Ghazwul_fikri_pola_baru_menyerang_islam.pdf

  • Uploaded by: jah
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ghazwul_fikri_pola_baru_menyerang_islam.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 46,257
  • Pages: 212
Loading documents preview...
Oleh:

Havis Aravik, S.H.I., M.S.I

Penerbit dan Percetakan

i

Dilarang memperbanyak, mencetak atau menerbitkan sebagian maupun seluruh buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Ketentuan Pidana Kutipan Pasal 72 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)

Penulis Layout Desain Cover

: Havis Aravik, S.H.I., M.S.I : Ria Anggraini : Sigit Dwi S.

Hak Penerbit pada NoerFikri , Palembang

Perpustakaan Nasional Katalog dalam Terbitan (KDT) Anggota IKAPI (No. 012/SMS/13) Dicetak oleh:

NoerFikri Offset Jl. KH. Mayor Mahidin No. 142 Telp/Fax : 366 625 Palembang – Indonesia 30126 E-mail : [email protected] Cetakan I : Juli 2015 Hak Cipta dilindungi undang-undang pada penulis All right reserved

ISBN : 978-602-1307-92-2

ii

KATA PENGANTAR

Salam, Dewasa ini, umat Islam di seluruh dunia sedang dilanda berbagai masalah. Mulai dari kemiskinan, keterbelakangan, keterpurukan, dijadikan Islam sebagai common enemy sampai Ghazwul fikri (Perang Pemikiran). Ghazwul fikri (Perang pemikiran) merupakan strategi terbaru musuh-musuh Islam dimana menyerang Islam tidak lagi menggunakan senjata, berhadap-hadapan (face to face) melainkan menggunakan pemikiran. Sebagaimana dinyatakan Henry Martyn, salah satu arsitek ghazwul fikri, “Aku datang untuk menemui umat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan kekuatan, tapi dengan logika, tidak dalam benci tapi dalam cinta.” tujuannya tiada lain, agar terjadi Ifsad al-Akhlak, Tahzhim al-Fikrah, Idzabah al-Syakhsiyyah, Al-Riddah, sampai al-wala lil kafirin. Buku ini hadir di tengah kegelisahan dan kegalauan penulis terhadap semakin intensif dan masifnya gerakan Ghazwul Fikri di tengah-tengah kaum muslimin, khususnya generasi muda serta demikian mudahnya media massa, seperti situs-situs internet, televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain sebagainya menjadi kiblat dan berkiblat kepadanya lewat sarana-sarana yang diciptakan antara lain; fashion, fun, food, foundation, song, sinema, school, sex, maupun sport. Belum lagi, cap dan stigma buruk yang terus menerus ditimpahkan kepada umat Islam lainnya. Tentu saja semakin membuat virus-virus Ghazwul Fikri kian akut menyerang dan menjangkiti umat Islam. Buku ini terdiri atas 9 bab. Pembahasan dimulai dari pemaparan tentang ghazwul fikri dan sarana-sarana yang iii

digunakan dalam Ghazwul Fikri sampai dengan paham-paham yang menjadi „icon‟ dan „idol’ Ghazwul Fikri seperti orientalisme, sekularisme, pluralisme agama, positivisme hukum, feminisme, liberalisme dan ditutup dengan pembahasan tentang utilitarianisme. Melalui kata pengantar ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah terlibat dalam proses penulisan, pengeditan, sampai penerbitan buku ini, antara lain; Dr. Muhammad Nasih, MA, Dr. Ahwan Fanani, M. Ag, Dr. Ahmad Irwan Hamzali, M. Ag, Ir. Hj. Neny Rostiati, M.Si, Dr. Sumi Amariena Hanim, MT, Drs. Idris Halim, Eko Sumartono, S.Pd, Moh. Faizal, S.Sos.I., M.H.I, Nur Alvi Umami, S.H.I., Elly Lestariningrum, S.Si dan Elha Zapatista Lentera Qalbu serta semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Akhirnya sebagaimana kata pepatah,”tak ada gading yang tak retak” dan ”kesempurnaan hanya milik Allah”, penulis sangat berharap apabila terdapat kekeliruan dan kekhilafan dalam penulisan buku ini, baik dari aspek materi, metodologi, dialektika berfikir dan analisisnya, penulis berharap koreksi yang bersifat konstruktif untuk kesempurnaan buku ini. Penulis berharap semoga buku ini bermanfaat dan dapat menambah literatur Ghazwul Fikri, yang selama ini jarang sekali ditemukan. Wallahu A’lam bi al-Shawab. Palembang, Maret 2015 Havis Aravik, S.H.I., M.S.I

iv

KATA PENGANTAR Dr. Ahwan Fanani, M.Ag (Dosen Pascasarjana UIN Walisongo Semarang) Ada berbagai ideologi, agama, pandangan dunia yang berkembang di dunia saat ini. Perkembangan ideologi dan pandangan dunia tersebut saling berkelindan satu dengan yang lain berkat kemajuan teknologi informasi dan teknologi transportasi. Berbagai ideologi tersebut bertemu ketika masingmasing mendapatkan jalannya ke dalam keyakinan dan nilai yang dianut oleh sekelompok orang atau masyarakat. Fenomena semacam itu tidak bisa dihindari dalam era global dan keterbukaan informasi saat ini. Persoalannya adalah apakah pertemuan ideologi dan pandangan dunia itu harus dilihat sebagai perbenturan peradaban (clash of civilization), perbenturan pandangan dunia (world view) perbenturan ideologi, ataukah konflik pemikiran (ghazwul fikri). Jika keyakinan (agama) dipandang sebagai ideologi atau satu set cara pandang yang khas, maka dalam posisi itu agama akan diposisikan sebagai salah satu pihak yang berhadapan dengan pihak-pihak lain. Pada era demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, dan awal orde baru berkembangan pandangan di kalangan intelektual muslim bahwa Islam berhadapan dengan ideologi-ideologi besar lainnya, yaitu komunisme dan kapitalisme. Islam dilihat sebagai satu sistem hidup, ideologi dan satu sistem berpikir yang berbeda dan oposisinal terhadap kapitalisme dan komunisme sehingga di kalangan gerakan revivalisme Islam muncul upaya untuk mendefinisikan secara tegas perbedaan Islam dengan ideologiideologi lainnya. v

Akan tetapi, cara pandang oposisional tersebut bukan satusatunya fenomena respon umat Islam terhadap pengaruh peradaban lain. Setidaknya ada dua respon umat Islam terhadap keanekaragaman pandangan dunia dan ideologi tersebut: oposisionalisme dan sintesisme. Pertama adalah respon yang mencoba memperkaya Islam dengan budaya lain yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. Perdebatan al-Sirafi (seorang tokoh linguistik) Syafiiyyah dengan seorang ahli logika Yunani menjadi contoh respon terhadap pertemuan pemikiran tersebut. Bagi alSirafi, logika Aristotelian lahir dari budaya dan bahasa dan budaya Yunani sehingga tidak sesuai untuk dipergunakan dalam pemahaman agama Islam. Sikap oposisionalisme ini juga ditekankan oleh gerakan-gerakan Islam revivalis, yang mencoba untuk menegaskan identitas Islam vis-a-vis Barat dan menekankan bahwa nilai Islam adalah unik, sempurna, dan tidak memerlukan sumber pengayaan lainnya. Di sisi lain, ahli logika Abu Bisyr Matta bin Yunus mempertahankan universalitas logika Aristotelian sebagai sarana berpikir yang benar. Pada perkembangannya, filsafat Islam dan ilmu kalam ternyata juga memanfaatkan logika untuk menguji kesahihan berpikir dan mengembangkan gagasan dalam memahami ajaran agama Islam, meskipun penolakan tetap ada di kalangan umat Islam, seperti dilakukan oleh Ibnu Taimiyah maupun Ibnu Shalah. Abu Hamid al-Ghazali dalam al-Mustashfa bahkan memandang penguasaan logika sebagai jalan penguasaan ilmu-ilmu. Sikap yang sama diambil oleh tokoh Islam Indonesia prakemerdekaan, yaitu H.O.S Tjokroaminoto. Tjokroaminoto menulis buku tentang Islam dan Sosialisme yang mencoba untuk menunjukkan bahwa nilai-nilai sosialisme ada dalam ajaran Islam. Pada era itu mulai perkembang komunisme, yang juga dianut oleh para aktivis Sarekat Islam, yang memisahkan diri

vi

menjadi Sarekat Rakyat dan kemudian bertransformasi menjadi Partai Komunis Indonesia. Sikap Tjokroaminoto tersebut menunjukkan sebuah upaya sintesis antara ajaran Islam dengan semangat kerakyatan yang dibawa oleh sosialisme maupun komunisme, dengan menjadikan Islam sebagai pondasinya. Cara pandang al-Ghazali maupun Tjokroaminoto ini merupakan prototipe sintesisme dalam menyikapi keanekaragaman pandangan dunia dan ideologi. Jadi, sikap terhadap keanekaragaman pandangan dan pemikiran di kalangan masyarakat Islam terbagi menjadi sikap oposisionalme dan sintesisme. Sikap oposisional lahir dari penekanan yang besar terhadap kekhasan Islam, bukan hanya sebagai sumber nilai dan keyakinan, tetapi sebagai sebuah sistem hidup yang khas. Sikap sintesisme lahir dari pemahaman bahwa 1) ada wilayah dalam agama yang tetap (al-tsabat) sehingga tidak bisa dinegosiasikan atau diubah dan 2) ada pula wilayah dalam agama yang bisa berubah (al-mutaghayyir) sehingga disesuaikan dengan perkembangan zaman. Pemikiran Islam modern melahirkan gerakan modernisme dan revivalisme, dimana yang pertama membuka lebih luas penerimaan aspek kemajuan dengan menjadikan keyakinan dan ibadah sebagai wilayah tetapnya. Sementara itu, pemikiran Islam kontemporer berpijak kepada pengembangan nilai Islam dengan menjadikan gagasangagasan besar dunia, seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, dan pluralisme atau multikulturalisme, sebagai referensi dalam mengembangkan ajaran agama. Sikap oposisionalisme dan sintesisme sekarang terjadi dalam kerangka security (keamanan). Karya Samuel Huntington The Clash of Civilization and Remarking the World Order menandai sebuah era baru dalam melihat dimensi oposisionalisme maupun sintesisme. Huntington melihat bahwa dunia semakin multipolar dan vii

dominasi Barat akan mengalami tantangan. Muncul kecenderungan afiliasi antara warga dunia berdasarkan nilai dan identitas kultural. Nilai kultural atau peradaban dalam tulisan ini istilah peradaban tidak diletakkan sebagai lawan dari budaya inilah yang akan melahirkan hubungan us-them (kita-mereka) dalam tata dunia ini. Kecenderungan kita-mereka inilah yang dipandang Huntington sebagai basis bagi perbenturan peradaban tersebut. Tesis Huntington ini terbukti sangat berpengaruh saat ini sehingga muncul pandangan mengenai perbenturan antara Islam dengan Barat. Pandangan ini sekarang semakin kuat pasca serangan kepada WTC di Amerika pada 9 September 2001. Serangan tersebut menjadi momentum dari penguatan oposisionalisme antara Islam dan Barat. Di Eropa, misalnya, menguat pandangan oposisional antara Islam dengan Barat, yang secara khusus didukung oleh kelompok-kelompok far-right, dimana Islam dipandang mewakili otoritarianisme dan Barat mewakili kebebasan berbicara. Di dunia Islam sendiri muncul pemahaman bahwa perang terhadap terorisme adalah bagian dari upaya untuk mendeskriditkan Islam sehingga Islam kehilangan pengaruhnya sebagai kekuatan ideologi, kekuatan nilai, dan kekuatan sistem. Akan tetapi, tidak bisa ditolak pula bahwa sintesisme juga terjadi di dunia Islam. Ketika muncul wacana mengenai apakah Islam sejalan dengan demokrasi di beberapa tempat di dunia, umat Islam di Indonesia bisa menyatakan bahwa Islam dan demokrasi bukan dua hal yang bertentangan karena Indonesia – dengan mayoritas penduduknya muslim – berhasil menjalankan sistem pemerintahan yang demokratis. Pandangan mengenai ghazwul fikri berakar dari keprihatinan tentang posisi agama (Islam) dalam berbagai ide atau gagasan yang berpotensi untuk mendeligitimasi atau mengaburkan nilai agama.

viii

Istilah ghazwul fikri bisa diartikan sebagai “perang pemikiran” dengan konotasi adanya dua pihak atau lebih yang berhadapan. Akan tetapi, ghazwul fikri lebih tepat diartikan sebagai “konflik pemikiran”. Konflik pemikiran itu bisa dilihat dalam dua perspektif: 1) perspektif teori konspirasi dan 2) perspektif konflik interest. Perspektif teori konspirasi mengasumsikan adanya usaha sistematis dan terencana dari pihak lain untuk melakukan serangan pemikiran terhadap pemikiran agama (Islam). Teori konspirasi berpegang kepada “upaya sadar dan terencana” sehingga arus pemikiran asing ke dunia Islam dipandang sebagai sebuah rencana dan aksi sistematis. Sementara itu, perspektif konflik interest lebih menekankan sebuah keniscayaan yang lahir dari perbedaan kepentingan. Ketika dua pihak atau lebih memiliki kepentingan atau tujuan berbeda yang membuat mereka dalam posisi bertentangan. Perspektif ini lebih melihat bahwa konflik terjadi akibat perbedaan kepentingan dan tujuan. Ketika satu kelompok bertujuan mengubah masyarakat menurut idealitas tertentu dan idealitas itu berbeda dengan idealitas kelompok lain, maka pada saat itulah terjadi konflik tujuan dan kepentingan. Dalam tataran rasional dan wacana, konflik kepentingan tersebut terejawantah dalam bentuk pemikiran. Oleh karena itu, ghazwul fikri bisa dilihat akibat niscaya ketika ada dua atau lebih pandangan yang memiliki resep berbeda dalam menyikapi hidup dan masing-masing berusaha menggapai jiwa umat manusia. Karya Havis Aravik ini adalah upaya untuk membaca berbagai pemikiran yang muncul pada masa modern dan kontemporer. Tulisan ini berangkat dari kegelisahan mengenai keberadaan berbagai pemikiran yang bisa menjadi faktor kontraproduktif bagi umat Islam, ketika pemikiran tersebut menimbulkan syubhat (kerancuan) berpikir. Berbagai pilihan pemikiran yang lahir dari paradigma yang berbeda, misalnya pluralisme, membawa secara ix

otomatis asumsi-asumsi dasar yang membangun paradigma tersebut. Pluralisme, misalnya, dipandang berangkat dari asumsi dasar bahwa agama sama, berasal dari sumber yang sama, dengan tujuan sama, dengan nilasi esoteris yang sama, dan hanya berbeda perwujudan eksoterisnya. Hal itu dipandang bisa mengakibatkan terjadinya kerancuan bagi umat beragama sehingga Majelis Ulama Indonesia memfatwakan haramnya paham pluralisme pada tahun 2004. Informasi mengenai paradigma pluralisme dan pemikiran lain yang bisa merancukan pandangan agama bisa membantu umat Islam, khususnya kalangan awam, untuk bisa memposisikan diri secara tepat. Bagi kalangan akademisi dan para pemikir, tantangan sebenarnya adalah bagaimana bisa mendudukkan umat Islam agar tetap berpegang kepada ajaran dasarnya, namun mampu mengapresiasi keanekaragaman pemikiran tersebut, baik apresiasi itu membawa kepada penerimaan, seleksi, adaptasi, maupun resistensi terhadap pemikiran-pemikiran lain tersebut. Tugas akademisi dan pemikir muslim adalah mencerahkan umat Islam agar tetap berada dalam garis ajaran Islam, namun tidak terjebak dalam ruang berpikir yang sempit. Oleh karena itu, karya Havis Aravik ini merupakan sebuah pembuka pintu bagi umat Islam agar mengenai keanekaragaman pemikiran dan pandangan dunia yang ada dan mampu melihat tantangan yang lahir dari pemikiran-pemikiran tersebut bagi kejernihan ajaran Islam. Hanya saja, upaya ini masih perlu langkah kedua, yaitu apresiasi lebih luas untuk menimbang apakah tantangan itu benar-benar mengandung ajaran yang harus ditolak ataukah cukup dimodernisasi ketika tidak bertentangan dengan pokok-pokok keyakinan agama Islam. Semarang, 8 Juni 2015

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................. i KATA PENGANTAR ......................................... iii KATA PENGANTAR (Dr. Ahwan Fanani, M. Ag) ...... v DAFTAR ISI ...................................................... xi BAB I Ghazwul Fikri A. Pengertian Ghazwul Fikri ............................. B. Sejarah Ghazwul Fikri ..................................

1 2

BAB II Sarana-Sarana Ghazwul Fikri A. Pengantar ..................................................... 9 B. Sarana-Sarana ............................................... 10 C. Target-Target Ghazwul Fikri............. ............ 31 BAB III Orientalisme A. Pengertian Orientalisme.................................. B. Sejarah Orientalisme ..................................... C. Faktor-faktor Pendorong Orientalisme ........... D. Stigma Orientalis Terhadap Islam.. ................ E. Sifat-Sifat Kritik Orientalisme Terhadap Islam F. Bahaya Orientalis..........................................

39 40 44 48 58 61

BAB IV Sekularisme A. Pengertian Sekularisme ................................ B. Sejarah Sekularisme .................................... C. Sekularisme dalam Dunia Islam .................... D. Bahaya Sekularisme...... ................................

65 67 71 74

xi

BAB V Pluralisme Agama A. Pengertian Pluralisme.................................... 83 B. Pluralisme di dunia Barat dan Islam............... 87 C. Bahaya Pluralisme Agama...............................101 BAB VI Positivisme Hukum A. Pengertian Positivisme Hukum ..................... 111 B. Aliran-Aliran Positivisme Hukum .................. 113 C. Bahaya Positivisme Hukum ........................... 120 BAB VII Feminisme A. Pengertian Feminisme ................................. 127 B. Sejarah Gerakan Feminisme .......................... 133 C. Ragam Aliran Feminisme.............. ................ 139 D. Bahaya Feminisme ........................................ 145 BAB VIII Liberalisme A.Pengertian Liberalisme .................................... 155 B. Liberalisme di Yahudi dan Nasrani .............. 156 C. Sejarah Liberalisme di Indonesia .................. 158 D. Bahaya Liberalisme ....................................... 164 BAB IX Utilitarianisme A. Pengertian Utilitarianisme ............................. 167 B. Perkembangan Utilitarianisme .. .................... 168 C. Pokok-pokok Utilitarianisme ......................... 169 D. Bahaya Utilitarianisme................ .................. 174 DAFTAR PUSTAKA ............................................. 179 LAMPIRAN-LAMPIRAN ...................................... 189 BIODATA PENULIS

xii

A. Pengertian Ghazwul Fikri Secara etimologis Ghazwul Fikri berasal dari kata ”Ghazwul” artinya perang, serangan, serbuan, dan invasi. Sedangkan ”Fikr” adalah pemikiran. Jadi ketika kata Ghazwul dan Fikri digabung menjadi satu maka artinya adalah perang pemikiran. Sedangkan secara terminologis Ghazwul Fikri bermakna penyerangan dengan berbagai cara terhadap umat Islam guna mengeluarkan mereka dari agamanya atau meninimal menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai ajaran ilahiah. Ghazwul Fikri sering juga disebut dengan perang intelektual, perang kecerdasan, perang otak, perang non konvensional atau perang tak terlihat (proxy war). Di mana senjata yang dipakai bukan pedang, pistol, tombak, keris, ataupun bom. Melainkan pemikiran, tulisan, ide-ide, teori, argumentasi, propaganda, agitasi, dialog, dan perdebatan yang bersifat defensif maupun opensif. Jadi Ghazwul Fikri merupakan perang yang tidak menumpahkan darah, tidak menghancurkan gedung-gedung, sekolah-sekolah, rumah-rumah ibadah, menghancurkan wilayah, dentingan senjata dan desingan peluru. Namun, daya ledak dan daya rusak lebih hebat dari perang-perang konvensional. Karena, obyek serangannya bukanlah tubuh manusia, melainkan otak dan hati manusia itu sendiri. Jika korban Ghazwul Fikri seorang tokoh intelektual atau ulama terkemuka dan berpengaruh, maka daya ledak Ghazwul Fikri akan cepat menjalar kemana-mana Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │1

melebihi daya ledak bom atom sekalipun, karena tokoh intelektual atau ulama tersebut akan diikuti, ditiru segala gerakgeriknya dan petuah-petuahnya akan dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari oleh pengikut dan penggemarnya. Misalkan tokoh intelektual atau ulama tersebut menjadi manusia sekuler, hedonis, materialistis, pragmatis, liberalis, positivis, utilitarianis dan pluralis. Otomatis para pengikutpengikutnya akan menjadi manusia serupa. Tentu saja, jika diarahkan pada umat Islam maka umat Islam sudah pasti akan tercabut dari akidah Islam, semangat dan kemauannya untuk memperjuangkan agama Islam akan memudar dan semakin lama semakin menghilang. Itulah tujuan dan target dari Ghazwul Fikri dan untuk ini mereka tidak segan-segan menggunakan dana yang sangat besar kepada berbagai pergerakan Islam, termasuk ulama dan tokohtokoh intelektualnya, sehingga tanpa dirasa dan disadari beberapa tokoh Islam dan gerakan Islam menjadi bagian tak terpisahkan dari mereka. Oleh karena itu, kaum muslimin tidak bisa tidak, wajib melakukan upaya-upaya sistematis, terkonsep, dan radikal untuk mengimbangi itu semua, agar virus-virus Ghazwul Fikri tidak semakin menular kemana-mana (Hidayat, 2006: 39). B. Sejarah Ghazwul Fikri Sejarah Ghazwul Fikri dimulai dari meletusnya Perang Salib. Perang Salib merupakan puncak perseteruan kaum Muslimin dengan Barat. Disebut Perang Salib karena orang Kristen Eropa menggunakan tanda Salib di dadanya sebagai simbol pemersatu dan menunjukkan bahwa peperangan yang dijalankan adalah perang suci (perang agama). Tujuan Perang Salib adalah membebaskan kota suci Jarussalem atau Baitul Makdis dari 2│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

tangan kaum Muslimin (Buchari, 2009: 199). Perang Salib berlangsung dari tahun 1095-1291 M dengan kekalahan ada di pihak Kristen. Karena kekalahan tersebut, maka semangat membalas dendam sangat membara selama berabad-abad. Terlebih ketika mereka menyaksikan keberhasilan dan kecemerlangan ekspansi Islam yang mampu menduduki Eropa selama berabad-abad. Perang Salib telah memberikan pelajaran berharga pada kaum Kristen bahwa jika mereka mengibarkan bendera Kristen (Salib) dalam berhadapan dengan kaum muslimin, maka mereka akan kalah (Husaini, 2001: 183). Sejak itu, ada sebagian tokoh Kristen yang menilai Perang Salib merupakan cara yang tidak tepat untuk menaklukkan kaum muslimin. Salah satu tokoh terkenal adalah Pierre Maurice de Montboissier atau Peter The Venerable atau Petrus Venerabilis (1094-1156 M). Peter adalah tokoh misionaris Kristen pertama di dunia Islam, yang merancang bagaimana menaklukkan Islam dengan pemikiran, bukan dengan senjata. Ketika itu, ia seorang kepala Biara Cluny, Prancis – sebuah biara yang sangat berpengaruh di Eropa Abad Pertengahan. Sekitar tahun 1141-1142, Peter mengunjungi Toledo, Spanyol. Di sana ia menghimpun sejumlah cendekiawan untuk menerjemahkan karya-karya kaum muslimin ke dalam bahasa Latin. Terjemahan itu akan digunakan sebagai bahan untuk misionaris Kristen terhadap dunia Islam. Salah satu usaha sukses Peter adalah terjemahan al-Qur‟an dalam bahasa Latin oleh Robert of Ketton (selesai tahun 1143), yang diberi judul “Liber Legis Saracenorum Quem Alcorant Vocant” (Kitab Hukum Islam yang disebut al-Qur‟an ). Inilah terjemahan pertama al-Qur‟an dalam bahasa Latin, yang selama beratus-ratus tahun menjadi rujukan kaum Kristen di Eropa dalam melihat Islam (Husaini, 2006: 216). Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │3

Menurut Peter Venerabilis, pengkajian Islam (Islamic Studies) perlu dilakukan oleh kaum Kristen, agar mereka dapat “membaptis pemikiran kaum Muslimin”. Dimana kaum Muslim bukan saja perlu dikalahkan dengan ekspedisi militer, melainkan juga harus dikalahkan dalam pemikiran mereka. Peter mengajak orang Islam ke jalan keselamatan Kristen dengan cara mengalahkan pemikiran Islam. Ia berangkat dari kepercayaan Kristen bahwa di luar Gereja tidak ada keselamatan (extra ecclesiam nulla salus). Islam menurutnya, adalah sakte kafir terkutuk sekaligus berbahaya (execrable and noxious heresy), doktrin berbahaya (pestilential doctrine), ingkar (impious), dan sakte terlaknat (a damnable sect), serta Muhammad adalah orang jahat (an evil man). Selain menugaskan para sarjana Kristen untuk menerjemahkan naskah-naskah bahasa Arab ke dalam bahasa Latin. Peter juga menulis dua buku yang menyerang pemikiran Islam. Tentang al-Qur‟an, Peter menyatakan, bahwa al-Qur‟an tidak terlepas dari para Setan. Setan telah mempersiapkan Muhammad, orang yang paling nista, menjadi anti-Kristus. Setan telah mengirim informan kepada Muhammad, yang memiliki kitab Setan (Diabolical Scripture) (Husaini, 2006: 216217). Strategi Peter Venerabilis ini kemudian menjadi rujukan baku kaum misionaris Kristen terhadap kaum muslimin. Henry Martyn, tokoh misionaris berikutnya, juga membuat pernyataan, “Aku datang untuk untuk menemui umat Islam, tidak dengan senjata tapi dengan kata-kata, tidak dengan kekuatan, tapi dengan logika, tidak dengan benci tapi dengan cinta.” Hal senada dikatakan tokoh misionaris lain, Raymond Lull, “Saya melihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci dan berfikir bahwa mereka dapat menguasainya dengan kekuatan senjata, tetapi 4│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

pada akhirnya semua hancur sebelum mereka mencapai apa yang mereka pikir bisa diperoleh.” Lull mengeluarkan resep bagaimana Islam dapat ditaklukkan, yakni bukan dengan darah dan air mata, melainkan dengan cinta kasih dan doa. Adian Husaini (2006: 218-219) menambahkan bahwa ungkapan Lull dan Martyn itu ditulis oleh Samuel M Zwemmer, misionaris Kristen terkenal di Timur Tengah dalam buku Islam, A Challenge to Faith (edisi pertama tahun 1907). Buku yang berisi tentang strategi menaklukkan dunia Islam. Zwemmer menyebut bukunya sebagai “Studies on the Mohammedan religion and the needs and opportunities of the Mohammedan World From the Standpoint of Christian Missions”. Di akhir penjelasannya tentang al-Qur‟an , Zwemmer mencatat: “In this respect the Koran is inferior to the sacred books of ancient Egypt, India, and China, thought, unlike them, it is monotheistic. It can not be compared with the Old or the New Testament” (dalam masalah ini, al-Qur‟an adalah inferior dibandingkan dengan buku-buku suci Mesir Kuno, India, China. Meskipun, tidak seperti mereka, al-Qur‟an adalah monoteistik. Ini tidak bisa dibandingkan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru). Strategi penaklukkan Islam melalui pemikiran ini kemudian dikembangkan oleh para orientalis Barat. Sebagian dari mereka memang membawa semangat lama kaum misionaris, sebagian lagi melakukannya untuk kepentingan penjajahan (kolonialisme), dan sebagian lagi bermotifkan semata-mata untuk kajian ilmiah. Kini, setelah beratus-ratus tahun, kaum orientalis telah berhasil meraih sukses besar dalam bidang studi Islam (Islamic Studies). Bukan saja mereka berhasil mendirikan pusat-pusat studi Islam di Barat dan menerbitkan ribuan buku tentang Islam, tetapi mereka juga berhasil menghimpun literature-literatur Islam dalam jumlah yang sangat besar. Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │5

Tidak hanya sampai di situ, kerja keras mereka ratusan tahun kemudian, membuahkan hasil yang sangat mengagumkan, yaitu terciptanya kader-kader cendikiawan dan pemikir dari kalangan Muslim sendiri, yang getol sekali mengais-ngais dan membongkar serta menyerang bangunan pemikiran Islam dan umat Islam, tanpa ilmu dan metodologi yang memadai. Maka"penaklukan pemikiran" yang dicita-citakan oleh Petrus Venerabilis telah menjadi sebuah kenyataan. Inilah yang menjadi tujuan utama kalangan misionaris Kristen ketika berlomba-lomba menjelajahi dunia Islam. Sebagaimana dinyatakan Samuel Martinus Zwemmer dalam konferensi al-Quds (1935) untuk para misionaris bahwa "Sebenarnya tugas kalian bukan mengeluarkan orang-orang Islam dari agamanya menjadi pemeluk agama kalian. Akan tetapi menjauhkan mereka dari agamanya (al-Qur‟an dan Sunnah). Sehingga mereka menjadi orang- orang yang putus hubungan dengan Tuhannya dan sesamanya (saling bermusuhan), menjadi terpecah- belah dan jauh dari persatuan. Dengan demikian kalian telah menyiapkan generasi-generasi baru yang akan memenangkan kalian dan menindas kaum mereka sendiri sesuai dengan tujuan kalian". Zwemmer melanjutkan bahwa sejak 1882 M politik penjajahan telah menguasai kurikulum pengajaran di sekolahsekolah dasar dengan menghapuskan pengajaran al-Qur‟an dan Sejarah Islam. Dengan demikian, ia telah menciptakan suatu generasi yang bukan Muslim, bukan Nasrani, dan bukan Yahudi, yakni generasi yang labil, materialistis, tidak percaya aqidah, tidak tahu kewajibannya kepada agama, dan tidak memuliakan tanah airnya (BSOM Unsri, 2009: 26-27). ”Ghazwul Fikri” telah dilakukan oleh para orientalis Barat sejak beberapa ratus tahun yang lalu sebagai warisan dari Perang 6│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Salib dan kolonialisasi alias penjajahan yang mereka lancarkan. Ini mereka lakukan untuk memperlemah akidah, ghirah, dan kecintaan (mahabbah) umat Islam terhadap agamanya. Dengan lemahnya umat Islam, mereka mudah memecah belah dan menguasai (devide et impera) alias menjajah semua segi kehidupan umat Islam. Akhirnya, umat Islam akan turut ke mana angin dihembuskan oleh penjajahnya (Husaini, 2002: v). Salah satu upaya penjajah itu adalah memasukkan pemahaman bahwa Islam itu hanya sebatas ibadah mahdhah, tidak ada ekonomi Islam, tidak ada politik dalam Islam, tidak ada ilmu pengetahuan Islam, tidak ada budaya Islam, dan sebagainya, sehingga mereka leluasa menyusupkan ideologinya – baik kapitalisme, sosialisme, komunisme, utilitarianisme, liberalisme, positivisme, pluralisme, sekularisme, maupun feminisme ke dalam memori-memori umat Islam. Mereka pisahkan antara dunia dan akhirat; masing-masing dari keduanya tidak berhubungan dan tidak saling mempengaruhi. Hukum Islam, mereka lihat sebagai hukum yang kolot, ketinggalan zaman, dogmatis, dan tanpa metodologis yang jelas dan ketat. Selanjutnya, lewat tangan dan lisan para sarjana muslim didikan Barat, sebagai perpanjangan tangan dan mulut para orientalis, ”perang” ini terus mereka lancarkan dan menusuk langsung ke jantung kaum muslimin (Husaini 2002: vvi). Jadi dapat disimpulkan bahwa Ghazwul Fikri merupakan model penjajahan baru Barat terhadap Islam, hasil dari ketakutan berlebih terhadap Islam (Islamofobia) dan secara moral adalah bentuk penghancuran Islam secara besar-besaran, sistematis, terkonsep dan tentu saja tindakan tersebut sangat tidak manusiawi dan tidak beradab. Umat Islam perlu menyikapinya dengan hati-hati dan kritis upaya-upaya berbagai Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │7

pihak yang melonggarkan akidah Islam dan menimbulkan keraguan umat Islam terhadap al-Qur‟an dan hukum-hukum Allah. Berikut ini merupakan beberapa contoh pernyataan tokoh dan intelektual Islam yang sudah terjangkiti virus ghazwul fikri antara lain : Pertama, Mun’im Sirry (Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP): “Sebetulnya apakah Muhammad ini proper name, sebuah panggilan, atau bahkan sosok fiktif?, bahkan kata Muhammad baru ditemukan pada abad ke-8 atau ke-9,” Selain itu, Bung Karno saja yang lahir pada abad ke-20 tempat kelahirannya masih diperdebatkan, apalagi Muhammad yang terlahir sekitar 1400 tahun yang lalu.” Kedua, Ahmad Syukron Amin (Anggota Jaringan Islam Liberal): “Shadaqah ialah pemberian secara sukarela tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu. Ciuman dengan non mahram termasuk contohnya. Selain itu, Jika lingkungan setempat menganggap ciuman di muka umum tidak merusak kenyamanan publik, maka hal tersebut bukan mungkar.” Ketiga, Mohamad Guntur Romli (Anggota Jaringan Islam Liberal): “Adakah Islam yang murni? Tidak ada. Karena dari sononya Islam adalah ajaran oplosan.” Keempat, Ade Armando (Dosen UI): “Allah kan bukan orang Arab. Tentu Allah senang kalau ayat-ayat-Nya dibaca dengan gaya Minang, Ambon, Cina, Hiphop, Blues” Kelima, Lukman Hakim Saifuddin (Menteri Agama): “Orang yang berpuasa harus menghormati orang yang tidak berpuasa. Oleh karena itu, pemilik warung makan memiliki hak untuk tetap buka pada siang hari selama Ramadan.”

8│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

A. Pengantar Setelah Perang Dingin berakhir, Barat memiliki pandangan dan kebijakan khusus terhadap Islam. Di masa Perang Dingin, komunisme dianggap sebagai musuh utama, sehingga seringkali Barat bersama-sama dengan Islam menghadapi komunisme, seperti yang terjadi di Afghanistan. Tetapi, setelah komunis runtuh, Barat menetapkan Islam sebagai musuh baru, pengganti komunisme. Karena Islam dipandang sebagai ancaman potensial bagi Barat, atau Islam dipandang sebagai isu politik potensial untuk meraih kekuasaan Barat, maka berbagai upaya dilakukan untuk “menjinakkan” dan “melemahkan” Islam. Tujuannya tidak lain adalah bagaimana hegemoni Barat di dunia Islam tetap eksis, kokoh, sekaligus mengamankan proyek Kristenisasi, imperialisme modern, dan orientalisme (Husaini, 2007: 56-57). Secara umum taktik dan cara yang mereka lakukan ada empat macam, yaitu : Pertama, Tasykik, yaitu menimbulkan keragu-raguan dan pendangkalan dalam jiwa kaum muslimin terhadap agamanya. Kedua,Tasywih, yaitu pengaburan. Caranya dengan penggambaran buruk tentang Islam untuk menghilangkan kebanggaan kaum muslimin terhadap Islam. Ketiga, Tadzwiib, yaitu pelarutan, pencampuradukan atau talbis antara pemikiran dan budaya Islam dengan pemikiran dan budaya Jahiliyyah. Keempat, Taghrib, atau westernisasi (pembaratan), yaitu mendorong kaum muslimin untuk

Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │9

menyenangi dan menerima pemikiran, kebudayaan, gaya hidup dan apa saja yang datang dari Barat Menurut David E. Kaplan, bahwa sekarang Amerika Serikat telah menggelontorkan dana puluhan juta Dollar dalam rangka kampanye untuk bukan hanya mengubah masyarakat Muslim tetapi juga untuk mengubah Islam itu sendiri. Kaplan menambahkan bahwa Gedung Putih telah menyetujui strategi rahasia bagaimana mempengaruhi apa yang terjadi di dalam Islam. Maka sekurang-kurangnya di 24 negara Muslim, AS diam-diam telah mendanai radio Islam, acara-acara TV, kursuskursus di sekolah Islam, pusat-pusat kajian, workshop politik, dan program-program lain yang mempromosikan Islam moderat versi AS (Washington is plowing tens of millions of Dollars into a campaign to influence not only Muslim societies but Islam itself...The white house has approved a classified strategy, dubbed Muslim world Outreach, that for the first time states that the US has a national security interest in influencing what happens within Islam....In at least two dozen countries, Washington has quietly funded Islamic Radio, tv shows, coursework in Muslim schools, Muslim think tanks, political workshops, or other programs that promote moderate Islam (Husaini, 2007: 58). B. Sarana-Sarana Ghazwul Fikri Louis ke IX Raja Prancis setelah kepulangannya dari Perang Salib di Mesir menyatakan bahwa sesungguhnya tidak mungkin mendapatkan kemenangan atas kaum muslimin lewat peperangan, akan tetapi di mungkinkan menang terhadap mereka dengan menggunakan sarana tertentu seperti: Pertama, Menyebarkan perpecahan di antara pemimpinpemimpin umat Islam. Seperti Perang antara Irak dan Iran pada tahun 1981, perang antara Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan (SPLM) yang berbasis di Sudan Selatan dengan Omar al-Basyir 10│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

tahun 1989, perang Suriah, perang Irak pasca Saddam Husein dan lain sebagainya. Tentang Perang Irak dan Iran, Penasehat Politik Jimmy Carter dari Amerika Serikat menyatakan bahwa; ”Perang itu dilakukan sebagai jawaban terhadap provokasi tidak hentihentinya yang dilakukan Khomeini dan sahabat-sahabatnya”. Kedua, Mendukung Negara-negara Islam dan Arab di kendalikan oleh para pemimpin dan pemerintah yang tidak baik, atau memastikan bahwa para penguasa baru di wilayah-wilayah Islam berasal dari kelompok nasionalis sekuler atau sosialis komunis, bukan kelompok Islam. Tidak mengherankan kalau banyak penguasa Timur Tengah adalah mereka yang merupakan alumni pendidikan Barat yang berpaham ideologi sekuler. Ini juga penting untuk menjadikan mereka pemerintahan boneka (Hidayat, 2009: 22-23). Seperti pengangkatan Dinasti tiran dan korup pimpinan Shah Mohammed Reza Pahlavidi Iran. Ayatullah Komeini menyatakan bahwa: Agar bisa menggunakan secara bebas sumber daya kaum muslim yang melimpah pemerintah Amerika telah menempatkan jutaan orang terhormat dalam cengkraman agen-agen mereka, yang tidak memiliki kualitas sebagai manusia. Amerika menutup mata atas hak-hak ratusan juta kaum muslim, menegakkan kejahatan sebagai penguasa atas nasib mereka, mendukung rezim ilegal di Iran dan pemerintahan bathil Israel untuk merampas hak-hak kaum muslim dan mencabut kebebasan mereka. Ketiga, Memastikan bahwa negara-negera Islam berasaskan sekularisme dan demokrasi, atau monarkhi; bukan pemerintahan Islam, serta membuat ketergantuan yang sangat besar secara ekonomi kepada negara-negara Barat, antara lain memberikan pinjaman uang dan kebijakan ekonomi yang liberal (Hidayat, 2009: 23). Hal inilah yang melatarbelakangi Barat tidak berkenan atas kemenangan demokratis Hamas pada pemilihan 25 Januari Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │11

2006. Bahkan, Amerika, Uni Eropa, dan Israel melakukan penekanan dengan menutup keran US$ 1 miliar (Rp. 9,2 triliun) per tahun yang selama ini memutar roda pemerintahan Palestina. Sikap culas Barat ini, sekali lagi menunjukkan politik diskriminatif yang selama ini jadi kritik pemerintahan Barat sendiri (Prasetyo, 2003: xxvii-xxix). Keempat, Mencegah sampai terbentuknya persatuan negaranegara Arab, dengan cara membuat organisasi-organisasi regional berbasis kesatuan regional. Seperti Liga Arab (1945), Persekutuan Regional Afrika Utara, dan Konfederasi NegaraNegara Jazirah Arab yang mencakup Mesir dan Yaman; negaranegara Teluk disatukan dalam Gulf Cooperation Council (GCC), termasuk OKI (Al-Baghdady, 2009: 23). Kelima, Berusaha menciptakan dan membentuk negara "asing" dalam wilayah Arab yang membentang antara Ghaza Barat, Anthakiyya Selatan, kemudian sampai ke Timur hingga sampai ke-Barat. Kemudian menciptakan potensi konflik di negeri-negeri muslim, baik antar kelompok (Islam-Sekuler, Islam-Liberal, Islam-Kebatinan, Syiah-Sunni, dan lain-lain) maupun lewat konflik perbatasan (Border Dispute); juga menciptakan dan memelihara rezim-rezim diktator. Konflik ini kemudian dijadikan media untuk bisa melakukan intervensi, termasuk pada kasus Palestina. Penjajahan Palestina oleh Israel dijadikan faktor untuk membangkitkan sentimen nasionalisme Arab. Rezim Arab, yang merupakan boneka-boneka Penjajah Barat, menjadikan isu Palestina sebagai alat untuk mencari popularitas dan memperkokoh kedudukan mereka di mata rakyat Arab. Meskipun hanya retorika, terkesan rezim Arab tersebut membela Palestina (Al-Baghdady, 2009: 23). Keenam, membuat kegaduhan global dengan cara memberikan perlindungan sempurna kepada orang-orang yang dengan sengaja 12│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

menghujat dan menjelek-jelekkan Nabi Muhammad SAW. Perlindungan tersebut dibungkus dengan rapi atas nama Hak Asasi Manusia dan Demokrasi. Pada tahun 1988 seorang novelis berdarah Indo-Pakistan, Salman Rushdie menulis novel “AyatAyat Setan” (the Satanic Verses). Novel itu, isinya menghujat kesucian Nabi Muhammad SAW dan keluarganya. Puluhan nyawa melayang dalam aksi protes terhadap keberadaan novel tersebut. Rushdie, seketika mendapatkan jaminan perlindungan Kerajaan Inggris dan berbagai kalangan di Barat menyatakan dukungannya untuk Salman Rusdie. Pada tahun 2001, Sir V.S. Naipul dianugerahkan penghargaan Nobel di bidang sastra karena pernah menulis dua buku kontroversial mengenai Islam: Among the Believers: An Islamic Journey (1981) dan Beyond Belief : Islamic Excursions among the Converted Peoples (1998). Dalam buku tersebut Naipul menyebut Islam sebagai bentuk penjajahan yang tidak ada duanya. Ia juga melukiskan dunia Islam seperti perkampungan Zombie yang digambarkan dalam kisah-kisah Mandarin. Pada tanggal 30 September 2005, Koran Denmark, JyllandsPosten ikut-ikutan menghujat Islam dengan cara menerbitkan 12 karikatur yang menghina Nabi Muhammad SAW dan kaum muslimin. Flemming Rose, Editor Budaya Koran tersebut dengan tanpa bersalah mengatakan, “Anda orang Islam harus siap dihina, dimaki dan diperolok oleh kami (orang Kristen) supaya Anda bisa diterima di tengah-tengah masyarakat Barat. Sebuah pernyataan arogan dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan yang selama ini digembar-gemborkan Barat (Yudha, 2007: 3). Pola seperti ini rupanya kembali terjadi pada tahun 2015 ketika redaksi mingguan satir CharlieHebdo yang mempublikasikan lagi gambar-gambar Nabi Muhammad SAW yang kemudian melahirkan insiden penembakan Charlie Hebdo yang menewaskan Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │13

12 orang di Prancis. Dengan mesin politiknya Penjajah Barat menggunakan saluran berbagai media baik elektronik maupun cetak untuk menyebarkan sarana-sarana lainnya, diantaranya; 1. Fashion Perempuan merupakan sasaran utama semua produk yang bersangkut paut dengan dunia kapital. Dengan semangatnya mempropagandakan westernisasi globalisasi dan materialisme, maka disulaplah berbagai model fashion yang ditawarkan kepada umat Islam, seperti Jilbab gaul yang hanya dililitkan di leher sembari tetap memperlihat bagaimana bentuk Tubuh atau dalam bahasa Abu Fatiah al-Adnani (20099: 32) jilbab bukan lagi fungsinya sebagai pelindung wanita dari nafsu birahi laki-laki yang biasanya bangkit dengan melihat aurat wanita, tetapi justru menjerumuskan para wanita ke jurang kejahatan dan lembah kenistaan. Berkat ideologi kapitalis, kini memakai Jilbab bukan sekedar mematuhi perintah agama, tetapi bagaimana dalam pengertian model, jilbab juga memenuhi unsur gaya, modis, elegan, dan tampak vulgar (Aravik, Sriwijaya Post, Jum‟at, 29 Maret 2013: 6). Maka, diam-diam para wanita dijerumuskan ke dalam ideologi yang oleh Sigmund Freud, dinamai dengan Narsisme. Pola perangai di mana kepuasan diri terletak pada bagaimana atributatribut yang menempel pada tubuh, bukan saja sebagai sarana untuk pelampiasan rasa estetika melainkan juga di dorong oleh berbagai kombinasi faktor-faktor psikologis (Prasetyo, 2007: 3945). Selain itu, diciptakannya trend fashion, seperti pakaian serba tipis atau semi you can see, celana super ketat (lajing), atau jenis mode pakaian lainnya yang sembari tetap memperlihatkan bentuk tubuh atau aurat. Iklan-iklan di media cetak dan elektronik atas nama kebebasan dan modernisasi juga membius dan membuat 14│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

justifikasi berdasarkan pendapat-pendapat ahli terkemuka bahwa cantik adalah tampil langsing atau mungkin malah kurus dengan pakaian yang ketat. Konsekuensinya, wanita berlomba-lomba diet ketat agar semakin kurus, ribuan rumah-rumah cantik berdiri yang semuanya bertujuan memformat kurus agar terlihat lebih cantik. Sehingga, wanita atas nama trend seperti “dipaksa” dan “digiring” kurus dan berpakaian ketat agar lebih menarik. Menampakkan atau mempertontonkan sesuatu seperti di atas dalam Islam disebut Tabarruj. Kata tabarruj ini menurut Yusuf Qaradhawy merupakan khusus digunakan untuk para wanita yang membuka perhiasan atau auratnya kepada pria, menampakkan perhiasan dan keindahan-keindahan tubuhnya. Sedangkan Imam Zamakhsyari memaknai tabarruj dengan membuat-buat dan menampakkan sesuatu yang harus disembunyikan. Jika kita melihat konteks sejarah, pakaian tabarruj yang menjadi trendy, model atau identitas ke-sexy-an seorang wanita sekarang merupakan jenis dan model pakaian para wanita Arab Jahiliyah zaman dahulu. Mereka selalu memakai pakaian yang menampakkan dada, leher, tangan sampai ke bahu, dan menampakkan lekuk-lekuk tubuh serta rambut, untuk menggoda laki-laki. Menurut Imam Ash-Shabuni wanita jahiliyah memakai selendang, hanya disangkutkan saja di atas kepala, sedangkan ujungnya terjuntai ke belakang. Maka andaikata ada wanita pada zaman sekarang yang berprilaku serupa (memakai pakaian yang menampakkan sebagian auratnya untuk dilihat orang), tidak ada bedanya dengan wanita-wanita pada zaman jahiliyah yang jauh dari peradaban dan biadab (Aravik, Sriwijaya Post, Jum‟at, 29 Maret 2013: 6).

Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │15

2. Fun (Hiburan) Sarana ini diciptakan dengan tujuan agar umat Islam jauh dari agama Islam. Sehingga sibuk mengejar kenikmatan sesaat yang fana seperti mabuk-mabukan, berjudi, korupsi, berzina dan lain sebagainya. Diciptakan slogan-slogan penyemangat bahkan menjadi jimat untuk mendapatkan hiburan seperti: Gaul, funcy, Happy, Modern, dan lain sebagainya. Sehingga, budaya dansadansi, pesta laki-laki perempuan anak-anak muda biasa saja, dan ujung-ujungnya zina bukan suatu hal yang haram itu semua demi satu ideologi kebebasan (freedom), fantasi, dan sensasi dalam bingkai peradaban DUGEM (Dunia Gemerlap). Peradaban DUGEM kemudian dijadikan sebagai ekspresi gejolak emosional khas anak-anak muda. Di situ, mereka bebas berjingkrak-jingkrak, mereguk alkohol dan narkoba, cekikikan sampai pagi, lalu pulang dalam keadaan teler dan capai. Melalui dugem, mereka bisa menemukan komunitas bergaul dan identitas. Pendeknya, peradaban DUGEM adalah just having fun, sekedar hura-hura yang membutuhkan uang dan fulus (Aravik, Sriwijaya Post, Jum‟at 7 Desember 2012: 9). Kata-kata kebebasan yang dipropagandakan Barat untuk melawan keterikatan kepada agama – memang seolah-olah indah dan di dalam katanya mengandung makna kebahagiaan. Kenyataannya justru sebaliknya, kebebasan ala Barat justru membawa banyak kesengsaraan manusia lainnya. Misalnya, kebebasan seks, berselingkuh dan hidup tanpa nikah, ternyata menyebabkan kesengsaraan dan kehancuran rumah tangga, liarnya kehidupan remaja, merebaknya penyakit AIDS, hilangnya kepekaan sosial, dan lain-lain. Kebebasan pergaulan, anak terkena narkoba dan tawuran. Kebebasan minuman beralkohol menyebabkan kerusakan otak dan akal (Hidayat, 2009: 121). Koentjoroningrat bahkan menyatakan bahwa; ”meniru gaya 16│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Barat berarti meniru secara berlebihan gaya pakaian orang Barat dengan cara mengikuti mode yang berubah cepat, meniru gaya bicara dan adat sopan santun pergaulan orang Barat dan seringkali ditambah dengan sikap merendahkan bahasa nasional dan adat sopan santun pergaulan Indonesia. Meniru pola-pola bergaul, pola berpesta, pola berekreasi, dan kebiasaan minumminuman ala orang Barat, orang-orang Indonesia yang berusaha mengadaptasi gaya hidup kebarat-baratan seperti itu, sebaiknya kita sebut orang yang condong ke arah westernisasi. Orang seperti itu belum tentu modern dalam arti bahwa mentalitasnya modern, ia berbicara dengan gaya bahasa penuh ungkapan Belanda, Inggris memanggilnya istrinya “ling” (darling), disapa papi atau dady oleh anak-anaknya, meminum bir bintang setiap pagi dan sore, pergi berdansa tiap hari sabtu, suka menonton Midnight Show, merayakan ulang tahun seluruh anggota keluarga dengan pesta-pesta mewah serta meriah dan sebagainya. Orang Indonesia seperti itu sebenarnya tidak mempunyai mentalitas yang diperlukan untuk modernisasi, maka sesungguhnya ia orang amat kolot”. Islam jelas-jelas melarang perbuatan terkutuk itu. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT

                                  

Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │17

 “Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; Maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).” (QS. Al-Maidah [5]: 90-91). 3. Song Lagu-lagu merupakan media yang sangat efektif bagi penghancuran moralitas umat Islam. Sarana inilah yang digunakan dengan cara menyebarkan virus-virus Materialisme, Westernisasi dan Liberalisme, Pornoisme dalam sebuah lagu. Sehingga, sekarang bisa dilihat, mayoritas lagu-lagu yang ada, menyeret pada pendangkalan aqidah dan pendekonstruksian pola pikir yang benar kepada kebathilan. Hal ini bisa dilihat dari tema-tema lagu mulai dari jatuh cinta, selingkuh, pengorbanan, sakit hati, mabuk cinta, putus cinta, dan lain sebagainya. Sangat destruktif, vulgar, dan menjurus kepada hal-hal yang irrasional (Aravik, Sriwijaya Post, Jum‟at 7 Desember 2012: 9). Contoh lagu-lagu yang sadar atau tidak sadar membuat umat Islam umumnya dan umat Islam Indonesia khususnya terlena dalam kemaksiatan dan kemungkaran antara lain : Pertama, Malam Minggu (Kangen Band); “Kamu juga cantik banget, malam minggu jadi hanget. Malam ini dingin banget, ku butuh yang anget-anget. Mama papa suruh pergi cepet-cepet”.

18│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Kedua, Apa Yang Terjadi (D’Bagindas); “Mengapa kau tak mau genggam tanganku. Mengapa kau tak mau cium pipiku. Biasanya kalau kau bertemu aku, cium pipi kananku, cium pipi kiriku.” Ketiga, Cinta Satu Malam (Melinda); “Walau cinta kita sementara, aku merasa bahagia, walau kau kecup mesra di keningku, Ku rasa di surga. Cinta satu malam oh indahnya. Cinta satu malam buat ku melayang, walau satu malam. Akan selalu ku kenang selama-lamanya.” Keempat, Biola Tak Berdawai (Kangen Band); “Peluk erat tubuhku, sentuhlah jemariku, rebahkan sayap-sayap patahmu, dan terbanglah bersamaku, tuk melintasi langit ke tujuh. Bawahlah aku ke alam damaimu.” Kelima, Gadis Bukan Perawan (Lynda MoyMoy); “Aku gadis tapi bukan perawan, keperawanku sudah hilang, gara-gara pacaran sering mesra-mesraan.” Keenam, Satu Jam Saja (Zaskia Gothik); “Aku sayang jantungku deg-degan, waktu kamu peluk diriku, aku sayang badanku gemetaran, waktu kamu kecup keningku, satu jam saja, bercumbu denganmu, satu jam saja ku dimanjakanmu, satu jam saja ku bercumbu rayu, satu jam saja bercinta denganmu, aku disentuhnya, aku dibuainya, aku diciumnya, aku dipeluknya, aku dicumbuhnya, aku dirayunya, satu jam saja oh mesranya.” Ketujuh, Hamil Duluan (Tuty Wibowo); “Awalnya aku cium-ciuman, akhirnya aku peluk-pelukan, tak sadar aku dirayu setan, tak sadar, ku kebablasan, ku hamil duluan sudah tiga bulan, gara-gara pacaran tidurnya berduan, ku hamil duluan sudah tiga bulan, gara-gara pacaran suka gelap-gelapan.” Kedepalan, Maaf Kamu Hamil Duluan (Ageng Kiwi): “Kau yang datang padaku, kau yang duluan menghampiriku, kau yang pegang-pegang malu-malu mau, akhirnya ku pun jadi tersipu, Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │19

bila semua sudah terlanjur, terlanjur terjadi ya terlanjur, kau hamil duluan padahal pacaran, aku jadi sedih campur senang, maaf kamu hamil duluan, sudah masuk tiga bulan jalan, kadang aku senang, kadang aku bimbang, aku gak nyangka ku sudah jadi ayah, tenang-tenanglah sayang, aku pasti datang tuk melamar, tak mungkin lari dari kenyataan, kamu yang mau, aku pun juga mau syalalala.” Kesembilan, Mobil Bergoyang (Lia MJ dan Asep Rumpi): “Setiap malam di pinggir pantai mobil bergoyang, tidak di pantai, tidak di hotel, orang bergoyang, setiap malam di bawah lampu yang remang-remang, ada patroli tapi tak peduli yang penting hepi.” Kesepuluh, Jupe Paling Suka 69 (Julia Perez): “Kau elus-elus tubuhku, kau belai-belai rambutku, terpejam-pejam mataku, aduh aduh aduh nikmatnya, duh aduh aduh asiknya, desah indahmu menusuk kalbu.” 4. Sinema Di bidang perfilman penjajah Barat pun melebarkan sayapnya untuk bagaimana menjauhkan umat Islam dari agamanya. Hal ini terlihat pada hampir semua film produksi AS, baik yang bertema politik, kriminal, horor, atau drama sampai kartun ada selingan adegan hubungan seksual minimal ciuman bernafsu antara laki-laki dan perempuan dewasa karena menurut mereka, sebuah film belum lengkap tanpa ada sentuhan seks di dalamnya. Film-film tersebut juga merupakan khotbah para sekularis untuk mendewakan budaya selingkuh, budaya porno, dan budaya materialis. Akibat nanti para pemuda dan pemudi Islam akan terbiasa menanggalkan aurat, pacaran, merrage by accident,, melacur demi uang, kumpul kebo, selingkuh dan lainlain. 20│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Film merupakan cara efektif untuk mempropagandakan pemikiran, baik secara halus maupun kasar. Sehingga sadar atau tidak, banyak kemudian umat Islam yang menjadikan artis-artis film tersebut sebagai idol (berhala) dan meniru semua yang diserapnya di dalam film-film tersebut, baik cara berpakaian, bermusik, berbicara, bergaya sampai berideologi, dan lain sebagainya (Aravik, Sriwijaya Post, Jum‟at 7 Desember 2012: 9). Pengaruh negatif lainnya dari film adalah membangkitkan naluri keliaran ala binatang secara dini dan dampak dari itu semua adalah merosotnya akhlak, etika dan moral yang sangat mengerikan. Dan sengaja dirancang untuk menabrak normanorma yang sudah baku di dalam masyarakat. Lihatlah film-film Indonesia sekarang, banyak bertema sex, vulgar, horror, kekerasan dan amoral. Bahkan tema-tema tersebut paling banyak diminati, seperti Data PT. Perfin (Peredaran Film Nasional) tahun 1993, film-film bertemakan sex, rata-rata ditonton 4 kali lipat dari film-film bertema biasa. Film-film itu di tonton 40.000 penonton, padahal film biasa rata-rata ditonton 10.000 orang. Contoh film Gadis Metropolis di Jakarta, mampu menarik 200.000 penonton dan di Surabaya 50.793 penonton. Film Gairah Malam, di Surabaya, mampu menyedot 114.160 penonton. Karena tergiur keuntungan besar dari tahun 1994, 80 persen judul film di Indonesia berbau porno dan kekerasan. Seperti judul-judul film: Ranjang Yang Ternoda, Ranjang Pemikat, Gairah Malam, Gairah Yang Nakal, Gadis Malam, Gadis Metropolis, Janda Kembang, Selir Sriti, Kenikmatan Tabu, Akibat Hamil Muda, Setets Noda Manis, Sorgaku Neraku, Misteri Permainan Terlarang, Permainan Tabu (Husaini, 2001: 51).Pada tahun 2000an film-film bertema sex, tahayul dan kekerasan kian menjamur seperti Buruan Cium Gue (2001), Virgin, Ketika Keperawanan Dipertanyakan (2004), Satu Kecupan (2005), Demam Pocong (2006), Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │21

Suster Keramas (2009), Dendam Hantu Mupeng (2010), Pacar Hantu Perawan, Arwah Goyang Kerawang, Arwah Kuntilanak Duyung, Misteri Hantu Selular, Skandal, Pocong Hantu Mandi Pinggul Goyang (2011), Tali Pocong Perawan, Hantu Budeq, Kutukan Arwah Santet, Mr. Bean Kesurupan Depe (2012), Mengejar Setan, Taman Lawang, Bangkit Dari Lumpur, Dendam Arwah Rel Bintaro, Disini Ada Yang Mati (2013) Bidadari Pulau Hantu, Cermin Penari Jaipong, Hantu Merah Casablanca, Kuntilanak Ciliwung (2014), dan masih banyak lagi. Melihat efek buruk yang dihasilkan sudah saatnya pemerintah dan stakeholders yang sangat berkepentingan dengan masalah ini, khususnya kaum muslimin segera melakukan sensor ketat terhadap film-film tersebut dengan cara melarang generasi muda Islam untuk membeli atau mendownload serta tidak mendatangi bioskop-bioskop yang terus menerus menayangkan film-film tersebut dan jadikan slogan say no to porn film sebagai isu bersama melawan peredaran film-film berbau porno. 5. Sex Di era modern seks sengaja dijadikan aset atau komodi. Untuk itu semua, mereka membangun kalkulasi matematis sebagai program ekspansi kapitalismenya: Pertama, eksploitasi sensasi-sensasi seksualitas. Ini bisa dilakukan dengan memproduksi jenis-jenis model pakaian, kaos dan baju yang serba minimalis, ketat dan seksi. Model-model fashion ini untuk memberikan impresi seksual dan sensual, yang jelas akan menggugah motivasi seksual kaum remaja. Kedua, merancang dominasi ego (setan) di atas super ego (malaikat). Pabrik-pabrik kapitalisme sengaja mengeksploitasi “setan” untuk meruntuhkan “malaikat”. Tentu saja semua ini dibumbui dengan sugesti-sugesti yang serba emosional (khas 22│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

ego/setan). Ketiga, menggiring kaum remaja ke arah “pengkiblatan” seorang figur publik, sebutlah Artis. Karenanya, promosi dan publikasi produk-produk global apa pun selalu membutuhkan iklan-iklan yang di dalamnya menggunakan jasa artis untuk mempopulerkan produknya. Di dalam proses eksploitasi selera muda yang diopinikan melalui figur artis pujaan banyak remaja itu biasanya diselibkan “semboyan-semboyan” yang mudah di ingat, namun sangat berkesan, menarik dan sensasional (Perdana, 2003: 144-145). Seperti; (1) “Ini kacangku........” Idiom yang dimaksudkan kepada pasar bahwa kacang itu enak, gurih, dan nikmat mengandung berbagai tafsiran konotatif yang erat kaitannya dengan “potensi seksualitas” kaum remaja. Di tambah cara pengucapan dan ekspresinya identik dengan suatu bagian organ seksual wanita yang lazim diplesetkan sebagai “kacang” (bukan makanan). (2)“Percaya diri semakin besar.........” Iklan yang mempromosikan obat pembesar payudara ini bukan hanya “miris” di tingkat bentuk penawaran, melainkan terutama pada aspek pengambilan gambar yang diselingi ucapan “percaya diri semakin besar” yang pas menyorot sepasang buah dada yang memang sangat besar. (3) “Pas susunya.........”. Iklan minuman ini menawarkan kehebatan racikan antara kopi, gula dan susu. Sebuah bentuk penawaran yang biasa-biasa saja. Iklan ini menjadi tidak biasa karena mengundang imej yang serba seksual ketika sang pria yang tengah meneguk minuman itu mengungkapkan kenikmatan minumannya dengan ucapan, “Ah, pas susunya........” ditingkahi oleh tontonan televisi di depan matanya yang sedang menyorot sepasang buah dada yang sangat menantang. Jadi, imej yang terbangun bukanlah “Pas susunya yang dicampurkan ke kopi dan Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │23

gulanya, melainkan “mata sang pria yang pas memelototi susu wanita di televisi yang ditontonnya” (4) “Tiga kali sehari…!!” Iklan obat suplemen kesehatan yang disugestikan dapat “membangkitkan gairah seksual” ini yang dibawakan oleh seorang artis yang selalu bergaya seksi dan sensual, ditambah oleh cara pengucapan dan ekspresinya yang memelintir kabel telpon dengan bibir merekah-rekah dan nada suara yang mendesah-desah secara langsung akan menggiring imej penikmatnya kepada sensasi-sensasi hubungan seksual. “Berapa kali sehari?” Tanya si pria, lalu dijawab, “Tiga kali sehari…ah…”. Asumsi yang terbangun di kepala (utamanya) kaum remaja bukanlah “Minum obat itu tiga kali dalam sehari”, tapi “dengan minum obat itu (entah berapa kali), anda akan kuat berhubungan seksual tiga kali sehari.” Lagi-lagi gelombang elektromognetik biologis yang dijadikan “kendaraan” (Perdana, 2003: 145-147). Atas nama demokrasi dan hak asasi manusia Barat juga mencoba memaksakan sebuah paradigma berfikir bahwa penyimpangan seksual yang terdapat dalam diri manusia adalah sebuah hak asasi yang harus difasilitasi dan diakui eksistensinya oleh masyarakat, bahkan dibeberapa negara seperti Belgia dan Belanda pernikahan homoseksual dan lesbian diakui oleh pemerintah setempat. Penyimpangan-penyimpangan seksual tersebut seperti; Homoseksual (kelainan di mana seseorang menyukai orang lain sesama jenis), Sodomasokisme (kelainan seksual yang mendapat kenikmatan seksual setelah menyakiti pasangannya), Masokisme (kelainan seks yang menikmati seks jika terlebih dahulu disiksa pasangannya), Ekshibisionisme (penyimpangan seks yang senang memperlihatkan alat vital/kelamin kepada orang lain), Fetishisme (prilaku penyimpangan seksual yang suka menyalurkan kepuasan 24│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

seksnya dengan cara onani /masturbasi dengan benda-benda mati) Voyeurisme (penyimpangan seksual yang mendapat kenikmatan seksual dengan cara melihat atau mengintip orang lain yang sedang berhubungan seksual, mandi dan lain sebagainya), Pedophilia (orang dewasa yang suka melakukan hubungan seks dengan anak di bawah umur), Bestially (melakukan hubungan seksual dengan bintang), Inces (hubungan seks dengan sesama anggota keluarga), Necrophilia (melakukan hubungan seks dengan mayat), Zoophilia (orang yang terangsang melihat hewan berhungan dengan hewan), Sodomi (pria suka berhubungan lewat dubur baik dengan laki-laki maupun wanita), Frotteurisme (kelainan seksual apabila seorang pria mendapatkan kepuasan seksual dengan cara menggesek-gesekkan alat kelaminnya di tubuh wanita di muka umum) (Al-Adnani, 2009: 43-44). Padahal Seks dalam perspektif Islam diposisikan secara terhormat. Seks disakrarkan, bukan lantaran ia adalah anugerah Allah, melainkan pula karena Islam sangat menyadari bahwa seks dapat memicu laju peradaban Islam ke arah kerusakan teologis dan sosial bila tidak dikelola dengan baik. Di lain pihak, Islam juga sangat memaklumi bahwa secara instingtif manusia manapun sangat membutuhkan penyaluran seksual. Hasrat seksual berbanding lurus dengan eksistensi manusia itu sendiri. Bahkan Nabi Muhammad Saw menyatakan bahwa: “Pernikahan itu adalah sunnahku, barangsiapa yang tidak mengikuti sunnahku, maka dia bukanlah dari golonganku.” (Aravik, Sriwijaya Post, Jum‟at 7 Desember 2012: 9). 6. School Sarana ini digunakan dengan cara bagaimana anak-anak Islam kagum, berorientasi pada Barat dan berusaha merubah kurikulum pendidikan Islam yang saat ini masih mereka anggap Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │25

belum inklusif-pluralis. Kebijakan untuk mengubah kurikulum dan pemikiran Islam terlihat jelas dari ungkapan Mantan Menhan AS, Donald Rumsfeld.; “AS perlu menciptakan lembaga donor untuk mengubah kurikulum pendidikan Islam yang radikal menjadi moderat. Lembaga pendidikan Islam bisa lebih cepat menumbuhkan teroris baru, lebih cepat dibandingkan kemampuan AS untuk menangkap atau membunuh mereka (Husaini, 2007: 61). Pendapat senada juga dikatakan oleh Pastor Takly bahwa: "Kita harus mendorong pembangunan sekolah-sekolah ala Barat yang sekuler. Karena ternyata banyak orang Islam yang goyah aqidahnya dengan Islam dan al-Qur‟an setelah mempelajari buku-buku pelajaran Barat dan belajar bahasa asing. Kebijakan tersebut kemudian dikukuhkan dengan cara-cara antara lain: a). Menghembus-hembuskan pikiran sekuler dalam mata pelajaran yang diberikan kepada anak-anak didik dalam berbagai tingkatanya. b). Berusaha keras mengulur-ulur mata pelajaran agama pada saat-saat yang tidak menguntungkan bagi anak-anak didik. Sehingga mereka malas menyerap dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari. c). Merubah nash-nash syar‟i melalui komentar dan penafsiran yang dimanipulasi dan dikebiri sehingga nampak seakan-akan mendukung pikiran sekuler atau setidak-tidaknya tidak bertentangan terutama dalam masalah-masalah pluralisme, liberalisme, hedonisme, positivisme dan lain-lain. d). Menjadikan pelajaran agama sebagai mata pelajaran kelompok penyerta yang senantiasa ditempatkan pada bagian akhir waktu di saat para siswa sudah letih jasmani dan rohaninya serta sudah diliputi perasaan ingin cepat pulang. e). Menyemaratakan kebenaran semua ajaran (pluralisme). 26│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Pandangan terhadap semua ajaran agama baik yang hak maupun yang sudah direkayasa pikiran manusia bahkan ajaranajaran atheisme sekalipun dianggapnya sama, kemudian dikemasnya dalam satu bingkai serta menjadikan semuanya seakan-akan sama dan tidak memiliki perbedaan, derajat ajaran kafir, dekadensi dan kedurhakaan ditempatkan lebih tinggi ketimbang ajaran tauhid, ketaatan dan iman. Selain program pembinaan jaringan dan program liberalisasi pendidikan Islam, Washington dan Canberra aktif mengundang pimpinan-pimpinan pesantren, ormas-ormas Islam, dan para jurnalis berkunjung ke negeri AS. Program beasiswa dan pertukaran pelajar ke AS juga terus diintensifkan agar pelajarpelajar Muslim makin memahami keinginan dan kepentingan AS termasuk mengadopsi pola pikir dan budayanya. Menurut harian Times, program ini juga dimungkinkan untuk men-setup sekolah-sekolah dengan bantuan-bantuan rahasia AS. Sekolah-sekolah ini akan mengajarkan sebuah program Islam moderat (moderate Islamic position) termasuk program publikasi bagaimana agama diajarkan di Amerika. Program melawan terorisme seperti ini dirancang untuk jangka waktu yang panjang sebagai propaganda untuk melawan pandangan negatif terhadap AS di banyak negara (Hidayat, 2009: 156). 7. Foundation (Lembaga) Foundation merupakan sarana favorit karena paling banyak dipakai untuk penyebaran Ghazwul Fikri. The Asia Foundation (TAF) merupakan salah satu Foundation (lembaga) asing yang sangat aktif menyebarkan paham liberalisme dan pluralisme. Untuk menanamkan paham dan nilai-nilai inklusif dan pluralis di kalangan Muslim Indonesia, TAF telah membentuk berbagai Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │27

kelompok berbasis muslim sejak tahun 1970-an, khusus untuk menyebarkan paham-paham tersebut. TAF saat ini berhasil mendanai lebih dari 30 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Indonesia yang bertugas untuk mempromosikan nilai-nilai Islam yang dapat menjadi basis bagi sistem politik demokratis, non-kekerasan, dan toleransi beragama. Dalam bidang pendidikan kewarganegaraan, HAM dan rekonsiliasi antar-komunitas, kesetaraan gender, dan dialog antar-agama. TAF juga bekerjasama dengan LSM-LSM tersebut untuk mempromosikan Islam sebagai katalisator demokratisasi di Indonesia. Program-program itu mencakup training bagi pemuka agama, studi tentang isu-isu gender dan HAM dalam Islam, pusat-pusat advokasi wanita, dan sebagainya (Husaini, 2007: 59). Adapun organisasi-organisasi di Indonesia yang diberikan pendanaan oleh The Asian Foundation (TAF) adalah sebagai berikut: (1) Yayasan Desantara tugasnya adalah menyebarkan paham pluralisme agama dengan cara penerbiatan Majalah Syir‟ah, (2) Lembaga Studi Agama dan Demokrasi (ELSAD) tugasnya adalah menyebarkan paham pluralisme agama dan Demokrasi, (3) Fahmina Institute, tugasnya adalah menyebarkan paham Pluralisme agama dan Gender Equality. (4) Indonesia Center for Civic Education, tugasnya adalah menyebarkan paham Demokrasi. (5) International Center for Islam Pluralism (ICIP), tugasnya adalah menyebarkan paham Pluralisme agama. (6) Indonesia Conference on Relegion and Peace (ICRP), tugasnya adalah menyebarkan paham pluralisme agama. (7) Institut Arus Informasi (ISAI), tugasnya menyebarkan 28│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

paham Pluralisme dan Jurnalisme. (8) Jaringan Islam Liberal (JIL), tugasnya merombak pemikiran umat Islam lewat liberalisasi pemikiran Islam. (9) Paramadina, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penyebaran Pluralisme Agama, Sekularisme dan Liberalisme dengan ikon utamanya Nurcholish Madjid. (10) Pusat Studi Antar Komunitas (Pusaka), tugasnya menyebarkan paham Demokrasi ala Barat kepada umat Islam. (11) Pusat Studi Wanita yang ada dibeberapa perguruan tinggi Islam dan Departemen Agama, tugasnya adalah mensosialisasikan dan mendoktrin setiap orang tentang kehebatan Gender Equality. (12) Lembaga Kajian Islam dan Sosial (Lkis), tugasnya adalah menerbitkan buku-buku yang khusus membahas tentang Pluralisme. (13) Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ), tugasnya adalah mensosialisasikan dan mendoktrin setiap orang tentang kehebatan Gender Equality. (14) Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia Nahdatul Ulama, tugasnya adalah menyebarkan paham Pluralisme Agama di kalangan umat Islam, khususnya yang berideologi Nahdatul Ulama, serta melakukan Dekonstruksi terhadap hukum-hukum Fiqh yang selama ini dijalankan dan dipedomani umat Islam. (15) dan puluhan bahkan ratusan LSM dan organisasi sejenis yang sengaja diberdayakan untuk merusak dan menjauhkan umat Islam dari agamanya (Husaini, 2007: 60). Siapakah donatur TAF sehingga ia bisa menggelontorkan dana yang tidak terbatas di Indonesia? Menurut Nu‟im Hidayat dalam situs resminya (www.asiafoundation.org), TAF menyatakan Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │29

bahwa donasinya diperoleh American jewish World Service, Charles Stewart Mott Foundation, The Ford Foundation, The Freeman Foundation, The William and Flora Hewlett Foundation, The Henry Luce Foundation, Inc., the McConnell Foundation, The Myer Foundation, Starr Foundation, The Sungkok Foundation for Journalism, Tang Foundation dan US-China Legal Cooperation Fund. Di situ jelas tertera organisasi Yahudi, American Jewish World Sercive. Hal tak kalah gawatnya Ford Foundation ternyata punya kaitan erat dengan organisasi CIA. Dalam situs www.rebelion.org/petras/english/ford010102.htmJames Petras sosiolog asal Amerika menulis sebuah artikel berjudul “The Ford Foundation and the CIA; A Documented Case of Philanthropic Collaboration with the Secret Police”. Menurut Petras, kerjasama Ford Foundation dan CIA telah dimulai sejak perang Amerika melawan komunisme. Bila dulu Washington punya kebijakan “komunisme vs demokrasi”, kini negeri itu bersemboyan “terorisme vs demokrasi” (Hidayat, 2009: 99-100). Begitu juga dengan TAF, menurut Raymond Bonner seorang jurnalis investigasi majalah Times dalam bukunya yang berjudul Waltzing with Dictator: The Marcoses and the Making of American Policy; bahwa Asia Foundation adalah bentukan dan kedok CIA (Hidayat, 2009: 101). Selain TAF, Amerika juga menempatkan lembaga USAID, untuk mengeluarkan dana besar untuk berkembangnya “Islam Liberal” yang kompatibel dengan demokrasi dan Hak Asasi Manusia dengan Indonesia sebagai perhatian utama, karena jumlah penduduk Islam terbesar di dunia. “Working behind the scenes, USAID now helps fund over 30 muslim organizations in the country. Among the programs: media productions, workshops for islamic preachers, and curriculum reform for school from rural academies to Islamic universities. One talk show on Islam and 30│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

tolerance is relayed to radio stations in 40 cities and send a weekly column to over a hundred newspapers. Also on the grants list: Islamic think tanks that are fostering a body of scholarly research schowing liberal Islam‟s compatibility with democracy and human rights” (Hidayat, 2009: 155). C. Target-Target Ghazwul Fikri Saat ini umat Islam menghadapi pengepungan hebat terutama dari media massa berupa koran, majalah, radio, internet, facebook, twitters dan media sosial lainnya terutama televisi yang memberitakan, menyiarkan, menayangkan acaraacara yang menganut paham serba boleh dengan memperlihatkan aurat, adegan percintaan, menonjolkan kesombongan, kekerasan, dan pembunuhan keji. Ini semua bukan suatu dampak dari perkembangan, kemajuan atau modernisasi, tetapi peradaban media massa merupakan bentuk hasil rekayasa dari kaum yang tidak suka dengan perkembangan dan kebangkitan Islam (Sueb, 1996: 82). Ketidaksukaan mereka bertujuan agar target-target yang diusung dalam Ghazwul fikri berhasil dengan maksimal. Menurut Samsul Hidayat (2006: 39) setidaknya ada ada lima target-target yang diusung oleh Ghazwul fikri; 1), Ifsad al-Akhlak, Perusakan akhlak (QS. 61:8, 9: 32). 2), Tahzhim al-Fikrah, penghancuran pemikiran (QS. 4: 60). 3), Idzabah al-Syakhsiyyah, melunturkan atau melarutkan kepribadian (QS. 68: 6, 4: 89). 4), Al-Riddah, penumbangan aqidah. 5), al-wala lil kafirin, loyalitas kepada kaum kafir (QS. 5: 51) (Hidayat, 2006: 39). Ketika target tersebut terealisasi, maka umat Islam akan pro Barat dan mendukung setiap kepentingan Barat termasuk stigmatisasi terhadap umat Islam bahwa mereka adalah teroris, fundamentalis, ekstrem, radikal dan lain sebagainya. Padahal Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │31

banyak peristiwa-peristiwa yang dilakukan oleh Amerika dan sekutunya nyata-nyata merupakan perbuatan terorisme, sadisme dan sangat kanibalisme. Seperti yang dinyatakan oleh Imam Samudera (2004: 111-112) bahwa; Pertama, pada tahun 1991, AS melalui PBB telah mengembargo Irak dengan alasan yang tidak bisa diterima oleh akal sehat, sehingga mengakibatkan kematian lebih dari 600.000 bayi di Irak. Angka ini kemudian berkembang menjadi 1,5 juta bayi. Kedua, Pada periode kepemimpinan Taliban (1994-2001), AS mengembargo Afganistan melalui trik PBB dengan alasan yang juga tidak masuk akal hingga ribuan sipil Afganistan menjadi korban. Ketiga, ratusan ribu sipil Palestina dibantai oleh Israel dengan bantuan peralatan dan finansial AS. Kebiadaban kasat mata itu disaksikan oleh seluruh dunia, namun dunia tetap bungkam. Keempat, pasca WTC dan Pentagon 2001, AS dan sekutunya mementaskan kebrutalan dan kebiadaban sangat luar biasa sehingga ratusan ribu jiwa dari kalangan sipil terutama bayi-bayi Afganistan meninggal dunia akibat dijatuhi ribuan ton bom. Dunia tahu bahwa semua yang jadi sasaran itu adalah murni rakyat sipil muslim. Lebih dari itu, Jika seorang mukmin telah kosong melompong nilai agamanya. Bahkan menyetuji kaum kafir berikut hukum yang mereka berada di dalamnya (hukum kafir), niscaya kaum kafir itu akan berdamai dan membiarkan hidup tanpa siksa dan derita. Mereka akan bersikap lembut (ko-operatif), bersahabat, bahkan membela semampu mereka (Hidayat, 2004: 219). Lewat sarana-sarana tersebut Kaum Kafir juga meninggalkan pesan "telanjang" kepada kaum muslim; a), Kami adalah kebenaran, dan selain kami adalah salah. b), Hanya kami yang boleh membunuh dan memerangi siapapun, bangsa manapun, 32│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

yang kami anggap salah. c), Mereka yang melawan kami adalah teroris dan wajib kami perangi bersama seluruh bangsa dunia yang "berperadaban". d), Apapun yang kami lakukan adalah atas dasar "kebenaran, keadilan, dan peradaban". e), Kami boleh, sah, dan dibenarkan membunuh warga sipil terutama muslim di mana pun dan kapan pun kami suka dan mau. Sedangkan warga sipil kami tidak boleh dibunuh atau diperangi. f), Memerangi warga sipil kami dalam bentuk apapun hanya dilakukan oleh "teroris" dan bangsa yang tak berperadaban (Samudera, 2004: 114). Agar terhindar dari perbuatan seperti di atas, pemerintah dan umat Islam menurut Hasan al-Banna harus melakukan prosedur operasional; Pertama, menutup tempat-tempat maksiat, serta melarang semua yang berkaitan dengannya. Kedua, mengawasi gedung-gedung bioskop, teater, kafe-kafe, serta menyensor dengan ketat film-film, kaset-kaset video, dan CD yang beredar di masyarakat. Ketiga, membenahi dan menyeleksi lagu-lagu serta mengawasinya dengan ketat. Keempat, menyeleksi dengan baik menu siaran yang akan disuguhkan ke masyarakat, baik dari segi program, ceramah, hiburan, maupun tema yang akan ditayangkan. Menurut Divana Pradana (2003: 26-27) agar terhindar dari sarana seks tersebut maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan, yakni dengan; (1), memberikan pendidikan seks bagi remaja sehingga bukan hanya tahu cara menggunakan organorgan seksualnya, tetapi terutama agar mereka tahu resiko-resiko yang akan mereka hadapi akibat perilaku seksual yang tidak terkendali. (2), memberikan filter atas segala bentuk rangsangan yang disajikan secara bebas oleh media-media massa, seperti televisi, film, VCD, DVD, dll.(3), melakukan kontrol terhadap segala aktivitas remaja, secara langsung atau tidak, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan atau peluang untuk Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │33

mengepresikan gelora seksualnya di luar batas-batas normatif yang telah ditanamkan kepada mereka. Mewaspadai Ghazwul Fikri itu penting dilakukan karena tiga alasan. Pertama, tatanan dunia yang semakin timpang. Meskipun secara de jure kolonialisme sudah berakhir, neo kolonialisme bangkit dalam format baru yang sangat laten. Pasca jatuhnya komunisme, kapitalisme menjadi kekuatan adidaya yang tak tertandingi. Hegemoni kaum kapitalis semakin mencekik leher negara-negara miskin dan berkembang. Dengan berbagai ”scheme” yang sangat menjanjikan, negara-negara kapitalis semakin leluasa mendikte negara-negara miskin. Kedua, ketidakadilan global. Akibat dominasi kapitalisme dunia memang semakin tidak adil. Pada tahun 1970-an perbandingan pendapatan negara maju dengan miskin adalah 1: 30. Pada awal tahun 2000 meningkat perbandingan kekayaan negara maju dengan miskin 1:74. Data World Bank (Bank Dunia) menunjukkan kesenjangan yang mencengangkan. Gaji rata-rata orang yang bekerja satu hari di Swiss sama dengan mereka yang bekerja di Ethiopia selama satu tahun. Kekayaan 200 orang terkaya di dunia sama dengan 2,5 milyar orang-orang miskin. Di samping ketidakadilan ekonomi, globalisasi juga melahirkan ketidakadilan politik dan hukum. Dengan segala ”kesombongannya” masyarakat dunia menyaksikan bagaimana Amerika dan sekutunya menghancurkan Irak, Afghanistan, Libya, Suriah, Sudan dan beberapa negara lainnya. Seperti ”dasamuka” Amerika dan sekutunya menjadikan demokrasi dan HAM sebagai senjata untuk menumbangkan pemimpin yang sah seperti di Libya, Mesir, Irak dan Aljazair. Tetapi, Amerika dan sekutunya juga melindungi rezim otoriter tanpa tedeng alingaling, seperti yang dilakukan terhadap Arab Saudi dan Kuwait. 34│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Tidak kalah menyakitkan adalah pembelaan Amerika atas Israel yang membabi buta. Meski dengan jelas bahwa negara Yahudi itu merupakan aggressor atas tanah Palestina, Amerika seakan diam seribu bahasa menyaksikan negara zionis itu membunuh rakyat Palestina dan mengusir mereka dari negaranya sendiri. Ketiga,”Pemaksaan” budaya dan nilai-nilai kebudayaan Barat. Meskipun tidak seluruh nilai-nilai Barat negatif, dominasi kebudayaan Barat telah menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya identitas kultural pada tingkat lokal. Pergaulan bebas, emansipasi wanita, HAM dan demokrasi merupakan alat dari Barat untuk melakukan pemaksaan budaya (cultural imposition) (Mu‟ti, 2004: 189-191). Melihat sepak terjang Ghazwul Fikri di atas, tentu kaum muslimin khususnya di Indonesia sedang menghadapi ujian keimanan dan ketaqwaan yang sangat serius. Apalagi, saranasarana tersebut kadangkala dikemas dengan bungkusan yang menarik dan tidak jarang berhujjah dengan Al-Qur‟an dan Hadis untuk melegitimasi kebenarannya, agar orang tertarik dan tergiur untuk mengikutinya. Maka tidak ada cara lain untuk terhindar dari itu semua, kecuali membentengi keimanan dan ketaqwaan serta meningkatkan pemahaman terhadap ilmu-ilmu keislaman secara baik dan benar. Akhirnya, marilah sejenak kita merenungkan beberapa firman Allah SWT dalam Al-Qur‟an berikut ini : Pertama, Surah Al-Baqarah [2] ayat 190.

              “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │35

(tetapi) janganlah kamu melampaui batas, Karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Kedua, Surah Ali-Imran [3] ayat 118-119

                                “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh Telah kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. Ketiga, Surah al-Israa‟ [17] ayat 73

              “Dan Sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang Telah kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.” Keempat, Surah Al-Baqarah [2] ayat 217

            36│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

                                                    “Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh. mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, Maka mereka Itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka Itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. Kelima,Surah At-Taubah [9] ayat 32

          Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │37

     “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan- ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahayanya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai.” Keenam, surah al-Baqarah [2] ayat 120

                                  Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah Itulah petunjuk (yang benar)". dan Sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, Maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.

38│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

A. Pengertian Orientalisme Orientalisme dilihat dari sisi etimologis berasal dari kata Orient dari bahasa Prancis yang bearti Timur, dan kata Isme dari bahasa Belanda yang menunjukkan pengertian tentang suatu paham. Jadi ketika kedua kata tersebut digabungkan menjadi orientalisme bermakna sesuatu paham atau aliran, yang berkeinginan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan bangsabangsa di Timur (Sou‟yb, 1985: 1). Menurut Pius A Partanto dan M. Dahlan Al-Barry (1994: 548) dalam Kamus Ilmiah Populer, orientalisme adalah ilmu pengetahuan ketimuran atau tentang adat istiadat, sastra, bahasa, kebudayaan, dan sebagainya, atau proses penyerapan adatistiadat atau kebudayaan Timur oleh orang Barat. Orientalis disebut ahli Barat yang mempelajari Timur. Secara terminologis orientalisme merupakan studi akademis yang dilakukan oleh bangsa Barat dari negara-negara imperialis mengenai dunia Timur dengan segala aspeknya, baik mengenai sejarah, pengetahuan, bahasa, agama, tatanan sosial polik, hasil bumi serta segala potensinya (Hamid G, 1992: 18). Dr. Hasanain Bathh (2004: 19) menyatakan kata orientalis digunakan bagi setiap cendikiawan Barat yang bekerja untuk mempelajari masalah ketimuran, baik di bidang bahasanya, etika, peradaban, dan agamanya. Jadi, orientalisme merupakan studi yang dilakukan oleh orang-orang Barat untuk mempelajari

Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │39

situasi Timur khususnya Islam, terutama hal-hal yang berhubungan dengan sejarah, agama, bahasa, etika, seni, tradisi, serta adat kebiasaannya. Orientalisme juga dimaknai sebagai suatu gerakan yang timbul di zaman modern, pada bentuk lahirnya bersifat ilmiah, yang meneliti dan memperdalam masalah ketimuran. Tetapi di balik penelitian masalah ketimuran itu mereka berusaha memalingkan masyarakat Timur dari Kebudayaan Timurnya, berpindah mengikuti keinginan aliran Kebudayaan Barat yang sesat dan menyesatkan (Hasanain, 1979: 3). Jadi dapat dipahami bahwa orientalisme merupakan gerakan yang berkecimpung dalam bidang penelitian ilmu, tradisi, peradaban, dan kebudayaan Islam dengan tujuan menyelami rahasia, sifat, watak, pemikiran, sebab kemajuan dan kekuatan masyarakat Islam. Dengan tujuan untuk; a). melumpuhkan kekuatan Islam, b). memanfaatkan hasil penelitian dan ilmu-ilmu yang sudah dimiliki oleh Islam, danc). menyiapkan jalan bagi penjajah Kristen untuk menguasai dunia Islam dan menempatkan di bawah pengaruh penjajahan. B. Sejarah Orientalisme Orientalisme sebagai sebuah organisasi yang sistematis dan rapi muncul pada abad ke-18, tetapi orientalisme dalam perspektif sejarah sebenarnya sudah muncul jauh sebelumnya, tepatnya pada abad ke 1 H sudah ada gerakan orientalisme sebagai bagian dari kebangkitan dan kemajuan Islam. Yohanna al-Dimasqi (676-749 M) merupakan orang yang paling menonjol pada masa tersebut, yang melakukan penelitian tentang Islam dan menulis buku yang berisikan dialog antara orang Islam dan Kristen. Pemikiran-pemikirannya ini menjadi dasar-dasar Orientalisme (Kadhar, 2005: 81). 40│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Konsep tersebut kemudian dilanjutkan oleh seorang pendeta Prancis yang bernama Gerbert. Dia terpilih sebagai Paus Gereja Roma pada tahun 999 M yaitu setelah ia menyelesaikan studinya di berbagai sekolah Andalusia dan kembali ke tanah airnya. Kemudian langkah ini diikuti oleh Butros (1092-1165M), dan Geeran de Cremon (1114-1107 M) (Bathh, 2004: 28). Pada abad ke 11 M muncul Orientalisme bernama Peter Phil yang "berhasil" menerjemahkan seluruh isi al-Qur‟an. Usaha yang berkesinambungan tersebut, berhasil menarik minat pakarpakar Kristen dari Afrika Utara ke Andalusia untuk mempelajari ilmu dan kebudayaan Islam. Mereka menyalin manuskripmanuskrip dari bahasa Arab ke Latin. Manuskrip-manuskrip inilah yang nantinya berhasil mengangkat mereka dari ketertinggalan. Pada abad ke 16 M gerakan orientalisme mencuat menjadi sebuah simbolisasi anti Islam. Karena kekalahan perang salib dan esensi ajaran Islam yang menentang keberadaan agama Yahudi dan Kristen. Sehingga muncul justifikasi dari orangorang orientalis bahwa Islam merupakan simbol teror, perusak dan barbarian. Bagi orang Eropa sendiri Islam adalah trauma yang tak pernah berakhir. Bahkan tidak sedikit yang menulis bahwa Muhammad adalah penyebar wahyu palsu, tokoh penipu, tidak jujur, pelaku sodomi, dan sebagainya yang kesemuanya itu diambil dari doktrin keagamaan yang dibawanya. Pada abad ke 17 M gerakan orientalisme bersamaan dengan modernisasi Barat. Barat berkepentingan menimbah ilmu bagaimana Islam bisa menjadi peradaban yang handal selama 7 abad. Sehingga pada masa ini raja-raja dan ratu-ratu di Eropa sepakat untuk mendukung pengumpulan segala macam informasi tentang ketimuran terutama Islam. Thomas Erpanius (1596-1624) adalah orang pertama yang berhasil menerbitkan Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │41

tata bahasa Arab dan memberikan pengajaran bahasa Arab di Universitas Leiden pada tahun 1613 M, sehingga berhasil menempatkan Belanda sebagai pusat pengajaran bahasa Arab selama 2 abad. al-Qur‟an menurut Erpanius memiliki nilai yang tinggi dalam segi bahasanya, namun ia tidak yakin bahwa alQur‟an mengandung banyak hal yang menyangkut kehidupan dunia akhirat. Baginya, pernyataan kaum muslim bahwa mereka mengamalkan ajaran-ajaran al-Qur‟an adalah pernyataan yang menggelikan. Pada tahun 1679 M Humphrey Preideaux menulis sejarah hidup Nabi Muhammad, di dalam bukunya, Ia berusaha membuktikan asumsinya bahwa Nabi Muhammad itu pandai berpura-pura, pandai mengelabui orang, penipu dan cerdik. Buku ini berhasil menjadi referensi wajib bagi para orientalis dalam memandang Islam. Pada masa ini orientasi dan motivasi para orientalisme adalah mencaci maki Islam dalam berbagai tulisan. Pada abad ke 19 M dan seperempat abad ke-20 M Barat lewat kolonialisme dan imperialisme berhasil menaklukkan seluruh dunia Islam secara politik, militer, budaya dan ekonomi. Berbekal manuskrip-manuskrip karya para intelektual dan ulama Muslim yang mereka curi, mereka mulai mempelajari dan mengkaji satu persatu khazanah intelektual Islam. Pada waktu yang hampir bersamaan lembaga studi Islam dan ketimuran didirikan dimana-mana. Tahun 1822 M di Paris didirikan Society Asiatic of Paris, satu tahun kemudian di Inggris didirikan Royal Asiatic Society of Great Bretain and Ireland, tahun 1842 M di Amerika juga didirikan AmericaOriental Society; tahun 1916 M di University Of London didirikan School of Oriental Studies sekarang menjadi SOAS (School of Oriental and African Studies), diantara tokoh-tokoh terkenal pada masa ini dan menjadi tangan panjang Barat adalah Ignaz 42│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Goldziher (1850-1908 M) (Hidayat, 2009: 49). Sejak berdirinya pusat-pusat kajian tersebut, maka orientasi kajian orientalis mengalami pergeseran yang sangat signifikan, dari caci maki menjadi serangan sistematis dan ilmiah. Serangan dan caci maki tersebut, bukan tanpa kesalahan dan bias. Dalam arti lain, kajian yang mereka lakukan bukan murni, tidak akan mengekspose misi yang dibawa Nabi Muhammad, dan menjelaskan nilai-nilai universal Islam yang disumbangkan kepada dunia. Pada tahun 1873 M di Paris untuk pertama kali para orientalis mengadakan konfrensi internasional guna mengkoordinasikan kegiatan mereka. Setelah itu disusul dengan konfrensi-konfrensi serupa sampai sekarang. Tujuannya agar gerakan orientalisme memiliki visi yang sama dalam memandang Islam dan memberikan pemahaman Barat terhadap Islam. Pada abad ke 20 M sampai sekarang kajian orientalis terhadap dunia Islam bukan saja untuk kepentingan akademis, tapi juga dilakukan untuk kepentingan politik dan bisnis. Maka pada masa ini, kajian orientalisme berubah dari sentiment keagamaan yang penuh caci maki menjadi lebih santun dan lembut. Oleh karenanya, sekarang muncul anggapan bahwa kajian orientalisme seakan-akan obyektif dan masuk akal. Disini banyak cendekiawan Muslim yang terkecoh, sehingga banyak yang memberikan apresiasi terhadap kajian orientalis terhadap Islam, bahkan mengadopsinya untuk kajian Islam. Malah akhir-akhir ini kritik-kritik para orientalis yang tendesius dan bias itu disuguhkan kepada umat Islam, dengan maksud agar umat Islam berfikir kritis. Tapi anehnya justru para cendekiawan itu sendiri tidak kritis terhadap kritik para orientalis. Padahal sikap "ilmiah dan obyektif" para orientalis Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │43

tersebut menyisahkan banyak problem dan menyuguhkan pendekatan yang penuh bias. Edward W. Said (2001: 16) menyatakan bahwa orientalisme merupakan kenyataan politik dan budaya, maka ia tidak terletak dalam suatu ruang hampa, maka apa yang dikatakan Eropa tentang Timur tetap saja rasial, imperalis dan entnocentris. Sebab, tulisan Barat memandang Timur senantiasa dengan rasa superioritas tinggi. C. Faktor-Faktor Pendorong Gerakan Orientalisme Menurut Hasanain Bathh (2004: 41) faktor-faktor pendorong para orientalis dalam mengkaji Islam, bukanlah semata-mata untuk kepentingan ilmu pengetahuan. Sebab, jika motivasi untuk kepentingan keilmuan, maka mestinya kajian mereka itu bersih, jujur, dan siap untuk menjelaskan hal-hal yang sesungguhnya dengan netral dan benar dan sadar, tidak disetir oleh peninggalan-peninggalan yang diciptakan lingkungan, atau didekte oleh kejadian sejarah tertentu di masa permusuhan berdarah serta pertengkaran, sehingga semuanya kembali pada fenomena umum mengenai prinsip Barat terhadap Islam. Setidaknya ada lima faktor-faktor pendorong yang memotivasi para orientalis untuk berkecimpung dalam studi ketimuran yang tidak bermetodologi adalah sebagai berikut : Pertama, Faktor Teologis. Faktor teologis merupakan motif utama bagi para orientalis dalam menjalankan misi mereka, yaitu ketika para pendeta melihat orang-orang Kristen dalam jumlah besar masuk agama Islam, mereka merasa bahwa Islam merupakan ancaman. Mereka kemudian bersemangat untuk mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan keislaman. Tujuannya tiada lain untuk membuat keragu-raguan dalam hati kaum muslimin terhadap akidah mereka, menggambarkan agama Islam dalam bentuk agama yang apatis dan tidak mampu 44│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

mengikuti perkembangan zaman, serta memperlemah jiwa-jiwa kaum muslimin agar dapat tunduk kepada peradaban materialis Barat modern (Bathh, 2004: 44-46). Bukti-bukti sejarah tentang kerjasama antara kaum kolonial dengan para orientalis untuk tujuan misionaris sangat banyak. Dr. Jan S. Aritonang dari Sekolah Tinggi Teologia Jakarta mengungkapkan, bahwa Spanyol dan Portugis ketika hendak menjelajah dunia, mendapatkan restu dan mandat dari Paul Alexander VI tahun 1493 M diamanatkan untuk menyebarkan agama Kristen Katholik (Husaini, 2001: 184). Kedua, Faktor Imperialisme. Faktor ini dilandasi oleh kepentingan Barat terhadap negara-negara Arab dan Islam di Timur Dekat, Afrika Utara, dan Asia Tenggara, serta kebutuhan mereka dalam rangka memahami adat istiadat dan agama bangsa-bangsa jajahan itu demi memperkokoh kekuasaan dan dominasi ekonomi mereka pada bangsa-bangsa jajahan. Semua itu mendorong mereka menggalakkan studi orientalis dalam berbagai perguruan-perguruan tinggi dengan perhatian dan bantuan kepada para orientalis dengan cara memberikan kemudahan-kemudahan dan fasilitas bagi kepentingan mereka, yaitu dengan mensubsidi uang dan memberikan kedudukan strategis di Pemerintah (Bathh, 2004: 52). Agar impian mereka benar-benar terwujud, para orientalis mulai berusaha menghidupkan nilai-nilai sejarah kebangsaan (nasionalisme) Fir‟aun di Mesir, Phonix di Damaskus, Lebanon dan Palestina, dan bangsa Asyuria di Irak. Hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam memecah belah persatuan umat Islam dan guna mengetahui sejauh mana ketangguhan umat Islam dalam mempertahankan kemerdekaan, persatuan, ras, tanah air dan kekayaaan alamnya (Bathh, 2004: 53). Faktor ini kemudian berlanjut dengan tujuan perdagangan, Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │45

misi, dan zending Kristen di tengah-tengah kaum muslimin. Karenanya, dalam pranata-pranata keagamaan, seperti Vatikan dan gereja-gereja besar, para pengikutnya di seluruh Eropa mulai membuka sekolah-sekolah yang mengajarkan bahasa Arab pada biarawan-biarawati penginjil. Para raja, gubernur, dan walikota diharuskan membuka sekolah-sekolah yang mengajarkan bahasabahasa Timur di setiap ibukota serta menetapkan tenaga-tenaga pengajar yang ahli di universitas-universitas untuk pengajaran bahasa Timur (Assamurai, 1996: 33). Contoh paling konkret dari faktor imperialisme ini terlihat jelas pada sosok orientalis Belanda bernama Christian Snouck Hurgronje yang sengaja di datangkan untuk dapat meneliti sekaligus mencari kelemahan terbesar dari masyarakat Aceh agar dapat segera di taklukan Belanda. Ketiga, Faktor Politik. Di mana faktor ini didukung fakta bahwa Imperialisme melihat bahwa kebutuhan politiknya menginginkan agar konsul dan dutanya memiliki bekal yang mapan tentang kajian yang berhubungan dengan dunia Timur. Dengan cara demikian mereka akan dapat menjalankan kepentingan-kepentingan politik bagi mereka. Selain itu, membuat hubungan dengan agen-agen yang mau dan mampu membantu mereka untuk merealisasikan tujuan-tujuan politik di negara-negara tersebut (Bathh, 2004: 54). Keempat, Faktor Keilmuan. Faktor ini motivasi para orientalis dalam mengkaji dan mempelajari Islam bukan karena di dorong sentimen agama tapi murni karena ilmu pengetahuan. Tujuan mereka tiada lain untuk mempelajari kebudayaan manusia, agama, bahasa, dan ilmu pengetahuan dari umat Islam. Oleh karenanya, hanya segolongan kecil saja orientalis yang betul-betul mengkaji Islam karena faktor ini (Bathh, 2004: 54). Selain itu, kebutuhan mereka untuk memahami intelektualitas 46│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Semit karena ada hubungannya dengan Taurat dan Injil. Mereka bersungguh-sungguh mempelajari bahasa Ibrani, Aram, dan Arab, serta kesusteraan bahasa-bahasa tersebut. Sehubungan dengan itu, mereka memandang bahwa penguasaan bahasa Arab harus selevel penguasaan bahasa Ibrani demi tujuan penerjemahan kitab suci dari bahasa Ibrani ke bahasa Latin dengan terjemahan yang baik (Assamurai, 1996: 32). Contoh Orientalis yang menekuni Islam karena faktor keilmuan ini adalah John L. Esposito, Karen Amstrong dan Thomas Carlyle. Salah satu pernyataan jujur Thomas Carlyle tentang Nabi Muhammad SAW adalah sebagai berikut : ”Saya memilih Muhammad bukan karena dia lebih tinggi kedudukannya di antara para nabi, melainkan karena saya dapat berbicara tentang dia dengan kebebasan yang luas. Dia tidaklah lebih ikhlas dari pada nabi-nabi lain; saya hanya memandangnya sebagai seorang yang ikhlas. Oleh karena itu, tidak ada bahayanya bila kita menjadi pengikut Muhammad, maka saya akan bercerita tentang kebaikan yang terdapat padanya sesuai dengan kesanggupan saya dan dengan sejujurnya.” (Assamurai, 1996: 17). Kelima, Faktor Bisnis dan Kepentingan Pribadi. Faktor ini didorong oleh kebutuhan para orientalis untuk mendapatkan uang karena kesulitan ekonomi. Untuk itu kajian para orientalis tidak lain hanya untuk mengejar keuntungan material duniawi dan sudah membuang jauh-jauh agama (Kristen). Sehingga tidak mengherankan ketika mereka mengkaji budaya ketimuran tidak dengan kapasitas pemikiran yang mapan untuk mencapai jenjang keilmuan dalam bidang ilmu tertentu ataupun menggeluti bidang ini karena untuk melepaskan diri dari tanggung jawab dalam masyarakat Kristen. Mereka melakukan studi dan riset dalam rangka membantu keuntungan ekonomi Barat, politik dan Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │47

imperialisme sekaligus untuk menebus dosa keagamaan mereka tadi terhadap saudara-saudara mereka yang seagama (Bathh, 2004: 60). Contoh para Orientalis yang mengkaji Islam karena faktor ini adalah Karl Henzenson Becrat (M. 1933 M) yang melakukan studi untuk membantu tujuan-tujuan imperialisme Jerman di Benua Afrika. Bartold (M. 1930 M) yang yang dibiayai pemerintahan Rusia untuk melaksanakan riset yang menguntungkan mereka di Asia Tengah, dan masih banyak lagi (Bathh, 2004: 61). D. Stigma Orientalis terhadap Islam Sebenarnya kajian orientalisme tentang Islam hanya sebagai perpanjangan dari studi Bible (Biblical Studies) yang berkembang di Barat sekitar abad ke-18 dan ke-19 Masehi. Hal ini tentunya bukan sesuatu yang mengejutkan, karena kebanyakan mereka adalah tokoh misionaris Gereja. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan bila pola Islamic studies ala orientalis banyak dipengaruhi oleh studi Bible. Hal ini akan lebih terlihat jelas dari metode yang mereka aplikasikan seperti; kritik sastra (literary criticism), kritik bentuk (form criticism), kritik sumber (source criticism), dan hermeneutics. Keseluruhannya merupakan metode studi Bible. Metode inilah yang digunakan untuk mengkaji AlQur‟an , hadits, hukum Islam, sejarah, dan lain sebagainya (Manurung, 2006: 42-43). Para Orientalis terbiasa, dan membiasakan orang lain memakai perbandingan antara Islam dan Barat – dalam frekuensi yang lebih rendah perbandingan antara Islam dan Eropa. Dalam perbandingan ini, salah satunya tetap dijaga esensi religinya, sementara yang kedua didasarkan pada aspek geografisnya, sosial, dan politik. Perbandingan ini, dalam banyak karya tulis, 48│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

merupakan kelanjutan – secara eksplisit maupun implisit – dari perbandingan masa silam antara daarul Islam (negara Islam) dan daarul harb (negara yang wajib diperangi). Perspektif ini mengasumsikan moralitas pemutusan hubungan dan keabadian permusuhan, meski ada banyak media perdamaian dan perjanjian (Kadhar, 2004: 70). Di bawah ini adalah beberapa stigmatisasi kalangan orientalisme terhadap terhadap Islam dan Nabi Muhammad SAW. Ignaz Goldziher (1850-1921 M) seorang orientalis terkemuka yang mendalami ilmu-ilmu Islam. Ia lahir pada 22 Juni 1850 di Hongaria. Ia berasal dari keluarga Yahudi yang terpandang. Pendidikannya dimulai dari Budapest kemudian melanjutkan ke Berlin pada tahun 1869 M dan pindah ke Universitas Leipzig. Goldziher dalam studinya dibimbing oleh orientalis terkemuka saat itu, yaitu Fleisser, pakar filologi (ilmu tentang asal usul kata). Goldziher memperoleh gelar doktoral tingkat pertama pada tahun 1870 M dengan karyanya Penafsir Taurat yang Berasal dari Tokoh Yahudi Abad Tengah. Goldziher kemudian kembali ke Budapest dan ditunjuk sebagai asisten Guru Besar di Universitas Budapest pada tahun 1872 M. Ia tidak lama mengajar dan lalu meneruskan studinya di Wina dan Leiden. Setelah itu ia mengadakan perjalanan ke Timur Tengah, Suriah, Palestina dan kemudian menetap di Kairo (Hidayat, 2009: 62). Kebencian Goldziher kepada Islam sangat terlihat dari pendapat-pendapatnya. Menurut Goldziher bahwa semua yang ada pada Islam, mulai dari ilmu Kalamnya terpengaruh pemikiran Yunani (Hellenistic thought), hukumnya diadopsi dari hukum kerajaan Romawi, organisasi kenegaraannya, khususnya zaman pemerintahan Abbasiyyah, menjiplak ide-ide politiknya Persia, sementara tasawufnya diambil dari Neoplatonis dan Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │49

pemikiran Hindu. Di tempat lain, ia juga mengatakan doktrindoktrin dan lembaga-lembaga Nabi (Muhammad) merupakan karakter campuran Judaisme dan Kristen membentuk elemenelemen pembentuknya dalam porsi yang sama. Singkatnya Islam adalah perkawinan berbagai unsur asing, Yahudi, Kristen, tradisi pra Islam, hukum Romawi, sistem politik Persia dan lain-lain. Bahkan menurut Goldziher, istilah Fiqh dan Ushul Fiqh kemungkinan besar sangat terpengaruh istilah Latin (iuris) prudentia dan (iuris) prudentes (Manurung, 2006: 43-44). Goldziher juga menuduh bahwa ”Sesungguhnya Muhammad telah memilihkan ajaran-ajaran Islam dari agamaagama yang menonjol pada masanya, yaitu Yahudi, Nasrani, Majusi, dan agama berhala setelah ia melakukan penyaringan.Islam tidak mampu mempersatukan bangsa Arab dan menghimpun kabilah-kabilah yang bermacam-macam kepada tata peribadatan yang satu (Hidayat, 2009: 63). Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) banyak dikenal masyarakat Indonesia, karena sengaja disewa untuk menaklukkan masyarakat Aceh. Snouck lahir di Belanda, dan meraih gelar sarjananya di Fakultas Teologi Universitas Leiden. Kemudian ia melanjutkan ke jurusan Sastra Semitik dan meraih gelar Doktor ketika berumur 23 tahun. Tahun 1884 ia pergi ke Jeddah sampai 1885 dan bersiap untuk masuk ke Mekkah. Snouck kemudian berpura-pura masuk Islam agar bisa ke Mekkah dan menjalankan ibadah Haji. Tapi, enam bulan kemudian ia diusir karena terbongkar jati dirinya. Snouck kemudian kembali ke Belanda sebagai lector di Universitas Leiden hingga tahun 1887. Lalu ia tinggal di Indonesia, dengan kedudukan sebagai penasihat Pemerintah Belanda. Dalam disertasinya yang berjudul Het Mekkanche Feest, Snouck menyimpulkan bahwa Haji dalam Islam merupakan sisa50│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

sisa tradisi Arab Jahiliah. Bahkan Snouck mencoba mengeleminasi Islam hanya menjadi agama ritual, ibadah belaka. Ia ”mengkritik” umat Islam membawa-bawa agama Islam ke arah perjuangan politik (Hidayat, 2009: 64). Louis Massignon (1883-1963). Ia merupakan orientalis terkemuka yang berasal dari Prancis dan banyak belajar dari tokohtokoh orientalis terkemuka seperti Goldziher, Hurgronje, dan Le Chatelle orientalis dari Prancis. Selain mengkaji Islamologi, Louis juga menjadi pembimbing rohani pada perkumpulan misionarisme Prancis di Mesir. Ia berusaha keras memasukkan program-program pemerintah Prancis di tanah jajahannya di Timur Tengah. Bahkan, ia berusaha memasukkan unsur-unsur Katolik dalam Islam. Dia menyamakan penghormatan kaum Muslim kepada Fatimah putri Rasulullah sebagaimana pemujaan Katolik ke Bunda Maria (Hidayat, 2009: 65). Joseph Schacht (1902-1969) seorang orientalis dari Jerman, melanjutkan riset Ignaz Goldziher. Ia lahir di Ratibor, Silesia yang dahulu barada satu wilayah Jerman dan sekarang termasuk wilayah Polandia pada tanggal 15 maret 1902. Di kota ini Ia tumbuh dan tinggal selama 18 tahun dari kehidupannya. Ayahnya, Eduard Schacht adalah penganut Katholik Roma dan guru anak-anak bisu dan tuli. Ibunya bernama Maria Mohr. Sehingga tidak aneh jika Schacht kecil berperilaku agamis dan terdidik. Dari pendidikan dan kultur orang tuanyalah yang memberikan kesempatan kepada Schacht untuk mengenal ajaran-ajaran agama Kristen dan bahasa Yahudi sejak kecil. Ia memulai pendidikannya di kota kelahirannya, setelah mempelajari bahasa Yahudi dari seorang rabbi dan menerima pendidikan Gynasium Kalsikan di sana (1911-1920). Ia kemudian melanjutkan studinya ke Universitas Breslau (Wroclaw) dan Leipzig di mana pertama kali ia mengkaji filologi Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │51

klasik dan teologi. Pada tahun 1922 ia memenangkan medali Universitas dengan satu risalah tentang perjanjian lama, dan memperoleh gelar D. Phil dengan predikat summa cum laude dari Universitas Oxford. Karier Schacht dimulai sejak Ia menerima pemilihan akademis di Universitas Freiburg di Breusgau pada tahun 1925. Dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1927 dia dipilih sebagai asisten Professor ketika berusia 25 tahun. Tahun 1929 ketika Ia menginjak usia 27 tahun merupakan tahun terpenting dalam kariernya, karena pada tahun tersebut ia dipromosikan menjadi professor penuh di bidang bahasa-bahasa ketimuran. Pada tahun 1932 ia diminta menduduki jabatan di bidang yang sama di Universitas Konigsbers di mana ia tinggal hanya 2 tahun, karena pada tahun 1934 ia meletakkan jabatannya sebagai syarat protes terhadap rezim Nazi. Pada tahun 1939, Schacht pindah ke Inggris. Ia bekerja di sana sebagai soerang ahli dan peneliti masalah-masalah ketimuran di Departemen Penerangan Inggris. Tahun 1946 ia pertama kali dipilih sebagai dosen di Universitas Oxford. Kemudian tahun 1954 setelah meninggalkan jabatannya di Oxford dengan berat hati Schacht meninggalkan Inggris ke Belanda untuk menduduki posisi guru besar di Bidang Bahasa Arab di Universitas Leiden. Ia kemudian pergi ke Universitas Columbia sebagai visiting professor bidang bahasa Arab dan kajian keislaman padatahuan 1957-1958. Pada bulan Januari 1970 Schacht punya maksud untuk mengundurkan diri dari Universitas Columbia, karena ia punya keinginan untuk pulang kembali ke Inggris bersama isterinya, di mana Ia akan melanjutkan rutinitas sebagai sarjana dan melakukan penelitian. Tapi sayangnya semuanya tidak terealisasi karena tiba-tiba Ia terserang pendarahan otak dan meninggal di rumahnya di New 52│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Jersey pada tanggal 1 Agustus 1969 (Hidayat, 2009: 60). Karya Joseph Schacht yang sangat terkenal dalam bidang hukum Islam adalah The Origins of Muhammadan Jurisprudence dan An Introduction to Islamic Law. Schacht sendiri mengikuti paradigama yang sudah digagas oleh Orientalis sebelumnya yaitu Ignaz Golziher seorang Orientalis dari Hongaria yang terkenal dan redaktur The Encylopedia of Islam dengan karyanya Muhammedanische Studien menyimpulkan bahwa seluruh hadits adalah buatan kaum muslim pada tiga abad pertama Hijriyah dan bukan perkataan Nabi Muhammad. Schacht sendiri tidak percaya kalau hukum Islam itu sudah ada sejak zaman Rasul masih hidup. Rasulullah katanya, tidak pernah berniat membuat sistem undang-undang baru, itu bukan concern utamanya. Kepeduliannya lebih pada persoalan etika tentang bagaimana seharusnya bertindak, apa yang harus dikerjakan dan apa yang dijauhi dimana tujuan akhirnya adalah Keselamatan di Hari Perhitungan. Dalam kacamata Schacht hukum Islam baru dimulai awal abad kedua, sekitar 100 hijriah, yaitu ketika budaya dan kebiasaan masyarakat Arab pra Islam atau yang disebutnya dengan ”living tradition” (tradisi yang masih hidup) serta peraturan-peraturan administrasi yang dibuat pada zaman pemerintahan Mu‟awiyah (Dinasti Umayyah), mulai diberikan legitimasi dari al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. Caranya tentunya dengan memprojeksi praktek keseharian masyarakat tadi balik ke belakang (back projection) hingga sampai kepada Rasulullah Saw. Supaya back projection seolah benar, diciptakanlah isnad. Maka dari itu Schacht tidak menerima isnad sebagai sumber untuk memverifikasi keotentikan Hadits, paling-paling ia hanya bisa digunakan untuk mendeteksi sejarah pemalsuaan Hadits. Menurut Schacht, Imam Syafi‟i adalah aktor intelektual yang Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │53

paling bertanggungjawab merevolusi konsep Sunnah itu sehinggga membuatnya eksklusif hanya pada Rasulullah. Karena sebelum Imam Syafi‟i, Sunnah mencakup praktik dan keputusankeputusan yang dibuat Sahabat dan para tabi‟in, dan bahkan lebih dominan dari al-Qur‟an ataupun putusan-putusan yang dibuat Rasulullah Saw. Dari segi kuantitas, ia juga lebih besar dibanding sunnah Rasulullah Saw. Jadi selama seratus tahun pertama hijriah, dalam kacamata Schacht al-Qur‟an dan Hadits Rasul tidak punya fungsi apa-apa dalam mengatur kehidupan masyarakat Muslim ketika itu (Manurung, 2006: 48-49). Arthur Jeffery (1892-1959 M), seorang orientalis dari Australia, lahir pada 18 Oktober 1892 dalam keluarga Kristen Metodis. Menyelesaikan S1 (1918) dan S2 (1920) di Universitas Melbourne, kemudian berangkat ke Madras untuk mengajar di Akademi Kristen Madras (Madras Christian College). Di sinilah Jeffery bertemu dengan pendeta Edward Sell (1839-1932), pertemuan inilah yang dikemudian hari memicunya untuk mengkaji historisitas al-Qur‟an. Setelah dari Madras, Jeffery mendapatkan tawaran dari Dr. Charles R. Watson, Presiden Pertama Universitas Amerika di Kairo, untuk menjadi salah satu staf di fakultas School of Oriental Studies. Di sana Jeffery bertemu dengan para orientalis dan minionaris terkenal seperti Earl E. Elder, William Henry Temple, dan Samuel Martinus Zwemmer pendiri jurnal The Muslim World. Pada tahun 1926, Jeffery meraih gelar sarjana dalam bidang Teologi di Universitas Melbourne, Australia. Pada 1929, Jeffery pun mendapatkan gelar Doktor dari Universitas Edinburgh. Pada 1938, Jeffery mendapatkan anugerah Doktor dalam kesustraan dengan prestasi summa cum laude dari Universitas Edinburgh. Pada tahun yang sama ia meninggalkan Universitas Amerika di Kairo menuju Universitas Columbia di Amerika 54│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Serikat. Di sana, Jeffery menjabat sebagai Guru besar di Fakultas Near Eastern dan Middle East Language dan mengetuai bidang sejarah agama-agama untuk Program Doktor di Fakultas Agama. Pada 1946 Jeffery diundang oleh Middle East Society of Jerusalem di Israel untuk menyampaikan penelitiannya mengenai studi kritis Al-Qur‟an . Dalam kesempatan itu, ia menyampaikan sebuah makalah yang berjudul The Textual History of the Quran. Makalah tersebut merangkum hasil penelitiannya tentang studi Al-Qur‟an dan dipublikasikan di Journal of Middle Eastern Studies Society pada tahun 1947. Pada tahun 1952, makalah tersebut bersama makalah lain karyanya diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul The Quran as Scripture. Pada tahun 1953-1954, Jeffery menjabat sebagai Direktur Tahunan Pusat Penelitian Amerika, di Mesir. Pada masa ini, Jeffery mengedit Muqaddimatani fi Ulum Al-Quran wa huma Muqaddimah Kitab AlMabani wa Muqaddimah Ibnu Athiyyah yang diterbitkan di Kairo pada tahun 1954. Pada tahun 1957, buku Jeffery yang berjudul The Koran Selected Suras : Translated from the Arabic diterbitkan. Buku tersebut, berisi tentang pemikiran dan keyakinan Jeffery tentang al-Qur‟an. Jeffery menyusun sendiri urutan-urutan al-Qur‟an yang menurutnya paling benar, yakni dimulai dari surah al-Alaq untuk surah pertama, al-Mudatsir untuk surah kedua. Susunan surah-surah seperti ini pada prinsipnya bukan barang baru, karena sudah dilakukan jauh sebelumnya oleh orientalis lain seperti Theodore Noldeke, Friedrich Schwally, Edward Sell, Richard Bell, dan Regis Blachere. Pada 2 Agustus 1959, Jeffery menghembuskan nafas terakhir di Milford Selatan, dan dimakamkan di perkuburan Woodlawn, pinggiran Annapolis Royal di Lequille, Kanada. Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │55

Salah satu pandangan Jeffery tentang Islam yang sangat terkenal adalah bahwa ”Mohammed” adalah seorang kepala perampok (a robber chief), politikus (a politician) dan oportunis (an opportunist). Menurutnya, untuk mengatakan ”Mohammed” adalah utusan Allah masih perlu pembuktian (Armas, 2006: 74). Jeffery bahkan mengklaim bahwa tafsir al-Qur‟an yang sudah ada tidak kritis dan belum memuaskan karena tidak memuat pengaruh bahasa asing. Dalam pandangan Jeffery, al-Qur‟an terpangaruh berbagai berbagai bahasa asing, seperti Ethiopia, Aramaik, Ibrani, Syiriak, Yunani Kuno, Persia dan bahasa lainnya. Jadi, kosa kata yang ada di dalam al-Qur‟an mengambil istilah-istilah dari Yahudi, Kristen, dan budaya lain. Jeffery menyimpulkan bahwa kosa kata dan isi ajaran alQur‟an diambil dari tradisi suci Yahudi, Kristen dan budaya lain. Muhammad meminjam, mengubah, dan menggunakan istilahistilah asing tersebut untuk disesuaikan dengan kepentingannya. al-Qur‟an juga menjadi teks standart dan dianggap suci, padahal sebenarnya ia telah melalui beberap tahap. Sebuah kitab suci seperti Al-Qur‟an dalam pandangan Jeffery dianggap suci karena tindakan masyarakat (the action of community). Tindakan komunitas masing-masing agama yang menjadikan sebuah kitab itu suci. Penduduk Kufah, misalnya menganggap Mushaf Abdullah Ibn Mas‟ud sebagai al-Qur‟an edisi mereka (their Recension of the Qur‟an). Penduduk Basrah menganggap Mushaf Abu Musa, penduduk Damaskus dengan Mushaf Miqdad ibn al-Aswad, dan penduduk Syiria dengan Mushaf Ubay (Armas, 2004: 8-9). Robert Bruce Spencer (1962-), seorang orientalis dari Amerika serikat. Lahir 27 Februari 1962. Salah satu kritik “bodoh” Spencer ketika mengatakan bahwa al-Qur‟an mengajarkan kebencian terhadap non-Muslim. Spencer begitu 56│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

terganggu dengan “ayat-ayat jihad” sehingga membayangkan Islam sebagai kekuatan pemaksa keimanan. Sehingga seolaholah non-Muslim tidak punya pilihan kecuali masuk Islam atau tunduk di bawah aturan Islam. Padahal, seruan-seruan perang dalam al-Qur‟an sama sekali tidak ditujukan untuk menumpas kaum non-Muslim karena mereka non-Muslim. Jihad hanya disyariatkan melawan mereka yang memerangi atau mengusir kaum Muslim dari tanah airnya. Juga, berbagai sisi gelap lembaran sejarah sebagai khas Islam. Spencer membuat analisis hitam putih bahwa sejarah Islam penuh dengan kebrutalan, perlakuan terhadap wanita, pemaksaan agama, perbudakan, dan berbagai tindakan biadab lain. Dan, semua itu didukung teks-teks murni (plain texts) yang diyakini sebagai kalam Ilahi. Karenanya, the emperor of faith ini patut diwaspadai, “bohong besar, kalau Barat tidak perlu takut kepada Islam”, katanya. Yang paling bodoh dari semuanya ialah karena ia merendahkan Islam untuk meninggikan Kristen. Seolah-olah hanya Islam yang menyimpan elemen-elemen keras (hard element), seolah-olah hanya Islam yang punya sejarah kelam, seolah-olah hanya Islam yang bias melakukan tindakan teror dan pembunuhan. Pesan-pesan kekerasan dalam Bibel, misalnya, cenderung dipahami dalam konteks terbatas atau minimal ditafsirkan secara berbeda oleh tokoh-tokoh Kristen. Sejarah perbudakan, rasisme, dan diskriminasi yang terjadi di belahan bumi bagian Barat, tidak diilhami oleh ajaran Kristen. Mengapa tindakan seorang Muslim dianggap bersumber dari alQur‟an, sementara tindakan orang Kristen ditengarai tidak bersumber dari Bibel?. Barangkali sikap “keberpihakan” Spencer yang sintimentil ini telah menodai kritik-kritiknya terhadap Islam. Sejatinya, ia bersikap kritis terhadap semua agama, karena Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │57

setiap agama mempunyai apa yang disebut elemen-elemen keras (hard element) dan elemen-elemen lunak (soft element) (Sirry,t.t: xvii-xviii). Di samping orientalis-orientalis di atas, masih banyak orientalis lainnya yang sangat ekstrem dalam menyerang Islam lewat tulisan-tulisan mereka, diantaranya; A. J. Arberry, Alfred Geom, Baron Carrade Vaux, H. A. R. Gibb, J. Maynard, S. M. Zweimer, Aziz Atiyyah Sorial, G. Von Grunbaum , P. K. Hitti, A.J. Wensinck, K. Gragg, Louis Massignon, D. B. Macdonald, Miles Green, D. S. Margoliouth, Majid Khaddouri, R. L. Nicholson, Harvly Holl, Henry Lammens, Montgomery Watt, dan Gustav Lobon (Rasyid, 2006: 27-28). Orientalisme masa kini pun tak kalah banyaknya dengan zaman dahulu. Bahkan kini mereka mendirikan banyak Islamic Studies di Barat untuk mendidik anak-anak cerdas Islam agar mengikuti jejak mereka. Di antara tokoh yang terkenal adalah Wilfred C. Smith dan Leonard Binder. Walaupun tidak dapat dipungkiri ada beberapa orientalis yang dikenal cukup akomodatif dengan Islam, seperti John L. Esposito dan Karen Amstrong, meski ada bias-bias dalam tulisannya (Hidayat, 2009: 66). E. Sifat-Sifat Kritik Orientalis Terhadap Islam Menurut Lathifah Ibrahim Khadhar (2004: 19) mayoritas para orientalis bukanlah pakar Sosiologi maupun Sejarah. Mereka hanya kreatif dan mendalami kajian bahasa, sastra, masalah-masalah Fikih atau akidah. Mereka tidak mempelajari Islam sebagai sebuah akidah yang punya dimensi-dimensi aplikatif. Jadi pada prinsipnya, ketika orientalis mengakaji dunia Timur (Islam) penuh dengan muatan kepentingan dan tidak didukung oleh kadar intelektual yang memadai, sehingga hasil yang diperoleh cenderung penuh dengan intriks-intriks 58│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

manipulasi. Setidaknya ada tiga sifat-sifat utama kritik orientalis terhadap Islam. Pertama, Tidak jujur (Biased). Toby Lester misalnya, menulis sebuah artikel berjudul “What is Qur‟an?” dalam Atlantic Monthly (Januari 1999). Lester mengeritik otensitas alQur‟an berdasarkan temuan fragmen-fragmen Shan‟a dalam artikel cukup panjang. Tetapi, Lester melakukan itu dengan bersandar secara ekstensif pada literatur orientalis yang antiIslam, dan sama sekali tidak melakukan cross check kepada sumber-sumber Islam. Yang terjadi kemudian adalah, kesimpulan-kesimpulan yang dibuat Lester sama dengan hujatan yang dibuat oleh orientalis-orientalis sebelumnya seperti Robert Morey dalam Islamic Invasion, Robert Spencer dalam Islam Unveilied : Disturbing Questions About the World‟s dan lain-lain. Buku “The Moon God Allah in the Archeology of the Middle East” (1994) karya Robert Morey. Di dalam buku tersebut Morey terbukti melakukan berbagai penipuan dengan mengutip referensi out of context, disamping itu ia dengan sengaja menyembunyikan berbagai fakta untuk mendukung kesimpulan yang ia inginkan. Ia juga terlibat illogical fallacies atau kesalahan dalam mengambil kesimpulan. Tak jarang, kesimpulankesimpulan yang ia buat bertabrakan satu sama lain dan tidak mencerminkan sebuah karya ilmiah (Yudha, 2007: 180). Pada tahun 2003 Pseudonym Christoph Luxenberg menulis buku yang berjudul “Die Syro-aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschluesselung der Koransprache. Buku ini sempat membuat heboh dunia Islam. Tapi, lagi-lagi terbukti bahwa tulisan Luxenberg sama sekali tidak berdasar serta dengan sengaja menafikan prinsip-prinsip kejujuran di dalam suatu studi Ilmiah (Yudha, 2007: 150). Kedua, Tidak ilmiah. Problem kedua yang terjadi di kalangan Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │59

para orientalis adalah keterbatasan mereka memahami sumbersumber Islam. Orientalis Robert Morey misalnya, pernah membuat kritikan terhadap surah al-Fatihah dalam buku Islamic Invasion. Menurutnya, empat ayat pertama surah al-Fatihah (termasuk Basmalah) berisi “perkataan mulut Allah”, tetapi ayat ke-5, 6, dan 7 berisi “perkataan mulut manusia”. Ia merasa bingung karena melihat ada pergeseran bentuk pronomina orang pertama (first person) ke orang kedua (second person) dalam surah tersebut. Tetapi, Morey terlupa bahwa bahasa al-Qur‟an adalah bahasa Arab dengan sintaksis yang jauh berbeda dari bahasa Inggris. Ia tidak memperhatikan apa yang disebut “iltifat”, yaitu salah satu style paling umum dalam al-Qur‟an; memindahkan bentuk pronomina sesuai dengan syarat-syarat tertentu (Yudha, 2007: 151). Ketiga, sarat kepentingan imperialis. Kekhawatiran akan bangkitanya “ekstremisme dan fundamentalisme” agama sempat membuat banyak orang khawatir akhir-akhir. Gejala yang menunjukkan perkembangan seperti ini memang cukup banyak. Munculnya sejumlah kelompok militan Islam, berkembangnya sejumlah media yang menyiarkan aspirasi “Islam militan”, penggunaan istilah “jihad” sebagai alat pengesah serangan terhadap kelompok agama lain, dan semacamnya, adalah beberapa perkembangan yang menandai bangkitnya aspirasi keagamaan yang ekstrem tersebut. Menurut G.H. Jensen (1980) bahwa bangkitnya Islam militan atau Islam Fundamentalis adalah sebagai reaksi terhadap masalah bagaimana menghadapi tantangan cara hidup Barat yang telah menjadi cara hidup dunia. Maka Edward N. Luttwak dalam tulisannya berjudul “Strategic Aspecs of U.S.-Israeli Relations”, menyebutkan bahwa saat ini, para pembuat kebijakan di AS dan Israel cenderung merasa bahwa Islam 60│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

fundamentalis adalah ancaman terhadap elite-elite Barat di negara-negara Islam, kepentingan-kepentingan keduanya (dan negara-negara Barat lainnya) di negara-negara Islam, bahkan kepentingan keduanya di negara masing-masing (Husaini, 2002: 115). Karena dianggap sebagai ancaman, maka penghancuran “Islam militan” atau “Islam Fundamentalis” sejalan misi imperialisme Barat. Untuk itu, imperialisme Barat mengorganisir sejumlah tokoh dan pakar Barat dalam bidang ketimuran (orientalis), termasuk tokoh-tokoh hasil cetakan Barat, agar bersama-sama mengkampanyekan Islam Militan sebagai “biang kerok” segala permasalahan hubungan Islam dan Barat. F. Bahaya Orientalisme Gaya khas kaum orientalis dalam studi Islam adalah memulai dengan keraguan dan berakhir dengan keraguan. Para orientalis memang melakukan studi Islam bukan untuk mencari kebenaran dan mengimani keimanan. Prof Dr. Ali Husby alKharbuthly, Guru Besar di „Ain Syams menyatakan, sebagaimana dikemukakan Adian Husaini (2006: 94-95), bahwa ada tiga tujuan orientalis dalam melakukan studi Islam, yaitu; Pertama, untuk penyebaran agama Kristen ke negeri-negeri Islam. Kedua, untuk kepentingan penjajahan. Ketiga, untuk kepentingan ilmu pengetahuan semata. Karena itu, wajar jika dalam studi Islam ala metode orientalis ini, masalah keimanan dan keyakinan akan kebenaran Islam, bukanlah menjadi tujuan. Bahkan terbukti sejumlah orientalis dengan jelas-jelas secara sistematis menyerang sendi-sendi ajaran Islam. Salah satu gaya orientalis dalam studi Islam adalah mengangkat citra (image) bahwa dalam Islam senantiasa penuh dengan perbedaan dan konflik. Dinyatakan para ulama Islam Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │61

tidak pernah sepakat dalam hal-hal pokok ajaran Islam. Senantiasa ada perbedaan dan pertikaian bahkan konflik dalam berbagai masalah seperti aqidah, sumber hukum Islam, maupun dalam aspek politik. Mereka berusaha membuat kesan bahwa Islam memang banyak, Islam tidak satu, dan karena itu perlu menyakini paham Islam tertentu. Ujung-ujungnya digiring untuk menerima pluralisme Agama, semua agama adalah benar dan kebenaran pada setiap Agama itu sendiri relative (Husaini, 2006: 95). Hamid Fahmy Zarkasyi juga menyatakan bahwa studi orientalisme tidak lepas dari misi kolonialisme dan kristenisasi. Mereka melakukan proses westernisasi besar-besaran terhadap semua yang berbau Islam meliputi konsep-konsep dan istilah penting dan bahkan pembaratan nama-nama Islam. Nama Ibn Sina diubah menjadi Avicenna, Ibn Rushd menjadi Averroes, alGhazzali menjadi Algazel, al-Jabr menjadi Algebra, dan banyak lagi. Sehingga tidak mengherankan jika dari karya-karya mereka itu Islam digambarkan dengan sangat negatif. Kemudian tujuan orientalisme juga tidak lepas dari misi politik. Hal ini disebabkan Barat menganggap bahwa Islam adalah peradaban yang terbesar dan menguasai peradaban dunia secara cepat. Barat sebagai peradaban yang baru bangkit dari kegelapan melihat Islam sebagai ancaman langsung bagi kekuasaan politik dan agama Barat (Hidayat, 2009: 50-51). Senada dengan pendapat di atas, Amien Rais sebagaimana dikutip Nu‟im Hidayat (2009: 47-48) menyatakan bahwa fungsi studi orientalis adalah untuk memahami, dalam hal untuk memanipulasi dan bahkan menggabungkan apa yang kelihatannya sebagai dunia lain. Menurutnya, untuk memahami pendekatan orientalisme pada masyarakat Timur, setiap orang harus mengingat watak imperialisme yang selalu memaksakan 62│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

kehendaknya kepada rakyat jajahannya. Jika orientalis itu mempelajari Islam, maka ada dua dogma pokok yang dipegang orientalis . a), al-Qur‟an bukanlah wahyu ilahi, melainkan hanya karangan Muhammad yang merupakan gabungan unsur-unsur agama Yahudi, Kristen, dan tradisi Arab pra Islam. Seperti pernyataan orientalis Jerman Christoph Luxenberg di mana meragukan keaslian Mushaf Utsmani. Teks asli al-Qur‟‟an menurutnya berbahasa Aramaik, bukan bahasa Arab. b), Orientalisme meragukan keshahihan atau autensitas semua hadits. Malah ada yang mengkritik syarat-syarat sahihnya hadits, seperti yang dilakukan oleh Joseph Schach. Kemudian kajian-kajian orientalis juga dalam upaya untuk mengeksploitasi dunia Timur baik secara ekonomi dan politik. Oleh karenanya, mereka sengaja ”berselingkuh” dengan pemerintah-pemerintah Barat untuk menciptakan stigmatisasi yang sengaja mencoreng citra sistem pemerintahan Islam dan mengambarkannya dalam bentuk yang menjijikkan jauh dari cita rasa dan kejiwan warga Barat. Tujuannya tak lain untuk menyesatkan warga dunia agar tidak tahu hakikat Islam dan menjaga identitas Kristen. Menurut Sa'duddin As-Sayyid Shahih ada beberapa faktor yang menyebabkan para orientalisme bias dalam memandang Islam, pertama, terpengaruh keyakinan lamanya. Ketika melakukan kajian Islam, para orientalisme sangat terpengaruh oleh pemikiran bahwa Islam itu adalah agama yang sesat dan harus dihancurkan. Sikap semacam ini bertentangan dengan metode penelitian ilmiah yang mengharuskan para peneliti bersikap netral dan tidak terpengaruh oleh hipotesis apapun, agar dapat memperoleh kesimpulan yang benar berdasarkan dalil dan hujjah yang ditelitinya secara objektif. Bahkan sebelumnya kebanyakan para orientalis telah mengambil sikap bermusuhan Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │63

dan niat buruk terhadap Islam. Kedua, sumber-sumber yang dipakai para orientalis dalam mengkaji masalah-masalah aqidah dan pemikiran Islam, bukan dari sumber aslinya, tetapi berpegang kepada cerita-cerita Isra'iliyat, kisah-kisah khufarat, dan dongeng-dongeng yang musykil. Ketiga, para orientalisme sebagaian besar tidak mengerti bahasa Arab dengan baik, mereka tidak mengerti pola dan langgam bahasanya, bahkan ada yang sama sekali tidak tahu bahasa Arab walaupun satu kata. Keempat, para orientalisme keliru dalam memahami keadaan orang-orang Islam, sehingga menganggap bahwa semua realitas yang terdapat pada orang-orang Islam, identik dengan Islam itu sendiri. Padahal ada perbedaan yang mencolok antara orang Islam dengan Islam itu sendiri. Seharusnya dalam melakukan penelitian yang sehat, ada metode untuk membedakan antara teori dan praktek. Hakikat Islam adalah merupakan suatu aksioma yang tidak menjadi rusak karena praktek yang keliru dari penganut Islam. Karena itu, kesalahan-kesalahan orang Islam tidaklah dapat ditimpahkan kepada ajaran Islam. Kebenaran Islam akan tetap kekal, walaupun umat Islam mengalami kesesatan. Orang-orang Islam sendirilah yang bertanggungjawab atas kesesatannya bukan non Islam. Para orientalis melakukan hal yang tidak wajar ketika mereka mendapati kemunduran umat Islam yang begitu lama sebagai alasan untuk menyatakan kelemahan dan kemunduran Islam (Kadhar, 2004: 82-83).

64│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

A. Pengertian Sekularisme Sekularisme (secularism) secara etimologis menurut Larry E. Shiner berasal dari bahasa Latin saeculum yang aslinya berarti “zaman sekarang ini” (the present age). Dalam perspektif religius saeculum dapat mempunyai makna netral, yaitu “sepanjang waktu yang tak terukur” dan dapat pula mempunyai makna negatif yaitu “dunia ini”, yang dikuasai oleh setan. Secara terminologis, sekularisme adalah paham pemisahan agama dari kehidupan (fashlud din „an al hayah), yakni pemisahan agama dari segala aspek kehidupan, yang dengan sendirinya akan melahirkan pemisahan agama dari negara dan politik (Shiddiq al-Jawi, Muhammad, 2010, “Mengapa Kita Menolak Sekularisme?”, dalam www.pakdenono.com diakses tanggal 29 September 2010). Menurut Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al-Barry (1994: 699) dalam Kamus Ilmiah Populer sekuler artinya bersifat kebendaan atau keduniaan. Sekularisasi adalah hal usaha merampas milik gereja; penduniawian; atau hal menduniawi yang selama ini terikat dengan unsur-unsur kerohaniaan. Sedangkan Harvey Cox memaknai sekuler adalah bahwa konteks dunia berubah terus menerus. Akhirnya, berujung pada kesimpulan bahwa nilai-nilai kerohanian adalah relative (Armas, 2003: 10). Sementara menurut Haidar Natsir, dkk (dkk, 1994: 145). Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │65

Sekularisme merupakan suatu sistem tata susila yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral alamiah dan terlepas dari ajaran agama atau alam ghaib. Suatu pandangan bahwa pengaruh agama harus dikurangi sejauh mungkin dan bahwa moral, kebudayaan, pendidikan dan lain-lain harus dipisahkan sama sekali dari agama. Sekularisme beranggapan, bahwa kehidupan duniawi ini adalah mutlak dan terakhir. Tiada lagi kehidupan sesudahnya, yang biasanya oleh agama disebut sebagai Hari Kemudian, Hari Kebangkitan dan sebagainya. Sekularisme adalah suatu faham yang tertutup, suatu ideologi tersendiri yang lepas dari agama. Inti Sekularisme adalah penolakan adanya kehidupan lain di luar kehidupan duniawi ini. Muhammad Tahir Azhary menambahkan bahwa sekularisme merupakan paham yang ingin memisahkan atau menetralisir semua bidang kehidupan seperti politik dan kenegaraan, ekonomi, hukum, sosial budaya, dan ilmu pengetahuan teknologi dari pengaruh agama atau hal-hal yang ghaib. Sedangkan sekularisasi adalah usaha-usaha atau proses yang menuju kepada keadaan sekuler atau proses netralisasi dari setiap pengaruh agama dan hal-hal yang ghaib (Husaini, 2001: 158). Pada abad ke-19, tepatnya tahun 1864 M, George Jacob Holyoke menggunakan istilah sekularisme dalam arti filsafat praktis untuk manusia yang menafsirkan dan mengorganisir kehidupan tanpa bersumber dari supernatural. Setelah itu, pengertian sekularisme secara terminologis mengacu kepada doktrin atau praktik yang menafikan peran agama dalam fungsifungsi negara. Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai: “A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship.” (Sebuah sistem doktrin dan praktik yang 66│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan). Atau sebagai: “The belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter into the function of the state especially into public education.” (Sebuah kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi negara, khususnya dalam pendidikan publik). B. Sejarah Sekularisme Secara sosio-historis, sekularisme lahir di Eropa, sebagai kompromi antara dua pemikiran ekstrem yang kontradiktif, yaitu: Pertama, pemikiran tokoh-tokoh gereja dan raja di Eropa sepanjang Abad Pertengahan (abad V-XV M) yang mengharuskan segala urusan kehidupan tunduk menurut ketentuan agama (Katolik). Mulai dari urusan keluarga, ekonomi, politik, sosial, seni, hingga teologi dan ilmu pengetahuan, harus mengikuti ketentuan para gerejawan Katolik. Kedua, pemikiran sebagian pemikir dan filsuf–misalnya Machiaveli (w.1527 M) dan Michael Mountaigne (w. 1592 M) yang mengingkari keberadaan Tuhan atau menolak hegemoni agama dan gereja Katolik. Jalan tengah dari keduanya ialah, agama tetap diakui, tapi tidak boleh turut campur dalam pengaturan urusan masyarakat. Agama tetap diakui eksistensinya, tidak dinafikan, hanya saja perannya dibatasi pada urusan privat saja, yakni interaksi antara manusia dan Tuhannya (seperti aqidah, ibadah ritual, dan akhlak). Tapi agama tidak mengatur urusan publik, yakni interaksi antara manusia dengan manusia lainnya, seperti politik, ekonomi, sosial, dan sebagainya (Shiddiq al-Jawi, Muhammad, “Mengapa Kita Menolak Sekularisme?”, dalam www.pakdenono.com diakses tanggal 29 September 2010). Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │67

Menurut Ruslan Abdul Gani sebagaimana dikemukakan Haidar Natsir dkk (1994: 145) Sekularisme berasal dari sejarah perkembangan gereja Katolik di Eropa. Pada permulaan zaman pertengahan sewaktu di Eropa belum ada negara-negara nasional yang besar, dan hanya kesatuan-kesatuan politik yang kecil-kecil, maka Gereja Katolik dengan kaum padrinya merupakan faktor progresif dalam mendorong lahirnya negara-negara yang lebih luas dan teratur. Hal ini karena gereja merupakan pusat kehidupan beragama serta ilmu pengetahuan. Dalam kesatuan negara-negara baru itu, raja biasanya dinobatkan oleh Sri Paus. Terjadilah lambat-laut pemusatan kekuasaan keagamaan dan keduniawiaan ke dalam satu tangan, yakni dalam tangan gereja Romawi. Pemusatan kekuasaan disebut sebagai sistem pemerintahan “caesaro-papisme”. Karena dalam perkembangan selanjutnya terjadi penyalahgunaan kekuasaan oleh gereja, maka para raja mulai melepaskan diri dari ikatan Sri Paus tersebut. Terjadilah fenomena yang dalam sejarah Eropa terkenal dengan nama “Scheiding van Kerk en Staat”, yaitu pemisahan antara kekuasaan gereja dengan kekuasaan Negara. Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai Sekularisme di mana agama (Katolik) tidak lagi ikut berbicara urusan dunia. Demikianlah, masa Enlightenment Eropa telah melahirkan filsafat Sekularisme sebagai suatu ideologi rasional-materialistik yang secara khusus bersemangat anti agama. Bahkan Bernard Lewis menyatakan bahwa sejak awal mula, kaum Kristen diajarkan–baik dalam persepsi maupun praktis – untuk memisahkan antara Tuhan dan Kaisar dan dipahamkan tentang adanya kewajiban yang berbeda antara keduanya (Husaini, 2006: 1). Menurut Harvey Cox dalam karyanya The Secular City bahwa sekularisme dan liberalisme adalah sebuah keharusan yang tidak dapat ditolak, karena sekularisme adalah akibat logis dari 68│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

dampak kepercayaan bible terhadap sejarah (secularization is the legitimate consequence of the impact of biblical faith on history). Menurut Cox ada tiga komponen penting dalam bible menjadi kerangka asas sekularisme, yaitu disenchantment of nature yang dikaitkan dengan cration, Desacralization of politics dengan migrasi besar-besaran (Exodus) kaum Yahudi dari Mesir, dan “Deconsecration of value” dengan perjanjian nilai (Sinai covenant). Jadi sekularisme menurut Cox adalah pembebasan manusia dari agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari “dunia lain” menuju kini. Karena sudah menjadi sebuah keharusan, maka kaum Kristen tidak seyogyanya menolak sekularisme. Sebab sekularisme merupakan konsekuensi otentik dari kepercayaan Bible. Maka tugas utama kaum Kristen adalah menyokong dan memelihara sekularisasi (far from being something Christians should be against, secularization represent an authentic consequence of biblical faith. Rather than oppose it, the task of Christians should be to support and nourish it (Husaini, 2006: 1-3). Cox membedakan antara sekularisasi dan sekularisme. Menurut Cox, sekularisasi mengimplikasikan proses sejarah, hampir pasti tak mungkin diputar kembali. Masyarakat perlu dibebaskan dari kontrol agama dan pandangan hidup metafisik yang tertutup (closed metaphysical worldviews). Jadi, intinya sekularisasi adalah perkembangan yang membebaskan (a liberating development). Sebaliknya, sekularisme adalah nama sebuah ideologi. Sekularisme adalah sebuah pandangan hidup baru yang tertutup dan berfungsi sangat mirip dengan agama. Selain itu, sekularisasi itu berakar dari kepercayaan Bible. Pada taraf tertentu, sekularisasi adalah hasil autentik dari implikasi kepercayaan Bible terhadap sejarah Barat. Jadi sekularisasi berbeda dengan sekularisme, yaitu ideologi (isme) yang tertutup. Bagi Cox, sekularisme membahayakan keterbukaan dan Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │69

kebebasan yang dihasilkan sekularisasi. Oleh karena itu, sekularisme harus diawasi, diperiksa, dan dicegah untuk menjadi ideologi negara (Armas, 2003: 12). Harvey Cox sampai kepada kesimpulan bahwa gagasan sekularisasi sangat didukung oleh ajaran-ajaran Bible. Oleh karenanya, ada tiga komponen penting dalam Bible yang menjadi kerangka asas sekularisasi, yaitu disenchantment of nature yang dikaitkan dengan penciptaan (creation), desacralization of politic dengan migrasi besar-besaran (exodus) kaum Yahudi dari Mesir, serta deconsecration of value dengan perjanjian Sinai (Sinai Covenant) (Armas, 2003: 12). Sementara HAMKA melihat bahwa proses sekularisasi di Eropa bukanlah dipisahkannya agama dengan negara, melainkan antara negara dengan kekuasaan gereja. Sejak dari abad VIII Masehi, kekuasaan dunia dan agama menjadi satu di tangan Paus, di tangan gereja. Kemudian sebagai raja dari segala raja, mengakui pengakatan raja dan memakzulkannya, sebab dia yang memegang kunci, sampai pada permulaan abad XVI (1517 M) setelah Martin Luther mengajukan protesnya. Sampai akhirnya Kerajaan Italia sendiri menaklukan Vatikan 1860-1870 M), yakni setelah lebih 1000 tahun berkuasa. Jadi berdasarkan catatan sejarah, Eropa Barat dan Amerika belum pernah memisahkan negara mereka dengan agama mereka. Yang dipisahkan hanya kekuasaan gereja Katholik. Bahkan negara-negara Eropa Barat, seperti Belanda masih tetap menuliskan ”Tuhan Bersama Kita” (God zij met ons) dipinggir mata uangnya. Amerika masih tetap menuliskan ”Kami percaya kepada Tuhan” (In God wu trust). Selain itu, lari berbondongbondongnya orang-orang Eropa ke Amerika dalam abad ke XVII, bukanlah lari dari agama, melainkan lari dari kekuasaan gereja, mencari tempat atau negara yang di sana agama dapat 70│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

diamalkan (Husaini, 2001: 159-160). Gagasan pemisahan negara dari agama, menurut Hamka bukanlah keluar dari mulut orang yang beragama, melainkan dari golongan orang-orang yang tidak ada kepercayaan agamanya lagi. Di akhir abad XIII dimulai oleh Voltaire dan teman-temannya, dilatarbelakangi oleh kebencian mendalam terhadap Katholik. Memisahkan agama dari negara timbul dari orang-orang yang pandangan hidupnya memang anti-agama, dari kaum Marxis, dari Jean Paul Satre penganut filsafat Eksistensialisme, yang umumnya dari orang-orang Yahudi murtad (Husaini, 2001: 160). Jadi dapat disimpulkan bahwa gagasan sekularisasi muncul karena ketidaksanggupan doktrin dan dogma agama kristen untuk berhadapan dengan peradaban barat yang terbentuk dari beragam unsur. Hasilnya, para teolog Eropa dan Amerika seperti Ludwig Feurbach, Karl Barth, Dietrich Bonhoeffer, Paul van Buren, Thomas Altizer, Gabriel Vahanian, William Hamilton, Woolwich, Werner and Lotte Pelz, dan beberapa lainnya, menggagas revolusi teologi radikal. Cox mengelari mereka sebagai para ”teolog kematian Tuhan” (death of god theologians). Mereka menegaskan bahwa untuk menghadapi sekularisasi, ajaran kristiani harus disesuaikan dengan pandangan hidup sains modern (Armas, 2003: 5). C. Sekularisme dalam Dunia Islam Sejak masuknya sekularisme ke dunia Islam, baik melalui kolonialisme maupun interaksi budaya, dunia pemikiran Islam tidak pernah tenang dan tentram. Polemik dan benturan pemikiran senantiasa mewarnai perjalanan peradaban Islam. Hampir di setiap negeri muslim menyimpan sekurang-kurangnya dua kubu pemikiran; kubu Islam dan kubu sekuler. Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │71

Bila ditelusuri akar permasalahannya, bahwa ada dua kekuatan besar yang bertarung di dalam panggung pemikiran; Islam melawan sekularisme. Islam adalah pemikiran asli pribumi, sedangkan sekularisme adalah pendatang dan sekaligus sebagai penjajah karena datang memang bersamaan dengan kolonial. Pemikiran yang melandasi pola berfikir kaum muslimin merupakan pemikiran yang mengacu kepada al-Qur‟an dan Sunnah. Akan tetapi, ketika Barat menjajah negeri-negeri Islam, mereka turut menyebarkan paham sekularisme yang merupakan mainstream mereka. Barat mempersiapkan kader-kader yang akan meneruskan pola berfikir sekularistis jika mereka kelak meninggalkan negeri jajahannya. Akibat, segelintir orang pribumi ada yang terkagum-kagum terhadap paham sekularisme berikut konsep-konsep berfikirnya. Mereka ini ibarat duri dalam daging di tubuh umat Islam. Mereka senang melontarkan pendapat-pendapat yang berseberangan dengan al-Qur‟an, Sunnah dan mainstream ulama (Husaini, 2002: viii). Di Mesir, misalnya Ali Abdur Raziq, dengan karyanya alIslam wa Ushul al-Hukum dengan tegas dan lantang menafikan peran politik Rasulullah SAW seperti mempertanyakan bahwa mendirikan pemerintahan dengan pola khilafah merupakan suatu keharusan agama, dan mengemukakan bahwa baik dari segi agama maupun dari segi rasio pola pemerintahan khilafah itu tidak perlu. Kemudian menyangsikan risalah kenabian bukanlah pemerintahan dan agama bukanlah negara serta membangun konsturksi berfikir bahwa khilafah ada yang bersifat Islam dan bersifat Arab atau khilafah Islamiah dari khilafah Arab (Dahlan, dkk, 2001: 85). Untuk meng-counter pemikiran Ali Abdur Raziq, Universitas Al-Azhar melalui lembaga Majma‟ al-Buhuts al-Islamiyah (Pusat Penelitian Islam) pernah mengadili Ali Abdur Raziq dalam 72│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

sebuah pengadilan yang dihadiri oleh dua puluh ulama lebih. Pengadilan itu kemudian memutuskan dicabutnya seluruh ijazah Al-Azhar yang pernah diberikan kepada Ali Abdur Raziq, sekaligus diberhentikan dari jabatannya sebagai hakim di Mahkamah Syari‟iyah di Mesir. Sampai sekarang, Al-Azhar masih terus memantau karya-karya yang ditulis oleh kaum sekuler dan menuntut pemerintah agar melarang peredarannya, termasuk buku-buku Nasr Abu Zaid, Hasan Hanafi, Mohammad Arkoun, Abid Al-Jabiri, Abdul Karim Soroush, Aminah Wadud dan lain sebagainya (Husaini, 2002: x). Di Indonesia, pertaruangan serupa dapat ditemukan di pentas pemikiran, walaupun tidak seseru yang terjadi di Mesir. Tahun 70-an, Nurcholish Madjid telah memaparkan ide sekulernya, lalu ditanggapi oleh sejumlah intelektual muslim seperti, Endang Saifuddin al-Anshari, Prof. H.M. Rasyidi, dan lain-lain. Munawir Sjadzali (mantan menteri agama) pernah melemparkan ide kontraversialnya di seputar ahli waris. Ia dijawab oleh sejumlah kalangan intelektual, seperti Rifyal Ka‟bah dan lain-lain. Tahun 1992, Nurcholish Madjid kembali melemparkan ide kontroversialnya seputar ahlul kitab, makna agama, jilbab, dan ide-ide lainnya. Ia dijawab dengan serentetan reaksi yang cukup keras dari berbagai kalangan intelektual (Husaini, 2002: xi). Tahun 2000-an, sekelompok anak muda mengkampanyekan kembali ide-ide tersebut dalam sebuah wadah Jaringan Islam Liberal (JIL) yang dikomandoi oleh Ulil Abshar Abdalla, kemudian dijawab serentak berbagai pihak seperti Muhammad Quraish Shihab, Adian Husaini, Adnin Armas, Hamid Fahmi Zarkasy, Nirwan Syafrin Manurung, Ughi Suharto, Anis Malik Thoha, Wan Mohd Nor Wan Daud, dan guru mereka Syed Muhammad Nuquib Al-Attas dalam sebuah wadah International Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │73

Institute of Islamic Thought and Civilization – International Islamic University Malaysia (ISTAC- IIUM) dan sekarang terus menerus dan selalu konsisten melakukan penyensoran terhadap pemikiran-pemikiran sekuler dan liberal lewat media Institute for Study of Islamic Thought and Civilization (INSIST) dan Workshop : On Islamic Civilization Studies yang mereka lakukan di berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia. D. Bahaya Sekularisme Agama, khususnya Islam, jelas-jelas mendorong berkembangnya kecerdasan manusia dan ilmu pengetahuan. Sejak kecil anak-anak Islam telah diajar untuk mengenal dan menguasai bahasa dengan mengaji dan keharusan dapat membaca al-Qur‟an. Tradisi Islam yang mengagungkan ilmu pengetahun itu, adalah salah satu faktor yang menyebabkan kejayaan Islam. Gambaran kejayaan Islam itu ditulis sangat menarik dan cukup lengkap oleh Ismail Faruqi dalam bukunya, The Cultural Atlas of Islam. Maka dari itu, memisahkan ilmu pengetahuan dengan Islam (sekularisme) ibarat memisahkan air atau udara dengan kandungan oksigennya. Ketika air atau udara hilang kandungan oksigennya, hilanglah nilai kegunaannya. Ketika ilmu pengetahuan dipisahkan dengan Islam (agama), hilanglah maknanya bagi kehidupan (Hidayat, 2009: 97). Di lihat dari perspektif Islam, Sekularisme tidak lain adalah perwujudan modern dari paham dahriyyah), seperti diisyaratkan dalam Al-Qur‟an surah al-Jatsiyah [45] ayat 24.

                      

74│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

”Dan mereka berkata: "Kehidupan Ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa", dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. Dalam surah yang lain Allah SWT juga berfirman :

                               ”Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan Sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang Telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang Telah mereka kerjakan.” (QS. Huud [11]: 15-16). Islam sebagai agama dunia dan akhirat, sangat memperhatikan masalah duniawi. Masalah duniawi ini tidak bisa dilepaskan dari masalah ukhrawi, tidak bisa dipisahkan dari agama/wahyu Tuhan. Islam dapat sejalan dengan Sekularisme dalam hal sama-sama memperhatikan masalah duniawi. Akan tetapi, Islam secara prinsipil menolak Sekularisme, karena yang secara sadar telah memalingkan muka dari agama/wahyu dan Tuhan dalam perikehidupan dan penghidupan sehari-hari (Natsir, dkk, 1994: 145-147). Sekularisme menganut paham pengosongan nilai-nilai rohani dari alam tabi‟i (disenchantment of nature), dimana hal tersebut Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │75

jelas-jelas bertentangan dengan pandangan hidup Islam tentang alam. Al-Qur‟an menegaskan bahwa alam semesta adalah ayat manifestasi lahir ataupun batin Tuhan. Alam memiliki makna keteraturan dan harus dihormati karena memiliki hubungan simbolis dengan Tuhan. Sekularisasi telah mengikis dan menghilangkan hubungan simbolis ini. Hasilnya, alam tidak perlu dihormati. Hubungan harmonis antara manusia dan alam telah diceraikan dan dihancurkan. Hasilnya, manusia akan terdorong untuk melakukan segala macam kezaliman, kemusnahan, dan kerusakan di atas muka bumi. Maka, alam menjadi korban eksploitasi yang hanya berharga demi sekedar kajian saintifis dan penelitian ilmiah. Sekularisasi telah menjadikan manusia menuhankan dirinya untuk kemudian berlaku tidak adil terhadap alam (Armas, 2003: 20). Menurut Muhammad Natsir, kaum sekularis memandang konsep-konsep mengenai Tuhan dan agama hanya sebagai hasil ciptaan manusia yang ditentukan oleh kondisi-kondisi sosial, bukan ditentukan oleh kebenaran wahyu. Bagi kaum sekularis, doktrin agama dan Tuhan relatif dan tergantung pada penemuan-penemuan umat manusia. Dan tolak ukur kebenaran dan kebahagiaan manusia semata-mata ditentukan oleh materi (benda). Di negara sekuler, masalah-masalah ekonomi, hukum, pendidikan, sosial dan lain-lain semata-mata ditentukan oleh kepentingan material, bukan oleh nilai-nilai spiritual. Meskipun pada suatu saat kaum sekularis mengakui keberadaan Tuhan, di dalam kehidupan kesehariannya sebagai pribadi-pribadi sekularis, tidak mengakui kebutuhan terhadap suatu hubungan itu dalam kehidupan sehari-hari dinyatakan dalam sikap-sikap, tingkah laku dan tindakan-tindakan atau dalam doa dan ibadah (Hidayat, 2009: 261). 76│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Naquib al-Attas membantah klaim bahwa akar sekularisasi terdapat dalam kepercayaan bible adalah keliru. Bagi al-Attas, akar sekularisasi bukan terdapat dalam bible, melainkan terdapat dalam penafsiran orang Barat terhadap bible. Sekularisasi bukan dihasilkan oleh Bible, namun dihasilkan oleh konflik lama antara akal dan Bible dalam pandangan hidup orang Barat. Karena tidak kuatnya dogma dan ajaran Kristen dalam menghadapi Barat yang sekuler, maka Kristen menjadi ter-barat-kan. Di samping itu, alAttas juga mengkritik makna yang terkandung dalam istilah sekularisasi. Bagi al-Attas, sekalipun Cox membedakan antara sekularisme dan sekularisasi, namun pada akhirnya sekularisasi ini juga akan menjadi sekularisasionisme (secularizationisme). Sekularisme dan sekularisasi mempunyai persamaan, yaitu relativisme sejarah yang sekuler (Armas, 2003: 19). Jika dilihat dari perspektif Kristen, trauma masyarakat Barat atas dominasi agama dalam kehidupan kenegaraan telah menghasilkan masyarakat barat yang tersekulerkan (Husaini, 2001: 157). Maka tidak mengherankan jika seorang beragama kristen dengan mudah menjadi sekularisme, sebab agama Kristen memang bukan merupakan sebuah sistem kehidupan (system of life). Perjanjian Baru sendiri memisahkan kehidupan dalam dua kategori, yaitu kehidupan untuk Tuhan (agama), dan kehidupan untuk Kaisar (negara). Disebutkan dalam Injil: “"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan” (Matius 22 : 21). Dengan demikian, seorang Kristen akan dapat menerima dengan penuh keikhlasan paham sekularisme tanpa hambatan apa pun, sebab hal itu memang sesuai dengan norma ajaran Kristen itu sendiri. Apalagi, orang Barat khususnya orang Kristenjuga mempunyai argumen rasional untuk mengutamakan pemerintahan sekular (secular regime) daripada pemerintahan Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │77

berlandaskan agama (religious regime), sebab pengalaman mereka menerapkan religious regimes telah melahirkan berbagai dampak buruk, seperti kemandegan pemikiran dan ilmu pengetahuan, permusuhan terhadap para ilmuwan seperti Copernicus dan Galileo Galilei, dominasi absolut gereja Katolik (Paus) atas kekuasaan raja-raja Eropa, pengucilan anggota gereja yang dianggap sesat (excommunication), adanya surat pengampunan dosa (Afflatbriefen), dan lain-lain. Menurut Adian Husain (2006: 2-16) ada tiga faktor mengapa Barat memilih jalan hidup Sekular-Liberal antara lain; Pertama, Trauma sejarah, khususnya yang berhubungan dengan dominasi agama (Kristen) di zaman pertengahan (The Medieval Ages). Di mana Gereja mengklaim sebagai intitusi resmi wakil Tuhan di muka bumi melakukan hegemoni terhadap kehidupan masyarakat dan melakukan berbagai tindakan brutal yang sangat tidak manusiawi. Kedua, problem teks bible. Problem ini berkaitan dengan otentisitas teks bible dan makna yang terkandung di dalamnya. Hebrew Bible (Perjanjian Lama) masih merupakan misteri. Richard Elliot Friedman, dalam bukunya, Who Wrote the Bible, menulis, bahwa hingga kini siapa yang sebenarnya menulis Kitab ini masih merupakan misteri. (It is a strange fact that we have never known with certainty who produced the book that has played a central role in our civilization). Perjanjian Baru (The New Testament) juga menghadapi banyak problem otentisitas teks. Misalnya, Profesor Bruce M. Metzger, guru besar bahasa Perjanjian Baru di Princeton Theological Seminary, menyatakan di dalam salah satu bukunya yang berjudul A Textual Commentaary on the Greek New Testament bahwa ada dua kondisi yang selalu dihadapi oleh penafsir Bible, yaitu (1) tidak adanya dokumen Bible yang original saat ini, dan (2) bahan-bahan yang ada pun sekarang ini 78│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

bermacam-macam, berbeda satu dengan lainnya. Ketiga, problem teologis Kristen. Salah satu problem krusial Kristen adalah doktrin teologi Kristen tentang ketuhanan Yesus. Bagaimana menjelaskan kepada akal yang sehat, bahwa Yesus adalah Tuhan dan sekaligus manusia. Di mana doktrin ini tidaklah tersusun pada masa Yesus, tetapi beratus tahun sesudahnya, yakni pada tahun 325 dalam konsili Nicea. Adalah Kaisar Constantine yang mempelopori Konsili Nicea, yang menyatukan atau memilih teologi resmi Gereja dan mengikrarkan Yesus sebagai Tuhan dalam ‟Syahadat Nicea‟ yang menyatakan: Kami percaya pada satu Allah, Bapa Yang Mahakuasa, Pencipta segala yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Dan pada satu Tuhan Yesus Kristus, Putra Allah, Putra Tunggal yang dikandung dari Allah, yang berasal dari hakikat Bapa, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah benar dari Allah Benar, dilahirkan tetapi tidak diciptakan, sehakikat dengan Bapa, melalui dia segala sesuatu menjadi ada. Problem teologis Kristen, problem teks bible, dan pengalaman Barat yang traumatis terhadap hegemoni Gereja selama ratusan tahun telah membentuk sikap ”traumatis” terhadap Kristen. Cara pandang terhadap agama yang lahir dari peradaban Barat adalah konsep yang traumatis terhadap agama. Dari sinilah muncul paham sekularisasi, yang meskipun tidak membunuh agama, tetapi menempatkan agama pada pojok kehidupan yang sempit. Agama ditempatkan dalam wilayah personal dan membatasi wilayah kekuasaan mereka (Husaini, 2006: 19). Sebenarnya tidak semua kalangan Kristen menerima gagasan sekularisasi, ada juga kalangan pendeta yang menolak. Pope Jhon XIII, contohnya berusaha keras menolak gagasan sekularisasi ini. E. L. Mascall juga berpendapat dalam karyanya The Secularization of Christianity: Instead of Converting The World to Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │79

Christianity They are Converting Christianity to The World (Armas, 2003: 27). Berbeda dengan Kristen dan Katholik yang trauma dengan bersatunya negara dan agama. Sejarah telah membuktikan bahwa kejayaan Islam justru tercapai ketika Islam tidak hanya diposisikan sebagai agama ritual, melainkan juga sebagai aturan hidup yang mengatur seluruh aspek dalam kehidupan. Abad keemasan umat Islam (Islamic golden age) pada saat kekhalifahan Abbasiyyah sampai kekhalifahan Utsmaniyyah (750 M–1500 M) telah menyatukan lebih dari 1/3 dunia, kekuasaan membentang dari sebagian eropa hingga dataran balkan dengan kekuatan laut dan darat ditakuti dunia. Belum lagi banyaknya para pemikir Islam yang berhasil menggetarkan dunia dengan teori-teori yang mereka temukan baik yang lahir dari baitul hikmah di Baghdad maupun dari Universitas al-Hambra di Andalusia seperti alKhawarizmi, al-Kindi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, Ibn Tufail, Ibnu Rusyd, al-Farabi, al-Ghazali dan lain sebagainya. Semua gambaran tersebut adalah fakta yang terjadi ketika Islam dan kehidupan tidak dipisahkan. Ini karena Islam sebagai sebuah sistem hidup, sebuah ideologi yang tidak bisa diterapkan secara sebagian, dan tidak bisa juga dicangkokkan dengan ideologi lain seperti pluralisme, sekularisme, sosialisme, komunisme, utilitarianisme, maupun isme-isme lainnya, dikarenakan Islam adalah metode hidup yang khas, unik, dan komprehensif. Maka untuk menerapkan Islam secara kaffah diperlukan suatu institusi yang dapat menjamin terlaksananya semua aturan-aturan Islam, dengan al-Qur‟an dan hadist sebagai pedoman. Pendek kata bagi seorang muslim, sesungguhnya tak mungkin secara ideologis menerima sekularisme. Karena Islam memang tak mengenal pemisahan agama dari negara. Seorang 80│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

muslim yang ikhlas menerima sekularisme, ibaratnya bagaikan menerima paham asing keyakinan orang kafir, seperti kehalalan daging babi atau kehalalan khamr. Membendung umat Islam dari taktik buta sekularisme yang menyesatkan adalah jihad bagi setiap muslim, siapa yang tenggelam dalam aliran pemikiran yang dibawa orientalis, berarti akan mengkaramkan umat Islam sendiri, sebab hal demikian akan merusak aqidah dan menjauhkan mereka dari agama Islam. Jadi problem utama umat Islam sekarang adalah hanya satu; pola hidup sekuler (memisahkan agama dari negara) yang dipaksakan Barat lewat segelintir. Dimana negara dibatasi peran strategisnya untuk mengatur kehidupan beragama masyarakat, dan pelaksanaan bernegara terbebas dari aturan dan petunjuk agama. Konsekuensinya, aturan-aturan moralitas, agama dikesampingkan dan tidak dianggap penting dan menjadi urusan privat. Contoh paling nyata adalah seruan Nurcholis Madjid pada tahun 1980-an agar membangun Islam inklusif yang bersifat terbuka dan toleran terhadap ajaran agama lain dan budaya keindonesiaan. Ini persis sama dengan argumentasi pengusung ide pribumisasi Islam ala Gusdurisme yang mempropagandakan keterbukaan dan toleransi terhadap agama dan budaya di Indonesia. Ini merupakan bukti bahwa upaya sekularisasi terhadap Islam tidak pernah berhenti, terus berlanjut hingga kini. Buku-buku yang mempropagandakan paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme juga terus diterbitkan. Maka menjadi sesuatu yang sangat menggembirakan ketika Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Munasnya yang ke-7 pada 25-29 Juli 2005, di Jakarta, telah menetapkan fatwa tentang haramnya Sekularisme; sebuah paham yang memisahkan urusan duniawi dari agama; agama hanya digunakan untuk mengatur Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │81

hubungan pribadi dengan Tuhan, sementara hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial (Husaini, 2005: 3). Maka, pemaksaan Barat baik secara langsung atau terselubung terhadap sekularisme dipandang sebagai bagian dari bentuk-bentuk imperialisme. Pemaksaan sekularisme di dunia Islam oleh barat di dorong adanya faktor kepentingan (interest) untuk mempertahankan dominasi Barat dan mengeruk keuntungan material. Faktor lain adalah ketakutan terhadap munculnya Islam sebagai kekuatan politik – sebagai alternatif dari sistem sekular. Di titik ini, penyebarluasan sekularisme oleh Barat dapat dilihat dalam perspektif program kapitalisme Barat, untuk mempertahankan hegemoni ekonominya. Seorang Muslim sekuler (yang memisahkan agama dari urusan kehidupan) akan lebih mudah mengkonsumsi produk-produk Barat seperti film, kosmetik, dan berbagai produk dunia mode. Sekularisasi yang dibungkus dengan kemasan modernisasi menjadi alat ampuh bagi Barat untuk memuluskan misi dagangnya (Husaini, 2001: 189).

82│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

A. Pengertian Pluralisme Secara etimologi, pluralisme Agama berasal dari dua kata, yaitu “pluralisme” dan “agama”. Dalam bahasa Arab diterjemahkan al-ta‟addudiyyah al-diniyyah dan dalam bahasa Inggris religious pluralism. Menurut kamus Bahasa Inggris, Pluralism bearti jaman atau lebih dari satu. Mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan; sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, memegang dua jabatan atau lebih secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofis, bearti sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu. Ketiga, pengertian sosio-politik adalah suatu sistem yang mengakui koeksistensi keragaman kelompok, baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik berbagai kelompok-kelompok tersebut (Malik Thoha,2005: 11-12). Pada ahli sejarah sosial cenderung mendefenisikan agama sebagai suatu intitusi histories-suatu pandangan hidup yang institutionalized yang mudah dibedakan dari yang lain yang sejenis. Misalnya, secara alami sangat mudah membedakan agama Budha dan Islam dengan hanya melihat sisi kesejarahan yang melatarbelakangi keduanya dan dari perbedaan sistem kemasyarakatan, keyakinan, ritual dan etika yang ada dalam Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │83

ajaran keduanya. Sementara ahli bidang sosiologi dan antrapologi mendefenisikan agama dari sudut fungsi sosialnya, yaitu suatu sistem kehidupan yang mengikat manusia dalam satuan-satuan atau kelompok-kelompok sosial. Sedangkan ahli bidang teologi, fenomenologi, dan sejarah agama melihat agama dari aspek subtansinya yang sangat asasi, yaitu sesuatu yang sangat sakral (the sacred). Jadi pluralisme agama adalah kondisi hidup bersama (koeksistensi) antar agama (dalam arti luas), yang berbeda-beda dalam satu komunitas dengan tetap mempertahankan ciri-ciri spesifik atau ajaran masing-masing agama. Namun dalam studistudi dan wacana sosio ilmiah defenisi pluralisme agama telah menemukan defenisinya sendiri yang sangat berbeda dengan yang dimilikinya semula (dictionary definition). (Malik Thoha, 2005: 12-15). Anis Malik Thoha (2006: 1-2) menyatakan defenisi Pluralisme Agama merupakan satu problem utama yang sangat mendasar dan membingungkan, namun sangat sedikit yang memperhatikan defenisi tersebut dan seakan-akan istilah Pluralisme Agama ini sudah cukup jelas dan boleh taken for granted. Hanya Prof John Hick, seorang filusuf dan teolog Kristen kontemporer yang benar-benar mencoba serius mendefenisikan istilah dengan jelas dalam bukunya Problems of Relegion Pluralism. Pluralisme agama adalah suatu gagasan bahwa agama-agama besar dunia merupakan persepsi dan konsepsi yang berbeda tentang, dan secara bertepatan merupakan respon yang beragama terhadap Yang Real dan Yang Maha Agung dari dalam pranata kultural manusia yang bervariasi; dan transformasi wujud manusia dari pemusatan diri menuju pemusatan hakiki terjadi secara nyata dalam setiap masing-masing pranata kultural 84│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

manusia tersebut – dan terjadi, sejauh yang dapat diamati, sampai pada batas yang sama (Malik Thoha, 2005: 15). Berdasarkan defenisi di atas sangatlah jelas bahwa tidak ada perbedaan yang esensial dan fundamental diantara agama-agama dunia. Oleh sebab itu, John Hick kemudian menyimpulkan semua tradisi atau agama yang ada di dunia ini adalah sama validnya, karena pada hakekatnya semuanya itu tidak lain hanyalah merupakan bentuk-bentuk respon manusia yang berbeda terhadap sebuah realitas trasenden yang satu dan sama. Dengan demikian, semuanya merupakan “authentic manifestations of the real”. Ringkasnya, semua agama secara relatif adalah sama, dan tidak ada satu pun agama yang berhak mengklaim “uniqueness of truth and salvation” (sebagai satu-satunya kebenaran atau satu-satunya jalan menuju keselamatan) (Malik Thoha, 2006: 2). Adian Husaini (2005: 334) melihat bahwa pluralisme Agama (religious pluralisme) sama dengan sebuah paham (isme) tentang “pluralitas”. Paham bagaimana melihat keragaman dalam agama-agama; mengapa dan bagaimana memandang agamaagama, yang begitu banyak dan beragam. Apakah hanya ada satu agama yang benar atau semua agama benar. Sedangkan Nurcholisch Madjid (1995: xxvii) memaknai Pluralisme adalah suatu perangkat untuk mendorong pengayaan budaya bangsa. Pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, dan terdiri atas berbagai suku serta agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekedar sebagai kebaikan negatif (negative good) hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisme (to keep fanatisicm at bay). Pluralisme harus dipahamai sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │85

ikatan-ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan pluralisme juga suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan peingbangan yang dihasilkannya. Kitab suci justru disebutkan Allah menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antar sesama manusia untuk memelihara keutuhan bumi dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia. Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan golongan lain, pastilah bumi hancur. Namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh Alam. Inilah persolannya dengan prinsip pluralisme dan toleransi. Jadi pluralisme sesungguhnya adalah sebuah Sunatullah yang tidak akan berubah, sehingga juga tidak mungkin di lawan atau diingkari. Prof. Diana L. Eck, Profesor of Comparative Religion and Indian Studies dan Director of the Pluralism Project di Harvard University menyatakan bahwa ada tiga hal yang dapat menjelaskan arti Proyek Pluralisme. Pertama, Pluralisme bukan hanya beragam atau majemuk, Pluralisme lebih dari sekedar majemeuk atau beragam dengan ikatan aktif kepada kemajemukan tadi. Meski Pluralisme dan keragaman terkadang diartikan sama, ada perbedaan yang harus ditekankan. Keragaman adalah fakta yang dapat dilihat dengan budaya yang beraneka ragam di Amerika Serikat dan Indonesia. Kedua, pluralisme bukan sekedar toleransi. Pluralisme lebih dari sekedar toleransi dengan usaha yang aktif untuk memahami orang lain. Meskipun toleransi sudah pasti merupakan sebuah langkah ke depan dari ketidaktoleransian, toleransi tidak mengharuskan kita untuk mengetahui segala hal tentang orang lain. Toleransi dapat menciptakan iklim untuk menahan diri, namun tidak untuk memahami. Toleransi saja tidak banyak menjembatani jurang 86│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

stereotip dan kekhawatiran yang bisa jadi justru mendominasi gambaran bersama mengenai orang lain. Sebuah dasar yang terlalu rapuh untuk sebuah masyarakat yang kompleks secara religius. Ketiga, Pluralisme bukan sekedar relativisme. Pluralisme adalah pertautan komitmen antara komitmen religius yang nyata dan komitmen sekuler yang nyata. Pluralisme di dasarkan pada perbedaan dan bukan kesamaan. Pluralisme adalah ikatan – bukan pelepasan – perbedaan dan keharusan. Dimana harus saling menghormati dan hidup bersama secara damai. Namun harus ditambahkan bahwa hidup bersama dalam sebuah masyarakat yang penuh semangat bukan hanya sekedar hidup berdampingan tanpa memperdulikan orang lain (Shofan, 2006; 80-82). B. Pluralisme di Dunia Barat dan Islam Munculnya paham pluralisme agama dalam tradisi Barat disebabkan adanya Protestanisme. Dimana sejak itu sering terjadi peperangan agama antara Katholik dan Protestan karena saling klaim kebenaran. Perang tersebut telah menghancurkan berbagai masyarakat, kerajaan-kerajaan dan imperiumimperium. Konflik atau kontradiksi realita perpecahan agama, oleh para elit Eropa disebut dengan prinsip Cuius Regio ilius est relegio (agama raja adalah agama para kawula/rakyatnya). Prinsip ini terutama dilaksanakan di Jerman yang terdiri dari puluhan kesatuan politik. Sehingga ketika ada rakyat yang agama tidak sama dengan rajanya harus pindah. Karena perbedaan agama ini terjadi migrasi penduduk besar-besaran (Onghokham, 2004: 191-192). Baru sejak abad XVIII atau abad pencerahan (Enlightenment) Eropa, masa yang disebut sebagai titk permulaan bangkitnya Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │87

gerakan pemikiran modern. Yaitu masa yang diwarnai wacanawacana baru pergolakan pemikiran manusia yang berorientasi pada superioritas akal (rasionalisme) dan pembebasan akal dari kungkungan-kungkungan agama. Negara-negara Eropa pada umumnya mulai mengakui kemajemukan agama (pluralisme agama) dalam masyarakat dan menghilangkan rintanganrintangan (barriers) sosial-politik bagi agama-agama (Malik Thoha, 2005: 16). Maka mulailah babak baru pluralisme berkembang memasuki ranah-ranah kehidupan masyarakat. Paham pluralisme yang berkembang di Barat diwakili oleh dua aliran yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global teology) dan paham kesatuan trasenden antara agama-agama (transcendent Unity of Relegion). Kedua aliran ini membangunan, gagasan, konsep dan prinsip masing-masing yang akhirnya menjadi paham sistemik dan akhirnya klaim saling menyalahkan satu dengan lainnya. Munculnya kedua aliran ini juga disebabkan oleh motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi perhatian masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian sosiologis motif terpentingnya adalah kerena tuntutan modernisasi dan globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi maka hubungan globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Jadi disini dimaknai agama dianggap sebagai kendala bagi program globalisasi. Berbeda dengan motif aliran pertama, aliaran kedua dengan pendekatan yang didominasi filosofis dan teologis Barat justru menolak modernisasi dan globalisasi yang cenderung menepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi yang terdapat dalam agama-agama Kristen (ISLAMIA, 2004: 6). Solusi yang ditawarkan oleh kedua aliran ini pun berbeda. Berdasarkan pendekatan sosiologi yang mengusung globalisasi, 88│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

aliran pertama menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis, kultural, ideologis, teologis, kepercayaan, dan sebagainya. Artinya identitas kultural, kepercayaan, dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan mendekat yang pada akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya. Agama-agama itu kemudian melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu maka John Hick, memperkenalkan Pluralisme Agama dengan gagasannya yang ia sebut global teology. Selain John Hick ada banyak tokoh yang mendukung konsep ini seperti Wilfred Cantwell Smith dari agama Kristen, Masau Abe dari agama Budha, Hasan Askari dari Islam, Ramchandra Gandhi dari agama Hindu, Kushdeva Singh dari agam Sikh, dan Leo Trepp dari agama Yahudi. Sedangkan solusi yang ditawarkan oleh kelompok kedua lewat pendekatan religious filosofis adalah bagi mereka agama tidak bisa di rubah begitu saja dengan mengikuti globalisasi, zaman modern atau pun post modern yang telah meminggirkan agama. Agama itu tidak bisa dilihat hanya dari perspektif sosiologis ataupun histories dan tidak pula dihilangkan identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan mengangkat konsep-kosep yang diambil secara paraler dari tradisi agama-agama. Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep Sophia perrenis atau dalam bahasa Hindu Sanata Dharma atau dalam agama Islam di sebut alHikmah al-Khalidah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil dan proporsional, tanpa menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran ini bagaikan “jalan-jalan yang mengantarkan Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │89

ke puncak yang sama (“all paths lead to the same summit). Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah Rene Guenon, T. S. Eliot, Titus Burckhardt, Fritjhof Schoun, Ananda K Coomaraswamy, Martin Lana, Sayyed Hossein Nasr, Huston Smith, Louis Massignon, Marco Pallis, Henry Corbin, Jean Louis Michon, Jean Cantein, Victor Danner, Joseph E. Brown, William Stoddart, Loard Northbourne, Gai Eaton, E. F. Shumacher, J. Needleman, William C. Chittick, dan lain-lain (ISLAMIA, 2004: 7). Di kalangan Islam sendiri khususnya Islam di Indonesia, banyak orang-orang yang tertarik dengan isu Pluralisme Agama baik yang di usung oleh global teology maupun transcendent Unity of Relegion, bahkan menjadi “komoditas politik” kelompok tertentu. Mereka semua menyatakan bahwa Pluralisme Agama itu sesuai dengan ruh Islam sebagai agama rahmatan lil alamien. Menurut mereka kemajemukan adalah sebuah fenomena yang tidak mungkin dihindari. Kita hidup di dalam kemajemukan (pluralisme) dan merupakan bagian dari proses kemajemukan, aktif maupun pasif. Ia menyusup dan menyangkut dalam setiap seluruh ruang kehidupan kita, tak terkecuali juga dalam hal kepercayaan. Kita menghadapi kenyataan adanya berbagai agama dengan umatnya masing-masing, bahkan tidak hanya itu, kita pun menghadapi – orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan. Dalam menghadapi kemajemukan seperti itu tentu saja kita tidak mungkin mengambil sikap anti pluralisme. Kita harus belajar toleran tehadap kemajemukan. Kita dituntut untuk hidup di atas dasar dan semangat pluralisme (Effendi, 2004: 61). Bagi mereka, Islam tegas-tegas memberikan kebebasan sepenuhnya kepada manusia dalam masalah agama dan keberagaman seperti surat al-Kahfi [18] ayat 29:

90│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

                                “Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek”. Sesuai dengan misi yang diembannya tentulah wajar jika Nabi Muhammad Saw mengharapkan agar semua orang menerima risalah yang dibawahnya. Beliau ingin agar setiap orang bersedia menerima Islam sebagai anutan mereka. Maka itu Tuhan mewanti-wanti agar beliau jangan sampai memaksakan orang agar beriman kepada-Nya sebab Tuhan sendiri tidak memaksakan untuk itu, sebab kalau dia mau tidak ada kesukaran bagi-Nya seperti firman-Nya dalam surat Yunus [10] ayat 99.

                “Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │91

yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?”. Terhadap agama-agama yang ada Islam sama sekali tidak menafikan begitu saja. Islam mengakui eksistensi agama-agama yang ada dan tidak menolak ajarannya. Secara eksplisit alQur‟an menegaskan dalam surat al-Baqarah [2] ayat 62.

                        “Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orangorang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” Kebebasan beragama dan respek terhadap agama dan kepercayaan orang lain, apapun wujudnya, bukan saja penting bagi masyarakat mejemuk akan tetapi bagi seorang muslim, merupakan ajaran agama. Karena itu membela kebebasan beragama bagi siapa saja dan menghormati serta kepercayaan orang lain merupakan bagian dari kemusliman (Effendi, 2004: 62-63). Keharusan untuk memberlakukan kebebasan beragama memang diisyaratkan oleh alQur‟an seperti dalam surat al-Hajj [22] ayat 40.

                    92│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

                  “(Yaitu) orang-orang yang Telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali Karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. Salah satu konsep yang ada gayutannya dengan masalah Pluralisme Agama dan kepercayaan tersebut adalah konsep tentang kesatuan kenabian. Iman kepada para Nabi dan Rasul adalah bagian dari aqidah Islam. Dalam kerangka iman kepada para nabi dan rasul itu, Al-Qur‟an mengajarkan agar tidak membeda-bedakan satu sama lain (Effendi, 2004: 63). Hal ini terlihat dari firman Allah Swt surat al-Baqarah [2] ayat 136.

                               “Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │93

dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya". Islam mengaku adanya titik temu yang sifatnya esensial dari berbagai agama khususnya agama-agama samawi, yakni kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa hal ini terlihat dalam surat Ali-Imran [3] ayat 64.

                                “Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orangorang yang berserah diri (kepada Allah)". Salah satu peristiwa penting adalah penerimaan Nabi Muhammad Saw terhadap delegasi Kristen dan Najran, mereka tinggal beberapa hari di Madinah dan ditampung di Masjid Nabawi dan rumah-rumah sahabat Nabi. Selama selang beberapa hari itu terjadilah dialog antar agama antara Nabi Muhammad dengan mereka. Sikap nabi tersebut jika kita tarik ke 94│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

dalam konteks kehidupan sekarang mungkin menimbulkan dilema antara komitmen keislaman dengan kepentingan politik yang lebih ditentukan oleh tuntutan kondisional. Selain itu sebagai kepala Negara, Nabi Muhammad Saw menetapkan pembayaran Zijyah (uang jaminan) kepada non-muslim yang berada di Madinah untuk memperoleh jaminan keamanan dan tidak dibebankan kewajiban militer. Kemudian Nabi Muhammad Saw juga memperbolehkan non Muslim untuk mengadili suatu perkara sesuai dengan hukumnya (Thantowi, 2001: 192). Keanekaragaman agama satu sisi memang menimbulkan persoalan manusia secara umum karena ia mengacaukan masyarakat (Rahman, 2000: 56). Akan tetapi, sekarang manusia dihadapkan pada berbagai persoalan yang menuntut berbagai perhatian agama untuk menyelesaikannya. Ideologi-ideologi besar, sosialisme dan kapitalisme, sudah gagal memperbaiki kehidupan manusia. Persoalan-persoalan riil yang dihadapi manusia sekarang ini adalah kemiskinan, keterbelakangan, kekerasan, lingkungan hidup, peperangan, dan berbagai persoalan lainnya yang mengancam kehidupan manusia. Oleh karenanya, Pluralisme Agama diperlukan untuk menyelesaikan persoalan kemanusiaan terutama persoalan agama karena agama, alih-alih menjadi parts of solusition, agama justru sering menjadi parts of problem. Berbagai peperangan bermotif agama masih mewarnai isu kontemporer. Munculnya golongan agama garis keras sering menampilkan agama dengan muka yang garang dan penuh kebencian kepada orang yang bukan golongan agama yang dianutnya. Atas dasar membela agama, agama menjadi perekat solidaritas untuk menghabisi agama lain (Wijdan, Jawapost, Sabtu 21 Juni 2003: 6). Untuk itu mulai sekarang sangat penting bagi kaum Muslimin untuk mengakui Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │95

paling tidak sejumlah besar patokan kebenaran dalam agama lain (Watt,2002: 177). Dan saatnya kaum muslimin juga mengikuti model sekuler Negara Barat (belajar dari pengalaman orangorang Kristen) dalam rangka memecahkan permasalahanpermasalahan yang dialami (Spencer,t.th: 164). Pada ayat lain pun Al-Qur‟an secara langsung menganjurkan pluralisme seperti dalam surah al-Maidah [5] ayat 48.

                                                         “Dan kami Telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang Telah datang kepadamu. untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang. sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya 96│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang Telah kamu perselisihkan itu” . Ayat ini secara jelas menyatakan bahwa di semua Negara setiap orang memiliki hukum sendiri-sendiri yakni setiap bangsa memiliki keunikan dalam agama (way of life), hukum dan lain sebagainya. Dan juga andaikan Allah berkehendak maka niscaya Allah menciptakan makhluknya satu umat saja, tapi Allah tidak demikian, yang bertujuan adalah untuk menguji mereka (agar dapat hidup harmonis meskipun ragam perbedaan hukumdan agama). Dengan demikian diharapkan akan muncul sikap pluralisme. Seseorang harus menghargai keyakinan orang lain dan hidup berdampingan secara harmonis dengannya (Engineer,2004: 128-129). Jadi mengakui dan menghargai keragaman dan perbedaan agama sesungguhnya merupakan bagian dari doktrin al-Qur‟an. Meskipun tidak bearti al-Qur‟an membenarkan semua agama yang ada. Namun yang pasti, baik menurut al-Qur‟an maupun kenyataan histories-sosiologis, proses sekularisasi dan munculnya pluralisme agama dan keberagamaan merupakan bagian dari hukum sejarah di mana al-Qur‟an sendiri memberikan isyarat bahkan akomodasi perkembangan tersebut. Salah satu persoalan yang sering muncul di kalangan tokoh agama adalah, mereka seringkali mengingkari kenyataan ini dan kemudian mendambakan terwujudnya agama tunggal di muka bumi ini. Ini adalah suatu kemustahilan dan bertentangan dengan cetak biru (blue print) Tuhan (Hidayat,1998: 179-180). Kehidupan bersama dalam realitas pluralisme secara sederhana dapat digambarkan seperti sebuah taman. Dalam taman selalu terdapat berbagai macam tanaman dengan bunga yang beraneka warna, bentuk, dan ukuran. Justru dalam Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │97

keanekaragaman itu taman mendapat arti yang sebenarnya. Setiap tanaman dan bunga tumbuh dengan cirinya masingmasing, tidak saling mengganggu, hidup berdampingan, dan memberikan pemandangan yang indah bagi siapa pun yang melihatnya. Kemudian dalam perspektif Pluralisme agama, semua manusia mempunyai panggilan untuk membangun sebuah taman kehidupan yang indah, tentram, menarik, simpatik, dan tentunya berguna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Usaha yang dapat dilakukan adalah dialog antar agama. Sayang dialog sering dipahami dan diwujudkan sebatas dialog verbal dan hanya melibatkan beberapa orang sebagai representasi masyarakat. Dialog kehidupan dengan mengedepankan konsep kesederajatan di antara sesama manusia, pertama-tama tidak memberikan penekanan pada tataran verbal, tetapi pada tindakan nyata, didasarkan pada cinta kasih, rasa kekeluargaan, semangat persaudaraan, dan sikap saling membutuhkan. Dari itu akan memunculkan sikap toleransi dan saling menghargai terhadap berbagai perbedaan yang ada, kesetiakawanan sosial yang inklusif, rasa solidaritas, tanpa disertai tendensi dan motifmotif kepentingan diri dan kelompok (Siswantoko, Kompas, Senin, Desember 2004: 39). Perlunya dialog kehidupan karena tidak jarang masingmasing pihak kurang bersifat “terbuka” terhadap pihak lain yang akhirnya menyebabkan salah paham dan salah pengertian. Jika suatu agama berhadapan dengan agama lain, masalah yang sering muncul adalah perang truth claim (keyakinan dari pemeluk agama tertentu yang menyatakan bahwa agamanya adalah satusatunya agama yang benar), dan selanjutnya perang salvation claim (keyakinan dari pemeluk agama tertentu yang menyatakan 98│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

bahwa agamanya adalah satu-satunya jalan keselamatan bagi seluruh umat manusia). Secara sosiologis truth claim dan salvation claim ini dapat menimbulkan berbagai konflik sosial politik, yang mengakibatkan berbagai perang antaragama yang sampai sekarang menjadi kenyataan di zaman modern ini (Shofan, 2006: 198). Menurut Muhammad Wahyuni Nafis sebagaimana dikutip Moh Shofan (2006: 203-205), paling tidak ada tiga prinsip dasar yang bisa dijadikan landasan dialog ketika sebuah keyakinan dan pemahaman akan kebenaran agama seseorang itu berinteraksi dengan keyakinan dan pemahaman akan kebenaran agama orang lain. Pertama, setiap umat beragama hendaknya mengakui adanya satu logika yang menyatakan bahwa yang satu bisa dipahami dan diyakini dengan berbagai bentuk dan tafsiran. Disini bearti ditemukan bahwa Yang Maha Kuasa itu bisa dipahami oleh berbagai penganut agama-agama secara berbeda dan bermacammacam. Kedua, bahwa tafsiran dan pemahaman mengenai yang satu itu harus dipandang hanya sebagai „alat‟ atau „jalan‟ menuju ke hakikat Yang absolut. Prinsip ini sangat penting, sebab di samping memberikan dasar atas pandangan bahwa pluralisme itu sebagai suatu keniscayaan dan terbukti sangat diperlukan untuk melindungi kebebasan beragama dan menghormati keterbatasan manusiawi juga sebagai langkah preventif untuk mencegah adanya kemungkinan pemutlakan pada masing-masing bentuk keagamaan dan pemahaman. Ketiga, karena keterbatasan dan sekaligus kebutuhan kita akan komitmen terhadap suatu pengalaman partikular mengenai realitas yang transenden dan absolute, maka pengalaman partikular masing-masing meskipun terbatas, akan berfungsi Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │99

dalam arti yang sepenuhnya sebagai kriteria yang mengabsahkan pengalaman keagamaan pribadi kita sendiri. Dengan kata lain, setiap umat beragama, meskipun memandang agama, yang dianutnya hanya sebagai „jalan‟ atau „kapal‟ menuju ke hakikat Yang Absolut, menyakini „jalan‟ atau „kapal‟ tersebut harus tetap sebagai mempunyai nilai kemutlakan. Pengakuan terhadap pluralisme agama dalam sebuah komunitas sosial menjanjikan dikedepankannya prinsip inklusivitas (keterbukaan) – suatu prinsip yang mengutamakan akomodasi dan bukan konflik – di antara mereka. Sebab, pada dasarnya masing-masing agama mempunyai klaim kebenaran yang ingin ditegakkan terus, sedangkan realitas yang ada terbukti heterogen secara kultural dan religius. Inklusivitas menjadi penting sebagai jalan menuju tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang bisa memperkaya usaha manusia dalam mencari kesejahteraan spiritual dan moral. Kelompok ini sampai kepada kesimpulan bahwa pluralisme merupakan desain Tuhan (design of God) harus diamalkan berupa sikap dan tindakan yang menjunjung tinggi multi-kulturalisme. Namun tidak sekedar berhenti pada wacana pentingnya pluralisme dan multikulturalisme, akan tetapi lebih diejawantahkan pada tataran praksis. Tidak pula sekedar menjadi homo pluralis yang menghargai keragaman hidup, melainkan juga homo multi-kulturalis yang berkeyakinan bahwa relasi pluralitas yang di dalamnya terdapat problem minoritas versus mayoritas, harus dibangun dengan tindakan nyata berdasarkan pengakuan atas persamaan, kesetaraan, dan keadilan. Bahkan proses sekularisasi dan munculnya pluralisme agama dan keberagamaan merupakan bagian dari hukum sejarah sunatullah di mana Al-Qur‟an sendiri memberikan isyarat dan akomodasi bagi perkembangan tersebut (Shofan, 2006: 57-77-84). 100│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

C. Bahaya Pluralisme Agama Sebagaimana sudah umum diketahui bahwa paham Pluralisme Agama ini telah dikembangkan dan diperkenalkan atau bahkan “dipaksakan” secara sistematis. Tujuan utama untuk menggantikan sikap beragama yang salama ini sangat dominan diantara para pemeluk agama antara yang satu dengan lainnya, secara umum dapat dikatakan sebagai saling menafikan (mutually exclusive) dan inclusive. Kedua paradigma sikap beragama ini ekslusive dan inklusivisme sekarang dianggap oleh kelompok-kelompok pluralis sebagai penyebab utama konflik, permusuhan, pertumpahan darah diantara anak manusia, bahkan genocide. Menurut mereka paradigma kedua kelompok di atas sudah usang dan tidak kondusif bagi demokratisasi dan globalisasi, sehingga perlu diganti dengan paradigma baru yang lebih pluralis, yang menjanjikan kedamaian, kesetaraan, keterpaduan dan toleransi. Namun apakah paham Pluralisme Agama ini benar-benar dapat menciptakan tatanan masyarakat yang ideal atau justru sebaliknya menciptakan problema peradaban baru terutama tentang terminasi agama-agama, keragaman formalitas dan ancaman terhadap hak asasi manusia. Para penggasan Pluralisme Agama dari kalangan Islam sering mendakwakan pluralisme dengan Q. S. al-Baqarah [2] ayat 62. Mereka memahami ayat ini sebagai ayat yang mengakui sekaligus melegitimasi Pluralisme Agama secara absah. Semua pemeluk agama, baik Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha, Shabi‟in, dan lain sebagainya, yang mengimani wujud Allah Swt, hari akhir, dan berbuat baik, akan mendapatkan garansi (jaminan) masuk surga. Kalangan pluralis juga menyatakan bahwa, orang kafir juga akan masuk surga bersama-sama orang muslim, karena Allah maha Rahman dan Rahim. Inilah Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │101

implikasi buruk paling mencolok yang ditimbulkan Pluralisme Agama. Karena itu, penyebaran paham yang meleburkan batasbatas agama ini sangat berbahaya di tengah-tengah masyarakat, terutama bagi kalangan masyarakat “awam” (Yaqub, 2006: 18). Sebenarnya ada keteledoran sangat fatal dan mendasar terkait penisbatan Pluralisme Agama pada surat al-Baqarah [2] ayat 62 yakni soal kesalahan ber-idtidlal (proses perumusan hukum). Para pemikir pluralis, tampaknya terpaku secara parsial hanya pada teks ayat 62, tanpa sedikitpun melirik pada ayat-ayat yang lain atau bahkan yang menjelaskan tentang masalah seperti itu. Dalam surat al-Bayinah [98] ayat 5, Allah Swt menegaskan bahwa orang-orang non muslim juga diperintahkan untuk mengesahkan Allah Swt.

                 “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus” . Sedang berdasarkan fil‟ al-Rasul yang telah menjadi fakta histories, ternyata beliau melakukan dakwah kepada pemeluk agama-agama lain selain Islam, tentunya tanpa sedikitpun dicampuri unsur pemaksaan. Andaikan pemahaman atas surat al-Baqarah ayat 62 tersebut seperti yang dipahami oleh para pemikir pluralis itu benar, tentunya Nabi Muhammad tidak akan susah-susah melakukan dakwah kepada pemeluk agama selain Islam. Nabi Muhammad juga akan menjadi orang pertama yang mendakwahkan bahwa semua agama adalah benar dan pemeluknya masuk surga (Ya‟qub, 2006: 19). 102│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Menurut Muhammad Quraish Shihab (2007: 216) ada sementara orang yang perhatiannya tertuju kepada penciptaan toleransi antar umat beragama yang berpendapat bahwa ayat ini dapat menjadi pijakan untuk menyatakan bahwa penganut agama-agama yang disebut ayat ini, selama beriman kepada Tuhan dan hari kemudian, maka mereka semua akan memperoleh keselamatan dan tidak akan diliputi oleh rasa takut di akhirat kelak, tidak pulah akan bersedih. Pendapat semacam ini nyaris menjadikan semua agama sama, padahal agama-agama itu pada hakikatnya berbeda-beda dalam akidah serta ibadah yang diajarkannya. Bagaimana mungkin Yahudi dan Nasrani dipersamakan, padahal keduanya saling mempersalahkan. Bagaimana mungkin yang ini dan itu dinyatakan tidak akan diliputi rasa takut dan sedih, sedang yang ini menurut itu – dan atas nama Tuhan yang disembah – adalah penghuni surga dan yang itu penghuni Neraka? Yang ini tidak sedih dan takut, dan yang itu, bukan saja takut tetapi disiksa dengan aneka siksa. Bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatif Allah memang harus diakui. Tetapi hak tersebut tidak menjadikan semua penganut agama sama dihadapan-Nya. Bahwa hidup rukun dan damai antar pemeluk agama adalah sesuatu yang mutlak dan merupakan tuntunan agama, tetapi cara untuk mencapai hal itu bukan dengan mengorbankan ajaran agama. Caranya adalah hidup damai dan menyerahkan kepada-Nya semata untuk memutuskan di hari kemudian kelak, agama siapa yang direstuiNya dan agama siapa pula yang keliru, kemudian menyerahkan pula kepadanya penentuan akhir, siapa yang dianugerahi kedamaian dan surga dan siapa pula yang akan takut dan bersedih (Shihab, 2007: 216). Pluralisme tidak sama dengan pluralitas. Jika pluralisme telah Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │103

menjelma menjadi paham yang mengklaim “kebenaran” semua agama, maka pluralitas adalah kondisi ketika beragam agama wujud secara bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Solusi Islam atas pluralitas agama adalah dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing, tanpa menafikan identitas masing-masing agama. Penulis secara pribadi memaknai Pluralisme Agama adalah strategi politik tingkat tinggi yang dilakukan oleh kelompok tertentu, jelas muaranya adalah “kepentingan terselubung”, baik dalam masalah ekonomi, budaya, peradaban, sosial kemasyarakatan. Apalagi di satu sisi ada dikatomi Islam vis a vis Barat dewasa ini mencuat kembali sebagai akibat persepsi yang timbul dari pembagian dunia pasca Perang Dingin ke dalam Timur dan Barat. Dalam pencariannya terhadap lawan baru sejak tahun 1980an, Barat telah memilih untuk melawan Islam, dengan mengangkat kembali isu-isu budaya atau peradaban sebagai pemicu konflik (Esposito (et.al), 2002: 3). Di sisi lain, tesis Samuel P. Huntington dalam The Clash Civilizations-nya di awal tahun 1990-an yang mengatakan bahwa pasca hancurnya Komunisme, Islam adalah kekuatan utama yang akan menyaingi Amerika Serikat dalam menyebarkan peradabannya. Untuk masuk ke dunia Islam, di olahlah isu-isu krusial yang sangat sensitif di negara-negara Islam, seperti gender, Hak Asasi Manusia, demokrasi, terorisme. Hal ini terbukti pulah dengan pernyataannya bahwa dunia akan terjadi “benturan antar peradaban” secara umum adalah “benturan agama”, “agama” adalah pembentuk asasi jati diri dan identitas suatu peradaban (Huntinton, 1997: 47). Benturan dan konflik mengindikasikan ada hasrat yang tinggi dari kelompok tertentu untuk mengalahkan yang lain dan menguasai, atau dalam kasus-kasus tertentu adanya keinginan 104│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

untuk melenyapkan dan memusnakan. Sebagaimana agama dengan ragamnya, teistik dan non teistik, mempunyai karakteristik totality, maka peradaban pun memiliki karakteristik yang sama. Apalagi penyebaran paham pluralisme di Negaranegara seperti Indonesia di danai oleh sekelompok NGO-NGO dari Barat. Kesimpulannya isu-isu tersebut adalah “paketan” dan membuktikan hasil yang dicapai nantinya jelas sesuai dengan keinginan para penyokong dana. Disamping itu, terminologi Pluralisme di Barat dewasa ini, maknanya sudah mengalami perubahan yang sangat fundamental sehingga hampir sama persis dengan demokrasi. Jadi jelas ada “muatan politis”. Pluralitas agama merupakan sebuah keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri. Dalam kehidupan sehari-hari, kita temukan berbagai macam agama. Setiap agama pada hakikatnya merupakan tanggapan manusia terhadap wahyu Tuhan atau sesuatu yang dianggap sebagai Realitas Mutlak. Dengan agama, manusia dapat menyadari hakikat penciptaan dirinya ke dunia. Agama juga menawarkan jalan menuju kesalamatan dan menghidari penderitaan. Oleh karena itu, tak ada agama yang mengajarkan kejahatan, ia senatiasa mendorong manusia untuk berbuat kebaikan. Kemudian wacana pluralisme agama secara otomatis dan tak terhindarkan mesti bersinggungan dengan masalah HAM. Sebab secara ontologism, pluralisme tidak mungkin eksis tanpa satuansatuan individu atau masyarakat atau kelompok yang beragam dan masing-masing menikmati hak asasinya secara penuh. Namun sudah menjadi jamak berlaku, bahwa justru sistem pluralistic selalu rentan terhadap pelanggaran-pelanggaran HAM, kelompok minoritas agama - baik oleh pemerintah yang sedang berkuasa atau oleh kelompok mayoritas. Jika kita cermati dan perhatikan kondisi HAM dibawah Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │105

naungan tatanan-tatanan Pluralisme agama modern, sudah dapat dipastikan akan didapatkan bahwa HAM berada dalam ancaman yang sangat serius baik pada level teoritikal maupun praktikal. HAM disini dimaksudkan secara khusus, apa dikalangan para pakar dikenal dengan hak yang tidak mungkin dinafikan (Inalienable) dalam kondisi yang bagaimana pun, yaitu suatu hak yang dinikmati oleh manusia hanya karena ia dilahirkan sebagai manusia (by virtue of being born as human) hak-hak yang tanpanyaeksistensi kehidupan ini kurang, atau bahkan tidak , manusiawi sama sekali, khususnya yang berhubungan dengan hak kebebasan dan keamanan (right of freedom and security). Dan tanpa mengingkari berbagai segi positif sistem pluralistic atau demokrastik Barat modern dalam hal pemenuhan HAM, khususnya yang menyangkut hak-hak sipil, namun rekordnya dalam hal policy keagamannya yang bernama pluralisme agama dan yang menegaskan akan perhormatan semua agama dan kebebasan agama ternyata sangat berlawanan secara diametral, sehingga merupakan ancaman bagi kebebasan beragama itu sendiri (Malik Thoha, 2005: 171-172). Kelompok Pluralisme Agama dengan teologi pluralisnya mengajak setiap umat beragama untuk senantiasa berdialog dalam dialog antar agama dan antar iman. Menurut Adian Husaini (2002: 61) sebenarnya kaum pluralis tidak perlu mengadakan dialog antar agama sebab mereka sudah menganut teologi pluralis yang memandang bahwa semua agama adalah sama. Panganut teologi pluralis percaya bahwa Tuhan orang Kristen, orang Hindu, orang Yahudi, orang Budha, orang Shabi‟in adalah sama. Dapat dikatakan gagasan dialog antar agama yang digembar-gemborkan kaum pluralis adalah dialog ”bohong-bohongan” karena pada hakekatnya kaum pluralis sudah memiliki “agama” yang sama. Mereka sudah tidak 106│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

memperdulikan teologi agama asal dan menciptakan teologi baru. Bagi mereka, semua agama adalah sama. Tidak ada perbedaan yang perlu didialogkan lagi. Selain membuat ”agama baru”, kaum pluralis biasanya lebih suka bersikap seperti burung unta dalam melihat persoalan konflik antar agama. Mereka enggan menyentuh akar persoalan konflik antar agama yang sebenarnya. Seperti, kasus Situbondo (1996), kasus Tasikmalaya (1997), kasus Doulos di Cipayung (1999), kasus Mataram (2000), dan kasus Maluku (1999sekarang). Dalam kasus tersebut, yang lebih diramaikan adalah isu provokator dan aspek politis yang sifatnya lebih temporar. Aspek-aspek konflik antar umat beragama yang sebenarnya lebih bersifat mendasar dan laten justru diabaikan. Yang lebih menambah keruh dan mengalihkan persoalan adalah banyaknya komentar yang simplifikatif dan hipotesis, seperti pernyataan bahwa konflik-konflik antar agama yang terjadi adalah rekayasa elite-elite politik untuk memperkeruh suasana. Padahal potensi konflik itu sendiri sudah tertanam tajam di tengah masyarakat, terutama masalah kristenisasi (Husaini, 2002: 62-63). Dikalangan Kristen sendiri sudah lama terjadi “penolakan” terhadap masalah Pluralisme Agama karena mereka menyadari bahaya yang ditimbulkan. Pertemuan misionaris Kristen sedunia di Juresalem tahun 1928, mereka menetapkan bahwa pluralisme dan sekuralisme sebagai musuh besar Gereja dan misi Kristen dalam usaha untuk mengkristenkan “domba-domba yang tersesat”. Tetapi penolakan tersebut tidak bearti karena hal tersebut sudah menjadi isu fundamental dalam pencaturan politik dunia. Menurut Bernard Lewis bahwa sekularisasi dan liberalisasi sejak awal diajarkan kepada kaum Kristen baik dalam persepsi maupun praktis untuk memisahkan antara Tuhan dan kaisar dan dipahamkan tentang adanya tentang adanya Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │107

kewajiban yang berbeda antara keduanya (Husain, 2006: 28). Adapun di kalangan Protestan menganggap bahwa teologi yang dibangun oleh pluralisme Agama merupakan integrasi dari perbagai warna kebenaran dari semua agama, filsafat, dan budaya di dunia. Al-Kitab dipakai hanya sebagai salah satu sumber, itu pun dianggap sebagai mitos. Perpaduan multi kebenaran, akan melahirkan teologi Abu-Abu dan akan mencabut dan membuang semua unsur-unsur absolut yang diklaim oleh masing-masing agama. Teologi abu-abu (pluralisme) yang kehadirannya seperti srigala berbulu domba, seolah-olah menawarkan teologi yang sempurna, karena itu teologi ini mempersalahkan semua rumusan teologi tradisional yang selama ini dianut dan mengakar di kalangan Gereja. Namun pada hakekatnya pluralisme sedang menawarkan agama baru (Lumintang, 2004: 18-19). Anis Malik Thoha (2005b: vii-viii) menyimpulkan bahwa pluralisme Agama memiliki sejumlah kelemahan mendasar. Pertama, Kaum pluralis mengklaim bahwa pluralisme menjunjung tinggi dan mengajarkan toleransi, tapi justru mereka sendiri tidak toleran karena menafikan ”kebenaran ekslusif” sebuah agama. Mereka menafikan klaim ”paling benar sendiri” dalam sebuah agama, tapi justru faktanya ”kaum pluralis”-lah yang mengklaim dirinya paling benar sendiri dalam membuat dan memahami statement keagamaan (relegiousstatement). Kedua, adanya ”pemaksaan” nilai-nilai dan budaya Barat (westernisasi), terhadap negara-negara di belahan dunia bagian Timur, dengan berbagai bentuk dan cara, dari embargo ekonomi sampai penggunaan senjata dan pengerahan militer secara besarbesaran seperti yang tengah menimpa Irak, Suriah, Afghanistan, dan lain sebagainya. Jadi sebenarnya mereka tidak toleran. Mereka merelatifkan tuhan-tuhan yang dianggap absolut oleh 108│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

kelompok-kelompok lain seperti Allah, Trinitas, Yahweh, Trimurti dan lain sebagainya. Namun disaat yang sama, ”secara tanpa sadar” mereka juga mengklaim bahwa hanya tuhan mereka sendiri yang absolut. Tuhan yang absolut menurut mereka adalah ”The Real”. Jika dicermati, Pluralisme agama adalah agama baru, dimana sebagai agama dia punya tuhan sendiri, nabi, kitab suci dan ritual keagamaan sendiri. Dengan spirit tidak membenarkan penganut atau pemeluk agama lain untuk menjadi dirinya sendiri, atau mengekpresikan jati dirinya secara utuh, seperti mengenakan simbol-simbol keagamaan tradisional. Jadi, wacana pluralisme sebenarnya merupakan upaya penyeragaman (uniformality) atau menyeragamkan segala perbedaan dan keberagaman agama. Ini secara ontologis bertentangan dengan sunatullah yang pada gilirannya akan mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Karena itu, aneh sekali, jika gagasan ini dikembangkan dan diapresiasi oleh banyak ulama dan intelektual Islam termasuk di Indonesia (Malik Thoha, 2005b: xiii). Istilah pluralisme agama sendiri, selama ini difahami dan didesain dalam bingkai sekuler, liberal, dan logika Barat yang menampik hal-hal yang berbau metafisis. Ini adalah akar dari semua masalah. Agama dianggap sebagai respons manusia, atau sering pula disebut sebagai pengalaman keagamaan. Kemungkinan datangnya agama dari Tuhan atau Dzat yang Maha Agung dinafikan mentah-mentah. Ketika para pengusung ide pluralis mendefinisikan konsep pengalaman keagamaan sebagai agama itu sendiri. Lahirlah kesimpulan akan persamaan semua agama secara penuh tanpa ada yang lebih benar daripada yang lain. Sebuah kesimpulan yang justru menyulitkan para penggagas dan penganjurnya, terutama yang beragama Kristen, karena muncul pertanyaan: Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │109

apakah Kristen sama persis dengan agama-agama primitif dan paganis (penyembah berhala) yang kanibalistik? Klaim ini juga mengerangkeng agama sehingga hanya boleh beroperasi di wilayah yang sangat sempit dan privat–yakni hubungan manusia dengan Tuhannya. Muncul pertanyaan lagi, apakah hubungan pribadi dengan sesuatu yang sakral dan metafisikal ini mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia, baik dalam kehidupan individual maupun sosial, atau tidak? Fakta-fakta di atas menguatkan komprehensivitas, inklusivitas, dan totalitas agama. Cakupannya tidak hanya terbatas pada apa yang disebut institusi agama, melainkan juga seluruh falsafah hidup yang dikenal manusia. Otomatis, konsep dikotomisasi realitas: agama-negara, sakral-profan, dan individupublik, menjadi tak tepat dan tak akurat. Alhasil, konsep pluralisme yang menganggap semua agama sama saja, tak mungkin bisa dipertahankan. Juga tak mungkin bisa dipraktikkan dalam kehidupan nyata tanpa memberangus HAM.

110│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

A. Pengertian Positivisme Istilah Positif berasal dari bahasa Yunani poenere artinya ditetapkan. Kata ‟Positivisme‟ (positivisme) itu sendiri pertama kali digunakan untuk menggambarkan suatu maksud dari sebuah pemikiran yang menyatakan bahwa hukum adalah suatu yang pasti, tegas dan nyata (positive/posited), yang jelas membedakan dengan nilai-nilai berasal dari Tuhan dan moral yang bersifat abstrak (Erwin dan Amrullah Arpan, 2007: 23). Positivisme adalah suatu sistem filsafat yang dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857), yang mengakui hanya faktafakta positif dan fenomena-fenomena yang bisa diobservasi, dengan hubungan obyektif fakta-fakta ini dan hukum-hukum yang menentukannya, meninggalkan semua penyelidikan menjadi sebab-sebab atas asal-usul tertinggi (Muslehuddin, 1979: 33). Pada tahap selanjutnya aliran positivisme memunculkan teori positivisme hukum (legal positivisme). Menurut Hart seperti dikutip Satjipto Rahardjo (2000: 267) positivisme hukum adalah a). Hukum adalah perintah, b). Analisis terhadap konsep-konsep hukum adalah usaha yang berharga untuk dilakukan. Analisis yang demikian ini berbeda dari studi sosiologis dan historis serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis, c). Keputusankeputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturanperaturan yang sudah ada lebih dulu, tanpa perlu menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebijakan serta moralitas, d).

Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │111

Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktiaan atau pengujian, e). Hukum seperti diundangkan, ditetapkan harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan, yang dinginkan. Positivisme hukum merupakan tesis yang mensentralisir bahwa eksistensi dan isi dari aturan hukum hanya akan bergantung pada “fakta masyarakat”, bukan pada nilai-nilai (moral) abstrak yang mengendap di dalam dan di belakang kaidah-kaidah hukum itu sendiri lepas dari soal apa kebenaran ini dapat dijustifikasi (diinvestigasi) atau tidak, atau apa pernyataan ini dapat dikonfirmasi atau tidak sehubungan kriteria tertentu yang dapat diasumsikan, itu semata-mata merupakan kompetensi dari tur-tur yang berada di luar pekerjaan ini (Bakir, 2007: 274). Positivisme menganut dua prinsip dasar yang berbunyi: Pertama, hanyalah hukum positif adalah hukum; kedua, walaupun isi hukum ditolak, misalnya karena dianggap melawan prinsip-prinsip moral, namun hukum tetap berlaku. Dalam arti lain, setiap undang-undang yang terjadi sesuai dengan ketentuanketentuan hukum berlaku dan sah apapun isinya (Suseno, 2001: 100). Jadi positivisme hukum secara umum berpegang kepada dua kondisi: 1). Hanya hukum positiflah yang dapat diidentifikasikan sebagai aturan hukum dan dengan hukum positif kaum positivis mengartikan; 2). Serangkaian “kaidah-prilaku” (kaidah kemasyarakatan), yang dimapankan (dikonseptualisasi) dan disistematisasi dengan berlandaskan hukum-hukum penalaran, yang kepatuhannya dapat dipaksakan secara sah di bawah suatu “otoritas publik” (penguasa negara) (Bakir, 2007: 275).

112│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

B. Aliran-aliran Positivisme Hukum Aliran hukum positif berangkat dari pandangan bahwa hukum tidak berasal dari Tuhan atau alam, melainkan dari manusia sendiri berdasarkan kemampuannya untuk merumuskan ketentuan hukum yang sumbernya dapat saja digali dari nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Hukum lahir untuk mengikat masyarakat karena adanya perjanjian sosial (social contract), manusia sendirilah yang memang menghendaki. Aliran hukum positif memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral. Dalam kacamata positivis, tiada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivitas legalisme menganggap bahwa hukum identik dengan undangundang. Tidak ada hukum di luar undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang (Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2001: 58). Pengaruh positivis modern telah memasuki segala sektor keilmuan. Ditandai dengan kebangkitan semangat Eropa, melalui Renaisance, sebagai abad pencerahan yang diyakini akan mampu membawa harapan melalui ilmu pengetahuan pada orde peradaban yang dapat memecahkan segala persoalan hidup manusia. Bersamaan dengan itu spiritualisme menjadi semakin memudar karena keberadaannya dianggap sudah tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan hidup yang nyata. Implikasi semangat positivis telah membawa pembaharuan di berbagai bidang ilmu pengetahuan sosial, politik, ekonomi, hukum dan bidang-bidang lainnya. Hukum positif muncul bersamaan dengan berkembangnya tradisi keilmuan yang mampu membuka cakrawala baru dalam sejarah umat manusia yang semula terselubung cara-cara pemahaman tradisional. Hukum positif mengajarkan bahwa hukum positiflah yang mengatur dan berlaku dibangun di atas Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │113

norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang di dalamnya terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara kebijaksanaan dengan etika dan mengindentikkan antara keadilan dengan legalitas yang didasarkan pada norma yuridis yang telah ditetapkan oleh otoritas negara yang didalam terdapat kecenderungan untuk memisahkan antara kebijaksanaan dengan moral dan mengindentikkan antara keadilan dengan legalitas yang di dasarkan atas aturan-aturan yang ditetapkan oleh penguasa negara. Positivisme terbagi menjadi beberapa aliran antara lain; Pertama,analytical legal positivisme. Tokoh aliran hukum positif ini adalah John Austin, seorang ahli hukum Inggris, menyatakan bahwa satu-satunya sumber hukum adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara. Sedangkan sumber-sumber lain hanyalah sebagai sumber yang lebih rendah. Sumber hukum itu adalah pembuatannya langsung, yaitu pihak yang berdaulat atau badan perundang-undangan yang tertinggi, dan semua hukum dialirkan dari sumber yang sama itu. Hukum yang bersumber dari situ harus ditaati tanpa syarat, sekalipun terang dirasakan tidak adil (Erwin dan Amrullah Arpan, 2007: 25). Menurut Austin hukum adalah suatu aturan yang ditentukan untuk membimbing makhluk berakal oleh makhluk berakal yang telah memiliki kekuatan untuk mengalahkannya. Karenanya, hukum yang dipisahkan dari keadilan dan sebagai ganti disandarkan pada ide-ide baik dan buruk, dilandaskan pada kekuasaan yang tertinggi (Muslehuddin, 1979: 35). Hukum adalah perintah penguasaan negara. Hakikat hukum menurut John Austin terletak pada unsur perintah. Hukum dipandang sebagai suatu sistem yang tetap, logis, dan tertutup. Karena itu, pihak penguasalah yang menentukan apa yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Kekuasaan dari penguasa dapat 114│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

memberlakukan hukum dengan cara menakuti dan mengarahkan tingkah laku orang lain ke arah yang diinginkan. Austin membagi hukum itu menjadi dua bagian, pertama, Hukum yang diciptakan oleh Tuhan untuk manusia. Dalam ajaran Austin Law of God tidak mempunyai arti juridis, yang penting jika dibandingkan dengan misalnya filsafat Skolastik yang berpendapat adanya hubungan organik antara hukum kramat (Divine Law) dan hukum buatan manusia (Human Law). Pada sistem positivisme, Austin tak mengakui adanya hubungan antara hukum dengan ”apa yang baik” (goodness) atau dengan ”apa yang buruk” (badness), kiranya hukum ketuhanan hanya mempunyai fungsi sebagai ”wadah” dari kepercayaan Austin yang didasarkan pada kegunaan. Prinsip ”kegunaan” adalah prinsip hukum ketuhanan. Prinsip ini tidak hanya seharusnya memberi pedoman, akan tetapi yang pada kenyataannya memberi bimbingan pada pembuat undangundang (Soetiksno, 2008: 55-56). Kedua, hukum yang disusun dan dibuat oleh manusia untuk manusia (Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2001: 58). Hukum ini mengandung di dalamnya suatu perintah, sanksi kewajiban dan kedaulatan. Ketentuan-ketentuan yang tidak memenuhi unsurunsur tersebut tidak dapat dikatakan sebagai positive law, hanya merupakan positive morality. Unsur perintah ini bearti bahwa pertama satu pihak menghendaki agar orang lain melakukan kehendaknya, kedua pihak yang diperintah akan mengalami penderitaan jika perintah itu tidak dijalankan atau ditaati, ketiga, perintah itu adalah pembedaan kewajiban terhadap yang diperintah, keempat, hal ketiga hanya dapat terlaksana jika yang memerintah itu adalah pihak yang berdaulat. Yang berdaulat ini mungkin a souvereign person atau a souvereign body of persons (Rasjidi dan Ira Rasjidi, 2001: 59). Pengertian perintah dari Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │115

penguasa yang berdaulat tersebut dengan disertai sanksi. Sanksi ini dalam terminologi Austin adalah semata-mata sebagai suatu bentuk membebankan penderitaan (McCouberly & White, 1999: 14). Sanksi ini juga dikatakan sebagai memberikan rasa malu bagi setiap kejahatan yang terjadi (Salman, 1988: 128). Hukum yang disusun dan dibuat manusia oleh Austin dibedakan menjadi tiga macam: Pertama, hukum yang dengan tepat disebut “hukum” (laws properly so called positive law). Misalnya hukum yang dibuat oleh warga negara sebagai perorangan (privat persons) guna melaksanakan hak-hak mereka (legal right) yang diberikan kepadanya. Contoh hak-hak tersebut misalnya, hak-hak seorang wali terhadap orang yang diserahkan kepadanya untuk diasuh. Dasar hukum dari hak-hak tersebut pada hakekatnya didapat secara indirek (tidak langsung) dari seorang penguasa yang lebih tinggi yang memberikan hak-hak tersebut kepada si wali. Maka itu menurut Austin tiap-tiap hak perorangan yang dapat dipaksakan berdasarkan hukum, termasuk pada ketegori laws properly so called (Soetiksno, 2008: 56). Kedua, hukum yang tidak dengan tepat dinamakan “hukum” (laws improperly so called) adalah aturan-aturan yang tak dibuat oleh seorang penguasa politik, baik secara langsung maupun tak langsung. Dalam kategori ini termasuk bermacammacam ketentuan-ketentuan misalnya, ketentuan-ketentuan yang dibuat oleh perkumpulan-perkumpulan, ketentuan-ketentuan mode, ketentuan-ketentuan ilmu kealaman (laws of natural science) dan ketentuan-ketentuan yang lazim dinamakan hukum internasional (the rule of so called international law). Ketentuanketentuan tersebut oleh Austin dinamakan Positive morality (Ketentuan-ketentuan kesusilaan positif) (Soetiksno, 2008: 5657). 116│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Ketiga,hukum yang dibuat oleh penguasa politik yang sedang memegang kekuasaan atas orang-orang yang secara politis ada di bawah kekuasaannya (Laws properly so called political subordinates). Laws properly so called adalah semacam perintah (species of commands) karena Laws properly so called adalah perintah, maka tiap Laws properly so called berasal dari satu sumber tertentu. Jika satu perintah dikeluarkan atau diberitahukan, maka ada pihak yang menghendaki sesuatu yang harus dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pihak lain; dan pihak terakhir ini diancam dengan sesuatu yang tidak enak (Obnoxious to an evil) yang akan dibebankan kepadanya, jika dia tidak menuruti apa yang dikehendaki oleh pihak pertama (Soetiksno, 2008: 57). Karakteristik hukum positif yang terpenting menurut teori Austin terletak pada karakter imperatifnya. Hukum dipahami sebagai suatu perintah dari penguasa. Akan tetapi, memang tidak semua perintah oleh Austin dianggap sebagai hukum. Menurut Austin, sebuah perintah yang memenuhi syarat sebagai sebuah hukum tidak harus keluar langsung dari sebuah badan legislatif suatu negara, semisal Parlemen di Inggris. Ia bisa saja keluar dari sebuah badan resmi (pemerintah) di mana otoritas pembuatan hukum telah didelegasikan oleh penguasa. Menurut Austin, hukum buatan hakim adalah hukum positif dalam arti yang sebenarnya, karena aturan-aturan yang dibuat oleh hakim melalui kekuatan hukum mereka berupa kekuasaan yang diberikan oleh negara (Muslehuddin, 1979: 36). Kedua,Kalsen‟s Pure Theory of law. Tokoh aliran ini adalah Hans Kelsen, ajarannya Reine Rechtslehre merupakan satu ajaran umum tentang hukum (Algemeine Rechtslehre). Tugasnya adalah menentukan metode khusus guna mempelajari dan mengetahui dasar-dasar fundamental dari segala macam hukum; bidangnya tidak terikat pada satu sistem hukum negara tertentu (Soetiksno, Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │117

2008: 59). Ajaran murni tentang hukum tidak boleh dicampuri oleh masalah-masalah politik, kesusilaan, sejarah, kemasyarakatan dan sebagainya. Juga tak boleh dicampuri oleh masalah keadilan; hukum dan keadilan adalah dua konsep yang berbeda. Hukum yang dipisahkan dari keadilan adalah hukum positif (Kelsen, 1961: 5). Teori hukum murni, menurut Kelsen, adalah sebuah teori hukum positif. Teori ini berusaha menjawab pertanyaan “apa hukum itu” tetapi bukan pertanyaan “apa itu hukum sebenarnya”. Teori ini mengkonsentrasikan diri pada hukum semata, dan berusaha membebaskan ilmu pengetahuan hukum dari campur tangan ilmu pengetahuan asing seperti Psikologi dan Moral (Meslehuddin, 1979: 37). Hukum adalah tata aturan (order) sebagai suatu sistem aturan-aturan (rules) tentang perilaku manusia. Dengan demikian hukum tidak menunjuk pada satu aturan tunggal (rule), tetapi seperangkat aturan (rules) yang memiliki suatu kesatuan sehingga dapat dipahami sebagai suatu sistem. Konsekuensinya, tidak mungkin memahami hukum jika memperhatikan satu aturan saja. Pernyataan bahwa hukum adalah suatu tata aturan tentang perilaku manusia tidak bearti bahwa tata hukum (legal order) hanya terkait dengan perilaku manusia, tetapi juga dengan kondisi tertentu yang terkait dengan perilaku manusia (Kelsen, 1961: 3). Hukum juga merupakan suatu sistem yang dibagi ke dalam norma-norma pemaksaan; esensinya, merupakan sebuah tatanan memaksa yang datang dari luar (Meslehuddin, 1979: 37-38). Maka satu ketertiban hukum merupakan satu ketertiban paksa (dwangorde); tindakan-tindakan tertentu tak diperkenankan, dan jika tindakan itu terjadi, maka yang melakukan tindakan tersebut akan dikenakan sanksi. Karena prinsip dari aturan hukum adalah 118│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

jika dilakukan tindakan yang berlawanan dengan hukum, maka akan dikenakan sanksi sebagai akibat yang dari tindakan yang berlawanan dengan hukum tadi. Akibat dari tindakan yang berlawanan dengan hukum tadi hubungannya dengan tindakan tersebut adalah tidak sama dengan misalnya hubungan antara pemanasan sebatang besi dengan akibatnya bahwa besi tersebut menjadi lebih panjang, jika tak menurut hukum causalitas (Soetiksno, 2008: 60). Tindakan para pejabat dalam memberi hukuman pada pelanggar tidak hanya merupakan satu pelaksanaan hukum (application of law) akan tetapi juga merupakan satu bagian dari penciptaan hukum (Soetiksno, 2008: 65). Karena hukum adalah suatu perintah (command) yang sudah semestinya akan dipatuhi dan diinginkan oleh setiap orang untuk berbuat sesuai dengan aturan hukum tersebut (Erwin dan Amrullah Arpan, 2007: 32). The Pure Theory of Law menolak menjadi kajian metafisis tentang hukum. Teori ini mencari dasar-dasar hukum sebagai landasan validitas, tidak pada prinsip-prinsip meta yuridis, tetapi melalui hipotesis yuridis, yaitu suatu norma dasar yang dibangun dengan analisis logis berdasarkan cara berfikir yuridis aktual. The Pure Theory of Law berbeda dengan analitycal jurisprudence dalam hal the pure theory of law lebih konsisten menggunakan metodenya terkait dengan masalah konsep-konsep dasar, norma hukum, hak hukum, kewajiban hukum, dan hubungan antara Negara dan hukum (Kelsen, 1961: xiv-xvi). Aliran hukum positivisme sangat mengagungkan hukum tertulis, sehingga aliran ini beranggapan bahwa tidak ada norma hukum di luar hukum positif, semua persoalan dalam masyarakat diatur dalam hukum tertulis. Menurut W. Friedmann seperti dipaparkan Erwin dan Amrullah Arpan (2007: 24-25) secara umum pandangan aliran positivisme dapat Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │119

dirumuskan sebagai: a), hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan yang sah; b), hanya fakta yang dapat menjadi obyek pengetahuan, c), metode filsafat tidak berbeda dari metode ilmiah,d), tugas filsafat adalah menemukan asas umum yang berlaku bagi semua ilmu dan menggunakan asas-asas ini sebagai pedoman bagi perilaku manusia dan menjadi landasan bagi organisasi sosial. e), Semua interperetasi tentang dunia harus didasarkan semata-mata atas pengalaman (empiris – verifikatif). f), bertitik tolak pada ilmu-ilmu alam; terakhir, berusaha memperoleh suatu pandangan tentang dunia fenomena, baik di dunia fisik maupun dunia manusia, melalui aplikasi metodemetode dan perluasan jangkauan hasil ilmu-ilmu alam. C. Bahaya Faham Positivisme Hukum Positivisme merupakan bagian dari kerangka berfikir materialisme (Thalib, 2007: 114), yang menggunakan tolak ukur kebenaran yang rasional, empiris, eksperimental dan terukur. Sesuatu dikatakan benar apabila memenuhi kriteria ini. Jelas, ukuran-ukuran ini tidak seluruhnya dapat digunakan untuk menguji kebenaran agama. Misalnya, bagaimana menyakini adanya surga dan neraka padahal secara empiris dan eksprimental tidak dapat dibuktikan keberadaannya (Lidinillah, dkk, 2006: 96). Positivisme hukum sebagai salah satu hukum Barat Modern sangat berbahaya bagi umat Islam karena memandang perlu memisahkan secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan hukum yang seharusnya, antara das sein dan das sollen). Dalam kacamata positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is a command of the lawgivers). Hukum adalah perintah yang memaksa, yang dapat saja bijaksana dan adil, atau sebaliknya (Lyons, 1983: 7-8). 120│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

John Austin menyatakan bahwa hukum dan moral merupakan dua bidang terpisah dan harus dipisahkan. Hukum adalah sistem norma-norma yang ditetapkan oleh penguasa yang sah dengan cara yang sah juga. Hukum tidak ditaati karena dinilai baik, melainkan karena telah ditetapkan oleh otoritas yang sah (Suseno, 2001: 101). Sedangkan moralitas merupakan asas-asas prilaku subyektif yang dikondisikan dan ditentukan oleh beberapa faktor, seperti misalnya: lingkungan masyarakat, pendapat pribadi seseorang, pandangan masyarakat pada umumnya, pedoman hidup keagamaan yang diberlakukan di dalam ruang dan waktu tertentu, ditentukan oleh kondisi-kondisi historis serta ekonomis, dan sebagainya (Sumaryono, 2000: 185). Maka moral secara otomatis harus dipisahkan dari hukum dan negara tidak berhak untuk mengaturnya dalam sebuah perundang-undangan. Menurut Positivisme problem moral akan lebih optimal ketika menjadi bidang garapan norma adat, agama dan kesusilaan. Pembinaan secara kultural lebih memiliki spirit pembangunan moralitas (moralitas construction) ketimbang pendekatan hukum formal yang lebih bersikap represif dan kaku. Peranan aktif dari agamawan, budayawan dan tokoh masyarakat benar-benar diharapkan dalam menjaga dan membangun moralitas bangsa yang telah tergeser oleh budaya populer yang dilahirkan oleh globalisasi. Kepekaan budaya (cultural consciousness), dan kepekaan moral (moral consciousness) adalah berniat tulus menyelamatkan akhlak generasi bangsa tanpa ada kepentingan politik apapun. Maka positivisme hukum sampai kepada kesimpulan bahwa negara tidak berwenang untuk melarang perbuatan hanya karena dinilai asusila. Negara tidak berhak untuk menghukum atau mati-matian mencegah hubungan seks antara seorang pria dan Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │121

seorang wanita yang tidak terikat dalam perkawinan kalau mereka melakukannya secara tertutup dan pribadi. Tetapi kalau nilai-nilai budaya menuntut hal itu, negara dapat melarang penyewaan kamar kepada sepasang pria dan wanita yang bukan suami–istri bukan melarang hubungan seks yang mereka lakukan (Suseno, 2001: 353-354). Secara umum agama biasa dipahami sebagai hal yang membicarakan masalah-masalah spiritual. Lantaran pemahaman ini, antara agama dan hukum sering dianggap tidak sejalan. Hukum ada untuk memenuhi kebutuhan sosial dan karenanya mengabdi kepada masyarakat, sedangkan agama adalah untuk mengontrol masyarakat dan mengekang agar tidak menyimpang dari jalurnya, yaitu norma-norma moral yang ditentukan oleh agama itu sendiri. Agama menekankan moralitas, perbedaan antara benar dan salah, baik dan buruk, sedangkan hukum duniawi memfokuskan diri pada kesejahteraan material dan tidak terlalu memperhatikan nilai moral. Namun Islam sendiri, secara umum sangat berbeda dari agama-agama lain karena Islam tidak mengkhotbahkan spiritual yang mandul (Muslehuddin, 1979: 90). Islam secara hakiki tidak memisahkan hukum dan moral, karena moral adalah inti hukum. Sasaran akhir agama adalah memperbaiki dan menyempurnakan moral manusia (Usman, 2002: 80). Bahkan para ahli hukum seperti Muhammad Khalid Mas'ud seperti dikatakan Abdul Manan (2007: 58) menyatakan bahwa hukum Islam itu adalah a sistem of ethical or moral rules. Allah menurunkan syariat (hukum) Islam untuk mengatur kehidupan manusia, baik selaku pribadi maupun selaku anggota masyarakat. Hukum Islam melarang perbuatan yang pada dasarnya merusak kehidupan manusia, sekalipun perbuatan itu disenangi oleh manusia atau sekalipun umpamanya perbuatan 122│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

itu dilakukan hanya oleh seseorang tanpa merugikan orang lain, seperti seorang minum minuman yang memabukkan (khamr). Dalam pandangan Islam perbuatan orang itu tetap dilarang, karena dapat merusak akalnya yang harusnya ia pelihara, walaupun ia membeli minuman tersebut dengan uangnya sendiri dan diminum dirumahnya tanpa mengganggu orang lain. Demikian juga perbuatan hubungan seksual di luar nikah (zina), perbuatan tersebut mutlak dilarang siapapun yang melakukannya, walaupun mereka melakukannya itu dengan suka sama suka, tanpa paksaan dan tidak merugikan orang lain (Usman, 2002: 65). Masyarakat Islam adalah masyarakat yang terorganisasi dengan baik. Masyarakat Islam secara ideal harus sesuai dengan kitab hukum, sehingga tidak ada perubahan sosial yang mengacaukan atau karakter tidak bermoral dalam masyarakat Islam yang harus berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip moralitas seperti yang dinyatakan oleh Islam. Jadi masyarakat Islam sangat berbeda dengan masyarakat modern yang hampir berbentuk liberal, yang merefleksikan bermacam-macam nilai etika dan membuka pintu lebar-lebar bagi semua bentuk keburukan (Meslehuddin, 1979: 91-92). Taqiyuddin An-Nabhani (1998: 16) menyatakan bahwa menurut Islam hubungan antara laki-laki dan perempuan adalah hubungan yang bertujuan untuk pelestarian jenis manusia (keturunan), bukan pandangan seksual semata. Oleh karenanya, Islam menganggap adanya pemikiran-pemikiran seksual ditengah-tengah masyarakat dapat membawa bahaya. Dan menganggap kenyataan fisik yang dapat membangkitkan nafsu seksual merupakan unsur yang dapat membawa kepada kebinasaan. Berdasarkan hal tersebut, maka Islam melarang khalwat antara laki-laki dan perempuan, tabarruj dan Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │123

menampakkan perhiasan (aurat wanita) kepada laki-laki asing. Islam juga melarang laki-laki dan perempuan saling memandang yang disertai dengan syahwat. Membatasi kerjasama antara lakilaki dan perempuan dalam kehidupan umum, serta menentukan hubungan seksual antara laki-laki dan perempuan hanya dalam dua keadaan, yaitu melalui pernikahan dan terhadap hamba sahaya. Kedudukan Islam sehubungan dengan kaum muslimin adalah sebagai syariat yang di dalamnya ada perundangundangan. Dengan kata lain, sebagai agama yang di dalamnya ada undang-undang, maka kaum muslim diwajibkan menjalankan semua hukumnya, baik yang berkaitan dengan hubungan mereka dengan Allah yakni ibadah, hubungan mereka dengan diri mereka yakni akhlak dan makanan, atau yang berhubungan dengan sesama manusia yakni muamalat dan uqubat (An-Nabhani, 2009: 173). Dengan demikian Islam merupakan agama yang memberi pedoman hidup kepada manusia secara menyeluruh, meliputi segala aspek kehidupannya menuju tercapainya kebahagiaan hidup rohani dan jasmani, baik dalam kehidupan individunya, maupun dalam kehidupan masyaraktnya. Karena Tujuan Allah SWT. mensyariatkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Maka dalam pandangan Islam, agama bukan saja boleh melakukan intervensi terhadap urusan negara. Lebih jauh dari itu, Islam harus menjadi dasar negara. Karena itu, negara harus menjadikan al-Qur‟an dan Sunnah sebagai sumber hukum. Berdasarkan hal ini, hukum Islam harus mengatur segala aspek kehidupan. Bukan hanya masalah individual, moral, atau ritual. Tapi juga aspek ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Namun 124│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

dalam masalah ini Islam tidak bermaksud untuk menghancurkan kebebasan individu tetapi mengontrolnya demi kepentingan masyarakat yang terdiri dari individu itu sendiri, dan karenanya juga melindungi kepentingannya yang sah (Muslehuddin, 1979: 106). Bahaya lain dari positivisme hukum adalah bahwa jika masyarakat tidak keberatan dengan budaya pornografi dan pornoaksi, maka nilai itu dianggap sebagai sebuah kebenaran. Orang yang menentang tradisi masyarakat tersebut bisa dikatakan manusia tidak beradab. Begitu juga suatu masyarakat menerima praktik pelacuran, perjudian, atau minuman keras, maka itu dianggap sebagai nilai yang benar dan beradab. Negara-negara Eropa abad pertengahan yang menganut prinsip hukum positif dan hukum Tuhan (natural law theory) sebenarnya pernah menerapkan penyatuan hukum dan moral seperti konsep Islam, dalam bentuk berusaha mewujudkan dua tujuan negara sekaligus, yakni menciptakan perdamaian (pax) dan keutamaan pribadi (virtus). Sehingga negara abad pertengahan tidak hanya punya wewenang membuat hukum, tapi juga mendidik dan mewajibkan warganya menjadi saleh dan bermoral. Dengan taat terhadap hukum bukan cuma perdamaian umum dapat dicapai, tapi orang-orang juga dibantu untuk menjadi saleh dan baik secara moral. Negara dengan monopoli atas kebenaran tersebut menjadi totaliter, otoriter, dan intoleran. Kegagalan inilah yang kemudian menjadikan negara-negara Eropa memandang bahwa spiritualitas dengan segala aspeknya seperti keagamaan, etika, dan moral diletakkan sebagai bagian yang terpisah dari satu kesatuan pembangunan peradaban modern. Sehingga muncul pemahaman bahwa agama adalah urusan privat karena agama semata-mata membicarakan urusan spiritual, otoriter karena memaksakan otoritasnya kepada Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │125

masyarakat untuk mengontrolnya dan tidak membiarkannya menyimpang dari norma-norma yang ditentukan oleh agama. Sedangkan hukum ada untuk memenuhi kebutuhan sosial, dan karenanya mengabdi kepada masyarakat (Muslehuddin, 1980: 90). Kehidupan moral hanyalah satu aspek dari kehidupan manusia sebagai problem solver. Moral merupakan hal yang harus dilakukan manusia. Moral menunjuk kualitas dan martabat kepribadian manusia. Tingkat moral merupakan harkat dan martabat manusia secara normatif. Pribadi yang dapat menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai kebajikan, serta menegakkan hak asasi yang seimbang dengan kewajiban asasi adalah contoh manusia yang memiliki kesadaran moral yang memadai. Syariat Islam merupakan hukum yang given dari Tuhan, yang tidak memisahkan antara moralitas dan hukum dan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Syariat Islam bersumber kepada al-Qur‟an dan sunnah, sementara konsesus dan nalar manusia merupakan sumber pelengkap (supplement). Syariat Islam merupakan fenomena obyektif di luar pemikiran dan nalar manusia, maka cenderung bersifat statis tidak dapat dirubah oleh manusia karena terjadinya perubahan perilaku dan budaya masyarakat. Maka dalam Islam negara perlu mengintervensi perilaku moral masyarakat, agar selalu sejalan dengan aturan-aturan Syariat Islam dan bertujuan untuk melindungi kepentingan manusia, baik secara pribadi maupun masyarakat.

126│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

A. Pengertian Feminisme Beberapa dekade terakhir ini istilah feminisme telah memasuki perbendaharaan di setiap ruang diskusi dan tulisan sekitar perubahan sosial khususnya di negara berkembang, termasuk Indonesia. Hampir semua uraian tentang program sosial di kalangan organisasi non pemerintah, isu kesetaraan gender yang menjadi agenda gerakan feminisme tidak luput dari perbincangan. Padahal rumusan perjuangan kesetaraan gender sendiri masih diperdebatkan sehingga menimbulkan prokontra yang berkepanjangan. Secara etimologi, feminisme berasal dari bahasa Inggris female, femina yang artinya perempuan. Kata female/femina selanjutnya dikembangkan menjadi kata feminism yang berarti „percaya bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki‟. Pelakunya disebut feminist yang berarti pendukung feminism (Willy dan Darsyah, 1997: 185). Sedangkan secara terminologi, sebagaimana disebutkan oleh Sue Morgan (2002: 64) yaitu suatu gerakan dan kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan mengalami diskriminasi dan usaha untuk menghentikan diskriminasi itu. Dengan pengertian ini, menurut Mansour Faqih (1996: 38) kaum feminis tidak harus seorang perempuan, dan boleh jadi seorang laki-laki. Sebaliknya, seorang perempuan juga tidak mesti disebut sebagai feminis jika tidak ikut terlibat dalam gerakan anti

Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │127

diskriminasi perempuan. Feminisme bukanlah fenomena tunggal atau monolitik, tetapi mencakup spektrum perspektif politik atau ideologis yang luas. Oleh karenanya, harus dimulai dengan definisi inklusif seperti ditawarkan oleh David Bouchier (1983: 2) yang mendefinisikan feminisme dengan berbagai bentuk perlawanan terhadap beragam bentuk diskriminasi sosial, personal atau ekonomi di mana perempuan sebagai pihak yang menderita karena jenis kelaminnya. Berdasarkan definisi Boucheir pula mengindikasikan kemungkinan laki-laki sebagai patner simpatik dalam persoalan feminis, dan tidak dapat menganggap bahwa setiap sarjana perempuan, berdasar atas jenis kelaminnya secara otomatis adalah seorang feminis. Patriarkhi sebagai objek kritik feminisme didefinisikan sebagai sistem kekuatan dan dominasi laki-laki terhadap perempuan yang terinstitusionalkan, termasuk laki-laki dan dunia natural secara keseluruhan (Morgan, 2002: 65). „Sekisme‟ adalah ideologi patriarkhi, serangkaian keyakinan yang menopang dan memperkuat pendapat tentang supremasi lakilaki. Akhirnya patut dicatat tentang pembedaan yang dibuat feminis antara seks dan gender, di mana seks mengacu pada sifat secara biologis, dan gender adalah persepsi dan harapan-harapan kultural tentang apa yang seharusnya bagi laki-laki dan perempuan (Lips, 1993: 4). Pemakaian gender dalam wacana feminisme pertama kali dicetuskan oleh Anne Oakly (1972: 12) yang memandang bahwa gender adalah perbedaan yang bukan biologis (bukan kodrat Tuhan). Perbedaan biologis (jenis kelamin) adalah kodrat Tuhan, karenanya secara permanen berbeda. Sementara gender adalah perbedaan yang bukan kodrat atau bukan ciptaan Tuhan (behavioral defferences), melainkan sifat yang melekat pada laki-laki 128│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

dan perempuan yang dikonstruksi melalui proses sosial (social constructed) dan budaya, bahkan disosialisasikan, diperkuat, dan didukung oleh tafsiran keagamaan maupun peraturan perundang-undangan dalam sebuah negara. Perbedaan tersebut akhirnya dianggap sebagai yang di-kodrat-kan Tuhan, seperti bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki-laki, kebalikannya; dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dan sifat-sifat tersebut pada suatu waktu dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, sementara ada juga perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan sifat itu bisa terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat. Sedangkan jenis kelamin (sex) selamanya tidak akan berubah, kecuali melalui operasi kelamin. Perbedaan biologis yang selanjutnya melahirkan peran gender (gender role) sesungguhnya tidak menimbulkan masalah, sehingga tidak perlu digugat. Sekadar contoh, secara biologis kaum perempuan dengan organ reproduksinya bisa hamil, melahirkan dan menyusui dan kemudian mempunyai peran gender sebagai perawat, pengasuh dan pendidik anak. Yang menjadi masalah dan perlu digugat oleh mereka yang menggunakan “analisis gender” adalah struktur “ketidakadilan” yang ditimbulkan oleh “peran gender” tersebut. Menurut beberapa hasil studi sebagaimana dikutip Mansour Faqih (1996: 46-47), banyak manifestasi ketidakadilan yang dapat dilihat dari berbagai sudut: Pertama, terjadi marginalisasi (pemiskinan ekonomi) terhadap kaum perempuan. Meskipun tidak setiap marginalisasi perempuan disebabkan oleh ketidakadilan gender, akan tetapi kebanyakan marginalisasi tersebut disebabkan oleh perbedaan gender. Sekadar contoh; banyak sekali pekerjaan yang dianggap Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │129

sebagai pekerjaan perempuan seperti guru taman kanak-kanak atau sekretaris dinilai lebih rendah dibanding pekerjaan laki-laki. Bahkan acapkali berakibat pada perbedaan gaji. Contoh lain, dalam sebuah pertandingan olah raga, biasanya hadiah untuk juara turnamen wanita, akan berbeda dengan turnamen laki-laki. Kedua, terjadinya subordinasi pada salah satu jenis seks, yang umumnya pada kaum perempuan. Banyak kebijakan dalam rumah tangga, masyarakat maupun negara yang dibuat tanpa “menganggap penting” kaum perempuan. Misalnya anggapan karena perempuan nantinya akan di dapur, mengapa harus sekolah tinggi-tinggi. Bentuk dan mekanisme dari proses subordinasi tersebut dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat berbeda. Karena anggapan bahwa perempuan itu “emosional” maka dia tidak tepat untuk memimpin atau menjadi manager, adalah proses subordinasi dan diskriminasi yang disebabkan oleh gender. Ketiga, pelabelan negatif (stereotype) terhadap jenis kelamin tertentu, dan akibat dari stereotype itu terjadi diskriminasi. Banyak sekali stereotype dalam masyarakat yang dilabelkan kepada kaum perempuan yang akibatnya membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan. Karena adanya keyakinan masyarakat, bahwa laki-laki adalah pencari nafkah (bread winer), maka setiap pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dinilai hanya sebagai tambahan, karenanya boleh dibayar lebih rendah. Itulah sebabnya dalam satu keluarga, sopir (dianggap pekerjaan laki-laki) sering dibayar lebih tinggi dibanding pembantu rumah tangga (peran gender perempuan), meskipun tidak ada yang menjamin bahwa pekerjaan sopir lebih berat dan sulit dibanding memasak dan mencuci. Keempat, kekerasan (violence) terhadap jenis kelamin tertentu, umumnya perempuan yang disebabkan perbedaan gender. 130│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Kekerasan di sini mulai dari kekerasan fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan seksual (sexual harasesmeint) dan penciptaan ketergantungan. Banyak kekerasan yang terjadi pada perempuan yang ditimbulkan karena adanya stereotypegender. Karena perbedaan gender dan sosialisasi gender yang sangat lama, mengakibatkan kaum perempuan secara fisik lemah dan kaum laki-laki umumnya lebih kuat, maka hal itu tidak menimbulkan masalah sepanjang anggapan lemahnya perempuan tersebut mendorong laki-laki boleh dan bisa seenaknya memukul dan memperkosa perempuan. Kelima, karena peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja domestik lebih banyak dan lebih lama (double burden). Dengan kata lain, “peran gender” telah mengakibatkan tumbuhnya tradisi dan keyakinan masyarakat bahwa perempuan harus bertanggung jawab atas terlaksananya keseluruhan domestik. Beban kerja tersebut menjadi dua kali lipat bagi perempuan yang juga bekerja di luar rumah. Sosialisasi peran gender tersebut menyebabkan rasa bersalah bagi perempuan jika tidak melakukan pekerjaan itu, sementara bagi kaum laki-laki, tidak saja merasa bukan tanggung jawabnya, bahkan banyak tradisi melarangnya untuk berpartisipasi. Beban kerja tersebut menjadi dua kali lipat, terlebih bagi perempuan yang bekerja di luar rumah. Selain bekerja di luar juga masih harus bertanggung jawab untuk keseluruhan pekerjaan domestik. Bagi kelas menengah dan golongan kaya, beban kerja ini kemudian dilimpahkan kepada pembantu rumah tangga (domestic workers). Mereka inilah yang sesungguhnya menjadi korban dari bias gender di masyarakat. Mereka bekerja lebih berat, tanpa mengenal waktu, tetapi mendapat upah dan penghargaan lebih Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │131

rendah sebagai “babu”, tanpa penghargaan, perlindungan serta kebijakan negara atau tafsiran agama terhadap mereka. Selain belum adanya hasrat politik yang melindungi mereka, hubungan foedalistik dan bahkan bersifat perbudakan tersebut memang belum bisa secara transparan dilihat oleh masyarakat. Semua manifestasi ketidakadilan tersebut saling berkait dan mempengaruhi dan “tersosialisasi” secara mantap, yang lambat laun akhirnya terbiasa dan dipercayai bahwa peran gender itu seolah-olah menjadi kodrat. Akhirnya, terciptalah suatu struktur dan sistem ketidakadilan gender yang diterima dan sudah tidak lagi dapat dirasakan bahwa ada sesuatu yang salah. Ketika gaya hidup konsumeris melanda masyarakat, kebutuhan tidak mampu hanya ditopang laki-laki, hal yang demikian mengharuskan perempuan juga harus keluar rumah sebagai tenaga kerja. Karena kemampuan mereka jauh tertinggal dengan laki-laki, maka tenaga mereka tidak dihargai sama sekali. Meskipun pola kerja di sektor publik telah berubah, tidak demikian di sektor domestik. Sejalan dengan terbukanya kesempatan belajar dan bekerja bagi perempuan, lambat laun kaum perempuan menyadari ketidakadilan perlakuan masyarakat terhadapnya. Munculah gerakan-gerakan emansipasi kaum perempuan sebagai reaksi terhadap perubahan sosial yang direkayasa oleh sistem produksi yang diterapkan oleh industrialisasi. Gerakan ini di kemudian hari melahirkan sebuah “paham keperempuanan” atau lazim disebut feminisme. Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami bahwa feminisme merupakan gerakan yang memperjuangkan kesetaraan hak antara perempuan dan laki-laki. Gerakan ini berangkat dari fakta maupun asumsi bahwa kaum perempuan mengalami diskriminasi dan berusaha untuk menghentikan diskriminasi tersebut. Titik sentral gerakan feminisme adalah 132│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

persamaan gender, yaitu perbedaan sifat yang melekat pada lakilaki dan perempuan yang dikonstruksi melalui proses sosial, budaya, tafsiran agama dan perundangan-undangan. B. Sejarah Gerakan Feminisme Pendekatan feminisme dalam studi agama merupakan transformasi kritis dari perspektif teoritis yang ada dengan menggunakan gender sebagai kategori analisis utamanya. Feminis-feminis religius seperti diteliti Anne Carr (1988: 95), disatukan oleh satu keyakinan bahwa feminisme dan agama keduanya sangat signifikan bagi kehidupan perempuan dan kehidupan kontemporer pada umumnya. Sebagaimana agama, feminisme memberi perhatian pada makna identitas dan totalitas manusia pada tingkat yang paling dalam, didasarkan pada banyak pandangan interdisipliner baik dari antropologi, teologi, sosiologi, dan filsafat. Tujuan utama dari tugas feminis adalah mengidentifikasi sejauh mana terdapat persesuaian antara pandangan feminis dan pandangan keagamaan terhadap kedirian, dan bagaimana menjalin interaksi yang paling mengungtungkan antara yang satu dengan yang lainnya (Morgan, 2002: 63). Studi feminis terhadap agama memiliki asal usul panjang dan menarik. Adalah mungkin meletakkan seorang perempuan atau sekelompok perempuan dalam suatu periode sejarah, yang menentang pembatasan-pembatasan yang dikenakan oleh otoritas keagamaan kepada mereka. Asal-usul bentuk yang dapat dikenal dari feminisme-religius Anglo-American yang terorganisir muncul pada abad ke-19 dan didominasi oleh dua isu utama, perdebatan tentang persamaan akses terhadap jabatan pendeta (ministry) dan kritisme injil. Agama merupakan faktor yang kuat dalam membentuk dan Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │133

mengarahkan feminisme Amerika. Ini disebabkan oleh kuatnya hubungan ideologis antara gerakan perempuan dan kampanye anti perbudakan atau penghapusan perbudakan, suatu keadaan yang diisi oleh semangat Evangelis untuk melakukan reformasi. Aliansi intrinstik antara keagamaan perempuan dan kualitas politis digambarkan dalam dominasi numerical perempuan Quaker (anggota perkumpulan Kristen yang anti perang dan anti sumpah) di Seneca yang menghasilkan resolusi final hak-hak perempuan (Morgan, 2002: 68). Keterlibatan feminis dengan agama di abad ke-19 merupakan suatu yang rumit dan berbelit, namun mengilhami baik tanggapan yang konservatif maupun radikal. Feminisme Evangelis mendasarkan seruannya pada perluasan peran kewarganegaraan perempuan, yang mendasarkan pada definisi tradisional feminis, memuji bakat perempuan terhadap pengasuhan dan kecenderungannya untuk menafikan dirinya demi kepentingan orang lain sebagai kualitas moral yang patut dicontoh. Feminis liberal di sisi lain, menentang ideal-ideal Injil tentang subordinasi dan domestifikasi perempuan, menuntut kesetaraan politik dan sosial sekalipun dengan perbedaan seks sebagai hak yang diberikan Tuhan. Tahun 1890, Alizabeth Cady Stanton dan Matilda Joslyn Gage mengkritik injil dengan memperlihatkan kesadaran yang tajam dari peran gereja dalam mendukung patriarkhi. Menurutnya, sejarah Kristiani semata-mata dibangun berdasarkan pada ketidaksetaraan jenis kelamin dan ketidakberdayaan perempuan. Sebagaimana feminis abad ke-19 membangun analisis yang mereka tawarkan berdasar mainstream gerakan perempuan, maka sarjana-sarjana agama perempuan kontemporer menerima dorongan ideologis yang sangat besar dari persoalan-persoalan 134│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

yang dimunculkan oleh gelombang feminisme kedua tahun 1960 dan 1970. Seperti pendekatan teoritis para pendahulunya, proyek kritis feminisme kontemporer dimulai dengan pembahasan yang komprehensif terhadap misoginitas agama Barat. Salah satu aspek pendekatan feminis yang paling berbeda dan produktif adalah kemampuannya yang konsisten untuk mencakup spektrum respon yang luas. Sekitar tahun 1970, penyingkapan rahasia patriarki keagamaan telah membangkitkan berbagai macam strategi bertalian dengan feminisme reformis/radikal, dan dibedakan oleh kedalaman tekanan dari laki-laki yang dirasakan dalam tradisi Yahudi dan Kristen. Agar pengalaman mereka dapat dikatakan valid, sebagai bentuk pengetahuan keagamaan yang legitimate dan mengubah watak parsial model teoritis dominan, feminis menuntut reorientasi fundamental dalam studi agama dengan dimasukannya „pengalaman‟ perempuan dalam aspek analisis keagamaan dan teologis seperti dikemukakan Reuther (1983: 67) meskipun bagi refleksi teologis sendiri kriteria pengalaman bukan kategori unik, yakni kesadaran diri untuk menarik pengalaman perempuan secara pasti. Sedangkan penjelmaan feminisme dalam bentuk gerakan, dalam sejarahnya juga muncul dari Amerika sebagai bagian dari radical culture termasuk gerakan civil right dan sexual liberation. Setelah itu, tumbuh berkembang kelompok pejuang feminis yang memperjuangkan nasih kaum perempuan untuk memenuhi kebutuhan praktis seperti childcare, kesehatan, pendidikan, aborsi dan lain-lain. Perjuangan kaum feminis ini disahkan oleh PBB, sehingga konsekuensinya, negara anggota PBB juga ikut memperjuangkannya. Akhirnya, dengan lebih kuat gerakan ini menyebar ke seluruh penjuru dunia sekaligus berkembang menjadi gerakan global dan mampu mengguncang dunia ketiga Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │135

(Faqih, 1998: 117). Pada hakikatnya, gerakan feminisme adalah isu milik kaum perempuan kelas menengah ke atas (golongan elit) yang ingin membebaskan diri dari pekerjaan-pekerjaan rutin rumah tangganya di negeri-negeri Barat (terutama AS) pada tahun 1960an dan 1970-an. Tahun 1963 itulah Betty Friedan menerbitkan buku The Feminine Mystique. Dari sini mulailah isu persamaan kekuasaan dikampanyekan. Dikatakan bahwa peran domestik perempuan merupakan penindasan terhadap perempuan, dan pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan rendah yang tidak produktif, bahkan dikatakan oleh Juliet Mitcher perempuan dan rumah tangga seperti motherhood is slavery. Bahkan Millet dalam bukunya yang berjudul Sexual Politics mengatakan bahwa lembaga keluarga adalah Old Age Evil. Keadaan sosial ekonomi, dan budaya juga memberikan suasana kondusif bagi gerekan feminisme, seperti budaya materialisme, liberalisme, dan individualisme membuat gerakan ini menjadi cukup berpengaruh. Tema utama yang paling sering dibahas feminisme adalah seputar „ketidaksejajaran‟ antara laki-laki dan perempuan, adanya penindasan perempuan di Barat dengan sistem kapitalnya. Penindasan menurut mereka adalah bermula dari struktur hirarki dalam keluarga, ayah, ibu dan anak. Ayah diibaratkan borjuis dan perempuan diibaratkan proletar. Struktur ini akan menghasilkan eksploitasi pada perempuan. Tema berikutnya adalah memperjuangkan kebebasan bagi perempuan, reformulasi pola relasi dan kuasa antara laki-laki dan perempuan, dan perjuangan persamaan hak antara keduanya secara mutlak atau dikenal dengan istilah equal right amendment. Dilihat dari prototipe perkembangannya, konsep feminisme terus berubah, baik pola gerakannya maupun cakupan 136│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

operasionalnya. Awalnya, gerakan feminisme di Amerika difokuskan pada satu isu yaitu mendapatkan hak memilih (right to vote). Selanjutnya karena pengaruh ideologi-ideologi yang ada di dunia, muncul berbagai ragam kecenderungan paham feminisme (Guettel, 1974: 39-40). Sally Quinn mengatakan bahwa banyak perempuan telah melihat gerakan feminis sebagai gerakan anti laki-laki, anti anak, anti keluarga, anti feminim, dan bahkan dengan penekanan pada lesbian serta kebencian terhadap laki-laki. Hal ini lebih dipertegas lagi dengan diadakannya Konperensi Kependudukan di Kairo, Mesir, 1994, dan Konperensi Perempuan Internasional di Beijing, Cina, 1995, yang hasilnya cukup mengundang pro-dan kontra, yaitu menolak ajaran sebagian ajaran agama, dan melegalkan homoseksual dan lesbian. Namun demikian, perkembangan gerekan feminisme ini tidak berjalan mulus. Prokontra selalu menyertai keberadaannya, bahkan di negeri di mana feminisme dicetuskan muncul penentangan-penentangan ide ini, misalnya New Right Movment dengan koleganya seperti The National Right to Life Communittee, Feminine Anti Feminisme League, Moral Majority dll. Konsep feminisme tampaknya mengundang banyak antagonisme dan mengandung kontradiksi yang cukup membingungkan. Keberadaannya pun kini dipertanyakan. Apalagi bila ditinjau dari segi hasil atas ide perjuangan yang ingin dicapai feminisme, ternyata tidak membawa hasil. Misalnya ide menghilangkan penindasan, ternyata di Amerika sebagai gembong sekaligus tempat pertama lahirnya feminisme, di sana justru terjadi banyak penindasan dan pelecehan feminin (perempuan), di mana kasus pemerkosaan yang mencapai angka tertinggi di dunia ada di Amerika. Bahkan Kinsey, seorang peneliti sosial di Amerika mengatakan bahwa 95% masyarakat Amerika berkelakuan tidak Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │137

senonoh (al-Hasany, 1996: 254). Begitu juga terbukti pada praktek ide feminisme yang lain, feminisme tidak mengangkat martabat kaum perempuan, malah sebaliknya. Majalah US News dan World Report (28/3/1994) berjudul “The War Againts Women” sebagaimana dikutip oleh Ratna Megawangi dalam Jurnal Ulumul Qur‟an (1994: 20) mengungkapkan bahwa setelah perjuangan panjang gerakan feminisme, ternyata masih banyak ketimpangan yang terjadi. Perempuan justru dianggap sebagai korban dari kemajuan. Semenjak tahun 1960-an di AS angka perceraian meningkat tajam akibat ide-ide feminisme yang telah mengubah persepsi masyarakat terhadap perempuan, dan kondisi ekonomi perempuan di AS justru malah menurun. Wacana dan gerakan feminisme selanjutnya berkembang tidak hanya di Barat, namun juga di dunia Islam sejak awal awal abad ke-20, seperti lewat pemikiran-pemikiran Aisya Taymuriya penulis dan penyair Mesir dan tulisan Zainab Fawaz dari Libanon. Mereka merupakan perintis-perintis besar dalam menumbuhkan kesadaran atas persoalan sensitif gender, termasuk dalam melawan kebudayaan dan ideologi masyarakat yang hendak mengurung kebebasan perempuan. Sebagai sebuah wacana yang terus dikampanyekan, di Indonesia feminisme sudah dikenal sejak awal 1970-an, terutama sejak tulisan-tulisan tentang feminisme muncul di jurnal maupun surat kabar. Namun demikian, sampai tahun 1980-an, orang masih takut dan merasa tabu membicarakan feminisme. Baru di tahun 1990-an istilah feminisme dan selanjutnya kaitan Islam dan feminisme mulai familier dan banyak didiskusikan, khususnya sejak diterbitkannya buku terjemahan Riffat Hassan, Fatima Mernissi, Amina Wadud Muhsin, dan Asghar Ali Engeneer. Berbarengan dengan itu, dalam pemikiran beberapa 138│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

kalangan cendikiawan muslim Indonesia pun mulai dirintis usaha-usaha ijtihad baru untuk mendapatkan penafsiran yang lebih adil dan sejajar dalam soal isu perempuan seperti yang dilakukan oleh Nurcholis Madjid, Djohan Effendi, Mansour Faqih, Jalaluluddin Rahmat, dll. (Rachman, 1996: 201-202). Berdasarkan keterangan di atas dapat diketahui bahwa perkembangan feminisme baik sebagai pendekatan, wacana dan pergerakan dimulai dari Barat terutama Amerika. Selanjutnya, feminisme direspon oleh beberapa pemikir di dunia Islam dengan upaya menutut persamaan hak secara adil. C. Ragam Aliran Feminisme Selain wacana dan gerakan feminisme menimbulkan prokontra, di kalangan feminis sendiri terjadi perbedaan kecenderungan dalam menyoroti penyebab penindasan dan diskriminasi perempuan. Kaum feminis memunculkan beberapa teori yang secara khusus menyoroti kedudukan perempuan dalam struktur sosial yang dapat dikelompokkan sebagai berikut: Pertama, feminis liberal. Kelompok ini menganggap mengapa kaum perempuan terbelakang cenderung menyalahkan perempuan itu sendiri, karena tidak bisa bersaing dengan kaum laki-laki. Asumsi dasar mereka adalah, bahwa kebebasan dan equlitas berakar pada rasionalitas, sehingga dasar perjuangannya menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap “individu” termasuk perempuan, karena “perempuan adalah makhluk rasional” juga. Mereka tidak mempersoalkan struktur penindasan dari ideologi patriarki dan struktur politik ekonomi yang didominasi oleh laki-laki (Sutton, 1963: 54). Menurut Nasaruddin Umar (2001: 64) golongan ini sangat dominan dan menjadi dasar teori modernisasi dan pembangunan. Tokoh-tokohnya antara lain Margaret Fuller, Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │139

Harriet Martineau, Anglina Grimke dan Susan Anthony. Bagi mereka, perbedaan antara tradisional dan modern adalah pusat masalah, dan kaum perempuan dianggap sebagai masalah ekonomi modern atau partisipasi politik. Keterbelakangan perempuan adalah akibat dari kebodohan dan sikap irasional, serta teguh pada nilai-nilai tradisional. Industrialisasi dan modernisasi merupakan jalan untuk meningkatkan status perempuan, karena akan mengurangi akibat dari ketidaksamaan kekuatan biologis antara laki-laki dan perempuan. Upaya lain lebih dikosentrasikan pada usaha pendidikan terhadap kaum perempuan maupun berbagai proyek kegiatan yang ditujukan untuk memberi peranan kepada kaum perempuan, seperti misalnya program “Women in Development” (WID). Kedua, feminis radikal. Kelompok ini banyak meminjam jargon Marxisme, walaupun tidak mempergunakannya secara sungguh-sungguh. Menurut mereka, dasar penindasan perempuan sejak awal adalah dominasi laki-laki, di mana penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki dianggap sebagai bentuk dasar penindasan. Laki-laki dianggap memiliki kekuasaan superior, dan privalege ekonomi merupakan akar masalah bagi perempuan. Untuk menjelaskan penyebab penindasan perempuan, digunakanlah pendekatan ahistoris, di mana patriarki dianggap sebagai masalah universal dan mendahului segala bentuk penindasan. Feminis ini mereduksi hubungan gender pada perbedaan natural dan biologi. Karenanya, segala bentuk kekerasan seksual termasuk pornografi dan sexual turism harus dilawan (Eckstein & Apter, 1963: 17-18). Kerangka berpikir mereka adalah personal is political, dan revolusi harus terjadi pada individu perempuan untuk mengubah gaya hidup. Penindasan perempuan adalah urusan “subyektif” individual perempuan, suatu hal yang bertentangan dengan 140│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

kerangka Marxisme yang melihat penindasan perempuan sebagai realitas obyektif. Ketiga, feminis Marxis yang dikomandoi oleh Clara Zetkin dari Jerman. Mereka menolak gagasan kaum radikal bahwa “biologi” sebagai dasar pembedaan. Penindasan perempuan adalah bagian dari eksploitasi kelas dalam “relasi produksi”, sehingga isu perempuan selalu diletakkan dalam kerangka kritik terhadap kapitalisme, walaupun modus penindasan perempuan telah lama sebelum Zaman Kapitalisme. Engels dalam karyanya The Origin of the Family: Private Property and the State, mengupas awal jatuhnya status perempuan yang dimulai sejak perubahan organisasi kekayaan, yakni saat munculnya era hewan piaraan dan petani menetap, di mana menjadi awal kondisi penciptaan surplus yang menjadi dasar private property. Surplus kemudian menjadi dasar bagi perdagangan, dan produksi untuk exchange mendominasi produksi for use. Karena laki-laki mengontrol produk untuk exchange, maka mereka mendominasi hubungan sosial dan politik masyarakat, dan akhirnya perempuan direduksi menjadi bagian dari properti. Sejak saat itulah dominasi laki-laki terhadap perempuan dimulai. Penindasan diperlukan karena menguntungkan dalam Era Kapitalisme modern. Bentuk dari penindasan ini bermacammacam. 1) Apa yang dikenal dengan „eksploitasi pulang ke rumah‟. Menurut analisa ini perempuan diletakkan sebagai buruh yang dieksploitasi laki-laki di rumah tangga. Eksploitasi di rumah akan membuat buruh laki-laki di pabrik bekerja lebih produktif. Oleh karena itu, kapitalisme diuntungkan oleh eksploitasi perempuan di rumah tangga. 2) Perempuan juga berperan dalam reproduksi buruh murah, sehinga memungkinkan harga tenaga kerja juga murah, yang akhirnya menguntungkan kapitalisme. 3) Masuknya perempuan sebagai buruh dengan upah lebih rendah Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │141

menciptakan „buruh cadangan‟. Melimpahnya buruh cadangan ini memperkuat posisi tawar-menawar kaum kapitalis dan mengancam solidaritas kaum buruh. Kesemuanya itu mempercepat akumulasi kapital bagi kapitalis Kaum feminis Marxisme beranggapan bahwa penyebab penindasan perempuan bersifat struktural (akumulasi kapital, dan divisi kerja internasional), maka revolusi atau memutuskan hubungan dengan sistem kapitalis internasional adalah solusinya. Setelah Revolusi, jaminan persamaan saja tidaklah cukup, karena perempuan tetap dirugikan oleh tanggung jawab domestik mereka. Mengutip Engels, “Hanya jika urusan mengurus rumah tangga ditransformasikan menjadi industri sosial, dan urusan menjaga dan mendidik anak jadi urusan umum, maka perempuan tidak akan mencapai keadaan equalitas yang sejati”. Emansipasi perempuan terjadi hanya jika perempuan terlibat dalam produksi, dan berhenti mengurus urusan rumah tangga. Bagi teori Marxis klasik, perubahan status perempuan akan terjadi melalui revolusi sosial dan dengan menghapuskan pekerjaan domestik melalui industrialisasi (Sutton, 1963: 71). Keempat, feminis sosialis. Pemahaman ini merupakan sintesa antara teori kelas Marxisme dan the personel is political dari feminis radikal. Tokoh dalam faham ini antara lain Rosa Luxemburg dari Rusia. Kaum feminis sosialis memandang bahwa penindasan perempuan ada di kelas manapun. Mereka menolak Marxisme kalsik, dan tidak menganggap eksploitasi ekonomi sebagai lebih esensial daripada penindasan gender. Ada ketegangan antara „kebutuhan kesadaran feminis di satu pihak dan kebutuhan untuk menjaga integritas materialisme Marxisme di pihak lai, sehingga analisa patriarki perlu ditambahkan dalam analisa mode of production. Mereka mengkritik asumsi umum, bahwa ada hubungan antara partisipasi perempuan dalam 142│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

produksi dan status perempuan. Partisipasi perempuan dalam ekonomi memang perlu, tapi tidak selalu menaikkan status perempuan. Ada korelasi antara tingkat partisipasi dengan status perempuan, namun keterlibatan perempuan justru menjerumuskan, karena mereka dijadikan budak (virtual slaves). Meningkatnya partisipasi perempuan dalam ekonomi lebih membawa pada antagonisme seksual ketimbang menaikkan status perempuan. Kegagalan mentransformasikan posisi kaum perempuan di eks Uni Soviet, Cina dan Kuba membuktikan bahwa revolusi tidak serta-merta membebaskan perempuan (Jaggar, 1997: 45). Kritik terhadap kapitalisme menurut paham ini harus disertai kritik dominasi atas perempuan. Teori Zillah Eisenstein capitalist patriarchy, yang menyamakan dialektika struktur kelas dengan struktur hirarki seksual, merupakan bentuk sintesa tersebut. Eisenstein mulai dengan tesis „perempuan sebagai suatu kelas‟, yakni menerapkan konsep alienasi Marx terhadap kaum perempuan. Seperti proletarisasi buruh, perempuan juga ditekan oleh kapitalisme dan patriarki untuk mencapai nilai esensi mereka. Penindasan perempuan juga bisa menimbulkan kesadaran revolusi. Mereka menolak anggapan women as sex dari radikal feminis, di mana biologi dianggap menentukan nasib perempuan. Bagi Eisenstein, ketidakadilan tidaklah semata akibat perbedaan biologis, tetapi lebih karena penilaian dan anggapan (social construction) terhadap perbedan itu (Eisentein, 1974: 34). Selain empat aliran feminisme di atas, ada aliran lain seperti Ekofeminisme, yang istilahnya pertama kali digunakan oleh Fransisco D‟Eaubonne. Maria Mies dan Vandana Shiva berhasil melakukan rekonstruksi pandangan ini dengan menguraikan bagaimana perkawinan pemikiran ekologi dan feminisme telah melahirkan suatu bentuk pemikiran alternatif bagi aliran Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │143

mainstream ekologi maupun feminisme di atas. Sebab hampir semua pemikiran gerakan feminisme di atas, adalah untuk mengakhiri penindasan terhadap kaum perempuan yang menggunakan ideologi, epistemologi dan teori yang berdasar pada „prinsip maskulinitas‟ yang tidak saja anti feminitas, namun juga anti ekologi (Shiva, 1989: 12-15). Muncul pula gerakan feminisme muslim yang mengupayakan sistem masyarakat yang memberikan jaminan bagi perempuan untuk memperoleh hak-haknya dalam keluarga dan masyarakat serta menghendaki peran lebih berarti dalam kehidupan, kemajuan pendidikan, juga kesempatan-kesempatan profesional lainnya. Arahnya sama dengan gerakan fiminisme pada umumnya. Bedanya, gerakan feminisme muslim berdasar pada pemahaman ulang terhadap teks-teks keagamaan untuk dipahami lagi sesuai tuntutan feminisme dan konteks zaman. Para feminis muslim berasumsi bahwa keadaan memperihatinkan yang dialami perempuan bukan karena ajaran dasar Islam (konsep Islam) yang menempatkan perempuan di bawah laki-laki dalam struktur sosial (sebagaimana yang dituduhkan oleh Barat), melainkan karena hegemoni patriarki di dunia (Arab) Islam dan bias laki-laki dalam memahami sumbersumber ajaran Islam yang implikasinya membentuk tradisi Islam. Pemahaman yang bias gender tersebut telah menyimpang dari semangat dasar al-Qur‟ân dan pada perkembangannya dianggap sebagai ajaran yang harus diterima dan dipertahankan (Mernissi & Hassan, 1995: 67-68). Secara historis, kesadaran terhadap posisi perempuan dalam dunia Muslim berawal pada masa akhir abad ke-19 yang dilakukan para perempuan pingitan berjilbab kelas menengah ke atas yang mendambakan pendidikan bagi kaumnya dan pembebasan dari tekanan-tekanan seperti di Mesir. Mereka 144│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

antara lain A‟isyah Taimuriyah, Huda Sha‟rawi, Nabawiyah Musa dan Malak Hifni Nasif dari Mesir, Zainab Fawwaz dari Lebanon, Rokeya Sakhawat Hossein, Nazar Sajjad Haidar dari India, Raden Ajeng Kartini dari Indonesia, Emillie Ruete dari Zanzibar, Taj al-Saltanah dari India, dan Fatme Aliye dari Turki (Syaukani, 1994: 121). Paruh kedua abad ke-20 M., ketika para feminis muslim telah banyak memiliki akses kepada dunia publik, mereka mulai menulis dan mengadakan gerakan-gerakan pembelaaan. Ada Nawal al-Sadawi, Latifah al-Zayyat, Inji Aflatun dan Qasim Amin dari Mesir, Fatima Mernissi dari Maroko, Riffat Hassan dari Pakistan, Amina Wadud Muhsin dari Amerika Serikat, Assia Djebar dari al-Jazair, Furugh Farrukhzad dari Iran, Fauziyah Abu Khalid dari Saudi Arabiya. Termasuk dalam kategori ini adalah Wardah Hafid, Nurul Agustina, Siti Ruhaini Zuhayatin dan Mansour Faqih dari Indonesia, Asghar Ali Engeneer dari India (Burhanuddin, 2003: 127-128). Demikianlah aliran-aliran feminisme yang mewarnai wacana tuntutan persamaan gender. Masing-masing menggunakan pendekatan dan teori berbeda dalam memandang penyebab keterbelakangan perempuan, termasuk feminis muslim. Namun secara secara umum kaum feminis memandang ada diskriminasi terhadap perempuan yang diakibatkan oleh proses sosial. D. Bahaya Feminisme Menurut Adian Husain (2006: 256) jika ditelusuri ide “gender equality” (kesetaraan gender) yang dianut oleh Aminah Wadud dan kaum feminis lainnya bersumber dari pengalaman Barat dengan pandangan hidup Sekular – Liberal. Sejarah Barat terhadap wanita adalah sejarah hitam dan penuh noda. Pola pandangan ala Barat yang berlandaskan pada sikap ketidakpuasan dan berbau dendam Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │145

ini bisa dikatakan sebagai „prior text‟ bagi Amina Wadud, ketika ia mencoba menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an dalam perspektif kaum feminis, seperti dirinya. Sehingga penafsirannya pun bersifat subjektif, particular, dan relative. Ide kesetaraan gender ini bersumber pada ideologi Marxis, yang menempatkan wanita sebagai kelas tertindas dan laki-laki sebagai kelas penindas. Perspektif Marxis inilah yang senantiasa melihat laki-laki dalam nuansa kecurigaan. Di kalangan Muslim, ini bisa dilihat dalam cara pandang kaum Feminis yang senantiasa melihat para mufassir atau fuqaha dalam kacamata kecurigaan, bahwa mereka menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an atau hadits dalam kerangka hegemoni atau kepentingan laki-laki atas wanita. Para pendukung ide gender equality menolak penafsiran yang bersifat tafadul, yang memberikan kelebihan kepada lakilaki atas dasar jenis kelamin. Misalnya, Surah an-Nisa [4] ayat 34.

                                            146│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

”Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara (mereka). wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencaricari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar. Menurut mereka ayat di atas harus diartikan bahwa kelebihan itu bukanlah karena jenis kelamin, tetapi karena prestasi yang dicapai oleh setiap orang tanpa melihat jenis kelamin, apakah laki-laki atau wanita. Menururt para pendukung ide kesetaraan gender ini, banyak ajaran agama yang selama ini ditafsirkan berdasarkan pada kepentingan laki-laki sehingga merugikan wanita (Husaini, 2006: 258). Jika konsep gender equality dijadikan sebagai standar berfikir dalam menafsirkan teks al-Qur‟an, maka akan terjadi perombakan hukum Islam secara besar-besaran. Itulah, misalnya, yang dilakukan oleh Musdah Mulia dan kawan-kawan. Tahun 2004, Tim Pengarusutamaan Gender Departemen Agama Republik Indonesia, menerbitkan sebuah buku bertajuk “Pembaharuan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam. Beberapa pasal yang menimbulkan kontroversi hebat diantaranya: Pertama, bahwa asas perkawinan adalah monogami (pasal 1 ayat 3), dan perkawinan di luar ayat 1 (poligami) adalah tidak sah dan harus dinyatakan batal secara hukum (pasal 3 ayat 2). Kedua, batas umur calon suami atau calon istri minimal 19 tahun (pasal 7 ayat 1). Artinya, perkawinan yang dilakukan oleh Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │147

laki-laki dan wanita di bawah usia tersebut meskipun keduanya sudah baliqh tetap dinyatakan tidak sah. Ketiga, perkawinan beda agama antara muslim dan muslimah dengan non muslim disahkan (pasal 54). Keempat, calon suami atau istri dapat mengawinkan dirinya sendiri (tanpa wali, asalkan calon suami atau istri itu berumur 21 tahun, berakal sehat, dan rasyid/rasyidah (pasal 7 ayat 2). Kelima, ijab-qabul boleh dilakukan oleh istri – suami atau sebaliknya suami – istri (pasal 9). Keenam, masa iddah bukan hanya dimiliki oleh wanita tetapi juga untuk laki-laki. Masa iddah bagi laki-laki seratus tiga puluh hari (pasal 88 ayat 7 (a)). Ketujuh, talak tidak dijatuhkan oleh pihak laki-laki, tetapi boleh dilakukan oleh suami atau istri di depan sidang Pengadilan Agama (pasal 59). Kedelapan, bagian waris anak laki-laki dan wanita adalah sama (pasal 8 ayat 3, bagian kewarisan) (Husaini, 2007: 53). Atas nama gender equality Siti Musdah Mulia, seorang aktivis Gender menuntut pengesahan kawin sesama jenis, ”Perkawinan lawan jenis meskipun diwarnai kekerasan, eksploitasi, dan kemunafikan lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis, walaupun penuh dilimpahi cinta, kasih sayang, dan kebahagiaan”. Jurnal Perempuan, sebagai jurnal yang selalu menyuarakan gender equality menyebutkan, bahwa pada tanggal 6-9 November 2006, 29 Pakar HAM terkemuka dari 25 negara berkumpul di Yogyakarta untuk memperjuangkan hak-hak kaum lesbian ini. Mereka menghasilkan sebuah dokumen yang disebut, ”Prinsipprinsip Yogyakarta terhadap Pemberlakukan Hukum Internasional atas Hak-hak Asasi Manusia yang Berkaitan dengan Orientasi Seksual, Identitas Gender, dan hukum Internasional sebagai landasan pijak yang lebih tinggi dalam perjuangan untuk Hak asasi manusia yang paling dasar (Kebutuhan seksual) serta kesetaraan gender, yang disebut dengan Yogyakarta Principles.” Dikatakan dalam jurnal ini; ”Prinsip-prinsip Yogyakarta ini 148│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

merupakan tonggak sejarah (milestone) perlindungan hak-hak bagi lesbian, gay, biseksual, dan transgender. Menggunakan standarstandar hukum internasional yang mengikat dimana negaranegara harus tunduk padanya (Husaini, 2010: 108). Bahkan, atas nama gender equality Aminah Wadud pada hari Jumat, 18 Maret 2005 menobatkan diri sebagai imam shalat Jum‟at yang dilakukan di Gereja Katedral St. John Manhattan, New York. Diikuti sekitar seratus makmum laki-laki dan perempuan yang berjajar sejajar dan campur baur. Adzan pun dikumandangkan dengan merdu oleh seorang wanita tak berjilbab. Tidak sampai di situ, Aminah Wadud juga bersuamikan empat, sebab menurutnya jika laki-laki boleh beristri empat, mengapa wanita tidak? Menurut Abu Umar Abdillah selain karena faktor wawasan tindakan dan pemikiran Aminah Wadud dan kalangan feminis lainnya disebabkan oleh faktor kejiwaan. Mereka semacam memiliki dendam dan hasad kepada kaum laki-laki, atau bahkan kepada aturan Islam yang dianggapnya telah berlaku diskriminatif terhadap kaum Hawa. Dan memang, faktor utama orang-orang kafir menolak Islam adalah hasadan „inda anfusihim‟, kedengkian di hati mereka, meskipun mereka tahu bahwa Islamlah yang terbaik. Allah berfirman:

                                   Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │149

“Sebahagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS. al-Baqarah [2]: 109). Kedengkian mereka sangat tampak dari masih sepihaknya aspek yang diperjuangkan. Yakni dalam perkara yang menurut mereka menguntungkan kaum hawa. Jika mereka konsekuen menyuarakan kesetaraan gender, mengapa mereka tidak menuntut agar wanita yang haid tetap diperbolehkan puasa dan shalat? Mengapa mereka tidak menuntut pencabutan hak cuti bagi wanita hamil? Atau sekali-kali mereka mengkampanyekan kaum istri jadi kondektur, tukang becak atau mencangkul di sawah, biarlah suami yang menimang bayinya di rumah. Abu Umar Abdillah juga menyatakan bahwa konsep „gender equality‟ hanya melihat dimensi duniawi, nihil dari dimensi ilahiyah dan ukhrawiyah. Posisi dan lapangan duniawi seperti jabatan presiden, direktur, pegawai menjadi tolok ukur tinggi rendahnya martabat wanita. Sedangkan Islam mendudukkan orang yang paling bertakwa sebagai pemilik martabat tertinggi, baik laki-laki maupun wanita, meskipun dia seorang wanita yang miskin dan buruk rupa. Maka anugerah jannah diberikan Allah bukan berdasarkan status sosialnya di dunia, tetapi karena iman dan amal shalihnya. Allah berfirman:

                     “Dan barangsiapa mengerjakan amal yang shalih baik laki-laki maupun perempuan sedang ia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk jannah.” (QS. al-Mukmin [40]: 40). Ayat ini tidak mengandung pengertian bahwa Islam 150│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

memuliakan wanita di akhirat namun menindasnya di dunia. Allah Yang Maha Adil memberikan porsi tugas dan kewenangan bagi wanita sesuai dengan perangkat dan fitrah yang sesuai dengan tugas tersebut. Akal sehat bisa meraba adanya perbedaan yang kentara antara laki-laki dan wanita, baik secara fisiologis maupun psikologis. Wajar jika perbedaan itu membawa konsekuensi perbedaan tugas dan wewenang antara keduanya (www. pakdenono.comdiakses tanggal 29 September 2010). Menurut Muhammad Thalib (2007: 129), Islam secara ideal membuka kesempatan dan peran yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk berprestasi dalam berbagai bidang kehidupan (QS. Ali-Imran: 195, An-Nahl: 97, An-Nisa‟: 124, Al-Mu‟min: 44). Karena itu, ketika Al-Qur‟an menyatakan bahwa manusia ideal adalah individu yang bertakwa (Al-Hujurat: 13), pernyataan itu pun terbuka untuk laki-laki dan perempuan. Penegasan tersebut pada gilirannya meniscayakan setiap individu memiliki otonomi atas perbuatannya (QS. Al-Israa‟: 19, AnNajm: 39, Al-An‟am: 164), yaitu setiap orang diberi kebebasan dan pilihan untuk melakukan sesuatu atas kesadaran dan kemauannya, dan bertanggungjawab atas perbuatannya. Apalagi budaya patriarkhi sebagai “biang kerok” ketidakadilan gender, bukanlah budaya yang diperkenalkan oleh Islam. Budaya itu berkembang di kalangan bangsa manusia berabad-abad jauh sebelum kedatangan Islam. Bahkan Islam sendiri datang untuk memperbaiki praktik budaya seperti itu dalam masyarakat dengan menetapkan ajaran-ajaran yang secara proporsional yang berpihak kepada perempuan dan berkeadilan gender. Salah satu ayat yang menyatakan dengan tegas kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan seperti;

Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │151

                      “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al-Hujurat [49]: 13). Ayat di atas dengan tegas menjelaskan bahwa Al-Qur‟an tidak mengajarkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan sebagai manusia. Di hadapan Allah SWT laki-laki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama. Pandangan-pandangan yang menganggap bahwa posisi perempuan dalam Islam sangat disudutkan, selayaknya segera diubah, karena al-Qur‟an selalu menyerukan keadilan (QS. AlNahl: 90), keamanan dan ketentraman (QS. An-Nisa‟: 58), mengutamakan kebaikan dan mencegah kejahatan (QS. Ali Imran: 104). Perlu disadari bahwa metodologi yang dipakai kaum feminis di kalangan Muslim tidak lain adalah menjiplak metodologi penafsiran Bibel. Sehingga mereka tidak menyadari akan hakekat perbedaan sifat antara teks Bibel dan teks al-Qur‟an. Mereka sering terjebak dalam ‟pra pemahaman‟ subjektif dari konsep ”gender equality” sekular-liberal yang jelas-jelas bukan merupakan produk peradaban Islam. Harusnya, para feminis itu membangun terlebih dahulu 152│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

kerangka berfikirnya dari ‟worldview Islam‟, yang tersusun atas konsep-konsep dasar Islam tentang Tuhan, manusia, kebenaran, ilmu, kenabian, wahyu, dan sebagainya. Jika woldview para feminis itu sudah terkooptasi oleh woldview bukan Islam, maka dia otomatis akan meletakkan Islam dan al-Qur‟an dalam kerangka pikir yang bukan Islam. Dan konsekuensinya, mereka berani meninggalkan dan membuat hukum-hukum baru yang bertentangan dengan makna sebenarnya dari nash-nash alQur‟an dan Sunnah Rasul (Husaini, 2006: 272-273). Ketika para feminis menuduh para mufassir dan ulama fiqih laki-laki telah menyusun tafsir dan kitab fiqih yang bias gender. Tuduhan itu tentu saja sangat tidak benar, terutama menuduh mereka memiliki motif jahat untuk menindas wanita dan melestarikan hegemoni laki-laki atas wanita. Padahal, sepanjang sejarah, telah lahir ulama-ulama wanita dalam berbagai bidang. Pendapat mereka tidak berbeda dengan pendapat ulama laki-laki. Sebagai contoh, ulama fiqih wanita terbesar, yakni Siti Aisyah r.a., tidak berbeda pendapatnya dengan pendapat para sahabat laki-laki dalam berbagai masalah hukum yang kini digugat kaum feminis (Husaini, 2006: 273). Di lihat di sektor publik, maka akan kita temukan banyak sekali wanita berkiprah dan beraktivitas tanpa batas di sektor tersebut, tanpa sedikitpun mengalami diskriminasi sebagaimana yang selama ini digembar-gemborkan kaum feminis, seperti Khadijah bint Khuwailid (istri Nabi) dan Qailah Umm Bani Ahmar. Keduanya dikenal sebagai perempuan pengusaha yang sukses. Umm Salim bint Malhan bekerja sebagai penata rias. Zainab bint Jahsyi (istri Nabi) bekerja sebagai penyamak kulit dan hasilnya disedekahkan kepada fakir miskin. Asy-Syifa` adalah perempuan pertama diserahi tugas oleh Khalifah Umar ibn al-Khattab sebagai manajer yang mengelola pasar Madinah. Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │153

Bahkan, ada seorang perempuan bernama Raitah (istri sahabat Nabi) bekerja demi menghidupi suami dan anaknya. Perempuanperempuan lainnya seperti Umm Salamah (istri Nabi), Safiyyah, Laila al-Gaffariyah, dan Umm Sinam tercatat sebagai aktivis dan relawan kemanusiaan di medan perang menolong prajurit yang cedera dalam peperangan. Ini bearti bahwa Islam sangat menghargai persamaan dan tidak ada bias gender di dalam Islam.

154│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

A. Pengertian Liberalisme Secara etimologis liberalisme berasal dari bahasa latin yang bearti free selanjutnya liberal bearti nonrestricted, tidak dibatasi atau independent in opinion artinya bebas dalam berpendapat. Secara terminologis, liberalisme adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nillai politik yang utama (Syam,2007: 245). Secara umum liberalisme sering diartikan paham yang mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berfikir bagi para individu. Liberal juga diartikan paham yang menekankan kebebasan individu atau partikelir (Partanto dan Al-Barry, 1994: 409). Oleh karenanya, paham liberalisme menolak segala bentuk pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama serta menghendaki adanya pertukaran gagasan yang bebas, ekonomi pasar yang mendukung usaha pribadi (private enterprise) yang relatif bebas, dan suatu sistem pemerintahan yang transparan, dan menolak adanya pembatasan terhadap kepemilikan individu. Maka, prinsip dasar liberalisme adalah keabsolutan dan kebebasan yang tidak terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan, ucapan, pers dan politik. Liberalisme membawa dampak yang besar bagi sistem masyarakat Barat, di antaranya adalah mengesampingkan hak Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │155

Tuhan dan setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan; pemindahan agama dari ruang publik menjadi sekedar urusan individu, pengabaian total terhadap agama Kristen dan gereja atas statusnya diganti sebagai lembaga publik, lembaga legal dan lembaga sosial. B. Liberalisme di Yahudi dan Nasrani Menurut Adian Husaini (2007: 6-9) proses liberalisasi sebenarnya terjadi di berbagai bidang kehidupan, baik bidang politik, ekonomi, sosial, informasi, moral dan sebagainya, termasuk agama. Agama Yahudi telah lama mengalami liberalisasi, sehingga saat ini, “Liberal Judaism” (Yahudi Liberal) secara resmi masuk dalam salah satu aliran dalam agama Yahudi. Perkembangan liberalisasi dalam agama Kristen juga sudah sangat jauh. Bahkan agama Kristen bisa dikatakan sebagai salah satu ”korban” liberalisasi dari peradaban Barat. Herlianto – seorang aktivis Kristen asal Bandung dalam bukunya Gereja Modern, Mau Kemana? Memaparkan dengan jelas kehancuran gereja-gereja di Eropa. Kristen kelabakan dihantam nilai-nilai Sekularisme, Modernisme, Liberalisme, dan ”Klenikisme”. Pada tahun 1987, di Jerman, menurut laporan Institute for Public Opinian Research, 46 persen penduduknya mengatakan bahwa agama sudah tidak diperlukan lagi. Di Finlandia, yang 97 persen Kristen, hanya 3 persen saja yang pergi ke Gereja tiap minggu. Di Norwegia, yang 90 persen Kristen hanya setengahnya saja yang percaya pada dasar-dasar kepercayaan Kristen. Hanya sekitar 3 persen saja yang rutin ke gereja tiap minggu. Di Amsterdam, Belanda, 200 tahun lalu 99 persen penduduknya beragama Kristen. Kini, tinggal 10 persen saja 156│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

yang dibaptis di gereja. Kebanyakan mereka sudah tidak lagi terikat dalam agama atau sudah menjadi sekuler. Di Prancis, yang 95 persen penduduknya tercatat beragama Katholik, hanya 13 persennya saja yang menghadiri kebaktian di gereja dalam setiap minggunya. Masyarakat Kristen Eropa juga tergila-gila pada paranormal, mengalahkan kepercayaan mereka kepada pendeta atau iman katholik. Di Jerman Barat sebelum bersatu dengan Jerman Timur terdapat 30.000. Tetapi sekarang jumlah peramal (dukun klenik/witchraft) mencapai 90.000 orang. Di Prancis terdapat 26.000 imam Katholik, tetapi jumlah peramal bintang (astrolog) yang terdaftar mencapai 40.000. Fenomena Kristen Eropa tersebut, menunjukkan bahwa agama Kristen kelabakan menghadapi serbuan arus budaya Barat yang didominasi nilainilai liberalisme, sekularisme, dan hedonisme. Serbuan praktik perdukunan juga tidak mampu dibendung. Di sejumlah gereja, arus liberalisasi mulai melanda. geraja mulai menerima praktik-praktik homoseksualitas. Eric James, seorang pejabat gereja Inggris dalam bukunya berjudul; ”Homosexuality and a Pastoral Church” menghimbau agar gereja memberikan torelansi pada kehidupan homoseksual dan mengijinkan perkawinan homoseksual antara pria dan pria atau wanita dengan wanita. Bahkan, pada november 2003, para pastor Gereja Anglikan di New Hampshire AS, sepakat untuk mengangkat seorang Uskup Homoseks bernama Gene Robinson. Kaum Kristen yang homo itu melakukan perombakan terhadap ajaran Kristen, terutama mengubah tafsir lama yang masih melarang tindakan homoseksual. Konsekuensinya perkawinan sejenis di berbagai negara Barat bukanlah dianggap sebagai kejahatan, begitu juga praktik-praktik perzinahan, minuman keras, pornografi, dan sebagainya. Barat Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │157

tidak lagi mengenal sistem dan standar nilai (baik-buruk) yang pasti. Semua serba relatif; diserahkan kepada ”kesepakatan” dan ”kepantasan” umum yang berlaku. Maka, orang berzina, menenggak alkohol, mempertontonkan aurat, dan sejenisnya bukanlah dipandang sebagai suatu kejahatan, kecuali jika masyarakat menganggapnya jahat (Husaini, 2007: 10). C. Sejarah Liberalisme di Indonesia Liberalisme Islam di Indonesia, secara sistematis di mulai pada awal tahun 1970-an. Pada 3 Januari 1970, Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Nurcholish Madjid, secara resmi menggulirkan perlunya dilakukan sekularisasi Islam. Sejak itu, dengan mengadopsi gagasan Hervey Cox – melalui bukunya The Secular City – Nurcholish Madjid membuka pintu masuk arus sekularisasi dan liberalisasi dalam Islam di Indonesia (Husaini, 2007: 11). Secara umum liberalisasi Islam di Indonesia, dilakukan melalui tiga bidang penting dalam Islam, yakni; Pertama, liberalisasi bidang aqidah. Liberalisasi aqidah Islam dilakukan dengan cara menyebarkan paham pluralisme agama. Paham ini, pada dasarnya menyatakan bahwa semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju Tuhan yang sama. Jadi, menurut penganut paham ini, semua agama adalah jalan yang berbeda-beda menuju Tuhan yang sama. Atau mereka menyatakan bahwa agama adalah persepsi relative terhadap Tuhan yang mutlak, sehingga karena relativitasnya maka setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim dan menyakini, bahwa agamanya sendiri yang benar atau lebih baik dari agama lain; atau mengklaim bahwa hanya agamanya sendiri yang benar. Bahkan, menurut Charles Kimball, salah satu ciri agama jahat (evil) adalah agama yang memiliki klaim kebenaran mutlak 158│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

(absolute truth claim) atas agamanya sendiri (Husaini, 2006: 13). Di Indonesia, penyebaran paham ini sudah sangat meluas, dilakukan oleh para tokoh, cendikiawan, dan para pengasong ide-ide liberal. Seperti Ulil Abshar Abdalla menyatakan bahwa semua agma sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang paling benar. Ulil menambahkan bahwa dengan tanpa rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya (Husaini, 2006: 13-14). Begitu juga yang dikatakan Luthfi Assyaukanie menyatakan bahwa seorang fideis Muslim, misalnya, bisa merasa dekat kepada Allah tanpa melewati jalur shalat karena ia bisa melakukannya lewat meditasi atau ritus-ritus lain yang bisa dilakukan dalam persemedian spiritual. Dengan demikian, pengalaman keagamaan hampir sepenuhnya independent dari aturan-aturan formal agama. Pada gilirannya, perangkat dan konsep-konsep agama seperti kitab suci, nabi, malaikat, dan lainlain tidak terlalu penting lagi karena yang lebih penting adalah bagaimana seseorang bisa menikmati spiritualitas dan mentrasendenkan dirinya dalam lompatan iman yang tanpa batas itu (Husaini, 2006: 19). Kedua, Liberalisasi al-Qur‟an. Salah satu wacana yang berkembang pesat dalam tema liberalisasi Islam di Indonesia saat ini adalah tema “dekonstruksi kitab suci”. Di kalangan Yahudi dan Kristen, fenomena ini sudah berkembang pesat. Kajian “Biblical Criticism” atau studi tentang kritik Bible dan krtik teks Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │159

Bible telah berkembang pesat di Barat. Misalnya, Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul; “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testatement”. Pesatnya studi kritik bible itu telah mendorong kalangan Kristen – Yahudi untuk “melirik” Al-Qur‟an dan mengarahkan hal yang sama terhadap Al-Qur‟an . Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Irak dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa “sudah saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Qur‟an sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani – Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Kur‟an to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Cristian scriptures) (Husaini, 2006: 33). Hampir satu abad lalu, para orientalis dalam bidang studi alQur‟an bekerja keras untuk membuktikan bahwa al-Qur‟an adalah kitab bermasalah sebagaimana Bible. Mereka tidak pernah berhasil. Tapi, anehnya kini imbauan itu sudah diikuti begitu banyak manusia dari kalangan umat Islam sendiri, termasuk yang ada di Indonesia. Maka, proyek liberalisasi Islam di Indonesia tidak lengkap jika tidak menyentuh aspek kesucian al-Qur‟an. Mereka berusaha keras untuk meruntuhkan keyakinan kaum muslimin, bahwa al-Qur‟an adalah kalamullah, bahwa alQur‟an adalah satu-satunya Kitab Suci yang suci, bebas dari kesalahan. Mereka mengabaikan bukti-bukti al-Qur‟an yang menjelaskan tentang otentisitas al-Qur‟an, dan kekeliruan dari kitab-kitab agama lain (Husaini, 2007: 34). Sebagaimana pernyataan Luthfi Assyaukanie bahwa sebagian besar kaum muslimin menyakini al-Qur‟an dari 160│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun maknanya (ma‟nan). Kaum muslim juga menyakini bahwa al-Qur‟an yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis sama seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-din) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam. Hakikat dan sejarah penulisan al-Qur‟an sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit) dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik (tipu daya) dan rekayasa. Pendapat hampir senada juga diutarakan Sumanto al-Qurtubhy bahwa: “Disinilah saya ingin menyebut teks-teks Islam klasik merupakan “perangkap bangsa Arab”, dan al-Qur‟an sendiri dalam beberapa hal sebetulnya juga bisa menjadi “perangkap” bangsa Quraisy sebagai suku mayoritas. Artinya, bangunan keislaman sebetulnya tidak lepas dari jaringjaring kekuasaan Quraisy yang dulu berjuang keras untuk menunjukkan eksistensinya di tengah suku-suku Arab lain” (Husaini, 2007: 34). Uangkapan serupa juga dilontantarkan Guntur Romli. Menurutnya, “Al-Qur‟an tetap memiliki banyak sumber dan „proses kreatif‟ yang bertahan serta berlapis-lapis. Al-Qur‟an adalah „suntingan‟ dari „kitab-kitab‟ sebelumnya, yang disesuaikan dengan kepentingan penyuntingnya,” Melanjutkan apa yang sudah dilakukan oleh Nasr Hamid Abu Zayd yang menyatakan bahwa teks dan nash al-Qur‟an merupakan “produk budaya” (mumtaj tsaqafiy), maka menurut mereka al-Qur‟an harus disentuh dengan perbagai pembacaan. Salah satunya yaitu memahami al-Qur‟an sebagai teks yang Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │161

disampaikan dalam bentuk bahasa. Bila al-Qur‟an sebagai bahasa, maka di dalamnya mesti terdapat dimensi budaya, sehingga memungkinkan dialektika antara teks dan budaya. alQur‟an yang diturunkan dalam bahasa Arab, sudah barang tentu merupakan salah satu bentuk dialektika antara dimensi kewahyuan dan kesejarahan. Bagaimanapun, bahasa Arab yang digunakan al-Qur‟an adalah bahasa yang lumrah digunakan oleh masyarakat Arab. Bahasa Arab bukanlah bahasa langit, tapi bahasa masyarakat Arab pada umumnya. Ini menunjukkan bahwa kesakralan alQur‟an berkait kelindan dengan hakikat al-Qur‟an sebagai teks bahasa yang sudah pasti terikat dengan wahyu dan tempat. Hal ini menandakan terdapat hubungan antara realitas (sebagai konteks) dengan teks. Oleh karena itu, asbab al-nuzul (peristiwa yang terjadi dan menyertai turunnya suatu ayat al-Qur‟an) perlu direkonstruksi dan melakukan dekonstuksi terhadap model pembacaan al-Qur‟an karena konteks di sini lebih luas dari asbab al-nuzul dan pembacaan al-Qur‟an, dan asbab al-nuzul sendiri menjadi diperlukan hanya untuk melihat kejadian-kejadian khusus (Shofan, 2006: 40). Tuduhan-tuduhan di atas sebenarnya sudah basi, dan sama sekali tidak ada yang baru. Para orientalis dan misionaris Kristen sudah terlalu sering melontarkan tuduhan serupa. Misalnya, FJL Menezes (1911) dalam karyanya The Life anda Religion of Mohammad: The Prophet of Arabia menuduh : “Tidak ada suatu apapun dari al-Qur‟an itu, selain ciptaan dan rekaan Muhammad dan para sahabatnya.” Ketiga, Liberalisasi Syariat Islam. Inilah aspek liberalisasi yang paling banyak muncul dan menjadi pembahasan dalam bidang liberalisasi Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah qathi‟y dan pasti dibongkar dan dibuat hukum baru yang 162│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

dianggap sesuai dengan perkembangan zaman. Misalnya tentang hukum pernikahan antar agama. Menurut kelompok pro liberalisasi Islam, sebagaimana ditulis di dalam Fiqh Lintas Agama bahwa “pernikahan laki-laki non Muslim dengan wanita Muslim” merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihadi, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan laki-laki non Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat dibolehkan, apapun agama dan aliran kepercayaan (Husaini, 2007: 48-49). Bahkan Ulil Absar Abdallah menyatakan bahwa “Larangan kawin beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah tidak relevan lagi. Padahal larangan muslimah menikah dengan laki-laki non Muslim sudah menjadi Ijma‟ ulama dengan dalil-dalil yang sangat menyakinkan seperti : “Dan janganlah kamu mengawini perempuan-perempuan musyrikah, sehingga mereka beriman. Sesungguhnya hamba (budak) wanita yang mukminah lebih baik daripada wanita yang musyrikah, meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan (wanita mukminah dengan) laki-laki musyrik sehingga mereka beriman. Sesungguhnya hamba yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik walaupun dia menarik hatimu; Mereka mengajak ke nereka, sedang Allah mengajak ke surga dan keampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (hukum-hukum-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al-Baqarah [2]: 221). Begitu juga memorandum Organisasi Konferensi Islam (OKI) menyatakan bahwa “Perkawinan tidak sah kecuali atas Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │163

persetujuan kedua belah pihak, dengan tetap memegang teguh keimanannya kepada Allah bagi setiap Muslim, dan kesatuan agama bagi setiap muslimat. Demikianlah cara kaum Liberal dalam merombak hukum Islam, dengan mengubah metodologi Ijtihad yang lebih menekankan aspek konteks, tenimbang makna teks itu sendiri. Gagasaan mereka bisa berlangsung sangat liar tanpa batasan dan teori yang jelas dan sudah seharusnya di counter, agar kerusakan tidak menyebar kemana-mana dan melahirkan kerusakan jenis baru dalam diri umat Islam (Husaini, 2007: 52). D. Bahaya Liberalisme Liberalisme merupakan filosofi yang muncul di Eropa pada pergolakan kelas menengah kala menentang pihak-pihak khusus kerajaan, aristocrat dan kaum gereja. Lalu ia berubah menjadi gerakan yang memicu terjadinya Revolusi Prancis dan Amerika. Liberalisme kemudian menyebar menjadi sebuah gerakan dan paham yang dimanfaatkan orientalis sebagai kaki tangannya (Shofan, 2006: 356). Jika Orientalis menghujat al-Qur‟an secara terang-terangan, maka kalangan liberal menghujat al-Qur‟an dengan bahasabahasa ilmiah, sehingga membuat pendengarnya tersihir dan terbius oleh kata-kata mereka. Prilaku dan perbuatan seperti inilah yang merisaukan hati Yusuf Qaradhawi. Menurut ulama kharismatik dari Mesir ini, pada zaman sekarang ini kita mendapati ada orang yang meragukan keharaman khamr atau riba atau tentang bolehnya thalaq dan berpoligami dengan syaratsyaratnya. Ada yang meragukan keabsahan sunnah Nabi saw. sebagai sumber hukum. Bahkan ada yang mengajak kita untuk membuang seluruh ilmu al-Qur‟an (ulumul Qur‟an) dan seluruh warisan ilmu pengetahuan al-Qur‟an ke tong sampah untuk 164│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

kemudian memulai membaca al-Qur‟an dari nol dengan bacaan kontemporer, dengan tidak terikat dengan oleh suatu ikatan apa pun, tidak berpegang pada ilmu pengetahuan sebelumnya, juga tidak dengan kaidah dan aturan yang ditetapkan oleh ulama umat Islam semenjak berabad-abad silam. Ungkapan Yusuf Qaradhawi di atas merupakan tanggapan terhadap sekolompok Islam liberal di Mesir yang mencoba “mendekonstruksikan” ilmu-ilmu Islam. Padahal ilmu-ilmu tersebut dibangun dengan metodologi yang super hati-hati dan syarat-syarat mujtahid yang sangat ketat. Jadi, jangan seenaknya medekonsturksikan sesuatu tanpa mencoba merekonstruksikannya dengan yang lebih baik. Ibarat anak kecil yang pandai membongkar-bongkar mainan tanpa bisa memasangnya kembali karena ia tidak punya ilmu untuk pemasangan alat mainan itu (Hidayat, 2009: 107-108). Sementara Zuly Qadir (2003: 77) menyatakan kelompokkelompok yang tergabung dalam Islam Liberal merupakan Islam yang dipahami dengan liberalisme Barat. Ia membagi tiga macam Islam liberal, yakni; Pertama, Islam liberal secara eksplisit didukung oleh syariah, Kedua, silent syariah, yaitu sikap liberal yang dibiarkan oleh syariah karena syariah boleh diinterprestasikan secara terbuka, oleh siapa saja. Ketiga, interpretasi atas syariah (hukum) Islam sehingga siapa saja bisa melakukannya. Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Munasnya yang ke-7 pada 25-29 Juli 2005, di Jakarta, telah menetapkan fatwa tentang haramnya Liberalisme. Karena Liberalisme adalah sebuah paham yang memahami nash-nash agama (al-Qur‟an dan Hadits) menggunakan akal pikiran yang bebas; hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuai dengan akal pikiran semata (Husaini, 2007: 3). Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │165

Charles Kurzman dalam Liberal Islam A Sourcebook, mengakui bahwa istilah liberal mengandung konotasi negatif, diasosiasikan dengan dominasi asing, kapitalisme tanpa batas, dan kemunafikan yang mendewakan kebenaran (Shofan, 2006: 356). Maka, kemunculan intelektual muda Muslim di Indonesia akhirakhir ini, baik dari kalangan NU yang tergabung dengan Jaringan Islam Liberal (JIL) dan kalangan Muhammadiyah dalam Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), bukan menumbuhkembangkan kembali tradisi pemikiran umat Islam ke arah perbaikan dan perubahan sesuai tuntunan zaman. Tetapi, keberadaan mereka justru semakin menghambat perubahan cara berfikir umat Islam, dan semakin mengaburkan nilai-nilai Islam yang sebenarnya dan tidak jarang menjadi “kaki tangan” asing dalam menghancurkan Islam. Menurut Mu‟in Hidayat (2009: 175) kebebasan ala liberalisme adalah sebuah konsep yang tidak jelas ke mana manusia mau dibawa. Seringkali kebebasan itu merusak, bukan memperbaiki manusia. Seseorang yang melakukan hubungan seksual sebebas-bebasnya, orang yang bebas minum dan makan apa saja, orang yang berpakaian seenak nafsunya, maka yang terjadi pada orang-orang itu adalah kerusakan. Taqiyuddin AnNabhani menambahkan bahwa target liberalisme adalah menghancurkan Islam dengan tikaman dari dalam, menimbulkan keragukan terhadap Islam dan hukum-hukumnya, memalingkan umat Islam dari jalan Allah, dan menjauhkan kaum muslim dari Islam (Hidayat, 2009: 35).

166│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

A. Pengertian Utilitarianisme Utilitarianisme secara etimologis berasal dari bahasa Latin dari kata Utilitas, yang bearti useful, berguna, berfaedah dan menguntungkan. Paham ini menilai baik atau tidaknya, susila atau tidak susilanya sesuatu, ditinjau dari segi kegunaan atau faedah yang didatangkannya (Salam, 1997: 76). Sedangkan secara terminologis utilitarianisme merupakan suatu paham etis yang berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna, berfaedah, dan menguntungkan. Sebaliknya, yang jahat atau buruk adalah yang tidak bermanfaat, tak berfaedah, merugikan. Karena itu, baik buruknya perilaku dan perbuatan ditetapkan dari segi berguna, berfaedah, dan menguntungkan atau tidak (Mangunhardjo, 2000: 228). Menurut Jhon Stuart Mill sebagaimana dikutip Jalaluddin Rakhmat (2004: 54) Utilitarianisme merupakan aliran yang menerima kegunaan atau prinsip kebahagiaan terbesar sebagai landasan moral. Tindakan benar sebanding dengan apakah tindakan itu meningkatkan kebahagiaan, dan salah selama tindakan itu menghasilkan lawan kebahagiaan. Kebahagiaan adalah kesenangan dan hilangnya derita; yang dimaksud dengan ketakbahagiaan adalah derita dan hilangnya kesenangan. Utilitarianisme merupakan pandangan hidup bukan teori tentang wacana moral. Moralitas dengan demikian adalah seni bagi kebahagiaan individu dan sosial. Dan kebahagiaan atau

Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │167

kesejahteraan pemuasan secara harmonis atas hasrat-hasrat individu (Aiken, 2002: 177-178). B. Perkembangan Utilitarianisme Will Kymlicka (1990: 12-13) membagi utilitarianisme dalam empat varian sesuai dengan sejarah perkembangannya. Pada tahap pertama, utilitarianisme diartikan sebagai hedonisme kesejahteraan (walfare hedonism). Ini adalah bentuk utilitarianisme paling awal yang memandang bahwa pemenuhan kebahagiaan manusia terletak pada terpenuhinya hasrat kesenangan manusia yang bersifat ragawi. Model utilitarianisme ini sangat tidak tepat sasaran, sebab boleh jadi apa yang terasa nikmat belum tentu baik bagi individu. Oleh karena itu, muncul jenis utilitarianisme kedua, utilitas bagi keadaan mental yang tidak beriorientasi hedonis (nonhedonistic mental-state utility). Pada perkembangan ini, aspek hedonistik dihilangkan dan diganti dengan kesenangan yang menjamin kebahagiaan. Utilitarianisme dipahami sebagai terpenuhinya semua pengalaman individu yang bernilai, dari mana pun hal itu berasal. Utilitarianisme model kedua juga menyimpan persoalan, karena pengalaman yang bernilai ternyata tidak satu, dan tidak mungkin semua pengalaman bernilai itu terpenuhi dalam satu waktu. Individu harus memilih. Utilitarianisme model ketiga adalah terpenuhinya pilihan-pilihan individu. Utilitarianisme tahap ini disebut sebagai pemenuhan pilihan (preference satisfaction). Utilitarianisme tahap ini mengandaikan adanya unsur keterlibatan rasionalitas dalam memenuhi utilitas. Pada tahap terakhir, utilitarianisme diartikan sebagai terpenuhinya pilihan-pilihan rasional individu yang berdasar kepada pengetahuan dan informasi yang utuh mengenai pilihan-pilihan tersebut. Utilitarianisme ini disebut pilihan yang berbasis 168│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

informasi (informed preference) (Kymlicka, 1990: 15-16). Rasionalitas atau informed preference bukan malah semakin membebaskan manusia dan menunjukkan jalan terbaik bagi pemenuhan kebutuhan manusia, malah akan menjadi legitimasi bagi totalitarianisme. Apalagi, utilitarianisme terkenal dengan semboyan “The greatest happiness of the greatest number” (kebahagiaan yang sebesarbesarnya bagi sebanyak mungkin orang) (Kymlicka, 1990: 12). C. Pokok-Pokok Pikiran Utilitarianisme Utilitarianisme merupakan salah satu teori besar etika yang muncul pada abad 19 M. Kemunculannya di latarbelakangi oleh keinginan besar untuk melepaskan diri dari belenggu doktrin hukum alam. David Hume dan Helvetius, dan Beccaria adalah arsitek utama doktrin utilitarianisme tersebut. Namun, Jemery Bethamlah (1748-1832) yang berhasil merumuskannya dalam sebuah teori formal tentang reformasi sosial sehingga menjadi kiblat bagi kelas menengah. Sebab konsep yang ditawarkan sangat mendukung eksistensi dan kepentingan mereka (Schmand, 2002: 441). Utilitarianisme terkadang disebut dengan Teori Kebahagiaan Terbesar yang mengajarkan tiap manusia untuk meraih kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak. Kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan intrinsik, dan penderitaan adalah satu-satunya kejahatan intrinsik. Oleh karena itu, sesuatu yang paling utama bagi manusia menurut Betham adalah bahwa kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga menghasilkan akibat-akibat baik sebanyak mungkin dan sedapat dapatnya mengelakkan akibat-akibat buruk. Kebahagianlah yang baik dan penderitaanlah yang buruk (Shomali, 2005: 11). Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dapat dinilai baik atau buruk Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │169

sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan sebanyak mungkin orang. Prinsip kegunaan harus diterapkan secara kuantitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama sedangkan aspek kuantitasnya dapat berbeda-beda. Dalam pandangan utilitariasme klasik, prinsip utilitas adalah the greatest happiness of the greatest number (kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin orang). Hal ini dapat dipahami bahwa di mana kebahagiaan disamakannya dengan kenikmatan dan dengan kebebasan perasaan sakit. Berkat konsep fundamentalnya tersebut Jeremy Betham diakui sebagai pemimpin kaum Radikal Filosofis yang sangat berpengaruh. Akan tetapi teori yang di usung Betham tersebut mempunyai banyak kelemahan terutama tentang moralitas, sehingga para pengkritik mencelanya sebagai pig philosophy; filsafat yang cocok untuk Babi. Salah paham tersebut kemudian berusaha diluruskan kembali oleh pengikutnya, Jhon Stuart Mill (1806-1873) (Suseno, 1998: 173). Adapun pokok-pokok pikiran dari utilitarianisme adalah sebagai berikut; Pertama, dasar normatif artinya suatu tindakan dianggap benar kalau bermaksud mengusahakan kebahagiaan atau menghindari hal yang menyakitkan, dan buruk kalau bermaksud menimbulkan hal yang menyakitkan atau tidak mengenakkan. Kedua, dasar Psikologi artinya dalam hakikat manusia berasal dari keyakinannya bahwa kebanyakan, dan mungkin saja semua, orang punya keinginan dasar untuk bersatu dan hidup harmonis dengan sesama manusia (Salam, 1997: 77-78). Tujuan perbuatan manusia dan ukuran moralitas adalah hidup bebas dari kesedihan, dan kaya se-kaya-kayanya dalam kesenangan, baik dalam kualitas maupun kuantitasnya. Bagi Mill kebajikan tidaklah berlawanan dengan kebahagiaan. Kebajikan adalah salah satu unsur yang membuat bahagia (Poespoprodjo,1999: 62-63). 170│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Menurut Mill, semula manusia memang bukan menginginkan keutamaan (atau uang dan sebagainya) demi dirinya sendiri, melainkan hanya sebagai sarana untuk menjadi bahagia. Manusia menyadari bahwa ia hanya dapat menjadi bahagia apabila memiliki keutamaan, maka ia mengusahakan agar ia memilikinya. Tetapi dengan terus mengejar keutamaan, lamakelamaan keutamaan dikaitkan sedemikian erat dengan kebahagiaan sehingga seakan-akan menjadi bagian dari kebahagiaan (Suseno,2003:184). Bagi Mill keinginan untuk memeroleh kesenangan yang besar merupakan satu-satunya motif tindakan individu, dan bahwa kebahagiaan yang paling besar dari setiap orang merupakan patokan bagi kebaikan masyarakat dan sekaligus menjadi tujuan dari semua tindakan moral Kebahagiaan adalah kesenangan (pleasure) dan bebas dari perasaan sakit (pain) sedang ketidakbahagiaan berarti adanya perasaan sakit (pain) dan tidak adanya kesenangan. Maka, Ada dua hal yang dapat dipahami, a), moralitas tindakan diukur dari sejauh mana diarahkan kepada kebahagiaan, dan b), kebahagiaan sendiri terdiri atas perasaan senang dan kebebasan dari rasa sakit (Suseno,2003:181). Bagi Mill kebahagiaan terbagi dalam enam disposisi, yaitu: a), baik dalam bidang pikir maupun kerja, terdapat konsekuensikonsekuensi senang dan susah. Satu-satunya yang diinginkan ialah kesenangan, sebagai konsekuensi logis. b), dari segi psikologi, di mana pun manusia berada, apa pun yang mereka kerjakan, sudah menjadi wataknya, manusia itu selalu mendambahkan/menginginkan kesenangan. c), antara kesenangan-kesenangan itu sendiri kualitasnya tidak sama. Sudah tentu orang akan memilih jenis kesenangan yang menurut anggapannya lebih baik dan lebih sesuai dengan dirinya. Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │171

d),bahwa kesenangan itu sendiri dapat dirasakan oleh banyak orang. Bila masih ada hal-hal lain yang diperlukan di luar dari kesenangan maka hal-hal lain itu tidak lebih daripada pelengkap dari kesenangan itu sendiri. e), bahwa bila terdapat dua jenis kesenangan yang dianggap sama, maka yang dijadikan kriteria untuk memilih mana di antaranya yang terbaik, maka dipilihlah yang paling lama memberikan kesan, yang paling lama dapat dinikmati tanpa mengaitkan penilaian itu dengan biayanya. f), bahwa kesenangan itu adalah merupakan suatu yang paling pantas diterima oleh seseorang yang telah bekerja, telah berusaha dan telah berjuang dalam hidupnya (Salam,1997: 92-93). Mill berusaha menunjukkan bahwa kebahagiaan mempunyai karakteristik kualitatif dan kuantitatif. Sehingga bukan merupakan penyimpangan dari prinsip utilitas dengan mengakui kenyataan bahwa beberapa jenis kesenangan mempunyai kualitas lebih tinggi dibandingkan yang lain. Satu orang mungkin lebih memilih satu kesenangan dari kesenangan lainnya meskipun itu diperoleh dengan ketidakpuasan yang lebih besar. Individu yang bijak menuntut lebih dari sekedar kesenangan lahiriah (sensual pleasure) untuk membuatnya bahagia. Bagi orang seperti ini, ketidakpuasan di bawah kondisi tertentu lebih baik dari kepuasan. ”Lebih baik menjadi manusia yang tidak puas daripada menjadi babi yang puas; lebih baik menjadi Sokrates daripada orang tolol yang puas (Schmandt,2002: 455-456). Kemudian tentang kebebasan manusia, kelompok utilitarianisme memandang bahwa kebebasan adalah sarana dan sekaligus tujuan, suatu syarat bagi kesejahteraan umum dan komponen intrinsik bagi kebahagiaan pribadi. Karena kebebasan merupakan kebaikan tertinggi yang bisa diwujudkan oleh masyarakat yang terorganisir (Aiken, 2002: 178-179). Mill mendata tiga kategori utama: Kebebasan berbicara, 172│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

mendapatkan pekerjaan dan berkumpul. Tidak ada masyarakat yang bisa disebut bebas jika tiga kebebasan tersebut tidak dihormati, apapun bentuk pemerintahannya. Untuk menjustifikasi kebebasan-kebebasan tersebut, Mill menggunakan argumentasi yang sangat pragmatis dan utilitarian. Adalah penting manusia mengekspresikan kebebasannya karena pertama, pendapatnya mungkin benar. Kedua, meskipun pendapatnya mungkin salah. Ketiga, apakah pendapatnya salah atau benar, ia mendorong pemikiran dan respon. Bahaya khusus dari menyembunyikan pendapat adalah dalam merampas harkat manusia: orang-orang yang tidak menerima pendapat masih lebih banyak dari mereka yang menerima. Jika pendapatnya benar, maka mereka tidak mempunyai kesempatan mengganti kesalahan dengan kebenaran; jika salah, mereka kehilangan manfaat besar, persepsi yang lebih jelas dan kesan yang lebih hidup akan kebenaran, yang ditimbulkan oleh benturannya dengan kesalahan (Schmandt, 2002: 460). Kebebasan-kebebasan tersebut tidak berlaku sepanjang waktu dan dalam semua keadaan. Tindakan tidaklah sebebas pendapat dan bahkan kehilangan kebebasannya jika lingkungan di mana pendapat itu dinyatakan menunjukkan dorongan positif pada tindakan kejahatan. Kebebasan bertindak dan berbicara hanya berlaku bagi mereka yang sudah dewasa. Anak-anak tidak mempunyai hak karena mereka masih dalam tahap di mana mereka harus dilindungi dari tindakan yang merugikan yang berasal dari orang lain dan diri mereka sendiri (Schmandt, 2002: 462). Selain itu, membatasi kebebasan individu seseorang adalah untuk melindungi kebebasan orang lain. Karena tanpa kebebasan seorang pribadi tidak dapat menyadari bakat dan kebahagiaannya (Solomon dan Higgins,2002: 459-460).

Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │173

D. Bahaya Utilitarianisme Utilitarianisme adalah salah satu pendekatan yang paling berpengaruh untuk etika normatif dalam sejarah filsafat. Paham ini membahas banyak topik. Akan tetapi, pada umumnya topik yang dibahas terkait pandangan bahwa tindakan moral yang benar adalah tindakan yang paling banyak memberikan kebaikan. Menurut cara pandang utilitarianisme, seseorang mesti berusaha memaksimalkan kebaikan bersama, yang berarti menganggap kebaikan bagi orang lain sama dengan kebaikan bagi mereka sendiri. Jeremy Bentham dan John Stuart Mill merupakan beberapa sosok yang paling berpengaruh dalam perkembangan utilitarianisme klasik. Ciri khas dari utilitarianisme adalah pendekatannya yang bersifat kuantitatif dan reduksionis terhadap etika. Utilitarianisme dengan prinsip the greatest happiness of the greatest number seolah-olah menjadi teori etika konsekuensialisme dan welfarisme. Konsekuensialisme dipahami sebagai paham yang berpendirian bahwa yang baik ditetapkan berdasarkan akibat. Bila akibat itu baik, maka perbuatan yang bersangkutan baik. Sebaliknya, meskipun dikatakan baik, bila akibatnya buruk, maka perbuatan yang bersangkutan buruk. Welfarisme adalah paham yang berpendirian bahwa usaha masyarakat, terutama negara, harus ditujukan untuk kesejahteraan masing-masing warga negara dan rakyat secara keseluruhan. Karena itu, utilitarianisme berpendirian bahwa perbuatan baik ditentukan menurut akibat baik, kegunaan, manfaat, dan keuntungannya bagi masing-masing dan sebagian besar orang yang terkena (Mangunhardjo. 2000: 229). Sebagai prinsip moral, utilitarianisme mengandung beberapa kelemahan mendasar. Pertama, Terlalu menekankan kegunaan, 174│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

manfaat keuntungan, sebagai kriteria untuk menilai baik dan buruknya perbuatan. Muncul pertanyaan, ”berguna untuk siapa”?. Kegunaan, manfaat, keuntungan selalu berhubungan dengan orang yang terkena. Padahal pandangan orang tentang apa yang berguna, bermanfaat, menguntungkan sangat subyektif dan berbeda-beda. Apalagi prinsip kegunaan tidak memberi jaminan apa pun bahwa kebahagiaan dibagi juga dengan adil. Jika dalam suatu masyarakat mayoritas terbesar hidup makmur dan sejahtera serta hanya ada minoritas kecil yang serba miskin dan mengalami rupa-rupa kekurangan, menurut utilitarisme dari segi etis masyarakat seperti telah diatur dengan baik, karena kesenangan melebihi ketidaksenangan (Bertens,2000: 252). Kedua, Utilitarianisme sangat memperhatikan akibat dan bukan hakikat perbuatan. Hal tersebut menyebabkan atas nama Utilitarianisme, orang tidak perlu sibuk dengan pemikiran tentang hakikat, tetapi apa akibat bagi hidup kita. Maka dalam prakteknya Utilitarianisme mudah mengesampingkan fakta kemanusiaan dan etis dasar yang tersangkut oleh perbuatan. Alasannya jelas sebab fakta kemanusiaan dan etis dasar itu secara langsung menampakkan ketidakgunaan, ketidakmanfaatan, dan kerugiannya. Atas nama keuntungan, orang-orang utilitarianisme dengan tenang akan melanggar hak asasi manusia seperti hak milik. Ketiga, utilitarianisme mendorong tumbuhnya mentalitas instan, langsung (immediate), berfikiran dan pandangan pendek (short sight). Karena terjebak pada paradigma kegunaan, manfaat, dan keuntungan untuk memenuhi kebutuhan. Maka ada kemungkinan memakainya untuk membenarkan perbuatan yang menurut pendapat umum egois bahkan amoral (Bertens,2000: 229-230). Namun di balik itu semua, ada hal yang sangat positif dari etika Utilitarianisme, 1), Rasionalitas. Suatu tindakan dipilih, Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │175

atau pada gilirannya dinilai baik, karena tindakan itu akan mendatangkan akibat baik yang lebih banyak daripada tindakannya. Di sini ada sebuah neraca perhitungan. Dengan demikian, dalam kerangka pengambilan keputusan, khususnya dalam bidang bisnis, Ia memberi peluang bagi debat, argumentasi dan diskusi dalam rangka kalkulasi keuntungan atau nilai lebih yang akan diperoleh suatu tindakan atau kebijakan tertentu. Ia tidak sekedar menenakankan tindakan tertentu demi tindakan itu, melainkan karena alasan rasional. 2), Universalitas. Akibat atau nilai lebih yang hendak dicapai diukur berdasarkan banyaknya orang yang memperoleh manfaat dari nilai lebih itu. Etika utilitarianisme mengutamakan tindakan atau kebijaksanaan yang mengutamakan kepentingan banyak orang di atas kepentingan segelintir orang atau golongan (Berten, 2000: 78). 3). Kebahagiaan merupakan tolak ukur utilitarianisme tentang betul-salahnya kelakukan manusia bukanlah kebahagian si pelaku sendiri, melainkan kebahagiaan semua orang yang bersangkutan. Utilitarianisme menuntut agar pelaku berlaku dengan tidak berpihak, sebagai pengamat positif dan tanpa pamrih, dalam memilih antara kebahagiaannya sendiri dan kebahagiaan orang lain (Suseno,2003 :182). Menurut Perspektif Islam aliran utilitarianisme sangat berbahaya karena akan menghalalkan segala cara agar mendapat kebahagiaan yang diimpikan. Sedangkan Islam sendiri dengan konsep rahmatan lil alamien-nya mempunyai ajaran al-amru bi alma‟ruf wa al-nahyu ‟an al-munkar artinya mengajak sebanyakbanyaknya manusia untuk selalu melaksanakan kebaikan agar mendapat kebahagiaan hakiki dan mencegah manusia sebanyakbanyaknya dari perbuatan tercela agar tidak terjebak pada perbuatan-perbuatan yang merugikan baik bagi diri sendiri 176│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

maupun orang lain. Sebagaimana doa yang sering diucapkan setiap muslim selesai beribadah kepada Allah SWT; ” ”Ya Allah berilah kami kebahagiaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat, dan jauhkanlah kami dari azab api neraka.” Menurut al-Mawardi sebagaimana dikutip Suparman Syukur (2004: 217-218), maksud dan tujuan diwajibkannya al-amar bi alma‟ruf di dalam Islam adalah untuk menekankan betapa pentingnya melakukan perintah-perintah Allah (yang tentunya terkandung berbagai kebaikan bagi manusia sendiri dalam hidupnya), sedangkan perintah meninggalkan laranganlarangannya, tidak lain untuk menekankan manusia betapa ruginya melakukan hal-hal tersebut. Perintah melakukan hal yang baik dan meninggalkan hal yang buruk menjadi semakin penting karena jiwa manusia yang loba itu sering didominasi oleh sifat kekanak-kanakan dan kebodohan (sabwah) dalam mengikuti segala perintah Allah, dan sering terbuai kelalaian oleh beberapa keinginan yang jelek (al-syahawat), sehingga lupa terhadap larangan-larangan tersebut. Dari perspektif lain setidaknya ada tiga bahaya dari utilitarianisme antara lain; pertama, Semua dilihat dari aspek kepentingan manusia, sehingga terjadi konflik kepentingan dan timbul masalah moral yang sulit diselesaikan. Semangat hedonistis yang mewarnai citra utilitarianisme menjadikan sifat moral dikesampingkan ataupun diganti dengan nilai moral yang sangat relatif dan rendah sifatnya. Disini sifat dosa diumbar dan dipuaskan tanpa ada penghalang yang membatas lagi. Kedua, Di sini terjadi kesalahan fatal. Utilitarian telah memutlakkan yang relatif. Ketika manusia mengejar kebahagiaan pribadi dengan batasan dan perbandingan nilai yang relatif, tanpa standard yang sejati, telah kehilangan basis kemutlakkan yang sesungguhnya. Akibatnya, diri dijadikan basis mutlak, dan itu berarti akan Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │177

menolak Allah sebagai penentu dan standard kemutlakkan yang benar. Ketiga, Hidup hanya mengejar kekinian yang akan meniadakan aspek kekekalan. Karena utilitarian hanya bisa melihat nilai-nilai yang ada di dunia ini, maka seluruh pengharapan akan kekekalan dan sifat-sifat ilahi diabaikan. Dari berbagai argumentasi di atas dapat dipahami bahwa utilitarianisme merupakan salah satu pendekatan yang paling berpengaruh untuk etika normatif dalam sejarah filsafat. Paham ini membahas banyak topik. Akan tetapi, pada umumnya topik yang dibahas terkait pandangan bahwa tindakan moral yang benar adalah tindakan yang paling banyak memberikan kebaikan. Menurut cara pandang utilitarianisme, seseorang mesti berusaha memaksimalkan kebaikan bersama, yang berarti menganggap kebaikan bagi orang lain sama dengan kebaikan bagi mereka sendiri. Padahal cara pandang seperti ini sangat berbahaya, cenderung akan menghalalkan segala cara agar mendapatkan kebaikan, berorientasi hedonis dan terlepas dari nilai-nilai ilahiah.

178│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

DAFTAR PUSTAKA

Aiken D., Henry, 2002, The Age of Ideology, Terj. Sigit Djatmiko, Abad Ideology, Yogyakarta: Bentang Budaya. Al-Hasany, Ahmad Zahro, 1996. “Islam dan Perempuan; Diskursus Islam, Pemikiran RA. Kartini dan Feminisme”, dalam Tim Risalah Gusti (Penyunting), Membincang Feminisme; Diskursus Gender Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti. Al-Adnani, Abu Fatiah, Kita Berada di Akhir Zaman, Surakarta: Granada Mediatama. Al-Baghdady, Abdurrahman, 2009, “Kata Pengantar” dalam, Hidayat, Nuim, Imperialisme Baru, Jakarta: Gema Insani. Al-Hasany, Ahmad Zahro, 1996. “Islam dan Perempuan; Diskursus Islam, Pemikiran RA. Kartini dan Feminisme”, dalam Tim Risalah Gusti (Penyunting), Membincang Feminisme; Diskursus Gender Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti An-Nabhani, Taqiyuddin, 1998, Nizham Al-Ijtima'i Fil Islam, Terj. Tim Kafi' LSIA, Surabaya: Kafi' (Kajian Fajar Kontemporer) LSIA (Lembaga Studi Islam dan Bahasa Arab. _____________________, 2009, Daulah Islam, Terj. Umar Faruq, Jakarta: HTI Press. Armas, Adnin, 2003, Pengaruh Kristen – Orientalis Terhadap Islam Liberal, Jakarta: Gema Insani. Assamurai, Qassim, 1996, Bukti-Bukti Kebohongan Orientalis , Jakarta: Gema Insani Press. Bathh, Hasanain, 2004, Anatomi Orientalisme ; Menguak Tujuan Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │179

dan Bahaya Orientalisme, serta Cara Umat Islam Menghadapinya, Yogyakarta: Menara Kudus. Bertens, K., 2000, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Bouchier, David, 1983. The Feminist Challenge; The Movement for Woman‟s Liberation in Britain and the United State, London: Macmillan. BSOM Unsri, 2009, Buku Panduan Mentoring, Palembang, Universitas Sriwijaya. Buchari, Didin Saefudin, 2009, Sejarah Politik Islam, Jakarta: Pustaka Intermasa. Burhanuddin, Tamyiz, 2003. “Fatima Mernissi: Menggugat Ketidakadilan Gender”, dalam A. Khudori Sholeh (ed.), Pemikiran Islam Kontemporer, Yogyakarta: Jendela. Carr, Anne, 1988. Transforming Grace: Christian Tradition and Woman‟s Experience, San Fransisco: Harper and Row. Dahlan, Abdul Aziz, dkk (ed), 2001, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve Eckstein, Haary, dan David Apter (Eds.), 1963. Comparative Politics: A Reader, New York: Free Press. Effendi, Johan, 2004, Kemusliman dan Kemajemukan Agama, dalam “Dialog: Kritik & Identitas Agama”, Elpa Sarapung (Ed), Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Eisentein, Zillah (ed.), 1974. Capitalist Patriarchy and the Case for Socialist Feminism, New York: Monthly Review Press. Engineer, Asghar Ali, 2004, Islam and Secularism,Terj. Tim Forstudia, Islam Masa Kini, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Erwin, Muhammad dan Amrullah Aspan, 2007, Filsafat Hukum, Palembang: Universitas Sriwijaya. Esposito, John L., (et.al), 2002, Islam, Modernism and The West (Kultural and Political Relations at The End of the Millenium, terj. Ahmad Syahidah, Dialektika Peradaban (Modernisme Politik dan 180│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Budaya di Akhir Abad ke-20), Yogyakarta: Qalam, cet. I Faqih, Mansour, 2001. Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ____________, 1996. “Posisi Kaum Perempuan dalam Islam; Tinjauan dari Analisis Gender”, dalam Tim Risalah Gusti (penyunting) Membincang Feminisme; Diskursus Gender perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti. Guettel, Charnie, 1974. Marxim and Feminism, Toronto: The Women Press. Hamid G, Abdul, 1992, Menyingkap Tabir Orientalisme , Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Hasanain, Abdul Mun‟im Moh, 1979, Orientalisme ;Usaha Dan Tujuannya Dalam Rangka Menggerogoti Da‟wah dan Ajaran Islam, Jakarta: Penerbit Mutiara. Hidayat, Komaruddin, 1998, Tragedi Raja Midas, Jakarta: Paramadina. Hidayat, Nuim,2009, Imperialisme Baru, Jakarta: Gema Insani. Huntinton, Samuel P. 1997, The Clash of Civilization and the Remaking of World Order New York : A Touchstone Book. Husain, Adian, 2005, Pluralisme Agama= Haram; Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontraversial, Jakarta: Pustaka al-Kautsar. _______________, 2001, Rajam dalam Arus Budaya Syahwat; Penerapan Hukum Rajam di Indonesia dalam Tinjauan Syariat Islam, Hukum Positif dan Politik Global, Jakarta: Pustaka AlKautsar. _______________, 2002, Penyesatan Opini, Jakarta: Gema Insani Press. _______________, 2005, Wajah Peradaban Barat, Jakarta: Gema Insani Press. ________________, 2006, Hegemoni Kristen – Barat; dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi, Jakarta: Gema Insani Press. Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │181

________________, 2007, Liberalisasi Islam di Indonesia, Jakarta: Dewan Da‟wah Islamiyah Indonesia. ________________, 2010, Pancasila Bukan untuk Menindas Hak Konstitusional Umat Islam, Jakarta: Gema Insani Press. Jaggar, A., 1977. “Political Philosophies of Women‟s Liberation”, dalam Veterling-Braggin, Feminism and Philosophy, West Harthorth: Kumarian Press. Kelsen, Hans, 1961, General Theory of Law and State, Translated by: Anders Werberg, New York: Russell & Russell. Los Angeles: University California Press. Khadhar, Lathifah Ibrahim, 2004, Ketika Barat Memfitnah Islam, Terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema Insani. Kymlicka, Will, 1990, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, Oxford: Clarendon Press, Lidinillah, Mustafa Anshori, dkk, 2006, Pendidikan Agama Islam, Yogyakarta: Badan Penerbit Filsafat UGM. Lips, Hilary M., 1993. Sex and Gender: An Introduction, London: Mayfield Publishing Company. Lumintang, Stevri Indra, 2004., Teologi Abu-Abu Pluralisme Agama, Malang: Gandum Press. Lyons, D, 1983, Ethics and the rule of Law, Cambrige: Cambrige University Press. Madjid, Nurcholis, Islam dan Doktrin Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995. Manan, Abdul, 2007, Reformasi Hukum Islam di Indonesia; Tinjauan dari Aspek Metodologis, Legalisasi, dan Yurisprudensi, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada. Mangunhardjo, 2000, Isme-Isme dalam Etika, Yogyakarta: Kanisius. Mernisi, Fatimma, dan Riffat Hassan, 1995. Setara di Hadapan Allah: Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Tradisi Islam Pasca 182│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Patriarki, Terj. Tim LSPPA, Yogyakarta: LSPPA. McCouberly, Hilaire & White, Nigel D., 1999, Jurisprudence, Blackstone Press Limited. Morgan, Sue, 2002. “Pendekatan Feminisme”, dalam Peter Connoly (ed.), Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta: LKiS. Mufti, Abdul, 2004, Deformalisasi Syariat, Jakarta: Pemuda Muhammadiyah Press. Muslehuddin, Muhammad, 1980, Philosophy of Islamic Law and The Orientalis t; A Comparative Study of Islamic Legal System, Lahore: Islamic Publications Ltd. Natsir, Haidar, dkk, 1994, Materi Induk Perkaderan Muhammadiyah, Yogyakarta: Badan Pendidikan Kader Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Oakly, Anne, 1972. Sex, Gender and Society, New Yorkt: Harper and Row. Onghokham,2004, Pluralisme Agama dalam Perspektif Sejarah, dalam “Dialog: Kritik & Identitas Agama”, Elpa Sarapung (Ed), Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Partanto, Pius A dan M. Dahlan Al-Barry, 1994, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya, Penerbit Arkola. Perdana, Divana,2003, DUGEM; Eksperesi Cinta, Seks dan Jati Diri, Yogyakarta: Diva Press. Poespoprodjo, W,1999, Filsafat Moral, Bandung: Pustaka Grafika. Prasetyo, Eko, 2003, Astaghfirullah; Islam Jangan Dijual, Yogyakarta: Resist Book. Qadir, Zuly, 2003, Islam Liberal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Rachman, Budhy Munawar, 1996. “Islam dan Feminisme: Dari Sentralisme kepada Kesetaraan”, dalam Tim Risaah Gusti (Penyunting), Membincang Feminisme; Diskursus Gender Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │183

Perspektif Islam, Surabaya: Risalah Gusti Ruether, Rosemary Radford, 1983. Sexism and God-Talk: Toward a Feminist Theology, London: SCM Press. Rahardjo, Satjipto, 2000, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bhakti. Rahman, Fazlur, dkk, 2000, Agama Untuk Manusia, Penj. Ali Noer Zaman,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I. Rakhmat, Jalaluddin, 2004, Meraih Kebahagiaan, Bandung: Simbiosa Rekatama Media. Rasjidi, Lili dan Ira Rasjidi, 2001, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti Rasyid, Daud, 2006, Pembaharuan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Bandung: Syaamil. Said, Edward W, 2001, Orientalisme , Penj. Asep Hikmat, Bandung: Pustaka. Salam, Burhanuddin, 1997, Etika Sosial(Asas Moral dalam Kehidupan Manusia), Jakarta: Rineka Cipta. Salman, Otje, 1988, “Teori-teori Hukum di Negara-negara Berkembang; Perlunya Suatu Pendekatan Baru, dalam Rasjidi, Lili dan Sidharta, B. Arief, 1988, Filsafat Hukum Madzhab dan Refleksinya, Bandung: Remaja Karya. Samudera, Imam, 2004, Aku Melawan Teroris, Surakarta: Gama Media Pratama. Schmandt, Henry, J., 2002, A History of Political Philosophy, Terj. Ahmad Baidlowi dan Imam Bahehaqi, Sejarah Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Shihab, M. Quraish, 2007, Tafsir Al-Misbah (Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur‟an ), Jakarta: Lentera Hati, 2007, cet. IX. Shiva, Vandana, 1989. Staying Alive: Women, Ecology and Development, London: Zed Books Ltd. Shomali, Muhammad A, 2005, Ethical Relativsm; An Analysis of 184│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

the Foundations of Morality, Penj. Zaimul Am, Relativisme Etika, Jakarta: Serambi. Sirry, Mun‟in A, “Kata Pengantar” dalam Spencer, Robert, Islam Unveilied : Disturbing Questions About the World‟s, terj. Mun‟in A. Sirry, Islam Ditelanjangi, Jakarta: Paramadina. Soetiksno, 2008, Filsafat Hukum, Jakarta: PT. Pradnya Paramita. Solomon, Robert C. dan Kathleen M. Higgins, 2002, A Short History of Philosophy, Terj. Saut Pasaribu, Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Bentang Budaya. Sou‟yb, Joesoef, 1985, Orientalisme dan Islam, Jakarta: Bulan Bintang. Spencer, Robert, Islam Unveilied : Disturbing Questions About the World‟s, terj. Mun‟in A. Sirry, Islam Ditelanjangi, Jakarta: Paramadina. Shofan, Moh, 2006, Jalan Ketiga Pemikiran Islam; Mencari Solusi Perdebatan Tradisonalisme dan Liberalisme, Yogyakarta: IRCISOD. Sudarsono, 1992, Kamus Hukum, Jakarta: PT. Rineka Cipta. Sueb, Musa, 1996, Urgensi Keimanan dalam Abad Globalisasi, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.. Sutton, F.X., 1963. “The Pattern Variable” dalam Haary Eckstein dan David Apter (Eds.), Comparative Politics: A Reader, New York: Free Press. Sumaryono, E, 2000. Etika dan Hukum; Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas, Yogyakarta: Kanisius. Suseno, Franz Magnis,1998, 13 Model Pendekatan Etika, Yogyakarta: Kanisius. __________________, 2001, Etika Politik; Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. __________________, 2003, 13 Tokoh Etika, Yogyakarta: Kanisius. Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │185

Sutton, F.X., 1963. “The Pattern Variable” dalam Haary Eckstein dan David Apter (Eds.), Comparative Politics: A Reader, New York: Free Press Syam, Firdaus, 2007. Pemikiran Politik Barat. Jakarta. Bumi Aksara. Syukur, Suparman, 2004, Etika Relegius, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Thalib, Muhammad, 2007, Melacak Kekafiran Berfikir, Yogyakarta: Uswah. Thantowi, Jawahir, 2001, Pesan Perdamaian Islam, Yogyarta: Madyan Press, cet. I. Thoha, Anis Malik, 2005, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis, Depok: Perspektif, cet. I. _______________, 2005b, “Pluralisme Agama : Sebuah Agama Baru” Kata Pengantar dalam Husain, Adian, 2005, Pluralisme Agama= Haram; Fatwa MUI yang Tegas dan Tidak Kontraversial, Jakarta: Pustaka al-Kautsar. Umar, Nasaruddin, 2001. Argumen Kesetaraan Gender Perspektif alQur‟ân, Jakarta: Paramadina. Usman, Suparman, 2002, Hukum Islam; Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Gaya Media Pratama. Watt, William Montgomery, Islam, A. Short History, Perj. Imron Rosjadi, Islam, Yogyakarta: Jendela, 2002. Wily, Markus, dkk., 1997. Kamus Lengkap Plus; Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Surabaya: Arkola. Yudha, Syaifullah Z., 2007 Pion-Pion Iblis; Para Penghujat Islam dari Salman Rushdie Hingga George W Bush, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Yaqub, Ali Mustafa, 2006, Haji Pengabdi Setan, Jakarta: Pustaka Firdaus. 186│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Majalah, Makalah, Koran dan Internet Abu Umar Abdillah, 2010, “Gender Equality versi Aminah Wadud”, dalam www.pakdenono.com diakses tanggal 29 September 2010. Aravik, Havis, 2012,“Mewaspadai Lima Jebakan Modernisasi”,dalam Mimbar Jum‟at Sriwijaya Post, Jum‟at 7 Desember 2012. ___________, 2013,“Pakaian Wanita yang Baik di Mata Islam, dalam Mimbar Jum‟at Sriwijaya Post, Jum‟at, 29 Maret 2013. Armas, Adnin, 2004, “Kritik Arthur Jeffery Terhadap Al-Qur‟an ”, dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Tahun I No. 2, Juni – Agustus 2004. ___________, 2006, “Arthur Jeffery; Orientalis Penyusun AlQur‟an Edisi Kritis”, dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Vol. III No. 1, Tahun 2006. Husain, Adian, 2006, “Mengapa Barat Menjadi SekularLiberal?”, Makalah pada A Two Day Workshop : On Islamic Civilization Studies, Universitas Islam Sultan Agung, Bandungan : 21 – 23 Juli 2006. Hidayat, Samsul, 2006, “Ghazwul Fikri; Mitos atau Realitas?”, dalam Majalah, Tabliqh, Vol. 04/No. 04/Rajab 1427 H/Agustus 2006 M. ISLAMIA, Islam dan Paham Pluralisme Agama, Tahun I No. 3 Rajab – Syawal 1425/September – Nopember 2004. Megawangi, Ratna, 1994. “Perkembangan Teori Feminisme Masa Kini dan Mendatang serta Kaitannya dengan Pemikiran Keislaman”, dalam Jurnal Ulumul Qur‟an, No. 5, Vol. V. PC Siswantoko, 2004, “Pluralisme dan Dialog Kehidupan”, Kompas, Senin, Desember 2004. Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │187

Rais, Amien, 2010, “Wawancara”, dalam Majalah Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah Edisi Maret 2010. Shiddiq al-Jawi, Muhammad, 2010, “Mengapa Kita Menolak Sekularisme?”, dalam www.pakdenono.com diakses tanggal 29 September 2010). Syafrin Manurung, Nirwan, 2006, “Sejarah Fiqh Islam dalam Perspektif Orientalis”, dalam Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam Islamia, Vol. III No. 1, Tahun 2006. Syaukani, Lutfi, 1994. “Oksidentalisme: Kajian Barat Setelah Kritik Orientalisme”, dalam Jurnal Ulum al-Qur‟ân, Volume. V. Thoha, Anis Malik, “Mengarai Implikasi Paham Pluralisme Agama”, Makalah pada A Two Day Workshop : On Islamic Civilization Studies, Universitas Islam Sultan Agung, Bandungan : 21 – 23 Juli 2006. Wijdan S. Z, Aden, “Mencari Format Pluralisme Agama”, Jawapost, Sabtu 21 Juni 2003.

188│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

Lampiran 1 Pluralisme Agama oleh Amien Rais. Wawancara ini dikutip dari Majalah Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah Edisi Maret 2010. Apa pendapat Anda mengenai aliran pluralisme? Akhir-akhir ini saya melihat istilah pluralisme yang sesungguhnya indah dan anggun justru telah ditafsirkan secara kebablasan. Sesungguhnya toleransi dan kemajemukan telah diajarkan secara baku dalam Al-Quran. Memang Al-Quran mengatakan hanya agama Islam yang diakui di sisi Allah, namun koeksistensi atau hidup berdampingan secara damai antar-umat beragama juga sangat jelas diajarkan melalui ayat, lakum diinukum waliyadin” (Bagiku agamaku dan bagimu agamamu). Dalam istilah yang lebih teknis, wishfull coexistent among religions, atau hidup berdamai antarumat beragama di muka bumi. Adakah yang keliru dari aliran pluralisme? Nah, karena itu tidak ada yang salah kalau misalnya seorang Islam awam atau seorang tokoh Islam mengajak kita menghormati pluralisme. Karena tarikh Nabi sendiri itu juga penuh ajaran toleransi antarberagama. Malahan antar-umat beragama boleh melakukan kemitraan di dalam peperangan sekalipun. Banyak peristiwa di zaman Nabi ketika umat Nasrani bergabung dengan tentara Islam untuk menghalau musuh yang akan menyerang Madinah. Jadi apa yang dibablaskan? Saya prihatin ada usaha-usaha ingin membablaskan pluralisme yang bagus itu menjadi sebuah pendapat yang ekstrim, yaitu Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │189

pada dasarnya mereka mengatakan agama itu sama saja. Mengapa sama saja? Karena tiap agama itu mencintai kebenaran. Dan tiap agama mendidik pemeluknya untuk memegang moral yang jelas dalam membedakan baik dan buruk. Saya kira kalau seorang muslim sudah mengatakan bahwa semua agama itu sama, maka tidak ada gunanya shalat lima waktu, bayar zakat, puasa Ramadhan, pergi haji, dan sebagainya. Karena agama jelas tidak sama. Kalau agama sama, banyak ayat Al-Quran yang harus dihapus. Nah, kalau sampai ajaran bahwa “semua agama sama saja” diterima oleh kalangan muda Islam; itu artinya, mereka tidak perlu lagi shalat, tidak perlu lagi memegang tuntunan syariat Islam. Kalau sampai mereka terbuai dan terhanyutkan oleh pendapat yang sangat berbahaya ini, akhirnya mereka bisa bergonta-ganti agama dengan mudah, seperti bergonta-ganti celana dalam atau kaos kaki. Apakah kebablasan pluralisme karena faktor kesengajaan atau rekayasa? Saya kira jelas sekali adanya think tank atau dapur-dapur pemikiran yang sangat tidak suka kepada agama Allah, kemudian membuat bualan yang kedengarannya enak di kuping: semua agama itu sama. Jika agama itu sama, lantas apa gunanya ada masjid, ada gereja, ada kelenteng, ada vihara, ada sinagog, dan lain sebagainya. Yang dimaksud dengan think-tank ? Saya yakin think tank itu ada di negara-negara maju yang punya dana berlebih, punya kemewahan untuk memikirkan bagaimana melakukan ghazwul fikri (perang intelektual terhadap dunia Islam). Misalnya, kepada dunia Islam ditawarkan paham lâ diniyah sekularisme yang menganggap agama tidak penting, 190│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

termasuk di dalamnya pluralisme, yang kelihatannya indah, tapi ujung-ujungnya adalah ingin menipiskan akidah Islam supaya kemudian kaum muslim tidak mempunyai fokus lagi. Bayangkan kalau intelektual generasi muda Islam sudah tipis imannya, selangkah lagi akan menjadi manusia sekuler, bahkan tidak mustahil mereka menjadi pembenci agamanya sendiri. Sepertinya aliran pluralisme itu sudah masuk ke kalangan muda Muhammadiyah, pendapat Anda? Kalau sampai aliran pluralisme masuk ke kalangan muda Muhammadiyah, ini musibah yang perlu diratapi. Oleh karena itu, saya menganjurkan sebelum mereka membaca buku-buku profesor dari Amerika dan Eropa, bacalah al-Quran terlebih dahulu. Saya sendiri yang sudah tua begini, 66 tahun, sebelum saya membaca buku-buku Barat, baca al-Quran dulu. Karena orang yang sudah baca al-Quran, dia akan sampai pada kesimpulan bahwa berbagai ideologi yang ditawarkan oleh manusia seperti mainan anak-anak yang tidak berbobot. Jika meminjam istilah Sayyid Quthb, seorang yang duduk di bawah perlindungan al-Quran ibarat sedang duduk di bukit yang tinggi, kemudian melihat anak-anak sedang bermain-main dengan mainannya. Orang yang sudah paham al-Quran akan bisa merasakan bahwa ideologi yang sifatnya man-made, buatan manusia, itu hanya lucu-lucuan saja. Hanya menghibur diri sesaat, untuk memenuhi kehausan intelektual ala kadarnya. Setelah itu bingung lagi. Kenapa paham pluralisme itu bisa masuk ke kalangan muda Muhammadiyah? Apa karena Muhammadiyah terlalu terbuka atau karena tidak adanya sistem kaderisasi? Hal ini perlu dipikirkan oleh pimpinan Muhammadiyah. Saya Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │191

melihat, banyak kalangan muda Muhammadiyah yang sudah eksodus. Kadang-kadang masuk ke gerakan fundamentalisme, tapi juga tidak sedikit yang masuk Islam Liberal. Islam yang sudah melacurkan prinsipnya dengan berbagai nilai-nilai luar Islam. Hanya karena latah. Karena ingin mendapatkan ridho manusia, bukan ridho Ilahi. Oleh karena itu, lewat majalah Tabligh, saya ingin mengimbau kepada anak-anak saya, caloncalon intelektual Muhammadiyah, baik putra maupun putri, agar menjadikan al-Quran sebagai rujukan baku . Saya pernah tinggal di Mesir selama satu tahun. Saya pernah diberitahu oleh doktor Muhammad Bahi, seorang intelektual Ikhwan, ketika saya bersilaturahmi ke rumah beliau, beliau mengatakan, “Hei kamu anak muda, kalau kamu kembali ke tanah airmu, kamu jangan merasa menjadi pejuang Muslim kalau kamu belum sanggup membaca al-Quran satu juz satu hari.” Waktu itu saya agak tersodok juga, tetapi setelah saya pikirkan, memang betul. Kalau al-Quran sebagai wahyu ilahi yang betul-betul membawa kita kepada keselamatan dunia-akhirat, kita baca, kita hayati, kita implementasikan, kehidupan kita akan terang benderang. Tapi kalau pegangan kita pada al-Quran itu setengah hati. Kemudian dikombinasikan dengan sekularisme, dengan pluralisme tanpa batas, dengan eksistensialisme, bahkan dengan hedonisme, maka kehidupan kita akan rusak. Sehingga betul seperti kata pendiri Muhammadiyah dalam sebuah ceramah beliau, “Ad-dâ‟u musyârokatullâhi fii jabarûtih”. Namanya penyakit sosial, politik, hukum, dan lain-lain, itu sejatinya bersumber kepada menyekutukan Allah dalam hal kekuasaannya. Obatnya bukan menambah penyakit, yakni dengan isme-isme yang kebablasan, tapi obatnya itu, “adwâ‟uhâ tauhîddullâhi haqqa”.Obatnya adalah tauhid dengan sungguh-sungguh. Jadi, saya juga ingat dengan kata-kata Mohammad Iqbal: “The sign of a kafir is that 192│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

he is lost in the horizons. The sign of a Mukmin is that the horizons are lost in him.” Saya pernah termenung beberapa hari setelah membaca pernyataan Mohammad Iqbal yang sangat tajam itu. Karena betapa seorang mukmin akan begitu jelas, begitu paham, begitu terang benderang memahami persoalan dunia. Sedangkan orang kafir, bingung dan tersesat. Sepertinya Muhamadiyah mulai terseret arus pluralisme, contohnya pada saat peluncuran novel Si Anak Kampoeng. Penulisnya mengatakan, sebagian dari keuntungan penjualan akan digunakan untuk membentuk Gerakan Peduli Pluralisme, pandangan Anda? Saya tidak akan mengomentari apa dan siapa. Cuma adik saya yang anggota PP Muhammadiyah, pernah memberikan sedikit kriteria atau ukuran yang sangat bagus. Dia bilang begini, “Kalau orang Muhammadiyah sudah tidak pernah bicara tauhid dan malah bicara hal-hal di luar tauhid, apalagi kesengsem dengan pluralisme, maka perlu melakukan koreksi diri.” Apakah itu tukang sapu di kantor Muhammadiyah, apakah tukang pembawa surat di kantor Muhammadiyah, apakah profesor botak, sama saja. Kalau sudah tidak kerasan berbicara tauhid, mau dikemanakan Muhammadiyah? Muhammadiyah ini bisa bertahan sampai satu abad, tetap kuat, tidak pikun, dan masih segar, karena tauhidnya. Implementasi tauhidnya di bidang sosial, pendidikan, hukum, politik, itu yang menjadikan Muhammadiyah perkasa dan tidak terbawa arus.

Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │193

Lampiran 2 KEPUTUSAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA Nomor : 7/Munas VII/MUI/11/2005 Tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekulerisme Agama Bismillahirrahmanirrahim Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional MUI VII pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005 : Menimbang : • Bahwa pada akhir-akhir ini berkembang paham pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme agama serta paham-paham sejenis liannya dikalangan masyarakat; • Bahwa berkembangnya paham pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme agama dikalangan masyarakat telah menimbulkan keresahan sehingga sebagian masyarakat meminta MUI untuk menetapkan fatwa tentang masalah tersebut; • Bahwa oleh karena itu, MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang paham pluralisme, liberalisme, dan sekulerisme agama tersebut untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam. Mengingat : • Firman Allah SWT : “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi”. (QS. Al-Imram [3] : 85) “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam..” (QS. Al-Imran [3] : 19) 194│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

“Untukmulah agamamu, dan untukkulah agama-ku”. (QS. Al-Kafirun [109] : 6) “Dan tidak patut bagi laki-laki yang mu‟min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu‟min, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetpkan suatu ketetapan akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata”. (QS. Al-Ahzab [33] : 36) “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak pula mengusir kamu dai negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlakuk adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan kawanmu orang-orang yang memernagi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu.Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mreka itulah orang-orang yang zalim”. (QS. Al-Mumtahinah [60] : 8-9) “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamju melupakan bahagaianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orng-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. AlQashash [28] : 77) “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta terhadap Allah”. (QS. Al-An‟am [6] : 116) Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │195

“Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu”. (QS. Al-Mu‟minun [23] : 71) • Hadist Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam: • Imam Muslim (wafat 262) dalam kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan sabda Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Salllam :“Demi Dzat yang menguasai jiwa Muhammad, tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.” (HR. Muslim) • Nabi mengirimkan surat-surat dakwah kepada orangorang non muslim, antara lain Kaisar Heraklius, Raja Romawi, yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang berama Majusi, di mana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam. (Riwayat Ibn Sa‟d dalam al-Thabaqat al Kubra dan Imam al-Bukhari dalam Shahih Bukhari). • Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam melakukan pergaulan sosial secara baik dengan komunitas-komunitas non muslim seperti komunitas Yahudi yang tinggal di Khaibar dan Nasrani yang tinggal Najran, bahkan salah seorang mertua Nabi yang bernama Huyay bin Ahthab adalah tokoh Yahudi dari Ban Quraizhah (Sayyid Quraizhah). (Riwayat al-Bukhari dan Muslim) Memperhatikan : Pendapat Sidang Komisi C Bidang Fatwa pada Munas VII MUI 2005. Dengan bertawakkal kepada Allah SWT 196│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

MEMUTUSKAN Menetapkan : Fatwa Tentang Pluralisme, Liberalisme, dan Sekulerisme Agama Pertama : Ketentuan Umum Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan, • Pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif, oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme agama juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. • Pluralitas agama adalah sebuah kenyataan bahwa di negara atau daerah tertentu terdapat berbagai pemeluk agama yang hidup secara berdampingan. • Liberalisme agama adalah memahami nash-nash agama (Al-Qur‟an dan Sunnah) dengan menggunakan akal pikiran yang bebas, dan hanya menerima doktrin-doktrin agama yang sesuaid engan akal pikiran semata. • Sekulerisme agama adalah memishkan urusan dunia dari agama, agama hanya digunakan untuk mengatur hubungan pribadi dengan Tuhan, sedangkan hubungan sesama manusia diatur hanya dengan berdasarkan kesepakatan sosial. Kedua : Ketentuan Hukum • Pluralisme, Sekulerisme, dan Liberalisme agama sebagaimana dimaksud pada bagian pertama adalah paham yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. • Umat Islam haram mengikuti paham Pluralisme, Sekulerisme dan Liberalisme agama.

Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │197

• Dalam masalah aqidahdan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif, dalam arti haram mencampuradukkan aqidah dan ibadah umat Islam dengan aqidah dan ibadah pemeluk agama lain. • Bagi masyarakat muslim yang tinggal bersama pemeluk agama lain lain (pluralitas agama), dalam maslah sosial yang tidak berkaitan dengan aqidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif, dalam arti tetap melakukan pergaulan sosial dengan agama lain sepanjang tidak saling merugikan. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 21 Jumadil Akhir 1426 H/28 Juli 2005 M. Musyawarah Nasional VII Majelis Ulama Indonesia Pimpinan Sidang Komisi C Bidang Fatwa KH. Ma’ruf Amin Ketua

Drs. H.Hasanuddin M. Ag Sekretaris

Pimpinan Sidang Pleno: Prof. Dr. H. Umar Shihab Ketua

Prof. Dr. HM. Din Syamsuddin Sekretaris.

198│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

TENTANG PENULIS

Havis Aravik, S.H.I, M.S.I, Dosen tetap Sekolah Tinggi Ekonomi dan Bisnis Syariah (Stebis) IGM Palembang, lahir di Kuang Dalam, 21 Juni 1984. Dari H. Muhammad Tobri (almarhum wa al-maghfurlah) dan Hj. Sukaiyati. Rabbighfirlii wa liwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa. Pendidikan yang pernah ditempuh adalah SDN 01 Kuang Dalam tamat tahun 1996, MTS Sabilul Hasanah Banyuasin tamat tahun 1999, Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 02 Brebes, Jawa Tengah tamat tahun 2002, S1 Fakultas Syariah IAIN (UIN) Walisongo Semarang lulus tahun 2006 dengan skripsi “Tinjauan Hukum Islam terhadap Adat Peminangan di Desa Kuang Dalam Kec. Muara Kuang, Sumatera Selatan”, dan S2 Program Pascasarjana Konsentrasi Hukum Islam IAIN (UIN) Walisongo Semarang, selesai pada tahun 2009 dengan tesis “Hubungan Hukum dan Moral dalam Perspektif Positivisme dan Hukum Islam (Studi Atas Peraturan Daerah Kota Palembang Nomor 2 tahun 2004 tentang Pemberantasan Pelacuran)”. Banyak menulis di media massa terutama Sriwijaya Post dan Tribun Sumsel. Pernah menjadi Dosen LB di UNISKI Kayuagung, UIGM Palembang dan Staf Pengajar SMA YPI Tunas Bangsa. Semasa mahasiswa banyak terlibat di organisasi ekstra kampus seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), CDIS, Humanika, PPI, LP2R, LDMI, dan LPMI. Sekarang banyak terlibat di Organisasi Sosial Kemasyaratan dan Lembaga Sosial Kemasyarakat terutama yang concern dalam Amr Ma‟ruf Nahi Munkar.

Ghazwul Fikri Pola Baru Menyerang Islam │199

Menikah dengan Elly Lestariningrum, S.Si dan dikarunia seorang putri bernama Elha Zapatista Lentera Qalbu (Insya Allah akan nambah karena banyak anak banyak rezeki. Amien) dan sekarang tinggal di Perumahan Griya Gardena No. E7 KM. 9 Palembang. Untuk kenal lebih dekat bisa menghubungi lewat email [email protected] dan Hp. 081315545733.

200│Havis Aravik, S.H.I, M.S.I

More Documents from "jah"

Capita Selecta: M. Natsir
January 2021 1
February 2021 0
Healthy Self 1
March 2021 0