Dinamika Pengelolaan Kawasan Konservasi Di Kab Pangkep

  • Uploaded by: Ahdiat Celebes
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dinamika Pengelolaan Kawasan Konservasi Di Kab Pangkep as PDF for free.

More details

  • Words: 11,744
  • Pages: 52
Loading documents preview...
Dinamika Pengelolaan Kawasan Konservasi Di Wilayah Perairan Kabupaten Pangkep Ahdiat, S.Pi, M.Si

ii

PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa dengan selesainya buku ini. Gagasan yang melatari tajuk permasalahan ini berangkat dari dorongan untuk mendukung komitmen pemerintah dalam upaya perluasan kawasan konservasi Indonesia seluas 20 juta hektar pada tahun 2020. Dengan demikian, Kawasan konservasi Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep sebagai kawasan konservasi yang ada di Kabupaten Pangkep menjadi penting untuk dievaluasi capaian kinerja pengelolaannya sehingga hasil evaluasinya dapat dijadikan landasan ilmiah bagi pemerintah dalam mendorong upaya perluasan kawasan konservasi yang ada di Indonesia khususnya TWP Kapoposang dan KKLD Kabupaten Pangkep. Penulis bermaksud menyumbangkan beberapa konsep untuk mewujudkan pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang dan KKLD Kabupaten Pangkep yang berorientasi pada kemandirian dan keberlanjutan pengelolaan. Banyak kendala yang dihadapi oleh penulis dalam rangka penyusunan laporan ini, yang hanya berkat bantuan berbagai pihak, maka laporan ini selesai pada waktunya. Dalam kesempatan ini penulis dengan tulus menyampaikan terimakasih kepada Prof.Dr.Ir.Yusran Nur Indar, M.Phill dan Prof.Dr.Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc atas bantuan dan bimbingannya. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh pengelola dan staf Pusat Penelitian dan Pengembangan Laut Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (PUSLITBANG LP3K) yang telah banyak membantu dalam proses pengumpulan data dan informasi. Terimakasih kepada kedua orang tua saya Djauhari dan Nurfitrah yang berkat doa dan restunya yang telah memberikan kekuatan dan semangat dalam proses penyelesaian laporan ini, serta semua pihak yang tidak tercantum tetapi telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan laporan ini.

Makassar, Mei 2014 Ahdiat

iii

DAFTAR ISI

Halaman PRAKATA ................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................. iii DAFTAR TABEL ........................................................................... iv DAFTAR GAMBAR ...................................................................... v UPAYA MENDORONG EFEKTIFITAS PENGELOLAAN TWP KAPOPOSANG DAN KKLD KABUPATEN PANGKEP .............. 1 CAPAIAN KINERJA PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PERAIRAN KABUPATEN PANGKEP . ......................... 19 PERSEPSI TERHADAP KEBERADAAN KAWASAN KONSERVASI ..... 27 ISSUE DISCUSSION ; PROBLEMATIKA SILANG SINGKARUT PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DI WILAYAH PERAIRAN KAB. PANGKEP . ..................................... 39 DAFTAR PUSTAKA . ..................................................................... 42

iv

DAFTAR TABEL

No 1

Halaman Status Efektifitas Pengelolaan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep

26

v

DAFTAR GAMBAR

No

Halaman

1

Peta Zonasi Lokasi Penelitian

7

2

Peta Zonasi Taman Wisata Perairan Kapoposang

16

3

Grafik Perbandingan Presentase Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Berdasarkan Analisis E-KKP3K

24

4

Peta Lokasi Penelitian

28

UPAYA MENDORONG EFEKTIFITAS PENGELOLAAN TWP KAPOPOSANG DAN KKLD KABUPATEN PANGKEP

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia dikelilingi oleh konfigurasi pulau-pulau yang berjumlah 17.480 terbentang sepanjang 3.977 mil di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik dengan panjang garis kurang lebih 95.186 km yang merupakan garis pantai tropis terpanjang di dunia setelah Kanada. Luas daratan Indonesia sebesar 1.922.570 km2 dan luas perairannya 3.257.483 km2. Di dalam wilayah tersebut terkandung berbagai potensi perikanan tangkap lestari sebesar 6,4 juta ton, lahan budidaya sekitar 1,1 juta ha, dan potensi lain baik dari udang-udangan, kerang-kerangan, maupun mamalia laut. Sekitar 80% industri dan 75% kota besar di Indonesia berada di wilayah pesisir. Potensi lain yang tidak kalah pentingnya adalah jasa transportasi laut, industri maritim, wisata bahari, industri alternatif dan sumber obat-obatan (Ruchimat, 2012). Sumber daya alam pulau-pulau kecil bila dipadukan dengan sumber daya manusia yang handal serta di dukung dengan iptek yang di tunjang dengan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan yang tepat bisa menjadi modal yang besar bagi pembangunan nasional. Peluang yang dimiliki adalah kekayaan sumber daya alam dan sumber daya manusianya yang potensial untuk ditumbuhkembangkan pendayagunaannya. Sumber daya alam pulau-pulau kecil mempunyai arti penting bagi kegiatan perikanan, konservasi dan preservasi lingkungan, wisata bahari dan kegiatan jasa lingkungan lain yang terkait. Kawasan konservasi perairan di Indonesia tidak kurang dari 16 juta hektar (Ruchimat dalam Pedoman Teknis E-KKP3K, 2012) yang kini menghadapi ancaman dan persoalan pengelolaan yang sangat berat. Ancaman tersebut dapat berupa ancaman langsung maupun tidak langsung. Ancaman langsung meliputi praktik penebangan liar, penyerobotan dan konversi lahan, penangkapan hewan langka, pengeboman ikan, maupun yang disebabkan oleh faktor-faktor alam seperti kebakaran hutan dan fenomena pemanasan global yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim. Ancaman tidak langsung meliputi hal-hal yang disebabkan oleh adanya kebijakan yang

2

berkonotasi dua (ambiguity), ketidakjelasan akan hak-hak dan akses masyarakat, peraturan perundang-undangan yang kurang memadai dan tumpang tindih, serta penegakan hukum yang lemah sehingga pengelolaan kawasan konservasi termasuk yang berkategori taman wisata alam laut tidak efektif. Pada pertemuan internasional Convention on Biological Diversity pada tahun 2006 di Brazil, pemerintah Indonesia telah berkomitmen untuk memperluas kawasan konservasi laut seluas 10 juta hektar pada tahun 2010 dan berkomitmen memperluasnya menjadi 20 juta hektar pada tahun 2020 (UNEP-WCMC, 2008). Komitmen didasarkan selain pada tingginya kebutuhan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan juga untuk menghadapi ancaman tekanan terhadap sumberdaya laut. Kepulauan Spermonde memiliki keragaman ekosistem dan keanekaragaman jenis biota laut yang tinggi. Kepulauan ini terbentuk dan muncul di atas dangkalan Spermonde (Spermonde Shelf) yang terletak di pesisir barat Propinsi Sulawesi Selatan (Selat Makassar) membentang dari utara ke selatan sepanjang kurang lebih 300 km dengan luas 16.000 km2. Kabupaten Pangkep dicirikan oleh wilayah perairan lautnya yang luas dengan taburan 117 pulau-pulau merupakan ekosistem dengan keragaman hayati yang sangat tinggi terutama pada habitat terumbu karang.1 Wilayah pesisir dan laut Kabupaten Pangkep dicirikan dengan produktivitas ekosistem yang tinggi sehingga dapat mendukung kegiatan perekonomian. Ekosistem pesisir utama Kabupaten Pangkep adalah terumbu karang, mangrove, dan padang lamun. Salah satu upaya dalam menyelamatkan ekosistem wilayah pesisir di Kabupaten Pangkep adalah dengan membetuk Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang telah diinisiasi oleh COREMAP II. DPL merupakan wilayah perlindungan laut yang dibentuk berdasarkan aspirasi masyarakat. Hingga saat ini hampir di setiap desa kecamatan pesisir memiliki DPL. Akan tetapi, permasalahan kerusakan ekosistem pesisir tidak secara otomatis telah terpecahkan dengan terbetuknya DPL tersebut. Selain itu, kemampuan resistensi dan resiliensi dari setiap DPL belum teruji karena belum ada mekanisme konektivitas antar DPL yang dijadikan pertimbangan dalam pemilihan lokasi tersebut. Oleh karena itu, 1

Ditjen KP3K http://kkji.kp3k.kkp.go.id/, diakses pada tanggal 25 Desember 2013)

3

dibentuklah Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep berdasarkan Surat Keputusan Bupati No. 180 Tahun 2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep dan Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan untuk menjamin daya resistensi dan resiliensi dari setiap lokasi terpilih melalui mekanisme konektivitas antar habitat, biota, dan kondisi ekologinya. Berdasarkan SK Bupati tersebut, KKLD Pangkep mencakup wilayah administrasi Kecamatan Liukang Tupabbiring dan Kecamatan Liukang Tupabbiring Utara. Kepulauan Kapoposang merupakan bagian dari Kepulauan Spermonde dan secara administratif masuk dalam wilayah Kabupaten Pangkajene Kepulauan (Pangkep) Provinsi Sulawesi Selatan. SK Menteri Kehutanan No. 588/KPTS-VI/1996 tanggal 12 September 1996 menetapkan Kepulauan Kapoposang sebagai Taman Wisata Alam Laut dengan luas sebesar 50.000 hektar dan memiliki panjang batas 103 km. Saat ini Pengelolaan Kepulauan Kapoposang dan perairan sekitarnya telah diserahkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan sesuai dengan Berita Acara Serah Terima No. BA.108/MEN.KP/III/2009 pada tanggal 4 Maret 2009. Kawasan ini lalu ditetapkan sebagai Taman Wisata Perairan Kepulauan Kapoposang (TWP Kepulauan Kapoposang) sesuai dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.66/MEN/2009 (Haslindah, 2012). Dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi telah menyebabkan terjadinya tekanan ekologis terhadap sumberdaya pesisir dan laut. Setiap tahunnya terjadi penurunan kualitas dan daya dukung ekosistem pesisir dan laut terutama akibat dari penangkapan ikan secara destruktif. Demikian halnya terjadi di wilayah kawasan konservasi TWP Kapoposang maupun KKLD Kabupaten Pangkep dimana Tingkat PITRaL masih sering terjadi (Saleh. A, 2010). Oleh karenanya, pengelolaan kawasan konservasi bertujuan untuk mendapatkan bentuk penataan ruang dan arah pengelolaan kawasan konservasi yang optimal sehingga dapat meningkatkan fungsi dari kawasan konservasi itu sendiri serta untuk mencegah timbulnya kerusakan lingkungan.

4

Keputusan Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil nomor KEP/44/KP3K/2012 tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K) adalah pedoman teknis yang diterbitkan untuk menilai capaian kinerja pengelolaan kawasan konservasi di Indonesia, tujuannya adalah untuk mendukung komitmen pemerintah dalam proses perluasan kawasan konservasi sampai 20 juta hektar pada tahun 2020. Taman Wisata Perairan Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep adalah kawasan konservasi yang dikelola oleh Pemerintah untuk menjamin ketersediaan sumberdaya laut. Pengelolaan kawasan konservasi tersebut ditujukan untuk menselaraskan kepentingan perlindungan sumberdaya laut dan kepentingan pemanfaatan sumberdaya sehingga proses pemanfaatan sumberdaya dapat berlangsung secara berkelanjutan. Proses pengelolaan kedua kawasan konservasi tersebut tentunya harus terus ditingkatkan sehingga pada akhirnya pengelolaan secara mandiri dan berkelanjutan dapat segera terwujud. Untuk mendorong percepatan kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep tentunya harus dievaluasi agar upaya peningkatan kinerja pengelolaannya didasarkan pada hasil-hasil evaluasi tersebut dan dengan berdasarkan hal tersebut sehingga buku ini mencoba untuk memberikan jawaban tentang capaian kinerja pengelolaan Kawasan Konservasi Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposan dan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep, serta menemukenali persepsi nelayan setempat terhadap keberadaan kawasan TWP Kapoposang dan KKLD Kabupaten Pangkep. Gambaran Umum Kabupaten Pangkep Kabupaten Pangkep yang terletak pada posisi geografis 1100 BT sampai dengan 1130 dan 40,40 LS sampai dengan 8o LS atau terletak di pantai Barat Sulawesi Selatan memiliki luas total luas daratan, pegunungan dan pulau-pulau tanpa lingkup perairannya adalah 1.112 km2, sementara luas lautnya adalah 17.100 km2. Kabupaten Pangkep berbatasan dengan Pulau Kalimantan, Pulau Jawa, Pulau Madura, Pulau Nusa Tenggara dan Bali di sebelah barat, sebelah utara dengan

5

Kabupaten Barru, sebelah timur dengan Kabupaten Bone, dan sebelah selatan dengan Kabupaten Maros. Kecamatan Liukang Tangngayya, Liukang Kalmas, Liukang Tuppabiring dan Liukang Tuppabiring Utara adalah kecamatan yang berada di wilayah kepulauan Kabupaten Pangkep. Keempat kecamatan kepulauan ini memiliki jumlah penduduk yang cukup banyak dimana pada tahun 2011 jumlah penduduk Kecamatan Liukang Tangngayya, Liukang Kalmas, Liukang Tuppabiring dan Liukang Tuppabiring Utara yang masing-masing sebesar 18.792 jiwa, 13.201 jiwa, 18.000 jiwa, dan 13.803 jiwa berada di atas jumlah penduduk salah satu kecamatan yang ada di darat, yaitu Kecamatan Tondong Tallasa yang jumlahnya hanya mencapai 10.154 jiwa. Sebagian besar kecamatan di Kab.Pangkep mengalami pertumbuhan penduduk sejak tahun 2007 sampai 2011. Jumlah penduduk terbanyak pada tahun 2011 berada di kecamatan Labakkang dengan jumlah penduduk sebesar 49.715 jiwa sedangkan Kecamatan Tondong Tallasa memiliki jumlah penduduk paling sedikit dengan jumlah penduduk sebesar 10.154 jiwa.2 Berdasarkan basis data kawasan konservasi Ditjen KP3K menjelaskan bahwa penduduk Kabupaten Pangkep yang menetap di pulau-pulau kecil umumnya menggeluti usaha pemanfaatan sumberdaya laut, baik sebagai nelayan penangkap maupun pembudidaya. Lokasi penangkapan mereka berupa areal yang disebut taka yakni terumbu karang yang hidup di perairan yang relatif dangkal (reef patch). Nelayan dari daerah lain seperti Makassar, Sulawesi Barat, Bali, NTB, NTT, Madura, Sinjai, Takalar, seringkali beroperasi di wilayah kepulauan Liukang Tangngayya. Para nelayan pendatang tersebut menggunakan berbagai macam alat tangkap seperti, rumpon, gae, pancing, bom, bius dan pukat, untuk mendapatkan hasil laut. Sementara itu, alat tangkap ikan laut yang banyak digunakan nelayan lokal seperti pancing sunu, pancing cumi, pancing gurita, purse seine, dan alat tangkap lainnya. Jenis ikan yang ditangkap antara lain ikan torani, lobster, kerapu, sunu, napoleon, katambak, tendro, teri, bawal hitam, gurita, tuna, cakalang, cucut, kerang-kerangan, baronang, ekor kuning, rapporappo dan ikan layang. Berdasarkan laporan monitoring tren kondisi terumbu karang (DKP Kab.Pangkep, 2012) menunjukkan bahwa persentase terumbu karang 2

Kabupaten Pangkep Dalam Angka 2013

6

dengan kondisi rusak berfluktuasi meningkat. Pada tahun 2008 kondisi karang yang rusak sebesar 18,60 % meningkat menjadi 48,84 % pada tahun 2010 kemudian menurun menjadi 41,86 % pada tahun 2011 sementara kondisi terumbu karang yang sangat baik persentasenya sangat sedikit dimana pada tahun 2008 hanya sebesar 4,65 % dan mengalami sedikit peningkatan pada tahun 2011 sebesar 9,30 %. Terumbu karang dangan kondisi sedang cukup mendominasi pada tahun 2008 sampai tahun 2011 dengan persentase sebesar 44,19 % pada tahun 2008 dan 41,86 % pada tahun 2010 sampai tahun 2011. Pada laporan tersebut juga disebutkan bahwa meningkatnya persentase kerusakan terumbu karang pada tahun 2010 disebabkan oleh fenomena pemutihan karang (Bleaching) dan aktivitas antropogenik yang destruktif seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak. Gambaran Umum Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang pada awalnya berada dalam pengelolaan Kementerian Kehutanan dimana berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan No. 588/KPTS-VI/1996 tanggal 12 September 1996 ditetapkan Kepulauan Kapoposang sebagai Taman Wisata Alam Laut (TWAL) seluas 50.000 Ha. Kemudian TWAL Kapoposang diserahterimakan pengelolaannya dari Kementerian Kehutanan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Berita Acara nomor 01/Menhut-IV/2009 dan BA 108/MEN.KP/III/2009 pada tanggal 4 Maret 2009. Nomen klaturnya kemudian berubah menjadi Taman Wisata Perairan (TWP) Kepulauan Kapoposang dan Laut di Sekitarnya melalui keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 66/MEN/2009 tentang penetapan kawasan konservasi perairan nasional Kepulauan Kapoposang dan Laut di sekitarnya di Propinsi Sulawesi Selatan.3 Secara geografis Kawasan konservsi TWP Kepulauan Kapoposang terletak pada koordinat 4°37’ sampai 4°52’ Lintang Selatan dan 118°54’00” sampai 119°10’00” Bujur Timur. Secara administratif, Kepulauan Kapoposang termasuk dalam wilayah Kecamatan

3

Ditjen KP3K http://kkji.kp3k.kkp.go.id ,diakses pada tanggal 12 Mei 2014

7

Liukang Tupabbiring dengan batas-batas wilayah administrasinya adalah sebagai berikut: • Sebelah utara berbatasan dengan Selat Makasar • Sebelah timur berbatasan dengan Desa Mattiro Walie • Sebelah selatan berbatasan dengan Perairan Kota Makasar • Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Liukang Kalmas dan Selat Makasar. Pada TWP Kapoposang terdapat 2 desa yaitu Desa Mattiro Ujung yang meliputi Pulau Kapoposang dan Pulau Papandangan dan Desa Mattiro Matae yang meliputi Pulau Gondongbali, Pulau Pamanggangan, Pulau Tambakulu dan Pulau Suranti. Dari keenam pulau tersebut, 3 diantaranya berpenduduk yaitu Pulau Kapoposang, Pulau Papandangan dan Pulau Gondongbali (Rencana Pengelolaan dan Zonasi TWP Kapoposang, 2013).

Gambar 1 : Peta Zonasi Taman Wisata Perairan Kapoposang. Sumber : Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kota Kupang (2014)

Berita acara serah terima kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dari Kementerian Kehutanan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan Nomor BA.01/Menhut-IV/2009

8

menetapkan bahwa TWP Kapoposang memiliki luas 50.000 ha dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor KEP.66/MEN/2009 tentang penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Kapoposang dan Laut Sekitarnya menetapkan batas-batas TWP Kapoposang sebagai berikut :  Titik 1 : 118o54’11” BT - 4o29’33” LS  Titik 2 : 119o04’15” BT - 4o29’35” LS  Titik 3 : 119o08’27” BT - 4o37’26” LS  Titik 4 : 119o10’27” BT - 4o40’17” LS  Titik 5 : 119o06’10” BT - 4o46’30” LS  Titik 6 : 119o06’13” BT - 4o52’29” LS  Titik 7 : 118o58’01” BT - 4o52’23” LS  Titik 8 : 118o57’32” BT - 4o48’21” LS  Titik 9 : 118o54’04” BT - 4o45’17” LS Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan Pasal 17 ayat 3 dan 4 menjelaskan bahwa Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan dilakukan berdasarkan sistem zonasi; dan Sistem Zonasi Kawasan Konservasi Perairan sebagaimana dimaksud terdiri dari : Zona inti, Zona perikanan berkelanjutan, Zona Pemanfaatan, dan Zona lainnya sesuai dengan karakteristik dan peruntukannya. Demikian halnya TWP Kapoposang juga terdapat Zona Inti, Zona Perikanan Berkelanjutan, Zona Pemanfaatan, Zona Lainnya. Zona inti TWP Kapoposang memiliki luas total kurang lebih 1.084,6 ha yang terdiri dari 2 (dua) lokasi yaitu : (1) Zona inti 1, terletak di Pulau Kapoposang dengan luas 775,4 ha; dan (2) Zona inti 2, terletak di Pulau Suranti dengan luas 309,2 ha. Aktivitas yang hanya diperbolehkan di zona inti meliputi : (1) Kegiatan penelitian; (2) Kegiatan pendidikan; dan (3) Pemulihan dan rehabilitasi sumberdaya alam. Zona perikanan berkelanjutan TWP Kapoposang terletak di Perairan di luar Pulau-Pulau di TWP Kepulauan Kapoposang dengan luas total 39.340,3 ha. Pada zona perikanan berkelanjutan TWP Kapoposang terdapat 2 (dua) subzona perikanan berkelanjutan tradisional dengan total luas kawasan sebesar 3.414 Ha. Subzone perikanan berkelanjutan tradisional 1 memiliki luas 3.257 Ha yang meliputi Pulau Surati dan Pulau Pamanggangan, sedangkan untuk Subzone perikanan

9

berkelanjutan tradisional 2 berada disekitar Pulau Kapoposang memiliki luas 156,9 Ha. Kegiatan yang diperbolehkan dengan izin di zona perikanan berkelanjutan meliputi : (1) Kegiatan penelitian; (2) Kegiatan pendidikan; dan (3) Pemulihan dan rehabilitasi sumberdaya alam. Kegiatan yang diperbolehkan tanpa izin di zona perikanan berkelanjutan meliputi : (1) Wisata menyelam; (2) Wisata snorkeling; (3) Wisata berenang; (4) Wisata surfing dan watersport; (5) Wisata speargun; (6) Budidaya; (7) Berlayar melintas; (8) Berlabuh (kapasitas kapal <10 GT) atau memiliki panjang < 20 meter; (9) Upacara adat, ritual keagamaan; (10) Menyelam untuk mencari biota; (11) Pancing ulur (handline); (12) Pancing tonda (troll line); dan (13) Purseine mini. Sedangkan kegiatan yang tidak diperbolehkan dilakukan di zona perikanan berkelanjutan meliputi : (1) Berlabuh (kapasitas kapal >10 GT); (2) Jaring dasar; (3) Jaring trawl; (4) Kompressor; (5) Bagan perahu; (6) Bubu dasar; (7) Akar tuba, sianida; dan (8) Bom, bahan peledak. Kegiatan yang diperbolehkan dengan izin di subzona perikanan berkelanjutan tradisional meliputi : (1) Kegiatan penelitian; (2) Kegiatan pendidikan; dan (3) Pemulihan dan rehabilitasi sumberdaya alam. Kegiatan yang diperbolehkan tanpa izin di subzona perikanan berkelanjutan tradisional meliputi : (1) Wisata Menyelam (Diving); (2) Wisata Snorkeling; (3) Wisata Berenang; (4) Wisata surfing dan watersport; (5) Wisata speargun; (6) Budidaya; (7) Berlayar melintas (tdk berhenti); (8) Berlabuh (Kapasitas kapal <10 GT) atau dengan panjang < 20 meter; dan (9) Upacara adat, ritual keagamaan. Kegiatan yang diperbolehkan dengan pengecualian dilakukan di Subzona perikanan berkelanjutan tradisional meliputi : (1) Menyelam untuk mencari biota; (2) Pancing ulur (hand line); dan (3) Wisata surfing dan watersport. Dan kegiatan yang tidak diperbolehkan dilakukan di Subzona perikanan berkelanjutan tradisional meliputi : (1) Pancing rawai dasar; (2) Jaring dasar (Bottom gillnet); (3) Jaring Trawl; (4) Panah (speargun); (5) Kompressor; (6) Bagan Perahu; (7) Rumpon; (8) Bubu dasar; (9) Akar tuba, sianida, dll; (10) Bom/ bahan peledak. Zona pemanfaatan TWP Kepulauan Kapoposang terdir dari 8 (delapan) lokasi dengan luas total 6.123 ha. Zona pamanfaatan tersebut terdiri dari : (1) Zona pemanfaatan 1, terletak di Perairan

10

Pulau Suranti, Pemanggangan dan timur pulau Gondongbali dengan luas 349,1 ha; (2) Zona pemanfaatan 2, terletak di perairan di bagian timur Papandangan dengan luas 244,3 ha; (3) Zona pemanfaatan 3, terletak di perairan barat, timur dan barat pulau Kapoposang dengan luas 1.521,3 ha; (4) Zona pemanfaatan 4, terletak di perairan selatan pulau Kapoposang 358,1 ha; (5) Zona pemanfaatan 5, terletak di selatan dan tenggara pulau Kapoposang dengan luas 2.881,3 ha; (6) Zona pemanfaatan 6, terletak di perairan pulau Tambakulu dengan luas mencapai 228,1 ha; (7) Zona pemanfaatan 7, terletak diperairan pulau Gondongbali dengan luas mencapai 200,9 ha; dan (8) Zona pemanfaatan 8, terletak diperairan pulau Pemanggangan dengan luas mencapai 340,0 ha. Kegiatan yang diperbolehkan dengan izin di zona pemanfaatan meliputi : (1) Kegiatan penelitian; (2) Kegiatan pendidikan; dan (3) Pemulihan dan rehabilitasi sumberdaya alam. Kegiatan yang diperbolehkan tanpa izin di zona pemanfaatan meliputi : (1) Wisata menyelam; (2) Wisata snorkeling; (3) Wisata berenang; (4) Berlayar melintas; (5) Berlabuh (kapasitas kapal <10 GT dan tidak buang jangkar) atau panjang < 20 meter; dan (6) Upacara adat, ritual keagamaan. Dan kegiatan yang tidak diperbolehkan dilakukan di zona pemanfaatan meliputi : (1) Berlabuh (kapasitas kapal >10 GT); (2) Pancing ulur (handline); (3) Pancing tonda (troll line); (4) Pancing rawai dasar; (5) Jaring sret (purse seine net); (6) Jaring dasar; (7) Jaring trawl; (8) Panah (speargun); (9) Kompressor; (10) Bagan perahu; (11) Rumpon; (12) Bubu dasar; (13) Akar tuba, sianida; dan (14) Bom, bahan peledak. Zona lainnya dalam kawasan konservasi perairan TWP Kepulauan Kapoposang terdiri dari zona rehabilitasi. Zona rehabilitasi ini terletak di perairan pulau Papandangan dengan luas luas total 38,1 ha. Kegiatan yang diperbolehkan dengan izin di zona rehabilitasi meliputi : (1) Kegiatan penelitian; (2) Kegiatan pendidikan; dan (3) Pemulihan dan rehabilitasi sumberdaya alam. Kegiatan yang diperbolehkan tanpa izin di zona rehabilitasi meliputi : (1) Wisata menyelam; (2) Wisata snorkeling; (3) Wisata berenang; (4) Berlayar melintas; (5) Berlabuh (kapasitas kapal <10 GT dan tidak buang jangkar); dan (6) Upacara adat, ritual keagamaan. Dan kegiatan yang tidak diperbolehkan dilakukan di zona rehabilitasi meliputi : (1)

11

Panah (speargun); (2) Surfing dan water sport; (3) Budidaya; (4) Berlabuh (kapasitas kapal >10 GT); (5) Menyelam untuk mencari biota; (6) Pancing ulur (handline); (7) Pancing tonda (troll line); (8) Pancing rawai dasar; (9) Jaring sret (purse seine net); (10) Jaring dasar; (11) Jaring trawl; (12) Kompressor; (13) Bagan perahu; (14) Rumpon; (15) Bubu dasar; (16) Akar tuba, sianida; dan (17) Bom, bahan peledak. Rencana pengelolaan jangka panjang TWP Kapoposang didasarkan pada visi “Mewujudkan Masyarakat Sejahtera Dan Lingkungan laut Lestari Melalui Pengelolaan Kolaboratif TWP Kapoposang Dan Laut Disekitarnya” diwujudkan dengan misi : (1) Mendorong peningkatan kesejahteraan dengan optimalisasi potensi wisata perairan di sekitar kawasan Taman Wisata Perairan Kepulauan Kapoposang; (2) Meningkatkan kapasitas sumber daya manusia dan kelembagaan pengelolaan TWP Kepulauan Kapoposang; (3) Meningkatkan pengawasan dan perlindungan dalam rangka melindungi dan melestarikan sumberdaya pesisir dan laut sekitar kawasan Taman Wisata Perairan Kepulauan Kapoposang; dan (4) Pengembangan sarana dan prasarana pengelolaan Taman Wisata Perairan Kepulauan Kapoposang secara mamadai. Berdasarkan Rencana Pengelolaan dan Zonasi TWP Kapoposang, Tujuan dari pengelolaan TWP Kapoposang sebagai berikut : (1) Pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan; (2) Melindungi dan memanfaatkan sumberdaya alam yang mengedepankan kepentingan masyarakat, dunia usaha dan pemda, yang ekonomis, ekologis, berkeadilan dan sinergis; (3) Meningkatkan peran serta dan akses masyarakat, instansi yang terkait, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan lembaga swadaya masyarakat serta pihak swasta/dunia usaha dalam pengelolaan kawasan konservasi; dan (4) Meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pulau TWP Kepulauan Kapoposang melalui aktivitas wisata di taman wisata perairan tersebut. Sedangkan Sasaran pengelolaan kawasan konservasi taman wisata perairan Kepulauan Kapoposang meliputi : (1) Optimalisasi usaha ekonomi masyarakat berbasis SDA laut sekitarnya (penangkaran karang hias, kerang, ikan konsumsi, ikan hias, rumput laut, penyu, flora dan fauna laut lainnya, pengolahan pasca panen dan

12

pemasaran) dalam perspektif wisata bahari yang berkelanjutan; (2) Meningkatnya pertumbuhan ekonomi wilayah dan kesejahteraan masyarakat TWP Kepulauan Kapoposang; (3) Menjamin kondisi kesehatan ekosistem, pertumbuhan, perkembangan, kualitas ekosistem dalam jangka panjang, sehingga memberikan nilai dan manfaat jangka panjang; (4) Kemampuan masyarakat kepulauan Kapoposang dalam hal menjadi pemandu wisata alam bahari (olahraga air, obyek wisata pulau pemukiman, budaya Kepulauan Kapoposang, pelestarian penyu, rehabilitasi mangrove, padang lamun dan terumbu karang, penghijauan, laboratorium perairan laut dangkal, pembuatan jaring multi fungsi, coral dan perbenihan biota laut); (5) Terwujudnya peningkatan kualitas SDM dan IPTEK dalam pengelolaan kawasan konservasi; dan (6) Pengembangan sarana prasarana pengelolaan TWP Kepulauan Kapoposang (keselamatan kerja, komunikasi dan informasi, pusat informasi dan wisma wisata alam, kantor Balai, Pos Jaga, perlindungan hutan, diving, speadboat, perahu, perahu layar, dan percontohan konservasi laut); (7) Tersedianya kemampuan standar operasional prosedur pengelolaan seperti penguatan kelembagaan, patroli bersama, pengelolaan sumberdaya kawasan, penguatan sosekbud, penelitian dan pendidikan, pelaksanaan kegiatan pariwisata alam perairan, budidaya, perikanan tangkap, dan penegakan hukum; (8) Pengembangan dan pembangunan obyek wisata yang bernuansa pendidikan, kelautan dan pelestarian alam di pulau-pulau pemukiman serta berbasis konservasi laut; (9) Pembangunan obyek wisata bahari bernuansa pendidikan, kelautan dan pelestarian alam di pulau-pulau pemukiman; dan (10) Sinergi upaya-upaya pembangunan antar stakeholder baik untuk perencanaan, program dan perlindungan TWP Kepulauan Kapoposang. Strategi pengelolaan TWP Kapoposang terdiri atas : (1) Pembinaan SDM, penguatan kelembagaan, dan koordinasi; (2) Penataan kawasan; (3) Perlindungan dan pengamanan kawasan; (4) Peningkatan partisipasi masyarakat dan penguatan sosial budaya; (5) Pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana; (6) Pemanfaatan kawasan dan penguatan ekonomi kawasan; (7)

13

Penguatan pengelolaan sumberdaya kawasan TWP; (8) Pendidikan dan penelitian; dan (9) Pemantauan dan evaluasi. Rencana Pengelolaan Jangka Menengah TWP Kapoposang diberlakukan selama 5 tahun yang terdiri atas (1) penguatan kelembagaan; (2) penguatan pengelolaan sumberdaya kawasan; (3) Penguatan sosial, ekonomi dan budaya; dan (4) rencana pengembangan prasarana. Penguatan kelembagaan dilakukan melalui program Peningkatan sumberdaya manusia, Penatakelolaan kelembagaan, Peningkatan kapasitas infratruktur, Penyusunan peraturan pengelolaan kawasan, Pengembangan organisasi/kelembagaan masyarakat, Pengembangan kemitraan, Pembentukan jejaring kawasan konservasi perairan, Pengembangan sistem pendanaan berkelanjutan, dan Monitoring dan evaluasi. Penguatan pengelolaan sumberdaya kawasan dilakukan melalui program Perlindungan habitat dan populasi ikan, Rehabilitasi habitat dan populasi ikan, Penelitian dan pengembangan, Pemanfaatan sumber daya ikan, Pariwisata alam dan jasa lingkungan, Pengawasan dan pengendalian; dan Monitoring dan evaluasi. Penguatan sosial, ekonomi dan budaya dilakukan melalui program Pengembangan sosial ekonomi masyarakat, Pemberdayaan masyarakat, Pelestarian adat dan budaya, dan Monitoring dan evaluasi. Rencana Pengembangan Prasarana dilakukan dengan upaya pengembangan Prasarana Utama (Pos jaga, Menara pengawas, Dermaga, Kapal pengawas), Fasilitas pengawasan, Pengadaan prasarana kantor, Perlengkapan kerja staf, Prasarana pendukung wisata (pondok wisata, fasilitas dan peralatan, dermaga wisata)dan Pembangunan prasarana dasar (alat dan sarana komunikasi, air bersih, jalan lingkungan, listrik). Program pengelolaan dibuat sebagai dasar dalam membuat kegiatan-kegiatan dalam bentuk rencana kerja tahunan yang meliputi : (1) Kegiatan pengawasan secara rutin yaitu 8 kali setiap bulan yang dilakukan oleh pengelola kawasan bekerjasama dengan stackholder terkait serta masyarakat setempat sehingga diharapkan terjadi penurunan kegiatan penangkapan ikan dengan cara merusak (destructive fishing); (2) Monitoring dan evaluasi sumber daya alam hayati, kelautan dan ekosistemnya (Ekosistem terumbu karang, padang

14

lamun dan mangrove); (3) Pemulihan Potensi (Kualitas dan Kuantitas) Sumber Daya Alam Hayati, Kelautan dan Ekosistemnya (Transplantasi rehabilitasi karang alami dan semi alami, rehabilitasi mangrove, penanggulangan abrasi pantai, dan budidaya kima); (4) Pelestarian penyu alami, rehabilitasi dan translokasi penyu dewasa, dan pelestarian penyu semi alami (pengumpulan telur, penetasan, pembesaran, penandaan, dan pelepasan); (5) Pemberdayaan masyarakat dengan bertitik tolak pada potensidan daya dukung sumberdaya alam dan IPTEK yang ramah lingkungan (mata pencaharian alternatif); (6) Inventarisasi dan identifikasi SDA hayati, kelautan, dan ekosistemnya, khususnya terumbu karang, hutan mangrove, dan padang lamun serta biota yang ada didalamnya; dan (7) Pengelolaan dan pemanfaatan sampah yang ada di kawasan TWP Kepulauan Kapoposang terutama pada 3 (tiga) pulau yang berpenghuni yaitu Pulau Kapoposang, Pulau Papandangan dan Pulau Gondongbali. Gambaran Umum Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep Kawasan Konservasi laut daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep baru diekspose dengan adanya program COREMAP II, namun sesungguhnya beberapa kawasan di kabupaten ini telah lama di tetapkan oleh masyarakat sebagai kawasan yang tidak boleh dijamah oleh manusia, Kawasan seperti ini dapat ditemukan di daerah Kecamatan Liukang Tupabbiring misalnya daerah terumbu karang Kalaroang yang dikenal sejak tahun 60an yang tidak bisa dijamah oleh masyarakat disekitar tersebut karena dikeramatkan (Management Plan KKLD Kab.Pangkep, 2010). Bila mengacu pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.02/MEN/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan, maka status KKLD Kabupaten Pangkep masih bersifat pencadangan kawasan oleh Pemerintah Daerah dimana belum mendapatkan pengesahan secara resmi oleh Menteri mengingat beberapa persyaratan yang dibutuhkan belum terpenuhi. Dalam hal penataan batas kawasan dimana luasan dan batas-batas titik koordinat kawasan sudah ditentukan namun saat ini belum ada penandaan dan penempatan batas kawasan berdasarkan zona yang

15

telah ditentukan. Selain itu, status Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan yang masih dalam status pencadangan kawasan Konservasi juga ditetapkan melalui Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan. Berdasarkan Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan Nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan bahwa kewenangan Pengelolaan KKLD dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Pangkep dimana kewenangan pengelolaannya dilaksanakan oleh instansi terkait yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan. Zonasi KKLD mengikuti kaidah yang dituliskan dalam Rencana Peraturan Pemerintah tentang Konservasi Sumberdaya Ikan (RPP KSDI). Sistem zonasi yang diatur pada RPP KSDI terdiri dari: (1) Zona Inti; (2) Zona Perikanan Berkelanjutan, (3) Zona Pemanfaatan; dan (4) Zona lainnya sesuai dengan karakteristik dan peruntukannya dengan koordinat Kawasan Konservasi Laut Daerah Kab. Pangkep terdiri dari 15 titik yaitu : • Titik 1 119° 10' 19" BT - 4° 33' 2" LS • Titik 2 119° 33' 39" BT - 4° 37' 26" LS • Titik 3 119° 28' 28" BT - 5° 0' 38" LS • Titik 4 119° 15' 4" BT - 5° 1' 26" LS • Titik 5 119° 11' 36" BT - 4° 52' 15" LS • Titik 6 119° 9' 28" BT - 4° 49' 33" LS • Titik 7 119° 12' 6" BT - 4° 45' 5" LS • Titik 8 119° 12' 45" BT - 4° 39' 36" LS • Titik 9 119° 11' 25" BT - 4° 38' 21" LS • Titik 10 119° 9' 57" BT - 4° 43' 12" LS • Titik 11 119° 6' 36" BT - 4° 45' 56" LS • Titik 12 119° 6' 29" BT - 4° 45' 47" LS • Titik 13 119° 6' 29" BT- 4° 45' 10" LS • Titik 14 119° 9' 27" BT - 4° 39' 9" LS • Titik 15 119° 7' 30" BT - 4° 37' 11" LS Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan mengatur tentang luas

16

setiap zona yang ada di KKLD Kabupaten Pangkep dimana Zona Inti seluas 24.888,694 Ha, Zona Perikanan Berekelanjutan seluas 83.869,245 Ha, Zona Pemanfaatan seluas 53.274,621 Ha dan Zona Lainnya seluas 9.905,148 Ha.

Gambar 2 : Peta Zonasi Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep. Sumber : Dinas Kelautan Dan Perikanan Kabupaten Pangkep (2014).

Zona inti KKLD Kabupaten Pangkep memiliki total luas 24.888,694 Ha yang hanya diperuntukkan untuk kegiatan : (1) perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan serta alur migrasi biota laut; (2) Perlindungan ekosistem pesisir yang unik dan/atau rentan terhadap perubahan; (3) perlindungan situs budaya /adat tradisional; dan (4) Penelitian dan atau pendidikan. Zona perikanan berkelanjutan seluas 83.869,245 Ha diperuntukkan untuk kegiatan budidaya laut, Penangkapan dengan alat tangkap ramah lingkungan seperti ; long line, gill net dengan menggunakan mata jaring sesuai Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Zona pemanfaatan dengan luas 53.274,621 Ha diperuntukkan untuk kegiatan : (1) perlindungan habitat dan populasi ikan; (2) Pariwisata dan rekreasi; dan (3) Penelitian dan atau pendidikan. Dan zona lainnya seluas 9.905,148 Ha yang

17

merupakan zona di luar zona inti dan zona pemanfaatan yang fungsi dan kondisinya ditetapkan sebagai : (1) daerah penangkapan ikan tradisional; dan (2) kegiatan lainnya yang mendukung Perikanan berkelanjutan. Berdasarkan Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan Nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan bahwa pengelolaan kawasan konservasi laut daerah dilaksanakan dengan tujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan para pemangku kepentingan dalam menjaga ekosistem laut dari pengrusakan sehingga terpelihara secara berkelanjutan, meningkatkan kemampuan masyarakat/pemangku kepentingan mengelola sumberdaya perikanan secara bertanggung jawab, dan membentuk kemandirian masyarakat dalam perlindungan dan pemanfaatan terumbu karang dan ekosistemnya. Sasaran pengelolaan kawasan konservasi laut daerah adalah berkurangnya laju degradasi terumbu karang, terlaksananya pola pengelolaan kawasan konservasi laut daerah berbasis masyarakat, dan terwujudnya pengelolaan kawasan konservasi laut daerah yang seimbang. Sedangkan prinsip pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah dilakukan dengan pendekatan kehati-hatian, pertimbangan bukti ilmiah, pertimbangan kearifan local, pengelolaan berbasis masyarakat, pencegahan tangkap lebih, pengembangan alat penangkapan ikan, cara penangkapan ikan dan pembudidaya ikan yang ramah lingkungan, pertimbangan kondisi sosial lingkungan masyarakat, pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berkelanjutan, perlindungan struktur fungsi alami ekosistem perairan yang dinamis, perlindungan jenis dan kualitas genetik ikan, dan pengelolaan adaptif. Rencana Pemanfaatan Kawasan Konservasi lebih difokuskan pada zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya dimana diperuntukkan untuk pengembangan usaha seperti perikanan tangkap, perikanan budidaya, serta Wisata dan Rekreasi. Dalam hal pengelolaan kawasan konservasi di daerah dimana penataan kelembagaan KKLD di daerah sangat diwarnai oleh nuansa implementasi kebijakan otonomi daerah di masing-masing daerah sehingga ada kemungkinan terdapat perbedaan bentuk kelembagaan antara pusat dan daerah. Demikian halnya dengan KKLD Kabupaten

18

Pangkep dimana pengelolaan KKLD masih di bawah naungan Bidang Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep yang berarti masih jauh dari yang diharapkan dalam management plan KKLD Kabupaten Pangkep dimana belum ada unit kelembagaan khusus yang dapat mengelola dan mendukung pencapaian tujuan pengelolaan.

***

19

CAPAIAN KINERJA PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DI WILAYAH PERAIRAN KABUPATEN PANGKEP

Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Nomor KEP. 44 /KP3K/2012 Tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K) menjelaskan bahwa E-KKP3K adalah perangkat teknis untuk menilai capaian kinerja pengelolaan Kawasan Konservasi dimana hasil penilaiannya akan menunjukkan tingkat/level/peringkat sejauh mana upaya pengelolaan kawasan konservasi memberikan hasil positif terhadap aspek-aspek sumberdaya kawasan dan sosial-ekonomi-budaya masyarakat yang berdampak pada peningkatan kinerja pengelolaan. Peringkat pengelolaan kawasan konservasi secara efektif yang dimaksud dalam Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Nomor KEP. 44 /KP3K/2012 meliputi: (1) kawasan konservasi diinisiasi (peringkat merah); (2) kawasan konservasi didirikan (peringkat kuning); (3) kawasan konservasi dikelola minimum (peringkat hijau); (4) kawasan konservasi dikelola optimum (peringkat biru); dan (5) kawasan konservasi yang dikelola secara efektif dan berfungsi penuh atau disebut mandiri (peringkat emas). Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang Berdasarkan hasil perhitungan E-KKP3K diperoleh nilai persentase yang variatif menurun dari setiap peringkat. Pada peringkat merah (kawasan konservasi diinisiasi) diperoleh persentase capaian kinerja senilai 100 %, peringkat kuning (kawasan konservasi didirikan) dengan capaian 100 %, peringkat hijau (kawasan konservasi dikelola minimum) dengan capaian 76,19 %, peringkat biru (kawasan konservasi dikelola optimum) dengan capaian 57,14 % dan peringkat emas (kawasan konservasi mandiri) dengan capaian 33,33 %.4 Pada peringkat hijau, kinerja pengelolaan baru mencapai 76,19 %, hal ini disebabkan karena unit pengelola memiliki SDM yang fungsinya belum sesuai dengan fungsi pengelolaan dimana fungsi yang 4

Lihat lampiran : Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang

20

dimaksud berupa fungsi pengawasan, monitoring sumberdaya dan penguatan sosial ekonomi budaya. Selain dokumen rencana pengololaan belum disahkan, juga belum ada dokumen-dokumen tentang Standar Operasional Prosedur (SOP) pengelolaan administrasi perkantoran, SOP sarana-prasarana minimum dan SOP yang mengatur tentang penguatan kelembagaan, patroli bersama, pengelolaan sumberdaya kawasan, dan penguatan sosial ekonomi dan budaya. Pada peringkat biru, kinerja pengelolaan baru mencapai 57,14 %, hal ini disebabkan karena kualifikasi SDM pada unit organisasi pengelola belum sesuai dengan kompetensi yang ada dalam artian bahwa sejumlah SDM belum pernah mengikuti pelatihan pengelolaan kawasan konservasi. Selain itu, anggaran pengelolaan kawasan konservasi belum terpenuhi sesuai kebutuhan perencanaan pengelolaan sehingga kebutuhan terhadap sarana dan prasarana pengelolaan juga belum terpenuhi. Persoalan lain yang timbul akibat dari keterbatasan anggaran pengelolaan adalah belum adanya inisiasi kegiatan pengawasan kawasan konservasi berbasis masyarakat. Unit pengelola TWP Kapoposang sampai saat ini juga belum menetapkan data ekologis mana yang akan digunakan sebagai garis dasar (t0) untuk melakukan pemantauan secara berkala perubahan-perubahan kondisi habitat, kualitas fisika, kimia, biologi dan goelogi, kondisi populasi ikan, dan dampak kawasan konservasi TWP Kapoposang terhadap peningkatan hasil tangkapan ikan sehingga belum dapat dinilai perubahan-perubahannya.5 Pada peringkat emas, kinerja pengelolaan TWP baru mencapai 33,33 %, hal ini disebabkan karena unit pengelola TWP Kapoposang belum pernah melakukan kegiatan-kegiatan pengkajian berupa pengkajian tentang dampak kegiatan pariwisata terhadap kawasan konservasi, kajian dampak kegiatan budidaya terhadap kawasan konservasi, kajian dampak kegiatan perikanan terhadap kawasan konservasi, kajian peningkatan pendapatan masyarakat sebagai dampak dari pengelolaan, dan kajian tentang kesadaran masyarakat dalam mendukung pelestarian sumberdaya kawasan. Selain itu, sistem

5

Keterangan lisan Koordinator Unit Pengelola TWP Kapoposang.

21

pendanaan berkelanjutan yang melibatkan stakeholder juga belum ada. Dalam upaya melakukan pengelolaan kawasan konservasi yang efektif, unit pengelola juga telah melakukan banyak hal dalam memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan. Diantaranya mengusulkan dokumen pencadangan calon kawasan konservasi kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan sesuai Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia nomor PER.02/MEN/2009 tentang tata cara penetapan kawasan konservasi perairan, identifikasi, inventarisasi, sosialisasi dan konsultasi publik calon kawasan konservasi perairan. Hasil dari upaya inisiasi pencadangan kawasan kawasan konservasi tersebut adalah diterbitkannya Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia nomor KEP.66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Kapoposang Dan Laut Di Sekitarnya Di Provinsi Sulawesi Selatan pada tanggal 3 September 2009 dengan luas kawasan 50.000 ha. Sebagai tindak lanjut dari Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia nomor KEP.66/MEN/2009 adalah mengumumkan dan mensosialisasikan kawasan konservasi TWP Kapoposang kepada masyarakat. Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep Hasil perhitungan E-KKP3K untuk Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkep diperoleh nilai persentase capaian kinerja pengelolaan yang tidak jauh berbeda dengan hasil perhitungan EKKP3K TWP Kapoposang pada setiap peringkat. Pada peringkat merah (kawasan konservasi diinisiasi) diperoleh persentase capaian kinerja senilai 100 %, peringkat kuning (kawasan konservasi didirikan) dengan capaian 81,81 %, peringkat hijau (kawasan konservasi dikelola minimum) dengan capaian 61,90 %, peringkat biru (kawasan konservasi dikelola optimum) dengan capaian 35,71 % dan peringkat emas (kawasan konservasi mandiri) dengan capaian 0 % (tidak ada pencapaian kinerja).6 6

Lihat Lampiran : Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kab. Pangkep

22

Pada peringkat kuning, kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep baru mencapai 81,81 %. Berdasarkan hasil wawancara dengan staf unit pengelola (Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.Pangkep) diungkapkan bahwa hal ini disebabkan karena Dinas Kelautan Perikanan Kabupaten Pangkep sebagai unit organisasi pengelola memiliki jumlah SDM yang belum memadai untuk melakukan pengelolaan kawasan konservasi. Selain itu, dokumen rencana pengelolaan masih dalam bentuk draft tentative dan masih dalam proses penyusunan, belum memadainya sarana dan prasarana pengelolaan minimum seperti alat monitoring dan alat komunikasi. Pada peringkat hijau, kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep baru mencapai 61,90 %, hal ini disebabkan karena dokumen rencana pengelolaan belum disahkan, belum adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) sarana prasarana standar minimum dan SOP penguatan kelembagaan, patroli bersama, pengelolaan sumberdaya kawasan, dan penguatan sosial ekonomi budaya. Pada peringkat biru, kinerja pengelolaan baru mencapai 35,71 %, hal ini disebabkan karena kapasitas SDM pengelola belum sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan seperti SDM dengan kualifikasi perencanaan, monitoring sumberdaya, evaluasi, pengawasan, penelitian, dan SDM yang memiliki kualifikasi untuk mengkaji kondisi sosial ekonomi budaya. Selain itu, dukungan terhadap pembiayaan pengelolaan juga masih sangat minim, belum adanya dokumendokumen SOP misalnya SOP penelitian dan pendidikan, SOP pelaksanaan kegiatan pariwisata, SOP pelaksanaan kegiatan budidaya, dan SOP pelaksanaan kegiatan perikanan tangkap. Dalam hal pengelolaan sumberdaya kawasan, unit pengelola KKLD Kabupaten Pangkep juga belum menetapkan data ekologis mana yang akan digunakan sebagai garis dasar (t0) untuk melakukan pemantauan secara berkala perubahan-perubahan kondisi habitat, kualitas fisika, kimia, biologi dan goelogi, kondisi populasi ikan, dan dampak kawasan konservasi TWP Kapoposang terhadap peningkatan hasil tangkapan ikan sehingga belum dapat dinilai perubahanperubahannya. Pada peringkat emas, kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep tidak menunjukkan capaian kinerja apapun (0 %), hal ini disebabkan karena belum tersedianya data tentang peningkatan kesejahteraan

23

masyarakat sebagai dampak dari adanya pengelolaan KKLD dan peningkatan kesadaran masyarakat dalam mendukung pelestarian sumberdaya kawasan, serta belum adanya sistem pendanaan berkelanjutan yang melibatkan stakeholder dalam mendukung pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep. Meskipun masih banyak yang belum dilakukan oleh unit pengelola KKLD Kabupaten Pangkep dalam meningkatkan level/peringkat pengelolaan KKLD namun layak mendapatkan apresiasi karena kinerja pengelolaan telah mencapai peringkat merah dengan status pencadangan kawasan konservasi. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan. Hal yang paling mendasar yang harus dilakukan oleh unit pengelola KKLD Kabupaten Pangkep adalah menginisiasi penetapan dokumen Rencana Pengelolaan KKLD. Perbandingan Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang dengan KKLD Kabupaten Pangkep Kawasan Konservasi TWP Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep adalah kawasan konservasi yang dikelola oleh pemerintah namun dalam proses inisiasi pencadangan kawasan tersebut dilakukan dengan proses yang berbeda. Inisiasi pencadangan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang dilakukan dengan perencanaan kebijakan secara top-down sedangkan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep inisiasi pencadangan kawasannya dilakukan secara kolaboratif antara masyarakat dan pemerintah dengan melalui proses perencanaan kebijakan secara bottom-up. Selain itu, pengelolaan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang dikelola langsung oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kota Kupang lingkup Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan PulauPulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan sedangkan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep pengelolaan kawasannya dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pangkep yang melekat pada Bidang Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep. Pada grafik yang divisualisasikan di bawah terlihat kedua kawasan konservasi yaitu TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep telah

24

mencapai kinerja pengelolaan 100 % namun pada peringkat kuning hanya TWP Kapoposang yang telah mencapai kinerja pengelolaan 100 % sedangkan kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep baru mencapai 81,81 %. Pada Peringkat hijau, kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang mencapai 76,19% dan kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep mencapai 61,90 %. Pada peringkat biru, kinerja pengelolaan kawasan konservasi mencapai 57,14 % dan kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep mencapai 35,71 %, dan pada peringkat emas kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang mencapai 33,33 % dan kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep belum ada capaian apapun (0 %). Perbandingan Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Berdasarkan Analisis E-KKP3K (%) Persentase

150

100100

100

100 81.81

76.19 61.9

50

57.14 35.71

33.33 0

0

TWP Kapoposang KKLD Pangkep

Merah

Kuning

Hijau

Biru

Emas

Peringkat

Gambar 3 : Grafik Perbandingan Presentase Capaian Kinerja Pengelolaan Kawasan Konservasi Berdasarkan Analisis E-KKP3K. Pengelola TWP Kapoposang : BKKPN Kota Kupang. Pengelola KKLD Kab. Pangkep : Dinas Kelautan dan Perikanan Kab.Pangkep. Peringkat : (1) Merah : kawasan konservasi diinisiasi; (2) Kuning: kawasan konservasi didirikan; (3) Hijau: kawasan konservasi dikelola minimum; (4) biru : kawasan konservasi dikelola optimum; dan (5) Emas : kawasan konservasi yang dikelola secara efektif dan berfungsi penuh atau disebut mandiri. Diolah berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Nomor KEP. 44 /KP3K/2012 Tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K).

Adanya perbedaan capaian kinerja pengelolaan kedua kawasan konservasi tersebut dimana kinerja pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang memiliki capaian kinerja dengan persentase yang lebih besar dibanding capaian kinerja pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep pada peringkat kuning, hijau, biru dan emas diduga disebabkan karena porsi anggaran pengelolaan TWP Kapoposang lebih besar dari pada KKLD Kabupaten Pangkep. Hipotesis pendugaan

25

ini didasarkan pada kelembagaan pengelolaan kawasan konservasi dimana proses pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang berada di bawah naungan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kota Kupang lingkup Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) yang anggaran pengelolaannya melekat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sedangkan pengelolaan KKLD Kabupaten Pangkep berada di bawah naungan Bidang Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pangkep yang anggaran pengelolaannya hanya melekat pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Pangkep dan APBD Propinsi Sulawesi Selatan. Status Efektifitas Pengelolaan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang Dan KKLD Kabupaten Pangkep Berdasarkan hasil Evaluasi Efektifitas Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K) untuk kawasan konservasi Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang yang telah dilakukan oleh Kementerian Kelautan Perikanan pada tahun 2012 diperoleh status efektif (100%) pada peringkat merah7 sedangkan berdasarkan hasil penelitian ini diperoleh kemajuan capaian kenerja pengelolan kawasan konservasi dengan persentase tertinggi 100 % pada peringkat merah dan peringkat kuning. Berbeda dengan capaian kenerja pengelolan kawasan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep yang baru mencapai kinerja pengelolaan 100 % pada peringkat merah. Hasil EKKP3K tersebut membuktikan bahwa kinerja pengelolaan TWP Kapoposang telah mencapai pengelolaan efektif pada peringkat kuning dengan status kawasan konservasi didirikan sedangkan kinerja pengelolaan KKLD Kab.Pangkep baru mencapai pengelolaan efektif pada peringkat merah dengan status telah dicadangkan.

7

Ditjen KP3K http://kkji.kp3k.kkp.go.id diakses pada tanggal 12 Mei 2014

26

Tabel 1 : Status Efektifitas Pengelolaan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep. Diolah berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir Dan PulauPulau Kecil Nomor KEP. 44 /KP3K/2012 Tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K).

PERINGKAT MERAH (1) KUNING (2) HIJAU (3) BIRU (4) EMAS (5)

KAWASAN KONSERVASI DIINISIASI KAWASAN KONSERVASI DIDIRIKAN KAWASAN KONSERVASI DIKELOLA MINIMUM KAWASAN KONSERVASI DIKELOLA OPTIMUM KAWASAN KONSERVASI MANDIRI

KINERJA PENGELOLAAN TWP Kapoposang KKLD Kab. Pangkep Capaian Capaian Ket Ket (%) (%) 100

Efektif

100

100

Efektif

81,81

76,19 57,14 33,33

Belum Efektif Belum Efektif Belum Efektif

61,90 35,71 0

Efektif Belum Efektif Belum Efektif Belum Efektif Belum Efektif

Capaian kinerja pengelolaan TWP Kapoposang pada peringkat hijau, biru, emas dan capaian kinerja pengelolaan KKLD Kab.Pangkep pada peringkat kuning, hijau, biru, emas masih berada di bawah 100 % sehingga dapat dikategorikan belum efektif. Hal ini disebabkan karena belum sempurnanya aktivitas pelaksanaan rencana pengelolaan, penguatan kelembagaan, dan belum adanya pendanaan yang mandiri dan berkelanjutan.

***

27

PERSEPSI TERHADAP KEBERADAAN KAWASAN KONSERVASI

Menurut Walgito (2000), Persepsi merupakan aktivitas yang integrated, maka seluruh apa yang ada dalam diri individu seperti perasaan, pengalaman, kemampuan berpikir, kerangka acuan dan aspek-aspek lain yang ada dalam diri individu masyarakat akan ikut berperan dalam persepsi tersebut, sehingga berdasarkan hal tersebut menjadi penting untuk menggambarkan pengetahuan nelayan terhadap keberadaan TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep yang kemudian dapat dijadikan pertimbangan kebijakan khususnya dalam proses pengelolaan menuju kawasan konservasi laut yang mandiri dan berkelanjutan. Persepsi nelayan disampaikan melalui wawancara yang terbagi dalam 2 lokasi penelitian, yaitu kawasan konservasi Taman Wisata Perairan (TWP) Kapoposang dan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep. Untuk mengetahui persepsi nelayan setempat terhadap keberadaan Taman Wisata Perairan maka ditentukan Desa Mattiro Matae (Pulau Gondongbali) sebagai lokasi penelitian sedangkan untuk mengetahui persepsi nelayan setempat terhadap keberadaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep maka ditetapkan Desa Mattiro Uleng (Pulau Kulambing), Desa Mattiro Walie (Pulau Samatellu Lompo), dan Desa Mattiro Dolangeng (Pulau Pala) sebagai lokasi penelitian.

28

Gambar 4 : Peta Lokasi Penelitian. Keterangan : (a) Lokasi Penelitian di wilayah TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali); (b) Lokasi Penelitian di wilayah KKLD Kab. Pangkep (Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo, Pulau Pala).

Pengetahuan Terhadap Keberadaan Kawasan Konservasi. Pada umumnya nelayan (91,4%) di Pulau Gondongbali sudah mengetahui keberadaan Kawasan Konservasi TWP Kapoposang. Berbeda dengan tingkat pengetahuan nelayan di Pulau Samatellu Lompo dan Pulau Pala dimana tidak ada yang mengetahui keberadaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Kabupaten Pangkep dan hanya 2,9% nelayan di Pulau Kulambing yang mengetahui keberadaan KKLD Kabupaten Pangkep. Pada kasus ini nelayan lebih banyak mengetahui keberadaan Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang dikelola oleh Coremap dari pada KKLD Kab.Pangkep. Hal ini diduga karena tidak adanya atribut sosialisasi KKLD Kab. Pangkep seperti atribut sosialisasi TWP Kapoposang yang ada di Pulau Gondongbali. Dugaan lain terkait rendahnya pengetahuan nelayan terhadap keberadaan KKLD Pangkep adalah karena sosialiasi mengenai KKLD Pengkep yang difasilitasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan hanya dilakukan sekali pada tahun 2010 dan hanya

29

melibatkan stakeholder tertentu saja.8 Menurut keterangan lisan mantan ketua LPSTK Desa Mattiro Uleng bahwa unit pengelolaa KKLD Kab.Pangkep tidak pernah melakukan sosialisasi edukatif terkait keberadaan KKLD Kab, Pengkep sehingga nelayan sebagai entitas yang menerima manfaat langsung sumberdaya laut tidak mengetahui keberadaan KKLD Kab.Pangkep.9 Pengetahuan Tentang Aturan Di Kawasan Konservasi Tingkat pengetahuan nelayan terhadap aturan pemanfaatan sumberdaya di kawasan konservasi cukup bervariasi namun umumnya nelayan baik di wilayah TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) maupun wilayah KKLD Kab.Pangkep (Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo) sudah mengetahui aturan pemanfaatan sumberdaya berupa larangan penggunaan bom dan racun/bius. Nelayan yang berada di TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) dan KKLD Kab Pangkep yang masing-masing sebanyak 88,6%; 97,1%; 91,4%; dan 91,4% sudah mengetahui adanya aturan termasuk aturan pelarangan aktivitas Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan (PITRaL). Perolehan Informasi Mengenai Aturan Di Kawasan Konservasi Pada kawasan TWP Kapoposan (Pulau Gondongbali), nelayan lebih banyak memperoleh pengetahuan tentang aturan pemanfaatan sumberdaya laut dari Balai Kawasan Konservasi Perairan (BKKPN) Kota Kupang, Coremap, dan kepala desa. Sedangkan nelayan pada KKLD Kab. Pangkep lebih banyak memperoleh informasi dari Coremap, Kepala Desa dan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kab.Pangkep.

8

Berdasarkan keterangan lisan staf unit pengelola KKLD Kab.Pangkep bahwa sosialisasi KKLD Kab.Pangkep baru sekali dilaksanakan pada tahun 2010 setelah diterbitkannya Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan dan karena keterbatasan anggaran sehingga hanya mengundang beberapa tokoh-tokoh masyarakat pada spot desa tertentu. Sosialisasi ini sekaligus ditujukan untuk mengetahui gambaran umum resistensi masyarakat terhadap keberadaan KKLD Kab. Pangkep. Dari hasil sosialisasi ini ditemukan banyak tanggapan unlinear dari masyarakat terkait luasan zona inti sehingga akan diupayakan untuk dilakukan pengurangan zona inti KKLD Kab.Pangkep. 9 Keterangan lisan mantan ketua Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) Desa Mattiro Uleng.

30

Sanksi Atas Pelanggaran Yang Terjadi di Kawasan Konservasi Persepsi nelayan (Pulau Gondongbali) terhadap sanksi atas pelanggaran yang terjadi di kawasan konservasi di kawasan TWP Kapoposang umumnya menyatakan bahwa sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan sumberdaya laut hanya berupa peringatan lisan (82,9%), namun sebanyak 5,7% nelayan menyatakan bahwa sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan sumberdaya laut pernah sampai pada proses hukum penjara, namun penegakan aturan yang lebih berat tersebut pernah dilakukan oleh Lantamal VI Wilayah Makassar. Berbeda dengan persepsi nelayan yang ada di KKLD Kab. Pangkep dimana umumnya menyatakan tidak ada pemberian sanksi terhadap pelanggaran pemanfaatan sumberdaya laut dan peringatan lisan hanya disampaikan oleh kepala desa atau nelayan setempat yang melihat praktek destructive fishing. Persepsi Terhadap Aktivitas Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan (PITRaL) di Sekitar Wilayah Kawasan Konservasi. Penangkapan ikan tidak ramah lingkungan (PITRaL) merupakan aktivitas penangkapan yang sifatnya eksploitatif dan tidak memperhatikan kaidah-kaidah konservasi (Saleh, 2010). Alat PITRaL yang paling sering dipergunakan adalah racun sianida (bius), bahan peledak (bom ikan), trawl, bubu tindis, dan muroami. Berdasarkan laporan Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia (2003) dalam Saleh (2010), untuk kepulauan Spermonde diperkirakan 64,88% nelayannya adalah pelaku PITRaL. Baik di wilayah TWP Kapoposang maupun di wilayah KKLD Kab.Pangkep masih terlihat adanya indikasi aktivitas PITRaL meski intensitasnya sudah menurun. Indikasinya terlihat dimana sebanyak 17,1% nelayan di wilayah TWP Kapoposang menyebutkan aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali dalam kurun waktu 6 bulan; dan 11,4% menyatakan aktivitas PITRaL sering terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Demikian hanya di wilayah KKLD Pangkep dimana tergambarkan masih ada indikasi terjadinya aktivitas PITRaL. Nelayan di Pulau Kulambing sebanyak 74,3% menyatakan aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 20% menyatakan aktivitas PITRaL masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Sebanyak 14,3% nelayan di Pulau Samatellu

31

Lompo menyatakan aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 20% menyatakan aktivitas PITRaL masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Nelayan di Pulau Pala umumnya (80%) menyatakan aktivitas PITRaL pernah terjadi sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan 8,6% aktivitas PITRaL masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Laporan Rencana Pengelolaan Terumbu Karang Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep 2006 (Coremap II, 2006) menjustifikasi bahwa nelayan yang berada di kepulauan Kab.Pangkep terutama nelayan yang berasal dari Pulau Karanrang masih melakukan aktivitas PITRaL dalam proses pemanfaatan sumberdaya laut. Senada dengan itu, Saleh (2010) mengungkapkan bahwa nelayan yang berada di kepulauan Kab.Pangkep terutama nelayan penangkap ikan sunu menggunakan alat tangkap pancing sunu yang selalu berbarengan dengan penggunaan sianida. Hal ini disebabkan pancing sunu dimaksudkan untuk mendapatkan target dalam keadaan hidup, sedang ikan target sendiri berada di dalam celah karang, sehingga untuk dapat ditangkap target harus dipaksa keluar dari lubang persembunyiannya dengan cara menyemprotkan sianida (bius). Persepsi Terhadap Eksploitasi Kima Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan Dan Satwa menjustifikasi perlindungan terhadap berbagai jenis Bivalvia, diantaranya Kima Tapak Kuda (Hippopus hippopus), Kima Cina (Hippopus porcellanus), Kima kunia (Tridacna crocea), Kima selatan (Tridacna derasa), Kima raksasa (Tridacna gigas), dan Kima sisik (Tridacna squamosa). Berdasarkan hal tersebut sehingga menjadi penting untuk menggambarkan aktivitas eksploitasi Kima di wilayah TWP Kapoposang dan KKLD Kab, Pangkep. Talibo’ adalah nama local (local common name) untuk jenis biota Kima bagi masyarakat kepulauan di Kab. Pangkep. Sudah menjadi tradisi masyarakat kepulauan di Kab. Pangkep untuk menyajikan hidangan Kima pada saat acara-acara hajatan dan atau pesta pernikahan. Meski belum ada data tentang menurunnya tingkat populasi Kima yang digambarkan dalam deret waktu, namun

32

masyarakat kepulauan di Kab.Pangkep cukup merasakan berkurangnya hasil tangkapan Kima. Baik di Wilayah TWP Kapoposang maupun di wilayah KKLD Kab. Pangkep tergambarkan masih adanya indikasi eksploitasi Kima meski intensitasnya sudah menurun. Nelayan di wilayah TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) sebanyak 20% masih melihat adanya aktivitas eksploitasi Kima sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 17,1% nelayan menyatakan eksploitasi Kima masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Demikian halnya juga di wilayah KKLD Kab.Pangkep dimana terindikasi masih adanya eksploitasi Kima. Nelayan di Pulau Kulambing sebanyak 17,1% masih melihat adanya aktivitas eksploitasi Kima sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 11,4% nelayan menyatakan aktivitas eksploitasi Kima masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Di Pulau Samatellu Lompo, 14,3% nelayan menyatakan masih melihat adanya aktivitas eksploitasi Kima sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 22,9% menyatakan aktivitas eksploitasi Kima masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Nelayan di Pulau Pala sebanyak 14,3% juga masih melihat aktivitas eksploitasi Kima sekali dalam kurun waktu 6 bulan dan sebanyak 8,6% nelayan menyatakan aktivitas eksploitasi Kima masih terjadi lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 6 bulan. Masih adanya indikasi eksploitasi Kima di wilayah kawasan konservasi laut diduga kemungkinan disebabkan karena pengawasan terhadap sumberdaya laut masih belum terlalu ketat. Persepsi Terhadap Aktivitas Penambangan Karang. Penambangan karang adalah aktivitas yang dilarang apalagi dilakukan di wilayah kawasan konservasi laut. Kebanyakan masyarakat yang berada di daerah kepulauan di Indonesia yang wilayahnya jauh dari daratan dimana sulit untuk mendapatkan material bahan bangunan untuk pembangunan sementara kebutuhan untuk mendapatkan atau membangun rumah semakin tinggi sehingga kadang secara terpaksa melakukan penambangan karang yang biasanya ditujukan untuk membangun fondasi bangunan. Tak terkecuali masyarakat yang berada di wilayah TWP Kapoposang dan KKLD Kab. Pangkep dimana masih ditemukan aktivitas penambangan karang meski nelayan umumnya menyatakan sudah tidak ada lagi atau sudah tidak pernah

33

melihat lagi aktivitas penambangan karang. Masing-masing sebanyak 17,1% nelayan di Pulau Gondongbali menyatakan pernah melihat aktivitas penambangan karang lebih dari 3 kali selama kurun waktu 1 tahun. Di Pulau Kulambing, sebanyak 14,3% nelayan pernah melihat aktivitas penambangan karang dengan aktivitas kurang dari 3 kali selama kurun waktu 1 tahun dan sebanyak 11,4% nelayan pernah melihat aktivitas penambangan karang lebih dari 3 kali dalam kurun waktu 1 tahun terakhir. Sebanyak 8,6% nelayan di Pulau Samatellu Lompo pernah melihat aktivitas penambangan kurang dari 3 kali dalam setahun terakhir dan 20% menyatakan aktivitas penambangan karang lebih dari 3 kali dalam setahun terakhir. Demikian halnya di Pulau Pala bahwa sebanyak 31,4% nelayan menyatakan aktivitas penambangan karang terjadi kurang dari 3 kali dalam setahun dan 8,6% nelayan menyatakan aktivitas penambangan karang terjadi lebih dari 3 kali dalam setahun terakhir. Persepsi nelayan tersebut menggambarkan adanya indikasi bahwa di wilayah TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep masih ada aktivitas penambangan karang. Meski belum ada data yang menjelaskan hubungan antara tingkat kesejahteraan nelayan dengan aktivitas penambangan karang tetapi hadirnya masalah ini patut diduga tidak terlepas dari rendahnya pendapatan nelayan dalam hal memenuhi kebutuhan, terutama dalam hal pembangunan pemukiman. Persepsi Tentang Dampak Setelah Adanya Zonasi Kawasan Konservasi Pengelolaan kawasan konservasi laut mengharuskan adanya penataan zonasi yang ditujukan untuk mengantisipasi terjadinya konflik kepentingan dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut. Selain itu, pengelolaan kawasan konservasi laut juga ditujukan untuk menselaraskan antara kepentingan pemanfaatan sumberdaya laut dengan kepentingan perlindungan sumberdaya laut sehingga sumberdaya laut dapat memberikan manfaat kepada nelayan dalam jangka waktu yang panjang dan berkelanjutan (sustainable use). TWP Kapoposang telah dicadangkan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan Perikanan melalui Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP.66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Kapoposang Dan Laut Di Sekitarnya Di Provinsi

34

Sulawesi Selatan dan KKLD Kabupaten Pangkep juga telah dicadangkan melalui Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan. Setelah dicadangkannya TWP Kapoposang pada tahun 2009 dan KKLD Kab. Pangkep pada tahun 2010, kedua kawasan konservasi ini tentunya harus dikelola efektif agar dapat memberikan manfaat banyak kepada nelayan setempat. Nelayan di TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) umumnya sudah mengetahui adanya zonasi kawasan TWP Kapoposang, berbeda dengan nelayan yang ada di wilayah KKLD Pangkep (Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo, Pulau Pala) yang pada umumnya belum mengetahui adanya penetapan pencadangan KKLD Kab.Pangkep sehingga untuk mengetahui persepsi nelayan tentang dampak setelah adanya penetapan KKLD Kab. Pangkep harus memberikan pertanyaan yang beda dengan pertanyaan yang diberikan nelayan di wilayah TWP Kapoposang, yaitu dengan menanyakan apakah selama kurang lebih 3 tahun terakhir hasil tangkapan meningkat, sama saja atau berkurang. Secara umum nelayan baik nelayan yang berada di kawasan TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) maupun yang berada di wilayah KKLD Kab. Pangkep (Pulau Kulambbing, Pulau Samatellu Lompo, dan Pulau Pala ) menyatakan bahwa sejak ditetapkannya kawasan konservasi TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep hasil tangkapan tidak mengalami perubahan peningkatan atau sama saja. Pendugaan sementara kemungkinan disebabkan oleh faktor daya jangkauan trip armada tangkap nelayan yang hanya sebagian besar hanya menjangkau daerah-daerah yang dekat dengan pulau. Menurut kepala desa Mattiro Dolangeng10 bahwa daerah fishing ground nelayan sebagian besar berada di sekitar pulau yang kaya akan karang dikarenakan armada tangkap nelayan hanya mampu menjangkau wilayah perairan dangkal yang dekat dengan pulau sehingga ekosistem karang semakin rusak dikarenakan aktivitas PITRaL. Di saat ekosistem karang sudah banyak yang rusak, nelayan mulai merasakan bahwa semakin hari ikan hasil tangkapan tidak meningkat bahkan dirasakan semakin berkurang, sementara nelayan 10

Keterangan lisan Kepala Desa Mattiro Dolangeng

35

secara ekonomi tidak mampu meningkatkan kapasitas armada tangkap yang lebih besar untuk menjangkau wilayah fishing ground yang lebih jauh. Dugaan kedua kemungkinan disebabkan oleh sejak ditetapkannya TWP Kapoposang dan KKLD Kabupaten Pangkep oleh Pemerintah sampai sekarang belum ada penataan tapal batas zonazona yang ada dalam wilayah kawasan konservasi sehingga kegiatankegiatan ekstraktif tetap dilakukan oleh nelayan pada daerah-daerah yang kaya akan karang. Kegiatan ekstraktif tersebut secara teoritis akan memberikan dampak negative yaitu terganggunya rekrutmen ikan karang sehingga kestabilan rantai makanan, aliran energi dan siklus materi dalam ekosistem terumbu karang tidak terjadi secara optimal. Menurut staf unit pengelola KKLD Kab. Pangkep11 bahwa isu pengurangan luasan zona inti KKLD Kab.Pangkep sedang bergulir dikarenakan beberapa stakeholder (Pengusaha Bisnis Perikanan) yang mengetahui keberadaan KKLD Kab.Pangkep merasa wilayah fishing groundnya semakin terbatasi. Stakeholder yang dekat dengan kekuasaan dan memiliki ketergantungan politik secara vertikal menggulirkan isu tersebut secara vertikal. Resistensi beberapa stakeholder tersebut dikarenakan kekhawatiran akan berkurangnya penghasilan akibat berkurangnya hasil tangkapan karena terlalu luasnya zona inti KKLD Kab.Pangkep. Karena adanya resistensi dari stakeholder tersebut sehingga penataan tapal batas KKLD Kab.Pangkep belum bisa dilakukan. Hal inilah yang mendasari sehingga dinamika otonomi daerah dirasakan sangat berpengaruh terhadap proses pengelolaan kawasan konservasi laut. Kepentingan stakeholder yang bertabrakan diupayakan untuk disinkronisasi secara harmonis agar tidak terjadi konflik kepentingan. Disadari atau tidak, sistem demokrasi politik di Indonesia belum dewasa sehingga kebijakan selalu disandarkan pada kepentingan sebagian kecil orang yang memiliki kekuatan ekonomi politik meski harus mengorbankan kepentingan perlindungan sumberdaya laut.

11

Keterangan lisan staf Unit Pengelola KKLD Kab. Pangkep

36

Persepsi Nelayan Terhadap Kondisi Terumbu Karang di Sekitar Wilayah Kawasan Konservasi Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan tentang persepsi nelayan terhadap kondisi terumbu karang di sekitar kawasan konservasi ditemukan bahwa sebanyak 62,9% nelayan di Pulau Gondongbali menjawab mulai terdapat kerusakan terumbu karang di sekitar TWP Kapoposang. Pada wilayah KKLD Kab. Pangkep umumnya juga nelayan menyatakan mulai terdapat kerusakan terumbu karang di sekitar wilayah KKLD Kab. Pangkep, dimana nelayan di Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo, dan Pulau Pala yang masingmasing sebanyak 65,7%, 65,7%, dan 68,6% menyatakan mulai terdapat kerusakan terumbu karang di sekitar wilayah KKLD Kab. Pangkep. Hal ini bisa digeneralisasikan bahwa baik di sekitar wilayah TWP Kapoposang maupun di sekitar wilayah KKLD Kabupaten Pangkep sudah terjadi kerusakan terumbu karang. Berdasarkan laporan monitoring tren kondisi terumbu karang Kabupaten Pangkep tahun 2012 yang direlease oleh Dinas Kelautan dan Perikanan menunjukkan bahwa persentase terumbu karang dengan kondisi rusak berfluktuasi meningkat. Pada tahun 2008 kondisi karang yang rusak sebesar 18,60 % meningkat menjadi 48,84 % pada tahun 2010 kemudian menurun menjadi 41,86 % pada tahun 2011 sementara kondisi terumbu karang yang sangat baik persentasenya sangat sedikit dimana pada tahun 2008 hanya sebesar 4,65 % dan mengalami sedikit peningkatan pada tahun 2011 sebesar 9,30 %. Pada laporan tersebut juga disebutkan bahwa meningkatnya persentase kerusakan terumbu karang pada tahun 2010 disebabkan oleh fenomena pemutihan karang (Bleaching) dan aktivitas antropogenik yang destruktif seperti penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak. Persepsi Terhadap Manfaat Terumbu Karang Sebagai Daerah Tempat Tinggal (Nursery Ground), Tempat Mencari Makan (Feeding Ground) dan tempat Beregenerasi Berbagai Macam Ikan Laut (Spawning Ground). Nelayan yang ada di kawasan konservasi laut Kab. Pangkep baik di wilayah TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) maupun di wilayah KKLD Kab. Pangkep (Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo, Pulau Pala) pada umumnya adalah adalah nelayan dengan armada tangkap

37

yang sederhana sehingga hanya bisa mengakses fishing ground yang dekat dimana sebagian besar daerah fishing groundnya adalah perairan dangkal daerah ekosistem karang tumbuh berkembang. Coremap telah memberikan banyak pelajaran dan pengetahuan kepada nelayan tentang manfaat terumbu karang sebagai Nursery Ground, Feeding Ground, dan Spawning Ground. Sehingga dengan demikian dapat menjustifikasi bahwa nelayan baik di wilayah TWP Kapoposang maupun KKLD Kab. Pangkep pada umumnya sudah mengetahui manfaat terumbu karang sebagai Nursery Ground, Feeding Ground, dan Spawning Ground. Hal ini terbukti dimana sebanyak 77,1% nelayan di TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) menjawab bahwa terumbu karang bermanfaat sebagai Nursery Ground, Feeding Ground, dan Spawning Ground. Pada wilayah KKLD Pangkep, sebanyak 68,6% nelayan di Pulau Kulambing, 60% nelayan di Pulau Samatellu Lompo dan 54,3% nelayan di Pulau Pala sudah mengetahui manfaat terumbu karang sebagai Nursery Ground, Feeding Ground, dan Spawning Ground. Hal ini dapat digeneralisasi bahwa masyarakat nelayan di baik di wilayah TWP Kapoposang maupun di KKLD Kab. Pangkep sudah mengetahui manfaat terumbu karang sebagai Nursery Ground, Feeding Ground, dan Spawning Ground. Persepsi Terhadap Perlunya Aturan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (SDI) Wilayah Terumbu Karang Pada dasarnya pengelolaan kawasan konservasi perairan ditujukan untuk menselaraskan kepentingan pemanfaatan sumberdaya laut dengan kepentingan perlindungan laut sehingga pemanfaatan sumberdaya laut dapat berkelanjutan. Nelayan di kepulauan Kabupaten Pangkep mayoritas adalah nelayan kecil yang memanfaatkan terumbu karang sebagai daerah fishing ground karena jarak aksesnya yang dekat. Modernisasi yang mengejar pertumbuhan telah mengakselerasi pemanfaatan pengggunaan teknologi penangkapan ikan yang tidak memberikan keadilan secara merata kepada nelayan dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut sementara tingkat kepentingan pemanfaatan sumberdaya laut semakin meningkat. Semakin meningkatnya pemanfaatan sumberdaya laut tentunya harus diharmonisasikan dengan

38

penegakan aturan. Olehnya itu, pengelolaan kawasan konservasi adalah juga merupakan upaya penegakan aturan (hukum) yang diharapkan dapat memberikan keadilan kepada seluruh nelayan dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut. Upaya penegakan aturan pemanfaatan sumberdaya laut tersebut harus disandarkan pada kepentingan mayoritas nelayan dengan tetap mempertimbangkan keseimbangan ekosistem. Dari hasil wawancara ditemukan tingginya harapan mayoritas nelayan terhadap perlunya mensegerakan optimalisasi penegakan aturan pemanfaatan sumberdaya laut, baik di wilayah TWP Kapoposang maupun di wilayah KKLD Kab. Pangkep. Sebanyak 68,6% nelayan di wilayah TWP Kapoposang (Pulau Gondongbali) menganggap perlu ada aturan pemanfaatan sumberdaya di wilayah terumbu karang dan sebanyak 20% menyatakan sangat perlu ada aturan pemanfaatan sumberdaya. Nelayan yang berada di wilayah KKLD kabupaten pangkep, yaitu Pulau Kulambing, Pulau Samatellu Lompo, dan Pulau Pala masingmasing sebanyak 62.9%, 62.9% dan 57.1% mengharapkan perlu ada aturan pemanfaatan sumberdaya dan masing-masing sebanyak 28.6%, 14.3%, dan 25.7% menyatakan sangat perlu adanya aturan dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut. Berdasarkan hal tersebut sehingga dapat menjustifikasi bahwa secara umum nelayan berharap adanya penegakan aturan secara optimal agar dapat memberikan keadilan dalam hal pemanfaatan sumberdaya laut.

***

39

ISSUE DISCUSSION PROBLEMATIKA SILANG SINGKARUT PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI LAUT DI WILAYAH PERAIRAN KAB. PANGKEP Dari hasil E-KKP3K ditemukan bahwa kinerja pengelolaan TWP Kapoposang telah mencapai pengelolaan efektif pada peringkat kuning dengan status kawasan konservasi didirikan sedangkan kinerja pengelolaan KKLD Kab.Pangkep baru mencapai pengelolaan efektif pada peringkat merah dengan status telah dicadangkan. Status kawasan konservasi TWP Kapoposang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia nomor KEP.66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Kapoposang Dan Laut Di Sekitarnya Di Provinsi Sulawesi Selatan. Demikian halnya dengan KKLD Kab. Pangkep dimana status pencadangannya diterbitkan melalui Peraturan Bupati Pangkajene Dan Kepulauan nomor 32 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah Kabupaten Pangkajene Dan Kepulauan. Hasil wawancara dengan staf unit pengelola TWP Kapoposang menyatakan bahwa management plan TWP Kapoposang masih sementara dalam proses pengusulan untuk ditetapkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Namun, dalam proses upaya penetapan managemen plan tersebut ditemukan kekeliruan dalam penentuan titik koordinat kawasan dimana konsekuensi dari kekeliruan tersebut menyebabkan luasan kawasan menjadi 90.000 hektar sementara dalam Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia nomor KEP.66/MEN/2009 tentang Penetapan Kawasan Konservasi Perairan Nasional Kepulauan Kapoposang Dan Laut Di Sekitarnya Di Provinsi Sulawesi Selatan tercantum luasan kawasan 50.000 hektar. Hal ini memungkinkan akan dilakukan peninjauan kembali Keputusan Menteri Kelautan Dan Perikanan tersebut.12 Demikian halnya dengan management plan KKLD Kab. Pangkep masih belum ditetapkan karena masih dalam proses sinkronisasi dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Propinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, pertimbangan lain sehingga 12

Keterangan lisan Koordinator Pengelola TWP Kapoposang.

40

management plan KKLD Kab. Pangkep masih belum ditetapkan adalah karena luas zona inti (no take zone) KKLD Kab.Pangkep masih ingin dikurangi. Hipotesis sementara terkait rencana pengurangan luas zona inti KKLD Kab.Pangkep adalah diduga sedikit banyaknya terkait dengan dinamika otonomi daerah. Lambatnya progresifitas pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang dan KKLD Kab. Pangkep yang dikarenakan oleh belum ditetapkannya Management Plan TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep menyebabkan lemahnya pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya laut di wilayah perairan Kab.Pangkep sehingga memberi ruang kepada para pemanfaat sumberdaya laut untuk tetap melakukan aktivitas PITRaL, penambangan karang dan eksploitasi biota dilindungi (Kima). Sejak tahun 2006-2011 melalui pengelolaan Daerah Perlindungan Laut (DPL), Coremap telah banyak memberikan pengetahuan dan pembelajaran kepada masyarakat nelayan di wilayah Kepulauan Kab.Pangkep sehingga masyarakat nelayan umumnya mengetahui manfaat terumbu karang namun realitas menunjukkan kondisi yang un-linear dimana masih ada indikasi terjadinya pelanggaran pemanfaatan sumberdaya laut yang terindikasi dengan masih adanya aktivitas PITRaL, penambangan karang, eksploitasi biota dilindungi (Kima). Hipotesis sementara kemungkinan disebabkan oleh : (1) rendahnya pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya laut yang dikarenakan belum ditetapkannya Management Plan kawasan konservasi laut TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep; (2) Rendahnya dukungan Pemerintah dalam hal meningkatkan kapasitas (teknologi dan daya tampung hasil tangkapan) armada tangkap nelayan untuk menjangkau fishing ground yang lebih jauh sehingga sebagian besar nelayan secara determinan melakukan penangkapan ikan di wilayah terumbu karang sekitar pulau; (3) Rendahnya dukungan pemerintah dalam upaya mengembangkan mata pencaharian alternative bagi masyarakat nelayan. Dugaan ini masih perlu dikaji lebih jauh agar dapat menjadi landasan ilmiah dalam proses pengambilan keputusan untuk mewujudkan pemanfaatan sumberdaya laut secara berkeadilan dan berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut penulis merekomendasikan beberapa hal, yaitu : (1) Segera menetapkan dan mensosialisasikan management

41

plan TWP Kapoposang dan KKLD Kab.Pangkep; (2) Untuk mempercepat pencapaian efektifitas kinerja pengelolaan pada peringkat emas, diperlukan keseriusan dari masing-masing pengelola untuk memenuhi persyaratan-persyaratan dokumen pengelolaan sesuai dengan Pedoman Teknis E-KKP3K; (3) Meningkatkan kapasitas (teknologi dan daya tampung hasil tangkapan) armada tangkap nelayan untuk menjangkau fishing ground yang lebih jauh serta meningkatkan kapasitas teknologi pasca panen untuk menjaga kualitas hasil tangkapan; (4) Mengembangkan mata pencaharian alternative dan memberikan jaminan pasar terhadap hasil produksi mata pencaharian alternative bagi masyarakat nelayan di kepulauan Kab.Pangkep; (5) Diperlukan penelitian lanjutan tentang partisipasi masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi TWP Kapoposang dan KKLD Kab. Pangkep sebagai landasan teoritis dalam pengelolaan kawasan konservasi perairan berbasis masyarakat.

42

DAFTAR PUSTAKA

Anggoro, S., 2000. Pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Lautan Berwawasan Lingkungan. Seminar Nasional Fakultas Teknik dalam rangka Dies Natalis Universitas Diponegoro ke 43. Universitas Diponegoro. Semarang. Anggoro, S. 2006. Modul Matrikulasi Pengelolaan Pesisir dan Laut. Universitas Diponegoro, Semarang. Budiharsono, S., Asbar., E Triwibowo., F Sutopo. 2003. Strategi Pengembangan Konservasi Laut. Dalam Lokakarya Nasional Strategi Pengembangan dan Pengelolaan Konservasi Laut. Bogor, Oktober 2003. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Ditjen Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, DKP. Jakarta. Bengen, D.G.. 2002. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (IPB). Bengen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. PKSPL. IPB. Bogor. Bengen D dan A. Retraubun . 2006. Menguak Realitas Dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-Sosial Sistem Pengelolaan PulauPulau Kecil. Bogor : Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut (P4L). Coremap II. 2006. Rencana Pengelolaan Terumbu Karang Kecamatan Liukang Tupabbiring Kabupaten Pangkep Tahun 2006. Coremap II. 2011. Dokumen Percontohan Perikanan Berkelanjutan di TWP Kapoposang Tahun 2011.

43

Clark, J.R.1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publisher, Boca Raton , FL. Daerah Dalam Angka. 2012. Kabupaten Pangkep Dalam Angka 2012. BPS Propinsi Sulawesi Selatan. Makassar. Dahuri, R. 1996. An analysis of Enviromental Threath to Marine Fisheries in Indonesia. Paper Submited for Asia Pasific Fisheries Commision APFIC) Symposium on Enviromental Aspects of Responsible Fisheries, Soul Republic of Korea. 15-18 Oct 1996. Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting., M. J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Jakarta : Penerbit Pradnya Paramita. Dian Ayunita dan Trisnani Dwi Hapsari. 2012. Analisis Persepsi Dan Partisipasi Masyarakat Pesisir Pada Pengelolaan KKLD Ujungnegoro Kabupaten Batang. Jurnal SEPA : Vol. 9 No.1 September 2012 : 117 – 124. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Ditjen KP3K. 2012. Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K). Keputusan Direktur Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil nomor KEP.44/KP3K/12. Jakarta. Ditjen

KP3K. Basis Data Kawasan Konservasi. http://kkji.kp3k.kkp.go.id/ (Diakses pada tanggal 25 Desember 2013)

Ditjen KP3K. Eksotisme Kapoposang. Publikasi Kementerian Kelautan dan Perikanan seri Kawasan Konservasi Perairan Nasional. Jakarta Pusat. http://kkji.kp3k.kkp.go.id (Diakses pada tanggal 12 Mei 2014)

44

Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Pedoman Tata Ruang Pesisir dan Laut. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 34 tahun 2002, tanggal 4 September 2002. Jakarta. Departemen Kelautan dan Perikanan. 2003. Pedoman Penetapan Kawasan Konservasi Laut Daerah. Direktorat Konservasi dan Taman laut Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2003. Jakarta Elida, F. 2005. Pola Pengembangan Pariwisata Yang Berbasis Masyarakat Di Kepulauan Karimunjawa. Tesis. Program Pasca Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro Semarang. Gay,L.R. and Diehl, P.L. 1992. Research Methods for Business and Management. Macmillan Publishing Co., NewYork Gubbay, S. 1995. Marine Protected Areas. Chapman & hall. LondonGlssgow- Weinheim-New York-Tokyo-Melbourne-Madras. Ghofar, A., 2004, Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Secara Terpadu dan Berkelanjutan, Cipayung-Bogor. Haslindah. 2012. Valuasi Ekonomi Ekosistem Terumbu Karang Taman Wisata Perairan Kapoposang Kabupaten Pangkep. Tesis. PPs Universitas Hasanuddin. Hockings, M., S. Stolton, F. Leverington, N. Dudley, J. Courrau. 2006. Evaluating Effectiveness : A Framework For Assessing Management Effectiveness of Protected Area 2nd Edition. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. IUCN, 1994. Guidelines for Protected Area Management Categories CNPPA with assistance of WC,WM, IUCN,.Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Kartono, Kartini & Gulo, Dali. 1987. Kamus Psikologi. Pionir Jaya. Bandung

45

Keputusan Direktur Jenderal Kelautan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil nomor KEP. 44 /KP3K/2012 Tentang Pedoman Teknis Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (E-KKP3K) Latupapua, Y. 2011. Persepsi Masyarakat terhadap Potensi objek daya tarik wisata Pantai di kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara. Jurnal Agroforestri Volume VI Nomor 2 Juni 2011. Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian, Universitas Pattimura – Ambon Locally-Managed Marine www.Lmmanetwork.org

Management

Area.

Mackinnon, J. dan Mackinnon, K. 1990. Pengelolaan Kawasan yang dilindungi di Daerah Tropika. Terjemahan. Yogyakarta:Gajahmada University Press. Mardijono. 2008. Persepsi Dan Partisipasi Nelayan Terhadap Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Kota Batam. Tesis. Program Pasca Sarjana Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas Diponegoro Semarang. McNeely, J.A., 1992. Ekonomi dan Keanekaragaman Hayati. Mengembangkan dan Memanfaatkan Perangsang Ekonomi Untuk Melestarikan Sumberdaya Hayati. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta Nawawi, H.H. 2005. Metode Penelitian Bidang Sosial. Gadjah Mada University Press. Bulaksumur. Yogyakarta National Research Council., 1999. Sustaining Marine Fisheries. National Academy Press. Washington D.C. Ruchimat, Dkk. 2012. Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan PulauPulau Kecil di Indonesia ; Paradigma, Perkembangan dan Pengelolaannya. Publikasi Ditjen KP3K KKP. Jakarta.

46

http://kkji.kp3k.kkp.go.id (Diakses pada tanggal 12 Mei 2014) Robbins, Stephen P. (2003). Perilaku organisasi. PT. Indeks Kelompok Gramedia. Jakarta Saleh, A. 2010. Strategi Pengelolaan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Perairan Kecamatan Liukang Tuppabiring Kabupaten Pangkep. Tesis. PPs Universitas Hasanuddin. Makassar. Supriharyono, 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. ___________.2007. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati Di Wilayah Pesisir Dan Laut Tropis. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Susanto, H. A. 2011. Progres Pengembangan Sistem Kawasan Konservasi Perairan Indonesia: A Consultancy Report. Kerjasama Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Coral Triangle Support Partnership (CTSP). Jakarta. UNEP-WCMC. 2008. Nasional and Regional Networks of Marine Protected Areas : A Review of Pregress. Cambridge: UNEPWCMC Walgito, Bimo. 2001. Psikologi Sosial (Suatu Pengantar). Andi Offset. Yogyakarta.

Biografi Ahdiat, S.Pi,M.Si atau yang dikenal dengan nama Diat adalah seorang yang pernah lahir di Majene pada tanggal 27 Oktober 1984. Masa kecil sampai SMU dihabiskan di kampung halaman lalu melanjutkan kuliah di Universitas Hasanuddin dan menyelesaikan studinya pada tahun 2008. Semasa kuliah S1, Ahdiat aktiv di organisasi ekstra kampus Himpunan Mahasiswa Islam dan organisasi daerah Ikatan Mahasiswa Mandar Majene Indonesia (IM3I). Tahun 2012 kembali melanjutkan kuliah magister di Universitas Hasanuddin dengan bantuan beasiswa dari Kementerian Pendidikan Nasional dan akhirnya menyelesaikan studi pada tahun 2014. Selain beasiswa dari Kementerian Pendidikan Nasional, Ahdiat juga mendapatkan beasiswa travel grant dari konsorsium Marine Protected Area Government (MPAG) untuk pembiayaan operasional penelitian. Saat ini Ahdiat aktiv melakukan pendampingan nelayan Majene untuk mengakses program-program pemerintah. Selama ini, ahdiat menuangkan buah pikirannya melalui blogsite pribadinya (http://membacamajene.blogspot.com/).

Related Documents


More Documents from "Farkhan Swastiko"