Sejarah Banjir Solo 1966

  • Uploaded by: Cz Bintang
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sejarah Banjir Solo 1966 as PDF for free.

More details

  • Words: 4,901
  • Pages: 19
Loading documents preview...
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah mencaatat awal peradaban bermula di pinggir sungai, bila kita menengok ke belakang banyak peradaban yang lahir dari aliran sungai. Sungai memberikan banyak manfaat bagi masyarakat sekitarnya, untuk memenuhi kebutuhannya sungai sangat dibutuhkan untuk kehidupan, seperti bercocok tanam, dan tempat perdagangan. Hal itu dibenarkan dengan teori, dimana peradaban dimulai dari sungai. Seperti contoh Mesir yang lahir dengan Sungai Nil, India dengan Sungai Gangga, dan China bersama Sungai Kuning. Sedangkan untuk dalam negeri sendiri beberapa Kerajaan Lokal yang besar karena berada dialiran sungai seperti Majapahit di Tepi Sungai Brantas. Kota Solo merupakan kota yang lahir dari peradaban Sungai Bengawan Solo. Ketika terjadi perpindahan dari Keraton Kertasura ke Surakarta tahun 1745, Desa Sala yang mayoritasnya daerah berawa, di pilih karena salah satu daerah yang ramai akan perdagangan melalui jalur Sungai Bengawan Solo melewati berbagai daerah di Jawa Tengah hingga Jawa Timur dan sampai ke Laut Jawa. Selain keuntungan dalam hal kosmologis dan ekonomis, Kota Solo juga memiliki masalah dengan bencana yang berhubungan dengan air, seperti Banjir dari sungai-sungai yang mengaliri Kota Solo, serta letak geografis Kota Solo yang terletak di zona depresi. Letak geografis yang rawan bencana banjir, diantisipasi dengan pembuatan sungai buatan dengan membagi agar aliran Sungai Bengawan Solo tidak langsung menuju ke dalam kota, serta pembuatan tanggul yang mengelilingi Kota Solo. Banjir besar terjadi di tahun 1918 dan kembali terjadi banjir yang lebih besar tahun 1966 di Solo. Roda perekonomian dan pemerintah seketika lumpuh bahkan daerah sekitarnya seperti Sragen, Wonogiri, Sukoharjo pun terkena dampaknya. Banyak korban berjatuhan dan kerugian yang besar. Makalah ini lebih menyoroti proses lahirnya solidaritas sosial yang ada di Kota Solo. 1.2 Perumusan Masalah Banjir besar yang terjadi di Solo merupakan banjir yang disebabkan meluapnya Sungai Bengawan Solo. Banjir ini menyebabkan banyaknya infrastruktur yang rusak, sarana dan prasarana yang juga hilang karena banjir, rumah-rumah yang terendam, dan dampak nya

berpengaruh langsung dengan mengungsinya masyarakat-masyarakat yang terkena dari banjir ini. Banjir besar yang terjadi sangat mempengaruhi dari psikologi masyarakat yang terkena dampak banjir, dan membuat keadaan masyarakat saat itu sangat prihatin. Dari uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan kami bahas 1. Bagaimana banjir besar Solo tahun 1966 bisa terjadi? 2. Bagaimana dampak dari banjir besar Solo tahun 1966 bagi masyarakat Solo dan Sekitarnya? 3. Bagaimana respon yang dilakukan pemerintah dan masyarakat terhadap bencana Banjir yang melanda Kota Solo dan sekitarnya? 1.3 Tujuan Penilitian Tujuan dibuatnya makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Masyarakat Indonesia. Dan memberikan informasi tentang banjir besar yang melanda Solo tahun 1966 dengan diawali dari penyebab terjadinya banjir yang terjadi di Solo tahun 1966, lalu dilanjutkan dengan dampak yang terjadi pada masyarakat Solo pada tahun 1966 pasca banjir besar yang datang begitu mendadak, serta respon dari pemerintah saat itu langsung bereaksikah dengan cepat atau lambat dalam menangani bencana ini, selain respon dari pemerintah, dalam makalah ini juga akan dibahas respon dari masyarakat itu sendiri, seperti bantuan baik sandang, pangan, maupun papan baik moril maupun materi serta dibahas juga bagaimana peran pemerintah dalam merekonstruksi kembali kota Solo agar tidak terendam lagi karena banjir. 1.4 Ruang Lingkup Makalah ini difokuskan kepada dampak yang terjadi dari adanya bencana banjir besar yang melanda Kota Solo tahun 1966. Banjir juga pernah terjadi tahun 1918, namun volume banjir pada saat itu hanya lebih kecil di bandingkan dengan banjir yang terjadi pada tahun 1966. Ruang Lingkup Spasial dari makalah kami lebih kepada Kota Solo yang menjadi wilayah terparah akibat meluapnya Sungai Bengawan Solo. Ruang Lingkup Temporalnya kami memilih tahun 1966, karena pada tahun itu banjir besar ini terjadi di Kota Solo.

1.5 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah yang terdiri dari 4 tahapan, yaitu heuristik, verifikasi, interpretasi dan historiografi. Pada tahap pertama yaitu heuristik, kami mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang diperlukan untuk permasalahan yang terkait dengan materi penulisan. Sumber-sumber kami dapatkan dari perpustakaan Universitas Indonesia, Jurnal-jurnal, Skripsi, dan Tesis. Tahap kedua adalah kritik, kritik terbagi dua yaitu kritik eksternal dan kritik internal. Kritik dilakukan untuk membandingkan sumber-sumber yang sudah diperoleh. Kritik eksternal dilakukan terhadap sumber-sumber yang telah diperoleh melalui fisik dari sumber tersebut. Kemudian kritik internal juga dilakukan penulis dengan menganalisa kreadibilitas materi yang terdapat dalam sumber primer dan sekunder tersebut untuk menentukan apakah sumber yang ada relevan dengan kami. Tahap ketiga adalah tahap interpretasi, tahap ini adalah pemberian makna terhadap data-data yang telah dikritik sehingga jelas validitasnya dan relevansinya dengan permasalahan yang ditulis oleh kami. Tahap keempat adalah historiografi atau penulisan sejarah. Penulisan ini dilakukan setelah semua data dikumpulkan, di kritik dan di interpretasi kemudian sampailah penulisan penelitian ini pada tahap terakhir yaitu penulisan sejarah dalam bentuk deskriptif analitis dalam konteks kesejarahan. 1.6 Sistematika Penulisan Tulisan akan dibuat dalam lima bab yang akan menjawab semua pertanyaan yang ada di perumusan masalah. Dalam makalah yang kami buat akan terdiri atas : Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri atas Latar Belakang, Rumusan Masalah, Ruang Lingkup, Tujuan Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penelitian. Bab II merupakan pembahasan tentang penyebab dari banjir besar yang terjadi di Kota Solo. Di dalam bab ini juga akan di singgung awal pembangunan Kota Solo dari tahun 1945-1966

Bab III merupakan pembahasan mengenai dampak banjir besar 1966 bagi kota Solo dan sekitarnya. Di dalam bab ini akan dibahas mengenai dampak banjir besar itu yang meluas seperti di daerah kabupaten Sukoharjo, dan kabupaten Wonogiri. Bab IV merupakan pembahasan mengenai respon yang baik dari pemerintah serta masyarakat yang bahu membahu menolong korban banjir ini. Bab V merupakan bab terakhir dalam makalah kami yang berisi penutup berupa kesimpulan. Dalam bab ini akan dibahas secara garis besarnya, dan diakhiri dengan daftar pustaka. Bab II Kota Solo dalam perkembanganya Kota Solo merupakan salah satu kota yang tertua di Indonesia dan salah satu yang banyak memiliki keragaman etnik dan budaya. Banyak yang tersimpan dari Kota the spirit of java ini baik sebelum memasuki jaman sejarah maupun prasejarah. Kota yang berasal dari desa pelabuhan yang bernama Sala ini telah mengalami banyak perubahan. Kota Solo telah berkembang menjadi kota yang indah nan asri yang banyak terpengaruhi unsur Keraton Kasunanan yang kuat, serta sebagian juga dari unsur-unsur baik dari Belanda dan pribumi (Masyarakat Sala). Kota ini di pengaruhi tiga konsep yang saling tumpang tindih, yaitu konsep organik masyarakat pribumi, konsep kolonial Belanda, dan konsep kosmologi Keraton Jawa1. Kota Solo memiliki penduduk yang multietnis diakibatkan letak geografisnya yang strategis sebagai jalur perdagangan yang terjadi sejak dulu. Perubahan besar terjadi ketika masuk masa interval, dimana terjadi pergolakan sosial dan politik, serta perubahan pada lingkungan alam yang berpengaruh kepada kondisi ruang kota. Berdasarkan letak geografisnya, kota Solo sangat rentan akan terkena bencana banjir, maka pada tahun 1900, dilakukan pembuatan tanggul, dan pembuatan pintu air.2 Pembuatan tanggul yang mengelilingi Kota Solo ini dibiayai oleh istana Surakarta dan Mangkunegara serta mendapat bantuan dari pemerintah kolonial. Tahun 1948 terjadi peristiwa Clash II, terkait politik Bumi Hangus. Hingga banyak bangunan yang rusak, dan di tahun itu juga banyak masyarakat yang 1 Qomarum dan Budi Prayitno, ‘’Morfologi Kota Solo (Tahun 1500-2000)’’, dalam Dimensi Teknik Arsitektur, Vol. 35 no 1 Juli 2007 2 Kuntowijoyo, 2000, The Making of Modern Urban Ecology: Social and Economic History of Solo, 1900-1915, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah Fak.Sastra UGM)

urbanisasi cukup besar ke Solo, hingga menimbulkan perkampungan kumuh di kota. Karena banyaknya yang datang ke Solo, kemudian dengan memusatkan mereka ke pinggiran dekat aliran sungai membuat sungai semakin menyempit. Hal ini dilakukan karena perkembangan di Kota sudah sangat ramai hingga sebagian harus dipusatkan di pinggir daerah aliran sungai, yang membuat lebar sungai semakin kecil. Pemindahan penduduk ini diakibatkan padatnya penduduk di daerah perkotaan itu terjadi dari 1950-1960an. Lalu sekitar tahun 1951 Pemerintah Kota Solo melakukan pembersihan kota dengan merelokasi secara besar-besaran yang berada di dalam kota ke daerah pinggiran Bengawan Solo yaitu Sangkrah, Semanggi, Joyotakan. Pemukiman liar di Manahan, Tirtonadi, Gladag, Loji Wetan digusur untuk pengembangan kebersihan kota dan sebagian didirikan fasilitas sosial ekonomi seperti komplek pertokoan dan sebagainya. Beberapa daerah pinggiran Bengawan Solo yang tadinya berupa tanah kosong berubah menjadi pemukiman padat seperti yang direlokasi oleh pemerintah kota Solo. Pada banjir yang terjadi tahun 1966 hampir sepertiga Kota Solo yang tergenang air. Terutama Solo bagian timur dan disekitar Kali Pepe, bahkan tengah kota sampai tenggelam. Dan untuk mengetahui penyebab-penyebab yang terjadi mengapa Kota Solo bisa terkena banjir, berikut penyebabnya disertai penjelasannya. 

Hujan Lebat mengakibatkan meluapnya beberapa sumber mata air

Pada tanggal 14 dan 15 Maret 1966 Kota Solo diguyur hujan yang secara terus menerus tanpa henti, mengakibatkan beberapa daerah di sekitar Baturono sebelah timur tergenang air, hujan juga mengguyur di daerah Wonogiri yang menyebabkan debit sungai Bengawan Solo naik. Lalu pada tanggal 15 Maret 1966 sekitar pukul 13.00 hujan turun dengan lebat, berupa air dengan butiran-butiran es. Hujan turun di punggung penggungan gundul mengakibatkan kurang teresapnya air, lalu mata air yang berada di kali lanang bertemu dengaan kaliweroko, dukuh ngerjo, Nguntoronardi meluap. Begitu juga dengan sumber mata air di Kali Ngrawan yang mengalir dari daerah Pasekan Eromoko mengalir ke bawah. Kali Kaduwang yang berada di Hutan Donoloyo, Slogohimo bertemu di daerah Somoulun yang mengalir mengarah ke Wonogiri secara serentak. Hingga kecepatan rata-rata Sungai Bengawan Solo 30km/Jam 

Rusaknya Tanggul yang melindungi Kota Solo Rusaknya tanggul yang melindungi kota Solo juga menjadi penyebab banjir yang

terjadi. Tanggul rusak karena tidak kuat menahan beban yang diberikan dari Sungai Bengawan Solo karena debit airnya yang tinggi. Seperti di daerah wilayah timur Solo telah

tergenang air setinggi 40cm. Pada malam hari di tanggal 16 Maret 1966 tanggul Kusmodilan dadal sepanjang 191 meter, dan tanggul Semanggi sepanjang 8 meter tidak dapat menahan desakan air dadal. Sementara di daerah Demangan tanggul dadal 8 meter, dan didaerah Tjenglik dadal ditiga tempat sepanjang 50 meter. Air tanggul sebelah dalam naik menjadi 5,62 meter, dan diluar tanggul naik menjadi 7,62 meter. Pada saat itu aliran Kali Tanggul tidak dapat mengalir lagi ke daerah timur, namun mengarah kearah sebaliknya menuju barat kota. Pada tikungan Kali Anyar air tidak berbelok, melainkan masuk menerobos dan menggenang perkampungan sekitarnya. Begitu juga dengan pintu air yang berada di Tirtonadi dan Kleco tidak dapat lagi menahan beban yang diberikan dari Sungai Bengawan Solo. Tidak dapat dipungkiri lagi rusaknya beberapa tanggul yang melindungi kota, menjadi salah satu penyebab banjir. Tanggul tersebut tidak dapat melindungi kota dari debit air Bengawan Solo yang deras, dalam 6 jam tanggul rusak, wilayah Solo udah tergenang rata-rata 2 meter. Ditempat yang landai, ketinggian mencapai 4 meter, bahkan dibeberapa tempat ada yang melebihi 4 meter. Begitu juga di pusat-pusat ekonomi yang tidak terpikirkan akan banjir, dengan cepatnya langsung tergenang air dari luapan Bengawan Solo. Bab III Dampak Banjir Besar

Bencana yang melanda Kota Solo memang bukanlah menjadi pertama kali untuk solo, pada tahun 1918 banjir juga pernah terjadi di Solo, namun banjir yang terjadi pada saat itu terjadi ketika pembuatan tanggul masih belum selesai dibangun dan belum melingkari kota Solo. Banjir yang menggenangi Solo pada tahun 1918 cukup besar, didalam kota ketinggian air mencapai lutut orang dewasa, bahkan dibeberapa tempat didaerah Solo ketinggian air mencapai 1.5 meter. Begitu juga didalam kota, ketinggian mencapai 1-1,5 meter. Dalam hal ini dampak yang terjadi saat bencana banjir memang sangat besar. Kerugian yang diderita ini bukan hanya milik kota Solo saja melainkan daerah lain bekas Karesidenan Surakarta, kerugian ini bukan hanya secara materi saja, tapi sosial dan ekologis, dengan hancurnya lingkungan masyakarat yang terkena dampak banjir. Berikut dampak banjir besar untuk wilayah Solo, Wonogiri dan Sukoharjo, serta respon yang diterima dari masyarakat dan pemerintah terhadap korban bencana tersebut.

3

A. Dampak Banjir Di Solo Dalam catatan tanggal 20 Maret 1966 banjir yang melanda kota Solo mengakibatkan 71 orang korban meninggal dunia, 26 orang luka-luka, dan seorang diri gantung diri akibat derpresi. Lalu tanggal 1 April 1966 kembali di catat dengan korban meninggal mencapai 90 orang, teridi dari 72 orang kotamadya Surakarta, sedangkan 18 bukan orang Solo, dan korban luka-luka mencapai 1340 orang.4 Kerugian lain akibat dari bencana banjir ini Kota Solo rugi hampir 100 Milyar, kerugian ini diperinci dengan 611 rumah yang hancur, 711 rumah rusak, dan 3 rumah terbakar hingga 7500 orang kehilangan tempat tinggal. Dilihat dari jangka waktunya, 3500 orang memerlukan bantuan jangka pendek, dan 3000 orang lainnya memerlukan bantuan jangka panjang. Pusat Kota Solo pun menjadi lumpuh akibat banjir yang menggenang wilayah Solo dan sekitarnya. Air yang menggenangi kota Solo juga menggenangi kantor-kantor penting, seperti Gedung BNI unit I,II,III , Kantor Balaikota Solo, Kantor Pos, Kantor Telkom, Kantor eks Karesidenan Surakarta, Pasar Besar, Kantor Komando Resort Kepolisian 951, Gereja Purbayan, Gereja Kristen Gladag, selain itu 3 Gambar 1: Peta Genangan Luas Banjir di Solo tahun 1966 4 Bandjir Bandang di Kota Bengawan tahun 1966, Koleksi Perpustakaan Rekso Pustaka Pura Mangkunegaraan Surakarta

beberapa gedung lainnya yang juga tergenang akibat dari bencana banjir besar ini antara lain Gedung Bioskop Widuri, Balai Wartawan, Kantor LP Surakarta, Stasiun Bus Hardjodaksino.

Alun-alun utara dan selatan Keraton Surakarta dapat terlihat seperti kedung buatan dengan air yang menggenangi wilayah tersebut mencapai 2 meter, dan menyebabkan tembok Baluwarti jebol tidak kuasa menahan air. Kantor-kantor pemerintahan yang terendam air juga membuat arsip-arsip penting hilan dan musnah terbawa arus air. 5 Gambar 2 Stasiun Bus Harjodaksino yang tenggelam akibat banjir besar Solo tahun 1966

Selain itu jumlah jembatan dan tanggul yang bertebaran di kota Solo tidak luput dari terjangan banjir ini, beberapa diantaranya rusak, seperti yang ada dikecamatan Jebres, jembatan kandang sapi dan jembatan Arifin, serta 3 buah tanggul lain yaitu Tjengklik selatan sepanjang 5meter, Tjengklik tengah sepanjang 10 meter, Tjengklik Utara rusak sepanjang 20 meter, di Kecamatan Sarengan terdapat 9 buah yaitu 5 buah di kelurahan Serengan, dan sebuah jembatan di kelurahan Danukusuman. Dan di kecamatan sarengan juga terjadi tanah longsor.

B. Dampak Banjir di kabupaten Wonogiri Banjir yang berada disekitar aliran Bengawan Solo tidak hanya berdampak bagi Kota Solo itu sendiri, tapi tetap berdampak di sekitar aliran sungai itu sendiri, seperti yang terjadi di Kabupaten Wonogiri, kabupaten ini juga terkena dampak dari banjir yang melanda Kota Solo. Akibat banjir yang terjadi di Wonogiri berdampak pada terputusnya jembatan yang menghubungkan antara wilayah Wonogiri dengan daerah sekitarnya. Jembatan yang menghubungkan antara kabupaten Wonogiri dengan Sukoharjo terputus. Jembatan Paken (Giriwoyo) mengalami kerusakan berat karena jalan yang berada ditepian bengawan putus 200 meter, demikian tepian jalan jembatan Glesung (Baturetno) putus 25 meter. Sedangkan jembatan sonolum, jembatan gantung hancur diterjang banjir. Jembatan jurang Gempal, jembatan sepanjang 120 hancur akibat terjangan banjir ini. Selain banyaknya jembatan yang terputus, saluran komunikasi juga terputus, hingga pemerintah dan regu peolong susah untuk mengetahui situasi saat itu. Banjir yang diakibatkan luapan dari Bengawan Solo ini terjadi di 9 Kecamatan, yaitu Giriwoyo, Baturetno, Eromoko, Wuryantoro, Nguntoronadi, Wonogiri, Selogiri, Batuwarno, dan Tirtomoyo. Rumah dan bangunan yang hancur 3.525 rumah roboh, 3.100 rumah hilang, 5 sekolah desa roboh, kanto-kantor yang rusak sebanyak 4 buah, dan masjid di kecamatan Wuryantoro pun tidak luput dari terjangan banjir. Korban jiwa meliputi 46 orang meninggal dunia, 2 orang luka-luka. Kerugian lain yang diderita penduduk berupa hewan ternak mereka yang hanyut dan hilang. Seperti 22 ekor kerbau, 131 ekor sapi, kambing berjumlah 1.033 ekor, ayam berjumlah 11.353 ekor, dan seekor kuda. Kerugian ditaksir mencapai Rp.52.402.571. Banjir ini juga mengakibatkan naiknya harga kebutuhan pokok dikarenakan distribusi yang terhambat dan terisolasi karena putusnya jembatan penghubung.

C. Dampak Banjir di Kabupaten Sukoharjo Banjir selain menimpa Kabupaten Wonogiri, banjir ini juga mampir ke daerah Kabupaten Sukoharjo. Dari 12 Kecamatan yang ada di daerah Sukoharjo, 2 diantaranya tidak terkena dampak banjir, yaitu Kecamatan Gatak dan Kecamatan Kertasura. Dampak banjir yang ada di Kabupaten Sukoharjo sedikit lebih kecil dibandingkan banjir di Solo dan Wonogiri, ini karena tanggul yang ada di Solo tidak dadal, dan diantisipasi karena adanya waduk Mulur. Kerusakan yang dialami di kabupaten Sukoharjo pun lebih banyak yang berada di pinggiran sungai. Kerusakan yang dialami kabupaten Sukoharjo ialah kerusakan dari Jembatan Nguter yang melengkung, Jembatan kereta api Kalisamin serta jalur kereta api Wonogiri-Solo terputus akibat tergenang air. Korban meninggaal berjumlah 19 orang, rumah hanyut berjumlah 473 buah, 1105 hancur, rusak 75% sebanyak 201 rumah, 491 rumah rusak 50%, dan yang mengalami kerusakan 25% sebanyak 1146, jumlah keseluruhan rumah yang rusak sebanyak 3416 buah. Kerugian dari harta benda seperti hewan ternak sebanyak 298 ekor yang terdiri dari seekor kuda, 69 kerbau, 58 sapi, dan 170 babi mati. Ternak kecil sebanyak 645 ekor, dan unggas 14717 ekor. Kerugian ditaksir mencapai RP.39.732.685 uang baru. Banjir yang datang sangat lah mengagetkan khususnya daerah kota Solo yang tidak pernah terfikirkan akan tergenang, banyak korban jiwa berjatuhan, infrastruktur pun rusak, kerugian yang banyak ini mendapat respon yang baik dari pemerintah itu sendiri

dan

masyarakat yang bahu membahu, saling gotong-royong mencari korban hilang, menyelamatkan benda-benda yang masih bisa terpakai dan memberikan bantuan baik moril maupun materi. Bahkan bencana ini menjadi bencana nasional yang selanjutnya akan dibahas tentang respon yang datang dari pemerintah dan masyarakat yang membantu korban bencana banjir ini. Bab IV Respon yang Di Dapat oleh Masyarakat Banjir yang besar ini sangatlah luas dampaknya bagi masyarakat, tidak hanya itu dampak juga dirasakan oleh Pemerintah baik dari pemerintah daerah ataupun pusat. Dalam hal ini pemerintah memberikan respon yang sangat baik, tapi dalam hal perbaikan papan saja, tapi respon yang diberikan pemerintah selain papan, juga diberikan bantuan untuk menyelamatkan korban yang masih terjebak banjir, serta tidak sempat untuk menyelamatkan

diri. Respon yang didapat dari korban banjir tidak hanya datang dari pemerintah saja, melainkan semua unsur yang ada dimasyarakat itu sendiri, respon yang diberikan pun juga tidak hanya satu atau dua bantuan saja, melainkan semua jenis bantuan diberikan oleh masyarakat untuk membantu korban banjir. Respon yang diberikan dari pemerintah dan masyarakat sangatlah membantu bagi korban banjir Solo 1966. Berikut beberapa penjelasan tentang respon yang diberikan pemerintah dan masyarakat sekitar kepada para korban banjir Solo tahun 1966

A. Respons Pemerintah Peristiwa banjir yang terjadi di Solo mendapat respon dari pemerintah dengan cepat, dengan menjadi peristiwa banjir Solo ini menjadi bencana nasional. Letjen Soeharto yang pada saat itu selaku Presiden langsung memerintahkan khususnya kepada ABRI untuk mengambil langkah cepat dalam menanggulangi bencana tersebut. Lalu pemerintah Jawa Tengah dibantu Kodam VII Diponegoro melakukan tindak pengamanan daerah bahwa kota Solo dan sekitarnya menjadi daerah tertutup karena daerah tersebut sedang terkena bencana banjir yang berbahaya bagi masyarakat. Selain memberikan pengamanan, pemerintah juga memberikan sumbangan yang berasal dari pendapatan bulan Maret anggota RPKAD (Resimen Pasukan Khusus Angkatan Darat) sebesar 10% untuk korban banjir di Surakarta. Sumbangan dari ABRI lebih kepada perbaikan infrastruktur, pemulihan jalan raya dan jembatan yang rusak akibat terjangan aliran sungai bengawan solo. Dan membantu mengevakuasi korban-korban yang terjebak di genangan banjir. Hal ini dilakukan pemerintah agar semua daerah dapat terhubung dengan baik, distribusi dan informasi agar sampai tujuan tidak telat. Dalam hal ini pemerintah menyiapkan 108 tempat pengungsian yang terdapat didalam dan diluar kota untuk pengungsi sebanyak 300.000 jiwa. Dari banyaknya tempat pengungsian beberapa diantaranya stadion sriwedari sebagai pusat dari pengungsian, lantai

dua

pasar

gede,

dan

Siti

Hinggil

Keraton

Surakarta

dan

6 Gambar 3 penyelamatan korban banjir oleh ABRI dengan perahu kayu

Kepatihan.

Untuk mengetahui situasi dan kondisi dilapangan pemerintah mengeluarkan 3 pesawat capung, dan pesawat helikopter serta perahu karet untuk mengangkut korban yang terjebak banjir. Pasca beberapa hari setelah banjir, langkah selanjutnya yang di tempuh pemerintah adalah dengan kembali merenovasi tanggul tanggul yang jebol, dan rusak dengan mengerahkan massa banyak, baik dari wilayah Solo maupu di datangkan dari luar wilayah Solo. Dalam hal ini pemerintah lebih banyak menggunakan jasa dari organisasi bersenjata, di buktikan dengan banyaknya media massa yang meliput banjir terutama surat kabar Angkatan Bersendjata dan Kedaulatan Rakjat yang memberikan kiprah kepada ABRI, Kepolisian, serta organisasi-organisasi istri-istri dari prajurit ABRI dalam menolong korban banjir Solo.

B. Respons dari Masyarakat Bencana yang terjadi di Solo pada 16 Maret 1966 membuka semua mata hati, baik yang ada didalam negeri maupun luar negeri. Banyak masyarakat, pemerintah yang terbuka hatinya untuk memberikan bantuan kepada Solo. Seperti masyarakat luar negeri melalui pemerintahnya memberikan bantuan baik obat, makanan, dan uang kepada masyarakat yang menjadi korban banjir. Berikut beberapa negara yang memberikan bantuannya untuk korban banjir, seperti Jepang yang memberikan bantuan dana sebesar RP.15,4 juta dan beras sebanyak 20.000 ton, India memberi sumbangan sebesar RP.15 juta, pemerintah Philipina melalu kedutaannya memberikan dana sebesar Rp. 1.600,- uang baru. Pemerintah Australia melalui pemerintah nya memberikan dana sebesar 200 ribu dolar, dan Amerika Serikat memberikan bantuan pangan berupa bulgur, susu bubuk, tepung terigu yang jika di total mencapai 4.500 ton. Bahan bahan ini disumbangkan melalui Wali Gereja Katolik se Indonesia.7 Peran aktif dilakukan Persatuan Istri Tentara cabang Surakarta yang memberikan secara langsung bantuan kepada pengungsidi kantor kecamatan Serengan, tempat ini di huni sekitar 1000 pengungsi, bantuan yang diberikan berupa, bahan makanan beras dan minyak tanah. Lalu Team AURI melalui AMPERA memberikan bantuan berupa alat-alat tulis sekolah, peralatan belajar, dan peralatan administrasi sekolah. Organisasi kemasyarakat pun tidak mau kalah, melalui Front Marhaeins mereka memobilisasi dokter-dokter yang ada di UGM dari Jogjakarta dan Magelang untuk membantuk korban banjir. Tujuannya untuk mendirikan 7 7 Bandjir Bandang Di Kota Bengawan tahun 1966, Koleksi Perpustakaan Rako Pustaka Pura Mangkunegaran Surakarta

klinik agar dapat memberikan pertolongan kesehatan terhadap korban banjir dan melakukan kerja sama dengan Lembaga Teknik Solo untuk ketersediaan air bersih, pembangunan pembuangan sampah, dan pembangunan drainase Solo. PMI Solo pun membuka poskoposkonya di setiap pengungsian untuk melayani masyarakat yang membutuhkan pengobatan.

Dilihat dari gambar, peran aktif PMI dalam menanggapi korban bencana banjir Solo tahun 1966 pengobatan yang dilakukan dari PMI seperti mengobati pasien yang menderika lukaluka maupun terserang penyakit selama mereka di pengungsian, dan PMI juga membuka beberapa posko untuk melayani korban bencana Solo tahun 1966 Untuk masyarakat Surakarta yang tidak terkena dampak dari banjir pun saling bahu membahu membantu korban yang terkena musibah, baik secara materi maupun moril. Mereka tergabung dalam Resimen Mahasura yang bertugas mengevakuasi masyarakat yang 8 Anggota PMI yang sedang memberikan bantuan kepada Korban Bencana Banjir tahun 1966

terjebak banjir dan membawa ke pengungsian. Masyarakat umum juga bersimpati dengan memberikan uang, pakaian, dan bahan-bahan pangan maupun bangunan untuk korban banjir ini, dalam memenuhi kebutuhan pokoknya,masyarakat kemudian membuat dapur umum yang dibikin atas kemauan dari relawan yang kebanyakan berasal dari mahasiswa itu sendiri yang terletak di Kampung Laweyan. Dan dalam pendistribusian makanan itu sendiri dikirimkan melalui mobil dua kali sehari, makanan ini berupa nasi bungkus dan air minum. Serta kebutuhan pokok lainnya yang kurang diperhatikan seperti selimut dan obat-obatan. Meskipun banjir Solo tahun 1966 merupakan bencana nassional, tapi bantuan dari pemerintah hanya berupa bantuan paku-paku saja, atau lebih tepatnya hanya berupa perbaikan rumah yang roboh.

Pencegahan yang dilakukan Pemerintah setelah banjir besar melanda Solo tahun 1966 Untuk mencegah banjir akan terjadi lagi di masa yang akan datang, Pemerintah akhirnya membuat beberapa kebijakan atau keputusan terkait pencegahan banjir yang ada di Kota Solo, agar banjir tidak akan lagi menggenangi kota Solo lagi. Pemerintah mulai menangani bencana banjir ini dengan pembangunan infrastruktur pengendali banjir Bengawan Solo, dimana Pemerintah dalam hal ini tidak bekerja sendirian, dengan bantuan teknis dari pemerintah Jepang (OTCA) pada tahun 1974. Dengan bantuan dari Jepang tersebut, pemerintah kemudian merumuskan Master Plan pengembangan Wilayah Sungai Bengawan Solo. Dalam mengendalikan banjir dan untuk mengembangkan wilayah, Master Pland WS Bengawan Solo pada tahun (1974), antara lain merekomendasikan pembangunan 4 waduk serbaguna, antara lain (1) Waduk Wonogiri, (2) Waduk Jipang, (3) Waduk Bendo, (4) Waduk Badegan, master plan lainnya juga merekomendasikan 25 Lokasi waduk-waduk irigasi di anak sungai Bengawan Solo yang sangat potensial untuk dibangun. pekerjaan perbaikan dan pengaturan sungai Bengawan Solo Hulu, Kali Madiun dan Bengawan Solo Hilir. Waduk Serbaguna Wonogiri atau yang lebih di kenal sebagai Waduk Gajah Mungkur dibangun pada tahun 1978-1981 yang berfungsi diantaranya sebagai pengendali banjir di wilayah Bengawan Solo Hulu, terutama melindungi Kota Solo; Penyediaan air irigasi seluas ± 30.000 Ha di wilayah kabupaten-kabupaten Wonogiri, Sukoharjo, Klaten, Karanganyar dan Sragen; PLTA (12,4 MW) serta digunakan untuk perikanan dan pariwisata. Pekerjaan perbaikan sungai dalam rangka pengendalian banjir telah dilaksanakan diantaranya adalah di Bengawan Solo Hulu (Nguter -Jurug, 37 km) dan di Kali Madiun (ruas kali Catur –

Kwadungan, 18 km) dan Bengawan Solo Hilir (ruas Babat – Tanjung Kepala, 80 Km), termasuk pembangunan Floodway Plangwot – Sidayu Lawas sepanjang 12,4 Km dengan kapasitas Q = 640 m3/dt. Setelah pembangunan tanggul negara untuk melindungi Kota Solo selesai (1972) maka disusunlah rencana induk pengembangan wilayah sungai (WS) Bengawan Solo dengan bantuan Overseas Technical Cooperation Agency (OTCA) dari Pemerintah Jepang (1974). Pelaksanaan dari rencana induk ini ditangani Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai (PIPWS) Bengawan Solo di bawah Kementerian Pekerjaan Umum. Salah satu hasil utama dari rencana induk pertama ini adalah penyelesaian Bendungan Wonogiri (1982), Bendung Gerak Babat (2003) dan pembuatan saluran pengendali banjir di Pelangwot-Sedayulawas (2005). Rencana induk ini lalu ditindaklanjuti berturut-turut dengan sejumlah kegiatan di Bengawan Solo berupa perbaikan bagian hulu dari Bengawan Solo (1994), perbaikan khusus Kali Madiun (1995) dan bagian hilir dari Bengawan Solo (2001 sampai sekarang) Bab V Kesimpulan Kota Solo pada awal perkembangannya sangat memperhatikan penanganan banjir. Banjir merupakan salah satu masalah yang sangat serius diperhatikan oleh pemerintah Kota Solo, karena menjadi masalah yang kerap melanda Kota Solo. Kota Solo yang dahulu adalah bandar perdagangan dengan sungai bengawan Solo sebagai lalu lintas perdagangannya dengan dialiri beberapa aliran besar dan beberapa pintu air yang dijadikan sebagai tempat penampungan air hujan. Hal ini diperhatikan sangat serius dari jaman kolonial Belanda untuk membangun sistem drainase Kota Solo yang modern. Dilanjutkan olebh pemerintah keraton Surakarta dan Mangkunegaran dalam membangun berbagai saluran baik primer, sekunder, dan tersier. Berbagai saluran ini dipersiapkan untuk upaya menjadikan kota Solo sebagai kota modern. Hal ini dikarenakan bahwa kota Solo memiliki beberapa aliran sungai yang melintasi kota sehingga perlu diupayakan pembangunan saluran pembuangan air secara sempurna sehingga tidak menimbulkan bahaya banjir. Hal ini karena kota Solo yang merupakan daerah berawa-rawa dan diantara beberapa pegunungan yang menjadi sumber mata air sungai Bengawan Solo sehingga kota Solo menyerupai mangkok yang sewaktu-waktu dapat tenggelam akibat genangan air yang mengalir melintasi kota. Penganggulangan bahaya banjir yang dilakukan pemerintah kerajaan dan kolonial Belanda dengan membangun berbagai fasilitas pencegah bahaya banjir yaitu pembutan kanal,

pembuatan sungai baru atau pembuatan tanggul. Seperti bagian utara kota, Kali pepe dipotong oleh sungai baru yang bernama Kali Anyar, sehingga alirannya dialirkan melalui luar kota dan bermuara di Bengawan Solo. Pada bagian selatan kota, Kali Laweyan juga dipotong oleh sungai baru serta ditambah tanggul yang menuju Bengawan Solo yang kemudian disebut sebagai Kali Tanggul berfungsi sebagai menahan air bah dari Kali Laweyan. Pada sisi timur kota, dibangun tanggul yang mendampingi Bengawan Solo sehingga aliran tidak memasuki kota. Pada tanggal 16 Maret 1966 akibat hujan yang turun terus menerus baik di Solo maupun didaerah hulu Sungai Bengawan Solo (Wonogiri) menyebabkan air Sungai Bengawan Solo meluap dan menggenangi wilayah timur kota Solo. Luapan air sungai Bengawan Solo ini mengakibatkan dua pertiga kota Solo tergenang air setinggi 2-3 meter. Peristiwa ini merupakan banjir terbesar dalam sejarah kota Solo, aktivitas masyarakat dalam hal ekonomi dan pemerintah menjadi lumpuh total, masyarakat sibuk menyelamatkan diri ketempat yang lebih tinggi dan aman, terutama ke tempat posko-posko pengungsian. Banjir ini juga mendapat respon baik dari pemerintah maupun masyarakat luas dengan memberikan bantuan. Bantuan berupa tenda-tenda, bahan makanan, pengobatan maupun tim relawan untuk menolong masyarakat yang terjebak banjir dilakukan pemerintah dan masyarakat secara gotong-royong. Masyarakat internasional pun ikut memberi bantuan berupa bahan makanan, obat-obatan dan dana pertolongan. Respon yang cepat dari pemerintah dan masyarakat dapat meminimalisir korban banjir. Pasca banjir masyarakat segera membangun kondisi kota yang rusak dengan membangun kembali rumah yang rusak dan ambruk akibat terjangan banjir. Selain itu masyarakat dan pemerintah bergotong-royong membangun tanggul yang jebol dan memperlebar luas dari tanggul tersebut. Peristiwa banjir Kota Solo tahun 1966 mengingatkan bahwa telah terjadi kerusakan ekologis didaerah aliran Sungai Bengawan Solo akibat eksploitasi hulu sungai dan hal ini telah terjadi semenjak masa kolonial Belanda dengan pembukaan perkebunan-perkebunan besar, sehingga sungai Bengawan Solo mengalami pendangkalan. Pendangkalan sungai ini tidak hanya mematikan bandar-bandar ekonomi yang telah lama ada tetapi pada puncaknya yaitu banjir besar yang terjadi tahun 1966 Untuk mencegah banjir akan terjadi lagi di masa yang akan datang, Pemerintah akhirnya membuat beberapa kebijakan atau keputusan terkait pencegahan banjir yang ada di Kota Solo, agar banjir tidak akan lagi menggenangi kota Solo lagi. Pemerintah mulai

menangani bencana banjir ini dengan pembangunan infrastruktur pengendali banjir Bengawan Solo, dimana Pemerintah dalam hal ini tidak bekerja sendirian, dengan bantuan teknis dari pemerintah Jepang (OTCA) pada tahun 1974. Dengan bantuan dari Jepang tersebut, pemerintah kemudian merumuskan Master Plan pengembangan Wilayah Sungai Bengawan Solo. Dalam mengendalikan banjir dan untuk mengembangkan wilayah, Master Pland WS Bengawan Solo pada tahun (1974), antara lain merekomendasikan pembangunan 4 waduk serbaguna, antara lain (1) Waduk Wonogiri, (2) Waduk Jipang, (3) Waduk Bendo, (4) Waduk Badegan, master plan lainnya juga merekomendasikan 25 Lokasi waduk-waduk irigasi di anak sungai Bengawan Solo yang sangat potensial untuk dibangun. pekerjaan perbaikan dan pengaturan sungai Bengawan Solo Hulu, Kali Madiun dan Bengawan Solo Hilir. Setelah pembangunan tanggul negara untuk melindungi Kota Solo selesai (1972) maka disusunlah rencana induk pengembangan wilayah sungai (WS) Bengawan Solo dengan bantuan Overseas Technical Cooperation Agency (OTCA) dari Pemerintah Jepang (1974). Pelaksanaan dari rencana induk ini ditangani Proyek Induk Pengembangan Wilayah Sungai (PIPWS) Bengawan Solo di bawah Kementerian Pekerjaan Umum. Salah satu hasil utama dari rencana induk pertama ini adalah penyelesaian Bendungan Wonogiri (1982), Bendung Gerak Babat (2003) dan pembuatan saluran pengendali banjir di Pelangwot-Sedayulawas (2005). Rencana induk ini lalu ditindaklanjuti berturut-turut dengan sejumlah kegiatan di Bengawan Solo berupa perbaikan bagian hulu dari Bengawan Solo (1994), perbaikan khusus Kali Madiun (1995) dan bagian hilir dari Bengawan Solo (2001 sampai sekarang)

Daftar Pustaka 

Qomarum dan Budi Prayitno, ‘’Morfologi Kota Solo (Tahun 1500-2000)’’,



dalam Dimensi Teknik Arsitektur, Vol. 35 no 1 Juli 2007 Kuntowijoyo, 2000, The Making of Modern Urban Ecology: Social and Economic History of Solo, 1900-1915, (Yogyakarta: Jurusan Sejarah



Fak.Sastra UGM) Bandjir Bandang Di Kota Bengawan tahun 1966, Koleksi Perpustakaan Rako Pustaka Pura Mangkunegaran Surakarta

Web : 

http://sda.pu.go.id:8181/sda/?act=peraturan_ws_detail&wid=19&gid=6

Related Documents

Sejarah Banjir Solo 1966
January 2021 1
Banjir Solo
January 2021 3
Sejarah Radikalisme
January 2021 1
Sejarah Java
January 2021 4
6-pengendalian Banjir
January 2021 2

More Documents from "Mega Tresnanda"

Sejarah Banjir Solo 1966
January 2021 1
Basic_bazi_lesson_1.pdf
February 2021 0
Dark Tarot
March 2021 0
March 2021 0