Referat

  • Uploaded by: Aulia Mufidah
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat as PDF for free.

More details

  • Words: 4,155
  • Pages: 19
Loading documents preview...
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL........................................................................................ i DAFTAR ISI .................................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 BAB II ISI ........................................................................................................ 2 2.1 Stunting .................................................................................................. 2 2.2 Epidemiologi ......................................................................................... 2 2.3 Diagnosis ............................................................................................... 3 2.4 Penyebab stunting.................................................................................. 4 2.4.1 Stunting Familial ........................................................................... 4 2.4.2 Kelainan Patologis ......................................................................... 4 2.4.3 Infeksi Kronis ................................................................................ 5 2.4.4 Defisiensi Hormon ......................................................................... 5 2.4.5 Kelainan Kromosom ...................................................................... 6 2.4.6 Malnutrisi....................................................................................... 7 2.4.7 Riwayat Pemberian ASI ................................................................ 10 2.4.8 Status Sosial Ekonomi Keluarga ................................................... 10 2.5 Intervensi ............................................................................................... 11 2.5.1 Intervensi pada Masa Kehamilan................................................... 12 2.5.2 Intervensi pada Balita .................................................................... 12 2.5.3 Intervensi pada Usia Balita ............................................................ 13 BAB III KESIMPULAN .................................................................................... 16 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 17

ii

BAB I PENDAHULUAN Stunting adalah masalah gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu lama sehingga anak lebih pendek dengan anak seusianya sesuai dengan standar WHO. Persentase status gizi balita pendek (pendek dan sangat pendek) di Indonesia Tahun 2013 adalah 37,2%, jika dibandingkan tahun 2010 (35,6%) dan tahun 2007 (36,8%) tidak menunjukkan penurunan/perbaikan yang signifikan. Sedangkan menurut hasil PSG 2015, sebesar 29% balita Indonesia termasuk kategori pendek. Provinsi Jawa Tengah sendiri memiliki persentase balita pendek sebesar 24,8%. Stunting yang merupakan manifestasi dari masalah gizi kronis tidak hanya menggambarkan gangguan pertumbuhan fisik pasien namun juga dalam jangka pendek dapat mengakibatkan terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi. Masalah gizi kronis ini dipengaruhi dari kondisi ibu/calon ibu, masa janin, dan masa bayi/balita, termasuk penyakit yang diderita selama masa balita. Seperti masalah gizi lainnya, tidak hanya terkait masalah kesehatan, namun juga dipengaruhi berbagai kondisi lain yang secara tidak langsung mempengaruhi kesehatan. Oleh karena itu, upaya intervensi gizi spesifik untuk balita pendek difokuskan pada kelompok 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yaitu Ibu Hamil, Ibu Menyusui, dan Anak 0-23 bulan, karena telah dibuktikan secara ilmiah merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan. Oleh karena itulah, referat ini akan membahas mengenai intervensi-intervensi yang dapat dilakukan dalam pencegahan stunting dalam tiga periode utama, yakni saat kehamilan, usia 0 – 6 bulan, dan 6 bulan – 2 tahun.

1

BAB II ISI 2.1 Definisi Stunting Stunting adalah masalah gizi kronis akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu lama sehingga anak lebih pendek dengan anak seusianya. Pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan pada indeks Panjang Badan menurut Umur (PB/U) atau Tinggi Badan menurut Umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunted (pendek) dan severely stunted (sangat pendek). Balita pendek (stunting) dapat diketahui bila seorang balita sudah diukur panjang atau tinggi badannya, lalu dibandingkan dengan standar, dan hasilnya berada di bawah normal. Balita pendek adalah balita dengan status gizi yang berdasarkan panjang atau tinggi badan menurut umurnya bila dibandingkan dengan standar baku WHOMGRS (Multicentre Growth Reference Study) tahun 2005, nilai z-scorenya kurang dari -2SD dan dikategorikan sangat pendek jika nilai z-scorenya kurang dari -3SD.

2.2 Epidemiologi

Indonesia adalah negara dengan prevalensi stunting kelima terbesar. Berdasarkan data yang didapat dari Riskesdas tahun 2007, 2010, dan 2013, tampak prevalensi status gizi balita pendek (pendek dan sangat pendek) di Indonesia Tahun 2013 adalah 37,2%, tidak mengalami penurunan signifikan dibanding tahun 2010 (35,6%) dan tahun 2007 (36,8%). Persentase tertinggi pada tahun 2013 adalah di Provinsi Nusa Tenggara Timur (51,7%), Sulawesi Barat (48,0%) dan Nusa

2

Tenggara Barat (45,3%) sedangkan persentase terendah adalah Provinsi Kepulauan Riau (26,3%), DI Yogyakarta (27,2%) dan DKI Jakarta (27,5%).

Sedangkan berdasarkan data yang didapat dari Pemantauan Status Gizi tahun 2015, sebesar 29% balita Indonesia termasuk kategori pendek, dengan persentase tertinggi juga di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Barat.

2.3 Diagnosis Penentuan perawakan pendek, dapat menggunakan beberapa standar antara lain Z-score baku National center for Health Statistic/center for diseases control (NCHS/CDC) atau Child Growth Standars World Health Organization (WHO) tahun 2005. Kurva (grafik) pertumbuhan yang dianjurkan saat ini adalah kurva WHO 2005 berdasarkan penelitian pada bayi yang mendapat ASI ekslusif dari ibu yang tidak merokok, yang diikuti dari lahir sampai usia 24 bulan dan penelitian potong lintang pada anak usia 18-71 bulan, dengan berbagai etnis dan budaya yang mewakili berbagai negara di semua benua. Kurva NCHS dibuat berdasarkan pertumbuhan bayi kulit putih yang terutama mendapatkan susu formula. Beberapa penelitian menunjukkan proporsi perawakan pendek pada anak lebih tinggi dengan menggunakan kurva WHO 2005 dibandingkan NCHS/CDC sehingga implikasinya penting pada program kesehatan. Klasifikasi status gizi pada anak, baik laki–laki maupun perempuan berdasarkan standar WHO 2005 dapat dilihat pada tabel berikut.

3

Tabel 1. Kriteria stunting

2.4 Penyebab stunting Terdapat beberapa penyebab perawakan pendek diantaranya dapat berupa varian yang diturunkan (familial), penyakit endokrin, kromosomal, penyakit kronis, malnutrisi, riwayat pemberian ASI sebelumnya, dan status sosial ekonomi keluarga. Secara garis besar perawakan pendek dibagi menjadi dua yaitu familial dan keadaan patologis.

2.4.1 Stunting familial Perawakan pendek dapat disebabkan karena faktor genetik dari orang tua dan keluarga. Perawakan pendek yang disebabkan karena genetik dikenal sebagai familial short stature (perawakan pendek familial). Tinggi badan orang tua maupun pola pertumbuhan orang tua merupakan kunci untuk mengetahui pola pertumbuhan anak. Faktor genetik tidak tampak saat lahir namun akan bermanifestasi setelah usia 2-3 tahun. Korelasi antara tinggi anak dan midparental high (MPH) 0,5 saat usia 2 tahun dan menjadi 0,7 saat usia remaja. Perawakan pendek familial ditandai oleh pertumbuhan yang selalu berada di bawah persentil 3, kecepatan pertumbuhan normal, usia tulang normal, tinggi badan orang tua atau salah satu orang tua pendek dan tinggi di bawah persentil 3. 2.4.2 Kelainan patologis Perawakan pendek patologis dibedakan menjadi proporsional dan tidak proporsional. Perawakan pendek proporsional meliputi malnutrisi, penyakit infeksi/kronik dan kelainan endokrin seperti defisiensi hormon pertumbuhan, hipotiroid, sindrom cushing, resistensi hormon pertumbuhan dan defisiensi 4

IGF-1. Perawakan pendek tidak proporsional disebabkan oleh kelainan tulang seperti kondrodistrofi, displasia tulang, Turner, sindrom Prader-Willi, sindrom Down, sindrom Kallman, sindrom Marfan dan sindrom Klinefelter. 2.4.3 Infeksi kronis Penyakit infeksi akut akibat infeksi sistemik seperti penumonia, diare persisten, disentri dan penyakit kronis seperti kecacingan mempengaruhi pertumbuhan linear. Infeksi akan menyebabkan asupan makanan menurun, gangguan absorpsi nutrien, kehilangan mikronutrien secara langsung, metabolisme meningkat, kehilangan nutrien akibat katabolisme yang meningkat, gangguan transportasi nutrien ke jaringan. Pada kondisi akut, produksi proinflamatori seperti cytokin berdampak langsung pada remodeling tulang yang akan menghambat pertumbuhan tulang. Sebuah penelitian di Peru menunjukkan infeksi parasit merupakan faktor risiko sebagai penyebab perawakan pendek. 2.4.4 Defisiensi hormon Growth hormon (GH) atau hormon pertumbuhan merupakan hormon esensial untuk pertumbuhan anak dan remaja. Hormon tersebut dihasilkan oleh kelenjar hipofisis akibat perangsangan dari hormon GH-releasing faktor yang dihasilkan oleh hipotalamus. GH dikeluarkan secara episodik dan mencapai puncaknya pada malam hari selama tidur. GH berefek pada pertumbuhan dengan cara stimulasi produksi insulinlike growth faktor 1 (IGF-1) dan IGF-3 yang terutama dihasilkan oleh hepar dan kemudian akan menstimulasi produksi IGF-1 lokal dari kondrosit. Growth hormon memiliki efek metabolik seperti merangsang remodeling tulang dengan merangsang aktivitas osteoklas dan osteoblas, merangsang lipolisis dan pemakaian lemak untuk menghasilkan energi, berperan dalam pertumbuhan dan membentuk jaringan serta fungsi otot serta memfasilitasi metabolisme lemak. Somatomedin atau IGF-1 sebagai perantara hormon pertumbuhan untuk pertumbuhan tulang. Hormon tiroid juga bermanfaat pada pertumbuhan linier setelah lahir. Menstimulasi metabolisme yang penting dalam pertumbuhan tulang, gigi dan

5

otak. Kekurangan hormon ini menyebabkan keterlambatan mental dan perawakan pendek. Hormon paratiroid dan kalsitonin juga berhubungan dengan proses penulangan dan pertumbuhan tulang. Hormon tiroid mempunyai efek sekresi hormon pertumbuhan, mempengaruhi kondrosit secara langsung dengan meningkatkan sekresi IGF-1 serta memacu maturasi kondrosit. Hormon

glukokortikod

diperlukan

dalam

meningkatkan

glukoneogenesis, meningkatkan sintesis glikogen, meningkatkan konsentrasi gula darah dan balance nitrogen negatif. Pada gastrointestinal memiliki efek meningkatkan produksi pepsin dilambung, meningkatkan produksi asam lambung, menghambat vitamin D sebagai mediator untuk mengabsorpsi kalsium. Glukokortikoid pada jaringan berdampak menurunkan kandungan kolagen pada kulit dan tulang, menurunkan kolagen pada dinding pembuluh darah serta menghambat formasi granuloma. Efek glukokortikoid lainnya diperlukan dalam pertumbuhan normal, kelemahan otot, menghambat pertumbuhan skeletal dan menghambat pengeluaran hormon tiroid. Sex steroid (estrogen dan testoteron) merupakan mediasi percepatan pertumbuhan pada masa pubertas. Jika terjadi keterlambatan pubertas maka terjadi keterlambatan pertumbuhan linier. Hormon ini tidak banyak berperan pada masa prapubertas, hal ini dapat dilihat dengan tidak terdapatnya gangguan pertumbuhan pada pasien dengan hipogonad, sebelum timbulnya pubertas. 2.4.5 Kelainan kromosom Penyakit genetik dan sindrom merupakan etiologi yang belum jelas diketahui penyebabnya berhubungan dengan perawakan pendek. Beberapa gangguan kromosom, displasia tulang dan suatu sindrom tertentu ditandai dengan perawakan pendek. Sindrom tersebut diantaranya sindrom Turner, sindrom Prader-Willi, sindrom Down dan displasia tulang seperti osteochondrodystrophies, achondroplasia, hipochondroplasia.

6

2.4.6 Malnutrisi Penyebab perawakan pendek yang paling umum di seluruh dunia adalah malnutrisi. Protein sangat essensial dalam pertumbuhan dan tidak adanya salah satu asam amino menyebabkan retardasi pertumbuhan, kematangan skeletal dan menghambat pubertas. Klasifikasi malnutrisi berdasarkan respon jaringan atau terhambatnya pertumbuhan dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe 1 yang terdiri dari salah satu defisiensi zat besi, yodium, selenium, tembaga, kalsium, mangan, tiamin, riboplavin, piridoksin, niasin, asam askorbat, retinol, tokoferol, kalsiterol, asam folat, kobalamin dan vitamin K. Tipe 2 diakibatkan oleh kekurangan nitrogen, sulfur, asam amino esensiil, potasium, sodium, magnesium, seng, phospor, klorin dan air. Malnutrisi tipe 1 dikenal dengan functional nutrisi sedangkan tipe 2, membentuk jaringan dan energi untuk menjalankan fungsi tubuh. Malnutrisi tipe 1 disebabkan asupan yang kurang sehingga konsentrasi di jaringan berkurang, menimbulkan gejala dan tanda klinis yang khas, konsentrasi dalam jaringan bervariasi, mekanisme metabolik yang spesifik sehingga mudah dilakukan pemeriksaan laboratorium, tidak menyebabkan kehilangan berat badan atau gagal tumbuh, disimpan di dalam tubuh, menunjukkan efek sebagai pengganti nutrisi in vitro maupun in vivo dan konsentrasi bervariasi pada air susu ibu (ASI). Malnutrisi tipe 2 sulit untuk didiagnosis karena tanda dan gejala tidak khas seperti tipe 1. Nutrisi tipe 2 berfungsi membangun jaringan sehingga jaringan tidak akan terbentuk bila terjadi defisiensi nutrisi tersebut bahkan akan terjadi katabolisme jaringan dan seluruh komponen jaringan akan diekskresikan. Apabila jaringan akan dibangun kembali maka seluruh komponen harus diberikan dengan seimbang dan saling ketergantungan. Tidak disimpan di dalam tubuh sehingga tergantung dari asupan setiap hari. Beberapa nutrisi seperti phospor, seng dan magnesium sangat kecil jumlahnya di dalam makanan sehingga konsentrasi yang tinggi diperlukan dengan cara fortifikasi pada beberapa makanan untuk proses penyembuhan.

7

Pertumbuhan tinggi badan merupakan interaksi antara faktor genetik, makronutrien maupun mikronutrien selama periode pertumbuhan. Nutrisi memegang peranan penting terhadap kontrol mekanisme pertumbuhan linier. Penelitian pada binatang menunjukkan restriksi pemberian energi dan protein menyebabkan penurunan konsentrasi IGF-1 dalam darah dan akan kembali normal setelah diberikan energi yang sesuai. Hubungan antara status nutrisi dan IGF-1 pada manusia tampak penurunan kadar IGF-1 pada anak dengan malnutrisi seperti kwarsiorkor atau marasmus. Kebutuhan protein didefinisikan sebagai sejumlah protein atau asam amino untuk kebutuhan biologi yang sebenarnya, yaitu asupan terendah untuk pemeliharaan kebutuhan fungsional individu. Asupan protein yang adekuat diperlukan untuk pertumbuhan, perkembangan dan fungsi tubuh. Anak merupakan kelompok dinamis mulai masa neonatal sampai dewasa. Setiap kelompok mempunyai perbedan dalam hal kenaikan berat badan, kecepatan pertumbuhan, lingkungan hormonal, aktivitas dan faktor lain yang berpengaruh terhadap status nutrisi dan metabolik. Enzim merupakan protein dengan fungsi kimia yang spesifik dan merupakan perantara pada hampir semua proses fisiologik kehidupan. Sejumlah kecil protein berperan sebagai hormon. Protein otot terbuat dari beberapa polipeptida yang berperan untuk kontraksi dan relaksasi otot. Jumlah kalori per gram makronutrien adalah karbohidrat dan protein 4,1 kkal/gram, sedangkan lemak 9,3 kkal/gram. Kebutuhan karbohidrat pada anak sesuai RDA untuk usia 1-18 tahun adalah 130 gram/hari. Rekomendasi asupan protein untuk anak usia 2-5 tahun 13 gram/hari dan usia 4-8 tahun 19 gram/hari. Kecukupan asam linoleat pada anak usia 2-5 tahun 7 gram/hari, usia 4-8 tahun 10 gram/hari sedangkan kebutuhan α-asam linolenat untuk usia 2-5 tahun 0,7 gram/hari (1% energi), usia 4-8 tahun 0,9 gram/hari. Mikronutrien juga berdampak pada sistem IGF-1 seperti defisiensi seng yang dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan akibat penurunan kadar IGF-1 dalam plasma dan penurunan kadar growth hormon dan akan kembali normal setelah pemberian seng. Defisiensi mikronutrien seperti besi,

8

magnesium, seng menyebabkan anoreksia yang secara tidak langsung menyebabkan berkurangnya asupan energi dan protein yang penting untuk pertumbuhan. Vitamin D dibutuhkan untuk absorpsi kalsium. Kalsitriol bentuk aktif dari vitamin D mengontrol sintesis kalsium dengan cara meningkatkan absorpsi kalsium di duodenum kemudian diserap pada sel mukosa dan masuk kedalam darah, meningkatkan reabsorpsi kalsium di ginjal dan meningkatkan mobilisasi kalsium di tulang. Kekurangan vitamin D menimbulkan manifestasi klinis berupa deformitas tulang panjang dan tanda – tanda hipokalsemia seperti kejang, tetani. Vitamin A atau asam retinoik berpengaruh pada hormon yang mengontrol

pertumbuhan

jaringan

skeletal

dengan

mekanisme

mempengaruhi percepatan pelepasan adenosin monophospate (AMP) siklik dan sekresi dari hormon pertumbuhan.29 Vitamin A memiliki peranan penting dalam menjaga integritas sel epitel seperti epitel di mata, saluran napas dan saluran kemih, imunitas seluler dan humoral sehingga kekurangan vitamin A menyebabkan anak cenderung mudah sakit. Suatu metaanalisis menunjukkan pemberian vitamin A pada anak usia 6 bulan hingga 5 tahun mengurangi kejadian campak dan diare.30 Pemberian suplementasi vitamin A pada neonatus juga menurunkan angka kematian karena diare hingga 30%. Zat besi dalam tubuh berfungsi membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan dalam bentuk hemoglobin, sebagai fasilitator dalam penggunaan serta cadangan oksigen di otot dalam bentuk mioglobin, sebagai media elektron di dalam bentuk sitokrom serta bagian integral dari berbagai enzim dalam jaringan. Defisiensi zat besi menyebabkan gangguan pertumbuhan organ tubuh yang diduga akibat anoreksia, gangguan DNA sel, gangguan sintesis RNA dan gangguan absorpsi makanan dan diduga berperan dalam proses mitosis sel. Penelitian metaanalisis oleh Ramakristnan (2004) menunjukkan pemberian vitamin A saja atau zat besi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan, namun akan berdampak terhadap pertumbuhan apabila disertai

9

dengan pemberian mikronutrien seperti seng. Penelitian oleh Dijkhuizen (2001) menunjukkan suplementasi zat besi ataupun seng menurunkan prevalensi anemia namun tidak memiliki efek terhadap pertumbuhan baik tinggi badan. 2.4.7 Riwayat pemberian ASI Pertumbuhan dan perkembangan pada masa bayi memerlukan masukan zat-zat gizi yang seimbang dan relatif besar. Namun, kemampuan bayi untuk makan dibatasi oleh keadaan saluran pencernaannya yang masih dalam tahap pendewasaan. Satu-satunya makanan yang sesuai dengan keadaan saluran pencernaaan bayi dan memenuhi kebutuhan selama berbulan-bulan pertama adalah ASI. Pemberian ASI yang kurang sesuai dapat menyebabkan bayi menderita gizi kurang dan gizi buruk. Padahal kekurangan gizi pada bayi akan berdampak pada gangguan psikomotor, kognitif dan sosial serta secara klinis terjadi gangguan pertumbuhan. Dampak lainnya adalah derajat kesehatan dan gizi anak Indonesia masih memprihatinkan. Anak yang tidak mendapatkan ASI berisiko lebih tinggi untuk kekurangan zat gizi yang diperlukan untuk proses

pertumbuhan.

Gangguan

pertumbuhan

selanjutnya

akan

mengakibatkan terjadinya stunting pada anak. 2.4.8 Status sosial ekonomi keluarga Faktor sosial ekonomi yaitu meliputi data sosial yaitu, keadaan penduduk, keadaan keluarga, pendidikan, perumahan, dapur penyimpanan makanan, sumber air, kakus. Sementara data ekonomi meliputi pekerjaan, pendapatan keluarga, kekayaan, pengeluaran dan harga makanan yang tergantung pada pasar dan variasi musim. Rawan pangan dan gizi masih menjadi salah satu masalah besar bangsa ini. Masalah gizi berawal dari ketidakmampuan rumah tangga mengakses pangan, baik karena masalah ketersediaan di tingkat lokal, kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan akan pangan dan gizi, serta perilaku masyarakat. Kekurangan gizi mikro seperti vitamin A, zat besi dan yodium menambah besar permasalahan gizi di Indonesia. Dengan demikian masalah pangan dan

10

gizi merupakan permasalahan berbagai sektor dan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah dan masyarakat. 2.5 Intervensi Kerangka Intervensi Stunting yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif. Intervensi Gizi Spesifik merupakan intervensi yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dan berkontribusi pada 30% penurunan stunting. Kerangka kegiatan intervensi gizi spesifik umumnya dilakukan pada sektor kesehatan. Intervensi terbagi menjadi tiga periode target sasaran berbeda yaitu, ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan, dan ibu menyusui dan anak usia 7-23 bulan. Kerangka kedua adalah Intervensi Gizi Sensitif. Kerangka ini idealnya dilakukan melalui berbagai kegiatan pembangunan diluar sektor Kesehatan dan berkontribusi pada 70% Intervensi Stunting. Kegiatan terkait Intervensi Gizi Sensitif dapat dilaksanakan melalui beberapa kegiatan yang umumnya makro dan dilakukan secara lintas Kementerian dan Lembaga. Ada 12 kegiatan yang dapat berkontribusi pada penurunan stunting melalui Intervensi Gizi Sensitif sebagai berikut: 1. Menyediakan dan memastikan akses terhadap air bersih. 2. Menyediakan dan memastikan akses terhadap sanitasi. 3. Melakukan fortifikasi bahan pangan. 4. Menyediakan akses kepada layanan kesehatan dan Keluarga Berencana (KB) 5. Menyediakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). 6. Menyediakan Jaminan Persalinan Universal (Jampersal). 7. Memberikan pendidikan pengasuhan pada orang tua. 8. Memberikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Universal. 9. Memberikan pendidikan gizi masyarakat. 10. Memberikan edukasi kesehatan seksual dan reproduksi, serta gizi pada remaja. 11. Menyediakan bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin.

11

12. Meningkatkan ketahanan pangan dan gizi.

2.5.1 Intervensi pada Masa Kehamilan Memperbaiki gizi dan kesehatan Ibu hamil merupakan cara terbaik dalam mengatasi stunting. Ibu hamil perlu mendapat makanan yang baik, sehingga apabila ibu hamil dalam keadaan sangat kurus atau telah mengalami Kurang Energi Kronis (KEK), maka perlu diberikan makanan tambahan kepada ibu hamil tersebut. Pemberian suplementasi besi folat minimal 90 tablet, memberikan dukungan kepada ibu hamil untuk melakukan pemeriksaan kehamilan minimal 4 kali, memberikan imunisasi Tetanus Toksoid (TT), pemberian makanan tambahan pada ibu hamil, melakukan upaya untuk penanggulangan cacingan pada ibu hamil, dan memberikan kelambu serta pengobatan bagi ibu hamil yang positif malaria. 2.5.2 Intervensi pada Balita Pertumbuhan balita kita ternyata juga berada di bawah grafik pertumbuhan standar, ini menunjukkan bahwa selama proses pertumbuhan banyak sekali gangguan, antara lain asupan gizi yang kurang, seringnya terjadi penyakit, dan faktor determinan lainnya. Untuk itu intervensi yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: a.

Pemantauan Pertumbuhan Balita Pemantauan pertumbuhan balita melalui posyandu, agar gangguan

pertumbuhan bisa segera diatasi. Selain pemantauan pertumbuhan, di posyadu juga dilakukan pemantauan perkembangan anak, meliputi motorik kasar, motorik halus, psikososial dan bahasa. Selain itu, di posyandu juga dilakukan pemberian vitamin A. Pemberian vitamin A setahun 2 kali, fortifikasi garam beryodium, penggunaan kelambu khususnya di daerah endemis malaria, dan tindakan promotif – preventif lainnya harus tetap dilakukan, agar balita bisa tumbuh secara normal. b.

PMT balita Melihat grafik pertumbuhan balita yang semakin lama semakin menjauh

dari standar, dirasa perlu untuk mengembangkan program PMT (pemberian makanan tambahan) kepada balita. Studi Diet Total tahun 2014 menunjukkan

12

bahwa untuk balita, >50% asupan energi <100% AKE dan >30% asupan protein <100% AKP. Namun sasaran program PMT harus tepat, yaitu mereka yang mengalami “wasting”, bukan yang “underweight”. Beberapa balita yang underweight sebenarnya tergolong normal pendek, sehingga kalau diberi PMT malah dapat terjadi obesitas. Pada kelompok dewasa telah terbukti bahwa hipertensi lebih banyak terjadi pada kelompok pendek-gemuk dibandingkan kelompok pendek-kurus. c. Stimulasi dini perkembangan anak Program stimulasi dini perkembangan balita harus segera diintegrasikan ke dalam posyandu. Program PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) sebagai bentuk idealstimulasi dini perkembangan anak sudah cukup berkembang, namun cakupannya masih rendah. Bahkan bila digabung dengan model stimulasi dini perkembangan anak dalam bentuk lain (BKB – bina keluarga balita, Taman Posyandu, play group, dll) juga masih jauh cakupannya, seperti tampak pada tabel berikut. Cakupan terrendah justru pada usia 1, 2 dan 3 tahun, padahal bila kita ingin berhasil, justru pada usia inilah stimulasi dini memberikan efek maksimal. PAUD memang ideal, namun perlu tenaga terdidik, sarana dan biaya operasional yang mahal. Oleh karena itu perlu dilakukan penyederhanaan, agar hasil stimulasi masih optimal sementara pelaksanaan bisa mudah dan murah, sehingga seluruh posyandu bisa melaksanakannya. Jadi program stimulasi dini perkembangan anak (apapun bentuknya: PAUD, BKB, Taman Posyandu, dll) cakupannya harus diperluas, agar semua posyandu bisa melakukannya, sehingga semua balita bisa mendapatkannya. Bila dapat melakukan hal ini, kita dapat dengan tepat memanfaatkan bonus demografi dalam beberapa tahun mendatang. 2.5.3 Intervensi pada Usia Sekolah (6-12 tahun) Usia sekolah khususnya Sekolah Dasar (SD), adalah sasaran utama program penanggulangan pendek, dengan tujuan memperbaiki kesehatan mereka yang bermuara pada kesehatan dan kesiapan remaja untuk menjadi ibu hamil. Usulan program yang harus dilakukan pada usia sekolah adalah sebagai berikut.

13

a. Program perbaikan gizi di sekolah Jam belajar yang lama, memungkinkan untuk dibuat program perbaikan gizi di sekolah. Bisa disajikan menu yang adekuat untuk mengisi makan siang dan 2 kali selingan snack (pagi dan sore). Bila diprogram dengan baik, dalam waktu relatif singkat kita bisa mengurangi masalah gizi secara signifikan. Biaya tentu banyak, tetapi bila dikerjakan bersama orang tua anak, beban berat akan terasa ringan, sementara tujuan untuk memperbaiki gizi bangsa akan tercapai. Studi Diet Total tahun 2014 menunjukkan bahwa untuk usia 5-12 tahun, hampir 70% asupan kalori <100% AKK dan >40% asupan portein <100% AKP. b. Pendidikan kesehatan perilaku hidup bersih dan sehat Anak-anak murid sekolah dasar merupakan waktu yang tepat untuk menanamkan nilai-nilai positif diberbagai bidang seperti taat beribadah sesuai agamanya, menghormati orang tua dan guru, disiplin, taat pada aturan, rajin belajar, termasuk mengenal jati diri dan karakter bangsa sehingga bangga menjadi bangsa Indonesia tertanam kuat dalam kalbunya. Perilaku hidup bersih dan sehat wajib ditanamkan sejak dini, seperti: cuci tangan pakai sabun, perilaku buang air besar yang benar, makan makanan bergizi seimbang, gemar makan buah dan sayur, sering berolah raga, tidak merokok, tidak tergoda narkoba, dll. c. Penyediaan air minum dan cuci tangan yang cukup di seluruh sekolah Untuk menjamin terlaksananya perilaku hidup bersih dan sehat, sarana untuk itu harus difasilitasi. Oleh karena itu setiap sekolah harus ada sarana air minum dan cuci tangan dengan jumlah yang mencukupi dan kualitas yang memadai. Air bersih adalah syarat utama untuk mencuci segala sesuatu, sehingga bila tidak ada air,jangan harap perilaku bersih bisa diterapkan. d. Penyediaan jamban yang sehat dan mencukupi. Perilaku tidak buang air besar sembarangan, akan sulit dilaksanakan bila tidak tersedia jamban yang sehat dari sisi kualitas, dan jumlah yang mencukupi sesuai dengan banyaknya murid. Tersedianya jamban yang saniter akan

14

menjamin tidak terjadinya penyakit menular yang sumbernya dari isi perut manusia. e. Penyediaan tempat sampah dan pembuangan air limbah Membuang sampah dan limbah pada tempatnya adalah perbuatan terpuji, disamping tempat menjadi bersih, sampah dan limbah sebagai sumber penyakit sudah dijauhkan dari murid-muridnya. Apalagi bila sampah dan limbah dikelola dengan baik, bisa membuahkan tambahan penghasilan bagiyang mengelolanya. f. Pelayanan kesehatan di sekolah Pelayanan kesehatan di tingkat sekolah dasar dapat digunakan untuk deteksi dini gangguan kesehatan mereka, bisa berubah kurang gizi (termasuk stunting), kelainan visus, kurang pendengaran, kecacingan, atau kelainan perkembangan seperti hiperaktif, slow learner, dll. Pemeriksaan bukan hanya waktu skrining saja, tetapi dibuat program yang mengarah ke peningkatan derajat kesehatan mereka. Contohnya adalah program pemberantasan kecacingan di sekolah, karena sebagian besar murid menderita kecacingan. Bila kita bisa memberantasnya, asupan gizi yang mereka makan, tidak lagi digerogoti oleh cacing di ususnya, sehingga kemungkinan kurang gizi menjadi lebih kecil.

15

BAB III KESIMPULAN Stunting erupakan masalah kesehatan yan tidak boleh dilupakan karena memiliki banyak dampak yang tidak hanya akan mempengaruhi individu anak yang terkena namun juga keluarga hingga negara. Stunting sendiri merupakan gangguan gizi kronis sehingga anak lebih pendek dari anak seusianya yang diukur dengan standar WHO. Intervensi stunting dibagi menjadi intervensi spesifik dan sensitif. Intervensi spesifik meliputi upaya-upaya perbaikan gizi dalam 1000 hari kehidupan, sedangkan intervensi sensitif merupakan upaya-upaya yang secara tidak langsung juga akan menurunkan angka stunting masyarakat. Periode 1000 hari terebut sendiri dapat dibagi menjadi tiga target utama intervensi yakni ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan, dan anak usia 723 bulan. Pada ibu hamil ditekankan check up berkala dan pemberian makanan tambahan dan tablet tambah darah. Pada ibu menyusui dan anak usia 0-6 bulan ditekankan pemberian inisiasi menyusu dini, dan ASI eksklusif, serta pemantauan pertumbuhan dan pengembangan berkala di Posyandu. Intervensi anak usia -23 bulan dilakukan pemberian PMT-ASI, imunisasi lengkap, dan pemantauan tumbuh kembang.

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes RI. Infodatin: Situasi Balita Pendek. 2016. Jakarta: Kemenkes RI. 2. Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. 2007. Jakarta: Balitbangkes RI. 3. Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. 2010. Jakarta: Balitbangkes RI. 4. Departemen Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar. 2013. Jakarta: Balitbangkes RI. 5. Trihono, Atmarita, Tjandrarini DH, et al. Pendek (Stunting) di Indonesia, Masalah dan Solusinya. 2015. Jakarta: Balitbangkes RI. 6. Batubara JRL et al. Pertumbuhan dan Gangguan Pertumbuhan. In: Endokrinologi Anak.Vol I.; 2010:19-42. 7. Wang X, Hojer B, Guo S, Luo S. Stunting and Overweight in WHO Child Growth Standards Malnutrition Among Children in a Poor Area of China. Public Health Nutr. 2009;12:77. 8. WHO. WHO Child Growth Standards: Methods and Development. 2006. 9. Mexitalia M. ASI Sebagai Pencegah Malnutrisi pada Bayi. Indones. Menyusui 2010;I:219-231. 10. Schwarz N., Grobusch M., Decker ML, Goesch J. WHO 2006 Child Growth Standards: Implication for the Prevalence of Stunting and Underweight-forAge in a Birth Cohort of Gabonese Children in Comparison to the Center for Disease Control and Prevention 2000 Growth Charts and the National Center for Health. Public Heal. Nutr. 11 2008:714-719. 11. Cuttler L. Short Stature. Pract. Strateg. Pediatr. Diagnosis Ther. 2006:10201037. 12. Nicol LE, Allen DB, Czernichow G, Zeither P. Normal Growth and Growth Disorder. Pediatr. Pract. Endocrinol. 2010:23-76. 13. Golden MH. Golden,

M.H.N. 2005. Malnutrition. Textb. Pediatr.

Gastroenterol. Nutr. 2005;I:489-523.

17

14. Somer A. Defisiensi Vitamin A dan Akibatnya: Panduan Lapangan untuk Deteksi dan Pengawasan. 2004;3:8-19. 15. Imdad A, Yakoob MY, Bhutta ZA. Impact maternal Education About Complementary Feeding and Provision of Complementary Foods on Child Growth in Developing Country. BMC Public Health 2011;11:1-14. 16. Kusuma KE. Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Anak Usia 2-3 Tahun. J. Nutr. Coll. 2013;2. 17. Haryono R, Setianingsih S. Manfaat ASI Eksklusif Untuk Buah Hati Anda. Yogyakarta: Gosyen Publishing; 2014. 18. Anshori H. Faktor Risiko Kejadian Stunting Pada Anak Usia 12-24 Bulan. 2013.

18

Related Documents

Referat
February 2021 2
Referat
February 2021 2
Referat Bppv
January 2021 1
Referat: Culturism
January 2021 1
Referat Irina
January 2021 1
Marketing Referat
January 2021 1

More Documents from ""

Referat
February 2021 2
Dops Ekg
March 2021 0
Teknik Merancang Bahan
February 2021 1
Kb 2 Kampuh.docx
February 2021 0
Dops Perawatan Diri Mandi
February 2021 1