Ginjal Hipertensi

  • Uploaded by: yaufiahdi
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ginjal Hipertensi as PDF for free.

More details

  • Words: 85,868
  • Pages: 171
Loading documents preview...
t46 PEMERIKS ATN PENUNJANG PADA PENYAKIT GINJAL Imam Effendi, H.M.S. Markum

PENDAHULUAN

2. Pada bab ini akan dibicarakan tentang urinalisis, pemeriksaan fungsi ginjal, pemeriksaan serologis,

mengencerkan atau memekatkan urin. Refraktometri: mudah dilakukan dan hanya butuh

1

cc

urin, faktor yang mempengaruhi BJ, jug4 akan mempengaruhi pengukuran ini.

3. Osmolalitas:

pemeriksaan radiologis ginjal dan biopsi ginjal.

berbeda dengan BJ, temperatur dan protein tidak mempengaruhi, tetapi kadar glukosa

Tujuan dari pemeriksaan ini untuk mendapatkan diagnosis yang akurat sehingga dapat diberikan terapi yang tepat.

URINALISIS

4. Parameter Fisik Urin

meningkatkan osmolalitas. Osmolalitas urin, normal 501200 mOsm/L walau penting menandakan konsentrasi urin, tetapi tidak rutin diperiksa. Pada kasus batu ginjal atau kelainan elektrolit (hipo atau hipematererria) perlu diperiksa untuk diagnosis. Dipstik: memakai indikator perubahan warna pada dipstik dan sudah luas dipakai.

Warna. Normal pucat-kuning tua dan amber terganttng kadar urokrom. Keadaan patologis, obat dan makanan dapat mengubah warna. Urin merah disebabkan Hb, miogobin, atau pengaruh obat rifampisin. Warna hijau dapat karena zat klinis eksogen (biru metilen) atau infeksi

pH:

Pseudomonas; warna oranyeijingga menandakan pigmen empedu. Bila urin keruh dapat karena fosfat (biasanya normal) atau leukosituria dan bakteri (abnormal).

Hb: dalam kondisi normal tidak dijumpai dalam urin. Bila positif harus dicurigai hemolisis atau mioglobinuria

Parameter Kimia tes

memakai dipstik, padapH <5,5 atau >7,5 akurasinya

kurang, dan harus memakai pH meter. pH hasilnya dipengaruhi oleh asam-basa sistemik

turia, infeksi dan kontaminasi

Glukosa: dengan dipstik untuk menilai reabsorbsi glukosa dan bahan lain. Tes ini sangat sensitif dan dapat dilanjutkan dengan kadar glukosa urin secara kuantitatif dengan metode

Bau. Beberapa penyakit mempunyai bau urin yang khas, misal bau keton, maple syrup disease, isofloric acidemia,

Protein: normal proteinuria tidak lebih dari 150 mgftari

dsb.

untuk dewasa. Pada kondisi patologis proteinuria dapat

Densitas relatif. Metode pemeriksaan ada beberapa macam:

dibedakan:

1. Berat jenis: diukur memakai urinometer, mudah

1. Proteinuria glomerulus: ini terjadi pada penyakit

dilakukan, butuh urin 25 cc,BJ dipengaruhi oleh suhu urin, protein, glukosa dan kontras media. BJ mencerminkan konsentrasi yang larut dalam urin dan nilai normal 1010-1030. Pada orangtua BJ bisa di bawah

glomerulus karena gangguan permeabilitas protein

Thrbiditas. Normal transparan, urin keruh karena hema-

atau

di

enzimatik.

(misal: albumin, globulin)

2. Proteinuria

tubular: ini terjadi pada penyakit tubulus dan interstisium dan disebabkan gangguan reabsorbsi protein berat molekul (BM) ringan (a. 1. mikroglobulin,

atas normal karena kehilangan daya

935

936

GINJALHIPERTENSI

b2 mikroglobtlin, retinol binding protein)

Proteinuria overload: ini disebabkan peningkatan protein BM rendah melebihi kapasitas reabsorbsi

enzim esterase indoksil yang dihasilkan oleh neutrofil, granulosit dan makrofag dan akan memberi nilai positif bila ada paling sedikit 4 (empat) leukositllPB.

tubulus (Bence-Jones protein, lisosom, mioglobin) Proteinuria benigna: protein ini termasuk proteinuria

Nitrit.

3. 4.

karena demam, ortostatik atau kerja fisik.

Proteinuria biasanya dites memakai dipstik, dan cukup sensitif terhadap albumin. Untuk protein Bence Jones harus memakai metode lain yaitu teknik presipitasi dengan asam sulfa salisil, asam triklorasetik atau dengan pemanasan dan bufer acetic acid sodium acetat. Metode Dipstik adalah semikuantitatif dengan nilai 04 (+). Untuk lebih teliti menilai protein kuantitatif digunakan metode lain seperti turbidimetri. Jumlah protein kuantitatif 24 j am diekspresikan sebag ai g/I- atau gl 24 j am per 1,1 3 rfi . akan tetapi perhitungan dengan urin 24 jam ini memakan waktu, sering keliru dan tidak praktis. Cara lain yaitu dengan menghitung rasio protein kreatinin. Dengan cara ini dipakai

urin random dan single. Sebagai contoh: Urin

sesaat

mengandung protein 100 mgTo dan kreatin urin 50 mg7o. Jadi jumlah protein dalam urin 100/50 =2 gramlharill,l3

m2. Harus diingat bahwa ekskresi protein mempunyai sirkadian (tertinggi pada siang dan terendah pada malam hari) sedangkan ekskresi kreatinin relatifstabil 24jam oleh karena itu contoh urin harus diambil pada saat yang sama.

Dasar tes

ini adalah adanya bakteri yang dapat

mengubah nitrat menjadi nitrit melalui enzim reduktase niffat. Enzim ini banyak pada bakteri gram negatif dan tidak ada

pada bakteri jenis Pseudomonasl Staphylococcus albus dan Enterococczs. Tes ini membutuhkan persiapan dengan diet kaya nitrat (sayuran) dan membutuhkan waktu reaksi yang cukup di kandung kencing. Tes ini mempunyai sensitivitas rendah (20-80Eo) dan spesifisitas +90Vo.

Keton. Tes dengan metode dipstik menunjukkan adanya asam asetoasetat dan aseton. Positif di urin pada penyakit asidosis diabetik, puasa, muntah ataupun olahraga yang ini berdasarkan reaksi keton dengan

berlebihan. Tes nitroprusid.

Mikroskopik Urin Pemeriksaan mikroskopik ini akan melengkapi pemeriksaan

urin secara kimiawi.

Metode. Urin pertama atau kedua pada pagi hari, dan untuk cegah kerusakan sel harus segera diperiksa. Setelah disentrifugasi memakai alat hitung khusus, urin diperiksa dengan mikroskop biasa atau fase kontras.

Analisis kualitatif proteinuria dilakukan

secara elektroforesa asetat selulos atau agarose atau memakai

Sel

dium do de cy I s ulfat e p oly ac ry lamid e). Dengan metode elektroforesa ini dapat diketahui

Sel pada sedirrien urin dapat berasal dari sirkulasi (eritrosit dan lekosit) dan dari traktus urinarius (sel tubulus, epitel).

SDS

-PAGE

(s o

-

selektifitas proteinuria, karena dapat membedakan jenis

protein: B2 mikroglobulin, albumin, IgG dsb. Kadangkadang selektifitas dapat mengetahui beratnya lesi dan dapat mengetahui respons terapi dan prognosis.

Eritrosit. Eritrosit dalam urin ada2 macam, yaitu: isomorift, dismorfrk.

Eritrosit isomorhk berasal dari traktus urinarius. Sedangkan dismorfik berasal dari glomerulus. Bila eritrosit dominan dismorfik (>80Vo) dari total eritrosit disebut hematuria

glomerulus. Beberapa ahli mengatakan bila terjadi Metode dipstik Samar o '10-30 mg% 'l+ r 30 mg% 2+ 3+

* 100 mgo/o = 500 mg%

4+*

>2000ingo/o

Metode asam sulfosalisil Samar: o 20 mgo/o (slight turbidm) 1+ = 50 mg% (print visible through specs) l+ * 200 mg% (print invisible) 3+ ! 500 mg% (flocculation) 4+ r > 1000 mg% (dense precipitatel

Dipstik lebih sensitif untuk albumin, sedangkan

tes asam sulfosalisil untuk semuajenis protein. lmunoglobulin

rantai ringan dapat dideteksi dengan asam sulfosalisil, tetapi tidak untuk dipstik. Jadi multipel mieloma hanya dapat diketahui dengan tes asam sulfosalisil. False positifpada dipstik urin yang sangat basa atau terlalu encer

"hematuria campvan" 5O7o isomorhk dan 507o dismorfik, sudah dapat dikategorikan hematuria glomerulus. Selain itu bila paling sedikit 5Eo teiadi akantositosis juga dapat disebut hematuria glomerulus.

Bagaimana terbentuknya dismorfik, masih terus diselidiki, namun disebutkan bahwa adanya injun 2tempal, yaitu waktu eritrosit melewati membran basalis dan efek fisikokimia selama melewati tubulus. Dalam kondisi normal eritrosit dapat dijumpai <12.000 eritrosit/cc.

Leukosit. Neutrofil adalah leukosit yang paling sering dijumpai pada urin, mudah diidentifikasi dengan sitoplasma granular dan inti berlobus. Pada urin normal, lekosit dapat ditemukan 2-3/LPB. Bilajumlahnya melebihi, kemungkinan infeksi atau inflamasi. Pada perempuan, lekosit urin dapat karena kontaminasi dari genitalia ekstema.

kontras dan obat-obat tolbutamid, penisilin, sefalosporin.

Netrofil akan meningkat dalam urin pada penyakit proliferatif glomerulopati dan nefritis interstitialis. Eosinofiluria, dapat mudah dilihat dengan pewarnaan

Leukosit Esterase. Tes dipstik ini berdasarkan aktivitas

Wright atau Hansel, yang terjadi pada nefritis interstitialis

False positif asam sulfosalisil didapatkan akibat radio

937

PEMERIKSiAAN PENUNJANG PADA PENYAKIT GINJAL

alergika, glomerulonefritis, prostatitis, pielonefritis kronik,

6. Silinder Lekosit. Silinder ini dapat mengandung

skistosomiasis. Limfosituria dapat sebagai tanda dini

bermacam-macamjenis sel darahputih, Bila positif dalam urin bisa dikaitkan dengan pielonefritis akut, nefritis interstitialis, glomerulonefritis proliferatif, terutama pasca infeksi dan pada lupus nefritis.

rejeksi akut pada pasien transplantasi. Adanya lekosituria, dengan biakan bakteri yang negatif harus dipertimbangkan TBC ginjal, batu saluran kencing, papiler nekrosis, atau uretritis kronik. Sel

ini mengandung sel tubulus yang lepas dan mudah diidentifikasi karena nukleusnya sangat mencolok. Silinder ini dapat

'7. Silinder Epitel. Silinder

tubulus ginjal. Walaupun tidak diperiksa pada urinalisis

rutin, sel sel besar ini dengan inti yang sangat jelas sering terlihat pada nekrosis tubular akut (NTA), glomerulonefritis atau pielonefritis. Pada proteinuria masif, degenerasi sel epitel dapat dijumpai sebagai ovalfat bodies.

Lipid. Lipid pada urin terlihat sferis, translusen, dan berwarna kuning dalam macam-macam bentuk. Mereka dapat bebas (isolatefi atau berada dalam sitoplasma sel epitel tubulus atau makrofag, disebut Oval Fat Bodies. Bila dengan silinder, lipid membentuk silinder lemak. Lipid dapat terlihat sebagai kristal kolesterol. Lipid drops mengandung esterkolesterol dan kolesterol bebas, dan di bawah sinar polarisasi akan terlihat Maltase Croses Lipid dalam urin disebabkan beberapa penyakit antara lain sindrom nefrotik, atau spingolipidosis (Penyakit Fabry).

Silinder (Csst). Silinder terbentuk di dalam tubulus distal atau bagian awal tubulus kontortus karena pengendapan masa selular dan elemen non selulen di dalam matrik protein

Tamm-Horsfall. Dengan ditemukan silinder menunjukkan kelainan ginjal. Ada bermacam-macam jenis silinder tergantung partikel apa yang terjebak di dalamnya dan masing-masing mempunyai arti klinik sendiri, antara lain: l. Silinder Hialin. Tidak berwarna dan indeks refraksi rendah. Mudah dilihat dengan mikroskop fase kontras, tapi dapat terabaikan dengan mikroskop biasa. Silinder hialin dapat ditemukan pada orang normal dan juga penyakit ginjal bila bersama-sama dengan jenis silinder lain.

2. Silinder 3.

4.

Granular. Silinder ini berisi granul halus dan khas untuk pasien dengan kelainan ginjal. Silinder Lemak. Silinder yang berisi lemak ini spesifik untuk penyakit ginjal glomerulus dengan tipe nefrotik' Silinder Eritrosit. Silinder eritrosit dapat mengandung beberapa eritrosit, tetapi dapat sangat banyak sehingga

rnatriks tidak terlihat. Silinder eritrosit ini erat hubungannya dengan hematuria dan menandakan

hematuria yang berasal dari glomerulus. Pada glomerulonefritis yang ditandai hematuria dapat ditemukan silinder eritrosit samp u807o. Selain itu, silinder eritrosit adalah petanda glomerulonfritis tipe proliferatif, terutama dengan lesi ekstrakapllerl necrotising.

5. Siiinder Hemoglobin. Seperti namanya,

ia berwama

kecoklatan dan sering ada granul karena eritrosit yang mengalami kerusakan. Silinder hemoglobin mempunyai arti yang sama dengan silinder eritrosit. Selain itu, dapat

ditemukan pada nekrosis tubular akut, nefritis interstitialis, kelainan glomerulus dan pada sindrom

8.

nefrotik. Silinder Mioglobin. Silinder ini berisi mioglobin dan identik dengan silinder hemoglobin. Perbedaannya dihubungkan dengan tanda klinis. Silinder ini dapat ditemukan pada gagal ginjal akut yang mengalami rabdomiolisis.

Kristal Macam-macam kristal dapat ditemukan dalam urin: 1. Kristal asam urat dan urat amorf 2. Kristal kalsium oksalat

3. Kristalkalsiumfosfat 4. Kristal tripelfosfat 5. ftuistal kolesterol 6. Kristal sistin 1. Kristal karena obat Tidak semua kristal dapat dihubungkan dengan penyakit batu ginjal, karena pembentukan kristal sangat tergantung

dari hidrasi, diet, pH urin, infeksi dan gangguan metabolisme. Namun demikin beberapa kristal dapat dihubungkan dengan kondisi patologi seperti kalsium oksalat, atau asam urat, bila ditemukan berulang dapat menandakan hiperkalsiuria, hiperoksalouria, atau hiperurikosuri. Kristal asam urat yang banyak dapat ditemukan pada gagal ginjal akut karena nefropati asam urat, sementara itu kristal monohidrat kalsium oksalat sering pada keracunan etilen glikol. Ada beberapa kristal yang selalu patologis yaitu kristal kolesterol yang ditemukan dengan proteinuria masif. Selain itu kristal sistin, ditemukan pada sistinuria. Kristal karena obat dapat ditemukan pada gagal

ginjal akut karena vitamin C, sulfadiazin, indinavir, naftidrofuril oksalat, karena pembentukan kristal oksalat.

Organisme Bakteri kadang-kadang dapat dilihat dalam urin, karena kontaminasi atau pemeriksaan yang ditunda-tunda. Bakteri positif belum tentu infeksi karena belum tentu patogen, dan baru dicurigai adanya infeksi bila ditemukan bersama

leukosit yang penuh. Telur parasit schistosoma

disebabkan Hb yang bebas akibat hemolisis

hematobium dapat ditemukan dalam urin dan sering

intravaskular.

disertai hematuria dan leukosituria.

938

GINJAL HIPERTENSI

PEMERIKSAAN FUNGSI GINJAL Ginjal mempunyai fungsi bermacam-macam termasuk filtrasi

glomerulus, reabsorbsi dan sekresi dari tubulus, pengenceran dan pemekatan urin, pengasaman urin, serta

memproduksi dan memetabolisme hormon. Dari semua fungsi itu parameter untuk mengetahui fungsi dan progresi penyakit adalah laju filtrasi glomerulus dan kemampuan ekskresi.

berat. Normal perbandingan ureum-kreatinin berkisar 60-

80. Peningkatan perbandingan ureum-kreatinin ini menunjukkan adanya faktor-faktor lain di luar gagal ginjal tersebut yang meningkatkan kadar ureum.

Pemeriksaan Laiu Filtrasi Glomerulus (LFG) Kreatinin Plasma dan Bersihan Kreatinin

Klirens Ginjal

Manfaat klinis pemeriksaan LFG adalah: . Deteksi dini kerusakan ginjal . Pemantauan progresifitas penyakit . Pemantauan kecukupan terapi ginjal pengganti . Membantu mengoptimalkan terapi dengan obat tertentu

Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) adalah mengukur berapa banyak filtrat yang dapat dihasilkan oleh glomerulus. Ini adalah pengukuran yang paling baik dalam menilai fungsi ekskresi. Untuk setiap nefron, filtrasi dipengaruhi oleh aliran plasma, perbedaan tekanan, luas permukaan kapiler dan permeabilitas kapiler. Jadi LFG merupakan jumlah dari

eeTc DTPA) atau marker endogen B2 mikroglobulin, a, mikroglobulin, retinoV binding protein, sistatin C). Zat eksogen untuk tes ini harus mempunyal syarat: bebas difiltrasi di glomerulus

Fungsi Filtrasi Glomerulus dan Konsep

hasil semua nefron (rata-rata

1

juta tiap ginjal). Homer Smrth

adalah peneliti yang memberi nama renal clearance sebagai istilah untuk menilai LFG. Rumus baku untuk

Penetapan LFG dapat memakai petanda eksogen (inulin, iotalamat, iosotalamat, (5rCrEDTA,

. . . o

tidak diabsorpsi oleh tubulus tidak disekresi oleh tubulus mempunyai kadar stabil dalam darah tanpa ekskresi di luar ginjal, mudah, akurat dalam pengukuran, dan tidak toksik.

menilai klirens:

UxV P C=

klirens

U = konsentrasi zat marker dalam urin V = volume urin P = konsentrasi zat marker dalam plasma

Pemeriksaan Konsentrasi Ureum Plasma Nilai normal konsentrasi ureumplasma 20-40 mgVo. Ureum merupakan produk nitrogen terbesar yang dikeluarkan melalui ginjal yang berasal dari diet dan protein endogen yang telah difiltrasi oleh glomerulus dan sebagian direabsorbsi oleh tubulus. Ureum akan lebih banyak lagi direabsorbsi pada keadaan di mana urin lambat/terganggu (dehidrasi). Pengaruh yang penting dari diet dan reabsorbsi tubulus menjadikan pemeriksaan bersihan ureum menjadi tidak tepat, sama seperti pengukuran LFG. Namun demikian pemeriksaan kadar ureum plasma tetap penting dan diperlukan pada pasien-pasien penyakit ginjal terutama untuk mengevaluasi pengaruh diet restriksi protein. Pada

pasien gagal ginjal, kadar ureum lebih memberikan gambaran gejala-gejala yang terjadi dibandingkan kreatinin. Hal ini diduga ada beberapa zat toksik yang dihasilkan berasal dari sumber yang sama dengan ureum. Dengan demikian pada kadar ureum 20-25 mgldl akarr memperlihatkan gejala-gejala muntah, dan pada kadar 5060 mg/dl akan meningkat menjadi lebih berat. Oleh karena itu kadar ureum merupakan tanda yang paling baik untuk timbulnya uremik toksik. Gejala toksik ureum juga dapat dihilangkan dengan menurunkan kadar ureum dengan jalan pengaturan diet rendah protein untuk pasien gagal ginjal

Zat yang terutama berasal dari metabolisme organ ini hanya mengalami proses filtrasi glomerulus, sedangkan sekresi tubulus sangat minimal sehingga dapat diabaikan. Oleh karena itu kreatinin sangat berguna untuk menilai fungsi glomerulus dan kadar plasma kreatinin lebih baik dibandingkan kadar plasma ureum. Kenaikan plasma kreatinin l-2 mgldL dari normal menandakan penurunan LFG+50Vo.

Marker LFG endogen

Marker LFG eksogen

Kecepatan produksi tidak

lebih stabil

stabil

Variasi massa otot

tidak ada variasi

kreatinin Variasi kecepatan katabolik kreatinin, urea dipengaruhi diet: - kreatinin - retinol binding protein

tak dipengaruhi diet

Koleksi sample enor klirens kreatinin

simpel

Metode bersihan lnulin Radioisotop (lama)Radioisotop (baru)*. Bersihan kreatinin Nomogram Serum kreatinin

**

Kesulitan

Kualitas

Akurasi

++++

+

++++

+++112

+112

+++112

+++

+

+++

++

+++

++

+112

+++112

+112

+

++++

+

klirens radioisotop radioisotope plasma disappearance

939

PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PENYAKIT GINJAL

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi plasma kreatinin, antara lain:

.

Komentar

Kreatinin plasma

darah sewaktu

sederhana kurang akurat menurun bila otot kecil meningkat dengan konsumsi daging dipengaruhi beberapa obat dipengaruhi oleh pengukuran

Bersihan kreatinin

urin 24 jam dan contoh darah

koleksi urin 2 jam kurang dipercaya over estimate dipengaruhi obat

Formula CockcroftGault

contoh darah sewaktu

tanpa koleksi urin lebih akurat dibanding kreatinin plasma over estimate pada obes over estimate pada diet rendah protein

Radioisotop

'lkali suntik

nilai akurat tinggi invasif sering untuk riset

kreatinin menurunnya sekresi kreatinin akibat kompetisi dengan asam keton, anion organik (pada uremia), atau obat (simetidin, sulfa)

Menurun

.

Metode

Tes

Meningkat . diet tinggi kreatinin dari daging atau suplemen kaya

asupan kreatinin menurun atau berkurangnya massa otot karena kurus, tua atau diet rendah protein.

Variasi Standarisasi atau kalibrasi yang tidak seragam. Untuk menilai LFG: memakai Formula Cockcroft- Gault: Untuk perempuan:

LFG

= nilai

padapriax 0.85

Untuk pria: (140-umur) x (BB/kg)

LFG= 72 x kreatinin serum (mg7o)

Metode Sistatin C serum

Namun demikian perhitungan yang terbaik untuk LFG adalah dengan menentukan bersihan kreatinin yaitu:

Nilai normal untuk bersihan kreatinin: Laki-laki=97-131rtr-.lmentll,l3rfi atau=0,93-1,32r: denkl

tf

Perempuan= 88-128 detik/m2.

mllmenltlI,l3

m2 atau = 0,85

-l,23mLl

Pengumpulan urin yang tidak tepat akan menghasilkan bersihan kreatinin yang kurang akurat. Untuk laki-laki urinnya mengandung 15-20 mg kreatinin/kgBB/trari, sedang Nilai ini akan menurun dengan bertambahnya umur.

Beberapa laporan menunjukkan bahwa sistatin C dalam serum merupakan petanda LFG yang akurat, lebih baik daripada kreatinin. Sistatin C diproduksi oleh seluruh sel berinti secara konstan dan tidak dipengaruhi inflamasi, keganasan, perubahan masa tubuh, nutrisi, demam atau jenis kelamin. Sistatin C difiltrasi sempurna oleh glomerulus, lalu mengalami reabsorbsi dan dikatabolisme di tubulus

proksimal. Metode pemeriksaan sistatin C dapat secara artic I e - enhanc e d n ep he I ometr i c im4tuno as s ay (PENIA) dan particle enhanced turbidity immunoassay (PETIA).

p

Penentuan LFG dengan formula sistatin:

pada perempuan 10- 15 mg kreatinin/kgBBihari.

14,83

LfG= kreatinin urin (mg/dl x volume urin) (mU24 jam)

Bersihan kreatinin = kreatinin serum (mg/dl) x 1440 menit

Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) mengeluarkan rumus untukmengukurLFG dan lebih akurat dibandingkan klirens keatinin. Rumus ini belum baku untuk

anak-anak, orang tua, perempuan hamil dan bila nilai albumin serum sangat ekstrim. Rumus ini tidak praktis untuk dipakai sehari-hari dibandingkan rumus CockcroftGault dan nomogram.

LFG =

170 x Pcr (mg/dl;-o,res

^

rrr'u

-0,176

x SUN

-0,170

x alb

0,318

Catatan:

Untuk perempuan hasil x0,762 dan kulit hitam (Negro) x 1,18

Pcr: Plasma Kreatinin; SUN: Urea Nitrogen Serum; Alb:Albumin.

cystC 1/0,75

Nilai Normal dari variasi Laju F.iltrasi Glomerulus (LFG) Laju filtrasi glomeruius (LFG) dipengaruhi usia, kelamin, luas permukaan badan. Secara klasik, LFG diukur per l,'73m2. Luas permukaan badan dapat diukur dengan nomogram dari tinggi dan berat badan. LFG pada orang dewasa rata-ratal3} cclmin/ 1,73 m2 untukpria dan 120 mU mertitll,T3 m2 untuk perempuan dengan koefisien variasi 14- l8%o. Umur akan mempengaruhi LFG + l0 cclmin/ 1,1 3 m2per dekade setelah usia 40 tahun. Jadi nilai LFG pada usia 80 tahun adalah + 50Vo dari LFG dewasa muda. LFG pada kehamilan meningkat 50Vo padatimester pertama dan kembali normal segera setelah melahirkan. LFG mempunyai ritme sirkadian; ia naik l07o pada sore hari dibandingkan tengah malam. Makanan tinggi protein atau infus asam amino akan meningkatkan LFG LFG dan alfuan plasma ginjal

940

GINJAL HIPERTENSI

l jam setelah makan, dan LFG menurun sementara selama olahraga.

radiologi:

MENGUKUR ALIRAN PLASMA GINJAL

risiko; 4). Biaya pemeriksaan

meningkat dalam waktu

Metode ini memakai p-Aminohipurat (PAH) karena zat ini hampir 100% diekskresi oleh ginjal pada saat pertama kali lewat ginjal. Dengan cara ini aliran darah ke ginjal dapat dihitung dengan membagi aliran plasma ginjal

dengan (1-hematokrit). Karena metode PAH membutuhkan infus yang kontinyu, saat ini ada metode baru dengan lkali suntik zat radioaktif seperti I-Hipuran

atauMAG3.

Petanda Kerusakan Tubulus Walaupun ada petanda kerusakan tubulus seperti protein BM ringan (B-2 mikroglobulin, u-l makroglobulin) dan enzim tubulus (N-asetil p glukosaminidase) akan

Faktor-faktor yang diperhatikan untuk pemeriksaan l). Informasi yang akan diperoleh untuk manajemen selanjutnya; 2). Akurasi dan ketepatan diagnostik; 3). Invasif/non invasif dan pertimbangkan

Itrasonograf 1. Klasik

U

i

2. Kontras USG Resolusi USG berkisar 1-2 cm dapat dipergunakan untuk memeriksa korleks, medula, piramid ginjal dan pelebaran sistem kolekting ureter. Ukuran ginjal berbeda 1,5 cm antara

kedua ginjal menandakan adanya kelainan pada ginjal tersebut. Bila panjang <9 cm, dianggap mengeciVmelisut. Indikasi pemeriksaan USG ginjal: 1. mengukur ginjal (panjang dan lebar) 2. skrining hidronefrosis 3. memastikanmassadi ginjal

Pengukuran Fungsi Tubulus

4. abses atau hematoma 5. skriningkistaginjal 6. melihat lokasi ginjal untuk tindakan invasif 7. mengukur volume/sisa urin kandung kemih 8. menilai trombosis vena renalis (Doppler) 9. menilai aliran darah ginjal (Doppler)

Fungsi tubulus proksimal dan tubulus distal dapat dinilai dengan beberapa cara ar,tara lain mempelajari transpor

USG klasik (tanpa kontras). USG klasik (tanpa kontras), relatif murah, tak tergantung fungsi ginjal, dan sangat

meningkat akan tetapi belum rutin dipakai. Selain metodenya rumit, hasilnya belum konsisten, sehingga tes ini hanya dipakai untuk riset.

natrium, transpor kalium, pengasaman urin dan kemampuan

mudah dilakukan dan dapat menentukan lokasi, bentuk dan

memekatkan atau mengencerkan urin. Masalah ini

ukuran. Saat ini USG portabel sudah tersedia untuk saat darurat. Masa kistik atau solid, obstruksi atau regresi hidronefrosis dapat segera diketahui. Doppler berwarna dapat menilai vaskularisasi dan perfusi ginjal. Selain itu biopsi ginjal menjadi lebih mudah apabila dipandu dengan

dibicarakan dalam bab-bab selanjutnya.

PEMERIKSAAN SEROLOGI

USG

Dengan kemajuan bioteknologi yang pesat para peneliti selalu mencari petanda yang akurat dan noninvasifuntuk

diagnosis dan evaluasi penyakit glomerulus/vaskular. Pemeriksaan serologi, merupakan pemeriksaan penunjang yang tidak kalah penting dari patologi anatomik. Pada tabel di bawah ini terdapat pemeriksaan serologi yang

sering dipakai untuk evaluasi dan diagnosis penyakit

l.

sensitif mendeteksi penimbunan cairan dilatasi pelviokalises dan kista

2. dapat membedakan kortek dan medula 3. dapat membedakan kista dan massa padat 4. dapat melihat bentuk seluruh ginjal dan ruangan sekitar Cinjal

5. secara doppler dapat melihat aliran darah ginjal 6. mudah dibawa 7. tidak memakai kontras dan radiasi

ginjal.

PEMERIKSAAN RADIOLOGI GINJAL Pemeriksaan radiologi dalam bidang nefrologi maju dengan

pesat. Pada bab

KelebihanUSGGinjal:

ini

akan dibahas secara singkat.

ini sangat bermanfaat untuk menentukan diagnosis. Persiapan sebelum tindakan yang baik akan memberi hasil yang baik. Harus diperhatikan bahwa pemakaian bahan kontras radiologi terutama yang Pemeriksaan-pemeriksaan

Kelemahan:

1. tidak dapat menunjukkan pelviokalises secara teliti 2. tidak dapat melihat ureter normal 3. tidak dapat melihat retroperitonium jelas 4. batu kecil dan batu ureter tak dapat dideteksi 5. bergantung kepada operator USG Kontras. Tindakan ini memerlukan gasperfluorooctyl

ini masih dalam riset

non-ionik dapat menimbulkan penurunan fungsi ginjal

bromide. Metode

akibat iskemia, toksik maupun toksisitas vaskular.

dikomersilkan untuk pemakaian klinis.

dan belum

941

PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PEITYAKIT GINJAL

Pielografi lntravena (PlV) Berbeda dengan foto polos abdomen, PIV memakai konffas, Tak jelas sebab

Hematuri NS

Hipertensi, fungsi normal Hipertensi, fungsi turun Ras

ISK Hydronefrosis

USG IVP atau USG USG

CT angiografi MRA MRA CT USG IVP

TC DTPA renografi Fibrosis retroperitoneal Nekrosis Papila Nekrosis Kortek Trombus V. renalis lnfark ginjal Nefrokalsinosis

CT IVP

CT kontras CT kontras CT kontras CT non kontras

Foto Polos Abdomen Walaupun akhir-akhir ini sudah bermunculan berbagai macam tekalkimaginS yang cukup canggih, pemeriksaan foto polos ginjal, ureter, dan kandung kemih tetap merupakan pemeriksaan yang sangat penting. Pasien diletakkan pada posisi telentang dengan sinar X terarah ke tubuh pasien terutama ginjal dan kandung kemih. Pada pasien yang sangat gemuk diperlukan pengambilan 2 kali (2 film) untuk masing-masing saluran kemih bagian atas dan kandung kemih secara terpisah.

oleh karena itu PIV lebih mempunyai nsiko yaitu alergi terhadap kontras ataupun toksik pada pasien dengan fungsi ginjal yang telahmenurun. PIV bernrjuan untukmelihat ginjal, ureter dan kandung kencing. Untuk melihat kelainan di ginjal perut harus diberi tekanan. Film pertama diambil pada detik

30 setelah penyuntikan kontras. Film kedua, biasanya 5 menit, diambil dengan posisi telentang dan miring untuk menilai ekskresi kontras dan ureter. Posisi telentang kadangkadang sulit untuk menilai ureter distal, dan harus posisi telungkup. Untuk menilai kandung kencing diperlukan foto dari samping atau tampak dari atas, dan ini akan membantu bila ada prolap kandung kencing. Film pasca void dipaku untuk menilai pengosongan kandung kemih dan penting untuk menilai evaluasi ureter distal, yang mungkin kurang jelas bila kontras mengisi penuh kandung kemih. Serial foto yang diambil setelah kontras: . 30 detik : menilai ginjal . 5 menit : proses eksresi sistem pelviokalises . >5 menit : ureter

Kontraindikasi relatif untuk pemeriksaan BNO-IVP 1. Riwayat alergi terhadap kontras media 2. Adanya: - Gangguan fungsi ginjal

-

Bentuk ginjal. Ukuran ginjal dapat diketahui dan ini bervariasi bergantung tinggi badan, berat badan danjenis kelamin pasien. Pada keadaan dimana terjadi pembesaran

3.

.

Diabetes

Mielomamultipel Dehidrasi

Penyakitjantung terutama aritmia

massa ginjal dapat ditandai dengan pergeseran lemak perinefrik.

Pielografi Retrograde (PRG)

Gambaran ureter. Pada pemeriksaan foto polos tidak dapat dilihat, akan tetapi posisinya dapat diperhitungkan mulai dari hilus renal melalui daerah prosesus transversus vertebra lumbalis menyilang daerah persambungan

PRG dilakukan bila ureter sulit terlihat dengan pemeriksaan

sakroiliaka menuju ke bawah melewati pelvis lateral sebelum

memasuki kandung kemih.

Gambaran kandung kemih. Dibentuk oleh lapisan lemak berbatasan ke arah lateral dekat usus kecil yang berisi gas dan berbentuk kubah. Ukuran panjang kandung kemih di atas simfisis pubis sangat berkaitan erat dengan volume kandung kemihyang dapat dipakai untuk mengukur dengan sempurna kosongnya kandung kemih pada pemeriksaan kandung kemih sesudah buang air kecil.

Gambaran kalsifikasi. Pada daerah lokasi ginjal, ureter, dan kandung kemih harus diteliti kemungkinan kalsifikasi. Pada keadaan dijumpai batu pada saluran kemih, kalsifikasi sering ditemukan. Pada daerah vesika seminalis dan juga

pada prostat, yang terdapat pada dasar kandung kemih, adanya batu dapat diragukan atau menjadi tersamar oleh adanya kalsifikasi vaskular terutama pada daerah splenik dan arteri iliaka, dari saluran kencing.

radiologi lain atau bila sampel urin diperlukan untuk sitologi atau pembiakan kuman. Pasien yang alergi terhadap kontras atau penyakit ginjal kronik ringan dapat dievaluasi memakai cara ini. Tindakan ini invasif karena

memasang kateter dari orifisium ureter dengan alat sistoskopi dan didorong sampai ke pelvis renalis memakai fluoroskopi kateter ditarik perlahan sambil menyemprotkan kontras.

Pielografi Antegrad (PAG) PAG dilakukan dengan cara memasang alat menembus kulit langsung ke pelvis renalis. PAG dilakukan bila metode PRG tidak dapat dilakukan. Dengan metode ini tekanan ureter

dapat diukur, hidronefrosis dapat dievaluasi dan lesi

ureter dapat diidentifikasi. PAG sering dilakukan mendahului nefrostomi. PRG dan PAG adalah tindakan invasif, jadi hanya dilakukan bila tindakan lain gagal.

Sistograf

i

Sistografi bertujuan untuk mempelajari kandung kencing

942

lebih rinci, misalnya menentukan refluks ureter, fungsi dan anatomi kandung kencing. Pada kasus trauma, sistografi dapat dilakukan untuk evaluasi perforasi kandung kencing,

yang sulit didiagnosis dengan cara lain. Kateter Foley dipasang dan kencing dikeluarkan. Dengan bantuan fluoroskopi kontras disemprot melalui kateter. Film pertama diambil dari depan dan samping segera kontras masuk kandung kencing dan ini sangat baik untuk mendeteksi ureterokel. Ketika kandung kencing tidak penuh, film diambil dari macam-macam sudut dan refluks dapat diidentifikasi dengan metode ini. Film-film kandung kemih pada saat

pengosongan kontras juga penting untuk diagnosis divertikel, jumlah urin sisa, dan pola mukosa kandung kencing.

Angiografi Renalis dan Venografi Benalis Dewasa ini angiografi paling sering dilakukan untuk riset penyakit vaskular, mencari penyebab hipertensi dan renal insufisiensi. Bermacam-macam penyakit terkait dengan arteri renalis seperti aterosklerosis, penyakit fibrosis, aneur-

GINJAL HIPERTENSI

pembuluh darah yaitu angioplasti transluminal perkutan, embolisasi transkateter, sten a.renalis.

Tomografi Komputer (GT) Pemeriksaan CT berguna untuk memeriksa lebih lanjut kelainan yang terdapat pada USG atau PIV. CT dipakai

untuk evaluasi massa ginjal, melokasi ginjal ektopik, meneliti batu, mencari massa retroperitoneal. Kemajuan CT makin nyata setelah ditemukan scan-helical yang lebih canggih. CT dapat dilakukan dengan atau tanpa kontras intravena. CT tanpa kontras dipakai untuk deposisi kalsium dan perdarahan, dan merupakan pilihan pasien kolik ginjal

dan kemungkinan batu. CT tanpa kontras dilanjutkan dengan kontras sangat berguna untuk infeksi ginjal, karena bukan saja untuk mengidentifikasi kemungkinan obstruksi

batu tetapi luasnya kerusakan parenkim dan daerah perinephric. Dengan scan helical ginjal dapat dipelajari setelah pemberian kontras dan dapat dipelajari kemampuan ekskresi, bila terlambat dapat disebabkan obstruksi, atau kelainan parenkim seperti nekrosis tubular akut.

ism, emboli, fistula AV vaskulitis, trombosis dan nefrosklerosis. Pada trauma, angiografi bermanfaat untuk menilai patensi a.renalis atau perdarahan traktus urinarius. Selain itu angiografi dapat dipakai untuk mendiagnosis

massa ginjal seperti karsinoma, angiomiolipoma, onkositoma, kista atau abses. Juga untuk persiapan transplantasi ginjal, angiografi sangat berguna untuk menilai kondisi pembuluh darah ginjal, dan bila ada dugaan striktur anastomosis atau oklusi. Venografi renalis terutama

untuk mendiagnosis trombosis vena atau tumor yang melibatkan vena renalis.

Indikasi angiografi ginjal: 1). Evaluasi hipertensi renovaskular; 2). Angiografi intervensi: memakai kateter spesial untuk embolisasi, angioplastik balon; 3). Evaluasi preoperatif ginjal donor; 4). Evaluasi ginjal transplan untuk kemungkinan oklusi atau stenosis; 5). Diagnosis trombosis vena renalis; 6). Massa ginjal atau kista ginjal atau trauma ginjal Kontraindikasi relatif untuk pemeriksaan angiografi ini tentu berkaitan dengan pemakaian kontras dan karena tindakan ini invasif, kelainan hemostasis. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan nefropati kontras adalah: insufisiensi renal, dehidrasi, diabetes, mieloma multipel, lansia.

Banyak cara untuk mengurangi komplikasi nefropati kontras misalnya dengan profilaksis steroid, memberi cairan NaCl/koreksi dehidrasi, memakai kontras yang mempunyai osmolalitas rendah dan non ionik, serta pemakaian asetilsistein (NAC) pre-kontras. Bermacammacam teknik angiografi renalis, tergantung dari tujuannya antara lain: Aortografi abdomen, arteriografi renal selektif, cavografi vena inferior, venografi renal selektif. Sampling renin vena renalis, DSA-intraarteri, DSA-intravena. Selain segi diagnostik, angiografi dapat dipakai untuk terapi

Angiografi

CT

Salah satu kecanggihan scan helical adalah kemampuan angiografi CT, dapat memberi gambaran serupa angiografi konvensional akan tetapi kurang invasif. Dengan metode ini dapat dievaluasi suplai darah ke ginjal pada pasien cangkok. Angiografi CT dapat untuk skrining stenosis arteri renalis dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas 997o.

Keterbatasan CT. Pada pasien obesitas, selain sulit mendapat akses vaskular dan sering banyak artefak karena kelebihan berat, dan terutama untuk diagnosis daerah abdomen dan retroperitoneal CT juga sangat sensitif terhadap logam.

CT Scandapatlebih superior dari USG dalamkeadaan: 1). Evaluasi neoplasma ganas, CT scan dapatmengetahui luasnya penyebaran dan keterlibatan kelenjar getah bening sehingga dapat menentukan staging; 2). Evaluasi ruang perirenal dan pararenal serta fasia gerota; 3). Trauma ginjal;4). CT dan

MRI

sangat baik untuk menilai struktur retroperitoneal.

Pemeriksaan Radionuklir untuk Ginjal Metode pemeriksaan ini memberi informasi baik kualitatif maupun kuantitatif tentang ginjal secara non invansif. Dengan memakai kamera sinar gamma akan menangkap

proton dari radiotracer dari badan dan membentuk gambarlimage, dapat seluruh tubuh atau bagian dari tubuh.

Ada 3 kategori "radio tracer" yang dipakai pada pemeriksaan ginjal: filtrasi glomerulus, sekresi tubulus, retensi agen oleh tubulus Indikasi radionuklir untuk ginjal: 1). Menentukan LFG dan aliran plasma efektif ginjal bahkan pada gangguan fungsi; 2). Mengukur fungsi ginjal masing-masing; 3).

Mendiagnosis hipertensi renovaskular; 4). Evaluasi

943

PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PENTAI(T GINJAL

transplan ginjal: aliran anastomosis, obstruksi, ekstravasasi

urin; 5). Membedakan hidronefrosis obstruktif dari nonobstruktif dengan renogram furosemid, dimana pada tipe obstruksi terjadi kelambatan ekskresi.

Laju filtrasi glomerulus. Agen akan melewati glomerulus sehingga LFG dapat dihitung.

Agen sekresi tubulus. Agen yang disekresi oleh tubulus dipakai untuk menilai aliran plasma giryal efektif karena mempunyai ekstraksi dan kliren yang lebih tinggi. 131I-OIH dan eeTc-MAG3 disekresi oleh tubulus proksimal Retensi agen oleh tubulus. Agen DMSA dan glukoheptonat (GH) yang dilabel sangat baik untuk menilai korteks. Dapat mengevaluasi scarring ginjal dan klarifikasi pseudotumor ginjal.

Pilihan agen untuk renal antar lain:

1.

2.

LFG:eeTc-DTPA LFG dg gangguan fungsi: - eeTc-DTPA-MAG3

_

3.

5. 6. 7.

kolateral pembuluh dari nodul limfa. Beberapa neoplasma ginjal terlihat homogen dengan sekeliling parenkim normal sehingga dapat terabaikan dengan MRI tanpa kontras. MRI dapat membantu membedakan massa adrenal pada

feokromositoma; juga

MRI sangat bermanfaat

mendiagnosis trombosis vena renalis. Angiografi MRI, bila dikerjakan bersama-sama dengan kontras intravena, sangat bermanfaat untuk evaluasi stenosis pada a.renalis, di mana

hasilnya lebih baik dibandingkan Digital Substraction Angiography (DSA) dan lebih tidak invasif dibandingkan angiografi konvensional.

tetapi biasanya mahal dan dapat memberikan reaksi yang tidak diinginkan. Dengan persiapan dan seleksi pasien yang. oermat

eeTc-MAG3 r31I_OH

4. "Scarring" ginjal:

-

dibandingkan CT karena dapat mendeteksi trombus tumor pada pembuluh darah besar dan dapat membedakan hilus

Kesimpulan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan radiologi dapat menjadi alat bantu diagnostik yang sangat berguna,

r31I_OH

Aliranplasmaginjalefektif:

_

pelengkap. Hilangnya batas medula korteks memberi gambaran yang nonspesifik pada MRI. Kista ginjal mudah terlihat dengan MRI, akan tetapi kurang akurat menentukan fokus kalsifikasi, dan lebih jelas dengan CT. Untuk staging lesi renal yang padat, MRI lebih superior

eeTc-DMSA eeTc-GH

Pseudotumor: DMSA Obstruksi: eeTc-DTPA Obstruksi dengan gangguan fungsi; eTc-MAG3.

dapat meningkatkan nilai daya guna dan menurunkan toksisitas. Walau beberapa tahun ini dipakai kontras dengan osmolar yang rendah, masih saja dapat menimbulkan gagal ginjal akut dan trombosis vaskular.

Renogram

BIOPSI GINJAL

Metode ini akan memberi informasi aliran darah, uptake ginjal, dan ekskresi, denganmemakaiDTPA, MAG3 dan OIH. Rekaman diambil setiap beberapa detik pada menit pertama. Komponen selanjutnya menilai fungsi ginjal dengan menghitung ambilat radio tracer dan eksresi oleh ginjal. Secara normal, puncak konsentrasi antara menit 3-5

Biopsi ginjal dapat memberikan gambaran dasar klasifikasi dan pengertian penyakit ginjal baik primer maupun sekunder. Tindakan ini cukup aman bila dilakukan secara tepat apalagi memakai panduan agar lebih terarah misal dengan USG, CT. Juga disain jarumTRUCUT dan memakai

setelah suntikan agen. Transit yang melambat akan

alat semi otomatis.

mengubah kurva renogram.

Manfaat biopsi ginjal

Renogram kaptopril. Metode ini untuk mendeteksi steno-

1. Menegakkan diagnosis baik kelainan primer

sis

A renalis atas dasar kaptopril menghambat pembentukan

A2 dan menghambat vasokontriksi. Setelah peiode wash out dlbtat renogram basal memakai DTPA atau MAG3. Setelah pemberian kaptopril, bila terbukti ada srenosis a.renal maka akan ada kelambatan mencapai puncak. adanya

retensi isotop dan penurunan LFG pada ipsilateral. Sensitivitas renogram kaptopril ini menurun dengan adanya gangguan fungsi ginjal.

MAGNETTC RESONANCE

MRI

tMActNc (MRt)

sangat jarang menjadi pemeriksaan pertama untuk evaluasi ginjal, namun MRI dapat menjadi pemeriksaan

atau

sistemik

2. 3. 4.

Menentukan prognosis Menentukan opsi pengobatan Mengetahui patofisiologi penyakit ginjal

Kontraindikasi biopsi 1. Gangguan koagulasi dan trombositopenia 2. Disfungsi trombosit (kontraindikasi relatif) dapat diatasi dengan dialisis atau desmopresin yang akan merangsang koagulasi trombosis 3. Hipertensi (kontraindikasirelatif) 4. Pielonefritis, dapat mengakibatkan abses 5. Kelainan anatomis: ginjal soliter

Hasil yang adekuat: biopsi korteks ginjal dan mengandung 6-8 glomerulus. Dibutuhkan 2 sediaan untuk

944

GINJAL HIPERTENSI

mikroskop cahaya, mikroskop elektron dan imunofluoresen.

pada artritis rematoid dimana hasil bropsi dapat

Indikasi. Risiko biopsi ginjal selalu harus dipertimbangkan, demikian juga keuntungan pada tiap pasien. Biopsi ginjal berguna untuk diagnosis dan perencanaan pengobatan,

mempengaruhi manajemen. Pada kondisi ini, bila ditemukan amiloidAA, terapi harus intensif, untuk mengurangi ke kadar normal. Bila artritis rematoid memberi gambaran nefropati

termasuk sebagai pegangan untuk menghentikan pengobatan dan prognosis penyakit. Ada 4 kelompok yang merupakan indikasj utama biopsi: sindrom nefrotik, penyakit ginjal akibat penyakit sistemik,

gagal ginjal akut dan transplantasi ginjal. Indikasi lain adalah: proteinuria ringan, hematuria, penyakit ginjal kronik.

Sindrom nefrotik. Walaupun sindrom nefrotik (proteinuria >3,5 g/hari) merupakan indikasi, namun ada pengecualian: 1. Anak usia 1 tahun-pubertas. Biasanya jenis perubahan minimal dan responsif terhadap steroid. Dilakukan biopsi bila: tidak ada respons terapi, C, rendah, hematuria, gangguan fungsi. Perubahan minimal sangat jarang pada usia kurang dari I tahun dan biopsi perlu dilakukan untuk diagnosis sindrom nefrotik kongenital. 2. Diabetes: Bila dianggap SN karena diabetes yaitu dengan riwayat lama mengidap diabetes, retinopati dan sedimen urin inactive dengan USG yang masih normal.

Penyakit sistemik dengan proteinuria atau insufisiensi renal. Beberapa penyakit sistemik sepefti amiloid, reaksi obat, mieloma, sarkoidosis hanya dapat didiagnosis dengan biopsi ginjal. Pada SLE, biopsi dapat untuk menentukan aktivitas penyakit, menilai terapi dan rencana

pengobatan.

membranosa, terapi dengan emas atau penisilamin tidak dianjurkan.

Proteinuria ringan dengan hematuria. Nefropati IgA sering mempunyai gambaran klinis protein kurang dari I ,5 gftrari dengan hematuria mikroskopik. Pada pasien ini perlu terapi jangka panjang. Sebaliknya pasien dengan GN pasca infeksi mempunyai manifestasi klinis yang sama, tetapi prognosis lebih baik. Oleh karena itu perlu menunda biopsi

6 bulan, dan biopsi mutlak dilakukan bila kelainan urin menetap 6 bulan, walau fungsi ginjal normal. Bila kelainan urin disebabkan penyakit sistemik, seperli pada vaskulitis

atau lupus, biopsi mempunyai nilai yang tinggi untuk mengetahui luasnya kerusakan glomerulus dan rencana terapr.

Hematuria terisolasi. Karena hematuria dapat disebabkan oleh banyak hal, biopsi ginjal pada hematuria kadang diperdebatkan. Biopsi pada hematuria dilakukan bila hematuria menetap, apalagi bila ada hipertensi, proteinuria dan hematuria glomerulus (dismorfik). Pada hematuria

terisolasi, tanpa gejala lain, tindakan biopsi masih diperdebatkan, dan para nefroiogis lebih menyukai mengikutifollow up selama beberapa tahun. Penyakit ginjal kronik dengan sebab tdak jelas. Biopsi sangat bermanfaat pada gangguan fungsi yang tidak jelas sebabnya, dimana USG menunjukkan ukuran yang normal.

Gangguan ginjal akut. Diagnosis gagal ginjal akut berdasarkan anamnesis dan laboratorium. Bila

Bila ginjal melisut (<9,5 cm, dewasa). pada biopsi ginjal

penyebabnya tidakjelas dan tidak responsif dengan terapi suportii harus dilakukan biopsi. Hematuria dan proteinuria dengan silinder eritrosit, menandakan vaskulitis sistemik, dan perlu segera biopsi untuk konfirmasi diagnosis dan menilai beratnya reaksi inflamasi dan luasnya fibrosis. Bila

akan tetapi dapat membantu prognosis dan rencana terapi.

ANCA positif dan terapi ditujukan untuk manifestasi

biasanya menunjukkan glomerulosklerosis dan fibrosis interstitiaUs yang luas. Pada keadaan demikian biopsi memang tidak membantu untuk memperbaiki kerusakan, Gambaran ekogenitas pada USG dan hilangnya batas korteks dan medula, adalah suatu tanda penyakit parenkim ginjal yang lanjut, namun bukan indikasi untuk biopsi.

vaskulitis ekstrarenal, manfaat biopsi masih diperdebatkan. ANCA positif dapat terjadi juga pada kondisi lain seperti endokarditis, maka untuk membedakannya hanya dengan biopsi ginjal. Biopsi pada GGA kadang diperlukan setelah pengobatan pertama selesai untuk menilai beratnya dan reversibilitas; serla perlu tidaknya dilanjutkan dengan terapi

Disfungsi ginjal cangkok. Biopsi ginjal pada keadaan ini sangat berguna untuk membedakan antara rejeksi dan nekrosis tubular akut pada periode awal cangkok. Pada

imunosuportif.

Karena tidak sulit melakukan biopsi pada ginjal cangkok, maka sering dilakukan biopsi berulang bila diperlukan.

Proteinuria non nefrotik. Nilai biopsi ginjal pada proteinuria <3,5 g/hari memang kurang berarli dibandingkan sindrom nefrotik. Studi REIN menunjukkan kemunduran fungsi ginjal dengan meningkatnya proteinuria. Proteinuria < 1,5 gftari setara dengan penurunan LFG 0,12 cclminJ

bulan, dan pada kondisi ini penghambat ACE kurang bermanfaat. Bila proteinuria 1,5-3 g/hari LFG menurun 0,4 cclmm./bulan dan pada kelompok ini penghambat ACE

itu

sangat penting memastikan diagnosis bila protein > 1,5 g/hari. Indikasi lain

ternyata bermanfaat. OIeh karena

periode lanjut juga penting untuk membedakan rejeksi akut

dari rejeksi kronik, yang tidak memerlukan terapi, atau membedakan nefrotoksisitas karena obat anti rejeksi.

Persiapan untuk biopsi

1.

USG ginjal: keduanya normal, tanpa sikatrik dan tanpa

tanda obstruksi

2. Tekanandiastolik<95 3. Kultur urin: steril 4. Status hematologi:

-

mmHg

Aspirir/OAINS (NSAID) dihentikan biopsi

5

hari sebeium

945

PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA PEIYYAKIT GINJAL

-

Hitungtrombosit>100.000 PT <1.2 x kontrol APTT <1,2 x kontrol (bila memanjang singkirkan antikoagulan lupus) Waktu perdarahan: <10 menit

Prosedur biopsi ginj al: l. peralatan USG sebagai penuntun 2. anestesi: anestesi lokal

3. jarum:pistolbiopsi

6.

7.

ginjal, lebih disukai ginjal kiri jaringan yang diperoleh dibagi dua: - untuk pemeriksaan mikroskop cahaya - untuk pemeriksaan imunofluoresen pasca biopsi: - tidur tengkurap + jam - minumbanyak - monitor: tekanan darah, urin lengkap pasien dipulangkan bila tidak ada hematuria

Modifikasi tindakan biopsi

Komplikasi

1. Komplikasi biopsi ginjal antara lain

-').

. .

memaKai mode] TRUCUT atau VIM SIL\.ERMAN Bantuan radiologi. Llntuk menentukan lokasi gnjal USG

lebih baik dibandingkan urografi intravena. Alternatif adalah fluoroskopi dengan kontras atau CT pada kasus tertentu. Posisi. Padabeberapakeadaaan: sesaknapas ataunyeri bila telungkup, biopsi dapat dilakukan secara duduk.

Biopsi terbuka. Biopsi ginjal secara terbuka dapat dilakukan pada risiko tinggi, misalnya ginjal tunggal, dengan tendensi perdarahan, atau bila dengan biopsi tertutup gagal. Ini tentu menambah biaya, tidak nyaman, dan dewasa ini jarang dilakukan.

membutuhkan transfusi darah. Hematuria yang berat dapat menyebabkan kolik. Bila hematuria berlanjut perlu angiografi untuk tindak lanjut embolisasi. Fistula arteriovena. Sering tidak ada keluhan dan ditemukan secara radiologi. Frekuensi sekitar l)Vo blla diperiksa secara arteriografi atau Doppler berwarna.

Kebanyakan kasus akan sembuh spontan. Fistula

1.

.

hematoma,

hematuria makroskopik, fistula arteriovena, infeksi dan pembedahan. Perdarahan. Hematoma perirenal ditandai dengan

penurunan Hb. Hematuria makroskopik dengan hematoma perirenal terjadi 27o, dan hanya lVo

:

Walaupun pasien biasanya dirawat untuk biopsi, pada pasien dengan risiko rendah one day care.Pagibiopsi sore pulang, misalnya tensi, fungsi ginjal normal dan kelainan urin tak bergejala. Metode ini kadang dikaitkan dengan masalah asuransi kesehatan. 2. Alat biopsi. Bila "pistol biopsi" tidak ada, jarum dapat

Biopsi ginjal cangkok. Letak ginjal cangkok di bawah dinding kulit abdomen, tidak bergerak karena respirasi, membuat biopsi lebih simpel dan sering dilakukan berulang-u1ang.

2

4. tempat: pool bawah 5.

.

4

arleriovena yang menetap, dapat menyebabkan hematuria, hiperlensi dan gangguan fungsi ginjal. Dalam situasi demikian embolisasi perlu dilakukan. Komplikasi lain. Walaupun sangat jarang, biopsi ginjal

dapat menyebabkan fistula peritoneal/\alises, hematotorak, perforasi kolon atau pa ge kidney di mana terjadi tamponade ginjal. Kematian karena biopsi sangat jarang dan biasanya

disebabkan perdarahan pada kasus risiko tinggi terutama pada gagal ginjal akut.

REFERENSI Brenner MB. The kidney. 7th edition. In: Brenner & Rector, editors Philadelphia: WB Saunders; 2000. p 353-412. Johnson RJ, Feehally J. Comprehensive clinical nephrolbgy. 2nd edition. Mosby. 2000. p. 21-'70. Simonson MS, Banz MB. Nephrology secret p. 4-11. Wilcos CX, Tisher CC. Handbook of nephrology and hypertension 5 th edition. Lippincott Williams & Wilkins; 1999. p. 20-2.

t47 EDEMA PATOFISIOLOGI DAN PENANGANAN Ian Effendi, Restu Pasaribu

DISTRIBUSI NORMAL CAIRAN TUBUH

menyebabkan retensi natrium dan air, penyakit ginjal serta berpindahnya air dari intravaskular ke interstitium. Volume cairan interstitial dipertahankan oleh hukum

Komponen terbesar dari tubuh adalah air. Air adalah pelarut bagi semua zat terlarut dalarn tubuh baik dalam bentuk suspensi maupun larutan. Air tubuh total adalah persentase dari berat air dibandingkan dengan berat badan total, nilainya bervariasi menurut jenis kelamin, umur dan kandungan lemak tubuh. Distribusi normal cairan tubuh dapat dilihat pada Gambar l.

Starling. Menurut hukum Starling. kecepatan dan arah perpindahan air dan zat terlarut termasuk protein antara kapiler dan jaringan sangat dipengaruhi oleh perbedaan

tekanan hidrostatik dan osmotik masing-masing kompartemen.Tekanan osmotik adalah tekanan yang dihasilkan molekul protein plasma yang tidak permeabel melalui membran kapiler. Proses perpindahan ini melalui proses difusi, ultrafiltrasi dan reabsorbsi. Faktor yang terlibat adalah perbedaan tekanan hidrostatik intravaskular dengan ekstravaskular (AP), perbedaan tekanan osmotik

Mineral

15%

Lemak

18%

Protein

5%

Plasma

(An) dan permeabilitas kapiler (Kf). Kecepatan perpindahan cairan (Fm) yang membentuk edema diformulasikan sebagai berikut:

2% 13

o/.

<-

Fm=Kf(AP-&r) Pengaruh faktor-faktor di atas dalam proses terjadinya edema dapat dilihat pada Tabel 1.

Cairan transelular Cairan interstitial

PATOFISIOLOGI EDEMA --')

40%

uatran

tnrrasetuta,

)

I

Cairan intraselular

Edema terjadi pada kondisi di mana terjadi peningkatan

l___) (60% cairan tubuh)

tekanan hidrostatik kapiler, peningkatan permeabilitas kapiler atau peningkatan tekanan osmotik interstisial, atau penurunan tekanan osmotik plasma. Ginjal mempunyai

Gambar 1. Distribusi normal cairan tubuh

peran sentral dalam mempertahankan homeostasis cairan tubuh dengan kontrol volume cairan ekstraselular melalui pengaturan ekskresi natrium dan air. Hormon antidiuretik disekresikan sebagai respons terhadap perubahan dalam

Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh, keadaan ini sering dijumpai pada praktik klinik sehari-hari

volume darah, tonisitas dan tekanan darah untuk

yang terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan faktorfaktor yang mengontrol perpindahan cairan tubuh, antara

mempertahankan keseimbangan cairan tubuh. Konsep Volume DarahArteri Efektif (VDAE) merupakan hal penting dalam memahami mengapa ginjal menahan

lain gangguan hemodinamik sistem kapiler yang

946

947

EDEMA PATOFISIOLOGI DAN PENANGANAN

Peningkatan reabsorbsi garam dan air di tubulus Klinis Edema lokal lnflamasi Trombosis vena

proksimalis. Penurunan aliran darah ke ginjal

Faktor yang berpengaruh Peningkatan Kf Peningkatan AP

dalam

Mekanisme

Diperantarai sitokin Obtruksi vena Obstruksi limfe

Edema

generalisata

Peningkatan Kf

Sindrom nefrotik

Peningkatan AP Penurunan Arr

GGA oliguria

Peningkatan AP

Diperantarai sitokin Pelepasan aldosteron Penurunan kadar albumin

Peningkatan volume darah

Gagal jantung

Peningkatan AP

kongestif

Penurunan curah jantung Diperantarai oleh: renin, angiotensin, aldosteron

Sirosis hepatis

Peningkatan AP

Hipertensi portal Diperantarai oleh

Penurunan An

aldosteron

Peningkatan Kf

Penurunan kadar

Penurunan Az

Diperantarai oleh: prostaglandin, NO Penurunan kadar albumin

Edema idiopatik

Peningkatan AP

Diperantarai oleh

menyebabkan kontriksi arleriol eferen sehingga terjadi peningkatan fraksi filtrasi (rasio laju filtrasi glomerulus terhadap aliran darah ginjal) dan peningkatan tekanan osmotik kapiler glomerulus. Peningkatan tekanan osmotik ini akan menyebabkan peningkatan reabsorbsi air pada tubulus proksimalis. Peningkatan reabsorbsi natrium dan air tubulus distalis.

Angiotensin

II

akan merangsang kelenjar adrenal

melepaskan aldosteron, aldosteron ini akan menyebabkan retensi natrium pada tubulus kontortus distalis.

SEKREST HORMON ANTTDTURETIK (ADH)

albumin

Kwashiorkor

dipersepsikan oleh ginjal sebagai penurunan tekanan darah sehingga terjadi kompensasi peningkatan sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus. Renin akan meningkatkan pembentukan angiotensi II, angiotensin II ini akan

:

renin, angiotensin, aldosteron

natrium dan air. VDAE didefinisikan sebagai volume darah arteri yang adekuat untuk mengisi keseluruhan kapasitas pembuluh darah arteri. VDAE yang normal terjadi pada kondisi di mana rasio curah jantung terhadap resistensi pembuluh darah perifer seimbang. VDAE dapat berkurang

pada kondisi terjadi pengurangan volume darah arteri (perdarahan, dehidrasi), penurunan curah jantung (gagal jantung) atau peningkalat capacitance pembuluh darah arteri (sepsis, sirosis hepatis) sehingga VDAE dapat berkurang dalam keadaan volume darah aktual yang

rendah, normal atau tinggi. Pada orang normal, pembebanan natrium akan meningkatkan volume ekstraseluler dan VDAE yang secara cepat merangsang natriuresis untuk memulihkan volume tubuh normal. JikaVDAE berkurang maka ginjal akan memicu retensi natrium dan air. Mekanisme ini melibatkan:

Penurunan VDAE akan merangsang reseptor volume pada pembuluh arteri besar dan hipotalamus aktivasi reseptor ini akan merangsang pelepasan ADH yang ke.mudian mengakibatkan ginjal menahan air. Pada kondisi gangguan ginjal, komposisi cairan tubuh pada beberapa kompaflemen tubuh akan terganggu dan menyebabkan edema. Penyebab umum edema: 1. Penurunan tekanan osmotik

- Sindromnefrotik - Sirosis hepatis - Malnutrisi

,

2.

Peningkatan permeabilitas vaskular terhadap protein

3.

Peningkatan tekanan hidrostatik

-

Angioneurotik edema

-

Gagal jantung kongestif

-

Gagal jantung kongestif

4.

Sirosis hepatis Obstruksi aliran limfe

5.

Retensi air dan natrium

-

Gagal ginjal

Sindromnefrotik

Pembentukan Edema pada Sindrom Nefrotik PENURUNAN ALIRAN DARAH GINJAL Penurunan VDAE akan mengaktifasi reseptor volume pada pembuluh darah besar, termasuk low-pressure barorecep-

tors, intrarenal receptors sehingga terjadi peningkatan tonus simpatis yang akan menurunkan aliran darah pada

ginjal. Jika aliran darah ke ginjal berkurang akan dikompensasi oleh ginjal dengan menahan natrium dan air melalui mekanisme sebagai berikut:

Sindrom nefrotik adalah kelainan glomerulus dengan karakteristik proteinuria (kehilangan protein melalui urin >3,5 glhai), hipoproteinemia, edema dan hiperlipidemia. Pasien sindrom nefrotik juga mengalami volume plasma

yang meningkat sehubungan dengan defek intrinsik ekskresi natrium dan air. Hipoalbuminemia pada sindrom nefrotik berhubungan dengan kehilangan protein sehingga

terjadi penurunan tekanan osmotik menyebabkan perpindahan cairan intravaskular ke interstitium dan memperberat pembentukan edema. Pada kondisi tertentu,

948

GINJAL HIPERTENSI

kehilangan protein dan hipoalbumin dapat sangat berat

sehingga volume plasma menjadi berkurang yang menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang juga merangsang retensi natrium dan air. (Gambar 2)

Gangguan fungsi ginjal

Penurunan

LFG

mengganggu ekskresi natrium pada tubulus distalis, sebagai akibatnya terjadi peningkatan volume darah, penekanan sistem renin-angiotensin dan vasopresin. Kondisi volume darah yang meningkat (ovefilling') yang disertai dengan

rendahnya tekanan osmosis plasma mengakibatkan

\

V\

Mekanisme overfilling. Pada beberapa pasien sindrom nefrotik terdapat kelainan yang bersifat primer yang

transudasi cairan dari kapiler ke interstitial sehingga terjadi edema.

Proteinuria +

Defek tubulus yang primer

Hipoalbuminemia

I

+ Penurunan

RETENSI Na

VDAE

/

I

Retensi natrium dan air oleh ginjal

vorume,orasmat

-l

l-

Gambar 2. Mekanisme retensi natrium dan air

ADH'1,/N Aldosteron,,l,

Ada 2 rnekanisme yang menyebabkan terjadinya edema pada sindrom nefrotik:

ANP

1

I Tubulus Resisten terhadap ANP

Mekanisme undeffilling. Pada mekani sme

unde rJillin g, terjadinya edema disebabkan rendahnya kadar albumin se-

rum yang mengakibatkan rendahnya tekanan osmotik plasma, kemudian akan diikuti peningkatan transudasi cairan dari kapiler ke ruang interstitial sesuai dengan hukum

EDEMA

I

Starling, akibatnya volume darah yang beredar akan berkurang (unclerfilling) yang selanjutnya mengakibatkan

Gambar 4. Skema hipotesis ovedill

perangsangan sekunder sistem renin-angiotensinaldosteron yang meretensi natrium dan air pada tubulus distalis. Hipotesis ini menempatkan albumin dan volume

Pembentukan Edema pada Gagal Jantung

plasma berperan penting pada proses terjadinya edema.

Gagal jantung kongestif ditandai kegagalan pompa

Kongestif jantung, saat jantung mulai gagal memompa darah, darah

akan terbendung pada sistem vena dan saat yang

Proteinuria

bersamaan volume darah pada afieri mulai berkurang. Pengurangan pengisian arteri ini (direfleksikan pada VDAE) akan direspons oleh reseptor volume pada pembuluh darah arteri yang memicu aktivasi sistem saraf simpatis yang mengakibatkan vasokontriksi sebagai usaha untuk mempertahankan curah jantung yang memadai. Akibat vasokontriksi maka suplai darah akan diutamakan ke pembuluh darah otak, jantung dan paru, sementara ginjal dan organ lain akan mengalami penurunan aliran darah. Akibatnya VDAE akan berkurang dan ginjal akan menahan

I

Hipoalbuminemia

I Tekanan osmotik plasma

.1,

I Volume plasma.],

I Sistem renin angiotensin

I RET

RETENSI Na

natrium dan air. ANP

N/.1,

I RETENSI

--------) EDEMA Gambar 3. Skerra hipotesis underlill

Kondisi gagal jantung yang sangat berat, juga akan terjadi hiponatremia, ini terjadi karena ginjal lebih banyak menahan air dibanding dengan natrium. Pada keadaan ini ADH akan meningkat dengan cepat dan akan terjadi pemekatan urin. Keadaan ini diperberat oleh tubulus proksimal yang juga menahan air dan natrium secara berlebihan sehingga produksi urin akan sangat berkurang.

949

EDEMA PATOFISIOLOGI DAI\ PENANGANAN

Gagal jantung

Gagal jantung

High-output

Low-output

I

I

v Resistensi

Curah jantungU

vashuler oeriferlll

VOne'l'+-l Pelepasa n vasopresrn

{r

<-

Sistem saraf

simpatisf--+ Renin-angiotensin-f

J

,ldosteron

Retensi natrium dan air oleh ginlal

perbedaan berat badan yang dipengaruhi oleh posisi tubuh. Pada posisi berdiri terjadi retensi natrium dan air sehingga terjadi peningkatan berat badan, ini diduga karena terjadi peningkatan permeabilitas kapiler pada posisi

berdiri. Pada kondisi tertentu dapat disertai penurunan volume plasma yang kemudian mengaktivasi sistem reninangiotensin-aldosteron sehingga edema akan memberat. Edema idiopatik ini harus dibedakan dengan edema yang bersamaan dengan siklus menstruasi, karena edema pada siklus menstruasi terjadi akibat retensi natrium dan air karena stimulasi estrogen yang berlebihan.

Gambar 5. Mekanisme edema pada gagal jantung

TERAPI EDEMA

Di lain pihak, ADH juga

merangsang pusat rasa haus, menyebabkan peningkatan masukan air.

Terapi edema harus mencakup penyebab yang mendasarinya yang reversibel (ika memungkinkan),

Pembentukan Edema pada Sirosis Hepatis

pengurangan asupan sodium harus dilakukan untuk meminimalisasi retensi air. Tidak semua pasien edema memerlukan terapi farmakologis; pada beberapa pasien

Sirosis hepatis ditandai oleh fibrosis jaringan hati yang luas dengan pembentukan nodul. Pada sirosis hepatis, fibrosis hati yang luas yang disertai distorsi struktur parenkim hati menyebabkan peningkatan tahanan sistem polta diikuti dengan terbentuknya pintas portosistemik baik intra maupun ekstra hati. Apabila perubahan struktur parenkim semakin berlanjut, pembentukan pintas juga

semakin berlanjut, vasodilatasi semakin berat menyebabkan tahanan perifer semakin menLlrun. Tubuh akan menafsirkan seoiah-olah terjadi penurunan VDAE.

Reaksi yang dikeluarkan untuk melawan keadaan itu adalah meningkatkan tonus saraf simpatis adrenergik. Hasil

akhirnya adalah aktivasi sistem vasokonstriktor dan anti diuresis yakni sistem renin-angiotensin-aldosteron, saraf simpatis dan ADH. Peningkatan kadar ADH akan menyebabkan retensi air, aldosteron akan menyebabkan

retensi garam sedangkan sistem saraf simpatis dan

terapi non famrakologis sangat efektif seperti pengurangan

asupan natrium (yakni kurang dari jumlah yang diekskresikan oleh ginjal) dan menaikkan kaki di atas level dari atrium kiri. Pada kondisi tertentu diuretik harus

diberikan bersamaan dengan terapi non farmakologis. Pemilihan obat, rute pemberian, dan dosis akan sangat tergantung pada penyakit yang mendasarinya, beratringannya penyakit dan urgensi penyakitnya. Efek diuretik berbeda berdasarkan tempat kerjanya pada ginjal.

Klasifikasi diuretik berdasarkan tempat kerja: i. Diuretik yang bekerja pada tubulus proksifnalis

' . 2.

3.

Diuretik yang bekerja pada tubulus kontortus distal

4.

Sodium chloride inhibitors: klortalidon (Higroton), hidroklorotiazid (Esidriks), metolazon (Diulo) Diuretik yang bekerja pada cortical collecting tubule

filtrasi glomerulus dan meningkatkan reabsorbsi garam pada tubulus proksimalis.

Gasix)

Pembentukan Edema Karena Obat penyebab edema karena obat di antaranya terjadinya vasokontriksi afteri renalis (OAINS, cy clo sporine), dilatasi arteri sistemik (vasodilator), meningkatkan reabsorbsi natrium di ginjal (hormon steroid) dan merusak struktur kapiler (interleukin 2).

(Diamoks)

Phosphodiesterase inhibitor: teofilin (diduga diperantarai cy c lic adeno s ine monopho sphat e) Diuretik yang bekerja pada loop of henle ' Sodium-potassium chloride inhibitors: bumetanid (Bumeks), ethacrynic acid (Edectin), furosemid

angiotensin akan menyebabkan penurunan kecepatan

Beberapa obat yang sering dipakai dalam praktik seharihari juga dapat menyebabkan edema (Tabel 2). Mekanisme

Carbonic anhydrase inhibitor'. asetazolamid

.

. .

Antagonis aldosteron: spirono lakton (Aldakton)

Sodium channel blokers: amilorid (Midamor), triamterene (Direnium)

Pada pemberian furosemid oral,

jumlah yang diabsorbsi

berkisar l0-80Vo (rata-rata 507o), sementara bumetanid dan

torsemid diabsorbsi hampir sempurna yaitu berkisar 80-

Edema ldiopatik

ini

biasanya terjadi pada perempuan yang ditandai dengan episode edema periodik yang tidak berhubungan dengan siklus menstruasi dan biasanya Keadaan

disertai distensi abdomen. Pada edema idiopatik ini terdapat

1007o.

Diuretik golongan tiazid dan hidroklorotiazid

diekskresikan keurin dalam bentuk tidak berubah. Pemberian diuretik juga harus mempertimbangkan waktu paruh diuretik

tersebut. Golongan tiazid memiliki waktu paruh yang panjang sehingga dapat diberikan satu kali atau dua kali

950

GINJAL HIPERTENSI

Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS) Vasodilatasi splanik

Antihipertensi Vasodilator:

Hipoalbuminemia

(Faktor utama)

Minoksidil Hidralazin Klonidin Metildopa Guanetidin

I VDAE menurun

Cal ci u m ch Al'tivasi baroreseptor arteri

Penurunan a iran darah ginjal dan

Stimulasi sistem saraf simpatis

Stimulasi vasopresrn

LFG I

r

r

I

Siklosporin Growth hormone

RETENSI NATRIUI,,l DAN AIR

lmunoterapi lnterleukin 2 OKT 3 antibodi monoklonal

Gambar 6. Mekanisme edema pada sirosis hepatitis

sehari, sementara loop diuretic seperti bumetanid mempunyai waktu paruh satu jam, torsemid 3-4 jam sehingga pemberiannya harus lebih sering. Efek loop

Penanganan penyakit yang mendasari

Mengurang asupan natrium dan air, baik dari diet maupun

diuretic dapat menghilang dengan segera, kemudian ginjal mulai mereabsorbsi natrium dan meniadakan efek diuretik.

ini

intravena

disebut po.st diuretic sodium chloride

Meningkatkan pengeluaran natrium dan air Diuretik: Hanya sebagai terapi paliatif bukan kuratif Tirah baring, local pressure

a b

retention,sehingga restriksi natrium sangat penting bagi pasien yang mendapat loop diuretic.

Hindari faktor yang memperburuk penyakit dasar: diuresis yang berlebihan menyebabkan pengurangan volume plasma, hipotensi, perfusi yang inadekuat, sehingga diuretik harus diberikan dengan hati-hati

RESISTENSI TERHADAP DIURETIK Resistensi terhadap diuretik adalah kegagalan tubuh membuat kondisi keseimbangan natrium yang negatif meskipun telah menggunakan diuretik dosis tinggi (misalnya furosemid mencapai 240 nglhart). Kondisi ini

Jenis Diuretik Carbonic anhidrase

ne I antag o n i sts

Hormon steroid Glukokortikoid Anabolik steroid Estrogen Progestin

Aktivasl sistem reninangiotensinaldosteron

I I

Proses

an

Antagonis alfa andrenergik

Tempat kerja

Potensi

Tubulus Proksimalis

inhibitor

harus dipikirkan pada pasien den-uan edema \ ang menetap meskipun telah diberi diuretik r ang maksimal serta

fisik dan asupan natrium yakni kurang dart 2 gram per hari. Pemahaman akan pengurangan aktiritas

Efek Primer

Efek

Sekunde, nlonli;'r, 1

Pertukaran

Ekskresi K

Na./H- J

Ekskresi HCO3

t

Komprikasi

250-5oo iiE:l-:L",.Tf Asidosis

Acetazolamide Loop diuretic Furosemid

Etacrynic acid

+++ +++

Absorbsi

Ekskresi K

Na./K./2Cl'I

Ekskresi

Tubulus Distalis

++ ++ ++

Absorbsi

fiazid Klorotiazid Hidroklorotiazid Metolazon Potassium Sparring Triamteren Amilorid Spironolakton

t H. t

Loop of henle

Na.

J

Ekskresi K

40-600 50-400

Hipokalemia Alkalosis

5001000

Hipokalemia Alkalosis

1

Ekskresi H.

I

50-1 00

2,5-10 Duktus Kontortus

+ + +

Absorbsi rua.

J

Ekskresi K

J

Ekskresi H.

100-300

5-10

J 1

00-400

Hiperkalemia Asidosis

,

9s1

EDEMA PATOFISIOLOGI DAhI PENAI\GANAN

farmakokinetik suatu diuretik sangat perlu untuk menentukan ada tidaknya resistensi diuretik. Efek pemberian furosemid peroral sulit diprediksi karena absorbsinya sangat tidak menentu. Penambahan diuretik lain dengan tempat kerja yang berbeda dapat membantu mengatasi adaptasi tubulus distal karena pemberian diuretik yang berlangsung lama. Penyebab potensial terjadinya resistensi terhadap diuretik dapat dilihat pada Tabel 5.

BEFERENSI Braunwald E Edema In: Braunwald, Fauci, Kasper, Hauser, Longo, Jameson, editors. Harrison's principles of internal medicine 16d' edition. New York: Mc Graw-Hill companies; 2004. p. 21122. Brater DC. Diuretic therapy N Engl J Med. 1998;339:387-95. Chototh DK, Andreoli TE. Disorder of extracellular volume. In: Johnson RJ, Feehally J, editors Comprehensive clinical nephrology. l" odition. New York: Mosby publisher; 2000. p. 3,8,111.

De Bruyne LK. Mechanisms and management of diuretic resistance in congestive heart failure. Postgrad Med J. 2003;79:268-71. Noncompliance Tidak patuh pada regimen yang diberi Tidak patuh pada pengurangan asupan natrium Resisten

Gangguan absorbsi loop diuretic Penurunan aliran darah ginjal: Penurunan volume plasma Penggunaan obat lain seperti OAINS, Penyekat ACE Akibat farmakologis : berhubungan dengan waktu paruh diuretik Pengurangan sekresi tubuler: karena kelainan ginjal, volume darah yang kurang dan obat Toleran terhadap obat: karena penggunaan obat yang berlangsung lama.

Penyebab potensial kegagalan terapi diuretik adalah terjadinya toleransi. Short term tolerance harus dipikirkan jika terjadi penurunan respons pada pemberian pertama suatu diuretik. Hal ini sering disebabkan oleh penurunan volume intravaskular sebagai kompensasi tubuh untuk mencegah kehilangan cairan tubuh secara berlebihan. lnng term tolerance dapat terjadi pada penggunaan diuretik

jangka panjang. Hal ini diperantarai hipertrofi nefron segmen distal dan reabsorbsi natrium yang berlebihan. Penambahan dosis diuretik pada kondisi ini tidak dapat memperbaiki diuresis tetapi penambahan diuretik golongan lain dapat dipertimbangkan.

G Ferai1le, Doucet A. Mechanism of edema in nephrotic syndrome: old theories and new ideas. Nephrol Dial Transplant.

Deschenes

2003:1 8:454-6. Eknoyan G. A history

of edema and its management. Kidney Int

Suppl. I 997:59:S I I 8-26.

Ellison DH. Diuretic drugs and the treatment of edema: from clinic to bench and back again. Am J Kidney Dts. 1994;23:623-43. Hamm LL, Batuman V. Edema in nephrotic syndrome: new aspect of an old enigma. J AmSoc Nephrol. 2003;74:3288-9. Moller S, Bentsen F, Henriksen JH. Effect of volume expansion on systemic hemodynamics and central arterial blood volume in cirrhosis.Gastroenterology. 199 5 ;109 : 19 17 -25. O'Brien JG Chennubhotla SA. Treatment of edema. Am Fam Physician. 2005171 :21 1 1-7 Wilson LM. Gangguan pada volume cairan, osmolalitas dan elektrolit. In: Price SA, Wilson LM, editors. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit 4th edition. Volume I. Jakarta: Penerbit buku kedokteran; 1995 p.302-26.

148 HEMATURIA Lestariningsih

PENDAHULUAN

pemeriksaan urin beberapa hari. Hematuria tidak berbahaya

Darah yang ditemukan dalam urin, baik hematuria

etiologi hematuria harus ditegakkan untuk penanganan

makroskopis ataupun mikroskopis, merupakan tanda yang

lebih lanjut. Bila ditemukan hematuria, dilakukan evaluasi

cukup serius terhadap kelainan pada saluran kemih. Kadang-kadang kita mendapatkan pasien dengan hema-

etiologi dan penyakit yang mendasari terjadinya

sepanjang tidak menyebabkan perdarahan hebat, tetapi

hematuria.

turia mikroskopik asimtomatik. Keluhan serta gejala klinis

pasien dapat memberikan arahan untuk menegakkan diagnosis.

PATOFISIOLOGI Berdasarkan lokasi yang mengalami kelainan atau trauma,

dibedakan glomerulus dan ekstra glomerulus untuk

DEFINISI

memisahkan bidang nefrolog dan urologi. Darah yang berasal dari nefron disebut hematuria glomerulus. Pada keadaan

Hematuria adalah keadaan abnormal dengan ditemukannya sel darah merah dalam urin. Ada dua macam hematuria, yaitu hematuria mikroskopis dan hematuria makroskopis (gross hematuria). Hematuria makroskopis dapat terjadi

normal, sel darah merah jarang ditemukan pada urin. Adanya eritrosit pada urin dapat terjadi pada kelainan herediter atau perubahan struktur glomerulus dan integritas kapiler yang abnormal. Eritrosit bila berikatan dengan protein TaamHorsfall akan membentuk silinder eritrosit. Ini merupakan petunjuk penyakit/kelainan glomerulus yang merupakan penanda penyakit ginj al kronik. Pada penyakit nefror/glomerulus biasanya hanya ditemukan sel darah merah saja tanpa silinder. Proteinuria merupakan tanda lesi nefron/glomerulus.

bila sedikitnya 1cc darah per liter urin sedangkan hematuria mikroskopis sering kita temukan pada pemeriksaan laboratorium urinalisis pada pasien dengan berbagai keluhan, atau pada saat pemeriksaan kesehatan (check up). Dikatakan hematuria bila pada pemeriksaan mikroskop ditemukan sel darah merah 3 atau lebih per lapang pandang besar urin yang disentrifugasi, dari evaluasi sedimen urin dua dari tiga contoh urin yang diperiksa.

Evaluasi pemeriksaan mikroskopis bila ditemukan hematuri, yaitu ditemukan eritrosit dalam urin 3 per lapang

pandang besar. Hematuria mikroskopik: bila ditemukan eritrosit 3 atau

lebih/lapang pandang besar. Bila hematuria disertai proteinuria positif 1 dengan menggunakan dipstick dilanjutkan dengan pemeriksaan kuantitatif ekskresi

HEMATURIA TRANSIEN ATAU PERSISTEN

proteinl24 jam. Bila ekskresi protein lebih dari I gl241am

Ditemukannya sedimen urin seperti sel darah merah, leukosit, silinder merupakan tanda penyakitikelainan

segera konsultasi nefrologi untuk evaluasi. Pada ekskresi protein lebih du'r500mg124 jtun yang makin meningkat atau

glomerulus, tubulointerstisial, dan urologi. Bila ditemukan hematuria tentu dokter ingin mengetahui apakah hematuria itu menetap/persisten atau sementara./ transien. Untuk menentukan hal ini diperlukan evaluasi

persisten diperkirakan suatu kelainan parenkim ginjal.

Perlu diperhatikan dalam pengambilan contoh urin: pada perempuan harus disingkirkan penyebab hematuria

952

9s3

HEMAruRIA

Pasien baru dengan hematuria mikroskopik asimtomatik

Disingkirkan penyebab hematuria antara lain: menstruasi, olahraga yang belebihan aktivitas seksual, infeksi virus, infeksi bakteri, trauma

,

sebagai berikut: Hematuria mikroskopik + proteinuria** Eritrosit dismorfik , silinder eritrosit Peninqkatan kreatinin serum dari normal

Merokok

pekejaan berhubungan dengan bahan kimia (amin aromatik)

gangguan atau penyakit urologi gangguan pengosongan kandung

kemih (iritatif) lnfeksi saluran kemih berulang

I Gambar 1. Evaluasi pemeriksaan hematuria mtkroskopik

lain misalnya menstruasi, adanya laserasi pada organ genitalia, sedangkan pada laki-laki apakah disirk-umsisi atau tidak.

Bila pada urinalisis ditemukan eritrosit, leukosit dan silinder eritrosit, merupakan tanda sugestif penyakit ginjal akut atau penyakit ginjal kronik, perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut. Diagnosis banding hematuria persisten antara

Iain glomerulonefritis, nefritis tubulointerstisial atau Vaskular Gangguan koagulasi Kelebihan obat anti koagulan

kelainan urologi. Adanya silinder leukosit, leukosituria menandakan nefritis tubulointerstisial. Bila disertai hematuiia juga merupakan variasi dari glomerulonefritis. Pada

kelompok faktor risiko penyakit ginjal kronik harus

Trombosis atau emboli a(erial Malformasi arteri-vena

dilakukan evaluasi pemeriksaan sedimen urin urltuk deteksi

Fistula arteri-vena Nutcracker syndrome Trombosis vena renalis

Pemeriksaan sitologi urin dilakukan pada risiko tinggi untuk mendeteksi karsinoma sel transisional, kemudian

Glomerular Nefropati lgA Alport sindrom Glomerulonefritis primer dan sekunder

lnterstisial lnterstisial nefritis alergi Nefropati analgesik Penyakit ginjal polikistik

dini.

dilanjutkan pemeriksaan sistoskopi.

Kelainan urologi yang lain seperti karsinoma

sel

transisional pada ginjal, sistem pelviokaliks, ureter dapat dideteksi dengan pemeriksaan ultrasonografi,

IVU. CT scan atau MRI.

Pielonefritis akut Tuberkulosis Rejeksi ginjal alograf

Uroepitelium Keganasan gin.lal dan saluran kemih Latihan yang berleb han Trauma Nekrosis papillaris Sistitis/urekitis/prostatitis (biasanya disebabkan infeksi) Penyakit parasit (misalnya skistosomiasis) Nefrolitiasis atau batu vesika urinaria

Penyebab Lainnya H

iperkalsiuria

H

iperurikosuria

Slck/e cel/ dlsease/penyakit sel sabit

Apabila ditemukan proteinuria yang bermakna, hematuria, silinder eritrosit, insufisiensi ginial atau ditemukan sel darah merah yang predominan adalah bentuk dismorfik, segera dilakukan evaluasi kelainan

parenkim ginjal/ penyakit ginjal primer. Eritrosit

9s4

GINJAL HIPERTENSI

hereditary neplHereditary nepl small vessels (r Cystic kidney d neoplasms or u other than kidnr Tubu lointerstiti;

200-1,000 mg/g < 200 mg/g

> 1 000 mg/g 200-1 000 mg/g

Urinary tract les disease May be presenl disease, but mc tubular necrosir kidney disease failure) Diabetic kidney inflammatory gl Non-inflammatc disease, non-in tu bu lonterstitial affecting mediu

permissions

(KDOQI CKD guideline, 2002) with *Modified Detection of red blood cell casts requires careful preparation and thorough and repeated

examination of sedi

obtained urine specimens. Even under ideal conditions, red blood cell casts may not always be detected in p

-. +

proliferative glomerulonephritis Oval fat bodies, fatty casts, free fat Culoff values are not precise Abbreviations and symbols: RBC, red blood cells, WBC, white blood cells: +, abnormality present: -, abnorme abnormality may or may not be present

]'ldak ada riwayat merokok Tidak ada riwayat kontaminasi bahan kimia Tidak ada riwayat irilasi gross hematuia Tidak ada Tldak jelas adanya gangguan urologi

riwayat

IVU ( urografi inkavenous )

urinalisis, tekanan darah, sitologi ulang pada 6, 12,24,36 bulan

Gambar 2. Evaluasi urologi pada hematuria asimtomatik mikroskopik

955

HEMAII'RIA

REFERENSI Coe FL. Proteinuria, hematuri, azotemia and oliguria. Harrison"s principles of internal medicine. l0th edition. New York: McGraw Hill; 1983. p. 211-8. Fegazzi GB. Urinalysis. In: Comprehensive clinical nephrology. 2'd edition.Mosby.p.35-40. Grossfeld GD. Asymptomatic microscopic hematuri in adult. Am Fam Physi. 2001.

K/DOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease.

evaluation, classification, and stratification. Part

5.

Evaluation of laboratory measurement for clinical assement of

kidney disease, 2002. Silkensen JR, Kasiske BL. Laboratory assessment

of renal

disease:

clearance, urinalysis, and renal biopsy. The kidney.

2"d

edition.2004.p. 1107 -12. Sukandar E. Masalah umum glomerulopati. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 2. 3'd edition. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 325.

t49 PROTEINURIA Lucky Aziza Bawazier

PENDAHULUAN

plasma yang melalui nefron setiap hari, hanya sedikit yang muncul di dalam urin. Ini disebabkan 2 faktor utama yang

Proteinuria adalah adanya protein di dalam urin manusia yang melebihi nilai normalnya yaitu lebih dari l50mg/24 jam atau pada anak-anak lebih dari 140 mglm2. Dalam keadaan normal, protein di dalam urin sampai sejumlah tertentu masih dianggap fungsional. Ada kepustakaan yang menuliskan bahwa protein urin masih dianggap fisiologis jika jumlahnya kurang dari 150 mg/hari pada dewasa (pada anak-anak 140 mglm2), tetapi ada juga yang menuliskan, jumlahnya tidak lebih 200 mg,4rari. Sejumiah protein ditemukan pada pemeriksaan urin rutin, baik tanpa gejala, ataupun dapat menjadi gejala awal dan mungkin suatu bukti adanya penyakit ginjal yang serius. Walaupun penyakit ginjal yang penting jarang tanpa adanya

berperan yaitu: 1. Filtrasi glomerulus 2. Reabsorbsi protein tubulus

PATOFISIOLOGI PROTEI NU RIA Proteinuria dapat meningkat melalui salah satu cara dari ke-4 jalan di bawah ini: 1. Perubahan permeabilitas glomerulus yang mengikuti peningkatan hltrasi dari protein plasma normal terutama albumrn.

2.

Kegagalan tubulus mereabsorbsi sejumlah kecil protein yang normal difiltrasi.

proteinuria, kebanyakan kasus proteinuria biasanya bersifat sementara, tidak penting atau merupakan penyakit ginjal yang tidakprogresrf. Lagipulaprotein dikeluarkan urin dalamjudah yang bervariasi sedikit dan secara langsung berlanggung jawab untuk metabolisme yang serius. Adanya protein di dalam urin sangatlah penting, dan memerlukan penelitian lebih lanjut untuk menentukan penyebab/penyakit dasarnya.

3. Filtrasi glomerulus dari sirkulasi abnormal,

Low

Molecular Weight Protein (LMWP) dalam jumlah

4.

melebihi kapasitas reabsorbsi tubulus. Sekresi yang meningkat dari makuloprotein uroepitel dan sekresi IgA (Imunoglobulin A) dalam respons untuk inflamasi.

Adapun prevalensi proteinuria yang ditemukan saat

Derajat proteinuria dan komposisi protein pada urin tergantung mekanisme jejas pada ginjal yang berakibat

pemeriksaan penyaring rutin pada orang sehat sekitar 3,57o. Jadi proteinuria tidak selalu merupakan manifestasi kelainan

hilangnya protein. Sejumlah besar protein secara normal melewati kapiler glomerulus tetapi tidak memasuki urin. Muatan dan selektivitas dinding glomerulus mencegah transpofiasi albumin, globulin dan protein dengan berat

ginjal.

Biasanya proteinuria baru dikatakan patologis bila

di atas 200 mg/hari pada beberapa kali pemeriksaan dalam waktu yang berbeda. Ada yang mengatakan proteinuria persisten jika protein urin telah kadarnya

molekul besar lainnya untuk menembus dinding glomerulus. Jika sawar ini rusak, terdapat kebocoran protein plasma ke dalam urin (proteinuria glomerulus). Protein yang lebih kecil (<20 kDal) secara bebas disaring tetapi diabsorbsi kembali oleh tubulus proksimal. Pada individu normal ekskresi kurang dari 150 mg/hari dari protein total dan albumin hanya sekitar 30 mglhari; sisa protein pada

menetap selama 3 bulan atau lebih dan jumlahnyabiasanya hanya sedikit di atas nilai normal. Dikatakan proteinuria

masif bila terdapat protein di urin melebihi 3500 mg/hari dan biasanya mayoritas terdiri atas albumin. Dalam keadaan normal, walaupun terdapat sejumlah protein yang cukup besar atau beberapa gram protein

urin akan diekskresi oleh tubulus (Tamm Horsfall,

9s6

957

PROTEINURIA

Imunoglobulin A dan Urokinase) atau sejumlah kecil B-2 mikroglobulin, apoprotein, enzim dan hormon peptida. Dalam keadaan notmal glomerulus endotel membentuk

barier yang menghalangi sel maupun partikel lain menembus dindingnya. Membran basalis glomerulus menangkap protein besar (>100 kDal) sementara foot

processes dari epitel/podosit akan memungkinkan lewatnya air dan zatterlanttkecil untuk transpor melalui saluran yang sempit. Saluran ini ditutupi oleh anion glikoprotein yang kaya akan glutamat, aspartat, dan asam silat yang bermuatan negatif pada pH fisiologis. Muatan negatif akan menghalangi transpor molekul anion seperti albumin. Beberapa penyakit glomerulus seperti penyakit minimal chan g e menyebabkan bersatunya p o t p r o c e s s e s glomerulus sehingga terj adi kehilangan albumin selektif. Fusi foot processes meningkatkan tekanan sepanjang membran basalis kapiler yang berakibat terbentuknya pori yang lebih besar sehingga terjadi proteinuria non selektif atau proteinuria bermakna.

Mekanisme lain dari timbulnya proteinuria ketika produksi berlebihan dari proteinuria abnormal yang melebihi kapasitas reabsorsi tubulus. Ini biasanya sering dijumpai pada diskrasia sel plasma (mieloma multipel dan limfoma) yang dihubungkan dengan produksi monoklonal

imunoglobulin rantai pendek. Diskrasia sel plasma (mieloma multipel) dapat dihubungkan dengan sejumlah besar ekskresi rantai pendek di urin, yang tidak dapat dideteksi dengan pemeriksaan dipstik. Rantai pendek ini dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh glomerulus dan

direabsorbsi kapasitasnya pada tubulus proksimal. Bila ekskresi protein urin total melebihi 3,5 gram sehari. sering dihubungkan dengan hipoalbuminemia, hiperlipidemia, dan edema (sindrom nefrotik). Ekskresi yang melebihi 3,5 gram dapat timbul tanpa gambaran atau gejala lain dari sindrom nefrotik pada beberapa penyakit ginjal yang lain.

PROTEINURIA FISIOLOGIS Proteinuria sebenarnya tidaklah selalu menunjukkan kelainan/penyakit ginjal. Beberapa keadaan fisiologis pada individu sehat dapat menyebabkan proteinuria. Pada keadaan fisiologis sering ditemukan proteinuria ringan

yang jumlahnya kurang dari 200 mg/hari dan bersifat sementara. Misalnya: pada keadaan demam tinggi, gagal jantung, latihan fisik yang kuat terutama lari maraton dapat mencapai lebih dari 1 gram/hari), pasien dalam keadaan transfusi darah/plasma atau pasien yang kedinginan, pasien hematuria yang ditemukan proteinuria masif, yang

PROTEINURIA PATOLOGIS Sebaliknya, tidak semua penyakit ginjal menunjukkan proteinuria, misalnya pada penyakit ginjal polikistik, penyakit ginjal obstruksi, penyakit ginjal akibat obat-obat analgesik dan kelainan kongenital kista dan sebagainya, sering tidak ditemukan proteinuria.Walaupun demikian, proteinuria adalah manifestasi besar penyakit ginjal dan merupakan indikator perburukan fungsi ginjal. Baik pada penyakit ginjal diabetes maupun penyakit ginjal non diabetes, sejak dahulu protenuria dianggap sebagai faktor prognostik yang bermakna dan paling akurat. Risiko morbiditas dan mortalitas kardiovaskular juga meningkat secara bermakna dengan adanya proteinuria. Di dalam kepustakaan, banyak definisi diberikan untuk menyatakan berapa jumlah protein sebenarnya dalam urin yang dianggap patologis. Ada kepustakaan yang menyatakan, protein di dalam urin tidak boleh melebihi 150 mg/24 jam, tetapi ada pula yang menyebutkan protein urin di bawah 200 mg/hari.

Proteinuria yang berat, sering kali disebut masif, terutama pada keadaan nefrotik, yaitu protein di dalam urin yang mengandung lebih dari3 granl24 jampada dewasa atau 40 mg/m2lj am pada anak- anak, bias anya berhu'bungan

secara bermakna dengan lesi/kebocoran glomerulus. Sering pula dikatakan bila protein di dalam urin melebihi 3,5 grun/24 jwn. Penyebab proteinuria masif sangat banyak, yang pasti keadaan diabetes melitus yang cukup lama dengan retinopati, dan penyakit-glomerulus. Terdapat 3 jenis proteinuria patolo gis : 1 ). Proteinuria glomeruluS, misalny a:

mikroalbuminuria, proteinuria klinis; 2). Proteinuria tubular; 3). Overflow proteinuria.

PROTEINURlA GLOMERULUS entuk proteinuria ini tampak pada hampir semua penyakit ginjal di mana albumin adalah jenis protein yang paling dominan (60-90Vo) pada urin, sedangkan sisanya protein dengan berat molekul rendah ditemukan hanya sejumlah

B

kecil saja.

Dua faktor utama yang menyebabkan filtrasi glomerulus protein plasma meningkat: 1). Ketika barier

filtrasi diubah oleh penyakit yang

sebabnya bukan karena kebocoran protein dari

mempengaruhi glomerulus. Protein plasma, terutama albumin, dapat melalui glomerulus. Pada penyakit glomerulus dikenal penyakit perubahan minimal, albuminuria disebabkan kegagalan selularitas yang berubah. Pada penyakit ginjal yang lain sebagaimana GN proliferatif dan nefropati

glomerulus tetapi karena banyaknya protein dari eritrosit yang pecah dalam urin akibat hematuri tersebut (positif palsu proteinuria masif). Proteinuria fisiologis dapat pula

membranosa, terjadi defek pada ukuran; 2). Faktor-faktor

hemodinamik seperti peningkatan tekanan kapiler glomerulus/fraksi filtrasi mungkin juga menyebabkan

terjadi pada masa remaja dan juga pada pasien yang lordotik

proteinuria glomerulus oleh tekanan difus yang meningkat tanpa perubahan apapun pada permeabilitas intrinsik

(ortostatik proteinuria).

958

GINJALHIPERTENSI

dinding kapiler glomerulus. Mekanisme ini mungkin

juga berguna sebagai target keberhasilan pengobatan.

terdapat pada proteinuria ringan, transien yang kadangkadang terlihat pada pasien hipertensi dan gagal jantung kongestif. Pemeriksaan ditentukan dengan pemeriksaan semi kuantitatif misalnya: dengan uji Esbach dan Biuret.

Monitor albuminuria sebaiknya dilakukan dalam praktek

Proteinuria klinis dapat ditemukan > lgltrari.

PROTEINURIA TUBULAR Jenis proteinuria

ini mempunyai berat molekul yang rendah antara 100-150 mg perhari, terdiri atas p-2 mikroglobulin

dengan berat molekul 14000 dalton. Penyakit yang

sehari-hari pada pasien dengan risiko penyakit kardiovaskular dan ginjal. Albumin dapat menjadi target untuk memperoleh proteksi/perlindungan kardiovaskular dan diharapkan pedomannya dibuat untuk membantu dokter dalam memutuskan bagaimana mengukur albumin urin, berapa angka normalnya, kadar abnormalnya, dan berapa kadar terendah yang harus dicapai. Peningkatan ekskresi albumin urin dapat menjadi prediktor kerusakan fungsi ginjal pada populasi umum. Albuminuria dapat dipakai sebagai "alat yang berharga" untuk menentukan risiko perkembangan lebih lanjut gagal ginjal, tanpa

biasanya menimbulkan proteinuria tubular adalah renal

dipengaruhi faktor-faktor risiko lain kardiovaskular.

tubular acidosis (RTA), sarkoidosis, sindrom Fankoni,

Peranan albuminuria pada diagnosis awal dan pencegahan penyakit ginjal dan kardiovaskular sangat penting ditinjau

pielonefritis kronis, dan akibat cangkok ginjal.

OVERFLOW PROTEINURIA

Diskrasia sel plasma (pada mieloma multipel

)

berhubungan dengan sejumlah besar ekskresi rantai pendek/protein berat molekul rendah (kurang dari 40000 dalton) berupa Light Chain Imunoglobulin, yatg tidak

dapat dideteksi dengan pemeriksaan dipstik/yang umumnya mendeteksi albumin/pemeriksaan rutin biasa, tetapi harus pemeriksaan khusus. Proteinjenis ini disebut

protein Bence Jones. Penyakit lain yang sering menimbulkan proteitBence Jones adalah amiloidosis dan makroglobulinemia. Protein berat molekul ren dah/rantai ringan ini dihasilkan dari kelainan yang disaring oleh glomerulus dan kemampuan reabsorbsi tubulus proksimal. Presipitat asam sulfosalisilat tidaklah terdeteksi dengan dipstik, hanya memperkirhkan rantai terang (protein Bence Jones) dan rantai pendek yang secara tipikal dalam bentuk presipitat, karena protein Bence Jones mengendap pada suhu 45" dan larut kembali pada suhu 95- 100'. Gagal ginjal

dari kelainan ini timbul melalui berbagai mekanisme obstruksi tubulus (nefropati silinder) dan deposit rantai pendek.

MIKROALBUMINURIA

dari sudut demografi dan epidemiologi di negara sedang berkembang. Pada pasien diabetes melitus tipe-I dan II, kontrol ketat gula darah, tekanan darah dan mikroalbuminuria sangat penting. Hipotesis mengapa mikroalbuminuria dihubungkan dengan risiko penyakit kardiovaskular adalah karena disfungsi endotel yang luas. Belum jelas apakah mikroalbuminuria secara spesifik berhubungan dengan kegagalan sintesis nitrit oksid pada individu dengan atau tanpa diabetes melitus tipe-Il. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan peranan kegagalan sintesis nitrit oksid pada sel endotel yang berhubungan antara mikroalbuminuria dengan risiko penyakit kardiovaskular.

PROTEINUBIA TERISOLASI Proteinuria terisolasi adalah sejumlah protein yang ditemukan dalam urin tanpa gejala pada pasien sehat yang

tidak mengalami gangguan fungsi ginjal atau penyakit sistemik. Proteinuria ini hampir selalu ditemukan secara

kebetulan dapat menetap/persisten, dapat pula hanya sementara, yang mungkin saja timbul karena posisi lordotik tubuh pasien. Biasanya sedimen urin normal. Dengan pemeriksaan pencitraan ginjal tidak ditemukan gangguan abnormal ginjal atau saluran kemih dan tidak ada riwayat

gangguan ginjal sebelumnya. Biasanya total ekskresi Pada keadaan normal albumin urin tidak melebihi 30 mg/ hari. Bila albumin di urin 30-300 mglhari atau 30-350 mg/

hari disebut mikroalbuminuria. Biasanya terdapat pada pasien DM dan hipertensi esensial dan beberapa penyakit glomerulonefritis (misal, glomerulonefritis proliferatif me sangial difus). Mikroalbuminuria merupakan marker (pertanda) untuk proteinuria klinis yang di sertai penurunan

protein urin kurang dari 2 glhari. Data insidens dan prevalensi terisolasi isolated proteinuria ini pada grup usia berapa dan populasi yang mana, belum ada.Yang jelas pada berbagai populasi prevalensinya bervariasi antara 0,670,770.

Proteinuria terisolasi dibagi dalam 2 kategori: 1). Jinak,

faal ginjal LFG (laju filtrasi glomerulus) dan penyakit

termasuk yang fungsional, idiopatik, transien/tidak menetap, orlostatik, dan intermiten; 2). Yang lebih serius

kardiovaskular sistemik. Albuminuria tidak hanya pertanda risiko penyakit kardiovaskular dan penyakit ginjal, tetapi

lagi adalah yang mungkin tidak ortostatik dan timbul secara persisten.

959

PROTEINURIA

PROTEINURIA TERISOLASI JINAK

Proteinuria Fungsional Tnj adalah bentuk umum proteinuria yang sering terlihat pada pasien yang dirawat di rumah sakit karena

berbagai penyakit. Biasanya berhubungan dengan demam tinggi, latihan sternosus, terpapar dengan dingin/kedinginan, stres emosi, gagal jantung kongestif, sindrom obstruksi sleep apnea, dan penyakit akut Iainnya. Sebagai contoh: ekskresi protein meningkat 23 kali setelah latihan sternosus tetapi hilang kembali

setelah istirahat. Sebenarnya, kunci keadaan ini proteinuria tidak tampak dengan segera. Proteinuria tersebut adalah jenis/tipe glomerulus yang diyakini disebabkan oleh perubahan hemodinamik ginjal yang meningkatkan filtrasi glomerulus protein plasma. Penyakit ginjal yang progresif tidak timbul pada pasien lnl.

Proteinuria Ortostatik (Postural) Pada semua pasien dengan ekskresi protein masif, proteinuria meningkat pada posisi tegak dibandingkan posisi berbaring. Perubahan ortostatik pada ekskresi protein tampaknya tidak mempunyai kepentingan diagnostik

dan prognostik Dengan perkataan lain, pertimbangan prognostik yang bermakna dapat dilakukan pada siluasi proteinuria yang ditemukan hanya ketika pasien dengan posisi tegak dan hilang pada waktu pasien berbaring. Ini merujuk pada posisi tegak/ortostatik proteinuria. Ekskresi protein per hari hampir selalu di bawah 2 gram (walaupun lebih dari 2 gram kadang-kadang dilaporkan). Proteinuria ortostatik sering pada usia dewasa muda, dengan prevalensi secara umum 2-5Vo,;arung terdapat pada usia di atas usia 30 tahun. Walaupun dapat timbul selama fase penyembuhan dari berbagai penyakit glomerulus, kurang leblh 90Vo dewasa muda dengan proteinuria ortostatik menunjukkan kondisi yang baik. Pada807o kasus, kondisi

transien disebut proteinuria ortostatik transien. Hasil biopsi pada pasien ini menunjukkan perubahan lesi

Proteinuria Transien ldiopatik

minimal glomerulus dan tidak adanya deposit

Merupakan kategori proteinuria yang umum pada anakanak dan dewasa muda, yang ditandai oleh proteinuria yang timbul selama pemeriksaan urin rutin orang sehat tetapi hilang kembali setelah pemeriksaan urin dilakukan kembali. Pasien tidak mempunyai gejala, proteinuria selalu ditemukan secara insidentil pada penapisan urin rutin, atau selama pemeriksaan kesehatan terhadap pekerja dan pemeriksaan rutin dari asuransi yang biasanya merupakan fenomena fisiologis pada orang muda. Sebenarnya, jika contoh urin diperiksa cukup sering, banyak orang sehat muda kadang-kadang akan menimbulkan hasil proteinuria kualitatif positif. Proteinuria tidak dihubungkan dengan keadaan yang buruk sehingga tidak diperlukan evaluasi lebih Ianjut.

imunoglobulin. Kondisi ini mempunyai prognosis sangat bagus sebagai proteinuria transien non ortostalik dan tekanan darah yang masih normal. Pada 207o pasien.

Proteinuria lntermiten Terdapat pada lebih dari separuh contoh urin pasien yang tidak mempunyai bukti penyebab proteinuria. Berbagai studi menunjukkan variasi luas dari bentuk abnormalitas ginjal yang berhubungan dengan keadaan ini. Pada beberapa kasus dengan berbagai lesi minor pada glomerulus/interstitium, tidak ditemukan kelainan pada biopsi ginjal. Prognosis pada kebanyakan pasien adalah baik dan proteinuria kadang-kadang menghilang

setelah beberapa tahun. Kadang-kadang, walaupun jarang, terdapat insufisiensi ginjal progresif dan risiko untuk gagal ginjal terminal tidak lebih besar daripada populasi umum. Keadaan ini biasanya tidak berbahaya pada pasien lebih muda dari 30 tahun, sedangkan pada pasien yang lebih tua, lebih jarang, biasanya harus

proteinuria ortostatik dikatakan menetap dan berproduksi kembali, akan tetapi follow up studi lebih dari 20 tahun menunjukkan proteinuria hilang secara perlahan-lahan pada kebanyakan kasus. Kurang lebih 15Vo kasus, hilang selama 5 tahun, pada 50Vo kasus hilang l0 tahun dan lebih dari 80Vo hilarg dalam 20 tahun. Walpupun proteinuria menetap secara persisten untuk 20 tahun, insufisiensi ginjal tidak dapat diobservasi dan tekanan darah tidak ditemukan lebih tinggi daripada populasi umum.

Studi kecil melaporkan tidak adanya bukti dari insufisiensi ginjal atau proteinuria 40 tahun setelah diagnosis dari proteinuria ortostatik yang pertama dibuat.

Evaluasi secara rinci tidak mempunyai bukti nyata

ditemukannya penyakit ginjal dan biopsi ginjal menunjukkan hasil histologi yang normal, penebalan dinding kapiler yang minimal sampai dengan moderat atau hiperselular mesangial fokal. Hasil mikroskop elektron menunjukkan tingkat perubahan segmental dan fokal dengan matriks mesangial yang meningkat dan penggabungan foot process dan pewarnaan imunodifusi untuk komplemen dan imunoglobulin memberikan hasil yang bervariasi. Patofisiologi proteinuria ortostatik tidakl ah diketahui. Diduga bahwa pengumpulan darah pada lengan

dapat menyebabkan perubahan hemodinamik glomerulus yang mempengaruhi filtrasi protein. Walaupun biasanya

prognosis proteinuria ortostatik baik, persisten (non

dimonitor tekanan darahnya, gambaran urinalisis, dan

ortostatik) proteinuria berkembang pada segelintir orang. Kemaknaannya tidaklah dekat dan mungkin tidaklah

fungsi ginjalnya.

penting. Namun, bila proteinuria masih menetap, maka pada

960

GINJAL HIPERTENSI

pasien secara teratur (tiap

l-2 tahun), dilakukan monitor tekanan darah dan pemeriksaan urin. Jika proteinuria berubah ke bentuk yang persisten, evaluasi ginjal sangat

diperlukan dan biopsi harus dilakukan untuk menyingkirkan penyakit ginj al serius.

PROTEINURIA TERISOLASI YANG MENETAP/ PERSISTEN Anamnesis secara lengkap (termasuk riwayat penyakit dahulu dan riwayat penyakit keluarga) dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari penyakit ginjal/penyakit sistemik yang menj adi penyebabnya.

a

Jika ditemukan tanda-tandal gejala,lakukan pemeriksaan darah, pencitraan, dan atau biopsi ginjal untuk mencari kausa.

b

Jika tidak ditemukan bukti, ulangi tes kualitatif untuk proteinuria dua/tiga kali, 1. Jika tidak ada proteinuria dalam spesimen urin berarti kondisi ini hanya transien atau fungsional. Nilai kembali dan tidak perlu melakukan tes

2.

Cara Mengukur Protein di Dalam Urin Metode yang dipakai untuk mengukur proteinuria saat ini sangat bervariasi dan bermakna. Metode dipstik mendeteksi sebagian besar albumin dan memberikan hasil positif palsu bila pH >7.0 dan bila urin sangat pekat atau terkontaminasi darah. Urin yang sangat encer menutupi proteinuria pada pemeriksaan dipstik. Jika proteinuria yang tidak mengandung albumin dalam jumlah cukup banyak akan menjadi negatif palsu. Ini

terutama sangat penting untuk menentukan protein Bence Jones pada urin pasien dengan multipel mieloma. Tes untuk mengukur konsentrasi urin total secara

benar seperti pada presipitasi dengan

kemampuan mengukur mikroalbuminuria (30-300 mg/

hari) dan merupakan petanda awal dari penyakit glomerulus yang terlihat untuk memprediksi jejas glomerulus pada nefropati diabetik dini.

ulang. Jlka proteinuria ditemukan tiap saat, peiksa Blood

Proteinuria

UreaNitrogen (BI-IN), kreatinin dan klirens kreatinin, ukur ekskresi protein urin 24 jam, USG ginjal dan tes

(Deteksi dengan dipstick)

Riwayat penyakit, pemeriksaan flsis, dan mikroskopis urin

protein ortostatik/postural. Jika fungsi ginjal / hasil USG tidak normal, kembali ke Ia. Jika fungsi ginjal dan hasil USG normal dan proteinuria

adalah tipe postural, tidak diperlukan tes berikutnya. Follow up pasientiap 1-2 tahun, kecuali:

a.

Proteinuria menjadi persisten: ikuti pedoman /penuntun proteinuria (IV B)

b.

Proteinuria membaik atau menjadi intermiten: ikuti

follow up berikutnya. Jika fungsi ginjal dan USG normal dan proteinuria non postural, ulang pemeriksaan protein uin24 jam2-3x untuk menyingkirkan proteinuri a i ntermiten. a. Jika proteinuria intermiten. Pasien dewasa muda umur kurang dari 30 tahun, harus di-follow up tiap I -2 tahun dan pasien dewasa yang berusia lebih tua (>30 tahun)

Test fungsi ginjal : USG dan ekskresi protein postural

di-follow up tiap 6 bulan.

b. Jika proteinuria persisten, evaluasi lebih lanjut tergantung pada tingkat proteinuria. 1. Jika proteinuria <3 grarn/24 jam, perlu dikonfirmasi

dengan imaging

ginjal yang cukup untuk

Ulang urin

Test lain C)

Follow up liap 1-2

kwantitatif 2-3x

menyingkirkan obstruksi ginjal atau abnormalitas anatomi ginjal dan penyakit ginjal polikistik. Juga pada pasien >45 tahun, pemeriksaan elektroforesis 30

urin diperlukan untuk menyingkirkan multipel

2.

mieloma. Jika semua hasil negatif, periksa ulang pasien tiap 6 bulan. Jika proteinuria lebih dai, 3 grarnl24 j am, lanjutkan

ke-IA.

asam

sulfosalisilat atau asam triklorasetat. Sekarang ini, dipstik yang sangat sensitif tersedia di pasaran dengan

I rorc,

I

tiap 1-2

lhn

,p

> 30 thn

+

| | rorc*

thn I I

rp

trap 6 bulan

Gambar 1, Cara pemeriksaan proteinuria

I

I

961

PROTEII\ruRIA

Ekskresi protein win24 jam

30-300 mg/hari

300-3500 mgihari

atau

atau

30-350 mg/g

300-3500 mg/g

Keterangan gambar: Pendekatan pasien dengan proteinuria. Pemeriksaan

proteinuria sering diawali dengan pemeriksaan dipstik yang positif pada pemeriksaan ulinalisis

Silinder eritrosit / sel-sel darah merah pada urinalisis

Pertimbanokan: Awal diabetes melitus - Hipertensi essensial - Sfaglng/tingkat awal

rutin. Dipsiik konvensional mendeteksi mayoritas albumin dan tidak dapat mendeteksi kadar albumin urin antara 30-300 mg/hari - Diabetes

-

Amiloidosis - Penyakit lesi minimal - FSGS (Fokal Segmental Glomerulosklerosis) - Glomerulonefritis membranosa - MPGN (Membranoproliferativ -

Pemeriksaan lebih pasti dari proteinuria sebaiknya memeriksa protein urin 24 jam atau rasio protein pagi/kreatinin (mg/g). Bentuk proteinuria pada elektroforesis protein urin

dapat diklasifikasikan sebagai bagian dari glomerulus, tubular, atau abnormal tergantung asal

protein urin. Protein glomerulus disebabkan oleh permeabilitas

glomerulus yang abnormal. Proteinuria tubular seperti Tamm-Horsfall secara normal dihasilkan tubulus ginjal Protein sirkulasi yang abnormal seperti rantai ringan/pendek kappa/lambda telah

Tubul us

- Tamm Horsfall

- 0 mikroglobulin

Selektif (terutamaalbumin) - Penyakit lesi

siap disaring karena ukurannya yang kecil.

FSGS :

minimal

Fokal Segmental Glomerulosklerosis

MPGN : MembranoproliferatifGlomerulonefritis Gambar 2. Skema evaluasi proteinuria

Nijad KZ, Eddy AA, Glassock. Which is proteinuria an ominous biomarker of progressive kidney disease? Kidney lnt. 2004:66

REFERENSI Anavekar NS, Pfeffer MA. Cardiovascular risk in chronic kidney disease Albuminuria: risk marker and target for treatment Kidney Inr. 2004:66 (suppl. 92):Si1-S5. Becker GJ Which albumin should we measure? Albuminuria: risk

marker and target for treatment Kidney Int.2004:66 (suppl.92):S

1

6-S7.

Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, et al. Harrison's principles of

internal medicine.l5th edition. New York: The McGraw-Hill; 2001. p.266-8. Brenner BM. The kidney 5th edition. Boston: WB. Saunders Co;

1996,1981,2003,1864. De Zeeuw D. Albuminuria, not only a cardiovascular/renal risk

marker, but also a target for treatment? Kidney Int. 2004:66:suppl 92:S2-S6.

Hoy W, McDonald SP. Albuminuria: marker or target in indigenous populations. Albuminuria: risk marker and target for treatment. Kidney Int. 2004:66:(suppl.92):S25-S31, Jacobson HR, Striker GE, Klahr Saulo. The principles and practice of nephrology. USA: Mosby; 1995 p 114-1056. Johnson RJ, Feehally J Comprehensive clinical nephrology London: Mosby; 2000. Mitch WE, Shahinfar S, Dickson TZ. Detecting and managing patients with type 2 diabetic kidney disease: proteinuria and cardiovascular disease. Kidney Int. 2004:66:(suppl.92):S97-S8.

(suppl.92): S76-S89.

Remuzzi G, Chiurchiu C, Ruggenenti P. Proteinuria predicting outcome in renal disease: non diabetic nephropathies (REIN) Kidney Int. 2004:66 (supp1.92):S90-S6. Rotter RC, Naicker S, Katz IV. Demographic and epidemiologic transition in the developing world: role of albuminuria in the early diagnosis and prevention of renal and cardiovascular disease. Kidney Int 2004: 66(suppl.92):S32-57 Russo LM, Comper WD, Osicka TM. Mechanism of albuminuria associated with cardiovascular disease and kidney disease. Albuminuria: risk marker and target for treatment Kidney Int. 2004:66:(suppI.92):S67-S78. E Nefrologi klinik. 2nd ed Bandung: Penerbit ITBI,1997. Verhave JC, Gansevoort RT An elevated urinary albumin excretion predicts de novo development of renal function impairment in the general population. Kidney Int. 2004:66:(suppl.92):Sl8s21. Wamock DG Inclusion of albumin as a target in therapy guidelines: Sukandar

guidelines for chronic kidney disease Kidney Int. 2004:66:(suppl.92):

S

121-S3.

150 SINDROM POLIURIA Shofa Chasani

PENDAHULUAN

REGULASI CAIRAN TUBUH

Poliuria adalah suatu keadaan di mana volume air kemih

Kehilangan air tubuh dapat melalui. berbagai jalan yaitu melalui paru (respirasi), melalui kulit (perspirasi), melalui

dalam24 jammeningkat melebihi batas normal disebabkan gangguan fungsi ginjal dalam mengkonsentrasi air kemih. Definisi lain adalah volume air kemih lebih dari 3 liter/ hari, biasanya menunjukkan gejala klinik bila jumlah air

gastrointestinal (feses) dan melalui ginjal. Ginjal

kemih antara 4-6 literlhari. Poliuri biasanya disertai dengan gejala lain akibat kegagalan ginjal dalam memekatkan air kemih antara lain rasa haus. dehidrasi

merupakan jalan yang terpenting, regulasi pengeluaran air diatur dengan mempertahankan osmolalitas cairan tubuh. Osmolalitas serum normal dipertahankan pada rentang yang sempit yaifi 285-295 mOsm /kg. Rentang osmolalitas urin antara 100-200 mOsm/kg, tergantung

dan lain-lain.

adanya kebutuhan mempertahankan atau mengeluarkan

Menurut Brenner poliuri dlbagi2 macam: 1. Poliuria non fisiologis: pada orang dewasa, poliuri didapatkan bila air kemih lebih dari 3 literftari. 2. Poliuria fisiologis: volume air kemih dibandingkan dengan volume air kemih yang diharapkan karena rangsangan yang sama, dikatakan poliuri bila volume air kemih lebih besar dari volum yang diharapkan.

air bebas.

Bila kemampuan ginjal untuk memekatkan air kemih terganggu maka terjadi peningkatan jumlah air kemih yang bisa disebabkan oleh beberapa keadaan, antara lain:

1.

Ketidak mampuan sekresi ADH oleh hipofisis posterior

2. Kerusakan

mekanisme arus balik. Hiperosmotik intestisium medula dibutuhkan untuk memekatkan

Poliuri terdapat pada berbagai keadaan, meskipun diabetes insipidus merupakan penyebab yang sering terj adi.

air kemih yang maksimal, tidak peduli berapa banyak

Adapun penyakit lain yang perlu diperhatikan adalah

ADH yang tersedia dalam tubuh; Ketidak mampuan tubulus distal dan tubulus

diabetes melitus yang tidak terkontrol, polidipsi psikosis, hiperkalsemia, hipokalemi dll.

3.

koligentes untuk merespons ADH. Ada dua reseptor

ADH yaitu vasopressin I (VI) memiliki aktivitas vasokontriksi dan prostaglandin dan vasopressin

Tujuan 1. Mampu

2 (V2) memiliki aktivitas antidiuretik, vasodilator dan

menerangkan definisi poliuria Mampu menerangkan tentang regulasi cairan tubuh oleh ginjal dan pengaruh hormon ADH terhadap tubulus ginjal. 3. Mampu menerangkan mekanisme te{adinya poliuri baik .karena faktor osmotik maupun faktor hormonal. 4. Mampu menerangkan penyebab poliuria, gambaran klinik serta diagnosis banding dan gejala ikutannya.

mediator faktor koagulasi. Bila reseptor Y2 yang aktif maka akan terjadi peningkatan permeabilitas

2.

5. Mampu menerangkan mekanisme

terhadap air sehingga air kemih berkurang, sebaliknya bila respetor VI yang aktif maka permeabilitas turun dan akibatnya jumlah air kemih meningkat. Mekanisme umpan balik osmoreseptor ADH dapat

penanganan

dilihatpadaGambar

poliuria.

962

1.

963

SINDROMP'OLIURIA

DIABETES INSIPIDUS ODef sit a r Diabetes insipidus merupakan penyakit yang jarang terjadi, kurang lebih 3 per 100 000 orang. Pasien tampil dengan

I lOsmolalitas nolalitas ekstraselular

poliuri yang nyata dan polidipsi dengan osmolalitas serum yang tinggi (lebih dari295) dan tidak sesuai dengan osmolalitas air kemih yang rendah. Diabetes insipidus disebabkan adanya insufisiensi atau tidak adanya hormon anti diuretik (ADH/AVP) atau tidak pekanya tubulus ginjal terhadap rangsangan AVP. Biasanya pasien tidak sanggup untuk mempertahankan air bila mendapatkan tambahan cairan. Kekurangan AVP (Arginin Vasopressin) atau efekAVP dihubungkan dengan ketidak adekuatan mengkonsentrasikan urin akan meningkatkan pengeluaran urin (Poliuria) dan biasanya akan disertai rasa haus (polidipsi) sebagai kompensai bila mekanisme haus masih baik. Bila mekanisme haus mengalami gangguan maka akan terjadi kenaikan osmolalitas dengan kenaikan natrium plasma (hipernatremia). Sehingga kekurangan AVP atau disebut

It I

tSekresiADH resiADH oleh hipofisis Posterior

t I

IADH plasma

t I

lPermee Permeabilitas H,O Tubulus [ubulus distal dan tubulus ubulus koligenitas I

I

+ 1 Reabs lReabsorbsi HrO

diabetes insipidus akan mempunyai sindroma klinik seperti

kenaikan pengeluaran urin, yang hipotonik dan hal ini berbeda dengan diabetes mellitus yang bersifat hipertonik. Beberapa perbedaan patofisiologi terjadinya'poliuri hipotonik ini menjadikan poliuria hipotonik dibagi

t I

IIEksresi Eksr H,O

menjadi: Gambar 1. Mekanisme umpan balik osmoreseptor ADH

1. CDI

(diabetes insipidus sentral)

2. Disfungsi osmoreseptor (sebagai variasi dari CDD 3. Gestasional diabetes insipidus 4. NDI (diabetes insipidus nefrogenik) 5. Polidipsi primer (diabetes insipidus dipsogenik/ psychgenic polydipsi)

ETIOLOGI CD!

300

Outer

400

medula

1. Kongenital (Congenital malformations,

2.

600

venom)

lnner medula 800 Anti diuretic hormone

Autosomal dominant,AVP-Neurophysin gene mutation. drug/toxin -induce (ethanol, diphenylhydantion, snake

3. 4.

5. 6. 7.

Granulomatozs (histiositosis, sarkoidosis) Neoplastik (craniopharyngioma, gerrninoma,lymfoma, leukemia, meningioma, tumor pituitari. metastasis). infeksi (meningitis, tuberkulosis, encephalitis) Trauma (neurosurgery, deceleration inj ury) Vaskular (cere bral hemorrhnge or infarction, brain death)

ETIOLOGI OSMORECEPTOR DYSFUNCTION

l.

Granulomatous (histiositosis, sarkoidosis)

2. Neoplastik (kraniofaringioma, pinealoma, Gambar 2. Mekanisme pemekatan dan pengencaran air kemih (Brenner 2007)

meningioma, metastasis)

3.

Vaskular (anterior communicating artery aneurysm/

ligation, intrahypothalamic hemoruhage)

964

4. Other

(hydrocephalus, ventricular/supersellar cyst, trauma, degenerative deseases).

5.

GINJALHIPERTENST

2.

Diabetes insipidus didapat: karena kelainan intra kranial

(trauma, pembedahan, tumor di kepala, infeksi (tuberkulosis, ensefalitis, meningitis) . Istilah lain dari

Idiofatik

keadaan dimanaADH meningkat di luar batas fisiologis karena sebab yang bermacam-macam disebut SIADH

ETIOLOGI "INCREASED AVP METABOLISM"

(Syndrome of Inappropriate Secretion of ADH).

PREGNANCY PATOFISIOLOGI OSMORECEPTOR DYSFUNCTION

ETIOLOGI NEPHROGEN!C DIABETES INSIPIDUS Congenital (X-linked recessive, AVP V2Receptor Sene mutations, autosomal recessive or dominant, aquaporin2 water channel gene mutations). . Drugs induced (demeclocycline, lithium, cisplatin, mrthoxyflurane) . Hypercalcemia. . Hypokalemia. . Infiltrating lesions (sarcoidosis, amyloidosis). . Vascular (sickle cell anemia).

.

Mechanical (polycystic kidney disease, bilateral

Dengan perkecualian (walau jarang) osmoregulator AVP

Juga terganggu, walau respons hormonal terhadap utuh, ada 4 macam disf un gsi osmoreseptor yang khas dengan defek rasa haus dan / atau respon sekresi AVP : . Llpward resetting osmostat untuk rasa haus dan /atau

rangs angan nonosmotik tetap

.

ureteral obstruction)

.

radiocontrast dyes) Idiophatic.

.

. Solute dieresis ( glucose, mannitol, sodium, .

Defek utama pada pasien dengan gangguan ini adalah tidak adanya osmoreseptor yang meregulasi rasa haus'

. ETIOLOGI PRIMARY POLYDIPSIA

' '

Psychogenic (schizophrenia, obsessive-compulsive behaviors) Dipsogenic (downward restting of thirst threshold, idiophatic or similar lesions as with central diabetes insipidus).

respons sekresi AVP Destruksi osmoresceptor partial (respons sekresi AVP yang kurang dan rasa haus) Destruksi osmoreseptor total (tidak ada sekresi AVP dan rasa haus) Disfungsi selektif dari osmoregulasi haus dengan sekresi A\? yang utuh) Berbeda dengan CDI dimana polidipsi mempertahankan osmolalitas dengan batas normal, pasien dengan

disfungsi osmoreseptor secara khas mempunyai osmolalitas anta.ra 300 - 340 mOsrr/Kg H2O. GESTATIONAL DIABETES INSIPIDUS Dehsiensi relative plasma AVP, dapat juga karena kenaikan kecepatan metabolism AVP, kondisi ini hanya ada pada

PATOFISIOLOGI CDI

pasien hamil , oleh karenanya pada umumnya disebut Gestational DI. Hal ini dapat juga karena aktivitas enzyme

dari 7O -207o dari normal sebelum oamolality urine basal turun kurang

yang secara normal dihasilkan plasenta yang berguna

dari 300mOsm/kg H2O dan aliran urin naik ke level

kontraksi uterus prematur. Pada pasien

Pada umumnya basal AVP harus turun kurang

simptomatik (>50 mUKgBWday). Hasil dari hilangnya air akan menaikkan osmolalitas plasma dan akan merangsang rasa haus, sehingga terjadi polidipsi.

Kemampuan kompensasi dari polidipsi terbatas, pada keadaan mencapai ambang batas maka perlu bantuan suplementasi AVP. Karena konservasi ginjal terhadap natrium tidak terganggu maka adanya kekurangan AVP ini tidak disertai kekurangan

natrium. Pada kasus dimana AVP sama sekali tidak disekresi (complete DI) pasien akan tergantung seluruhnya pada intake air untuk keseimbangan air dalam tubuh.

"cystine amrnopeptida se" (oxytocinas e

ata.o

v

as

opres sina s e)

untuk mengurangi oxytosin dalam sirkulasi dan mencegah

ini

umunya

kadarnya meningkat, biasanya berhubunganm dengan pasien preeklampsia, acut fatty liver dan coagulopathy. Patofisiologinya sama dengan CDI, bedanya bahwa poliuria biasanya tidak dapat dikoreksi dengan pemberian AVP, sebab secara cepat akan didegradasi' DGI dapat dikontrol dengan DDAVP, AVP Y2 receptor

agonist karena resisten terhadap degradasi oleh orytosinas e atalu vdsopre ssinase. NEPHROGENIC DIABETES INSIPIDUS (NDl)

Diabetes Insipidus Sentral ada 2 macam y aittt:

1. Diabetes insipidus idiopatik (autosomal dominan familial) diduga karena autoimun.

NDI terjadi karena adanya resistensi anti diuretika

AVP.

Pertama kali dikenal th 1945 pada pasien dengan kelainan

965

SINDROMPiOLIURIA

genetik yaitLt (sex-linked). Polfiria didapati sejak lahir sedangkan level plasma AVP normal atau meningkat, resitensi efek antidiuretik AVP bisa parsial maupun komplit, biasanya paling banyak pada laki-laki, walaupun tidak selalu pada wanita biasanya ringan atau tidak ada karier pada wanita, 907o kasus kongenital NDI disebabkan mutasi reseptorAVPY2.

encer (dilutes urine). Besu kecilnya poliuria dan polidipsi bervariasi tergantung intensitas rangsangan untuk minum. Pada pasien dengan abnormalitas rasa haus, polid.ipsi dan

poliuri relatif konstan dari hari ke hari tetapi pada psychogenic polydipsi intake ur dan output uine cenderutg fluktuatit', kadang bisa sangat besar. Kadang dengan intake air yang tinggi maka akan terjadi "dilutional hyponaremia".

Kongenital NDI dapat juga diebabkan mutasi gene autosomal yang mengkode AQP2 yaitu protein yang membentuk kanal air di tubulus kolektivus di medulla dan penyebab lain adalah (lihat etiologi NDI). NDI merupakan ketidakmampuan ginjal (tubulus distal dan koligentes) untuk berespon dengan ADH. Banyak jenis penyakit ginjal yang dapat mengganggu mekanisme

pemekatan air kemih terutama yang mengenai medula ginjal. Juga kerusakan ansa henle seperti yang terjadi pada diuretika yang menghambat reabsorbsi elektrolit oleh segruen ini. Obat-obat tertentu seperti litium (anti manikodepresi pada kelainan jiwa) dan tetrasiklin dapat merusak kemampuan segmen tubulus distalis untuk berespons terhadap ADH. Diabetes insipidus nefrogenik dibagi menjadi 2macarn'. 1. Idiopatik/familial/genetik : ada 2 macam gen yaitu AVP V2 (arginin vasopresin reseptor)-(x linked) dan AQP2 (autosomal resesif dan autosomal dominant). NDI yang paling sering ditumnkan secara x-linked (907o). NDI yang diturunkan secara autosomal resesif (9Vo) dan autosomal dominan ( 1 %).

2. Drdapat: Akibat obat (litium, demeklosiklin, metoksifluran), Metabolik (hipokalemia, hiperkalsiuria biasanya dengan hiperkalemia).

DIAGNOSIS KLINIK

Manifestasi Klinik Diabetes lnsipidus Pada umumnya manifestasi klinik diabetes insipidus sentralis (CDI) maupun NDI adalah berupa poliuri dan polidipsi. Dibandingkan NDI, poliuri pada CDI bisa lebih dari 15 liter/trari Secara umum NDI mempunyai gej ala klinis sering haus akan air dingin, nokturia, osmolaritas serum mendekati 300 mOsm/Kg dan berat jenis urin <1.005 dengan osmolaritas air kemih <200. Biasanya mulainya bertahap, sejak bayi sering muntah, rasa tercekik, tidak suka makan, konstipasi ataupun kadang diare, gangguan pertumbuhan, panas yang tidak diketahui penyebabnya, letargi dan iritabilitas. Mayoritas didiagnosis pada tahun pertama kehidupannya. Pada CDI gejala timbul secara tiba-tiba, apakah karena tumor maupun idiopatik biasanya pria: perempuan adalah 3:2 dengan rerata pemunculan gejala pada umur 16 tahun. 5-107o pasien CDI biasanya berjalan dengan 3 fase yaitu:

awalnya poliuri/fase hipotonik, diikuti peningkatan kerusakan sel hipofisis dan akhirnya terjadi diabetes insipidus Tes

permanen.

'

PemekatanAir Kemih

kronik, mieloma mul tipel, penyakit sjogren, nefropati analgetik).

. . .

PATOFISIOLOGI

Bila ketiga keadaan di atas terjadi maka diagonis NDI bisa ditegakkan.

Penyakit ginjal (polikistik ginjal, obstruktif uropati, pielonefritis kronis, nefropati sickle cell, sarkoid, gagal ginjal

Seperti halnya CDI, sensitivitas ginjal terhadap efek antidiuretika AVP juga menghasilkan kenaikan ekskresi "dilute"urin, penurunan air dalam tubuh dan kenaikan osmolalitas plasma, hal ini akan merangsang rasa haus

Adanya peningkatan serum natrium (>143meq/l) Berat jenis air kemih yang rendah Tidak ada pemasukan natrium yang berlebihan dan kadar vasopresin yangtinggi.

Hasil tes ini mungkin sulit untuk menginterpretasi seseorang dengan dibetes insipidus parsial yaitu bila produksi vasopresin sub normal (diabetes insipidus neurogenik parsial) atau respons sebagian ginjal terhadap konsentrasi vasopresin yang normal (NDI parsial).

untuk mengkompensasi meningkatkan intake air.

Besarnya poliuri maupun polidipsi tergantung sensitivitas ginjal terhadap AVP, setiap individa berbeda "setpoint"nya, sensitivitas rasa haus dan sekresi AVP.

POLIDIPSI PRIMER Patofisiologi polidipsi primer berbeda dengan CDI, intake air yang berlebihan menyebabkan cairan tubuh sedikit encer (Slight dilutes), menekan sekresi AVP dan urine menjadi

Tes Genetik Gen-gen yang ditemukan sampai sekarang adalahAVPV2 dan AQP2. AVPV2 merupakan satu-satunya gen yang berhubungan dengan x iinked NDI. AQP2 merupakan satusatunya gen yang berhubungan dengan NDI autosomal resesif dan autosomal dominan.

Tes Penunjang Tes ini berguna untuk menentukan penyebab DI lain laboratorium klinik dan pemeriksaan radiologi.

antara

966

GINJAL HIPERTENSI

intramuskular/subkutan dengan kemasan 4 mglml.

TERAPI

Untuk semua jenis

diabetes

insipidus secara umum

Pemberian parenteral jauh lebihbaik 5-I0 kali dibandingkan intranasal dengan dosis rekomendasi 1-2mgtiap 8-12 jam.

adalah:

1. 2.

Koreksi setiap defisit air. Mengurangi kehilangan air yang berlebihan lewaturin.

Terapi spesifik tergantung jenis poliurinya dan tergantung keadaan klinik dari masing-masing diabetes insipidus.

Chlorpropamid (Diabenese) Merupakan obat anti oral diabetes dari golongan sulfoniurea yang memilikr efek osmotic dari AVP di ginjal.

Dikatakan bahwa chlorpropamid mengurangi polyuria hingga 25-157o pada pasien dengan CDI. Titik kerjanya sebagian besar di tubulus ginjal yang

berpotensiasi dengan hidroosmotik dari AVP dalam

MACAM CARA TERAPI DIABETES INSIPIDUS

l.

Air: TBW

2.

Antidiuretic agents: Arginin vasopressin (Pitressin) 1

= 0,6 x premorbidweight x(1-140/Na )

-Deamino-8-D-argininvasopressin

(Desmopressin.

DDA\")

3.

4. 5.

sirkulasi, disamping terbukti meningkatkan sekresi AVP di

pitutari.

Dosisnya ar,tara 250-500 mg/hari dengan efek antidiuretika l-2hai dan maksimum 4 hari. Sebaiknya tidak diberikan pada penderita hamil dan anak-anak. serta bukan untuk kasus akut.

Antidiuresis-enhancing agentsi

. .

Chlorpropamide Prostaglandin Synthese inhibitors (indomethacin, ibuprofen, tolmetin)

Natreuretic agents: . Thiazide diuretic . Amiloride. OAINS (obat anti inflammasi non steroid).

Prostaglandin Synthese lnhibitors Mempunyai efek baik pada otak maupun ginjal, efeknya

masih kurang diketahui.

Di otak mempunyai

efek

merangsang sekresi AVP sedangkan di ginjal merangsang efekAVP, dengan demikian bisa digunakan untuk CDI dan NDI.

KoreksiAir Untuk mengurangi kerusakan susunan syaraf pusat dari pemaparan hiperosmolality pada kebanyakan kasus DI maka secepatnya osmolality plasma harus diturunkan dalam 24 jam perlama , hingga 320-330 mOsm/Kg H2O atau

mendekati 507o.

Natriuretic Agents Tiazid merupakan diuretik yang mempunyai efek paradox antidiuretik pada pasien dengan CDI walaupun terapi utamanya untuk NDI. Dosis 50-100mg/hari, biasanya dapat mengurangi diuresis hingga 507o kombinasi dengan DDAVP senng digunakan pada penderita NDI.

Arginin Vasopressin (Pitressin) Merupakan sintetis dariAVPmanusia, kemasan 20 UniVml aqua.

Mempunyai short-half life relative Q-a jun lamanya efek antidiuretik) dianjurkan tidak diberikan bolus intra vena kecuali dalam keadan akut mis: postoperative DI, dilakukan titrasi dosis sampai efek diuresisnya terkontrol. Efek samping: meningkatkan tekanan darah.

Desmopressin DDAVP adalah agonist reptor AVPV2, banyak dikembangkan untuk terapi DI karena mempwyai half-

OAINS Obat Antiinflamasi Non Steroid (OAINS) seperti endometasin dapat memacu pemekatan air kemih dan mengurangi pengeluaran air kemih. Obat ini dapat dipakai

sendiri ataupun kombinasi dengan diuretik tiazid. Penggunaan OAINS perlu perhatian karena nefrotoksik maupun kelainan sekresi asam lambung. Mengingat efek samping indometasin (penghambat siklooksigenase- 1/Cox- I ), maka penggunaan penghambat Cox-2 diharapkan bisa sebagai penggantinya walaupun

belum ada penelitiannya.

lifeyangpanjang (8-20 jam efek lamanya antidiuretik) dan tanpa adanya aktivasi AVP V1.

Merupakan obat

pilihan baik untuk akut

PENGOBATAN PADA KEADAAN TERTENTU maupun

kronis CDI.

Kemasan dalam bentuk intranasal 100 mg/ml aqua, nasal spray 10 mg dalam 0,1 nn. atau dosis oral 0,1 atat},2 mg.

Dalam keadaan emergensi bisa diberikan intavena atau

1. 2.

Pengobatan darurat pada dehidrasi. Pengobatan pada keadaan khusus sewaktu tindakan bedah.

3.

Penanganan kelainan ginjal misal hidronefrosis, hidroureter dan megakistik.

967

SINDROMP'OUURIA

4. 5.

2. Gangguanreabsorbsinatriumditubulus

Penanganan sewaktu masa perlumbuhan Penanganan perkembangan psikomotor.

PENDEKATAN KLINIK PADA PASIEN POLIUBI Diagram alur ini menggambarkan cara pendekatan klinik terhadap pasien dengan poliuri. Sebelah kiri menunjukkan gambaran diuresis air dan sebelah kanan menunjukkan diuresis osmotik. (Gambar 3)

3. 4. 5.

sehinga terjadi kehilangan natrium dalam jumlah banyak dalam urin. Gangguan sel tubulus distalis terhadap efek ADH. Hidrasi berlebihan selama fase oliguri. Pembersihan solute di dalam medulla, hal ini diperlukan kerja tubulus ginjal untuk mempertahankan gradient hipertonik didalam interstitial ginjal.

Selama fase poliuria akan banyak kehilangan natrium dan air, sehingga bila penanganan tidak baik, yaitu hidrasi

yang cukup maka akan terjadi dehidrasi dan berakibat terjadinya gangguan ginjal lagi. Untuk ini diperlukan penanganan dan pengawasan yang ketat.

POLIURIA PADA GANGGUAN GINJAL AKUT (GGGA/AKI = ACUTE KIDNEY INJURY) Poliuria merupakan fase setelah oliguri pada penderita GgGA, pada fase ini penderita mengeluarkan banyak urin sehingga disebut fase keluaran tinggi (high output phase) atau fase diuresis. Pada fase ini filtrate glomelulus memasuki tubulus yang belum sepenuhnya berfungsi normal, sehingga belum ada

fungsi reabsorbsi dan fungsi sekresi solute sehingga hanya berupa cairan saja. Beberapa penyebab terjadinya poliuria pada GgGA antara lain

:

1. Filtrat

solute yang tadinya tertahan sewaktu terjadi

oliguri misalnya ureum yang merupakan zat aktif

secara

osmotik.

POLIUBIA PADA HIPOKALEMI Pasien dengan hipokalemi akan menyebakan pemekatan urine oleh ginjal akan terganggu, mekanisme secara pasti

belum sepenuhnya diketahui. studi awal menunjukkan bahwa hipokalemi yang menginduce poliuria tidak dapat dikoreksi dengan pemberian ADH. Beberapa mekanisme terj adinya poliuria karena hipokalemi antara lain

. . . . . .

Polidipsi primer.

Merubah pelepasan ADH. Metabolism oksidati dimedulla yang abnormal. Mengurangi medullary solute

bagaimana osomola itas urin?

Langkah 2a: Apakah Pna>140 mmoUL

Langkah 2b: C!kupkah osmoles yang disaring?

YA

DIABETES INSIPIDUS Langkah 3a: Respon terhadap

Langkah 3b: Periksa osmo es

di urif dan

YA

DIABETES INSIPIDUS SENTRAL Langkah 4: Respon lerhadap DDAVP

TIDAK DIABETES INSIPIDUS NEFROGENIK

Glukosa Urca Monitol

Gambar 3. Algoritme poliuri

:

Adanya produksi prostaglandin yang berlebihan. Menghambat respons ADH.

968

REFERENSI Edoute,Y, Davids,M.R, Johnston,C. Halperin,M L An integrative physiological approach to polyuria and hypernatremia: a dobletake' on diagnosis and therapy in a patient with schizophrenia. Q J Med.2003. 96: 531-40. Guyton A.C and Hall J,E, Textbook of Medical Physiology, Ninth Ed, WB Saunders Company, 1996,349 - 65. Halperin,M,L. Davids M,R, and Kamel,K,S. Interpretation of urin electrolyte and Acid-Base Parameter in Branner,B,M & Rector's, The Kidney, Seventt Edit, Vol 2. Chapter 25. WB Saunders.2004:

1151- 8r. Johnson ,T,M, Miller,M, Pillon D,J, and Ouslander,J,G, Arginine vasopressin ang nocturnal polyuria in older adults with frequent night-time voiding. The Journal of Urology, copyright 2003: vol. 7'70 480 - 4. Knoers, N. Nephrogenic Diabetes Insipidus, Gene Reviews, wwwgenetes.org January. 2005 . 1-19.

GINJALHIPERTENSI

Koeppen BM, Stanton BA. Renal Physiology, Mosby Year Book. Copy right. 1992.70 - 90. Lazoick S. Polyuria and Diabetes Insipidus. http//www.med.unc.edu/ medicine/web/diabetesinsipidus.htm February. 2005. 1-5. Quaedackers JS, RoelfsemaV, Hunter CJ, Heineman E, Gunn AJ, Bennet L Polyuria and impaired renal blood flow after. asphyxia in preterm fetal sheep, Am J Physiol Regul Integr Comp Physiol 286. 2004: R576-R583. Hassane AML, Krane AL, Chen Q, Solaimani M. Early polyuria and urinary concentrating defect in potassium deprivation. Am J Physiol Renal Physiol. 219: F655-663.2000. Brenner BM. Brenner and Rector in. The Kidney. Eight Edit. 2007. Dagher PC, Rosenthal SH, Ruehm SG, et al. Newley developed techniques to study and diagnose acut renal failure. J Am Soc Nephrol; 14;2003;2 1 88-98.

151 GLOMERULONEFRITIS Wiguno Prodjosudjadi

PENDAHULUAN

berikatan dengan kompleks Ag-Ab. Kompleks imun yang rnengalir dalam sirkulasi akan terjebak pada glomerulus dan mengendap di sub-endotel dan mesangium. Aktivasi

Glomerulonefritis (GN) adalah penyakit yang sering dijumpai dalam praktik klinik sehari-hari dan merupakan penyebab penting penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).

sistem komplemen akan terus berjalan setelah terjadi pengendapan kompleks imun. Mekanisme kedua apabila Ab secara langsung berikatan dengan Ag yang merupakan komponen glomerulus. Alternatif lain apabila Ag non-

Berdasarkan sumber terjadinya kelainan, GN dibedakan primer dan sekunder. Glomerulonefritis primer apabila penyakit dasarnya berasal dari ginjal sendiri sedangkan

glomerulus yang bersifat kation terjebak pada bagian anionik glomerulus, diikuti pengendapan Ab dan aktivasi

GN sekunder apabila kelainan ginjal terjadi akibat penyakit sistemik lain seperti diabetes melitus, lupus eritematosus sistemik (LES), mieloma multipel, atau amiloidosis. Di Indonesia GN masih merupakan penyebab utama PGTA yang menjalani terapi pengganti dialisis walaupun data IJS Renal Data System menunjukkan bahwa diabetes merupakan penyebab PGTA yang tersering. Manifestasi klinik GN sangat bervariasi mulai dari kelainan urin seperti proteinuria atau hematuri saja sampai dengan GN progresif

komplemen secara lokal. Selain kedua mekanisme tersebut GN dapat dimediasi oleh imunitas selular (cell-mediated immunity). Studi eksperimental membuktikan balwa sel T dapat berperan langsung terhadap timbulnya proteinuria dan terbentuknya kresen pada GN kresentik.

KERUSAKAN GLOMEBULUS PADA GN

cepat.

Kerusakan glomerulus tidak langsung disebabkan oleh endapan kompleks imun. Berbagai faktor seperti proses

IMUNOPATOGENESIS GN

inflamasi, sel inflamasi, mediator inflamasi, dan komplemen berperan pada kerusakan glomerulus. Kerusakan glomerulus dapat terjadi dengan melibatkan sistem komplemen dan

Glomerulonefritis adalah penyakit akibat respon imunologik dan hanya jenis tertentu saja yang secara pasti telah

sel inflamasi, melibatkan sistem komplemen tanpa keterlibatan sel inflamasi. dan melibatkan sel inflamasi

diketahui etiologinya. Proses imunologik diatur oleh berbagai faktor imunogenetik yang menentukan bagaimana individu merespons suatu kejadian. Secara garis besar dua

tanpa sistem komplemen. Kerusakan glomerulus dapat pula terjadi sebagai implikasi langsung akibat imunitas selular melalui sel T yang tersensitisasi (sensitized-T cells).

mekanisme terjadinya GN yaitu circulating immune complex dan terbentuknya deposit kompleks imun secara in-situ. Antigen (Ag) yang berperan pada pembentukan

Pada sebagian GN, endapan kompleks imun a\an memicu proses inflamasi dalam glomerulus dan

deposit in-situ dapatberasal dari komponen membran basal glomerulus (MBG) sendiri (fixed-antigen) atau substansi dari luar yang terjebak pada glomerulus (planted-antigen).

menyebabkan proliferasi sel. Pada GN non-proliferatif dan

tipe sklerosing seperti GN membranosa (GNMN)

atau

glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS) tidak melibatkan sel inflamasi. Faktor lain seperti proses imunologik yang

Mekanisme pertama apabila Ag dari luar memicu

mendasari terbentuknya Ag-Ab, lokasi endapan,

terbentuknya antibodi (Ab) spesifik, kemudian membentuk kompleks imunAg-Ab yang ikut dalam sirkulasi. Kompleks imun akan mengaktivasi sistem komplemen yang kemudian

komposisi dan jumlah endapan sefia jenis Ab berpengaruh terhadap kerusakan glomerulus.

969

970

GINJAL HIPERTENSI

PBOSES INFLAMASI PADA KEBUSAKAN

SEL INFLAMASI PADA KERUSAKAN GLOMERULUS

GLOMERULUS Kerusakan awal pada glomerulus disebabkan oleh proses inflamasi yang dipicu oleh endapan kompleks imun. Proses inflamasi akan melibatkan sel inflamasi, molekul adesi dan kemokin yaitu sitokin yang mempunyai efek kemotaktik. Proses inflamasi diawali dengan melekat dan bergulirnya sel inflamasi pada permukaan sel endotel (tethering and rolling). Proses ini dimediasi oleh molekul adesi selektin L, E, dan P yang secara berturut turut terdapat pada permukaan leukosit, endotel dan trombosit. Molekul CD31

Sel inflamasi yang banyak dikaitkan dengan kerusakan glomerulus pada GN adalah leukosit polimormonuklear (PMN) dan monosit/makrofag. Trombosit dan produk koagulasinya juga ikut berperan pada proses inflamasi tersebut. Peran leukosit PMN dibuktikan pada GN akut pasca infeksi streptokokus. Infiltrasi makrofag pada glomerulus pertama kali ditunjukkan pada pasien GN kresentik. Belakangan dilaporkan bahwa infiltrasi makrofag pada glomerulus dijumpai padaberbagai GN dan berkaitan dengan beratnya proteinuria. Interaksi antara makrofag

atau PECAM-l (platelet-endothelial cell adhesion

dengan sel glomerulus seperli sel mesangial, sel epitel atau

molecule-1) yang dilepaskan oleh sel endotel akan

sel endotel glomerulus akan menyebabkan sel tersebut teraktivasi dan melepaskan berbagai mediator inflamasi seperti sitokin pro-inflamasi dan kemokin yang akan menambah proses inflamasi dan kerusakan jaringan. Trombosit yang lebih banyak berperan pada sistem koagulasi akan menyebabkan oklusi kapiler, proliferasi sel endotel dan sel mesangial pada GN. Trombosit dapat diaktivasi oleh kompleks imun atau Ab melalui ikatan dengan reseptor Fc yang terdapat pada permukaan sel. Interaksi ini menyebabkan agregasi trombosit yang

merangsang aktivasi sel inflamasi. Reaksi ini menyebabkan

ekspresi molekul adesi integrin pada permukaan sel inflamasi meningkat dan perlekatan sel inflamasi dengan se1 endotel semakin kuat. Perlekatan ini dimediasi oleh VLA-4 (very-late antigen 4) padapermukaan sel inflamasi

dan VCAM-l (vascular cell adhesion molecule-1) pada sel endotel yang teraktivasi. Ikatan antara LFA-I (lymphocyte function-associated antigen- l) pada permukaan sel inflamasi dan ICAM-l (intracellular adhesion molecule-1) pada sel endotel akan lebih mempererat perlekatan tersebut. Proses selanjutnya adalah migrasi sel inflamasi melalui celah antar sel endotel (transendothelial migration). Pada Tabel 1 disebutkan berbagai molekul adhesi yang berperan pada proses inflamasi termasuk pada

akhirnya akan menyebabkan koagulasi intrakapiler glomerulus.

GN.

o subfamily

Selectins E-selectin L- selectin P- selectin

lg-like family ICAM-.1

ICAM-2 VCAM-1

lntegrins -integrins VLA-4 p2-integrins

p1

LFA-1 Mac-1

p150,95 VLA-4: very late antigen-4; LFA-1: lymphocyte-function associated antigen-1 ICAM-1 : intercellular adhesion molecule-1 ; ICAM-2; VCAM1 :vascular cell adhesion molecule-l

Kemokin mempunyai efek kemotaktik yaltu kemampuan menarik sel inflamasi keluar dari dalam pembuluh darah menuju jaringan. Secara garis besar dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kemokin-B dan kemokin-u, yang berlurutturut mempunyai efek kemotaktik terhadap leukosit dan monosit atau limfosit seperti terlihat pada Tabel 2. Dengan pengaruh kemokin akan semakin banyak sel inflamasi yang bermigrasi ke jaringan sehingga proses inflamasi menjadi lebih berat.

ENA-78 GCP-2 rL-8 (NAP-1) ylP-10

p subfamily MCP-1 (MCAF) MCP-2, tVCP-3 MIP-1cr, MIP-1p RANTES

NAP.2, NAP-4 PF-4 SDF-1cr, SDF-1ts ENA:epithelial-derived neutrophil activating factor; GCF . granulocyte chemotactic protein; lL-8 : interleukin-8: NAP:neutrophil activating protein-1 ; PF-4: platelet factor4; SDF:stromal cell-derived factor; MCP : monocyte chemoattractant protein ; MIP : macrophage inflammatory protein; RANTES: regulated, on activation, normal T expressed and secreted

KOMPLEMEN PADA KERUSAKAN GLOMERULUS Keterlibatan komplemen terbukti dengan ditemukannya endapan pada pemeriksaan mikroskop imunofluoresen (IF) biopsi ginjal pasien GN. Kadar serum komplemen yang rendah pada nefritis lupus dan GN pasca infeksi steptococcus akut memperkuat kaitan antara komplemen dan GN.

Dalam keadaan normal komplemen berperan sebagai mekanisme perlahanan humoral. Pada GN komplemen berfungsi mencegah masuknya Ag, tetapi dapat pula menginduksi reaksi inflamasi. Dua jalur aktivasi sistem komplemen yaitu klasik dan alternatif. Kompleks imun yang

971

GI.OMERUI.ONEFRITIS

mengandung IgG atau IgM akan mengaktivasi jalur klasik sedangkan aktivasi jalur alternatif dipicu oleh kompleks imun yang mengandung IgA atau IgM sepefii terlihat pada

Gambarl.

radikal yang berpengaruh pada kerusakan MBG. Makrofag juga mampu melepaskan mediator inflamasi seperti sitokin

proinflamasi, PDGF Qtlatelet-derived growth factors), TGF-p (transforming growthfactor-p yang berperan pada patogenesis dan progresi GN.

Bakteri, jamur, virus, sel tumor atau komplek imun lgA

Komplek Ag-Ab mengandung lgc dan atau lgM

f

ca(Hpll

7D Properd

i

EVALUASI KLINISDAN DIAGNOSIS GN

Jalur Alternati

n

+

Opsonrsas

I

tnn"."",

C6 Proses terbentuknya

Komponen terminal

C8

I

progresif cepat, sindrom nefrotik, dan GN kronik' Klasifikasi ini sederhana dan mudah diaplikasikan walaupun setiap gambaran klinik dapat diasosiasikan dengan berbagaijenis GN baik penyebab maupun kelainan histopatologinya. Pada sindrom kelainan urin asimtomatik

C7

{J

Gejala klinik GN merupakan konsekuensi langsung akibat kelainan struktur dan fungsi glomerulus. Glomerulonefritis ditandai dengan proteinuria, hematuri, penurunan fungsi ginjal, dan perubahan ekskresi garam dengan akibat edema, kongesti aliran darah, dan hipertensi. Manifestasi klinik GN merupakan kumpulan gejala atau sindrom klinik yang terdiri dari kelainan urin asimtomatik, sindrom nefrotik, GN

eoty

cs u.rb^ne channets

Gambar 1. Aktivasi sistem komplemen jalur klasik dan aliernatif

Kerusakan glomerulus terj adi akibat terbentuknya fragmen komplemen aktif yang berasal dari aktivasi sistem komplemen. Fragmen komplemen C3a,C4a, C5a bersifat anafilatoksin sedangkan C5a mempunyai efek kemotaktik terhadap leukosit. Endapan kompleks imun sub-epitel akan

mengaktivasi jalur klasik dan menghasilkan MAC (membrane attack complex). Dalamjumlah besar MAC akan menyebabkan lisis sel epitel glomerulus seperti pada

GNMN. Sebaliknya bila tidak menimbulkan lisis akan mengaktivasi sel epitel glomerulus dan membentuk kolagen serta produk metabolisme asam arakhidonat yang bersifat protektif. Endapan C3b pada MBG menyebabkan terjadinya perlekatan sel inflamasi dengan C3b melalui reseptor komplemen CR1 yang terdapat pada permukaan sel dan akan dilepaskan berbagai protease yang dapat menyebabkan kerusakan glomerulus.

MEDTATOR INFLAMASI PADA KERUSAKAN GLOMERULUS Mediator inflamasi yang diproduksi oleh sel inflamasi atau sel glomerulus yang teraktivasi seperti sitokin proinflamasi, protease dan oksigen radikal, serta produk ekosaenoid berperan pada kerusakan glomerulus. Aktivasi leukosit menyebabkan dilepaskannya granul azurofilic yang mengandung enzim lisosom dan protease yang dapat menyebabkan kerusakan MBG. Granul spesifik yang mengandung laktoferin merangsang pembentukan oksigen

ditemukan proteinuria subnefrotik dan atau hematuri mikroskopik tanpa edema, hipertensi dan gangguan fungsi ginjal. Pada sindrom nefritik ditemukan hematuri dan proteinuria, gangguan fungsi ginjal, retensi air dan garam serta hipertensi. Glomerulonefritis progresif cepat ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang terjadi dalam beberapa hari atau minggu, gambaran nefritik, dan pada biopsi ginjal menunjukkan gambaran spesifik. Sindrom nefrotik ditandai proteinuria masif (>3,5 g/1,73 m2lhatl), edema anasarka, hipoalbuminemia, dan hiperlipidemia. Glomerulonefritis kronik ditandai dengan proteinuria persisten dengan atau tanpa hematuria disertai penurunan fungsi ginjal progresif lambat.

Sumber pustaka lain membagi sindrom

klinik GN

menjadi nefritik fokal, nefritik difus, sindrom nefrotik dan GN pola non spesifik. Sindrom klinik nefritik fokal ditandai dengan hematuri, red cell cast, dar, proteinuria <1.5 gl24 jam. Pada sindrom nefritik difus proteinuria lebih berat tetapi belum mencapai stadium nefrotik, edema, hipertensi dan gangguan fungsi ginjal. Sindrom nefrotik (SN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif, hiperlipidemia, hipoalbuminemia dan pada pemeriksaan urin menunjukkan lipiduria dar. red cell cast. Gambaran GN yang tidak khas misalnya pada nefritis lupus, infeksi virus hepatitis B atau C dikelompokkan sebagai sindrom klinik pola non-spesifik' Data GN yang dikumpulkan dari 5 rumah sakit selama 5

tahun oleh Sidabutar dan kawan-kawan dari 459 kasus rawat inap, 177 kasus lengkap dengan biopsi ginjal. Dari 177 kasus yang dilakukanbiopsi ginjal 35,67o menunjukkan manifestasi klinik sindrom nefrotik, l9,2Vo sindromnefritik aktt, 3,9Vo GN progresif cepat, 15,3Vo dengan hematuria, 19,3Vo proteintia, dar, 6,8Vo hiperlensi. Informasi riwayat GN dalam keluarga, penggunaan obat

antiinfl amasi non-steroid, preparat emas organik, heroin,

972

GINJAL HIPERTENSI

imunosupresif seperti siklosporin atau takrolimus, dan riwayat infeksi streptococcus, endokarditis atau virus diperlukan untuk menelusuri penyebab GN. Keganasan paru, payudara, gastrointestinal, ginjal, penyakit Hodgkin

kapiler glomerulus terjadi pada segmen glomerulus dan dinding kapiler mengalami kolaps. Kelainan ini disebut hialinosis yang terdiri dari IgM dan komponen C3. Glomerulus yang lain dapat normal atau membesar dan

dan limfoma non-Hodgkin, serta penyakit multisistem seperti diabetes melitus, amiloidosis, lupus dan vaskulitis juga diasosiasikan dengan GN. Edema tungkai dan kelopak matamerupakan gejalaklinik GN. Pemeriksaan urin, gula darah, serum albumin, profil lemak, dan fungsi ginjal diperlukan untuk membantu diagnosis GN. Pemeriksaan serologi seperti ASTO, C3, C4, ANA dan anti-dsDNA, antibodi anti-GBM (glomerulus basement membrane), ANCA diperlukan untuk menegakkan diagnosis GN dan membedakan GN primer dan sekunder. Apabila ada

sebagian besar kasus penyebabnya tidak diketahui sedangkan yang lain dikaitkan dengan LES, infeksi hepatitis virus B atau C, tumor ganas, atau akibat obat

pada sebagian kasus ditemukan penambahan sel.

GLOMERULONEFRITIS MEMBRANOSA (cNMN) Glomerul onefritis membranosa atau nefropati membranosa sering merupakan penyebab sindrom nefrotik. Pada

kecurigaan, pemeriksaan untuk menegakkan infeksi

misalnya preparat emas, penisilinamin, obat anti inflamasi

bakteri, virus HIV, hepatitis B dan C juga diperlukan. Ultrasonografi ginjal diperlukan untuk menilai ukuran ginjal dan menyingkirkan kelainan lain seperti obstruksi

non-steroid. Pemeriksaan mikroskop cahaya tidak menunjukkan kelainan berarti sedangkan pada pemeriksaan mikroskop IF ditemukan deposit IgG dan

sistem pelviokalises. Biopsi ginjal diperlukan untuk

komplemen C3 berbentuk granular pada dinding kapiler glomerulus. Dengan pewamaan khusus tampak konfigurasi

menegakkan diagnosis secara histopatologi dan dapat digunakan sebagai pedoman pengobatan. Biopsi ginjal terbuka dilakukan dengan operasi dan memerlukan anestesi umum sedangkan biopsi jarum perkutan cukup dengan anestesi lokal. Biopsi ginjal tidak dilakukan apabila ukuran

spike-like pada MBG. Gambaran histopatologi pada mikroskop cahaya, IF dan mikroskop elektron sangat ter,qantung pada stadium penyakitnya.

ginjal kurang dari 9 cm yang menggambarkan proses kronik.

GLOMEBULONEFRITIS PROLIFERATIF Tergantung lokasi keterlibatan dan gambaran histopatologi

GAM BARAN

ISTOPATO LOGIS

dapat dibedakan menjadi GN membranoproliferatif (GNMP), GN mesangioprolif'eratif (GNMsP), dan GN

Klasifikasi GN primer secara histopatologik sangat bervariasi tetapi secara umum dapat dibagi menjadi GN proliferatif dan non-proliferatif. Termasuk GN nonproliferatif adalah GN lesi minimal, glomerulosklerosis fokal dan segmental, serta GN membranosa.

kresentik. Nefropati IgA dan nefropati IgM juga dikelompokkan dalam GN proliferatif. Pemeriksaan

H

GLOMERULONEFRTTIS LESI MINIMAL (GNLM) Glomerulonefritis lesi minimal merupakan salah satu jenis yang dikaitkan dengan sindrom nefrotik dan disebut pula sebagai nefrosis lupoid. Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya dan IF menunjukkan gambaran glomerulus yang normal. Pada pemeriksaan mikroskop elektron menujukkan hllangnyafoot processes sel epitel viseral glomerulus.

GLOMERULOSKLEROSIS FOKAL DAN SEGMENTAL

(GSFS) Secara

klinis memberikan gambaran sindrom nefrotik

dengan gejala proteinuria masif, hipertensi, hematuri, dan

sering disertai gangguan fungsi ginjal. Pemeriksaan mikroskop cahaya menunjukkan sklerosis glomerulus yang mengenai bagian atau segmen tertentu. Obliterasi

mikroskop cahaya GNMP memperlihatkan proliferasi sel mesangial dan infiltrasi leukosit serta akumulasi matrik ekstraselular. Infi ltrasi makrofag ditemukan pada glomerulus dan terjadi penebalan MBG sertadouble contour.Pada mikroskop IF ditemukan endapan IgG, IgM, dan C3 pada dinding kapiler yang berbentuk granular.

PENGOBATAN Pengobatan spesifik pada GN ditujukan terhadap penyebab

sedangkan non-spesifik untuk menghambat progresivitas penyakit. Pemantauan klinik yang reguler, kontrol tekanan darah dan proteinuria dengan penghambat enzim konversi angiotensin (angioten,sin c onv erting en?)rme inhib ito rs, ACE-i) atau antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin

II

receptor antagonists, AIIRA) terbukti bermanfaat.

Pengaturan asupan protein dan kontrol kadar lemak darah dapat membantu menghambat progresivitas GN. Efektivitas penggunaan obat imunosupresif GN masih belum seragam. Diagnosis GN, faktorpasien, efek samping

dan faktor prognostik merupakan pertimbangan terapi imunosupresif. Kortikosteroid efektif pada beberapa tipe

973

GI.OMERUII)NEFRITISi

GN karena dapat menghambat sitokin proinflamasi seperti IL-lu atau TNF-o dan aktivitas transkripsi NFkB yang berperan pada patogenesis GN. Siklofosfamid, klorambusil, dan azatioprin mempunyai efek antiprolif'erasi dan dapat menekan inflamasi glomerulus. Siklosporin walaupun sudah

lebih dari 20 tahun digunakan pada transplantasi ginjal tetapi belum ditetapkan secara penuh untuk pengobatan GN. Imunosupresif lain seperti mofetil mikofenolat, takrolimus, dan sirolimus juga belum diindikasikan secara penuh untuk pengobatan GN. Pengobatan imunosupresif terbukti rnemberikan keuntungan pada GN kresentik, GSFS, GNLM, GNMN, dan pada nefropati IgA. Pada GNLM prednison dosis 0,5-1 mg/kg berat badan/ hari selama 6-8

minggu kemudian diturunkan secara bertahap dapat digunakan untuk pengobatan pertama. Pada GSFS

sTNF-s. Produksi oksigen radikal, IL-1cr dan ILIL-8, TNF-cr oleh makrofag dapat pula dihambat dengan pemberian IL-13. 1ra dan 18,

Terapi genetik merupakan salah satu upaya pengobatan GN dan penyakit ginjal lain masa depan. Dengan melakukan transfer genetik ke dalam sel somatik diharapkan dapat memperbaiki kelainan genetik. Sel glomerulus merupakan target utama transfer gen untuk memodifikasi proses inflamasi. Transfer gen invivo ke dalam glomerulus dapat dilakukan dengan perantaraan virus atau liposom. Pada

model GN anti-Thy.l, transfer ODN antisens dapat mencegah efek prosklerotik TGF-B dan terjadinya glomerulosklerosis. Transfer gen pada tubulus lebih sulit karena setiap segmen tubulus mempunyai fungsi dan jenis sel yang berbeda.

kortikosteroid dapat diberikan dengan dosis yang sama sampai 6 bulan dan dosis diturunkan setelah 3 bulan pengobatan. Prednisolon diturunkan setengah dosis satu minggu setelah remisi untuk 4-6 minggu kemudian dosis diturunkan bertahap selama 4-6 minggu agar pengobatan steroid mencapai 4 bulan. Pada GN yang resisten terhadap steroid atau relaps berulang, siklofosfamid atau siklosporin

merupakan pilihan terapi. Mof'etil mikofenolat dapat digunakan sebagai alternatif terapi pada GN resisten steroid atau relaps berulang. Pada GNMN monoterapi kortikosteroid tidak efektif dan kombinasi dengan siklofosfamid atau klorambusil mencapai rernisi 507c. Kortikosteroid masih efektif untuk pengobatan GNMP anak tetapi tidak pada pasien dewasa. Pada nefropati IgA prednison efektif menghambat progresivitas penyakit tetapi kombinasi ACE-i dan AIIRA merupakan pilihan pefiama.

REFERENSI Arend WP. Interleukin- [ receptor antagonist. A new member of interleukin-l family. J Clin Invest. 1991;88:1445-51. Bargman JM. Management of minimal lesion glomerulonephritis: evidence-based recommendations. Kidney Int 1999;55(suppl 70,1:

S3-S6.

Bockenstedt LK. Goetzl EJ. Constituents of human neutrophils that mediate enhanced adherence to surfaces. J Clin Invest. 1980;65:l 372-80 Burgess E Management of focal segmental glomerulosclerosis: evidence-based recommendations. Kidney Int. 1999;55(suppl 70): S26-S32 Chadban SJ, Atkins RC. Glomerulonephritis. Lancet. 20051'365:1797'

806.

WG Baker PJ, Adler S. Editorial Review. Complement and the direct mediation of immune glomerulus injury: A new

Couser

perspective. Kidney Int. 1985;28:879-90. WG Shankland SJ. Membranous nephropathy. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2"0 edition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 295. Feehally J, Johnson RJ. Introduction to glomerulus disease: clinical presentations. Irt: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2"d edition. Edinburg: Mosby; 2003. p.

Couser

PENGOBATAN GN MASA DEPAN Kerusakan glomerulus pada GN terjadi ak-rbat interaksi faktor penyerang dan unsur pertahanan. Oleh karena itu pengobatan GN dilakukan untuk mengontrol proses dan

mediator inflamasi sebagai faktor penyerang dan meningkatkan efek anti-inflamasi sebagai unsur pertahanan. Molekul adhesi dan kemokin berperan penting pada inflamasi glomerulus sehingga penelitian difokuskan untuk mempengaruhi kedua molekul tersebut. Pada studi

eksperimental terbukti pemberian anti-MIP2, anti-MCP- 1,

anti-VLA-4, anti LFA-1 atau anti-ICAM-1 dapat mengurangi infiltrasi sel inflamasi dan terjadinya proteinuria. Pemberian soluble IL- I receptor, IL- I ra (IL- 1 receptor antagoni,st), dan sTNFR (soluble TNF receptor) dapat mempengaruhi efek mediator inflamasi sedangkan

anti-TGF-B dapat mengurangi akumulasi matrik ekstraseluler dan progresivitas GN. Berbagai sitokin seperti IL-4, IL-10, [-13 dikenal mempunyai efek anti-inflamasi.

Pemberian

IL-4 dapat mencegah produksi sitokin

proinflamasi dan meningkatkan sintesis anti-inflamasi IL-

255 Ferrario F, Castiglione A, Colasanti G, Di Belgioso GB, Berroli S, D'Amico G The detection of monocytes in human glomerulonephritis. Kidney Int. 1985;28:513-9. Glassock RJ, QAdler SG Ward HJ, Cohen AH. Primary glomerulus disease. In: Brenner BM. Rector FC, editors. The kidney. 2"d edition. Philadelphia: WB Saunders Co.; i991.

p

1182.

Hebert LA, Cosio FG, Birmingham DJ. Complement complement regulatory protein

and

in renal disease. In: Neilson EG

Couser WG, editors. Immunologic renal diseases. Philadelphia: Lippincott-Raven 1991. p. 377.

l"edition.

Hebert MJ, Brady HR. Leukocyte adhesion. In: Neilson EC, Couser diseases. l" edition. Philadelphia: Lippincott-Raven; 1997. p. 579. Holdworth SR. Macrophage-induced glomerulus fibrin depositlon ln experimental glomerulonephritis in rabbit. J Clin Invest.

WG, editors. Immunological renal

1985:16:1367

-7 4.

Hricik DE, Chung-Park M, Sedor JR. Glomerulonephritis. N Engl

J

974

Med. 1998r339:888-99. Imai E, lsaka Y Strategies of gene transfer to the kidney. Perspective in basic science. Kidney Int. 1998;53:264-72. Johnson RJ, Lovett D, Lehrer RI, Couser WG Klebanoff SJ. Role of oxidants and proteases in glomerulus injury. Kidney Int. 1994;45:352-9. Johnson RJ, Rennke H, Feehally J. Introduction to glomerulus disease Pathogenesis and classifications. In: Johnson RJ, Feehally

J, editors. Comprehensive ciinical nephrology. 2"d edition. Edinburgh: Mosby; 2003. p. 243. Khlar S, Levey AS, Beck GJ, et al. The efffects of dietary protein restriction and blood pressure control on the progression of chronic renal disease: Modification of diet in renal disease study group N Engl J Med. 1994l.330:871-84. Kluth DC, Rees A. New approaches to modify glomerulus inflammation. J Nephrol. 1999;12:66-75. Muirhead N. Management of idiopathic membranous nephropathy: evidence-based recommendations. Kidney Int. 1999;55(suppl 70): S47-S5s

Nakao N, Yoshimura A, Morita H, et al. Combination treatment of

angiotensin-Il receptor blocker and angiotensin converting enzyme inhibitor in non-diabetic renal (COORPORATE): a randomized controlled trial. Lancet. 2003:361:117-24. Phil Mason. Minimal change disease and primary focal segemental glomerulosclerosis. In: Johnson RJ, Feehalty J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2"d edition. Edinburg: Mosby; 2003. p.27t.

GINJALHIPERTENSI

Prodjosudjadi

W. Monocyte chemoattractant

protein-

1 in

glomerulus disease and renal transplantation, [Thesis]. Leyden

university, ISBN 90-9009404-0, 1996. Rose BD. Differential diagnosis of glomerulus disease. 2005 UpToDate. Available from URL: www.uptodate.com.(800)998631 4.(.7 8t)237 -47 88 Rydel JJ, Kobert SM, Borok RZ, Schwartz MM. Focal segmental glomerulus sclerosis in adults: presentation, course and response to therapy. Am J Kidney Dis. 1995;25:534-42. Schena FP, Johnson RJ, Alpers CE. Membranoproliferative glomerulonephritis and cryoglubulinemic glomerulonephritis. In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology. 2'd edition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 309. Schlondorff D, Nelson PJ, Luckow B, Banas B. Chemokine and renal disease. Kidney Int. 19971'51:610-21. A Lumenta, Suhardjono, et al. Glomerulonephritis in Indonesia. One day course on Renal Immunology, Faculty of Medicine, University of Indonesia, Jakarta, August 20, 1981.

Sidabutar RP, Nico

Wheeler DC. Does lipidJowering therapy slow progression of chronic

kidney disease? Am J Kidney Dis. 2004:44:917-20. Wilson CB. Renal response to immunologic glomerulus injury. In: Brenner BM, Rector FC, editors. The kidney. 5'h edition. Philadelphia: WB Saunders; 1996 p. 1253.

152 AMILOIDOSIS GINJAL M. Rachmat Soelaeman

sekarang adalah berdasarkan kimia material.

PENDAHULUAN

Amiloidosis ginjal adalah penyakit dengan karakteristik

Terdapat 2 tipe sistemik yang paling banyak yaitu AL (amiloidosis primer atau mieloma terkait amiloidosis) dan AA (sekunder atau amiloidosis reaktif). Pendapat dahulu, adanya deposit N terminal dari fragmen kappa atau lamda rantai pendek imunoglobulin dan pendapat sekarang adalah berhubungan dengan fase akut reaktan serum reaktan amiloid A (SAA) sebagai prekursor protein amiloidogenik. Klasifikasi amiloidosis terdapat pada Tabel 1. Struktur amiloid dapat dipelajari dengan melihat atau mempelajari morfologi. Setelah pengecatan c on g o - re d ternyata amiloid mempunyai struktur polaroid dan terlihat khas bentuk dikelilingi seperli apel hijau. Terlihat secara teratur morfologi deposit amiloid dalam mesangium

penimbunan polimer protein di ekstraselular dan gambaran

glornerulus. Gambaran ini sering terdapat pada semua tipe

dapat diketahui dengan histokimia dan gambaran

amiloid dan pada preparat fibril murni. Radiologi

ultrastruktur yang khas. Polimer protein merupakan struktur tersier dan mempunyai cir"i khas dalam perwarnaan serta

kristalogrofi akan terlihat fibril terdiri dari rantai polipeptida tegak lurus sepanjang aksis fibril

Amiloidosis dan kelompok disproteinemi terdiri dari spektrum beberapa penyakit dan secara patogenesis berhubungan dengan penimbunan material derivat imunoglobulin dalam ginj ai.

Amiloidosis adalah suatu penyakit penimbunan hasil metabolisme yang unik, dan yang ditimbun mer-upakan protein fibriler yang tidak larut di dalam jaringan tubuh.

DEFINISI

stabil dalam ked:r.rr patologis. Penimbunan interstisial yang progresif likan rnenyebabkan disfungsi organ dan

ETIOLOGI DAN INSIDENS

menimbulkan gejala.

Berdasarkan data suatu RS di AS, amiloidosis terdapat hanya0,77o dari 11.586 atopsi pada 1961 sampai 1970. Etiologi amiloidosis berhubungan dengan klinis: multipel mieloma, penyakit inflamasi menahun, tetapi kebanyakan

SEJARAH Virchow adalah peneliti pertama yang memberi nama

tipe primer. Insidens amiloidosis berhubungan pula dengan plasma cell dyscrasias, tetapi etiologi amiloidosis sekunder

amiloidosis untuk reaksi wama material yang khas, setelah

pewarnaan iodium dan sulfur. Interpretasi seperti ini mengundang kontroversi untuk mempelajari lebih lanjut mengenai komposisi proteinnya.

bergeser dari infeksi supuratif menahun ke penyakit rematik.

KLASIFIKASI

PATOGENESIS

Amiloidosis dibagi berdasarkan manifestasi klinis dan tempat penimbunan material, tetapi pembagian yang

Perbedaan mekanisme patogenesis berdasarkan perubahan protein amiloidogenik dan konfirmasi patologis

975

976

GINJAL HIPERTENSI

Terdapat beberapa mac.tm mekanisme:

Klasifikasi

AL

tl"-ll"-t'

prorern .'.rt"tll?1il1, lokal (L)

lmunoglobulin rantai ringan

SL

Penyakit dasar Mieloma multipel, diskrasia plasma sel plasma,

amiloidosis, AL pflmer

AA

Amiloidosis AA sekunder; infeksi kronik (malaria, TB) atau inflamasi (AR,

Amiloid serum A

spondilitis ankilosing); keganasan (limfoma Hodgkin dan gastroi ntesti nal, karsinoma, GU)

Ap2M

Mikroglobulin-

S,L

92

AP ATTR Apr

P

AApoAl

Hemodialisis; deposit primer di sendi Penyakit Alzheimer sporadis, penuaan, sindrom Down

PP AP

l).

protein

dengan tendensi melipat secara tidak trormal sesttai umur (transtiretin pada sistemik amiloidosis senilis) atau konsentrasi clalam seruLm tinggi clisebabkan ekspresi 5 ang

berlebihan (AA amiloidosis) atau berknr-angr1)rii penjernihan dari sirkulasi (B, mikroglobulin pada hemodialisis). 2). mutasi sehiirgga penggantian asatti rLmino tunggal pacla protein prekrLrsor, sehingga keadaan tidak

stabil (herediter). 3). preteolitik parsial dari protein prekursor sehingga tidak terdapat protein fibriler (prekursot'

protein b-amiloid (APP) pad.r penyakit Alzheirner). 4). kehilangan mekanisme penghilangan peptida amiloidogenik dengan konsentrasi lokal yang tinggi. Peranan Faktor pcrangsang amiloid (AEP) belunr climengerti secara baik dalalm proses pernbenttrkan fibril. Komponen serurr amiloid P (SAP) dan komponen membrirna basal i s, diantaranya glukosarni noglikan sulfat. larninin, fibronektin, dan tipe IV kolagen tetdapat pada kondisi yan-r berhubungan dengan tibril AA amilod. Secara pasti semLLa hal telsebLrt masih met'uet'lnkan penelitian lcbih lanjLrt.

Transtiretin

FAP (tipe Portugis) Amiloidosis kardiovaskular senil

Mekanisme dan tempat penit'trbLrnan: 1. Penurunan fungsi or.uan disebabkrrn selailr tlleh perubahan lisis. arsitektur. dan ttln-ssi karena aclanl'a fibril amiloid; juga oleh secara pengar:Lrh lokel toksin

Protein Prion

CJD sporadis (iatrogenik)

2. Dapat pula disebabkan

Apolipoprotein AI

AApoAll

Apolipoprotein All

Agel

Gelsolin

L

CJD familial, FFI

Q

Amiloidosis sistemik Arteriosklerosis

L J

fibril. oleh rtxidative,l/ress dan aktilasi apoptosis, seperti terjadi pada arniloidosis AL.

Amiloidosis ginjal herediter FAP (tipe Finnish), Lattice corneal dystrophy Amiloidosis viseral familial (ginjal, hati,

Alys

limpa)

Acys

Sistatin C

Amiloidosis familial (lipe lcelandic)

Afib, or Ao

Fibrinogen

Amiloidosis sistemik herediter

rantai o AI APP

Polipeptida amiloid

L L

lnsulinoma langerhans pankreas

Gambar 1. Endapan amiloid pada kapiler menyumbat glomerulus dan menyebabkan mesangium menebal

pankreas AANF

Fibrilasi atrial

Peptida

natriuretik atrial Prolaktin

L

Pituitari

Ains Aker

lnsulin Keratoepitelin

L

latrogenik

L

Kornea

A (tbn)

tbn

Tumor-tumor

Atau

Protein Tau

Otak

Apro

Pindborg

Gambar 2. Amiloid dengan pengecatan congo red, terlihat amiloid tersebar dalam glomerulus

977

AMILOIDOSISGINJAL

12-15 bulan atau kurang bila ada mieloma. bila amioloid mengenai liver (9 7o) prognosis lebih baik.

Amiloidosis AA (sekunder) terdapat pada penyakit inflamasi menahun atau infeksi; penyakit yang sering menyertai adalah artritis rematoid, arteritis rematoid juvenilis, dan ankilosis spondilitis. Malaria, lepra, dan tuberkulosis merupakan infeksi menahun dan sering menyertai amiloidosis AA. Amiloidosis AAdapat disertai

Gambar 3. Membran basalis dan kapiler glomerulus menebal

pula penyakit Hodgkrn, keganasan dalam saluran makanan dan saluran kemih. Prognosis amiloidosis AA, 507o selama 5 tahun dan257o selama 15 tahun.

akibat penumpukan amiloid

DIAGNOSIS Diagnosis klinis amiloidosis merupakan salah satu tantangan dalam kedokteran. Langkah pertama adalah kecurigaan secara klinis, selanj utnya dilakukan pendekatan oleh beberapa disiplin ilmu dan termasuk dalam pendekatan ini adalah riwayat keluarga, pemeriksaan klinis, dan mempelajan jaringan.

Teknik biokimia dan molekular merupakan pilihan pemeriksaan diagnostik dan bila imunohistokimia gagal menemukan deposit protein hal yang mendukung pada Gambar 4. Endapat atau deposit amiloid pada korteks ginjal sepedi lilin abu

3. San.rpai l57i kelainan

han-va pada satu organ. Deposit

nlun-skin spesifik or-san, sepefii pada amiloidosis B2 mikroglobulin terdapat pada sendi, Au (A fib) amiloid patla parenkirn gi

n

iul.

MAN!FESTASI KLINIS Au'riloiclosis sisternik pada umumnya progresif dan fatal, tettpi perjalrLnan penl'akitnva masih tetap belum diketahui pasti, sebab pcn-ue nalan klinis san-sat kurang sampai pada fase terakhir. Amioloidosis dapat rnengenai semua umur

kelamin, Presentasi atau manifestasi klinis tcrgantung dari distribusi dan jumlah timbtrnan amiloid, clan gejalanya tidak spesifik. Cejala dan tanda yang sudah cliketah u i pada anr i loidosi s si stemik adal ah makroplosisa, sinclrom nc[r'otil'- gagal ginjal, sindrom carpal tunnel, neuropati scnsot'ik dan motorik, gagal jantung atau aritmiu, clan .jenis

hepatosplenoniegali, diare, rnaltibsolpsi, ulkus, limpadenopati, glinggtr;rn pembekuan daralr, fragilitas kapiler, dan gangguau agrcgasi trombosit. Gcialii artiloidosis AL yang paling sering terdapat pada dist
organ yang terkena. Teknik

ini penting pula untuk

pemeriksaan keluarga yang mempunyai kemungkinan amiloidosis familier. Lebih clari 100 mutan amiloidogenik telah dapat tericientifikasi sebgar amiloidosis sistemik herediter, dan bentuk herediter ini sering salah diagnosis sebagai amiloidosis AL karena penampilan klinis yang hampir sama. Efektivitas pengobatan dan prognosis akan dipengaruhi oleh diagnosis lebih awal, penemuan tipe fibril protein endapan (deposit), dan konseling genetik- Analisis DNA dengan mempergunakan PCR perlu pula dilakukan untuk mengetahui terjadi mutasi. Teknik yang lebih akurat adalah pemeriksaan dengan skintigrafi untuk mendeteksi deposit pada organ dan pemeriksaan ini ntninvasive.

TERAPI Sampai saat ini tidak ada pengobatan yang diprediksi efektif untuk pencegahan fibrilogenesis atau memobilisasi deposit yang sudah stabil, tetapi beberapa pasien pernah dilaporkan men galami regresi deposi t. Tindakan primer adalah memperbaiki kondisi yang mendasarinya untuk mencegah produksi yang berlebihan

dari protein prekursor atau mengurangi deposit atau pembentukan fibril. Penggunaan melfalan, deksametason, kolkisin, atau kombinasinya dapat digunakan untuk amiloidosis AL dan ternyata dapat memperbaiki fungsi organ yang terkena' Dosis tinggi kemoterapi diikuti oleh transplantasi sumsum

978

GINJAL HIPERTENSI

tulang ata:u stem cell mtngkin akan meningkatkan

REFERENSI

survival rates.Td.ah dilaporkan pula penurunan progresif

fungsi hati, kemudian dilakukan transplantasi hati, kemudian diikuti transplantasi stem cell. Pada arniloidosis AA diberikan yang agresif untuk

penyakit dasarnya, umpanya pada rematoid artritis diebrikan imunosupresif. Kolkisin dapat mencegah terjadi amiloid, demam mediteranian, dan memperbaiki fungsi

organ. Transplantasi ginjal akan memperbaiki

B2

mikroglobulin, prekursor amiloidosis AH dan high-flux hemodialy sis mungkin metcegah H D - relate d amylo ido s is.

Appel GB, Radhakrishnan J, and D'Agati WD. Secondary glomerulus disease. In: BM Brenner, editor. The kidney. 7th edition. Library of congress cataloging Publication; 2004. p. 1 4t8-23. Basi S, Schulman G, and Fogo AB. Multiple complications in multiple pyeloma. 2005;45(3):619-23. Brunt EM, Tiniakos DG Metabolic storage riisease: amyloidosis. Clin Liver Dis. 2004; 8(4):915-30. Murphy CL Renal apolipoprotein A-I associated with a novel mutant leu 64 Pro. Am J Kidney Dis.2004;44(6):1103-9 Schwartz MM, Korbet SM Amyloidosis and the dysproteinemias

lmmunologic renal disease. New York: Lippincot-Raven; 1991. p 1147-60.

A patient with severe renal associated with an immunglobulin g-heavy chain fragment. Am J Kidney Dis 2004;43(5):619-23

Yazaki M.

153 PENYAKIT GINJAL DIABETIK Harun Rasyid Lubis

dapat berperan penting dalam pertumbuhan sel,

PENDAHULUAN

diferensiasi sel, dan sintesis bahan matriks ekstraselular. Diantara zat ini adalah mitogen activated protein kinases (MAPKs), PKC-b isoform dan extracellular regulated protein kinase (ERK). Ditemukantya zat yang mampu

World Health Organization (WHO) telah mengumumkan bahwa prevalensi diabetes melitus (DM) akan meningkat di seluruh dunia pada milenium ketiga ini, termasuk negara di Asia Tenggara, di antaranya di Indonesia. Sebagian besar dari penyakit ini adalah DM tipe 2. Sekitar 4O7o daipasien DM terdapat keterlibatan ginjal, sehingga dapat dipahami bahwa masalah penyakit ginjal diabetik (PGD) juga akan mengalami peningkatan di era awal abad2l ini. Pada dekade ini juga, di banyak negara maju PGD tercatat sebagai komponen terbanyak dari pasien baru yang menjalani terapi pengganti ginjal. Keadaan yang sama sudah mulai juga kelihatan di Indonesia. Pada pasien DM, berbagai gangguan pada ginjal dapat

menghambat aktivitas zat zat tersebut telah terbukti

mengurangi akibat yang timbul, seperti mencegah peningkatan derajat albuminuria dan derajat kerusakan

struktural berupa penumpukan matriks mesangial. Kemungkinan besar perubahan ini diakibatkan penurunan

ekspresi tansforming growth factor-B (TGF- B) dan penurunan extracellular matrix (ECM).Peran

IGF-p dalam perkembangan nefropati diabetik ini telah ditunjukkan pula oleh berbagai peneliti, bahwa kadar zat ini meningkat pada ginjal pasien diabetes. Berbagai proses di atas dipercaya bukan saja berperan dalam terbentuknya nefropati pada pasien DM akan tetapi juga dalam progresifitasnya menuju

terjadi, seperti terjadinya batu saluran kemih, infeksi saluran kemih, pielonefritis akut maupun kronik, dan juga berbagai bentuk glomerulonefritis, yang selalu disebut

tahap lanjutan.

sebagai penyakit ginjal non diabetik pada pasien

Penelitian dengan menggunakan micro-puncture

diabetes. Akan tetapi yang terbanyak dan terkait secara patogenesis dengan diabetesnya adalah PGD, yang secara

menunjukkan bahwa tekanan intra glomerulus meningkat pada pasien DM bahkan sebelum tekanan darah sistemik meningkat. Perubahan hemodinamik ginjal ini diduga terkait dengan aktivitas berbagai hormon vasoaktif, seperti angiotensin-Il (A-II) dan endotelin. Apakah peningkatan jalur hormonal ini terkait dengan hiperglikemia belum jelas,

klasik patologinya diuraikan oleh Kimmelstiehl-Wilson pada tahun 1936, berupa glomerulosklerosis yang noduler

dan difus.

akan tetapi pada binatang percobaan pemberian penghambat ACE ataupun angiotensin receptor blocker

PATOGENESIS

telah ditunjukkan mengurangi tekanan intraglomerulus. Oleh karena penghambat ACE bukan hanya mempengaruhi

Kelebihan gula darah memasuki sel glomerulus melalui fasilitasi glucose transporter (GLUT), terutama GLUT1,

jalur terkait angiotensin-Il tetapi juga mempengaruhi degradasi bradikinin, suatu vasodilator, maka sebenarnya belum dapat disimpulkan pengaruh baik tersebut adalah

yang mengakibatkan aktivasi beberapa mekanisme seperti

poloy pathway, hexoamine pathway, Protein Kinase C (PKC) pathway, dan penumpukan zat yang disebut sebagai advanced glycation end-products (AGEs). Beberapa zat biologis aktif ternyata dapat dijumpai pada berbagai percobaan, baik in vitro maupun in vivo. yang

diberikan oleh antagonis terhadap A-II. Begitupun berbagai laporan telah juga menunjukkan bahwa pengaruh

utama dari penghambat ACE terhadap terjadinya albuminuria jangka panjang serta perubahan struktural

979

980

GINJAL HIPERTENSI

glomerulus adalah melalui kemampuannya menghambat A-tr. Pasien dengan nefropati diabetik juga mempunyai risiko teftinggi untuk mendapat penyulit penyakit kardiovaskular, sebagaimana juga retinopati dan neuropati. Penyakit

albumin di dalam urin masih sangat rendah sehingga sulit dideteksi dengan metode pameriksaan urin yang biasa, akan tetapi sudah >30 mgl24 jam ataupun >20 ug/menit, disebut juga sebagai mikroalbuminuria. Ini sudah dianggap

kardiovaskular berhubungan erat dengan disfungsi endotel (DE), yang pada diabetes juga meningkat. DE merupakan penyulit banyak faktor risiko dan dianggap

ini

berperan penting, baik dalam memicu terjadinya maupun dalam progresivitas aterosklerosis. Pada berbagai faktor

albuminiprotein dalam urin selanjutnya akan menjadi petunjuk tingkatan kerusakan ginjal seperti terlihat dalam

risiko tersebut, seperti LDl-kolesterol yang oksidatif, merokok, dan hipertensi, A-II dan diabetes memicu

sebagai nefropati insipien. Derajat albuminuria,/proteinuria

dapat juga ditentukan dengan rationya terhadap

kreatinin dalam urin yang diambil sewaktu, disebut sebagai

albumin/kreatinin ratio (ACR). Tingginya ekskresi

Thbel 1.

aterosklerosis melalui aktivasi endotel. Keseluruhan faktor

risiko ini membuat ketersediaan nitric oxide (NO') berkurang baik karena produksi yang menurun ataupun degradasi yang meningkat, kesemuanya menambah lagi aktivasi endotel. Pada DM tipe 1 keadaan ini terlihat

Kategori

mendahului terjadinya mikroangiopati diabetik dan mungkin juga sebagai penyebabnya. Ada pandangan bahwa hiperglikemia memudahkan terjadinya DE, selanjutnya faktor lain berperan untuk menentukan pasien mana yang akan mengalami nefropati diabetik dan angiopati yang agresif dan pasien mana pula yang tidak. Faktor itu adalah genetik dan lingkungan. Pada

pasien DM tipe 2, DE sudah muncul sejak awal ditemukannya diabetes dan merupakan petanda buruk.

Tidak jelas apakah DE pada diabetes ini disebabkan hiperghkemi atau faktor lain. Faktor penentu lain yang paling

penting adalah peningkatan inflamasi. Ada yang berpendapat bahwa DE pada DM adalah primer, dengan kata lain DE adalah penyebab dan bukan disebabkan DM. Genetik adalah faktor penentu lain yang erat kaitannya dengan terjadinya nefropati diabetik. Hanya sekitar 407o pasien DM tipe 1 maupun DM tipe 2 yang jatuh kedalam

nefropati diabetik. Lainnya terbebas dari penyulit diabetes ini. Telah banyak penelitian yang menyimpulkan

bahwa terjadinya nefropati diabetik terkumpul pada kelompok keluarga tertentu. Salah satu yang selalu diselidiki orang adalah polimorfisme pada renin angiotensin system (RAS), ada 2 jenis yang sudah dikenali yaitu genotip M235T dari angiotensinogen dan insersi/delesi (UD) dan genotipACE. Selalu dikemukakan bahwa genotip DD mempunyai kaitan dengan terjadinya makroangiopati pada pasien DM tipe 2 dari ras Cina, akan tetapi tidak pada ras lain. Masih menjadi perlanyaan besar apakah nefropati

diabetik diturunkan bersamaan dengan DM? Apakah timbulnya nefropati diabetik semata mata karena penyulit seperti hipertensi, ataupun resistensi insulin? Pertanyaan ini belum punyajawaban yang jelas.

DIAGNOSIS DAN PERJALANAN KLINIS Diagnosis PGD dimulai dari dikenalinya albuminuria pada pasien DM, baik tipe I maupun tipe 2. Bila jumlah protein/

Kumpulan urin

24iam (m1l24hrl

Normal Mikroalbuminuria Albuminuria

Kumpulan Urin urin sewaktu sewaktu (pg/mg (pg/min) creat)

<30

<20

<30

30-299 >300

20-1 99

30-299 >300

>200

klin is

Sebaiknya dilakukan pemeriksaan 2-3 spesimen urin dalam 36 bulan. Hati-hati terhadap proteinuria yang timbul pada latihan fisik dalam24 jam terakhir, infeksi, demam, payah jantung, hiperglikemia yang berat, tekanan darah yang sangat tinggi, piuria dan hematuria. (Dikutip dari ADA, 2004)

Secara tradisional Penyakit Ginjal Diabetik selalu dibagi dalam tahapan sebagai berikut:

Thhap I. Pada tahap ini LFG meningkat sampai 40Vo dr atas normal yang disertai pembesaran ukuran ginjal. Albuminuria belum nyata dan tekanan darah biasanya normal. Tahap ini masih reversibel dan berlangsung 0-5 tahun sejak awal diagnosis DM tipe I ditegakkan. Dengan pengendalian glukosa darah yang ketat biasanya kelainan fungsi maupun struktur ginjal akan normal kembali.

II. Terjadi setelah 5-10 tahun diagnosis diabetes tegak, saat perubahan struktur ginjal berlanjut dan LFG masih tetap meningkat. Albuminuriahanya akan meningkat Thhap

setelah latihan jasmani, keadaan stres, atau kendali metabolik yang memburuk. Keadaan ini dapat berlangsung

lama. Hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya. Progresifitas biasanya terkait dengan memburuknya kendali metabolik. Tahap ini disebut sebagai tahap sepi (silent stage). Thhap III. Ini adalah tahap awal nefropati (incipient diabetic nephropathy), saat mikroalbuminuria telah nyata. Tahap ini biasanyaterjadi setelah 10-15 tahun diagnosis diabetes tegak. Secara histopatologis juga telah jelas penebalan membrana basalis glomerulus. LFG masih tetap tinggi dan tekanan darah sudah ada yang mulai meningkat. Keadaan ini dapat bertahan berlahun tahun dan progresivitas masih mungkin dicegah dengan kendali glukosa dan tekanan darah yang ketat.

981

PENYAKIT GINJAL DIABETIK

Tahap IY. Ini merupakan tahapan saat nefropati diabetik

Pengendalian Kadar Gula Darah

bermanifestasi secara klinis dengan proteinuria yang nyata dengan pemeriksaan biasa, tekanan darah sering meningkat serta LFG yang sudah menurun di bawah normal. Ini terjadi setelah 15-20 tahun diabetes tegak. Penyulit diabetes lain sudah pula dapat dijumpai seperti retinopati, neuropati. gangguan profil lemak, dan gangguan vaskular umum. Progresivitas ke arah gagal ginjal hanya dapat diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah, dan

Berbagai penelitian klinik jangka panjang (5-7 tahun),

tekanan darah.

Tahap V. Ini adalah tahap gagal ginjal, saat LFG sudah

dengan melibatkan ribuan pasien telah menunjukkan bahwa

pengendalian kadar gula darah secara intensif akan mencegah progresivitas dan mencegah timbulnya penyulit kardiovaskular, baik pada pasien DM Tipe 1 maupun DM Tipe2. Oleh karena itu perlu sekali diupayakan agar terapi

ini

dilaksanakan sesegera mungkin. Yang dimaksud

dengan pengendalian secara intensif adalah pencapaian kadar HbAlc
sedemikian rendah sehingga pasien menunjukkan tanda-tanda sindrom uremik dan memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis maupun cangkok ginjal. Pada DM tipe 2 saat diagnosis ditegakkan, sudah

banyak pasien yang mangalami mikro- dan makroalbuminuria, karena sebenarnya DM telah berlangsung bertahun-tahun sebelumnya. Lagipula keberadaan albuminuria kurang spesifik untuk adanya nefropati diabetik. Tanpa penanganan khusus 20-407o dari pasien ini akan melanjut pada nefropati nyata. Setelah terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus maka laju penurunan akan bervariasi secara individual, akan tetapi 20 tahun setelah keadaan ini, hanya sekitar 207o dari pada mereka

yang berlanjut menjadi (penyakit ginjal tahap akhir) PGTA. Pada tahap

ini tidak ada lagi perbedaan antara DM

I

dan tipe 2. Begitupun karena usia pasien dengan DM tipe 2lebih tua, maka banyak pula pasien yang diiringi penyakit jantung koroner, yang sering membuat pasien

tipe

tak sampai mencapai PGTA. Tetapi karena penanggulangan PJK dewasa ini telah lebih baik maka banyak pula pasien

DM yang hidupnya cukup lama untuk sampai mengalami gagal ginjal.

Pengendalian Tekanan Darah Pengendalian tekanan darah juga telah ditunjukkan memberi efek perlindungan yang besar, baik terhadap ginjal,

renoproteksi, maupun terhadap organ kardiovaskular. Makin rendah tekanan darah yang dicapai makin baik pula

renoproteksi. Banyak panduan yang menetapkan target yang seharusnya dicapai dalam pengendalian tekanan darah pada pasien diabetes. Pada umumnya target adalah tekanan darah <130/90 mmHg, akan tetapi bila proteinuria lebih berut,>lgrl24 jam maka target perlu lebih rendah, yait:u <125fl5 mmHg. Harus diingat bahwa mencapai target ini tidak mudah. Sering harus memakai kombinasi berbagai jenis obat, dengan berbagai efek samping, dan harga obat yang kadang sulit dijangkau pasien. Hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah tercapainya tekanan darah yang ditargetkan, apapunjenis obat yang dipakai. Tetapi karena Angiotensin converting

inhibitor (ACE-I) dan angiotensiry receptor blocker (ARB) dikenal mempunyai efek antiproteinurik maupun renoproteksi yang baik, maka obat-obatan ini sebagai awal pengobatan hipertensi pada pasien DM. enzyme

Pengaturan Diet Pengaturan diet terutama dalam kerangka manajemen DM tidak diterangkan dalam judul ini. Dalam upaya mengurangi

TERAPI DAN PENCEGAHAN

klinik bagi setiap tahap terutama adalah hiperglikemia, hipertensi, dan selalu dij umpai

Tanda

hiperlipidemia. Keseluruhan tanda klinik ini sekaligus merupakan faktor risiko untuk progresivitas ke tahap berikutnya sampai ke tahap akhir. Faktor risiko lainnya adalah konsumsi rokok. Dengan demikian maka terapi di

tiap tahapan pada umumnya sama dan adalah juga merupakan tindakan pencegahan untuk memperlambat progresivitas dimaksud. Terapi dasar adalah kendali kadar gula darah, kendali tekanan darah dan kendali lemak darah. Di samping itu perlu pula dilakukan upaya mengubah gaya

hidup seperti pengaturan diet, menurunkan berat badan bila berlebih, latihan fisik, menghentikan kebiasaan merokok, dll, juga tindakan preventif terhadap penyakit kardiovaskular.

progresivitas nefropati maka pemberian diet rendah protein sangat penting. Dalam suatu penelitian klinik selama 4 tahun pada pasien DM tipe I yang diberi diet mengandung protein 0,9 gram/kgBB/hari selama 4 tahun menurunkan risiko terjadinya penyakit ginjal tahap akhir (PGTA=ESRD) sebanyak 76Vo. Umtmnya dewasa ini disepakati pemberian diet mengandung protein sebanyak 0,8 gram/kgBB/hari, atau sekitar l0% kebutuhan kalori, pada pasien dengan N efropati ov ert, tetapi bila LFG telah

mulai menurun maka pembatasan protein dalam diet menjadi 0,6 gram/kgBB/hari mungkin bermanfaat untuk memperlambat penurunan LFG selanjutnya. Begitupun harus diantisipasi terjadinya kekurangan nutrisi.

Jenis protein juga berperan dalam terjadinya dislipidemia. Mengganti daging merah dengan daging ayam pada pasien DM tipe 2 menurunkan ekskresi albumin dalam urin sebanyak 467o dengan disertai

982

GINJAL HIPERTENSI

penurunan kolesterol total, LDL kolesterol, dan apolipoprotein B. Ini mungkin karena komposisi lemak

REFERENSI

jenuh/takjenuh pada keduajenis bahan makanan berbeda. Pasien DM sendiri cenderung mangalami keadaan dislipidemia. Keadaan ini perlu diatasi dengan diet dan obat. Bila diperlukan dislipidemia diatasi dengan statin

American Diabetes Association. Hypertension management in adults with diabetes. Diabetes Care. 2004',21 (S) 565-57 American Diabetes Association. Nephropathy in diabetes. Diabetes Carc. 2004;21 (S) S79-S 83. Bakris GL, Williams M, Dworkin L, et al. Preserving renal function in adults with hypertension and dlabetes: NKF hypertension and diabetes. Executive committee Working Group Am J Kidney Dis. 2000:36:646-61 Cooper ME. Seminar: Pathogenesis, prevention and treatment of diabetic nephropathy. Lancet. 1998;352:213-9. Gaede P, Vedel P, Larsen N, Jensen GVH, Parving HH and Pedersen O Multifactorial intervention and cardiovascular disease in patients with type 2 diabetes. New Engl J Med. 2003;348:38393. Gross JL, de Azevedo MJ, Silvero SP, Canani LH, Caramori ML, Zelmanovitz T Diabetic nephropathy: diagnosis. prevention and treatment. Diabetes Care. 2005128:176-88. Kikkawa R, Koya D, Haneda M. Progression of diabetic nephropa-

dengan target LDL kolesterol <100 mg/dl pada pasien DM dan <70 mg/dl bila sudah ada kelainan kardiovaskular.

Penanganan Multifaktorial Suatu penelitian klinik dari Steno Diabetes Centre di Copenhagen mendapatkan bahwa penanganan intensif secara multifaktorial pada pasien DM tipe 2 dengan mikroalbuminuria menunj ukkan pengurangan faktor risiko yang jauh melebihi pananganan sesuai panduan umum penanggulangan diabetes nasional mereka. Juga ditunjukkan bahwa terjadi penurunan yang sangat bermakna pada kejadian kardiovaskular, termasuk strok yang fatal dan non-fatal. Demikian pula kejadian spesifik seperti nefropati, retinopati, dan neuropati autonomik lebih rendah. Yang dimaksud dengan intensif adalah terapi yang dititrasi sampai mencapai target, baik tekanan darah, kadar gula darah, lemak darah, dan miroalbuminuria serta juga disertai pencegahan penyakit kardiovaskular dengan pemberian aspirin. Dalam kenyataannya pasien dengan terapi intensif lebih banyak mendapat obat golongan ACEI dan ARB . Demikian juga dengan obat hipoglikemik oral dan insulin. Untuk pengendalian lemak darah lebih banyak mendapat statin.

Bagi pasien yang sudah berada pada tahap 5, gagal

ginjal, terapi yang khusus untuk gagal ginjal perlu dijalankan, seperti pemberian diet rendah protein. pemberian obat pengikat fosfat dalam makanan, pencegahan dan pengobatan anemia dengan pemberian

eritropoietin. dan lain-lain.

:

:

thy Am J Kidney Dis 2003;41(S1):S19-S21. King H, Rewers M. Global estimates for prevalence of diabetes mellitus and impaired glucose tolerance in adults. WHO ad hoc diabetes reporting group. Diabetes care. 1993;16:157-'77. Merta M, Reiterova J, Rysava R, Kmentova D and Tesaf V. Genetics of diabetic nephropathy. Nephrol Dial Transplant. 2003;18(Suppl 5):24-5. Roesli R, Susalit E, Djafar J. Nefropati diabetik Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-3. Dalam: Suyono S, dkk, editor. Jakana: Balai Penerbit FKUI; 2001. p. 356-65 Satko SG, Langefeld CD, Daelhagh P, Bowdert DW, Rich SS and Freedman BI. Nephropathy in siblings of African Americans with overt type 2 diabetic nephropathy. Am J Kidney Dis. 2002:40:489 -94. Stehouwer CDA Endothelial dysfunction in diabetic nephropathl': state of the an and potential significance for non diabetic renal

disease Nephrol Dial Transplant 20021:10:778-81. K, Ziyadeb FS, Alzahabi B, et al. Increased renal production of transforming growth factor - T Bl in patients with type II

Sharma

diabetes. Diabetes. 7991 :46:854-9.

USRDS. Incidence and prevalence of ESRD. Am J Kidney Dis. 2004;45(S): Ss7-S74.

Ziyadeh FN, Isono M, Chen S. Involvement of the transforming growth factor- p system in the pathogenesis of diabetic nephropathy. Clin Exp Nephrol 2002'6:125-9.

t54 NEFRITIS LUPUS Lucky Aziza Bawazier, Dharmeizar, H.M.S. Markum

anti nuklear (ANA (+)).

PENDAHULUAN

jaringan ikat, etiologinya tidak jelas diketahui dan termasuk soluble immune complexes disease, di mana gambaran klinisnya cukup luas dapat melibatkan banyak organ tubuh, serta perjalanan penyakitnya ditandai dengan remisi dan

di atas sensitivitasnya 96Vo dan g6Vo,tetapi kriteria tersebut didesain untuk spesifisitasny diagnostik. Jelasnya, banyak tujuan tidak untuk klasifikasi, pasien masih sulit/gagal untuk diagnostik klinis pasti untuk memenuhi kriteria tersebut di atas. Prevalensi keterlibatan ginjal dari LES yang dinamakan

eksaserbasi.

nefritis lupus sangat bervariasi dan berbeda-beda,

Walaupun etiologinya tidak diketahui dengan pasti. tetapi diduga mempunyai hubungan dengan beberapa

bervariasi anlara3l-657o (rata-rata 407o)pada awal LES. Sedangkan komplikasi lebih lanjut pada LES dewasa

faktor perdisposisi seperti kelainan genetika, infeksi

terhadap ginjal rata-rata 60Vo kadang-kadang pada 3-6Vo pasien, manifes kelainan ginjal merupakan kelaigan pertama yang ditemukan sebelum gejala klinis LES lain muncul.

Walaupun kriteria

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) mer-upakan penyakit

a

virus, maupun kelainan hormonal. LES merupakansoluble immune complexes disease,ditandai lesi autoimun disertai pembentukan antibodi ganda terhadap berbagai jaringan organ seperti sendi, paru, otot, dan ginjal. Keterlibatan ginjal sebagai salah satu manifestasi LES telah diketahui sejak lebih daiVzabadyang lalu. Sedangkan gambaran lengkap keterlibatan komplikasi ginjal tersebut baru sejak 2 dekade yang lalu. Kriteria klasifikasi pasien

dengan LES berdasarkan pemeriksaan

klinis

Walaupun perempuan yang terkena lupus lebih banyak dengan perbandingan 5:1 dibandingkan pria, tetapi pada pria dengan LES insidens terjadinya nefritis lupus lebih tinggi walaupun tidak berbeda bermakna dengan perempuan. Orang Asia dan kulit hitam lebih sering mengalami nefritis lupus dibandingkan dengan ras lainnya. Peningkatan risiko nefritis lupus dihubungkan dengan HLA-DR2, HLA-DR3, HLA-DR8 dan HLA DQ-beta,

dan

laboratorium, pertama kali tahun 1971 oleh American

difisiensi komplemen seperti C7q, C2, dan C4, serta produksi tumor necrosis factor (TNF) yang rendah.

Rheumatisms Association (ARA) yang kemudian direvisi tahun 1982. Menurut kriteria ini bila terdapat 4 dari 11 manifestasi tersebut, sudah dapat di katagonkan sebagai LES.

Sebelas kriteria ARA yang telah direvisi tersebut adalah: l). Malar rash,2). Discoid rash,3). Phorosensitivity,4). Oralulcers (ulserasi mulut),5). Arthritis non erosif, 6). Serositis (pleuritis/perikarditis), 7). Gangguan ginjal (proteinuria >500 mg/hari atau silinder sellcellular cast, 8). Gangguan neurologis (kejang atau psikosis) kelainan gangguan saraf pusat, 9). Gangguan hematologi (seperti anemi hemolitik, lekopeni, limfositopeni atau trombositopeni), 10). Kelainan imunologis (hasil tes se1 lupus eritematosus, terdapat antibodi anti DNA, antibodi anti sel lupus atau hasil test serologi plse positif untuk sifilis, antibodi anti fosfolipid), 1 1). Hasil tes positif antibodj

ETIOLOGI

Etiologi LES seperti telah diutarakan di atas, belum diketahui dengan pasti. Beberapa faktor infeksi seperti infeksi virus konkorna, genetik hormonal diduga sebagai faktor predisposisi.

lnfeksiVirus Percobaan binatang dengan s/raln tikus New Zealand infeksi virus concorna (intra uterin) dapat menyebabkan

983

984

GINJALHIPERTENSI

perubahan-perubahan limfosit sel-B yang menyerupai limfosit sel-B yang terdapat pada LES aktif manusia.

mengakibatkan terjadinya respons imun yang menimbulkan

Faktor Herediter/Faktor Genetik Sebagaimana kelainan/gangguan autoirrrun, bukti telah menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada perkembangan LES maupun nefritis lupus. Berbagai jenis gen yang banyak belum teridentifikasi memediasi faktor predisposisi genetik ini. Faktor-faktor lingkungan mungkin memicu perkembangan penytrkit ini. Studi epidemiologi klinis telah menemukan hubungan faktor herediter dengan LES antara lain:

1. Kembar (identical twin'), terttama pada kembar monozigot daripada kembar dizigot: tetapi peran 2.

J. 4. 5. 6.

faktor predisposisi genetik dengan faktor lingkungan, faktor hormon seks. dan faktor sistem neuroendokrin. Interaksi faktor-faktor ini akan mempengaruhi dan peningkatan aktivitas sel-T dan sel-B, sehingga terjadi peningkatan auto-antibodi (DNA-anti-DNA). Sebagian dari auto-antibodi ini akan membentuk kompleks imun bersama dengan nukleosom (DNA-histon), kromatin, C,q, laminin, Ro (SS-A), ubikuitin, danribosom; yangkemudian

akan membuat deposit (endapan) sehingga terjadi kerusakan janngan. Pada sebagian kecil NL tidak ditemukan deposit komplek imun dengan sediaan imunofluoresen atau

mikroskop elektron. Kelompok ini disebut sebagai Pauci immune necrotizing glomerulonephritis.

-

Iingkungan juga besar. HLA-p haplotipe LES (So/uble lmmune complex disease)

Antigen DRW2 dan DRW5 Defisiensi C2 inborn.

+ Kompleks rmun pada glomeruli

tlt

HLA DR2 dan HLA-DR3 berhubungan dengan LES HLA-DR4 dihubungkan dengan prevalensi yang rendah dari LES dan tampaknya sebagai pelindung dari

Aktiyasi sistem

serangan LES.

kinin dan

pembekuan

Aktivasr srstem komplemen

+

Asresasi trombosr

flbrin --- f;;;;;;;l

---------1

<-

r,,4Ac

\menbtaneanack

complex of complemenl\

+ Sindrom klinis (qambaran klinis)

Faktor Hormona! Studi epidemiologi klinis menemukan bahwa kejadian LES

Gambar 1. Patofisiologi nefritis lupus

lebih sering pada perempuan muda, diduga mempunyai hubungan dengan hormon androgen dan estrogen. Podosit +

Gen Komplemen 1. Defi siensi ClQ, C lR dan C S dihubungkan dengan LES, NL dan produksi dari anti-dsDNA (anti-double1

2. 3. 4.

I I

Sintesiskolagen

(1)

lfrmune complet

ngaruhl

,"

akt vasr komplemen

,

stranded Dll{A) Defisiensi C2 dan C4 dihubungkan dengan LES atau sindrom yang mirip dengan lupus (lupus like syndrome). Hilangnya C4A dan kemungkinan C4B dihubungkan

sel mesangial

,^

/\J

+ (6)

+ sel ----*t->

lL-1

mesangial

L"ko"ir

I PGE

dengan LES FCgR gen: mediasi ini mengikat 1gG dan 1gG yang terdapat kompleks imun pada sel-sel seperli makrofag dan fagosit

mononuklear ymg lain.

5.

FCgRIIa dan RIIIa yang mengikat IgG2 dan secara berturutan, dimana R13l dihubungkan dengan nefritis lupus dalam populasi kulit hitam. Gen sitokin: gen IL10 dan kemungkinan ILl RN dan

Juga peran

Gambar 2.

IgGl

6.

TNF-u dihubungkan dengan LES.

7. Gen apoptosis (nekrosis gen): Defek dari beberapa

Gambaran klinik kerusakan glomerulus dihubungkan dengan letak lokasi terbentuknya deposit komplek imun.

gen

Deposit pada mesangium dan subendotel terletak

apoptosis dihubungkan dengan lupus like syndrome

proksimal terhadap membran basalis glomerulus sehingga

pada tikus dan jarang pada LES manusia termasuk CD95

mempunyai akses ke pembuluh darah. Deposit pada daerah

danCDl78.

ini

akan mengaktifkan komplemen, yang kemudian

membentuk kemoatraktan C.a dan Cra. Selanjutnya terjadi influks sel netrofil dan sel mononuklear. Deposit pada

PATOGENESIS

mesangium dan subendotel secara histopatologis memberikan gambaran mesangial, proliferatif fokal, dan

Patogenesis timbulnya LES diawali oleh interaksi antara

proliferatif difus; secara klinis memberikan gambaran

985

NEFRITIS LUPUS

sedimen urin yang aktif (ditemukan eritrosit, lekosit, silinder sel dan granula), proteinuria, dan sering disertai penurunan

fungsi ginjal. Sedangkan deposit pada subepitel tidak mempunyai hubungan dengan pembuluh darah karena dipisahkan oleh membran basalis glomerulus sehingga tidak terjadi influks netrofil dan sel mononuklear. Secara

histopatologis memberikan gambaran nefropati membranosa dan secara klinis hanya memberikan gejala

proteinuria.

Pengaruh MAC dari komplemen (C5b-9) pada glomerulus, yaitu: 1). Aktivitas komplemen oleh kompleks

imun dan terbentuk C5b6. C5b6 ini terikat dengan komponen C7, C8 dan C9 untuk merangsang podosit, 2). Memproduksi kolagen, 3). Alternatif lain merangsang

Kelas (Katagori

wHo)

Normal

Glomerulonefri tis mesangial proliperatif

Normal atau pelebaran mesangial difus dan hiperselular Hiperselular mesangial difus dengan fokal dan segmental, segmehtal nekrosis dan trombin hialin Hiperselular difus, interposisi mesangial, deposit subendotel, nekrosis segmental, trombus hialin, badan hematoksilin, infiltrasi sel, dan crescenrs Hiperselular mesangial nngan deposit epimembran a, tonjolantonjolan Fokal supenmpose d dan segmental atau sklerosis pada kategori lVAi/ Tubulointerstisi al akut dan kronis

(il) Glomerulonefri tis fokal segmental proliferatif (il r)

Glomerulonefri tis difus proliferatif

(tv)

proliferasi sel mesangial.

HISTOPATOLOGI GINJAL Pemeriksaan histopatologi menggambarkan secara pasti kelainan ginjal. Klasifikasi WHO pada tahun 2003 membagi

NL dalam 6 kelas. Skema ini berdasarkan hasil biopsi spesimen yang didapat dari mikroskop cahaya, imunofluoresen, dan mikroskop elektron. International Society Nephrology/Renal Patholo gy Society (ISNiRPS) membuat klasifikasi baru NL. Klasifikasi baru ini juga terutama berdasarkan pada perubahan glomerulus serta kelas III dan IV lebih rinci perubahan morfologisnya. Dengan pemeriksaan imunofluoresen dapat ditemukan deposit imun pada semua kompatlemen ginjal (glomerulus, tubulus, interstisium dan pembuluh darah). Biasanya ditemukan lebih dari satu kelas imunoglobulin. Terbanyak ditemukan deposit IgG dengan ko-deposit IgM

dan IgA pada sebagian besar sediaan. Juga bisa di identifikasi komplemen C3 dan C1q. Pewarnaan untuk fibrin-fibrinogen dikerjakan bila didapatkan lesi c re s c ent dan lesi nekrotik segmental.

Sebagai tambahan klasifikasi patologis, aktivitas dan kronisitasnya secara patologis dan secara prediksi untuk penentuan prognosis ginjalnya (progresi dari penyakit ginjal). Indeks aktivitas merefleksikan keadaan di inflamasi yang aktif yang diperoleh dari biospi, yang reversible

dengan terapi obat. Indeks kronisitas merefleksikan banyaknya fibrosis dan jaringan parut/nekrosis yang tidak berespons terhadap terapi. Lesi ginjal dengan indeks aktivitas yang tinggi lebih merupakan respon terapi yang agresif dimana lesi ginjal yang kronisitasnya tinggi tidak

Mikroskop Cahaya

Normal (l)

sel-sel mesangial dengan dilepaskan oksigen radikal bebas, PGE dan IL-1. Radikal oksigen bebas mempunyai fungsi

biotogis terutama merangsang trombosit dan nekrosis jaringan, 4). IL-1 merangsang podosit untuk sintesis kolagen, 5). Merangsang pembentukan PGE, TNF dan

Gambaran

Glomerulonefri tis membran lupus (V)

Glomerulonefri tis sklerosis lanjut

Nefrltis interstisial

memberikan

gej ala-gej

tmu

c

(

Mes

++

t\,4es

SE

+

Epi

0

CW SE

I I

Epi

0

Mes SE Epi

++

+++

Mes

:+

CW SE

:+

Epi

:0

r0

l\,4es : +++ : +++ EP] : +++

SE

++

+

Mes : +++ CW :++

SE trni

: +++

++++ deposit tubulointerstisial

e

kstrag lo meru

MeS +++ MeS

SE1CW1 Epi +++ SE

Mes:+ CW :+ Membran tubulus basement

++ Variabel glomerulus deposit

la

r

+++

1

Me6 : ++++

CW :+ Membran tubulus basement

++ Variabel glomerulus deposi

ala yang merupakan perubahan

histopatologi aktif. Tanda-tanda kronisitas menunjukkan tidak reversibelnya pengobatan atau terapi agresif yang kurang berhasil. Index aktivitas dan kronisitas dievaluasi pada lesi ginjal yang mungkin mentransfotasi dari 1 kelas ke kelas yang lain secara spontan/pengobatan.

GEJALA KLINIS

Tabel 1, 2, dan 3 sebagai estimasi untuk prognosis

Kelainan ginjal ditemukan pada 50-607o dai, semua pasien LES, dan tidak jarang merupakan gambaran klinis pertama dan satu-satunya yang akan mengikuti periode remisi dan eksarsebasi sesuai dengan LESnya. Manifestasinya klinis NL bervariasi mulai dari kelainan urinalisis tanpa keluhan

dan pedoman umum terapi. Pengobatan yang agresif akan

dan ditemukan pada pemeriksaan rutin maupun dalam

respon.

986

GINJAL HIPERTENSI

l. Onsetnya cepat Penurunan LFG progresif dalam beberapa minggu/

2.

Deskripsi

il

Glomerulus normal (dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, imunofluoresen, mikroskop elektron) Perubahan pada mesangial a. Normal dengan mikroskop cahaya, deposit pada mesangial dengan imunofluoresen dan atau mikroskop elektron. b. Hiperseluleritas mesangial dan terdapat deposit pada imunofluoresen dan atau mikroskop elektron. Foc al seg me ntal glome rulon eph riti s a. Lesi nekrotik aktif b. Lesi sklerotik aktif Lesi sklerotik Glomerulonefritis difus (proliferasi luas pada mesangial, endokapiler atau mesangiokapiler dan atau deposit luas sub endotel) a. Tanpa lesi segmental b. Dengan lesi nekrotik aktif c. Dengan lesi aktif dan sklerotik d. Dengan lesi sklerotik Glomerulonefritis membranosa difus: a. Glomerulonefritis membranosa murni b. Berhubungan dengan lesi kelas ll (a atau b)

bulan lalu mencapai gagal ginjal terminal Hipertensi sistemik yang cukup mencolok 4. Proteinuria l-3 gram perhari disertai kelainan sedimen J.

aldf.

Sindrom glomerulus progresif dan kronis, ditandai dengan kelainan berikut:

1. Proteinuria bervariasi

2.

c

Glomerulonefritis sklerotik lanjut.

antara 1-3 gram/hari disertai

kelainan sedimen aktif Penurunan faal ginjal LFG progresif lambat sehingga dalam beberapa bulan sampai dengan beberapa tahun gagal ginjal.

Sindrom nefrotik. Merupakan gambaran klinis paling sering dijumpai pada NL biasanya berkisar antara45-63Vo pasien tetapi tidak disertai dengan hiperkolesterolemi.

Hipertensi pada l5-50Vo pasien. Penurunan fungsi ginjal pada 40-80Vo pasien, dimana penurunan yang mencolok mencapai 30% pasien. Perjalanan klinik nefiritis lupus sangat bervariasi dan

hasil pengobatannya dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain, kecepatan menegakkan diagnosis, kelainan

histopatologi yang didapat dari hasil biopsi ginjal lndeks aktivitas/lesi

lndeks kronisitas/ lesi kronis

aktif Glomerulus

-

Proliferasi

endokapiler lnfiltrasi lekosit Deposit hialin subendotel Nekrosis fibrinoid/

-

Sklerosis glomerulus (glomerulosclerosis) Bentuk crescent fibrosis (flbrosls crescent)

karioreksis Tubulo interstitial

lnflamasi interstitial

Fibrosis interstitialis dan tubulus atrofi

keadaan sindrom nefrotik atau keadaan darurat medis (sindrom nefritik akut dan syndrome rapidly progressive glomerulonephritis). Gej ala NL biasanya berkorelasi baik dengan tingkat keterlibatan glomerulusnya.

GAMBARAN KL!NIS NL

Glomerulopati/nefropati asimplomatik. Kelainan urinalisis: proteinuria didapatkan pada semua pasien, hematuri mikroskopis pada 80Vo pasien, sedimen urin

saat

mulai pengobatan dan jenis regimen yang dipakai. Diagnosis klinis nefritis lupus ditegakkan bila pasien LES terdapat proteinuria 2l graml24 jam dengan/atau hematuri (>8 eritrosit/LPB) dengan/atau penurunan fungsi ginjal sampai 30Vo. Sedangkan diagnosis pasti nefritis lupus ditegakkan dengan biopsi ginjal dan ber{asarkan klasifikasi morfologi dari WHO (1982) nefritis lupus dibagi dalam 6 kelas. Gambaran klinis yang ringan dapat berubah menjadi bentuk yang berat dalam perjalanan penyakitnya. Beberapa prediktor yang dihubungkan dengan perburukan fungsi ginjal pada saat pasien diketahui menderita NL antara lain:

1. Raskulithitam

2. Hematoh,it<267o 3. Kreatinin serum>2.4mgldl4. KadarC3 <76mg/dL Hubungan Klasifikasi Histopatologi WHO dan Manifestasi Klinis NL Hubungan ini sangat penting untuk program terapi awal dalam menghadapi keadaan darurat dan untuk keperluan prognosis dan indikasi biopsi ginjal,

(silinder eritrosit, silinder lekosit).

Sindrom nefritik akut (SNA). SNA pada lupus sulit dibedakan dengan GN pasca infeksi streptokokus,

PENDEKATAN DIAGNOSTIK

gangguan tubular pada 60-80Vo pasien.

NL

Sindrom RPGN (Rapidly pro gre s siv e gl.omerulanephritis). Ini sulit dibedakan dengan sindrom nefritik akut, gejala-

dapat merupakan salah satu gambaran klinis dari LES dan tidak jarang merupakan satu-satunya gambaran klinis dari LES maka untuk menghadapi kedua masalah tersebut,

gejalakhusus RPGN:

diperlukan pemeriksaan penunjang diagnostik pasti yaitu:

987

NEFRITIS LUPUS

Gejala klinis

Klasifikasi

protein

Hematuria Hipertensi Sindrom Fungsi

nefrotik ginjal -N -N -N + NatauJ ++J ++ N atau t J lambat

ufln NL NL NL NL

kelas kelas kelas kelas NL kelas NL kelas NL kelas

lia lib

+ +

+

lll

++

++

+

lV V Vl

++ ++

+++

++

+

t

+

+

+

Gambaran klinis

Kelas NL kelas

I

+

I

NL kelas lla NL kelas ilb

NL kelas lll

NL kelas lV

NL kelas V

NL kelas Vl

Tanpa gambaran klinis atau hanya terdapat proteinuria tanpa adanya kelainan pada sedimen urin Terdapat proteinuria persisten tanpa adanya kelainan pada sedimen urin. Terdapat hematuria mikroskopik dan bisa terdapat silinder lekosit/eritrosit dan/protenuria tanpa hipertensi dan tidak pernah terjadi sindrom nefrotik atau gangguan fungsi ginjal

.1,

T

(+)

-

+ TiterANA> T :320

+

.

Hematuri dan protenuria ditemukan pada seluruh pasien, sedangkan pada sebagian pasien ditemukan hipertensi, sindrom nefrotik dan penurunan fungsi ginja Hematuria dan protenuria ditemukan pada seluruh pasien (sindrom nefrotik akut) sedangkan sindrom nefrotik, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal ditemukan pada hampir seluruh pasien. Sindrom nefrotik ditemukan pada seluruh pasien sebagian dengan hematuri atau hipertensi akan tetapi fungsi ginjal masih normal atau sedikit menurun Biasanya menimbulkan penurunan fungsi ginjal yang lambat dengan kelainan urin yang relatif normal

LES Penyakit jaringan kat campuran lainnya Sindrom reumatologi yang lain Reaksi obat Keganasan Endokarditis bakteria sub-akut Usla anjut

LES Kemunqkinan

I

V Test anu -Roi SS-A

Penyakit jaringan ikat campuran Sindrom reumato ogi yang ain

+

+

Test anti Sm anti RNP

Test anti dsDNA

Anti-L,aJSS-D I

t I

Waspada Berhubungan dng sindrom-sindrom la

I

t I

N,4enunjLrkkan aktivitas

penyakit LES

Anti-Sm (+)i anti RNP rendah

in

+ N,4ungk

n LES

Anti-Sm rendah atau

I

v

Mungkin penyakit

jaringan ikat campuran

Gambar 3.

antibodi yang abnormal tetapi kurang tepat untuk

1.

Pemeriksaan penunjang diagnosis . Urinalisis rutin (urin yang diambil harus segar)

. . . .

2.

Faal ginjal LFG dengan cara mengukur klirens kreatinin tes 24jam Elcktroporesisprotein Profil lipid Darah rutin (Hb, lekosit, LED, trombosit)

Pemeriksaan serologis

. . . . . .

ANA-fluorescent

Anti dsDNA Antibodi SmNA (Nuclear Antigen) Profilkomplemen (C3, C4)

Circulating immune complexes (CICX) Imunoglobulin serum

Pemeriksaan serologik penting untuk menentukan diagnosis NL karena menunjukkan adanya produksi auto

menentukan adanya kelainan ginjal, menilai prognosis maupun tindak lanjut selama terapi Tes ANA sangat sensitif untuk LES, tapi tidak spesifik. ANA juga ditemukan pada artritis reumatoid, skeloderma, sindrom Sjogren, polimiositis, dan infeksi HIV. TiterANAtidakmempunyai korelasi yang baik dengan beratnya kelainan ginjal pada LES.

Pada umumnya ANA kurang mempunyai hubungan dengan derajat kerusakan lesi ginjal dan tidak membantu untuk memantau respons terapi dan prognosis. Tes antids DNA (anti double-stranded DNA) lebih spesifik tapi kurang sensitif untuk LES. Tes ini positif pada kira-kira 157o pas\enLES aktif yang belum diobati. Dapat diperiksa dengan teknik radioimmunoassal, pry sluu teknik ELISA (.enzyme-linked immunosorbent assay). Tes anti-ds DNA mempunyai korelasi yang baik dengan adanya kelainan ginjal.

988

GINJAL HIPERTENSI

Pemeriksaan lain adalah antibodi anti-ribonuklear.

efek samping obat yang timbul, karena pengobatan NL

seperti anti-Sm dan anti-nRNP. Antibodi anti-Sm meskipun sangat spesifik untuk LES, tapi hanya ditemtkanpada257o

memerlukan waktu yang relatif lzrna, dimana efek samping obat tadi akan mempengaruhi kualitas hidup pasien.

pasien lupus. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa antibodi antj-Sm mempunyai hubungan dengan peningkatan insidens penyakit ginjal dan susunan saraf pusat serta prognosis yang buruk. Antibodi anti-nRNP ditemukan pada 35Vo pasien LES, juga pada penyakitpenyakit rematologik terutama penyakit jaringan ikat. Aktivasi sistem komplemen sering dipantau pada NL. Kosentrasi komplemen C3 dan C4 serum biasanya rendah pada fase aktif. Kosentrasi komplemen serum ini tidak mempunyai hubungan dengan derajat penyakitnya. Kadar C3 dan C4 sering sudah di bawah normal sebelum gejala lupus bermanifestasi. Konsentrasi C3 dan C4 menurun bila terdapat eksarsebasi akut dari lupus tetapi normalisasi kadar komplemen dihubungkan dengan perbaikan NL. Defisiensi komplemen lain seperli c I r, Cls, C2,C5 dan C8 juga didapatkan pada LES dan kadar komplemen total kemungkinan tetap di bawah normal meskipun penyakit dalam keadaan in aktif.

1. NL

2.

penyakit maupun panduan terapi dan prognosis karena juga dapat dideteksi pada berbagai penyakit autoimun lain. Kompleks imun ini dapat diukur dengan pengukuran C1q fase solid dan tes sel raji. Banyak pemeriksaan antibodi

I

tidak memerlukan pengobatan spesifik.

(>1 gram/hari) dan sedimen urin yang aktif tidak

3.

memerlukan pengobatan NL kelas lI b yang disefiai proteinuri >1 gram/hari, antids DNA yang tinggi, hematuri, dan C, rendah diberikan

pengobatan; prednison

0.5-l mg/hari selama 6-12

minggu, kemudian diturunkan perlahan-lahan (5- 10 mg) tiap 1-3 minggu, dan dilakukan penyesuaian dosis sesuai aktivitas

klinik

4. Pada NL kelas III

dan IV pengobatan lebih ditujukan untuk kelainan ginjalnya. Rejimen yang paling banyak dipakai saat ini adalah kombinasi steroid dosis rendah yaitu prednison 0.5 mg/kg/hari selama 4 minggu yang kemudian diturunkan perlahan-lahan sampai dosis mini-

mal untnk mengendalikan kelainan diluar ginjal, dan siklofosfamid 750 mg/m'] tiap bulan selama 6 bulan. kemudian setiap 2 bulan dengan dosis yang sama sampai 6 kali pemberian, dosis selanjutnya tiap bulan 3 juga 6 kali pemberian (total pengobatan 3 tahun).

Circulating lmmune Complex (Kompleks lmun dalam Sirkulasi) Sering ditemukan meningkat pada pasien yang masih aktif tetapi tidak dapat dipakai untuk menentukan derajat

kelas

Pengobatan lebih ditujukan pada gejala-gejala ekstra renal NL kelas tr a jika tidak diserlai proteinuri yang bermakna

Dengan rejimen ini kira-krra 80% pasien akan t.rengalami

remisi yang ditandai dengan tidak terdapatnya sedimen urin yang aktif, proteinuri < 1 gram/hari, dan klirens kreatinin tetap stabil atau membaik sedikitnya 30%.

anti nukleus pada NL walaupun spesifitasnya masih

Beberapa obat lainnya yang dapat pula digunakan pada NL kelas III dan IV ialah:

terbatas.

1. Azatioprin dengan dosis 2 mg/kg, dikornbinasikan dengan prednison. Pemakaian Azatioprin bertujuan untuk menghindari efek s,amping pada pemakaian siklofosfamid. Obat ini juga relatif aman pada

Diagnosis NL Kriteria diagnosis NL 4 dari I I kriteria ARA ditambah dengan:

l.

Proteinuri

a

persisten, hematuri disertai kelainan sedimen

perempuan hamil.

2. Siklosporin dapat pula dipakai

akif

2. Kenaikan

titer anti nukleus dan DNA-blncling antibodl' atau keduanya.

3.

PENGOBATAN Sebaiknya pengobatan diberikan setelah didapatkan hasil histopatologi dan biopsi ginjal. Pilihan rejimen pengobatan berdasarkan gambaran patologi anatomi. Tetapi biasanya pasien datang sudah mendapat kortikosteroid dari tempat praktek RS yang berbeda, karena tidak adanya fasilitas biopsi ginjal atau karena sudah mendapat pengobatan untuk LESnya sendiri tanpa gejala NL. Prinsip dasar pengobatan adalah untuk memperbaiki fungsi ginjal atau setidaknya memperlahankan fungsi ginjal agar tidak bertambah buruk tetapi perlu juga diperhatikan

bersama dengan

prednison. Dosis trwal 5 mg/kg/hari, yang kemudian diturunkan menjadi 2,5 mg/kg/hari setelah 6 bulan. Mycophenol.ate Mo.fetll (MMF) dengan dosis 0,5-2 gram/hari, khususniia bila pengobatan dengan siklofosfamid tak berhasil. Diberikan bersama dengan Prednison (dosis 0,5 mg/kgihari) yang kemudian diturunkan perlahan. Larna pengobatan bisa mencapai 24bu1an.

4. Beberapa obat lainnya

5.

yang dipakai dalarn pengobatan NL dan masih dalam taraf penelitian misalnya antibodi monoklonal (anti-C., anti CD 40 legand), imunoglobulin IV, kladribin, dan LJP 394. Nlkelas V: diberikan prednison dengan dosis I mg/kg/ hari selama 6-12 minggu. Bila tak ada respon klinik, prednison dihentikan sedangkan bila terdapat respons, prednison dipertahankan selama 1-2 tahun dengan dosis 10 mg/hari. Juga dapat pula diberikan siklosporin

989

NEFRITISLUPUS

siklofosfzmid dikurangi. B i la pada pernberian siklofbstamid

pada Nl- kelas V ini.

dalam l2 minggu ticlak terdapat perubahaan maka

6. NL kelas VI:

pengobatan lebih difokuskan pacla manifestasi ekstra renal . Untuk memperlambat penurunan fungsi ginjal dilakukan terapi suportif

siklofosfamid dapat diganti dengan azatioprin 2 mg/kgBB/ hari.

Pada fase penreliharaan ada .iuga yang mernberikan

seperli restriksi protein, pengobatan hipertensi, pengikat fosfor oral, dan vitarnin D.

siklofosfaurid

IV

setiap 3 bularr selama

I

tahun

pemeliharaan, Rerata larra pengobatan adalah 4,-5 tahtrrr

mernberi keberhasilan yang sama dengan rejimen siklofosfanrid. Jika Lerdapat vaskulitis yang nyata: dapat dilaktrkan plasma exc'hange 3-4 liter/hari untukT hari.

NL ringan

NL berat

- K as ll, llL dan V (r ngan) - Proteinuna Fungsi ginjal norma

- Klas lll (berat) + lV

-SN - Menurun fungsi ginjal - Hipertensl - Gangguar sJsundn saraI pLgdt (SSP, / kesadaran menurun / lupus serebral

Pldl fcse intltrksi.

mikof'enolat mofetil. Pada lase pemeliharaan yang sering digunakan bila

I

I I

v Pemberian metil prediso one lV 500 mg 3 hari bedurut-turut (diulang bila diperlukan, yaiiu bila geiala-ge aia yang mengancam jiwa masih jelas)

Predlson mulai 1-11l2 mg/kg BB/hari

i I

Dilanjutkan dengan prednison orai

1-15mg/kgBB/hari I

V Bila respons terapi 8-12 0.5 mg-1/kg/BB/hari s.d 500-750 mqflPB/lv (1

pa total remisi+ prednison diturunlan alam fase pemeliharaan. Dan Siklofosfamid

-i111'l1l"l1l'

::1"11111i selama 6

bulan

intun,rsupt'esiln yang sering

digunakan adalah siklosporin. siklofosfamid atau

I

l

pasien mampu dari sudut finansial adalah mikofenolat mofetil (1-2 grarl./hali) atau azatioprin (2 mg/kgBB/hari) maksirnal l -50-200 mg perhari diberikan selama I tahun. Azatioprin diberikan dcngan dosis 2.5 mg/kgBB padzr pasien Nl, kelas lV. Mel
Gambar 4. Pada fase akut: Pengobatan induksi dengan

mg/kgBB selama 1 tahun, pada N[, kelas TV dan

kortikosteroid

kelzis V.

Pengobatan irrunolo-sis dilakukan dengan penrbcrian imunosupresan. Sasalan peugobatan ini ditujukan untuk mengurangi atau menghilangkan tanda-tanda klinik lupus (baik renal malrpun ekstra renal) serta petada serologi

lupus. Tanda-tanda klinik tersebut berupa proteinuria, hematuri, silinder eritrosit, kreatinin serum, ekskresi kemokin dan sitokin dalam urin, kadal anti C 1q dalam dar ah, komplemen C3-C4. anti dsDNA, kelainan hematologi, dan kelainan ekstra renal.

Pengobatan non imunologis dilakukan dengan

pemberian obat anti hipertensi (ACEI. AIIRB dan pemberian statin yang tujuannya untuk menurunkan tekanan darah, proteinuria dan kolesterol secara agresif.

Sesuai gejala

klinis dan gambaran histopatologi

Pengobatan Non-!munologis Pengobatan non- it'r'tuttologis dilakukan untuk menurunkan

tekanan darah dtrn proteinuria dengan penghambat ACE dan penghambat reseptor angiotensin. Sedangkan untuk

rnenurunkan kolesterol dipakai golongan statin. Tujuan pengobatan ini adalah untuk tnengurangi progresivitas

kearah perburukan fungsi ginjal sesuai dengar.t pcnanganan kasus penyakit ginjal kronik, sasaran tekanan clarah adalah serendah mungkin dimana pasien masih merasa nyaman yaitu 120/7-5 mml{g, proteinuria kurang clari 0,5 grarrV24 jam dan kolesterol LDL <-l00 mg/dl. Untuk masa yang akan clatang agaknya terapi secara genetik akan

memberikan harapan walatrpun masih dalam tahap percobaan awal.

terdapat 2 masalah terapi utama yang harus dilakukan: yaitu

induksi pengobatan dari NL yang berat, yang mengancam

Monitoring Respons Pengobatan

jiwa sering mempengaruhi banyak sistem organ dan onset penyakitnya pendek. Ini sangat berbahaya bagian survival pasien. Pengobatan selanjutnya adalah

Terapi yang efektif dihubungkan dengan berkurangnya manifestasi infl arnasi, berkurangnya gejala ekstrarenal, membaiknya kadar C3, C4, dan titer anti dsDNA. Untuk

pengobatan pemeliharaan dan pengobatan kronis jangka panjang dan tujuan pengobatar.r ini untuk menghindari efek

kelainan ginjalnya sendiri akan didapatkan aktivitas

jangka panjang penyakit sehingga efek samping

dan menurunnya atau berkurangnya proteinuria.

pengobatan juga penting untuk diawasi. Lalu dilanjutkan dalam dosis yang sama 3 bulan/kali, selama 2 tahun (24 bulan) (Rejirnen ini diberikan pdaa NL kelas III, IV campuran kelas III dengan V, campuran kelas IV dengan V). Bila terdapat gangguan fungsi ginjal: dosis

RESISTEN TERHADAP PENGOBATAN

sedimen urin yang menurun, membaiknya kreatinin plasma.

Sampai saat ini masih belum ada keseragaman terhadap

990

definisi remisi pada nefritis lupus. Salah satu pegangan, tercapainya normalisasi fungsi ginjal serta ketahanan hidup yang lebih panjang. Prediktor klinik yang dapat dipegang adalah, sedimen urin menjadi tidak aktif, kadar kreatinin = 1 ,4 mgldL dan ekskresi prorein = 330 mg/dl. Disebut resisten bila selama pengobatan induksi tidak ada respon menuju remisi.

Pasien yang awalnya memakai siklosfamid, bila

terjadi resisten pengobatan dapat ditukar dengan mikofenolat mofetil atau sebaliknya, dengan memakai dosis obat yang biasa dipakai pada keduajenis regimen tersebut. Obat-obat lain yang dapat dipakai antara lain, imunoglobulin intravena, terapi antibodi monoklonal, imunadsorption, pentoksifilin atau rituksimba, tetapi hasil yang memuaskan belum diperoleh dengan

pasti masih perlu percobaan klinis yang lebih banyak.

RELAPS (KAMBUH) Disebut relaps bila aktivitas penyakit timbul kembali setelah beberapa saat mengalami remisi. Prediktor yang paling dini dan akurat adalah ditemukannya kembali sedimen eritrosit atau leukosit yang kemudian diikuti oleh proteinuria.

GINJAL HIPERTENSI

PROGNOSIS Prognosis NL sulit diramalkan karena pedoman terapi yang

baku belum ada, selain itu perjalanan penyakit NL sulit diprediksi. Hampir semua peneliti sependapat biopsi ginjal

mempunyai peranan penting untuk menentukan prognosis dan respons terapi. Pada nefritis lupus kelas I dan II hampir tidak terjadi penurunan fungsi ginjal yang bermakna sehingga secara nefrologis kelompok ini memiliki prognosis yang baik.

III dan IV hampir seluruhnya akan menimbulkan penurunan ftrngsi ginjal. Pada nefritis lupus Nefritis lupus kelas kelas

III

yang keterlibatan glomerulus <50% akan

memberikan prognosis yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok yang keterlibatan glomerulusny a>507o,

dimana prognosis kelompok ini rnenyerupai prognosis nefritis lupus kelas IV yaitu buruk. Nefritis lupus kelas V memiliki prognosis yang cukup baik sama dengan nefropati membranosa primer, sebagian kecil saja akan menimbulkan sindrom nefrotik yang berat. Nefropati membranous primer yang ringan biasanya mempunyai perjalanan penyakit lambat dan prognosis yang baik. Kelompok pasien NL dengan gambaran klinis glomerulopati asimtomatik dengan lesi histopatologis hanya mengenai mesangium atau proliferasi fokal derajat sedang, prognosisnya cukup mengkhawatirkan, bila tanpa pengobatan medikamentosa.

KEHAMILAN REFEBENSI Kehamilan dapat menimbulkan eksaserbasi nefritis lupus sebesar 50% kasus pada selama masa kehamilan terutama trimester ke-3 atau awal masa nifas (tetapi bervariasi l0-75Vo) tetapi sekarang eksaserbasi lebih rendah karena mungkin berhubungan dengan penggunaan yang lebih bebas dari kortikosteroid dan obat sitotoksik selama kehamilan. Kekambuhan/relaps/ kematian janin timbul lebih jarang ketika timbul selama periode remisi. Dari64 kehamilan 41 pasien: 3lVolahir cukup bulan, 30%bayt prematur dan33% aborfis (29Vo abortus spontan dan 4Vo abortus non alasan medis. Pasien dengan antikoagulan yang bersirkulasi lebih

sering kehilangan janinnya daripada ibu yang tidak mempunyai antikoagulan lupus yang bersirkulasi. Azotemia dari kadar kreatinin serum >1,5 mg/dl dan hipertensi selama kehamilan, keduanya dihubungkan dengan peningkatan kematian janin, di mana sindrom nefrotik sendiri tidak. Selama kehamilan 44Vo pasien berkembang menjadi hipertensi, fungsi ginjal menurun pada l97o dan sembuh lTVo pasca partum. Serum komplemen yang rendah berguna untuk membedakan relapsnya NL dari kehamilannya tidak berkomplikasi/ pra-eklampsi pada pasien dengan LES.

III HA, Boumpas DT, Vaughan EM. Balow JE. Predicting renal outcomes in severe lupus nephritis: contributions of clinical and histology data. Kidney Int. 19941.45:544-50. Austin HA, Klippel OH, Balow JE et al. Therapy of lupus nephritis: controlled trioal of prednisone and cytotatic drugs. N Engl J Med. 1986; 314:614-9. Boumpas D! Austin HA 3d, Vaughn EM, Klippel JH, Steinberg AD, Yarboro CH, Balow JE. Controlled trial of pulse methylprednisolone versus two regimens of pulse cyclophosphamide in severe lupus nephritis. Lancet 1 992:' 26:340(.8822):7 4l - 5 Cameron JS. Lupus nephritis. J Am Soc Nephrol. 1999:-10:413-24. Chan TM, Li FK, Tang CS, Wong RW' Fang GX, Ji YL, Lau CS, Austin

Wong AK, Tong MK, Chan KW, Lai KN. Efflcacy of mycophenolate mofetil .in patients with diffuse proliferative lupus nephritis Hong Kong-Guangzhou Nephrology Study Group. N Engl J Med. 2000;343(16):1156-62

AY Bakris GL, Black HR, Cushman WC, Green LA, Izzo JL Jr, Jones DW, Materson BJ, Oparil S, Wright JT Jr, Roccella EJ. The seventh report of the Joint National Committee on prevention, detection, evaluation, and treatment of high blood pressure: the JNC 7 report. JAMA 2003;21;289(19):2560-72. Cortes-Hemandes J, Ordi-Ros J, labrador M, et al. Antihisto and antiChobanian

double standed deoxyribonucleic acid antibodies

are

in SLE. Am J Med. 2004;116:165 70. Davieska, Wallport MJ. Immune complex handling in systemic lupus erythematosus. Immunology of renal disease pusey CD. associated with renal disease

991

NEFRITISLUPUS

Dodrech/Boston/London: kluwer Academjc Publ.; 1991. p. 59-13. Gabriel R. Postgradiute nephrology. 3'd edition. London/Boston/ Durban/Singapore/Toronto/Wellington: Buttterworths; 1985. p. I 00-4.

treatment for proliferative lupus nephritis. Rheumatology (Ox-

ford). 2000;39

(9) :.969 -1 4.

2003;30( I 1):2382-4 Glicklich D, Acharya A. Mycophenolate mofetil therapy for lupus nephritis refractory to intravenous cyclophosphamide. Am J Kidney Dis. 1998;32(2):3 18-22.

Ponticelli C. Current therapy in nephrology and hypertension. 3'd edition. BC Decker/Mosby-Year Book; 1992. p. 158-62. Remuzzi G, Ruggenenti P, Perico N. Chronic renal diseases: renoprotective benefits of renin-angiotensin system inhibition. Ann Intern Med. 2002; 16:136(8):604-15. Rose BD and Jacobs JB Nephrotic syndrome and glomerulonephritis. Pathophysiology of renal disease. In: Rose BD, editors. 2"d edition. New York: McGraw-Hill int Ed; 1987. p. 231-52. Rose BD, Rennke HG. Renal pathophysiology the essential. Baltimore/Philadelphia/Sidney/Tokyo: Williams and Wilkins; 1994.

Glassock RJ. Current therapy treatment recommendation for lupus nephritis. Controlled trial of prednisone and cytostatic drugs N

Rose BD, Schur PH, Falk RJ, Appel

Galindo-Rodriguez

G Bustamante R, Esquivel-Nava G. Salazar-Exaire

D, Vela-Ojeda J, Vadjllo-Buenfil M, Avina-Zubieta

JA.

Pentoxifylline in the treatment of refractory nephrotic syndrome secondary to lupus nephritis. J Rheumatol

Engl J Med. 1986:,314:614-9. Haylet JP, Kashgarian. Nephropathy of systemic lupus erythematosus. Disease of the kidney. In: Schrier RW, Gotschatk CW editors. 5th edition. Boston/Toronto/London: Litt Br & Co.; 1993. p 2ot9-31. Hebert LA, Dillon JJ, Middendorf DF, Lewis EJ, Peter JB. Relationship Between appearance of urinary red blood cell/white blood cell casts and the onset of renal relapse in systemic lupus erythe-

Am J Kidney Dis. 1995;26(3):432-8. Korbet SM, Lewis EJ, Schwartz MM, Reichlin M, Evans J, Rohde matosus.

RD. Factors predictive of outcome in severe lupus nephritis. Lupus Nephritis Collaborative Study Group Am J Kidney Dis. 2000;35 (5):904- 1 4.

Llach F. Papper's clinical nephrology. 3'd edition. Boston/Toronto/ London: Litt Br & Co,; 1993. p. 165-13. Nossent HC, Koldingsnes W. Long-term efficacy of azathioprine

p. 211-43. GB

Treatment of lupus nephri-

tis. UpToDate. 2005;13-1. CD-ROM. Schur PH. Epidemiology and pathogenesis of systemic lupus erythematosus. UpToDate. 2005;13-1. CD-ROM. Schur PH. Antibodies to DNA, Sm, and RNP Up to Date. 2005;13:1. Tam LS, Li EK, Leung CB, Wong KC, Lai FM, Wang A, Szeto CC, Lui SF. Long-term treatment of lupus nephritis with cyclosporin

A. QJM. 1998; 91(8):573-80. Wallase DJ, Hann BH, Klippel JH. Lupus nephritis.

In: Daniel

JW,

Bevra HH, editors. Dubois lupus erythematosis. 5'h edition.

William&Willkin; 1996. p. 1053-65. Weeining JJ, D'agati VD, Schwartz MM, et al. The classification of glomerulonephritis in systemic lupus erythematosus revisited. Kidney Int. 20O4;65:.521-30 Wilmer WA, Rovin BH, Hebert CJ, Rao SV Kumor K, Hebert LA. Management of glomerulus proteinuria: a commentary. J Am Soc Nephrol. 2003;14(12):3217 -32.

155 NEFROPATI IsA IDIOPATIK Enday Sukandar, Parlindungan Siregar

PENDAHULUAN Primer (ldiopatik) Nefropati lgA primer (idiopatik) atau lso/ated Berhubungan dengan HSP (Henoch-Schonlein

1 2

Glomerulonefritis (glomerulopati) dengan presentasi klinis hanya kelainan urinalisis rutin (hematuria dengan atau tanpa proteinuria) sering lolos dari pendekatan diagnosis. Dahulu penyakit ini dikenal sebagai hematuria esensial karena etiologinya tidak diketahui. J Berger di Paris 1968

purpura)

Sekunder

1 Penyakit hati alkoholik 2 lgA monoklonal garnopati 3 Mikosis fungoides 4 Lepra 5. Dermatitisherpetiformis 6 Hemosiderosis paru 7. Spondilosisankilosing 8 Shunt sistem portal

pertama kali melaporkan studi imunopatologi yaitu perubahan proliferasi sel mesangial disertai deposit IgA dan C,. Terdapat beberapa istilah untuk penyakit ini

seperti nefropati IgA, nefropati IgA mesangial/ glomerulonefritis, penyakit mesangial IgA, dan penyakit Berger (penemu). Penyakit ini banyak menarik perhatian para pakar karena tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia. Etiologi dan patogenesisnya masih belum jelas, dan manifestasi klinisnya bervariasi. Pasien mungkin

*woo KT dkk 1986

PATOG EN ESIS

datang dengan kelainan urinalisis tanpa keluhan,

N

EFROPATI IGA IDIOPATI K

Etiologi Nefropatik IgA tidak diketahui sehingga mekanisme patogenesis kerusakan glomerulus sulit dipahami. Hasil studi imunologi menemukan perubahan proliferasi sel mesangial disertai deposit IgA dan C.. Diduga penyakit ini termasuk penyakit kompleks imun.

hipertensi, sindrom nefritik akut, atau gagal ginjal kronik terminal.

ETIOLOGI DAN KLASIFIKASI

Faktor genetik:

1. Dq

Deposit IgA disertai komponen-komponen komplemen seperti C,, C,, atau Clq ternyata ditemukan pada beberapa penyakit lain seperti HSP (Henoch-Schonlein purpura), SLE, dan penyakit sirosis hati. Apakah HSP dimasukkan pada kategori Nefropati IgA primer atau idiopati masih kontroversial. Etiologi nefropati IgA idiopatik (primer atau isolated) tidak diketahui. Presentasi klinis hematuria mikroskopik/

2.m

3. Kromosom 6 dengan komplemen

G,,u

dan Qo

Faktor luar: a). Sirosis hati dan penyakit hati berat lainnya b). Granulomatosis Wegener

c). HIV d). Antigen virus, antara lain: rotavirus, parainfluenza, rinovirus, adenovirus, respiratot.v syncytial v i rus

atau makroskopik berulang sering mengikuti infeksi saluran napas bagian atas (faringitis atau tonsilitis).

e)

Antigen bakteri, antara lain: Stahlokokus aureus, E. coli,

pneumokokus, streptokok salivarius, streptokokus

Hematuria yang mengikuti episode faringitis dinamakan syndrome pharyngitic hematuria.

mutan

992

993

NEFROPATI IsA IDIOPATIK

Antigen makanan (dietary), antara lain: BSA (bovine

PERUBAHAN HISTOPATOLOGI GINJAL

serum albumin), protein kacang kedelai, gluten, alkohol. c) Vaksin, seperli: vaksin influenza/parotitis/polio

[---.-r-r-

".-."" I

Sintesis polimerik

Lesi minimal. Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya

lI.

masih terlihat normal. Lesi minor. Pelebaran mesangium disertai penambahan sel-sel mesangium (hiperselularitas). minimal ditemukan

III. Glomerulonefritis fokal dan segmental

Disfungsi sel T

-

IgA

+

IV

.,f Kli.ens IgA via Hepar

f S"-.

[.

3 sel per daerah (area) pada glomeruli tepi (perifer).

7.iI#,Y"111

f

Klasifikasi mikroskop cahaya Nefropati IgA berdasarkan rekomendasi KOMISI WHO ( I 982):

Faktorluar

|

Drsfungsi

Mikroskop Cahaya

+ polimerik IgA I

t

r.*otutri

rvaan fagositosis

PMN dan sel-sel mononuklear

+

V

Minimal 507o glomeruli memperlihatkantanda-tanda sklerosis yang bersifat fokal dan segmental Penambahan sel-selmesangium(hiperselularitas) Tidakjarang ditemukan nekrosis Sisa glomeruli memperlihatkan perubahan minor

Derajat ini dibagi menjadi beberapa tingkatan: 1. Proliferasi sel-sel mesangium difus 2. Dibagi dalam 2 kategori - Proliferasi sel mesangium disertai sklerosis - Proliferasi sel mesangiumdifus disertai sklerosis dan pembentukan kresen (bulan sabit) Glomerulonefritis sklerosis difus. Hampir 80% glomeruli mengalami perubahan histopatologi.

.,f Bersihan kompleks imun

t

Mikroskop Elektron

,1, CirculatinglgA dan imun kompleks IgA

Lokasi deposit. Deposit IgA dan komponen (C) dikenal sebagai electron-dense deposit terlihat pada daerah mesangium dan kapiler glomerulus (subendotelium,

+ Deposit IgA pada mesangium

tl-

Mediator

Kerusakan glomeruluS

Gambar 1. Paiogenesis nefropati lgA

Produksi lgA Beberapa faktor yang mempengaruhi mekanisme kenaikan

produksi IgA (lgA re,sponder) seperti: a). Gangguan aktivitas spesifik supresor-lgA sel T; b). Kenaikan aktivitas spesifik sel T helper-|gA dan sel T.; c). Hiperaktivitas spesifik-lgA sel B; d). Rangsangan stimulasi (stimuli) makrofag diikuti kenaikan produksi IgA. Kompleks imun (Immune Complexes- IC): a). Kompleks imun IgA polimerik;b). Kompleks imun IgA monomerik; c). Kompleks imun IgA multimerik; d).

subepitelium atau keduanya). Pada nefropati'IgA selalu ditemukan deposit masif di daerah mesangium. Jumlah deposit bervariasi setiap daerah dalam glomerulus dan antar glomeruli. Deposit juga ditemukan pada dinding kapiler glomerulus pada sebagian kecil pasien.

Perubahan mesangial. Beberapa perubahan yang harus diidentifikasi yaitu: a). Penambahan matriks; b). Hiperselularitas sel; c). Tanda-tanda lisis ( me sangiolisis ) yang disebabkan deposit imunoprotein dalam matriks; d). Serat kolagen sering ditemukan pada daerah matriks.

Perubahan dinding kapiler glomerulus. Perubahan kapiler

perifer pada nefropati IgA: a). Subendothelium fluffy, granules lamination; b). Lisis membran basal glomerulus; c). Aneurisma; d). Penebalan membran basal glomerulus; e). Dense deposits; f). Reduplikasi membran basal glomerulus; g). Nekosis lumen; h). PMN dalam lumen; i). Panikel

tubuloretikular.

Kompleks imun IgG.

Pada penelitian percobaan binatang maupun pada manusia ternyata IgA polimerik mempunyai peran

MANIFESTASI KLINIS NEFROPAT! IGA

terhadap patogenesis kerusakan glomerulus. IgA

Nefropati IgA tidak mempunyai gejala subyektif atau obyektif khusus (spesifik). Pada umumnya manifestasi klinis Nefropati IgA: 1). Hematuria makroskopik.

polimerik ini berhubungan dengan infeksi mukosa saluran napas bagian atas (faring dan tonsil).

994

GINJALHIPERTENSI

Hematuria makroskopik (gross) rekuren yang mengikuti infeksi saluran napas bagian atas. Hematuria berlangsung beberapa hari sampai 1 minggu; 2). Proteinuria dengan sindrom nefritik; 3). Hipertensi berat disertai penurunan faal ginjal (gagal ginjal kronik)

Histopatologi ginjal GBM patah-patah dan pembentukan bulan sabit (crescent) GBM bergerigi dan iregular

Manifestasi klinis 358 pasien Nefropati IgA terlihat pada Thbel2.

Hematuria dan proteinuria Hematuria (gross) Sindrom nefrotik Sindrom nefritik Gagal ginjal kronik Hipertensi Jumlah total Umur rata-rata (tahun)

Perubahan GBM dan podosit glomerular tuft kolaps dan sklerotik GMB mengalami perubahan difus dan sklerotik glomerulus, ekspansi difus podosit (lesi minimal). Deposit epimembranosa

231 (650/"1 52 (15"/") 30 (B%) 3 (1"/ol

21(5,5%)

Jarang

Gagal ginjal akut (sindrom nefritik akut)

6

Perubahan vaskular hipertensif dan sklerotik Sklerotik glomerulus Sklerotik glomerulus dan perubahan vaskular hipertensif Pembentukan jaringan ikat tubulo interstisial Atrofi tubulus dan glomerulus kresentik

Hipertensi

7

sistematik dan terarah.

Sindrom nefrotik

Nekrosis tubular akut dan tubulus tersumbat sel eritrosit. Glomerulus kresentik

Woo KT, dkk'1986

Sebagian besar pasien dengan kelainan urinalisis tanpa keluhan (asimtomatik); diperlukan pendekatan diagnosis

Hematuria makroskopik (9ross) Hematuria mikroskopik Proteinuria

5.

21 (5,50/0) 358 (100%)

26+8

Manifestasi klinis

Gagal ginjal kronik

Ginjal. Clarkosn AR, Woodroffe AJ, Aarons, 1993

KORELASI MAN!FESTASI KUNIS DAN PERU BAHAN HISTOPATOLOGI G!NJAL

Di klinik masalah ini sangat bermanfaat untuk tujuan intervensi farmakologis sebagai terapi simtomatis dan ramalan prognosis.

PENDEKATAN DIAGNOSIS NEFROPA TI IGA IDIOPATIK

Anamnesis (umur) Pemeriksaan fisis diagnostik (Hipertensi)

Urinalisis, Esbach/Biurel Mikrobiologi urin Serum BUN & kreatinin

Pendekatan diagnosis Nefropati IgA Idiopatik tergantung

manifestasi klinis. Kelainan urinalisis rutin (hematuria dengan atau tanpa proteinuria) yang merupakan salah satu manifestasi klinis, sering lolos dari pengamatan. Algoritma pendekatan diagnosis hematuria dengan atau tanpa proteinuria (Gambar 2).

Anamnesis

. . .

Identifikasi umur, biasanya anak/dewasa muda Keluhan infeksi saluran napas atas (faringitis atau tonsilitis) sebelum episode hematuria (gross atal mikroskopik), periode laten kurang dari 7 hari. Episode hematuriaberulang (rekuren) dan hilang setelah beberapa hari (1 minggu)

Pemeriksaan Fisis Diagnostik

. '

Keadaan orofaring

Hipertensi

Biopsi Ginjal Pemeriksaan imunodiagnostik I

t TERAPI SIMTOMATIK

Gambar 2. Algoritme pendekatan diagnosis nefropati lgA (HSP = Henoch-schonlein Purpura, SLE = systemlc lupus erytomatosus, RP Gn = resoMng poslinfectious glomerulonephritis)

995

NEFROPATI I8A IDIOPATIK

Uji Saring Laboratorium

. . . .

2. Manipulasi diet dan asupan antigen: Sodium

Pemeriksaan sedimen urin untuk identifikasi-silinder

eritrosit Albuminuria semikuantitatif atau kuantitatif

3. 4.

Faal ginjalureumdankreatinin

5.

Mikrobiologi urin terutama CFU/mL urin

chromoglycate Mengurangi pembentukan IgA: Fenitoin Immune - complex-mediated renal inj ury: Kortiko steroid, siklosporin Obat antiproteinuria: Proteinuria diduga sebagai marka

untuk progresivitas kerusakan ginjal (glomerulosklerosis) - Pembatasan asupan protein hewani

Uji Saring Pencitraan (imaging)

.

Tujuan: Untuk mencari etiologi hematuria:

. . . .

-

Ginjalpolikistik TBC ginjal dan saluran kemih Khusus kasus urologi Ujisaringpencitraan: Ekskresi urogram dan ultrasonografi (USG)

Diagnosis Banding Nefropati lgA 7. Henoch -Schonlein purpura (HSP) 2. Systemic lupus erythemarosus (RPGN)

Penghambat ACE dan Angiotensin Receptor Blocker.

6. Hipertensi: a). Penghambat

ACE; b). Angiotensin

'-Receptor Blocker; c). Antagonis kalsium 7. Perubahan (kelainan) hemoreologi: a). Antikoagulan; b). Obat antiplatelet (dipiridamol); c). Omega 3.

lntervensi Terhadap Perjalanan Penyakit (Komplikasi) 1. Sindromnefritikakut(SNA)

Diagnosis Nefropati lgA 1. Identifikasi faktor predisposisi. Nefropati IgA lebih

2. 3.

Sindrom nefrotik Sindrom gagal ginjal kronik / terminal

sering pada pasien dengan BW,, dan DR4 MHC

2.

Pemeriksaanimunodiagnostik

-

Glomeruli memperlihatkan proliferasi sel-sel

-

mesangial difus dan mungkin disertai gambaran proliferasi fokal dan segmental. Imunofluoresensimemperlihatkandepositgranular IgA dan C3 pada semua glomeruli. Pada beberapa glomeruli pasien mungkin mengandung deposit IgG

-

dan IgM. IgA dan C.dapat ditemukan pada dinding kapiler di daerah perbatasan dermal dan epidermal (dermal-

-

epidermal junction). Electron-dense deposlt sering ditemukan pada

-

subendotelium dan matriks mesangial. Pada sebagian besar pasien ditemukan CICx yang

mengandung

IgA. Konsentrasi

komponen-

PROGNOSIS Prognosis Nefropati IgA tergantung dari manifestasi klinis.

1.

2.

Hematuriamakroskopik ( gross) asimtomatik

-

faal ginjal normal, dan hipertensi mudah dikendalikan - Pada dewasa mempunyai prognosis lelih buruk, hampir 5 -107o terjadi gagal ginjal kronik. Nefrotik IgA idiopatik mempunyai prognosis buruk bila manifestasi klinis berupa sindrom nefrotik disertai Pada anak biasanya mempunyai prognosis baik,

hipertensi.

3.

Nefropati IgA dengan manifestasi klinis gagal ginjal kronik/terminal harus menjalani program dialisis dan transplantasi ginjal. Rekurensi Nefropati IgA pada ginjal cangkok (graft kidney) setelah kira-kira 10 tahun.

komponen komplemen biasanya normal.

TERAPI NEFROPATI IGA IDIOPATIK

REFERENSI Churg J. In: Collaboration with Sobin LH and pathologist and

Terapi semata-mata bersifat simtomatik tergantung manifestasi klinis, tanpa keluhan atau keluhan ringan atau keadaan darurat medis seperti sindrom nefritik akut (SNA). Prinsip terapi simtomatik yaitu intervensi terhadap patogenesis dan patofisiologi, perjalanan penyakit, atau komplikasi.

lntervensi Terhadap Patogenesis dan Patof

1.

isiologi

Mengurangi kontak dengan antigen: a). Antibiotik bila berhubungan dengan infeksi bakteri; b). Tonsilektomi

nephrologist in 14 countries. Renal Disease: Classification and Atlas of Glomerular Diseases. Tokyo: Igaku -Shoin; 1982.

Clarkson AR. IgA Nephropathy: History, classification and geographic distribution. In: Clarkson AR (ed). IgA. Nephropathy, Martinus Nijhoff Publ; 1987.1-8. Clarkson AR, Woodroffe AJ, Aarons. IgA nephropathy and HenochSchonlein purpura. In: Schrier RW & Gottshalk CW (eds).46ed. Djseases of the Kidney. Lit Br. & Co; 1993. p. 1839-64. Engido J. The role of polymeric IgA in tbe pathogenesis of IgA nephropathy. In: Clarkson AR (ed). IgA Nephropathy. Martinus Nijhoff Publ; 1987. p. 157-75.' Gabriel R (ed) IgA nephropathy. In: Postgraduate Nephrology.3'd ed. Butterworth; 1985. p.92-4

996

GINJAL HIPERTENSI

Maschio G, Cagnoli L, Claroni F et al. ACE inhibition reduces proteinuria in normotensive patients with IgA nephropathy: A multicentre, randomized, placebo controlled study. Nephrol Dial Transplan

t

199 4;9 :265

-9.

Rekola S, Bergstrand A, Bucht H. Development of hypertension in

IgA nephropathy as a marker of poor prognosis.

Am

J.NephroI 1 990;1 0:290-5. Sinniah R. IgA Nephropathy. In: Sulaeman AB & Morad Z (eds). Proceedings of the VIm Asian Coil in Nephrology. Exp. Med Kuala Lumpur; 1985. p 61-8. Sinniah R. IgA mesangial nephropathy: Berger's disease. (editorial review). Am J Nephrol1985;5:73-83.

Sinniah R. The pathology of IgA nephropathy. In : Clarkson AR (ed). IgA Nephropathy. Martinus Nijhoff Publ; 1986. p. 66-96. Tomino Y Pathogenesis (Antigenic heterogenety). In: Woo KT, Wu AYT, Lim CH (eds). Proceedings of the 3rd Asian-Pacific Congress of Nephroiogy. Singapore; 1986. p. 114-8. Woo KT, Edmonson RPS, Wu AYT et al. Clinical and prognostic indices of IgA nephritis. In: Woo KT, Wu AYT, Lim CH (eds). Proceedings of the 3rd Asian-Pacific Congress of Nephrology. Singapore; 1986 p. 119-29. van der Hem GK, Beukhof JR. IgA nephropathy In- van der Hem Gk (ed), Nephrology, Excerta Medica; 1982. p. 393-404.

156 NEFRITIS HEREDITER JodiSidharta Loekman

PENDAHULUAN

normal pada MB G, kapsul

B

owman dan juga pada membran

basalis distal collecting tubule, serta pada membranNefritis herediter biasa disebut sebagai sindrom Alporl

membran di koklea dan mata, dengan demikian kerusakan yang terjadi pada organ tersebut mempunyai persamaan proses.

merupakan penyakit glomerulus yang progresif terutama

pada laki-laki dan sering disertai gangguan saraf pendengaran dan penglihatan. Sindrom ini dipublikasikan dalam British Medical Journal tahun l92l olehCecil Alporl. Prevalensi penyakit ini diperkirakan 1 dari 50.000 kelahiran hidup. Sejak tahun 1980 telah dapat dibuktikan bahwa kelainan sindrom Alport terletak pada membran basalis glomerulus (MBG) akibat mutasi genetik pada collagen proteinfamily tipe IV. Secara genetik merupakan penyakit

PERUBAHAN HISTOLOGIS Perubahan awal berupa penebalan MBG lalu terjadi longitudinal splitting dan memberikan gambaran berlapis

(multi-laminated) akibat proses injury afid repair,

heterogenik dengan x-linked inheritance, baik

kemudian berlanjut dengan perubahan glomerulus melalui proses glomerulosklerosis.

autosomal recessive maupun autosomal dominant v ar i ant s. P

ada 807o pasien, peny akit

ini diturunkan melalui

x-linked trait berasal dar-i mutasi gen COL4A5 pada kromosom x sehingga dapat dijumpai keadaan yang

MAN!FESTASI KLINIS

spesifik yaitu tidak akan terjadi penurunan dari seorang bapak ke anak laki-laki karena sifat genetik laki-laki hanya

Biasanya manifestasi klinis berupa hematuri asimtomatik, jarang terjadi gross hematuri, teladi pada usia muda,

melalui kromosom y, tetapi dapat memberikan kromosom x abnormal kepada anak perempuannya. Perempuan dengan x-linked Sindrom Alport merupakan karier heterogenik dari

mikrohematuri persisten sering terjadi terutama pada anak laki-laki. Pada tahap awal biasanya kreatinin serum dan tekanan darah tidak mengalami perubahan, tetapi dengan berjalannya waktu fungsi ginjal mengalami penurunan secara progresif yang ditandai proteinuria yang semakin persisten dan menjadi gagal ginjal tahap akhir pada usia 16 sampai 35 tahun. Variasi gambaran klinis ditentukan oleh besarnya mutasi genetik. Gangguan ekstrarenal yang paling sering didapati adalah hilangnya pendengaran, dimulai dengan hilangnya kemampuan mendengarkan nada-nada tinggi dan akhirnya hilang kemampuan mendengar percakapan normal. Pada mata dijumpai gangguan berupa kurangnya kemampuan lengkung lensa mata (anterior lenticonus), bintik putih atau kuning di daerah perimakular retina, kelainan kornea berupa distrofi polimorfis posterior dan erosi kornea, dan

penyakit mutasi genetik ini dan dapat menurunkannya

laki-laki maupun perempuan. Pada autosomal recessive sindrom Alport, mutasi berasal dari gen COLzlA3 ,COL4A4 ataupun COL4A6. kepada anak

PATOGENESIS MBG awalnya normal lalu mengalami perubahan menjadi bilaminer lalu multilaminer dan akhirnya mendesak lengkung kapiler glomerulus, glomerulus menjadi sklerotik,

tubulus mengalami atrofi, interstisium mengalami fibrosis. Dengan pemeriksaan antibodi monoklonal dapat diketahui bahwa COL4A3, 4 dan 5 terdistribusi secara

997

998

GINJAL HIPERTENSI

berakhir dengan mundurnya ketajaman penglihatan.

Megatrombositopenia dapat ditemukan pada tipe

pelatihan keterampilan berkomunikasi dengan isyarat,

gangguan pada lensa mata dapat diatasi dengan

autosomal dominant.

penggantian lensa mata atau penggantian kornea. Dialisis dilakukan pada penyakit ginjal kronik tahap akhir.

DIAGNOSIS

Transplantasi Ginjal

Adanya riwayat penyakit ginjal disertai gangguan pendengaran pada anggota keluarga merupakan tuntunan

untuk mencurigai sindrom Alporl. Hal ini dihubungkan dengan adanya hematuri glomerulus persisten. Pada biopsi

ginjal ditemukan adanya kelainan MBG. Perkembangan klinis menuju pada progresivitas penyakit ginjal kronis serta bila mungkin tes genetika adanya mutasi gen

COI/A5, COI/

A3, COL4 A4,

DIAGNOSIS BANDING

1. Penyakit Fabry (Angiokeratoma corporis diffusum

2. 3.

universale) Sindrom Nail-patella (O steo - ony chody splasia) Sindromnefrotikkongenital. Kelainan ini tanpa disertai gangguan pendengaran.

TERAPI

ini belum ada terapi spesifik, terapi lebih banyak ditujukan pada pengendalian keadaan sekunder akibat gangguan fungsi ginjal seperti pengendalian hipertensi

Dilakukan pada pasien yang sudah pada tahap akhir penyakit ginjal kronik. Dilaporkan bahwa3 sampai 4Vc dai pasien transplantasi ginjal tersebut mengalami anti-GBM antibody disease dan umumnya terjadi pada tahun pertama pasca transplantasi, terjadi glomerulonefritis kresentik dan berakhir dengan graft loss. Bila terjadi hal tersebut maka plasmaferesis dan pemberian Siklofosfamid merupakan

pilihan pengobatan. Berulangnya sindrom Alport pasca transplantasi tidak pernah dijumpai sampai saat ini.

PENCEGAHAN Pencegahan dapat dilakukan dengan menjalani konsultasi pra-nikah pada seseorang dengan riwayat penyakit ginjal

dan ketulian dalam keluarganya. Keadaan tersebut potensial mempunyai risiko terhadap sindrom Alport. Konsultasi dilakukan oleh ahli genetika.

REFERENSI

Saat

dengan menggunakan angiotensin-conv erting enzyme

inhibitors. Obat ini dapat menurunkan tekanan intraglomerulus dan terbukti dapat menurunkan laju progresivitas penurunan fungsi ginjal. Untuk pencegahan terhadap meluasnya ekspansi mesangial dapat diberikan Siklosporin A terutama pada pasien dengan proteinuria berat, sedangkan untuk pengendalian fosfat digunakan

pengikat fosfat, serta pengendalian dislipidemia menggunakan statin. Gangguan fungsi pendengaran biasanya permanen sehingga pasien dapat diberikan

Adler, Cohen, Glassock. Secondary glomerulus disease The kidney Philadelphia: WB Saunders; 1996 p 1555-61. Chen D, Jefferson B, Harvey SJ. Zheng K Cyclosporine A slows the progressive renal disease of alport syndrome (X-linked heredi-

tary nephritis): result from a canine model J Am Nephrol.2003;

1

4:690-

Soc

8.

Chugh KS, Agarwal VSA, Jha V. Hereditary nephritis (Alport's syndrome)-clinical profile and inheritance in 28 kindreds Ruminska EZ, Szymczak WS, Moszynski B. Chronic hereditary nephritis with hearing loss (Alport's syndrome). Otolaryngol PoI.1989;43:401-8. Kahstan CE Hereditary nephritis (Alport syndrome).

Australlan Kidney Foundation. Hereditary nephritis (Alport syndrome). Available from: http://www.kidney.org aul.

t57 SINDROM NEFROTIK Wiguno Prodjosudjadi

PENDAHULUAN Glomerulonefritis primer: GN lesi minimal (GNLM) Glomerulosklerosis fokal (GSF) GN membranosa (GNMN) GN membranoproliferatif (GNMP) GN proliferatif lain Glomerulonefritis sekunder akibat: lnfeksi HlV, hepatitis virus B dan C Sifilis, malaria, skistosoma Tuberkulosis, lepra Keganasan Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma Hodgkin, r mieloma multipel. dan karsinoma

Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinik glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif >3,5gltrari, hipoalbuminemia <3,5 g/dl, hiperkolesterolemia, dan lipiduria. Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN berat yang

-

-

disertai kadar albumin serum rendah ekskresi protein dalam

urin juga berkurang. Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN.

ginjal

Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serla hormon tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnyapada SN fungsi ginjal notmal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit

Penyakit jaringan penghubung Lupus eritematosus sistemik, artritis reumatoid, MCTD (mixed connectlve fissue dlsease) Efek obat dan toksin Obat antiinflamasi non-steroid, preparat emas, penisilinamin, probenesid, air raksa, kaptopril, heroin Lain-lain Diabetes melitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf kronik, refluks vesikoureter, atau sengatan lebah

ginjal tahap akhir (PGTA). Pada beberapa episode SN dapat

:

sembuh sendiri dan menunjukkan respons yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lain dapat berkembang menj adi kronik.

1990-1999 dan representatif untuk dilaporkan, GNLM didapatkan pad a 44,7 7o, GNMsP (GN mesangioproliferatif pada l4,2Vo, GSFS pada ll,67o, GNMP pada 8,0Vo dan

ETIOLOGI

GNMNpada6,57o. Sindom nefrotik dapat disebabkan oleh GN primer dan sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue disease), obat atau toksin,

Penyebab sekunder akibat infeksi yang sering dijumpai misalnya pada GN pasca infeksi streptokokus atau infeksi virus hepatitis B, akibat obat misalnya obat antiinflamasi

dan akibat penyakit sistemik seperti tercantum pada Thbel 1.

non-steroid atau preparat emas organik, dan akibat penyakit sistemik misalnya pada lupus eritematosus

Glomerulonefritis primer atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam kelompok GN

sistemik dan diabetes melitus.

primer, GN lesi minimal (GNLM), glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS), GN membranosa (GNMN), dan GN

membranoproliferatif (GNMP) merupakan kelainan

EVALUASI KLINIK

histopatologik yang sering ditemukan. Dari 387 biopsi ginjal pasien SN dewasa yang dikumpulkan di Jakarta antara

Berdasarkan pemikiran bahwa penyebab SN sangat luas

999

1000

maka anamnesis dan pemeriksaan fisis serla pemeriksaan

GINJAL HIPERTENSI

protein, sintesis albumin hati dan kehilangan protein

urin, termasuk pemeriksaan sedimen, perlu dilakukan

melalui urin. Pada SN hipoalbuminemia disebabkan oleh

dengan cermat. Pemeriksaan kadar albumin dalam serum,

proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin. Peningkatan sintesis albumin hati

kolesterol, dan trigliserid juga membantu penilaian terhadap SN. Anamnesis penggunaan obat, kemungkinan berbagai infeksi, dan riwayat penyakit sistemik lain perlu

diperhatikan. Pemeriksaan serologik dan biopsi ginjal sering diperlukan untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan penyebab GN sekunder. Pemeriksaan serologik sering tidak banyak memberikan informasi dan biayanya mahal. Karena itu sebaiknya pemeriksaan serologik hanya dilakukan berdasarkan

tidak berhasil menghalangi timbulnya hipoalbuminemia.

Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat dan katabolisme albumin oleh tubulus proksimal.

pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi

indikasi yang kuat.

EDEMA

PROTEINUBIA Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein akibat kerusakan glomerulus. Dalam

keadaan normal membran basal glomerulus (MBG) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein. Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier).Pada SN kedua

mekanisme penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu

konfigurasi molekul protein juga menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG. Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non-selektif berdasarkan ukuran molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan non-

selektif apabila protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti imunoglobulin. Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG. Pada SN yang disebabkan oleh GNLM ditemukan proteinuria selektif. Pemeriksaan mikroskop elektron

memperlihatkan fusi foot processzs sel epitel viseral glomerulus dan terlepasnya sel dari sruktur MBG. Berkurangnya kandungan heparan sulfat proteoglikan pada GNLM menyebabkan muatan negatif MBG menurun dan albumin dapat lolos ke dalam unn. Pada GSFS, peningkatan permeabilitas MBG disebabkan oleh suatu faktor yang ikut dalam sirkulasi. Faktor tersebut menyebabkan sel epitel

viseral glomerulus terlepas dari MBG sehingga permeabilitasnya meningkat. Pada GNMN kerusakan struktur MBG terjadi akibat endapan komplek imun di s ub-epitel. Komplek C5b-9 yang terbentuk pada GNMN akan meningkatkan permeabilitas MBG walaupun mekanisme yang pasti belum diketahui.

HIPOALBUMINEMIA Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan

Edema pada SN dapat diterangkan dengan teori underfill

dal overfill. Teori underfill

menjelaskan bahwa

hipoalbuminemia merupakan faktor kunci terjadinya edema

pada SN. Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma sehingga cairan bergeser dari intravaskular ke jaringan interstisium dan terjadi edema.

Akibat penurunan tekanan onkotik plasma

dan

bergesemya cairan plasma terjadi hipovolemia, dan ginjal

melakukan kompensasi dengan meningkatkan retensi

natrium dan air. Mekanisme kompensasi ini akan memperbaiki volume intravaskular tetapi juga akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema semakin berlanjut.

Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium adalah defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah retensi natrium dan edema. Kedua mekanisme tersebut ditemukan secara bersama pada pasien SN. Faktor seperti asupan

natrium, efek diuretik atau terapi steroid, derajat gangguan fungsi ginjal, jenis lesi glomerulus, dan keterkaitan dengan penyakit jantung atau hati akan menentukan mekanisme mana yang lebih berperan. Mekanisme terjadinya edema pada SN dapat dilihat pada

Gambar

1.

KOMPLIKASI PADA SN

Keseimbangan Nitrogen Proteinuria masif pada SN akan menyebabkan keseimbangan nitrogen menjadi negatif. Penurunan massa otot sering ditemukan tetapi gejala ini tertutup oleh gejala edema anasarka dan baru tampak setelah edema menghilang. Kehilangan massa otot sebesar 102OVo darr massa tubuh (lean body mass) tidak jarang diiumpai pada SN.

1001

SINDROMNEFROTIK

[,6;,"-]

Gambar 1. Mekanisme edema pada sindrom nefrotik

Hiperlipidemia dan Lipiduria

Menurunnya aktivitas enzirn LPL (lipoprotein lipasc)

Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering menyertai

diduga merupakan penyebab berkurangnya katabolisme

SN. Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan

VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein hati terjadi akibat tekanan onkotik plasma atau viskositas yang

trigliserid bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan meningkatnya

LDL (low density lipoprotein), lipoprotein utama pengangkut kolesterol. Kadar trigliserid yang tinggi dikaitkan dengan peningkatan VLDL (very low density lipoprotein). Selain itu ditemukan pula peningkatan IDL (intermediate-den,sity lipoprotein) dan lipoprotein (Lp)a, sedangkan HDL (high densitr- lipoprotein) cenderung normal atau rendah. Meka.nisnrc hiperlipidemia pada SN dihubungkan dengaa peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati, dan llenurunnya r
menurun. Penurunan kadar HDL pada SN diduga akibat berk uran gny a aktivitas en zi m LCAT (.le c ithin c ho I e st e ro I acyltransJ'era.se) yang berfun gsi katalisasi pembentukan

HDL. Enzim ini juga berperan mengangkut kolesterol dari sirkulasi menuju hati untuk katabolisme. Penurunan

aktifitas ensim tersebut diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN. Lipiduria sering diternukan pada SN dan ditandai dengan akumulasi lipid pada debris sel dan car'l seperti badan lemak berbentuk oval(ovalfat boclies) danfat1r cdsl. Lipiduria lebih dikaitkan dengan proteinuria daripada dengan hiperlipidemia,

spesifik terhadap sintesis protein oleh hati. Karena sintesis

protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia disimpulkan bahwa hiperlipidemia tidak langsung diakibatkan oleh hipoalbuminemia. Hiperlipidemia dapat ditemukan pada SN dengan kadar albumin mendekati

normal dan sebaliknya pada pasien

dengan

hipoalbuminemia kadar kolesterol dapat normal. Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa gangguan katabolisme. Peningkatan

Hiperkoagulasi Komplikasi tromboemboli sering ditemukan pada SN akibat

peningkatan koagulasi intravaskular. Pada SN akibat GNMN kecenderungan terjadinya trombosis vena renalis cukup tinggi sedangkan SN pada GNLM dan GNMP

sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan IDL menjadi

frekuensinya keci1. Emboli paru dan trombosis vena dalam (cleep vein thrombosis) sering dijumpai pada SN. Kelai nan tersebut disebabkan oleh perubahan tingkat dan aktivitas

LDL menyebabkan kadar VLDL tinggi pada

berbagai faktor koagulasi intrinsik dan ekstrinsik.

SN.

1002

Mekanisme hiperkoagulasi pada SN cukup komplek meliputi peningkatan fibrinogen, hiperagregasi trombosit dan penurunan fibrinolisis. Gangguan koagulasi yang terjadi disebabkan peningkatan sintesis protein oleh hati dan kehilangan protein melalui urin.

Metabolisme Kalsium dan Tulang Vitamin D merupakan unsur penting dalam metabolisme kalsium dan tulang pada manusia. Vitamin D yang terikat protein akan diekskresikan melalui urin sehingga menyebabkan penurunan kadar plasma. Kadar 25(OH)D dan 1,25 (OH)rD plasma juga ikut menurun sedangkan kadar vitamin D bebas tidak mengalami gangguan. Karena fungsi ginjal pada SN umumnya normal maka osteomalasi

atau hiperparatiroidisme yang tak terkontrol jarang dijumpai. Pada SN juga terjadi kehilangan hormon tiroid yang terikat protein (thyroid-binding proteln) melalui urin dan penurunan kadar tiroksin plasma. Tiroksin yang bebas

dan hormon yang menstimulasi tiroksin (thyroxinestimulating hormone) tetap normal sehingga secara klinis tidak menimbulkan gangguan.

lnfeksi Sebelum era antibiotik, infeksi sering merupakan penyebab

kematian pada SN terutama oleh organisme berkapsul (encapsulated organisms). Infeksi pada SN terjadi akibat defek imunitas humoral, selular, dan gangguan sistem komplemen. Penurunan IgG, IgA, dan gamma globulin sering ditemukan pada pasien SN oleh karena sintesis yang menurun atau katabolisme yang meningkat dan bertambah banyaknya yang terbuang melalui urin. Jumlah sel T dalam sirkulasi berkurang yang menggambarkan gangguan imunitas selular. Hal ini dikaitkan dengan keluarnya transferin dan zinc yang dibutuhkan oleh sel T agar dapat berfungsi dengan normal.

Gangguan Fungsi Ginjal Pasien SN mempunyai potensi untuk mengalami gagal ginjal akut melalui berbagai mekanisme. Penurunan vol-

ume plasma dan atau sepsis sering menyebabkan timbulnya nekrosis tubular akut. Mekanisme lain yang diperkirakan menjadi penyebab gagal ginjal akut adalah terjadinya edema intrarenal yang menyebabkan kompresi pada tubulus ginjal. Sindrom nefrotik dapat progresif dan berkembang menj adi PGTA. Proteinuria merupakan faktor risiko penentu

terhadap progresivitas SN. Progresivitas kerusakan glomerulus, perkembangan glomerulosklerosis, dan kerusakan tubulointerstisium dikaitkan dengan proteinuria.

GINJALHIPERTENSI

Komplikasi Lain pada SN Malnutrisi kalori protein dapat terjadi pada SN dewasa ferutama apabila disertai proteinuria masif, asupan oral yang kurang, dan proses katabolisme yang tinggi. Kemungkinan efek toksik obat yang terikat protein akan meningkat karena hipoalbuminemia menyebabkan kadar obat bebas dalam plasma lebih tinggi. Hipertensi tidak jarang ditemukan sebagai komplikasi SN terutama dikaitkan dengan retensi natrium dan air.

PENGOBATAN Pengobatan SN terdiri dari pengobatan spesifik yang ditujukan terhadap penyakit dasar dan pengobatan nonspesifik untuk mengurangi proteinuria, mengontrol edema, dan mengobati komplikasi. Diuretik disertai diet rendah garam dan tirah baring dapat membantu mengontrol edema. Furosemid oral dapat diberikan dan bila resisten dapat

dikombinasi dengan tiazid, metalazon, dan atau asetazolamid. Kontrol proteinuria dapat memperbaiki hipoalbuminemia dan mengurangi risiko komplikasi yang ditimbulkan. Pembatasan asupan protein 0,8- 1,0 g/kg berat

badan/hari dapat mengurangi proteinuria. Obat penghambat enzim konversi angiotensin (angiotensin converting enzyme inhibitors) dan antagonis reseptor angiotensin II (angiotensin II receptor antaSonists) dapat menurunkan tekanan darah dan kombinasi keduanya mempunyai efek aditif dalam menurunkan proteinuria.

Risiko tromboemboli pada SN meningkat d4n perlu mendapat penanganan. Walaupun pemberian antikoagulan

jangka panjang masih kontroversial tetapi pada satu studi terbukti memberikan keuntungan. Dislipidemia pada SN belum secara meyakinkan meningkatkan risiko penyakit

kardiovaskular, tetapi bukti

klinik dalam

populasi

menyokong pendapat perlunya mengontrol keadaan ini. Obat penurun lemak golongan statin seperti simvastatin, pravastatin, dan lovastatin dapat menurunkan kolesterol LDL, trigliserid, dan meningkatkan kolesterol HDL.

REFERENSI Agarwal A, Nath KA. Effect proteinuria on interstitium. Effect of products of nitrogen metabolism. Am J Nephrol. 1993;13:37684.

Anderson S, Kennefick TM, Brenner BM. Renal and systemic. Manifestation of glomerulus disease. In: Brenner BM, Rector FC, editors. The kidney. 1996. p.1981.

5th

edition. Philadelphia: WB Saunders;

Appel G. Lipid abnormalities in renal disease. Kidney Int.

Hiperlipidemia juga dihubungkan dengan mekanisme terj adinya glomerulosklerosis dan fibrosis tubulointerstisium pada SN, walaupun peran terhadap

1991;39:169-83. Brenner BM, Hostetter TH, Humes HD. Molecular basis of proteinuria of glomerulus origin. N Engl J Med. 19'18;298:826-33. Brenner BM, Meyer TW Hosteter TH. Dietary protein intake and

progresivitas penyakitnya belum diketahui dengan pasti.

the progressive nature of kidney disease: the role of

1003

SINDROMNEFROTIK

hemodynamically glomerulus injury in the pathogenesis of glomerulus sclerosis in aging, renal ablation and inrrinsic renal disease

N Engl J Med 1982;307:652-9 Donckerwolcke RA, Walte JGV Pathogenesis of edem formation in the nephrotic syndrome Kidney lnt. 1997;51(suppl 58):S72S4,

Feehally J, Johnson RJ. Introduction to glomerulus disease: clinical presentations In: Johnson RJ, Feehally J, editors. Conphrensive . clinical nephrology. 2'd edition. Edinburg: Mosby; 2003. p. 255.

Glassock RJ, Brenner BM. The major glomerulopathies. In: Isselbacher KJ, Braunwald E, Wilson JD, Martin JB, Fauci AS,

Kasper DL, editors. Harrison's principles of internal medicine. l3d edition. New York: McGraw-Hi1l; 1,994. p. 1295. Haas M, Meehan SM, Kanison TG, Spargo BH. Changing etiologies of unexplained adult nephritic syndrome: a comparison of renal blopsy findings from 1916-1979 and 1995-1991 Am J Kidney Dis. 1997;30: 621-31. Himawan S. Pathologicai features of glomerulonephritis in Jakarta.

Supplement of Abstract and Proceeding of 13'h Asian Colloquium in Nephrology. Bali, November 23-25,2000. Howard AD, Moore J, Gouge SF. Routine serologic tests in differential

diagnosis of adult nephritic syndrome. Am J Kidney Dis. I 990;1

5:24-30

Hricik DE, Chung-Park M, Sedor JR Glomerulonephritis. N Engl

Med. 1998r339: 888-99. Humprey MH. Mechanisms and management

of

J

nephrotic

syndrome. Kidney Int. 1994;45:266-81. Jennette JC, Falk RJ Adult minimal change glomerulopathy with acute renal failure. Am J Kidney Dis. 1990;16:432-7. Jensen H, Rossing N, Anderson SB Albumin metabolism in the nephritic syndrome in adults. Clin Sci 1967l-33:445-51. Kanuar YS. Liu ZZ. Kashihara N. Wallner El Current statns of the structural and functional basis of glomerulus flltration and proteinuria. Sem Nephrol. 1991;1 1:390-413. Kaysen G, Gambertoglio J, Felts J, Hutchison F Albumin synthesis, albuminuria and hyperlipidemia in nephritic syndrome. Kidney Int. l 987r3 l :1 368-76. Koenig KG, Bolton WK. Clinical evaluation and management of hematuri and proteinuria In: Neilson EG, Couser WG, editors.

Immunologic renal diseases l'' edition. Philladelphia: Lippincott-Raven. 1997 p. 805. Uhn K, Haas-Wohrle A, Lutz-Vorderbrugge A, Felten H Treatment of severe nephrotic syndrome. Kidney Int. 1998;53:(sttppl 64):S50-S3.

Lowenstein J, Schacht RG Baldwin DS Renal failure in minimal nephrotic syndrome. Am J Med. 198l;,'70:22'7-30. Moorehead JF, Chan EK, El-Nahas M, Varghese Z. Hypothesis lipid nephrotoxicity in chronic progressive glomerulus and

tubulointerstitial disease. Lancet. 1982:2: 1 309- 1 1 . Nakao N, Yoshimura A, Morita H. Combination treatment of angiotensin Il receptor blocker with angiotensin converting enzyme inhibitors in non-diabetic renal disease [COOPERATE]: a randomized controlled trial. Lancet 2003;361:117-34 Oberbauer R, Haas M, Regele H, Barnas U, Schmidt A, Mayer G. Glomerulus permseJectivity in proteinuric patients after kidney transplantation. J Clin Invest. 1995;96:22-9.

Sarasin FP, Schifferli JA Prophylactic oral anticoagulant in nephritic patient with idiopathic membranous nephropathy. Kidney Int 1994;45:578-85 Savin VJ, Sharma R, Sharma M. Circulating factor associated with

in recunent focal segmental glomerulosclerosis N Engl J Med. 1996;334:87883. Schena FP, Gesualdo L, Grandaliano G, Montinarno V Progression of renal damage in humzrn glomerulonephritides: Is there sleight of hand in winning the game? Kidney Int. 1997;52:1439-5'7. Smith JD, Hayslett JP. Reversible renal failure in the nephritic syndrome. Am J Kidney Dis. 1992;19:201-13. Vernler RL, Klein DJ, Sisson SP, Mahan JD, Oegema TR, Brown DM. Heparan sulfate-rich anionic site in the human glomenrlus basement membrane Decreased concentration in congenital nephrotic syndrome. N Engl J Med. 1983;17:1001-9. Wanner C, Rader D, Bartens W. Elevated plasma lipoprotein (a) in patients with the nephrotic syndrome. Ann, Intern Med. increased glomerulus permeability to albumin

1993;l19:263-9. Warwick GL, Packard CJ. Pathogenesis of lipid abnormalities in

pat:ients

with nephrotic syndrome/proteinuria: clinical

implication. Miner Electrolyte Metab. 1993:.19:115-26

158 VASKULITIS RENAL Aida Lydia

PENDAHULUAN Vaskulitis ditandai oleh inflamasi dan nekrosis pembuluh darah yang dapat menyebabkan iskemia pada jaringan terkait. Umumnya vaskulitis dapat mengenai pembuluh darah dengan berbagai ukuran pada berbagai organ tubuh.

Kategori vaskulitis dibuat berdasarkan ukuran pembuluh darah yang terkena, yaitu vaskulitis pembuluh dar-ah besar

(large vessel vasculitis), vaskulitis pembuluh darah sedang (medium-sized vessel vasculitis) dan vaskulitis pembuluh darah kecil ( small vessel vascwlitis ) . Pembuluh darah ginjal seringkali merupakan target dari berbagai

mikroskopik termasuk kelompok ini dan sulit dibedakan satu sama lain. Keterlibatan kapiler glomerulus menyebabkan glomerulonefritis. bila mengenai kapiler alveolus paru menyebabkan perdarahan paru (pulntonart hentorrhage) dan pada keterlibatan venula kulit menyebabkan purpura. Walaupun kompleks imun sirkulast (circulating innnune complex) mempunyai peran dalam patogenesis, namun pada pemeriksaan biopsi tidak dijumpai adanya deposit kompleks imun pada pembuluh darah. Keadaan ini dikenal dengan istllah P auc e - Immune. Diagnosis vaskulitis pembuluh darah kecil Pauce-Immune ditegakkan berdasarkan sindrom yang menyertai pen.vakit:

.

macam penyakit vaskulitis sistemik, terutama yang mengenai pembuluh darah kecil (.small vessel vasculitis).

Vaskulitis pembuluh darah besar (large

vessel

Granulomatosis We-sener berhubungan dengan inflamasi granulomatosa nekrotik (necroti:ing g

vasculitis): Mengenai ferutama pembuluh darah aorta

.

beserta cabang utamanya. Bila ada keterlibatan ginjal biasanya mengenai arteri renalis dengan menif'estasi hipertensi renovaskular.

Vaskulitis pembuluh darah sedang (medium-sized

.

vessel vasculifis).' Terutama mengenai pembuluh darah viseral dan dapat pula mengenai berbagai pembuluh darah

ranulonlato us ir(lamnrution ) y ang seringkali disertai

keterlibatan saluran napas. Churg-Strauss syndrome adalah vaskulitis yang timbul berhubungan dengan asma, eosinofilia dan inflamasi

granulomatosa nekrotik (necrotizing granulomatous inflammation). Poliangiitis mikroskopik ditegakkan bila vaskulitis tidak disertai dengan bukti adanya Granulomatosis Wegener

atal Churg-Strauss syndrome, misalnya tidak

ginjal seperti arteri renalis, arteri arkuata dan arteri interlobularis. Int'lamasi dan nekrosis pada arteri ini dapat

ditemukan asma, eosinofilia, dan bukti inflamasi

menyebabkan trombosis atau ruptur yang dapat

granulomatosa nekrotik.

menyebabkan infark dan perdarahan ginjal.

Penyakit Granulomatosis We gener, C hur g - St r au s s sy n drome, dan Poliangiitis mikroskopik menunjukkan adanya

Vaskulitis pembuluh darah kecil (small vessel

vaskulitis pada kapiler glomerulus. Pemeriksaan

vasculitis)t Vaskulits jenis ini terutama mengenai pembuluh darah yang lebih kecil dari arteri sepefti kapiler, venula dan arteriol. Target utama vaskulitisjenis ini pada ginjal adalah glomerulus, oleh karena itu manifestasi utama penyakit ini adul ah glomerulonelriti s.

histopatologi pada glomerulonefrjtis kelompok ini ditandai adanya nekrosis dan pembentlkan crescent, disertainya absennya deposit imunoglobulin, sering disebut dengan istrlah P au c i - imrnune c r e s c e nt i c g I ome rulon e p hr it i s. B 1la Pauci-immune crescentic glomerulonephrltls yang timbul

Vaskulitis pembuluh darah kecil p auce-immune (small ve

ss

el p auc

e

-immune

v as

tidak disertai gejala vaskulitis sistemik sering disebut sebagai vaskulitis renal atau idiopathic rapidly

culitis ). Penyakit Granulomatosis

Wegener, Churg-Strauss syndrome dan Poliangiitis

progressive glomerulonephritis (RPGN).

1004

VASKULITISRENAL

1005

PATOGENESIS

ini mempunyai manifestasi yang kurang lebih sama. yaitu

Granulomatosis Wegener, Churg- Strauss syndrome,

gejala vaskulitis pembuluh darah kecil. Pasien dengan Granulomatosis Wegener dan ChurgStrauss syndrome mempunyai tambahan gejala sesuai

Poliangiitis mikroskopik, serla Glomerulonefritis kresentik terisolasi, semuanya berhubungan dengan adanya autoantibodi terhadap komponen sitoplasma neutrofil,

yaitu circulating antineutrophil cytoplasmic autoantibody (ANCA). Antigen spesifik terhadap ANCA yang ditemukan pada kasus glomerulonefritis dan vaskulitis adalah terhadap proteinase 3 dan mieloperoksidase (MPO).

Hal ini kemudian menyebabkan timbul hipotesis bahwa ANCA mempunyai peranan dalam patogenesis vaskulitis. Berbagai bukti klinis menunjukkan bahwa ANCA berhubungan dengan aktivitas penyakit, tetapi hubungan

ini tidak begitu kuat. Dari observasi in vitro untuk mengetahui bagaimana mekanisme ANCA dapat menimbulkan kerusakan vaskular, diduga bahwa awalnya terjadi stimulasi neutrofil oleh sitokin (cytokine-primed

neutrophil) yang dapat timbul akibat infeksi virus, menyebabkan neutrofil mengekspresikan antigen pada permukaan yang mempunyai akses untuk berinteraksi

dengan

ANCA. Cytokine-primed netttrophil yang

dengan sindromnya masing-masing. Keterlibatan ginjal sering terjadi pada Granulomatosis Wegener dan Poliangiitis mikroskopik, namun jarang dijumpai pada Churg- Straus s syndrome. Manifestasi renal yang sering dijumpai merupakan

gejala keterlibatan glomerulus seperti hematuria, proteinuria, disertai gagal ginjal. Gagal ginjal biasanya memberikan gambaran karakteristik seperti rapidly progressive glomerulonephritis (RPGN) pada Granulomatosis Wegener dan Poliangiitis mikroskopik, namun lebih ringan pada Churg-Strauss syndrome. Granttlomatosis Wegener dan Poliangiitis mikroskopik dapat juga bermanifestasi sebagai nefritis akut yang indolen atau nefritis kronik. Gejala lain dapat dijumpai manifestasi inllamasi sistemik

yang tidak spesifik seperti demam, malaise, anoreksia, penurunan berat badan, mialgia, dan artralgia. Kadang awalnya dirasakan seperti gejala influenza (flu-like

terpapar dengan ANCA akan melepaskan Imunoglobulin

illness ). Sering ditemukan keterlibatan

G (IgG) dari granulnya, yang menghasilkan metabolik

Granulomatosis Wegener, Churg- Strauss synilrome

oksigen toksik dan membunuh sel endotel pada kultur sel. Kompleks ANCA-Ag diadsorpsi ke dalam sel endotel, kemudian akan terbentuk kompleks imun in situ. Walaupun masih kontroversial, ada pendapat bahwa sel endotel dapat

maupun Poliangiitis mikroskopik didapatkan lesi purpura yang menunjukkan adanya venulitis dermal. Purpura ini lebih banyak mengenai ekstremitas bawah, sering disertai ulserasi halus setempat (Gambar l). Lesi nodular pada kulit dapat ditemukan pada Granulomatosis Wegener dan

mesintesis PR3 yang dapat pula berperan dalam pembentukan kompleks imun in situ. Netrofil yang diaktivasi oleh ANCA (ANCA activation of netrophils) dimediasi oleh Fab'2 yang terikat pada netrohl dan reseptor Fc. Bila peristiwa ini terjadi inyivo akan menyebabkan

terjadinya vaskulitis sebagai akibat dari netofil yang menempel, melakukan penetrasi dan kemudian merusak dinding vaskular.

kulit, misalnya pada

Churg-Strauss syndrome. tetapi sangat jarang pada Poliangiitis mikroskopik. Nodul ini dapat terjhdi karena arteritis dermal atau subkutaneus, dan akibat inflamasi granulomatosa nekrotik. Keterlibatan saluran napas atas dan bawah lebih sering terjadi pada Granulomatosis Wegener dan Churg-Strauss syndrome, dan walaupun jarang dapat pula terjadi pada Poliangiitis mikroskopik

dengan manifestasi perdarahan paru (pulmondry EPIDEMIOLOGI Granulomatosis Wegener, Churg-Strauss syndrome dar, Poliangiitis mikroskopik dapat mengenai berbagai usia. namun penyakit ini paling sering timbul pada usia dekade ke 5,6 atau 7. Laki-laki sedikit lebih banyak dari perempuan dan lebih banyak mengenai kulit putih dibanding kulit hitam. Insidensi pertahun di Amerika Utara dan Eropa diperkirakan 1 -2 per 100.000 populasi.

MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis Granulomatosis Wegener, ChurgStrauss syndrome, dan Poliangiitis mikroskopik sangat bervariasi, tergantung bagian tubuh yang terlibat, aktivitas, dan perjalanan penyakit akut atau kronik. Ketiga penyakit

hemo rrhage ) akibat kapilaritis hemoragik. Perdarahan paru lebih dominan pada Granulomatosis Wegener, sedangkan pada Churg-Strauss syndrome terutama disertai asma bronkial. Pada Granulomatosis Wegener dan ChurgStrauss syndrome terjadi kerusakan paru yang disebabkan inflamasi granulomatosa nekrotik, pada pemeriksaan radiologi terdeteksi sebagai lesi nodular atau kavitas yang lokasinya dapat berpindah. Pada Poliangiitis mikroskopik

tidak dijumpai lesi paru granulomatik. Manifestasi keterlibatan saluran napas atas termasuk rinitis, sinusitis, otitis media, dan inflamasi okular. Gejala ini lebih sering pada Granulomatosis Wegener, namun dapat pula dijumpai pada Chur g - Straus s syndrome dan Poliangiitis mikroskopik. Terutama pada Granulomatosis Wegener dapat ditemukan

gejala destruksi tulang hidung dengan manifestasi perforasi septal dan deformitas bentuk hidung. Gejala neurologi berupa neuropati perifer, umumnya mononeuritis

kompleks dijumpai terutama pada Churg-Strauss

1006

GINJALHIPERTENSI

syndrome. Keterlibatan gastrointestinal menimbulkan gejala nyeri abdominal, iskemia mesenterika, perforasi intestinal (arang), dan pada pemeriksaan feses dapat dijumpai adanya darah. Tabel 1 menunjukkan persentase keterlibatan organ pada ketiga penyakit tersebut.

. urganslslem

Polianoiitis Mikrosfopik

Granulomatosis Wegner

40

Paru

90 40 50

THT lVuskuloskeletal Neurologi Gastrointestinal

35 60 30 50

Ginjal Kulit

Sindrom Churg Sfrauss

80 60 70 50

90 on

50 70

60 50 50

50

SEROLOGI ANCA Pemeriksaan serologi ANCA sangat berguna pada pauci-immune crescentic glomerulonephritis namun harus diinterpretasi dalam konteks sesuai dengan

PATOLOGI

Lesi glomerular berupa glomerulonefritis nekrotik (necrotizing glomerulonephritis), sering diseftai dengan crescent. Pada lesi permulaan yang ringan dijumpai nekrosis fibrinoid segmental dengan atau tanpa crescent. Pada lesi akut yang berat dapat terjadi nekrosis global dengan pembentukan crescentyatg luas. Berbeda dengan crescent yang dimediasi oleh penyakit imun kompleks,

pada penyakit ini segmen yang non-nekrotik pada glomerulus yang mengalami injuri segmental tampak normal atau mengalami sedikit sekali perubahan. Hal ini berbeda dengan crescent yang dimediasi oleh penyakit

imun kompleks (nefritis lupus, nefropati IgA, glomerulonefritis membranoproliferatif) yang secara spesifik ditemukan hiperselularitas endokapiler dan penebalan dinding kapiler pada segmen non-nekrotik. Tambahan pula pada pauci-immune vasculitis bisa dijumpai arteritis renal, terutama pada arleri interlobularis dan angiitis medularis yang mengenai vasa recta. Infiltrat mononuklear terutama eosinofil dapat dijumpai bila lesi glomerulus dan arteri berat.

karakteristik pasien. Sensitifitas diagnostik mencapai 8090Vo, tetapi spesifi sitas tergantung populasi pasien. S ekitar

PERJALANAN ALAMIAH PENYAKIT

seperempat pasien dengan anti-GBM crescentic glomerulonephritis dan idiopathic immune-complex c re s c e nt i c g lo m e r ul onep hriti s memberikan ANCA po sitif

Sebelum tersedia obat imunosupresan prognosis penyakit

kurang dari 1 tahun. Dengan pengobatan imunosupresan yang adekuat masa harapan hidup pasien dan survival

(Tabel2).

Proteinase3 Mieloperoksidase (PR3/CANGA) (MPo/pANcA) Granulomatosis Wegener Poliangiitis Mikoskopik Churg-Strauss Syndrome Pauci-immune Glomerulonephritis

ginjal dalam 1 tahun mencapai 70-807c. Keberhasilan dalam pemeliharaan fungsi ginjal dalam jangka waktu panjang berbanding terbalik dengan kadar kreatinin serum pada waktu awal diagnosis. Negatif

70

25

40

50

10

'10

bU

30

20

70

'10

PENGOBATAN

Titer ANCA biasanya menurun setelah terapi dan meningkat bila penyakit kambuh. Namun peningkatan

titer saja tidak bisa dipakai sebagai dasar untuk perubahan terapi, harus disertai adanya peningkatan aktivitas penyakit secara klinis. ANCA dapat pula positif pada penyakit inflamasi lain seperti kolitis inflamasi, rematoid, penyakit inflamasi liver kronik, endokarditis, dan fibrosis kistik. Pada keadaan ini ANCA tidak spesifik terhadap PR3 atau MPO, tetapi spesifik terhadap Anti-

gen netrofil yang lain misalnya seperti laktoferin, katepsin G.

ini buruk, kebanyakan pasien meninggal dalam waktu

Glomerulonefritis yang cukup berat, yang sampai terjadi

gangguan fungsi

ginjal memerlukan pengobatan

imunosupresan. Pengobatan meliputi 3 fase yaitu fase induksi, fase pemeliharaan, dan fase relaps. Pada fase induksi diberikan kortikosteroid dan obat sitotoksik seperti siklofosfamid. Dengan kombinasi obat ini biasanya terjadi remisi sekitar 75 %. Dosis terapi induksi meliputi Metilprednisolon 7 mg/KgBB, diberikan intra vena tiga hari berturut-turut dilanjutkan dengan Prednison oral 60 mg/hari yang di turunkan menjadi l0 mg/hari dalam waktu 3 bulan. Obat ini dikombinasi dengan Siklofosfamid oral 2 mg/KgBB/hari atau siklofosfamid intravena atau 0,51 g/m2ibulan. Terapi plasma exchangebermanfaat terutama pada penyakit yang berat, gagal ginjal yang tergantung dialisis, atau ada keadaan yang mengancam jiwa seperti pulmonarl hemoruhage.

1007

VASKULMSRENAL

Pengobatan pada fase pemeliharaan terdiri dari Siklofosfamid yang dapat diteruskan sampai 6-12 bulan

REFERENSI

untuk mempertahankan remisi. Sebagai obat alternatif pada

Booth AD, Pusey CD, Jayne DR. Renal vasculitis. Nephrol Dial Transplant. 20041,19:1964-8. Jennette JC. Rapidly progressive crescentic glomerulonephritis. Kidney Int. 2003;63:1164-11 Jennette JC, Falk RJ. Renal and systemic vasculitis. In: Johnson RJ, Feehaly J, editors. Comprehensive clinical nephrology. London: Mosby; 2000. p. 28.1-28.14. Jennette JC, Falk RJ The pathology of vasculitis involving the kidney. Am J Kidney Dis. 1994;24:130-4I. Kallenberg CGM, Brouwer E, Weening JJ, Cohen TJW. Anti neutrophyl cytoplasmic antibodies: current diagnostic and pathophysiologic potential. Kidney Int. 1994:'46:l-15. Savage COS. ANCA associated renal vasculitis. Kidney Int.

ini

dapat digunakan Azatioprin, sebagai contoh Siklofosfamid diberikan sampai 3 bulan kemudian dilanjutkan dengan Azatioprin 2 mglKgBBlhari untuk fase

mempertahankan keadaan remisi. Kira-kira 25-507o pasien dengan.penyakit ini akan mengalami kekambuhan. Pengobatan yang terbaik pada kasus relaps ini belum diketahui dengan baik. Biasanya digunakan obat seperti halnya pada fase induksi, namun lebih kurang intensif apalagi bila keadaan rileps dapat dideteksi lebih dini.

2001:'60:7674-21

.

159 INFEKSI SALURAN KEMIH PASIEN DEWASA Enday Sukandar

PENDAHULUAN

menyebabkan negatifpalsu pada pasien dengan presentasi

klinis ISK. Infriksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang sering ditemukan di praktik umum, walaupun bermacam-macam antibiotika sudah tersedia luas di pasaran. Data penelitian epidemiologi klinik melaporkan mengalami ISK selama hidupnya. Infeksi saluran kemih (ISK) tipe sederhana (uncomplicated type) jarang dilaporkan menyebabkan insufisiensi

. . . . .

ginjal kronik (IGK) walaupun sering mengalami ISK berulang. Sebaliknya ISK berkomplikasi (complicated

Piuria bermakna (significant pyuria), bila ditemukan netrofil rel="nofollow">10 per lapang pandang

hampir 25-35Vo semua perempuan dewasa pernah

type) terutama terkait refluks vesikoureter sejak lahir sering menyebabkan insufisiensi ginjal kronik (IGK) yang berakhir dengan gagal ginjal terminal (GGT)

Pasien telah mendapat terapi antimikroba Terapi diuretika Minum banyak Waktu pengambilan sampel tidak tepat Peranan bakteriofag

lnfeksi Saluran Kemih (lSK) Bawah

Penggunaan prosedur pencitraan ginjal seperti ultrasonografi (USG) yang tersebar luas di masyarakat

Presentasi klinis ISK bawah tergantung dari gender:

1.

termasuk praktik dokter umum harus berdasarkan indikasi medis yang kuat dan benar.

Perempuan

-

Sistitis. Sistitis adalah presentasi klinis infeksi kandung kemih disertai bakteriuria bermakna

TERMINOLOGI

lnfeksi Saluran Kemih (!SK)

2.

ISK adalah istilah umum yang menunjukkan keberadaan mikroorganisme (MO) dalam urin.

Sindrom uretra akut (SUA). Sindrom uretra akut adalah presentasi klinis sistitis tanpa ditemukan mikroorganisme (steril), sering dinamakan sistitis bakterialis. Penelitian terkini SUA disebabkan MO

anaerobik. Laki-laki Presentasi klinis ISK bawah pada laki-laki mungkin

sistitis, prostatitis, epidimidis dan uretritis.

Bakteriuria bermakna (significant bacteriuria)'. Bakteriuria bermakna menunjukkan pertumbuhan mikroorganisme (MO) mumi lebih daril}s colonyfonning units (cfu/m7) pada biakan urin. Bakteriuria bermakna mungkin tanpa disertai presentasi klinis ISK dinamakan

lnfeksi Saluran Kemih (lSK) Atas 1. Pielonefritis akut (PNA). Pielonefritis akut adalahproses inflamasi parenkim ginjal yang disebabkan infeksi

bakteriuria asimtomatik (covert bacteriuria). Sebaliknya

klinis ISK

bakteri Pielonefritis kronis (PNK). Pielonefritis kronis mungkin akibat lanjut dari infeksi bakteri berkepanjangan atau infeksi sejak masa kecil. Obstruksi saluran kemih dan

tanpa bakteriuria bermakna. Banyak faktor yang

refluks vesikoureter dengan atau tanpa bakteriuria

2.

bakteriuria bermakna disertai presentasi klinis ISK dinamakan bakteriuria bermakna simtomatik. Pada beberapa keadaan pasien dengan presentasi

1008

1009

INFEKSI SALURAN KEMIH PASIEN DEWASA

kronik sering diikuti pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal yang ditandai pielonefritis kronik yang spesifik. Bakteriuria asimtomatik kronik pada orang dewasa tanpa

faktor predisposisi tidak pernah menyebabkan pembentukan jaringan ikat parenkim ginjal.

Data epidemiologi klinik tidak pernah melaporkan hr-rbungan antara bakteriuria asimptomatik dengan pielonefritis kronik.

MIKBOORGANISME SALURAN KEMIH Pola mikroorganisme (MO) bakteriuria seperti terlihat pada Thbel 3. Pada umumnya ISK disebabkan mikro-organisme

(MO) tunggal: . Escherichio coli merupakan MO yang paling sering

.

EPIDEMIOLOGI Infeksi saluran kemih (tSK) tergantung banyak faktor; seperti usia, gender, prevalensi bakteriuria, dan faktor predisposisi yang menyebabkan perubahan struktur saluran kemih termasuk ginjal. Selama periode usia beberapa bulan dan lebih dari 65 tahun perempuan cenderung menderita ISK dibandingkan

.

diisolasi dari pasien dengan infeksi simtomatik maupun asimtomatik Mikroorganisme lainnya yang sering ditemukan seperti Proteus spp (337o ISK anak laki-laki berusia 5 tahun), Klebsiella spp, dan Stafilokokus dengan koagulase

negatif

Infeksi yang disebabkan Pseudomonas spp dan MO lainnya seperti Stafilokokus jarang dijumpai, kecuali pasca kateterisasi.

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI ISK

laki-laki. ISK berulang pada laki-laki jarang dilaporkan, kecuali disertai faktor predisposisi (pencetus).

Prevalensi bakteriuri asimtomatik lebih sering ditemukan pada perempuan. Prevalensi selama periode sekolah (school girls) 1% meningkat menjadi 57o selama periode aktif secara seksual. Prevalensi infeksi asimtomatik meningkat mencapai 30c/o, balk laki-laki maupun perempuan bila disertai faktor predisposisi seperti terlihat pada Tabel 2.

Patogenesis U ri nary Pathogens Patogenesis bakteriuri asimtomatik menj adi bakteriuri simtomatik dengan presentasi klinis ISK tergantung dari patogenitas bakteri dan status pasien sendiri (host). Peranan Patogenisitas Bakteri. Sejumlah flora saluran cerna termastk E,scherichia coLi diduga terkait dengan etiologi ISK. Penelitian melaporkan lebih dari 170 serotipe 1.

0 (antigen) E.coli yang

patogen. Patogenisitas

E. CoLi terkait dengan bagian permukaan sel polisakarida dari lipopolisakarin (LPS) seperli terlihat pada Gambar 2.

o

. . . . . . . . .

Litiasis Obstruksi saluran kemih Penyakit ginjal polikistik Nekrosis papilar Diabetes mellitus pasca tansplantasi ginjal Nefropati analgesik Penyakit Sikle-cell Senggama Kehamilan dan pesefta KB dengan tablet progesteron Kateterisasi

6

'tr o ia

G

.o

o:; Oo\

Perempuan Laki_laki

-Gambar 2. Permukaan Escherichia coli

o

!

'6

s Hanya IG serotipe dari 170 serotipe O/E coll yang berhasil diisolasi rutin dari pasien ISK klinis, diduga slrain E.coli inr

CL

o

o-

Usia (tahun)

Gambar 1. Prevalensi bakteriuria asimtomatik dengan usia

mempunyai patogenisitas khusus. Penelitian intensif berhasil menentukan faktor virulensi E coll dikenal sebagai virulence detenrrinalis, seperti terlihat pada Tabel 4.

1010

GINJAL HIPERTENSI

Gram positif

Gram negatif Famili

Spesies

Genus

Enterobacteriaceae

Escherichia Klebsiella Proteus

coli pneumontae oxytasa mirabilis vulgaris

Enterobacter

cloacae aerogenes

Providencia

rettgeri stuartii

Morganella Citrobacter

morganil freundii diversus

Serratia

morcescens

Pseudomonadaceae Pseudomonas

Famili

Spesies

Genus

Micrococcaceae

Staphylococcus aureus

Streptococceae

Streplococcus

fecalis enterococcus

aerugtnosa

pili atau fimbriae maupun non-fimbriae. Pada saat ini dikenal beberapa ttdhesiort sepertifimbriae (tipe 1. P dan S).nonfentbrial adhesions (DR haemaglutinin atau DFA component of DR blood group), firnbrial odhesiorts (AFA-1 dan AFA-III), tergantung dari organ

Penentu virulensi Fimbriae

Adhesi Pembentuk jaringan ikat (scarri ng)

Kapsul antigen K

Resistensi terhadap pertahanan tubuh Perlengketan (attachment)

Lipopolysaccharide side chains (O antigen) Lipid A (endotoksin)

Resistensi terhadap fagositosis

a

lnhibisi perisialsis ureter Pro-inflammatori

a

Kelasi besi Antibiotika Resisten Kemungkinan perlengketan

Membran protein lainnya Hemolysin

lnhibisi fungsi fagosit Sekuestrasi besi

Bakteri patogen dari urin (urinary pathogens) dapat menyebabkan presentasi klinis ISK tergantung juga dari faktor lainnya seperti perlengketan mukosa oleh bakteri, faktor virulensi, dan variasi fase faktor virulensi. Peranan Bakterial attachment of mucosq. Penelitian membuktikan bahwa fimbriae Qtroteinaceous hair-like proj ection from the bacterial surface) seperli terlihat pada Gambar 2, merupakan salah satu pelengkap patogenesitas

yang mempunyai kemampuan untuk melekat pada permukaan mukosa saluran kemih. Pada umumnya P fimbriae akan terikat pada P blood group antigen yang terdapat pada sel epitel saluran kemih atas dan bawah. Fimbriae dai' strain E. coli ini dapat diisolasi hanya dari unn segar.

M-adhesions, G-adhesions dan cttrli adhesions (2). Sifat patogenisitas lain dari E.coliberhubungan dengan toksin. Dikenal beberapa toksin seperti cr-haemolisin, cr-totoxic necrotizing faclor-1 (CNF-1), dan iron uplake system (aerobactin dan enterobactin). Hampir 957c u-hemolisin terikat pada kromosom dan berhubungan denganpathogenici4'islands (PAIS) dan hanya 57o terikat pada gen plasmio.

Resistensi uropatogenik E.coli terhadap serum manusia dengan perantara (mediator) beberapa faktor terutama aktivasi sistem komplemen termasuk membrane attack complex (MAC). Mekanisme pertahanan tubuh berhubungan dengan pembentukan kolisin (Col V), K-1, Tra T proteins dan outer membrane protein (OHPA). Menurut beberapa peneliti uropatogenik MO ditandai dengan ekspresi faktor virulensi ganda. Beberapa sifat uropatogen MO; seperti resistensi serum, sekuestrasi besi,

K yang muncul mendahului manifestasi klinis ISK. Gen virulensi

pembentukan hidroksat dan antigen

dikendalikan faktor luar seperli suhu, ion besi, osmolaritas,

pH, dan tekanan oksigen. Laporan penelitian Johnson mengungkapkan virulensi E.coli sebagit penyebab ISK terdri atas fimbriae type 1 (587o), P'fimbriae (24Vo), aero bactin (38Vo), haemoly sin (207o), antigen K (227o), tesistensi serum (257o), dan antigen O (287o).

Faktor virulensi variasi fase. Virulensi bakteri ditandai dengan kemampuan untuk mengalami perubahan

Peranan faktor virulensi lainnya. Kemampuan untuk

bergantung pada dari respon faktor luar. Konsep variasi

melekat (adhesion) mikroorganisme (MO) atau bakteri

fase MO

ini menunjukkan

peranan beberapa penentu

1011

INFEKSI SALURAN KEMIH PASIEN DEIT'ASA

virulensi bervariasi di antara individu dan lokasi saluran kemih. Oleh karena itu, ketahanan hidup bakteri berbeda dalamkandung kemih dan ginjal.

2.

Peranan Faktor Tiran Rumah (host)

I'aktor Predisposisi Pencetus ISK. Penelitian epidemiokrgi

klinik mendukung hipotesis peranan statlls saluran kemih merupakan faktor risiko atau pencelus ISK. iadi faktor bakteri dan status saluran kemih pasien memptlnyai peranan penting untuk kolonisasi bakteri pitda saluran kemih. Kolonisasi bakteria sering inengalarni kambuh (eksaserbasi) bila sudah terdapat kelainan struktur anatomi saluran kernih. Dilatasi saluran kemih tennasuk pelvis ginjal tanpa obstmksi saluran kemih dapat meuyebabkan gangguan proses klirens normal dau sangat peka tethadap inf'eksi. Gambar 3 memperlihatkan dilatasi ureter dan kalises peivis ginjal pada perempuan hamil.

Perilaku

Lainnya

Senggama

Operasi urogenital

Penggunaan diafragma,

Terapi estrogen

Biolog!s Status nonsekretorik

Kelainan kongenital

Antigen golongan darah ABO

Urinary tract obs truction Riwayat infeksi saluran kemih sebelumnya Diabetes nkontinensi

kondom, spermisida, penggunaan ant biotik terkini

I

Kepekaan terhadap ISK rekuren dari kelompok pasien dengan saluran kemih normat (ISK tipe sederhana) lebih

besar pada kelompok antigen darah non-sekretorik kelompok sekretorik. Penelitan lain melaporkan sekresi IgA urin meningkat dan dicluga mempunyai peranan penting untuk kepekaan terhadap ISK rekuren.

di bandin gkan

PATOFISIOLOGI ISK laki-laki maupun perempuan udn selalu steril karena dipertahankanjumlah dan frekuensi Pada individu nonnal, biasauya

kencing. Uretlo clistal merupakan ternpat kolonisasi mikroorganis rne ilonpat!r) genic fastidio us Gram-positive dan grarn negatif. Hampir semua ISK disebabkan invasi mikroorganisme asending dari uretra ke dalam kandung kemih. Pada beberapa pasien tertentu invasi mikroorganispre dapat Gambar 3. Dilatasi kalises pelvis ginlal dan ureter pada kehamilan

Zat makanan dar-i bakteri akan meningkat dari normal, diikuti refluks MO dari kandung kemih ke ginjal. Endotoksin (lipid A) dapat menghambat peristaltik ureter. Refluks vesikoureter ini sitatnya sementara dan hilang sendiri bila mendapat terapi antibiotika. Proses pembentukan jaringan parenkim ginjal sangat berat bila refluks vesikoureter terjadi sejak anak-anak. Pada usia dewasa muda tidak jarang dijumpai di klinik gagal ginjal terminal (GGT) tipe kering, artinya tanpa edema dengan/tanpa hipertensi.

Status imunologi pasien (ftosf). Penelitian laboratorium mengungkapkan bahwa golongan darah dan status sekretor mempunyai kontribusi untuk kepekaan terhadap ISK. Pada

Tabel 5 dapat dilihat beberapa faktor yang dapat meningkatkan hubungan emtara berbagai ISK (ISK rekuren) dan status sekretor (sekresi antigen darah yang larut dalam

air dan beberapa kelas imunoglobulin) sudah lama diketahui. Prevalensi ISK juga meningkat terkait dengan golongan darah AB, B dan PI (antigen terhadap tipe fimbdae bakteri) dan dengan fenotipe golongan darah Lewis.

mencapai ginjal. Proses

ini

dipermudah refl uks

vesikoureter. Proses invasi mikroorganisme hematogen sangat jarang ditemukan di klinik, mungkin akibat lanjut dari bakteriemia. Ginjal diduga merupakan lokasi infeksi sebagai akibat lanjut septikemi atau endokarditis akibat Stafilokokus aureus.

Kelainan ginjal yang terkait dengan endokarditis tafilokokus aureus) drkenal N e p hr it i s Lo hl e i n. B eberapa peneliti melaporkan pielonefritis akut (PNA) sebagai akibat lanjut invasi hematogen dari infeksi sistemik gram negatif. (S

PRESENTASI KLINIS ISK Setiap pasien dengan ISK pada laki dan ISK rekuren pada perempuan harus dilakukan investigasi faktor predisposisi arau pencetus (Tabel 2). Presentasi klinis ISK atas dan bawah pada pasien

dewasa seperti terungkap pada Gambar 4.

Pielonefritis akut (PNA). Presentasi klinis PNA seperti panas tinggi (39.5-40.5oC), disertai menggigil dan sakit pinggang. Presentasi klinis PNA ini sering didahului gejala

ISKbawah (sistitis).

t0t2

GINJAL HIPERTENSI

Klasifikasi

Demai'n Kram

Nyeri punggung

Sekali-sekali

Mikroorganisme

Reinfeksi

Berlainan

Laki-laki atau wanita

Sering episode

Berlainan

Wanita

ISK persisten

Sama

Terapi tidak

Sama

Wanita atau laki-lak Wanita atau

Sama

Wanita atau

ISK

Mi.rntah

Skoliosis

Patogenesis

ISK

Sering ISK

ISK

Penurunan berat badan ISK setelah

terapi

SESUA

Tidak adekual (relapsing)

laki-laki

I

Terapi inefektif setelah nfeksi I nfeksi

laki-laki

rei

Nyeii suprapubik Disuria Frekuensi

Hematuria

Wanita atau

Sama

persisten Reinfeksi cepat Fistula enterovesikal

laki- aki Sama/berlaina

n

Wanita atau la

Berlaina

ki-laki

Wanita atau

n

aki-la ki

Urgen$l

j 8tienguiia

sederhana (uncomplicated) dan tipe berkomplikasi (.complicated).

l. Gambar 4. Hubungan antara lokasi infeksi dengan gejala klinis

ISK sederh ana (uncomp licrrred). ISK akut tipe sederhana (sistitis) yaitu non-obstruksi dan bukan perempuan harnil mer-trpakan pen)i

akt rin-san (self linitecl

disense

)

dan tidak

men.vebabkan akibat lanjut jangka lan'ra

2.

ISK bawah (sistitis).

Presentasi klinis sistitis seperti sakit suprapubik, polakisuria, nokturia, disuri a, dan stranguria

.

Sindrom uretra akut (SUA). Presentasi klinis SUA sulit dibedakan dengan sistitis. SUA sering ditemukan pada perempuan usia antara 20-50 tahun. Presentasi klinis SUA sarlgat

niskin

(hanya disuri dan

sering kencing) disertai cfu/rr-rl urin <105; sering disebut sistitis abakterialis. Sjndrom uretra akut (SUA) dibagi 3 kelompok pasien, yaitu: a). Kelompok pertama pasien dengan piuria, biakan urin dapat diisolasi E.c'oli dengan cfu/ml urin 103-10s. Sumber int'eksi berasal dari kelenjar

ISK tipe berkomplikasr (corrtplicated) . ISK selama kehamilan. ISK selama kehamilan dari Lrmur

kehamilan; sepefti terlihat Tabel 7.

ISK pada diabetes melitus. Penelitian epidemiologi klinik melaporkan bakteriuria dan ISK lebih sering ditemukan pada DM dibandingkan perempuan tanpa DM.

BAS. tidak diobati

peri-uretral atau uretra sendiri. Kelompok pasien ini memberikan respon baik terhadap antibiotik standar seperti ampisilin. b). Kelompok kedua pasien lekosituri 10-50/ lapang pandang tinggi dan kultur urin steril. Kultur (biakan) khusus ditemukan Chlamltdia trachomatis atau bakteri anaerobik. c). Kelompok ketiga pasien tanpa piuri dan biakan urin steril. ISK rekuren. Infeksi saluran kemih (ISK) rekuren terdiri 2 kelompok, yaitu: a). Re-infeksi (re-infectons). Pada

umumnya episode infeksi dengan interval >6 minggu

dengan mikroorganisme (MO) yang berlainan. b). Relapsing infectiort. Setiap kali infeksi disebabkan mikroorganisme yang sama. disebabkan sumber infeksi tidak mendapat terapi yang adekuat.

KOMPLIKAS' TSK Komplikasi ISK tergantung dari tipe yaitu ISK tipe

Risiko potensial

Kondisi

ISK trimesker lll

-

Pielonefritis Bayi prematur Anemia P regnancy-induced hype fte n sion Bayi mengalami retardasi mental Pertumbuhan bayi lambat Cerebral palsy Fetal death

BAS: Basiluria Asimtomatik

Basiluria asimtomatik (BAS) merupakan risiko untuk pielonefritis diikuti penurunan laju hltrasi glomerulus (LFG). Komplikasi emphysematous cystitis, pielonefritis yang terkait spesies kandida dan infeksi Gram-negatif lainnya dapat drjumpai pada DM. Pielonefritis emfisematosa di sebabkan MO pembentuk gas seperti E. coli, Candida spp dan Klostridium tidak jarang dijumpai pada DM. Pembentukan gas sangat intensif padaparenkim giryal dan jaringan nekrosis diserlai hematom yang luas. Pielonefritis emfisematosa sering disertai syok septik dan nefropati akut vasomotor (AVH).

1013

INFEKSI SALURAN KEMIH PASIEN DEWASA

-

Abses perinefrik merupakan komplikasi ISK pada pasien dengan DM (4'7 Vo),nefrolitiasis (4IVo) dan obstruksi weter (207o).

PEMERIKSAAN PENUNJANG DIAGNOSIS ISK Analisa urin rutiir, pemeriksaan mikroskop urin segar tanpa putar, kultur urin, serla jumlah kuman/ml urin merupakan

protokol standar untuk pendekatan diagnosis ISK. Pengambilan dan koleksi urin, suhu, dan teknik transportasi sampel urin harus sesuai dengan protokol yang

dianjurkan.

Investigasi lanjutan terutama renal imaging procedures tidakboleh rutin, harus berdasarkan indikasi klinis yang kuat (Tabel 8). Renal imaging procedures lunt:uk investigasi faktor predisposisi ISK:

. .

Ultrasonogram (USG)

Radiografi - Foto polos perut - PielografiIV

-

Micturatingcystogram Isotop scanning

.

a a

.

ISK kambuh (relapsing infection) Pasien laki Gejala urologik: kolik ginjal, piuria, hematuria Hematuria persisten Mikroorganisme (MO) jarang: Pseudomonas spp dan Proteus spp

Cuci setelah melakukan senggama diikuti terapi antimikroba takaran tunggal (misal trimetoprim 200 mg)

.

Terapi antimikroba jangka lama sampai 6 bulan.

Sindrom uretra akut (SUA). Pasien dengan sindrom uretra akut dengan hitung kuman 103- 105 memerlukan antibiotika yang adekuat. Infeksi klamidia memberikan hasil yang baik

dengan tetrasiklin. Infeksi disebabkan MO anaerobik diperlukan antimikroba yang serasi, misal golongan kuinolon.

lnfeksi Saluran Kemih (!SK) Atas Pielonefrits akut. Pada umumnya pasien dengan pielonefritis akut memerlukan rawat inap untuk memelihara satus hidrasi dan terapi antibiotika parenteral paling sedikit 48 jam. Indikasi rawat inap pielonefritis akut seperti terungkap pada Tabel 9.

The Infectious Disease Society of America

menganjurkan satu dari tiga altematif terapi antibiotik IV sebagai terapi awal selama 48-72 iam sebelum diketahui

MO sebagai penyebabnya:

. . .

Fluorokuinolon

Amiglikosida dengan atau tanpa ampisilin Sefalosporin dengan spektrum luas dengan atau tanpa aminoglikosida.

a

ISK berulang dengan interval <6 minggu a

Kegagalan mempertahankan hidrasi normal atau toleransi terhadap antibiotika oral Pasien sakit berat atau debilitasi Terapi antibiotik oral selama rawat jalan mengelami kegagalan Diperlukan investigasi lanjutan Faktor predisposisi untuk ISK tipe berkomplikasi Komorbiditas seperti kehamilan, diabetes melitus, usia lanjut

MANAJEMEN ISK

lnfeksi Saluran Kemih (lSK) Bawah Prinsip manajemen ISK bawah meliputi intake curan yang banyak, antibiotika yang adekuat, dan kalau perlu terapi simtomatik untuk alkal ini sasi unn: . Hampir 807o pasien akan memberikan respon setelah 48 jam dengan antibiotikatunggal; seperti ampisilin 3 gram, trimetoprim200mg

. Bila infeksi

menetap disertai kelainan urinalisis

PENCEGAHAN Data epidemrologi klinik mengungkapkan

uji

saring

bakteriuria asimtomatik bersifat selektif dengan tujuan utama untuk mencegah menjadi bakteriuria disertai presentasi klinik ISK. Uji saring bakteriuria asimtomatik harus rutin dengan jadual tertentu untuk kelompok pasien perempuan hamil, pasien DM terutama perempuan, dan

(lekosuria) diperlukan terapi konvensional selama 5- 10 hari Pemeriksaan mikroskopik urin dan biakan urin tidak diperlukan bila semua gejala hilang dan tanpa lekosiuria.

pasca transplantasi ginjal perempuan dan laki-laki, dan kateterisasi laki-laki dan perempuan.

Reinfeksi berulang (frequent re-infection) . Disertai faktor predisposisi. Terapi antimikroba yang intensif diikuti koreksi faktor risiko . Tanpa faktor predisposisi - Asupan cairan banyak

Penelitian epidemiologi klinik melaporkan prevalensi

.

Bakteriuria Asimtomatik pada Kehamilan bakteriuria asimtomatik pada kehamilan bervariasi antara 2-l0Vo; dan tergantung dari status sosio-ekonomi.

Bila mikroorganisme lain seperti

Ureaplasma diisolasi, berhasil vaginalis urealyticum dan Gardnella

l0t4

GINJALHIPERTENSI

Resipien Transplantasi Ginial Status

lnsiden

Prevalensi bakteriuria asimtomatik cukup tinggi mencapai 35-19Vo diantara resipien pada 3-4 bulan pertama pasca

Basiluri asimtomatik Riwayat ISK sejak anak tanpa pembentukan jaringan ikat - Riwayat ISK sejak anak disertai pembentukan jaringan ikat Sistitis Pielonefritis

4-10%

transplantasi ginjal; diduga terkait dengan indweLling

70k

resipien ini merupakan risiko pielonefritis akut (graft infection), septikemia diikuti penurunan laju filtrasi glom-

-

a a

catheter sebagai faktor risiko. Bakteriuria asimtomatik pada

4%

1-2To

prevalensi bakteriuria asimtomatik meningkat lebth dari21Vo. Tetapi peranan kedua MO tersebut masih belum jelas.

erulus. Bakteriuria simtomatik dengan presentasi klinis yang

muncul 6 bulan perlama(late infection) pasca transplantasi ginjal dengan presentasi klinik ringan. Parameter hitung kuman/ml urin para resipien pasca transplantasi ginjal modifikasi karena diuresis pasca cold

Pada kelompok perempuan tidak hamil ditemukan

ischemic time. Menurut beberapa peneliti, kriteria

basiluria asimtomatik dua kali berturut-turut MO yang sama mempunyai sensitivitas 95Vo dan spesivitas 957o unitk cenderung mengalami episode presentasi klinik ISK. Pada kelompokperempuan ini tidak diperlukan terapi antimikoba, cukup irigasi MO dengan asupan cairan yang banyak. Setiap perempuan hamil dengan basiluri asimtomatik

bakteriuria asimtomatik dengan hitung kuman/ml urin. Terapi antimikroba untuk bakteriuria asimtomatik pada resipien transplantasi ginjal masih silang pendapat. Sebagian besar peneliti menganjurkan kemoterapi untuk resipien pasca transplantasi ginjal dengan bakteriuria asimtomatik disertai pi uri.

harus mendapat terapi antimikroba untuk mencegah presentasi klinis pielonefritis dan komplikasi kehamilannya; seperti terungkap pada Thbel 7. Pada Tabel l0 diperlihatkan

insidens ISK selama kehamilan.

Bakteriuria Asimtomatik pada Diabetes Melitus Prevalensi bakteriuri asimtomatik pada perempuan disertai diabetes melitus lebih banyak dibandingkan dengan perempuan tanpa diabetes melitus. Patogenesis kepekaan

terhadap ISK diantara pasien diabetes melitus tidak diketahui pasti. Penelitian epidemiologi klinik gagal

mencari hubungan antara prevalensi bakteriuria asimtomatik dengan kualitas pengendalian hiperglikemia (dengan parameter gula darah puasa dan HbAIC dan faal ginjal. Peneliti lain Balasoiu D menemukan hubungan faktor risiko gangguan faal kandung kemih (Bladder dysfunction) dengan peningkatan kepekaan terhadap ISK pada diabetes melitus. Disfungsi kandung kemih ini diduga akibat disfungsi saraf autonom dan gangguan fungsi leukosit PMN (opsonisasi, kemotaksis dan fagositosis). Perubahan susunan kimiawi dan konsentrasi protein

ISK Berhubungan dengan Kateter Pemasangan kateter jangka lama senng dilakukan pasien

usia lanjut. Data penelitian melaporkan prevalensi infeksi nosokomial mencapai 10Vo didtga terkait pemasangan kateter urin. Bakteriuri asimtomatik dilaporkan 26Vo drantara kelompok pasier, indwelling catheter mtlai dari hari-2- I 0. Hampir 7+ kelompokpasien tersebut diikuti presentasi klinik ISK. Bakteriemia dengan prevalensi 3,67o diduga terkait dari sumber saluran kemih. Peneliti Tambyah dan Maki menemukan catheter-associated UTI sebagian besar asimtomatik.

Bakteria patogen yang terkait dengan bakteriuri dengan kateterisasi; seperti E. coli, Enterococcus, Klebsiella, Pseudornonas, Proteus, Enterobacter, dan Candida. Pada umumnya bakteriuri terkait kateter bersifat

polimikroba. Sebagian, besar

peneliti tidak menganjurkan antibiotika

sebagai pencegahan infeksi saluran kemih terkait kateter.

Negara maju seperti USA menganjurkan penggunaan kateter urin berselaput campuran perak atau kateter oksida perak untuk mencegah infeksi saluran kemih terkait kateter.

Tamm-Horsfaal diduga mempengaruhi perubahan bacterial adhesion terhadap sel epitel yang dapat mencetuskan infeksi saluran kemih (ISK). Menurut beberapa peneliti basiluri asimtomatik pada

diabetes melitus merupakan faktor predisposisi pielonefritis akut disertai mikrosis papiler dan insufisiensi renal. Basiluria asimtomatik dengan mikroorganisme pembentukan; seperti E.coli, Candida spp danklostridium dapat menyebabkan pielonefritis emfisematosa disertai syok septik dan vasomotor akut nefropati. Beberapa peneliti lebih cenderung memberikan terapi antimikroba pada basiluria asimtomatik pada pasien dengan diabetes melitus.

REFEBENSI Balasoiu D, Van Kissel KC, Van Kats-Renaud HJ, Collet TJ, Hoepelman AI. Granulocyte function in woman wirh diabetes and asymptomatic bacteriuria. Diabetic Care. 1997 ;20:.392- 5 Bass PF, Jarvis JAW and Mitchell CK. Urinary tract infections. PrimaLry care: clinics in office practice. Volume 30 WB Saunders;

200s Batalla MA, Ballodimus MC, Bradley RF. Bacteriuria in diabetes mellitus. Diabetologic. 191 l;7 : 297 -9 Evans DA, Hennekens CH, Miao L et a1. Bacteriuria and subsequent

mortality ln woman Lancet. 198211:156-8

101s

INFEKSI SALURAN KEMIH PASIEN DEWASIA

Fowler JE Urinary tract infection and infldmmatory, year book Med. Plub Inc; 1989 p 71-9. Johson JR. Virulence factors in Escherichra coli urinary tract infection. Clin Microbial Rev. 1991;4:80-128. Kunnin CW. Detection, prevention and management of urinary tract infection. 3'd edition. Phill Lie & Fabingen lnc 1974. p.

136-46. Marsh FP The frequency of dysuria. Urology. In: Blandy

Gyford Blackwell Sc; 1976.

Jfl editor.

p.734-52.

it 1995;20:50-66. Ottolini MC, Sfaer CM, Rushton HG, et al. Relationship of asymptomatic bacteriuria and renal scarring with uropathic bladders who are practising clean intermittent catheterization. J Pediatr. 19951,121:368-72. Patterson TH, Andriole VT Detection, significance and therapy of Melillo KF. Asymptomatic bacteriuria in oldewr adults: when is necessary to screen and treat ? Nurse Pract.

bacteriuria and therapy of bacteriuria in pregnancy. Infect Dis Clin Norhi Am. 1997:11:593-608.

Raz R, Stamm WE. A control trial of intravaginal estriol in post menopausal woman with recurrent urinary tract infections N

Engl Med. 1993329:753-6. Schmaldienst S, Hod WH. Bacterial infection after renal transplantation. Nephrol. 1997 75:140-53. Semetkowska-Jurkiewicz E, Galinsky J. Mannitius A, et al. Results of 1O-years fol1ow-up of asymptomatic bacteriuria in diabetic

patients. Nephro Dial Transplant. 7990;5:466 (abstract). Sukandar E. Tinjauan umum infeksi saluran kemih. Nefrologi klinik. In: Sukandar E, editor 3rd edition 1997. p.25-43. Stein G & Funfstuck. Asymptomatic bacteriuria: what to do. Nephrol

Dial Transplanr. 1999'14:1618-21 . & Williams JD. Urinary tract infection in adults. Medicine

Tople N

Int.

1991;4:3604-10.

Toikoff-Rubin RH. Urinary tract infection in the renal transplant recipient. Infectiology. 19911.7:2'7-33.

160 PENYAKIT TUBULOINTERSTISIAL I Gde Raka Widiana

di

PENDAHULUAN Jaringan tubulointerstitial terdiri dari seluruh jaringan ginjal kecuali glomerulus. Istilah nefritis interstitialis perlama kali diperkenalkan oleh Unanue dkk tahun 1966pada kelinci percobaan yang mengalami glomerolunefritis. Inflamasi atau cedera progresif pada interstitium ginjal akan merusak

jaringan ginjal secara luas yang pada akhirnya menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Inflamasi interstitial dapat dimulai dari dalam kompartemen interstitium atau sebagai akibat cedera glomeruler atau vaskuler. Walaupun berbagai cedera tubulointerstitial disebabkan oleh proses toksik, obat, atau infeksi, namun,

sebagian besar proses inflamasi bersifat imunogenik. Infiltrasi sel mononuclear yang terjadi mengakibatkan pelepasan sitokin parakrin, yang secara bersama-sama menyebabkan gangguan lingkungan mikro.

Ternyata hubungan antara gangguan struktur glomerulus dan gangguan fungsi ginjal tidak begitu kuat.

Sebaliknya kerusakan kompartemen tubulointrstitial berasosiasi lebih kuat dengan kinerja ginjal. Parameter

fungsional ginjal seperti klirens inulin, kapasitas konsentrasi maksimal, ekskresi natrium ternyata berkorelasi

secara kuat dengan skor inflamasi tubulointerstitial. Hubungan antara kelainan tubulointerstitial dan fungsi ginjal sangat erat, hal ini dapat dijelaskan dengan beberapa mekanisme, antara lain:

daerah tersebut. Gangguan aliran keluar arteriola glomerulus mengakibatkan hipertensi intraglomeruler. Hipertensi intraglomeruler mengakibatkan kerusakan glomerulus dan sklerosis mesangial.

Ketiga, otoregilasi berupa mekanisme

feedbeck

tubuloglomerular juga mengalami gangguan. Pada keadaan

ini arteriola aferen tidak sensitif

terhadap sinyal

tubuloglomerular feedback. Mekanisme

ini mungkin

diperantarai oleh gangguan sistem renin-angiotensin lokal atau gangguan produksi prostaglandin lokal.

Keempat, berkaitan dengan atrofi daerah intrestitium dan penipisan epitel sepanjang daerah tubulus proksimal dan thick ascending limb dain loop Henle. Akibat perubahan ini, gradien osmotik ginjal normal mengalami penurunan akibat menurunnya transpor natrium pada daerah loop Henle ini. Hal ini mengakibatkan menurunnya absorpsi air pada filtrat glomerulus yang mengakibatkan hiposteinuria dan poliuria. Meningkatnya kandungan solut dan air pada lumen tubulus akan menurunkan filtrasi glomerulus. Akibatnya, rangsangan produksi renin oleh aparatus juxtaglomerularis menurun. Akibatnya, reaksi vasokonstriksi pada vasa eferen akibat rangsang angiotensin II menurun dan filtrasi glomerulus juga menurun.

MEKANISME CEDERA TUBULOINTERSTISIAL

Pertama, secara anatomi, aliran urin terhalang dengan obstruksi tubuler akibat proses radang. Inflamasi dan

Sumber inflamasi imunogenik dapat berasal dari antigen nefritogenik yang berasal dari sel interstitial dan struktur ekstraselulernya, atau berasal dari sirkulasi. Antigen ini dapat berupa:

fibrosis interstitial dapat menyumbat tubulus dan meningkatkan tekanan intratubuler. Atrofi tubulus dan debris dalam tubulus menyumbat aliran filtrat glomerulus.

Kedua, berkaitan dengan meningkatnya resistensi vaskular

Antigen dari sel ginial dan membran basal tubuler

dengan cedera tubuler progresif dan frbrosis. Pada keadaan

ini volume kapiler peritubuler menurun

pada daerah

Salah satu contoh antigen

infl amasi, edema dan fibrosis yang mengakibatkan iskhemia

L016

ini

adalah kompleks antigen

t0t7

PEIYYAKTT TUBULOINTERSTISIAL

Heyman nephritis. Contoh lain adalah protein TammHorsfall juga dijumpai pada permukaan sel tubulus dan disekresi ke dalam lumen tubulus. Protein Tamm-Horsfall atau uromodulin ini merupakan suatu glikoprotein yang dapat membentuk deposit imun sepanjang basal sel tubulus.

Konyugat Hapten-obat Sejumlah golongan penisilin, sefalosporin, fenitoin merupakan antigen ekstrarenal yang membentuk deposit imun. Deposit ini terbentuk lokal in-situ atau berasal dari kompleks sirkulasi.

Beberapa antibodi streptokoki nefritogenik dapat bereaksi

secara silang dengan kolagen tipe IV di daerah interstitium. Selain itu, bakteri E. coli dapat bereaksi silang dengan protein Tamm-Horsfall. Antibodi anti-DNA dapat mengenal komponen matriks ekstraseluler seperli laminin dan heparan sulfat.

Antigen Ekstra-renal Dalam Bentuk Deposit lmun Contohnya, pada nefritis lupus dengan deposit DNA, nefropati IgA, netiopati Sjogren, cryoglobulinemia. Lokasi deposit ini tergantung dari muatan listrik, struktur antigen dan dan antibodi, adanya reseptor Fc, mekanisme aliran ginj al, klirens efektif dan banyak faktor lainnya.

RESPONS IMUN PADA PENYAKITTUBULO INTERST!SIAL Sebagian besar penyakit tubulointerstitial dimediasi oleh proses imunologik. Antigen target-nya sendiri sebenarnya tidak mampu merangsang reaksi imun. Namun, sebelumnya

ini

harus di proses dulu oleh APC (antigen

presenting cells) yangumumnya adalah sel makrofag dan sel dendritik. Kemudian antigen berupa peptida yang telah diproses ini dipresentasikan pada permukaan sel bersama

antigen MHC (major histocompatibility complex) klas I dan klas II. Secara umum sel T helper yang menginduksi produksi antibodi oleh sel B dan sel efektor mengenal antigen yang diproses dalam kaitannya dengan MHC klas II. Kemampuan dari sel limfosit T untuk membedakan kompleks peptida-MHC ini diperkuat oleh protein CD4 atau

CDS pada permukaan sel limfosit. Kedua molekul ko-reseptor

ini masing-masing dapat mengenal

menentukan tipe respons imun yang diinduksi oleh antigen tertentu. Antigen sitosolik (berkaitan dengan MHC klas I) umumnya dikenal oleh sel T sitotoksik CDS, yang dapat membunuh sel-sel terinfeksi yang mempresentasikannya. Di pihak lain, peptida dari jalur endositik (berkaitan dengan MHC klas II) utamanya dipresentasikan kepada sel T CD4 helper, membantu mengawali respons sel B

(memproduksi antibodi) dalam menyerang antigen ekstraselular.

Antigen Akibat Mimikri Molekular

antigen

sel T CD8 umumnya mengenal peptida yang terikat pada

protein MHC klas I dan dikatakan sebagai class-l res*icted, sedangkan, CD4 mengenal peptida yang berikatan dengan MHC klas II disebut sebagai clas-Il restricted. Hal ini merupakan faktor penting dalam

Reseptor sel limfosit T dapat mengenal kompleks MHC-peptida antigen dengan ikatan pada residu spesifif yang terdapat pada peptida dan regio yang sangat polimorfik dari molekul MHC pada dan disekitar lekukan ikatan peptida. Akibatnya, reseptor limfosit T ini dapat membedakan berbagai peptida yang berbeda dan bentukbentuk alele yang berbeda dari protein MHC. Rantai reseptor T disintesis melalui dari genom berbeda yang kemudian ditata kembali. Sel memerlukan paling sedikit

dua sinyal yang teraktivasi. Sinyal pertama, dimulai dengan ikatan aloantigen atau antigen yang telah diproses dan dipresentasikan oleh MHC self kepada kompleks TCR(T cell receptoillCD3. Sinyal kedua, untuk aktivasi sel T terjadi akibat interaksi antara sejumlah pasangan molekul ligan tambah an (ac c e s s o ry) pada APC dan pada sel ! seperti yang terjadi antara molgkul CD28 pada limfosit T dan ligannyaB2T pada permukaan APC. Pada ikata ligan spesifik, suatu sinyal dikeluarkan yang akan bekerja secara sinergik bersama-sama sinyal yang diinduksi oleh TCR akan mengaktivasi sel T. Sinyal ganda ini akan men-triger CD4 sel T untukmengaktivasi ekspresi gen sitokin IL-2 dan reseptor IL-2,yatg mengakibatkan

induksi ekspresi sitokin lain dan akan mengaktivasi kaskade sel T seluruhnya untuk berjalan, yang pada akhimya menyebabkan pembelahan sel. Bila sel T di-triger tanpa disertai sinyal kedua, sel akan berubah menjadi anergi yang selain bersifat inaktifjuga menjadi refrakter terhadap setiap sinyal peng-aktif. Dalam beberapa menit

saja sel T.meninggalkan fase kuisen dalam siklus pembelahan sel (G0). Kejadian spesifik yang menyertai

meliputi sintesis DNA, RNA dan protein baru pada permukaan sel.

Respons imun dari

individu berkaitan

dengan

kerentanan terhadap penyakit. Toleransi imunologik terj adi

secara

karena kompleks antigen-MHC dari inang (host) tidak

spesifik salah satu dari domain immunoglobulin-like yang bersifat non-polimrorfik yang terdapat pada molekul MHC. Secara spesifik, CD4 berikatan dengan dornain p-2 pada semua polipeptida MHC klas II dan CDS berikatan dengan domain P-3 MHC klas I. Pengenalan oleh CD4 atau CD8 akan memberikan sinyal yang kuat pada sel T. Akibatnya,

mampu merangsang secara efektif respons imun. Pengenalan peptida sendiri (.selfl dan peptida asing (non-

selfl membuat sistem imun secara seletif ber-reaksi terhadap protein asing (mikroorganisme atau antigen), bukan terhadap protein sendiri (selfl. Timus berperan dalam seleksi sel T yang memiliki selektivitas.respons terhadap

1018

GINJAL HIPERTENSI

peptida non-self. Gangguan pengenalan ini membuat tubuh

bereaksi secara salah terhadap protein sendiri sehingga

terjadi penyakit otoimun. Respons imun dapat diperantarai oleh kekebalan yang dimediasi oleh antibodi

(antibody -mediated immunity). Antibodi anti-TBM (tubular basement membrane) sering dijumpai pada banyak kasus berupa endapan linier pada membran basal

spesifik librosis ini bisa berasal dari proteinuria glomeruler atau akibat adanya sel-sel radang pada ruang interstitial. Kedua faktor ini menginduksi keluarnya sitokin lokal, yang

dapat mengubah epitel interstitial meniadi fibroblas. Fibroblas ini kemudian mengalami prolit-erasi dan aktivasi

sehingga menyebabkan sintesis matriks dan/atau mengakibatkan proteolisis. lihat Gambar 1.

tubulus. Selain itu reaksi imun dapat diperantarai oleh sel (ceLl-mediated immuniry). Pada kasus ini infiltrasi sel mononuclear dijumpai pada lebih dari 50% kasus. Sel-sel tersebut meliputi sel limfosit T, monosit, sel limfosit B, sel plasma, atau NK (natural killer cell). Pada sebagaian besar kasus rasio CD4ICD8 mendekati 1. Kortikosteroid

Lesi ginjal primer

t I

I

dapat secara rlyata menurunkan jumlah limfosit . Selain

itu, dijumpai peningkatan ekspresi antigen MHC kls

nfiltrat interstisial

i

I

Il

Fibrosis interstitial/atrofi tubular

T dan sel epitel tubulus, serta meningkatnva ekspresi molekul adesi pada sel tubulus seperti ICAM-l (intracelluLar adhesion molecules-1). Aktivitas sitotoksisitas dari sel T bertanggung jawab terhadap kerusakan sel tubulus yang mengakibatkan atrofi tubulus. Pada kultur sel, dijumpai sel T sitotoksik

pada sel

mensintesis protein dengan aktivitas esterase serin dan proteinpore-performing yang memiliki efek seperti MAC (membrone attack compler) pada kaskade komplemen. Respons imun pada penyakit tubulointerstitial dapat diperantarai oleh proses amplifikasi dan sitokin. Proses amplifikasi adalah proses yang menyertai peristiwa endapan antibodi spesifik, deposisi kompleks imun. infiltrasi sel T yang meningkatkan inflamasi dan cedera jaringan. Proses amplifikasi ini terdiri dari aktivasi kaskade komplemen yang berakhir pada pembentukan C5b-9 Qnembrane attack complex), pelepasan sejumlah sitokin dan ensim protease dari sel serta atraksi dan aktivasi sel efektor non-spesifik seperti makrofag dan eosinofil. Selsel ini dikenal bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan lebih lanjut. Dari peristiwa ini diketahui ekspresi C3 pada sel tubulus meningkat. Hilangnya reseptor C5a pada binatang percobaan menurunkan secara nyata cedera

interstitial. Komplemen yang teraktivasi berperan dalam patogenesis proteinuria, bersifat kemotaksis, namun. j uga dapat berperan dalam klirens kompleks imun, dengan

demikian berperan dalam proses penyembuhan. Sel parenkim dan sel infiltrat dapat juga mengekspresikan molekul proinflamasi seperti kemokin yang memiliki kemampuan kemotaksis, seperti IL-8 (interleukin-8), RANTES dan MCP-1 (morLocl,te chemotctctic peptide-l). Sintesis dan pelepasan endotelin I, suatu peptida yang

memiliki sifat-sifat proliferasi dan vasokonstriksi menghasilkan aktivitas kemotaktik dan menarik sel monosit

serta merangsangnya untuk menghasilkan sitoki pro-inflamasi.

Pada fase lanjut proses imun menyebabkan fibrogenesis dan atrofi tubulus. Sebagian besar fibrosis interstitial disebabkan oleh inflamasi dan cedera yang dimulai dari kompartemen ginjal lainnya. Penctetus non-

I

*

Obliterasi kapiler post-glomeruler I

V Atrofi tubulus

Mekanisme Tu bulogl omerular feedback

G omeru i atubu er

\

Penurunan fungsi gintal

r'

I Penyakit ginjal kronik

Gambar 1. Skema lesi tubulointerstisial sampai penyakit

ginja.l

kronik

NEFRITIS INTERSTITIAL AKUT

Epidemiologi Nefritis interstitial akuta (NIA) sering disebut nefritis tubulointerstitial akuta.. NIA dilaporkan berlanggungjawab thd 157o dari gagal ginjal akut.. Diperkirakan 25o/c gagal ginjal kronik disebabkan oleh cedera ginjal persisten akibat

NIA asimtomatik. Pada populasi yang tampak sehat, yang menjalani biopsi ginjal saat mengalami hematuria atau proteinuria, 170 spesimen biopsi menunjukkan gambaran nefritis interstitial. Antara 1-157o pasien yang mengalami manifestasi gagal ginjal menunjukkan gambaran NIA pada biopsi ginjal.

Etiologi NIA paling sering disebabkan oleh obat-obatan. seperti derivat penisilin (khususnya metisilin, sefalosporin), rifampisin, sulfonamid, fenitoin, alopurinol, diuretika golongan furosemid dan tiazid, interferon-alfa, omeprazol,

1019

PET\ryAKIT TUBULOINTERSTISIAL

dan golongan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS), 5-

berperan dalam hipersensitivitas tipe lambat dengan

aminosalicylic acid (5-ASA), propylthiouracil. Sorafenib, suatu obat kanker sel ginjal tahap lanjut dilaporkan menyebabkan insufisiensi ginjal yang berkaitan dengan NIA, setelah mendapat terapi sorafenib 200 mg dua kali sehari selama10 hari untuk kanker sel ginjal metastasis. Akhir-akhir ini obat pengharnbat pompa proton (proton pump inhibitor, [PPI]) banyak diresepkan oleh dokter di Amerika, digunakan pada penyakit hiperasiditas lambung. Pada satu riviu dari berbagai literatur di dunia, dilaporkan 64 kasus NIA yang terkait dengan obat PPI, yang 59 diantaranya dibuktikan dengan pemeriksaan biopsi ginjal, lihat gambar 3. Obat PPI yang dilaporkan terkait dengan NIA ini adalah omeprazole (41 kasus), pantoprazole (6 kasus), esomeprazole (3 kasus), lansoprazole (2 kasus),

pelpasan limfokin. CelL-mediared cytotoxiclr-v, dan

dan rabeprazole (2 kasus). dengan rerata lama pengobatan sebelum NIA 13 minggu (kisaran 2-52 minggu). Pernah dilaporkan pada penggunaan obat tradisional Cina untuk pelangsing dan mushroom. tnfeksi sistemik, seperti difteria, demam-skarlet, endokarditis bacterial akut, infeksi HIV dan infeksi virus Epstein-Barr dan penyakit otoimun seperti

produksi limfokin memodulasi produksi matriks ekstraselular dan fibroblas. Sel limtbsit B CD20 positif dilaporkan ikut berperan dalam inf'lamasi jaringan intertitial ginjerl. Bersama dengan sel limfosit T CD3 positif, sel limfbsit B CD 20 positif ini membentuk struktur noduler yang lebih besar. Ekspresi mRNA dari kemokin CXCL13 meningkat

sebanding den-ean mRNA CD20 pada jaringan tubulointerstiti al. Protei n CXCt, I 3 ini banyak diternukan pada infiltrat noduler dan berkaitan dengan jumlah sel limfosit B CXCR5 positif. Diduga sel limfosit B CXCR5 positif direkrut melalui kemokin CXCL I 3 untuk membentuk struktur mirip folikel intrarenal.

Patologi Gambaran utama kelainan patologi adalah edema infiltrasi sel-sel radang ke dalam kopartemen interstitial dengan

penjarangan glomerulus. Infiltrat sel radang terdiri dari sel limtbsit T yang mengekspresi CD4, monosit, sel plasma dan eosinofil, lihat Gambar 2. Men.rbrana basalis tubulus

sarkoidosis, sindroma Sjogren, SLE, penyakit antimembrana basalis tubulus ginjal, tubulointerstitial nephritis-uveitis (TINU) syndronte merupakan etiologi NIA. Sebagian besar NIA tidak diketahui penyebabnya

terputus dijumpai pada kasus yang berat. Pada pengecatan dengan imunoflurosen mungkin dijumpai endapan IgG, IgM atau komplemen yang berdistribusi linier atau grhiruler,

(idiopatik). Sindroma TINU ini pertama kali dilapor'trran pada

mengekspresi antigen MHC klas II dan molekul adesi seperti ICAM-1. Pada penyakit kronik, infiltrat seluler diganti dengan librosis yang mengakibatkan bentuk ginjal ireguler dan kontraksi ginjal. Sel tubulus mengalami atrofi

tahun 1975. Sampai saat ini 200 kasus TINU telah dilaporkan diseluruh dunia. NIA dilaporkrin sebesar 2-3% dari semua gambaran biopsi ginjal dan 10-15% gambaran biopsi ginjal dari pasien dengan acute kidnel: injury (AKI).

lm

unoetiopatogenesis

Seperti halnya penyakit tubulointertitial pada umumnya, proses kekebalan humoral dan seluler berperan dalam

kerusakan jarin,qan interstitial. Antibodi terhadap membran basalis tubulus dan sel limfosit T berperan dalam reaksi terhadap antigen yang melekat pada membrana basa-

lis. Secara genetik toleransi imunologik menghilang sehingga terjadi reaksi kekebalan terhadap antigen struktur jarin gan badan (s elfl . Kemungkinan imunopatogen esis lain adalah fenomena mimikri molekuler dari hapten yg berasal

dari obat atau antigen kuman terhadap jaringan tubulointerstitial. Mungkin juga obat bisa berefek toksik langsung terhadap struktur interstital. Regulasi imunologik dilakukan oleh sel supresor-T, MHC (major histocompatibility complex) seperti dijelaskan di atas..Mekanisme kerusakan jaringan melibatkan efektor yang terdiri dari aktivasi komplemen, kemotaksis sel efektor. Reaksi humoral

menyangkut produksi IgE mengakibatkan aktivasi

lihat Gambar 3. Sebagian besar sel epitel tubulus

dan lumen dilatasi, glomerulus atubuler, suatu glomerulus yang terputus dengan tubulus proksimal, dijumpai pada

nefropati cis-platin, nefropati lithrum, rejeksi alograf. Sel

tubulus yang rusak kemudian mengalami apoptosis. Peristiwa apoptosis diperantarai oleh Fas death receptor. yang mengaktivasi kaskade caspase dengan akibat pemecahan protein intraseluler dan menghilangnya sel. Nefrosklerosis dan glomerulosklerosis terjadi pada kasus

lanjut. Pada stadium ini sulit menentukan patologi primernya. Bentuk lain, pembentukan granuloma. seperti pada sarkoidosis dan tuberkulosis. Dalam bentukan granuloma ini dapat ditunjukkan infiltrasi sel raksasa berinti banyak (multinucleated) dan eosinofil pada jaringan interstitium. Dalam granuloma ini sering dijumpai kalsifikasi dengan nekrosis sentral, lihat Gambar 5.

Gejala Klinik Secara

klinik NIA mudah ditegakkan, berdasarkan keluhan

dan tanda:

l.

eosinofil, basofil dan sel mast yang berperan dalam reaksi hipersensitivitas. Mediator yang berperan dalam kerusakan

2.

jaringan meliputi ensim protease, leukotrien, superoksida dan peroksida. Tanda utama histopatologik dari NIA adalah infiltrasi sel limfosit dari subset helper-T. Sel ini

3.

Perjalanan penyakit beberapa hari sampai bermingguminggu, dengan puncak proses imun sekitar 2 minggu Mneingkatnya kadar kreatinin serum dengan cepat (0,30,5 mg/dl/hari) Triad: febris (pada sekitar 80% kasus), ruamkulit (pada sekitar 507o kasus) dan esonofilia (sekitar 80% kasus)

t020

GINJAL HIPERTENSI

yang biasanya terjadi sekitar' 10- I 5 hari setelah dirnulai

pemberian obat-obatan.

4. Gejala spesilik:

pasien yang men-Ealami infeksi, dengan +*"

antibiotika. febris mereda. nlrrun kemudian febris kambuh setelah beberapa hari

{*-

rff Gambar 1. Gambaran eksudat dan fibrosis laringan interstisial, atrofi tubulus, dan glomerulus masih utuh

):F

.

d .

Gambar 4. Gambaran granuloma pada biopsi ginjal dengan NIA Gambar A, memperlihatkan kalfifikasi (tanda panah): gambar B, infiltrasi sel raksasa berinti banyak (multinucleated) pada jaringan interstitium, gambar C infiltrasi sel eosinofil pada jaringan interstitium, dan gambar D granuloma dengan nekrosis sentral,

Pemeriksaan Penunjang

l.

Gambar 2. Endapan kompleks imun pada membrana basalis tubulus dengan mikroskop imunfluoi'esan

2.

Urinerlisis dijumpai proteinuria ringan atau sedang. hematuria mikroskopik. piuria steril dengan silinder leukosit. esonofiliuria (dengan pengecatan hansel, sensitif untuk NIA). Bila dijumpai silinder eritrositharus dipikirkan penyakit glomeruler. USG menunjukkan ukuran ginjal membesar (nefromegali)

3.

biopsi dianjurkan bila dengan presentasi klinik tidak khas. Pada biopsy dijumpai infiltrasi mononuklear (sel plasma atau limfosit) dan kadang-kadang eosinofil, destruksi tubuler. Glomerulus umumnya masih utuh. Fibrosis interstitial dan atrofi tubulus menunjukkan kerusakan interstitial ireversibel dengan gagal ginjal kronik. Terdapat korelasi yang baik antara derajad fibrosis dengan fungsi ginjal dan prognosis untuk pemulihan.

Terapi 1. Pikirkan dan singkirkan bahan atau obat-obat potensial menyebabkan NIA

2. obati infeksi sistemik dengan antibiotika

yang

atau anti-

vlrus Gambar 3. Biopsi jarum ginjal pasien NIA yang berkaitan dengan pengobatan lansoprazole. Tampak inflamasi dengan infiltrasi eosinofil pada jaringan interstitium

3.

periksa secara serial kadar ureum dan kreatinin serum, diharapkan kadarnya menurun dalam beberapa hari setelah faktor penyebab dihilangkan.

t02t

PEITYAKIT TUBULOINTERSTISIAL

4.

bila gejala klinik dan laboratorik tidak membaik setelah

faktor penyebab potensial dihilangkan, dimulai pemberian kortikosteroid. Sebaiknya kortikosteroid diberikan setelah pemeriksaan biopsi. Biopsi bertujuan untuk mengkofirmasi diagnosis dan kortikosteroid diberikan bisa hasil biopsi tidak menunjukkan fibrosis signifikan. Prednison 1 mglkg BB diberikan selama 4-6 minggu.

Bila selama 1-2 minggu terapi prednison tidak ada perbaikan, diberikan kombinasi dengan siklosfosfamid 2 mgkg BB. Bila tidak terjadi perbaikan selama 5-6 minggu, siklosfosfamid dihentikan dan kortikosteroid diturunkan dengan tapper selama beberapa minggu. Bila terjadi perbaikan fungsi ginjal setelah terapi kombinasi, terapi ini diteruskan selama 1 tahun. Efek samping siklosfosfamid yang perlu diperhatikan adalah aktivasi infeksi virus laten, sistitis hemoragika

dan toksisitas gonadal (sterilitas). Sistitis dapat

5.

dihindari dengan rehidrasi selama terapi. Paparan kronik terhadap zat kimia dan obat dapat mengakibatkan gagal ginjal kronik. Bila terjadi gagal ginjal kronik, terapi yang diberikan berupa terapi suportif gagal ginjal kronik. Bila berkembang menjadi gagal ginjal terminal dialysis dan kemudian transplantasi merupakan terapi pilihan.

spesifrk gagal ginjal, tergantung derajat gagal ginjal seperti lemah, mual, nokturia atau gangguan tidur. Gambaran laboratorium khas meliputi proteinuria pada kisaran nonnefrotik, hematuria mikroskopik, piuria dan glukosuria.

Selain itu, dijumpai gangguan fungsi asidifikasi (pengasaman) dan pemekatan (konsentrasi) urin akibat gangguan fungsi tubulus proksimal atau distal. Kadar asam urat tidak begitu tinggi dan anemia sering dijumpai. Sekirar 507o pasien mengalami hipertensi yang tidak berkorelasi

dengan derajad penurunan fungsi ginjal.

Etiologi Secara umum faktor etiologi pada

NIA dengan paparan

bahan toksik jangka panjang dapat menyebabkan NIK,

namun terdapat beberapa gambaran khusus NIK seperti berikut:

Nefropati endemik. Nefropati Balkan merupakan salah satu contoh NIK endemik yang terjadi di daerah B ulgaria, bekas Yugoslavia dan Rumania. Penyebabnya belum diketahui,

diduga berkaitan denga paparan timah hitam jangka panjang, infeksi sehingga diagnosis dini sulit ditegakkan. Pasien umumnya mengeluh gejala tak spesifik, seperti

meningkatnya ekskresi protein tubulus (beta2 mikroglobulin, lisosim, light chain, retinal binding ensimuria (1y'- ac e thyl- p-D - gluc o s aminidase), dan menurunnya kapasitas konsentrasi urin. Ekskresi beta-2 mikroglobulin merupakan indikator sensitif untuk kerusakan awal.. Tidak dijumpai adanya antibodi anti-GBM atau antiTBM. Sekitar 2-417o pasien dilaporkan mengalami tumor

p ro t e in),

NEFRITIS INTEBSTITAL KRONIK

Patologi Gambaran patologi nefritis interstitial kronik (NIK) bervariasi, mulai dari atrofi tubulus, penipisen sel epitel tubulus, dilatasi tubulus dan infiltrasi sel mononuklear ke dalam kompartemen interstitial diantara tubulus. Membran

basalis tubulus umumnya menebal. Kadang-kadang dijumpai silinder luminal yang terdiri dari neutrofil dan limfosit. Infiltrat seluler terdrn dari limfosit, kadang-kadang eosinofil, sel plasma dan neutrofil. Pada kasus yangjarang dijumpai perdarahan dan edema dengan infiltrat sel yang didominasi oleh neutrofil. Gambaran imunofluorensen menunjukkan adanya endapan komplemen C3, IgG sepanjang membran basalis dengan distribusi linier. Dengan mikroskop cahaya, tampak glomerulus masih

normal walapun telah dijumpai penurunan filtrasi glomerulus yang nyata. Bila penyakit berjalan lanjut, kelainan glomerulus seperti fibrosis peri-glomeruler dan

glomerulosklerosis bahkan sklerosis global sering dijumpai.

Gambaran klinik Pada kebanyakan kasus

Sarkoidosis. Penyakit sarkoidosis paling sering melibatkan ginjal melalui mekanisme gangguan metablisme kalsium.

Sekitar l0-157o pasien dengan sarkoidosis mengalami hiperkalsemia yang menyebabkan pemekatan darah, menurunnya laju filtrasi glomerulus atau nefrokalsinosis atau nefrolitiasis. Walaupun secara patologi, jaringan interstitial mengalami granuloma tanpa pengejuan - c as e at in g ), namun, tampaknya gangguan fungsi ginjal lebih disebabkan oleh hiperkalsemia, karena dengan pemberian volume cairan fungsi ginjal dapat dikoreksi. Secara epidemiologi sarkoidosis lebih banyak menyerang

(.non

perempuan dari pada lakiJaki. Secara patologi, penyakit ginjal sarkoidosis ditandai dengan dijumpainya granul oma non- cas e ating y ar,g terdii

dari limfosit, histiosit dan sel-sel raksasa (giant cells). Luasnya granuloma di ginjal bervariasi, pada beberapa kasus granuloma ini meluas sampai ke korteks, sehingga dapat merusak arkitektur ginjal. Infiltrasi limfosit dan fibrosis periglomeruler fokal sering dijumpai disamping

granuloma. Dengan mikroskop imunofluorosen dan NIK terdiagnosis melalui skrining

dengan dijumpainya kelainan urinalisis. atau penurunan

fungsi ginjal. Paling sering pasien mengalami keluhan sistemik akibat penyakit dasarnya atau keluhan non-

mikroskop elektron, tidak dijumpai adanya deposit imun. Dengan terapi kortikosteroid, penyembuhan pasien dapat terlihat dengan membaiknya laju filtrasi glomerulus secara nyata.dan menghilangnya granuloma dan infiltrat

L022

GINJAL HIPERTENSI

limfosit pada biopsi. Demikian juga hiperkalsemia membaik setelah terapi kortikosteroid ini. Siklofosfamid dapat dipakai sebagai terapi alternatif apabila terjadi intoleransi atau refrakter terhadap korlikosteroid. Penyakit lain yang ditandai dengan adanyapembentukan granuloma adalah tuberkulosis, silikosis, histoplasmosis.

Mieloma multipel (MM). Mekanisme MM dapat menyebabkan insufisiensi renal terdiri dari cast nephropathy,

bersama-sama dengan kontraksi volume cairan badan, hiperkalsemia, nefrokalsinosis dan hiperurikemia.

Perubahan patologi khas pada

MM

adalah

ditemukannya silinder protein pada segmen nefron distal yang mengalami atrofi dan dilatasi yang dikelilingi oleh sel-sel raksasa (mungkin berasal dari monosit-makrofag). Silinder ini khususnya mengandung protein Tamm-Horsfall dan protein light chain. Kelainan lainnya adalah infiltrasi sel mononuklear dan sel plasma di daerah interstitium, kalsifikasi interstitium, deposit amiloid pada penbuluh darah dan glomerulus. Dengan teknik imunofluorosesn,

umumnya bersifat reversibel. Insidensi NA sangat bervariasi, perampuan lebih sering (5-7 kali) diserang daripada laki-laki. Di Skotlandia, Belgia dan Australia 1020Vo penyakttginjal tahap akhir disebabkan oleh NA. Pasien dengan NA umumnya sering mengkonsumsi obat-obat analgetika untuk mengobati sakit kepala, nyeri rematik atau sakit perut. Komponen kafein dalam obat meningkatkan ketergantungan pasien pada obat, selain keluhan yang sering diderita. Satu laporan menyebutkan bahwa NA baru terjadi apabila pasien minum obat 6 tablet selama lebih dan

3 tahun. Juga dilaporkan bahwa untuk terjadinya NA, diperlukan minum obat kombinasi antara analgetikaanalgetika, misalnya diantara aspirin, asetaminofen, fenasetin, kafein atau kodein. Pemberian obat anti-inflamasi non-steroid dosis besarjangka panjang meningkatkan risiko NIKdan gagal ginjal.

Secara patologi djumpai kelainan non-spesifik atau

kelainan spesifik berupa NIK atau nekrosis papilaris, penglisutan (contracted) ginjal. Dengan mikroskop

bersifat nefrotoksik.

cahaya, dijumpai fibrosis interstitial dan atrofi tubulus dan kadang-kadang infiltrasi mononuklear. Kadang-kadang dijumpai bersama-sama dengan glomerulosklerosis fokal, kalsifikasi interstitial. Kalsikifikasi papiler yang diagnosis dengan non-contrast CT-scan sangat sensitif dan spesifik untuk mendignosis NA.

Nefritis radiasi. Nefritis radiasi sering terjadi

Nefripati asam urat (NAU). Sejak dulu hiperurikemia

kadang-kadang dijumpai endapan light chain sepanjang membran basal glomerulus dan tubulus. Terupipada cast

nephropathy MM ini terdiri dari kemoterapi, alkalinisasi

urin, pemberian cairan hipotonis untuk menginduksi poliuria dan hindari bahan-bahan radiokontras yang secara akut setelah dalam setahun terapi radiasi. Bentuk kronik, terjadi

bila terapi radiasi dilakukan lebih lama dari satu tahun. Namun, akhor-akhir ini dengan perubahan protokol terapi radiasi, nefritis radiasijarang dilaporkan. Gejala dan tanda nefritis radiasi meliputi penurunan laju filtrasi glomerulus, hipertensi. dan proleinuria. Gambaran patologi meliputi fibrosis interstitial, namun, karena hipertensi sering berkembang mulai awal penyakit, fibrosis ini sulit dibedakan dengan nefrosklerosis akibat hipertensi. Patogenesis cedera radiasi pada ginjal manusia sulit dijelaskan. Namun, pada binatang percobaan dapat diperlihatkan cedera radiasi menyebabkan pembengkakan sel endotel, kemudian berkembang oklusi vaskular dan atrofi tubulus. Awalnya terjadi peningkatan aliran darah ke ginjal, kemudian diikuti dengan penurunan aliran darah

ginjal dan glomerulus dan penurunan laju filtrasi

dikartkan dengan NIK Nefripati akibat hiperurikemia disebut gouty nephropathy. Sehitar ll%o penyakit interstitial kronik berkaitann dengan gangguan metabolisme asam urat. Harus diperhatikan pasien dengan penurunan fungsi ginjal, kadar asam urat darah biasanya di atas 1 0 mg/dl, hal ini berkaitan

dengan menurunnya filtrasi glomerulus atau berkaitan dengan pemakaian diuretika. Terapi hiperurikemia penting untuk mencegah pemburukan fungsi ginjal dengan obat dan diet rendah purin.

Hiperkalsemia. Kelainan metabolisme kalsium yang menyebabkan hiperkalsemia atau meningkatnya turn-over

kalsium memberikan efek multiplikatif terhadap ginjal. Hiperkalsemia menurunkan laju filtrasi glomerulus melalui mekanisme vasokokstriksi ginjal, menurunnya koefi sien

ultrafiltrasi glomerulus, dan kontraksi volume akibat gangguan kapasitas konsentrasi ginjal yang disebabkan

glomerulus. Perubahan-perubahan ini mungkin dimediasi oleh sistem renin-angiotensin. Nefritis radiasi merupakan penyakit yang dose dependent (terganitng dosis radiasi). Sebagian besar nefritis radiasi baru terjadi pada dosis radiasi lebih dari 2300 rad. Risiko nefritis radiasi dapat dikurangi dengan shielding (melindungi daerah ginjal) atau dosis radiasi yang terputusputus. Selama radiasi pemberian obat-obat yang potensial nefrotoksik harus dihindari.

tubulus, khususnya disekitar tubulus distalis atau tubulus pengumpul ( c olle ctin g duct). Aklbatnya terj adi infiltrasi sel mononuklear dan nekrosis tubuler.

Nefropati analgesik (NA). Penggunaan analgetika dosis

penyerapan tulang (neoplasma dan mieloma multipel), atau

besar dan jangka panjang secara epidemiologik banyak dikaitkan dengan NIK dan nekrosis papilaris. NA analgesik

asidosis tubuler distal. Terapi hiperkalsemia ditujukan terhadap penyakit primer, menurunkan kadar kalsium

oleh resistensi hormon vasopresin. Gangguan metabolisme

kalsium dapat menyebabkan nefrikalsinosis dengan endapan kalsium di ginjal, disekitar basal membran

Nefrokalsinosis dapat juga terjadi pada pasien normikalsemik dengan meningkatnya absorpsi kalsium (pada penyakit sarkoidosis, intoksikasi vitamin D),

t023

PEITYAKIT TUBULOINTERSITISIAL

plasma dan koreksi kelainan asam-basa.

Nefropati Lead (timah hitam) - NL. NL banyak terjadi pada

Nefropati hipokalemik (NH). Kelainan ini jarang terjadi, disebabkan oleh hipokalemia terus-menerus. NH dapat

papeLran

bersifat penyakit keturunan atau penyakit yang didapat. Bentuk NH yang diturunkan secara genetik disebabkan kelainan yang berkaitan dengan HLA (human leucocyte antigen), dan ditandai dengan pengeluaran kalium oleh ginjal akibat sebab yang tidak diketahui, tekanan darah normal, meningkatnya renin dan aldosteron darah dan meningkatnya ekskresi prostaglandin urin.

Secara patologik dijumpai vakuolisasi tubulus proksimal. Patogenesis NH belum jelas, namun dari buktibukti pada tikus percobaan, hipokalemia merangsang

amniogenesis (karena berkaitan dengan asidosis intraseluler), yang kemudian merangsang aktivasi komplemen, menarik sel-sel radang ke dalam kompartemen

interstitial. Oksalosis. Hiperoksaluria terjadi akibat kelainan bawaan, meningkatnya absorpsi oksalat di usus, atau meningkatnya beban oksalat secara masif dan akut. Ketiga faktor ini dapat

mengganggu fungsi ginjal. Hiperoksaluria primer disebabkan gangguan ensim 2-oftsaloglutaratglioksalat karboligase (tipe-1) atau gangguan ensim 2-gliseric dehidrogronase (tipe-2). Pasien-pasien ini umumnya mengalami gagal ginjal sebelum usia dewasa. Pasien-pasien dengan penyakit radang :usns (inflanntor_y- bow'el disease) arau bypass ileal-jejunal mengalami peningkatan absorpsi oksalat usus. Ovedosis vitamin C dan minum etilin glikol menyebabkan presipitasi kristal oksalat intratubuler dan gagal ginjal akut.

Nefropati abstruktif (NO). Obstroksi parsial atau total mengakibatkan menurunya laju filtrasi glomerulus dan menurunnya reabsorpsi solut oleh tubulus, gangguan ekskresi kalium dan hidrogen, gangguan kapasitas konsentrasi akibat resistensi vasopresin (diabetes insipidus nefrogenik). Kelainan patologik yang menyertai meliputi librosis glomeruler dan tubulus, atrofi tubulus, dan kadang-kadang sklerosis glomeruler fokal. Secara patofisiologik, terjadi penurunan laju filtrasi glomerulus nefron tunggal akibat menurunnya aliran plasma ginjal dan menurunnya tekanan hidrolik, dan menurunnya jumlah nefron yang masih berfungsi. Mediator-mediator

yang berperan terhadap menurunnya laju filtrasi glomerulus nefron tunggal adalah angiotensin II, tromboksan 42. hormon anti-diuresis dan leukotrien serta nitric oxide. Secara patologik, akibat obstruksi saluran kemih secara akut dan kronik menyebabkan infiltrasi sel mononunklear

terutama makrofag dan sel limfoist T CD4 disekitar sel

tubulus. Sel-sel ini menghilang setelah tindakan deobstruksi. Infi ltrasi sel-sel I eukosit mungkin disebabkan oleh pelepasan kemoatraktan lipid oleh ginjal. Pelepasan

TGF-P oleh sel-sel infiltrat berperan pada fibrosis interstitial.

jangka panjang sumber-sumber timah hitam seperli

pipa air tipe lama, pot tempat air, cat mengandung timah

hitam. Diagnosis NL dapat dibuat dengan dijumpai meningkatnya ekskrasi timah hitam (>0,6 mgl24 jam) setelah pemberian 1 g disodium EDTA dan dijumpainya penurunan

fungsi ginjal. Sinar tembus fluorosen untuk melihat cadangan timah hitam tulang merupakan cara cepat dan

non-invasif untuk menentukan adanya paparan timah hitam. Deposit timah hitam umumnya terjadi pada bagian 33 tubulus proksimal. Adanyanuclear inclusion di daerah ini secara patologi merupakan tanda spesifik NL. Kelainan tubulus ini berkaitan dengan disfungsi tubulus proksimal (banyak dijumpai pada anak-anak) dan sindroma Fanconi. Pada orang dewasa NL ditandai dengan NIK dengan fibrosis interstitial, atrofi tubulus dan nefrosklerosis. Pasien sering mengalami artritis gout rekuren, hiperurikemia, hipertensi. EDTA dianjukan untuk terapi (terapi khelating) dan dipakai untuk kepentingan diagnostik.

Nefropati Cadmium (NC). NC dapat terjadi pada individuindividu yang telpapar jangka panjang dengan cadmium, seperti yang terjadi pada pekerj a-pekerja peleburan logam. Cadmium terikat dengan metallothionein dan kompleks ini akan di-pinositosis oleh sel tubulus proksimal. Ginjal dan hati adalah dua organ yang terutama terlibat. Waktu paruh cadmium dalam tubuh lebih dari 10 tahun. Cadmium akan segera disimpan dijaringan setelah paparan akut sehingga kadamya di dalam darah segera menurun. Eksresi cadmium di urin akan terjadi bila ambang endapan cadmium di ginjal terlampaui. Intoksikasi cadmium menyebabkap disfungsi tubulus proksimal, hiperkalsiuria dengan nefrolitiasis dan penyakit tulang metabolik dengan manifestasi nyeri tulang.

Perjalanan penyakit dan terapi NIK Terapi dasar NIK adalah terapi penyakit primemya dengan usaha mengidentifikasi bahan eksogen penyebab (obat,

logam berat) atau kondisi seperti obstruksi dan infeksi dan menghilangkannya. Usaha lainnya, mengendalikan tekanan darah (dengan ACE-inhibitor), terapi kelainan elektrolit, kelainan asam basa, hiperurikemia dan gangguan metabolisme fosfat. Terapi yang lebih spesifik dengan

chelating agent tntuk intoksikasi timah hitam. Terapi kortikosteroid untuk sarkoidosis

REFERENSI Muller GA, Zeisberg M and Strutz F. The importance of tubulointerstitial damage in progressive renal disease. Nephrol Dial Transplant 2000; 15: 576-577. Wotf G. Angiotensin II as a mediator of tubulointerstitial injury. Nephrol Dial Transplant 2000;15: S61-563. Kelly CL and Neilson EG dalam Brenner BM (ed). Brenner's and Rector's The Kidney '7'h ed 2004. Tubulointerstitial diseases, Philadelphia. Pp 1483-l5l 1-

1024

Riott I, Brostoff J & Male D. Major histocompatibility complex and transplantation dalam Immunology 6'h ed 1996. Mosby, Edinberg 2001. Pp 426-30. Ross WD Immune system dalam Introduction to Molecular Medicine 2nd ed, 1996. Springer Verlag, New York.:Pp I 16. Helderman JH and Goral S. Transplantation immunology dalam Danovitch GM (ed) Hamdbook of kidney transplantation 2nd ed 1996. p 2l-23. Little brown and Co, Boston.

[-Hong Hsu S and Couser WG. Chronic progression of tubulointerstitial damage in proteinuric renal disease is mediatad by complement activation: a therapeutic role for complement inhibitor. J Am Soc Nephrol 2003 14 5186-5191. Benigni A. Tubulointerstitial disease mediators of injury: the role of endothelin. Nephrol Dial Transplant 2000;15: 550-552 De Broe M, Stolear JC, Nouwen EJ and Elsevier MM. 5-aminosalicylic acid (5-ASA) and chronic tubulointerstitial nephritis in patients with chronic inflammatory bowel disease: is there a 1ink. Nephrol Dial Transplant 1997;12: 1839-1841. Nakahama H, Nakamura H, Kitada O and Sugita M. Chronic drug induced tubulointerstitial nephritis witb renal failure associated with prophylthiouracil therapy. Case report. Nephrol Dial Transplant 1999;14: 1263-1265. Izzedlne H, Brocheriou I, Rixe O, Deray G Interstitial nephritis in

patients taking sorafenib. Nephrol Dial Transpiant 2001:22:2411.

GINJALHIPERTENSI

Sierra et al. Systematic review: Proton pump inhibitor- associated acute interstitial nephritis. Aliment Pharmacol Ther

2007:26:545. Ricketson J, Kimel G, Spence J, Weir R. Acute allergic interstitial nephritis after use of pantoprazoie. CAMJ 2009; 180(5):5358

Sinnamon KT, Courtney AE, Harron C, O'Rourke DM & Mulan RN Tubulointerstitial nephritis and uveitis (TINU) syndrome: epidemiology, diagnosis and management. NDT Plus

2008:2:112-6. Moroyama T, Kawada N, Nagatoya K, Horio M, Imai E and Hori M Oxidative stress in tubulointerstitial injury: a therapeutic po-

tential of antioxidant towards interstitial fibrosis. Nephrol Dila Transplant 2000; 15: S47-S49 Heller F, Lindenmeyer MT, Cohen CD et al The contribution of B

cells to renal interstitial inflammation Am J

Pathol

2007 ;17 0:45'7 -468 . Marcussen N. Tubulointerstitial damage leads to atubular glomeruli:

significance and possible role in progression. Nephrol Dial Trandplant 20001 15: S74-S75. Hughes J. Apoptosis in tubulointerstitial renal disease Nephrol Dial Tranasplant 2000; I5 :555-S57. Joss N. Morris S, Young B, & Geddes C. Granulomatous Interstitial Nephritis. Clin J Am Soc Nephrol 2007t2:222-30.

161 BATU SALURAN KEMIH Mochammad Sja'bani

Laboratorium Patologi Klinik Universitas Gadjah Mada sekitar tahun 1964 dar 7914, menunjukkan kenaikan proporsi batu ginjal dibanding proporsi batu kandung kemih. Sekitar tahun 1964- 1969 didapatkan proporsi batu ginjal sebesar 20Vo dan batu kandung kemih sebesar 807o, tetapi pada tahun 1970-1914batt ginjal sebesar 70 persen

PENDAHULUAN Batu saluran kemih menurut tempatnya digolongkan menjadi batu ginjal dan batu kandung kemih. Batu ginjal merupakan keadaan tidak normal di dalam ginjal, dan mengandung komponen kristal serta matriks organik. Lokasi batu ginjal dijumpai khas di kaliks atau pelvis dan bila akan keluar dapat terhenti di ureter atau di kandung kemih. Batu ginjal sebagian besar mengandung batu

(

1

0I-I

44 batu) dan batu kandung kemi h 30 persen (43 I I 44

batu).

kalsium. Batu oksalat, kalsiurn oksalat, atau kalsium fosfat,

Di Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang tahun 1979 telah dirawat 166 pasien batu saluran kemih atau 52110.000 pasien

dijumpai sampai 65-85Vo dari jumlah

rawat inap. Hampir keseluruhan pasien (997o) datang

secara bersama dapat

keseluruhan batu ginjal. Sukahatya dan Muhamad Ali (1975) melaporkan dari 96 batu saluran kemih ditemukan batu dengan kandungan asam urat tinggi, bentuk murni sebesar 24 (257o) dan campuran bersama kalsium oksalat/kalsium fosfat sebesar 76 (797o), sedangkan batu kalsium oksalat/kalsium fosfat sebesar 7 | (1 3Vo)

dengan problem medis ba,tg ginjal yang dilaporkan sebesar 35Vo.Padatahun 1981-1983 dilaporkan dari 634 pasien batu saluran kemih didapatkan 337 pasien batu ginjal (53Eo). Pada tahun 1983 di Rumah Sakit DR. Sardjito dilaporkan 64 pasien dirawat dengan batu saluran kemih, batu ginjal J5c/e danbait kandung kem1h257o. Kejadian batu saluran kegrjh terdapat sebesar 57110.000 pasien rawat inap. Pada

.

Batu ginjal merupakan penyebab terbanyak kelainan di saluran kemih. Di Negara maju sepertiAmerika Serikat, Eropa, Australia, batu saluran kemih banyak dijumpai di saluran kemih bagian atas, sedang di negara berkembang seperti India, Thailand, dan Indonesia lebih banyak dijumpai batu kandung kemih. Di daerah Semarang, sejak tahun 1979 proporsi batu ginjal dijumpai relatif meningkat dibanding proporsi batu kandung kemih. Peningkatan kejadian batu pada saluran kemih bagian atas terjadi di abad-20, khususnya di daerah bersuhu tinggi dan dari Negara yang sudah berkembang. Epidemiologi batu saluran kemih bagian atas di Negara berkembang dijumpai ada hubungan yang erat dengan perkembangan ekonomi

tahun 1986 dilaporkan prevalensi batu saluran kemih sebesar 80/10.000 pasien rawat inap. Batu

l9

ginjal ditemukan

dari 89 pasien batu saluran kemih tersebut. Tampaknya

proporsi batu ginjal relatif stabil. Di rumah sakit di Amerika Serikat kejadian batu ginjal dilaporkan sekitar 7-10 pasien untuk setiap 1000 pasien rumah sakit dan insidens dilaporkan 7-21 pasien untuk setiap 10.000 orang dalam setahun. Pengambilan batu tanpa

operasi dengan litotripsi (extra corporeal shockwave

lithotripsy) atau penghancuran batu dengan gelombang kejut, telah banyak dilakukan pada beberapa pusat litotripsi.

serta dengan peningkatan pengeluaran biaya untuk PATOG EN ESIS DAN KLASIFI KASI

kebutuhan makanan perkapita. Di beberapa rumah sakit di Indonesia dilaporkan ada perubahan proporsi batu ginjal dibandingkan batu saluran

Pembentukan batu saluran kemih memerlukan keadaan

kemih bagian bawah. Hasil analisis jenis batu ginjal di

supersaturasi dalam pembentukan batu. Inhibitor

102

t026

GINJAL HIPERTENSI

pembentuk batu dijumpai dalam air kemih normal. Batu kalsium oksalat dengan inhibitor sitrat dan glikoprotein.

Sekitar delapan puluh persen pasien batu ginjal merupakan batu kalsium. dan kebanyakan terdiri dari kalsium oksalat atau agakjarang sebagai kalsium fosfat. Jenis batu lainnya terdiri dari batu sistin, batu asam rLrat dan batu struvit.

Beberapa promoter (reaktan) dapat memacu pembentukan batu seperli asam urat, memacu ba[u kalsium oksalat. Aksi reaktan dan inhibitor belum dikenali sepenuhnya. Ada dugaan proses ini berperan pada pembentukan awal atau nukleasi kristal, progresi kristal atau agregatasi kristal.

FAKTOR BISIKO PENYEBAB BATU

Misalnya penambahan sitrat dalam kompleks kalsium dapat mencegah agregatasi kristal kalsium oksalat dan

ini merupakan faktor utama predisposisi kejadian batu ginjal, dan menggambarkan kadar normal dalarn air kemih. Lebih dari 857c batu pada laki-laki dan'107o pada perempuan mengandung kalsium, terutama kalsium oksalat. Predisposisi kejadian batu khususnya batu kalsium dapat dijelaskan sebagai berikut: Faktor risiko di bawah

mungkin dapat mengurangi risiko agregatasi kristal dalam saluran kemih. Batu ginjal dapat terbentuk bila dijumpai satu atau

beberapa faktor pembentuk kristal kalsium dan menimbulkan agregasi pembentukan batu. Subyek normal

dapat mengekskresikan nukleus kristal kecil. Proses pembentukan batu dimungkinkan dengan kecenderungan ekskresi agregat kristal yang lebih besar dan kemungkinan sebagai kristal kalsium oksalat dalam air kemih. Proses perubahan kristal yang terbentuk pada tubulus menjadi batu masih belum sejelas proses pembuangan kristal melalui aliran air kemih yang banyak. Diperkirakan bahwa agregasi kristal menjadi cukup besar sehingga tertinggal dan biasanya ditimbun pada duktus kolektikus

H

iperkalsiuria

Kelainan ini dapat menyebabkan hematuri tanpa ditemukan pembentukan batu. Kejadian hematuri diduga disebabkan kerusakan jaringan lokal yang dipengaruhi oleh agregasi kristal kecil. Peningkatan ekskresi kalsium dalam air kemih dengan atau tanpa faktor risiko lainnya. ditemukan pada setengah dari pembentuk batu kalsium idiopatik. Kejadian hiperkalsiuria idiopatik diajukan dalam tiga bentuk:

akhir. Selanjutnya secara perlahan timbunan akan ini diperkirakan timbul pada bagian sel epitel yang mengalami lesi. Kelainan ini membesar. Pengendapan

Hiperkalsiuria absortif ditandai oleh adanya kenaikan absorpsi kalsium dari lumen usus. Kejadian ini palng

kemungkinan disebabkan oleh kristal sendiri.

banyak dijumpai.

- Usia - Jenis kelamin

- Profesi - Mentalitas

Konstitusi Nutrisi

-Musm - Ras

- Kelurunan

I - Kelainan Morfologi

- Gangguan aliran air keruh

- lnfeksi saluran

- Kelainan

- Faktor genetik

metabolik

kemih

I Ekskresi bahan batu

pembentukl

meningkat

I

Efskrgsi inhibitor kristal menurun

I Perubahan f isiko-kimiawi supersaturasi

I - Kelainan kristaluria - Agregalasi kristal - Pertumbuhan kristal

I BATU SALURAN KEMIH

Gambar 1. Aspek umum pembentukan batu saluran kemih (dipengaruhi oleh banyak faktor)

t027

BATU SALURAN KEMIH

Hiperkalsiuria puasa ditandai

adanya kelebihan kalsium,

diduga berasal dari tulang.

Jenis Cairan yang Diminum Jenis cairan yang diminum dapat memperbaiki masukan

Hiperkalsiuria ginjal yang diakibatkan keiainan reabsorbsi

cairan yang kurang. Minuman soft drink lebih 1 liter

kalsium di tubulus ginjal.

perminggu menyebabkan pengasaman dengan asam fosfor dapat meningkatkan risiko penyakit batu. Kejadian ini tidak

Kemaknaan klinis dan patogenesis klasifikasi di atas masih belum jelas. Masalah hiperkalsiuria idiopatik ini dapat

disebabkan oleh: a). diturunkan autonom dominan dan sering dihubungkan dengan kenaikan konsentrasi kalsitriol

plasma atau 1,25-dihidroksi vitamin D., ringan sampai sedang; b). masukan protein tinggi diduga meningkatkan kadar kalsitriol dan kecenderungan pembentukan batu ginjal. Faktor yang meningkatkan kadar kalsitriol belum jelas, kemungkinan faktor kebocoran fosfat dalam air kemih dianggap sebagai kelainan primer. Penurunan kadar fosfat

plasma dianggap akan memacu sistesis kalsitriol. Mekanisme ini dijumpai pada sebagian kecil pasien.

H

ipositraturia

Suatu penurunan ekskresi inhibitor pembentukan kristal dalam air kemih, khususnya sitrat, merupakan suatu

mekanisme lain untuk timbulnya batu ginjal. Masukan protein merupakan salah satu faktor utama yang dapat membatasi ekskresi sitrat. Peningkatan reabsorbsi sitrat akibat peningkatan asam di proksimal dijumpai pada asidosis metabolik kronik, diare kronik, asidosis tubulus ginjal, diversi ureter atau masukan protein tinggi. Sitrat pada lumen tubulus akan mengikat kalsium membentuk larutan kompleks yang tidak terdisosiasi. Hasilnya kalsium bebas untuk mengikat oksalat berkurang. Sitrat juga dianggap menghambat proses aglomerasi kristal. Kekurangan inhibitor pembentukan batu selain sitrat,

meliputi glikoprotein yang disekresi oleh sel epitel tubulus ansa Henle asenden seperti muko-protein Temm-

Horsfall dan nefrokalsin. Nefrokalsin muncul untuk mengganggu pertumbuhan kristal dengan mengabsorpsi permukaan kristal dan memutus interaksi dengan larutan kristal lainnya. Produk seperti mukoprotein Tamm-Horsfall dapat berperan dalam kontribusi batu kambuh.

Hiperurikosuria Hiperurikosuria merupakan suatu peningkatan asam urat air kemih yang dapat memacu pembentukan batu kalsium, minimal sebagian oleh kristal asam urat dengan membentuk nidus untuk presipitasi kalsium oksalat atau presipitasi kalsium fosfat. Pada kebanyakan pasien dengan lebih ke arah diet purin yang tinggi.

jelas, tetapi sedikit beban asam dapat meningkatkan ekskresi kalsium dan eksresi asam urat dalam air kemih serta mengurangi kadar sitrat air kemih. Jus apel dan jus anggur juga dihubungkan dengan peningkatan risiko pembentukan batu, sedangkan kopi, teh, bir, dan anggur diduga dapat mengurangi risiko kejadian batu ginjal.

Hiperoksaluria Merupakan kenaikan ekskresi oksalat di atas normal. Ekskresi oksalat air kemih normal di bawah 45 mg/hari (0,5

mmol/hari). Peningkatan kecil ekskresi oksalat menyebabkan perubahan cukup besar dan dapat memacu presipitasi kalsium oksalat dengan derajat yang lebih besar dibandingkan kenaikan absolut ekskresi kalsium. Oksalat air kemih berasal dari metabolisme glisin sebesar 40 persen, dari asam askorbat sebesar 40 persen, dari oksalat diet sebesar 10 persen. Kontribusi oksalat dan diet disebabkan

sebagian garam kalsium oksalat tidak larut di .lumen intestinal. Absorbsi oksalat intestinal dan ekskresi oksalat dalam air kemih dapat meningkat bila kekurangan kalsium pada lumen intestinal untuk mengikat oksalat. Kejadian ini dapat terj adi pada tiga keadaan: a). diet kalsium rendah, biasanya tidak dianjurkan untuk pasien batu kalsium. b). hiperkalsiuria disebabkan oleh peningkatan absorbsi kalsium intestinal. c). penyakit usus kecil atau akibat reseksi pembedahan yang mengganggu absorbsi asam lemak dan

absorbsi garam empedu. Peningkatan absorbsi oksalat disebabkan oleh pengikatan kalsium bebas dengan asam lemak pada lumen intestinal dan peningkatan permeabilitas kolon terhadap oksalat. Hiperoksaluria dapat disebabkan oleh hiperoksaluria primer. Kelainan ini berbentuk kerusakan akibat kekurangan enzim dan menyebabkan kelebihan produksi oksalat dari

glikoksalat.

Ginjal Spongiosa Medulla Pembentukan batu kalsium meningkat pada kelainan ginjal spongiosa, medula, terutama pasien dengan predisposisi

faktor metabolik hiperkalsiuria atau hiperurikosuria. Kejadian ini diperkirakan akibat adanya kelainan duktus kolektikus terminal dengan daerah statis yang memacu presipitasi kristal dan kelekatan epitel tubulus.

Penurunan Jumlah Air Kemih Keadaan ini biasanya disebabkan masukan cairan sedikit. Selanjutnya dapat menimbulkan pembentukan batu dengan

peningkatan reaktan dan pengurangan aliran air kemih. Penambahan masukan air dapat dihubungkan dengan rendahnya jumlah kejadian batu kambuh.

Batu Kalsium Fosfat dan Asidosis Tubulus Ginjal Tipe 1 Faktor risiko batu kalsium fosfat pada umumnya berhubungan dengan faktor risiko yang sama seperti batu

kalsium oksalat. Keadaan ini pada beberapa kasus

1028

GINJAL HIPERTENSI

kemih sampai normal.

tulang. Penurunan pH air kemih disebabkan oleh peningkatan asam air kemih. Penurunan pH dapat menyebabkan presipitasi asam urat menjadi nidus

Faktor Diet

pembentukan batu kalsium. Presipitasi kalsium oksalat

diakibatkan ketidakmampuan menurunkan nilai pH air

Faktor diet dapat berperan penting dalam mengawali pembentukan batu. Contoh:

. .

Suplementasi vitamin dapat meningkatkan absorbsi kalsium dan ekskresi kalsium Masukan kalsium tinggi dinggap tidak penting, karena hanya diabsorbsi sekitar 6 persen dari kelebihan kalsium

yang bebas dari oksalat intestinal. Kenaikan kalsium air kemih ini te{adi penurunan absorbsi oksalat dan penurunan ekskresi oksalat air kemih. Faktor diet yang berperan penting pada kebanyakan pasien. dapat disebabkan oleh:

Masukan natrium klorida. Masukan natrium yang tinggi dapat meningkatkan ekskresi kalsium. Hubungan ini diperkirakan disebabkan sebagian oleh reabsorbsi kalsium secara pasif mengikuti natrium dan air pada tubulus proksimal dan sepanjang lengkung Henle. Penurunan reabsorbsi natrium proksimal disebabkan oleh volume berlebih menyebabkan pengurangan transportasi kalsium dan peningkatan ekskresi kalsium air kemih. Peningkatan masukan natrium dari 80 ke 200 meq/hari pada pembentuk

batu dengan hiperkalsiuria idiopatik, dilaporkan menyebabkan kenaikan ekskresi kalsium sebesar40 persen (dari278 ke 384 mg/harir atau 7 ke 9,5 mmolftrari). Suatu penelitian melaporkan peningkatan risiko pembentukan batu pada perempuan dengan masukan natrium tinggi, namun tidak pada pria. Mekanisme penurunan ekskresi sitrat air kemih akrbat masukan natrium tinggi belum jelas. Anion bersama natrium muncul menjadi determinan dari efek ekskresi kalsium. Untuk timbulnya kalsiuresis tampaknya diperlukan klorida. Hasil penelitian pada perawat dilaporkan bahwa pada perempuan dengan masukan natrium kelompok seperlima tertinggi mempunyai risiko relatif sebesar 1,3

berbeda dengan presipitasi asam urat karena tidak tergantung pada pH. Pembentukan batu bertambah dengan kenaikan turunan asam urat dan kenaikan ekskresi asam

urat. Penurunan pH cairan tubular dapat menurunkan ekskresi sitrat disebabkan oleh peningkatan reabsorbsi

sitrat di proksimal. Peningkatan ion hidrogen akan mengubah anion sitrat valensi tiga menjadi anion sitrat valensi dua, yang lebih mudah diabsorbsi kembali lewat

ko-transport natrium-sitrat pada membran luminal. Penurunan pH intraselular berperan dalam peningkatan pemakaian sitrat oleh sel. Pengurangan sitrat dalam sel menyebabkan sitrat mengalir dari lumen tubular ke dalam sel. Hipositraturia akibat asidosis dapat menambah pembentukan batu pada pasien dengan diet protein tinggi. pasien dengan diare kronik atau dengan minum obat inhibitor asetazolamrd.

Masukan Kalsium. Masukan kalsium memiliki efek paradoks pada pembentukan batu. Untuk setiap peningkatan masukan kalsium 100 mg, pada subyek normal dilaporkan sekitar delapan persen diabsorbsi dan kemudian diekskresi dan pada pasien hiperkalsiuria sebesar

20 persen. Diet kalsium tinggi diperkirakan dapat menimbulkan penyakit batu, meskipun insidens pembentukan batu ditemukan menurun pada kelompok pria dan perempuan. Pengikatan oksalat diet dalam usus lebih dapat menjelaskan terjadinya pengurangan aLrsorbsi dan

pengurangan ekskresi oksalat air kemih. Besarnya pengurangan persentase kenaikan ekskresi kalsium, bila ekskresi oksalat lebih rendah dibandingkan ekskresi kalsium. Supersaturasi relatif air kemih terhadap kalsium oksalat ditemukan menurun. Masukan diet tinggi kalsium

Masukan protein. Masukan protein tinggi umumnya

dihubungkan dengan kejadian batu ginjal yang rendah pada penelitian kesehatan "perawat" mengubah pandangan tentang ekskresi oksalat dalam air kemih. Risiko relatif batu dilaporkan sebesar 0,65 pada kelompok masukan kalsium terlinggi dibanding dengan kelompok masukan kalsium

dihubungkan dengan peningkatan insidens penyakit batu.

terendah. Sebaliknya masukan tambahan kalsium

untuk timbulnya batu dengan keluhan, dibandingkan kelompok seperlima terendah.

Hal ini disebabkan peningkatan kalsium dan asam urat, fosfat dan penurunan ekskresi sitrat. Sebagian besar protein hewani mempunyai proporsi kandungan fosfat 1015 kali dibandingkan kandungan kalsium. Namun, pada keong sawah/ emas didapatkan proporsi kalsium yang lebih tinggi dibandingkan kandungan fosfat (212168). Masukan protein dan metabolisme purin dan sulfur menghasilkan asam amino dan asam urat. Keadaan ini akan memacu pembentukan batu kalsium. Hal ini disebabkan peningkatan ekskresi kalsium dan asam urat dan penurunan ekskresi sitrat. Gangguan ini dapat diperberat dengan masukan natrium tinggi. Kenaikan ekskresi kalsium dalam air kemih

dapat pula disebabkan oleh penglepasan kalsium dari

dilaporkan meningkatkan risiko relatif sebesar 1,2 dibanding

kelompok tanpa masukan tambahan kalsium. Perbedaan hasil diduga karena perbedaan saat pemberian masukan kalsium. Pemberian masukan kalsium pada waktu makan akan mengikat masukan oksalat secara maksimal. Bila diberikan di luar saat makan, kalsium kehilalgan kesempatan

mengikat masukan oksalat, sehingga oksalat tetap diekskresi dan kalsium tetap bebas dalam lumen intestinal. Akhirnya akan terjadi kenaikan absorbsi kalsium dan kenaikan ekskresi kalsium dalam air kemih.

Masukan kalium. Diet tinggi kalium dapat mengurangi risiko pembentukan batu dengan menurunkan ekskresi kalsium dan dengan meningkatkan ekskresi sitrat dalam air

t029

BATU SALURANKEMIH

kemih. Dua hasil penelitian medapatkan penurunan risiko pembentukan batu dengan masukan kalium. Penelitian secara acak dengan suplemen kalium sitrat menunjukkan efek protektif.

Sukrosa. Telah diketahui bahwa sukrosa dan turunan karbohidrat lainnya dapat meningkatkan ekskresi kalsium

Pengenalan ke semua faktor risiko batu ginjal diperlukan untuk tindakan evaluasi dan tindakan pengobatan pasien dengan penyakit batu kambuh. Cara penetapan diagnosis penyebab batu: l. Riwayat penyakit batu (ditanyakan jenis kelamin, usia, pekerjaan, hubungan keadaan penyakit, infeksi dan

penggunaan obat-obatan. Riwayat tentang keluarga yang menderita batu saluran kemih, pencegahan, pengobatan yang telah dilakukan, cara pengambilan batu, analisis jenis batu, dan situasi batunya).

dalam air kemih dengan mekanisme yang belum diketahui. Dalam dua penelitian yang melibatkan perempuan, masukan

tinggi sukrosa berhubungan dengan peningkatan risiko pembentukan batu, namun tidak pada laki-laki.

Vitamin. Mtamin C (asam askorbat) dalam dosis besar merupakan salah satu risiko pembentukan batu kalsium

2. Gambaran batu saluran kemih dilakukan pemeriksaan:

a.

oksalat. Secara in vivo, asam askorbat dimetabolisir menjadi

oksalat yang diekskresikan dalam air kemih. Suatu penelitian potong lintang berskala besar mendapatkan peningkatan risiko pembentukan batu pada laki-laki dan perempuan yang mengkonsumsi suplemen vitamin C. Namun, dalam penelitian prospektif didapatkan tidak

Ultrasonografi . dapat menunjukkan ukuran, bentuk dan posisi batu . pemeriksaan ini diperlukan pada perempuan hamil dan pasien yang alergi kontras radiologi . dapat diketahui adanya batu radiolusen dan

dilatasi sistem kolektikus. Keterbatasan pemeriksaan ini adalah kesulitan untuk menunjukkan batu ureter, dan tidak dapat membedakan batu kalsifikasi dan batu

adanya hubungan antara risiko pembentukan batu dengan masukan vitamin C meskipun dalam dosis tinggi lebih dari 1500mg/hr. Hal ini mungkin disebakan oleh masukan vita-

min C yang relatif tinggi pada kelompok referensi yang

radiolusen.

mengurangi tingkat ketelitian pada perbedaan yang tipis, sehingga masih merupakan hal yang mungkin bahwa masukan vitamin C dengan dosis tinggi meningkatkan risiko pembentukan batu. Vitamin 86 (piridoksin) bermanfaat mengurangi ekskresi oksalat dalam air kemih pada pasien

b. Pemeriksaanradiografi Foto abdomen biasa ' dapat menunjukkan ukuran, bentuk dan posisi . membedakan batu kalsifikasi ' densitas tinggi: kalsium oksalat dan kalsium

dengan hiperoksaluria idiopatik. Suatu penelitian mendapatkan penurunan risiko pembentukan batu pada perempuan yang mengkonsumsi vitamin 86lebih dari 40mg/ hr, namun tidak pada laki-laki.

. .

Asam lemak. Suatu penelitian jangka pendek menunjukkan penurunan ekskresi kalsium air kemih pada

densitas rendah: struvite, sistin, dan campuran

keduanya indikasi dilakukan uji kualitatif sistin pada pasien muda

Keterbatasan pemeriksaan foto sinar tembus

pasien hiperkalsiuria idiopatik setelah pemberian suplemen kapsul minyak rkan (eicosapentanoic acid). Pemberian suplemen kapsul minyak ikan pada l2 pembentuk batu hiperkalsiuria selama 8 minggu

abdomen adalah tidak dapat untuk menentukan batu

radiolusen, batu kecil dan batu yang tertutup bayangan struktur tulang. Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan batu dalam ginjal dan batu luar

menurunkan ekskresi kalsium air kemih sebesar 36Vo dan

ekskresi oksalat sebesar 517o.

c.

Masukan air. Peningkatan volume masukan air dapat mengurangi risiko pembentukan batu sehingga sangat

ginjal. Urogram . Deteksi batu radiolusen sebagai defekpengisian

(filling) (batu asam urat, xantin,

dianjurkan bagi para pasien batu ginjal, maupun untuk

.

proteksi. Suatu penelitian pada insidensi pembentukan batu

dan suatu studi acak terkontrol mendapatkan bahwa

2,8-

dihidroksiadenin ammonium urat)

Menunjukkan lokasi batu dalam sistem

kolektikus Menunjukkan kelainan anatomis d. CT-scan helikal dan kontras Investigasi biokimiawi Pemeriksaan laboratorium rutin, sampel dan air kemih.

.

peningkatan masukan air menurunkan pembentukan batu.

Dengan meningkatnya volume air kemih maka tingkat kejenuhan kalsium oksalat menurun sehingga mengurangi kemungkinan pembentukan kristal.

fosfat

3.

Pemeriksaan pH, beratjenis airkemih, sedimen air kemih

untuk menentukan hematuri, leukosituria, EVALUASI PASIEN BATU GINJAL Besarnya nilai faktor risiko dalam menimbulkan penyakit batu bervariasi sesuai dengan populasi yang ada.

dan

kristaluria. Pemeriksaan kultur kuman penting untuk adanya infeksi saluran kemih. Apabila batu keluar, diperlukan pencarian faktor risiko dan mekanisme timbulnya batu.

1030

GINJAL HIPERTENSI

Perlu dilakukan:

. . . . .

supositoria).

pengurangan pH air kemih penampungan air kemih dengan bahan pengawet 1 0 mL timol 5 Vo di dalam isopropanol untuk 2 L, atau

Pengambilan Batu. a). Batu dapat keluar spontan. Bila masalah akut dapat diatasi, gambaran radiologis yang

15mLHC16N

selanjutnya. Berdasarkan ukuran, bentuk dan posisi batu dapat diestimasi batu akan keluar spontan atau harus diambil. Sekitar 60-707o daribafiyang turun spontan sering disertai dengan serangan kolik ulangan. Diberikan terapi atau untuk pencegahan kolik, dijaga pembuangan tinja tetap baik, diberjkan terapi antiedema dan diberikan diuresis, serta aktivitas fisis. Batu tidak diharapkan keluar spontan bilabatu ukuran sebesar atau melebihi 6mm, diserlai dilatasi hebat pelvis, infeksi atau sumbatan sistem kolektikus dan

pemeriksaan serum

mengikuti protokol diet

Cara Pengumpulan air kemih pada hari penampungan air kemih, air kemih dibuang

.

sesudah bangun pagi dan dicatat waktu

. . .

sintesis prostaglandin (intravena, intramuskular, atau

penampungan airkemih 24 jam(atau waktu tertentu)

pengosongan air kemih sesudahnya, semua air kemih ditampung ke dalam botol. Diusahakan jangan ada air kemih yang hilang,

ditemukan adalah merupakan basis penanganan

tampungan disimpan dalam tempat dingin

keluhan pasien terhadap nyeri dan kerapan nyeri. Bila

penampungan sarnpai dengan waktu yang sama

diperkirakan tidak memungkinkan keluar spontan dilakukan tindakan pengambilan batu dan pencegahan batu kambuh.

dengan sehari sebelumnya

bila pengumpulan lengkap, kemudian dibawa ke laboratorium secepatnya

b). Pengambilan batu: gelombang kejutan litotrips ekstrakorporeal, perkutaneous nefrolitomi/cara 1ain, pembedahan

PENGOBATAN Tujuan pengobatan : Mengatasi Gejala. Batu saluran kemih dapat menimbulkan keadaan darurat bila batu turun dalam sistem kolektikus dan dapat menyebabkan kelainan sebagai kolik ginjal atau infeksi di dalam sumbatan saluran kemih. Nyeri akibat batu saluran kemih yang dapat dijelaskan lewat dua mekanisme:

(1) dilatasi sistem sumbatan dengan peregangan reseptor sakit dan (2) iritasi lokal dinding ureter atau dinding pelvis ginjal disertai edema dan penglepasan mediator sakit. Keluhan nyeri kolik batu saluran kemih dapat dilakukan diagnosis banding dengan keadaan sepefti: a). Kolik ginjal akibat penyakit urologi yang lain, seperti aliran bekuan darah, aliran jaringan nekrotik, striktur, kompresi atau angulasi berat ureter, b). Nyeri abdomen oleh sebab lain, seperti gastrointestinal (apendisitis, kolesistitis, batu empedu, pankreatitis), vaskular (infark ginjal, infark limpa, aneurisma aorta), ginekologi (kista ovariurn, adneksitis, kehamilan ektopik, endometriosis), dan lainnya (abses psoas, infark jantung, diabetes mellitus, feokromositoma).

Sumbatan dalam sistem kolektikus tidak. selalu dihubungkan dengan kolik ginjal. Kombinasi nyeri pinggang dan febris merupakan petanda, infeksi saluran kemih dan dilatasi sistem kolektikus yang merupakan

Pencegahan (Batu Kalsium Kronik-kalsium Oksalat) a. Menurunkan konsentrasi reaktan (kalsium dan okasalat) b. Meningkatkan konsentrasi inhibitor pembentukan batu . Sitrat (kalium sitrat 20 mEq tiap malam hari, minum jeruk nipis atau lemon sesudah makan malam) . Batu ginjal tunggal (meningkatkan masukan cairan, mengkontrol secara berkala pembentukan batu baru) c. Pengaturan diet . Meningkatkan masukan cairan . Masukan cairan terutama pada malam hari akan

meningkatkan aliran kemih dan menurunkan konsentrasi pembentuk batu dalam air kemih. Dari hasil uji coba didapatkan pada tahun ke-5 insidensi

pembentukan batu baru pada kelompok banyak minum l27o drbanding kelompok konnoT2J Vo .Pada kelompok pembentuk batu jumlah air kemih harian

ditemukan 250-350 ml lebih sedikit dibanding

.

.

Kurangi masukan protein (sebesar 1glkg berat badan/hari). Masukan protein tinggi dapat

dan menurunkan sitrat dalam air kemih. Protein binatang diduga mempunyai efek menurunkan pH air kemih lebih besar dibandingkan protein sayuran karena lebih banyak menghasilkan

menyebabkan sepsis urologi dan dilaporkan mortalitasnya

Tindakan emergensi ditujukan kepada pasien dengan

dibandingkan kelompok peminum cairan lain.

meningkatkan ekskresi kalsium, ekskresi asam urat

sumbatan. Pengobatan hanya dengan pemberian antibiotiksaja kurang mer4adai. Infeksi progresif

kolik ginjal. Pasien dianjurkan untuk tirah baring dan dicari penyebab lain. Berikan spasme analgetik atau inhibitor

1

liter perminggu. Ditemukan kekambuhan batu sebesar 15 persen lebih tinggi dalam 3 tahun

petanda timbulnya kedaruratan untuk menghilangkan

lebihdai50Vo.

kelompok kontrol. Hindari masukan minum gas (soft drinks) lebih

.

asa1n.

Membatasi masukan natrium. Diet natrium rendah

(80 sampai 100 mq/hari) dapat memperbaiki reabsorbsi kalsium proksimal, sehingga terjadi

1031

BATU STALURAN KEMIH

.

pengurangan ekskresi natrium dan ekskresi kalsium. Penurunan masukan naffium dari 200 sampai 80 meq/

KESIMPULAN

hari dilaporkan mengurangi ekskresi kalsium

Penanganan batu saluran kemih dilakukan dengan pengenalan sedini mungkin. Tatalaksana awal yang

sebanyak l00mg/hari (2,5 mmol/hari).

Masukan kalsium. Pembatasan masukan kalsium tidak dianj urkan. Penurunan kalsium intestinal bebas akan menimbulkan peningkatan absorbsi oksalat oleh pencemaan, peningkatan ekskresi oksalat dan meningkatkan saturasi kalsium oksalat air kemih. Diet kalsium rendah dapat merugikan pasien dengan hiperkalsiuria idiopatik karena keseimbangan kalsium negatif akan memacu pengambilan kalsium dari

tulang dan dari ginjal. Keadaan ini

dilakukan adalah evaluasi faktor risiko batu saluran kemih. Terapi diberikan untuk mengatasi keluhan dan mencegah serta mengobati gangguan akibat batu saluran kemih. Pengambilan batu dapat dilakukan dengan pembedahan/ litotripsi dan yang terpenting adalah pengenalan faktor

risiko sehingga diharapkan dapat memberikan hasil pengobatan dan memberikan pencegahan timbulnya batu saluran kemih yang lebih baik.

akan

memperburuk penurunan densitas tulang pada ibeberapa pasien.

Pembe\an Obat (untuk mencegah presipitasi batu baru kalsium oksalat, disesuaikan kelainan metabolik yang ada). a). Hiperkalsiuria idiopatik. Batasi pemasukan garam dan diberikan diuretic tiazid seperti hidroklorotiazid perhari 2550mg. Regimen ini dapat menurunkan ekskresi kalsium

sebanyak 150 mg/hari (3,75 mmol/hari). Keduanya menurunkan insidensi batu baru sebesar 90 persen (walaupun ada perbaikan 50 sampai 65 persen pada pasien

sebagai kelompok plasebo). Hindarkan terjadinya hipokalemia, bila perlu ditambahkan kalium sitrat atau kalium bikarbonat. b). Pemberian fosfat netral (orlofosfat), yang mengurangi ekskresi kalsium dan meningkatkan

ekskresi inhibitor kristalisasi (seperti pirofosfat). c). Hiperurikosuria (diberikan alopurinol 100 sampai 300 mg/ hari). Pembentukan batu baru menurun sampai 80 persen dengan alopurinol (hanya 60 persen dengan plasebo). d). Hipositraturia (diberikan kalium sitrat). Hasil penelitian dengan kontrol dilaporkan insidens pembentukan batu baru menurun pada pasien hipositraturia dari 1,2 jadi 0,1 per tahun pasien dalam kelompok yang diberikan kalium sitrat dibandingkan kelompok plasebo yang tidak berubah. Manfaat ini dihubungkan dengan ekskresi sitrat dalam air kemih meningkat dua kali. Pemberian minuman 2 buah jeruk nipis diberikan sesudah makan malam pada pasien batu ginjal kalsium dengan hipositraturia dilaporkan dapat meningkatkan ekskresi asam sitrat dan pH air kemih di atas 6 secara bermakna. Masukan 4 ons jus lemon perhari

(dicampur dengan air sebanyak 2 liter) meningkatkan ekskresi sitrat air kemih pada 11 dari 12 pasien (rata-rata peningkatan 142 sampai 346mglhai). e). Hiperoksaluria enterik, diusahakan pengurangan absorbsi oksalat intestinal, dibenkan banyzk masukan cairan, kalium sitrat (kalsium

REFERENSI Alpern RJ, Sakhaee K. Does hiperphosphaturia underline hypercalciuria? Lancet. I 997;349-5 Andersen

I 8.

DA. The nutritional significance of primary bladder stone

Br J Uro1.l962;160-11 .50. Baggio B, Priante G, Brunati AM, Clari G, Bordin L. Specific modulatory effect of arachidonic acid on human red blood cell oxalate transport:clinical implications in calcium oxalate nephrolithiasis. J Am Soc Nephrol. 1999;10 Suppl 14:5381-4. Barcelo P, Wuhl O, Servitge E, Rousaud A, Pak. CYC. Rdtidomized double-blind study of potassium citrate in idiophatic hypocitraturic

calcium nep'hrolithiasis J Urol. 1993;1-50:1161-4. Bataille P, Archard Jm, FournierA, Boudaillie B, westeel PF, et al. Diet, vitamin D and vertebral mineral density in hypercalciuric calcium stone formers. Kidney Int. 1991;39:1193-205. Borghi L, Meschi T, Amato fl Briganti A, Novarini A, Giannini A. Urinary volume, water and reccurences in idiophatic calcium nephrolithiasis: a 5-year randomized prospective study. J Urol. I 996;l 55:839-43. Breslau NA, Brinkley L, Hill KD, Pak CYC Relathionship of animal protein-rich diet to kidney stone formation and calcium metabolism. J Clin Endocrinol Metab. 1988;66:140-6. Breslau N, Padalino N, Kok D, Yom Y, Pak C. Physicochemical effects of a new show-release potassium phosphate preparation (UroPhos-K) in absorptive hypercalciuria. J Bone Miner Res. 1 995: I 0:3 94-400.

Buck AC, Davis RL, Harrison T. The protective role of in the pathogenesis of nephrolithiUrol. 1991:146:188-94. Coe FL, Parks JH, Asplin JR The pathogenesis and treatment of kidney stones N Engl J Med. 1992;321:)147-52. Coe F, Parks J. Nephrolithiasis: pathogenesis and treatment. eicosapentaenoic acid (EPA) asis. J

Chicago Year Book Medical; 1988. Coe FL, Favus MJ, Braunwald E. Nephrolithiasis. Harrison's principles of internal medicine 1l'h edition. Tokyo: Mc Graw

Hill:

1987.

D, Stampfer MJ.

sitrat untuk mengkoreksi asidosis metabolik bila ada), kalsium karbonat (kalsium karbonat oral I sampai 4 g/hari untuk mengikat oksalat lumen intestinal). Walaupun

Curhan GG, willet WC, RimmEB, Spielgelman

beberapa kalsium diabsorbsi, terjadi penurunan proporsi pada ekskresi oksalat. Berikan diet rendak lemak dan diet rendah oksalat. Perlimbangan pemberian fosfor elemental sebagai fosfat netral. f). Batu kalsium fosfat. Seperti pada pasien kalsium oksalat dapat diberikan kalium sitrat.

of dietary calcium and other nutrients and the risk of symptomatic kjdney stones. N Engl J Med. 1993;328:833-8 Curhan GC. Diet and the prevention of kidney stones. Nephrology

Prospective study of beverage use and the risk of kidney stones.

Am J Epidemiol. 1996;143:240-7 Curhan GC, Willet WC, Rimm EB, Stamfer MJ. A prospective study

Rounds. 2004;2. Curhan GC, Willet WC, Rimm EB, Spielgelman D, Stamfer Mj. A

1032

GINJAL HIPERTENSI

of dietary calcium and others nutrients and the risk of symptomatic kidney stones. N Engl J Med prospective study 1

993:3 28:8 3 3-

8

Curhan GC, Wil1et WC, Rimm EB, Stamfer MJ. Intake of vitamin 86 and C and the risk of kidney stones in women. J Am Soc Nephrol. 1999: I 0:840-5.

Melnick JZ, Srere PA, Eishourbagy NA. Adenosine triphophate citrate lyase mediates hypocitraturia in rats. J Clin Invest. 1996;98:2381. Muldowney FP, Freaney R, Barnes E. Dietary chloride and urinary calcium in stone disease. Q J Med. 1994;87:-50i. Muldowney FP, Freaney R, Moloney MF. Importance of dietary

Curhan GC, Willet WC, Rimm EB, Stamfer MJ. A prospective study

sodium in the hypercalciuria syndrome Kidney Int.

of the intake of vitamins C and 86, and the risk of kidney stones in men. J Urol 1996:155:1947-51. Curhan GG, Willet WC, Speizer FE, Spiegelman D, Stamfer MJ.

Obialo C1, Clayman RV, Matts JP, Fitch LL, Buchwald H, Gillis M, et

Comparison of dietary calcium with supplemental calcium and other nutrients as factors affecting the risk for kidney stones in

women Ann Intdrn Med 1997'.126:491 Ettinger B, Tang A, Citron JT, Livermmore B, Williams T. Randomized..trial of allopurinol in prevention of calcium oxalate ca..lculi. N Engl J Med. 1986; 315:1386-9. Ettinger B, Citron JT, Livemore B, Dolman LI. Chlorthalidone reduces calcium oxalate calculous reccurence but magnesium hydroxice does not. J Urol. 1988;139:619-84. Frangos PN, Rous SN. lncidence and economic factors in urolithiasis. In: Rous, editor. Stone disease diagnosis and management Florida: Grune & Stratton; 1987. p. 3-10. Friedman PA, Gesek FA. Calcium transport in renal epithelial cells.

Am J Physiol. 1993264:FI8l-98 Gamboro G. Petrarulo M Nardelotto A, Marangella M, Baggio B, Erythrocyte transmembrane flux and renal clearence of oxalate in idiopathic calcium nephrolithiasis Kidney Int 1995:,48:1549-52. Gault MH, Chafe LL, Morgan JM. Parfrey PS, Harnett JD, Walsh

EA, et al. Comparison of patients with idiophatic calcium phosphate and calcium oxalate stones. Medicine (baltimore). 1991t7 0:315-59.

Hamm

LL. Renal handling of citrate. Kidney Int. 1990;38:728 L Jaeger P Citrate and calcium effects on Tamm-

Hess B. Zipperle

Horsfall glycoprotein as a modifier of calcium oxalate crystal anggregation. Am J Physiol. I990;265:F184-91. Johnson CM, Wilson DM, O'Fallon WM, Malek RS, Kirland LT. Renal stone epidemiology:a 25-year study in Rochester, Minnesota. Kidney Int. 1919;16:624-31 Kok DJ, Papapoulus SE, Bijvoet OL. Crystal agglomeration is a major element in calcium oxalate urinary stone formation. Kidney Int. 1990;37:51-6. Kok DJ, Khan SR. Calcium oxalate nephrolithiasis, a free or fiexd particles disease. Kidney Int. 7994;46:841-54. Lemann J Jr Composition of the diet and calcium kidney stones (editional). N Engl J Med. 1993;328:880. Lemann J Jr, Piering Wfl Lennon EJ. Possible role of carbohydrateinduced calciuria in calcium oxalate kidney-stone formation. N Engl J Med. 1969;280(5):232-7. Lieske JC, Toback FG Regulation of renal epirhelial cell endocytosis

of calcium oxalate monohydrate crystals Am J 1

993:264:F800-7.

Physiol.

I982:22:292-6.

al. Pathogenesis of nephrolithiasis post-partial i1eal bypass surgery: case-control study. Kidney Int. 199).;39:7249-54 Parivar F, Low RK, Stoller ML Influence of diet on urinary stone disese. J Uro1. 1996;155:432-40. Parks JH, Coe FL A Urinary calcium-citrate index for the evaluation of nephrolithiasis. Kidney Int. 1986;30:85-90 Pyrah LH. Renal calcuius. l''edjtion. New York: Spinger; 1979 Rahardjo B, Suwito A. Batu saluran kencing dl Rumah Sakit Dr. Kariadi di Semarang. Symposium batu kandung kencing di Semarang, 1I Agustus, 1986. p. 38-51.

Robertson WG. Dietary factors important in calcium stones infor-rnation In: Schwille, P.O, editors New York: Plenum; 1985.

p

73-6.

Robeftson WG, Peacock

M. Calcium oxalate crystalluria and inhibi-

tors of crystallization inn recurrent renal stooeformers Clin Sci 1972:213:2199-506 Sakhee K. Harvel, J4. Pedalino PK. Whitson P, Pak CYC The potential role of salt abuse on the risk for kidnel' stone formation J Urol. 1993:150:310-2 Seltzer MA, Low RK. McDonald M, Shami GS. Stoller ML. Dietary manipulation with lemonade to treat hypocitraturic calcium nephrolithiasis. J Urol. I 996;l 56:901 -9. Shuster J, Jenkins A. Logan C, Barnett T. Riehle R, Zackson D, Wolf'e H, Dale R, Daley M, Malik l. soft drink consumption and urinary stone recurrence: a randomized prevention trial J Clin

Epidemiol 1992:45:9 l1-6. Sja'bani M, Baskoro T Batu peturasa di Yogyakarta dan sekitarnl'a. Kumpulan simposium IAPI II, Bandung. Agustus 1975 Sja'bani M. Pengaruh pemberian kalium sitrat dan diet tinggi sitrat pada pasienbatu kalsiun ginjal pasca pengambilan batu. Berkala

Kedokteran Inpress. 1998. Sja'bani M. Pencegahan kekambuhan batu ginjal jenis batu kalsium idiopatik. Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Gadjah

Mada. 2004: 183-217

Srrith LH. Diet and Hyperoxaluria in the syndrome of idiopathic calcium oxalate urolithiasis Am J Kidney Dis. 1991;17:370-5. Soucie J, Coates R, McClellan W, Ausrin H, Thun M. Relation between geographlc variability in kidney stones prevalence and

risk factors for stones. Am J Epidemiol. 1996:143:481-95 Sukahatya M, A1i M. Batu ginjal, naskah lengkap Kopapdi III, Bandung. 1975. Takasaki E. Chronological variation in the chemical composition of upper urinary tract xalxuli. J Urol. 1996:136:5-9

t62 PENYAKIT GINJAL DAN KEHAMILAT{ Jose Roesma

KEHAMILAN DAN GINJAL NORMAL

gejala klinik. Pada perempuan tidak hamil keadaan ini tidak

diberi obat, tetapi pada kehamilan perlu diobati dengan antibiotika yang sesuai selama sekurang-kurangnya l0 hari. Hal ini disebabkan risiko timbulnya infeksi ginjall

Kehamilan normal merupakan suatu proses alamiah yang fisiologis bagi perempuan di mana semua organ mengalami penyesuaian, termasuk organ ginjal. Pada ginjal terjadi perubahan anatomi berupa pembesaran kedua ginjal dan pelebaran sistem pelviokalises di samping perubahan fisiologik berupa peningkatan aliran darah ginjal (507o) dan peningkatan laju hltrasi glomerulus.(1507c). Perubahan ini terjadi pada 24 minggu pertama dan ditandai dengan

Pielonefritis meningkat sampai 30 7o padakehamilan dan dapat ditekan sampai 3 Vo dengan pengobatan yang tepat dan cukup. Perlu diperiksakan biakan urin dan penyesuaian jenis antibiotika dengan hasil biakan. Bila

infeksi bersifat persisten perlu pengobatan supresif dengan nitrofurantoin. Sayang obat ini tidak lagi beredar di Indonesia. b). Sistitis. Sistitis adalah infeksi kandung

penurunan ureum dan kreatinin di bawah normal. Vasodilatasi pada kehamilan menyebabkan penurunan tekanan darah sampai 10 mm Hg dari normal dan naik kembali mendekati akhir kehamilan. Secara klinis perlu perhatian bahwa seorang perempuan hamil muda dengan kadar ureum, kreatinin, dan tekanan darah yang normal (pada perempuan tidak hamil) sebetulnya telah menderita

kemih dengan gejala sering kencing, nyeri waltu kencing dan rasa terdesak kencing. Sistitis bisa disertai adanya kuman (yang perlu diberi antibiotika yang sesuai) ataupun tanpa kuman (piuria steril) dan perlu dipertimbangkan adanya sindrom uretral. c). Pielonefritis. Pielonefritis pada kehamilan disertai gejd.a nyeri pinggang, demam, menggigil, mual dan muntah dan te{adi pada2Vokehamllwt.

gangguan fungsi ginjal dan prehipertensi.

Keadaan ini diobati dengan antibiotika parenteral, sebaiknya di rumah sakit sampai keadaan membaik,

diteruskan dengan terapi antibiotika oral, untuk

KEHAMILAN DAN PENYAKIT GINJAL

menghindari komplikasi sepsis dan gangguan kehamilan.

Kehamilan dan penyakit ginjal mempunyai dua aspek, yaitu kehamilan mempengaruhi progresi penyakit ginjal dan sebaliknya penyakit ginjal mempengaruhi proses kehamilan.

Gangguan ginjal akut. Gangguan ginjal akut (GGA) seperti juga pada perempuan tidak hamil dibagi 3 jenis, yaitu: a). Gangguan ginjal akut prerenal. Gangguan ginjal akut prerenal pada umunya disebabkan faktor hipovolemi baik

Penyakit ginjal yang sering ditemui pada kehamilan di

akibat dehidrasi, perdarahan (.abruptio placentae),

antaranya adalah:

dekompensasi kordis, dan sepsis. Sepsis sering ditemukan pada abortus kriminal padakehamilan muda. b). Gangguan

Infeksi traktus urinarius/infeksi saluran kemih (ISK).

ginjal akut renal. Gangguan ginjal akut renal umumnya

Infeksi traktus urinarius merupakan penyakit ginjal utama pada kehamilan dan disertai dengan risiko berat bayi rendah, kematian bayi dalam kandungan dan kelahiran prematur. Infeksi traktus urinarius yang sering ditemukan pada kehamilan adalah: a). Bakteriuria asimtomatik. Bakteriuria asimtomatik adalah adanya bakteri dengan

terjadi sebagai kelanjutan GGA prerenal atau iskemia ginjal dan akibat faktor toksik biasanya berupa tubular nekrosis akut (AIN). Dalam keadaan berat dapat terjadi nekrosis kortikal akut yang bersifat ireversibel. c). Gangguan ginjal akut Post Renal. Gangguan ginjal akut post renal umumnya

jumlah bermakna dalam urin (>100.000 kumar/rnl urin) tanpa

disebabkan obstruksi. Perlu disadari bahwa sistem

IT.,J

1034

GINJAL HIPERTENSI

pelviokalises pada kehamilan melebar sehingga sukar

PEMBEBIAN OBAT PADA WANITA HAMIL

dibedakan dengan pelebaran akibat obstruksi.

DENGAN GANGGUAN FUNGSI GINJAL

Gangguan ginjql kronik. Kehamilan dengan gangguan ginjal kronik salirig mempengaruhi. Gangguan ginjal kronik mempengaruhi kehamilan melalui beratnya ganggum fungsi

ginjal, derajat proteinuria dan tingginya tekanan darah. Pada gangguan fungsi ginjal yang ringanpun (kreatinin >1.5 mgVo) komplikasi berupa BB bayi rendah, kelahiran prematur dan kematian bayi meningkat. Penderita gangguan ginjal kronik yang hamil, progresi penyakit ginjalnya sangat tergantung fungsi ginjal saat awal kehamilan. Hal ini terlihat dari studi epidemiologik/

retrospektif yang telah dilakukan. Hal yang ikut

Mengatur pemberian obat dan dosisnya pada wanita hamil apalagi dengan gangguan fungsi ginjal merupakan masalah yang membutuhkan perhatian khusus. Dosis obat perlu disesuaikan dengan umur kehamilan dan derajat fungsi ginjal agar tidak berbahaya bagi ibu maupun janin. Dalam keadaan darurat, keselamatan ibu merupakan prioritas walupun pengaruh obat pada janin tetap perlu diperhatikan.

Obat yang sering menjadi pertimbangan adalah jenis

antibiotika, tuberkulostatika, obat imunosupresif serta

berpengaruh adalah penyakit penyerta pada pasien.

antihipertensif. Setiap jenis obat dari kelompok tersebut

utamanya derajat proteinuria dan tingginya tekanan darah. Katz menemukan l67c perempuan hamil dengan

perlu dipelajari tersendiri pengaruhnya terhadap kehamilan

gangguan fungsi ginjal ringan (kreatinin > 1 .5 mgVo) mengalami progresi ke tahap gagal ginjal tahap akhir (GGTA/ESRD). Cunningham mendapatkan 67o peremptrur hamil dengan gagal ginjal sedang (kreatinin 1,5-2,4mgVo) mengalami gagal ginjal tahap akhir sedangkan 45Vo perempuan hamil dengan gagal ginjal berat (kreatinin >2,5 mgTo) akan mencapai gagal ginjal tahap akhir. Pada penderita dengan gangguan ginjal kronik dan

kehamilan etiologi penyebab gagal ginjal tidak

dan dosisnya yang perlu disesuaikan dengan derajat gangguan fungsi ginjal. Untuk hal tersebut tersedia berbagai petunjuk khusus (leaflet promosi obat, literatur, dsb) karena tidak ada petunjuk umum yang berlaku pada

keadaan yang khusus (hamil dengan gangguan fungsi ginjal) ini.

GINJAL TRANSPLAN DAN KEHAMILAN

mempengaruhi prognosis kehamilan, kecuali pada pasien lupus nefritis dimana 507o penderita lupus nefritis akan

Transplantasi memperbaiki kesuburan pada penderita dengan gagal ginjal. Kehamilan dapat terjadi pada l2Vo

kambuh lupusnya waktu kehamilan disertai dengan penurunan fungsi ginjal dan 507o kehamilan akan disertai kematian janin. Dengan demikian dianjurkan penderita lupus harus stabil dulu kondisi lupusnya selama 6 bulan

penderita transplan dengan sukses sampai 907o sehingga kehamilan dapat direncanakan pada ginjal transplan setelah l-2 tahun post transplant dalam keadaan fungsi ginjal yang

sebelum kehamilan dimungkinkan. Adanya antikoagulan lupus serla antibodi kardiolipin menambah kemungkinan risiko komplikasi kehamilan pada lupus.

baik.

Bila kreatinin < 1.1 mgTc 94% kehamllan bisa sukses, dibandingkan l4Vc blla kadar kreatinin > 1 .4 mg%o. Juga progresi gangguan fungsi ginjal transplan pada kehamilan, seperti di luar kehamrlan, tergantung kepada fungsi ginjal prehamil, derajat proteinuria dan tingginya tekanan darah.

DIALISIS DAN KEHAMILAN Gagal ginjal tahap akhir disertai dengan kesuburan yang menurun dengan anovulasi sehingga kehamilan jarang terjadi pada pasien dialisis, kurang dai l7o. Kehamilan pada dialisis sering disertai abortus, hanya50% kehamilan sampai aterm, itupun disertai prematuritas (857o) dan BB bayi rendah (287o). Sebaiknya pasien dialisis yang hamil didialisis setiap hari untuk menghindari komplikasi baik bagi ibu maupun bayi.

REFERENSI

M Renal disease and pregnancy. Available online on http://www emedicine.com. Epstein FH. Pregnancy and renal disease. New Engl J Med. Agraharkar

1996:,335(4):271 -8 Schrier RW Kidney dlseases in pregnancy Diseases of the kidney

6th edition. Lippincott Williams & Wilkins; 1997

163 PENYAKIT GINJAL KRONIK Ketut Suwitra

MEKANlSME PENYAKIT GINJAL KRONIK

yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar

Batasan

diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG, yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut:

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi

(140

LFG (mVmnt/1,73m2)

- umur ) X berat badan

=

x)

72 X kreatinin plasma (mg/dl)

ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat penurunan fungsi ginjal pada penyakit ginjal

*) pada perempuan dikalikan 0, 85

t Klasifikasi tersebut tampak pada Tabel

2.

konik. Kriteriapenyakit ginjal kronik, seperti yang tertulis pada Thbel 1. Penjelasan

Derajat

Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau 1 Kerusakan ginjal dengan

Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi : kelainan patologis

LFG

Kerusakan ginjal dengan LFG J sedang Kerusakan ginjal dengan LFG J berat

-

2

J ringan

terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests) Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/meniU1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal

Gagal ginjal

LFG (ml/mn/1.73m'?)

>90

60-89 30-59 15-29 < 15 atau dialisis

Klasifikasi atas dasar diagnosis, tampak pada Tabel 3. Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 mUmenit/1,73m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.

Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus

Klasif ikasi

perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8Vo setiaptahunnya. Di Malaysia, dengan populasi

Epidemiologi

3

Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal

1

103

8

juta, diperkirakan terdapat 1 800 kasus baru gagal ginjal

1036

GINJAL HIPERTENSI

serum. Sampai pada LFG sebesar 6070, pasien masih belum

meiasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi Penyakit

Tipe mayor (contoh)

Penyakit ginjal diabetes

Diabetes tipe

Penyakit ginjal non diabetes

Penyakit glomerular (penyakit otoimun, infeksi sistemrk,obat, neoplasia) Penyakit vaskular (penyakii pembuluh darah besar, hipertensi, mikroangiopati) Penyakit tubulointerstitial (pielonefritis kronik, batu, obstruksi, keracunan obat) Penyakit kistik (ginjal polikstik)

Penyakit pada transplantasi

'1

dan 2

noktirria, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan

Rejeksi kronik Keracunan obat (siklosporin/ takrolimus) Penyakit re c u rre nt (glomerular) T ra n sp I a nt glome ru Iop athy

Di negara-negara berkembang lainnya, ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta

pertahunnya.

insiden

penipgkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFGlsebesar 307o, rnulai terjadi keluhan padapasien sepefii,

penduduk per tahun.

penuiunan berat badan. Sampai pada LFG dtbawah30%, pa-sien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih infeksi saluran napas, maupun

infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan 75o/o akan teqadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (ren al replacement the rapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.

kalium. Pada LFG di bawah

Etiologi Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu

Patof

isiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam

perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (szrviving nephrons) sebagai upaya kompensasi. yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler

negara den-san ne,qara lain. Tabel 4 menunjukan penyebab utama dan insiden penyakit ginal kronik di Amerika Serikat. Sedangkan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefn) tahun 2000 mencatat penyebab gagal ginjal yang menjalani hemodialisis di Indonesia, seperti pada Tabel 5.

Dikelompokkan pada sebab lain di antaranya, nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal

bawaan, tumor ginjal, dan penyebab yang tidak diketahui.

dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhimya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasamya sudah tidak

aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis reninangiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan

progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis renin-angiotansin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh g r ow th fac t o r seperti t r an sfo nnin g g r ow th fac t o r B (f GFp). Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap

lnsiden

Penyebab Diabetes mellitus - tipe 1 (7%) - tipe 2 (37ok) Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar

44%

Glomeru lonef ritis

100k

Nefritis interstitialis Kista dan penyakit bawaan lain Penyakit sistemik (misal, lupus dan vaskulitis) Neoplasma Tidak diketahui Penyakit lain

terjadinya progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibroisis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada stadiumpaling dini penyakit ginjal kronik, terjadi

kehilangan daya cadang gh.jal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin

Penyebab G lomeru

lonefritis

Diabetes Melitus Obstruksi dan infeksi Hipertensi Sebab lain

lnsiden 46,39Yo

18,65%

12,B5to 8,46% 13,65%

27%

3o/o

2Yo

2% 4Yo

1037

PENYAKITGINJALKRONIK

PENDEKATAN DIAGNOSTIK

perinefrik, gangguan pembekuair{41ah, gagal napas, dan obesitas.

Gambaran Klinis Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi: a).

Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes

melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya. b). Sindrom uremia, yang terdiri

dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruri tus, uremi c fro s t, peri kardi ti s, kej an g-kej ang

sampai koma. c). Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung. asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, khlorida).

Gambaran Laboratoris

PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:

. .

terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid

. .

memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal

. .

(comorbid condition)

pencegahan

dan terapi terhadap

penyakit

kardiovaskular pencegahan dan terapi terhadap komplikasi terapipengganti ginjalberupadialisisatautransplantasi ginjal.

Perencanaan tatalaksana (action plan) Penyaktt ginjal kronik sesuai dengan derajatnya, dapat dilihat pada Tabel 6.

Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:

a). Sesuai dengan penyakit yang mendasarilya. b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar

Derajat

kreatinin serum saja tidak bisa dipergunakan untuk

>90

memperkirakan fu ngsi ginj al. c). Kelain an biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia. hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia. asiCosis

metabolik. d). Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria. hematuri, leukosuria, cdsl, isostenuria.

LFG

Rencana tatalaksana

(ml/mnU1,73m'?)

terapi peyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi pemburukan (progresslon) fungsi ginjal, memperkecil risiko kardiovaskular

60-89

menghambat pemburukan (progression\ fungsi ginjal

30-59 15-29

evaluasi dan terapi komplikasi

4 5

< 15

persiapan untuk terapi peng ganti ginjal terapi pengganti ginjal

Gambaran Radiologis Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi:

a). Foto polos abdomen, bisa tampak batu radio-opak.

Terapi Spesifik Terhadap Penyakit Dasarnya

b). Pielograf,r intravena jarang dikerjakan, karena konffas serir.rg

Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan LFG, sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal

tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonograh

ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, kofieks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsihkasi. e). Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dike4akan bila ada indikasi.

Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan histopatologi ini bertujuan untuk

mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan dimana ukuran ginjal yang sudah mengectl (contracted kidney), ginjal polikistik, hipenensi yang tidak terkendali, infeksi

yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bilaLFG sudah menurun sampai 20-307o dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

Pencegahan dan Terapi Terhadap Kondisi Komorbid Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien Penyakit Ginjal Kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid (superimposed factors) yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktorfaktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi yang tidak terkontrol, infeksi traktus

urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya.

1038

GINJAL HIPERTENSI

Menghambat Perburukan Fungsi Ginial Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Skematik tentang patogenesis perburukan fungsi ginjal dapat dilihat pada

LFG

60

Tidak

- 60

0,6-0,8/kg/hari, termasuk nilai biologi tinggi

-25

0,6-0,8 /kg/hari, termasuk Z 0,35 protein nilai biologi tinggi atau tambahan 0,3 g asam amino esensial atau asam keton

>

Gambarl.

25

5

Kebocoran protein lewat glomerulus

t

./l

mediatorsl

)

Asupan protein g/kg/hari

ml/menit

dianjurkan

Fosfat g/kg/hari Tidak dibatasi

:

0,35

grlkg/hr

.

r/kg/hari .

< 60 O,8/kg/hr (+1 gr protein i g proteinuria (sindrom atau 0,3 g / kg tambahan asam amino nefrotik) esensial atau asam keton

<

1

0g

10 g

9g

pemburukan kerusakan nefron dengan mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan bahwa, pengendalian tekanan

Gambar 1. Patogenesis perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis

Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltasi glomerulus ini adalah: Pembatasan Asupan Protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG < 60 ml/mnt, sedangkan di atas nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6 - 0,8/kg.bb/hari, yang 0,35 - 0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang

diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, Dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkur. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat,

kelebihan protein tidak tidak disimpan dalam tubuh tapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain. yang terutama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion unorganik lainjuga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.

Masalah penting lain adalah, asupan protein berlebih (.protein overload) akan mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan intraglomerul w (intraglomeruLus hyperfiltration), yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan proteinjuga berkaitan dengan pembatasan asupan fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.

Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus. Pemakaian obat antihipertenasi, di samping bermanfaat untuk memperkecil risiko kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat

darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan asupan protein, dalam memperkecil hiperlensi intraglomerulus dan hiperlrofi glomerulus. Di samping itu. sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat

proteinuria. Saat ini diketahui secara luas bahwa. proteinuria merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi ginjal, dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan

dengan proses perburukan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik. Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Ensim Konverting Angiotensin (Angiotensin Converting En4,me/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai antihipefiensi dan antiproteinuria.

Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-45 Vo kematian

pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskul ar adalah, pengenda-lian

diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait

dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.

Pencegahan dan Terapi Terhadap Komplikasi Penyakit ginjal kronik mengakibatkan berbagai komplikasi

yang manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi.

Beberapa di antara komplikasi tersebut akan dibicarakan pada bagian ini, sedangkan sisanya dibicarakan pada bagian lain.

1039

PETTYAKIT GINJAL KRONIK

Derajat

Pe nj ela

LFG

san

Komplikasi

(ml/mnt)

Kerusakan ginlal dengan LFG

>90

normal

Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG ringan

60-89

Tekanan darah mulai 1

Penurunan LFG

30-53

Hiperfosfatemia Hipokalcemia

sedang

Anernia

Hiperparatiroid Hipertensi H

Penurunan LFG berat

15

-29

ipe

rhomos istinemia

Malnutrisi

Asidosis I\,4etabolik Cendrung h perkalemia Dislipidemia

Gagal ginjal

Gagal jantung Uremia

110 g7o atau hematokrrt<30?o, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/ senmt iron, kapasitas ikat besi total/Total Iron Bincling Copacih,, feritin serum),

mencari sumber perdarahan. morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya. Penatalaksanaan terutama ditujukan pada penyebab utamanya, di samping penyebab lain bila ditemukan. Pemberian eritropoitin (EPO) merupakan hal yang dianjurkan. Dalani pemberian EPO ini, status besi harus selalu mendapat perhatian karena EPO memerlukan besi dalam mekanisme kerjanya. Pemberian tranfusi pada penyakit ginjal kronik harus dilakukan secara hati-hati,

berdasarkan indikasi yang tepat dan pemantauan yan-q cermat. Tranfusi darah yang clilakukan secara tidak cermat dapat mengakibatkan kelebihan cairan tubuh, hiperkalemja dan pemburukan fungsj ginjal. Sasaran hemoglobin menurut berbagai stLrdi klinik adnlah l1-12 g/dl.

Osteodistrofi Renal Anemia Anemia terjadi pada 80-90o/o pasien penyakit ginjal kronik. Anemia pada penyakit ginjal kronik terutama disebabkan oleh defisiensi eritropoitin. Hal-hal lain yang ikut berperan dalam terjadinya anemia adalah. defisiensi besi, kehilangan deilah (rnisal, perdarahan saluran cerna. hematuri). masa hidLrp eritlosit 1,ang pendek akibat terladin-va hemolisis, defisiensi asam folat. penekanan sLlmsulrl tulang oleh substansi uremik. proses inflamasi akut maupun kronik Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hernoglobin

Osteodistrofi renal merupakan komplikasi penyakit ginlal kronik yang sering terjadi. Patofisiologinya dapat dilihat pada Gambar 2. Penatalaksanaan osteodistrofi renal dilaksanakan dengan cara mengatasi hiperfosfatemitr dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(Off)2D3). Penatalaksanaan hiperfosfatemia meliputi pembatasan asupan fosfat, pemberian pengikat fosfat dengan tujtran menghambat absorbsi fosfat di saluran cerna. Dialisis yang dilakukan pada pasien dengan gagal ginjal juga ikut berperaL.r dalam nrengata\i hiperfosl aterrria.

Penurunan funEsi ginial

Penurrnan

Cal

teionisasi

Osteilis fibrosa cystica (Hiqh -turnover bone disease)

Gambar 2. Patogenesis terjadinya osteodistrofi renal

1040

Men

a.

GINJALHIPERTENSI

gatasi Hiperfosfatemia

Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah tbsfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronik secara umum yaitu, tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terkandung

dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telor.

Asupan tbsfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dranjurkan, untuk men ghindari terj adinya maln utri si.

b.

Pernberian pengikat fosfat. Pengikat lbsfat yang banyak dipakai adalah, garam kalsium, aluminiurn hidroksida,

garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral, untuk menghambat absorbsi fosfat,vang berasal

dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat (CaC03) dan calciurr acetate.

c.

Thbel 9 memperlihatkan cara dan jenis pengikat fosfat, efikasi dan efek sampingnya. Pemberian bahan kalsium memetik (calcium mfinetic' agent). Akhir-akhir ini dikembangkan sejenis obat yang dapa[ rnenghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida" Obat ini disebut jtgactrlciunt mintetic agent, dan dilaporkan mempunyai efektivitas yang sangat baik serta efek samping yang rninimal.

masuk ke dalam tubuh dibuat seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun insensible water loss.

Dengan berasumsi bahwa air yang keluar melalui insen,sible wctter loss antara 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk dianjurkan 500- 800 ml ditambah jumlah urin.

Elektrolit yang harus diawasi asupannya adalah kalium dan natrium. Pembatasan kalium dilakukan, karena hiperkalemia dapat mengakibatkan aritmia jantung yang fatal. Oleh karena itu, pemberian obat-obat yang mengandung kalium dan makanan yang tinggi kalium (seperti buah dan sayuran) harus dibatasi. Kadar kalium darah dianjurkan 3,5-5,5 mEq/lt. Pembatasan natrium dimaksudkan untuk mengendalikan hipertensi dan edema. Jumlah garam natrium yang diberikan, disesuaikan dengan tingginya tekanan darah dan derajat edema yang terjadi.

Terapi Pengganti Ginjal (Renal Replacement Therapy) Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari l5 ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis. peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal.

REFERENSI Cara/Bahan Diet rendah fosfat Ar(oH)3 Ca CO3 Ca Acetat

Ms(oH)2lMsCo3

Efek Samping Tidak seialu mudah Bagus Sedang Sangat bagus Sedang

Malnutrisi lntoksikasi Al Hipercalcemia l/ual, muntah Intoksikasi lvlg

Pemberian Kalsitriol (1.25 (OHrD3) Pemberian kalsitriol untuk mengatasi osteodistrofi renal banyak dilaporkan. Tetaoi pemakaiannya tidak begitu luas, karena dapat rneningkatkan absorbsi fosfat dan kalsium di

saluran cerna sehingga dikha',vatirkan mengakibatkan penumpukan garam calcium carbonate dijaringan, yang disebut kalsifikasi metastatik. Di samping itu juga dapat mengakibatkan penekanan yang berlebihan terhadap kelenjar paratiroid. Oleh karena itu, pemakaiannya dibatasi pada pasien dengan kadar fosfat darah normal dan kadar hormon paratiroid (trTH) > 2,5 kali normal.

Pernbatasan Cairan dan Elektro!it Pembatasan asupan air pada pasien penyakit ginjal kronik, sangat perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah

terjadinya edem dan komplikasi kardiovaskular.

Air yang

Ciinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification and stratification, New York National Kidney Foundation. 2002. Mackenzie HS, Brenner BM Chronic renal failure and its systemic manifestations In: Brady HR. Wilcox CS. editors Therapy in nephrology and hypertension. Philadelphia: WB Saundres; 1999 p +oJ- /J. Skorecki K. Jacob Green, Brenner BM, Chronic renal failure Harrison's principles of intemal medicine. In: Kasper, Braunwald, Fauci, et a1, editors. 16s edition. Vol 1. New York: McGraw-Hill:

200s p.

1551-61.

Slatopolsky E, Brown A, Dusso A, et al. Pathogenesis of secondary

hyperparathyroidism Kidney Int. 1999;73;S14-S20

Wei Wang, Chan L. Chronic renal failure: manifestation and

In: Schier RW, editors. Renal and electrolyte disorders. 6'h edition. Philadelphia: Lippincott Williams &

pathogenesis,

Wilkins; 2003. p. 456-9'7. Wish JB. Anemia associated with renal failure. In: Hricik DE, Miller RT, Sedor JR, editors. Nephrology secrets. 2"d edition. Philadelphia: Henley & Belfus; 2003. p. 163-5. Yu TH. progression of chronic renal failure. Arch Intern Med. 2003;163: l4l7-29. Goodman WC; Medical management

of secondary hyperparathy-

roidism in chronic renal failure. Nephrol Dial Transplant. 2002;l 8:S3;32-9

t64 GANGGUAN GINJAL AKUT H.M.S. Markum

Perubahaan lstilah Gagal Ginjal Akut (Acute Renal Failure - ARF) Menjadi Gangguan Ginjal Akut (Acute Kidney lnjury -AKI)

PENDAHULUAN Gangguan Ginj al Akut B er at (GG A -Ac

ut e

Ki dney I nj ury)

-

AKI) yang memerlukan dialisis, mempunyai mortalitas

Pada tahun 1951 Homer W Smith memperkenalkan istilah

tinggi melebihi 507o. Nilai ini sangat tinggi apabila disertai

gagal ginjal akut

kegagalan multi organ. Walaupun terdapat perbaikan yang

-

acute renal failure. Istilah ini

mempunyai penekanan pada kegagalan faal ginjal yang lanjut. IstilahARF ini bertahan sampai tahun 2001. Dengan

nyata pada terapi penunjang, angka mortalitas belum banyak berkurang karena penyakit dasar yang berat

mortalitas yang masih tinggi dirasakan perlunya

seperti trauma, sepsis, usia pasien makin tua dan pasien tersebut juga menderita penyakit kronik lainnya.

mengetahui gangguan ginjal akut yang lebih awal.

Adanya pasien yang sembuh atau membaik dari penurunan fungsi ginjal yang mendadak menunjukkan terdapat derajat dari GGA dari ringan sampai berat. GGA dapat terjadi oleh bermacam sebab. Perbedaan geografis juga menentukan sebab dari GGA misalnya di negara maju GGA terjadi pada orang tua terutama pada usia lanjut sedangkan di negara berkembang lebih kerap timbul pada usia muda dan anak-anak misalnya karena malaria dan gastrointeristis akut. Laporan insidens GGA berlainan dari

Dengan mortalitas yang tinggi maka diperlukan pengertian yang lebih baik mengenai GGA. GGA telah dikenal oleh William Heberden pada tahun 1802 dan diberi istilah ischuria renalis. Walaupun beberapa peneliti terkenal yaitu Bowman, Charcot dan William membuat beberapa sumbangan pemikiran untuk kondisi ini namun sindrom ini dilupakan orang. Perhatian terhadap sindrom ini berkembang kembali saat perang dunia pertama dan terutama selama perang dunia ke dua. Laporan lengkap yang pertama mengenai GGA ditulis oleh Hackradt seorang ahli patologi Jerman pada tahun 1917, yang menjelaskan keadaan seorang tentara yang mengalami luka trauma berat. Laporan ini dilupakan orang sampai terjadinya perang dunia ke-2, pada saat London mendapat serangan Jerman, didapatkan banyak pasien crush kidney syndrome, yaitu pasien-pasien dengan

negara ke negara, dari klinik ke klinik, oleh karena kriteria

diagnostik yang tidak seragam dan kausa yang berbedabeda.

Dengan demikian diperlukan suatu cara berpikir baru yang bermanfaat bagi pengertian mekanisme timbulnya GGA, klasifikasi yang seragam dan pentahapan dari GGA yang berdampak pada pengobatan dan penelitian dari GGA. Perubahan istilah

trauma berat akibat tertimpa bangunan kemudian

1.

meninggal akibat GGA. Tonggak yang amat penting adalah dengan dimulai tindakan hemodialisis pada awal tahun 1950-an yang amat mengurangi kematian karena korban trauma akibat peperangan. Perkembangan penelitian lebih lanjut menunjukkan bahwa GGA yang dapat pulih kembali ini terjadi juga pada pasien dengan transfusi darah yang

2. 3.

tidak cocok, abortus, gangguan

hemodinamik kardiovaskular, sepsis dan berbagai akibat efek zat

GGA-AKI menyebabkan

:

Makna perubahaan nilai serum kreatinin yang sedikit meninggi dapat menyebabkan kondisi yang lebih berat. Istilah ganggtan(injury) lebih tepat dalam memberjkan pengertian patofisiologi penyakit dari pada istilah gagal (failure). Dipahami adanya tahap-tahap dari GGA

Sebagai contoh dapat dilihat daripada tabel berikut makna dari perubahan nilai kreatinin terhadap beratnya penyakit dan peningkatan biaya perawatan.

nefrotoksik.

t04

1042

GINJALHIPERTENSI

Kre

um *''l;ii""Blio*

tSS:liT #il:'fi:,

41(31-55) 65(50-85)

03 05

s7(7 1-132) 164(103-26)

10 2A

Abrupt(l-7)dEys derease ("25% in GFR, tr serum seatinlne x'l 5

084 086 084 083

Decr#sed UO Glative to fluid input UO
$stained

$4,886 $7,499 $1 3,200 $22,023

UO < 0 5

mglkoihxl2

h

UO<05mg/kg,/hx12 Aouria x 12h

Kategori

Kriteria Kreatinin serum

RIFLE

Kriteria UO Itreve6ible AKI or peEistent AK1 >4 we6ks

(A) The Acute Dialysis Quality lnitiative (ADQI) criteria for the definition and classification of AKI (i e. RIFLE criteria)

Risk NIUry

Failure

serum

Kenaikan kreatinin >1 5x nilai dasar atau penurunan GFR:25%

<0.5 ml/kg/jam for > 6/ jam

Kenaikan kreatinin serum >2 0x 5x nilai dasar atau penurunan GFR:50%

<0 5 ml/kg/jam atau >12ljam <0.3 mL/kg/jam

Kenaikan kreatinin serum >3.0x 5x nilai dasar atau penurunan GFR >75% or an

>24

mendadakminimal

05mg

AKIN nriforia

Kriteria Kreatinin serum

Tahap

Kriteria kreatinin serum Kenaikan kreatinin serum > 0 3 mg/dl (i 26 4 pmcl/l)atau kenaikan > 150% to 200o/o (1.5- sampai 2 kali lipat) dari nilai dasar Kenaikan kreatinin serum > 200% 300ok (> 2 - 3 kali lipat) dari kenaikan nilai dasar kreatinin serum 200"/0 - 300% (> 2 - 3 kali lipat) dari nilai dasar Kenaikan kreatinin serum > 300% (> 3 kali lipat) dari nilai dasar (or serum creatinine of more than or equal to 4 0 mg/dl [: 354 pmol/l]) with an acute increase ol at least 0 5 mg/dl [44 pmol/l])

permission from Lameire et al.

1am

anuria >12 jam

Nilai absolut kreatinin serum 4 mg dengan peningkatan

I

Gambar 1. RIFLE Criteria for Diagnosis of AKI Adapted with

Kriieria UO

Kriteria produksi unn Kurangdari 05ml/kg perjam lebih dari 6

nephrologi dan perhimpunan kedokteran gawat darurat. Atas dasar klasifikasi dan kriteria RIFLE dapat dibuat penelitian bersama memakai kaidah -kaidah yang sama. Sehingga dapat dilakukan usaha - usaha pencegahan dan pengobatan GGA yang lebih baik. AKIN sebagai bentuk kebersamaan dalam satu sistem jaringan yang luas diharapkan dapat memfasilitasi kerj asama penelitian.

KriteriaAKIN dapat meningkatkan insidens GGA tahap

awal, walaupun belum cukup kuat untuk perbaikan prognosis dibandingkan dengan kriteria RIFLE.

Jam

Kurangdari 05mlikg perjam lebih dari 12 Jam

Kurangdari 03ml/kg perjam lebih dari 24 jam atau anuria 12 lam

Definisi GGA Penurunan mendadak faal ginjal dalam 48 jam yaitu berupa kenaikan kadar kreatinin serum 20. 3 mgl dl (> 26.4 pmol/l), presentasi kenaikan kreatinin serum >50% (1.5 x kenaikan

dari nilai dasar), atau pengurangan produksi urin (oliguria yang tercatat < 0.5 ml/kg/jam dalam waktu lebih dari 6 jam). Kriteria diatas memasukan baik nilai absolut maupun

nilai persentasi dari perubahan kreatinine untuk menampung variasi yang berkaitan dengan umur, gender,

Klasifikasi ini menilai tahap GGA dari nilai kreatinin

indeks masa tubuh dan mengurangi kebutuhan untuk

serum dan diuresis. Kemudian ada upaya dari kelompok Acute Kidney Injury Network (AKIN) untuk memperlajam kriteria RIFLE sehingga pasien GGA dapat dikenali lebih awal. Klasifikasi ini lebih sederhana dan memakai batasan waktu 48 jam. Disadari bahwa GGA merupakan kelainan yang kompleks, sehingga perlu suatu standar baku untuk

pengukuran nilai basal kreatinin serum dan hanya diperlukan 2 kali pengukuran dalam 48 jam. Produksi air seni dimasukan sebagai kriteria karena mempunyai

prediktif

penegakan diagnosis dan klasifikasinya dengan berdasarkan kriteria RIFLE. Atas sistem ini rnasih

dan mudah diukur. Kriteria diatas harus memperhatikan adanya obstruksi saluran kemih dan sebab-sebab oliguria lain yang reversible. Kriteria diatas diterapkan berkaitan dengan gejala klinik dan pasien sudah mendapat cairan yang cukup.

memerlukan penelitian iebih lanj ut. Diharapkan penelitian

Perjalanan GGA dapat:

seperti

ini dilakukan oleh kelompok

perhimpunan

l.

Sembuh sempurxa

1043

GAI{GGUAIYGINJALAKUT

2.

Penurunan faal ginjal sesuai dengan tahap-tahap GGK Eksaserbasi berupa naik turunnya progresivitas GGK

/

gangguan ginjal akut seperti misalnya operasi kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi (infeksi kulit,

CKDtahap 1-4 4

perlu diperiksa: 1). Anamnesis yang baik, sefia pemeriksaan teliti ditujukan untuk mencari sebab

jasmani yang

(CKDtahap I -4)

Kerusakan tetap dari ginjal (GGK, CKD tahap 5) hal ini dapat dilihat di gambar berikut.

inf'eksi tenggorokan, infeksi saluran kemih)" riwayat bengkak, riwayat kencing batu 2). N{embedakan gangguan ginjal akut (GGA) dengan gangguan ginjal kronik (GGK) misalnya anemia dan ukuran ginjal yang kecil mentinir-rkkan

gagal ginjal kronis. 3). Untuk n.rendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjai yaitu kadar ureum, kreatinin atau laju filttzisi glomerulus. Pada pasien yang dirawat setralLr diperiksa asupan dan keluaran cniran, berat badan untuk memperkirakan adanya kehilatlgan atall kelebihan cairan tubuh. Pada gangguan ginjal akrLt yang berat dengan berkurangnya flngsi ginjal ekskresi air dan garam berkurang sehingga dapat menimbulkan edema bahkan sarnpai rerjadi kelebihan air yang berat atau edema

z tr O

zl Lr

J

zt.u t

paru. Ekskresi asam yang berkurang juga dapat menimbulkan asidosis metabolik dengan konrpensasi pemapasan kussurnaul. Unlumnya manifestasi GGA lebih

di dominasi oleh faktor-faktor presipitasi atau penyal
Gambar 2. Natural history of AKi Patients who develop AKI may experience (7) complete recovery of renal function, (2) development of progressive chronic kidney disease (CKD) (3) exacerbation of the rate ol progression of preexisting CKD; or (4) irreversible loss of kidney function and evolve into ESRD

DIAGNOSIS Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan GGA pre-renal, GGA renal dan GGA postrenal. Dalam menegakkan diagnosis gangguarl ginjal akut

merneriksa betulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serum loeatirrin tidak dapat niengukur secara tepat la-iu llltrasi glonrerulus karena tergantung dari produksi (otot), distribusi dalam cairan tubuh dan ekskresi oleh ginjal. ll). Kadar cystatin C serum. Walaupun belum Ciakui secarrr umum nilai serum cystatin C dapat menjadi indikator gangguan ginjal akut tahap awal yang cr.rkup dapat dipercaya. c). Volume urin. AnLrria akut atau oliguria berat merupakan indikator yang spesifik untuk gangguan ginjal akut, yang dapat terjadi sebelum perubahaan nilai-nilai biokirnia darah. Walaupun demikian volume urin pada GGA bisa bermacam-macam. GGA pre-renai triasanya hampir selalu disertai oliguria (< 400 mllhari), rvalaupun kadzrng-

Sedimen

Etiologi Prerenal

Torak hialin

lskemia

Sel epitel, muddy-brown cats, pig me nted granul a r casts Lekosit (WBC),Torak lekosit, eosrnophilis, Eritrosit (RBC), sel ePitel Dysmorphic RBCs, RBC cast Beberapa torak hialin, eritrosit Kristal asam urat

Nefritis interstitial akut GN Akut

Postrenal Lysis tumor Arterial / venous thrombosis Ethylene glycol

FEpa*

Fe-urea <1

<35 >2 >50 >1

Proteinuria Tidak ada atau samar Samar - ringan

Ringan - sedang

<1 early

Sedang - baik

<1 early >1 late

Eritrosit

Tidak ada atau samar Tidak ada ataLr samar Ringan - sedang

Kristal kalsium oksalat

Samar - Ringan

fi44

GINJALHIPERTENSI

kadang tidak dijumpai oliguria. GGA post renal dan GGA renal dapat ditandai baik oleh anuria maupun poliuria. d).

Prosedur

Kelainan analisis urin (Tabel 4). e). Petanda biologis (Biomarkers). Syarat petanda biologis GGA adalah mampu dideteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan

Anamnesis dan pemeriksaan fisik

kemudahan teknik pemeriksaanya. Petanda biologis diperiukau untuk secepatnya mendiagnosis GGA. Berdasarkan kriteria RIFLE/AKIN maka perlu dicari petanda untuk membuat diagnosis seawal mungkin. Beberapa petanda biologis mungkin bisa dikembangkan. Gambar berikut menunjukkan beberapa petanda biologis yang dikaitkan dengan perjalanan penyakit GGA. Petanda biologis ini adalah zal - zat yang dikeluarkan oleh tubulus ginjal yang rusak, seperti interleukin 18, enzim

tubular, N-acetyl-b-glucosamidase, alanine aminopeptidase, kindey injury- mol,ecule l.Dalamsatu penelitian pada anak-anak pasca bedah jantung terbuka gelatinaseassociated lipocalin (NGAL) terbukti dapat dideteksi 2 jan setelah pembedahaan, 24 jam lebih awal dari kenaikan kadar kreatinin. Dalam masa akan datang kemungkinan diperlukan kombinasi dari petanda biologis.

Mikroskopik urin

lnformasi yang dicari Tanda{anda untuk menyebabkan gangguan ginjal akut. lndikasi beratnya gangguan metabolik Perkiraan status volume (hidrasi) Petanda inflamasi glomerulus atau

tubulus lnfeksi saluran kemih atau uropati kristal Pemeriksaan biokimia darah

Mengukur pengurangan laju filtrasi glomerulus dan gangguan metabolik yang diakibatkanya

Pemeriksaan biokimia urin

Membedakan gagal ginjal pra-renal dan renal

Darah ferifer lengkap

leukositosis, dan kekurangan trombosit

Menentukan ada tidaknya anemia, akibat pemakaian

USG Ginjal

Menentukan ukuran ginjal, ada tidaknya obstruksi tekstur, parenkim ginjal yang abnormal

Bila diperlukan : CT Scan abdomen

Mengetahui struktur abnormal dari ginjal dan traktus urinarus

Pemindaian radionuklir

MengetahUi perfusi ginjal yang abnormal

Pielogram

Evaluasi perbaikan dari obstruksi traktus unnanus Menentukan berdasarkan pemeriksaan patologi penyakit glnjal

Biopsi ginjal

A,Kidney injury continuum

-B-l{ffi

lncreased risk

t B. Biomarkers

Gambar 3. Acute kidney injury and its biomarkers

Kidney farlure

1045

GANGGUAN GINJALAI(UT

GAMBARAN KLINIS GANGGUAN GINJAL AKUT

GGA Renal. GGA renal yang disebatrkan oleh kelainan vaskuler seperti vaskulitis, hipertensi maligna, glomerulus

GGAdapat dibagi menjadi3 bagian besar, antara lain: GGA pre-renal. Penyebab GGA pre-renal adalah hipoperfusi ginjal. Hipoperfusi dapat disebabkan oleh hipovolemia atau menurunnya volume sirkulasi yang efektif. Pada GGA

pre-renal integritas jaringan ginjal masih terpelihara sehingga prognosis dapat lebih baik apabila faktor penyebab dapat dikoreksi. Apabila upaya perbaikan hipoperfusi ginjal tidak berhasil maka akan timbul GGA renal berupa Nekrosis Tubular Akut (NTA) karena iskemik. Keadaan ini dapat timbul sebagai akibat bermacam -macam penyakit. Pada kondisi ini fungsi otoregulasi ginjal akan

nefritis akut, nefiitis interstitial akut akan dibicarakan tersendiri pada bab lain. Nekrosis tubular akut dapat disebabkan oleh berbagai sebab seperti penyakit tropik,

gigitan ular, trauma (crushing injury/bencana alam, peperangan), toks in lingkungan dan zat-zat neft otoksik. Di R.umah Sakit (35 -50Vo diICU) NTAterutama disebabkan

oleh sepsis. Selain itu pasca operasi dapat terjadi NTApada 20 - 25o/o hal ini disebabkan adanya penyakit-penyakit

seperli hipertensi, penyakit jantung, penyakit pembuluh

darah, diabetes melitus, ikterus dan usia lanjut,jenis operasi yan g berat seperti transplantasi hati, transpl antasi j antLrng.

berupaya mempertahankan tekanan perfusi, melalui

Dari golongan zat-zat nefrotoksik perlu dipikirkan nefropati karena zat radio kontras, obat-obatan sepefii anti jamur.

mekanisme vasodilatasi intrarenal. Dalam keadaan notmal, aliran darah ginjal dan LFG relatifkonstan, diatur oleh suatu

anti virus dan anti neoplastik. Meluasnya pemakian NARKOBAjuga rneningkatkan kemungkinan NTA.

mekanisme yang disebut otoregulasi. GGA pre-renal disebahkan oleh hipovolemia, penurunan volume efektif intravaskular seperli pada sepsis dan gagal jantung serla

Kelainan yang terjadi pada NTA melibatkan komponen vaskuler dan tubuler, misalnya :

disebabkan oleh gangguan hemodinamik intra-renal seperti

pada pemakaian anti inflamasi non steroid, obat yang menghambat angiotensin dan pada tekanan darah, yang akan mengaktifasi baroreseptor kardiovaskuler yang selanjutnya mengaktifasi sistem saraf simpatis, sistem renin-angiotensin serta merangsang pelepasaan vasopresin dan endothelin-l (ET-1), yang merupakan mekanismes tubuh untuk mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta pedusi serebral. Pada keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal

dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferen yang dipengaruhi oleh refleks miogenik serta

prostagladin dan nitric oxide (NO), serta vasokontriksi arteriol afferen yang terutama dipengaruhi oleh angiotensin-

II (A-II)

dan ET-1. Mekanisme

ini bertujuan untuk

mempertahankan homeostasis intrarenal. Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg) sefia berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi tersebut akan terganggu, dimana arteriol afferen mengalami vasokonstriksi, terj adi kontraksi mesan gi al dan peningkatan reabsorbsi Na+ dan air. Keadaan ini disebut

pre-renal atau GGA fungsional, dimana belum terjadi kerusakan struktural dari ginjal. Penanganan terhadap penyebab hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis intra-renal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi beberapa obat seperti ACE/ARB, NSAID,

terutama pada pasien-pasien berusia

di atas 60 tahun

mg/dl

sehingga dapat terjadi GGA pre-renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi

dengan kadar serum kreatinin

hiponatremi, hipotesis, penggunaan diuretik, sirosis hati dan gagal jantung. Perlu di ingat bahwa pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan-keadaan yang merupakan risiko GGA pre-renal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit renovaskular), penyakit ginjal polikistik dan nefrosklerosis intemal.

Kelainan vaskular. Pada NlA.terjadi : 1). Peningkatan Ca2+

sitosolik pada arteriol afferen glomerulus yang menyebabkan peningkatan sensitifitas terhadap substansi-

substansi vasokontriktor dan gangguan o.toregulasi. 2). Te4adipeningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan endotel vaskuler giryal, yang mengakibatkan pengikatan A-lI dan Et-I serta penurunan prostaglandin dan ketersediaan NO yang berasal dari endothelial NO systhase (eNOS). 3). Peningkatan mediator inflamasi seperli tumor necrosis factor (TNF-) dan interleukin- I 8 (IL 18), yang

selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari intercell,ular adhesion molecule-l (ICAM-1) dan P-selectin dari sel endotel, sehingga terjadi peningkatan perlengketan dari sel-sel radang, terutama sel neutrofil. Keadaan ini akan

menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen. Keseluruhan proses-proses tersebut di atas secara bersama - salna menyebabkan vasokonstriksi intra-sel yang akan menyebabkan penurunan LFG.

Kelainan tubuler. Pada NTAterjadi : 1). Peningkatan Ca2+ intrasel yang menyebabkan peningkatat calpain, cystolic phospholipase A2, serta kerusakan actin, yang akan menyebabkan cystoskeleton. Keadaan ini akann menyebabkan penurunan ba,solatero-l Na+ /K-ATPas e y ang selanjutnya menyebabkan penurunan reabsorbsi Na+ di

tubulus proksimalis, sehingga terjadi peningkatan pelepasan NaCl ke makula densa. Hal tersebut rnengakibatkan umpan balik tubuloglomeruler. 2). Peningkatan NO yang berasal dari inducible NO systhase (iNOS), caspase dan mettaloproteinase serta defisiensi heat shock protein, akan menyebabkan nekrosis

dan apoptosis sei. 3). Obstruksi tubulus. Mikrovilli tubulus proksimalis yang terlepas bersama debris seluler akan membentuk substrat yang akan menyumbat tubulus.

Di tubulus, dalam hal rni

pada thick ascending limb

diproduksi Tamm-Horsfall Prctein (THP) yang disekresikan

1046

GINJAL HIPERTENSI

ke dalamtubulus ke dalam bentukmonomeryang kemudian

berubah menjadi bentuk polimer yang yang akan memberntuk materi berupa gel dengan adanya Na+ yang konsentasinya meningkat pada tubulus distal. Gel polimerik THP bersama sel epithel tubuli yang terlepas, baik sel yang

Vasokontriksi

sehat, nekrotik maupun yang apoptotik, microvilli dan matrix ekstraseluler seperti fibronektiin akan membentuk

silinder - silinder (casr) yang menyebabkan obstruksi tubulus ginjal. 4). Kerusakan sel tr-rbulus menyebabkan kebocoran kernbali (.backleak) dari cairan intratubuler masuk kedalam sirkulasi peritubuler. Keseluruhan prosesproses tersebut diatas secara bersama-sama akan menyebabkan penurunan LFG Di dugajuga proses iskemia dan paparan bahan/obat nefrotoksik dapat merusak glomerulus secara langsung. Pada NTA terdapat kerusakan glomerulus dan juga tubulus. Kerusakan tubulus dikenal juga dengan nama nekrosis tubular akut (NTA). Tahaptahap nekrosis tubular akut adalah tahap inisiasi, tahap kerusakan yang berlanjut (maintenance) dan tahap penyembuhan. Dari tahap inisasi ke tahap kerusakan yang

berlanjut terdapat hipoksia, dan inflamasi yang sangat nampak pada kortikomedul er (cortiocomedularyt j wnction).

Proses inflamasi memegang peranan penting pada pasofisiologi dari GGA yang terjadi karena iskemia. Sel endotel, lekosit dan sel-T berperan penting dari saat awal sampai saat reperfusi (reperfusion injury).

GGA post-renal. GGA post-renal merupakan l07o dari keseluruhan GGA. GGA post renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstra renal. Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristral (urat, oxalat,

sulfonamid) dan protein (mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstra-renal dapat terjadi pada pelvis ureter oleh obstruksi intrinsik (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik (keganasan pada pelvis dan retoperitonial,

fibrosis) serta pada kandung kemih (batu, tumor, hipertrofi / keganasan prostat) dan urethra (striktura). GGA post renal terjadi bila obstruksi akut terjadi pada urethra, buli-buli dan ureter bilateral atau obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi. Pada fase awal dari obtruksi total ureter yang akut, terjadi peningkatan aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan

pelvis ginjal dimana hal

ini

disebabkan oleh prosta glandin-E2. Pada fase kedua setelah 1.5 - 2jam terjadi penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat pengaruh thromboxane-A2 (TxA2) dan A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi serelah 5 jam mulai meningkat. Fase ke tiga atau fase kronik, ditandai oleh aliran darah ginjal yang makin menurun atau penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu. Ali4ran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu tinggal 207o dari normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator inflamasi dan faktor-faktor pertumbuhan yang akan menyebabkan febriosis interstitial ginj al.

Kerusakan vaskuler

Kerusakan tubular

Kerusakan reperfusi

Obshuksi

Regerensi tubuler

Dopamin dosis rendah

Anti ICAM-1 mAb

Furosemid

Faktor pertumbuhan epidermal dan hepatosit

Reseptor anatognist endotelin

Anti-CD18 mAb

Manitol

Faktor pertambahan hepatosit

rena

I

tubuler

insulinlike growth factor Peptide natriuretik atrial

Pengikat radikal

Antagonis kalsium

Penghambat prostease 0-

Antagonis reseptor leukotrien

lvlembran

bebas

Dopamin dosis rendah

MSH

biokompatibel

PENGELOLAAN

Tujuan pengelolaan adalah meencegah terjadinya kerusakan ginjal, mempertahankan komestasis, melakukan resusitasi, mencegah komplikasi metabolik dan infeksi serta mempertahankan pasien tetap hidup sampai faal ginjalnya sembuh secara spontan. Prinsip pengelolaannya dimulai dengan mengidentifikasi pasien beresiko GGA (sebagai tindak pencegahan), mengatasi penyakit penyebab GGA,

mempertahankan homeostasis, mempertahankan eopolemia, keseimbangan cairan dan elektrolit. rnencegah

komplikasi metabolik seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfospatemia, mengevaluasi status nutrisi, kemudian mencegah infeksi dan selalu mengevaluasi obat-obat yang dipakai.

PENCEGAHAN GGA dapat dicegah pada beberapa keadaan misalnya penggunaan zat kontras yang dapat menyebabkan nefropati kontras. Pencegahan netiopati akibat zat kontras adalah menjaga hidrasi yang baik, pemakaian N-asetyl cystein serta pemakaian purosemid pada penyakit tropik perlu di waspadai kemungkinan GGA pada gastrointeristis akut, malaria dan demam berdarah.

Pemberian kemoterapi dapat menyebabkan ekskresi asam urat yang tinggi sehingga menyebabkan GGA. Pada

tabel ini dapat dilihat beberapa upaya pencegahan GGA.

TERAPI KHUSUS GGA Bila GGA sudah terjadi diperlukan pengobatan khusus, umumnya dalam ruang lingkup perawatan intensif sebab

L047

GANGGUAI{GINJALAKUT

Cari dan perbaiki faktor pre dan pasca renal Evaluasi obat-obatan yang telah diberikan Optimalkan curah jantung dan aliran darah ke ginjal Perbaiki dan atau tingkatkan aliran urin Monitor asupan cairan dan pengeluaran cairan, timbang badan tiap hari Cari dan obati komplikasi akut (hiperkalemia, hipernatremia, asidosis, hipedosfatemia, edema paru) Asupan nutrisi adekuat sejak dini Cari fokus infeksi dan atasi infeksi secara agresif Perawatan menyeluruh yang baik (kateter, kulit, psikologis) Segera memulai terapi dialisis sebelum timbul komplikasi Berikan obat dengan dosis tepat sesuai kapasitas bersihan ginjal

Oliguria : produksi urin < 2000 mL in 12 h Anuria : produksi urin < 50 mL in 12 h Hiperkalemia : kadar potasium > 6 5 mmol/L Asidemia (keracunan asam) yang berat : pH < 7.0 Azotemia : kadar urea > 30 mmol/L Esefalopati uremikum Neuropati / miopati uremikum Perikarditis uremikum Natrium abnormalitas plasma : konsentrasi > 155 mmol/L atau < 120 mmol/L Hipeftemia

Keracunan obat

Komplikasi

beberapa penyakit primernya yang berat seperti sepsis, gagal jantung dan usia ianjut, dianjurkan untuk inisiasi

dialisis ini. Dialisis bermanfaat untuk koreksi akibat metabolik dari GGA. Dengan dialisis dapat diberikan curanl

nutrisi dan obat-obat lain yang diperlukan seperti antibiotik. GGA post-renal memerlukan tindakan cepat bersama dengan ahli urologi misalnya pembuatan

Kelebihan volume intravaskular Hipobatremia

Batas asupan air (< 1 L/hari) : hindari infus larutan hipotonik

Hiperkalemia

Batasi asupan diet K (< 40 mmol/hari) hindari diuretik hemat K, Potassiumbinding ion exchange resins, Glukosa (50 ml dextrosa 50%) dan insulin (10 unit), Natrium bikarbonat (50 - 100 mmol),' Agonis B2 (salbutamol, '10 - 20 mdg di inhalasi atau 0 5 1 mg lV), kalsium glukonat (10 ml larutan 10%dalam2-5 menit)

Asidosis metabolik

Natrium bikarbonat (upayakan bikarbonat serum > 15 mmol/L, pH>V 2) Batasi asupan diet fosfat (800 mg/hari), obat pengikat fosfat (kalsium asetat; kalsium karbonat)

nefrostomi, mengatasi infeksi saluran kemih dan menghilangkan sumbatan yang dapat disebabkan oleh batu, setriktur uretra atau pembesaran prostat. Belum ada bukti yang nyata keunggulan antara terapi pengganti intensif dan terapi pengganti intermiten.

Hiperfosfatemia

NUTRISI Kebutuhan nutrisi pada GGA amat bervariasi sesuai dengan penyakit dasarnya atau kondisi komorbidnya, dari

kebutuhan yang biasa, sampai dengan kebutuhan yang tinggi seperli pada pasien dengan sepsis. Rekomendasi nutrisi GGA amat berbeda dengan GGK, dimana pada GGA kebutuhan nutrisi sisesuaikan dengan keadaan proses kataboliknya. Pada GGK justru dilakukan pembatasan-

pembatasan. Pada tabel

di bawah ini diperlihatkan

kebutuhan nutrisi pada berbagai keadaan GGA.

GGA menyebabkan abnormalitas metabolisme yang amat kompleks, tidak hanya pengaturan air, asam basa, elektrolit, tetap juga asam amino / protein, karbohidrat dan lemak. Heterogenitas GGA yang amat tergantung dari penyakit dasarnya membuat keadaan ini lebih kompleks. Oleh karena itu nutrisi pada GGA disesuaikan dengan proses katabolis yang terjadi, sehingga pada suatu saat menj adi normal kembali.

Pengobatan Batas Earam (1-2 glhari) dan air (< I L/hari), Furosemid, ultrafiltrasi atau dialisis

;

-

Hipokalemia

Kalsium karbonat ; kalsium glukonat (10 20 ml larutan 10%)

Nutrisi

Batasi asupan protein diet (0 B - 1 g/kg BB/hari) jika tidak dalam kondisi katabolik, karbohidrat (100 g/hari), nutrisi enternal atau parenteral jika perjalanan klinik lama tau katabolik.

pengganti diusulkan sekitar 65 - 757o dari jumlah cairan yang keluar. Pad atahap ini pengamatan faal ginjal harus

tetap dilakukan karena pasien pada dasarnya belum sembuh sempurna (bisa sampai 3 minggu atau lebih)

KESIMPULAN

Istilah gangguan ginjal akut/acute kidney injury sebaiknya menggantikan istilah gagal ginjal akuUAR.F.

Istilah gangguan ginjal akut memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai proses GGA dengan dibuatnyakriteria

FASE PEBBAIKAN

RIFLE/AKIN.

ini terjadi poliuria yang sangat banyak sehingga

Kriteria RIFLE dan AKIN memberikan cara berpikir baru dalam memahami GGA, pentahapan dari GGA, standzrdisasi

perlu dijaga keseimbangan carian. Asupan cairan

dalam definisi sehingga ada keseragaman dalam

Pada tahap

1048

GINJAL HIPERTENSI

He m od i a I s i s i nte rm

Keuntungan

Kerugian

Continous renal replacment

itte n

therapy

Resiko rendah untuk perdarahan Lebih banyak waktu untuk mencari diagnosis dan intervensi / terapi Lebih cocok untuk hiperkalemia berat Biaya murah

Hemodinamik lebi stabil

Aritmia lebih jarang

-

Ketersediaan perawat HD Lebih sulit kontrol hemodinamik Dosis dialisis tidak mencukupi Kurang kontrol cairan Nutrisi kurang Tidak cocok untuk pasien dengan hipertensi intrakranial Tidak ada pembuangan sitokin Potensial terjadi aktivasi komplemen oleh membrane yang non kompatibel (tidak sesuai)

Jenis dan cara dialisis Hernodialisis

Perbaikan nutrisi Pertukaran gas di paru lebih baik Kontrol cairan lebih baik Kontrol biokimia darah lebih baik Waktu rawat inap ICU lebih singkat Masalah akses vaskuler Risiko tinggi terjadinya perdarahan lmobilisasi lebih lama Lebih banyak masalah pada filter (ruptur, penyumbatan oleh bekuan darah) Biaya mahal

Dialiser

Prinsip kerja

Konvensional

Hemodialiser

Slow long extended daily dialysis (SLED)

Hemodialiser

Sequential ultrafiltration & clearance Continuous arteriovenous hemodialysis (CAVHD)

Hemodialiser

Klirens difusi dan ultrafiltrasi bersamaan, intermiten Klirens difusi dan ultrafiltrasi dengan aliran darah dan dialisat yang pelan, intermiten Ultrafiltrasi diikuti klirens difusi, intermiten Klirens difusi dan ultrafiltrasi pelan dan bersamaan tanpa pompa darah

Hemodialiser

Continuousvenovenous Hemofilter hemodialysis (CVVHD)

Hemodialisis dan hemofiltrasi

Klirens difusi dan ultrafiltrasi pelan dan bersamaan dengan pompa darah

Continuous

Hemofilter

Klirens konvektif berkesinambungan tanpa pompa darah

Continuous

Hemofilter

Klirens konvektif berkesinambungan dengan pompa darah

lsolated ultrafiltration

Hemodialiser

Klirens konvektif dan difusi berkesinambungan tanpa pompa

Slow continuos ultrafiltration (SCUF)

Hemofilter

arterivenous hemodialysis plus hemofiltration (CAVHDF) venovenous hemodialysis plus hemofiltration (CVVHDF)

Ultrafiltrasi

Dialisis peritoneal

darah

Klirens konvektif dan difusi berkesinambungan dengan pompa

darah

Berkesinambu ngan

Peritoneum

lntermiten

Peritoneum

Klirens dan ultrafiltrasi berkesinambungan ; ganti cairan selang beberapa jam Klirens dan ultrafiltrasi intermiten; ganti cairan tiap jam selama 12 jam. setiap 2-3 hari

1049

GANGGUAI\GINJALAKUT

Leverve MX, Cano JM Noel. Nutritional Management in Acute Tahap katabolisme Ringan

Sedang

Berat

Keadaan klinis

Toksik karena

Nlortalitas

20%

60%

lnjuri berat / sepsrs > 80%

Dialisis / hemofiltrasi

Jarang

Apabila perlu

Sering

Pemberian makanan

Oral

Enteral / parenteral

Enteral / parenteral

Energi (kkal/ksBB/h)

25

25

25

Subtrat energi

Glukosa

Glukosa + lemak

Glukosa g/kg

3-5 3-5 0.5-'l 08-15 06-08EAA 08-'r2EAA (+NEAA) + NEAA Makanan Formula

obat

Pembedahan + infeksi

Rekomendasi

Lemak g/kg Asam amino / protein Nutrien oral / enteral Parenteral

-30

Glukosa 50

70%

-35

Glukosa + lemak

-

3-5(maks7)

10-15EAA+ NEAA

70%

2007. Bagshaw M.S, George C and Bellomo R A comparison of the RIFLE and AKIN criteria for acute kidney injury in critically ill pa-

Formula Glukosa 50

Illness and Acute Kidney Insufficiency. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol. 156, pp 112 - 118. Devarajan P Emerging Biomarkers of Acute Kidney Injury. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol i56 , pp 203 - 272. Bonventre V. Joseph. Diagnosis of Acute Kidney Injury : From Classic Parameters to New Biomarkers. Contrib Nephrol. Basel, Karger, 2007, Vol 156, pp 213 - 2I9. A. Davenport. Renal Replacement Therapy for the Patient with Acute Traumatic Brain lnjury and Severe Acute Kidney Injury. Contrib Nephrol Basel, Karger, 2007, VoI. 156, pp 333 - 339. Cerda J, Lameire N, Eggres P. et all. Epidemiology of Acute Kidney Injury. Clin J Am Soc Nephrol 3 : 881 886 ; 2008. Bonventre V Joseph. Dialysis in Acute Kidney Injury - More Is Not Better N Engl J Med 359 : July 3 ; 2008. Metha L. Ravindra, KeIIum A. John, Shah V Sudhir. et all. Acute Kidney Injury Network: report of an initiative to improve outcomes i.n acute kidney injury. Critical Care, Vol.1l No.2: 1- 8;

-

+ emulsi lemak 10 - 20% EAA + NEAA (biasa atau khusus untuk ginjal) + rnult;v13min + multitrace element Dari Druml W, Mitch WE Nutritional Management of Acute Renal Failure. Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in Nephrology and Hypeftension Philadelphia : WB Saunders Company ; 1999

mendeskripsikan GGA. Keseragaman ini akan mendorong

upaya pencegahan, pengobatan dan penelitian yang seragam.

Hasil akhir yang diharapakan adalah tatalaksana atau penanganan GGA yang lebih baik.

tients Nephrol Dial Transplant (2008) 23: 1569-7514. Himmelfarb J and Ikizler TA. Acute kidney injury: changing lexicography, definitions, and epidemiology Kidney International (2001) 1t,91r-916. Molitoris AB, Yaqub SM Current Diagnosis and Treatment Nephrology and Hypertension. Acute Kidney Injury. Sectioq II Acute Renal Failure. A LANGE Medical Book : 2009; (9) : 89 - 98. Field M,Pollok C,Harris D.Glomerulus filtration and acute renal failure.The renal system. 200 I ;5 :65 -7 3. Lameire N, Wim Van Biesen, Vanholder R. Acute renal failure.t. 2005 ;3 65:4 I 7-30 Robert W. Schrier. Manual of nephrology. 6t'h edjtion. New York

London; 2005.

M, Parsoedi L Gagal Ginjal akut. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit

Suhardjono, Sukahatya

FKUI: 2001. p.417-22. Susalit E. Penanganan gagal ginjal akut di ICU. Nskah lengkap gagal

REFERENSI

ginjal akut, penyakit ginjal, sistemik ginjal dan system kardiovaskular pada hipertensi. Jakarta: PERNEFRI; 2005 p 18-22.

Bellomo R, Bagshaw S, Langenberg C, Ronco C Pre-Renal Azotemia: A Flawed Paradigm in Critically ill Septic Patients? (eds.): Acute

Kidney Injury. Contrib lNephrol Basel, Karger, 200'7,Yol.

1s6,ppl-9. Kellum JA, Bellomo R, Ronco C,. The Concept of Acute Kidney Injury and the RIFLE Criteria (eds.) : Acute Kidney Injury Contrib Nephrol. Base1, Karger,2007, Vol. 1-56, pp l0 16. Vincent Louis J. Critical Care Nephrology : A Multidisciplinary Approach. Contrib Nephrol. Basel, Karger,2007, Voi. 156, pp

24-3r

Syakib B. Patogenesis gagal ginjal akut. Naskah lengkap gagal ginjal

akut, penyakit ginjal,sistemik ginjal dansistem kardiovaskular pada hipertensi. Jakarta: PERNEFRI; 2005 p.1-7 The VA / NIH Acute Renal Failure Trial Network. Intensity of Renal Support in Critically Il1 Patients with Acute Kidney Injury. N Eng J. Med. 2008 ; 35 - : 7 20 Druml W, Mitch WE. Nutritional Management of acute renal failure. Brady HR, Wilcox CS, editors. Therapy in nephrology and hypertension. Philadelphia. WB Saunders Comp 1999.

165 HEMODIALISIS Pudji Rahardjo, Endang Susalit, Suhardjono

PENDAHULUAN

I

Tahapan gagal ginjal kronik dapat dibagi menurut beberapa cara, antara lain dengan memperhatikan faal ginjal yang rrasih tersisa. Bila faal ginjal yang masih tersisa sudah minimal sehingga usaha-usaha pengobatan konservatif yang berupa diet, pembatasan minum, obat-obatan, dan lain-Iain tidak memberi pertolongan yang diharapkan lagi, keadaan tersebut

Dialisis

A.

B.

ll

Dialisis Peritoneal (DP) DP intermiten (DP) DP mandiri berkesinambungan (DPMB) DP dialirkan berkesinambungan (DPDB) DP nokturnal (DPN) Hemodialisis (HD)

-

Transplantasi Ginjal (TG) TG donor hidup (TGDH) TG donorjenazah (TGDJ)

diberi nama penyakit ginjal kronik (PGK). Pada stadium ini terdapat akumulasi toksin uremia dalam darah

yang dapat membahayakan kelangsungan hidup pasien. Pada umumnya faal ginjal yang masih tersisa, yang diukur dengan klirens kreatinin (KKr), tidak lebih dari 5 ml-/menit/1,13 m2. Pasien PGK, apa pun etiologi penyakit ginjal nya, memerlukan pengobatan khusus yang disebut pengobatan atau terapi pengganti (TP). Setelah menetapkan bahwa TP dibutuhkan, perlu pemantauan yang ketat sehingga dapat ditentukan dengan tepat kapan TP tersebut dapat

HEMODIALISIS Pada PGK, hemodialisis dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu tabung ginjal buatan (dialiser) yang terdiri dari dua kompartemen yang terpisah. Darah pasien dipompa dan dialirkan ke kompartemen darah yang dibatasi oleh selaput semipermeabel buatan (artifisial) dengan kompartemen dialis at. Komparlemen dialis at dialiri cairan

dialisis yang bebas pirogen, berisi larutan dengan komposisi elektrolit mirip serum normal dan tidak

dimulai.

mengandung sisa metabolisme nitrogen. Cairan dialisis dan

darah yang terpisah akan mengalami perubahan konsentrasi karena zat terlarut berpindah dari konsentrasi yang tinggi ke arah konsentrasi yang rendah sampai konsentrasi zat terlarut sama di kedua kompartemen (difusi). Pada proses dialisis, airjuga dapat berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen cairan dialisat dengan

TERAPI PENGGANTI Seperti diketahui faal ginjal dapat dibagi menjadi faal ekskresi dan faal endokrin. Pada PGK. kedua golongan faal ini memburuk walaupun tidak selalu proporsional. TP yang ideal adalah yang dapat menggantikan fungsi kedua faal ini. Transplantasi ginjal yang berhasil akan mengganti keseluruhan faal ginjal yang sakit, sedangkan dialisis mengganti sebagian faal ekskresi. Pada Tabel 1 tertulis beberapa TP yang dapat dilaksanakan dewasa ini. Di samping TP tersebut ada juga TP yang hanya dilakukan dalam keadaan yang sangat khusus atau pada penelitian.

cara menaikkan tekanan hidrostatik negatif pada kompartemen cairan dialisat. Perpindahan air ini disebut ultrafi ltrasi (Gambar 1). Besar pori pada selaput akan menentukan besar molekul zatterlarr:i.yang berpindah. Molekul dengan berat molekul lebih besar akan berdifusi lebih lambat dibanding molekul dengan berat molekul lebih rendah. Kecepatan perpindahan

zat terlarut tersebut makin tinggi bila (1) perbedaan

1050

1051

HEMODIALISIS

Selaput Semipermeabel

Kompartemen

1

sehingga dapat menahan molekul dengan berat molekul kecil seperti urea, natrium, dan klorida. Cairan dialisat tidak perlu steril kzrena membran dialisis dapat berperan sebagai penyaring kuman dan endotoksin. Tetapi kuman harus dijaga agar kurang dari 200 koloni/ml dengan melakukan desinfektan cairan dialisat. Kadar natrium dalam cairan dialisat berkisar 135-145 meq/L. Bila kadar natrium lebih

Komparlemen 2

Gambar 1. Proses dialisis

konsentrasi di kedua kompartemen makin besar, (2) diberi tekanan hidrolik di kompaftemen darah, dan (3) bila tekanan osmotik di komparlemen cairan dialisis lebih tinggi. Cairan dialisis ini mengalir berlawanan arah dengan darah untuk meningkatkan efisiensi (Gambar 2). Perpindahan zat terlarut pada awalnya berlangsung cepat tetapi kemudian melambat sampai konsentrasinya sama di kedua kompafiemen. Terdapat 4 jenis membran dialiser yaitu: selulosa, selulosa yang diperkaya, selulo sintetik, dan membran sintetik. Pada membran selulosa terjadi aktivasi komplemen

oleh gugus hidroksil bebas, karena itu penggunaan membran ini cenderung berkurang digantikan oleh membran lain. Aktivasi sistem komplemen oleh membran lain tidak sehebat aktivasi oleh membran selulosa.

Darah kembali ke badan Ginjal buatan

rendah maka risiko untuk terjadinya gangguan hemodinamik selama hemodialisis akan bettambah. Sedangkan bila kadar natrium lebih tinggi gangguan hemodinamik akan berkurang tetapi akan meningkatkan kadar natrium darah pascadialisis. Keadaan ini akan menimbulkan rasa haus dan pasien akan cenderung untuk minun lebih banyak. Pada pasien dengan komplikasi hipotensi selama hemodialisis yang sulit ditanggulangi maka untuk mengatasinya kadar natrium dalam cairan dialisat dibuat lebih tinggi.

Dialiser dapat didaur ulang (reuse) untuk tujuan mengurangi biaya hemodialisis. Dilaporkan 807o pasien hemodialisis di Amerika Serikat dilakukan daur ulang sedangkan di Eropa sekiiar 107o. Segera setelah selesai prosedur hemodialisis dialiser dicnci dengan cairan dialisat yang banyak untuk menghilangkan

bekuan darah yang terdapat dalam kapiler dialiser. Dilakukan pengukuran volume dialiser wtttkmengetahui apakah dialiser ini masih dapat dipakai dan dilihat apakah terdapat cacat jasmaninya. Umumnya dipakai kembali bila volume dialiser 807o. Setelah itu diaLiser disimpan dengan cairan antiseptik (formaldehid 4a/o). Sebelum digunakan kembali dialiser ini dicuci kembali untuk membuang semua formaldehid. Formaldehid yang tersisa dalam dialiser dapat memasuki tubuh selama proses dialisis dan hal ini dapat menimbulkan gangguan pada pasien.

Terdapat dua jenis cairan dialisat yang sering

Dialisat dialirkan pompa

Gambar 2. Bagan hemodialisis

Luas permukaan membran juga penting untuk proses pembersihan. Luas permukaan membran yang tersedia adalah dari 0,8 m2sampai 2,1 m2. Semakin tinggi luas permukaan membran semakin efisien proses dialisis yang terjadi. Selama proses dialisis pasien akan terpajan dengan cairan dialisat sebanyak 120-150 liter setiap dialisis. Zat dengan berat molekul ringan yang terdapat dalam cairan dialisat akan dapat dengan mudah berdifusi ke dalam darah pasien selama dialisis. Karena itu kandungan solut cairan dialisat harus dalam batas-batas yang dapat ditoleransi oleh tubuh. Cairan dia!isat perlu dimurnikan agar tidak terlalu banyak mengandung zat y angdapat membahayakan tubuh. Dengan teknik reverse osmosis air akan melewati membran semi permeabel yang memiliki pori-pori kecil

digunakan yaitu cairan asetat dan bikarbonat. Kerugian cairan asetat adalah bersifat asam sehingga dapat menimbulkan suasana asam di dalam darah yang akan bermanifestasi sebagai vasodilatasi. Vasodilatasi akibat

cairan asetat ini akan mengurangi kemampuan vasokonstriksi pembuluh darah yang diperlukan tubuh untuk memperbaiki gangguan hemodinamik yang terjadi selama hemodialisis. Keuntungan cairan bikarbonat adalah dapat memberikan bikarbonat ke dalam darah yang akan menetralkan asidosis yang biasa terdapat pada pasien dengan penyakit ginjal kronik dan juga tidak menimbulkan

vasodilatasi. Pada proses dialisis terjadi aliran darah di luar tubuh. Pada keadaan ini akan terjadi aktivasi sistem koagulasi darah dengan akibat timbulnya bekuan darah. Karena itu pada dialisis diperlukan pemberian heparin selama dialisis

berlangsung. Ada tiga teknik pemberian heparin yaitu teknik heparin rutin, heparin minimal, dan bebas heparin. Pada teknik heparin rutin, teknik yang paling sering digunakan sehari-hari, heparin diberikan dengan cara bolus diikuti dengan continous infusion. Pada keadaan di

r052

mana risiko perdarahan sedang atau berat digunakan teknik

heparin minimal dan teknik bebas heparin. Contoh beberapa keadaan risiko perdarahan berat misalnya pada pasien dengan perdarahan intraserebral, trombositopenia, koagulopati, dan pascaoperasi dengan perdarahan. Jumlah dan tekanan darah yang mengalir ke dialiser harus memadai sehingga perlu suatu akses khusus. Akses khusus ini pada umumnya adalah vena lengan yang sudah

dibuatkan fistula dengan arteria radialis atau ulnaris. Terdapat shunt alirarr darah arteri ke vena sehingga vena akan membesar dan mengalami epitelisasi. Fistula seperti ini (fistula cimino) dapat berlahan bertahun-tahun dan komplikasinya hampir tak ada. Komplikasi akut hemodialisis adalah komplikasi yang terjadi selama hemodialisis berlangsung. Komplikasi yang sering terjadi di antaranya adalah hipotensi, kram otot, mual dan muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit punggung, gatal, demam, dan menggigil. Komplikasi yang jarang terjadi misalnya sindrom disekuilibrium, reaksi dialiser aritmia,

tamponade jantung, perdarahan intrakranial, kejang,

hemolisis, emboli udara, neutropenia, serta aktivasi komplemen akibat dialisis dan hipoksemia. Di Indonesia hemodialisis dilakukan 2 kali seminggu dengan setiap hemodialisis dilakukan selama 5 jam. Di senter dialisis lain adajuga dialisis yang dilakukan 3 kali seminggu dengan lama dialisis 4 jam. Pasien hemodialisis harus mendapat asupan makanan

yang cukup agar tetap dalam gizi yang baik. Gizi kurang

merupakan prediktor yang penting urifuk terjadinya kematian pada pasien hemodialisis. Asupan protein diharapkan I - 1 .2 glkgBBftrari dengan 507o terdii atas protein dengan nilai biologis tinggi. Asupan kalium diberikan 40-70 meqftari. Pembatasan kalium sangat diperlukan. karena itu makanan tinggi kalium sepefii buah-buahan dan umbi-umbian tidak dianjurkan dikonsumsi. Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai denganjumlah air kencing yang ada ditambah insensible water loss. Asupan natrium dibatasi 40-l2O meq/hari guna mengendalikan tekanan darah dan edema. Asupan tinggi natrium akan menimbulkan rasa haus

yang selanjutnya mendorong pasien untuk minum. Bila asupan cairan berlebihan maka selama periode di antara dialisis akan terjadi ken n yang besar. Kecukupan dosis he diberikan diukur dengan istilah adekuasi dialisis. Terdapat korelasi yang kuat antara adekuasi dialisis dengan angka morbiditas dan mortalitas pada pasien dialisis. Adekuasi dialisis diukur dengan menghitung urea reduction ratio (URR) dan ( KT/

GINJAL HIPERTENSI

V). URR dihitung dengan mencari rasio hasil pengurangan kadar ureum predialisis dengan kadar ureum pascadialisis dibagi kadar ureum pascadialisis. Pada hemodialisis 2 kali seminggu dialisis dianggap cukup bila UUR-nya lebih dari 80Vo Cara lain menghitung adekuasi dengan menghitun KT/N Terdapat rumus Dougirdas untuk menghitung KT/ N dengan memasukkan nilai ureum pra dan pascadialisis, berat badan pra dan pascadialisis. Pada hemodialisis 3 kali seminggu KTA{ dianggap cukup bila lebih besar atau sama dengan 1,8. Pada umumnya indikasi dialisis pada GGK adalah bila laju filtrasi glomerulus (LFG sudah kurang dari 5 ml/menit. yang di dalalT praktek dianggap demikian bila (TKK) < 5 mL menit. Keadaan pasien yang hanya mempunya TKK < 5 ml/menit tidak selalu sama, sehingga dialisis dianggap baru perlu dimulai bila di jumpai sarah satu dari hal tersebut

di bawah

:

. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata . Kserum>6nBqll . Ureum darah > 200 mgidl . pHdarah<7,1 . Anuriaberkepanjangan (>5 hari) . Fluid overloaded Hemodialisis di Indonesia dimulai padc tahun 1970 dan sampai sekarang telah dilaksanakan di banyak rumah sakjt

rujukan Umumnya dipergunakan ginjal buatan yan! kompartemen darahnya adalah kapiler-kapiler selaput semipermeabel (hollow fibre kidney) Kualitas hidup yang diperoleh cukup baik dan panjang umur yang tertinggi sampai sekarang 14 tahun. Kendala yang ada adalah biaya yang mahal.

REFERENSI Bregman H, Dougirdas JT, Ing TS. Complications during hemodialysis. Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis, edisi 2, Little Brown am Company: 1994 149-68. Daugirdas JT. Chronic hemodilysis prescription: a urei kinetic approach Dalam: Dougirdas JT, Ing TS (eds) Handbook of dialysis, edisi 2. Little Brown am Company; 1994.92-720. Dialysis Therapy, Ed. Nissenson AA, Fine AN Philadelphia: Hanley

& Belfusr

1986.

fl Aahimy A. Penyusunan diet pada gagal ginjal kronik dengan dialisis. Dalam: Sidabutar AP, Suhardjono

Kartono SD, Darmarini

(ed). Gizi pada gagal ginja kronik. Beberapa penatalaksanaan. PERNEFRI 1992.60-7 4.

aspek

166 DIALISIS PERITONEAL Imam Parsudi, Parlindungan Siregar/ Rully M.A. Roesli

pembuluh darah di peritoneum. Sisa-sisa metabolisme

PENDAHULUAN

seperti ureum, kreatinin, kalium dan toksin lajn yang dalam keadaan normal dikeluarkan melalui ginial, pada gangguan

Dialisis peritoneal (DP) sudah lama dikenal. Sarjana pefiama yang melakukan DP di klinik pada seorang pasien uremia karena obstruksi ureter akibat kanker kandungan adalah Ganter (7923). Perkembangan selanjutnya memakan waktu cukup lama dan baru Maxwell (1959) mengajukan teknik dialisis intermiten yang merupakan modifikasi dari teknik yang diajukan Grollman, dkk ( 1951 ). Sampai saat ini teknik

faal gjnjal akan tertimbun dalam plasma darah. Karena kadarnya yang tinggi akan mengalami difusi melalui membran peritoneum dan akan masuk dalam cairan dialisat dan dari sana akan dikeluarkan dari tubuh. Sementara itu setiap waktu cairan dialisat yang sudah dikeluarkan diganti dengan cairan dialisat baru.

ini masih

tetap teryakai. Perkembangan selanjutnya ditunjang dengan tersedianya antibiotik serta cairan

Cairan Dialisat

dialisat komersial.

Susunan cairan dialisat mengandung elektrolit dengan kadar seperti pada plasma darah normal. Komposisi elektrolit cairan dialisat bervariasi. namun prinsipnya

Dialisis peritoneal adalah salah satu bentuk dialisis untuk membantu penanganan pasien GGA (Gagal Ginjal Akut) maupun GGK (Gagal Ginjal Kronik), menggunakan membran peritoneum yang bersifat semipermeabel. Melalui membran tersebut darah dapat difiltrasi. Keuntungan Dialisis Peritoneal (DP) bila dibandingkan dengan hemodialisis, secara teknik lebih sederhana, cukup aman serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus, sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit. Pada saat ini pun DP masih menempati kedudukan cukup penting untuk menangani kasus-kasus tertentu dalam rumah sakit

kurang lebih seperti terlihat pada Tabel 1. Pada umumnya cairan dialisat tidak mengandung kalium, karena tujuannya

untuk mengeluarkan kalium yang tertimbun karena terganggunya fungsi ginjal. Bila DP dilakukan pada pasien dengan kadar kalium dalam batas normal, untuk mencegah

terjadinya hipokalemia. dalam cairan dialisat dapat ditambahkan kalium 3,5-4,5 mEq/ liter cairan dialisat.

besar dan modern.

PRINSIP DASAR DIALISIS PERITONEAL

MEq/L

Na+

140,0 4,0

140,0

'1,5

0,8 102,0

Ca++ Mg++

Untuk dialisis peritoneal akut biasa dipakai styletcatheter (kateter peritoneum) untuk dipasang pada abdomen masuk dalam kavum peritoneum, sehingga ujung kateter terletak dalam kavum Douglasi. Setiap kali 2 liter

cl-

102,0

LaktatGlukosa

43,5

2,0

83,3 15,0 gr/L

291 ,0 mEq/L

cairan dialisis dimasukkan dalam kavum peritoneum melalui kateter tersebut. Membran peritoneum ber-tindak sebagai

Tek. Osmosis (mOsm/L)

Elektrolit

371,6 mOsm/L

Tiap 1 liter cairan dialisat mengandung: 5.650 gram NaCI, 0294 gram CaCIr, 0,153 gram MgCIr, 4.880 gram Nalaktat dan 15.000 gram glukosa. Bila cairan dialisat

membran dialisis yang memisahkan antara cairan dialisis

dalam kavum peritoneum dan plasma darah dalam

rUJ

1054

GINJAL HIPERTENSI

mengandung kadar glukosa lebih dari 1.57o kita sebut cairan dialisat hipertonik (2,5; 3,5; dan4,25Vo). Berdasarkan prinsip perbedaan tekanan osmotik, maka cairan dialisat hipertonik

a. Komplikasimekanis

.

Perforasi organ abdomen (usus, aorta, kandung kencing, atau hati).

ini dapat digunakan untuk mengeluarkan cairan tubuh

Perdarahan yang kadang-kadang dapat menyumbat

yang berlebihan. Heparin ditambahkan dalam cairan dialisat dengan tujuan untuk mencegah pembentukan fibrin yang dapat mengganggu aliran cairan, biasanya

kateter . Gangguan drainase (aliran cairan dialisat) Bocornya cairan dialisat Perasaan tidak enak dan sakit dalam perut.

diberikan pada permuiaan dialisat dengan dosis 500- I 000 U tiap2liter cairan.

lndikasi Pemakdian Dialisis Peritoneal Dialisat peritoneal dapat digunakan pada pasien : l. Gagal ginjal akut (dialisat peritoneal akut) 2. Gangguan keseimbangan cairan, elektrolit atau asam basa.

3. Intoksikasi obat atau bahan lain 4. Gagal ginjal .kronik (dialisat peritoneal kronik) 5. Keadaan klinis lain di mana DP telah terbukti

. b.

Komplikasimetabolik

.

Gangguan keseimbangan cairan, elek- tronit dan

.

Gangguan metabolisme karbohidrat perlu

. .

manfaatnya.

Kontraindikasi Dialisais Peritoneal 1. Kontraindikasi absolut : tidak ada 2. Kontraindikasi relatif : keadaan-keadaan

asam basa.

diperhatikan terutamapada penyandang DM berupa hiperglikemia tak terkendali dan kemungkinan dapat juga terjadi hipoglikemia post dialisis.

Kehilangan protein yang terbuang lewat cairan dialisat.

Sindrom disequilibrium. Sindrom ini terdiri atas kumpulan gejala-gejala berupa sakit kepala, muntah, kejang, disorientasi, hipertensi, kenaikan tekanan cairan serebrospinal, koma, dan dapat

menyebabkan kematian pasien. Komplikasi ini dapat terjadi pada pasien dengan kadar ureum tinggi, di mana koreksi kelainan bi oki miawi terj adi terlalu cepat dan lebih sering terjadi pada pasien dengan overhidrasi. Patogenesis sindrom ini belum diketahui dengan pasti. Salah satu teori yang banyak dianut adalah karena lambatnya koreksi/

yang

kemungkinan secara teknis akan mengalami kesulitan atau memudahkan terjadinya komplikasi seperti gemuk berlebihan, perlengketan peritoneum. peritonitis lokal, operasi atau trauma abdomen yang baru saja terjadi, kelainan intraabdomen yang belum diketahui sebabnya, luka bakar dinding abdomen yang cukup luas terutama

penurunan ureum dalam otak dan cairan

bila disertai infeksi atau perawatan yang tidak

ini

adekuat.Salah satu cara yang sering digunakan untuk

tekanan osmotik dengan akibat edema otak. Teori Iain: teori hipoglikemia, perubahan pCO2 dan pH.

menilai efisiensi DP adalah dengan menentukan peritoneal clearance (klirefls pentoneal) dengan rumus:

cP=u*v P

Cp

Peritoneal Clearance

U

Konsentrasi zat tersebut dalam cairan dialisat yang keluar dari kavum peritoneum (mgTo). Konsentrasi zat tersebut dalam darah atau plasma (mg7o)

V

Volume cairan dialisat tiap menit (mL)

serebrospinal bila djbandingkan dengan darah. Hal

akan mengakibatkan terjadinya perbedaan

pergeseran elektrolit ovemidrasi, dan kenaikan perbandingan K,/Ca serum. Komplikasi radang

. . .

Infeksi alat pernapasan. biasanya berupa pneumonia atau bronkitis purulenta. Sepsis lebih sering terjadi pada pasien dengan infeksi fokal di luar peritoneum seperli pneumonia atau pielonefritis. Peritonitis.

Faktor yang mempengaruhi klirens peritoneum adalah besar kecilnya molekul, kecepatan cairan dialisat, equili-

bration-time (dwell time = lamanya cairan dialisat berada dalam kavum peritoneum), suhu cairan dialisat, tekanan osmosis cairan dialisat, permeabilitas pentoneum, dan aliran darah dalam kapiler peritoneum.

INDIKASI DP PADA GAGAL GINJAL AKUT Pasien GGA dapat dilakukan DP atas dasar : 1. DP pencegahan : DP dilakukan setelah diagnosis GGA

ditegakkan.

2. DP dilakukan atas indikasi a. Indikasi klinis : keadaan umumjelek dan gejala klinis :

KOMPLIKASI DIALISIS PERITONEAL

nyata.

b.

Komplikasi DP dapat berupa komplikasi mekanis dan

Indikasi biokimiawi: Ureum darah >200 mgTo, Kalium <6 mEq/L, HCO3 < 10-15 mEq/L,

kompiikasi radang.

pH<7,1.

1055

DIALISIS PERITONEAL

PERBEDAAN DP DAN HD PADA PASIEN GGK Dialisis pada pasien GGA dapat dilakukan dengan DP atau HD tergantung keadaan/ kondisi pasien dan fasilitas yang tersedia. Pada saat ini RS yang cukup besar biasanya tersedia DP maupun HD. Pada salah satu pasien dapat lebih menguntungkan bila dilakukan DP, sedang yang lain lebih baikbila dilakukan HD. Stewart dkk (1966) menemukan bahwa dari kasus-kasus GGA,20Vo lebih baikbila dilakukan DP,20Vo lebih baik bila dilakukan HD dan sisanya 607o sama baiknya apakah dilakukan DP atau HD. DP merupakan tindakan yang lebih sederhana, baik alat maupun prosedur pelaksanaannya dan dapat dilakukan di setiap RS tanpa fasilitas khusus. Cepat dapat dikerjakan tanpa persiapan sebelumnya dan dapat dilakukan dalam

beberapa menit setelah dilakukan keputusan untuk melakukan dialisis. P-rsoalan waktu ini kadang-kadang sangat penting artinya seperti misalnya dalam menghadapi pasien dengan hiperkalemia berat. DP merupakan dialisis pilihan pada keadaan-keadaan berikut :

. Bila penggunaan antikoagulan . . . . . .

merupakan

kontraindikasi. Pasien dengan perubahan volume darah tiba-tiba yang

tidak diinginkan (hemodinamik tidak stabil). Pasien dengan tekanan darah tidak stabil atau dalam keadaan pre-shock. Bayi, anak kecil dan pada usia lanjut yang secara teknis HD sukar dilakukan. Pasien memerlukan pengeluaran cairan tubuh yang sangat besar karena overhidrasi berat. Bila kanulasi pembuluh darah tidak memungkinkan. Pada pankreatitis akut baik disertai komplikasi GGA maupun tidak.

CONTINOUS AMBULATORY PERITONEAL DtALYSIS (CAPD)

2l/2

-3 jam; c). Continous Ambulatory Peritoneal Dia\tsis (CAPD). (Popovich & Moncrief, 1976), CAPD dilakukan 3-5 kali per hari, 7 hari per minggu dengan setiap

kali cairan dialisis dalam kavum peritoneum ( dwell-time) lebih dari 4 jam. Pada umumnya dwell-time pada waktu siang 4-6 jam, sedangkan waktu malam 8 jam. CAPD memberikan klirens ureum sama dengan yang dicapai HD 15 jam per minggu, namun klirens solut dengan Berat Molekul antara 1.000 -5.000 Dalton (middle molecule) 48x lebih besar dari HD. Middle molecule dianggap sebagai bahan toksin uremik yang diduga bertanggung jawab terhadap sindrom uremia. CAPD terbukti dapat

mengendalikan keluh kesah dan gejala uremia dengan baik.

namun penurunan konsentrasi toksin metabolik uremia tidak cepat, sehingga CAPD sebaiknya dimulai setelah dicapai pengendalian adekuat intoksikasi metabolik akut dengan teknik dialisis lain yang lebih efisien (HD atau

PD). Saat ini CAPD dianggap sebagai salah satu bentuk dialisis yang sudah mantap dan merupakan dialisis pilihan bagi pasien yang amat muda, usia lanjut dan penyandang diabetes melitus. Sisanya pemilihan antara CAPD dan HD tergantung dari fasilitas dialisis, kecocokan serta pilihan pasien. Kesederhanaan. keamanan hidup tanpa'mesin, perasaan nyaman, keadaan klinis yang baik, kebebasan pasien merupakan daya tarik CAPD bagi dokter maupun pasien. Problem utama sampai saat ini yang masih memerlukan perhatian adalah kom- plikasi peritonitis, meskipun saat ini dengan kemajuan teknologi angka kejadian peritonitis sudah dapat ditekan sekecil mungkin.

Patient survival CAPD 1-5 tahun berturut- turut 99,17,61 ,60, dan 427c, sedangkan technical survival 17 ,58,46,40, dan 2lVo.

befiurut-turut

PROSEDUR CAPD DAN DIALISAT

CAPD adalah salah satu bentuk DP kronik untuk pasien

Prosedur

dengan gagal ginjal terminal (GGT). GGT adalah merupakan

CAPD adalah suatu teknik dialisis kronik dengan efisiensi rendah sehingga bila tidak dilakukan 24 jam per hari dan 7 hari per minggu tidak adekuat untuk mempertahankan

stadium akhir GGK saat pasien sudah tidak dapat lagi dipertahankan secara konservatif dan memerlukan terapi pengganti (renal replacement therapy). Terapi pengganti dapat berupa dialisis kronik atau transplantasi ginjal. Dialisis kronik dapat berupa HD dan DP. DP dapat berupa: a). Intermittent Peritoneal Dialy.si.s (IPD). IPD dilakukan 3-5 kali perminggu dan tiap kali dialisis selama 8-14 jam. Jadi pada prinsipnya sama seperti HD kronik hanya waktu yang diperlukan setiap kali dialisis lebih lama karena

efisiensinya jauh di bawah HD; b). Continous Cyclic Peritoneal Dialysls (CCPD). CCPD dilakukan tiap hari dan di- lakukan waktu malam hari, penggantian cairan dialisis sebanyak 3-4 kali. Cairan dialisis terakhir dibiarkan dalam kavum peritoneum selama 12-14 jam. Pada waktu malam cairan dialisis dibiarkan dalam kavum peritonium selama

pasien GGK stadium akhir. Kebanyakan pasien memerlukan rata-rata 4 kali pergantian per hari. Saat pergantian disesuaikan dengan waktu yang paling enak bagi pasien dengan sarat dwell time tidak boleh kurang dari 4 jam karena dalam waktu 4 jam baru akan terjadi keseimbangan kadar ureum antara plasma darah dan

cairan dialisat. Ultrafiltrasi diperlukan untuk mengeluarkan cairan dari badan dan dapat dicapai dengan cairan dialisat hipertonik. Ultrafiltrasi sebanyak 2.000 mL dapat dicapai dengan 2 kali per- gantian dengan cairan dialisat4,257o. Bila ultrafiltrasi kita lakukan terlalu cepat

dapat terjadi kram, mual, muntah, dan hipotensi ortostatik.

1056

GINJALHIPERTENSI

Cairan Dialisat Cairan dialisat yang ada pada saat ini di Indonesia terdiri atas 3 macam cairan yaitu dengan kadar dekstrosa 1,57o, 2,5Vo dan 4,25Vo dalam kantong plastik 2ltter. Susunan cairan dialisat sama dengan susunan elektrolit plasma darah normal tanpa kalium dengan osmolalitas lebih tinggi dari plasma l0smolalitas plasma 280 mOsm/L) dan ditambah laktat (Thbel 1). Bila pasien normokalemia atau hipokalemia,

Konsentrasi Osmolalitas

dekstrosa 1,5%

2,5% 4,250/o

(mOsM/L)

347 398 486

PH Na Ca Mg

Per hari

Laktat

55 132 35 15 102 55 132 35 15 102 55 132 35 15 102

perlu penambahan:l KCI sampai konsentrasi 4 mBqlL untuk mencegah hipokalemia berat. Heparin perlu ditambahkan bila ada peritonitis atau cairan dialisat mengandung fibrin atau protein terlalu banyak untuk mencegah tersumbatnya kateter dengan dosis 1.000 -2.000 USP units per liter cairan dialisat.

Cl

35 35 35

Per kantong

Dekstrosa

1,5%

4,25%

0,5%

Air (mL) Natrium (mEq) Kalium (mEq) Kreatinin (mg) Protein (g) Calcium (mg) Fosfor (mg) Magnesium (mg)

KONTRAINDIKASI CAPD

734 129 20 803 7,1

23 313 37

+ 158 + 13 7

164 2,2 A

67 a

92 16 78 190 1,7 135 75 821

819 94 270 1,8 107

Kontraindikasi CAPD adalah penyakit diskus lumbalis,

hipertrigl (seridemia familial, hernia pada dinding abdomen (perlu perbaikan dulu) dan pasien yang tidak bisa bekerjasama. Hati- hati melakukan CAPD bila ada perlengketan yang luas, distensi usus, kelainan abdomen yang belum terdiagnosis, luka bakar, dll.

diduga karena kenaikan ekskresi kalium melalui tinja. Kalium menunjukkan balans positif dan setelah 6 bulan dengan CAPD terlihat menurunnya hormon paratiroid. CAPD tidak dapat mengeluarkan fosfat yang ada dalam makanan sehingga masih memerlukan obat pengikat

fosfat dengan dosis kecil. Bikarbonat dengan HASIL PENGENDALIAN CAPD

1. BUN

dan Kreatinin. Pasien dengan klirens kreatinin 2-5 cclmenit dengan CAPD selama 2-3 minggu, BUN = 50+5 mgVo dankreatinin plasma kurang dai 12 mg7c. CAPD mempeftahankan kedua parameter tersebut lebih rendah dari pada IPD.

2.

-).

konsentrasi laktat dalam cairan dialisat 35 mEq/L akan menyebabkan serum bikarbonat naik dari rata-rata l8 mEq/L menj adi 22,23 mEq[ Hemoglobin dan Hematokrit. Selama kurang lebih 3 bulan setelah CAPD terjadi kenaikan Hb dan ini akan terus naik sampai mencapai nilai tertentu setelah bulan

kesepuluh dan akhirnya diikuti penurunan dan pada umumnya stabil pada kadar 8 g/dl. Ini disebabkan

AirElektrolitdanBikarbonat. Air dan natrium. Ultrafiltrasi sebanyak 2 liter per hari dapat dicapai dengan menggunakan 3 kali pergantian

kemungkinan karena pengambilan bahan toksik

dengan dekstrosa 1,57o dan 2 kali pergantian dengan dekstrosa 4,257o. Setiap hari dapat dikeluarkan3-4 gram

metabolik sehingga memungkinkan sumsum tulang bereaksi terhadap kenaikan eritropoietin yang biasa terjadi pada pasien uremia dan ini akan menyebabkan

Natrium sehingga keseimbangan Na dapat dicapai

kenaikan Hb dan Ht. Akan tetapi setelah Hb naik. pacuan

dengan mudah. Kebanyakan pasien dengan CAPD tidak membutuhkan pembatasan air dan garam. Elektrolit. Elektrolit dengan cepat mencapai normal dan sesudah 2 minggu CAPD dicapai kadar Na = 138 :t 3 mEq/L; CI = 100 :t 5 mEqil; K = 4,1 :t 0,4 mEq/L dan HCO3 = 25 :t 4 rnEq/L. Pada beberapa pasien terjadi hipokalemia ringan dan memerlukan penambahan kalium per oral. Pengambilan solut tergantung dari konsentrasi dekstrosa dalam cairan dialisat. Kenaikan pengambilan solut oleh cairan hipertonik tidak hanya karena volume yang dikeluarkan lebih banyak tetapi juga oleh pengaruh solvent drag (Tabel2). Meskipun relatif hanya sedikit kalium yang diambil waktu CAPD (18 mEq/L) perhari, sedangkan pasien tanpa pembatasan pemasukan kalium (50-80 mEq per hari), kadar kalium plasma darah tetap normal. Hal ini

pada sistem eritropoietin menurun dan bila perbandingan antara eritropoietin dan zat toksik metabolik kembali ke nilai semula. Hb dan Ht akan kembaliturun.

Protein Plasma dan Hilangnya Protein. Serum protein pada umumnya stabil pada nilai rendah normal dengan kadar albumin rata-rata 3.5 + 0.8 mg%c.

Ini disebabkan karena hilangnya protein melalui membran peritoneum selama CAPD dat757o dari protein yang hilang adalah albumin. Di samping protein (5-15 per hari) pasien CAPD juga akan kehilangan asam amino sebanyak 2-3 gram per hari. Kehilangan protein tergantung antara lain dari kadar dekstrosa cairan dialisat dan pernah tidaknya menderita peri-

tonitis sebelumnya.

5.

Glukosa Darah. Glukosa darah yang masuk ke dalam

1057

DIALISIS PERITONEAL

plasma selama CAPD antara 150-2009 dan ini lebih kecil dari pada IPD. Pada pasien tanpa DM pada umumnya

KOMPLIKASI

tidak menyebabkan hiperglikemia. Banyaknya glukosa

Komplikasi CAPD dapatkitabagi menjadi komplikasi teknis dan komplikasi medis. Komplikasi Teknis pada umumnya bukan merupakan komplikasi serius dan mudah diatasi, terdiri antara lain bocornya cairan diaiisat, sumbatan pada saat masuk atau keluarnya cairan dialisat, kesalahan letak kateter, dan lain sebagainya. Komplikasi Medis pada umumnya dapat di atasi dengan mudah. Komplikasi ini antara lain hipotensi, keluhan gastrointestinal (mual, tumpah, hilangnya nafsu makan dll), sakit sendi dan sakit tulang punggung,kram, perasaan

yang masuk dalam darah ini yang sering dikaitkan dengan terjadinya kenaikan berat badan dan kolesterol

6.

serta trigliserida darah. Pada peyandang DM kadar glukosa darah dapat dikendalikan dengan pemberian insulin intraperitoneal atau kombinasi intraperitoneal dan subkutan. Kolesterol dan Trigliserida Pasien dengan CAPD menunjukkan kenaikan kedua parameter tersebut dan diduga berkaitan dengan penyerapan glukosa ke dalam

plasma. Dianjurkan sedapat mungkin tidak menggunakan cairan dialisat hipertonik.

7.

Tekanan Darah. Pengendalian edema akan berhubungan

dengan penuru nan tekanan darah dan digunakan cairan dialisat hipertonik.

ini terjadi bila

lelah, infeksi kulit sekitar tempat masuknya kateter, perasaan sakit di abdomen dan peritonitis. Peritonitis adalah komplikasi yang sering dijumpai meskipun saat ini di beberapa pusat ginjal angka kejadian peritonitis menurun sampai serendah 'l episode every 4 patients years dan penurunan ini terutama karena lebih

EFEK PSIKOSOSIAL PASIEN DENGAN CAPD

baiknya seleksi dan latihan pasien serta kemajuan teknologi seperti connector, in line filters dan y tubing.

Keuntungan yang paling utama pasien GGK stadium akhir dengan CAPD adalah hidup tanpa mesin yang memberikan kebebasan yang lebih dari pada terapi lain. Kesederhanaan, keamanan, hidup tanpa mesin, perasaan nyaman, keadaan klinis yang baik, kebebasan, pasien biaya yang relatifmurah merupakan daya tarik CAPD baik bagi dokter maupun paslen. Rehabilitasi pasien dengan CAPD ter nyata sama saja dengan pasien teknik lain. Telah dilaporkan beberapa perubahan fisis ke arah perbaikan antara lain menstruasi dapal teratur, nafsu seks kembali, gatal-gatal menghilang, tumbuhnya rambut di ketiak dan dada, perubahan warna dan kekeringan kulit dan lain sebagainya. Pada pasien

Gejala dan keluh kesah pasien terbanyak adalah keruhnya cairan dialisat serta sakit abdomen. Di samping itu dapat pula disertai mual. muntah, panas, menggigil maupundiare. Gejala fisis yang dapat dijumpai adalah ketegangan dinding perut, kenaikan temperatur dan leukositosis. Penyebab kuman paling sering adalah Staphylococcus aureus dal epidermidis (40-607o) yang merupakan gram positif, 20407o disebabkan gram negatif dan sisanya karena fungi

dengan umur di bawah 50 tahun, CAPD tidak mengganggu dan mengurangi kepuasan hubungan kelamin, sedangkan di atas umur 50 tahun terjadi penurunan aktivitas seks mungkin karena penyakit kroniknya.

dan aseptik. Bila ada gejala- gejala peritonitis, segera dibuat kultur dan uji kepekaan. Sementara menunggu hasil laboratorium, dapat diberikan kombinasi sefalosporin (untuk gram positif) dan tobramisin (untuk gram negatif) intraperitoneal dan diberikan setiap pergantian cairan dialisat. Dosis antibiotik untuk mengatasi peritonitis yang diberikan intraperitoneal adalah sebagai berikut: (mg/L cairan dialisat), Metisilin (200), karbenisilin (200), sefalotin (200), sefoksitin (100), Vankomisin (20), Kanamisin .(20), Gentamisin ( l0), Tobramisin ( l0), Amikasin (20), klindamisin (20), kloramfenikol (20) dan amfoterisin (1-20).

DIET PASIEN DENGAN CAPD Tidak ada pembatasan ketat yang harus dilakukan terhadap

diet pasien dengan CAPD namun perlu ditekankan pentingnya pengertian hubungan antara intake dan output, kese- imbangan cairan dan elektrolit dan pengambilan produk metabolik oleh dialisis. Untuk menghindari balans, Nitrogen negatif, diet dianjurkan dengan protein tinggi (minimal 1,2 grartlkgBBftrari) dan

energi tinggi. Balans negatif pada pasien CAPD disebabkan karena hilangnya protein (6-8 g/hari) dan asam amino (2-3 gram per hari), peritonitis. penurunan asupan

prolein dan kalori yang umumnya terlihat setelah CAPD berlangsung I tahun dan adanya pacuan kronik terhadap katabolisme protein.

REFERENSI Beardsworth SF Practical peritoneal dialysis. ln: Nolph, KD (ed) Peritoneal Dialysis. Johr Wright & Sons LId, Bristol, 1994 Dordrecht. The Netherlands: Kluwer Academic Publishersl 1989 Boen ST. Peritoneal dialysis in clinical medicine. Charles C. Springfie1d, Illinois, USA : Thomas Publisherl 1964.

Boner G. Peritonitis and exit-site infections Prospective and advances in clinical nephrology. Continuing medical education program, XIV th International Congress of Nephrology, 25-29 May, Sydney, 19971. 188-192 Burkart J M Diagnosis of peritonitis in continuous peritoneal dialysis. Up To Date, l3 3, 200-5, CD-ROM. Cancarini GC. The future of peritoneal dialysis : Problems and hopes. Nephrolog. Dial. Transplant, 1997. l2(Suppl-l) 83-8.

10s8

Keane WF, Alexander SR, Bailie GR, Boeschoten E, Gokal R et al.

Peritoneal dialysis -related peritonitis. Treatment recommendation: 1996 update. Peritoneal Dialysis Int, 1996; 16,551-

573. Khanna R, Nolph KD and Oreopoulos, DG. The Essentials of Peritoneal Dialysis. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht,

The Netherlands: 1993. Khanna R. Peritonitis during continous ambolutory peritoneal dialysis. New trends. In: Asian Nephrology Edited by Chungh, K.S. Dehli.Oxford University Press; 1994; 571-82. Nizar A Gokal R. An overview of continous ambulatory peritoneal dialysis. In: Asian Nephrology Edited by Chungh, KS. Delhi. Oxford University Press; 1994; 541- 7.

GINJALHIPERTENSI

Nolph KD. Peritoneal dialysis. In. Drukker W, Parson FM and Maher JF (eds). Replacement of Renal Function by Dialysis. The Haque : Martinus Nijhoff Medical Division; 1978. Piraino B., Bailie GR., Bernardini J., Boeschoten E., Gupta A., Holmes C., Kuijper EJ., Li PK., Lye WC., Mujais S., Paterson DL., Fontan MP., Ramos A., Schaefer F., Uttley L. Peritoneal dialysis-related infections recommendations: 2005 update Perit Dial Int 2005, 25(2):10'7-31. Prichard SS. Peritoneal dialysis and hemodialysis, are they comparable. Nephrolog Dialysis Transplant, 1979; 12(suppl 1 ):65 -7.

t67 TERAPI PENGGANTI GINJAL BERKESINAMBUNGAN (CRRT) Rully M.A. Roesli

PENDAHULUAN

ginjal berkesinambungan (Continous RRT = CRRT). Dengan dibuatnya mesin-mesin hemodialisis yang

Pasien Gagal Ginjal Akut (GGA), terutama yang dalam

mempunyai kemampuan mutakhir, teknik hemodialisis juga berkembang. Pada tahun 1998 di Universitas Arkansas

keadaan kritis dan dirawat di unit perawatan intensif, seringkali disertai dengan berbagai komplikasi. Biasanya

Amerika, Marshal dkk memperkenalkan teknik hemodialisis

pasien menunjukkan gejala-gejala uremi, kelebihan cairan,

baru, yang mempunyai kelebihan dibandingkan teknik konvensional, disebut sebagai " Sustained Low-Efficient Dialwis (SLED)".

asidosis, dan hiperkatabolik. Pada banyak kasus, pasienmengalami sepsis dan gagal multi organ yang memerlukan alat bantu napas (respirator mekanik). Kematian dapat mencapai lebih dai707o kasust. Kondisi

Menurut Ronco dkk (2000) dan Kaplan (2002), CRRT dan SLED adalah teknik TPG yang paling sering digunakan

klinis semacam ini memerlukan jumlah asupan cairan, obat, atau nutrisi yang besar. Padahal pasien juga mengalami keadaan oliguri atau anuri, sehingga pemberian asupan cairan menjadi sangat terbatas, pengelolaan pasien, pada umumnya, selalu melibatkan " Re nal R ep lac e me nt Th e rapy (RRT)" atau Terapi Pengganti Ginjal (TPG). Indikasi penggunaan TPG adalah untuk melakukan perbaikan terhadap gangguan-gangguan homeostatik yang terjadi, di samping dapat menghindari terjadinya kelebihan cairan akibat pengobatan dan hiperalimentasi3. Ada berbagai jenis TPG dapat digunakan untuk pasien GGA dalam kondisi kritis. Pemilihan jenis TPG yang akan digunakan sangat tergantung terhadap penguasaan dokter maupun perawat akan teknik-teknik TPG, juga pada fasilitas TPG yang tgrsedia. Pada awalnya, pemilihan teknik TPG hanya terbatas pada hemodialisis konvensional atau dialisis peritoneal akut. Hemodialisis dan dialisis peritoneal mulai digunakan pada pasien GGA sej ak tahtn 19 44a .

untuk pasien GGA dalam keadaan kritis. Masing-masing

jenis TPG mempunyai indikasi yang spesifik, derajat kesulitan dalam teknik maupun monitoring yang berbeda,

serta perbedaan dalam biaya pengobatan yang dibutuhkan. Dengan demikian, pengetahuan yang memadai terhadap jenis-jenis TPG sangat diperlukan untuk dapat memilih jenis TPG yang sesuai untuk setiap pasien GGA yang kita hadapi.

PRINSIP DASAR Prinsip dasar dari TPG, termasuk CRRT, adalah membuang (translokasi) zat-zat dengan kadar yang berlebihan keluar tlbth. Zat-zat ini dapat berupa yang terlarut dalam darah (solut), seperti toksin ureum, kalium, dll. Atau zat pelarutnya yaitu air atau serum darah (solution). di dalam proses TPG, translokasi terjadi di dalam ginjal btatan(dialyzer), yang terdiri dari 2 kompartemen (ruangan), yaitu kompartemen darah dan kompartemen dialisat. Kedua kompartemen ini dibatasi oleh sebuah membran semi-permiabel. Perbedaan

Pada tahun 7911, Kramer dkk, menemukan teknik hemofiltrasi baru dengan indikasi untuk pasien overhidrasi yang resisten terhadap diuretik. yailut Continous arteriovenous hemofiltration (CAVH). Kemudian teknik ini berkembang sehingga dikenal berbagai teknik dan jenis TPG baru, yang dikelompokkan menjadi Terapi pengganti

tekanan antara kedua kompartemen disebut lrazs membran pressure(TMP). Darah dari dalam tubuh akan dialirkan ke komparlemen darah, sedang cairan pencuci r n--

1060

GINJAL HIPERTENSI

(dialisat) dialirkan ke komparlemen dialisat. Translokasi

dengan molekul air. Proses konveksi dapat terjadi pada

dapat terjadi dengan mekanisme difusi atau ultrafiltrasi.

solut dengan molekul kecil (urea nitrogen, kreatinin, kalium, d11) atau membran dengan molekul besar (inulin, B2-mikroglobulin, TNF, vitamin B 12, dll) tergantung dari jenis, luas permukaan, dan biokompabilitas membran

Mekanisme Difusi Pada mekanisme difusi terjadi translokasi solut akibat adanya perbedaan konsentrasi antara komparlemen darah

dan kompartemen dialisat (gradien konsentrasi). Solut dengan konsentrasi tinggi dalam darah, seperti kalium atau urea berpindah dari kompartemen darah ke kompartemen dialisat. Sedang solut dengan konsentrasi rendah dalam darah, seperti bikarbonat, berpindah dari kompartemen dialisat ke kompartemen darah. Solut yang dalam keadaan seimbang diantara kedua komparlemen, seperti natrium dan klorida, hampir tidak berubah (Gambar 1).

semi-permiabel yang di gunakan.

Keterangan gambar: Translokasi solut terjadi akibat perbedaan konsentrasi (mekanisme difusi). Translokasi air

(solution) terjadi akibat perbedaan tekanan (mekanisme ultrafiltrasi). Proses difusi akan berhenti bila konsentrasi sudah seimbang (t equilibrum). Proses ultrafiltrasi akan berhenti bila tekanan sudah seimbang (TMPH=0).

PROSES HEMODIALISIS DAN HEMOFILTBASI

Mekanisme Ultrafiltrasi ultrafiltasi terjadi translokasi molekul air (zat pelarut) melalui membran semi-permiabel akibat perbedaan tekatan(trans membran pressure= TMP) antara kompartemen darah dan kompartemen dialisat. Tekanan hidrostatik akan mendorong air keluar dari suatu kompartemen, sedang tekanan onkotik akan menahannya. Selisih penjumlahan tekanan-tekanan dalam kedua kompartemen disebut TMP (Gambar 1). Pada mekanisme

Proses Terapi Pengganti Ginial dibedakan berdasarkan mekanisme terjadinya translokasi solut atau air. Dinamakan proses hemodialisis (HD) bila mekanisme dasarnya adalah difusi. Tujuan utama dari proses difusi adalah penjernihan darah (blood purificatictn) dai zat-zat dengan konsentrasi

yang berlebih di dalam tubuh (translokasi solut). Pada proses hemodialisis, dapatjuga terjadi translokasi air akibat adanya perbedaan tekanan (TMP). Dinamakan proses hemofiltrasi (HF) bila mekanisme dasarnya adalah

ultrafiltrasi. Tujuan utama dari proses ultrafiltrasi adalah

mengurangi kelebihan cairan dalam ttbuh (.volume control). Pada suatu proses hemofiltrasi dapat terjadi translokasi solut (penjernihan darah) melalui mekanisme

konveksi. Dinamakan hemodia-fi ltrasi (HDF) bila ptosesnya merupakan gabungan antara kedua mekanisme. Pada suatu proses hernodialisis selalu diperlukan cairan

t=0

Diffusion t=equilibrium

MEKANISME ULTRAFILTRASI (Perbedaan tekanan)

.8i

EE A g B

AE

Ultrafiltration

B

t = Later

Gambar 1. Mekanisme difusi dan ultrafiltrasi (dikutip dari Daugirdas & van Stone, 2001)

Mekanisme Konveksi (convection) Pada mekanisme konveksi terjadi translokasi solut, bersamaan dengan translokasi air yang terjadi dalam dalam proses ultrafiltrasi. Solut dapat ikut berpindah akibat terikat

dialisat. Sedang pada suatu proses hemofiltrasi diperlukan cairan substitlsi (replacement flui(l) untuk mengganti cairan yang difiltrasi (ultrafiltrat). Pada hemodiafiltrasi diperlukan kedua macam cairan tersebut. Ginjal buatan (dializ.er) pada proses hemodialisis disebut hemodialiser, sedang pada proses hemofiltrasi disebut hemofilter. Parameter efisiensi proses hemodialisis (HD) diukur dengan klirens (laju difusi) ureum, dan dipengaruhi oleh: kecepatan aliran darah, kecepatan aliran dialisat, gradien konsentrasi, jenis dan luas permukaan membran semipermeabel, dan besar molekul solut. Parameter efisiensi proses hemofiltrasi (HF) berhubungan dengan kecepatan laju ultrafiltrasi (Qfl dan sifat membran semi-permiabel. Dibutuhkan membran dengan koefisien ultrafiltrasi (KUJ) yang tinggi agar proses ultrafiltrasi berjalan maksimal (high-flux membrane). Peranan Qb, Qd, dan Qf pada proses hemodialisis dan hemohltrasi: a). Kecepatan aliran darah (QD). Makin cepat aliran darah akan makin cepat terjadinya penjemihan dararh. Pada hemodialisis konvensional, kecepatan aliran darah (Qb) standar adalah I50 - 350 cclmenit. Dengan Qb sebesar ini peniernihan darah akan terjadi dengan cepat. Tetapi

1061

TERAPI PENGGAIITI GINJAL BERKESINAMBUNGAN (CRRI)

SCUF CAVH CWH CAVHD CAVHDF CWHD CWHDF A-\/

Akses pembuluh darah Penggunaan Pompa Ultafiltrate = Qf(ml/jam) Laju dialisat= ad (Ujam) Cairan substitusi (l/hari) Klirens urea (ml/menit) Tingkat kesulitan Harga Tingkat kesulitan dan

Tidak

Ya

'100

600

0

0 12

0

1.7

harga

1 1

10 2 2

V-V Tidak 1000 01 21 6 167

1= paling mudah

JZ

43

A-V Ya

300

Tidak 600

Ya 300

1

1

4.8

12

4.8

217

26.7

21 .7

2

3

4

V-V Ya 800 1 168 30 32 43

Kateter Peritonial

Tidak 500 2.0 0

8.5

dan murah s/d 4 = paling mahal dan sulit

Qb yang tinggi akan menimbulkan keadaan hemodinamik

yang tidak stabil. Terutama pada pasien-pasien dalam kondisi kritis. Sebaliknya pada proses ultrafiltrasi tidak dibutuhkan Qb yang tinggi. Pada terapi CRRT, kecepatan aliran darah dapat sangat rendah, yaitu 50 cclmenit pada CAVH dan 200cc pada CWHD. Makin rendah Qb keadaan hemodinamik akan menjadi lebih stabil. b). Kecepatan aliran dialisat (Qd). Untuk terjadi mekanisme difusi yang baik diperlukan aliran dialisat (Qd) yang berjalan berlawanan

(counter-current) dengan aliran darah. Pada HD konvensional Qd standar adalah 500-600 cclmenit. Pada

proses ultrafiltrasi tidak diperlukan cairan dialisat. Sedangkan pada proses hemodia-filtrasi diperlukan dialisat dengan kecepatan rendah. Dengan menggunakan highflux membrane, Qd sebesar 10-30 ccljam sudah dapat

istilah (A-V) bila akses keluar dari tubuh melalui pembuluh darah arteri dankembali melalui pembuluh darah vena.Atau (V-V) bila keluar atau masuk kedalam tubuh melalui pembuluh darah vena (Thbel 1). Pada proses dialisis peritonial, akses

cairan dialisat kedalam tubuh melalui kateter peritonial, sedang proses difusi dan filtrasi terjadi di dalam rongga peritonial. Selama darah berada diluar tublh(extracorpera[5, dicegah supaya tidak membeku dengan pemberian heparin, berupa heparin reguler atau heparin molekul rendah. Makin lama darah berada diluar tubuh, seperti pada CRRT, makin banyak heparin yang digunakan, dengan konsekuensi lebih akibat sering timbul efek samping. Pada tabel berikut ini Mehta RL (2000) memperlihatkan perbedaan dalam teknik beberapajenis CRRT.

menghasilkan translokasi solut dengan memuaskan. Membran jenis ini harganya jauh lebih mahal dibandingkan membran untuk HD konvensional. c). Laju filtrasi (Qfl. Pada translokasi solut dengan cara konveksi, dibutuhkan laju ultrafiltrasi yang sangat tinggi. Qf standar pada proses ultrafiltrasi adalah I -2liter airljam (Tabel 1). Ronco dkk (2000) merekomendasikan laju filtrasi lebih dari 35 cclkgBB/

menit baru akan memberikan proses konveksi yang memuaskan. Kerugian dengan Qf yang tinggi adalah cairan

substitusi (replacement fluid) diperlukan dalam jumlah besar, sehingga proses hemofiltrasi menjadi mahal. Pada proses hemo-diafiltrasi tidak diperlukan Qf yang terlalu tinggi, karena translokasi solut terjadi dengan kombinasi

mekanisme konveksi dan difusi. Pada proses hemodiafiltrasi biasanya hanya diperlukan Qf < 10 cclkg BB/menit.

Akses Pembuluh Darah Pada proses hemodialisis atau hemofiltrasi diperlukan aliran

darah (akses) dari tubuh ke ginjal buatan (dialyzer) melalui pembuluh darah. Bila akses dari tubuh melalui pembuluh darah arteri (A), maka aliran darah terjadi akibat tekanan darah sendiri. Bila akses melalui pembuluh darah vena (V)

KLASIFIKASI Berdasarkan lamanya waktu pelaksanaan, Mehta RL ( 1998)

membuat klasifikasi Terapi Pengganti Ginjal pada pasien

GGA sebagai berikut: a). dilakukan dengan jangka waktu tertentu (intermiten) atau b). dilakukan secara berkesinambungan (c ontinous ). (Tabel 2) Pada terapi hemodialisis intermiten (IHD) proses dialisis berlangsung cepat,hanya4-6 jam/ kali. Dengan teknik ini

penjernihan darah berlangsung cepat dan efisien. Kerugiannya adalah penurunan volume cairan tubuh dan

elektrolit juga berlangsung cepat sehingga sering didapatkan efek samping seperti hipotensi, gangguan elektrolit, atau edema otak. Pada terapi teknikbaru, seperti EDD atau SLED, waktu dialisis diperpanjang (12-24 jam) dengan maksud agar proses dialisis menjadi lebih lambat sehingga efek sampingnya berkurang. Pada teknik CRRT, proses hemofiltrasi dilakukan secara berkesinambungan (continous RR7). Dengan demikian perubahan homeostatik berjalan lambat tetapi stabil.

INDIKASI

diperlukan suatu pompa (P). Darah selalu kembali kedalam

tubuh melalui pembuluh darah vena, Biasa digunakan

Dalam pengelolaan pasien GGA dalam keadaan kritis, Mehta

1062

GINJAL HIPERTENSI

Terapi Berkesinambungan (cRRT)

Terapi lntermiten Konvensional

Hemodiallsis Konvensional (lHD) Dengan sorben Hemodiafiltrasi Ultrafiltrasi (sekuensial) Teknik baru Extended Daily Dialysis (EDD) Slow contin uous dialysls Sustarned Low Efficient Dialysis (SLED)

Dialisis Peritonial (PD) Ultrafiltrasi (SCUF) Hemofilkasi (CAVH, CVVH) Hemodialisis (CAVHD, CWHD) Hemodiafiltration (CAVHDF,

cwHDF)

Ve n

o-Ve

nou

s

C

onti nou s Ve n o-Ve

Afterio-V

n ou

s

o-

9.

11

12

H e mofi ltratio n

CAVHD: Continous Afterio-Venous Hemodialysis Co nti no u s

7.

'10

Keterangan: S I ow Conti n ous U ltrafi ltratio n CAVH: ContinousArlerio-Venous Hemofiltration Conti nou s

1 2 3. 4 5 6.

(output urin < 20O mll12 jam) (output urin < 50 ml/12 jam)

(Kalium > 6.5 mmol/liter)

(pH<71) ([urea] > 30 mmol/liter) (edema paru)

(Natrium > 160 mmol/liter)

Adanya salah satu kriteria tersebut di atas merupakan indikasi untuk memulai CRRT. Adanya 2 kriteria tersebut di atas merupakan keharusan untuk memulai CRRT.

H e mofd i al y s i s

en ou s H e mod i afi ltrati

Oliguri

Anuri/oliguri berat Hiperkalemi Asidosis berat Azotemi Gagal organ lain, terutama paru Enselopalopati uremik Perikarditis uremik Neu ropati/miopati uremik Hipernatremia berat Hipertermia Keracunan obat yang dapat terdialisis

o

n

Continous Veno-Venous Hemodiafiltration IHD: lntermittent Hemodialysis PD: Peritoneal Dialysis SLED: SustarnedLow-EfficientDialysis

TEKNIK OPERASIONAL BEBERAPA JENIS CRRT

(2001)r8 membagi CRRT berdasarkan indikasi terapi yaitu : (l) Renal replacement, bila indikasinya untuk memperbaiki

gangguan fungsi ginjal, dengan segala komplikasinya. (2) Renal support, yaitu bila indikasinya untuk membantu fungsi

organ lain yang diakibatkan oleh gagal organ multipel (termasuk penurunan fungsi ginjal). Indikasi CRRT pada pasienGGA dapat dilihat pada Tabel3.

Setiap jenis CRRT mempunyai teknik operasional yang berbeda. Pemilihan teknik CRRT untuk pasien GGA harus memperhatikan: indikasi dan tujuan CRRT, fasilitas yang

tersedia, efek samping, pengetahuan dan ketrampilan dokter atau perawat, tingkat kesulitan dan harga pengobatan.

Slow Continous Ultrafiltration (SCUF)

Renal replacement Tujuan pengobatan Saat melakukan intervensi lndikasi dialisis Dosis dialisis

Renal support

Mengganti fungsi ginjal

Membantu organorgan lain Tergantung parameter Tergantung bioimia kebutuhan invidual Sempit Luas Sesuai penurunan fungsi Sesuai kebutuhan ginjal dan indikasi

Indikasi untuk memulai dialisis pada pasien GGA, terutama yang dalam keadaan kritis, sangat berbeda dengan indikasi pada pasien dengan Penyakit Ginjal Kronik (PGK). Berdasarkan kriteria NKF/DOQI ( 1 997), inisiasi dialisis pada pasien PGK adalah bila Laju Filtasi Glomerulus (LFG) < 15

cclmenit. Pada pasien GGA indikasinya menjadi sangat

luas, tergantung dari kondisi klinis yang dihadapi. Indikasinya sama sekali tidak berdasarkan LFG Dalam tabel 4 dicantumkan beberapa kondisi klinis yang merupakan indikasi untuk memulai terapi.

Indikasi dari SCUF adalah untuk mengurangi cairan tubuh yang berlebihan. Teknik yang digunakan adalah ultrafiltrasi lambat (<10 cclmenit atau < 300 ccljam). SCUF dilakukan secara berkesinambungan (continous) selama masih diperlukan. Dengan teknik ini keadaan hemodinamik stabil dan tidak diperlukan cairan pengganti. Akses pembuluh darah dapatA-V atau V-V. Tidak diperlukan mesin dialisis, cukup pompa darah pada akses V-V. Dialiser yang digunakan jenis hemofilter. Sirkuit SCLrF (AV dan W) dapat di lihat pada Gambar2. Teknik sederhana dan tidak mahal. Kerugiannya pada teknik ini tidak terjadi penjernihan darah

(proses difusi).

Continous Arterio-Venous Ultrafiltration, Continous Veno-Venous Ultrafiltration Indikasi utama dari CAVII/CWH adalah untuk mengurangi

cairan tubuh yang berlebihan (volume control). Teknik yang digunakan adalah ultrafiltrasi. Agar terjadi proses konveksi, maka Qf harus >10 cclmenit. Menurut Ronco

(2000) mortalitas pasien baru akan menurun secara bermakna bila Qf >35 cclkgBB/menit. Mengingat

1063

TERAPI PENGGAITTI GINJAL BERKESINAMBUNGAN (CRRT)

ini memerlukan pengawasan ketat. Tingkat kesulitan dan harga pengobatan teknik ini adalah yang paling mahal dibandingkan dengan teknik CRRT lainnya. Sirkuir CAVHD dan CWHD dapat dilihat pada Gambar 4. Proses

CAVHD

Q" = 50-200 mL/min Q, = 2-8 ml\min

Q, = 50-100 mL/min Q, = 2-6 ml/min

Gambar 2. Sirkuit AVA/V SCUF

ultrafiltrasi berlangsung secara berkesinambungan maka dengan teknik ini keadaan hemodinamik tetap stabil. Diperlukan cairan substitusi untuk mengganti cairan yang hilang. Banyaknya cairan substitusi tergantung besarnya Qf. Dengan teknik ini tidak diperlukan cairan dialisat. Akses pembuluh darah dapatA-V atau V-V. Pada akses A-V tidak digunakan pompa karena darah mengalir akibat tekanan darah arteri pasien. Pada akses V-V diperlukan pompa darah. Mengingat efisiensinya kurang maka akses A-V dewasa ini jarang digunakan. Membran yang digunakan

mL/min mL/min = 10-20 ml/min

e"=

50-.100

Q, = 1-3

ll ll ll

O. = 50-200 mUmin O, = 1-5 mumin O. = 15-30 ml/min

Gambar 4. Sirkuit CAVHD/CVVHD

Dialisis Peritoneal Dialisis peritoneal masih digunakan dibeberapa Rumah Sakit. Hal ini disebabkan karena tekniknya yang sangat sederhana dan murah. Pada dialisis peritoneal tidak dibutuhkan mesin dialisis atau ginjal buatan (dialiser).

hemofilter (high-flux). Teknik ini dilakukan

Proses difusi dan ultrafiltrasi terjadi di rongga peritoneum.

berkesinambungan dan memerlukan monitor yang ketat. Tingkat kesulitan dan harga pengobatan lebih tinggi dari SCIr'F. Sik-uit CAVH dan CVVH dapat dilihatpada Gambar

Proses dialisis dilakukan secara berkesinambungan. Kerugiannya adalah semua proses yang terjadi tidak dapat diatur dan diramalkan. Proses penjernihan darah maupun ultrafiltrasi berlangsung lambat. Dari hasil penelitian Phu dkk (2002) didapatkan bahwa angka kematian pasien GGA yang menjalani dialisis peritoneal (41Vo) jaluh lebih tinggi dibanding pasien yang menjalani CRRT jenis lain (157o). Oleh karena itu walaupun tekniknya mudah dan murah, tetapi tidak dianjurkan untuk digunakan, terutama bila ada pilihan CRRT jenis lain.

3.

CAVH

min ml/min

Q" = 50-100 mli Q, = 10-15

II

I ll I

CWH

O" = 50-200 mumin O = 10-30 mL/min

Gambar 3. Sirkuit CAVH/CVVH

Continous Arterio-Venous Hemo Dia-filtration, Continous Veno-Venous Hemo Dia-filtration

BEBERAPA TEKNIK DIALISIS INTERMITEN

Hemodialisis lntermiten (lHD) IHD adalah teknik yang masih paling sering digunakan untuk pengelolaan GGA. Digunakan mesin hemodialisis dan dialiser yang konvensional sehingga teknik ini relatif lebih mudah dan murah. Dialisis dilakukan secara intermiten

Perbedaan antara CAVHDF/CVVHDF dibandingkan dengan CAVH/CVVH adalah indikasinya. Selain untuk membuang kelebihan cairan tubuh, teknik ini dapat digunakan secara efisien untuk penjernihan darah. Agar terjadi penjernihan darah (proses difusi), maka digunakan cairan dialisat dengan laju dialisat yang lambat, Qd=10- l5 cc/menit. Sedangkan kecepatan aliran darah juga dibuat

yaitu antara 4-6 jam/kali,3 sampai 6 kali/ minggu. Proses

lambat, Qb = 50-200 cclmenit. Mengingat Qd dan Qb yang lambat maka keadaan hemodinamik akan tetap stabil. Selain

diperpanjang, yaitu dilakukan tiap hari angka kematian pasien dapat diturunkan. Menurut penelitiannya angka kematian pasien GGA dengan HD konvensional (2-3 kali/ minggu) adalah 3l7o,leb1h tinggi dibandingkan dengan bila HD dilakukan tiap hari (.22Vo). Menurut Bellomo dkk

cairan dialisat, juga diperlukan cairan substitusi untuk mengganti cairan yang hilang. Untuk proses ini diperlukan

mesin hemofiltrasi dan penggunaan high-flux dialyzer.

penjernihan darah dan pengeluaran cairan yang berlebihan dapat dilakukan dalam waktu yang pendek. Pada pasien

dengan hemodinamik yang tidak stabil, seringkali menimbulkan efek samping hipotensi atau gangguan hemodinamik lain (Sirkuit IHD dapat dilihat pada Gambar

5). Menurut Schiff dkk (2002) bila waktu dialisis

1064

GINJALHIPERTENSI

(1999) teknik CRRT, karena dilakukan

secara

berkesinambungan, mempunyai kelebihan dalam proses penjernihan darah bila dibandingkan dengan teknik IHD.

splanknik regional, seperti pH, pCO, atau perbedaan konsentrasi/kadar pCO, pada kedua kelompok pasien. Kellum dkk (2002) melakukan meta-analisis pada 13 penelitian denganjumlah pasien lebih dari 1000 orang. Tidak

didapatkan perbedaan dalam angka kematian diantara

Sustained Low Efficient Dialysis (SLED) Teknik SLED merupakan modifikasi dari teknik HD konvensional .Teknik ini menggabungkan keuntungan dari HD setiap hari dan CRRT. Digunakan mesin HD dan dialiser konvensional sehingga harganya tidak tedalu mahal dan

tidak perlu pengawasan khusus. Agar hemodinamik menjadi lebih stabil maka Qb difurunkan menjadi <150 ccl menit dan Qd menjadi <300 cclmenit. Untuk mengimbangi

agar dialisis tetap efisien maka waktu dialisis (tD) diperpanjang menjadi 6-12 jam(Sirkuit IHD dapat dilihat pada Gambar 5). Pada SLED terjadi proses penjernihan darah dan kontrol cairan tubuh yang efisien dan stabil. Tidak diperlukan cairan substitusi atau monitoring yang ketat. Pertama kali digunakan oleh Marshal ( I 998). Menurut Liao dkk (2003) translokasi molekul menengah dan besar

pada teknik SLED jauh lebih baik dibanding HD konvensional. Nampaknya teknik ini menjanjikan, walaupun belum banyak dilakukan penelitian mengenai SLED.

CRRT dan hemodiali sis intermiten(IHD) (RR=0, 93 ;0,95. CI=0,79- 1,09). Teknik CRRT yang mutakhir adalah CPFA ( continous plasmafiltration). Pada peneltian dengan jumlah pasien terbatas, teknik ultrafiltrasi yang digabung dengan plasmaferesis dapat mengurangi endotoksin yang beredar dalam darah. Selain itu untuk mengurangi intoksikasi akut ditambahkan filter sorben yang berisi antibiotik (polymyxin B). Masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk dapat menarik kesimpulan secara pasti mengenai. efektifitas teknik-teknik baru tersebut.

REFERENSI Bellomo R, Farmer M, Bhonagiri S, et al. Changing acute renal

failure treatment from intermittent hemodialysis

to continuous hemofiltration: impact on azotemic conrrol Int J Art Org I999:(22): 1.15--50 Besarb A, Raja RN{. Vascular acces for henrodiall'sis In: Daugardlas JT, Blake P4, Ing TS. editors Handbook of drallsis -l'i editior.r

Lippincot Williams & Wilkins; 2001 p 67-l0l Briglia A, Paganini E. Acute renal failure in the intensive cere unir Clin Chest Med. 1999:20:347-66 Conger J. Dialysis and related therapies Semin Nephrol. V trat on

rat on

mUmin ml/min

Q, = 50-100 e, = 2-6

ll ll

O" = 50-200 mumin O, = Z-A

,U.in

Gambar 5. Sirkuit IHD dan SLED

CRBT PADA PASIEN SEPSIS Berdasarkan hipotesis bahwa CRRT dapat melakukan penjernihan darah dan kontrol cairan tubuh secara efisien, timbul dugaan bahwa CRRT dapat digunakan untuk membuang sitokin, endotoksin, tumor necrosis factor,PAl dan zat-zat proinflamasi lainnya. Tetapi sampai saat ini tidak ada bukti yang pasti mengenai masalah ini. Ronco dkk (2000) membuktikan bahwa angka kematian pada pasien dengan GGA yang disertai sepsis berhubungan dengan dosis ultrafiltrasi. Angka kematian akan menurun secara bermakna bila dosis ultrafiltrasi >35 cclkgBB/jam. Tetapi penurunan angka kematian ini lebih berhubungan dengan rendahnya gangguan hemodinamik pada pasien. bukan karena menurunnya kadar sitokin. John s dkk (2001) membandingkan kelompok pasienGGA dengan sepsis dengan terapi CWH (20 orang) dan hemodialisis intenniten

(10 orang), tidak ada perbedaan pada parameter perfusi

1998:18:S33-.10 Daugirdas JT. Peritoneal dialysis in acute renal

outcome

?

failure

New Engl J Med 2002:347:933

Daugirdas JT. van store

JC

why the bad

5

Ph-v-siologic principles aud urea kinetic

modeling, In: Daugardias JT. Blake P1. Ing TS. editors Handbook of dialysis. 3'd edition Lippincot Williams & Wilkins: 2001. p. 1s-45. De Vriese ANS. Prevention and treatment of acute renal failure in sepsis. J Am Soc Nephrol. 2003;14:792-805.

John S, Griesbach D, Baumgartel

M, et al. Eff'ect of continuous

haemofiltration vs intermjttent haemodialysis on s)stemic haemodynamics and sptanchnic regional perfusion in septic shock patients: a prospective, randomized clinical trial Nephrol Dial

Tlansplant. 200| : 16(2):320 1 Kaplan AA. Renal failure. In: Bongard FS, Sue D! editors, Current critical care. Diagnosis and treatment. 2'd edition. New York:

Mc Graw-Hlll; 2002 p.312-75. Kellum JA, Angus D, Johnson JP et.al. Continous versus Intermittent renal replacement: a meta analysis. Intensive Care Med 2002;28:29-37. Kramer P, Wigger W, Matthaei D, Scheler F. Arterio-r'enous

hemofiltration: a new simple method for treatment of overhydrated patients resistant to diuretics Klin Wochenschr. 1911:55:1121. Liao Z, Zhang W, Hardy PA, et al Kinetic comparison of different acute dialysis therapies Artif Organs 2003 21(9'):802-7 Marshall MR, Golper TA, Shaver MJ, et al. Urea kinetics during sustained low-efficiency dialysis in critically ill patients requiring renal replacement therapy Am J Kidney Dis 2002;3 9(3 ):5 56-70.

1065

TERAPI PENGGANTI GINJAL BERKESINAMBUNGAN (CRRT)

Marshal MR, Golper TA, Shaver MJ, Alam MG, et al. Sustained low-efficient dialysis for critically ill patients requiring renal replacement therapy Kidney Int. 2001;60(2):777 -85. Mehta RL, Chertow GM. Selection of dialysis modality In: Owen

WF, Pereira BJ, Sayegh MH, editors. Dialysis

and

transplantation; a companion to Brenner & Rectors' the kidney. Philadelpia: WB Sanders; 2000 p 403-11.

Mehta RL. Supportive therapies; intermittent hemodialysis, continuous renal replacement therapies and peritoneal dialysis. In: Schrier RW, editor. Atlas of diseases of the kidney, Current Medicine. Philadelphia: Blackwell Science; 1998. Mehta RL. Indications for dialysis in the ICLr renal replacement vs renal s upport bl ood purification. 20Ol ;19 :227 -32.

National Kidney Foundation. NKF-DOQI clinical practice . guidelines for dialysis adequaly Am J Kidney Dis. I 997:3D[52]:567-5 I 3b. Phu NH, Hien TT, Thi N, Mai TH, et al. Hemofiltration and peritoneal dlalysis in infection-ussociated acute renal failure in vietnam. N Engl J Med. 2002; (341):895-902. Reilly PO, Tolwani A. Renal replacement therapy. Crit Care Clin. 2005:21:367-'78.

Ronco C. Bellomo R Homel P, et al. Effects of different doses in continous veno-venous hemofiltration on outcomes of acute renal failure: a prospective randomised trial. Lancet. 20O0;356:26-30. Schiff'l H, Lang SM, Fischer R. Daily hemodialysis and the outcome of acute renal failure. N Engl J Mecl.2002;346:(5): 305-10. Schrier R.W., Wang W. Acute renal failure and sepsis. N Engl J Med.

2004;351:(2):159:69. Teschan PE. Evolution

of daily hemodialysis in acute renal failure:

from the Korean War to the Present. Home Hemodiai Int. I 999:3:5 8-68. Tetta C, D'Intini V, Bellomo R, et al. Extracorporeal treatments in sepsis: are there new perspectives? Clin Nephrol. 2O03;60:299-

304. Van Bommel EF, Leunissen KM, Weimar W. Continuous renal replacement therapy for critically ill patients: an update. J Intensive Care Med. 1996;24:192-8. Yeun J, Depner T. Principles of dialysis modality. In: Owen WF, Pereira BJ, Sayegh MH, editors. Dialysis and transplantation; a companion to Brener & Rectors' the kidney. Philadelpia: WB Sanders; 2000. p. 1-32.

168 TRANSPLANTASI GINJAL Endang Susalit

PENDAHULUAN Pada tahun 2002, National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative(K/DOQI) telah

menyusun pedoman praktis penatalaksanaan klinik tentang evaluasi, klasifikasi, dan stratifikasi penyakit ginjal

kronik. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium ditentukan oleh nilai laju filtrasi

Semua pasien dengan gagal ginjal tahap akhir dipertimbangkan sebagai calon resipien transplantasi ginjal kecuali jika mengidap penyakit keganasan sistemik. infeksi kronik, penyakit kardiovaskular yang berat atau gangguan neuropsikiatrik yang akan mengganggu kepatuhan minum obat imunosupresif, meskipun pada akhirnya pasien yang akan memutuskan jenis terapi pengganti yang akan dipergunakan.

glomerulus, yaitu stadium yang lebih tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah. Klasifikasi

tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi

ginjal yang masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan ringan fungsi ginjal, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal. Jika sudah sampai pada gagal ginjal tahap akhir, yaitu

TRANSPLANTASI GINJAL SEBAGAI SALAH SATU PILIHAN TERAPI PENGGANTI Transplantasi ginjal telah menjadi terapi pengganti utama pada pasien gagal ginjal tahap akhir hampir di seluruh dunia. Manfaat transplantasi ginjal sudah jelas terbukti tebih baik dibandingkan dengan dialisis terutama dalam hal perbaikan kualitas hidup. Salah satu di antaranya

pengganti untuk dapat berlahan hidup. Ada tigajenis terapi pengganti yaitu hemodialisis, dialisis peritoneal, dan

adalah tercapainya tingkat kesegaran jasmani yang lebih baik. Misalnya, seorang perempuan muda yang menerima ginjal transplan bisa hamil dan melahirkan bayi yang sehat.

transplantasi ginjal. Pada Gambar 1 dapat dilihat hubungan dan peran tiap terapi pengganti dalam

merupakan cara penanganan gagal ginjal tahap akhir yang

penyakit ginjal kronik stadium 5, dibutuhkan terapi

Transplantasi ginjal yang berhasil sebenarnya

paling ideal, karena dapat mengatasi seluruh jenis penurunan fungsi ginjal. Di pihak lain, dialisis hanya

penatalaksanan pasien gagal ginjal tahap akhir.

mengatasi akibat sebagianjenis penurunan fungsi ginjal.

Di

samping itu transplantasi ginjal masih memberikan keuntungan lain dibandingkan dengan dialisis seperti terlihat pada Tabel 1. Manfaat transplantasi paling jelas terlihat pada pasien usia muda dan pada pasien diabetes melitus. Sebagai contoh, pasien dialisis nondiabetik yang berumur 20-39 tahun mempunyai harapan hidup 20 tahun lagi, tetapi jika dilakukan transplantasi ginjal harapan hidupnya menjadi 3l tahun lagi. Pasien dialisis yang diabetik pada kelompok yang sama mempunyai harapan hidup 8 tahun lagi, tetapijika dilakukan transplantasi ginjal harapan hidupnya menjadi 25 tahun lagi.

Penyakit Ginjal Kronik Progresif

| t

,"rapi Konservalif

')Dialisisperitonea mandiriberkesinambungan

Gambar 1. Skema penatalaksanaan gagal ginjal

1066

t067

TRANSPLANTASI GINJAL

Ada beberapa faktor yang berperan pada keberhasilan transplantasi ginjal, yaitu faktor yang berkaitan dengan donor dan resipien, faktor imunologi, faktor penanganan pra dan peri-operatif, serta faktor pasca-operatif.

I

ransplantasr

. gtnal

Hemodialisis

kronik

Prosedur

Satu kali (biasanya)

Seumur hidup

Kualitas hidup (jika berhasil)

baik sekali

cukup baik

Ketergantungan pada fasilitas medik

minimal

Besar

Jika gagal

dapat hemodialisis

Meninggal

kembali atau transplantasi lagi Angka kematian/tahun

20

4-8Yo

-25Yo

FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN DONOR Transplantasi ginjal tidak bisa terlaksana tanpa ginjal donor. Walaupun perhatian sering lebih banyak dicurahkan pada penanganan resipien pascatransplantasi, identifikasi

masalah dan persiapan donor sangat berpengaruh terhadap keberhasilan transplantasi. Transplantasi ginjal dapat memanfaatkan ginjal donor hidup yang sehat atau ginjal donorjerrazah. Kekurangan

jumlah ginjal donor merupakan masalah umum yang dihadapi seluruh dunia. Sebagian besar negara di Asia

DONOR HIDUP Yang dimaksud dengan donor hidup adalah donor yang masih hidup. Pemeriksaan persiapan calon donor hidup dilakukan secara bertahap seperti terlihat pada Tabel 3. Dengan prosedur penjaringan dan evaluasi donor tersebut, dapat dipastikan bahwa calon donor memang ikhlas untuk mendonasikan ginjalnya, dalam keadaan sehat dan mampu menjalani operasi nefrektomi, serta mampu hidup normal

dengan satu ginjal setelah melakukan donasi. Yang dimaksud dengan hidup normal di sini adalah dapatbeke{a seperti sebelum donasi, tidak memerlukan diet khusus atau obat, tidak ada perubahan dalam kehidupan seks, dan jika masih dalam usia subur, ia tetap subur seperti semula. Calon donor tidak dipakai jika mengidap penyakit ginjal

jika diprediksi terdapat peninggian risiko morbiditas dan mortalitas pada saat operasi transplantasi. Pada tabel 4 dapatdilihat kriteria eksklusi calon donor hidup. Semakin tua umur seseorang semakin kecil cadangan fungsi ginjalnya sehingga ginjal yang berasal dari donor yang berumur lebih tua akan menghasilkan fungsi ginjal atau

transplan yang lebih rendah. Ginjal yang berasal dari donor yang berumur sangat muda, 0 sampai dengan 5 tahun, juga sangat peka terhadap waktu iskemi! dingin dan cenderung menghasilkan kegagalan imunologik yang lebih tinggi. Ginjal yang berasal dari donor dengan virus sitomegalo positif yang ditransplantasikan ke resipien dengan virus sitomegali negatif, cenderung mempunyai ketahanan hidup yang lebih pendekjika dibandingkan dengan ginjal yang berasal dari donor dengan virus sitomegalo negatif.

sudah memanfaatkan donor j enazah, sedangkan Indonesia

belum memanfaatkan donor jenazah, seperti terlihat pada Tabel2. Transplantasi donor hidup memang memberikan hasil yang lebih baik. Akan tetapi, transplantasi donor jenazah juga memberi keuntungan yang lain, yaitu tidak adanya risiko pada donor dan ginjal donor dapat diberikan kepada resipien yang paling sesuai.

Negara

Donor hidup (%)

Donor Jenazah (%)

Jepang Korea Saudi Arabia Taiwan Filipina Malaysia Muangthai Singapura lndonesia Bangladesh

64,5

35,5

96,7

98,6

3,3 28,3 88,1 18,3 1,4

29,2

70,8

33,3

66,7 0 n

71,7 11,9 81,7

100 '100

Penjaringan Donor Edukasi resipien tentang donasi donor hidup dan jenazah Anamnesis riwayat keluarga dan penjaringan calon donor Konfirmasi kesamaan golongan darah ABO calon donor dengan calon resipien Pemeriksaan tissue typing dan cross match calon donor yang golongan darah ABO-nya sama dengan calon resipien Pilih calon donor yang paling sesuai, bersama calon resipien dan keluarga Edukasi calon donor tentang proses evaluasi dan donasi (2') Evaluasi Donor Anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap Pemeriksaan laboratorium Darah lengkap, kimia darah, HBsAg, anti-HCV, CMV, VDRL, HlV, tes toleransi glukosa(jika ada riwayat diabetes dalam keluarga), hemostasis, tes kehamilan Urinalisis, kultur urin, tes klirens kreatinin, ekskresi protein dalam urin-24 jam Foto toraks, elektrokardiografi, tes treadmill (usia >50 tahun), pielografi intravena Evaluasi psikiatrik Arteriografi ginjal Tes crossmafch sebelum transplantasi :

1068

GINJAL HIPERTENSI

Dokter Indonesia (IDI) telah memberikan rekomendasi '18

Umur kurang dari tahun atau lebih dari 65 tahun Hipertensi (> 140/90 atau perlu obat darah tinggi) Diabetes (Tes toleransi glukosa atau HbAl c abnormal) Proteinuria (> 250 mgl24 jam) Riwayat batu ginjal Laju filtrasi glomerulus abnormal (TKK < B0 ml/menit) Hematuria mikroskopik Kelainan urologik ginjal donor Masalah medik yang bermakna (PPOK, Keganasan baru) Obesitas (30% di atas berat badan ideal) Riwayat trombosis atau tromboembolisme Kontraindikasi psikiatrik TKK= tes kliren kreatinin; PPOK= Penyakit paru obstruktif kronik

DONOR JENAZAH Transplantasi donor jenazah bertuj uan memanfaatkan organ tubuh pasien yang akan meninggal. Ginjal donor jenazah dalam waktu yang relatif singkat harus segera dipindahkan ke resipien. Dewasa ini, dikembangkan pula donasi ginjal yang berasal dari jenazah dengan jantung yang sudah tidak berdenyut lagi, yarrglaztm disebut donor henti denyutjantung (stop beating heart donor).Pada umumnya, donor jenazah adalah korban trauma kepala atau penyakit pembuluh darah otak. Kontraindikasi donorjenazah absolut dan relatif dapat dilihat pada Thbel 5. Ketahanan hidup ginjal transplan dari donorjenazah yang meninggal karena penyakit serebrovaskular iskemik tidak sebaik ketahanan hidup ginjal transplan dari donor jenazah yang meninggal karena perdarahan subaraknoid.

tentang batasan mati, yang antara lain menyebutkan bahwa

manusia dinyatakan mati

jika batang otaknya tidak

berfungsi lagi. Penentuan saat mati batang otak pasien yang akan menjadi donorjenazah dibuat setelah ada izin dari keluarga oleh dokter lain di luar tim transplantasi, untuk mencegah kemungkinan adanya keinginan yang terlalu cepat untuk segera melakukan transplantasi. Kriteria mati batang otak dapat dilihat pada Thbel 6. Sementara itu, pasien harus tetap dirawat oleh tim dokter yang merawat/ mengobati sebelumnya yarrg dilaksanakan di dalam unit yang lengkap, seperti unit perawatan intensif atau unit perawatan jantung intensif sebagai pasien biasa dan bukan dianggap sebagai pasien tahap akhir. Produksi urin dipertahankan cukup banyak, seolah-olah demi kepentingan pasien sendiri.

1)

Persyaratan: koma, respirasi dengan ventilator diagnosis penyebab koma: pasti (kelainan struktur otak ireversibel)

(a) (b) 2)

Disingkirkan: (a) hipotermi (< 35'C) (b) obat-obatan (c) kelainan endokrin/metabolik berat

3)

Tes: (a) tidak ada refleks batang otak (b) apnu

DONOR GINJAL XENOGENIK Absolut

Relatif

Umur > 70 tahun

Umur > 60 tahun

Penyakit ginjal kronik Keganasan dengan metastasis

Umur < 5 tahun

Hipertensi berat Sepsis bakteri Pecandu obat intravena

lnfeksi yang diobati Nekrosis tubuler akut nonoligurik Masalah medik donor (diabetes,

HBsAg, anti HCV, HIV

Waktu iskemik dingin yang

Hipertensi ringan

sLE) positif Gagal ginjal akut oligurik

panJang

Perforasi usus

Waktu iskemik panas yang panlang SLE = syslemic lupus erythematosus

DIAGNOSIS MATI BATANG OTAK Masalah yang harus diperhatikan pada transplantasi donor jenazah adalah penentuan batasan mati. Batasan mati yang bermanfaat untuk donasi organ tubuh adalah mati batang otak. Di Indonesia, pada tahun 1985 Ikatan

Alasan yang kuat untuk

mengembangkan

xenotransplantasi adalah kurangnya jumlah organ donor untuk transplantasi pada manusia. Xenotransplantasi adalah transplantasi jaringan atau organ di antara dua spesies yang berbeda, misalnya dari hewan ke manusia. Pada saat ini sedang dikembangkan transplantasi ginjal dari babi ke manusia yang masih banyak mengalami kendala imunologik dan non-imunologik. Respons imunologik terhadap xenotransplan dapat berupa rejeksi hiperakut, rejeksi akut vaskular dan selular, dan rejeksi kronik. Kendala non-munologik berupa risiko transmisi infeksi, kecocokan fisiologik, dan masalah etika dan agama yang berkaitan dengan pemanfaatan organ yang berasal dari hewan untuk manusia.

FAKTOR YANG BERKAITAN DENGAN RESIPIEN Sebelum pasien gagal ginjal dipertimbangkan sebagai calon resipien transplantasi ginjal, harus dipastikan terlebih dahulu apakah pasien memang sudah mengalami gagal ginjal tahap akhir.

1069

TRANSPLANXASIGINJAL

SELEKSI CALON RES!P!EN TRANSPLANTASI GINJAL Tujuan seleksi calon resipien transplantasi ginjal adalah untuk mengidentifikasi adanya masalah medik, sosial, dan

psikologis yang dapat menghambat keberhasilan transplantasi ginjal. Berdasarkan data yang diperoleh, selain dipertimbangkan bahwa pasien akan mendapat obat

imunosupresif untuk jangka waktu panjang, harus dipastikan pula bahwa transplantasi ginjal merupakan pilihan terapi pengganti yang terbaik unhrk pasien. Tidak jarang pasien mengidap penyakit multisistem selain ginjal

nefropati diabetik, ginjal transplan dapat mengalami nefropati, dan pasien diabetes melitus baik yang bergantung maupun yang tidak bergantung pada insulin cenderung mengalami komplikasi kardiovaskular yang meningkatkan mortalitas. Penyakit ginjal obstruktif, khususnya urolitiasis, dapat kambuh pada ginjal transplan. Demikian pula, nefropati hipertensif atau nefrosklerosis dapat timbul pada ginjal transplan jika hipertensi tidak dikendalikan secara baik.

KONTBAINDIKASI TRANSPLANTASI G!NJAL

atau penyakit penyerta lain yang disebabkan oleh

dilihat evaluasi preoperatif yang dilakukan pada calon

Pada beberapa keadaan, transplantasi ginjal tidak dianjurkan karena merupakan prosedur dengan risiko

resipien transplantasi ginjal.

tinggi, seperti terlihat pada Tabel 9.

hipertensi, hiperlipidernia atau uremia. Pada Tabel 7 dapat

Kriteria yang digunakan untuk menyeleksi pasien dialisis untuk transplantasi ginjal berbeda di tiap unit transplantasi, yang umufitnya berdasarkan pengalaman di

masing-masing unit. Sebagian besar unit transplantasi tidak melakukan transplantasi pada pasien dengan antiHIV positif, dan melakukan transplantasi pada resipien dengan anti-CMV negatif dari donor dengan anti-CMV positif. Sebagian besar unit transplantasi tidak melakukan transplantasi pada resipien dengan IIBsAg positif yang pada biopsi hati didapatkan hepatitis kronik aktif' Pendapat berbagai unit masih beragam terhadap resipien dengan anti-HCV positif, donor dengan anti-HCV positif, dan resipien dengan masalah kardiovaskular.

1)

2)

3)

4) 5) 6)

Anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap Pemeriksaan laboratorium: Golongan darah, darah lengkap, kimia darah, HBsAg, anti HCV, CMV, HSV, HIV, VDRL Urinalisis, kultur urin, sekret dan tes resistensi, tlssue typing, antrbodi sitotoksik, hemostasis Elektrokardiografi , ekokardiografi Foto toraks, arteriografi iDoppler a.iliaka Pemeriksaan THT, gigi-mulut (fokus infeksi) Gastroskopi

Kekambuhan

Glomerulonefritis membranoproliferatif (TiPe Glomerulonefritis

Etiologi penyakit ginjal yang menyebabkan gagal ginjal

'l

15

5

90

10

25 50

12 't5

30

10

5

1

20

0

<,|

0

25

8

)

membranoprolife ratit (TiPe 2)

Glomerulosklerosis fokal Nefropati lgA Glomerulonefritis kresentik Nefritis antimembrana basalis glomeruler Glomerulonefritis membranosa idiopatik Nefritis lupus Purpura Henoch-Schonlein

1).

2). 3).

4). 5). 6).

ETIOLOG! GAGAL GINJAL

lnsiden Gaga! f/"1 Transplan (%)

Penyakit Dasar

Masalah psikiatrik, seperti psikosis, retardasi mental, dan adiksi obat Riwayat ketidakpatuhan yang berulang Umur sangat lanjut ( > 70 tahun) Keganasan baru atau dengan metastasis Penyakit di luar ginjal Uantung, vaskular, hati, paru-paru) yang berat lnfeksi kronik (tuberkulosis aktif)

KOREKSI PENYAKIT PENYERTA PRETBANS. PLANTASI

juga sangat penting karena beberapa penyakit ginjal primer

tertentu bisa kambuh lagi pada ginjal transplan. Glomerulonefritis adalah salah satu penyebab gagal ginjal

yang penting dan insiden kekambuhan pada ginjal transplan sangatbervariasi antara I dat9O%o, bergantung pada jenis kelainan histologik, seperti terlihat pada Tabel 8. Kemungkinan terjadinya gagal ginjal transplan akibat kekambuhan penyakit dasarjauh lebih kecil, yaitu paling tinggi l2Vo pada glomerulosklerosis fokal. Pada pasien

Pasien gagal ginjal tahap akhir harus menjalani dialisis secara teratur selain mendapat terapi yang lain, khususnya beberapa minggu sebelum ffansplantasi, sehingga tercapai keadaan umum yang optimal pada saat menjalani operasi' Masalah medik atau bedah harus dikoreksi tedebih dahulu

sewaktu pasien masih dalam periode dialisis seperti hipertensi, hiperglikemia bila mengidap diabetes melitus,

ulkus peptikum, karies dentis, dan penyakit jantung

1070

GINJALHIPERTENSI

koroner. Pada Tabel 10 dapat dilihat prosedur pembedahan

Transplantasi ginjal dengan golongan darah ABO donor dan resipien yang berbeda dapat dilakukan dengan mengeluarkan dan menurunkan titer antibodi anti-A dan anti-B dengan cara plasmaferesis dan splenektomi resipien

yang mungkin harus dilakukan sebelum dilaksanakan transplantasi ginjal.

atau dengan cara imunoadsorpsi pratransplantasi. Saluran

kemih :

Jantung Gastrointestrnal

: :

Gigi-mulut :

Transplantasi ginjal dengan golongan darah ABO donor dan resipien yang berbeda temyata menunjukkan hasil

prostatektomi, batu saluran kemih, nefrektomi, eksisi leher kandung kemih operasi pintas koroner

yang cukup baik walaupun dengan biaya yang sangat besar karena prosedurnya agak rumit.

penyakit divertikel, batu kandung empedu ekstraksi gigi

KELAS KOMPLEKS HISTOKOMPATIBILITAS MAYOR

FAKTOR LAIN

Ginjal transplan direjeksi terutama karena adanya protein

di dalam membran sel yang dikode oleh kompleks histokompatibilitas mayor (MHC). Kompleks

Dilaporkan bahwa angka mortalitas pascatransplantasi meningkat pada pasien yang menjalani hemodialisis lebih dan dua tahun, dan makin panjang waktu periode dialisis

histokompatibilitas mayor pada manusia merupakan kumpulan gen yang menempati lengan pendek kromosom 6. Kumpulan gen ini, dikenal sebagai antigen leukosit manusia (HLA), mengkode glikoprotein membran sel, sefta

pratransplantasi, makin buruk prognosis pasca transplantasi. Resipien yang berusia lebih dari 55 tahun dan kurang

dari 16 tahun mempunyai risiko yang lebih tinggi. yang berusia muda cenderung mengalami kelambatan saat ginjal mulai berfungsi. Di pihak lain, yang berusia tua cenderung

mengalami peninggian mortalitas kardiovaskular pascatransplantasi. Respons imunitas yang menurun pada

usia lanjut menyebabkan terjadinya penurunan rejeksi secara bermakna pada resipien yang berusia lebih dari 60

tahun. Lebih dari 6OVo resipien yang berusia kurang dari

15 tahun akan mengalami rejeksi akut dalam 6 bulan

berperan pada inisiasi dan akselerasi respons imun. Terdapat tiga jenis molekul yang dikode, yaitu Kelas I, II, dan III seperti terlihat pada Gambar 2. Antigen Kelas I terdapat pada membran plasma hampir di semua sel dan jaringan, sedangkan Kelas II terdapat pada sebagian kecil jenis sel seperti limfosit B, makrofag, monosit, dan sel dendritik folikuler. Antigen Kelas II itu juga dapat ditemukan pada membran sel jenis lain, seperti limfosit T, sel endotel, dan sel tubulus ginjal sebagai akibat

pascatransplantasi.

pengaruh sitokin, seperti interferon gama dan faktor

Resipien dengan obesitas cenderung mengalami keterlambatan saat ginjal transplan mulai berfungsi.

nekrosis tumor.

Septikemia, gangguan gastrointestinal, dan diabetes pascatransplantasi lebih sering dijumpai pada pasien dengan obesitas.

DP

DQ

DRB

DRA

84

Hsp70

TNF HLA-B HLA-C

HLA-AI

l

Gambar 2. Kompleks histokompatibilitas mayor pada lengan pendek. Kromosom 6. Hla kelas 1: Hla-a, b, c; kelas 2: Hla-dp, dq,

FAKTOR IMUNOLOGI

dr; kelas 3: 84, hsp 70, tnf

Pada transplantasi ginjal, sistem histokompatibilitas yang

betperan adalah kesesuaian sistem golongan darah ABO dan HLA (human leucocyte antigen).

SISTEM GOLONGAN DARAH ABO Golongan darah ABO resipien harus sama dengan donor; jika berbeda dapat terjadi reaksi rejeksi vaskular hiperakut dan akut walaupun ada yang melaporkan keberhasilan pada

keadaan tersebut. Rejeksi pada keadaan tersebut disebabkan oleh antibodi yang bereaksi dengan antigen golongan darah A dan/atau dalam sel endotel vaskular.

B yang terdapat di

FUNGSI KOMPLEKS HISTOKOMPATIBILITAS MAYOR Fungsi HLA adalah mempresentasikan antigen asing terhadap limfosit T yang kemudian akan memicu respons imun. Molekul HLA dapat mengikat protein asing dan bereaksi dengan kompleks reseptor sel-T/CD3 pada sel T dengan carayang khas, yaitu HLA Kelas I dengan sel TCDS dan HLAKelas II dengan sel T-CD4.

Pada Gambar 3 terlihat limfosit-CD4 (sel helper/ inducer) bereaksi dengan reseptor antigen Kelas II, sedangkan limfosit-CD8 (sel sitotoksik/supresor) bereaksi dengan sel yang mengandung antigen Kelas I.

t07t

TRANSPLANTASI GINJAL

reaksi rejeksi hiperakut/acceLerated karena selain Limtbsit I Helpcr

Limfosit T Sitotoksik

dengan trombus. Karena itu. tes crossmntch yang dilakukan pada pratransplantasi merupakan suatu

\ HLA Ke

as

Rescptor Sgl

Gambar 3. lnteraksi antara kelas HLA dan limfosit

PENGARUH KESESUAIAN HLA TERHADAP HASIL TRANSPLANTASI GINJAL Pada transplantasi ginjal donor keluarga terdapat korelasi yang sangat bermakna antara jumlah kesamaan haplotip

donor dengan resipien dan ketahanan hidup ginjal transplan. Dilaporkan bahwa pada resipien yang mendapat

prednisolon dan azatioprin, ketahanan hidup ginjal

I

tahun dari saudara dengan HLA identik 90957o, satdara dengan haplo-identik 10-80Vo, dan saudara

transplan

sitotoksik juga dapat langsung menimbulkan reaksi pada sel endotel ginjal transplan, mengaktifkan sistern komplemen, dan menyumbat miklosirkulasi ginjal transplan

dengan haplo-negatif 60-1}Vc. Pada resipien yang mendapat siklosporin dilaporkan bahwa angkanya lebih tinggi daripada angka tersebut di atas.

Pada transplantasi ginjal donor jenazah. meskipun

keharusan. Pemeriksaan yang paling sering digunakan adalah tes limfositotoksisitas dengan memakai komplemen. Selain itu ada pusat transplantasi yang menggunakan teknik /ow c))tometr)) atau teknik lain yang mendeteksi adanya

antibodi terhadap antigen yang lebih spesifik, yang terdapat dalam sel endotel pembuluh darah, monosit. atau sel epitel.

M

IX ED LY M P HOCYTE

LTU

R

E

Pada transplantasi donor hidup dapat dilakukan tes miretl

lymphoctte reaction untuk menentukan derajat IL Dasar tes ini adalah

ketidaksesuaian antigen Kelas

proliferasi yang teqadi bila limfosit seseorang dikultur bersama

limfosit orang lain. Tes ini dapat membantu seleksi bila terdapat lebih dari satu donor. Tes ini secara in vitro dapat membantu memprediksi respons imun resipien terhadap antigen donor. Tes ini bermanfaat untuk mengukur kapenitas proliferasi limfosit resipien walaupun tidak banyak lagi yang

transplantasi dari donor dengan kesesuaian 6 antigen HLA

meng-uunakan tes

memberikan hasil yang lebih baik daripada dari donor

sehari-hari.

dengan kesesuaian HLA yang kurang dari 6, banyak studi melaporkan hasil yang cukup baik walaupun hanya HLA DR yang sesuai atau HLA DR dan B yang sesuai. Urutan antigen HLA yang memberikan hasil transplantasi ginjal

CU

ini dalam kegiatan transplantasi ginjal

FAKTOR PBEOPEBATIF DAN PEBIOPEBATIF

yang makin kurang baik jika terdapat ketidaksesuaian adalah HLA DR, B, dan A.

Beberapa faktor perlu diperhatikan pada waktu menjelang. selama, dan segera sesudah operasi transplantasi ginjal.

Faktor lain yang mempengaruhi ketahanan hidup ginjal transplan adalah jenis dan dosis obat imunosupresif yang dipakai, misalnya siklosporin. Secara umum, dikatakan bahwa makin kuat imunosupresi, makin kecil keuntungan yang diperoleh dengan kesesuaian HLA. Pada resipien

WAKTU ISKEMIK GINJAL

yang mendapat 4 jenis obat imunosupresif, pengaruh kesesuaian antigen HLA rnenjadi tidak tampak. Meskipun

demikian, pengaruh ketidaksesuaian antigen HLA terhadap ketahanan hidup ginjal transplan diduga masih ada dalam jangka waktu panjang setelah transplantasi.

TES CPOSSMATCH

Keberhasilan transplantasi ginjal juga ditentukan oleh panjang waktu suatu ginjal mengalami iskemia akibat terhentinya sirkulasi. Ada empat jenis waktu iskemik yang harus diperhatikan pada transplantasi ginjal, yaitu: l). Waktu iskemik total, yakni waktu selama ginjal tidak mendapat sirkulasi darah; dimulai dari saat nefrektomi sampai dengan selesainya anastomosis pembuluh darah pada waktu

operasi transplantasi ginjal; 2). Waktu iskemik panas peftama, yakni waktu yang dimulai dari saat sirkulasi ke

Tes crossmalch bertujuan mengetahui adanya antibodi dalam serum resipien, khususnya antibodi anti-HLA, terhadap antigen donor. Antibodi pratransplantasi ini bisa

timbul akibat kehamilan, transfusi darah, atau gagal ginjal transplan sebelumnya. Antibodi ini dapat menyebabkan

ginjal berhenti sampai saat dimulainya perfusi ginjal dengan cairan pembilas; 3). Waktu iskemik dingin, yakni waktu yang dimulai dari saat ginjal donor diperflsi cairan pembilas sampai perfusi dihentikan; 4). Waktu iskemik panas kedua, yakni waktu yang dimulai dari saat perfusi

1072

cairan pembilas dihentikan sampai dengan anastomosis dibuka.

GINJAL HIPERTENSI

interstisial yang berlebihan ke rongga intravaskular. Pemberian albumin dalam jumlah yang cukup selama

Waktu iskemik panas sangat berkorelasi dengan

operasi terbukti membantu ginjal transplan berfungsi dini,

panjang hidup ginjal transplan. Jika waktu iskemik panas perlama lebih dari 60 menit ketahanan hidup ginjal transplan sangat menurun. Pada donor jenazah, waktu iskemik dingin yang lebih dari24jam akan memperlambat saat ginjal transplan mulai berfungsi pascatransplantasi, dan akan menurunkan ketahanan hidup ginjal transplan.

meningkatkan ketahanan hidup ginjal transplan, dan

CAIRAN PEMBILAS Panjang waktu penyimpanan ginjal bergantung pada proses

pendinginan yang dilakukan untuk mengurangi aktivitas metabolik dan kebutuhan oksigen, serta jenis cairan

pembilas yang digunakan untuk mempertahankan lingkungan intraselular dalam keadaan tanpa adanya pompa natrium/kalium. Perfusi dilakukan dengan cairan pembilas yang bersuhu 2-4" C melalui arteri renalis karena proses

pendinginan yang kurang atau berlebihan dapat menyebabkan kerusakan intraseluler yang ireversibel.

Ada beberapa jenis cairan pembilas yang dapat digunakan, antara lain, cairan Histidine-Tryptophaneglutarate, Univ e rsity of Winconsin, dan Euro - Collins. Ditinjau dari saat ginjal transplan mulai berfungsi dan derajat fungsi ginjal pada hari ke-14 pascatransplantasi, urutan mulai dari yang terbaik adalah seperti urutan di atas. Khusus untuk cairan Euro-Collins terdapat usaha untuk menambahkan MgSO4 dan mengganti glukosa dengan manitol. Keto

menurunkan mortalitas. Di beberapa pusat transplantasi,

manitol diberikan pada waktu revaskularisasi ginjal transplan karena dapat mengurangi insidens nekrosis tubular akut. Pada umumrya, ginjal transplan akan memproduksi urin segera setelah revaskularisasi. Beberapa resipien dapat mengeluarkan urin sampai dengan 1000 ml/jam yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti kelebihan cairan yang terj adi secara kronik pratran spl antasi. beban osmotik molekul yang tidak cukup terbersihkan dengan dialisis (termasuk kreatinin), kerusakan tubulus proksimal, dan obat diuretik yang diberikan selama operasi. Pada beberapa jam perlama pascatransplantasi diberikan larutan kristaloid per infus untuk menggantikan jumlah urin yang keluar dengan tetesan paling sedikit 100 ml/jam. Setelah itu, jumlah urin yang keluar diganti dengan infus larutan dekstrosa dalam garam (1/2 normal) dengan menghitung keseimbangan cairan dari jam ke jam dan memperhatikan

nilai tekanan vena sentralis. Djuresis biasanya akan kembali normal dalam waktu 24-72 1am. Resipien yang mengalami oliguria harus menjalani dialisis sampai ginjal transplan berfungsi.

Meskipun operasi transplantasi ginjal tidak mengganggu selaput peritoneum, ileus pascatransplantasi dapat terjadi untuk sementara. Biasanya, makanan peroral

diberikan setelah fungsi usus kembali normal pada24-48

jam pascatransplantasi dan kemudian infus cairan

dapat

dihentikan.

PENATALAKSANAAN PERIOPERATI F DISFUNGSI DINI GINJAL TRANSPLAN hemodinamik resipien transplantasi ginjal dikaji, dilakukan deteksi dini terhadap sumber infeksi, danjika terdapat kelainan elektrolit dikoreksi. Dialisis preoperatif yang adekuat akan memudahkan penatalaksanaan perioperatif dan mengurangi risiko operasi. Karena obat imunosupresif sudah diberikan sebelum atau pada saat operasi, tindakan operasi harus sangat cermat. Hematoma dan kebocoran ureter akan Pada periode preoperatif, status sirkulasi dan

meningkatkan insidens infeksi luka pascaoperatif. Antibiotika berspektrum luas dosis tunggal yang diberikan pada saat induksi anestesi dapat mengurangi insidens infeksi luka pascaoperatif secara bermakna. Jika pada periode preoperatif dijumpai keadaan dehidrasi, selama operasi dapat diberikan cairan yang agak berlebih. Volume cairan intravaskular perlu diperlahankan dengan cara memonitor tekanan vena sentralis. Ini akan

membantu ginjal transplan berfungsi optimal. Albumin dapat diberikan karena dapat menarik cairan

Pengkajian dan pengobatan disfungsi dini ginjal transplan

sangat penting pada penatalaksanaan resipien transplantasi ginjal. Penatalaksanaan yang optimal dilakukan dengan cara mengkaji data klinik, laboratorium, pencitraan, dan biopsi secara integratif. Tidak jarang dibutuhkan kematangan pengalaman klinik dalam situasi yang meragukan. Pada Thbel 11 dapat dilihat faktor mekanik

dan nonmekanik yang dapat menyebabkan disfungsi dini ginjal transplan pascatransplantasi.

Langkah pertama yang dilakukan pada resipien transplantasi yang tetap anuria pascaoperatif adalah dengan melakukan irigasi kateter urin karena bisa terdapat bekuan darah yang menyumbat ujung kateter. Kadangkadang, terutama pada pria, ujung dan balon kateter tidak dapat masuk sampai ke dalamkandung kemih. Jika cairan yang diinstilasi tidak balik dengan mudah, posisi kateter harus diperbaiki, atau jika perlu, kateternya diganti. Jika kateter urin berfungsi baik, diberikan bolus cairan sebany;k

r073

TRANSPLANTASI GINJAL

250 ml sarnpai dengan satu atau dua liter untuk mengatasi

hipovolemia dengan mempertahankan nilai tekanan vena sen[ralis setinggi l0-12 cm H2O. Manitol dan furosemid sering diberikan untuk menstimulasi keluarnya urin. Jika faktor hipovolemia dan obstruksi sudah disingkirkan, penyebab mekanik ini harus dibedakan dengan nekrosis tubular akut, rejeksi dini, dan toksisitas obat. Pemeriksaan ultrasonografi adalah teknik noninvasif yang cukup nyaman dan dapat membantu membedakan berbagai penyebab mekanik oliguria dini. Biopsi ginjal transplan perkutan tetap merupakan prosedur utama untuk membedakan nekrosis tubular akut. toksisitas obat, dan re.jeksi.

Gambar 4. Diagram kaskade mekanisme pengenalan antigen dan efektor rejeksi cangkok

Mekanik Komplikasi saluran kemih Obstruksi bekuan darah Obstruksi ureter Kebocoran ureter Obstruksi limfokel

Komplikasi vaskular Stenosis arteri Trombosis arteri Oklusi arteri polar Trombosis vena

Non mekanik Faktor donor Hipotensi lama Umur tua Oliguria lnkompatibilitas imunologik Golongan darah ABO Ketidaksesuaian HLA Antibodi sitotoksik pratransplantasi positif

Preservasi Toksisitasobal Temperatur naik Perfusi kortikosteroid Waktu iskemik panjang Rejeksi Hiperakut Accelerated Akut Kronik

REJEKSI GINJAL TRANSPLAN

Terdapat empat tipe reaksi rejeksi yang dapat terjadi pada transplantasi ginjal: l). Rejeksi hiperakut adalah destruksi imunologik ginjal transplan yang terjadi dalam

waktu 24 jam pascatransplantasi dan sering terjadi intraoperatif. Rejeksi ini disebabkan oleh reaksi antibodi resipien yang terbentuk pratransplantasi dengan antigen

sel endotel pembuluh darah ginjal transplan. Pasien menunjukkan gangguan imunologik berat dengan koagulasi intravasklllar diseminata. Ginjal transplan edema dan hemoragik, dan jika tidak diangkat dapat pecah. Pemeriksaan histopatologik menunjukkan adanya endapan

IgG dan C3 di dalam dinding kapiler glomerulus dan peritubulus, serta agregasi trombosit yang menyumbat lumen kapiler. 2). Rejeksi akut cepat (.accelerated acute) adalah destruksi ginjal transplan yang terjadi dalam24-72 jam pascatransplantasi. Rejeksi ini disebabkan oleh respons imun humoral dan seluler resipien yang sering ireversibel walaupun kadang-kadang dapat diatasi dengan

Sistem imun manusia dapat mengenali bagian tubuhnya sendiri dan benda asing, serta mempunyai kemampuan mempertahankan diri terhadap virus, bakteri, mutan, dan sel asing lainnya. Bila membran sel ginjal transplan memiliki antigen yang tidak sesuai dengan resipien, limfosit T akan

terapi antilimfosit. Pemeriksaan histopatologik

bereaksi, yaitu berupa respons imun selular dan sel ginjal transplan dan akhirnya trombosis pembuluh

pascatransplantasi yang disebabkan oieh respons imun selular dan humoral resipien. Resipien mendadak demam, badan lemah, hipertensi, dan oliguria disertaj peninggian

darah.

kadar kreatinin darah, dan penurunan nilai tes kliren

pembentukan antibodi, yang akan menyebabkan destruksi

Rejeksi adalah suatu proses yang memperlihatkan jaringan cangkok(graft) dikenal dan dirusak respons imun selular dan humoral resipien. Limfosit resipien mengenal molekul HLA yang terdapat di dalam membran sel cangkok, kemudian merusak sel tersebut. Respons imun awal adalah interaksi antara limfosit T yang membawa CD4 dan CD28 dengan sel khusus resipien atau donor yang membawa antigen. Pengakti fan imfosit T-CD 4+ (T he Lp e r) dan sekresi interleukin-2 (IL2) akan memulai kaskade respons imun seluler dan humoral, yang akhirnya akan menghancurkan cangkokan, seperti terlihat pada Gambar 4. I

menunjukkan adanya kerusakan pada pembuluh darah yang sering disertai vaskulitis nekrotik. 3). Rejeksi akut adalah destruksi ginjal transplan yang ter.iadi mulai pada

akhir minggu pertama sampai dengan 6 bulan

kreatinin. Ginjal transplan menjadi edema yang mengiritasi selaput peritoneum sehingga rnenimbulkan rasa nyeri di daerah pelvis. Obat yang dapat digunakan adalah steroid,

antilimfosit globulin poliklonal, dan antibodi monoklonal OKT3. Pemeriksaan histopatologik menunjukkan infiltrasi

difus sel mononukleus yang disertai edema

dan

perdarahan di dalam j ari ngan interstisial. Kadang-kadang disertai infiltrasi sel polimorfonukleus, destruksi pembuluh

darah, dan proliferasi sel endotel dengan trombosis mikrovaskular. Kadar interleukin.2 plasma pratransplantasi

berkorelasi positif dengan insiden rejeksi akut,

dan

t074

GINJAL HIPERTENSI

peninggian kadar interleukin-2 plasma dalam 24 jam pascatransplantasi yang bermakna merupakan prediktor

terjadinya rejeksi akut. Chen dan kawan-kawan membuktikan bahwa ekspresi reseptor interleukin-2 pada

jaringan ginjal dapat digunakan sebagai petanda rejeksi akut. 4). Rejeksi kronik adalah penurunan fungsi ginjal transplan secara perlahan-lahan, disertai proteinuria dan hematuri mikroskopik, yang terjadi setelah enam bulan pascatransplantasi. Ada yang berpendapat bahwa istilah yang lebih tepat adalah gagal ginjal cangkok kronik atau chronic aLlograft nephropatlq,. Dalam hubungan ini, yang berperan adalah beberapa faktor seperti kerusakan iskemik pada saat transplantasi, histokompatibilitas, umur donor, keseringan dan derajat episode rejeksi akut, hipertensi, hiperlipidemia, dan penyakit ginjal rekurens. Pemeriksaan histopatologik menunjukkan adanya fibrosis jaringan interstisial dan pembuluh darah, proliferasi dan penebalan mesangial serta glomerulosklerosis. Pada saat ini obat imunosupresif yang ada tidak bermanfaat dan pencegahan ditujukan terutama untuk mengatasi faktor risiko tersebut.

FAKTOR PASCAOPEBATIF Oleh karena sel limfosit T berperan sangat penting dalam

Kortikosteroid bermanfaat baik untuk imunosupresi pemeliharaan maupun untuk pengobatan rejeksi akut. Untuk imunosupresi pemeliharaan pada awal transplantasi diberikan 30-100 mg/hari. Dosis dikurangi secara progresif, yang bergantung pada perjalanan klinik, sampai menjadi dosis pemeliharaan 5 - 10 mg/hari. Ada yang memberikan kortikosteroid selang sehari untuk mengurangi morbiditas.

Untuk pengobatan rejeksi akut

selular,

metilprednisolon 500-1000 mg/hari dapat diberikan selama 3 hari secara intravena. Angka keberhasilan pada pulse steroid ini sekitar 7 5 Vo .

AZATIOPRIN Azatioprin adalah suatu antimetabolit derivat imidazol 6merkaptopurin. Azatioprin dan prednisolon sudah lama dipergunakan sebagai obat imunosupresif dasar pada transplantasi. Di dalam hati azatioprin dimetabolisme menjadi bentuk aktif yang dapat menghambat sintesis DNA dan RNA, serta menghambat produksi interleukin-2. Efek samping utamanya adalah mielotoksisitas sehingga pemberian azatioprin disesuaikan dengan jumlah lekosit dalam darah perifer yang diusahakan agar tidak kurang dari4000/m1.

proses rejeksi, berbagai obat imunosupresif yang

Dosis diberlkan 2-3 mg/kgBB/hari dan jika

dipergunakan pada transplantasi ginjal ditujukan terhadap sel ini. Beberapa obat imunosupresifjuga mempunyai efek tambahan terhadap sel imun yang lain seperli sel limfosit

dikombinasikan dengan siklosporin atau takrolimus dosis dikurangi menjadi 1 - 1,5 mg/kgBBftrari.

B dan sel fagosit mononuklir.

Obat imunosupresif yang sering dipakai pada transplantasi ginjal adalah kortikosteroid, penghambat sintesis purin, penghambat kalsineurin, penghambat target rapamisin dan antibodi terhadap reseptor pada permukaan sel T.

KORTIKOSTEROID

Prednison adalah kortikosteroid pertama yang dipergunakan untuk transplantasi organ. Obat ini lebih efektif dan menghasilkan potensiasi jika dikombinasi dengan obat imunosupresif lainnya. Di dalam hati,

MOFETIL MIKOFENOLAT Asam mikofenolat adalah hasil fermentasi spesies Penlcillium yang menghambat enzim inosine monophosphate dehydrogenase yang diperlukan untuk sintesis purin. Defisiensi purin akan menghambat sintesis DNA dalam sel limfosit. Oleh karena efek mofetil mikofenolat pada biosjntesis purin, obat ini digunakan sebagai pengganti azatioprin baik pada awal transplantasi atau sesudah episod rejeksi yang terjadi pada pasien yang sebelumnya memakai azatiopri.rr. Dosis mofetil mikofenolat yang dianjurkan adalah 2 x I gram/hari.

prednison cepat diubah menjadi prednisolon yang mempunyai efek beragam. Prednisolon mempunyai efek antiinflamasi, menghambat migrasi sel di dalam jaringan ginjal cangkok, menghambat produksi interleukin-l, dan pada dosis tinggi melisis limfosit T sehingga dapat dipakai untuk mengatasi rejeksi akut. Dosis tinggi steroid dapat

Siklosporin adalah suatu polipeptida siklik yang diproduksi dari jamur Tolypocladium inflatum, yang terdiri atas l1

menimbulkan infeksi dan nekrosis avaskular tulang sehingga banyak unit transplantasi cepat menurunkan

asam amino dan mempunyai berat molekul 1203. Siklosporin di dalam sitoplasma berikatan dengan siklofilin dan ikatan

dosis steroid dalam minggu-minggu

ini kemudian menghambat enzim kalsineurin yang berfungsi pada pengaktifan nuclear factor of activated T ceil (NFAI). Seperti diketahui, NFAT berperan dalam

pertama

pascatransplantasi, bahkan ada yang memberikan dosis rendah steroid sejak awal.

PENGHAMBAT KALSINEURIN: SIKLOSPORIN

1075

TRAIYSPLANTASI GINJAL

IL-2 dan transkripsi mRNA untuk IL-2, suatu sitokin yang berperan dalam merangsang proses pengaktifan gen

pertumbuhan dan proliferasi. Dosis pemeliharaan adalah 3-5

mg/kgBB/hari.

Interaksi siklosporin dengan obat lain memerlukan

perhatian khusus karena dapat meninggikan atau menurunkan kadar siklosporin. Obat yang menginduksi aktivitas enzim P450 seperti rifampisin, isoniazid, dan

respons imun yang lebih selektif adalah pemakaian preparat antilimfosit poliklonal dalam klinik. Beberapa preparat tersebut, misalnya, serum antilimfosit (ALS), globulin antilimfoblas (ALG), dan globulin antitimosit (ATG) merupakan antibodi terhadap sel T. Walaupun preparat poliklonal menunjukkan spesifisitas imunosupresif yang makin meningkat, selektivitas supresi masih belum optimal. Preparat antibodi monoklonal, seperti

trimetoprim dapat menurunkan kadar siklosporin.

OKT3 bekerja lebih selektif terhadap reseptor sel T

sedangkan obat yang menghambat aktivitas enzim P450

(anti-CD3), yang berfungsi untuk pengenalan antigen. Obat ini sudah terbukti sangat efektif untuk pengobatan

seperti verapamil, diltiazem, nikardipin, eritromisin, ketokonazol, dan simetidin dapat meninggikan kadar siklosporin.

Pemakaian siklosporin bersama amfoterisin, aminoglikosid, dan obat antiinflamasi nonsteroid dapat mempercepat terjadinya efek samping nefrotoksik. Efek

rejeksi yang resisten terhadap steroid serta dapat dipakai

sebagai pengobatan awal dalam minggu pertama pascatransplantasi. Dosis dan cara pemakaian preparat dapat dilihat pada Tabel 12.

ini

samping yang lain adalah hipertensi, hiperlipidemia, hirsutisme dan pembesaran gusi.

ANTIBODI MONOKLONAL ANTI.RESEPTOR INTERLEUKIN-2 YANG DIHUMANISASI/ DIKIMERISASI

TAKROLTMUS (FK-506) Takrolimus, termasuk dalam penghambat kalsineurin, memiliki struktur molekul yang berbeda dengan siklosporin dan dalam sitoplasma berikatan dengan protein yang

berbeda yaitu FKBP (FK bincling protein), tetapi menunjukkan mekanisme kerja, interaksi obat dan efek samping yang hampir sama. Kelebihannya dibandingkan dengan siklosporin adalah angka kejadian hipertensi. hiperlipidemia dan komplikasi kosmetik yang lebih rendah. Kekurangannya dibandingkan dengan siklosporin adalah lebih toksik terhadap ginjal, saluran pencernaan dan pankreas, meskipun dengan dosis yang lebih rendah

komplikasi tersebut kejadiannya berkurang. Dosis pemeliharaan adalah 0, l5 - 0,30 mg/kgBB/hari.

Antibodi monoklonal ini merupakan imunosupresif yang lebih spesifik dibandingkan dengan OKT3 dan poliklonal karena reseptor interleukin-2 sepenuhnya ada pada sel T yang sudah teraktivasi. Humanisasi atau kimerisasi antibodi

ini mengurangi pembentukan antibodi antimouse pada resipien sehingga meningkatkan waktu paruh dan efektivitas obat. Penelitian daclizumab dan basiliximab secara acak, terkontrol dibandingkan dengan plasebo menunjukkan penurunan sepertiga kejadian rejeksi akut.

PROTOKOL PEMAKAIAN OBAT IMUNOSUPRESIF Pada umumnya, setiap unit transplantasi mempunyai protokol sendiri yang disesuaikan dengan kebutuhan

setempat dan pengalaman masing-masing. Protokol

SIBOLIMUS Sirolimus atau rapamisin merupakan obat imunosupresif pemeliharaan yang relatif baru pada transplantasi ginjal. Sirolimus menghambat respons proliferatif sel limfosit T dan B terhadap rangsangan sitokin. Sirolimus berikatan dengan FKBP, seperti takolimus, tetapi tidak menghambat kalsineurin melainkan menghambat kinase target rapamisin yang berperan dalam pengendalian siklus sel. Efek samping

yang bisa terjadi adalah hambatan penyembuhan luka, diare, hiperlipidemia, anemia dan trombositopenia. Dosis sirolimus yang dianjurkan adalah2 mg/hari.

tersebut dipakai sebagai pedoman umum yang tidak dianut

secara kaku dan jika diperoleh pengetahuan dan pengalaman dengan obat baru, pedoman tersebut dimodifikasi.

Tuj uan pemberian obat imunosupresif pada transplantasi ginjal adalah memberikan obat anti rejeksi dalam dosis yang masih dapat ditoleransi untuk jangka waktu lama, tetapi dapat mencegah terjadinya rejeksi terhadap ginjal cangkok. Pemberian obat imunosupresif terdiri dari dua tahap, yaitu tahap awal atau induksi dan tahap pemeliharaan.

Banyak unit transplantasi yang memakai cara terapi

tripel yang terdiri dari siklosporin atau takrolimus, azatioprin atau mofetil mikofenolat, dan prednisolon PREPARAT ANTILIMFOSIT

dengan dosis seperti terlihat pada Tabel 12. Regimen sekuensial atau kuadripel dengan preparat antilimfosit

Kemajuan pertama yang berarti dalam usaha mengatasi

banyak dipergunakan untuk pasien yang sensitif atau pada

1076

GINJAL HIPERTENSI

seperli virus, protozoa, bakteri, dan jamur.

retransplantasi. Pada rejeksi akut, seperti terlihat pada Tabel 12, dapat dipergunakan korlikosteroid dosis tinggi secara oral atau parenteral, preparat antilimfosit atau

Insiden infeksi yang letal dan nonletal menurun terutama disebabkan oleh peningkatan pe-ngalaman, perbaikan dalam metode organ procurement dan seleksi resipien, peningkatan teknik bedah, serta pengetahuan yang lebih baik tentang jenis dan saat terjadinya infeksi. Pemakaian antibiotika profilaktik untuk mengurangi keseringan infeksi luka, pelaksanaan biopsi ginjal secara tertutup, pemeriksaan ultrasonografi di daerah ginjal

plasmaferesis.

TOLERANSI Toleransi pada transplantasi adalah suatu keadaan tidak terdapatnya reaksi imunologik terhadap antigen yang terdapat pada jaringan atau organ yang ditransplantasikan,

transplan yang lebih sering, dan pemberian bolus prednisolon dosis tinggi untuk terapi rejeksi yang lebih jarang, serta kebijakan untuk tidak mempertahankan ginjal

tanpa pemakaian obat imunosupresif. Pada saat ini berbagai penelitian sedang dilakukan pada hewan

transplan yang tak berfungsi lagi ikut berperan menurunkan insiden komplikasi infeksi. Walaupun

percobaan sedangkan pada manusia belum dapat dicapai

demikian, infeksi tetap merupakanpenyebab penting baik bagi mortalitas maupun bagi penurunan ketahanan hidup ginjal transplan. Di Indonesia infeksi pascatransplantasi merupakan salah satu masalah utama, selain masalah donor dan biaya.

keadaan toleransi ini.

KOMPLIKAS! INFEKSI PADA TRANSPLANTASI GINJAL Keberhasilan transplantasi ginjal bergantung pada

HASIL TRANSPLANTASI GINJAL

keseimbangan antara imunosupresi yang memadai untuk

mencegah rejeksi ginjal cangkok dan pemeliharaan

kompetensi imun pada taraf yang memadai untuk melindungi resipien terhadap infeksi. Sebagai akibat

Dalam bagian ini dikemukakan hasil transplantasi ginjal

pemakaian berkelanjutan obat yang menekan fungsi sel T,

Organ Sharins (UNOS) Registry diAmerika Serikat, hasil

resipien transplantasi ginjal menunjukkan peninggian risiko terhadap infeksi oleh berbagai patogen intraselular

transplantasi ginjal jangka panjang, dan pengalaman di Indonesia.

Siklo

Dosis awal

mg/kg

Aza .. mg/r(g

Regimen Tanpa siklosporin

tinggi ganda

Siklo dosis

Terapi

Pred mg

2,5 2,5

seperti yang dilaporkan oleh the United Network

AI9

OKT3

morKo

mg (hari)

(h-arii

Keterangan

Steroid dosis tinggi Steroid dosis rendah

100 5U

17,5 10-15

3 bulan diubah ke

AzalPred Terapi tripel

8-12,5

15

20-30

Kuadripel/ sekuensial

8-12,5

15

20-30

Siklo mulai setelah

diuresis

atau

1,5-2,0 (7_14\

5

(5-10)

Sekuensial: Siklo setelah ATG 7-'14 hari

Pred Oral

dosis tinggi

Rejeksi

berat

200 mg/hari: 3 hari, diturunkan 5-7 hari

Metilpred intravena

1

gram/hari: 3-5

hari

hari, 500 hari mg/hari: 3 hari Rejeksi 120 mg/hari:3 hari, 250-500 ringan diturunkan ke semula mg/hari: 3

Rejeksi sedang

120 mg/hari: 3-5 diturunkan 5-7

hari

OKT3

ALG/ATG

5,0 mg/hari: Dosis 5-14 sesuai dengan petunjuk

hari

2,5-5,0 mg/hari: 514 hari

Plasmaferesis Rejeksi vaskular, 2-3L: 3-5 hari

of

1077

TRANSPLANTASiI GINJAL

REGISTRASIUNOS

adalah 86Vo dan957o. Ginlalcangkok tersebut mempunyai proyeksi waktu paruh l3 tahun.

Berdasarkan laporan registrasi UNOS disimpulkan hal berikut: 1). Ketahanan hidup ginjal cangkok satu tahun

pada resipien yang memperoleh ginjal dari saudara kandung dengan HlA-identik adalah 957o, saudara kandung dengan kesamaan t haplotip 9IVo, orang ln 90Vo, dan dari anak 89%. Ketahanan hidup pasien satu tahun pada orang tua yang memperoleh ginjal dari anaknya adalah 94Vo, sedatgkan resipien yang memperoleh ginjal dari anggota keluarga dekat adalah

HLAidentik mempunyai proyeksi waktu paruh 26 tahtn, sedangkanjika dengan kesamaan t haplotip proyeksinya 12-74 tahtn. 2). Ketahanan hidup ginjal cangkok dan 98Vo. Ginjal transplan dari donor keluarga dengan

pasien satu tahun pada transplantasi antar-pasangan hidup adalah 92Vo dan 99Vo. Ketahanan hidup ginjal cangkok dan pasien satu tahun pada transplantasi dengan donor dari keluarga jauh atau dari orang lain

HASIL TRANSPLANTASI GINJAL JANGKA PANJANG

Hasil transplantasi ginjal yang dikemukakan di atas umumnya dilaporkan sebagai ketahanan hidup ginjal transplan satu tahun, dan memang ketahanan hidup satu tahun bisa menggambarkan ketahanan hidup 10 tahun. Dalam era siklosporin, prediksi ketahanan hidup 10 tahun ginjal transplan yang berasal dari saudara kandung dengan HLA identik adalah19%o, dari orang fia52Vo,dal dari donor jenazah44Vo. Faktor yang mempengaruhi hasil

transplantasi adalah kesesuaian HLA, ras, unit transplantasi pelaksana, etiologi penyakit ginjal, derajat

fungsi ginjal transplan dalam periode pascatransplantasi, dan insidens rejeksi dini.

Jumlah tahun

per

1977 1978 1979 1980 '198'1 1982 1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 Jumlah Keterangan:

A B C D E F G H

Jumlah

kumulatif

2 1

1

1

1

3

3

J

4 7

2

4

11

11

11

14 16 8 8 13

14 16 13 14

22 36 52 65 79 99

11 11 11

12 13 '1

6

26 19

a

15

1

20 24 26 22 22 23 29 36 29 27

7 10 13

2 1

1

18 18 12 12 15 13 14 16

294

47

31

455

12

1

11

4

6 9

2 1

13

2

: RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo / RS PGI Cikini Jakarta : RS Dr. Karyadi / RS Telogorejo Semarang : RSPAD Gatot Subroto Jakarta : RS Dr. Sutomo Surabaya : RS Dr. Sarjito Yogyakarta : RS Dr. Pirngadi Medan : RS Dr. Hasan Sadikin Bandung : RS Advent Bandung

123

149 171

193

216 245 281 310 337 355

373 385 397 412

425 439 455

awal

1078

GINJAL HIPERTENSI

PENGALAMAN DI INDONESIA Transplantasi ginjal dilaksanakan pertama kali di Indonesia pada tahun 1977. Transplantasi ginjal berkembang sangat lambat dan pada Tabel 13 dapat dilihat jumlah transplantasi ginjal di Indonesia tahun demi tahun

menurut registrasi Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Secara umum ketahanan hidup ginjal transplan dan pasien

yang dicapai di Indonesia tidak berbeda dengan yang dilaporkan di luar negeri.

BEFERENSI Allen RDM, Chapman JR. A manual of renal transplantation. London: Little, Brown and Company;1994. Bradley BA. Factors affecting kidney transplantation success Curr Opin Nephrol Hypertens. 1992;1:220-9. Briggs JD. The recipient of a renal transplant In: Morris PJ, editor Kidney transplantation, principles and practice 4th edition. Philadelphia: WB Saunders;1994 p. 43-55. Cecka JM, Terasaki PI. The UNOS scientific renal transplant

registry. In: Terasaki PI, Cecka JM, editors. Clinical transplants 1992. Los Angeles: UCLA, Tissue Typing Laboratory; 1993 p.l-16.

A, Perkins DL, Carpenter CB. Sayegh MH. Transplantatjon immunobiology. In: Brenner BM, editor Brenner & Rector's the kidney. 7,h edition. Philadelphia:WB

Chandraker

Saunders; 2004.

p. 2759-83.

Chugh KS, Vivekanand JHA Commerce in transplantation in third world countries. Kidney Int 1996;49:l l8l-6 Danovitch GM. lmmunosuppressive medication and protocols for kidney transplantation. In: Danovitch GM, editor. Handbook of kidney transplantation 3'd edition.Philadelphia: Lippincott Wiiliams & Wilkins; 2001 p. 62-110. Davison AM. Renal transplantation: recurrence of original disease with particular reference to primary glomerulonephritis. Nephrol Dial Transplant.1995;10(suppl 1):81-4. Goral S, Helderman JH. Current and emerging maintenance immunosuppressive therapy. In: Owen WF, Pereira BJG Sayegh MH, editors. Dialysis and tranplantation: a companion to Brenner & Rector's the kidney. Philadelphia: WB Saunders; 2000. p s6l-7. Gritsch HA, Rosenthal JT, Danovitch GM. Living and cadaveric kidney donation. In: Danovitch GM, editor. Handbook of kidney transplantation. 3'd edtion. Philadelphia: Lippincott

Williams & Wilkins; 2001.p. l1l-29 Kendrick E. Evaluation of the transplant recipient. In:Danovitch GM, editor. Handbook of kidney transplantation. 3'd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001. p.130-45.

Kubak BM, Pegues DA, Holt CD. Infectious complications of kidney transplantation and their management. In: Danovitch GM, editor Handbook of kidney transplantation 3'd edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001 . p. 22162. Magee CC, Milford E. Clinical aspects of renal transplantation. In: Brenner BM, editor. Brenner & Rector's the kidney. 7'h edition. Philadelphia: WB Saunders; 2004 p 2805-48 Marshall VC, Jablonski P, Scott DF. Renal preservation In: Morris PJ, editor. Kidney transplantation, principles and practice 4 th edition. Philadelphia: WB Saunders; 1994. p. 86-108. McGeown MG. Towards long - term graft survival: an overview. Nephrol Dial Transplant 1995;10(suppl 1): 3-9. Melk A, Halloran P. Immunosuppressive agents used in transplantation. In: Johnson RJJ, Feehally J, editors. Comprehensive clinical nephrology 2''d edition Edinburg: Mosby; 2003 p 105769

National Kidney Foundation (NKF) Kidney Disease Outcome Quality Initiative (K/DOQI) Advisory Board: K/DOQI clinical practice guidelines for chronic kidney disease: evaluation, classification, and stratification. Kidney Disease Outcome Quality Initiative Am J Kidney Dis 2002;39(Supp] l): Sls2.+6

Pallis C Brainstem death: the evolution o1'a concept. In: Morris PJ. editor. Kidney transplantation. principJes and practice .lth edition. Philadelphia: WB Saunders: 199,1 p 71-85 Rawn JD, Tilne1, NL The early course of a patient with a kidney

transplant In: Morris PJ. editor Kidnel transplantation. principles and practice .lth ed Philadelphia: WB Saunders: 1994. p. 167-18. Sayegh MH, Krensky AM Transplantation immunobiology. In: Owen WF, Pereira BJG, Sayegh MH, editors Dialysis and transpiantation: a companion to Brenner & Rector's the kidney. Phjladel-

phia: WB Saunders; 2000 p 487-98 Susalit E. Efek amlodipin terhadap faktor yang berperan pada penurunan fungsi ginjal yang disebabkan oleh siklosporin pada resipien rransplantasi ginjal. Buku disertasi dipertahankan dihadapan Senat Guru Besar UI 3 Juli 1996. Susalit E. Strategi penatalaksanaan gagal ginjal kronik memasuki abad XXI. Pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Tetap dalam Ilmu Penyakit Dalam di FKUI, Jakarta, 6 Mei 1998. Ting A, Welsh K. HLA matching and crossmatching in renal transplantation. In: Morris PJ, editor. Kidney transplantation, principle and practice. 4th edition Phitadelphia: WB Saunders;

t991. p. 109-26. Waid TH. Prevention and treatment

of renal allografr rejection.

In:

Glassock RJ, editor. Current therapy in nephrology and hypertension 4'h edition St. Louis: Mosby; 1998 p 356-67.

169 HIPERTENSI ESENSIAL Mohammad Yogiantoro

PENDAHULUAN

DEFINISI

Sampai saat ini hipertensi masih tetap menjadi masalah karena beberapa hal, antara lain meningkatnya prevalensi hipertensi, masih banyaknya pasien hipertensi yang belum mendapat pengobatan maupun yang sudah diobati tetapi tekanan darahnya belum mencapai target, serta adanya

Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi esensial. Beberapa penulis lebih memilih istilah hipertensi primer,- untuk membedakannya dengan hipertensi lain yang sekunder karena sebab-sebab yang diketahui. Menurut The Seventh Report qf The loint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) klasifikasi

penyakit penyerta dan komplikasi yang dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas.

tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prahipertensi, Hipertensi derajat derajat2 (Tabel 1).

EPIDEMIOLOGI Data epidemiologis menunjukkan bahwa dengan makin meningkatnya populasi usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah, dimana baik hipertensi sistolik maupun kombinasi hipertensi sistolik dan diastolik sering timbul pada lebih dari separuh orang yang berusia >65 tahun. Selain itu, laju pengendalian tekanan darah yang dahulu

,"[X'jlf]"h Normal Prahipertensi Hipertensi derajat '1 Hipertensi derajat2

terus meningkat, dalam dekade terakhir tidak menunjukkan

kemajuan lagi (pola kurva mendatar), dan pengendalian tekanan darah ini hanya mencap ai347o dari seluruh pasien hipertensi.

Sampai saat

rDs (mmHg)

120 - 139 - 59 > 160

1 dan

TDD (mmHg)

<

dan

<80

120 140

atau atau atau

80-89 90-99

1

> 100

TDS = Tekanan Darah Sistolik, TDD = Tekanan Darah Diastolik

ini, data hipertensi yang lengkap

sebagian besar berasal dari negara-negara yang sudah maju. Data da:.i The National Health and Nutrition Examination Survey (NHNES) menunjukkan bahwa dari tahnn 1999-2000, insiden hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-317o, yang berarti terdapat 58-65 juta orang hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHANES III tahun 1988- 1991. Hipertensi esensial sendiri merupakan 95Vo dari seluruh kasus hipertensi.

Masih ada beberapa klasifikasi dan pedoman penanganan hipertensi lain dari World Health Organizatiorz (WHO) dan International Society of Hypertension (ISH), dari European Societlt of Hypertensiorz (ESH, bersama European Society of Cardiology), British Hypertension Society (BSH) serta Canadian Hypertension Education Program (CHEP), tetapi umumnya digunakan JNC 7.

tvt

1080

GINJAL HIPERTENSI

PATOGENESIS

organ-organ target yang umum ditemui pada pasien hipertensi adalah:

l.

Hipertensi esensial adalah penyakit multifaktorial yang timbul terutama karena interaksi antara faktor-faktor risiko tertentu. Faktor-faktor risiko yang mend rong timbulnya kenaikan tekanan darah tersebut adalah. 1. faktor risiko, seperli: diet dan asupan garam, stres, ras, obesitas. merokok. genetis

. .

3.

angina atau infark miokardium

gagal jantung

2. otak

2. sistem saraf simpatis

. .

jantung . hipertrofiventrikelkiri

3. 4. 5.

tonus slmpatls variasi diumal

keseimbangan antara modulator vasodilatasi dan

. strok atatt transient ischemic attack penyakit ginjal kronis penyakitarteriperifer retinopati

Beberapa penelitian menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ tersebut dapat melalui akibat langsung dari kenaikan tekanan darah pada organ, atau karena efek tidak langsung, antara lain adanya

vasokonstriksi:

endotel pembuluh darah berperan utama, tetapi remodeling dari endotel, otot polos dan interstisium juga memberikan kontribusi akhir

autoantibodi terhadap reseptorATl angiotensin II, stres oksidatif, down regulation dar. ekspresi nitric oxide synthase, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ tar-

4. pengaruh

sistem otokrin setempat yang berperan pada sistem renin, angiotensin dan aldosteron Kaplan menggambarkan beberapa faktor yang berperan

dalan pengendalian tekanan darah yang mempengaruhi rumus dasar Tekanan Darah = Curah Jantung x Tahanan Perifer (Gambar 1).

get, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi transforming growth factor-$ (rGF-p)

KERUSAKAN ORGAN TARGET

Adanya kerusakan organ target. terutama pada j antung dan pembuluh darah, akan memperburuk prognosis pasien

Hipenensi dapat menimbulkan kerusakan organ tubuh, baik

hipertensi. Tingginya morbiditas dan mortalitas pasien hipertensi terutama disebabkan oleh timbulnya penyakit

secara langsung maupun tidak langsung. Kerusakan

kardiovaskular.

Jumlah

Asupan garam berlebih

bahan-bahan yang berasal

efro n berku rang n

rete

n st

dari endotel

penurunan

A

ktivita s

natrium

perm ukaan

berlebih

inja

filtrasi

saraf simpatis

g

fvolume cairan

I

konstriksi vena

f

TEKANAN DARAH Hipertensi

=

Kontraktilitas

CURAH

JANTUNG X

Peningkatan

CJ

dan /

TAHANAN PERIFER

atau

Peningkatan TP

Gambar 1. Faktor-faktor yang berpengaruh pada pengendalian tekanan darah

1081

HIPERTENSI ESENSIAL

d). episoda lemah otot dan tetani (aldosteronisme)

Faktor risiko penyakit kardiovaskular pada pasien hipertensi antara lain adalah:

. merokok . obesitas . kurangnya aktivitas fisik . dislipidemia . diabetes melitus . mikroalbuminuria atau perhitungan LFG <60 mUmenit . umur (laki-laki >55 tahun, perempuan 65 tahun) . riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovaskular prematur (laki-laki <55 tahun, perempuan < 65 tahun)

3.

a). riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga pasien at hiperlipidemia pada pasien atau keluarganya

b). riway

c). riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarganya

d). kebiasaanmerokok e). polamakan

f).

.

risiko penyakit kardiovaskular bersifat kontinyu,

.

konsisten, dan independen dari faktor risiko lainnya individu berumur 55 tahun memiliki 907o risiko untuk mengalami hiperrensi

EVALUASI HIPERTENSI Evaluasi pada pasien hipertensi bertujuan untuk: l). Menilai pola hidup dan identifikasi faktor-faktor risiko kardiovaskular lainnya atau menilai adanya penyakit

kegemukan, intensitas olah raga

g). kepribadian

4.

gejala kerusakan organ

a). otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan

Pasien dengan prehipertensi berisiko mengalami peningkatan tekanan darah menjadi hipertensi; mereka yang tekanan darahnya berkisar antara 130-139/80-89 mmHg dalam sepanjang hidupnya akan memiliki dua kali risiko menj adi hiperlen si dan mengalami penyakit kardiov askular dari pada yang tekanan darahnya lebih rendah. Pada orang yang berumur lebih dari 50 tahun, tekanan darah sistolik >140 mmHg merupakan faktor risiko yang lebih penting untuk terjadinya penyakit kardiovaskular dari pada tekanan darah diastolik: . risiko penyakit kardiovaskular dimulai pada tekanan darah ll5l75 mmHg, meningkat dua kali dengan tiap kenaikan 20110mmHg

faktor-faktorrisiko

penglihatan, transient ischemic attacks, defisit sensoris atau motoris b). jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak, bengkakkaki c). ginjal: haus, poliuria, nokturia, hematuri

d). afieri perifer: ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten

5. pengobatan antihipertensi sebelumnya 6. faktor-faktor pribadi, keluarga dan lingkungan Pemeriksaan fisis selain memeriksa tekanan darah, juga

untuk evaluasi adanya penyakit penyerta, kerusakan organ target serta kemungkinan adanya hiperlensi sekunder.

Pengukuran tekanan darah: . pengukuran rutin di kamar periksa

.

.

pengukuran 24 jam (Ambulatory Blood Pressure Monitoring-ABPM) pengukuran sendiri oleh pasien

Pengukuran di kamar periksa dilakukan pada posisi duduk di kursi setelah pasien istirahat selama 5 menit, kaki di lantai dan lengan pada posisi setinggi jantung. Ukuran dan peletakan manset (panjang12-73 cm, lebar 35 cmuntuk standar orang dewasa) dan stetoskop harus benar (gunakan suara Korotkoff fase I dan V untuk penentuan sistolik dan diastolik). Pengukuran dilakukan dua kali, dengan sela

penyerta yang mempengaruhi prognosis dan menentukan

antara 1 sampai 5 menit, pengukuran tambahan dilakukan

pengobatan. 2). Mencari penyebab kenaikan tekanan darah. 3). Menentukan ada tidaknya kerusakan target organ dan penyakit kardiovaskular. Evaluasi pasien hipertensi adalah dengan melakukan anamnesis tentang keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisis serta

jika hasil kedua pengukuran sebelumnya

pemeriksaan penunjang. Anamnesis meliputi: 1. lama menderita hipenensi dan derajat tekanan darah 2. indikasi adanya hipertensi sekunder

a). keluarga dengan riwayat penyakit ginjal (ginjal polikistik) b). adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian obat-obat analgesik dan obat/ bahan lain

c). episoda berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi (feokromositoma)

sangat berbeda.

pengukuran pada lengan kontralateral dilakukan

Konfirmasi pada kunjungan pertama dan

jika didapatkan kenaikan tekanan darah. Pengukuran denyut jantung dengan menghitung nadi (30 detik) dilakukan saat duduk segera sesudah pengukuran tekanan darah. Untuk orang usia lanjut, diabetes dan kondisi lain dimana diperkirakan ada hipotensi ortostatik, perlu dilakukan juga pengukuran tekanan darah pada posisi berdiri. Beberapa indikasi penggunaan ABPM antara lain: . hipertensi yangborderline atat yang bersifat episodik . hipertensi ffice ata:r white coat . adanya disfungsi saraf otonom hipertensi sekunder sebagai pedoman dalam pemilihan jenis obat antihipertensi tekanan darah yang resisten terhadap pengobatan

1082

GINJAL HIPERTENSI

antihipertensi

. gejala hipotensi yang

2

pembuluh darah

berhubungan dengan

.

Pengukuran sendiri di rumah memilikr kelebihan dan kekurangan. Kekurangannya adalah masalah ketepatan

. .

pengobatan antihipertensi

pemeriksaan fisis termasuk perhi]ltrnganpulse pressure ultrasonografi (USG) karotis fungsi endotel (masih dalam penelitian)

otak

pengukuran, sedang kelebihannya antara lain dapat menyingkirkan efek white coat darr memberikan banyak hasil pengukuran. Beberapa peneliti menyatakan bahwa

. .

pemeriksaan neurologis

diagnosis strok ditegakkan dengan menggunakan

pengukuran di rumah lebih mewakili kondisi tekanan darah

cranial computed tomography (CT) scan atau

sehari-hari. Pengukuran tekanan darah di rumah juga

magnetic resonance imaging (MRI) (untuk pasien

diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan meningkatkan keberhasilan pengendalian tekanan darah

dengan keluhan gangguan neural, kehilangan memori atau gangguan kognitit)

serta menurunkan biaya. Pemeriksaan penunjang pasien hipertensi terdiri dari: . test darah rutin . glukosa darah (sebaiknya puasa) . kolesterol total serum

. . . . . . . .

. . .

trigliserida serum (puasa) asam urat serum

kreatinin serum kaliumserum hemoglobin dan hematokrit urinalisis (uji carik celup serta sedimen urin)

pemeriksaan fungsi ginjal dan penentuan adanya proteinuria/mikro-makroalbuminuria serta rasio albumin kreatinin urin perkiraan laju filtrasi glomerulus, yang untuk pasien dalam kodisi stabil dapat diperkirakan dengan menggunakan modihkasi rumus dari Cockroft-Gault

sesuai dengan anjuran National Kidnel, Foundarion t N Kf) yaitu:

elektrokardiogram

menganjurkan test lain seperti: . ekokardiogram . USG karotis (dan femoral)

. .

mata

funduskopi fungsi ginjal

kolesterolLDLdanHDLserum

Beberapa pedoman penanganan hipertensi

. .

4

C-reactive protein mikroalbuminuriaatauperbandingan albumin/kreatinin urin proteinuria kuantitatif (ika uji carik positif) funduskopi (pada hipertensi berat)

(1

Klirens Kreatinin* =

40

-

umur) x Berat Badan x 0,85 (untuk perempuan)

72 x Kreatinin Serum

*Glomerulus Filtration Hatell4u filtrasi glomerulus (GFR) dalam ml/meniV 1,73m1

JNC 7 menyatakan bahwa tes yang lebih mendalam untuk mencari penyebab hipertensi tidak dianjurkan kecuali jika dengan terapi memadai tekanan darah tidak tercapai.

Evaluasi pasien hipertensi juga diperlukan untuk menentukan adanya penyakit penyerta sistemik, yaitu: . aterosklerosis (melalui pemeriksaan profil lemak) . diabetes (terutama pemeriksaan gula darah) . fungsi ginjal (dengan pemeriksaan proteinuria, kreatinin serum, serta memperkirakan laju filtrasi glomerulus) Pada pasien hipertensi, beberapa pemeriksaan untuk menentukan adanya kerusakan organ target dapat dilakukan secara rutin, sedang pemeriksaan lainnya hanya dilakukan bila ada kecurigaan yang didukung oleh keluhan dan gejala pasien. Pemeriksaan untuk mengevaluasi adanya kerusakan organ target meliputi:

1. jantung

. . . .

pemeriksaan fisis foto polos dada (untuk melihat pembesaran jantung, kondisi arteri intratoraks dan sirkulasi pulmoner) elektrokardiografi (untuk deteksi iskemia, gangguan konduksi, aritmia, serta hipertrofi ventrikel kiri)

ekokardiografi

PENGOBATAN Tujuan pengobatan pasien hipertensi adalah: . target tekanan daruh <140/90 mmHg, untuk individu berisiko tinggi (diabetes, gagal ginjal proteinuria)
. .

80mmHg penurunan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular menghambat laju penyakit ginjal proteinuria

Selain pengobatan hipertensi, pengobatan terhadap faktor risiko atau kondisi penyerta lainnya seperli diabetes melitus atau dislipidemia juga harus dilaksanakan hingga mencapai target terapi masing-masing kondisi.

Pengobatan hipertensi

terdiri dari

terapi

nonfarmakologis dan farmakologis. Terapi nonfarmakologis harus dilaksanakan oleh semua pasien hipertensi dengan

tujuan menurunkan tekanan darah dan mengendalikan faktor-faktor risiko serta penyakit penyerta lainnya.

1083

HIPERTENSI ESENSIAL

Ter

. . . . . .

api nonfarmakologis terdiri dari: menghentikan merokok menurunkan berat badan berlebih menumnkan konsumsi alkohol berlebih latihan fisik menurunkan asupan garam

meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan lemak

Jenis-jenis obat antihipertensi untuk terapi farmakologis hipertensi yang dianjurkan oleh JNC 7: . diuretika, terutama jeni s Thiazide (Thiaz) atat Aldosterone Antagonlst (Aldo Ant) . Beta Blocker (BB) . Calcium Chonnel Bloc:ker atat CalciunT dtxtagonist

. .

hiperlrofi ventrikel kanan

penyakitarleriperifer hipertensi pada usia lanjut hipotensi postural demensia hipertensi pada perempuan hiperlensi pada anak dan dewasa muda hipertensi urgensi dan emergensi

Untuk sebagian besar pasien hipertensi, terapi dimulai secara bertahap. dan target tekanan darah dicapai secara

(CCB)

progresif dalam beberapa minggu. Dianjurkan unntuk menggunakan obat antihipertensi dengan masa kerja panjang atau yang memberikan efikasi 24 jam dengan pemberian sekali sehari. Pilihan apakah memulai terapi dengan satu jenis obat antihipertensi atau dengan

Angiotensin Co4verting Enzy-me Inhibitor (ACEI) Angiotensin II Receptor Blocker atalu AT, receptor

kombinasi tergantung pada tekanan darah awal dan ada tidaknya komplikasi. Jika terapi dimulai dengan satu jenis

anta

gonist/blocker (ARB)

obat dan dalam dosis rendah. dan kemudian tekanan darah

Masing-masing obat antihiperlensi memiliki efektivitas dan keamanan dalam pengobatan hipertensi, tetapi pemilihan obat antihipertensi juga dipengaruhi beberapa faktor, ),aitu'

. . . . .

. . . . . . ' .

faktor sosio ekonomi

profil faktor risiko kardiovaskular ada tidaknya kerusakan organ target ada tidaknya penyakit penyefia

mencapai target tekanan darah, tetapi terapi kombinasi dapat

variasi individu dali respon pasien terhadap obat

.

antihipetensi kemungkinan adanya interaksi dengan obat yang

.

gunakan pasien untuk penyakit lain bukti ilmiah kemampuan obat antihipertensi yang akan digunakan dalam menurunkan risiko kardiovaskular

Berdasarkan

uji klinis, hampir seluruh

belum mencapai target, maka langkah selanjutnya adalah meningkatkan dosis obat tersebut, atau berpindah ke antihipertensi lain dengan dosis rendah. Efek samping umumnya bisa dihindari dengan menggunakan dosis rendah, baik tunggal malrpun kombinasi" Sebagian besar pasien memerlukan kornbinasi obat antihipertensi untuk

pedoman

penanganan hipertensi menyatakan bahwa keuntungan pengobatan antihipertensi adalah penurunan tekanan darah itu sendiri, terlepars dari jenis atau kelas obat antihipertensi yang digunakan. Tetapi terdapat pula bukti-bukti yang

meningkatkan biaya pengobatan dan menurunkan kepatuhan pasien karena jumlah obat yang harus diminum bertambah.

Kombinasi yang telah terbukti efektif dan dapat ditoleransi pasien (Gambar 2) adalah:

. . . . . '

diuretika dan ACEI atau ARB CCBdanBB

CCBdanACEIaHuARB CCB dan diuretika

AB danBB kadang diperlukan tiga atau empat kombinasi obat

menyatakan bahwa kelas obat ailtihipertensi tertentu memiliki kelebihan untuk kelompok pasien tertentu. Untuk keperluan pengobatan, ada pengelompokan pasien berdasar yang memerlukan pertimbangan khusus (S pe c iol Cons ide rcLt iorzs), yaitu kelompok Indi kasi yan g Memaksa (CompeLling Indicatiotr) dan Keadaan Khusus lainnya (Speciol Situations). Indikasi yang memaksa meliputi: . gagal jantung . pasca inlark miokardium . risiko penyakit pembulLrh darah koroner tinggi

. . .

diabetes penyakit ginjal kronis pencegahan strok bemlang

Keadaan khusus lainnya meliputi: . populasi minoritas . obesitas dan sindrorrr metaholik

Gambar 2. Kemungkinan kombinasi obat antihipedensi

1084

GINJAL HIPERTENSI

Kontraindikasi Kelas Obat

Tidak Mutlak

Diuretika (Thiazide)

gagal jantung kongestif, usia lanjut, isolated systolic hypeftension, ras Afrika

Diuretika (Loop)

insufisiensi ginjal, gagal jantung kongestif

Diuretika (anti aldosteron)

gagal jantung kongestif, pasca infark

Penyekat p

angina pektoris, pasca infark miokardium, gagal jantung kongestif, kehamilan, takiaritmia

Calcium Antagonist

usia lanjut, isolated systolic hypeftension,

gout

kehamilan

gagal ginjal, hiperkalemia

miokardium asma, penyakit paru obstruktif menahun, AY block \derajat 2 atau

penyakit pembuluh darah perifer, intoleransi glukosa, atlit atau pasien yang aktif secara fisik

3)

takiaritmia, gagal jantung kongestif

angina pektoris, penyakit pembuluh darah perifer, aterosklerosis karotis, kehamilan

(dihydropiridine)

Calcium Antagonist (verapamil, diltiazem)

angina pektoris, aterosklerosis karotis, takikardia supraventrikuler

A-V biock (derajat 2 atau 3), gagal jantung kongestif

Penghambat ACE

gagal jantung kongestif, disfungsi

kehamilan, hiperkalemia, stenosis arteri renalis bilateral

ventrikel kiri, pasca infark miokardium, non-diabetik nefropati, nefropati Dl\il tipe 1 , proteinuria Angiotensin ll receptor antagoni$ (Af1 blocker)

nefropati DM tipe 2, mikroalbuminuria diabetik, proteinuria, hipertrofi ventrikel kiri, batuk karena ACEI

kehamilan, hiperkalemia, stenosis arteri renalis bilateral

s - Blocker

hiperplasia prostat (BPH), hiperlipidemia

hipotensi ortostatis

ikasi

ffi^ Normal Prehipertensi

Hipertensi

derajat

1

Hipeftensi

derajal2

gagal jantung kongestif

Terapi Obat Awal TDS

(mmHs) < 120

-

120 139 140

-

'159

> 160

TDD (mmHg)

Perbaikan Pola HiduP

80 atau

oianjurkan

dan <

ya

BO_89 Ya

atau

ya

> '100

PEMANTAUAN Pasien yang telah mulai mendapat pengobatan harus datang kembali untuk evaluasi lanjutan dan pengaturan dosis obat sampai target tekanan darah tercapai. Setelah

anoa lnclrkast

Tidak indikasi obat

atau

90-99

. Dengan rnorKasr yang . vano Memaksa -Memaksa I

diuretika jenis Thiazide untuk sebagian besar kasus, dapat dipertimbangka n ACEI, ARB, BB, CCB atau kombinasi kombinasi 2 obat untuk sebagian besar kasus umumnya diuretika jenis Thiazide dan ACEI atau ARB atau BB atau CCB)

obat-obatan untuk indikasi yang memaksa obat-obatan untuk indikasi yang memaksa obat antihipertensi lain (diuretika, ACEI, ARB, BB, CCB) sesuat kebutuhan

tekanan darah tercapai dan stabil, kunjungan selanjutnya dengan interval 3-6 bulan, tetapi frekuensi kunjungan ini juga ditentukan oleh ada tidaknya komorbiditas seperti

gagal jantung, penyakit yang berhubungan seperti diabetes, dan kebutuhan akan pemeriksaan laboratorium.

1085

HIPERTENSI ESENSIAL

Strategi untuk meningkatkan kepatuhan pada pengobatan:

.

empati dokter akan meningkatkan kepercayaan, motivasidan kepatuhan pasien

lndikasi yang Memaksa

dokter harus mempertimbangkan latar belakang budayaepercayaan pasien serta sikap pasien terhadappengobatan

pasien diberi tahu hasil pengukuran tekanan darah, targetyang masih harus dicapai, rencana pengobatan selanjutnyaserta pentingnya mengikuti rencana tersebut Penyebab hipertensi resisten: l. pengukuran tekanan darah yang tidak benar 2. dosis belum memadai

3. ketidak patuhan pasien dalam penggunaan

obat

antihipertensi

4. ketidak

. .

5.

6.

.

Pasca lnfark Miokard Risiko Penyakit Pembuluh Darah Koroner Diabetes Penyakit Ginjal Kronis

BB, ACEI, Aldo Ant Thiaz, BB, ACEI, CCB

Pencegahan stroke berulang

Thiaz. ACEI

Thiaz, BB, ACEI, ARB, CCB ACEI. ARB

BEFERENSI British Hypertenson Society Guidelines for mtnagetnent of hypertension: Report of the Fourth Working Party for rhe

British Hypertension Society J Hum

Hype'itenston

AV Bakris GL, Black HR, et al. The Seventh R.eport of the Joint National Committee on Preventiott. Detection.

Evaluation, and Treatment of High Blood

Pressure.

Hypertension. 2003 ;42:1 206-52.

meningkatkan tekanan darah

lain yang mempengaruhi

Thiaz, BB, ACEI, ARB, Aldo Ant

Chobanian

masih menggunakan bahan/obat lain yang adanya obat

Gagal Jantung

2004:18:139-85

kelebihan volume cairan tubuh . asupan garam berlebih . terapi diuretikatidak cukup . penurunan fungsi ginjal berjalan progresif adanya terapi lain

. 1.

patuhan pasien dalam memperbaiki pola hidup asupan alkohol berlebih kenaikan berat badan berlebih

Pilihan Terapi Awal

atatt

berinteraksi dengan kerj a obat antihipertensi adanya penyebab hipertensi lain/sekunder

Jika dalam 6 bulan target pengobatan (termasuk target tekanan darah) tidak tercapai, harus dipertimbangkan untuk melakukan rujukan ke dokter spesialis atau subspesialis. Bila selain hipertensi ada kondisi lain seperti diabetes

melitus atau penyakit ginjal, balk American diabetes association (ADA) maupun International society of nephrology (ISN) dan NKF menganjurkan rujukan kepada seorang dokter yang ahli jika laju filtrasi glomerulus mencapai < 60 mUmen/l,73m2, atau jika ada kesulitan dalam mengatasi hipertensi atau hiperkalemia, serta rujukan kepada konsultan nefrologi jika laju filtrasi glomerulus mencapai < 30 ml/men/1,'73m2, atau lebih awal jikapasien berisiko mengalami penurunan fungsi ginjal yang cepat atau diagnosis dan prognosis pasien diragukan. Pengobatan antihipertensi umumnya untuk selama hidup. Penghentian pengobatan cepat atau lambat akan

diikuti dengan naiknya tekanan darah sampai seperti sebelum dimulai pengobatan antihipertensi. Walaupun demikian, ada kemungkinan untuk menurunkan dosis dan jumlah obat antihipertensi secara bertahap bagi pasien yang diagnosis hipertensinya sudah pasti serta tetap patuh terhadap pengobatan nonfarmakologis. Tindakan ini harus disertai dengan pengawasan tekanan darah yang ketat.

European Society

of Hypertension - Eulopean S6ciety ol

Cardiology Guidelines Committee 2003 European Societl oi Hypertension - European Society of Cardiology Guidelines for the Management of Arterial Hypertension. J Hypertens 2003:,21 101 l-53 Evidence - Based Recommendation Task Force

of the Canadian

Hypertension Education Program 2004.

Canaoian

Hypertension Education Program Recommendation January 2004. Kaplan NM. Primary hypertension: pathogenesis Kaplan's clinical hypertension. 8'h edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2002. p 56-135. National Kidney Foundation. K/DOQI clinical practice guidelines

on hypertension and antuhypertensive agents in chronic Dis 2004;43 (supp1 J):Sl 5290. Wafnock DG, Textor SC. Core curriculum in nephrology: kidney disease. Am J Kidney

hypertension. Am J Kidney Dis. 2004;44:369-75. Word Health Organization, International Society of Hypertension Writing Group. 2003 World Health Organization - lnternational Society of Hypertension Statement of Management of Hypertension. J Hypertens. 2003; 2I:1983-92.

World Health Organlzation and International Society oI Hypertension Guidelines Subcommittee I999 World Health Organization International Society of Hypertension Guidelines for the Management of Hypertension. J Hypertens. 1999:17:151-83

170 HIPERTENSI PADA PENYAKIT GINJAL Agus Tessy

PENDAHULUAN Pasien hiperlensi banyak ditemukan

di masyarakat dan

sekalipun telah diterapi masih banyak yang tekanan

ginjal di samping faktor-faktor lain seperti proteinuria, jenis penyakit ginjal, hiperglikemia, hiperlipidemia dan beratnya fungsi ginjal sejak awal. Upaya menurunkan tekanan darah jelas akan menurunkan lbktor risiko kardiovaskular. Pada

darahnya tidak terkontrol. Hal ini disebabkan karena kombinasi obat yang tidak sesuai dan banyak obat-obat

studi Cohart mendapatkan bahwa penyebab kematian akibat hipertensi ialah insufisiensi koroner, CHF, infark cerebral dan perdarahan, penyakit ginjal menahun dan

yang mempunyai efek samping dan kontraindikasi. Sehingga diperlukan obat antihipertensi yang dapat

ruptur aneurisme. Variabilitas tekanan darah berperan penting sebagai penyebab kerusakan target organ. Beberapa komponen variabilitas tekanan darah yang berperan antara lain: perubahan tekanan darah siang dan malam, perubahan tekanan darah setiap hari, kecepatan perubahan tekanan darah dan perubahan tekanan darah jangka panjang.

digunakan oleh pasien hipertensi yang dapat di toleransi dengan baik dan mempunyai efek samping yang minimal sehingga ketaatan pemakaiannya juga lebih baik. Renin-Angiotensinogen-Aldosteron-(RAA) sistem berperan penting dalam memeiihara hemodinamik dan homeostasis kardiovaskular. Sistem RAA dianggap sebagai srratl homeostatic feed back loop dimana ginjal dapat mengeluarkan renin sebagai respons terhadap rangsangan

seperti tekanan darah rendah, stres simpatetik,

PATOGENESIS

berkurangnya volume darah dan bila keadaan-keadaan ini normal kembali m aka RAA sistem tidak teraktivasi. Penyakit ginjal dapat menyebabkan naiknya tekanan darah dan sebaliknya hipertensi dalam jangka waktu lama

Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut maupun penyakit ginjal kronik baik pada kelainan glomerulus maupun pada kelainan vaskular.

dapat mengganggu ginjal.

Di klinik sukar untuk

Hipertensi pada penyakit ginjal dapat dikelompokkan dalam: 1. Pada Penyakit Glomerulus Akut: GN Pasca Streptokokkus, Nefropati, Membranosa 2. Pada Penyakit Vaskular: Vaskulitis, Skleroderma 3. Pada penyakit ginjal kronik: CKD Stage III - V 4. Penyakit Glomerulus Kronik: Tekanan darah normal

membedakan kedua keadaan ini terutama pada penyakit ginjal menahun. Apakah hipertensi yang menyebabkan penyakit ginjal menahun ataukah penyakit ginjal yang

menyebabkan naiknya tekanan darah dan untuk mengetahui kedua keadaan ini diperlukan adanya catatan medik yang teratur dalam jangka panjang. Beratnya pengaruh hipertensi pada ginjal tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya menderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah dalam waktu lama makin berat komplikasi yang dapat ditimbulkan. Hubungan antara hipertensi dan ginjal telah lama diketahui sejak Richard Bright pada 1836. Penelitian-penelitian selama ini membuktikan bahwa hipertensi merupakan salah satu faktor pemburuk fungsi

tinggi

Penyakit Glomerulus Akut Hipertensi terjadi oleh karena adanya retensi natrium yang menyebabkan hipervolemi. Retensi natrium terjadi akibat adanya peningkatan reabsorbsi Na di duktus koligentes. Peningkatan ini dimungkinkan oleh karena adanya resistensi relatif terhadap Hormon Natriuretik Peptida dan

1086

1087

HIPERTENSI PADA PEI\IYAKIT GINJAL

peningkatan aktivitas pompa Na-K-AIPase di duktus

Sekresi renin oleh ginjal dipengaruhi oleh:

l).

koligentes.

Mekanisme intrarenal: (a) reseptor vaskular, (b) makula densa; 2). Mekanisme simpatoadrenergik; 3). Mekanisme

Penyakit Vaskular

humoral.

ini terjadi iskemi yang kemudian merangsang sistem renin angiotensin aldosteron.

Selain sistem RAA adajuga sistemKalikrein-Kinin (KK) yang juga dapat menyebabkan naiknya tekanan darah (Gambar 2). Kalikrein akan merubah Bradikininogen

Penyakit Ginjal Kronik

menjadi Bradikinin kemudian ACE akzm merubahBradikinin menjadi fragmen inaktif yang dapat meningkatkan tekanan

Pada keadaan

Hipertensi oleh karena hal-hal sebagai berikut l). Retensi natrium, 2). Peningkatan sistem RAA akibat iskemi relatif karena kerusakan regional, 3). Aktivitas saraf simpatis meningkat akibat kerusakan ginjal, 4). Hiperparatiroid Sekunder. 5 ). Pemberian eritropoetin.

darah (Gambar3).

Renin mengubah Angiotensinogen menjadi Angiotensin I (AI) kemudian AI dirubah oleh ACE menjadi Angiotensin II (AII) dan alur ini disebut alur ACE. Selain alur ACE, AII juga dapat terbentuk langsung dari Angiotensinogen atau melalui alur lain dan kedua alur ini disebut alur non ACE,. (Gambar 4)

Penyakit Glomerulus Kronik Tekanan darah yang ditemukan biasanya normal tinggi dibandingkan dengan kontrol normal. Sejak ditemukan cara penentuan praktis kadar renin

dan angiotensin

II di dalam plasma

PENGOBATAN

maka renin-

angiotensinogen-aldosterone (RAA) sistem diteliti secara luas. Renin dihasilkan oleh sel-sel jukstaglomerulus di

Berdasarkan patogenesis terjadinya hipertensi pada penyakit ginjal, maka pengobatan sebaiknya disesuaikan

ginjal dan akan merubah angiotensinogen menjadi angiotensin I (AI). Kemudian AI oleh pengaruh

pada masing masing kelompok.

angiotensin converting enzyme (ACE) yang dihasilkan oleh paru, hati dan ginjal dirubah menjadi angiotensin II (AII) (Gambar 1). Sistem RAA adalah satu sistern

glomerulus akut,

hormonal enzimatik yang bersifat multikompleks dan berperan dalara hal naiknya tekanan darah, pengaturan keseimbangan cairan tubuh dan elektrolit.

Sistem RAA Angiotensinogen

ItsRenin

I ACE

+

Angiotensin

---l t

I

Angiotensin ll

Pengobatan hipertensi pada kelompok penyakit di berikan di ureti k sekali gus lxen gurangi edema yang terjadi pada kelompok ini. Pengurangan cairan

dengan dialisis dapat juga menurunkan tekanan darah. Pemberian ACEI atau Angioten.sirt Receptor Blocker (ARB) juga dimungkinkan, stimulasi terhadap sistem renin angiotensin aldosteron jaringan (rissue-ACE) dapat terjadi bila ada lesi pada ginjal.

ACEI atau ARB merupakan obat pilihan pengobatan hiperlensi pada kelainan vaskular ginjal oleh karena iskemi yang terjadi akan merangsang sistem-RAA. Pada gagal ginjal kronis, pemberian diuretik atauACEV ARB atau Calcium Channel Blocker (CCB) atau Beta Blocker dimungkinkan untuk pengobatan hipertensi secara

t I

Bradikininogen

Kalikrein-l

I Bradikinin

RM

= Renin Angiotensin Aldosteron

ACE = Angiotensin-Converting

-Enzym

ACEI= Angiotensin-Converting -Enzym -lnhibitor A= Trophic effects B= Vasoconstriction C= Salt and water retension D= Symphatic stimulation

Gambar 1. Sistem renin-angiotensinogen-aldosteron

Gambar 2. Sistem kalikrein kinin

1088

GINJALHIPERTENSI

BRADYKININ SYSTEM

Activated Factor

Xll

Kinir

Pre-kallikrein+Kallikr ein-

Endothelium

I I

Y

---"'

t"'

-@-

9 I

-

I.*

Prostagla ndi ns

Nitrlc oxide

lnactive

peptide VASOCONSTRICTIO

VASODILA TIO N

Potentiation of svm pathetic

Gambar 3. Peranan ACE pada sistem RAA dan sistem KK

sendiri-sendiri atau kombinasi. Komplikasi terjadinya hiperkalemi pada pemberian ACEI atau Bet(t Blocker atau

Pengobatan hipertensi pada penyakit -slomerulus kronik dapat diperlakukan sebagai pengobatan hipertensr pada

penurunan fungsi ginjal pada pemberian ACEI harus menjadi perhatian. Bila terjadi hiperkalemi atau penurunan fungsi ginjal lebih dari 30Vo, pemberian obat ini harus dihentikan. Sesuai anjuran daiThe Seventh Report ofthe

penyakit glomerulus akut. Pada glomerulonefritis kronik dapat ditemukan adanya hiperlrofi ventrikel kiri walaupun tekanan darah masih dalam rentang 'normal', sehingga pemberian ACEI atau ARB dapat dipakai.

Joint National Commitee on Prevention, Dateclion, Evaluation, and Treatment of High Blood Pre,ssure (JNC 7), tahun 2003, tekanan darah sasaran pada penyakit ginjal kronik adalah 130/80 mmHg untuk menahan proglesi penurunan fungsi ginjal, maka tekanan darah diusahakan diturunkan untuk mencapai sasaran dengan kombinasi obat-obat di atas.

Benoprotektif Maksud dari pengobatan hipertensi selain untuk menurunkan tekanan darah, juga untuk mencegah terjadinya kerusakan pada organ target. Terbentuknya AII baik dari alur ACE maupun alur non ACE dapat menyebabkan glomerulofibrosis karena terjadi infiltrasi makrofag, naiknya tekanan intraglomeruler dan kenaikan aldosteron yang semuanya dapat menyebabkan gangguan pada sel-sel glomerulus. Naiknya tekanan intraglomeruler akibat terjadi perbedaan tekanan pada vasa afaren dan vasa eferen. Dalam hal renoprotektif ARB lebih unggul dari ACEI karena selain efek samping yang minim, semua AII yang terbentuk baik dari alur ACE maupun alur non ACE dihambat sedangkan reseptor AT, yang mempunyai efek men guntungkan justru distimulasi.

Angiotensinogen

Angiotensin

I

Angiotensin II dengan kadar yang rendah dapat menyebabkan proteinuri. Hal ini disebabkan karena terjadinya peningkatan tekanan pada kapiler glomerulus, ukuran pori-pori glomerulus dan terjadi perubahan-

Angiotensin ll

All H

AT,

Gambar 4. Alur pembentukan All

perubahan pada membrana glomerulus. Proteinuri merupakan barometer penentuan prognosis pasien

All

HAT,

hipertensi dan penyakit ginjal. Semakin banyak proteinuri,

semakin jelek prognosis dan semakin tinggi risiko kardiovaskular.

1089

HIPERTENSI PADA PEI\IYAKIT GINJAL

ARB merupakan obat oral aktif dan bekerja spesifik menghambat ikatan AII dengan reseptor AI,, sedangkan ACEI hanya menghambat pembentukanAll melalui jalur ACE. Pada data penelitian hewan menunjukkan bahwa ARB lebih sedikit mengurangi GFR bila dibandingkan dengan ACEI. Jelas bahwa ARB dan ACEI sama-sama mempunyai sifat renoprotektif pada berbagai jenis gangguan faal ginjal. ARB mempunyai efek natriuretik yang sama dengan dosis sedang dari tiasid. Telah diketahui bahwa reseptorAlr antagonis memiliki

potensi untuk mengurangi proteinuri dan menurunkan tekanan darah tanpa terjadi perubahan-perubahan yang dapat mengganggu CFR.

Perlu penelitian jangka panjang untuk menentukan

apakah reseptor AT, antagonis dapat bersifat nefroprotectlve seperti halnya ACEI. Reseptor AT,

endotel seperti pada hipertensi akan mempercepat remodeling vaskular akibat berkurangnya kombinasi NO dengan Angiotensin II lokal. Nitric Oxide berperan mengatur sirkulasi darah ginjal dan dapat meningkatkan retensi natrium sehingga bila terjadi gangguan sintesis NO berakibat terjadi ketidak seimbangan antara pengaturan aliran darah ginjal dan natrium yang berakibat buruk pada hipertensi yang peka garam. Disimpulkan bahwa aktifvtas sintesis NO lebih berperan pada hipertensi yang peka terhadap garam. Khususnya pada hipertensi yang peka garam akan lebih cepat terjadi gangguan pada organ target misalnya ginjal dan jantung. Dapat disimpulkan bahwa aktivitas sintesis NO dapat terjadi secara genetik dan ganggua-n respons

sintesis NO vaskular dapat menyebabkan tingkat

Pada beberapa studi berkesimpulan bahwa perlu hati-hati

gangguan target organ yang berbeda. Sedangkan pada orang tua karena berkurangnya aktivitas NO endotel yang terjadi pada usia lanjut.

dalam hal penggunaan reseptor AI, antagonis dan ACEI ginjal akut dan bila dipergunakan maka perlu pengamatan yang cermat fungsi ginjal.

REFERENSI

antagonis dapat digunakan pada pasien penyakit ginjal.

pada penyakit

lnteraksi Nitric Oxide(NO) dengan Angiotensin ll Angiotensin II juga berperan dalam hal pengaturan GFR

melalui spasme vasa afaren dan vasa eferen. Pada penelitian lanjut menemukan bahwa AII dapat meningkatkan oksidasi pada otot polos pembuluh darah dan sel-sel mesangial sehingga sintesis sel yang berlarutIarut dari superoksida anion nitrik oksida dan selanjutnya dapat menghambat respons sel-sel mesangial yang

berakibat terjadinya hipertrofi dan hiperplasia serra peningkatan produksi matriks. Karena Angiotensin II dan sintesis NO yang dikeluarkan secara lokal, maka terjadi interaksi antara keduanyayaflg akhirnya berperan dalam hal fisiologi dan patologi ginjal. Nitric Oxide mengatur sintesis ACE dan reseptor AI, pada jaringan vaskular.

Bila terjadi penghambatan sintesis NO yang kronis maka akan menyebabkan gangguan pada glomerulus dan tubulointerstitial dan terjadi remodeling koroner, LVH dan

hipertensi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa berkurangnya bioaktivitas NO vaskular akibat disfungsi

Bataineh A, Raij L. Angiotensin II, nitric oxide and end-organ damage in hypertension. Kidney Int. 1998;54:68:514-S9. Chung O, Unger T Angiotensin II receptor blockade and end-organ protection. AJH. 1999;12:S150-S6

JAMA

2003;289:19 (Reprinted). FE Mann: valsartan and the kidney: present and future J Cardio Pharmacol 33:1 1:S37-S.10. Kaplan NM, Rose BD Hypertension in renal disease Up To Date

Johannes

CD-ROM version 13.3 2005. Mclnnes GT. Angiotensin II antagonism in clinical practice:

experience with valsartan. J Cardiovasc Pharmacol. 1999;33:(Supp. I ).

Oparil S. Newly emerging phamarcology differences in angiotensin II receptor blockers. AJH. 2000;13:18S-24S. Perico N, Spormann D, Pertzzi E, Bodin 4 Sioufi A, Bertocchi F. ElTicacy and tolerability of valsartan compared with Lisinopril in patients with hypertension and renal insufTiciency. Clin Drug Invest.1997;14:(4). Tessy A. Renoprotektif of ARB in the management of

hypertension, annual meeting nephrology 2001, Medan November 1-3. 2001. Tiara Convention Centre.

t7t HIPERTENSI RENOVASKULAR Syakib Bakri

PENDAHULUAN Hipertensi renovaskular (HRV) merupakan penyebab tersering dari hipenensi sekunder. Diagnosis HRV penting karena kelainan ini potensial untuk disembuhkan dengan menghilangkan penyebabnya yaitu stenosis arleri renalis. Stenosis arteri renalis adalah suatu keadaan terdapatnya

darahnya dapat dikendalikan dengan pengobatan yang meliputi medikamentosa antihipertensi, revaskularisasi dengan tindakan bedah, atau angioplasti. Prevalensi HRV sangat rendah, kurang dai lVo dai populasi umum, tetapi dapat mencapai 40-6OVo pada populasi hipertensi refrakter dengan pengobatan lebih dari 3 macam anti-hipertensi dan pada populasi di atas 70

lesi obstruktif secara anatomik pada arteri renalis, sedangkan HRV adalah hipertensi yang terjadi sebagai

tahun.

akibat fisiologis adanya stenosis arteri renalis. Biasanya

ETIOLOGI

stenosis lebih dari JOVo baru memberi konsekuensi fisiologis tersebut. Penting untuk membedakan kedua keadaan ini, oleh karena adanya stenosis arteri renalis tidak

Lesi Aterosklerotik Arteri Renalis

selalu menimbulkan hipertensi. Eyler dkk menemukan bahwa pada subyek normotensi berusia kurang dari 60 tahun, prevalensi stenosis arteri renalis mencapai 457o. Schwartz & White pada otopsi 154 subyek, menemukan adanya hubungan yang bermakna antara stenosis arteri renalis dengan usia tetapi tidak ada korelasi stenosis arteri renalis dengan tekanan darah diastolik. Demikian juga adanya stenosis arteri renalis dan hipertensi secara bersama-sama tidaklah selalu mempunyai hubungan sebab-akibat. Holley dkk menemukan bahwa pada 49Vo subyek normotensi dan 7'77o pasien hipertensi yang ditelitinya ditemukan stenosis arteri renalis sedang sampai berat. Smith menemukan bahwa nefrektomi dapat menghilangkan hipertensi hanya pada 35% kasus yang terbukti mempunyai stenosis arteri renalis dan hipertensi. walaupun diketahui bahwa makin lama berlangsungnya HRV makin rendah kemungkinan revaskularisasi dapat

Merupakan penyebab paling sering dari HRV mencapai 907o kasus. Biasanya ditemukan pada usia lanjut, sering dengan riwayat keluarga hipertensi. Lesi umumnya terjadi bilateral dan biasanya pada daerah ostium, baik fokal atau merupakan lanjutan dari plak aorta serta pada li3 bagian proksimal arteri renalis. Biasanya berhubungan dengan adanya aterosklerosis secara umum dan sering ditemukan pada pasien dengan riwayat infark miokard, strok dan klaudikasi intermiten.

Displasia Fibromuskular Merupakan penyebab terbanyak kedua, lebih sering ditemukan pada perempuan muda pada umur dekade ketiga

dan keempat. Biasanya tidak mempunyai riwayat hipertensi dalam keluarga dan umurnnya belum mempunyai kelainan organ target. Terjadinya bilateral pada 2/3 kasus, dan biasanya terjadi pada 213 bagian distal afteri renalis atau cabang intrarenal. Fibromuskular displasia terdiri dari

mengontrol tekanan darah oleh karena kemungkinan sudah terj adi nefrosklero si s pada ginj al kontralateral.

lima tipe histologi yaitu: fibroplasia medial

Istilah nefropati iskemik menggambarkan suatu

(65-75Vo),

fibroplasia perimedi al (lU25Vo), fhroplasia intimal (lO-257o),

keadaan terjadinya penurunan fungsi ginjal akibat adanya stenosis arteri renalis. Bila sudah terjadi gangguan fungsi

hiperplasia medial (sangat jarang).

ginjal, kelainan ini akan menetap walaupun tekanan

1090

(5

-707o) serta fibroplasia periarterial

1091

HIPERTET{SI RENOVASKULAR

Penyebab-penyebab Lain

hipotensi yang jelas. Pada model ini ginjal kontralateral

Arteritis Takayasu, neurofibromatosis, aneurisma aorta

mampu mengekskresikan natrium walaupun tidak

disekans. fistula arteri-vena renalis, arteritis radiasi,

sepenuhnya normal oleh karena aktivasi sistem renin-

posttransplant stenosis, dan emboli.

angiotensin (RA) juga menyebabkan vasokonstriksi pada ginjal kontralateral. Pada stenosis arteri renalis, ginjal yang stenotik akan

PATOFISIOLOGI

mengalami atrofi tubular dan fibrosis interstisial akibat hipoperfusi, sedangkan pada ginjal kontralateral terjadi hipertensi intraglomerulus akibat transmisi tekanan

Model percobaan HRV pertama kali dilakukan oleh Goldblatt tahun 1934 yang menunjukkan bahwa terjadi hiperlensi persisten bila dilakukan konstriksi kedua arteri renalis anjing percobaan atau pada satu arteri renalis di mana ginjal satunya telah dikeluarkan. Walaupun pada awalnya diyakini bahwa hipersekresi renin dari ginjal yang

iskemik yang berperan pada terjadinya hipertensi. penelitian-penelitian selanjutnya mengindikasikan adanya faktor lain yang berperan pada persistensinya peningkatan tekanan darah oleh karena hiperreninemia tidak selalu ditemukan pada fase lanjut HRV. Juga dibuktikan bahwa mekanisme terjadinya hipertensi pada hewan percobaan, berbeda, tergantung apakah ginjal kontralateral masih intak

(one clip, two kidney Goldblatt hypertension, sama

sistemik yang meningkat yang akan menyebabkan proteinuri dan glomerulosklerosis yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan nefron.

DIAGNOSIS Sukar membedakan hipertensi esensil dengan HRV hanya

dengan pemeriksaan fisis; dibutuhkan pemeriksaanpemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan laboratorium seperti pemeriksaan aktivitas renin plasma perifer basal

maupun setelah pemberian kaptopril dan pemeriksaan renin vena renalis, serta pemeriksaan radiologi seperti

dengan stenosis arleri renalis unilateral pada manusia) atau

renogram dengan atau tanpa pemberian kaptopril,

ginjal kontralateral telah diangkat (one clip, one kidney Goldblatt hypertension, sama dengan stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis unilateral dengan ginjal

ultranonografi, magnetic re s onance angio graphy"ataupun arteriografi. Arteriografi dianggap sebagai pemeriksaan

tunggal pada manusia).

Fase

Akut. Konstriksi arteri renalis segera akan

baku emas untuk diagnosis stenosis arteri renalis. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan-pemeriksaan ini sangat bervariasi.

menyebabkan peningkatan tekanan darah dan juga renin serta aldosteron. Pemberian angiotensin converting enzyme inhibitors (ACEI) atau saralasin (suatu angiotensin

Sensitivitas Spesifitas

receptor blockers = ARB) dapat mencegah peningkatan tekanan darah ini, mengindikasikan bahwa peningkatan tekanan darah ini merupakan akibat dari hiperreninemia. Fase

Kronik. Setelah beberapa hari, tekanan darah tetap

meningkat tetapi renin dan aldosteron mulai menurun ke nilai normal. Pada fase ini perlangsungan dari hipertensi berbeda tergantung dari apakah ginjal kontralateral intak atau tidak, serta dari spesies yang diteliti. Umumnya penelitian dilakukan pada tikus. One clip, one kidney Goldblutt hypertension: Seiring

dengan menurunnya renin, terjadi peningkatan volume plasma akibat dari retensi natrium. Bila pada fase ini diberikan ACEI, hanya sedikit terjadi penurunan tekanan darah. Bila hewan percobaan diberikan diet rendah natrium,

peningkatan tekanan darah tetap terjadi, tetapi mekanismenya berbeda: renin plasma tetap meningkat tetapi

terjadi peningkatan volume plasma. Jadi hipertensi yang terj adi apakah r e ni n - d e p e nde nt atat v o lume - d ep e n d e nt, tergantung dari asupan natrium. Efek hipotensi dari ACEI pada model ini kurang terlihat. One clip, two kidney Golilblutt hypertension: Pada model ini retensi natrium minimal dan hipertensi adalah re nin - d ep e ndent, di marra pemberian ACEI memberi efek

Renogram

7SYo

7SYo

Renogram kaptoril Aktivitas renin plasma perifer Aktivitas renin plasma perifer sesudah pemberian kaptopril

83%

93%

57Yo

96%

66Yo 55Yo

9SYo

90%

9jto

62Yo

8B%-95%

94%

Ultrasonografi Lesi apapun Lesi > 60% M ag n eti c re son a n ce

a

ng iogra

phy

Pemeriksaan-pemeriksaan ini memerlukan biaya mahal dan tidak selalu tersedia. Olehnya, skrining untuk mencari

kemungkinan adanya HRV tidak efektif-biaya untuk dilakukan pada populasi umum karena prevalensi HRV yang sangat rendah. Skrining hanya dilakukan pada kelompok pasien yang mempunyai riwayat dan gambaran klinik yang mencurigakan kemungkinan suatu HRV yaitu: . Hipertensi yang timbul pada usia kurang dari 30 tahun atau lebih dari 50 tahun. . Hipertensi akselerasi atau hipertensi maligna. . Hipertensi yang resisten dengan pemberian 3 atau lebih

.

macam obat antihiperrensi.

Hipertensi dengan gangguan fungsi ginjal yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

1092

. . .

GINJAL HIPERTENSI

Perburukan fungsi ginjal diobati dengan ACEI atau Hipertensi dengan bising Hipertensi dengan edema

dari pasien hipertensi yang ARB. pada abdomen paru yang berulang.

Pada tahun 1992, Mann & Pickering membuat suatu kriteria probabilitas HRV berdasarkan kriteria klinis dengan tujuan untuk menyeleksi pemeriksaan yang perlu dilakukan

Pada pasien dengan fibromuskular displasia, tindakan

revaskularisasi dapat merupakan pengobatan definitif dalam menurunkan tekanan darah. Berbeda dengan pasien

HRV akibat displasia fibromuskular, pasien dengan penyakit renovaskular aterosklerotik biasanya tetap membutuhkan obat antihipertensi walaupun tindakan rev askulari sasinya berhasil.

l). Probabilitas rendah'. pada pasien

Tindakan revaskularisasi biasanya kurang memberikan

hipertensi ringan-sedang tanpa kelainan organ target. Pada

hasil yang memuaskan pada pasienHRV yang berusia lanjut, HRV dengan insufisiensi ginjal lanjut (kreatinin serum lebih dari 3 mg7o), bila penyebabnya penyakit

sebagai berikut:

kelompok ini tidak perlu dilakukan skrining HRV. 2). Probabil itas sedang'. pada pasien hipeftensi berat (tekanan

diastolik di atas 120 mmHg), hipertensi yang refrakter dengan pengobatan standar, hipertensi dengan bising pada

abdomen atau pinggang, hipertensi sedang (tekanan diastolik 105-120 mmHg) yang merokok, pada pasien yang mempunyai penyakit vaskular oklusif (serebrovaskular, koroner atau arteri perifer), atau pada pasien dengan peningkatan kreatinin serum yang tidak bisa dijelaskan sebabnya. Pada kelompok ini dianjurkan untuk pemeriksaan

renovaskular aterosklerotik atau bila ukuran ginjal kurang dari 9 cm pada pemeriksaan radiografi atau ultrasonografi.

Pengobatan Medikamentosa Pengobatan medikamentosa tidak berbeda dengan hipertensi esensial. Perhatian khusus harus diberikan bila memberikan ACEI atau ARB. Kedua obat ini merupakan

yang dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan arteriografi arteri renalis dan pemeriksaan renin vena renalis. 3). Probabilitas tinggi'. pada pasien dengan hiperlensi berat

pilihan pada stenosis unilateral di mana ginjal kontralateral berfungsi baik; sebaliknya merupakan kontraindikasi pada stenosis arleri renalis bilateral atau stenosis unilateral pada pasien dengan hanya satu ginjal (yang stenotik) yang berfungsi, oleh karena akan menyebabkan perburukan

(tekanan diastolik di atas 120 mmHg) yang refrakter dengan

fungsi ginjal, bahkan gagal ginjal akut. Umumnya

renin plasma setelah stimulasi kaptopril dan renografi isotop,

pengobatan agresif atau dengan insufisiensi ginjal progresif, khususnya pada perokok atau yang mempunyai bukti adanya penyakit arteri oklusif; hipertensi maligna atau akselerasi; hipertensi dengan peningkatan kreatinin serum yang diinduksi oleh ACEI dan hipertensi sedang-berat dengan ukuran ginjal yang asimetris. Pada kelompok ini dianjurkan untuk langsung melakukan arteriografi arteri renalis.

dibutuhkan kombinasi beberapa macam antihipertensi untuk mendapatkan kontrol yang optimal pada pasien HRV

Angioplasti Perkutan Pada lesi fibromuskular, keberhasilan teknik pengobatan

ini

mencapai 85-1007o,

di mana

507c pasien dapat

disembuhkan sedangkan 407c mengalami perbaikan kontrol tekanan darah. Pada lesi aterosklerotik, keberhasilannya

dalam menormalkan tekanan darah lebih kurang PENATALAKSANAAN Tujuan penatalaksanaan HRV adalah mengurangi angka morbiditas dan mortalitas akibat peningkatan tekanan darah dan iskemi ginjal, melalui pemberian obat antihipertensi, revaskularisasi dengan angioplasti atau operasi. Pilihan pengobatan yang akan diambil harus mempertimbangkan etiologi dari stenosis arteri renalis, dan keadaan umum paslen. Pada HRV akibat penyakit renovaskular aterosklerotik, hipertensi esensial biasanya sudah didiagnosis sebelum diagnosis HRV dan umumnya pasien sudah mendapat pengobatan antihipertensi sebelum perburukan dari kontrol tekanan darahnya atau fungsi ginjalnya, yang mendugakan suatuHRV.

dibandingkan pada lesi aterosklerosis; walaupun demikian

pada sebagian pasien terjadi perbaikan kontrol tekanan darah dan fungsi ginjal.

Revaskularisasi dengan Tindakan Bedah Berbagai teknik operasi revaskularisasi telah dipergunakan, tergantung letak, luas, dan beratnya lesi pada afieri renalis. Untuk lesi ostial aterosklerotik dilakukan

tindakan aortorenal endareterectomy dan aortorenal bypass. Untuk lesi fibromuskular dilaklkan grafi dari arteri

hipogastrika. Dapat pula dilakukarr aortorenal yein bypass graftpada lesi aterosklerotik dan lesi f,rbromuskular.

Kontrol tekanan darah lebih banyak didapatkan pada lesi fibromuskular dari pada lesi aterosklerotik.

Pada penelitian the Dutch Renal Artery Stenosis

Intervention Cooperative study, pengobatan medikamentosa dengan 3 atau lebih jenis obat

BEFERENSI

antihipertensi dapat mengontrol tekanan darah pada lebih

Bhalla A, D'Cruz S, Lehl SS, et al. Renovascular hypertension its evaluation and management. JIACM. 2003.4:139-46.

dari separuh pasien.

1093

HIPERTENSI RENOVASKULAR

Bloch MJ. An evidence-based approach to diagnosing renovascular hypertension. Curr Cardiol Rep 2001;3:477-821. Canzanello VJ. Medical management of renovascular hypertension.

Rankin SC, Saunders AJS, Cook GJR, et al Renovascular hypertension Clin Radiol. 2000;55:1-12. Rosner MH. Renovascular hypertension: can we identify a

Secondary hypertension: clinical presentation, diagnosis and treatment. In: Mansoor GA, editor New Jersey: Humana Press;

population at high risk? Southern Med J. 2001;94:1058-64. Salifu MO, Haria DM, Badero O, et al Challenges in the diagnosis and management of renal artery stenosis. Curr Hypertens Rep. 2005;1:219-21 . Schwartz CJ, White TA. Stenosis of the renal artery: an unselected necropsy study. Br Med l. 7964.2:1415-2I. Smith HW. Unilateral nephrectomy in hypertensive disease. J Uro1. 1956;16:685-7 01. Thavarajah S, White WB. Diagnostic evaluation for patients with

2004 p.91-107. Eyler WR, Clark MD, Garman JE, et al Angiography of the renal areas including a comparative study of renal arterial stenoses in patients with and without hypertension. Radiology. 1962:,78:81992. Holley KE, Hunt JC, Brown AL, et al. Renal artery stenosis: a clinical-pathological study in normotensive and hypertensive patlents. Am J Med. 1964:'37:74-22. Mann SJ, Pickering TG. Detection of renovascular hypertension. Ann Intern Med. 1992:l11:845-53. Muller FB, Sealey JE, Case DB, et al. The captopdl test of identifying renovascular disease in hypertensive patients. Am J Med. I 986;80:63 3 -44. Pickering TG, Laragh JH, Sos TA Renovascular hypertension. Diseases of the kidney 5'h edition. In: Schrier EW, Gottschalk CW, editors. London: Little, Brown and Company; 1993. p. r451.-14.

In: Secondary hypertension: clinical presentation, diagnosis and treatment. In: Mansoor GA, editor. New Jersey: Humana Press; 2004. p. 63-81. van Jaarveld BC, Krijnen P, Pieterman H, et al. The effect of balloon angioplasty on hypertension in atherosclerotic renal a.rtery stenosis. N Engl J Med. 2000;,342:1007-14. renovascular hypertension

172 HIPERALDOSTERONISME PRIMER Ginova Nainggolan

jarang dilakukan dan selanjutnya laporan kejadian hiperaldosteronisme menjadi sedikit. Saat ini tindakan diagnostik untuk deteksi adanya hiperladosteronisme dipermudah dengan memeriksa rasio aldosteron

PENDAHULUAN Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah yang melebihi tekanan darah normal seperti apa yang telah disepakati oleh para ahli yaitu lebih dari atau sama dengan

renin (Aldosteron-renin rztio=ARR) dan pemeriksaan ini tidak memerlukan penghentian obat antihipertensi. Saat

mmHg (JNC-7). Hipertensi dapat diklasifikasikan sebagai hipertensi primer atau hipertensi esensial, yang merupakan 95Vo dari seluruh pasien hipertensi, dan hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder antara lain adalah 740190

ini banyak

laporan yang menunjukkan kejadian

hiperaldosteronisme primer berkisar antara 5-107a. Hasil ini didapatkan dengan memeriksa semua pasien

penyakit renovaskular, penyakit ginjal kronik,

hipertensi terhadap kemungkinan hiperaldosteronisme

feokromositoma, hiperaldosteronisme primer, hipertensi monogenik atau penyebab lain yang diketahui. Hiperaldosteronisme primer adalah sindrom yang

primer. Padapasien ini tidak didapatkan hipokalemia. Tetapi peningkatan insidens hiperaldosteronisme primer yang

disebabkan oleh hipersekresi aldosteron yang tak

insidens kejadian hiperplasi adrenal dimana terapi yang dibutuhkan cukup dengan obat antagonis aldosteron.

dilaporkan sebagian besar disebabkan peningkatan

terkendali umumnya berasal dari kelenjar korteks adrenal. Hiperladosteronisem primer secara klinis dikenal dengan triad terdiri dari hipertensi, hipokalemi dan alkalosis metabolik. Sindrom ini dilaporkan perlama kali tahun 1955 oleh Conn. Sindrom ini disebabkan oleh hiperplasi kelenjar

GEJALA DAN TANDA

kortek adrenal, adenoma unilateral atau karsinoma

Hipokalemia membuat pasien mengeluh adanya rasa lemas dan tekanan darah biasanya tinggi dan sukar dikendalikan. Pada pasien tanpa hipokalemia tidak terdapat gejala lemas.

adrenal.

INSIDENS

PATOFISIOLOGI Semakin banyak laporan yang menunjukkan adanya peningkatan insidens hiperladosteronisme primer di

Sel kelenjar adrenal yang mengalami hiperplasia atau adenoma menghasilkan hormon aldosteron secara berlebihan. Peningkatan kadar serum aldosteron akan merangsang penambahan jumlah saluran natrium yang terbuka pada sel prinsipal membran luminal dari duktus

masyarakat. Pada awalnya hiperaldosteronisme dicurigai bila didapatkan hipertensi dengan hipokalemia dan dengan

kriteria ini insidensss hiperaldosteronisme dilaporkan berkisar I -2 7o dari populasi hipertensi. Dahulu kecurigaan terdapat hiperaldosteronisme bila didapatkan hipokalemia pada pasien hiperlensi dan untuk tindakan diagnostik perlu penghentian terapi antihipertensi selama 2 minggu, hal

kolektikus bagian kortek ginjal. Akibat penambahan jumlah ini, reabsorbsi natrium mengalami peningkatan. Absorbsi

natrium juga membawa air sehingga tubuh menjadi cenderung hipervolemia. Sejalan dengan ini, lumen duktus kolektikus ini berubah

yang sulit dilakukan bila tekanan darah pasien sukar dikendalikan. Hal ini menyebabkan tindakan diagnostik

t094

1095

HIPERALDOSTEROMSME PRIMER,

menjadi bermuatan lebih negatif yang mengakibatkan keluarnya ion kalium dari sel duktus kolektikus masuk ke

pada nilai PRA. Bila menggunakan reagen yang dapat mengukur kadar PRA konsentrasi rendah maka rasio

dalam lumen tubuli melalui saluran kalium. Akibat

aldosteron/PRA akan semakin besar. Karena itu disarankan

peningkatan ekskresi kalium di urin, terjadi kadar kalium darah berkurang. Peningkatan ekskresi kalium juga dipicu oleh peningkatan aliran cairan menuju tubulus distal. Hal ini mengakibatkan tubuh kekurangan kalium dan timbul gejala seperti lemas. Hipokalemi yang terjadi akan merangsang peningkatan ekskresi ion-H di tubulus proksimal melalui pompa NHrt,

menggunakan reagen yang dapat mengukur kadar PRA yang rendah. Kombinasi aldosteron plasma 2O ng/dl (555 pmol/L) dan ARR > 30 memiliki spesilisitas dan sensitifitas 9A7o untuk mendeteksi hiperaldosteroni sme. Peningkatan serum aldosteron dan ARR saja tidak berarti didapatkan hiperladosteronisme primer. Perlu

di tubulus

dilakukan pemeriksaan untuk menunjukkan adanya sekresi

proksimal dan kemudian terjadi alkalosis metabolik. Hipokalemi bersama dengan hiperaldosteron juga akan merangsang pompa H-K-ATPase di tubulus distal yang

kelenjar adrenal yang berlebihan. Untuk itu dilakukan tes supresi kelenjar aldosteron dengan memberikan garam

sehingga reabsorbsi bikarbonat meningkat

mengakibatkan pqningkatan ekskresi ion-H, selanjutnya akan memelihara keadaan alkalosis metabolik pada pasien ini. Kadar renin plasma pada pasien ini sangat rendah. Hipervolemia yang terjadi akibat reabsorbsi natrium dan air yang meningkat akan menekan produksi renin sehingga

ini berbeda dengan hiperaldosteronisme sekunder dimana terjadi peningkatan kadar renin maupun aldosteron darah. Hiperaldosteronisme sekunder didapatkan pada hipertensi renovaskular atau pemberian diuretik pada pasien hipertensi. Hipertensi yang terjadi pada pasien ini sebagian besar disebabkan oleh hipervolemia yang menetap.

kadar renin plasma tertekan. Hal

NaCl. Terdapat dua cara melakukan tes supresi yaitu secara oral dan pemberian NaCI isotonis. Pada tes supresi oral diberikan diet 5 gA{aCl per oral dengan pemberian selama tiga hari. Setelah hari ketiga dilakukan pengumpulan urin selama 24 jam untuk mengukur kadar natrium, kaiium dan aldosteron dalam urin. Kadar natrium dzrlam urin harus lebih dari 200 meq yang menandakan diet tinggi natrium yang diberikan telah cukup adekuat. Kadar aldosteron urin lebih dari 14 p,grl24 jam atau 39 nmoll24 jam sesuai dengan

hiperaldosteronisme primer. Tes supresi kedua yaitu dengan pemberian2liter NaCl isotonis dalam waktu 4 jam dengan posisi pasien tidur terlentang. Bila kadar aldosteron plasma lebih dari l0 ngidl atau lebih dari 217 pmol/L, sesuai dengan adanya hiperaldosteronisme primer.

Diagnostik lain adalah dengan terdapatnya DIAGNOSIS Tindakan diagnosis pada hiperladosteronisme primer terdiri dari tahap menentukan adanya hiperaldosteronisme primer dan mengetahui kausanya. Bila dicurigai terdapat hiperaldosteronisme primer maka dilakukan pemeriksaan serum aldosterondan Plasma Renin Activl6r (PRA) secara bersamaan. Pemeriksaan ini dilakukan pagi hari dan tidak perlu pasien harus berbaring. Sebelum tes dilakukan perlu diketahui apakah pasien sedang mengkonsumsi obat yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan seperti antagonis

aldosteron, yang harus dihentikan 6 minggu sebelum dilakukan pemeriksaan. Penggunaan antihipertensi dilaporkan tidak mempengaruhi hasil pemeriksaan kecuali

ACE Inhibitor atat Angiotensin Receptor Blocker perlu dicatat. Pada pasien yang menggunakan ACE Inhibitor atau ARB, hasil PRA yang tidak terdeteksi menunjukkan terdapat hiperladosteronisme. Rasio antara kadar aldosteron dalam plasma (ng/dl) dengan kadar renin dalam plasma (nglml per jam) yang disebut sebagai rasio aldoteron renin (Aldosteron Renin Rallo=ARR) memiliki nilai diagnostik yang bermakna. Nilai ARR> 100 dianggap sebagai nilai diagnostik yang sangat bermakna untuk terdapatnya hiperladosteronisme. Perlu diperhatikan pada penghitungan ARR sangat tergantung

peningkatan ekskresi kalium dalam urin 24 jam (> 30 meq/ L). Syarat pemeriksaan ini adalah pasien tidak boleh dalam keadaan hipovolemia atau dalam keadaan diet rendah natrium (kadarNatriumurin kurang dari 50 meqper24 jwn).

Pemeriksaan lain pada hiperladosteronisme primer adalah pemeriksaan analisis gas darah yang menunjukkan

gambaran alkalosis metabolik yang disebabkan peningkatan reabsorbsi bikarbonat di tubulus proksimal karena peningkatan kadar aldosteron. Dahulu kecurigaan hiperaldosteronisme primer bila didapatkan pasien hipertensi dengan hipokalemia atau adanya gejala lemas. Saat ini dengan semakin banyaknya Iaporan peningkatan kejadian hiperaldosteronisme maka kriteria pasien yang perlu dilakukan skrining diperluas. Pasien yang perlu dilakukan penyapihan untuk mengetahui adanya hiperaldosteronisme primer adalah pasien hipertensi derajat I dengan kriteria usia < 30 tahun, tidak terdapat riwayat hipertensi dalam keluarga dan tidak obes. D.ilain pihak tes penyapihan pada semua pasien hipertensi tidak

dianjurkan. Walaupun saat ini dilaporkan adanya peningkatan kejadian hiperaldosteronisme primer di masyarakat tetapi hasil skrining tersebut menr.rnjukkan peningkatan populasi hiperplasia adrenal yang cukup diterapi dengan pemberian antagonis aldosteron. Dengan

melakukan skrining hiperladosteronisme pada semua pasien hipertensi proporsi adenoma lebih sedikit (dari 60-

1096

70Vo

menjadi25Vo) dlbatdingkan bila dilakukan skrining

pada pasien dengan hipokalemia atau hipertensi resisten. Pasien yang juga memerlukaa tes penyapihan adalah hipertensi dengan hipokalernia, pasien hipertensi berat dan

adrenal insidensstaloma. Adrenal insidensstaloma adalah ditemukannya pembesaran kelenjar adrenal secara tidak sengaja pada pemeriksaan CT Scan/MRI abdomen. Pemeriksaan berikutnya adalah untuk menentukan subtipe hiperaldosteronisme primer. Terdapat tiga subtipe yaitu adenoma (APA= Aldosteron producing adenoma), hiperplasi adrenal dan karsinoma adrenal. Pemeriksaan pencitraan berupa CT-Scan atau MRI dapat membedakan ketiganya. Bila didapatkan ukuran kelenjar > 4 cm maka kecurigaan adanya karsinoma adrenal perlu dipikirkan. Bila

didapatkan kelenjar adrenal membesar satu sisi maka diagnostik terdapat APA. Bila didapatkan kedua kelenjar membesar maka penyebab hiper4ldosteronisme primer adalah hiperplasia adrenal. Pada keadaan sulit untuk menentukan apakah terdapat hiperplasia atau adenoma maka dilakukan pengukuran kadar aldosteron di vena adrenal. Pemeriksaan ini dilaporkan sulit dilakukan karena itu harus dilakukan oleh ahli yang berpengalaman untuk pemeriksaan ini. Pasien dalam pemberian infus kontinu ACTH 50 mcg perjam ketika dilakukan pengambilan sample darah vena. Juga diperiksa kadar kortisol untuk memastikan

darah berasal dari vena adrenal. Bila didapatkan kadar aldosteron berbeda >4 kali maka di sisi tersebut terdapat adenoma, sedangkan pada hiperplasia kelenjar adrenal kadar aldosteron pada dua sisi hampir sama.

GINJALHIPERTENSI

Bila pasien tidak toleran dengan spironolakton, dapat diberikan amiloride hingga dosis 15 mg dua kali sehari. Amiloride hanya dipakai untuk menormalkan kadar kalium dan tidak dapat menurunkan tekanan darah oleh karena itu perlu ditambahkan obat antihipertensi lain. Perlu diperhatikan bahwa pada terapi ini kadar aldosteron dalam

darah tetapi tinggi dan dalam jangka panjang dikhawatirkan hal ini dapat menimbulkan gangguan pada jantung.

ADENOMA PRODUCING ALDOSTERON Pengobatan yang terbaik pada adenoma adrenal (pembesaran unilateral) adalah dengan melakukan

adrenalektomi secara bedah konvensional atau pengangkatan dengan teknik laparoskopi. Adrenalektomi pada adenoma adrenal akan menormalkan kadar aldosteron

plasma serta menormalkan tekanan darah tanpa membutuhkan spironolakton, suplementasi kalium atau obat antihipertensi yang lain. Tetapi pada40-60Vo pasien didapatkan tekanan darah tetap tinggi pasca operasi. Pada kelompok dengan penggunaan obat antihipertensi kurang dai2 dart tidak adanya riwayat hipertensi dalam keluarga dilaporkan tekanan darah akan terkendali setelah operasi

adrenalektomi. Sedangkan pada karsinoma kelenjar adrenal dilakukan adrenalektomi.

REFERENST

PENGOBATAN Tujuan terapi adalah menormalkan tekanan'darah, serum kalium dan kadar serum aldosteron. Pada hiperplasi kelenjar aldosteron hal ini dicapai dengan dengan pemberian obat antagonis aldosteron. Pemberian spironolaklon 12,5 -25 mg biasanya sudah cukup efektif mengendalikan tekanan darah dan menormalkan kadar kalium plasma. Sayangnya obat spironolakton yang diberikan dalam jangka panjang mempunyai efek samping seperti impotensi, ginekomastia,

gangguan haid dan gangguan traktus gastrointestinal

sehingga pemberian jangka panjang spironolakton mempunyai banyak kendala. Saat ini ada obat baru eplerenon dengan dosis 2 kali 25 mg perhari dengan efek samping yang lebih ringan daripada spironolakton sehingga dapat diberikan dalam jangka panjang, walaupun

harganya relatif mahal. Selain terapi farmakologi perlu dikurangi asupan garam dalam makanan, berolahraga secara teratur, menormalkan berat badan dan menghindari konsumsi alkohol

AY Bakris GL, Black HR, et al The seventh report of the joint national committee on prevention, detection, evaluation

Chobanion

and treatment of high blood pressurei The JNC 7 report. JAMA.

2003289:2560-12. A. Primary aldosteronism. New Englj.Med. 1998;339:1828-

Ganguly

34. Kaplan NM. Primary aldosteronism. In: Kaplan NM, editor. Kaplan's

clinical hypertension. 8th edition. Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2002. p. 455-79. Mulatero P, Stowasser M, Keh-Chuan Loh, Fardella CE, Gordon RD, L, Gomez-Sanchez CE, Veglio F, Young WT Jr Increased diagnosis of primary aldosteronism, including surgically correctable forms, in centers from five continents J Clin Endocrinol Mosso

Metab. 2004189: 1045-50. Plouin P, Amar L, Chatellier G: Trends in the prevalence of primary aldosteronism, aldosterone-producing adenomas and surgically correctable aldosterone-dependent hypertension NDT. 2004i19:774-7. Sawka AM, Young WM, Thompson GB, Grant CS, Farley DR, Leibson C, van Heerden JA. Primary aldosteronism: factors associated with normalization of blood pressure after surgery. Ann Intern Med. 2001;135:258-61 Young WF. Primary aldosteronism. Management issue. NY Acad Sciences 2002. Ann NY Acad Sci. 2002:j19:61-76

t73 FEOKROMOSITOMA Imam Effendi

PENDAHULUAN

mungkin angka kejadian feokromositoma lebih tinggi. Feokromositoma dapat sporadis atau familial, bisa unisentris atau unilateral. Tipe familial sering multisentris

Angka kejadian hipertensi karena kelainan endokrin tidak diketahui dengan pasti. Pada masa lalu bentuk hipertensi karena endokrin kurang dat'r l7o. Kecilnya angka kejadian ini karena under diagnosls, kurangnya pengertian dan terbatasnya serta sulitnya tes diagnostik. Penyebab hipertensi endokrin antara lain korteks adrenal, kelainan hipofisis, medulla adrenal, tiroid. tumor renin dan lain

dan bilateral. Feokromositoma sering bilateral atau bagian

dari neoplasma endokrin multipel. Feokromositoma adrenal dikenal the rule of ten percenti

. Bilateral : . Ekstra adrenal : . Familial : . Pediatri

sebagainya. Sering sekali hipertensi endokrin tidak terdiagnosis karena tidakjelasnya tanda dan gejala serta

l07o

ljVo 107o

lj%o

pada laboratorium rutin tidak ditemukan kelainan. Namun

demikian sering pula ditemui tanda atau gejala spesifik

GAMBARAN KLINIS

dan perlu ketelitian anamnesis, pemeriksaan fisis dan laboratorium untuk mendiagnosis hipertensi sekunder.

Manifestasi klinis berhubungan dengan overproduksi

Diagnosis yang tepat dan cepat pada hipertensi endokrin sering ada kesempatan untuk sembuh, dan

katekolamin seperti sakit kepala, berkeringat, tferdebar-

terhindar dari malapetaka selanjutnya. Feokromositoma adalah salah satu hipertensi endokrin yang patut dicurigai bila ada nwayat dalam keluarga. Selain itu ada tanda-tanda 5H mencurigai feokromositoma yaitu : hipertensi, head-

hipertensi dan diabetes, dengan atau tanpa gejala menjadi

ache lsakit kepala, hipermetabolisme, hiperhidrosis, hiperglikemia. Feokromositoma mempunyai arti warna coklat dan sebagian besar tumor tumbuh di dalam kelenjar adrenal,

(667o) atau menetap (33Vo), sehingga sering salah diagnosis sebagai hipertensi primer. Suatu keadaan yang luar biasa dapat terjadi di mana terjadi hipertensi berat dengan atau tanpa gagal jantung, dan penampilan macammacam sebagai tandapeninggiankatekolamin. Hal ini dapat terjadi pada saat trauma, persalinan, atau perdarahan ke dalam tumor. Sebaliknya feokromositoma dengan gabungan penyakit von Lindau, bisa tanpa ada gejala, tekanan darah normal dan tes laboratorium katekolamin dalam batas normal. Sebagai ringkasan beberapa tanda klinis untuk mencurigai adanya feokromositoma:

debar, dan dikenal sebagai triad. Kadang-kadang manifestasi awal, atau dapat juga teraba masa tumor diperut atau pembesaran paraganglioma di leher, telinga, dada atau paru tumor metastasis. Hipertensi yang terjadi dapat labil

hanya 70Vo di luar kelenjar adrenal (paraganglioma). Umumnya ia bersifat jinak dan harrya l}Vo metastasis ke tulang, paru, hati dan kelenjar getah bening. Tumor dapat

mensekresi bermacam-macam hormon, terutama norefinefrin, efinefrin dan dopamin, dengan pola-pola tertentu yang berbeda pada tiap-tiap pasien. Beberapa paraganglioma juga dapat memproduksi efinefnn. Produksi dopamin yang banyak sering menandakan keganasan atau tumor yang besar. Angkakejadian feokromositoma di USA

1.

2. 3.

sangat bervariasi antara 0,05-0,17o dan sering pasien meninggal tanpa diduga karena feokromositoma, jadi

109

Hipertensi menetap atau yang paroksismal disertai sakit kepala, berdebar, dan berkeringat Hipertensi dan riwayat feokromositoma dalam keluarga Hipertensi yang refrakter terdapat obat terutama disertai

1098

GINJAL HIPERTENSI

feokromositoma sering ditemukan secara kebetulan secara CT scan ataupun MRI. Feokromositoma jarang sebagai penyebab hipertensi. tapi ia potensial fataL dtrring pregnanq:, angka kematian untuk ibu lJo/o dan janin 26Vo. Penyebab kematian ibu

berat badan menurun

4.

Sinus takikardia

5" Hipertensi ortostatik 6. Aritimiarekuren

l"

TipeMEN2atauMEN3

8. Krisis hipertensi yang teriadi selama

pembedahaan

9.

IVlempunyai respons kepada B-blocker

Ada beberapa kondisi terkait dengan feokromositoma: t. Neuroflbromatosis 2. Skelerosis fibrosis 3. SindromSturge-weber :1. Penyakit von Hippel-Lindau 5. MEN, tipe 2:

6.

paroksimal, palpitasi, diaforesis, sakit kepala perlu dievaluasi lebih lanjut dengan mengukur eksresi katekolamin urin. Bila ekskresi meningkat, CT Scan dan MRI perlu dilakukan untuk melokasi tumor. Ada beberapa yang menyarankan operasi pada trimester I dan II. atau sebagian diobati dulu, dan operasi dilakukan setelah pcrsalinan.

. . "

Feokromositoma Paratiroid adenoma Karsinoma tiroid medulla MEN, tipe 3: " Feokromositorna . Karsinoma medulla tiroid n Ncuroma mukosa

. .

adalah: edema paru, perdarahan otak, kolap kardiovaskular. Terapi dengan u, dan penyekat B akan mengurangi angka kematian ibu walaupun angka kenratian janin tetap tinggi. Perempuan dengan gejala hipertensr

anestesr

DIAGNOSIS

Gangliomaabdominalis Habitus marfanoid

Gejala lain dari kelebihan katekolamin dapat berupa pucat, hipotensi ortostatik , pandangan kabur, edema papil mata, trerat badan turun, poliuri; polidepsi, peningktan LED, hiperglikemia, gangguan psikiatri, kardiomiopati dilatasi, e;-itropoesis, karena kurzmg spesifiknya tanda dan gejala

serta hasil laboratorium yang sulit, sehingga

Berdasarkan keluhan dan -uejalzr klinls dan membutuhkan konfirrnasi laboratoriunr dengan mengukur katekolnmin darah atau urin atau hasil n'retabolitnl'a. Laboriltorillm yang khas adalah peningkatan kadar katekolamin 5-10 kali normal. Bila kadar katekoiamin tidak terlaiu tinggi.

belum tentu bukan feokromositoma. PerlLr dilakukan tes klonidin dimana akan terjadi penekanan kadar norefenefrin (menjadi normal). Untuk familial feokromositoma skrining

tes perlu dilakukan dengan pengukuran normetanefrin dan metanifrin plasma.

Alur Diagnosis Feokromositoma Kecur gaan

Yakin Urin 24 jam : Metanefrin, VMA, Katekolamine

Tinggi /12x katekolamin

Cek ulang atau cari sebab lain

Tumor (+)

Garnbar 1. Alur diagnosis feokromositoma

kadar

1099

FEOKROMOSITOI\IA

Selain tes supresi klonidin, ada tes provokasi lain yaitu tes regitin (fentolamin), dan tes stimulasi glukagon. Tes regitin berdasarkan atas dugaan kelebihan katekolamin,

sebaliknya tes glukagon mempunyai dasar stimulasi

glukagon, tetapi dapat meningkatkan risiko krisis hipertensi, sehingga kedua tes ini kurang populer. Bila ditemukan kadar laboratorium yang positif perlu dicari lokasi dengan melak-ukan pemeriksaan CT-Scan dari kelainan adrenal. Blla CT-Scan normal perlu dilakukan pemeriksaan lain yaitu: . Sampel dari vena besar yang selektif . Metaiodobenzyl guanidine scaning (MIBG) . Scan indium-labeled octreotide . Mengukur kadar metanefrin bebas dalam darah dan dibandingkan sample vena cava . Scan tomografi emisi positron Pada gagal ginjal, katekolamin darah dapat meningkat

2-3 kali sehingga mengganggu interpretasi. Harus diingat

bahwa kadar katekolamin yang meningkat dapat false

menimbulkan gejala klinis. Untuk jenis yang malignan, perlu reseksi yang agresif. Gejala perlu dikontrol dengan u dan p -blocker dan radiasi dilakukan untuk metastase ke tulang. Kemoterapi dengan siklosfosfamid, vinkristin dan dakarlazin perlu dipertimbangkan bila pembedahan tidak bisa dilakukan. Operasi tumor adalah pilihan terapi dan tingkat kesembuhan mencapai 907o.

PROGNOS!S

. . .

cukup balk(> 957o) lntuknon-feokromositoma malignan, sedangkan yang feokromositoma malignan 5 tahun

<5OVo.

Rekuren setelah operasi kurang feokromositoma

m

dai ljVo pada

non-

alignan.

Setelah operasi 757o pasien dapat bebas dari obat antihipertensi, sisanya 25Vo hany a membutuhkan minimal anti hipertensi.

negatif karena stres, atau karenapengaruh obat: amifetamin,

anti depresan, etanol, L-Dopa, withdrawl clonidin. Sebaliknya kadar katekolamin dapat normal padauin24

REFERENSI

jam pada paroksimal hipertensi bila saat normotensi.

TERAPI

Bila tumor sudah ditegakan dan dilokalisasi. pasien disiapkan untuk operasi. Persiapan sebelum operasi perlu dilakukan mengontrol tekanan darah, memakai o dan Bblocker. Operasi dapat dilakukan secara konvensial ataupun laparaskopi. Pasca operasi dapat terjadi hipotensi dan hipoglikemia. Umumnya terjadi penurunan tensi pasca operasi, namun pada beberapa kasus tensi tetap tinggi sehingga perlu obat anti hipertensi. Follow-up hants dilakukan sepanjang hidup karena tumor sisa sering

Feokromositoma

Sindrom Cushing

Klinis

:

Laboratorium

:

Hipertensi paroksimal Sakit kepala Berdebar-bedar Keringat

Plasma atau urin metanefrin

Obesites trunkel Kulit tipis Otot lemah

Plasma kortisol jam 8 pagi setelah 'l

Hipeftensi Lemah

mrnggu

Darah : hipokalemia Aldosteron Renin

Kanker adrenokorlison

Virilisasi / Feminisasi

l99l:266:829. Lenders JW, Pacak K, Walther

MM, et al. Biochemical diagnosis of

pheochromocytoma: which test is best? JAMA. 20O2;281:1421

Mann

SJ.

Severe

paroxysmal

.

hypertension

(Pseudopheochromocytoma). Arch Intern Med. 1999;159:670. Neumann HP, Pawlu C, Peczkowska M, et al. Distinct clinical features of paraganglioma syndromes associated with SDHB and SDHD gene mutations. JAMA. 2004;292:943. Neumann, HP, Berger, DP, Sigmund, G, et al. Pheochromocytomas, multiple endocrine neoplasia type 2, and von Hippel-Lindau disease. N Engl J Med. 1993;329:1531. Pacak K, Linehan WM, EiSenhofer G, et al. Recent advances in

genetics, diagnosis, localization, and treatment of

Deksametason waktu tidur Aldosteron pflmer

Bravo EL. Pheochromocytoma: new concepts and future trends. Kidney lnt. 199l'40:544. Dixit A. Pheochromocytoma Nephrology secret. [n: Hanley Belfus, editor. 1999. p. 1978. Dluhy RG. Pheochromocytoma-death of an axiom. N Engl J Med. 2002: 346:1486. Ganguly A, Grim CE, Weinberger MH, Henry DP. Rapid cyclic fluctations of blood pressure associated with an adrenal pheochromocytoma. Hypertension. 1984;6:281. Gifford RW Jr. Management of hypertensive crises. JAMA.

Plasma Dehidroefiand rosteron

Testoteron Estrogen

pheochromocytoma Ann Intern Med. 20011'134:315. Plouin PF, Chatellier G, Fofol"I, Corvol P. Tumor recurrence and hypertension persistence after successful pheochromocytoma operation. Hypertension. l99'l ;29:1133.

Stein PP, Black HR. A simplified diagnostic approach to pheochromocytoma. A review of the literature and report of one institution's experience. Medicine. 7991 ;'7 0:46.

Young WF, Kaplan NM. Diagnosis and treatment of pheochromocytoma

in adult, Up to Date. 2005.

t74 HIPERTENSI PADA KEHAMILAI{ Suhardjono

PENDAHULUAN Hipertensi pada kehamilan merupakan penyebab utama peningkatan morbiditas dan mortalitas matemal, janin, dan neonatus. Hal ini tidak hanya terjadi pada negara berkembang, tetapijuga negara maju. Perempuan hamil dengan hipertensi mempunyai risiko yang tinggi untuk komplikasi yang berat seperti abruptio plasenta, penyakit serebrovaskular, gagal organ, koagulasi intravaskular. Pada

penelitian observasi pasien hipertensi kronik yang ringan didapatkaq risiko kehamilan sebagai berikut: preeklampsia l0-257o, abruptio 0,7 -l,S%o,kelahirat prematur kurang dari 37 minggu 12-34%, dan hambatan pertumbuhan janin 816%. Risiko bertambah pada hipertensi kronik yang berat pada trimester pertama dengan didapatnya preeklampsia sampai 507o. Terhadap janin, hipertensi mengakibatkan risiko retardasi perkembangan intrauterin. prematuritas dan kematian inffauterin. Selain itu risiko hipertensi seperti

gagal jantung, ensefalopati, retinopati, perdarahan serebral, dan gagal ginjal akut dapat terjadi. Akan tetapi manfaat pengobatan hipertensi selama kehamilan tergantung pada beratnya penyakit. Secara fisiologis, tekanan darah mulai menurun pada trimester kedua, yang mencapairata-rata 15 mmHg lebih rendah dari tekanan darah sistolik sebelum hamil pada trimester ketiga. Penurunan ini terjadi baik pada yang normotensi maupun hipertensi kronik.

KLASIFIKASI H!PERTENS! PADA KEHAMILAN

hipertensi kronik; 4). Hipertensi gestasional atau hipertensi yang sesaat (de-novo).

DEFINISI Sampai saat ini masih belum ada keseragaman dalam hal definisi hipertensi pada kehamilan. Dapat berupa kenaikan tekanan darah pada trimester kedua, atau tekanan darah pada trimester yang sama dengan sebelum hamil. Akan tetapi saat ini dalam beberapa konsensus sudah menuju kesepakatan dalam banyak hal mengenai terminologi. Walaupun batasan hipertensi adalah tekanan darah 140/ 90 mmHg atau lebih, masih ada yang belum sepakat, oleh karena pemakaian batas tekanan darah ini mengakibatkan ada kelompok pasien preklampsia-eklampsia yang tidak masuk kriteria. Dalam hal pemakaian kdteria proteinuria lebih sulit lagi, mengingat pemeriksaan ini amat subyektif dan tidak terlalu tepat. Saat ini dianggap pemeriksaan uji celrp (dipstick test) merupakan pemeriksaan yang cukup baik untuk membedakan proteinuria atau tidak. 1. Preeklampsia adalah hipertensi (140/90 mmHg) dan proteinuria (>300 mg/24jam urin) yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu pada perempuan yang sebelumnya normotensi. 2. Hipertensi kronik didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg yang telah ada sebelum kehamilan, pada saatkehamilan 20 minggu yang bertahan sampai lebih dari 20 minggu pasca partus. 3. Preeklampsiapada hipertensi kronik, adalah hipertensi

Pada dasamya terdapat 4 jenis hipertensi yang umumnya

pada perempuan hamil yang kemudian mengalami proteinuria, atau pada yang sebelumnya sudah ada hipertensi dan proteinuria, adanya kenaikan mendadak tekanan darah atau proteinuria, trombositopenia, atau

terdapat pada saat kehamilan, yaitu: l). Preeklampsiaeklampsia atau disebut juga sebagai hipertensi yang diakibatkan kehamilan; 2). Hipertensi kronik Qtre ex i stin g hype rtens ion) ; 3). Preeklampsia pada (sup erimp o sed)

peningkatan enzi m hat i.

1100

1101

HIPERTENSI PADA KEHAMILAN

4. Hiperlensi

gestasional atau yang sesaat, dapat terjadi pada saat kehamilan 20 minggu tetapi tanpa proteinuria.

Pada perkembangannya dapat terjadi proteinuria

begitu tinggi, harus hati-hati, bila perlu, dilakukan pengurangan dosis. Tekanan darah yang terlalu rendah berisiko mengurangi perfusi utero-plasenta yang dapat

sehingga dianggap sebagai preeklampsia. Kemudian dapat juga keadaan ini berlanjut menjadi hipertensi

mengganggu perkembangan janin. Bukti penelitian manfaat pengobatan hipertensi ringan pada kehamilan

kronik.

masih belum meyakinkan karena jumlah kasus penelitian yang masih sedikit sehingga tak cukup memperlihatkan manfaat penurunan angka komplikasi obstetrik. Tekanan darah lebih dari 170 atau diastolik lebih dari

PEMERI KSAAN LABORATORIUM Selain pemantauan tekanan darah, diperlukan pemeriksaan laboratorium guna memantau perubahan dalam hematologi, ginjal dan hati, yang dapat mempengaruhi prognosis pasien dan janinnya. Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan untuk memantau pasien hipertensi pada kehamilan adalah Hb atau Ht untuk melihat kemungkinan hemokonsentrasi yang mendukung diagnosis hipertensi gestasional. Hitung trombosit yang amatrendah terdapatpada sindrom HELLP ( hemolysis, elevated liver enzyme levels and low platelet count). Pemeriksaan enzim AST, ALT, dan LDH untuk mengetahui keterlibatan hati, Urinalisis untuk mengetahui adanya proteinuria atau jumlah ekskresi protein dalam urin 24 jam. Kreatinin serum diperiksa untuk mengetahui fungsi ginjal, yang pada kehamilan umumnya kreatinin serum menurun. Asam urat perlu diperiksa karena kenaikkan asam urat biasanya dipakai sebagai tanda beratnya preeklampsia.

110 mmHg pada perempuan hamil harus dianggap kedaruratan medis dan dianjurkan dirawat di rumah sakit. Pada keadaan ini tekanan darah harus diturunkan sesegera mungkin.

Banyak yang tidak memberikan obat sampai batas

- 110 mmHg diastolik atau 160 mmHg sistolik, batas sering terjadinya komplikasi perdarahan otak. Walaupun pada beberapa keadaan batasan ini tidak begitu tepat, mengingat tekanan diastolik sebelumnyakurang dari 75 mmHg. Pada hipertensi gestasional (tanpa proteinuria) batas pemberian pengobatan umumnya adalah di atas 140 mmHg sistolik atau 80 mmHg diastolik. Pada yang dengan hipertensi dengan proteinuria atau terdapat keluhan atau dengan tanda kerusakan organ target (pada hipertensi kronik) pemberian obat dapat diberikan untuk mencapai tekanan darah yang normal. tekanan darah diastolik >105

Pemeriksaan EKG diperlukan pada hipertensi kronik, seperti

juga pada kehamilan tanpa hipertensi diperlukan pemeriksaan gula darah, dan kultur urin.

PENANGANAN HIPERTENSI PADA KEHAMILAN

Penanganan Non-farmakologis

Obat-obat Antih ipertensi Ada 2 macam obat hiperlensi, pada keadaan yang akut atau darurat biasanya diperlukan pengobatan parenteral atau oral. Obat-obat injeksi antara lain; injeksi intra venal

abetalol, hidralazin, dan antagonis kalsium. Obat antihipertensi yang dapat atau tidak boleh dipakai dapat dilihat pada Tabel 1.

Pada preeklampsia, hipertensi kembali menjadi normal

setelah melahirkan. Akan tetapi bagi janin. kelahiran sebelum waktunya Qtretetm) tidak menguntungkan. Untuk itu walaupun berisiko, penatalaksanaan konservatif dipilih, menunggu agar janin dapat dilahirkan dalamkeadaan yang

lebihbaik. Pada kisaran tekanan darah sistolik 140-160 atau diastolik 90-99 mmHg dapat dilakukan pengobatan non

farmakologik. Perawatan singkat dilakukan untuk diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan preeklampsia. Penanganan tergantung pada keadaan klinik, beratnya hipertensi, umur kehamilan dan risiko ibu serta janinnya.

Agonis Alfa sentral

Metildopa, obat pilihan

Penghambat Beta

Atenolol dan metoprolol aman dan efektif pada kehamilan trimester akhir Labetalol, efektif seperti metitdopa, pada kegawatan dapat diberi intra vena

Penghambat Alfa dan Beta Antagonis Kalsium

Nifedipin oral, isradipin i.v dapat dipakai pada kedaruratan hipertensi

lnhibitor ACE dan Antagonis Angiotensin Diuretik

Kontra indikasi, dapat mengakibatkan kematian janin atau abnormalitas

Vasodilator

Hydralazine tak dianjurkan lagi mengingat efek perinatal

Dapat berupa pengawasan yang ketat, pembatasan aktivitas fisik, tirah baring miring ke kiri. Dalam keadaan ini dianjurkan diet normal tanpa pembatasan garam.

Pemberian Obat Antihipertensi Pada hipertensi kronik yang hamil dengan tekanan darah

yang tinggi, pengobatan sebelumya dianjurkan untuk diteruskan. Akan tetapi pada tekanan darah yang tidak

Direkomendasikan apabila telah dipakai sebelum kehamilan Tidak direkomendasikan pada preeklampsia

Metildopa 250 mg 2 kali sehari, dapat dinaikkan sampai maksimal 4 gram sehari. Labetalol 100 mg2kali sehari, maksimum 2400 mg sehari. Atenolol, penghambat beta yang

1to2

GINJAL HIPERTENSI

tak mempunyai ef'ek penghambat alfa, berkaitan dengan penurunan aliran darah plasenta danjanin pada kelahiran

Selain dapat meneruskan pengobatan yang dipakai selama kehamilannya, pada perempuan yang tidak

apabila diberikan mulai dari awal kehamilan. Labetalol yang

menyusui bayi dapat diberikan golongan obat penghambat ACE, penyekatbeta, dan antagonis kalsium. Diuretikyang diberi pada keadaan hipervolemia, dengan edema, selama beberapa hari dapat menurunkan tekanan darah menjadi normal kembali. Tekanan darah dalam keadaan ini harus dipantau agar tidak mengalami keadaan hipotensi. Apabila tekanan darah sebelum kehamilan normal, setelah 3 minggu pasca partus obat hipertensi dapat dihentikan dengan pengawasan lebih lanjut untuk mengetahui kemungkinan peningkatan tekanan darah kembali. Semua obat antihipertensi akan masuk dalam air susu ibu (ASI). Padaperempuan yang menyusui, obat golongan penghambat reseptor beta dan penghambat kalsium cukup

mempunyai efek penghambat alfa dan beta dapat mempertahankan aliran darah utero-plasenta dalarn keadann yang rnaksimal.

Obat penghambat beta untuk pengobatan hipertensi ringan meningkatkan risiko mendapatkan bayi yang lebih kecil (dengan risiko relatif 1,35, pada interval kepercayaan 957o (1,02-1.82), risiko yang tidak lebih besar dibanding obat hipertensi yang lain.

Semakin banyak pengalaman yang didapat dari golongan obat antagonis kalsium yang terbukti cukup Nifedipin kerja panjang (dosis maksimum 120 mgftrari) dan golongan nondihidropiridin verapamil dapat diberikan. FDA tidak menerima nifedipin kerja cepat sebagai pengobatan hipertensi darurat dan pemberian sub lingual karena terbukti menurunkan tekanan aman dipakai pada kehamilan.

darah berlebihan.

Dari penelitian mengenai pengobatan hipertensi pada

kehamilan didapat kesimpulan bahwa pemilihan antihipertensi seharusnya tergantung dari pengalaman dan pengetahuan dari dokter yang mengobati, dalam hal efek obat terhadap ibu danjaninnya.

aman walaupun obat tersebut masuk ke air susu ibu. Labetalol dan propranolol tidak dikonsentrasi dalam ASI sehingga lebih dianjurkan dipakai dibanding penghambat beta yang lain. Bila ada indikasi kontra pilihan lain adalah penghambat kalsium. Inhibitor ACE dan antagonis reseptor angiotensin umumnya dihindari pada ibu yang menyusui, akan tetapi setelah masa neonatus dapat dipertimbangkan. Diuretika sebaiknya dihindari mengingat obat ini dapat mengurangi

volumeASI.

Target Tekanan Darah Walaupun penelitian klinik belum membuktikan seberapa

besar penurunan tekanan darah yang optimal, banyak yang menganjurkan target tekanan darah sistolik 140-150 dan diastolik 90-100 mmHg. Pada perempuan hamil yang telah mempunyai gangguan organ target, tekanan darah dianjurkan diturunkan kurang dari 140/90 mmHg sampai mencapai 120 dan 80 mmHg. Dari penelitian yang telah dilakukan belum ada bukti yangjelas apakah keuntungan

dari penurunan tekanan darah sampai normal, 120/80 mmHg, bagi ibu dan janinnya.

Hipertensi Pasca Partus dan lbu yang Menyusui Data mengenai hal ini terbatas. Pada umumnya setelah partus terdapat kenaikan tekanan darah pada perempuan yang tidak hipertensi sebesar 6 mmHg sistolik dan 4 mmHg diastolik. Pada preeklampsia tekanan darah secara spontan membaik dalam waktu beberapa minggu, rata-rata 16t9,5 han dan sudah membaik dalam waktu 12 minggu. Hipertensi yang ringan yang masih bertahan sesudah waktu ini harus dievaluasi lebih lanjut.

REFERENSI August P. Treatment of hypertension in pregnancy. In: Rose BD, editor. UpToDate 13.i, 2005. Chobanian AY Bakris GL. Black HR, et al. The seventh report of the Joint National Committee on prevention. detection. evaluation, and treatment of high blood pressure: the JNC 7 report. JAMA. 2003 ;289(19):2560-7 2. C(fkovri R. Hypertension in pregnancy: recommendations for diagnosis and treatment. European Society of Hypertension Scientific Newsletter. Update on hypertension management. 2004;5:2. Guidelines Committee. 2003 European Society of HypertensionEuropean Society of Cardiology guidelines for the management of arterial hypertension. J Hypertens. 2003;21:1011-53. Sibai BM. Diagnosis ard management of gestational hypertension and preeclampsia. Obstet Gynecol. 2003;102: l8l. Witliams B, Poulter NR, Brown MJ, et al. British hypertension society guidelines. Guidelines for management of .hypertension: repofl of the fourth working party of the British Hypertension Society, 2004-BHS IV. J Hum Hypertens. 2004;18:139-85.

175 KRISIS HIPERTENSI Jose Roesma

Prevalensi rata-raIa 1-5 7o penduduk dewasa tergantung dari kesadaran pasien akan adanya hipertensi dan derajat kepatuhan makan obat. Sering pasien tak menyadari dirinya adalah pasien hipertensi atau takteratur/berhenti makan obat'

PENDAHULUAN Krisis Hipertensi merupakan suatu keadaan klinis yang ditandai oleh tekanan darah yang sangat tinggi dengan kemungkinan akan timbulnya atau telah terjadi kelainan organ target. Pada umumnya krisis hipertensi terjadi pada pasien hipertensi yang tidak atau lalai memakan obat antihipertensi.

GEJALA Hipertensi klsis umumnya adalah gejala organ target yang te.garggr,'di antaranya nyeri dada dan sesak napas pada gangguan jantung dan diseksi aorta; mata kabur pada

Krisis hipertensi meliputi dua kelompok yaitu: Hipertensi darurat (emergency hypertension): di mana selain tekanan darah yang sangat tinggi terdapat kelainan/ kerusakan target organ yang bersifat progresif, sehingga tekanan darah harus diturunkan dengan segera (dalam menit sampai jam) agar dapat mencegah/membatasi kerusakan target organ yang terjadi.

edema papila mata; sakit kepala hebat, gangguan kesadaran dan lateralisasi pada gangguan otak; gagal ginjal akut pada gangguan ginjal; di samping sakit kepala dan nyeri tengkuk pada kenaikkan tekanan darah pada umumnya. Diagnosis ditegakkan berdasarkan tingginya tekanan darah, gejala dan tanda keterlibatan organ

Hipertensi mendesak (urgency hyperten,sion): di mana terdapat tekanan darah yang sangat tinggi tetapi tidak

target.

fisik, data laboratorium ikut membantu diagnosis dan perencanaan. Urin dapat

disertai kelainan/kerusakan organ target yang progresif, sehingga penurunan tekanan darah dapat dilaksanakan lebih lambat (dalam hitungan jam sampai hari).

Selain pemeriksaan

menunjukkan proteinuria, hematuri dan silinder. Hal ini terjadi karena tingginya tekanan darahjuga menandakan

Pada umumnya krisis hipertensi ditemukan di poliklinik gawat darurat rumah sakit dan kadang-kadang merupakan jumlah yang cukup menyolok pada poliklinik gawat darurat di bagian penyakit dalam, walaupun keluhan utamanya

keterlibatan ginjal apalagi bila ureum dan kreatinin meningkat.Gangguan elektrolit bisa terjadi pada hipertensi sekunder dan berpotensi menimbulkan antmra.

berbeda-beda.

Tekanan . darah

FUNOUSKODI

status

.

Neurologt

>2201140 perdarahan

sakitkepala,

mm Hg

kacau

eksudat edema papilla

Jantuno denYUt.jelas,

gangguan

membesar

kesadaran,

dekomPensasi

kejang,

oliguria

lateralisasi

110

Ginjal

Gastrointestinal

uremia

mual, muntah

proteinuria

tt04

GINJAL HIPERTENSI

Pemeriksaan penunjang seperti elektrokardiografi (EKG) untuk melihat adanya hipertrofi ventrikel kiri ataupun gangguan koroner serta ultrasonografi (USG) untuk melihat struktur ginjal dilaksanakan sesuai kondisi klinis pasien. Gambaran klinik hipertensi darurat dapat dilihat pada Thbel 1.

PENGOBATAN

Kelompok

Mendesak

Tekanan darah

>1

80/1 1 0

Ge;ala

tidak ada, kadangkadang sakit kepala gelisah

sakit kepala hebat, sesak napas

sesak napas, nyeri dada, kacau, gangguan kesadaran

Pem Fisik

organ target taa

gangguan organ target

ensefalofati, edema paru, gangguan fungsi ginjal, CVA, iskemia jantung

Pengobatan

awasi 1 -3 jam mulai/teruskan obat oral, naikkan dosis

awasi 3-6 jam, obat oral berjangka kerja pendek

pasang jalur intravena, periksa laboratorium standar, terapi obat intravena

Rencana

periksa ulang dalam 3 hari

Periksa ulang

rawat ruangan/lCU

Pengobatan hipertensi mendesak cukup dengan obat oral yang bekerja cepat sehingga menurunkan tekanan darah dalam beberapa jam.

Di Indonesia banyak dipakai seperti pada Tabel 2. Pengobatan hipertensi darurat memerlukan obat yang segera menurunkan tekanan darah dalam menit-jam sehingga umumnya bersifat parenteral. Di Indonesia banyak dipakai seperti pada Tabel 3. Untuk memudahkan

>220t140

>'180/110

dalam24 jam

penilaian dan tindakan dibuat bagan seperti yang tercantum pada Tabel 4.

Data-data dari krisis hipertensi

obat

Dos

Nifedipin

diulang 15 menit

5-1 5

diulang/

jam

s

Efek

Lama Kerja

Perhatian Khusus

4-6

jam

gangguan koroner

1 5-30 menit

6-8

jam

stenosis a renalis

diulang/ jam

30-60 menit

8-16

Propanolol diulang/

1 5-30 menit

mg Kaptopril 12 5-25

5-10

112

menit

ini

berasal dari

pengalaman klinik berbagai pusat rujukan dan bukan evidence basedkarcna sedikitnya jumlah kasus dan sulit melaksanakan suatu studi tersamar ganda, sehingga kepustakaan umumnya merupakan pendapat para ahli berdasarkan pengalamannya masing-masing.

m9

Klonidin 75-'150 ug 10-40

mg

112

obat Klonidin lV '150 ug

jam

Dos

s

per cc

6 amp 250

jam

lvlulut kering,

ngantuk

3-6jam

Bronkokonstriksi, Blok jantung

Efek f"T" l(erla 30-60 menit

24jam

Glukosa 5% mikrodrip Nitrogliserin IV

Nikardipin IV

Diltiazem lV

10-50u9

2-5 menit

00ug/cc per 500 cc

1-5menit

ug/kg/menit

5-15

ensefalopati dengan gangguan koroner

5-1 0

menit

1

0,5-6

Perhatian khusus

1 5-30 menit

sama

ug/kg/menit lalu sama 1 -5 ug/kg/ menit Nitroprusid

0,25 ug/kgi menit

Langsung

2-3 menil

selang infus lapis perak

REFERENSI Kaplan NK. Hypertensive crises In: Kaplan's clinical hypertension. 8th edition- Lipincott Williams & Wilkins: 2002 Roesma J. Krisis hipertensi. In: Simposium kedaruratan klinik. 2002. Mdt D Hypertensive crises: emergencies and urgencies: clev clinic med. 2003.

Related Documents


More Documents from "mayuintan"

Ginjal Hipertensi
February 2021 2