Mini Riset Kepemimpinan: “kepemimpinan Suku Etnik Melayu”

  • Uploaded by: Jafar Sidik
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mini Riset Kepemimpinan: “kepemimpinan Suku Etnik Melayu” as PDF for free.

More details

  • Words: 2,721
  • Pages: 16
Loading documents preview...
MINI RISET KEPEMIMPINAN “KEPEMIMPINAN SUKU ETNIK MELAYU”

DISUSUN OLEH: JAFAR SIDIK DIVO SANTANA S SAPRIYANTO S JURUSAN TEKNIK ELEKTRO FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2019

1

BAB I 2

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia kaya akan berbagai suku dan budaya. Setiap suku dan budaya local di setiap daerah memiliki cirri khas yang beraneka ragam. Sebuah daerah sama halnya seperti sebuah organisasi. Sebuah organisasi memiliki struktur dan aturan yang telah ditetapkan. Begitu juga dengan suatu daerah, pasti memiliki sturktur kepemimpinan daerah local dan diikat dengan aturan yang sesuai dengan kondisi daerah tersebut. Salah satu contoh daerah yang masih kental dengan adat dan tradisi adalah Sumatera Utara, khususnya suku Melayu. Suku Melayu sendiri memiliki keunikan yang sangat menarik untuk diteliti. Mini riset ini kami lakukan untuk meneliti bagaimana sebenarnya stuktur kepemimpinan dalam adat suku Melayu. 1.2 Identifikasi Masalah 1. Pendapat narasumber tentang kepemimpinan di suku Melayu 2. Struktur kepemimpinan di suku Melayu 3. Sifat pemimpin di suku Melayu 1.3 Batasan Masalah Agar penelitian ini dapat dilakukan lebih focus, dan mendalam maka penulis memandang permasalahan penelitian yang diangkat perlu dibatasi variabelnya. Oleh karena itu, penulis membatasi diri hanya berkaitan dengan Kepemimpinan Suku Melayu 1.4 Rumusan Masalah 1. Bagaimana struktur kepemimpinan di suku Melayu ? 2. Bagaimana sifat pemimpin di suku Melayu ? 3. Bagaimana kepemimpinan dalam adat Melayu ? 1.5 Tujuan Penelitian 1. Untuk memenuhi tugas mini riset kepemimpinan 2. Untuk meneliti kepemimpinan di suku Melayu

3

1.6 Manfaat Penelitian 1. Mengetahui kepemimpinan di suku Melayu 2. Mengetahui pendapat narasumber mengenai kepemimpinan di suku Melayu 3. Menambah wawasan penulis

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Teori Kepemimpinan 1. Defenisi Kepemimpinan Kepemimpinan merupakan kekuatan yang sangat penting dibalik kekuasaan berbagai organisasi dan bahwa untuk menciptakan organisasi yang efektif maka ruang lingkup kerja mengenai apa yang bisa mereka capai, kemudian memobilisasi organisasi itu untuk berubah kearah visi baru tersebut (Werren Bennis & Burt Nanus, 2006:2). Tidak dapat dipungkiri bahwa kesuksesan sebuah organisasi sangat ditentukan oleh faktor kepemimpinan. Di dalam kemimpinan terdapat pemimpin dan pengikut. ( Daswati : 2012 ) Dalam memahami konsep kepemimpinan, perlu memahami beberapa hal. Menurut Maxwell (1998) ada beberapa perbedaan di antara manajemen dan kepemimpinan, yaitu (a) manajemen berbeda dengan kepemimpinan. Kepemimpinan adalah kegiatan me-mengaruhi orang lain untuk ikut, sedangkan mana-jemen terfokus pada pemeliharaan sistem dan proses. (b) Wirausahawan tidak memerlukan kepemimpinan meskipun wirausahawan memiliki kemampuan per-suasif, namun acapkali bebas dan kurang memenga-ruhi orang lain seperti pemimpin. (c) Pemimpin biasanya bukan orang yang paling banyak tahu dalam organisasi. (d) Kepemimpinan harus dipahami sebagai bukan posisi atau jabatan yang dipegang, melainkan sebagai kemampuan memengaruhi orang lain. (Narsa : 2012 ) 2. Karakteristik Kepemimpinan 

Ciri (motivasi, keperibadian, nilai)



Keyakinan dan optimisme



Keterampilan & Keahlian



Perilaku



Integritas & Etis



Taktik Pengaruh



Sifat pengikut ( Daswati : 2012 ) 3. Perbedaan Pemimpin dan Manajer

Kategori Proses berpikir Penetapan tujuan

Pemimpin Fokus pada orang Tampak lahiriah Menjabarkan visi Menciptakan masa depan

Manager Fokus pada benda Tampak ke dalam melaksanakan rencana Meningkatkan masa sekarang

Melihat secara luas Melihat secara sempit memberdayakan Mengontrol Hubungan terhadap karyawan Kolega Bawahan Melihat permasalahan Mengarahkan & koordinat Melakukan hal yang benar Melakukan sesuatu dengan benar Operasi Menciptakan perubahan Mengelola perubahan Melayani bawahan Melayani superordinates Menggunakan pengaruh Menggunakan otoritas Pemerintahan Menggunakan konflik Menghindari konflik Bertindak tegas Bertindak secara bertanggung jawab ( Lunenburg : 2011)

4. Kepemimpinan Formal dan Informal Kepemimpinan formal adalah kepemimpinan yang resmi yang melalui mekanisme pengangkatan resmi untuk menduduki jabatan kepemimpinan. Pola kepemimpinan tersebut terlihat pada berbagai ketentuan yang mengatur hirarki dalam suatu organisasi. Namun kepemimpinan formal tidak akan secara otomatis menjadi jaminan seorang pemimpin diterima sebagai pemimpin yang “sebenarnya” oleh bawahan. Penerimaan atas pimpinan formal masih harus diuji dalam praktek yang hasilnya akan terlihat dalam kehidupan organisasi. Sementara kepemimpinan informal yang juga disebut headship merupakan tipe yang tidak mendasarkan pada pengangkatan serta tidak terlihat pada struktur organisasi resmi. Namun efektivitas kepemimpinan informal terlihat pada pengakuan nyata dan penerimaan bawahan dalam praktek kepemimpinannya. Biasanya kepemimpinan informal didasarkan pada beberapa kriteria. Di antaranya adalah kemampuan “memikat” hati orang lain, kemampuan dalam membina hubungan yang serasi dengan orang lain dan memiliki keahlian tertentu yang tidak dimiliki oleh orang lain. ( Tabuni : 2013 ) 2.2 Konsep dan Nilai-nilai Etnik 1. Identitas Budaya Melayu Kuno Jejak arkeologis nenek moyang Melayu dapat ditelusuri melalui tinggalan-tinggalan fisik berupa kerangka tulang-belulang manusia serta hasil budayanya di masa silam. Adalah zaman protosejarah yang disebut sebagai era terbentuknya kebudayaan awal di wilayah Asia Tenggara, dimana penduduk kawasan tersebut telah mampu menghasilkan berbagai bentuk pencapaiannya. Walaupun demikian, hal ini tetap memerlukan adanya masukan anasir baru dari kebudayaan luar sehingga dapat mempercepat perkembangan kebudayaan mereka. Berdasarkan tinggalan arkeologisnya Robert von Heine Geldern pernah menyatakan bahwa pada masa silam pernah terjadi, migrasi ke arah wilayah kepulauan di kawasan Asia Tenggara dan juga sebaliknya, dimana migrasi itu terjadi dalam dua tahap, yaitu: tahap pertama yang berlangsung dalam kurun

waktu antara 2500-1500 SM. dan tahap kedua yang berlangsung dalam kurun waktu yang lebih muda antara 1500-500 SM. Heine Geldern mendasarkan teorinya kepada telaah monumenmonumen megalitik yang tersebar di berbagai wilayah di Asia Tenggara dan juga kepada tradisi megalitik yang masih bertahan hingga sekarang di kepulauan Nusantara. Diskursus para ahli dewasa ini, terkait dengan asal muasal manusia Melayu secara arkeo-antropologis berkisar pada beberapa teori. Salah satunya menyatakan bahwa migrasi orang-orang Melayu kemungkinan terjadi dalam era yang jauh lebih tua, migrasi itu telah berlangsung mulai kurun waktu 6.000 SM. hingga awal tarikh Masehi. Akibat mendapat desakan dari pergerakan bangsa-bangsa di Asia Tengah, orang-orang pengembang kebudayaan bermigrasi dan akhirnya menetap di wilayah Yunan, salah satu daerah di China Selatan. Kemudian, mereka berangsur-angsur menyebar memenuhi seluruh daratan Asia Tenggara hingga mencapai pantai. Selama kehidupannya di wilayah Asia Tenggara daratan, mereka sambil mengembangkan kebudayaannya yang diperoleh dalam pengalaman kehidupan mereka.

2. Identitas (Manusia) Melayu: Tinjauan Arkeo-Antropologis-Politis Dalam konteks ini terdapat tiga penyebutan entitas Melayu. Pertama, mereka adalah ras Melayu-Polinesia yang terdiri dari banyak suku-bangsa atau suku dalam konteks rumpun bangsa besar. Kedua, mereka adalah suku Melayu di Kepulauan Melayu-Nusantara sekarang, termasuk di Filipina, serta suku-bangsa Melayu yang berdiaspora hingga ke Afrika Selatan, Sri Langka, barat Australia dan lain-lain sejak zaman penjajahan. Ketiga adalah Melayu di Malaysia yang identitas kemelayuannya ditentukan secara politis oleh konstitusi negara. Sebutan kelompok pertama adalah Melayu-Polynesia. Hal ini ada kaitannya dengan usaha ahli anatomi perbandingan, yaitu Johann Friedrich Blumenbach yang mengkategorikan kelompok-kelompok ras manusia. Dalam tulisannya pada tahun 1795 Blumenbach membagi manusia menjadi lima kelompok ras, yaitu kaukasia, Mongolia, Melanesia, Etiopia dan Amerikana. Ras Melanesia/“Malaiische Rasse” (yang kemudian diidentikkan dengan ras Melayu) disebut memiliki ciri fisik berkulit cokelat, rambut hitam, keriting tebal, tengkorak kepala cukup menyempit, dahi sedikit lebar, hidung yang lebar, mulut yang besar, rahang atas agak menonjol dengan bagian wajah. Sebutan kelompok kedua adalah orang Melayu di kepulauan Asia Tenggara. Konsep ini lebih mudah untuk dijelaskan. Orang Melayu ini termasuk semua kelompok etnis atau penduduk asli/pribumi dalam unit geopolitik Malaysia, Indonesia, Brunei, Singapura, Selatan Thailand dan Filipina, serta Melayu yang berdiaspora di Afrika Selatan, Sri Langka, barat Australia dan lain-lain. Mereka menempati tanah asal rumpun Melayu dan sering pula dianggap kelompok Melayu inti atau Melayu teras. Dengan identitas ini, maka budaya Melayu jika ditinjau dari tinjauan arkeologis berarti segala tinggalan budaya material di masa lampau yang terikat dengan unit geopolitik tertentu. Pendekatan ini menjadikan identitas budaya Melayu menjadi lebih mudah dipahami. Sebutan kelompok ketiga, yaitu tentang orang Melayu di negara Malaysia. Identitas mereka ini sedikit banyak agak menyimpang dari perkiraan yang alami, karena tidak berbasis faktor ras atau suku. Pendekatan yang dilakukan dalam mencapai identitas ini sangat politis dan melibatkan unsur konstitusi-formal. Karena itu, berdasarkan konstitusi Malaysia, yang disebut sebagai orang Melayu itu harus memenuhi tiga kriteria, yaitu: beragama Islam, mengamalkan adat budaya Melayu, dan berbicara bahasa Melayu. Sebenarnya,

hal ini terjadi karena lika-liku sejarah sosio-politik yang dijalani oleh Negara ini dan penduduknya dan berpuncak pada kejayaan kesultanan Malaka hingga perlakuan dalam jejak kolonialisme Inggris di tanah Malaysia, walaupun sedikit banyak wilayah Riau-Indonesia juga terpengaruh hal ini. Konsepsi ini pada akhirnya memudahkan arkeologi dalam mengidentifikasi hasil budaya material orang Melayu. 3. Dinamika Budaya Melayu: Tinjauan Arkeologis Dalam konteks ini maka kebudayaan Melayu sejatinya adalah kebudayaan yang mandiri yang berkembang di masa prasejarah/ kebudayaan Proto-Melayu. Sejalan dengan perkembangan masa maka pengaruh kebudayaan luar telah mulai masuk ke kawasan Melayu dan berdialektika dengan kebudayaan Melayu hingga melahirkan banyak varian dari entitas “budaya Melayu”. Fakta historis kemudian menunjukkan bahwa kebudayaan Melayu merupakan “buah” dari hasil pertemuan antara Melayu dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang mendatangi kawasan Melayu. Sebelum kedatangan kebudayaan luar, masyarakat Melayu telah menganut sistem kepercayaan animisme dan dinamisme, sistem bercocok tanam, dan mampu membuat peralatan dari logam. Kebudayaan Melayu yang sudah terbentuk tersebut kemudian diperkarya oleh kedatangan kebudayaan besar dunia, yang terdiri dari empat fase, yaitu: kebudayaan India, kebudayaan China, kebudayaan Arab (Timur Tengah), dan kebudayaan Barat. Pertemuan kebudayaan ini dapat berlangsung dengan damai ataupun dengan ketegangan. 4. Tawaran Identitas (Baru) Kesatuan Budaya Melayu Melayu sebagai sebuah budaya, sejatinya telah memiliki kearifan lokal (local genius) sendiri. Local genius merupakan cultural identity atau identitas kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri. Unsur-unsur budaya lokal mempunyai potensi local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Dalam perkembangan selanjutnya local genius ini menjadi sebuah kearifan lokal (local wisdom) yang dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Gagasan-gagasan kebudayaan ini diterjemahkan dalam kredo yang menyatakan “think globally, act locally”. Dewasa ini kredo tersebut agaknya harus dilengkapi dengan kredo yang sesuai dengan jatidiri bangsa dan upaya memperkenalkan kebudayaan bangsa ke dunia internasional, kredo itu harus disejajarkan dengan “think locally dan act globally” pula. Bahwa hasil-hasil tindakan kebudayaan penduduk Asia Tenggara harus mampu juga disiarkan kepada dunia internasional, kepada bangsa-bangsa di luar Asia Tenggara, harus mampu aktif dalam arus kesejagatan. Oleh karena itu dewasa ini kedua kredo tersebut harus dikembangkan secara bersamaan demi untuk kemajuan kebudayaan bangsa. ( Prayogi : 2015 )

2.3 Kerangka Berpikir

Penelitian ini didasari dengan teori kepemimpinan serta gaya kepemimpinan menurut suku Melayu. Setiap kelompok masyarakat tertentu akan mempunyai cara yang berbeda dalam menjalani kehidupan sekelompok masyarakatnya. Cara-cara menjalani kehidupan sekelompok masyarakat dapat didefenisikan sebagai budaya masyarakat tertentu. Sistem kepemimpinan suku Melayu sangat berpengaruh terhadap kehidupan Melayu, karena kepemimpinan Melayu sangat dipengaruhi oleh budayanya. Budaya Melayu secara kuat mempengaruhi kepemimpinan Melayu yang sangat khas dan unik. Oleh karena itu, peneliti memilih untuk meneliti kepemimpinan suku Melayu ini.

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu a.

Tempat : RUMAH MELAYU ,TANJUNG PURA,LANGKAT

b.

Hari/Tanggal : Sabtu/ 21 SEPTEMBER 2019

c.

Waktu : 11.00 WIB - SELESAI

3.2 Subjek Penelitian Subjek penelitian kami adalah pemimpin suku atau warga suku Melayu 3. 3 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang kami lakukan adalah dengan mewawancarai warga suku melayu.Data yang kami peroleh melalui wawancara adalah dengan memberikan beberapa pertanyaan kepada narasumber. 3.4 Instrumen/ Pertanyaan yang Diberikan 4. Bagaimana struktur kepemimpinan di suku Melayu ? 5. Bagaimana sifat pemimpin di suku Melayu ? 6. Bagaimana kepemimpinan dalam adat Melayu ? 3.5 Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang kami lakukan adalah dengan teknik analisis data kualitatif yaitu dengan tahapan sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.

Pengumpulan data yang dilakukan dengan dengan wawancara Penyederhanaan dan pengkategorian data hasil wawancara Menganalisis data dengan hipotesis dari kelompok kami Menyimpulkan data hasil wawancara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Hasil Survey Model kepemimpinan tradisi Melayu masih sangat relevan dengan kondisi Indonesia saat ini, karena model kepemimpinan tradisinya adalah transformasional, yang diharapkan bisa membawa perubahan kearah yang lebih baik. Lalu, dalam khazanah politik Melayu, pemimpin didefinisikan sebagai orang yang diberi kelebihan untuk mengurusi kepentingan orang banyak. Dalam tradisi orang Melayu, para pemimpin itu adalah manusia-manusia yang lebih daripada yang lain, kuat, gigih, dan tahu tentang banyak hal. Bahkan di masa lalu, seorang pemimpin bangsa Melayu juga haruslah sosok yang sakti mandraguna demi melindungi wilayah dan rakyatnya dari ganguan binatang buas, penjahat, penjajah dan makhluk halus (jin, siluman, setan, dll). Karena itulah, para pemimpin yang sejati juga merupakan manusia-manusia yang jumlahnya sedikit, namun perannya dalam suatu komunitas orang Melayu menjadi penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai bersama. Setiap masing-masing strata di atas mempunyai tugas dan kewajibannya sendiri-sendiri, yang pada intinya menuntun dan membimbing masyarakat untuk dapat mentaati norma dan ketentuan adat negeri demi kebaikan mereka sendiri. Melalui strata kemasyarakatan di atas, maka segala bentuk kebijakan pemerintahan negeri disampaikan secara beranting ke bawah. Tetapi setelah Melayu Muda (era agama) membentuk beberapa kerajaannya dengan dasar agama (Hindu, Buddha, Islam), maka muncullah pemegang kendali kerajaan yang disebut dengan Datu, Raja, Sultan atau Pertuah. Kehadiran agama itu juga telah menampilkan cendikiawan yang disebut dengan Buya atau Ulama. Dengan demikian kehidupan Melayu Muda ini dipandu oleh Raja, buya/ulama, pemangku adat dan tokoh tradisi. 4.2 Pembahasan Menurut hasil survey yang telah dilakukan, kepemimpinan Melayu, baik Melayu Tua (pra-Hindu-Buddha-Islam) maupun Melayu Muda (era Hindu-Buddha-Islam) terdiri dari pemangku adat (sebagai pemimpin formal) disamping tokoh tradisi seperti dukun atau orang pintar sebagai pemimpin informal. Untuk Melayu Tua (Pra Hindu-Buddha-Islam), maka lebih jelasnya di berikan struktur kepemimpinan melayu yaitu : Sigindo (pemimpin beberapa Luhak/Lurah/Depati) | Luhak (pemimpin para Kelebu yang kini lazim disebut sebagai Lurah atau Depati) | Kelebu (pemimpin para Tengganai yang kini lazim disebut sebagai Ninik Mamak) |

Tengganai (pemimpin Perut/keluarga seketurunan) | Perut (kepala keluarga seketurunan) | Tumbi (kepala rumah tangga) Setiap masing-masing strata di atas mempunyai tugas dan kewajibannya sendiri-sendiri, yang pada intinya menuntun dan membimbing masyarakat untuk dapat mentaati norma dan ketentuan adat negeri demi kebaikan mereka sendiri. Melalui strata kemasyarakatan di atas, maka segala bentuk kebijakan pemerintahan negeri disampaikan secara beranting ke bawah. Tetapi setelah Melayu Muda (era agama) membentuk beberapa kerajaannya dengan dasar agama (Hindu, Buddha, Islam), maka muncullah pemegang kendali kerajaan yang disebut dengan Datu, Raja, Sultan atau Pertuah. Kehadiran agama itu juga telah menampilkan cendikiawan yang disebut dengan Buya atau Ulama. Dengan demikian kehidupan Melayu Muda ini dipandu oleh Raja, buya/ulama, pemangku adat dan tokoh tradisi. Dalam kitab Bukhari Al-Jauhari menggariskan ada 10 sifat raja atau pemerintah yang baik dan harus diterapkan dalam suku melayu, yaitu: 1. Tahu membedakan baik dengan yang buruk. 2. Berilmu (ilmiah dan batiniah). 3. Mampu memilih menteri dan pembantunya dengan benar. 4. Baik rupa dan budi pekertinya supaya dikasihi dan dihormati rakyatnya. 5. Pemurah (dermawan, ringan tangan). 6. Mengenang jasa orang atau tahu balas budi. 7. Berani; jika berani maka pengikutnya juga akan berani. 8. Cukup dalam makan tidur supaya tidak lalai. 9. Mengurangi atau tidak berfoya-foya atau tidak “bermain” dengan perempuan. 10. Laki-laki (raja perempuan boleh dilantik jika tidak memiliki ahli waris laki-laki untuk menghindari huru-hara). Seorang pemimpin dalam tradisi Melayu adalah sosok manusia yang lebih daripada lainnya, sakti, kuat, gigih, dan tahu banyak hal. Para pemimpin juga merupakan manusia-manusia yag

10 10

jumlahnya sedikit, namun perannya dalam suatu komunitas (suku, bangsa, negara) merupakan penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai. 4.3 Temuan Lapangan Tidak ditemukannya hal-hal baru pada saat melakukan survey/penelitian.

11 11

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasannya, maka dapat diambil satu kesimpulan sebagai berikut : Seorang pemimpin dalam tradisi Melayu adalah sosok manusia yang lebih daripada lainnya, sakti, kuat, gigih, dan tahu banyak hal. Para pemimpin juga merupakan manusiamanusia yag jumlahnya sedikit, namun perannya dalam suatu komunitas (suku, bangsa, negara) merupakan penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan yang hendak dicapai. 5.2 Saran Pemerintah hendaknya membuat pemetaan terhadap jumlah keseluruhan etnis dan budaya di Indonesia melaui Provi nsi masing-masing. Serta memberdayakan tokoh adat untuk berpartisipasi dalam mengambil keputusan dengan DPRD dalam pelaksanaan otonomi daerah, sehingga keberadaan masyarakat hukum adat jelas sebagai partisipasi pembangunan daerah mereka.

12 12

DAFTAR PUSTAKA Daswati. 2012. Implementasi Peran Kepemimpinan dengan Gaya Kepemimpinan Menuju Kesuksesan Organisasi. JURNAL ACADEMICA Fisip Untad. Vol.04, No.01 : 783-798 Narsa. 2012. KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN: Transformasional versus Transaksional. JURNAL MANAJEMEN DAN KEWIRAUSAHAAN, VOL.14, NO. 2 : 102-108 Lunenburg, C. F. 2011. Leadership versus Management: A Key Distinction—At Least in Theory. INTERNATIONAL JOURNAL OF MANAGEMENT, BUSINESS, AND ADMINISTRATION VOLUME 14, NUMBER 1. Tabuni. 2013. PERANAN PEMIMPIN INFORMAL DAN FORMAL DI DESA BOGONUK DISTRIK WONIKI KABUPATEN TOLIKARA. Jurnal Kepemimpinan. Vol.01, No.01 : 1-12 Prayogi. 2015. DINAMIKA IDENTITAS BUDAYA MELAYU DALAM TINJAUAN ARKEO- ANTROPOLOGIS. Jurnal Ilmu Budaya. Vol.01, No 01 :1-20

13 13

LAMPIRAN Keaktifan Kelompok Pembuat Laporan

: JAFAR SIDIK

Pewawancara

: DIVO SANTANA SITOMPUL SAPRIYANTO SARAGIH

Instrumen Survey /Pertanyaan Wawancara 1. Bagaimana struktur kepemimpinan di suku Melayu ? 2. Bagaimana sifat pemimpin di suku Melayu ? 3. Bagaimana kepemimpinan dalam adat Melayu ?

14 14

Related Documents

Cjr Kepemimpinan
January 2021 1
Konsep Kepemimpinan
February 2021 1
Cbr Kepemimpinan
January 2021 1
Cjr Kepemimpinan
February 2021 1
Observasi Kepemimpinan
February 2021 1

More Documents from "Iypoet Khalil Al-katirie"

January 2021 0
Makalah Pajak Penghasilan
January 2021 1
Lamaran Pt Bridgestone1
January 2021 1
500 Project
January 2021 0