Diktat Teologi Perjanjian Baru Kitab- Kitab Injil Bab 1-2 Shared 210819

  • Uploaded by: Michael Soewono
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Diktat Teologi Perjanjian Baru Kitab- Kitab Injil Bab 1-2 Shared 210819 as PDF for free.

More details

  • Words: 8,850
  • Pages: 42
Loading documents preview...
DIKTAT KULIAH TEOLOGI PERJANJIAN BARU (KITAB – KITAB INJIL)

Dosen Eddy Simanjuntak

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI EKUMENE PASKA SARJANA MAGISTER OF THEOLOGY ( M. Th) JAKARTA 2019

Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab –Kitab Injil’

PROFILE DOSEN:

Eddy Simanjuntak lahir di Pematang Siantar tanggal 29 April 1980. Meraih gelar Sarjana ( S. Th) tahun 2004 dari STT Tiberias Jakarta kemudian melanjutkan pendidikan S2, Magister of Theology ( M. Th) tahun 2009 dan Doktor Teologi ( D. Th) di STT Bethel Indonesia tahun 2015. Sejak 2008- 2018 menetap sebagai dosen di STT Tiberias Jakarta

dan sebagai dosen

pengampu Pendidikan Agama Kristen di Akademi Perawat Husada Jakarta sejak 2011sekarang. Saat ini, aktif melayani di berbagai denominasi gereja sebagai pembicara ibadah dan seminar. Berdomisili di Jakarta bersama Istri terkasih, Merry Salim, S. Th

CP: 082250003716 Email: [email protected]

Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab –Kitab Injil’

Daftar Isi Profile Dosen BAB I DESKRIPSI TEOLOGI BAB II INTRODUKSI TEOLOGI PERJANJIAN BARU BAB III TEOLOGI KITAB – KITAB INJIL BAB IV ISU –ISU PILIHAN DALAM TEOLOGI KITAB – KITAB INJIL A. Kitab Injil Sinoptik B. Kitab Injil Yohanes BAB V Penutup

Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab –Kitab Injil’

BAB I DESKRIPSI TEOLOGI - PERJANJIAN BARU

A. Pengertian Teologi Kata ‘teologi’ berasal dari dua kata yaitu “theos” yang artinya Allah dan “logos” artinya firman, kata, perkataan. Dalam arti sempitnya berarti studi mengenai Allah. Millard J. Erickson mengatakan teologi itu sebagai usaha - usaha yang secara khusus mempelajari sifat doktrinal iman Kristen, termasuk di dalamnya: teologi alkitabiah, teologi historis, teologi sistematika, dan teologi filosofis (teologi yang dipengaruhi oleh filsafat).

1

Sedangkan dalam pengertian luasnya, teologi mencakup

semua pembahasan yang membentuk rangkaian pelajaran untuk studi teologi yang tercakup dalam seluruh isi Alkitab, yaitu Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Itu sebabnya para teolog Abad Pertengahan merumuskan pengertian teologi dengan kesimpulan bahwa “Theology is taught by God, teaches of God and leads to God” artinya teologi diajarkan oleh Allah, mengajarkan tentang Allah dan memimpin kepada Allah. Jadi dalam hal ini Allah bukanlah obyek penelitian teologis melainkan sebagai subyek teologi. Dialah yang mengajar umat-Nya mengenai kebenaranNya sendiri, Dialah yang menyingkapkan kebenaran-Nya kepada umat-Nya.

Karena itu

kebenaran teologi adalah kebenaran tentang Allah dimana kebenaran yang akan membawa umat-Nya kepada diri-Nya sendiri. Jadi dalam berteologi, Allah adalah sumber teologi, pokok teologi serta tujuan teologi. 1. Berbagai Definisi Teologi Di bawah ini, akan tersaji beberapa pengertian dari teologi yang akan memberi pengertian dari berbagai pemikiran dan latar belakang sehingga akan menerima pandangan yang komprehensif mengenai teologi itu sendiri. Sehingga melaluinya, para pembelajar dalam proses mempelajari teologi itu sendiri dapat menyimpulkan secara benar. Antara lain:

1

Millard J. Erickson, Teologi Kristen, Vol.1 (Malang: Yayasan Penerbit Gandum Mas), 24.

Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab –Kitab Injil’



John h Leith mengatakan bahwa teologi Kristen adalah sebuah refleksi kritis mengenai Allah, manusia, alam semesta dan tentang iman itu sendiri dalam terang penyataan atau wahyu Allah yang ditulis dalam Alkitab dan secara khusus diwujudkan di dalam Yesus Kristus sebagai penyataan final bagi komunitas Kristen.



Richard A Muller mengatakan bahwa teologi adalah suatu pengetahuan atau firman tentang Allah yang didasarkan pada penyataan Allah itu sendiri. Jadi teologi yang benar adalah teologi yang didasarkan kepada penyataan Allah yang final di dalam dan melalui Tuhan Yesus Kristus. Dan dalam keseluruhan teologi yang dibangun di atas kenyakinan yang mendasar, bahwa Alkitab adalah Firman Allah sebagai sumber teologi sekaligus sebagai penguji teologi.



Farley mengatakan bahwa teologi merupakan suatu istilah yang menggambarkan lingkup seluruh pokok studi, penelitian (tentang Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, Sejarah Gereja, Teologi Sistematika, Homiletika, PAK, dan Konseling) dan aPerjanjian Lamaikasi dalam bidang pendidikan atas sekolah teologi ( pengertian adalam arti luas).



B.B. Warfield (1851-1921), theolog ortodoks dari Princeton mengatakan bahwa teologi adalah ilmu yang membicarakan Allah dan hubungan Allah dan alam semesta.



W.G.T. Shedd (Guru besar teologi sistematik di Union Theological Seminary ( th 1874-1890) mengatakan bahwa teologi adalah suatu ilmu yang berhubungan dengan “Yang Tak Terbatas dan yang terbatas” dengan Allah dan alam semesta.



A. H. Strong dari Teolog Baptis mengatakan bahwa teologi adalah ilmu tentang Allah dan hubungan- hubungan antara Allah dan alam semesta.”



Eka Darmaputra berpendapat bahwa teologi merupakan sebuah upaya untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif secara esensial antara “teks” dan “konteks,” antara kerygma yang universal dan kenyataan hidup yang kontekstual”. Atau Upaya untuk merumuskan penghayatan iman Kristen pada konteks, ruang dan waktu yang tertentu.



Charles L. Hodge (1797-1878) mengatakan bahwa teologi adalah ilmu yang mengetengahkan fakta Kitab Suci dalam urutan dan hubungan

Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab –Kitab Injil’

yang tepat dengan prinsip-prinsip atau kebenaran-kebenaran umum yang ada dalam fakta itu sendiri dan yang meliputi dan menyelaraskan seutuhnya.” 

F. Schleiermacher (Pionir Teologi Liberal) mendefinisikan teologi sebagai usaha menganalisis pengalaman kesadaran religius, yaitu perasaan ketergantungan kepada yang mutlak.’



Paul Tilich (1886-1965) mengatakan ‘Teologia adalah interpretasi metodological dari materi pokok iman Kristen.”

2. Jenis – Jenis Teologi Untuk memudahkan dalam mengetahui berbagai teologi, di bawah ini disajikan menurut berbagai macam cara: NO

DASAR

NAMA

1

Metode wahyu

1. Teologi Natural

2

Tujuan

2. Teologi Supranatural 1. Teologi Sistematis 2. Teologi Polemik

3

Pokok

Utama

3. Teologi Praktis 1. Teologi Panteistik 2. Teologi Deistis

Kepercayaan

3. Teologi Rasionalistis 4

Nama pendiri/ sudut

4. Teologi Iman 1. Teologi Armenian

pandangan penulis

2. Teologi Calvinis 3. Teologi Katholik 4. Teologi Barth

5

6

Sumber

yang

5. Teologi Pembebasan, dll. 1. Teologi Alkitabiah/Biblika

dipakai

2. Teologi Dogmatis.

Era/zaman

3. Teologi Eklesiastis 1. Teologi Patristik/ Bapa

Bapa-

2. Teologi Abad Pertengahan 3. Teologi Reformasi: Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab –Kitab Injil’

4. Teologi Modern 7

Bidang Kajian

5. Teologi Post Modern 1. Teologi Eksegetis, Meliputi penelaahan: a. Bahasa b. Archeologi c. Isagogik (pengantar) d. Hermeneutik e. Teologi Biblika

Akitabiah/

2. Teologi Historis 3. Teologi Sistematis 4. Teologi Praktis: a. Teologi Homiletika b. Teologi Organisasi c. Teologi Gereja

Administrasi

d. Teologi Ibadah/liturgika

Tata

e. Teologi Pendidikan Agama Kristen

8

Fokusnya

f. Teologi Penginjilan/Missiologi2 1. Teologi Historis, 2. Teologi Alkitab 3. Teologi Sistematika, 4. Teologi Apologetis, 5. Teologi Eksegetis, dll

Berbeda dengan James Leo Garrett. James

mengelompokkan Biblical

Theology, Historical Theology, dan Systematic Theology sebagai ”Metode Dasar” (Basic Methods) dalam teologi Kristen. Dengan demikian lebih lanjut dikatakan bahwa ada metode lainnya (diberi nama Adjunctive Methods), yang berkorelasi dengan Teologi Sistematik dan disiPerjanjian Lamain lain dalam kurikulum teologi. Tabelnya dapat dibuat seperti berikut:

Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab –Kitab Injil’

2.1.

Tabel Korelasi Teologi

Basic Methods 1. Biblical Theology 2. Historical Theology 3. Systematic Theology

Adjunctive Methods 1. Philosophical Theology, including Christian Apologetic. 2. Theological Ethics 3. Theology of Evangelism 4. Theology of Mission (s) 5. Theology of Preaching 6. Theology of Pastoral Care 7. Theology of Stewarship 8. Theology of Christi 9. an Education 10. Theology of Worship 11. Theology of Church Music 12. Theology of Church Social Worker

Melalui tabel di di atas, maka dapat dilihat perbedaan atau ciri – ciri dari metode dasar teologi itu sendiri. Dan hal ini sangat penting bagi pembelajar yang ingin memahami teologi secara tepat. Adapun ciri- cirinya adalah:  Biblical Theology Meskipun istilah teologi Alkitab telah digunakan dalam berbagai macam cara, namun istilah itu juga dimaksudkan untuk memberikan nama suatu fokus yang khusus dalam studi teologi. Dalam pengertian non-teknis, studi ini dapat mengacu kepada: a. Suatu teologi pietis (yang berbeda dengan teologi filosofis), atau b. Teologi yang berdasarkan Alkitab (yang berbeda dengan teologi yang bertinteraksi dengan para pemikir masa kini), atau Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab –Kitab Injil’

c. Teologi eksegetis (yang berbeda dengan teologi spekulatif).

Beberapa teologi Alkitab masa kini (kontemporer) dari perspektif liberal termasuk dalam kategori yang terakhir ini, yaitu ”teologi eksegetis” walaupun eksegesis selalu menyatakan pengajaran yang Alkitabiah secara tepat. Secara sistematis hal tersebut menguraikan kondisi perkembangan secara historis tentang penyataan diri Allah di dalam Alkitab. Ada empat ciri khas yang muncul dari definisi ini: -

Hasil-hasil studi mengenai teologi Alkitab harus disajikan dalam suatu bentuk yang sistematis. Dalam hal ini adalah sama seperti bidang-bidang lainnya dalam studi Alkitab dan teologis. Sistem atau pola yang digunakan dalam penyampaian teologi Alkitab tidak akan berarti harus menggunakan kategori yang lama seperti yang digunakan teologi sistematika. Hal ini tidak harus selalu menggunakannya, tetapi juga berarti tidak harus menolaknya.

-

Teologi Alkitab memusatkan perhatiannya pada bidang sejarah di mana penyataan Allah muncul. Teologi Alkitab berrusaha menyelidiki kehidupan para penulis Alkitab, keadaan-keadaan yang mendorong untuk menulis, dan situasi historis para penerima tulisan-tulisan tersebut

-

Teologi Alkitab mempelajari penyataan dalam urutan yang progresif di mana penyataan tersebut diberikan serta mengakui bahwa penyataan itu tidak lengkap hanya melalui tindakan pada pihak Allah saja, tetapi harus dibeberkan dalam suatu urutan yang berkelanjutan dalam berbagai tingkatan dengan cara menggunakan orang-orang dari berbagai latar belakang. Jadi Alkitab merupakan catatan tentang perkembangan penyataan, dan teologi Alkitab memusatkan perhatiannya pada hal itu. Kebalikannya, Teologi Sistematika menganggap penyataan sebagai suatu keseluruhan yang lengkap.

Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab –Kitab Injil’

-

Teologi Alkitab mendapatkan sumbernya di dalam Alkitab.Sebenarnya, teologi sistematika ortodoks demikian juga. Hal ini tidak dimaksudkan bahwa teologi Alkitab maupun sistematika tidak dapat mencari atau memperoleh bahan dari sumber-sumber lain, tetapi teologi atau doktrin itu sendiri tidak berasal dari mana pun selain dari Alkitab.

 Historical Theology Adapun teologi historis berpusat pada apa yang dipikirkan oleh mereka yang mempelajari Alkitab dan ajaran-ajarannya, baik secara perorangan maupun bersama-sama, seperti yang diputuskan dalam konsili-konsili gereja. Teologi historis menunjukkan bagaimana gereja telah merumuskan mana yang benar dan mana yang salah, serta berguna untuk memberikan tuntunan kepada ahli teologi dalam pemahamannya sendiri maupun dalam pernyataan mengenai doktrin.Seorang yang belajar teologi dapat menjadi lebih efisien dalam pemahamannya sendiri tentang kebenaran dengan cara mengetahui berbagai kontribusi maupun kesalahan dalam sejarah gereja.

 Systematic Theology Adapun segmen dari teologi sistematika ialah menghubungkan data tentang penyataan Alkitab secara menyeluruh untuk menunjukkan gambaran total mengenai penyataan diri Allah secara sistematis. Teologi Sistematika bisa meliputi berbagai latar belakang historis, apologetik dan pembelaan, serta karya eksegesis. Tetapi fokusnya terletak pada struktur total tentang doktrin Alkitab. Dengan melihat ke tiga metode dasar diatas, maka dapatlah disimpulkan bahwa teologi adalah penemuan, penyusunan, dan penyampaian kebenaran- kebenaran tentang Allah. Dan penyataan-Nya. - Teologi

Historis

menyelesaikan

persoalan

teologi

dengan

cara

memusatkan perhatian pada apa yang telah dikatakan oleh pihak- pihak lainnya mengenai kebenaran-kebenaran tersebut sepanjang sejarah. - Teologi Alkitab melakukan teologi dengan cara meneliti penyataan progresif tentang kebenaran Allah. Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab –Kitab Injil’

-

Teologi Sistematika menyampaikan struktur secara total

2.2.

Korelasi antar Teologi

Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab –Kitab Injil’

Latar belakang penulisan menyangkut isu-isu seperti: penulis, tanggal penulisan, tujuan penulisan, dan situasi kondisi serta tujuan penulisan. Latar belakang penulisan diperlukan karena suatu penafsiran kadang berkaitan dengan studi tentang latar belakang penulisan. Contoh Eksegesis. Dimana eksegesis bertugas menjelaskan dan menafsirkan ayatayat Alkitab. Eksegesis bertugas untuk: menganalisis teks Alkitab menurut metode literal-gramatika-historikal. -

Bagian yang dipelajari harus dipelajari menurut arti yang umum dari suatu bahasa. Bagaimana kata atau kalimat itu pada umumnya dimengerti.

-

Bagian itu harus dipelajari menurut aturan tata bahasa. Eksegesis menuntut penelitian dari kata benda, karta kerja, kata depan , dll. untuk mendapatkan arti yang tepat dari bagian tersebut.

-

Bagian itu harus dipelajari sesuai dengan konteks historisnya. Apakah situasi politik, sosial, dan konteks budaya pada waktu itu

Teologi biblika harus diawali dengan eksegesis.

2.3.

Interpretasi Analitis Sebagai Metode Berteologi Urutan Dalam menetapkan interpretasi analitis sebagai metode berteologia adalah

sebagai berikut :

a. Alkitab yang adalah firman Allah harus menjadi patokan atau dasar dalam berteologi b. Penekanan terhadap statetment bahwa teologi bertugas menafsirkan isi Alkitab dari kitab Kejadian sampai Wahyu. c. Menganalisa apa yang hendak diajarkan Alkitab secara keseluruhan , kitab demi kitab, pasal demi pasal bagian perikop atau teks harus diteliti. Apa yang dimaksudkan penulis? Kemudian apa yang hendak diajarkan? d. Meneliti latar belakang sejarah, konteks budaya, dan penggunaan tata bahasa tertentu dari penulis Alkitab.

Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab –Kitab Injil’

3. Hubungan Antara Teologi dengan Disiplin ilmu Lain Mengenai hubungan antara Teologi dan Disiplin Ilmu/ Filsafat dapat dikelompokkan menjadi Tiga Sikap, yaitu: 3.1. Menolak disiplin ilmu  Tertulianus

(160-220)

mengatakan

bahwa

iman

adalah

Yerusalem, rasio adalah Athena  Marthin Luther berpendapat bahwa rasio adalah pelacurnya iblis, karena rasio sering mempertanyakan dan menolak firman Allah.

3.2. Filsafat Merendahkan Teologi / Memfilsafatkan Teologi 

H. Dooyeweerd berpendapat bahwa semua pemikir Yunani mengatakan bahwa teologia yang benar hanya dapat terwujud apabila teologia itu memiliki karakter filsafat dan bukan didasarkan atas iman, melainkan atas pemikiran teoritis sematamata.



Ibnu Rushid atau Aveeroes (1126-1198), seorang filsuf Arab : kebenaran yang mutlak tidak akan dijumpai dalam wahyu manapun, kecuali dalam karya tulis Aristoteles.

3. 3. Antara Teologi dan Filsafat terdapat Hubungan Kerjasama 

W. Pannenberg

mengatakan bahwa baik teologi maupun

disiPerjanjian Lamain ilmu sama-sama mengandung kebenaran umum yang terbuka bertemu pada titik ‘general reasonableness’. 

Agustinus (354-430) berpendapat bahwa iman itu mendahului

rasio, karena jikalau seseorang tidak percaya maka ia tidak akan mengerti. Allah dapat bekerja melalui rasio manusia, atau yang terutama melalui hatinya. Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab –Kitab Injil’

Dengan melihat berbagai pandangan mengenai teologi dan ilmu lain dapat ditarik sebuah kesimpulan adalah bahwa teologi maupun filsafat / ilmu lain tidak saling bertentangan, keduanya sangat penting dan saling melengkapi dalam proses penelitiannya. Dimana teologi menuntun orang percaya untuk berani menaklukkan dirinya kepada iman setelah menyadari keterbatasan dirinya, karena dengan hanya berbuat demikian rasionya beroperasi dengan kritis untuk mengenal yang benar. Dan disatu sisi, Filsafat dapat membantu teolog mengembangkan pemikian yang kritis melalui sarana teknik-teknik analisa yang ada dalam filsafat. Dan menyediakan kerangka agar teologi dapat wahyu Allah dengan media komunikasi yang relevan sehingga isi wahyu tersebut dapat dimengerti menurut situasi zaman tertentu.

B.

Pengertian Teologi Perjanjian Baru Teologi Perjanjian Baru merupakan ilmu teologi yang Alkitabiah dan bersifat

deskriptif (menggambarkan)

yang memuat 27 Kitab dalam Perjanjian Baru.

Mempelajari teologi Perjanjian Baru berarti mempelajari spesifik teologi yang terdapat di seluruh Kitab Perjanjian Baru. 1. Fungsi dari Teologi Perjanjian Baru Adapun fungsi dari mempelajari teologi Perjanjian Baru merupakan sebuah proses dan usaha untuk mengenal Dia (Kristus) dan pelayanan-Nya serta pekerjaan-Nya sehingga taat kepada-Nya. Adapun roh dari teologi Perjanjian Baru adalah suatu pernyataan Allah dan pekerjaan-Nya yang menaruh perhatian terhadap manusia. 2. Pendekatan dalam Teologi Perjanjian Baru Dalam

melakukan

pendekatan

terhadap

teologi

Perjanjian

Baru

menggunakan pendekatan Teosentris, artinya sebuah pendekatan yang berpusat pada Allah dengan memakai metode analisis, gramatikal, historis dan kontekstual. 

Analisis berarti menyelidiki atau penyelidikan terhadap sesuatu peristiwa untuk mengetahui atau memahami keadaan yang sebenarnya.



Gramatikal atau sesuai atau menurut dengan tata bahasa.



Historis berarti yang berhubungan dengan masa yang lampau atau sejarah

Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab –Kitab Injil’



Kontekstual yaitu situasi yang ada hubungan dengan kejadian atau suatu kejadian.

Di satu sisi, terdapat dua pokok penting dalam mempelajari teologi Perjanjian Baru, yaitu: (a) Memahami bahwa Allah menginformasikan tentang diri-Nya dan nasib daripada manusia. (b) Allah memperlihatkan diri-Nya dan memperlihatkan nasib daripada manusia.

C. Kesatuan Perjanjian Lama Dan Perjanjian Baru Dalam melihat dan usaha menemukan kesatuan antar teologi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Di bawah ini akan tertera beberapa pandangan baik menolak dan menerima ‘kesatuan’ dan melaluinya akan mempermudah pembelajar menganalisa dan mengindentifikasi kesatuan antar. Antara lain: 1. Rudolf Bultmann Bultmann mengatakan bahwa sejarah Perjanjian Lama merupakan sejarah kegagalan. Bultmann memandang Perjanjian Lama sebagai suatu kegagalan sejarah dan hanya karena kegagalan inilah Perjanjian

Lama

berubah menjadi semacam janji. Bagi iman Kristen Perjanjian Lama tidaklah lagi merupakan penyataan sebagaimana halnya bagi orang Yahudi hingga kini. Bagi orang Kristen sejarah Israel bukanlah sejarah penyataan.

Bultman

menyokong pandangan tentang tidak adanya hubungan teologis sama sekali antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru. Hubungan antara kedua perjanjian sama sekali tidak relevan secara teologis. Kegagalan kepemimpinan Allah dan umat-Nya menjadi dasar keadaan manusia yang dibenarkan timbul hanya berdasarkan kegagalan ini. 2. Walter Zimmerli Mengatakan telah dengan tepat menanyakan apakah Perjanjian Baru “harapan-harapan dan sejarah Israel benar-benar hanya simpang siur. Tidakkah dalam Perjanjian Baru ada penggenapan. 3. W. Pannerberg W. Pannerberg mencatat sebabnya Bultmann tidak menemukan hubungan antara kedua perjanjian itu “pasti berkaitan dengan kenyataan bahwa Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab –Kitab Injil’

Bultmann tidak memulai dengan janji-janji serta struktur janji-janji tersebut yang bagi Israel merupakan landasan sejara, janji-janji yang justru bertahan dalam perubahan. 4. Baumgartel Baumgartel melihat makna Perjanjian Lama hanya dalam hal “sejarah kehancuran keselamatan” yang mengecewakan di dalamnya menunjukkan cara manusia yang hidup di bawah Hukum Taurat.

Dengan demikian

Perjanjian Lama merupakan kesaksian yang berasal dari agama bukan Kristen. Hubungan Yesus Kristus dengan sejarah tidak berlandaskan pada Perjanjian Lama. 5. Wilhelm Vischer Wilhelm Vischer menginginkan agar eksegesa Perjanjian Lama didominasi oleh Perjanjian Baru sehingga dengan demikian Perjanjian Lama menjadi sangat penting. Tegasnya hanya Perjanjian Lama yang merupakan “Alkitab” sedangkan Perjanjian Baru membawa kabar baik yang kini merupakan isi Alkitab yaitu makna seluruh perkataaannya, Tuhanlah dan yang menggenapinya kini telah muncul secara jasmani. 6. A.A. van Ruler A.A. van Ruler menjelaskan bahwa Perjanjian Lama adalah dan tetap merupakan Alkitab yang tulen. Perjanjian Baru menafsirkan Perjanjian Lama dan juga Perjanjian Lama menafsirkan Perjanjian Baru. Perjanjian Lama merupakan Alkitab yang sebenarnya dan hakiki dengan Perjanjian Baru sebagai sambungannya. 7. Marcion menegaskan menolak Perjanjian Lama dari kanon gereja.

Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab –Kitab Injil’

BAB II INTRODUKSI TEOLOGI PERJANJIAN BARU

A. Sejarah Teologi Perjanjian Baru 1. Periode Masa Pencerahan sampai Teologi Dialektis Pada masa pencerahan hingga kepada masa dialektis, teologi Biblika memisahkan diri dari subordinasi Dogmatika (Teologi Sistematika). Dimana Teologi Biblika menjadi

ilmu historis yang

menjelaskan “what it meant”. Sedangkan penafsirannya, yaitu “what it means” sangat bergantung pada filosofi umum yang berlaku pada zamannya. Adapun pendekatan yang dipakai, antara lain: (a) Purely Historical, (b) Positive Historical dan (c) History of Religion. Dimulai tahun 1813-1821, Gottlob Philipp Christian Kaiser menulis Die biblische Theologiae yang dibangun dengan metode penafsiran “the grammatico- hictorical” yang dikombinasikan dengan titik pandang filosofis universal dari sejarah agama. Metode ini secara total menolak supranaturalisme. Mula-mula ia menggunakan pendekatan “history of religion” dan mengsubordinasikan semua aspek biblikal dan non biblikal di bawah prinsip agama secara universal. Dan Willem Martin Leberechte de Wette, tahun 1813 menulis

Biblische Dogmatik des Alten und Neuen Testaments. Karya ini melepaskan diri dari rasionalisme, dan mengkombinasikan Teologi Biblika dengan sistem filosofis. Hasilnya,

sintesis

iman

dan

perasaan berpindah ke dalam perkembangan genetis agama, yaitu dari “Hebraism” melalui “Judaism” kepada kekristenan. Hal itu berarti ada kesatuan material antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sehingga Teologi Perjanjian Baru dipahami sebagai fenomena sejarah agama-agama. Segala sesuatu yang lokal, temporal, individual dan partikular harus dikeluarkan agar sampai pada keabadian, general dan yang akhir. Dalam upaya ini nampaknya ada masalah metodologi yang tidak terselesaikan karena de Wette berupaya mengkombinasikan Teologi Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab –Kitab Injil’

Biblika dengan interes Dogmatika.

Dan pendekatan (d) History of Salvation KW Stein menyanggah de Wette dengan mengatakan bahwa hanya pendekatan Historis Kritis yang dapat membawa Teologi Perjanjian Baru secara murni dan lengkap. Menurutnya pikiran-pikiran para penulis Perjanjian Baru yang berbeda tidak dapat disatukan dalam satu sistem. Perjanjian Baru dibentuk dari berbagai teologi, namun tidak ada Teologi Perjanjian Baru pada waktu itu dan kemudian mencoba untuk menjadikan pengajaran Yesus sebagai pusat dan kesatuan dalam Perjanjian Baru. Menurut

Von

Colln,

dialah

yang

terakhir

mempresentasikan sebuah Teologi Biblika yang dibangun di atas rasionalisme. Namun O Merk menyimpulkan bahwa hasil akhir dari von Colln adalah sebuah teologi Dogmatik yang dimodifikasi, sebab von Colln tidak secara tajam memisahkan tugas historis kritis Teologi Biblika dari tugas interpretasi (dogmatika). David F. Strauss & F.C. Baur Pada tahun 1835, David Friedrich Strauss menerbitkan tulisannya “Life of Jesus‘ yaitu sebuah reinterpretasi radikal tentang penilaian Perjanjian Baru terhadap Yesus. Ia menetapkan interpretasi mistis dari laporan Injil yang memberikan dasar transformasi fakta historis dan diperbesar oleh iman kelompok orang Kristen mula-mula. Staruss menggunakan metode filosofis Hegel, dimana interpretasi supernaturalistis sebagai tesis yang ditentang dengan interpretasi rasionalistis sebagai antitesis. Akhirnya, Strauss menyimpulkan sebuah sintesis yaitu interpretasi mistis. Dan tahun 1864 F.C. Baur menerbitkan buku “Lectures on New Testament Theology”. Baur memandang yang menjadi tesis adalah Kekristenan Yahudi dan antitesisnya adalah kekristenan non Yahudi. Keduanya menghasilkan sintesis dalam bentuk Katolisisme mula-mula pada abad kedua. Untuk itu Baur memandang Teologi Perjanjian Baru sebagai pengetahuan sejarah murni. Baur menganggap pengajaran Yesus sebagai ‘pre history’ dari Teologi Perjanjian Baru, bukan menjadi bagian dari Teologi Perjanjian Baru itu sendiri. Nampaknya Baur sangat dipengaruhi metode dialektik Hegel dan secara berlebihan menekankan pengaruh Yudaisme dalam Kekristenan mula-mula.

Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab –Kitab Injil’

Lossius – DL Cramer & Ludwig F. O. Baumgarten - Crusius Pada dekade awal abad ke-19 ada pendekatan “positive historical” yang diprakarsai MFA Lossius dan DL Cramer. Keduanya memiliki konsep yang sama dan berpengaruh penting di abad terakhir. Lossius menggabungkan pendekatan “concept of doctrines” dengan pendekatan historis. Menurutnya ada tiga kemungkinan penulisan Teologi Perjanjian Baru yaitu : penekanan setiap penulis Perjanjian Baru secara terpisah, atau penggunaan pendekatan sistematis dari konsep doktrin, atau kombinasi keduanya. Metode ini bisa disebut sebagai pendekatan “positive historical”, namun bisa juga disebut sebagai antitesis terhadap kritikisme radikal tentang tradisi Perjanjian Baru.* Tahun 1828, Ludwig F.O Baumgarten-Crusius menulis Outline of Biblical Theology. Ia menyajikan sebuah sistem konsep biblikal murni untuk menjadi dasar dan norma bagi doktrin dan sebagai titik berangkat dari sejarah dogma. Ia meyakini bahwa kesatuan alkitab didasarkan atas tema umum yaitu Kerajaan Allah yang menyatukan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Masalah kesatuan dan kepelbagaian (diversity) dalam Perjanjian Baru menjadi isu penting yang diangkat oleh August Neander. Ia membedakan para rasul dan membedakan penyampaian berita para rasul untuk menekankan kesatuan yang hidup dari pengajaran Yesus. Pandangan Neander berpengaruh pada Christian Friedrich Schmidt yang nampak dalam tulisannya Biblical Theology of NT. Schmid konsisten dengan presentasi “historical genetic” dari tulisan-tulisan kanonik Perjanjian Baru. Schmid percaya bahwa ada kesatuan esensial di bawah Perjanjian Baru yang direfleksikan dalam doktrin para penulis Perjanjian Baru yang berbeda. Pandangan yang serupa juga dikemukakan oleh George Ludwig Hahn (1854) dan Herman Messner (1856). Mereka menyetujui beberapa hal , yaitu : adanya kesatuan dalam keragaman, Teologi Perjanjian Baru hanya dikonsentrasikan pada tulisan kanonikal, metode umum yang digunakan adalah “historical-critical” dan secara umum mempresentasikan pengajaran Perjanjian Baru di bawah bimbingan secara tradisional dari dogmatika.

Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab –Kitab Injil’

Pendekatan lainnya terhadap Teologi Perjanjian Baru disebut “modern positive” yang diprakarsai Tubingen School. Tahun 1868, Bernhard Weiss menulis Textbook of the Biblical Theology of the New Testament. Pendekatan Weiss lebih konservatif dibanding Neander, Schmid, Hahn dan Messner. Ia tetap positif, karena tidak menyoroti hubungan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru bahkan menerima Injil Yohanes secara total sebagai sumber pengajaran Yesus. Weiss meyakini bahwa Teologi Biblika (Perjanjian Baru) telah menjelaskan beragam bentuk pengajaran dari tulisan Perjanjian Baru yang berbeda. Ia menggunakan penafsiran gramatikal historis. Itu berarti bahwa dasar hemeneutiknya berakar pada posisi dimana “menafsirkan setiap penulis dari tulisannya sendiri”. Secara menyeluruh metode Weiss dicirikan melalui sebuah pendekatan “concept of doctrine” teologis. Pendekatan

yang

lain

lagi

disebut

“salvation

history”

(sejarah

keselamatan). Pendekatan ini didasarkan pada : 1) sejarah umat Allah sebagaimana diekspresikan dalam Firman, 2) Ide Inspirasi Alkitab, 3). Hasil awal dari sejarah antara Allah dan Manusia dalam Yesus Kristus. Salah seorang penganut pendekatan ini ialah Konrad von Hofman. Ia menemukan dalam alkitab sebuah laporan sejarah keselamatan secara linear dimana Tuhan yang aktif dalam sejarah adalah Allah Tritunggal yang bertujuan menebus manusia. Menurutnya, Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru berisi proklamasi sejarah keselamatan. Hofman tidak mengintegrasikan Perjanjian Baru dalam sejarah umum melainkan membawanya dalam hubungan dengan Perjanjian Lama sebagai sejarah keselamatan. Pandangan ini menggabungkan prinsip Reformasi yang “membiarkan Alkitab menafsirkan Alkitab” dengan pemahaman modern mengenai sejarah. Ia memahami bahwa sejarah umat Allah dipresentasikan dalam Firman. Dalam hal ini karya Roh Kudus telah menghasilkan kitab-kitab dan mempersatukan mereka dalam satu Alkitab.

Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab – Kitab Injil’

Von Hofman berpengaruh kepada Theodor Zahn. Namun Zahn tidak menerima Teologi Perjanjian Baru sebagai sistem pengetahuan agama, melainkan sebagai sebuah penyajian teologi dalam Alkitab yang harus dipresentasikan dalam perkembangan sejarahnya dan menurut langkah-langkah sejarah keselamatan. Konsep Teologi Perjanjian Baru-nya dimulai dengan Yohanes Pembaptis yang merupakan pewujudan dari prediksi profetik, namun pada saat yang sama penggenapan janji terhadap penyataan ilahi yang terakhir sekaligus sebagai pembuka epoh akhir dari sejarah keselamatan. Dengan demikian Zahn memakai pendekatan “concept of doctrine” yang secara khusus kembali kepada Perjanjian Lama. Adolf Schlatter Teolog Perjanjian Baru konservatif lain yang bisa dimasukkan sebagai penganut pendekatan sejarah keselamatan ialah Adolf Schlatter. Ia menulis Atheistic Methods in Theology (1905). Ia menolak ateisme yang melekat dalam pendekatan historis kritis modern dan memelihara metode historis modern. Metode ini mengusahakan untuk mempelajari pengembangan kekristenan di atas dasar sejarah yang murni tanpa pekerjaan Allah adalah ateistis. Ia menerima obyek Teologi Perjanjian Baru yang menginginkan untuk menetapkan pengetahuan menjadi kata Perjanjian Baru. Menurutnya, Gereja merupakan hasil dari proklamasi Perjanjian Baru. Kenyataan bahwa sejarah Perjanjian Baru dan kata yang bersaksi merupakan dasar eksistensi kekristenan diekspresikan oleh Perjanjian Baru sebagai Kanon. Ia mendukung teologi Perjanjian Baru Kanonikal karena ia menganggap semua dokumen Perjanjian Baru adalah asli (kecuali 2 Petrus). Ia mengkritik pemahaman liberalisme yang menganggap sejarah sebagai wilayah tertutup yang tidak meninggalkan tempat bagi transendensi. Sebaliknya, Ortodoksi beranggapan bahwa Allah bertindak di depan sejarah bukan di dalam dan melalui sejarah. Untuk itu Schlatter menyatakan bahwa

Penyataan

dan

Sejarah

tidak

dapat

disatukan.

Ini

sekaligus

menghancurkan pandangan bahwa riset sejarah merupakan penyangkalan terhadap penyataan. Statemen tersebut bisa dipahami jika kita menerima realitas sebagai Allah bertindak dalam sejarah. Ia berangkat dari keyakinan bahwa kesaksian Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab – Kitab Injil’

Perjanjian Baru disatukan dalam semua keberagamannya dan bahwa iman merupakan sebuah presuposisi untuk pemahaman menyeluruh dari tulisantulisan Perjanjian Baru. Kesatuan kesaksian Perjanjian Baru memiliki dasar historis dalam “lingkungan Yesus dan pengikut-Nya yang adalah “Palestinian Judaism”yang memadai untuk Teologi Perjanjian Baru.

William Wrede & Heinrich Julius Holtzman Pendekatan terhadap Teologi Perjanjian Baru yang lain disebut “religio historical” yang dirintis oleh William Wrede dalam tulisannya ‘Concerning the Task and Method of So-Called New Testament Theology’ (1897). Namun karya yang paling monumental ditulis oleh Heinrich Julius Holtzman tahun 1897 berjudul Texbook of New Testament Theology. R Bultmann menyebut karya Holtzman ini sebagai sebuah model “critical conscientiousness”. Sedangkan R. Morgan menyebutnya sebagai sarjana historis kritis klasik. Holtzman sendiri menolak pandangan konservatif Weiss mengenai kepenulisan,

isolasi

Perjanjian Baru dari pemikiran dunia sekitarnya, dan khususnya mengenai penyataan yang dapat dipresuposisikan oleh ilmu tertentu. Holtzman mengikuti metodologi Baur, namun meninggalkan Hegelianisme. Ia tidak bermaksud untuk mengisolasi Perjanjian Baru dari lingkungan kultural. Ia lebih menganut metode “concept of doctrine” dan menempatkan para penulis Perjanjian Baru secara terpisah tanpa hubungan. Secara umum Holtzman berpendapat bahwa riset historis di bidang teologi biblika merupakan urusan teologis. Hingga akhir abad ke-19 teologi Perjanjian Baru telah terpisah dari dasar yang diletakkan Gabler dan Bauer. Bahkan Adolf Deismann menyimpulkan dalam tulisannya yang berjudul Concerning the Method of the Biblical Theology of New Testament (1893) bahwa 100 tahun setelah Gabler banyak yang menyangsikan kemurnian karakter historis teologi Perjanjian Baru. Deismann tetap berpendapat bahwa “concept of doctrine” tidak harus dipaksakan atas Perjanjian Baru. Menurutnya, tujuan teologi Perjanjian Baru adalah untuk menghasilkan pemikiran religio-etis dari kekristenan mula-mula, yang meliputi tiga tugas besar, yaitu : a) menentukan isi pemikiran religio-etis, b) menentukan formasi tunggal yang unik dari kesadaran kekristenan mula-mula, c) menyediakan penyajian total dari kesadaran kekristenan mula-mula. Pada dasarnya para ahli sejarah Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab – Kitab Injil’

menggariskan sebuah penyajian sistematis. Di sisi lain, ini merupakan penetapan historis bagi upaya mendemonstrasikan kesatuan dalam kepelbagaian dari kesaksian klasik kekristenan mula-mula. Wrede juga menyerang pendekatan “concept

of

doctrine”.

Menurutnya, teologi biblika belum berada dalam

disiPerjanjian Lamain ilmu sejarah dengan benar dan tegas. Ia justru menegaskan dengan jelas dan konsisten pendekatan otonomi historis. Baginya, tulisan-tulisan Perjanjian Baru harus dimengerti dan ditafsirkan sendiri di atas dasar kultur pada masanya sendiri. Itu berarti metode “concept of doctrine” harus ditolak. Wrede menyetujui metode “history of religion”, karena menurutnya, teologi Perjanjian Baru tidak berkonsentrasi pada teologi melainkan ‘religion’. Baginya yang menjadi tuan bukan “concept of doctrine” melainkan sejarah. Meskipun ia tidak menyangkali peran “concept” dalam teologi Perjanjian Baru,

namun

teolgi

Perjanjian Baru

harus menunjukkan kepada kita

karakter yang khas dari ide-ide dan persepsi kekristenan mula-mula, sehingga dapat membantu kita memahami mereka secara historis. Untuk itu Wrede mengusulkan program yang harus dilakukan, yaitu: -

Membebaskan diri secara total dari interes gereja dan dari pertanyaanpertanyaan dogmatik

-

Menganggap ‘disinterested’ teologi

-

Berkomitmen terhadap konsistensi metode historis

-

Menyajikan religi kekristenan mula- mula

-

Studi sumber-sumber tanpa terikat pada kanon

-

Berusaha menunjukkan karakter khas dari ide dan persepsi kekristenan mula-mula

-

Menjelaskan ‘concept’ religi kekristenan mula-mula dengan sebuah pandangan untuk mengindikasikan perkembangan

-

Membangun di atas pendekatan “history of religion”.

Program “religio-historical” Wrede berpengaruh pada Heinrich Weinel dalam tulisannya, Biblical Theology of the New Testament (1911). Dalam sub judul “the religion of Jesus and Early Christianity” menunjukkan perhatiannya pada pendekatan “religio-historical”. Weinel sangat menekankan “religion of Jesus” sebagai sebuah “ethical religion of redemption” yang berbeda dengan “mythycal religion of redemption”. Keduanya merupakan kesatuan dalam religi dari Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab – Kitab Injil’

kekristenan mula-mula. Ini menunjukkan pengaruh dialektika Hegel.

Wilhelm Bousset Dua tahun kemudian Wilhelm Bousset menerbitkan Kyrios Christos (1913). Ia menggarisbawahi sejarah asal-usul dan perkembangan religi kekristenan. Ia mengklaim bahwa dalam banyak kasus orang Kristen adalah penyembah misteri sebelum mereka diubahkan. Semua yang terjadi adalah pemindahan konsep dari allah-allah misteri kepada Yesus orang Nasaret. Menurutnya, Kyrios dari gereja Helenistik mula-mula adalah suatu kekuatan yang hadir dalam pemujaan dimana orang percaya memiliki hubungan sakramental dengan-Nya. Semua proses ini terjadi dalam bagian yang tidak disadari dan dikontrol dari jiwa komunitas secara total. Menurut E. Troeltsch, ini menunjukkan bahwa metode historis kritis memiliki mental presuposisi “a whole world view”. Itu berarti bahwa riset sejarah selalu dikondisikan oleh filsafat terkini pada zamannya.

2. Dari Teologi Dialektik sampai Masa Kini Dalam periode sesudah Perang Dunia I terdapat beberapa faktor yang menunjukkan situasi baru dalam dunia teologi. Beberapa situasi baru tersebut menurut RC Denton adalah : a) Kekalahan iman naturalisme evolusionisme, b)

secara

umum

dalam

Sebuah reaksi melawan keyakinan bahwa

kebenaran historis dapat dicapai melalui obyektivitas ilmu murni, c) Trend untuk kembali kepada ide penyataan dalam teologi Dialektis (neo-ortodoks), d) Pembaharuan interes teologi sangat besar. 2.1.

Karl Barth Karl Barth menandai perubahan radikal dalam hermeneutik dan teologi.

Perang Dunia I membuatnya mempertanyakan teologi liberal. Ia memilih kembali kepada doktrin lama tentang inspirasi dan melahirkan teologi Dialektik (neoortodoks). Ia menekankan sisi ilahi dari hubungan Allah-manusia. Allah merupakan sumber penyataan yang memerintahkan dan melakukan “postcritical interpretation of scripture”. Ini merupakan penafsiran yang tidak melekat pada problem historis kritis, melainkan menerapkan kepada saksi penyataan yang Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab – Kitab Injil’

ada dalam Alkitab. 2.2 . Rudolf Bultmann Rudolf Bultmann memperkenalkan ‘kritik bentuk’ dan ‘demitologisasi’ serta memberi kontribusi dalam perdebatan mengenai ‘historical Jesus’. Ia berangkat dari riset ‘purely historical’ dan sekolah ‘history of religion’ serta berdiri pada tradisi historis kritis. Selain itu, ia juga menggunakan filsafat Eksistensialisme. Bultman juga berusaha menggabungkan pertanyaan historis dengan teologis. Ia tidak ingin memisahkan ‘reconstruction’ (biblikal) dari ‘interpretation’ (dogmatik) atau ‘what it meant’ dari ‘what it means’.

2.3. Post Bultmanians Pandangan Bultmann ini mendapat tanggapan luas, termasuk dari Hans Conzelmann, P Vielhauer dan murid-muridnya : Gunther Klein, Georg Strecker dan Walter Schmithals. Reaksi yang paling signifikan pada tahun 1950-an datang dari Ernst Kasemann yang mempersoalkan tentang ‘Yesus sejarah’ bersama Ernst Fuchs, JM Robinson dan Gunther Bornkamm. Mereka disebut sebagai kelompok Post-Bultmanians. Tahun 1960-an beberapa Post-Bultmanians meninggalkan hermeneutik Bultman, khususnya mengenai eksistensialisme Heideger. Kemudian mereka membangun hermeneutik baru. Tahun 1976 hermeneutik baru itu disebut sebagai ‘symptomatic’ Perjanjian Baru oleh JM Robinson. Hermeneutik ini berpindah dari konstruksi doktrin kepada gerakan bahasa yang dapat ditafsirkan menurut dunia modern baik secara teologis, ontologis, kosmologis, politis, dll. Peter Stulhmacher (1975) menyebutnya sebagai ‘hermenuticof approval’. Mereka akhirnya kembali kepada gerakan ‘salvation history’.

Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab – Kitab Injil’

2.4.

Martin Heidegger Ia berusaha menafsirkan ulang berita (kerygma) Perjanjian Baru ke dalam

pemikiran manusia modern. Ia mencegah manusia modern untuk membuat keputusan eksistensial yang berdasar pada bahasa mitologis Perjanjian Baru. Berita

Yesus

mengandung

mitologi

apokaliptik.

Inilah

yang

harus

didemitologisasikan. 2.5.

Teolog Katolik Selain para teolog Protestan ada juga teolog Katolik yang berperan pada

masa ini, seperti : A Lemonnyer, O Kuss, M Meinertz, J Bonsirven. Gerakan ‘Catholic Biblical’ didorong oleh ensiklik Paus Pius XII (1943) yang berjudul Divino Afflante Spiritu yang memerintahkan para teolog Katolik Roma untuk menggunakan metode modern dalam studi Alkitab. Dengan metode modern lahir beberapa teolog Katolik, di antaranya yang menonjol ialah German Karl H. Schelke, Spaniard M. Garcia Cordero (1972), Rudolf Schnackenburg (1961), Wilfrid Harrington (1973). 2.6.

E. Stauffer : Pendekatan Sistematis dengan menyusun tema-tema teologis Teolog lain yang menonjol ialah E Stauffer. Ia memilih pendekatan

sistematis dengan menyusun tema-tema teologis. Materinya mengikuti teologi Kristosentris dari sejarah dalam Perjanjian Baru yang dibangun di atas tradisi ‘the old Biblical’. Pendekatan ini berdasar pada ‘sejarah keselamatan’. 2.7.

Teologi pertumbuhan gereja Sedangkan teolog Amerika, FC Grant menyebutkan bahwa teologi

Perjanjian Baru adalah teologi pertumbuhan gereja kristen sebagaimana terefleksi dalam Perjanjian Baru, bukan sebagai produk yang sudah selesai, namun terus sedang dalam proses. 2.8.

Pendekatan Historis Sesudah itu muncul teolog-teolog dengan pendekatan historis, seperti

AM Hunter dan pendekatan ‘modern historical’ seperti : Alan Richardson, F Stagg , RE Knudsen, WG kummel, J Jeremias, E Lohse, Stephen C. Neill. Lahir Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab – Kitab Injil’

juga teolog injili seperti : George Eldon Ladd dan BS Childs. Khususnya Childs telah berhasil merumuskan “Biblcal Theology Movement” yang berrisi enam poin berikut : 1) menentang sistem filsafat, 2) kontras di antara pikiran Ibrani dan Yunani, 3) menekankan kesatuan Perjanjian, 4) keunikan Alkitab yang menentang lingkungannya, 5) reaksi menentang teologi liberal lama, 6) penyataan Allah dalam sejarah.

B. Metodologi Teologi Perjanjian Baru Dalam bab ini penulis hendak membahas tentang isu – isu metodologi yang muncul, dengan meneliti 4 pendekatan utama tentang teologi Perjanjian Baru masa ini, masing – masing pemdekatan akan diwakili oleh ahli, sebagai berikut: 1. Pendekatan Tematik 1.1.

Alan Richardson : Bukunya yang berjudul ‘Pengantar kepada Teologi Perjanjian

Baru’ (1958), mengatakan bahwa satu – satunya cara untuk mengetahui apakah suatu gereja apostolik mempunyai teologi yang benar dan disusun dari Kitab Perjanjian Baru atau tidak, adalah dengan membuat hipotesa tentang teologi yang mendasarinya dengan memakai kitab Perjanjian Baru dan menguji hipotesanya dengan mengacu pada teks itu dengan pengetahuan sejarah, kritikal, bahasa, filsafat, arkeologi dan metode – metode lain.

1.2.

Karl H. Schelkle : Ia berasal dari universitas Tubingen, Jerman, menulis 4 jilid buku

Teologi Perjanjian Baru, yang tujuannya hendak memberi ‘Teologi Perjanjian Baru yang telah dipersatukan’. Metodologinya tidak mengikuti perkembangan sejarah dari Kergyma dan refleksi yang ada dalam struktur Perjanjian Baru itu sendiri, tetapi ia mencari kata – kata, konsep – konsep dan tema – tema yang berbobot dalam Perjanjian Baru, dan menerangkan

ringkasan

sistematikanya,

misalnya

apa

yang

perlu dipikirkan mengenai bentuk sesungguhnya dan arti dalam tiap – tiap tulisan yang membentuk Perjanjian Baru. Baru pada jilid ke-3, dia Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab – Kitab Injil’

mendiskusikan pemahamannya mengenai metodologi, sifat – sifat dan tujuan dari Teologi Perjanjian Baru.

2. Pendekatan Eksistensialis 2.1. Rudolf Bultmann : Pendekatan Bultmann ialah dengan mengadakan penelitian yang arahnya sejarah murni dan ia berakar mendalam pada pengajaran sejarah agama. Jadi pertama – tama akar sejarahnya mengandalkan pada metode penelitian sejarah kritikal, dan juga berhubungan dengan teologi dialektikal ( 1920 ), khususnya K. Barth, dan F. Gogarten. Ia mengatakan bahwa sejarah itu tidak hanya tentang masa lalu, tapi juga ada hubungannya dengan waktu sekarang. Hal pokok dalam sejarah ialah tentang realita, bukan sejarah super, tetapi suatu peristiwa pada waktu tertentu. 2.2. Hans Conzelmann : Satu – satunya murid Bultmann yang menulis tentang “Garis Besar Teologi Perjanjian Baru” ( 1967 ). Ini adalah Teologi Perjanjian Baru Protestan yang pertama, yang muncul di Jerman. Isinya ialah mengenai Teologi Perjanjian Baru, Helenistik dan lingkungan Yudaistik, Sinoptik Kerygma membahas tentang Teologi Paulus, Perkembangan setelah Paulus dan Teologi Yohanes. Ia menyatakan adanya perubahan dalam hubungannya dengan rekonstruksi dan interpretasi, yaitu lebih cenderung ke arah sejarah daripada normatif. Ia mengatakan ada kecenderungan baru terhadap positivisme dan relativisme sejarah

Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab – Kitab Injil’

3. Pendekatan Sejarah 3.1. Werner G. Kummel Ia bukan pengikut ajaran Bultmann. Ia mengemukakan suatu penelitian yang mengarah pada ‘sejarah modern’, dan menekankan pada khotbah – khotbah Yesus dan teologi Paulus. Dan menentang latar belakang komunitas primitif. Ia juga menerima pesan – pesan Kristus dalam Injil Yohanes, yang diletakkan pada awal Teologi Perjanjian Baru. Ia mengatakan bahwa Paulus adalah saksi yang dapat dipercaya dan merupakan ‘interpreter’ ( penerjemah ) Yesus. 3.2. Joachim Jeremias : Ia terkenal sebagai teolog yang melakukan penelitian yang mengarah pada ‘sejarah-positif’. Ia menjadi pengkritik yang paling tajam dari ‘pendekatan Bultmann, yang membuat Teologi Perjanjian Baru itu sebagai suatu teologi – kerygmatic, dan mengembangkan suatu “antikritik sejarah yang intensif”. Berusaha mencoba mencari kebenaran – kebenaran sejarah untuk melindungi Firman dan sangat tertarik pada kata – kata Yesus dan berharap orang – orang sekarang juga dapat mendengar suara Yesus.

Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab – Kitab Injil’

4. Pendekatan Sejarah Keselamatan 4.1. Oscar Cullmann : Ia dulunya mengajar di Universitas Basel dan Sorbonne di Paris. Ia merupakan wakil yang mempelopori ‘Pendekatan Sejarah Keselamatan’ pada Perjanjian Baru ( 1946 ). Ia berusaha memberikan garis besar dasar – dasar sejarah keselamatan Perjanjian Baru, melalui rekonstruksi pemahaman orang Kristen mula – mula pada waktu itu. Kristus menjadi “pusat waktu”. 4.2. George E. Ladd : Ia terkenal sebagai profesor dan Penginjil di Amerika Utara. Ia memberikan skala lengkap mengenai teologi Perjanjian Baru, yang tujuannya adalah supaya mahasiswa seminari mengenal disiPerjanjian Lamain ilmu dari Teologi Perjanjian Baru. Ia tidak membedakan antara Teologi Biblikal dan Teologi Perjanjian Baru, tetapi ia mendefinisikan sejarah dan metode sejarah sebagai dasar presuposisi yang berbeda – beda. Sejarah keselamatan dirancang sebagai sejarah penebusan atau sejarah kudus, yang terdiri dari suatu rangkaian peristiwa dimana Allah menyatakan diri- Nya. 4.3. Leonhard Goppelt : Ia mengajar di Universitas Munich. Selama 10 tahun penuh, ia bekerja terus menerus mengenai Teologi Perjanjian Baru. Ia memberi informasi yang sangat mendetail tentang ‘Sejarah dan Masalah – masalah tentang DisiPerjanjian Lamain Ilmu’ dari seluruh teologi Perjanjian Baru.

Eddy Simanjuntak – Teologi Perjanjian Baru ‘Kitab – Kitab Injil’

Dengan melihat penelitian terhadap 4 pendekatan utama dari teologi Perjanjian Baru di atas, maka dapat dilihat bahwa tak ada persetujuan diantara pemimpin – pemimpin Teologi Perjanjian Baru mengenai metodologinya. Oleh sebab itu, kesimpulan yang bisa dipetik adalah adalah bahwa (a) Pendekatan Tematik sejalan dengan metode persimpangan dimana ada beberapa tema yang diperlakukan sama. (b) Salah satu masalah metodologikal yang terutama dari Teologi Perjanjian Baru adalah pertanyaan mengenai tempat Yesus itu ada dimana dalam Teologi Perjanjian Baru. (c) Isu tentang metodologikal berhubungan dengan apakah memang ada Teologi Perjanjian Baru atau apakah ada penelitian sejarah dari Perjanjian Baru dan terakhir adalah (d) salah satu masalah metodologi fundamental yang paling serius bagi Teologi Perjanjian Baru ialah isu mengenai rekonstruksi sejarah dan interpretasi teologikal.

30

C. Hubungan Teologi Perjanjian Lama dengan Teologi Perjanjian Baru Salah satu masalah yang paling menarik

dalam dunia kekristenan

adalah ‘hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru’. Begitu komPerjanjian Lamaeks nya masalah ini sehingga dapat dilihat dari banyaknya Literatur yang membahasnya. Kita akan melihat beberapa pandangan tentang hal ini. 1. Pandangan Alkitab 1.1. Perjanjian Lama memandang ke depan Perjanjian Lama adalah kitab yang menekankan hal pada masa lalu dan masa kini, namun tidak dapat dipungkiri bahwa Perjanjian Lama memandang ke depan kepada yang Baru. Pandangan ke depan ini sangat menonjol, sehingga Bultmann misalnya mengatakan bahwa pandangan Perjanjian Lama tentang hari depan merupakan faktor yang menentukan dalam pandangannya mengenai Allah, manusia dan sejarah. Pada dasarnya pandangan ke depan yang dikembangkan oleh para nabi ini menyangkut empat hal utama, yaitu : (a) Satu Waktu, yaitu “Hari Tuhan” ( h w h y m oOOoowoo y = Yom Yahweh ), mis. Amos 5 : 18 – 20; kadang-kadang istilah ini dipakai dengan istilah “Hari Pembalasan” ( Yes. 34 : 8; 46 : 10 ) dan juga “Pada hari itu” ( Yeh. 29 : 21; Amos 3 : 14 ). (b) Satu Oknum, yaitu “Messias” Umat Israel memusatkan pengharapannya di hari depan pada “Satu Oknum”, yaitu Messias yang akan dikirim oleh Tuhan untuk campur tangan dalam sejarah, yang dihubungkan dengan “Anak Daud ( II sam. 7; Yes. 9 : 11 ) dan “Hamba Allah” ( Yes. 42 : 49, 50, 53 ). (c) Satu Tempat, mengenai hal ini ada dua pandangan yang utama, yaitu :

31

kembalinya Firdaus atau Eden ke dunia ini ( Yes. 11 : 6 – 9; 25 : 8; Amos 9 : 13; Mikha 4 : 3 ) dan Pengharapan akan pembaharuan Satu Tanah Kudus dan Kota Kudus ( Yes. 62 ; 4; Yeh. 20 : 45; Yes. 60 : 66; Yeh. 40 : 48; Mikha 4 : 1 – 2 ). (d) Satu Umat, yaitu pengharapan akan dibaharuinya Satu Umat, yaitu Umat Tuhan. Para nabi menegaskan bahwa setelah penghukuman akan ada pemulihan ( Yer. 29 : 14; 30 : 3; Yeh. 16 : 53; Zef. 3 : 30 ). Pembuangan akan diikuti dengan “Sisa” yang kembali ( Yes. 7 : 3; 10 : 20 –22; Yes. 23 “ 3; Mikha 2 : 12 ), dengan mereka akan diadakan suatu Perjanjian Baru ( Yes. 30 – 33; Yeh. 16 : 60; 34 : 25 – 31 ) dan Tuhan akan memberikan Roh yang baru kepada mereka ( Yeh. 11; 19; 36 : 26; 37; Hos. 6 : 1 – 3; Yeh. 18 : 31 ). 1.

Perjanjian Baru Jika Perjanjian Lama memandang ke depan maka Perjanjian Baru memandang ke belakang, yaitu kepada Perjanjian Lama dengan suatu keyakinan bahwa Mesias yang diharapkan itu sudah datang, Hari Tuhan sudah tiba, serta pembaharuan “Kota Kudus” dan “Umat Tuhan” akan mulai. 1.1.

Perjanjian Lama adalah dasar teologis dan historis penulisan Perjanjian Baru Dalam bukunya “According to The Scriptures” C.H. Dodd telah

menunjukkan bahwa Gereja mula-mula telah menafsirkan berbagai pasal Perjanjian Lama, terutama dari Yesaya, Mazmur dan nabi-nabi Kecil sebagai kesaksian akan Kristus. Selanjutnya Dodd menyimpulkan bahwa pandangan sedemikian itu berasal dari Yesus sendiri. Penyelidikan akan Qumran juga meneguhkan pandangan tersebut. Metode ‘Midrash Pesher’ yang menganggap berbagai kejadian penting yang terjadi pada masa penulis merupakan penggenapan nubuat-nubuat dari masa silam. Metode ini jelas dipergunakan oleh Paulus dan Matius dan bahkan keseluruhan Perjanjian Baru terlihat menggunakan metode ini.

32

Samuel Amsler dalam bukunya “L’at dans I’Eglise” berkesimpulan bahwa penafsiran Perjanjian Baru atas Perjanjian Lama didasarkan atas istilah ‘de’ ( artinya ‘harus’ sebagaimana terdapat dalam Lukas 24 : 44 “… bahwa ‘harus’ digenapi semua yang ada tertulis tentang Aku dalam kitab Taurat Musa dan Kitab nabi-nabi dan Kitab Mazmur “ ) 1.2.

Persamaan dan Perbedaan diantara Penulis Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru 

Para penulis Perjanjian Baru mengenal bahwa makna kejadian-kejadian dalam Perjanjian Baru hanya dapat menjadi jelas dalam terang Perjanjian Lama, demikian juga sebaliknya.



Para penulis Perjanjian Baru melihat, dalam Perjanjian Lama terdapat satu kesaksian yang memiliki persamaan dengan kesaksian mereka.



Para penulis Perjanjian Baru melihat Perjanjian Lama sebagai saksi yang mendahului Kejadian itu sendiri dalam Sejarah Keselamatan.



Para penulis Perjanjian Baru itu menafsirkan Perjanjian Lama sebagai satu kesaksian atas penyataan Allah dalam keselamatan dalam Sejarah.

Dengan melihat pandangan Alktab tersebut di atas, maka dapat kita simpulkan bahwa Perjanjian Lama tidak akan lengkap dalam dirinya sendiri,

Perjanjian Lama memerlukan penggenapan di hari mendatang

yang menurut pengertian dan keyakinan Kristen adalah Perjanjian Baru sendiri. Sedangkan Perjanjian Baru bergantung kepada Perjanjian Lama, dimana pusat Perjanjian Baru adalah karya Allah dalam diri Yesus dari Nazareth yang jelas adalah merupakan penggenapan dari Perjanjian Lama.

33

2. Pandangan ‘Higher Criticism’ ( Kritik Lebih Tinggi ) ‘Higher Criticism’ merupakan pengaruh yang dominan pada abad ke 19 mengenai penafsiran Alkitab. Higher Criticism melihat hubungan antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru bukan bersifat teologis tetapi historis. Perjanjian Lama berisikan Sejarah Teokrasi,, sedangkan Perjanjian Baru mengenai Kedatangan Yesus Kristus sebagai tahap terakhir dari Sejarah itu. Perjanjian Lama berisi sejarah agama Israel, Perjanjian Baru sebagai sejarah agama Kristen 3. Pandangan ‘Progressive Revelation’ ( Penyataan Yang Progressive ) Secara harafiah, maksud Penyataan yang progresif adalah semakin hari semakin maju sifatnya. Pandangan ini ingin mempertahankan perbedaan yang nyata antara Perjanjian Lama dengan Perjanjian Baru, namun juga ingin menyatakan bahwa keduanya adalah satu. Perjanjian Lama tidaklah

lengkap,

tidak

sempurna,

tidak berkembang serta harus diukur

dengan standar penyataan Allah yang terakhir dan sempurna dalam Yesus Kristus. Perjanjian Lama adalah mengenai satu umat ( nation ), sedangkan Perjanjian Baru mengenai Satu Umat

yang supranational. Sebaliknya

keduanya adalah satu, karena yang berbicara dalam keduanya adalah Satu Tuhan dan juga keduanya berisikan satu rencana penebusan. A.F. Kirkpatrick salah satu tokohnya melihat bahwa keseluruhan Alkitab itu merupakan Sejarah Penebusan dan tanpa Perjanjian Baru, maka Perjanjian Lama merupakan kegagalan yang luar biasa. Serta tanpa Perjanjian Lama maka Perjanjian Baru merupakan phenomenon yang tidak jelas. Selanjutnya dikatakan bahwa kedua buku itu berbeda, Perjanjian Lama tidak lengkap dan merupakan Penyataan Progresif, tetapi Perjanjian Baru lengkap dan terakhir. RL Cittley pada akhir abad XIX berkata bahwa penyataan Perjanjian Lama bersifat terpisah-pisah, tidak lengkap dan berbedabeda. Perjanjian Lama merupakan suatu catatan agama dan penyataan yang sedang berkembang, sehingga penafsirannya harus historis. Semua bagiannya tidak lengkap dan memandang kepada rencana Allah untuk hari depan. Bahkan selanjutnya dikatakan Perjanjian Baru mengenal ketidak sempurnaan Perjanjian Lama, sehingga harus dinilai menurut standar Injil.

34

BF Westcott mendasarkan pemikirannya atas Ibrani 1 : 1…pada jaman dahulu Allah berulang kali dalam pelbagai cara…, maka pada jaman akhir ini Dia telah berbicara kepada kita dengan perantaraan AnakNya…” Dia berkata bahwa penyataan Allah pada mulanya adalah dengan ‘pelbagai cara’ dan Perjanjian Lama itu menunjuk ke depan kepada Kristus yang merupakan penggenapan yang benar. Tujuan Tuhan adalah agar manusia masuk ke dalam ‘istirahat’ Tuhan, hal ini tidak pernah tercapai sepenuhnya dalam Perjanjian Lama. Maka dengan demikian Perjanjian Lama adalah suatu persiapan sedangkan penyataan dalam Perjanjian Baru adalah final. Sebaliknya sifat-sifat sebagaimana yang dinyatakan oleh tokoh-tokoh Progressive Revelation, seperti ‘persiapan’, ‘tidak lengkap’, ‘tidak sempurna’ dan lain-lain, kalau ditarik kesimpulan logisnya akan berakibat merendahkan Perjanjian Lama terhadap Perjanjian Baru, sehingga dengan demikian ‘Progressive Revelation’ berpandangan bahwa Perjanjian Lama lebih rendah dari Perjanjian Baru. Jadi penyataan Progresif merupakan jawaban terhadap tantangan

Higher

Criticism.

Maka

secara

praktis

telah

berhasil

mempertahanklan kesatuan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru serta kedudukan Perjanjian Lama dalam gereja diakui. Hal ini yang membuat kaum Fundamentalis sepert James Orr dan juga Roma Katholik menerima pandangan penyataan progresif.

4.

Pandangan : Perjanjian Baru lebih utama dari Perjanjian Lama Marcion

mengeluarkan Perjanjian Lama dari kanon, Fredriech

Schleiermacher, Adolf

Von

Harnack,

Soren

Kierkegard,

Delitzch

menganggap Perjanjian Lama adalah barang sisa atau hanya suatu agama penyembahan berhala. Fredriech Baumgartel mengambil Perjanjian Baru sebagai kitab utama gereja dan Perjanjian Lama merupakan prelude non kristianinya atau saksi pendahuluan Alkitab. Bagi Bultmann, Perjanjian Lama merupakan penyataan iman Kristen secara tidak langsung, yaitu sebagai presupposition ( praduga ) Perjanjian Baru dan iman Kristen. Dia menolak progressive revelation tetapi mengetengahkan bahwa perlu berada di bawah Taurat terlebih dahulu sebelum sampai kepada Injil yang merupakan akhir Taurat itu. Dengan demikian bagi Bultmann, Perjanjian Lama perlu untuk memahami iman Kristen, sebab itu tidak 35

boleh mengesampingkan Perjanjian Lama : terima atau tolak kedua Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

5.

Pandangan : Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sama-sama Kitab Suci

umat Kristen. Wilhelm Vischer dalam bukunya “The Witness of the Old Testament to Christ” ( 1934 ) mengadakan pendekatan Kristologis terhadap Perjanjian Lama. Hubungan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru kelihatan dalam penegasannya bahwa Yesus adalah Kristus Perjanjian Lama. Setiap teologi Kristen berpraduga bahwa Yesus adalah Kristus dan Perjanjian Lama memberi pemahaman tentang konsep ‘Kristus’ itu. Dalam mengetengahkan pendekatan Kristologis, seperti :Yesus

adalah

bukunya Kristus;

sudah datang dan Dia adalah Yesus dari Nazareth; Yesus adalah Kristus Perjanjian Lama; Alkitab adalah saksi terhadap Kristus; Yesus Kristus adalah

peristiwa

sejarah

yang

menentukan;

Yesus

Kristus

sudah

mempersatukan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru; Yesus Kristus sudah menggenapi janji- janji Perjanjian Lama; Perjanjian Lama termasuk dalam kanon Kristen; Perjanjian Lama adalah saksi terhadap Kristus.

6. Pandangan : Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sama-sama membentuk satu Sejarah Keselamatan

( Heilgeschichte )

Reaksi terhadap Higher Criticism datang dari penganut Sejarah Keselamatan ( Heilgeschichte ), seperti Von Hofmann, G. Von Rad dan lainlain. Usaha mencari cara pemahaman Perjanjian Lama serta hubungannya dengan Perjanjian Baru yang sifatnya teologis bukan sejarah agama seperti yang diajukan oleh para penganjur Higher Criticism itu. Menurut G Von Rad, sejarah Israel yang terdapat dalam Alkitab adalah ‘confession’ ( pengakuan ), yaitu suatu pengakuan

terhadap tindakan penyelamatan Allah; asal-usul

orang Israel; penindasan di Mesir dan keluarnya; tanah perjanjian. Sejarah Israel disebutnya sebagai Sejarah Keselamatan. Dengan pendekatan ‘traditiohistories’ sedemikian, Von rad berusaha menunjukkan bahwa Perjanjian Lama hanya dapat dipahami sebagai sebuah buku yang semakin memandang ke hari depan, kepada suatu perbaikan, penggenapan atau pembentukan kembali ( 36

reformation

).

Perjanjian

Baru

menunjukkan

bahwa

suatu peristiwa

penyelamatan yang baru sudah terjadi. Di situ diumumkan ‘inaugurasi ( pengukuhan ) Kerajaan Allah dalam diri dan perbuatan Yesus, yaitu Kristus yang dijanjikan. Janji-Janji Perjanjian Lama sekarang sudah digenapi. Dalam pandangan ini maka Perjanjian Lama dilihat sebagai saksi kepada Kristus. Von Rad mengatakan bahwa kedatangan Yesus Kristus sebagai suatu realitas historis mau tidak mau harus diakui dan Perjanjian Lama itu harus ditafsirkan sebagai menunjuk kepada Kristus. Apa yang tercatat dalam Alkitab adalah Sejarah Keselamatan sedangkan apa yang sesungguhnya terjadi sulit bisa diketahui. Dengan kata lain peristiwa-peristiwa yang tercatat dalam Alkitab yang merupakan pengakuan/ kesaksian dari iman bangsa Israel ( Geschichte ) tidak sama atau berbeda dengan peristiwa yang sesungguhnya ( Historie/ sejarah ). Alkitab menurut Von Rad tidak memberikan kebenaran-kebenaran umum akan tetapi merupakan suatu kesaksian terhadap kegiatan Allah dalam sejarah. 7. Pandangan : Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sama-sama membentuk Satu Sejarah Keselamatan

( Heilgeschichte )

Reaksi terhadap Higher Criticism datang dari penganut Sejarah Keselamatan ( Heilgeschichte ), seperti Von Hofmann, G. Von Rad dan lainlain. Mereka berusaha mencari cara pemahaman Perjanjian Lama serta hubungannya dengan Perjanjian Baru yang sifatnya teologis bukan sejarah agama seperti yang diajukan oleh para penganjur Higher Criticism itu. Menurut G Von Rad, sejarah Israel yang terdapat dalam Alkitab adalah ‘confession’ ( pengakuan ), yaitu suatu pengakuan terhadap tindakan penyelamatan Allah; asal-usul orang Israel; penindasan di Mesir dan keluarnya; tanah perjanjian. Sejarah Israel disebutnya sebagai Sejarah Keselamatan

37

Dengan pendekatan ‘traditio-histories’ sedemikian, Von rad berusaha menunjukkan bahwa Perjanjian Lama hanya dapat dipahami sebagai sebuah buku yang semakin memandang ke hari depan, kepada suatu perbaikan, penggenapan atau pembentukan kembali ( reformation ). Perjanjian Baru menunjukkan bahwa suatu peristiwa penyelamatan yang baru sudah terjadi. Di situ diumumkan ‘inaugurasi ( pengukuhan ) Kerajaan Allah dalam diri dan perbuatan Yesus, yaitu Kristus yang dijanjikan. Janji-Janji Perjanjian Lama sekarang sudah digenapi. Dalam pandangan ini maka Perjanjian Lama dilihat sebagai saksi kepada Kristus. Von Rad mengatakan bahwa kedatangan Yesus Kristus sebagai

suatu

realitas historis mau tidak mau harus diakui dan

Perjanjian Lama itu harus ditafsirkan sebagai menunjuk kepada Kristus.

8.

Kontiniuitas dan Diskontiniuitas Pada tahun 1903 A. F. Kirkpatrick berkhotbah tentang kesatuan dan pebedaan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru dihubungkan oleh penyataan karakter dan tujuan Allah dengan perbuatan dan kata-kata. Keseluruhan Alkitab adalah sejarah penebusan; tanpa Perjanjian Baru, Perjanjian Lama merupakan kegagalan dan tanpa Perjanjian Lama, Perjanjian Baru merupakan phenomenon yang tidak dapat dipahami. Sedangkan perbedaannya adalah Perjanjian Lama mencatat suatu penyataan yang tidak lengkap, yang progresif tetapi Perjanjian Baru itu lebih lengkap dan final. Dengan demikian hubungan keduanya menyangkut ‘kontiniuitas dan diskontinyuitas’, kesatuan dan keragaman. 8.1.

Kontiniuitas 8.1.1 Kontiniuits Historis Kesinambungan historis dapat dilihat dalam hal : a). Perjanjian Lama yang mencatat sejarah umat Tuhan dan sejarah itu dilanjutkan dalam Perjanjian Baru. b). Yudaisme dan keKristenan, walaupun keduanya tidak identik. Ini dapat dilihat 4 hal yang dilakukan oleh umat Kristen Perjanjian Baru, yaitu : melanjutkan beberapa aspek Yudaisme, tanpa perubahan; memodifikasi beberapa aspek 38

Yudaisme; menolak beberapa aspek; menciptakan materi-materi baru Kristen. 8.1.2. Kontiniuitas Teologis H.H. Rowley melihat kontiniuitas teologis dalam : asal-usul illahi yang sama, ajaran yang sama tentang Allah dan manusia, pola yang sama dan prinsip-prinsip etika serta liturgi yang sama. Th. C. Vriezen tentang menunjuk pada kesamaan perspektif seperti persekutuan,

nubuat

dan

kerajaan.

Nubuat

adalah

basis

kesaksian Perjanjian Lama yang dilanjutkan dalm Perjanjian Baru, yang memberitakan tentang Allah yang sama, pengharapan akan Kerajaan yang sama dan menuntut kehidupan iman yang sama. CH Dodd mengatakan bahwa Yesus adalah Mesias Israel dan misinya secara primer adalah kepada Israel. Dia adalah jawaban terhadap pengharapan Israel akan raja yang akan datang dan

di

Yerusalem

penolakkan

Israel

klimaks terhadap

pelayananNya keMesiasan

terjadi.

Karena

Yesus, maka Dia

menciptakan satu Umat Allah yagn baru untuk menggenapi misiNya. Dia

menegaskan

umat

baru

itu

dengan

12

rasul

yang

melambangkan 12 suku Israel dan diteguhkan sebagai “Israel Allah” oleh Roh Kudus. Yesus dan para penulis Perjanjian Baru menerapkan ayatayat tentang Israel kepada gereja dan dengan demikian membentuk dasar penggunaan Perjanjian Lama dalam kehidupan dan ibadah Kristen. Jadi gereja itu adalah Israel yang baru. Namun perlu dicatat , bahwa hanya ada satu Israel, tidak jamak dan bahwa umat itu berkesinambungan sejak masa Abraham hingga gereja Yesus Kristus. Israel Allah itu adalah gereja Kristen yang terdiri dari orang Yahudi dan Non Yahudi.

39

8.1.3. Diskontiniuitas Kontiniuitas tidak berarti tidak mempunyai perbedaan atau diskontiniuitas ( tidak berkesinambungan/ tidak diteruskan ). Adapun diskontiniuitas Perjanjian Lama dalam Perjanjian Baru ditunjukkan dalam hal : (a) Pokok yang oleh CH Dodd ditunjukkan bahwa dalam Perjanjian Lama adalah komunitas Israel sedangkan dalam Perjanjian Baru adalah satu pribadi yaitu Yesus Kristus. (b) Superioritas Yesus atas tokoh-tokoh Alkitab. (c) Dalam Perjanjian Baru terdapat banyak hal yang baru dengan kedatangan Yesus. (d) Korban-koraban dalam Perjanjian Lama telah diganti oleh korban Yesus Kristus. (e) Perjanjian Lama Nubuatan, dan Perjanjian Baru adalah penggenapan.

40

41

Related Documents


More Documents from "Ferdian Zaman"