Referat Stunting & Gizi Buruk

  • Uploaded by: Hanna
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Stunting & Gizi Buruk as PDF for free.

More details

  • Words: 8,541
  • Pages: 37
Loading documents preview...
REFERAT STUNTING & GIZI BURUK

DISUSUN OLEH : Rr. Hanna Puspitaningrum 1820221063

REFERAT STUNTING & GIZI BURUK

DISUSUN OLEH : Rr. Hanna Puspitaningrum 1820221063

PEMBIMBING : dr. Endang Prasetyowati, sp. A

BAB 1 PENDAHULUAN

Anak merupakan seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih berada dalam kandungan. Menurut Kementerian Kesehatan, batasan anak balita adalah setiap anak yang berada pada kisaran umur 12-59 bulan. Stunting merupakan kondisi kronis yang menggambarkan terhambatnya pertumbuhan karena malnutrisi jangka panjang (Sudirman, 2008; De Onis & Branca, 2016). Stunting menurut WHO Child Growth Standart didasarkan pada indeks panjang badan dibanding umur (PB/U) atau tinggi badan dibanding umur (TB/U) dengan batas (z-score) kurang dari -2 SD. Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, prevalensi kejadian stunting di Indonesia sebesar 37,2%, dimana dari jumlah presentase tersebut, 19,2% anak pendek dan 18,0% sangat pendek. Diketahui angka tertinggi ada pada provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar >50%, dan yang terendah pada provinsi Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta dan Kalimantan Timur, yaitu sebesar <30% (Kemenkes RI, 2018). Stunting berhubungan dengan meningkatnya risiko terjadinya kesakitan dan kematian serta terhambatnya pertumbuhan mental dan motorik, dan penurunan kemampuan intelektual, produktivitas, dan penurunan kualitas hidup akibat meningkatnya risiko infeksi di masa mendatang, sehingga perlu adanya perhatian khusus pada balita dengan stunting (MCA Indonesia, 2013; Aly et al, 2014). Kekurangan energi dan protein (KEP) pada anak juga masih menjadi masalah gizi dan kesehatan masyarakat di Indonesia. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2010, sebanyak 13,0% berstatus gizi kurang, diantaranya 4,9% berstatus gizi buruk (Kemenkes RI, 2011). KEP merupakan kondisi patologis yang terjadi karena kekurangan energi dan protein sebagai hasil dari nutrisi yang tidak adekuat dan kualitas diet protein yang sering berhubungan dengan kejadian infeksi (Vijaykumar, 2012). Gizi buruk didefinisikan sebagai kekurangan berat badan yang sangat berat ( < 70 % BB/PB atau < -3 Z-score ) dan atau edema (Schubl, 2010). Dua keadaan klinis nutrisi yang berat yang termasuk dalam KEP adalah marasmus dan kwashiorkor (Amrit, 2012). Keduanya mempunyai bentuk klinis yang berbeda namun terkadang sanak dengan marasmus dapat menampilkan klinis edema dan berkembang menjadi marasmuskwashiorkor (Journal of tropical Pediatrics, 2016). Nutrisi dikenal sebagai pilar dasar untuk perkembangan sosial dan ekonomi. Nutrisi yang adekuat penting pada anak usia dini untuk memastikan pertumbuhan yang sehat, pembentukan organ yang tepat dan fungsi, sistem kekebalan yang kuat dan perkembangan neurologis dan kognitif. Gizi kurang dan gizi buruk merupakan penyebab kematian sekitar 55%

anak di bawah usia lima tahun di seluruh dunia (Kusumawati, 2012). Masalah gizi masih terus menjadi topik yang kontroversial di hampir setiap aspek terutama berkaitan dengan klasifikasi dan patogenesis yang disebabkan oleh penyajian masalah gizi yang masih bervariasi dalam kandungan gizi dari makanan, prevalensi penyakit, variabilitas host, dan waktu terjadinya (Journal of Tropical Pediatrics, 2016). Di negara berkembang, hal tersebut disebabkan oleh kekurangan gizi yang berhubungan dengan diare, infeksi saluran pernapasan, campak, dan malaria. Kematian akibat gizi buruk tersebut secara tidak langsung menimpa keluarga miskin yang tidak terakses oleh pelayanan kesehatan, kekurangan vitamin A dan zinc selama dalam kandungan, serta kematian anak pada usia 2 tahun pertama (Kemenkes RI, 2011). Masa bayi dan kanak-kanak adalah masa pertumbuhan dan perkembangan yang cepat dan sangat penting. Umur 6-24 bulan merupakan masa kritis anak karena pada periode tersebut tanda dan gejala gagal tumbuh umumnya mulai nampak. Gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait antara lain konsumsi makanan yang kurang dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh pola asuh anak, ketersediaan pangan, daya beli rendah yang dipengaruhi oleh penghasilan, pendidikan, pemeliharaan kesehatan, dan lingkungan. Selain itu, kondisi rumah tangga, jumlah anggota keluarga, serta sanitasi di dalam dan di luar rumah juga berpengaruh. Sementara faktor sosial ekonomi, budaya, dan politik merupakan faktor mendasar yang menjadi akar permasalahan. Secara perlahan, kekurangan gizi akan berdampak pada peningkatan angka kematian ibu, bayi dan balita, serta umur harapan hidup yang rendah. Dampak kekurangan gizi juga terlihat pada partisipasi sekolah, pendidikan, serta pertumbuhan ekonomi yang lambat (Kusumawati, 2012).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

1.1

Definisi Stunting merupakan gangguan pertumbuhan linear yang menjadi salah satu indikator

status gizi, dimana panjang badan atau tinggi badan berdasarkan umur kurang dari -2 SD, sedangkan anak-anak dikatakan sangat terhambat pertumbuhannya/severely stunted jika PB/U atau TB/U dibawah -3 SD dari standar median pertumbuhan anak WHO (Sudirman, 2008; De Onis & Branca, 2016) yang akan tampak pada saat anak berusia 2 tahun (MCA Indonesia, 2013). Periode emas pertumbuhan anak merupakan periode pertumbuhan yang terjadi mulai dalam kandungan hingga dua tahun pertama kehidupan termasuk pertumbuhan otak, namun pada masa ini juga sangat rentan terjadi berbagai gangguan tumbuh kembang. Pemberian asupan gizi yang cukup dan adekuat dapat membantu menanggulangi masalah tumbuh kembang pada anak (Badham & Sweet, 2010). Anak-anak dengan stunting diidentifikasi dengan tubuh pendek, namun bertubuh pendek bukan masalah yang berdiri sendiri. Kondisi ini merupakan stunting syndrome, yang ditandai dengan retardasi pertumbuhan linear (Prendergest & Humphrey, 2014). Kekurangan gizi pada usia dini dapat menyebabkan penderita mudah sakit, kemampuan kognitif berkurang, postur tubuh yang pendek saat dewasa, dan dapat meningkatkan angka kematian bayi dan anak, sehingga 50% kematian terjadi pada anak-anak dibawah usia 5 tahun, serta secara jangka panjang berpengaruh terhadap produktivitas dan kondisi perekonomian suatu negara (MCA Indonesia, 2013; Aly et al, 2014). Dengan demikian, stunting tidak hanya sekedar perawakan pendek, namun terkait juga dengan masalah kesehatan anak dimasa depan (Svefors et al, 2016).

1.2

Epidemiologi Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah satu

masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%) (Kemekes RI, 2018).

Gambar 1.1 Tren Prevalensi Balita Pendek di Dunia Tahun 2000-2017.

Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6% (Kemekes RI, 2018).

Gambar 1.2 Rata-rata Prevalensi Balita Pendek di Regional Asia Tenggara Tahun 20052017.

Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4% (Kemekes RI, 2018). Menurut WHO pada tahun 2018, prevalensi balita pendek di regional Asia Tenggara tahun 2005-2017, Indonesia menduduki urutan tiga tertinggi sebesar 36,4%, setelah Timor

Leste (50,2%) dan India (38,4%), kemudian disusul oleh Bangladesh (36,1%), Nepal (35,8%), Bhutan (33,6%), Myanmar (29,2%), Korea Utara (27,9%), Maldives (20,3%), Sri Lanka (17,3%), dan Thailand (10,5%) (Kemenkes RI, 2018).

Gambar 1.3 Masalah Gizi di Indonesia Tahun 2015-2017.

Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir, tubuh pendek memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk. Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017 (Kemekes RI, 2018). Menurut Riskesdas (2013), persentase balita sangat pendek dan pendek di Indonesia pada tahun 2013 adalah 37,2%, tahun 2010 (35,6%) dan tahun 2007 (36,8%) (Gambar 2.9) (Kemenkes RI, 2016). Menurut Riskesdas (2018), persentase balita sangat pendek dan pendek di Indonesia pada tahun 2018 sebesar 30,8% (Gambar 2.10), sedangkan persentase balita sangat pendek dan pendek sebesar 29,9% (Gambar 2.11).

Gambar 1.4 Persentase Stunting di Indonesia Tahun 2007, 2010 dan 2013.

Warna biru menunjukkan persentase stunting pada tahun 2007 (36,8%), warna jingga menunjukkan persentase stunting pada tahun 2010 (35,6%), warna merah muda menunjukkan persentase stunting pada tahun 2013 (37,2%) (Kemenkes RI, 2016).

Gambar 1.5 Persentase Balita Sangat Pendek dan Pendek di Indonesia Tahun 2013-2018.

Warna biru menunjukkan persentase sangat pendek dan pendek pada tahun 2013 (37,2%), warna merah menunjukkan persentase sangat pendek dan pendek pada tahun 2018 (30,8%) (Riskesdas, 2018).

Gambar 1.6 Persentase Baduta Sangat Pendek dan Pendek di Indonesia Tahun 2018. Persentase baduta sangat pendek dan pendek di Indonesia sebesar 29,9% (Riskesdas, 2018).

1.3

Etiologi Stunting disebut juga sebagai retardasi pertumbuhan linear yang merupakan bentuk

mekanisme fisiologis tubuh untuk mencegah dari kondisi malnutrisi. Namun proses adaptasi ini memiliki batas – batas tertentu, jika terlewati dapat menyebabkan sakit bahkan kematian

(Sudirman, 2008). Pada masa prenatal, diperkirakan 20% retardasi pertumbuhan linear dimulai sejak bayi belum lahir dan akan meningkat 58% pada saat usia anak 18-23 bulan. Stunting disebabkan oleh multifaktorial, diantaranya nutrisi (energi, makronutrien, mikronutrien), toksin, infeksi (luka pada mukosa gastrointestinal), sistem imun, dan interaksi antara ibu dan janin (nutrisi ibu saat hamil dan setelah melahirkan, interaksi perilaku ibu dan anak) (Frongillo, 1999). Menurut Badhan dan Sweet (2010) faktor-faktor penyebab stunting adalah faktor genetik dan lingkungan. Faktor lingkungan terdiri dari periode prenatal dan postnatal (Soetjiningsih, 1995). Periode prenatal, pertumbuhan dan perkembangan janin merupakan hasil interaksi komplek antara status nutrisi ibu, endokrin, sinyal metabolisme dan perkembangan plasenta. Ukuran bayi merupakan refleksi dari lingkungan di intrauterin. Bayi dengan berat lahir rendah (<2,5 kg), 6 kali lebih tinggi terjadi di negara berkembang (Kolsteren, 1996; Prendergast & Humphrey, 2014). Bayi lahir dengan berat lahir rendah meliputi preterm, kecil masa kehamilan atau gabungan keduanya. Tahun 2010, sebanyak 27% bayi lahir dengan preterm dan hampir 3 juta bayi lahir dengan preterm dan kecil masa kehamilan, sehingga masa prenatal menjadi masa yang sangat penting untuk diperhatikan. Status gizi ibu juga berpengaruh terhadap stunting, terutama ibu dengan nutrisi yang kurang/malnutrisi berkontribusi besar terhadap kematian ibu, meningkatkan risiko merugikan pada janin, kematian bayi dan balita serta stunting. Selain itu, perawakan ibu yang pendek, body mass index (BMI) rendah (< 18,5 kg/cm2) selama hamil, ibu hamil dengan anemia (Hb <11 g/dl), dan ibu dengan malaria saat hamil juga turut serta berisiko melahirkan anak dengan retardasi pertumbuhan linear (Danaei et al., 2016). Otak berkembang sangat pesat pada periode postnatal. Asupan nutrisi yang tidak adekuat, pemberian ASI tidak eksklusif (0-6 bulan), inflamasi, faktor psikologi, hormon, dan kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan serta faktor lingkungan (rendahnya sanitasi, kebersihan lingkungan, air minum yang tercemar) dapat berisiko menjadi penyebab gangguan pertumbuhan linear pada anak. Akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi yang buruk dapat meningkatkan kejadian penyakit infeksi yang dapat membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh terhadap infeksi, selain itu pertumbuhan sel otak menjadi terhambat pada 2 tahun pertama, dimana seharusnya berkembang pesat pada tahun tersebut (Prendergast et al., 2014; Danaei et al., 2016; Torlesse et al., 2016; Kemenkes RI, 2016).

1.4

Patofisiologi World Health Organization Conceptual Framework menjelaskan bahwa stunting

disebabkan oleh multifaktorial yang sangat komplek dan saling mempengaruhi satu sama lain,

meliputi faktor komunitas dan sosial seperti asuhan kesehatan, pendidikan, stabilitas politik, urbanisasi, kepadatan populasi, dukungan sosial (Stewart et al., 2013). Pertumbuhan merupakan proses fisiologis yang terjadi sejak kehidupan janin dalam kandungan, bayi, balita, dan pubertas. Stunting merupakan salah satu gangguan pertumbuhan yang disebabkan karena malnutrisi. Pemberian nutrisi yang adekuat pada awal kehidupan dapat berdampak pada ekspresi genetik pertumbuhan yang berpengaruh terhadap proses pertumbuhan, metabolisme, dan risiko penyakit. Kekurangan dan kelebihan nutrisi akan sangat berpengaruh terhadap replikasi, migrasi, maturasi, apoptosis, dan meningkatkan risiko yang abnormal pada pertumbuhan dan perkembangan embrio (Black et al., 2013). Proses pertumbuhan terbagi menjadi 2 jalur yang berbeda, yaitu hiperplasia (otak, tulang), atau hipertrofi (jaringan lemak). Hiperplasia tergantung pada hormon, seperti insulin, insulin-like growth factor-1 (IGF-1), insulin-like growth factor binding protein-3 (IGFBP-3), leptin, kortisol, hormon pertumbuhan, triyodotironin (T3)/tiroksin (T4), dan membutuhkan nutrisi esensial seperti asam amino, iodine, besi, tembaga, zink, sodium, potassium, fosfor, energi yang adekuat, dan asam lemak esensial (Black et al., 2013). Kondisi malnutrisi, infeksi dapat mengganggu mekansime molekuler pada proses pertumbuhan linear. Pada kondisi malnutrisi akut growth hormone (GH) akan meningkat, namun akan menurun jika terjadi malnutrisi yang berkepanjangan, demikian juga IGF-1 akan menurun (Thissen et al., 1994; Scacchi et al., 2003; Bartz et al., 2014).

Gambar 1.7 Growth Hormone Mengaktivasi Sinyal Intraseluler (Eugster & Pescovitz, 2003) Proses fosforilasi dari reseptor GH mengakibatkan aktivasi proses metabolisme, proliferasi dan jalur transkripsi. Gen STAT5b memodulasi proses transkripsi dari IGF-1, IGFBP-3 dan acid labile subunit yang berperan pada pertumbuhan. Mutasi pada gen STAT5b berpengaruh pada proses transkripsi yang mengakibat gangguan pada linear growth (Eugster & Pescovitz, 2003).

1.5

Dampak Stunting Kegagalan pertumbuhan linear akibat stunting digunakan sebagai penanda beberapa

kelainan patologis terkait dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, kehilangan kemampuan pertumbuhan fisik, penurunan fungsi perkembangan kognitif dan saraf, serta peningkatan risiko penyakit kronis (De-Onis & Branca, 2016). World Health Ogranization (WHO) menjelaskan bahwa konsekuensi jangka panjang dari stunting berupa perawakan tubuh pendek pada saat dewasa, peningkatan risiko obesitas, dan penurunan kesehatan reproduksi (bidang kesehatan), penurunan prestasi dan kapasitas belajar (perkembangan mental), dan

penurunan kemampuan serta kapasitas kerja (bidang ekonomi) (Prendergast & Humphrey, 2014).

2.6

Pencegahan Stunting Dampak yang ditimbulkan oleh kondisi stunting dapat dicegah dengan berbagai upaya

perbaikan, yaitu melalui upaya perbaikan langsung (intervensi gizi spesifik) yang umumnya dilakukan oleh sektor kesehatan dengan kontribusi sebesar 30% dan melalui upaya tidak langsung (intervensi gizi sensitif) dengan kontribusi sebesar 70% yang melibatkan berbagai sektor seperti ketahanan pangan, ketersediaan air bersih, dan sanitasi, penanggulangan kemiskinan, pendidikan, sosial, dan sebagainya (Kemenkes RI, 2016). Berbagai upaya pencegahan stunting dapat dimulai pada 1000 hari pertama kehidupan, karena pada masa ini menjadi penentu kualitas hidup anak. World Health Ogranization (WHO) merekomendasikan berbagai upaya untuk menurunkan angka kejadian stunting yang diharapkan pada tahun 2025 akan menurun sebesar 40% (WHO, 2014). Adapun upaya – upaya penurunan angka kejadian stunting adalah sebagai berikut : 1) Pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil. Ibu hamil harus mendapatkan asupan nutrisi yang adekuat, mendapatkan suplementasi zat gizi (tablet zat besi atau Fe), dan kesehatan ibu hamil harus dijaga supaya tidak mudah sakit. 2) Pemberian ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah 6 bulan memberikan makanan pendamping ASI (MPASI) yang adekuat baik kuantitas maupun kualitasnya, serta melanjutkan pemberian ASI sampai usia 2 tahun. 3) Memantau pertumbuhan bayi dan balita di posyandu sebagai upaya strategis untuk deteksi dini adanya gangguan pertumbuhan linear. 4) Meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan. 5) Persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan dan dilanjutkan dengan inisiasi menyusu dini untuk menciptakan bounding attachment antara ibu dan bayi (MCA Indonesia, 2013; Kemenkes RI, 2016).

1.7

Manifestasi Klinis Pertumbuhan yang normal menggambarkan kesehatan anak yang baik. Pertumbuhan

tinggi badan merupakan suatu proses yang berkelanjutan. Stunting dikategorikan menjadi normal dan patologis. Variasi normal dalam stunting meliputi 2 berserta masing-masing gejala klinisnya, yaitu (WHO, 2014):

2.7.1 Familial short stature (perawakan pendek familial) a. Pertumbuhan yang selalu berada dibawah persentil 3 atau -2 SD b. Kecepaan pertumbuhan normal c. Usia tulang normal d. Tinggi badan kedua atau salah satu orangtua yang pendek e. Tinggi akhir dibawah persentil 3 atau -2 SD 2.7.2 Constitutional delay of growth and puberty (CDGP) a. Perlambatan pertumbuhan linear pada 3 tahun pertama kehidupan b. Pertumbuhan linear normal atau hamper normal pada saat pra pubertas dan selalu berada di bawah persenti 3 atau -2 SD c. Usia tulang terlambat d. Maturase seksual terlambat e. Tinggi akhir biasanya normal Anak dengan CDGP umumnya terlihat normal dan disebut dengan late bloomer. Biasanya terdapat riwayat pubertas terlambat dalam keluara, usia tulang terlambat, akan tetapi masih sesuai dengan usia tinggi. Anak dengan familial short stature selama periode bayi dan pra pubertas akan mengalami pertumbuhan yang sama seperti anak dengan CDGP. Anak -anak ini akan tumbuh memotong garis persentil dalam 2 tahun pertama kehidupan dan mencari potensi genetiknya, pubertas terjadi normal dengan tinggi akhir berada dibawah persentil 3 atau -2 SD, tetapi masih normal sesuai potensi genetiknya dan paralel dengan tinggi badan orangtua, dimana tinggi potensi genetik (TPG) seseorang dapat diukur dengan rumus sebagai berikut (MCA Indonesia, 2013):

Gambar 2.8 Rumus Tinggi Potensi Genetik

2.8

Diagnosis

2.8.1 Anamnesis Anamnesis pada anak dengan stunting meliputi:



Riwayat kelahiran dan persalinan, juga meliputi BB dan PB lahir



Pola pertumbuhan keluarga



Riwayat penyakit kronik dan konsumsi obat-obatan



Riwayat asupan nutrisi ataupun penyakit nutrisi sebelumnya



Riwayat pertumbuhan dan perkembangan



Data antropometri sebelumnya



Data antropometri kedua orangtua biologisnya

2.8.2 Pemeriksaan fisik Pada kasus stunting, pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan adalah: 

Pemeriksaan antropometri berat badan, tinggi badan, dan lingkar kepala Pengukuran

antropometri

menggunakan

kurva

WHO

yang

meliputi

pengukuran berat badan menurut usia (BB/U), tinggi badan menurut usia (TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), juga lingkar kepala menurut usia. 

Disproporsi tubuh Dihitung dengan mengukur rentang lengan dan rasio segmen atas berbanding segmen bawah (U/L). Rentang lengan adalah jarak terjauh dari rentangan kedua tangan, diukur dari ujung jari tengah kanan ke ujung jari tengah kiri. Rentang lengan ini sama dengan tinggi badan (TB) pada periode bayi, dan 3-5 cm lebih panjang dari TB pada anak. Rasio segmen atas dan bawah diukur dengan menghitung segmen bawah terlebih dahulu, yaitu dengan cara mengukur panjang simfisis pubis hingga telapak kaki. Selanjutnya, untuk mendapatkan nilai segmen atas, nilai TB dikurangi dengan segmen bawah, sehingga didapatkannya rasio antar keduanya. Nilai standar rasio berubah sesuai dengan berubahnya usia. Rasio U/L pada bayi baru lahir (BBL) adalah sebsar 1,7, dan mendekati 1 pada usia 8-10 tahun (WHO, 2014).



Stigmata sindrom, tampilan dismorfik, dan kelainan tulang Beberapa contoh sindrom dengan cirinya masing-masing, yaitu:

Gambar 2.9 Contoh Sindrom dengan Ciri Masing-Masing (MCA Indonesia, 2013) 

Pemeriksaan tingkat maturasi kelamin (status pubertas) Pada fase pubertas terjadi perubahan fisik, sehingga pada akhirnya anak akan memiliki kemampuan bereproduksi. Terdapat 5 perubahan khusus yang terjadi pada pubertas, yaitu pertambahan tinggi badan yang cepat (pacu tumbuh), perkembangan seks sekunder, perkembangan organ reproduksi, perubahan komposisi tubuh, juga perubahan sistem sirkulasi dan sistem respirasi yang berhubungan dengan kekuatan dan stamina tubuh.

Gambar 2.10 Pola Pertumbuhan Rambut Pubis

Gambar 2.11 Pola Pertumbuhan Payudara dan Rambut Pubis Pada perempuan, perkembangan pubertas biasanya dimulai dengan budding payudara, namun sekitar 15% dari perempuan normal mengalami perkembangan rambut pubis terlebih dahulu. Rambut pubis mulai tumbuh pada usia 11 tahun. Pacu tumbh pada anak perempuan dimulai sekitar usia 9,5 tahun dan berakhir pada usia sekitar 14,5 tahun. Umumnya menarke terjadi dalam 2 tahun sejak berkembangnya payudara dengan rata-rata pada usia 12,8 tahun dan rentang usia 10-16 tahun. Haid merupakan tahap akhir pubertas pada perempuan. Dengan terjadinya haid secara periodik, maka akan berakhirlah pertumbuhan fisik pada perempuan.

2.8.3 Pemeriksaan penunjang Pemeriksaan penunjang dilakukan pada anak dengan stunting dengan indikasi: 

Tinggi badan dibawah persentil 3 atau -2 SD



Kecepatan tumbuh dibawah persentil 25 atau laju pertumbuhan ≤ 4cm/ tahun (pada usia 3-12 tahun)



Perkiraan tinggi dewasa dibawah mid parental height

Pemeriksaan penunjang yang mungkin dilakukan adalah: 

Pemeriksaan radiologis (pencitraan) o Bone age o CT scan & MRI



Skrining penyakit sistemik o Darah perifer lengkap, urin rutin, feses rutin o Laju endap darah (LED)

o Kreatinin, natrium, kalium, analisis gas darah (kadar bikarbonat), kalsium, fosfat, alkali fosfatase 

Pemeriksaan lanjutan o Fungsi tiroid o Analisis kromoson o Uji stimulasi/ provokasi untuk hormon pertumbuhan. Pada anak dengan stunting harus dilakukan pemeriksaan secara baik dan terarah agar

tata laksananya optimal. Kriteria awal pemeriksaan anak dengan stunting adalah (MCA Indonesia, 2013): 

TB dibawah persentil 3 atau -2 SD



Kecepatan tumbuh dibawah persentil 25



Perkiraan tinggi badan dewasa dibawah midparental height

Gambar 2.12 Algoritma Diagnosis Stunting 2.9

Penatalaksanaan

Pada varian normal stunting tidak perlu dilakukan terapi hormonal, cukup observasi saja bahwa diagnosisnya merupakan fisiologis bukan patologis. Akhir akhir ini telah ada penelitian yang menyatakan bahwa penggunaan aromatase inhibitor sebagai terapi adjuvant atau tunggal pada Familial Short Stature dan Constitutional Delay of Growth and Puberty melalui mekanisme

menghambat kerja estrogen pada lempeng pertumbuhan. Namun masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hal ini, maka sebaiknya tidak digunakan secara rutin terlebih dahulu. Terapi dengan menggunakan hormon pertumbuhan memiliki tujuan memperbaiki prognosis tinggi badan dewasa. Dari berbagai penelitian terakhir telah dapat dilihat bahwa hasil tinggi akhir anak yang mendapat GH jauh lebih baik daripada prediksi tinggi badan pada awal pengobatan. Pada tahun 1995 FDA telah menyetujui pemakaian hormon pertumbuhan untuk defisiensi hormon pertumbuhan, gagal ginjal kronik, sindrom Turner, sindrom Prader Willi, anak anak IUGR, perawakan pendek idiopatik, orang dewasa dengan defisiensi hormon pertumbuhan, dan orang dewasa dengan AIDS wasting (WHO, 2014).

II. GIZI BURUK Gizi buruk adalah suatu keadaan dimana gizi anak yang ditandai dengan satu atau lebih dari tanda gejala yaitu sangat kurus, edema maupun edema minimal pada kedua punggung kaki, berat badan (BB)/panjang badan (PB) atau BB/tinggi badan (TB) < -3 SD dan lingkar lengan atas (LiLA) <11,5 cm untuk anak dengan usia 6-59 bulan (World Health Organization, 2004). Anak dengan gizi buruk bisa tampak salah satu antara sangat kurus atau gemuk karena edema maupun gabungan dari keduanya. Sangat kurus merupakan tampilan yang diakibatkan karena kekurangan energi protein (KEP) yang ditandai dengan BB/PB-BB/TB < -3 SD atau pada anak usia 6-59 bulan dengan LiLA < 11,5 cm. Sedangkan pada anak gizi buruk tampilan gemuk merupakan manifestasi dari edema akibat penimbunan cairan tubuh di bawah kulit yang disebabkan oleh kekurangan asupan protein. Penimbunan cairan dapat terjadi pada kedua punggung kaki (edema minimal) atau di seluruh tubuh (edema + + +) (Behrman et al., 2004).

Tabel 1 Kategori dan Ambang Batas Status Gizi Anak berdasarkan Indeks (World Health Organization, 2004). ETIOLOGI Gizi buruk dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling terkait. Secara garis besar penyebab anak kekurangan gizi disebabkan karena asupan makanan yang kurang dan anak sering sakit atau terkena infeksi. Selain itu gizi buruk dipengaruhi oleh faktor lain seperti sosial ekonomi, kepadatan penduduk, kemiskinan, dan lain-lain (Pudjiadi, 2005).

A. Faktor utama penyebab gizi buruk pada anak (Brunser, 1985).

1. Peranan diet Anak sering tidak cukup mendapatkan makanan bergizi seimbang terutama dalam segi protein dan karbohidratnya. Diet yang mengandung cukup energi tetapi kurang protein akan menyebabkan anak menjadi penderita kwashiokor, sedangkan diet kurang energi walaupun zat gizi esensialnya seimbang akan menyebabkan anak menjadi penderita marasmus. Pola makan yang salah seperti pemberian makanan yang tidak sesuai dengan usia akan menimbulkan masalah gizi pada anak. Contohnya anak usia tertentu sudah diberikan makanan yang seharusnya belum dianjurkan untuk usianya, sebaliknya anak telah melewati usia tertentu tetapi tetap diberikan makanan yang seharusnya sudah tidak diberikan lagi pada usianya. Selain itu mitos atau kepercayaan

di masyarakat atau keluarga dalam pemberian makanan seperti berpantang makanan tertentu akan memberikan andil terjadinya gizi buruk pada anak.

2. Peranan penyakit atau infeksi Penyakit atau infeksi menjadi penyebab terbesar kedua setelah asupan makanan yang tidak seimbang. Telah lama diketahui adanya hubungan yang erat antara malnutrisi dan penyakit infeksi terutama di negara tertinggal maupun di negara berkembang seperti Indonesia, dimana kesadaran akan kebersihan diri (personal hygiene) masih kurang, dan adanya penyakit infeksi kronik seperti Tuberkulosis dan cacingan pada anak-anak. Kaitan antara infeksi dan kurang gizi sangat sukar diputuskan, karena keduanya saling terkait dan saling memperberat. Kondisi infeksi kronik akan menyebabkan anak menjadi kurang gizi yang pada akhirnya memberikan dampak buruk pada sistem pertahanan tubuh sehingga memudahkan terjadinya infeksi baru pada anak.

B. Faktor lain penyebab gizi buruk pada anak (Nurhayati & Suandi, 2002).

1. Peranan sosial ekonomi Tidak tersedianya makanan yang adekuat terkait langsung dengan masalah sosial ekonomi, dan kemiskinan. Data di indonesia dan negara lain menunjukan adanya hubungan timbal balik antara kurang gizi dengan masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat terutama

masalah kemiskinan yang pada akhirnya mempengaruhi

ketersedian makanan serta keragaman makanan yang dikonsumsi. Banyak masyarakat yang masih menganut sistem bahwa orang tua harus lebih mendapatkan porsi makanan yang lebih banyak dan lebih bergizi daripada anak-anaknya karena mereka harus bekerja keras untuk menghidupi keluarganya sedangkan anak-anak hanya bermain dirumah sehingga tidak perlu mendapat asupan yang bergizi. Selain itu adanya faktorfaktor lain seperti poligami, seorang suami dengan banyak istri dan anak membuat pendapatan suami tersebut tidak dapat mencukupi makan istri-istri dan anak-anaknya, serta tingginya tingkat perceraian, dimana sebelumnya suami dan istri bersama-sama mencari nafkah untuk menghidupi anak-anaknya, kini hanya tinggal istri yang menghidupi anaknya sebagai orang tua tunggal (single parrent).

2. Peranan kepadatan penduduk

Dalam kongresnya di Roma pada tahun 1974, World Food Organization memaparkan bahwa meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi dengan bertambahnya persediaan pangan maupun bahan makanan setempat yang memadai merupakan sebab utama krisis pangan. Marasmus dapat terjadi jika suatu daerah terlalu padat penduduknya dengan keadaan higiene yang buruk, contohnya dikota-kota besar yang laju pertambahan penduduknya sangat besar akibat arus urbanisasi dan tingginya angka kelahiran menyebabkan kepadatan penduduk yang semakin meningkat. Pada akhirnya ketersediaan makanan yang ada tidak akan mencukupi lagi untuk memenuhi kebutuhan makanan masyarakat di daerah tersebut.

PATOFISIOLOGI Malnutrisi merupakan suatu sindrom yang terjadi akibat banyak faktor. Faktor-faktor ini dapat digolongkan atas tiga faktor penting yaitu : tubuh sendiri (host), agent (kuman penyebab), environment (lingkungan). Memang faktor diet (makanan) memegang peranan penting tetapi faktor lain ikut menentukan. Marasmus adalah compensated malnutrition atau sebuah mekanisme adaptasi tubuh terhadap kekurangan energi dalam waktu yang lama. Dalam keadaan kekurangan makanan, tubuh selalu berusaha untuk mempertahankan hidup dengan memenuhi kebutuhan pokok atau energi. Kemampuan tubuh untuk mempergunakan karbohidrat, protein dan lemak merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan kehidupan, karbohidrat (glukosa) dapat dipakai oleh seluruh jaringan tubuh sebagai bahan bakar, tetapi kemampuan tubuh untuk menyimpan karbohidrat sangat sedikit. Akibatnya katabolisme protein terjadi setelah beberapa jam dengan menghasilkan asam amino yang segera diubah jadi karbohidrat di hepar dan di ginjal. Selama kurangnya intake makanan, jaringan lemak akan dipecah jadi asam lemak, gliserol dan keton bodies. Setelah lemak tidak dapat mencukupi kebutuhan energi, maka otot dapat mempergunakan asam lemak dan keton bodies sebagai sumber energi kalau kekurangan makanan. Pada akhirnya setelah semua tidak dapat memenuhi kebutuhan akan energi lagi, protein akan dipecah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal tubuh. Proses ini berjalan menahun, dan merupakan respon adaptasi terhadap ketidak cukupan asupan energi dan protein (Berhman et al., 2004).

KLASIFIKASI Klasifikasi menurut Wellcome pada MEP berat dapat digunakan sampai usia lebih dari 20 tahun. Klasifikasi menurut Wellcome ini sangat sederhana karena hanya melihat % BB/U dan ada atau tidaknya edema. Terdapat kategori kurang gizi ini meliputi anak dengan PEM sedang atau yang mendekati PEM berat tapi tanpa edema, pada keadaan ini % BB/U berada diatas 60% (Pudjiadi, 2005).

Tabel 1. Klasifikasi MEP berat menurut Wellcome Trust (Pudjiadi, 2005). % BB/U Dengan edema Tanpa edema 60-80

Kwashiorkor Kurang Gizi

<60

Marasmus- kwashiorkor Marasmus

Tabel 2. Klasifikasi MEP berat menurut Gomez (Pudjiadi, 2005). Klasifikasi Normal

>90

Grade I ( Mallnutrisi Ringan)

75-89.9

Grade II ( Mallnutrisi sedang)

60-74.9

Grade III (Mallnutrisi Berat)

<60

% BB/U

ANTROPOMETRI

Berat Badan Berat badan adalah parameter pertumbuhan yang paling sederhana, mudah diukur dan diulang dan merupakan indeks untuk status nutrisi sesaat. Hasil pengukuran berat badan dipetakan pada kurva standar Berat badan/ Umur (BB/U) dan Berat Badan/ Tinggi Badan (BB/TB). Adapun interpretasi pengukuran berat badan yaitu: (Pudjiadi, 2005).

BB/U dibandingkan dengan acuan standard (CDC 2000) dan dinyatakan dalam persentase: (Pudjiadi, 2005).



> 120 %



80 – 120 % : disebut gizi baik



60 – 80 % : tanpa edema ; gizi kurang dengan edema ; gizi buruk

: disebut gizi lebih

(kwashiorkor) 

< 60%

: gizi buruk : tanpa edema (marasmus) dengan edema (marasmus –

kwashiorkor)

Tinggi Badan (TB) Tinggi badan pasien harus diukur pada tiap kunjungan . Pengukuran berat badan akan memberikan informasi yang bermakna kepada dokter tentang status nutrisi dan pertumbuhan fisis anak. Seperti pada pengukuran berat badan, untuk pengukuran tinggi badan juga diperlukan informasi umur yang tepat, jenis kelamin dan baku yang diacu yaitu CDC 2000. (Pudjiadi, 2005).

Interpretasi dari dari TB/U dibandingkan standar baku berupa: (Pudjiadi, 2005). 

90 – 110 % : baik/normal



70 – 89 %

: tinggi kurang



< 70 %

: tinggi sangat kurang

Rasio Berat Badan menurut tinggi badan (BB/TB)

Rasio BB/TB bila dikombinasikan dengan beraat badan menurut umur dan tinggi badan menurut umur sangat penting dan lebih akurat dalam penilaian status nutrisi karena ia mencerminkan proporsi tubuh serta dapat membedakan antar “wasting” dan “stunting” atau perawakan pendek. Indeks ini digunakan pada anak perempuan hanya sampai tinggi badan 138 cm, dan pada anak lelaki sampai tinggi badan 145 cm. Setelah itu rasio BB/TB tidak begitu banyak artinya, karena adanya percepatan tumbuh (growth spurt). Keuntungan indeks ini adalah tidak diperlukannya faktor umur, yang seringkali tidak diketahui secara tepat (Hay et al,. 2005).

BB/TB (%) = (BB terukur saat itu) (BB standar sesuai untuk TB terukur) x 100%, interpretasi di nilai sebagai berikut: (Pudjiadi, 2005).



> 120 %



110 – 120 % : Overweight



90 – 110 % : normal



70 – 90 %

: gizi kurang



< 70 %

: gizi buruk

: Obesitas

GEJALA KLINIS

Pada kasus malnutrisi yang berat, gejala klinis terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu kwashiokor dan marasmus. Pada kenyataannya jarang sekali ditemukan suatu kasus yang hanya menggambarkan salah satu dari bagian tertentu saja. Sering kali pada kebanyakan anakanak penderita gizi buruk, yang ditemukan merupakan perpaduan gejala dan tanda dari kedua bentuk malnutrisi berat tersebut. Marasmus lebih sering ditemukan pada anak-anak dibawah usia satu tahun, sedangkan insiden pada anak-anak dengan kwashiokor terjadi pada usia satu hingga enam tahun. Pada beberapa negara seperti di Asia dan Afrika, marasmus juga didapatkan pada anak yang lebih dewasa dari usia satu tahun (toddlers), sedangkan di Chili, marasmus terjadi pada bulan pertama kehidupan anak tersebutnya (Behrman et al., 2004).

Gejala pertama dari malnutrisi tipe marasmus adalah kegagalan tumbuh kembang. Pada kasus yang lebih berat, pertumbuhan bahkan dapat terhenti sama sekali. Selain itu didapatkan

penurunan aktifias fisik dan keterlambatan perkembangan psikomotorik. Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik, akan ditemukan suara tangisan anak yang monoton, lemah, dan tanpa air mata, lemak subkutan menghilang dan lemak pada telapak kaki juga menghilang sehingga memberikan kesan tapak kaki seperti orang dewasa. Kulit anak menjadi tipis dan halus, mudah terjadi luka tergantung adanya defisiensi nutrisi lain yang ikut menyertai keadaan marasmus. Kaki dan tangan menjadi kurus karena otot-otot lengan serta tungkai mengalami atrofi disertai lemak subkutan yang turut menghilang. Pada pemeriksaan protein serum, ditemukan hasil yang normal atau sedikit meningkat. Selain itu keadaan yang terlihat mencolok adalah hilangnya lemak subkutan pada wajah. Akibatnya ialah wajah anak menjadi lonjong, berkeriput dan tampak lebih tua (old man face). Tulang rusuk tampak lebih jelas. Dinding perut hipotonus dan kulitnya longgar. Berat badan turun menjadi kurang dari 60% berat badan menurut usianya. Suhu tubuh bisa rendah karena lapisan penahan panas hilang. Cengeng dan rewel serta lebih sering disertai diare kronik atau konstipasi, serta penyakit kronik. Tekanan darah, detak jantung dan pernafasan menjadi berkurang (Hay et al., 2005)

Pada kasus malnutrisi kwashiokor marasmik ditemukan perpaduan gejala antara kwashiokor dan marasmus. Keadaan ini ditemukan pada anak-anak yang makanan sehariharinya tidak mendapatkan cukup protein dan energi untuk pertumbuhan yang normal. Pada anak-anak penderita kasus ini disamping terjadi penurunan berat badan dibawah 60% berat badan normal seusianya, juga memperlihatkan tanda-tanda kwashiokor, seperti edema, kelainan rambut, kelainan kulit, dan kelainan biokimiawi (Pudjiadi, 2005). Kelainan rambut pada kwashiokor adalah rambut menjadi lebih mudah dicabut tanpa reaksi sakit dari penderita, warna rambut menjadi lebih merah, ataupun kelabu hingga putih. Kelainan kulit yang khas pada penyakit ini ialah crazy pavement dermatosis, yaitu kulit menjadi tampak bercak menyerupai petechiae yang lambat laun menjadi hitam dan mengelupas di tengahnya, menjadikan daerah sekitarnya kemerahan dan dikelilingi batas-batas yang masih hitam. Adanya pembesaran hati dan juga anemia ringan dikarenakan kekurangan berbagai faktor yang turut mengiringi kekurangan protein, seperti zat besi, asam folat, vitamin B12, vitamin C, dan tembaga. Selain itu juga ditemukan kelainan biokimiawi seperti albumin serum yang menurun, globulin serum yang menurun, dan kadar kolesterol yang rendah (Brunser, 1985).

DIAGNOSIS

Diagnosis marasmus dibuat berdasarkan gambaran klinis, tetapi untuk mengetahui penyebab harus dilakukan anamnesis makanan dan kebiasaan makan anak serta riwayat penyakit yang lalu. Pada awalnya, terjadi kegagalan menaikkan berat badan, disertai dengan kehilangan berat badan sampai berakibat kurus, dengan kehilangan turgor pada kulit sehingga menjadi berkerut dan longgar karena lemak subkutan hilang. Lemak pada daerah pipih adalah bagian terakhir yang hilang sehingga untuk beberapa waktu muka bayi tampak relative normal sampai nantinya menyusut dan berkeriput. Abdomen dapat kembung atau datar dan gambaran usus dapat dengan mudah dilihat. Terjadi atrofi otot dengan akibat hipotoni. Suhu biasanya subnormal, nadi mungkin lambat, dan angka metabolism basal cenderung menurun. Mula-mula bayi mungkin rewel, tetapi kemudian menjadi lesu dan nafsu makan hilang. Bayi biasanya konstipasi, tetapi dapat muncul diare dengan buang air besar sering, tinja berisi mucus dan sedikit (Hay et al., 2005).

Ciri dari marasmus antara lain:

- Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus - Perubahan mental - Kulit kering, dingin dan kendur - Rambut kering, tipis dan mudah rontok - Lemak subkutan menghilang sehingga turgor kulit berkurang - Otot atrofi sehingga tulang terlihat jelas - Sering diare atau konstipasi - Kadang terdapat bradikardi - Tekanan darah lebih rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya - Kadang frekuensi pernafasan menurun Selain itu marasmus harus dapat dibedakan dengan kasus malnutrisi lainnya yaitu kwashiokor agar tidak terjadi kesalahan dalam penegakkan diagnosa yang dapat berpengaruh pada tindak lanjut kasus ini. Kwashiorkor merupakan sindroma klinis akibat dari malnutrisi protein berat (MEP berat) dengan masukan kalori yang cukup. Bentuk malnutrisi yang paling serius dan paling menonjol di dunia saat ini terutama yang berada didaerah industri belum berkembang. Kwashiorkor berarti “anak tersingkirkan”, yaitu anak yang tidak lagi menghisap,

gejalanya dapat menjadi jelas sejak masa bayi awal sampai sekitar usia 5 tahun, biasanya sesudah menyapih dari ASI. Walaupun penambahan tinggi dan berat badan dipercepat dengan pengobatan, ukuran ini tidak pernah sama dengan tinggi dan berat badan anak normal. (Hay et al., 2005).

Ciri dari Kwashiorkor menurut antara lain:

- Perubahan mental sampai apatis - Sering dijumpai Edema - Atrofi otot - Gangguan sistem gastrointestinal - Perubahan rambut dan kulit - Pembesaran hati - Anemia (Hay et al., 2005).

PENCEGAHAN

Tindakan pencegahan terhadap marasmus dapat dilaksanakan dengan baik bila penyebabnya diketahui. Usaha-usaha tersebut memerlukan sarana dan prasarana kesehatan yang baik untuk pelayanan kesehatan dan penyuluhan gizi. Beberapa diantaranya ialah:

1. Pemberian air susu ibu (ASI) sampai umur 2 tahun merupakan sumber energi yang paling baik untuk bayi. 2. Ditambah dengan pemberian makanan tambahan bergizi dan berprotein serta energi tinggi pada anak sejak umur 6 bulan ke atas 3. Pencegahan penyakit infeksi, dengan meningkatkan kebersihan lingkungan dan kebersihan perorangan 4. Pemberian imunisasi. 5. Mengikuti program keluarga berencana untuk mencegah kehamilan terlalu kerap. 6. Penyuluhan/pendidikan gizi tentang pemberian makanan yang adekuat merupakan usaha pencegahan jangka panjang. 7. Pemantauan (surveillance) yang teratur pada anak balita di daerah yang endemis kurang gizi, dengan cara penimbangan berat badan tiap bulan.

8. Meningkatkan hasil produksi pertanian agar persediaan makan mencukupi. 9. Memperbaiki infrastruktur pemasaran dan mensubsidi harga bahan makanan 10. Melakukan program transmigrasi ke daerah lain agar terjadi pemerataan penduduk (World Health Organization, 2004).

Pentingnya Deteksi Dan Intervensi Dini

Mengingat penyebabnya sangat kompleks, pengelolaan gizi buruk memerlukan kerjasama yang komprehensif dari semua pihak. Tidak hanya dari dokter maupun tenaga medis, namun juga pihak orang tua, keluarga, pemuka masyarakat maupun agama dan pemerintah. Langkah awal pengelolaan gizi buruk adalah mengatasi kegawatan yang ditimbulkannya, dilanjutkan dengan “frekuen feeding” ( pemberian makan yang sering, pemantauan akseptabilitas diet ( penerimaan tubuh terhadap diet yang diberikan), pengelolaan infeksi dan pemberian stimulasi. Perlunya pemberian diet seimbang, cukup kalori dan protein serta pentingnya edukasi pemberian makan yang benar sesuai umur anak. Pada daerah endemis gizi buruk, diperlukan tambahan distribusi makanan yang memadai (World Health Organization, 2004). Posyandu dan puskesmas sebagai ujung tombak dalam melakukan skrining atau deteksi dini dan pelayanan pertama menjadi vital dalam pencegahan kasus gizi buruk saat ini. Penggunaan kartu menuju sehat dan pemberian makanan tambahan di posyandu perlu digalakkan lagi. Tindakan cepat pada balita yang 2x berturut-turut tidak naik timbangan berat badannya untuk segera mendapat akses pelayanan dan edukasi lebih lanjut, dapat menjadi sarana deteksi dan intervensi yang efektif. Termasuk juga peningkatan cakupan imunisasi untuk menghindari penyakit yang dapat dicegah, serta propaganda kebersihan personal maupun lingkungan. Pemuka masyarakat maupun agama akan sangat efektif jika membantu dalam pemberian edukasi pada masyarakat, terutama dalam menanggulangi kebiasaan atau mitos-mitos yang salah pada pemberian makan pada anak (Nurhayati & Suandi, 2002).

PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan pada penderita marasmus adalah pemberian diet tinggi kalori dan tinggi protein serta mencegah kekambuhan. Penderita marasmus tanpa komplikasi dapat

berobat jalan asal diberi penyuluhan mengenai pemberian makanan yang baik, sedangkan penderita yang mengalami komplikasi serta dehidrasi, syok, asidosis dan lain-lain perlu mendapat perawatan di rumah sakit. Penatalaksanaan penderita yang dirawat di RS dibagi dalam dua fase (Reginald et al., 2011). Pada fase initial, tujuan yan diharapkan adalah untuk menangani atau mencegah hipoglikemia, hipotermi, dan dehidrasi. Tahap awal yaitu 24-48 jam per-tama merupakan masa kritis, yaitu tindakan untuk menyelamat-kan jiwa, antara lain mengkoreksi keadaan dehidrasi atau asidosis dengan pemberian cairan intravena. Cairan yang diberikan ialah larutan DarrowGlucosa atau Ringer Lactat Dextrose 5%. Cairan diberikan sebanyak 200 ml/kg BB/hari. Mulamula diberikan 60 ml/kg BB pada 4-8 jam pertama. Kemudian 140 ml sisanya diberikan dalam 16-20 jam berikutnya (Bernal et al., 2007). Hipotermia ditandai dengan suhu tubuh yang rendah dibawah 360 C. Pada keadaan ini anak harus dihangatkan. Cara yang dapat dilakukan adalah ibu atau orang dewasa lain mendekap anak di dadanya lalu ditutupi selimut (Metode Kanguru). Perlu dijaga agar anak tetap dapat bernafas. Semua anak, menurut guideline dari WHO, diberikan antibiotic untuk mencegah komplikasi yang berupa infeksi, namun pemberian antibiotic yang spesifik tergantung dari diagnosis, keparahan, dan keadaan klinis dari anak tersebut. Pada anak diatas 2 tahun diberikan obat anti parasite sesuai dari protocol Tahap kedua yaitu penyesuaian. Sebagian besar penderita tidak memerlukan koreksi cairan dan elektrolit, sehingga dapat langsung dimulai dengan penyesuaian terhadap pemberian makanan. Pada hari-hari pertama jumlah kalori yang diberikan sebanyak 30-60 kalori/kg BB/hari atau rata-rata 50 kalori/kg BB/hari, dengan protein 1-1,5 g/kg BB/hari. Jumlah ini dinaikkan secara berangsur-angsur tiap 1-2 hari sehingga mencapai 150-175 kalori/kg BB/hari dengan protein 3-5 g/kg BB/hari. Waktu yang diperlukan untuk mencapai diet tinggi kalori tinggi protein ini lebih kurang 7-10 hari. Cairan diberikan sebanyak 150 ml/kg BB/hari. Formula yang biasa diberikan dalam tahap ini adalah F-75 yang mengandung 75kcal/100ml dan 0,9 protein/100ml) yang diberika terus menerus setiap 2 jam. (Bernal et al., 2007). Pemberian vitamin dan mineral yaitu vitamin A diberikan sebanyak 200.000. i.u peroral atau 100.000 i.u im pada hari pertama kemudian pada hari ke dua diberikan 200.000 i.u. oral. Vitamin A diberikan tanpa melihat ada/tidaknya gejala defisiensi Vitamin A untuk mencegah terjadinya xeroftalmia karena pada kasus ini kadar vitamin A serum sangat rendah. Mineral yang perlu ditambahkan ialah K, sebanyak 1-2 Meq/kg BB/hari/IV atau dalam bentuk preparat oral 75-100 mg/kg BB/hari dan Mg, berupa MgS04 50% 0,25 ml/kg BB/hari atau magnesium

oral 30 mg/kg BB/hari. Dapat diberikan 1 ml vitamin B (IC) dan 1 ml vit. C (IM), selanjutnya diberikan preparat oral atau dengan diet (Pudjiadi, 2005). Fase rehabilitasi dimulai saat nafsu makan anak meningkat dan infeksi yang ada berhasil ditangani. Formula F-75 diganti menjadi F-100 yang dikurangi kadar gulanya untuk mengurangi osmolaritasnya. Jenis makanan yang memenuhi syarat untuk penderita malnutrisi berat ialah susu dan diberikan bergantian dengan F-100. Dalam pemilihan jenis makanan perlu diperhatikan berat badan penderita. Dianjurkan untuk memakai pedoman BB kurang dari 7 kg diberikan makanan untuk bayi dengan makanan utama ialah susu formula atau susu yang dimodifikasi, secara bertahap ditambahkan makanan lumat dan makanan lunak. Penderita dengan BB di atas 7 kg diberikan makanan untuk anak di atas 1 tahun, dalam bentuk makanan cair kemudian makanan lunak dan makanan padat (Bernal et al., 2007). Tabel 1. Sepuluh langkah tatalaksana gizi buruk (Behrman et al., 2004).

No Tindakan Pelayanan

Fase Stabilisasi

Fase Rehabilitasi Fase Tindak lanjut *)

H1-2H3-7

Minggu ke 3 - 6

1. Mencegah dan mengatasi hipoglikemia 2. Mencegah dan mengatasi hipotermia 3. Mencegah dan mengatasi dehidrasi 4. Memperbaiki gangguan keseimbangan elektrolit 5. Mengobati infeksi 6. Memperbaiki zat gizi mikro 7. Memberikan makanan untuk stabilisasi dan transisi 8. Memberikan makanan untuk tumbuh kejar 9. Memberikan stimulasi tumbuh kembang 10. Mempersiapkan untuk tindak lanjut di rumah

Tanpa Fe

Dengan Fe

Minggu ke 7 -26

*) Pada fase tindak lanjut dapat dilakukan di rumah, dimana anak secara berkala (1minggu/ kali) berobat jalan ke Puskesmas atau Rumah Sakit.

Pada pasien dengan gizi buruk dibagi dalam 2 fase yang harus dilalui yaitu fase stabilisasi (Hari 1-7), fase transisi (Hari 8 – 14), fase rehabilitasi (Minggu ke 3 – 6), ditambah fase tindak lanjut (Minggu ke 7 – 26) seperti tampak pada tabel diatas. (World Health Organization, 2004).

KOMPLIKASI

Keadaan malnutrisi marasmus dapat menyebabkan anak mendapatkan penyakit penyerta yang terkadang tidak ringan apabila penatalaksanaan marasmus tidak segera dilakukan. (Rosli et al., 2004). Beberapa keadaan tersebut ialah:

1. Noma Noma merupakan penyakit yang kadang-kadang menyertai malnutrisi tipe marasmuskwashiokor. Noma atau stomatitis gangraenosa merupakan pembusukan mukosa mulut yang bersifat progresif sehingga dapat menembus pipi. Noma terjadi pada malnutrisi berat karena adanya penurunan daya tahan tubuh. Penyakit ini mempunyai bau yang khas dan tercium dari jarak beberapa meter. Noma dapat sembuh tetapi menimbulkan bekas luka yang tidak dapat hilang seperti lenyapnya hidung atau tidak dapat menutupnya mata karena proses fibrosis.

2. Xeroftalmia Penyakit ini sering ditemukan pada malnutrisi yang berat terutama pada tipe marasmuskwashiokor. Pada kasus malnutrisi ini vitamin A serum sangat rendah sehingga dapat menyebabkan kebutaan. Oleh sebab itu setiap anak dengan malnutrisi sebaiknya diberikan vitamin A baik secara parenteral maupun oral, ditambah dengan diet yang cukup mengandung vitamin A.

3. Tuberkulosis Pada anak dengan keadaan malnutrisi berat, akan terjadi penurunan kekebalan tubuh yang akan berdampak mudahnya terinfeksi kuman. Salah satunya adalah mudahnya

anak dengan malnutrisi berat terinfeksi kuman mycobacterium tuberculosis yang menyebabkan penyakit tuberkulosis. 4. Sirosis hepatis Sirosis hepatis terjadi karena timbulnya perlemakan dan penimbunan lemak pada saluran portal hingga seluruh parenkim hepar tertimbun lemak. Penimbunan lemak ini juga disertai adanya infeksi pada hepar seperti hepatitis yang menimbulkan penyakit sirosis hepatis pada anak dengan malnutrisi berat.

5. Hipotermia Hipotermia merupakan komplikasi serius pada malnutrisi berat tipe marasmus. Hipotermia terjadi karena tubuh tidak menghasilkan energi yang akan diubah menjadi energi panas sesuai yang dibutuhkan oleh tubuh. Selain itu lemak subkutan yang tipis bahkan menghilang akan menyebabkan suhu lingkungan sangat mempengaruhi suhu tubuh penderita.

6. Hipoglikemia Hipoglikemia dapat terjadi pada hari-hari pertama perawatan anak dengan malnutrisi berat. Kadar gula darah yang sangat rendah ini sangat mempengaruhi tingkat kesadaran anak dengan malnutrisi berat sehingga dapat membahayakan penderitanya.

7. Infeksi traktus urinarius Infeksi traktus urinarius merupakan infeksi yang sering terjadi pada anak bergantung kepada tingkat kekebalan tubuh anak. Anak dengan malnutrisi berat mempunyai daya tahan tubuh yang sangat menurun sehingga dapat mempermudah terjadinya infeksi tersebut.

8. Penurunan kecerdasan Pada anak dengan malnutrisi berat, akan terjadi penurunan perkembangan organ tubuhnya. Organ penting yang paling terkena pengaruh salah satunya ialah otak. Otak akan terhambat perkembangannya yang diakibatkan karena kurangnya asupan nutrisi untuk pembentukan sel-sel neuron otak. Keadaan ini akan berpengaruh pada kecerdasan seorang anak yang membuat fungsi afektif dan kognitif menurun, terutama dalam hal daya tangkap, analisa, dan memori.

PROGNOSIS

Prognosis pada penyakit ini buruk karena banyak menyebabkan kematian dari penderitanya akibat infeksi yang menyertai penyakit tersebut, tetapi prognosisnya dapat dikatakan baik apabila malnutrisi tipe marasmus ini ditangani secara cepat dan tepat. Kematian dapat dihindarkan apabila dehidrasi berat dan penyakit infeksi kronis lain seperti tuberkulosis atau hepatitis yang menyebabkan terjadinya sirosis hepatis dapat dihindari. Pada anak yang mendapatkan malnutrisi pada usia yang lebih muda, akan terjadi penurunan tingkat kecerdasan yang lebih besar dan irreversibel dibanding dengan anak yang mendapat keadaan malnutrisi pada usia yang lebih dewasa. Hal ini berbanding terbalik dengan psikomotor anak yang mendapat penanganan malnutrisi lebih cepat menurut umurnya, anak yang lebih muda saat mendapat

perbaikan

keadaan

gizinya

akan

cenderung

mendapatkan

kesembuhan

psikomotornya lebih sempurna dibandingkan dengan anak yang lebih tua, sekalipun telah mendapatkan penanganan yang sama. Hanya saja pertumbuhan dan perkembangan anak yang pernah mengalami kondisi marasmus ini cenderung lebih lambat, terutama terlihat jelas dalam hal pertumbuhan tinggi badan anak dan pertambahan berat anak, walaupun jika dilihat secara ratio berat dan tinggi anak berada dalam batas yang normal (Behrman et al., 2004).

DAFTAR PUSTAKA

Abd El-Maksoud, A. M., Khairy, S. A., Sharada, H. M., Abdalla, M. S., Ahmed, N. F. (2017). Evaluation of pro-inflammatory cytokines in nutritionally stunted Egyptian children. Egyptian Pediatric Association Gazette, 65(3), 80–84. Badham, J., Sweet, L. (2010). Stunting: an overview. Sight and Life Magazine, 3, 40-47 Ballinger, A. (2002). Fundamental mechanisms of growth failure in inflammatory bowel disease. Horm Res, 58(1), 7–10. Ballinger, A.B., Camacho-Hubner, C., Croft, N.M. (2001). Growth failure and intestinal inflammation. QJM, 94, 121–5. Barker, D.J., Eriksson, J.G,. Forsen, T., Osmond, C. (2002). Fetal origins of adult disease: strength of effects and biological basis. Int J Epidemiol, 31, 1235–1239. Bartz, S., Mody, A., Hornik, C., Bain, J., Muehlbauer, M., Kiyimba, T. (2014). Severe acute malnutrition in childhood: hormonal and metabolic status at presentation, response to treatment, and predictors of mortality. J Clin Endocrinol Metab, 99, 2128–37. Behrman RE, RM Kliegman, HB Jenson. (2004). Food Insecurity, Hunger, and Undernutrition. Nelson Textbook of Pediatric. 18th edition, 225-232. 8Bernal, C.,Velasquez, C., Alcaraz &G., Botero, (J. 2007). Treatment of Severe Malnutrition in Children: Experience in Implementing the World Health Organization Guidelines. Turbo, Colombia, http://journals.lww.com. [diakses pada tanggal 28 Juli 2019] Black, R. E., Victora, C. G., Walker, S. P., Bhutta, Z. A., Christian, P., de Onis, M., Ezzati, M., Grantham-McGregor, S., Katz, J., Martorell, R., Uauy, R. (2013). Maternal and child undernutrition and overweight in low-income and middle-income countries. The Lancet, 382(9890), 427–451. Brunser Oscar. (1985). Protein Energy Malnutrition : Marasmus in Clinical Nutrition of the Young Child, Raven Press. New York,121-154. Danaei, G., Andrews, K. G., Sudfeld, C. R., Fink, G., McCoy, D. C., Peet, E., Sania, A., Smith Fawzi, M. C., Ezzati, M., Fawzi, W. W. (2016). Risk Factors for Childhood Stunting in 137 Developing Countries: A Comparative Risk Assessment Analysis at Global, Regional, and Country Levels. PLoS Med, 13(11), 1-18. De Onis, M., & Branca, F. (2016). Childhood stunting: a global perspective. Maternal & Child Nutrition, 12, 12–26 De-Benedetti, F., Alonzi, T., Moretta, A., Lazzaro, D., Costa, P., Poli, V. (1997). Interleukin 6 causes growth impairment in transgenic mice through decreases in insulin-like growth factor-I. A model for stunted growth in children with chronic inflammation. J Clin Invest, 99,643–650. DeBoer, M. D., Scharf, R. J., Leite, A. M., Férrer, A., Havt, A., Pinkerton, R., Guerrant, R. L. (2017). Systemic inflammation, growth factors, and linear growth in the setting of infection and malnutrition. Nutrition, 33, 248–253. DiFedele, L.M., He, J., Bonkowski, E.L., Han, X., Held, M.A., Bohan, A. (2005). Tumor necrosis factor alpha blockade restores growth hormone signaling in murine colitis. Gastroenterology, 128, 1278–91. Eugster, E. A., & Pescovitz, O. H. (2003). New Revelations about the Role of STATs in Stature. New England Journal of Medicine, 349(12), 1110–1112. Fowden, A.L., Giussani, D.A., Forhead, A.J. (2006) Intrauterine programming of physiological systems: causes and consequences. Physiology (Bethesda), 21, 29–37 Frongillo, E. A. (1999). Introduction. The Journal of Nutrition, 129(2), 529S–530S. Hay WW, MJ Levin, JM sondheimer, RR Deterding. (2005). Normal Childhood Nutrition and its Disorders. Current Diagnosis & Treatment in Pediatrics. 18th edition, 283-311.

Kemenkes RI. 2016. Infodatin: Situasi Balita Pendek. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Kemenkes RI. 2018. Buletin Jendela Data dan Informasi Kesehatan: Situasi Balita Pendek (Stunting) di Indonesia. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. Kolsteren, P. (1996). The determinants of stunting: Can we regard the linear growth performance as a continuum of fetal development? Asia Pacific J Clin Nutr, 5, 59-69. Maggio, M., De Vita, F., Lauretani, F., Buttò, V., Bondi, G., Cattabiani, C., Ceda, G. (2013). IGF-1, the Cross Road of the Nutritional, Inflammatory and Hormonal Pathways to Frailty. Nutrients, 5(10), 4184–4205. MCA Indonesia. (2013). Stunting dan Masa Depan Indonesia. Millenn. Chall. Acc. - Indones. 2010, 2–5. Mortola, J.P., Frappell, P.B., Aguero, L., Armstrong, K. (2000) Birth weight and altitude: a study in Peruvian communities. J Pediatr, 136, 324–329. Nurhayati, soetjiningsih, Suandi IKG. (2002). Relationship Between Protein Energy Malnutrition and Social Maturity in Children Aged 1-2 Years. Paediatrica Indonesiana. 42th volume, December, 261-266. Prendergast, A. J., & Humphrey, J. H. (2014). The stunting syndrome in developing countries. Paediatrics and International Child Health, 34(4), 250–265. Prendergast, A. J., Rukobo, S., Chasekwa, B., Mutasa, K., Ntozini, R., Mbuya, M. N. N., Jones, A., Moulton, L. H., Stoltzfus, R. J., Humphrey, J. H. (2014). Stunting Is Characterized by Chronic Inflammation in Zimbabwean Infants. PLoS ONE, 9(2), 111. Primaditya, V. (2017). Efek Ekstrak Etanol Pegagan (Centella Asiatica) Pada Stunting Larva Zebrafish (Danio Rerio) Akibat Induksi Rotenon Melalui Peningkatan Ekspresi Glucose Transporter 4 (Glut 4) Dan Osteocalcin. Magister thesis, Universitas Brawijaya. Pudjiadi Solihin. (2005). Penyakit KEP (Kurang Energi dan Protein) dari Ilmu Gizi Klinis pada Anak edisi keempat, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta, 95-137. Reginald, A., Annan & Florence, M. (2011). Treatment of severe acute malnutrition in HIVinfected children. http://www.who.int. [diakses pada tanggal 28 Juli 2019] Riskesdas. 2018. Hasil Utama Riskesdas 2018. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. Rosli AW, Rauf S, Lisal JS, Albar H. (2008). Relationship Between Protein Energy Malnutrition and Urinary Tract Infectiont in Children. Paediatrica Indonesiana. 48th volume, May, 166-169. Soetjiningsih. (1995). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: EGC. Sudirman. (2008). Stunting atau Pendek: Awal Perubahan Patologis atau Adaptasi karena Perubahan Sosial Ekonomi Yang Berkepanjangan? Media Litbang Kesehatan Volume XVIII Nomor 1. Departemen Kesehatan 2008. Svefors, P., Rahman, A., Ekström, E.-C., Khan, A. I., Lindström, E., Persson, L. Å., & Ekholm Selling, K. (2016). Stunted at 10 Years. Linear Growth Trajectories and Stunting from Birth to Pre-Adolescence in a Rural Bangladeshi Cohort. PLOS ONE, 11(3), e0149700. Swanson, A.M., David, A.L. (2015). Animal models of fetal growth restriction: Considerations for translational medicine. Placenta, 36, 623-630. Szalecki, M., Malinowska, A., Prokop-Piotrkowska, M., Janas, R. (2018). Interactions between the growth hormone and cytokines – A review. Advances in Medical Sciences, 63(2), 285–289. The World Bank. (2006). Repositioning Nutrition as Central to Development: a strategy for large-scale action. 1st ed. 2006. Washington DC. The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank

https://siteresources.worldbank.org/NUTRITION/Resources/2818461131636806329/NutritionStrategyOverview.pdf. Torlesse, H., Cronin, A. A., Sebayang, S. K., Nandy, R. (2016). Determinants of stunting in Indonesian children: evidence from a cross-sectional survey indicate a prominent role for the water, sanitation and hygiene sector in stunting reduction. BMC Public Health, 16(1). Tree, K., Viemari, J. C., Cayetanot, F., Peyronnet, J. (2016). Growth restriction induced by chronic prenatal hypoxia affects breathing rhythm and its pontine catecholaminergic modulation. J Neurophysiol, 116, 1654–166. WHO. (2014). Global Nutrition Targets 2025: Stunting policy brief. Geneva: World Health Organization. World Health Organization. (2004). Severe Malnutrition in Management of The Child With a Serious Infection or Severe Malnutrition. Departement of Child and Adolescent Health and Development, 80-91. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Pelayanan Anak Gizi Buruk. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011. Banstola Amrit. Prevalence of energy malnutrition in children under five years and service delivery responses in Nepal. International Journal of Health Sciences & Research 2012;2:90-79. Mane Vijaykumar, Nalk Trupti B, Mallapa O, Ambure Omprakash. Protein energy malnutrition among preschool children: a cross-sectional study. International Journal of Scientific Study 2012;3:113-109. C Schubl. Management of severe malnutrition. S Afr J Clin Nutr 2010;23:24-22 Protein-energy Malnutrition. Mother and Child Nutrition in the Tropics and Subtropics. Journal of

Tropical

Pediatrics

2016;62(2):

p.

237-280

www.oxfordjournals.org/tropej/.../mcnts_chap7.p... [diakses pada tanggal 28 Juli 2019] Kusumawati Erna, Rahardjo Setiyowati. Pengaruh Pelayanan Kesehatan terhadap Gizi Buruk Anak Usia 6-24 Bulan. Kesmas, Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional 2012;6:162158 jurnalkesmas.ui.ac.id/index.php/kesmas/article/viewFile/93/94 [diakses pada tanggal 28 Juli 2019] Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak. Kemennterian Kesehatan RI Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Direktorat Bina Gizi. 2011 The UNICEF Conceptual Framework for Malnutrition. School of Public Health (SOPH), University of the Western Cape (UWC), South Africa. 2011. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2014. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2015. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. 2015.

Harohalli

R

Shashidhar.

Malnutrition.

Medscape.

Update

May,

2016.

http://emedicine.medscape.com/article/985140-overview#a6 [diakses pada tanggal 28 Juli 2019] Gizi Buruk. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Pedoman bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. Bagan Tatalaksana Gizi Buruk Anak I. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Direktorat Bina Gizi. 2011. Petunjuk Teknis Tatalaksana Anak Gizi Buruk Buku II. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Direktorat Bina Gizi. 2011. Asuhan Nutrisi Pediatrik (Pediatric Nutrition Care), penyunting, Damayanti Rusli Sjarif, Sri S. Nasar, Yoga Devaera, Conny Tanjung. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik. 2011.

Related Documents


More Documents from "fathiaR"

Referat Stunting
February 2021 1
February 2021 0
February 2021 0
Chapter_004.ppt
February 2021 1