Referat Mielitis Lengkap

  • Uploaded by: dika koswara
  • 0
  • 0
  • March 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Mielitis Lengkap as PDF for free.

More details

  • Words: 7,840
  • Pages: 38
Loading documents preview...
REFERAT MIELITIS

Dokter Pembimbing : Dr. Mintarti, Sp.S

Disusun oleh : Dika Astriana Koswara 030.07.067

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF RSUD KOTA SEMARANG FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI Jakarta, Agustus 2013

1

HALAMAN PENGESAHAN Nama

: Dika Astriana Koswara

NIM

: 030.07.067

Fakultas

: Kedokteran

Universitas

: Trisakti

Tingkat

: Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian

: Ilmu Penyakit Saraf

Periode

: 15 Juli 2013 - 24 Agustus 2013

Judul

: Stenosis Spinalis

Pembimbing

: Dr. Mintarti, Sp.S

Diajukan

: September 2013

Telah diperiksa dan disahkan tanggal : ………………………………………………….

Mengetahui, Kepala SMF Ilmu Penyakit Saraf

Pembimbing

RSUD Kota Semarang

Dr. Dyah Nuraini, Sp.S

Dr. Mintarti, Sp.S

2

KATA PENGANTAR Puji syukur yang sebesar-besarnya penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga referat dengan judul “MIELITIS ” ini dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi syarat Kepaniteraan Klinik Bidang Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti di RSUD Kota Semarang periode 15 Juli 2013 - 24 Agustus 2013. Selain itu, referat ini ditujukan untuk menambah pengetahuan bagi kita semua tentang Mielitis. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih atas bantuan dan kerja sama yang telah diberikan selama penyusunan referat ini, kepada 1. Dr. Abimanyu, MM, selaku direktur Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang 2. Dr. Dyah Nuraini, Sp.S selaku Ketua SMF Ilmu Penyakit Saraf Kota Semarang. 3. Dr. Mintarti, Sp.S selaku dokter pembimbing kepaniteraan klinik saraf dan pembimbing referat. 4. Para staf medis dan non-medis Ruang Yudistira, Bima, ICU, HCU, Arimbi, Banowati dan Poliklinik penyakit saraf Rumah Sakit Umum Daerah kota Semarang 5. Rekan-rekan Anggota Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Umum Daerah Kota Semarang periode 15 Juli 2013- 24 Agustus 2013. Penulis menyadari masih banyak kekurangan, maka penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak, agar referat ini dapat menjadi lebih baik dan dapat berguna bagi semua yang membacanya. Penulis memohon maaf yang sebesarnya apabila masih banyak kesalahan maupun kekurangan dalam referat ini. Semarang, Agustus 2013

3

DAFTAR ISI HALAMAN PENGESAHAN................................................................................................i KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii DAFTAR ISI..........................................................................................................................iii BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Mielitis Secara Umum 2.1.1 Definisi 2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Medula Spinalis 2.1.3 Klasifikasi 2.2 Poliomielitis 2.2.1 Definisi 2.2.2 Epidemiologi 2.2.3 Etiologi 2.2.4 Patogenesis 2.2.5 Patologi 2.2.6 Gambaran Klinis 2.2.7 Laboratorium 2.3 Mielitis Transversalis 2.3.1 Definisi 2.3.2 Epidemiologi 2.3.3 Etiologi 2.3.4 Patogenesis 2.3.5 Gambaran Klinis 2.3.6 Perjalanan Penyakit 2.3.7 Diagnosa 2.3.8 Pemeriksaan Penunjang 2.3.9 Penatalaksanaan 2.3.10 Prognosis BAB III KESIMPULAN....................................................................................................

15

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................... 16 4

BAB I PENDAHULUAN Pada abad 19, hampir semua penyakit pada medula spinalis disebut mielitis. Dalam Dercum’s Of Nervous Diseases pada 1895, Morton Prince menulis tentang mielitis trumatik, mielitis kompresif dan sebagainya, yaang agak memberikan kejelasan tentang arti terminologi tersebut. Dengan bertambah majunya pengetahuan neuropatologi, satu persatu penyakit di atas dapat diseleksi hingga yang tergolong benar-benar karena radang saja yang masih tertinggal. Dewasa ini istilah yang digunakan untuk dapat menunjukkan proses radang pada medulla spinalis adalah mielitis. Dan bila mengenai substansia grisea disebut poliomielitis, bila mengenai substansia alba disebut leukomielitis. Dan bila seluruh potongan melintang medula spinalis terserang proses radang maka disebut mielitis transversa. Bila lesinya multipleks dan tersebar sepanjang sumbu vertikel disebut mielitis diseminata atau difusa. Sedang istilah meningomielitis menunjukkan adanya proses radang baik pada meninges maupun medula spinalis, demikian pula denagn meningoradikulitis (meninges dan radiks). Proses radang yang hanya terbatas pada durameter spinalis disebut pakimeningitis dan bahan infeksi yang terkumpul dalam ruang epidural disebut abses epidural atau granuloma. Pembagian mielitis akut, subakut dan kronis berdasarkan perjalanan klinis penyakit yang berlangsung dengan, untuk akut beralngsung untuk sehari, 2 sampai 6 miggu dikatakan subakut serta lebih dari 6 minggu dikatakan sebagai kronik. Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan secara Dilakukan pungsi lumbal , CT scan atau MRI, mielogram serta pemeriksaan darah. Penatalaksanaan hanyalah diberikan terrapin kortikosteroid dosis tinggi selama 10 hari dan penatalaksanaan penyebab mielitis.

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MIELITIS SECARA UMUM 2.1.1.DEFINISI Pada abad 19, hampir semua penyakit pada medula spinalis disebut mielitis. Dalam Dercum’s Of Nervous Diseases pada 1895, Morton Prince menulis tentang mielitis trumatik, mielitis kompresif dan sebagainya, yaang agak memberikan kejelasan tentang arti terminologi tersebut. Dengan bertambah majunya pengetahuan neuropatologi, satu persatu penyakit di atas dapat diseleksi hingga yang tergolong benar-benar karena radang saja yang masih tertinggal. Menurut Plum dan Olsen (1981) serta Banister (1978) mielitis adalah terminologi nonspesifik, yang artinya tidak lebih dari radang medula spinalis. Tetapi Adams dan Victor (1985) menulis bahwa mielitis adalah proses radang infektif maupun non-infektif yang menyebabkan kerusakan pada nekrosis pada substansia grisea dan alba. Menurut perjalanan klinis antar awitan hingga munculnya gejala klinis mielitis dibedakan atas : 1. Akut : Simtom berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam tempo beberapa hari saja. 2. Sub Akut : Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2-6 minggu. 3. Kronik : Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 6 minggu.

Beberapa istilah lain digunakan untuk dapat menunjukkan dengan tepat, distribusi proses radang tersebut. Bila mengenai substansia grisea disebut poliomielitis, bila mengenai substansia alba disebut leukomielitis. Dan bila seluruh potongan melintang medula spinalis terserang proses radang maka disebut mielitis transversa.

6

Bila lesinya multipleks dan tersebar sepanjang sumbu vertikel disebut mielitis diseminata atau difusa. Sedang istilah meningomielitis menunjukkan adanya proses radang baik pada meninges maupun medula spinalis, demikian pula denagn meningoradikulitis (meninges dan radiks). Proses radang yang hanya terbatas pada durameter spinalis disebut pakimeningitis dan bahan infeksi yang terkumpul dalam ruang epidural disebut abses epidural atau granuloma. Istilah mielopati digunakan bagi proses noninflamasi medula spinalis misalnya yang disebabkan proses toksis, nutrisional, metabolik dan nekrosis. 2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Medulla Spinalis Dari batang otak berjalan suatu silinder jaringan saraf panjang dan ramping, yaitu medulla spinalis, dengan ukuran panjang 45 cm (18 inci) dan garis tengah 2 cm (seukuran kelingking). Medulla spinalis, yang keluar dari sebuah lubang besar di dasar tengkorak, dilindungi oleh kolumna vertebralis sewaktu turun melalui kanalis vertebralis. Dari medulla spinalis spinalis keluar saraf-saraf spinalis berpasangan melalui ruang-ruang yang dibentuk oleh lengkung-lengkung tulang mirip sayap vertebra yang berdekatan. Saraf spinal berjumlah 31 pasang dapat diperinci sebagai berikut : 8 pasang saraf servikal (C), 12 pasang saraf thorakal (T), 5 pasang saraf lumbal (L), 5 pasang saraf sakral (S), dan 1 pasang saraf koksigeal (Co). Selama perkembangan, kolumna vertebra tumbuh sekitar 25 cm lebih panjang daripada medulla spinalis. Karena perbedaan pertumbuhan tersebut, segmen-segmen medulla spinalis yang merupakan pangkal dari saraf-saraf spinal tidak bersatu dengan ruang-ruang antar vertebra yang sesuai. Sebagian besar akar saraf spinalis harus turun bersama medulla spinalis sebelum keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Medulla spinalis itu sendiri hanya berjalan sampai setinggi vertebra lumbal pertama atau kedua (setinggi sekitar pinggang), sehingga akar-akar saraf sisanya sangat memanjang untuk dapat keluar dari kolumna vertebralis di lubang yang sesuai. Berkas tebal akar-akar saraf yang memanjang di dalam kanalis vertebralis yang lebih bawah itu dikenal sebagai kauda ekuina ”ekor kuda” karena penampakannya.

7

Walaupun terdapat variasi regional ringan, anatomi potongan melintang dari medulla spinalis umumnya sama di seluruh panjangnya. Substansia grisea di medulla spinalis membentuk daerah seperti kupu-kupu di bagian dalam dan dikelilingi oleh substansia alba di sebelah luar. Seperti di otak, substansia grisea medulla spinalis terutama terdiri dari badanbadan sel saraf serta dendritnya antarneuron pendek, dan sel-sel glia. Substansia alba tersusun menjadi traktus (jaras), yaitu berkas serat-serat saraf (akson-akson dari antarneuron yang panjang) dengan fungsi serupa. Berkas-berkas itu dikelompokkan menjadi kolumna yang berjalan di sepanjang medulla spinalis. Setiap traktus ini berawal atau berakhir di dalam daerah tertentu di otak, dan masing-masing memiliki kekhususan dalam mengenai informasi yang disampaikannya. Perlu diketahui bahwa di dalam medulla spinalis berbagai jenis sinyal dipisahkan, dengan demikian kerusakan daerah tertentu di medulla spinalis dapat mengganggu sebagian fungsi tetapi fungsi lain tetap utuh. Substansia grisea yang terletak di bagian tengah secara fungsional juga mengalami organisasi. Kanalis sentralis, yang terisi oleh cairan serebrospinal, terletak di tengah substansia grisea. Tiap-tiap belahan substansia grisea dibagi menjadi kornu dorsalis (posterior), kornu ventralis (anterior), dan kornu lateralis. Kornu dorsalis mengandung badan-badan sel antarneuron tempat berakhirnya neuron aferen. Kornu ventralis mengandung badan sel neuron motorik eferen yang mempersarafi otot rangka. Serat-serat otonom yang mempersarafi otot jantung dan otot polos serta kelenjar eksokrin berasal dari badan-badan sel yang terletak di tanduk lateralis. Saraf-saraf spinalis berkaitan dengan tiap-tiap sisi medulla spinalis melalui akar spinalis dan akar ventral. Serat-serat aferen membawa sinyal datang masuk ke medulla spinalis melalui akar dorsal; serat-serat eferen membawa sinyal keluar meninggalkan medulla melalui akar ventral. Badan-badan sel untuk neuron-neuronaferen pada setiap tingkat berkelompok bersama di dalam ganglion akar dorsal. Badan-badan sel untuk neuron-neuron eferen berpangkal di substansia grisea dan mengirim akson ke luar melalui akar ventral. Akar ventral dan dorsal di setiap tingkat menyatu membentuk sebuah saraf spinalis yang keluar dari kolumna vertebralis. Sebuah saraf spinalis mengandung serat-serat aferen dan eferen yang berjalan diantara bagian tubuh tertentu dan medulla spinalis spinalis. Sebuah saraf adalah berkas akson neuron perifer, sebagian aferen dan sebagian eferen, yang dibungkus oleh suatu selaput jaringan ikat dan mengikuti jalur yang sama. Sebagaian saraf tidak mengandung sel saraf secara utuh, hanya bagian-bagian akson dari banyak neuron. 8

Tiap-tiap serat di dalam sebuah saraf umumnya tidak memiliki pengaruh satu sama lain. Mereka berjalan bersama untuk kemudahan, seperti banyak sambungan telepon yang berjalan dalam satu kabel, nemun tiap-tiap sambungan telepon dapat bersifat pribadi dan tidak mengganggu atau mempengaruhi sambungan yang lain dalam kabel yang sama. Dalam medulla spinalis lewat dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1) informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot dan sendi Traktus desenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari: 1. Traktus kortikospinalis, merupakan lintasan yang berkaitan dengan gerakan-gerakan terlatih, berbatas jelas, volunter, terutama pada bagian distal anggota gerak. 2. Traktus retikulospinalis, dapat mempermudah atau menghambat aktivitas neuron motorik alpha dan gamma pada columna grisea anterior dan karena itu, kemungkinan mempermudah atau menghambat gerakan volunter atau aktivitas refleks. 3. Traktus spinotektalis, berkaitan dengan gerakan-gerakan refleks postural sebagai respon terhadap stimulus verbal. 4. Traktus rubrospinalis bertidak baik pada neuron-neuron motorik alpha dan gamma pada columna grisea anterior dan mempermudah aktivitas otot-otot ekstensor atau otot-otot antigravitasi. 5. Traktus vestibulospinalis, akan mempermudah otot-otot ekstensor, menghambat aktivitas otot-otot fleksor, dan berkaitan dengan aktivitas postural yang berhubungan dengan keseimbangan. 6. Traktus olivospinalis, berperan dalam aktivitas muskuler.

9

Traktus asenden yang melewati medulla spinalis terdiri dari: 1. Kolumna dorsalis, berfungsi dalam membawa sensasi raba, proprioseptif, dan berperan dalam diskriminasi lokasi. 2. Traktus spinotalamikus anterior berfungsi membawa sensasi raba dan tekanan ringan. 3. Traktus spinotalamikus lateral berfungsi membawa sensasi nyeri dan suhu. 4. Traktus spinoserebellaris ventralis berperan dalam menentukan posisi dan perpindahan, traktus spinoserebellaris dorsalis berperan dalam menentukan posisi dan perpindahan. 5. Traktus spinoretikularis berfungsi membawa sensasi nyeri yang dalam dan lama.

10

Gambar medulla spinalis

11

2.1.3 Klasifikasi 1.

Mielitis yang disebabkan oleh virus. a. Poliomielitis, group A dan B Coxsackie virus, echovirus b. Herpes zoster c. Rabies d. Virus B

2. Mielitis yang merupakan akibat sekunder akibat sekunder dari penyakit pada meningens dan medula spinals. a. Mielitis sifilitika •

Meningoradikulitis kronik (tabes dorsalis)



Meningomielitis kronik



Sifilis meningovaskular



Meningitis gumatosa termasuk pakimeningitis spinal kronik

b. Mielitis piogenik atau supurativa •

Meningomielitis subakut



Abses epidural akut dan granuloma



Abses medula spinalis

c. Mielitis tuberkulosa •

Penyakit pott dengan kompresi medula spinalis



Meningomielitis tuberkulosa



Tuberkuloma medula spinalis

d. Infeksi parasit dan fungus yang menimbulkan granuloma epidural, meningitis lokalisata atau meningomielitis dan abses. 3. Mielitis (mielopati) yang penyebabnya tidak diketahui. a. Pasca infeksiosa dan pasca vaksinasi b. Kekambuhan sklerosis multipleks akut dan kronik c. Degeneratif atau nekrotik. 2.1.4 Patologi Mielitis biasanya melibatkan medulla spinalis saja, tetapi bisa juga mielitis merupakan bagian dari inflamasi serebrispinali yang umum misalnya pada ensefalomielitis. Pada stadium akut medulla spinalis biasanya membengkak dan pada potongan melintang bisa 12

menunjukan perdarahan. Gambaran patologi yang penting adalah degenerasi medulla spinalis yang sifatnya destruktif mielin dan musnahnya aksis silinder. Elemen inflamasi misalnya limfosit dan sel plasma, berada di jaringan medulla spinalis dan di sekeliling pembuluh darah disertai infiltrasi ke meningen. Pada beberapa bentuk bisa dijumpai nekroisi yang lengkap dari medulla spinalis, dengan respon fagositik yang ekstensif dan ploriferasi mesodermal. Sel-sel neuron dalam substansia grisea bisa mengalami degenerasi berat. Reaksi mesodermal biasanya hebat disertai dengan dilatasi, proliferasi atau infiltrasi pembuluh darah. Pembentukan parut sel-sel glia didapatkan pada beberapa bentuk. Kelainan patologik ini bisa terjadi disetipa tingkat : sevikal, torakal, atau lumbal. Tapi paliing sering terletak di regio torakal karena bagian medulla spinalis ini paling panjang dan pemasokan darahnya paling jelek. 2.1.5 Gambaran Klinis 1. Motorik Mielitis merupakan gangguan gerak yang berupa kelumpuhan, disamping gangguan sensorik dan vegetatif. Onset dan perjalanan gambaran klinisnya sampai tingkat tertentu dipengaruhi oleh karakter proses patologiknya. Namun untuk menentukan simtomatologinya yang lebih penting adalah topik patologiknya di medulla spinalis atau tingkat medulla spinalis disamping intensitas dan luasnya proses patologik. Jika prose topik mielitasi ada di segmen servikal atau medulla spinalis dapat terjadi tetraparesis atau tetraplegi yang bersifat spastik atau UMN. Kalo topiknya ada di tingkat servikal bawah dari medulla spinalis akan menimbulkan tetraparesia atau tetraplegi yang pada anggota atas bersifat flaksid atau LMN dan pada anggota bawah bersifat spastik atau UMN. Bila topiknya ada di semen lumbal dan sakral medulla spinalis akan berakibat sebagai paraparesis atau paraplegi inferior yang bersifat flaksid atau LMN. Namun yang paling sering topiknya terletak pada segmen torakal sehingga akan menimbulkan paraparesis atau paraplegi inferior yang bersifat spastik atau UMN. Kelumpuhannya juga dapat mengambil bentuk monoparesis atau monoplegi yang bersifat flaksid atau LMN jika topiknya ada dibagian ventral subtansia grisea misalnya poliomielitis. Pada mielitis dissreminata ataupun pada mielitis transversa parsialis kelumpuhan dapat bersifat tidak simetris.

13

Riwayat adanya infeksi sebelumnya, yang mengesankan suatu infeksi virus atau bakteri bisa didapatkan sepertiga penderita, yang paling sering adalah infeksi traktus respiratorus bagian atas atau suatu penyakit flu dan kadang-kadang berupa gangguan gastrointestinal. Gejala lainnya demam dengan derajat ringan, ruam atau eksantem, nyeri kepala, kaku kuduk bisa ada atau tidak. Onset atau awitan penyakit ini dapat berlangsung akut sub akut atau khronis. Periode syok spinal dapat berlangsung selama tiga sampai empat minggu. Periode ini terjadi berhubungan dengan awitan mielitis transversa yang mendadak. Dibawah tingkat lesinya bersifat flaksid, disertai hilangnya semua jenis sensorik, hilangnya fungsi otonom dan arefleksia. Tetapi jika ditumpangi suatu infeksi saluran kemi yang berat atau ulkus dekubitus periode syok spinal akan memanjang. Pada saat yang sama terjadi paresis atau paralisis kandung kemih dan rektum, suatu periode syok spinal mula-mula akan timbul retensio urine dan alvi. Pada periode ini dapat terjadi kemudian suatu over-flow incontinesia. Pada mielitis tranversa dengan toppik di segmen torakal, setelah periode syok spinal lewat akan terjadi kandung kemih otomatik atau neurogenik. Fekal inkontinensia kurang sering dijumpai. 2. Sensoris pada awitan penyakit dapat timbul parestesi dan nyeri. Parestesi sering digambarkan seperti rasa tebal, kesemutan, jimpe biasanya dimulai dari ibu jari atau kaki kemudian naik ke tungkai, badan dan bahkan mencapau anggota gerak atas. Nyeri dirasakan dipunggung menjalar kebawah ke tungkai atau ke sekeliling badan, (rasa seperti sabuk). Ganguan sensoris terpenting adalah defisit semua modalitas sensorik dibawah level tertentu yang merupakan topik dari proses patologik (mielitisanya) dan berpola inervasi segmental. Modalitas sensorik yang terkena dapat mencakup rasa raba, rasa nyeri, vibrasi dan propiosepsi. Ulkus dekubitus timbul akibat hilangnya sensasi, gangguan trofik dan kurang kebersihan. Tempat predileksi ulkus dekubitus adalah diatas sakrum, tumit dan trokanter mayor. Gejala lain : priapisme, ilius paralitikus, atrofi testis, ginekomastia, hipotensu, paralisis diafragma.

14

Pada penyakit yang berlangsung lama terjadi perubahan-perubahan metabolik. Ekskresi protein meningkat dan protein serum menurun. Kalium darah meningkat tapi natrium dan klorida menurun serta terjadi hiperkalsiuri dan osteoporosis. Pemeriksaan Liquor Serebro Spinalis (LSS) menunjukan pleiositosis pada 50% penderita. Jumlah sel-sel LSS meningkat menjadi 20-300 sel (jarang sampai setinggi 1000 sel) per mm kubik. Jenis selnya adalah mononuklear, poliomorfonuklear atau campuran namun terutama adalah limfosit. Kadar protein LSS meningkat pada 40% penderita sedangkan kadar gulukosanya normal. Tes queckensted biasanya menunjukan tidak adanya obstruksi pada ruang subarakhnoid, kecuali pada keadaan tertentu seperti edema medulla spinalis yang berat, arakhnoiditis khornis adhevisa dan abses ekstradural. 2.1.5 Diagnosis Diagnosis ditegakkan dari gejala lesi transversal medulla spinalis (meliputi defisit motorik, sensorik dan vegetatif) disertai dari gejala umum infeksi (yang mendahului atau menyertai berupa demam, eksantema, dan lain-lain) ditambah dengan bukti tidak adanya blokade pada aliran LSS. Diagnosis Bandingan 1. Sindroma Guillain Barre 2. Oklusi aorta abdominalis 3. Multiple sklerosis

2.2. POLIOMIELITIS 2.2.1 Definisi Poliomielitis anterior akuta (paralisis infantil, penyakit Heinemedin) adalah suatu penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi virus polio dan mengakibatkan kerusakan pada sel motorik di kornu anterior medula spinalis, batang otak dan dapat pula mengenai mesensefalon, sereblum, ganglia basal dan motorik korteks serebri.

15

Penyakit ini dilaporkan pada tahun 1840 oleh Jacob Heine lalu kemudian Medin pada tahun 1890 memberikan dasar epidemiologi penyakit ini. Oleh karena itu dulu penyakit ini dikenal sebagai penyakit Heine-Medin.

2.2.2 Epidemiologi Goar (1955) dalam uraian tentang polio di negeri yang sedang berkembang dengan sanitasi berkesimpulan bahwa epidemi ditemukan 90% pada anak di bawah usia 5 tahun karena itulah dulu disebut paralisis infantil tapi bukan berarti poliomielitis tidak diketemukan pada orang dewasa. Penyakit polio jarang didapatkan pada usia di bawah umur 6 bulan, mungkin karana imunitas pasif yang didapat dari ibu.

2.2.3 Etiologi Virus polio adalah virus RNA yang termasuk kelompok enterovirus dan famili pikorna virus. Virus ini juga termasuk salah satu virus yang terkecil, jadi ia termasuk virus yang filtrabel. Terdapat 3 tipe virus polio yaitu: 1. Tipe 1 yaitu Brunhilde, yang sering menyebakan paralisis. 2. Tipe 2 yaitu Lanshing 3. Tipe 3 yaitu Leon

Virus ini akan menimbulkan 3 macam antibodi, tetapi tidak terdapat kekebalan silang. Virus ini hanya dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau pemberian zat oksidator yang kuat seperti peroksida, atau kalium permanganat. 2.2.4 Patogenesis Poliomielitis merupakan penyakit yang sangat menular, virus masuk ke dalam tubuh melalui saluran orofarings setelah ditularakan melalui cara oral-fekal. Masa inkubasi biasanya antara 4-17 hari, tapi bisa sampai 5 minggu. Bila virus banyak didapat pada suatu daerah, maka timbulnya penyakit polio dapat dicetuskan dengan adanya tindakan operasi 16

pada daerah tenggorokan dan mulut seperti misalnya tonsilektomi dan ekstraksi gigi atau tindakan penyuntikan atau vaksinasi DPT, kehamilan, kerja fisik yang berat atau keletihan. Setelah masuk kedalam tubuh, virus akan berkembang biak (multiplikasi) di jaringan limfoid tonsil atau pada plak peyer di traktus intestinalis kemudian ia akan menembus dinding usus dan melalui darah akan tersebar ke seluruh tubuh (viremia).

Viremia ini tidak menimbulkan gejala (asimtomatik) atau hanya sakit ringan saja. Diduga pada kasus-kasus yang menimbulkan paralisis, virus mencapai sistem saraf secara langsung melalui darah atau secara retrograd melalui saraf tepi atau saraf simpatetik atau ganglion sensorik pada tempat ia bermultiplikasi yaitu pada traktus gastrointestinalis atau jaringan ekstraneural yang lain. Menurut Adams dan Victor (1985) dan Gilroy Dan Meyer (1979), 95-99% pasien yng terinfeksi virus polio mengalami infeksi subkliik (asimtomatik), 3% mengalami infeksi sistemik, 1% yang mengalami meningitis aseptik dan hanya 1% yang mengalami poliomielitis paralitik.

2.2.5 Patologi Pada awalnya, invasi virus menimbulkan reaksi inflamasi dengan kromatolisis substansia Nissi sel saraf. Perubahan ini diikuti dengan multiplikasi virus dalam SSP lalu perubahan pada sel saraf ini berkembang dengan cepat diikuti dengan disintegrasi Nukleus dan kemudian sel neuron mengalami nekrosis atau lisis komplet. Atrofi dan paralisis akan menetap bila kurang dari 10% neuron pada medula spinalis yang bersangkutan yang masih baik. Virus polio mempunyai predileksi pada kornu anterior medula spinalis, batang otak, serebelum, talamus dan hipotalamus dan area motorik korteks serebri.

2.2.6 Gambaran Klinis Seperti telah disebutkan di atas sebagian besar (95-99%) kasus poliomielitis merupakan infeksi subklinis atau asimtomatik, namun infeksi ini telah mampu menimbulkan kekebalan alami. 17

Kemudian dapat dijumpai pula yang disebut poliomielitis abortif, dalam hal ini timbul gejala infeksi sistemik ringan karena terjadi viremia. Gejala infeksi sistemik ringan ini seperti: •

Flu ( sakit kepala, demam, malaise, batuk, pilek, mialgia atau faringitis )



Gastroenteritis ( mual, muntah, konstipasi diare, anoreksia ) Semua gejala di atas tidak khas. Diagnosis pasti hanya dapat dibuat bila virus

ditemukan pada usapan tenggorokan atau feses.

POLIOMIELITIS PREPARALITIK ATAU NONPARALITIK Setelah gejala prodormal seperti di atas dialami selama 3-4 hari lalu gejala tadi akan merada, dan setelah -10 hari penderita merasa lebih enak, timbullah gejala fase kedua. Bentuk gejala seperti ini disebut difasik. Bentuk ini sering dijumpai pada anak-anak tapi pada penderita yang berusia lebih dari 15 tahun jarang dijumpai. Pada fase kedua ini di jumpai gejala seperti fase pertama (prodromal) disertai dengan gejala neurologik ringan sakit kepala hebat, mialgia bertambah hebat, spasme otot fleksor paha, nyeri dan kaku pada otot kuduk dan punggung. Pada anak-anak, bila dari sikap berbaring ia hendak duduk maka kedua lutut akan fleksi sedang kedua lengan dalam sikap ekstensi pada sendi siku untuk dipakai menunjang kebelakang pada tempat tidur (tanda tripod). Tanda ini timbul karena adanya spasme pada otot-otot paravertebral, erektor trunsi sehingga anak tidak dapat melakukan gerak antefleksi kolumna vertebralis waktu hendak melakukan gerak dari berbaring ke sikap duduk. Disamping itu tanda tripod dapat pula dijumpai tanda kepala terkulai (Head Drop) yaitu bila penderita yang dalam sikap berbaring hendak kita tegakkan dengan cara menarik kedua ketiak atau lengan maka kepala penderita akan terkulai kebelakang (retrofleksi).

POLIOMIELITIS PARALITIK Secara klasik poliomielitis paralitik dibedahkan atas bentuk spinal, bulbar (bulbospinal) dan ensefalitik. Paralisis timbul dalam waktu yang sangat cepat (beberapa jam48 jam atau lebih lambat (10-12hari). Empat puluh delapan jam setelah suhu kembali normal, 18

biasanya tidak terdapat lagi progresivitas kelumpuhan. Pola kelumpuhan bervariasi tapi hampir pasti tidak simetris. Ekstremitas inferior lebih sering terkena poliomielitis menimbulkan lebih berat pada otot-otot proksimal. Bentuk Bulbar sering menyebabkan kelumpuhan otot pada N.IX dan X sehingga menimbulkan gangguan menelan dan disfonia. Kelumpuhan otot wajah sering pula dijumpai, tapi kelumpuhan otot okuler jarang ditemukan. Yang paling berbahaya pada bentuk bulbar ini adalah pernafasan.

2.2.7 Laboratorium Virus polio dapat diisolasi dan dibiakkan dalam jaringan, dari hapusan tenggorokan, darah, likuor dan fese. Pemeriksaan likuor serebrospinalis menunjukkan adanya pleositosis, kadar protein sedikit meninggi dan kadar glukosa serta elektrolit normal, jumlah sel berkisar antara 10-3000/ mm3 sedangkan tekanan tidak meningkat. Pada stadium prepalitik atau paralitik dini lebih banyak ditemukan leukosit PMN tapi setelah 72 jam lebih banyak ditemukan limfosit. Peningkatan jumlah sel mencapai puncaknya pada minggu pertama kemudian akan kembali normal setelah 2 atau 3 minggu. Kadar protein berkisar antara 30120 mg/100 ml pada minggu pertama tapi jarang melampaui 150 mg/100 ml, kadar protein yang meninggi ini bertahan selama 3-4 minggu.

2.3 MIELITIS TRANSVERSALIS

2.3.1 Definisi Myelitis Transversa adalah kelainan neurologis yang disebabkan oleh peradangan di kedua sisi dari satu tingkat, atau segmen, dari sumsum tulang belakang. Istilah myelitis mengacu pada radang sumsum tulang belakang; transversal hanya menggambarkan posisi peradangan, yaitu, di seberang lebar dari sumsum tulang belakang. Serangan peradangan bisa merusak atau menghancurkan myelin, substansi lemak yang meliputi isolasi sel serabut saraf. Ini menyebabkan kerusakan sistem saraf yang mengganggu impuls antara saraf-saraf di sumsum tulang belakang dan seluruh tubuh. 19

Mielitis Transversalis (MT) adalah suatu proses inflamasi akut yang mengenai suatu area fokal di medula spinalis dengan karakteristik klinis adanya perkembangan baik akut atau sub akut dari tanda dan gejala disfungsi neurologis pada saraf motorik, sensorik dan otonom dan traktus saraf di medula spinalis. Gangguan pada medulla spinalis ini biasanya melibatkan traktus spinotalamikus, traktus piramidalis, kolumna posterior, dan funikulus anterior. Pada tahun 1948, dr.Suchett-Kaye seorang neurologis dari Inggris mengenalkan terminologi acute transverse mielitis dalam laporannya terhadap suatu kasus komplikasi mielitis transversalis setelah pneumonia. Transverse menggambarkan secara klinis adanya band-like area horizontal perubahan sensasi di daerah leher atau torak. Sejak saat itu, sindrom paralisis progresif karena inflamasi di medula spinalis dikenal sebagai mielitis transversalis. Inflamasi berarti adanya pengaktifan sistem imun yang ada pada daerah lesi dan potensial menimbulkan kerusakan.

2.3.2 Epidemiologi Myelitis Transversa terjadi pada orang dewasa dan anak-anak, di kedua jenis kelamin, dan di semua ras. Faktor predisposisi pada keluarga tidak jelas. Sebuah puncaknya pada tingkat insiden (jumlah kasus baru per tahun) tampaknya terjadi antara 10 dan 19 tahun dan 30 dan 39 tahun. Meskipun hanya beberapa studi telah meneliti tingkat insiden, diperkirakan bahwa sekitar 1.400 kasus baru didiagnosis myelitis melintang setiap tahun di Amerika Serikat, dan sekitar 33.000 orang Amerika memiliki beberapa jenis kecacatan akibat gangguan ini. Insidensi meningkat sebanyak 24,6 juta kasus per tahunnya jika penyebabnya merupakan proses demyelinisasi yang didapat, khususnya sklerosis multiple. Tidak ada pola yang khusus dari mielitis transversalis berdasarkan seks, distribusi geografis, atau riwayat penyakit dalam keluarga.

2.3.3 Etiologi Para peneliti tidak yakin mengenai penyebab pasti transversa myelitis. Peradangan yang menyebabkan kerusakan yang luas pada medulla spinalis dapat diakibatkan oleh infeksi 20

virus, reaksi kekebalan yang abnormal, atau tidak cukup aliran darah melalui pembuluh darah yang terletak di sumsum tulang belakang. Myelitis Transversa juga dapat terjadi sebagai komplikasi sifilis, campak, penyakit Lyme, dan beberapa vaksinasi, termasuk untuk cacar dan rabies serta idiopatik. Myelitis transversa sering berkembang akibat infeksi virus. Agen infeksi yang dicurigai menyebabkan myelitis transversa termasuk varicella zoster, herpes simpleks, sitomegalovirus, Epstein-Barr, influenza, echovirus, human immunodeficiency virus (HIV), hepatitis A, dan rubella. Bakteri infeksi kulit, infeksi telinga tengah (otitis media), dan Mycoplasma pneumonia. MT telah dihubungkan dengan penyakit autoimmune sistemik seperti LES. Beberapa pasien dilaporkan mempunyai vaskulitis spinal fokal yang berhubungan dengan gejala LES yang aktif5.

2.3.4 Patogenesis Pasca-kasus infeksi mekanisme sistem kekebalan tubuh yang aktif akibat virus atau bakteri, tampaknya memainkan peran penting dalam menyebabkan kerusakan pada saraf tulang belakang. Meskipun peneliti belum mengidentifikasi mekanisme yang tepat bagaimana terjadinya cedera tulang belakang dalam kasus ini, mungkin rangsangan sistem kekebalan sebagai respon terhadap infeksi menunjukkan bahwa reaksi kekebalan tubuh mungkin bertanggung jawab. Pada penyakit autoimun, sistem kekebalan tubuh, yang biasanya melindungi tubuh dari organisme asing, keliru menyerang jaringan tubuh sendiri, menyebabkan inflamasi dan, dalam beberapa kasus,menyebabkan kerusakan myelin dalam sumsum tulang belakang Beberapa kasus myelitis transversa akibat dari malformasi arteriovenosa spinal (kelainan yang mengubah pola-pola normal aliran darah) atau penyakit pembuluh darah seperti aterosklerosis yang menyebabkan iskemia, penurunan tingkat normal oksigen dalam jaringan sumsum tulang belakang. Iskemia dapat terjadi di dalam sumsum tulang belakang akibat penyumbatan pembuluh darah atau mempersempit, atau faktor-faktor lain yang kurang umum. Pembuluh darah membawa oksigen dan nutrisi ke jaringan saraf tulang belakang dan membawa sisa metabolik. Ketika arterivenosus menjadi menyempit atau diblokir, mereka 21

tidak dapat memberikan jumlah yang cukup sarat oksigen darah ke jaringan saraf tulang belakang. Ketika wilayah tertentu dari sumsum tulang belakang menjadi kekurangan oksigen, atau iskemik, sel saraf dan serat mungkin mulai memburuk relative dengan cepat. Kerusakan ini dapat menyebabkan peradangan luas, kadang-kadang menyebabkan myelitis transversal. Kebanyakan orang yang mengembangkan kondisi sebagai akibat dari penyakit vaskular melewati usia 50, punya penyakit jantung, atau baru saja menjalani operasi dada atau abdominal. Mielitis transversalis akut post-vaksinasi Evaluasi otopsi dari medulla spinalis menunjukkan hilangnya akson yang berat dengan demyelinisasi ringan dan infiltrasi sel mononuklear, terutama limfosit T pada nerve roots dan ganglion spinalis. Pada medulla spinalis terdapat infiltrasi sel limfosit di perivaskular dan parenkim di grey matter terutama pada anterior horns. Beberapa studi menyimpulkan vaksinasi dapat menginduksi proses autoimun yang berkembang menjadi MT9. MTA Parainfeksi Sebanyak 30-60% kasus idiopatik mielitis transversalis, terdapat adanya keluhan respirasi, gastrointestinal, atau penyakit sistemik sebelumnya. Kata “parainfeksi” telah digunakan untuk cedera neurologis yang diakibatkan oleh infeksi mikroba langsung dan cedera yang diakibatkan oleh infeksi, infeksi mikroba langsung dengan kerusakan yang dimediasi oleh imun, atau infeksi yang asimptomatik dan diikuti respon sistemik yang menginduksi kerusakan saraf. Beberapa virus herpes telah dikaitkan dengan mielitis, dan mungkin menjadi penyebab infeksi langsung terhadap sel saraf di medulla spinalis. Agen lainnya, seperti Listeria monocytogenes dibawa ke dalam akson ke saraf di medulla spinalis. Dengan menggunakan beberapa cara, suatu agen dapat mencapai akses ke lokasi yang kaya system imun, menghindari sistem imun yang berada pada organ lainnya. Mekanisme tersebut dapat menjelaskan inflamasi yang terbatas pada suatu fokus area di medulla spinalis yang dapat dilihat pada pasien MT9.

Mimikri molekuler Mimikri molekuler sebagai mekanisme untuk menjelaskan inflamasi sistem saraf sangat bagus diimplementasikan pada kasus GBS. Infeksi campilobacter jejuni dibuktikan menjadi 22

penyebab yang penting yang mendahului terjadinya GBS. Jaringan saraf manusia mengandung beberapa subtipe ganglioside moieties seperti GM1, GM2, dan GQ1b di dalam dinding selnya. Komponen khas gangliosid manusia, asam sialik, juga ditemukan pada permukaan antigen C. jejuni dalam selubung luar lipopolisakarida. Antibodi yang bereaksi dengan gangliosid C. jejuni ditemukan dalam serum pasien GBS, dan telah dibuktikan berikatan dengan saraf perifer, mengikat komplemen, dan merusak transmisi saraf. Mimikri molekuler pada MTA juga dapat terjadi akibat pembentukan autoantibodi sebagai respon terhadap infeksi yang terjadi sebelumnya9. Microbial superantigen-mediated inflammation Hubungan lain antara riwayat infeksi sebelumnya dengan terjadinya MTA yaitu dengan aktivasi limfosit fulminan oleh superantigen mikroba. Superantigen merupakan peptide mikroba yang mempunyai kapasitas unik untuk menstimulasi sistem imun, dan berkontribusi terhadap penyakit autoimun yang bervariasi. Superantigen yang telah diteliti yaitu enterotoksin Stafilokokus A sampai I, toksin-1 sindrom syok toksik, dan eksotoksin piogen Streptokokus. Superantigen mengaktivasi limfosit T dengan jalur yang unik dibandingkan dengan antigen konvensional. Terlebih lagi, tidak seperti antigen konvensional, superantigen dapat mengaktivasi limfosit T tanpa adanya molekul ko-stimulan. Dengan adanya perbedaan ini, superantigen dapat mengaktivasi antara 2-20% limfosit yang bersirkulasi dibandingkan dengan antigen konvensional. Selain itu, superantigen sering menyebabkan ekspansi yang diikuti dengan delesi klon limfosit T yang menyebabkan terbentuknya “lubang” pada limfosit T selama beberapa saat setelah aktivasi9. Stimulasi sejumlah besar limfosit dapat mencetuskan penyakit autoimun dengan mengaktivasi klon sel T autoreaktif. Pada manusia, banyak laporan ekspansi golongan selected Vb pada pasien dengan penyakit autoimun, yang menunjukkan adanya paparan superantigen sebelumnya. Sel T autoreaktif yang diaktivasi oleh superantigen memasuki jaringan dan tertahan di dalam jaringan dengan paparan berulang dengan autoantigen. Di sistem saraf pusat, superantigen yang diisolasi dari Stafilokokus menginduksi paralisis pada tikus eksperimen. Pada manusia, pasien dengan ensefalomielitis diseminata akut dan myelopati nekrotikan ditemukan memiliki superantigen piogen Streptokokus yang menginduksi aktivasi sel T yang melawan protein dasar myelin9. Abnormalitas Humoral

23

Salah satu proses di atas dapat menyebabkan abnormalitas fungsi sistem humoral, dengan berkurangnya kemampuan untuk membedakan “self” dan “non-sel”. Pembentukan antibodi yang abnormal dapat mengaktivasi komponen lainnya dari sistem imun atau menarik elemen-elemen seluler tambahan ke medulla spinalis.

Antibodi yang bersirkulasi dapat

membentuk kompleks imun dan terdeposit di suatu area di medulla spinalis9.

2.3.5 Gambaran klinis Myelitis transversa dapat bersifat akut (berkembang selama jam sampai beberapa hari) atau subakut (berkembang lebih dari 2 minggu hingga 6 minggu). Gejala awal biasanya mencakup lokal nyeri punggung bawah, tiba-tiba paresthesias (sensasi abnormal seperti membakar, menggelitik, menusuk, atau kesemutan) di kaki, hilangnya sensorik, dan paraparesis (kelumpuhan parsial kaki). Paraparesis sering berkembang menjadi paraplegia. Dan mengakibatkan gangguan genitourinary dan defekasi. Banyak pasien juga melaporkan mengalami kejang otot, perasaan umum tidak nyaman, sakit kepala, demam, dan kehilangan nafsu makan. Tergantung pada segmen tulang belakang yang terlibat, beberapa pasien mungkin juga akan mengalami masalah pernapasan. Dari berbagai macam gejala, empat ciri-ciri klasik myelitis transversa yang muncul: (1) kelemahan kaki dan tangan, (2) nyeri, (3) perubahan sensorik, dan (4) disfungsi pencernaan dan kandung kemih. Kebanyakan pasien akan mengalami berbagai tingkat kelemahan di kaki mereka, beberapa juga mengalaminya di lengan mereka. Awalnya, orang-orang dengan myelitis transversal mungkin menyadari bahwa kaki mereka tampak lebih berat dari biasanya. Perkembangan penyakit selama beberapa minggu sering mengarah pada kelumpuhan penuh dari kaki, yang mengharuskan pasien untuk menggunakan kursi roda. Nyeri adalah gejala utama dari myelitis transversa pada sepertiga sampai setengah dari semua pasien. Rasa sakit dapat dilokalisasi di punggung bawah atau dapat terdiri dari tajam, sensasi yang memancarkan bawah kaki atau lengan atau di sekitar dada. 24

Pasien yang mengalami gangguan sensoris sering menggunakan istilah-istilah seperti mati rasa, kesemutan, dingin, atau pembakaran untuk menggambarkan gejala mereka. Sampai 80 persen dari mereka yang myelitis transversa memiliki kepekaan yang meningkat, sehingga pakaian atau sentuhan ringan dengan jari signifikan menyebabkan rasa tidak nyaman atau sakit (suatu keadaan yang disebut allodynia). Banyak juga mengalami peningkatan sensitivitas terhadap perubahan suhu yang ekstrem atau panas atau dingin. Simptom otonom bervariasi terdiri dari peningkatan urinary urgency, inkontinesia urin dan alvi (kesulitan atau tak dapat buang air), pengosongan yang tidak sempurna atau konstipasi perut. Juga sering didapatkan sebagai akibat keterlibatan sistem saraf sensoris dan otonom adanya disfungsi seksual. Lebih dari 80% pasien mendapatkan tanda klinis pada tingkat yang paling parah dalam 10 hari sesudah onset dari simptom, walaupun perburukan fungsi neurologis bervariasi dan berlangsung progresif, biasanya berlangsung dalam 4-21 hari6 Gangguan pada genitourinary dan gastrointestinal mungkin melibatkan peningkatan frekuensi dorongan untuk buang air kecil atau buang air besar, inkontinensia, kesulitan buang air kecil, dan sembelit. Selama perjalanan penyakit, sebagian besar orang dengan myelitis transversa akan mengalami satu atau beberapa gejala.

2.3.6 Perjalanan penyakit Gejala biasanya dimulai dengan nyeri punggung yang timbul secara tiba-tiba, diikuti oleh mati rasa dan kelemahan otot kaki yang akan menjalar ke atas. Gejala tersebut bisa semakin memburuk dan jika menjadi berat akan terjadi kelumpuhan serta hilangnya rasa disertai dengan hilangnya pengendalian pencernaan dan kandung kemih. Lokasi terhambatnya impuls saraf pada medula spinalis menentukan beratnya gejala yang timbul. 2.3.7 Diagnosa Mielitis transversa harus dibedakan dari mielopati komprensi medula spinalis baik karena proses neoplasma medula spinalis intrinsik maupun ekstrensik, ruptur diskus 25

intervertebralis akut, infeksi epidural dan polineuritis pasca infeksi akut (Sindrom Guillain Barre). Pungsi lumbal dapat dilakukan pada mielitis transversa biasanya tidak didapati blokade aliran likuor, pleositosis moderat (antara 20-200 sel/mm3) terutama jenis limfosit, protein sedikit meninggi (50-120 mg/100 ml) dan kadar glukosa normal. Berbeda dengan sindrom Guillain Barre di mana dijumpai

peningkatan kadar protein tanpa disertai

pleositosis. Dan pada sindrom Guillain Barre, jenis kelumpuhannya adalah flaksid serta pola gangguan sensibilitasnya di samping mengenai kedua tungkai juga terdapat pada kedua lengan. Lesi kompresi medula spinalis dapat dibedakan dari mielitis karena perjalanan penyakitnya tidak akut sering didahului dengan nyeri segmental sebelum timbulnya lesi parenkim medula spinalis. Selain itu pada pungsi lumbal dijumpai blokade aliran likuor dengan kadar protein yang meningkat tanpa disertai adanya sel. Dilakukan pungsi lumbal , CT scan atau MRI, mielogram serta pemeriksaan darah. Kriteria diagnostik untuk Mielitis Transversalis Akut Idiopatik dapat dilihat pada tabel 2.1. Diagnosis MTA harus memenuhi semua kriteria inklusi dan tidak ada satupun kriteria eksklusi yang terpenuhi. Diagnosis MTA yang berhubungan dengan penyakit lain harus memenuhi semua kriteria inklusi dan pasien juga memiliki manifestasi klinis dari penyakit yang dicantumkan di kriteria ekslusi. Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik Mielitis Transversalis Inclusion criteria 1) Development of sensory, motor or autonomic dysfunction attributable to the spinal cord 2) Bilateral signs or symptoms (although not necessarily symmetric) 3) Clearly-defined sensory level 4) Exclusion of extra-axial compressive etiology by neuroimaging (MRI or myelography; CT of spine not adequate) 5) Inflammation within the spinal cord demonstrated by CSF pleocytosis or elevated IgG index or gadolinium enhancement. If none of the inflammatory kriteria is met at symptom onset, repeat MRI and LP evaluation between 2 and 7 days after symptom onset meets kriteria 26

6) Progression to nadir between 4 h and 21 days after the onset of symptoms (if patient awakens with symptoms, symptoms must become more pronounced from point of awakening) Exclusion criteria 1) History of previous radiation to the spine within the past 10 years 2) Clear arterial distribution clinical deficit consistent with thrombosis of the anterior spinal artery 3) Abnormal flow voids on the surface of the spinal cord consistent with AVM 4) Serological or clinical evidence of connective tissue disease (sarcoidosis, Behcet's disease, Sjogren's syndrome, SLE, mixed connective tissue disorder, etc.)a 5) CNS manifestations of syphilis, Lyme disease, HIV, HTLV-1, mycoplasma, other viral infection (e.g. HSV-1, HSV-2, VZV, EBV, CMV, HHV-6, enteroviruses)a (a) Brain MRI abnormalities suggestive of MSa (b) History of clinically apparent optic neuritisa AVM, Arteriovenous malformation; CMV, cytomegalovirus; CNS, central nervous system; CSF, cerebrospinal fluid; CT, computed tomography; EBV,Epstein±Barr virus; HHV, human herpesvirus; HSV, herpes simplex virus; HTLV, human T cell leukemia virus; LP, lumbar puncture; MRI, magnetic resonance imaging; MS, multiple sclerosis; SLE, systemic lupus erythematosus. aDo not exclude disease-associated acute transverse mielitis. (Dikutip dari: Transverse Mielitis Consortium Working Group. Proposed diagnostik kriteria and nosology of acute transverse mielitis. Neurology 2002; 59: 499-5 Diagnosis Banding Tabel 2.2. Diagnosis Banding dari Mielitis Transversalis Inflamasi Kompresi

Non-Inflamasi Penyakit Demyelinisasi



Osteofit



sklerosis multiple



Diskus



optik neuromielitis



Metastasis



ensefalomielitis diseminata akut 27



trauma



mielitis transversalis akut idiopatik

Tumor

Infeksi •

Virus: coxsackie, mumps, varicella, CMV

• Sindrom Paraneolastik

Tuberculosis

• Mikoplasma Penyakit inflamasi •

Lupus eritematosus sistemik

• Neurosarkoidosis (Dikutip dari: Jacob A, Weinshenker BG. 2008. An Approach to the Diagnosis of Acute Transverse Mielitis. Semin Liver Dis 2008; 1; 105-120. [Diakses 29Oktober 2012])

2.3.8 Pemeriksaan Penunjang •

MRI Evaluasi awal untuk pasien mielopati harus dapat menentukan apakah ada penyebab struktural (HNP, fraktur vertebra patologis, metastasis tumor, atau spondilolistesis) atau tidak. Idealnya, MRI dengan kontras gadolinium harus dilakukan dalam beberapa jam setelah presentasi.

28

29



CT-myelografi Jika MRI tidak dapat dilakukan dalam waktu cepat untuk menilai kelainan struktural, CTmyelografi dapat menjadi alternatif selanjutnya, tetapi pemeriksaan ini tidak dapat menilai medulla spinalis.



Punksi Lumbal Jika tidak terdapat penyebab struktural, punksi lumbal merupakan pemeriksaan yang harus dilakukan untuk membedakan mielopati inflamasi ataupun non-inflamasi. Pemeriksaan rutin CSF (hitung sel, jenis, protein, dan glukosa) dan sitologi CSF harus diperiksa.



Kultur CSF, PCR, titer antibodi Manifestasi klinis seperti demam, meningismus, rash, infeksi sistemik konkuren (pneumonia atau diare), status immunokompromis (AIDS atau penggunaan obat-obat immunosuppresan), infeksi genital berulang, sensasi terbakar radikuler dengan atau tanpa vesikel sugestif untuk radikulitis zoster, atau adenopati sugestif untuk etiologi infeksi dari MTA. Pada kasus seperti ini, kultur bakteri dan virus dari CSF, PCR, dan pemeriksaan titer antibodi harus dilakukan.



Pemeriksaan Lainnya Manifestasi klinis lainnya dapat mengarahkan diagnosis untuk penyakit inflamasi sistemik seperti Sindrom Sjogren, sindrom antifosfolipid, LES, sarkoidosis, atau penyakit jaringan ikat campuran. Pada kondisi seperti ini, pemeriksaan yang harus dilakukan: ACE level, ANA, anti ds-DNA, SS-A (Ro), SS-B (La), antibodi antikardiolipin, lupus antikoagulan, 2-glikoprotein, dan level komplemen. Tabel 2.3. Test Diagnostik untuk Mielitis Transversalis Kemungkinan Penyebab

Infeksi

Pemeriksaan Penunjang Serologi darah; kultur, serologi, dan PCR

CSF;

Foto

Thorax

dan

pemeriksaan imaging lainnya dengan Autoimun Inflamasi

Sistemik

atau

indikasi Penyakit Pemeriksaan

Fisik;

pemeriksaan

serologi; Foto Thorax dan Sendi; pemeriksaan imaging lainnya dengan 30

Paraneoplastik

indikasi Foto Thorax, CT scan, PET; antibodi

paraneoplastik serum dan CSF Acquired CNS Demyelinating Disease MRI otak dengan kontras gadolinium; (sklerosis multiple, optic neuromielitis)

CSF rutin; pemeriksaan visual evoked

Post infeksi atau post vaksinasi

potential; serum NMO-IgG Anamnesis riwayat infeksi vaksinasi serologi

sebelumnya; adanya

infeksi;

dan

konfirmasi eksklusi

penyebab lain (Dikutip dari: Frohman EM, Wingerchuk DM. 2010. Transverse Mielitis. The New England Journal of Medicine 2010;363:564-72)

2.3.9 Penatalaksanaan Immunoterapi inisial Tujuan terapi selama fase akut mielitis adalah untuk menghambat progresivitas dan menginisiasi resolusi lesi spinal yang terinflamasi sehingga dapat mempercepat perbaikan secara klinis. Kortikosteroid merupakan terapi lini pertama. Sekitar 50-70% pasien mengalami perbaikan parsial atau komplit. Regimen intravena dosis tinggi (1000 mg metilprednisolon setiap hari, biasanya selama 3-5 hari) diberikan kepada pasien. Regimen oral dapat digunakan pada kasus pasien mielitis episode ringan yang tidak perlu dirawat inap. Pemberian glukokortikoid atau ACTH, biasanya diberikan pada penderita yang datang dengan gejala awitanya sedang berlangsung dalam waktu 10 hari pertama atau bila terjadi progresivitas defesit neurologik. Glukokortikoid dapat diberikan dalam bentuk prednison oral 1 mg/kg berat badan/hari sebagai dosis tunggal selama 2 minggu lalu secara bertahap dan dihentikan setelah 7 hari. Bila tidak dapat diberikan per oral dapat pula diberikan metil prednisolon intravena dengan dosis 0,8 mg/kg/hari dalam waktu 30 menit. Selain itu ACTH dapat diberikan secara intramuskular denagn dosis 40 unit dua kali per hari (selama 7 hari), lalu 20 unit dua kali per hari (selama 4hari) dan 20 unit dua kali per hari (selama 3 hari). Untuk mencegah efek samping kortikosteroid, penderita diberi diet rendah garam dan 31

simetidin 300 mg 4 kali/hari atau ranitidin 150 mg 2kali/hari. Selain itu sebagai alternatif dapat diberikan antasid per oral. Efek yang tidak diinginkan pada terapi kortikosteroid yaitu gejala gastrointestinal, insomnia, nyeri kepala, kecemasan, hipertensi, manic, hiperglikemia, dan gangguan elektrolit8. Terapi dengan plasma exchange bermanfaat pada pasien yang tidak respon dengan pemberian kortikosteroid. Hipotensi, gangguan elektrolit, koagulopati, trombositopenia, thrombosis yang berhubungan dengan pemasangan kateter, dan infeksi merupakan komplikasi dari tindakan ini8. Plasmapharesis berguna pada pasien yang masih memiliki sisa fungsi sensorimotor saat pertama kali serangan, tetapi pada pasien yang kehilangan fungsi sensorimotor mengalami perbaikan hanya ketika diterapi dengan siklofosfamid dan plasmapharesis. Pada pasien demyelinisasi, imunomodulator long-acting atau terapi imunosupressan menunjukkan pengurangan risiko serangan berulang. Disamping terapi medikamentosa maka diet nutrisi juga harus diperhatikan, 125 gram protein, vitamin dosis tinggi dan cairan sebanyak 3 liter per hari diperlukan.

Respirasi dan Oropharyngeal Support Mielitis transversalis dapat menyebabkan gagal nafas apabila medulla spinalis servikal atas dan batang otak telah terlibat. Oleh karena itu, pemeriksaan regular dari fungsi pernapasan dan orofaring dibutuhkan selama perjalanan penyakit. Dispnea, penggunaan otototot bantu pernapasan, atau batuk yang lemah memerlukan pemeriksaan lanjutan dari fungsi paru-paru dan kapasitas respirasi paksa. Intubasi dengan ventilasi mekanik diperlukan pada beberapa pasien. Disartria, disfagia, atau penurunan fungsi lidah atau refleks muntah memerlukan pemeriksaan fungsi menelan untuk menentukan apakah pemakaian feeding tube diperlukan atau tidak8. Kelemahan Otot dan Komplikasi Imobilisasi Pemberian heparin low-moleculer weigth sebagai profilaksis untuk thrombosis vena dalam dianjurkan untuk pasien dengan imobilisasi. Perubahan posisi yang sering ketika duduk atau saat tidur dapat membantu mempertahankan integritas kulit dan memberikan rasa nyaman kepada pasien. Kolaborasi dengan fisioterapis harus dipertimbangkan sehingga 32

neurorehabilitasi multidisiplin dapat dimulai secepatnya. Sustained-release potassiumchannel blocker dan 4-aminopyridine oral menunjukkan hasil yang baik dengan meningkatkan kecepatan pasien berjalan pada pasien dengan multiple sklerosis, mungkin dengan memperpanjang durasi dari potensial aksi. Walaupun demikian, studi tentang efek agen ini pada pasien mielitis transversalis belum diteliti secara khusus. Pencegahan dekubitus dilakukan dengan alih baring tiap 2 jam. Bila terjadi hiperhidrosis dapat diberikan propantilinbromid 15 mg sebelum tidur.

Abnormalitas Tonus Mielitis yang berat menyebabkan hipotonia pada fase akut (spinal shock), tetapi biasanya diikuti dengan peningkatan resistensi terhadap pergerakan (spastisitas tonus), bersama dengan spasme otot involunter (spastisitas fasik). Spastisitas merupakan respon adaptif, tetapi jika berlebihan, nyeri atau intrusive, memerlukan terapi dengan fisioterapi atau obat-obatan. Penelitian controlled trials meneliti bahwa baclofen, tizanidine, dan benzodiazepin sebagai terapi untuk pasien dengan spastisitas akibat gangguan otak dan korda spinalis. Setelah masa akut berlalu maka tonus otot mulai meninggi sehingga sering menimbulkan spasme kedua tungkai, hal ini dapat diatasi dengan pemberian Baclofen 15-80 mg/hari, atau diazepam 3-4 kali 5 mg/hari. Rehabilitas harus dimulai sedini mungkin untuk mengurangi kontraktur dan mencegah komplikasi tromboemboli. Nyeri Nyeri merupakan manifestasi yang sering muncul selama dan setelah serangan mielitis dan dapat disebabkan oleh cedera langsung pada saraf (nyeri neuropatik), factor ortopedik (nyeri akibat perubahan posisi atau bursitis), spastisitas, atau kombinasi dari beberapa faktor ini. Nyeri neuropatik merespon baik dengan agen antikonvulsan, obat-obatan anti-depressan (tricyclic antidepressants dan reuptake inhibitors of serotonin dan norepinefrin), NSAIDS, dan narkotik8. Malaise Pergerakan yang terbatas, obat-obatan, nyeri, dan faktor lainnya berkontribusi terhadap malaise yang berlebihan setelah serangan mielitis. Data dari randomized controlled trials menunjukkan efikasi amantadin untuk terapi malaise akibat multiple sklerosis, dan pada 33

satu studi modafinil bisa menjadi terapi pilihan. Stimulant seperti dekstroamfetamin atau metilfenidat pernah digunakan untuk terapi malaise yang berat dan refrakter yang terjadi setelah episode mielitis, tetapi manfaat agen ini untuk tatalaksana pasien dengan mielitis belum pernah diteliti dengan randomized, controlled trials8. Disfungsi Usus dan Genitourinari Pemasangan kateter biasanya diperlukan selama mielitis transversalis pada fase akut karena retensi urin. Setelah fase akut, hiperrefleksia detrusor biasanya muncul dengan ciri-ciri frekuensi berkemih yang sering, inkontinensia, dan persepsi spasme kandung kemih. Gejala ini biasanya berkurang dengan pemberian antikolinergik (oxybutinin dan tolterodin). Pemeriksaan ultrasonografi untuk memeriksa volume urin yang tersisa setelah miksi berguna untuk menyingkirkan retensi urin, tetapi studi urodinamis mungkin diperlukan untuk menilai disfungsi urin. Obat yang menghambat reseptor α1-adrenergik dapat membantu relaksasi sfingter urin dan pengosongan urin pada pasien dengan hiperaktivitas sfingter, tetapi beberapa pasien memerlukan kateterisasi intermitten untuk mengosongkan kandung kemih. Untuk mencegah terjadinya infeksi traktus urinarius dilakukan irigasi dengan antiseptik dan pemberian antibiotik sebagai prolifilaksis (trimetroprim-sulfametoksasol, 1 gram tiap malam). Pada fase akut dan kronik mielitis transversalis, disfungsi usus dicirikan dengan konstipasi dan risiko impaksi, kesulitan mengosongkan usus, dan pada beberapa kasus inkontinensia yang biasanya disebabkan gangguan pemrograman usus untuk mengurangi konstipasi dan kontrol waktu defekasi. Konstipasi dengan pemberian laksan. Disfungsi seksual merupakan konsekuensi yang sering dari mielitis transversalis. Manifestasinya yaitu berkurangnya sensasi genital, nyeri, dan berkurangnya kemampuan untuk orgasme, atau anorgasmia.

Konsultasi Psikiater Gangguan mood dan kecemasan sering menjadi komplikasi jangka panjang pada pasien mielitis transversalis dan dapat memperngaruhi gejala lainnya, seperti nyeri dan gangguan fungsi seksual. Farmakoterapi sering diresepkan, sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan konsultasi dengan psikolog.

34

2.3. 10 Prognosis Pemulihan harus dimulai dalam enam bulan, dan kebanyakan pasien menunjukkan pemulihan fungsi neurologinya dalam 8 minggu. Pemulihan mungkin terjadi cepat selama 3– 6 minggu setelah onset dan dapat berlanjut walaupun dapat berlangsung dengan lebih lambat sampai 2 tahun. Pada penderita ini kemajuan pengobatan tampak pada 2 minggu terapi6.

BAB III KESIMPULAN Menurut perjalanan klinis antar awitan hingga munculnya gejala klinis mielitis dibedahkan atas : 1. Akut : Simtom berkembang dengan cepat dan mencapai puncaknya dalam tempo beberapa hari saja. 2. Sub Akut : Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu 2-6 minggu. 3. Kronik : Perjalanan klinis penyakit berkembang dalam waktu lebih dari 6 minggu.

Gejala biasanya dimulai dengan nyeri punggung yang timbul secara tiba-tiba, diikuti oleh mati rasa dan kelemahan otot kaki yang akan menjalar ke atas. Gejala tersebut bisa semakin memburuk dan jika menjadi berat akan terjadi kelumpuhan serta hilangnya rasa disertai dengan hilangnya pengendalian pencernaan dan kandung kemih.

35

Perjalanan penyakit •

Pasca infeksi / pasca vaksinasi mulai timbul deficit neurology setelah 5 – 10 hari.



Perjalanan penyakit akut. A. ± 50% timbul dalam waktu 12 jam B. ± 75% timbul dalam waktu 24 jam



Mula mula berupa demam, malaise, mialgia.



Deficit neurologik berupa. A. Kelemahan ekstremitas B. Gangguan sensibilitas C. Gangguan genitourinaria & defekasi



Segmen medulla spinalis yang sering terkena antara segmen thoracal 2 – thorakal 6 Diagnosa dapat dilakukan dengan pemeriksaan secara Dilakukan pungsi lumbal , CT

scan atau MRI, mielogram serta pemeriksaan darah. Pemberian glukokortikoid atau ACTH, biasanya diberikan pada penderita yang datang dengan gejala awitanya sedang berlangsung dalam waktu 10 hari pertama atau bila terjadi progresivitas defesit neurologik. Glukokortikoid dapat diberikan dalam bentuk prednison oral 1 mg/kg berat badan/hari sebagai dosis tunggal selama 2 minggu lalu secara bertahap dan dihentikan setelah 7 hari. Bila tidak dapat diberikan per oral dapat pula diberikan metil prednisolon intravena dengan dosis 0,8 mg/kg/hari dalam waktu 30 menit. Selain itu ACTH dapat diberikan secara intramuskular denagn dosis 40 unit dua kali per hari (selama 7 hari), lalu 20 unit dua kali per hari (selama 4hari) dan 20 unit dua kali per hari (selama 3 hari). Untuk mencegah efek samping kortikosteroid, penderita diberi diet rendah garam dan simetidin 300 mg 4 kali/hari atau ranitidin 150 mg 2kali/hari. Selain itu sebagai alternatif dapat diberikan antasid per oral

36

DAFTAR PUSTAKA

1. Christine

Weile.

2009.

Acute

Poliomyelitis.

Available

from

:

http://www.emedicine.com/pmr/topic6.htm. 2. Diagnosing Transverse Myelitis (TM), 2013. Accessed on: 16 August 2013. Available from: http://www.hopkinsmedicine.org/neurology_neurosurgery/specialty_areas/trans verse_myelitis/about-tm/diagnosis.html 3. Hidayat Achmad. Mielitis. November 23rd 2011. Accessed on: 13 August 2013. Available from: http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3468/1/thtandrina1.pdf 4. Jani Orthoprost. Mielitis. March 6th 2013. Accessed on: 13 August 2013. Available from: http://jani-orthoprost.com/mielitis.html 5. Johnson

et

all.

2001.

Transverse

Myelitis.Available

from

:

http://www.vbook.pub.com/doc/2581918/KerrCurrent-therapy-chapter-with-figures? secret_password=&autodown=pdf

37

6. National Institute of Neurological disorder and stroke. 2009. Transverse Myelitis Fact Sheet

Available

from

:

http://www.ninds.nih.gov/disorders/transversemyelitis/detail_transversemyelitis. htm 7. The Merck Manuals Online Medical Library: The Merck Manual for Healthcare

Professionals.

2008.

Acute

transverse

myelitis.

Available

from

:

http://www.merck.com/mmpe/sec16/ch224/ch224b.html 8. Sidharta, Priguna. 1985. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum,Cetakan ke 2 . Jakarta. 9. Victor and Adam. 2000. Adam and Victor`s Principals of Neurology 7 th Edition.

McGraw-Hill.

38

Related Documents

Referat Mielitis
March 2021 0
Tesis Lengkap
February 2021 0
Referat
February 2021 2
Referat
February 2021 2
Laporan Lengkap
February 2021 1

More Documents from "Sakti Priyanto"