Loading documents preview...
IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE OLEH PENYIDIK SATUAN RESERSE KRIMINAL POLRES DEMAK GUNA MEWUJUDKAN KEADILAN YANG SUBSTANSIF DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM YANG PROFESIONAL
I.
PENDAHULUAN 1.
Latar Belakang Indonesia adalah Negara yang berdasar atas hukum, sesuai pasal 13 Undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia salah satunya adalah menegakkan hukum, akhir-akhir ini banyak muncul peristiwa hukum yang menjadi polemik dan mendapatkan perhatian besar dari masyarakat khususnya penegakan hokum yang dilakukan oleh Polri. Beberapa perkara yang mendapat perhatian publik atau pemberitaan secara meluas, telah menimbulkan kritik dan protes terhadap Polri, misalnya perkara Rasjo seorang kakek berusia 77 tahun yang mencuri sabun mandi, pencurian tiga biji kakao oleh Mbok Minah, pencurian dua kilogram kapuk, pencurian dua buah semangka, pencurian sepasang sandal, dan juga terjadi di wilayah Kabupaten X dimana beberapa kasus yang seharusnya dapat di selesaikan di tingkat penyidikan harus di bawa ke ranah sidang pengadilan,diantaranya adalah kasus yang dilakukan oleh Toni Baryono,22 tahun dia diproses sampai sidang pengadilan karena telah mencuri uang sebesar Rp. 50.000,00 milik korban Juni Purniantoro, Pekerjaan Guru, 45 Tahun, Suhadi bin Mustakim telah mencuri uang RP 8.000,00 beserta dompet milik korban Rohadi usia 45 Tahun di depan RM Sahara (Jl. Raya Demak-Semarang) dan masih banyak kasus lain yang nilai nominal kerugian yang sangat kecil yang sebenarnya dapat di selesaikan secara informal, namun demikian di mana kasus tersebut oleh penyidik Satuan Reskrim Polres X di lanjutkan sampai proses sidang pengadilan. Agenda reformasi penegakan hukum khususnya dalam Reformasi Birokrasi Polri yang menjadi tuntutan masyarakat adalah bagaimana pelayanan prima kepada masyarakat dengan melakukan penegakan hokum yang professional dengan terpenuhinya rasa keadilan ditengah masyarakat, tentunya rasa keadilan yang substansif yang tidak hanya keadilan yang bersifat prosedural saja. Keadilan adalah 1
inti atau hakikat hukum. keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP, misalnya pidana penjara 15 tahun, 5 tahun, 7 tahun dan seterusnya. Polri dalam menjalankan tugasnya khususnya dalam melakukan penegakan hukum sebaiknya memperhatikan berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat dan tidak hanya berdasarkan azas legalitas semata akan tetapi juga mempertimbangkan azas legitimasi dalam bentuk kearifan lokal dan situasional. Hal ini didasarkan kepada fenomena perkembangan situasi masyarakat saat ini, khususnya berkaitan dengan kegiatan penegakan hukum dimana sebagian masyarakat tidak puas terhadap mekanisme penegakan hukum maupun proses peradilan pidana yang dilakukan oleh para penegak hukum dan menghendaki agar tindakan pelanggaran hukum terutama yang bersifat ringan dapat diselesaikan diluar proses peradilan pidana yang melibatkan korban, pelaku, keluarga baik korban maupun pelaku serta melibatkan tokoh masyarakat setempat dengan memperhatikan dan mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat dan kepentingan umum. Proses melalui musyawarah untuk mufakat dengan mengedepankan semangat kekeluargaan sering dikenal dengan istilah Restorative Justice. Pendekatan Restorative Justice merupakan suatu paradigma yang dapat dipakai sebagai bingkai dari strategi penanganan perkara pidana yang bertujuan menjawab ketidakpuasan masyarakat khususnya kepada polri atas bekerjanya sistem peradilan pidana yang ada saat ini. Dengan Restorative justice oleh penyidik satuan reserse kriminal Polres Demak di harapkan dapat mewujudkan penegakan hukum yang profesional yang mampu menjawab tantangan masa depan, sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat sehingga kepercayaan masyarakat kepada polri akan meningkat.
Menyimak dari uraian tersebut diatas maka Naskah ini disusun dengan judul “IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE OLEH PENYIDIK SATUAN RESERSE KRIMINAL POLRES X GUNA MEWUJUDKAN KEADILAN YANG SUBSTANSIF DALAM RANGKA PENEGAKAN HUKUM YANG PROFESIONAL”. 2
2.
Permasalahan dan Persoalan a.
Permasalahan Dari latar belakang tersebut diatas maka timbul suatu permasalahan yaitu “Bagaimana Implementasi Restorative Justice oleh penyidik satuan reskrim polres X guna mewujudkan keadilan yang substansif dalam rangka penegakan hukum yang professional?”.
b. Persoalan 1)
Bagaimana Implementasi Restorative Justice oleh penyidik satuan reserse kriminal polres X dalam penanganan tindak pidana di tingkat Polres saat ini ?
2)
Apa faktor-faktor yang mempengaruhi ?
3)
Bagaimana Implementasi Restorative Justice oleh penyidik satuan reserse polres X dalam penanganan tindak pidana yang diharapkan ?
4)
Bagaimana upaya peningkatan Implementasi Restorative Justice oleh penyidik satuan reserse polres X dalam penanganan tindak pidana di tingkat Polres ?
3.
Ruang Lingkup Ruang lingkup penulisan Naskah Karya Perorangan ini dibatasi pada hal-hal yang berkaitan dengan Implementasi Restorative Justice baik dalam tahap penyelidikan maupun penyidikan di satuan reserse kriminal polres X kecuali penyelidikan maupun penyidikan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum yang diantaranya membahas hal-hal yang menyangkut tentang latar belakang, , implementasi dan mekanisme penyelesaian perkara dengan Restorative Justice. syarat-syarat formil dan materiil , Kendala-kendala apa saja yang dihadapi oleh penyidik Satuan Reskrim Polres
X, serta upaya peningkatan
penerapan implementasi keadilan restorative (Restorative Justice) dalam penanganan tindak pidana yang berlandaskan keadilan substansif. 3
4.
Maksud dan Tujuan a.
Maksud Penulisan Naskah Karya Perorangan ini dimaksudkan sebagai bahan ujian persyaratan pendidikan Sespimmen dan sebagai pertimbangan serta masukan bagi pimpinan di tingkat polres dan polda mengenai Penyelesaian Perkara Pidana melalui Restorative Justice yang dimaksudkan sebagai aktualisasi dari legitimasi hukum yang berkembang ditengah masyarakat dalam menyelesaikan perkara tindak pidana yang terjadi di tengah-tengah masyarakat di luar proses pengadilan, dengan tetap memperhatikan rasa keadilan masyarakat dalam rangka rasa keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum .
b. Tujuan Penulisan Naskah Karya Perorangan ini bertujuan : 1. Untuk memperdalam pemahaman mengenai Restorative Justice system, sehingga kita bisa membandingkan mana yang lebih efektif antara mekanisme yang sekarang dianut pada umumnya (retributive justice) dengan Restorative Justice system. 2. Mencari kelemahan mekanisme peradilan yang sekarang dianut oleh Penyidik pada umumnya, sehingga bisa dilakukan koreksi. 3. Menambah kepustakaan mengenai permasalan dalam bidang hukum dan penyelesaiannya. 4. Untuk mencoba memecahkan permasalahan hukum yang berkembang di masyarakat. 5. Memberikan pemahaman mengenai Penerapan Restorative Justice kepada para pembaca.
4
5.
Metode dan Pendekatan a.
Metode Metode yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode deskriptif analysis, yaitu suatu proses penulisan dengan menggambarkan kondisi riil di lapangan kemudian dikaji dengan menggunakan teori yang relevan guna menemukan solusinya.
b.
Pendekatan Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu mengumpulkan fakta, data dan informasi untuk penulisan melalui studi kepustakaan seperti, makalah, majalah, pendapat pakar maupun dari sumber-sumber kepustakaan lain yang dianggap relevan dengan kajian permasalahan.
6.
7.
Tata Urut BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
LANDASAN TEORI
BAB III
KONDISI FAKTUAL
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
BAB V
KONDISI YANG DIHARAPKAN
BAB VI
LANGKAH-LANGKAH PEMECAHAN MASALAH
BAB VII
PENUTUP
Azas – Azas a.
Azas Legalitas
b.
Azas Opportunitas
c.
Azas Subsidaritas
d.
Azas Necesitas
e.
Azas Ultimum Remidium
f.
Azas Manfaat
g.
Azas Keseimbangan
h.
Azas Kepatutan
i.
Azas Keadilan 5
8.
Pengertian-pengertian Untuk menghindari kesalahan penafsiran akan arti dari pada judul, maka penulis akan memberikan definisi dari pada judul yaitu : a.
Implementasi Adalah model penerapan teori, ajaran, petunjuk atau tehnik dalam pelaksanaan atau praktek. (Kamus Populer Kepolisian: 2005 halaman 95).
b.
Restorative Justice Adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersamasama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan.(Tonny F. Marshall)
c.
Penyidik Adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang undang untuk melakukan penyidikan. (uu no 2 th 2002 ttg POLRI).
d. Satuan reserse kriminal Adalah bertugas membina fungsi dan menyelenggarakan kegiatankegiatan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana termasuk fungsi identifikasi dalam rangka penegakan hukum ,koordinasi dan op erasional dan administrasi penyidikan PPNS sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku. e.
Polres Adalah satuan operasional dasar dibawah Polda dan berwujud satuan kerja dengan dilengkapi fungsi-fungsi operasional dan bertanggung jawab kepada Kapolda. (Skep Kapolri No. Pol. : Skep/588 /VII/2005).
6
f.
Keadilan substansif Adalah keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan substansif ,dengan tidak melihat kesalahan-kesalahan dalam proses prosedural yang tidak terpengaruh pada hak-hak substansif penggugat.(Black’s law dictionary)
g.
Penegakan hukum Proses diberlakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Prof.Dr. Jimmly Assiddiqie)
h. Profesional Berasal dari kata profesi yang artinya sebagai suatu pekerjaan yang memerlukan pendidikan lanjut di dalam science dan teknologi yang digunakan sebagai
perangkat
dasar
untuk
diimplementasikan
dalam
berbagai
kegiatan.(syafrudin nurdin)
II.
LANDASAN TEORI 1)
Sociological Jurisprudence, salah satu tokoh dari aliran ini adalah Ehrlich, menurutnya pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tetapi dalam masyarakat sendiri. Dalam aliran ini, yang mempunyai peranan adalah “Living law”, yaitu hukum yang hidup dalam masyarakat.
2)
Hukum Progressif oleh prof Satjipto Raharjo mengatakan bahwa Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, 7
empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan. 3)
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 : a) Pasal 18 ayat 2 (amandemen kedua) : Dalam pasal ini mengatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hakhak tradisionalnya sepanjang masih dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang. b) Pasal 24 (1) (Amandemen Ketiga) : Dalam pasal ini menjelaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan
kekuasaan
yang merdeka
untuk
menyelengarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. c) Pasal 28D (Amandemen Kedua) : Dalam pasal ini menjelaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan
kekuasaan
yang merdeka
untuk
menyelengarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
4)
Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi organisasi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weeknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian perencana strategis harus menganalisis faktor-faktor strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) dalam kondisi yang ada saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis
8
Situasi. Model yang paling populer untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT.
B. KONDISI FAKTUAL 1.
Kondisi wilayah Polres X a.
Letak geografi daerah.
b.
Wilayah Kab.Demak merupakan daearah Hukum Polres Demak terletak diantara 6 ° 43´ 26¨ – 7° 09´ 43¨ lintang selatan dan 110° 48´ 47¨ bujur timur. Batas Wilayah Batas Wilayah kabupaten Demak adalah : 1) Sebelah Utara : Kab. Jepara dan Laut Jawa.
c.
d.
2)
Sebelah Barat
: Kodya Semarang.
3)
Sebelah Selatan
: Kab.Grobogan dan Kab.Semarang
4)
Sebelah Timur
: Kab.Kudus dan Kab.Grobogan.
Jarak Jauh 1) Barat Ke timut
: 49 Km
2) Utara ke Selatan
: 41 Km
Luas daerah Kabupaten Demak dengan luas Wilayah 89.743 Ha, yang sebagian besar terdiri atas lahan persawahan yang mencapai luas 50.760 Ha atau 56,56 % dan selebihnya adalah lahan kering, adapun perincian lahan sawah adalah sebagai berikut : 1) Lahan Persawahan berpengairan tehnis : 39,23 % 2) Lahan Persawahan tadah hujan : 33,55 % 3) Lahan Persawahan setengah tehnis & sederhana : 21,49 % Lahan kering sebanyak 34,13 % digunakan untuk : 1) Lahan Tegal / Kebun 2) Bangunan, dan halaman
9
: 29,87 % : 18,61 %
2.
Situasi Kesatuan a.
Personel Kekuatan personel Polres X 1) Jumlah personil Polres X : 747 Orang NO
KEPANGKATAN
DSPP
RIIL
1
Pamen
6
2
Pama
54
3
Bintara/brigadier
687
4
PNS
28
KET
2) Jumlah personil Sat Reskrim Polres X :128 Orang NO
KEPANGKATAN
DSPP
RIIL
1
Perwira
3
2
Bintara
50
3
PNS
1
KET
Jumlah seluruh personil Reskrim Polres X dan Polsek Jajaran NO
KEPANGKATAN
DSPP
RIIL
1
Perwira
4
2
Bintara
95
3
PNS
1
KET
3) Anggota Sat Reskrim Polres X NO
1
PENDIDIKAN
JML PERS
S2
S1
D3
SMA
54
1
14
1
38
KET
10
Anggota Unit Reskrim Polsek Jajaran Polres X NO
PENDIDIKAN
JML PERS
S2
S1
D3
SMA
63
1
10
-
52
1
KET
4) Data Personil Sat Reskrim Polres X Berdasar Dikjur DIK JUR NO
1
JML PERS
54
ILLEGAL
ILLEGAL
ILLEGAL
LOGING
MINING
FISING
CYBER CRIME
1
1
1
1
JML
PID KOR
IDENT
2
2
PID KOR
IDENT
-
-
-
8
Data Personil Sat Reskrim Polres X Berdasar Dikjur DIK JUR NO
1
JML PERS
ILLEGAL
ILLEGAL
ILLEGAL
LOGING
MINING
FISING
CYBER CRIM
-
-
-
-
63
JML
5) Data Personil Sat Reskrim Polres X Yang Mengikuti Seminar SEMINAR NO
1
JML PERS
54
GAK KUM 5
CYBER CRIM
GUL PID KOR
KEJAH TRAN NAS
JML
CJS
PEREMP & ANAK
2
2
3
5
5
22
11
Data Personil Unit Reskrim Polsek Jajaran Polres X Yang Mengikuti Seminar SEMINAR JML PERS
NO
1
63 b.
NO
TAHUN
GAK KUM
CJS
23
2
PEREMP & ANAK
CYBER CRIM
4
3
JML
PID KOR
KEJAH TRAN NAS
1
2
35
GUL
Data Perkara Ringan Dengan Kerugian Material Dibawah Seratus Ribu Rupiah Tahun 2007 S/D 2011 Sat Reskrim Polres X. NO. TGL LP & PASAL
TKP
KORBAN
TERSANGKA
KERUGIAN
PROSES
Jl. Kenanga enam No.62 Wiku II Katonsari Demak
Juni Purnianto, Guru, 45Th, Jl. Kenanga enam No.62 Wiku II Katonsari Demak
Toni Baryono, Swasta, 22Th, Kel.Banjardo wo Genuk Smrg
Uang tunai Rp.50.000,00
Tahap II
Depan Pasar Bintoro Demak
Ismiati, Swasta, 35Th, Ds.Tempuran Rt.01/02 Kota Demak
M.Khasan, 21Th, Swasta, Ds.Tambakjo yo Rt.01/02 Wedung Dmk
1 unit Spd Ontel merk Phoenix seharga Rp.100.000,0 0
Tahap II
3
LP/43/II/2007/Jat eng/Res Demak, 10/02/2007 53 Jo 362 KUHP
Ds.Katonsari Kota Demak
Sholikul Ulum, 22Th, Ds.Tangkis Rt.4/3 Guntur Demak
Rusak jendela senilai Rp.50.000,00
Tahap II
4
LP/56/II/2007/Jat eng/Res Demak, 16/02/2007 362 KUHP
Ruang RSI NU Demak
Jumiah, 40Th, Swasta Ds.Gemulak 2/3 Sayung Demak
Uang senilai Rp.10.000,00
Tahap II
5
LP/62/II/2007/Jat eng/Res Demak, 23/02/2007 362 KUHP
Panti Asuhan Pamardi Putra Demak, Jl.Sunan Kalijaga 46 Demak
Sumardi, Swasta, Jl.Sunan Kalijaga Demak
Uang senilai Rp. 5.000,00
Tahap II
Kalicilik Rt.02/01 Demak
Hj.Siti Masrifah, PNS, 45Th, Ds.Kalicilik Rt.02/01 Demak
Uang senilai Rp.10.000,00
Tahap II
2007 JANUARI
1
LP/21/I/2007/Jate ng/Res Dmk, 18/01/2007 362 KUHP
2
LP/28/I/2007/Jate ng/Res Demak, 29/01/2007 362 KUHP FEBRUARI
28Th,
46
Imam Sulistyo dkk, 23Th, Swasta, Ds.Sidokerto Rt.2/6 Kota Pati Abdul Kholik. 22Th, Swasta, Ds.Wonokerto ½ Kr.tengah Demak Kobul Ikrom, 21 Th, Ds.Sumberrej o Karangrayung Grobogan
MARET LP/75/III/2007/Jat eng/Res Demak, 05/03/2007 362 KUHP
6
AGUSTUS
12
Nur Rokhim, 19Th, Swasta, Dk.Ganem Ds.Tugu Kec.Sayung Demak
KET
RONI MANTORO, 29Th, Swasta, Ds.Sidogemah Sayung Demak
HADI KUSNAN, 23Th, Swasta, Kauman Kec.Babat Grobogan
Rohadi,45 Th,Ds.Gro gol 3/3 Kr.tengah Demak
Suhadi Bin Mustakim,22 Th,Swasta,Ds. Jatimulyo Bng Demak
Dompet,KTP, uang Rp.8.000,00
Tahap II
362 KUHP
Jl.Raya Demak – Semarang (depan RM Sahara)
LP/09/IV/2008/Se k Guntur 24/04/2008
Ds.Bogosari Kec.Guntur Demak
Nur Salim,60 Th,Ds.Bogosari Kec.Guntur Demak
Rohmad,33 Th,Swas ta,Ds.Temuros o 3/6 Guntur Demak
Sepeda angin senilai Rp.60.000,00
Tahap II
Ds.Pundenarum Kec.Kr. Awen Demak
Supardi,39 Th,Swasta,Ds.P undenarum Kr.awen Demak
Samsuri,27 Th,Swas ta,Ds.Pundena run Kr.awen Demak
Pisang senilai Rp.40.000,00
Tahap II
Area persawahan Dk.lengkong Sayung Demak
Hasyim Bin Syafi’i,74 Th,Tani Dk.Lengkong Sayung Demak
Joko Pramono,33 Th,Swasta,Kel .Penggaron 4/2 Genuk Semarang
Uang senilai Rp.65.000,00
Tahap II
LP/99/VIII/2008/J ateng/Res Demak
Pasar Sayung Demak
Surahmi,40 Th,Swasta,Dk.S ayung Tempe 1/4 Sayung
Kafid Bin Yahya,26 Th,Swasta,Ds. Kudu Genuk Semarang
Tahap II
LP/A/03/VIII/200 8/Sek Dmk Kota 15/08/2008
Parkiran Masjid Agung Demak
Susandi,23 Th,POLRI,Aspo lres Demak
As’ad Bin Sunari,20 Th,Swasta,Ds. Babalan 1/8 Wedung Dmk
Tas Warna biru berisi 1 sarung dan tutup botol Sprite senilai Rp.20.000,00 1Buah Helm Kerugian Rp.100.000,0 0
Ds.Karangsari kec.Kr.tengah Demak
Ulfah Binti Muhson,28 Th,Swasta,Ds.K arangsari Kec.Kr.tengah Demak
Sugiarti,42 Th,Tani, ds.Tipuran 9/7 Kec.Kadipuro Bantul
Uang Senilai Rp.75.000,00
Tahap II
Ds.Purwosari Kec.sayung Demak
Sohib,53 Th,Swasta,Ds.P urwosari 1/2 Kec.Sayung Demak
Sepeda Angin senilai Rp.200.000,0 0
Tahap II
Toko
Andy
Mardi Bin Kartoyo,37 Th,buruh,Kel. Karangayu Semarang Barat Arnold Bin
3 Pres Rokok
Tahap II
LP/49/VIII/2007/J ateng/Res Dmk/Sek Syg, 05/08/2007 362 KUHP
7
Ds.Sidogemah ½ Sayung Demak
Pakaian jemuran senilai Rp.100.000,0 0
Tahap II
2008 FEBRUARI LP/55/II/2008/Jat eng/Res Demak
8
APRIL 9
362KUHP MEI LP/16/V/2008/Se k Karangawen 5/05/2008
10
362 KUHP JULI LP/88/VII/2008/S ek Sayung 14/07/2008
11
362 KUHP AGUSTUS 12
13
362 KUHP
Tahap II
NOVEMB LP/22/XI/2008/Se k Karangtengah 18/ XI/2008
14
362 KUHP 2009 JANUARI 15
LP/04/I/2009/Sek Sayung 13/01/2009 362 KUHP LP/07/I/2009/Sek
Rizki
13
16
Mranggen 19/01/2009
Kel.Batursari 2/33 Mranggen Demak
Hermawanto,34 Th,Swasta,Kel. Batursari Mranggen Demak
Hendricus,13 Th,pelajar,Ds. Batyrsari Mranggen Demak
Sampoerna senilai Rp.273.000,0 0
Ds.Karangrejo Rt 3/2 Wonosalam Demak
Muhamad Rosyidi,30 Th,Ds.Karangre jo 3/2 Wonosaalam Dmk
Nasikun,60 Th,Swasta,Ds. Sidoharjo Rt 1/4 Kec.Guntur Demak
6 Rokok senilai Rp.70.000,00
Tahap II
Musholla Al Ittihad Ds.Jogoloyo Wonosalam Demak
Junaka,60 Th,Swasta,Ds.J ogoloyo Wonosalam Demak
Azis,17 Th,Pelajar, Ds.Dempet Demak
Uang tunai senilai Rp.150.000,0 0
Tahap II
Musholla Jl.Pungkuran Mranggen Demak
M.Hanif,23 Th,Mahasiswa,J l.Pungkuran 2/2 Mranggen Demak
Ahmad Zuhri,16 Th,Ds.Prampe lan 1/5 Sayung Demak
Kotak amal berisi uang Rp.175.000,0 0
Tahap II
Ds.Karangmlati 5/1 Demak
Akhmad Syaiful Ridlo,35 Th,Swasta,Ds.K arangmlati Demak
Daryono,57 Th,Swsata,Ds. Sidomukti Tuban
Tabung Gas 3 Kg senilai Rp.200.000
Tahap II
Ds.Sidorejo 3/2 Sayung Demak
Lutfil Khakim,17 Th,Swsata,Ds.Si dorejo 3/2 Sayung Demak
Nafi Mubarok,13 Th,Swasta,Ta mbakbulusan 3/2 Karangtengah Demak
Sepeda angin senilai Rp.200.000
Tahap II
Kp.Jobor Kadilangu Demak
3/3
Sujarwo,45 Th,Swsata,Kp.J obor 3/3 Kadilangu Demak
Agung,13 Th,pelajar,Kp. Petek Kel.Kadilangu Demak
Uang tunai senilai Rp.150.000
Tahap II
SUWASI, 48Th, Swasta, Kp.Bogorame Mangunjiwa Demak
Tahap II
LP/385/XI/2011/J
Ds.Poncoharjo
Nur
BAIDHOWI, 52Th, Swasta (Tukang Becak) Tlogorejo Wonosalam Demak Endang,27
Uang kotak amal senilai Rp.10.000
362 KUHP
Masjid Jami AlIkhlas Bogorame Mangunjiwan Demak Kota
Pakaian
Tahap II
362 KUHP FEBRUARI LP/34/II/2009/Jtg/ Res Dmk 13/02/2009
17
362 KUHP
MARET LP/65/III/2009/Jtg /Res Dmk 21/03/2009
18
362 KUHP JULI LP/70/VII/2009/S ek Mranggen 11/07/2009
19
362 KUHP DESEMBER 20
LP/82/XII/2009/S ek Dmk Kota 1/12/2009 362 KUHP 2010 NOVEMB LP/363/XI/2010/J tg/Res Dmk 16/11/2010
21
362 KUHP
2011 FEBR LP/44/II/2011/Jtg/ Res Demak 7/02/2011
22
362 KUHP
MARET NOVEMB 23
LP/362/XI/2011/J tg/ Res demak 05/11/2011
14
Siyam
24
tg/Res demak 25/11/2011
Bonang Demak
Fitriyani,25 Th,Swasta Ds.Poncoharjo Bonang Demak
Th,Swasta Ds.Poncoharj o Bonang Demak
senilai Rp.200.000
Di Salon Vika Kp.Beguron Bintoro Demak
RUBIYANTI Binti SARWIN, Swasta, 31Th, Ds.Tunggul Pandeyan Nalumsan Kab. Jepara
MASKAN, 40Th, Swasta, Ds.Tlogorejo Wonosalam Demak
Mencuri uang senilai Rp.100.000
362 KUHP 2012 MEI LP/200/V/2011/Jt g/ Res Demak 30/05/2012
25
Pencurian 362 KUHP
c.
Tahap II
Sumber Daya Anggaran Sumber daya anggaran Sat Reskrim Polres X diserap dari DIPA (Daftar Isian Perencanaan Anggaran) dari negara yang diserap/digunakan disesuaikan dengan RAB (Rencana anggaran Belanja) dalam penanganan perkara yang ditangani oleh Penyidik selama proses Penyelidikan dan penyidikan VOLUME
INDEKS (Rp)
a. Olah TKP dalam kota
12 Kss
1.000.000.
12.000.000.
b. Olah TKP luar kota
2 Kss
2.000.000.
4.000.000.
c. Rik Ked Forensik / Saksi Ahli
1 Org
2.000.000.
2.000.000.
d. VER luar
4 Org
300.000.
1.200.000.
e. VER dalam / outopsi
1 Org
600.000.
600.000.
f Bongkar kubur
1 Keg
1.500.000.
1.500.000.
2
BANTEK IDENTIFIKASI
11 Keg
1.699.000.
18.689.000.
3
CLARANCE RATE
1 Kss
16.400.000.
16.400.000.
4
KORWAS PPNS
1 Pkt
5.000.000.
5.000.000.
5
LIDIK SIDIK TP UMUM :
NO 1
PROGRAM / GIAT
ANGGARAN (Rp)
FUNGSI DOKKES :
a. Kegiatan Sedang
16 Kss
12.000.000.
192.000.000.
b. Kegiatan mudah
13 Kss
7.000.000.
91.000.000.
c. Pelanggaran
100 Kss
210.000.
21.000.000.
6
LIDIK SIDIK TIPIDKOR
2 Kss
24.000.000.
48.000.000.
7
LIDIK SIDIK TP PEREM & ANAK
7 Kss
7.000.000.
49.000.000.
15
KET
8
HONOR PNBP ( Inafis )
12 Tb
400.000.
Jumlah total
4.800.000 467.189.000.
Adapun penanganan perkara dibedakan menjadi 3, yaitu; - Perkara ringan (30 hari)
3.
-
Perkara Sedang (60 hari)
-
Perkara Berat (120 hari)
Kondisi penyidikan tindak pidana saat Ini Tindakan kepolisian yang di lakukan oleh penyidik/penyidik pembantu di Sauant Reskrim Polres Demak terdiri dari tindakan: a)
Tingkat penyelidikan (1)
Menerima laporan atau pengaduan dari Masyarakat.
(2)
Menerbitkan surat perintah penyelidikan sebagai dasar untuk melakukan penyelidikan.
b)
(3)
Membuat laporan hasil penyelidikan.
(4)
Melakukan gelar perkara rencana penyelidikan.
(5)
Membuat berita acara interogasi terlapor dan pelapor.
(6)
Melakukan gelar perkara hasil penyelidikan
(7)
Membuat berita acara hasil gear perkara
Tingkat penyidikan (1)
Menerima adanya laporan atau pengaduan dari Masyarakat atau di temukan sendiri oleh petugas .
(2)
Menerbitkan surat perintah penyidikan sebagai dasar untuk melakukan penyidikan.
(3)
Melakukan gelar perkara rencana penyidikan.
(4)
Melakukan pemeriksaan saksi-saksi
(5)
Mengumpulkan alat bukti
(6)
Melakukan pemeriksaan kepada tersangka 16
c)
(7)
Melakukan gelar perkara hasil penyidikan.
(8)
Menyelesaikan Berkas Perkara
(9)
Mengirim Berkas Perkara kepada Jaksa Penuntut Umum
Penyerahan tersangka dan barang bukti Apabila penyidikan di nyatakan lengkap oleh jaksa penuntut umum maka penyidik meyerahkan tanggung jawab barang bukti dan tersangka kepada penuntut umum, hal ini berlaku terhadap setiap kasus baik kasus yang tergolong kejahatan serius maupun kasus yang kerugian secara ekonomi tergolong kecil, setelah tersangka dan barang bukti di serahkan kepada penuntut umum maka di anggap tanggung jawab penyidik dalam hal proses penyidikan di anggap telah selesai. Praktik penyidikan yang berjalan di Polres X selama ini menunjukkan bahwa aliran positivisme hukum menjadi arus utama (mainstream) dalam pelaksanaan kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polres Demak, Restorative Justice sebagai salah usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan juga masih belum diterapkan di Polres X, ini terbukti masih banyak kasus yang di laporkan di Polres Demak yang bermotif ekonomi yang kerugiannya sangat kecil masih di lanjutkan sampai sidang pengadilan. Penyidikan oleh penyidik Satuan Reskrim Polres X berdasarkan aliran positivisme hukum tersebut secara ketat dan kaku (vague and unresponsive) dirasakan telah menimbulkan ketidakadilan dan bertolak belakang dengan tuntutan keadilan yang berkembang ditengah-tengah masyarakat X. Penyidikan pada berbagai kasus pencurian dengan nilai nominal yang kecil di Polres X tersebut menunjukkan bahwa: 1.
Perbuatan para tersangka memang dipandang memenuhi unsur-unsur tindak pidana namun penyidik Polres X telah mengesampingkan rasa keadilan masyarakat (social justice) yang berkembang secara meluas.
17
2.
Penyidik Polres X hanya menafsirkan hukum secara kaku atau ketat sesuai dengan kepastian hukum namun tidak mempertimbangkan nilai kemanfaatan dan keadilan yang menjadi di ciptakan hukum itu sendiri.
3.
Penafsiran hukum penyidik Polres X masih berdasarkan rules and logic, mengesampingkan realitas sosial yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang mengamanatkan penafsiran hukum berdasarkan analisis non hukum ( penafsiran sosiologis )
4.
Kuatnya aliran positivisme hukum sebagai arus utama (mainstream) dilingkungan penyidik Polres Demak, telah melupakan ketentuan hukum yang terdapat dalam pasal 16 ayat (1) huruf l UU No. 2 tahun 2002 tentang Polri yang menentukan bahwa aparat atau petugas Kepolisian berdasarkan kewenangan diskresi yang dimilikinya dapat mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
5.
Penyidikan yang dilakukan oleh penyidik Polres X dalam rangka pemberian keadilan (dispencing of justice) justru memunculkan kesenjangan antara penegakkan hukum yang dilakukan dengan tuntutan keadilan masyarakat, karena mengesampinkan hukum yang hidup dimasyarakat (the living law dari Eugen Erlich)
Didalam menerapkan atau mengimplementasikan konsep keadilan restoratif, penyidik Polres X acapkali mengalami keragu-raguan dalam mengambil keputusan, situasi ini menjadi hal yang dilematis bagi penyidik Polres X dilapangan, karena di sebabkan di antaranya karena faktor kekhawatiran atau ketakutan penyidik akan dipersalahkan oleh pimpinan atau atasan penyidik dan dipermasalahkan pada pengawasan dan pemeriksaan oleh institusi pengawas dan pemeriksa internal Polri yang menggunakan parameter formal prosedural.
18
III.
FAKTOR-FAKTOR
YANG
MEMPENGARUHI
IMPLEMENTASI
RESTORATIVE JUSTICE OLEH PENYIDIK SATUAN RESERSE KRIMINAL POLRES X 1.
Intern a.
Kekuatan 1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
2.
Undang - Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyebutkan tugas pokok Polri sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban, penegak hukum dan melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat.
3.
Perkap No. 12 th 2009 tentang pengawasan dan pengendalian penanganan perkara pidana di lingkup Polri.
4.
Perkap No. 14 th 2012 tanggal 25 Juni 2012 tentang manajemen penyidikan tindak pidana.
5.
b.
DIPA Polri tentang Reskrim.
Kelemahan 1) Masih kurangnya kesamaan persepsi tentang implementasi penyidikan tindak pidana yang berorientasikan Restorative Justice di satuan reserse Polres X. 2) Masih kurangnya kualitas dan kuantitas personil dalam implementasi penyidikan tindak pidana yang berorientasikan Restorative Justice di satuan reserse Polres X. 3) Masih rendahnya pemahaman anggota tentang implementasi penyidikan tindak pidana yang berorientasikan Restorative Justice di satuan reserse Polres X. 4) Belum
adanya
peningkatan
kemampuan
dan
Polri yang bertugas di bidang penegakan hukum
keterampilan
personel
tentang implementasi
penyidikan tindak pidana yang berorientasikan Restorative Justice di satuan reserse Polres X secara profesional.
19
6) kekhawatiran atau ketakutan penyidik akan dipersalahkan oleh pimpinan atau atasan penyidik dan dipermasalahkan pada pengawasan dan pemeriksaan oleh institusi pengawas dan pemeriksa internal Polri yang menggunakan parameter formal prosedural.
2.
Ekstern a.
Peluang 1) Adanya keinginan masyarakat untuk hidup aman dan tenteram, dan menyelesaikan permasalahan tidak harus melalui jalur pengadilan. 2) Atensi dari para tokoh agama dan tokoh masyarakat yang mendukung tentang implementasi penyidikan tindak pidana yang berorientasikan Restorative Justice di satuan Reserse Kriminal Polres X. 3) Dukungan institusi dan kelembagaan hukum yang terdiri dari Jaksa Penuntut Umum, Hakim, Lembaga Pemasyarakatan dan Pengacara yang saling terjalin dan saling ketergantungan dalam proses pelaksanaan dan penegakan hukum tentang implementasi penyidikan tindak pidana yang berorientasikan Restorative Justice di satuan reserse Polres X. 4) Adanya Anggapan masyarakat terhadap Polri bahwa Polri bertanggung jawab atas keamanan dan ketertiban. 5) Kebijakan dan strategi Polri yang disusun dalam Grand Strategi Polri 2005-2025, Reformasi Birokrasi Polri Gelombang I dan II, serta Program Revitalisasi Polri sebagai pedoman dalam rangka meningkatkan kinerja pada kesatuan di lingkungan Polri dalam melaksanakan. 6) Pengawasan
internal
(Itwas,
Propam,
Wassidik)
dan
eksternal
(Kompolnas, Ombudsman, Komisi III DPR RI, Media Massa, LSM) yang telah berjalan selama ini dapat menumbuhkan motivasi seluruh anggota Polri khususnya penyelidik, penyidik pembantu dan penyidik Polri b. 1)
Ancaman
Sikap masyarakat yang apatis terhadap implementasi penyidikan tindak pidana yang berorientasikan Restorative Justice yang dijalankan di satuan reserse Polres Demak.
20
2) Belum tercantumnya implementasi penyidikan tindak pidana yang berorientasikan Restorative Justice dalam aturan hukum yang formal. 3) Hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap program-program Polri. 4) Masyarakat merasa tujuan akhir implementasi Restorative Justice adalah milik Polri saja. 5) Pemberitaan media massa yang tidak berimbang tentang pelaksanaan tugas pokok Polri yang lebih dominan pada tugas penegakan hukum terutama pemberitaan yang bersifat negatif dibandingkan dengan yang positif.
6)
Tantangan terhadap Kompleksnya kriminalitas, serta tingginya tuntutan masyarakat akan kesigapan, kejujuran,dan profesionalisme para penegak hukum.
IV.
KONDISI YANG DIHARAPKAN 1.
Internal a.
Personil 1)
Standar kualitas personel. Terwujudnya peningkatan kinerja Polres Demak dalam rangka penegakan hukum secara profesional, proporsional, procedural dan akuntabel guna membangun dan meningkatkan kepercayaan masyarakat melalui pembinaan SDM, dengan menerapkan: a) Merit system atau sistem prestasi kerja dalam pembinaan karier anggota personel yang ditugaskan di bidang penegakan hukum secara konsisten. b) Assessment terhadap penyidik/penyidik pembantu untuk melakukan uji kelayakan secara teknis dan Atasan Penyidik dengan metode Assesment Center untuk menempatkan pada jabatan manajerial. c) Jaminan berupa asuransi kerja bagi penyidik dan penyidik pembantu yang disesuaikan dengan resiko pelaksanaan tugas.
21
d) Pemenuhan sarana dan prasarana terutama kelengkapan fasilitas monitoring (CCTV dan recording) dalam ruang pemeriksaan guna menjamin transparansi dan akuntabilitas. e) Penyusunan penjabaran ketentuan peraturan perundang-undangan yang belum terakomodasi untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas penegakan hukum. f) Reward and punishment secara konsisten terhadap penyidik dan penyidik pembantu dalam rangka memberikan motivasi guna meningkatkan kinerja. g) Pendidikan yang berkualitas dan berbasis kompetensi dalam rangka menghasilkan aparat penegak hukum khususnya penyidik/penyidik pembantu Polres Demak yang profesional, bermoral dan modern. 2)
Standar kuantitas personil. a) Jumalah penyidik minimal sesuai dengan DSPP yang sudah ada dan perlu pembagian antara penyidik yang menangani Tindak Pidana Umum dan Tindak Pidana khusus b) Jumlah penyidik bisa di sesusaikan dengan jumlah perkara yang masuk, sehingga penyidik tidak terlalu berat dalam penanganan perkara. c) Adanya supervisor yang berpangkat perwira dengan kemampuan kontrol dan pengawasan proses penyidikan khususnya memahami tentang Restorative Justice.
b.
Anggaran Untuk mendukung pelaksanaan tugas petugas Reskrim, maka harus didukung anggaran yang memadai, di antaranya anggaran tentang: NO 1
PROGRAM / GIAT
VOLUME
INDEKS
ANGGARAN
FUNGSI DOKKES : a. Olah TKP dalam kota
15 Kss
1.000.000.
15.000.000
b. Olah TKP luar kota
2 Kss
2.000.000.
4.000.000
c. Rik Ked Forensik / Saksi Ahli
5 Org
2.000.000.
10.000.000
22
KET
d. VER luar
100 Org
500.000.
50.000.000
e. VER dalam / outopsi
2 Org
1.000.000.
2.000.000
f Bongkar kubur
2 Keg
2.500.000.
5.000.000
11 Keg
2.000.000.
22.000.000
2
BANTEK IDENTIFIKASI
3
CLARANCE RATE
1 Kss
16.400.000.
16.400.000
4
KORWAS PPNS
1 Pkt
5.000.000.
5.000.000
5
LIDIK SIDIK TP UMUM : a. Kegiatan Sedang
20 Kss
12.000.000.
240.000.000
b. Kegiatan mudah
20 Kss
10.000.000.
200.000.000
100 Kss
300.000.
30.000.000
5 Kss
25.000.000.
125.000.000
10 Kss
7.000.000.
70.000.000
12 Tb
400.000.
4.800.000
Jumlah total
799.200.000
c. Pelanggaran
c.
6
LIDIK SIDIK TIPIDKOR
7
LIDIK SIDIK PEREMPUAN & ANAK
8
HONOR PNBP ( Inafis )
TP
Matlog Adapun dukungan material logistik yagn harus di miliki oleh Satuan Reserse Kriminal Polres X sebagai berikut :
NO
NAMA MATERIAL
JML
KET
1
CCTV
5
Tiap ruang pemeriksaan
2
Jaringan internet
1
Komunity Reskrim
3
KBM Roda 4
1
Mendatangi TKP
4
KBM Roda 2
3
Transportasi jarak dekat, jalan sempit.
5
Voice Reccording
4
Dokumen suara informan, saksi, tsk.
6
Call Data Reccording
1
Pencarian data seluler cepat.
7
Spy Cam ( kamera pengintai )
2
Dokumen media penyelidikan
8
Alat deteksi kebohongan
1
Mengetahui kejuruan terperiksa.
23
d.
Metode 1)
Adanya buku petunjuk tentang Manajemen Tindak Pidana
2)
Adanya buku petunjuk tentang Hak-hak tersangka.
3)
Adanya buku petunjuk koordinasi antara CJS
4)
Adanya buku petunjuk SP2HP
5)
Adanya buku petunjuk/SE MA tentang tata cara penanganan Tindak Pidana Ringan
2.
Eksternal a.
Jaksa Penuntut Umum 1)
Adanya komunikasi dan pendekatan dengan Jaksa penuntut umum.
2)
Adanya dialog para pejabat CJS di Polres tentang pentingnya Restorative Justice
3) b.
Adanya pertemuan rutin untuk membahas penerapan Restorative Justice
Hakim 1)
Adanya kerjasama dan memberikan masukan dalam rangka penerapan Restorative Justice
2)
Terjalin kemitraan dalam mengaplikasikan Penerapan Restorative Justice untukmewujudkan keadilan yang substansif.
c.
Pengacara 1)
Adanya dukungan dari pengacara/advokat dalam penerapan Restorative Justice
2)
Ikut serta secara aktif memberikan masukan dalam penerapan Restorative Justice guna mewujudkan rasa keadilan Masyarakat
d.
Masyarakat 1)
Adanya partisipasi aktif dari tokoh masyarakat baik tokoh formal dan non formal dalam penerapan Restorative Justice.
2)
Ikut mendukung dan membantu dalam penyelesaian perkara antara yang berperkara dalam wadah Restorative Justice.
24
3.
PENERAPAN RESTORATIVE JUSTICE a.
Kriteria dan jenis tindak pidana 1)
Kriteria a)
Tidak ada batasan usia tersangka dalam tindak pidana yang di lakukan
b)
Kerugian yang diakibatkan oleh perbuatan pidana tersebut tidak mengakibatkan luka berat dan hilangnya nyawa seseorang, atau hanya kerugian materi yang kecil.
c)
Tindak pidana tersebut bukan perbuatan tindak pidana narkotika.
d)
Tindak Pidana yang diselesaikan adalah tindak pidana ringan dan atau tindak pidana lainnya yang menimbulkan kerugian pada individu.
e)
Tindak pidana yang dilakukan
diselesaikan dengan cara
musyawarah dengan mempertemukan pihak yang berperkara serta melibatkan pranata sosial dan atau tokoh tokoh masyarakat dan atau tokoh agama dan atau tokoh adat setempat. f)
Pelaku tindak pidana bukan merupakan seorang residivis
g)
Tindak pidana yang dilakukan tidak termasuk dalam tindak pidana yang merugikan keuangan atau perekonomian Negara, mengancam keamanan negara, dan simbol-simbol Negara.
h)
Tindak Pidana yang dilakukan telah disepakati oleh kedua belah pihak yang berperkara untuk dilakukan penyelesaian diluar pengadilan.
2)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi a)
Formil (1)
Pihak-pihak yang berperkara (pelaku dan korban) membuat surat pemyataan penyelesaian perkara diluar peradilan.
(2)
Pihak pelapor/korban mencabut laporan / pengaduan.
(3)
Apabila terjadi ketidak puasan para pihak yang berperkara setelah dilakukan diluar mekanisme pengadilan maka dilakukan penyelesaian sesuai prosedur hukum yang berlaku. 25
(4)
Dibuat Berita acara tentang penyelesaian perkara di luar Peradilan yang di tandatangani oleh pihak yang berperkara, penyidik dan para saksi maupun tokoh masyarakat yang hadir.(pasal 75 ayat 3 KUHAP).
(5)
Pen yel esai an perkara diluar pengadila n dilakukan dengan tuj uan tidak untuk mencari keuntungan pribadi
dan
kelompok
namun
bert ujuan
demi
keadil an dan kem anfaat an antara kedua belah pihak. b)
Materil (1)
Tindak Pidana yang dapat diselesaikan diluar pengadilan adalah tindak pidana ringan atau tindak pidana yang kerugian ekonominya kecil yang tidak berdampak social.
(2)
Penyelesaian perkara pidana dengan Restorative Justice di dahului dengan rekonsiliasi dengan mempertemukan kedua belah pihak yang berperkara yang melibatkan tokoh agama, tokoh masyarakat maupun tokoh adat setempat.
(3)
Dalam menyelesaikan perkara perlu di perhatiakan faktor kondisi sosial ekonomi, tingkat kerugian yang ditimbulkan, serta bukan merupakan perbuatan yang berulang (residive) atau penggabungan tindak pidana (samenloop).
(4)
Selain perkara pidana, pekara yang dapat diselesaikan dengan Restorative Justice adalah perkara yang berada pada area pidana dan perdata (Twilight Area).
(5)
Pelaku buakn termasuk seorang residivis, apabila pelaku seorang residivis maka harus dilanjutkan
proses hukum
sesuai peraturan / hukum yang berlaku. (6)
Tindak pidana yang menimbulkan kerugian secara individu (bukan kerugian terhadap keuangan/perekonomian Negara).
b.
Mekanisme penanganan perkara 1)
Prinsip-prinsipnya
26
a)
Penyelesaian perkara pidana dengan Restorative Justice didasarkan atas kehendak dari pihak-pihak yang berperkara dan bukan paksaan dari pihak manapun.
b)
Penyelesaian perkara pidana dengan cara Restorative Justice dapat dilakukan di setiap masing-masing unit di Satuan Reskrim.
c)
Untuk perkara pidana yang tidak dapat di selesaikan dengan Restorative Justice maka penyidik wajib melakukan penyidikan lanjutan.
d)
Penyelesaian perkara secara Restorative Justice diselesaikan diunit dimana laporan/ pengaduan ditangani.
2)
Tahapan penanganan a)
Sebelum Laporan Polisi dibuat : (1)
Melakukan pengkajian terhadap perkara yang akan di laporkan.
(2)
Melakukan analisa guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyelesaian perkara di luar pengadilan serta menilai dampak yang mungkin bisa timbul.
(3)
Membuat Berita Acara tentang tindakan-tindakan yang telah dilakukan penyidik dalam rangka Restorative Justice
(4)
Membuat surat pemberitahuan kepada pihak-pihak yang berperkara dan kepada tokoh masyarakat tentang teiah diselesaikannya perkara tersebut melalui metode Restorative Justice.
b)
Saat proses penyelidikan: (1)
Menerima adanya laporan atau pengaduan dari masyarakat
(2)
Menerbitkan surat perintah penyelidikan yang di tanda tangani oleh pejabat yang berwenang.
(3)
Membuat laporan hasil penyelidikan sebagai hasil telah melakukan tindakan penyelidikan
(4)
Melakukan gelar tentang rencana tindak lanjut dari hasil penyelidikan. 27
(5)
Mengundang atau pemberitahuan kepada terlapor dan pelapor termasuk tokoh masyarakat guna di lakukan penyelesaian di luar pengadilan
(6)
Melakukan tindakan rekonsiliasi dengan pihak yang bertikai yang difasilitasi oleh penyidik.
(7)
Melakukan gelar terhadap hasil kesepakatan sementara yang telah dihasilkan.
(8)
Mem bu a t b eri t a a c a ra p en ye l e sa i a n p e rk ar a ya n g d i t a n d a t a n g a n i o l e h p i h a k - p i h a k y a n g berperkara, penyidik dan pihak Iainnya.
(9)
Meregistrasikan
penyelesaian
perkara
diluar
peradilan atau Restorative Justice dalam buku Register Penyelesaian Perkara. (10) Menerbitkan Surat Perintah
Penghentian
penyelidikan
berdasarkan keseppakatan damai antara pihak-pihak yang bersengketa. c)
Saat proses penyidikan (1)
Menerima adanya laporan atau pengaduan dari masyarakat
(2)
Menerbitkan surat perintah penyidikan yang ditanda tangani oleh pejabat yang berwenang
(3)
Melakukan gelar tentang rencana penyidikan yang akandi lakukan
(4)
Membuat laporan hasil penyidikan yang telah dilakukan
(5)
Membuat gelar perkara tentang hasil penyidikan.
(6)
Mengundang atau memanggil tersangka (terlapor) dan saksi (korban)
(7)
Memfasilitasi upaya penyelesaian secara Restorative Justice kepada para pihak yang berperkara.
(8)
Penyelesaian perkara dapat melibatkan peran pihak ketiga (Polmas,
Tomas. 28
Toga,
dan
ketua
Iingkungan)
guna
mempertimbangkan kepentingan masyarakat dan nilai-nilai kearifan local yang berlaku (9)
Melakukan gelar perkara dari hasil rekonsiliasi yang dilakukan
(10) Membuat berita acara hasil gelar perkara (11) Membuat berita acara penyelesaian perkara dengan Restorative
Justice yang ditandatangani oleh pihak-pihak yang berperkara, penyidik dan pihak Iainnya. (12) Membuat laporan kemajuan sebagai laporan kepada pimpinan
terhadap tanggung jawab terhadap penanganan perkara (15) Meregistrasikan penyelesaian perkara diluar peradilan atau
Restorative Justice dalam buku Register Penyelesaian Perkara. (16) Menerbiitkan Surat Perintah Penghentian penyidikan dengan
alasan : (a)
Bukan Tindak Pidana, tidak cukup bukti, demi hukum sebagaimana pasal 109 ayat (2) KUHAP.
(b)
Laporan/pengaduan dicabut dan di selesaikan dengan cara Restorative Justice, dengan dasar kewenangan penyidik dalam hal Diskresi Kepolisian ( Pasal 18 UU No. 2 tahun 2002).
d)
Sebelum Penyerahan Tahap II (Penyerahan barang bukti dan tersangka) (1)
Mekanisme penyelesaian perkara melalui Restorative Justice harus di lalui dengan gelar perkara.
(2)
Hasil gelar perkara dituangkan dalam sebuah Berita Acara.
(3)
Membuat kesimpulan tentang rencana penyelesaian dengan Restorative Justice bisa dilaksanakan atau tidak.
(4)
Apabila telah terjadi kesepakatan penyelesaian perkara pidana maka akan di buat berita acara penyelesaian perkara yang ditandatangani oleh pihak-pihak yang berperkara, penyidik dan pihak Iainnya. 29
(5)
Mencatat dalam buku registrasi penyelesaian perkara diluar peradilan atau Restorative Justice dalam buku Register Penyelesaian Perkara.
(6)
Menerbitkan Surat
Perintah
Penghentian
penyidikan dengan alasan : (a)
Bukan Tindak Pidana, tidak cukup bukti, demi hukum sebagaimana pasal 109 ayat (2) KUHAP.
(b)
Laporan/pengaduan dicabut
melalui
Restorative
Justice berdasarkan Diskresi Kepolisian ( Pasal 18 UU No. 2 tahun 2002). (8)
Mengirim surat kepada Jaksa Penuntut Umum tentang penyelesaian perkara pidana melalui Restorative Justice, dengan melampirkan administrasi
yang
diperlukan 3)
Administrasi Restorative Justice a)
Adanya surat pernyataan penyelesaian diluar peradilan melalui Restorative Justicen antara pihak pihak yang berperkara ( pelaku dan korban), penyidik serta pihak-pihak yang terlibat dalam penyelesaian perkara
b)
Adanya surat perjajian dari pihak-pihak yang berperkara, yang isinya dapat menyesuaikan dengan pokok permasalahan serta kesepakatan kedua belah pihak
c)
Adanya surat pencabutan laporan / pengaduan dari Pihak korban atau Pelapor.
d)
Adanya berita acara tentang penyelesaian sengketa di luar Peradilan yang di tandatangani oleh pihak yang berperkara dan penyidik.
e)
Mencatat dalam buku registrasi penyelesaian perkara diluar peradilan atau Restorative Justice.
f)
Menerbitkan Surat Perintah Penghentian penyidikan.
30
g)
Adanya administrasi penyilidikan/penyidikan di setiap tingkatan penyilidikan maupun penyidikan
4)
Sistem pengawasan a)
b)
Secara struktural (1)
Atasan Penyidik (Kanit, Kasat, Kasatker).
(2)
Penyidik
(3)
Biro Wassidik
Secara fungsional: (1)
itwasda (selaku quality insurance dan pengawas internal)
(2)
Pengemban
fungsi Propam
(Kasiewas,
Kasipropam, dan Bid Propam ) c)
d)
Metode pengawasan (1)
Standar operasional penyelidikan/penyidikan sesuai SOP
(2)
Laporan Hasil Penyelidikan
(3)
Laporan hasil Penyidikan
(4)
Laporan hasil Gelar Perkara
(5)
Laporan Kemajuan penanganan perkara
(6)
Laporan penyelesaian perkara.
(7)
Supervisi dan Asistensi
Sistem Laporan (1)
Setiap satuan pengemban fungsi penyidikan (unit Reskrim Polsek, dan Sat Reskrim Polres) membuat buku register penyelesaian perkara secara Restorative Justice
(2)
Setiap satuan pengemban fungsi penyidikan (unit Reskrim Polsek, dan Sat Reskrim Polres) melaporkan setiap penyelesaian perkara secara Restorative Justice.
31
V.
LANGKAH-LANGKAH PEMECAHAN MASALAH GUNA IMPLEMENTASI RESTORATIVE JUSTICE OLEH PENYIDIK SATUAN RESERSE POLRES X 1.
Visi “Postur Polri yang Profesional sebagai Pelindung, Pengayom dan Pelayan Masyarakat”
2.
Misi Berdasarkan pernyataan visi sebagaimana tersebut diatas, selanjutnya dijabarkan dalam bentuk misi Polri kedepan dalam pelaksanaan tugas pokoknya, baik di bidang pembangunan kekuatan, pembinaan kekuatan maupun kegiatan operasional yang terdiri dari : a.
Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayyanan kepada masyarakat (meliputi aspek security, surety, safety dan peace ).
b.
Memberikan bimbingan kepada masyarakat melalui upaya preemtif dan preventif yang dapat meningkatkan kesadaran dan kekuatan serta kepatuhan hukum masyarakat ( Low Abiding Citizen Ship ).
c.
Menegakan hukum secara profesional dan proporsional dengan menjunjung supremasi hukum dan hak azasi manusia menuju kepada adanya kepastian hukum dan rasa keadilan.
d.
Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dengan tetap memperhatikan norma dan nilai yang berlaku dalam bingkai integritas wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
e.
Mengelola sumberdaya manusia Polri secara profesional untuk mewujudkan keamanan dalam negeri sehingga dapat emndorong meningkatnya gairah kerja guna mencapai kesejahteraan masyarakat.
f.
Meningkatkan upaya konsolidasi kedalam ( Internal Polri ) sebagai upaya menyamakan visi dan misi Polri kedepan.
g.
Memelihara solidaritas institusi Polri dari berbagai pengaruh eksternal yang sangat merugikan organisasi.
h.
Melanjutkan operasi pemulihan keamanan di beberapa wilayah konflik guna menjamin keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
32
i.
Meningkatkan kesadaran hukum dan kesadaran berbangsa dari masyarakat yang bhineka tunggal ika. Pergeseran paradigma pengabdian Polri yang sebelumnya cenderung digunakan sebagai alat penguasa kearah mengabdi bagi kepentingan masyarakat telah membawa berbagai implikasi perubahan yang mendasar.
3.
Tujuan Restorative Justice (Keadilan Restoratif) bertujuan untuk memberdayakan para korban, pelaku,keluarga dan masyarakat untuk memperbaiki suatu perbuatan melawan hukum, dengan menggunakan kesadaran dan keinsyafan sebagai landasan untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat konsep keadilan yang tidak hanya melihatkeadilan itu hanya dari satu sisi, melainkan menilainya dari kepentingan berbagai pihak, baik kepentingan si korban, masyarakat maupun kepentingan si pelaku Proses penyelesaian perkara, Restorative Justice tidak lagi menggunakan cara-cara konvensional yang selama ini digunakan dalam sistem peradilan pidana, yang hanya berfokus pada mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, serta mencari hukuman apa yang pantas diberikan kepada pihak yang bersalah tersebut. Sementara dalam penyelesaian perkara melalui Restorative Justice bukan lagi kedua hal tersebut, yang diinginkan oleh Restorative Justice adalah sebuah pemulihan terhadap pelaku agar ia tidak lagi melakukan kejahatan, pemulihan turut pula ditujukan kepada korban sebagai pihak yang dirugikan serta hubungan antar korban, pelaku serta masyarakat agar jalannya kehidupan dapat kembali seperti semula.tujuan akhir yang tidak dapat diperoleh bila suatu perkara diselesaikan melalui sistem peradilan pidana, seperti a.
memberikan suatu keuntungan yang langsung dirasakan baik korban, pelaku maupun masyarakat umum. Bentuk-bentuk ganti rugi yang nyata dalam bentuk pengembalian barang yang dicuri, perbaikan kendaraan hingga pemberian uang berobat dalam hal korban luka, menjadi realita sehingga tercipta suatu keadilan yang benar-benar menjadi harapan masyarakat. 33
b.
Mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan Restorative Justice memberikan peran masyarakat yang lebih luas. Dalam mekanisme penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan Restorative Justice, maka posisi masyarakat bukan hanya sebagai peserta pelaku atau peserta korban saja. Masyarakat dapat diberikan peran yang lebih luas untuk menjadi pemantau atas pelaksanaan suatu hasil kesepakatan sebagai bagian dari penyelesaian perkara pidana melalui pendekatan ini. Pelaksanaan kegiatan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya memantau upaya rehabilitasi. Memantau pelaksanaan pertanggungjawaban pelaku, yang dapat berwujud barbagai bentuk seperti perbaikan benda/sarana yang rusak, pengembalian barang, pemenuhan denda adat dan lain sebagainya.
c.
Proses penanganan perkara dengan pendekatan restoratif justice dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Karena tidak melalui prosedur birokrasi yang berbelit-belit maka proses penyelesaian perkara pidana terutama yang diselesaikan diluar lembaga pengadilan baik didalam sistem peradilan pidana maupun penyelesaian oleh masyarakat sendiri atau bahkan oleh lembaga adat dapat dilakukan dengan singkat. Suatu model penyederhanaan sistem penyelesaian suatu perkara pidana. Dalam Hukum acara pidana di Indonesia memang dikenal beberapa model mekanisme penyelesaian perkara pidana melalui peradilan biasa atau peradilan singkat. Namun terlihat bahwa mekanisme itu belum menjawab kebutuhan masyarakat sebagaimana dalam paparan diatas. Berangkat dari evaluasi atas penyelesaian perkara pidana dengan menggunakan prinsip yang ada dalam Restorative Justice sebagai ukuran dalam menilai kasus-kasus tersebut, sedikit banyak nilai-nilai utama yang menjadi pilar dalam penyelesaian perkara pidana telah diterapkan meskipun dengan sejumlah kelemahan yang timbul atas pemahaman suatu pendekatan Restorative Justice yang belum menyeluruh seperti pelibatan pelaku dan korban, asas pra duga tak bersalah, persamaan dalam pencapaian proses penyelesaian dan upaya pencapaian penyelesaian yang mengacu kepada tujuan dari Restorative Justice yaitu mengacu kepada kebutuhan pelaku, korban dan masyarakat dalam memperbaiki relasi sosial antara mereka. 34
Dalam melihat kemungkinan penerapan keadian restoratif, penulis melihat bahwa Basic PrincipleThe Use Of Restoratif Justice mengamanatkan bahwa pendekatan ini dapat diterapkan dalam bingkai penegakan hukum sehingga tercipta penegakan hukum yang professional dan proporsional
. Hal ini
menandakan bahwa bila di Indonesia pendekatan ini akan dipakai sebagai bagian dari mekanisme penyelesaian perkara pidana, maka sistem peradilan pidana yang ada harus disesuaikan hingga bisa menjangkau dan mewadahi mekanisme
4.
penyelesaan
perkara
pidana
Analisis implementasi Restorative Justice
melalui
pendekatan
ini.
dalam penanganganan tindak
pidana Saat ini proses penegakan hukum di Polres demak khusunya dalam tahap baik penyelidikan maupun penyidikan masih dalam kerangka berfikir mengacu pada hukum positif artinya bahwa penyidik Polres Demak hanya memandang bahwa penegakan hukum hanya dilakukan dengan cara penegakan peraturan perundang-undangan yang tertulis dalam berbagai peraturan perundangan yang ada, jarang sekali bahkan dapat dikatakan hampir tidak yang memahami bahwa penegakan hukum tidak hanya menegakkan peraturan yang tertulis saja namun juga menegakkan peraturan yang tidak tertulis juga sesuai dengan adat atau kebiasaan serta suatu ketentuan yang tidak tertulis yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hal ini hendaknya harusdi pahami oleh penyidik Polres Demak yang mana juga tercantum dalam tugas pokok Polri dalam pasal 13 UU No 2 Tahun 2002 yang menyebutkan tugas pokok Polri salah satunya adalah menegakkan hukum bukan menegakkan undang-undang, oleh karena itu karena maka yang harus di tegakkan oleh penyidik Polri khususnya Penyidik Polres Demak tidak hanya menegakkan hukum yang tertulis atau biasa di sebut dengan hukum positif namun juga menegakkan hukum yang tidak tertulis salah satunya hukum adat ataukebiasaan yang berlaku dan disepakati oleh seluruh masyarakat yang mengatur kehidupan mereka demi terciptanya kesejahteraan dan kebaikan masyarakat setempat. yang kami gunakan untuk menganalisis penerapan Restorative Justice adalah:
35
Teori
a.
Teori atau aliran sociological Jurisprudence Sociological Jurispurdence sebagai salah satu aliran pemikiran filsafat hukum menitik beratkan pada hukum dalam kaitannya dengan masyarakat. Menurut aliran ini hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di antara masyarakat. Aliran ini secara tegas memisahkan antara hukum positif dengan (the positive law) dengan hukum yang hidup (the living law). Pound menegaskan bahwa hukum itu bertugas untuk memenuhi kehendak masyarakat yang menginginkan keamanan yang menurut pengertian yang paling rendah dinyatakan sebagai tujuan ketertiban hukum. Dalam kaitannya dengan penerapan hukum Pound menjelaskan tiga langkah yang harus dilakukan : 1. menemukan hukum 2. menafsirkan hukum 3. menerakan hukum Dari sini dapat kita lihat Pound hendak mengedepankan aspek-aspek yang ada di tengah-tengah masyarakat untuk diangkat dan ditearpkan kedalam hukum. Bagi aliranSociological Jurisprdence titik pusat perkembangan hukum tidak terletak pada undang-undang, putusan hakim, atau ilmu hukum, tetapi terletak pada masyarakat itu sendiri. Dalam proses mengembangkan hukum harus mempunyai hubungan yang erat dengan nilai-nilai yang dianut dalam masyarakat bersangkutan agenda reformasi birokrasi yang menjadi tuntutan masyarakat adalah bagaimana terpenuhinya rasa keadilan ditengah masyarakat. Namun didalam realitanya, keadilan masyarakat itu masih jauh yang diharapkan hal ini terbukti dengan di prosesnya kasus-kasus yang nilai kerugian ekonominya kecil sampai ketingkat pengadilan padahal seharusnya bisa di selesaikan di tingkat penyidikan. Dalam menerapkan hukum yang hidup dalam masayarakat khususnya oleh penyidik
Polres Demak, aliran
sociological jurisprudence ini juga sejalan dengan aliran atau teori yang disampaikan oleh Carl von Savigny dan aliran atau Teori utilitarian , dimana menurut teori Carl von Savigny menyebutkan bahwa “das Recht wird nicht 36
gemacht, est ist und wird mit dem Volke” atau terjemahannya bahwa hukum itu tidak dibuat melainkan tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Oleh karena itu hukum selalu berkembang dan terus berkembang dari masa ke masa seiring dengan pekembangan masyarakat itu sendiri. Hal ini tentunya memungkinkan muncul ilmu-ilmu baru dalam menerapkan hukum,karena ilmu hukum sifatnya bukan final yang tidak bisa berubah tetapi sebaliknya bisa berubah-ubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sedangkan menurut aliran atau teori utilitarian, yaitu sebuah teori yang menyatakan bahwa setiap hukum dalam arti peraturan yang dibuat, maka harus mempunyai nilai guna bagi masyarakat. Salah satu tokohnya yang terkenal adalah jeremy Bentham, dengan pendapatnya ” The aim of law is The Greatest happiness for the greatest number”. Menurut aliran ini sesuatu peraturan perundangan-undangan harus di bentuk untuk membawa manfaat kepada masyarakat maka apabila peraturan tersebut tidak membawa manfaat perlu dilakukan pengkajian yang mendalam tentang produk peraturan tersebut, Penydik Polres Demak dalam melakukan penyidikan tentunya harus membawa manfaat dan nilai keadilan kepada masyarakat, penerapan undang-undang yang di gunakan untuk sebagai dasar membawa kepastian hukum belum tentu membawa kemanfaatan dan keadilan, dimana idealnya adalah kepastian hukum dan rasa keadilan. b.
Teori hukum progressif Menurut
prof Satjipto Raharjo
Penegakan hukum progresif adalah
menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan
37
Agenda reformasi birokrasi yang menjadi tuntutan masyarakat adalah bagaimana terpenuhinya rasa keadilan ditengah masyarakat. Keadilan adalah inti atau hakikat hukum. Keadilan tidak hanya dapat dirumuskan secara matematis bahwa yang dinamakan adil bila seseorang mendapatkan bagian yang sama dengan orang lain. Demikian pula, keadilan tidak cukup dimaknai dengan simbol angka sebagaimana tertulis dalam sanksi-sanksi KUHP. Pemikiran hukum progresif menolak segala anggapan bahwa institusi hukum sebagai institusi yang final dan mutlak, sebaliknya hukum progresif percaya bahwa institusi hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi (law as a process, law in the making). Anggapan ini dijelaskan oleh Satjipto Rahardjo sebagai berikut: (pemikiran. penulis) Hukum progresif tidak memahami hukum sebagai institusi yang mutlak secara final, melainkan sangat ditentukan oleh kemampuannya untuk mengabdi kepada manusia. Dalam konteks pemikiran yang demikian itu, hukum selalu berada dalam proses untuk terus menjadi. Hukum adalah institusi yang secara terus menerus membangun dan mengubah dirinya menuju kepada tingkat kesempurnaan yang lebih baik. Kualitas kesempurnaan disini bisa diverifikasi ke dalam faktor-faktor keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada rakyat dan lain-lain. Inilah hakikat “hukum yang selalu dalam proses menjadi (law as a process, law in the making).1[16] Dalam konteks yang demikian itu, hukum akan tampak selalu bergerak, berubah, mengikuti dinamika kehidupan manusia. Akibatnya hal ini akan mempengaruhi pada cara berhukum kita, yang tidak akan sekedar terjebak dalam ritme “kepastian hukum”, status quo dan hukum sebagai skema yang final, melainkan suatu kehidupan hukum yang selalu mengalir dan dinamis baik itu melalui perubahan-undang maupun pada kultur hukumnya. Pada saat kita menerima hukum sebagai sebuah skema yang final, maka hukum tidak lagi tampil sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, melainkan manusialah yang
38
dipaksa untuk memenuhi kepentingan kepastian hukum. Penyidikan oleh penyidik satuan reserse criminal Polres Demak masih dalam taraf pengejaran kepastian hukum, namun mengabaikan azas kemanfaatan serta keadilan, seorang pelaku tindak pidana haruslah dihukum meskipun tindak pidana tersebut hanya mengakibatkan kerugian ekonomi yang kecil Satjipto Rahardjo (1993) mengatakan bahwa dalam pertukaran (interchange-interaction) dengan masyarakat atau lingkungannya, ternyata polisi memperlihatkansuatu karakteristik yang menonjol dibandingkan dengan yang lain (hakim, jaksa dan pengacara). Polisi adalah hukum yang hidup atau ujung tombak dalam penegakkan hukum pidana. Dalam melakukan penangkapan dan penahanan misalnya, polisimenghadapi atau mempunyai permasalahan sendiri. Pada saat memutuskan untukmelakukan penangkapan dan penahanan, polisi sudah menjalankan pekerjaan yang multifungsi, yaitu tidak hanya sebagai polisi tetapi sebagai jaksa dan hakim sekaligus. Penyidikan tersebut sangat rawan dan potensial untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) atau penyimpangan polisi (police deviance) baik dalam bentuk police corruption maupun police brutallity. Internal Polrisendiri telah melakukan otokritik terhadap hal tersebut yang mengungkapkan praktik penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat atau petugas Polri, terutama dalampelaksanaan kewenangan penyidikan. Praktik penyidikan oleh penyidik satuan reserse kriminal Polres X selama ini menunjukkan bahwa aliran positivisme hukum atau paham legisme dan berdasarkan asas kepastian hukum merupakan aliran filsafat hukum yang menjadi arus utama (mainstream) dalam pelaksanaan kewenangan penyidikian yang dilakukan oleh penyidik Polres X, dengan dasar keilmuan hukum progressif yang diajarkan oleh prof. Satjipto Raharjo maka penyidik Polres Demak dapat menerapkan Restorative Justice karena dalam ajaran hukum progresif menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum. Penegakan 39
hukum tidak hanya kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Dengan kata lain, penegakan hukum yang dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap penderitaan bangsa dan disertai keberanian untuk mencari jalan lain daripada yang biasa dilakukan Kasus-kasus yang nilai kerugian sangat kecil serta tidak berdampak social yang luas, perlu adanya empati dari penyidik Polres X untuk di selesaikan di luar jalur pengadilan,hal ini akan lebih membawa kemanfaaan serta keadilan antara pihak-pihak yang berperkara. Sehingga mampu mengubah penegakan hukum yang lebih profesional.
c.
Pasal-pasal yang tercantum dalam Undang-undang Dasar 1945 Ada beberapa pasal yang dapat kami gunakan untuk menganalisis penerapan Restorative Justice oleh penyidik Polres Demak, di mana selama ini penyidik selalu melanjutkan kasus-kasus yang ada laporan dari masyarakat meskipun kadang-kadang kasus tesebut tidak layak di ajukan ke siding pengadilan karena sebenarnya dapat di selesaikan dengan Restorative Justice, di antara pasal-pasal yang tercantum dalam UUD 1945 adalah: 1)
Pasal 18 ayat 2 (amandemen kedua) Dalam pasal ini mengatakan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang.
2) Pasal 24 (1) (Amandemen Ketiga): Dalam pasal ini menjelaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelengarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 3) Pasal 28D (Amandemen Kedua):
40
Dalam pasal ini menjelaskan bahwa Kekuasaan Kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelengarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Bertolak dasar dari beberapa pasal yang tercantum dalam UUD 1945 tersebut, maka penegakan hukum pidana di Polres Demak sebagai bagian dari proses peradilan pidana seharusnya tidak semata-mata di dasarkan pada asas legalitas formal menurut pasal 1 KUHP, yang hanya mengakui UU sebagai sumber hukum (sumber pemidanaan). Dari dasar hukum di atas pun dapat terlihat bahwa supremasi hukum atau kepastian hukum tidak diartikan sematamata sebagai supremasi /kepastian menurut undang-undang. Di dalam UUD NRI 1945 tidak di gunakan istilah” kepastian hukum” atau “ penegakan hukum” saja, tetapi “kepastian hukum yang adil” (pasal 28 D UUD NRI 1945) atau “ menegakkan hukum dan keadilan” (pasal 24 ayat 1 UUD NRI 1945) Jadi ada asas keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan. Beberapa contoh kasus yang dilakukan penyidikan oleh Polres Demak sejatinya dapat di lakukan penyelesaian kekeluargaan demi terwujudnya keadilan substansif atau keadilan yang sebenar-benarnya antara kedua belah pihak, namun penyidik Polres Demak lebih memilih untuk melanjutkan proses hingga ke jenjang peradilan dengan alasan demi kepastian hukum. Di samping itu menurut UUD NRI 1945 sumber hukum tidak hanya UU, tetapi juga dapat bersumber dari hukum yang hidup di dalam masyarakat. Jadi ada pula keseimbangan antara hukum yang tertulis dengan hukum yang tidak tertulis. Kasus kecil yang diselesaiakan dengan cara kekeluargaan sebenarnya telah mengadopsi terhadap hukum-hukum yang tumbuh dan berkembang di tengahtengah masyarakat yang harus diakui serta diterapkan dalamkehidupan seharihari guna membuat masyarakat hidup dengan sejahtera dengan aturan-aturan masyarakat itu sendiri. Selain itu juga terdapat di berbagai undang-undang nasional juga diakui hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup ditengah masyarakat sebagai sumber hukum di samping undang-undang.
41
Dalam berbagai peretemuan ilmiah/seminar nasional, penelitian ilmiah, dan kenyataan/realita juga menghendaki di pelihara dan di hormatinya nilainilai kebiasaan/nilai-nilai budaya luhur yang ada di masyarakat, Dengan demikian adalah sangat wajar apabila nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat itupun termasuk kepentingan hukum yang seharusnya di lindungi/di pelihara dan oleh karena itu juga menjadi tujuan penegakan hukum. Perlu kami catat bahwa secara konstitusioanl UUD NRI 1945 tidak pernah menyatakan bahwa kepastian hukum itu identik dengan kepastian undang-undang. Dengan selalu digunakannya kata “hukum dan keadilan” secara bersamaan memberiakn arti bahwa makna “supremasi/penegakan hukum” bukan semata-mata “supremasi/penegakan undang-undang” saja, tetapi mengandung makna substansif yaitu supremasi/penegakan nilai-nilai substansif/materiel. Dalam salah satu seminar HukumNasioanal,pernah di nyatakan “ Perlu untuk dikembangkan gagasan mengenai kualitas pemberian keadilan yang lebih cocok dengan system hukum Pancasila”. Dari pernyataan inipun tersimpul pelunya di kembangkan keadilan bercirikan Indonesia yaitu “ keadilan pancasila “ yang mengandung makna “ keadilan berkemanusiaan”, keadilan yang demokratik, nasionalistik, danberkeadilan social “. Ini berarti keadilan yang ditegakkan juga bukan sekedar keadilan formal tetapi keadilan substansial.
Sehingga Restorative Justice bisa di terapkan dalam proses
penyididkan di Polres Demak, berdasar uraian diatas maka terdapat skema pemikiran tentang landasan keilmuan dalam penerapan Restorative Justice sehingga akan tercipta penegakan hukumyang profesioanal: Oleh karena itu penerapan asas legalitas dalam KUHP warisan belanda dalamkonteks sistem hukum nasional seharusnya jangan di artikan sematamata sebagai kepastian/kebenaran/keadilan formal undang-undang tetapi harus lebih mendalam sebagai kepastian/kebenaran/keadilan nilai-nilai substansif.
42
Sehubungan denga hal di atas, patut di renungi pendapat Prof. Douglas N Husak mengenai asas legalitas dalam tulisannya “Fidelity to law cannot be construed merely as fidelity to statutory law, but must be understood as fidelity to the principle of justice that underline statutory law. (Kebenaran hukum tidak dapat ditafsirkan semata-mata sebagai kebenaran undang-undang,tetapi harus dipahami sebagai kebenaran prinsip keadilan yang mendasari undang-undang). Daripendapat prof. Douglas di atas pun dapat dilihat, bahwa asas legalitas (supremasi hukum/kepastian hukum) pada hakekatnya mengandung supremasi nilai substansial/materiel,bukan sekedar “ Rule of law” tetapi “ rule of Justice”. Sehingga Restorative Justice bisa di terapkan dalam proses penyididkan di Polres Demak, berdasar uraian diatas maka terdapat skema pemikiran tentang landasan keilmuan dalam penerapan Restorative Justice sehingga akan tercipta penegakan hukum yang professional:
Penegakan Hukum
Restorative Justice
oleh Penyidik
Mewujudkan Keadilan Substansif
Sosiological Yurisprudence Hukum Progresif UUD NRI 1945 : - Pasal 18 ayat 2 - Pasal 24 (1) - Pasal 28D
Terwujudnya Gakkum yang Profesional
43
Restorative Justice sebagai kritik atas penerapan sistem peradilan pidana dengan pemenjaraan yang dianggap tidak efektif menyelesaikan konflik sosial. Penyebabnya, pihak yang terlibat dalam konflik tersebut tidak dilibatkan.Johnstone, mencatat beberapa kebaikan dari Restorative Justice system, yaitu: a.
Bagi korban, Restorative Justice system lebih mampu member atau memenuhi secara lebih baik kebutuhan dan rasa puas dibandingkan dengan proses peradilan pidana biasa.
b.
Bagi pelaku, Restorative Justice system member kesempatan meraih kembali rasa hormat masyarakat daripada terus-menerus dicaci. Bagi masyarakat, pelaku menjadi kurang berbahaya, uang yang dipergunakan
untuk melaksanakan pidana dapat dipakai untuk melakukan tindakan preventif atau konstruktif lainnya. Dan konsep Restorative Justice system, ada dua segi tindakan yang dapat dilakukan, yaitu: a.
Segi Represif Dengan diterapkannya konsep Restorative Justice system, maka yang diutamakan adalah kepentingan pelaku, korban dan masyarakat. Tindakan refresif yang dapat dilakukan dalam hal ini untuk si pelaku di berikan fasilitas untuk di rehabilitasi, untuk korban di beri kompensasi dan untuk masyarakat sendiri secara otomatis kepentingannya dalam hal keamanan akan lebih terjamin.
b.
Segi Preventif Dengan diterapkannya konsep penegakan hukum dalam Restorative Justice system, yang dalam pelaksanaannya atau prakteknya, mengupayakan agar si pelaku dan korban saling bertemu di hadapan anggota masyarakat yang lain, dan setelah itu, si pelaku disuruh untuk meminta maaf dan berdasarkan kesepakan dari anggota masyarakat yang lain, si pelaku baru ditentukan “balasan” dari perbuatannya. Biasanya, balasan tersebut bisa berupa rehabilitasi, atau balasan langsung terhadap korban dalam arti si pelaku disuruh 44
untuk membayar kerugian si korban, sehingga keseimbangan masyarakat pun tetap terjaga. Dengan dihadapkannya si pelaku kepada masyarakat, pada prinsipnya konsep Restorative Justice system mempunyai tujuan agar si pelaku merasa malu untuk melakukan perbuatan kejahatan lagi, dan untuk anggota masyarakat pun otomatis akan merasa malu dalam melakukan kejahatan tersebut. 5.
Kebijakan Bahwa proses reformasi nasional, telah membawa perubahan di dalam sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai lembaga yang dinamis, Polri pun telah menampakan hasil aspek struktural dan instrumental yang memantapkan kedudukan dan susunan Polri dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, serta semakin mengemukakan paradigma baru sebagai Polisi yang berwatak sipil (Civilian Police). Sementara itu pembenahan aspek kultural masih berproses, antara lain melalui ; pembenahan kurikulum pendidikan, sosialisasi nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya, Kode Etik Profesi untuk mewujudkan jati diri Polri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Sikap perilaku anggota Polri belum sepenuhnya mencerminkan jati diri sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Penampilan Polri masih menyisakan sikap perilaku yang arogan, cenderung menggunakan kekerasan, diskriminatif, kurang responsif dan belum profesional khususnya dalam penegakan hukum masih merupakan masalah yang harus dibenahi secara terus menerus. Mereformasi diri dan kembali sebagai
organisasi yang independen
sesuai dengan fungsinya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat serta sebagai aparat penegak hukum yang profesional. Keberhasilan reformasi Polri tersebut, yang di jabarkan menjadi reformasi birokrasi polri khususnya dalam penegakan hokum yang professional dalam menangani kasus-kasus yang tergolong kecil tidak hanya ditentukan oleh Polri semata, tetapi juga didukung oleh peran serta masyarakat, karena peran serta masyarakat
sangat
penting dalam 45
penerapan
restorative
justice
dalam
mewujudkan Polri yang profesional yang mampu menjawab tantangan masa depan, sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Sebagai langkah awal reformasi birokrasi Polri, telah memberikan motivasi berbagai perubahan Polri, mulai dari aspek struktural, instrumental dan kultural yang hingga saat ini perubahan tersebut masih bergulir menuju Polri yang profesional, berwibawa dan dipercaya oleh masyarakat. 6.
Upaya-upaya yang dilakukan a.
Langkah-langkah Strategis Internal 1)
Kepemimpinan Kapolres Perlu adanya komitmen dari Kapolres dalam rangka mengimplementasikan pendekatan atau konsep keadilan restorative (Restorative Justice) dalam penanganan tindak pidana
2)
Bahwa dalam rangka mempercepat implementasikan pendekatan atau konsep keadilan restorative (Restorative Justice) dalam penanganganan tindak pidana, peran Kapolres dalam menggerakan dan mengarahkan anggota serta masyarakat sangat diperlukan. Disamping kemampuan memotivasi, perlu juga tindakan-tindakan aplikatif seperti melakukan pengarahan, menjalin hubungan dengan masyarakat, LSM, tokoh agama sehingga dapat dijadikan contoh dan suri tauladan bagi anggota.
3)
Personil a)
Kuantitas (1)
Kekurangan
personil
perlu
ditambah
dengan
cara
memberdayakan personil staf. (2) b)
Mengusulkan penambahan personil sesuai DSPP / kebutuhan.
Kualitas (1)
Pelatihan (a)
Formal -
Mengusulkan untuk mengikuti Pendidikan Kejuruan tingkat SPN sampai dengan tingkat Mabes.
(b)
Informal -
Mengadakan latihan rutin.
-
Mengadakan jam pimpinan.
46
Sosialisasi tentang
implementasi pendekatan atau
konsep keadilan restorative (Restorative Justice) dalam
penanganganan
tindak
pidana
secara
kontinyu. -
Mengikutsertakan
anggota
untuk
mengikuti
seminar/work shop tentang Restorative Justice sehingga tercapai keadilan yang substansif.
(c)
Wasdal Agar dalam pelaksanaan tidak terjadi kerancuan dan perbedaan persepsi dalam pelaksanaan
perlu
dilaksanakan pengawasan dan pengendalian mulai dari rencana kegiatan sampai dengan laporan hasil kegiatan, dengan membagi perwira yang ada untuk mengawasi. 4)
Anggaran Menambah anggaran dengan membuat
usulan dalam Renja /
RKA-KL. 5)
6)
Matlog a)
Memberdayakan sarana dan prasarana yang sudah ada.
b)
Usulkan pengajuan kebutuhan ke Kesatuan Atas / Polda.
Methode a) b) c) d)
Pelatihan secara berjenjang di Polres sampai dengan tingkat Polsek / Pospol. Sosialisasi Wasdal Reward and punishment
a. Langkah-langkah Strategis eksternal 1)
Kejaksaan a) Peran kejaksaan dalam penegakan hukum pidana (1)
Kejaksaan
R.I.
adalah lembaga
pemerintahan
yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Mengacu pada 47
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, kejaksaan dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan
harus
wewenangnya
secara
melaksanakan merdeka,
fungsi, terlepas
tugas, dari
dan
pengaruh
kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan adalah sebagai pengendali proses perkara (dominus litis), karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus/perkara dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana.
(2)
Adapun dalam rangka persiapan tindakan penuntutan atau kerap dikenal dengan tahap Pra Penuntutan, dapat diperinci mengenai tugas dan wewenang dari Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut antara lain : (a)
Berdasarkan Pasal 109 ayat (1) KUHAP, jaksa menerima pemberitahuan dari penyidik atau penyidik PNS dan penyidik pembantu dalam hal telah dimulai penyidikan atas suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana yang biasa disebut dengan SPDP (Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan).
(b)
Berdasarkan pasal 110 ayat (1) KUHAP, penyidik dalam hal telah selesai melakukan penyidikan, penyidik wajib segera menyerahkan berkas perkara pada penuntut umum.
Selanjutnya
apabila
dihubungkan
dengan
ketentuan Pasal 138 ayat (1) KUHAP penuntut umum segera mempelajari dan meneliti berkas perkara tersebut yakni :
Mempelajari adalah apakah tindak pidana yang disangkakan kepada tersangka telah memenuhi
48
unsur-unsur dan telah memenuhi syarat pembuktian. Jadi yang diperiksa adalah materi perkaranya.
Meneliti adalah apakah semua persyaratan formal telah dipenuhi oleh penyidik dalam membuat berkas perkara,
yang
antara
lain
perihal
tersangka, locus dan tempus tindak
identitas
pidana
serta
kelengkapan administrasi semua tindakan yang dilakukan oleh penyidik pada saat penyidikan. (c)
Mengadakan Prapenuntutan sesuai pasal 14 huruf b KUHAP dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan (4) serta ketentuan Pasal 138 ayat (1) dan (2) KUHAP. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan kurang lengkap (P-18), penuntut umum segera mengembalikan berkas perkara itu kepada penyidik disertai petunjuk untuk dilengkapi (P-19). Dalam hal ini penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sebagaimana petunjuk penuntut umum tersebut sesuai Pasal 110 ayat (2) dan (3) KUHAP.
(d)
Bila berkas perkara telah dilengkapi sebagaimana petunjuk, maka menurut ketentuan Pasal 139 KUHAP, penuntut umum segera menentukan sikap apakah suatu berkas perkara tersebut telah memenuhi persyaratan atau tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan (P-21).
(e)
Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku penuntut umum sesuai Pasal 14 huruf I KUHAP. Menurut Penjelasan pasal tersebut yang dimaksud dengan “tindakan lain” adalah antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan melihat secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum dan pengadilan. 49
(f)
Berdasarkan Pasal 140 ayat (1) KUHAP, penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyelidikan dapat dilakukan
penuntutan,
maka
penuntutan
umum
secepatnya membuat surat dakwaan untuk segera melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan untuk diadili. (g)
Berdasarkan Pasal 8 ayat (3) huruf b KUHAP, penuntut umum menerima penyerahan tanggung jawab atas berkas perkara, tersangka serta barang bukti. Bahwa proses serah terima tanggung jawab tersangka disini sering disebut Tahap 2, dimana di dalamnya penuntut umum melakukan
pemeriksaan
terhadap
tersangka
baik
identitas maupun tindak pidana yang dilakukan oleh tersangka,
dapat
melakukan
penahanan/penahanan
lanjutan terhadap tesangka sebagaimana Pasal 20 ayat (2) KUHAP dan dapat pula melakukan penangguhan penahanan serta dapat mencabutnya kembali.[19]
b)
Bila melihat tugas dan wewenag jaksa penuntut umum yang telah disampaikan di atas, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum baik dalam proses pra penuntutan maupun penuntutan sesungguhnya dilakukan atas dasar keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Penegakan hukum demi keadilan tersebut tentu juga mencakup adil bagi terdakwa, adil bagi masyarakat yang terkena dampak akibat perbuatan terdakwa dan adil di mata hukum, dengan begitu dengan sendirinya apa yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum dalam rangka penegakan hukum adalah untuk mencapai tujuan hukum yakni
kepastian
hukum,
menjembatani
rasa
keadilan
dan
kemanfaatan hukum bagi para pencari keadilan. Oleh karena itu peran Penuntun umum dalam penerapan Restorative Justice juga 50
sangat penting, karena penuntut umum akan mempelajari dan menilai apakah berkas perkara layak untuk di sidangkan atau tidak demi terwujudnya tujuan dari hukum itu sendiri yaitu selain untuk mencapai kepastian hukum juga untuk mencari kemanfaatan dan keadilan. Peran penuntut umum dalam mendukung penerapan Restorative Justice dapat di lakukan dengan cara: (1)
Memberikan
sosialisasi
Restorative
Justice
yang
telah
dilakukan oleh penyidik Polres Demak kepada seluruh jaksa penuntut umum sehingga ada kesamaan pemahaman tentang restorative justice. (2)
Mengadakan pertemuan secara rutin antara penyidik dan penuntut umum dalam diskusi dan dialog di Polres sehingga menyadari dan memahami tentang Restorative Justice.
2)
Tokoh masyarakat / Tokoh Agama Tokoh masyarakat/agama merupakan tokoh yang perannya sangat penting dalam implementasi Restorative Justice, masyarakat harus memainkan perannya dengan baik sebagai pemimpin, pembimbing, komunikator dan partisipasi dalam pembinaan kamtibmas terhadap warga masyarakatnya,
khususnya
dalam
mencegah
dan
meyelesaikan
permasalahan dilingkungan
tempat
tinggalnya,
sehingga berbagai
permasalahan dalam masyarakat dapat di fasilitasi dalam rangka penyelesaian masalah dengan Restorative Justice. Adapun peran tokoh masyarakat/agama dalam mengimplementasikan Restorative Justice bersama Polri adalah sbb : a)
Meningkatkan rasa kesadaran masyarakat untuk melaksanakan ajaran agama dengan benar sehingga permasalahan criminal yang kecil dapat terselesaikan secara kekeluargaan.
b)
Ikut serta secara aktif dalam memfasilitasi upaya penyelesaian permasalahan criminal bersama penyidik Polres Demak untuk mewujudkan keadilan antara kedua belah pihakyang bertikai.
51
c)
d)
Meningkatkan perhatian dan pengertian masyarakat terhadap pelaksanaan tugas Polri khususnya dalam menyelesaikan permaslahan criminal dengan Restorative Justice. Mengarahkan masyarakat untuk membangun kultur/budaya kearah yang positif dalam setiap penyelesaian perkara criminal.
b.
STRATEGI Sedangkan strategi untuk mewujudkan implementasikan pendekatan atau konsep keadilan restorative (Restorative Justice) dalam penanganganan tindak pidana , dapat dilaksanakan melalui : 1)
Strategi Internal (Polri) a)
Mengembangkan sistem pembinaan sumber daya manusia khusus bagi Anggota reserse kriminal Polres X yang meliputi : Rekruitment, Pendidikan/pelatihan untuk menyiapkan para penyidik/penyidik pembantu, Pembinaan karier secara berjenjang, Penilaian kinerja baik perorangan maupun kesatuan, Penghargaan dan penghukuman, menyelenggarakan program-program pendidikan
dan pelatihan
Restorative Justice secara bertahap sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan. b)
Meningkatkan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan Penyidikan.
c)
Menyediakan
dukungan
anggaran
yang
memadai
dalam
melaksanakan tugas . d)
Mengembangkan upaya penciptaan kondisi internal Polri yang kondusif bagi implementasi pendekatan atau konsep keadilan restorative (Restorative Justice) dalam penanganan tindak pidana.
2)
Strategi Eksternal (masyarakat) a)
Mengadakan kerjasama dengan JPU, Pengacara, Hakim serta instansi terkait lainnya.
52
b)
Membangun dan membina
kemitraan dengan tokoh masyarakat
maupun tokoh agama rangka memberikan dukungan bagi penerapan Restorative Justice c)
Meningkatkan
program-program
sosialisasi
implementasi
pendekatan atau konsep keadilan restorative (Restorative Justice) dalam penanganganan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik Polres Demak d)
Menyelenggarakan program implementasi pendekatan atau konsep keadilan restorative (Restorative Justice) dalam penanganan tindak pidana pada kasus tertentu sehingga secara bertahap dapat diimplementasikan di semua jajaran Polsek di Polres Demak
VI.
PENUTUP 1.
Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian dan pembahasan-pembahasan di atas maka dalam penulisan makalah ini dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut : a.
Penyidik polres X dalam melakukan penyidikan masih berfikir atau berpaham positivisme, artinya penyidik menerapkan hukum hanya sebatas dalam penerapan pasal-pasal yang tercantum dalam hukum materiel, namun mengabaikan rasa keadilan masyarakat, banyak kasus yang dilanjutkan sampai proses pengadilan meskipun kasus tersebut tergolong kasus-kasus yang kerugian ekonominya sangat kecil. Hal ini terjadi di karenakan salah satunya adalah pendidikan maupun sumber daya penyidik/penyidk pembantu yang belum memahami hakekat dari tujuan hukum yaitu selain kepastian hukum hukum bertujuan untuk mancari kemanfaatan maupun untuk mencapai keadilan, penyidik belum memahami apa itu yang di sebut dengan Restorative Justice karena kurangnya pendidikan/pelatihan tentang Restorative Justice.
b.
Dalam penerapan Restorative Justice banyak faktor-faktor yang mempengaruhi penerapan Restorative Justice baik itu yang bersifat dari luar maupun dari dalam yang meliputi kekuatan, kelemahan, kesempatan maupun ancaman. 53
c.
Kondisi penyidikan di Polres X di harapkan dapat mengimplementasikan Restorative Justice, hal ini sesuai dengan tujuan adanya hukum,selain untuk menjamin kepastian hukum hukum juga berguna untuk mencari keadilan serta kemanfaatan. Dasar teori serta penerapan Restorative Justice bisa mengacu pada sociological jurisprudence yang menerangkan bahwa hukum yang baik haruslah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di antara masyarakat, hukum progressif oleh prof Satjipto Raharjo yang menerangkan bahwa menjalankan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dari peraturan (according to the letter), melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari undang-undang atau hukum,serta pasal-pasal yang tercantum dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penerapan Restorative Justice diharapkan mampu membawa keadilan yang substansif sehingga penegakan hukum yang dilakukan oleh penyidik Polres X diharapkan semakin profesional.
d.
Guna menerapkan Restorative Justice maka diperlukan langkah-langkah baik itu langkah-langkah yang bersifat internal maupun ekternal, langkah internal di antaranya meliputi kebijakan kapolres, peningkatan personil baik kuantitas maupun kualitas, pemenuhan material logistic, pemenuhan anggaran, serta metode sedangkan langkah eksternal dengan cara peningkatan kerjasama dengan kejaksaan maupun tokoh masyarakat. Selain itu juga di terapkan strategi dalam implementasi restorative justice yang meliputi strategi internal maupun strategi eksternal.
2.
Rekomendasi a.
Untuk menghindari rasa ketidakadilan masyarakat dimana kasus kriminal yang selalu dibawa ke ranah peradilan maka penyidik Polres Demak perlu menerapkan Restorative Justice di tingkat penyelidikan maupun penyidikan dengan mempedomani syarat-syarat implementasi restorative justice, dengan diterapkan restorative justice maka di harapakan terwujudnya penegakan hukum yang professional serta pelayanan prima kepada masyarakat sesuai program Reformasi Birokrasi Polri.
b.
Untuk mendukung penerapan restorative justice maka perlu di dukung sumber 54
daya manusia penyidik maupun penyidik pembantu yang memadai baik kuanti tas maupun kualitas, oleh karena itu perlu penambahan penyidik maupun penyidik pembantu sesuai dengan DSPP serta peningkatan kualitas penyidik /penyidik pembantu dengan cara mengikutsertakan mengikuti seminar, lokakarya, diskusi yang berkaitan dengan restorative justice serta perekrutan penyidik melalui accessment center yang diantaranya meliputi standart pendidikan penyidik maupun penyidik pembantu. Selain peningkatan sumber daya penyidik maka perlu ditingkatkan juga sarana prasarana serta anggaran guna menunjang implementasi restorative justice. Serta peningkatan kerjasama antara sesama penegak hukum termasuk dengan tokoh masyarakat tentang persamaan pandangan dalam penerapan restorative justice. c.
Untuk menjamin adanya keseragaman dalam implementasi Restorative Justice di lingkungan Polda Jateng khususnya di Polres Demak, diperlukan suatu norma atau kaidah untuk menjamin kesamaan tindakan penyidik dalam penerapan konsep Restorative Justice pada penegakan hukum pidana,dan juga untuk memberikan legitimasi kepada penyidik Polri agar segala tindakan yang dilakukan dalam implementasi restorative untuk kepentingan penyidikan tidak dicap ilegal dan menyimpang dari hukum acara yang berlaku. Hal ini diantaranya di keluarkannya SOP (standart operasional prosedur) dalam penerapan restorative justice serta perumusan kelengkapan administrasi penyidikan dalam penerapan implementasi restorative justice.
55
DAFTAR PUSTAKA Abdussalam, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat (Hukum Pidana Formal), Jakarta: Penerbit Restu Agung, buku 2, 2006. Ashofa, Burhan, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2005. Esmi Warassih, Prana Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang : PT Suryandaru Utama, 2005. Faisal, Menerobos Positivisme Hukum, Rangkang Education, Yogyakarta : 2010. Friedman, W, Teori dan Filsafat Hukum. Telaah Krisis Atas Teori-teori Hukum, Terjemahan M. Arifin, Jakarta : Rajawali, 1990. Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Ed. Kesatu, Jakarta: Sarana Bakti Semesta, 1985. Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta : The Habibie Center, 2002. Prodjohamidjojo, Martiman, Penyelidikan dan Penyidikan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1982. Remmelink, Jan, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal – Pasal Terpenting dari Kitab UndangUndang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Jakarta : Gramedia, 2003. Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir (Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum), Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2007. Satjipto Rahardjo, Membedah Hukum Progresif, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2006. Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta : Genta Publishing, 2009. Wignjosoebroto Soetandyo, Hukum Dalam Masyarakat, Perkembangan dan Masalah, Bayu Media, April, 2008.
PERATURAN/ UNDANG-UNDANG Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Sinar Grafika, 2004. Undang – Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,Sinar Grafika, 2004.
56
Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Direktorat Penyuluhan Hukum Dep. Kehakiman RI, Jakarta, 1986. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana, Direktorat Penyuluhan Hukum Departemen Kehakiman, Jakarta, 1986. Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, Sinar Grafika, 2006.
LAIN-LAIN/ INTERNET http://hukumonline.com.2010. http://depkumham.go.id.2010. http://www.jateng.polri.go.id http://www.legalitas.org.2010. http://www.polri.go.id
MAKALAH Garuda Wiko, "Penegakan Hukum, Pembaharuan Hukum dan Rancang Bangun Hukum Progresif", Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Univeristas Tanjungpura, Pontianak, 29 Oktober 2009. Satjipto Rahardjo “Paradigma Hukum Indonesia dalam Perspektif Sejarah”, Makalah. Satjipto Rahardjo. "Pendayagunaan Sosiologi Hukum Untuk Memahami Proses - Proses Sosial dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi”, Makalah Seminar Nasional Sosiologi Hukum dan Pembentukan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 1998. Symposium Nasional Ilmu Hukum Tentang Paradigma dalam Ilmu Hukum Indonesia, Program S3 Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 10 Pebruari 1998.
57