Ulat Di Kebun Polri.pdf

  • Uploaded by: sd darmian
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ulat Di Kebun Polri.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 37,845
  • Pages: 127
Loading documents preview...
BUDI HATEES

Ulat di Kebun Polri

Dinamika Polri Menegakkan Keadilan Hukum

2013

Untuk anakku: Raraz Asghari Ghiffarina Hutasuhut

DAFTAR ISI PENGANTAR PENULIS PROLOG Ulat di Kebun Polri Bagian 1 KONFLIK POLRI VERSUS RAKYAT 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Pihak yang tak Bisa Diberitakan Hukum yang Tegak ke Bawah Logika Membela Polisi Provokator yang Sesungguhnya Polisi Sipil untuk Papua Bisnis Sekuriti Polri dengan Investor Membaca Fiksi Terorisme Tersangka Anak-Anak di Tangan Polri Kebenaran Seputar Terorisme

Bagian 2 KONFLIK POLRI VERSUS PENEGAK HUKUM LAIN 1. 2. 3. 4. 5.

Dua Tahun Sang Jenderal Memimpin Polri KPK yang Meniti di Atas Angin Bukan Perkara Penyidik Ketika KPK Menguji Polri Aksi KPK Melucuti Polri

Bagian 3 KONFLIK POLRI VERSUS POLRI 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Polisi Korup Polisi yang Tak Cakap Warna Polisi Kita Netralitas Polri dalam Pilkada Bila Polisi Minta Duit Komisi Polisi Selamatkan Polri Reformasi Pelayan di Tangan Bukan Pelayan

Bagian 4 POLRI DAN DINAMIKA PENEGAKAN HUKUM 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Generasi Korup Kekuasaan yang Memonopoli Kerudung Para Tersangka Jika Koruptor Melawan Bila Tersangka Tampil Saleh Dari Bandit sampai Preman KPK Sudah Lemah Pemancing Kemarahan Islam Mesuji dan Hal-Hal Lainya

EPILOG:

Polisi Meraih Kepercayaan Oleh Krishna Murti

Biografi Penulis

PENGATAR PENULIS Dalam pekerjaan saya sebagai konsultan di bidang komunikasi dan pencitraan public, banyak hal berkesan yang saya alami. Dari sekian banyak hal itu, pengalaman bekerja di lingkungan Mabes Polri paling berkesan. Berkesan, karena lembaga Negara ini menjadi sorotan public dan terstigmatisasi sebagai lembaga yang korup. Sejak reformasi bergulir, seluruh lembaga negara, terutama yang tugas dan tanggung jawabnya berkaitan langsung dengan kepentingan-kepentingan public, dilanda demam reformasi. Ini tuntutan public, tuntutan perubahan zaman, dan hal itu mensyaratkan agar semua stake holder lembaga Negara mempersiapkan diri untuk menjadi bagian dari lembaga public. Tak terkecuali Kepolisian Republik Indonesia (Polri), ikut dalam gelombang besar reformasi, dan bekerja keras serta bekerja peras untuk membangun citra baru sebagai lembaga pelayan kepentingan-kepentingan public. Berbagai regulasi dibuat, mulai dari Instruksi Presiden Republik Indonesia sampai pada surat perintah Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri), dijadikan berlakukan sebagai bagian dari strategi merefromasi diri. Hasilnya, meskipun belum mencapai target-target yang dibuat, tapi menunjukkan perkembangan kea rah positif. Ditandai dengan banyaknya perubahan dalam berbagai sistem birokrasi di lingkungan Polri sampai pada perubahan sistem administrasi hingga sistem punishment and reward di lingkungan anggota Bhayangkara. Tapi, perubahan-perubahan itu tak mampu mengubah stigmatisasi Polri di mata public. Penyebabnya, karena reformasi Polri belum menjadi kebutuhan seluruh anggota Polri, sehingga banyak kendala yang dihadapi terkait bagaimana masih rendahnya dukungan para stake holder Polri. Namun, situasi ini menegaskan satu hal, bahwa persoalan yang dihadapi Polri untuk mereformasi diri bukan hanya domain Polri. Persoalan-persoalan sama bisa ditemukan di lembaga-lembaga Negara lainnya. Cuma, public terlanjur berharap banyak terhadap Polri, sehingga harapan yang beragam itu menyebabkan kekecewaan apabila tidak semuanya terpenuhi. Tantangan seperti ini akan selalu dihadapi Polri, tapi tidak berarti Polri tak melakukan perubahan untuk merealisasikan semangat bersama menjadi polisi sipil. Sebuah konsep yang subtansinya menegaskan, bahwa polisi adalah bagian dari rakyat, dan bekerja untuk kepentingan-kepentingan rakyat. Tata kerja yang tak dipahami oleh rakyat. Inilah situasi yang memaksa Polri untuk terus berbenah sambil menyosialisasikan program-program kerjanya agar melekat di hati public. Kota Sipirok, Februari 2013 Budi Hatees

PROLOG

Ulat di Kebun Polri George Kirkham adalah seorang intelektual yang serius dan tekun. Untuk tahu tentang polisi, ia bekerja paruh waktu sebagai polisi sekaligus pengajar bidang kriminologi di kampusnya, Florida State University. Dua tahun ia melakoni pekerjaan ganda itu, melaksanakan semua tugas yang menjadi tanggung jawab polisi di Amerika Serikat. Ia terapkan pengalaman yang diperolehnya sebagai polisi dalam meningkatkan kemampuannya sebagai seorang kriminolog yang mengajar di kampus. Selama dua tahun itu pula, simpatinya tumbuh kepada mereka yang berprofesi sebagai polisi. Pandangannya yang biasanya miring terhadap polisi perlahan-lahan berubah menjadi lunak. Perubahan besar itu terjadi karena, selama bertugas sebagai polisi, ia dituntut oleh lingkungan pekerjaan yang keras agar menjelma menjadi sosok yang juga keras. Sikap lembut dan terlalu hati-hati dari seorang polisi justru akan membahayakan diri dan rekan-rekan tugas. Itulah kesimpulan yang diperoleh profesor emeritus di Florida State University College of Criminology & Criminal Justice ini. Ia mengakui, tugas dan tanggung jawab polisi yang begitu berat dapat mempengaruhi karakteristik seorang aparat polisi. Karena itu, publik mesti memaklumi betapa berat beban tugas dan tanggung jawab seorang polisi di lapangan. Tentu, kesimpulan Kirkham ini akan didukung semua polisi di dunia ini, termasuk anggota Korps Bhayangkara. Kirkham memberi pembelaan yang luar biasa sehingga upayanya mendapat pujian dari banyak kalangan, termasuk dari institusi-institusi polisi di Amerika Serikat yang menjadikannya konsultan di bidang kriminologi. Meskipun sudah umum diketahui, perilaku malpraktek polisi di Amerika Serikat sangatlah parah. Di negara ini, polisinya dicitrakan sangat buruk seperti digambarkan Lawrence W. Sherman dalam bukunya, Scandal and Reform: Controlling Police Corruption (1878). Korupsi dan polisi Amerika Serikat sudah inheren dan tidak bisa dibicarakan satu per satu seakan-akan tidak berkaitan. Inilah yang diistilahkan Maurice Punch dalam bukunya, Police Corruption: Deviance, Accountability and Reform in Policing (2009), dengan "Soal sebenarnya bukan apel yang busuk. Soalnya adalah kebunnya yang busuk".

Kejahatan atau malpraktek anggota kepolisian dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tidak selalu disebabkan oleh individu polisi itu. Faktor lingkungan pada lingkup internal institusi juga menjadi pendorong utama. Jika lebih dikaji, malpraktek yang dilakukan polisi sesungguhnya tidak selalu disebabkan oleh watak individu polisi, melainkan besar kemungkinan dipengaruhi oleh lingkungan kerjanya. Hal yang sama juga berlaku bagi anggota Polri. Buruknya perilaku malpraktek di kalangan internal Polri, terutama yang dilakukan para perwira tinggi, seperti dalam kasus korupsi mobil simulator ujian SIM di Korlantas Mabes Polri, bukan mustahil telah memotivasi anggota kepolisian di level bawah untuk membenarkan perilaku malpraktek itu. Apalagi pembelaan institusi Polri begitu luar biasa terhadap perwira tingginya, dan tidak peduli jika harus bertarung dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Bagi anggota Polri di level paling bawah, yang setiap hari bertemu muka dengan masyarakat, tentu saja melakukan malpraktek dengan keuntungan miliaran rupiah adalah mustahil. Bagian mereka adalah recehan, dikutip di jalan raya dengan segala jenis pembenaran aksinya atas nama tugas dan tanggung jawab polisi. Membicarakan Polri sambil meminjam sudut pandang George Kirkham sudah tentu akan membuat kita melihat personel polisi sebagai manusia biasa. Tapi, bukan pada posisi manusia biasa itu yang jadi soal hari ini, melainkan pada tugas dan tanggung jawab yang dibebankan di pundak seorang polisi. Yang jadi soal adalah apa yang disebut Maurice Punch pada kutipan di awal, bahwa soalnya bukan pada buah apelnya melainkan pada kebun apelnya. Artinya, bukan personel polisinya yang menjadi soal. Soal sesungguhnya adalah institusi Polrinya. Pada tataran inilah gagasan Reza Indragiri Amriel dalam tulisannya, "Sekarang Selamatkan Polri" (Koran Tempo edisi 23 Oktober 2012), harus didukung. Secara garis besar, ia menitikberatkan pada persoalan pembenahan sumber daya manusia Polri, terutama soal meningkatkan profesionalisme kerja SDM polisi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Caranya, mengedepankan rekrutmen yang sehat dan membenahi lembaga-lembaga pendidikan yang ada di lingkungan institusi tersebut. Bila tawaran itu dikerjakan hari ini, sangat pasti masa depan Polri akan cemerlang. Tapi perlu proses regenerasi dalam rentang waktu yang panjang. Padahal kita butuh Polri hari ini, semua anggota Korps Bhayangkara yang mampu bertugas sesuai dengan Kode Etik Profesi dan Sumpah Tribrata Polri. Anggota Polri yang seperti itu, sesungguhnya, sukar kita temukan dalam kehidupan nyata. Institusi Polri di negara ini memang harus diselamatkan. Citra institusi ini sama seperti polisi dalam dunia sinematografi. Kalau bukan sebagai entitas yang kurang disenangi, pastilah sebagai ikon keangkuhan. Kalau bukan sebagai lambang pelembagaan korupsi, pastilah sebagai lambang pelembagaan kriminalitas. Film, sekalipun sebuah fiksi, tetap merujuk pada realitas. Film tentang polisi merujuk pada realitas aktual yang ada. Sukar mendebat hal itu, karena

fakta menunjukkan kinerja aparat kepolisian di lingkungan masyarakat berbanding lurus dengan citra polisi di dunia film. Mengubah citra buruk Polri menjadi baik merupakan beban berat yang ditempatkan Presiden SBY pada pundak Jenderal Polisi Timur Pradopo. Sejak 20 Oktober 2012 lalu, berarti genap dua tahun Timur Pradopo menjadi komandan pasukan Korps Bhayangkara. Alumnus Akpol angkatan 1978 itu menjadi orang yang dipilih langsung oleh Presiden SBY, meskipun publik dan legislatif di DPR RI cenderung memilih Komjen Polisi Nanan Sukarna untuk menggantikan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri yang habis masa jabatannya. Timur Pradopo tak terlalu diharapkan publik. Dalam banyak diskusi, saya menyebut Kapolri yang satu ini dipilih Presiden SBY sebagai alternatif terakhir. Alternatif yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, tapi jadi pilihan setelah nama Nanan Soekarna menguat di lingkungan DPR RI. Sangat mungkin, Presiden SBY memilihnya untuk menegaskan kepada legislatif bahwa posisi Kapolri merupakan wewenang Kepala Negara. Dan, memang, legislatif akhirnya manut kepada pilihan Presiden SBY. Tapi kini terasa betul bahwa hak Kepala Negara ini pantas dipersoalkan karena berkaitan dengan kepentingan bangsa dan negara. Pasalnya, Kapolri pilihan Kepala Negara ini tak membawa perubahan mendasar pada lingkup internal Polri. Citra Polri tetap saja buruk, malah terkesan lebih buruk daripada citra polisi di dunia film. Pertarungan Polri versus KPK adalah salah satu contoh buruk itu. Polri justru merayakan ego lembaga sebagai institusi yang sejak awal punya hak menangani kasus korupsi, bukan berpikir tentang kepentingan bangsa dan negara untuk menghapus korupsi. Cuma, Polri lupa bahwa wewenang itu sudah direduksi pemerintah bersamaan dengan lahirnya KPK. KPK juga punya wewenang yang sama. Bahkan wewenang KPK melebihi wewenang Polri, karena mempunyai hak melakukan hal-hal yang tak bisa dilakukan Polri secara terbuka dalam menyidik dan menyelidiki perkara korupsi. Mestinya, Polri menyadari bahwa KPK lahir akibat merajalelanya kasus korupsi di negeri ini, karena lembaga penegak hukum yang berwenang soal korupsi itu tidak bekerja secara baik. Terlalu banyak kasus korupsi yang ditangani, tetapi terlalu sedikit koruptor yang diadili. Polri adalah satu di antara lembaga yang tidak bekerja secara baik. Banyak tersangka yang dibiarkan lari ke luar negeri, tidak sedikit surat penghentian pemeriksaan perkara yang dikeluarkan, dan persoalan minimal tuntutan hukuman yang tertulis dalam berita acara pemeriksaan sangat tak mencerminkan rasa keadilan publik. Belum lagi proses penyidikan dan penyelidikan yang berlarut-larut, sehingga tersangka bisa menghilangkan barang bukti. Karena itu, tidak bisa ditawar lagi, Polri harus diselamatkan. Caranya, membasmi ulat-ulat pada kebun yang menyebabkan buah apel berulat. *

BAGIAN 1

Konflik Polri Versus Rakyat 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Pihak yang tak Bisa Diberitakan Hukum yang Tegak ke Bawah Logika Membela Polisi Provokator yang Sesungguhnya Polisi Sipil untuk Papua Bisnis Sekuriti Polri dengan Investor Membaca Fiksi Terorisme Tersangka Anak-Anak di Tangan Polri Kebenaran Seputar Terorisme

Pihak yang tak Bisa Diberitakan Di Lampung, aku pernah mengenal seseorang bernama Sofyan. Ia bukan orang berkebudayaan Lampung, ia seorang Jawa. Leluhurnya, pada dekade 1950-an, didatangkan ke Lampung dari sebuah daerah yang padat di Pulau Jawa. Bersama ratusan keluarga lainnya, leluhurnya kemudian hidup sebagai transmigran di daerah Kabupaten Lampung Timur. Pada dekade 1960-an, keluarganya bersama keluarga lainnya, diusir dari daerah transmigrasi itu. Karena daerah itu, yang semula ditunjuk oleh pemerintah Orde Lama sebagai lokasi transmigrasi, oleh pemerintah Orde Baru kemudian dijadikan kawasan tangkapan air (chatchment area) Gunung Balak. Tapi, kalau hari ini kau ke Gunung Balak, kawasan hutan register itu, tak akan kau jumpai pepohonan di sana. Setelah era Orde Baru selesai, daerah itu dibabat habis entah oleh siapa. Tapi, pasti, kau setuju kalau aku menyebutnya pelaku illegal logging. Illegal logging masuk dalam kejahatan fatal. Cuma, untuk tindak melanggar hukum yang satu ini, aku tak pernah mendengar ada orang yang ditangkap karena mengunduli Gunung Balak. Meskipun akibatnya, sawah-sawah yang ada di kampung Sofyan, sekitar 60 km dari kawasan register Gunung Balak ke arah Timur, dihantam kemarau panjang. Mata pacul petani berdenting seperti menghantam logam. Hanya singkong yang bisa tumbuh di sana. Singkong, yang oleh simbok Sofyan, diubah menjadi tiwul, dijemur hingga hitam pekat di halaman rumah. Itulah makanansehari-hari, mengganti beras yang tak tumbuh lagi. Sofyan tumbuh karena tiwul. Di zaman Orde Baru, Presiden Soeharto pernah makan tiwul--dan para kepala daerah juga melakukan hal yang sama-dan disiarkan TVRI. Presiden melakukan itu untuk menunjukkan bahwa tiwul merupakan makanan tradisional, khazanah kuliner Nusantara. Mereka yang menonton televisi pun mengubah penilaiannya, bahwa makan tiwul bukan berarti tidak sejahtera. Presiden Soeharto pun sukses dengan politik eufemismenya, menghaluskan segala yang terlihat kasar. Meskipun Sofyan, karena kebanyakan

makan gaplek, hanya sehat secara fisik. Secara kognitif, ia sangat sakit. Ia hanya seorang pemuda pengangguran yang cuma lulus SD. Ingin bekerja, tak ada perusahaan yang mau menerima lulusan SD. Ingin memacul di sawah tak ada air. Ia pintar membaca, tapi tak pintar memahami bacaannya. Karena ketidakpintaran itu, Sofyan akhirnya mengikuti ajakan seorang kawannya, yang membuatnya ditangkap polisi. Aku bertemu Sofyan di rumah sakit, terbaring lemas. Sebuah borgol mengungkung kedua tangannya ke besi ranjang. Betisnya dibalut perban, dokter belum lama mengangkat sebutir peluru dari betis itu. Dua polisi menjaga pintu kamar perawatannya. Dari polisi itu aku tahu, Sofyan ditangkap--kemudian "ditembak" tepat di betisnya--karena ia salah seorang pelaku pembegalan sepeda motor. Ketika itu tahun 1999, Kabupaten Lampung Timur baru saja dimekarkan sebagai daerah otonom, lepas dari Kabupaten Lampung Tengah. Kepala Daerah masih seorang pelaksana tugas, M. Nurdin--ia bekas sekretaris daerah di Kabupaten Lampung Tengah-- seseorang yang bercita-cita jika pensiun akan mengurus sebuah pondok pesantren di kampungnya. Tapi, M. Nurdin tidak kenal Sofyan, rakyatnya yang tak sejahtera. Pemuda pengangguran, yang memilih menjadi pembegal karena ingin makan. Di kampung Sofyan, banyak anak muda yang bernasib sama seperti dirinya. Tapi, Sofyan termasuk yang paling sial. Pemuda lain, yang juga menghalalkan cara mencari uang dengan membegal, lebih beruntung. Mereka tak pernah tertangkap, karena pekerjaan itu dilakukan total. Tidak seperti Sofyan, ia setengah-setengah. Ia masih ketakutan. Banyak hal yang ditakutkannya, termasuk ditangkap polisi, lalu ditembak. Meskipun, apa yang ditakutkannya menjadi kenyataan. Sofyan meringis menceritakan nasibnya. Kalau saja aku tak kenal desanya, kalau saja aku tak tahu kepala desanya, tentu tidak akan kupercayai ceritanya. Tapi, karena aku sering ke desanya dalam menekuni pekerjaanku sebagai jurnalis, aku percaya ia tak sedang merangsang rasa ibaku. Karena di kampungnya, hampir tak ada yang bisa disebut berharga, juga tanah yang mereka wariskan turun-temurun. Hanya singkong yang bisa ditanam, harganya pun ditentukan sesuka pihak pabrik. Padahal modal untuk menanam singkong sangat tinggi, untuk beli pupuk dan upah menggarap. Modal petani tak ada, maka produksi singkong menurun, kualitasnya pun tak bagus. Pabrik seenaknya menentukan harga. Rakyatnya kelaparan. Sofyan kelaparan. Pemuda-pemuda lain kelaparan. Tidak seperti Sofyan, banyak pemuda asal kampungnya yang pergi merantau. Seperti Sofyan, di perantauan mereka menjadi perampok dan pembegal. Aku tahu soal itu, karena hampir tiap bulan masyarakat di kampungnya menerima kiriman peti mati berisi pemuda kampung itu yang mati ditembak polisi di tanah perantauan. Peti-peti mati itu diantar dengan ambulance yang dikawal polisi. Ketika menyerahkannya kepada pihak keluarga, polisi menyebut: "dia mati ditembak saat berusaha melarikan diri". Tak seorang pun tahu pasti, ia ditembak saat melarikan diri atau setelah ditangkap. Yang jelas, tak ada visum et repertum. Bekas luka yang tampak hanya pada betis, masih berdarah pula. Selain itu, di dada ada memar seperti habis dihantam dengan keras. Korban jelas habis dianiaya. Tapi, soal itu tak akan

pernah sampai ke publik. Penganiaya, yang menyebabkan kematian orang lain, tidak pernah dihukum. Kau tak akan pernah tahu siapa penganiaya itu. Tapi aku, jurnalis yang membolak-balik mayat itu, tahu pelakunya. Mereka adalah pihak yang tak mungkin diberitakan. Saat itu, pers sedang mengalami euphoria, sama persis seperti kehidupan social. Orang gampang sekali tersulut kemarahannya. Tak cuma rakyat biasa, yang kelaparan dan bodoh itu, tapi juga aparat keamanan. Seperti kehilangan logika berpikir sehat, aparat keamanan yang selalu didesak karena ketidakmampuan mereka menjaga stabilitas keamanan masyarakat, akan bertindak di luar prosesdur. Ketimbang capai mengejar orang yang sama terus menerus, aparat memutuskan member tanda pada setiap tersangka yang tertangkap. Sebutir peluruh di betis kalau masih pemula, sebutir peluruh di mata kaki jika sudah tak pemula, dan sebutir peluruh merengut nyawa bagi merekayang sudah memiliki komplotan. Tak ada hokum, karena aparat adalah hokum. Maka, rakyat yang selalu jadi korban, suatu hari di kampong Sofyan, menjadi sangat marah. Subuh itu tahun 2000, Sofyan setelah bebas dari penjara, hendak ke masjid sebagai bentuk pertobatannya. Tapi, saat berjalan ke masjid, tiba-tiba terdengar sebuah ledakan. Sebutir peluruh menembus dadanya, dan Sofyan terpelanting. Hari itu Sofyan mungkin sial. Sejarah di Kabupaten Lampung Timur mencatat, Rumah Tahanan Sukadana, yang berada di Ibu Kota Lampung Timur, dijebol penghuninya karena kelebihan kapasitas. Mereka yang menjebol kabur, berlari di sepanjang sungai kecil di Sukadana, di tempat Sofyan mengambil air wudhuk. Sofyan tertembak, tepat di dadanya. Pemuda itu tewas. Kematiannya membakar emosi warga kampong. Mereka merangsek ke Polsek Sukadana, merusak fasilitas yang ada di sana. Polisi kaget, lalu menangkapi warga yang terlibat. Tapi, polisi tak pernah menangkap petugas yang menembak Sofyan?*** Sumber: Lampung Post, 2004

Hukum yang Tegak ke Bawah Hamdani adalah orang zaman sekarang, buruh pabrik yang polos dan lugu. Ia tahu hak asasi manusia serbasedikit. Ia sedih melihat perlakuan pemilik modal yang "memperbudak" pekerjanya. Tapi ia tak pernah tahu, banyak orang yang tak suka terhadap segala upaya manusia dalam mendapatkan haknya, terutama jika upaya itu berkaitan dengan investasi bisnis. Hamdani tak punya rasa curiga dalam hidup sekalipun orang menilainya suka protes. Sesungguhnya ia tak sedang protes, tapi segala sesuatu yang disampaikan terlalu lugu kadung dikonsepkan orang sebagai tindak protes. Dan pemilik modal, kelompok yang selalu akan diberi perhatian khusus oleh pemerintah, tidak pernah suka dengan segala kepolosan yang berakhir sebagai penelanjangan. Sebab itu, Hamdani yang polos dan lugu dijadikan pesakitan sebagai tertuduh pencuri sendal di gudang pabrik tempat kerjanya. Pengadilan pun menghukumnya 3 bulan kurungan pada Januari 2002. Kisah hidup Hamdani sangat menggemparkan. Di zaman ketika publisitas diposisikan sebagai bagian dari propaganda politik, derita Hamdani kemudian mengundang simpati banyak kalangan. Politisi mengubahnya menjadi komoditas politik, kemudian di perdagangkan di pasar politik nasional untuk mengkritisi buruknya cara elite penguasa dalam menegakkan keadilan hukum. Inilah persoalan yang, sangat mungkin, tidak akan pernah genah di negeri ini. Senantiasa ada ketidakadilan, ketimpangan, dan senantiasa pula pesakitan pastilah mereka yang dianggap lemah. Hamdani, seorang buruh yang memang lemah, kemudian mendapat dukungan publik. Kisahnya melambung jadi bahan diskusi dimana-mana, inspirasi bagi banyak orang untuk mengkritisi penguasa. Yang menarik kemudian, kisah hidup Hamdani menginspirasi Dedi Setiadi membuat sinetron berjudul "Sandal Bolong untuk Hamdani". Kisah itu menjadi film televisi terbaik dalam Festival Film Indonesia 2004, sekaligus mengukuhkan Dedi Setiadi sebagai sutradara terbaik, serta pemeran Hamdani, Epi Kusnandar, sebagai aktor terbaik. Tapi setelah itu kita tahu, film yang sesungguhnya untuk mempropaganda soal buruknya wajah hukum dan

peradilan di negeri ini kepada orang ramai, ternyata tak membuat kasus serupa berhenti. Kita terenyak menyaksikan AAL, 15 tahun, diinterogasi dan dipukul polisi dengan tuduhan mencuri sandal jepit milik dua anggota Polda Sulawesi Tengah. Laiknya cara polisi bekerja dalam menemukan tersangka, segenap keberanian AAL untuk menyangkal tuduhan dicopoti satu per satu. Dipreteli dengan sangat kasar hingga yang utuh pada dirinya cuma pengakuan bahwa dirinya memang melakukan segala tuduhan itu. Itulah yang ditulis dalam berita acara pemeriksaan (BAP) polisi, yang kemudian dikirim ke pengadilan. AAL diancam hukuman maksimal 5 tahun penjara. Dasar, memang, para penghukum di pengadilan pada zaman sekarang, mereka tak membutuhkan otak untuk mengetukkan palu. Tak membutuhkan hati untuk menyikapi dakwaan. Sangat mungkin juga tidak membutuhkan mata. Mereka hanya butuh palu itu. Bisa jadi mereka tak paham bahwa palu itu akan merenggut kemerdekaan seseorang. Atau, mungkin, mereka tak paham apa itu kemerdekaan. Atau, mungkin, mereka punya konsep kemerdekaan yang dirumuskan sendiri sambil tertawa. "Di rumah tahanan," setidaknya begitu defenisi kemerdekaan bagi penegak hukum, "ada juga kemerdekaan yakni ketika narapida berkumpul, tertawa, dan mengorganisasi diri sebagai narapidana". Tentu saja kemerdekaan para narapidana tidak keliru dipahami sebagai kemerdekaan apabila konsep tentang kemerdekaan hanya sebatas berserikat dan berkumpul, tertawa dan tersenyum. Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah sesuatu yang otonom dalam diri manusia. Kemerdekaan yang dilindungi secara konstitusional. Kemerdekaan Hamdani ada lah kemerdekaan yang lain. Kemerdekaan yang subtansial. Kemerdekaan manusia secara utuh, yang mendorongnya bertanya secara lugu kenapa seseorang harus mendapat perlakuan "semau gue" dari orang lain. Tapi bagi penegak hukum, kemerdekaan seperti itu terlalu lugu, teramat idealis. Kemerdekaan bagi penegak hukum tak berbeda sejak zaman Orde Baru sampai zaman sekarang: tergantung siapa yang memegang palu. Itulah yang memegang kendali, pihak yang berhak menentukan, beberapa lama seseorang harus mendekam di penjara. * Kemerdekaan hanya milik penegak hukum, menggumpali tangan mereka yang keras dan liat. Di sana tak ada demokrasi sekalipun semua warga bangsa mengelu-elukan pentingnya nilai-nilai demokrasi. Demokrasi tidak berarti apapun bagi mereka, kecuali hanya semacam cita-cita yang untuk mewujudkannya seseorang rela melawan hukum. Orang-orang yang merindukan demokrasi itu, bagi penegak hukum, adalah mereka yang pantas diganjar sesuai hukum karena tindakannya mengganggu keamanan dan ketertiban. Seperti Hamdani, kasus AAL mengundang simpati publik. Semua orang membicarakannya di dalam setiap kesempatan. Semua orang menunjukkan keprihatinan. Media mempublikasikannya, secara kontinyu. Tiap hari selalu ada cerita baru seputar kasus AAL. Para pengamat kembali memiliki batu loncatan

baru untuk mengkritisi masalah penegakan hukum di negeri ini. Polisi pun jadi sorotan, diposisikan sebagai institusi yang kekurangan sendal jepit. Tapi, derita AAL ini justru semakin memperjelas, betapa publisitas berada di atas segala-galanya. Di zaman sekarang, di dalam euforia demokratisasi yang hanya dipahami dari sisi menguntungkan pribadi-pribadi, baik Hamdani maupun AAL, hanya bagian terkecil dari realitas publisitas itu. Sebagaimana dalam budaya publisitas, mereka akan segera dilupakan apabila ada fakta lain yang lebih menarik perhatian publik. Dan kasus mereka, permasalahan keadilan hukum yang tak kunjung bisa ditegakkan, kembali berlalu. Kita kembali terenyak ketika nenek berusia 55 tahun, Rasminah, divonis Mahkamah Agung empat bulan 10 hari. Seperti anjing menggonggong, kafilah berlalu. Padahal, sudah banyak institusi yang dikorbankan, yang dihukum publik karena Hamdani, AAL, Rasminah, dan banyak lagi. Kita tidak tahu kenapa hukum hanya tegak ke bawah, ke rakyat jelata. Sedang ke atas, senantiasa menjadi tontonan yang mengasyikkan seperti sebuah sinetron. Tak tajam, tumpul, dan tak mampu menebas apapun.*** Sumber Analisa edisi Selasa, 6 Maret 2012

Logika Membela Polisi Logika-logika polisi untuk membela diri acap tak logis. Begitu juga pembelaan Polri sekaitan penyerbuan Brimob Polda Sumatra Selatan ke Desa Limbang Jaya, Ogan Komering Ilir. Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo menyebut, tidak ada aparat Korps Bhayangkara yang menggunakan peluru tajam. Padahal, Angga, bocah 12 tahun, tewas tertembak di bagian kepala. Warga lain yang luka tembak dan kritis sedikitnya 5 orang. Sudah jelas peluru yang bersarang di kepala Angga itu hanya bisa melesat dari moncong senjata api. Sangat mustahil penduduk Desa Limbang Jaya, yang hidup sebagai petani, memiliki senjata api. Tapi polisi justru identik dengan senjata api, terutama anggota Korps Brimob, apalagi jika kesatuan itu sedang menjalani tugas mengawal objek vital milik Negara. Petugas-petugas itu, menenteng senjata api di tangan, melangkah dengan serap yang sama, membuat kecut siapa saja yang berniat mengacau di tempat objek vital tersebut. Konon, manajemen perusahaan perkebunan tebu PT Perkebunan Nusantara VII Cinta Manis, melaporkan asset badan usaha milik negara (BUMN) itu berupa pupuk sebanyak 127 ton hilang dicuri warga. Berdasarkan laporan itulah, Polda Sumsel kemudian mengirimkan Brimob untuk melakukan sweeping ke perkampungan warga. Entah kenapa untuk urusan masalah kriminalitas pencurian pupuk malah melibatkan Brimob, bukan satuan kerja Reserse Kriminal Umum. Tidak jelas pula prosedur apa yang sedang dijalankan Polda Sumsel, Brimob kemudian melakukan sweeping ke perkampungan penduduk hanya untuk mencari pencuri. Padahal, seharusnya polisi mencoba memahami secara logika bagaimana mungkin pupuk sebanyak 127 ton bisa hilang dari lahan Rayon Tiga PTPN VII Cinta Manis. Bukankah jumlah 127 ton itu tak sedikit, dan tentu butuh sarana transportasi khusus untuk mengangkutnya? Tapi, Polri tampaknya tidak membutuhkan logika seperti itu, lalu buru-buru menindaklanjuti laporan manajemen BUMN tersebut seakan-akan ingin menunjukkan bahwa polisi sangat proaktif. Atau, jangan-jangan soal pupuk hilang ini sesungguhnya hanya sebuah cerita rekayasa. Ini hanya alasan agar polisi bisa merangsek ke perkampungan

penduduk, mempertontonkan kekuasaan sambil menenteng senjata api, dan meruntuhkan keberanian penduduk untuk melawan manajemen PTPN VII Cinta Manis. Brimob Polda Sumsel adalah alat yang paling cocok untuk menghancurkan keberanian warga, sehingga mereka berpikir dua kali untuk melanjutkan protes terkait sengketa lahan dengan PTPN VII Cinta Manis. Ternyata tidak seperti dibayangkan, warga malah melawan hingga terjadi bentrokan. Tentu, perlawanan warga bukan tanpa alas an, terutama jika kita kembali lagi pada peran dan fungsi Polri sebagai salah satu institusi Negara yang bertanggung jawab dalam hal menjaga keamanan dan ketertiban. * Dimana-mana di negeri ini, setiap kali terjadi konflik lahan antara warga dengan perusahaan, entah kenapa selalu menempatkan Brimob sebagai alat perusahaan. Brimob seakan-akan hanya milik perusahaan, membela kepentingan perusahaan, dan memposisikan warga sebagai entitas yang pantas dicurigai karena berpotensi menimbulkan ketidakamanan dan ketidakstabilan. Brimob akan melakukan apa saja untuk perusahaan. Menjadi benteng kokoh bagi perusahaan dengan persenjataan lengkap. Aparat Brimob acap menjadi “anjing penjaga” aset-aset perusahaan, yang terkesan kehilangan rasa social untuk sedikit perduli dengan nasib masyarakat. Bahkan, Brimob tidak menolak ketika perusahaan akhirnya lepas tangan dan membiarkan Brimob berhadap-hadapan langsung dengan warga. Brimob menjadi wakil perusahaan untuk “menyingkirkan” warga. Sebagai bagian dari Korps Bhayangkara, tidak seharusnya Brimob mengedepankan pendekatan kekuasaan keberpihakannya membabi-buta seperti itu. Brimob semestinya berada di tengah-tengah, yakni sebagai institusi negara yang lebih mengedepankan azas praduga tak bersalah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Apalagi jika tugas dan kewajiban itu membuat Brimob harus berhadap-hadapan langsung dengan warga yang merasa haknya direbut, sekelompok orang yang secara psikologis telah dikalahkan oleh sistem dan dipaksa untuk manut. Brimob seharusnya memihak pada kebenaran. Jika kebenaran tentang konflik lahan masih sumir, maka Brimob harus tampil sebagai penengah untuk memfasilitasi kedua belah pihak agar bisa menyelesaikan konflik yang ada. Sayangnya, Brimob yang selama ini dilibatkan untuk menjaga asset-aset perusahaan, baik milik swasta maupun milik negara, tidak pernah berusaha untuk menyelesaikan konflik yang sedang terjadi. Brimob justru memperkeruh suasana, membuat warga selalu dicekam rasa takut. Tidak jarang, rasa takut warga menjadi kenyataan ketika terjadi bentrokan yang menelan korban jiwa di pihak warga. * Masih lekat dalam ingatan ketika kasus Mesuji menyeruak. Sampai hari ini, kematian para petani di Mesuji yang diduga melibatkan anggota Korps Bhayangkara, belum jelas bagaimana penyelesaiannya. Berbagai upaya untuk menyelidiki kasus pelanggaran hak asasi manusia di Mesuji belum membawa hasil yang memuaskan.

Kini, kasus yang mirip muncul lagi. Tapi, kembali, seperti ketika menyikapi kasus Mesuji, Polri lebih banyak membela diri dengan logika-logika yang tak masuk akal. Pernyataan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo terkait penggunaan peluru yang tak tajam sesungguhnya tidak akan menyelesaikan masalah apapun. Sebaliknya akan memperkeruh suasana, karena pernyataan itu menunjukkan bahwa Polri akan selalu membela angogota korpsnya. Sekalipun Polri melakukan penyidikan atas kasus tersebut, tetapi orientasi Polri bukan hendak membuktikan bahwa anggota Korps Bhayangkara melakukan pelanggaran hokum. Penyidikan oleh Polri yang melibatkan Devisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri lebih diarahkan pada upaya menyidi pelanggaran kode etik kepolisian dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab. Output yang diharapkan Polri sesungguhnya untuk menegaskan bahwa Polri akan menegakkan disiplin dari aparatnya. Bukan untuk membuktikan bahwa aparat polisi melakukan pelanggaran hokum yang menyebabkan kematian warga. Bukankah Divisi Propam Mabes Polri merupakan lembaga yang selalu akan membentengi Polri dari segala bentuk realitas yang mungkin dapat meruntuhkan citra Polri. Artinya, sekalipun hasil penyidikan nantinya terbukti bahwa peluru anggota Brimob yang menewaskan Angga, sangat pasti pemilik senjata api tersebut yang akan “dikorbankan”. Jika akhir dari kasus penembakan Brimob terhadap warga Desa Limbang Jaya ini hanya untuk menegakkan disiplin di kalangan aparat polisi, bisa dipastikan bahwa kasus serupa akan terus berulang. Brimob akan selalu “diminta” perusahaan sebagai penjaga asset-aset mereka manakala ada konflik denga warga. Sudah pasti, Brimob akan selalu berpihak kepada perusahaan. *** Sumber Analisa edisi Selasa, 1 September 2012

Provokator yang Sesungguhnya Aksi Polri saat konflik di Batangtoru, Kabupateen Tapanuli Selatan, jauh dari kesan sebagai polisi sipil. Inilah sosok polisi yang merakyat, yang digadanggadang menjadi wajah polisi masa depan di negeri ini pasca reformasi. Polisi-polisi yang sedang bertugas itu, lebih tampak sebagai militer. Seperti polisi di masa lalu ketika Polri masih dalam asupan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Sangat keras dan terkesan gemar akan kekerasaan, karena metoda yang dipakai saat menghadapi rakyat sama persis seperti menghadapi musuh di medan peperangan. Puluhan kali senjata api meledak. Entah diarahkan kemana. Ada jerit kesakitan saat laras sepatu petugas menendangi rakyat. Ada teriakan memaki saat petugas menekan rakyat. Ada pengrusakan. Ada intimidasi. Ada rakyat yang ditangkap, diperlakukan seperti tawanan perang. Pasca kerusuhan itu, Polri masih menyibukkan diri mengejar provokator. Konon, menurut Kabid Humas Polda Sumut Kombes Heru Prakoso, sosok provokator itu sudah terindentifikasi. Entah siapa. Entah ada atau tidak. Yang jelas, apa yang disampaikan Heru Prakoso itu semakin menegaskan betapa Polri akan kesulitan untuk tampil sebagai polisi sipil. * Rakyat dari sejumlah kelurahan di sekitar daerah aliran sungai (DAS) Batangtoru, memang sangat marah. Kemarahan itu tak bisa dikendalikan, kemudian berwujud dalam bentuk tindak kekerasan berupa pengrusakan dan pembakaran fasilitas dan investaris pemerintah. Dan, sungguh, kemarahan rakyat Batangtoru sudah bisa diprediksi bakal meledak. Pasalnya, sebelum kemarahan itu dimanjakan, rakyat Batangtoru sudah menyampaikan ketidaksenangan mereka, tapi tidak diperdulikan. Mereka memprotes rencana PT Agincourt Resources (PT AR), perusahaan pertambangan dan pengolahan hasil tambang emas, mengalirkan limbahnya ke Sungai Batangtoru. Alasan protes jelas, karena sungai itu merupakan sumber hajat orang banyak yang tinggal di sepanjang DAS. Tapi, PT AR bergeming dengan keputusannya membuang limbah ke Sungai Batangtoru. Bermodalkan izin yang dikeluarkan pemerintah daerah, perusahaan ini ngotot menanam pipa pembuangan dari lokasi IPAL (instalasi

pengolahan air limbah) menuju Sungai Batangtoru. Untuk mewujudkannya, PT AR yang menebak bakal ada penolakan dan reaksi keras dari rakyat Batangtoru, meminta bantuan Polri untuk mengamankan pekerjaan menanam pipa tersebut. Maka, Polri, yang selalu beralasan akan mengamankan objek-objek vital sebagai bagian dari tugas dan tanggung jawabnya, tak akan pernah mau tahu duduk persoalan yang sesungguhnya. Konon lagi mengharapkan Polri ikut menganalisis persoalan yang sedang terjadi, atau sekedar mempertanyakan kenapa rakyat Batangtoru masih menyimpan kemarahan. Polri tidak akan pernah memahami bahwa siapa pun pasti akan marah ketika sumber kehidupan mereka, Sungai Batangtoru, dicemari dengan air sisa limbah tambang emas milik PT AR. Juga, Polri tak akan mau tahu apakah kemarahan rakyat Batangtoru itu disebabkan rencana pencemaran itu disetujui oleh pemerintah daerah. Bagi Polri, PT AR tidak akan pernah salah karena didukung oleh pemerintah daerah. Dengan logika berpikir seperti itu, Polri menerima untuk mengawal pemasangan pipa pembuangan limbah milik PT AR. Penerimaan tanpa reserve ini justru semakin memicu kemarahan rakyat Batangtoru, karena mereka merasa tidak ada yang mau memperjuangkan kepentingan mereka. Pemerintah daerah tak mendukung, Polri lebih berpihak ke investor, dan wakil rakyat di DPRD Provinsi Sumatra Utara maupun DPRD Kabupaten Tapanuli Selatan lebih banyak goyang kaki di kursinya. * Sebab itu, wajar bila rakyat Batangtoru marah. Mereka merasa disia-siakan. Perasaan seperti ini sudah berlangsung lama, tapi didiamkan saja. Puncaknya terjadi setelah ada kejanggalan pada hasil rekomendasi warga sebagai persyaratan izin pembuangan limbah tambang ke Sungai Batangtoru. Rekomendasi warga itu menyebut bahwa Sungai Batangtoru tidak terkait langsung dengan siklus hidup warga Batangtoru, dan Pemda Provinsi Sumatra Utara dan Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan mempercayai hal itu. Betapa ganjilnya para elite pemerintah daerah sampai tak tahu kalau Sungai Batangtoru tak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Karena itu, sangat beralasan bila dipertanyakan logika apa yang ada dalam kepala para elite pemerintah daerah dengan mengizinkan PT AR membuang air limbah tambangnya ke Sungai Batangtoru. Pemerintah daerah perlu lebih transparan soal logika berpikirnya, apalagi bila alasan yang diungkap karena air limbah tambang emas itu sudah jernih seusai diproses di IPAL . Teknologi pengolahan air limbah seperti apa yang diaflikasi PT AR sehingga air limbah itu dijamin tidak akan merusak ekosismtem yang ada di sepanjang Sungai Batangtoru. Soal itu tidak pernah disampaikan secara terang, dan pernyataan soal jernih itu setumpuk data yang disebut-sebut sebagai hasil penelitian. Ada baiknya para elite pemerintah daerah mencoba memasak air limbah tambang emas itu, lalu meminumnya di depan orang banyak. Sebab, bila pemertintah daerah mengizinkan pembuangan air limbah ke Sungai Batangtoru, berarti pemerintah daerah menyuruh rakyat meminum air limbah itu. Selama pemerintah daerah tidak melakukan hal itu, bisa dipastikan soal pembuangan air limbah ini akan terus menjadi persoalan bagi rakyat Batangtoru.

Persoalan ini semakin krusial ketika rakyat Batangtoru mengetahui bahwa kepemilikan saham atas PT AR ternyata dikatongi pemerintah daerah sebanyak 5%. Saham 5 itu dihibahkan PT AR kepada perusahaan yang dibangun oleh Pemda Provinsi Sumut dan Pemda Kabupaten Tapsel. Nilai 5% saham itu tidak sedikit, dan devidennya mampu membuat siapa saja yang berorientasi pada kepentingan individu akan tersenyum. Apalagi bila saham 5% itu dikelola oleh elite-elite yang sanggup menjalankan fungsi eksekutorialnya untuk mengabaikan kepentingan public dan melegalisasi kejahatan pencemaran lingkungan. Elite semacam ini menumpuk di Pemda Provinsi Sumut dan Pemda Kabupaten Tapanuli Selatan. Berdasarkan legalitas atas kejahatan pencemaran itu, para elite pun bisa memanfaatkan Polri untuk tampil sebagai “anjing penjaga” kepentingan mereka atas nama tugas dan tanggung jawab sesuai konstitusi. Itu sebabnya, seluruh jajaran Polda Sumut dikirim ke lokasi tambang PT AR untuk mengamankan asset yang 5% milik pemerintah daerah itu dari kemarahan rakyat Batangtoru. Malangnya, Polri masih sibuk mencari provokator padahal kehadiran lembaga Negara ini di Kecamatan Batanghari justru karena diundang oleh investor yang sesungguhnya telah memprovokasi kemarahan rakyat. * Sumber: Analisa edisi 8 November 2012

Polisi Sipil untuk Papua Sudah umum diketahui, harga sembilan bahan pokok sangat mahal di Papua. Naik beberapa kali lipat jika dibandingkan di bagian lain dari Negera Kesatuan Republik Indonesia. Harga yang menyengsarakan, memiskinkan masyarakat yang sudah miskin. Tapi, ternyata, harga keamanan dan ketertiban jauh lebih mahal di Papua, apalagi dalam setahun terakhir. Mahalnya harga keamanan dan ketertiban dipertaruhkan dengan nyawa manusia. Nyawa yang berakhir di jalan-jalan setelah suara letusan dan desing peluruh. Tubuh yang rubuh bersimbah darah. Sayangnya, polisi yang bertanggungjawab menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, ternyata kurang begitu berperan. Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo mengatakan banyak yang harus dilakukan di Papua, yang terpenting Polri akan menjalankan pekerjaan penegakan hukum. Penegakan hukum di Papua, salah satu caranya membuat Polri sibuk mencari pelaku penembakan-penembakan sipil bersenjata. Pencarian yang hanya didasarkan pada paradigma untuk menjaga stabilitas negara agar tidak cemar di mata internasional, karena ada korban penembak yang merupakan warga negara asing. Pencarian bukan didasarkan pada paradigma polisi di era reformasi, berorientasi untuk menjadi polisi sipil yang pendekatan keamanannya manifestasi dari semangat melayani publik (public service organization/PSO). Barangkali pendekataan ini yang membuat korban terus berjatuhan, Pelakunya makin samar dan misterius. Polri semakin meraba-raba, lebih sering menduga-duga bahwa segala persoalan keamanan dan ketertiban implikasi dari kompleksitasnya masalah di Papua. Kompleksitas, karena Polri mengaitkan persoalan yang terjadi dengan eksistensi kelompok separatisme, sebuah penilaian yang akan menstigmatisasi perjuangan masyarakat Papua dalam menuntut perlakuan adil dalam segala dinamika kehidupan dari pemerintah pusat. Dalam situasi serbatak jelas, sulit membayangkan solusi apa yang bisa ditawarkan Polri untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di Papua. Padahal, anggota Korps Bhayangkara melimpah di sana. Selain yang ada di jajaran Polda Papua, masih ditambah pula polisi dari Mabes Polri. “Dalam rangka pengamanan Papua semua kekuatan yang ada akan kami gunakan," kata

Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Pol Saud Usman Nasution, di Mabes Polri, Jakarta, Senin 18 Juni 2012. Kekuatan penuh itu terdiri dari Direktorat I Bareskrim Polri dengan melibatkan unsur Inafis, Puslabfor, serta Badan Intelijen Nasional (BIN). Dengan kekuatan itu, galibnya situasi Papua sudah terkendali. Keamanan dan ketertiban sudah terjamin. Nyatanya tidak, Papua makin mencekam. Apalagi setelah Mako Tabuni, tokoh masyarakat Papua, tewas ditembak polisi. Alasan Polri, Mako Tabuni mendalangi sejumlah kasus penembakan di Papua. Kesimpulan itu didapat dari pengakuan tersangka yang disidik. Publik di Papua tak percaya begitu saja keterangan dari Polri terkait Mako Tabuni. Kita pun sukar memercayainya, karena aparat polisi selalu berorientasi pada penyelesaian berita acara pemeriksaan (BAP) dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Keberadaan BAP identik dengan tugas selesai, meskipun tidak berarti persoalan mendasar telah tersentuh. Bukan persoalan bagi Polri apakah pengakuan para tersangka yang ada dalam BAP itu sebuah kebenaran atau sesuatu kebohongan yang terpaksa jadi kebenaran. Juga, tak masalah besar jika kemudian tersangka membantah isi BAP setelah kasus dilimpahkan ke pengadilan. Pasalnya, teknik investigasi anggota Korps Bhayangkara dalam menyidik dan menyelidiki kasus kriminalitas, tak bergeser dari teknik lama yang mengedepankan kekerasan fisik. Tidak ada yang bisa mengatakan pasti bahwa Mako Tabumi mendalangi sejumlah kasus penembakan. Tapi, tidak aka nada yang bisa membela Mako Tabumi karena Polri telah menembak mati orang yang jadi tersangka utama itu. Memosisikan orang mati sebagai tersangka biasa dilakukan Polri dalam menyelesaikan masalah-masalah yang mengundang perhatian publik. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa Polri senantiasa menganggap, hak asasi manusia (HAM) seorang tersangka sudah selesai begitu namanya jadi tersangka. Posisi tersangka adalah posisi manusia yang tak punya daya tawar hukum, entitas yang bisa diperlakukan apa saja oleh polisi. Mereka, biasanya, tak akan memiliki keberanian untuk membantah apalagi melawan. Seluruh keberaniannya dilucuti hingga untuk menggerutu saja tak punya kemampuan. Barangkali inilah yang keliru dari cara kerja Polri di Papua. Tapi, pasti, Polri tetap merasa bahwa cara mereka menjalankan tugas sudah sesuai petunjuk teknis yang ada dalam surat edaran Kapolri. Bila ada protes, Polri juga punya alasan untuk membenarkan cara kerjanya.Intinya, Polri tak akan pernah melakukan kesalahan. Kalau pun ada, tertuduh pastilah para oknum yang biasanya berasal dari level terbawah dari sistem komando di lingkungan Polri. Mereka yang akan disidang untuk menguji keprofesionalan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab. Akibatnya bisa ditebak, untuk kasus seperti Papua yang berkepanjangan dan menjadi sorotan public. Polri seakan mati langkah. Kompleksitas persoalan di Papua semakin krodit ketika banyak dari korban penembakan di Papua merupakan warga negara asing. Polri semakin tak bisa menemukan solusi yang solutif ketika banyak kalangan mulai mengait-kaitkan situasi tak kondusif di Papua dengan berbagai gerakan separatism yang intensitasnya meningkat selama reformasi bergulir.

Mungkin benar Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Neta S. Pane, menyebut kendala yang dihadapi Polri di Papua karena soliditas aparat polisi tak terjalin. Soliditas aparat di lingkungan Polda Papua sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, terpecah-pecah karena harus memikirkan pelaku penembakan, mengamankan kerusuhan antarwarga, dan sejumlah kasus kriminalitas. Akibatnya, kemampuan institusi ini untuk mengantisipasi masalah keamanan dan ketertiban di lingkungan masyarakat menjadi sangat lemah. Persoalan yang begitu kompleks membutuhkan penanganan yang kompleks. Tiap persoalan bermuara pada hal-hal yang tak bisa disamaratakan sehingga pendekatan yang dilakukan juga mesti dipilah-pilah. Sayangnya, Polri justru melakukan pendekatan yang polanya sama, yakni mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan public. Sekalipun Kapolri menyatakan pendekatan cultural dipakai dalam mengatasi masalah di Papua, tetapi kita paham betul bahwa Papua bukan sebuah wilayah kebudayaan yang homogen. Sebab itu, sangat beralasan bila disebut bahwa Papua adalah ujian terbesar bagi Polri yang konon sudah sukses mereformasi diri melalui Grand Strategy Polri 2005-2025. Sukses-sukses yang terkesan hanya klaim, seperti mengembalikan kepercayaan public (trust building) terhadap institusi Polri, juga meningkatkan kerja sama dengan ragam stake holders (partnership building). Sukses yang hanya muncul dalam Rapat Koordinasi Polri pada awal 2012 ini, yang kemudian menjadi alas an logis bagi Polri untuk mempertanggungjawabkan anggaran yang ada. Padahal, ekspektasi public terus menurun. Di Papua, public bahkan tak punya ekspektasi lagi. Pasalnya, pendekatan keamanan yang dilakukan polisi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya lebih berorientasi pada kepentingan negara dan mengabaikan factor-faktor kemanusiaan. Penangkapan demi penangkapan terhadap warga Papua, juga vonis yang langsung diberikan Polri dengan cara menembak mati Mako Tabuni, menunjukkan bahwa Polri tidak pernah berhasrat untuk menemukan solusiyang solutif. Dengan kata lain, tak ada polisi sipil di Papua. Dalam keseharian, polisi justru semakin menjauh dari kepentingan public di Papua. Polisi lebih dekat sebagai penjaga kepentingan negara, sehingga mind set polisi terhadap tugas dan tanggung jawab sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, justru memosisikan masyarakat sebagai entitas yang harus diawasi dan diamankan. *

“Bisnis Sekuriti” Polri Bersama Investor Polri sebagai institusi Negara harus bertanggung jawab menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Peran dan tanggung jawab itu sangat konstitusional, termaktub dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku sah. Sebab itu, bila Polri melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang menyebabkan kematian masyarakat, sudah pasti tindakan itu bisa disebut inkonstitusional. Inkonstitusional sebuah kejahatan dalam berbangsa dan bernegara, ketidakpatuhan terhadap konstitusi nasional yang sudah diakui. Ketidaktundukan terhadap aturan sebagai sebuah orde dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Cuma, di negeri ini tindak inkonstitusional tak pernah mendapat sanksi, baik secara hukum formal maupun hokum sosial. Sebaliknya, pelakunya acap dilindungi entah untuk kepentingan apa. Publik tak tahu persis, tapi yang terasa kemudian adalah institusi yang inkonstitusional itu hendak dijaga nama baiknya dan dipelihara citranya. * Polri adalah institusi Negara yang kian terpojok oleh tekanan masyarakat sipil, karena acap tak mampu memainkan peran, fungsi, dan tugasnya sebagaimana diamanatkan dalam Tri Brata Polri. Tapi, tekanan public tak mampu membuat Polri mengambil hikmah karena tidak pernah menjadikan kesalahan di masa lalu sebagai inspirasi untuk berbuat lebih baik. Polri malah sibuk merayu publik agar percaya, bahwa Polri senantiasa bekerja dalam koridor yang sudah ditentukan. Supaya terlihat sungguh-sungguh, Polri memainkan apa yang disebut sebagai permainan tanda (play of signs) lewat pemalsuan realitas sehingga citra bersih terbangun dengan sendirinya. Yasraf Amir Piliang dalam esainya, “HantuHantu Kebenaran”, mengasumsikan permainan tanda oleh Polri dengan cara mereduksi berbagai fakta hokum menjadi realitas-realitas tanda (reality of signs), yaitu tanda-tanda palsu (pseudo signs) untuk melencengkan realitas sebenarnya.

Kematian anak kecil oleh sebutir peluruh di Perkebunan Cintamanis, Sumatra Selatan, adalah realitas hukum tentang pelanggaran hak asasi manusia (HAM), tetapi oleh Polri direduksi menjadi realitas social. Polri bermain-main di wilayah administrasi tugas dengan menyebut petugas yang bekerja mengawal asset-aset milik perusahaan tidak dibekali peluruh tajam. Bagi yang tak paham, pastilah akan menganggukkan kepala. Namun, bagi mereka yang mengerti betul bahwa untuk urusan pemilikan senjata api dan amunisi di negeri ini, diperlukan administrasi yang panjang dan berbelit-belit yang dikeluarkan oleh Polri. Sebab itu, sangat mustahil ada peluruh tajam yang merengut nyawa anak manusia di dalam situasi chaos yang dipenuhi anggota Polri jika pelaksanaan tata administrasi itu berjalan sesuai aturan yang ada. Artinya, senjata api dan amunisi illegal tidak akan beredar di lingkungan masyarakat jika Polri bekerja serius dalam mengawasi peredaran senjata api dan amunisi. Maka, jika public berpikir bahwa “sangat mungkin rakyat biasa memiliki senjata api”, maka kita harus kaitkan dengan peraturan perundang-undangan tentang kepemilikan senjata api dan amunisi di negeri ini. Sudah tentu Polri adalah entitas yang paling pantas disalahkan atas beredarnya senjata api dan amunisi di lingkungan masyarakat petani. Ketidakmampuan Polri dalam menjaga peredaran senjata api dan amunisi secara bebas di lingkungan masyarakat, satu indicator lain atas bobroknya profesionalisme Polri dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Perizinan penggunaan senjata api dan amunisi diawasi secara ketat oleh Polri. Di tingkat kepolisian daerah, tugas dan tanggung jawab itu ada di lingkungan Direktorat Intelkam. Seluruh senjata api yang dipegang public sipil, baik untuk kepentingan olah raga maupun kepentingan profesi, tercatat dan terdata di lingkungan Polri. Namun, jika ada senjata api dan amunisi yang beredar dan tidak tercatat di Polri, perlu dipertanyakan keberadaannya. Begitu juga halnya kalau ada peluruh tajam yang menyebabkan kematian rakyat dan peluruh itu tidak tercatat di Polri, hal yang paling pantas dipertanyakan justru “kenapa bisa beredar”. Pada tataran inilah logika berpikir yang disampiakan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo bahwa petugas tidak dilengkapi peluruh tajam, merupakan bagian dari strategi permainan tanda. Fakta hokum direduksi Kapolri menjadi realitas-realitas tanda (reality of signs), yaitu tanda-tanda palsu (pseudo signs) untuk melencengkan realitas sebenarnya. Tentu, muncul pertanyaan mendasar kenapa Kapolri menonjolkan logika berpikir yang tidak logis seperti itu? Kita bisa kembali ke soal awal, terkait keterlibatan Polri dalam menjaga asset-aset milik investor. Di berbagai belahan negeri ini, Polri senantiasa terlibat dan melibatkan diri dalam urusan menjaga asset milik investor. Di belahan Indonesia bagian Timur, Polri harus melibatkan diri untuk mengamankan asset milik perusahaan tambang internasional agar investor besar itu merasa nyaman dalam berbisnis di negeri ini. Di belahan Indonesia bagian Barat, Polri acap diajak terlibat untuk mengamankan asset investor. Pelibatan Polri didorong oleh banyak factor, terutama terkait adanya konflik lahan antara investor dengan masyarakat di sekitar. Dalam kasus perkebunan di Cintamanis, Sumatra Selatan, Polri diajak terlibat sebagai

pengaman asset perusahaan karena investor merasa tertekan oleh tuntutan masyarakat sekitar terkait konflik kepemilikan lahan. Masyarakat merasa lahanlahan milik investor merupakan hak mereka yang diambil alih investor secara paksa di masa lalu, lalu berusaha merebut haknya kembali karena merasa situasi zaman mendukung public untuk mempertahankan hak asasi manusia (HAM) yang melekat dalam dirinya. Persoalan konflik kepemilikan lahan yang menghadapkan masyarakat pace to pace dengan investor, seharusnya dicarikan solusinya lebih dahulu. Jika terkait pengakuan kepemilikan lahan, sudah tentu terkait dengan legalitas hokum, sehingga solusi yang harus ditempuh sudah bisa dibayangkan. Selama status lahan masih dalam persengketaan, sudah seharusnya kedua belah pihak sama-sama bersabar untuk tidak mengelola lahan konflik tersebut. Kenyataan yang terjadi, investor acap tak memiliki kesabaran dan memutuskan meminta perlindungan dari Polri agar menjaga keamanan dan ketertiban dari asset-asetnya. Dengan alasan karyawan hidup dalam balutan rasa takut karena merasa terancam oleh masyarakat sekitar, investor akan melakukan apa saja agar Polri menurunkan anggota di lokasi-lokasi milik investor. Pada tataran inilah Polri akan berubah menjadi lembaga sekuriti (pengaman) asset investor, yang tugas dan tanggung jawabnya lebih dekat sebagai satuan pengaman (satpam) perusahaan. Pilihan Polri sebagai sekuriti investor seharusnya bisa dilakukan dengan lebih mengefektifkan satuan-satuan pengamanan yang ada di lingkungan perusahaan tersebut. Atau, jika investor merasa kenyamanan dan keamanannya terganggu, Polri bisa menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebatas mengecek ke lokasi dengan mengirimkan petugas-petugas khusus dan bukan dari lingkungan Direktoran Brigadir Mobil (Brimob). Disamping itu, Polri juga bisa menawarkan gagasan kepada investor agar menyewa perusahaan swasta jasa pengamanan supaya kualitas pengamanan di lokasi asset bia lebih meningkat. Bukankah Polri juga acap tampil sebagai institusi yang member izin atas berioperasinya perusahaan-perusahaan swasta jasa pengamanan, sehingga sangat paham perusahaan mana yang jasanya cocok untuk dipakai oleh investor. Tapi, investor tak akan menjatuhkan pilihan terhadap perusahaan jasa pengamanan karena yang terpenting bukan untuk mengamankan. Yang terpenting bagi investor adalah menaruh Polri sebagai “penjaga”, sehingga menimbulkan rasa gentar dan jera pada public bahwa secara hokum investor mendapat dukungan dari Negara. Keberadaan Polri di lingkungan investor dapat diartikan sebagai pamer kekuatan (show of porce) dalam rangka menakut-nakuti masyarakat yang hendak menuntut hak atas lahannya yang diambil-alih investor.* Sumber Analisa edisi Selasa, 28 September 2012

Pungli dan Polisi di Sumut Subuh di Kota Aek Hanopan, Labuhan Batu Utara, Sumatra Utara, masih bertahan pada 9 Oktober 2012 lalu, ketika mobil yang saya kendarai dicegat polisi berseragam lengkap dengan rompi hijau menyala. Mereka, lima orang, berasal dari kesatuan lalu lintas yang bertugas di Pos Jaga Lalu Litas di Kota Aek Hanopan. Berdiri di marka jalan dan mencegat semua kendaraan yang melintas di jalan lintas Kisaran-Rantau Perapat itu, seorang polisi menyuruh saya berhenti. Begitu saya berhenti, polisi langsung meminta tanda pengenal saya, lalu surat izin mengemudi, kemudian surat tanda nomor kendaraan bermotor. Taak cukup itu saja, polisi itu meminta kap mobil dibuka karena dia mau melihat nomor mesin mobil. Setelah kap mobil dibuka, polisi itu malah bertanya: “Coba tunjukkan dimana nomor mesin mobil ini?” Karena pertanyaan itu sangat aneh diajukan oleh seorang polisi yang ingin mengetahui nomor mesin mobil, saya balik bertanya: “Bapak tidak pernah belajar di kepolisian dimana letak nomor mesin mobil?” Pertanyaan saya membuatnya marah, dan mulai menyebut-nyebut bahwa dirinya seorang polisi yang sedang bertugas. Mengingat polisi itu bicara tentang tugas, saya langsung bertanya: “Siapa yang menugaskan Bapak mencegat mobil saya Subuh hari, memeriksa nomor mesin, dan menerima uang dari setiap truk yang lewat di depan pos polisi ini?” Polisi berpangkat Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu) itu semakin marah. “Ini pemeriksaan rutin untuk mencegah terorisme,” nada suaranya meninggi. Saya malah tersenyum dan mengatakan: “Sprint siapa? Kapolda, Kapolres, atau Kapolri. Saya tidak pernah mendengar ada sprint itu di lingkungan Polda Sumatra Utara. Lagi pula, pencegahan terorisme kenapa hanya melibatkan lalu lintas.” Si polisi Aiptu itu makin tegang. Nada bicaranya semakin tidak jelas. “Bapak siapa?” tanyanya.

Saya malah balik bertanya: “Kau siapa beraninya mengatasnamakan sprint polisi untuk memungut uang di jalan.” Tiba-tiba saja si Aiptu itu mengajak masuk ke pos polisi. Di dalam markas polisi lalu lintas itu, nada suara tak lagi tinggi. Lalu, dia bilang saya boleh lewat dan membawa kendaraannya saya seakan-akan tidak pernah ada masalah di antara kami. Karena saya terburu-buru, mengingatk perjalanan saya masih harus menempuh 7 jam lagi untuk sampai tujuan, saya buru-buru pergi. Tapi, di sepanjang jalan lintas dari mulai pos polisi di Kota Aek Hanopan itu sampai Kabupaten Padanglawas, saya menyaksikan pemandangan yang sama tentang polisi yang berdiri di tengah-tengah marka jalan. Mereka selalu menerima sesuatu dari setiap pengemudi truk yang melintas di jalan raya tersebut. Beberapa sopir yang sempat saya ajak bicara mengatakan mereka memberikan Rp5.000 sampai Rp10.000 kepada polisi, dan hal itu sudah berlangsung sejak lama. Selalu, bila melintas di jalan tersebut sekitar pukul 06.00 Wib sampai 10.00 Wib, para sopir truk harus menyiapkan uang paling sedikit Rp50.000 karenaa banyak pos yang harus dibagi. * Polisi identik dengan pungutan liar. Di wilayah hukum Polda Sumatra Utara, polisi sebagai “raja pungli” sudah menjadi pendapat umum. Institusi yang memiliki peran dan fungsi untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat ini, justru menumbuhkan keresahan bagi masyarakat terutama pengguna infrastruktur jalan raya. Kita tak tahu persis apa dasar hokum polisi melakukan pungli di jalan raya. Tapi, kita tahu persis bahwa pungli membawa implikasi serius terhadap perekonomian daerah. Pasalnya, mereka yang terkena pungli di jalan raya adalah para pelaku bisnis, baik sector transfortasi maupun sector-sektor usaha lainnya. Pungli menyebabkan ekonomi biaya tinggi, yang membuat ongkos-ongkos produksi semakin mahal, dan pada akhirnya mendorong tingginya harga barang produksi. Pada titik tertentu, pungli mampu mendorong terjadinya inflasi. Barangkali polisi yang bertugas di jalan raya tidak pernah paham multiefek dari setiap kegiatan pungli yang dilakukan. Sebab itu, ada baiknya institusi Polri mempunyai solusi yang tepat untuk meningkatkan kualitas pengetahuan umum dari setiap personil yang bertugas di lapangan. Jangan sampai polisi yang bertugas hanya mengandalkan pengetahuan tentang tugas dan tanggung jawab yang dibebankan di pundaknya, tapi tidak memiliki pemahaman yang bagus terkait dampak dari penyalahgunaan tugas dan tanggung jwab yang begitu sentral. Bentuk-bentuk penyalahgunaan tugas dan tanggung jawab personil Polri di lapangan sangat variatif. Modusnya sama, yakni menggelar operasi khusus yang dikait-kaitkan dengan program-program Polri secara menyelusuruh. Seperti halnya pengalaman saya di Kota Aek Hanopan, polisi lalu lintas mengaku menggelar razia tiap Subuh berkaitan dengan sprint Kapolres Labuhan terkait pencegahan terorisme. Tapi, operasi pencegahan terorisme itu hanya melibatkan anggota korps lalu lintas, dan dikomandani oleh seorang Ajun Inspektur Polisi Satu (Aiptu).

Mungkin Polri mengira masyarakat tidak paham tugas dan tanggung jawab polisi, lalu mengasumsikan bahwa masyarakat tidak akan protes seandainya seorang anggota lalu lintas melakukan penangkapan terhadap tersangka korupsi. Artinya, personil Polri yang ada di lapangan sangat tidak cerdas dan tidak paham masalah perundang-undangan yang berlaku, kemudian mengira masyarakat sama tidak cerdasnya dengan mereka. * Apa yang dilakukan personil Polri di lapangan lebih tepat disebut pembodohan public. Situasi inilah yang membuat Polri tidak akan pernah bisa memahami masyarakat, sehingga berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat acap tidak bisa diselesaikan sebagaimana mestinya. Peran dan fungsi Polri sebagai institusi penegak keadilan hukum tidak dilakukan oleh personil yang memang memahami makna dari penegakkan hokum tersebut. Sudah tentu Polri akan membantah hal semacam ini sembari mengakui bahwa oknum anggota Polri memang banyak yang seperti itu. Persoalan sekarang, polisi semacam ini hanya akan menjatuhkan nama baik institusi Polri. Mereka menjadi entitas yang akan menghabat segala upaya Polri dalam mereformasi diri. Reformasi di tubuh Polri yang berlangsung sejak awal decade 2000-an akan menjadi sia-sia karena tidak diikuti dengan upaya meningkatkan profesionalisme kerja dari personil-personil Polri. * Sumber Analisa 24 Oktober 2012

Polisi Merangsek Rakyat Pada 2 Mei 2012 di Kota Sipirok. Pukul 23.00 Wib pada jam. Ibu Kota Kabupaten Tapanuli Selatan yang belum diresmikan sebagai ibu kota ini, mendadak mencekam. Derap sepatu laras terdengar begitu tajam, juga letusan senjata api yang ditembakkan sembarang. Ratusan anggota Korsp Bhayangkara dari kesatuan Brimob dan Polres Tapanuli Selatan menyerbu sejumlah kampung, merangsek ke dalam rumah-rumah penduduk, dan menangkap 20 orang. Tak jelas kenapa 20 orang itu ditangkapi. Kapolres Tapanuli Selatan, AKBP Subandriyah, membela diri bahwa ke-20 orang itu bukan ditangkap tetapi diamankan. Sudah galib, polisi lebih gemar memakai kata “diamankan” daripada “ditangkap”. Kata “diamankan” identik dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Sekalipun ke-20 orang itu, satu per satu disidik dengan teknik pemeriksaan yang khas polisi: menghalalkan kekerasan. Ke-20 orang itu, yang ditahan di Markas Polres Padangsidempuan— sekalipun mereka ditangkap di wilayah hokum Polres Tapanuli Selatan—ternyata tak mendapatkan perasaan aman. * Potret polisi kita masih sangat buruk. Institusi ini dipenuhi para tukang pukul. Dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya, anggota Korps Bhayangkara lebih memilih pendekataan keamanan yang berorientasi pada negara bukan berorientasi pada kemanusiaan. Wajar bila 20 orang dari Kota Sipirok yang ditangkapi, tak seorang pun yang merasa aman dari kekerasan di dalam kantor polisi. Padahal, tak sedikit dari yang ditangkap itu kemudian dilepaskan karena tak terkait dengan peristiwa kriminalitas apapun. Polri tak meminta maaf kepada masyarakat Kota Sipirok atas kejadian salah tangkap, salah sidik, dan salah memukuli orang itu. Sudah barang tentu, masyarakat yang ditangkapi hanya bisa menggerutu sambil meringis. Mereka tak berani datang ke Pusat Pengaduan Masyarakat di Devisi Profesi dn Pengamanan

(Propam) Mabes Polri untuk mengadukan perlakuan tak manusiawi yang dihadapi. Sekalipun Pusat Pelayanan Divisi Propam Mabes Polri itu sudah mendapat standar internasional di bidang pelayanan masyarakat ketika dipimpin Irjend Pol Budi Gunawan. Bukankah sudah umum diketahui, mengadukan anggota Polri ke Propam sama saja dengan “jeruk makan jeruk”. Itu pekerjaan sia-sia. Banyak kasus menyangkut buruknya kinerja aparat polisi yang diadukan ke Propam, tapi hampir tidak ada penyelesaian yang memuaskan rasa keadilan public. Sekalipun dalam blue print Divisi Propam Polri dijabarkan betapa besar tanggung jawab divisi ini dalam membersihkan institusi Polri dari keberadaan polisi korup, sulit mengharapkan para anggota Korp Bhayangkara akan bertindak tegas terhadap seluruh anggotanya. Kode Etik Profesi Polri sangat mengikat setiap anggota dalam kultur tugas untuk selalu menghormati para komandan. Besar kemungkinan bahwa penegakan disiplin di lingkungan Polri hanya akan tajam terhadap para anggota di level bawah, tapi tumpul jika berhadapan dengan angogota Polri yang pangkatnya ada di level atas. Stratifikasi sosial di lingkungan Polri sangat ketat. Levelitas berlaku dalam segala situasi dan kondisi. Mereka yang berada di level paling bawah, sejak pertama kali masuk sebagai anggota Korp Bhayangkara, sudah menjatuhkan pilihannya untuk tetap berada di level paling bawah. Mereka yang ingin mencapai level atas, harus berjuang keras dengan mengikuti sejumlah tingkatan pendidikan di lingkungan Polri, yang ternyata juga tidak mudah bagi setiap anggota Polri untuk masuk ke dalam lingkungan pendidikan itu. Ini lebih menunjukkan bahwa kinerja Devisi Propam Mabes Polri lebih diarahkan untuk melindungi institusi Polri daripada memenuhi rasa keadilan public. Sudah tentu, kecenderungan ini implikasi dari orientasi tugas dan tanggung jawab cenderung kepada negara daripada kepada kemanusiaan. Pilihan pendekataan keamanan Polri dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab, mendarah daging dalam diri anggota Korps Bhayangkara. Mereka akan bersemangat melakukan tugas pengamanan dan penertiban jika berkaitan dengan kepentingan negara. Tapi akan berpikir dua kali jika berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Dalam kebijakan mengeluarkan izin keramaian, misalnya, polisi tak punya sikap yang jelas. Pembubaran diskusi buku karya Irsad Manji, di Komunitas Salihara oleh polisi dan organisasi masyarakat, salah satu buktinya. Polisi membiarkan organisasi masyarakat merangsek ke dalam ruang diskusi, mengancam para peserta, dan membubarkan kegiatan intelektual tersebut. Padahal, polisi bisa saja melakukan pengamanan dan penertiban sesuai kapasitasnya, sehingga kegiatan tersebut bisa tetap berlangsung. Barangkali polisi terlanjur mendapat informasi keliru mengenai buku yang diskusikan itu, seolah-olah buku tersebut begitu dasyat hingga mampu mengubah moralitas masyarakat pembacanya. Informasi yang salah itu dikaitkaitkan polisi dengan eksistensi negara yang akan melemah, bukan malah mengait-kaitkannnya dengan hak-hak asasi manusia Indonesia untuk mendapatkan pengetahuan. *

Barangkali cuma Polri satu-satunya lembaga di negeri ini yang belum bisa menangkap gelora semangat reformasi. Sekalipun sejak awal telah disiasati reformasi Polri, tapi out put dari kebijakan-kebijakan terkait reformasi Polri tak kunjung membawa perubahan signifikan. Sebaliknya justru menunjukkan, institusi yang berada di bawah naungan Presiden Republik Indonesia ini semakin menjauh dari eksistensinya sebagai polisi sipil. Perkembangan reformasi Polri hanya klaim. Di satu sisi, polisi mengklaim tahap pertama dari Grand Strategy Polri 2005-2025 sukses mengembalikan kepercayaan public (trust building) terhadap institusi Polri. Sukses ini karena reformasi Polri berhasil mengedepankan paradigma baru sebagai polisi sipil. Bahkan, grand strategy pembangunan Polri tahap kedua berupa meningkatkan kerja sama dengan ragam stake holders (partnership building) selama masa 2010-2014, diklaim juga memperlihatkan kemajuan yang signifikan. Tapi, di lain sisi, public melihat pendekatan keamanan yang dilakukan polisi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya lebih berorientasi pada kepentingan negara dan mengabaikan factor-faktor kemanusiaan. Bahkan, hubungan Polri dengan stake holder lain seperti aparat penegak hukum lainnya, justru mempertontonkan hal yang sangat memalukan. Konon pula kerja sama Polri dengan stake holder lainnya seperti Komisi Polisi Nasional (Kompolnas) yang pengurus barunya, periode 2012-2016, baru saja ditetapkan Presiden Sosilo Bambang Yudhoyono. Paradigma baru sebagai polisi sipil yang melayani public dan menjadikan dirinya sebagai public service organization (PSO), sesungguhnya hanya ada di dalam Grand Strategy Polri 2005-2025 dan Renstra Polri 2010-2014. Di dalam keseharian, polisi justru semakin menjauh dari kepentingan public. Polisi lebih dekat sebagai penjaga kepentingan negara, sehingga mind set polisi terhadap tugas dan tanggung jawab sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, justru memosisikan masyarakat sebagai entitas yang harus diawasi dan diamankan. * Sumber: www.apakabarsidempuan edisi 7 Juni 2012

Ditumbalkan Kesumat PTPN VII dan Polisi Di daerah, dimana orang luar bisa kaya raya selama puluhan tahun, Sumini (55) justru hidup miskin papa. Dan urat kemiskinan, galibnya dimana-mana, hampir tak berbeda dengan urat kekufuran. Kedua urat itu bersinggungan pada satu simpul yang bernama keputusasaan. Dalam situasi seperti itu, iman terlemahkan. Maka Sumini, orang tua yang mesti memikul beban menghidupi suaminya, hilang kecerdasan akhlak, lalu mengambil getah karet milik PTPN VII, dan dijual seharga Rp15.000,-. Sumini memakainya untuk makan sehari-hari, untuk mengganjal lapar yang merangsek nyawa. Tapi perbuatan itu, secara hukum formal, melanggar pasal-pasal dalam KUHAP. Meskipun pemerintah, secara hukum manusiawi dan juga konstitusi negara, juga salah karena membiarkan rasa lapar Sumini berkepanjangan menyiksa. Tapi Sumini, yang miskin, yang kehilangan kekuatan keimanan, yang lemah, paling mudah dipersalahkan daripada Negara, yang digerakkan oleh elite-elite. Maka Sumini, warga Dusun I, Wonodadi, Tanjungsari, Lampung Selatan, Provinsi Lampung, tumbal atas kemiskinannya. PTPN VII mengadukan Sumini ke Polsek Tanjung Bintang, menjadikannya tersangka pencuri getah milik perusahaan itu. Dan aparat penegak hukum, yang melihat pasal-pasal dalam KUHAP secara hitam-putih, melemparkan Sumini ke dalam sunyinya buih berukuran 4x4 meter. Dingin dinding malam hari dan kerasnya jeruji besi membuat Sumini tertekan secara psikologis, trauma sangat menekan. Polri dan PTPN VII menjadikan Sumini contoh buruk bagi masyarakat di lingkungannya yang miskin, seperti semacam peringatan bagi siapa saja yang berusaha mengambil getak milik PTPN VII. Aparat penegak hukum dan negara (PTPN VII merupakan badan usaha milik Negara) kehilangan rasa kemanusiaan yang hakikat, seolah Sumini merupakan the enemy yang akan memelaratkan orang banyak, yang dampak kelakuannya lebih parah daripada kelakuan para koruptor yang menggerogoti keuntungan PTPN VII dari dalam institusi itu. PTPN VII yang melaporkan Sumini sebagai pencuri memang mendapat kritik dari banyak kalangan. Media massa cetak, pada awalnya, merespon

penderitaan Sumini sebagai bahan gossip murah yang dapat menaikkan oplag cetakan. Tapi, setelah beberapa kali penanyangan, mendadak berita Sumini senyap. Padahal kasus ini memaksa Ketua DPRD Lampung, Marwan Cik Hasan, mempertanyakan program tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility) tersebut. Nada bicara politisi Partai Demokrat ini mencurigai dana-dana CSR PTPN VII tidak ada manfaat sosial (social benefits) bagi masyarakat di lingkungannya. Buktinya, laba PTPN VII yang tinggi pada akhir tahun lalu, berbanding terbalik dengan kemiskinan dan kepapaan Sumini yang hidup di sekitar lokasi bisnis PTPN VII itu. Tapi legislatif pun bukanlah kumpulan malaikat, yang teriak lantang karena keperdulian kepada Sumini. Legislatif berisi para aktor politik yang mampu dengan cepat dan mudah melahirkan skenario politik yang bisa dimainkan dengan sangat cantik hanya untuk mengambil manfaat personal dari kasus yang mendera rakyat. Setelah legislatif teriak seperti pejuang hak asasi manusia yang tegak sendiri di puncak bukit pengawasan, PTPN VII, kini segalanya menjadi senyap. * PTPN VII sudah banyak merauf untung dari bisnis karet yang diwarisi dari zaman Belanda itu. Selama itu pula, masyarakat di sekitar lokasi budidaya karet hidup hanya sebagai buruh kasar, tak berbeda ketika PTPN VII dikelola kolonialisme maupun dikelola new-kolonialisme yang bertopeng PTPN VII. Buruh yang tidak punya posisi tawar, yang begitu memasuki masa pensiun, tak punya simpanan untuk menghidupi dirinya sendiri. Sumini, bekas buruh dari PTPN VII, juga seperti itu. Ketika masa baktinya usai di BUMN itu, otomatis kehilangan mata pencaharian. Ia pun masuk dalam lingkaran hidup yang pelik, ingin bertahan hidup tapi tak punya keahlian lain. Tidak sedikit warga yang kemiskinannya seperti Sumini. Keberadaan PTPN VII di lingkungan mereka, sama sekali tidak membawa dampak positif. Padahal, tiap tahun PTPN VII selalu mengabarkan perolehan laba yang meningkat drastis, yang menunjukkan BUMN itu sedang tumbuh pada jalur bisnis yang benar. Tapi, pertumbuhan itu melenceng jauh dari realitas social di lingkungannya. PTPN VII makin kaya, tapi masyarakat makin miskin. Sampai di sini muncul pertanyaan apakah ada korelasi antara meningkatnyaa laba PTPN VII dengan pemiskinan warga di lingkungan areal budidaya karet BUMN itu? Jawabannya ada pada cara pengelola PTPN VII dalam memandang masyarakatnya. Dengan mengedepankan kasus Sumini, jelas sekali PTPN VII memandang warga (manusia) di sekitarnya sangat parsial dan reduksionis. Warga (manusia) yang ada di lingkungannya, bagi PTPN VII tidak lebih dari material yang dapat diobservasi secara empiris. Manusia-manusia itu dipandang dan diperlakukan sebagai sosok satu dimensi. Dikonsepsi sama halnya dengan binatang yang berkapasitas otak lebih tinggi dari spesies binatang lainnya. Karenanya, sisi hakikat manusia, yang subtansial dan transendental, dimusnahkan. PTPN VII menganggap tidak ada urgensi antara hakikat manusia dengan eksistensi dan masa depan bisnis mereka di lingkungan masyarakat.

Pada tataran ini kentara sekali PTPN VII sangat kuat dipengaruh cara pandang kapitalis global. Mereka memosisikan warga yang tak ada sangkut pautnya dengan manajemen usaha BUMN itu sebagai entitas asing. Karena itu, seburuk apapun nasib warga di sekitarnya dalam kehidupan, bukanlah persoalan yang mesti dihiraukan PTPN VII. Sebaliknya, itu merupakan hal yang biasa dalam kehidupan yang selalu berada dalam situasi bertahan hidup jika bertarung (survival of the fittest). Pandangan Marxisme, di dalam kapitalisme kaum pemegang modal mengeksploitasi kaum buruh. PTPN VII akan memilih mengorbankan buruh karena institusi bisnis yang memproduksi bahan baku ekspor itu memasuki iklim pasar bebas yang tak pernah aman bagi pengusaha. Persaingan bisnis yang super ketat dan senantiasa bisa dimasuki pengusaha lain, mengharuskan PTPN VII untuk mencari solusi yang paling meminimalkan kerugian. Tidak heran jika warga atau buruh dikorbankan. Karenanya, warga tidak merasa memiliki PTPN VII. Sangat wajar apabila warga mencari alasan untuk berkonflik dengan PTPN VII. PTPN VII sesungguhnya milik negara yang labanya untuk kemakmuran warga bangsa. Namun, dalam pelaksanaan manajemennya, acap terdengar penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada tingkat internal. Penyimpangan yang mengedepan karena SDM PTPN VII berisi manusia yang telah terkontaminasi cara berpikir kaum kapitalis dalam memandang warga. Karena itu, hal-hal yang berkaitan dengan hak warga seperti munculnya kasus klaim hak atas tanah oleh warga, selalu dipandang sebagai perilaku negative warga. Padahal, PTPN VII bisa mengatasi konflik-konflik dengan warga apabila betul-betul menjalankan prinsip-prinsip dasar yang dianut kaum kapitalis global. PTPN VII harus menyadari bahwa hadirnya pasar bebas sesungguhnya dapat menjadi momentum untuk memberdayakan warga menjadi entitas yang produktif. Di era pasar bebas, mereka yang akan hidup dan bertahan adalah mereka yang mampu memproduksi berupa barang maupun jasa. Ludwig von Mises dalam bukunya, Human Action, mengatakan dalam iklim kebebasan berekonomi, manusia dapat berkreasi dan memproduksi berbagai barang dan jasa dalam jumlah yang lebih banyak dan kualitas yang lebih baik. Di pasar bebas konsumenlah yang berdaulat. Posisi konsumen sedemikian rupa sehingga memberi sinyal kepada para pengusaha tentang apa-apa yang mereka inginkan, melaluikeuntungan kepada para pebisnis yang mampu memuaskan keinginan, dan melalui kerugian bagi siapa saja yang gagal melakukannya. Sistem cambuk dan wortel alami pasar memandu keputusan dan proses produksi; memastikan bahwa barang dan jasa akan terus dihasilkan, sehingga meningkatkan upah dan standar hidup. Di sinilah program CSR PTPN VII menemukan relevansinya. PTPN VII harus memberdayakan warga di sekitar menjadi produsen barang maupun jasa yang kuat. Dengan begitu, kemiskinan warga akan mudah teratasi. Tapi, jika warga di sekitar PTPN VII ternyata masih banyak yang papa seperti Sumini, bisa disimpulkan program CSR dari BUMN ini hanya isapan jempol. ***

Membaca Fiksi Terorisme BARANGKALI terorisme bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sama seperti komunisme bagi presiden negeri ini pada dekade 1960-an. Sesuatu yang dilarang.Bedanya dengan komunisme, terorisme tak disebut kiri. Tak disebut kanan. Tapi, menjadi terorisme di negeri ini sama dengan mendapat cap “wajib mati”. Tak perduli informasinya keliru, yang terpenting ditembak. Itu sebabnya, Detasemen 88 Antiteror selalu menembak mati mereka yang dicap teroris. Seperti yang tejadi di Poso belum lama ini. Tiba-tiba saja kita dengar kabar ada teroris mati ditembak. Dan, seperti biasa, penembakan dilakukan karena melawan. Kali ini, mereka yang dicap teroris konon melawan dengan melempar bom pipa. Siapa yang tahu persis soal itu selain Polri. Masyarakat di Poso, di daerah lokasi tembak-menembak itu, tak tahu persis seperti itu kejadiannya. Mereka hanya tahu dan kenal orang yang dicap teroris, yang divonis tembak mati tanpa sebuah persidangan di pengadilan sesuai hokum yang berlaku di negeri ini, sebagai bagian dari mereka. Maka, wajar bila warga marah dan menolak Detasemen 88 Antiteror hadir di tengah-tengahnya. Namun, seperti cap komunis di masa lalu, cap teroris sudah terlanjur menempel dalam benak semua orang sebagai sesuatu yang mengerikan. Tentu, siapa pun tak mau mengambil resiko ada terorisme di lingkungannya, kemudian mendukung Detasemn 88 Antiteror untuk menghancurkan terorisme. Meskipun, jika kepada merek yang mendukung ditanya soal bagaimana mereka meengetahui terorisme itu, maka jawabannya akan sangat tak logis karena terorisme meledakkan bom dan membunuh banyak orang. * SESUNGGUHNYA terorisme hal baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak pernah ada sejarah terorisme mendapat perhatian serius di

negara ini seperti halnya komunisme. Terorisme tak pernah mempunyai partai politik seperti Partai Komunis Indonesia. Terorisme tidak pernah hampir menjadi pemegang kekuasaan Negara seperti komunisme. Terorisme tiba-tiba saja sudah ada dalam perbendaharaan masalah keamanan dan stabilitas negara. Disebut ada, konon karena negeri ini dihantam berbagai kasus peledakan bom dan membunuh banyak orang. Entah lantaran tidak bisa diidentifikasi pelaku peledakan bom itu, tiba-tiba saja kata terorisme menjadi identik dengan aksi-aksi peledakan bom. Sebuah simpul yang sangat verbal, mengacu pada defenisi dalam kamus bahasa. Teroris adalah orang atau kelompok yang melakukan kegiatan teror meneror. Kemudian kita tahu, makna kata teroris semakin menguat dengan penambahan kata “isme” di belakangnya, semacam pewartaan kepada public bahwa terorisme itu memiliki ideologi. Di negeri ini, tak bisa tumbuh ideologi yang berseberangan dengan ideologi negara. Seperti ideologi komunis, yang pernah mencoba menggeser ideologi yang ada. Tapi, ideologi teroris—kalau pun ada – tak pernah ingin menggeser ideologi yang sudah baku di negeri ini dengan sebuah gerakan revolusioner seperti ketika sejarah mencatat ada pemeberoiktakan Gerakan 30 September 1965. Ideologi teroris hanya seakan-akan ingin menggeser, dan soal geser-menggeser itu cuma informasi sepihak yang datang dari Polri. Namun, bila kita tanya bagaimana soal geser-menggeser ideology itu akan terjadi, jawaban Polri hanya cerita panjang tentang serangkaian aksi terorisme yang terdengar bagai fiksi murahan. Karena bentuk terorisme itu tak jelas betul, meskipun Polri selalu punya cerita tentang institusi-institusi baru bentukan terorisme, lengkap dengan para tokoh dan pengikutnya yang bagai zombi karena dicuci otak. * KISAH terorisme mampu merebut perhatian banyak orang. Tiap kali Detasemen 88 Antiteror beraksi, kabar itu cepat menyebar kemana-mana. Para awak media massa mem-blow up dengan semangat juang nasionalisme, seakan-akan menjadi bagian dari sebuah usaha mempertahankan kedaulatan bangsa dari serangan isme baru. Apapun yang disampaikan Polri, tak akan dianalisis sebagai fakta atau fiksi, karena posisi Polri sebagai lembaga Negara merupakan jaminan sahihnya sepotong informasi. Padahal siapa pun tak tahu persis, dari mana Polri mendapatkan informasi yang dijamin pasti sahih itu. Sementara kita, senantiasa mengkritisi, bahwa menembak mati tertuduh teroris sama artinya dengan memutus jaringan informasi. Namun, bila kepada para awak media massa kita tanya apakah cap teroris itu terdengar sangat tak Indonesia? Maka, pasti, jawabannya, sangat tak Indonesia. Sebab di negeri ini, para tersangka masih punya hak untuk membela diri. Konon pula para terduga teroris, seharusnya punya hak yang sama untuk mempertahankan hak asasi manusianya. Sebab itu, sangat mengherankan bila Presiden SBY menyerukan agar semua pihak, termasuk keluarga, mencegah penyebaran paham terorisme dan menolak semua ajakan untuk melakukan tindakan teror. Siapa yang mengajak,

sesuatu yang masih abstrak. Tak jelas identitasnya. Segala sesuatu tentang terorisme terkesan abstrak. Apalagi bila kita kaitkan sumber informasi tentang terorisme yang menyebar di kalangan masyarakat selama ini. Seluruhnya, segala sepak terjang terorisme sampai pada kelompok-kelompok terorisme, selalu datang dari Polri. Bahkan, terakhir Polri menyatakan ada kelompok baru terorisme, meskipun kita tak tahu persis bagaimana menetapkan terorisme itu kelompok baru atau kelompok lama. Tapi, kelompok baru ini, dikait-kaitkan dengan syiah— salah satu kelompok agama Islam yang belakangan acap jadi sasaran kemarahan public di negeri ini. Apakah penetapan kelompok baru terorisme ini berkaitan erat dengan kelompok yang dimusuhi banyak orang seperti halnya dulu kita menyebut terorisme sebagai kelompok Osama bin Laden karena kelompok ini dimusuhi dunia internasional? Sebab itu, ranah factual dari informasi tentang terorisme yang disebarkan Polri pantas diragukan. Semakin pantas diragukan karena para teroris yang ditangkap Polri, ternyata menggugat karena salah tangkap. Artinya, informasi yang diperoleh Polri sendiri tidak diteliti berulang-ulang, kemudian dipakai untuk menangkap para terduga terorisme. *

Polri dan Tersangka Anak-Anak Sulit membayangkan polisi sipil dalam kehidupan nyata, tapi tentang polisi militer siapa pun di negeri ini pasti dapat dengan mudah memberikan contoh. Pada awal Oktober 2012 lalu, di Kecamatan Batangtoru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pagi baru merekah ketika beberapa laki-laki orang mendatangi Camat Batangtoru. Mereka datang dari sejumlah desa di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Aek Batangtoru, sungai yang akan menjadi lokasi pembuangan air limbah perusahaan tambang dan pengolahan logam, PT Agincourt Resources (PT AR). Kedatangan mereka untuk satu hal: mempertanyakan kepada aparat pemerintah daerah kenapa mengesahkan rekomendasi yang menyatakan bahwa Aek Batangtoru tidak terkait dengan hajat hidup orang banyak. Rekomendasi itulah yang dipakai PT AR untuk membuang limbahnya ke Aek Batangtoru, padahal sungai yang mengalir deras itu tempat sekian ribu warga Kecamatan Batangtoru menggantungkan hidupnya. Bukan jawaban yang mereka dapat, tapi pembenaran atas rekomendasi yang cuma mengacu pada keterangan beberapa tokoh. Para tokoh itu, jelas, sangat mustahil mandi cuci kakus di Aek Batangtoru, karena ia punya kamar mandi di rumahnya. Para tokoh itu tak mungkin minum air dari Aek Batangtoru, karena mereka bisa membeli air mineral bergalon-galon. Mereka pun mengajukan protes, menolak pembuangan limbah ke PT AR ke Aek Batangtoru. Tapi, beberapa hari setelah protes itu, PT AR malah member pekerjaan kepada PT Tapanuli Selatan Membangun, badan usaha milik daerah (BUMD), untuk memasang pipa dari lokasi instalasi pembuangan air limbah ke Aek Batangtoru. Merasa tak digubris, ratusan warga dari berbagai kampong di sepanjang DAS Aek Batangtoru menolak penanaman pipa itu. Aksi itu membuat PT AR kecewa, lalu manajemen perusahaan itu menutup operasional perusahaannya untuk sementara waktu. Tapi, beberapa hari kemudian, PT AR kembali melanjutkan proyek penanaman pipa pembuangan limbah itu. Kali ini, pekerjaan yang ditolak warga itu dikawal oleh polisi. Tak perduli pada polisi, yang dianggap terlalu melindungi kepentingan PT AR, pada 30 Oktober 2012 itu rakyat Kecamatan Batangtoru marah. Mereka

membakar mobil polisi, merusak kantor polisi dan kantor camat. Mereka menuntut agar limbah PT AR jangan dibuang ke Aek Batangtoru. Tapi, polisi tak mau tahu dan bergeming dengan tujuan kehadirannya untuk melindungi PT AR sebagai asset investor yang perlu dibela atas nama Negara. Aksi Polri saat itu menunjukkan, lembaga Negara ini seakan-akan milik investor asing pengelola tambang emas itu. Aparat polisi yang sedang bertugas itu, bertindak jauh dari kesan sebagai polisi sipil. Lebih terlihat seperti polisi ketika Polri masih bagian dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI); main bentak, main hentak, dan main lantak. Sangat keras, bukan saja karena laras sepatunya berderap dan membuat warga di Kecamatan Batangtoru itu berlarian ke hutan. Tapi lantaran metoda yang dipakai saat menghadapi rakyat sama persis seperti menghadapi musuh di medan peperangan. Dar der dor senjata api meledak entah diarahkan kemana. Ada jerit kesakitan warga, ada teriakan memaki, ada penyerbuan ke dalam rumah-rumah warga, ada pengrusakan, ada intimidasi, dan ada rakyat yang ditangkap, diperlakukan seperti tawanan perang. Pasca kerusuhan itu, ada informasi Polri menciduk 37 orang. Tidak sedikit yang bilang 50 orang, anak-anak dan orang dewasa. Yang jelas, warga beberapa kampong di Kecamatan Batangtoru banyak yang menghilang. Ada yang bersembunyi di dalam hutan karena ketakutan akan dijadikan tersangka oleh polisi. Tersangka anak-anak, yang belum berusia 20 tahun dan belum menikah, digiring dengan 2 bus dari Kecamatan Batangtoru ke markas Polda Sumatra Utara menempuh jarak perjalanan 12 jam. Disatukan dengan para tersangka yang merupakan orang dewasa. Tak ada perlakuan berbeda selayaknya perlakuan terhadap anak-anak bermasalahan dengan hukum. Polda Sumut sendiri tak terlalu memikirkan soal anak-anak itu, malah sih menyibukkan diri mengejar provokator. Konon, menurut Kabid Humas Polda Sumut Kombes Heru Prakoso, sosok provokator itu sudah terindentifikasi. Entah siapa. Entah ada atau tidak. Yang jelas, apa yang disampaikan Heru Prakoso itu semakin menegaskan betapa Polri akan kesulitan untuk tampil sebagai polisi sipil. Terutama, karena polisi menangkapi anak-anak di bawah umur dengan tuduhan tersangka. Dari 30 sampai 50 warga Kecamatan Batangtoru yang ditangkapi polisi, separuh diantaranya adalah anak-anak. Mula-mula ditahan di kantor polisi dan diperiksa satu per satu. Metoda penanganan polisi terhadap anak-anak jauh dari apa yang diharapkan dengan adanya Surat Keputusan Bersama Kapolri, Jaksa Agung, Ketua MA, Menkumham, Menteri Sosial, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak nomor B/45/XII/2009 tanggal 22 Desember 2009 tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum. Dalam memeriksa ABH, polisi juga mengabaikan UU Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terkait pendampingan mereka oleh seorang atau lebih penasihat hukum. SKB itu sudah disosialisasikan di jajaran Mabes Polri sampai ke tingkat Polda, Polres, dan Polsek lewat STR/29/2010 tanggal 11-01-2010 tanggal 11 Januari 2010 tentang sosialisasi SKB tentang perlindungan anak dan rehabilitasi ABH. Bersamaan dengan itu, Kabareskrim Mabes Polri juga sudah mengeluarkan prosedur standar operasional kerja (SOP) di lingkungan Bareskrim Mabes Polri dalam menangani anak yang berhadapan dengan hokum

(ABH). Artinya, polisi dimana pun berada pasti sudah paham metoda seperti apa yang diterapkan untuk menangani ABH. Sesuai SOP Bareskrim Mabes Polri, perlakuan terhadap ABH ini tidak bisa disamakan dengan perlakuan terhadap orang dewasa. Penyidik yang menangani perkara orang dewasa tidak sama dengan penyidik yang menangani perkara ABH. Nyatanya, jajaran Polda Sumut memukul rata ABH dengan orang dewasa, dan tak menunjuk penyidik khusus untuk ABH. Para tersangka yang dikumpulkan di markas polisi di Kecamatan Batangtoru, baik anak-anak maupun orang dewasa, mendapat perlakuan kasar saat penyidikan dilakukan. Setiap anggota polisi seakan-akan punya wewenang sama untuk memperlakukan para tersangka sebagai apa saja yang mereka kehendaki. Perlakuan polisi di lingkungan Polda Sumut ini terhadap para ABH erat kaitannya dengan ketidakpahaman dan ketidakprofesional anggota Korps Bhayangkara dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab. Keberadaan SOP tak pernah menjadi patokan dalam menjalankan pekerjaan, seakan-akan bekerja di luar dari SOP yang ada justru menjadi semacam tradisi dalam system kerja di lingkungan Polri. Situasi inilah yang menyebabkan institusi Polri akan semakin kesulitan untuk bermetamorfosa menjadi polisi sipil, karena aparat polisi sendiri tidak pernah siap untuk menjadi polisi sipil tersebut.*

Kebenaran Seputar Terorisme Lama tak dengar soal teroris setelah sering mati ditembak, kini malah merebak lagi. Rasa takut kembali menghantui. Pasalnya, para teroris konon akan melakukan aksi yang lebih hebat. Lebih berani, seperti aksi terakhir di Solo, yang berlangsung di depan umum dan menjadikan Polisi sebagai sasaran. Terorisme kini menjadi bagian dari realitas hidup hari ini. Terorisme ada dimana-mana, berada dimana-mana, dan bisa siapa saja. Ia mengancam, menumbuhkan rasa takut dan rasa khawatir yang teramat hebat akan kematian yang mendadak. “Terorisme ada di sekitar kita,” bunyi sebuah pamflet yang disebarkan Polri berikut potret wajah para terorisme. Betapa menyeramkan. Publik pun selalu mewanti-wanti anggota keluarga sendiri agar menghindari berada di tengah-tengah pusat keramaian, karena selalu terbayang para korban ledakan bom bunuh diri yang pernah terjadi di negeri ini. Benarkah negeri kita ini dipenuhi terorisme, kelompok-kelompok teror yang bergerak secara tersembunyi (klandestin)? Kita tak tahu persis, tapi Polri selalu menyebut berulang-ulang tentang adanya jaringan terorisme di negeri ini. Jaringan yang berhubungan dengan jaringan terorisme Internasional, yang anggotanya sangat terlatih untuk melakukan teror, dan memiliki kenekadan yang melampaui logika berpikir. Mau tak mau public percaya, karena Polri begitu meyakinkan. Kepercayaan yang tumbuh karena informasi tentang teroris dikemas sedemikian rapih, didukung oleh fakta-fakta intelijen yang melimpah, dan dipertegas oleh para pengamat terorisme. Tidak cuma itu, soal terorisme pun digiring masuk ke dalam ruang wacana public lewat kemasan yang apik dalam bentuk pernyataan, perbincangan, statement, opini, dialog, talk-show, debat, dan konperensi pers. Semua kemasan itu mampu memperkuat daya magnet informasi tentang terorisme, menarik perhatian banyak kalangan, lalu menjadi pengetahuan umum. Media massa sangat berperan dalam hal ini, karena Polri berhasil menyakinkan pengelola institusi pers agar tidak cuma berfungsi sebagai penyampai informasi, tetapi juga menjadi institusi penguat informasi yang ada.

Daya kritis pers bukan saja melemah, tapi tidak muncul. Malah, tanpa sengaja pers turut serta memberikan legitimasi bahwa Polri merupakan satusatunya lembaga Negara yang paling valid informasinya tentang terorisme. Semakin banyak media massa melibatkan diri, maka informasi tentang terorisme itu semakin menjadi buah bibir. Semakin kecil pula kemungkinan akan ada mempertanyakan kebenaran dari informasi itu. Dalam situasi seperti ini posisi Polri diuntungkan, karena setiap informasi tentang terorisme yang disampaikannya selalu menjadi incaran pers. * Terorisme di negeri ini merupakan fenomena sosial yang menarik untuk disoroti. Terutama karena soal terorisme itu adalah soal yang selalu diapungkan oleh Polri. Tidak ada satu institusi pun di negeri ini yang begitu bersemangat kalau sudah bicara tentang terorisme. Polri selalu akan menyebarluaskan informasi terkait terorisme, mulai dari jaringan terorisme, kelompok-kelompok teroris, sampai individu-individu pelaku. Yang masih hidup maupun yang sudah mati, potret wajahnya disebarluaskan kepada public. Yang masih hidup distigmatisasi sebagai pelaku yang menakutkan, sehingga harus diawasi public agar Polisi bisa menangkapnya hidup atau mati. Sedangkan yang sudah mati, dipublikasikan kepada public dengan mengecapnya sebagai penjahat kelas kakap sehingga pantas untuk tewas. Polri juga sangat serius saat membuat defenisi tentang terorisme, mengotak-kotakkan kelompok terorisme sebagai “kelompok baru” atau “kelompok lama”. Anehnya, public menerima dan meyakini bahwa informasi dari Polri itu tidak keliru. Padahal, sebagian besar fakta yang dikemukakan Polri sesungguhnya tidak diperoleh dari sebuah “proses hukum” di ruang-ruang pengadilan, sekalipun Polri mestinya mencari data dengan cara menegakkan hokum yang berlaku. Untuk soal terorisme, perkara proses hukum tampaknya dikesampingkan. Yang diutamakan adalah vonis langsung, tembak mati di tempat. Polri pun tak perlu memperhatikan azas praduga tak bersalah, apalagi hak asasi manusia. Begitu seseorang atau sebuah kelompok dicap sebagai teroris, maka cap itu juga berarti mati. * Informasi tentang apapun, sesungguhnya, hasil rekayasa dari sumber informasi itu berdasarkan pengalaman, pengetahuan, dan kepentingan yang ada. Tidak ada informasi yang betul-betul sama persis dengan realitas. Begitu juga informasi tentang terorisme yang dipublikasikan oleh Polri, tidak bias sepenuhnya diakui sebagai fakta sesuai realitas. Di negeri ini, Polri sebagai salah satu lembaga penegak hukum, ternyata tidak selalu bekerja untuk menegakkan kebenaran. Dalam banyak kasus, Polri acap memproduksi realitas palsu, mengajukan tersangka palsu, tuntutan palsu, motif palsu, dan memalsukan berbagai fakta yang ada dalam perkara. Kengototan Polri untuk menangani kasus korupsi di Korlantas Mabes Polri, lalu menetapkan tersangka yang berbeda dengan tersangka yang

ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), bisa ditenggarai sebagai upaya untuk memalsukan fakta korupsi yang sebenarnya. Dalam soal terorisme, ada baiknya informasi yang disampaikan Polri diuji obyektivitasnya. Upaya Polri mengimformasikan pelaku terorisme di Solo sebagai “kelompok baru” yang berarti di luar dari kelompok terorisme yang sudah dikenal, pantas dipertanyakan motifnya. Jangan-jangan informasi soal “kelompok baru terorisme” itu semacam strategi untuk meyakinkan public bahwa upaya Polri memerangi terorisme dan menembak mati para pelakunya selama ini berjalan sukses. Seluruh jaringan terorisme sudah diberantas, sehingga bila aksi teror tetap muncul, maka aksi itu dilakukan “kelompok baru terorisme”. Dengan kata lain, perang terhadap terorisme selama ini sesungguhnya belum memperlihatkan hasil yang memuaskan, karena tak mampu memutus jaringan terorisme yang ada. Tapi, Polri tidak ingin disebut gagal dan harus memproduksi ‘motif’ baru. Maka, Polri menyebut “kelompok baru terorisme” untuk menjauhkan institusinya dari tekanan publik, karena Polri pemilik sah atas legitimasi terorisme, pembuat cap yang tak akan terbantahkan. * KORAN TEMPO edisi 6 September 2012

Bagian 2

Konflik Polri Versus Lembaga Penegak Hukum 1. 2. 3. 4. 5.

Dua Tahun Sang Jenderal Memimpin Polri KPK yang Meniti di Atas Angin Bukan Perkara Penyidik Ketika KPK Menguji Polri Aksi KPK Melucuti Polri

Dua Tahun Sang Jenderal Memimpin Polri Ia berpakaian koboi, Susno Duaji. Bertopi lebar, dan berpestol. Ia seorang perwira tinggi Polri, berpangkat komisaris jenderal. Berdiri dalam sikap siap tarung, di pinggangnya meyantel dua pucuk pestol. Di hadapannya berdiri seorang jango dengan sikap yang sama, siap adu tembak. Pada punggung sang jango tertulis kata “polisi”. Tangan keduanya siap mencabut pestol. Beberapa detik kemudian…. Kita tak tahu adu tembak itu terjadi atau tidak. Itu adegan dalam sebuah karikatur yang muncul di sebuah situs berita di Jakarta. Sebuah kritik terhadap pertarungan Komjen Pol Susno Duaji dengan Polri, yang kemudian memicu apa yang dikenal public sebagai Cicak versus Buaya. Dalam pertarungan ini, yang dipicu sesumbar Susno Duaji untuk membongkar kasus-kasus pelanggaran hokum yang dilakukan pejabat-pejabat Polri, seluruh penegak hokum terkena getah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kejaksaan, dan Polri sendiri akhirnya perang tanding, saling berebut hak atas penyelidikan dan penyidikan perkara korupsi. Tapi soal pertarungan itu sudah berlangsung lama. Beberapa tahun lalu, dan kita tak pernah lagi mendengar kabar Susno Duaji. Kita hanya tahu, pada saat perang tanding itu terjadi, sosok mantan Kabareskrim Mabes Polri itu menjadi sosok yang luar biasa bagi public karena ia melawan terhadap institusi yang membesarkannya. Media massa pun berpihak padanya, menganggapnya sebagai tokoh penting yang akan membongkar kebusukan demi kebusukan di lingkungan Mabes Polri. Para intelektual, pejuang-pejuang anti-korupsi, dan orang-orang yang tega menangguk di air keruh, memanas-manasi situasi dengan ragam komentar di media massa. Suasana semakin panas, Susno Duaji semakin tampak seperti dikriminalisasi oleh Polri, dan perwira berdarah Lahat ini semakin popular di mata public. Sayangnya, sampai cerita tentang Susno Duaji menghilang, kita tak pernah tahu apakah “nyanyianya” tentang kebusukan para perwira tinggi di Polri itu benar atau hanya isapan jempol. Kita hanya tahu, ternyata, Susno Duaji sendiri tidak sebersih yang diharapkan. Ia terkait kasus suap yang membawanya ke meja tersangka, kemudian dipenjara di penjara Polri, lalu divonis bersalah oleh pengadilan.

Jangan-jangan Susno Duaji benar. Mabes Polri itu dipenuhi kebusukan. Lantaran sudah terbiasa dengan aroma busuk itu, tak seorang pun penghuninya merasa risih dengan aroma tak sedap itu. Mereka menjadikan aroma busuk itu sebagai bagian dari keseharian. Tapi, ketika orang dari luar lingkungan Polri masuk, tak sulit baginya untuk mencium bau busuk itu. Itulah yang dialami KPK ketika mencium bau busuk dari Proyek Pengadaan Mobil Simulator SIM di Koordinator Lalu Lintas Mabes Polri. * Dua tahun lalu, ketika publik yakin Komjen Pol Nanan Soekarna akan menjadi Kapolri menggantikan Jenderal Pol Bambang Hendarso Daruri yang habis masa jabatannya, tiba-tiba Presiden SBY menetapkan Timur Pradopo sebagai pengganti. Pada 20 Oktober 2010, Presiden SBY kemudian melantik Jenderal Pol Timur Pradopo menjadi orang nomor satu di kepolisian, sementara Komjen Pol Nanan Soekarna yang didukung legislatif menjadi Wakil Kapolri. Duet Timur-Nanan berbeda dengan duet Kapolri-Wakapolri sebelumsebelumnya. Para petinggi Mabes Polri ini punya karakter yang bertolakbelakang, Timur sangat tertutup kepada public, sedangkan Nanan lebih terbuka. Keduanya acap berbeda cara pandang dalam melihat persoalan. Dalam melihat kasus korupsi Proyek Pengadaan Mobil Simulator SIM di Koorlantas Mabes Polri, Timur lebih sibuk meminta saran dari mantan-mantan Kapolri dengan menggelar pertemuan di Gedung Mutiara Djokosoetono, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 6 Agustus 2012 lalu. Sementara Nanan tetap teguh pada peran dan tanggung jawab Polri sebagai institusi penegak hukum terhadap kasus pidana korupsi, karena dugaan korupsi itu sudah lebih dahulu ditangani Polri. Memang, Polri lebih dahulu menangani kasus korupsi di lingkungan internalnya itu. Tapi, Polri lebih terkesan ingin melimpahkan segala kesalahan kepada pengusaha yang menjadi rekanan Polri. Kecenderungan Nanan didukung Kepala Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri, Komisaris Jenderal Sutarman, sehingga kasus yang ditangani Polri ini tetap ditangani Polri berbekal pada logika bahwa Polri yang lebih dahulu menangani kasus tersebut. Namun, lantaran Polri lebih sibuk menggasak rekanan, KPK malah menyibukkan diri menyoroti keterlibatan pejabat yang membuat pekerjaan, yakni pejabat Polri. Karena itulah, KPK kemudian menetapkan mantan Kepala Koordinator Lalu Lintas Mabes Polri, Isnpektur Jenderal Djoko Susilo, sebagai tersangka. Keputusan KPK ini tak disukai Polri. Polri ngotot tetap mengawal kasus itu, sementara KPK mendesak agar Polri menyerahkan kasus korupsi di lingkungan Mabes Polri itu kepada KPK karena KPK sudah menetapkan seorang perwira tinggi Polri sebagai tersangka. Tarik menarik kasus korupsi ini memaksa Presiden SBY untuk turun tangan. Dalam pidatonya, Presiden SBY menyerahkan penanganan kasus korupsi Proyek Mobil Simulator SIM kepada KPK. Hanya menyerahkan, seakan-akan

Presiden SBY meminta kelegaan hati Polri agar menyerahkan kasus tersebut tanpa kecuali. Presiden SBY, seperti biasanya, hanya menuntut kearifan. Beliau, tampaknya, tak terlalu memikirkan apa dampak dari setiap keputusan yang diambil terkait pertarungan para penegak hokum yang sedang bertarung itu. Apalagi jika Presiden SBY paham, bahwa persoalan sesungguhnya bukan pada ketersinggungan dan egoism kelembagaan, tapi lantaran ada subtansial yang tak terjawab dengan orde yang dibuat pemerintah. * PERTARUNGAN Polri-KPK terjadi di masa kepemimpinan Jenderal Pol Timur Pradopo. Pertarungan yang sama juga pernah terjadi di zaman kepemimpinan Kapolri Jenderal Pol Bambang Hendarso Daruri, yang lebih dikenal dengan Cicak versus Buaya. Pemicunya sama, yakni adanya anggota Polri yang terlibat kasus korupsi. Jika di era kepemimpinan Bambang Hendarso Daruri pertarungan KPKPolri dipicu “nyanyian” Komjen Pol Susno Duaji tentang para perwira korup di lingkungan Polri, pada era kepemimpinan Timur Pradopo dipicu pernyataan KPK yang menetapkan perwira tingi Polri sebagai tersangka dalam kasus korupsi Proyek Mobil Simulator SIM di Koorlantas Mabes Polri. Bedanya, pertarungan KPK-Polri di era Bambang Hendarso Daruri tidak sampai melibatkan Presiden SBY sebagai penengah. Pasalnya, Kapolri pada saat itu memiliki sikap tegas untuk tak terpengaruh terhadap isu tentang Cicak versus Buaya, dan tetap menjalankan tugas dan fungsinya selaku penegak hokum. Berbeda dengan Timur Pradopo yang lebih terkesan menghindar dengan tidakadanya sikap tegas, sehingga Presiden SBY harus turun tangan. Kapolri Timur Pradopo baru bersikap tegas dengan menyatakan Inspektur Jenderal (Pol) Djoko Susilo bukan tersangka, justru setelah pidato Presiden SBY tersebut. Tapi, pernyataan Kapolri Timur Pradopo itu justru membuat pertarungan Polri-KPK tidak menemukan titik terang, sehingga pidato Presiden SBY tidak memberi solusi yang berarti. Rebutan untuk menangani kasus korupsi di Koorlantas Mabes Polri masih terus berlangsung, tetapi pertarungan dialihkan ke persoalan yang lebih subtansial sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga terkait sistem penegakan hokum di negeri ini menjadi sangat kacau. Di satu sisi Polri tak mau mengeluarkan Surat Penghentian Pemeriksaan Perkara (SP-3) karena tidak ada aalasan hokum untuk mengeluarkan surat tersebut. Sementara KPK ngotot mengambil alih kasus korupsi itu berikut para tersangkanya, termasuk Irjen Pol Djoko Susilo. * PERTARUNGAN Polri-KPK akan tetap berlangsung selama gaya kepemimpinan Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo masih seperti saat ini. Ketertutupannya yang terkesan seakan-akan menghindari persoalan, bisa meruntuhkan kridibilitas institusi Polri di mata public. Situasi ini akan membuat program-

program Polri yang terangkum dalam grand strategi Polri tidak akan membawa pengaruh apapun terhadap institusi Polri. Publik tahu persis, terpilihnya Jenderal Pol Timur Pradopo sebagai Kapolri membawa misi dan visi baru Polri sebagai institusi yang akan diterima oleh public. Misi dan visi yang terangkum jelas dalam program-prograam kerja Polri terkait grand strategy dan Reformasi Birokrasi Polri (RBP) yang kini memasuki gelombang kedua. Baik grand strategy maupun RBP merupakan program kerja yang akan membuat institusi Polri menjadi institusi yang disukai dan dipercayai public. Sayangnya, setelah dua tahun menjadi Kapolri, penerapan atas grand strategy dan RBP itu belum terlihat hasilnya. Institusi Polri malah terlihat lebih sibuk mengurusi masalah pembenahan-pembenahan internal, tetapi gagap dalam mengatasi persoalan-persoalan public. Dalam hal pelayanan public, misalnya, system dan pola manajemen pelayanan public yang telah dikristalisasi dalam RBP, masih jauh panggang dari api. Polisi di negeri ini belum bisa melayani public, sebaliknya malah lebih banyak menuntut dilayani public.* Sumber Analisa 30 September 2012

KPK yang Meniti di Atas Angin Jika hari ini kepada setiap orang diajukan pertanyaan: “Apakah Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo layak untuk diganti?” Sudah pasti semua orang akan mengangguk, lalu menambahkan kata sangat pantas karena sudah genap dua tahun beliau memimpin Korps Tri Brata itu sejak dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada menjadi Kapolri pada 20 Oktober 2010 di Istana Negara Jakarta. Jawaban seperti itu merupakan buntut perang terbaru Polri lawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah pidato Presiden SBY, Polri menjadi pihak yang pantas dipersalahkan, terutama karena institusi ini menjadi sangat egois dan munafik jika berkaitan dengan kelemahan di lingkungan internalnya. Sedangkan KPK menjadi pihak yang memenangi pertarungan itu dengan piala berupa hati public dalam bentuk dukungan yang luas. Semua orang merayakan kemenangan KPK sembari menyepelekan Kapolri dan institusi yang dipimpinnya. Namun, harus diakui bahwa solusi yang ditawarkan Presiden SBY hanya menjawab satu pertanyaan seputar siapa yang paling berhak menangani kasus korupsi proyek Simulator SIM di lingkungan Koorlantas Mabes Polri. Kasus yang diklaim Polri sebagai tanggung jawabnya karena berkaitan dengan salah seorang perwira tinggi Polri yang dinyatakan KPK sebagai tersangka, oleh Presiden SBY ditegaskan sebagai tanggung jawab KPK. Publik menyukai keputusan itu dan merasa memiliki Kepala Negara, padahal subtansi persoalan sebetulnya adalah bagaimana mencarikan solusi perang Polri lawan KPK. Di antara kedua lembaga ini masih ada bara, kelak akan menyala menjadi api dan memunculkan perang babak ketiga, keempat, kelima, dan seterusnya. Kedua lembaga ini, yang peran dan fungsinya dalam memberantas korupsi terkesan tumpang-tindih, akan menjadi dua lembaga Negara yang selalu bertentangan. Masing-masing terfragmentasi ke dalam dua kutub yang senantiasa bersitegang. Masing-masing juga akan mencari pendukung lewat berbagai upaya yang justru akan membuat pemberantasan korupsi menjadi tak penting.

Memenangi pertarungan menjadi sangat penting bagi kedua lembaga ini, terutama karena kasus pidana korupsi yang ditangani tidak berdiri sendiri, tetapi kait berkait dengan kepentingan kedua lembaga ini. Korupsi merupakan kejahatan khusus seperti acap diungkapkan Baharuddin Lopa, dan sifat khususnya itu kait berkait dengan segala dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Korupsi bersama para aktornya yang sebagian besar tidak Cuma orang-orang yang secara ekonomi maupun politik sangat berpengaruh di negeri ini, tapi juga sangat memahami betapa watak para penegak hokum sangat labil. * Kita harus mengakui bahwa para pelaku tindak pidana korupsi bukan saja tahu dan kenal siapa penegak hukum, tapi juga sangat memahami bahwa penegak hokum di negeri ini lahir dari tatanan peraturan perundang-undangan yang memiliki watak korup. Upaya DPR untuk merevisi undang-undang tentang KPK bisa disebut sebagai upaya yang didorong oleh watak korup itu, keinginan bersama untuk membuat KPK menjadi lembaga ecek-ecek meskipun tanpa revisi itu KPK terkesan tak garang. Di samping itu, para penegak hokum sama sekali tidak mengenal pelaku korupsi, dan mereka senantiasa meraba-raba siapa yang menjadi pelaku tersebut dengan menjalankan penyidikan dan penyelidikan. Sementara petugas melakukan kerja penyidikan dan penyelidikan, para pelaku korupsi juga melakukan tugas berupa mengaburkan seluruh jejak yang mengarah kepada dirinya dengan berbagai upaya yang tak kalah serius dibanding kerja penegak hokum. Dalam kasus korupsi Proyek Pusat Pelatihan Olahraga Hambalang yang sejak awal mengait-kaitkan nama Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng sebagai tersangka, belakangan namanya tidak ada setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengaudit penggunaan uang negara dalam proyek tersebut. Sudah tentu Andi Mallarangeng punya andil besar untuk menghapus keterkaitan namanya dalam kasus korupsi itu, termasuk memanfaatkan BPK sebagai lembaga audit resmi yang paling berperan dalam menentukan total kerugiaan Negara akibat korupsi. Ada banyak kasus korupsi yang sejak awal dikait-kaitkan dengan tersangka tertentu, tetapi kemudian si tersangka tidak terlibat di dalamnya setelah penegak hokum selesai melakukan proses penyidikan dan penyelidikan. Upaya Polri untuk menangani kasus korupsi proyek Simulator SIM di lingkungan Koorlantas Mabes Polri, sangat kuat dipengaruhi oleh keinginan institusi ini untuk mengaburkan keterlibatan perwira tingginya. Bukan muntahil bila KPK juga akan melakukan upaya serupa agar terlihat bersih apabila ada anggota KPK yang terkait kasus korupsi, meskipun selama ini yang terungkap ke hadapan public justri para hakim mantan KPK yang terkait tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme. *

Sebab itu, sulit membayangkan bagaimana penegak hukum yang selalu beratarung dalam merebut hati public akan bekerja serius sementara mereka sangat dikenal oleh para pelaku kejahatan. Artinya, akan sangat mudah bagi pelaku korupsi untuk menghindari penegak hokum agar dirinya dan kroninya tidak terkait, termasuk mengadu-domba para penegak hukum dengan mengungkit-ungkit perkara siapa yang paling berwenang dalam kasus tersebut. Sebab itu, semua lembaga yang dibentuk di negeri ini dan memiliki kewenangan yang sama untuk menegakkan keadilan hokum terhadap pelaku korupsi, tidak boleh menjadi penyebab karut-marut penegakan keadilan hukum bagi koruptor di negeri ini. Semua lembaga bisa bersinergi dalam memberantas korupsi, terutama KPK dengan Polri. Sinergisitas yang akan membuat upaya pemberantasan korupsi di negeri ini tak lagi sekedar wacana dan tidak melulu melebar menjadi persoalan tarik menarik kepentingan atas kasus korupsi yang menjadi pengetahuan umum bagi public. Lembaga-lembaga penegak hokum tidak boleh lagi terfragmentasi ke dalam dua kubu yang sama-sama ingin menjatuhkan lawan. Juga, tidak perlu bersaing mendapat pengakuan sebagai entitas yang paling sukses memberantas korupsi. Pengakuan itu tak penting sekalipun berkaitan langsung dengan tugas dan tanggung jawab yang tertera dalam konstitusi, karena yang terpenting adalah pemberantasan korupsi.*

Bukan Soal Penyidik APA modal seseorang untuk bisa jadi penyidik sehingga ia menjadi begitu penting di negeri ini. Kita tak tahu persis. Tapi kita tahu satu hal, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) protes kepada Polri karena menarik 20 penyidiknya yang ditugaskan di lembaga pemberantas korupsi itu. Protesnya disampaikan lewat media massa. Galibnya dalam dunia yang senantiasa hiruk-pikuk oleh informasi yang disebarluaskan media massa, kita ikut berwacana seakan-akan protes KPK terhadap Polri telah membuka babak baru dari pertarungan KPK lawan Polri. Kita berharap KPK ngotot, Polri juga tak mau kebijakannya diintervensi. KPK, yang kehadirannya di negeri ini telah mereduksi beban kerja dan tanggung jawab Polri, tetap menolak penarikan 20 penyidik itu. Supaya mendapat dukungan publik, KPK kemudian membangun kesan bahwa penarik 20 penyidik oleh Polri berkaitan dengan upaya pengungkapan kasus korupsi di Mobil Simulator SIM Koorlantas Mabes Polri. Pasalnya, ke-20 penyidik itu berperan aktif menyidik kasus korupsi yang membuat seorang jenderal polisi menjadi tersangka. Tentu, Polri tidak mau menyerah karena kadung sudah menarik ke-20 penyidiknya dari KPK. Bergeming dengan kebijakan itu, Polri kemudian menolak upaya KPK mengait-kaitkan penarikan ke-20 penyidik itu dengan kasus korupsi di lingkungan Mabes Polri. Tapi, karena publik terlanjur percaya pada alasan KPK mengingat kebencian mereka terhadap Polri sudah sampai titik jenuh, Polri pun akhirnya lebih tenang dengan mengatakan ke-20 penyidik itu akan diganti dengan penyidik yang lebih hebat. * BARANGKALI memang bukan soal penyidik yang sesungguhnya dipersoalkan dalam perkara KPK lawan Polri. Tapi soal lama, soal egoisme dari para elite pengelola lembaga negara yang acap menderita ketersinggungan elitisme.

Kita menangkap ada ketersinggungan, mungkin semacam kegalauan, yang dipelihara. Tersinggung dan galau karena tugas dan tanggung jawab institusinya direduksi. Akibatnya, lembaga yang sebelumnya menjadi paling dominan dalam mengurusi persoalan yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya itu, harus berbagi dengan lembaga lain karean tuntutan konstitusi yang ada. Kehadiran KPK di negeri ini, jauh sebelum konstitusi pembentukannya disahkan legislatif, sudah bisa dibayangkan akan menangguk cibiran. Pasalnya, KPK akan bertugas memberantas korupsi, dan lembaga ini menjadi lembaga super. Ia akan membuat lembaga-lembaga lain seperti Polri dan Kejaksaan, yang selama ini menangani perkara tindak pidana korupsi, menjadi tidak terlalu berperan. KPK hadir, Polri dan Kejaksaan pun dipinggirkan dalam hal memberantas tindak pidana korupsi. Konstitusi negara memberi banyak fasilitas buat KPK untuk mempermudah menjalankan tugas dan kewajibannya. Fasilitas dan kemudahan yang sesungguhnya telah lebih dahulu dituntut Polri maupun Kejaksaan, tapi KPK yang justru mendapatkannya. Dengan ragam kemudahan itu, KPK ternyata menjadi lembaga super yang merasa tanpa tanding. Begitu akan ditandingi, KPK dengan cepat berteriak bahwa “ada upaya melemahkan KPK”. Cengeng, sungguh. Padahal, sebagai lembaga yang menjadi “anak emas”, KPK seharusnya bisa menunjukkan aksi hebat dan luar biasa dalam memberantas korupsi di negeri ini. Tapi, tidak demikian, karena KPK justru lebih sibuk mengurusi diri sendiri. Sayangnya, ada atau tidak KPK, korupsi tetap jadi perkara besar di negeri ini. Banyak kasus yang diungkap KPK, yang diselesaikan berlarat-larat, dan yang tak jelas bagaimana akhirnya. Kinerja yang tak sesuai ekspektasi public itu malah meninggalkan kesan bahwa KPK hanya semacam kayu pengungkit batu tempat udang bersembunyi. Karena KPK tidak pernah menangkap udangnya. Lantas, masihkah kita mempersoalkan soal penyidik? Memang bukan soal penyidik. Bukan pula soal melemahkan KPK. Ini soal lain, soal yang terkait dengan harapan yang terlalu dilambungkan untuk KPK dan yang pasti sukar diraih. Kondisi inilah yang mendorong Polri dan Kejaksaan, dua lembaga penegak hukum yang kewenangannya tereduksi dengan kehadiran KPK, merasa bahwa kinerjanya dalam memberantas korupsi menjadi terstigmatisasi. Polri dan Kejaksaan dipandang lemah, karena kedua lembaga penegak hokum ini dipandang terlalu banyak mengungkap kasus korupsi tetapi terlalu sedikit menegakkan keadilan hokum bagi pelaku tindak pidan luar biasa ini. Ternyata pula, KPK yang diharapkan tidak seperti Polri dan Kejaksaan, masih saja mengulangi track record yang tak bagus itu. Bedanya, jika Polri dan Kejaksaan tampak seperti lembaga yang lebih sibuk membangun dan mengembalikan citra dirinya yang jatuh di hadapan public, maka KPK lebih cenderung sebagai “anak manja” yang meyakini bahwa dirinya menjadi pusat perhatian public. Padahal ketiganya sama saja, jelas-jelas tidak mampu membuat masalah korupsi menjadi tidak masalah bagi negeri ini. *

JADI, ini bukan soal penyidik. Ini soal yang telah bernanah dalam sistem birokrasi di negeri ini ketika nilai-nilai personal menjadi subtansial dalam budaya birokrasi. Subtansial karena birokrasi digerakkan berdasarkan pada nilai kepatutan dan kepatuhan terhadap atasan. Tugas dan tanggung jawab dalam budaya birokrasi kita dilaksanakan bukan karena sikap profesional, dan bukan karena melekat pada lembaga birokrasi bersangkutan. Melainkan karena sebuah keharusan, kewajiban yang acap tertanam dalam diri sebagai sebuah beban, sehingga yang diutamakan adalah kepatutan dan kepatuhan pada atasan. Situasinya akan sangat tak produktif jika birokrasi bersangkutan juga disemangati oleh nilai-nilai korps yang menempatkan pimpinan sebagai atasan yang tak terbantahkan. Inilah yang tampak pada birokrasi di lingkungan Polri dan Kejaksaan, juga tidak terkecuali pada system organisasi di lingkungan birokrasi KPK. Setiap orang dituntut untuk patuh dan tunduk pada pimpinan, tak diharapkan sikap kritisnya untuk menyikapi situasi yang ada. Itu sebabnya ke-20 penyidik yang ditarik Polri tak bisa menolak panggilan tugas dari institusi Polri. Jika memang penarikan itu terkait pengungkapan kasus korupsi di tubuh Mabes Polri, tentunya ke-20 penyidik harus mengkritisi kebijakan Polri tersebut dengan alasan kepentingan Negara dalam memberantas korupsi. Tapi, budaya birokrasi kita tak memberi tempat kepada sikap kritis. Budaya birokrasi kita hanya memberi tempat pada kepatutan dan kepatuhan. Kepentingan-kepentingan yang lebih besar, yang terkait hajat hidup public, diupayakan untuk meminimalisirnya. Kepentingan yang lebih kecil, yang terkait eksistensi lembaga terkait, harus menjadi focus utama demi menjaga citra baik dari pimpinan. *

Ketika KPK Menguji Polri Penetapan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Markas Besar Kepolisian RI, Inspektur Jenderal DS, sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan simulator kemudi motor dan kemudi mobil pada 2011 senilai Rp 189 miliar oleh Komisi Pemberantas Korupsi dinilai banyak kalangan sebagai langkah yang sangat berani. Pujian terhadap KPK semakin melimpah. Sebaliknya, sinisme ditujukan kepada Polri. Sinisme ini mempertanyakan kecakapan Polri dalam menjalankan tugas dan wewenang menegakkan hukum terhadap tersangka korupsi. Mungkin benar, Polri, sebagai institusi negara yang memiliki wewenang menegakkan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi, sudah tak cakap lagi. Ketidakcakapan ini telah terindikasi lama, yang membuat pemerintah merasa punya cukup alasan untuk mereduksi kewenangan Polri dalam menegakkan hukum terhadap koruptor dan membagi kewenangan itu dengan KPK dan kejaksaan. Untuk waktu yang lama, Polri memang sangat “terpukul” oleh reduksi kewenangan itu. Terpukul dan merasa tersaingi oleh keberadaan KPK. Apalagi kalangan internal Polri acap terindikasi dalam kasus korupsi, dari kasus yang diumbar Komjen Susno Duadji, rekening gendut para jenderal, sampai keterlibatan sejumlah perwira Polri dalam kasus Gayus Tambunan. Polri sibuk membersihkan diri; membangun citra diri sebagai institusi negara yang anti-KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme); merentangkan spandukspanduk kampanye “Polri Bebas KKN”, dan membuat rambu-rambu di kompleks markas Polri yang isinya berbunyi “Kawasan Bebas KKN”. Sedangkan KPK tidak terlalu risau akan hal itu dan terus membuktikan diri. Banyak kasus korupsi yang berhasil diungkap KPK. Sedangkan kasus yang diungkap Polri nyaris tenggelam dalam hiruk-pikuk kinerja KPK. Tidak jarang kasus korupsi yang ditangani Polri bagai jalan di tempat. Sebut saja kasus korupsi APBD Lampung Timur dan Lampung Tengah, yang disidik Kepolisian Daerah Lampung pada 2007, yang melibatkan mantan Bupati Lampung Tengah Andi Achmad Sampoernajaya dan mantan Bupati

Lampung Timur Sutono. Dalam penelitian penulis untuk kepentingan tesis atas kasus korupsi ini, terungkap bahwa polisi tidak kunjung menetapkan kedua pejabat itu sebagai tersangka karena keduanya masih aktif sebagai kepala daerah. Akibatnya, kasus tersebut berlarut-larut dan para tersangka punya banyak waktu untuk menghilangkan barang bukti. Ketika keduanya tak aktif lagi, barulah dijadikan tersangka. Tapi Pengadilan Negeri Tanjungkarang kemudian memberi vonis bebas. Tapi keduanya kembali dinyatakan sebagai terpidana dan harus dipenjara setelah beberapa tahun berlalu. Cuma, Satono sampai sekarang menjadi buron. Berlarut-larutnya penyelesaian kasus korupsi dana APBD Lampung Tengah dan Lampung Timur terjadi karena Polda Lampung berkali-kali melakukan kesalahan dalam pembuatan berkas acara pemeriksaan (BAP), yang justru ditolak Pengadilan Negeri Tanjungkarang. Penyidikan dan penyelidikan pun bertele-tele karena Polri belum begitu memahami pasal-pasal yang hendak didakwakan kepada tersangka, sehingga Polri membutuhkan kehadiran beberapa saksi ahli dalam kaitan dengan kasus yang ditangani. Cara kerja Polri dalam menangani kasus korupsi semakin tak cakap karena aparat di lapangan masih belum memahami substansi kasus korupsi sebagai kasus luar biasa. Pasal-pasal dalam Undang-Undang tentang Tindak Pidana Korupsi pun membutuhkan penafsiran-penafsiran ulang, terutama terkait dengan definisi kerugian negara dalam kasus korupsi. Polri juga acap mempersoalkan siapa yang paling berhak menetapkan masalah kerugian negara dalam kasus korupsi. Memang terdengar sangat remeh, tapi kendala dalam penafsiran atas teksteks hukum berpengaruh terhadap pasal-pasal yang akan didakwakan terhadap tersangka korupsi. Itu sebabnya, mantan Bupati Lampung Tengah dan mantan Bupati Lampung Timur pun akhirnya didakwa bebas dari segala tuntutan hukum. Ketidakcakapan aparat polisi dalam menangani kasus korupsi ini semakin ruwet ketika banyak kepentingan bermain di sana, ditandai dengan tidak transparannya Polri dalam melakukan penyidikan. Bertolak belakang dengan kinerja Polri, KPK justru sukses mengungkap sejumlah kasus korupsi dan memenjarakan para koruptornya. Keberhasilan tersebut membuat komisi ini menjadi lembaga “super” yang ditakuti. Tidak jarang KPK malah mengambil alih kasus-kasus korupsi yang ditangani Polri. Akibatnya, tugas dan wewenang Polri tidak hanya direduksi KPK, tetapi juga digantikan oleh KPK. Karena itu, jika kemudian KPK masuk dalam lingkungan Polri dan mengungkap kasus korupsi pengadaan simulator kemudi motor dan kemudi mobil pada 2011 senilai Rp189 miliar, hal itu menegaskan betapa institusi Polri, sebagai negara yang juga memiliki wewenang menegakkan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi, mulai pantas diragukan kewenangannya. Polri sudah tak cakap lagi mengatasi masalah korupsi. Ketidakcakapan ini akan merusak institusi Polri sendiri, sehingga KPK harus turun tangan membentengi Polri dari ulah oknum aparat polisi yang korup. Memang, Polri memiliki Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri, yang berfungsi sebagai “benteng terakhir” institusi Polri dalam memberantas korupsi di lingkungan Polri. Cuma, sebagai “benteng terakhir”,

Divisi Propam tampaknya bukan benteng yang kokoh. Pasalnya, Divisi Propam hanya mengurusi masalah kedisiplinan, sangat terkait dengan penegakan Kode Etika Profesi Polri. Sekalipun dua tahun lalu Divisi Propam Polri gembar-gembor akan memberantas korupsi dari kalangan internal Polri, realitas menunjukkan hingga kini belum terdengar ada kasus korupsi di lingkungan Polri yang berhasil diungkap. Terungkapnya korupsi di Korlantas Mabes Polri hampir tidak ada kaitannya dengan Divisi Propam Polri, meskipun Badan Reserse Kriminal Mabes Polri mengaku juga melakukan investigasi atas kasus serupa. Persoalannya, penyidikan yang dilakukan Bareskrim Mabes Polri baru terungkap setelah KPK mendatangi Markas Korlantas Mabes Polri. Bareskrim sendiri ternyata tidak segesit KPK, yang justru sudah menetapkan DS sebagai tersangka. Situasi ini menegaskan betapa Polri dalam menangani kasus korupsi memang kurang cakap, dan sedikit lamban. Barangkali dasar pertimbangan hukum dari Polri berbeda, sehingga Polri tak ikut-ikutan menetapkannya sebagai tersangka. Tak sukar menebak kenapa Polri tak ikut-ikutan menjadikan perwira tingginya sebagai tersangka: karena Polri lebih melihat persoalan korupsi yang melibatkan perwira tingginya Polri bukan dari perspektif hukum, melainkan dari perspektif etika profesi Polri. Karena itu, sulit membayangkan DS nantinya akan mendapat sanksi hukum sebagaimana layaknya para tersangka korupsi. Pasalnya, kedudukan DS sebagai perwira tinggi Polri yang masih aktif akan membuat Polri menjadikan masalah ini sebagai masalah internal. Sangat pasti, DS hanya akan mendapat sanksi penegakan disiplin di lingkungan Polri sebagaimana Polri pernah memberi sanksi terhadap sejumlah perwira yang terkait dengan kasus Gayus Tambunan? Sumber: JURNAL NASIONAL edisi 8 Agustus 2012

Aksi KPK Melucuti Polri KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai bertaji. Setelah menggelandangkan seorang jenderal polisi yang masih aktif, Inspektur Jenderal (Pol) Djoko Susilo, ke rumah tahanan, giliran seorang menteri, Andi Alfian Mallarangeng, jadi tersangka kasus fasilitas olahraga Hambalang. Sudah lama publik mendambakan taji yang tajam dari KPK mengenai sasaran yang tepat. Tapi, baru kali ini taji itu mengenai sasaran dan langsung menggemparkan dua lembaga negara, Kementerian Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia serta Kepolisian Republik Indonesia. Namun, cukupkah hanya dua lembaga negara itu yang dibuat gempar? Bukankah KPK punya peluang untuk lebih menggemparkan seandainya berani bersikap dalam kasus Bank Century. Karena Wakil Presiden Budiono terkait megaskandal yang menjadi perhatian publik itu, yang oleh Ketua KPK Abraham Samad malah digiring menjadi persoalan politik pemakzulan seorang Wakil Presiden? Tentu saja tidak cukup. Meski begitu, untuk sementara upaya KPK layak kita apresiasi, terutama karena penahanan Irjend (Pol) Djoko Susilo dan Andi Alfian Mallaranggeng dilakukan jelang satu tahun Abraham Samad memimpin KPK. Itu berarti, Ketua KPK Abraham Samad yang dilantik Presiden Soesilo Bambang Yudoyono 16 Desember 2011 lalu, butuh waktu tak sampai setahun untuk menggulung elite yang korup. Karena itu, penahanan Sang Jenderal dan penetapan Sang Menteri jadi tersangka menjadi semacam teriakan bahwa Abraham Samad memang sosok yang cocok untuk memimpin KPK. Tapi, tunggu dulu, simpul semacam ini terlalu cepat. Sebab, kinerja KPK selama setahun ini hanya bagus dalam soal menetapkan tersangka dan menahan tersangka. Tapi, kurang memuaskan publik dalam menyelesaikan perkara korupsi. Cerita tentang Muhammad Nazaruddin, yang jadi tersangka dan dipenjara, masih belum jelas akhirnya. Drama penangkapan bekas bendahara Partai Demokrat itu mampu menjerat tersangka-tersangka lain, membuat megaskandal Wisma Atlet itu menjadi buah bibir publik. Bahkan, sejumlah pengamat meragukan kemampuan Abraham Samad mengungkap perkara yang

terkait dengan pusaran kekuasaan ini, setidaknya mencari kebenaran atas keterlibatan sejumlah elite yang namanya disebut-sebut Nazaruddin. Sebab itu, tidak berlebihan bila soal Sang Jenderal dan Sang Menteri ini tidak perlu dibesar-besarkan karena bukan kasus keduanya yang layak jadi indikator ketajaman taji KPK. Lain halnya jika KPK mampu mengungkapkan bahwa korupsi di lingkungan Mabes Polri berkaitan dengan realitas bahwa institusi Polri selaku penegak hukum sesungguhnya tak bersih dari korupsi. Apakah penyidikan dan penyelidikan KPK atas korupsi mobil simulator SIM di Koorlantas Mabes Polri mampu mengungkap motif yang sesungguhnya? Pertanyaan ini berangkat dari asumsi umum bahwa Direktorat Lalu Lintas adalah stakeholderMabes Polri yang paling banyak menyumbang untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di lingkungan Polri. Terutama yang berasal dari pelayanan surat izin mengemudi (SIM), surat tanda nomor kendaraan (STNK), dan Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2010, Polri berhak mengelola 90 persen dari total dana PNPB yang diperolehnya, dan tinggal melaporkan penggunaannya untuk masuk dalam APBN. Tapi, transparansi penggunaan dana PNBP tak terlalu jelas. Publik tidak pernah tahu soal dana PNBP ini, karena publik hanya paham bahwa Polri mendapat bagian dari APBN untuk kegiatan-kegiatan operasional dan gaji personelnya. Polri sendiri acap mengeluhkan, jatah APBN hanya bisa dibagi tak lebih 10 persen untuk kegiatan operasional. Artinya, Polri selalu kekurangan dana operasional. Jika demikian, lantas dana PNBP itu dialokasikan ke mana? Publik tidak pernah paham soal itu. Pemerintah sendiri, melalui lembaga-lembaga audit negara, hampir tak pernah terdengar melakukan audit terkait penggunaan dana PNPB sebesar 90 persen setiap tahun. Padahal, total dana PNPB Polri sangat besar, mencapai triliunan rupiah tiap tahun. Untuk tahun 2012, Polri mengelola dana PNBP sebesar Rp3,4 triliun. Lantaran transparansi itu tidak jelas, bukan mustahil Polri menggunakan dana itu untuk hal-hal yang tak terukur. Bisa jadi beberapa persen di antara dana PNBP itu dialokasikan untuk feepara pejabat di lingkungan Polri. Sebab itulah, Polri akan selau menempatkan SDM di lingkungan Direktorat Lalu Lintas sebagai sosok "pengumpul dana". SDM yang mampu membuat target sumbangan PNBP meningkat setiap tahun, sekaligus juga memiliki kemampuan mengelola proyek-proyek di lingkungan Polri yang akan dibiayai dengan dana PNBP itu. Irjend (Pol) Djoko Susilo adalah perwira tinggi berprestasi, salah seorang "bintang" Akademi Polisi, sehingga menjadi sosok yang pantas untuk posisi Kepala Koordinator Lalu Lintas Mabes Polri. Tapi, kita tak tahu persis soal dana-dana yang dikumpulkan itu, KPK harus mampu mengungkapkannya dalam penyidikan dan penyelidikan dengan kasus korupsi mobil simulator SIM sebagai batu loncatannya. Jika KPK mampu mengungkap hal itu, mau tak mau kita harus memberi aplaus. Apalagi penahanan Sang Jenderal sudah kadung menjadi preseden buruk bahwa Polri telah gagal menjalankan agenda reformasi birokrasi Polri (RBP), yang kini sudah memasuki gelombang II. Gagal karena urusan internalnya: membersihkan

institusi Polri dari keberadaan aparat yang korup, tidak bisa diselesaikan sendiri sehingga KPK harus turun tangan. Barangkali, KPK memang menilai Polri "masuk angin" dalam menyelesaikan kasus korupsi di lingkungan internalnya. Bila penilaian itu benar, sudah seharusnya KPK lebih intensif dalam menyelesaikan perkara korupsi di lingkungan Polri. Selama ini banyak kasus korupsi melibatkan petinggi Polri, karena transparansi penggunaan dana di lingkungan Polri nyaris tak pernah diperiksa. BPK dan berbagai lembaga audit keuangan negara seakan-akan punya keengganan untuk mengaudit dana-dana Polri, terutama berkaitan dengan danadana pihak ketiga yang masuk ke dalam kas Polri untuk program-program tertentu seperti: pembangunan ragam fasilitas di lingkungan Polri. Setahun Abraham Samad menjadi pemimpin KPK, mesti diakui bahwa prestasinya yang paling menonjol adalah "menelanjangi" institusi Polri sebagai lembaga penegak hukum yang "masuk angin". Publik mendukung upaya KPK, karena baru KPK yang bisa diandalkan untuk memuaskan rasa benci publik terhadap ragam kemunafikan yang menjadi budaya dalam sistem manajemen pelayan di lingkungan Polri. n Jurnal Nasional edisi Senin, 10 Dec 2012

Bagian 3

Konflik Polri Versus Polri 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Polisi Korup Polisi yang Tak Cakap Warna Polisi Kita Netralitas Polri dalam Pilkada Bila Polisi Minta Duit Komisi Polisi Selamatkan Polri Reformasi Pelayan di Tangan Bukan Pelayan

Polisi Korup April 2011, sepotong short massage service (SMS) masuk ke handphone Surono, seorang jurnalis yang bekerja untuk sebuah media cetak terbitan Provinsi Lampung. Isinya sangat mengejutkan, merangsang naluri jurnalis Surono untuk menyala-nyala. Segera ia kontak balik nomor pengirim SMS, tapi tak tersambung. Dicoba terus, tetap tak tersambung. Tak hilang akal, Surono mencoba mengontak rekan jurnalis dari media lain. Ternyata, rekan jurnalis itu juga mendapat SMS senada yang isinya menyebut “Wakil Kepala Polres kota Bandar Lampung, AKBP Akbar Tuntalanai, menerima suap Rp500 juta dari salah seorang tersangka narkoba.” Isi SMS itu cepat menyebar, akhirnya sampai ke lingkungan Polresta Bandar Lampung. Korps Bhayangkara di lingkungan Polres Kota Bandar Lampung gerah dengan isi pesan itu. Akbar Tuntalanai menggelar jumpa pers untuk meluruskan informasi yang katanya bengkok itu. Ia mengakui soal suap Rp500 juta itu isu dan pihak Polresta Bandar Lampung sedang menyelidiki siapa yang menyebarluaskan pesan elektronik fitnah itu. Publik tak tahu persis kebenaran sesungguhnya. Publik hanya tahu, ternyata institusi Polri itu tidak pernah lepas dari persoalan sama setiap tahun, yakni senantiasa muncul sosok anggota polisi yang akan merusak nama baik institusi. Bagi public yang terbiasa melihat Polri sebagai institusi korup, soal pesan elektronik yang beredar itu bukan sesuatu yang mesti diragukan. Pesan itu merupakan fakta yang menunjukkan bahwa institusi Polri belum sepenuhnya bisa dipercaya untuk melakukan penegakan hukum di negeri ini. Karena itu, yang terpenting bagi jajaran Polresta Bandar Lampung bukanlah mencari siapa pengirim pesan fitnah itu. Bukan zamannya lagi bagi anggota Polri yang sudah memiliki paradigma baru dalam menyelesaikan kasus pidana untuk menyebarkan ancaman terhadap pengirim pesan. Zaman Polri saat ini adalah zaman dimana setiap anggota polisi harus introspeksi diri apakah dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sudah bertindak professional sesuai kode etik. Jika belum, mulailah untuk bekerja professional. Tapi, jika merasa sudah professional, lantas alasan yuridis dan empiris apa yang membuat Polresta Bandar Lampung tak menahan satu dari tiga tersangka narkoba yang ditangkap? Tentu saja polisi selalu punya alasan-alasan

teknik penyelidikan kasus, tapi public menghendaki institusi Polri dikelola dan dijalankan dengan prinsip akuntabilitas dan responsibilitas. Polisi harus instrospeksi diri apakah dalam menangani kasus tersangka narkoba itu sudah bertindak akuntabel atau belum? Apakah polisi langsung memberi tahu public melalui media cetak terkait hal-hal yang mampu menjawab kecurigaan public? * Polisi selalu gembar-gembor akan memberantas narkoba dari Lampung. Spanduk dan baliho disebarkan di setiap penjuru Kota Bandar Lampung sampai ke polosok-pelosok. Publik yang membaca spanduk awalnya pesimistis polisi akan mampu menghajar para pemakai narkoba dan mengulung para pengedar psikotropika dan segala jenisnya itu. Bagaimana tidak, acap polisi melakukan penangkapan terhadap gembong pengedar narkoba dan diungkap kepada public sebagai sebuah keberhasilan. Tetapi proses penegakan hukumnya sering tak diapungkan ke hadapan public, malah ditutup-tutupi. Publik baru tahu setelah polisi sendiri membeberkan bahwa yang tertangkap itu tidak bersalah, dan tak pernah ada penjelasanlebih rinci lagi. Polisi galib membebaskan tersangka narkoba dengan sekian banyak alasan teknis yang hanya dipahami oleh jajaran polisi. Yang jelas, public mendengar dan membaca SMS yang menyebutkan polisi menerima suap dari para tersangka narkoba. Publik tidak melihat ada korelasi antara perbuatan polisi itu dengan spanduk-spoanduk yang dipasang. Sebab itu, hal paling indah yang harus dilakukan polisi saat ini adalah mulailah memikirkan untuk membersihkan institusi Polri dari polisi-polisi yang doyan suap. “Polisi korup tidak boleh ada di lingkungan Polri.” Itulah ucapan Inspektur Jenderal (Pol) Budi Gunawan saat menjabat Kepala Divisi Propam Polri. Ungkapan itu disampaikan sekaitan dengan program Kapolri Jenderal (Pol) Timor Pradopo untuk membersihkan institusi Korps Bhayangkara dari aparat korup yang memosisikan Div Propam Polri sebagai ujung tombak program itu. Kalimat mantan pengawal Presiden Megawati Soekarnoputri ini begitu menyengat, menanamkan semacam semangat sekaligus cemas dalam diri seluruh komunitas Tri Bratha. Semangat karena kalimat itu semacam cambuk agar polisi segera berubah, sedangkan cemas disebabkan mengubah tradisi buruk di lingkungan warga Polri tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat. Korupsi dan aparat polisi sudah lumrah. Tiap hari publik bisa melihat aparat polisi yang menjalankan tugas dan tanggung jawabnya tanpa kode etik profesi. Di jalan raya, polisi lalu lintas sanggup meminta kepada pelanggar lalu lintas sejumlah uang (tidak jarang cuma Rp5.000) agar tidak ditilang. Konon lagi di lingkungan kerja reserse, dimana posisi tawar aparat polisi menjadi lebih tinggi dari tersangka. Bukan mustahil, ada aparat polisi yang menjanjikan akan meringankan tuntutan atau malah memperlambat proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) perkara para tersangka, asalkan diberi imbalan sejumlah uang. Tak ada tempat bagi polisi korup di dalam institusi Polri. Ini bukan sekadar semboyan. Tapi sebuah semangat, sebuah elan vital untuk

menghadirkan aparat penegak hukum yang mampu mengembalikan kepercayaan public kepada institusi Polri. Bukan rahasia lagi, korupsi tumbuh subur di negeri ini. Berbagai survei menunjukkan, indek persepsi korupsi (corruption perception index) cenderung meningkat tiap tahun. Global Corruption Barometer maupun Transparency International, dua lembaga internasional ini, sampai pada kesimpulan korupsi meningkat karena kinerja aparat penegak hokum tidak memuaskan. Polri sebagai salah satu aparat penegak hukum, sudah tentu termasuk yang disoroti tajam. Bahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Konferensi ke-19 International Criminal Police Organization (ICPO) pada April 2006, meminta pemberantasan korupsi dimulai dari kepolisian. Ini menunjukkan komitmen Presiden SBY untuk memberantas korupsi belum sepenuhnya bisa diterjemahkan pada tingkat implementasi. Kegamangan masih menyelimuti pejabat negara dan aparaturnya untuk melaksanakan kebijakan antikorupsi. Upaya pencegahan dan pembrantasan korupsi belum menjadi kesadaran mereka. Tentu saja ini persoalan krusial yang tak bisa dibiarkan berlarut-larut. Tingginya ekspektasi public terhadap kinerja bagus aparat polisi dalam memberantas korupsi, harus dipertanggung jawabklan. Karena itu, Polri akan menjaga kepercayaan public dengan memulai memberantas korupsi dari lingkungan sendiri. Tak ada lagi tempat bagi polisi korup di lingkungan institusi Polri. Keterlibatan aparat polisi sebagai penegak hukum dalam kasus korupsi, satu per satu akan dibersihkan. Jika tidak, maka korupsi akan selalu menjadi penyakit di lingkungan masyarakat. Dampaknya akan merugikan banyak kalangan. Sebagai sebuah negara hukum, Negara Kesatuan Republik Indonesia mengatur semua hal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan berbagai produk hukum dan perundang-undangan yang mesti dipatuhi semua lapisan masyarakat. Pelanggaran atau perbuatan melawan hukum juga diatur dalam produk-produk hukum, yang kemudian menjadi acuan bagi aparat penegak hukum seperti polisi dalam melaksanakan tugas-tugas penegakan hukum. Dalam hal ini tidak ada pengecualian. Yang melanggar tatanan hokum, terutama aparat penegak hokum sendiri, tetap akan mendapat sanksi hokum. Di dalam upaya penegakan hukum, yang terpenting diperhatikan aparat penegak hukum bukanlah bagaimana mengupayakan menghukum dan memenjarakan tersangka. Tapi, aparat penegak hukum harus berorientasi pada landasan pembentukan peraturan perundangan-undangan dan produk-produk hukum tersebut seperti peningkatan kesadaran hukum masyarakat, terlindunginya harkat dan martabat manusia, meningkatnya sikap mental aparat penegak hukum, tegaknya hukum dan keadilan, serta terjaganya ketertiban umum dan kepastian hukum. Berangkat dari hal di atas, kerja aparat penegak hukum polisi dalam menegakan hukum harus mengacu pada landasan pembentukan hukum itu sendiri sebagaimana dijelaskan dalam huruf C konsiderans KUHAP. Pada Pasal 4 KUHAP disebutkan bahwa “penyidik adalah setiap pejabat Polisi Negara Republik Indonesia”.

Posisi polisi merupakan bagian integral dalam sistem penegakan hukum karena hasil kerja penyidikan dan penyelidikan kait-berkat dengan seluruh prosedur penegakan hukum, dimana peran dan kedudukan polisi sangat penting sebagai pembuat berita acara pemeriksaan yang di dalamnya terkandung pasalpasal yang akan disanksikan kepada tersangka. Puncak dari semua prosedur kegiatan penegakan hukum di negeri ini adalah kesuksesan aparat polisi melakukan dan menjalani tahapan-tahapan investigasi terhadap dugaan kasus agar bisa menyusun dan menentukan pasalpasal yang akan didakwakan kepada tersangka yang merupakan muatan utama dari berkas tuntutan. Berkas tuntutan merupakan panduan utama bagi jaksa penuntut umum dan hakim di pengadilan untuk menyatakan terdakwa bersalah dan memvonisnya, sehingga berkas pemeriksaaan yang kurang lengkap akan berdampak terhadap bebasnya para pelaku tindak pidana korupsi. Akan tetapi, berkas pemeriksaan tersangka korupsi yang diajukan aparat polisi akan ditolak kejaksaan apabila di dalamnya tidak memuat total kerugian uang negara hasil audit lembaga auditor resmi negara. Adanya unsur melawan hukum yang dilakukan terdakwa korupsi dan berdasarkan KUHAP sudah memenuhi syarat untuk diajukan ke pengadilan, ternyata belum memenuhi syarat dalam kasus tindak pidana korupsi. Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 14 huruf g ditegaskan: “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.” Kewenangan polisi yang begitu besar dalam penyidikan untuk membuat BAP, dapat memengaruhi aparat polisi untuk melanggar kode etik profesi. Sedangkan BAP merupakan dasar yang dipergunakan saat menyidang tersangka tindak pidana di pengadilan negeri. Kita berharap jangan ada lagi aparat polisi yang harus mengikuti Sidang Etika dan Profesi, yang sering berakhir pada hilangnya karier di lingkungan Polri. * Dua tahun lalu saya terlibat menyusun sebuah brosur berjudul “Propam Siap Mengawal Pemberantasan Korupsi”. Dalam brosur disebut bahwa Devisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Mabes Polri merupakan “benteng terakhir bagi institusi Kepolisian Republik Indonesia dalam memberantas tindak pidana korupsi di lingkungan Polri”. Brosur itu bagian dari kampanye Polri untuk anti-KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Disosialisasi Polri kepada public bersamaan dengan merebaknya kasus korupsi di lingkungan Polri yang melibatkan para perwira menengah dan perwira tinggi. Sebuah program yang orientasinya untuk memberitahu public bahwa Polri juga anti-KKN. Kampanye diwujudkan dengan slogan “Polri Bebas KKN”. Sikap antiKKN Polri dipertegas dengan munculnya spanduk besar di gedung Mabes Polri. Tulisan yang tertera pada spanduk-spanduk berukuran raksasa itu menyebut kawasan Mabes Polri merupakan “Kawasan Bebas KKN”. Bahkan, pada

beberapa sudut di kompleks Mabes Polri, bisa ditemukan dengan mudah petunjuk yang berbunyi “Anda Kawasan Bebas KKN!”. Kampanye “Polri Bebas KKN” memang luar biasa. Gemanya mendengung sampai ke lingkungan kepolisian sektor di seluruh negeri. Di markas-markas Polda, Polres, dan Polsek dengan mudah ditemukan spanduk bertulis “Kawasan bebas KKN”. Juga spanduk-spanduk dengan teks yang bernada serupa. Teks kampanye bahwa Polri, dari tingkat Mabes Polri sampai Polsek, sangat anti-KKN. Namun, sebagaimana diasumsikan banyak kalangan, kampanye “Polri Bebas KKN” bukan berarti tidak ada lagi KKN di lingkungan Mabes Polri. KKN masih ada, kasat mata pula. Malah, Divisi Propam Polri sendiri sebagai benteng Polri, lebih mirip benteng yang rapuh. Para koruptor mampu menghancur leburkan benteng itu untuk bersarang dan menggurita di lingkungan Mabes Polri. Misteri “rekening gendut” belum terungkap sampai sekarang. Beberapa nama perwira tinggi yang terkait dengan kasus itu malah mendapat jabatan bagus di lingkungan Polri. Juga, sejumlah perwira tinggi yang terkait kasus Gayus Siagian, malah memiliki posisi yang bagus. Para perwira di lingkungan Polri, baik perwira tinggi maupun perwira menengah, jarang mendapat sanksi, baik sanksi hukum maupun sanksi profesi. Mereka punya daya imunitas yang tinggi terhadap segala bentuk sanksi. Konon, daya imunitas itu disebabkan karena merekalah sanksi itu sendiri. Sebab itu, tidak berlebihan bila soal kampanye “Polri Bebas KKN” itu disebut hanya retorika. Semacam kelatahan institusi negara agar dinilai ikut dalam gelombang besar reformasi birokrasi pemerintahan Negara. Sebagai salah satu institusi negara, mau tak mau Polri memang harus ikut arus reformasi yang ada. Tanpa pengecualian, reformasi birokrasi Polri menjadi sebuah tanggung jawab, sebuah beban bagi instirtusi Polri. Sebagai beban, reformasi Polri tidak menjadi jiwa dan semangat institusi, tak datang dari internal Polri. Makanya, kawasan-kawasan “Bebas KKN” di kompleks perkantoran Mabes Polri tidak meresap sebagai sebuah nilai dalam budaya kerja dan budaya pikir aparat polisi. Padahal, bebas KKN bukan sekedar jargon. Bebas KKN di lingkungan Polri telah mengkristal sebagai bagian dari tugas dan tanggung jawab institusi Polri sebagai salah satu lembaga negara. Tugas dan tanggung jawab yang mengkristal dalam strategi Reformasi Birokrasi Polri (RBP) yang kini memasuki kini memasuki gelombang II pada priode 2011-2014. Sebagaimana pernah disinggung Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo saat Rapat Pimpinan (Rapim) Polri awal tahun 2012 lalu, RBP gelombang II pada tingkat mikro bertujuan untuk tiga hal. Pertama, penguatan birokrasi Polri dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN. Kedua, meningkatkan kualitas pelayanan publik kepada masyarakat. Ketiga, meningkatkan kapasitas dan akuntabilitas kinerja aparat Polri. Ketiga hal yang ingin dicapai dengan program RBP gelombang II itu tampaknya tak akan mudah direalisasikan. Penghalangnya, tidak lain justru pola pikir (mindset) dan budaya kerja (culture set) yang terbangun di lingkungan Polri. Pola pikir dan budaya kerja aparat Polri belum berubah dari pola piker dan budaya kerja Polri di masa lalu.

Kesimpulan ini bisa dibuktikan dari terungkapanya dugaan korupsi di lingkungan Koordinator Korps Lalu Lintas Mabes Polri oleh Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Penetapan mantan Kepala Korlantas Mabes Polri, Inspektur Jenderal Pol Djoko Susilo, sebagai tersangka oleh KPK menjadi bukti bahwa Mabes Polri, tempat para petugas yang seharusnya punya andil besar memberantas korupsi, belum bebas KKN. Semakin parah ketika upaya KPK untuk menuntaskan kasus korupsi di Korlantas Mabes Polri ini justru dihalang-halangi Polri melalui Kepala Bareskrim Polri, Komisaris Jenderal Pol Sutarman. Dengan alas an bahwa Polri juga melakukan investigasi untuk kasus serupa, Bareskrim Polri melarang KPK membawa sejumlah barang bukti. Sekalipun benar bahwa Polri juga menyelidiki dugaan korupsi itu, seharusnya Polri tidak perlu merasa bahwa wewenangnya dalam mengungkap kasus korupsi telah direduksi KPK. Keberadaan KPK di lingkungan Polri bisa menjadi mitra kerja sinergis bagi Polri dalam rangka mewujudkan kawasan Mabes Polri sebagai “Kawasan bebas KKN”. Tapi, Polri tampaknya masih belum bisa menerima kenyataan bahwa kewenangan Polri dalam penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi harus dibagi dengan KPK dan kejaksaan. Pembagian kewenangan yang justru membuat KPK lebih proaktif, karena Polri sejak awal lebih banyak mempertontonkan ketidakiklasan atas tereduksinya tanggumngb jawab tersebut, sehingga posisi Polri sebagai penegak hokum kasus korupsi mulai redup. KPK semakin mendominasi, hingga KPK “berani” merangsek untuk mengungkap dugaan korupsi di lingkungan Mabes Polri. Kondisi ini terjadi karena Polri lebih sibuk kampanye anti-KKN, tapi agak minim dalam aksi. Bahkan, institusi Polri sendiri tidak bisa dibentengi, sehingga butuh kehadiran pihak luar seperti KPK untuk turun tangan membentengi Polri dari aparat-aparat yang korup. Kembali ke brosur berjudul “Propam Siap Mengawal Pemberantasan Korupsi” di atas, maka semakin jelas bahwa yang dibutuhkan Polri bukan sekedar kampanye yang gaungnya luar biasa. Kampanye “Polri Bebas KKN” harus mewujud pada tindakan nyata untuk memberantas korupsi, dan dimulai dari lingkungan Polri sendiri. Pada tataran inilah kedudukan Divisi Propam Polri menjadi sangat penting. Sebagai “benteng terakhir Polri” Divisi Porpam Mabes Polri harus proaktif mengantisipasi terjadinya korupsi di lingkungan Polri. Sebagai staf khusus Kapolri dan langsung berada di bawah Kapolri, Propam bisa memanfaatkan posisinya untuk mengantisipasi korupsi sejak awal. * Sumber: Radar Lampung edisi Sabtu, 02 Aporil 2011 dengan judul POLISI KORUP, KELUAR DARI POLRI

Polisi yang Tak Cakap Nasib Brigjend (Pol) Jodie Rooseto, hampir mirip dengan nasib Brigjen (Pol) Heru Winarno. Kedua perwira tinggi Polri ini sama-sama pernah “jatuh” karena kasus konflik antarwarga. Jatuh disebabkan keduanya tak cepat tanggap untuk mengantisipasi potensi konflik, sehingga rakyat bangsa ini jadi saling pukul, saling hantam, dan saling tikam. Mungkin lantaran kemiripan itu, makanya Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo menugasi Heru Winarno untuk menggantikan posisi Jodie Rooseto sebagai Kapolda Lampung. Heru Winarno “jatuh” saat masih perwira menengah yang bertugas sebagai Kapolres Jakarta Pusat. Sedangkan Jodie Rooseto “jatuh” saat hendak dipromosikan menjadi perwira tinggi bintang dua untuk posisi Kapolda Jawa Barat. Secara tiba-tiba Kapolri menarik Surat Keputusan Nomor: Kep/645/X/2012 tertanggal 30 Oktober 2012 yang menunjuk Brigjen (Pol) Jodie Rooseto sebagai Kapolda Jawa Barat dengan mengeluarkan Surat Telegram Nomor ST/216/X/2012. Telegram itu bukan saja membuat Jodie Rooseto gagal promosi, tapi juga “menghukumnya” sebagai perwira tinggi paling bertanggung jawab atas kerusuhan yang sedang pecah di Lampung . * JATUH bangun dalam karier profesional di lingkungan Polri merupakan hal yang sangat biasa. Penyebabnya beragam, mulai dari pelanggaran terhadap kode etik anggota Polri sampai malpraktek di lapangan. Risikonya pun beragam, mulai dari pembatalan promosi sampai pemecatan dari kesatuan Polri. Tapi, risiko pemecatan tampaknya hanya berlaku bagi anggota polisi yang berada pada level bawah. Pemecatan mereka pun selalu diumumkan kepada public, terutama saat perayaan HUT Bhayangkara. Pengumuman yang dihasratkan untuk memberitahu bahwa institusi Polri tak akan mentolerir kesalahan-kesalahan fatal yang dilakukan anggotanya yang merugikan bangsa dan Negara. Inilah praktik pencitraan diri di abad komunikasi saat ini. Tujuannya, pasti untuk meraih dukungan public dengan membangun kesan bahwa Polri merupakan lembaga Negara yang cakap dan bersih. Sayangnya, hukuman semacam itu tampaknya tidak berlaku terhadap aparat polisi pada level menengah ke atas, terutama para perwira di lingkungan Polri.

Jarang terdengar ada perwira yang mendapat hukuman pemecatan sekalipun kesalahannya fatal, terutama karena membuat citra institusi Polri menjadi ambruk. Sebaliknya, Polri senantiasa menutup-nutupi, juga selalu menggelar persidangan tertutup terhadap para perwira yang melakukan malpraktek dan diseret ke meja terdakwa. Publik baru diberitahu kemudian setelah ada keputusan hokum yang sah terhadap perwira yang melakukan pelanggaran. Keputusan dari sebuah proses persidangan yang berlangsung tertutup di hadapan para perwira yang bertindak sebagai hakim. Biasanya, sanksi terhadap perwira berkaitan dengan kehilangan jabatan dan keterlambatan dalam kenaikan kepangkatan. Karier perwira yang tervonis sebagai professional Polri akan mentok. Padahal, kesalahan-kesalahan yang dilakukan merupakan tindak pidana umum atau tindak pidana khusus yang jauh lebih pantas bila diganjar berdasarkan delik-delik hokum formal yang berlaku. Tapi sanksi yang menyebabkan kehilangan jabatan dan kepangkatan mentok tampaknya hanya berlaku bagi perwira menengah Polri, hampir tidak pernah diberikan kepada perwira tinggi Polri. Perwira pada level atas justru mendapat perlakuan yang lebih enak, sering terkesan tidak tersentuh hokum. Lihat saja kasus suap yang mendera sejumlah perwira tinggi Polri dalam memeriksa tersangka Gayus Tambunan beberapa tahun lalu. Sebut saja Brigjen Pol Edmon Ilyas yang disebut Gayus Tambunan dalam pledoinya sebagai perwira tinggi Polri yang menerima suap dari Roberto Santonius agar mengubah status Roberto Santonius dari tersangka menjadi saksi. Informasi yang disampaikan Gayus Tambunan itu tak membuat Polri memeriksa Edmon Ilyas, malah perwira tinggi ini diberi jabatan baru. Begitu juga halnya dengan Brigjen Pol Raja Erizman, meskipun berkali-kali diperiksa tapi statusnya tetap saja sebagai saksi. Polri sendiri bergeming menjaga kedua perwira tingginya. Bahkan, Kapolri Jendral (Pol) Timur Pradopo menyertakan nama kedua perwira tinggi ini dalam gelombang promosi berdasarkan telegram rahasia (TR) bernomor ST/379/II/2012 tanggal 23 Februari 2012. Brigjen Edmond Ilyas yang sebelumnya menjadi staf ahli Kapolri dipromosikan menjadi analis kebijakan utama bidang sosek sahli Kapolri. Sedang Brigjen Raja Erizman yang sebelumnya staf ahli Kapolri, menjadi analis kebijakan utama bidang sosbud sahli Kapolri. * Ketika Kapolri mengeluarkan surat keputusan promosi Brigjen Pol Jodie Rooseto menjadi Kapolda Jawa Barat—dengan sendirinya Kapolda ini bertambah satu bintang menjadi Inspektur Jenderal (Irjend)—sesungguhnya Kapolri mengakui bahwa Kapolda Lampung ini sukses menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Meskipun public di Lampung tahu persis, hampir tidak ada persoalan konflik warga yang berhasil diselesaikan selama menjadi Kapolda Lampung. Sebuah kebetulan, beberapa hari setelah promosi itu, konflik di Lampung Selatan kembali pecah. Bukan konflik baru, tapi konflik lama. Massanya juga orang yang pernah konflik beberapa waktu lalu, di daerah yang juga sama. Tentu, ini berkaitan dengan ketidaktanggapan Polri dalam mencegah terjadinya konflik. Sangat mungkin, Polri tidak pernah mengawasi situasi di lokasi bekas konflik

karena mengira segalanya sudah beres. Padahal, sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat sesuai konstitusi yang ada, Polri memiliki satuan-satuan kerja yang bisa berhubungan langsung dengan masyarakat. Artinya, Polda Lampung tidak mampu mengidentifikasi potensi konflik yang ada. Mungkin, lantaran tugas dan fungsi satuan-satuan kerjanya tidak berjalan, sekalipun program-program kerja sudah dibuat. Sosialisasi mengenai konflik ke lingkungan masyarakat yang biasa dilakukan oleh jajaran Direktorat Binmas, misalnya, mungkin tak pernah dilakukan. Akibatnya, apa yang terjadi saat ini ketika konflik horizontal pecah, dan Polri harus menanggung resiko besar sebagai institusi yang dinilai tak cakap. Pimpinan Polri di daerah, batal dipromosikan. Lantas, bagaimana dengan pimpinan Polri sendiri, Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo, karena telah menilai Kapolda Lampung sebagai perwira tinggi sukses yang layak dipromosikan? Kalau ada yang memuji pembatalan promosi Jodie Rooseto sebagai tindak yang cakap dan tanggap dari Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo, pastilah ada kekeliruan yang fatal dalam melihat Polri. Pembatalan ini bukan kecakapan, tapi lebih menunjukkan gaya kepemimpinan Timur Pradopo seperti seorang yang kehilangan fungsi eksekutorial. Ia tidak berbuat apa-apa, dan sesungguhnya tak mengetahui kondisi apa-apa di jajarannya. Itu sebabnya, jajaran bawahannya mendahului seperti Koorlantas Mabes Polri, misalnya, konon melakukan gugatan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tanpa seizin Kapolri.* Sumber: Sinar Harapan edisi 19 November 2012

Warna Polisi Kita, Abu-Abu Jika warna dijadikan tanda untuk menyebut sesuatu, warna yang cocok untuk menandai eksistensi Kepolisian RI adalah abu-abu. Hitam bukan, putih pun tidak. Warna yang suram. Warna dari sesuatu yang tak jelas sikapnya. Soal warna Polri ini belakangan kembali menyeruak. Korps Bhayangkara disorot sangat tajam, dikritik sangat kejam. Institusi yang berada di bawah Presiden Republik Indonesia ini diposisikan sebagai satu-satunya institusi yang sikapnya tidak pernah jelas. Tapi publik selalu mendengar klaim keberhasilan atas nama Polri. Mulai urusan eksternal sampai internal, Polri selalu mengkampanyekan diri telah sukses melakukan banyak program, terutama program-program berkaitan dengan semangat reformasi Polri yang didengungkan sejak dulu. Padahal realitas yang ada menunjukkan hal yang bertolak belakang, karena polisi masih saja seperti dulu. Perkembangan reformasi Polri hanya klaim. Di satu sisi, polisi mengklaim tahap pertama Grand Strategy Polri 2005-2025 sukses mengembalikan kepercayaan publik (trust building) terhadap institusi Polri. Sukses ini karena reformasi Polri berhasil mengedepankan paradigma baru sebagai polisi sipil. Bahkan grand strategy pembangunan Polri tahap kedua berupa peningkatan kerja sama dengan ragam stakeholder (partnership building) selama masa 20102014 diklaim juga memperlihatkan kemajuan yang signifikan. Tapi, di sisi lain, publik melihat pendekatan keamanan yang dilakukan polisi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya lebih berorientasi pada kepentingan negara dan mengabaikan faktor-faktor kemanusiaan. Bahkan hubungan Polri dengan stakeholder lain, seperti aparat penegak hukum lainnya, justru mempertontonkan hal yang sangat memalukan. Pertarungan polisi dengan hakim terkait dengan penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi, seperti yang terjadi dalam kasus korupsi dana anggaran pendapatan dan belanja daerah oleh mantan Bupati Lampung Tengah serta mantan Bupati Lampung Timur jauh dari hubungan partnership building itu. Konon pula, kerja sama Polri dengan stakeholder lainnya, seperti Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), yang pengurus barunya, periode 20122016, baru saja ditetapkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Paradigma baru sebagai polisi sipil yang melayani publik dan menjadikan dirinya sebagai public service organization sesungguhnya hanya ada dalam Grand Strategy Polri 2005-2025 dan Rencana Strategis Polri 2010-2014. Dalam keseharian, polisi justru semakin menjauh dari kepentingan publik. Polisi lebih dekat sebagai penjaga kepentingan negara, sehingga mindset polisi terhadap tugas dan tanggung jawab sebagai penjaga keamanan serta ketertiban masyarakat justru memposisikan masyarakat sebagai entitas yang harus diawasi dan diamankan. Sukar mengharapkan Korps Bhayangkara akan tampil sebagai bagian yang inheren dari kehidupan masyarakat. Pasalnya, kultur kerja di lingkungan Polri dibangun dalam sistem birokrasi yang tidak dipersiapkan untuk melayani publik. Selain itu, setiap anggota Polri “dipaksa” oleh sistem yang ada untuk tidak terlalu memikirkan soal kompetensi, karena pemimpin dalam manajemen “dipaksa” oleh kondisi untuk mengabaikan persoalan kompetensi itu. Akibatnya, prestasi kerja di lingkungan Korps Bhayangkara bukan hal utama. Yang terpenting adalah kepatuhan anggota terhadap kesatuan sebagaimana menjadi Kode Etik Profesi Polri. Kepatuhan itu sekaligus dapat diartikan sebagai kesetiaan terhadap pemimpin, sehingga seorang pemimpin akan selalu menjadi teladan bagi anggotanya. Begitu juga halnya dengan unsur pimpinan di lingkungan Polri, selalu akan menjadikan pemimpinnya sebagai teladan. Kode Etik Profesi Polri sangat mengikat setiap anggota dalam kultur tugas untuk selalu menghormati para komandan. Besar kemungkinan penegakan disiplin di lingkungan Polri hanya akan tajam terhadap para anggota di level bawah, tapi tumpul jika berhadapan dengan anggota Polri yang pangkatnya ada di level atas. Pasalnya, stratifikasi sosial di lingkungan Polri sangat ketat. Levelitas berlaku dalam segala situasi dan kondisi. Mereka yang berada di level paling bawah, sejak pertama kali masuk sebagai anggota Korps Bhayangkara, sudah menjatuhkan pilihannya untuk tetap berada di level paling bawah. Mereka yang ingin mencapai level atas harus berjuang keras dengan mengikuti sejumlah tingkatan pendidikan di lingkungan Polri, yang ternyata juga tidak mudah bagi setiap anggota Polri untuk masuk ke dalam lingkungan pendidikan itu. Karena itu, sangat beralasan jika polisi diam saja saat menyaksikan organisasi kemasyarakatan melakukan tindak kekerasan, seperti pembubaran diskusi dan peluncuran buku Allah, Liberty and Love karya Irshad Manji di Teater Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu. Mungkin polisi condong menafsirkan kegiatan diskusi dan peluncuran buku itu dapat merugikan kepentingan negara, meskipun publik tak pernah memahami kepentingan seperti apa yang dimaksud. Hal seperti ini akan terus berulang dilakukan polisi jika orientasi institusi ini dalam menjalankan tugas bukan untuk kepentingan kemanusiaan. Maka institusi Polri tidak bisa dibiarkan bekerja sendiri mengurusi institusinya. Polri membutuhkan campur tangan stakeholder lainnya, yang bertujuan memperbaiki profesionalitas insan Bhayangkara. Dalam banyak kesempatan, Presiden Yudhoyono mengharapkan Korps Bhayangkara bermitra dengan Kompolnas. Tapi harapan ini tampaknya tidak

akan membawa hasil signifikan, mengingat persoalan sesungguhnya ada pada sistem yang telah membentuk kultur kepolisian kita. Kultur di lingkungan Polri memaksa anggota Korps Bhayangkara lebih mempercayai lingkungan internalnya, sehingga eksistensi Kompolnas bagi Polri hampir tidak mendapat pengakuan. Kompolnas sendiri hanya sebuah lembaga yang lebih banyak bekerja sebagai ombudsman untuk memberi saran kepada Presiden berkaitan dengan kinerja Polri. Komisi itu hanya lembaga “pembisik” dan penyampai saran-saran terkait dengan cara mereformasi Polri sehingga tampil seperti keinginan segenap lapisan masyarakat. Artinya, Kompolnas “bermitra” dengan presiden, bukan dengan Polri. Saran-saran dari Kompolnas menyangkut eksistensi dan kredibilitas Polri, termasuk kapasitas dan kompetensi sumber daya manusia Korps Bhayangkara, hanya bisa disampaikan kepada presiden. Jika ternyata output dari saran-saran Kompolnas itu tidak ada, tak berarti Kompolnas tidak melakukan tugas dan tanggung jawabnya, tapi karena eksekusi atas saran-saran itu ada di tangan Presiden Republik Indonesia. Akibatnya, Kompolnas selalu disudutkan. Peran yang dimainkan Kompolnas selama ini dipandang tak bisa mengubah citra Polri menjadi lebih baik di mata publik. Sinergisitas antara Polri dan Kompolnas tidak kunjung membawa perubahan berarti, karena Kompolnas tidak punya wewenang memastikan ada-tidaknya eksekusi atas laporan tersebut. Selain itu, eksistensi Kompolnas sebagai lembaga yang berdiri sendiri masih berada di bawah bayang-bayang Polri. Terutama berkaitan dengan anggaran untuk kinerja Kompolnas yang masih menginduk pada anggaran Polri dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sehingga tingkat ketergantungan Kompolnas kepada Polri sangat tinggi. Selama anggaran Kompolnas masih menginduk pada anggaran untuk Polri, sulit mengharapkan Kompolnas mampu bekerja profesional sebagaimana seharusnya. ? SUMBER : KORAN TEMPO, 29 Mei 2012

Netralitas Polri dalam Pilkada Wajah Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Drs Wisjnu Amat Sastro, S.H. muncul hampir di seluruh daerah di Provinsi Sumatera Utara (Sumut), dari ujung Utara yang berbataskan dengan Nanggroe Aceh Darussalam sampai ujung Selatan yang berbataskan Sumatera Barat. Bentuknya berupa baliho. Disain baliho hanya menampilkan wajah Sang Kapolda berseragam lengkap. Tak ada ikon yang menunjukkan kegiatan polisi dalam memberantas narkoba. Tak ada siluet atau gambar berbagai jenis narkoba maupun dampak yang ditimbulkan narkoba. Dalam tradisi di lingkungan Mabes Polri, sosialisasi program kerja Polri lewat baliho atau iklan luar ruang tidak menampilkan sosok komandan. Kalau pun ada, baliho dan iklan semacam itu hanya ditemukan di lingkungan internal Polri. Misalnya, di dalam lingkungan markas Polri seperti yang terlihat di Mabes Polri ketika beberapa baliho dan iklan program kerja Polri menampilkan sosok Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo. Atau, seperti yang terlihat di dalam gedung Divisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Mabes Polri ketika Irjen Pol Budi Gunawan (mantan Kadiv Propam Polri) mengiklankan ragam pelayanan publik yang diberikan Divpropam Polri. Dari disain baliho Kapolda Sumut Irjen Pol Drs Wisjnu Amat Sastro, S.H. bisa ditebak, pesan yang ingin disampaikan tak melulu tentang program kerja Polda Sumut untuk mensosialisasikan salah satu tugas dan tanggung jawab polisi dalam menanggulangi peredaran narkoba di Sumut. Terpampangnya hanya wajah Wisjnu Amat Sastro lebih menegaskan bahwa baliho bertujuan mengkomunikasikan sosok Sang Kapolda kepada publik. Polri paham betul, publik tidak membutuhkan sosok polisi sebagai individu. Publik membutuhkan Polri sebagai sebuah lembaga Negara. Sebuah lembaga yang harus mengutamakan tugas, fungsi, dan tanggung jawabnya. Bukan lembaga yang sibuk memperkenalkan personilnya, seakan-akan personil tersebut merupakan sosok anggota Korps Bhayangkara yang laik anutan seperti mantan Kapolri Jenderal Hoegeng. Kapolda Sumut Irjen Pol Drs Wisjnu Amat Sastro, S.H. bukan Hoegeng yang layak jadi anutan publik. Apalagi keberadaannya sebagai komandan di Polda Sumut belum menunjukkan prestasi yang pantas dibanggakan, terutama terkait masalah peredaran narkoba di lingkungan masyarakat. Selama periode kepemimpinan Wisjnu Amat Sastro di Polda Sumut, tidak sedikit anggota Korps

Bhayangkara yang terjerat kasus narkoba. Bahkan, salah seorang perwira menengah yang menjabat Wakil Direktur Reserse Narkoba terjerat kasus pemakaian narkoba. Sebab itu, terhadap pesan yang ingin disampaikan lewat baliho Kapolda Sumut Irjen Pol Drs Wisjnu Amat Sastro, S.H., itu bukan perkara "menanggulangi peredaran narkoba di Sumut", tapi untuk mengkomunikasikan sosok seorang perwira tinggi Polri yang ingin terjun ke dunia politik. Belakangan, nama Wisjnu Amat Sastro santer sebagai orang yang ingin mencalonkan diri menjadi Gubernur Sumatra Utara periode 2013-2018. Jika benar Wisjnu Amat Sastro akan mencalonkan diri menjadi Gubernur Sumut, lalu memanfaatkan institusi Polri untuk mendukung pencalonannya seperti yang diperlihatkan kepada publik melalui baliho-baliho tersebut, sudah saatnya Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Sumatra Utara mengingatkan hal itu. Baliho-baliho yang dipasang itu harus ditarik, karena merusak citra Polri sebagai lembaga Negara yang harus netral dalam realitas politik menjelang Pemilukada Sumut yang akan digelar 2013 mendatang. Meskipun Pemilukada Sumut akan berlangsung 2013 mendatang, tapi hiruk-pikuknya telah menjadi perdebatan yang massif di lingkungan masyarakat. Banyak tokoh yang ingin menjadi Gubernur Sumut, mulai dari kalangan militer, pebisnis, politisi, sampai birokrat. Sejumlah partai politik di Sumut sudah mulai menjaring para calon Gubernur Sumut, yang membuat beberapa nama tokoh menjadi favorit. Peta politik di Sumut semakin riuh. Para tokoh yang ingin menjadi calon Gubernur Sumut mulai sibuk mempromosikan diri, memasang baliho-baliho di seluruh pelosok Sumut, dan membangun jaringan yang luas. Mereka yang berasal dari lingkungan birokrat, seperti incumbent Plt. Gubernur Sumut Gatot Pudjo Utomo, yang memperkenalkan wajah dan sosoknya dalam bentuk balihobaliho bertema kegiatan Pemda Provinsi Sumut. Baliho-baiho yang berisi program-program kerja pemerintah daerah itu sudah tentu dibiayai dengan anggaran APBD Sumut, muncul di seluruh pelosok di provinsi ini. Baliho yang dipasang di tengah-tengah masyarakat menjadi pilihan utama para calon Gubernur Sumut dalam mengkomunikasikan dirinya dan programprogram politiknya. Pilihan itu pula yang dilakukan Kapolda Sumatra Utara Irjen Pol Drs Wisjnu Amat Sastro, S.H., yang justru membangun kesan bahwa institusi Polri tidak akan bersikap netral dalam Pemilukada Sumut 2013 mendatang. Institusi Polri di lingkungan Polda Sumut akan diseret untuk memasuki lingkungan politik. Sudah tentu seluruh personil Polri yang ada di tingkat Polres/Polresta sampai Polsek akan terlibat mengingat kohesivitas di lingkungan anggota Korps Bhayangkara sangat kuat. Apapun alasannya, anggota Polri akan mendukung komandannya, apalagi terhadap seorang perwita tinggi Polri. Bahkan, seorang pensiunan perwira tinggi Polri selalu akan mendapat dukungan dari Korps Bhayangkara seperti yang terjadi saat Pemilukada Lampung ketika Irjen Pol Drs. Sjachroeddin Zainal Pagaralam, S.H. mencalonkan diri menjadi Gubernur Lampung pada priode 2002-2007. Meskipun Sjachroeddin ZP kalah dalam Pemilukada tersebut, tapi Korps Bhayangkara mendukungnya dengan menangkap calon Gubernur Lampung yang

memenangi pemilihan, Alzier Dianis Thabrani. Hingga dua priode, Sjachroeddin ZP sebagai mantan Deputi Operasional Mabes Polri, ini terpilih menjadi Gubernur Lampung (baca: Inspirator Tanpa Kultus, Biografi Sjachroedin Zainal Pagaralam, 2011). Rencana pencalonan Kapolda Sumut sebagai Gubernur Sumut akan mengganggu netralitas anggota Korps Bhayangkara. Kondisi ini bisa menyebabkan Pemilukada Sumut sebagai sebuah proses demokrasi yang rentan terhadap ragam konflik kepentingan, mengemuka sebagai sumber konflik yang berkepanjangan. Keberadaan Polri sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat yang bertanggung jawab terhadap berlangsungnya proses demokrasi yang benar, pantas untuk disangsikan. Anggota Korps Bhayangkara akan menunjukkan keberpihakannya terhadap perwira tinggi Polri, sehingga proses demokrasi akan berlangsung dalam tekanan. Simpul ini tidak berlebihan mengacu pada komunikasi politik yang dilakukan Kapolda Sumut Utara Irjen Pol Drs Wisjnu Amat Sastro, S.H. lewat pemasangan baliho yang begitu massif. Tidak sedikit dari baliho itu dipasang di depan markas polisi sektor seperti yang terlihat di sepanjang jalan lintas Padangsidempuan-Sibolga. Institusi Polri milik semua lapisan masyarakat, tak boleh menunjukkan keberpihakannya kepada salah satu calon. Sebab itu, terhadap strategi politik yang dimainkan Kapolda Sumut Irjen Pol Drs Wisjnu Amat Sastro, S.H. publik pantas menyayangkannya.*** Sumber: Analisa edisi 4 September 2012

Bila Polisi Minta Duit Salut kepada Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Inspektur Jenderal Putut Eko Bayuseno. Ia meminta duit kepada Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo untuk pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat. “Dana itu,” kata Putut seperti dikutif media massa, “untuk operasional lapangan Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) yang sifatnya sosial.” Sungguh, hampir tak pernah terdengar ada pimpinan Polri di daerah yang meminta dana secara terus-terang kepada pemerintah daerah. Meskipun tak sedikit dana APBD yang dialokasikan untuk kegiatan-kegiatan Polri, biasanya hal itu disampaikan secara diam-diam, sehingga transparansinya kurang diketahui. Publik baru tahu setelah kepala daerah menguraikan dalam laporan pertanggungjawabannya atas penggunaan APBD, bahwa ada dana APBD yang dialokasikan buat kegiatan pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat yang memosisikan Polri sebagai pengguna dana tersebut. Laporan kepela daerah yang seperti ini biasaanya melahirkan pertanyaan: bukankah dalam APBN sudah dianggarakan dana untuk Polri? Memang, anggaran Polri dalam APBN sesuai surat edaran Menteri Keuangan tentang alokasi anggaran untuk kementerian negara/lembaga. Penggunaan anggaran itu pun sudah jelas alokasinya, termasuk untuk ragam kegiatan di lingkungan Polda, Polres, sampai Polsek. Setiap Polda, tergantung pada tife Polda masing-masing, memiliki besaran anggaran yang sudah ditetapkan. Namun, pada dasarnya anggaran itu dialokasikan untuk gaji personil Polri, PNS, dan ragam kegiatan yang berkaitan dengan visi misi, tugas, dan tanggung jawab Polri sebagai lembaga Negara. Termasuk juga untuk pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat seperti program yang disebutkan Kapolda Metro Jaya tersebut. Meskipun begitu, apa yang disampaikan Kapolda Metro Jaya ini mesti disikapi secara logis. Inilah realitas yang dihadapi Polri saat ini, senantiasa kekurangan duit untuk operasional kegiatan-kegiatannya. Sekalipun ada alokasi dana dari APBN berupa DIPA Polri, tetap saja kurang untuk kebutuhan dana operasional personil Polri di lapangan. Penyebabnya, kegiatan-kegiatan Polri di lapangan acap tak terduga, jauh dari gambaran yang dibuat saat pagu DIPA Polri ditetapkan.

Banyaknya peristiwa-peristiwa tak terduga yang dihadapi Polri, yang menuntut pemakaian dana cukup besar, sehingga alokasi-alokasi dana yang sudah ditetapkan menjadi membengkak. Misalnya, operasional-operasional yang harus dilakoni Direktorat Reserse Kriminal, yang acap berhadapan dengan kasus-kasus baru dan penyelesaiannya tak bisa ditunda. Begitu juga halnya dengan Direktorat Brigadir Mobil (Brimob) yang acap harus mempersiapkan Pasukan Anti-Huru-Hara (PHH) secepatnya guna mengantisipasi terjadinya huru-hara. Hal ini menunjukkan bahwa Polri membutuhkan cadangan dana untuk antisipasi peristiwa-peristiwa incidental. Apalagi bila peristiwa itu menuntut tindakan cepat dari Polri untuk melakukan olah tempat kejadian perkara, sehingga yang dibutuhkan bukan tambahan dana operasional tetapi juga tambahan personil di lapangan. Tak jarang Polri bagai berhadapan dengan simalakama, harus membuat skala prioritas dalam menyelesaikan sebuah perkara hokum, sehingga memberi kesan seakan-akan lembaga penegak hukum ini melakukan “tebang pilih”. Kembali pada soal Kapolda Metro Jaya meminta duit kepada Gubernur DKI Jakarta. Harus diakui, tanpa permintaan ini sudah seharusnya kepala daerah mengalokasikan dana APBD untuk Polri sebagai stake holder pemerintah daerah dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Meskipun begitu, penggunaan dana APBD tersebut harus mengutamakan kaidah transparansi, sehingga nilai guna dan hasil guna dari penggunaan dana APBD itu bisa diukur dan bermanfaat untuk kepentingan masyarakat. Namun, bila dikaitkan dengan rencana Kapolda Metro Jaya dengan meluncurkan program Babinkamtibmas di lingkungan masyarakat Kota Metropolitan Jakarta, ada baiknya dipikirkan kembali. Pasalnya, Polda Metro Jaya akan dihadapkan pada realitas institusi Polri yang sedang menghadapi persoalan minimnya personil Polri. Saat Rapat Pimpinan Polri digelar pada 17 Januari 2012, Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo mengatakan anggota Polri saat ini baru mencapai 387.470 personil. Jumlah ini jauh dari ideal berdasarkan standar perbandingan internasional yang seharusnya adalah 610.533 orang. Dengan jumlah personil seperti itu, maka rasionya satu orang polisi bertugas melindungi lebih 600 orang warga. Dengan catatan, rasio 1:600 berlangsung dalam situasi normal. Rasio 1:600 itu berlaku juga di lingkungan Polda Metro Jaya. Bisa dibayangkan betapa repotnya seorang anggota Polri mengawasi 600 warga Kota Metropolitan Jakarta dalam satu hari. Belum lagi bila kita mengkalkulasi luas wilayah kerja dari 600 warga yang harus dilindungi seorang polisi, dan dikonversi menjadi dana operasional. Bukan mustahil, sebagian besar dana APBD DKI Jakarta akan tersedot untuk kelancaran program Babinkamtibmas Polda Metro Jaya ini. Di samping itu, seluruh personil Polda Metro Jaya terutama para brigradir akan fokus untuk kelancaran program Babinkamtibmas ini, sehingga berbagai peristiwa yang sifatnya insidental bisa terabaikan. Alhasil, di satu sisi Polda Metro Jaya akan sukses dengan program pembinaan keamanan dan ketertiban masyarakat, tetapi di sisi lain akan keteteran untuk mengantisipasi peristiwaperistiwa insidental yang sering terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya.

Karena itu, solusi yang paling tepat bagi Polda Metro Jaya untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat adalah mengupayakan agar masyarakat berperan aktif dan berpartisipasi. Ada baiknya Polda Metro Jaya lebih mengefektifkan peran dari Direktorat Bimbingan Masyarakat (Dir Binmas) untuk membangun kembali kapital-kapital sosial masyarakat Kota Metropolitan Jakarta yang tercerabut dari ranah budayanya. Sudah umum diketahui, bahwa dominan masyarakat Kota Metropolitan Jakarta adalah masyarakat modern yang berasal dari sejumlah daerah di Nusantara. Di daerah asalnya, mereka memiliki koital-kapital sosial yang acap dibangun dan ditumbuhkan dalam pergaulan social di Kota Metropolitan Jakarta. Kapital-kapital sosial itu memiliki daya rekat yang kuat sehingga kohesivitas warga yang berasal dari lingkungan budaya yang sama akan sangat kuat. Masyarakat seperti inilah yang memberi dukungan penuh atas kemenangan pasangan Joko Widodo-Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu lalu. Masyarakat konstituen ini sangat mencintai Joko Widodo-Ahok, dan pasti Pemda DKI Jakarta akan sangat memperhatikan komunitas-komunitas yang ada di lingkungan masyarakatnya dengan menggelontorkan programprogram kerja untuk merawat komunitas-komunitas tersebut. Polda Metro Jaya bisa juga mensinergikan program Babinkamtibmas tersebut dengan program-program yang dirancang Pemda DKI Jakarta terkait visi dan misi yang sama, sehingga kemitraan Polri dengan Pemda DKI Jakarta bisa lebih diperkuat. Kemitraan antara Pemda DKI Jakarta dengan Polda Metro Jaya adalah kunci utama terwujudnya keamanan dan ketertiban masyarakat. * Sumber : Koran Tempo edisi 5 Desember 2012

Komisi Polisi Ejekan paling vulgar terhadap kinerja polisi muncul dalam film serial Police Academy dari Hollywood. Saat menontonnya di Indonesia, kita terpingkalpingkal karena ulah konyol karakter polisi dalam film itu. Ejekan lain yang tak kalah vulgar muncul dalam sejumlah film produksi Boliwood. Di dalam semua genre film India, polisi selalu diposisikan sebagai entitas yang korup dan selalu dating terlambat. Di Indonesia, polisi versi Hollywood dan Boliwood bisa dengan mudah ditemukan. Polisi Indonesia merepresentasikan versi Hollywood dan Boliwood itu. Polisi itu bias berwajah Komjen Susno Duaji, yang penuh lelucon karena “menertawakan” Kode Etik Profesi Polri. Komisaris jenderal ini tenar dengan istilah “Cicak versus Buaya”. Peluruh yang ditembakkannya untuk membongkar korupsi di tubuh institusi polisi, ternyata berbalik membongkar keterlibatannya dalam sejumlah kasus korupsi. Bagi publik akhir-akhir ini, ia lebih tampak sebagai anggota Korp Polri yang melupakan Pembukaan Kode Etik Profesi Kepolisian Republik Indonesia. Sama persis seperti angggota Police Academy. Upaya Komjen Susno Duaji akhirnya membuka mata publik atas fakta yang sesungguhnya bahwa “korupsi identik dengan setiap anggota polisi”. * Fakta soal korupsi di tubuh Polri ini sangat merisaukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sehingga meminta Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo agar merumuskan program Polisi Antikorupsi. Dalam blue print Divisi Propam Mabes Polri, program itu diejawantah dengan sepotong kalimat: “Polisi korup tidak boleh ada di lingkungan Polri.” Dalam sebuah kesempatan, Kepala Divisi Propam Polri, Irjend Pol Budi Gunawan, mengulangi kalimat itu. “Program Kapolri Jenderal Timor Pradopo untuk membersihkan institusi Korps Bhayangkara dari aparat korup,” katanya, “memosisikan Divisi Propam Polri sebagai ujung tombaknya.” Tugas dan tanggung jawab membersihkan Korp Bhayangkara dari korupsi, tidak saja berat tapi juga menghadapi banyak tantangan. Korupsi dan aparat polisi sudah lumrah. Tiap hari public bisa melihat aparat polisi yang menjalankan tugas dan tanggung jawabnya tanpa kode etik profesi. Di jalan raya, polisi lalu lintas sanggup meminta kepada pelanggar lalu lintas sejumlah uang (tidak jarang cuma Rp5.000) agar tidak ditilang. Konon lagi

di lingkungan kerja reserse, dimana posisi tawar aparat polisi menjadi lebih tinggi dari tersangka. Bukan mustahil, ada aparat polisi yang menjanjikan akan meringankan tuntutan atau malah memperlambat proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) perkara para tersangka, asalkan diberi imbalan sejumlah uang. Inilah yang mendera nasib Kompol Afarat Enanie. Ketika saya menghadiri Sidang Kode Etik dan Profesi yang mendudukan Kompol Arafat sebagai pelanggar kode etik profesi Polri, perwira menengah yang merupakan koordinator penyidikan kasus mafia pajak Gayus Tambunan, disebut telah terbukti merekayasa dana dalam rekening Gayus Tambunan. Kompol Arafat dan perwira-perwira di Mabes Polri dinyatakan bersalah karena tidak bekerja melakukan penegakan hukum sehingga melanggar azas keadilan hukum. Malah sebaliknya, aparat polisi ini melindungi pelaku tindak pidana korupsi dengan memanfaatkan jabatan dan kedudukannya selaku penyidik kasus mafia pajak untuk kepentingan pribadi. Kini karier Kompol Arafat yang sangat bagus dan cepat tenar, berakhir sudah di Mabes Polri. Setiap anggota Korps Bhayangkara mengenangnya sebagai barang contoh aparat penegak hukum yang tak profesional dalam bekerja. Aparat hukum yang membuat citra buruk institusi polisi semakin terpuruk. Dan, tentu, kasus ini bukan kasus terakhir yang akan menimpa aparat polisi di lingkungan Polri. Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 14 huruf g ditegaskan: “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.” Kewenangan polisi begitu besar dalam penyidikan untuk membuat BAP. Ini dapat memengaruhi aparat polisi untuk melanggar kode etik profesi. Sedangkan BAP merupakan dasar yang dipergunakan saat menyidang tersangka tindak pidana di pengadilan negeri. Tapi, semoga hanya Kompol Arafat yang menjadi contoh buruk bagi segenap aparat polisi yang tidak profesional menjalankan tugas dan tanggung jawab. Jangan ada lagi aparat polisi yang harus mengikuti Sidang Etika dan Profesi, yang sering berakhir pada hilangnya karier di lingkungan Polri. Atau lebih parah lagi seperti Kompol Arafat, sudah kehilangan karier, masih harus mendekam di penjara karena perbuatannya melindungi koruptor dan menerima suap pantas diganjar sesuai KUHAP. Sekalipun dalam blue print Divisi Propam Polri dijabarkan betapa besar tanggung jawab divisi ini dalam membersihkan institusi Polri dari keberadaan polisi korup, sulit mengharapkan para anggota Korp Bhayangkara akan bertindak tegas terhadap seluruh anggotanya. Kode Etik Profesi Polri sangat mengikat setiap anggota dalam kultur tugas untuk selalu menghormati para komandan. Besar kemungkinan bahwa penegakan disiplin di lingkungan Polri hanya akan tajam terhadap para anggota di level bawah, tapi tumpul jika berhadapan dengan angogota Polri yang pangkatnya ada di level atas. Stratifikasi sosial di lingkungan Polri sangat ketat. Levelitas berlaku dalam segala situasi dan kondisi. Mereka yang berada di level paling bawah, sejak pertama kali masuk sebagai anggota Korp Bhayangkara, sudah menjatuhkan

pilihannya untuk tetap berada di level paling bawah. Mereka yang ingin mencapai level atas, harus berjuang keras dengan mengikuti sejumlah tingkatan pendidikan di lingkungan Polri, yang ternyata juga tidak mudah bagi setiap anggota Polri untuk masuk ke dalam lingkungan pendidikan itu. * Sebab itu, institusi Polri tidak bisa dibiarkan bekerja sendiri mengurusi institusinya. Polri membutuhkan campur tangan stakeholder lainnya, yang bertujuan untuk memperbaiki profesionalitas insan Bhayangkara. Belakangan, Presiden SBY mengharapkan agar Korp Bhayangkara bermitra dengan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Harapan ini disampaikan Presiden SBY berkaitan dengan penyerahan 12 nama calon anggota Kompolnas yang baru oleh Ketua Panitia Seleksi Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Kusparmono Ikhsan. Ini bukan hal baru mengingat tujuan utama pembentukan Kompolnas memang untuk bermitra dengan Polri. Persoalan yang muncul justru menunjukkan, peran yang dimainkan oleh Kompolnas selama ini belum mampu mengubah citra Polri menjadi lebih baik di mata publik. Sinergisitas antara Polri dan Kompolnas tidak kunjung membawa perubahan berarti, karena Kompolnas lebih banyak bekerja sebagai pengamat yang melapor langsung ke Presiden tidak tidak punya wewenang untuk memastikan ada tidak eksekusi atas laporan tersebut. Selain itu, eksistensi Kompolnas sebagai lembaga yang berdiri sendiri masih berada di bawah baying-bayang Polri. Terutama berkaitan dengan anggaran untuk kinerja Kompolnas yang masih menginduk pada anggaran Polri dalam ABPN, sehingga tingkat ketergantungan Kompolnas dengan Polri sangat tinggi. Selama anggran Kompolnas masih menginduk pada anggaran untuk Polri, sulit mengharapkan Kompolnas akan mampu bekerja professional sebagaimana seharusnya.*** Sumber: Jurnal Nasional edisi 23 Februari 2012

Selamatkan Polri Setelah pidato Presiden SBY terkait pertarungan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) versus Polri, kita mengira tak ada lagi persoalan. Nyatanya, Polri malah memperkarakan KPK terkait barang bukti yang dibawa KPK saat melakukan penyidikan kasus korupsi mobil simulator SIM di Koorlantas Mabes Polri. Konon, Koorlantas Mabes Polri menilai barang bukti itu tak ada kaitannya dengan kasus korupsi tersebut. Sebetulnya ini perkara sepele, tapi menjadi tak sepele karena terkesan mempermainkan dunia penegakan hokum di negeri ini. Disebut mempermainkan arena gugatan yang diajukan Polri terhadap KPK, bisa menjadi preseden buruk bagi public. Artinya, public yang juga merasa dirugikan atas kerja-kerja penyidikan dan penyeleidikan oleh para penegak hokum, bisa mendaftarkan gugatannya. Dampaknya jelas, ada perlambatan pada penyelesaian kasus pelanggaran hukum yang menjadi subtansi, sehingga konsentrasi para penegak hukum akan terpecah pada soal menanggapi gugatan tersebut. Bisa jadi Polri sengaja mendorong Koorlantas untuk menggugat KPK, sehingga konsentrasi KPK menjadi terpecah. Fokus utama untuk mengungkap kasus korupsi di Koorlantas Mabes Polri menjadi terbagi, sehingga penegakan hukum terhadap para tersangkanya semakin jauh dari penyelesaian. Alhasil, KPK yang sangat diharapkan public menjadi tak berbeda dengan penegak hokum lainnya, bertele-tele dan nyaris menjauh dari cita-cita pemberantasan korupsi di negeri ini. * Perang KPK versus Polri membutuhkan konsensus yang jelas. Tidak sekedar pidato dari Presiden SBY yang memberi peran lebih kepada KPK. Sebab, persoalan sesungguhnya tidak terletak pada siapa yang paling berperan dalam menangani kasus korupsi, tapi pada kekacauan dalam tatanan hokum yang ada di negeri ini. Tatanan hukum yang kacau membuat segala sesuatunya menjadi tak jelas, terutama karena peraturan perundang-undangan yang ada bisa dipakai untuk mendukung sekaligus menjatuhkan siapa saja. Para pemakai peranturan perundang-undangan bisa memanfaatkan orde yang ada untuk memperlambat proses hokum apabila terkait kepentingan individu maupun lembaganya, tapi bisa juga mempercepat proses hokum yang ada. Gugatan Polri salah satu contohnya. Gugatan ini tak akan pernah diajukan seandainya institusi Polri dipenuhi oleh sumber daya manusia yang memiliki

rasa nasionalisme tinggi untuk menghapus korupsi dari negeri ini. Gugatan itu hampir tidak ada kaitannya dengan kepentingan bangsa dalam menghapus korupsi. Gugatan itu lebih kuat dipengaruhi oleh kepentingan institusi Polri yang masih menyimpan dendam terhadap KPK. Hal ini berarti, persoalan lama yang mendorong pertarungan KPK versus Polri belum menemukan titik penyelesaian. Pidato SBY yang panjang lebar tak membuat Polri mengubah pendiriannya terhadap kasus korupsi di lingkungan Mabes Polri. Institusi ini berusaha memperlambat kinerja KPK. Jika inilah yang berlangsung, sudah tentu gugatan terhadap KPK ini akan membuat citra Polri bertambah buruk. Maurice Punch dalam bukunya, Police Corruption: Deviance, Accountability and Reform in Policing (2009) menyebut polisi dan korupsi tak bisa dibicarakan secara terpisah. Keduanya kait berkait, dan hal ini bukan hanya disebabkan watak dari anggota polisi melainkan karena watak yang tumbuh dalam lingkungan internal Polri. “Soal sebenarnya bukan apel yang berulat,” kaya Punch, “soalnya adalah kebunnya yang berulat”. Kejahatan atau malpraktek anggota polisi di dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab tidak selalu disebabkan individu polisi itu, tetapi faktor lingkungan dalam internal institusi juga menjadi pendorong utama. Jika lebih dikaji, malpraktek yang dilakukan anggota polisi sesungguhnya tidak selalu disebabkan watak dari individu polisi, tetapi besar kemungkinan dipengaruhi oleh lingkungan kerjanya. Hal yang sama juga berlaku bagi anggota Polri. Buruknya perilaku malpraktek di internal Polri, terutama yang dilakukan para perwira tinggi seperti dalam kasus korupsi mobil simulator SIM di Koorlantas Mabes Polri, bukan mustahil merupakan watak Polri yang sesungguhnya. * Jika situasi inilah yang terjadi, sudah saatnya kita menyelamatkan Polri, membersihkan watak korupsi yang menghidupi internalnya. Tanggung jawab ini tidak bisa diserahkan kepada internal Polri sendiri, karena sudah banyak program percepatan reformasi Polri dirumuskan tetapi hasilnya tak memuaskan. Bahkan, dalam hal pemberantasan korupsi di internal Polri, Devisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri menyatakan berada di garis depan dalam membentengi Polri dari tindak korupsi, tapi suaranya tak terdengar ketika perwira tinggi Polri dijadikan tersangka korupsi oleh KPK. *

Reformasi Pelayan di Tangan Bukan Pelayan Ada yang baru di lingkungan Polda Bali. Sebuah bangunan mentereng hasil rehabilitasi bangunan lama terlihat mencolok dengan disain arsitektur bergaya minimalis muncul di lingkungan Markas Korps Bhayangkara itu. Warnanya orange, kontras dengan warna bangunan di lingkungan Polda Bali yang dominan coklat . Sungguh menyita perhatian public, melahirkan tanya terhadap sepenggal kalimat dalam ukuran besar bertulis “Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu Polda Bali”. Apa itu Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu? Tidak ada yang tahu persis, termasuk para polisi di lingkungan Polda Bali. Mereka hanya paham bahwa Kapolda Bali, Inspektur Jenderal (Pol) Budi Gunawan, punya gagasan brilian untuk membangun sebuah sistem pelayanan public yang terkonsentrasi pada satu atap. Semua jenis pelayanan public yang diberikan polisi, dipusatkan dalam satu gedung, sehingga metoda pelayanan bisa diseragamkan agar lebih memposisikan public sebagai “raja” yang mesti dilayani. Untuk itu, dirumuskan strategi operational system (SOP) pelayanan yang menjadi acuan setiap petugas dalam memberikan pelayanan sekaligus menjadi panduan bagi public untuk mendapatkan pelayanan. Konsep pelayanan seperti ini sebetulnya sudah muncul di Devisi Profesi dan Pengamanan (Divpropam) Mabes Polri sekitar lima tahun lalu. Saat itu, Dipropam Mabes Polri, dipimpin Irjend Pol Budi Gunawan. Mantan Kapolda Riau ini merancang konsep pelayanan mengikuti metoda pelayanan yang diberikan para pebisnis kepada konsumennya, seperti pelayanan di sector perbankan. Diniatkan, public tak takut lagi datang ke kantor polisi, dan merasa betah untuk menunggu karena sambutan dari petugas begitu bersahabat dan sangat menghormati mereka. Konsep yang penampilan fisik gedung Divpropam Mabes Polri menjadi seperti ruang tunggu sebuah kantor bank. Nyaman, sejuk, dan ada perpustakaan

yang bisa dimanfaatkan public sambil menunggu proses penyelesaian pengaduan yang dibuatnya. Konsep seperti inilah yang dihadirkan di Polda Bali. Diawali dengan membangun gedung SPKT, yang diharapkan tak hanya menunjukkan perubahan fisik pada institusi Polri di lingkungan Polda Bali. Karena publik memang tak mengharapkan perubahan fisikli, apalagi sejak reformasi Polri. Publik ingin reformasi Polri membawa perubahan baik dalam cara berpikir (mind set) maupun cara bekerja (culture set) polisi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai penjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Memang, perubahan ke arah itu mulai terasa akhir-akhir ini meskipun masih belum dinamis. Karena perubahan yang ada kurang terintegrasi secara keseluruhan di lingkungan stake holders Polri. Masih banyak anggota Korps Bhayangkara yang belum mampu mengimplementasikan reformasi Polri ke dalam cara pikir dan budaya kerja yang efektif, efisien, dan akuntabilitas. Terutama anggota Polri yang berada pada level komando tingkat bawah, entitas yang berhubungan langsung dengan public. Kondisi ini harus diakui sebagai kendala terbesar dalam reformasi Polri. Cara berpikir dan cara kerja lama, yang terlanjur tertanam dan menjadi tradisi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, membutuhkan waktu yang panjang untuk menyesesuikannya dengan iklim dan tuntutan reformasi Polri. Akibatnya, ragam strategi yang dirancang untuk mereformasi Polri terasa tidak serta-merta mampu meningkatkan ekspektasi public terhadap Polri. Publik tetap saja memandang Polri dengan sinis, seakan-akan reformasi Polri bakal menemui tembok tinggi yang tak terpanjati sehingga tak ada harapan lagi untuk berubah. Sinisme semacam ini pada dasarnya muncul sebagai bentuk kekecewaan public, terutama karena harapan-harapannya agar peran dan fungsi Polri sebagai penjaga keamanan dan ketertiban public belum memuaskan. Tapi, apabila kita pahami dari perspektif berbeda, kekecewaan public muncul karena kecintaan public terhadap Polri. Publik masih membangun harapan besar bahwa Polri akan bisa tampil sebagaimana seharusnya, terutama dalam hal melayani kepentingan-kepentingan public. Public masih mendambakan kehadiran sosok Polri yang altruis, pelayan public (public service) yang perduli dengan persoalan public sebagaimana semangat reformasi Polri untuk mewujudkan kehadiran polisi sipil. Dalam rangka memupuk semangat altruisme personil polisi terhadap kepentingan-kepentingan publik, sudah seharusnya institusi Polri lebih mengedepankan strategi yang memungkinkan polisi untuk selalu dekat dengan public. Salah satu strategi itu adalah apa yang pernah disinggung oleh Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo dalam pidatonya saat Rapat Pimpinan Polri 2011 di Mabes Polri tentang implementasi reformasi Polri untuk mewujudkan civilian police baik pada aspek struktural, instrumental, maupun kultural. Reformasi kultural sangat penting mengingat jiwa reformasi birokrasi adalah perubahan kultur dan peningkatan kinerja. Sedangkan reformasi struktural dilaksanakan secara utuh dari tingkat Mabes sampai dengan Polsek sebagai satuan pelayanan Polri terdepan. Reformasi Polri ini tercermin dalam struktur organisasi Polri yang baru, yang memperkuat dan memperbanyak titik-titik sebaran pelayanan pada satuan

terdepan agar masyarakat semakin terlayani. Polri ingin mewujudkna pelayanan prima lewat upaya (1) penguatan institusi (institution strengthening), (2) terobosan kreatif (creative breakthrough), dan (3) peningkatan integritas (integrity improvement). Pada tataran inilah kehadiran SPKT Polda Bali menemukan relevansi dan urgensinya. SPKT merupakan organisasi baru di lingkungan Polda Bali. Organisasi ini pengejawantahan berbagai produk peraturan perundanganundangan yang dikeluarkan pemerintah sebagai implementasi reformasi Polri dalam rangka mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan negeri. * SUDAH rahasia umum, tidak mudah bagi masyarakat mendapatkan pelayanan yang prima dari Polri. Selain bertele-tele, acap tak akuntabilitas. Tidak jarang, masyarakat merasa kurang direspon yang pada akhirnya menimbulkan efek jera untuk berhubungan dengan polisi. Akibatnya, masyarakat sinis lebih dahulu seakan-akan Polri tidak bisa menjalankan fungsi pelayanannya. Meskipun kenyataannya tidak seperti itu sejak reformasi Polri bergulir, tapi ekspektasi masyarakat terhadap Polri tetap rendah. Ini beban psikologis masyarakat yang menjadi tantang besar bagi Polri, sehingga perlu upaya yang kontinyu untuk meyakinkan publik bahwa Polri sudah mengalami banyak perubahan. Upaya itu bisa dilakukan melalui pencitraan institusi Polri dengan melakukan kampanye dan sosialisasi yang intens terkait program-program Polri, sehingga masyarakat melihat bukti nyata dari reformasi Polri tersebut. Selain itu kehadiran SPKT dapat menjadi solusi yang paling tepat untuk membangkitkan kembali ekspektasi publik terhadap Polri. SPKT merupakan sebuah organisasi di lingkungan Polda Bali yang mengayomi segala jenis pelayanan publik dan terpusat dalam satu atap sehingga memudahkan masyarakat untuk mendapatkan pelayanan dari Polri. Namun, berbeda dengan pola pelayanan publik yang diterapkan Polri selama ini, kehadiran SPKT menawarkan strategi pelayanan yang didorong oleh semangat altruisme Polri. Semangat altruisme merupakan rasa keperdulian yang tinggi atas persoalan yang dihadapi masyarakat, sehingga setiap masyarakat yang datang menyampaikan persoalannya ke SPKT akan merasa bahwa beban yang dihadapinya semakin berkurang. Artinya, masyarakat yang datang ke lingkungan Polri pada dasarnya adalah masyarakat yang menghadapi persoalan dalam kehidupan sehari-hari, yang karena beban itu sangat berat kemudian coba diusahakan untuk diselesaikan secara hukum. Banyak persoalan masyarakat yang membebani pikiran mereka, terutama terkait konflik secara hukum yang mendorongnya untuk mendapatkan rasa keadilan hukum dengan meminta bantuan Polri. Mereka yang berkonflik secara hukum ketika datang ke SPKT pada dasarnya merupakan entitas yang ingin ada solusi dari masalah yang dihadapinya, sehingga mereka membutuhkan penanganan yang efektif dan efisien agar tidak lagi membebaninya.

SPKT berisi ragam pelayanan yang terkait dengan fungsi dan tanggung jawab pada 11 (sebelas) satuan kerja di lingkungan Polda Bali, mulai dari masalah lalu lintas, krimanl umum, kriminal khusus, narkoba, bimbingan hukum, konsultasi hukum, hubungan masyarakat, dan lain sebagainya. Setiap masyarakat yang datang ke SPKT akan merasa bahwa polisi sangat merespon permasalahan yang dihadapinya, ditandai dengan pola penyambutan oleh resepsionis yang begitu bersahabat (freindly), dan empati yang tinggi atas persoalan yang dikeluhkan masyarakat. Tujuan utama dari pelayanan di lingkungan SPKT adalah “mengurangi beban masyarakat yang sedang menghadapi persoalan” dengan memberikan solusi-solusi mudah atas persoalan tersebut. Masyarakat bisa menuntut penyelesaian atas persoalan-persoalan yang dihadapinya pada saat itu juga sebagai bukti bahwa SPKT metradisikan kinerja polisi yang efektivitas, efisensi, dan akuntabilitas. Sayangnya, gagasan yang melatarbelakangi pembangunan SPKT Polda Bali sebagai sebuah inovasi, tak bisa didifusikan dengan efek yang sama di lingkungan Korps Bhayangkara Polda Bali. Kemampuan sumber daya manusia (SDM) yang bertugas pada 11 satuan kerja yang terintegrasi dengan SPKT Polda Bali tak merata, sehingga ada SDM yang tak mampu mengimplementasikan gagasan pelayanan prima itu ke dalam kerja harian. SDM Polda Bali, sebagaimana galibnya polisi dimana-mana, tidak terbiasa berhadapan dengan public dalam posisi sebagai pelayan. Sebab itu, saat posisi sebagai pelayan itu ditempati, SDM polisi kesulitan untuk melakukan komunikasi yang lebih menyejukkan hati. Sapaan, kesopanan, kesantunan, dan nilai-nilai altruism untuk merasakan persoalan-persoalan public sangat rendah, sehingga sangat besar kemungkinan akan terjadi miskomunikasi dan misunderstanding dalam komunikasi verbal antara public dengan petugas polisi di dalam SPKT Polda Bali. Persoalan akan bertambah apabila terjadi pergantian pemimpin di lingkungan Polda Bali. Tak ada jaminan SPKT Polda Bali akan terus berlanjut seandainya Irjend Pol Budi Gunawan selaku penggagas digantikan orang baru, seperti halnya nasib Central Pelayanan yang ada di Divpropam Mabes Polri sejak Irjend Pol Budi Gunawan tak lagi menjadi Kadiv Propam Mabes Polri. Gagasan dan ide inovasi di lingkungan Polri tidak identik dengan internal Polri secara keseluruhan, tetapi sangat tergantung siapa yang menjadi pemimpinnya. Polri tidak akan berubah. Tidak akan. *

Bagian 4

Dinamika Penegakan Hukum 10. Generasi Korup 11. Kekuasaan yang Memonopoli 12. Kerudung Para Tersangka 13. Jika Koruptor Melawan 14. Bila Tersangka Tampil Saleh 15. Dari Bandit sampai Preman 16. KPK Sudah Lemah 17. Pemancing Kemarahan Islam 18. Mesuji dan Hal-Hal Lainya

Generasi Korup Anak muda adalah korban, boneka yang merasa dirinya dipercayai oleh atasannya. Sayangnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas menyebut mereka sebagai hasil regenerasi dan kaderisasi koruptor di lembaga pemerintahan dan partai politik. Simpul itu dibuatnya setelah melihat daftar para koruptor, sebagian besar memang kalangan muda. Salah satu sajak Toto Sudarto Bachtiar yang pantas dibaca ulang akhirakhir ini adalah “Pahlawan Tak Dikenal“. Sajak ini bercerita tentang anak muda yang mati dengan sebuah lubang peluru bundar di dadanya. Ceritanya tentang heroisme anak muda yang tak takut mati muda untuk merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Pada zaman pergerakan, di masa hiruk-pikuk setelah Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI, darah anak muda bangsa ini tumpah di tanah. Tak terhitung jumlahnya, darah mereka rembes dari luka-luka bekas peluru di tubuhnya, sedangkan di bibir mereka terukir senyuman. “Senyum bekunya ingin berkata: aku sangat muda,“ tulis Toto Sudarto Bachtiar dalam sajaknya yang terkenal itu. Kita memang selalu menghadapi perang. Setelah merdeka, bahkan setelah puluhan tahun merdeka, bangsa ini selalu dalam situasi perang. Sementara sebelumnya kita berperang melawan kolonialisme, akhir-akhir ini musuh yang kita hadapi adalah diri kita sendiri—orang-orang yang telah sukses belajar banyak dari kolonialisme sehingga berhasrat besar menghidupkan kolonialisme yang baru. Kolonialisme baru tidak membutuhkan senjata penghancur seperti artileri dan peralatan tempur yang canggih. Hanya dibutuhkan pengetahuan dan pengalaman yang andal tentang siapa sesungguhnya yang harus dilawan, sehingga bisa dipahami siapa yang lebih dulu harus dilemahkan. Dan, kita tahu kemudian, anak muda dengan segenap energi dan emosi mereka yang senantiasa labil merupakan entitas yang pertama kali harus dilemahkan. Inilah yang dilakukan para koruptor di negeri ini, yang melancarkan perlawanan sengit terhadap segala upaya pemerintah dalam menghapus penjajahan oleh tindak pidana korupsi dalam segala dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, dengan melemahkan para anak muda. Koruptor merekrut anak-anak muda, memberi mereka harapan yang indah tentang gaya hidup glamor. Kita pun mencatat anak-anak muda muncul di lingkungan aparat pemerintah, memiliki peran besar, sehingga bisa mengakses dana negara dengan mudah. Di lingkungan partai politik, anak-anak muda juga punya tempat khusus, seakan-akan mereka memiliki cukup kemampuan untuk mengelola sebuah partai sebagaimana seharusnya.

Sesungguhnya keberadaan anak muda di dalam institusi-institusi besar itu lebih mirip boneka si Gale-gale di Pulau Samosir. Si Gale-gale muncul di hadapan publik seakan-akan lantaran mampu berdiri sendiri, bergerak sendiri, dan menari tortor, padahal ada tali yang menggerakkannya. Anak-anak muda di institusi-institusi besar itu tidak pernah menyadari bahwa mereka lebih mirip si Galegale. Ia diberi peran besar, tanggung jawab yang luas untuk menentukan masa depan institusi yang dipimpinnya, tapi kemudian dilemahkan dengan meruntuhkan citra dirinya sebagai entitas yang menyebabkan kerusakan institusi. Mereka, anak-anak muda itu, kemudian mendapat cap sebagai koruptor yang dibiarkan sendiri menghadapi proses peradilan di hadapan para penegak hukum. Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat, sesungguhnya karakteristik anak muda yang digerakkan oleh tali untuk mengeruk dana-dana besar guna membiayai kegiatan partai. Tali-tali dipegang oleh para elite partai yang duduk di lembaga legislatif, yang kemudian mengarahkan sang boneka agar ikut dalam sejumlah tender proyek yang dibiayai dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Bagi publik, sangat mengherankan bagaimana bisa anggota legislatif terlibat dalam urusan proyek pembangunan Wisma Atlet SEA Games. Tapi bukan hal yang mengherankan jika kita memahami bagaimana pertarungan para elite partai politik untuk bisa mengelola anggaran negara. Semuanya berkaitan, juga dengan kedudukan para menteri di lingkungan jajaran birokrat. Jika menteri berasal dari elite partai, sudah galib bahwa seluruh proyek APBN di lingkungan kementerian itu pasti menjadi hak elite partai si menteri. Tentu situasi ini memperburuk iklim di lingkungan birokrasi pemerintah. Ketika menteri melanggengkan korupsi dengan membangun jaringannya, para pejabat birokrat akan mengambil kesempatan ikut larut dalam situasi buruk itu. Tentu para pejabat memiliki si Galegale lain yang bisa digerak-gerakkan sesuai keinginan mereka, seperti halnya yang terjadi di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak. Anak muda adalah korban, boneka yang merasa dirinya dipercayai oleh atasannya. Sayangnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas me nyebut mereka sebagai hasil regenerasi dan kaderisasi koruptor di lembaga pemerintahan dan partai politik. Publik pun sesungguhnya memiliki penilaian yang sama. Bagi publik, terlibatnya sejumlah anak muda sebagai pelaku tindak pidana korupsi menunjukkan korupsi telah beranak-pinak. Tapi pendapat seperti ini pada akhirnya hanya akan mengandung risiko yang tak remeh terhadap masa depan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kita tak bisa menyalahkan anak muda, karena sesungguhnya keterlibatan mereka lebih disebabkan oleh citra mereka yang selama ini paling bersih dari perkara korupsi. Sejak persoalan korupsi merebak di negeri ini, sebagian besar yang menjadi terpidana kasus korupsi berasal dari generasi tua. Anak-anak muda justru menjadi sosok yang paling bersemangat mengkritik keterlibatan para generasi tua dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semangat anak-anak muda untuk memprotes sosok tua yang tetap ingin tampil, seperti kritik yang

diberikan kepada para pensiunan TNI yang ingin menjadi pemimpin, sesungguhnya membawa pengaruh besar. Para generasi tua secara perlahan-lahan memberi kesempatan kepada generasi muda untuk tampil, tapi pengalaman generasi tua memaksa mereka tidak sepenuhnya memberi peran. Dengan tali-tali di tangan, para generasi tua menggerakkan anak-anak muda yang diberi kesempatan untuk tampil, lalu mengatur mereka sebagai alat demi memenuhi hasrat generasi tua untuk tetap berkuasa. Pada tataran inilah bisa dibilang kedewasaan berpikir dan pengalaman anak-anak muda masih rendah, sehingga mereka terlalu cepat merasa puas atas apa yang didapatnya. Anak-anak muda tidak menyadari sesungguhnya mereka hanya alat dan diperalat. Mereka baru tersentak ketika mulai terjerembap dan ditinggalkan seperti halnya dialami Muhammad Nazaruddin di tubuh Partai Demokrat. Sesungguhnya perilaku korup tidak bisa dilekatkan pada suatu generasi tertentu. Perilaku korup melekat pada diri setiap manusia. Karena itu, terhadap anakanak muda yang terlibat korupsi, kita hanya bisa prihatin karena persoalan korupsi belum bisa diatasi di negeri ini sambil mengenang situasi ketika Toto Sudarto Bachtiar menulis sajaknya yang terkenal itu. Sumber : KORAN TEMPO edisi 20 Maret 2012

Kekuasaan yang Memonopoli MENYAKSIKAN peristiwa-peristiwa hukum yang belakangan kerap terjadi, ada baiknya kita mengingat seorang laki-laki yang pernah hidup dalam abad ke-18. Suatu ketika laki-laki itu berkata, "Sebuah negeri hanya bisa mendapat apabila sebuah negeri lain merugi." Orang itu adalah Voltaire, seorang sastrawan yang juga filsuf. Di negeri ini kita mengenalnya lewat novel pendeknya yang bergaya satire, Si Lugu. Pada zamannya ketika ucapan itu ia ungkapkan, manusia hidup dalam sejarah ekonomi yang disibukkan urusan mengumpulkan harta berupa barang-barang logam. Kekuasaan seseorang hanya diukur dari jumlah harta yang berhasil ia kumpulkan; dari jumlah kuda yang menarik keretanya; dari perhiasan logam mulia yang bisa ia pertontonkan kepada orang banyak. Kalimat Voltaire lebih sebagai sepotong kritik bagi para penguasa di negara-negara Eropa. Kalimat yang menguraikan realitas kehidupan berbangsa di aras global pada zaman itu, zaman ketika kolonialisme menjadi pilihan utama bagi negara-negara di Eropa dalam membangun bangsanya. Pilihan yang menyengsarakan kehidupan umat manusia di negara-negara koloni, tetapi memakmurkan manusia di negara-negara yang memilih kolonialisme sebagai ideologi untuk memakmurkan rakyatnya. Kalimat tersebut juga menjadi ungkapan lain atas selarik makna yang menegaskan kemakmuran hanya bisa diperoleh dengan cara menguasai semua sumber daya kemakmuran yang ada. Untuk menjadi penguasa tunggal atas sumber daya yang ada, pada abad ke-18 itu, hanya bisa dilakukan dengan tangan besi. Inggris, Prancis, Spanyol, Portugal, dan Belanda adalah negara-negara Eropa yang memiliki kekuasaan tunggal atas sumber daya yang ada di negerinegeri koloninya. Tapi yang penting dari Voltaire bukan situasi pada zaman ketika ia hidup, bukan pula pemikirannya yang tajam, melainkan bila hari ini kalimatnya dipinjam setelah mengubah kata "negeri" dengan "seseorang", sehingga kalimat itu menjadi "seseorang hanya bisa mendapat apabila seseorang yang lain merugi". Kalimat seperti itu segera menggiring pemahaman kita terhadap hal-hal yang kini berlangsung di negeri ini, bahwa orang hanya bisa menjadi makmur apabila ia berhasil menyengsarakan orang lain. Ketika zaman sudah berubah, hanya orang-orang bodoh yang memilih tangan besi hanya agar bisa berkuasa secara tunggal, karena tangan besi mensyaratkan ada daging yang sobek, darah yang ditumpahkan, penjara yang dipenuhi tahanan, dan segala macam pelanggaran hak asasi manusia. Di awal abad ke-20 ini, kolonialisme nyaris tak ada lagi. Tangan besi telah dicemooh dan

ditertawakan. Para diktator digulingkan dari tampuk kekuasaannya oleh demontrasi massa, dihukum, dan digantung. Namun demikian, kita bisa mengatakan bahwa keinginan untuk berkuasa secara tunggal tidak sepenuhnya hilang dari diri para penguasa. Bahkan, di sebuah negara yang mengelu-elukan demokrasi, seperti di negeri kita ini, penguasa memiliki keinginan menjadi pemegang tunggal segala dinamika yang ada dengan menjalankan roda pemerintahan bergaya feodalisme. Setiap orang ingin berkuasa secara tunggal. Keinginan yang dipelihara seperti seseorang memelihara burung perkututnya dalam novel Iwan Simatupang, sehingga ia terobesesi oleh suara Kooong yang dikeluarkan burung itu, dan ia sanggup melakukan apa saja untuk mewujudkan keinginannya. Dan orang itulah yang kemudian berada dalam posisi "mereka yang mendapat". Jika ia pebisnis, tak akan digubrisnya nasihat Prof Charles E Lindblom dalam bukunya, Politics and Markets (1979) yang menyebut: "perusahaan swasta yang besar tidak cocok hidup di dunia demokrasi." Pengusaha itu akan memilih melakukan monopoli sekalipun negara mengeluarkan regulasi antimonopoli di era pasar bebas, karena ia akan berkolaborasi dengan siapa saja untuk membangun jaringan kolonialisme baru yang disebut elite capture guna menyamarkan bisnisnya dengan membangun kesan seakan-akan tidak monopoli justru setelah mengadobsi nilai-nilai dari pasar bebas itu. Tidak heran, pebisnis seperti itu tumbuh dan besar sendiri, hidup dari mengabaikan nilai-nilai demokratisasi, tetapi memanfaatkan teoriteori demokrasi dengan cara ikut mendirikan partai politik untuk meloloskan kepentingan-kepentingan pribadinya. Berada pada pihak "mereka yang mendapat" merupakan posisi yang dominan untuk menciptakan pihak "mereka yang merugi". Mereka yang berada dalam posisi "seseorang yang merugi" pastilah seseorang yang memiliki perasaan dikhianati, dibiarkan, dikadali, dan dijerumuskan. Ia akan tertekan secara psikologis. Emosinya tak stabil, meletup-letup. Ucapannya tidak bisa dipegang. Tak heran jika kemudian "seseorang yang merugi" ini akan berkhayal bahwa dirinya merasa terancam sekalipun perasaan itu adalah terjemahan yang keliru dari ketidakberdayaannya menghadapi situasi dijadikan "barang contoh yang buruk" oleh orang lain. Ketika kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi tak lagi mengenal sekat-sekat sosial dan sangat memberi tempat bagi segala bentuk publisitas, "seseorang yang merugi" akan merasa hidup dalam sebuah kutukan. Serupa tinggal di sebuah dunia yang isinya hanya cemooh. Seumur hidup ia akan selalu menjadi "seseorang yang merugi", karena bagi orang lain kisah hidupnya akan menjadi serial informasi yang menarik diikuti, apalagi jika budaya media massa mulai mendesainnya menjadi produk informasi yang perlu disajikan sebagai berita berkelanjutan. Kita mengenal "seseorang yang merugi" itu sebagai tersangka kasus korupsi uang negara yang diseret ke meja hijau. Kepada jaksa dan hakim di pengadilan ia akan berkoar-koar menyebut nama orang lain yang seharusnya juga ikut diseret karena turut menikmati maupun menjadi otak tindak pidana itu. Seperti halnya Nazaruddin, tersangka kasus suap Wisma Atlet SEA Games, yang menyebut orang-orang di belakang layar sebagai “Ketua Besar‘ dan “Bos Besar‘,

yang seolah-olah ingin menjadi martir di hadapan pedang keadilan hukum yang hanya tajam ke arah "mereka yang merugi" dan tumpul ke arah "mereka yang mendapat". Semakin sering ia menyebut "Ketua Besar" dan Bos Besar", publik justru semakin percaya bahwa ia sedang berusaha untuk mencari "kambing hitam". Galibnya dalam hukum publik di era publisitas, kebenaran yang disampaikan berulang-ulang dan tak kunjung bisa dibuktikan akan berakhir sebagai cemooh. Ujung jarum epidermis dalam teori komunikasi tak akan menjadi lebih tajam dalam menusukkan informasi kepada publik manakala berhadapan dengan realitas pesan yang melingkar-lingkar dan sepanjang proses itu terjadi distorsi yang tak bisa dihindarkan oleh komunikator. Sumber: Jurnal Nasional | Senin, 30 Jan 2012

Kerudung Para Tersangka PUBLIK menyaksikan paradoks para tersangka korupsi di negeri ini. Para pelaku tindak kriminalitas itu selalu tampil di hadapan publik dalam balutan pakaian yang berasal dari lingkungan religius umat Islam: yang perempuan mengenakan kerudung atau jilbab, sedangkan laki-laki berkopiah. Padahal, perbuatan mereka berupa memperkaya diri secara ilegal, mencuri dari negara sehingga berdampak serius terhadap kepentingan orang banyak, tak senapas dengan gaya berbusananya. Jilbab identik sebagai busana muslimah, sedangkan kopiah bagian dari tradisi mode kebudayaan Melayu yang sangat kuat dipengaruhi nilai-nilai agama Islam. Kedua jenis pakaian itu lazim dipakai pada kegiatan-kegiatan ibadah agama Islam, karena mampu membangun citra kealiman atau kesalehan pada diri si pemakai. Mungkin para tersangka hanya ingin memberi kesan agar dinilai “berkelakuan baik", sehingga kelak bisa mengurangi nominal hukuman. Bukankah jumlah hukuman para tersangka di negeri ini sangat tergantung pada subyektivitas para pemegang palu? Sedangkan subyektivitas itu sangat tergantung pada dinamika yang berlangsung selama proses penyidikan, penyelidikan, persidangan, dan ruang politik sebagai tempat hidup dunia hukum kita. Kita tak tahu persis apa alasan mereka. Yang jelas, setiap tersangka, apalagi mereka yang duduk di kursi pesakitan di ruang-ruang pengadilan, selalu tampil di hadapan publik seakan-akan orang saleh. Simbol-simbol agama Islam-kerudung, jilbab, kopiah, peci, dan tasbih--melekat pada diri mereka. Perilaku mereka pun saat mendengarkan dakwaan, sering seperti orang yang sedang berzikir dengan tasbih mereka. Seakan-akan simbol-simbol dan perilaku itu bagian dari keseharian mereka. Sebut saja Neneng Sri Wahyuni, buron tersangka kasus PLTS Kemenakertrans yang juga istri M Nazaruddin--tersangka kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games. Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjemput ke rumahnya, publik melihat di layar televisi muncul fragmentasi gambar di mana Neneng mengenakan kerudung. Saat bersamaan, di layar televisi itu juga muncul sosok Neneng yang kontras tanpa berkerudung, yang menunjukkan penampilan kesehariannya. Sesungguhnya Neneng dikenal publik tanpa kerudung, terutama oleh orang-orang di sekitarnya. Ia menggerai rambutnya yang legam, beraktivitas dengan mode pakaian yang menunjukkan dirinya berasal dari kelas sosial tertentu. Tapi, saat KPK menjemput ke rumahnya, Neneng berkerudung dan membuat publik tak begitu mengenali sosok yang wajahnya acap muncul sejak

tersangka M Nazaruddin mengirim surat terbuka kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar anak dan keluarganya jangan “diganggu". Penampilan Neneng inilah yang disikapi dalam tajuk berjudul, “Jilbab pun Kini Dibajak Koruptor" (Jurnal Nasional, 15 Juni 2012). Media ini menyimpulkan, penggunaan kerudung atau segala macam simbol yang berkaitan dengan Islam oleh tersangka dipakai sebagai tameng “perlindungan". Bisa saja benar, sebab pakaian adalah simbol. Ia mengacu pada makna tertentu yang dicobausahakan si pemakai agar melekat pada dirinya. Seperti halnya kain sarung sebagai simbol yang melekat pada kalangan NU, maka orang akan segera menyebut NU sebagai kelompok “sarungan". Sama halnya dengan Joko Widodo, calon Gubernur DKI Jakarta. Ia senantiasa muncul di hadapan publik dengan pakaian motif kotak-kotak, yang oleh Joko Widodo disimbolkan sebagai pakaian rakyat. Sehingga, sulit membayangkan Joko Widodo tanpa pakaian kotak-kotak tampil menemui publik konstituennya. Namun demikian, layak dipertanyakan: apakah bagi para tersangka simbol-simbol Islam merupakan simbol paling representatif untuk menegaskan kesalehan atau membangun citra diri sebagai seorang yang alim? Mungkin benar, terutama bila kita membicarakan masifikasi busana muslim dalam kehidupan tren industri mode di negeri ini. Ada universalitas busana muslim karena tren mode ini senantiasa dikaitkan dengan perilaku si pemakai. Para perancang yang memasifikasi tren busana muslim senantiasa memublikasikan nilai-nilai Islam yang melekat pada busana tersebut. Nilai-nilai kepantasan sosial untuk selalu tampil modis sekaligus sopan di hadapan publik. Namun, trlepas dari persoalan tren mode itu, pemakaian simbol-simbol Islam oleh tersangka korupsi dikhawatirkan berdampak pada stigma negatif tentang umat Islam. Artinya, para tersangka yang memakai simbol-simbol Islam itu secara tak langsung hendak mengomunikasikan kepada publik luas bahwa umat Islam identik sebagai tersangka kasus kriminalitas, terutama kasus korupsi. Apa sebuah keharusan untuk tampil saleh meski Anda sesungguhnya bukan orang saleh, setidaknya karena Anda terlibat kasus korupsi? Mungkin, fenomena tersangka memakai simbol-simbol Islam bisa dikaitkan dengan ada yang pincang dalam pemahaman mereka tentang Islam. Bagi mereka, Islam tak lebih sekadar persoalan simbol, ditandai dengan pemahaman yang sempit terhadap manifestasi kesalehan dan kealiman lewat simbol pakaian muslim. Islam simbolik hanya memedulikan perkara raga, tanpa memahami substansi Islam sebagai wahyu untuk memberikan petunjuk dan sebagai way of life bagi manusia. Petunjuk yang tidak berlaku hanya untuk diri sendiri dalam konteks kesalehan personal, sebaliknya berlaku secara makro pada tataran kesalehan sosial dan personal. Jika kita tilik secara bijak antara kesalehan personal dengan kesalehan sosial, keduanya berjalan linier dan saling menyatu membentuk kehidupan yang seimbang bagi hubungan manusia baik secara vertikal maupun horizontal. Husein Muhammad dalam bukunya Spiritualitas Kemanusiaan (2006) menyebut ibadah sosial memiliki dimensi sosial yang lebih luas dibandingkan dimensi ibadah personal. Dalam teks-teks fikih klasik, kita dapat melihat bahwa

bidang ibadah personal merupakan satu bagian saja dari sekian banyak bidang keagamaan seperti: muamalat (hubungan sosial), munakahat (hukum keluarga), jinayat (pidana),qadha (peradilan), dan imamah atau siyasah (politik). Ini bukti bahwa konten dari prinsip-prinsip beragama pada dasarnya mengarahkan pandangan pada kesalehan sosial dalam arti luas. Dengan kata lain, kerudung para tersangka kasus korupsi adalah manifestasi dari ketidakpahaman mereka dalam beragama. Agama bagi mereka tidak lebih dari sekedar simbol, sesuatu yang bisa sangat melekat pada raga mereka, yang setiap saat dapat dipertontonkan kepada publik. Sumber : Harian Jurnal Nasional edisi 22 Juni 2012

Jika Koruptor Melawan YUSRIL Izha Mahendra tak sedang membela koruptor, sekalipun ia menjadi kuasa hukum bagi tujuh koruptor yang menggugat surat keputusan (SK) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum dan HAM) Amir Syarifuddin, soal pengetatan remisi tahanan korupsi dan terorisme. Tapi, mantan Menkum dan HAM ini sedang menguakkan fakta yang ada di balik produk-produk hukum kita, bahwa para elite di negara ini tak terlalu cakap membuat peraturan perundangundangan. Sudah umum diketahui publik, hampir tak ada satu pun produk hukum di negeri ini yang berlaku tanpa revisi. Tidak sedikit pula yang kemudian harus dibuang karena bertentangan dengan peraturan yang ada. Kita tahu, rancangan produk-produk hukum disusun oleh eksekutif, kemudian dilegalisasi oleh legislatif. Bagaimana mungkin sesuatu yang dilegalisasi secara serius dengan melibatkan para wakil rakyat yang cerdas serta mengeruk banyak uang negara dan waktu yang panjang, harus direvisi kembali? Menariknya, yang dipersoalkan sering bukan masalah-masalah substansial terkait tujuan produk hukum itu dibuat. Tapi masalah-masalah artifisial yang diapungkan agar tawar-menawar kepentingan politik bisa berlangsung alot, sehingga produk hukum ini tak punya daya legal untuk dipergunakan. Kita tahu, logika hukum (legal reasoning) di dalam produk hukum itu sangat lemah, sehingga siapa saja bisa mempertanyakan dan menggugatnya. Konon lagi SK menteri, yang pembuatannya tak melibatkan legislatif, dan tujuannya hanya untuk memsperlancar program-program pemerintah terkait dengan bidang tanggung jawab kementerian bersangkutan. Misalnya, SK Menkum dan HAM tentang pengetatan pemberian remisi terhadap tahanan korupsi dan terorisme, kelemahan yang tampak justru pada terlalu bersemangat dalam pembuatan SK itu sehingga kehilangan ragam perspektif dalam memandang produk hukum. Sangat aneh bila kemudian Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) mengabulkan gugatan 7 koruptor atas SK Menkum dan HAM dengan argumentasi, baik secara prosedur maupun substansi yakni alasan dikeluarkan, SK itu menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan kata lain, argumentasi majelis hakim semacam pukulan telak kepada jajaran Kementerian Hukum dan HAM, bahwa representasi dari pemerintah yang bertanggung jawab pada urusan hukum ini tidak punya cukup data soal produkproduk hukum. Sebab itu, saat memproduksi produk hukum yang baru, Kemenkum dan HAM berpikir bahwa mereka sedang memproduksi hal yang baru dan tidak akan ada masalah sesudahnya.

* ADA banyak realitas hukum yang kemudian terungkap setelah PTUN memenangi gugatan 7 koruptor atas SK Menkum dan HAM tersebut. Yang paling substansial adalah kinerja Kementerian Hukum dan HAM sendiri, yang lebih menunjukkan lemahnya profesionalisme kerja dalam menyelesaikan persoalan-persoalan berbangsa dan bernegara. Kita tahu, SK Menkum dan HAM itu diproduksi dalam rangka membuat jera para koruptor. SK itu untuk membatasi permintaan remisi yang merupakan hak para warga binaan (tahanan), yang diajukan kepada pemerintah sehingga mereka mendapat pengurangan masa tahanan. Remisi yang banyak diprotes publik, bahkan membuat publik mencurigai bahwa remisi itu bisa menjadi bahan dagangan di kalangan elite penegak hukum, sehingga para koruptor tetap akan bebas meskipun sudah melakukan tindak kejahatan kemanusia. Lantaran protes yang gencar itu, Menkum dan HAM pun mengeluarkan SK tentang pembatasan pemberian remisi untuk koruptor dan terorisme. Sayangnya, Menkum dan HAM melupakan bahwa produksi hukum di negeri ini senantiasa mendapat sorotan publik karena memang diarahkan untuk mengikat seluruh warga bangsa. Sebab itu, siapa saja yang merasa bahwa produk hukum itu akan merugikan dirinya dan kelompoknya, pastilah tidak tinggal diam. Terbukti, 7 koruptor yang seharusnya bebas pada 2011 lalu jika mendapat remisi, memutuskan menggugat SK Menkum dan HAM ke PTUN. Terhadap keberhasilan koruptor, kita pantas memuji bahwa kerja tekun selalu membawa hasil positif. Kerja tekun para koruptor pun akhirnya sukses mempecundangi Menkum dan HAM. Kesuksesan para koruptor sekaligus sebagai bukti konkret bahwa kampanye "anti-korupsi" yang digemakan pemerintah selama ini menjadi sia-sia. Sampai di sini kita menjadi lebih paham, perlawanan koruptor ini menunjukkan bahwa koruptor tidak tinggal diam. Sekaligus membuktikan bahwa kita cuma sibuk teriak "berantas korupsi" sambil menata perangkat hukum untuk melegalisasi usaha itu. Tapi, kita tidak pernah secara serius untuk menghapus segala bentuk kejahatan korupsi dari negeri ini. Kita memproduksi perangkatperangkat hukum yang bisa menjerat koruptor, tapi kita membuat perangkatperangkat hukum itu memiliki kelemahan dan celah hukum yang memungkinkannya untuk digugat. * SESUNGUHNYA, kemenangan 7 koruptor di tingkat PTUN adalah isyarat bagi pemerintah bahwa para koruptor tidak tinggal diam dan tidak bodoh. Mereka yang terjerat kasus korupsi sebetulnya manusia yang secara intelektual memiliki pengetahuan yang luas, yang dengan pengetahuannya mampu mengobarkan perang terhadap para penegak hukum. Sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meneriakkan "berantas korupsi", sebetulnya para koruptor menanggapinya sebagai sebuah aba-aba untuk menggelorakan perang. Makanya, para koruptor juga mempersiapkan diri untuk melakukan perlawanan.

Para koruptor tahu persis siapa yang akan dilawan dan bagaimana kekuatan mereka. Sementara pemerintah tak tahu siapa sebetulnya koruptor itu, bahkan tak pernah menyadari bahwa koruptor itu sudah menggurita dan beranak-pinak di sekitarnya. Makanya, segala upaya pemerintah untuk memberantas korupsi akan menemukan kegagalan, justru karena mereka yang bertanggung jawab melakukan tugas itu merupakan bagian dari tindak pidana korupsi tersebut. Artinya, kita tak pernah tahu bahwa mereka yang berteriak-teriak memberantas korupsi sesungguhnya adalah para munafik koruptor yang mencoba membangun citra dirinya sebagai pemberantas korupsi. Besar kemungkinan mereka bagian dari strategi para koruptor untuk melanggengkan usaha mereka dengan menempatkan aparat-aparat korup di lingkungan penegak hukum. Aparat seperti ini mudah dikenali dari melemahnya semangat mereka dalam memberantas korupsi manakala satu upayanya mampu dimentahkan. Ini tampak pada sosok Menkum dan HAM Amir Syamsudin yang tidak segera menyatakan banding atas putusan PTUN. Ia membutuhkan beberapa hari untuk memikirkan putusan PTUN yang sebetulnya sudah "menghancurkan" citra pemerintah di mata publik. Mungkin Amir Syamsudin hanya ingin menjaga nama baik agar tetap terlihat sebagai orang yang mematuhi perkataannya sendiri untuk tak melakukan apapun apabila PTUN memenangkan gugatan 7 koruptor atas SK Menkum dan HAM. Pernyataan itu disampaikan Amir Syamsudin di hadapan DPR yang mempertanyakan SK Menkum dan HAM tersebut dan menyatakan akan mengajukan hak interpelasi. Sebelum Majelis Hakim PTUN memutuskan menerima gugatan para koruptor, sejumlah anggota DPR mengajukan keberatan terhadap berlakunya SK Menkum dan HAM tersebut. Para anggota DPR mengajukan hak interpelasi SK Menkum dan HAM itu dengan argumentasi bahwa koruptor adalah manusia yang harus dihargai hak asasinya untuk mendapatkan remisi. Tentu saja tafsir para anggota DPR tidak keliru, tapi terdengar ironik karena koruptor sesungguhnya pelaku kejahatan HAM (human rights crime) dan kejahatan kemanusiaan (crime against humanity). Sumber: Medan Bisnis edisi Senin, 4 Juni 2012

Kesalehan Tersangka Di ruang-ruang sidang pengadilan, di tempat para pelaku kejahatan menunggu vonis hukuman dari hakim, kita bisa menyaksikan paradoksnya manusia. Para tersangka, orang-orang yang secara hukum melakukan pelanggaran--merampok, mencuri, korupsi, membunuh, memerkosa--selalu tampil saleh. Pertengahan 2009 lalu, di ruang sidang Pengadilan Negeri Tanjungkarang, seorang laki-laki bertubuh gendut duduk di kursi terdakwa dengan penampilan yang sangat saleh. Mengenakan topi haji, baju koko, kain sarung motif kotak-kotak, dan jemarinya menggenggam tasbih. Selama mengikuti persidangan, mulutnya bergetar entah menguntai asma Allah, sementara jemarinya yang gemuk menera sebiji demi sebiji tasbih dari pohon koka. Ia lebih tampak seperti seseorang yang hendak menunaikan ibadah salat Jumat atau lebih mirip seperti seorang dai yang hendak memberikan tausyiyah. Sama sekali tidak ada kesan bahwa ia seorang tersangka kasus korupsi dana APBD Kabupaten Lampung Timur tahun anggaran 2007. Namanya Satono. Haji Satono. Bupati Lampung Timur itu didakwa melakukan korupsi dana APBD Lampung Timur 2007. Tapi, setelah proses penyidikan, penyelidikan, dan persidangan yang panjang dan melelahnya banyak pihak, ia kemudian dinyatakan bebas dari segala tuduhan. Masyarakat Kabupaten Lampung Timur, yang merasa dirugikan karena korupsi itu menyebabkan krisis anggaran belanja daerah berkepanjangan, tidak terima keputusan bebas itu. Tentu, mereka tidak bisa berbuat apa-apa, dan Satono bisa menghirup udara bebas sebagai mantan tersangka kasus korupsi. Akhir-akhir ini Satono sering tersenyum ketika banyak kalangan mengaitkaitkan namanya sebagai orang yang bisa menuai kemenangan jika mencalonkan diri dalam Pilkada Gubernur Lampung yang akan segera digelar. Sangat mungkin ia akan menjadi Gubernur Lampung mengingat keandalannya dalam memenangi Pilkada Lampung Timur pada saat dirinya dinyatakan sebagai tersangka. Ketika berstatus tersangka, ia bisa memenangi Pilkada Lampung Timur. Setelah dilantik Gubernur Lampung Sjachroedin ZP sebagai Bupati Lampung Timur, barulah kejaksaan menggelar persidangan kasus korupsi yang mendudukkan Satono sebagai tersangka. Ajaibnya, Satono tidak terbukti melakukan korupsi, padahal sebagai Bupati Lampung Timur seharusnya ia bertanggung jawab atas mengalirnya dana APBD dari kas pemerintah di Bank Lampung ke rekening di BPR Tripanca. BPR Tripanca ditutup oleh Bank Indonesia (BI) Lampung karena mengalami masalah likuidasi, yang menyebabkan dana APBD Lampung Timur tidaki bisa dicairkan. *

Adakah penampilan Satono yang saleh berkorelasi dengan putusan bebas pengadilan? Mungkin saja ada korelasinya. Mungkin saja tidak sama sekali. Yang jelas, mereka yang dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus berbagai tindak pidana di negeri ini; yang didudukkan di kursi pesakitan dalam sebuah proses persidangan, selalu saja tampil saleh. Seorang pemerkosa, penipu yang sudah berkali-kali keluar-masuk penjara, atau pembunuh yang suka memutilasi korbannya--tidak perduli latar belakang sosial, kultur, agama, ekonomi, dan politiknya--pasti akan tampil saleh menggunakan simbol-simbol kesalehan dari lingkungan umat Islam jika duduk di kursi terdakwa. Kita tak pernah tahu kenapa para tersangka harus memakai simbol-simbol agama Islam. Adakah mereka hendak membangun semacam stigma bahwa ummat Islam adalah entitas yang selalu akan menjadi tersangka. Ataukah, hanya simbol-simbol dari lingkungan ummat Islam itu yang paling mewakili kesalehan di negeri ini? Tapi, apakah sebuah keharuskan untuk tampil saleh sekalipun Anda sesungguh bukan orang yang saleh? "Anda sama sekali tak perlu tampil saleh," kata John J. O'Connor, Uskup Agung di New York, yang berceramah di televisi dengan mengenakan topi bisbol dan melontarkan lelucon-lelucon yang menggelitik, termasuk mencemooh pejabat pemerintah yang hadir mendengarkan ceramahnya. Kalimat O'Connor dikutif Neil Postman dalam bukunya, Amusing Ourselves to Death (1985). Tentu, konteks pembicaraan Postman bukanlah penampilan saleh para tersangka tindak pidana di Indonesia. Postman sedang membicarakan dakwahdakwah agama di era budaya televisi. Satu hal yang ditegaskan Postman, budaya televisi menuntut siapa saja untuk menyuguhkan sebuah pertunjukan, sebuah entertaint, sekalipun yang disampaikan adalah hal-hal yang serius seperti firman-firman dalam kitab suci berbagai agama. Postman berbicara tentang strategi menyampaikan pesan yang tidak cuma harus disesuaikan dengan segmentasi komunikan, tetapi juga harus memahami jenis medium yang dipergunakan. Dengan medium televisi, yang dalam perkembangannya saat ini cenderung diposisikan sebagai medium entertaint, maka pesan harus dirancang sedemikian rupa sebagai bagian dari dunia entetaint. Dan, seorang ulama saat memberikan tausiyah, tak perlu harus serius sekalipun pesan yang disampaikannya bukanlah hal-hal yang remeh. Lantas, kenapa untuk sesuatu yang tak ada kaitannya dengan kesalehan-sebaliknya justru bertentangan dengan sikap saleh-- justru harus tampak saleh? * Mau tak mau kita pasti berpikir tentang kamuflase. Tersangka sengaja tampak saleh hanya untuk membangun kesan yang bertolak belakang dengan tuduhan yang dialamatkan pada dirinya. Kesan yang diharapkan dapat mengubah persepsi orang lain, terutama para jaksa penuntut dan hakim, yang orientasinya untuk mengurangi maksimal hukuman yang didakwakan padanya.

Bukankah vonis yang dijatuhkan terhadap tersangka sangat kuat dipengaruhi oleh subyektivitas? Pasal-pasal dalam Kita Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), misalnya, sekalipun menyebut jumlah maksimal angka dakwaan hukuman, tetapi subyektivitas manusia yang terlibat dalam proses penentuan maksimal tuntutan sangat besar. Salah satunya didukung variabel "bersikap baik selama persidangan". Salah satu indikator variabel ini, bisa saja penampilan si tersangka yang terlihat saleh. Belum lagi jika yang dipergunakan kitab undang-undang di luar KUHAP, seperti, UU Tindak Pidana Korupsi. UU di luar KUHAP acap membuat para penegak hukum sangat kikuk, terutama dalam penyusunan berkas acara pemeriksaan (BAP). Bukan hal aneh apabila pasal-pasal yang disangkakan penyidik di kejaksaan maupun polisi terhadap tersangka korupsi, sebagian besar justru mengacu pada pasal-pasal dalam KUHAP. Pasal-pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi nyaris tidak digubris dalam menjerat tersangka korupsi, apalagi jika dana yang diduga dikorupsi itu bukan uang negara. Dalam kasus Muhammad Nazaruddin, sesungguhnya uang yang dikorupsi bukankah uang negara sekalipun berkaitan dengan dana APBN dalam membangun proyek Wisma Atlet SEA Games. Dalam UU Tindak Pidana Korupsi, uang yang dikorupsi haruslah uang negara. Akibatnya bisa ditebak, karena pada tingkat penetapan pasal sekaligus penetapan UU yang harus dipakai, subyektivitas manusia selaku penegak hukum sangat mempengaruhi. Sebab itu, terhadap upaya para tersangka untuk selalu tampil saleh saat persidangan, kita bisa menyebutnya sebagai upaya untuk mempengaruhi penilaian para penegak hukum untuk mengurangi maksimal angka hukuman. Maka, jika Anda seorang tersangka, usahakanlah untuk selalu tampil saleh terutama jika Anda tidak menganut agama apapun.* Dipublikasi di Koran Tempo edisi 11 April 2012

Dari Bandit sampai Preman Preman dari kata vrijman dalam Bahasa Belanda yang berarti orang bebas. Sebab itu, preman di negeri ini tak lebih dari sebuah stigma: sesuatu yang menakutkan, yang menggetarkan, yang membuat hati kecut. Seperti segerombolan orang, yang tanpa mengenal rasa takut, mengobrak-abrik rumah sakit milik TNI, konon hanya untuk mencari seseorang yang lain, orang yang harus melunasi utangpiutangnya. Bagi siapa saja yang pernah berhadapan dengan tentara, yang laras sepatunya saja acap menjadi simbol sesuatu yang otoriter, tak akan percaya bagaimana mungkin segerombolan orang merusak fasilitas milik tentara yang ada di pusat Kota Metropolitan Jakarta. Dugaan awal, gerombolan itu pastilah terdiri dari orang-orang yang menganggap tentara bukan apa-apa; hanya sekumpulan orang yang kebetulan di pundaknya dibebani tanggung jawab untuk menjaga stabilitas nasional. Dugaan akhir, gerombolan itu pastilah berisi orangorang yang menganggap negara ini tidak punya hukum. Kalau dugaan akhir ini ternyata benar, berarti gerombolan itu adalah kitarakyat yang memang selama reformasi bergulir memiliki asumsi yang sama bahwa tak ada hokum di negeri ini. Pasalnya, penegakan keadilan hukum sangat buruk untuk tak mengatakan tidak bisa tegak. Mereka yang dihukum hanya orang yang lemah, yang tak punya gerombolan, yang kesulitan untuk hidup sehingga mustahil untuk menyuap. Sebab itu, atas nama rakyat yang kecewa, penyerbuan ke dalam fasilitas tentara oleh segerombolan orang, sudah dapat diduga sebelumnya. Kasus ini tak berbeda dengan apa yang dilakukan warga Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur, Lampung, pada tahun 2000 ketika mereka membakar Markas Polsek Jabung. Atau, kasus-kasus sejenis yang merebak akhir-akhir ini, yang dimotori oleh orang-orang yang sudah selesai mengatasi rasa takutnya kepada penegakan hukum. Tapi, yang kita dengar kemudian, gerombolan itu disebut preman. Mereka dikesankan sebagai gangster untuk mempertegas tentang stigmatisasi preman. Tentu, agar publik membenci mereka, meneriakkan yel yel agar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menghapus segala bentuk premanisme. Seperti teriakan yang digaungkan sekelompok orang agar Negara bebas dari Front Pembela Islam (FPI), yang kemudian dibalas dengan kampanye agar Negara bebas dari Islam Liberal. Untuk membenarkan tindakan itu, preman dikelompokkan ke dalam suatu kelas masyarakat (stratifikasi social) tersendiri yang ditandai dengan adanya perasaan yang sama di kalangan anggota kelompok untuk tidak patuh terhadap hukum yang berlaku. Ketidakpatuhan akibat perasaan senasib, selama

hidup senantiasa berada pada posisi kalah, lalu melakukan perlawanan karena pada hakikatnya manusia selalu ingin eksistensinya mendapat pengakuan manusia lain. Pada tahun 1888, Suhartono W Pranoto mencatat keberadaan gerombolan orang seperti itu, yang tak mengenal rasa takut dan tak perduli pada hokum yang berlaku. Dalam bukunya yang terbit pada 2010, Jawa, Bandit-bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-1942, Suhartono menyebut mereka sebagai bandit. Bandit adalah istilah klasik. Kita menemukannya dalam sejumlah buku yang ditulis E.J. Hobsbawm, sejarawan Inggris, seperti Primitive Rebels (1959), Bandit (1972), dan Social Banditry (1974). Tapi, bandit yang dimaksudkan di sini tidak identik dengan anti-sosial, sebaliknya justru mereka merupakan contoh manusia dengan jiwa social yang berkadar tinggi, yang menangis ketika melihat orang lain menderita. Setidaknya itulah yang ingin disampaikan Suhartono dengan menulis sejarah para bandit di negeri ini. Mereka, sekalipun secara hokum jelas melanggar dan melawan, namun layak dicatat sebagai sekelompok manusia yang berjuang dan sukses membuat kolonialisme Belanda bangkrut. Memang cara mereka berjuang sangat kasar, keras, dan kejam, tapi bukan cara yang layak dipersoalkan pada zaman itu, melainkan tujuan dari perlawanan mereka. Pada zaman ketika para bandit muncul, diperkirakan 1870-1942, adalah zaman ketika kolonialisme Belanda merampas seluruh asset rakyat terutama lahan. Rakyat tak punya apapun untuk berusaha, kemiskinan menjerat, dan kelaparan mengincar. Tidak ada yang bisa dilakukan selain melawan dengan cara merampok orang-orang kaya, lalu membagi-bagikan hasil rampokkan itu kepada rakyat yang membutuhkan. Kolonialisme Belanda tak menyebut mereka sebagai preman, tetapi menyebut mereka bandit. Kata preman baru popular pada priode awal kekuasaan negara Orde Baru manakala pemerintah yang paranoid merasa kekuasaannya terancam oleh kekuatan orang-orang yang tak takut pada hukum yang berlaku. Ketakutan pemerintah diatasi Pangkopkamtib Laksamana Sudomo dan Penglima ABRI Jenderal TNI LB Moerdani ketika itu dengan melancarkan serangan dadakan kepada siapa saja yang disebut preman. Kita mengenal zaman itu sebagai musim penembak misterius (petrus), yang oleh sastrawan Seno Gumira Ajidarma dicatat dalam buku kumpulan cerpennya berjudul Penembak Misterius. Mereka yang disebut preman, satu per satu mati secara misterius. Terkadang, kita tak tahu pasti apakah mereka betul-betul preman atau tidak. Kita hanya tahu, mereka mati. Ketika petrus berlaku, barang siapa yang ditemukan mati mendadak dengan sebuah lobang peluruh di tubuhnya, si mayid dipastikan sebagai preman. Tak ada hokum karena hokum yang sebenarnya ada pada telunjuk yang menekan pelatuk senjata. Hukum adalah suara letusan senjata yang menggema ke dalam rumah-rumah rakyat, yang meninggalkan rasa takut luar biasa, yang membuat setiap hari menjadi mencekam. Dan situasi seperti itu, kini, ditumbuhkan kembali. Sekalipun tak ada lagi Pangkopkamtib, tak ada pula perintah tembak di tempat, ruang-ruang publik di kota-kota besar dicekam

ketakutan. Pasalnya, Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo mengeluarkan surat perintah kepada seluruh Kapolda agar memberantas premanisme di daerah masing-masing. Tentu saja perintah itu tak diikuti dengan defenisi yang jelas tentang premanisme, sehingga yang berlaku justru tafsir-tafsir atas makna premanisme. Yang menjadi acuan tafsir adalah preman, yakni sekelompok orang yang tak memiliki pekerjaan jelas, luntang-lantung tanpa juntrung, tak punya identitas, tubuh penuh tatto, dan acap menimbulkan keresahan di lingkungannya. Setiap orang di kota-kota besar di negeri in, yang masuk ke dalam kelompok preman, satu per satu ditangkapi. Polres Jakarta Timur, misalnya, menangkap sebanyak 440 orang yang mereka sebut preman selama Operasi Premanisme 2012, sejak 24 Februari 2012 sampai 3 Maret 2012. Sebanyak 35 orang ditahan dan diproses polisi karena terindikasi unsur yang memperkuat penahanannya, yaitu kepemilikan senjata tajam. Selain itu, keberadaan mereka juga meresahkan warga sekitar. Di kota-kota lain, preman juga bernasib sama. Ditangkapi, lalu ditahan dengan berbagai alasan yang sangat subyektif. Padahal, sejatinya penahanan itu lebih didorong oleh kata “isme” pada kata “preman”, sehingga preman dicurigai sebagai segerombolan orang yang membawa ajaran-ajaran dan nilai-nilai untuk tak patuh pada hokum yang berlaku. Dengan pemahaman lain, kini premanisme menjadi semacam subversib. Semacam sekelompok orang yang membawa ajaran sesat, yang pengikut-pengikutnya tak punya rasa takut, dan karenanya dapat mengancam kekuasaan Negara. Barangkali kita terlalu berlebihan menyikapi perkara preman. Kita terlalu memaksakan defenisi yang seram tentang preman. Yang lebih penting lagi, kita melupakan bahwa sesungguhnya mereka warga bangsa, sekelompok orang yang keberadaannya di negeri ini juga diperlukan seperti ketika Negara ini membutuhkan tangan para bandit untuk menyengsarakan kolonialisme Belanda. Di era ketika kolonialisme Belanda tak ada lagi, preman dibutuhkan untuk menghancurkan kelompok-kelompok yang ingin membangkitkan kolonialisme baru, yang bisa dengan mudah ditemukan bahkan di lingkungan aparat penegak hokum di Negara ini. (*) Dipublikasi 24 Maret 2012 di SUMUT POS

KPK Sudah Lemah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dicurigai hendak melemahkan kemampuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam menangani perkara korupsi. Kecurigaan diapungkan para pegiat antikorupsi sekaitan rencana Komisi Hukum DPR merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Mungkin kecurigaan itu beralasan. Barangkali juga tidak signifikan. Kita tak tahu persis karena muara dari kecurigaan itu mengacu pada draf rancangan revisi yang dipersiapkan Komisi Hukum DPR. Sedangkan draf adalah teks yang diniatkan sebagai teks hokum dan karenanya menjadi sebuah orde, sesuatu yang kelak akan disepakati sebagai konvensi terkait kinerja KPK di masa yang akan datang. Tentu, terhadap teks apa saja kita tak bisa mengabaikan kuatnya pengaruh tafsir. Artinya, kecurigaan para pegiat antikorupsi berangkat dari tafsir atas teks draf rancangan revisi. Anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Golkar, Nudirman Munir, menafsirkan salah satu draf rancangan revisi atas pasal dalam UU 30 Tahun 2002 itu mengandung tafsir "agar KPK tidak seperti di masa lalu, remnya blong”. Sebab itu, pengawasan terhadap kinerja KPK harus diperketat. Tapi, justru karena tafsir semacam itu, para pegiat antikorupsi mengkhawatirkan independensi KPK akan rusak. Pengawasan yang terlalu ketat akan membuat KPK sulit bergerak, sukar bertindak, dan ragu membuat keputusan. Terutama bila perkara korupsi masih kita terima sebagai kasus hukum luar biasa, yang kait-berkait dengan banyak hal, termasuk juga sering membuat kinerja DPR menjadi tampak buruk sekali. * TERLALU banyak hal yang tak sesuai bila segala sesuatu kita kait-kaitkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk juga eksistensi KPK sebagai lembaga yang bertanggung jawab untuk memberantas korupsi, yang sampai sekarang lebih terkesan sebagai lembaga pengungkit batu. Sudah banyak kasus korupsi yang diungkap KPK. Saking banyanyaknya, negeri ini menjadi goyah, karena korupsi bisa ditemukan hampir di semua lini kehidupan. Semua lembaga Negara ditenggarai jadi sarang koruptor. Bahkan, Departemen Agama tidak terkecuali. Belum lagi jika kita bicara dari aspek personality, bahwa ternyata hampir tak ada seorang elite pun di negara ini yang tak terindikasi terlibat korupsi. Cuma, belum semuanya terungkap. Lagi pula, setiap koruptor sudah menjadi lebih cerdas untuk menghindar dari segenap tuduhan. Disamping karena factor hokum di negeri ini selalu tajam ke bawah tetaapi tumpul ke atas.

Sayangnya, banyak kasus korupsi yang berhasil diungkapkan KPK, ternyata sedikit tersangka korupsi yang divonis-- kita tidak perlu mempersoalkan pantas atau tidak jumlah hukuman yang diderakan. Padahal, KPK adalah lembaga super yang memiliki banyak kewenangan, mulai dari menangkap, menyidik, sampai menutut para tersangka perkara korupsi. Dengan kewenangan yang begitu besar, sejak kehadirannya dalam kehidupan hokum di negeri ini, KPK menjadi fenomenal bukan karena keberhasilannya memberantas korupsi di negeri ini. Korupsi semakin banyak, meraja lela, dan semakin mengkhawatirkan. Yang fenomenal pada KPK justru pertarungannya dengan Polri, permainan para penyidik KPK dalam menyidik perkara, dan sepak terjangnya yang luar biasa untuk mengobrak-abrik dan menghancurkan citra para elite Negara. Institusi Polri dibuat babak-belur karena kasus korupsi di Koorlantas Mabes Polri, juga lantaran salah seorang jenderal polisi dijadikan tersangka. Pertarungan KPK dengan Polri, kini memasuki babak kedua. Setelah kasus Cicak-Buaya, kini soal penarikan 20 penyidik oleh Polri dari KPK. Penarikan penyidik yang oleh KPK ditenggarai karena kasus korupsi Koorlantas Mabes Polri yang baru diungkapkan KPK. Menariknya, KPK menyampaikan kecurigaan itu melalui juru bicaranya kepada media massa, sehingga kedua lembaga yang bertanggung jawab memberantas korupsi ini terkesan sedang diadudomba. * KPK, yang kehadirannya di negeri ini telah mereduksi beban kerja dan tanggung jawab Polri, membangun kesan bahwa penarik 20 penyidik oleh Polri berkaitan dengan upaya pengungkapan kasus korupsi di Koorlantas Mabes Polri. Pasalnya, ke-20 penyidik itu berperan aktif menyidik kasus korupsi yang membuat seorang jenderal polisi menjadi tersangka. Tentu, Polri tidak mau menyerah karena kadung sudah menarik ke-20 penyidiknya dari KPK. Bergeming dengan kebijakan itu, Polri kemudian menolak upaya KPK mengait-kaitkan penarikan ke-20 penyidik itu dengan kasus korupsi di lingkungan Mabes Polri. Tapi, karena publik terlanjur percaya pada alasan KPK mengingat kebencian mereka terhadap Polri sudah sampai titik jenuh, Polri pun akhirnya lebih tenang dengan mengatakan ke-20 penyidik itu akan diganti dengan penyidik yang lebih hebat. Barangkali memang bukan soal penyidik yang sesungguhnya dipersoalkan dalam perkara KPK lawan Polri jilid kedua ini. Tapi soal lama, soal egoisme dari para elite pengelola lembaga negara yang acap menderita ketersinggungan elitisme. Kehadiran KPK di negeri ini, jauh sebelum konstitusi pembentukannya disahkan legislatif, sudah bisa dibayangkan akan menangguk cibiran. Pasalnya, KPK akan bertugas memberantas korupsi, dan lembaga ini menjadi lembaga super. Ia akan membuat lembaga-lembaga lain seperti Polri, yang selama ini menangani perkara tindak pidana korupsi, menjadi tidak terlalu berperan. KPK hadir, Polri pun dipinggirkan dalam hal memberantas tindak pidana korupsi. Konstitusi negara memberi banyak fasilitas buat KPK untuk mempermudah menjalankan tugas dan kewajibannya. Fasilitas dan kemudahan

yang sesungguhnya telah lebih dahulu dituntut Polri maupun Kejaksaan, tapi KPK yang justru mendapatkannya. Dengan ragam kemudahan itu, KPK ternyata menjadi lembaga super yang merasa tanpa tanding. Begitu akan ditandingi, KPK dengan cepat berteriak bahwa “ada upaya melemahkan KPK”. Cengeng, sungguh. Padahal, sebagai lembaga yang menjadi “anak emas”, KPK seharusnya bisa menunjukkan aksi hebat dan luar biasa dalam memberantas korupsi di negeri ini. Tapi, tidak demikian, karena KPK justru lebih sibuk mengurusi diri sendiri. Sayangnya, ada atau tidak KPK, korupsi tetap jadi perkara besar di negeri ini. Banyak kasus yang diungkap KPK, yang diselesaikan berlarat-larat, dan yang tak jelas bagaimana akhirnya. Kinerja yang tak sesuai ekspektasi public itu malah meninggalkan kesan bahwa KPK hanya semacam kayu pengungkit batu tempat udang bersembunyi. Karena KPK tidak pernah menangkap udangnya. Mungkin bukan pula soal melemahkan KPK bila DPR merivisi UU 30 Tahun 2002 tentang KPK. Ini soal lain, soal yang terkait dengan harapan yang terlalu dilambungkan untuk KPK dan yang pasti sukar diraih. Padahal, kehadiran KPK membuat Polri, lembaga penegak hukum yang kewenangannya tereduksi dengan kehadiran KPK, menjadi lembaga yang kinerjanya tak perlu diperhatikan. Polri dipandang lemah, karena lembaga penegak hokum ini dipandang terlalu banyak mengungkap kasus korupsi tetapi terlalu sedikit menegakkan keadilan hokum bagi pelaku tindak pidan luar biasa ini. Ternyata pula, KPK yang diharapkan tidak seperti Polri, masih saja mengulangi track record yang tak bagus itu. Bedanya, jika Polri tampak seperti lembaga yang lebih sibuk membangun dan mengembalikan citra dirinya yang jatuh di hadapan public, maka KPK lebih cenderung sebagai “anak manja” yang meyakini bahwa dirinya menjadi pusat perhatian public. Padahal sama saja, jelas-jelas tidak mampu membuat masalah korupsi menjadi tidak masalah bagi negeri ini. * Sumber: Analisa edisi 6 Desember 2012

Pemancing Kemarahan Islam Sekelompok orang yang geram terhadap Osama Bin Laden, mereka yang memelihara dendam atas meledaknya gedung di Amerika Serikat, mencoba-coba menjadi produser dan sutradara. Mereka membuat sebuah film berdurasi 14 menit yang rencananya diberi judul Innocence of Bin Laden, dan semula diniatkan untuk mengenang betapa dasyat tragedy 11/9. Setelah diputar pertama kali di Vine Theater pada Juni 2012, seseorang yang mengaku bernama Sam Bacile mengunggahnya di jaringan video YouTube dengan judul Innocence of Moslem. Kemudian, seperti virus, mungkin serupa wabah, film yang memojokkan Rasulloh Muhammad SAW itu, menyebar dengan cepat dan membakar kemarahan ummat Islam di berbagai belahan Bumi. Pada 12 September 2012, film yang dikerjakan asal-asalan itu, memancing kemarahan ummat Islam dimana-mana. Di Lybia, kerusuhan pecah dan menewaskan Dubes AS untuk Libya, John Christopher Stevens, beserta tiga stafnya. Amerika Serikat kaget. Kita di negeri ini tersentak, lalu para elite berteriak meminta ummat Islam Indonesia jangan ikut terpancing. Permintaan yang aneh dengan pilihan diksi yang aneh pula. Mestinya, para elite di Negara ini membalik logika berpikirnya, bahwa film Innocence of Moeslem bukan soal terpancing dan tidak terpancing. Film itu sesuatu yang sengaja dibuat sebagai produk propaganda anti-Islam dan disiarkan dengan sengaja di YouTube. * “Terpancing” adalah kata yang tak enak betul sampai di telinga. Kata itu diarahkan kepada muslim Indonesia, seakan-akan mereka gampang terbakar kemarahannya tanpa alasan yang jelas. Semacam vonis bahwa ummat Islam adalah sekelompok manusia yang selalu harus diperingatkan, seperti keledai yang akan terus bergerak memutar penggilingan jika diikatkan wortel di hadapannya. Pernyataan-pernyataan para elite di negeri ini, yang didorong oleh paranoia luar biasa atas kemarahan ummat Islam, lebih tampak sebagai pemimpin yang tak paham masyarakat yang dipimpinnya. Mereka melihat Islam, agama yang dianut sebagian besar warga bangsa, adalah Islam yang sama seperti Islam yang dipojokkan selama ini. Islam yang melahirkan para terorisme, manusia-manusia yang dicuci otaknya hingga kehilangan rasionalitas dan tidak lagi memiliki penghargaan atas hak asasi manusia. Kata “terpancing” mengacu pada kuatnya asumsi dunia terhadap Islam yang menakutkan itu. Islam yang melekat dalam kepala V.S. Naipul ketika ia menulis Among the Believers: An Islamic Journey (1981), dan membuat simpul

bahwa Islam selalu menjadikan amarah sebagai sesuatu yang suci atas nama iman. Islama bagi Naipul, juga para pemikir anti-Islam, adalah Islam yang harus dilemahkan, dibuat lemah, dan ditutup segala hal terkait upaya penguatannya. Maka, Islam yang harus berkembang di dunia adalah Islam yang sudah menjadi bagian dari fenomena budaya masyarakat barat yang high tech media society. Islam yang ditransformasikan secara intensif dalam medan media, sebuah ruang yang hanya memberi tempat hanya kepada para kreator informasi—dimana Barat merupakan kreatornya--untuk menciptakan manusia sebagai korban media. Berbekal teori jarum suntik (hypodermic needle theory), propaganda antiIslam melalui media massa menemukan habitusnya. Realitas yang dihadapkan pada public media adalah realitas citraan, yang terdiri dari fragmen-fragmen dusta tapi tak dianggap sebagai kebohongan. Sebab, public yang medium minded tidak memiliki akses apalagi kekuasaan untuk menolak informasi, dan memilih menelan semuanya meskipun terkadang menggerutu. * Pada tataran inilah, hubungan Barat dengan Islam yang senantiasa keras dengan sejarah yang begitu panjang sejak zaman Imperium Usmania, akan lebih memberi tempat terhadap citraan-citraan media yang dirancang berdasarkan perspektif Barat. Samuel P. Huntington sebagai sumber informasi yang acap dikutif, adalah personifikasi Barat dalam melihat Islam sebagai musuh berikutnya setelah komunisme ambruk. Maka, jaringan video YouTube tak bisa mengaku kecolongan atas penyiaran film Innocence of Moelim, karena YouTube ada dalam jaringan media yang notabene dikuasai Barat. Jaringan yang terus dipakai untuk melemahkan Islam dengan segala macam cara untuk memancing chaos dan reaksi kekerasan dari ummat Islam yang marah. Pada simpul ini, kemarahan Islam acap dipahami sebagai fenomena kebangkitan Islam. Padahal, sesungguhnya pemahaman itu bagian dari strategi Barat untuk merepresentasikannya dengan citra yang menakutkan. Term-term seperti "fundamentalis" dan "teroris" secara pukul rata dipakai untuk mendefinisikan Islam. Islam selalu bangkit, tapi senantiasa dipandang lemah. Dan, Huntington, dalam wawancaranya dengan Time, pernah mengungkapkan bahwa pola konflik Barat dan Islam tidak lagi bersifat politik atau ekonomi, melainkan kultural. Sebuah simpul yang sukar diterima, karena yang terjadi adalah kebalikannya. Konflik Barat dengan Islam, berawal dari kekuasaan yang didorong oleh motif ekonomi, dan terus berlangsung sampai sekarang. Sumber-sumber ekonomi dikuasai Barat. Kapitalis lahir di sana, besar dan menggurita hingga ke negeri-negeri Islam. Dengan kapitalisme, Barat merengkuh semua sumber ekonomi, sebisa mungkin menutup akses Islam ke sumber-sumber tersebut lewat teori-teori ekonomi yang menutup diri terhadap konsep kesejahteraan bersama-sama. Islam adalah agama yang harus dimiskinkan. Kemiskinan dalam banyak hal dapat menjadi sumber malapetaka. Mereka akan mudah tersulut emosinya.

Tidak sulit mengadu-dombanya. Tidak perlu berpikir keras untuk menyeretnya ke dalam sebuah medan konflik yang mematikan. Karena Islam, yang miskin itu, gampang marah. * Sumber: SUMUT POS edisi 11 September 2012

Mesuji dan Hal-Hal Lainya Di penghujung 2011, Sungai Sodong mendadak santer. Kampung di pelosok Kecamatan Mesuji, Kabupaten Ogan Komering Ilir, yang selama bertahun-tahun lahannya terus berkurang karena diubah jadi ladang kelapa sawit, tiba-tiba berubah jadi ladang pembantaian manusia. Tujuh nyawa melayang karena sabetan golok, hantaman kayu, dan irisan pada daging. Darah tak terbilang membuncah, hilang diserap tanah merah. Kalender menunjuk angka 21 April 2011 ketika terjadi peristiwa yang merengut nyawa manusia itu. Bersama kematian itu, ada truk yang dirusak, sepeda motor yang dibakar, kelapa sawit yang ditebangi, dan rasa takut yang menghantui. Langit di Sungai Sodong berwarna abu-abu. Jalan akses menuju kampung itu, jalan tanah berwarna merah yang selalu berlumpur, yang dibangun sebagai sarana transportasi angkutan kelapa sawit, menjadi lengang. Tak ada seorang pun yang berani melintas di sana, bahkan truk-truk pengangkut hasil panen kelapa sawit. Situasi itu dilansir portal berita ternama di negeri ini, Detik.Com, yang menyebut tujuh nyawa manusia melayang dalam sebuah peristiwa kerusuhan antara warga Sungai Sodong dengan PT Sumber Wangi Alam (SWA). Kerusuhan yang dipicu masalah hak atas tanah, yang membuat negara tak hadir di sana, yang terpaksa diselesaikan sendiri dengan prinsip "yang berotot yang menang". Tapi, ketika Detik.Com melansir berita itu di situsnya, orang-orang yang mengaksesnya mengira itu berita biasa. Dan, memang, peristiwa itu sangat biasa, terutama bagi warga bangsa kita yang terlalu sering menyaksikan amuk massa. Sebab, amuk massa selama reformasi bergulir, salah satu penyebab kematian paling masif di negeri ini selain kecelakaan sarana transportasi. Peristiwa itu pun hilang di antara hiruk-pikuk berita terbongkarnya sejumlah kasus korupsi di negeri ini. Para pencari berita, yang tak lagi memiliki "hidung berita" dan kehilangan daya perjuangan dalam membela rakyat tertindas karena menulis berita bagi mereka tergantung pada tren, tak pernah mau menginvestigasi penyebab kematian manusia di Sungai Sodong itu. Hanya kalangan aktivis agraria, yang konsen terhadap konflik agraria, mencatat peristiwa itu sebagai contoh kasus konflik agraria yang tak berkesudahan di negeri ini. Di dalam buletin Bina Desa edisi No:1255/XXXI Juni-Juli 2011 dengan judul liputan utama "Jungkir Balik Masalah Agraria", disebut kasus Sungai Sodong menambah perbendaharaan kasus konflik agraria yang tak berkesudahan di negeri ini. Sayang, buletin Bina Desa, tak pernah sampai ke tangan legislatif di DPR RI. Mereka tak pernah tahu ada manusia yang mati disayat di Sungai Sodong pada 21 April 2011. Karena mereka tidak punya kepentingan di Sungai Sodong, di kampung terpencil yang sengsara itu. Kepentingan mereka hanya ada pada APBN, pada dana negara yang bisa dialihkan ke rekening partai melalui

rekening-rekening pribadi yang disulap jadi rekening perusahaan kontraktor. Manakala sekelompok masyarakat dari Mesuji datang ke DPR melaporkan pembantai manusia, elite-elite partai politik itu bagai baru bertemu alasan yang pas untuk memainkan skenario. "Ini pelanggaran HAM terbesar," teriak politisi, berusaha membangun citra diri sebagai insani politisi yang perduli HAM. Sungai Sodong mendadak santer. Peristiwa yang sudah berlangsung lama, 21 April 2011, booming pada Desember 2011. Para pengelola media, memblowup kasus ini. Para reporter di kirim ke Sungai Sodong, diwajibkan melaporkan apa saja dari daerah itu. Televisi menyajikan potret Sungai Sodong, menampilkan fragmentasi gambar visual dari sisa-sisa bentrokan yang menewaskan tujuh manusia itu. Reporter sebuah stasiun televisi yang belakangan memainkan politik pemberitaan sesuai keinginan partai yang memilikinya, menarasikan pembantaian manusia dengan bahasa "... di atas truk rusak inilah ditemukan sepotong kepala manusia...." Laporan itu membuat teori tentang berita, yang selama ini mengedepankan aktualitas, runtuh seketika. Yang terjadi adalah reaktulisasi, sebuah kerja keras untuk mengaktualkan hal-hal yang sudah basi. Tentu, ada kepentingan yang ingin direbut ketika hal-hal basi diaktualkan kembali. Kita pun paham, setelah DPR membentuk komisi untuk menindaklanjuti pelanggaran HAM di Sungai Sodong dan setelah pemerintah membentuk Tim Pencari Fakta, yang muncul ke permukaan bukanlah soal konflik agraria. Tapi, soal polisi yang bisa dibayar kapitalis. Juga, soal-soal lain yang lebih mengarah pada upaya meramaikan ruang-ruang politik dengan isu HAM. Ada politisi yang melakukan teknik pemasaran politik dengan mengemas citra diri dan partainya sebagai perduli HAM. Strategi pemasaran politik itu bersimbiosis dengan media massa, dimana para awak media kemudian lebih banyak memberitakan bagaimana politisi itu bertemu dengan warga di Sungai Sodong. Bukan untuk mencari fakta yang sebenarnya, tetapi mempengaruhi persepsi, emosi, perasaan, kesadaran, dan opini publik agar dapat digiring ke sebuah preferensi, pilihan, dan keputusan politik tertentu. Pemimpin absen di negara ini. Negara juga absen di lingkungan Sungai Sodong. Ini fakta yang membuat miris, tapi sudah bisa ditebak sejak awal. Bagaimana mungkin negara hadir di Sungai Sodong, yang kehadirannya diatur berdasarkan kitab konstitusi UUD 1945 yang jumlah halamannya cuma puluhan lembar kertas--jauh lebih banyak jumlah halaman buku panduan budidaya kelapa sawit yang banyak ditemukan di kantor PT Sumber Wangi Alam (SWA). Ketidakhadiran negara di Sungai Sodong makin jelas ketika Badan Pertanahan Negara (BPN) tak kunjung mampu mencari solusi dari konflik agraria yang sedang terjadi. Konflik yang sesungguhnya akibat ulah elite legislatif, entitas yang sebetulnya punya kapasitas untuk melegalisasi undangundang baru terkait masalah-masalah agraria di negeri ini. Elite legislatif punya kekuasaan untuk mempercepat reformasi agraria di negeri ini. Sejak dulu, konflik agraria di negeri ini dirisaukan banyak kalangan. Pada 2003, puncak keresahan atas konflik agraria mendorong Komnas HAM dan sejumlah non-goverment organization (NGO) menuntut pemerintah membentuk

Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA). Pemerintah juga didesak agar melakukan reformasi agraria nasional sesuai perintah UUPA 1960 dan Tap MPR No: IX/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Pada 2005, usulan reformasi agraria itu ditolak Pemerintahan SBY. Pemerintah memilih membentuk kedeputian di BPN melalui Pepres No:10/2006 tentang BPN. Tugas dan tanggung jawabnya mengkaji dan menyelesaikan ragam konflik agraria yang ada di negeri ini, yang ternyata justru jalan di tempat. Karena BPN tak lebih dari sekumpulan orang yang paham tentang agraria, juga paham bahwa konflik agraria "tak harus" diselesaikan. Di dalam konflik itu, siapa yang mengurus BPN akan memperoleh banyak keuntungan. Lihatlah dokumen hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), dan hak-hak atas lahan yang banyak dikeluarkan BPN untuk para kapitalis, merupakan dokumen negara yang tak bisa diakses siapa pun di luar BPN. Keterbukaan informasi tak berlaku di sini. Sungai Sodong hanya satu kasus dari persoalan agraria yang buruk penyelesaiannya. Persoalan yang terkesan dibiarkan oleh negara, yang lebih mengesankan negara ingin rakyatnya--petani-petani miskin yang sulit mengurus sertifikat atas tanahnya-- menjadi marah karena kehilangan hak atas tanah itu. Kemarahan yang memicu konflik horizontal maupun vertikal, yang membuat warga bangsa berada pada dua posisi yang berseberangan, berhadap-hadapan dengan senjata di tangan. Yang satu atas nama diri sendiri, pihak yang lain sebagai wakil perusahaan. Di tengah-tengah konflik itu, kita tahu media berada dimana. Di Sungai Sodong, institusi media menjadi kumpulan para profesional yang kebakaran jenggot. Padahal, jelas sekali, di lingkungan perusahaan itu, polisi menjadi pengaman yang menyebab ketidakamanan.*

EPILOG Polisi Meraih Kepercayaan Oleh Krishna Murti Suatu malam di Kota New York, saya melihat sebuah mobil polisi parkir di tempat tersembunyi di jalan akses antara rumah saya dengan jalan yang menuju ke arah high way. Di depan mata saya, polisi itu tiba-tiba keluar dari persembunyiannya dengan menyalakan rotator yang menyilaukan dan suara sirine besar mengejar sebuah mobil yang diduga melanggar batas kecepatan. Bagi saya yang telah tinggal selama 2 tahun di kota ini, keberadaan mobil polisi parkir di tempat tersembunyi adalah hal yang biasa untuk memantau para pengemudi yang melanggar batas kecepatan. Ketika hal ini saya tanyakan kepada tentangga saya yang warga negara Amerika, dia mengatakan bahwa pengemudi itu memang layak dikenakan tilang karena perbuatannya melanggar batas kecepatan adalah sebuah pelanggaran yang cukup berat di Amerika sini. Yang jadi masalah bagi saya bukan pelanggarannya, namun kenapa polisi parkir secara tersembunyi dan baru keluar setelah ada yang melakukan pelanggaran? Kenapa polisi tidak parkir di tempat yang terlihat saja sehingga para pengemudi mengurangi kecepatannya. Menurut saya tentunya polisi punya strategi tersendiri, kenapa mereka melakukan itu. Tindakan tersebut dilakukan oleh Polisi NYPD karena mereka tidak bisa terus menerus berada di sana sehingga mereka menggunakan metode ”menangkap rubah” untuk membuat jera para pengemudi bandel yang melewati jalan tersebut. Yang pasti, hampir tidak ada komplain masyarakat atas tindakan kepolisian di sana, karena masyarakat New York mempercayai Polisinya. Hal sebaliknya akan didapat oleh polisi Indonesia ketika mereka melakukan hal yang sama di Indonesia. Ketika polisi parkir di tempat tersembunyi dan mengejar para pelaku pelanggar lalu lintas, apa yang akan didapat polisi Indonesia? Cercaan. Umpatan. Cibiran. Ejekan karena mencaricari kesalahan? Ya, itulah kira-kira yang akan didapat oleh polisi Indonesia, karena ”Kepercayaan” masyarakat akan polisinya belum begitu baik saat ini. Permasalahan inilah yang dihadapi oleh polisi Indonesia saat ini dimana upaya meraih kepercayaan merupakan sebuah hal krusial yang harus dilakukan guna meraih sinergitas pemolisian polisi masyarakat dalam rangka meningkakan keamanan dan ketertiban yang lebih baik ditanah air ini.

Mengapa kepercayaan begitu penting bagi kita? Bagaimanakah kita dapat meraih sebuah kepercayaan? Dan bagaimana sebuah institusi itu dapat meraih kepercaayaan? Kepercayaan adalah hal yang sangat penting dalam sebuah bisnis saat ini. Banyak ahli yang telah mendefinsikan pengertian trust (kepercayaan). Dalam konteks busines to business, kepercayaan (trust) menurut Sheth dan Mittal (dalam Ciptono, 2002) merupakan faktor paling krusial dalam setiap relasi, sekaligus berpengaruh pada komitmen. Trust bisa diartikan sebagai kesediaan untuk mengandalkan kemampuan, integritas dan motivasi pihak lain untuk bertindak dalam rangka memuaskan kebutuhan dan kepentingan seseorang sebagaimana disepakati bersama secara implisit maupun eksplisit. Koehn,2003 (dalam Sularto, 2004) mengatakan terdapat beberapa bentuk kepercayaan: (1) berbasis tujuan, (2) berbasis perhitungan, (3) berbasis pengetahuan, dan (4) berbasis penghargaan. Kepercayaan berbasis tujuan muncul ketika dua orang yang mengira mereka memiliki tujuan yang sama. Tujuannya mungkin bisa baik atau buruk. Pernikahan bisa langgeng ketika sebuah pasangan mempunyai tujuan yang sama dalam rangka mewujudkan keluarga yang sakinah mawadah warohmah. Pasangan itu tidak saling kenal sebelumnya dan mereka disatukan dalam sebuah ikatan pernikahan. Setiap pasangan mungkin mengharapkan dan bahkan meminta bahwa yang lain mengorbankan kepentingannya demi tercapainya tujuan. Dalam konteks kepolisian, ketika masyarakat dan polisi mempunyai tujuan yang sama, maka kepercayaan bisa dibangun. Permasalahannya adalah bahwa di Indonesia belum ada kesepahaman tujuan dalam mengurai permasalahan keamanan dan ketertiban. Tujuan kamtibmas perlu dipropagandakan agar menjadi tujuan bersama. Dengan demikian ketika tujuan pembinaan kamtibmas ini dipercayai sebagai tujuan bersama, maka kepercayaan antara polisi dan masyarakat akan terbangun. Saya mengambil contoh pada kasus pemeriksaan identitas dan badan ketika kita memasuki gedung obyek vital. Ketika sesesorang meyakini bahwa tujuan pemeriksaan itu adalah guna kepentingan bersama, baik bagi keamanan semua pihak, maka siapapun akan rela identitasnya diperiksa termasuk badan dan bawaannya digeledah setiap kali memasuki bangunan tersebut. Namun ketika tujuan ”keamanan bersama” itu tidak dipahami, maka seseorang yang diperiksa oleh petugas keamanan, akan merasa bahwa pemeriksaan itu hanyalah sebuah proses yang ”anoying” sekali (mengganggu kenyamanan orang). Kepercayaan perhitungan mencoba meramalkan apa yang dilakukan mitra terpercaya dengan mencari bukti untuk hal-hal yang bisa dipercaya lainnya. Misalnya, apakah suatu pihak memiliki sejarah menepati janjinya? Apakah dia memiliki reputasi yang bagus? Polisi selalu mempunyai ”praduga bersalah” terhadap para pelaku pelanggaran. Di sisi lain aturan UU mengharuskan seseorang dianggap tidak bersalah sebelum ada keputusan pengadilan yang menyatakan dia bersalah (praduga bersalah). Ambiguitas ini adalah dilema dalam pekerjaan polisi. Perhitungan yang salah dari polisi terhadap posisi seseorang yang melakukan kesalahan

berhadapan dengan ekspektasi masyarakat yang menganggap dirinya tidak merasa bersalah. Untuk itu polisi selalu mengedepankan pada pendekatan formil yang dianggap sebagai sistem legal yang sah dalam menjaga tindakan mereka. Di sisi lain masyarakat mempunyai ”nilai” lain dalam pranata hubungan mereka dan menganggap bahwa sistem legal tersebut tidak konsisten dilaksanakan oleh banyak pihak. Ada kenyataan bahwa tindakan untuk inkonsistensi dalam implementasi sistem legal dalam semua tindakan menjadikan kelemahan kepercayaan. Kepercayaan berbasis pengetahuan muncul ketika orang saling mengenal satu sama lain dan atau sering berinteraksi. Hubungan kepercayaan berbasis pengetahuan mungkin berubah ketika kedua pihak saling mencurigai pihak lainnya. Dalam konteks hubungan kepolisian dan masyarakat, ada muncul pemikiran dari polisi bahwa para pelanggar adalah pihak yang mengambil keuntungan dari kondisi tertentu, sedangkan dari pihak masyarakat mempunyai pengetahuan yang mempercayai bahwa ketika polisi melakukan tindakan tertentu selalu berupaya mendapatkan keuntungan dari pelanggaran yang mereka perbuat. Pengetahuan masyarakat terhadap masalah hukum juga mempengaruhi hubungan mereka dengan polisinya. Hubungan itu bisa afektif bisa juga kognitif. Berbasis pengetahuan, opini, seteorotip dan ditularkan dari cerita mulut ke mulut oleh orang-orang yang pernah berurusan dengan polisi. Ada orangtua dari salah satu polisi yang wafat ketika sedang melaksanakan rapat di kantornya. Sebelumnya, korban bertemu dengan seseorang dan mendapatkan tindakan ancaman dengan kekerasan ringan yang tidak mengakibatkan luka apapun. Namun, naasnya setelah kejadian tersebut korban mengikuti rapat di kantor dan tiba-tiba meninggal karena sebab yang belum jelas. Masalah ini sudah ditangani oleh kepolisian, namun karena ketidakpahaman keluarga korban terhadap masalah hukum dan tindakan polisi, mereka curiga bahwa polisi tidak melaksanakan penegakkan hukum dengan benar. Hal-hal berkaitan dengan ketidaktahuan mengenai masalah hukum seperti inilah yang memberikan kontribusi kepada ketidakpercayaan masyarakat kepada polisi. Masyarakat (padahal itu terjadi pada keluarga polisi) mempunyai asumsi sendiri mengenai hukum yang ternyata tidak sesuai dengan apa yang dilaksanakan oleh kepolisian. Salah satu cara mempercepat meraih kepercayaan masyarakat yang telah terbukti ampuh dilakukan oleh New York Police Department (NYPD) adalah sebagaimana yang telah dilakukan oleh Bill Bratton dalam melaksanakan sebuah strategi internal dan eksternal dan berdampak pada kembalinya kepercayaan masyarakat kepada NYPD. Apa yang terjadi pada NYPD adalah kurang lebihnya sama dengan apa yang dirasakan oleh Polri dewasa ini. Namun demikian, dalam tempo 2 tahun, Bratton dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat melalui beberapa langkah strategis yang dia lakukan. Sebagaimana saya ringkas dari buku Blue Ocean Strategy karya W Chan Kim dan Renee Mouborgnee, pada era tahun 1990-an, Kota New York berada dalam kondisi yang mengarah pada ”anarki”. Tingkat pembunuhan berada pada titik puncaknya. Berita-berita tentang penodongan, perampokan, pembunuhan

oleh mafia dan penjahat jalanan menghiasi headline berita-berita tiap hari. Warga New York saat itu sedang dalam kondisi yang tidak nyaman dan merasa tidak aman ketika berada di luar rumah. Bratton diangkat menjadi Kepala Polisi NYPD pada tahun 1994 dan menghadapi masalah yang cukup krusial berkaitan dengan kondisi keamanan yang cukup rumit. Kondisi moral semangat 38.000 anggota yang tidak baik dan kondisi anggaran kepolisian tidak cukup untuk mendukung kegiatan mereka. Banyak ilmuawan saat itu menyatakan bahwa dengan tingkat kejahatan yang sangat tinggi dan ketidaktertiban yang ada di New York, telah menandakan bahwa polisi NYPD tidak bisa mempenetrasi kota sama sekali. Bahkan, digambarkan dalam buku tersebut dimana halaman depan harian New York Post sampai menuliskan judul besar ”DAVE DO SOMETHING” (Dave lakukan sesuatu; seruan ini ditujukan kepada David Dinkins, Wali Kota New York pada tahun 90an untuk melakukan sesuatu dalam mengatasi masalah keamanan di kota New York hingga akhirnya dia diganti oleh Rudolph W Giuilani; NYPD adalah organisasi kepolisian di bawah kendali pemerintah Kota New York). Bratton adalah mantan kepala polisi di beberapa kota besar lain sebelumnya, seperti di Boston (BPD) dan Los Angeles (LAPD). Sebagai Kepala polisi di NYPD, Bratton mendapati beberapa masalah dalam internal organisasi saat itu, seperti gaji polisi yang minim, anggara keuangan yang terpaksa dipangkas karena kondisi krisis moneter, jam kerja anggota yang terlalu panjang (melebihi 8 jam perhari), kecilnya harapan akan promosi, kondisi kerja yang berbahaya, peralatan yang sudah usang dan rusak, jaminan keselamatan dan keamanan yang tidak mendukung, sehingga membuat moral anggota dalam titik nadir dan mengakibatkan mewabahnya korupsi kepolisian dimana-mana. Dalam kondisi ini, NYPD saat itu bisa dianalogikan sebagai organisasi bisnis berisi 36.000 anggota yang tidak dipercaya oleh masyarakatnya untuk mengatasi permasalahan di New York. NYPD saat itu juga berhadapan dengan pemasalahan keuangan yang sangat minim, dianggap sudah lekat dengan status quo, tidak punya motivasi, karyawan dibayar rendah, basis konsumen yang tidak puas (masyarakat warga New York), dan kinerja yang menurun drastis sebagaimana ditunjukkan dalam grafik kejahatan yang meningkat, meningkatnya kekacauan, meningkatnya rasa kecemasan masyarakat, perang antar geng yang terjadi dimana-mana dan kekacauan kota lainnya. Sebagai pemimpin baru di NYPD, Bratton dituntut untuk memiliki strategi khusus dalam rangka mengubah situasi ini. Hebatnya, dalam kurun waktu 2 tahun tanpa peningkatan anggaran, Bratton dapat mengubah hal tersebut dan menjadikan New York sebagai kota besar di Amerika yang paling aman sebagaimana saya rasakan saat ini. Dia mendobrak status quo di organisasi NYPD yang merevolusi Kepolisian di Amerika dan menjadi trend pemolisian saat ini. Beberapa kemenangan diraih oleh NYPD dalam 2 tahun kepemimpinan Bratton, seperti kejahatan yang menurun hingga 39 persen, pembunuhan menurun 50 persen, pencurian turun 35 persen. Hingga saat ini trend kejahatan di New York terus menurun dan tidak sehebat seperti pada jaman tahun 90an yang lalu.

Konsumen mereka (warga New York), merasa diuntungkan dengan kondisi ini, sebagaimana dikutip dari jajak pendapat Gallup yang menggambarkan bahwa kepercayaan publik kepada NYPD meningkat dari 37 persen menjadi 73 persen. Di sisi lain, ternyata banyak anggota NYPD yang mendapatkan keuntungan dengan kondisi ini dimana berdasarkan survey internal, didapatkan fakta bahwa kepuasan kerja mereka di NYPD berada pada tingkat tertinggi. Motivasi anggota NYPD sangat tinggi dan mereka melaksanakan tugas dengan penuh kebanggaan. Yang menjadi pertanyaan adalah, apa yang telah dilakukan oleh Bratton dalam kurun waktu 2 tahun kepemimpinannya hingga mengubah kondisi NYPD dan Kota New York menjadi lebih baik saat itu dan terus berlangsung hingga kini? Di sinilah hebatnya Bratton. Dia mampu mempetakan beberapa permasalah internal dan eksternal di NYPD dan melakukan strategi perubahan ”status quo” yang melekat pada internal organisasi. Bratton melaksanakan strategi ”Zero Tolerant Policy” yang intinya adalah melakukan penilaian terhadap kondisi terkini yang dihadapi oleh organisasi dengan merangkum situasi terkini dalam ruang pasar yang sudah dikenal. Selanjutnya Bratton mulai menfokuskan pembenahan pada berapa titik dimulai dari implementasi POP (Problem Oriented Policing) dengan berdasarkan pada ”Broken Windows Theory” dan peningkatan moril anggota serta implementasi pada konsistensi pelaksanaan tugas di lapangan. Bratton juga memperkenalkan pendekatan CompStat (COMPuter STATistics or COMParative STATistics), yang pada intinya adalah sebuah pendekatan tekhnologi dalam mengatasi kejahatan. Selain itu, Bratton juga melakukan reformasi pada sistem perekrutan, pelatihan, dan pembinaan karier bagi para anggota kepolisian NYPD untuk meningkatkan profesionalitas pekerjaan mereka dan merubah dari mind set status quo kepada mind set perubahan yang sedang dihadapi. Saat ini kepercayaan masyarakat New York terhadap polisinya sangat tinggi sebagaimana saya ceritakan pada awal tulisan ini. Tidak adalagi cibiran dan ejekan datang kepada mereka. Apapun yang tindakan mereka dipercaya sebagai bagian dari pelaksanaan tugas demi kepentingan mereka. Berkaca dari kisah Bratton dengan NYPD-nya, maka ketika Kepolisian mampu menunjukkan hasil nyata di lapangan seperti turunnya angka kriminalitas dan meningkatnya tingkat ketertiban masyarakat serta eksistensi yang nyata dilapangan dengan fokus pelayanan yang proaktif, responsif, tuntas dan tulus, hingga upaya pemolisian yang berbasis kepada upaya pemecahan yang dilaksanakan dengan konsisten, maka kepercayaan masyarakat akan bisa diraih dengan sendirinya. Tentunya masih banyak hal lain yang harus dilakukan yang tidak bisa dituliskan dalam selembar dua lembar naskah tulisan saja. Moral yang ingin saya angkat dalam tulisan ini adalah bahwa ketika kita mampu menerapkan strategi yang tepat, maka peningkatan kepercayaan itu juga ternyata bukanlah hal yang tidak mungkin bagi kepolisian. Salam Dari New York

Krishna Murti, alumni terbaik Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 1991 ini,

dikenal luas sebagai sosok anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang juga seorang intelektual. Berpangkat Komisaris Besar Polisi (Kombes), mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Kepolisian (Bachelor’s Degree) dari Akademi Kopilisan (Akpol) dan Master’s Degree in Police Science dari Universitas Indonesia. Dia juga telah mengikuti berbagai kursus seperti Kursus Komando di Singapore Police Force Senior Course, dan kursus luar negeri lainnya seperti ILEA (Bangkok), IMOSC (Singapura), JICA (Jepang), ATA (USA), dan banyak lagi. Dia seorang penyidik bersertifikat pelatih, perencana, untuk polisi PBB. Selesai Akpol pada 1991, dia bertugas di beberbagai devisi di lingkungan Mabes Polri, dan sebagai anggota pasukan misi keamanan Persatuan Bangsa Bangsa di wilayah Kroatia, Serbia, dan Sudan. Terakhir menjadi Kapolres Pekalongan sebelum akhirnya kembali mendapat tugas dari PBB (United Nations HQ) di New York hingga hari ini. Bersama seluruh anggota keluarganya, kini tinggal di Kota New York. Jejak pemikiran dan perhatiannya yang luas terhadap masa depan Polri ditulisnya dalam blog yang berisi segala persoalan terkait dunia kepolian, http://catatansibedu.blogspot.com/. Dalam bukunya, Geger Kalijodo, Kisah Polisi dan Mediasi Konflik, dia menawarkan pendekatan etnografi dan antropologi dalam menyelesaikan masalah sosial di lingkungan masyarakat.

Biografi Penulis Buku Budi Hatees lahir dengan nama Budi Hutasuhut di Sipirok, Sumatra Utara, pada 3 Juni 1972. Dikenal sebagai jurnalis, sastrawan, dosen, dan konsultan. Sebagai jurnalis anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini, pernah bekerja sebagai Kepala Penelitian dan Pengembangan Harian Lampung Post, Pemimpin Umum Tabloid Ekonomi Pertanian, Redaktur Pelaksana Harian Global, Redaktur Pelaksana Koran Lampung, dan Pemimpin Redaksi Tabloid Faktual. Tahun 2007 memutuskan berhenti dari kegiatan kejurnalistikan, lalu menulis di berbagai media cetak dan buku sambil mengajar sebagai dosen komunikasi di Universitas Bandar Lampung, Universitas Lampung, dan Universitas Saburai. Menjadi konsultan pencitraan di lembaga swasta maupun pemerintahan. Sering terlibat dalam kegiatan pencitraan di lingkungan Mabes Polri . Karya-karyanya yang sudah diterbitkan dalam sekitar 20 buku sastra, sosial, dan komunikasi seperti Narasi Sunyi, Antologi Puisi (1996), Laskar di Garis Belakang (kumpulan cerpen, 2007), dan sejumlah buku antologi karya bersama pengarang. Pada 2013, kembali ke kampong halamannya, Kota Sipirok, dan mendirikan Yayasan Sahata Hita, sebuah lembaga pendidikan alternatif untuk pemberdayaan masyarakat terkait masalah hokum, ekonomi, social, dan budaya. Mendirikan Sanggar Menulis Tapanuli Selatan, Masyarakat Kopi Sipirok, dan menggelar event-event untuk memperkenalkan produk-produk industry kreatif masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan. Tahun 2015 pindah ke Bandar Lampung dan bekerja sebagai konsultan pencitraan politik. *

Related Documents

Ulat Di Kebun Polri.pdf
January 2021 0
Guida Di Word Di Angela
February 2021 1
Di Sandro
January 2021 3
Otrupon Di
March 2021 0
Di Tempat
January 2021 1
Di Visas
February 2021 1

More Documents from "jacobo galicino"