Referat Ptsd

  • Uploaded by: Maria Tan
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Ptsd as PDF for free.

More details

  • Words: 5,656
  • Pages: 23
Loading documents preview...
Post Traumatic Stress Disorder

BAB I PENDAHULUAN

Setelah mengalami traumatis, normal untuk merasa takut, sedih dan cemas. Tetapi, apabila keadaan tersebut tidak hilang dan merasa terjebak dengan perasaan yang menetap terhadap bahaya dan kenangan yang menyakitkan, mungkin orang tersebut menderita gangguan stress pascatrauma (PTSD). Hal ini dapat tampak seperti tidak akan pernah melupakan apa yang terjadi.1Post Traumatic Stress Disorder atau PTSD adalah gangguan kecemasan yang dapat terbentuk dari sebuah peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit dan tidak menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam.2 Laporan Jacob DaCosta's pada tahun 1871 tentang “Irritable Heart”, mendeskripsikan tentara-tentara dengan sindrom tersebut.3 Kodefikasi PTSD oleh American Psychiatric Association (APA) sebagai gangguan kesehatan mental pada tahun 1980 (APA, 1980), dengan gejala karakteristik yang didokumentasikan pada abad 19th. Kebanyakan orang mengasosiasikan PTSD dengan pertempuran tentara dan militer adalah penyebab paling umum pada pria. Tetapi setiap pengalaman hidup yang luar biasa dapat memicu PTSD, terutama jika peristiwa tersebuttidak terduga dan tidak terkendali. PTSD dapat mempengaruhi penderita secara pribadi mengalami bencana, mereka yang menyaksikannya, dan orang-orang yang mengalami sebagian dari pasca peristiwa tersebut, termasuk pekerja darurat dan aparat penegak hukum. PTSD berkembang secara berbeda dari orang ke orang.1 Sedangkan gejala PTSD paling sering timbul dalam hitungan jam atau hari pasca peristiwa traumatis, kadang-kadang dapat muncul setelah beberapa minggu, bulan, atau bahkan bertahun – tahun.1 Untuk mendiagnosis PTSD, gejala harus bertahan lebih dari 1 bulan pasca peristiwa traumatis dan sangat berpengaruh terhadap kehidupannya, seperti keluarga dan pekerjaan. Pada DSM – V , gangguan yang menyerupai PTSD disebut acute stress disorder, dimana gejala yang timbul bertahan dalam kurun waktu 3 hari sampai dengan 1 bulan.4

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

1

Post Traumatic Stress Disorder

Bila gejala tersebut bertahan hingga lebih dari 4 minggu, maka dapat didiagnosis sebagai PTSD.Stresor yang menyebabkan acute stress disorder maupun PTSD cukup luar biasa untuk mempengaruhi siapa saja. Stresor tersebut dapat berasal dari pengalaman berperang, penganiayaan/penyiksaan, bencana alam, pemerkosaan, kecelakaan seperti kecelakaan mobil, kebakaran dalam gedung. Gejala dapat berupa depresi, cemas, dan gangguan kognitif.3

Tabel 1. Gejala PTSD pada beberapa peristiwa (dikutip dari daftar pustaka no. 3)

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

2

Post Traumatic Stress Disorder

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Gangguan stress pascatrauma (posttraumatic stress disorder–PTSD) adalah suatu sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat didalam, atau mendengar stresor traumatik yang ekstrim dan bereaksi terhadap pengalaman tersebut dengan rasa takut dan tidak berdaya, sehingga mereka secara menetap menghidupkan kembali peristiwa tersebut, dan mencoba menghindari mengingat hal itu.3 2.2 Epidemiologi Insiden menderita PTSD sepanjang hidup diperkirakan sekitar 9-15% dan prevalensi seumur hidupnya sekitar 8% populasi umum. Pada kelompok resiko tinggi yang mengalami peristiwa traumatis angka prevalensi seumur hidupnya 575%. Prevalensi seumur hidup perempuan 10-12% dan 5-6% pada laki-laki.3Di Amerika Serikat, gambaran resiko untuk menderita PTSD sepanjang hidup menggunakan DSM–IV dengan kriteria 75 tahun adalah 8,7%. Prevalensi selama 12 bulan diantara orang tua di AS sekitar 3,5%. Perkiraan lebih rendah dapat dilihat di Eropa dan sebagian besar Asia, Afrika, dan negara-negara Amerika Latin dikelompokkan sekitar 0,5% - 1,0%.4 PTSD dapat terjadi pada usia berapapun dengan prevalensi tersering dewasa muda akibat pajanan situasi penginduksi. Trauma pada laki-laki biasanya berupa pengalaman berperang sedangkan pada perempuan kekerasan dan perkosaan. Cenderung terjadi pada orang yang lajang, bercerai, janda, menarik diri secara sosial, atau tingkat sosioekonomi rendah.3 2.3 Komorbiditas Angka komorbiditas pasien PTSD tinggi. Sekitar 80% individu dengan PTSD memenuhi kriteria diagnostik paling tidak 1 gangguan mental lainnya, seperti depresif, bipolar, gangguan cemas, gangguan terkait zatlebih sering pada pria. Pola

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

3

Post Traumatic Stress Disorder

komorbid PTSD pada anak yang lebih muda berbeda dengan dewasa, meliputi gangguan oposisi menentang dan gangguan cemas terpisah.4

2.4 Faktor Resiko Pretraumatic Tempramental

Peritraumatic Lingkungan

Postraumatic Tempramental

Masalah emosi masa

Keparahan trauma,

Penilaian negatif,

kanak-kanak 6 tahun

ancaman kehidupan,

strategikoping yang

pertama dan gangguan

cedera personal,

salah, perkembangan dari

mental utama

kekerasan interpersonal,

gangguan stress akut

personil militer, pelaku Lingkungan

kejahatan, saksi

Lingkungan

Status sosioekonomi

kekejaman, membunuh

Paparan subklinis pada

rendah, pendidikan

musuh. Disosiasi yang

hal yang mengecewakan,

rendah, paparan pada

terjadi pada dan

kejadian tak diinginkan

trauma utama,

menetap setelah trauma

subklinis, gangguan

keberagaman masa kanak, menjadi faktor resiko

finasnsial atau hal lain

karakteristik budaya,

yang berhubungan

intelegensi rendah,

dengan trauma.

ras/etnik minor, dan

Dukungan sosial adalah

riwayat psikiatrik

faktor protektif.

keluarga. Dukungan sosial bersifat protektif Genetik dan psikologis Jenis kelamin perempuan Tabel 2. Faktor Resiko PTSD (dikutip dari daftar pustaka no.4)

2.5 Faktor Predisposisi Beberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami gangguan stress pascatrauma adalah: Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

4

Post Traumatic Stress Disorder

a. Adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang b. c. d. e.

bersangkutan maupun keluarganya; Adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik maupun seksual; Kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir; Ciri kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau antisosial; Mempunyai karakter yang bersifat introvert atau isolasi sosial; adanya problem

menyesuaikan diri; f. Adanya kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi secara bermakna; g. Terpapar oleh kejadian–kejadian dalam kehidupan yang luar biasa sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh individu yang bersangkutan sebagai suatu kondisi atau peristiwa yang menimbulkan penderitaan bagi dirinya.5 2.6 Etiologi& Patogenesis a. Stresor Stresordapat timbul berupa trauma peristiwa tunggal yang mendadak atau trauma kronis atau terus menerus seperti penyiksaan fisik atau seksual. Stresor dapat timbul dari pengalaman perang, penyiksaan, bencana alam, penyerangan, perkosaan, dan kecelakaan serius. Meskipun demikian, tidak setiap orang mengalami gangguan ini setelah peristiwa traumatik, ada pertimbangan faktor psikososial dan biologis yang sebelumnya ada dan peristiwa sebelum dan sesudah trauma, serta arti subjektif suatu stresor pada seseorang.3 b. Faktor Psikodinamik Teori psikoanalitik menghipotesiskan bahwa trauma mengaktifkan kembali konflik psikologis yang sebelumnya tidak terselesaikan. Aktivasi kembali trauma pada masa kanak-kanak menimbulkan regresi dan mekanisme defensi represi, penyangkalan, reaction formation, dan undoing. Menurut Freud, penghidupan kembali trauma terjadi pada pasien yang melaporkan riwayat trauma seksual masa kanak-kanak. Konflik yang sudah ada secara simbolis menghidupkan kembali peristiwa traumatik baru, sedangkan ego mencoba menguasai dan mengurangi ansietas.3 Hal-hal yang berkaitan dengan aspek psikodinamik dari gangguan stress pasca trauma adalah: 1. Arti subyektif dari stresor yang dialami mungkin menentukan dampak dari peristiwa traumatik yang dialami oleh seseorang, Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

5

Post Traumatic Stress Disorder

2. Kejadian traumatik yang dialami mereaktivasi konflik-konflik psikologis akibat peristiwa traumatik di masa kanak-kanak, 3. Peristiwa traumatik akan membuat seseorang gagal untuk meregulasi sistem afeksinya, 4. Refleksi peristiwa traumatik yang dialami mungkin akan timbul dalam bentuk somatisasi atau aleksitimia, 5. Beberapa sistem defensi yang sering digunakan pada individu dengan gangguan stress pasca trauma adalah penyangkalan, splitting, projeksi, disosiasi dan rasa bersalah, 6. Model relasi objek yang digunakan adalah projeksi dan introjeksi dari berbagai peran seperti penyelamat omnipoten atau korban yang omnipoten.5 c. Faktor Perilaku-Kognitif Faktor kognitif PTSD menyatakan bahwa orang yang mengalaminya tidak mampu memproses atau merasionalisasikan trauma pencetus gangguan ini. Penderita terus mengalami stress dan berupaya menghindarinya. Secara kognitif, konsistensi dengan kemampuan parsial menghadapi peristiwa tersebut mereka mengalami periode bergantian memahami dan memblok peristiwa. Faktor perilaku menekankan adanya dua fase dalam perkembangannya. Pertama, trauma yang menimbulkan respon takut dan pembelajaran klasik sebagai stimulus yang dipelajari. Kedua, melalui pembelajaran instrumental, stimulus yang dipelajari mencetuskan respon takut yang bebas dari stimulus asal yang tidak dipelajari dengan pengembangan pola penghindaran. Sejumlah penerima bantuan sekunder dari dunia luar (kompensasi keuangan,

peningkatan

perhatian/simpati,

pemuasan

kebutuhan)

dapat

menyokong gangguan dan penetapan gangguan.3 d. Faktor Biologis Gejala-gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respon biologik dan psikologik seorang individu karena aktivitas dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan takut pada seseorang. Dalam hal ini, amigdala merupakan bagian otak yang sangat berperan besar. Amigdala akan mengaktivasi beberapa neurotransmiter serta bahan-bahan neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi peristiwa traumatik yang mengancam nyawa sebagai respon tubuh untuk menghadapi peristiwa tersebut.  Sistem Simpatis dan Parasimpatis Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segara setelah mengalami peristiwa traumatik, maka akan terjadi reaksi ‘fight or flight Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

6

Post Traumatic Stress Disorder

reaction’.Sistem saraf parasimpatis berupa membatasi reaksi sistem saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh, namun respon ini bekerja secara bebas dan tidak berkaitan dengan respon yang diberikan oleh sistem saraf simpatis. Ketekolamin berperan dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa organ vital tubuh dalam bereaksi terhadap tekanan tersebut. Katekolamin yang meningkat ini membuat individu tetap berada dalam kondisi siaga terus menerus.5Sejumlah studi menemukan peningkatan konsentrasi epinefrin urin 24 jam pada veteran dengan PTSD dan peningkatan katekolamin urin pada perempuan yang mengalami penyiksaan seksual. Pada PTSD, reseptor β-adrenergik limfosit dan α2 trombosit mengalami

downregulation,

kemungkinan

sebagi

respon

terhadap

peningkatan kronis katekolamin.3  Sistem Opioid Abnormalitas ditemukan dengan penurunan konsentrasi β-endorfin plasma pada penderita PTSD. Pada veteran perang yang mengalami PTSD menunjukkan efek analgesik reversibel dengan nalokson untuk stimulus yang berkaitan dengan perang sehingga meningkatkan kemungkinan hiperregulasi sistem opioid serupa dengan hiperregulasi aksis HPA.3  Faktor Pelepas Kortikotropin dan Aksis Hipotalamus–Hipofisis– Adrenal Hormon kortisol berperan dalam menghentikan aktivasi sistem saraf simpatik dan beberapa sistem tubuh yang bersifat defentif tadi yang timbul akibat dari peristiwa traumatik yang dialami oleh individu tersebut. Dengan kata lain, hormon kortisol berperan dalam proses terminasi dari respon tubuh dalam menghadapi tekanan.Jika hormon kortisol gagal menghentikan proses ini, maka aktivitas katekolamin akan tetap tinggi dan kondisi ini dikaitkan dengan terjadinya ‘konsolidasi berlebihan’ dari ingatan-ingatan peristiwa traumatik yang dialami. Sejumlah studi menunjukkan konsentrasi kortisol bebas rendah pada plasma dan urin penderita PTSD. Terdapat pengingkatan reseptor glukortikoid pada limfosit dan percobaan dengan corticotropin releasing

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

7

Post Traumatic Stress Disorder

hormone (CRF) eksogen menunjukkan respon adenocorticotropic hormone (ACTH)yang tumpul.5 Sejumlah studi juga menemukan terjadinya hipersupresi kortisol pada pasien yang terpajan trauma dan mengalami PTSD dibandingkan dengan pasien yang terpajan trauma tetapi tidak mengalami PTSD. Secara keseluruhan

hiperregulasi

aksis

HPA

berbeda

dengan

aktivitas

neuroendokrin yang biasa terlihat selama stress dan gangguan lainnya seperti depresi.Pada studi hewan, stres berhubungan dengan perubahan struktural hipokampus dan pada studi pada veteran perang menunjukkan volume rata-rata yang lebih rendah pada regio hipokampus otak walaupun masih

kontorversial.

Perubahan

struktural

pada

amygdala,

juga

menunjukkan perubahan area otak yang terkait dengan rasa takut. Studi pada depresi menujukkan efek serupa pada amigdala dan korteks prafrontal3

2.7 Gambaran Klinis Gambaran klinis dari PTSD adalah mengingat kembali suatu peristiwa yang traumatik, sehingga tampak dengan sengaja menghindari berbagai situasi atau kondisi

yang

akan

mengingatkannya

akan

peristiwa

tersebut,

terlihat

denganhilangnya emosi, serta keadaan terus terjaga yang cukup konstan. Penderita umumnya datang dengan keluhan berupa gejala-gejala depresi, ide bunuh diri, penarikan diri dari lingkungan sosialnya, kesulitan tidur, penyalahgunaan alkohol/zat adiktif lainnya, serta keluhan fisik yang lainnya (misalnya nyeri kolik, irritable bowel symptoms, dll). Pemeriksaan status mental sering mengungkapkan rasa bersalah, penolakan, dan cemooh. Pasien juga dapat menggambarkan keadaan disosiatif dan serangan panik, serta ilusi dan halusinasi. Uji kognitif menunjukkan hendaya memori dan perhatian.Karakteristik dari peristiwa traumatik yang dialami juga dapat mempengaruhi reaksi psikologis yang akan terjadi, seperti: a. Durasi dan intensitas dari stresor yang dialami,

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

8

Post Traumatic Stress Disorder

b. Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap ancaman terhadap kehidupan seseorang, c. Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun personal), d. Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa traumatik tersebut, misalnya apakah ia juga menyelamatkan orang lain pada saat kejadian atau dia hanya menyelamatkan diri sendiri.3,5

2.8 Kriteria Diagnosis 2.8.1 DSM-5 – 309.81 (F43.10) Gangguan Stress Pasca Trauma Note: Kriteria ini digunakan untuk dewasa, remaja, dan anak di atas 6 tahun. A. Paparan terhadap ancaman atau kejadian kematian, cedera serius, atau kekerasan seksual, dari satu (atau lebih) kriteria di bawah ini: 1. Langsung mengalami kejadian traumatis. 2. Menjadi saksi mata, peristiwa tersebut terjadi pada orang lain. 3. Menghadapi kejadian traumatis yang terjadi pada keluarga dekat atau teman dekat. Pada kasus ancaman atau kejadian kematian pada keluarga atau teman, kejadian harus kekerasan atau kecelakaan. 4. Menghadapi paparan berulang atau ekstrim kejadian traumatis yang tidak diinginkan. Tidak termasuk paparan lewat media elektronik, televisi, film, atau gambar yang berhubungan dengan pekerjaan. B. Adanya satu (atau lebih) gejala intrusi yang berhubungan dengan kejadian traumatis, dimulai setelah kejadian traumatis terjadi: 1. Kejadian traumatis yang berulang, tidak disadari, dan menjadi ingatan yang mengganggu. Note: Pada anak di atas 6 tahun, mungkin ada mimpi buruk tanpa mengenali isi mimpinya. 2. Mimpi

distres

yang

berulang

yang

mana

isinya

dan/atau

mempengaruhi mimpi yang berhubungan dengan kejadian traumatis. Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

9

Post Traumatic Stress Disorder

Note: Pada anak, mungkin ada mimpi buruk tanpa mengenali isi mimpinya 3. Reaksi disosiatif (misalnya: kilas balik) dengan berperilaku atau berperasaan seolah kejadian traumatis terjadi kembali. (Reaksi dapat terjadi berlanjut, dengan ekspresi paling ekstrim dari kehilangan total kesadaran akan keberadaan sekelilingnya) Note: Pada anak, peragaan trauma spesifik dapat terjadi dalam permainan. 4. Distres psikologis yang terjadi secara intens atau berkepanjangan jika berhadapan dengan hal atau simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara internal atau eksternal. 5. Reaksi fisiologis yang berhadapan dengan hal atau simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara internal atau eksternal. C. Perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus yang berkaitan dengan peristiwa traumatik yang dialami dan disertai dengan satu atau kedua gejala di bawah ini: 1. Usaha menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan tentang atau mendekati sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis. 2. Usaha untuk menghindari atau secara langsung menghindari pengingat eksternal (orang, tempat, pembicaraan, aktivitas, objek, situasi) yang menghidupkan ingatan, pikiran, atau perasaan tentang atau mendekati sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis. D. Perubahan negatif ada kognitif, dan mood yang berhubungan dengan kejadian traumatis, diawali atau bertambah parah setelah kejadian traumatis terjadi, yang ditunjukkan dengan dua (atau lebih) gejala di bawah ini:

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

10

Post Traumatic Stress Disorder

1. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting kejadian traumatis (biasa berhubungan dengan amnesia disosiatif dan tidak dipengaruhi faktor lain seperti cedera kepala, alkohol, atau obat-obatan). 2. Kepercayaan yang persisten atau berlebihan atau ekspektasi tentang seseorang, orang lain, atau dunia (contoh: “Saya buruk”, “Tidak ada orang mempercayai saya”, “Dunia sangat berbahaya”, “Seluruh sistem saraf saya tidak bekerja permanen”). 3. Gangguan kesadaran menetap tentang penyebab atau hasil dari kejadian traumatis yang menyebabkan individu menyalahkan diri sendiri atau orang lain. 4. Emosi negatif yang menetap (contoh: ketakutan, horor, kemarahan, perasaan bersalah, rasa malu). 5. Penurunan jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas 6. Merasa asing atau terpisah dari sekitarnya. 7. Ketidakmampuan untuk mengekspresikan emosi positif (contoh: tidak dapat merasakan kebahagiaan, kepuasan, atau rasa sayang). E. Kemunduran yang jelas pada kewaspadaan dan reaksi yang berhubungan dengan kejadian traumatis, diawali atau bertambah parah setelah kejadian traumatis terjadi, yang ditandai dengan dua (atau lebih) gejala di bawah ini: 1. Perilaku gelisah dan mudah mengalami ledakan kemarahan (dengan sedikit atau tanpa provokasi) yang ditandai dengan perkataan maupun perbuatan pada orang lain atau objek tertentu. 2. Perilaku sembrono atau merusak diri sendiri. 3. Hypervigilance (peningkatan kewaspadaan). 4. Respon terkejut yang berlebihan. 5. Kesulitan berkonsentrasi. 6. Gangguan tidur. Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

11

Post Traumatic Stress Disorder

F. Durasi dari gangguan (Kriteria B, C, D, dan E) terjadi lebih dari satu bulan. G. Gangguan menyebabkan penderitaan atau hendaya dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau fungsi penting lainnya. H. Gangguan tidak disebabkanoleh efek fisiologis dari zat (obat-obatan, alkohol) atau kondisi medik umum lainnya. Tentukanjika: Dengan gejala disosiatif: gejala individu memenuhi kriteria PTSD dan sebagai respon terhadap stresor, individu juga mengalami gejala menetap atau berulang seperti di bawah ini: 1. Depersonalisasi:Pengalaman menetap atau berulang subjektif bahwa dirinya terasa tidak nyata, asing, atau tidak familiar. 2. Derealisasi: Pengalaman menetap atau berulang sebjektif terhadap lingkungan yang tidak nyata. Note: Untuk menggunakan subtipe ini, gejala disosiatif harus tidak merupakan efek fisiologis dari zat atau kondisi medis umum. Tentukan:Dengan Ekpresi Tertunda: Jika seluruh diagnostik tidak ditemui minimal 6 bulan (walaupun onset maupun gejala terjadi langsung). Gangguan Stress Pasca Trauma Pada Anak ≤ 6 Tahun A. Pada anak ≤ 6 tahun, paparan terhadap ancaman atau kejadian kematian, cedera serius, atau kekerasan seksual, dari satu (atau lebih) kriteria di bawah ini: 1. Langsung mengalami kejadian traumatis. 2. Menjadi saksi mata, peristiwa tersebut terjadi pada orang lain. 3. Menghadapi kejadian traumatis yang terjadi pada orang tua atau perawatnya. B. Adanya satu (atau lebih) gejala intrusi yang berhubungan dengan kejadian traumatis, dimulai setelah kejadian traumatis terjadi:

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

12

Post Traumatic Stress Disorder

1. Kejadian traumatis yang berulang, tidak disadari, dan menjadi ingatan yang mengganggu. 2. Mimpi

distres

yang

berulang

yang

mana

isinya

dan/atau

mempengaruhi mimpi yang berhubungan dengan kejadian traumatis. 3. Reaksi disosiatif (misalnya: kilas balik) dengan berperilaku atau berperasaan seolah kejadian traumatis terjadi kembali. (Reaksi dapat terjadi berlanjut, dengan ekspresi paling ekstrim dari kehilangan total kesadaran akan keberadaan sekelilingnya). 4. Distres psikologis yang terjadi secara intens atau berkepanjangan jika berhadapan dengan hal atau simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara internal atau eksternal. 5. Reaksi fisiologis yang berhadapan dengan hal atau simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatik baik sebagian atau seluruhnya secara internal atau eksternal C. Satu (atau lebih) gejala di bawah ini, baik penghindaran menetap yang berhubungan dengan kejadian traumatis, maupun kemunduran negatif kognitif dan mood berhubungan dengan kejadian traumatis, harus ada, dimulai atau bertambah parah setelah kejadian: Penghindaran Stimulus Menetap 1. Usaha menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan tentang atau mendekati sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis. 2. Usaha untuk menghindari atau secara langsung menghindari pengingat eksternal (orang, tempat, pembicaraan, aktivitas, objek, situasi) yang menghidupkan ingatan, pikiran, atau perasaan tentang atau mendekati sesuatu yang berhubungan dengan kejadian traumatis Kemunduran Negatif Kognitif 3. Frekuensi emosi negatif yang meningkat. 4. Penurunan jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas, termasuk pembatasan bermain. 5. Perilaku menarik diri. Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

13

Post Traumatic Stress Disorder

6. Kemunduran menetap ekspresi emosi positif. D. Kemunduran yang jelas pada kewaspadaan dan reaksi yang berhubungan dengan kejadian traumatis, diawali atau bertambah parah setelah kejadian traumatis terjadi, yang ditandai dengan dua (atau lebih) gejala di bawah ini: 1. Perilaku gelisah dan mudah mengalami ledakan kemarahan (dengan sedikit atau tanpa provokasi) yang ditandai dengan perkataan maupun perbuatan pada orang lain atau objek tertentu. 2. Hypervigilance (peningkatan kewaspadaan) 3. Respon terkejut yang berlebihan 4. Kesulitan berkonsentrasi 5. Gangguan tidur E. Durasi dari gangguan terjadi lebih dari satu bulan. F. Gangguan menyebabkan penderitaan atau hendaya dengan orang tua, saudara kandung, teman main, atau perawat atau dengan perilaku sekolah. G. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis dari zat (obat-obatan, alkohol) atau kondisi medik umum lainnya. Tentukanjika: Dengan gejala disosiatif: gejala individu memenuhi kriteria PTSD dan sebagai respon terhadap stresor, individu juga mengalami gejala menetap atau berulang seperti di bawah ini: 1. Depersonalisasi:Pengalaman menetap atau berulang subjektif bahwa dirinya terasa tidak nyata, asing, atau tidak familiar. 2. Derealisasi: Pengalaman menetap atau berulang sebjektif terhadap lingkungan yang tidak nyata. Note: Untuk menggunakan subtipe ini, gejala disosiatif harus tidak merupakan efek fisiologis dari zat atau kondisi medis umum. Tentukan:

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

14

Post Traumatic Stress Disorder

Dengan Ekpresi Tertunda: Jika seluruh diagnostik tidak ditemui minimal 6 bulan (walaupun onset maupun gejala terjadi langsung).4 2.8.2 PPDGJ-III – F43.1  Diagnosis baru ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6 bulan setelah kejadian traumatik berat (masa laten yang berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampai 6 bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai saat kejadian dan awitan gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak 

didapat alternatif ketegori lainnya Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatik tersebut secara berulang



kembali (flashback) Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya



dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas Suatu ‘sequelae’ menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma diklasifikasikan dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami katastrofa).6

2.9 Diagnosis Banding Kunci dari diagnosis PTSD yang tepat adalah pemeriksaan yang teliti dari waktu timbulnya gejala dengan suatu kejadian traumatik sebelumnya. Pasien sering menunjukkan reaksi kompleks terhadap trauma, sehingga klinisi harus hati-hati dalam menentukan PTSD dengan sindrom lain. a. Gangguan Penyesuaian Pada gangguan penyesuaian, penyebab stress bisa melebihi keparahan yang terdapat pada kriteria A PTSD. Diagnosis dari gangguan penyesuaian digunakan ketika respon dari penyebab stress sesuai dengan kriteria A PTSD namun tidak sesuai dengan kriteria PTSD lainnya (atau kriteria gangguan mental lainnya). Gangguan penyesuaian juga dapat didiagnosis ketika pola gejala PTSD yang terjadi dalam menghadapi penyebab stress tidak sesuai dengan kriteria A PTSD. b. Gangguan dan Kondisi Pasca Trauma Lainnya

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

15

Post Traumatic Stress Disorder

Tidak semua psikopatologi yang terjadi pada suatu individu yang terkena penyebab stress yang ekstrim harus dikaitkan dengan PTSD. Diagnosis memerlukan paparan terhadap trauma yang mendahului onset atau eksaserbasi dari gejala yang bersangkutan. Selain itu, jika pola respon gejala terhadap penyebab stress yang ekstrim sesuai dengan kriteria gangguan mental lainnya, diagnosis ini harus diberikan, atau sebagai tambahan pada PTSD. Diagnosis dan keadaan lain tidak termasuk jika keadaan itu lebih baik disebut PTSD. Jika parah, pola respon gejala terhadap penyebab stress yang ekstrim mungkin memerlukan diagnosis terpisah. c. Gangguan Stress Akut Gangguan stress akut dapat dibedakan dari PTSD karena pola gejala pada gangguan stress akut terbatas pada durasi 3 hari sampai 1 bulan mengikuti suatu paparan kejadian traumatis. d. Gangguan Cemas dan Gangguan Obsesif Kompulsif Pada OCD, terdapat suatu pikiran mengganggu yang berulang, dan sesuai dengan definisi dari obsesi. Sebagai tambahan, pikiran mengganggu itu tidak terkait dengan suatu kejadian traumatis, biasanya juga terdapat kompulsi, sedangkan gejala PTSD atau gangguan stress akut tidak ditemukan. Bukan merupakan bangkitan dan gejala disosiatif terhadap gangguan panik maupun penghindaran, gelisah, dan kecemasan dari gangguan cemas yang terkait dengan suatu kejadian traumatis. Gejala gangguan kecemasan terhadap perpisahan secara jelas terkait seperti berada jauh dari rumah atau keluarga daripada terhadap suatu kejadian yang traumatis. e. Gangguan Depresif Mayor Gangguan depresi mayor dapat atau tidak dapat didahului dengan suatu kejadian traumatis dan dapat didiagnosis bila gejala PTSD lainnnya tidak ditemukan. Secara spesifik, gangguan depresi mayor tidak sesuai dengan gejala Kriteria B dan C dari PTSD. Juga tidak mencakup sejumlah gejala dari Kriteria D atau E dari PTSD. f. Gangguan Kepribadian Kesulitan interpersonal pada onsetnya atau pada eksaserbasi, setelah paparan kejadian traumatik dapat diindikasikan sebagai PTSD daripada gangguan kepribadian. g. Gangguan Disosiatif

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

16

Post Traumatic Stress Disorder

Amnesia disosiatif, gangguan identitas disosiatif, dan gangguan depersonalisasi– derealisasi dapat/tidak dapat didahului oleh paparan kejadian traumatik atau dapat/tidak dapat terjadi bersamaan dengan gejala PTSD. Ketika seluruh kriteria PTSD ditemui, dapat juga dipertimbangan subtipe PTSD dengan gejala disosiatif. h. Gangguan Konversi (Gejala Gangguan Neurologis Fungsional) Onset baru dari gejala somatik pada distres pascatrauma dapat diindikasikan sebagai

PTSD

dibandingkan

dengan

gangguan

gejala

neurologis

fungsional/gangguan konversi (gejala gangguan neurologis fungsional). i. Gangguan Psikotik Kilas balik PTSD harus dibedakan dengan ilusi, halusinasi, dan gangguan persepsi yang terjadi pada skizofrenia, gangguan psikotik singkat, dan gangguan psikotik lainnya; gangguan depresif dan bipolar dengan gejala psikotik; delirium; gangguan terkait zat/obat; dan gangguan psikotik terkait kondisi medis j. Cedera Otak Traumatik. Ketika cedera otak terjadi dalam konteks kejadian traumatis (misalnya: Kecelakaan traumatis, ledakan bom, trauma akselerasi dan deselerasi), gejala dari PTSD mungkin timbul. Suatu kejadian yang menyebabkan trauma kepala dapat merupakan kejadian traumatis psikologis. Gejala sebelumnya disebut postkonkusi (misalnya: sakit kepala, pusing, sensitif terhadap cahaya dan suara, gelisah, dan kurang konsentrasi) dapat terjadi pada cedera otak dan pada populasi yang bukan cedera otak, termasuk pada individu dengan PTSD. Karena gejala dari PTSD dan TBI (Traumatic Brain Injury) yang terkait gejala neurokognitif dapat saling tumpang tindih, diagnosis banding antara PTSD dan gangguan gejala neurokognitif

yang disebabkan oleh TBI mungkin dapat

berdasarkan adanya gejala yang dibedakan dari setiap presentasi. Sebaliknya mengulang kembali dan menghindar adalah karakteristik dari PTSD dan bukan merupakan efek dari TBI, disorientasi menetap dan kebingungan lebih spesifik untuk TBI (efek neurokognitif) daripada PTSD.4

2.10 Penatalaksanaan Pendekatan paling penting pada pasien trauma adalah dengan memberi dukungan dan semangat untuk membicarakan kejadian dan memberikan pengajaran

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

17

Post Traumatic Stress Disorder

mengenai berbagai mekanisme koping. Pemberian obat sedatif dan hipnotik juga dapat membantu.3 Berdasarkan rekomendasi dari Expert Consensus Panels for PTSD, tatalaksana gangguan stress pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan beberapa aspek dibawah ini: 1. Gangguan stress pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik dan berulang dangan gangguan-gangguan jiwa serius lainnya 2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/SSRI merupakan obat pilihan pertama kasus ini 3. Terapi yang efektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan 4. Exposure threrapy merupaka terapi dengan pendekatan psikososial terbaik yang dianjurkan dan sebaiknya dianjurkan selama 6 bulan.5 a. Farmakoterapi Lini pertama terapi PTSD adalah Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs), seperti Sertraline (Zoloft) dan Paroxetine (Paxil), karena keberhasilan, tingkat tolerir, dan juga tingkat keamanan obat itu.SSRI mengurangi semua gejala PTSD dan sangat efektif dalam memperbaiki gejala khas PTSD, tidak hanya gejala yang mirip depresi atau gangguan ansietas lainnya. Dosis SSRI yang sering digunakan seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr, Sertaline 50-200 mg/hr atau Fluvoxamine 50-300 mg/hr.Buspirone (BuSpar) adalah obat serotonergik yang juga bisa dipakai. Kemampuan dari obat golongan trisiklik, yaitu Imipramine (Tolfanil) dan juga Amitriptyline (Elavil) juga didukung oleh beberapa percobaan walaupun beberapa percobaan ditemukan temuan negatif, seperti kecacatan desain penelitian yang serius seperti percobaan yang terlalu singkat.Dosis Imipramine dan Amytriptilin yang yang biasa digunakanadalah Amiltriplin 50-300mg/hr dan Imipramin 50-300 mg/hr dan lama waktu percobaan pemberian minimal 8 minggu, pasien yang merespon pengobatan dengan baik harus melanjutkan terapi paling tidak 1 tahun sebelum dicoba untuk menghentikan percobaan. Obat-obat lain yang mungkin bermanfaat pada PTSD adalah Monoamine Oxidase Inhibitors (MAOIs); (misalnya: Phenelzine (Nardil)), Trazodone (Desyrel), dan anti-konvulsan (misalnya: Karbamazepine (Tegretol), Valproate (Depakene). Pada beberapa penelitian pemberian Reversible Monoamine Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

18

Post Traumatic Stress Disorder

Oxidase Inhibitors (RIMAS) juga bermanfaat memberikan perbaikan pada pasien PTSD. Penggunaan agen anti-adrenergic seperti Clonidine (Catapres) dan Propranolol

(Inderal),

direkomendasikan

karena

teori

hiperaktivitas

noradrenergik pada gangguan ini. Tidak ada data positif yang mendukung penggunaan obat anti psikotik (misalnya: Haloperidol (Haldol), sehingga penggunaan obat ini digunakan untuk kontrol jangka pendek pada agresif yang parah dan juga agitasi.3,5 b. Psikoterapi Intervensi psikoterapi pada PTSD adalah terapi tingkah laku, terapi kognitif, dan juga hypnosis. Psikoterapi psikodinamik mungkin bermanfaat pada pengobatan orang dengan PTSD. Pada beberapa penelitian, rekonstruksi dari peristiwa traumatik dengan cara abreaksi dan catharsis mungkin bisa menjadi salah satu terapi, tetapi psikoterapi itu sendiri harus tergantung dengan tiap individual itu sendiri karena pada beberapa orang mengulang kembali kejadian bisa membuat menjadi sangat tertekan.Terapi psikoterapi biasanya memerlukan pendekatan secara kognitif dan juga menyediakan dukungan dan juga perasaan aman Psikoterapi jangka pendek juga meminimalisasi ketergantungan dan juga kemungkinan PTSD menjadi kronik. Perasaan seperti perasaan curiga, paranoid, dan kepercayaan sering mempengaruhi kepatuhan pasien dalam terapi.Terapis harus menanggulangi perasaan menyangkal pasien dari kejadian traumatis, meyakinkan mereka untuk bersantai, dan juga menjauhkan mereka dari sumber stress. Pasien harus disarankan untuk tidur dan minum obat-obatan jika perlu. Dukungan dari orang-orang di sekitar lingkungan juga sangat diperlukan seperti dari keluarga dan teman. Pasien harus diyakinkan untuk mengingat kembali dan juga melakukan abreaksi emosional terhadap peristiwa traumatis yang telah dialami dan melakukan rencana untuk pemulihan di kemudian hari. Abreaksi yaitu mengalami emosi yang berkaitan dengan kejadian traumatis mungkin bisa bermanfaat untuk beberapa orang. Wawancara dengan Amobarbital

(Amytal)

telah

digunakan

untuk

mempermudah

proses

ini.Psikoterapi pascatrauma harus mengikuti model intervensi dengan dukungan, edukasi, peningkatan mekanisme koping, dan penerimaan terhadap peristiwa itu. Ketika PTSD telah timbul, pendekatan dapat dilakukan dengan 2 cara, yang Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

19

Post Traumatic Stress Disorder

pertama

yaitu

pajanan

terhadap

peristiwa

traumatis

melalui

teknik

membayangkan atau pajanan in vivo.Pajanan dapat diberikan secara intens, sebagai terapi implosif, atau secara bertingkat yaitu melalui desensitisasi sistematik. Pendekatan yang kedua adalah pendekatan dengan mengajari pasien metode mengendalikan stress, seperti dengan cara teknik relaksasi, dan pendekatan kognitif untuk menghadapi stress. Beberapa data menunjukkan psikoterapi dengan manajemen stress efektif lebih cepat daripada pendekatan dengan teknik pajanan, tetapi hasil terapi dengan teknik pajanan bisa bertahan lebih lama. Psikoterapi lain yang relatif baru dan kontroversial adalah dengan eye movement desensitization and reprocessing (EMDR), yaitu dengan cara pasien fokus pada gerakan lateral jari terapis dengan tetap membayangkan peristiwa trauma yang pernah terjadi. Kepercayaan umum bahwa gejala dapat dikurangi dengan cara mengingat peristiwa traumatis saat dalam keadaan relaksasi dalam. Penggagas dari terapi ini mengatakan bahwa terapi ini lebih efektif daripada terapi PTSD lainnya, dan terapi ini lebih disukai baik klinisi maupun pasien yang telah mencoba terapi ini. Selain terapi individual, terapi kelompok atau terapi keluarga juga dilaporkan efektif dalam menanggulangi PTSD. Keuntungan dari terapi berkelompok adalah saling berbagi pengalaman mengenai peristiwa traumatis yang telah dialami sebelumnya dan juga dukungan dari sesama anggota kelompok. Terapi keluarga biasanya membantu mempertahankan perkawinan ketika gejala PTSD ini memberat. Rawat inap dibutuhkan ketika gejala yang timbul sangat berat atau beresiko untuk bunuh diri ataupun kemungkinan kekerasan lainnya.3 2.11 Prognosis Gejala PTSD biasa muncul setelah kejadian traumatis, bisa tertunda mulai dari 1 minggu atau hingga 30 tahun, dengan fluktuasi dari waktu ke waktu dan menjadi paling intens pada periode stress. Jika tidak diobati, sekitar 30% pasien akan menjadi pulih kembali, 40% berlanjut memiliki gejala ringan, 20% berlanjut dengan gejala sedang, dan 10% tidak akan mengalami perubahan gejala atau bahkan bertambah buruk. Setelah 1 tahun, sekitar 50% dari pasien akan menjadi pulih.

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

20

Post Traumatic Stress Disorder

Prognosis yang baik dapat terlihat pada onset gejala yang cepat, kurang dari 6 bulan, fungsi premorbid yang baik, dukungan sosial yang kuat, dan tidak adanya gangguan psikiatri, medis, atau gangguan terkait zat lain atau faktor resiko lainnya.Orang yang sangat muda dan sangat tua biasanya lebih mengalami kesulitan ketika menghadapi trauma daripada orang dengan umur pertengahan.3

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

21

Post Traumatic Stress Disorder

BAB III KESIMPULAN

Gangguan stress pascatrauma (posttraumatic stress disorder–PTSD) adalah suatu sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat didalam, atau mendengar stresor traumatik yang ekstrim dan bereaksi terhadap pengalaman tersebut dengan rasa takut dan tidak berdaya, sehingga mereka secara menetap menghidupkan kembali peristiwa tersebut, dan mencoba menghindari mengingat hal itu. Insiden menderita PTSD sepanjang hidup diperkirakan sekitar 9-15% dan prevalensi seumur hidupnya sekitar 8% populasi umum.PTSD dapat terjadi pada usia berapapun dengan prevalensi tersering dewasa muda akibat pajanan situasi penginduksi. Faktor resiko PTSD bermacam-macam tergantung dari pretraumatik, peritraumatik dan posttraumatik. Patogenesis PTSD tergantung pada setiap etiologi. Etiologi PTSD meliputi: stressor, faktor psikodinamik, faktor perilaku – kognitif dan faktor biologis. Penderita umumnya datang dengan keluhan berupa gejala-gejala depresi, ide bunuh diri, penarikan diri dari lingkungan sosialnya, kesulitan tidur, penyalahgunaan alkohol/zat adiktif lainnya, serta keluhan fisik yang lainnya.Pemeriksaan status mental sering mengungkapkan rasa bersalah, penolakan, dan cemooh.Kriteria diagnosis PTSD dengan menggunakan DSM – V atau PPDGJ – III. Pendekatan paling penting pada pasien trauma adalah dengan memberi dukungan dan semangat untuk membicarakan kejadian dan memberikan pengajaran mengenai berbagai mekanisme koping. Pemberian obat sedatif dan hipnotik juga dapat membantu.Lini pertama terapi PTSD adalah Selective Serotonin Reuptake Inhibitors (SSRIs), seperti Sertraline (Zoloft) dan Paroxetine (Paxil). Jika tidak diobati, sekitar 30% pasien akan menjadi pulih kembali, 40% berlanjut memiliki gejala ringan, 20% berlanjut dengan gejala sedang, dan 10% tidak akan mengalami perubahan gejala atau bahkan bertambah buruk. Setelah 1 tahun, sekitar 50% dari pasien akan menjadi pulih.

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

22

Post Traumatic Stress Disorder

DAFTAR PUSTAKA

1. Melinda Smith MA and Jeanne Segal, Ph. D. Post – Traumatic Stress Disorder (PTSD). [Updated March 2014, Cited May 5th 2014]. Available from: http://helpguide.org/mental/post_traumatic_stress_disorder_symptoms_treatment.ht m 2. American Psychological Association. Post – Traumatic Stress Disorder. [Updated 2014, Cited May 5th 2014]. Available from:https://www.apa.org/topics/ptsd/index.aspx 3. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed. USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2007. 4. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. 5th ed. USA: American Psychiatric Publishing; 2013. 5. Elvira SD. Buku Ajar Psikiatri UI. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2013. 6. Departemen Kesehatan.Direktorat Jendral Pelayanan Medik.Pedoman Penggolongan

dan

Diagnosis

Gangguan

Jiwa,

di

Indonesia

III.Jakarta:

Departemen

Kesehatan;1993.

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara Rumah Sakit Khusus Jiwa Dharma Graha, BSD Periode 28 April 2014 – 31 Mei 2014

23

Related Documents

Referat Ptsd
February 2021 1
Referat Ptsd
February 2021 1
Referat Ptsd
February 2021 1
Ptsd
January 2021 4
Ptsd Ppt
January 2021 3
Referat
February 2021 2

More Documents from "Aulia Mufidah"