Tutorial

  • Uploaded by: anizatun
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tutorial as PDF for free.

More details

  • Words: 5,202
  • Pages: 24
Loading documents preview...
KASUS TRAUMA THORAX Hematotoraks Sedang Et Causa Trauma Tumpul

Oleh : Dr. Aldi Setyo A.

Pembimbing Dr. Sri Wahyuli

PROGAM DOKTER INTERNSIP ANGKATAN V TAHUN 2018 PERIODE 21 November 2017 – 20 November 2018 RSUD SOETRASNO REMBANG 2018

BAB I

1.1. Definisi Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut. Trauma thorax atau cedera dada dapat menyebabkan kerusakan dinding dada, paru, jantung, pembuluh darah besar serta organ disekitarnya termasuk viscera (berbagai organ dalam besar di dalam rongga dada). 1.1.1.

Trauma tembus (tajam) Pada trauma tembus terjadi diskontinuitas dinding toraks (laserasi) langsung akibat penyebab trauma, terutama akibat tusukan benda tajam (pisau, kaca, peluru, dsb). Sekitar 10-30% dari trauma tembus memerlukan operasi torakotomi. Trauma tembus, biasanya disebabkan tekanan mekanikal yang dikenakan secara langsung yang berlaku tiba-tiba pada suatu area fokal. Pisau atau proyektil (projectile), misalnya,akan menyebabkan kerusakan jaringan dengan “stretching dan crushing” dan cedera biasanya menyebabkan batas luka yang sama dengan bahan yang tembus pada jaringan. Berat ringannya cedera internal yang berlaku tergantung pada organ yang telah terkena dan seberapa vital organ tersebut Derajat cedera tergantung pada dua mekanisme dari penetrasi dan termasuk, diantara faktor lain, adalah efisiensi dari energi yang dipindahkan dari obyek ke jaringan tubuh yang terpenetrasi. Faktor-faktor lain yang berpengaruh adalah karakteristik dari senjata, seperti kecepatan, ukuran dari permukaan benturan, serta densitas dari jaringan tubuh yang terpenetrasi. Pisau biasanya menyebabkan cidera yang lebih kecil karena ia termasuk proyektil dengan kecepatan rendah. Luka tusuk yang disebabkan oleh pisau sebatas dengan daerah yang terjadi penetrasi. Luka disebabkan tusukan pisau biasanya dapat ditoleransi, walaupun tusukan tersebut pada daerah jantung, biasanya dapat diselamatkan dengan penanganan medis yang maksimal.

1.1.2.

Trauma tumpul

Pada trauma tumpul tidak terjadi diskontinuitas dinding toraks. Penyebabnya antara lain kecelakaan lalu lintas, terjatuh, cedera olahraga, dsb. Kelainan tersering akibat trauma tumpul toraks adalah kontusio paru. <10% trauma jenis ini memerlukan operasi torakotomi. Trauma tumpul lebih sering didapatkan berbanding trauma tembus, kirakira lebih dari 90% trauma thoraks. Dua mekanisme yang terjadi pada trauma tumpul: (1) hantaran energi secara langsung pada dinding dada dan organ thoraks dan (2) deselerasi differensial, yang dialami oleh organ thoraks ketika terjadinya impak atau benturan. Benturan yang secara langsung yang mengenai dinding thoraks dapat menyebabkan luka robek dan kerusakan dari jaringan lunak dan tulang seperti tulang iga. Cedera thoraks dengan tekanan yang kuat dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrathorakal sehingga menyebabkan ruptur dari organorgan yang berisi cairan atau gas(udara). Cedera yang disebabkan deselerasi dapat berlaku apabila pergerakan thoraks yang kedepan secara tiba-tiba terhenti, jika organ viscera intratorakal terus bergerak kedepan, seperti yang berlaku pada cidera steering-columna. Pada cedera viscera (organ-organ dalam tubuh) yang tidak melekat pada dinding dada, akan bergerak kedepan sehingga akan dihentikan oleh permukaan dalam dari dinding thoraks pada benturan internal yang kedua kalinya atau sehingga tekanan yang ditimbulkan oleh pergerakan tersebut melampaui toleransi jaringan sehingga menyebabkan cedera. Fraktur tulang iga bisa terjadi pada titik benturan dan kerusakan pada paru bisa terjadi luka berupa lebam atau luka tusuk pada paru

1.2. Insiden Secara keseluruhan angka mortalitas trauma thorax adalah 10 %, dimana trauma thorax menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di Amerika Utara. Banyak penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan banyak kematian ini seharusnya dapat dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari trauma tumpul thorax dan hanya 15 – 30 % dari trauma tembus thorax yang membutuhkan tindakan torakotomi. Mayoritas kasus trauma thorax dapat diatasi dengan

tindakan teknik prosedur yang akan diperoleh oleh dokter yang mengikuti suatu kursus penyelamatan kasus trauma thorax.

1.3. Etiologi 1.3.1. Trauma thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang umumnya berupa trauma tumpul dinding thorax. 1.3.2. Dapat juga disebabkan oleh karena trauma tajam melalui dinding thorax.

1.4. Patofisiologi Akibat dari trauma thorax atau dada yang terjadi, menyebabkan gagal ventilasi (keluar masuknya udara), kegagalan pertukaran gas pada tingkat alveolar (organ kecil pada paru yang mirip kantong), kegagalan sirkulasi karena perubahan hemodinamik (sirkulasi darah). Ketiga faktor ini dapat menyebabkan hipoksia (kekurangan suplai O2) seluler yang berkelanjutan pada hipoksia jaringan. Hipoksia pada tingkat jaringan dapat menyebabkan ransangan terhadap cytokines yang dapat memacu terjadinya Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS), Systemic Inflamation Response Syndrome (SIRS), dan sepsis. Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipovolemia ( kehilangan darah ), pulmonary ventilation/perfusion mismatch ( contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus) dan perubahan dalam tekanan intrathorax ( contoh : tension pneumothorax, pneumothorax terbuka ). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan ( syok ).

1.5. Kelainan Akibat Trauma Thorax 1.5.1. Trauma Dinding Thorax dan Paru 1.5.1.1.

Fraktur Iga Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mengalami trauma, perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat terbidainya iga terhadap dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi. Batuk yang tidak efektif untuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan insiden atelaktasis dan pneumonia meningkat secara bermakna dan disertai timbulnya penyakit paru – paru. Fraktur sternum dan skapula secara umum

disebabkan oleh benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada fraktur sternum. Yang paling sering mengalami trauma adalah iga begian tengah ( iga ke – 4 sampai ke – 9 ). Kompresi

anteroposterior

dari

rongga

thorax

akan

menyebabkan lengkung iga akan lebih melengkung lagi kearah lateral dengan akibat timbulnya fraktur pada titik tengah (bagian lateral) iga. Cedera langsung pada iga akan cenderung menyebabkan fraktur dengan pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke dalam rongga pleura dan potensial menyebabkan cedera intratorakal seperti pneumothorax. Patah tulang iga terbawah (10 sampai 12) harus dicurigai adanya cedera hepar atau lien. Pada penderita dengan cedera iga akan ditemukan nyeri tekan pada palpasi dan krepitasi. Jika teraba atau terlihat adanyadeformitas harus curiga fraktur iga. Foto Thoraks harus dibuat untuk menghilangkan kemungkinan cedera intratorakal dan bukan untuk mengidentifikasi fraktur iga. Plester iga, pengikat iga dan bidai eksternal merupakan kontra indikasi. Yang penting adalah menghilangkan rasa sakit agar penderita dapat bernafas dengan baik. Blok interkostal, anestesi epidural dan analgesi sistemik dapat dipertimbangkan untuk mengatasi nyeri.

1.5.1.2.

Fail Chest Terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur. Adanya segmen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius. Kesulitan utama pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi (kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada penderita ini terutama

disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada yang tertahan dan trauma jaringan parunya. Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu diagnosis. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar pemberian cairan benar-benar optimal. Terapi definitif ditujukan untuk mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada penderita trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi.

1.5.1.3.

Kontusio Paru Kontusio paru adalah kelainan yang paling sering ditemukan pada golongan potentially lethal chest injury. Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat

berubah berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati, juga diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara ruangan, SaO2 < 90 %) harus dilakukan intubasi dan diberikan bantuan ventilasi pada jam-jam pertama setelah trauma. Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio paru seperti penyakit paru kronis dan gagal ginjal menambah indikasi untuk melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik. Beberapa penderita dengan kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa intubasi endotrakeal atau ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu 1.5.1.4.

Simple Pneumothorax Pneumotoraks disebabkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama dengan pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari pnerumotoraks akibat trauma tumpul. Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak ada oksigenasi. Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang terkena dan pada perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu menegakkan diagnosis. Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan chest tube pada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris. Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja, maka akan mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan dengan WSD dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi

dengan tekanan positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan pneumotoraks traumatik atau pada penderita yang mempunyai resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang tidak terduga sebelumnya, sampai dipasang chest tube. Pneumotoraks sederhana dapat menjadi life thereatening tension pneumothorax, terutama jika awalnya tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan positif diberikan. Toraks penderita harus dikompresi sebelum penderita ditransportasi/rujuk.

1.5.1.5.

Open Pneumothorax Defek atau luka yang besar pada dinding dada yang terbuka menyebabkan pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui defek karena mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea. Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa stril yang diplester hanya pada 3 sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter Type Valve dimana saat inspirasi kasa penutup akan menutup luka, mencegah kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan menyebabkan tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa penutup sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolotum Gauze, sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan penjahitan luka.

1.5.1.6.

Tension Pneumothorax Tension pneumorothorax berkembang ketika terjadi one-wayvalve (fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau melalui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak

dapat keluar lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan menekan paru kontralateral. Penyebab

tersering

dari

tension

pneumothorax

adalah

komplikasi penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada penderita dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumothorax dapat timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks sederhana akibat trauma toraks tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vena jugularis interna. Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan tension pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan pembalut (occhusive dressings) yang kemudian

akan

menimbulkan

mekanisme

flap-valve.

Tension

pneumothorax juga dapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures). Diagnosis tension pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak boleh terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radiologi. Tension pneumothorax ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi, hipotensi, deviasi trakes, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi vena leher. Sianosis merupakan manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala antara tension pneumothorax dan tamponade jantung maka sering membingungkan pada awalnya tetapi perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada hemitoraks yang terkena pada tension pneumothorax dapat membedakan keduanya. Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis midclavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan mengubah tension pneumothorax

menjadi

pneumothoraks

sederhana

(catatan

:

kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum). Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tetapi definitif selalu dibutuhkan dengan pemsangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 (garis putting susu) diantara garis anterior dan midaxilaris 1.5.1.7.

Hematothorax Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi. Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur diafragma traumatik. Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan perlunya indikasi operasi pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan volume darah yang kelura dari selang dada merupakan faktor utama. Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2 sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi

darah

terus

menerus,

eksplorasi

bedah

herus

dipertimbangkan.. Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga terlihat pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada berukuran besar. Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura dan dapat dipakai dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga memungkinkan dilakukannya penilaian

terhadap

kemungkinan

terjadinya

rupture

diafragma

traumatic. Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan

perlunya indikasi operasi pada penderita hemothorax, status fisiologi dan volume darah yang keluar dari selang dada merupakan faktor utama. Hemothorax kecil, yaitu yang tampak sebagai bayangan kurang dari 15% pada foto Rontgen, cukup diobservasi dan tidak memerlukan tindakan khusus. Hemothorax sedang, artinya tampak bayangan yang menutup 15-35% pada foto Rontgen, dipungsi dan penderita diberi transfusi. Pada pungsi sedapat mungkin dikeluarkan semua cairan. Jika ternyata terjadi kambuhan, perlu dipasang penyalir sekat air. Pada hemothorax besar (lebih dari 35%) dipasang penyalir sekat air dan diberikan transfusi. Sebagai patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jam untuk 2 sampai 4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah harus dipertimbangkan Hemotoraks masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc di dalam rongga pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan trauma tumpul. Kehilangan darah menyebabkan hipoksia. Vena leher dapat kolaps (flat) akibat adanya hipovolemia berat, tetapi kadang dapat ditemukan distensi vena leher, jika disertai tension pneumothorax. Jarang terjadi efek mekanik dari adarah yang terkumpul di intratoraks lalu mendorong mediastinum sehingga menyebabkan distensi dari pembuluh vena leher. Diagnosis hemotoraks ditegakkan dengan adanya syok yang disertai suara nafas menghilang dan perkusi pekak pada sisi dada yang mengalami trauma. Terapi awal hemotoraks masif adalah dengan penggantian volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar dan kemudian pmeberian darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk autotransfusi. Bersamaan dengan

pemberian infus, sebuah selang dada (chest tube) no. 38 French dipasang setinggi puting susu, anterior dari garis midaksilaris lalu dekompresi rongga pleura selengkapnya. Ketika kita mencurigai hemotoraks masif pertimbangkan untuk melakukan autotransfusi. Jika pada awalnya sudah keluar 1.500 ml, kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan torakotomi segera. Beberapa penderita yang pada awalnya darah yang keluar kurang dari 1.500 ml, tetapi pendarahan tetap berlangsung. Ini juga mamebutuhkan torakotomi. Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan kehilangan darah terus menerus sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam, tetapi status fisiologi penderita tetap lebih diutamakan. Transfusi darah diperlukan selama ada indikasi untuk toraktomi. Selama penderita dilakukan resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada (chest tube) dan kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau vena) bukan merupakan indikator yang baik untuk dipakai sebagai dasar dilakukannya torakotomi. Luka tembus toraks di daerah anterior medial dari garis puting susu dan luka di daerah posterior, medial dari skapula harus disadari oleh dokter bahwa kemungkinan dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar, struktur hilus dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung. Torakotomi harus dilakukan oleh ahli bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman dan sudah mendapat latihan. Perdarahan yang terjadi akibat fraktur iga biasanya tidak banyak dan dapat berhenti sendiri. Namun harus tetap diwaspadai akan adanya perdarahan dari arteri interkostalis yang robek. Monitoring untuk semua kasus perdarahan dalam rongga toraks setelah pemasangan water sealed drainage (WSD) adalah sebagai berikut:7 

0-3 cc/Kg BB/ jam................................observasi



>3 - <5 cc/Kg BB/jam.....................observai ketat,

bila

jam.........operasi

berturut

turut

dalam

3



3-5 cc/Kg BB/jam..................................operasi

Pembagian diatas didasarkan pada pembagian syok: Kelas % darah hilang dari total Volume

darah

dalam

volume darah dalam tubuh

(volume darah 80cc/kg BB)

I

15

< 750

II

30

75-1500

III

40

2000

IV

>40

> 2000

cc

Ligasi arteri interkostalis transtorakal posterior dapat mengakibatkan neuralgia interkostalis tetapi tindakan ini cukup baik untuk menyelamatkan jiwa sementara. Tindakan yang terbaik adalah torakotomi dan ligasi arteri interkostalis secara a vue.

1.6. Trauma Jantung dan Aorta 1.6.1.

Tamponade Jantung Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun demikian, trauma tumpul juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh darah besar maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia terdiri dari struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun relatif sedikit darah yang terkumpul, namun sudah dapat menghambat

aktivitas

jantung

dan

mengganggu

pengisian

jantung.

Mengeluarkan darah atau cairan perikard, sering hanya 15 ml sampai 20 ml, melalui perikardiosintesis akan segera memperbaiki hemodinamik. Diagnosis tamponade jantung tidak mudah. Diagnostik klasik adalah adanya Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh sulit didapatkan bila ruang gawat darurat dalam keadaan berisik, distensi vena leher tidak ditemukan bila keadaan penderita hipovolemia dan hipotensi sering disebabkan oleh hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi penurunan dari tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan tersebut lebih dari 10 mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya tamponade

jantung. Tetapi tanda pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat darurat. Tambahan lagi, jika terdapat tension pneumothorax, terutama sisi kiri, maka akan sangat mirip dengan tamponade jantung. Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat inspirasi biasa) adalah

kelainan

paradoksal

tekanan

vena

yang

sesungguhnya

dan

menunjukkan adanya temponade jantung. PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension pneumothorax harus dicurigai adanya temponade jantung. Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan pda berbagai keadaan lain. Pemeriksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non invasif yang dapat membantu penilaian perikardium, tetapi banyak penelitian yang melaporkan angka negatif yang lebih tinggi yaitu sekitar 50 %. Pada penderita trauma tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung perikard, dengan syarat tidak menghambat resusitasi. Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila penderita dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada resusitasi cairan dan mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat untuk mengadakan pemeriksaan diagnostik tambahan. Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan dari perikard adalah dengan perikardiosintesis. Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade jantung pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap usaha resusitasi, merupakan indiksi untuk melakukan tindakan perikardiosintesis melalui metode subksifoid. Tindakan alternatif lain, adalah melakukan operasi jendela perikad atau torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini akan lebih baik dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan. Walaupun kecurigaan besar besar akan adanya tamponade jantung, pemberian cairan infus awal masih dapat meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan cardiac output untuk sementara, sambil melakukan persiapan untuk tindakan perikardiosintesis melalui subksifoid. Pada tindakan ini menggunakan plastic-sheated needle atau insersi dengan teknik Seldinger merupakan cara paling baik, tetapi dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari kantung perikard. Monitoring Elektrokardiografi

dapat menunjukkan tertusuknya miokard (peningkatan voltase dari gelombang T, ketika jarum perikardiosintesis menyentuh epikardium) atau terjadinya disritmia.

1.6.2.

Kontusio Miokard Terjadi karena ada pukulan langsung pada sternum dengan diikuti memar jantung dikenal sebagai kontusio miocard. Manifestasi klinis cedera jantung mungkin bervariasi dari petekie epikardial superfisialis sampai kerusakan transmural. Disritmia merupakan temuan yang sering timbul. Pemeriksaan Jantung yaitu dengan Isoenzim CPK merupakan uji diagnosa yang spesifik, EKG mungkin memperlihatkan perubahan gelombang T – ST yang non spesifik atau disritmia.

1.6.3.

Trauma Tumpul Jantung Trauma tumpul jantung dapat menyebabkan kontusio otot jantung, ruptur atrium atau ventrikel, ataupun kebocoran katup. Ruptur ruang jantung ditandai dengan tamponade jantung yang harus diwaspadai saat primary survey. Kadang tanda dan gejala dari tamponade lambat terjadi bila yang ruptur adalah atrium. Penderita dengan kontusio miokard akan mengeluh rasa tidak nyaman pada dada tetapi keluhan tersebut juga bisa disebabkan kontusio dinding dada atau fraktur sternum dan/atau fraktur iga. Diagnosis pasti hanya dapat ditegakkan dengan inspeksi dari miokard yang mengalami trauma. Gejala klinis yang penting pada miokard adalah hipotensi, gangguan hantaran yang jelas ada EKG atau gerakan dinding jantung yang tidak normal pada pemeriksaan ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG dapat bervariasi dan kadang menunjukkan suatu infark miokard yang jelas. Kontraksi ventrikel perematur yang multipel, sinus takikardi yang tak bisa diterangkan, fibrilasi atrium, bundle branch block (biasanya kanan) dan yang paling sering adalah perubahan segmen ST yang ditemukan pada gambaran EKG. Elevasi dari tekanan vena sentral yang tidak ada penyebab lain merupakan petunjuk dari disfungsi ventrikel kanan sekunder akibat kontusio jantung. Juga penting untuk diingat bahwa kecelakaannya sendiri mungkin dapat disebabkan adanya serangan infak miokard akut. Penderita kontusio miokard yang terdiagnosis karena adanya kondusksi yang abnormal

mempunyai resiko terjadinya disrtimia akut, dan harus dimonitor 24 jam pertama, karena setelah interval tersebut resiko disritmia kaan menurun secara bermakna.

1.6.4.

Ruptur Aorta (Traumatic Aortic Disruption) Ruptur aorta traumatic sering menyebabkan kematian segera setelah kecelakaan mobil tabrakan frontal atau jatuh dari ketinggian. Untuk penderita yang selamat, sesampainya di rumah sakit kemungkinan sering dapat diselamatkan bila ruptur aorta dapat diidentifikasi dan secepatnya dilakukan operasi. Penderita dengan ruptur aorta (yang kemungkinan bisa ditolong), baisanya laserasi yang terjadi tidak total dan dekat dengan ligamentum arteriosum. Kontinuitas dari aorta dipertahankan oleh lapisan adventitia yang masih utuh atau adanya hematom mediastinum yang mencegah terjadinya kematian segera. Walaupun ada darah yang lolos ke dalam mediastinum, tetapi pada hakekatnya ini adalah suatu hematoma yang belum pecah. Hipotensi menetap atau berulang akan ditemukan sedangkan perdarahan di tempat lain tidak ada. Bila rupture aorta berupa transeksi aorta, maka perdarahann yang terjadi masuk ke dalam rongga pleura dan menyebabkan hipotensi biasanya berakibat fatal dan penderita harus dilakukan operasi dalam hitungan menit. Seringkali gejala ataupun tanda spesifik ruptur aorta tidak ada, namun adanya kecurigaan yang besar atas riwayat trauma, adanya gaya deselerasi dan temuan radiologis yang khas diikuti arteriografi merupakan dasar dalam penetapan diagnosis. Angiografi harus dilakukan secara agresif karena penemuan foto thorax, terutama pada posisi berbaring, hasilnya tidak dapat dipercaya. Apabila ditemukan pelebaran mediastinum pada foto thorax dan diberlakukan kriteria indikasi agresif untuk pemeriksaan angiografi maka hasil positif untuk rupture aorta adalah sekitar 3%. Angiografi merupakan pemeriksaan gold standard tetapi Transesofageal Echokardiografi (TEE) merupakan pemeriksaan minimal invasive yang dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis. CT helical dengan kontras saat ini merupakan cara terbaik untuk skrining cedera aorta.

1.7. Manifestasi Cedera Thorax Lain 1.7.1. Emfisema Subkutis

Emfisema subkutis dapat disebabkan oleh cedera airway, parenkim paru, atau yang jarang yaitu cedera ledakan. Walaupun tidak memerlukan terapi, penyebab timbulnya kelainan ini harus dicari. Jika penderita menggunakan ventilasi tekanan positif , pemasangan selang dada harus dipertimbangkan untuk dipasang pada sisi yang terdapat emfisema subkutis sebagai antisipasi terhadap berkembangnya tension pneumothorax. 1.7.2. Crushing Injury to The Chest (Traumatic Asphyxia) Tergencetnya thorax akan menimbulkan kompresi tiba-tiba dan sementara terhadap vena cava superior dan menimbulkan plethora serta petechiae yang meliputi badan bagian atas, wajah dan lengan. Dapat terjadi edema berat, bahkan edema otak. Yang harus diterapi adalah cedera penyerta.

1.8. Initial Assessment Dan Pengelolaan 1. Pengelolaan penderita terdiri dari : a. Primary survey. Yaitu dilakukan pada trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini dimulai dengan airway, breathing, dan circulation. b. Resusitasi fungsi vital. c. Secondary survey yang terinci. d. Perawatan definitif. 2. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius pada Trauma thorax, intervensi dini perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya. 3. Trauma yang bersifat mengancam nyawa secara langsung dilakukan terapi secepat dan sesederhana mungkin. 4. Kebanyakan kasus Trauma thorax yang mengancam nyawa diterapi dengan mengontrol airway atau melakukan pemasangan selang thorax atau dekompresi thorax dengan jarum. 5. Secondary survey membutuhkan riwayat trauma dan kewaspadaan yang tinggi terhadap adanya trauma – trauma yang bersifat khusus.

1. Identitas pasien • • • • • • • • •

Nama pasien No. RM Usia Jenis Kelamin Agama Alamat Pekerjaan Tanggal Masuk Status Pasien

: Tn. D : 398630 : 47 Tahun : laki-laki : Islam : Sale 01/01 Sale : Buruh : 3 Juli 2018 : JKN PBI

2. Data 1. Anamnesis o Keluhan utama : Nyeri dada dan sesak nafas o Riwayat penyakit sekarang: o Onset : 1 hari yang lalu o Kualitas : Nyeri dada kiri bersifat tajam dan semakin nyeri bila ditekan, sesak nafas tidak semakin memberat, dan bersifat menetap o Kuantitas : terus menerus o Faktor memperberat dan memperingan : nyeri dan sesak berkurang jika posisi setengah duduk. o Gejala lain: •

Kronologi: OS datang ke IGD RSUD Soetrasno dengan keluhan nyeri pada dada kiri dan sesak nafas, keluhan dirasakan sejak tadi pagi setelah jatuh dari atap rumah, jatuh posisi menghadap tanah dan dada menghantam pondasi bangunan. Nyeri menetap semakin nyeri setelah dipijat.

Riwayat Penyakit Dahulu o o o o o

Riwayat DM Riwayat Hipertensi Riwayat Stroke Riwayat Jantung Riwayat alergi obat

Riwayat Penyakit Keluarga

:::;:-

  

Riwayat Hipertensi Riwayat DM Riwayat Jantung

:::-

Riwayat Sosial Ekonomi Pasien merupakan pasien JKN PBI 3. Physical Examinations Air Way : Gurgling : (-) Snoring : (-) Dev. Trakea : (-) Breathing : Pergerakan dinding dada Asimetris, dada kiri tertinggal Vesikuler kiri menurun RR 23x/ menit SpO2 97% Circulation : Akral hangat Nadi : Kuantitas : 90x/ menit, Kualitas : regular, kuat angkat, isi dan tegangan cukup. Tekanan Darah : 120/90 mmHg ◦ Kesadaran : compos mentis ◦

Kulit



Jenis kelamin : laki-laki



Usia

: 47 Tahun



BB

: 60 kg



TB

: 165 cm



BMI

: BB(kg)/TB²(m²) = 60/(1,65)2= 22,03 (normoweight)

: warna sawo matang

Vital Sign  Vital Sign 02/06/18 Tekanan darah : 120 / 80 mmHg Nadi : 90 x/menit, frekuensi reguler Suhu : 36.2 oc RR : 23x/ menit, nafas reguler SpO2 : 97 % •

Umum

: Pasien terlihat lemas

• • • • • •

• • • • •

Kulit : gatal (-), luka (-), kuning (-), pucat(-). Kepala : mesocephal, pusing (-) Mata : mata merah(-), konjungtiva anemis(-), sclera ikterik (-), mata kabur (-) Telinga : berdenging (-), kurang pendengaran (-) Hidung : simetris, septum deviasi (-), nafas cuping hidung (-), mimisan (-), secret (-) Mulut : simetris, sianosis (-), b ibir pucat(-), bibir kering (-), mukosa hiperemis (-), deviasi lidah (-), lidah tremor (-), lidah kotor (-), gusi berdarah (-), stomatitis (-). Tenggorokan : nyeri tenggorokan (-), serak (-), nyeri telan (-) Leher : deviasi trachea (-), pembesaran thyroid (-), pembesaran kelenjar limfe (-) v.jugularis colaps (-) distensi (-) Dada : sesak nafas (+), nyeri dada (+), batuk (-) Sistem GI : makan/minum (-), mual (-), muntah (-), BAB (N), BAK (N) Sistem Muskuloskeletal: nyeri otot (-), merah (-), bengkak (-)

Thoraks INSPEKSI

ANTERIOR

POSTERIOR

Statis

RR : 23x/min, Hyperpigmentas (-), tumor (-), inflammation (-), spider nevi (-), Hemithorax D=S, ICS Normal, Diameter AP < LL, Jejas (–)

Hiperpigmentasi (-), tumor (), inflammation (-), spider nevi (-), Hemithorax D=S, ICS Normal, Diameter AP < LL, Jejas (-)

Dinamik

Pergerakan Hemithorax kiri tertinggal

PALPASI

PERKUSI

Nyeri tekan hemithorax sinistra (+), tumor (-), ICS normal, enlargement of ICS (-), Stem fremitus sinistra (melemah), krepitasi (+)

Nyeri tekan (-), tumor (-), ICS normal, Sterm fremitus sinistra (melemah), Krepitasi ()

D= sonor, S= pekak

D= sonor, S= pekak

AUSKULTASI ronchi (-) , wheezing (-) suara vesicular kiri melemah

ronchi (-) , wheezing (-) suara vesicular kiri melemah

Jantung

INSPEKSI Ictus cordis tidak terlihat PALPASI Kuat angkat (-), pulsus parasternal (-), sternal lift (-), pulsus epigastrium(-) PERKUSI Redup Batas atas jantung Pinggang jantung Kanan jantung Kiri jantung

Tak dapat dinilai.

AUSKULTASI katup aorta katup trikuspidal katup pulmonal katup mitral bising HR :90 x/menit

: SD I-II murni, reguler A1
Extremitas EKSTREMITAS

Superior

Inferior

Oedem

-/-

-/-

Akral dingin

-/-

-/-

Reflek fisiologis

+/+

+/+

Reflek Patologis

-/-

-/-

Sensibilitas

+/+

+/+

Deformitas

-/-

-/-

Foto Thorax

Laboratorium 2 Agustus 2018 Hb : 14.5 g/dl Leukosit : 13.5 rb/mm3 Hematokrit : 42.5 % Trombosit : 211 ribu/mm3

4 Agustus 2018 Hb : 11.8 g/dl Leukosit : 9.0 rb/mm3 Hematokrit : 33.3 % Tromobosit : 181 rb/mm3 Problem List 1. Hemotoraks Sinistra 2. Fraktur Costa V-IV Hematotoraks  Ass : Hematothorax Sinistra  Tx :  Famakologi  O2 nasal canul  Posisi semifowler  RL 20 TPM  Inj. Ketorokak 3 x 30 mg  Inj. Asam Tranexmat 3x500 mg  Inj. Vik K 3x1  Inj. Ranitidine 2x50mg  Non Farmakologi  WSD  Montoring KU, Vital Sign Fraktur Costa  Ass : Fraktur Costa V-VII Sinistra Anterior  Tx :  Famakologi  Inj. Ketorolac 3x30 mg  Non Farmakologi  ORIF

DAFTAR PUSTAKA

1. American College of Surgeons. Trauma Toraks. Dalam: Advanced Trauma Life Support. Chicago: American College of Surgeons, 2004 2. Brunicardi F.C. Schwartz’s Principles Of Surgery. Edisi ke Delapan. McGraw-Hill’s, 2004 3. Gopinath N. Thoracic Trauma. IJTCVS 2004; 20: 144–148 4. Komisi Trauma IKABI. Advanced Trauma Life Support Untuk Dokter. Jakarta : Komisi Trauma IKABI. 2004 5. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC. 2005 6. Wanek S, Mayberry JC. Blunt thoracic trauma: f lail chest, pulmonary contusion, and blast injury. Crit Care Clin 20 (2004) 71– 81

Related Documents

Tutorial
February 2021 2
Matlab Tutorial
January 2021 1
Python Tutorial
January 2021 1
Joomla Tutorial
January 2021 1
1. Tutorial
February 2021 0
Tutorial Carding
February 2021 4

More Documents from "bajajrosok"

Tutorial
February 2021 2