Uts

  • Uploaded by: Stephanie Tarumingkeng
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Uts as PDF for free.

More details

  • Words: 8,337
  • Pages: 30
Loading documents preview...
UTS

FISIKA MATERIAL DAN DIVAIS NANO

Oleh: Stephanie Tarumingkeng 20214020

Dosen: Prof. Dr.Eng. Khairurrijal

SEKOLAH PASCA SARJANA MAGISTER FISIKA INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT oleh karena izin-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “NANOSTRUKTUR NOL DIMENSI: NANOPARTIKEL” yang mana dapat terselesaikan dengan baik. Dengan terselenggaranya makalah ini, penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Khairurrijal selaku Dosen pengampu yang senantiasa memberikan ide bagi penulis sehingga mambantu atas terwujudnya makalah ini. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin menyusun makalah dengan baik, namun penulis juga menyadari sepenuhnya dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis menyambut baik kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini, semoga makalah ini bermanfaat, menambah ilmu serta wawasan bagi semua pembaca.

Bandung, Oktober 2015

Penulis

NANOSTRUKTUR NOL DIMENSI : NANOPARTIKEL 1.1. Pendahuluan Nanoteknologi berhubungan dengan material berstruktur/berukuran kecil yang memiliki dimensi sekitar satu sampai beberapa ratus nanometer. Satu nanometer (nm) sama dengan seper satu miliar meter atau 10-9 m. Nanopartikel dapat berupa kristal tunggal, polikristal, atau partikel amorf. Dalam pembuatan nanopartikel, tidak hanya ukuran yang menjadi acuan tetapi kita juga harus mengontrol beberapa hal seperti (i) semua partikelnya memiliki ukuran yang identik, (ii) bentuk dan morfologi yang identik, (iii) struktur kristal dan komposisi kimia yang identik, dan (iv) monodispersed atau tidak menggumpal. Untuk mendapatkan nanopartikel dengan nukleasi homogen, supersaturasi dari penumbuhan harus dibuat seperti dengan cara pengurangan temperatur dari sebuah campuran setimbang. Nukleasi sendiri memiliki arti pembentukan awal dari fasa termodinamika baru atau struktur baru via selfassembly. Nanopartikel dapat dihasilkan baik dengan pendekatan top-down atau bottom-up. Dalam tulisan ini, yang akan dibahas adalah pendekatan Bottom-up. Pendekatan bottom-up merupakan pendekatan dimana teknik pembuatan material berstruktur nano dilakukan dengan cara menyusun dari bagian terkecil material, atom per atom, molekul per molekul, atau kelompok atom per kelompok atom. 1.2.

Nanopartikel dengan Nukleasi Homogen Pembentukan nanopartikel diperoleh dari nukleasi homogen karena adanya saturasi pada pertumbuhan spesies. Penurunan suhu pada kesetimbangan campuran akan mengakibatkan larutan menjadi supersaturasi. Metode lain yang yang digunakan untuk menghasilkan supersaturasi yaitu dengan menggunakan reaksi kimia in situ, dimana proses ini mengubbah konsentrasi larutan dari sangat larut menjadi kurang larut. Nanopartikel dapat dinukleasi secara homogen dalam tiga media, yaitu cair, gas dan padat. 1.2.1. Dasar-Dasar Nukleasi Homogen Nukleasi homogen ini terjadi secara spontan, ketika konsentrasi dari zat terlarut didalam pelarut melebihi kesetimbangan larutannya atau temperature menurun di bawah titik transformasi fasa maka sebuah fasa baru akan muncul. Sebuah larutan dengan komposisi zat terlarut melebihi kelarutannya sama halnya dengan supersaturasi memiliki energi bebas Gibbs yang besar. Energi keseluruhan sistem akan berkurang dengan terpisahnya zat terlarut dari larutannya.. Penurunan energi bebas Gibbs ini merupakan kekuatan pendorong bagi nukleasi dan pertumbuhan. Gambar 1 menunjukkan skema pengurangan keseluruhan energi bebas Gibbs dari suatu larutan sangat jenuh dengan membentuk fase padat dan mempertahankan konsentrasi yang setimbang dalam larutan. Penurunan energi bebas Gibbs ini tidak lain adalah faktor pendorong terjadinya nukleasi dan pembentukan nanopartikel [1].

Gambar 1. Skema penurunan energi bebas Gibbs

Perubahan energi bebas gibbs per satuan volume dari fase padat dikatakan sebagai ∆ G V , dimana ∆ GV bergantung pada konsentrasi zat terlarut: G v  

kT kT ln( C / C 0 )   ln( 1   )  

(1) Dimana C adalah konsentrasi zat terlarut, C0 adalah konsentrasi kesetimbangan kelarutan, k adalah konstanta Boltzmann, T suhu dan Ω volume atom. Jika larutan tidak dalam keadaan sangat jenuh (�=0), maka tidak akan terjadi nukleasi, namun ketika C>C0 maka ∆ GV bernilai negatif, yang artinya nukleasi terjadi secara spontan. Maka didapatkan energi bebas volume ΔμV, namun energi ini tidak seimbang dengan penetapan energi bebas permukaan yang disertai dengan pembentukan fase baru, hal ini mengakibatkan peningkatan energi bebas permukaan Δμs. , total perubahan energi bebas Gibbs diberikan Gv  V   s

dimana

(2)

4 2 2 ∆ μV = π r ∆ GV dan ∆ μ s=π r γ 3

dengan γ

adalah energi permukaan per satuan luas.

Skema hubungan antara energi bebas volum, energi bebas permukaan dan total energi bebas Gibbs dapat dijelaskan pada gambar berikut

Gambar 2. Hubungan energi bebas volum, energi bebas permukaan dan total energi bebas Gibbs Dari Gambar 2 dapat kita lihat bahwa nucleus yang baru terbentuk stabil hanya ketika radius intinya melebihi radius kritis, r*. Sebuah inti atom yang lebih kecil dari r* akan terlarut dalam larutan untuk mengurangi keseluruhan energi bebas, sedangkan inti atom yang lebih besar dari r* akan stabil dan dilanjutkan untuk tumbuh lebih besar. Pada ukuran radius kritis r*, energi kritis didefiniskan sebagai r ¿ =−2

¿

∆G =

∆ G¿

γ ∆ GV

16 πγ 2 ( 3 ∆ GV )

(3)

(4)

merupakan energi yang mengahalangi proses nukleasi, dimana energi ini harus

diatasi dengan segera. Kemudian r* ukuran minimum dari jari-jari inti bulat yang stabil. Energi permukaan di inti padat juga dapat dipengaruhi secara signifikan terhadap temperature.

Gambar 3. pengaruh temperature terhadap ukuran kritis pada tiga inti bulat

Laju nukleasi per satuan volume dan per satuan waktu (R N), sebanding dengan (i) probabilitas, P, bahwa fluktuasi termodinamika energi bebas kritis (AG *), (ii) jumlah pertumbuhan spesies per satuan volume (n), dan (iii) frekuensi berhasil melompati pertumbuhan spesies (Γ) sehingga laju nukleasi dapat ditulis:

{

C 0 kT

} (

−Δ G RN =n ΓP= exp 3 kT 3 πλ η

dimana :

P=exp

(

¿

)

(5)

−Δ G ¿ kT dan Γ= kT 3 πλ 3 η

)

dari persamaan di atas dapat ditunjukkan bahwa konsentrasi awalnya tinggi atau supersaturasi, viskositas rendah dan energi hambatan kritis juga rendah sehingga mendukung sejumlah besar pembentukan inti. Ketika konsentrasi zat terlarut meningkat sebagai fungsi waktu, tidak ada nukleasi akan terjadi bahkan di atas kelarutan keseimbangan. Nukleasi akan terjadi ketika supersaturasi mencapai nilai tertentu di atas kesetimbangan kelarutan, yang dihubungkan dengan energi pengahalang. Pada nukleasi awal pertumbuhan, supersaturasi atau kelarutan akan berkurang dan terjadi penurunan perubahan energi bebas gibs. Tetapi ketika konsentrasi dinaiikan di bawah konsentrasi spesifik, sesuai dengan energi kritis, maka tidak akan banyak inti terbentuk, sehingga pertumbuhan akan sampai pada penumbuhan konsentrasi dan mencapai pada konsentrasi kesetimbangan atau kelarutan. Ketika konsentrasi spesies pertumbuhan meningkat di atas konsentrasi kesetimbangan, awalnya tidak akan ada nukleasi, namun nukleasi terjadi ketika konsentrasi mencapai saturasi minimum yang diperlukan untuk mengatasi hambatan energi kritis, dan peningkatan laju nukleasi sangat pesat dengan meningkatnya konsentrasi lebih lanjut. Meskipun proses pertumbuhan tidak bisa dilanjutkan ketika tidak ada inti, tingkat pertumbuhan di atas adalah nol untuk konsentrasi di atas keseimbangan kelarutannya. Setelah inti terbentuk, pertumbuhan terjadi secara bersamaan. Di atas konsentrasi minimum, nukleasi dan pertumbuhan adalah proses yang tak terpisahkan. Namun, kedua proses ini dilanjutkan pada kecepatan yang berbeda. Untuk mendapatkan nanopartikel yang monosize atau satu ukuran, maka sintesis inti harus terbentuk pada waktu yang sama, dengan demikian inti akan memiliki keadaan yang sama, sehingga akan menghasilkan ukuran yang sama pula.Pembentukan nanopartikel berukuran seragam dapat dicapai jika proses pertumbuhan dikendalikan dengan tepat. 1.2.2. Pertumbuhan Lanjutan dari Inti Atom Ukuran distribusi nanopartikel bergantung dari proses penumbuhan lanjut. Proses penubuhan inti atom ini memiliki beberapa tahapan sebagai berikut (i) pembentukan spesies yang ditumbuhkan, (ii) difusi dari sopesies yang ditumbuhkan dari bulk ke permukaan penumbuhan, (iii) adsorpsi dari spesies yang ditumbuhkan, dan (iv) permukaan yang

ditumbuhkan meliputi ireversibel proses. Secara umum, langkah-langkah ini dapat dibagi menjadi dua kelompok besar. 1.2.2.1. Pertumbuhan yang dikontrol oleh Difusi Ketika konsentrasi dari spesies yang ditumbuhkan berkurang dibawah konsentrasi minimum untuk proses nukleasi, maka nukleasi akan berhenti sedangkan proses pertumbuhan tetap berjalan. Hal ini akan menghasilkan laju pertumbuhan spesies dalam bentuk V dr =D(C−C s) m dt r

(6)

dimana r merupakan jari-jari inti bola, D koefisien difusi pertumbuhan spesies, C konsentrasi bulk, Cs konsentrasi permukaan pada partikel padat dan Vm volume molar dari inti. Jika persamaan di atas kita pecahkan, dengan mengasumsikan ukuran awal inti r 0 dan perubahan konsentrasi bulk diabaikan, maka: r 2=2 D ( C−C s ) V m t +r 02 atau r 2=k D t +r 02

(7)

Jika dua partikel memiliki jari-jari awal yang berbeda dan penurunan perbedaan jari-jari dengan meningkatnya waktu atau pertumbuhan partikel yang sangat cepat maka dengan mengkombinasikannya dengan persamaan (7) akan diperoleh bentuk: δr=

r 0 δr0 r δr = 0 0 2 r √ k D t +r 0

(8)

Hal ini menunjukkan perbedaan jari-jari berkurang dengan bertambahnya jari-jari inti dan waktu pembentukan. Ukuran partikel seragam terbentuk pada pertumbuhan difusi yang dikontrol. 1.2.2.2 Pertumbuhan yang Dikontrol oleh Proses Permukaan Ketika difusi dari spesies yang ditumbuhkan dari bulk ke permukaan cukup cepat, maka laju pertumbuhan akan dikontrol oleh proses permukaan. Ada dua mekanisme prose permukaan yakni penumbuhan mononuclear dan penumbuhan polynuclear. Pada penumbuhan mononuclear, penumbuhan diproses dengan lapisan per lapisan. Spesies penumbuhan tidak berhubungan dengan suatu lapisan dan proses lapisan lainnya hanya terjadi setelah penumbuhanlapisan sebelumnya selesai. Laju pertumbuhan sebanding dengan luas permukaan. Tingkat pertumbuhan ini sebanding dengan luas permukaan. Tingkat pertumbuhan didapat dengan memecahkan persamaan luas permukaan: dr 2 =k m r dt

(9)

1 1 = −k m t r r0

(10)

peningkatan perbedaan jari-jari dengan peningkatan jari-jari inti: δr=r 2

δr0 r0

2

=

δr0

( 1−k m r 0 t )

2

(11)

Pertumbuhan banyak inti terjadi ketika konsentrasi permukaan sangat tinggi, karena proses permukaan sangat cepat maka hasil pertumbuhan lapisan kedua telah selsai sebelum pertumbuhan lapisan pertama selesai. Tingkat pertumbuhan partikel bergantung pada ukuran dan waktu pertumbuhannya. dr =k p dt

Karena

kp

(12)

hanya bergantung pada suhu, maka partikel tumbuh secara linear

dengan waktu dan akan mendapatkan perbedaan radius relatif, perbedaan radius relatif ini berbanding terbalik dengan jari-jari partikel dan waktu pertumbuhan. r=k p t+r 0

(13)

δr=δr 0

(14)

dan

Partikel dapat membesar dengan perbedaan jari-jari yang kecil, jadi mekanisme pertumbuhan ini juga baik untuk sintesis partikel monosize. Pembentukan nanopartikel tersebar dalam pelarut adalah pendekatan yang paling umum dan menawarkan beberapa keuntungan, yang meliputi kemudahan, yaitu:     

stabilisasi nanopartikel dari aglomerasi, ekstraksi nanopartikel dari pelarut, modifikasi permukaan dan aplikasi, pengolahan kontrol, dan produksi massal.

1.2.3. Sintesis Nanopartikel Logam Nanopartikel logam dapat disintesis dengan berbagai macam teknik, salah satunya yaitu dengan mereduksi material kompleks logam di dalam suatu larutan. Nanopartikel logam dengan ukuran seragam dapat diperoleh dengan mengkombinasikan antara konsentrasi

rendah dari zat terlarut dan monolayer polimer pada permukaan pertumbuhan nanopartikel tersebut [1]. Di dalam sintesis nanopartikel logam atau koloid logam dispersi, berbagai jenis prekursor, reagen reduksi, bahan kimia lainnya, dan metode digunakan untuk memicu atau mengontrol reaksi reduksi, nukleasi awal, dan proses pertumbuhan setelah nukleasi. Prekursornya meliputi logam unsur, garam anorganik dan logam kompleks, seperti, Ni, Co, HAuCl4, H2PtCl6, RhCl3, dan PdCI2. Reagen reduksi meliputi natrium sitrat, hidrogen peroksida, hidroksilamin hidroklorida, asam sitrat, karbon monoksida, fosfor, hidrogen, formaldehida, aqueous methanol, natrium karbonat, dan natrium hidroksida. Contoh stabilisator polimer adalah polyvinyl alcohol (PVA) dan sodium polyacrylate. Sebagai contoh, sintesis nanopartikel emas dilakukan dengan mereduksi natrium sitrat dari chlorauric acid pada suhu 100°C. Mula-mula, Asam chlorauric dilarutkan ke dalam air 20 ml dan diencerkan hingga konsentrasi ~2,5 X 10-4 M. Setelah itu, 1 mL O.5% natrium sitrat ditambahkan ke dalam larutan yang telah mendidih (100°C). Campuran tersebut disimpan pada suhu 100°C sampai berubah warna. Sol koloid yang dihasilkan memiliki stabilitas yang sangat baik dan ukuran partikel seragam berdiameter ~20 nm. Hal ini mengindikasikan bahwa sejumlah besar nuklei awal yang terbentuk pada tahap nukleasi akan menghasilkan jumlah yang lebih besar daripada nanopartikel dengan ukuran yang lebih kecil dan distribusi ukuran sempit. Hirai dkk melakukan eskperimen untuk membuat dispersi koloidal berupa rhodium dengan teknik refluksi. Rhodium klorida dan PVA dimasukkan ke dalam campuran metanol dan air pada suhu 79ºC. Perbandingan volume air dan metanol adalah 1:1. Proses refluksi dilakukan dalam gas argon atau udara untuk 0.2-16 jam. Metanol digunakan sebagai reagen pereduksi dengan persamaan sebagai RhCl3 +

3 2 CH3OH Rh +

3 2 HCHO +3HCl

(15) PVA digunakan untuk menstabilkan polimer. Nanopartikel Rh yang dihasilkan memiliki diameter 0,8-4 nm. Selain itu, peningkatan waktu refluks menghasilkan penurunan partikel kecil dan peningkatan partikel besar. 1.2.3.1. Pengaruh Pengurangan Reagen Tipe reagen pereduksi dalam sintesis nanopartikel logam mempengaruhi variasi ukuran dan distribusi ukuran koloid logam. Reagen pereduksi yang kuat akan menghasilkan reaksi reduksi yang cepat sehingga diperoleh laju reaksi yang cepat dan memicu pembentukan nanopartikel yang lebih kecil. Sedangkan reagen pereduksi yang lemah mengakibatkan rekasi reduksi lambat sehingga diperoleh laju reaksi yang lambat dan partikel yang dihasilkan relatif lebih besar. Jika tidak ada nukleasi lanjutan atau nukleasi sekunder, reaksi reduksi lambat akan mengakibatkan pertumbuhan difusi yang terbatas karena pertumbuhan nuklei akan

dikendalikan oleh ketersediaan atom valensi nol. Pengaruh berbagai reagen pereduksi terhadap ukuran dan distribusi ukuran nanopartikel emas telah dijelaskan dalam Tabel 1 Tabel 1. Pengaruh berbagai reagen pereduksi terhadap ukuran dan distribusi ukuran nanopartikel emas.

Variasi ukuran nanopartikel dapat diperoleh dengan penggunaan reagen pereduksi yang sama, dan juga reagen pereduksi memiliki pengaruh pada morfologi partikel koloid emas. Partikel koloid emas dengan bentuk bulat diperoleh dengan menggunakan natrium sitrat atau hidrogen peroksida sebagai reagen pereduksi. Bentuk yang berbeda diperoleh saat reagen pereduksi yang digunakan adalah dehydroxylamine hidroklorida (kubus dengan {100}) dan asam sitrat (trigons atau trombosit sangat tipis simetri trigonal dengan {111)). 1.2.3.2. Pengaruh Faktor yang lain Laju reaksi reduksi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Misalnya, di dalam sintesis nanopartikel Pt dengan menggunakan aqueous metanol reduksi berupa H2PtC16, Duff menemukan bahwa ion klorida berkonsentrasi tinggi di dalam campuran reaksi memicu monodispersitas dan bentuk partikel koloid logam yang hampir sferis atau bola. Ada dua langkah reduksi sebagai berikut PtCl62- + CH3OH PtCl42- + HCHO + 2H+ + 2C1-

(16)

PtCl42- + CH3OH  Pt + HCHO + 2H+ + 4Cl-

(17)

Laju reaksi akan lambat jika terjadi peningkatan konsentrasi klorida, akibatnya suplai spesies penumbuhan, yaitu atom Pt bervalensi-nol, akan menjadi lambat dan memicu penumbuhan yang terbatas oleh difusi dari pada nuklei Pt awal. Selain itu, peningkatan jumlah polimer dalam campuran reaksi dapat meningkatkan sferisitas partikel-partikel yang terbentuk. Hal ini dapat dengan mudah dipahami dengan asumsi bahwa peningkatan jumlah polimer dapat menghasilkan resistensi sterik untuk difusi dan menghasilkan pertumbuhan yang terkontrol oleh difusi yang menghasilkan nanopartikel sferis. 1.2.3.3. Pengaruh stabilisator polimer Henglein telah mempelajari pengaruh stabilisator polimer terhadap formasi dispersi koloid perak. Stabilisator polimer yang diplajari adalah polyethyleneimine, natrium

polifosfat, sodium polyacrylate dan poli(vinylpyrrolidone). Meskipun stabilisator polimer diinduksi untuk membentuk monolayer pada permukaan nanopartikel untuk mencegah aglomerasi nanopartikel, kehadiran stabilisator polimer memiliki berbagai pengaruh pada proses pertumbuhan nanopartikel. Interaksi antara permukaan partikel padatan dan stabilisator polimer padat dapat bervariasi tergantung pada sifat kimia dari permukaan padatan, polimer, pelarut, dan suhu secara signifikan. Adsorpsi yang kuat oleh stabilizer polimer akan memenuhi lokasi pertumbuhan dan mengurangi laju pertumbuhan nanopartikel. Stabilisator polimer juga dapat berinteraksi dengan zat terlarut, katalis, atau pelarut. Misalnya, PVP adalah asam lemah yang mampu menggabungkan ion-ion hidroksil. Akibatnya, jumlah PVP yang efektif sebagai stabilisator akan lebih kecil daripada yang ditambahkan. Stabilisator polimer juga memiliki efek katalitik pada reaksi reduksi. Tingkat pH larutan akan meningkat dengan meningkatnya konsentrasi PVP. Pengaruh stabilizer polimer (juga disebut sebagai material capping), sodium polyacrylate terhadap bentuk nanopartikel koloid Pt menghasilkan bentuk yang berbeda, dengan partikel kubik berkaitan dengan rasio 1: 1 dan tetrahedral berkaitan dengan rasio 5: 1. Rasio konsentrasi material capping yang berbeda mempengaruhi laju pertumbuhan nanopartikel bidang {111} dan {100} [1]. 1.2.4. Sintesis Nanopartikel Semikonduktor Sintesis nanopartikel semikonduktor terdiri dari dua metode, yaitu sintesis nanopartikel oksida dan non-oksida. Nanopartikel semikonduktor non-oksida disintesis secara pirolisis (yaitu adanya pemecahan struktur kimia pada bahan) dengan menggunakan prekursor organometalik yang dilarutkan pada pelarut anhydrat dengan suhu yang terus meningkat. Pada bahan reaksi akan ada keterlibatan capping material, dimana capping material dapat terhubung dengan nanokristal karena adanya ikatan kovalen atau adanya jenis ikatan lainnya seperti ikatan datif. Nanopartikel semikonduktor non-oksida (dalam keadaan monodispersed) diperoleh dengan melakukan tiga pendekatan : 1. Penginjeksian secara cepat pada reagent (bahan reaksi) agar terjadi kejenuhan mendadak sehingga didapatkan nukleasi. 2. Pematangan Ostwald, adanya pengorbanan partikel kecil untuk meningkatkan pertumbuhan partikel besar agar diperoleh batas distribusi ukuran yang diharapkan, dapat dijelaskan melalui gambar 4. Selama proses ini suhu terus ditingkatkan guna memperoleh perkembangan ukuran partikel tersebut.

Gambar 4. Model Pematangan Ostwald [10]. 3. Peningkatan keseragaman ukuran partikel dengan cara pemilihan ukuran partikel endapan secara selektif. Sebagai contoh, Sintesis nanokristal semikonductor CdE(E=S, Se, Te) dilakukan dengan dimethylcadmium (Me2Cd) sebagai sumber Cd. Bis(trimethylsilyl), sulfide ((TMS)2S), trioctylphosphine selenide (TOPSe), dantrioctylphosphine telluride (TOPTe) digunakan sebagai Se. Pencampuran larutan tri-n-octylphosphine (TOP) and tri-noctylphosphine oxide (TOPO) berfungsi sebagai material pelarut dan material penyumbat(capping material). Prosedur penyiapan penyumbat TOP/TOPO pada nanokristal CdSe yaitu, 50 gram TOPO dikeringkan dan degassed di bejana reaksi pada temperature 200 0 C at ~ 1 torr for ~20min, sambil dilakukannya pembilasan argon secara periodik,suhu ditingkatkan menjadi 3000 C karena suhu ini merupakan temperature stabil pada argon. Selanjutnya, 1 mL Me 2Cd di tambahkan pada 25 mL TOP pada dry box dan 10 mL dari 1 M larutan TOPSe ditambahkan pada 15 mL TOP. Dua larutan tersebut kemudian diinjeksikan ke dalam syringe di dry box. Kemudian panas akan dikeluarkan dari bejana reaksi. Penginjeksian bahan kimia dilakukan dengan cepat melalui sumbat karet pada bagian labu. Derasnya proses pencampuran menghasilkan larutan orange dengan kemampuan absorpsi mencapai 440-460 nm. Proses ini juga diikuti oleh penurunan secara temperature hingga 180 0 C.Penamanasan dilakukan kembali pada suhu 2300 C-2600 C secara berangsur-angsur. Sehingga didapatlah deretan ukuran partikel dengan rentang 1.5 nm hingga 11.5 nm. Setelah diperoleh dispersi koloid, berikut langkah-langkah pengerjaan selanjutnya : 1. Pemurnian dispersi koloid dengan cara didinginkan hingga 60 0 C, sedikit di atas titik leleh TOPO 2. Melakukan penambahan anhydrous methanol, yang mana menghasilkan fokulasi reversible pada larutan. Flokulasi merupakan peristiwa menggumpalnya partikel-partikel yang dikarenakan tidak stabilnya suatu emulsi. Flokulasi terjadi karena adanya gaya tolakmenolak sehingga partikel terdispersi akan menggumpal dengan partikel terdispersi lainnya. Flokulasi bersifat reversible dan dapat diatasi dengan pengadukan. 3. Melakukan pemisahan larutan dengan sentrifugasi, hasil dari sentrifugasi antara lain hasil fokulasi yang sudah terpisah dengan supernatant. Supernatant adalah substansi hasil sentrifugasi yang berbobot ringan dan berwarna lebih jernih. 4. Melakukan kembali sentrifugasi dengan mencampurkan 25 mL dari anhydrous 1-butanol pada hasil fokulasi untuk diperolehnya larutan optic yang lebih jernih. Hasil dari sentrifugasi kedua ini diperoleh endapan abu-abu yang mengandung produk sampingan, sebagian besar terdiri dari unsur Cd dan Se. TOP dan TOPO terbuang dengan adanya penambahan dari 25 mL metanol anhidrat tadi. 5. Penambahan bilasan akhir dari flocculate sebanyak 50 mL metanol dan pengeringan pada bejana reaksi menghasilkan CdSe nanocrystallite tanpa TOP / TOPO (jumlah 300mg TOP / TOPO yang tersingkir ).

Selanjutnya nanokristal yang murni tersebar di anhydrat 1-butanol membentuk larutan optik yang jernih. Methanol anhidrat kemudian ditambahkan. Pemisahan supernatan dan flocculate dengan sentrifugasi menghasilkan endapan yang mengandung banyak kristalit terbesar. Proses disperse dengan methanol dan pemilihan ukuran endapan terus diulang hingga diperoleh spectrum absorsi yang diinginkan. Pencampuran larutan phosphine and phosphine oxide dapat berfungsi sebagai pelarut yang baik pada keadaan peningkatan suhu yang tinggi dan pendinginan dari kristal CdSe, serta sebagai pengendali proses perkembangan dispersi koloid, dan menstabilkan hasil dispersi koloid . 1.2.5. Sintesis Nanopartikel Oksida Reaksi dan pertumbuhan dalam pembentukan nanopartikel oksida lebih sulit untuk dimanipulasi, karena oksida umumnya lebih stabil secara termal dan kimia daripada kebanyakan semikonduktor dan logam. Misalnya, pematangan Ostwald yang diterapkan dalam sintesis nanopartikel oksida untuk mengurangi distribusi ukuran, hasilnya kurang efektif dibandingkan bahan lainnya. Yang paling bagus dan banyak dipelajari dari berbagai contoh oksida koloid adalah silika koloid. Umumnya partikel oksida dalam dispersi koloid disintesis oleh pengolahan sol-gel[1]. 1.2.5.1. Pengantar pengolahan sol-gel Pengolahan sol-gel adalah rute kimia basah untuk sintesis koloid dispersi dari bahan hibrida anorganik dan organik-anorganik, terutama oksida dan hibrida berbasis oksida [1]. Dari dispersi koloid tersebut, bubuk, serat, film tipis dan monolit dapat segera dibuat, seperti yang terlihat pada gambar 5. Pada pengolahan sol-gel terjadi perubahan fasa dari suspensi koloid (sol) membentuk fasa cair kontinyu (gel)[2]. Pengolahan sol-gel menawarkan banyak keuntungan, termasuk suhu pengolahan yang rendah dan tingkat homogenitas molekul yang tinggi. Pengolahan sol-gel sangat berguna dalam membuat oksida logam kompleks, material organik-anorganik hybrid yang memiliki suhu sensitif dan material termodinamika yang tidak menguntungkan atau metastabil. Reaksi kimia dalam pengolahan sol-gel dapat dibagi atas reaksi hidrolisis dan kondensasi senyawa anorganik. Pengolahan sol-gel mempunyai dua metode yang dikenal dengan metode alkoksida dan metode koloid. Metode alkoksida yaitu proses sol-gel dengan menggunakan logam alkoksida sebagai prekursor. Sedangkan metode koloid yaitu proses sol-gel dengan menggunakan selain alkoksida sebagai prekursor seperti nitrat, karboksilat, asetil asetonat, dan klorida. Biasanya logam alkoksida (M(OR)z) dengan M sebagai logam seperti Si, Sn, Ti, Zr, Al, sementara OR merupakan kumpulan alkoksida OCnH2n+1 yang mengalami reaksi hidrolisis dan kondesasi [3]. Logam alkoksida banyak digunakan sebagai prekursor karena sifatnya yang mudah bereaksi dengan air[2].

Gambar 5. Skema Umum Pengolahan Sol-Gel.[11] Tahapan Pengolahan Sol-Gel Pengolahan sol-gel meliputi proses hidrolisis, kondensasi, pematangan (aging) dan pengeringan (drying)[2]. Proses tersebut akan dibahas satu persatu. A. Hidrolisis Pada tahap pertama, logam prekusor (alkoksida) dilarutkan dalam alkohol dan terhidrolisis dengan penambahan air pada kondisi asam, netral atau basa menghasilkan sol koloid. Hidrolisis menggantikan ligan (-OR) dengan gugus hidroksil (-OH) dengan reaksi berikut : M (OR ) z  xH 2 O  M (OR ) z  x (OH )  xROH (18) Faktor yang berpengaruh terhadap proses hidrolisis adalah rasio air/prekursor dan jenis katalis hidrolisis yang digunakan. Peningkatan rasio pelarut/prekusor akan meningkatkan reaksi hidrolisis yang mengakibatkan reaksi berlangsung cepat sehingga waktu gelasi lebih cepat. Katalis yang digunakan pada proses hidrolisis adalah jenis katalis asam atau katalis basa, namun proses hidrolisis juga dapat berlangsung tanpa menggunakan katalis. Dengan adanya katalis maka proses hidrolisis akan berlangsung lebih cepat dan konversi menjadi lebih tinggi.

Gambar 6. Reaksi hidrolisis

Pada reaksi hidrolisis terjadi penempelan ion hidroksil pada atom logam dengan pemutusan pada salah satu ikatan logam alkoksida atau garam anorganik. Kemudian molekul yang telah terhidrolisis dapat bergabung membentuk hasil reaksi kondensasi, dimana dua logam digabungkan melalui rantai oksigen. Polimer-polimer besar terbentuk saat reaksi hidrolisis dan kondensasi berlanjut, yang akhirnya menghubungkan polimer-polimer tersebut ke dalam bentuk gel. B. Kondensasi Setelah mengalami reaksi hidrolisis, maka reaksi kondensasi akan berlangsung. Pada tahapan ini terjadi proses transisi dari sol menjadi gel. Reaksi kondensasi melibatkan ligan hidroksil untuk menghasilkan polimer dengan ikatan M-O-M. Pada berbagai kasus, reaksi ini juga menghasilkan produk samping berupa air atau alkohol dengan persamaan reaksi secara umum adalah sebagai berikut: M-OH + HO-M M-OR + HO-M (20)

M-O-M + H2O(kondensasi air) M-O-M + R-OH (kondensasi

(19) alkohol)

Gambar 7. Reaksi Kondensasi C. Pematangan (Aging) Setelah reaksi hidrolisis dan kondensasi, dilanjutkan dengan proses pematangan gel yang terbentuk. Proses ini lebih dikenal dengan proses aging. Pada proses pematangan ini, terjadi reaksi pembentukan jaringan gel yang lebih kaku, kuat, dan menyusut didalam larutan[3]. D. Pengeringan (Drying) Tahapan terakhir adalah proses penguapan larutan dan cairan yang tidak diinginkan untuk mendapatkan struktur sol-gel yang memiliki luas permukaan yang tinggi [3], sebagimana diilustrasikan sesuai gambar 8.

Gambar 8. Proses Pengeringan Jaringan Hasil Pengolahan Sol-Gel.[4]

1.2.5.2 Hidrolisis Terpaksa Metode paling sederhana untuk generasi koloid oksida logam berukuran seragam didasarkan pada hidrolisis terpaksa larutan logam salt. Untuk menghasilkan logam seperti koloid oksida, hanya perlu satu yaitu lama larutan logam terhidrolisis pada suhu yang ditinggikan. Hal itu menjadi jelas bahwa reaksi hidrolisis harus dilanjutkan dengan cepat dan menghasilkan kejenuhan secara mendadak untuk memastikan ledakan nukleasi, mengakibatkan pembentukan sejumlah besar inti kecil, akhirnya mengarah pada pembentukan partikel kecil. Prinsip ini ditunjukkan dalam pekerjaan perintis pada pembentukan bola silika oleh Stober dan co-worke [1]. Dalam pembuatan bola silika yang sederhana, berbagai alkoksida silikon dengan ukuran ligan alkil yang berbeda digunakan sebagai prekursor, amonia digunakan sebagai katalis, dan berbagai alkohol digunakan sebagai pelarut. Mula-mula, Pelarut alkohol, amonia, dan air dengan jumlah yang diinginkan dicampur, kemudian prekursor silikon alkoksida ditambahkan dengan pengadukan kuat. Pembentukan koloid atau perubahan penampilan optik larutan menjadi terlihat hanya dalam beberapa menit setelah penambahan prekursor. Partikel silika bulat dengan ukuran rata-rata mulai dari 50 nm sampai 2 µm diperoleh bergantung pada prekursor, pelarut dan jumlah air serta amonia yang digunakan. Gambar 9. menunjukkan contoh pertama dari bola silika yang dibuat.

Gambar 9. mikrograf SEM bola silika yang dibuat dalam sistem ester etanol-etil. Ditemukan bahwa laju reaksi dan ukuran partikel sangat tergantung pada pelarut, prekursor, jumlah air dan amonia. Untuk pelarut alkohol yang berbeda, tingkat reaksi yang tercepat dengan metanol, paling lambat dengan n-butanol. Demikian juga, ukuran partikel akhir yang diperoleh dalam kondisi berimbang yang terkecil dalam metanol dan terbesar di nbutanol. Namun, ada kecenderungan ke arah distribusi ukuran lebar dengan alkohol yang lebih tinggi. Hubungan yang serupa berkaitan dengan laju reaksi dan ukuran partikel yang ditemukan ketika membandingkan hasil dengan ligan yang berbeda ukuran dalam prekursor. Ligan kecil mengakibatkan laju reaksi yang lebih cepat dan ukuran partikel yang lebih kecil, sedangkan ligan lebih besar menyebabkan laju reaksi lebih lambat dan ukuran partikel besar. Amonia sangat penting ditemukan untuk pembentukan partikel silika bulat, karena reaksi kondensasi di bawah kondisi dasar menghasilkan struktur tiga dimensi bukan rantai polimer linear yang terjadi di bawah kondisi asam.

Baik reaksi hidrolisis dan kondensasi, sangat tergantung pada suhu reaksi. Ditinggikan suhu akan menghasilkan peningkatan drastis laju reaksi. Pembuatan nanopartikel koloid bola α-Fe2O3 berukuran 100 nm dapat digunakan sebagai contoh lain untuk menggambarkan prosedur khas hidrolisis terpaksa. Larutan pertama FeCl3 dicampur dengan HCl, dan diencerkan, kemudian campuran ini ditambahkan ke dalam H 20 bersuhu 95-99 °C dengan konstan pengadukan. Larutan tersebut disimpan dalam botol bersegel yang dipanaskan sebelumnya pada suhu 100 °C selama 24 jam sebelum akhirnya didinginkan ke dalam air dingin. Suhu tinggi cenderung menggunakan reaksi hidrolisis cepat dan hasilnya dalam kejenuhan yang tinggi, yang pada gilirannya menyebabkan pembentukan sejumlah besar inti kecil. Pengenceran sebelum pemanasan pada temperatur tinggi sangat penting untuk memastikan terkontrolmya nukleasi dan pertumbuhan selanjutnya difusi yang terbatas. 1.2.5.3 Pelepasan Terkontrol Ion Pelepasan terkontrol komponen anion dan/atau kation memiliki pengaruh signifikan pada kinetika reaksi pembentukan inti dan pertumbuhan selanjutnya oksida nanopartikel, dicapai dengan pelepasan spontan anion dari molekul organik. Sebagai contoh, diketahui bahwa larutan urea, CO (NH2)2, ketika dipanaskan membebaskan ion hidroksida, yang dapat menyebabkan pengendapan oksida logam (hidroksida). Misalnya, dekomposisi urea digunakan untuk mengontrol proses pembentukan inti dalam sintesis Y203: nanopartikel Eu. Yttrium & europium klorida dilarutkan dalam air dan pH diatur -1 dengan asam hidroklorida atau kalium hidroksida. Kelebihan urea, biasanya 15x, dilarutkan ke dalam larutan. Larutan ini selanjutnya dinaikkan suhunya menjadi > 80 °C selama 2 jam. Urea membusuk secara perlahan dan ada ledakan pembentukan inti ketika nilai pH ~ 4-5 telah tercapai [1]. Pembuatan nanopartikel ZnO kristal adalah contoh lain dari pelepasan terkontrol anion. Zink asetat pertama dilarutkan dalam metanol untuk membentuk larutan Zink prekursor alkoksida dan kemudian zink prekursor alkoksida dihidrolisis dan dipadatkan untuk membentuk zink oksida koloid dengan lithium hidroksida sebagai katalis bersama sonikasi pada 0°C atau suhu kamar. Sonikasi mempercepat pelepasan kelompok OH -, sehingga reaksi langsung membentuk sol ZnO yang stabil. semua penggunaan NaOH, KOH atau Mg(OH) 2 menghasilkan endapan keruh. Nanopartikel ZnO berdiameter -3,5 nm dalam sols segar dan -5,5 nm selama 5 hari. Aging dari alkohol koloid ZnO dikenal untuk menghasilkan partikel yang lebih besar. Kelompok asetat diyakini dapat menempel pada permukaan ZnO koloid dan dengan demikian menstabilkan dispersi koloid. 1.2.6 Reaksi dalam Fasa Gas Nanopartikel juga dapat disintesis dalam medium gas dengan mekanisme yang sama seperti pada sintesis nanopartikel dalam medium cair. Secara umum, reaksi dan sintesis dilakukan pada suhu tinggi di dalam vakum. Nanopartikel yang terbentuk biasanya dikumpulkan pada suatu substrat yang ditempatkan dibawahnya pada suhu yang relatif rendah. Akan tetapi, hanya sebagian kecil dari nanopartikel yang terbentuk dapat menempel pada permukaan substrat. Selain itu, nanopartikel yang menempel pada permukaan substrat mungkin tidak mewakili distribusi dari ukuran partikel yang sebenarnya. Sangat sulit untuk mengetahui mekanisme yang stabil saat proses sintesis untuk dapat mencegah pembentukan

gumpalan. Sebagai contoh, nanopartikel perak disintesis teknik agregasi gas yang menghasilkan nanopartikel dengan ukuran diameter 2-3 nm [1]. Nanopartikel dibentuk melalui nukleasi homogen dan kemudian diendapkan pada substrat, dapat bermigrasi dan menggumpal. Dua jenis gumpalan ditemukan, salah satunya adalah partikel berukuran besar seperti bola dan yang lainnya berbentuk partikel seperti jarum. Selain pembuatan nanopartikel perak, nanopartikel GaAs juga dapat disintesis dengan nukleasi homogen dalam gas dari prekursor organologam. Trimetil gallium dan AsH3 digunakan sebagai prekursor dan hidrogen digunakan sebagai gas pembawa dan pereaksi. Proses reaksi dan nukleasi terjadi pada suhu 700 °C pada tekanan atmosfer. Nanopartikel GaAs dikumpulkan pada film karbon berpori pada suhu 350 °C. Komposisi dari nanopartikel yang terbentuk terdiri dari kristal tunggal GaAs dengan diameter mulai dari 10 sampai 20 nm. Peningkatan reaksi, suhu nukleasi dan konsentrasi prekursor dapat menyebabkan peningkatan ukuran partikel. Namun pengaruh perubahan suhu dan konsentrasi prekursor terhadap morfologi nanopartikel dapat diabaikan [1]. 1.2.7 Pemisahan pada Fasa Padat Nanopartikel logam dan semikonduktor dalam matriks gelas umumnya dibentuk dengan nukleasi homogen dalam keadaan padat. Dalam pembuatan nanopartikel logam dan semikonduktor, langkah awal dimulai dengan mendistribusikan prekursor logam atau semikonduktor dalam lelehan gelas bersuhu tinggi, selanjutnya didinginkan sampai mencapai suhu kamar. Untuk waktu tertentu kaca tersebut mengalami anil dan selama proses anil tersebut, prekursor logam atau semikonduktor diubah menjadi logam dan semikonduktor. Akibatnya, logam atau semikonduktor jenuh membentuk nanopartikel melalui proses nukleasi dan difusi padat. Setelah dipanaskan kembali, ion logam direduksi menjadi atom logam dengan agen pereduksi tertentu seperti antimon oksida [1]. Selain itu, nanopartikel logam juga dapat dinukleasi oleh ultraviolet, sinar-X, atau radiasi sinar-y jika terdapat ion yang sensitif terhadap radiasi seperti cerium. Pembentukan inti berlangsung dengan difusi padat, dimana inti ini akan tumbuh membentuk nanopartikel dengan berbagai ukuran. Proses difusi padat relatif lambat, oleh karena itu akan lebih mudah untuk mengendalikan pembentukan partikel monosized. Contoh nanopartikel yang dapat dibentuk dengan pendekatan tersebut yaitu nanopartikel emas, perak, dan tembaga [1]. Pengolahan sol-gel juga berperan dalam sintesis nanopartikel yang terdistribusi dalam matriks gelas . Terdapat dua pendekatan yaitu: (i) mencampur dispersi koloid presintesis dengan matriks sol sebelum terjadi gelasi, dan (ii) membuat sol homogen yang mengandung ion yang diinginkan untuk pembentukan nanopartikel kemudian di annealing pada suhu yang tinggi [1]. Sebagai contoh gelas silika didoping dengan CdxZnl-xS dibuat oleh hidrolisis dan polimerisasi tetraethoxylsilane, Si (OC2H5 )4, TEOS, kadmium asetat, Cd(CH3COO)2.2H2O, seng asetat, Zn(CH3COO)2.2H20 di dalam dimetilsulfoksida (DMSO), yang berfungsi baik sebagai prekursor pelarut dan sulfur. Pertama kadmium dan seng prekursor yang dilarutkan dalam DMSO. Ketika larutan homogen tercapai, TEOS dan air kemudian ditambahkan.

campuran direfluks pada suhu 80°C selama 2 hari. Mula-mula gel kering dipanaskan pada suhu 350°C di udara untuk menghilangkan sisa , kemudian dipanaskan lagi pada suhu 500°C dan 700°C dalam nitrogen selama 30 menit untuk masing-masing suhu. Gel sebelum dipanaskan pada temperatur tinggi tidak berwarna dan transparan, hal ini menunjukkan fase homogen gelas dengan adanya nanopartikel CdxZnl-xS. Gelas menjadi kuning, ketika dipanaskan pada 500°C dalam nitrogen, hal ini menunjukkan pembentukan nanopartikel CdxZnl-xS. Nanopartikel logam dalam matriks polimer dapat disintesis melalui pengurangan ion logam dengan menumbuhkan radikal rantai polimer. Contohnya yaitu pada sintesis nanopartikel Ag dalam poli(methylmethacry1ate) (PMMA). Cara sintesis nanopartikel Ag yaitu perak trifluoroacetate (AgCF3C02, AgTfa) dan inisiator polimerisasi radikal baik 2,2' azobisisobuyronitrile (AIBN) maupun benzoil peroksida (BPO), dilarutkan ke dalam metilmetakrilat (MMA). Larutan yang diperoleh kemudian dipanaskan pada suhu 60 °C selama 20 jam untuk polimerisasi MMA; sampel Ag-PMMA yang dihasilkan kemudian dipanaskan pada suhu 120 °C (suhu ini merupakan sedikit di atas suhu transisi gelas PMMA) selama 20 jam. Dalam proses tersebut, ion logam dipotong menjadi atom logam dan kemudian membentuk nanopartikel logam [1]. Pembuatan nanopartikel logam juga dapat dibuat melalui pengendapan atau kristalisasi dengan aniling campuran logam amorf pada suhu tinggi. Sebagai contoh, superparamagnetik nanokristalin seperti Fe63,5Cr10Si13,5B9Cu1Nb3 dalam bentuk pita dengan lebar 10 mm dan tebal 25 µm tebal dibuat dengan teknik melt spinning, selanjutnya dilakukan anil pada suhu yang tinggi dalam argon. Ukuran rata-rata grain yang terbentuk berkisar dari 5 nm hingga 10 nm [1]. 1.3. Nanopartikel Melalui Nukleasi Heterogen 1.3.1. Dasar dari Nukleasi Heterogen Nukleasi heterogen merupakan proses nukelasi pada permukaan material lain. Pada proses nukleasi ini, fasa baru yang akan terbentuk mengalami bantuan dari permukaan (substrat). Jadi, substrat memfasilitasi proses terjadinya nukleasi, dimana nantinya nukleasi ini akan bergantung pada sudut kontak. Karena proses nukleasi ini melibatkan bantuan dari permukaan, maka dapat dikatakan termasuk reaksi tidak spontan. Dengan asumsi pertumbuhan spesies dalam fasa uap menimpa pada permukaan substrat, spesies pertumbuhan ini menyebar dan agregat untuk membentuk inti dengan bentuk cap seperti yang diilustrasikan pada Gambar 10. Mirip dengan nukleasi homogen, ada penurunan energi bebas Gibbs dan peningkatan energi permukaan atau antarmuka. Perubahan total dari energi kimia, ∆G, terkait dengan pembentukan inti ini diberikan oleh: G = a 3 r 3  v + a 1 r 2  vf + a 2 r 2  fs  a 2 r 2  sv

(21)

Dengan r adalah dimensi rata-rata dari inti,

∆ μ v adalah perubahan energi bebas Gibbs per

 vf  fs  sv satuan volum. , dan masing-masing merupakan energi permukaan dari inti-uap, substrat-inti, dan uap-substrat.

Gambar 10. Skema ilustrasi proses nukleasi heterogen dengan energi permukaan dalam kesetimbangan [1]. Pada nukleasi heterogen, melibatkan studi geometri yang kompleks. Hal ini diakibatkan karena nuklei yang terbentuk tidaklah sepenuhnya berbentuk volume bola utuh. Ukuran volume bola nuklei yang terbentuk bergantung pada sudut kontak dan wetting antara nukleus dengan substrat. Akibat ketidakutuhan ukuran nukleus yang terbentuk, maka dalam perumusan volume bola, kita tidak dapat memakai besarnya nilai a 1, a2 dan a3 bergantung pada sudut kontak yang terbentuk antara dua permukaan yang terlibat dalam interaksi antar muka. Untuk besaran konstanta geometri diberikan dalam persamaan:

a1  2 (1  cos  )

(22)

a2   sin 2 

(23)

a3  3 (2  3 cos   cos 2  )

Dimana

θ

(24)

merupakan sudut kontak, yang bergantung pada sifat-sifat permukaan dan

didefinisikan oleh persamaan Young :

 sv   fs   vf cos 

(25)

Sama dengan nukleasi homogen, pembentukan fasa baru menyebabkan berkurangnya energi bebas Gibbs, tetapi total energi permukaan meningkat. Inti baru tersebut stabil hanya ketika ¿ ukurannya lebih besar daripada ukuran kritisnya, r : r ¿=

−2 ( a1 γ vf + a2 γ fs −a2 γ sv ) 3 a3 ∆ G v

(26)

¿ Dan hambatan energi kritis, ∆ G , dinyatakan sebagai berikut : 3

¿

∆G =

4 ( a1 γ vf +a2 γ fs −a 2 γ sv )

(27)

27 a32 ∆ G v

Dengan mensubstitusi semua konstanta geometrik tersebut, diperoleh : r¿=

¿

{

2 π γ vf sin 2 θ ∙ cos θ+ 2cos θ−2 ∆ Gv 2−3 cos θ+ cos3 θ

∆G =

{

16 π γ vf 3 ( ∆G v )

2

}{

3

2−3 cos θ+cos θ 4

}

(28)

}

(29)

Pada suku kedua persamaan ΔG* merupakan wetting factor. Wetting factor merupakan suatu ukuran kemampuan suatu cairan (untuk kasus lebih umum, antar muka tertentu) untuk tetap berkontak dengan permukaan. Misalnya apabila sudut kontak 180°, maka interasi solid-liquid sangatlah lemah, sedangkan interaksi solid-solid sangatlah kuat, sehingga fasa yang baru tidak membasahi substrat serta hambatan energi kritis sama dengan nukleasi homogen. Jika sudut kontak kurang dari 180°, hambatan energi untuk nukleasi heterogen selalu lebih kecil dari nukleasi homogen, yang mengartikan bahwa nukleasi heterogen lebih mudah terjadi dibanding nukleasi homogen pada banyak kasus. Ketika sudut kontak 0°, faktor kebasahan menjadi nol dan tidak ada energi penghalang untuk pembentukan fasa baru. Sebagai contoh, sudut kontak sama dengan 0° adalah endapannya merupakan material yang sama dengan substrat yang digunakan sebagai media penumbuhan. Untuk mensintesis partikel-partikel nano atau dot kuantum (quantum dot) pada substrat, diperlukan θ>0 dan persamaan Young menjadi : γ sv < γ fs + γ vf

(30)

1.3.2. Sintesis Nanopartikel Berbagai metode telah dilakukan untuk menghasilkan defek permukaan yang homogen untuk menjadi titik-titik pusat nukleasi, diantaranya yaitu oksidasi termal, sputtering dan oksidasi termal, dan plasma Ar dan oksidasi termal ulterior. Logam yang diuapkan seperti perak dan emas cenderung membentuk partikel-partikel kecil pada substrat HOPG (highly oriented pyrolitic graphite). Defek permukaan berhubungan erat dengan terbentuknya nanopartikel dari logam tersebut. Ketika defek permukaan muncul di bagian tepi substrat, maka nanopartikel akan tumbuh di bagian tepi substrat tersebut. Sebagai contoh, atom-atom logam pada substrat akan berdifusi dan membentuk partikel-partikel yang terkonsentrasi hanya pada bagian tepi, karena bagian tepi pada suatu permukaan lebih dianggap sebagai lokasi proses nukleasi yang didasarkan pada keadaan energi tingginya.

Tetapi, untuk defek lainnnya seperti adanya lubang, nanopartikel terdistribusi secara menyeluruh pada permukaan substrat seperti tampak pada Gambar 11.

Gambar 11. Gambar hasil SFM (Scanning Force Microscopy) dari nanopartikel perak pada substrat grafit HOPG-298: (a) penumbuhan terjadi hanya pada defek tepian dari substrat asli dan (b) penumbuhan terjadi dimanapun defek permukaan muncul. Sintesis nanopartikel nikel dengan kisaran diameter 20 hingga 600 nm dengan distribusi ukuran yang kecil pada substrat HOPG menggunakan deposisi elektrokimia hidrogen ko-evolusi. Bahan-bahan kimia yang digunakan pada sintesis ini adalah Ni(NO3)2.6H2O, NH4Cl, NaCl, dan NH4OH serta larutan dijaga pada pH 8.3 selama proses sintesis. Selain itu, nanopartikel lainnya yang berhasil disintesis adalah nanopartikel GaAs yang berukuran 2,5-60 nm. Nanopartikel ini berhasil dibuat oleh C.J. Sandroff, dkk (1989) dengan menggunakan metode molecular beam epitaxy (MBE). Dalam sintesis nanopartikel ini diberi perlakuan panas pada temperature 580° C agar menghasilkan kualitas yang baik. Nanopartikel GaAs yang berukuran lebih besar dari 3.5 nm memliki sifat kristalin yang baik dengan konstanta kisi yang sama dengan material bulk-nya. Nanopartikel GaAs dibuat dengan dilapisi oksida-oksida asli seperti Ga2O3 dengan tebal 1 nm dan As2O3 dengan ketebalan 1.5 nm. 1.4. BATASAN KINETIK SINTESIS NANOPARTIKEL Pertumbuhan kinetik yang terkontrol adalah untuk membatasi ruang pertumbuhan, sehingga pertumbuhan berhenti ketika sejumlah bahan yang terbatas telah habis atau ruang yang tersedia terisi penuh. Banyak ruang kurungan telah dibentuk untuk sintesis nanopartikel. Secara umum, ruang kurungan dapat dibagi menjadi beberapa kelompok: (i) tetesan cairan dalam fase gas termasuk sintesis aerosol dan spray pirolisis, (ii) tetesan cairan dalam cairan, seperti misel dan sintesis mikroemulsi, (iii) sintesis berbasis template, dan (iv) sintesis dengan penghentian sendiri. Semua metode ini akan dibahas secara singkat dalam bagian ini [1]. 1.4.1 Sintesis dalam Misel atau Menggunakan Mikroemulsi Sintesis nanopartikel dapat dicapai dengan membatasi reaksi dalam ruang terbatas, sebagai contoh yaitu sintesis nanopartikel dalam misel atau mikroemulsi[1]. Diawal tahun 1943, Hoar dan Schulman melaporkan bahwa kombinasi dari air, minyak, surfaktan, dan alkohol atau

amina yang merupakan kosurfaktan menghasilkan larutan yang jernih dan homogen, yang dinamakan dengan mikroemulsi [5]. Dalam sintesis misel, Reaksi lanjutan antara reaktan tersedia hanya dalam misel dan partikel berhenti tumbuh ketika reaktan telah habis [1]. Ketika surfaktan (yang memiliki gugus kepala yang bersifat hidrofilik dan gugus ekor yang bersifat hidrofobik) dilarutkan dalam suatu pelarut, maka energi permukaan larutan tersebut akan berkurang sejalan dengan meningkatnya konsentrasi surfaktan yang diberikan. Pengurangan energi permukaan tersebut akan berhenti ketika konsentrasi kritis / Critical Micellar Concentration (CMC) dari surfaktan tercapai, dan energi permukaan akan cenderung konstan dengan penambahan konsentrasi surfaktan. Ketika konsentrasi kritis telah tercapai, maka surfaktan-surfaktan akan membentuk kumpulan surfaktan yang disebut misel [6]. Sebagai contoh, jika surfaktan ditambahkan kedalam campuran air dan minyak (yang merupakan rantai panjang hidrokarbon), maka agregat-agregat sperik akan terbentuk, yang mana ujung polar dari surfaktan akan mengarah kedalam, dan ujung nonpolar akan mengarah keluar (Gambar 12) [5].

Gambaar 12. Model misel terbalik, yang mana gugus-gugus polar dari surfaktan akan mengarah kebagian dalam dan berinteraksi dengan air, sedangkan gugus nonpolar akan mengarah keluar dan berinteraksi dengan minyak [5]. Secara umum, mikroemulsi dapat dibedakan atas 2 tipe, yaitu: 1. Mikroemulsi langsung (minyak dalam air, o/w). 2. Mikroemulsi balik (air dalam minyak, w/o). Ketika dua fasa yang saling tidak bercampur ada dalam satu sistem, maka molekul-molekul surfaktan membentuk sebuah monolayer disepanjang antarmuka air dan minyak. Dimana ujung hidrofobik dari molekul surfaktan melarut dalam fasa minyak, dan ujung hidrofilik larut dalam fasa cairan. Dalam sistem biner (air/surfaktan atau minyak/surfaktan), penataan sendiri nanostruktur bisa terjadi, rangenya dari struktur sperik dan silinder menjadi lamelar [5]. 1.4.2 Sintesis Aerosol Aerosol adalah partikel kecil (solid atau liquid) yang tersuspensi di dalam gas [7]. Pembentukan nanopartikel dengan metode aerosol memiliki perbedaan dengan metode lain dalam beberapa aspek. Pertama metode aerosol dapat dianggap sebagai pendekatan top-down

dibandingkan dengan metode lain, yang memiliki pendekatan bottom-up. Kedua, nanopartikel bisa menjadi polikristalin, dibanding dengan kristal tunggal atau struktur amorf nanopartikel yang dibuat oleh metode lain. Ketiga, nanopartikel yang dibuat perlu dikumpulkan dan didispersikan kembali untuk banyak aplikasi. Dalam metode ini, mula-mula prekursor cair dibuat. Prekursor dapat menjadi larutan campuran sederhana dari elemen pembentuk yang diinginkan atau dispersi koloid. Prekursor cair tersebut kemudian mistified membuat aerosol cair, yaitu dispersi tetesan cairan homogen dalam gas, yang mungkin hanya memadat melalui penguapan pelarut atau lebih bereaksi dengan bahan kimia yang hadir dalam gas. Partikel yang dihasilkan bulat dan ukurannya ditentukan oleh ukuran tetesan cairan awal dan konsentrasi padat. Aerosol dapat relatif mudah diproduksi oleh sonikasi atau spining. Teknik aerosol juga telah digunakan dalam penyusunan koloid polimer. Bahan awal tetesan monomer organik yang baik dipolimerisasi dengan inisiator dalam bentuk gas, atau kopolimer dengan reaktan organik lain [1]. 1.4.3. Penghentian Pertumbuhan Dalam sintesis nanopartikel, ukuran dapat dikontrol dengan penghentian pertumbuhan. Pendekatan ini secara konseptual sangat sederhana. Ketika komponen organik atau ion asing yang melekat pada permukaan pertumbuhan sangat kuat sehingga semua situs pertumbuhan yang tersedia sudah terisi, maka proses pertumbuhan berhenti. Hal ini bisa terlihat pada gambar 13 [1].

Gambar 13. Penghentian pertumbuhan untuk sintesis nanopartikel. Ketika komponen organik menempati permukaan semua situs pertumbuhan, maka pertumbuhan nanopartikel berhenti. Ukuran akhir dari nanopartikel tumbuh dapat dikontrol oleh konsentrasi ligan organik yang diperkenalkan ke sistem [1]. 1.4.4. Spray Pyrolysis Spray pyrolisis pada dasarnya adalah proses larutan dan biasa digunakan dalam preparasi serbuk logam dan logam oksida. Proses ini secara sederhana dideskripsikan sebagai pengubah ukuran mikro larutan droplets presekursor atau presekursor campuran menjadi partikel padatan melalui pemanasan. Pada prakteknya, spray pyrolisis meliputi beberapa tahap: (i) membangkitkan droplet ukuran mikro presekursor cair atau larutan presekursor, (ii) menguapkan pelarut, (iii) kondensasi bahan terlarut, (iv) dekomposisi dan reaksi bahan terlarut, dan (v) sintering partikel padatan [1]. Berbagai kelebihan metode spray pyrolisis dapat dirinci sebagai berikut: 1. Efektif lebih murah dan dapat dilakukan dengan mudah

2. Substrat dengan geometri yang kompleks dapat terlapisi 3. Deposisi spray pyrolisis menunjukkan lapisan yang relatif seragam dengan kualitas yang tinggi. 4. Tidak membutuhkan suhu yang tinggi selama proses berlangsung (diatas~ 500 oC) 5. Lapisan yang terdeposisi menggunakan metode spray pyrolisis mudah diproduksi sehingga memungkinkan untuk diproduksi secara massal . Skema umum sederhana untuk deposisi spray pyrolysis ditunjukkan pada gambar 14, dimana tiga langkah pengolahan dapat dilihat dan dianalisis.

Gambar 14. Skema Umum Proses Deposisi Spray Pyrolisis [8]. Tiga langkah pengolahan untuk deposisi spray pyrolysis adalah 1. Atomisasi dari solusi prekursor. 2. Transportasi aerosol dari droplet. 3. Penguapan tetesan, menyebar pada substrat, dan pengeringan dan dekomposisi garam prekursor untuk memulai pertumbuhan film [8]. Kieda dan Messing melaporkan produksi partikel perak menggunakan larutan presekursor Ag2CO3, Ag2O dan AgNO3 dengan NH4HCO3 pada suhu 400o atau kurang. Hal itu menunjukkan bahwa kemampuan ion perak untuk membentuk amine kompleks sangat penting dalam produksi nanopartikel pada temperatur rendah spray pyrolisis dan dapat diaplikasikan untuk transisi logam seperti Cu, Ni, Zn yakni ion-ioan yang senyawanya dapat dibentuk dengan amina. Brennan et.al. mempreparasikan partikel CdSe berukuran nanometer mulai dari Cd(SePh) 2 atau [Cd(SePh)2]2[Et2PCH2CH2Pet2] melalui padatan ringan pyrolisis dalam vacuo pada suhu antara 320-400 oC selama 24 jam. Proses analogi digunakan untuk memproduksi nanopartikel ZnS dan CdS, dan CdTe dan HgTe. Nanopartikel oksida dapat juga dipreparasikan menggunakan spray pyrolisis. Kang, et.al, membuat nanopartikel Y2O3 yang didoping dengan europium menggunakan kombinasi dari proses sol-gel dan spray pyrolisis. Larutan koloid dipreparasikan menggunakan urea sebagai bahan reaksi reduksi dan spray pyrolisis yang dijalankan pada suhu 1300 oC. Nanopartikel ditemukan untuk mendapatkan permukaan yang halus, bentuk spherical dan struktur yang berlubang [1]. 1.4.5. Sintesis Berbasis Template

Material mesopori dan aluminium oksida teranoda (AAO) yang memiliki keseragaman ukuran pori merupakan suatu template/cetakan yang sangat bagus untuk menyintesis nanopartikel [5]. Template ini juga bisa dinamakan dengan nanoreaktor, yang mana reaksi-reaksi kimia bisa terjadi didalamnya. Ukuran pori yang halus dan seragam akan membantu nanopartikel terbentuk sesuai dengan ukurannya, dan mengontrol distribusi ukuran pada produk akhir. Sebagai contoh, material mesopori bisa menghasilkan nanopartikel dalam skala 20-50 nm. Umumnya, mengintroduksi semikonduktor kedalam pori dari material mesopori mampu menghasilkan nanopartikel yang lebih seragam dengan kontrol ukuran dan distribusi yang bagus. Dua macam metoda yang biasa digunakan untuk memasukkan nanopartikel semikonduktor kedalam pori dari material mesopori, adalah: 1. Proses in situ atau post-treatment, yaitu mencampurkan prekursor nanopartikel dengan misel sebelum terbentuknya material mesopori. 2. Grafting/ penempelan secara langsung nanopartikel kedalam permukaan pori. Material-material mesopori yang bisa digunakan sebagai template antara lain: TiO2, CuO, ZrO2, SnO2, CdS, Ag2S, ZnS, PbS, MnS, ZnSe, dan CdSe. Perdana dkk, melaporkan bahwa salah satu zat yang dapat dipakai untuk membentuk dan sekaligus mengontrol ukuran dan struktur pori dari partikel adalah polietilen glikol (PEG). Dalam peran ini PEG dapat berfungsi sebagai template, yang membungkus partikel sehingga tidak terbentuk agregat lebih lanjut, dikarenakan PEG menempel pada permukaan partikel dan menutupi ion positif yang bersangkutan untuk bergabung dan membesar, sehingga pada akhirnya akan diperoleh partikel dengan bentuk bulatan yang seragam. Akan tetapi, agar dapat bekerja sesuai dengan fungsinya, diperlukan PEG dengan panjang molekul dan jumlah yang tepat; misalnya, untuk PEG 2000 diperlukan sekitar 200 % dari jumlah bahan yang ditambahkan.

Gambar 15. Struktur template yang biasa digunakan dalam sintesis nanopartikel [5]. . Contoh lain, Oksida besi, nanopartikel Fe3O4 terdispersi dalam matriks padatan polimer dapat disintesis menggunakan infiltrasi larutan besi klorida. Matriks polimer adalah resin pertukaran kation yang dibentuk oleh manik-manik berdiameter 100-300 µm dan mengandung mikropori. Sintesis nanopartikel besi oksida ditampilkan dalam nitrogen melalui resin yang terdispersi dalam larutan besi klorida. Matriks kation, Na + atau H+, ditukar dengan Fe2+ dan Fe3+. Pertukaran kation ini diikuti dengan hidrolisis dan polimerisasi pada medium alkalin dengan suhu 65oC dengan pembentukan nanopartikel Fe2O3 menggunakan resin makropori. Proses ini diulang untuk meningkatkan beban Fe 2O3 dan demikian ukuran

nanopartikel. Secara teratur, ukuran bidang Fe3O4 dengan diameter pada rentang 3 hingga 15 nm dipreparasikan. Nanopartikel CdSe juga disintesis menggunakan zeolit sebagai template dan nanopartikel ZnS pada kaca silikat. Template dapat juga digunakan sebagai penutup bayangan untuk sintesis nanopartikel dengan deposisi gas. Sebagai contoh, kesatuan nanopartikel logam multiple pada substrat silika terdeposisi oleh penguapan menggunakan anoda membran alumina berpori sebagai penutup [1]. 1.5. EPITAXIAL CORE-SHELL NANOPARTIKEL Epitaxial adalah proses pembuatan kristal diatas kristal yang lain (substrat). Epitaxial terdiri dari dua, yaitu: 1. Homoepitaxial, memiliki substrat & material dari jenis yang sama, berarti komposisi yang sama (Si-Si) Untuk membuat lapisan dengan tingkat doping yang berbeda. 2. Heteroepitaxial, memiliki substrat & material dari berbagai jenis, berarti komposisi yang berbeda (Ga-As) Untuk membuat lapisan kristal yang terintegrasi dari bahan yang berbeda [9]. Epitaxial digunakan dalam nanoteknologi dan pembuatan bahan semikonduktor. Epitaxial pun merupakan suatu metode yang mudah dilakukan untuk menghasilkan pertumbuhan Kristal yang baik untuk banyak material semikonduktor. Salah satu contoh material semikonduktor yang berkaitan dengan epitaksi adalah silikon. Epitaxial silikon biasanya tumbuh dengan menggunakan cara vapor-phase epitaxy (VPE). Beberapa metode lainnya seperti molecular-beam dan liquid-phase epitaxy (MBE dan LPE) juga digunakan untuk membuat ikatan semikonduktor. Molecular Beam Epitaxy (MBE) adalah teknik untuk pertumbuhan epitaksial melalui interaksi dari satu atau lebih molekul/atom beams yang terjadi diatas permukaan substrat kristal yang dipanaskan [9].

Gambar 16. Mekanisme MBE Pertumbuhan Epitaxial berlangsung Karena interaksi molekul atau atom beam pada permukaan kristal substrat yang dipanaskan. Core-shell nanostructure merupakan jenis nanomaterial yang memiliki struktur unik karena terdiri dari inti yang berada dibagian dalam (inner core) dan lapisan bagian luar yang menyelimuti inti (external shell). Inner core dan external shell tersebut memungkinkan terdiri

dari dua jenis material yang berbeda. Struktur tersebut memungkinkan untuk mengkombinasikan dua material yang memiliki sifat dan karakteristik berbeda sehingga bisa dikombinasikan untuk meningkatkan sifat fisis dan sifat kimiawi yang lebih baik dibandingkan saat material tersebut berdiri sendiri atau sebelum dikombinasikan. Nanopartikel semikonduktor memiliki efek kuantum dan emisi medan yang tinggi ketika berada pada spektrum cahaya tampak dan inframerah-dekat (near infrared). Permukaan nanopartikel sebagian besar menentukan medan kuantum dan waktu-hidup emisi dari pemendaran celah pita (band gap luminescence). Medan pemendaran cahaya yang tinggi dihasilkan dari surface passivation untuk mereduksi permukaan non-radiasi dari pembawa muatan. Ada 2 metode pada surface passivation yang umumnya dilakukan. Yang pertama, disebut teknik band gap (band gap engineering), yaitu celah pita yang lebih besar dari bahan semikonduktor mengalami penimbunan epitaksial pada inti permukaan. Metode yang kedua, adalah menyerap dasar Lewis ke permukaan. Contoh dari metode yang kedua yaitu penggunaan otylamine untuk passivate permukaan CdSe dan titik kuantum ZnS [1]. Untuk menumbuhkan lapisan dari celah pita semikonduktor pada permukaan nanopartikel, kondisi pertumbuhan harus dikontrol sehingga tidak ada nukleasi homogen yang timbul, yang ada hanya proses penumbuhan pada permukaan nanopertikel. Oleh karena itu, konsentrasi jenis pertumbuhan perlu untuk dikontrol agar supersaturasi tidak cukup tinggi untuk nukleasi namun cukup tinggi untuk proses pertumbuhan. Ada 2 pendekatan untuk mengontrol supersaturasi spesies pertumbuhan. Pertama, penambahan larutan prekursor seperlunya kedalam larutan reaksi yang terdiri dari pertumbuhan inti nanopartikel. Kedua, dengan cara memvariasikan temperatur. Sebagai contoh, pada sintesis inti/kulit nanostruktur dari CdSe/ ZnS, tempteratur pada masing-masing ukuran nanopartikel sebagai berikut: 140 ℃ pada diameter 2.3 dan 3 nm; 160 ℃ untuk 3.5 nm; 180 ℃ untuk 4 nm; 200 ℃

untuk 4.8 nm; dan 220



untuk 5.5 nm. Semakin kecil nanopertikel maka

semakin kecil temperatur yang dibutuhkan. Dalam pembuatan core-shell (inti-kulit) nanostructure, mula-mula mempersiapkan ZnS yang ditutupi nanokristal CdSe. Kemudian siapkan larutan Zn dan S dengan bistrimethylsilyl sulfida sebanyak 0.52 mL, (TMS)2S (0.0025 mol) ke dalam 4.5 mL TOP , tambahkan 3.5 mL dimethylzinc, Me2Zn (0.0035 mol), dan cairan 16 mL ke dalam kotak kering yang berisi nitrogen. Ketika TOP yang ditutupi oleh CdSe telah siap dan didinginkan -300 ℃ , maka larutan Zn/S/TOP diinjeksi kedalam dispersi koloid CdSe sebanyak 5 kali selama 20 detik. Perbandingan total molar Cd/Se:Zn/S adalah 1:4. Selama pendinginan, campuran reaksi digerakkan pada 100 ℃ selama 1 jam. Lapisan ZnS setebal 0.6 nm melapisi permukaan nanopartikel CdSe seperti yang diperlihatkan gambar 17 berikut:

Gambar 17. Citra TEM dari ZnS yang ditutupi oleh nano-kristal CdSe Pertumbuhan epitaksial dari kulit material pada inti nanokristal dapat menghilangkan ikatan-ikatan anionic maupun cationic pada permukaan, dan juga membangkitkan sistem nanokristal yang baru. Ketidakseimbangan kisi sebesar 3.9 % dirasa cukup kecil untuk terpenuhinya pertumbuhan heteroepitaksial, tapi cukup besar untuk mencegah terjadinya campuran aloi (alloying), dan perbedaan pada celah pita cukup besar untuk pertumbuhan kulit untuk menaikkan medan kuantum dan kestabilan dari inti.

DAFTAR PUSTAKA [1] Guozhong, C . 2014. Nanostructure & Nanomaterial: Syntesis, Properties, and Application. Imperal College Press [2]https://www.vbook.pub.com/doc/245766668/digital-125054-R040871-Pengaruh-prosesLiteratur-pdf [3]Anonim. 2014. PEMBUATAN SiO2 DENGAN PROSES SOL-GEL. [4] Widia, K.A. 2012 Sintesis dan karakterisasi nanopartikel dan nanotube TiO2 untuk aplikasi sel surya tersensitasi zat pewarna. Universitas Indonesia [5] Benny Rio Fernandez. 2011. sintesis nanopartikel. Universitas Andalas. [6] SURYA, N. PENGARUH KONSENTRASI CTAB DALAM SINTESIS NANOPARTIKEL TIO2 UNTUK APLIKASI SEL SURYA MENGGUNAKAN METODE SOL GEL. [7] http://fullerena.blogspot.co.id/2013/03/mensintesa-nanopartikel-dengan-flame.html [8] http://www.iue.tuwien.ac.at/phd/filipovic/node56.html [9] http://www.slideshare.net/akshaykranth/molecular-beam-epitaxy-29536671 [10] http://www.nature.com/nmat/journal/v1/n4/fig_tab/nmat774_F1.html [11] Slamet, W. (2010). TEKNOLOGI SOL GEL PADA PEMBUATAN NANO KRISTALIN METAL OKSIDA UNTUK APLIKASI SENSOR GAS.

Related Documents

Uts
January 2021 7
Uts Reviewer
February 2021 1
Uts Fermentasi
January 2021 1
Soal Uts
March 2021 0
Uts Kp
January 2021 3
Rekapan Soal Uts Imunologi
February 2021 0

More Documents from "Lizzy Kinasih"