Loading documents preview...
2011
REFERAT – Penurunan Kesadaran Stase Penyakit Dalam RSIJ Cempaka Putih Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua hemisfer serebri dan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Jika terjadi kelainan pada kedua sistem ini, baik yang melibatkan sistem anatomi maupun fungsional akan mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai tingkatan
Disusun Oleh: Lucky Miftah Saviro (2007730076) Konsulen Pembimbing: dr. Hj. Ihsanil Husna, Sp. PD
Fakultas Kedokteran Dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta Program Studi Pendidikan Dokter 2007
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, saya dapat menyelesaikan penulisan referat yang berjudul “Penurunan Kesadaran” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian di kepaniteraan klinik Penyakit Dalam di Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih. Terwujudnya referat ini adalah berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini, saya ingin menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada pembimbing saya, dr. Ihsanil Husna, Sp. PD yang telah banyak memberikan masukan dan meluangkan waktu untuk membimbing saya. Terima kasih kepada keluarga atas doa dan dukungannya, serta teman-teman seperjuangan yang sedang menjalani kepaniteraan klinik di RSIJ Cempaka Putih. Penulisan referat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saya mengharapkan kritik dan saran, sehingga penulisan ini dapat lebih baik sesuai dengan hasil yang diharapkan. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi proses pembelajaran di kepaniteraan penyakit dalam.
Jakarta, Desember 2011
Penulis
2
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..................................................................................................................2 Daftar Isi...........................................................................................................................3 BAB I
Pendahuluan..............................................................................................4
BAB II
Tinjauan Pustaka.......................................................................................5
II.1 Definisi penurunan kesadaran…………………………………………………...5 II.1.1 Menentukan penurunan kesadaran secara kualitatif…………………….6 II.1.2 Menentukan penurunan kesadaran secara kuantitatif…………………...6 II.2 Klasifikasi penurunan kesadaran...........................................................................6 II.2.1 Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal dan kaku kuduk.........7 II.2.2 Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal disertai kaku kuduk...7 II.2.3 Gangguan kesadaran dengan kelainan fokal..............................................7 II.3 Bahaya penurunan kesadaran.................................................................................7 II.4 Patofisiologi penurunan kesadaran.........................................................................7 II.4.1 Gangguan metabolik toksik………………………………………………8 II.4.2 Gangguan struktural intrakranial.................................................................9 II.5 Diagnosis dan diagnosis banding penurunan kesadaran…………………………11 II.5.1 Diagnosis penurunan kesadaran………………………………………….11 II.5.2 Diagnosis banding penurunan kesadaran metabolik dan struktural……...13 II.6 Tatalaksana penurunan kesadaran……………………………………………….16 II.6.1 Umum……………………………………………………………………16 II.6.1 Khusus…………………………………………………………………...16 BAB III
Kesimpulan………………………………………………………………18
BAB IV
Daftar Pustaka …………………………………………………………...19
3
BAB I PENDAHULUAN
Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua hemisfer serebri dan Ascending Reticular Activating System (ARAS). Jika terjadi kelainan pada kedua sistem ini, baik yang melibatkan sistem anatomi maupun fungsional akan mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai tingkatan. Ascending Reticular Activating System merupakan suatu rangkaian atau network system yang dari kaudal berasal dari medulla spinalis menuju rostral yaitu diensefalon melalui brain stem sehingga kelainan yang mengenai lintasan ARAS tersebut berada diantara medulla, pons, mesencephalon menuju ke subthalamus, hipothalamus, thalamus dan akan menimbulkan penurunan derajat kesadaran. Neurotransmiter yang berperan pada ARAS antara lain neurotransmiter kolinergik, monoaminergik dan gamma aminobutyric acid (GABA). Respon gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan kelainan yang berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitif yang merupakan manifestasi rangkaian inti-inti di batang otak dan serabut-serabut saraf pada susunan saraf. Korteks serebri merupakan bagian yang terbesar dari susunan saraf pusat di mana kedua korteks ini berperan dalam kesadaran akan diri terhadap lingkngan atau input-input rangsangan sensoris, hal ini disebut juga sebagai awareness. Pada referat ini akan dibahas mengenai definisi penurunan kesadaran, bahaya penurunan kesadaran, patofisiologi, serta diagnosis penurunan kesadaran, terutama akibat metabolik, dan sebagaian kecil penurunan kesadaran akibat kelainan struktural dan tatalaksana penurunan kesadaran yang terbagi atas tatalaksana baik umum maupun khusus.
4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA PENURUNAN KESADARAN UMUM
1.
Definisi Penurunan Kesadaran Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan neurologi yang menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai “final common pathway” dari gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak dengan akibat kematian. Artinya, bila terjadi penurunan kesadaran menjadi pertanda disregulasi dan disfungsi otak dengan kecenderungan kegagalan seluruh fungsi tubuh. Dalam hal menilai penurunan kesadaran, dikenal beberapa istilah yang digunakan di klinik yaitu kompos mentis, somnolen, stupor atau sopor, soporokoma dan koma. Terminologi tersebut bersifat kualitatif. Sementara itu, penurunan kesadaran dapat pula dinilai secara kuantitatif, dengan menggunakan skala koma Glasgow.
2.
Menentukan penurunan kesadaran secara kualitatif Kompos mentis berarti kesadaran normal, menyadari seluruh asupan panca indera (aware atau awas) dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan dari luar maupun dari dalam (arousal atau waspada), atau dalam keadaaan awas dan waspada. Somnolen atau drowsiness atau clouding of consciousness, berarti mengantuk, mata tampak cenderung menutup, masih dapat dibangunkan dengan perintah, masih dapat menjawab pertanyaan walaupun sedikit bingung, tampak gelisah dan orientasi terhadap sekitarnya menurun. Stupor atau sopor lebih rendah daripada somnolen. Mata tertutup dengan rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau bersuara satu-dua kata. Motorik hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang nyeri. Semikoma atau soporokoma, mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara kuat, hanya dapat mengerang tanpa arti, motorik hanya berupa gerakan primitif.
5
Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah. Dengan rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata, bicara, maupun reaksi motorik.
3.
Menentukan penurunan kesadaran secara kuantitatif Secara kuantitatif, kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan Glasgow Coma Scale (GCS) yang meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan/Mata (E), Pemeriksaan Motorik (M) dan Verbal (V). Pemeriksaan ini mempunyai nilai terendah 3 dan nilai tertinggi 15. Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk penglihatan/mata: E1 tidak membuka mata dengan rangsang nyeri E2 membuka mata dengan rangsang nyeri E3 membuka mata dengan rangsang suara E4 membuka mata spontan Motorik: M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri M2 reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeri M3 reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri M4 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaran M5 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran M6 reaksi motorik sesuai perintah Verbal: V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none) V2 respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds) V3 respon kata dengan rangsang nyeri (words) V4 bicara dengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused) V5 bicara dengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)
4.
Klasifikasi Penurunan Kesadaran Gangguan kesadaran dibagi 3, yaitu:
6
1)
Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal/lateralisasi dan tanpa disertai kaku kuduk;
2)
Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal/lateralisasi disertai dengan kaku kuduk; dan
3)
Gangguan kesadaran disertai dengan kelainan fokal. a. Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal dan kaku kuduk 1. Gangguan iskemik 2. Gangguan metabolik 3. Intoksikasi 4. Infeksi sistemis 5. Hipertermia 6. Epilepsi b. Gangguan kesadaran tanpa disertai kelainan fokal tapi disertai kaku kuduk 1. Perdarahan subarakhnoid 2. Radang selaput otak 3. Radang otak c. Gangguan kesadaran dengan kelainan fokal 1. Tumor otak 2. Perdarahan otak 3. Infark otak 4. Abses otak
5.
Bahaya Penurunan Kesadaran Adapun kondisi yang segera mengancam kehidupan terdiri atas peninggian tekanan intrakranial, herniasi dan kompresi otak dan meningoensefalitis/ensefalitis.
6.
Patofisiologi Penurunan Kesadaran Penurunan kesadaran disebabkan oleh gangguan pada korteks secara menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh gangguan ARAS di
7
batang otak, terhadap formasio retikularis di thalamus, hipotalamus maupun mesensefalon. Pada penurunan kesadaran, gangguan terbagi menjadi dua, yakni gangguan derajat (kuantitas, arousal, wakefulness) kesadaran dan gangguan isi (kualitas, awareness, alertness) kesadaran. Adanya lesi yang dapat mengganggu interaksi ARAS dengan korteks serebri, apakah lesi supratentorial, subtentorial dan metabolik akan mengakibatkan menurunnya kesadaran.
Gambar Patofisiologi penurunan kesadaran
a.
Gangguan metabolik toksik Fungsi dan metabolisme otak sangat bergantung pada tercukupinya penyediaan oksigen. Adanya penurunan aliran darah otak (ADO), akan menyebabkan terjadinya kompensasi dengan menaikkan ekstraksi oksigen (O2) dari aliran darah. Apabila ADO turun lebih rendah lagi, maka akan terjadi penurunan konsumsi oksigen secara proporsional. Glukosa merupakan satu-satunya substrat yang digunakan otak dan teroksidasi menjadi karbondioksida (CO2) dan air. Untuk memelihara integritas neuronal, diperlukan penyediaan ATP yang konstan untuk menjaga keseimbangan elektrolit. O2 dan glukosa memegang peranan penting dalam memelihara keutuhan kesadaran. Namun, penyediaan O2 dan glukosa tidak terganggu, kesadaran 8
individu dapat terganggu oleh adanya gangguan asam basa darah, elektrolit, osmolalitas, ataupun defisiensi vitamin. Proses metabolik melibatkan batang otak dan kedua hemisfer serebri. Koma disebabkan kegagalan difus dari metabolisme saraf. 1. Ensefalopati metabolik primer Penyakit degenerasi serebri yang menyebabkan terganggunya metabolisme sel saraf dan glia. Misalnya penyakit Alzheimer. 2. Ensefalopati metabolik sekunder Koma terjadi bila penyakit ekstraserebral melibatkan metabolisme otak, yang mengakibatkan kekurangan nutrisi, gangguan keseimbangan elektrolit ataupun keracunan. Pada koma metabolik ini biasanya ditandai dengan gangguan sistem motorik simetris dan tetap utuhnya refleks pupil (kecuali pasien mempergunakan glutethmide atau atropin), juga utuhnya gerakan-gerakan ekstraokuler (kecuali pasien mempergunakan barbiturat).
Tes darah biasanya abnormal, lesi otak unilateral tidak menyebabkan stupor dan koma. Jika tidak ada kompresi ke sisi kontralateral batang otak lesi setempat pada otak menimbulkan koma karena terputusnya ARAS. Sedangkan koma pada gangguan metabolik terjadi karena pengaruh difus terhadap ARAS dan korteks serebri.
Tabel Penyebab Metabolik atau Toksik pada Kasus Penurunan Kesadaran No
Penyebab metabolik atau
Keterangan
sistemik 1
Elektrolit imbalans
Hipo- atau hipernatremia
2
Endokrin
Hipoglikemia, ketoasidosis diabetik
3
Toksik
Intoksikasi narkotika
4
Gagal organ
Gagal ginjal (ensefalopati uremik), shock, gagal hepar (ensefalopati hepatik)
b.
Gangguan Struktur Intrakranial 9
Penurunan kesadaran akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formasio retikularis di daerah mesensefalon dan diensefalon (pusat penggalak kesadaran) disebut koma diensefalik. Secara anatomik, koma diensefalik dibagi menjadi dua bagian utama, ialah koma akibat lesi supratentorial dan lesi infratentorial. 1. Koma supratentorial 1) Lesi mengakibatkan kerusakan difus kedua hemisfer serebri, sedangkan batang otak tetap normal. 2) Lesi struktural supratentorial (hemisfer). Adanya massa yang mengambil tempat di dalam kranium (hemisfer serebri) beserta edema sekitarnya misalnya tumor otak, abses dan hematom mengakibatkan dorongan dan pergeseran struktur di sekitarnya, terjadilah herniasi girus singuli, herniasi transtentorial sentral dan herniasi unkus. a. Herniasi girus singuli Herniasi girus singuli di bawah falx serebri ke arah kontralateral menyebabkan tekanan pada pembuluh darah serta jaringan otak, mengakibatkan iskemi dan edema. b. Herniasi transtentorial/ sentral Herniasi transtentorial atau sentral adalah hasil akhir dari proses desak ruang rostrokaudal dari kedua hemisfer serebri dan nukli basalis; secara berurutan menekan disensefalon, mesensefalon, pons dan medulla oblongata melalui celah tentorium. c. Herniasi unkus Herniasi unkus terjadi bila lesi menempati sisi lateral fossa kranii media atau lobus temporalis; lobus temporalis mendesak unkus dan girus hipokampus ke arah garis tengah dan ke atas tepi bebas tentorium yang akhirnya menekan mesensefalon. 2. Koma infratentorial Ada dua macam lesi infratentorial yang menyebabkan koma.
10
1) Proses di dalam batang otak sendiri yang merusak ARAS atau/ serta merusak pembuluh darah yang mendarahinya dengan akibat iskemi, perdarahan dan nekrosis. Misalnya pada stroke, tumor, cedera kepala dan sebagainya. 2) Proses di luar batang otak yang menekan ARAS a. Langsung menekan pons b. Herniasi ke atas dari serebelum dan mesensefalon melalui celah tentorium dan menekan tegmentum mesensefalon. c. Herniasi ke bawah dari serebelum melalui foramen magnum dan menekan medulla oblongata. Dapat disebabkan oleh tumor serebelum, perdarahan serebelum dan sebagainya. Ditentukan lateralisasi (pupil anisokor, hemiparesis) dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang.
Tabel Penyebab Struktural pada Kasus Penurunan Kesadaran No 1
Penyebab struktural Vaskular
Keterangan Perdarahan subarakhnoid, infark batang kortikal bilateral
2
Infeksi
Abses, ensefalitis, meningitis
3
Neoplasma
Primer atau metastasis
4
Trauma
Hematoma, edema, kontusi hemoragik
5
Herniasi
Herniasi sentral, herniasi unkus, herniasi singuli
6
Peningkatan tekanan
Proses desak ruang
intrakranial
7.
Diagnosis dan Diagnosis Banding Penurunan Kesadaran Metabolik dan Struktural a.
Diagnosis penurunan kesadaran Diagnosis kesadaran menurun didasarkan atas: -
Anamnesis Dalam melakukan anamnesis perlu dicantumkan dari siapa anamnesis tersebut didapat, biasanya anamnesis yang terbaik didapat dari orang yang selalu berada bersama penderita. Untuk itu diperlukan riwayat perjalanan penyakit, 11
riwayat trauma, riwayat penyakit, riwayat penggunaan obat-obatan, riwayat kelainan kejiwaan. Dari anamnesis ini, seringkali menjadi kunci utama dalam mendiagnosis penderita dengan kesadaran menurun1. -
Pemeriksaan fisik umum Dalam melakukan pemeriksaan fisik umum harus diamati:
Tanda vital Pemeriksaan tanda vital: perhatikan jalan nafas, tipe pernafasannya dan perhatikan tentang sirkulasi yang meliputi: tekanan darah, denyut nadi dan ada tidaknya aritmia.
Bau nafas Pemeriksa harus dapat mengidentifikasi foetor breath hepatic yang disebabkan penyakit hati, urino smell yang disebabkan karena penyakit ginjal atau fruity smell yang disebabkan karena ketoasidosis.
Pemeriksaan kulit Pada pemeriksaan kulit, perlu diamati tanda-tanda trauma, stigmata kelainan hati dan stigmata lainnya termasuk krepitasi dan jejas suntikan. Pada penderita dengan trauma, kepala pemeriksaan leher itu, harus dilakukan dengan sangat berhati-hati atau tidak boleh dilakukan jikalau diduga adanya fraktur servikal. Jika kemungkinan itu tidak ada, maka lakukan pemeriksaan kaku kuduk dan lakukan auskultasi karotis untuk mencari ada tidaknya bruit.
Kepala Perhatikan ada tidaknya hematom, laserasi dan fraktur.
Leher Perhatikan kaku kuduk dan jangan manipulasi bila dicurigai fraktur servikal (jejas, kelumpuhan 4 ekstremitas, trauma di daerah muka).
Toraks/ abdomen dan ekstremitas Perhatikan ada tidaknya fraktur.
-
Pemeriksaan fisik neurologis
12
Pemeriksaan fisik neurologis bertujuan menentukan kedalaman koma secara kualitatif dan kuantitatif serta mengetahui lokasi proses koma. Pemeriksaan neurologis meliputi derajat kesadaran dan pemeriksaan motorik2.
Umum Buka kelopak mata menentukan dalamnya koma Deviasi kepala dan lirikan menunjukkan lesi hemisfer ipsilateral Perhatikan mioklonus (proses metabolik), twitching otot berirama (aktivitas seizure) atau tetani (spontan, spasmus otot lama).
Level kesadaran Ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif. Kualitatif (apatis, somnolen, delirium, spoor dan koma) Kuantitatif (menggunakan GCS)
Pupil Diperiksa: ukuran, reaktivitas cahaya Simetris/reaktivitas
cahaya
normal,
petunjuk
bahwa
integritas
mesensefalon baik. Pupil reaksi normal, reflek kornea dan okulosefalik (-), dicurigai suatu koma metabolik Mid posisi (2-5 mm), fixed dan irregular, lesi mesenfalon fokal. Pupil reaktif pint-point, pada kerusakan pons, intoksikasi opiat kolinergik. Dilatasi unilateral dan fixed, terjadi herniasi. Pupil bilateral fixed dan dilatasi, herniasi sentral, hipoksik-iskemi global, keracunan barbiturat.
-
Funduskopi
Refleks okulosefalik (dolls eye manuevre)
Refleks okulo vestibuler
Refleks kornea
Refleks muntah
Respons motorik
Refleks fisiologik dan patologik
Pemeriksaan penunjang 13
Pemeriksaan gas darah, berguna untuk melihat oksigenasi di dalam darah, juga untuk melihat gangguan keseimbangan asam basa.
Pemeriksaan darah, meliputi darah perifer lengkap (DPL), keton, faal hati, faal ginjal dan elektrolit.
Pemeriksaan toksikologi, dari bahan urine darah dan bilasan lambung.
Pemeriksaan khusus meliputi pungsi lumbal, CT scan kepala, EEG, EKG, foto toraks dan foto kepala.
b.
Diagnosis banding penurunan kesadaran karena metabolik dan struktural Menentukan kelainan neurologi perlu untuk evaluasi dan manajemen penderita. Pada penderita dengan penurunan kesadaran, dapat ditentukan apakah akibat kelainan struktur, toksik atau metabolik. Pada koma akibat gangguan struktur mempengaruhi fungsi ARAS langsung atau tidak langsung. ARAS merupakan kumpulan neuron polisinaptik yang terletak pada pusat medulla, pons dan mesensefalon, sedangkan penurunan kesadaran karena kelainan metabolik terjadi karena memengaruhi energi neuronal atau terputusnya aktivitas membran neuronal atau multifaktor. Diagnosis banding dapat ditentukan melalui pemeriksaan pernafasan, pergerakan spontan, evaluasi saraf kranial dan respons motorik terhadap stimuli. -
Pola pernafasan Mengetahui pola pernafasan akan membantu letak lesi dan kadang menentukan jenis gangguan.
Respirasi cheyne stoke Pernafasan ini makin lama makin dalam kemudian mendangkal dan diselingi apnoe. Keadaan seperti ini dijumpai pada disfungsi hemisfer bilateral sedangkan batang otak masih baik. Pernafasan ini dapat merupakan gejala pertama herniasi transtentorial. Selain itu, pola pernafasan ini dapat juga disebabkan gangguan metabolik dan gangguan jantung.
Respirasi hiperventilasi neurogen sentral
14
Pernafasan cepat dan dalam, frekuensi kira-kira 25 per menit. Dalam hal ini, lesi biasanya pada tegmentum batang otak (antara mesensefalon dan pons). Ambang respirasi rendah, pada pemeriksaan darah ada alkalosis respirasi, PCO2 arterial rendah, pH meningkat dan ada hipoksia ringan. Pemberian O2 tidak akan mengubah pola pernafasan. Biasanya didapatkan pada infark mesensefalon, pontin, anoksia atau hipoglikemia yang melibatkan daerah ini dan kompresi mesensefalon karena herniasi transtentorial.
Respirasi apneustik Terdapat inspirasi memanjang diikuti apnoe pada saat ekspirasi dengan frekuensi 1-11/2 per menit kemudian diikuti oleh pernafasan kluster.
Respirasi kluster Ditandai respirasi berkelompok diikuti apnoe. Biasanya terjadi pada kerusakan pons varolii.
Respirasi ataksik (irregular) Ditandai oleh pola pernafasan yang tidak teratur, baik dalam atau iramanya. Kerusakan terdapat di pusat pernafasan medulla oblongata dan merupakan keadaan preterminal.
Gambar Pernapasan abnormal
-
Pergerakan spontan 15
Perlu melakukan observasi pasien waktu istirahat. Pergerakan abnormal seperti twitching, mioklonus, tremor merupakan petunjuk gangguan toksik/ metabolik. Apabila tampak pergerakan spontan dengan asimetrik (tungkai bawah rotasi keluar menunjukkan defisit fokal motorik). Komponen brain stem dari ARAS masih baik bila tampak mengunyah, berkedip dan menguap spontan dan dapat membantu lokalisasi penyebab koma. -
Pemeriksaan saraf kranial Jika pada pemeriksaan saraf kranial (saraf okular) tampak asimetrik dicurigai lesi struktural. Umumnya pasien koma dengan reflek brain stem normal maka menunjukkan kegagalan kortikal difus dengan penyebab metabolik. Obatobatan seperti barbiturat, diphenylhydantion, diazepam, antidepresan trisiklik dan intoksikasi etanol dapat menekan refleks okular tetapi refleks pupil tetap baik. Impending herniasi ditandai oleh pola pernafasan tidak teratur, pupil miosis dan refleks pupil menurun.
-
Repons motorik terhadap stimuli Defisit fokal motorik biasanya menunjukkan kerusakan struktur, sedangkan dekortikasi/deserebrasi dapat terjadi pada kelainan metabolik toksik atau kerusakan struktural. Gerakan-gerakan abnormal seperti tremor dan mioklonus sering terjadi pada gangguan metabolik toksik.
8.
Tatalaksana Penurunan Kesadaran Prinsip pengobatan kesadaran dilakukan dengan cepat, tepat dan akurat, pengobatan dilakukan bersamaan dalam saat pemeriksaan. Pengobatan meliputi dua komponen utama yaitu umum dan khusus. a.
Umum
Tidurkan pasien dengan posisi lateral dekubitus dengan leher sedikit ekstensi bila tidak ada kontraindikasi seperti fraktur servikal dan tekanan intrakranial yang meningkat.
16
Posisi trendelenburg baik sekali untuk mengeluarkan cairan trakeobronkhial, pastikan jalan nafas lapang, keluarkan gigi palsu jika ada, lakukan suction di daerah nasofaring jika diduga ada cairan.
Lakukan imobilisasi jika diduga ada trauma servikal, pasang infus sesuai dengan kebutuhan bersamaan dengan sampel darah.
Pasang monitoring jantung jika tersedia bersamaan dengan melakukan elektrokardiogram (EKG).
Pasang nasogastric tube, keluarkan isi cairan lambung untuk mencegah aspirasi, lakukan bilas lambung jika diduga ada intoksikasi. Berikan tiamin 100 mg iv, berikan destrosan 100 mg/kgbb. Jika dicurigai adanya overdosis opium/ morfin, berikan nalokson 0,01 mg/kgbb setiap 5-10 menit sampai kesadaran pulih (maksimal 2 mg).
b.
Khusus -
Pada herniasi
Pasang ventilator lakukan hiperventilasi dengan target PCO2: 25- 30 mmHg.
Berikan manitol 20% dengan dosis 1-2 gr/ kgbb atau 100 gr iv. Selama 1020 menit kemudian dilanjutkan 0,25-0,5 gr/kgbb atau 25 gr setiap 6 jam.
Edema serebri karena tumor atau abses dapat diberikan deksametason 10 mg iv lanjutkan 4-6 mg setiap 6 jam.
Jika pada CT scan kepala ditemukan adanya CT yang operabel seperti epidural hematom, konsul bedah saraf untuk operasi dekompresi.
-
Pengobatan khusus tanpa herniasi
Ulang pemeriksaan neurologi yang lebih teliti.
Jika pada CT scan tak ditemukan kelainan, lanjutkan dengan pemeriksaan pungsi lumbal (LP). Jika LP positif adanya infeksi berikan antibiotik yang sesuai. Jika LP positif adanya perdarahan terapi sesuai dengan pengobatan perdarahan subarakhnoid.
17
BAB III TINJAUAN PUSTAKA PENURUNAN KESADARAN PADA KASUS PENYAKIT DALAM
No
Penyebab metabolik atau
Keterangan
sistemik 1
Elektrolit imbalans
Hipo- atau hipernatremia
2
Endokrin
Hipoglikemia, ketoasidosis diabetik
3
Toksik
Intoksikasi narkotika
4
Gagal organ
Gagal ginjal (ensefalopati uremik), shock, gagal hepar (ensefalopati hepatik)
1.
Elektrolit Imbalans GANGGUAN KESEIMBANGAN NATRIUM Natrium berperan dalam menentukan status volume air dalam tubuh. Keseimbangan natrium yang terjadi dalam tubuh diatur oleh dua mekanisme yaitu pengatur:
Kadar natrium yang sudah tetap pada batas tertentu.
Keseimbangan antar natrium yang masuk dan yang keluar (steady state). Perubahan kadar natrium dalam cairan ekstrasel akan mempengaruhi kadar
hormon terkait seperti Anti diuretik (ADH), sistem RAA (renin angiotensin aldosteron), atrial natriuretic peptide (ANP), brain natriuretic peptide (BNP). Hormon-hormon ini akan mempengaruhi ekskresi natrium di dalam urin. Naik turunnya ekskresi natrium dalam urin diatur oleh filtrasi glomerulus dan reabsorpsi oleh tubulus ginjal. Peningkatan volume cairan (hipervolemia) dan peningkatan asupan natrium akan meningkatkan laju filtrasi glomerulus; sedangkan pada deplesi volume intravaskular (hipovolemia) serta asupan natrium yang berkurang anak mengurangi LFG. Perubahan-perubahan LFG tersebut akan mempengaruhi reabsorpsi natrium pada tubulus (glomerulotubular balance). 18
Sebanyak 60 – 65% natrium yang difiltrasi direabsorpsi di tubulus proksimal, 25 – 30% di loop of henle, 5% di tubulus distal, dan 4% di duktus koligentes.
A.
Hiponatremia Respon fisiologis dari hiponatremia adalah tertekannya pengeluaran ADH dari hipotalamus sehingga ekskresi urin meningkat oleh karena saluran-air (AQP2) dibagian duktus koligentes berkurang (osmolaritas urin rendah). hiponatremia terjadi bila: (a) Jumlah asupan cairan melebihi kemampuan ekskresi, (b) Ketidakmampuan menekan sekresi ADH misalnya pada kehilangan cairan melalui saluran cerna atau gagal jantung atau sirosis hati pada SIADH (Syndorome Inappropriate Anti Diuretic Hormone Secretion). Hiponatremia (kadar natrium serum <135 mmol/L) menyebabkan perubahan volume ekstrasel: a)
Hiponatremia dengan hipovolemia (Hiponatremia dengan ADH meningkat) Hiponatremia tipe ini disebabkan tubuh kehilangan garam bersamaan dengan hilangnya air. Pada kasus ini, sekresi Anti Diuretik Hormon (ADH) ditekan (via osmoreseptor hipotalamus); namun ketika kehilangan cairan, reseptor volume menggantikan osmoreseptor dan menstimulasi rasa haus dan pelepasan ADH. Hal ini merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk mempertahankan volume pada sirkulasi terhadap osmolalitas.
Tabel Penyebab Hiponatremia disertai Kehilangan Cairan (Hipovolemia)
19
Dengan adanya kehilangan natrium ekstra-renal dan dengan keadaan ginjal yang masih normal, tubuh gagal mengekskresikan natrium pada urin bersamaan dengan hilangnya air, sehingga urin menjadi terkonsentrasi (<20 mmol/L). Namun, pada kerusakan ginjal yang menyebabkan hilangnya natrium, kompensasi ginjal tidak dapat muncul sehingga satu-satunya jalan adalah merangsang rasa haus.
Gejala Klinis Dengan hilangnya natrium, gejala klinis yang timbul biasanya di dominasi oleh gejala hilangnya cairan. Gejalanya bisa bervariasi, mulai dari haus, kram otot, nauseadan vomitus, dan hilangnya keseimbangan saat berdiri (postural dizziness). Hilangnya cairan pada sirkulasi menyebabkan hipotensi dan gangguan perfusi otak, menyebabkan penurunan kesadaran dan koma. Sedangkan untuk tanda-tandanya dibagi menjadi dua, yaitu tanda kehilangan cairan interstitial dan tanda kehilangan volume sirkulasi.
Hilangnya cairan interstitial menyebabkan hilangnya elastisitas kulit (turgor) – kekuatan recoil kulit untuk kembali lagi setelah dilakukan traksi. Turgor kulit berkurang sesuai dengan usia, terutama pada bagian perifer. Tugor kulit pada segitiga anterior leher atau pada bregma dapat dilakukan pada segala jenis umur.
Kehilangan volume sirkulasi menyebabkan penurunan tekanan vena dan (jika parah) kompartemen atrium. Kehilangan 1 L cairan ekstrasel pada dewasa dapat dikompensasikan dengan venokonstriksi sehingga tidak menimbulkan gejala. Hilangnya cairan > 1 L akan menimbulkan: o Hipotensi Postural Normalnya, tekanan darah akan meningkat ketika seseorang berdiri,
hal
ini
disebabkan
pengembalian
vena
karena
venokonstriksi (untuk mempertahankan perfusi otak). Hilangnya cairan ekstrasel (underfill) mencegah terjadinya venokonstriksi 20
sehingga menyebabkan penurunan tekanan darah. Hipotensi postural merupakan tanda yang paling baik untuk mengenal gejala deplesi volume, selama penyebab hipotensi postural lain telah disingkirkan
. o Penurunan Tekanan Vena Jugularis Pada pasien dengan hipovolemia, pulsasi vena jugularis hanya bisa dilihat pada pasien dengan posisi berbaring sempurna atau bahkan head-down, karena tekanan atrium kanan kurang dari 5 cmH2O. o Venokonstriksi Perifer Ini menyebabkan akral yang dingin dan kosongnya vena perifer sehingga akan sulit untuk melakukan kanulasi vena. Tanda ini sering tidak terdapat pada pasien sepsis, dimana vasodilatasi perifer terjadi untuk menyeimbangkan hipovolemia. o Takikardia Takikardi tidak selalu menjadi tanda yang dapat dijadikan patokan. Beta-bloker dan obat anti-aritmia dapat mencegah takikardia dan hipovolemia
dapat
mengaktivasi
mekanisme
vagal
dan
menyebabkan bradikardia.
Diagnosis hiponatremia dengan hipovolemia sangat jelas pada pasien dengan riwayat diare, diabetes mellitus, atau overdosis obat 21
diuretik. Pemeriksaan fisik pasien terkadang lebih utama dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium (elektrolit plasma dan urin) Tabel dibawah akan menjelaskan hilangnya cairan dan elektrolit per hari lewat saluran pencernaan. Terkandungnya natrium pada urin (>20 mmol/L) beserta adanya gejala klinis deplesi cairan, menandakan telah terjadi kerusakan ginjal.
Penatalaksanaan Pada pasien yang masih bisa minum:
Beri larutan oralit, 20 gram glukosa + 5 gr NaCl / 1 liter.
Beri tambahan intake garam 60 – 80 mmol/L.
Pada pasien yang tidak bisa minum:
Berikan cairan intravena dengan tambahan kalium, contoh 1,5 – 2,5 liter dekstrosa 5% (dengan 20 mmol K+) dan 1 L NaCl 0,9% selama 24 jam DITAMBAH banyaknya cairan yang hilang yang dapat dihitung.
b)
Koreksi asam-basa biasanya tidak diperlukan.
Hiponatremia
dengan
volume
cairan
ekstrasel
yang
normal
(euvolemia) Hiponatremia tipe ini diakibatkan jumlah intake air yang masuk tidak dapat diekskresikan oleh ginjal (hiponatremia dilusional) tanpa adanya perubahan natrium pada tubuh namun osmolalitas plasma menurun. Dengan fungsi ginjal yang masiih normal, hiponatremia dilusional jarang terjadi meskipun dengan pasien yang minum air 1 L per jam. Penyebab yang paling sering terjadi adalah iatrogenik, yaitu infus berlebihan glukosa 5% pada pasein post-operasi; pada situasi ini kondisi diperparah dengan sekresi ADH berlebihan akibat respon terhadap stress. Untuk mencegah hiponatremia pasca-operasi, gunakan larutan NaCl 0,9% kecuali jika ada indikasi lain. Serum natrium harus dihitung tiap hari jika pasien diberikan cairan parenteral terus-menerus.
22
Tabel Penyebab Hiponatremia Euvolemia
Gejala Klinis Gejala Hiponatremia dilusional umumnya terjadi secara akut (<48 jam post-operasi). Gejala jarang timbul kecuali jika serum natrium sudah mencapai <120 mmol/L. Gejalanya terutama berupa kelainan neurologis akibat pergerakan air ke sel otak akibat penurunan osmolalitas ekstrasel. Hiponatremia ensefalopati memberikan gejala berupa sakit kepala dan penurunan kesadaran, sehingga pasien akan mngalami rasa mengantuk, kontraksi mioklonik, kejang general, dan bahkan koma. Pada MRI otak akan terlihat edema otak dalam konteks kelainan elektrolit dan gejala neurologis. Faktor risiko untuk terjadinya hiponatremia ensefalopati. Adaptasi otak terhadap hiponatremia adalah ektrusi darah dan cairan serebrospinal (CSF), begitu juga dengan natrum, kalium, dan osmolit organik, agar terjadi penurunan osmolalitas otak. Beberapa faktor dapat mengurangi adaptasi otak tersebut.
Anak dibawah 16 tahun mempunyai rasio volume otak-intrakranial yang lebih besar dibandingkan dengan dewasa. 23
Wanita premenopause lebih sering terjadi ensefelopati daripada wanita postmenopause akibat efek inhibisi hormon seksual dan efek vasopressin pada sirkulasi serebral yang menyebabkan vasokonstriksi dan hipoperfusi otak.
Hipoksemia merupakan faktor risiko terbesar terjadinya ensefalopati hiponatremia. Pasien hiponatremia yang berkembang menjadi hipoksia akibat
edema
non-kardiopulmoner
atau
kegagalan
respirasi
hiperkapnea, mempunyai mortalitas tinggi.
Investigasi Penyebab hiponatremia dengan volume ekstrasel yang masih normal memerlukan pemeriksaan:
Elektrolit plasma dan urin serta osmolalitasnya. Konstrasi natrium plasma, klorida, dan urea yang rendah menandakan adanya osmolalitas yang rendah. Konsentrasi natrium urin biasanya meningkat sehingga perbandingan osmolalitas urin melebihi osmolalitas plasma.
Untuk pemeriksaan lebih lanjut dapat dilakukan untuk menyingkirkan penyakit Addison, hipotiroidisme, Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone (SIADH), dan obat-obatan penyebab retensi air (contoh: klorpropramid).
Harus diingat, bahwa penurun magnesium dan kalium dapat mencetus pelepasan ADH sehingga menjadi penyebab hiponatremia akibat diuretik.
Pengobatan Penyebab utama hiponatremia ini harus dikoreksi secara cepat.
Kebanyakan kasus dilakukan pembatasan intake air (500 – 1000 mL per hari) dengan bersamaan pemberian diuretik. Pada defisiensi natrium yang moderat, pemberian NaCl 0.9% per 12 jam dapat membantu
mengembalikan
kadar
natrium
magnesium dan kalium juga harus dikoreksi.
24
tubuh.
Defisiensi
Pada gejala akut dapat diberikan larutan hipertonik saline (NaCl 0,3%, 513 mmol/L) yaitu hanya diberikan pada pasien yang sudah menunjukkan
gejala-gejala
neurologis
parah,
seperti
koma.
Pemberiannya tidak boleh terlalu cepat (70 mmol/jam), tujuan penatalaksanaanya adalah untuk menaikkan kadar serum natrium 8-10 mmol/L pada 4 jam pertama, dan tidak melebihi 15-20 mmol/L/48 jam. Singkatnya, natrium pada plasma tidak boleh dikoreksi jika kadarnya 125 – 130 mmol/L. NaCl 0,3% dapat menaikkan kadar natrium serum sebanyak 1 mmol/L dengan dosis 1 ml/KgBB, jika mengasumsikan 50% total berat tubuh adalah cairan. Pada beberapa kasus, furosemid dapat digunakan agar mencegah edema pulmoner dan untuk mengkoreksi konsentrasi natrium. Cairan salin hipertonik tidak boleh diberikan pada penderita yang sudah mengalim kelebihan cairan agar tidak terjadi acute heart failure; pada siituasi ini, 100 ml mannitol 20% dapat diberikan untuk meningkatkan eksresi air pada ginjal.
Pada kasus kronis. Jika hiponatremia berkembang perlahan, maka tubuh akan beradaptasi dengan mengurangi osmolalitasi intraselular sehingga hiponatremia dapat dikoreksi.
Peningkatan
osmolalitas
ekstraseluler
secara
tiba-tiba
dapat
menyebabkan pengecilan sel otak sindroma yang disebut sebagai central pontine myelinosis. Antagonis reseptor Vasopressin V2 dapat menyebabkan free water diuresis, yaitu diuresis tanpa natriuria atau kaliuria, sehingga cocok digunakan pada pasien dengan hiponatremia ensefalopati. Tiga agen oral, lixivaptan, tolvaptan, dan satavaptan, merupakan agen selektif V2 bloker, sedangkan konivaptan memblok reseptor V1A dan V2. Obat ini menyebabkan diuresis tanpa mengekskresikan natrium dan kalium; mereka meningkatkan konsentrasi natrium plasma pada pasien dengan hiponatremia akibat SIADH, gagal jantung, dan sirosis.
25
c)
Hiponatremia dengan hipervolemia Penyebab hiponatremia akibat berlebihnya cairan dapat dilihat pada tabel dibawah.
Pada seluruh kondisi tersebut umumnya disebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dengan penurunan reabsorpsi natrium dan kalium pada tubulus proksimal sehingga urin tidak lagi menjadi dilusi. Keadaan ini dapat diperparah dengan pemberian diuretik yang memblok reabsorpsi klorida dan diuretik yang mengganggu dilusi filtrat, baik di lengkung henle (loop diuretics) maupun di distal (tiazid). Menurut waktu terjadinya hiponatremia, maka hiponatremia dapat dibagi dalam: Hiponatremia akut. Disebut akut bila kejadian hiponatremia berlangsung cepat, yaitu kurang dari 48 jam. Pada keadaan ini akan menyebabkan kejang atau koma. Hal ini terjadi akibat adanya edema sel otak karena air dari ekstrasel masuk ke intrasel yang osmolalitasnya lebih tinggi. Kelompok ini disebut juga sebagai hiponatremia simptomatik atau hiponatremia berat. Pada keadaan ini, perlu diberikan larutan natrium hipertonik intravena. Kadar natrium plasma dinaikkan 5 mEq/L dari kadar natrium awal dalam 1 jam. Setelah itu dinaikkan 1 mEq/L/jam sampai kadar natrium mencapai 130 mEq/L. Rumus yang dipakai untuk mengetahui jumlah natrium dalam larutan natrium hipertonik yang diberikan adalah: 0,5 x BB (kg) x (Kadar Na awal – Kadar Na yang diinginkan)
Hiponatremia kronik. Disebut kronik bila kejadian hiponatremia melebihi 48 jam. Pada keadaan ini tidak terjadi gejala yang berat seperti penurunan kesadaran atau kejang, gejala yang terjadi hanya ringan seperti lemas atau mengantuk. 26
Kelompok ini disebut juga sebagai hiponatremia asimptomatik. Pada keadaan ini koreksi natrium dilakukan secara perlahan, yaitu 0,5 mEq/L/jam, maksimal 10 mEq/L dalam 24 jam. Bila delta Na sebesar 8 mEq/L, dibutuhkan waktu pemberian selama 16 jam.
B.
Hipernatremia Respon fisiologis hipernatremia adalah meningkatnya pengeluaran ADH dari hipotalamus sehingga ekskresi urin berkurang oleh karena saluran air (AQP2) di bagian apikal duktus koligentes bertambah (osmolalitas urin tinggi). Hipernatremia terjadi bila:
Adanya defisit cairan tubuh akibat ekskresi air melebihi ekskresi natrium atau asupan air yang kurang. Misalnya pada pengeluaran air tanpa elektrolit melalui insensible water loss, atau keringat, osmotik diare akibat pemberian laktulose atau sorbitol; diabetes insipidus sentral maupun nefrogenik; diuresis osmotik akibat glukosa atau manitol; gangguan pusat rasa haus di hipotalamus akibat tumor atau gangguan vaskular. Deplesi volume dan defisit cairan menyebabkan ekskresi Na dalam urin rendah sehingga kadarnya kurang dari 25 mEq/L.
Penambahan natrium yang melebihi jumlah cairan dalam tubuh, misalnya koreksi bikarbonat berlebihan pada asidosis metabolik. Pada keadaan ini tidak terjadi deplesi volume sehingga natrium yang berlebihan akan diekskresikan ke dalam urin menyebabkan kadara natrium dalam urin lebih dari 100 mEq/L.
Masuknya air tanpa mengandung elektrolit ke dalam sel. Misalnya pada altihan olahraga yang berat, asam laktat dalam sel meningkat sehingga osmolalitas sel juga meningkat da air dari ekstrasel akan masuk ke intrasel. Biasanya kadar natrium akan kembali normal dalam waktu 5 – 15 menit setelah istirahat.
Manusia dalam keadaan normal tidak akan pernah mengalami hipernatremia, karena respons haus yang timbul akan dijawab dengan asupan air yang meningkat sehingga tidak terjadi hipernatremia. Hipernatremia terjadi bila 27
respon kekurangan air tidak diatasi dengan baik, misalnya pada orang dengan usia lanjut dan penderita diabetes insipidus (volume urin dapat >10 L). Dalam keadaan hipotalamus yang normal serta fungsi ginjal yang normal, hipernatremia akan menyebabkan osmolalitas urin menjadi lebih dari 700 – 800 mosm/kg. Dalam kaitan dengan hipernatremia, harus membedakan antara deplesi volume dengan dehidrasi. Deplesi volume adalah keluarnya air tanpa natrium (cairan
hipotonik)
dari
dalam
tubuh
yang
mengakibatkan
timbulnya
hipernatremia. Dengan kata lain, deplesi volume sama dengan hipovolemia dengan normonatremia. Sedangkan pada dehidrasi terjadi pengurangan air baik ekstrasel maupun intrasel sedang pada deplesi volume, air yang berkurang hanyalah air ekstrasel.
Gejala Klinis Timbul pada peningkatan natrium plasma secara akut hingga 158 mEq/L. Gejala yang ditimbulkan akibat mengecilnya volume otak oleh karena air keluar dari dalam sel. Pengecilan volume ini menimbulkan robekan pada vena dan menyebabkan perdarahan lokal di otak dan subarakhnoid. Gejala dimulai dari letargia, lemas, twitching, kejang, dan akhirnya koma. Kenaikan akut di atas 180 mEq/L dapat menyebabkan kematian.
Penatalaksanaan Hipernatremia Langkah
pertama
yang
dilakukan
adalah
menetapkan
etiologi
hipernatremia. Sebagian besar penyebab hipernatremia adalah defisit cairan tanpa elektrolit akibat koreksi air yang tidak cukup atau kehilangan cairan tanpa elektrolit melalui saluran cerna, urin, atau saluran nafas. Setelah etiologi ditetapkan, langkah berikutnya mencoba menurnkan kadara natrium dalam darah. Pada diabetes insipidus, sasaran pengobatan adalah mengurangi volume urin (desmopressin pada diabetes insipidus sentral atau diuretik tiazid, mengurangi asupan garam atau protein pada diabetes insipidus
28
nefrogenik). Bila penyebabnya adalah asupan natrium berlebihan, pemberian natrium dihentikan. Penyebab yang tersering adalah defisit cairan tanpa elektrolit (dehidrasi),
pengobatan
dilakukan
dengan
koreksi
cairan
berdasarkan
penghitungan jumlah defisit cairan.
PENANGGULANGAN GANGGUAN KESEIMBANGAN CAIRAN Hipovolemia Ada dua tindakan yang dilakukan dalam mengatasi keadaan ini yaitu menanggulangi penyakit yang mendasari dan penggantian cairan yang hilang. Untuk mengetahui jumlah cairan yang akan diberikan perlu diketahui prediksi cairan yang akan diberikan perlu diketahui prediksi cairan yang hilang dari tubuh. Pada hipovolemia, cairan yang hilang berasal dari cairan ekstrasel (intravaskuler dan interstitium) oleh karena cairan yang hilang adalah cairan yang isotonic. Dalam keadaan normal, osmolaritas cairan interstitium dan intravaskuler adalah sama (isotonik), maka penghitungan cairan yang hilang didasarkan pada persen berkurangnya plasma (cairan intravaskular).
Status Hipovolemia Hipovolemia Ringan Hipovolemia Sedang Hipovolemia Berat
Kadar Volume Plasma ≤ 20% volume plasma 20 - 40% volume plasma ≥ 40% volume plasma
Gejala Takikardia Takikardia & hipotensi ortostatik Hipotensi, takikardi, oligouria, agitasi
Perlu diingat bahwa volume plasma adalah sebesar 6% dari berat bada orang dewasa. Sebagai contoh, deplesi volume ringan (20%) pada orang dewasa sebesar 60 kg, volume cairan yang hilang sebesar 20% dari 3,6 liter adalah 0,72 liter (720 mL). Kecepatan pemberian cairan tergantung pada keadaan klinis yang terjadi. Pada deplesi volume yang berat, kecepatan cairan diberi dalam waktu yang cepat hingga terjadi perbaikan takikardia dan tekanan darah. Jenis cairan yang diberikan tergantung dari cairan yang ke luar. Bila pendarahan sebaiknya diganti dengan darah juga. Bila persediaan darah tidak ada, dapat diberikan cairan koloid atau cairan kristaloid seperti NaCl isotonik atau cairan ringer laktat. Cairan koloid tetap tertahan dalam intravaskular, sedangkan 29
cairan kristaloid akan masuk sebanyak duapertiganya ke cairan interstitium. Bila cairan keluar dari saluran intestinal (diare atau muntah), jenis cairan pengganti dapat berupa NaCl isotonis atau ringer laktat. Pada diare, lebih dianjurkan pemberian ringer laktat oleh karena potensi terjadinya asidosis metabolik pada diare yang berat.
Dehidrasi Dehidrasi melibatkan pengurangan cairan intrasel dan ekstrasel secara bersamaan di mana 40% dari cairan yang hilang berasal dari ekstrasel dan 60% berasal dari intrasel. Hipernatremia pada pasien dengan hipovolemia, merupakan tanda klinis dehidrasi. Defisit cairan tubuh total ini dapat dihitung dengan rumus: Defisit Cairan = 0,4 x berat badan [kg] x (Na Plasma / 140 – 1)
Untuk koreksi cairan, jenis cairan yang diberikan adalah cairan dekstrosa isotonik. Volume cairan yang dibutuhkan sesuai dengan perhitungan rumus di atas ditambah dengan insensible water loss + volume urin 24 jam + volume cairan yang keluar melalui saluran cerna. Insensible water loss dihitung sebanyak ± 40 mL/jam. Cairan dapat diberikan intravena atau oral jika pasien sadar. Kecepatan pemberian cairan harus tidak menimbulkan penurunan kadar natrium plasma >0,5 mEq/jam. Sebagai contoh bila kadar natrium plasma > 0,5 meq/jam. Sebagai contoh, bila kadar natrium plasma diturunkan sampai 160 menuju 140 mEq, maka kecepatan pemberian cairan adalah selama 40 jam (20 / 0,5). Bila berat pasien ini adalah 60 kg, maka defisit cairan adalah sebesar: 0,4 x 60 (160 / 140 – 1) = 3,43 liter
Bila insensible water loss sebesar 960 mL dan volume urin 1500 mL/24 jam, maka volume cairan yang dibutuhkan sebesar 3,43 + 0,96 + 1,5 = 5,89 Liter. Jumlah cairan ini diberikan dalam waktu 40 jam atau 0,15 liter/jam. Tindakan lain adalah mengatasi penyebab terjadinya dehidrasi.
30
2.
Endokrin A.
Hipoglikemia Hipoglikemia dan Otak Glukosa merupakan bahan bakar utama otak dalam kondisi fisiologis yaitu sekitar 50% glukosa digunakan untuk otak. Karena otak tidak bisa memetabolisme glukosa, glukosa yang ada pada sirkulasi, glikogen yang disimpan di otot maupun hepar digunakan untuk bahan bakar otak. Hipoglikemia akan mengakibatkan kegagalan otak, yang nantinya ketika plasma glukosa meningkat, keadaan tersebut akan berbalik. Pada penderita DM, hipoglikemia yang paling sering terjadi adalah bersifat iatrogenik, yaitu akibat dari pengobatan itu sendiri. Obat-obatan yang memberikan efek samping hipoglikemia adalah insulin injeksi, golongan sulfonylurea, dan glinid. Hipoglikemia dikatakan rendah jika kadarnya dalam plasma:
< 50 mg/dL pada pria
< 45 mg/dL pada wanita
< 40 mg/dL pada bayi dan anak
Manifestasi Klinis Hipoglikemia Gejala dan tanda hipoglikemia tidak spesifik. Sehingga, gejala klinis hipoglikemia biasanya didokumentasikan dengan menggunakan triad Whipple; gejala yang menunjukkan hipoglikemia, gula darah sewaktu yang rendah; dan terjadi perbaikan setelah glukosa plasma ditingkatkan. Gejala neuroglikopenik, yang diakibatkan oleh hipoglikemia, termasuk gangguan kognitif (glukosa <50 mg/dL), perubahan sikap dan gangguan psikomotor, dan koma. Gejala neurogenik (atau autonomik), yang umumnya disebabkan
oleh
persepsi
perubahan
fisiologis
simpatoadrenal–stimulasi
adrenergik (palpitasi, hiperhidrosis, takikardi, midiriasis, parestesi, tremor, dan ansietas) dan manifestasi glukagon (lapar, nausea, vomitus, rasa tidak nyaman daerah abdomen, dan sefalgia). Tanda dari hipoglikemia termasuk diaphoresis dan pallor, akibat dari vasokonstriksi adrenergik kutaneus dan aktivasi kolinergik dari kelenjar keringat. 31
Gejala dan Tanda Klinis
Stadium parasimpatik ; lapar,mual,tekanan darah turun.
Stadium gangguan otak ringan: lemah lesu ,sulit bicara ,kesulitan menghitung sementara
Stadium simpatik: keringat dingin pada muka ,bibir atau tangan gemetar
Stadium gangguan otak berat: tidak sadar,dengan atau tanpa kejang
Anamnesa
Penggunan preparat insulin atau obat hipoglemik oral: dosis terakhir, waktu pemakaian terakhir, perubahan dosis.
Waktu makan terakhir, jumlah asupan gizi
Riwayat jenis pengobatan dan dosis sebelumnya.
Lama menderita DM, komplikasi DM.
Penyakit penyerta: ginjal, hati, dll.
Penggunaan obat sistematik lainnya: penghambat adrenergik Beta, dll
Pemeriksaan Fisik
Pucat
Diaphoresis
Hipotensi
Heart rate menurun
Penurunan kesadaran
Defisit neurologik fokal transient.
Diagnosis Banding
Hipoglikemia karena Obat: o Sering: insulin, sulfonlurea, alkohol, o Kadang: kinin, pentamidine o Jarang: salisilat, sulfonamide.
32
Hiperinsulinisme endogen: insulinoma, kelainan sel B jenis lain, sekretagogue (sulfonylurea), autoimun, sekresi insulin ektopik
Penyakit kritis: gagal hati ,gagal ginjal, sepsis, starvasi, dan inasasi
Defisiensi endokrin: Kortisol, growth hormone, glukagon, epnefrin
Tumor non-sel B: sarkoma, tumor adrenokortikal, hepatoma, leukemia, limfoma, melanoma
Pasca – prandial; reaktif (setelah operasi gaster), diinduksi alkohol
Pemeriksaan penunjang
Kadar glukosa darah (GD),
Tes fungsi ginjal,
Tes fungsi hati
C- peptide
Terapi Stadium permulaan (sadar)
Berikan gula murni 30 gram (2 sendok makan) atau sirop/permen atau gula murni (bukan pemanis pengganti gula atau gula diit/gula diabetes) dan makanan yang mengandung karbohidrat
Hentikan obat hipoglikemik sementara
Pantau glukosa darah sewaktu tiap 1-2 jam
Pertahankan GD sekitar 200 mg/dL (bila sebelumnya tidak sadar)
Cari penyebab
Stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan curiga hipoglikemia); 1) Diberikan larutan destrosa 40% sebanyak 2 flakon (@50 mL) bolus intra vena. 2) Diberikan cairan dekstrosa 10 % per infus, 6 jam/kolf 3) Periksa GD sewaktu (GDS), kalau memungkinkan dengan glukometer:
Bila GDs < 50 mg /dL-- + bolus dekstrosa 40% 50 % ml IV
33
Bila GDs < 100 mg /dL --+ bolus dekstrosa 40 % 25 % mL IV
4) Periksa GDs setiap satu jam setelah pemberian dekstrosa 40%
Bila GDs < 50 mg/dL -- + bolus dekstrosa 40 % 50 mL IV
Bila GDs <100 mg/dL -- +bolus dekstrosa 40 % 25 mL IV
Bila GDs 100 – 200 mg /dL -- tanpa bolus dekstrosa 40 %
Bila GDs > 200 mg/dL – pertimbangan menurunkan kecepatam drip dekstrosa 10%
5) Bila GDs > 100 mg/dL sebanyak 3 berturut –turut ,pemantauan GDs setiap 2 jam, dengan protokol sesuai diatas, bila GDs >200 mg/dL – pertimbangkan mengganti infus dengan dekstrosa 5 % atau NaCI 0,9 %. 6) Bila GDs >100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut- turut, pemantauan GDS setiap 4 jam, dengan protokol sesuai diatas. Bila GDs > 200 mg/dL – pertimbangkan mengganti infuse dengan dekstrosa 5 % atau NaCI 0.9 % 7) Bila GDS > 100 mg/dL sebanyak 3 kali berturut-turut, slinding scale setiap 6 jam: GDS (mg dL) <200 200 – 250 250 – 300 300 – 350 >350
Insulin (Unit, subkutan) 0 5 10 15 20
8) Bila hipoglikemia belum teratasi, dipertimbangkan pemberian antagonis insulin seperti; adrenalin, kortison dosis tinggi, atau glikagon 0,5-1 mg IV/IM (bila penyebabnya insulin) 9) Bila pasien belum sadar, GDS sekitar 200 mg/dL. Hidrokortison 100 mg/4 jam selama 12 jam atau deksametason 10 mg IV bolus dilanjutkan 2 mg tiap 6 jam dan manitol 1,5 - 2 g/kgBB IV setiap 6-8 jam, cari penyebab lain penurunan kesadaran.
Obat Hipoglikemik Oral Penyebab Hipoglikemia
34
Golongan
Sulfonilurea
Glinid
Generik
Nama Dagang Glibenclamid Daonil Minidiap Glipizid Glucotrol-XL Glikuidon Glurerorm Amaryl Gluvas Glimepiride Amadiab Metrix Repaglinid Novonorm Nateglinid Starlix
mg/tab 2,5 - 5 5 -- 10 5 -- 10 30 1-2-3-4 1-2-3-4 1-2-3-4 1-2-3-4 0,5; 1,2 120
Dosis Lama Kerja Harian (mg) (jam) 2,5 - 15 24-Dec 5 -- 20 10 -- 16 5 -- 20 12 -- 16 30-120 10 -- 20 0,5-6 24 1 -- 6 24 1 -- 6 24 1 -- 6 24 1, 5-6 360 -
Frek./Hari 1 -- 2 1 -- 2 1 1 -- 2 1 1 1 1 3 3
Waktu Pemberian
Sebelum Makan
Tidak bergantung jadwal makan
Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasar Waktu Kerja (time course of action) Onset of Action Awal Kerja
Peak Action (Puncak Kerja)
Effective Duration of Action (Lama Kerja)
30 - 60 menit
30 - 90 menit
3 - 5 jam
5 - 15 menit 5 - 15 menit 5 - 15 menit
30 - 90 menit 30 - 90 menit 30 - 90 menit
3 - 5 jam 3 - 5 jam 3 - 5 jam
2 - 4 jam
4 - 10 jam
10 - 16 jam
2 - 4 jam 2 - 4 jam
No Peak No Peak
30 - 60 menit
Dual
10 - 16 jam
70% Insulin aspart protamine / 30% Insulin aspart (NovoMix®30)
10 - 20 menit
Dual
15 - 18 jam
75% insulin lispro protamine / 25% insulin lispro injection (Humalog®Mix25)
5 - 15 menit
1 - 2 jam??
16 - 18 jam
Sediaan Insulin Insulin Prandial (Meal Related) Insulin Short-Acting Regular (Actrapid®; Humulin®R) Insulin Analog rapid-acting Insulin lispro (Humalog®) Insulin glulisine (Apidra®) Insulin aspart (NovoRapid®) Insulin Intermediet-acting NPH (Insulatard®, Humulin®N) Insulin long-acting Insulin glargine (Lantus®) Insulin detemir (Levemir®) Insulin Campuran (Short- dan Intermediet-acting) 70% NPH / 30%regular (Mixtard®; Humulin® 30 / 70)
Hipoglikemia dan cara mengatasinya (PERKENI 2006)
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah <60 mg/dL.
Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes harus selalu dipikirkan kemungkinan terjadinya hipoglikemia. Hipoglikemia paling 35
sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama, sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk pengawasannya (2472 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal ginjal kronik). Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari, mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering lebih lamban dan memerlukan pengawasan yang lebih lama.
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar, banyak keringat, gemetar, rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing, gelisah, kesadaran menurun sampai koma).
Hipoglikemia harus segera mendapatkan pengelolaan yang memadai. Diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 g melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15 menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan hipoglikemia berat.
Pada penderita yang dalam keadaan koma segera diberikan suntikan intra vena dektrosa 40% sebanyak 50ml. Bila masih belum sadar pemberian dekstrosa 40% dapat diulangi. Dilanjutkan dengan pemberian infuse dektrosa 10%, khusus pada mereka yang mendapat obat sulfonylurea sebaiknya infuse dektrosa 10% diteruskan selama 48 jam.
B.
Ketoasidosis Diabetik (KAD) Definisi Adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif.
Faktor Pencetus Infeksi 36
Infark miokard akut Pankreatitis akut Penggunaan obat golongan steroid Menghentikan atau mengurangi dosis insulin
Patofisiologi KAD adalah suatu keadaan dimana terdapat suatu defisiensi insuli absolut atau relatif dan peningkatan hormon counter-regulator (glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone); keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hepar meningkat dan pemakaian glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia.
Gejala Klinis Pernapasan cepat & dalam (kussmaul) Berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah & bibir kering) Kadang disertai hipovolemia sampai syok 37
Kriteria Diagnosis Kadar glukosa ≥ 250 mg% pH < 7,35 HCO3 rendah Anion gap yang tinggi Keton serum positif
Penatalaksanaan PRINSIP PENATALAKSANAAN: 1. Penggantian cairan dan garam yang hilang. 2. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati dengan pemberian insulin. 3. Mengatasi stress sebagai pencetus KAD. 4. Mengembalikan keadaan fisiologi normal dan menyadari pentingnya pemantauan serta penyesuaian pengobatan. Pengobatan KAD tidak terlalu rumit. Terdapat 6 hal yang harus diberikan, dan 5 di antaranya harus terpenuhi, yaitu cairan, garam, insulin, kalium, dan glukosa.
Cairan:
Dehidrasi larutan garam fisiologis
Berdasarkan perkiraan cairan yang hilang pada KAD mencapai 100ml/kgBB maka: 1 jam pertama 1-2 liter Jam kedua = 1 liter Jam selanjutnya sesuai protocol 38
Jika kadar glukosa <200 mg/dL maka perlu diberikan larutan mengandung glukosa (D5% atau D10%).
Pengobatan umum: 1. Antibiotik yang adekuat 2. Oksigen bila pO2 < 80 mmHg 3. Heparin bila ada DIC atau bila hiperosmolar (>380 mOsm/l)
Pemantauan Konsentrasi glukosa darah tiap jam dengan glukometer Elektrolit setiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya tergantung keadaan
39
Analisis gas darah, bila pH < 7 saat masuk, tiap 6 jam hingga pH > 7,1, selanjutnya setiap hari sampai stabil Tekanan darah, nadi, frek nafas dan tempratur setiap jam Keadaan hidrasi, balans cairan Waspada terhadap kemungkinan DIC
Komplikasi Edema paru Hipertrigliseridemia Infark miokard akut Komplikasi iatrogenik:
C.
-
hipoglikemia
-
hipokalemia
-
hiperkloremia
-
edema serebri
-
hipokalsemia
Hiperglikemi Hiperosmolar Non Ketotik (HHNK) Definisi Hiperglikemi Hiperosmolar Non Ketotik merupakan komplikasi akut pada Diabetes Melitus (DM). Sindrom HHNK ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolar, tanpa disertai adanya ketosis, dengan gejala klinis utama adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat, dan seringkali disertai dengan gangguan neurologis atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu, dengan gejala khasnya yaitu sering haus, polidipsi, poliuri, dan penurunan berat badan, dan kadang sampai koma. Ditinjau dari segi patofisiologi, HHNK dan KAD merupakan suatu dekompensasi metabolik pada pasien DM; yang berbeda adalah onset, derajat dehidrasi, dan beratnya ketosis.
40
Ringan
KAD Sedang
Berat
>250
>250
>250
>600
7,25 - 7,30
7,00 - 7,24
<7,00
>7,30
15 - 18
10 - <15
<10
>15
Positif
Positif
Positif
Sedikit/Negatif
Bervariasi
Bervariasi
Bervariasi
>320
>10 Sadar
>12 Sadar, Drowsy
>12 Stupor, Koma
Bervariasi Stupor, Koma
Variabel Kadar Glukosa Plasma (mg/dL) Kadar pH Arteri Kadar Bikarbonat Serum (mEq/L) Keton pada Urin atau Serum Osmolaritas Serum (mOsm/kg) Anion Gap Kesadaran
HHNK
Faktor Pencetus HHNK sering terjadi pada penderita DM usia tua, yang mempunyai penyakit penyerta sehingga penurunan asupan makanan. Faktor pencetus dapat dibagi menjadi enam kategori:
Infeksi (selulitis, karies dentis, ISPA, ISK)
Pengobatan (antagonis kalsium, kemoterapi, klorpromazin, Loop Diuretics, fenitoin, propranolol, diuretik tiazid)
Noncompliance (ketidakpatuhan minum obat)
DM tidak terdiagnosis
Penyalahgunaan obat (alkohol, kokain)
Penyakit penyerta (infark miokard akut, hipertermia, hipotermia, pankreatitis, emboli paru, gagal ginjal, tirotoksikosis)
Patofisiologi
41
Patofisiologi HHNK
Faktor yang memulainya HHNK adalah diuresis glikosuria. Glikosuria mengakibatkan kegagalan kemampuan ginjal dalam mengkonsentrasikan urin, yang semakin memperberat derajat kehilangan urin. Pada keadaan normal, ginjal berfungsi mengeleminasi kelebihan glukosa (sifat glukosa yaitu dapat menarik air) dalam tubuh dalam batas tertentu. Namun, karena adanya penurunan volume intravaskular yang telah ada sebeblumnya menyebabkan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) menurun, sehingga konsentrasi glukosa dalam urin meningkat. Hilangnya air yang lebih banyak dibandingkan dengan natrium menyebabkan keadaan hiperosmolar. Hal ini diperparah dengan keadaan insulin yang ada dalam tubuh tidak mencukupi untuk menurunkan kadar glukosa darah. Pada HHNK, masih belum jelas mengapa tidak terbentuk ketoasidosis. Faktor yang diduga adalah keterbatasannya ketogenesis akibat keadaan hiperosmolar, konsentrasi asam lemak bebas yang rendah untuk ketogenesis, ketersediaan insulin yang cukup untuk mencegah ketogenesis (namun tidak cukup untuki mencegah hipoglikemia), dan resistensi hepar terhadap glukagon. Penurunan penggunaan glukosa oleh jaringan perfier (hepatosit dan miosit), ketidak mampuan stimulasi glukagon untuk menyimpan glukosa pada
42
hepatosit dalam bentuk glikogen, dan stimulasi glukagon untuk pembentukan glukoneogenesis memperparah keadaan hiperglikemia. Hiperglikemia menyebabkan dieresis osmotik. Karena tekanan osmotik glukosa yang tinggi, sehingga air di dalam lumen tubulus ginjal tidak dapat di reabsorpsi ke dalam pembuluh darah, sehingga akan mningkatkan diuresis. Hiperglikemia, bersamaan dengan peningkatan konsentrasi protein plasma yang mengikuti hilangnya cairan intravaskular, menyebabkan keadaan hiperosmolar. Keadaan hiperosmolar dapat menyebabkan rangsangan hormon ati-diuretik, sehingga akan meningkatkan rasa haus. Seluruh patofisiologi di atas (hiperglikemi dan hiperosmolar) nantinya akan menimbulkan dehidrasi (jika tubuh tidak mampu melakukan dekompensasi) dan kemudian hipovolemia. Hipovolemia nantinya akan menyebabkan hipotensi dan akhirnya gangguan perfusi jaringan (syok).
Gejala Klinis Pasien HHS umumnya berusia lanjut (> 60 thn). Gejala klinis utama: - Dehidrasi berat - Hiperglikemia berat - Sering disertai gangguan. Neurologis (letargi, disorientasi, hemiparesis, kejang/koma) dengan atau tanpa adanya ketosis
Keluhan pasien: - Rasa lemah - Gangguan penglihatan - Kaki kejang - Mual dan muntah - Letargi, disorientasi, hemiparesis, dan kejang - Koma (jika osmolaritas serum > 350 mOsm/kg = 350 mmol/kg)
Pemeriksaan Fisik: Tanda dehidrasi berat: 43
- Turgor kulit buruk - Mukosa bibir kering - Mata cekung - Ekstremitas dingin - Denyut nadi cepat dan lemah - Peningkatan suhu tubuh yang tidak terlalu tinggi
Secara klinis HHNK sulit dibedakan dengan KAD. Untuk mendiagnosis HHNK, dapat digunakan pegangan sebagai berikut:
Sering ditumkan pada usia lanjut (> 60 tahun)
Hampir ditemukan pada pasien DM atau DM tidak terdiagnosis/terkontrol
Mempunyai penyakit dasar lain
Sering disebabkan oleh obat-obatan seperti tiazid, furosemid, manitol, digitalis, reserpin, steroid, klorpromazin, hidralazin, dilantin, simetidin, dan haloperidol.
Mempunyai faktor pencetus (infeksi, penyakit kardiovaskular, perdarahan, gangguan keseimbangan cairan, pankreatitis, koma hepatik, dan operasi).
Pemeriksaan Laboratorium Temuan awal:
Hiperglikemia (> 600 mg/dL)
Hiperosmolaritas serum (> 320 mOsm/kg H20 [normal = 285 – 295])
pH >7,30
Ketonemia ringan atau negatif
Anion gap 10 – 12 (asidosis metabolik ringan), atau >12 (kemungkinan asidosis laktat)
Temuan lain:
Ureum & kreatinin meningkat
Blood urea nitrogen meningkat atau normal
Hematokrit hampir selalu meningkat
44
Konsentrasi natrium harus dikoreksi jika konsentras glukosa darah pasien sangat meningkat. Jenis cairan yang diberikan tergantung dari konsentrasi natrium yang sudah dikoreksi, yang dapat dihitung dengan rumus: Natrium (mEq/L) + 165 x (Glukosa darah [mg/dL]) – 100) / 100
Misalkan konsentrasi natrium hasil pemeriksaan = 145 mEq/L (145 mmol/L) dan konsentrasi glukosa darah plasma 1.100 mg/dL (61,1 mmol/L), maka konsentrasi natrium koreksi: 145 + 165 x (1.100 – 100) / 100 = 145 + 16,5 = 161,5 mEq/L
Untuk menghitung osmolaritas serum efektif dapat digunakan rumus: (2 x Natrium [mEq/L]) + Glukosa darah (mg/dL) / 18 Misalkan konsentrasi natrium hasil pemeriksaan = 145 mEq/L (145 mmol/L) dan konsentrasi glukosa darah plasma 1.100 mg/dL (61,1 mmol/L), maka osmolaritas serum efektifnya: (2 x 150) + 1.100 / 18 = 300 + 61 = 361 mOsm/kg
Penatalaksanaan Meliputi 5 pendekatan: 1. Rehidrasi intravena agresifdengan cairan hipotonis 2. Penggantian elektrolit 3. Pemberian insulin intravena 4. Diagnosis dan manajemen faktor pencetus dan penyakit penyerta 5. Pencegahan Pengobatan utama adalah rehidrasi dengan menggunakan cairan NaCl; bisa diberikan cairan isotonik atau hipotonik ½ normal, diguyur 1000 ml/jam sampai keadaan cairan intravaskular dan perfusi jaringan mulai membaik, baru diperhitungkan kekurangannya dan diberikan dalam 12-48 jam. Pemberian cairan isotonik harus mendapat pertimbangan untuk pasien dengan kegagalan jantung, penyakit ginjal atau hipernatremia. Glukosa 5% diberikan pada waktu kadar glukosa darah sekitar 200-
45
250mg%. Pemberian cairan hipotonik dapat menyebabkan overload cairan sehingga umumnya pada diberikan terlebih dahulu NaCl 0,9% 1L/jam. Insulin, pada saat ini para ahli menganggap bahwa pasien hiperosmolar hiperglikemik non ketotik sensitif terhadap insulin. Untuk dosis awal, dapat diberikan insulin 0,15 U/kgBB bolus IV, dan diikuti dengan drip 0,1 U/kgBB/jam sampai konsentrasi glukosa plasma turun antara 250 – 300 mg/dL. Jika glukosa tidak turun sebanyak 50 – 70 mg/dL dari kadar awal, maka dosis dapat ditingkatkan. Jika glukosa sudah <300 mg/dL maka insulin tambahan diberikan subkutan berdasar kadar glukosa darah setiap 4 jam tersebut (sliding scale):
Glukosa darah: < 150 mg/dl insulin tidak diberikan
Glukosa darah: <150-200 mg/dl insulin diberikan 5 U s.k
Glukosa darah: 200-300 mg/dl Insulin diberikan 10 U s.k
Glukosa darah: 300-400 mg/dl Insulin diberikan 15 U s.k
Glukosa darah: >400 mg/dl insulin diberikan 20 U s.k. Kehilangan elektrolit (kalium total) sering kali tidak diketahui pasti. Pada
pemberian insulin, maka secara otomatis kalium akan masuk ke dalam sel sehingga kadar kalium serum akan berkurang. Jika:
Konsentrasi kalium awal <3,3 mEq/L, pemberian insulin ditunda dan diberikan kalium (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) sampai tercapai kalium setidaknya 3,3 mEq/L.
Konsentrasi kalium awal >5,0 mEq/L konsentrasinya harus diturunkan sampai dibawah 5,0 mEq/L dan dimonitor tiap 2 jam.
Konsentrasi kalium awal 3,3 – 5,0 mEq/L, maka dapat diberikan 20 – 30 mEq kalium ke dalam tiap liter cairan intravena yang diberikan (2/3 KCl dan 1/3 KPO4) untuk mempertahankan kalium 4,0 – 5,0 mEq/L Komplikasi yang timbul pada penatalaksaanaan dapat berupa edema serebri yang
dapat diatasi dengan pemberian mannitol 1-2 mg/kgBB selama 30 menit dan deksametason intravena.
3.
Toksik a)
Intoksikasi Opiat Simtomatologi Opiat 46
Berikut ini dimasukkan beberapa obat dengan simptomatologi yang hampir sama dengan golongan opiate (morfin, petidin, heroin, kodein) dan sedatif: (1) Narkotika; (2) Barbiturat; (3) Benzodiazepin; (4) Meprebamat; (5) Etanol. Tanda dan gejala yang ditemukan: koma, depresi nafas, miosis, hipotensi, bradikardi, hipotermi, edema paru, bising usus menurun, hiporefleksi, dan kejang (pada kasus berat).
PRINSIP PENATALAKSANAAN KERACUNAN Upaya penatalaksanaan harus cepat dan memperhatikan hal-hal berikut: 1.
Penatalaksanaan Kegawatan a) Airways, bebaskan jalan nafas dari sumbatan bahan muntahan, lendir, gigi palsu. Bila perlu dengan perubahan posisi dan oropharyngeal airway dan alat penghisap lendir. b) Breathing, jaga agar pernafasan sebaik mungkin dan bila memang diperlukan dapat dengan alat respirator. c) Circulation, tekanan darah dan volume cairan harus dipertahankan secukupnya dengan pemberian cairan dalam keadaan tertentu dapat diberikan cairan koloid. Bila terjadi henti jantung lakukan RJP.
2.
Penilaian Klinis Penatalaksanaan keracunan harus segera dilaksanakan tanpa menunggu hasil toksikologi. Meskipun diagnosis etiologi sulit ditegakkan, namun beberapa etiologi dapat diidentifikasi secara klinis. Beberapa keadaan klinis yang perlu mendapat perhatian karena dapat mengancam nyawa ialah: koma, kejang, henti jantung, henti nafas, dan syok. Anamnesis. Beberapa pegangan penting dalam anamnesis dalam upaya mengatasi keracunan ialah:
Kumpulkan informasi selengkapnya tentang seluruh obat yang digunakan termasuk obat yang sering dipakai.
47
Kumpulkan informasi dalam anggota keluarga, teman, dan petugas tentang obat yang digunakan.
Tanyakan dan simpan (untuk pemeriksaan toksikologis) sisa obat, muntahan yang masih ada.
Tanyakan riwayat alergi obat atau riwayat syok anafilaksis.
Pemeriksaan Fisik. Lakukan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda/kelainan akibat keracunan yaitu pemeriksaan kesadaran, tekanan darah, nadi, denyut jantung, ukuran pupil, keringat, air liur, dan lainnya. Pemeriksaan penunjang diperlukan berdasarkan skala prioritas dan pada keadaan yang memerlukan observasi pemeriksaan fisik harus dilakukan berulang. 3.
Dekontaminasi Racun Umumnya, zat atau bahan kimia tertentu dapat diabsorpsi dengan baik oleh kulit sehingga dekontaminasi permukaan sangat diperlukan. Jika bahan tersebut tertelan, maka bilas lambung wajib diperlukan. Biasanya dapat diberikan arang aktif, pencahar, dan pemberian obat perangsang muntah.
4.
Pemberian Antidotum Tidak semua keracunan ada penawarnya, sehingga prinsip utama adalah mengatasi sesuai besar masalah. Apalagi antidotum belum tentu tersedia tiap saat.
5.
Terapi Suportif Terapi suportif harus bersifat holistic dan cost effective disesuaikan dengan kondisi di masing-masing pelayanan kesehatan.
6.
Observasi dan Konsultasi
7.
Rehabilitasi
OPIAT Umumnya, opiat digunakan sebagai analgetik melalui mekanisme efek depresi pada otak. Golongan opiat yang biasa dipakai adalah morfin, yaitu
48
digunakan untuk nyeri dada, edema paru, dan nyeri yang hebat pada keganasan. Akan tetapi, penggunaannya akhir-akhir ini mengalami penyalahgunaan. Pengaruh obat pada SSP bervariasi dari obat ke obat. Sedangkan penemuan
secara
patologis
post-mortem
yang
disebabkan
overdosis,
gambarannya tidak khas. Jenis Obat Opium, Dosis Fatal, dan Dosis Pengobatan Jenis Obat Dosis fatal (gram) Kodein 0,8 Dekstrometorfan 0,5 Heroin 0,2 Loperamid (immodium) 0,5 Meperidin (petidin) 1 Morfin 0,2 Nalokson (Narcan)* 0,3 Opium (Papaver somniferum) Pentazocaine (Talwin) 0,3
Dosis Pengobatan (mg) 60 60 - 120 mg/hari 4 100 10
*Antagonis narkotika. Dosis s/d 5 mg tidak menyebabkan kematian
Farmakologi Opiat Setelah pemberian dosis tunggal (putaw) di dalam tubuh akan dihidrolisis oleh hati (6 – 10 menit) menjadi 6 monoacetyl morphine dan setelah itu akan diubah
menjadi
morfin.
Morfin
selanjutnya
diubah
menjadi
Mo
3
monoglucoronide dan Mo 6 monoglucoronide yang larut dalam air. Bentuk metabolit ini yang dapat di tes di dalam urin. Oleh karena heroin (putaw) larut di dalam lemak maka bahan tersebut (± 60%) dapat melalui sawar otak dalam waktu yang cepat.
Mekanisme Toksisitas Pada umumnya, kelompok opiat mempunyai kemampuan untuk menstimulasi SSP melalui aktivasi reseptornya yang akan menyebabkan efek sedasi dan depresi nafas. Kematian umumnya akibat dari apneu atau aspirasi paru dari cairan lambung, sedangkan reaksi edema pulmoner akut mekanismenya masih belum jelas. Reaksi toksisitas bergantung pada obat yang dipakai, rute pemberian, efek toleransi masing-masing individu, lama kerja, dan masa paruh obat.
49
Dengan ditemukannya tipe reseptor opiat di SSP maka mekanisme toksisitas dan atidotnya dapat diterangkan melalui reseptor. Beberapa jenis reseptor opiat pada SSP:
Reseptor Mu1 (µ1): berefek analgesik, euphoria, dan hipotermia.
Reseptor Mu2 (µ2): bradikardi, depresi nafas, miosis, euphoria, penurunan kontraksi usus, dan ketergantungan fisik.
Reseptor Kappa (κ): spinal analgesik, depresi nafas, dan miosis, hipotermia
Reseptor Delta (δ): depresi nafas, disporia, halusinasi, vasomotor stimulasi
Reseptro Gamma (γ): inhibisi otot polos, spinal analgesik
DIAGNOSIS Bila ditemukan gejala klinis yang khas (pin point, depresi nafas, dan membaik setelah pemberian nalokson) maka penegakkan secara klinis dapat ditegakkan secara mudah. Kadang ditemukan bekas suntikan (needle track sign). Pemeriksaan laboratorium tidak selalu seiring dengan gejala klinis. Pemeriksaan secara kualitatif dari bahan urin cukup efektif untuk memastikan diagnosis keracunan opiat dan zat induktif lainnya. Perkiraan Waktu Deteksi dalam Urin Beberapa Jenis Obat Jenis Obat Lamanya Waktu Untuk Terdeteksi Amfetamin 2 hari Barbiturat 1 hari (kerja pendek) 3 minggu (kerja panjang) Benzodiazepin 3 hari Kokain 2 - 4 hari Kodein 2 hari Heroin 1 - 2 hari Methadone 3 hari Morfin 2 - 5 hari
GAMBARAN KLINIK Umumnya, gejala yang timbul adalah penurunan kesadaran (koma) dan gangguan sistem nafas (depresi nafas). Dosis toksis selalu akan menyebabkan kesadaran yang turun sampai koma, pupil yang pin point dapat terjadi dilatasi pupil pada anoksia yang berat, pernafasan yang pelan, sianosis, nadi lemah, hipotensi, spasme dari saluran cerna
50
dan bilier, dapat terjadi edema paru dan kejang. Kematian karena gagal nafas dapat terjadi 2 – 4 jam setelah pemberian oral maupun subkutan, lebih cepat pemberian intravena. Beberapa gejala yang dapat terjadi ialah hipertermi, aritmia, hipertensi, bronkospasme, Parkinson like syndrome, nekrosis tubular akut akibat rabdomiolisis, dan mioglobinuria, gagal ginjal. Kulit dapat berwarna kemerahan, dan dapat terjadi leukositosis dan hipoglikemia.
PENATALAKSANAAN INTOKSIKASI OPIAT
Intoksikasi golongan opiat
Aloanamnesa Riwayat pemakaian obat Bekas suntikan Pemeriksaan Urin
Trias Intoksikasi Opiat:
Depresi Nafas Pupil pin point Kesadaran menurun (koma) Suport sistem pernafasan dan sirkulasi
Nalokson intravena
Observasi/Pengawasan TTV, puasakan 6 jam Gejala Klinis 51
Penurunan kesadaran disertai salah satu dari: 1) RR <12 x/menit 2) Pupil miosis (sering kali pin point) 3) Adanya riwayat pemakaian morfin/heroin/terdapat needle track sign.
Tindakan
Penanganan kegawatan: 1) Bebaskan jalan nafas; 2) Berikan oksigen 100% sesuai kebutuhan 3) Pasang infus dekstrosa 5% emergensi atau NaCl 0,9%; cairan koloid bila diperlukan
Pemberian antidotum nalokson 1) Tanpa hipoventilasi dosis awal 0,4 mg IV 2) Dengan hipoventilasi dosis awal 1 – 2 mg IV 3) Bila tidak ada respon dalam 5 menit nalokson 1 – 2 mg IV hingga timbul respon perbaikan kesadaran dan hilangnya depresi pernafasan, dilatasi pupil, atau telah mencapai dosis maksimal 10 mg. Bila tetap tidak ada respon, lapor ke konsulen tim narkoba. 4) Efek nalokson berkurang 20 – 40 menit setelah pemberian dan pasien dapat jatuh ke dalam overdosis kembali. Pantau ketat kesadaran dan TTV selama 24 jam. Untuk profilaksis, beri nalokson drip 1 ampul dalam 500 cc D5% atau NaCl 0,9% dalam 4 – 6 jam. 5) Simpan sampel urin untuk pemeriksaan toksikologi dan lakukan roentgen thoraks. 6) Pertimbangkan pemasangan ETT bila: a) Pernafasan tidak adekuat b) Oksigenasi berkurang meski ventilasi cukup. c) Hipoventilasi menetap setelah pemberian nalokson kedua kalinya. 7) Pasien dipuasakan 6 jam untuk menghindari akibat spasme pilorik.
Pasien dirawat dan dikonsultasikan ke dalam tim Narkoba Penyakit Dalam untuk penilaian klinis dan rencana rehabilitasi. 52
Dalam menjalankan semua tindakan, harus diperhitungkan prinsip-prinsip universal precaution karena tingginya prevalensi Hepatitis C dan HIV.
Bila perlu, sebelumnya dipasang NGT untuk mencegah aspirasi.
PENGOBATAN
Nalokson. Nalokson adalah antidotum dari intoksikasi opiat baik kasus dewasa maupun anak. Dosis dewasa: 0,4 – 2,0 mg, dosis dapat diulangi pada kasus
berat
dengan
pemanduan
perbaikan
gejala
klinik.
Dapat
dipertimbangkan nalokson drip bila ada kecurigaan pemakaian obat narkotik yang bersifat jangka panjang. Efek nalokson berkisar 2 -3 jam. Bila dalam observasi tidak ditemukan efek obat nalokson setelah pemberian dosis maksimum 10 mg, diagnosis intoksikasi opiat perlu dikaji ulang.
Edema paru diobati sesuai dengan antidotnya, yaitu pemberian nalokson disamping oksigen dan respirator bila diperlukan.
Hipotensi diberikan cairan IV yang adekuat, dapat dipetimbangkan pemberina dopamin dengan dosis 2 – 5 mcg/kgBB/menit dan dapat di titrasi bila diperlukan.
Pasien jangan dicoba untuk dirangsang refleks muntah (pada kasus intoksikasi oral).
Kumbah lambung dapat dilakukan segera setelah intoksikasi dengan opiat oral, awasi jalan nafas dengan baik.
Activated charcoal dapat diberikan pada intoksikasi peroral dengan pemberian 240 mL cairan dengan 30 gr charcoal. Dapat diberikan sampai 100 gram.
Bila kejang, dapat diberikan diazepam IV 5- 10 mg dan dapat diulang bila diperlukan. Monitor TD dan RR dan bila ada indikasi, dapat dipasang ETT.
4.
Gagal Organ A.
Koma Uremia (Ensefalopati Uremik) Pendahuluan Uremia merupakan keadaan akhir dari insufisiensi renal yang progresif dan akibat dari kegagalan multi-organ. Uremia diakibatkan oleh terakumulasinya 53
metabolit protein, asam amino, dan kegagalan katabolisme ginjal, metabolisme, dan proses endokrinologis. Sampai saat ini masih belum ada metabolit yang menyebabkan terjadinya uremia. Ensefalopati uremik (EU) merupakan salah satu dari banyak manifestasi dari gagal ginjal.
Patofisiologi Penyebab pasti dari EU sampai saat ini masih belum diketahui. Beberapa zat organik yang terkumpul seperti urea, asam urat, asam hipurat, berbagai macam asam amino, polipeptida, poliamin, fenol dan konjugasi fenol, asam fenolat dan asam indolat, asetoin, asam glukoronat, karnitin, myoinositol, sulfat, fosfat, dan komponen guanidin (asam guanidisuksinat, metilguanidin, guanidin, dan kreatinin). Akhir-akhir ini telah terbukti bahwa komponen guanidin bersifat neurotoksik. Belum ada satupun abnormalitas yang spesifik berhubungan dengan gejala klinis EU. Meningkatnya kadar glisin, asam organik dan triptofan bebas, berkurangnya GABA pada Liquor Serebrospinal (LCS) mungkin yang mengakibatkan fase awal EU. Pada tikus percobaan dengan gagal ginjal, ditemukan kadar adenosin trrifosfat (ATP) dan glukosa yang meningkat, sedangkan kadar adenosim monofosfat (AMP) dan difosfat (ADP) jumlahnya berkurang. Hal ini menunjukkan pada tikus percobaan, otak menggunakan sedikit ATP dan memproduksi sedikit ADP dan AMP. Asam guanidisuksinat, metilguanid, guanid, dan kreatinin mencegah respon GABA dan glisin (asam amino inhibitor) pada neuron tikus percobaan. Berbagai
kombinasi
imbalans
metabolit
tersebut
diperkirakan
menyebabkan gangguan keseimbangan inhibisi dan eksitasi pada sistemik tubuh.
MANIFESTASI KLINIS Anamnesis Ensefalopati uremik merupakan konsekuensi dari insufisiensi ginjal. Gejala umumnya di sadari oleh orang-orang disekitar penderita. Pada banyak
54
kasus, umumnya gejala yang timbul adalah gejala neurologis, bisa timbul secara perlahan-lahan atau secara cepat. Perubahan pada neurologis seperti hilang ingatan, gangguan konsentrasi, depresi, delusi, letargia, iritabilitas, kelelahan, insomnia, psikosis, stupor, katatonia, dan koma. Pasien juga bisa mengeluh kesulitan berbicara, pruritus, atau twitching.
Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisik, dapat ditemukan:
Myoclonic jerks, twitches, atau fasikulasi
Asterixis (tremor pada pergelangan tangan ketika pergelangan tangan dilakukan gerakan dorsofleksi)
Disarthria
Agitasi
Tetani
kejang, umumnya kejang seluruh tubuh, tonik-klonik
Confusion, stupor, dan berbagai macam bentuk gangguan kesdaran
Koma
Gangguan tidur
Penatalaksanaan Penatalaksanaan EU termasuk pada koreksi imbalan elektrolit, yang umumnya dibutuhkan dialisis (hemodialisis atau dialisis peritoneum). Keluhan menghilang ketika fungsi ginjal membaik.
B.
Shock Hemodinamik Segala faktor-faktor yang berhubungan dengan hemodinamik dapat dikumpulkan menjadi satu inti, yaitu cardiac output. Cardiac Output (CO) adalah jumlah volume darah yang dipompa dari ventrikel kiri dalam satu menit. Darah tersebut digunakan untuk menyuplai sel tubuh dengan oksigen pada darah. 55
Dua komponen penting yang mengatur CO adalah heart rate dan stroke volume, dimana: CO = HR dan SV
Heart Rate dan Stroke Volume akan menghasilkan Cardiac Output yang baik (4 – 8 Liter darah per menit) jika kerjanya saling sinkron. Jika salah satunya meningkat, maka yang lain akan menurun, dan sebaliknya. Hal ini merupakan konsep dari compensatory heart rate. Bentuk kompensasi yang paling utama berubah adalah dengan cara meningkatkan HR (takikardia) akibat dari berkurangnya SV atau meningkatnya kebutuhan oksigen pada jaringan. Penyebab dari kompensasi takikardi ini akibat oleh:
Hipovolemia akibat dehidrasi, perdarahan, atau kehilangan cairan.
Hipotensi (sistolik < 100 mmHg)
Ansietas, rasa takut, amarah akibat dari stimulasi sistem saraf untuk melepas katekolamin eksogen maupun endogen.
Demam
Exercise Pada
keadaan
lain,
HR
dapat
menurun
(bradikardia)
untuk
mengkompensasi SV yang meningkat atau hipertensi. Stoke Volume adalah jumlah darah yang keluar pada satu kali ejeksi ventrikel. Terdapat tiga faktor yang menentukan SV, yaitu (1) kontraktilitas, (2) preload, dan (3) afterload. 1)
Kontrakatilitas Kontraktilitas adalah kekuatan dan kecepatan (force and velocity) dari ejeksi ventrikel. Dapat digambarkan kontraktilitas merupakan sebuah kekuatan genggaman atau squeeze. Kontraktilitas meningkat seperti pada keadaan takut, ansietas, stres, takut, hipovolemia, dan exercise. Hal yang dikhawatirkan pada meningkatnya kontraktilitas adalah meskipun kontraktilitas juga meningkatkan SV, kontraktilitas juga meningkatkan kebutuhan oksigen pada miokardium. Hal ini dapat berbahaya
pada
pasien 56
dengan
penyakit
jantung.
Berkurangnya
kontraktilitas akan mengurangi SV dan kebutuhan oksigen miokardium, akan terlihat pada:
2)
Hipoksia
Hiperkapnea
Asidosis metabolik
Hiperkalemia
Hipokalsemia
Infark miokardium
Pembedahan jantung
Preload Preload adalah jumlah darah pada ventrikel sebelum kontraksi. Preload disebut juga sebagai filling pressures. Preload, dipengaruhi oleh:
Total volume darah yang ada pada sirkulasi
Distribusi volume vaskular (letak darah dan cairan. Apakah intravaskular, ekstrasel, intrasel, atau di kompartemen ketiga)
Sistolik atrium (sinkronisasi kontraksi atrium dengan ventrikel. Jika tidak sinkron, maka preload berkurang 20%).
3)
Afterload Konsep terakhir pada hemodinamik adalah afterload. Afterload adalah seberapa keras jantung (baik sebalah kiri maupun kanan) untuk mendorong darah keluar dari jantung. Afterload ditentukan oleh:
Kemampuan aorta untuk berdistensi atau stretch.
Viskositas darah (kental atau encer)
Resistensi vaskuler
Kadar oksigen (hipoksemia akan menyebakan vasokonstriksi)
Manipulasi Cardiac Output Untuk memanipulasi CO, apapun caranya (dengan alat maupun dengan farmakologi), maka prinsip dari manipulasi tersebut adalah:
57
“Masukkan darah ke dalam jaringan tanpa membebani kerja jantung” Untuk
memaksimalkan
CO,
maka
komponen-komponen
yang
mempengaruhi CO harus di optimalkan, yaitu (1) HR, (2) Preload, (3) Kontraktilitas, dan (4) Afterload. 1)
Heart Rate Jika pasien mengalami takikardia non-kompensasi (fibrilasi atrium, atrial flutter, supraventrikuler takikardi, atau paroksismal atrial takikardi), intervensi awal adah dengan farmakologi:
Beta bloker: atenolol, metoprolol, propranolol, sotalol, atau esmolol.
Calcium channel Blocker: diltiazem dan verapamil
Adenosin Ventrikel takikardia juga merupakan takikardi non-kompensasi dan
harus ditatalaksan secara cepat. Jika pasien stabil, penggunaan lidokain atau amiodaron merupakan drugs of choice. Obat lini kedua pada kasus ini adalah prokainamid. Sedangkan pada bradikardia, perlu diberi obat yang meningkatkan HR. Drug of choice pada kasus ini adalah atropine. Epinefrin atau dopamin juga dapat digunakan. 2)
Kontraktilitas Jika kontraktilitas menurun, intervensinya dapat melalui dua cara: dengan meningkatkan kekuatan regangan miokardium atau meningkatkan kekuatan kontraksi miokardium. Meningkatkan regangan miokardium sesuai dengan hokum FrankStarling, semakin meregang otot jantung, maka kekuatan kontraksi baliknya juga akan semakin kuat. Cairan kristaloid dapat bertahan pada intravaskular lebih lama sehingga dapat meregangkan miokardium. Koloid (dekstran, albumin, Hespan, FFP) juga dapat digunakan. Koloid lebih baik digunakan pada keadaan edema, karena dapat menarik
58
cairan dari kompartemen ketiga (3rd compartement) kembali ke dalam intravaskular. Meningkatkan kekuatan kontraktilitas dapat dimulai dengan cara mengidentifikasi mengapa kekuatan kontraktilitas menurun seperti pada keadaan hipoksia, hiperkapnea, dan gangguan imbalans elektrolit. Meningkatkan kontraktilitas juga bisa dengan cara menggunakan bersifat inotropik positif seperti dopamin, dobutamin, epinefrin, atau miliron. Terkadang, masalahnya adalah kekuatan kontraktilitas yang terlalu tinggi. Karena meningkatnya kontraktilitas akan meningkatkan konsumsi oksigen miokardium, infark miokard atau angina dapat terjadi. Obat yang digunakan untuk menurunkan kontraktilitas:
Beta bloker – asebutolol, atenolol, cartenolol, labetalol, metoprolol, pindolol, dan lain-lain.
Calcium channel blockers – bepridil, diltiazem, nikardipin, nifedipin, verapamil.
3)
Preload Masalah pada preload hanya ada dua macam. Terlalu banyak volume darah, atau terlalu sedikit. Jika preload terlalu banyak, dapat diberikan diuretik. Dopamin dosis renal (2 – 5 mcg/kg/menit) dapat diberikan.
Pada
kasus
tertentu,
dapat
digunakan
dialisis
untuk
mengeluarkan cairan yang berlebih pada tubuh. Jika preload berkurang, maka tambahkan sesuai penyebab bekurangnya preload. Jika akibat perdarahan, maka berikan packed RBC’s. Jika akibat diare atau vomitus, maka berikan kristalloid. 4)
Afterload Seperti halnya preload, masalah di afterload juga hanya dua macam, kurang atau lebih. Jika afterload meningkat (resistensi vaskuler sistemik >1200), jantung akan bekerja lebih ekstra untuk memompa darah. Obat yang digunakan untuk menurunkan resistensi vaskuler sistemik adalah:
Nitrogliserin IV 59
Sodium nitropussida IV
Jika pasien masih stabil, beri calcium channel blocker: diltiazem, felodipin, isradipin, nikardipin, nifedipin, verapamil. Jika dengan terapi farmakologi tidak bisa menurunkan resistensi
sistemik, maka dapat digunakan dengan memakai Intra-aortic Balloon Pump (IABP). IABP dapat menurunkan resistensi vaskuler dengan mendilatasi pembuluh darah menggunakan balon, tepat saat sebelum kontraksi ventrikel. Pada keadaan sebaliknya, resistensi vaskuler sitemik dapat sangat menurun. Hal ini mengindikasikan adanya pengumpulan vena sehingga preload berkurang. Obat yang berfungsi sebagai vasokonstriktor kuat adalah:
Norepinefrin IV (Vascon®)
Fenilepinefrin IV
FARMAKOLOGI HEMODINAMIK Kunci utama hemodinamik adalah cardiac output, sehingga farmakologi hemodinamik adalah semua obat yang dapat mengoptimalisasi komponenkomponen pada CO, yaitu heart rate, kontraktilitas, preload, dan afterload. Untuk memilih terapi farmakologi yang tepat, maka petugas medis harus tahu respon fisiologis yang dihasilkan oleh masing-masing obat. Berikut adalah beberapa istilah dalam pengobatan hemodinamik Inotropik: Mempengaruhi kontraktilitas
Inotropik (+) meningkatkan kontraktilitas
Inotropik (-) mengurangi kontraktilitas
Kronotropik: Mempengaruhi Heart Rate
Kronotropik (+) meningkatkan HR
Inotropik (-) menurunkan HR
Dromotropik: Mempengaruhi konduktivitas 60
Efek hemodinamik obat vasoaktif menghasilkan interaksi terhadap reseptor-reseptor pada jantung dan sistem vaskular. Reseptor tersebut adalah: Reseptor Alfa
Terdapat pada pembuluh darah dan menyebabkan vasokonstriksi pada banyak pembuluh darah, terutama arteriol.
Meningkatkan afterload dengan menyebabkan vasokonstriksi arteriol dan meningkatkan tekanan darah
Reseptor Beta-1
Terdapat pada jantung
Mempunyai efek inotropik, kronotropik, dan dromotropik.
Karena efek inotropik, kronotropik, dromotropik, stimulasi Beta-1 meningkatkan kontraktilitas dan heart rate, sehingga meningkatkan cardiac output.
Reseptor Beta-2
Terletak pada bronkus dan otot polos vaskular
Menyebabkan bronkodilatasi dan vasodilatasi
Mengurangi afterload
Reseptor Dopaminergik
Terletak pada arterial bed ginjal dan mesenterik
Mendilatasi arteri ginjal dan mesenterika
Mengurangi preload dengan menginduksi diuresis atau natriuresis
Diuretik: Mengurangi Preload Preload merupakan salah satu dari faktor yang mempengaruhi cardiac output. Ketika preload terlalu tinggi, terapi farmakologi digunakan untuk mengurangi preload. Obat yang digunakan untuk mengurangi preload adalah diuretik dan vasodilator.
Furosemid (Lasix®) dan Bumetanid (Bumex®) 61
Furosemid dan bumetanid merupakan diuretik yang bekerja pada lengkung Henle di ginjal. Obat ini mengurangi preload dengan meningkatkan pengeluaran urin, sehingga mengurangi beban kerja jantung. Diuretik ini dapat digunakan untuk edema pulmoner akut, gagal jantung kongestif, edema perifer, dan hipertensi. Monitor serum elektrolit seperti kalium harus secara ketat karena kalium terbuang pada pengobatan diuretik
Dopamin (Renal-dose dan Low dose) Dopamin menyebabkan efek vasoaktif berbeda tergantung pada dosis yang diberikan. Pada dosis rendah, dopamin menstimulasi reseptor dopaminergik pada arteri di ginjal, abdomen, jantung, dan otak. Vasodilatasi arteri mesenterika dan ginjal menyebabkan peningkatan urine output dan mengurangi preload. Hal ini disebut juga “renal dose dopamine”. Dopamin dosis ini dapat digunakan pada pasien yang preload-nya meningkat dan urine output yang rendah, cotohnya pada pasien dengan Congestive Heart Failure (CHF). Renal dose dopamine biasanya berkisar antara 2 – 5 mcg/kg/menit dan dititrasi 1 – 2 mcg/kg/menit tiap 5 – 10 menit. Dopamin dosis rendah tidak mempunyai efek pada heart rate maupun tekanan darah.
Vasodilator: Mengurangi Afterload dan Preload Vasodilator
digunakan
untuk
mengurangi
afterload
dan
sedikit
mengurangi preload. Berkurangnya afterload mengurangi jumlah kekuatan yang digunakan untuk memompa darah dari jantung, sehingga menjaga konsumsi oksigen miokardium. Pengurangan preload berefek untuk membuang kelebihan cairan pada tubuh. Venodilator mengurangi jumlah darah pada atrium kanan sebelum berkontraksinya atrium pada siklus kardia. Dua oabt yang digunakan pada umumnya adalah nitroprusida dan nitrogliserin.
Nitroprusida Nitroprusida biasanya digunakan pada krisis hipertensi untuk mengurangi tekanan darah. Nitroprusida merelaksasi otot polos arteri dan vena, menyebabkan 62
vasodilatasi sehingga mengurangi afterload. Efek utamanya adalah dilatasi arteri. Efek ini sangat poten terhadap tekanan darah karena dapat berkurang sangat cepat, begitu juga dengan SVR (afterload). Obat ini mempunyai onset kerja yang cepat dan juga half-life yang rendah sehingga ketika obat ini diberhentikan maka dengan segera efeknya juga akan berhenti. Dosis yang biasa digunakan adalah 0,5 – 5 mcg/kg/menit dan dosis ratarata adalah 2 mcg/kg/menit. Mulai nitroprusida pada dosis 0,5 mcg/kg/menit dan titrasi 0,25-0,5 mcg/kg/menit tiap 2 menit untuk mencapai target yang diinginkan. Jangan pernah memberikan Nitroprusida dalam tetesan cepat karena dapat menurunkan tekanan darah secara cepat. Nitroprusida cenderung rusak bila terkena sinar, gunakan benda-benda yang tidak tembus cahaya dalam penimpanan obat ini, dan buang obat ini setelah 12 jam. Pada terapi lama (>72 jam), nitroprusida akan diubah menjadi tiosianat dan dapat menyebabkan toksisitas sianida. Jangan melebihi dosis 10 mcg/kg/menit karena dapat berisiko toksisitas sianida. Efek sampin Nitroprusida adalah penurunan yang drastis pada tekanan darah, sehingga kadang penggunaanya diberikan juga dopamin.
Nitrogliserin Nitrogliserin biasa digunakan pada pasien dengan angina dan hipertensi. Obat ini termasuk venodilator (dilatasi vena). Ketika vena terdilatasi, darah akan mudah masuk ke dalam sirkulasi. Perfusi koroner akan meningkat, dan mengurangi afterload dan preload. Nitrogliserin dapat digunakan dengan menggunakan infusion pump dengan dosis 5 – 10 mcg/menit. Dosis obat ini berkisar 10 – 200 mcg/menit. Titrasi nitrogliserin dengan 10 mcg tiap 5 menit untuk mengurangi tekanan darah atau meredakan angina. Dosis nitrogliserin juga dapat disesuaikan dengan berat badan pasien. Dosis normalnya adalah 0,5 – 1,5 mcg/kg/menit, dapat dititrasi 0,1 – 0,2 mcg/kg/ 5 menit. 63
Pada pemberian obat ini, umum terjadi nyeri kepala karena dilatasi vena juga terjadi pada pembuluh darah otak. Pada kasus ini dapat diberikan asetaminofen.
Inotropik Positif: Meningkatkan Kontraktilitas Kontraktilitas, atau “squeeze” adalah komponen ketiga yang mempengaruhi CO. Obat-obatan
yang
menstimulasi
reseptor
beta-1
dapat
meningkatkan
kontraktilitas.
Dobutamin Dobutamin dapat digunakan pada pasien yang mengalami gagal jantung, syok kardiogenik, dan kadang pada pembedahan jantung yang membutuhkan bantuan efek inotropik positif. Dobutamin menstimulasi beta-1 sehingga meningkatkan kontraktilitas dan akhirnya meningkatkan tekanan darah dan CO. Efek lain yang timbul adalah peningkatan HR yang menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen miokardium akibat takikardi yang timbul. Dobutamin juga dapat menstimulasi reseptor beta-2 yang menyebabkan vasodilatasi, sehingga menyebabkan pengurangan afterload/resistensi vaskular sistemik. Dosis yang biasa diberikan adalah 2,5 – 20 mcg/kg/menit. Dimulai dengan dosis 2 mcg/kg/menit. Titrasi dengan dosis 1 – 2 mcg/kg/menit tiap 5 – 10 menit untuk mendapatkan tekanan darah yang diinginkan.
Milrinone Milrinone digunakan pada pasien yang mempunyai CO yang rendah akibat kontraktilitas yang buruk. Keadaan ini umum ditemukan pada pasien dengan gagal jantung kanan akut. Milrinone baik digunakan pada pasien CHF sebagai terapi jangka pendek. Kerja milrinone berbeda dengan obat-obatan yang sebelumnya telah disebutkan. Milrinon tidak menstimulasi reseptor alfa maupun beta, namun 64
meningkatkan siklik AMP pada sel sehingga meningkatkan kontraktilitas dan vasodilatasi (reduksi afterload). Saat milrinone meningkatkan kontraktilitas dan menurunkan afterload, efek terhadap HR sangat minimal. Hal ini berarti peningkatan CO tanpa meningkatkan HR dan konsumsi oksigen miokardium. Dosis yang direkomendasi adalah 50 mcg/kg loading dalam 10 menit, diikuti dosis maintenance 0,375 – 0,75 mcg/kg/menit. Dosis bervariasi tergantung pada fungsi ginjal.
Dopamin: Dosis Sedang Saat renal dose dopamine 2 – 5 mcg/kg/menit ditingkatkan, reseptor beta1 dan beta-2 terstimulasi sehingga terjadi peningkatan HR, kontraktilitas, dan sedikit vasodilatasi. Dosis sedang dopamin digunakan untuk menimbulkan efek inotropik positif pada pasien dengan gagal jantung (HR juga ikut meningkat). Pada dosis ini, efek dopamin akan sama dengan dobutamin. Dosis sedang yang dimaksud adalah 5-10 mcg/kg/menit.
Inotropik/Vasopressor: Meningkatkan Afterload Sering kali pasien dalam kondisi kritis mempunyai tekanan darah yang rendah. Untuk menjamin semua organ tubuh mengalami perfusi yang baik, penting untuk menjaga tekanan darah dalam jarak yang normal. Vasopressor
dapat
meningkatkan
tekanan
darah
dengan
cara
vasokonstriksi pembuluh darah arteri. Dengan cara ini tubuh dapat meningkatkan CO dan afterload. Vasopressor umum digunakan pada pasien dengan cardiac arrest dan hipotensi. Efek vasokonstriksi adalah menutup atau memindahkan darah dari perifer menuju ke organ yang lebih utama. Pada penggunaan obat ini, harus di lakukan monitor sirkulasi pada ekstremitas. Ekstremitas yang terasa dingin dapat menandakan telah terjadi vasokonstriksi perifer. Terkadang diperlukan waktu-
65
waktu saat lebih penting untuk menjaga tekanan darah dibandingkan dengan sirkulasi pada ekstremitas. Dopamin Dosis Tinggi (10 – 20 mcg/kg/menit) Penggunaan dopamin dosis tinggi dapat dingunakan pada keadaan hipotensi yang tidak disertai dengan hipovolemia. Pada dosis tinggi, dopamin menstimulasi reseptor alfa, menyebabkan vasokonstriksi. Efek ini cenderung menggeser efek lain pada pemberian dengan dosis rendah (termasuk efek vasodilator). Ketika dopamin dosis tinggi menutup pembuluh darah, organ-organ interna mendapat perfusi yang kurang baik sehingga efek “dopamin dosis renal” hilang; urine ouput akan berkurang. Resistensi vaskular sistemik meningkat dan kekuatan kontraksi jantung juga akan meningkat. Infus dopamin dapat dimulai pada dosis 5 mcg/kg/menit, titrasi tiap 1-2 mcg/kg/menit setiap 5-15 menit sampai didaptkan hasil yang diinginkan. Ketika akan menggunakan dopamin dosis tinggi, dapat dipertimbangkan juga penggunaan dengan norepinefrin atau bahkan menggantikan dopamin dengan norepinefrin.
Norepinefrin (Vascon ®) Norepinefrin digunakan untuk terapi hipotensi akibat beberapa kondisi seperti infark miokardium, septisemia, reaksi transfusi, dan reaksi obat. Norepinefrin merupakan vasokonstriktor poten untuk meningkatkan tekanan darah. Efek utamanya adalah efek stimulasi alfa-adrenergik. Indikasi penggunaan norepinefrin adalah hipotensi yang diakibatkan oleh berkurangnya resistensi vaskular sistemik. Saat menggunakan norepinefrin, harus mengkoreksi hipovolemia terlebih dahulu, karena pada saat hipovolemia, cairan tubuh sangat berkurang sehingga tidak akan mampu untuk meningkatkan tekanan darah meskipun telah menggunakan norepinefrin. Norepinefrin cocok digunakan pada pasien dengan syok sepsis. 66
Dosis loading dapat dicapai dengan pemberian 8 – 12 mcg/menit, diikuti dengan dosis maintenance 2 – 12 mcg/menit. Dosis terapeutik obat ini adalah 212 mcg/menit, dititrasi dengan dosis 1-2 mcg tiap 5-10 menit sampai tercapai target terapi. Norepinefrin mempunyai potensi menyebabkan kerusakan ginjal akibat vasokonstriksi berkepanjangan. Karena dapat menyebabkan vasokonstriksi, monitor tanda-tanda vital secara teliti.
Epinefrin (Adrenalin) Epinefrin umumnya adalah hormon yang dikeluarkan oelh kelenjar adrenal (suprarenalis). Epinefrin bersifat simpatomimetik, yaitu efek yang menyamai (mimik) dengan sistem saraf simpatis. Obat ini biasanya digunakan secara intravena pada pasien dengan cardiac arrest, dan dalam infus pada hipotensi berat. Epinefrin mempunyai efek campuran pada resptor-resptor saraf simpatis. Epinefrin dapat menstimulasi resptor alfa, beta-1, dan beta-2. Akibat dari stimulasi reseptor alfa adalah vasokonstriksi dan peningkatan tekanan darah. Peningkatan kontraktilitas dan HR akibat dari stimulasi beta-1, sehingga juga meningkatkan kebutuhan oksigen miokardium. Dosis yang biasa diberikan adalah 1-8 mcg/menit, atau 0,01-0,05 ug/kg/menit. Titrasi epinefrin dengan 1 mcg/menit atau 0,01 mcg/kg/menit tiap 5 menit. Monitor tekanan darah tiap 5 menit.
67
O bat Furosemid Nitroprusida Nitrogliserin Dobutamin Milrinone Dopamin Renal Dose Dopamin Dosis Sedang Dopamin Dosis T inggi Norepinefrin Epinefrin
HR
↑
Efek Hemodinamik yang Timbul Reseptor yang Terstimulasi Afterload Alfa β1 β-2 Dopaminergik Preload Kontraktilitas BP (SVR) (Vasokonstriksi) (HR & Kontraktilitas) (Vasodilatasi) (Dilatasi Renal) ↓ + ↓ ↓↓ ↓↓ ↓↓ ↓ ↓ ↓ ↑↑ ↓ ↑ Minimal + + ↓ ↑↑ ↓ T idak ada T idak ada T idak ada T idak ada ↓
↑ ↑
↑
↑
-
+
↑↑
↑
↑
↑
↑
↑↑
↑
+
+
↑ ↑ + Minimal ↑ ↑ + + Terapi Farmakologi pada Kegagalan Sirkulasi Akut
+
Shock Shock didefinisikan sebagai keadaan dimana sel dan jaringan tidak mampu memenuhi kebutuhan metabolismenya. Pusat dari penyebab shock ini adalah terjadinya hipoperfusi jaringan, baik disebabkan oleh shock hipovolemik, hemorhagik, sepsis, kardiogenik, atau neurogenik. Perfusi jaringan dipengaruhi oleh (1) Cardiac Output (CO), yaitu perkalian antara stroke volume (SV) dan Heart Rate (HR), dan (2) Resistensi Perifer (PR). Ketidakseimbangan
perfusi
ini
menyebabkan
aktivasi
respon
neuroendokrin dan inflamasi. Respon yang timbul akan bergantung pada etiologi dari shock. Contohnya, respon kardiovaskular yang diinduksi oelh aktivasi sistem saraf simpatis terjadi pada shock sepsis dan neurogenik. Sebagai tambahan, hipoperfusi dapat terjadi akibat aktivasi dan kerusakan sel, seperti pada shock sepsis ataupun traumatik shock. Tedapat banyak respon organ spesifik yang berfungsi untuk mempertahankan perfusi jaringan pada sirkulasi koroner dan serebral, contohnya adalah (1) reseptor peregangan dan baroreseptor pada jantung dan sinus karotis dan arkus aorta, (2) kemoreseptor, (3) respon serebral iskemi, (4) pelepasan vasokonstriktor endogen, (5) perpindahan jaringan ke rongga intravaskuler, dan (5) reabsorpsi ginjal dan retensi garam dan air.
68
Patofisiologi perjalanan terjadinya hipoperfusi dan shock. Berkurangnya perfusi jaringan secara langsung bisa diakibatkan oleh perdarahan/hipovolemia, gagal jantung, atau kerusakan neurologis. Berkurangnya perfusi sel dan cedera sel diakibatkan oleh reaksi imunologi dan respon inflamasi. Pada jalur lain, adanya produk mikroba ketika terjadi infeksi atau pelepasan produk sel endogen dari kerusakan sel dapat mengaktifkan sel yang mempengaruhi perfusi jaringan dan terjadinya shock.. (Keterangan: HMBG 1 = High Mobility Group Box 1; LPS = Lipopolisakarida; RAGE = Receptor for Advanced Glycation End products)
69
Siklus shock. Apapun etiologinya, hipoperfusi jaringan dan shock menyebabkan siklus yang maju kedepan dan akhirnya akan memperparah kerusakan sel dan disfungsi jaringan.
1)
Shock Sepsis Shock sepsis merupakan tahap yang paling akhir dari Systemic Inflammation Response Syndrome (SIRS). SIRS akan menyebabkan perubahan pada HR, Respiratory Rate (RR), tekanan darah (TD), regulasi suhu, dan aktivasi sel imun. Spektrum Klinis Infeksi dan SIRS Keadaan Infeksi SIRS
Definisi Ditemukan adanya sumber infeksi mikroba Dua atau lebih dari kriteria berikut: ― Suhu ≥ 38°C atau ≤ 36°C ― HR ≥ 90 x/menit ― RR ≥ 20 x/menit atau PaCO2 ≤ 32 mmHg atau terpasang ventilator ― Leukosit ≥ 12.000/uL atau ≤ 4.000 /uL atau neutrofil batang ≥ 10% Sepsis Infeksi + SIRS Sepsis Berat Sepsis + Disfungsi Organ Shock Sepsis Sepsis + Kolaps Kardiovaskular (membutuhkan vasopressor)
Penatalaksanaan Early Goal Directed Therapy (EGDT) merupakan tindakan untuk menjelaskan target resusitasi pada pasien dengan shock. Tujuan dari penatalaksanaan EGDT adalah usaha untuk menjaga preload jantung, kontraktilitas, dan afterload untuk menjaga keseimbangan sistemik dengan 70
cara pendistribusian oksigen yang mencukupi. EGDT biasanya digunakan pada shock yang spesifik seperti shock sepsis dan semua targetnya harus dicapai dalam waktu kurang dari 6 jam agar dapat mencegah kegagalan organ yang ireversibel. Berikut adalah langkah-langkah EGDT:
Protokol EGDT. (CVP = Central Venous Pressure; ScvO2 = Central Venous Oxygen Saturation) st
1 Step
Resusitasi dengan kristalloid 4 – 6 L atau lebih
Pada pasien dengan ventilasi mekanis, target CVP (CVP = Tekanan atrium kanan = volume akhir diastolik ventrikel kanan [Preload]) adalah 12 – 15 mmHg. Sedangkan jika tanpa ventilasi mekanis, cukup 8 – 12 mmHg. CVP mencerminkan salah satu 71
fungsi
jantung,
yaitu
preload-nya
(selain
dari
afterload,
kontraktilitas, dan heart rate) serta volume darah yang kembali ke jantung.
Preload adalah jumlah volume darah pada ventrikel sebelum dipompa. Preload dikenal juga sebagai “filling pressures”. Preload dipengaruhi oleh 3 faktor, yaitu: (1) total volume darah yang ada di dalam vaskular; (2) distribusi volume vaskular, apakah ada di dalam pembuluh darah, di dalam sel, atau di dalam ruangan ketiga?; (3) Sistol atrium: yaitu apakah kontraksi atrium sinkron dengan kontraksi ventrikel? Jika tidak, maka preload berkurang 20%.
Pantau efek samping, yaitu edema periorbital dan ekstremitas, crackles pada auskultasi paru, dan takipneu.
2nd Step
Pemberian vasopressor untuk mempertahankan Mean Arterial Blood Pressure (MAP) agar ≥65 mmHg. MAP adalah rata-rata tekanan darah diantara tekanan sistolik dan diastolik di aorta. MAP sangat berfungsi untuk menentukan apakah volume darah yang dipompa oleh ventrikel sudah mencukupi atau tidak.
Rumus MAP = (Sistol + [2 x Diastol]) : 3
rd
3 Step
Oksigenasi dengan Oksigen 100% dengan menggunakan sungkup muka dengan reservoir oksigen, dengan aliran oksigen 10 – 15 liter.
2)
C.
Shock Kardiogenik
Koma Hepatik (Ensefalopati Hepatik) Pendahuluan
72
Hati merupakan salah satu organ yang sangat penting peranannya dalam mengatur metabolisme tubuh, yaitu dalam proses anabolisme atau sintesis bahanbahan yang penting seperti sintesis protein dan pembentukan glukosa, proses katabolisme dengan melakukan detoksikasi bahan-bahan seperti amonia, berbagai jenis hormon dan obat-obatan. Di samping itu hati juga berperan sebagai gudang tempat penyimpanan bahan-bahan seperti glikogen dan beberapa vitamin dan memelihara aliran normal darah splanknikus. Adanya kerusakan hati maka akan mengganggu fungsi-fungsi tersebut sehingga dapat menyebabkan terganggunya fungsi otak akibat adanya zat-zat toksik. Gangguan pada otak tersebut dapat bermanifestasi sebagai gejala neuropsikiatrik yang disebut sebagai koma hepatik atau ensefalopati hepatik
Definisi Ensefalopati hepatik adalah suatu kompleks suatu gangguan susunan saraf pusat yang dijumpai yang mengidap gagal hati. Kelainan ini ditandai oleh gangguan memori dan perubahan kepribadian (Corwin., 2001). Ensefalopati hepatik (ensefalopati sistem portal, koma hepatikum) adalah suatu kelainan dimana fungsi otak mengalami kemunduran akibat zat-zat racun di dalam darah, yang dalam keadaan normal dibuang oleh hati (Stein., 2001). Ensefalopati hepatik merupakan sindrom neuropsikiatrik pada penderita penyakit hati berat. Sindrom ini ditandai oleh kekacauan mental, tremor otot dan flapping tremor yang dinamakan asteriksis (Price et al., 1995).
Patogenesis Sampai saat ini, patogenesis koma hepatikum belum diketahui secara pasti,
karena:
(1)
Masih
terdapatnya
perbedaan
mengenai
dasar
neurokimia/neurofisiologis; (2) Heterogenitas otak, baik secara fungsional maupun biokimia yang berbeda dalam jaringan otak; (3) Ketidak pastian apakah perubahan-perubahan mental dalam penemuan biokimia yang saling berkaitan satu sama lainnya. Beberapa hipotesis yang dicetuskan antara lain adalah: 73
Hipotesis ammonia. Amonia berasal dari metabolisme bakteri di mukosa usus sebagai hasil degradasi protein dalam lumen usus dan dari bakteri yang mengandung enzim urease. Dalam hepar, ammonia diubah menjadi urea pada hepatosit periportal dan glutamine pada hepatosit perivena, sehingga jumlah ammonia yang masuk ke sirkulasi dapat dikontrol dengan baik. Pada penyakit hati kronis, terdapat gangguan ammonia sehingga kadar ammonia dalam vena meningkat 5 – 10x lipat. Secara teori ammonia mengganggu faal otak melalui:
Pengaruh langsung terhadap membran neuron. Yaitu berkurangnya glikogen pada astrosit, gangguan komunikasi sel glia-neuron, dan mengganggu transmisi sinaps.
Mempengaruhi metabolisme otak melalui siklus peningkatan sintesis glutamin dan ketoglutarat, kedua bahan ini mempengaruhi siklus kreb sehingga menyebabkan hilangnya molekul ATP yang diperlukan untuk oksidasi sel.
Pada pasien dengan sirosis terjadi perubahan cairan dan elektrolit sistemik dengan cara retensi natrium dan air akibat sirosis atau penggunaan obat diuresis. Karena ensefalopati umumnya diperparah oleh gangguan metabolik, status asam-basa darah harus dipertimbangkan dalam pengaruhnya terhadap keseimbangan metabolisme ammonia, dengan asumsi kenaikan kadar ammonia darah menentukan derajat keparahan ensefalopati. Hipokalemi terjadi pada pasien dengan sirosis akibat kehilangan cairan akibat obat diuresis, diare, vomitus, dan defisiensi nutrien. Pertama, hipokalemia meningkatkan produksi produksi ammonia pada ginjal. Kedua, hipokalemia dan alkalosis meningkatkan uptake ammonia ke dalam sel. Karena kalium dalam tubuh paling banyak tersimpan dalam intersel, mengurangi konsentrasi kalium pada cairan ekstrasel menstimulasi efluks kalium keluar sel untuk mengembalikan konsentrasi ekstrasel. Sel mengkompensasi kehilangan kalium dengan cara menambah uptake ion natrium dan hidrogen untuk menjaga elektroneuralitas, sehingga menyebabkan alkalinisasi rongga ekstrasel dan asidifikasi rongga intrasel. Karena ammonia (NH3) dan ion ammonium (NH4) diperlukan dalam keseimbangan, alkalosis ekstrasel menambah permeabilitas sel terhadap NH3, dimana asidosis intrasel tetap menjaga kadar NH4 di dalam sel. Sehingga, efek hipokalemia adalah pergerakan ammonia ke dalam 74
neuron atau sel lain yang menyebabkan efek toksik, sehingga koreksi kalium serum dibutuhkan sebagai terapeutik. Hipotesis toksisitas sinergik. Zat neurotoksik lain yang mempunyai efek sinergis dengan ammonia seperti merkaptan, asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol, dan lain-lain. Merkaptan yang dihasilkan dari Metionin oleh bakteri usus akan berperan menghambat NaK-ATP-ase. Asam lemak rantai pendek terutama oktanoid mempunyai efek metabolik seperti gangguan oksidasi, fosforilasi, dan penghambatan konsumsi oksigen serta penekanan aktivitas NaK-ATP-ase sehingga dapat menyebabkan koma hepatik reversibel. Fenol sebagai hasil metabolisme tirosi dan fenilalanin dapat menekan aktivitas otak dan enzim hati monoamine oksidase, laktat dehidrogenase, suksinat dehidrogenase, prolin oksidase yang berpotensi dengan zat lain seperti ammonia yang mengakibatkan koma hepatikum. Senyawa-senyawa tersebut akan meningkatkan efek neurotoksisitas ammonia. Hipotesis neurotransmitter palsu. Pada keadaan normal, otak mengandung neurotransmitter dopamin dan noradrenalin. Sedangkan pada gangguan fungsi hati, neurotransmitter otak akan diganti oleh neurotransmitter parlsu seperti oktapamin dan feniletanolamin, yang lebih lemah dibandingkan dopamin atau nor-adrenalin. Beberapa faktor yang mempengaruhi adalah: (1) Pengaruh bakteri usus terhadap protein sehingga terjadi peningkatan produksi oktapamin yang melalui aliran pintas (shunt) masuk ke sirkulasi otak; (2) Pada gagal hati seperti sirosis hepatis, akan terjadi penurunan asam amino rantai cabang (BCAA) yang terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin, yang terjadinya peningkatan asam amino aromatik (AAA) seperti tirosin, fenilalalnin, dan triptofan karena penurunan ambilan hepar (hepatic uptake). Rasio antara BCAA dengan AAA (Fisischer Ratio) normalnya adalah 3 – 3,5 dan pada keadaan tersebut akan mengecil menjadi 10.
75
Keseimbangan kedua kelompok asam amino tersebut penting dipertahankan karena akan menggambarkan konsentrasi neurotransmitter pada susunan saraf pusat. Hipotesis GABA (Gamma Amino Butyric Acid) dan Benzodiazepin. Ketidakseimbangan antara asam amino neurotransmitter yang menghambat dan merangsang fungsi otak merupakan faktor yang berperan terjadinya koma hepatik. Terjadi penurunan transmitter yang memiliki efek merangsang seperti glutamat, aspartat, dan dopamin sebagai akibat meningkatnya ammonia dan gama aminobutirat (GABA) yang menghambat transmisi impuls. Efek GABA yang meningkat bukan karena influx yang meningkat ke dalam otak, tetapi akibat perubahan reseptor GABA dalam otak akibat suatu substansi yang mirip benzodiazepine (benzodiazepine-like substance).
Klasifikasi Klasifikasi EH yang banyak dianut adalah: 1) Menurut cara terjadinya a) EH tipe akut Timbul tiba-tiba dengan perjalanan penyakit yang pendek, sangat cepat memburuk jatuh dalam koma, sering kurang dari 24 jam. Tipe ini antara lain hepatitis virus fulminan, hepatitis karena obat dan racun, sindroma reye atau dapat pula pada sirosis hati. b) EH tipe kronik Terjadi dalam periode yang lama, berbulan-bulan sampai dengan bertahun-tahun. Suatu contoh klasik adalah EH yang terjadi pada sirosis hepar dengan kolateral sistem porta yang ekstensif, dengan tanda-tanda gangguan mental, emosional atau kelainan nueurologik yang berangsurangsur makin berat. 2) Menurut faktor etiologinya A. EH primer/Endogen Terjadi tanpa adanya faktor pencetus, merupakan tahap akhir dari kerusakan sel-sel hati yang difus nekrosis sel hati yang meluas. Pada 76
hepatitis fulminan terjadi kerusakan sel hati yang difus dan cepat, sehingga kesadaran terganggu, gelisah, timbul disorientasi, berteriakteriak, kemudian dengan cepat jatuh dalam keadaan koma, sedangkan pada siridis hepar disebabkan fibrosi sel hati yang meluas dan biasanya sudah ada sistem kolateral, ascites. Disini gangguan disebabkan adanya zat racun yang tidak dapat dimetabolisir oleh hati. Melalui sistem portal / kolateral mempengaruhi susunan saraf pusat. B. EH Sekunder / Eksogen Terjadi karena adanya faktor-faktor pencetus pada pederita yang telah mempunyai kelainan hati. Faktor-faktor antara lain adalah: a) Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit dan PH darah:
Dehidrasi/hipovolemia
Parasintesis abdomen
Diuresis berlebihan
b) Pendarahan gastrointestinal
Operasi besar
Infeksi berat
Intake protein berlebihan
Konstipasi lama yang berlarut-larut
Obat – obat narkotik/ hipnotik
Pintas porta sistemik, baik secara alamiah maupun pembedahan
Azotemia
Manifestasi klinik Spektrum klinis EH sangat luas yang sama sekali asimtomatik hingga koma hepatik. Simpton yang acap kali dijumpai pada EH klinis antara lain perubahan personalitas, iritabilitas, apati, disfasia, dan rasa mengantuk disertai tanda klinis seperti asteriksis, iritabilitas, gelisah, dan kehilangan kesadaran (koma). Manifestasi klinis EH biasanya didahului oleh dekompensasi hati dan adanya faktor pencetus yang berupa keadaan amoniaagenik seperti makan protein berlebih, perdarahan gastrointestinal atau program obat sedatif. 77
Manifestasi EH adalah gabungan dari ganguan mental dan neurologik. Gambaran klinik EH sangat bervariasi, tergantung progresivitas penyakit ini, penyebab, dan ada tidaknya berdasarkan status mental, adanya asteriksis,serta kelainan EEG, manifestasi neuropsikiatri pada EH dapat dibagi atas stadium (lihat tabel). Di luar itu terdapat sekelompok pasien yang asimtomatik, tetapi menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan EEG dan / atau psikometrik. Contoh uji piskometrik yang populer ialah NCT (Number Conection Test). Kelompok inilah yang digolongkan sebagai ensefalopatia hepatik subklinis atau laten (EHS). Para peneliti mendapatkan bahwa proporsi EHS jauh lebih besar daripada EH klinis (akut maupun kronik), yaitu mencapai 70-80% dari seluruh kasus sirosis hati dengan hipertensi portal.
Tingkat Derajat Koma Hepatik Tingkat Gejala Tanda Gambaran EEG Afektif hilang, euforia, depresi Asteriksis, kesulitan bicara, keProdromal apatis, kelakuan tak wajar, peru(+) sulitan menulis bahan kebiasaan tidur Koma Kebingungan, disorientasi, meAsteriksis, fetor hepatik (++) Mengancam ngantuk Kebingungan nyata, dapat ba- Asteriksis, fetor hepatik, lengan Koma Ringan ngun dari tidur, bereaksi terha- kaku, hiperrefleks, klonus, gras (+++) dap rangsangan ping reflex, suck ing reflex Koma Dalam Tidak sadar, refleks (-) Fetor hepatik, tonus otot (-) (++++)
Diagnosis Diagnosis koma hepatik dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan dibantu dengan beberapa pemeriksaan penunjang, antara lain adalah: Elektroensefalografi (EEG). Dengan pemeriksaan EEG terlihat peninggian amplitudo dan menurunnya jumlah siklus gelombang perdetik. Terjadi penurunan gelombang normal Alfa (8 – 12 Hz). Tingkat Kuantitas dari Elektroensefalografi (EEG) Tingkat Ensefalopati Frekuensi Gelombang EEG Tingkat 0 Frekuensi Alfa (8,5 - 12 siklus/detik) Tingkat 1 7 - 8 siklus/detik Tingkat 2 5 - 7 siklus/detik Tingkat 3 3 - 5 siklus/derik Tingkat 4 3 siklus/detik atau negatif
78
Tes Psikometri. Cara ini dapat membantu menilai tingkat kemampuan intelektual pasien yang mengalami koma hepatik subklinis. Penggunaannya sangat sederhana dan mudah melakukannya serta memberikan hasil dengan cepat dan tidak mahal. Tingkat Uji Hubung Angka (UHA) / Number Connection Test (NCT) Tingkat Ensefalopati Hasil UHA dalam detik Normal 15 - 30 Tingkat 1 31 - 50 Tingkat 2 51 - 80 Tingkat 3 81 - 120 Tingkat 4 > 120
Tes UHA dapat dipakai untuk menilai tingkat ensefalopati hepatik terutama pada pasien sirosis hepatik yang rawat jalan.
Pemeriksaan Ammonia Darah. Ammonia merupakan hasil akhir metabolisme asam amino baik yang berasal dari dekarboksilasi protein maupun hasil deaminasi glutamine pada usus dari hasil katabolisme protein otot. Dalam keadaan normal, ammonia dikeluarkan oleh hati dengan pembentukan urea. Pada kerusakan sel hati seperti sirosis hati, terjadi peningkatan konsentrasi ammonia darah karena gangguan fungsi hati dalam mendetoksifikasi ammonia serta terjadinya pintas (shunt) porto-sistemik. Hubungan Ensefalohepati Hepatik dengan Amonia Darah Tingkat Ensefalopati Frekuensi Gelombang EEG Tingkat 0 < 150 Tingkat 1 151 - 200 Tingkat 2 201 - 250 Tingkat 3 251 - 300 Tingkat 4 > 300
Diagnosis Banding 1) Koma intoksikasi obat & alkohol 2) Trauma kepala (komussio serebri, kontusio serebri, perdarahan subdural, dan perdarahan epidural). 3) Tumor otak 4) Koma akibat gangguan metabolisme (uremia, hipoglikemia, hiperglikemia) 5) Epilepsi
79
Diagnosis Diagnosis ditegakkan atas dasar anamnesis riwayat penyakit pemeriksaan fisik dan laboratorium (Gitlin., 1996). 1. Anamnesis
Riwayat penyakit hati.
Riwayat kemungkinan adanya faktor-faktor pencetus.
Adakah kelainan neuropsikiatri: perubahan tingkah laku, kepribadian, kecerdasan, kemampuan bicara dan sebagainya.
2. Pemeriksaan fisik
Tentukan tingkat kesadaran / tingkat ensefalopati.
Stigmata penyakit hati (tanda-tanda kegagalan faal hati dan hipertensi portal).
Adanya kelainan neuroogik: inkoordinasi tremor, refleks patologi, kekakuan.
Kejang, disatria.
Gejala infeksi berat / septicemia.
Tanda-tanda dehidrasi.
Ada pendarahan gastrointestinal.
3. Pemeriksaan laboratorium a) Hematologi
Hemoglobin, hematokrit, hitung lekosit-eritrosit-trombosit, hitung jenis lekosit.
Jika diperlukan: faal pembekuan darah.
b) Biokimia darah
Uji faal hati: trasaminase, billirubin, elektroforesis protein, kolestrol, fosfatase alkali.
Uji faal ginjal: Urea nitrogen (BNU), kreatinin serum.
Kadar amonia darah.
Atas indikasi: HbsAg, anti-HCV, AFP, elektrolit, analisis gas darah.
c) Urin dan tinja rutin 4. Pemeriksaan lain (tidak rutin). 80
a) EEG (Elektroensefaloram) dengan potensial picu visual (visual evoked potential) merupakan suatu metode yang baru untuk menilai perubahan dini yang halus dalam status kejiwaan pada sirosis. b) CT Scan pada kepala biasanya dilakukan dalam stadium ensefalopatia yang parah untuk menilai udema otak dan menyingkirkan lesi structural (terutama hematoma subdura pada pecandu alkohol). c) Pungsi lumbal, umumnya mengungkapkan hasil-hasil yang normal, kecuali peningkatan glutamin. Cairan serebrospinal dapat berwarna zantokromat akibat meningkatnya kadar bilirubin. Hitung sel darah putih cairan spinal yang meningkat menunjukan adanya infeksi. Edema otak dapat menyebabkan peningkatan tekanan.
Penatalaksanaan Upaya yang dilakukan pada penatalaksanaan koma hepatik adalah: 1. Mengobati penyakit dasar hati; 2. Mengidentifikasi faktor-faktor pencetus; 3. Mengurangi/mencegah pembentukan influx toksin-toksin nitrogen ke jaringan otak antara lain dengan cara; a) Menurunkan atau mengurangi asupan makan yang mengandung protein; b) Menggunakan laktulosa dan antibiotika; c) Membersihkan saluran cerna bagian bawah 4. Upaya suportif dengan pemberian kalori yang cukup serta mengatasi komplikasi yang mungkin ditemui seperti hipoglikemia, perdarahan saluran cerna, dan keseimbangan elektrolit 1) EH tipe akut Pengelolaan baik tipe/endogen maupun tipe sekunder/eksogen, pada prinsipnya sama yaitu terdiri dari tindakan umum dan khusus. Bagi tipe sekunder/eksogen diperlukan pengelolaan faktor pencetusnya (Gitlin., 1996). A. Tindakan umum
81
a) Penderita stadium III-IV perlu perawatan suportif nyang intensif : perhatikan posisi berbaring, bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, pasang kateter foley. b) Pemantauan
kesadaran,
keadaan
neuropsikiatri,
system
kardiopulmunal dan ginjal keseimbangan cairan, elektrolit serta asam dan basa. c) Pemberian kalori 2000 kal/hari atau lebih pada fase akut bebas protein gram/hari (peroral, melalui pipa nasogastrik atau parental). B. Tindakan khusus a) Mengurangi pemasukan protein (Gitlin., 1996)
Diet tanpa protein untuk stadium III-IV
Diet rendah protein (nabati) (20gram/hari) untuk stadium I-II. Segera setelah fase akut terlewati, intake protein mulai ditingkatkan dari beban protein kemudian ditambahkan 10 gram secara bertahap sampai kebutuhan maintanance (40-60 gram/hari) bila telah stabil. Sumber protein terutama dari asam amino rantai cabang untuk menyeimbangkan asam amino neurotransmitter asli dan palsu dan kemungkinan dapat menyeimbangkan metabolisme ammonia di otot.
b) Mengurangi populasi bakteri kolon (urea splitting organism).
Laktulosa peroral untuk stadium I-II atau pipa nasogastrik untuk stadium III-IV, 30-50 cc tiap jam atau 60 – 120 mL/hari, diberikan secukupnya sampai terjadi diare ringan. Laktulosa merupakan suatu disakarida sintetis tidak diabsorpsi oleh ileum, tetapi di hidrolisis oleh bakteri colon, sehingga terjadi lingkungan pH yang asam yang akan menghambat penyerapan ammonia. Selain itu, frekuensi defekasi bertambah sehingga mempercepat waktu transit protein usus. Penggunaan laktulosa bersamaan dengan antibiotika yang tidak diabsorpsi usus seperti neomisin, akan menghasilkan hasil yang lebih baik.
Lacticol (Beta Galactoside Sorbitol), dosis: 0,3-0,5 gram/hari. 82
Pengosongan usus dengan lavement 1-2x/hari: dapat dipakai katartik osmotic seperti MgSO4 atau laveman (memakai larutan laktulosa 20% atau larutan neomisin 1% sehingga didapat pH = 4)
Antibiotika: neomisin 4 x 1-2 gram/hari, peroral, untuk stadium III, atau melalui pipa nasogastrik untuk stadium III-IV. Rifaximin (derifat Rimycin), dosis: 1200 mg per hari selama 5 hari dikatakan cukup efektif.
c) Obat-obatan lain
Penderita koma hepatikum perlu mendapatkan nutrisi parenteral. Sebagai langkah pertama dapat diberikan cairan dektrose 10% atau maltose 10%, karena kebutuhan karbohidrat harus terpenuhi lebih dahulu. Langkah selanjutnya dapat diberikan cairan yang mengandung AARC (Comafusin hepar) atau campuran sedikit AAA dalam AARC (Aminoleban): 1000 cc/hari. Tujuan pemberian AARC adalah untuk mencegah masuknya AAA ke dalam sawar otak, menurunkan katabolisme protein, dan mengurangi konsentrasi ammonia darah. Cairan ini banyak dibicarakan akhir-akhir ini.
L-dopa: 0,5 gram peroral untuk stadium I-II atau melalui pipa nesogastrik untuk stadium III-IV tiap 4 jam.
Hindari pemakaian sedatva atau hipnotika, kecuali bila penderita sangat gelisah dapat diberikan diimenhidrimat (Dramamine) 50 mg i.m: bila perlu diulangi tiap 6-8 jam. Pilihan obat lain: fenobarbital, yang ekskresinya sebagian besar melalui ginjal.
Vit K 10-20 mg/hari i.m atau peroral atau pipa nasogastrik.
Obat-obatan dalam taraf eksperimental: o Bromokriptin (dopamine reseptor antagonis) dalam dosis 15 mg/hari dapat memberi perbaikan klinis, psikometrik dan EEG. o Antagonis benzodiaepin reseptor (Flumazenil), memberi hasil memuaskan, terutama untuk stadium I-II.
d) Pengobatan radikal 83
Exchange tranfusio, plasmaferesis, dialysis, charcoal hemoperfusion, transpalantasi hati (Gitlin., 1996). C. Pengobatan radikal
Koreksi gangguan keseimbangan cairan, elekrtrolit, asam basa.
Penggulangan perdarahan saluran cerna
Atasi infeksi dengan antibiotika yang tepat dalam dosis adekuat.
Hentikan obat-obatan pencetus EH; obat-obatan hepatotoksik, diuretika atau yang menimbulkan konstipasi.
2) EH tipe Kronik Prinsip-prinsip pengobatan EH tipe kronik. a) Diet rendah protein, maksimal 1 gram/kg BB terutama protein nabati. b) Hindari konstipasi, dengan memberikan laktulosa dalam dosis secukupnya (2-3 x 10 cc/hari). c) Bila gejala ensefalopati meningkat, ditambah neomisin 4x1 gram / hari. d) Bila timbul eksaserbasi akut, sama seperti EH tipe akut. e) Perlu pemantauan jangka panjang untuk penilaian keadaan mental dan neuromuskulernya. f) Pembedahan elektif: colon by pass, transplantasi hati, khususnya untuk EH kronik stadium III-IV.
BAB IV KESIMPULAN
Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan neurologi yang menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai “final common pathway” dari 84
gagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak dengan akibat kematian. Penurunan kesadaran dapat ditentukan secara kualitatif dan kuantitatif. Penurunan kesadaran disebabkan oleh kelainan metabolik dan struktural yang mempengaruhi korteks dan ARAS. Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik umum, pemeriksaan fisik neurologis dan pemeriksaan penunjang. Adapun tatalaksana pada pasien dengan penurunan kesadaran terdiri atas tatalaksana umum dan khusus.
85
DAFTAR PUSTAKA
Batubara, AS. 1992. Koma dalam Majalah Cermin Dunia Kedokteran. Ed 80. FK USU. Hal 8587. Feldman, Mark.. et al. 2006. Gastrointestinal and Liver Disease – Patophysiology/Diagnosis/Management 8th Edition. Saunders – Elsevier: Philadelphia. Greenberg, MS. 2001. Coma dalam Handbook of Neurosurgey. 5th ed. Thieme: NY. Hal 119-123
Harris, S. 2004. Penatalaksanaan Pada Kesadaran Menurun dalam Updates in Neuroemergencies. FKUI: Jakarta. Hal.1-7
Harsono. 2005. Koma dalam Buku Ajar Neurologi. Gajah Mada University Press: Yogyakarta. Kumar, Parveen., Clark, Michael. 2009. Clinical Medicine 7th Edition. Saunders – Elsevier: Toronto
Lindsay, KW dan Bone I. 1997. Coma and Impaired Conscious Level dalam Neurology and Neurosurgery Illustrated. Churchill Livingstone: UK. Hal.81
Persatuan Edokrinologi Indonesia (PERKENI). 2011. Konsensus Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia. PB. PERKENI: Jakarta. Soemadji, Djoko Wahono. 2009. Hipoglikemia Iatrogenik – Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Interna Publishing: Jakarta. Sukamana, Nanang. 2009. Intoksikasi Narkotika (Opiat) – Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Interna Publishing: Jakarta.
86