Sepsis

  • Uploaded by: NurulSitiKhodijah
  • 0
  • 0
  • March 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sepsis as PDF for free.

More details

  • Words: 4,283
  • Pages: 32
Loading documents preview...
REFERAT “Sepsis dan Tatalaksananya” Kepaniteraan Klinik Bagian Ilmu Penyakit Dalam RS Kepresidenan RSPAD Gatot Soebroto

Disusun oleh Nurul Siti Khodijah 11 – 2018 – 146

Pembimbing : dr. Deka Larasati, SpPD

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA 2019

LEMBAR PENGESAHAN REFERAT “Sepsis dan Tatalaksananya” Disusun Untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto Disusun oleh: Nurul Siti Khodijah 112018146 Telah Disetujui oleh Pembimbing:

Nama Pembimbing

Tanda Tangan

Tanggal

dr. Deka Larasati, SpPD

.................

..................

Mengesahkan:

Koordinator Kepaniteraan Klinik Departemen Ilmu Penyakit Dalam

dr. Ruswhandi, SpPD, K-GEH

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena pada kesempatan kali ini, penulis bisa menyelesaikan tugas Refrat yang diberi judul “Sepsis”. Refrat ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai “Sepsis dan tatalaksananya” dan merupakan salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing, dr.Deka Larasati, SpPD yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan pengarahan. Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, dan masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh sebab itu diharapkan bantuan dari dokter pembimbing serta rekan-rekan mahasiswa untuk memberikan saran dan masukan yang berguna bagi penulis.

Jakarta, Juli 2019

DAFTAR ISI

BAB I Pendahuluan

1

BAB II Tinjauan Pustaka

3

Definisi

3

Etiologi

4

Epidemiologi

5

Patogenesis

6

Gejala Klinis

9

Diagnosis

10

Komplikasi

12

Tatalaksana

16

BAB III Kesimpulan

25

Daftar Pustaka

28

BAB I PENDAHULUAN

Sepsis adalah sebuah penyakit sistemik akibat infeksi mikroba pada bagian tubuh yang dalam kondisi normal bersifat steril. Istilah sepsis digunakan untuk membedakan antara penyakit dengan etiologi mikrobial dari sebuah sindrom identik yang dapat ditimbulkan oleh berbagai etiologi non-mikrobial, seperti pankreatitis. Persamaan dari kedua penyakit terdapat pada peran berbagai macam sitokin dalam proses patofisiologi keduanya. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa sepsis adalah sebuah respons inflamasi nonspesifik yang terbukti atau diduga disebabkan oleh etiologi mikrobial. Ketika terjadi hipoperfusi atau disfungsi pada setidaknya satu sistem organ, kondisi sepsis tersebut dinyatakan sebagai berat. Ketika sepsis berat berlanjut hingga timbul hipotensi atau indikasi penggunaan vasokonstriktor meski telah ditangani dengan resusitasi cairan, kondisi tersebut dinamakan syok sepsis.1 Sepsis adalah penyebab tersering di perawatan pasien di unit perawatan intensif. Sepsis hampir diderita oleh 18 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya. Insidennya diperkirakan sekitar 50-95 kasus diantara 100.000 populasi dengan peningkatan sebesar 9% tiap tahunnya. Syok akibat sepsis merupakan penyebab kematian tersering di unit pelayanan intensif di Amerika Serikat. 2 Penelitian epidemiologi sepsis di AS menyatakan insiden sepsis sebesar 3/1.000 populasi yang meningkat lebih dari 100 kali lipat berdasarkan umur (0,2/1.000 pada anak-anak, sampai 26,2/1.000 pada kelompok umur > 85 tahun). Angka perawatan sepsis berkisar antara 2 sampai 11% dari total kunjungan ICU. Angka kejadian sepsis di Inggris berkisar 16% dari total kunjungan ICU. 3,4 Risiko mortalitas akibat sepsis dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti umur, jenis kelamin, ras, penyakit penyerta, riwayat trauma paru akut, sindrom gagal napas akut, gagal ginjal dan jenis infeksinya yaitu nosokomial, polimikrobial atau jamur sebagai penyebabnya. Diperkirakan angka mortalitas

1

akibat sepsis, sepsis berat, dan syok sepsis masing-masing mencapai 10-20%, 2050%, dan 40-80%. Insiden mortalitas yang lebih tinggi umumnya lebih sering ditemukan di negara berkembang daripada negara maju. 5

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi SIRS ( Systemic Inflammatory Response Syndrome ) adalah suatu bentuk respon inflamasi terhadap infeksi atau non-infeksi yang ditandai oleh dua atau lebih kriteria berikut ini:6 

Suhu > 38 C atau <36 C



Denyut jantung > 90x/menit



Respirasi >20x/menit atau PaCO2 <32 mmHg



Hitung leukosit >12,000/mm3 atau >10% sel imatur.

Sepsis adalah SIRS ditambah dengan adanya tempat infeksi yang ditentukan dengan biakan positif terhadap organisme di tempat tersebut.1 Sepsis berat adalah sepsis disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi yang tidak terbatas hanya pada laktat asidosis, oliguria maupun perubahan mental akut.6 Sedangkan syok sepsis adalah sepsis dengan hipotensi yang ditandai dengan penurunan TDS< 90 mmHg atau penurunan >40 mmHg dari tekanan darah awal tanpa adanya obat-obatan yang dapat menurunkan tekanan darah.6

3

Gambar. 1 Definisi SIRS, sepsis, sepsis berat dan syok sepsis1 2.2 Etiologi Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri Gram negatif dengan presentase 60-70% kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat menstimulasi sel imun yang terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi.6 Lipopolisakarida (LPS) merupakan produk yang paling berperan dalam terjadinya sepsis. LPS merupakan komponen utama membran terluar bakteri Gram negatif yang merangsang inflamasi jaringan, demam, dan syok. LPS dapat mengaktifkan sistem imun selular dan humoral, tidak mempunyai sifat toksik namun dapat merangsang mediator inflamasi.6 Staphylococci, Pneumococci, Streptococci dan bakteri Gram positif jarang menyebabkan sepsis (20-40%) dari keseluruhan kasus.

4

Tabel 1. Mikroorganisme yang sering menyebabkan sepsis 2 Mikroorganisme

Gra-negatif Gram-positif Jamur Polimikroba Patogen klasik

Pada infeksi hematogen, % (n=436) 35 40 7 11 <5

Pada infeksi Total, % (n=866) lokal, % (n=430) 44 24 5 21 <5

40 31 6 16 <5

Sistem pendekatan sepsis dikembangkan melalui suatu sistem tingkatan Predisposition, Infection, Response,and Organ dysfunction untuk menentukan pengobatan secara maksimal berdasarkan karakteristik pasien dengan stratifikasi gejala dan resiko individual.

Gambar 2. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada sepsis (PIRO) 6

5

2.3 Epidemiologi Sepsis adalah penyebab tersering di perawatan pasien di unit perawatan intensif. Sepsis hampir diderita oleh 18 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya. Insidennya diperkirakan sekitar 50-95 kasus diantara 100.000 populasi dengan peningkatan sebesar 9% tiap tahunnya. Syok akibat sepsis merupakan penyebab kematian tersering di unit pelayanan intensif di Amerika Serikat.2 Penelitian epidemiologi sepsis di AS menyatakan insiden sepsis sebesar 3/1.000 populasi yang meningkat lebih dari 100 kali lipat berdasarkan umur (0,2/1.000 pada anak-anak, sampai 26,2/1.000 pada kelompok umur > 85 tahun). Angka perawatan sepsis berkisar antara 2 sampai 11% dari total kunjungan ICU. Angka kejadian sepsis di Inggris berkisar 16% dari total kunjungan ICU. 3,4

2.4 Patogenesis Bakteri Gram negatif dan Gram positif dapat menimbulkan sepsis. Pada sebagian besar pasien sepsis ditemukan adanya fokus infeksi jaringan sebagai sumber bakterimia yang menunjukkan infeksi sekunder. Fokus primer dari Gram negatif dapat ditemukan di saluran gastrointestinal, saluran genitourinarium dan saluran empedu. Sepsis Gram positif berasal dari infeksi kulit, saluruan pernapasan dan luka terbuka.6 Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi perlepasan mediatormediator inflamasi termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam proinflamasi dan antiinflamasi. Sitokin yang termasuk proinflamasi seperti TNF, IL-1, interferon γ yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme

yang

menyebabkan

infeksi.

Sedangkan

sitokin

antiinflamasi yaitu IL-1-reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon ini bertujuan untuk

6

melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dan terjadi proses penyembuhan. Namun ketika keseimbangan ini hilang maka respon proinflamasi akan meluas menjadi respon sistemik. Respon sistemik ini meliputi kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskuler dan kerusakan jaringan akibat gangguan oksigenasi dan kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi. Sedangkan konskuensi dari kelebihan respon antiinflamasi adalah alergi dan immunosupressan. Kedua proses ini dapat mengganggu satu sama lain sehingga menciptakan kondisi ketidakharmonisan

imunologi yang merusak. Gambar 3. Ketidakseimbangan homeostasis pada sepsis Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika bakteri gram negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan endotoksin dengan lipopolisakarida (LPS) yang secara langsung dapat mengikat antibodi dalam serum darah penderita sehingga membentuk lipo-polisakarida antibody (LPSab). LPSab yang beredar didalam darah akan bereaksi dengan perantara reseptor CD 14+

dan akan bereaksi dengan makrofag dan

mengekspresikan imunomodulator.6 Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus atau parasit. Mereka dapat berperan sebagai superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag yang berperan sebagai antigen processing cell yang kemudian ditampilkan sebagai APC (Antigen Presenting Cell). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari MHC (Major

7

Histocompatibility Complex). Antigen yang bermuatan MHC akan berikatan dengan CD 4+ (Limfosit Th1 dan Limfosit Th2) dengan perantara T-cell Reseptor.6

Gambar 4. Patogenesis sepsis 1

Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan mengeluarkan substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai immodulator akan mengeluarkan IFN-γ, IL2 dan M-CSF (Macrophage

Colony

Stimulating

Factor),

sedangkan

Th2

akan

mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-10, IFN-g, IFN 1β dan TNF α yang merupakan sitokin proinflamantori. IL-1β yang merupakan sebagai imuno regulator utama juga memiliki efek pada sel endothelial termasuk didalamnya terjadi pembentukkan prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang menyebabkan neutrofil tersensitisasi oleh GM-CSF mudah mengadakan adhesi. Neutrofil yang beradhesi akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding endotel lisis sehingga endotel akan terbuka dan menyebabkan kebocoran kapiler. Neutrofil juga membawa superoksidan 8

yang

termasuk

kedalam

radikal

bebas

(nitrat

oksida)

sehingga

mempengaruhi oksigenisasi pada mitokondria sehingga endotel menjadi nekrosis dan terjadilah kerusakan endotel pembuluh darah. Adanya kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan gangguan vaskuler dan hipoperfusi jaringan sehingga terjadi kerusakan organ multipel.6

Gambar 5. Pengaktifan komplemen dan sitokin pada sepsis 8 2.5 Gejala klinis Gejala klinis sepsis tidak spesifik dan ditandai oleh gejala demam, menggigil, lelah, malaise, gelisah dan kebingungan. Gejala sepsis akan lebih berat pada penderita lanjut usia, diabetes, kanker, gagal organ utama dan penderita granulosiopenia. Yang akan diikuti gejala MODS (Multiple Organ Dysfunctions) hingga syok sepsis.6

9

2.6 Diagnosis Diagnosis sepsis memerlukan kecermatan tinggi dalam menggali perjalanan penyakit, membutuhkan pemeriksaan fisik yang cermat, uji laboratorium yang sesuai dan tindak lanjut hemodinamik.6 Tabel 2. Kriteria diagnosis sepsis7 Gambaran umum Demam (>38,3 C) Hipotermia (suhu <36 C) Nadi > 90x/menit Takipneu Perubahan status mental Hipeglikemia (glukosa plasma > 140 mg/dl) tanpa riwayat diabetes Edema Gambaran inflamasi Leukositosis (leukosit > 12,000 uL) Leukopenia (leukosit < 4,000 uL) Leukosit normal dengan > 10% sel imatur Peningkatan C- reaktive protein Peningkatan prokalsitonin plasma Hemodinamik Hipotensi arterial ( TD <90 mmHg, MAP < 70 mmHg, atau penurunan TD > 40 mmHg pada dewasa) Disgungsi organ Hipoksemia (PaO2/FiO2 <300) Oliguria akut ( urin output <0,5 mL/kgBB/jam setelah 2 jam resusitasi cairan yang adekuat) Peningkatan kreatinin > 0,5 mg/dl Abnormalitas faktor koagulasi (INR > 1,5 atau aPTT > 60 detik) Ileus Trombositopenia ( trombosit < 100,000 ul )

10

Hiprbilirubinemia ( bilirubin total > 4mg/dL ) Perfusi jaringan Hiperlactatemia (>1 mmol/L) Penurunan CRT atau mottling

Tabel 3. Kriteria diagnosis sepsis berat, SSC 2013 Sepsis berat Sepsis yang menyebabkan hipotensi Peningkatan laktat diatas nilai normal Urine output < 0,5 mg/KgBB/jam setelah 2 jam pemberian cairan yang adekuat Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 <250 pada pasien yang tidak pneumonia sebagai sumber infeksinya Acute lung injury dengan PaO2/FiO2 <250 pada pasien pneumonia sebagai sumber infeksinya Kreatinin >2,0 mg/dl Bilirubin >2 mg/dl Platelet <100,000 uL Koagulopati (INR >1,5)

Data laboratorium meliputi Complete Blood Count, hitung diferensial, urinalisis, faktor koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, fungsi hati, asam laktat, analisa gas darah. Lalu dapat dilakukan biakan kultur dari darah, urin, sputum dan tempat lain yang terinfeksi. Lakukan Gram stain pada daerah steril seperti darah, CSF, dan ruang pleura.6

11

Tabel 4. Temuan klinis uji laboratorium pada keadaan sepsis Uji Laboratorium Hitung leukosit

Temuan Leukositosis leukopenia

Hitung trombosit

Trombositosis trombositopenia

Kaskade koagulasi

Defisiensi protein C, defisiensi antitrombin, peningkatan D-dimer, PT & APTT memanjang Meningkat

Kadar kreatinin

Kadar asam laktat Kadar enzim hepar

Kadar fosfat serum

atau

atau

Meningkat >4 mmol/L (36mg/dL) Peningkatan alkalin fosfatase, SGOT, SGPT, bilirubin Hipofosfatemia

Kadar protein reaktif C Meningkat (CRP) Kadar prokalsitonin Meningkat

Keterangan Endotoksemia dapat menyebabkan leukopenia dini Nilai tinggi dapat timbul pada respons fase akut. Nilai rendah ditemukan pada KID Nilai abnormal dapat ditemukan sebelum onset kegagalan fungsi organ tanpa disertai perdarahan. Peningkatan sebesar dua kali lipat nilai normal menandakan gagal ginjal akut Menandakan hipoksia jaringan Menandakan kerusakan hepatoselular akibat hipoperfusi Berbanding terbalik dengan kadar sitokin proinflamasi Menandakan respons fase akut Membedakan antara SIRS infeksius dan SIRS noninfeksius

2.7 Komplikasi Insidensi komplikasi yang diakibatkan oleh SIRS dan sepsis adalah sebagai berikut :6 

Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) sebanyak 8-18%



Adult Respiratory Disease Syndrome (ARDS) sebanyak 2-8%



Acute Renal Failure (ARF) sekitar 9-23%



Gastrointestinal bleeding



Gagal hati (12%)



Disfungsi sistem saraf pusat (19%)



Gagal jantung

12



Kematian

Sepsis dapat menyebabkan Multiple organ dysfunctions (MODS). MODS disebabkan oleh adanya gangguan perfusi jaringan yang mengalami hipoksia sehingga terjadi nekrosis dan gangguan fungsi ginjal dimana pembuluh darah memiliki andil yang cukup besar dalam patogenesis ini.

Gambar 6. MODS yang disebabkan oleh sepsis 10  Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) Sepsis akan mengaktifkan Tissue Factor yang memproduksi trombin yang merupakan suatu substansi proinflamasi. Trombin akhirnya menghasilkan suatu gumpalan fibrin di dalam mikrovaskular. Sepsis selain mengaktifkan tissue factor juga menggangu proses fibrinolisis melalui pengaktifan IL-1 dan TNFα dan memproduksi suatu plasminogen activator inhibitor-1 yang kuat menghambat fibrinolisis. Sitokin proinflamasi juga mengaktifkan activated protein C (APC) dan antitrombin. Protein C sebenarnya bersirkulasi sebagai zimogen yang inaktif tetapi karena adanya trombin dan trombomodulin, protein C berubah menjadi enzyme-activated protein C. Sedangkan APC dan cofactor protein S mematikan produksi trombin dengan menghancurkan kaskade faktor Va dan VIIIa sehingga tidak terjadi suatu koagulasi. APC 13

juga

menghambat

kerja

plasminogen

activator

inhibitor-1

yang

menghambat pembentukkan plasminogen menjadi plasmin yang sangat penting dalam mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Semua proses ini menyebabkan kelainan faktor koagulasi yang bermanisfestasi perdarahan yang dikenal dengan Disseminta Intravascular Coagulation (DIC) yang merupakan salah satu kegawatan sepsis yang mengancam jiwa. 9

Gambar 7. Sepsis menyebabkan gangguan koagulasi 9  Acute Respiratory Disease Syndrome (ARDS). Kerusakan endotel pada sirkulasi paru menyebabkan gangguan pada aliran darah kapiler dan perubahan permebilitas kapiler, yang dapat mengakibatkan

edema

interstitial

dan

alveolar.

Neutrofil

yang

terperangkap dalam mirosirkulasi paru menyebabkan kerusakan pada membran kapiler alveoli. Edema pulmonal akan mengakibatkan suatu hipoksia arteri sehingga akhirnya akan menyebabkan Adult Respiratory Disease Syndrome (ARDS).

14

Gambar 8. Patofisiologi sepsis menyebabkan ARDS  Gastrointestinal : Pada pasien sepsis di mana pasien dalam keadaan tidak sadar dan terpasang intubasi dan tidak dapat makan, maka bakteri akan berkembang dalam saluran pencernaan dan mungkin juga dapat menyebabkan suatu pneumonia nosokomial akibat aspirasi. Abnormalitas sirkulasi pada sepsis dapat menyebabkan penekanan pada barier normal dari usus, yang akan menyebabkan bakteri dalam usus translokasi ke dalam sirukulasi (mungkin lewat saluran limfe).

 Gagal ginjal akut Pada hipoksia/iskemi di ginjal terjadi kerusakan epitel tubulus ginjal, vaskular dan sel endotel ginjal sehingga memicu terjadinya proses inflamasi yang menyebabkan gangguan fungsi organ ginjal. 11

15

Gambar. 9. Patogenesis sepsis menyebabkan gagal ginjal akut

 Syok septik Sepsis dengan hipotensi dan gangguan perfusi menetap walaupun telah dilakukan terapi cairan yang adekuat karena maldistribusi aliran darah karena adanya vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang bersirkulasi secara efektif tidak memadai untuk perfusi jaringan sehingga terjadi hipovelemia relatif. Hipotensi disebabkan karena Endotoksin dan sitokin (khususnya IL-1, IFN-γ, dan TNF-α) menyebabkan aktivasi reseptor endotel yang menginduksi influx kalsium ke dalam sitoplasma sel endotel, kemudian berinteraksi dengan kalmodulin membentuk NO dan melepaskan Endothelium Derived Hyperpolarizing Factor (EDHF) yang meyebabkan hiperpolarisasi, relaksasi dan vasodilatasi otot polos yang diduga menyebabkan hipotensi.

16

2.8 Tatalaksana Berikut tatalaksana awal dan pengobatan terapi antibiotik pada pasien sepsis menurut Surviving Sepsis Campaign (SSC) 20137 : a. Resusitasi awal Resusitasi awal diberikan pada pasien sepsis yang mengalami hipoperfusi jaringan. Target resusitasi awal pada keadaan ini adalah : 

CVP 8-12 mmHg



MAP > 65 mmHg



Urine output > 0,5 mL/KgBB/jam



Saturasi oksigen vena cava superior 70% atau saturasi oksigen vena gabungan 65%.

Resusitasi awal juga ditujukan untuk mengembalikan nilai laktat ke batas normal sebagai indikator keberhasilan perfusi pada jaringan.

b. Skrining sepsis Dilakukan untuk mengevaluasi pasien dalam kondisi sepsis setelah pemberian resusitasi awal berhasil hingga tidak pasien tidak menjurus ke keadaan sepsis berat. c. Diagnosis Kultur diambil sebelum pemberian antibiotik atau kurang dari 45 menit setelah pemberian antibiotik. Setidaknya 2 sampel darah (aerobik dan anaerobik) didapatkan secara perkutaneus dan 1 sampel dari akses vaskular. Bila dicurigai terdapat infeksi kandidiasis maka dapat dilakukan pemerikasaan 1,3 beta-D-glucan, antibodi mannan dan antimannan. Dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan imaging untuk memastikan sumber infeksi.

17

d. Terapi antimikroba Antimikroba intravena dalam 1 jam pertama dapat diberikan pada pasien syok sepsis dan sepsis berat tanpa syok. Diberikan satu obat antimikroba empirik atau lebih untuk menghambat aktivitas patogen. Terapi antimikroba dapat diberikan dalam dosis harian dan dapat dideskalasi. Terapi kombinasi antimikroba tidak boleh diberikan lebih dari 3-5 hari. Deeskalasi harus segera dilakukan setelah penyebab infeksinya diketahui. Pemberian obat antimikroba lebih dari 7-10 hari dapat menyebabkan bakteremia dan gangguan imunologik. Terapi antivirus dapat diberikan pada pasien sepsis berat atau syok sepsis yang diakibatkan oleh infeksi virus.

Tabel. Pemilihan terapi antibiotik untuk sepsis dari sumber infeksi Suspek sumber infeksi Tidak diketahui

Intraabdominal

Traktus urinarius

Kulit atau jaringan : Staphylococcus sp

Antibiotik yang dianjurkan Vancomycin dan piperacillin 3,375 g IV infus selama 4 jam Atau Meropenem 500 mg IV per 6 jam Ampisilin/ Sulbaktam 3 gr IV per 6 jam Atau Vancomycin dan piperacillin 3,375 g IV infus selama 4 jam Atau Meropenem 500 mg IV per 6 jam Atau Metronidazole 500 mg IV per 8 jam ditambah Siprofloksasin 400 mg IV setiap 12 jam Siprofloksasin 400 mg IV setiap 12 jam Atau Vancomycin dan piperacillin 3,375 g IV infus selama 4 jam Atau Meropenem 500 mg IV per 6 jam Atau Ampisilin 2 gr IV per 6 jam ditambah Gentamisin Vancomisin Atau

18

Kulit atau jaringan : Clostridium perfringers

Kulit atau polimikroba

jaringan

:

nekrotik

Community Acquired Pneumonia – tanpa faktor resiko pseudomonas

Community Acquired Pneumonia – dengan faktor resiko pseudomonas

Hospital Acquired Pneumonia (HAP) Ventilator Acquired Pneumonia (CAP)

Linezolid 600 mg IV per 12 jam Atau Daptomisin 4mg/kgBB per 24 jam Atau Oxacillin 2 gr IV per 4 jam Penisilin G 6 juta unit IV per 4 jam Ditambah Klindamisin 900 mg IV per 8 jam Direkomendasikan untuk segera melakukan debridement Meropenem 500 mg IV per 6 jam Direkomendasikan untuk segera melakukan debridement Seftriakson 1 gr ( 2 gr jika BB > 80 kg) IV per 24 jam Kombinasi dengan Moksifloksasin 400 mg IV per 24 jam Atau Azitromisin 500 mg IV per 24 jam Cefepime 1 g IV per 6 jam atau piperacillin 3,375 g IV infus selama 4 jam atau meropenem 500 mg IV per 6 jam ditambah siprofloksasin 400 mg IV per 8 jam atau Aminoglikosida gentamisin 5-7 mg/kgBB per 24 jam Dengan Azitromisin 500 mg PO/IV per 24 jam Vancomisin 15 mg/kg BB per 12 jam ditambah Cefepime 1 g IV per 6 jam Meropenem 500 mg IV per 6 jam Ditambah Gentamisin 5-7 mg/kg IV perhari atau Tobramisin 5-7 mg/kgBB perhari atau Sifrofloksasin 400 mg IV per 8 jam

19

e. Pengontrolan sumber infeksi Lakukan intervensi dalam waktu 12 jam setelah diagnosis.

f. Pencegahan infeksi 

Dekontaminasi oral dan digestif untuk menurunkan angka insidensi pneumonia karena ventilator.



Klorheksidin glukonat oral dapat digunakan untuk dekontaminasi oral pada pasien sepsis berat di ICU.

g. Terapi cairan untuk sepsis berat 

Pemberian cairan kristaloid.



Albumin diberikan bersamaan dengan resusitasi cairan jika pasien membutuhkan cairan kristaloid dalam jumlah banyak.

h. Vasopresor 

Merupakan terapi awal untuk mencapai target MAP > 65 mmHg.



Pilihan pertamanya adalah norepinefrin.



Norepinefrin diberikan untuk mengatur tekanan darah yang adekuat.

i. Inotropik Dobutamin 20 mcg/kgBB/menit diberikan pada pasien dengan disfungsi miokardium,

terdapat tanda hipoperfusi,

meskipun volume

intravaskularnya adekuat dan tercapainya MAP yang adekuat. j. Kortikosteroid Kortikosteroid (hidrokortison) intravena dengan dosis 200 mg/hari hanya diberikan pada pasien yang tidak stabil dengan pemberian resusitasi cairan. k. Penggunaan Produk Darah 

Setelah hipoperfusi tertangani dan tidak ada kondisi penyulit seperti hipoksemia berat, perdarahan akut, atau penyakit jantung iskemik,

20

tranfusi sel darah merah diberikan hanya jika konsentrasi hemoglobin turun hingga <7,0g/dL dengan nilai target 7,0-9,0g/dL. 

Penggunaan eritropoietin tidak dianjurkan dalam mengatasi anemia terkait sepsis berat.



Fresh frozen plasma tidak dianjurkan untuk memperbaiki abnormalitas nilai uji hemostasis laboratorium jika tidak ada perdarahan atau rencana tindakan invasif.



Pada pasien sepsis berat, pemberian transfusi trombosit profilaktit dilakukan

pada

kadar

<10.000/mm3

tanpa

perdarahan;

pada

<20.000/mm3 bila terdapat risiko perdarahan signifikan; pada >=50.000/mm3 bila terdapat perdarahan aktif, pembedahan, atau tindakan invasif. l. Immunoglobulin Penggunaan immunoglobulin intravena pada pasien dewasa dengan sepsis berat atau syok sepsis tidak dianjurkan. m. Selenium Penggunaan selenium dalam penatalaksaan sepsis berat tidak dianjurkan. n. Ventilasi mekanik pada Acute Respiratory Distress Syndrome terinduksi Sepsis (ARDS) 

Target volume tidal 6mL/kgBB



Tekanan puncak pada paru pasien ARDS yang terinflasi secara pasif ditargetkan =<30cmH20



Untuk mencegah alveolus kolaps pada akhir ekspirasi, bisa digunakan pemberikan positive end-expiratory pressure (PEEP).



Penggunaan PEEP dengan nilai yang lebih tinggi digunakan pada pasien yang mengalami ARDS sedang atau berat akibat sepsis.



Kepala pasien sepsis yang terpasang ventilator diposisikan terangkat 30-45 derajat untuk mengurangi risiko aspirasi dan pneumonia terkait ventilator.

21



Ventilasi masker noninvasif digunakan hanya jika diyakini manfaatnya lebih banyak daripada risikonya.



Protokol penyapihan ventilator dilakukan pada pasien sepsis berat untuk mengevaluasi kemampuan bernapas spontan, dimulai ketika a) merespons terhadap rangsangan, b) hemodinamik stabil tanpa vasopressor, b) tidak ada kondisi yang berpotensial mebahayakan, c) tidak membutuhkan tekanan ventilasi dan akhir ekspirasi yang tinggi, dan e) kebutuhan FIO2 yang rendah dan dapat dicapai menggunakan sungkup wajah atau kanul hidung. Bila napas spontan berhasil dicapai, pertimbangkan untuk ekstubasi.



Kateter arteri pulmoner sebaiknya tidak digunakan secara rutin pada pasien yang mengalami ARDS akibat sepsis.



Terapi cairan konservatif dan terencana diutamakan daripada pemberian cairan secara bebas pada pasien ARDS akibat sepsis yang tidak mengalami hipoperfusi jaringan.



Bila tidak terdapat indikasi spesifik, seperti bronkospasme, pemberian beta 2-agonis dalam penanganan ARDS akibat sepsis tidak dianjurkan.

p. Sedasi, Analgesi, dan Blokade Neuromuskular pada Sepsis 

Sedasi kontinu atau intermiten dapat dikurangi pada pasien sepsis yang menggunakan ventilator, dengan target akhir titrasi spesifik.



Obat-obat neuromuscular blocking agents (NMBA) sebaiknya dihindari pada pasien sepsis tanpa ARDS karena risiko blokade neuromuskular diperpanjang dapat terjadi setelah pemberhentian pemberian obat.



Pemberian NMBA tidak lebih dari 48 jam pada pasien dengan ARDS akibat sepsis dengan Pao2/FIO2 < 150 mmHg.

q. Kontrol Glukosa 

Protokol manajemen glukosa pada pasien ICU dengan sepsis berat menggunakan insulin diberikan ketika ditemukan kadar gula darah 22

>180mg/dL dalam 2 kali pemeriksaan konsekutif. Target protokol ini adalah kadar gula darah <180 mg/dL. 

Kadar glukosa darah diawasi setiap 1-2 jam sampai kadar glukosa dan laju infus insulin mencapai stabil, kemudian dilanjutkan setiap 4 jam sekali.



Kadar glukosa yang didapat dari darah kapiler sebaiknya diinterpretasi dengan hati-hati karena kemungkinan tidak merepresentasikan kadar glukosa darah arteri atau plasma secara akurat.

r. Terapi Pengganti Fungsi Ginjal 

Terapi pengganti fungsi ginjal kontinu dan hemodialisis intermiten memiliki efektivitas yang setara bagi pasien sepsis berat dan gagal ginjal akut.



Penggunaan terapi untuk memfasilitasi manajemen keseimbangan cairan dianjurkan pada pasien sepsis dengan hemodinamik yang tidak stabil.

s. Bikarbonat Penggunaan natrium bikarbonat tidak dianjurkan untuk memperbaiki hemodinamikk atau mengurangi kebutuhan vasopressor pada pasien dengan asidosis laktat (pH>7,15) akibat hipoperfusi jaringan. t. Profilaksis Trombosis Vena Dalam (DVT) 

Pasien dengan sepsis berat menerima farmakofilaksis harian untuk mencegah tromboembolisme vena. Hal ini dicapai menggunakan pemberian LMWH subkutan harian. Bila pembersihan kreatinin <30 mL/menit, gunakan dalteparin atau LMWH jenis lain yang memiliki metabolisme ginjal yang lebih rendah.



Pasien dengan sepsis berat ditangani dengan kombinasi terapi farmakologis

dan

alat

kompresi

memungkinkan.

23

pneumatik

intermiten

bila



Pasien sepsis yang memiliki kontraindikasi penggunaan heparin tidak diberikan farmakofilaksis namun diberikan tatalaksana profilaktik mekanik, seperti stocking kompresi atau alat kompresi intermiten, kecuali terdapat kontraindikasi. Ketika risiko berukurang, gunakan farmakofilaksis.

u. Profilaksis Stress Ulcer 

Profilaksis stress ulcer menggunakan H2 blocker atau proton pump inhibitor diberikan pada pasien dengan sepsis berat/syok septik yang memiliki faktor risiko perdarahan.



Penggunaan proton pump inhibitor sebagai profilaksis stress ulcer lebih diutamakan daripada H2RA.



Pasien tanpa faktor risiko tidak perlu diberikan profilaksis.

v. Nutrisi 

Nutrisi diberikan secara oral atau enteral sebisa mungkin daripada membiarkan puasa total atau pemberian glukosa intravena dalam 38 jam pertama setelah penegakan diagnosis sepsis berat atau syok septik.



Dalam pekan pertama perawatan, asupan kalori harian diberikan dalam kadar rendah, ditingkatkan hanya ketika dapat ditoleransi.



Pemberian glukosa intravena disertai nutrisi enteral atau nutrisi parenteral disertai enteral pada 7 hari pertama setelah penegakan diagnosis sepsis berat/syok septik lebih diutamakan dari pada pemberian nutrisi parenteral total.



Berikan nutrisi tanpa suplementasi immunomodulasi spesifik daripada nutrisi yang memiliki efek immunomodulasi spesifik pada pasien sepsis berat.

24

w. Menentukan Target Pencapaian Perawatan 

Diskusikan target perawatan dan prognosis dengan pasien dan keluarganya.



Gabungkan target pencapaian perawatan dalam penatalaksanaan dan perawatan menjelang kematian, disertai prinsip-prinsip tatalaksana paliatif ketika memungkinkan.



Tentukan target pencapaian perawatan sesegera mungkin, tidak lebih dari 72 jam setelah masuk ICU.

Gambar 10. Algoritma tatalaksana sepsis.12

25

BAB III KESIMPULAN

Sepsis adalah respons inflamasi sistemik yang dicetuskan oleh infeksi. Sepsis merupakan penyebab tersering di perawatan pasien di unit perawatan intensif. Syok akibat sepsis merupakan penyebab kematian tersering di unit pelayanan intensif di Amerika Serikat. Tatalaksana terhadap sepsis dan penyulitnya harus dilakukan secara terencana dan sesegera mungkin untuk menghindari terjadinya penyulit maupun kematian.

26

DAFTAR PUSTAKA

1. Andrew L. Sepsis: Definition, Epidemiology,and Diagnosis. BMJ. 2014 Oct 27; 335(7625): 879-883. 2. Angus DC, Linde WT, Lidicker J. Epidemiology of Severe Sepsis In The United States. Crit Care Med. 2015;20:1303-31. 3. Reinhardt K, Bloos K, Brunkhorst FM. Pathophysiology of Sepsis and Multiple Organ Dysfunction. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, eds. Textbook of critical care. 15th ed. London: Elsevier Saunders Co; 2013. p.1249-57. 4. Hoyert DL, Anderson RN. Age-adjusted death rate. Natl Vital Stat Rep. 2015;49:1-6 5. Martin GS. Sepsis, Severe Sepsis and Septic Shock: Changes In Incidence, Pathogens and Outcomes. Expert Rev Anti Infect Ther. 2014 Jun; 10(6): 701-706. 6. Sepsis. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbit IPD FKUI. 2014: 1862-65 7. Surviving Sepsis Campaign. International Guidelines for Management of Severe Sepsis and Septic Shock: 2012. Critical Care Medicine Februari 2013; 41(2): 585-636 8. Al-Khafaji AH et al. Multiple Organ Dysfunction Syndrome in Sepsis. http://emedicine.medscape.com/article/169640-overview#showall. Diunduh 23 Juni 2016 9. LaRosa

SP.

Sepsis.

http://www.clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/i nfectious-disease/sepsis/. Diunduh 25 Juni 2019 10. Effects

of

Sepsis.

http://www.medicalexhibits.com/medical_exhibits.php?exhibit=06907_07 W&query=effect%20sepsis%20bacteria%20blood%20poison%20immuno logic%20shock. Diunduh 26 Juni 2019

27

11. Schrier RW. Need to Intervene in Established Acute Renal Failure. JASN October 20014; 15(10): 2756-2758. 12. American College of Chest Physicians. Early Goal-Directed Therapy in Severe Sepsis and Septic Shock REvisited: Concepts, Controversies, and Contemporary Findings. Chest 2013; 130: 1579-1595

28

Related Documents

Sepsis
March 2021 0
Pathway Sepsis
January 2021 1
Referat Sepsis
March 2021 0
Referat Sepsis
January 2021 1
Patofisiologi Sepsis
January 2021 1
Lp-sepsis-doc.doc
March 2021 0

More Documents from "Eko Ferry Darmawan"

Sepsis
March 2021 0