Ringkasan Materi Buku

  • Uploaded by: Fajar Indra
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ringkasan Materi Buku as PDF for free.

More details

  • Words: 20,355
  • Pages: 72
Loading documents preview...
RINGKASAN MATERI BUKU WARDIMAN DJOJONEGORO. (1998). PENGEMBANGAN SUMBERDAYA MANUSIA MELALUI SMK. JAKARTA : PT. JAYAKARTA AGUNG OFFSET , PUTU SUDIRO (2017) TVET ABAD 21. YOGYAKARTA. UNY PRESS

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Herminarto Sofyan M.Pd.

Disusun Oleh : FAJAR INDRA RAHMANA NIM. 16504244023

PENDIDIKAN TEKNIK OTOMOTIF FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2018

BAB 1 PENDAHULUAN Peningkatan kualites sumberdaya manusia merupakan salah satu amanat pada GBHN 1993, bahkan menjadi titik berat pembangunan pada Pembangunan Jangka Panjang Kedua (PJP II) seiring dengan pembangunan ekonomi. Pendidikan Menengah Kejuruan sebagai salah satu sub-sistem dari sistem pendidikan nasionai, sesuai dengan ketentuan pada Undang-Undang No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang tnempunyai tujuan utama menyiapkan tamatannya memasuki dunia kerja, adalah salah satu jenis dan jenjang pendåikan yang mendapat perhatian utama sesuai dengan amanat GBHN 1993 termaksud. Berbagai kajian dilakukan pada tahun terakhir Pelita V, sebagai bahan dasar untuk memasuki Repelita VI. Dari hasil kajian tersesebut, beberapa hal yang ditemukan kurang sejalan dengan wawasan sumberdaya manusia antara lain Pertama, dunia usaha dan dunia industri lebih cenderung mennpekerjakan tamatan SMA dari pada tarnatan STM, SMEA, atau tamatan Sekolah Menengah Kejuruan lainnya, dan gaji tamatan STM/SMEA/ SMKK tidak berbeda dengan gaji tamatan SMA. Kedua, program pendidikan menengah kejuruan yang dsusun pada Kurikulurn 1994, lebih berorientasi pada pengajaran mata pelajaran yang Pengembangan Sumberdaya Manusia Melalui Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) harus dipelajari peserta didik, dan tidak jelas terfokus pada penguasaan kompetensi atau kemampuan yang diper!ukan di dunia kerja. Ketiga program pendidikan (kurikulum) disusun oleh guru dan para pakar pendidikan yang tidak mempunyai wawasan lapangan kerja, diajarkan oleh guru yang tidak mempunyai pengalaman kerja di dunia kerja, dan hasil pendidikannya pun dievaluasi oieh guru dengan menggunakan ukuran dunia pendidikan. Keempat, perilaku dan kebiasaan belajar mengajar di sekolah yang terkonsepsi sebagai "dunia sekolah", berbeda jauh dengan perilaku, cara kerja dan kebiasaan yang ada di dunia industri.

Kelima, perilaku sekolah cenderung rnelaksanakan program pendidikan demi pendidikan", dan kurang memahami pasar, wawasan mutu, dan wawasan keunggu!an untuk menghadapi persaingan. Berbagai permasalahan tersebut di atas adalah produk dari proses perjalanan panjang pertumbuhan pendidikan kejuruan itu sendiri. Tanpa disadari, perilaku dan kebiasaan yang berjalan telah membentuk sistem-nilai dan sikap menerima permasalahan tersebut menjadi sesuatu yang wajar. Apabila pendidikan dan pelatihan kejuruan ingin "exist" sebagai salah satu pilar utama pengembangan sumberdaya manusia sesuai dengan amanat GBHN, maka permasalahan tersebut harus diatasi. Tantangan era global bukan lagi sesuatu "yang akan datang" , tetapi sudah menjadi tantangan masa kini. Permasalahan yang dihadapi oleh pendidikan menengah kejuruan tidak lagi hanya pada substansi pendidikan atau kurikulumnya, tetapi komprehensif dan mendasar, meliputi sistem-nilai, polapikir, dan sikap-mental para pelaku dan pengelcla kejuruan itu sendiri Pada tahun 1993/1994, tahun terakhirPelita V, sekaligus tahun terakhir Pembangunan Jangka Panjang Tahap Pertama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan memperkenalkan kebijakan link and match Kebijakan ini mengandung dua muatan pentingr yaitu makna filosofis yang dimaksudkan untuk membarui, menata, dan meluruskan sistem nilai, pola- pikir, sikap-mental, perilaku, dan kebiasaan para pemikir, perencana, pengelola dan pelaku pendidikan kejuruan itu sendiri, serta kebijakan operasional yang menjadi prinsip dalam penyusunan program dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kejuruan. Secara filisofis, kebijakan link and match berwawasan sumberdaya manusia, berwawasan masa depanr berwawasan mutu, berwawasan keunggulan, berwawasan profesionalisme, berwawasan nilai-tambah, dan berwawasan efisiensi. Wawasan yang sangat komprehensif ini membuka semua batas pemisah yang dulunya memagari pendidikan di dalam dunia pendidikan yang terisolasi, menjadi terbuka melalui dialog dan kerjasama dengan seluruh pihak yang peduli terhadap pengembangan sumberdaya manusia dan dengan seluruh pihak yang berkepentingan pada pendidikan. Kebijakan link and match pada dasarnya berlaku untuk seluruh jenis dan jenjang pendidikan, dan khusus untuk pendidikan menengah kejuruan, kebijakan ini dioperasicnalkan dalam bentuk pelaksanaan program PENDIDIKAN SISTEM GANDA (PSG).

Konsep dan program PSG disusun dan disiapkan pada tahun 1993/ 1994, dan mulai dilaksanakan pada tahun 1994/1995, yaitu pada tahun pertama Pelita VI dan seka!igus tahun awal dimulainya Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua. Pelaksanaan program PSG yang memanfaatkan mo- mentum tahun awa; PjP kedua, mengandung dua misi utama, yaitu: (1) segerar secara bertahap, melakukan peningkatan mutu tamatan SMK, sebagai bagian dari misi pengembangan sumberdaya manusia; (2) menjadi pranata (means) memperkenalkan nilai-nilai baru; yaitu ni!ai fi!osofis yang terkandung pada kebijakan link and match itu sendiri. Untuk mendukung keterlaksanaan dan keberlangsungan program PSG, maka pada tanggal 17 Oktober 1994 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan bekerjasama dengan KADIN Indonesia, mengambil inisiatif membentuk MAJELIS PENDIDIKAN KEJURUAN TINGKAT NASIONAL (MPKN), sebagai wahana kerjasama antara pihak pemerintah (dalam hal ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) dengan dunia usaha dan industri (dalam hal ini KADIN Indonesia), yaitu badan yang bertugas dan bertanggungjawab dalam penyusunan program dan pelaksanaan PSG. MPKN kemudian berinisiatif membentuk kelompok pekerja tetapnya untuk setiap bidang keahlian profesi yang disebut KELOMPOK BiDANG KEAHLIAN (KBK), dan mendorong pembentukan Majelis Pendidikan Kejuruan Tingkat Propinsi (MPKP) di setiap Propinsi, dan MPKP kemudian mendorong pembentukan Majelis Sekolah (MS) di setiap SMK. Perkembangan pelaksanaan program PSG hingga tahun 1997/1998 setelah empat tahun pelaksanaanr secara kuantitatif menunjukkan hasil yang cukup positif. Seteiah terbentuknya MPKN pada bulan Oktober 1994, telah berhasil dibentuk perangkat organisasi pendukung berupa : 40 KBK, 27 MPKP dan pembentukan Majelis Sekolah (MS) di 751 SMK Negeri dan lebih dari 1000 SMK Swasta. Perkembangan jumlah industri yang ikut serta dalam pelaksanaan program PSG berkembang dari 6.078 pada tahun 1994/1995, menjadi 1 1 .214 pada tahun 1995/1996, menjadi 35.000 pada tahun 1996/ 1997, dan menjadi 50.603 industri pada tahun 1997/1998. Jumlah siswa yang dilayani dalam kegiatan praktek kerja industri, juga berkembang positif dari jumlah siswa sebanyak 36.700 pada tahun 1994/1995, berkembang menjadi: 62.487 siswa pada tahun 1995/1996, menjadi: 125.000 siswa pada tahun 1996/1997 dan menjadi: 409.734 siswa pada tahun 1997/1998.

BAB II KEADAAN PENDIDIKAN KEJURtJAN PADA PJP 1 1. Pra-PeIita I Sekolah kejuruan yang dikenal pada Pra-Pelita I meliputi : ST, SMEP dan SKKP pada tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP), dan ST M, SMEA, SKKA pada tingkat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA). Selain itu ada SSRI, SMIND, KOKAR dan INRI yang berorientasi pada pendidikan seni dan kerajinan, serta berbagai kursus-kursus antara lain kPA, KPAA, KKP dan KkPA. Rencana Pembangunan Semesta Berencana yang pernah dikenal pada zaman pemerintahan orde lama pernah merencanakan pertumbuhan sekolah kejuruan secara besar-besaran sehingga mencapai perbandingan 75 % : 25 % antara sekolah kejuruan dengan sekolah umum. Rencana besar yang tidak ditunjang oleh perencanaan yang baik dan kemampuän keuangan negara pada waktu itu, mendorong masyarakat secara swadana membangun sekolah kejuruan sebagai langkah persiapan untuk penegerian. Berdasarkan pendekatan pembangunan sekolah seperti ini, maka jumlah sekolah kejuruan berkembang dengan pesat tetapi dengan fasilitas fisik (bangunan, peralatan dan perabot) yang sangat tidak memadai. Selain itu, kekurangan guru sangat dirasakan karena kekurangan calon yang dihasilkan lembaga pendidikan tenaga guru. dan terjadilah pengangkatan guru besarbesaran dari tamatan STM, SMC-A dan untuk mengajar di STM, SMEA dan SKkA. Kurikulum sekolah kejuruan yang bersifat nasional, pertama kali diterbitkan pada tahun 1964, yang dikenal dengan Kurikulum 1964. Gambaran program pendidikan kejuruan yang dapat dikenal dengan Kurikulum 1964, adalah sebagai berikut: Pertama, tujuan pendidikan kejuruan tidak jelas dan ambivalen- Pendidikan kejuruan semestinya mempersiapkan tamatannya untuk memasuki dunia kerja, namun dalam kenyataannya tidak memberikan kemampuan untuk itu, dan bahkan secara langsung memberikan bekal untuk melanjut ke pendidikan yang lebih tinggi. Konsekuensi ambivalensi tujuan pendidikan kejuruan ini adalah tidak jelasnya kualifikasi tamatan dalam hubungannya dengart tingkatan keahlian di dunia kerja.

Kedua, kurikulum 1964 SMK memiliki isi yang sarat teori. Bobot praktek kejuruannya hanya berkisar antara 5% sampai 20% dari keseluruhan program pendidikan dan itupun dilaksanakan secara terpisah dengan teori kejuruannya. Kurikulum 1964 SMK cenderung berpedoman pada "subject matter approach " dari pada "competency based approach " sehingga tamatannya cenderung memiliki kemampuan "pengetahuan" (knowing) dari pada kemampuan "pengerjaan" (doing). Ketiga, metode penyampaian yang digunakan adalah komunikasi satu arah. Karena itu, gurunya cenderung aktif dan siswanya yang pasif, Di samping itu, metode penyampaian yang digunakan juga cenderung abstrak (hanya dengan kata-kata). Jarang digunakan metode-metode berbasis pengalaman langsung seperti misalnya magang dan praktek di perusahaan. Dapat diartikan bahwa pendidikan kejuruan pada Pra-Pelita I belum memiliki tujuan yang jelas, pelajaran bersifat teoritis, kualifikasi tamatan tidak jelas kaitannya dengan tingkat keahlian di dunia kerja, tidak adanya keseragaman antar jenis sekolah dalam pengorganisasian kurikulumnya metode penyampaian yang berpusat pada guru, fasilitas praktek kurang memadai, dan jumlah serta mutu guru yang sangat tidak memadai. 2. Pelita I (1969/1970 - 1973/1974) Berdasarkan Rencana Pembangunan Lima Tahun pertama, pembangunan pendidikan kejuruan mulai dibenahi dan mulai diupayakan melalui suatu sistem yang diharapkan dapat menunjang pembangunan nasional Berikut adalah beberapa karakteristik program pembangunan pendidikan kejuruan yang diharapkan menunjang pembangunan nastonal pada Pelita l. Pertama, pendidikan kejuruan melakukan rehabilitasi bangunan (ruang praktek, ruang praktikum/laboratorium) dan peralatan (mesinr alat, perlengkapan, dsb). Rehabilitasi ini dimaksudkan agar praktek dan praktikum kejuruan benar-benar lebih optimal, yang sebelumnya kurang terlaksana. Kedua, bentuk lain konkretisasi gagasan utama pada Pelita I adalah dikembangkannya 12 Instalasi Pendidikan Teknik (IPT), yang kemudian 8 diantaranya berkembang menjadi STM Pembangunan (4 tahun) yang terletak di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta,

Surabaya, ujung Pandang, Temanggung dan Pekalongan. Empat IPT lainya berkembang menjadi Sekolah Menengah Teknologi Pertanian, yaitu di Metro (Lampung), Tangerang, Boyolali dan Jember. Ketiga, pembangunan 5 Balai Latihan Pendidikan Teknik (BLPT) di Jakarta, Bandung,Surabaya, Medan, dan Ujung Pandang, dibangun melalui dana pinjaman World Bank untuk melayani praktek kejuruan bagi para siswa dari 15 STM Negeri di sekitar BLPT-BLPT tersebut. Tujuan pembangunan 5 BLPT tersebut adalah agar STM tidak perlu mengadakan fasilitas sendiri-sendiri. Keempat, dalam rangka peningkatan mutu guru kejuruan, maka pada tahun 1973 mulai diselenggarakan penataran guru melalui proyek Peningkatan Mutu Pendidikan Teknik (PMPT), yang kemudian ditingkatkan menjadi Proyek Penataran Guru Pendidikan Teknik (PGPT). Kelima, pemerintah juga melakukan rehabilitasi terhadap sekolah kejuruan yang telah dirintis pada pra Pelita l, akan tetapi Iaju pertumbuhan jumlah siswa lebih cepat dari pada laju pengadaan fasilitas, sehingga apa yang diajarkan pada SMK pada saat itu masih tetap teoritis. Secara umum, pembangunan pendidikan kejuruan pada Pelita I masih berpusat pada pengadaan fasilitas dan identifikasi gagasan-gagasan inovatif sebagai persiapan Pelita Il dalam pembenahan Pendidikan kejuruan agar sesuai dengan kebutuhan tenaga kerja dalam pembangunan nasional. 3. Pelita Il (1974/1975-1978/1979) Arah pembangunan pendidikan kejuruan lebih dipertegas ditetapkannya GBHN 1973 yang mengamanatkan bahwa "Pembangunan pendidikan diarahkan untuk membentuk manusia-manusia pembangunan yang ber Pancasila, dan pembinaan sistem pendidikan nasional agar disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan, sehingga menghasilkan calon tenaga kerja yang diperlukan untuk pembangunan Jadi secara yuridis masatah "kesesuaian" pembangunan di bidang pendidikan dengan pembangunan di bidang-bidang lain telah menjadi isu nasional pada saat itu. Bahkan lebih konkrit lagi agar pendidikan dibenahi dan disesuaikan dengan struktur piramida tenaga kerja. Ini jelas merupakan

suatu keputusan politis. Keputusan politis tersebut kemudian diikuti studi empirik oleh Bank Dunia. Dari hasil studinya ditemukan bahwa Indonesia sangat kekurangan tenaga kerja terampil dan teknisi Industri (Lampiran 5). Dapat diartikan bahwa pembangunan pendidikan kejuruan pada Pelita Il mulai dititik beratkan pada kesesuaiannya dengan kebutuhan tenaga kerja dalam pembangunan nasional. Upaya-upaya yang dilakukan adalah pembenahan pendidikan kejuruan untuk diselaraskan dengan struktur piramida tenaga kerja Indonesia saat itu. Namun demikianr konsep pendidikan kejuruan pada Pelita Il memiliki banyak kelemahan, khususnya yang berkaiktan dengan penerapan kurikulum 1976 SMK, antara lain : a. Karena tujuan SMK terminal, maka SMK kurang diminati oleh masyarakat, terutama oleh masyarakat yang berasal dari kalangan menengah dan atas. b. Pemisahan teori kejuruan dan praktek kejuruan akibat pengaruh konsep Bloom Taxonomy (yang memisahkan antara kemampuan kognitif, afektif dan psikomotor), menyebabkan kurang sambungnya antara teori kejuruan dan praktek kejuruan dan sering terjadi konflik antara keduanya. Akibatnya, program kejuruan tersebut kurang bermakna bagi penyiapan peserta didik untuk memasuki lapangan kerja. c. Kurikulum 1976 SMK sangat sarat pedoman dan petunjuk pelaksanaan, sampaisampai cara mengajarpun dibuatkan petunjuk pelaksanaan (juklak) melalui pendekatan PPSI. Akibatnya para guru menjadi kurang kreatif dan kurang berani mengambii prakarsa- prakarsa baru yang inovatif. d. Sangat sedikitnya jumlah jam, pelajaran Matematika menyebabkan rendahnya kemampuan berpikir logis tamatan SMK, sehingga mereka tidak berkembang di tempat kerja, apalagi jika mereka meneruskan ke jenjang pendidikan tinggi. 4. Pelita III (1979/1980 - 1983/1984) GBHN 1978 mengamanatkan bahwa pada Pelita Ill, Indonesia telah menetapkan dasardasar yang kuat untuk memasuki tahap industrialisasi pada Pelita IV, V, dst. Karena itu, pertumbuhan industri harus dipacu, dan ini membutuhkan sumberdaya manusia yang

cukup banyak dan bermutu tinggi. Sebagian sumberdaya manusia yang dimaksud dapat disiapkan melalui pendidikan kejuruan. Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah dalam pengembangan pendidikan kejuruan pada Pelita III antara lain (1) Peningkatan mutu guru teknik melalui peningkatan status PGPT menjadi Pusat Pengembangan dan Penataran Guru Teknik (1981) dan untuk guru non teknik telah dikembangkan Pusat Pengembangan dan Penataran Guru Kejuruan (1982) ber!okasi di Ragunan, yang sekarang menjadi PPPG Kejuruan yang berlokasi di Sawangan; (2) Peningkatan mutu guru melalui program D3 bekerjasama dengan IKIP dan IPB; (3) Merintis pendirian /penambahan beberapa PPPG "Keiuruan" Iainny'a (PPPG Teknonogi Medan dan di Malang, PPPG Pertanian di Cianjur, dan PPPG Kesenian di yogyakarta); (4) Pengadaan fasiiitas fisik bangur:an, perabot; dan (5) Pengadaan Buku. Dapat diringkas bahwa pembangunan pendidikan kejuruan pada Pelita Ill lebih cenderung melanjutkan Pelita Il, dengan penekanan pada konsolidasi dan aktualisasi peningkatan mutu, relevansi pendidikan dan perluasan kesempatan pendidikan kejuruan melalui pembangunan SMK baru. 5. Pelita IV (1984/1985 - 1988/1989) Arahan GBHN 1983 terhadap pembangunan pendidikan kejuruan pada Pelita IV masih tetap menekankan pada relevansi dan mutu, yang dikemukakan seperti berikut : "Sistem pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan di segala bidang yang memerlukan jenis-jenis keahlian dan keterampilan serta dapat sekaligus meningkatkan produktivitas, kreativitas, mutu dan efisiensi kerenaa. Dalam hubungan ini berbagai tingkat dan ienis pendidikan serta latihan kejuruan dan politeknik perlu lebih diperluas dan ditingkatkan mutunya dalam rangka mempercepat dipenuhinya kebutuhan tenagatenaga yang cakap dan terampil bagi pembangunan diberbagai bidang". Dari amanat GBHN 1983 tersebut nampak jelas bahwa pembangunan pendidikan kejuruan pada Pelita IV merupakan kelanjutan Pelita III (llhat GBHN 1978). Karena itu berbagai program yang dilakukan pada Peiita III terus berlanjut pada Pelita IV. Perubahan pendidikan kejuruan yang menonjol pada Pelita IV adalah penyernpurnaan Kurikulum SMK 1976 menjadi kurikulum SMK 1984. Berbeda dengan kuriku[um SMK

1976, maka jenis pengelompokkan pendidikan kejuruan Kurikulum SMK 1984 menjadi pertanian dan kehutanan, rekayasa, usaha dan perkantoran, kesehatan dan kemasyarakatan, kerumahtanggaan, dan budaya. pada dasarnya, kurikulum SMK 1984 (Lampiran 2) memiliki karakteristik sebagai berikut Pertama, kurikulum SMK 1984 tidak hanya bersifat terminal seperti kurikulum 1976, tetapi juga memberi peluang siswanya untuk me!anjutkan ke jenjang pendidikan tinggi. Kedua, adanya keterpaduan antara teori dan praktek kejuruan, yang sebelumnya terpisah. Karena itu, Kurikulum 1984 juga mengintegrasikan domain kognitif, afektif dan psikomotor yang sebelumnya terpisah-pisah. Ketiga titik beratnya pada proses tanpa mengabaikan hasil pendidikan. Keempat, istilah yang digunakan adalah kelompokr rumpun dan program studi. Kelima, kurikulum disusun dengan pola program inti dan program pilihan. Program inti wajib diikuti oleh semua siswa, sedang program pilihan mengacu kepada kemampuan profesional, disesuaikan dengan bakat, minat, dan kebutuhan lingkungan. Program pilihan dituangkan dalam berbagai macam program studi. Proporsi antara program inti dan program pilihan adalah 60% dibanding 40%. Keenam , tidak ada lagi semester bersama pada kelas 1 seperti kurikulum sebelumnya. Ketujuh, secara umum Kurikulum SMK 1984 masih meneruskan Kurikulum 1 976, hanya tidak bersifat terminai. Porsi jam mata pelajaran Matematika juga tetap kecil seperti kurikulum sebelumnya. Dapat disimpulkan bahwa Pelita IV pendidikan kejuruan telah mengupayakan terlaksananya amanat GBHN 1983 yang meliputi peningkatan daya tampung, mutu, dan relevansi. Namun demikian,peningkatan mutu akibat penambahan jumlah siswa yang tidak sebanding dengan fasilitas dan guru yang tersedia; (2) belum terealisasinya kerjasama secara melembaga antara pendidikan kejuruan dengan dunia kerja, realisasi kerjasama baru sampai pada tahap dialog yang sifatnya umum; (3) penyelenggaraan pendidikan kejuruan masih sepenuhnya dilakukan oleh satu pihak, yaitu sekolah. Karena

itu, pengembangan pendidikan kejuruan pada saat itu juga cenderung "supply driven" dan "school based approach ". 6. Pelita V (1989/1990 - 1993/1994). Dalam GBHN 1988 diamanatkan bahwa : "Pendidikan nasional perlu dilakukan secara lebih terpadu dan serasi, baik antara sektor pendidikan dan sektor-sektor pembangunan lainnya, antar daerah maupun antar berbagai jenjang dan jenis pendidikan. Pendidikan, baik di sekolah maupun di luar sekolah perlu disesuaikan dengan perkembangan tuntutan pembangunan yang memerlukan berbagai jenis keterampilan dan keahlian di segala bidang serta ditingkatkan mutunya sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sehubungan dengan itu, berbagai jenis pendidikan kejuruan dan keahlian termasuk politeknik perlu terus diperluas dan ditingkatkan mutunya. Di samping itu perlu dikembangkan kerjasama antara dunia pendidikan dengan dunia usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga-tenaga yang cakap dan terampil bagi pembangunan di berbagai bidang terutama industri dan pertanian ". Amanat GBHN 1988 tersebut masih tetap konsisten dengan amanat GBHN 1983, bahkan lebih ditekankan lagi perlunya peningkatan relevansi pendidikan kejuruan dengan berbagai kebutuhan pembangunan melalui kerjasama antara pendidikan kejuruan dengan berbagai pihak, terutama dengan dunia usaha. Adapun realisasi pembangunan pendidikan kejuruan pada Pelita V, antara lain: (1) kemantapan sistem pendidikan menengah kejuruan yang tertuang dalam PP No. 29 tahun 1990, kelembagaan SMK dengan Kepmendikbud No. 490/U/1992, dan Kurikulum 1994 SMK dengan Kepmendikbud No. 080/U/1993; (2) penataan dan pemantapan manajemen sekolah yang dilakukan melalui pendekatan Pengembangan Sekolah Seutuhnya (PSS); (3) pengembangan fungsi PPPG " Kejuruan" menjadi Pusat Pengembangan Pendidikan Kejuruan; (4) perintisan unit produksi; (5) perintisan dan pengembangan institusi pasangan; serta (6) melanjutkan program rehabilitasi fasilitas fisik sekolah dan pembangunan sekolah baru.

BAB III TUNTUTAN PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG II

1. GBHN 1993 dan Repelita VI

Dalam GBHN 1993 ditetapkan bahwa : "Sasaran Umum Pembangunan Jangka Panjang Kedua, adalah terciptanya kualitas manusia dan masyarakat Indonesia yang maju dan mandiri dalam suasana tenteram dan sejahtera lahir batin .... " Guna mencapai sasaran umum ini ditetapkan titik berat pembangunan pada bidang ekonomi sebagai penggerak utama pembangunan, seiring dengan kualitas sumber daya manusiar dan didorong secara saiing memperkuat, saling terkait dan terpadu dengan pembangunan bidang-bidang lainnya.

Karena disadari bahwa pendidikan adalah pemeran utama dalann pembangunan sumber daya manusia, maka dalam GBHN 1993 juga ditetapkan bahwa : "Pendidikan nasiona! dikembanokan secara terpadu dan serasi baik antar berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan maupun antara sektor pendidikan dengan sektor pembangunan iainnya serta daerah. Masyarakat sebagai mi.tra pemerintah berkesempatan seluas- luasnya untuk berperan serta dalam penyelenggaraan pendidikannasional. Kualitas pendidikan perlu disesuaikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tuntutan perkembangan pembangunan. Perlu pula terus dikembangkan kerjasama antara dunia pendidikan dengan dunia usaha dalam rangka pendidikan dan pelatihan untuk pemenuhan kebutuhan dan terampil bagi pembangunan sehingga tercjpta-keterpaduan dengan perencanaan tenaga kerja nasional. " Dari amanat GBHN 1993 dan jabarannya dalam Repelita VI, terasa kuat sekali bahwa pembangunan bidang pendidikan ditekankan pada peningkatan kualitas yang terkait dan sepadan dengan pembangunan di bidang-bidang lainnya melalui kerjasama antara dunia pendidikan dengan dunia usaha. Bagi pembangunan pendidikan kejuruan, amanat GBHN 1993 dan Repetita VI tersebut rnemiliki implikasi bahwa kualitas dan relevansi perlu

mendapat penekanan dan dijalankan melalui kemitraan antara pendidikan kejuruan dengan dunia usaha.

2. Ekonomi Baru Indonesia dan Tantangan Mutu Tenaga Kerja Saat ini Indonesia telah memasuki ekonomi baru, dari era pertanian menuju ke era industri dan jasa.

Dapat disarikan bahwa era industrialisasi yang merupakan ciri ekonomi baru Indonesia akan membutuhkan sumberdaya manusia yang memiliki multi keterampilan, luwes, melek teknologi, dan mudah dilatih ulang. Masih besarnya permintaan tenaga kerja di sektor informal, memiliki arti bahwa pendidikan kejuruan harus menyiapkan tamatannya agar mampu berusaha mandiri, yang berarti harus dibekali jiwa kewirausahaan.

Tanda-tanda relatif lebih kecilnya pengangguran tamatan SMK dibanding tamatan jenis dan jenjang pendidikan lainnya memiliki arti bahwa penambahan jumlah SMK masih dimungkinkan.

Pendidikan kejuruan memiliki peran yang sangat strategis dalam menyiapkan sumberdaya manusia yang dimaksud. Namun demikian, penyiapan sumberdaya manusia yang selama ini hanya dilakukan oleh sepihak (sekolah saja), tidak mungkin dapat mendukung perkembangan ekonomi baru tersebut. Pendidikan di sekolah sering tertinggal dengan perubahan-perubahan, konservatif dan tidak adaptif apalagi proaktif. Khusus bagi pendidikan kejuruan, jika ingin adaptif dan proaktif, diperlukan kerjasama yang erat dengan dunia usaha. Kerjasama ini akan terwujud jika ada kemampuan dan kesanggupan dari kedua belah pihak, yaitu sekolah dan dunia usaha.

3. Globalisasi Perdagangan dan Investasi Pendidikan memiliki peran yang sangat strategis dalam mewujudkan sumberdaya manusia yang tangguh untuk menghadapi persaingan bebas. Sadar tentang hal ini, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah mengambil langkah-langkah kebijakan yang mengarah pada kemampuan untuk mendukung terciptanya sumberdaya manusia

yang mampu menghadapi persaingan bebas.

a. Persaingan dan Kerjasama Tatanan kehidupan dunia saat ini sedang berubah menuju ke arah era globalisasi akibat perubahan geo-ekonomi dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Di bidang perdagangan, arus impor- ekspor semakin lancar karena ketentuan "quota dan tarif" semakin berkurang. Di bidang informasi, kita saksikan bersama betapa cepatnya informasi dari luar negeri segera kita terima dengan hampir tanpa ada kesenjangan waktu sedikitpun karena bantuan teknologi terutama ternologi komunikasi: facsimile, internet, e-mail, telephone, teleconference, telegraph, televisi dan lainnya. Di bidang kesehatan, betapa cepatnya penyebaran penyakit yang sangat berbahaya, misalnya AIDS dan Hepatitis B. Di bidang lingkungan, kita saksikan polusi yang semakin mendunia (polusi udara, air, tanah). Di bidang ketenagakerjaan, impor-ekspor tenaga kerja semakin terbuka. Penting diperhatikan, bahwa total upah tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia jauh lebih besar dari pada total upah tenaga kerja luar negeri (TKLN) Indonesia, meskipun jumlah TKA jauh lebih sedikit dibanding TKLN, dan masih banyak contoh tatanan kehidupan lain yang mengarah ke era globalisasi.

Era globalisasi dipacu oIeh penerapan teknologi, terutama tekptologi teiekomunikasi dan teknologi transportasi. Era perdagangan bebas membawa dampak ganda. Di satu sisi, era ini membuka kerjasama yang seluas-luasnya antar negara, namun di Sisi lain, era ini juga membawa persaingan yang semakin ketat dan tajam. Goldin dkk (1993) meramalkan bahwa negara-negara yang akan mendapatkan manfaat/kerugian akibat liberalisasi perdagangan pasca GAAT dan \NTO dapat dilihat pada Lampiran 11 . Tampak bahwa negara-negara dalam Blok EEC, Jepang, Amerika Serikat, dan Cina paling banyak mengambil manfaat dari era perdagangan bebas. Di samping itu, menurut informasi dari The World Competitiveness Report 1995, posisi daya saing Indonesia terhadap 48 negara yang diteliti berada pada nomor 33 (Lampiran 12). Selaku warga bangsa Indonesia, kita pasti tidak senang dengan perkiraan dan ramalan ini, dan berusaha membuktikan ketidak benarannya. Oleh karena itu tantangan utamaIndonesia saat ini adalah meningkatkan daya saing dengan membentuk keunggulan kompetitif di semua sektor, baik sektor riil

maupun jasar dengan mengandalkan pada kemampuan sumberdaya manusia, teknologi, dan manajemen tanpa mengurangi keunggulan komparatif yang telah dimiliki oleh Bangsa Indonesia.

Daya saing ekonomi Indonesia akan tercapai jika didukung oleh peningkatan efisiensi. Misalnyar industri yang lebih efisien akan menikmati keuntungan dari perdagangan bebas. Bagi industri yang sungguh -sungguh mempersiapkan diri untuk menghadapi era globalisasi tersebut, maka era ini akan menjanjikan masa depan yang cerah. Sebaliknya, industri yang tidak efisien akan dilanda oleh arus perdagangan bebas itu sendiri. Jadi, peningkatan efisiensi merupakan keharusan.

Tahun 2003 (AFTA) dan 2020 (APEC) adalah waktu dimana Indonesia sudah harus melaksanakan semua jadwal komitmen berbagai sektor perdagangan bebas. Ini berarti bahwa lalu lintas perdagangan antara Indonesia dengan negara-negara lain sudah tidak ada lagi hambatan tarif dan quota. Implikasinya bagi pengembangan mutu sumber daya manusia rasanya sudah jelas, yaitu Indonesia harus mempersiapkan Sumber daya manusia bermutu kelas dunia. Ini bukan hanya impian, akan tetapi merupakan visi yang harus diwujudkan.

4. Sumberdaya Manusia yang Dibutuhkan Dalam Era Globalisasi Perdagangan dan Investasi. Untuk menghadapi tantangan-tantangan era globalisasi sebagaimana dikemukakan sebelumnya, sudah barang tentu diperlukan kekuatan- kekuatan daya saing yang tangguh, dimana sumberdaya manusia merupakan kuncinya. Pertanyaannya adalah: "Sumberdaya manusia yang memiliki ciri-ciri seperti apakah untuk menghadapi persaingan bebas yang semakin ketat dan semakin tajam ? "

Generasi muda Indonesia harus memiliki karakteristik kualitas sebagai berikut agar mampu bersaing pada era perdagangan bebas : (1 ) karakteristik kualitas dasar, yaitu beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, cerdas, berdisipline sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri, dan

memiliki tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan; (2) karakteristik kualitas instrumental (kualitas yang harus selalu diperbarui sesuai dengan perubahan) yang meliputi kemampuan produktif, kemampuan menggunakan sumberdaya, kemampuan berkomunikasi, kemampuan kerjasama, kemampuan menggunakan data dan informasi, kemampuan memecahkan masalah, dan kemampuan menggunakan IPI EK. Guna menghadapi tantangan dan peluang masa mendatang, maka isi pendidikan kejuruan yang akan diajarkan kepada para peserta harus menampilkan sosok utuh karakteristik kuaiitas sumberdaya manusia seperti yang diidealisasikan di atas, yaitu karakteristik kualitas dasar yang kuat dån karakteristik kualitas instrumental yang dinamis.

BAB IV TINJAUAN TEORITIK DAN EMPIRIK PENDIDIKAN KEJURUAN

Pada umumnya, para filosof pendidikan tidak terlalu mendebatkan pendidikan dasar dan pendidikan tinggi karena kejelasannya. Seperti yang dirumuskan oleh Undang-Undang No..2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan dasar diselenggarakan untuk mengembangkan sikap dan kemampuan serta memberikan pengetahuan dan ' keterampilan dasar yang diperlukan untuk hidup dalam masyarakat serta mempersiapkan peserta didik yang memenuhi persyaratan untuk mengikuti pendidikan menengah. Jelas sekali bahwa pendidikan dasar adaiah pendidikan yang masih umum (belum spesialis), yang bertugas memberi bekal kemampuan dasar untuk hidup dan melanjutkan ke pendidikan menengah. Demikian Juga pendidikan tinggi diselenggarakan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiiiki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan iimu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. lntinya, pendidikan tinggi adalah pendidikan yang sudah spesialis. Berikut akan disampaikan tinjauan teoritik dan empirik pendidikan kejuruan, dengan harapan agar para pembaca tidak ragu lagi terhadap keberadaan pendidikan kejuruan. Tinjauan ini selanjutnya akan merupakan jastifikasi perubahan dari pendidikan kejuruan model lama menjadi pendidikan kejuruan model baru ' 1. Tinjauan Teoritika Pentingnya Tenaga Terampil Sejak dasawarsa terakhir ini banyak negara mulai menyadari pentingnya tenaga terampil bagi kemajuan bangsanya. Keunggulan industri suatu bangsa, boleh dikata sangat ditentukan oleh kualitas tenaga kerja terampil yang terlibat langsung dalam proses produksi, tenaga kerja yang berada di “front-Iine" (sebagaimana yang selalu dibanggakan oleh bangsa Jerman). Karena itu, mutu tenaga kerja pada bagian Iini harus ditingkatkan. Berikut adalah beberapa alasan pentingnya tenaga terampil : 1) Tenaga kerja terampil, adalah orang yang terlibat Iangsung dalam proses produksi barang maupun jasa, karena itu menduduki peranan penting dalam menentukan tingkat mutu dan biaya produksi. 2) Tenaga kerja terampil 'sangat diperlukan untuk mendukung pertumbuhan industrialisasi suatu negara. 3) Persaingan global berkembang semakin ketat dan tajam. Tenaga kerja terampil adalah merupakan faktor keunggulan menghadapi persaingan global. 4) Kemajuan teknologi adalah faktor penting dalam meningkatkan keunggulan. Dan penerapan teknologi supaya berperan menjadi faktor keunggulan tergantung pada tenaga kerja terampil menguasai dan mengaplikasikannya.

5) Orang yang memiliki keterampilan memiliki peluang tinggi untuk bekerja dan produktif. Semakin banyak warga suatu bangsa yang terampil dan produktif maka semakin kuat kemampuan ekonomi negara yang bersangkutan. 6) Semakin banyak warga suatu bangsa yang tidak terampil, maka semakin tinggi kemungkinan pengangguran yang akan menjadi beban ekonomi negara yang bersangkutan.  Arti Pendidikan Kejuruan Rumusan arti pendidikan kejuruan bervariasi menurut subyektivitas si perumus. Rupert Evans (1978) misalnya, mendefinisikan bahwa pendldikan kejuruan adalah bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan seseorang agar lebih mampu bekerja pada satu kelompok pekerjaan atau satu bidang pekerjaan daripada bidangbidang pekerjaan lainnya. Definisi ini mengandung pengertian bahwa setiap bidang studi adalah pendidikan kejuruan, sepanjang bidang studi tersebut dipelajari lebih mendalam daripada bidang studi lainnya dan kedalaman itu dimaksudkan sebagai bekal memasuki dunia kerja. Dengan demikian Bahasa lnggris yang dipelajari lebih mendalam daripada lainnya untuk tujuan bekerja, maka bahasa lnggris tersebut merupakan pendidikan kejuruan. Definisi lain untuk United States Congress (1976) dikatakan bahwa pendidikan kejuruan adalah program pendidikan yang secara Iangsung dikaitkan dengan penyiapan seseorang untuk suatu pekerjaan tertentu atau untuk persiapan tambahan karier seseorang. Nampak bahwa pendidikan kejuruan adalah pendidikan untuk memasuki lapangan kerja dan diperuntukkan bagi siapa saja yang menginginkannya, yang membutuhkannya, dan yang dapat untung darinya. Menurut Undang-Undang No. 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional: ”Pendidikan Kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu. " Arti pendidikan kejuruan ini dijabarkan lebih spesifik dalam Peraturan Pemerintah nomor 29 tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, yaitu: Pendidikan Menengah Kejuruan adalah pendidikan pada jenjang pendidikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk pelaksanaan jenis pekerjaan tertentu. ”  Fungsi Pendidikan Kejuruan Pendidikan kejuruan memiliki multi-fungsi yang kalau dilaksanakan dengan baik akan berkontribusi besar terhadap pencapaian tujuan pembangunan nasional. Fungsifungsi dimaksud antara lain meliputi : 1) Sosialisasi, yaitu transmisi nilai-nilai yang berlaku serta normanormanya sebagai konkrititasi dari nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai yang dimaksud adalah teori ekonomi, solidaritas, religi, seni, dan jasa yang cocok dengan konteks Indonesia. ’ Kontrol Sosial, yaitu kontrol perilaku agar sesuai dengan nilai sosial beserta norma-normanya, misalnya kerjasama, keteraturan, kebersihan, kedisiplinan, kejujuran dan sebagainya. Seleksi dan alokasi, yaitu mempersiapkan, memih‘h dan menempatkan calon tenaga kerja sesuai

dengan tanda-tanda pasar kerja, yang berarti bahwa pendidikan kejuruan harus berdasarkan ”demand-driven. ” 2) Asimilasi dan konservasi budaya, yaitu absorbsi terhadap kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, serta memelihara kesatuan dan persatuan budaya. 3) Mempromosikan perubahan demi perbaikan, yaitu pendidikan tidak sekedar berfungsi mengajarkan apa yang ada, tetapi harus berfungsi sebagai "pendordng perubahan. " Dapat diringkas bahwa pendidikan kejuruan berfungsi sekaligus sebagaai “akulturasi” (penyesuaian diri). Karena itu, pendidikan kejuruan tidak hanya adaptif terhadap perubahan, tetapi juga harus antisipatif.  Tujuan Pendidikan Kejuruan Banyak rumusan pendidikan kejuruan yang dikemukakan oleh berbagai pihak, dua diantaranya adalah sebagai berikut : Rupert Evans (1978) merumuskan bahwa pendidikan kejuruan bertujuan untuk: |(a) memenuhi kebutuhan masyarakat akan tenaga kerja; (b) meningkatkan pilihan pendidikan bagi setiap individu; dan (c) mendorong motivasi untuk belajar terus. Sedangkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 tahun 1990 merumuskan bahwa ”Pendidikan Menengah Ke/uruan mengutamakan penyiapan siswa untuk memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap profesional. " Tujuan yang dirumuskan PP 29 ini kemudian dijabarkan lagi dalam Keputusan Mendikbud No. 0490/ U/ 1990 seperti berikut: (a) mempersiapkan siswa untuk meianjutkan kejenjang pendidikan yang lebih dan/atau meluaskan pendidikan dasar; (b) meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam mengadakan hubungan timbai balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan sekitar; (c) meningkatkan kemampuan siswa untuk dapat mengembangkan diri sejalan dengan pengembangan ilmu, teknologi dan kesenian, serta (d) menyiapkan siswa untuk memasuki lapangan kerja dan mengembangkan sikap profesional.  Manfaat Pendidikan Kejuruan 1) Bagi siswa Peningkatan kualitas diri Peningkatan penghasilan Penyiapan bekal pendidikan lebih lanjut Penyiapan diri agar berguna bagi masyarakat dan bangsa 2) Bagi dunia kerja Penyesuaian diri terhadap lingkungan Dapat memperoleh tenaga kerja berkualitas tinggi

Dapat meringankan biaya usaha Dapat membantu memajukan dan mengembangkan usaha Bagi masyarakat Dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat Dapat meningkatkan produktivitas nasional, jadi dapat meningkatkan penghasilan negara Dapat mengurangi pengangguran  Karakteristik Pendidikan Kejuruan. 1) Pendidikan kejuruan diarahkan untuk mempersiapkan peserta didik memasuki lapangan kerja 2) Pendidikan kejuruan didasarkan atas ”demand-driven " (kebutuhan dunia kerja) 3)

Fokus isi pendidikan kejuruan ditekankan pada penguasaan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang dibutuhkan oleh dunia kerja.

4) Penilajan yang sesungguhnya terhadap kesuksesan siswa harus pada "hands-on” atau performa dalam dunia kerja. 5) Hubungan yang erat dengan dunia-kerja merupakan kunci sukses pendidikan kejuruan. 6) Pendidikan kejuyuan yang baik adalah responsif dan antisipatif terhadap kemajuan teknoiogi 7) Pendidikan kejuruan lebih ditekankan pada "learning by-doing" dan "hands-on experience”. 8) Pendidikan kejuruan memerlukan fasilitas yang mutakhir untuk praktek. ‘ Pendidikan kejuruan memerlukan biayalinvestasi dan Opera'sionai yang lebih besar daripada pendidikan umum.  Prinsip-prinsip Pendidikan Kejuruan Menurut Charles Prosser (1925), prinsip-prinsip pend‘idikan kejuruan dapat dikemukakan sebagai berikut : 1) Pendidikan kejuruan akan efisien jika lingkungan dimana siswa di latih merupakan replika hingkungan dimana nanti ia akan bekerja. .

2) Pendidikan kejuruan yang efektif hanya dapat diberikan dimana tugas-tugas latihan dilakukan dengan cara, alat dan mesin yang sama seperti yang ditetapkan di tempat kerja. 3) Pendidikan kejuruan akan efektifitas dia melatih seseorang dalam kebiasaan berpikir dan bekerja seperti yang diperlukan dalam pekerjaan itu sendiri. 4) Pendidikan kejuruan akan efektif jika dia dapat memampukan setiap individu memodali minatnya, pengetahuannya dan keterampilannya pada tingkat yang paling tinggi; 5) Pendidikan kejuruan yang efektif untuk setiap profesi, jabatan atau pekerjaan hanya dapat diberikan kepada seseorang yang memerlukannya, yang menginginkannya dan yang dapat untung nya. 6) Pendidikan kejuruan akan efektifitas pengalaman latihan untuk membentuk kebiasaan kerja dan kebiasaan berfikir yang benar diulangkan sehingga pas seperti yang diperlukan dalam pekerjaan nantinya. 7) Pendidikan kejuruan akan efektifitas gurunya telah mempunyai pengalaman yang sukses dalam penerapan keterampilan dan pengetahuan pada operasi dan proses kerja yang akan dliakukan. 8) Pada setiap jabatan ada kemampuan minimum yang harus dipunyai oleh seseorang agar dia tetap dapat bekerja pada jabatan tersebut. 9) Pendidikan kejuruan harus memperhatikan permintaan pasar (memperhatikan tandatanda pasar kerja). 10) Proses pembinaan kebiasaan yang efektif pada siswa akan tercapai jika pelatihan diberikan pada pekerjaan yang nyata (pengalaman sarat nilai). 11) Sumber yang dapat dipercaya untuk mengetahui isi pelatihan pada suatu okupasi tertentu adalah dari pengaiaman para ahli pada okupasi tersebut. 12) Setiap okupasi mempunyai ciri-ciri isi (body of content) yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya. 13) Pendidikan kejuruan akan merupakan layanan sosial yang efisien jika sesuai dengan kebutuhan seseorang yang memang memerlukan dan memang paling efektif jika diiakukan lewat pengajaran kejuruan. 14) Pendidikan kejuruan akan efisien jika metode pengajaran yang digunakan dan hubungan pribadi dengan peserta didik mempertimbangkan sifat-sifat peserta didik tersebut.

15) Administrasi pendidikan kejuruan akan efisien jika dia luwes dan mengaiir daripada kaku dan terstandar. 16)

Pendidikan kejuruan memerlukan biaya tertentu dan jika tidak terpenuhi maka pendidikan kejuruan tidak boleh dipaksakan beroperasi.

 Asumsi-asumsi Pendidikan Kejuruan 1) Pendidikan kejuruan dapat mengembangkan tenaga kerja yang ”marketable” yaitu dengan mengembangkan~kemampuannya untuk melakukan keterampilanketerampilan yang memberikan kemanfaatannya sebagai alat produksi Pendidikan kejuruan adalah suatu cara untuk menguasai keterampilan-keterampilan dasar yang esensial untuk dapat berkompetisi di pasar kerja ada dualisme antara pendidikan kejuruan dan pendidikan umum. Pendidikan kejuruan adalah pendidikan ekonomi sebab dia diturunkan dari kebutuhan pasar kerja, dan oleh karenanya memberi urunan terhadap kekuatan ekonomi nasional. Pendidikan kejuruan adalah pendidikan untuk melayani tujuan sistem ekonomi dan oleh karenanya mempunyai kemanfaatan sosial.  Landasan Pendidikan Kejuruan 1) Landasan hukum Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Bab IV Pasal 11 ayat (1) dan (3) yang bunyinya masing-masing adalah: “etnis pendidikan yang termasuk jenis pendidikan sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik dan pendidikan profesional. “Pendidikan Kejuruan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerja dalam bidang tertentu. " Kemudian Pasal 15 menyuratkan bahwa ”Pendidikan menengah atas, pendidlkan umum, pendidikan kejuruan, pendidikanan luar biasa, pendidikan kedinasan, dan pendidikan keagamaan. Peraturan Pemerintah No. 29 tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, Bab I Pasal 1 ayat (3) yang bunyinya "Pendidikan menengah kejuruan adalah pendidikan pada tentang pendldikan menengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu kemudian Bab ll Pasal 3 ayat (2) mengatakan bahwa : ”Pendidikan menengah kejuruan mengutamakan persiapan siswa untuk memasuki lapangan kerja serta mengembangkan sikap profesional Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) 1993, Pelita VI, Bab 4 Butir. F Nomor 26 mengamanatkan bahwa: ”Pendidikan Nasional perlu terus ditata, dikembangkan dan dimantapkan dengan melengkapi berbagai ketentuan perundang-undangan serta

mengutamakan pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan dasar, perluasan dan peningkatan kualitas pendidikan kejuruan dst". 2) Landasan Filosofi Pada dasarnya apa yang harus diajarkan pada siswa menyangkut filosofi. Filosofi adalah apa yang diyakini sebagai suatu pandangan hidup yang dianggap benar dan baik. Sampai saat ini, ada dua aliran filosofi yang dipakai sebagai landasan pendidikan kejuruan yaitu eksistensialisme dan esensialisme. Eksistensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus mengembangkan eksistensi manusia, bukan merampasnya. Sedang Esensialisme berpandangan bahwa pendidikan kejuruan harus mengkaitkan dirinya dengan sistem-sistem yang Iain (ekonomi, keteragakerjaan, holitik, sosial: religi dan moral). 3) Landasan Keilmuan Pendidikan kejuruan diselenggarakan berdasarkan atas landasan keilmuan yang kuat. Beberapa disiplin keilmuan digunakan sebagai Iandasan, diantaranya adalah sebagai berikut, yaitu ekonomi, psikologi, dan sosiologi. 4) Landasan Ekonomi Ilmu ekonomi, yang utamanya menekankan pada efisiensi dan investasi, merupakan dasar penyelenggaraan pendidikan kejuruan. Artinya, pendidikan kejuruan dijalankan atas dasar prinsip-prinsip efisiensi, baik internal maupun ekstemal. Demikian juga, pendidikan kejuruan dijalankan atas dasar prinsip investasi (human capital). Artinya kita berpedoman bahwa semakin tinggi pendidikan/pelatihan seseorang, semestinya orang yang bersangkutan semakin produktif, dan dengan demikian orang yang lebih produktif akan mendapatkan upah yang lebih besar. lnilah esensi human capital theory yang menjadi dasar penyelenggaraan pendidikan kejuruan. 5) Landasan Psikologi Jika filosofi “apa" yang seharusnya diajarkan kepada peserta didik, maka psikologi mempersoalkan “bagaimana” cara mengajarkan "apa" tersebut. Pendidikan kejuruan melandaskan diri pada keyakinan bahwa manusia itu memiliki perbedaan dalam dimensi-dimensi fisik, intelektual, emosional, dan spiritualnya. Karena itu, kita harus menggunakan cara-cara penyampaian yang berbeda-beda pula. Maka dari itu, munculah metodologi pengajaran yang beragam, yang penggunaannya disesuaikan dengan selera individu yang berbeda-beda. 6) Landasan Sosilogi . Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang memusatkan perhatian pada hubungan antar manusia, antar kelompok, antar sistem. Pendidikan ‘kejuruan mendasarkan pada sosiologi dan oleh karenanya segala upaya yang dilakukan harus

selalu berpegang teguh pada keharmonisan hubungan antar sesama individu, antar sistem pendidikan dengan sistem-sistém yang lain (ekonomi, sosial, politik, religi dan moral). ltulah sebabnya, prinsip kerjasama, kolaborasi, merupakan aspek penting dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan.  Model-model Penyelenggaraan Pendidikan Kejuruan. Ada sekurang-kurangnya empat model pendidikan kejuruan yang) diterapkan di negaranegara maju. Pertama, pendidikan kejuruan ”model sekolah”, yaitu pemberian pelajaran (umum, kejuruan, dan nilai/norma/sikap) sepenuhnya ' dilaksanakan di sekolah. Model ini berasumsi bahwa segala hal yang terjadi di tempat kerja dapat diajarkan di sekolah dan sernua sumber belajar ada di sekolah. Model ini paling banyak dipraktekkan di Indonesia sebelum Repelita VI. Model sekolah banyak dikritik karena boros/tidak efisien, kurang mampu menjaga relevansi, kurang mutakhir, dan konservatif. Bahkan ahli ekonomi ketenagakerjaan dari Bank Dunia, George Psacharopo/ous (1994) menganjurkan agar .praktek kejuruah dilaksanakan di tempat kerja (dunia usaha). Lagi pula sumber-sumber dari luar sekoiah khususnya di dunia usaha jauh lebih mutakhir, lebih berkualitas, lebih nyata dan tidak abstrak, lebih kontekstual, dan lebih relevan. Kedua, pendidikan kejuruan ”model sistem ganda, " yaitu kombinasi pemberian pengalaman belajar di sekolah dan pengalaman kerja sarat nilai di dunia usaha. Model ini menganggap bahwa kombinasi pembelajaran di sekolah dan pengalaman kerja di dunia usaha akan memberikan penga3aman belajar yang lebih bermakna, karena yang diajarkan telah dikemas menjadi bahan pelajaran yang tersistem dan terpadu, dan lebih konkret. Model ini telah banyak dipraktekkan di Jerman, Swiss dan Austria. Tamatan model ini umumnya memiliki kemampuan kerja berkualitas tinggi. Ketiga, pendidikan ”model magang,” dengan menyerahkan sepenuhnya kegiatan pelatihan kepada industri dan masyarakat, tanpa dukungan sekolah. Sekolah pada tingkat menengah hanya menyelenggarakan pendidikan yang bersifat komprehensif, termasuk di dalamnya dasar-dasar pendidikan kejuruan. Pendidikan kejuruan sendiri baru dilakukan pada tingkat politeknik (setelah sekplah menengah). Model seperti ini, misalnya, terdapat di Amerika Serikat. Model seperti ini kurang cocok di negara sedang berkembang karena ”sistem magang" kurang mampu memenuhi kebutuhan tenaga kerja terampil tingkat menengah. Keempat, pendidikan kejuruan dengan model ”schoo/-based-enterprise" atau kalau di Indonesia disebut unit produksi. Model ini pada dasamya adalah mengembangkan dunia usaha di sekolahnya dengan maksud selain untuk menambah penghasilan sekolah, juga untuk memberikan pengalaman kerja yang benar-benar nyata pada siswanya. Model ini dilakukan'untuk mengurangi ketergantungan sekolah kepada industri dalam pemberian pelatihan kerja, dikarenakan pada daerahdaerah tertentu tidak ada industri atau selama kelesuan ekonomi se'ningga beberapa industri terpaksa tutup karena bangkrut.

BAB V PERMASALAHAN DAN PERLUNYA PEMBARUAN PENDIDIKAN KEJURUAN

Pada dasarnya permasalahan yang harus diselesaikan adalah kesenjangan .antara keadaan nyata pendidikan kejuruan pada akhir PJP I dengan tuntutan PJP II, dengan memperhatikan tinjauan teoritik dan empirik. Sekalipun telah banyak hasil positif yang telah dicapai oleh pembangunan pendidikan kejuruan selama PJP I seperti yang telah dijclaskan pada Bab ll, tetapi ternyata belum mampu menjadi landasan yang kuat menghadapi tantangan yang ada, dan yang akan timbul pada PJP II seperti yang dijelaskan pada Bab III. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi selama PJP I yang menghasilkan kemajuan pesat dalam bidang informasi dan transportasi telah menimbulkan gelombang dan arus globalisasi dengan dampak nyata berupa era perdagangan dan investasi bebas. Menghadapi tantangan yang bisa dianalisis dan diperhitungkan pada PJP H, dan kemungkinan tantangan baru yang belum bisa diperhitungkan ' akibat perkembangan IPTEK yang berkembang secara cepat, Indonesia harus melakukan pengkajian ulang terhadap sistem pendidikan kejuruannya. Sistem pendidikan kejuruan scperti yang diingatkan pada Bab HI, yang dipcrhitungkan handal menghadapi taritangan pada PJP ll, adalah sistem pendidikan kejuruan yang handaI/tangguh (rea/ib/e), luwes (flexibly), adaptif dan antisipatif. Untuk menuju ke arah itu, pada bab ini akan dicoba diuraikan berbagai permasaiahan yang dihadapi oleh pendidikan kejuruan pada akhir PJP l, di lihat dari segi : konsep, program, dan operasionalnya. 1. Konsep Konsep pendidikankejuruan model konvensional yang dimiliki oleh lndonesia sampai dengan akhir PJP I, dapat digambarkan dengan ciri-ciri .sebagai benkut : a. Slippy Driven, totalitas pendidikan kejuruan, mulai dari penyusunan program pendidikan (kurikulum), pelaksanaan pendidikan (pengajaran), penilaian hasil belajar (evaluasi), dilakukan secara sepihak oleh para pelaku pendidikan (dalam persepsi masyarakat oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Konsep ini terasa menjadi masalah besar apabila disadari bahwa para “pakar” yang menyusun kurikulum adalah orang-orang yang kurang memiliki wawasan dunia kerja karena tidak pernah berpengalaman kerja di dunia usaha dan industri, dan guru-guru yang mengajarkan kurikulum di SMK adalah guru-guru yang juga tidak pernah . berpengalaman kerja di dunia usaha dan industri. Di samping itu evaluasi hasil pendidikan dilakukan oleh guruguru yang tidak memahami Sistem nilai, ukuran dan cara kerja industri.

School Based Program, seluruh kegiatan pendidikan dilakukan di sekolah, 40 jam pelajaran per minggu (30 jam a' 60 menit) rata-rata setiap hari belajar di sekolah dari pukul 07:00 sampai pukul 13:30. Sistem konvensional selalu berusaha melengkapi dan memodernisasi peralatan praktek kejuruan dengan maksud menghasilkan tamatan yang berkualitas profesional dan siap pakai, padahal yang terjadi adalah pemborosan, karena secara_ teoritis tidak mungkin. Selengkap apa dan semodem apapun fasilitas praktek pendidikan kejuruan yang ada di sekolah, kegiatannya akan tetap bersifat simulasi (tiruan), dan proses pengajaran simulasi tidak akan pernah mencapai keahlian yang berkualitas profesional. Kenyataan yang di hadapi di SMK pada kondisi akhir PJP I, "setting” sekolah dengan program, kegiatan, perilaku, kebiasaan dan sistem nilainya membentuk kesenjangan antara "dunia sekolah", dengan “dunia industri". Berbagai kebiasaan dan perilaku tersebut pada akhirnya membentuk “dunia sekolah" yang jauh berbeda dengan “dunia industri" yang bercirikan budaya kerja industri. Berbagai kebiasaan dan perilaku yang pada akhirnya membentuk “sikap” tamatan SMK yang tidak sesuai dengan tuntutan dunia industri antara lain: 1. Tamatan SMK terbiasa santai dengan jam belajar dan bekerjai’ yang sedikit, padahal di industri harus bekerja keras dengan jam kerja rata-rata 40 jam per minggu, bahkan sering bekerja sampai malam hari. 2. Tamatan SMK kurang memiliki kepedulian dan keterkaitan pada mutu, karena di sekolah kurang mengajarkan resiko kerugian atas kegagalan, sedangkan di industri kegagalan adalah kerugian yang harus ditanggung oleh pekerja dan perusahaan. 3. Di SMK Pertanian misalnya, banyak kegiatan keahlian yang dikerjakan pada pagi, sore atau malam hari (misalnya mengawinkan ikan, memerah susu, menyadap karet dsb). Padahal sekolah hanya menyediakan jam kerja, dari p/ukul 07:00 sampai dengan pukul 13:30. Tidak ada Recognition of Prior Learning, membuat program pendidikan kejuruan menjadi kaku dan tidak efektif. Keahlian kejuruan pada dasarnya diperoleh dimana saja dan melalui cara apa saja. Bisa diperoleh di sekolah, di pusat-pusat pelatihan, melalui pengalaman bekerja di dunia kerja, atau melalui berbagai pengalaman hidup di masyarakat. Tetapi yang terjadi, keahlian yang diperoleh di .. luar SMK tidak diakui dan tidak dihargai oleh sistem SMK. Bahkan seorang siswa SMK yang memperoleh kesempatan bekerja di dunia kerja, akan mengalami kesulitan masuk kembalimeneruskan sekolahnya, dan apabila diterima, tidak memperoleh penghargaan atas keahlian yang diperoleh dari pengalaman kerjanya. “Dead End", setelah tamat dari SMK, masuk ke dunia kerja, seakanakan itulah akhir karir pendidikan tamatan SMK. Belum ada system pendidikan kejuruan yang menghargai dan mengakui keahlian yang diperoleh tamatan SMK dari pengalaman kerjanya, yang sebenarnya dapat diperhitungkan sebagai modal untuk mengikuti pendidikan kejuruan yang lebih tinggi dan sekaligus memotivasi tamatan SMK berprestasi dan belajar lebih

banyak dari pengalaman kerjanya. Guru Kejuruan yang tidak berpengalaman industri. Secara teoritis guru hanya akan mengajarkan apa yang dia tahu, apa yang dia bisa. dan mentransfer nilai-nilai melalui perilaku kerjanya. Guru SMK, yang diperoleh melalui tamatan segar dari lKlP, yang tidak memiliki pengalaman kerja industri. dan sulit mema’nami wawasan mutu (sense of quality), wawasan pasar (sense of economy/sense of business), wawasan keunggulan (sense of competitive advantage), wawasan nilai tambah (sense of added value). Bahkan sikap guru tamatan IKIP, sangat kuat dipengaruhi oleh “perilaku dan kebiasaan dosen" yang mengajar mereka, dengan ciri “kebebasan akademik" yang kurang pas dengan kebutuhan SMK.

2. Program Program pendidikan kejuruan yang diformulasikan dalam Kurikulum 1994 (yang disiapkan pada Pelita V), masih merupakan produk dari konsep seperti tersebut di atas, cenderung bersifat ”Supply Driven ” untuk ”School Based Program Sekalipun dalam proses penyusunan Kurikulum 1994 telah melalui proses validasi sebagai implementasi prinsip relevansi, namun yang menyusun kurikulum tersebut adalah pakar pendidikan dari lingkungan Depdikbud. Dan sekalipun telah dialokasikan satu catur wulan untuk kegiatan praktek kerja lapangan, programnya disusun oleh sekolah dan pelaksanaannya dititipkan tanpa pengawasan ke lapangan kerja. Beberapa permasalahan yang dapat diangkat dari program pendidikan Kurikulum 1994 adalah : a. Program pendidikan cenderung berorientasi pada pengajaran matamata pelajaran, dan tidak terfokus pa’da pencapaian kompetensi sesuai dengan kebutuhan dunia kerja. b. Penjurusan yang dimulai dari awal (tahun pertama) kurang memberikan dasar yang kuat dan bekal dasar yang memadai untuk fleksibilitas menghadapi perkembangan masa mendatang. c. Muatan program yang akan menjadi kompetensi kunci menghadapi pelkembangan masa mendatang beium memadai. Misalnyd jam pelajaran Matematjka dan llmu Pengetghuan Alam masih sedukit (bahkan ada yang berak'nir di tingkat H). Muatan untuk kemampuan berkomunikasi, kemampuan bekerjasama, dan kemampuan menggunakan informasi, juga masih belum terprogram dengan jelas. Jumlah jam pelajaran per minggu (42 jam pelajaran = 31,5 jam a' 60 menit) belum merupakan jam yang membiasakan siswa memasuki jam kerja dunia industri.

3. Operasional Pada akhir PelitaV ditemukan banyak perilaku salah dalam kegiatan belajar mengajar di SMK (Iihat Tabel 2), bahkan terbentuk menjadi kebiasaan yang diterima menjadi suatu kewajaran. Beberapa contoh yang ditemukan, antara lain : a. Pelajaran praktek dasar kejuruan tidak diajarkan secara mendasar. Kesalahan yang diterima menjadi suatu kewajaran, antara Iain : mutu hasil kerja dibiarkan apa adanya tanpa standar mutu; guru yang kurang bermutu ditugaskan mengajar di tingkat l; dan alat yang sudah tua atau sudah tidak baik dipakai oleh siswa tingkat l. Ada sikap dan pola pikir yang salah, seakan-akan pada tingkat pertama’, tingkat awal, mutu itu tidak terlalu penting. Padahal, untuk mendapatkan suatu program pendidikan dan pelatihan yang bermutu tinggi, harus diawali dengan dasar yang kuat dan benar. Dalam pelajaran praktek, siswa sering dibiarkan bekerja dengan cara yang salah. Tadak mengikuti langkah kerja yang benar, posisi tubuh dan gerak tangan tidak diperhatikan. Padahal secara teknis, kualitas dan produktivitas hasil kerja seseorang sangat ditemukan oleh cara kerja yang benar. Jumlah waktu pengalaman kerja seseorang dapa’c menlingkatkan kualitas dan produktivitas hasil kerja, apabi!a dikerjakan dengan dasar yang benar dan cara kerja yang benar. Membiarkan tiga atau lebih siswa bekerja pada satu mesin bubut; membiarkan siswa bekerja d.i Iiantai padahal'a‘da rheia kerja; membiarkan siswa memakai pahat untuk fungsi obeng dan sebaliknya obeng berfungsi sebagai pahat; membiarkan siswa memakai kawat untuk mengganti baut (dengan alasan kalau tidak ada rotau akarpun berguna); adalah contoh-contoh cara kerja yang salah, tetapi dibiarkan oleh guru, sebagai hal yang wajar. Membiarkan siswa bekerja dengan mutu hasil kerja “asal jadi". Banyak kegiatan praktek siswa dikerjakan hanya formalitas telah mengerjakan saja, tanpa adanya standar mutu yang harus dicapai. Guru memang memberi angka, tetapi angka adalah “angka guru", tidak ada hubungan dengan standar mutu di dunia kerja. Kebiasaan siswa mengerjakan pekerjaan dengan kualitas asal jadi membentuk sikap dan kebiasaan tamatan SMK kurang memahami dan kurang peduli terhadap mutu/tidak memiliki ”sense ofqua/ity” dan ”sense of added value". Kegiatan praktek siswa tidak mengikuti prinsip 'belajar tuntas (mastery learning). Misalnya, pada minggu tertentu siswa mengerjakan satuan pekerjaan tertentu, dan tidak selesai. Namun sekalipun pekerjaan tersebut belum/tidak selesai, pada minggu berikutnya siswa sudah beralih pada satuan pekerjaan berikutnya; pekerjaan inipun tidak selesai sampai tuntas, minggu berikutnya sudah beralih lagi ke satuan pekerjaan yang lain lagi. Sehingga bisa terjadi, seorang siswa yang belajar selama tigq tahun di SMK, tidak pernah mengerjakan satupun satuan pelajaran sampai tuntas. Akibatnya, setelah siswa tamat dari SMK, tidak memiliki kemampuan dan tidak percaya diri untuk mengerjakan pekerjaannya.

Siswa sering bekerja tanpa bimbingan dan pengawasan guru. Guru pasif, bahkan ada yang menghilang setelah membagi-bagi pekerjaan kepada siswa. Keadaan seperti ini yang membuat siswa semaunya, bisa dengan cara yang salah, dan hasui kerja asal jadi.

BAB VI WAWASAN LINK-AND-MATCH SEBAGAI DASAR PEMBARUAN Sebagaimana dikemukakan pada Bab V tentang permasalahan dan tantangan, pendidikan menengah kejuruan dengan setting konvensional, tidak dapat lagi dipertahankan. Selain karena menganut prinsip ”supply driven" dan ”school based program", model lama ini sangat lamban dan tidak mampu mengikuti perkembangan jaman dengan berbagai perubahan yang ada dan yang akan terjadi. Link and Match, adalah salah satu kebijakan yang mulai diperkenalkan pada tahun 1993/1994, (tahun terakhir Pelita V, sekaligus tahun terakhir PJP l, momen tepat digunakan sebagai tahun persiapan memasuki PJP II). Secara harafiah, ”Link” berarti terkait, menyangkut proses yang harus interaktif, dan ”Match" berarti cocok, menyangkut hasil yang harus sesuai atau sepadan. Karena itu, link and match sering diterjemahkan menjadi “terkait dan sepadan", sekalipun istilah terkait dan sepadan ini tidak secara pas mengandung jiwa dan makna link and match. Makna filosofis (secara filsafat) mengandung wawasan pengembangan sumberdaya manusia, wawasan masa depan, wawasan mutu dan keunggulan, wawasan profesionalisme, wawasan nilai tambah dan wawasan efisiensi, akan dicoba diuraikan pada bab ini. 1. Wawasan Sumberdaya Manusia Wawasan sumberdaya manusia pada kebijakan link and match berusaha menempatkan pendidikan menengah kejuruan sebagai sub-sistem dari sistem pembangunan nasional dalam peran dan tugas pengembangan sumberdaya manusia. Wawasan sumberdaya manusia menuntut supaya penyelenggaraan pendidikan pada SMK tidak hanya sekedar layanan sosial terhadap masyarakat, tetapi secara sungguh-sungguh dapat diandalkan menghasilkan tamatan yang berkualitas tinggi, yang memiliki kemampuan produktif, untuk menjadi aset bangsa. Biaya yang diinvestasikan bagi pengembangan dan operasional pendidikan kejuruan, baik yang bersumber dari pemerintah, pinjaman asing, orangtua siswa dan masyarakat, harus memiliki nilai ekonomi, harus accountable, tidak boleh lagi sekedar penyelenggaraan pendidikan demi pendidikan.

Sebagai sub sistem dari sistem pembangunan nasional, SMK harus dapat diandalkan untuk peranan dan tugas sebagai berikut : a. Menghasilkan tamatan yang memiliki keterampilan dan penguasaan iptek, dengan bidang dan tingkat keahlian yang sesuai déngan kebutuhan pembangunan, untuk mengisi kebutuhan industrialisasi atau mandiri. b. Menghasilkan tamatan yang memiliki kemampuan produktif, keahlian yang mampu membuat tamatan berpenghasilan sendiri dengan pekerjaan dan penghasilan yang mampu meningkatkan harkat dan martabat sendiri, dan merubah status tamatan dari status beban (karena harus dihidupi orang lain) menjadli aset bangsa (yang mampu menghidupi diri sendiri dan orang lain). c. Menghasiikan tamatan yang berkualitas tinggi dan memiliki keunggulan, dan mampu berperanan sebagai faktor keunggulan kompetitif industri Indonesia menghadapi persaingan global. d. Menghasilkan tamatan yang memiliki bekal dasar pengetahuan, keterampilan dan sikap mental yang kuat, dan memadai bagi tamatan yang bersangkutan agar dapat mengembangkan kualitas dirinya secara berkelanjutan. 2. Wawasan Masa Depan Wawasan masa depan kebijakan link and match mengandung pemikiran, bahwa: “Produk pendidikan yang kita peroleh saat ini adalah produk pendidikan masa lalu, dan proses pendidikan yang kita lakukan sekarang ini adalah untuk masa depan". Misalnya, kalau kita mau menghasilkan tamatan SMK yang bermutu tinggi dan memiliki keunggulan kompetitif, memerlukan waktu tiga tahun sesuai dengan satuan waktu pendidikan SMK. Peserta pendidikan yang masuk ke SMK-pun, berdasarkan wawasan kebijakan link and match ditentukan oleh kualitas tamatan pendidikan dasar sembilan tahun. Tetapi masyarakat umum, bahkan sebagian pakar pendidikan, kurang menyadari, karena kurang memiliki wawasan masa depan. Sering terjadi “kekurang puasan terhadap produk pendidikan yang dirasakan saat ini, menimbulkan kritik yang ditujukan terhadap sistem, program, dan proses yang berlangsung sekarang ini".

Kebijakan link and match yang berwawasan masa depan, menuntun SMK menganut prinsip sebagai berikut : a. Program pendidikan pada SMK yang berproses selama tiga tahun, disiapkan untuk menghasilkan tamatan yang memiliki keahlian sesuai dengan kebutuhan tiga tahun mendatang, dan memiliki bekal dasar untuk pengembangan diri di masa depan. b. Dunia kerja yang menjadi lapangan hidup tamatan SMK adalah dunia ekonomi, dunia yang mengandung fenomena persaingan dan kerjasama, sekaligus dunia yang cepat mengalami perubahan. Karena itu program pendidikan SMK harus mengandung muatan : 1) Kompetensi produktif, yang memungkinkan tamatan sesegera mungkin bekerja setelah tamat dari SMK. 2) Memiliki keunggulan sebagai faktor keunggulan kompetitif menghadapi persaingan, dan sebagai modal kuat untuk menjalin kerjasama. 3) Memiliki bekal dasar pengetahuan, keterampilan dan sikap, sebagai bekal dasar menguasai perkembangan iptek, dan sebagai bekal dasar untuk penyesuaian diri menghadapi perubahan. 3. Wawasan Mutu Wawasan mutu pada kebijakan link and match, mengukur mutu tamatan SMK dengan ukuran dunia kerja. Cara-cara konvensional mengukur hasil pembelajaran SMK dengan angka nol sampai sepuluh, atau angka nol sampai seratus, sudah tidak memadai lagi, dan tidak sesuai dengan ukuran dunia kerja. Dunia kerja mengukur kompetensi tenaga kerjanya dengan memperhatikan kualitas hasil kerjanya dan tingkat produktivitas kerjanya.

Pengukuran

terhadap kualitas hasil kerja hanya dengan dua ukuran dasar, yaitu: baik (accepted) dan jelek (rejected). Kalau hasil kerja baik, baru diperhatikan lagi tingkat kebaikan/keberhasilannya, karena tingkat mutu baik itu sendiri, akan mempengaruhi h'argajual. Sebaliknya kalau jelek atau gagal, Iangsung dirasakan sebagai kerugian atau ”lost”. Beberapa prinsip yang diperhatikan dalam penerapan wawasan mutu sesuai dengan kebijakan link and match, antara lain:

a. Ukuran yang dipakai untuk mengukur tingkat kemampuan tamatan SMK, adalah ukuran dunia kerja. Dalam proses evaluasi hasil belajar SMK perlu dilengkapi dengan uji kompetensi, yaitu proses pengujian oleh pihak dunia kerja dengan memakai ukuran dunia kerja. b. Tingkat produktivitas kerja dan kualitas hasil kerja seseorang, sangat kuat dipengaruhi oleh cara kerja (sesuai dengan persyaratan teknis kerja), teknologi yang digunakan dan sikap kerja pekerja tersebut. Karena itu, SMK dituntut mentransfer cara kerja yang benar, melatihkan penguasaan iptek, serta membentuk sikap melalui proses pembiasaan kerja yang benar. c. Guna mendapatkan standar mutu hasil yang sesuai dengan ukuran dunia kerja, diperlukan proses yang sesuai dengan cara kerja industri. Sehingga untuk mendapatkan mutu tamatan SMK yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja, diperlukan keikutsertaan dan kerjasama dengan dunia kerja, mulai dari penyusunan program, pelaksanaan, dan evaluasi hasilnya. 4. Wawasan Keunggulan Wawasan keunggulan pada kebijakan link and match memberikan pandangan, bahwa sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi dan memiliki keunggulan adalah faktor keunggulan kompetitif utama yang harus dimiliki Indonesia menghadapi persaingan global, Persaingan industri dan perdagangan akan selalu mengacu pada enam faktor penentu, yaitu: harga, mutu, disain (selera), waktu pemasokan (delivery time), pemasaran dan layanan (services). Dan tingkat kemampuan enam faktor persaingan ini, ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusia yang berperan dalam proses produksi dan pemasarannya. Supaya pendidikan kejuruan mampu menghasilkan sumberdaya manusia yang dapat berperan menjadi faktor keunggulan kompetitif industri Indonesia menghadapi persaingan global, perIu memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. Program pendidikan kejuruan, selain memberikan keterampilan yang bermutu tinggi, harus dibekali dengan kompetensi kunci, yaitu : kemampuan berpikir logis; kemampuan berkomunikasi; kemampuan bekerjasama; kemampuan menggunakan data dan informasi; dan kemampuan menggunakan iptek. Kemampuan ini dapat dibentuk dengan pemberian muatan yang memadai pada pengajaran Matematika, IPA, Bahasa Inggris, Komputer, dan berbagai kegiatan yang membentuk kompetensi kunci.

b. SMK harus mampu secara kreatif menghadirkan iklim persaingan di sekolah, antara lain dengan memberikan pengakuan dan penghargaan (recognition) kepada siswa yang berprestasi menonjol, menciptakan lomba dan membiasakan siswa mengikuti lomba. c. Metodologi pengajaran di SMK harus secara kreatif menerapkan prinsip "re-inforcement”. Siswa dilatih mencapai tingkat keberhasilan tertentu, dituntun untuk menikmati kepuasan atas keberhasilannya, dan dengan demikian siswa akan berusaha mencapai tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. Metodologi pengajaran juga harus memacu siswa agar tidak mudah patah semangat, dan tidak cepat puas atas hasil yang telah dicapai. d. SMK harus mampu menanamkan pengertian dan membentuk sikap siswa, bahwa persaingan bukanlah sesuatu yang menakutkan dan harus dihindari. Dalam hal tertentu, kehadiran pesaing bahkan diperlukan untuk memacu kita bergerak maju. e. Dengan keterbatasan sumberdaya yang dimiliki oleh pemerintah, bentuk pelayanan pembangunan SMK perlu dikembangkan secara bervariasi, tidak cukup dengan pelayanan yang bersifat normatif sama bagi semua sekolah. Dapat dilakukan perlakuan khusus (specific treatment) bagi siswa tertentu, atau kelompok siswa tertentu, atau sekolah tertentu, yang dimaksudkan untuk membentuk keunggulan. 5. Wawasan Profesionalisme Sikap profesionalisme adalah sesuatu yang tertanam di dalam diri seseorang, yang mempengaruhi perilaku: peduli kepada mutu (tidak asal jadi); bekerja cepat, tepat dan efisien, diawasi ataupun tidak diawasi orang lain; menghargai waktu; dan menjaga reputasi. Sikap semacam ini adalah karakter tenaga kerja yang disukai dan diperlukan dunia industri Indonesia. Pembentukan Sikap profesional bukanlah sesuatu yang mudah, tidak bisa diajarkan dengan metode ceramah memberikan pengertian dan pemahaman saja. Sikap profesional hanya dapat dibentuk melalui proses pembiasaan yang memerlukan waktu lama sampai kebiasaan itu terinternalisasi dengan nilai-nilai yang dianggap baik dan menguntungkan bagi dirinya. Wawasan profesionalisme sesuai dengan kebijakan link and match, mengharapkan SMK mampu menghasilkan tamatan yang memiliki sikap profesional. Untuk itu, waktu belajar siswa SMK selama tiga tahun, harus dapat digunakan membentuk kebiasaan yang berwawasan profesional. Setting sekolah, iklim belajar mengajar, dan sistem nilai, harus mirip dengan yang

ada di industri. SMK harus diprogram sehingga mampu berfungsi sebagai pusat pengembangan budaya industri, antara lain dengan: a. Guru yang ada di sekolah, harus mampu menampilkan dirinya sebagai contoh orang yang bersikap profesional. b. Manajemen sekolah harus mampu menciptakan iklim organisasi sekolah, performa belajar mengajar, dan suasana kehidupan di sekolah mirip dengan yang ada di industri. 6. Wawasan Nilai Tambah Wawasan nilai tambah sesuai dengankebljakan link and match. menuntun SMK berproses dan sekaligus menghasilkan tamatan yang berwawasan nilai tambah. Untuk ini SMK perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut a. Kualitas seorang tamatan SMK dibandingkan kualitas yang bersangkutan pada saat masuk ke SMK (tiga tahun sebelumnya), harus memberikan nilai tambah yang berarti (significant). Seandainya siswa tersebut tidak masuk ke SMK dan menganggur (tidak bekerja), dibandingkan bila masuk SMK ternyata setelah tamat juga hanya menganggur, maka proses pendidikan selama tiga tahun di SMK tidak memberinya nilai tambah. b. Kualitas barang atau jasa produk tamatan SMK, harus menunjukkan kualitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kualitas barang atau jasa yang dihasilkan oleh seseorang yang tidak mengenyam pendidikan atau pelatihan di SMK. c. Dengan kemampuan yang dimiliki oleh seorang tamatan SMK, yang bersangkutan harus mampu membuat pilihan, dan kemampuan untuk memilih, serta mengerjakan pekerjaan yang memberi nilai tambah lebih tinggi. Wawasan nilai tambah ini masih sesuatu yang baru dan belum banyak dipahami oleh kalangan pendidikan kejuruan di Indonesia. Sehingga masih sering terjadi, unit produksi SMK teknologi (STM) mengerjakan pekgrjaan pagar besi dengan nilai tambah yang rendah, padahal sekolah tersebut mempunyai mesin bubut, mesin frais, dan mesin CNC yang sebenarnya dapat memberi nilai tambah yang jauh lebih tinggi. Selain itu, benda hasil kerajinan produk SMK belum menunjukkan kualitas lebih baik dibandingkan dengan hasil kerajinan masyarakat yang

tidak mengikuti pendidikan, dan kenyataan seperti ini belum dipahami oleh SMK sebagai suatu masalah. 7. Wawasan Efisiensi Pendidikan menengah kejuruan adalah suatu jenis dan tingkat pendidikan yang memerlukan biaya relatif tinggi, baik untuk investasi pengadaan sumberdaya pendidikannya, maupun biaya operasional pendidikannya. Tetapi, sekalipun dengan biaya tinggi, tetap harus diselenggarakan untuk memenuhi fungsinya sebagai sub-sistem pembangunan nasional dalam tugas pengembangan sumberdaya manusia. Wawasan efisiensi sesuai dengan kebijakan link and match, menuntun SMK memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut : a. SMK menghasilkan tamatan dengan bidang keahlian, jumlah, dan mutu yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan. Sesuai dengan kebijakan link and match, kesesuaian ini akan dicapai melalui pendekatan “demand driven”. b. Setiap alokasi pembangunan dana SMK, harus dilihat sebagai investasi. Keberhasilannya akan diukur dengan rate of return nya, tingkat keuntungan balik hasil investasi itu sendiri. c. Keberhasilan SMK mencapai tujuannya (dengan dana investasi dan biaya operasional yang tinggi) sangat tergantung kepada kehandalan manajemen sekolah. Karena itu, manajemen sekolah perlu selalu mendapatkan perhatian penting untuk mampu melaksanakan proses pendidikan yang efisien. d. Kemampuan keuangan pemerintah membelanjai pembangunan dan penyelenggaraan pendidikan kejuruan, akan selalu terbatas. Sikap ketergantungan sepenuhnya kepada keuangan pemerintah pusat akan sangat mempersulit pendidikan kejuruan itu sendiri. Karena itu, kebijakan link and match membuka peluang menggali tambahan dana, antara lain melalui dukungan masyarakat dunia usaha dan industri, masyarakat lain yang merasa mendapatkan keuntungan dari pendidikan kejuruan, dan mendorong SMK untuk melakukan kegiatan unit produksi. Dengan penjelasan pengertian link and match yang berwawasan sumberdaya manusia, berwawasan masa depan,, berwawasan mutu, berwawasan keungguian, berwawasan

profesional, berwawasan nnuilai tambah, dan berwawasan efisiensi seperti tersebut di atas,, dapat diisimpulkan bahwa kebijakan link and match adalah dasar yang kuat dan tepat untuk melakukan pembaruan pendidikan kejuruan. Kesimpulan ini didasarkan pada: 1). Kebijakan link and match mengharapkan perbaikan yang mendasar dan menyeluruh, menyangkut perbaikan konsep, program, dan perilaku operasionalnya. 2). Kebijakan link and match membuka wawasan dan pola pikir (frame of thinking) sehingga mampu memahami perubahan yang terjadi dan fenomena baru yang timbul. 3). Kebijakan link and match membuka dan mendorong kemitraan kerjasama antara pendidikan kejuruan dengan dunia usaha, yang pada dasarnya mendekatkan supply demand. 4). Link and match meliputi Spektrum internal dan eksternal. Spektrum internal merujuk pada keterkaitan dan kesepadanan dalam internal pendidikan itu sendiri (pendidikan kejuruan sebagai sub sistem dari sistem pendidikan nasional). Spektrum eksternal merujuk pada keterkaitan dan kesepadanan dengan sistem-sistem lain: ekonomi, ketenagakerjaan, sosial, politik dan sebagainya (pendidikan kejuruan sebagai sub sistem dari sistem pembangunan nasional). 5). Kebijakan link and match bermaksud memposisikan pendidikan menengah kejuruan pada posisi yang seharusnya. 6). Link and match bermaksud meningkatkan efisiensi dan relevansi semua sub-sistem pendidikan dalam satu sistem pendidikan nasional yang handal, mulai dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, sampai pendidikan tinggi. Oleh karena itu, artikulasi antar jenis dan jenjang pendidikan mendapatkan perhatian. Ini berarti bahwa pengembangan pendidikan kejuruan tidak bersifat dead-end. 7). Link and match menghendaki perubahan sistem nilai, pola pikir, sikap mental, dan perilaku para pelaku pendidikan, supaya mampu memahami, menyadari, peduli, dan komit terhadap perubahan dari "pendidikan demi pendidikan" ke pendidikan kejuruan sebagai wahana pengembangan sumberdaya manusia.

BAB VII DIMENSI PEMBARUAN PENDIDIKAN KEJURUAN

Hakekat pembaruan pendidikan kejuruan sesuai dengan kebijakan link and match adalah perubahan dari pola lama yang cenderung berbentuk pendidikan demi pendidikan ke suatu yang lebih terang, jelas dan konkrit menjadi pendidikan kejuruan sebagai program pengembangan sumberdaya manusia. Berbagai dimensi pembaruan yang diturunkan dari kebijakan link and match antara lain adalah : 1. Perubahan Dari Pendekatan Supply Driven Ke Demand Driven . Pendekatan lama yang bersifat supply driven dilakukan secara sepihak penyelenggara pendidikan kejuruan, mulai dari kegiatan perencanaan, penyusunan program pendidikan (kurikulum), pelaksanaan dan evaluasinya. Pendekatan lama yang telah berproses sejak lama dan telah dianggap menjadi sesuatu yang baku, telah membentuk sistem nilai dan sikap, seolah-olah “pendidikan kejuruan itu adalah urusan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan bahkan dalam sikap para pelaku pendidikan kejuruan terbentuk kesan, bahwa merekalah yang paiing berhak, paling tahu, dan paling bisa melaksanakan pendidikan kejuruan”. Pengertian demand driven, mengharapkan justru pihak dunia usaha, dunia industri, dunia kerja yang seharusnya lebih berperan menentukan, mendorong dan menggerakkan pendidikan kejuruan, karena mereka adalah pihak yang lebih berkepentingan dari sudut kebutuhan tenaga kerja. Dalam perencanaan pembangunan pendidikan kejuruan, pihak dunia kerja ikut menentukan, di mana SMK harus dibangun, dan jurusan atau program studi apa yang diperlukan. Dalam penyusunan program pendidikan (kurikulum), dunia kerja ikut menentukan standard kompetensi yang harus. dicapai setiap tamatan SMK, karena mereka yang lebih tahu kebutuhan di dunia kerja. Dalam pelaksanaan, dunia kerja juga ikut berperan serta, karena proses pendidikan itu sendiri lebih dominan dalam menentukan kualitas tamatannya, serta dalam evaluasi hasil

pendidikan itupun dunia kerja ikut menentukan supaya hasil pendidikan kejuruan itu terjamin dan terukur dengan ukuran dunia kerja.

2. Perubahan Dari Pendidikan Berbasis Sekolah (School Based Program) Ke Sistem Berbasis Ganda (Dual Based Program ). Model lama dengan sitem berbasis sekolah dimana program pendidikan sepenuhnya dan seutuhnya dilaksanakan di sekolah, telah membiasakan sekolah kejuruan terasing dari dunia kerjanya, dan sekolah membentuk dunianya sendiri yang disebut dunia sekolah. Dunia sekolah tidak mengenal kegagalan sebagai kerugian financial, karena segala sesuatu itu bisa diulang. Dunia sekolah terbiasa santai, karena tidak mengenal delivery time. Duriia sekolah kurang mengenal sense of quality karena hasil pekerjaannya tidak terkait dengan pasar (market). Perubahan dari pendidikan berbasis sekolah, ke pendidikan berbasis ganda sesuai dengan kebijakan link and match, mengharapkan supaya program pendidikan kejuruan itu dilaksanakan di dua tempat. Sebagian program pendidikan dilaksanakan di sekolah, yaitu teori dan praktek dasar kejuruan, dan sebagian lainnya dilaksanakan di dunia kerja, yaitu keterampilan produktif yang diperoleh melalui prinsip learning by doing. Pendidikan yang dilakukan melalui proses bekerja di dunia kerja akan memberikan pengetahuan keterampilan dan nilai-nilai dunia kerja yang tidak mungkin atau sulit didapat di sekolah, antara lain pembentukan wawasan mutu, wawasan keunggulan, wawasan pasar, wawasan nilai tambah, dan pembentukan etos kerja. 3. Perubahan Dari Model Pengajaran Yang Mengajarkan Mata-Mata Pelajaran Ke Model Pengajaran Berbasis Kompetensi. Model pengajaran lama menuntun masing-masing guru mengajarkan muatan mata pelajaran seperti yang tercantum pada kurikulum, tanpa. kepedulian terhadap kompetensi atau kemampuan yang harus dicapai oleh siswa. Guru menganggap tugasnya adalah mengajarkan mata pelajaran sesuai dengan jadwal jam mengajarnya. Koordinasi antar guru yang mengajarkan mata pelajaran yang berbedapun jarang terjadi, sehingga bisa terjadi semua guru merasa telah melaksanakan tugasnya, dan semua siswa merasa telah mempelajarinya, tetapi setelah tamat tidak mendapatkan kompetensi atau kemampuan mengerjakan pekerjaan tertentu.

Perubahan ke model pengajaran berbasis kompetensi, bermaksud menuntun proses pengajaran secara langsung berorientasi pada kompetensi atau satuan-satuan kemampuan. Pengajaran berbasis kompetensi ini sekaligus memerlukan perubahan kemasan kurikulum kejuruan, dari model lama berbentuk silabus (berisi uraian mata pelajaran yang harus diajarkan) ke dalam kemasan berbentuk paket-paket kompetensi.

4. Perubahan Dari Program Dasar Yang Sempit (Narrow Based) Ke Program Dasar Yang Mendasar, Kuat Dan Luas (Broad Based) Program pendidikan lama pada SMK (Kurikulum 1984 dan Kurikulum 1994), menganut pola penjurusan bidang keahlian yang sempit mulai dari tingkat l. Selain itu, dalam perilaku pengajaran di tingkat l, pada umumnya masih dipersepsi sebagai sesuatu yang tidak penting sehingga guru yang kurang bermutu ditugaskan mengajar di tingkat l, alat yang sudah tua/sudah rusak dipakai di tingkat l, dan disiplin belajarpun dibiarkan longgar di tingkat l. Kebijakan link and match menuntut adanya pembaruan, mengarah kepada pembentukan dasar yang mendasar, kuat, dan lebih luas. Sistem baru yang berwawasan sumberdaya manusia, berwawasan mutu dan keunggulan menganut prinsip, tidak mungkin membentuk sumberdaya manusia yang berkualitas dan yang memiliki keunggulan, kalau tidak diawali dengan pembentukan dasar (pondasi) yang kuat. Bahkan kalau pada tingkat I siswa dibiarkan berkembang tanpa kepedulian kepada disiplin dan mutu, maka akan mengalami kesulitan pada tahun-tahun berikutnya membentuk siswa yang bersangkutan menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas. Selain itu, dalam rangka penguatan dasar, perlu diberi bekal dasar yang berfungsi untuk membentuk keunggulan, sekaligus bekal beradaptasi terhadap perkembangan iptek, dengan memperkuat penguasaan Matematika, IPA, Bahasa lnggris dan Komputer. 5. Perubahan Dari Sistem Pendidikan Formal Yang Kaku, Ke Sistem Yang Luwes Dan Menganut Prinsip Multy Entry, Multy Exit. Pengertian pendidikan formal telah menggiring pendidikan menengah kejuruan pada format pendidikan umum, antara lain dengan batasan usia peserta didik, harus mengikuti sistem catur

wulan, mengikuti sistem penjadwalan mingguan klasikal, mengikuti kalender ulangan dan libur yang sama dengan kalender persekolahan secara umum. Sejalan dengan perubahan dari supply driven ke demand driven, dari schools based program ke dual based program dari model pengajaran mata pelajaran ke program berbasis kompetensi, diperlukan adanya keluwesan yang memungkinkan pelaksanaan praktek kerja industri, dan pelaksanaan praktek kerja industri, dan pelaksanaan prinsip multy entry, multy exit. Prinsip ini memungkinkan siswa SMK yang telah memiliki sejumlah satuan kemampuan tertentu (karena program pengajarannya berbasis kompetensi), mendapatkan kesempatan kerja di dunia kerja, maka siswa tersebut dimungkinkan meninggalkan sekolah. Dan kalau siswa tersebut ingin masuk sekolah kembali menyelesaikan program SMK-nya, maka sekolah harus membuka diri menerimanya, dan bahkan menghargai dan mengakui keahlian yang diperoleh siswa yang bersangkutan dari pengalaman kerjanya. Selain itu, sistem program berbasis ganda juga memerlukan pengaturan praktek kerja di industri sesuai dengan aturan kerja yang berlaku di industri yang tidak sama dengan aturan kalender belajar di sekolah. 6. Perubahan Dari Sistem Yang Tidak Mengakui Keahlian Yang Telah Diperoleh Sebelumnya, Ke Sistem Yang Mengakui Keahlian Yang Diperoleh Dari Mana Dan Dengan Cara Apapun Kompetensi ltu Diperoleh (Recognition of Prior Learning) Kenyataan empirik membuktikan, bahwa pengalaman kerja seseorang mampu membentuk kemampuan mengerjakan sesuatu pekerjaan (kompetensi) bagi orang tersebut. Tetapi sistem lama pendidikan kejuruan tidak mengakui kompetensi seseorang yang diperoleh dari pengalaman kerja, dan hanya mengakui apa yang didapatkan siswa dari hasil proses belajar mengajar di sekolah. Sistem baru pendidikan kejuruan harus mampu memberikan pengakuan dan penghargaan terhadap kompetensi yang dimiliki oleh seseorang. Sistem ini akan memotivasi banyak orang yang sudah memiliki kompetensi tertentu, misalnya dari pengalaman kerja, berusaha mendapatkan pengakuan sebagai bekal untuk pendidikan dan pelatihan berkelanjutan. Untuk ini SMK perlu menyiapkan diri sehingga memiliki instrumen dan kemampuan menguji kompetensi seseorang darimana dan dengan cara apapun kompetensi itu didapatkan.

7. Perubahan Dari Pemisahan Antara Pendidikan Dengan Pelatihan Kejuruan, Ke Sistem Baru Yang Mengintegrasikan Pendidikan Dan Pelatihan Kejuruan Secara Terpadu. Sistem lama selalu berusaha membuat batasan yang tegas antara pendidikan kejuruan dengan pelatihan kejuruan, sekalipun batasan itu tidak memberikan arti yang bermakna. Dalam kenyataan di dunia kerja, kebanyakan perusahaan memberikan penghargaan kepada seseorang sesuai dengan kompetensi dan produktivitas kerja orang tersebut tanpa melihat apakah kompetensi itu diperoleh dari satuan pendidikan, pelatihan atau pengalaman kerja. Pembatasan yang selalu dipaksakan justru menutup peluang yang didapat oleh seseorang dari proses pelatihan untuk melanjutkan pendidikannya secara berkelanjutan. Program baru pendidikan yang mengemas pendidikannya dalam bentuk paket-paket kompetensi kejuruan, akan memudahkan pengakuan dan penghargaan terhadap program pelatihan yang berbasis kompetensi. Sistem baru akan memberikan artikulasi antara program pelatihan kejuruan dam program pendidikan kejuruan. Untuk memudahkan proses artikulasi, beberapa SMK akan sekaligus didorong dan disiapkan melaksanakan program pelatihan berbasis kompetensi. Sistem baru ini memerlukan standarisasi kompetensi, dan kompetensi yang terstandar itu bisa dicapai melalui program pendidikan, program pelatihan, atau bahkan dengan pengalaman kerja yang ditunjang dengan inisiatif belajar sendiri.

8. Perubahan Dari Sistem Terminal Ke Sistem Berkelanjutan. Sistem lama kurang memberi peluang bagi tamatan SMK untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (cenderung dead end). Sekalipun kesempatan untuk melanjutkan terbuka, tetapi tetap harus melalui proses seleksi dengan materi ujian seleksi yang sama dengan tamatan SMU dan tidak memberi penghargaan terhadap kompetensi kejuruan yang didapat dari SMK serta potensi keahlian yang diperoleh dari pengalaman kerja. Sistem baru tetap mengharapkan dan mengutamakan tamatan SMK langsung bekerja, agar segera menjadi tenaga kerja produktif, dapat memberi return atas investasi SMK. Sistem baru juga mengakui banyak tamatan SMK yang potensial, dan potensi keahlian kejuruannya akan lebih berkembang lagi setelah bekerja. Terhadap mereka ini diberi peluang untuk melanjutkan

pendidikannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi (misalnya program Diploma), melalui suatu proses artikulasi yang mengakui dan menghargai kompetensi yang diperoleh dari SMK dan dari pengalaman kerja sebelumnya. Untuk mendapatkan sistem artikulasi yang efisien diperlukan “program antara" (bridging program) guna memantapkan kemampuan dasar tamatan SMK yang sudah berpengalaman kerja, supaya siap melanjut ke program pendidikan yang lebih tinggi. Selain itu, beberapa SMK potensial (terpilih), disiapkan unntuk mampu melaksanakan program Diploma. 9. Perubahan Dari Manajemen Terpusat Ke Pola Manajemen Mandiri (Prinsip Desentralisasi). Pola manajemen lama yang cenderung mengarahkan dan mengendalikan secara ketat dari Pusat, telah terasa membentuk sikap ketergantungan yang berlebihan dari para pelaksana pendidikan di lapangan, membuat mereka tidak percaya diri melaksanakan tugas profesinya tanpa petujuk pelaksanaan dari pusat, kurang kreatif, kurang inisiatif dan tidak inovatif. Program pendidikan yang diajarkanpun sering tidak relevan dengan kebutuhan dunia kerja dimana sekolah itu berada, karena kurang keberanian melaksanakan penyesuaian sesuai dengan peluang yang disediakan. Pola baru manajemen mandiri dimaksudkan memberi peluang kepada Propinsi dan bahkan sekolah untuk menentukan kebijakan operasional, asal tetap mengacu kepada kebijakan nasional. Kebijakan nasional dibatasi pada hal-hal yang bersifat strategis, supaya memberi peluang bagi para pelaksana di lapangan berimprovisasi dan melakukan inovasi. Proses pendewasaan SMK perlu ditekankan, untuk menumbuhkan rasa percaya diri sekolah melakukan apa yang baik menurut sekolah, dengan prinsip akuntabilitas (accountability). Kunci utama untuk memandirikan manajemen SMK adalah dengan mencari, menyiapkan, dan menempatkan Kepala Sekolah yang berkualitas unggul, serta didukung oleh sistem. motivasi yang terpercaya (reliable) yang secara taat azas memberikan penghargaan kepada mereka yang pantas dihargai, dan menindak mereka yang pantas ditindak.

10. Perubahan Dari Ketergantungan Sepenuhnya Dari Pembiayaan Pemerintah Pusat, Ke Swadana Dengan Subsidi Pemerintah Pusat. Sistem lama SMK yang lebih banyak menggantungkan dirinya pada alokasi biaya operasionai dari pusat,, cenderung membuat sekotah pasif, tidak kreatif, kurang berinisiatif mencari tambahan

dana, walaupun alokasi dana operasional yang disediakan oleh pemerintah pusat tidak memadai. Di sisi lain, ditemukan beberapa SMK Swasta yang sepenuhnya mandiri, bisa berkembang meningkatkan mutu sekolahnya tanpa dukungan dana dari luar. Sejalan dengan prinsip demand driven, dual based program, pendewasaan manajeman sekolah, dan pengembangan unit produksi sekolah, sistem baru diharapkan dapat mendorong pertumbuhan swadana pada SMK, dan posisi alokasi dana dari pemerintah pusat bersifat membantu atau subsidi. Sistem ini juga diharapkan mampu mendorong SMK berpikir dan berperilaku ekonomis. Tabel Dimensi-Dimesi Pembaruan Pendidikan dan Pelatihan Kejuruan

1 2 3

4

MASA LALU “Supply Driven” Pendidikan Berbasis Sekolah (School Based Program) Pengajaran Berbasis Mata Pelajaran (Subject Matter Based Program) Program Dasar Yang Sempit (Narrow Based Program)

5

Pendidikan Formal yang kaku

6

Tidak mengakui keahlian dari luar sekolah

7

Pemisahan yang tegas antara Pendidikan dan Pelatihan Pendidikan bersifat terminal (dead end) Manajemen terpusat (Sentralisasi) Menggantungkan diri pada dana Pemerintah Pusat

8 9 10

MENUJU

MASA DEPAN “Demand Driven” Pendidikan berbasis Ganda (Dual Based Program) Pengajaran Berbasis Kompetensi (competencies Based Program) Program Dasar yang Mendasar, kuat dan Lebih Luas (Broad Based Curriculum) Pendidikan yang luwes, Multy Entry – Multy Exit Mengakui komptensi yang yang diperoleh dari manapun, dan dengan cara apapun (Recognition of Prior Learning) Pengintegrasian Pendidikan dan Pelatihan Pendidikan berkelanjutan (dengan bridging program) Manajemen mandiri (Desentralisasi) Swadana, dengan subsidi dari Pemerintah Pusat

BAB VIII PENDIDIKAN SISTEM GANDA

Salah satu bentuk nyata implementasi kebijakan link and match adalah pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda (PSG) pada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Pendidikan Sistem Ganda pada dasarnya mengandung dua prinsip utama, yaitu : Pertama : Program pendidikan kejuruan pada SMK adalah program bersama (joint program) antara SMK dengan industri/perusahaan pasangannya. Prinsip ini merupakan konkritisasi peralihan dari supply driven ke demand driven. Peralihan dalam arti kewenangan dan tanggung jawab secara sepihak oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ke arah kebersamaan dan tanggung jawab bersama dengan pihak-pihak yang berkepentingan dengan pendidikan kejuruan Kedua : Program pendidikan kejuruan dilakukan di dua tempat, sebagian program yaitu teori dan praktek dasar kejuruan dilaksanakan di sekolah (SMK), dan sebagian lainnya dilaksanakan di dunia kerja, yaitu keahlian produktif yang diperoleh melalui kegiatan bekerja di dunia kerja. Pola penyelengggaraan pendidikan di dua tempat ini, akan memaksa SMK mendekatkan dunianya (dunia sekolah) ke dunia kerja, menyesuaikan isi dengan kebutuhan dunia kerja, untuk mempermudah tranfer nilai-nilai dan perilaku kerja sebagaimana yang berlaku di dunia kerja. 1. Konsep Pendidikan Sistem Ganda a. Pengertian Pendidikan Sistem Ganda (PSG) adalah suatu bentuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan keahlian kejuruan yang memadukan secara sistematik dan sinkron program pendidikan di sekolah dan program penguasaan keahlian yang diperoleh melalui bekerja langsung di dunia kerja, terarah untuk mencapai suatu tingkat keahlian profesional tertentu. Dalam pengertian tersebut, tersirat ada dua pihak yaitu lembaga pendidikan dan pelatihan, dan lapangan kerja (industri/perusahaan atau instansi tertentu) yang secara bersama-sama menyelenggarakan suatu program pendidikan dan pelatihan kejuruan. b. Tujuan Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dengan pendekatan PSG bertujuan untuk : 1) Menghasilkan tenaga kerja yang memiliki keahlian profesional, yaitu tenaga kerja yang memiliki tingkat pengetahuan, keterampilan dan etos kerja yang sesuai dengan tuntutan lapangan kerja; 2) Meningkatkan dan memperkokoh keterkaitan dan kesepadanan (link and match) antara lembaga pendidikan dan pelatihan kejuruan dengan dunia kerja;

3) Meningkatkan efisiensi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan tenaga kerja berkualitas profesional, dengan memanfaatkan sumberdaya pelatihan yang ada di dunia kerja; 4) Memberi pengakuan dan penghargaan terhadap pengalaman kerja sebagai bagian dari proses pendidikan. c. Komponen Pendidikan Sistem Ganda Karakteristik Pendidikan Sistem Ganda sebagai salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kejuruan, didukung oleh beberapa faktor yang menjadi komponen-komponennya, antara lain lnstitusi Pasangan, Program Pendidikan dan Pelatihan Bersama, Kelembagaan Kerjasama, Nilai Tambah, dan Jaminan Keberlangsungan (Sustainability). 1) Institusi Pasangan Pendidikan Sistem Ganda hanya mungkin dilaksanakan apabila terdapat kerjasama dan komitmen antara institusi pendidikan kejuruan (dalam hal ini SMK) dan institusi lain (industri/ perusahaan atau instansi lain yang berkepentingan dengan tenaga kerja) yang memiliki sumber daya untuk mengembangkan keahlian kejuruan, untuk bersama-sama menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan keahlian kejuruan. lnstitusi lain yang mengikatkan diri bekerjasama dengan lembaga pendidikan pelatihan kejuruan itu disebut Institusi Pasangan. 2) Program Pendidikan dan Pelatihan Bersama Karena PSG pada dasarnya adalah milik dan tanggung jawab bersama antara lembaga pendidikan kejuruan dan institusi pasangannya, maka program pendidikan yang akan digunakan harus merupakan program yang dirancang dan disepakati bersama oleh kedua belah pihak. Program pendidikan dan pelatihan yang harus disepakati bersama itu, paling tidak meliputi: 2.1) Standar Kompetensi/Keahlian Tamatan Pendidikan Sistem Ganda diarahkan untuk menghasilkan tamatan yang memiliki keahlian /kompetensi tertentu secara terstandar sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Oleh karena itu segala sesuatu yang berhubungan dengan perencanaan, pelaksanaan dan penilaian pendidikan harus senantiasa mengacu kepada pencapaian standar kemampuan/ kompetensi sesuai dengan tuntutan jabatan pekerjaan atau profesi tertentu yang berlaku di lapangan kerja. 2.2) Standar Pendidikan dan Pelatihan Untuk mencapai penguasaan standar kemampuan tamatan yang telah ditetapkan, diperlukan suatu proses pendidikan dan pelatihan yang dirancang secara terstandar dengan ukuran isi, waktu dan metode tertentu. Untuk itu perlu ditetapkan dan disepakati:

Materi 

Komponen Umum (Normatif), dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi warga negara yang baik, yang memiliki watak dan kepribadian sebagai warga negara dan bangsa Indonesia.



Komponen Dasar Kejuruan (Adaptif), untuk memberi bekal penunjang bagi penguasaankeahlian profesi dan bekal kemampuan pengembangan diri untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.



Komponen Kejuruan (Produktif), berisi materi yang berkaitan dengan pembentukan kemampuan keahlian tertentu sesuai program studi masing-masing untuk bekal memasuki dunia kerja.

Waktu Berdasarkan standar kemampuan yang harus dikuasai dan materi yang harus dipelajari, ditetapkan berapa |ama pendidikan dan pelatihan itu akan dilaksanakan, kemudian disepakati berapa |ama dilaksanakan di sekolah dan berapa lama di institusi pasangannya. Pola Pelaksanaan Selanjutnya perlu disepakati pola atau model pengaturan penyelenggaraan program, khususnya yang menyangkut tentang kapan dilaksanakan di lembaga pendidikan (di SMK) dan kapan di institusi pasangannya. Secara garis besar model atau pola penyelenggaraan itu dapat berbentuk hour-release, day-release dan block release atau kombinasi dari ketiganya.

3) Sistem Penilaian dan Sertifikasi Pengukuran dan penilaian keberhasilan peserta didik dalam mencapai kemampuan sesuai dengan standar profesi (standar keahlian tamatan) yang telah ditetapkan, harus dilakukan melalui proses dan sistem penilaian dan sertifikasi yang disepakati bersama. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu sistem yang mengatur tentang materi ujian, pelaksanaan ujian, penentuan hasil dan sertifikasinya. Agar dapat berfungsi secara optimal, sistem tersebut hendaknya dijalankan oleh suatu tim penilaian dan sertifikasi yang melibatkan unsur sekolah, unsur institusi pasangan, asosiasi profesi, organisasi pekerja dan unsur-unsur lain yang terkait dengan ketenagakerjaan. 4) Kelembagaan Keriasama Pelaksanaan PSG memerlukan dukungan dan jaminan keterlaksanaan melalui lembaga kerjasama. Lembaga kerjasama ini melibatkan pihak pemerintah (dalam hal

ini Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) dan seluruh pihak yang berkepentingan dengan pendidikan dan pelatihan kejuruan (stakeholders), antara lain pihak KADIN, Organisasi Pekerja, Asosiasi Profesi dan Tokoh Masyarakat. Kelembagaan yang diperlukan untuk mendukung dan menjamin keterlaksanaan PSG adalah : MAJELIS PENDIDIKAN KEJURUAN. Pada tingkat nasional, disebut Majelis Pendidikan Kejuruan Tingkat Nasional (MPKN), pada tingkat propinsi disebut Majelis Pendidikan Kejuruan tingkat Propinsi (MPKP) dan pada tingkat sekolah disebut Majelis Sekolah (MS), dengan peran dan tugas masing-masing sebagai berikut: 4.1) Peran dan Tugas MPKN Secara umum, peran dan tugas MPKN adalah sebagai berikut 

Merumuskan kebijaksanaan pengembangan pendidikan dan pelatihan kejuruan. Keanggotaan MPKN umumnya terdiri dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan berbeda-beda. Keragaman kepentingan ini tentunya dapat menciptakan pemikiranpemikiran baru yang dapat diakomodasi dalam pendidikan dan pelatihan kejuruan. Karena pendidikan kejuruan menerapkan prinsip ”demand driven" dimana dunia usaha dan industri memiliki peran yang strategis, maka MPKN sebagai mitra Depdikbud Pusat memiliki suara yang menentukan dalam perumusan kebijakan pendidikan kejuruan.



Prinsip ”demand driven” memiliki arti bahwa dunia usaha dan industri adalah kelompok yang paling tahu tentang persyaratan tenaga kerja yang dibutuhkan di tempat kerjanya. Karena itu, merekalah yang berhak menentukan standar, baik standar jabatan, standar kompetensi, standar sistem pendidikan dan pelatihan maupun standar pengujian dan sertifikasinya melalui badan pembantu tetap (standing committee) yaitu Kelompok Bidang Keahlian (KBK).



Mengembangkan Standarisasi Profesi, Sistem Pendidikan dan Pelatihan, Sistem Pengujian dan Sertifikasi dan Pemasaran Tamatan.



Merumuskan kebijakan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kejuruan. Pembaruan pendidikan kejuruan menghendaki bahwa proses belajar tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di industri. Keduanya harus saling melengkapi (complement) dalam membentuk kemampuan siswanya. Karena dunia usaha dan industri telah merupakan bagian integral sistem pendidikan dan pelatihan kejuruan, maka mereka bersama-sama unsur Depdikbud Pusat merumuskan sistem penyelenggaraan.



Meningkatkan pendayagunaan segala sumberdaya yang tersedia di masyarakat. Pembaruan pendidikan dan pelatihan kejuruan menghendaki bahwa SMK perlu memanfaatkan sumberdaya pendidikan yang tersedia di masyarakat seoptimal mungkin. Untuk dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut, tentu diperlukan

”prime-mover" yang mampu memobilisasi sumber daya yang ada. Dalam hal ini, MPKN memiliki kapasitas untuk mengerjakan hal tersebut. 

Memotivasi pihak-pihak pada tingkat pusat (nasional) dan internasionai untuk berperan serta secara aktif dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kejuruan.



Mendorong peran serta dunia usaha dan industri dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan kejuruan agar lebih efektif karena dilakukan oleh pihakpihak yang merasakan secara langsung untung ruginya melakukan kerjasama antara SMK dimaksud. MPKN adalah pihak yang merasakan hal tersebut. Karena itu, memotivasi dunia usaha dan industri akan lebih efektif jika dilakukan oleh MPKN.

4.2) Peran dan Tugas KBK Dalam menjalankan peran dan tugas MPKN seperti tersebut di atas, MPKN dibantu oleh badan pekerja tetap (standing committee), yang anggota-anggotanya adalah orangorang yang memiliki keahlian profesional dalam bidang profesinya masing-masing. Badan ini disebut “Kelompok Bidang Keahlian" (KBK), dengan peran dan tugas sebagai berikut : 

Menganalisis dan merumuskan standarjabatan profesi kejliruan dalam bidang keahliannya masing-masing. serta menyusun standar kemampuan (kompetensi) dari setiap jenjang jabatan profesi tersebut. Standar jabatan dan kompetensi yang akan disusun ini tentunya didasarkan atas realita kebutuhan di lapangan kerja dan standar inilah yang akan menjadi acuan dalam penyusunan kurikulum pendidikan di sekolah dan pelatihan di industri.



Menyusun rambu-rambu materi pendidikan dan pelatihan yang akan dituangkan dalam kurikulum. Karena penyusunan kurikulum memerlukan keahlian tertentu, sebaiknya pekerjaan penyusunan kurikulum itu sendiri diserahkan kepada para pakar kurikulum dan hasilnya diserahkan kembali kepada KBK-MPKN untuk diperiksa kebenarannya. Sesuai dengan UU No. 2 tahun 1989, tentang Sistem Pendidikan Nasional, pengesahan kurikulum adalah tugas dan tanggung jawab Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah naskah kurikulum diperiksa dan dianggap memadai, maka KBK mengajukan ke Menteri Pendidikan dan Kebudayaan melalui Ketua Umum MPKN, untuk mendapatkan pengesahan.



Menyusun pola penyelenggaraan pendidikan dengan memadukan kegiatan belajar di sekolah dan kegiatan bekerja di industri dalam satu kesatuan program PSG. Kelompok Bidang Keahlian juga diharapkan ikut menggerakkan dunia usaha dan

industri yang berada dalam asosiasinya untuk ikut serta dalam penyelenggaraan PSG pada SMK. . 

Menyusun sistem evaluasi dan sertifikasi. Guna mendapatkan tamatan yang memiliki standar kemampuan seperti yang dipersyaratkan pada standar jabatan dan standar kompetensi, maka KBK perlu menyusun sistem evaluasi dan mengatur pemberian sertifikat. Sertifikat yang diperoleh seseorang hendaknya menjadi jaminan terhadap kemampuan atau kompetensi yang dimiliki oleh pemiliknya, yang akan mempermudah yang bersangkutan memasarkan keahliannya, serta mempermudah pengguna tenaga kerja mendapatkan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan industrinya.



Menyusun sistem akreditasi. Untuk mampu menghasilkan tamatan yang memiliki kemampuan standar seperti yang dikemukakan di atas, maka lembaga pendidikan dan pelatihan serta institusi pasangan penyelenggara PSG harus juga memiliki persyaratan tertentu. Perumusan persyaratan ini dan ketentuan pelaksanaan akreditasi hendaknya juga menjadi tugas Kelompok Bidang Keahlian.



Melakukan tugas-tugas pengembangan pendidikan dan pelatihan kejuruan sesuai dengan KBK masing-masing. Berbagai hal Iainnya yang mempengaruhi keberhasilan program pendidikan dan pelatihan kejuruan, hendaknya juga menjadi perhatian Kelompok Bidang Keahlian ini. Perkembangan iptek yang begitu cepat juga mempengaruhi jabatan kerja dan kompetensi yang diperlukan. Dan untuk menciptakan keunggulan kompetitif menghadapi persaingan global, penguasaan iptek dan keterampilan harus selalu dipikirkan oleh masing-masing KBK.

4.3) Tugas MPKP Majelis Pendidikan Kejuruan Tingkat Propinsi mempunyai tugas sebagai berikut : 

Menjabarkan kebijaksanaan dan program MPKN untuk dilaksanakan pada tingkat Propinsi;



Menghimpun dan menggerakkan potensi dunia usaha dan industri untuk aktif dalam pelaksanaan PSG;



Merumuskan dan mengajukan rekomendasi pengembangan pendidikan dan pelatihan kejuruan untuk dilaksanakan di Propinsi yang bersangkutan;



Melaksanakan Lomba Keterampilan Kejuruan (LKK) tingkat Propinsi;



Mempromosikan PSG di Propinsi yang bersangkutan.



Mengkoordinasikan Kegiatan MS.

4.4) Tugas MS Majelis Sekolah pada dasarnya berperan sebagai mitra (partner) SMK dalam peiaksanaan program PSG. Sebagai mitra, Majelis Sekolah mempunyai tugas sebagai berikut : 

Mengkoordinasikan kegiatan penyesuaian materi pendidikan di sekolah darn di institusi pasangannya (industri/ perusahaan);



Menjadi mitra SMK dalam mendekati dan mengajak dunia usaha/industri agar mau menjadi institusi pasangan untuk melaksanakan PSG;



Menjadi mitra SMK dalam merumuskan dan penandatanganan naskah kerjasama antara SMK dan institusi pasangannya (dunia usaha/industri) untuk pelaksanaan PSG;



Memonitor pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda, baik di SMK maupun di institusi pasangannya (dunia usaha/industri)



Memotivasi SMK dan institusi pasangannya (dunia usaha/industri) dalam pelaksanaan PSG;



Membentuk tim sistem pengujian dan sertifikasi serta menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya pelaksanaan sistem pengujian dan sertifikasi yang mengacu kepada kebutuhan lapangan kerja;



Memasarkan tamatan SMK.

5) Nilai Tambah dan lnsentif Kerjasama antara SMK dan dunia usaha/industri, khususnya dalam pelaksanaan PSG, dikembangkah dengan prinsip saling membantu, saling mengisi, dan saling melengkapi untuk keuntungan bersama. Berdasarkan prinsip ini, pelaksanaan PSG akan memberi nilai tambah bagi pihak-pihak yang bekerjasama. 5.1) Nilai tambah bagi institusi pasangan (Industri/Perusahaan). Penyelenggaraan PSG dapat memberi keuntungan nyata bagi industri/perusahaan yang menjadi institusi pasangan, antara Iain sebagai berikut : 

lnstitusi pasangan dapat mengenal persis kualitas peserta didik yang .belajar dan bekerja di perusahaannya. Kalau perusahaan menilainya bisa menjadi aset, dapat direkrut menjadi tenaga kerja di perusahaan tersebut. Kalau tidak, perusahaan dapat melepasnya, karena tidak ada keharusan bagi institusi pasangan untuk mempekerjakan peserta didik di perusahaan/industri yang bersangkutan setelah mereka tamat.



Pada umumnya peserta didik telah ikut aktif dalam proses produksi, sehingga pada batas-batas tertentu selama masa pendidikan, peserta didik adalah tenaga kerja yang dapat memberi keuntungan.



Selama proses pendidikan melalui bekerja langsung di institusi pasangan peserta didik mudah dibina dalam kedisiplinan, misalnya kepatuhan terhadap aturan perusahaan. Karena itu sikap dan perilaku kerja peserta didik dapat dibentuk sesuai dengan ciri khas dan tuntutan institusi pasangan.



lnstitusi pasangan dapat memberi tugas kepada peserta didik untuk mencari ilmu pengetahuan dan teknologi (dari sekolah), demi kepentingan khusus perusahaan.



Memberi kepuasan tersendiri bagi dunia usaha dan industri yang menjadi institusi pasangan, karena memperoleh pengakuan ikut serta menentukan masa depan bangsa melalui PSG.

5.2) Nilai Tambah Bagi Sekolah Banyak keuntungan yang penyelenggaraan PSG, antara Iain :

dapat

diperoleh

sekolah

dengan

adanya



Tujuan utama pendidikan kejuruan adalah memberikan (siswa) dalam memasuki dunia kerja lebih terjamin ketercapaiannya.



Terdapat kesesuaian dan kesepadanan yang lebih pas, antara program pendidikan dan kebutuhan lapangan kerja (sesuai dengan kebijakan link and match).



Permasalahan biaya, sarana, dan prasarana pendidikan yang selama ini sering menjadi keluhan dalam upaya peningkatan mutu, dapat diatasi bersama oleh sekolah dan peran serta masyarakat khususnya institusi pasangan.



Memberi kepuasan bagi penyelenggara pendidikan kejuruan (SMK dan para pelaku Iainnya), karena tamatannya Iebih terjamin memperoleh bekal keahlian yang bermakna, baik untuk kepentingan tamatan yang bersangkutan, untuk kepentingan dunia kerja maupun untuk kepentingan pembangunan bangsa pada umumnya.

5.3) Nilai Tambah Bagi Peserta Didik Bagi siswa PSG akan memperoleh banyak keuntungan, antara lain: 

Hasil peserta didik akan lebih bermakna, karena setelah tamat akan betul-betul memiliki bekal keahlian profesional untuk terjun ke lapangan kerja sehingga dapat meningkatkan taraf kehidupannya, dan untuk bekal pengembangan dirinya secara berkelanjutan.



Rentang waktu (lead-time) untuk mencapai keahlian profesional menjadi Iebih singkat, karena setelah tamat PSG tidak memerlukan waktu latihan lanjutan untuk mencapai tingkat keahlian siap pakai.



Keahlian profesional yang diperoleh melalui PSG dapat mengangkat harga dan rasa percaya diri tamatan, yang pada gilirannya akan dapat mendorong mereka untuk meningkatkan keahliannya pada tingkat yang lebih tinggi.

6) Jaminan Keterlaksanaan Karena pelaksanaan PSG melibatkan banyak pihak, maka diperlukan pengaturan tentang tatacara kerjasama, yang menyangkut fungsi, struktur, mekanisme kerja, serta hak dan kewajiban semua pihak yang terlibat dalam pelaksanaan PSG. Sementara belum ada aturan perundang-u'ndangan yang berlaku secara nasional, maka diperlukan naskah kerjasama antara pihak SMK dengan dunia usaha/industri, yang isinya setidak-tidaknya memuat: 

Tujuan kerjasama melaksanakan PSG;



Program PSG, meliputi kegiatan pendidikan dan pelatihan yang akan dilaksanakan di sekolah dan di institusi, serta model penyelenggaraannya;



Jumlah peserta PSG;



Tanggung jawab masing-masing pihak;



Pelayanan/kemudahan bagi peserta;



Administrasi bagi penyelenggara dan hai-hal lain yang dianggap perlu

2. Strategi Pengembangan Pendidikan Sistem Ganda (PSG), dengan konsep seperti diuraikan di atas, adalah sesuatu yang baru, bahkan dapat disebut sebagai "inovasi pendidikan kejuruan” yang mengandung muatan perbaikan dan penyempurnaan terhadap sistem lama yang bersifat konvensional. Sebagai program inovasi, keterlaksanaan dan keberhasilan pelaksanaan program ini sangat ditentukan oleh kadar : "pemahaman, kepedulian dan komitmen” para pelaku di lapangan, yaitu manajemen SMK, guru, dan pihak dunia usaha dan industri. Guna mendapatkan keberhasilan di atas, maka strategi pengembangan yang ditempuh adalah sebagai berikut : a. Pentahapan dan Pembabakan

Proses pembentukan pemahaman, kepedulian, dan komitmen, memerlukan proses penerimaan tata-nilai baru, perubahan pola pikir, sikap dan perilaku. Proses ini memerlukan waktu, dengan pengaturan sebagai berikut: 1) Proses pemahaman sampai kepada keberterimaan program PSG, diharapkan dapat berlangsung selama lima tahun (kurun waktu Pelita VI). 2) Proses pembentukan kepedulian dan komitmen, akan bisa dibentuk apabila pihak-pihak yang berkepentingan telah mulai melihat dan merasakan secara nyata hasil positif PSG itu sendiri. Hasil ini diharapkan baru bisa dirasakan setelah sepuluh tahun (pada kurun waktu Repelita VII). 3) Pelaksanaan dilakukan secara bertahap, dimulai dengan SMK terpilih yang telah siap dengan institusi pasangannya. 4) Keterlaksanaan program PSG yang mantap dan terstandar, diharapkan terjadi pada awal Repelita VIII. 5) Sekalipun kemantapan program PSG baru terjadi pada awal Repelita VIII, proses pengenalan dan pelaksanaan PSG diharapkan telah dapat memberikan hasil nyata berupa peningkatan mutu tamatan SMK. sejak Pelita VL 6) Pembabakan ini diharapkan sejalan dengan langkah penyiapan sumberdaya manusia menghadapi komitmen AFTA tahun 2003, dan komitmen APEC pada tahun 2010 dan 2020. b. Pelaksanaan dan Pengembangan PSG pada SMK dibagi dalam 3 Jalur. 1) Jalur l (Optimalisasi Peningkatan Mutu) Program ini pada dasarnya merupakan upaya pemasyarakatan PSG pada semua SMK dengan mengoptimalkan kondisi dan sumberdaya yang tersedia. Melalui jalur ini diharapkan terjadi peningkatan mutu penyelenggaraan pendidikan pada SMK dari model konvensiona yang lebih school based program secara bertahap menuju ke model penyelenggaraan PSG yang lebih banyak melibatkan pihak lapangan kerja (dunia usaha/industri) sehingga lebih bersifat school and industrial based program, dimana rencana dan pelaksanaan program pendidikan merupakan hasil rancangan dan kesepakatan bersama antara SMK yang bersangkutan dan industri/dunia usaha yang menjadi pasangannya. Perubahan mutu penyelenggaraan tersebut diharapkan secara langsung dapat berpengaruh terhadap peningkatan mutu tamatan. Dengan diberlakukannya PSG secara menyeluruh dan bertahap ini pada gilirannya diharapkan terbentuk citra umum bahwa PSG merupakan model penyelenggaraan pendidikan yang paling ideal bagi pencapaian misi dan tujuan

pendidikan dan pelatihan kejuruan, sehingga akan menjadi ciri khas (trade mark) bagi SMK. Menyadari adanya perbedaan kondisi dan ketersediaan sumberdaya pendidikan di berbagai tempat, maka pelaksanaan PSG pada jalur ini belum sepenuhnya dituntut mencapai kompetensi terstandar. 2) Jalur ll (Pengembangan Sistem Terstandar) Program ini dimaksudkan untuk mengembangkan model PSG terstandar (Standardized System Development), dilakukan melalui uji coba pada beberapa SMK secara terbatas. Melalui program uji coba Sistem terstandar ini, diharapkan dapat diformulasikan model-model penyelenggaraan PSG yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan Indonesia. Pada program jalur ll (Track II) ini dilakukan upaya-upaya yang optimal, agar program yang telah dirancang secara teustandar didukung oleh SDM, manajemen, sarana dan prasarana yang juga terstandar. 3) Jalur III (Pengembangan Pusat Pengembangan Keahlian Kejuruan). Program ini dimaksudkan untuk memperluas pelaksanaan PSG melalui pendirian dan pengembangan Pusat-pusat pengembangan keahlian (Skill Development Centres). Pendirian pusat-pusat pengembangan keahlian tersebut akan dapat meningkatkan daya suai dan daya dukung SMK dalam mengakomodasi dan memenuhi tuntutan kebutuhan lapangan kerja, khususnya yang bersifat mendesak (immediately) dan atau keahlian yang sangat khusus (specific), sehingga tidak mungkin dilayani dengan program reguler yang tersedia. MeIalui jalur III (track Ill) ini industri dan perusahaan didorong membangun training centre, sehingga dapat ikut aktif melaksanakan PSG sejak awal (tahun pertama) program SMK. Jalur ini dapat dilakukan oleh pihak pemerintah (Depdikbud) dengan memanfaatkan segala sumberdaya yang tersedia (seperti Balai Latihan Pendidikan Teknik BLPT), dapat pula dilakukan oleh pihak dunia usaha/industri (misalnya beberapa perusahaan yang belum memiliki training centre bergabung mendirikannya), atau perpaduan antara pihak pemerintah dan dunia usaha/industri. c. Pengembangan SMK Sebagai Pusat Pengembangan Budaya Profesional. Ada perbedaan sistem nilai (value system) yang sangat menonjol antara yang tumbuh dan berkembang di SMK dengan yang tumbuh dan berkembang di dunia usaha/ lapangan kerja, dan perbedaan tersebut sangat berpengaruh terhadap perilaku kerja manusia yang ada di dalamnya. Banyak kalangan menyimpulkan bahwa perilaku kerja

yang ada di dunia usaha/industri merupakan perilaku profesional sedangkan perilaku kerja di SMK kurang/belum menggambarkan perilaku profesional. Atas dasar keyakinan itulah, secara berkelanjutan dan sungguhsungguh, antara lain melalui program Pengembangan Sekolah Seutuhnya (PSS), setiap SMK dipacu untuk mengembangkan iklim kerja yang profesional pada semua bidang garapannya. Diharapkan iklim kerja tersebut dengan sendirinya akan mempengaruhi sikap dan periEaku siswa sebagai calon tenaga kerja. Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dalam upaya memacu sekolah melakukan PSG, antara lain : 1) Inisiatif Sekolah Kemungkinah terlaksananya PSG di SMK sangat bergantung kepada kesediaan dunia usaha dan industri menjadi pasangan SMK untuk bekerjasama melaksanakan program tersebut, karena untuk ikut berperan dalam penyelenggaraan PSG belum menjadi kewajiban yang diatur oleh undang-undang. Jadi ada atau tidak adanya kesediaan dunia usaha/Industri untuk menjadi institusi pasangan sangat ditentukan oleh kemampuan manajemen sekolah dalam mendekati dan meyakinkan, atau menjual programnya ke dunia usaha dan industri. Karena itu inisiatif sekolah sangat diperlukan dan diutamakan. Kegiatan kerjasama dengan industri/dunia usaha yang telah lama dikembangkan di SMK, dapat menjadi modal dasar untuk lebih difokuskan kepada kerjasama pelaksanaan PSG. 2) Keluwesan (Fleksibilitas) Pola Pelaksanaan Keadaan dunia usaha/industri di Indonesia yang relatif baru berkembang, diperkirakan akan mempengaruhi tingkat kesediaan dan kesiapannya untuk berpasangan dengan SMK dalam melaksanakan PSG, sehingga sifatnya akan sangat bervariasi. Tingkat kesediaan dan kesiapan yang bervariasi ini dapat diakomodasikan dengan model penyelenggaraan, antara lain : 2.1) Dapat berbentuk day release, dapat berbentuk block release, dapat berbentuk hour release, atau gabungan dari ketiganya. 2.2) Subkomponen praktik keahlian produktif yang dilaksanakan melalui kegiatan bekerja Iangsung di industri/perusahaan dapat dimulai pada tahun pertama, tahun kedua, atau tahun ketiga, bahkan bisa saja pada tahun keempat. 2.3) Standar keahlian profesional yang akan dicapai melalui model penye|enggaraan yang bervariasi, mengacu kepada pencapaian standar minimal profil kemampuan tamatan pada buku || kurikulum SMK (1994).

Selain itu, dalam memenuhi langkah awal pelaksanaan PSG, tidak dituntut kewajiban yang dapat memberatkan industri/ perusahaan yang menjadi institusi pasangan. Bahkan kalau perlu, pemerintah (dalam hal ini Depdikbud) dapat memberi subsidi untuk sebagian keperluan pelaksanaan program yang dilaksanakan di industri/perusahaan. 3) Pelaksanaan Bertahap Pemberlakuan PSG dilakukan secara bertahap pada SMK-SMK terpilih, hal ini dimaksudkan agar intensitas dan efektifitas pembinaan lebih terjamin dan sekaligus memungkinkan terjadinya proses pemantapan konsep PSG itu sendiri, terutama melalui masukan (in-put) dari berbagai pihak dan balikan (feed-back) dari lapangan. Dengan kata lain, pelaksanaan tahap awal ini akan merupakan langkah uji coba (try-out) yang akan selalu diikuti dengan langkah pemantauan dan analisis berkelanjutan, dan pada gilirannya diharapkan dapat terformulasikan konsep dan pelaksanaan PSG yang benar-benar mantap dan cocok untuk kondisi Indonesia. Diseminasi pelaksanaan PSG pada SMK Iain (Negeri dan Swasta), akan ditentukan oleh kesiapan SMK yang bersangkutan, terutama kesiapan dalam menjalin hubungan kerjasama dengan industri/ perusahaan untuk menjadi institusi pasangan. 4) Pembinaan Manajemen Sekolah Keberhasilan SMK melaksanakan PSG secara dominan ditentukan kehandaian (reliability) manajemen sékolah yang bersangkutan. Sedangkan kehandalan manajemen sekolah sangat dipengaruhi kapasitas Kepala Sekolahnya, karena itu masalah kekepalasekolahan akan menjadi perhatian khusus datam pelaksanaan Pendidikan Sistem Ganda. Bagi mereka yang berhasil dalam pelaksanaan akan diberi pengakuan dan penghargaan, dan sebaliknya bagi yang tidak berhasil akan diberi periakuan yang sepadan. d. Pengembangan dan Peningkatan Peran dan Fungsi Majelis Pendidikan Kejuruan (MPK) Masa depan program pendidikan dan pelatihan kejuruan melalui pelaksanaan PSG pada SMK, akan menjadi tugas dan tanggung jawab bersama antara pemerintah (dalam hal ini Depdikbud) dan masyarakat (dalam hal ini para pengusaha, pekerja dan asosiasi profesi). Masaiah utama dalam mewujudkan pelaksanaan PSG antara lain bagaimana melibatkan pihak dunia usaha/industry/lapangan kerja, untuk ikut bertanggung jawab secara sungguh-sungguh dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan. Pengalaman selama ini mengajarkan, bahwa pendekatan dan cara apapun yang dilakukan Depdikbud untuk melibatkan mereka, jika sifatnya masih sepihak ternyata kurang/belum memberikan hasil yang memuaskan.

BAB IX HASIL – HASIL YANG DICAPAI PADA PELITA VI

Banyak hasil menonjoL yang telah dicapai sebagai impiernentasi kebijakan link and match pada pendidikan menengah kejuruan terutama sejak pelaksanaan program PSG yang dimulai pada awaf Pelita VI (tahun 1994/995). Selain tunabuhnya apresiasi masyarakat terhadap SMK rnelalui mutu tamatan yang semakin membaik, hasilnya terasa semakin signifikan karena merupakan landasan yang kuat bagi percepatan laju pembangunan

pendidikan kejuruan pada masa

mendatang. Beberapa hasil yang dapat dikemukakan, antara lain: 1. Pembaruan Wawasan Keberhasilan utama pembangunan pendidikan menengah kejuruan pada Pelita VI, adalah pembaruan wawasan para pelaku dan pengelola pendidikan kejuruan itu sendiri, berupa perubahan dari wawasan lama yang cenderung sempit dan tertutup menjadi berwawasarn baru yang luas dan terbuka. Beberapa ciri perubahan pembaruan wawasan tersebut antara lain: a. Pola pikir lama yang melihat Pendidikan menengan kejuruan dari sudut pendidikan semata b. Sikap lama para pelaku dan pengelola Pendidikan menengah kejuruan yang merasa paling tahu c. Perilaku yang membiarkan banyak kebiasaan salah di sekolah dan bahkan diterima sebagai suatu kewajaran d. Pemahaman terhadap phenomena globalisasi telah tumbuh secara positif 2. Pembentukan Lembaga Pendukung PSG a. Majelis Pendidikan Kejuruan Tingkat Nasional (MPKN) telah dibentuk pada tanggal 17 Oktober 1994 No.0267a/U/1994 dan No. 84/KU/X/1994 b. Kelompok Bidang Keahlian (KBK) c. Majelis Pendidikan Kejuruan Tingkat Propinsi (MPKP) d. Majelis Sekolah 3. Penyusunan Perangkat Pendukung (Software) PSG

4. Peningkatan perasn serta industri dan peningkatan kesempatan kerja industri bagi siswa SMK 5. Peningkatan mutu dan pengakuan terhadap tamatan SMK 6. Peningkatan minat memasuki SMK 7. Penyempuraan Kurikulum 8. Penataan dan pengembangan manajemen SMK 9. Pelaksanaan unit produksi pada SMK 10. Pemasyarakatan program PSG 11. Gebyar SMK 12. Pelaksanaan lomba ketrampilan siswa (LKS) 13. Buku Putih “Skill Towards 2020” (Ketrampilan Menjelang 2020) 14. Kepmen Dikbud tentang Pelaksanaan PSG 15. Sistem Evaluasi SMK 16. Penyempurnaan organisasi Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan

BAB X PROGRAM PEMBANGUNAN PENDIDIKAN KEJURUAN PADA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG KE DUA

Program Pelita VI adalah bagian integral Program Pembangunan Jangka Panjang Kedua. Dan sesuai dengan wawasan masa depan yang dianut oleh kebijakan link and match, berbagai hasil yang telah dicapai dalam kurun waktu Pelita VI, adalah landasan yang disiapkan sesuai dengan pembabakan (milestoning) program pembangunan jangka panjang tahap kedua, terutama menghadapi tahun 2003 (masa berlakunya Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN – AFTA), tahun 2010 (masa perlakuan khusus bagi negara berkembang, kerjasama ekonomi Asia Pasifik, APEC) dan tahun 2020 (masa berlakunya secara penuh Kerjasama Ekonomi Asia PAsifik, APEC) Hasil – hasil yang telah dicapai dalam kurun waktu 4 tahun Pelita VI, khususnya sejak operasionalisasi kebijakan link and match yang dimulai pada awal Pelita VI (tahun 1994/1995), telah menjadi landasan kuat bagi percepatan pembangunan Pendidikan kejuruan pada masa mendatang. Berbagai kendala yang masih dihadapi, adalah permasalahan yang sudah mampu diidentifikasi dan dianalisis, dan optimis dapat diatasi. Beberapa butir program yang akan ditindak lanjuti dan dikembangkan pada kurun waktu PJP II adalah : 1. Pemberdayaan Majelis Pendidikan Kejuruan 2. Pengembangan Kurikulum 3. Penyusunan Paket Pengajaran Berbasis Kompetensi (PPBK) 4. Pengembangan Sistem Pengujian 5. Peningkatan Pendidikan Sistem Ganda 6. Pengembangan Unit Produksi 7. Peningkatan Mutu Guru 8. Peningkatan Manajemen Pendidikan Kejuruan 9. Peningkatan Lomba Ketrampilan Siswa SMK 10. Sosialisasi dan Promosi SMK

11. Memberikan pelayanan khusus bagi SMK yang potensial dan menjanjikan 12. Pengembangan PPPG Kejuruan 13. Pelaksanaan Program Pelatihan Berbasis Kompetensi 14. Pemberlakuan Multy Entry, Multy Exit 15. Pengakuan terhadap Kompetensi yang diperoleh dari Pengalaman Sebelumnya (Recognition of Prior Learning) 16. Pengembangan Program Diploma 17. Pembangunan SMK Baru 18. Peningkatan Mutu SMK Swasta

Technical and Vocational Education and Training (PUTU SUDIRO (2017) TVET ABAD 21. YOGYAKARTA. UNY PRESS)

A. Pendahuluan Beragamnya penggunaan nomenklatur Pendidikan Vokasional di berbagai negara menjadi agenda pembahasan forum The Second International Congress on Technical and Vocational Education yang diselenggarakan di Seoul Korea pada tanggal 26-29 April 1999. Kongres kedua Technical and Vocational Education mengusung tema “Technical and Vocational Education and Training: A Vision for the Twenty-first Century”. Para delegasi kongres dari anggota UNESCO dan ILO serta mitra kerja pada kongres kedua tersebut sepakat menggunakan terminologi “Technical and Vocational Education and Training (TVET)”. Menurut UNESCO-UNEVOC dan ILO, TVET meliputi pendidikan dan pelatihan formal, nonformal, dan informal untuk dunia kerja. Kongres kedua 26-29 April 1999 merupakan momentum penting penetapan TVET. Buku ini memaparkan dasar filosofi, teori, konsep, dan strategi pembelajaran TVET Abad XXI. Pembelajaran pada TVET Abad XXI dirancang untuk mengembangkan seluruh potensi peserta didik agar memiliki wawasan kerja, keterampilan teknis bekerja, employability skills, dan melakukan transformasi diri terhadap perubahan tuntutan dunia kerja. Pembelajaran mendidik pada TVET memerlukan landasan filosofi, teori, asumsi, kebijakan, manajemen, dan pemahaman konteks yang utuh, baik dan benar. Tanpa landasan filosofi, teori, asumsi, kebijakan, manajemen, dan pemahaman konteks yang utuh, baik dan benar maka konsep dan praksis pembelajaran TVET akan kehilangan esensi/ruh, sasaran, tujuan, manfaat, dan dampak yang diharapkan. Penerapan filosofi, teori, asumsi, kebijakan, manajemen TVET yang tepat dalam merespon konteks yang berkembang akan memberi landasan, arah, dan tujuan yang jelas bagaimana seharusnya praksis pembelajaran TVET di kelas, bengkel, laboratorium, studio, teaching factory, business centre, edotel, technopark, rumah sakit, klinik, ladang pertanian, pusat peternakan, perikanan, industri, dunia usaha, lapangan olah raga dilaksanakan sesuai tuntutan dan kebutuhan dunia kerja di masa depan yang selalu berubah. Tanpa wawasan dan keyakinan yang baik dan benar atas program-program TVET, maka pendidik, pelatih, tutor, dan instruktur sulit menentukan muatan atau isi kurikulum, jenis sarana prasarana belajar yang dibutuhkan, pengalaman belajar bermakna yang dibutuhkan, serta strategi pembelajaran mendidik yang tepat dan sesuai kebutuhan peserta didik pada Abad XXI. Pemilihan strategi pembelajaran mendidik dalam TVET tidak bisa lepas dari perkembangan konteks pendidikan dunia kerja baik dalam skala lokal, nasional, regional maupun internasional. Konteks pendidikan dunia kerja adalah segala hal yang ada di luar sistem TVET yang berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan dan program-program sistem TVET. B. Okupasi, Vokasi, Vokasional, Vokasionalisasi Kata Vokasi dalam bahasa Inggris vocation berasal dari bahasa latin “Vocare” yang artinya dipanggil, surat panggilan, perintah (summon) atau undangan. Menurut Billet (2011:59)

“vocations are products of individuals’ experiences and interests, that are, in some ways, person dependent constrain the human capacities required to undertake those activities”. Vokasi itu adalah produk pengalaman sebagai keahlian khusus seseorang yang menarik dan berkaitan dengan pekerjaan yang menyebabkan orang lain bergantung atau membutuhkannya sehingga dipanggil atau diundang untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan atau job. Vokasi berarti surat panggilan atau undangan atau perintah melakukan atau melaksanakan pekerjaan (the work that a person does or should be doing). Vokasi berhubungan dengan kapasitas yang dibutuhkan dalam menjalankan suatu aktivitas pekerjaan atau jabatan. Panggilan atau perintah atau undangan dalam kaitan dengan kata vokasi berhubungan dengan pekerjaan atau okupasi. Tidak semua panggilan atau perintah atau undangan adalah vokasi. Vokasi secara bahasa adalah perintah atau panggilan atau undangan untuk melakukan atau menjalankan pekerjaan atau jabatan tertentu sehingga vokasi dapat juga diartikan tugas pekerjaan. Kata vokasi dan okupasi berkaitan erat, vokasi berkaitan dengan perintah dan okupasi berkaitan dengan substansi dari perintah atau panggilan itu yakni melakukan pekerjaan. Pendidikan dan pelatihan yang menyiapkan kevokasian seseorang disebut pendidikan vokasional. Pendidikan vokasional bertujuan membekali dirinya dengan berbagai kompetensi dalam rangka memperoleh panggilan atau penugasan kerja/okupasi. Vokasi adalah panggilan penugasan melakukan pekerjaan/okupasi. Okupasi adalah pekerjaan dimana pekerjaan itu dapat digolongkan sebagai kerja dibayar dan kerja layanan kepada masyarakat tanpa bayar. Vokasional (vocational) adalah kata sifat (adjective). Vokasional berkaitan atau berhubungan dengan sifat-sifat okupasi atau pekerjaan atau jabatan (relating to or concerned with a ocupation). Vokasional berkaitan dengan skill khusus, pendidikan, pelatihan atau training skill atau perdagangan untuk pengembangan karir (undergoing training in a skill or trade to be pursued as a career) (Wikipedia). Pendidikan Vokasional berkaitan dengan pengembangan keilmuan yang mempelajari sifat-sifat pekerjaan, aspek pekerjaan, jalur dan jenjang karir kerja melalui pengembangan kompetensi atau skill kerja yang dibutuhkan di dunia kerja. Proses pengembangan ke-vokasi-an seseorang membutuhkan pendidikan dan pelatihan yang disebut dengan Pendidikan Vokasional yang kemudian terakhir berkembang menjadi TVET. Vokasionalisasi adalah proses pengenalan berbagai aspek dunia kerja melalui pendidikan di sekolah, keluarga, masyarakat, kunjungan industri, kunjungan ke lembaga pemerintah dan lembaga swasta, kunjungan ke lapangan kerja, pemberian bimbingan bekerja dan pemberian bekal pengajaran dan pelatihan hand-on skill kepada masyarakat yang membutuhkan pekerjaan. Vokasionalisasi dilakukan sejak dini sejak anak balita untuk melatih anak-anak melakukan eksplorasi bakat minatnya. Proses pengenalan dunia kerja meliputi pengenalan jenis-jenis okupasi, jabatan, profesi, job pada setiap okupasi, pengembangan kompetensi kerja, kompetensi sosial, soft skills, skill berbisnis, skill teknis, karir kerja, sistem kesejahteraan dan penggajian, perpajakan, sistem kerja, budaya kerja, keamanan kerja, regulasi dan hukum ketenagakerjaan, dan sebagainya. C. Pendidikan Vokasional, Vokasi, Teknikal dan Kejuruan

Penggunaan istilah Pendidikan Vokasional, Pendidikan Teknikal, Pendidikan Vokasi, dan Pendidikan Kejuruan dalam wacana penulisan naskah akademik dan naskah kebijakan publik dalam bentuk peraturan perundang-undangan masih simpang siur. Akademisi TVET harus mendudukkan konsep dan nomenklatur Pendidikan Vokasional, Pendidikan Teknikal, Pendidikan Vokasi, dan Pendidikan Kejuruan secara benar dan mendasar. Tidaklah tepat jika antara nama dan isi tidak saling berkesesuaian. Untuk itu sangat perlu mendefinisikan dan merekonstruksi keempat istilah tersebut di atas. Pendidikan Vokasional atau Vocational Education (VE) adalah pendidikan untuk dunia kerja (Education for Vocation atau Education for Occupations). Pendidikan Vokasional adalah pendidikan untuk mengembangkan ke-vokasi-an seseorang sehingga memiliki kapasitas atau kapabilitas ditugasi atau diberi perintah untuk melakukan pekerjaan atau jabatan tertentu. Billet (2011:2) menyatakan Pendidikan Vokasional sebagai “Education for Occupations”. Kemudian Pavlova (2009) menyatakan bahwa tujuan tradisional Pendidikan Vokasional sebagai berikut: “ Traditionally, direct preparation for work was the main goal of vocational education. It was perceived as providing specific training that was reproductive and based on teachers’ instruction, with the intention to develop understanding of a particular industry, comprising the specific skills or tricks of the trade. Students’ motivation was seen to be engendered by the economic benefits to them, in the future. Competency-based training was chosen by most governments in Western societies as a model for vocational education (VE) (Pavlova, 2009: 7). ” Tradisi Pendidikan Vokasional bertujuan menyiapkan lulusan untuk bekerja. Persiapan bekerja adalah tujuan utama Pendidikan Vokasional. Agar siap bekerja maka Pendidikan Vokasional memuat pelatihan khusus yang cenderung bersifat reproduktif sesuai perintah guru atau instruktur dengan fokus perhatian pada pengembangan kebutuhan industri, berisikan skill khusus atau trik-trik pasar. Tujuan dasar pendidikan bagi masyarakat umum adalah untuk mempertemukan kebutuhan-kebutuhan setiap individu dengan pemenuhan pribadinya dan menyiapkan diri untuk bisa menjalani kehidupan dengan sejahtera. Pernyataan ini menyiratkan bahwa semua peserta didik butuh memperoleh dan mengenyam Pendidikan Vokasional, berpikir bagaimana memecahkan masalah dengan caracara kreatif sesuai keadaan dirinya. Semua peserta didik harus mengenyam Pendidikan Vokasional. Mengapa demikian? Karena setiap orang dihadapkan pada masalah-masalah memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada literatur internasional tidak ditemukan istilah Pendidikan Vokasi dan sekolah vokasi seperti yang dipakai di Indonesia. Sekali lagi Pendidikan Vokasi dan sekolah vokasi tidak ada dalam nomenklatur internasional. Yang ada adalah Pendidikan Vokasional atau sekolah vokasional. Pendidikan Vokasional adalah pendidikan untuk mengembangkan kapasitas kevokasi-an seseorang agar dapat dipanggil, diterima atau ditugasi bekerja pada satu bidang pekerjaan atau jabatan tertentu. Dapat ditegaskan kembali bahwa istilah Pendidikan Vokasional lebih tepat digunakan daripada Pendidikan Vokasi. Pendidikan Vokasi adalah pendidikan yang berkaitan dengan pengembangan ilmu untuk memahami jenis-jenis perintah atau penugasan kerja atau jabatan. Istilah Pendidikan Vokasi sebagai ilmu tentang jenis-jenis perintah atau

penugasan kerja sangat sempit dan bahkan dapat masuk dan menjadi bagian kecil dari Pendidikan Vokasional. Pendidikan Vokasional jelas memiliki makna dan cakupan pengembangan keilmuan lebih luas daripada Pendidikan Vokasi. Jika yang dikaji dalam berilmu itu adalah sifat-sifat pekerjaan itu sendiri maka Pendidikan Vokasional yang tepat digunakan. Jika yang dikaji jenis-jenis perintah atau penugasan pekerjaan sebagai yang dibendakan maka Pendidikan Vokasi yang tepat digunakan. Mencermati kedua istilah tersebut maka Pendidikan Vokasional memiliki cakupan lebih luas, lebih dinamis karena sebuah pekerjaan selalu akan memiliki perkembangan pada sifatsifat, karakteristik, dan cara-cara melakukannya, sedangkan Pendidikan Vokasi lebih bersifat statis. Yang banyak dan mudah berkembang adalah sifat-sifat pekerjaannya bukan pada jenisnya. Pendidikan Vokasional mengajarkan perubahan dan perkembangan teknologi yang responsif terhadap perubahan. Pendidikan Vokasional secara leksikal sama dengan pendidikan kejuruan. Penggunaan istilah Pendidikan Vokasi di Indonesia perlu ditinjau kembali dan bila perlu diselaraskan dengan nomenklatur internasional diganti dengan Pendidikan Vokasional. Pendidikan Kejuruan memiliki makna yang sama dengan Pendidikan Vokasional. Kata kejuruan adalah terjemahan dari Bahasa Inggris kata “vocational”. Secara akademik kedua istilah ini tidak memberi makna yang berbeda. Pendidikan Kejuruan bukan bermakna pendidikan pada jenjang menengah seperti yang digunakan dalam perundangundangan sistem pendidikan Indonesia. Mestinya istilah Pendidikan Vokasional atau Pendidikan Kejuruan dapat digunakan baik pada jenjang pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi. Pemisahan penggunaan Pendidikan Kejuruan untuk SMK/MAK dan Pendidikan Vokasi untuk politeknik secara akademik menimbulkan kegamangan dan kesulitan dalam memahami dan membedakan karena keduaduanya adalah pendidikan untuk dunia kerja. Sebagai rekomendasi istilah yang digunakan adalah salah satu di antara pendidikan kejuruan atau pendidikan vokasional. Pendidikan Teknikal (Technical Education) adalah pendidikan yang mengajarkan penerapan prinsip-prinsip dan teori bekerja kepada peserta didik dalam menerapkan pengetahuannya pada situasi kerja yang baru dan terus berubah. Pendidikan Teknikal mencakup pelatihan atau training keterampilan atau teknik-teknik bekerja. Pendidikan Teknikal merupakan studi kepemilikan keahlian kerja (occupational experts possess), kemampuan menggunakan keahliannya dengan skill penuh pada situasi seperti apapun baik sudah familier atau masih baru. Pengetahuan tentang kerja dan sifat-sifat pekerjaan yang diperoleh melalui Pendidikan Vokasional disempurnakan dengan skill teknis bagaimana menerapkan pengetahuan kerja itu melalui Pendidikan Teknikal. Pendidikan Teknikal menyatu dengan Pendidikan Vokasional sehingga muncul Technical and Vocational Education (TVE). TVE adalah pendidikan formal di sekolah dan kampus. Oleh karena TVE hanya menyangkut pendidikan persekolahan tentang technical and vocational maka ILO mengusulkan adanya pelatihan disamping pendidikan. ILO bersama UNESCO dalam kongres internasional kedua di Korea pada tahun 1999 menetapkan konsep pendidikan dan pelatihan teknikal dan vokasional dengan nama Technical and Vocational Education and Training (TVET). Sejak itu terminologi TVET digunakan secara baku dalam semua kajian akademik dan literatur pendidikan Vokasional. TVET digunakan sebagai strategi pemenuhan

pendidikan untuk semua (Education for All=EFA) dan pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan (Education for Sustainable Development=ESD). Pendidikan dan Pelatihan Teknikal dan Vokasional (TVET) selayaknya digandengkan sebagai satu kesatuan yang utuh. Pengetahuan kerja yang baik tanpa skill teknis bagaimana menerapkannya di tempat kerja akan tumpul. Demikian juga skill kerja yang tinggi tanpa pengetahuan kerja yang baik tidak bisa berkembang. Di Jawa ada ucapan “Ngelmu tanpa laku kothong – Laku tanpa ngelmu cupet” artinya ilmu jika tidak dipraktikkan di masyarakat tidak ada gunanya. Ucapan ini cocok dengan istilah TVET. TVET berfungsi sebagai wahana pengembangan kapasitas dan daya saing bangsa. TVET sebagai strategi EFA menyangkut pendidikan dan pelatihan untuk semua kaum. TVET juga digunakan untuk rehabilitasi anak-anak bermasalah dan anak berkebutuhan khusus. Pemahaman makna TVET memberi landasan yang jelas bagaimana para pengembang dan pelaku TVET mengembangkan learning outcome, kurikulum, pembelajaran, pemenuhan sarana-prasarana pendidikan, mengembangkan standar kompetensi pendidik dan tenaga kependidikannya. TVET disesuaikan dengan tingkat umur, kematangan, kedewasaan dan kesiapan anak untuk mengapresiasi pekerjaan. Di Indonesia batasan minimal usia kerja 18 tahun sebagai batasan umur setelah melewati pendidikan menengah (SMK). Apresiasi terhadap pekerjaan penting maknanya bagi peserta didik dan lulusan satuan Pendidikan Teknikal dan Vokasional. Kematangan dan kedewasaan peserta didik dalam Pendidikan Teknikal dan Vokasional sangat penting dan perlu mendapat kajian yang cukup. Pendidikan Vokasional tanpa memberi dampak diperolehnya pekerjaan akan sia-sia dan in-efisien, karena tujuan Pendidikan Teknikal dan Vokasional adalah untuk membangun kompetensi kerja dan produktivitas lulusan. D. Cakupan Bidang TVET Kembali pada penetapan UNESCO bahwa “Technical and Vocational Education and Training (TVET) is concerned with the acquisition of knowledge and skills for the world of work” maka Pendidikan Vokasional sebagai pendidikan untuk dunia kerja memiliki cakupan bidang pendidikan yang sangat luas mulai dari program studi di perguruan tinggi dengan status yang tinggi sampai pendidikan menengah dengan status yang rendah hingga pelatihanpelatihan singkat kompetensi kerja baik formal, nonformal, maupun informal. Pendidikan di perguruan tinggi dengan status tinggi seperti pendidikan dokter, pendidikan notaris, pendidikan bisnis, teknik dan sebagainya termasuk dalam cakupan Pendidikan Vokasional sebagai pendidikan yang konsern pada pemerolehan pengetahuan dan skill untuk okupasi. Semua pendidikan yang diselenggarakan di perguruan tinggi jika mengorientasikan lulusannya untuk bekerja maka termasuk dalam cakupan bidang Pendidikan Vokasional (TVET). Disisi lain pendidikan di SMK, politeknik, dan pendidikan keguruan teknik masih dikategorikan sebagai Pendidikan Vokasional dengan status menengah. Kesalahan dalam memahami konsep pendidikan vokasi pada level pengambil kebijakan sangat merugikan. Mengapa demikian? Karena akan berdampak banyak secara struktural. Perspektif ini tentu belum sesuai dengan hakikat dari Pendidikan Vokasional sebagai pendidikan untuk okupasi.

Pemahaman hakikat Pendidikan Vokasional yang hanya dipandang sebagai pendidikan berstatus bawah perlu diluruskan pemahamannya. Penegakan kembali pemahaman makna Pendidikan Vokasional pada hakikat atau kesejatiannya akan bermanfaat dan dapat meningkatkan citra Pendidikan Vokasional sebagai pendidikan berkelas. TVET dibutuhkan dalam semua lapisan dan jenis pendidikan. TVET setidaknya diselenggarakan untuk empat tujuan pokok yaitu: 1. Persiapan untuk kehidupan kerja meliputi pengenalan bakat diri peserta didik, pemberian wawasan tentang pekerjaan-pekerjaan yang dapat mereka pilih. 2. Melakukan persiapan awal bagi individu untuk kehidupan kerja meliputi pengembangan kapasitas diri untuk pekerjaan yang dipilih. 3. Pengembangan kapasitas berkelanjutan bagi individu dalam kehidupan kerja mereka agar mampu melakukan transformasi kerja (kapabilitas) selanjutnya. 4. Pemberian bekal pengalaman pendidikan untuk mendukung transisi dari satu pekerjaan ke pekerjaan lainnya sebagai pilihan bagi setiap individu atau mungkin karena tekanan perubahan pekerjaan lintas kehidupan kerja mereka. TVET konsern mendidik dan melatih peserta didik dalam proses menemukan jalan bagi setiap individu dalam mengidentifikasi pekerjaan yang cocok untuk dirinya, awal dari pengembangan kapasitas yang diperlukan dalam pekerjaan, dan perbaikan kapasitas itu menjadi kapabilitas untuk pengembangan berkelanjutan melalui kehidupan kerja sebagai cara untuk menguatkan keberlanjutan kemampuan kerjanya. E. Filosofi dan Asumsi TVET Filosofi pragmatisme adalah filosofi yang paling sesuai diterapkan dalam TVET masa depan (Miller & Gregson, 1999; Rojewski, 2009). Filosofi pragmatisme mendudukkan TVET sebagai pendidikan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan individu dalam memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya. Karakteristik filosofi pragmatisme menekankan pemecahan masalah berpikir orde tinggi. Filosofi pragmatisme meletakkan pendidikan sebagai interaksi aktif memandirikan peserta didik dalam belajar memecahkan permasalahan hidupnya. Pembelajaran TVET harus antisipatif terhadap perubahan karena Abad XXI adalah Abad penuh perubahan. Selain filosofi pragmatisme, filosofi esensialisme yang mengarahkan tujuan pokok TVET untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja juga perlu diperhatikan. Filosofi esensialisme mendudukkan TVET dalam kaitannya dengan efisiensi sosial. Dalam perspektif filosofi esensialisme kurikulum dan pembelajaran dikembangkan berdasarkan kebutuhan bisnis dunia usaha dan industri. TVET diukur dari nilai balik investasi pendidikan sebagai investasi ekonomi. Sebagai investasi semua jenis pengeluaran dalam proses

pendidikan dalam TVET dianggap berhasil jika nilai baliknya melebihi nilai investasi yang dikeluarkan. Jika nilai balik tidak melebihi nilai investasi maka TVET dianggap gagal karena tidak ekonomis. Program TVET semacam ini sebaiknya dihindari atau tidak dilakukan. Kebanyakan masyarakat belum mendudukkan TVET sebagai investasi mahal. TVET baru sebatas pendidikan sebagai proses pendidikan semata. Akibatnya para pengguna layanan TVET tidak memperoleh nilai manfaat yang berarti. F. Teori TVET Induk teori yang digunakan dalam pengembangan TVET ada dua yaitu: (1) Teori efisiensi sosial dari Prosser; (2) Teori pendidikan TVET demokratis dari John Dewey. Teori Prosser dikenal dengan "PROSSER'S SIXTEEN theorems". Teori Prosser menyatakan bahwa TVET membutuhkan lingkungan pembelajaran menyerupai dunia kerja dan peralatan yang memadai sesuai kebutuhan pelaksanaan pekerjaan di dunia kerja. Agar efektif TVET harus melatih dan membentuk kebiasaan kerja sebagai suatu kebutuhan yang harus dimiliki bagi setiap individu yang mau bekerja. Penguatan kemampuan dan skill kerja dapat ditingkatkan melalui pengulangan cara berpikir dan cara bekerja yang efisien. Guru TVET akan berhasil jika telah memiliki pengalaman sukses dalam menerapkan skill dan pengetahuan sesuai bidang yang diajarkan. Kemampuan produktif sebagai standar performance dikembangkan berdasarkan kebutuhan industri sesuai actual jobs. TVET dalam pandangan Teori John Dewey menegaskan bahwa Pendidikan Teknikal dan Vokasional menyiapkan peserta didik memiliki kemampuann memecahkan permasalahan sesuai perubahan-perubahan dalam cara-cara berlogika dan membangun rasional melalui proses pemikiran yang semakin terbuka dalam menemukan berbagai kemungkinan solusi dari berbagai pengalaman. Dampak pokok dari TVET yang diharapkan oleh Dewey adalah masyarakat berpengetahuan yang mampu beradaptasi dan menemukan kevokasionalan dirinya sendiri dalam berpartisipasi di masyarakat, memiliki wawasan belajar dan bertidak dalam melakukan perubahan sebagai proses belajar sepanjang hayat. Dewey juga mengusulkan agar TVET dapat mengatasi permasalahan diskriminasi pekerjaan, diskriminasi kaum perempuan, dan minoritas. Dewey memberi advokasi modernisasi kurikulum TVET termasuk studi "scientific-technical". Studi ini mengkaitkan cara-cara bekerja yang didukung pengetahuan yang jelas dan memadai. TVET tidak hanya fokus pada bagaimana memasuki lapangan pekerjaan tetapi juga fokus pada peluangpeluang pengembangan karir, adaptif terhadap perubahan lapangan kerja dan berbasis pengetahuan atau ide-ide kreatif. Kurikulum TVET menurut Dewey memuat kemampuan akademik yang luas dan kompetensi generik, skill teknis, skill interpersonal, dan karakter kerja. Kurikulum TVET mengintegrasikan pendidikan akademik, karir, dan teknik. Selain dua teori induk TVET yaitu teori efisiensi sosial dari Charles Prosser dan Pendidikan Vokasional demokratis dari John Dewey, Teori Tri Budaya sebagai pemikiran awal dapat digunakan untuk pengembangan kompetensi kevokasionalan (Sudira, 2011).

Teori Tri Budaya menyatakan TVET akan berhasil jika mampu mengembangkan budaya berkarya, budaya belajar, dan budaya melayani secara simultan. TVET dalam melakukan proses pendidikan dan pelatihan harus membangun budaya berkarya, belajar, dan menerapkan hasilhasil karya inovatif sebagai bentuk-bentuk layanan kemanusiaan. Karya sebagai hasil inovasi belajar harus digunakan untuk kesejahteraan bersama melayani orang lain. Budaya berkarya, budaya belajar, dan budaya mempersembahkan hasil-hasil karya sebagai suatu bentuk pelayanan sesama dikembangkan secara spiral meluas terus menerus. Ketiga budaya ini jika membudaya pada diri seseorang maka akan terjadi produktivitas yang luar biasa. Pengembangan tiga budaya ini dikendalikan dengan kecerdasan belajar sebagai inti utama keberhasilan hidup di Abad XXI. G. Sains, Teknologi, Rekayasa dalam TVET Perkembangan sains, teknologi, dan rekayasa menuntut pembelajaran TVET kedepan semakin mengutamakan pendekatan tekno-sains-sosio-kultural dibandingkan pendekatan psikologis. Pendidikan sebagai proses psikologis tanpa proses tekno-sainssosio- kultural akan kehilangan makna. Anak cerdas secara psikologis tetapi tidak cerdas secara sosial, budaya, teknologi, dan sains dapat dipastikan tidak akan sukses kehidupannya pada Abad XXI. Peran sentral TVET sebagai pendorong pembangunan berkelanjutan telah direkomendasikan dalam kongres internasional kedua TVET di Seoul Republik Korea pada tanggal 26-30 April 1999. Rekomendasi Seoul 1999 menegaskan bahwa pembelajaran TVET berbasis psikologi tidak cukup lagi dalam memenuhi kebutuhan dan tuntutan perubahan-perubahan TVET yang semakin komplek sebagai pendidikan dan pelatihan dunia kerja Abad XXI. Pembelajaran TVET diarahkan pada pendekatan baru yang holistik dan semakin meningkatkan skill belajar serta menyediakan akses pendidikan untuk semua yang membutuhkan. Karakteristik dunia kerja Abad XXI bercirikan: (1) pemecahan masalah secara kritis kolaboratis; (2) bekerja melalui jejaring kerjasama; (3) menggunakan skill berpikir orde tinggi (kritis, kreatif, komunikatif, kolaboratif). Perkembangan karakteristik dunia kerja semacam ini menuntut pembelajaran TVET modern bermuara pada terbangunnya suatu masyarakat yang memiliki sistem sosial dan sistem budaya berbasis sains, teknologi dan rekayasa. Program-program TVET membangun masyarakat yang memiliki tatanan sosial budaya sebagai jati diri bangsa yang mampu menerima warisan berbagai artefaks, benda-benda, proses teknikal, ide-ide kreatif, kebiasaan bekerja keras besama-sama secara kolaboratif, dan mengkomunikasikan dan mentradisikan nilai-nilai. Misi TVET membangun masyarakat berbudaya kreatif dan produktifberbasis sains, teknologi dan rekayasa sebagai dampak dari TVET. Sistem sosial masyarakat berbasis sains memiliki budaya inquiry (penyelidikan) dan discovery (penemuan) dalam mencari jawaban dan penjelasan (explanations) dari pertanyaan-pertanyaan tentang gejala alam semesta. Masyarakat melakukan riset baik riset verifikatif maupun eksplanatif untuk menghasilkan pembuktian teoriteori yang sudah ada maupun penjelasan dari fenomena tertentu sebagai teori baru. Sistem sosial

masyarakat berbasis teknologi dan rekayasa mengedepankan desain, penemuan, penciptaan, dan rekayasa sebagai strategi dalam pencarian solusi dari permasalahan-permasalahan sosial, budaya, ekonomi, dan ketenagakerjaan. Keberhasilan TVET dapat diukur dari tingkat pencapaiannya dalam membangun budaya masyarakat yang memiliki kapabilitas inquiry, discovery, desain, penciptaan, rekayasa secara kreatif produktif dalam memenuhi kebutuhankebutuhan hidup. H. TVET: Visi Abad XXI Perubahan-perubahan serta lompatan besar yang terjadi pada Abad XXI memberi tantangan signifikan pada sistem TVET. Globalisasi, revolusi teknologi informasi dan komunikasi Abad XXI telah menyebabkan perubahan sosial dan ekonomi yang ditandai oleh peningkatan mobilitas tenaga kerja dan permodalan, peningkatan kesenjangan antara kaum kaya dan miskin, percepatan dan berlipatnya perkembangan pengetahuan dan ide-ide baru yang semakin kreatif. Kongres kedua TVET di Seoul pada Tahun 1999 menetapkan TVET sebagai pendidikan dan pelatihan yang digunakan untuk merealisasikan budaya perdamaian, pembangunan berkelanjutan, kohesi sosial dan pemberdayaan masyarakat. Visi TVET Abad XXI diarahkan pada pengembangan pendidikan untuk semua, belajar sepanjang hayat, kesejajaran dan pemerataan kesejahteraan, pengentasan kemiskinan dan pengangguran. Sistem TVET direformasi dengan paradigma baru pendidikan yang lebih fleksibel, inovatif, produktif, memberi skills sesuai kebutuhan pasar tenaga kerja, pelatihan dan pelatihan kembali tenaga kerja. Belajar sepanjang hayat dikembangkan sebagai bagian dari aspek budaya yang memberi keuntungan bagi diri, lingkungan, dan ekonomis. TVET memberi inspirasi bagi kaum muda sikap positif untuk beriovasi. Visi TVET Abad XXI diarahkan untuk mewujudkan pemenuhan enam cita-cita yaitu: 1. Tantangan TVET dalam menghadapi perubahan tuntutan Abad XXI dalam bidang ekonomi dan sosial yang berimplikasi pada tranformasi meningkatnya mobilitas tenaga kerja dan permodalan, kesenjangan kaum kaya dengan kaum miskin, akses pendidikan yang semakin mahal, terganggunya keseimbangan alam. 2. Pengembangan sistem TVET sepanjang hayat. Belajar sepanjang hayat membangun mentalitas pengalaman berkehidupan diseluruh dimensi baik sosial, budaya, ekonomi, spiritualitas. 3. Inovasi proses pendidikan dan pelatihan. Pendekatan inovatif dalam TVET merupakan tantangan Abad XXI. 4. TVET untuk semua 5. Perubahan peran bagi Pemerintah dan Stakeholder. 6. Peningkatan kerjasama internasional dalam TVET.

I. Pendidikan Teknologi dan Kejuruan/Vokasional Selain TVET yang sudah dijadikan nomenklatur UNESCOUNEVOC dan ILO sebagai pendidikan dan pelatihan teknik dan vokasional untuk mempersiapkan lulusan memasuki dunia kerja, Pendidikan Teknologi dan Vokasional juga digunakan sebagai kajian akademik. Beberapa program pascasarjana di Indonesia menggunakan nama program studi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan yang sering disingkat PTK. Pertanyaan seputar makna PTK sering menjadi bahan diskusi. Apakah yang dimaksudkan dengan Pendidikan Teknologi dan apa pula yang dimaksudkan dengan pendidikan kejuruan? Pertanyaan ini mulai terurai setelah membaca buku Technology and Vocational Education for Sustainable Development karya Margarita Pavlova. Menurut Pavlova (2009, 5) Pendidikan Teknologi dan Pendidikan Vokasional memiliki domain yang berbeda dari lingkungan belajarnya, berbeda konsep pekerjaan dan tujuan pendidikannya. Perbedaan domain antara Pendidikan Teknologi dan Pendidikan Vokasional menjadi penting dipahami sebagai dasar pengembangan substansi pendidikan dan pembelajarannya. Pendidikan Teknologi adalah pendidikan yang bertujuan mengembangkan pengetahuan, skill, sikap, dan nilai-nilai peserta didik agar mampu memaksimalkan daya lentur/fleksibilitas dan daya adaptasinya terhadap perubahan-perubahan karakteristik pekerjaan yang akan datang termasuk aspek-aspek kehidupan lainnya yang semakin kompleks. Pendidikan Teknologi adalah pendidikan yang bersifat adaptif terhadap perubahan karakteristik pekerjaan. Konsep dasar pemanfaatan teknologi adalah untuk pemecahan permasalahan dan pemenuhan kebutuhan atau keinginan melalui rekayasa teknologi. Secara implisit Pendidikan Teknologi adalah pendidikan yang mengarah kepada pengembangan keterampilan pemecahan masalah (problem-solving skills). Sedangkan Pendidikan Vokasional adalah pendidikan yang berkaitan dengan keterampilan penggunaan peralatan dan mesin-mesin (Sander dalam Pavlova, 2009). Teknologi dan pendidikan terus berinteraksi secara multiplier. Perubahan teknologi mempromosikan atau menaikkan permintaan pendidikan dan pendidikan mempromosikan perubahan teknologi. Pendidikan Teknologi dilihat sebagai pengembangan pengetahuan, skills, attitude dan nilainilai yang dapat menyebabkan peserta didik dapat memaksimalkan fleksibilitas dan adaptabilitas terhadap dunia kerja dan untuk masa depannya, termasuk seluruh aspek-aspek kehidupannya secara baik. Sering orang terjebak pada istilah teknologi sebagai mesin, peralatan, perangkat teknis semata. Akibatnya teknologi menjadi kerdil. Praksis penerapan Pendidikan Teknologi dari JISTE menggambarkan pendekatan skill, craft, produksi, magang, teknologi modern, sain, desain, pemecahan masalah, kapabilitas praktis, inovasi, dan objek. Pendidikan dan pelatihan skill teknis digunakan pada proses produksi baik pada pekerjaan tangan (hand made) seperti proses pembatikan, pematung, pelukis, memasak, dll. Model relasi sains dan rekayasa teknologi sangat baik digunakan dalam pengembangan TVET Abad XXI. TVET Abad XXI membutuhkan pengembangan dua sisi yaitu inkuiri dan diskoveri serta desain-desain temuan baru sebagai solusi kemudahan keamanan kenyamanan dan kemanfaatan hidup. J. Pendidikan Dunia Kerja

Menurut Pavlova (2009) penyiapan peserta didik memasuki dunia kerja merupakan peran utama Pendidikan Teknologi. Pengembangan kompetensi vokasional yang bersifat generik ternyata menjadi tuntutan pokok dalam memasuki dunia kerja. Kompetensi vokasional generik semakin menentukan keberhasilan seseorang dalam memperoleh pekerjaan dan meningkatkan peluang karirnya di dunia kerja. Tipe pengetahuan dan kompetensi Pendidikan Teknologi berbeda-beda sesuai levelnya. Level paling rendah adalah level sadar teknologi (technological awareness) dengan tipe pengetahuan yang diajarkan adalah mengerti teknologi tersebut atau sekedar tahu sebagai tahap pengenalan. Level kedua adalah level melek teknologi (technological literacy) dengan tipe pengetahuan memahami teknologi secara komprehensif tentang kemanfaatan, resiko, cara pemanfaatan yang benar, kemungkinan kegagalan, perawatan, perbaikan, dan sebagainya. Level ke tiga adalah kemampuan atau kesanggupan secara teknologi (technological capability) merupakan level dengan kompetensi menerapkan atau mengaplikasikan teknologi dengan tipe pengetahuan memahami teknologi tersebut dengan baik dan bagaimana cara menggunakan atau menerapkannya. Level ke empat adalah level (technological ceativity) yang ditandai dengan kompetensi penemuan teknologi baru, memahami teknologi dan bagaimana menerapkan dalam kehidupan. Level ke lima yang tertinggi atau terakhir adalah (technological critism) adalah level dimana kompetensi yang dimiliki adalah pengambilan keputusan tentang mengapa, bagaimana sebuah teknologi dipilih dan digunakan. Melek teknologi melalui Pendidikan Teknologi dilakukan melalui proses: (1) pemecahan masalah berdasarkan isu-isu teknologi yang kontektual; (2) melakukan berbagai apresiasi keterkaitan teknologi dengan masyarakat, individu seseorang, dan lingkungan; (3) memahami teknologi sebagai rancangan untuk pencapaian tujuan; (4) memampukan diri dalam menggunakan konsep-konsep dalam kasus subjek tertentu; (5) menggunakan pendekatan berorientasi sistem dalam pemecahan permasalahan teknologi; (6) dapat mengakses dan meramalkan hasil penerapan suatu solusi teknologi; (7) memahami konsep-konsep teknologi secara mayor; (8) tranpil menggunakan proses teknologi secara aman; (9) memahami dan mengapresiasi pengembangan teknologi dasar yang penting-penting (Pavlova, 2009). Pendidikan Vokasional di sisi lain menekankan pendidikan untuk penyiapan bekerja dengan pengembangan keterampilan/skill yang cenderung ke fisik atau motorik sebagai perwujudan kecerdasan kinestetik. TVET masing-masing negara selalu dihadapkan pada fenomena global yang dinamis seperti gerakan burung elang yang tidak mudah ditebak dan ditangkap. Perubahan harus ditangkap dengan perubahan. Perubahan tidak bisa dihentikan dengan kemandegan. Ekonomi global, regulasi pasar bebas bea, regulasi tenaga kerja, kebutuhan pekerja berbasis pengetahuan, skill teknologi informasi yang dibutuhkan dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) dan Uni EROPA membutuhkan pendidikan dan pelatihan skill tinggi sebagai pekerja berpengetahuan.

Related Documents


More Documents from "Ratih Wardhani"

Ringkasan Materi Buku
February 2021 1
Buku Kepemimpinan Jawa
February 2021 0
Makalah_sql (1).docx
January 2021 1
Panss
February 2021 4
Uym Obong
January 2021 2