji mereka (kaum munafik) dusta seperti janji setan, yang mengatakan kepada manusia ‘kafirlah!’. Lalu setelah manusia kafir maka setan berkata; ‘sesungguhnya aku berlepas diri dari kamu, karena sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan semesta alam’. Artinya, setan menyuruh manusia untuk kafir, tetapi pada akhirnya ia akan berlepas diri dari manusia yang telah kafir itu. Apakah mukhâthab (yang diajak bicara) melalui kalimat ‘kafirlah kamu!’ itu adalah ditujukan kepada seluruh manusia yang tertipu oleh bujukan setan dan janjijanji palsunya, yang kemudian setan akan meninggalkan dan berlepas diri dari manusia (yang tertipu). Ataukah (mukhâthab)nya tertuju kepada pribadi-pribadi tertentu? Di sini memang dapat dilihat dari dua segi. Jika kami katakan yang kedua, maka sesungguhnya setan telah menjanjikan kemenangan bagi Quraisy di perang Badr. Sebagaimana yang terungkap dalam firman Allah SWT: “Dan ketika setan menjadikan mereka memandang baik pekerjaan

mereka dan mengatakan: “Tidak ada seorang manusia pun yang dapat menang terhadap kamu pada hari ini, dan sesungguhnya kami ini adalah pelindungmu”. Maka tatakala kedua pasukan itu telah dapat saling melihat (berhadapan), setan pun berbalik ke belakang sambil berkata: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian; sesungguhnya kami dapat melihat apa yang kamu sekalian tidak dapat melihat; sesungguhnya kami takut kepada Allah”. Dan (sesungguhnya) Allah sangat keras siksa-Nya”. [al-Anfal: 48]. Selain itu, di sini masih ada pendapat ketiga. Yaitu, setan memberi janji kepada seorang hamba ahli ibadah dari Bani Israil bernama Barshishâ, yang akhirnya terpedaya oleh tipu daya setan dan menjadi kafir. Dan pada saat-saat yang menentukan, setan berlepas dari dirinya. Para mufasir menyebutkan bahwa Barshishâ menyembah Allah SWT di sepanjang hidupnya, sehingga ia (mendapatkan kemuliaan dari Allah SWT, penj.) bisa menyembuhkan orang-orang gila yang datang kepadanya hanya dengan doanya. Suatu hari ia kedatangan seorang perempuan terhormat yang terjangkit gila. Perempuan itu diantar oleh saudara-saudaranya dan ditinggalkan di tempat Barshisha (untuk diobati). Ketika itulah, setan selalu membujuk Barshisha sampai akhirnya Barshisha menzinahi perempuan itu, hingga kemudian hamil. Ketika kehamilan perempuan itu tampak, Barshisha membunuh si perempuan dan menguburnya. Setelah melakukan semua itu, setan pun pergi dan menemui salah seorang saudara si perempuan. Setan menceritakan apa yang telah diperbuat si rahib bernama Barshisha itu dan bahwa ia telah menguburnya di satu tempat. Kemudian setan mendatangi saudara laki-lakinya yang lain satu persatu dan menceritakan hal yang dialami saudara perempuan mereka. Sampai suatu ketika, seorang saudara lakilaki dari mereka menemui saudaranya yang lain, dan mengatakan: “Demi Allah, telah datang orang asing kepadaku sambil mengatakan suatu hal yang sangat

mengejutkanku”. Setiap dari mereka pun satu sama lain menyebutkan hal yang sama, hingga masalah ini sampai di telinga raja mereka. Maka bangkitlah raja dan orangorang

mendatangi

Barshisha

untuk

menghukumnya.

Raja

memerintahkan

mensalibnya. Ketika Barshisha telah berada di atas kayu salibnya, setan menjelmakan diri di hadapannya dan berkata: “Akulah yang telah menjerumuskan kamu dalam hal ini! Apakah kamu mentaatiku terhadap apa yang akan kukatakan kepadamu, lalu aku akan menyelamatkanmu dari apa yang kamu alami ini?”. “Ya”, jawab Barshisha. Setan berkata: “Bersujudlah kepadaku sekali sujud!”. Ia berkata: “Bagaimana aku (bisa) bersujud padamu sementara aku dalam keadaan seperti ini!?”. Setan berkata: “Cukup bagiku kamu menjadi hambaku”. Kemudian ia diperintahkan untuk bersujud dan mau mengikuti perintah setan. Lalu, ia pun kafir kepada Allah, dan dibunuh. [Majmâ al-Bayan: 5/265]. Tamtsîl 53 “Lau anzalnâ hâdza l-qur`âna ‘alâ jabalin laraitahu khâsyi’an mutashaddi’an min khasyyati l-llâh wa tilka l-amtsâlu nadhribuhâ li n-nâsi la’allahum yatafakkarun.” Artinya: “Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka mau berpikir”. [al-Hasyr: 21]. Tafsir Ayat Kata al-khuyu’ pada ayat di atas bermakna adh-dharâ’ah atau permohonan yang sangat dengan merendahkan diri (tadharru’). Al-khusyu’ lebih banyak digunakan

pada hal-hal yang bersifat lahiriyah (jawârih), sedangkan adh-dharâ’ah lebih banyak dihubungkan dengan perkara hati. Diriwayatkan bahwa kalimat: “idzâ dhara’a l-qalbu khays’ati l-jawârih”, berarti “jika hati merendah maka tunduklah anggota-anggota badan.” Hal ini dikuatkan oleh pernyataan bahwa Allah SWT menyebutkan al-khusyu’ pada suara dan penglihatan. Seperti dalam firman-Nya: “khasya’ati l-ashwât”, “khâsyi’atun abshâruhum” dan “abshâruhum khâsyi’ah”. Sebetulnya, al-khusyu’ adalah ketenangan yang menguasai anggota badan (jawârih), disebabkan oleh perhatian yang sungguh-sungguh dalam meresapi ayatayat Ilahiah dan menghayati keagungan Sang Khalik. Kata at-tashadduq pada ayat di atas berarti terpecah belah sesudah keadaan stabil. Dalam tafsir ayat ini para mufasir mempunyai dua pandangan: Pertama, seandainya al-Quran diturunkan kepada sebuah gunung, yang amat keras, besar, kokoh, dan tak tergoyahkan oleh bencana alam, niscaya gunung itu akan tergetar dan terpecah belah karena takut kepada Allah. Jika demikian keadaan gunung, maka semestinyalah manusia lebih patut tunduk kepada Allah SWT ketika melantunkan ayat-ayat-Nya. Maka, betapa kerasnya hati mereka yang kafir dan betapa kerasnya watak mereka yang tidak terpengaruh ketika mendengarkan, menyimak dan membaca al-Quran. Kedua, segala wujud (ciptaan) mempunyai pengetahuan dan perasaan, yang salah satu di antaranya adalah gunung. Gunung pun mempunyai pengetahuan, sebagaimana firman Allah SWT: “Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai dari padanya dan di antaranya ada yang terbelah lalu

keluarlah mata air dari padanya dan di antaranya ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah”. [al-Baqarah: 74]. Jadi, ayat di atas yang menyatakan bahwa sekiranya al-Quran turun kepada sebuah gunung niscaya akan hancur lebur dan merendah diri karena takut kepada Allah. Hanya saja al-Quran tidak diturunkan kepada gunung. Atas dua makna tersebut, maka ayat ini bukanlah termasuk tamtsil (penyerupaan sesuatu dengan sesuatu), tetapi ini merupakan salah satu penyebutan sifat al-Quran dan menerangkan keagungannya yang memuat pondasi-pondasi dan hakikat. Ayat di atas menunjukkan sifat berikut: “Kalau sekiranya Kami menurunkan al-Quran kepada sebuah gunung, pasti akan menjadi demikian dan demikian”. Mungkin dapat dikatakan sebagai lâzimnya makna ayat seperti penyerupaan (tasybih), bahwa Allah SWT menyerupakan hati orang kafir dan âshi (pelaku maksiat) dengan gunung dan batu, yang tidak terpengaruh oleh sentuhan al-Quran. Dan, kalaupun tidak begitu keras, hati mereka laksana batu. kenyataannya bahwa batu pun bisa dipecahkan oleh (air) sungai atau dia terjatuh karena takut kepada Allah. Oleh karena itu, ayat di atas dapat dikategorikan sebagai tamtsil jika dilihat dari adanya makna konsekuensitas (iltizâmi) di dalam ayat. Surat al-Jumu’ah Tamtsîl 54 ‫ﻣﺜﻞ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﺣ ّﻤﻞ ﺍﻟﺘﻮﺭﺍﺓ ﺛﻢ ﻟﻢ ﻳﺤﻤﻠﻮﻫﺎ ﻛﻤﺜﻞ ﺍﻟﺤﻤﺎﺭ ﻳﺤﻤﻞ ﺃﺳﻔﺎﺭﺍ ﺑﺌﺲ ﻣﺜﻞ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﺍﻟﺬﻳﻦ ﻛﺬّﺑﻮﺍ ﺑﺂﻳﺎﺕ ﷲ ﻭ ﷲ ﻻ‬ ‫ﻳﻬﺪﻱ ﺍﻟﻘﻮﻡ ﺍﻟﻈﺎﻟﻤﻴﻦ‬ “Matsalu l-ladzina hummilu t-taurâta tsumma lam yahmiluha kamatslai l-himâri yahmilu asfâran bi`sa matsalu l-qaumi l-ladzina kadzdzabu bi âyâti l-llâhi wa l-llâhu lâ yahdi l-qauma zh-zhâlimin.”

Artinya: “Perumpamaan bagi orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal. Amatlah buruknya perumpamaan kaum yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim”. [alJum’ah: 5] Tafsir Ayat Kata al-asfâr –dari kata tunggal as-safar – yang bermakna membuka tutup, digunakan khusus untuk makna “kepala”, seperti pada kalimat: safara al-‘imâmatu ‘anir-ra`si, artinya, membuka serban dari kepala). Juga kalimat: wa l-khimâr mina lwajhi, artinya, dan tudung dari wajah. Sedangkan kata as-sifr, berbentuk jamak asfâr, bermakna kitab yang ditalamnya ditulis tentang hakikat. Para mufasir menyebutkan, ketika Allah SWT berfirman bahwa Dia mengutus Muhammad saw kepada al-umiyyin (orang-orang buta huruf), orang-orang Yahudi menjadikan ayat ini sebagai dalih pengingkar atas keluasan risalah Rasulullah saw. Mereka mengatakan; Sesungguhnya Muhammad diutus khusus kepada Arab dan tidak kepada mereka. Ketika itulah turun ayat ini, dan menyerupakan mereka seperti keledai yang membawa kitab-kitab tetapi tidak pernah mengambil manfaat darinya. Sebab, di dalam Taurat disebutkan tentang Muhammad saw dan memberi kabar gembira akan kedatangannya dan mengajak mereka untuk memasuki agama Rasulullah saw tersebut. Selain itu, perumpamaan ayat tersebut tertuju kepada keadaan orang yang memahami makna al-Quran tetapi tidak mengamalkannya, dan justru berpaling darinya dengan tidak membutuhkannya. Yang dimaksud “hummilu” ialah dibebankan untuk mengamalkannya (Taurat). Disebutkan dalam riwayat bahwa kata ini bukanlah berasal dari kata “al-haml” (membawa) di atas punggung, tetapi dari kata “al-

hamâlah” yang bermakna al-kafâlah wa adh-dhamân (jaminan, tanggungan). Oleh sebab itu, al-kafil dikatakan bermakna al-hamil (yang menjamin, menanggung). Atau bermakna “orang-orang yang menjamin hukum-hukum Taurat” kemudian mereka ‘lam yahmiluha’ (tidak memikulnya), yakni tidak menunaikan haknya dan tidak membawa yang diamanatkan dengan sebenar-benarnya. Maka, mereka tidak ubahnya seperti keledai, sebagaimana firman Allah SWT: “seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal”. Dipilih keledai di antara semua binatang karena keledai mempunyai sifat rendah dan hina yang tidak dimiliki binatang lainnya, yang bodoh dan pandir, di samping karena adanya kesesuaian kata antara kata al-asfâr (kitab-kitab) dan al-himâr (keledai). Jadi, ayat di atas mengungkapkan cela kaum Yahudi, dan pada saat yang sama memperingatkan kepada seluruh kaum muslimin agar mereka tidak jatuh ke dalam keadaan seperti yang terjadi pada kaum Yahudi. Sebuah keadaan merugi, disebabkan tidak mau mengambil manfaat dari Al-Kitab yang diturunkan (al-Quran), yang di dalamnya terdapat obat segala penyakit dan penyembuh setiap luka di dalam dada. Sungguh sangat disayangkan, apabila al-Quran yang berada di tengah kaum muslimin lalu ditinggalkan, dan hanya dijadikan pelengkap atau alat mencari berkah di dalam pesta-pesta perkawinan, atau menjadi jimat-jimat bagi anak-anak kecil, atau penghias rak-rak perpustakaan, atau dibaca di kuburan-kuburan, dan sebagainya. Sungguh, kerugian besar apabila mereka memandang al-Quran tidak dengan cara pikir ber-tadabbur (merenungi kandungannya). Kemudian Allah SWT menyifati kaum Yahudi sebagai kaum yang mendustakan al-Quran dan ayat-ayatnya, sebagaimana terungkap pada bagian akhir ayat ke-5 surat al-Jumu’ah di atas: “.........Amatlah buruknya perumpamaan kaum

yang mendustakan ayat-ayat Allah itu. Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang zalim”. Surat at-Tahrim Tamtsîl 55 “Dharaba l-llâhu matsalan lilladzina kafaru mra`ata nuhin wa mra`ata luthin kânatâ tahta ‘abdaini min ‘ibâdinâ shâlihin fa khânatâhumâ fa lam yughniyâ ‘anhumâ mina lllâhi syai`an wa qila d-khulâ n-nâra ma’a d-dâkhilin Artinya: “Allah membuat istri Nuh dan istri Luth perumpamaan bagi orngorang kafir. Keduanya berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara hamba-hamba Kami; lalu kedua istri itu berkhianat kepada kedua suaminya, maka kedua suaminya itu tiada dapat membantu mereka sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya); “Masuklah ke neraka bersama orang-orang yang masuk (neraka)”. [at-Tahrim: 10] Tafsir Ayat Salah satu metode pendidikan ialah dengan menampilkan contoh nyata dari keberadaan orang yang telah mencapai puncak kemuliaan akhlak, atau orang yang telah jatuh dalam titik rendah keburukan. Pada ayat ini al-Quran menampilkan dua istri nabi (Nuh dan Luth – salam atas mereka) yang telah berbuat munafik dan melakukan pengkhianatan. Dan upaya untuk mendekati mereka tidak akan pernah memberikan manfaat apapun. Motivasi dari tamtsil ini adalah mengungkapkan aib dua istri Rasulullah saw, yang telah bersekutu dalam menyebar-luaskan rahasia beliau. Tujuannya adalah memberitahukan bahwa kedudukan mereka sebagai istri-istri Rasul sama sekali tidak menjamin keselamatan mereka dari azab. Sebagaimana istri Nabi Nuh as dan Nabi

Luth as yang tidak memperoleh manfaat atas statusnya sebagai istri seorang nabi, dan para isteri itu menerima azab yang pedih. Allah SWT menyebutkan kisah penyebaran rahasia Rasulullah saw melalui sebagian istri beliau; “Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu kepada (Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafsah dengan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu Hafsah bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha mengetahui lagi Maha mengenal”. [at-Tahrim: 3]. Ayat ini secara ringkas mencakup beberapa masalah berikut ini: Pertama, Nabi Muhammad saw merahasiakan sebuah perkataan kepada sebagian istri beliau, sebagaimana firman Allah: “Dan ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari istri-istrinya (Hafsah) suatu peristiwa”. Adapun rahasia yang telah beliau bicarakan secara rahasia kepadanya tidaklah jelas, sehingga kita tidak dapat begitu saja berpegang pada apa yang disebutkan di dalam tafsir-tafsir mengenai pengharaman madu atas diri beliau dan orang lain. Kedua, Nabi saw berbicara kepada istrinya secara rahasia tetapi dia tidak memegang rahasia suaminya, bahkan menyebarkannya. Ia bicarakan (rahasia itu) kepada istri Nabi saw yang lain, seperti disebutkan dalam ayat: “Maka tatkala ia menceritakan peristiwa itu”. Para mufasir sepakat bahwa dua perempuan itu, yang

pertama adalah Hafshah, dan yang kedua adalah Aisyah. Ia telah berbicara buruk dan telah menyebarkan rahasia Rasulullah saw, padahal ia wajib menutupi rahasia itu. Ketiga, Allah SWT memberitahukan (pembicaraan itu) kepada Nabi saw, yakni: “dan Allah memberitahukan hal itu (semua pembicaraan antara Hafsah dengan Aisyah) kepada Muhammad”. Keempat, Nabi saw memberitahukan kepada Hafshah (hanya) sebagian apa yang telah ia sebut, dan beliau enggan menyebutkan semua (rahasia) yang telah ia sebarkan. Nabi saw mengetahui semua percakapan itu namun beliau berpegang pada kemuliaan akhlak, sehingga tidak mau menyebutkan kepadanya semua isi pembicaraan. Dan, melupakan kesalahan orang termasuk akhlak yang mulia. Dalam matsal (pepatah) disebutkan: mâ istaqshâ karimun qaththu, artinya: seorang pemurah tidak pernah ingin tahu mendalam (urusan orang lain). Kelima, Ketika Rasulullah memberitahukan apa yang diperolehnya dari Allah, Hafshah bertanya: “Siapakah yang telah memberitahumu akan hal ini?”. Rasulullah saw menjawab: “Yang Maha Mengetahui dan Maha Mengerti yang telah memberitahuku”: “Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu Hafsah bertanya: “Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?” Nabi menjawab: Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah Yang Maha mengetahui lagi Maha mengenal”. Dalam hal ini, si pendengar rahasia juga berdosa seperti si penyebar. Lalu Allah SWT mengungkapkan cela mereka dan memerintahkan agar mereka bertaubat karena hati mereka telah menyimpan dosa. Dan seandainya mereka tidak berhenti menyakiti Rasulullah saw, maka mereka memaklumi bahwa Allah adalah penjaga dan penolongnya; amin al-wahy (Jibril as) juga penolong Nabi saw; dan orang-orang saleh dari kaum mukminin, serta orang-orang pilihan, pasti akan membela beliau. Dan

setelah mereka lalu para malaikat Allah yang menolong beliau. Seperti disebutkan dalam kelanjutan ayat di atas (at-Tahrim ayat 4): “....hendaknya kalian berdua bertaubat kepada Allah, setelah hati kamu berdua condong (pada dosa). Dalam terjemahan al-Quran yang dikeluarkan Depag tertulis “.....condong (untuk menerima kebaikan). Dan jika mereka bekerja sama untuk menyakiti Nabi saw, maka sesungguhnya Allah SWT adalah pelindungnya, juga Jibril, orang saleh dari kaum mukminin, dan para malaikat akan menolong Nabi saw, [at-Tahrim:4]. Dua ayat al-Quran [at-Tahrim: 3-4] ini memberitahukan tentang dua istri (yang seharusnya) menunaikan tugas dan kewajiban sebagai istri, yakni menjaga amanat suaminya tapi justru menyebarkannya. Ayat ke-4 surat at-Tahrim mengemukakan posisi mereka berdua di hadapan Allah, dengan memberikan pilihan kepada mereka: Bertaubat dari dosa, atau tidak berhenti dalam kesesatan mereka. Jika mereka tetap condong kepada dosa, maka akan sia-sia saja segala yang mereka niatkan terhadap Nabi. Sebab, Nabi saw mempunyai pelindung dan penolong; yaitu Allah SWT, para malaikat, dan orang saleh dari kaum mukmin. Surat ini (at-Tahrim) menjelaskan bahwa Allah menyebutkan perumpamaan keadaan mereka berdua seperti dua istri nabi sebelumnya (Nuh dan Luth – salam atas mereka) yang telah menyebarkan rahasia dan mengkhianati suami. Di mana pengkhinatan mereka bukanlah pengkhianatan fujur (berbuat mesum), sebagaimana disebutkan dalam beberapa riwayat. Sebab, istri seorang nabi sama sekali tidak akan berbuat zina. Pengkhianatan mereka sebenarnya adalah pengkhianatan dalam agama. Ibn Abbas berkata: “Istri Nuh adalah kafir yang telah mengatakan kepada orang-orang bahwa ia (Nuh) adalah orang gila. Dan apabila ada seseorang beriman kepadanya, maka ia (istri Nuh) memberitahu kepada penguasa bahwa orang itu adalah

kaum Nuh. Sebagaimana istri Luth yang memberitahukan siapa orang-orang yang telah mengunjungi Luth”. Ala kullihal, keempat perempuan tersebut adalah sama di dalam menyebarkan rahasia suami-suami mereka. Karena itu, mereka telah menjadi contoh yang jelas dalam pengkhianatan. Mereka mengira bahwa kedekatan dengan para rasul bisa menjauhkan mereka dari azab Allah. Mereka tidak menyadari bahwa sekedar kedekatan tidaklah cukup untuk memberikan manfaat, tanpa adanya keimanan dan amal saleh. Allah SWT berfirman: “Apabila sangkakala ditiup maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya” [alMu`minun: 101]. Allah SWT berfirman kepada anak keturunan Adam: “Hai anakanak Adam, jika datang kepadamu rasul-rasul daripada kamu yang menceritakan kepadamu ayat-ayat-Ku, maka barangsiapa yang bertakwa dan mengadakan perbaikan, tidak akan ada kekhawatiran bagi mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”. [al-A’raf: 35]. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kedekatan dengan Rasulullah saw tidak akan bermanfaat bila tidak disertai keimanan yang tulus dan amal saleh. Menjadi teman bergaul seorang Rasul bukanlah bukti satu-satunya bukan pula menjamin bahwa ia seorang yang adil dan selamat. Di mata Allah, para sahabat Nabi saw tidak beda dengan tâbi’in. Dia akan menghukum mereka sebagaimana menghukum tâbi’in, sebagaimana golongan kedua (tâbi’in) di antara mereka ada yang saleh dan ada yang thâleh (yang keji). Para sahabat Nabi saw pun sebagian ada yang saleh dan sebagian lain ada yang thâleh. Tamtsîl 56

“Wa dharaba l-llâhu matsalan li l-ladzina âmanu mra`ata fir’auna idz qâlat rabbi bni li ‘indaka batan fi l-jannah wa najjini min fir‘auna wa ‘amalihi wa najjini mina l-qaumi zh-zhâlimin. Wa maryama bnata ‘imrâna l-lati ahshanat farjahâ fa nafakhnâ fihi min ruhinâ wa shadaqat bi kalimâti rabbihâ wa kutubihi wa kânat mina l-qânitin Artinya: “Dan Allah membuat istri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: Ya Tuhanku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim. Dan (ingatlah) Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya, dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat”. [at-Tahrim: 11-12] Tafsir Ayat Kata hishn – yang berbentuk jamak hushun – berarti benteng. Kata ini digunakan untuk perempuan ‘afifah (yang menjauhi barang syubhat). Karena, ia menjaga dirinya dengan cara menjauhi perbuatan hina (‘afâf) , atau dengan menikah. Sedangkan qunuth ialah keharusan taat yang disertai ketundukan. Makna kata qânitun ialah khâdhi’un, yaitu orang-orang yang tunduk. Setelah al-Quran memberikan perumpamaan dengan contoh-contoh nyata tentang kekejian sebagian perempuan, dalam ayat ini al-Quran menyebutkan contoh lain, yaitu tentang ketakwaan dan ke’afifahan sebagian perempuan yang lain. Ketakwaan dan keimanan mereka mencapai kedudukan yang agung. Mereka tinggalkan kehidupan duniawi dan kesenangannya demi menjaga keimanan mereka. Al-Quran menampilkan Asiyah binti Muzahim, istri Fir’aun, sebagai perempuan yang telah mencapai keimanan dan ketakwaan tinggi. Asiyah memohon kepada Allah SWT untuk dibangunkan sebuah rumah di surga. Ia mengimani Musa as tatkala

menyaksikan mukjizat-mukjizatnya yang memukau dan dalil-dalilnya yang terang. Ia tidak menyembunyikan keimanannya tanpa merasa takut akan kekerasan Fir’aun. Diriwayatkan bahwa Fir’aun menancapkan empat pasak pada tubuh Asiyah dan menjemurnya di bawah terik matahari. Inilah perempuan sempurna yang telah berkorban (di jalan Allah) demi mempertahankan aqidahnya. Ia menyambut syahadah dengan lapang dada dan sedikitpun tidak pernah menginginkan dunia dan segala kemilaunya. Tatkala kematian menjemputnya, ia meneriakkan: “Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah aku dari kaum yang zalim”. Kata ‘indaka (di sisi-Mu) yang diucapkan Asiyah mengarah pada dekatnya ia dengan rahmat Allah, dan kata fi l-jannah (di surga) menjelaskan kedudukan qurb (dekat) dengan-Nya. Ia telah memilih berdekatan dan qurb dengan Allah SWT, dan lebih mengutamakan sebuah rumah yang dibangun-Nya ketimbang istana Fir’aun yang menggiurkan. Keindahan kehidupan dunia baginya adalah kenikmatan yang fana, yang tidak dapat dibandingkan dengan kenikmatan abadi (di sisi Allah SWT). Selanjutnya, Allah SWT membuat perumpamaan lain bagi kaum mukminat, yaitu Maryam binti Imran; “Dan (ingatlah) Maryam putri Imran yang memelihara kehormatannya, maka Kami titipkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami, dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya, dan adalah dia termasuk orang-orang yang taat”. Dalam ayat ini, Allah SWT menyifati Maryam dengan sifat-sifat berikut: Pertama, “ahshanat farjahâ” (ia telah memelihara kehormatannya). Ia menjadi seorang perempuan yang ‘afifah dan mulia. Sifat ini melawan kebohongan

yang dibuat-buat kaum Yahudi terhadapnya, sebagaimana diungkapkan dalam firman Allah: “..dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kedustaan besar” [an-Nisa: 156]. Dan: “.....Dan (Maryam) yang telah memelihara kehormantannya, lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami..” [al-Anbiya: 91]. Kedua, “Fa nafakhnâ fihi min ruhinâ” (“maka Kami titipkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) Kami”); yakni keadaannya (Maryam) adalah ‘afifah dan terpelihara kesuciannya, ia patut dipuji dan dibalas kebaikan. Maka Allah pun mengamanatkan ruh al-Masih kepadanya, hal mana menyandarkan ruh kepada Allah berarti penyandaran pengagungan. Dia (Maryam) adalah perempuan yang tak bersuami (tapi) beranak dan anaknya menjadi seorang nabi Allah yang agung. Dua sifat ini telah disinggung dalam surat al-Anbiya: “Dan (Maryam) yang telah memelihara kehormantannya, lalu Kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari Kami dan Kami jadikan dia dan anaknya sebagai tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam”. Di dalam dua ayat di atas terdapat perbedaan kata ganti nama (dhamir): pertama, dalam surat al-Anbiya ayat 91 ber-dhamir perempuan (muannats); “Fa nafakhnâ fihâ min ruhinâ”. Dan dalam surat at-Tahrim ayat 12 ber-dhamir laki-laki (mudzakkar); “fa nafakhnâ fihi min ruhinâ”. Berikut ini disebutkan bahwa dhamir pada ayat 91 surat al-Anbiya kembali kepada Maryam, namun kedudukannya kembali pada Isa (as). Dan disebutkan (pula) kata fihâ (dhamir muannats) kembali pada nafs (diri) Isa. Dan kata nafs (dalam bahasa Arab) termasuk kategori muannats. Menurut penulis, hal ini tidak sesuai dengan lahiriyah ayat. Sebab (dalam ayat itu) Allah SWT hendak menerangkan balasan bagi Maryam karena ia telah memelihara kehormatannya. Sedangkan kata nafkh (meniupkan ruh) pada ayat adalah

tentang Isa (al-Masih) yang merupakan pemuliaan baginya, bukan tentang balasan bagi Maryam. Ketiga, “Wa shadaqat bi kalimâti rabbihâ wa kutubihi” (“dan dia membenarkan kalimat Tuhannya dan Kitab-kitab-Nya”). Kata yang dimaksud “alkalimât” dalam ayat ini barangkali adalah syariat di masa lampau. Dan “al-kutub” ialah kitab-kitab yang turun, yang kemungkinannya adalah wahyu yang tidak berbentuk kitab. Keempat, “wa kânat mina l-qânitin”; ia (Maryam) adalah perempuan yang taat kepada Allah dan dia termasuk orang-orang yang taat, tunduk dan konsisten dalam kepatuhan kepada-Nya. Sebagian besar dari mufasir menerangkan, bahwa ia dimasukkan dalam bentuk mudzakkar (seperti mina l-qanitin dan bukan mina lqânitât yang merupakan bentuk muannats, penj.). Sebagaimana firman Allah: “yâ maryamu qnuti li rabbika wa sjudi wa raka’i ma’a râli’in” [Al Imran: 43], dan bukan mengatakan; “ma’a râki’ât” yang merupakan bentuk muannats. Pembahasan ini kami akhiri dengan menyebutkan tiga riwayat sebagai berikut: 1- Ath-Thabari meriwayatkan dari Abu Musa bahwa Rasulullah saw bersabda: “Banyak yang sempurna dari kaum laki-laki, dan tiada yang sempurna dari kaum perempuan melainkan empat orang: Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun, Maryam binti Imran, Khadijah binti Khuwailid dan Fatimah binti Muhammad (saw)” [Majmâ’ alBayan: 5/320]. 2- Al-Hakim meriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah saw bersabda: “Kaum perempuan penghuni surga yang paling utama ialah: “Khadijah binti Khuwailid, Fatimah binti Muhammad (saw), Maryam binti Imran dan Asiyah binti Muzahim istri Fir’aun, sebagaimana Allah mengisahkan kepada kita tentang mereka;

“Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga.” [Ad-Durr al-Mantsur: 8/229]. 3- Ath-Thabrani meriwayatkan dari Sa’d bin Janadah bahwa Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah menikahkan aku di surga: Maryam binti ‘Imran, perempuan Fir’aun (Asiyah binti Muzahim) dan saudari Musa” [Ad-Durr al-Mantsur: 8/229]. Surat al-Mulk Tamtsîl 57 “ Amman hâdzâ l-ladzi yarzuqukum in amsaka rizqahu bal lajju fi ‘utuwwin wa nufur. A fa man yamsyi mukibban ‘alâ wajhihi ahdâ amman yamsyi sawiyyan ‘alâ shiratin mustaqim.” Artinya: “Atau siapakah dia ini yang memberi kamu rezki jika Allah menahan rizki-Nya? Sebenarnya mereka terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri? Maka apakah orang yang berjalan terjungkal di atas mukanya itu lebih banyak mendapat petunjuk ataukah orang yang berjalan tegap di atas jalan yang lurus?”. [QS. al-Mulk: 21-22] Tafsir Ayat Kata lajj diangkat dari kata lajâj, bermakna terus menerus menentang di dalam mengambil tindakan yang dihalangi. Kata ‘utuww berarti durhaka, congkak; dan kata nufur bermakna menjauhi kebenaran. Kata mukibb bermakna kabw (jatuh tersungkur), yaitu menjatuhkan sesuatu pada wajahnya. Seperti dalam ayat: “fa kubbat wujuhuhum fi n-nâr”, artinya: “maka disungkurkanlah muka mereka ke dalam neraka.” [QS. an-Naml: 90]. Ungkapan menyebutkan: “inna l-jawâd qad yaqbu”; yakni “yasquth”, artinya: kuda balap terkadang jatuh. Dan yang dimaksud dengan “qarinah” (pasangan) di sini

ialah lawan kata dari “muqibban”; “yamsyi sawiyyan”, yakni yang berjalan dan mukanya (tunduk) ke tanah, bukan yang jatuh (ke tanah). Ath-Thabarsi mengatakan: “Menundukkan kepalanya ke tanah, dan ia tidak melihat jalan, atau bukan menghadap ke jalan”. Sedangkan ayat yang berbentuk pertanyaan kepada orang-orang sesat yang terus-menerus dalam kesombongan dan menjauhkan diri dari kebenaran serta masih berpegang pada patung-patung berhala, dan kepada orang-orang yang mendapat petunjuk yang berjalan di jalan lebar tauhid dan tidak menyembah apapun kecuali Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, memberikan sebuah perumpamaan yang khas. Perumpamaan mereka (yang sesat dan tidak mendapat petunjuk) ialah seperti orang yang berjalan di atas tanah yang berliku-liku dan tidak lurus yang sarat dengan kesukaran-kesukaran. Yang sesat ibarat ia jatuh terjungkal dan mukanya terjerembab ke tanah. Sedangkan yang mendapat petunjuk seperti orang yang berjalan di atas tanah lebar yang benar dan lurus tanpa mengalami halangan dan kesukaran, sehingga dengan mudah sampai pada tujuan. Perbedaan antara dua golongan ini bukanlah pada cara berjalannya, tetapi pada jalan yang mereka pilih; jalan orang-orang kafir itu berliku-liku dan banyak kesulitan, sementara jalan orang-orang yang mendapat petunjuk lurus dan lapang. Akibatnya, ia yang melewati jalan yang pertama akan tergelincir dan terjerembab di atas tanah, sedangkan ia yang melalui jalan kedua sampai pada tujuan dengan aman dan selamat. Jadi, ta`wil ayatnya ialah; Maka apakah orang yang berjalan di jalan yang tidak lurus bahkan berliku-liku dan terjungkal di atas mukanya (terbalik) itu lebih banyak mendapat petunjuk, ataukah orang yang berjalan tegap dan lurus di atas jalan yang lapang dan lurus?.

Allamah Husain Thabathaba`i berkata: “Maksudnya adalah mereka terusmenerus berada dalam kecongkakan, kesombongan dan menjauh dari kebenaran. Seperti orang yang berjalan di sebuah jalan dalam keadaan wajahnya jatuh terjungkal, yang tidak melihat ketinggian, kerendahan, kelicinan dan kesulitan jalan itu. Maka yang berjalan ini bukanlah seperti orang yang berjalan secara tegap di jalan yang lapang dan lurus, sehingga ia dapat melihat langkah kakinya dan jalan yang dihadapinya dengan tertib serta dapat melihat tujuan yang ditempuh secara jelas. Mereka yang kafir menempuh jalan kehidupan sambil menentang kebenaran yang mereka ketahui, sehingga mereka gelap dari pengetahuan kebenaran yang harus diketahui dan jauh dari amal yang harus diamalkan. Mereka tidak tunduk pada kebenaran meskipun mereka mengetahui perkara dengan jelas. Maka, mereka pun percaya (dan memilih) kehancuran.” [al-Mizan: 19/360-1]. []

Related Documents


More Documents from "Radivta Ginting"

Lembar Balik Dimensia
January 2021 1
Don Smith
January 2021 3
Leaflet Ispa.doc
January 2021 1
Sop Pemasangan Desferal
February 2021 1